Minggu, 20 Agustus 2017

Kho Ping Hoo Mandarin Jodoh Rajawali 7

Kho Ping Hoo Mandarin Jodoh Rajawali 7 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
-
Pada saat Tek Hoat mendengar suara aneh dari kerongkongan wanita itu, suara seperti seekor kucing
mengerang-erang, dia merasa seperti disambar petir. Teringatlah dia bahwa yang memeluknya di atas
pembaringan ini bukan Syanti Dewi! Dia tadi seperti dalam mimpi, seolah-olah Syanti Dewi yang memeluk
dan menciumnya, sungguh pun dia tadi merasa terheran-heran karena seingatnya, Syanti Dewi tidak
pernah bersikap ‘menyerang’ sehebat itu dalam pencurahan kasih sayang. Memang pernah dia mencium
kekasihnya itu, akan tetapi sungguh berbeda sekali sikap dan gerak sambutan Puteri Bhutan itu dengan
Mauw Siauw Mo-li. Syanti Dewi adalah lambang kesucian dan kehalusan, akan tetapi wanita ini amat
ganas!
Erangan seperti suara kucing itu menyadarkan Tek Hoat dan kalau tadi dia menutupkan kedua matanya,
kedua tangannya membalas pelukan dan dia membiarkan mulutnya diciumi secara luar biasa itu, kini dia
membuka matanya dan ternyata bahwa lilin telah padam sehingga kamar itu menjadi gelap sekali. Kiranya
dengan gerakan tangannya, Mauw Siauw Mo-li telah memadamkan lilin di atas meja.
Dengan susah payah akhirnya Tek Hoat dapat melepaskan bibirnya dari cengkeraman mulut Mauw Siauw
Moli. Terdengar napas mendengus-dengus, napasnya sendiri dan napas wanita itu setelah ciuman
dilepaskan. Rintihan Mauw Siauw Mo-li makin panas, tangannya merenggut lepas tiga buah kancing baju
Tek Hoat sekali tarik.
“Nanti dulu... Mo-li, nanti dulu...“
“Tek Hoat...“ Mauw Siauw Mo-li menahan ketika Tek Hoat hendak bangkit duduk. Dia tak melanjutkan katakatanya
karena sudah mengerang lagi seperti seekor kucing. Bulu tengkuk Tek Hoat meremang
mendengar suara ini.
“Nanti dulu, Mo-li. Dengar, aku hendak... hendak ke belakang dulu...,“ katanya.
“Ehhh...? Hi-hi-hik... baiklah, tetapi jangan lama-lama, kekasih...“ Kedua tangannya lalu melepaskan
pelukan.
Tek Hoat bangkit duduk dan turun dari pembaringan, sudah setengah telanjang. Tidak ingat lagi dia kapan
Mauw Siauw Mo-li telah hampir menelanjanginya itu.
Namun sebelum dia melangkah, Mauw Siauw Mo-li mengerang. “Tek Hoat... katakan dahulu... benarkah
kau menganggap aku cantik menarik?”
“Ya, aku tidak berbohong.”
“Dan kau suka kepadaku?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku suka sekali...”
“Kalau begitu, coba kau cium aku...“
Di dalam gelap Tek Hoat tersenyum, kemudian dia menghampiri pembaringan dan membungkuk,
menggunakan tangannya meraba dan setelah dia menyentuh pundak wanita itu, dia lalu mendekatkan
mukanya dan mencium mulut wanita yang panas itu dengan mesra. Dicium semesra itu, Mauw Siauw Mo-li
mengerang dan merangkul, hendak menarik lagi Tek Hoat ke atas pembaringan.
“Nanti dulu, sebentar, aku takkan lama, Mo-li...“ Tek Hoat melepaskan rangkulan dua tangan itu, merabaraba
di atas meja dan tak lama kemudian dia membuka daun pintu dan keluar dari kamar itu, menuju ke
belakang, ke kamar kecil!
Terlalu lama bagi Mauw Siauw Mo-li menanti di dalam kamar, tetapi membayangkan penyerahan diri
pemuda yang membuatnya tergila-gila itu membuat dia bersabar menanti dengan tubuh panas semua
karena api birahi telah membakarnya berkobar kobar. Terdengar daun pintu terbuka, sesosok bayangan
masuk dan daun pintu ditutup lagi.
“Ahhhhh... kekasih... pujaanku... ke sinilah... cepat sini...!” Mauw Siauw Mo-li berbisik. Bayangan itu
menghampiri pembaringan dan segera disambar oleh kedua tangan Mauw Siauw Mo-li, ditariknya ke atas
pembaringan.
Di luar jendela kamar itu, Ang Tek Hoat berdiri dan tersenyum. Tangannya memegang segulungan
pakaian, pakaian Mauw Siauw Mo-li yang diam-diam dibawanya keluar tadi. Saat tadi dia dibelai dan dirayu
oleh wanita itu, hampir saja dia terseret dan tenggelam. Akan tetapi, suara mengerang seperti kucing itu
menyadarkannya bahwa dia berada dalam pelukan Siluman Kucing! Maka timbuliah akalnya untuk
mempermainkan wanita ini.
Dia pura-pura hendak ke belakang, akan tetapi diam-diam dia menambah minyak dalam api birahi itu
dengan bersikap manis dan memberi ciuman, dan disambarnya semua pakaian Mauw Siauw Mo-li, lalu
dibawa keluar. Setelah tiba di luar kamar, Tek Hoat menggunakan kepandaiannya, mendatangi kamar
pelayan berwajah bopeng dan buruk sekali itu. Pelayan ini masih belum tidur dan menjadi terkejut ketika
tiba-tiba pintunya terbuka dan pemuda yang dilayaninya tadi berdiri di situ.
“Sssttttt... Paman, cepat kau ikut aku!”
Pelayan itu mengenal Tek Hoat sebagai tamu yang royal dengan hadiah, akan tetapi juga galak, maka dia
cepat turun dari pembaringan.
“Ada apa, Kongcu?”
“Kau mau... ehhh, bermain dengan seorang wanita cantik? Lebih cantik dari Kim Lian tadi?”
“Aihhh, jangan main-main, Kongcu. Orang seperti saya mana ada uang untuk...“
“Tak usah bayar, aku sudah membayarnya. Aku lelah, dan kau wakili aku, tapi diam diam saja jangan
keluarkan suara, ya? Kau harus begini...“ Tek Hoat berbisik-bisik di dekat telinga pelayan itu yang
membelalakkan mata, terkekeh kemudian mengangguk-angguk.
Dengan tergesa-gesa pelayan itu lalu ditarik oleh Tek Hoat sampai ke depan pintu kamarnya, dalam
keadaan tidak berpakaian sama sekali! Kemudian, setengah didorong, pelayan itu memasuki kamarnya
yang gelap dan pelayan itu segera disambut oleh kedua lengan Mauw Siauw Mo-li yang mulus dan
tubuhnya yang hangat. Mauw Siauw Mo-li sedang terbakar nafsu birahi, dalam gelap itu mana dapat
membedakan orang?
Apa lagi seperti nafsu lain, nafsu birahi hanyalah merupakan permainan dari dirinya sendiri belaka. Jika
nafsu birahi telah berkobar, bantuan dari luar untuk pemuasan nafsu tidaklah merupakan hal yang mutlak
penting. Apa lagi semua indera dari Mauw Siauw Mo-li seolah-olah telah menjadi tumpul dan buta hingga
dia tak lagi dapat membedakan orang. Di dalam gelap itu dia segera menggelut pelayan bopeng yang
merasa terkejut, heran, juga amat girang karena dia seolah-olah menjadi seperti seorang kelaparan yang
diberi hidangan lezat dan banyak sehingga dia pun makanlah dengan lahap dan rakusnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dari luar jendela Ang Tek Hoat tersenyum mendengar erangan seperti kucing itu, dan bisikan-bisikan yang
menyatakan kagum dan pujian terhadap dirinya oleh Mauw Siauw Mo-li. Maka dia lalu meloncat pergi
sambil tersenyum lebar. Mudah-mudahan saja besok Mauw Siauw Mo-li akan sadar bahwa cinta tidak
dapat dipaksa-paksakan, pikirnya. Kini berkurang rasa bencinya terhadap Mauw Siauw Mo-li. Dia tahu
bahwa wanita itu telah menjadi hamba dari nafsu birahinya, yang merupakan semacam penyakit yang
mendalam sehingga selama hidupnya, wanita itu akan menjadi tersiksa oleh penyakit itu, hidupnya tidak
akan dapat tenteram, nafsu birahinya seperti api yang berkobar dan makin lama makin berkobar, membara
dan membakar segala-galanya tanpa pernah mengenal kepuasan. Dalam diri wanita itu seperti telah
dicengkeram oleh racun yang amat dahsyat!
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali setelah kegelapan dalam kamar terusir oleh sinar matahari pagi
yang menerobos masuk ke dalam kamar melalui lubang-lubang di atas jendela, terdengar teriakan panjang
mengerikan dari dalam kamar Tek Hoat. Teriakan ini keluar dari mulut pelayan bopeng, disusul oleh suara
maki-makian yang marah dari Mauw Siauw Mo-li. Ketika wanita ini terbangun dan mendapatkan dirinya
dalam pelukan seorang laki-laki yang berwajah buruk sekali, dia lalu menjerit dan melemparkan pelayan itu
dengan sekali gerakan saja ke atas lantai!
Pelayan itu terkejut dan berteriak, tetapi teriakkannya memanjang mengantar nyawanya ketika Mauw
Siauw Mo-li sudah meloncat dan sekali tangannya terayun, pelayan itu roboh dengan kepala pecah! Mauw
Siauw Mo-li mencari pakaiannya dan ketika melihat bahwa pakaiannya hilang, dia memaki-maki dengan
kemarahan meluap-luap. Tahulah dia bahwa dia telah dipermainkan oleh Ang Tek Hoat! Dua titik air mata
meloncat keluar dari matanya, akan tetapi sekarang kemarahannya mengatasi kekecewaannya dan dia
memaki-maki dan menendang, membanting dan menghancurkan seisi kamar itu.
“Tek Hoat keparat! Jahanam besar kau! Kubunuh kau...!”
Tiba-tiba pintu kamar itu terketuk orang keras-keras dari luar dan terdengar suara ribut ribut. Itu adalah
suara para pelayan lain, dan para pengurus rumah penginapan dan para tamu yang mendengar teriakan
mengerikan tadi. Mauw Siauw Mo-li terkejut dan bingung. Dia telanjang bulat!
“Braaaaakkkkk...!” Pintu dijebol banyak orang dari luar.
Melihat ini, Mauw Siauw Mo-li terpaksa meloncat keluar dari jendela dalam keadaan telanjang bulat. Akan
tetapi, ternyata di luar jendela telah banyak orang pula, bahkan ada petugas keamanan mengurung tempat
itu. Tentu saja semua ini adalah perbuatan Tek Hoat yang memberi tahu orang-orang dan petugas itu
bahwa di dalam kamarnya terdapat siluman yang suka membunuh orang!
Beberapa orang yang melihat wanita cantik jelita dan telanjang bulat itu menjadi terkejut, akan tetapi ketika
melihat pelayan bopeng rebah di atas lantai berlumur darah mukanya dan telah tewas, mereka menjadi
marah.
“Tangkap siluman!”
“Dia membunuh orang!”
“Bunuh saja dia! Awas, hadang dia, jangan sampai kabur!”
Banyak orang menyerbu ke dalam kamar, akan tetapi tentu saja dengan sekali gerakan Mauw Siauw Mo-li
telah berhasil merobohkan beberapa orang, lalu dia menerobos ke luar jendela, menendang dan memukul
roboh mereka yang berani menghalanginya dan dengan beberapa kali lompatan di atas genteng-genteng
rumah orang, lenyaplah wanita telanjang bulat yang cantik itu!
Tentu saja peristiwa itu segera menjadi ‘dongeng’ yang banyak diceritakan orang yang rnenganggap
bahwa wanita cantik itu pasti benar-benar siluman! Kalau manusia, mana mungkin ada seorang wanita
yang demikian cantiknya suka bermain cinta dengan seorang laki-laki yang demikian buruknya seperti
pelayan itu, yang selain buruk, juga sudah setengah tua dan miskin? Dan pelayan itu dibunuhnya. Siapa
lagi wanita itu kalau bukan siluman?
Sementara itu, Mauw Siauw Mo-li menjadi marah dan sakit hati sekali terhadap Tek Hoat. Akan tetapi ke
manakah dia harus mencari Tek Hoat? Pemuda itu sudah pergi jauh, dan selain itu, andai kata dia dapat
bertemu dengan pemuda itu, apa yang dapat dia lakukan terhadapnya? Dia tahu bahwa Tek Hoat memiliki
dunia-kangouw.blogspot.com
kepandaian yang amat tinggi dan dia tidak akan menang melawan pemuda itu. Ingin dia menangis kalau
mengingat betapa dia gagal mendapatkan diri pemuda itu.
Bagaikan sepotong daging, pemuda itu sudah berada di dalam mulutnya, tinggal menelannya saja, akan
tetapi daging itu terloncat keluar dari dalam mulutnya dan dia bukan hanya gagal mendapatkannya, bahkan
sebaliknya dia dipermainkan! Hatinya sakit sekali dan dalam keadaan seperti ini, Mauw Siauw Mo-li berjanji
dalam hati sendiri untuk mencari jalan agar kelak dia dapat membalas penghinaan itu…..
********************
Lereng Bukit Tai-hang-san memiliki pemandangan alam yang amat indah. Terutama sekali di lereng
gunung di mana berdiri Kuil Kwan-im-bio itu. Sungguh bagian lereng gunung ini merupakan tempat yang
subur sekali tanahnya karena sumber air di dekat puncak mengalir melalui lereng ini. Segala macam
tanaman rempah-rempah yang mengandung khasiat pengobatan dan racun ampuh dan bunga-bunga
indah dan aneh aneh yang tidak terdapat di daerah lain, justeru tumbuh di tempat ini.
Mungkin terpengaruh oleh cara hidup para nikouw (pendeta wanita) yang mendiami Kuil Kwan-im-bio itu,
cara hidup penuh ketenteraman, ketenangan dan kedamaian, maka para penduduk di dusun-dusun sekitar
daerah lereng ini pun hidup tenteram dan tenang. Bahkan binatang-binatang hutan yang terdapat di lereng
itu, burung-burung yang berkembang biak dengan amannya, kelihatan jinak dan tidak takut kepada
manusia karena manusia yang tinggal di sekitar daerah itu tidak pernah ada yang mengganggu mereka.
Kuil Kwan-im-bio yang berada di lereng itu dipimpin oleh Kim Sim Nikouw, seorang pendeta wanita yang
lemah lembut dan manis budi, yang dikenal oleh seluruh penduduk pegunungan itu sebagai seorang
pendeta yang suka menolong mereka yang sedang dilanda kesusahan, dikenal sebagai seorang ahli
pengobatan dan juga seorang yang biar pun kelihatan lemah akan tetapi sesungguhnya merupakan
seorang yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga tidak ada orang jahat pernah berani mencoba-coba
untuk mengganggu daerah itu.
Akan tetapi, Kim Sim Nikouw tidak pernah mau memperlihatkan kepandaiannya, apa lagi untuk berkelahi,
bahkan dia selalu mengalah dan bersikap manis terhadap siapa pun juga sehingga banyak orang yang
terjatuh olehnya bukan dengan kekerasan atau kepandaian silat, melainkan oleh sikapnya yang manis
budi. Kejatuhan seperti ini bukan merupakan kejahatan yang mengandung dendam dan sakit hati,
sebaliknya malah kejatuhan seperti ini mengandung daya tarik yang membangkitkan rasa sayang di dalam
hati semua orang terhadap nikouw tua ini.
Usia Kim Sim Nikouw sudah mendekati enam puluh tahun namun wajahnya masih nampak berkulit halus
dan kemerahan, tanda sehat dan segar, masih jelas nampak bekas kecantikan wajahnya. Memang nikouw
ini dahulu adalah seorang wanita yang amat cantik dan tangkas. Dan ilmu kepandaiannya memang tinggi
sekali karena dia bukan lain adalah bekas suci dari Pendekar Super Sakti yang kini menjadi Majikan Pulau
Es. Biar pun nikouw ini kelihatan lemah dan manis budi, namun sesungguhnya di waktu mudanya dia
pernah menjadi murid seorang datuk kaum sesat yang bertangan kejam sekali. (baca cerita Pendekar
Super Sakti)
Bahkan nikouw ini memiliki pula pukulan yang dinamakan Toat-beng Sin-ciang (Tangan Sakti Pencabut
Nyawa), di samping tenaga dingin Swat-im Sin-kang yang amat mukjijat. Akan tetapi, belum pernah ada
orang yang menyaksikan nikouw itu mempergunakan pukulan mengerikan dan tenaga mukjijat itu,
kepandaian yang oleh nikouw itu sendiri tidak disukainya. Akan tetapi yang pernah nampak oleh orang lain
adalah kepandaian berlari cepat dari nikouw ini.
Kim Sim Nikouw selama puluhan tahun telah menciptakan ilmu meringankan tubuh yang amat hebat
sehingga dia dapat berlari seperti terbang cepatnya dan kedua kakinya seolah-olah menginjak ujung
rumput-rumput di atas tanah. Ilmu ciptaannya ini adalah Ilmu Jouw-sang-hui-eng (Ilmu Terbang di Atas
Rumput) dan ada pula gerakan-gerakan yang luar biasa cepatnya dan yang diberinya nama Ilmu Sin-ho
Coan-in (Bangau Sakti Terjang Awan).
Sikap dan sifat Kim Sim Nikouw memang membuat dia pantas sekali menjadi ketua Kuil Kwan-im-bio,
karena dewi yang dipuja-puja di kuil itu sendiri, yaitu Kwan Im Pouwsat, adalah dewi lambang dari
kebijaksanaan dan belas kasih, penolong dan pengampun. Murid-muridnya, yaitu para nikouw yang berada
di kuil itu, semua tunduk kepadanya, taat bukan karena takut melainkan dikarenakan mencinta pendeta
wanita ini. Dan para nikouw itu hanya menjadi muridnya dalam hal keagamaan saja. Satu-satunya nikouw
yang menjadi muridnya dalam hal ilmu silat hanyalah seorang, yaitu Liang Wi Nikouw yang usianya malah
dunia-kangouw.blogspot.com
lebih tua dari padanya! Liang Wi Nikouw telah berusia enam puluh lima tahun sedangkan Kim Sim Nikouw
kurang lebih enam puluh tahun!
Akan tetapi, semenjak beberapa bulan ini, Kim Sim Nikouw membawa pulang seorang dara remaja yang
usianya baru delapan belas tahun, seorang dara yang bersikap lemah lembut, berwajah cantik dan gerakgeriknya
halus. Dara ini bukan lain adalah Phang Cui Lan, puteri mendiang kepala kampung Cian-li-cung di
dekat Lok-yang, dara yatim piatu yang hidup sebatang kara dan yang pernah menjadi dayang atau pelayan
dari keluarga Gubernur Ho-nan.
Seperti telah diceritakan di bagian depan cerita ini, dayang yang muda dan cantik ini, biar pun merupakan
seorang wanita lemah, namun dia memiliki keberanian yang amat mengagumkan dan dengan cara luar
biasa dia telah berhasil menyelamatkan Gubernur Ho-pei dari ancaman bahaya ketika Gubernur Ho-pei ini
tertawan oleh Gubernur Ho-nan yang hendak memberontak. Dan telah dituturkan pula betapa Cui Lan
diangkat anak oleh Gubernur Ho-pei dan diajak pulang ke Ho-pei. Akan tetapi di tengah jalan, Cui Lan
bertemu kembali dengan satu-satunya pria yang selalu dipujanya dan yang diam-diam dicintanya, yaitu
Siluman Kecil yang bertanding melawan kakek pembawa suling emas. Sikap Siluman Kecil yang tidak
mempedulikannya membuat hati dara ini hancur dan terluka.
Kembali terbukti betapa cinta kasih yang sesungguhnya bukanlah cinta kasih murni, melainkan cinta kasih
yang mengikat, yang mengandung pamrih, yang disebut cinta kasih akan tetapi sebenarnya hanya
merupakan pengejaran kesenangan diri pribadi, selalu pasti mendatangkan penderitaan dan
kesengsaraan! Betapa banyak terjadi di dalam dunia ini cinta-cinta yang mendatangkan korban tak
terhitung banyaknya dan bermacam-macam lika-likunya. Cinta seperti itu yang mendatangkan korban di
antara manusia telah terjadi semenjak ribuan tahun, sedang terjadi pula sekarang ini dan mungkin akan
terus terjadi selama manusia tidak menyadari betapa palsunya cinta kasih seperti itu.
Betapa banyaknya kaum muda-mudi yang saling tertarik, bersumpah saling mencinta ketika mereka masih
diombang-ambingkan oleh pengejaran untuk menyenangkan dirinya sendiri itu. Kemudian, setelah datang
badai berupa sesuatu yang membuat hati mereka tidak senang, lunturlah cinta kasih itu, bahkan tak jarang
cinta mereka berubah menjadi kebencian! Cinta kasih macam itu tak dapat tiada tentu akan mendatangkan
kepahitan, patah hati, kekecewaan, kebosanan, cemburu, dan sebagainya. Karena cinta kasih seperti itu
isinya penuh dengan pamrih dan harapan, bayangan untuk kesenangan pribadi, maka apa bila ternyata
bahwa cinta kasih itu tidak mendatangkan kesenangan lagi, bahkan merugikan dan menyakitkan, cinta
kasih itu berubah menjadi penderitaan dan kesengsaraan batin.
Demikian pula dengan Phang Cui Lan. Dia mencinta Siluman Kecil, cinta yang didorong oleh rasa
kagumnya terhadap Siluman Kecil yang pernah menolongnya. Cintanya yang berselubung harapan agar
dia menjadi milik pria itu, agar pria itu membalas cintanya, agar supaya dia selalu dapat berdampingan
dengan pria itu karena hal ini akan sangat menyenangkan hatinya. Demikianlah gambaran yang diharapharapkannya.
Dan oleh karena itu, karena melihat kenyataan betapa pendekar yang dipujanya itu sama
sekali tidak mempedulikannya, sama sekali tak menerima apa lagi membalas cintanya, Phang Cui Lan
mengalami pukulan batin yang hebat dan yang membuatnya merana. Untung baginya bahwa dalam
keadaan itu dia bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang menaruh kasihan kepadanya dan mengajak dara
itu tinggal di kuilnya.
Kim Sim Nikouw merasa tertarik dan sayang kepada Cui Lan, karena dia dapat melihat persamaan nasib
antara dia dan dara itu. Dia sendiri di waktu mudanya juga mengalami patah hati yang amat membuatnya
sengsara, yaitu ketika cintanya terhadap Pendekar Super Sakti tidak berhasil membuat dia berjodoh
dengan pendekar itu. Dia pun pernah mengalami derita batin karena cinta gagal, maka kini menyaksikan
keadaan Cui Lan, timbul rasa iba di dalam hatinya. Dara itu pun seorang yang yatim piatu seperti dia, dan
gagal pula dalam cintanya. Dulu dia gagal dalam cintanya terhadap Pendekar Super Sakti dan kini Cui Lan
gagal terhadap putera pendekar itu.
Hati Cui Lan banyak terhibur dan terobati setelah dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Bahkan dara ini yang
telah mengalami banyak hal-hal pahit dan maklum bahwa sebagai seorang wanita muda yang lemah dia
terancam oleh berbagai kejahatan di dunia ramai, kini mulai mempelajari ilmu silat dari ketua Kwan-im-bio
itu di samping menerima wejangan-wejangan kebatinan yang dapat dia pergunakan untuk mengatasi
penderitaan batinnya.
Akan tetapi, bukan menjadi maksud hati Kim Sim Nikouw untuk sekedar mengobati luka di hati Cui Lan,
agar dara itu dapat melupakan kedukaannya dan melupakan Kian Bu. Sama sekali tidak! Nikouw ini
melihat kenyataan bahwa menghibur hati yang sengsara dengan cara memaksa diri menjadi nikouw
dunia-kangouw.blogspot.com
bukanlah merupakan jalan yang baik, karena dia sendiri sudah merasakan betapa sampai sekarang pun
hatinya kadang-kadang terluka dan perih kembali! Oleh karena itu, dia tidak ingin melihat Cui Lan
mencontoh perbuatannya.
Tidak, Cui Lan adalah seorang dayang amat cantik dan baik, hal ini sudah diketahuinya benar selama
beberapa hari saja setelah dara itu ikut bersamanya. Dara ini baik sekali, cukup baik dan cukup berharga
untuk menjadi mantu Pendekar Super Sakti! Karena itu, diam-diam dia akan turun tangan, dia yang akan
menjadi wali dan wakil orang tua dara ini untuk menjodohkan Cui Lan dengan Kian Bu!
Cui Lan sendiri hanya dapat menduga-duga saja siapakah sebenarnya nikouw yang kini menjadi gurunya
ini. Dia hanya tahu bahwa nikouw ini bernama Kim Sim Nikouw dan menjadi ketua Kuil Kwan-im-bio, akan
tetapi dia tidak tahu apa hubungan nikouw ini dengan Siluman Kecil. Ketika dia mengintai bersama Hwee
Li, dia mendengar betapa Siluman Kecil menyebut nikouw ini ‘ibu’. Akan tetapi dia tidak berani
menanyakan hal ini kepada subo-nya.
Pada suatu hari, setelah kurang lebih tiga bulan dia berguru kepada Kim Sim Nikouw, dan untuk ke sekian
kalinya dia mengajukan permintaan agar diterima menjadi nikouw karena di dunia baru ini dia merasa
seperti menemukan ketenteraman batin. Kim Sim Nikouw kembali menolaknya dan berkata kepada dara
yang berlutut di depannya itu.
“Cui Lan, ketahuilah bahwa engkau tidak berjodoh untuk menjadi pendeta.”
Cui Lan mengangkat mukanya yang tadi menunduk dan memandang kepada subo-nya dengan sinar mata
penuh permohonan. “Akan tetapi, Subo, kini teecu telah merasa tenteram dan senang sekali hidup sebagai
seorang pendeta. Apakah Subo hendak mengatakan bahwa teecu masih terlalu kotor untuk menjadi
nikouw?”
“Omitohud...! Sama sekali tidak demikian muridku.”
“Kalau begitu, mengapakah, Subo? Harap Subo suka memberi penerangan kepada teecu.”
“Engkau ingin tahu mengapa aku melarangmu menjadi nikouw, Cui Lan? Karena... karena pinni
menyayangmu seperti anak sendiri, karena pinni tidak ingin engkau yang begini muda menyia-nyiakan
hidupmu dan tidak menikmati hidupmu. Karena pinni tidak ingin engkau menjadi korban dari cinta gagal
yang akan membuat hidupmu selalu merana dan sengsara, biar pun hal itu akan kau tutupi dengan jubah
pendeta sekali pun!”
Wajah Cui Lan berubah, agak pucat ketika dia memandang kepada nikouw itu dengan sinar mata
terbelalak. “Apa... apa maksud Subo...?”
Nenek itu memandang pada muridnya dengan sepasang matanya yang bersinar lembut namun tajam dan
agaknya mampu menjenguk isi hati yang dipandangnya, “Cui Lan, engkau masih mencinta Siluman Kecil,
bukan?”
Wajah Cui Lan berubah menjadi merah dan dia menunduk, akan tetapi lalu menarik napas panjang dan
sampai lama baru menjawab, “Teecu... cinta padanya dan selama hidup teecu akan tetap mencintanya,
Subo. Akan tetapi apa artinya semua itu? Tidak ada gunanya dan karena itulah maka teecu mengambil
keputusan untuk menggunduli kepala dan masuk menjadi nikouw saja. Harap Subo suka mengabulkan
permintaan teecu ini...“
“Tahukah engkau siapa sebetulnya Siluman Kecil itu?”
Phang Cui Lan memandang gurunya. “Teecu tidak tahu, Subo. Dia... dia diliputi penuh rahasia... dan teecu
pernah mendengar betapa dia menyebut Subo dengan sebutan ibu... ahhh, bukan sekali-kali teecu
bermaksud untuk menanyakan hal ini kepada Subo, teecu tidak berhak mengetahui...“
“Anak baik, engkau amat sopan dan baik. Akan tetapi jangan khawatir. Dia bukanlah puteraku sungguh pun
dia sudah kuanggap sebagai anakku sendiri dan dia pernah mempelajari beberapa macam ilmu dari pinni.
Akan tetapi yang kumaksudkan bukan itu, melainkan bahwa dia itu putera dari Majikan Pulau Es, putera
dari Pendekar Super Sakti, dan namanya adalah Suma Kian Bu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Cui Lan mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. Dia sama sekali tidak pernah mengenal nama Pendekar
Super Sakti atau Majikan Pulau Es, akan tetapi nama Suma Kian Bu tidak asing baginya, terutama she
Suma itu. Kemudian dia teringat, “Ah, teecu pernah mengenal seorang pendekar perkasa yang sangat
berbudi dan bernama Suma Kian Lee...“
“Ehhh? Suma Kian Lee? Dia adalah kakak dari Suma Kian Bu atau Siluman Kecil!”
“Ohhhhh...!” Cui Lan terbelalak dan kini dia mengerti mengapa dia merasa kagum dan suka sekali kepada
Suma Kian Lee, bukan hanya karena Kian Lee merupakan seorang pemuda tampan yang gagah perkasa
dan berbudi mulia, akan tetapi sekarang dia melihat bahwa memang terdapat persamaan antara kedua
orang pemuda itu! Banyak sekali persamaan malah. Memang wajah mereka agak berbeda, memiliki
ketampanan masing-masing, akan tetapi kini nampak olehnya bahwa memang terdapat persamaan yang
kuat sekali, entah di dalam sinar matanya, atau dalam sikap mereka yang gagah.
“Dan ketahuilah bahwa pinni adalah sahabat baik dari ayah mereka. Pendekar Super Sakti. Bukan hanya
sahabat baik sekali, Cui Lan, bahkan dia itu dahulu adalah sute-ku sendiri. Pinni menganggap Kian Bu
sebagai anak sendiri dan pinni melihat engkau memang pantas menjadi jodohnya, Cui Lan...”
“Subo...!” Cui Lan menjerit dan mukanya berubah makin merah. “Dia... dia tidak suka kepada teecu...!”
“Ah, mana mungkin ada orang tidak suka kepadamu, Cui Lan? Dan anakku Kian Bu itu bukanlah pembenci
orang.”
“Akan tetapi dia... dia... agaknya tidak dapat menerima perasaan teecu, Subo.” Dia berhenti sebentar.
“Dia... dia tidak mencinta teecu... tidak mungkin dia sudi berjodoh dengan teecu.”
“Jangan khawatir, muridku. Aku cukup mengenal anakku Kian Bu. Bukannya dia tidak mencintamu, akan
tetapi mungkin ada hal lain yang membuat dia agaknya sengaja menjauhimu. Akan tetapi, biarlah pinni
yang akan menemuinya dan kalau perlu pinni yang akan membicarakan urusan perjodohan antara engkau
dan Kian Bu dengan ayahnya, Pendekar Super Sakti. Kalau pinni yang bicara, pinni yakin akan ada
perhatian dari keluarga mereka.”
Tiba-tiba Cui Lan tak dapat menahan lagi membanjirnya air matanya, air mata yang terdorong oleh
bermacam perasaan. Ada kesedihan, ada keharuan, akan tetapi juga ada kegirangan yang timbul oleh
harapan baru. Hampir dia tidak percaya bahwa dia kelak akan dapat menjadi jodoh Siluman Kecli. Akan
tetapi siapa tahu? Nasibnya berada di tangan subo-nya. Dia lalu memberi hormat sampai dahinya
menyentuh lantai. “Subo... teecu menyerahkan mati hidup teecu di tangan Subo, dan teecu hanya akan
mentaati segala perintah Subo...“
Kim Sim Nikouw menarik napas panjang dan menggerakkan tangannya, dengan lembut dia mengusap
rambut kepala muridnya itu. Tidak lama kemudian dia berkata, “Aihhh, betapa cinta kasih di dunia ini
mendatangkan banyak korban di antara manusia! Pinni akan berusaha sungguh-sungguh, Cui Lan, karena
pinni tidak menghendaki engkau mengalami nasib seperti wanita-wanita yang gagal dalam bercinta
sehingga akhirnya hidup menderita selamanya. Pinni sendiri kebetulan telah menemui kebahagiaan dalam
penghambaan diri kepada Pouwsat, akan tetapi betapa banyaknya orang yang hanya menggunakan
agama sebagai pelarian belaka? Apa lagi kalau pinni teringat kepada suci-mu Yan Hui... hemmm, pinni
merasa ngeri...“ Wajah nikouw itu menjadi muram ketika menyebut nama Yan Hui itu.
Cui Lan yang telah mereda keharuannya dan telah mengusap kering air matanya itu memandang subonya,
hatinya tertarik. “Subo, siapakah Suci (Kakak Seperguruan) yang bernama Yan Hui itu?” tanyanya.
Kembali Kim Sim Nikouw menarik napas panjang. “Ketahuilah bahwa belasan tahun yang lalu, hampir dua
puluh tahun yang lalu, pinni belum mendidik Liang Wi Nikouw suci-mu itu sebagai murid, pinni tadinya tidak
berniat untuk menurunkan ilmu silat kepada siapa pun karena pinni menganggap bahwa ilmu silat hanyalah
ilmu yang dipergunakan orang untuk menunjukkan kekerasan belaka. Akan tetapi pada suatu hari, pinni
bertemu dengan seorang gadis cantik jelita yang memiliki kepandaian tinggi dan dia pinni temui hampir
membunuh diri di dalam kamar kuil ini ketika pada suatu malam dia bermalam di sini. Pinni mencegah dia
membunuh diri dengan memutuskan tali penggantung lehernya. Dara itu bernama Ouw Yan Hui, cantik
jelita dan berilmu tinggi. Melihat betapa pinni menggagalkan maksudnya membunuh diri, setelah dia
siuman kembali, dia menjadi marah dan menyerang pinni. Kami lalu bertanding dan ternyata ilmunya
memang hebat! Kalau saja pinni tidak memiliki ilmu ginkang yang telah pinni latih secara tekun sekali
dunia-kangouw.blogspot.com
sehingga dalam hal kecepatan pinni dapat mengatasinya, agaknya pinni tidak akan menang
menghadapinya.” Sampai di sini nikouw itu berhenti dan memejamkan mata mengingat-ingat.
“Akan tetapi pinni tidak mau melukai orang, apa lagi membunuh orang. Maka perlahan lahan pinni
menasehatinya dengan pelajaran agama dan akhirnya dia sadar dan insyaf, lalu dia menangis dan berlutut
mohon menjadi murid pinni. Seperti juga engkau, dia ingin menjadi nikouw. Tetapi pinni yang melihat ada
ganjalan hati yang membuatnya keras luar biasa, tidak mau menerimanya, hanya menerimanya sebagai
murid. Pinni mengajarkan ginkang itu kepadanya dan ternyata dia berbakat sekali. Dalam waktu tiga tahun
saja ginkang-nya bahkan sudah melampaui tingkat pinni sendiri!”
“Ah, dia tentu hebat...!” Cui Lan berseru kagum.
“Memang dia hebat! Yan Hui seorang wanita yang hebat sekali. Akan tetapi dia pun menjadi rusak oleh
patah hati karena cinta gagal!”
“Ohhh...!” Cui Lan berseru kaget dan kasihan.
“Sebetulnya dia sudah bersuami dan dia amat mencinta suaminya itu. Akan tetapi, selagi dia mengandung
tua, suaminya itu menyeleweng dan dia menangkap basah suaminya yang berjina dengan seorang gadis
tetangganya. Yan Hui tidak mampu menahan kemarahannya dan dia membunuh suaminya dan gadis itu,
menjadi buronan dalam keadaan mengandung tua. Dengan sengsara dia melarikan diri, melahirkan anak
seorang diri di dalam kuil tua dan anak itu mati ketika dilahirkan. Dia sendiri hampir saja mati, dan biar pun
akhirnya dia dapat memulihkan kembali kesehatannya, akan tetapi hatinya telah terluka. Dalam keadaan
seperti itulah pinni bertemu dengan dia, ketika dia hendak membunuh diri.”
Cui Lan makin tertarik. “Sungguh kasihan sekali dia, Subo. Di mana sekarang adanya suci itu?”
Kim Sim Nikouw menghela napas panjang. “Dia tinggal di Pulau Ular Emas, di mana dia hidup sebagai
seorang ratu yang amat mewah. Dia berhasil menemukan harta pusaka yang disimpan kaum bajak jaman
dahulu di pulau itu. Aihhh... sungguh menyedihkan. Dia menjadi seorang wanita yang mabuk oleh dendam,
menjadi pembenci kaum pria... menyedihkan sekali, dia berubah menjadi seorang yang kejam, seperti iblis.
Pinni tidak berdaya, karena dengan ginkang yang sudah melebihi pinni tingkatnya, mana pinni mampu
menghadapinya? Kiranya, hanya Kian Bu saja yang akan sanggup menghadapi suci-mu itu... ahh,
sudahlah, hati pinni merasa tidak enak kalau membicarakan suci-mu Yan Hui itu karena pinni merasa
betapa pinni telah menambah sayap pada seekor harimau betina yang haus darah! Karena itulah, Cui Lan,
maka pinni tidak ingin melihat engkau menjadi seorang wanita yang putus asa karena cinta yang gagal.
Pinni akan berusaha agar engkau dapat berjodoh dengan Kian Bu karena pinni yakin bahwa baik engkau
mau pun Kian Bu kelak akan hidup sebagai suami isteri yang berbahagia.”
“Teecu merasa amat berterima kasih atas budi kecintaan Subo kepada teecu,” jawab Cui Lan dan
semenjak percakapan itu, dara ini berlatih makin tekun dan wajahnya mulai berseri karena timbul harapan
baru dalam hatinya…..
