Kamis, 10 Agustus 2017

Kho Ping Hoo Bagus Kisah Sepasang Rajawali 4

 cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf  Kho Ping Hoo Bagus Kisah Sepasang Rajawali 4
Kho Ping Hoo Bagus Kisah Sepasang Rajawali 4
Kho Ping Hoo Bagus Kisah Sepasang Rajawali 4 Tag:cersil
kumpulan cerita silat cersil online
-
Dia memandang gejala ini sebagai datangnya suatu bahaya yang amat besar, yang amat
mengkhawatirkan bagi kehidupan Syanti Dewi. Walau pun dara ini tidak pernah menyatakan dengan mulut,
biar pun mungkin dara itu sendiri masih belum sadar akan perasaan hatinya sendiri, akan tetapi Bun Beng
sudah dapat menduganya, melihat dari pandang matanya, gerak-geriknya, suaranya.
Hal ini menimbulkan rasa nyeri di hatinya. Tidak, betapa pun juga, dia takkan menyeret dara yang amat
berbudi ini ke dalam hidupnya yang serba canggung dan sengsara. Dia tidak akan mengulangi riwayat
penuh duka seperti yang dialaminya dengan Milana. Memang betapa akan amat mudahnya untuk jatuh
cinta kepada seorang dara seperti Syanti Dewi, seorang dara yang berbudi mulia, halus dan penuh
perasaan. Akan tetapi tidak! Dia bukanlah seorang yang hanya mementingkan kesenangan dirinya sendiri
saja.
Perang yang terjadi dalam batin Bun Beng menambah luka dalam yang dideritanya dalam pertandingan
berat sebelah ketika melawan kakek kembar dalam keadaan sakit itu. Karena itu, perjalanan ke utara
bersama Syanti Dewi itu dilakukan dengan susah payah dan lambat, bahkan akhirnya Bun Beng jatuh sakit
lagi!
Di dalam perjalanan ini, di waktu dia terserang sakit, lebih jelas kenyataannya bahwa yang diduga dan
ditakuti Bun Beng adalah benar. Perawatan yang dilakukan Syanti Dewi terhadap dirinya amat luar biasa,
penuh ketelitian, penuh pengorbanan dan ketekunan. Diam-diam Bun Beng yang menderita sakit itu
mengambil keputusan bahwa kalau dia sudah dapat bertemu dengan Jenderal Kao Liang, dia akan
menyerahkan Syanti Dewi dalam perlindungan jenderal yang dipercayanya itu, kemudian dia akan pergi
untuk selamanya, tidak akan mencampuri dunia ramai lagi, seperti dahulu sebelum bertemu dengan Syanti
Dewi dan terpaksa mengantarkan dara itu ke kota raja.
********************
Kita tinggalkan dulu Bun Beng yang sedang menderita sakit dan melakukan perjalanan dengan amat sukar
bersama Syanti Dewi menuju ke perbatasan utara untuk menemui Jenderal Kao Liang, dan marilah kita
mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang secara kebetulan sekali juga telah melakukan perjalanan ke utara!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Ceng Ceng telah ditolong oleh Tek Hoat dari bahaya tenggelam,
kemudian secara kebetulan dia dapat mendengarkan percakapan antara pemuda itu dengan Pangeran
Liong Khi Ong hingga terbukalah rahasia pemuda itu sebagai kaki tangan Pangeran Liong Bin Ong yang
merencanakan pemberontakan.
Masih untung bagi Ceng Ceng bahwa pada saat yang berbahaya itu, dia keburu dicegah oleh Pengawal
Kaisar Souw Kee It dan diajak pergi melarikan diri. Andai kata dia tidak bertemu dengan kakek pengawal
itu dan terang-terangan menegur Tek Hoat, tentu pemuda itu tak akan segan-segan untuk membunuhnya
agar rahasianya dapat tertutup.
Dengan bantuan Souw Kee It, pengawal kawakan yang telah berpengalaman, Ceng Ceng melakukan
perjalanan setelah menyamar sebagai seorang pria tampan yang berkumis tipis! Bermacam perasaan
bercampur aduk di dalam hati dara ini. Pertama-tama dia merasa gembira bukan main mendengar dari
Souw Kee It bahwa Syanti Dewi telah diselamatkan oleh seorang nelayan.
Dia merasa bersyukur sekali dan ingin dia bertemu dengan kakak angkatnya itu yang tidak diketahui ke
mana perginya. Akan tetapi di samping kegembiraannya ini terdapat perasaan duka, kecewa dan marah
kalau dia teringat kepada Tek Hoat. Pemuda yang amat dikaguminya itu, pemuda yang tampan dan
memiliki kepandaian demikian tinggi, ternyata adalah seorang kaki tangan pengkhianat dan pemberontak!
Betapa rendah dan hina!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan pemuda itu dengan terus terang menyatakan bahwa dia mencinta Syanti Dewi! Kalau dulu di waktu dia
mendengar pergakuan ini timbul rasa panas dan agak cemburu di hatinya, kini sebaliknya malah. Dia
merasa panas dan marah, tidak rela bahwa kakak angkatnya itu dicinta oleh seorang yang demikian
rendah! Dia harus menghalang-halangi ini. Siapa tahu, pemuda yang tampan dan pandai itu akan dapat
bertemu dengan Syanti Dewi dan berhasil merayunya atau memaksanya.
Selama dalam perjalanan, Souw Kee It menceritakan kepada Ceng Ceng akan keadaan di kota raja yang
kacau karena adanya pertentangan secara diam-diam antara perdana menteri yang setia kepada kaisar
dan dua orang pangeran tua, yaitu Pangeran Liong Khi Ong dan Liong Bin Ong.
“Mengapa sri baginda kaisar diam saja? Bukankah jelas bahwa dua orang pangeran itu bermaksud
memberontak?”
Souw Kee It menarik napas panjang. “Sri baginda kaisar adalah amat bijaksana. Beliau tidak menghendaki
adanya perpecahan dan keributan antara keluarga kerajaan. Hal ini akan mencemarkan dan melemahkan
kedudukan keluarga kaisar dan merendahkan martabatnya di mata rakyat. Apa lagi karena niat
pemberontakan kedua orang pangeran itu belum ada buktinya, baru merupakan desas-desus belaka. Oleh
karena itulah, maka sri baginda hanya memberi tugas kepada para pengawal yang dipercaya, dan dipimpin
sendiri oleh Puteri Milana, untuk secara diam-diam membasmi kaki tangan yang berniat memberontak. Jika
tidak ada kekuatan dari luar yang mendorong, tentu niat hati kedua orang pangeran itu akan lenyap
sendiri.”
Ceng Ceng bersungut-sungut. “Terlalu sabar. Kalau dikasih hati, dua orang pengkhianat itu makin
merajalela.”
“Demikian pula pendapat perdana menteri, sehingga kini secara berterang, para pengawal perdana menteri
sering bentrok dengan para pengawal kedua orang pangeran itu. Dan demikian pula pandangan Puteri
Milana yang sudah mulai menumpas semua tokoh jahat yang mencurigakan dan yang ada hubungannya
dengan niat pemberontak itu.”
“Akan tetapi kulihat pemuda yang bernama Tek Hoat itu lihai bukan main! Kalau dia tidak dapat dibasmi,
kelak tentu akan menimbulkan bahaya!” Berkata demikian Ceng Ceng jadi teringat kepada kakak
angkatnya, Syanti Dewi yang dianggapnya terancam keselamatannya oleh pemuda itu yang telah
menyatakan cinta kepada Puteri Bhutan itu.
Souw Kee It mengangguk. “Memang aku pun sudah melihat kelihaiannya. Dia adalah tenaga baru yang
belum kami kenal, dan agaknya telah ditugaskan untuk mengacaukan dan menggagalkan perjodohan yang
hendak diikat oleh sri baginda kaisar antara Puteri Bhutan dan Pangeran Liong Khi Ong.”
“Heran sekali, mengapa sri baginda mengambil keputusan yang demikian aneh? Puteri Bhutan adalah
seorang dara yang muda remaja, mengapa hendak dijodohkan dengan pangeran yang sudah tua, mata
keranjang dan jahat lagi?” Ceng Ceng teringat akan percakapan antara Tek Hoat dan pangeran tua di
perahu.
“Aihh, engkau tidak tahu, nona. Demi keselamatan kerajaan, tentu saja sri baginda akan melakukan apa
saja. Taktik pengikatan jodoh antara Puteri Bhutan dan Pangeran Liong Khi Ong mempunyai dua maksud
yang amat penting. Pertama, dengan menarik Kerajaan Bhutan menjadi keluarga, tentu saja Bhutan
dijadikan sebuah perisai atau benteng pertahanan di barat, juga berarti bertambahnya sebuah negara
keluarga yang bersahabat. Kedua, ikatan jodoh itu dimaksudkan untuk membuktikan kesabaran dan
kebaikan hati kaisar sehingga biar pun ada desas-desus akan pengkhianatan Pangeran Liong berdua,
tetap saja kaisar menganugerahinya dengan sebuah pernikahan dengan Puteri Bhutan yang terkenal
cantik jelita.”
“Hemm, sungguh aku tidak mengerti mengapa perasaan perorangan diabaikan sama sekali demi
kepentingan kerajaan.”
“Memang tentu mengherankan bagi seorang yang tidak pernah mendekati urusan kerajaan seperti engkau,
Nona. Akan tetapi aku yang sudah sejak muda berkecimpung di dekat keluarga kerajaan, seperti juga
kakekmu dahulu, tidak merasa heran. Apa lagi hanya perasaan, bahkan nyawa perorangan tidaklah begitu
berarti lagi dibandingkan dengan kepentingan kerajaan. Dalam urusan pernikahan ini pun yang hancur
hatinya adalah Pangeran Yung Hwa.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pangeran Yung Hwa? Siapa dia dan mengapa?”
“Dia juga putera dari sri baginda, seorang pangeran muda remaja, baru berusia dua puluh tahun.
Sesungguhnya, Pangeran Yung Hwa inilah yang ketika mendengar berita tentang Puteri Syanti Dewi, jatuh
cinta dan mohon kepada sri baginda untuk dilamarkan. Namun, permintaannya ini ditolak karena Puteri
Syanti Dewi hendak dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong.”
“Si tua bangka!” Ceng Ceng mengomel.
“Dan karena itu, Pangeran Yung Hwa lolos dari istana.”
“Lolos?”
“Ya, patah hati dan minggat dari istana. Begitulah orang muda...”
Ceng Ceng terdiam, dia merasa terharu. Heran juga dia mengapa Pangeran Yung Hwa dapat jatuh cinta
kepada seorang gadis yang belum pernah dilihatnya! Jatuh cinta hanya karena mendengar berita tentang
kecantikan dan segala kebaikan Puteri Syanti Dewi! Lucu juga, pikirnya.
Perjalanan dilanjutkan dengan cepat karena mereka berkuda. Oleh karena Ceng Ceng menyamar sebagai
pria berkumis, maka biar pun Tek Hoat yang kehilangan gadis itu sudah cepat mengerahkan kaki tangan
Pangeran Liong Khi Ong untuk mengejar dan mencari, namun hasilnya sia-sia. Dan di sepanjang
perjalanan itu, biar pun ada banyak mata-mata pemberontak yang melihat mereka, namun tidak ada yang
menduga bahwa ‘pemuda ganteng berkumis’ itu adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi yang dicari-cari.