********************
Gadis itu memang cantik bukan main. Bukan hanya wajahnya yang cantik jelita dengan raut muka yang
sempurna, kulitnya berwarna putih kemerahan, terutama sekali di kedua pipinya dan dahinya yang halus
seperti lilin diraut. Akan tetapi juga tubuhnya yang tinggi ramping itu amat lemas dan memiliki kepadatan
dan lekuk lengkung yang tidak dapat disembunyikan oleh pakaiannya yang serba indah.
Aneh sekali melihat seorang dara cantik jelita berjalan seorang diri memasuki hutan itu, dengan tangan kiri
memegang gagang payung yang terbuka dan yang melindunginya dari sengatan matahari yang terik itu.
Setelah memasuki hutan yang penuh pohon dan teduh sekali, dia menurunkan payungnya, menutup
payung itu dan mengempitnya di ketiak lengan kiri tanpa menunda langkahnya yang satu-satu dan yang
membuat tubuhnya melenggang-lenggok dengan patutnya. Memang seorang dara yang cantik manis dan
menggairahkan. Namun pada wajah yang manis itu terbayang kemurungan hati.
Memang hati Siang In, gadis itu, sedang murung. Sudah lama sekali dia berputar-putar mencari jejak
Syanti Dewi tanpa hasil! Dia merasa bertanggung jawab atas hilangnya Puteri Bhutan itu, karena
sesungguhnya dialah yang membantu puteri itu melarikan diri dari istana Kerajaan Bhutan. Akhir-akhir ini
dia mendengar bahwa jejak puteri itu menuju ke pantai Po-hai, akan tetapi telah berhari-hari dia mencaricari
di seluruh pantai, tetap saja tidak ada hasilnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam perantauannya mencari jejak Syanti Dewi yang kini lenyap seperti ditelan bumi itu, Siang In banyak
mendengar tentang keributan dan pergolakan di tapal batas Propinsi Ho-nan. Dia mendengar pula tentang
peristiwa yang menimpa diri Pangeran Yung Hwa, betapa pangeran itu tertolong dari Ho-nan oleh
pendekar yang namanya dia dengar di mana-mana, yaitu Siluman Kecil.
Ketika dia mendengar penuturan orang-orang kang-ouw di sepanjang perjalanan bahwa Siluman Kecil
adalah seorang pemuda lihai sekali yang rambutnya sudah putih semua, dia teringat akan pemuda yang
bertanding melawan kakek raksasa botak bermantel merah yang amat lihai itu. Teringat dia ketika dia
membantu pemuda itu karena melihat betapa kakek raksasa itu mempergunakan ilmu sihir dalam
pertandingan. Jadi pemuda itukah yang berjuluk Siluman Kecil dan yang namanya amat terkenal di seluruh
tapal batas propinsi, bahkan terdengar sampai ke tempat-tempat terpencil di pantai Po-hai pula? Dia
merasa kagum. Memang, dia teringat betapa pertandingan itu membuktikan akan kelihaian pemuda rambut
putih itu. Dan kini dia mengerti bahwa lawan pemuda itu adalah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal!
Dunia begini kacau, pikirnya. Pembesar-pembesar melakukan pemberontakan sehingga timbul pergolakan.
Tokoh-tokoh dunia hitam seperti iblis-iblis yang merayap keluar dari goa-goa tempat persembunyian
mereka untuk mendatangkan kekacauan dan mengail di air keruh. Dalam keadaan sekacau ini, tentu saja
akan makin sukarlah untuk mencari Syanti Dewi. Dia makin murung.
Kalau saja dia tidak ingat bahwa dia yang mengajak dan membantu puteri itu minggat dari Bhutan, tentu
dia tidak akan peduli lagi, tidak mau melanjutkan penyelidikannya untuk mencari Syanti Dewi. Karena
Syanti Dewi, maka dia sampai mengesampingkan urusannya sendiri, yaitu mencari pemuda yang selama
ini selalu merupakan gangguan dalam hatinya, dalam perasaannya hingga merupakan duri dalam daging.
Pemuda yang kadang-kadang menimbulkan rasa gemas sampai benci, kadang-kadang menimbulkan rasa
gembira, malu sampai terasa bahagia, pemuda yang pernah menciumnya! Suma Kian Bu! Dia terpaksa
mengesampingkan pencariannya terhadap pemuda itu karena urusan Syanti Dewi.
Apa lagi ketika dia yang sudah hafal akan keadaan pantai Po-hai itu mencari-cari tanpa hasil, kemudian
malah mendapatkan Goa Tengkorak, tempat pertapaan gurunya di pantai Po-hai juga kosong dan tidak
ada pesan apa pun dari gurunya, hatinya makin menjadi murung. Sungguh pun pada wajah yang cantik
jelita dan manis itu tidak pernah kelihatan kegembiraan, sikapnya selalu lincah berseri, penuh
kegembiraan, sikapnya selalu lincah jenaka, bibirnya selalu tersenyum hingga sukarlah membayangkan
wajah seperti ini dapat berduka atau muram.
Satu-satunya yang membuktikan betapa murung hati dara ini adalah cara ia melakukan perjalanan itu.
Sama sekali dia tidak mempedulikan kanan kiri, bahkan juga tidak lagi mempedulikan ke mana kakinya
melangkah dan sama sekali dia tidak pernah berhenti melangkahkan kaki memasuki hutan itu. Sampai
matahari telah jauh condong ke barat, sinarnya tidak lagi dapat menembus daun-daun pohon sehingga
keadaan dalam hutan mulai gelap, sampai kedua kakinya terasa amat lelah dan perutnya lapar, barulah
dara ini merasa betapa sejak pagi tadi dia belum makan apa-apa!
“Uhhh...!” Dia melempar payungnya ke atas rumput di bawah pohon besar, diikuti oleh pinggulnya yang
mendarat dengan lunaknya ke atas rumput tebal dan Siang In sudah merebahkan diri di atas rumput
berbantal kedua lengannya, matanya menerawang daun-daun yang masih menguning tertimpa sinar
matahari senja.
Perhatiannya segera tercurah kepada suara burung-burung yang bercuitan, burung burung yang
berkelompok datang beterbangan di atas pohon itu, hingga di ranting ranting dan dahan-dahan,
bersahutan-sahutan kemudian tiba-tiba mereka terbang pergi. Suara sayap mereka terdengar nyata dan
sebentar saja mereka sudah jauh, hanya terdengar suara mencicit mereka lapat-lapat. Akan tetapi tak lama
kemudian burung burung itu datang lagi memenuhi pohon. Agaknya mereka masih sangsi dan terkejut
melihat ada manusia di bawah pohon yang menjadi tempat mereka bermalam itu.
Tiba-tiba Siang In membuat gerakan cepat dan tubuhnya yang tadi rebah terlentang itu, tahu-tahu sudah
meloncat dan bangkit duduk, alisnya berkerut dan pendengarannya dicurahkan kepada suara yang sayup
sampai dihembus angin lalu. Demikian penuh perhatian dia akan suara itu sehingga andai kata dia seekor
kelinci, tentu daun telinganya bergerak-gerak. Suara orang! Ada orang di tempat sesunyi ini dan di waktu
matahari mulai terbenam! Tentu hal ini amat mencurigakan!
Dengan langkah-langkah ringan sekali. Siang In sudah melangkah berindap-indap ke arah datangnya
suara, payungnya telah dipegang gagangnya, siap menghadapi segala kemungkinan. Suara itu makin
dunia-kangouw.blogspot.com
jelas, suara seorang saja yang membaca sajak! Sungguh mengherankan. Di tempat sunyi seperti itu,
bukan suara harimau atau monyet atau binatang buas lain yang didengarnya, melainkan suara seorang
laki-laki membaca sajak! Sungguh tidak umum, tidak lumrah! Orang gila agaknya. Akan tetapi kata-katanya
jelas dan lantang, dan isi kata-kata itu amat menarik hatinya, membuatnya berdiri termangu-mangu dan
biar pun dia belum melihat orangnya, dia telah mendengar semua isi sajak yang diucapkannya dengan
suara lantang itu.
Bahagia… hanya sebuah kata!
penuh daya tarik, penuh rahasia
dikejar dia lari, dicari dia sembunyi
makin dibutuhkan, makin manja!
Bahagia… hanya sebuah kata!
Harta benda bukanlah bahagia
nafsu birahi bukan bahagia
dia bukan pula kebesaran nama
bukan pula kedudukan mulia
tak mungkin didapat melalui pengejaran
seperti halnya kesenangan!
Yang mengejar bahagia selamanya takkan bahagia!
Yang tidak butuh bahagia adalah orang yang benar-benar bahagia!
Itulah hakekat bahagia, hanya sebuah kata belaka!
Siang In bengong terlongong mendengar ini. Mimpikah dia? Di tempat seperti ini dapat bertemu dengan
seorang manusia pun sudah merupakan suatu hal yang langka, suatu hal yang aneh. Dan andai kata
bertemu orang pun, pantasnya orang itu hanyalah seorang pencari kayu, seorang pemburu binatang buas
atau paling hebat juga seorang perampok! Akan tetapi, dia mendengar orang membaca sajak tentang
bahagia! Dan isi kata-kata yang dirangkai seperti sajak itu amat mengesankan hatinya.
Mendengar itu, dia termenung, bahkan lalu duduk di atas batu besar di tempat itu dan tidak pernah
pikirannya dapat melepaskan isi sajak itu. Dia seperti terkena pesona, terkena sihir oleh kata-kata itu dan
tanpa disadarinya sendiri, dia pun kini termenung menung mencari arti dari kata aneh itu. BAHAGIA!
Sesungguhnya, apakah bahagia itu? Semua orang di dunia ini seolah-olah berlumba untuk mencari
kebahagiaan. Bahkan segala sesuatu ditujukan ke arah pencapaian kebahagiaan itu.
‘Yang mengejar bahagia selamanya tidak akan bahagia!’
Demikian bunyi baris antara sajak tadi. Benarkah ini? Kalau tidak dikejar, mana bisa dapat? Untuk
mendapatkan sesuatu, tentu saja harus dilalui pengejaran, demikian suara hati Siang In membantah.
Orang gilakah yang membaca sajak tadi? Dia sendiri pernah membaca banyak kitab kuno, akan tetapi dia
tidak pernah mendengar sajak seperti itu. Sajak orang sinting, kata-kata yang dirangkai seperti teka-teki.
Teringat dia akan kitab kuno yang menceritakan tentang aliran Agama Beng yang paling suka
mempermainkan kata-kata sebagai jembatan untuk menyelami kehidupan dan filsafatnya, misalnya ‘kuda
putih bukanlah kuda’, ‘anjing putih adalah hitam’, dan sebagainya.
Semua itu menyimpan maksud agar kita tidak terpengaruh oleh keadaan luar seperti warna, sikap,
kedudukan, harta, kepintaran dan sebagainya yang semuanya itu hanya keadaan lahiriah belaka. Kuda
putih, yang penting bukanlah putihnya, tetapi kudanya. Keadaan lahiriah itu berubah selalu, dan tak
menentukan isinya! Agar faktor bendanya, dalam hal ini tentu saja manusianya, yang penting bukan segala
keadaan lahiriahnya.
Apakah pembaca sajak itu seorang di antara sisa-sisa penganut kebatinan Beng itu? Akan tetapi kabarnya
kini sudah tidak ada lagi sisa pengikut aliran itu yang sudah amat kuno, yang hidup di sekitar jaman Dinasti
Cou (abad ke 4 sebelum Masehi). Ataukah dia seorang tosu? Mungkin, pikir Siang In. Pendeta beragama
To memang banyak aneh, dan kadang-kadang pendeta agama ini suka mengambil filsafat-filsafat lain
aliran ke dalam agamanya. Betapa pun juga, siapa pun adanya orang itu, sungguh amat aneh dan menarik
hatinya.
Akan tetapi, sebagai seorang kang-ouw, Siang In juga maklum bahwa orang yang membaca sajak di dalam
hutan seperti itu tentu bukan orang sembarangan, maka dia pun bersikap hati-hati, dia tidak berani muncul
begitu saja memperlihatkan diri, namun berindap-indap mengintai dari balik sebatang pohon yang besar.
Sepasang matanya mencoba untuk mencari orang yang tadi bersajak dengan suara cukup jelas itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di dalam cuaca yang remang-remang dan telah mulai agak gelap itu dia tidak dapat melihat adanya
seorang pun manusia di situ. Maka dia lalu bergerak maju pula, dengan pengerahan ginkang-nya sehingga
daun kering yang terpijak kakinya pun sama sekali tidak mengeluarkan suara, seperti langkah seekor
kucing saja layaknya.
Siang In terus mencari-cari, namun ternyata dia tidak dapat menemukan orang yang tadi membaca sajak
itu. Sedangkan malam mulai tiba. Tiba-tiba bulu tengkuknya mulai meremang. Setankah yang dia dengar
membaca sajak tadi? Kalau manusia, tidak mungkin orang itu mampu bergerak secepat itu dan dapat
menghilang begitu saja dari pencariannya. Padahal tadi jelas terdengar suaranya tidak jauh dari tempat dia
bersembunyi. Kalau bukan setan, kalau manusia, tentu manusia itu memiliki kepandaian yang hebat bukan.
Dia tidak lagi melanjutkan pencariannya, mengira bahwa tentu setan atau orang itu tadi hanya lewat saja di
hutan itu dan kini telah pergi jauh. Mulailah dia teringat lagi akan perutnya yang lapar ketika perutnya
berbunyi. Bunyi perutnya berkeruyuk itu sampai mengagetkan hatinya, karena pada saat itu dia sedang
mengerahkan seluruh perhatian pada pendengarannya.
“Ihhh, tak tahu malu!” Siang In menepuk perutnya sendiri ketika dia terkejut mendengar bunyi berkeruyuk
itu.
Karena menganggap bahwa di hutan itu pasti tidak ada orang lain, karena kalau ada tentu dia sudah dapat
menemukannya, maka Siang In lalu mulai mencari sesuatu untuk dapat dimakan. Tetapi hutan itu penuh
dengan pohon liar, sama sekali tidak terdapat sebatang pun pohon yang mengeluarkan buah yang dapat
dimakan. Dia mencari-cari, selain buah juga mencari binatang hutan yang dapat ditangkap dan dimakan
dagingnya, namun hasilnya sia-sia belaka karena malam telah tiba dan cuaca mulai gelap.
“Sialan!” Dia memaki. “Sialan setan yang bersajak tadi!” gerutunya karena dia terpaksa harus melewatkan
malam dengan perut lapar dan dia menimpakan kesalahan kepada si pembaca sajak tadi. Kalau dia tidak
mencari-cari orang itu, tentu dia dapat mencari makanan selagi cuaca masih belum gelap tadi, pikirnya
dengan hati kesal.
Siang In lalu mencari tempat yang kering di bawah pohon, duduk dan bersandar batang pohon melepaskan
lelah. Dalam keadaan sendirian di tengah hutan yang gelap itu, dengan perut menderita gigitan rasa lapar,
Siang In melamun dan terkenang akan keadaan dirinya. Tiba-tiba jantungnya seperti ditusuk rasanya, rasa
sedih menyelimuti hatinya.
Teringatlah Siang In akan keadaannya yang sebatang kara itu. Semenjak dia masih kecil, orang tuanya
telah meninggal dunia. Dia tadinya hidup berdua dengan enci-nya yang bernama Teng Siang Hwa, hidup
berdua di Lembah Pek-thouw-san. Akan tetapi, enci-nya itu tewas ketika berhadapan dengan anak buah
raja liar Tambolon hingga dia menjadi sebatang kara sampai bertemu dengan See-thian Hoat-su yang
mengambilnya sebagai murid. Dia tidak mempunyai siapa pun di dunia ini, hanya gurunya itu. Akan tetapi
kakek aneh yang menjadi gurunya itu pun tidak pernah mau tinggal diam, bahkan kini pun tidak berada di
tempat pertapaannya, di Goa Tengkorak di pantai Po-hai. Entah ke mana perginya gurunya itu. Hanya ada
gurunya, kakek tua itu dan... Siang In melihat bayangan wajah di depan mata hatinya.
Wajah seorang pemuda yang tampan, gagah, lincah jenaka dan suka menggoda orang. Wajah yang
selama ini sering dijumpainya dalam mimpi. Wajah pemuda yang selama ini dicari-carinya sampai dia
bertemu dengan Syanti Dewi sehingga pencariannya itu tertunda karena urusan Syanti Dewi. Wajah Suma
Kian Bu, pemuda yang pernah mencium bibirnya! Semua peristiwa itu terbayang di dalam benaknya dan
membuatnya merasa amat kesepian. Dia menghela napas dan memejamkan kedua matanya, ingin
mengusir semua kenangan itu, akan tetapi sinar mata tajam dan nakal, senyum yang menarik dari wajah
pemuda itu malah terbayang makin jelas! (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali)
Tiba-tiba Siang In membuka mata dan bangkit duduk dengan tegak, cuping hidungnya kembang-kempis
seperti cuping hidung seekor kelinci. Memang hidungnya mencium bau sesuatu, bau yang sedap dan
gurih, bau daging panggang!
“Kruuuyuuuuukkk...!”
“Ihhhhh!” Siang In menepuk perutnya yang kecil dan kosong itu. Akan tetapi dia tidak dapat mencegah air
liurnya membasahi mulut. Terpaksa dia menelan ludahnya karena seleranya timbul secara tiba-tiba.
dunia-kangouw.blogspot.com
Berindap-indap dia melangkah setelah menyambar buntalan dan payungnya, kemudian menghampiri
tempat dari mana dia mencium bau sedap gurih itu. Dia harus berhati-hati sekali. Biar pun kini di langit
nampak bulan yang sinarnya merah kehijauan di dalam hutan itu, namun keadaan masih gelap karena
lebatnya hutan itu. Hanya bau sedap itu yang menjadi penunjuk jalan. Akhirnya dia keluar dari hutan itu
dan ternyata di luar hutan itu terdapat sebuah padang rumput yang luas dan nampak indah sekali karena
bermandikan cahaya bulan tanpa terganggu bayangan pohon. Dan agak jauh di tengah tengah padang itu,
dia melihat api unggun di antara semak-semak dan dari sanalah datangnya bau sedap gurih tadi.
Siang In mempergunakan kepandaiannya, menyusup di antara semak-semak kemudian menghampiri
tempat itu. Setelah dekat, dia bersembunyi di balik semak-semak bunga dan mengintai. Sinar api unggun
menambah terang tempat yang sudah disinari cahaya bulan itu. Di depan api unggun duduk seorang yang
rambutnya riap-riapan. Tertimpa sinar api dan sinar bulan, rambut panjang riap-riapan itu mengkilap dan
seperti benang benang perak. Wajahnya agak menunduk, memandang pada daging paha kijang yang
sedang dipanggangnya.
Kembali Siang In menelan ludah. Akan tetapi dia termangu dan tidak berani bergerak. Jantungnya
berdebar tegang. Bukankah orang itu adalah Siluman Kecil? Melihat rambut panjang riap-riapan yang
keputihan itu!
Pernah dia melihat Siluman Kecil, pada waktu pendekar aneh itu bertanding melawan seorang kakek botak
yang amat lihai. Ketika itu, dia turun tangan membantu Siluman Kecil karena melihat kakek botak
mempergunakan sihir, dan dia hanya membuyarkan ilmu hitam itu. Akan tetapi, ketika itu, dia hanya
melihat Siluman Kecil dari jarak jauh dan tidak dapat melihat wajah pendekar yang amat terkenal itu
dengan jelas. Benarkah orang yang berjongkok dekat api unggun dan sedang memanggang dua buah
paha kijang besar gemuk itu Siluman Kecil? Siapa pun adanya orang itu, tidak lagi menarik perhatian Siang
In benar karena dia lagi-lagi sudah tertarik oleh gumpalan-gumpalan daging yang sedang dipanggang itu.
Bibirnya sudah bergerak, mulutnya sudah hampir dibuka untuk menegur orang itu, untuk minta kebaikan
orang itu agar suka membagi sedikit daging kepadanya ketika cepat Siang In menutupkan mulutnya
kembali dan menahan napas. Dia melihat munculnya seorang bayangan lain, kemunculan bayangan ini
sedemikian cepatnya sehingga dia merasa bulu tengkuknya meremang. Seperti setan saja yang pandai
menghilang dan kini tahu-tahu menampakkan diri, demikian cepatnya gerakan orang itu.
Kini sinar api unggun dari bawah menyorot ke arah muka bayangan itu dan Siang In melihat seraut wajah
wanita yang amat cantik, kemerah-merahan tertimpa sinar api unggun itu. Bayangan wajah seorang wanita
yang sukar ditaksir berapa usianya. Saking cantiknya masih kelihatan muda, akan tetapi wajah itu
sedemikian penuh kematangan sehingga sudah barang tentu juga tidak bisa dikatakan muda lagi.
Pakaiannya terlihat amat mewah, seperti puteri istana saja, rambutnya digelung malang melintang penuh
dengan hiasan emas dan ratna mutu manikam yang gemerlapan. Akan tetapi bajunya itu berlengan besar
dan longgar seperti jubah pendeta, dan juga tangan kanannya memegang sebatang hudtim (kebutan
pertapa) yang berbulu halus dan panjang, gagangnya terbuat dari benda putih berkilauan halus, entah
terbuat dari gading gajah ataukah tulang ikan besar. Yang amat mengagumkan, akan tetapi sekaligus juga
menyeramkan adalah sepasang mata wanita itu. Sepasang mata itu indah sekali memang, akan tetapi di
dalam keindahan itu bersembunyi kebengisan dan kekejaman luar biasa, sinar mata yang tajam seperti
menusuk ulu hati dan menjenguk segala isi hati orang!
“Hai! Kamu...!” Suara wanita itu halus merdu ketika menegur laki-laki berambut riap riapan yang sedang
memanggang daging. Lagaknya demikian tinggi hati dan angkuh, seolah-olah dia seorang ratu yang
sedang menegur hambanya saja. “Apakah kamu melihat lima orang lelaki bersenjata golok besar keluar
dari dalam hutan ini?”
Pria yang sedang memanggang paha kijang itu masih tetap menunduk, sama sekali tidak menjawab, apa
lagi menjawab, mengangkat muka memandang pun tidak. Dia hanya melanjutkan pekerjaannya dan
membesarkan api unggun dengan menambah kayu kering sehingga sinar api unggun makin terang, apinya
makin bernyala tinggi. Namun sebagian besar muka orang itu tertutup oleh rambut putihnya yang berjuntai
ke bawah sehingga sukar dikenali.
Melihat orang yang ditanya itu diam saja, berkerut sepasang alis yang hitam kecil itu dan sepasang mata
itu mengeluarkan sinar berkilat. “Heiii, laki-laki jembel, apakah kau tuli? Apakah kau gagu? Hayo jawab!”
Wanita itu membentak dan hudtim di tangan kanan itu digoyang-goyangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar suara bersuitan dan diam-diam Siang In menjadi kaget bukan main. Tenaga sinkang dari wanita
ini hebat sekali, baru menggoyangkan sedikit hudtim itu saja sudah mengeluarkan suara bersuitan seperti
itu! Dengan hati penuh ketegangan Siang In mengintai dan ingin sekali tahu jawaban laki-laki itu, yang
disangkanya adalah pendekar sakti Siluman Kecil. Akan tetapi, laki-laki yang sedang memanggang paha
kijang itu sama sekali tidak mengangkat muka apa lagi menjawab, hanya membolak-bolik daging yang
dipanggangnya agar tidak sampai hangus, dan kini terdengar dia bernyanyi atau membaca sajak dengan
suara yang berirama!
Siapa bicara kasar menyakitkan hati orang,
akan memperoleh jawaban yang kasar pula!
Kelakuan kasar menyakitkan hati,
hanya akan menimpa diri sendiri!
Akan tetapi si bodoh dan tolol,
berbuat jahat tanpa melihat akibat!
Seperti si tolol api…
akhirnya membakar diri sendiri!
Mendengar itu, Siang In teringat akan suara orang yang pernah didengarnya membaca sajak tentang
bahagia tadi. Tahulah dia bahwa orang yang tadi membaca sajak tentang bahagia adalah si pemanggang
daging ini. Dua sajak yang dinyanyikannya sekarang ini pun bukan sajak main-main. Dia mengenalnya
sebagai ujar-ujar yang terdapat dalam kitab-kitab para hwesio, dalam kitab Agama Buddha, kalau dia tidak
salah ingat, dalam kitab Dhammapada bagian Hukuman.
Wanita yang memegang hudtim itu pun agaknya terkejut dan agaknya mengenal pula sajak-sajak itu, maka
sekarang dia melangkah maju dan memandang wajah orang yang tersembunyi di balik rambut putihnya.
Melihat rambut putih itu, tiba-tiba wanita itu berseru, “Ahhh, apakah engkau ini yang dijuluki orang Siluman
Kecil?”
Pria itu memang bukan lain adalah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu! Seperti telah diceritakan di bagian
depan, Siluman Kecil atau Suma Kian Bu terakhir berada di tempat kediaman raja pengemis Sai-cu Kaiong.
Bahkan di istana kuno milik Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek di puncak Bukit Nelayan itu dia bertemu
dengan Ceng Ceng yang terhitung adalah keponakannya sendiri, dengan Jenderal Kao Liang dan dua
orang puteranya, bahkan dia melihat pula munculnya Sin-siauw Sengjin yang mewarisi kepandaian Suling
Emas.
Dia mendengarkan percakapan mereka itu dari sebelah dalam, dan dia merasa enggan untuk keluar,
karena dia segan bertemu dengan Sin-siauw Sengjin yang pernah menjadi lawannya. Akan tetapi, ketika
mendengar penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi yang diculik orang, Kian Bu terkejut bukan main
dan dia sudah cepat meninggalkan tempat itu tanpa pamit, hanya meninggalkan surat untuk kakaknya dan
dia sudah pergi untuk mencari dan menolong Syanti Dewi, satu-satunya wanita yang pernah dicintanya dan
masih dicintanya itu. Dia mencari jejak Syanti Dewi di sekitar pantai Po-hai, namun dia tidak dapat
menemukan jejak itu dan pada senja hari itu, setelah merobohkan seekor kijang, dia sedang asyik
memanggang paha kijang ketika dia melihat munculnya wanita cantik yang angkuh dan galak itu.
Ketika mendengar pertanyaan yang nadanya meremehkan itu, Kian Bu hanya miringkan mukanya dan
melirik ke atas, lalu menjawab tak acuh, seperti melayani seorang anak anak yang mengajukan pertanyaan
yang tidak penting pula, “Kalau benar, kenapa sih?”
“Sialan! Engkau harus mampus dua kali untuk itu!”
Kini wanita itu telah menerjang dengan hebat, hudtim di tangannya berubah menjadi gulungan sinar putih
yang amat lebar dan terdengarlah bunyi bersuitan nyaring memekakkan telinga pada waktu sinar putih itu
bergulung-gulung menyambar ke arah Siluman Kecil.
Namun Siluman Kecil sudah meninggalkan dua paha kijang tadi dan sebagai gantinya kini tangannya telah
memegang sebatang ranting. Dengan kecepatan kilat, dia pun mengelak sambil balas menotok dengan
rantingnya ke arah tengkuk lawan. Namun, wanita itu ternyata dapat bergerak dengan cepat luar biasa
sehingga ketika Kian Bu menotoknya, sebelum totokan tiba, dia sudah melesat ke kanan dan kembali
gulungan sinar putih itu menyambar dahsyat.
“Hei, siapakah engkau perempuan galak ini?” Kian Bu menghardik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, wanita itu hanya menjawab dengan kebutannya yang bergerak makin dahsyat, makin lama
makin cepat sehingga kini bayangan wanita itu pun tergulung sinar putih dan tidak kelihatan lagi, dan dari
dalam gulungan sinar itu terdengar suaranya mendengus penuh ejekan dan kebencian, “Huh!”
Biar pun cuaca amat gelap dan hanya diterangi oleh bulan, namun Kian Bu masih dapat melihat kehebatan
serangan hudtim itu, disamping keheranannya mengapa wanita yang tak dikenalnya ini memusuhinya dan
begitu bertemu ingin membunuhnya.
Wanita itu mendengus dan suaranya dingin sekali ketika berkata, “Semua laki-laki di dunia ini berhati palsu
dan bicaranya mengandung racun seperti ular-ular belang! Akan tetapi selama ini yang kubunuh hanyalah
cacing-cacing yang tidak ada gunanya. Orang macam engkau inilah baru seekor ular sendok yang
berbahaya. Aku bosan juga membunuhi cacing-cacing kotor, sekarang bertemu dengan ular jahat dan
berbahaya macammu, tidak boleh terlepas dari tanganku!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja wanita
itu menggerakkan hudtim-nya dan sinar putih menyambar dengan cepat dan dahsyat sekali ke arah leher
Kian Bu!
“Wuuutttttt...!”
Kian Bu sudah cepat mengelak dan tubuhnya tidak berada lagi di depan api unggun. Dan api unggun itu
seketika padam tertiup hawa pukulan kebutan itu! Melihat ini, diam diam Siang In memandang kagum
bukan main dan jantungnya berdebar. Kiranya pria itu benar Siluman Kecil adanya! Dan gerakan Siluman
Kecil tadi pun luar biasa, ketika kebutan menyambar dari jarak dekat. Tubuhnya seperti dapat menghilang
saja.
“Huh, agaknya engkau juga sudah menguasai Ilmu-ilmu Sin-ho-koan (Ilmu-ilmu Bangau Sakti). Hmmm, aku
telah mendengar bahwa engkau si ular jantan ini berhasil membujuk Kim Sim Nikouw sehingga engkau
dapat mencuri ilmu-ilmu itu pula.” Wanita itu hanya mengejek dan cepat menerjang lagi.
“Hemmm, kalau begitu engkau adalah seekor ular betina! Baik, kau ingin mengadu ilmu? Nah sambutlah!”
Kian Bu sekarang tidak lagi mau mengalah dan cepat dia menggerakkan rantingnya, selain menangkis juga
membalas serangan.
Dalam satu gerakan saja, rantingnya telah mengirim totokan yang mengarah sedikitnya tujuh jalan darah di
tubuh lawan, sedangkan tangan kirinya juga tidak mau menganggur, melainkan melancarkan dorongandorongan
yang mengandung hawa pukulan mukjijat, berselang-selang dari pukulan-pukulan sakti Pulau Es,
yaitu Swat-im-sin-jiu dan juga Hwi-yang-sin-ciang. Maka menyambarkan hawa panas dan hawa dingin
berganti-ganti ke arah wanita itu sehingga wanita itu berkali-kali mengeluarkan pekik kaget. Kian Bu yang
tidak mengenal wanita ini tidak merasa bermusuh dengannya, masih tidak tega untuk mengeluarkan ilmu
pukulannya yang paling ampuh, yaitu pukulan penggabungan sinkang yang bersifat Im dan Yang, pukulan
yang hampir saja pernah menewaskan nyawa kakaknya sendiri itu.
Kian Bu segera mendapatkan kenyataan bahwa biar pun dalam hal ilmu pukulan dan tenaga sinkang, dia
mempunyai kelebihan dari wanita itu, namun dia diam-diam harus mengakui bahwa dalam hal ginkang, dia
masih kalah setingkat! Hal ini tentu saja membuat dia terkejut bukan main dan teringatlah dia akan cerita
Kim Sim Nikouw yang menjadi ibu angkatnya.
“Tahan dulu! Bukankah engkau ini orang she Ouw?”
“Huhhh! Laki-laki palsu yang cerewet!”
Kian Bu merasa tidak enak. Dia masih ragu-ragu apakah benar wanita ini adalah orang she Ouw seperti
yang pernah dia dengar dari ibu angkatnya. Kalau benar demikian, dia menjadi serba salah. Mau
mengeluarkan jurus maut, orang ini masih terhitung saudara seperguruan dengan dia. Kalau tidak,
agaknya sukar baginya memperoleh kemenangan karena wanita ini benar-benar amat lihai sekali.
Tiba-tiba terdengar jerit seorang wanita, suara jeritan yang hanya terdengar lapat-lapat saja karena amat
jauh. Namun bagi telinga Kian Bu dan wanita itu, suara ini terdengar amat jelas. Sedangkan Siang In yang
mengintai itu hampir tidak mendengarnya sama sekali.
“Huh, mengingat Kim Sim Nikouw, biarlah kutitipkan dulu kepalamu di atas lehermu!” kata wanita itu dan
tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan sinar emas yang amat cepat menyambar ke arah leher Kian Bu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Selain merasa terkejut menyaksikan gerakan wanita ini yang jelas menguasai ilmu-ilmu Sin-ho-koan pula,
dan juga pandang mata Kian Bu awas sekali. Dia terkejut bukan main ketika melihat bahwa sinar emas
yang menyerangnya itu adalah seekor ular yang kulitnya seperti emas berkilauan! Cepat dia mengelak dan
rantingnya menyambar ke depan untuk memukul ular itu.
“Wuuuttttt... syiiittttt...!”
Kian Bu tertegun. Ular itu dapat mengelak dan sabetannya luput! Padahal, sabetan rantingnya tadi belum
tentu dapat dielakkan oleh seorang ahli silat umum saja! Dan kini, seperti dapat terbang saja, tubuh ular itu
menggeliat dan ternyata dia sudah membalik dan menyerang lagi ke arah muka Kian Bu.
“Ehhhhh!” seru pemuda itu.
Saat ular itu lewat di dekat mukanya yang dia condongkan ke belakang untuk mengelak, dia mencium bau
harum yang amis. Ular itu berbisa dan berbahaya sekali! Akan tetapi kini wanita tadi sudah menyambut
kembali ularnya yang seperti burung bisa terbang itu, lalu kakinya meloncat dan dalam sekelebatan saja
wanita itu telah lenyap dari tempat itu. Kian Bu merasa penasaran, juga dia cepat mempergunakan
gerakan Sin-coan-in, tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ, tahu-tahu sudah jauh sekali dan dia
mengejar dengan Ilmu Jouw-sang-hui-teng ke arah timur.
Siang In memandang bengong. Dia hanya melihat dua orang itu berkelebat dan lenyap, kemudian di timur
dia hanya melihat dua titik putih seperti bintang jatuh, lalu lenyap! Siang In menarik napas panjang, penuh
kekaguman. Dia tadi dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas, akan tetapi dia tidak pernah dapat
melihat wajah Siluman Kecil. Sudah dua kali dia bertemu dengan pendekar sakti yang terkenal sekali itu,
namun kedua kalinya dia tidak berkesempatan untuk berkenalan, bahkan melihat wajahnya pun belum,
atau sedikitnya tidak jelas sama sekali karena dilihatnya dari samping, itu pun masih tertutup sebagian oleh
rambut putih.
Siang In muncul dari tempat sembunyinya dan menghampiri tempat bekas pertempuran tadi. Dilihatnya api
unggun telah padam, akan tetapi dua paha kijang masih berada di situ, ditusuk bambu dan sudah matang.
Melihat paha kijang, perutnya menjadi lapar lagi dan tanpa mempedulikan siapa yang memiliki daging paha
kijang itu, dia lalu mengambil dua paha itu dan mulai menggerogotinya. Sedap sekali! Kiranya Siluman
Kecil itu pandai memanggang paha kijang, pikirnya. Diberi bumbu pula dan diberi garam. Bukan main!
Siang In cepat membawa dua buah paha kijang yang sudah matang itu kembali ke dalam hutan. Dengan
lahap dia makan daging itu. Sudah habis sepotong, dia mulai dengan yang kedua, akan tetapi kini
kelahapannya berkurang. Daging paha itu besar sekali dan menghabiskan sepotong pun sudah amat
kenyang. Akhirnya dia tak mampu menghabiskan paha kedua dan melemparkannya ke samping. Perutnya
kenyang dan tenaganya pulih, akan tetapi rasa kenyang itu menimbulkan kantuk sehingga tak lama
kemudian Siang In sudah tertidur pulas di bawah pohon!
Sementara itu, Kian Bu yang melakukan pengejaran menjadi penasaran bukan main. Tak disangkanya
bahwa wanita itu amat hebat larinya, memiliki ginkang yang mencapai tingkat sempurna sehingga dia
sendiri tertinggal jauh dan sebentar saja bayangan wanita itu sudah lenyap dan dia berdiri termangumangu
karena tidak tahu ke arah mana larinya bayangan yang lenyap itu. Dia merasa menyesal sekali.
Betapa pun cepat larinya wanita itu, kalau dia mengejarnya di waktu siang, tentu dia akan tahu ke arah
mana larinya.
Kini, hanya sinar bulan remang-remang saja yang membantunya maka dia kehilangan jejak. Dia hanya
ingin mendapat kepastian dari wanita itu apakah benar wanita itu murid ibu angkatnya. Namun dia segera
teringat. Bukankah wanita itu tadi meninggalkannya ketika mendengar jerit wanita dari jauh itu? Dan jerit itu
datang dari arah lereng bukit di depan. Teringat akan ini, Kian Bu melanjutkan larinya menuju ke bukit yang
nampak remang-remang di depan.
Setelah tiba di lereng bukit itu, kembali Kian Bu menjadi bingung. Dia memperhatikan dan mendengardengarkan,
namun tidak terdengar suara apa pun. Akhirnya, dengan untung-untungan dia memasuki
sebuah hutan kecil. Bulan bersinar sepenuhnya tanpa terhalang mega sehingga sinarnya cukup terang
juga.
Tiba-tiba dia melihat tubuh lima orang berserakan di atas tanah, di depan sana. Dia teringat betapa wanita
lihai tadi sedang mencari-cari lima orang laki-laki yang bergolok panjang. Jangan-jangan...! Dia cepat
berlari menghampiri dengan penuh kewaspadaan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika dia tiba di tempat itu, dia mengerutkan alisnya. Di situ nampak mayat seorang wanita muda yang
cantik dan empat orang laki-laki tinggi besar yang kelihatan kasar dan bengis wajah mereka. Akan tetapi
empat orang laki-laki itu tewas dalam keadaan mengerikan. Mereka rebah dengan pakaian hancur dan
tubuh penuh luka-luka berjalur jalur merah, seolah-olah seluruh tubuh mereka disayat-sayat dengan pisau
tajam!
Kian Bu teringat akan hudtim yang mempunyai bulu-bulu putih halus itu dan dia merasa ngeri. Betapa
kejamnya wanita itu, dan agaknya dalam kemarahan dan kebencian yang amat hebat, wanita itu telah
mencambuki empat orang laki-laki ini dengan bulu-bulu kebutannya yang kalau digerakkan dengan tenaga
sinkang hebat tentu berubah menjadi benda yang amat menyeramkan, dapat dipakai seperti puluhan buah
pedang tajam yang menyayat-nyayat kulit daging!
Dengan perasaan muak Kian Bu kemudian mendekati mayat wanita muda cantik yang agaknya masih utuh
tubuhnya itu. Akan tetapi ketika dia mendekat, memandang jelas, dia lalu membuang muka dan mengutuk.
Wanita itu setengah telanjang dan dari keadaan tubuhnya yang berlepotan darah, Kian Bu dapat menduga
bahwa wanita muda ini tentu telah menjadi korban perkosaan yang amat keji dan buas!
Tiba-tiba, bagaikan seekor kijang melompat tubuh Kian Bu melesat ke kiri dan di lain saat dia telah
menyambar tengkuk seorang laki-laki dan melemparkannya ke atas tanah, di dekat mayat-mayat itu.
Kiranya tadi dia mendengar ada gerakan di kiri dan cepat dia menyambar, dan ternyata di tempat itu
terdapat seorang laki-laki yang bersembunyi. Laki-laki ini tubuhnya juga sudah tersayat-sayat, pakainya
robek-robek dan mukanya membayangkan ketakutan sampai bola matanya berputaran memandang ke
kanan kiri, kemudian dia bangkit berlutut dan mengangguk-angguk ke depan kaki Kian Bu sambil
mengeluarkan suara seperti orang menangis, ”... ampunnn... ampunkan saya...” Tubuhnya menggigil.
“Siapa kau?” Kian Bu membentak dengan suara bengis.
“Saya... saya... bernama Giam Hok... harap Taihiap sudi mengampuni saya...,“ orang itu meratap dengan
memelas. “Harap Taihiap sudi menolong dan menyelamatkan saya... nama Taihiap sudah terkenal di
seluruh kang-ouw... harap lindungi saya dari... dari iblis betina itu... hu-huuhhh...”
Kian Bu mengerutkan alisnya. Orang ini telah mengenalnya sebagai Siluman Kecil, dan memang namanya
banyak dikenal di kalangan dunia hitam! Dia melihat wajah orang ini mirip dengan wajah empat orang lakilaki
yang sudah tewas di situ. Maka teringatlah dia akan lima orang saudara she Giam yang terkenal di
wilayah selatan.
“Hemmm, apakah engkau dan empat orang ini adalah Ngo Giam-lo-ong dari selatan yang tersohor itu?”
Orang itu mengangguk-angguk, kemudian dia memandang ke arah mayat empat orang saudaranya itu dan
menangis mengguguk. Kian Bu meraba dagunnya dan mengerutkan alisnya. Dia sudah pernah mendengar
akan nama Ngo Giam-lo-ong (Lima Dewa Maut) ini. Bukan tergolong manusia-manusia yang baik, bahkan
sering kali mengandalkan kekerasan, memaksakan kehendak sendiri dan berlaku sewenang-wenang.
Maka dia pun tertarik sekali. Siapakah pembunuh empat di antara mereka? Wanita cantik itukah? Dan
mengapa?
“Siapa yang melakukan pembunuhan terhadap empat orang saudaramu?” tiba-tiba dia bertanya, suaranya
bengis penuh wibawa sehingga orang yang sudah habis nyalinya karena takut terhadap orang yang
membunuh saudara-saudaranya itu dan kini makin jeri setelah mengenal Siluman Kecil, menjadi makin
ketakutan dan menggigil seluruh tubuhnya.
“Yang membunuh adalah... dia... Bu-eng-kui...”
Kian Bu mengerutkan alisnya. Dia belum pernah mendengar nama julukan Bu-eng-kui (Setan Tanpa
Bayangan) itu. Akan tetapi julukan itu memang tepat bagi wanita yang memiliki gerakan sedemikian
gesitnya itu.
“Dia seorang wanita?”
“Begitulah... yang saya dengar...“ Orang yang bernama Giam Hok itu menjawab dengan wajah ketakutan.
“Dan namanya Ouw Yan Hui?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Saya mendengar kabar bahwa dia she Ouw... akan tetapi tidak tahu jelas...“
“Apa artinya kata-katamu ini?” Kian Bu membentak marah. “Saudara-saudaramu ini jelas dibunuh orang,
dan melihat keadaan tubuhmu, agaknya engkau pun nyaris tewas pula, dan sekarang kau bilang hanya
mendengar kabar, apakah engkau tidak melihat pembunuh saudara-saudaramu ini?”
“Dia... dia bergerak seperti setan… hampir tak dapat saya lihat... bayangan berkelebat kadang-kadang ada
kadang kadang tidak dan… yang terdengar hanya bunyi bersuitan dari sinar putih bergulung-gulung dan
kami... kami sudah disayat-sayat... baiknya dia menyangka saya telah mati pula dan dia melesat pergi.
Saya... saya masih hidup dan cepat bersembunyi sampai Taihiap datang tadi...“
“Dan bagaimana kau dapat menduga bahwa dia itu yang berjuluk Bu-eng-kui dan she Ouw?” Kian Bu
mendesak lagi.
“Kami... saya... sudah lama mendengar mengenai Bu-eng-kui yang sangat kejam dan mengerikan itu... dan
bahwa dia she Ouw... hidup di Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Tapi saya belum pernah bertemu dengan
dia...“
“Kau belum pernah bertemu dengan dia, dan tadi pun tidak dapat kau melihat wajahnya, akan tetapi
bagaimana kau tahu dia itu Bu-eng-kui Ouw Yan Hui?”
“Karena... karena sebelum berkelebat pergi, saya pura-pura menggeletak mati, dan dia mengeluarkan
suara ketawa mengejek dan berkata: Bu-eng-kui tak dapat mengampuni segala cacing busuk!”
Kian Bu mengerutkan alisnya. Tak salah lagi, tentu wanita yang menyerang tadi itulah yang telah
melakukan pembunuhan-pembunuhan mengerikan ini. Bu-eng-kui Ouw Yan Hui, murid dari ibu angkatnya,
berarti masih terhitung suci-nya sendiri! Hmmm, seorang pembenci pria yang amat kejam dan ganas!
“Mengapa kalian berlima diserangnya? Hayo katakan, mengapa?”
“Kami... kami tidak melakukan kesalahan, kami tidak pernah bermusuhan dengan dia..., entah mengapa,
dia datang-datang menyerang dengan ganas, seperti setan yang tidak kelihatan, kami tidak diberi
kesempatan untuk bicara...“
“Jangan membohong! Atau aku akan menyempurnakan perbuatannya atas dirimu yang masih belum
selesai itu! Hayo katakan, siapa mayat wanita muda itu?”
“Dia... dia...“
“Hayo katakan, siapa dia dan bagaimana dia mati?” Kian Bu menghardik.
“Dia adalah tawanan kami...“
“Hemmm, jahanam-jahanam busuk kalian ini! Dan kalian telah memperkosanya sampai mati, ya?”
Orang itu mengangkat muka dan memandang kepada wajah yang tampan akan tetapi menyeramkan
karena dikurung rambut putih itu, terutama sekali sepasang mata yang seperti mata naga itu amat
menakutkan hatinya. Dia mendengar bahwa Siluman Kecil adalah seorang pendekar sakti yang suka
mengampuni orang, bahkan banyak orang golongan hitam yang tunduk kepadanya. Mendengar nama
julukan ‘siluman’ itu, tentu pendekar sakti ini juga seorang dari golongan hitam, maka Giam Hok dengan
terus terang mengakui, karena menganggap bahwa hal itu tentu tidak aneh bagi pendengaran seorang
tokoh kaum sesat seperti Siluman Kecil.
“Kami berlima memang sedang bersenang-senang dengan tawanan kami, dan sudah menjadi hak kami
untuk menikmati gadis yang menjadi tawanan kami ketika dia datang dan...“
“Desssss...! Aughhh...!”
Tubuh Giam Hok terpental dan bergulingan sampai beberapa meter jauhnya. Kian Bu berdiri dengan alis
berkerut. Dia tadi menendang tubuh di depannya itu saking muak dan marahnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jahanam busuk kau!” katanya memaki.
Cepat dia menghampiri mayat gadis itu, memondongnya dan membawanya pergi dari tempat itu, tidak
mempedulikan Giam Hok lagi yang mengaduh-aduh dan berkelojotan. Tendangan itu bukan dimaksudkan
untuk membunuh dan orang ini tidak mati, akan tetapi karena dia telah terluka berat oleh sayatan kebutan
Bu-eng-kui, kini ditambah dengan tendangan Kian Bu, tentu saja dia menjadi tiga perempat mati!
Setelah mengubur jenazah itu dengan sederhana di dalam hutan, Kian Bu lalu kembali ke tempat tadi
untuk mencari paha kijang yang telah dipanggangnya. Akan tetapi, betapa pun dia mencari, dua paha
kijang itu telah lenyap! Dia menjadi heran sekali, juga penasaran dan bersungut-sungut. Perutnya lapar
sekali dan paha-paha kijang tadi kelihatan amat enak! Apakah digondol binatang hutan? Agaknya tidak
mungkin, karena binatang liar tentu tidak doyan makanan daging yang sudah dipanggang itu. Dia lalu
memasuki hutan dengan maksud mencari kijang lain atau kelinci.
Tak lama kemudian, dia sudah berdiri memandangi gadis cantik yang tidur berbantalkan buntalan pakaian.
Bukan hanya gadis cantik yang tidur nyenyak itu yang menarik perhatiannya, melainkan sepotong paha
kijang yang tinggal separuh dan yang berada di atas rumput.
“Sialan...!” Kian Bu menggeleng-geleng kepalanya.
Cuaca yang terlalu gelap membuat dia tidak mengenal wajah gadis yang tidur nyenyak itu, maka dia pun
lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan tempat itu dengan cepat tanpa mengeluarkan suara
sehingga tidak mengganggu Siang In yang masih tidur nyenyak.
Sambil berjalan, dia teringat kepada gadis setengah telanjang yang telah mati karena diperkosa dan yang
tadi mayatnya telah dia kubur. Dia teringat akan pakaian dalam gadis itu yang koyak-koyak dan kini
teringatlah dia bahwa gadis itu bukanlah bangsa Han, setidaknya bukan pakaian gadis Han-lah yang
dipakainya itu. Timbul keinginan tahunya. Dari manakah lima orang itu memperoleh gadis asing yang
diperkosanya dan tewas tadi? Cepat dia kembali ke bukit yang ditinggalkan. Fajar telah menyingsing dan
cuaca telah mulai terang ketika dia tiba di tempat tadi.
Dilihatnya Giam Hok sedang mengubur jenazah keempat orang saudaranya dengan susah-payah dan
sambil menangis. Diam-diam Kian Bu merasa kasihan juga. Betapa pun jahatnya, orang ini telah menerima
hukuman yang amat berat. Bayangkan saja! Tadinya dia berlima dengan saudaranya, terkenal di dunia
kang-ouw sebagai Lima Dewa Maut dari selatan, dan kini dalam waktu semalam saja, empat orang
saudaranya telah tewas semua dalam keadaan mengerikan, dia sendiri pun luka-luka dan kini dia
mengubur jenazah empat orang saudaranya itu sambil menangis sedih!
Setelah Giam Hok selesai menguruk lubang kuburan empat orang saudaranya, Kian Bu muncul. Melihat
Kian Bu, Giam Hok cepat bangkit berdiri dan kini timbul keberaniannya. Ia bertolak pinggang dan berkata,
“Siluman Kecil adalah nama yang bergema di seluruh dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar sakti
yang suka memberi kesempatan pada para anggota golongan hitam. Akan tetapi kalau sekarang telah
berubah dan hendak membunuh aku, marilah, jangan kepalang. Memang aku pun tidak mempunyai
harapan lagi, lebih baik menyusul saudara-saudaraku.”
Kian Bu menarik napas panjang, kemudian melangkah dekat. Jantung Giam Hok sudah berdebar keras.
Dia maklum akan kelihaian iblis berambut putih ini, maka biar pun dia menantang maut, tidak urung
jantungnya berdebar tegang. Akan tetapi Kian Bu tidak menggerakkan tangan, melainkan menunduk,
menutupi muka dengan rambut putihnya. Dari celah-celah rambut itu sepasang matanya yang mencorong
tajam itu mengerling.
“Giam Hok loheng,” katanya ramah. “Jangan mengira yang bukan-bukan. Walau engkau memang sudah
layak dibunuh sepuluh kali, akan tetapi aku bukanlah seorang yang haus darah.”
“Kalau begitu, mengapa Taihiap datang lagi menemui saya?” Sikap Giam Hok berubah. Ucapan seorang
seperti pendekar ini tentu saja dapat dipercayainya, maka timbul lagi harapannya untuk hidup.
“Aku datang hanya untuk bertanya kepadamu asal-usul wanita yang tewas tadi. Dari manakah engkau
memperolehnya atau menawannya?”
Mendadak sikap Giam Hok menjadi berubah lagi, dan dia kelihatan takut sekali. Dia menoleh ke kanan kiri
dan seolah-olah ingin melarikan diri. Melihat ini Kian Bu menjadi heran dan tertarik.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Giam-loheng, jangan takut. Ceritakan sebenarnya. Dari mana kalian memperoleh dia? Kulihat dia bukan
seperti orang sini.” Dia berhenti sebentar dan menyambung, “Dia seperti orang dari... Bhutan. Benarkah?”
Memang keadaan pakaian wanita itulah yang amat menarik perhatian Kian Bu. Pakaian itu mengingatkan
dia kepada Puteri Syanti Dewi! Karena itulah maka dia sampai mau menemui lagi orang she Giam itu.
Akan tetapi Giam Hok menggelengkan kepalanya. “Saya tidak tahu... hanya dia... dia itu sesungguhnya
adalah seorang di antara dayang-dayang yang tadinya melayani ehhh...“ Kembali Giam Hok berhenti dan
memandang ke kanan kiri, ketakutan.
“Orang she Giam!” Kian Bu membentak tak sabar lagi. “Selagi ada aku di sini, yang engkau takuti siapa
lagikah?”
Giam Hok menjadi makin gugup, akan tetapi setelah menelan ludah beberapa kali, dia dapat berkata
dengan muka pucat, “Dia adalah seorang di antara dayang-dayang yang melayani Pangeran Bharuhendra
atau Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal.”
Kian Bu terkejut. Dia pernah bertemu dengan koksu dari Nepal, kakek botak yang amat lihai itu dan kini dia
mendengar tentang Pangeran Nepal yang dayangnya tadi ditawan dan diperkosa sampai mati oleh lima
orang iblis she Giam itu. Pantas saja pakaiannya mirip dengan pakaian Syanti Dewi, karena memang
negera Nepal hampir sama dengan negara Bhutan, merupakan negeri-negeri tetangga di sebelah barat, di
Pegunungan Himalaya.
“Hei, bagaimana kalian bisa memperoleh seorang dayang Pangeran Nepal?” tanyanya, tertarik.
Giam Hok menarik napas panjang dan berkata, “Itulah yang menjadi gara-gara sampai empat orang
saudaraku tewas semua.” Lalu dia bercerita dengan suara sedih, “Kami berlima mendengar bahwa
Pangeran Nepal kini berada di lembah Huang-ho, di sarang Kui-liong-pang dan kami mendengar bahwa
pangeran itu royal sekali terhadap orang orang kang-ouw yang suka bersahabat dengan dia. Kami lalu
mengunjungi lembah itu dan memang benar, Pangeran Liong itu mengumpulkan banyak orang pandai,
bahkan kabarnya hendak membangun lembah itu menjadi benteng yang amat kuat. Akan tetapi sungguh
menggemaskan, terhadap kami lima orang Giam-lo-ong dia telah memandang rendah dan kami diberi
pekerjaan mengepalai orang-orang yang menggali parit untuk dibangun sebagai dasar dari tembok
benteng. Kami merasa penasaran akan tetapi tidak berani membantah karena pangeran itu selain sakti
juga dibantu oleh banyak orang orang yang luar biasa tinggi kepandaiannya. Maka kami bersikap sabar,
sampai kami mendapat kesempatan melarikan diri sambil membawa seorang dayang cantik dari pangeran
itu yang kami anggap sebagai hadiah. Hemmm, dayang itu memang cantik jelita dan tubuhnya berbau
sedap, sayang dia tidak kuat dan lebih celaka lagi, ketika kami sedang lari, kami berjumpa dangan Bu-engkui.
Untungnya kami masih dapat melarikan diri ke dalam hutan, berlindung di kegelapan malam. Akan
tetapi, ketika kami sedang menikmati hadiah kami itu, kembali muncul si Setan Tanpa Bayangan sehingga
akibatnya... beginilah...”
Kian Bu tertarik sekali mendengar cerita akan Pangeran Nepal yang berada di lembah Huang-ho, di sarang
perkumpulan Kui-liong-pang itu. Mau apa seorang Pangeran Nepal main-main di tempat ini? Bahkan mau
membangun sebuah benteng? Hadirnya Koksu Nepal yang lihai itu di istana Gubernur Ho-nan saja sudah
amat mencurigakan hatinya, apa lagi ketika dia mendapat kenyataan bahwa gubernur itu memang
bermaksud buruk dan hendak membangkang terhadap kekuasaan kerajaan.
Suma Kian Bu adalah putera Majikan Pulau Es, dia adalah putera dari Puteri Nirahai yang berdarah
keluarga kaisar. Maka tentu saja di dalam batinnya terdapat perasaan setia terhadap kerajaan sehingga
berita tentang pangeran asing itu menarik hatinya dan menimbulkan kecurigaannya.
Melihat wajah Siluman Kecil itu kelihatan tertarik sekali, maka Giam Hok kemudian melanjutkan, “Memang
aneh-aneh yang terjadi di lembah itu, Taihiap. Pangeran Nepal itu dibantu oleh banyak orang pandai dan
luar biasa. Bahkan saya melihat kakek raksasa yang amat menyeramkan, yang kabarnya adalah kakek
majikan Pulau Neraka yang kesaktiannya melebihi iblis sendiri, akan tetapi yang mempunyai seorang anak
perempuan yang seperti bidadari...“
“Ahhh...!” Kian Bu benar-benar tertarik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiranya Hek-tiauw Lo-mo telah berada di sana pula, dan puterinya itu, Kim Hwee Li, juga diajak ke tempat
itu. Apa maksudnya tokoh jahat itu berada di sana dan apa artinya semua itu? Jangan-jangan di sana
sudah menjadi sarang mereka yang merencanakan pemberontakan! Memang tempat itu baik sekali, di
perbatasan antara Propinsi Ho-nan dan Ho-pei! Dia harus menyelidikinya!
“Taihiap... ahhh...!” Giam Hok melongo karena pemuda yang tadinya masih berada di depannya itu tahutahu
telah lenyap entah ke mana perginya…..
********************
Lembah Huang-ho yang menjadi benteng pertahanan Kui-liong-pang itu benar-benar amat hebat! Jenderal
Kao Liang sungguh-sungguh telah memenuhi janjinya terhadap Pangeran Liong. Sebagai seorang gagah
perkasa, Jenderal Kao memenuhi janjinya, membuatkan sebuah benteng yang kokoh kuat dan yang tidak
akan mudah diserbu oleh musuh. Benteng itu terletak di lembah sungai yang mengalir di belakang benteng
dan amat sukarlah untuk menyerbu benteng melalui sungai karena sungai itu lebar sekali dan di bagian itu
merupakan bagian yang mengandung banyak pusaran air.
Selain berbahaya bagi perahu-perahu yang berani mendatangi benteng dari belakang, juga sebelum
musuh berhasil mendekati, tentu pihak penjaga benteng sudah dapat menghujankan anak panah ke
perahu-perahu itu. Kanan kiri benteng itu terlindung oleh tebing yang amat curam, juga dari kanan kiri ini
sukar sekali musuh dapat menyerbu. Jalan satu-satunya adalah dari depan, akan tetapi tentu saja jalan ini
sudah diperketat penjagaannya sehingga dari jarak beberapa li sebelum tiba di benteng, musuh sudah
akan nampak dan dapat dikepung karena jalan menuju ke benteng itu melalui jalan terusan yang di kanan
kirinya terapit tebing-tebing curam. Pasukan musuh yang melalui terowongan atau jalan yang terapit tebing
ini sama dengan membunuh diri, karena tentu saja penyerangan dari atas kedua tebing di kanan kiri itu
akan sukar sekali mereka tangkis atau balas.
Akan tetapi, biar pun tidak dapat disangkal pula bahwa tempat itu merupakan tempat berbahaya dan sukar
ditembus oleh pasukan, namun bukanlah merupakan tempat yang tidak mungkin didatangi oleh seorang
pendekar berkepandaian tinggi seperti Siluman Kecil, Suma Kian Bu yang datang sendirian saja! Menjaga
penyelundupan pasukan besar tentu saja mudah, akan tetapi sama sekali tidak mudah bagi para penjaga
untuk dapat melihat Kian Bu yang menyelinap masuk dengan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya
yang membuat dia dapat bergerak seperti burung terbang itu!
Kian Bu juga tidak kurang hati-hati. Dia maklum bahwa tempat itu amat berbahaya, apa lagi karena di situ
terdapat orang-orang yang amat sakti seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Koksu Nepal itu. Maka dia tidak berani
muncul di siang hari dan menyelundup ke lembah itu, melainkan menanti sampai malam tiba. Bagaikan
seekor burung saja ringannya, tubuh Kian Bu berloncatan, mula-mula melalui pohon, sampai ke puncak
pohon dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat ke atas, berjungkir-balik beberapa kali, makin lama makin tinggi
sampai dia mencapai puncak tembok benteng! Sukar membayangkan ada seorang manusia dapat
berloncatan sampai setinggi itu. Orang lain, betapa pun lihainya, tentu akan menggunakan tali untuk
memanjat naik. Memang tingkat ginkang yang dimiliki atau dikuasai oleh Kian Bu sudah amat tinggi
sehingga untuk waktu itu, jarang ada yang dapat menandinginya.
Akan tetapi, begitu kakinya menyentuh dasar puncak tembok, tiba-tiba saja terdengar suara kelenengan di
tempat penjaga yang berada di setiap sudut tembok benteng. Kian Bu terkejut bukan main dan cepat
memeriksa bawah kakinya. Kiranya, di atas tembok itu terbentang tali yang amat halus dan karena malam
hari itu gelap, maka dia tidak melihat kawat halus itu. Apa lagi di waktu malam, bahkan andai kata dia
meloncat ke tempat itu di siang hari, belum tentu dia dapat melihat kawat halus yang warnanya sama
dengan kawat tembok itu. Dan kakinya hanya menyentuh kawat itu sedikit saja, namun ternyata sudah
cukup bagi alat rahasia ini untuk membunyikan kelenengan di pondok penjaga. Memang perlengkapan
yang dipasang sebagai penjagaan keselamatan yang diatur oleh Jenderal Kao Liang itu hebat sekali.
Begitu ada suara kelenengan, maka segera terdengar suara suitan-suitan bersambung sambung, tidak
terlalu keras sehingga tak akan meributkan penduduk di sebelah dalam benteng atau di lembah itu, namun
cukup untuk memberitahu kepada seluruh penjaga yang bertugas di sekeliling benteng!
Kian Bu menjadi bingung. Dia masih berada di atas tembok, dan sekarang dia sudah ketahuan oleh
penjaga. Cepat dia lalu meloncat ke sebelah dalam tembok, hinggap di atas atap rumah penjaga dan
mendekam di balik wuwungan tinggi, mengintai ke depan. Nampak olehnya betapa para penjaga menjadi
sangat sibuk dan banyak sekali pasukan pasukan kecil hilir-mudik dengan obor-obor di tangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Celaka, pikirnya, benteng ini benar-benar amat rapi penjagaannya dan melihat pakaian seragam itu,
agaknya benteng ini penuh dengan pasukan-pasukan terlatih! Padahal tidak demikian sesungguhnya.
Orang-orang yang membentuk pasukan-pasukan kecil dengan pakaian seragam itu hanyalah anak buah
Kui-liong-pang yang mulai terdidik sebagai pasukan-pasukan penjaga. Hingga saat Kian Bu datang, belum
ada rencana Gubernur Ho-nan untuk menempatkan barisan yang dikuasainya ke dalam benteng yang
menjadi tempat tinggal Liong Bian Cu, pangeran dari Nepal itu.
Dari tempat sembunyinya, Kian Bu melihat berkelebatnya bayangan orang-orang. Dia semakin terkejut.
Ternyata banyak sekali orang pandai di dalam benteng ini. Ketika dia melihat Hek-tiauw Lo-mo
berlompatan dari genteng ke genteng bangunan lain untuk ikut mencari penyelundup, dia diam saja dan
tetap bersembunyi di tempat gelap. Dari arah lain dia melihat pula bayangan yang juga amat ringan, dan
ternyata bahwa orang itu adalah seorang kakek tua yang wajahnya amat menyeramkan tertimpa sinar
lampu dan obor, muka tengkorak yang menakutkan sekali, pakaiannya serba hitam, dan muka tengkorak
yang putih seperti kapur itu kelihatan jelas sekali di atas pakaiannya yang hitam. Itulah Hek-hwa Lo-kwi!
Kemudian datang pula seorang laki-laki tinggi besar yang kepalanya tertutup sorban dan jenggotnya
sampai ke perut, memegang sebatang tongkat panjang kayu cendana. Kakek bersorban ini gerakannya
juga amat hebat sehingga Kian Bu menjadi semakin kaget. Yang kelihatan saja sudah ada tiga orang sakti
di situ! Ternyata cerita Giam Hok itu benar juga! Tiga orang kakek itu berhenti tak jauh dari tempat dia
bersembunyi, dan kemudian mereka bercakap-cakap, maka dia lalu mengerahkan pendengarannya untuk
menangkap percakapan mereka.
“Jangan memperbolehkan para penjaga memukul tanda bahaya lebih dulu!” terdengar kakek bersorban
berkata dengan suaranya yang kaku. “Jangan sampai mengagetkan pangeran kalau belum jelas
persoalannya.”
“Penjaga-penjaga tolol itu! Belum apa-apa sudah ribut sendiri. Hemmm, Lo-kwi, anak buahmu itu benarbenar
tidak becus!” berkata Hek-tiauw Lo-mo.
Hek-hwa Lo-kwi memandang marah. “Yang tidak becus adalah Jenderal Kao itu! Alat rahasianya yang
menimbulkan geger! Jangan-jangan hanya seekor kucing saja yang melanggarnya hingga kelenengan
berbunyi. Jangan lancang mengatakan anak buahku yang tidak becus, Lomo. Bahkan anak buahku
memperlihatkan kesigapan sehingga ada tanda sedikit saja mereka sudah siap!”
“Ataukah panik karena ketakutan?” Hek-tiauw Lo-mo mengejek.
“Kau berani menghina anak buahku?” hardik Hek-hwa Lo-kwi dengan alis berkerut.
Melihat dua orang kakek ini yang memang sering kali saling berbantahan dan saling tidak mau kalah,
kakek Nepal bersorban itu cepat menengahi dan berkata, “Sudahlah, sesungguhnya tidak ada yang
bersalah dalam hal ini. Andai kata benar hanya kucing yang melanggar, maka hal itu membuktikan bahwa
hasil kerja Jenderal Kao memang hebat sehingga tempat ini tidak mungkin didatangi musuh tanpa
ketahuan. Dan anak buah Kui-liong-pang juga sudah membuktikan kesigapan mereka hingga membuktikan
pula baiknya disiplin yang ditanamkan oleh Jenderal Kao. Hanya jangan sampai hal ini didengar oleh
pangeran. Kalau hanya masuknya kucing yang melanggar alat rahasia itu sampai mengagetkan pangeran,
kita semua tentu akan menerima teguran keras.”
“Kucing atau tikus yang melanggarnya, kita tidak boleh lengah. Andai kata ada orang pandai masuk, dia
tentu hanya mempunyai tujuan untuk coba-coba melarikan tawanan,” kata Hek-hwa Lo-kwi.
“Ahhh, sekali ini kau benar, Setan Tua! Sebaiknya kita membagi tugas. Aku mengawasi anakku, engkau
mengawasi puteri dan biar Gitananda ini yang memperkuat penjagaan Jenderal Kao di sana,” kata Hektiauw
Lo-mo.
Kakek bersorban itu yang bukan lain adalah kakek Gitananda pembantu Koksu Nepal, mengangguk dan
ketiga orang itu lalu melayang, turun dalam tiga jurusan. Kian Bu termenung dan termangu-mangu. Kiranya
di tempat ini terdapat tawanan-tawanan dan di antaranya adalah keluarga Jenderal Kao! Akan tetapi,
menurut percakapan tadi, benteng ini adalah buatan Jenderal Kao, juga tali kawat halus berupa alat
rahasia tanda bahaya yang terlanggar kakinya tadi. Apa artinya ini semua? Namun, dia segera melupakan
semua itu karena perhatiannya sepenuhnya tertarik oleh ucapan Hek-tiauw Lo-mo yang menyebut-nyebut
tentang ‘puteri’ dan menyuruh Hek-hwa Lo-kwi untuk mengawasi sang puteri. Siapakah itu? Jantungnya
berdebar tegang. Apakah yang dimaksudkan itu adalah Puteri Syanti Dewi?
dunia-kangouw.blogspot.com
“Besar kemungkinannya demikian,” pikirnya. “Menurut Ceng Ceng, Syanti Dewi sudah meninggalkan
Bhutan dan kini diculik serta dilarikan orang. Bukan tidak aneh kalau Syanti Dewi berada di sini, menjadi
tawanan orang-orang Nepal!” Setelah berpikir demikian, dia lalu dengan hati-hati berlari menuju ke arah
larinya Hek-hwa Lo-kwi untuk menyelidiki dan kalau memang benar Syanti Dewi yang menjadi tawanan di
tempat ini, dia akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menolong puteri itu untuk keluar dari
benteng ini!
Akan tetapi, Kian Bu menjadi bingung karena dia sudah kehilangan bayangan Hek-hwa Lo-kwi dan dia
mendekam di atas wuwungan sebuah bangunan terbesar karena dia mengira bahwa agaknya kakek itu
tadi lenyap di tempat ini dan agaknya sudah meloncat turun. Dia bersembunyi di balik wuwungan dan
melihat bahwa kini para pasukan sudah mulai tenang, agaknya mereka itu pun menganggap bahwa yang
melanggar tanda bahaya tadi hanyalah seekor kucing saja.
Akan tetapi jauh di bawah, dia melihat bayangan seorang tinggi besar yang dengan suara lantang berkata
kepada para pasukan, “Malam ini tidak ada istirahat! Semua harus berjaga secara bergiliran sampai pagi!
Baik kucing mau pun apa saja yang melanggar alat tanda bahaya, kita harus tetap berjaga!”
Kian Bu terkejut ketika dia mengenal suara itu. Jenderal Kao Liang! Hampir dia tidak dapat menahan
suaranya untuk memanggilnya. Akan tetapi dia cepat sadar, sungguh pun dia hampir tidak percaya.
Jenderal Kao kini memimpin pasukan menjaga benteng itu? Dan Jenderal Kao ini kini menjadi pembantu
atau kaki tangan seorang pangeran asing yang agaknya bersekutu dengan Gubernur Ho-nan yang akan
memberontak? Sungguh tidak masuk di akal dan sukar sekali untuk dapat dipercaya. Padahal nama
Jenderal Kao telah terkenal sebagai seorang pahlawan yang amat setia kepada kerajaan!
Akan tetapi dia segera teringat akan ucapan Hek-tiauw Lo-mo tadi yang menyinggung adanya keluarga
Kao yang harus dijaga. Jelas bahwa keluarga Kao Liang yang dikabarkan lenyap diculik orang itu ternyata
diculik oleh kaki tangan Pangeran Nepal dan berada di sini menjadi tawanan! Mengertilah dia, sungguh pun
pengertian itu juga menimbulkan keheranan di dalam hatinya. Tentu keluarga jenderal itu telah ditawan dan
dijadikan sandera untuk memaksa sang jenderal menuruti permintaan musuh supaya jenderal itu suka
membangun benteng dan mengatur penjagaan benteng itu. Yang mengherankan hatinya adalah mengapa
jenderal itu suka melakukan perbuatan yang sifatnya mengkhianati negara ini hanya demi menyelamatkan
keluarganya.
Diam-diam Kian Bu merasa khawatir. Kalau keluarga jenderal itu menjadi tawanan, dan juga Syanti Dewi
seperti yang diduganya, maka takkan mudahlah untuk menyelamatkan mereka dan meloloskan mereka
dari tempat ini. Harus diakuinya bahwa benteng ini amat kuat. Dia yang sudah memiliki ginkang istimewa
saja masih mengalami kesukaran dan dapat diketahui kehadirannya. Mereka yang biar pun berkepandaian
tinggi, kalau tidak memiliki ginkang istimewa, kiranya akan sukar memasuki benteng ini. Dan di dalam
benteng masih terdapat begitu banyak orang pandai. Sekarang pun dia tahu bahwa dia tidak bisa
mempergunakan kekerasan, karena mana mungkin dia akan berhasil kalau harus menghadapi
pengeroyokan begitu banyak orang pandai yang masih dibantu oleh pasukan pula?
“Aku harus menolong Syanti Dewi,” pikirnya dengan hati bulat. “Apa pun yang terjadi, aku harus
menyelamatkan dia.”
Jantungnya berdebar kalau dia teringat kepada puteri itu. Bayangan wajah yang cantik jelita dan lembut itu
membangkitkan semangatnya dan Kian Bu lalu cepat bergerak menyelidiki bangunan besar di mana Hekhwa
Lo-kwi tadi menghilang. Dia memandang ke bawah. Sunyi di pekarangan belakang gedung itu, maka
dia lalu melayang turun dengan maksud untuk menyelidiki tempat itu dari bawah. Dengan gerakan yang
amat cepat dan ringan, kedua kakinya sudah hinggap di atas tanah tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar bentakan yang amat mengejutkan hatinya.
“Hei, berhenti! Siapa di situ?”
Bukan main kagetnya hati Kian Bu mendengar bentakan ini. Tadi tidak kelihatan ada seorang pun manusia
di bawah ini, mengapa begitu kakinya menyentuh tanah lalu ada orang yang menegurnya? Bayangan
orang itu muncul dari balik sebuah pintu, maka dia menduga bahwa tentu tempat itu ada alat rahasianya
lagi. Akan tetapi, dia cepat mempergunakan kepandaiannya, tubuhnya sudah kembali mencelat ke atas
dengan kecepatan kilat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia mendekam di atas genteng, mendengar langkah kaki beberapa orang di bawah dan terdengar suara
orang sedang mengomel, “A-ban, siapa yang kau tegur tadi? Tidak ada bayangan seorang pun di sini!”
“Ahh, jelas kulihat tadi bayangannya. Kenapa dia bisa lenyap lagi?”
Kian Bu cepat berloncatan di atas genteng menuju ke samping gedung itu untuk turun dari bagian lain.
Akan tetapi mendadak terdengar bentakan yang nyaring, “Maling hina, menyerahlah!” Dan sebuah lengan
panjang yang besar, dengan tangan membentuk cakar, dan dari kuku-kukunya yang panjang keluar bau
amis dan gerakan tangan itu mengandung sambaran angin besar, telah meluncur hendak mencengkeram
pundaknya dari belakang.
Kian Bu maklum bahwa tangan itu adalah tangan orang yang memiliki ilmu tinggi, dan juga kuku-kuku
tangan itu mengandung racun berbahaya, maka dia mempergunakan kelincahannya, melesat ke belakang
dan menyerong ke kanan sehingga cengkeraman itu luput. Dia tidak mau melayani dan terus lari ke depan.
Raksasa yang menyerangnya itu bukan lain adalah Hek-hwa Lo-kwi. Ketika tadi dia mendengar teguran
penjaga di belakang gedung, dia tahu bahwa ada orang di sekitar tempat itu, maka diam-diam dia lalu
meloncat naik ke atas genteng dan ketika melihat berkelebatnya bayangan orang, dia langsung saja
menerkam. Tetapi Hek-hwa Lo-kwi terkejut bukan main. Terkaman mautnya itu dapat dielakkan sedemikian
mudahnya oleh maling itu! Dan kini maling itu dapat berlari sedemikian cepatnya.
“Hendak lari ke mana kau?” bentaknya dan dia pun mengejar dengan cepat.
Kian Bu cepat melarikan diri dan meloncat ke atas genteng rumah lain. Gerakannya memang cepat bukan
main sehingga sebentar saja Hek-hwa Lo-kwi telah kehilangan jejaknya. Akan tetapi, baru saja kakinya
menginjak wuwungan sebuah bangunan lain, tiba-tiba terdengar suara berkerining di dalam bangunan itu,
disusul bentakan kasar yang parau dan keras sekali, “Anjing dari mana berani mengantar nyawa? Ha-haha!”
Dan dari sebuah jendela, melayang keluar sesosok bayangan orang tinggi besar yang langsung naik
ke atas genteng. Begitu melihat bayangan ini, Kian Bu mengenalinya. Orang itu bukan lain adalah Hektiauw
Lo-mo, musuh lamanya!