Tentu saja Tek Hoat merasa menyesal bukan main, karena dia menganggap gadis itu merupakan orang
penting sekali untuk dapat menemukan Syanti Dewi yang hilang dan dia hanya dapat menyumpahnyumpah.
Pada suatu pagi, Ceng Ceng dan pengawal Souw telah tiba di sebuah dusun di dekat tapal batas utara.
“Kita sudah memasuki wilayah kekuasaan Jenderal Kao,” kata kata pegawal itu. “Oleh karena itu, boleh
dikatakan kita tiba di daerah aman dan kau boleh menanggalkan penyamaranmu.”
Ceng Ceng merasa girang sekali. Dia merasa kurang leluasa dalam penyamarannya itu. Dibuangnya
‘kumis’ yang menarik perhatian para wanita di sepanjang perjalanan itu, dan diubahnya pakaiannya
sehingga kini dia berubah menjadi seorang dara remaja yang cantik dan gagah, dengan kepala dilindungi
sebuah caping lebar.
“Karena perjalanan ke utara, ke benteng di mana Jenderal Kao Liang berada merupakan perjalanan yang
cukup sukar dan melelahkan, melalui daerah tandus, maka sebaiknya klta mengganti kuda di dusun ini.”
“Apakah di sini engkau juga mempunyai kawan-kawan, Souw-lopek?”
“Tidak, akan tetapi dusun ini terkenal sebagai tempat pusat perdagangan kuda. Banyak kuda Mongol yang
baik dijual di dusun ini, dan kita hanya menukarkan kuda kita yang sudah lelah dengan menambah sedikit
uang.”
Benar saja, setelah mereka memasuki dusun itu, di tengah-tengah dusun terdapat sebuah pasar kuda yang
amat besar dan luas dan terdapat ratusan ekor kuda diperjual belikan di tempat ini.
“Kau bawa kuda kita ke bagian sana, bagian penjualan, dan aku akan memilih kuda-kuda baru di sebelah
sini. Kalau aku yang menjual, karena aku laki-laki, harganya akan kurang tinggi.”
“Eh, mengapa begitu, Lopek (paman tua)?” tanya Ceng Ceng terheran.
Souw Kee It tersenyum. “Karena, biasanya para pencuri kuda adalah kaum pria. Jarang ada wanita, biar
wanita kang-ouw sekali pun, mau mencuri kuda.”
“Wah, jadi kalau yang menjual disangka pencuri kuda, kudanya lalu ditawar murah-murahan? Mengapa
ada orang yang mau membeli kuda curian?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, kau masih belum tahu akan ketamakan manusia di dunia ini, Nona. Curian atau bukan, asal
mendatangkan keuntungan besar, tentu diterima dengan tangan terbuka. Sudahlah, kau yang menjual ke
sana, berikan kalau ditawar kurang leblh dua ratus tail untuk dua ekor ini, kemudian kau bawa uangnya ke
sini untuk membeli dua ekor kuda baru. Aku yang memilih, karena kalau tidak pandai memilih, bisa ditipu
mentah-mentah oleh para pedagang kuda yang amat licik dan cerdik itu. Kuda sakit dibilang sehat, kuda
tua dibilang muda.”
Ceng Ceng mengangguk, lalu menuntun dua ekor kuda itu menuju ke seberang di mana terdapat banyak
tengkulak kuda sedang memeriksa kuda yang akan dijual. Begitu tiba di tempat itu, beberapa orang
pedagang kuda sudah berlarian datang menyambut Ceng Ceng.
“Nona, kudamu sudah amat lelah, memang sepatutnya dijual segera!” kata seorang di antara mereka.
“Agaknya sudah melakukan perjalanan yang amat jauh, lihat tapal kakinya menipis dan urat pahanya
menggembung!” kata orang kedua.
“Kalau tidak cepat dipelihara baik-baik bisa terkena penyakit,” kata orang ketiga.
Ceng Ceng membiarkan para tengkulak kuda itu ribut-ribut menurunkan nilai dua ekor kudanya. Kalau saja
dia belum mendengarkan penjelasan Souw Kee It tentang siasat para pedagang kuda, tentu dia akan
marah atau setidaknya akan merasa bimbang dan kecewa. Akan tetapi, sekarang dia hanya tersenyum,
lalu berkata dengan lantang, “Kalian boleh menjelek-jelekkan dua ekor kudaku ini sesuka hati dan seenak
perutmu, akan tetapi kalau tidak dua ratus tail, dua ekor kuda ini tidak akan kujual!”
“Ha-ha-ha, pintar sekali!” Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan memuji, perlahan saja namun cukup
terdengar oleh Ceng Ceng, karena orang yang memuji itu berada dekat di tempat itu. Dia melirik dan
melihat dua orang pemuda remaja yang berwajah tampan, berdiri memandangnya penuh kagum.
Kekaguman yang tidak disembunyikan. Terutama sekali pemuda kedua yang agaknya sedikit lebih muda,
yang wajahnya berseri gembira.
Melihat Ceng Ceng melirik ke arahnya, pemuda ini lalu menggerakkan kepalanya sedikit sehingga kuncir
rambutnya yang tebal itu bergerak melilit lehernya sendiri. Pemuda yang tercekik dan terlilit lehernya oleh
rambutnya sendiri membuat gerakan seperti orang mendelik dan lidahnya terjulur, sambil berkata dengan
nada mengejek kepada para pedagang kuda itu. “Hekkk... hekkk... mau mencekik malah tercekik...
mampus..., kena batunya sekarang...”
“Bu-te, jangan kurang ajar...!” Pemuda pertama yang agak lebih tua dan yang sikapnya pendiam menegur
dengan suara lirih.
Senang hati Ceng Ceng. Dia tidak menganggap pemuda itu kurang ajar karena dia tahu bahwa pemuda itu
mengejek para pedagang kuda. Timbullah rasa persahabatan dalam hatinya dan dia menoleh kepada
mereka, lalu tersenyum kecil, kemudian menghadapi para pedagang kuda.
“Bagaimana, apakah kalian mau membeli kudaku yang kelelahan, buruk, berpenyakitan ini? Dua ekor
untuk dua ratus tail, tidak kurang sedikit pun juga!”
Para pedagang itu saling pandang, menggaruk-garuk kepala. Memang perkiraan Souw Kee It tadi sudah
tepat. Dua ratus tail untuk dua ekor kuda pilihan itu tidaklah mahal, akan tetapi juga tidak terlalu murah.
Memang harga ‘pasaran’. Melihat sikap nona muda itu demikian tegas, dan jelas tidak mungkin untuk
dikelabui dengan aksi-aksi palsu, mereka tidak banyak bicara lagi lalu menghitung dua ratus tail perak,
diserahkan kepada Ceng Ceng yang membungkusnya dengan kain lebar yang sudah disiapkan oleh Kee It
sebelumnya. Kemudian dia meninggalkan tempat setelah melirik lagi kepada dua orang pemuda tadi.
“Lee-ko dia hebat sekali! Mari kita berkenalan...”
“Hushh, jangan kurang ajar di tempat umum begini. Kau bisa dimaki orang, Bu-te...”
“Tapi, dia tentu seorang gadis kang-ouw, dan tentu suka berkenalan. Apa sih jahatnya orang berkenalan?”
Dua orang muda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Seperti kita ketahui, kakak
beradik ini setelah menyelamatkan rombongan hartawan yang diganggu oleh para tosu Pek-lian-kauw,
melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja dan pada hari itu berhenti di dusun untuk membeli kuda.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat adiknya nekat hendak mengikuti dara cantik jelita yang menjual kuda tadi, terpaksa Kian Lee
mendampingi karena dia tidak ingin melihat adiknya membuat ribut di tempat ramai itu. Tiba-tiba Kian Lee
memegang tangan adiknya, lalu dengan gerakan mukanya dia menunjuk ke depan.
Kian Bu juga sudah melihat seorang laki-laki kurus yang berada di belakang gadis itu. Jelas tampak oleh
keduanya bahwa laki-laki itu tentulah seorang pencopet yang sedang mengincar buntalan uang yang
berada di tangan kiri gadis itu.
Tiba-tiba, di tempat yang agak sepi, di tempat perbatasan antara bagian penjualan dan bagian pembelian
kuda-kuda di pasar itu, laki-laki kurus tadi bergerak cepat sekali, tangannya meraba buntalan. Tampak
pisau berkilau dan agaknya pencopet itu bukan ingin merebut semua buntalan melainkan hendak merobek
buntalan dan mengambil uang dari dalamnya.
“Plakk...! Krekk...! Aduhhh...!” laki-laki itu memegangi lengannya yang patah tulangnya, sedangkan
pisaunya terlempar entah ke mana.
Kiranya begitu ada gerakan orang, Ceng Ceng sudah menggerakkan tangan kanannya sambil memutar
tubuh, dan sekali dia menampar, pergelangan tangan laki-laki kurus yang memegang pisau itu menjadi
patah tulangnya.
“Ampunkan saya... anak-anak saya kelaparan...” Orang itu berkata dengan muka pucat dan tubuh gemetar
ketakutan karena kalau sampai semua orang turun tangan, dia akan menjadi mayat di tempat itu.
Ceng Ceng mengeluarkan sepotong uang perak dan melemparkannya ke depan orang itu. “Ambillah dan
pergilah!”
Pencopet itu mengambil uang perak dengan tangan kiri, lalu mengangguk dan cepat menyelinap pergi.
Melihat ini, Kian Lee dan Kiam Bu terbelalak kagum.
“Wah, kiranya seorang yang lihai!” Kian Bu hampir bersorak karena baru sekali ini dia melihat seorang dara
cantik jelita yang memiliki kepandaian tinggi seperti itu.
“Dia tentu seorang pendekar wanita dunia kang-ouw seperti yang sering diceritakan oleh Ibu, maka lebih
baik kita jangan mengganggunya,” kata Kian Lee yang merasa kagum sekali.
Kian Bu bersungut-sungut kecewa. Apa lagi ketika melihat ada seorang laki-laki gagah setengah tua yang
menghampiri gadis itu, kemudian mereka membeli dua ekor kuda, Kian Bu tidak berani melanjutkan
niatnya menghampiri.
“Hemm, aku masih merasa penasaran, Lee-ko. Apa sih salahnya kalau aku hanya ingin berkenalan?”
“Adikku, harus kuakui bahwa engkau tidak bersalah. Akan tetapi, sejak kecil kita hidup di tempat terasing
dari pergaulan umum, maka tentu saja kita berdua merasa bebas. Ketahuilah bahwa kehidupan umum di
daerah daratan ini tidaklah bebas sama sekali, kehidupan manusia sudah dibelenggu dan diikat oleh
segala macam peraturan, di antara peraturan-peraturan itu ialah bahwa menegur seorang wanita yang
bukan keluarga dan bukan kenalannya merupakan perbuatan yang kurang ajar!”
“Aneh dan tidak adil! Kalau tidak lebih dulu menegur, mana bisa kenal? Pula apa sih jeleknya kalau hanya
menegur untuk berkenalan saja? Nona itu tadi pun bercakap-cakap dengan para pembeli kuda, padahal
mereka pun belum saling mengenal.”
“Itu lain lagi namanya, kan ada keperluannya, jual beli kuda?”
“Wah, serba salah! Peraturan yang licik sekali. Baik buruknya kan tergantung dari niat yang terkandung di
dalam perbuatan, bukan si perbuatan itu sendiri. Seorang pria menegur seorang wanita untuk berkenalan,
masa tidak boleh? Peraturan macam apa itu?”