Kian Bu hendak lari lagi, akan tetapi tiba-tiba ada sinar meluncur ke arah lambungnya. Cepat dia mengelak
dan melihat bahwa sinar itu adalah sebatang tombak tulang ikan, senjata ampuh dari kakek raksasa itu, dia
mengelak sambil menendang dengan ujung kakinya yang mengenai batang tombak. Tombak itu terpental,
akan tetapi tidak sampai terlepas dari tangan kakek raksasa itu. Namun terpentalnya tombak itu cukup bagi
Kian Bu untuk menjejaknya kakinya dan tubuhnya sudah melesat dengan cepat sekali dari situ.
“Ha-ha-ha, kau hendak lari? Tak mungkin!” Hek-tiauw Lo-mo mengejar sambil tertawa, suara ketawa untuk
menutupi rasa penasaran dan kagetnya karena maling itu ternyata mampu mengelak dari senjatanya yang
ampuh, bahkan tendangan kaki orang itu hampir saja membuat tombaknya terlepas dari pegangannya!
Tentu saja Kian Bu tidak merasa jeri menghadapi dua orang kakek sakti itu, akan tetapi kedatangannya
bukan untuk bertanding dengan mereka, tetapi untuk membebaskan Syanti Dewi. Jika dia melayani
mereka, tentu akan muncul yang lain dan akan sukarlah baginya untuk dapat menyelamatkan Syanti Dewi
yang belum diketahuinya berada di mana itu, bahkan belum diketahuinya dengan pasti apakah benar
Puteri Bhutan itu berada di tempat itu sebagai tawanan.
Maka dia cepat berlari dan ketika dia melihat bayangan Hek-hwa Lo-kwi mendatangi dari depan sedangkan
Hek-tiauw Lo-mo mengejar dari belakang, dia lalu melarikan diri ke kanan. Akan tetapi baru saja dia
melompat ke atas genteng bangunan di sebelah kanan, mendadak muncul belasan orang pasukan yang
melepaskan anak panah ke arahnya. Kiranya tempat itu telah dijaga dengan barisan panah dan terpaksa
dia lalu menggunakan ginkang-nya untuk mengelak ke sana-sini sambil menggerakkan kedua tangan
menyampok anak panah yang tak dapat dielakkannya. Melihat bahwa di depan telah dihadang, dia lalu
membalikkan diri lagi dan berlari ke jurusan kiri, tempat yang agak terang karena di situ terdapat sebuah
bangunan yang amat megah, agaknya merupakan bangunan induk dan tempat itu terang sekali, bahkan di
atas genteng juga terang karena ada lampu-lampu besar digantung di tingkat atas.
Celaka, belum juga dia tahu di mana adanya Syanti Dewi, kalau benar dara itu ditawan di situ, dia telah
ketahuan. Lebih baik aku menyelamatkan diri lebih dulu, baru kemudian mencari akal untuk menyerbu
tempat ini, jika perlu minta bantuan kakaknya atau teman teman lain! Berpikir demikian, melihat jalan kanan
kiri, dan belakang sudah dihadang musuh, Kian Bu meloncat ke atas bangunan yang megah dan terang itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia mengerahkan ginkang-nya dan menggunakan Ilmu Jouw-sang-hui-teng, sehingga kedua kakinya
seolah-olah tidak menyentuh genteng dan tubuhnya melesat ke depan, kemudian jarak antara bangunan
ini dan bangunan megah itu diloncatinya dengan gerakan yang membubung ke atas, lalu tubuhnya
berjungkir-balik beberapa kali dan akhirnya dengan ringan kedua kakinya hinggap di atas wuwungan
gedung megah yang terang benderang itu.
“Kraaakkkkk...!”
Tiba-tiba genteng yang diinjaknya itu, yang diinjak dengan ringan sekali, mengeluarkan suara keras dan
terbuka, disusul menyambarnya puluhan batang amgi (senjata gelap) berupa jarum, paku, piauw, pisau
dan sebagainya lagi! Kian Bu sejak tadi tidak pernah kehilangan kewaspadaannya, maka begitu gentenggenteng
itu terbuka dan dari dalam menyambar sinar-sinar senjata gelap itu, dia sudah mendahuluinya
meloncat turun dari atas genteng dan karena tidak ada tempat lain yang dapat diloncatinya, terpaksa dia
melayang turun ke bawah, sebuah ruangan terbuka yang amat terang dan sunyi, tidak nampak seorang
pun manusia.
“Pyarrrrr...!”
Sebelum tubuhnya turun ke lantai ruangan terbuka itu, lebih dulu Kian Bu melemparkan sebuah genteng
yang tadi disambarnya ketika dia meloncat. Genteng itu menimpa lantai dan pecah berantakan, namun
tidak ada akibat apa-apa, maka barulah Kian Bu berani turun dan hinggap di dekat pecahan genteng itu.
Ternyata ruangan yang lantainya dari batu ini tidak dipasangi alat rahasia, tetapi kesunyian tempat itu amat
menyeramkan karena begitu kosong, begitu terang dan begitu sunyi!
Sebelum Kian Bu bergerak, telinganya mendengar sesuatu, mendengar suara gerakan gerakan di
sekeliling tempat itu. Kini bermuncullanlah orang-orang di sekeliling ruangan terang itu, makin lama makin
banyak dan ternyata bahwa tempat itu telah terkepung! Tidak kurang dari lima puluh orang bersenjata
lengkap mengepung tempat itu dan kini tempat itu telah tertutup oleh pagar manusia!
Kian Bu berdiri dengan dua kaki terpentang lebar, kedua lengannya tergantung di kanan kiri tubuhnya,
mukanya agak menunduk dan sebagian tertutup oleh rambutnya yang panjang riap-riapan dan berwarna
putih. Dia kelihatan seperti sebuah arca saja karena tidak pernah bergerak, akan tetapi mendatangkan
perasaan ngeri di dalam hati para pengepungnya. Hanya sepasang mata di balik tirai rambut putih itu saja
yang bergerak memandang ke kanan kiri, dengan sikap tenang namun jelas bahwa setiap jalur urat
syarafnya menegang dan dalam keadaan siap siaga. Pemuda berambut putih ini kini terlihat jelas sekali
karena penerangan di situ menjadi makin terang dan semua mata ditujukan kepada Kian Bu.
“Siluman Kecil...!”
Kian Bu mendengar bisikan-bisikan yang keluar di sana-sini di antara para pengepung itu. Tahulah dia
bahwa para prajurit atau anak buah pasukan itu bukanlah orang-orang asing karena ternyata telah
mengenalnya. Memang, para penjaga yang kini menjadi pasukan berseragam itu adalah anak buah Kuiliong-
pang, maka tentu saja mereka mengenal Siluman Kecil karena biar pun jarang di antara mereka ada
yang pernah melihatnya, setidaknya mereka telah mendengar nama pendekar itu dan keadaannya yang
aneh menyeramkan.
“Aha, kiranya tempat kami mendapatkan kehormatan, dikunjungi oleh seorang tokoh besar yang namanya
menggemparkan dunia persilatan. Sicu, benarkah engkau yang dijuluki orang Siluman Kecil?”
Kian Bu mengerling ke kiri dan melihat bahwa dari sebuah pintu muncul beberapa orang tinggi besar
mengiringkan seorang pemuda tinggi tegap yang tampan. Pemuda itu memakai pakaian yang serba indah
gemerlapan, kepalanya tertutup sorban yang dihiasi permata besar dan bulu burung dewata. Tubuhnya
tinggi tegap, kulitnya kecoklatan, matanya yang cekung itu mempunyai biji mata yang amat tajam seperti
mata burung hantu, hidungnya panjang melengkung ke bawah seperti paruh betet, rambutnya hitam agak
kemerahan, hampir menyamai kulitnya. Usia pemuda ini sekitar tiga puluh tahun dan pembawaannya
ramah, akan tetapi juga penuh dengan wibawa. Agaknya inilah Pangeran Bharuhendra atau Pangeran
Liong Bian Cu dari Nepal itu, pikirnya.
Kian Bu memperhatikan orang-orang yang berjalan di belakang pangeran ini. Pertama tama dia mengenali
Hek-tiauw Lo-mo, kakek yang menjadi majikan Pulau Neraka itu. Sejak dia berusia belasan tahun, dia
sudah mengenal kakek ini, bahkan dia bersama kakaknya, Kian Lee, pernah menjadi tawanan kakek itu di
Pulau Neraka. Dan setelah dia dewasa, dalam peristiwa pemberontakan dua orang Pangeran Liong, dia
dunia-kangouw.blogspot.com
pun pernah bertemu dengan lawan ini. Bukan itu saja, tadi pun dia telah bertanding segebrakan melawan
kakek ini yang kini makin lihai saja. (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali)
Namun sebaliknya, kakek yang seperti raksasa itu agaknya tidak lagi mengenal Kian Bu, dan kini
memandang dengan penuh perhatian karena hati kakek ini tertarik sekali ketika mendengar bahwa orang
yang disangkanya maling dan yang tadi ternyata memiliki kepandaian amat tinggi itu ternyata adalah
Siluman Kecil, nama tokoh yang dalam waktu beberapa tahun ini menggemparkan dunia persilatan dengan
sepak terjangnya yang hebat sehingga nama itu ditakuti oleh seluruh tokoh kaum sesat dan disegani oleh
semua tokoh golongan putih pula.
Di samping Hek-tiauw Lo-mo berdiri Hek-hwa Lo-kwi, kakek bermuka tengkorak yang menjadi majikan
lembah itu atau ketua dari Kui-liong-pang. Juga dia melihat kakek bersorban yang jenggotnya panjang
sampai ke perut dan memegang tongkat kayu cendana. Selain tiga orang kakek ini, nampak pula banyak
orang-orang yang terlihat berkepandaian dan yang tidak dikenalnya.
Memang banyak yang datang mengepung ‘maling’ itu, di antaranya terdapat Khiu Sek, atau yang oleh para
anggota Kui-liong-pang lebih dikenal dengan sebutan Khiu-pangcu, bekas ketua Huang-ho Kui-liong-pang
sebelum Hek-hwa Lo-kwi muncul di situ. Hadir pula Hoa-gu-ji yang memegang senjata dayung panjang.
Seperti juga Khiu-pangcu, Hoa-gu-ji yang tinggi kurus ini pun merupakan tokoh Kui-liong-pang. Masih ada
lagi tiga orang kakek yang bukan orang-orang biasa, karena mereka itu adalah para pembantu Hwa-ikongcu,
tokoh-tokoh Liong-sim-pang yang kini sudah bergabung dan bersekutu dengan Pangeran Nepal.
Mereka bertiga itu adalah Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-Liong-ong Ciok Gu To. Di samping
tiga orang tokoh Liong-sim-pang ini, masih terdapat pula beberapa orang yang berpakaian sebagai orangorang
Bhutan, mereka ini adalah para pembantu Mohinta, panglima muda dari Bhutan itu.
Kian Bu maklum bahwa dia kini dikepung oleh orang-orang pandai. Hanya Koksu Nepal saja yang tidak
dilihatnya berada di situ, namun orang-orang ini sudah cukup tangguh kalau mereka maju semua untuk
mengeroyoknya.
Mendengar pertanyaan yang diajukan oleh pangeran dari Nepal itu, yang bertanya dengan sikap ramah,
Kian Bu yang cerdik maklum bahwa pangeran ini agaknya sedang mencari dan mengumpulkan tenaga
yang kuat untuk membantunya! Dia teringat akan sikap dua orang Pangeran Liong yang dulu
memberontak. Dua orang pangeran tua itu pun selalu berusaha mengumpulkan orang-orang kang-ouw
untuk membantu mereka dalam usaha pemberontakan mereka. Kini, Pangeran Nepal ini agaknya juga
bersikap ramah untuk berusaha menariknya agar suka menjadi kaki tangannya! Tetapi sebagian
perhatiannya ditujukan ke arah sekelilingnya, untuk mencari kemungkinan meloloskan diri andai kata
terpaksa harus menggunakan kekerasan. Hatinya merasa tidak enak sekali ketika dia melihat tubuh
Jenderal Kao Liang yang tinggi besar itu berdiri di sudut, memimpin pasukan itu dengan sikapnya yang
gagah dan tidak peduli, seolah-olah tidak mengenalnya!
Dengan menggerakkan jari-jari kakinya, tanpa mengangkat kaki, Kian Bu telah memutar tubuhnya
menghadapi pangeran itu. Sejenak mereka berdua saling pandang dan sang pangeran bergidik juga
melihat mata dari balik tirai rambut putih itu menyambar dengan ketajaman yang menusuk perasaan.
“Hebat orang ini,” pikirnya, “kalau saja aku dapat menaklukkannya!”
“Tidak keliru dugaan itu. Bukankah aku berhadapan dengan Pangeran Bharuhendra dari Nepal?” tanya
Kian Bu dengan suara lirih namun terdengar jelas sekali oleh semua yang hadir.
Semua orang terkejut dan pangeran itu juga tercengang, tetapi dia tersenyum lebar dan wajahnya
kehilangan kebengisannya kalau tersenyum. Memang dia cukup tampan, bahkan amat tampan bagi ukuran
orang Nepal yang menyukai hidung melengkung.
“Ha-ha-ha, sungguh Sicu amat mengagumkan! Dugaan Sicu benar sekali, akan tetapi aku lebih dikenal di
sini sebagai Pangeran Liong Bian Cu. Tentu Sicu dapat menduga bahwa ayahku adalah mendiang
Pangeran Liong Khi Ong, ibuku seorang Puteri Nepal. Ha-ha-ha, sungguh girang sekali kami dapat
berkenalan dengan Sicu dan merasa terhormat bahwa tempat kami ini mendapat kunjungan dari Sicu.
Kami harap saja Sicu datang sebagai sahabat, karena memang sudah lama kami telah mendengar nama
besar Sicu, hanya tidak tahu bagaimana kami dapat menghubungi Sicu. Silakan, Sicu, marilah kita bicara
di dalam sebagai sahabat-sahabat.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Jelaslah bagi Kian Bu. Memang telah diduganya demikian. Dia akan disuruh membantu seorang anak
pemberontak, seorang pangeran asing yang tak salah lagi tentu memiliki niat yang tidak baik terhadap
pemerintah? Tidak sudi! Dia bukan seorang pengkhianat, bukan pula seorang pemberontak. Dia
mengerling ke arah Jenderal Kao Liang dan melihat betapa kebetulan sekali jenderal itu memandang
kepadanya. Orang tua itu cepat menundukkan muka dan kelihatan berduka sekali.
Kesempatan itu dipergunakan oleh Kian Bu untuk menegur jenderal yang dianggapnya pengecut dan
pengkhianat itu. “Pangeran, saya datang bukan sebagai musuh, karena saya tidak mempunyai urusan
pribadi dengan Pangeran, akan tetapi melihat betapa Koksu Nepal bersekutu dengan Gubernur Ho-nan,
saya mendapatkan kesan kurang baik terhadap orang-orang Nepal. Maaf, Pangeran, bukan maksud saya
menyinggung Paduka, tetapi saya bukanlah seorang rendah dan hina yang dapat diajak bersahabat kalau
yang mengajaknya itu termasuk golongan pembecontak.“
“Uhhh...“ Suara ini lirih saja, akan tetapi Kian Bu maklum bahwa suara itu keluar dari tenggorokan Jenderal
Kao Liang. Ketika dia mengerling, jenderal itu sudah mundur dan menyelinap di antara para pasukan.
Pangeran Liong Bian Cu dan para pembantunya terlalu marah demi mendengar ucapan Kian Bu itu
sehingga mereka tidak mendengar suara yang keluar dari tenggorokan jenderal itu, karena dalam waktu
yang bersamaan mereka pun sudah mengeluarkan suara menggereng marah. Namun, Pangeran Liong
Bian Cu benar-benar amat cerdik. Dia dapat menekan kemarahannya, memberi isyarat dengan tangan
kepada para pembantunya agar jangan turun tangan lebih dulu, kemudian dia merangkap kedua tangan di
depan dada, menghadapi Kian Bu dan berkata sambil tersenyum, “Hebat sekali! Sicu masih muda, sudah
mengangkat nama besar, dan ternyata memiliki jiwa pahlawan pula! Kalau Sicu berkeberatan untuk datang
sebagai sahabat kami, lalu kami harus menganggap Sicu datang ini sebagai apakah?”
Diam-diam Kian Bu kagum juga atas ketenangan pangeran itu. Bahkan para pembantu pangeran itu sudah
memandang kepadanya dengan marah, akan tetapi sang pangeran ini sendiri sama sekali tidak kelihatan
marah! Dia pun balas menjura dengan hormat dan berkata halus.
“Maaf, Pangeran. Memang kedatanganku ini lancang dan untuk itu aku mohon maaf. Aku datang bukan
sebagai musuh dan bukan pula sebagai sahabat, melainkan sebagai seorang yang mendengar adanya hal
yang tidak semestinya dan karenanya terpaksa aku datang untuk minta kepada pangeran agar suka
membereskan yang tak semestinya itu.”
“Hemmm, Sicu mendengar apakah?”
“Bahwa Pangeran telah menawan seorang wanita yang bernama Syanti Dewi, maka aku minta agar
Pangeran suka membebaskan dia!” katanya dengan suara tegas.
“Ahhh...!” terdengar suara bentakan marah.
Sang pangeran menoleh. Yang membentak itu adalah Mohinta sendiri, putera panglima tua di Bhutan.
Seperti kita ketahui, Mohinta dan para pembantunya telah tiba di dalam benteng itu dan menjadi sekutu
Pangeran Nepal itu pula.
Sang pangeran lalu tersenyum dan berkata kepada Kian Bu, “Sicu, perkenalkanlah, inilah dia Saudara
Mohinta, panglima muda dari Bhutan yang bertanggung jawab atas keselamatan Puteri Syanti Dewi. Lebih
baik dialah yang menjawab permintaanmu tadi, karena dia lebih berhak.”
Mohinta lalu melangkah maju menghadapi Kian Bu yang memandang padanya dengan penuh perhatian.
“Siluman Kecil, tahukah engkau siapa adanya nama yang kau sebut tadi?” tanya Mohinta dengan marah.
“Syanti Dewi? Dia adalah Puteri Bhutan...,“ jawab Kian Bu.
“Nah, dia adalah Puteri Bhutan dan junjungan kami! Pada saat ini, hanya akulah yang bertanggung jawab
atas keselamatan Sang Puteri. Beliau berada di sini sebagai tamu agung, bagaimana engkau berani
menuduh yang bukan-bukan? Hak apakah yang ada padamu untuk menguruskan diri beliau?”
Tentu saja Kian Bu merasa terdesak. Kalau benar orang ini adalah tokoh Bhutan, tentu saja dia tidak
berhak mencampuri. Akan tetapi, dia tentu saja tidak mau mengalah secara mudah. “Aku adalah seorang
sahabat baiknya. Bukan aku tidak percaya, akan tetapi aku baru yakin akan kebenaran ucapanmu itu kalau
dunia-kangouw.blogspot.com
aku sudah dapat berhadapan dan bicara dengan dia sendiri. Persilakan dia keluar dan bicara sendiri
denganku.”
“Keparat! Kau kira dia wanita macam apa, mudah saja diajak bicara oleh segala macam orang sepertimu?”
Mohinta mendamprat dan sudah langsung menerjang maju dengan kepalan tangannya untuk menghantam
muka Siluman Kecil.
Pemuda rambut putih ini diam saja, sama sekali tidak mengelak, akan tetapi ketika kepalan tangan Mohinta
sudah dekat sekali dengan mukanya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak menangkis.
“Krekkkkk!”
“Aughhhhh...!”
Mohinta terpelanting dan memegangi lengan kanannya yang patah tulangnya! Para pembantunya maju
dengan senjata terhunus, akan tetapi Pangeran Liong Bian Cu yang tersenyum menyaksikan semua itu
mengangkat tangan membentak mereka agar mundur.
“Aku tahu jelas orang macam apa adanya Puteri Syanti Dewi. Dia seorang wanita yang bijaksana agung
dan berbudi mulia, tidak seperti kau, manusia rendah yang sombong!” Kian Bu membentak ke arah
Mohinta yang sudah dibantu orang-orangnya untuk bangkit berdiri. “Mengingat bahwa engkau adalah
orang Bhutan, maka aku memandang nama Puteri Syanti Dewi mengampuni nyawamu.”
Gerakan Kian Bu tadi cepat bukan main, akan tetapi tidak mengejutkan para tokoh yang hadir karena
mereka semua tahu bahwa kepandaian Mohinta masih jauh terlalu rendah untuk menyerang seorang tokoh
seperti Siluman Kecil.
Pangeran Liong Bian Cu tertawa lagi. “Hebat sepak terjangmu, Sicu. Akan tetapi harus kau ketahui bahwa
urusan Puteri Bhutan tentu saja kita harus tunduk kepada peraturan Bhutan dan di sini, yang berkuasa
mengenai hal itu adalah Panglima Mohinta. Selain itu, apakah masih ada keperluan lain yang mendorong
kedatanganmu ini?”
“Selain menuntut agar Syanti Dewi dibebaskan, juga aku menuntut agar keluarga Kao yang ditawan di sini,
dibebaskan semua!”
Kembali semua orang terkejut. Alangkah beraninya pemuda ini! Tetapi sang pangeran tersenyum saja, lalu
berkata tidak acuh, “Engkau menduga yang bukan-bukan, Sicu. Puteri Syanti Dewi dari Bhutan merupakan
tamu agung kami yang selalu dikawal oleh Panglima Mohinta sendiri, sedangkan keluarga Kao juga
merupakan keluarga yang menjadi tamu kami, bahkan minta perlindungan kami dari pengejaran pasukan
istana yang memusuhi mereka.”
“Hemmm, aku tidak percaya! Biar aku menemui mereka dan bertanya sendiri!”
“Sikapmu terlalu keras dan engkau terlalu tidak mempercayai orang, Sicu. Persoalan keluarga Kao
sepenuhnya menjadi tanggung jawab Kao-goanswe, maka biarlah dia saja yang menghadapimu dan
menjawabmu.”
Begitu mendengar ucapan sang pangeran, Jenderal Kao yang tadinya menyelinap di antara para pasukan,
kini melangkah maju dua tindak dan berkata, suaranya lantang akan tetapi matanya memandang kosong,
tidak menatap wajah Kian Bu, “Siluman Kecil, harap kau jangan mencampuri urusan kami sekeluarga Kao!”
Setelah berkata demikian, dia mundur lagi dan berdiri di antara para prajurit dengan muka menunduk,
kelihatan berduka sekali.
Kian Bu merasa heran bukan main. Timbul keraguan apakah benar orang tua itu adalah jenderal gagah
perkasa yang pernah dikenalnya itu? Ataukah hanya orang yang mirip mukanya? Sikapnya demikian aneh
dan jelas bahwa orang itu bertindak bukan atas kemauan sendiri, melainkan terpaksa atau tertekan. Benarbenar
hatinya merasa tidak puas sekali. Akan tetapi apa yang dapat dilakukan?
Betapa pun juga, dia harus membenarkan bahwa Puteri Bhutan tidak bisa dijumpakan kepada seorang
laki-laki asing, dan dalam hal itu tentu saja Panglima Butan yang mengawalnya memiliki hak penuh untuk
menolak permintaannya. Kemudian mengenai keluarga Kao, kalau Jenderal Kao Liang sendiri sudah
mengatakan demikian, dia dapat berbuat apakah? Dia merasa ragu-ragu, bingung, memandang ke kanan
dunia-kangouw.blogspot.com
kiri seperti hendak menanyakan pendapat orang lain, kemudian dia mengangkat kedua bahunya dan
berkata, “Ahhh... kalau begitu, kehadiranku tidak dibutuhkan orang lagi. Biarlah aku pergi saja...”
Dia melangkah pergi, akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu melangkah maju dan memberi hormat
dengan kedua tangan dirangkap di depan dada. “Sicu, setelah semua urusan beres, maka biarlah dalam
kesempatan ini kami mengundang Sicu untuk duduk di dalam dan bercakap-cakap sebagai seorang tamu
yang terhormat.”
Kian Bu menahan langkah kakinya. Tentu saja di dalam hatinya dia merasa tidak sudi untuk bersahabat
dengan pangeran asing yang mungkin bersekutu dengan pihak pemberontak ini, akan tetapi dia teringat
akan Syanti Dewi. Hatinya bimbang ragu, ingin dia bertemu dengan puteri itu dan melihat dengan mata
kepala sendiri bahwa puteri itu selamat, mendengar dengan telinganya keterangan dari mulut puteri itu
sendiri bahwa sang puteri tidak terancam bahaya. Kalau dia menerima undangan Pangeran Nepal ini,
mungkin saja dia memperoleh kesempatan untuk bertemu dengan Syanti Dewi, akan tetapi kalau dia
memenuhi undangan itu, bukankah berarti bahwa dia telah menerima kebaikan dari seorang musuh
negara?
Selagi dia meragu, tiba-tiba terdengar suara nyaring bening, “Tangkap dia...!”
“Ehhh, mau apa kau?” Terdengar suara Hek-tiauw Lo-mo.
Kian Bu menoleh dan dia melihat seorang dara cantik jelita berpakaian sutera serba hitam, sedang
dipegangi lengan kirinya oleh Hek-tiauw Lo-mo. Dara itu meronta dan menudingkan telunjuknya ke arah
Kian Bu sambil berseru, “Tangkap dia! Pangeran, dia adalah mata-mata kerajaan! Dia adalah Suma Kian
Bu, putera dari Pendekar Super Sakti, dia masih cucu dari kaisar sendiri! Karena itu, dia tentulah matamata
kerajaan, maka harus ditangkap!”
Kian Bu tertegun mengenal dara itu yang bukan lain adalah Kim Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo.
Mendengar seruan puterinya ini, Hek-tiauw Lo-mo juga menjadi girang dan melepaskan pegangan
tangannya. Dia sudah mengeluarkan senjatanya yang ampuh, yaitu sebatang golok gergaji di tangan
kanan. Kini Kian Bu menggerakkan kepala sehingga rambut putihnya semua terbang ke belakang
kepalanya dan nampak mukanya yang tampan. Hek-tiauw Lo-mo segera mengenali wajah ini dan dia pun
amat terkejut. Kiranya putera Pendekar Super Sakti yang dikenal orang sebagai pendekar aneh yang
berjuluk Siluman Kecil.
“Benar-benar dia putera Majikan Pulau Es!” teriak Hek-tiauw Lo-mo sambil menerjang ke depan. “Tangkap
mata-mata musuh!”
Mendengar ini Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main. Jika benar bahwa Siluman Kecil adalah
putera Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es, cucu kaisar sendiri, maka jelaslah
bahwa kehadirannya ini berbahaya bukan main!
“Tangkap dia!” perintahnya sambil melangkah mundur ke tempat aman.
Sementara itu, Hwee Li telah menerjang maju dengan kepalan tangannya, menghantam dada Kian Bu
yang masih keheranan itu dengan tangan kanan. Pemuda ini tentu saja merasa amat heran melihat sikap
Hwee Li. Gadis ini jelas mencinta kakaknya dan ketika membantunya mencari obat, Hwee Li bersikap
manis kepadanya. Kenapa sekarang gadis ini membuka rahasianya sehingga dia terancam bahaya?
Dia cepat mengelak dan hendak balas mendorong, ketika dia mendengar bisikan gadis. itu, “... kau
tangkaplah aku...!”
“Wuuuttttt...!”
Dorongannya diperlemah, namun tetap saja tubuh Hwee Li terdorong ke belakang dan tentu akan
terjengkang dan terbanting kalau saja dia tidak berjungkir-balik ke belakang dengan amat lincahnya.
Sementara itu, Hek-tiauw Lo-mo telah menyerang Kian Bu dengan golok gergajinya dari depan, sedangkan
dari kiri Hek-hwa Lo-kwi telah ikut menyerangnya dengan tangannya yang kini berubah hitam sampai ke
siku, tanda bahwa tangan itu mengerahkan tenaga mukjijat yang mengandung racun berbahaya sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, Kian Bu cepat bergerak dan tubuhnya berkelebatan ke sana-sini, dengan mudahnya dia dapat
menghindarkan diri dari dua serangan maut itu. Namun, ke mana pun dia meloncat, dia selalu dipapaki
serangan dari semua orang yang telah rapat mengepungnya. Di sebelah dalam kepungan itu, dia dikeroyok
oleh Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda, Hwee Li, Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, Hai-liongong
Ciok Gu To, tokoh-tokoh Kui-liong-pang beserta para pembantu Mohinta. Sedangkan di sebelah
luarnya dia dikepung oleh puluhan orang anak buah pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Kao Liang!
Dengan demikian, betapa pun dia melesat ke sana-sini, tetap saja dia tidak mampu lolos dari kepungan itu.
Akan tetapi, yang membuat Kian Bu makin bingung dan ragu adalah sikap Hwee Li dan bisikan dara itu
tadi! Dia tidak mengerti dan menjadi ragu-ragu apa lagi melihat betapa dara itu terus mendesaknya,
bahkan menjadi penyerang terdepan seolah-olah dara itu amat benci kepadanya dan hendak mengadu
nyawa! Akan tetapi, tentu saja dia tidak tega melukainya, maka gerakan Kian Bu menjadi kurang gesit dan
ketika akhirnya dia berhasil merobohkan lima enam orang pengeroyoknya, tiba-tiba sinar hitam yang amat
lebar menimpanya dan tahu-tahu dia telah tertangkap oleh jala hitam tipis yang dilepas oleh Hek-tiauw Lomo.
Kian Bu meronta, namun jala itu memang aneh sekali sifatnya. Amat lemas dan halus tipis sekali hingga
dapat dikepal dalam genggaman tangan, akan tetapi uletnya melebihi baja dan mempunyai sifat mengkerut
sehingga kalau yang terperangkap itu meronta, malah makin ketat melibat!
Tiba-tiba Hwee Li menubruknya. “Mampuslah kau, mata-mata hina-dina!” bentaknya.
Kini semua orang pengepung berteriak-teriak girang melihat pemuda itu telah tertawan. Dan di antara
bentakan-bentakan dan teriakan-teriakan ini, Kian Bu mendengar suara Hwee Li yang halus sekali, “...
tolol, cepat tangkap aku, jadikan sandera...!”
Kini mengertilah pendekar muda yang sakti itu. Kiranya sejak tadi Hwee Li menunjukkan jalan keluar yang
amat cerdik. Tetapi apa gunanya menangkap Hwee Li? Bukankah gadis itu sendiri agaknya tidak leluasa
bergerak, buktinya tadi dicurigai ayahnya sendiri dan ditangkap lengannya? Dalam keadaan yang
berbahaya itu, dia tidak mau banyak membantah, ketika melihat Hwee Li menghantam ke arah kepalanya
dengan kepalan tangan kanan, menghantam sekuatnya, dia sengaja menerimanya dengan bahunya.
“Desss...!” Tubuh Kian Bu terguling-guling di dalam gulungan jala itu.
“Ha-ha-ha-ha, bagus Hwee Li anakku, bagus! Hantam dia sampai mampus!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa
sambil memegangi ujung tali jala.
Tadinya Hwee Li terkejut melihat betapa Kian Bu sengaja menerima hantamannya dengan bahu, akan
tetapi dara ini memang cerdik sekali, maka dia segera mengerti akan maksud Kian Bu. Pemuda itu
membiarkan dirinya terpukul agar tidak ada orang yang akan mencurigainya nanti. Maka cepat dia
menubruk dan memukul lagi. Benar saja dugaannya, sekali ini Kian Bu mengulur tangannya dan
menangkap pergelangan tangannya, terus secepat kilat jari tangan pemuda itu menotok jalan darah thianhu-
hiat dan seketika dia menjadi lemas.
“Ayah..., tolong...“ Hwee Li berteriak lirih dengan tubuh lemas dan lengannya masih dipegang oleh Kian Bu.
“Keparat, cepat lepaskan anakku!” Hek-tiauw Lo-mo mendekati dengan golok gergaji di tangan, juga Hekhwa
Lo-kwi dan lain-lain tokoh yang berkumpul di situ melangkah maju.
“Berhenti! Mundur semua atau gadis ini akan kubunuh lebih dulu!” Kian Bu menghardik dan jari tangannya
telah terjulur keluar dari celah-celah jala itu, menempel di tengkuk Hwee Li.
Hek-tiauw Lo-mo dan semua orang terkejut, maklum bahwa sekali menggerakkan jari tangannya, pemuda
itu memang akan dapat menewaskan Hwee Li tanpa ada yang akan sanggup menolongnya karena jari
tangan itu telah menempel di jalan darah yang mematikan. Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi
dia laiu menerjang maju dengan goloknya.
“Keparat! Kalau engkau berani membunuh anakku, maka aku akan menyiksamu dan akan mencincang
tubuhmu!” Agaknya dia tidak peduli akan ancaman terhadap anaknya itu dan masih hendak melanjutkan
serangannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja Kian Bu menjadi bingung sekali dan mulai menyesali akal yang digunakan oleh Hwee Li, yang
ternyata, seperti telah disangsikannya tadi, telah gagal. Orang macam Hek-tiauw Lo-mo yang berwatak
seperti iblis itu mana mempunyai rasa sayang kepada anak sendiri? Dia sudah berniat melepaskan Hwee
Li dan sedapat mungkin mempertahankan nyawanya ketika tiba-tiba terdengar seruan berwibawa.
“Locianpwe, tahan dulu!”
Hek-tiauw Lo-mo menahan gerakan goloknya dan melangkah mundur. Baru teringat dia bahwa hampir saja
dia membahayakan nyawa anaknya. Dia sendiri memang tak peduli apakah Hwee Li akan mati atau hidup,
akan tetapi dia lupa bahwa tentu saja ada orang yang amat mempedulikan hal itu, dan orang ini tentu saja
adalah Pangeran Liong Bian Cu yang amat mencinta Hwee Li!
Kini pangeran itu muncul dan memandang kepada Kian Bu yang masih tertawan dalam jala dan yang
memegang lengan Hwee Li yang tertotok lemas dan menempelkan jari tangannya di tengkuk dara itu. Dia
memandang penuh kekhawatiran, kemudian berkata dengan gagap, “Suma-sicu, harap kau suka
melepaskan dia.”
Hwee Li menoleh ke arah pangeran itu dan berkata lirih, “Lekas..., lekas... Pangeran... kenapa kau tidak
cepat menolong tunanganmu ini...? Lekas... ahhhhh...“
Mengertilah kini Kian Bu. Kiranya Hwee Li adalah tunangan pangeran berhidung betet ini! Hatinya menjadi
girang. Memang Hwee Li merupakan seorang sandera yang amat berharga. Akan tetapi di samping
kegirangan hatinya, juga timbul keheranan. Jika Hwee Li menjadi tunangan pangeran itu, mengapa Hwee
Li bersikap begini dan agaknya hendak menolongnya? Dia tidak mengerti, akan tetapi dia pun tidak mau
banyak pusing menikirkan hal itu.
“Mudah saja melepaskan dia, Pangeran, akan tetapi aku pun berhak minta dibebaskan pula,” katanya.
“Tentu saja! Kau lepaskanlah tunanganku itu, dan kami akan membebaskanmu.”
“Hemmm, kedudukan kalian adalah jauh lebih kuat, maka sepatutnyalah kalau aku yang lebih dulu minta
dibebaskan, baru kemudian aku akan membebaskan Nona ini.”
“Kau... kau tidak percaya kepada omonganku?” Pangeran Liong Bian Cu membentak marah, tetapi
kemudian menarik napas panjang, dan berkata kepada Hek-tiauw Lo-mo, “Locianpwe, harap kau suka
melepaskan jalamu itu dan biarkan dia bebas.”
Hek-tiauw Lo-mo bersungut-sungut, memandang kepada Kian Bu dengan mata lebar dan melotot penuh
kemarahan, akan tetapi dia tidak berani membantah dan dengan beberapa kali gerakan, jala yang
menyelimuti tubuh Kian Bu itu ditariknya terlepas. Memang jala itu merupakan senjata yang amat aneh, tali
pengikatnya berada di tangan kakek ini, maka dia dapat menggerakkan jala itu sesuka hatinya.
Kian Bu cepat bangkit berdiri dan masih memegang pergelangan tangan Hwee Li. Dia mengangguk
kepada pangeran itu dan berkata, “Biarlah sekarang aku pergi saja dan nanti setelah sampai di luar daerah
ini aku pasti akan membebaskan tunanganmu ini, Pangeran.”
Tanpa menanti jawaban, Kian Bu lalu memondong tubuh Hwee Li, kemudian meloncat dengan kecepatan
bagai terbang saja keluar dari tempat itu. Hek-tiauw Lo-mo bergerak hendak mengejar, demikian pula Hekhwa
Lo-kwi, akan tetapi pangeran itu mengangkat tangan mencegah mereka, lalu berkata lirih, “Jangan
ceroboh, Adinda Hwee Li berada dalam kekuasaannya!”
“Ahhh, tapi siluman itu! Bagaimana kalau dia tidak membebaskan Hwee Li?” Hek-tiauw Lo-mo berkata
dengan alis berkerut.
“Kita harus membayangi dia!” Hek-hwa Lo-kwi juga mengangguk-angguk.
Sang pangeran menjadi bingung sekali, dia berjalan hilir-mudik dengan kedua tangan di belakang
pinggulnya, wajahnya agak pucat. Dia amat mencinta Hwee Li dan sekarang kekasihnya itu terancam
bahaya tanpa dia berani mengerahkan orang-orangnya karena kekasihnya itu berada dalam ancaman
seorang musuh yang amat lihai.
“Kenapa tidak menggunakan garuda saja...?” Tiba-tiba Gitananda berkata.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, benar! Hanya dengan cara itu Ji-wi Locianpwe dapat membayanginya dan menjaga keselamatan
Adinda Hwee Li!”
Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan wajahnya berseri. “Kenapa aku melupakan garuda itu?” Dia mencela
diri sendiri. “Lo-kwi, hayo kau bantu aku menghadapi Siluman Kecil!”
Hek-hwa Lo-kwi sejak dahulu memang selalu tidak mau mengalah terhadap Hek-tiauw Lo-mo, maka kini
mendengar ajakan itu, dia membuang muka. “Urusan anakmu sendiri, mengapa kau hendak merepotkan
orang lain? Katakan saja kalau engkau tidak berani menghadapi siluman itu sendirian saja!”
“Siapa tidak berani? Biar ditambah engkau sekali pun, aku tidak takut!” Hek-tiauw Lo-mo menghardik.
Melihat dua orang pembantunya yang kukoai (aneh wataknya) itu mulai cekcok sendiri, Pangeran Liong
Bian Cu cepat berkata, “Harap Hek-hwa locianpwe suka membantu Hek-tiauw Locianpwe menyelamatkan
Adinda Hwee Li.”
Barulah dua orang kakek iblis itu tidak berani banyak ribut lagi dan tak lama kemudian mereka telah
menunggang di atas punggung burung garuda besar itu yang mulai mengibaskan sayapnya dan terbang ke
atas, memasuki udara yang gelap. Pangeran Liong Bian Cu kemudian memerintahkan kakek Gitananda
untuk memimpin sepasukan pengawal melakukan pengejaran lewat jalan darat, dan Jenderal Kao
mendapat tugas menjaga benteng dengan ketat agar jangan sampai dapat diselundupi musuh lagi.
Dengan pengerahan tenaga dan kepandaiannya, bagaikan terbang cepatnya Kian Bu melarikan diri keluar
dari benteng melalui pintu gerbang tanpa ada yang mencoba untuk menghalanginya. Para penjaga yang
sudah menerima perintah itu hanya memandang dengan bengong melihat pemuda itu berlari cepat
memondong tubuh dara tunangan pangeran itu keluar dari pintu gerbang dan menghilang di dalam gelap.
Hwee Li sendiri memejamkan mata karena ngeri. Dia sudah biasa menunggang garuda yang terbang tinggi
di angkasa dan juga cepat sekali, akan tetapi kini berada dalam pondongan pemuda rambut putih ini yang
berlari tidak lumrah cepatnya, dia merasa ngeri juga.
Setelah jauh meninggalkan lembah itu dan tiba di padang rumput yang sunyi, yang diterangi oleh sinar
bulan sepotong dan dibantu oleh bintang-bintang di langit, barulah Kian Bu membebaskan totokan yang
membuat tubuh Hwee Li lemas tadi, kemudian menurunkannya dari pondongan. Dia menjura kepada dara
itu sambil berkata, “Nona, sekali lagi engkau telah menolongku, kalau dulu engkau menolongku
mencarikan obat untuk kakakku, sekarang engkau malah menolong aku dan membebaskan aku dari
cengkeraman maut. Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas budimu yang besar itu.”
”Siapa berterima kasih kepada siapa? Akulah yang harus berterima kasih kepadamu,” kata Hwee Li.
“Tidak, engkau yang telah melepas budi besar kepadaku, Nona, dua kali malah, dan yang terakhir ini
sungguh engkau telah menyelamatkan aku dari cengkeraman maut. Aku berhutang nyawa kepadamu.”
“Hi-hi-hik, berhutang nyawa? Lalu kapan kau akan membayar hutangmu itu?”
Kian Bu gelagapan, akan tetapi memang pada dasarnya dia adalah seorang pemuda yang berwatak
gembira, maka kini bertemu dengan seorang dara lincah seperti Hwee Li, kumat kembali wataknya itu.
“Ahhh, biarlah aku akan selalu membayangimu dan menanti saat balk. Kalau engkau terancam bahaya
maut, aku akan segera menolongmu sehingga dengan demikian aku akan dapat membayar hutangmu itu.”
“Hemmm...,” Hwee Li lalu duduk di atas rumput.
Indah sekali suasana di padang rumput itu. Angin malam semilir menggerakkan ujung-ujung rumput yang
seperti air laut sedang bergelombang lembut. Bau sedap harum rumput bercampur tanah mendatangkan
rasa nyaman dan membuat orang ingin menarik napas dalam-dalam untuk memenuhi paru-parunya. Sinar
bulan lembut menyentuh mesra. Semuanya nampak serba lembut, tidak ada kekerasan yang terbawa
dalam sinar matahari siang.
“Kau benar-benar ingin membalas budi kepadaku?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar! Sungguh, Nona, hanya aku tidak tahu dengan cara bagaimana aku harus membalas kebaikan
hatimu dan budi yang telah berkali-kali kau lepaskan kepadaku itu.”
“Kalau ada sebuah permintaanku, benar engkau mau memenuhinya?”
“Benar, pasti akan kupenuhi permintaanmu itu, asal dapat membalas budimu dengan itu.”
“Nah, mulai sekarang, jangan lagi menyebut nona kepadaku.”
“Ehhh...?” Kian Bu melongo. Masa hanya sedemikian sederhana permintaannya? Dan apa maksudnya?
Apakah dia harus menyebut namanya saja? Namanya Hwee Li, nama yang indah dan enak diucapakan.
“Lalu... menyebut apa?” tanyanya, ragu.
“Kau harus menyebut aku enci (kakak perempuan).”
“Hehhh...? Tapi... tapi aku lebih tua dari pada engkau...! Usiaku sudah dua puluh tahun lebih, dan engkau
paling banyak delapan belas...“
“Tujuh belas!” potong Hwee Li dengan cepat.
“Nah, baru tujuh belas malah!”
“Hemmm, baru permintaan sedemikian saja engkau sudah banyak cerewet. Katakan saja engkau tidak
mau! Apa lagi untuk membayar hutang nyawa segala...!” Hwee Li bersungut-sungut dan memalingkan
muka dari pemuda itu.
“Ah, tentu saja aku mau. Enci Hwee Li, jangan marah. Aku akan menyebutmu enci, cici, kakak ataukah
enso (kakak ipar)...?”
“Ihhh! Tak tahu malu!” Hwee Li membentak dan mukanya berubah merah sekali, akan tetapi karena sinar
bulan juga mengandung warna kemerahan, maka perubahan warna muka ini tidak dapat kentara.
Sebaliknya, Kian Bu termenung dan hatinya terharu, dia tidak mau menggoda lagi. Jelaslah bahwa
permintaan dara ini membuktikan bahwa dara ini benar-benar mencinta kakaknya! Dia merasa girang dan
terharu. Ah, derita batin kakaknya tentu akan terobati kalau kakaknya memperoleh dara cantik jelita dan
lincah jenaka ini sebagai kekasih dan calon isteri!
“Maafkan aku, Enci Hwee Li, aku berjanji tidak akan menyebutmu so-so lagi...“
Hwee Li menoleh dan matanya yang indah itu melotot. “Berjanji tidak akan menyebut akan tetapi terusmenerus
mengulang! Kau menantang, ya?”
“Ehh, ohhh... tidak..., maafkan. Akan tetapi sungguh aku tidak mengerti apa yang kau maksudkan ketika
mengatakan bahwa engkau yang harus berterima kasih kepadaku. Engkau sudah berkali-kali menolongku,
kalau sekarang mengatakan bahwa engkau yang harus berterima kasih, bukankah itu artinya
mengejekku?”
“Huh, kau tidak tahu. Apa kau kira aku begitu ceroboh dan usil untuk mempertaruhkan nyawaku
menolongmu kalau hal itu tidak penting bagiku?”
“Maksudmu...?”
“Bukan aku yang menolongmu, melainkan engkaulah yang telah membebaskan aku dari kurungan benteng
itu. Aku adalah seorang tawanan pula di sana, mengertikah engkau?”
Tentu saja Kian Bu menjadi terkejut bukan main. Tadi dia mendengar bahwa dara jelita ini adalah tunangan
dari Pangeran Nepal itu, dan sekarang mengaku sebagai tawanan. “Tawanan? Bukankah ayahmu juga
berada di sana? Kalau Hek-tiauw Lo-mo menjadi pembantu pangeran itu, mana mungkin engkau menjadi
tawanan?”
“Hek-tiauw Lo-mo bukan ayahku, melainkan musuh besarku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ehhhhh...?” Kan Bu memandang dengan mata terbelalak.
“Dia... dia bahkan musuh yang telah membunuh ibuku...“ Hwee Li menunduk, hatinya berduka teringat
akan riwayatnya itu.
“Ahhh...! Kalau begitu kionghi (selamat) kepadamu, Enci!” Dan Kian Bu benar-benar telah bangkit berdiri
dan memberi selamat dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil membungkuk di depan
dara itu.
Hwee Li meloncat berdiri. “Engkau... engkau manusia kejam! Engkau siluman liar!” Dan tiba-tiba dara itu
telah menerjang dan menyerang Kian Bu dengan hebatnya! Begitu menyerang, tangannya meluncur
langsung menotok ke arah jalan darah di leher Kian Bu, sedangkan kakinya yang kecil itu cepat sekali
menyusul dengan tendangan yang juga merupakan totokan dengan ujung sepatu mengarah lambung!
“Ehhh...! Plakkk! Ohhh...! Plekkk!”
Kian Bu terhuyung-huyung ke belakang karena dia menangkis tanpa mengerahkan sinkang-nya sehingga
dia terdorong oleh tenaga totokan dan tendangan itu. Dengan penasaran dan marah karena serangannya
yang tiba-tiba dan amat cepat itu dapat ditangkis, bahkan tangan dan kakinya terasa nyeri, Hwee Li telah
menerjang lagi, seperti seekor naga mengamuk saja. Namun sekali ini Kian Bu telah siap, dan dengan
mudah pemuda ini terus-menerus mengelak.
“Ehh, nanti dulu... wah, Enci... ehhh, Cici-ku yang baik... tahan dulu...!” Melihat Hwee Li terus menyerang,
tiba-tiba tubuh Kian Bu melesat jauh dan lenyap!
Hwee Li termangu-mangu, dan merasa heran, lalu bersungut-sungut, “Tak tahu aturan, adik macam apa
dia itu! Orang menceritakan ibunya dibunuh orang malah memberi selamat!”
“Wah, engkau salah sangka, Enci Hwee Li...“ Tiba-tiba Hwee Li membalikkan tubuhnya dan kiranya
pemuda berambut putih itu telah berdiri di belakangnya!
Kian Bu cepat mengangkat kedua tangan ke atas tanda takluk, kemudian tergesa-gesa menyambung
ucapannya sebelum dara yang galak itu sampai menyerangnya lagi, “Dengarkan dulu! Aku memberi
selamat kepadamu bukan untuk itu, melainkan mendengar bahwa engkau bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo!
Sejak dahulu pun aku sudah tidak percaya, masa iblis jelek menakutkan macam Hek-tiauw Lomo bisa
mempunyai seorang anak yang cantik molek dan manis jelita seperti engkau...“
“Wah, engkau memang seorang adik yang bejat moralnya!”
“Lhoh, kenapa lagi?”
“Engkau memuji-muji kecantikan cici-mu, hemmm, ada maksud kotor apa di dalam hatimu?”
Kian Bu tersenyum. “Aihhh, segala yang kuucapkan ternyata kau anggap salah saja. Sudahlah aku minta
maaf. Aku tadi memberi selamat saking girang hatiku mendengar bahwa engkau bukanlah puteri Hek-tiauw
Lo-mo, maka aku memberi selamat dan saking girang hatiku sampai aku tadi lupa bahwa ibumu telah
terbunuh oleh iblis itu! Hemmm, jangan khawatir, aku akan membantumu membalaskan dendam orang
tuamu itu, Enci Hwee Li. Lalu..., siapakah orang tuamu, kalau aku boleh bertanya?”
Akan tetapi Hwee Li sudah duduk lagi dan tidak menjawab, hanya menunduk. Keadaan menjadi sunyi,
keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Kian Bu memang merasa girang, karena kalau dara ini
bukan puteri Hek-tiauw Lo-mo, berarti dara ini makin pantas menjadi jodoh kakaknya. Betapa pun
cantiknya dan baiknya, kalau dia ini puteri Hek-tiauw Lo-mo, wah, agak sukar juga karena setidaknya,
orang tua mereka di Pulau Es tentu tidak akan sudi berbesan dengan iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi,
melihat Hwee Li tidak menjawab pertanyaannya tentang orang tuanya, dia pun tidak berani mendesak,
karena dia mengira bahwa tentu dara itu masih merasa berduka atas kematian orang tuanya di tangan
Hek-tiauw Lo-mo.
Di lain pihak, Hwee Li juga tenggelam dalam pikirannya sendiri. Dia menyuruh Kian Bu menyebutnya enci
karena memang dia merasa bahwa pemuda ini adalah adik Kian Lee, maka sudah sepantasnya menyebut
enci, bukan enso (kakak ipar) karena memang belum waktunya! Dan kini, sukar baginya untuk mengaku
bahwa dia adalah keturunan mendiang Kim Bouw Sin, panglima di perbatasan yang pernah menjadi
dunia-kangouw.blogspot.com
pemberontak itu! Bagaimanakah keluarga Suma akan memandangnya kalau mereka mendengar bahwa
dia adalah keturunan pemberontak Kim Bouw Sin? Padahal, dia tahu bahwa keluarga Pulau Es adalah
keluarga pahlawan, bahkan ibu Kian Bu, Siluman Kecil ini, adalah seorang puteri istana kaisar! Maka, dia
tidak berani mengaku di depan Kian Bu siapa adanya orang tuanya yang sesungguhnya.
Melihat Hwee Li menunduk seperti orang berduka itu, Kian Bu mengira bahwa dara itu teringat akan orang
tuanya, maka dia lalu mengalihkan percakapan. “Enci Hwee Li, jadi engkau telah ditahan secara paksa di
dalam benteng itu? Akan tetapi aku mendengar bahwa engkau... ehh, engkau adalah tunangan pangeran
itu!”
“Tidak sudi! Dia memaksa aku menjadi tunangannya, dia dan iblis tua bangka itu dan para pembantunya.
Akan tetapi, siapa sudi menjadi isterinya?”
“Ehhh, kenapa? Bukankah pangeran itu gagah dan tampan, seorang pangeran kerajaan pula?”
“Tampan? Dia me... memuakkan...!”
Hwee Li teringat betapa dia pernah diciumi oleh pangeran itu dalam keadaan tak dapat menghindar.
“Terutama... hidungnya! Dan matanya! Seperti burung hantu... ihhh, sangat menjijikkan!” Dan Hwee Li
meludah karena dia teringat akan ciuman-ciuman dahulu itu.
Kian Bu tidak mau mengukur isi hati dara itu lagi. Hatinya girang karena selain dara ini ternyata bukan
puteri dari iblis Pulau Neraka itu, juga ternyata Hwee Li bukanlah tunangan pangeran dari Nepal itu,
melainkan dipaksa sebagai tunangannya. Sekarang tahulah dia mengapa Hwee Li menolongnya.
Memang benar pengakuan dara ini tadi bahwa Hwee Li bukan semata-mata hendak menolongnya,
melainkan juga ingin menggunakan kesempatan itu untuk meloloskan diri dari dalam benteng. Memang
perhitungan dara itu amat cerdik. Karena ‘membiarkan’ dirinya ditawan dan dijadikan sandera oleh Kian Bu,
maka biar pun tokoh-tokoh lain tak peduli, namun pangeran itu ternyata merasa khawatir akan keselamatan
tunangannya dan membiarkan Kian Bu lolos membawa Hwee Li.
“Kalau begitu, Enci Hwee Li, apakah engkau tidak akan kembali ke sana setelah berhasil lolos
bersamaku?” Akhirnya Kian Bu bertanya.
“Kembali ke sana? Apakah engkau gila? Terang aku tidak akan kembali ke sana, akan tetapi... aku
terpaksa harus kembali ke sana.”
“Ehhh? Engkau memang aneh, Enci.” Kian Bu memandang heran. “Setelah berhasil lolos, mengapa
hendak kembali lagi ke sana? Tadi katanya engkau membenci sang pangeran?”
“Hushhh, aku bukan hendak kembali untuk dia. Pertama-tama, aku harus berhasil membalaskan sakit hati
ibuku terhadap iblis tua bangka dari Pulau Neraka itu.“
“Hemmm, tidak mudah! Dia lihai sekali.”
“Takut apa? Dengan adanya engkau di sampingku yang membantuku, apakah kau kira aku tidak mampu
membekuk batang lehernya?”
“Aku...? Ahhh, akan tetapi... belum tentu aku akan kembali ke sana.”
Hwee Li meloncat bangun, berdiri dan menghadapi Kian Bu dengan kedua tangan menekan pinggangnya
yang ramping. Dia membanting kaki kanannya dua kali, tanda bahwa dia merasa kesal dan marah.
“Engkau ini seorang adik macam apa? Engkau harus kembali ke sana bersamaku, membantu aku!”
Terlalu sekali bocah ini, pikirnya. Belum apa-apa lagaknya sudah begini memerintah dan memaksa.
Bagaimana kalau kelak dia benar-benar menjadi kakak iparku? Wah, kakaknya, Kian Lee harus bekerja
keras untuk menundukkan si liar ini!
“Bagaimana kalau aku tidak... sanggup?” Dia tidak jadi mengatakan tidak mau, khawatir nona itu akan
marah-marah dan menyerangnya lagi seperti tadi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Betapa pun juga, dia tidak dapat lupa bahwa nona ini pernah menyelamatkan nyawa kakaknya ketika
menolongnya mencarikan jamur mukjijat itu, lalu telah menyelamatkan nyawanya sendiri ketika dia
tertawan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu tadi.
“Engkau harus sanggup dan engkau harus mau!” jawab Hwee Li. “Tanpa kuminta sekali pun engkau pasti
akan kembali ke sana!”
“Ehh, bagaimana engkau begitu pasti, Enci...?” Kian Bu terheran.
“Karena ketahuilah bahwa keluarga Jenderal Kao Liang juga menjadi tawanan di tempat itu. Dia sendiri,
isterinya, puteranya, cucu-cucunya dan keluarganya. Aku tahu bahwa engkau tentu akan mencoba untuk
menolong mereka.”
Kian Bu menunduk dan mengerutkan alisnya. Hatinya merasa kecewa sekali kalau dia mengingat akan
jenderal yang dahulu sangat dikagumi dan dihormatinya itu. Masih berkumandang di telinganya betapa
jenderal itu sendiri menolak ketika dia menuntut pembebasan keluarga jenderal itu, apa lagi setelah melihat
kenyataan betapa jenderal itu benar-benar telah menjadi pembantu pangeran dari Nepal, seorang musuh
negara!
Maka dia menggeleng kepalanya. “Tidak, aku tidak akan mencampuri urusan Jenderal Kao...“
“Akan tetapi dia melakukan semua itu karena terpaksa, Kian Bu!” Hwee Li berkata dan kini dia telah duduk
kembali. “Jangan kau mengira bahwa Jenderal Kao telah menjadi seorang pengkhianat! Keluarganya
ditawan dan semua diancam akan disiksa di depan matanya kalau dia tidak menurut, kalau dia tidak mau
membangun benteng itu.”
“Huh, laki-laki macam apa itu? Seorang gagah tidak akan mementingkan diri sendiri dan keluarganya.
Untuk menyelamatkan keluarga lalu menjual diri kepada musuh negara hanya dapat dilakukan oleh orang
yang lemah dan pengecut.”
“Akan tetapi dia tidak berkhianat! Dia hanya berjanji untuk membangun benteng dan memimpin pertahanan
di benteng itu, dia tidak berjanji untuk menyerang kerajaan. Dia terpaksa, Kian Bu, siapa orangnya yang
dapat bertahan melihat keluarganya terancam bahaya maut dan siksaan? Selain itu, di sana masih ada
seorang lain yang ditahan dan yang pasti akan coba kau selamatkan. Dia adalah Bibi Syanti Dewi!”
“Bibi...? Kau menyebutnya bibi?” Kian Bu bertanya heran.
“Tentu saja! Habis disuruh menyebut apa?”
“Dia usianya tidak berselisih banyak denganmu.”
“Dasar kau yang tolol! Apakah sebutan orang itu tergantung dari usianya? Andai kata dia lebih muda dari
pada aku sekali pun, tetap saja aku menyebut bibi kepadanya. Dia adalah kakak angkat dari guruku, habis
suruh aku menyebut apa kepadanya?”
Kian Bu makin terheran dan juga bingung. Bocah ini adalah murid dari Ceng Ceng, dan Ceng Ceng adalah
seorang keponakannya, puteri dari mendiang kakak tirinya! Ceng Ceng sendiri menyebut paman
kepadanya, jadi semestinya Hwee Li yang menjadi murid Ceng Ceng ini harus menyebutnya susiok-kong
(paman kakek guru)! Akan tetapi, malah dia diharuskan menyebut enci kepada dara ini yang sebenarnya
masih terhitung murid cucu keponakannya! Dan bagaimana kalau kakaknya sampai berjodoh dengan dara
ini? Bukankah hal itu berarti menikah dengan cucu keponakan sendiri? Dan anak mereka kelak? Bukankah
anak itu masih cucu buyut keponakan? Wah, dia menjadi bingung sendiri. Persetan segala macam
sebutan-sebutan itu!
“Bagaimana, Kian Bu. Engkau tentu akan menyelamatkannya, bukan? Tadi engkau mati-matian datang
seorang diri memasuki benteng untuk menolong Bibi Syanti...“
Kian Bu menggeleng kepala. “Sekarang tidak perlu lagi. Dia adalah Puteri Bhutan, dan di sana terdapat
Panglima Bhutan yang tentu saja berhak untuk melindunginya. Dan kalau dia berada di sana sebagai
tamu...“
dunia-kangouw.blogspot.com
“Wah, engkau ini berjuluk Siluman Kecil, namamu menggemparkan seluruh dunia, ehh, kiranya hanya
seorang bocah yang bodoh belaka! Siapa bilang Bibi Syanti menjadi tamu? Dia pun diculik oleh kakek
Gitananda dan menjadi tawanan di sana. Memang si Mohinta yang tak tahu malu itu tadinya hendak minta
dibebaskannya Bibi Syanti Dewi, akan tetapi pengkhianat hina-dina itu malah bersekutu dengan pangeran
blo’on itu...”
“Ehh, kok ada pangeran blo'on segala?”
“Maksudku, pangeran hidung kakatua itu. Mohinta telah bersekutu, menjadi kaki tangan Pangeran Nepal
dan mereka berjanji untuk menggunakan Bibi Syanti sebagai sandera untuk menundukkan Kerajaan
Bhutan! Dan kelak Mohinta dijanjikan akan dikawinkan dengan Bibi Syanti Dewi... Coba, apa kau rela?”
“Ahhh...!” Kian Bu loncat berdiri dan mengepal tinjunya, mukanya menjadi merah sekali tanda bahwa
Siluman Kecil ini telah marah bukan main. Mereka berani mempermainkan Syanti Dewi? Berarti harus
berhadapan dengan dia!
Melihat pemuda itu termenung dan mengepal tinju, kelihatan marah sekali, Hwee Li memandangnya dan
tiba-tiba sepasang matanya memandang sayu. “Kian Bu... dia... dia... Bibi Syanti Dewi...“ Dia tidak
melanjutkan kata-katanya.
Ketika Kian Bu cepat menoleh kepadanya, dia lalu menunduk. Ketika berada di dalam benteng, antara dia
dan Syanti Dewi terdapat hubungan yang amat akrab dan di dalam percakapan yang penuh kepercayaan,
Syanti Dewi pernah menceritakan semua pengalamannya, betapa Kian Bu menderita karena terpaksa
ditolak cintanya dan betapa puteri itu merasa kasihan dan berdosa terhadap pemuda Pulau Es yang amat
baik itu, betapa sang puteri tidak dapat membalas cintanya karena sang puteri telah mencinta orang lain!
Ketika Hwee Li bertanya siapa adanya orang lain itu, sang puteri tidak mau menjelaskan. Kini Hwee Li
melihat sendiri betapa Kian Bu masih mencinta puteri yang menolak cintanya itu, dan dia merasa kasihan,
tidak dapat melanjutkan kata-katanya.
“Dia kenapa...?” Kian Bu mendesak bertanya, suaranya agak gemetar.
“Dia... harus ditolong, kalau tidak, bukan hanya Bibi Syanti Dewi yang akan celaka, dipaksa menikah
dengan Mohinta itu, bahkan kerajaan ayahnya tentu juga akan celaka akibat pemberontakan Mohinta yang
dibantu oleh Pangeran Nepal.”
“Ha-ha-ha-ha, lihat Lo-mo, anakmu itu sungguh tidak tahu malu!” Tiba-tiba terdengar suara orang dari atas.
Kian Bu cepat memandang ke atas, demikian pula Hwee Li dan di langit yang sudah mulai remang-remang
menanti datangnya fajar itu nampak seekor burung garuda besar yang ditunggangi oleh Hek-tiauw Lo-mo
dan Hek-hwa Lo-kwi!
“Tutup mulutmu yang berbau busuk itu, Lo-kwi, atau kugampar kau sampai jatuh ke bawah!” Hek-tiauw Lomo
membentak. Burung garuda itu menukik turun dan dengan cepat dua orang kakek itu sudah meloncat
ke atas tanah di depan Kian Bu, sedangkan garuda itu sudah terbang lagi ke atas.
“Hemmm, begini sajakah Siluman Kecil yang terkenal hebat itu?” Hek-hwa Lo-kwi mengejek sambil
menghadapi Kian Bu. “Ternyata, hanya seorang hina yang tidak dapat memegang janjinya sendiri!”
“Huh, manusia dari Pulau Es mana bisa dipercaya omongannya?” Hek-tiauw Lo-mo menyambung sambil
menyeringai penuh kebencian.
Bagi bekas tokoh Pulau Neraka ini, segala yang berbau Pulau Es amat dibencinya. Dan biar pun dia tahu
bahwa putera Pendekar Super Sakti ini memiliki kepandaian hebat, bahkan telah berjuluk Siluman Kecil
yang namanya menggemparkan di sepanjang lembah Huang-ho, namun dia tidak merasa takut. Pernah dia
menyaksikan kepandaian pemuda ini ketika jaman pemberontakan dua orang Pangeran Liong beberapa
tahun yang lalu dan dia merasa masih sanggup menandinginya. Apa lagi kini di sampingnya ada Hek-hwa
Lo-kwi yang membantunya. Tentu saja dia belum tahu tentang kemajuan Kian Bu yang telah memperoleh
ilmu mukjijat itu.
“He, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua ekor anjing tua bangka tak tahu malu!” tiba-tiba Hwee Li
membentak sehingga Kian Bu merasa tidak enak sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bocah ini memaki ayahnya dengan sebutan anjing tua bangka tak tahu malu. Biar pun Hek-tiauw Lo-mo
bukan ayahnya sendiri, biar pun mungkin saja telah membunuh orang tua Hwee Li, namun harus diakui
bahwa semenjak kecil Hwee Li dirawat dan dididiknya, maka makian itu sungguh terlalu kasar dan tak enak
didengar.
“Kalian jangan menuduh orang sembarangan saja, ya? Orang gagah seperti dia ini mana bisa disamakan
dengan raksasa-raksasa biadab macam kalian yang mengingkari janji dan bersikap khianat? Dia telah
memegang janjinya, dia telah membebaskan aku seperti yang dijanjikan kepada pangeran brengsek itu!
Hanya akulah yang tidak mau kembali ke sana. Tahukah kalian?”
Dasar Hek-tiauw Lo-mo memang seorang kasar yang sama sekali tidak mempunyai perasaan halus, maka
makian-makian yang dilontarkan oleh mulut Hwee Li kepadanya itu sama sekali tidak membekas. Dia
hanya tertawa bergelak.
Akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi yang tak pernah merasa suka kepada rekannya ini segera membentak, “Lomo,
perlu apa banyak cerewet lagi? Hayo kita bunuh bocah siluman ini dan seret anakmu pulang ke
benteng!”
Setelah berkata demikian, Hek-hwa Lo-kwi sudah menggosok-gosok kedua tangannya dan aneh sekali,
seketika seluruh tubuhnya menjadi putih seperti kapur. Itulah ilmunya yang baru, yang dilatihnya di lembah
bersama para pengikutnya, yaitu sisa-sisa anak buahnya yang masih hidup ketika dia dahulu menjadi
ketua Lembah Bunga Hitam. Ilmunya ini dia namakan Pek-hiat-hoat-lek (Ilmu Sihir Darah Putih), ilmu
pukulan yang mengandung hawa mukjijat dan racun yang amat berbahaya. Selama berbulan-bulan dia
menanam diri di dalam rumah tempurung dan diikuti oleh para anak buah bekas perkumpulan Lembah
Bunga Hitam yang sudah tinggi ilmunya. Akan tetapi tentu saja para anak buahnya itu tidak dapat
mencapai tingkat tinggi yang dicapai oleh Hek-hwa Lo-kwi ini. (baca Kisah Sepasang Rajawali)
“Biarlah kau hajar Siluman Kecil yang sombong itu Lo-kwi. Di benteng aku pernah menangkap dia,
sekarang tunjukkanlah kepandaianmu, hendak kulihat apakah kau juga mampu menangkapnya, biar aku
yang membekuk batang leher betina liar ini!”
Hek-tiauw Lo-mo memang licik sekali wataknya. Memang benar ketika Kian Bu berada di dalam benteng,
dia berhasil menangkap pemuda itu menggunakan senjata jalanya yang istimewa, akan tetapi hal itu hanya
dapat terjadi karena Kian Bu menghadapi pengeroyokan banyak orang pandai. Kalau berhadapan satu
lawan satu, jangan harap bekas ketua Pulau Neraka ini akan mampu menangkap Kian Bu! Kini, dia
sengaja mengejek Hek-hwa Lo-kwi, dan dia sendiri sudah maju menubruk Hwee Li.
Di dalam lubuk hatinya, Hwee Li merasa amat membenci kakek yang pernah menjadi ayahnya ini. Orang
ini adalah musuh besarnya yang telah memperkosa ibu kandungnya sampai mati! Maka, kini melihat
bahwa dia tidak mendapat jalan lain kecuali melawan, dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya dan
diam-diam dia telah mempersiapkan dirinya.
Selama beberapa tahun dia sedikit banyak telah menerima ilmu-ilmu tentang racun dari gurunya. Dia
maklum bahwa kalau mempergunakan ilmu silat, tentu saja dia tidak akan mampu melawan bekas ayahnya
ini. Ular-ularnya telah dirampas oleh mereka ketika dia menjadi tawanan di dalam benteng, juga semua
senjata rahasia telah dirampas orang. Dia pun tidak memegang senjata apa-apa, maka begitu melihat Hektiauw
Lo-mo maju menubruk, dia cepat menghindarkan diri, meloncat jauh ke kiri sedangkan tangannya
menyambar tanah di bawah kakinya.
Kini kedua tangannya mengepal segenggam tanah bercampur pasir dan dia telah mengerahkan sinkangnya.
Di dalam kepalan tangannya, tanah dan pasir itu berubah menjadi hitam dan telah mengandung racun
yang amat hebat! Itulah satu di antara ilmu racun yang diterimanya dari gurunya. Gurunya adalah Ceng
Ceng atau Nyonya Kao Kok Cu, murid mendiang Ban-tok Mo-li si Iblis Betina Selaksa Racun! Dan memang
dia berguru kepada Ceng Ceng hanya untuk mempelajari tentang racun seperti telah dijanjikan oleh
gurunya itu (baca Kisah Sepasang Rajawali).
Melihat tubrukannya dihindarkan oleh dara itu, Hek-tiauw Lo-mo tertawa. Tugasnya jauh lebih ringan dari
pada tugas Hek-hwa Lo-kwi yang harus menghadapi Siluman Kecil seorang diri, maka dia pun tidak mau
tergesa-gesa. Dia hendak membiarkan Hek-hwa Lo-kwi setengah mati dulu menghadapi lawan tangguh itu,
dan dia akan seenaknya saja menangkap bekas anaknya ini yang dianggapnya merupakan pekerjaan
mudah. Nanti kalau temannya yang dibencinya itu sudah benar-benar membutuhkan bantuan, barulah dia
akan merobohkan Hwee Li dan membantunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Heh-heh-heh, bocah kurang ajar, kau kira dapat melepaskan diri dariku? Kalau tidak mengingat pangeran,
tentu aku sudah menelanjangimu dan mempermainkanmu seperti aku mempermainkan ibumu dahulu, baru
kulobangi kepalamu! Ha-ha-ha!”
Hampir Hwee Li menjerit saking marah dan bencinya mendengar kata-kata itu, akan tetapi dia menahan
kemarahannya, dia menggerakkan kaki berputar-putar dan mundur mundur menjauhi lawan, akan tetapi
sepasang matanya mengincar tajam, mencari kesempatan kalau lawan lengah akan diserangnya dengan
‘senjata’ istimewa di dalam genggaman kedua tangannya itu.
Sementara itu, Hek-hwa Lo-kwi juga sudah mulai menyerang Kian Bu. Dengan suara melengking nyaring,
dia telah bergerak ke depan, kedua tangannya mengeluarkan suara seperti angin puyuh mengamuk, dan
dari dua telapak tangannya itu menyambar bau wengur yang mengeluarkan sinar putih.
Kian Bu terkejut. Hebat ilmu pukulan itu, pikirnya. Ada serangkum hawa yang amat tajam dan berbau
wengur menyambar. Dia maklum bahwa bukan hanya hawa itu yang dapat melukai orang, tetapi juga bau
itu dapat merobohkan lawan karena mengandung racun berbahaya. Tetapi dia sudah cepat mengelak dan
membalas dengan pukulan dari samping, dengan telapak tangan didorongkan ke depan sambil
mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang.
Tenaga berhawa panas membakar ini menyambar dari samping ke arah tubuh Hek-hwa Lo-kwi. Demikian
cepat gerakan Kian Bu sehingga pukulan itu tidak mungkin dapat dielakkan lawan lagi. Satu-satunya jalan
bagi lawan hanyalah menangkis dan hal ini pun dilakukan oleh Hek-hwa Lo-kwi tanpa ragu-ragu lagi. Dia
membalik ke kiri menghadapi pemuda itu dan menggerakkan kedua tangannya ke depan untuk menyambut
pukulan Kian Bu. Serangkum angin dahsyat menyambar dan segulung sinar putih nampak bertemu dengan
hawa pukulan Kian Bu yang tidak kelihatan itu.
“Nyesssss...!”
Kian Bu terkejut bukan main. Hawa pukulannya yang mengandung hawa panas itu seperti terjun ke dalam
air dingin saja rasanya, seperti api yang disiram air dingin. Nampak asap hitam mengepul di antara mereka
ketika kedua pukulan itu bertemu dan Kian Bu merasa betapa hawa pukulan Hwi-yang Sin-ciang itu
membalik, seperti seekor naga yang kembali ke goa karena takut bertemu lawan yang kuat!
Namun, pemuda ini sudah menguasai sinkang dari Pulau Es itu dengan sempurna, maka dia dapat
menyimpan kembali hawa itu tanpa melukai dirinya sendiri. Dia melihat tubuh kakek bermuka tengkorak itu
juga tergoyang, berarti bahwa hawa pukulan kakek itu pun membalik. Oleh karena itu dia merasa
penasaran. Siluman Kecil ini belum mau mempergunakan pukulan gabungan Im dan Yang dari Pulau Es
yang dilatihnya atas petunjuk Kim Sim Nikouw, karena pukulannya itu dianggapnya terlalu berbahaya
sehingga membahayakan nyawa lawan, padahal dia tidak mau membunuh lawan ini.
Bahkan dia sekarang merasa ngeri sendiri mengingat betapa pukulan gabungannya yang amat hebat itu
hampir saja menewaskan kakaknya sendiri, maka diam-diam dia berjanji di dalam hatinya bahwa kalau
tidak terpaksa sekali dia tidak mau mengeluarkan pukulan gabungan itu. Kini, melihat betapa Hwi-yang Sinciang
dapat ditangkis lawan dan tidak berhasil, dia lalu mengganti sinkang-nya menjadi Swat-im Sin-kang
dan dia lalu memukul lagi, sekali ini dengan pukulan hawa dingin, yaitu Swat-im Sin-ciang. Serangkum
angin yang mengandung hawa dingin melebihi salju menyambar ke depan. Kakek itu memandang tajam.
“Bagus...!” Hek-hwa Lo-kwi berseru girang.
Seperti juga tadi, dia telah menggerakkan dua tangan mendorong ke depan. Serangkum angin dahsyat
didahului sinar putih bergulung-gulung menyambar serangan Kian Bu itu. Kembali kakek itu menggunakan
ilmu pukulannya yang sakti, yaitu Pek-hiat-hoat-lek dan kembali dua macam hawa pukulan sakti bertemu di
udara.
“Cesssss...!”
Dan sekali lagi nampak asap mengepul, akan tetapi asap itu tidak hitam seperti tadi, melainkan berupa uap
putih. Seperti juga tadi, Kian Bu merasa betapa hawa sakti yang digunakannya membalik, membuat tubuh
atasnya bergoyang. Akan tetapi dia melihat Hek-hwa Lo-kwi terhuyung ke belakang beberapa langkah. Dia
sudah merasa girang ketika dengan heran dia melihat kakek itu meloncat bangun sambil tertawa girang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendadak Kian Bu berteriak, “Celaka...!” dan dia pun terhuyung. Kepalanya terasa pening dan matanya
berkunang, dadanya terasa gatal-gatal dan sesak! Tahulah dia bahwa dia telah terkena racun yang amat
hebat.
Memang itulah kelihaian Pek-hiat-hoat-lek! Ketika tadi Kian Bu menggunakan Hwi-yang Sin-ciang untuk
menyerang, kakek itu menangkis dengan ilmunya yang mukjijat, yang mengandung racun amat hebat. Dia
sudah merasa penasaran dan heran melihat pemuda itu tidak apa-apa, tetapi dia segera tahu bahwa
pemuda itu tadi menggunakan inti tenaga panas, maka tentu hawa beracun dari pukulannya telah terbakar
dan buyar oleh hawa panas itu. Ketika pemuda itu kini memukul kembali dengan penggunaan tenaga
dingin, dia merasa girang dan menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Dan sekali ini dia
berhasil!