“Itu namanya peraturan kesusilaan, Adikku. Dan masih banyak lagi aturan-aturan antara pria dan wanita,
apa lagi kalau kita sudah tiba di kota raja, sama sekali tidak boleh dilanggarnya.”
“Hemm, daratan begini luas akan tetapi seperti penjara saja!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Memang, kita manusia hidup seperti dalam penjara, dikurung dan dibelenggu oleh segala macam
peraturan dan hukum. Akan tetapi, semua itu sudah menjadi kebiasaan umum, kalau dilanggar, kau akan
dianggap liar dan kurang ajar, tidak tahu kesopanan dan lain sebagainya sehingga engkau akan dianggap
jahat dan dimusuhi.”
“Konyol!” Kian Bu makin tidak puas dan makin penasaran.
Memang pemuda itu belum mau mengerti akan semua kebiasaan di dunia ‘sopan’ ini. Hidup di Pulau Es
tentu saja merasa bebas, tidak terikat oleh peraturan apa pun karena mereka hanya hidup bersama ayah
dan ibunya, sedangkan pertemuan yang kadang-kala dengan para nelayan yang menjelajah di pulau-pulau
agak jauh dari Pulau Es, juga merupakan pertemuan dengan orang-orang sederhana yang hidup wajar dan
polos, tidak banyak terikat oleh segala macam peraturan.
Kini darah mudanya yang menuntut sehingga timbul daya tarik terhadap kaum wanita, tetapi menghadapi
penghalang yang besar sekali dan dirasakannya amat mengganggu kebebasannya. Berbeda dengan Kian
Lee yang sungguh pun keadaan hidupnya di Pulas Es tiada bedanya dengan Kian Bu, namun pemuda ini
memperhatikan semua yang diceritakan tentang dunia ramai oleh ibunya, bahkan suka membaca-baca
kitab tentang sejarah dan kehidupan di dunia ramai. Oleh karena itu biar pun dia baru sekali ini turun ke
daratan besar, namun segala peraturan tidaklah terlalu mengejutkan hatinya dan dapat dihadapinya
dengan tenang dan sabar.
Maka, Kian Bu hanya dapat memandang saja ketika melihat gadis yang mengagumkan hatinya itu
meloncat ke atas kuda bersama kakek itu, lalu keduanya membalapkan kuda keluar dari dusun itu. Hatinya
ingin sekali menegur, bertanya dan berkenalan, tetapi dia memaksa diri diam saja, hanya memandang dan
makin tertarik hatinya ketika melihat betapa dara itu mengerling ke arah mereka sambil tersenyum manis!
“Siapakah mereka...?” Souw Kee It bertanya setelah mereka keluar dari dusun.
“Hi-hik-hik, pemuda-pemuda yang lucu.” Ceng Ceng lalu menceritakan pertemuannya dengan dua orang
muda itu ketika dia menjual kuda.
“Hemm, mereka mencurigakan. Nona, kita harus berhati-hati.”
“Kau sendiri mengatakan bahwa ini daerah aman, Lopek.”
“Benar, memang tadinya kuanggap demikian. Akan tetapi di dalam pasar kuda tadi, aku melihat banyak
mata yang memandang kepadaku secara sembunyi. Hal seperti itu sudah terlalu sering kualami sehingga
aku dapat merasakannya. Juga, kalau aku tidak salah, aku melihat wajah seorang kakek yang menyelinap
di antara banyak orang, padahal kalau aku tidak salah ingat, itu adalah wajah seorang tosu Pek-lian-kauw.
Dan kabarnya Pek-lian-kauw juga sudah memasukkan tangan-tangan kotor ke dalam usaha
pemberontakan ini.”
“Ihhh...!” Ceng Ceng menjadi kaget mendengar ini.
“Keadaan menjadi berbahaya kalau begini, Nona.” Souw Kee It mengerutkan alisnya dan menahan
kudanya agar dia dapat menerangkan lebih jelas lagi. “Kalau sampai di dusun itu terdapat orang-orangnya
pemberontak tanpa diketahui oleh Jenderal Kao, maka hal itu hanya berarti bahwa kaki tangan
pemberontak sudah menyelundup ke utara. Mungkin saja di antara para pembantu Kao-goanswe sendiri
ada yang sudah terpengaruh. Dan ini berbahaya bagi pertahanan di utara.”
“Habis, apa yang kini hendak kau lakukan, Lopek?” Ceng Ceng bertanya, khawatir juga mendengar suara
orang tua itu yang amat serius.
Tiba-tiba kakek itu memandang ke depan dan matanya terbelalak, kemudian berkata, “Tenang, tidak usah
khawatir, akan tetapi siap menghadapi mereka itu. Kurasa mereka bukan orang-orang yang mengandung
niat baik...”
Ceng Ceng juga memandang ke depan dan tampaklah olehnya dua orang tosu dan dua orang laki-laki
yang dikenalnya sebagai dua di antara para pembeli kuda tadi telah menghadang di depan. Kuda
tunggangan empat orang itu ditambatkan pada pohon tak jauh dari situ dan jelaslah bahwa keempat orang
ini memang sengaja menunggu dan menghadang mereka di tempat ini!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lopek, hajar saja mereka!” Ceng Ceng berteriak dengan gemas dan kedua tangannya sudah meraba
sepasang pisau belati yang diselipkan di pinggangnya.
Memang mereka sudah bersiap sedia dan Souw Kee It telah memberikan dua batang pisau itu
sebagaimana yang dipilihnya sendiri ketika pengawal itu menawarkan senjata apa yang paling
digemarinya.
“Kau hadapi dua orang mata-mata yang menyamar sebagai pedagang kuda itu, dan biarlah aku yang
menghadapi dua orang tosu Pek-lian-kauw itu,” bisik Souw Kee It.
Ceng Ceng mengangguk. Dengan tenang keduanya turun dari atas kuda, menambatkan kuda mereka di
pohon lalu menghampiri empat orang yang mengawasi gerak-gerik mereka tanpa berkata-kata itu. Biar pun
dia merasa amat gemas dan marah, namun Ceng Ceng tidak berani sembrono turun tangan, melainkan
membiarkan pengawal itu yang bicara.
“Jiwi-totiang (bapak pendeta berdua) agaknya mempunyai keperluan denganku maka sengaja menanti di
sini. Ada keperluan apakah?” Souw Kee It lantas bertanya sambil menghadapi kedua orang tosu itu.
Dua orang tosu itu tidak menjawab, melainkan membuat gerakan membuka jubah depan mereka, yang
menutupi jubah di dalam dan tampaklah lukisan teratai putih di depan dada mereka. Tentu saja Souw Kee
It sudah tahu sebelumnya bahwa dua orang tosu itu adalah tosu-tosu Pek-lian-kauw, akan tetapi dia
berpura-pura kaget dan tidak mengerti.
“Kalau tidak salah, ji-wi adalah tosu dari Pek-lian-kauw. Ada keperluan apakah dengan kami paman dan
keponakan?”
“Souw Kee It, tidak perlu kau berpura-pura lagi!” Tiba-tiba seorang di antara mereka, tosu yang ada tahi
lalatnya di dagu, berkata mengejek. “Dan tidak perlu lagi mengaku dia ini keponakanmu. Ketika dia masih
menjadi pemuda berkumis, memang kami ragu-ragu. Souw Kee It, dan kau Nona! Hayo katakan di mana
adanya Puteri Syanti Dewi!”
Souw Kee It terkejut juga. Demikian hebat gerakan para pemberontak ini sehingga mata-matanya tersebar
ke mana-mana, bahkan perjalanannya bersama Ceng Ceng, penyamaran dara itu pun diketahui belaka
oleh tosu-tosu ini. Yang tidak mereka ketahui, seperti yang dia sendiri pun belum mengetahui, adalah di
mana adanya Putri Syanti Dewi. Hal ini melegakan hatinya, juga melegakan hati Ceng Ceng, karena berarti
bahwa Syanti Dewi belum terjatuh ke tangan kaum pemberontak.
“Pemberontak hina dina!” bentak Souw Kee It dan tanpa banyak cakap lagi pengawal ini sudah meloncat
ke depan, menerjang sambil memutar pedangnya yang berubah menjadi segulungan sinar terang.
Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu juga sudah mencabut pedang masing-masing dan menangkis sambil
membalas dengan serangan dahsyat. Namun, mudah saja serangan mereka ditangkis oleh Souw Kee It
dan melihat gerakan-gerakan mereka, hati pengawal kawakan ini menjadi lega karena dia yakin akan dapat
mengatasi mereka.
Dia mengkhawatirkan Ceng Ceng yang juga sudah membentak nyaring dan menerjang maju, yang
langsung disambut oleh dua orang pedagang kuda palsu itu dengan golok mereka. Terdengar suara
nyaring berdencing berkali-kali ketika dua orang pedagang kuda palsu itu sibuk menangkis sinar terang
dari sepasang belati di tangan Ceng Ceng yang menyambar-nyambar ganas ke arah mereka!
Tersenyumlah Souw Kee It menyaksikan sepak terjang dara dari Bhutan itu. Hebat dan lincah, sehingga
dia maklum bahwa dia tidak perlu mengkhawatirkan Ceng Ceng. Hal ini membuat dia dapat mencurahkan
seluruh perhatiannya untuk menghadapi dua orang tosu dari Pek-lian-kauw.
“Nona Lu, mari cepat robohkan mereka!” bentaknya karena pengawal ini maklum bahwa para kaki tangan
pemberontak ini mempunyai banyak kawan dan kalau mereka datang mengeroyok, keadaan akan menjadi
berbahaya.
“Baik, Lopek!” Ceng Ceng memang tadinya ingin mempermainkan dua orang lawannya, kini mendengar
seruan itu dia lalu memperhebat permainan sepasang pisau belatinya sehingga dua orang itu terdesak
hebat!
dunia-kangouw.blogspot.com
Souw Kee It juga telah mengerahkan tenaga mengeluarkan kepandaiannya. Pedangnya bergulung-gulung
sinarnya, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada dua orang pengeroyoknya yang main mundur
terus. Terdengar bentakan keras dua kali dari mulut pengawal itu dan robohlah dua orang tosu itu, roboh
untuk tidak bangun kembali karena dada mereka tertembus pedang!
“Haiiitttttt...!” Ceng Ceng yang merasa penasaran memekik. Pisaunya menyambar dan berhasil merobek
pipi kanan seorang lawan yang berteriak-teriak kesakitan.
“Aku mencari bantuan...!” Seorang di antara mereka berteriak dan lari meninggalkan kawannya yang robek
pipinya.
“Lari ke mana?” Ceng Ceng membentak, tangan kirinya bergerak dan pisau belati yang kiri meluncur ke
depan, mengejar lawan yang lari itu.
“Augghhh...!” Orang itu roboh dan pisau belati hanya tampak gagangnya saja menancap di punggungnya.
Orang kedua yang terluka pipinya menjadi nekat, akan tetapi kaki kiri Ceng Ceng telah menendang tepat
mengenai pergelangan tangannya sehingga golok yang dipegangnya terlepas dan sebelum dia sempat
mengelak, pisau belati Ceng Ceng sudah bersarang di dadanya, membuat dia roboh terjengkang dan
tewas tak lama kemudian.
Ceng Ceng mencabut dua batang pisaunya, membersihkan senjata itu di pakaian korbannya sambil
mendengarkan pesan Souw Kee It, “Nona, sudah jelas bahwa pihak pemberontak telah mengetahui
keadaan kita. Hal ini membuktikan bahwa kaki tangan pemberontak telah menguasai pula daerah ini dan
mungkin sekali sudah ada mata-mata yang menyelinap ke dalam pasukan penjaga tapal batas. Hal ini
berbahaya sekali. Jenderal Kao adalah seorang panglima yang amat setia, akan tetapi kalau dia dikelilingi
pemberontak tanpa diketahuinya, amatlah berbahaya. Sekali pertahanan di tapal batas ini bobol, bahaya
utara akan membanjir ke selatan dan merupakan ancaman besar.”
“Jika begitu, kita cepat menghadap Jenderal Kao untuk menceritakan keadaan, Lopek.”
Souw Kee It menggelengkan kepala. “Kita harus membagi tugas. Di benteng terdekat sebelah barat sana
yang bertugas sebagai seorang komandan seorang sahabatku. Aku akan pergi ke sana untuk cepat
memperingatkan sahabatku itu agar dia dapat bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Sedangkan
engkau, Nona, harap kau lanjutkan perjalanan ini ke utara. Karena lebih tiga puluh li lagi dari sini, engkau
akan tiba di benteng di mana kau dapat menghadap Jenderal Kao sendiri dan kau ceritakan segala yang
kau telah ketahui dan dengar dari aku mengenai keadaan di ibu kota.”
Ceng Ceng mengangguk. “Baik, Lopek.”
Souw Kee It mengeluarkan sebuah benda dan memberikan itu kepada Ceng Ceng sambil berkata, “Kau
bawalah tek-pai ini sebagai pelindung kalau terjadi sesuatu. Aku sendiri tidak memerlukannya karena
Panglima Kim yang akan kuhubungi adalah wakil dari Jenderal Kao dan adalah bekas sahabatku ketika
kami bersama bertugas di kota raja. Kalau kau menghadapi kesukaran dari pihak pasukan, tek-pai ini tentu
akan menyelamatkanmu.”
Ceng Ceng menerima benda itu yang ternyata adalah sebuah tek-pai, yaitu sepotong bambu yang
merupakan sebuah tanda bahwa pemegangnya telah diberi kuasa oleh pihak atasan. Biasanya, jika kaisar
memberi kekuasaan kepada seseorang ponggawa untuk melakukan suatu pekerjaan penting, ponggawa
ini diberi sebuah tek-pai. Akan tetapi tek-pai yang diserahkan oleh Souw Kee It kepada Ceng Ceng adalah
tanda kuasa yang diberikan oleh Puteri Milana.
“Berangkatlah, Nona dan hati-hatilah di jalan. Kurasa tidak akan ada gangguan lagi seperti tadi setelah
Nona berada di dekat benteng pasukan Jenderal Kao.”
Mereka lalu berpisah dan Ceng Ceng lalu membalapkan kudanya menuju ke utara. Ada pun Souw Kee It
sendiri juga lalu meloncat ke atas kudanya, memutar kudanya menuju ke kiri di mana dia tahu ada markas
dari pasukan yang dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao, yaitu Panglima Kim. Pencegatan oleh tosu Peklian-
kauw tadi terjadi di daerah kekuasaan pasukan Panglima Kim, maka dia perlu sekali harus cepat
memberi tahu bekas sahabatnya itu agar dapat mengadakan operasi pembersihan karena dia yakin bahwa
tentu daerah ini telah kemasukan kaki tangan pemberontak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang daerah yang merupakan front kedua ini dipimpin oleh wakil dari Jenderal Kao Liang, yaitu
Panglima Kim Bouw Sin yang dahulu pernah menjadi pengawal kaisar, rekan dari Souw Kee It. Panglima
Kim Bouw Sin yang berusia lima puluh tahun ini bertubuh kecil tinggi, bermata tajam dan dia merupakan
seorang yang ahli dalam ilmu perang, selain ahli pula dalam ilmu silat.
Dahulunya dia hanya seorang guru silat yang karena kepandaiannya yang tinggi maka banyak putera
bangsawan menjadi muridnya di kota raja. Akhirnya dia diangkat menjadi pengawal dan memang orang
she Kim ini amat rajin dan pandai pula mengambil hati bekas-bekas muridnya yang banyak terdapat di
antara para pangeran sehingga akhirnya dia terus naik pangkat sampai menjadi wakil Jenderal Kao Liang
dan mengepalai puluhan ribu prajurit di tapal batas utara.
Akan tetapi, kenaikan demi kenaikan yang membawanya ke tempat yang lebih tinggi dan mulia, kedudukan
demi kedudukan yang telah dicapainya itu sama sekali tidak pernah memadamkan api cita-cita yang selalu
berkobar di dalam dada Kim Bouw Sin. Tidak pernah membuat dia merasa puas dan cukup. Cita-cita atau
ambisinya terus meningkat dan kedudukan wakil panglima komandan perbatasan masih jauh dari pada
memuaskan hatinya yang penuh ambisi, karena di sana, jauh di tinggi, masih tampak kedudukan panglima,
kedudukan menteri-menteri, perdana menteri, panglima tertinggi dan kaisar sendiri!
Ambisi ini yang lalu menyeretnya untuk diam-diam bersekutu dengan Pangeran Liong Bin Ong dan biar
pun secara terang-terangan dia menjadi wakil panglima di perbatasan utara, namun gelap-gelapan dia
adalah pemimpin pemberontak, kepercayaan Liong Bin Ong yang sudah siap melakukan gerakan besar di
utara!
Seperti halnya Kim Bouw Sin, seperti pula dapat kita lihat dalam penghidupan manusia sehari-hari, betapa
kita ini dicengkeram, dibuai dan dipermainkan oleh cita-cita, oleh ambisi.
Cita-cita dan ambisi adalah masa depan sehingga kita hidup seperti dalam mimpi, hidup dituntun oleh
masa depan sehingga kita menjadi seperti buta akan masa kini, saat ini, tidak dapat melihat segala
keindahan dan kebahagiaan saat ini karena mata kita selalu kita tujukan ke depan dan ke atas! Kita selalu
mementingkan tujuan, sehingga terjadilah kepalsuan-kepalsuan dalam cara atau tindakan karena semua
itu dituntun dan diatur demi mencapai tujuan!
Karena mementingkan tujuan, maka timbullah perbμatan-perbuatan yang palsu, karena yang penting
bukanlah caranya lagi, melainkan tujuannya. Timbullah anggapan palsu bahwa tujuan menghalalkan
secara cara! Maka terjadilah segala kepalsuan yang dapat kita lihat sehari-hari di dalam kehidupan kita.
Betapa demi tujuan mendapatkan keuntungan, kita tak segan-segan untuk mencapainya dengan cara apa
pun, dengan judi, dengan korupsi, dengan menyuap, dengan penipuan dagang, dengan penyelundupan,
dan banyak lagi macamnya. Semua itu kita lakukan demi untuk satu tujuan, yaitu mencari keuntungan!
Lebih hebat lagi adalah, demi tujuan mencapai kemenangan, kita manusia saling bunuh-membunuh dalam
perang, bahkan tidak segan-segan memakai nama Tuhan, negara, bangsa dan lain-lain yang hanya
merupakan suatu cara palsu untuk mencapai tujuan, yaitu kemenangan tadi!
Umumnya kita menganggap bahwa cita-cita atau ambisi mendatangkan kemajuan! Jika tidak bercita-cita,
tak ada kemajuan, demikian kita berkata dan anggapan atau pendapat ini telah berakar di dalam hati dan
pikiran. Akan tetapi kalau kita mau membuka mata dan mempelajarinya, benarkah demikian? Benarkah
ambisi mendatangkan kemajuan?
Kalau kita ukur kemajuan dengan lembaran uang, mungkin ada benarnya, yaitu bahwa ambisi
mendatangkan uang! Akan tetapi, apakah itu suatu kemajuan? Apakah itu dapat dikatakan maju kalau
menjadi kaya-raya karena korupsi, karena dagang gelap, karena penipuan dan lain-lain? Apa artinya kayaraya
kalau batinnya miskin? Dapatkah kekayaan mendatangkan kebahagiaan? Tanya saja kepada para
hartawan dan semua akan menjawab pertanyaan itu dengan geleng kepala!
Yang penting adalah sekarang ini! Saat ini! Tindakan ini! Cara ini! Bukan tujuannya, bukan cita-citanya!
Kalau caranya atau tindakannya benar, tujuannya pun benar! Biar pun tujuannya benar, kalau caranya
tidak benar, tujuannya pun menjadi tidak benar! Dari pada membiarkan pikiran melamun dan
membayangkan tujuan atau cita-cita atau ambisi di masa depan, hal-hal yang belum ada dan hanya
merupakan khayal belaka, marilah kita tujukan seluruh perhatian kita kepada saat ini, saat demi saat
sehingga apa yang kita lakukan, apa yang kita ucapkan, semua kita lakukan dengan kesadaran
sepenuhnya, dengan perhatian sepenuhnya, sehingga kita dapat menghayati hidup ini saat demi saat!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan demikian akan timbul kewaspadaan, kita dapat melihat yang palsu sebagai palsu dalam diri kita
sendiri dan di luar diri kita.
Souw Kee It sama sekali tidak pernah mengira bahwa bekas sahabat dan rekannya itu kini telah menjadi
orang kepercayaan Pangeran Liong Bin Ong. Dia datang dan menghadap bekas temannya yang telah
menjadi wakil panglima perbatasan itu. Akan tetapi begitu dia menceritakan tentang pencegatan dua orang
tosu Pek-llan-kauw dan dua orang kaki tangan pemberontak lain yang berhasil dibunuhnya, seketika dia
disergap, dikeroyok dan akhirnya, dalam perlawanan mati-matian, pengawal kaisar yang gagah perkasa ini
tewas di depan kaki Panglima Kim Bouw Sin!
Souw Kee It telah menceritakan betapa pengawal itu bersama adik angkat Puteri Syanti Dewi telah tiba di
utara dan bahkan telah mengetahui bahwa di utara terdapat kaki tangan pemberontak! Dan sekarang gadis
itu telah menuju ke markas Jenderal Kao! Hal ini tentu saja menggegerkan hati Kim Bouw Sin dan kawankawannya.
Maka setelah menyingkirkan mayat pengawal Souw Kee It, Panglima Kim Bouw Sin segera
memanggil semua sekutunya untuk mengadakan perundingan kilat!
Yang hadir dalam perundingan itu selain Panglima Kim Bouw Sin sendiri, juga dua orang utusan Pangeran
Liong Bin Ong yang menjadi penghubung, dan tiga orang kepala suku Mongol yang memusuhi pemerintah.
Memang Kim Bouw Sin amat cerdik. Untuk memperkuat kedudukannya dan memperkuat barisan kalau
kelak tiba masanya bahwa pasukannya harus digerakkan ke selatan, diam-diam dia telah mengadakan
persekutuan dengan suku-suku liar di luar tembok besar dan telah mengadakan kontak dengan tiga orang
kepala suku Mongol itu.
“Rahasia telah terbuka, mungkin sekarang Jenderal Kao telah mendengar dari gadis itu,” demikian antara
lain Panglima Kim berkata kepada lima orang itu. “Dua orang tosu Pek-lian-kauw itu terlalu sembrono,
turun tangan tanpa melihat keadaan lawan lebih dulu. Selain mereka gagal, juga tentu akan menimbulkan
kecurigaan di hati Jenderal Kao.”