Memang dalam hal tenaga sinkang dia masih kalah setingkat oleh Kian Bu, akan tetapi pemuda Pulau Es
ini tidak tahu bahwa ketika tenaga saktinya membalik, tenaga itu sudah mengandung racun dari Pek-hiathoat-
lek! Kalau tadi hawa beracun itu terbakar oleh panasnya Hwi-yang Sin-kang, kini hawa beracun itu
malah menjadi kuat terbawa oleh Swat-im Sin-kang yang kembali dan otomatis tertarik ke dalam tubuh dan
melukai dadanya! Hek-hwa Lo-kwi maklum bahwa pukulannya yang beracun itu telah melukai lawan, maka
sambil tertawa dia lalu menubruk maju dengan pukulan-pukulan itu yang dilakukan dengan bertubi-tubi.
Memang hebat sekali ilmu mukjijat ini. Angin berpusing-pusing dan sinar putih nampak bergulung-gulung
mengejar Kian Bu. Akan tetapi pemuda itu pun sudah menjadi marah. Cepat tubuhnya berkelebatan dan
dia sudah menggunakan Ilmu Sin-ho-coan-in yang membuat tubuhnya menyambar-nyambar bagai kilat
saja, mencelat ke sana sini sampai tidak dapat diikuti oleh pandang mata saking cepatnya. Hek-hwa Lo-kwi
terkejut dan menjadi bingung, namun dia terus mengejar.
Kian Bu tidak banyak mengerahkan lweekang untuk melakukan pukulan mautnya, yaitu penggabungan
Yang-kang dan Im-kang itu, karena dadanya telah terluka dan terkena hawa beracun. Kalau dia
mengerahkan lweekang terlalu kuat, maka tentu racun itu akan menjalar dan lukanya akan menjadi parah.
Maka kini dia mengandalkan kecepatannya dan berusaha untuk menotok lawan. Namun, dia harus berlaku
hati-hati dan gerakannya menjadi kurang gesit karenanya, tidak seperti biasa, sungguh pun kecepatan itu
masih membuat Hek-hwa Lo-kwi menjadi bingung.
“Dia sudah terluka! Lo-mo, hayo cepat kau bantu aku. Sialan kau!” Hek-hwa Lo-kwi berteriak-teriak.
Hek-tiauw Lo-mo tentu saja telah melihat hal itu. Diam-diam dia juga merasa girang dan kagum terhadap
kelihaian ilmu pukulan kawan yang tidak disukainya itu. Maka dia lalu menubruk Hwee Li yang sejak tadi
hanya dikejar-kejar dan didesaknya itu. Hwee Li tak dapat mengelak, lalu menyambut dengan tendangan
dan pukulan.
“Dukkkk!”
Tendangan kakinya mengenai perut bekas ayahnya, tetapi tendangan itu membalik dan kakinya terasa
nyeri. Cepat dia meloncat ke belakang, kedua tangannya diayun ke depan dan sinar-sinar hitam
menyambar ke arah muka dan dada Hek-tiauw Lo-mo. Itulah ‘senjata’ tanah dan pasir yang telah berubah
menjadi senjata beracun itu. Dia memang menanti saat baik dan kinilah saatnya. Bukan hanya karena dia
telah terdesak, akan tetapi juga melihat Hek-tiauw Lo-mo menubruknya sambil tertawa dan kelihatan
lengah.
Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian yang amat tinggi
tingkatnya. Diserang secara mendadak seperti itu, dia tidak menjadi gugup, bahkan suara ketawanya tidak
berhenti, dia hanya menggerakkan kedua lengan yang tadinya hendak menubruk itu, kini digerakkan cepat
sehingga ujung kedua lengan bajunya yang lebar itu bergerak seperti bendera berkibar dari mana
menyambar angin yang keras dan senjata rahasia hitam yang lembut terdiri dari tanah dan pasir itu tentu
saja menjadi buyar dan tertiup ke kanan kiri.
Sebelum Hwee Li dapat mengelak, lututnya telah kena ditendang sehingga dia jatuh terpelanting. Sebuah
totokan kilat menyusul dan gadis itu tidak mampu bergerak lagi, hanya memaki-maki kalang-kabut, “Iblis
tua bangka keparat! Anjing babi monyet tua mau mampus!”
Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo hanya tertawa dan kini tiba-tiba dia menubruk ke samping, menyerang Kian
Bu sambil mencabut keluar dua senjatanya yang hebat, yaitu golok gergaji di tangan kanan dan jala hitam
itu dikepalnya di tangan kiri. Goloknya berkelebat menyambar ke arah leher pemuda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Namun, tubuh Kian Bu berkelebat lenyap dan biar pun kini dia dikeroyok oleh dua orang kakek yang amat
lihai itu, namun mereka berdua tidak pernah dapat memukul atau membacoknya. Tubuhnya berkelebatan
terlalu cepat, dan tempat itu luas sekali hingga leluasalah bagi Kian Bu untuk memainkan ilmunya yang
berdasarkan ginkang sempurna itu. Akan tetapi setelah kini dikeroyok dua, tipislah harapannya untuk dapat
merobohkan dua orang lawannya. Dia sama sekali tidak berani mengerahkan sinkang terlalu kuat, padahal
kalau hanya mengandalkan ilmu silat biasa saja, sukarlah merobohkan dua orang raksasa ini.
Dan rasa gatal dan sesak di dadanya makin menghebat, apa lagi melihat betapa Hwee Li telah roboh
tertotok, hatinya menjadi agak gelisah dan hal ini makin mengacaukan gerakannya! Hampir saja dia kena
disabet golok Hek-tiauw Lo-mo ketika dia melirik Hwee Li, maka dia cepat melempar diri ke belakang dan
kini dia tidak mau membagi perhatiannya.
Sebetulnya, kalau dia mau pergi dan melarikan diri, dengan mengandalkan ilmu Sin-ho Coan-in, dengan
mudah dia dapat meninggalkan dua orang kakek itu dan mereka tidak mungkin dapat mengejar larinya,
biar mereka itu menunggang garuda sekali pun. Akan tetapi, dia tidak bisa meninggalkan Hwee Li. Maka
kini Kian Bu mencari kesempatan untuk dapat menolong Hwee Li dan membawanya pergi dari situ
secepatnya.
Akan tetapi, dua orang kakek itu adalah tokoh-tokoh terkemuka yang selain lihai ilmu mereka, juga amat
cerdik. “Ha-ha-ha, Lo-mo, dia sudah terluka, jangan sampai dia melarikan anakmu yang puthauw (tidak
berbakti) itu!” kata Hek-hwa Lo-kwi dan setelah berkata demikian, dia menyerang lagi dengan pukulan
beracunnya.
Untuk ke sekian kalinya, Kian Bu tak berani menangkis dan hanya mengelak. Hek-hwa Lo-kwi lalu
mengeluarkan sebotol benda cair berwarna kuning dan menuangkan benda cair itu di sekeliling tubuh
Hwee li yang rebah. Nampak asap mengepul dan tanah yang terkena benda cair itu mendidih!
Melihat ini, agaknya Hek-tiauw Lomo tidak mau kalah. Dia mengeluarkan segenggam paku berwarna hijau
dari saku jubahnya yang lebar, lalu sekali tangannya bergerak, paku-paku itu menancap di sekeliling
tempat Hwee Li rebah dan anehnya, paku-paku itu menancap berdiri dengan ujungnya yang runcing di atas
sehingga siapa pun yang akan menolong Hwee Li harus melalui asap beracun dan juga paku-paku
beracun itu.
Kian Bu menjadi makin khawatir. Kalau tidak dihalangi oleh dua orang ini, tentu saja dia tidak merasa berat
untuk mengeluarkan Hwee Li dari kurungan asap dan paku itu. Merobohkan mereka sementara ini tidak
mungkin karena dia tidak dapat mengerahkan lweekang-nya yang terlalu kuat. Melarikan diri tanpa
membawa Hwee Li juga dia tidak mau melakukannya, maka dia menjadi serba salah!
Tiba-tiba terdengar suara parau, “Benarkah katamu bahwa dia itu Siluman Kecil?”
Pertanyaan parau ini dijawab oleh suara merdu seorang gadis, “Mana bisa keliru, Suhu? Teecu
mengenalnya dengan baik.”
Kian Bu yang sedang berloncatan ke sana-sini menghindarkan terjangan dua orang itu, cepat melirik. Dia
melihat seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, bermuka hitam dan berpakaian sederhana
berwarna hitam pula, telah berdiri di situ bersama seorang gadis cantik yang pakaiannya serba merah
muda, di punggungnya membawa sebatang pedang yang dihias ronce merah tua. Dia segera mengenal
gadis itu yang bukan lain adalah Ang-siocia, gadis maling yang pernah mencuri pusaka-pusaka dari rumah
Sin-siauw Sengjin itu!
Tentu saja Kian Bu sama sekali tidak pernah mimpi bahwa gadis ini, yang dikenalnya sebagai Ang-siocia,
sebetulnya bukan lain adalah Kang Swi yang pernah menemaninya dalam perjalanan menuju ke Ho-nan, si
kongcu royal itu, dan juga gadis inilah nenek penjual sepatu yang telah mencuri uangnya sekantung!
“Hemmm, aneh...!” berkata kakek bermuka hitam itu yang bukan lain adalah Hek-sin Touw-ong si Raja
Maling Sakti Hitam, guru dari Ang-siocia yang bernama Kang Swi Hwa itu. “Gerakannya demikian hebat
dan lincah, dua orang iblis tua ini sama sekali tak akan mampu memukulnya roboh. Hebat bukan main,
tetapi mengapa dia tidak balas menyerang?” Setelah menonton pertempuran itu, Hek-sin Touw-ong
berkata dengan heran.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia melihat gerakan pemuda berambut putih itu memang luar biasa sekali. Dia sendiri yang di juluki Raja
Maling dan memiliki ginkang yang cukup tinggi, telah menjadi silau menyaksikan gerakan yang secepat itu.
Akan tetapi mengapa pemuda itu tidak balas menyerang, padahal kalau pemuda itu menggunakan
lweekang dan balas menyerang, mengandalkan kecepatan gerakannya, dua orang kakek itu mana mampu
mengelak atau menangkis? Tentu saja dia tidak tahu bahwa Kian Bu telah menderita luka dan keracunan
di dadanya, juga dia tidak menyangka bahwa kecepatan Kian Bu itu belum sepenuhnya, baru sekitar tiga
perempat bagian saja karena gerakannya sudah menjadi berkurang kecepatannya karena lukanya.
“Suhu, tentu ada sebabnya dia tidak dapat membalas. Dan lihat gadis itu... ahhh, dia agaknya terluka, tidak
mampu bergerak... dan dia dikurung asap aneh dan paku-paku hijau.” Kang Swi Hwa mendekati Hwee Li.
“Awas, Hwa-ji, jangan kau menyentuh paku atau terlalu dekat dengan asap itu!” gurunya memperingatkan
karena dia merasa curiga.
Hwee Li juga melihat munculnya dua orang ini. Dia tidak mengenal mereka, tetapi dari sikap mereka, dia
dapat menduga bahwa mereka, terutama kakek itu, tentu memiliki kepandaian. Dan melihat sikap mereka,
agaknya mereka itu bukan orang-orang jahat dan bukan pula sekutu dua orang iblis tua itu.
“Heiii, kalian ini apakah orang-orang pengecut, ataukah orang-orang jahat yang menjadi kaki tangan dua
orang kakek iblis jahanam ini?” tanya Hwee Li dengan suara lantang.
Kakek itu mengerutkan alis dan Swi Hwa yang juga berwatak galak lalu mendamprat, “Kau ini bocah
bermulut lancang dan rusak! Rasakan saja sekarang, memang sudah pantas sekali kalau kau mengalami
nasib seperti itu. Huh! Mengatakan orang pengecut dan jahat! Manusia seperti engkau ini yang agaknya
jahat dan pengecut!”
“Swi Hwa, jangan sembrono dan jangan melayani orang!” gurunya memperingatkan, karena dia masih
kagum sekali terhadap gerakan orang muda yang telah lama dia kenal namanya sebagai Siluman Kecil itu.
“Kalau kalian bukan pengecut dan bukan orang jahat, mengapa tidak lekas membantu dia yang dikeroyok
oleh dua orang iblis tua bangka itu? Mereka hendak memperkosa aku dan dia itu telah membelaku, kalau
kalian diam saja berarti kalian membantu dua iblis jahat itu!” Hwee Li berkata lagi.
“Hemmm, kau bocah bermulut jahat ini memang sepatutnya mengalami nasib seperti itu! Aku malah ingin
menontonnya!” Kang Swi Hwa balas membentak.
“Wah, kau perempuan cabul...!” Hwee Li memaki dan kehabisan akal. Lalu dia berkata kepada Hek-sin
Touw-ong, “Orang tua yang baik, aku melihat engkau bukan orang lemah, apakah kau tidak berani
menghadapi Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi itu?”
“Apa? Mereka itu adalah...“
“Benar, Suhu. Kakek yang mukanya seperti tengkorak itu adalah ketua Kui-liong-pang di lembah. Dialah
Hek-hwa Lo-kwi yang kini menjadi kaki tangan Pangeran Nepal itu. Dan gadis berpakaian hitam galak itu
bukan lain adalah puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka, maka jangan dipercaya omongannya.
Mana mungkin Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi ayahnya sendiri itu hendak memperkosanya?” kata Kang
Swi Hwa.
Seperti kita ketahui, ketika diadakan pertemuan para tokoh kang-ouw, Swi Hwa atau Ang-siocia ini juga
hadir mewakili gurunya yang tidak berkenan hadir. Dan di dalam pertemuan di lembah itu, dia juga bertemu
dengan Hwee Li yang mewakili ayahnya yang juga tidak dapat hadir.
“Aihhh, kiranya engkau ini si maling betina itu? Wah, celaka, kiranya kalian ini maling maling besar dan
kecil, tentu saja cocok sekali dengan iblis-iblis itu! Mampuslah kalian dimakan api neraka!” Hwee Li
memaki-maki dan putus harapan. Baru sekarang dia mengenal Ang-siocia. Kalau gadis itu datang bersama
gurunya yang dikenalnya sebagai maling tua atau raja maling itu, dan yang dulu datang menghadiri
pertemuan di lembah, tentu mereka ini juga menjadi anak buah dari pangeran pula!
Akan tetapi, Hek-sin Touw-ong sudah mencegah muridnya membuka mulut lagi. Dia merasa amat heran.
Memang aneh yang dia hadapi ini. Muridnya tidak mungkin bisa keliru. Gadis itu jelas ditotok orang.
Sepantasnya, jika gadis itu benar-benar puteri dari Hek-tiauw Lo-mo yang mainkan golok gergaji secara
dunia-kangouw.blogspot.com
lihai itu, tidak mungkin gadis itu dirobohkan oleh ayahnya sendiri, apa lagi hendak diperkosa seperti yang
diceritakan oleh gadis baju hitam itu.
Jadi, tentu pemuda berambut putih itulah yang telah menotoknya. Dan kalau pemuda rambut putih itu yang
menotok dan hendak memperkosanya, barulah benar dan masuk di akal. Akan tetapi, dia mengenal nama
Siluman Kecil sebagai seorang pendekar besar yang amat terkenal, masa sekarang ternyata hanyalah
seorang jai-hwa-cat (penjahat pemerkosa wanita) yang rendah saja?
“Ha, apakah Lote ini adalah Hek-sin Touw-ong?” Tiba-tiba Hek-hwa Lo-kwi yang merasa penasaran sebab
dia dan Hek-tiauw Lo-mo sampai kini belum juga mampu merobohkan Kian Bu, berkata.
“Kebetulan sekali, marilah bantu kami menangkap Siluman Kecil ini yang sudah berani melarikan tunangan
Pangeran Liong Bian Cu. Mari bantu kami merobohkan dia dan membawa kembali tunangan pangeran itu
ke lembah!”
“Tunangan pangeran...?” Kang Swi Hwa berkata lirih penuh keheranan, kemudian dia menganggukangguk.
“Ahhh, kiranya dia ini telah diangkat menjadi tunangan pangeran. Cocok sekali!”
“Cocok hidungmu!” Hwee Li membentak dan matanya melotot. “Boleh kau gantikan saja kalau kau sudah
ingin sekali menjadi kekasihnya. Kalau aku sih tidak sudi!”
Kang Swi Hwa tidak menjawab. Seperti juga gurunya, dia bingung menghadapi keadaan yang serba
runyam dan bertentangan itu. Gadis itu adalah tunangan pangeran, puteri Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi
kini tertawan dan tertotok, dan gadis itu malah membantu Siluman Kecil agaknya.
Melihat betapa guru dan murid itu bengong saja, memandang kepadanya dan kepada pertempuran itu
seperti orang-orang tolol, Hwee Li menjadi mendongkol sekali. Melihat betapa kakek bermuka hitam itu
tidak segera melayani ajakan Hek-hwa Lo-kwi, timbul harapannya dan dia lalu berkata nyaring, “Hek-sin
Touw-ong, biar pun julukanmu Raja Maling, kulihat engkau tidak sejahat muridmu itu. Ketahuilah bahwa
aku dipaksa dan ditawan di lembah oleh pangeran brengsek dari Nepal itu yang dibantu oleh anjing anjing
tua termasuk Hek-tiauw Lo-mo ayah palsu dan bukan ayahku itu. Aku dapat diloloskan oleh Siluman Kecil,
akan tetapi dikejar dan... entah mengapa, dia agaknya belum juga mampu merobohkan dua ekor anjing tua
bangka itu. Maka, kalau engkau masih mengaku sebagai orang tua yang gagah, yang pantas kusebut
locianpwe, harap kau suka membantunya. Lekaslah, Locianpwe!”
“Ha-ha, kita adalah orang segolongan, kalau membantu Pangeran Nepal tentu kelak kita akan memperoleh
kedudukan besar. Mari bantu kami menangkap Siluman Kecil yang sombong ini, Hek-sin Toauw-ong!” kata
pula Hek-hwa Lo-kwi.
“Swi Hwa, kau bebaskan totokannya, akan tetapi hati-hati, jangan menginjak paku dan jangan menyedot
asap itu!” tiba-tiba Hek-sin Touw-ong berkata dan dia lalu meloncat ke dalam gelanggang pertempuran,
tangan kirinya mengirim serangan dengan tangan dimiringkan seperti pedang dan menyambar ke arah
Hek-hwa Lo-kwi.
Si muka tengkorak ini terkejut dan marah sekali melihat si Raja Maling itu ternyata malah membantu
Siluman Kecil. Dia cepat menggerakkan tangan untuk menangkis dan mengelak.
“Srattttt!” Dan ujung lengan bajunya putus seperti terbabat pedang yang amat tajam!
“Ahhhh...!” Hek-hwa Lo-kwi terkejut bukan main.
Kiranya maling tua ini memiliki ilmu pukulan yang demikian hebatnya. Teringatlah dia akan kepandaian
murid raja maling ini, yang pernah mendemonstrasikan Ilmu Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan
Golok). Jika murid perempuan itu memperlihatkan ilmu itu menggunakan pedang, sekarang si raja maling
ini menggunakan tangan seperti pedang! Dia lalu balas menyerang dan karena Hek-sin Touw-ong juga
maklum akan kelihaian ketua Kui-liong-pang ini, maka dia pun cepat mengelak dan balas menyerang.
Segera terjadi pertempuran hebat, saling menyerang di antara dua orang kakek ini. Masuknya Hek-sin
Touw-ong ke dalam pertempuran ini benar-benar amat menolong Kian Bu. Tentu saja dia tidak akan dapat
dirobohkan oleh dua orang lawannya, akan tetapi dia pun sama sekali tidak mungkin dapat merobohkan
mereka berdua tanpa mengerahkan sinkang. Kini, setelah Hek-hwa Lo-kwi meninggalkannya dan dia
dunia-kangouw.blogspot.com
hanya menghadapi Hek-tiauw Lo-mo seorang, Kian Bu mempercepat gerakannya sehingga Hek-tiauw Lomo
menjadi bingung.
Dia seperti seekor biruang besar yang menghadapi seekor lebah, dia menyerang ke sekelilingnya dan
lebah itu beterbangan mengelilinginya. Beberapa kali jala hltamnya menyambar di antara sinar goloknya
yang bergulung-gulung, namun tak pernah berhasil karena gerakan Kian Bu terlalu cepat. Tiba-tiba Kian Bu
yang mendapat kesempatan meloncat ke belakang tubuh kakek itu, mengulurkan tangan kemudian
menotok tengkuk Hek-tiauw Lo-mo.
“Dukkkk...!”
Tubuh Hek-tiauw Lomo terguling, akan tetapi karena Kian Bu tidak berani mengerahkan terlalu banyak
tenaga dalam totokannya tadi, kakek raksasa itu tidak lumpuh sama sekali, hanya sebagian saja dan dia
masih berusaha memulihkan jalan darahnya. Kian Bu cepat menyusulkan sekali totokan lagi sehingga
robohlah kakek itu dalam keadaan setengah lumpuh dan tidak mampu bergerak lagi!
Sementara itu, Kang Swi Hwa sudah mendekati tempat Hwee Li rebah. Nona ini boleh jadi lihai dalam ilmu
silat, terutama sekali dalam ilmu mencopet dan ilmu penyamaran, tetapi tentang racun, pengertiannya baru
kelas nol. Maka dia menghampiri lingkaran asap dan barisan paku hijau itu dengan ragu-ragu. Jangan
menginjak paku dan jangan menyedot asap itu, pesan gurunya. Dengan hati-hati sekali Swi Hwa
menghampiri lingkaran itu. Melihat bahwa lingkaran asap dan paku-paku itu hanya memisahkan tempat
dara pakaian hitam itu rebah dengan tempat dia berdiri sejauh kurang lebih tiga meter saja, maka dia lalu
menggunakan ginkang-nya dan melompat melewati lingkaran asap dan paku yang berjajar.
Hwee Li melihat itu semua dan tersenyum. Mampuslah, pikirnya! Akan tetapi dia diam saja. Dara ini
semenjak kecil dirawat dan dididik oleh seorang manusia ganas dan kejam macam Hek-tiauw Lo-mo, maka
tentu saja dia pun mempunyai watak yang ganas dan tidak mengenal kasihan, sungguh pun sering pula
timbul sifat-sifat baiknya yang banyak tertutup oleh pendidikan Hek-tiauw Lo-mo.
Apa lagi setelah dia ikut bersama gurunya yang baru, yaitu Ceng Ceng, sering kali dia menerima teguranteguran
dan petunjuk-petunjuk, juga dia melihat sifat-sifat dan watak watak Ceng Ceng bersama suaminya
sebagai pendekar-pendekar besar yang gagah perkasa, maka banyak kegagahan yang menular pula
kepadanya. Akan tetapi kadang kadang timbul keganasannya yang dia bawa dari Pulau Neraka, apa lagi
kalau dia sedang marah. Dan saat itu dia memang sedang marah. Dia ditotok orang, tak mampu bergerak,
lalu muncul gadis baju merah yang menggemaskan hatinya.
Swi Hwa berhasil meloncat ke dekat Hwee Li. Dia mencium sesuatu yang aneh dan kepalanya merasa
agak pening, akan tetapi dia tidak tahu sebabnya. “Bocah galak, akhirnya toh engkau membutuhkan
pertolonganku...,“ kata Swi Hwa akan tetapi begitu dia bicara, rasa pening di kepalanya bertambah.
Hwee Li menjebikan bibirnya yang merah. “Huh, siapa membutuhkan pertolonganmu? Kau lihat saja,
bukan aku yang membutuhkan pertolonganmu, melainkan engkaulah yang akan mampus kalau tidak ada
aku yang menolongmu!”
Tentu saja Swi Hwa menjadi marah. Ingin dia menampar muka yang cantik itu. Akan tetapi gurunya telah
memerintahkan dia untuk membebaskan totokan yang membuat gadis baju hitam ini tidak dapat bergerak.
Dia tidak berani membangkang terhadap perintah gurunya. Pula, dia kini tahu bahwa gadis ini ternyata
bukanlah anak Hek-tiauw Lo-mo, bukan sekutu si pangeran bahkan dipaksa untuk menjadi isteri pangeran
itu. Malah gadis ini ditolong oleh Siluman Kecil! Hal ini sedikit banyak membuat dia mengiri juga.
“Huh, manusia macam engkau ini mana pantas ditolong orang?” dia bersungut-sungut akan tetapi kembali
kepalanya seperti dihantam orang rasanya kalau dia bicara. Maka dia tidak mau bicara lagi dan cepat dia
menggerakkan tangan hendak membebaskan totokan yang melumpuhkan Hwee Li.
“Nanti dulu!” kata Hwee Li. “Totokan ini dilakukan oleh Hek-tiauw Lo-mo, orang macam engkau mana
mampu membuyarkannya? Hayo kau totok jalan darah in-thai-hiat. Yang keras, karena ilmu totok iblis tua
itu adalah Su-sat-jiu, tidak mudah dibuyarkan!”
Sikap dan kata-kata Hwee Li benar-benar membuat Swi Hwa menjadi dongkol bukan main. Bocah ini
benar-benar sombong, pikirnya. Akan tetapi karena ia tentu akan makin diejek dan makin dipermainkan
kalau dia gagal membuyarkan totokannya, maka dia lalu menotok dengan pengerahan lweekang-nya ke
arah jalan darah in-thai-hiat di punggung Hwee Li.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dukkk...!”
Totokan itu keras sekali, membuat punggung Hwee Li terasa sakit akan tetapi segera dapat bergerak lagi.
Akan tetapi sebaliknya, Swi Hwa mengeluh dan roboh terguling dalam keadaan pingsan!
Hwee Li bangkit berdiri, mengurut-urut lengan dan kakinya yang terasa kaku sambil memandang kepada
Swi Hwa dengan senyum mengejek.
Tiba-tiba terdengar seruan Hek-sin Touw-ong, “Hei, apa yang terjadi dengan Swi Hwa?” Dia hendak
melompati lingkaran asap itu, akan tetapi Hwee Li cepat mencegahnya dengan teriakan, “Touw-ong,
jangan meloncat ke sini! Dia juga keracunan setelah meloncat ke sini, biar aku membawanya ke luar!”
Kiranya Hek-hwa Lo-kwi juga sudah dapat dirobohkan dengan totokan. Ketika Kian Bu tadi berhasil
merobohkan Hek-tiauw Lo-mo, dia melihat betapa pertempuran antara Hek-hwa Lo-kwi dan Raja Maling itu
masih berlangsung dengan amat hebatnya. Si Raja Maling itu memang lihai sekali. Ilmu Kiam-to Sin-ciang
membuat kedua tangannya seperti golok dan pedang, bahkan hawa pukulannya saja telah berubah
menjadi seperti sinar pedang yang mampu merobohkan lawan tangguh.
Sebaliknya, Hek-hwa Lo-kwi juga mengeluarkan ilmu barunya yang mukjijat itu, yaitu Pek-hiat-hoat-lek
yang telah berhasil membuat Kian Bu terluka dan keracunan. Kian Bu mengkhawatirkan keselamatan si
Raja Maling, mengingat akan jahatnya Ilmu Pukulan Darah Putih itu, maka dia cepat meloncat dan
mempergunakan kecepatannya untuk menotok jalan darah di tengkuk Hek-hwa Lo-kwi. Kakek itu
mengeluh dan terpelanting, dan saat itu dipergunakan oleh Hek-sin Touw-ong untuk menyusulkan
totokannya sendiri yang dilakukan dengan kekuatan penuh sehingga Hek-hwa Lo-kwi roboh dan pingsan.
Mendengar ucapan Hwee Li, Hek-sin Touw-ong terkejut dan ragu-ragu.
“Harap turut saja kata-katanya, Locianpwe, dia memang ahli dalam hal racun,” kata Kian Bu dan dia sendiri
pun cepat duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya untuk mengumpulkan hawa murni dan
melawan hawa beracun yang melukai dadanya.
Hwee Li mengempit tubuh Swi Hwa, menggunakan sapu tangan untuk menutupi mulut dan hidung gadis
baju merah itu dengan mengikatkan sapu tangan di depan muka gadis itu, kemudian dia melompat keluar
melalui atas lingkaran asap yang mulai mengecil dan padam itu. Akan tetapi, begitu dia melihat Kian Bu
duduk bersila sambil memejamkan kedua matanya, Hwee Li terkejut sekali dan dia melepaskan tubuh Swi
Hwa yang masih pingsan itu ke atas tanah, kemudian tergopoh-gopoh dia menghampiri Kian Bu tanpa
mempedulikan lagi kepada Swi Hwa. Tentu saja Hek-sin Touw-ong menjadi bingung dan sibuk memeriksa
dan mencoba membuat sadar muridnya yang pingsan itu.
“Kian Bu, kau... kau kenapa? Apakah kau terluka?” Hwee Li berlutut di dekat Kian Bu dan bertanya dengan
penuh kekhawatiran.
Kian Bu membuka matanya, tersenyum. “Hek-hwa Lo-kwi mempunyai pukulan aneh, tanpa kuketahui lebih
dahulu terkena hawa beracun dari pukulannya..., tetapi perlahan lahan dapat kuusir dengan sinkang...“
“Ahhh? Kau terkena Pek-hiat-hoat-lek! Aku tahu macam apa pukulan iblisnya itu! Dan kau bilang perlahanlahan?
Aku mempunyai obat penawar segala racun, buatan Subo yang amat ces-pleng (manjur) sekali!”
Gadis itu segera mengeluarkan buntalan besar dari dalam saku bajunya dan membuka buntalan itu,
memilih-milih obat. Kemudian dia mengeluarkan sebungkus obat pulung berbentuk bundar-bundar kecil
seperti tahi kambing dan memberikan dua butir kepada Kian Bu.
“Kau telan ini dan tentu hawa itu akan mudah terusir!” katanya.
Kian Bu maklum akan kelihaian dara ini tentang segala jenis racun, maka dia percaya, menerima dua butir
obat pulung seperti tahi kambing itu dan menelannya sekaligus. Rasanya agak pahit, akan tetapi
mengandung manis dan baunya tidak seperti tahi kambing, melainkan agak harum. Begitu dua butir obat
pulung itu memasuki perutnya, terdengar perutnya berkeruyuk dan ada hawa panas berkumpul di situ. Kian
Bu kaget dan girang sekali. Tak disangkanya obat tahi kambing itu benar-benar hebat sekali, maka dia lalu
menggunakan sinkang-nya, perlahan-lahan mendorong hawa panas itu ke arah dadanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Benar saja, hawa panas yang terdorong sinkang-nya itu seolah-olah seperti api yang membakar hawa
beracun yang menyesakkan dadanya. Hawa beracun itu menjadi asap dan membubung naik melalui
hidung dan mulutnya dan dia mencium bau yang amis bercampur bau harum obat tadi. Kian Bu adalah
seorang pendekar muda yang sakti, memiliki sinkang yang amat hebat. Andai kata dia tidak diberi obat
sekali pun dengan sinkang-nya dia tentu akan mampu mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi hal itu akan
memakan waktu agak lama karena dia harus berhati-hati mengerahkan sinkang-nya. Kini, obat yang
manjur itu membuat dia dalam waktu singkat dapat mengusir hawa beracun dari pukulan Pek-hiat-hoat-lek.
“Taihiap..., Lihiap..., harap Ji-wi (Anda berdua) sudi menolong muridku ini!” mendadak Hek-sin Touw-ong
berkata sambil mendekati Kian Bu dan Hwee Li setelah dia melihat pemuda itu kini membuka mata dan
tersenyum, mukanya juga tidak sepucat tadi tanda bahwa pemuda itu telah sehat kembali.
Hek-sin Touw-ong adalah seorang tokoh kang-ouw yang pandai, akan tetapi tentang urusan racun dia pun
tidak banyak tahu, maka melihat keadaan muridnya dia merasa khawatir bukan main. Telah dicobanya
dengan segala kekuatannya untuk menyadarkan muridnya, akan tetapi usahanya sia-sia belaka dan wajah
Swi Hwa kini malah menjadi kebiruan, maka dia menjadi gelisah dan tanpa sungkan-sungkan dia lalu minta
tolong kepada Siluman Kecil dan puteri Hek-tiauw Lo-mo itu.
Hwee Li yang melihat Kian Bu telah sembuh, lalu bangkit berdiri dan menghampiri Swi Hwa.
“Touw-ong, muridmu ini mulutnya jahat sekali, maka sudah sepantasnya dia menerima hajaran ini,
Kuharap saja lain kali engkau suka menjaga agar mulutnya jangan suka menghina orang!”
“Enci Hwee Li, jangan kurang ajar, harap lekas kau sembuhkan dia!” Kian Bu berkata dengan alis berkerut.
“Hemmm, baru saja kusembuhkan kau sudah lupa lagi, ya? Engkau ini adik macam apa berani bicara
kasar kepada enci-nya!”
Dalam keadaan biasa, tentu Hek-sin Touw-ong akan merasa heran sekali mendengar ucapan mereka
berdua itu, akan tetapi karena dia amat khawatir melihat muridnya, dia tidak mempedulikan hal lain dan
cepat berkata kepada Hwee Li, “Nona yang baik, harap Nona sudi menolong muridku dan aku Hek-sin
Touw-ong tidak akan pernah melupakan kebaikanmu ini.”
Wajah Hwee Li berseri-seri dan mulutnya yang manis itu tersenyum, matanya bersinar sinar penuh
kebanggaan. Biar pun hanya seorang maling, namun kakek ini adalah Raja Maling! Seorang tokoh kangouw
yang amat terkenal, namanya menjulang tinggi di seluruh perbatasan Ho-nan dan Ho-pei, juga di
seluruh pantai Po-hai. Dan kini raja ini, biar pun raja maling, telah minta tolong kepadanya dengan ucapan
yang demikian halus dan menghormat! Tentu saja dia bangga sekali!
“Aku akan mengobatinya dan pasti cepat sembuh. Aku mengenal racun-racun itu. Racun yang membakar
tanah itu adalah racun yang amat berbahaya, cairan itu kalau mengenai kulit akan membuat kulit, daging
dan tulang hancur sama sekali, kecuali rambut saja yang cairan itu tidak mampu menghancurkan. Dan
baunya juga berbahaya, karena asap racun itu dapat memabukkan orang. Iblis tua muka tengkorak itu
memang paling suka memakai racun cuka busuk seperti itu! Dan tentang paku yang digunakan oleh ayah...
ehh, oleh tua bangka Pulau Neraka itu hanyalah mainan kanak-kanak saja bagiku. Kau lihat!”
Dia kemudian menghampiri paku-paku itu setelah asap beracun itu kini padam, dan menggunakan kedua
tangannya, sembarangan saja dia mencabuti paku-paku itu dan melempar-lemparkannya ke samping.
Paku-paku itu mengeluarkan bunyi bercuitan, menancap pada batang dua pohon yang berdekatan. Dan
seketika, pohon-pohon itu menjadi layu, daun-daunnya melayu dan rontok, menjadi gundul dan mati dalam
waktu sebentar saja!
Wajah Hek-sin Touw-ong menjadi pucat. “Bukan main! Ahh, Nona yang baik, tolonglah muridku ini...“
“Tapi dia tadi bicara kasar kepadaku...,“ Hwee Li berlagak jual mahal!
“Hwee... eh, Enci Hwee Li! Cepat kau obati dia!” Kian Bu berkata dengan suara keras.
Hwee Li mengerling kepadanya. “Hmmm, agaknya engkau sudah jatuh tergila-gila pada seorang gadis
berpakaian merah muda, ya? Aihhh, siapa tahu Siluman Kecil kiranya paling suka pada pakaian merah,
hemmm...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Enci Hwee Li, jangan main-main begitu! Orang sedang terancam bahaya maut, kenapa kau main-main
seperti itu? Ingat, kedatangan mereka berdua ini telah menyelamatkan kita. Engkau tidak membalas budi
malah menggoda orang!”
Hwee Li bersungut-sungut ditegur oleh Kian Bu, dan makin segan saja untuk turun tangan mengobati Swi
Hwa. Melihat ini, Hek-sin Touw-ong yang sudah berpengalaman itu segera dapat mengenal watak si gadis
yang aneh, ganas dan manja ini, maka dia lalu berkata, “Nona, aku berjanji akan menegur muridku dan
selanjutnya dia tidak akan berani lagi bersikap kasar terhadapmu.” Kakek itu lalu menjura kepada si gadis
galak dan berkata, “Kalau muridku telah berlaku salah, biarlah aku sebagai gurunya mintakan maaf
kepadamu!”
Hwee Li memang seorang dara yang aneh. Dia memang dahulunya selalu dimanja oleh Hek-tiauw Lo-mo,
akan tetapi pada dasarnya dia mempunyai watak yang baik dan ramah. Kini, melihat kakek itu begitu
menghormat kepadanya, dia cepat-cepat menjura dan berkata dengan muka merah sekali, “Aihhh, Touwong...
jangan begitu. Sebetulnya aku pun telah bersikap kasar, kau maafkanlah aku yang muda. Biar
kuobati muridmu sekarang juga.”
Dia lalu berlari menghampiri Swi-Hwa yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan itu. Diambilnya
obat bubuk dari bungkusannya, lalu diambilnya pula sebotol obat cair seperti arak. Dengan tutup guci arak
yang berbentuk cangkir itu, dia kemudian menuangkan arak obat ke dalamnya, mencampurnya dengan
obat bubuk itu. Nampak cairan seperti arak itu mengeluarkan suara mendesis dan asap mengepul dari
dalam cangkir tutup guci.
Kemudian, Hwee Li membuka sebuah bungkusan lain dan menaburkan sedikit bubuk merah ke dalam
hidung Swi Hwa, Semua gerakannya ini diikuti penuh perhatian oleh Hek-sin Touw-ong dan Kian Bu. Diamdiam
pemuda berambut putih itu merasa kagum dan juga geli menyaksikan sikap Hwee-li yang benarbenar
menjadi seorang tukang obat atau seorang yang hendak bermain sulap sebelum menjual obatnya!
Jari-jari tangannya begitu cekatan dan sikapnya begitu pasti.