“Bagi Pangeran Liong, hal itu tidak membahayakan,” kata seorang di antara tiga orang utusan Pengeran
Liong Bin Ong, “karena kabar pemberontakan itu hanya merupakan desas-desus yang tidak ada buktinya.
Akan tetapi tidaklah demikian dengan kedudukan ciangkun (panglima) di sini. Jenderal Kao terkenal keras,
dan sebagai bawahannya Ciangkun tentu dapat dia perlakukan sesuka hatinya.”
“Itulah yang memusingkan kepalaku!” Panglima Kim menghantam meja di depannya. “Kecuali kalau dia
dapat disingkirkan lebih dulu, lebih pagi dari pada rencana semula! Tetapi, pasukannya belum dapat kita
kuasai seluruhnya sehingga hal itu tentu amat sukar dilakukan.”
“Bukankah Jenderal Kao gemar sekali melakukan penyelidikan dan perondaan sendiri, hanya dikawal oleh
tiga belas orang pengawalnya yang terkenal?” berkata seorang di antara utusan Pangeran Liong.
“Bagaimana kalau digunakan akal untuk memancingnya keluar bersama para pengawalnya itu dan kita
sergap dia?”
Kim Bouw Sin mengangguk. “Memang ada rencana itu, tetapi kalau ketahuan bahwa dia tewas, tentu akan
timbul kegemparan dan mungkin pasukan yang setia kepadanya akan menimbulkan keributan. Kecuali
kalau pasukannya sudah dapat kita kuasai atau... kalau dapat melenyapkannya tanpa menimbulkan
jejak...”
Tiba-tiba seorang kepala suku Mongol yang kumisnya panjang bergantungan dari kanan kiri mulai
menepuk pahanya sendiri sehingga mengejutkan semua orang yang hadir. “Dapat sekarang!” Teriaknya
sehingga semua orang memandangnya penuh perhatian. “Sumur maut! Tempat itu pasti dapat kita
pergunakan untuk memancing dan menjebak Jenderal Kao!”
Enam orang itu segera bicara berbisik-bisik mengatur rencana, mereka menggunakan siasat keji untuk
membunuh Jenderal Kao tanpa diketahui orang dan menimbulkan kesan bahwa jenderal itu terbunuh oleh
suku bangsa liar yang memusuhi pemerintah. Panglima Kim Bouw Sin kelihatan girang bukan main,
wajahnya berseri gembira, dalam hatinya dia merasa betapa dia dan sekutunya melalukan sesuatu yang
cerdik dan yang benar!
Demikianlah keadaan batin orang yang telah diracuni oleh cita-cita. Demi tercapainya cita-cita itu, segala
cara dianggapnya baik dan benar belaka. Yang baik dan yang benar hanya diukur dari keuntungan bagi diri
pribadi. Yang menguntungkan diri sendiri, lahir mau pun batin, maka sudah baik dan benarlah itu! Dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
pedoman hidup seperti ini di antara kita semua, herankah kita kalau dunia ini selalu kacau dan ribut,
kekerasan, permusuhan dan peperangan terjadi di seluruh dunia?
********************
“Berhenti!” Tiba-tiba bermunculan prajurit-prajurit yang agaknya tadi bersembunyi di balik batu-batu gunung
dan lebih dari dua puluh orang prajurit sudah mengepung Ceng Ceng yang cepat menahan kudanya.
Diam-diam Ceng Ceng menjadi kagum melihat sikap mereka yang galak dan berbaris rapi. Mudah diduga
bahwa prajurit-prajurit ini merupakan anggota pasukan pilihan yang kuat. Akan tetapi di samping
kekagumannya, dia pun merasa penasaran. Dia seorang wanita, tetapi pasukan ini memperlihatkan sikap
demikian keras dan kaku. Wataknya yang nakal membuat dia ingin sekali menggoda para prajurit Jenderal
Kao ini.
“Heiiii, kenapa kalian menyuruh aku berhenti?” teriaknya.
Seorang di antara mereka, komandannya yang berusia kurang lebih empat puluh tahun dan tubuhnya
tinggi besar dan tegap, melangkah maju dan berkata, suaranya nyaring, “Nona, kau sudah melanggar
wilayah penjagaan kami. Kau tidak boleh terus dan harus kembali.”
Ceng Ceng tersenyum. “Aihhh, tanah, pasir dan gunung ini bukan kalian yang bikin, mengapa hendak
melarang orang lewat? Bagaimana kalau aku tidak mau kembali dan hendak terus?”
“Terpaksa kau harus kami tangkap dan akan kami hadapkan kepada atasan kami untuk diperiksa.”
“Begitu mudah?” Ceng Geng tersenyum mengejek. “Coba tangkap aku kalau bisa!”
Para prajurit itu saling pandang, ada yang merasa penasaran dan marah menyaksikan lagak dara remaja
itu, ada pula yang tersenyum geli, akan tetapi tidak ada seorang pun berani bergerak karena mereka
menanti perintah komadan mereka.
“Nona, jangan bergurau. Kembalilah saja, atau turun dari kuda untuk kami hadapkan kepada atasan kami,”
kata komandan tinggi besar itu dengan wajah sungguh-sungguh.
“Dan aku tidak bergurau, melainkan menantang kalian semua untuk menangkap aku kalau bisa!”
Merahlah wajah komandan itu. Dia merasa dipermainkan oleh anak perempuan ini di depan anak buahnya.
“Tangkap dia!” teriaknya memberi aba-aba.
Setelah terdengar aba-aba ini, barulah para prajurit bergerak, mengulur tangan dan seolah-olah hendak
berlomba menangkap atau menjamah tubuh dara remaja yang cantik manis dan menggemaskan hati itu!
Ceng Ceng tertawa, kakinya bergerak dan tubuhnya sudah mencelat dan melayang melalui atas kepala
mereka. Bagaikan seekor burung saja gadis ini meloncat dari atas kudanya melalui kepala para prajurit dan
turun ke atas tanah di luar kepungan sambil tertawa-tawa.
Ceng Ceng menggapai kepada para prajurit yang kini membalikkan tubuh memandang kepadanya dengan
mata terbelalak. “Mari, mari! Siapa yang merasa ada kepandaian, boleh maju! Atau kalau kalian tidak tahu
malu, boleh mengeroyok aku!”
Tentu saja para prajurit menjadi marah dan serentak bergerak maju, akan tetapi tiba-tiba komandan tinggi
besar itu berteriak, “Tahan!”
Serentak para prajurit menghentikan gerakan mereka dan berdiri tegak menanti perintah komandan
mereka. Akan tetapi komandan itu melambaikan tangannya memberi isyarat agar mereka mundur,
kemudian dia sendiri melangkah maju menghadapi Ceng Ceng. Sejenak dia memandang dara itu penuh
perhatian dan kecurigaan, kemudian dia berkata, “Nona, sebetulnya siapakah engkau, ada keperluan apa
datang ke tempat ini dan mengapa menantang kami?”
Ceng Ceng yang sudah kumat nakalnya dan memang sengaja hendak mempermainkan orang, tersenyum
dan berkata, “Soal nama dan keperluan nanti saja. Sekarang karena aku dilarang melanjutkan perjalanan,
dunia-kangouw.blogspot.com
aku tantang siapa saja di antara kalian. Kalau aku kalah, aku akan kembali tanpa banyak cerewet lagi,
akan tetapi kalau aku menang, kalian harus membolehkan aku melanjutkan perjalananku...”
Komandan itu menggeleng-gelengkan kepala. “Peraturan di sini tidak boleh diubah oleh siapa pun juga,
Nona. Siapa yang melanggar akan berhadapan dengan kami.”
“Aku tidak mau tunduk akan peraturan itu!”
“Kalau begitu terpaksa Nona akan kutangkap.”
“Cobalah!”
Akan tetapi kembali komandan itu ragu-ragu. “Aku adalah seorang laki-laki sejati yang tidak suka memukul
wanita. Akan tetapi harap Nona ketahui bahwa kami telah berbulan-bulan bertugas di sini dan jauh dari
wanita, maka jangan katakan aku kurang ajar kalau tangan-tanganku menjadi gatal.”
Para prajurit tertawa mendengar kelakar komandan mereka ini, dan wajah Ceng Ceng menjadi merah
sekali. Akan tetapi karena dia pun tahu bahwa komandan itu bukan bermaksud untuk kurang ajar
melainkan bicara sejujurnya, dia pun mejawab, “Tidak usah banyak sungkan, Ciangkun. Mari perlihatkan
kepandaianmu.”
“Heiiiiitttt!” Komandan itu yang juga memiliki ilmu silat cukup tangguh sudah bergerak maju, menubruk
dengan kedua lengannya dipentang lebar.
“Yaahhh!” Dengan lincahnya Ceng Ceng mengelak dan tubuhnya yang kecil ramping itu lolos dari bawah
lengan kanan komandan itu, tidak lupa untuk menggerakkan tangan kiri menampar belakang pundak
kanan.
“Plakkk!”
Tubuh komandan itu terhuyung-huyung dan wajahnya kelihatan kaget bukan main. Tak disangkanya
bahwa tubrukannya itu tidak hanya dapat dielakkan, malah dia kena ditampar, tamparan main-mainan saja
karena kalau dara itu menghendaki, tamparan itu tentu dapat diubah menjadi pukulan yang berbahaya.
Tahulah dia bahwa gadis ini memang berilmu tinggi sehinga dia berani berlagak seperti itu. Maka dia tidak
menjadi sungkan-sungkan lagi dan sambil berteriak keras kini mulailah dia menyerang, bukan sekedar
untuk mengalahkan.
Ceng Ceng yang memang hanya ingin mempermainkan, menggunakan ginkang-nya dan dengan amat
lincah dia selalu dapat mengelak dari semua serangan lawan tanpa membalas karena dia memang tidak
berniat untuk bermusuhan. Kemudian, ketika komandan itu menyerangnya dengan dahsyat, menggunakan
lengan kanan untuk memukul ke arah lambung dan tangan kirinya mencengkeram pundak, Ceng Ceng
mengelak dengan loncatan ke kanan sambil menggerakkan kepalanya.
“Plak! Plak!”
Komadan itu terkejut dan cepat meloncat mundur sambil terhuyung-huyung karena tadi dua helai kuncir
dara itu dengan tepat telah menyambar dan mengenai leher dan dadanya. Melihat ini, para prajurit sudah
bergerak maju hendak menolong dan membantu komandan mereka, akan tetapi tiba-tiba Ceng Ceng
meloncat jauh ke belakang sambil berseru keras, “Tahan...!”
Komandan itu sudah mencabut pedangnya dan memandang dengan mata terbelalak marah. Ceng Ceng
cepat menjura kepadanya dan berkata, “Harap Ciangkun maafkan. Sebetulnya saya hanya main-main saja.
Saya hendak menghadap Jenderal Kao Liang, harap Ciangkun mengantar saya kepadanya.”
Komandan itu mengerutkan alis. Tentu saja dia menjadi makin curiga. Gadis ini adalah seorang yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kedatangannya demikian mencurigakan dan sekarang menyatakan ingin
bertemu dengan Jenderal Kao Liang, tentu saja dia menjadi curiga sekali.
“Nona, terpaksa kami hanya bisa menghadapkan engkau sebagai seorang tangkapan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ceng Ceng tersenyum, lalu merogoh saku mengeluarkan tek-pai yang diterimanya dari Pengawal Souw
Kee It, menyodorkan tek-pai itu ke depan perwira komandan itu sambil berkata, “Apakah engkau masih
mencurigai aku?”
Komandan itu segera memandang tek-pai, bambu kuasa itu dan setelah membaca dan mengenal tulisan di
atas tek-pai, melihat cap kebesaran Puteri Milana sendiri, cepat dia menjatuhkan diri berlutut. Para
prajuritnya terkejut dan biar pun mereka belum mengerti jelas, mereka pun cepat meniru perbuatan
komandan mereka, berlutut.
“Harap Nona maafkan kami yang tidak mengenal Nona,” kata komandan itu.
“Aihhh, tidak apa-apa, Ciangkun. Salahku sendiri karena memang aku yang ingin main-main dengan
pasukanmu yang begini perkasa. Nah, sekarang engkau antarkanlah aku menghadap Jenderal Kao Liang.”
“Baik, Nona.”
Komandan itu meninggalkan perintah kepada anak buahnya, dan dia sendiri kemudian mengantarkan
Ceng Ceng memasuki benteng besar di mana terdapat penjagaan yang ketat dan mengagumkan hati Ceng
Ceng. Dia maklum betapa akan sukarnya memasuki benteng yang terjaga kuat ini apa bila tidak diantarkan
oleh komandan itu.
Jenderal Kao Liang yang gagah perkasa itu menerima kedatangan Ceng Ceng dengan ramah, apa lagi
ketika Ceng Ceng memperlihatkan tek-pai (bambu tanda kuasa) dari Puteri Milana dan menceritakan
bahwa dia mewakili Perwira Pengawal Souw Kee It.
“Aihhh, sungguh patut dipuji seorang wanita muda seperti Nona mau menempuh segala kesukaran untuk
membantu negara. Nona amat gagah perkasa! Silakan duduk di ruang dalam dan ceritakan semua tugas
Nona datang menjumpai kami,” kata jenderal itu yang mengajak Ceng Ceng duduk di ruangan dalam.
Setelah minum teh yang disuguhkan, Ceng Ceng mulai dengan penuturannya. “Souw-ciangkun sekarang
pergi ke benteng di barat sana untuk melaporkan bahwa daerah ini telah kemasukan kaki tangan
pemberontak. Kami berdua telah dicegat oleh dua orang tosu Pek-lian-kauw dan kaki tangannya. Menurut
Souw-ciangkun, pemberontak yang sekarang sedang berusaha untuk menghimpun kekuatannya tidak
hanya bergerak di barat, melainkan agaknya juga sudah mulai mengulur tangan kotor mereka di daerah
perbatasan ini.”
Jenderal Kao Liang tertawa sambil mengangkat cawan arak dan minum arak dengan lahapnya. Dia kuat
sekali minum dan tidak pernah menjadi mabuk. “Ha-ha-ha-ha, harap tenangkan hatimu, Nona.
Pemberontak-pemberontak itu hanya besar mulut saja, akan tetapi tidak ada artinya. Bahkan baru-baru ini
aku sendiri sudah melakukan pemeriksaan ke barat, memimpin operasi pembersihan membasmi para
pemberontak yang berani mengganggu perbatasan barat. Kalau ada pemberontak yang berani muncul di
daerah ini, tentu akan kusapu sampai bersih!”
Kembali dia tertawa bangga, lalu melanjutkan. “Sayang bahwa para penjahat itu berhasil mencegat
rombongan Puteri Bhutan sehingga sang puteri kabarnya lenyap. Akan tetapi, Kerajaan Bhutan tentu mau
bekerja sama dengan kami untuk membasmi pemberontak di sana yang sebetulnya hanya merupakan
segerombolan orang liar dan biadab, di bawah pimpinan penjahat besar Tambolon.”
“Agaknya Tai-ciangkun belum tahu jelas akan keadaan yang lebih parah dan berbahaya dari pada yang
Tai-ciangkun kira.” Ceng Ceng berkata, “Hendaknya diketahui bahwa saya adalah Lu Ceng, atau Candra
Dewi, saudara angkat dengan Puteri Syanti Dewi dari Bhutan, dan saya pula yang menjadi pengawal
pribadinya ketika diboyong ke kota raja.”
“Ehhh...?!” Jenderal itu terkejut juga dan kini memandang kepada Ceng Ceng penuh perhatian.
Ceng Ceng lalu menceritakan semua pengalamannya bersama Syanti Dewi yang kini entah berada di
mana, akan tetapi yang menurut kabar diselamatkan oleh seorang nelayan dan pasti belum terjatuh ke
tangan pemberontak. Kemudian dia menceritakan pula pertemuannya dengan Ang Tek Hoat yang menjadi
orang kepercayaan Pangeran Liong si pemberontak, menceritakan pula percakapan yang didengarnya
antara Ang Tek Hoat dan Pangeran Liong Khi Ong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar semua itu, barulah Jenderal Kao tidak memandang ringan lagi, bahkan dia menggebrak meja.
“Celaka! Kiranya di kota raja sendiri telah penuh dengan manusia-manusia khianat! Kalau begitu, aku
sendiri harus ke kota raja untuk memperingatkan kaisar dan berunding secara langsung dengan Puteri
Milana yang bijaksana. Ahhh, pengkhianat-pengkhianat yang tak mengenal budi itu harus dibasmi secepat
mungkin sebelum gerakan mereka menjadi besar!”
Pada saat itu pula seorang pengawal melangkah masuk dan memberi hormat kepada Jenderal Kao sambil
berkata, “Kim-ciangkun datang dan mohon menghadap!”
“Ah, dia datang? Suruh cepat masuk!” kata jenderal itu.
Ketika Panglima Kim Bouw Sin memasuki ruangan itu dan memberi hormat kepada Jenderal Kao, Ceng
Ceng memandang penuh perhatian. Panglima Kim adalah seorang laki-laki berusia kira-kira empat puluh
tahun, mukanya pucat dan matanya sipit sekali. Karena dia tahu bahwa panglima ini adalah sahabat baik
Souw Kee It, maka begitu panglima itu duduk dia bertanya, “Kim-ciangkun, bukankah Souw-lopek sudah
bertemu denganmu?”
Kim Bouw Sin memandang dara itu lalu tertawa. “Tentu Nona adalah Nona Lu Ceng dari Bhutan seperti
yang diceritakan oleh Souw-sicu. Memang dia telah bertemu denganku, Nona. Bahkan kini dia membantu
menjadi penunjuk jalan bagi pasukan yang kukirimkan untuk melakukan pembersihan ke dusun tempat jual
kuda itu.”
“Hemmm, Kim-ciangkun! Mengapa urusan besar seperti itu kau serahkan saja kepada bawahanmu dan
tidak kau pimpin sendiri? Kita harus segera mengadakan pembersihan, jangan sampai kaki tangan
pemberontak memperlebar sayapnya di daerah ini!” Jenderal Kao menegur bawahannya.
Kim Bouw Sin cepat menghadapi atasannya itu dan berkata, “Memang sebenarnya harus saya sendiri
yang memimpin operasi pembersihan itu. Akan tetapi, ada hal lain yang lebih penting lagi dan yang harus
saya laporkan sendiri kepada Goanswe.”
“Hemm... berita apakah yang begitu penting?”
“Para peyelidik kami mendapat keterangan bahwa pada hari besok, para kepala suku mengadakan
pertemuan dan perundingan tidak jauh dari sini dan mereka itu akan menerima kujungan seorang kaki
tangan pemberontak yang tentu akan melakukan pembujukan kepada para kepala suku untuk bersekutu
dengan pihak pemberontak.”
Wajah Jenderal Kao berubah merah sekali dan dia menggebrak meja. “Bagaimana bisa ada kejadian
seperti ini? Selama ini para kepala suku itu baik dengan kita!”
Dengan sikap agak ketakutan Kim-ciangkun berkata, “Akan tetapi, pihak pemberontak itu tentu telah
berhasil membujuk mereka yang mata duitan dengan menyerahkan hadiah-hadiah. Kalau Goanswe
mengijinkan, saya akan melakukan penyelidikan sendiri ke tempat itu.”
“Tidak! Hal ini terlalu penting sehingga harus aku sendiri yang melakukan penyelidikan. Di mana tempat
itu?”
“Di sekitar sumur maut di tengah padang pasir.”
“Hemmm, di tempat terpencil dan mengerikan itu?” Jenderal Kao membelai jenggotnya, “Baik, biarlah aku
akan menyelidikinya sendiri.”
“Kalau begitu baik sekali. Saya akan menyusul ke selatan, memimpin sendiri operasi pembersihan di dusun
pasar kuda,” kata Kim Bouw Sin yang segera pamit dan keluar meninggalkan tempat itu.
Jenderal Kao lalu menyuruh seorang pengawal mengantar Ceng Ceng ke sebuah kamar tamu agar dara
itu dapat beristirahat sambil menanti kembalinya Souw Kee It, karena dia sendiri sibuk mempersiapkan tiga
belas orang pengawalnya dan mengatur rencana untuk menyelidiki sumur maut yang dijadikan tempat
pertemuan para kepala suku itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Jenderal Kao telah berangkat meninggalkan benteng itu. Seperti
biasanya tiap kali dia mengadakan perondaan atau penyelidikan, dia hanya dikawal oleh tiga belas orang
pengawalnya yang gagah perkasa dan setia.
Derap kaki kuda di luar itu membangunkan Ceng Ceng dari tidurnya. Dia membuka pintu kamar dan
bertanya kepada pelayan, mendapat keterangan bahwa Jenderal Kao telah berangkat. Ceng Ceng lalu
mandi, bertukar pakaian lalu keluar dari bangunan itu melihat-lihat. Tetapi baru saja dia keluar, tampak
olehnya seorang laki-laki berpakaian perwira menengah berjalan dengan amat cepatnya sambil menengok
ke kanan kiri.
Jelas nampak olehnya betapa orang itu seperti tergesa-gesa dan hati-hati sehingga timbullah kecurigaan
hatinya. Apa lagi orang itu agaknya baru saja meninggalkan tempat di mana dia menginap, padahal dia
sejak kemarin tidak pernah bertemu dengan orang itu, seolah-olah orang itu telah bersembunyi di situ.
Ketika melihat orang berpakaian perwira itu memasuki sebuah pondok, Ceng Ceng cepat menggunakan
kepandaiannya untuk meloncat ke atas genteng dan tak lama kemudian dia sudah mengintai dan
mendengarkan dari atas. Perwira itu telah bertemu dengan seorang perwira lain dan biar pun percakapan
mereka hanya singkat saja, namun cukuplah bagi Ceng Ceng mengetahui siapa adanya mereka.
“Cepat kau pergi melaporkan Kim-ciangkun bahwa dia telah berangkat,” kata perwira yang dibayanginya
tadi.
“Baik, dan kau mempersiapkan semua teman agar mengendalikan semua pasukan di sini,” kata orang
kedua.
“Ya, setelah itu aku akan menyusul mereka untuk melihat apakah semua telah berjalan sesuai rencana.
Sebaliknya, sebelum engkau berangkat kepada Kim-ciangkun, engkau yang menghubungi teman-teman di
sini. Jangan lupa gadis itu, harus secepatnya dibikin tidak berdaya. Aku akan berangkat sekarang, khawatir
kalau-kalau terjadi perubahan dan kegagalan di sana.”