“Haaa... cinggggg...!” Tiba-tiba Swi Hwa berbangkis dan dia menjadi setengah sadar.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Hwee Li untuk mengangkat kepala gadis itu dan mencekokkan obat dari
cangkirnya. Terdengar suara clegak-cleguk karena Swi Hwa terpaksa menelan obat itu, kemudian Hwee Li
merebahkan kembali kepala gadis itu dan bangkit berdiri, membereskan bungkusan obatnya dan menoleh
pada Hek-sin Touw-ong sambil tersenyum.
“Kini dia sudah sembuh, sudah terbebas dari cengkeraman maut racun itu,” katanya seenaknya, lalu
menoleh dan memandang kepada dua orang kakek yang masih rebah tak mampu bergerak karena tertotok
jalan darah mereka.
“Ehhh, akan tetapi... mengapa dia belum sadar, Nona?” Hek-sin Touw-ong bertanya dengan suara yang
nadanya masih khawatir.
Hwee Li menoleh ke arah Swi Hwa dengan sikap tak acuh, lalu berkata, “Dia belum kentut, sih!”
“Ehh, apa...?” Kakek itu bertanya sambil membelalakkan matanya, bingung dan tidak mengerti, mengira
dara berpakaian hitam itu masih marah.
“Racun itu sudah buyar, akan tetapi kalau dia belum kentut, dia tidak akan sadar. Kalau dia sudah kentut,
itu tandanya dia sembuh benar-benar dan sadar...“ Sambil berkata demikian, Hwee Li kini melangkah
menghampiri Hek-tiauw Lo-mo.
“Enci, benarkah kata-katamu itu?” tanya Kian Bu sambil mengikutinya, khawatir kalau gadis itu melakukan
hal-hal yang tak dikehendakinya. Akan tetapi baru saja Kian Bu bertanya demikian, dari sebelah
belakangnya terdengarlah suara itu.
“Puiiittttt...!”
Suara kentut yang nyaring. Nyaring dan merdu! Hampir Kian Bu tertawa. Mengapa kentut seorang dara
cantik juga cantik terdengarnya? Bisa merdu? Bukan main!
“Suhu...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
”Ah, syukurlah, kau telah sembuh, Swi Hwa. Dengar, yang menyembuhkanmu adalah Nona berbaju hitam
itu, maka jangan sekali-kali kau bersikap kasar kepadanya. Kalau tidak ada dia...“ Selanjutnya Kian Bu
tidak lagi mendengarkan kata-kata kakek Raja Maling itu kepada muridnya karena perhatiannya tertumpah
kepada Hwee Li.
Gadis ini menghampiri Hek-tiauw Lo-mo, berdiri dan memandang sebentar dengan sepasang mata
terbelalak dan berapi-api, kemudian dia mengambil golok gergaji milik bekas ayahnya itu dan tanpa berkata
apa pun dia lalu mengayun golok itu ke arah leher Hek-tiauw Lo-mo.
“Singgggg... trakkk...!”
Golok itu terpental oleh hantaman batu kecil yang dilontarkan oleh Kian Bu, sabetannya menceng dan
hanya mengenai pundak Hek-tiauw Lo-mo sehingga pundak kiri kakek itu terluka dan mengeluarkan darah.
Akan tetapi Hwee Li juga tidak mampu memegang gagang golok lebih lama lagi karena hantaman batu itu
membuat tangannya tergetar hebat dan terpaksa dia melepaskan golok dan menoleh kepada Kian Bu
dengan mata berapi karena marahnya.
“Kau... kau malah membantu dia?” bentaknya marah.
Kedua tangannya siap dengan pasangan kuda-kuda, siap untuk bersilat dan menyerang Kian Bu! Kakinya
memasang kuda-kuda dengan satu kaki kiri berdiri tegak, kaki kanan diangkat ke lutut seperti jurus Kim-ketok-
lip, dan tangan kanan dengan telapak ke atas ditarik ke depan pusat, tangan kiri terbuka miring di
depan dada. Dia telah memasang kuda-kuda jurus Jeng-pai-kwan-im (Memuja Kwan Im Dengan Tangan
Miring), berdiri menghadapi Kian Bu dengan sikap marah!
Kian Bu sejak tadi sudah merasa curiga dan menduga bahwa tentu gadis itu akan melakukan serangan
kepada Hek-tiauw Lo-mo. Kalau orang lain yang melakukan serangan dan membunuh kakek iblis itu,
agaknya dia tidak akan mencampurinya dan akan membiarkan saja. Memang kakek iblis Pulau Neraka ini
adalah seorang manusia yang berwatak iblis, sudah sepantasnya kalau dibunuh seratus kali pun!
Akan tetapi, dia teringat bahwa Hwee Li adalah seorang yang sejak kecil dirawat dan dididik oleh kakek itu,
dan betapa kakek itu amat menyayangi Hwee Li. Maka, kalau dia membiarkan gadis itu membunuh Hektiauw
Lo-mo, berarti dia membiarkan gadis itu menjadi seorang manusia bong-im-pwe-gi (manusia yang
tidak ingat budi orang lain). Padahal, dia merasa suka sekali kepada Hwee Li, bahkan diam-diam
mengharapkan agar gadis yang dia tahu mencinta kakaknya ini kelak akan menjadi jodoh kakaknya. Tentu
saja dia tidak membiarkan gadis itu menjadi seorang manusia durhaka dan dia telah menghalangi gadis itu
membunuh Hek-tiauw Lo-mo.
“Enci Hwee Li, tidak sepantasnya kalau engkau membunuh dia!” Kian Bu menegur, suaranya tegas dan
berwibawa.
Hwee Li membalikkan tubuhnya menghadap Hek-tiauw Lo-mo dengan cara mengubah kedudukan kakinya,
sikapnya menyerang, akan tetapi dia mengerling ke arah Kian Bu, lalu menggeser lagi kakinya menghadapi
pemuda itu, kembali memasang kuda-kuda, siap untuk menyerang. Semua gerakannya dilakukan dalam
gerak silat hingga nampak lucu sekali, akan tetapi wajahnya sungguh-sungguh dan matanya berapi-api.
“Kau tahu apa tentang pantas atau tidak?” Akhirnya dia berkata lantang. “Kau tahu apa tentang balasmembalas?
Hutang luka dibayar luka, hutang nyawa dibayar nyawa, hutang kebaikan dibayar kebaikan!
Dia telah membunuh ibu kandungku, maka aku harus membunuhnya! Apakah kau hendak
menghalangiku?”
Kian Bu menghela napas panjang. “Sama sekali bukan aku hendak menghalangimu membunuhnya,
melainkan menghalangimu menjadi seorang yang tidak mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi, dan
yang namanya akan dikutuk manusia di seluruh dunia selama-lamanya!”
“Eihhh...?” Saking heran dan penasaran, Hwee Li lupa akan kuda-kuda silatnya dan kini dia melangkah
biasa menghampiri Kian Bu, lalu berdiri di depan pemuda itu dengan kedua tangannya bertolak pinggang
sehingga jari-jari kedua tangannya melingkari pinggangnya dan saling bertemu karena pinggangnya kecil
ramping seperti pinggang lebah kemit (lebah hitam coklat yang pinggangnya kecil sekali).
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku hendak membunuh orang yang telah membunuh ibuku dan kau bilang aku seorang yang tidak
mengenal budi, seorang yang bong-im-pwe-gi? Kian Bu, apa artinya ucapanmu itu?” tanyanya, lebih heran
dari pada marah karena dia tidak percaya bahwa pendekar sakti ini mau mempermainkannya.
“Enci, bukankah kau tadi mengatakan bahwa hutang luka dibayar luka, hutang nyawa bayar nyawa, dan
hutang kebaikan...”
“Bayar kebaikan!” sambung Hwee Li saat melihat pemuda itu berhenti seolah-olah lupa lanjutannya.
“Nah, belasan tahun lamanya Hek-tiauw Lo-mo telah merawat dan mendidikmu dengan segala rasa kasih
sayang, bukankah itu berarti bahwa engkau sudah hutang kebaikan kepadanya? Engkau harus membayar
hutang kebaikan itu dengan kebaikan, Enci. Sebaliknya engkau hendak membunuhnya, bukankah itu
berarti bahwa Enci akan menjadi orang yang tidak ingat budi?”
Hwee Li tertegun dan melongo, bingung. Akhirnya dia berkata ragu, “Akan tetapi dia telah membunuh
ibuku...“
“Heh, siapa membunuh ibumu? Dia mati sendiri, tidak kubunuh!” terdengar Hek-tiauw Lo-mo berkata. Dia
adalah seorang manusia iblis, maka biar pun tadi nyaris tewas dan kini pundaknya terluka, dia tidak
kelihatan gentar sedikit pun juga.
“Tutup mulutmu yang busuk!” Hwee Li memaki. “Engkau memaksa dia, biar pun tidak membunuh dengan
tanganmu, akan tetapi engkau yang menyebabkan ibuku mati! Kian Bu, dia menyebabkan kematian ibu,
kalau aku tidak membalas, bagaimana kelak aku dapat menghadapi arwah ibuku di alam baka?”
“Enci, sebaiknya engkau memenuhi semua peraturan balas-membalas itu. Engkau memang berhak
membalas kematian ibumu, akan tetapi engkau pun harus membalas kebaikannya terhadap dirimu. Kalau
sekarang kau balas kematian ibumu dan kau membunuhnya, mana bisa engkau membalas kebaikannya
terhadap dirimu selama belasan tahun itu? Sebaliknya, kalau engkau lebih dulu membalas kebaikannya,
lalu kelak engkau membalas kematian ibumu dan membunuhnya, juga belum terlambat.” Kian Bu
menggunakan segala akalnya untuk mencegah gadis ini membunuh Hek-tiauw Lo-mo. Dia memang bisa
saja menggunakan kepandaian untuk mencegah pembunuhan itu, akan tetapi hal itu tentu akan menjadi
kurang baik. Sebaiknya kalau dia dapat menginsyafkan gadis ini dengan omongan saja.
“Benar sekali, Adik Hwee Li. Omongannya itu benar sekali! Tak mungkin seorang gadis gagah perkasa dan
baik budi seperti engkau sampai tidak membalas budi kebaikan orang!” Tiba-tiba terdengar suara merdu
dan ternyata yang bicara itu adalah Swi Hwa.
Tadi gadis ini telah siuman dan benar saja, dia telah sembuh sama sekali. Dia sudah mendengar
penuturan gurunya bahwa yang menyelamatkan dia adalah Hwee Li. Kemudian dia mendengar
percakapan antara Hwee Li dan Kian Bu, atau pemuda yang dikenalnya sebagai Siluman Kecil. Dia ikut
merasa terharu mendengar bahwa ibu gadis itu mati karena Hek-tiauw Lo-mo. Jadi terang bahwa gadis itu
bukanlah anak iblis jahat itu. Juga mendengar bahwa Hwee Li disebut ‘enci’ oleh Siluman Kecil, lenyap
rasa iri dan tidak senangnya terhadap Hwee Li. Tadinya dia mengira bahwa gadis secantik jelita itu tidaklah
mengherankan kalau menjadi pacar Siluman Kecil dan dia merasa iri karena memang dahulu pernah dia
kagum sekali terhadap Siluman Kecil.
Hwee Li yang mendengar ucapan ramah itu kemudian cepat melirik ke arah Swi Hwa. Kemarahannya
terhadap Swi Hwa sudah lenyap dan kini beralih kepada Kian Bu yang hendak menghalangi dia. Akan
tetapi uraian Kian Bu yang diperkuat oleh Swi Hwa itu membuat dia menjadi bingung dan ragu-ragu.
“Kalau begitu, apa kau minta agar aku membalas segala kebaikannya selama belasan tahun ini? Ia telah
memondong dan menimangku, apakah aku pun harus menggendong dan menimang-nimangnya? Apakah
aku harus merawatnya sampai belasan tahun?” Dia makin penasaran.
Kian Bu tertawa. “Tidak usah sejauh itu, Enci Hwee Li. Cukup kalau engkau tidak membunuhnya sekarang,
berarti engkau telah melepas kebaikan yang boleh menebus semua kebaikannya itu. Kalau kelak ada
kesempatan dan engkau membunuhnya, bukankah berarti hari ini engkau telah menebus kebaikannya itu?”
“Waaahhhhh, terlalu enak buat dia!” Hwee Li berkata dengan alis berkerut. “Kalau begitu, apakah kita
harus membebaskan dua orang monyet tua ini dan minta maaf dan menghaturkan selamat jalan kepada
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka, membekali uang untuk mereka sebagai bekal biaya perjalanan?” Karena jengkel Hwee Li lalu
mengeluarkan kata-kata yang berlebihan itu.
Swi Hwa adalah seorang yang terdidik. Dia tahu bahwa kejengkelan hati nona yang berpakaian hitam itu
betapa pun juga harus dipuaskan. Maka dia lalu maju dan berkata, “Adik Hwee Li, jika aku boleh
mengusulkan, mereka itu tidak perlu dibunuh agar engkau tidak dianggap tak kenal budi, akan tetapi
perbuatan mereka pun harus dihukum. Mereka tertotok, bagaimana kalau mereka itu dikubur hidup-hidup
di tempat ini?”
“Wah, cocok!” Hwee Li bersorak. Dia merasa mendapat teman untuk menentang Kian Bu,. dan dia sudah
mendekati Swi Hwa dan memegang lengannya. “Kau memang orang cerdik, Enci. Nah, Siluman Kecil, kau
bisa bicara apa menghadapi dua orang dara yang cerdik seperti kami?”
Siluman Kecil memandang Swi Hwa dengan heran, akan tetapi dia sempat melihat dara berpakaian merah
itu berkedip kepadanya, maka dia mengangkat pundak dan berkata, “Terserah, asal kalian tidak
membunuhnya.”
“Adik Hwee Li, terang bahwa kau tidak bisa membunuhnya sebelum kau membalas kebaikannya. Nah, kini
kau membebaskan dia dari kematian, itu berarti telah membalas kebaikannya. Sekarang, mari kita kubur
mereka, mengubur hidup-hidup asal jangan sampai mereka mati.”
“Lhoh! Dikubur hidup-hidup mana bisa tidak mampus?” tanya Hwee Li bingung.
“Kita kubur tubuhnya saja biar kepalanya di atas tanah. Bukankah dengan demikian mereka akan tersiksa
sekali? Mereka tertotok, kalau sudah tiba saatnya terbebas dari totokan, tentu orang-orang selihai mereka
itu akan mampu membebaskan diri sendiri. Sementara itu, biar mereka tahu rasa. Dengan demikian
engkau telah melaksanakan dua macam pembalasan budi, budi baik dibalas baik dan budi busuk dibalas
busuk.”
Hwee Li girang sekali dan bersorak, bertepuk tangan seperti anak kecil mendapatkan mainan baru yang
menarik. “Bagus sekali, Enci. Hayo kita kerjakan, kau bantulah aku.”
Dua orang dara yang sama cantik manisnya itu lalu mengerahkan tenaga mereka untuk menggali lubang di
atas tanah. Mereka adalah gadis-gadis remaja yang cantik dan halus, tetapi jangan kira bahwa tangan
yang berkulit halus itu tidak mampu menggali lubang yang besar dengan cepat. Tangan-tangan halus itu
mengandung Iweekang yang hebat sehingga sebentar saja mereka masing-masing telah menggali sebuah
lubang. Sekarang keduanya menyeret tubuh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, melempar mereka ke
dalam lubang lalu menutupi lubang itu sehingga dua orang kakek iblis itu dikubur sampai ke leher mereka!
Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah dan memaki maki kalang-kabut.
Mereka adalah dua orang kakek sakti dan kalau hanya ditanam seperti itu saja, mereka tidak merasa takut.
Biar dikubur seluruh tubuh mereka pun mereka tidak merasa jeri dan tentu akan dapat mempertahankan
nyawa. Akan tetapi yang membuat mereka marah besar adalah penghinaan itu! Mereka dipermainkan oleh
dua orang gadis remaja!
“Hi-hik, biar mereka digerayangi dan digigiti semut-semut dan cacing-cacing sebelum mereka dapat
membebaskan diri!” kata Hwee Li bertepuk-tepuk tangan.
Kian Bu dan Hek-sin Touw-ong mendiamkan saja kedua orang gadis itu. Mereka maklum akan akal Swi
Hwa untuk meredakan kemarahan Hwee Li. Setelah dua orang itu selesai mengubur dua orang kakek tadi,
mereka kini duduk berhadapan di atas rumput. Swi Hwa merangkul Hwee Li dan berkata sambil tertawa,
“Adik Hwee Li yang gagah dan cantik, aku berterima kasih sekali kepadamu atas pertolonganmu tadi dan
harap kau maafkan sikapku yang kasar karena aku belum mengenal siapa engkau.”
Hwee Li memang seorang gadis aneh. Kalau dia diganggu, dia akan berubah menjadi iblis jahat. Kalau dia
dijahati, dia akan lebih jahat lagi. Akan tetapi kalau dia dibaiki, dia akan lebih-lebih baik lagi. Maka kini dia
mencium pipi halus dari Swi Hwa dan berkata, “Akulah yang telah bersikap kasar. Kau maafkan aku, Enci
yang baik, dan engkau pun tadi telah menolongku, maka akulah yang menghaturkan terima kasih
kepadamu.”
Sementara itu, matahari telah terbit dan Hwee Li menjauh dari mereka kemudian bersuit panjang dan
nyaring disusul suara melengking memanggil-manggil. Tak lama kemudian terdengar lengking panjang
dunia-kangouw.blogspot.com
sebagai jawaban dan dari atas udara menyambar turun burung garuda tadi. Burung ini memang sudah
biasa dengan Hwee Li, malah dia merasa girang karena dia lebih senang melayani Hwee Li yang selalu
bersikap manis kepadanya, dari pada melayani Hek-tiauw Lo-mo yang suka bersikap kasar dan kejam
kepadanya.
Hwee Li mengelus kepala burung itu dan berkata, “Paman garuda, kau baik saja bukan? Nah, kau boleh
beristirahat dulu, nanti aku mungkin akan membutuhkan bantuanmu.”
Garuda itu mengeluarkan suara nguk-nguk seperti seekor anjing jinak, lalu terbang ke atas pohon. Hwee Li
lalu kembali ke tempat tiga orang yang sedang bercakap-cakap itu. Kian Bu menceritakan bahwa dia baru
saja keluar dari dalam benteng lembah, atas pertanyaan Hek-sin Touw-ong.
“Sekarang kami berdua harus kembali ke sana untuk coba menyelamatkan keluarga Kao dan Puteri
Bhutan.” Dia menutup ceritanya dengan singkat karena dia tidak mau banyak menyebut nama puteri itu.
Setelah dia mendengar penuturan Hwee Li bahwa Syanti Dewi juga menjadi tawanan, maka hatinya telah
bertekad bulat untuk menolong puteri itu, biar pun keadaan di dalam benteng itu amat berbahaya. Kalau
perlu, dia siap mengorbankan nyawanya demi me-nolong puteri itu!
“Suhu, mari kita ikut membantu mereka ini!” Tiba-tiba Swi Hwa berkata kepada gurunya dan kakek itu pun
mengangguk-angguk tanda setuju biar pun alisnya berkerut karena dia merasa sangsi apakah mereka
berempat akan sanggup menembus benteng yang dihuni demikian banyaknya orang pandai dan di mana
terdapat banyak pula anak buah Kui-liong-pang.
Akan tetapi, sebelum kakek itu mengeluarkan suara, Kian Bu telah lebih dulu berkata dengan suara yang
menyatakan ketidak senangan hatinya, “Terima kasih atas kebaikan Nona hendak membantu kami, akan
tetapi kami rasa tidak perlu kalian membantu kami, karena... karena... hemmm...“ Kian Bu merasa tidak
enak hati untuk melanjutkan kata katanya.
Dahulu Ang-siocia ini telah mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Sengjin. Urusan itu pun belum
diselesaikan, dan bukankah nona ini menantang dia untuk menyusul ke pantai Po-hai? Dengan demikian,
antara mereka tiada hubungan persahabatan, bahkan ada urusan yang membuat mereka berdiri sebagai
pihak yang bertentangan. Akan tetapi, melihat sikap guru dan murid yang baik itu tadi, dia merasa tidak
enak kalau harus mengemukakan hal itu.
Ang-siocia ini telah mencuri pusaka Sin-siauw Sengjin, bukan pusakanya! Dan kalau Ang-siocia mencuri,
hal itu tentu saja bukan merupakan suatu keanehan oleh karena memang dia murid Raja Maling!
Sebetulnya hanya kecil saja sangkut-pautnya dengan dirinya, karena pencurian itu dilakukan sehabis dia
memenangkan pertandingan melawan Sin-siauw Sengjin. Urusan kecil itu mana dapat disamakan dengan
perbuatan guru dan murid ini yang sekarang telah menolongnya, bahkan dapat dikatakan telah
menyelamatkan Hwee Li pula?
“Aihhh, Kian Bu. Kenapa kau menolak? Enci ini... ehhh, siapa namamu tadi, Enci?”
Swi Hwa tersenyum. “Namaku Swi Hwa, she Kang...,“ katanya sambil mengerling ke arah Siluman Kecil.
Mendengar nama ini, Kian Bu mengerutkan alisnya. Kenapa dia merasa seperti tidak asing dengan nama
itu? Seolah-olah nama itu sudah dikenalnya benar, padahal dia tahu betul bahwa baru satu kali saja dia
bertemu dengan Ang-siocia ini, yaitu ketika gadis ini mencuri pusaka dari rumah Sin-siauw Sengjin. Ketika
itu, dia mengira bahwa nona ini she Ang, tidak tahunya, sebutan ‘Ang’ itu bukan she, melainkan berarti
merah dan tentu karena nona ini selalu memakai pakaian berwarna merah.
“Enci Swi Hwa ini lihai sekali, dan gurunya lebih lagi. Di benteng itu terdapat banyak sekali orang pandai
dan berbahaya, maka bantuan Enci Swi Hwa dan gurunya amatlah baik dan menguntungkan bagi kita.
Kenapa engkau menolak?”
“Aku percaya bahwa mereka ini lihai sekali, akan tetapi...,“ dia memandang kepada Swi Hwa dan ada sinar
tidak senang menyorot dari pandang mata pendekar itu.
Swi Hwa tersenyum dan menjura kepada Kian Bu, katanya halus, “Ahh, tentu Taihiap masih mendendam
karena uangnya pernah kuambil dahulu itu, ya? Ketahuilah, Taihiap, aku mengambil uangmu karena ingin
memperkenalkan engkau kepada Suhu. Nah, ini uangmu itu, lengkap dengan kantungnya, kukembalikan
kepadamu disertai ucapan maaf sebesarnya!” Seperti bermain sulap saja, sekali meroboh sakunya, Swi
dunia-kangouw.blogspot.com
Hwa telah mengeluarkan sebuah pundi-pundi berisi uang dan menyerahkannya kepada Kian Bu. “Tidak
ada satu sen pun berkurang, Taihiap!”
Kian Bu mengenal pundi-pundi uangnya dan dia terkejut, juga terheran. Jadi, kiranya kantung uangnya
dahulu itu pun dicuri oleh gadis maling ini? Bukan main! Bagaimana hal itu dapat dilakukannya padahal dia
sama sekali tidak pernah merasa bertemu dengan nona ini dalam perjalanan? Sambil melongo,
diterimanya kantung itu dan dia lalu berkata, “Terima kasih, Nona. Memang ini pundi-pundi uangku. Akan
tetapi bukan soal kecil inilah yang membuat aku meragu, akan tetapi...“
Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong maju menjura kepada Siluman Kecil dan berkata, “Taihiap, muridku yang jahat
ini pernah bercerita bahwa dia telah mengambil pusaka-pusaka dari dalam rumah Sin-siauw Sengjin
mendahului Taihiap, tentu hal itulah yang membuat Taihiap meragu, bukan?”
Hati Kian Bu terasa tidak enak, namun dia mengangguk. “Muridmu telah mengundang aku untuk
berkunjung ke pantai Po-hai, akan tetapi kebetulan kita bertemu di sini.” Kian Bu mengingatkan tantangan
Ang-siocia.
“Harap Taihiap sudi melupakan urusan itu karena ketahuilah bahwa kitab-kitab pusaka yang ditinggalkan
oleh orang tua itu dan diambil oleh muridku yang bodoh adalah kitab kitab palsu. Dan tentang undangan
muridku, biarlah di sini aku mintakan maaf kepada Taihiap...“ Dia menjura dan Kian Bu cepat-cepat
mengangkat tangan membangunkan orang tua itu. Dia sudah menduganya demikian, maka diam-diam dia
mentertawakan Ang-siocia yang memperoleh kitab-kitab palsu.
“Sudahlah, urusan yang lalu biarlah lalu karena semua itu hanya urusan kecil saja. Aku merasa girang
bahwa kita sekarang bertemu sebagai sahabat. Akan tetapi, urusan kami di dalam benteng ini adalah amat
berbahaya, maka sungguh tidak enak kalau sampai membuat Ji-wi ikut-ikut terancam bahaya.”
“Aku ada rencana yang baik sekali!” Tiba-tiba Swi Hwa berkata dengan sinar mata bercahaya. “Kalau
rencanaku dijalankan, bukan saja kita dapat memasuki benteng itu seperti masuk ke dalam rumah sendiri,
tetapi juga agaknya mudah saja menyelamatkan keluarga Kao dan Puteri Bhutan itu tanpa ada bahaya dan
tanpa pertempuran!”
Hwee Li sudah merasa girang sekali mendengar ini. “Bagaimana rencanamu itu, Enci?”
“Engkau lihat dua orang kakek itu, Adik Hwee Li? Nah, biarkan mereka itu membawa Taihiap ini dan
engkau pulang ke dalam benteng sebagai tawanan, bukankah dengan begitu mudah saja bagi kalian untuk
memasuki benteng?”
“Ahhhhh...!” Kian Bu sampai mengeluarkan seruan saking kaget dan herannya.
Dia memandang gadis pakaian merah itu dengan alis berkerut. Sudah gilakah gadis ini, pikirnya. Juga
Hwee Li yang biasanya cerdik itu, memandang terbelalak kepada Swi Hwa.
“Enci, jangan main-main...!”
Swi Hwa tertawa geli. “Siapa main-main, adikku sayang? Apakah kau mempunyai cara yang lebih baik dari
pada itu? Bayangkan saja. Kedua orang kakek ini menunggang garuda itu membawa kalian berdua
sebagai tawanan. Nah, siapa yang akan berani menghalangi mereka di dalam benteng?”
“Tapi... tapi, itu rencana gila! Susah-susah kita tangkap, lalu kini kau mengusulkan agar kita melepaskan
dua orang iblis itu dan membiarkan mereka menangkap kami berdua?” Hwee Li sudah mulai marah karena
merasa dipermainkan.
Namun jawaban Swi Hwa mengusir kemarahannya dan membuat dia makin terheran heran, demikian pula
Kian Bu. “Siapa yang suruh kau membebaskan mereka, adikku? Biarkan mereka digerogoti semut-semut
merah! Aku belum gila untuk menyuruh kau membebaskan dia.”
“Ehhh, bagaimana kau ini? Tadi kau katakan...“
Swi Hwa lalu mendekati dan merangkul Hwee Li, berkata lirih berbisik-bisik agar tidak terdengar oleh dua
orang kakek iblis yang hanya kelihatan kepalanya saja di atas tanah itu dan yang memandang ke arah
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka dengan mata melotot. “...aku dan Suhu yang menyamar sebagai mereka dan membawa kalian ke
dalam benteng...“
Kian Bu terkejut sekali. Sungguh permainan yang amat berbahaya! Menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo
dan Hek-hwa Lo-kwi? Mungkin Hek-sin Touw-ong dapat menyamar sebagai salah satu di antara mereka,
akan tetapi nona itu?
“Ahh, mana bisa hal itu dilakukan? Sebelum kita memasuki benteng, tentu Ji-wi telah ketahuan dan kalau
Ji-wi mengalami celaka, kami akan merasa tidak enak sekali,” katanya.
Juga Hwee Li tak dapat menerima rencana itu. “Enci Swi Hwa, harap jangan kau main main. Kita bukan
menghadapi kumpulan anak-anak kecil yang mudah kau permainkan dengan penyamaran. Kita bukan
sedang bermain di atas panggung sandiwara...“
“Wah, wah! Kalian memandang rendah kepandaian guruku, ya?” Swi Hwa berdiri sambil bertolak pinggang
dan kelihatan marah.
Gurunya kemudian menyentuh lengannya, memandang penuh teguran dan Swi Hwa menurunkan kedua
tangannya kembali dan membuang sikapnya yang marah.
“Apa yang dikatakan oleh muridku ini memang benar. Akal itu memang amat baik dan kami kira kami dapat
melakukan penyamaran itu sebaik-baiknya.”
“Suhu, mereka tentu tidak percaya. Lebih baik kita buktikan. Mari kita bersembunyi di sana sebentar,
Suhu.”
Gadis berpakaian merah itu lalu menarik tangan gurunya, diajak pergi ke belakang semak-semak belukar
tak jauh dari situ sambil membawa buntalannya yang agak besar. Hwee Li hanya saling pandang dengan
Kian Bu, terheran-heran dan tidak percaya, akan tetapi juga tertarik sekali.
Tempat guru dan murid itu menyelinap lenyap adalah semak-semak belukar yang menyambung dengan
pohon-pohon. Tak lama kemudian, terdengarlah dari sebelah kiri, dari balik pohon-pohon, suara seorang
nenek-nenek yang agak gemetar menawarkan dagangannya, “Sepatuuuuu... sepatu rumpuuuuut...! Barang
baik harga murah lekas beliiiii...!”
“Eh? Di dalam tempat sunyi seperti ini ada orang jualan sepatu rumput?” tanya Hwee Li dan dia
memandang heran kepada seorang nenek yang datang terbongkok-bongkok membawa beberapa buah
sepatu rumput.
Akan tetapi Kian Bu memandang kepada nenek itu dan mukanya berubah. “Dia...? Dia... adalah nenek
itu...!”
Teringatlah dia akan nenek penjual sepatu rumput di daerah Ho-nan itu. Jantungnya berdebar. Nenek ini
yang dituduhnya mengambil uangnya sekantung. Dan uang itu tadi dikembalikan oleh Ang-siocia!
“Kau kenapa, Kian Bu? Kau kenal dia...?” Hwee Li bertanya.
Akan tetapi Kian Bu yang masih bingung itu memandang dan selagi dia hendak lari menghampiri, nenek itu
telah lenyap di balik semak-semak!
Melihat sikap Kian Bu, Hwee Li makin heran. “Kian Bu, siapakah nenek-nenek itu tadi?”
Akan tetapi yang ditanya hanya memandang bengong ke arah semak-semak. Jadi gadis berpakaian merah
itukah kiranya yang menyamar sebagai nenek-nenek itu dahulu? Bukan main! Dan dia sudah bicara
dengan nenek itu berhadapan sampai cukup lama, namun dia sama sekali tidak tahu, bahkan uangnya
sekantong pun dicurinya atau dicopetnya tanpa dia merasa. Benar-benar hebat gadis itu. Hebat ilmu
penyamarannya, juga lihai ilmu copetnya!
“Hai, bukankah itu engkau, Twako? Apa kabar? Sudah lama sekali kita tidak saling jumpa!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Bu terkejut dan menoleh ke kanan, juga Hwee Li memandang. Dia melihat seorang pemuda tampan
yang bersikap gembira sekali keluar dari pohon di sebelah kanannya, sikapnya jelas telah lama mengenal
Kian Bu.
“Ehh, kau di sini, Kang-kongcu...?” kata Kian Bu.
Tentu saja dia mengenal Kang Swi, pemuda royal yang menjadi teman seperjalanannya menuju ke Ho-nan
tempo hari. Akan tetapi, pemuda itu sudah menyelinap pergi lagi.
“Tunggu, Kang-kongcu...!” Kian Bu hendak menghampiri dan mendadak dia tersentak kaget bukan main
ketika teringat akan nama itu.
Kang Swi! Dan Ang-siocia bernama Kang Swi Hwa! Ahhh, pantas saja tadi pada saat Ang-siocia
memperkenalkan diri sebagai Kang Swi Hwa kepada Hwee Li, dia merasa seperti mengenal baik nama itu.
Kang Swi dan Kang Swi Hwa! Kiranya satu orang! Dia makin kagum dan terheran. Nona itu ternyata telah
menyamar sebagai nenek-nenek penjual sepatu, kemudian menyamar sebagai pemuda Kang Swi tanpa
dia ketahui sama sekali! Penyamaran sebagai nenek penjual sepatu yang mencopet uangnya itu sudah
hebat, akan tetapi penyamarannya sebagai pemuda Kang Swi lebih hebat pula!
Dia telah berhari-hari melakukan perjalanan bersama ‘pemuda’ itu, melihat Kang Swi memasuki
sayembara, sampai pertempuran yang terjadi ketika mereka bertempur memperebutkan Pangeran Yung
Hwa. Dan sama sekali dia tidak tahu bahwa ‘pemuda’ itu adalah Ang-siocia pula yang menyamar. Pantas
saja ketika mereka kehabisan kamar penginapan, ‘pemuda’ itu tidak mau tidur sekamar dengan dia!
Hwee Li masih bingung. “Eh, Kian Bu, siapakah nenek-nenek penjual sepatu itu tadi? Dan siapa pula
pemuda yang menegurmu tadi? Agaknya engkau mengenal mereka, akan tetapi begitu muncul dan
melihatmu, mereka terus pergi.”
Wajah Kian Bu menjadi merah. Dia merasa malu sendiri mengapa dia sampai dapat dipermainkan oleh
gadis itu! “Mereka... mereka tadi adalah penyamaran Nona itu...“
“Enci Swi Hwa? Ah, benarkah?” Hwee Li tertegun, akan tetapi pada saat itu, dari arah belakangnya
terdengar suara tertawa.
Hwee Li hampir menjerit mendengar suara ketawa bekas ayahnya itu. Dia cepat-cepat membalikkan
tubuhnya dan terbelalak memandang kakek raksasa yang kini berdiri di depannya.
“Ha-ha-ha, anakku Hwee Li yang cantik manis, anakku sayang, marilah engkau ikut ayahmu kembali ke
Pulau Neraka...!”
“Tidak, tidak...! Engkau bukan ayahku! Engkau... heeeee?”
Hwee Li teringat, memutar tubuhnya dan melihat betapa kepala Hek-tiauw Lo-mo masih berada di tempat
yang tadi, di mana dia menguburkan tubuh kakek itu bersama kakek Hek-hwa Lo-kwi sampai ke leher!
Cepat dia membalik dan memandang lagi, tetapi jelas bahwa Hek-tiauw Lo-mo benar-benar berdiri di
depannya! Bulu tengkuknya meremang dan dia menjerit, “Kau iblis tua bangka! Kau setan...!” Dan dia
segera bergerak hendak menyerang.
Akan tetapi, Kian Bu memegang tangannya dan menahannya. “Nanti dulu, Enci Hwee Li. Lihat dulu baikbaik
siapa dia...“
“Ha-ha-ha, anak durhaka kau! Hendak melawan ayah sendiri? Berani engkau melawan Hek-tiauw Lo-mo?
Ha-ha-ha!” Dan sekarang raksasa itu tertawa, nampak giginya yang bertaring dan tangan kanannya sudah
mencabut golok gergajinya, sedangkan tangan kirinya memegang jala hitam tipis.
“Sudah kulihat jelas, dia memang iblis tua itu!” Hwee Li berkata sambil memandang terbelalak kepada
raksasa di depannya.
“Ehhh, Lo-mo, mengapa banyak membuang waktu? Kita tangkap dua bocah ini dan kita seret ke depan
Pangeran Liong Bian Cu, bukankah kita akan memperoleh hadiah yang amat besar dan kedudukan tinggi
kelak? Ha-ha-ha, mari kita tangkap mereka!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hwee Li terkejut sekali memandang kakek bermuka tengkorak yang baru saja muncul. Hek-hwa Lo-kwi!
Tak salah lagi. Dia cepat menoleh dan melihat betapa kepala Hek-hwa Lo-kwi masih nampak di sana!
Bagaimana dua orang kakek iblis ini tahu-tahu mampu membebaskan diri sedangkan kepalanya masih
kelihatan di sana? Dia makin bingung dan kini hanya dapat memandang dengan mata terbelalak lebar
seperti melihat setan di tengah hari!
“Ha-ha-ha, Lo-kwi. Lihat, bukankah anakku ini sekarang sudah besar dan cantik sekali? Pantas Pangeran
Nepal itu sampai terkentut-kentut kegilaan kepadanya. Ha-ha-ha!” Hek-tiauw Lo-mo berkata lagi.
Tiba-tiba Kian Bu menjura kepada dua orang kakek itu sambil berkata, “Kepandaian menyamar dari
Locianpwe dan Nona sungguh membuat saya merasa amat kagum dan takluk!”
Mendengar ini, baru Hwee Li sadar. Akan tetapi dia masih belum percaya dan ketika Hek-tiauw Lo-mo
melangkah dekat, dia otomatis mundur-mundur karena jeri.
“Hi-hi-hik, Adik Hwee Li, apakah sekarang engkau merasa takut kepadaku? Sikapmu ini sangat
menyenangkan, Adik Hwee Li. Nah, apakah sekarang engkau percaya akan kemampuan Enci-mu ini dan
Suhu?”
“Kau... kau... Enci Swi Hwa...!” Kini barulah Hwee Li percaya setelah mendengar suara gadis itu.