Selanjutnya mereka berbisik-bisik dan Ceng Ceng cepat meloncat turun, menyelinap di depan pondok itu
dan bersembunyi di tempat yang masih gelap. Percakapan yang didengarnya itu cukup baginya dan amat
mengejutkan. Jelas bahwa kedua orang itu tentulah mata-mata pemberontak yang menyelinap dan berhasil
menjadi perwira-perwira di situ, atau juga perwira-perwira yang telah dibujuk oleh pihak pemberontak. Yang
amat mengejutkan hatinya adalah disebutnya Kim-ciangkun!
Agaknya Kim-ciangkun juga sekutu mereka! Jantungnya berdebar tegang. Dia teringat akan Souw Kee It
yang belum juga muncul setelah pengawal itu pergi mengunjungi Kim-ciangkun. Kecurigaan besar timbul di
dalam hatinya. Dia khawatir bahwa telah terjadi sesuatu yang tidak baik menimpa diri pegawal itu. Akan
tetapi Ceng Ceng maklum bahwa dia menghadapi orang yang memiliki pasukan besar, yang tidak mungkin
dapat dilawannya begitu saja. Jalan satu-satunya adalah cepat melapor kepada Jenderal Kao yang telah
pergi.
Dan orang berpakaian perwira itu agaknya akan menyusul rombongan Jenderal Kao untuk melihat apakah
rencana mereka berjalan lancar. Ceng Ceng segera mengambil keputusan dan melihat perwira itu
berkelebat ke luar, cepat dia membayangi dari jauh.
Perwira itu keluar dari benteng, naik kuda dan membalap ke arah utara! Ceng Ceng terpaksa
menggunakan ilmu berlari cepat, akan tetapi sebentar saja sudah tertinggal jauh dan akhirnya perwira
berkuda yang dibayanginya itu lenyap. Untung baginya bahwa jejak tapak kaki kuda yang dikejarnya dapat
dilihat jelas maka dia dapat terus melakukan pengejaran ke utara dengan melihat tapak kaki kuda perwira
itu.
Sementara itu, Jenderal Kao Liang dan tiga belas orang pengawalnya telah sampai di daerah sumur maut.
Dengan teliti jenderal itu bersama para pengawalnya memeriksa keadaan di sekitar itu, namun yang
tampak hanyalah padang pasir yang luas, tidak kelihatan ada seorang pun manusia. Sumur maut yang
berada di tengah-tengah padang pasir itu pun sunyi saja, hanya tampak dari jauh sebagai suatu lubang
yang dikelilingi batu-batu besar yang berserakan. Tidak ada suara apa-apa, tidak ada gerakan apa-apa.
Jenderal Kao telah memecah pasukan pengawalnya menjadi empat untuk memeriksa di empat jurusan,
namun mereka semua kembali dengan tangan hampa, karena memang tidak ada seorang pun manusia di
sekitar daerah yang amat sunyi itu. Setelah menanti sampai lama namun tidak juga ada datang kepaladunia-
kangouw.blogspot.com
kepala suku seperti yang dikabarkan akan mengadakan pertemuan rahasia di situ, Jenderal Kao mulai
menjadi penasaran dan curiga. Apakah berita itu hanya berita bohong belaka?
“Mari coba kita periksa sumur itu!” Akhirnya dia berkata dan bergeraklah rombongan ini mendekati sumur.
Tiba-tiba terdengar teriakan nyaring disusul suara derap kaki kuda. “Jangan mendekati sumur itu...!”
Semua orang terkejut dan menengok. Kiranya Ceng Ceng yang datang menunggang kuda dengan cepat
sekali dan dara itu yang tadi berteriak. Dara ini telah berhasil mengejar perwira berkuda ketika perwira itu
turun dari kudanya setelah tiba dekat daerah sumur maut. Selagi perwira itu mengintai dari jauh, Ceng
Ceng menyergapnya. Perwira itu berusaha melawan, namun dia bukanlah lawan dara perkasa dari Bhutan
ini, dan dengan mudah Ceng Ceng berhasil merobohkannya.
Karena perwira itu tetap membungkam ketika Ceng Ceng berusaha membongkar rahasianya, akhirnya
Ceng Ceng menotoknya lumpuh lalu menggunakan kuda perwira itu untuk membalap dan menyusul
Jenderal Kao. Melihat keadaan yang amat sunyi di situ, dan melihat Jenderal Kao dan anak buahnya
bergerak mendekati sumur, Ceng Ceng menjadi curiga dan khawatir, maka dia lalu berteriak
memperingatkan jenderal itu.
Ketika Jenderal Kao Liang dan anak buahnya terkejut dan menengok, tepat pada saat itu mereka melihat
anak panah berapi meluncur ke atas langit dari empat jurusan dan terdengar suara keras. Batu-batu di
sekitar sumur maut itu terpental dan dari bawahnya berlompatan ke luar belasan orang, kemudian
meluncurlah senjata-senjata rahasia dari tangan mereka, seperti hujan menyerang kepada Jenderal Kao
dan tiga belas orang pengawalnya!
Mereka terkejut, namun sebagai orang-orang gagah yang sudah biasa menghadapi bahaya, mereka cepat
mengelak dan mencabut senjata masing-masing. Sementara itu, Ceng Ceng yang masih membalapkan
kudanya, tiba-tiba berteriak kaget, kudanya terjungkal roboh karena perut kuda itu telah robek dan tiba-tiba
saja muncul seorang kakek yang tadinya bersembunyi di bawah pasir. Kakek kurus yang berjenggot
pendek dan kuncir rambutnya melibat leher.
Dengan amat cekatan Ceng Ceng meloncat turun sewaktu kudanya terjungkal, akan tetapi tiba-tiba dia
sudah diserang oleh kakek itu dengan pukulan-pukulan kedua tangan terbuka yang mendatangkan angin
bersiutan, tanda bahwa kedua tangan kakek itu mengandung tenaga sinkang yang amat kuat! Ceng Ceng
berteriak marah, mengelak dan sudah mencabut keluar sepasang pisau belatinya, membalas dengan
serangan-serangan dahsyat.
Jenderal Kao dan anak buahnya juga sudah menghadapi serbuan lima belas orang yang tadi bersembunyi
di dalam pasir di bawah batu-batu besar. Mereka itu adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi yang
sengaja didatangkan dari selatan untuk membunuh Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya.
Namun, jenderal yang gagah perkasa itu berteriak-terlak seperti seekor singa, mengamuk dengan hebat
bersama tiga belas orang pengawalnya yang setia sehingga lima belas orang pembunuh bayaran itu
menjadi kewalahan, bahkan terdesak hebat. Dua orang sudah roboh oleh pedang dan hantaman tangan
jenderal perkasa itu.
Akan tetapi, tiba-tiba dari empat penjuru tampak pasukan datang berkuda. Biar pun jumlah mereka tidak
banyak, namun setelah berkumpul, tidak kurang dari seratus orang anak buah suku bangsa liar
mengepung tempat itu dan langsung menyerbu dan mengeroyok Jenderal Kao Liang dan anak buahnya!
Ceng Ceng menjadi terkejut bukan main. Kalau tadi dia merasa agak lega melihat betapa para penjahat
hanya berjumlah belasan orang dan Jenderal Kao bersama anak buahnya adalah orang-orang pandai,
sehingga tidak khawatir akan kalah, kini melihat datangnya seratus orang liar itu dia menjadi khawatir
sekali. Kakek yang mendesaknya juga ternyata amat lihai.
“Haiiiiittttt...!” Ceng Ceng berteriak nyaring, kedua pisaunya menyambar dari kanan kiri, menyilang dengan
gerakan berkelebat cepat seperti sambaran kilat.
Menghadapi serangan dahsyat dan bertubi-tubi ini, kakek itu lalu melompat mundur dan kesempatan ini
digunakan oleh Ceng Ceng untuk lari menghampiri rombongan Jenderal Kao Liang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat gadis ini, Jenderal Kao tertawa, “Ha-ha-ha, kau hebat sekali, Nona! Benar-benar aku merasa
kagum dan andai kata kita gagal membasmi mereka ini, melihat Nona yang begini gagah perkasa, benarbenar
merupakan penglihatan terakhir yang akan menjadi bekal menyenangkan ke alam baka!”
Diam-diam Ceng Ceng kagum sekali.
“Hyaaaattt...! Ceppp...! Desss...!”
Dua orang Mongol roboh oleh pisau dan tendangan kakinya. Setelah merobohkan dua orang itu, sambil
mengelak dan menangkis hujan golok dan tombak, Ceng Ceng masih sempat menjawab, “Kao-ciangkun,
pembantumu itu, Kim-ciangkun, telah memberontak. Agaknya dia yang mengatur semua ini. Engkau
dijebak....”
“Prakkk! Desss!” Dua orang pengeroyok roboh dengan kepala pecah dan leher hampir putus terkena
hantaman tangan kiri Jenderal Kao dan sambaran pedangnya.
“Hemmm, sudah kuduga! Keparat tak mengenal budi, pengkhianat hina itu! Mari kita basmi anjing-anjing
ini, Nona. Baru kita cari dan hancurkan kepala manusia she Kim yang keparat itu!”
Kedua orang itu mengamuk, juga tiga belas orang pengawal setia. Akan tetapi, pihak musuh terlampau
banyak. Biar pun mereka berhasil merobohkan puluhan orang musuh, namun akhirnya, seorang demi
seorang roboh dan tewaslah tiga belas orang pengawal Jenderal Kao yang gagah perkasa dan setia itu.
Hanya tinggal jenderal itu bersama Ceng Ceng yang masih terus melakukan perlawanan gigih, bahumembahu
dan saling melindungi. Mereka berdua pun sudah mengalami luka-luka dan pakaian mereka
sudah berlepotan darah, darah para pengeroyok yang mereka tewaskan dan darah mereka sendiri.
Sepasang mata jenderal itu melotot lebar, penuh keganasan, akan tetapi mulutnya tersenyum setiap kali
dia melirik ke arah Ceng Ceng. “Engkau hebat... wah, engkau hebat...! Hanya tinggal kita berdua yang
masih hidup. Mari klta berlomba, siapa yang lebih banyak merobohkan lawan. Ha-ha-ha!”
Sambil tertawa-tawa jenderal itu memutar-mutar pedangnya dengan dahsyat sedangkan Ceng Ceng yang
sudah lelah sekali itu pun menggerakkan kedua pisaunya untuk melindungi tubuhnya dan untuk mencari
sasaran pada tubuh para pengeroyoknya yang masih bersisa tiga puluh orang lebih. Ternyata bahwa
dalam perang kecil yang tidak seimbang ini, Ceng Ceng bersama Jenderal Kao dan tiga belas orang
pengawalnya ini telah berhasil merobohkan tujuh puluh orang lebih!
Namun, kedua orang tua dan muda yang gagah perkasa itu sudah terlalu lelah dan terlalu banyak
kehilangan darah yang keluar dari luka-luka mereka. Biar pun jenderal itu masih tertawa-tawa
membesarkan hati Ceng Ceng, namun gerakannya sudah lemah dan serbuan hebat dari kakek tua yang
melawan Ceng Ceng tadi, dibantu oleh empat orang yang cukup lihai, membuat tangkisan pedang Jenderal
Kao kurang kuat dan pedangnya terpental, terlepas dari tangannya.
Pada saat itu terdengarlah suara melengking panjang dan nyaring sekali, seperti suara burung rajawali
atau garuda yang sedang marah, datangnya dari arah selatan. Namun Ceng Ceng tak sempat
memperhatikan suara melengking nyaring itu karena dia terkejut bukan main melihat Jenderal Kao
terguling roboh di dekat Sumur Maut. Sebelum jenderal itu dapat bangkit kembali, dua orang menubruknya
dan mengangkat tubuh jenderal itu, kemudian dilemparkan ke arah Sumur Maut yang siap untuk
mencaplok apa saja yang memasukinya!
“Heiiiiittt...!”
Ceng Ceng menyambitkan dua batang pisaunya dan tepat sekali dua batang pisau itu menancap ke dalam
lambung dua orang yang mengangkat tubuh Jenderal Kao, mereka roboh, akan tetapi tubuh jenderal itu
sudah terlempar ke arah sumur!
Ceng Ceng berteriak keras. Tubuhnya mencelat ke depan mendahului tubuh Jenderal Kao, lalu kakinya
menendang dan tubuh jenderal yang tinggi besar itu berhasil dapat ditendangnya sehingga terpental keluar
dari mulut sumur. Akan tetapi, hasil yang menyelamatkan nyawa Jenderal Kao ini ditebus dengan
pengorbanan diri Ceng Ceng sendiri. Karena menendang tubuh berat dalam keadaan masih meloncat,
tubuh dara perkasa itu terjengkang dan tepat terjatuh masuk ke dalam mulut Sumur Maut yang terbuka
lebar, gelap dan mengerikan!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nona Ceng Ceng...!” Jenderal Kao menjerit. Akan tetapi sia-sia saja, tubuh dara itu telah lenyap dan tidak
terdengar apa-apa lagi dari dalam sumur.
“Keparat, kalian telah membunuhnya! Jahanam busuk, kalian harus mampus semua!”
Jenderal itu dengan suara serak karena menahan keperihan dan keharuan hatinya melihat Ceng Ceng
yang menolongnya menjadi korban terjeblos ke dalam Sumur Maut, berteriak bagaikan seekor singa
terluka, kemudian dengan kedua tangan kosong dia mengamuk seperti seekor naga marah. Hatinya terasa
sakit bukan main. Dia merasa amat kagum melihat kegagahan Ceng Ceng, kekaguman yang menimbulkan
rasa kasih kepada dara remaja itu.
Tiada yang dapat menimbulkan kekaguman pada hati jenderal yang keras ini kecuali kegagahan, dan apa
yang diperlihatkan oleh Ceng Ceng benar-benar menimbulkan kesan mendalam di hati jenderal ini.
Sekarang, dia melihat dara itu tewas, terjeblos ke dalam Sumur Maut dan hal ini terjadi karena gadis itu
menyelamatkannya.
Tentu saja hal ini selain mendatangkan keharuan, juga membuat dia merasa sakit hati sekali, maka
mengamuklah dia dengan nekat tanpa mempedulikan keselamatan dirinya sendiri! Pada saat itu, Kao
Liang bukan lagi seorang jenderal yang selalu menggunakan siasat dalam perang, tetapi seorang pria yang
sakit hati melihat orang yang dikagumi dan disayangnya seperti anak sendiri, tewas di depan matanya!
Biar pun tubuhnya sudah luka-luka, namun dengan kedua tangan kosong jenderal ini mengamuk dan
robohlah berturut-turut enam orang pengeroyok terdekat. Akan tetapi, kini kakek lihai dan bebarapa orang
temannya yang juga memiliki kepandaian tinggi mengurungnya dan mendesaknya dengan serangan
senjata mereka secara bertubi-tubi sehingga Jenderal Kao terdesak hebat. Dalam belasan jurus saja
panglima yang perkasa ini telah menderita luka-luka baru lagi. Dia sedikit pun tidak mengeluh, bahkan
berteriak-teriak penuh kemarahan dan siap untuk mengadu nyawa.
Suara melengking nyaring terdengar dan keadaan menjadi kacau ketika tiba-tiba semua orang yang
mengepung dan mendesak Jenderal Kao terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir. Para pengeroyok
terkejut melihat munculnya seorang pria setengah tua yang bercaping lebar, lalu menggunakan capingnya
itu untuk mengamuk dan siapa pun yang terdekat pasti langsung roboh oleh tamparan capingnya itu!
Senjata-senjata tajam beterbangan terlepas dari pegangan pemiliknya disusul robohnya para pengeroyok.
Melihat tiba-tiba muncul seorang yang demikian lihainya, maklumlah para kaki tangan pemberontak bahwa
usaha mereka membunuh Jenderal Kao telah gagal. Timbul rasa gentar di hati mereka. Tanpa dikomando
lagi, larilah sisa pemberontak itu meninggalkan gelanggang di mana berserakan teman-teman mereka
yang menjadi korban amukan Ceng Ceng, Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya, dan yang
terakhir laki-laki bercaping lebar itu.
Orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng, pendekar yang sakti. Bersama Puteri Syanti Dewi, Gak Bun
Beng tiba di tempat itu dan segera turun tangan menolong ketika melihat Jenderal Kao dikeroyok banyak
orang dalam keadaan terluka. Tidak lama kemudian, Syanti Dewi muncul pula dan wajah puteri itu
membayangkan kengerian menyaksikan banyak orang yang tewas dan terluka. Tempat itu bergelimang
darah dan penuh dengan suara rintihan mereka yang terluka dan belum tewas.
Ketika melihat siapa yang telah menolongnya, Jenderal Kao menjadi girang dan cepat menghampiri Gak
Bu Beng. “Aha, kiranya kalian pula yang muncul dan menyelamatkan aku dari ancaman maut! Bukankah
engkau ini sahabat Gak Bun Beng yang pernah aku jumpai di barat?”
Gak Bun Beng menjura dan berkata, “Benar, Kao-taigoanswe, saya adalah Gak Bun Beng yang datang
bersama anak saya dan secara kebetulan dapat membantu goanswe menghadapi para pemberontak itu.”
“Terima kasih... terima kasih, engkau memang gagah perkasa...” Tiba-tiba jenderal itu menghentikan katakatanya,
mendekati sumur dan melongok-longok ke dalam sumur, menarik napas panjang dan
menggeleng-geleng kepala.
“Aihhhh... sungguh sangat kasihan... menyesal bahwa engkau tidak datang lebih pagi, Gak-enghiong
(orang gagah she Gak). Sayang, dia seorang gadis yang luar biasa, gagah perkasa dan berbudi, penuh
keberanian, muda, cantik dan pandai, terpaksa harus mengalami nasib begini mengerikan...” Dengan
kepalan tangannya, jenderal itu mengusap dua butir air mata dari bawah matanya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Bun Beng mengerutkan alisnya. “Apakah maksudmu, Taigoanswe? Siapakah yang kau bicarakan itu?”
“Engkau tidak tahu dan tentu tidak mengenalnya. Dia seorang dara perkasa dari barat, dari Bhutan...”
Tiba-tiba Syanti Dewi meloncat ke depan jenderal itu dan dengan suara penuh wibawa dia bertanya, “Siapa
dia? Siapa dara itu? Cepat katakan padaku!”
Jenderal Kao memandang heran. Sejak pertemuan pertama dahulu dia sudah merasa heran mengapa
anak dari orang she Gak ini demikian cantik dan halus, demikian agung sikapnya, dan jelas pula bukan
orang Han. Kini, menyaksikan sikapnya ketika bertanya, mengingatkan dia akan sikap puteri-puteri istana
saja! Namun, karena tidak enak terhadap Gak Bun Beng, dia menjawab juga.
“Nona itu bernama Lu Ceng...”
Syanti Dewi menjerit, matanya terbelalak memandang ke Sumur Maut itu. “Lu Ceng...? Candra Dewi...?
Dan... dia... dia... di manakah dia...?”
Jenderal Kao semakin kaget. Dengan mata masih menatap wajah Syanti Dewi penuh selidik, dia
menjawab, “Untuk menolongku, dia telah mengorbankan dirinya dan terjatuh ke dalam sumur maut ini.”
Kembali Syanti Dewi menjerit dan sekali ini dia menjatuhkan diri berlutut di dekat sumur maut sambil
menangis tersedu-sedu. Bun Beng juga terkejut karena dia telah mengenal nama Lu Ceng atau Candra
Dewi dari Puteri Bhutan ini. Akan tetapi Jenderal Kao yang menjadi terkejut dan terheran-heran. Sambil
menghadapi Bun Beng dia bertanya, “Gak-enghiong, apakah artinya ini?”
“Nona Lu Ceng adalah saudara angkat dari Puteri Syanti Dewi, dan terus terang saja, Tai-goanswe, yang
menyamar sebagai anakku ini adalah Sang Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang dikejar-kejar
pemberontak.”
“Ahhh...!” Jenderal Kao terkejut bukan main.
Tentu saja dia sudah mendengar pula akan nama Syanti Dewi, puteri raja Bhutan yang akan dijodohkan
dengan Pangeran Liong Khi Ong dan yang hilang di dalam perjalanan saat diboyong. Kiranya puteri ini
masih dalam keadaan selamat, tertolong oleh pendekar yang bernama Gak Bun Beng ini.
“Kao-goanswe, sudah lamakah nona itu terjerumus ke dalam sumur?” Gak Bun Beng bertanya setelah
sejenak memandang ke arah sumur itu.
“Baru saja,” jawab jenderal itu dengan suara serak karena dia menjadi makin terharu setelah melihat Puteri
Bhutan itu menangisi kematian Ceng Ceng.
“Kalau begitu, biar saya mencoba untuk mencarinya!” Gak Bun Beng cepat lari mencari tali yang banyak
terdapat di antara para korban suku Bangsa Mongol. Mereka itu sudah biasa membawa tali untuk
keperluan di dalam perantauan mereka. Gak Bun Beng lalu menyambung-nyambung tali itu dan kembali
lagi ke dekat sumur di mana Jenderal Kao menantinya dengan heran.
“Gak-enghiong, apa yang akan kau lakukan?” tanyanya.
“Saya hendak mencarinya di dalam sumur, harap Goanswe suka memegangi tambang ini agar dapat
menolong saya kalau di bawah sana terdapat bahaya.”
“Aihh, harap Gak-enghiong jangan melakukan ini!” Jenderal itu berseru kaget. “Sumur ini terkenal sebagai
sumur maut dan siapa saja, apa saja yang masuk ke dalamnya, tidak pernah keluar lagi.”
“Betapa pun berbahayanya, saya akan mencoba untuk mencarinya dan setidaknya memeriksa di sebelah
dalam. Siapa tahu kalau-kalau nona Lu masih dapat ditolong.”
“Paman... Paman Gak... benarkah saudaraku Candra Dewi masih dapat ditolong?”
“Mudah-mudahan saja.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tapi... tapi Paman sendiri? Jangan-jangan akan terancam bahaya di bawah sana...” puteri itu bergidik
ngeri. “Kalau berbahaya... harap jangan turun ke sana...” Dia bangkit, menghampiri Gak Bun Beng dan
memegang tangan pendekar itu.
Gak Bun Beng tersenyum. “Tenangkanlah hatimu, Dewi. Di sini terdapat Kao-goanswe yang akan
memegangi ujung tali. Andai kata aku terancam bahaya, pasti masih dapat ditolong.”
Akhirnya jenderal itu dan Syanti Dewi tidak membantah lagi, melainkan memandang dengan mata
terbelalak dan jantung berdebar penuh ketegangan ketika mereka melihat betapa Gak Bun Beng mulai
menuruni sumur yang kelihatan menganga hitam dan tidak dapat dilihat dasarnya itu. Jenderal Kao
memegangi ujung