Akan tetapi dia masih terheran-heran bukan main. Kang Swi Hwa adalah seorang gadis cantik yang
tingginya hampir sama dengan dia. Bagaimana sekarang telah mengubah diri menjadi seorang kakek
raksasa yang tinggi besar itu? Dengan berindap-indap dia menghampiri Hek-tiauw Lo-mo palsu itu dan
meneliti. Memang serupa! Bahkan wajah yang seperti raksasa bertaring itu pun sama. Tubuh tinggi besar
pun serupa. Kulitnya kehitaman juga sama. Hanya kini nampak olehnya betapa tangan Hek-tiauw Lo-mo
palsu ini terlalu kecil, tidak sebesar tangan bekas ayahnya, sungguh pun aneh sekali, tangan Swi Hwa
yang tadinya berkulit halus itu kini menjadi kasar sekali. Dia makin terheran-heran, lalu berjalan
mengelilingi Hek-tiauw Lo-mo palsu itu seperti seorang pedagang sapi sedang memeriksa seekor sapi
yang hendak dibelinya.
“Bagaimana, Adik Hwee Li? Apakah masih ada kekurangannya?”
Hwee Li berhadapan dengan Swi Hwa dan memegang tangannya, akan tetapi cepat dilepaskannya
kembali dengan jijik. Orang ini terlalu mirip Hek-tiauw Lo-mo sehingga menimbulkan jijik kepadanya.
“Bagus sekali, Enci. Hanya sayang ada satu perbedaan menyolok.”
“Tanganku terlalu kecil?”
“Bukan itu saja, terutama sekali... baunya!”
“Baunya?”
“Ya, kau tadi berbau sedap harum, sekarang pun masih harum. Padahal, seingatku bau iblis tua itu amat
apek!”
“Ha-ha-ha, Lo-mo, agaknya engkau tadi habis mandi minyak wangi, maka baumu jadi harum! Hati-hati,
lebih baik kau hilangkan bau harum itu dengan menggosok rambutmu dengan bunga tahi ayam!”
Terdengar Hek-hwa Lo-kwi berkata.
Hwee Li bergidik. Kakek ini memang Hek-hwa Lo-kwi, sedikit pun tiada bedanya! Maka kagumlah dia.
Kagum bukan main dan dia pun menjura.
“Hek-sin Touw-ong, aku benar-benar kagum sekali. Kalian memang hebat!”
Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa kini menanggalkan aksi mereka dan bicara dengan suara mereka sendiri.
”Nah, setelah kalian percaya, marilah kalian membiarkan kami berdua membawa kalian ke dalam benteng
sebagai tawanan. Dengan cara ini, tentu akan mudah untuk mengelabui mereka, dan terbuka kesempatan
kita untuk menolong mereka yang ditawan,” kata Hek-sin Touw-ong.
“Nanti dulu, Locianpwe. Aku masih penasaran...“ Kian Bu sekarang memandang kepada Hek-tiauw Lo-mo
palsu alias Swi Hwa itu. “Jadi kalau begitu nenek penjual sepatu itu...“
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akulah yang menyamar, Taihiap. Maafkan aku, kalau tidak begitu, mana bisa aku mencopet kantung
uangmu?” kata Swi Hwa sambil tertawa. Lucu sekali melihat raksasa Hek-tiauw Lo-mo bersikap seperti itu
dan mengeluarkan suara begitu merdu.
“Dan... Kang-kongcu itu...?”
“Hi-hik, maaf bahwa aku telah mempermainkanmu, Taihiap. Akulah Kang Swi dan aku memang sedang
bertualang mencari pengalaman, maka mendengar soal sayembara itu, aku ingin memasuki dan
meluaskan pengetahuan.”
“Akan tetapi... engkau telah membantu Gubernur Ho-nan, Nona, dan tahukah engkau bahwa gubernur itu
adalah seorang pengkhianat yang agaknya telah bersekutu dengan Pangeran Nepal?”
Hek-tiauw Lo-mo palsu itu mengangguk-angguk. “Tadinya aku memang tidak tahu apa apa. Tahuku hanya
aku telah diterima menjadi pengawal dan tentu saja aku bertindak sebagai pengawal. Setelah aku tahu
duduknya perkara, terus saja aku meninggalkan Ho-nan. Tak sudi aku menjadi kaki tangan pengkhianat
dan pemberontak.”
Kian Bu mengangguk-angguk dengan hati lega. “Kalau begitu baiklah, mari kita cepat berangkat.”
“Akan tetapi tidak mungkin menunggang garuda kalau berempat,” kata Hwee Li. “Terlalu berat bagi garuda
dan juga punggungnya tidak dapat menampung empat orang. Pula, kalau garuda kembali ke sana tentu
akan sukar bagi kita untuk meloloskan diri kalau kalau ada bahaya mengancam, maka biarlah kita jalan
kaki saja dan biarkan garudaku terbang di atas benteng agar dia siap kalau sewaktu-waktu kupanggil.”
Semua orang setuju dan Hwee Li lalu membisiki telinga garuda yang dipanggilnya turun, kemudian
menepuk lehernya. Garuda itu terbang ke angkasa dan empat orang itu berangkat meninggalkan tempat
itu…..
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Suma Kian Lee, putera dari Pulau Es itu. Telah diceritakan di bagian
depan betapa Kian Lee meninggalkan puncak Bukit Nelayan di tepi sungai di kaki Pegunungan Tai-hangsan,
yaitu tempat tinggal dari Sai-cu Kai-ong untuk pergi mencari Kian Bu. Adiknya itu pergi tanpa pamit
dan Kian Lee menduga bahwa adiknya tentu akan pergi ke pantai Po-hai, seperti diceritakan oleh Kian Bu
yang akan memenuhi tantangan Ang-siocia yang telah mencuri pusaka palsu yang disimpan Sin-siauw
Sengjin.
Akan tetapi setelah lama mencari-cari di pantai Po-hai, dia tidak dapat menemukan siapa-siapa, juga tidak
dapat menemukan jejak adiknya. Hati Kian Lee mulai merasa tidak enak dan dia menduga-duga ke mana
perginya adiknya itu yang kini telah terkenal sebagai pendekar Siluman Kecil yang amat tinggi
kepandaiannya. Karena telah melakukan penyelidikan ke seluruh pantai tanpa hasil, akhirnya Kian Lee
meninggalkan pantai, masih bingung tidak tahu ke mana dia harus mencari adiknya itu.
Ketika belum jauh dia meninggalkan pantai Po-hai, menyusuri lembah muara Sungai Huang-ho, tiba-tiba
dari jauh dia melihat orang-orang sedang bertempur secara aneh dan dari gerakan mereka yang gesit itu
mudah diketahui bahwa yang sedang bertanding adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi.
Cepat-cepat Kian Lee berlari menghampiri, akan tetapi dia berlari sambil menyelinap di antara batu-batu
dan akhirnya dia tiba di dekat tempat itu, mengintai dari balik sebuah batu besar dan memandang penuh
perhatian.
Kini dia merasa kagum dan juga terheran-heran. Yang bertanding itu adalah seorang dara cantik jelita yang
amat aneh caranya bersilat karena dara ini mempergunakan sebuah senjata istimewa sekali, yaitu
sebatang payung yang berkembang! Senjata seperti ini sebetulnya tidaklah terlalu asing bagi Kian Lee,
karena ibu tirinya, yaitu ibu kandung Kian Bu, Puteri Nirahai, adalah seorang yang ahli bersilat dengan
payung. Akan tetapi, dara cantik ini memainkan payungnya seperti orang menari-nari saja, bukan seperti
orang bersilat, apa lagi berkelahi! Padahal, saat itu dia dikeroyok oleh dua orang lawan yang amat tangguh
dan yang amat tinggi tingkat ilmu silatnya! Kian Lee memandang penuh perhatian kepada dara cantik jelita
itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dara itu cantik jelita dan manis bukan main, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, pakaiannya dari
sutera yang halus dan indah, yang mencetak tubuhnya yang tinggi ramping, dengan lekuk lengkungnya
yang menonjol dan menggairahkan. Tubuh yang amat menarik dari seorang dara yang sudah dewasa dan
bagaikan sekuntum bunga sedang mekar. Wajahnya manis sekali, sepasang matanya bergerak-gerak
jenaka dan sinarnya tajam dan aneh. Hidungnya kecil dan mulutnya selalu tersenyum manis, sehingga
dalam keadaan bertanding itu dia seperti orang main-main saja. Gerakan tubuhnya cekatan dan aneh,
kedua kakinya kadang-kadang mencuat dengan tiba-tiba, tanda bahwa dara ini memiliki keistimewaan
dalam ilmu tendangan yang berbahaya bagi pihak lawan.
Ada pun dua orang pengeroyok itu pun bukan orang-orang yang lemah. Sebaliknya malah ilmu kepandaian
mereka tinggi sekali, tidak kalah sebetulnya kalau dibandingkan dengan tingkat ilmu silat dari dara
berpayung itu. Mereka adalah seorang wanita muda berusia dua puluh dua tahun dan seorang laki-laki
yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun.
Wanita itu berpakaian serba hijau dan gerakannya amat gesit, seperti seekor burung beterbangan saja
ketika dia menghadapi lawannya. Wanita muda ini juga cukup cantik, akan tetapi pandang matanya
membayangkan kekerasan hati dan keganasan. Ada pun laki-laki yang mengeroyok itu jelas bukanlah
orang Han asli. Matanya agak biru, kulitnya bule dan rambutnya coklat, akan tetapi wajahnya tampan sekali
dan membayangkan kehalusan budi.
Tiba-tiba Kian Lee terkejut bukan main ketika melihat wanita baju hijau itu menggosok gosok kedua
tangannya dan membuat gerakan berputar-putar di depan dada. Dia maklum bahwa gerakan seperti itu
tentu mengandung tenaga sinkang mukjijat, maka dia sudah siap untuk menolong jika ada yang terancam
bahaya.
“Sumoi, jangan!” tiba-tiba laki-laki yang berkulit putih itu mencegah dan wanita baju hijau itu mengurungkan
pukulannya yang mukjijat. Agaknya laki-laki yang menjadi suheng itu tidak mengijinkan sumoi-nya
menurunkan tangan maut terhadap dara cantik berpayung itu.
“Hi-hik, kalian ini pembohong-pembohong besar! Penculik-penculik hina! Masih belum mau tunduk kepada
nonamu?” Si cantik jelita itu berseru dengan suaranya yang nyaring halus, kemudian dia mengeluarkan
suara melengking nyaring, suara melengking yang amat aneh namun menggetarkan perasaan.
Kian Lee yang bersembunyi di belakang batu itu sampai terkejut bukan main karena tiba-tiba dia merasa
betapa jantungnya ikut tergetar! Tak disangkanya bahwa nona itu memiliki kekuatan khikang yang
demikian ampuhnya. Akan tetapi lebih terkejut lagi dia ketika mendengar dara manis itu mulai terkekeh,
tertawa geli. Anehnya, dia melihat dua orang pengeroyoknya itu pun mulai tertawa-tawa! Dan karena
tertawa-tawa yang agaknya di luar kehendak mereka itu maka gerakan mereka menjadi kacau dan hampir
saja pinggang wanita baju hijau kena disambar tendangan dara manis itu dan kepala si laki-laki bule
hampir kena dihantam ujung payung yang sebentar tertutup sebentar terbuka itu!
Kian Lee kaget setengah mati ketika tiba-tiba dia pun menyeringai lebar! Tidak sampai mengeluarkan
suara tertawa seperti dua orang pengeroyok itu, tetapi ada kekuatan aneh yang seolah-olah memaksanya
untuk tertawa ketika dia mendengar suara tertawa merdu dari dara itu! Ketika merasa betapa hatinya geli
dan mulutnya menyeringai, Kian Lee mengerti bahwa dara cantik berpayung itu ternyata telah
mempergunakan ilmu sihir!
Sebagai putera Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang terkenal dengan kekuatan sihirnya
yang mukjijat, biar pun dia tidak mempelajari ilmu itu, namun dia tahu apa bila ada orang mempergunakan
sihir. Tadinya dia merasa bingung dan tidak tahu harus membantu siapa karena dia tidak mengenal
mereka bertiga itu dan tidak tahu urusan apa yang membuat mereka bertempur mati-matian seperti itu.
Akan tetapi setelah kini nona berpayung itu menggunakan sihir, hatinya merasa tidak senang. Nona itu
berlaku curang kalau menggunakan sihir, pikirnya.
Maka Kian Lee yang melihat betapa kini dua orang pengeroyok itu yang masih terus tertawa-tawa dan
kelihatan bingung mendapat serangan hebat oleh dara berpayung, bahkan sudah dua kali mereka itu
terkena tendangan yang membuat mereka terhuyung huyung, akan tetapi dalam keadaan terhuyung tetap
saja mereka tertawa terpingkal pingkal, Kian Lee tidak ragu-ragu lagi untuk turun tangan menentang dara
tukang sihir itu.
Dengan pengerahan sinkang-nya, Kian Lee lalu mengeluarkan suara melengking yang mengandung
khikang, lengkingan suaranya seperti seekor burung rajawali yang marah, menggetar dan menggema di
dunia-kangouw.blogspot.com
seluruh penjuru tempat itu. Dara cantik yang terkekeh kekeh itu terkejut bukan main dan dua orang
pengeroyoknya seketika juga sadar dan tidak tertawa lagi. Kini dengan kemarahan meluap mereka lalu
menyerang dara itu.
“Siluman jahat!” bentak wanita baju hijau sambil mengirim pukulan dahsyat yang biar pun dapat dielakkan
oleh dara itu namun membuat kuda-kudanya menjadi rusak dan dia terpaksa harus meloncat ke belakang
dan menggerakkan payungnya sehingga payung itu terbuka membentuk perisai yang melindungi tubuhnya,
sedang kaki kanannya sudah menyambar ke arah dada pengeroyok pria tadi. Akan tetapi orang bule itu
pun dapat mengelak dan membalas dengan serangan yang cukup dahsyat. Maka seketika dara berpayung
itu kini terdesak hebat!
Siapakah dara cantik berpayung yang pandai ilmu sihir itu? Tentu para pembaca sudah dapat
mengenalnya. Dia memang Teng Siang In, dara yang cantik jelita dan jenaka itu, murid terkasih dari Seethian
Hoat-su si ahli sihir. Seperti telah kita ketahui, dara ini pun berkeliaran di sekitar pantai Lautan Po-hai
untuk mencari Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi usahanya tidak berhasil, bahkan dia tidak dapat menemui
gurunya karena kakek itu pun tidak berada di dalam Goa Tengkorak. Maka dengan hati kesal dia terpaksa
meninggalkan pantai itu.
Ketika pada suatu hari dia tiba di sebuah dusun dan memasuki rumah makan, hatinya yang kesal menjadi
makin jengkel melihat lagak laki-laki yang menjadi kuasa rumah makan itu, yang begitu melihat dia masuk,
sudah lantas meninggalkan mejanya dan tersenyum-senyum lebar menyongsong kedatangannya.
“Ah, silakan masuk, silakan, Nona. Kami menyediakan meja terbaik untuk Nona...!” Dan diiringi seorang
pelayan yang tersenyum-senyum melihat lagak majikannya ini waktu mempersilakan Siang In untuk duduk
di dekat meja kasir di mana kuasa itu duduk! Melihat betapa kuasa restoran itu tidak menyambut tamu lain
dan mengistimewakan dia dengan lagak menjemukan, tentu saja Siang In maklum betapa laki-laki itu
mencari muka, maka hatinya yang sedang kesal menjadi makin kesal!
“Nona kelihatan lelah sekali, tentu melakukan perjalanan jauh? Bolehkah saya bertanya, dari mana...”
Kuasa itu, seorang pria yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun dan bertubuh tinggi besar gendut
seperti raksasa, tidak melanjutkan kata-katanya karena Siang In sudah bangkit dari bangkunya dan
melangkah menghampirinya.
Laki-laki itu memandang heran dan girang, mengira bahwa Siang In menyambut sikapnya dan hendak
melayaninya, akan tetapi tiba-tiba Siang In mengeluarkan sebuah mata uang dari saku bajunya dan
meletakkannya di atas meja kasir.
“Ini untuk harga makanan yang akan kupesan, selebihnya biar untuk menutup mulutmu yang lebar!”
Setelah berkata demikian, Siang In lalu membalikkan tubuhnya dan kembali duduk di bangkunya, akan
tetapi sekarang dia memilih bangku yang membelakangi kuasa atau kasir itu. Laki-laki tinggi besar itu
tadinya menjadi merah mukanya, merah karena malu dan marah, merasa dihina orang di depan umum,
akan tetapi ketika dia memandang ke atas meja, ke arah uang perak itu dan menggerakkan tangan hendak
mengambilnya, wajahnya berubah menjadi pucat sekali karena uang perak itu ternyata telah menancap
sampai rata dengan permukaan meja dan tidak dapat diambilnya! Untuk mengambil uang perak itu kiranya
harus dipergunakan alat untuk mencongkelnya keluar!
Tahulah dia bahwa dara yang cantik seperti bidadari itu adalah seorang pendekar wanita kang-ouw yang
berilmu tinggi sehingga memiliki tenaga mukjijat dan sekali tekan saja sudah mampu membuat uang perak
itu menancap sampai rata dengan permukaan meja! Hati Siang In merasa puas ketika mendengar betapa
kuasa itu dengan suara bisik-bisik lalu memerintahkan pelayan untuk melayaninya dengan cepat dan baik,
dan selanjutnya benar saja tidak berani lagi bicara kepadanya sepatah kata pun.
Akan tetapi segera perhatian Siang In tertarik akan bunyi rengek seorang anak kecil. Dia menengok dan
melihat seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berkulit putih dan bermata kebiruan seperti orang
asing akan tetapi yang berpakaian Han, bersama seorang wanita cantik berpakaian hijau yang menuntun
seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima tahun memasuki restoran itu.
“Kenapa belum juga sampai?” terdengar anak itu bertanya dengan suara merengek.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat anak laki-laki itu, timbul rasa suka di hati Siang In. Anak itu matanya tajam dan penuh keberanian,
mulutnya dikatupkan keras-keras tanda bahwa anak ini memiliki kekerasan hati, akan tetapi alisnya
berkerut seperti anak yang marah.
“Sssttt, kita makan dulu...,“ bisik wanita baju hijau dan kebetulan sekali mereka bertiga, duduk di meja
dekat meja Siang In.
Anak itu, duduknya kebetulan menghadap ke arah Siang In. Dara ini yang merasa suka kepada anak itu
lalu mengejap-ngejapkan mata dan tersenyum kepadanya. Lalu Siang In mengambil sepasang sumpit yang
berada di atas meja, ditiupnya sepasang sumpit itu dan ketika dia mendirikan sumpit dan melepaskan
tangan, sepasang sumpit itu menari nari di atas meja! Anak itu terbelalak, wajahnya lalu berseri dan dia
segera turun dari bangkunya dan lari menghampiri meja Siang In untuk nonton sumpit menari!
Melihat ini, wanita baju hijau itu cepat bangkit berdiri. Dia tidak melihat sumpit menari maka melihat anak
itu menghampiri meja Siang In, cepat dia memegang tangan anak itu dan berkata sambil menarik muka
manis kepada Siang In, “Harap maafkan anak saya yang tidak tahu aturan!” Lalu dia menarik tangan anak
itu kembali ke mejanya.
Siang In mengerutkan alisnya. Hemm, kau boleh menipu orang lain akan tetapi tidak bisa membohongi
aku, pikirnya. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa wanita berbaju hijau itu biar pun usianya sudah kurang
lebih dua puluh dua tahun akan tetapi adalah seorang perawan. Bagaimana bisa mempunyai anak sebesar
itu? Akan tetapi, karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai sangkut-paut dengan mereka, maka dia
tidak dapat mencampuri urusan orang lain. Betapa pun juga, dia merasa tidak senang karena dia tahu
bahwa anak itu jelas bukan anak wanita itu, atau anak pria itu. Wajah anak itu sama sekali tidak ada miripmiripnya
dengan wanita atau laki-laki itu, apa lagi kalau diingat bahwa wanita itu adalah seorang yang
masih perawan, belum menikah, maka jelas tidak mungkin mempunyai anak!
Tadinya Siang In sudah tidak mau memperhatikan lagi karena merasa tidak berhak mencampuri urusan
orang. Mungkin saja anak itu adalah anak angkat dari wanita itu, dan hal ini bukannya aneh. Maka ketika
masakan yang dipesannya telah datang, dia segera mulai makan.
Tiba-tiba perhatiannya tertarik lagi kepada wanita baju hijau dan laki-laki bule itu karena dia mendengar
mereka bicara dalam bahasa Mongol! Dan kebetulan Siang In mengenal bahasa ini yang dipelajarinya dari
gurunya!
“Sudah kukatakan bahwa tidak baik membawa anak ini ke restoran. Bisa menarik perhatian orang saja.
Sebaiknya kau beli makanan dan membawa makanan itu ke hutan di timur dekat lembah, kami menanti di
sana!” demikian kata wanita baju hijau itu dengan suara lirih dan dalam bahasa Mongol, akan tetapi cukup
dapat ditangkap oleh telinga Siang In yang terlatih.
Wanita baju hijau itu lalu memondong anak itu dan membawanya keluar dari rumah makan dengan cara
tergesa-gesa, meninggalkan laki-laki bule itu memesan masakan dan minta agar masakan-masakan itu
dibungkus saja karena hendak dibawanya keluar.
Makin besarlah rasa kecurigaan Siang In. Jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres atas diri anak kecil
itu. Jelas bukan anak mereka dan jelas pula bahwa mereka sedang berusaha menyembunyikan anak itu
dari umum! Penculikankah?
Siang In cepat menyelesaikan makannya dan ketika laki-laki bule itu membawa keluar makanan yang
dibungkus dan meninggalkan restoran dengan cepat, dia pun bangkit dan segera membayangi orang itu.
Kecurigaannya makin besar ketika dia melihat betapa laki-laki bule itu setelah tiba di luar dusun lalu berlari
cepat sekali, ternyata orang itu memiliki kepandaian tinggi dan ilmunya berlari cepat menunjukkan bahwa
orang itu bukanlah orang biasa. Maka dia pun cepat mengejar dan membayanginya terus.
Akan tetapi ketika laki-laki itu tiba di dalam hutan, yang menyambutnya hanya wanita baju hijau itu saja,
sedangkan anak tadi entah berada di mana. Dan ternyata bahwa laki laki itu ternyata tahu pula bahwa dia
dibayangi, karena begitu tiba di situ dan bertemu dengan wanita baju hijau, dia bicara berbisik-bisik, dan
setelah meletakkan bungkusan makanan di bawah pohon, laki-laki itu lalu membalik dan berseru dengan
nyaring, “Nona yang membayangi orang, harap keluar dan bicara!”
Siang In terkejut, akan tetapi sambil tersenyum dia lalu keluar dari balik pohon dan dengan langkah gontai
dan tenang dia menghampiri mereka. Dia tidak mempedulikan pandang mata kagum dari laki-laki bule itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pandang mata pria seperti itu sudah biasa dia hadapi dan selama laki-laki tidak mengganggunya, dia pun
tidak mempedulikan pandang mata mereka penuh kagum itu. Sedikit banyak pandang mata kaum pria
seperti itu mendatangkan perasaan nyaman juga di dalam hatinya dan mempertinggi harga dirinya!
Laki-laki itu cukup sopan dan hormat, karena dia segera menjura kepada Siang In yang mengempit payung
hitamnya, tidak seperti wanita baju hijau yang memandang dengan sinar mata penuh selidik dan alis
dikerutkan. “Nona, kami melihat bahwa Nona bukanlah orang sembarangan, akan tetapi yang membuat
kami heran adalah mengapa Nona mengikuti saya ketika menuju ke sini? Ada urusan apakah yang hendak
Nona bicarakan dengan kami?”
Melihat sikap pria asing itu, Siang In juga balas menjura. “Sebenarnya, antara aku dan kalian tidak ada
urusan apa-apa, dan aku pun tidak akan berani mengganggu orang tanpa sebab. Akan tetapi ada terjadi
hal-hal yang mencurigakan hatiku dan yang tentu akan membuat aku selalu merasa penasaran sebelum
memperoleh keterangan dari kalian berdua.”
“Hemmm, bocah yang lancang. Kau menghendaki keterangan apakah?” tiba-tiba wanita baju hijau itu
berkata, suaranya jelas mengandung kemarahan.
Akan tetapi Siang In tetap saja tersenyum, dan bukan main manisnya dara ini kalau hatinya sedang tegang
dan ditutup oleh senyumnya yang khas. “Aku kini hanya ingin bertanya, mengapa ada seorang gadis
mempunyai anak dan mengapa ada anak disembunyikan dari umum dan di mana pula adanya anak tadi?
Biar aku bertanya sendiri kepadanya!”
Mendengar ini, wanita baju hijau itu memandang marah. “Jangan mencampuri urusan orang lain!”
Siang In tersenyum. “Sayang, sudah menjadi watakku untuk mencampuri segala macam urusan yang tidak
beres. Mengapa kalian tidak mau menjawab? Apakah kalian menculik anak itu?”
Mendengar ini, wanita baju hijau itu segera menyerangnya dengan pukulan yang datangnya cepat dan kuat
sekali. Diam-diam Siang In terkejut bukan main. Kiranya wanita ini pun memiliki kepandaian hebat! Cepat
dia mengelak dan balas menyerang. Segera mereka berdua sudah saling serang dengan dahsyatnya.
Melihat ini, laki-laki asing itu pun melompat maju dan berkata, “Sumoi, tidak perlu membunuh dia, robohkan
saja agar kita dapat melarikan diri!” katanya.
Menghadapi pengeroyokan mereka, Siang In segera mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya tidak
mampu untuk menandingi mereka, maka dia cepat menggerakkan payungnya. Akan tetapi kedua orang
yang ternyata sangat lihai itu sama sekali tidak mengeluarkan senjata, melainkan mengeroyoknya dengan
kedua tangan kosong saja. Dan pada waktu dia terdesak itulah muncul Kian Lee yang mengintai dan
menonton pertempuran itu.
Ketika Siang In terpaksa mengerahkan ilmu sihir untuk menghadapi dua orang lawan tangguh itu sehingga
dia sudah dapat mendesak mereka, niat hati Siang In hanya merobohkan mereka kemudian memaksa
mereka mengaku tentang anak itu. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika tibatiba
terdengar bunyi lengking yang luar biasa hebatnya, seperti bunyi lengking seekor burung rajawali
sehingga hatinya tergetar dan kekuatan sihirnya membuyar. Dia lalu terdesak hebat dan terancam bahaya,
akan tetapi Siang In tidak putus asa dan tidak menjadi gentar. Dengan nekat dia melawan terus,
menggunakan payungnya untuk melindungi tubuhnya dari desakan kedua orang lawannya.
Karena tadi mereka berdua hampir saja menjadi korban ilmu sihir dara cantik jelita itu, kini suheng yang
bule itu tidak lagi melarang sumoi-nya mempergunakan ilmu pukulan mukjijat tadi. Mereka ini bukan lain
adalah Liong Tek Hwi, putera mendiang Pangeran Liong Bin Ong dengan ibu seorang selir berkulit putih
dari pangeran itu, sedangkan sumoi-nya itu adalah Kim Cui Yan, Si Walet Hijau, yaitu puteri dari mendiang
Panglima Kim Bouw Sin yang pernah memberontak.
Sesungguhnya yang menculik putera Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir itu adalah kedua orang inilah!
Penculikan itu pun didasarkan atas sakit hati mereka atas kematian orang tua mereka karena kegagalan
mereka ketika memberontak. Karena mereka tahu bahwa Kao Kok Cu adalah putera sulung dari Jenderal
Kao yang merupakan musuh besar utama mereka, maka kedua orang murid dari nenek iblis Kim-mouw
Nionio ini lalu menculik puteranya. Mereka tidak berani melakukan hal ini secara terang-terangan karena
mereka maklum akan kesaktian Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya yang juga memiliki kepandaian
hebat, maka mereka melakukan penculikan atas diri putera tunggal mereka untuk menyiksa batin mereka
sebagai pembalasan dendam mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sejak melakukan penculikan itu, hati mereka selalu gelisah, apa lagi setelah mendengar betapa ayah dan
ibu anak yang mereka culik itu telah melakukan pengejaran, maka tentu saja mereka selalu bersembunyisembunyi.
Akhirnya mereka mendengar akan pergerakan Gubernur Ho-nan yang bersekutu dengan
Pangeran Liong Bian Cu dari Nepal, maka kini mereka bermaksud untuk mengunjungi pangeran itu yang
masih merupakan saudara sepupu dari Liong Tek Hwi. Akan tetapi, di tengah perjalanan mereka bertemu
dengan Teng Siang In sehingga terjadilah perkelahian itu.
Kini Siang In benar-benar terdesak hebat dan mulailah hati dara ini khawatir. Dua orang lawannya ini
benar-benar tangguh dan kalau sampai laki-laki yang kini muncul dari balik batu yang tadi membuyarkan
kekuatan sihirnya itu turun tangan pula, akan celakalah dia! Dia tidak berani menggunakan sihirnya lagi
setelah tadi dibuyarkan oleh lengking penuh tenaga khikang dahsyat itu.
“Mampuslah engkau siluman jahat!” bentak Kim Cui Yan sambil menyerang dengan pukulannya yang
mukjijat dan paling diandalkan, yaitu pukulan sakti Swat-lian Sin-ciang yang mendatangkan hawa dingin itu.
Ketika itu, Siang In sedang terhuyung karena baru saja dia menangkis pukulan Liong Tek Hwi dengan
payungnya, akan tetapi tenaga pukulan pemuda itu demikian kuatnya sehingga dia terdorong dan hampir
roboh. Sekarang wanita baju hijau itu menerjangnya demikian dahsyatnya sehingga tak sempat lagi
agaknya bagi Siang In untuk mengelak. Dia merasa betapa ada hawa dingin sekali menyambar ke
arahnya, maka dia cepat membuang diri ke belakang dan tubuhnya terus dia gulingkan menjauh. Akan
tetapi Kim Cui Yan terus mengejarnya dengan pukulan-pukulan Swat-lian Sin-ciang yang amat berbahaya
itu.
“Dessss...!”
Tubuh Kim Cui Yan terdorong ke belakang dan wanita baju hijau ini terkejut bukan main. Pukulannya yang
berdasarkan Im-kang yang amat kuat itu membalik dan tubuhnya menggigil. Ternyata pemuda tampan
yang kini muncul dari balik batu, pemuda yang tadi melengking dan membuyarkan pengaruh sihir dari dara
berpayung itu, kini membalik dan menolong dara berpayung dan tangkisannya mengandung hawa yang
lebih kuat dan lebih dingin dari pada Swat-lian Sin-ciang!
Melihat betapa pemuda tampan itu benar-benar amat hebat kepandaiannya, Kim Cui Yan menjadi gentar
dan khawatir kalau-kalau tempat persembunyian anak yang sudah diculiknya diketahui orang, maka dia
berseru, “Suheng, mari kita lari!” Dia berseru dalam bahasa Mongol dan suheng-nya yang memang segan
untuk bermusuhan dengan orang-orang lihai tanpa sebab, tidak membantah dan keduanya sudah
melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu dan melupakan bungkusan makanan yang tadi
dibeli oleh Liong Tek Hwi!
“Hayo, majulah! Tak perlu kau pura-pura membantuku, majulah, jangan kira aku takut padamu! Hayo maju
dan keroyok sekalian, kau manusia tak tahu malu!”
Kian Lee hanya berdiri melongo menghadapi dara yang sudah berdiri di depannya sambil menodongkan
payungnya ke arah dadanya itu.
“Ehh, Nona… aku tidak berniat buruk...“
“Huh, pandai kau pura-pura, ya? Kau tak tahu malu dan curang, kau tadi membantu mereka dengan
sembunyi-sembunyi. Kalau tidak karena engkau, tentu aku sudah dapat membekuk mereka berdua itu!
Sekarang mereka dapat lolos dan semua ini karena engkau yang menjadi biang keladinya. Kalau memang
kau gagah, hayo kau lawan aku!” Siang In sudah menyerang dengan payungnya, menusuk ke arah dada
pemuda itu untuk menotok jalan darahnya.
“Eihhh...!” Kian Lee cepat mengelak dan meloncat mundur. “Sabar dulu, Nona. Harap jangan salah sangka.
Kalau tadi aku membantu mereka adalah karena aku tidak tahu urusan antara kalian bertiga, maka aku
hanya membantu siapa yang terancam bahaya. Setelah keadaan berbalik dan kau yang terancam bahaya,
maka aku lalu membantumu. Aku tidak mempunyai niat buruk...“
“Dasar cerewet, pandai bicara kau, ya? Kau kira aku takut padamu, ya? Kalau memang berani, jangan
main keroyok. Nah, teman-temanmu sudah pergi, mari kita bertanding satu lawan satu, hendak kulihat
sampai di mana sih tingginya kepandaianmu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sejak tadi Kian Lee memandang wajah dara ini dan dia kagum bukan main. Memang luar biasa cantik dara
ini, boleh dibandingkan dengan Hwee Li! Hampir sama pula galaknya, hanya dara ini mempunyai sifat-sifat
lucu dan melihat lagak dara ini, teringatlah dia kepada Kian Bu. Ahh, kalau saja ada Kian Bu di situ, tentu
ramai bertemu dengan seorang dara seperti ini.
Sejenak Kian Lee bengong saja, akan tetapi kini melihat dara itu bertolak pinggang dan mengalungkan
gagang payungnya yang melengkung itu di leher sendiri sehingga kelihatan lucu, dengan mulut cemberut
muka kemerahan akan tetapi matanya bersinar sinar seperti sepasang bintang pagi yang berseri-seri. Lucu
sekali! Manis sekali! Kian Lee tak dapat menahan ketawanya.
Melihat pemuda itu tertawa, sepasang mata Siang In melotot makin besar. Makin besar makin indah, dan
makin lucu dalam pandangan Kian Lee sehingga pemuda ini terus saja tertawa. Melihat dara itu bertolak
pinggang dan menantang-nantang dengan sikapnya yang dibuat-buat agar kelihatan galak dan
menakutkan, entah mengapa, Kian Lee yang biasanya selalu bersikap sopan terhadap wanita, kini tidak
dapat menahan geli hatinya. Geli dan gembira. Dan makin pemuda itu tertawa, makin marahlah Siang In.
“Bagus, kau mentertawakan aku, ya? Kau lihat mukaku ini ada apa sih maka kau tertawa-tawa seperti
orang gila?” Siang In menuding ke arah dahi di antara sepasang matanya.
Otomatis Kian Lee memandang ke arah sepasang mata dara itu dan tiba-tiba saja dia merasa tubuhnya
tergetar dan dia tidak mampu mengalihkan pandang matanya. Sebelum dia sadar bahwa dia telah
terpengaruh oleh ilmu sihir dari padang mata dara itu, sudah terdengar suara Siang In, suara yang merdu
setengah berbisik, akan tetapi mengandung getaran yang kuat sekali wibawanya, “Engkau adalah seekor
monyet!”
Seperti orang kehilangan semangat, Kian Lee yang sudah tidak tertawa lagi akan tetapi mulutnya masih
tersenyum itu, berkata, “Aku adalah seekor monyet...,“ agak meragu suaranya, seperti diusahakannya
untuk dilawan, akan tetapi dia sudah terlanjur masuk perangkap sihir.
“Bagus! Dan kau pandai menari-nari. Hayo kau menari yang baik!” kembali suara Siang In terdengar penuh
wibawa dan sepasang matanya yang lebar itu memandang seperti mengeluarkan sinar berpengaruh yang
menundukkan Kian Lee.
“Tidak... tidak...!” Kian Lee berusaha melawan, tetapi kaki tangannya sudah bergerak sendiri dan dia
menari-nari! Berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari!
“Heiii, menari yang baik! Engkau pandai menari dan seorang penari yang baik tidak boleh bersungutsungut,
harus tersenyum! Menari dan tersenyumlah kau!”
Kian Lee tidak dapat membantah. Dia terus menari-nari dan kini mulutnya tersenyum, dan Siang In
menonton sambil berdiri bertolak pinggang, akan tetapi sepasang matanya makin lama makin kehilangan
kekuatannya karena mata itu sekarang mulai terbelalak keheranan ketika dia melihat betapa wajah itu
mengingatkan dia akan wajah seorang pemuda yang selama ini selalu terbayang di lubuk hatinya, pemuda
yang dicari-carinya selama ini, pemuda yang... dibencinya tetapi juga yang tak pernah dapat dilupakannya,
yaitu Suma Kian Bu! Setelah pemuda ini menari dan tersenyum, dia melihat persamaan antara mereka,
terutama pada sinar matanya! Dan karena Siang In tidak mencurahkan seluruh perhatian dan kekuatan
sihirnya, maka Kian Lee yang meronta-ronta dalam batin itu berhasil melepaskan diri.
Dia mengeluh, terhuyung dan menutupi muka dengan kedua tangannya, “Aihhh... Suma Kian Lee... sekali
ini kau dibikin malu oleh seorang anak-anak...”
Mendengar ini, Siang In terkejut bukan main. Suma Kian Lee! Tentu saja masih saudara dari Suma Kian
Bu, pemuda yang dicari-carinya! Dia terkejut dan juga menyesal mengapa dia tadi terburu nafsu
mempermainkan pemuda ini dengan sihirnya.
“Ah... kau... kau bernama Suma Kian Lee...?” katanya agak gagap.
Kian Lee menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, kemudian memejamkan mata untuk
mengembalikan kesadarannya sepenuhnya. Barulah dia membuka mata menghadapi dara itu, alisnya
berkerut karena dia teringat betapa tadi dia dipermainkan sehingga dia terpaksa menari-nari seperti orang
gila tanpa dia mampu mencegahnya karena dia sudah terperangkap ke dalam kekuatan sihir yang hebat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemmm, engkau seorang nona yang amat aneh. Kita tak pernah saling bermusuhan, akan tetapi engkau
tega mempermainkan aku seperti itu. Memang aku Suma Kian Lee, dan siapakah engkau, Nona?”
“Apakah engkau kakak dari Suma Kian Bu?”
Wajah Kian Lee berseri seketika, “Ah, jadi engkau sudah mengenal adikku itu? Tahukah kau di mana dia
sekarang?”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru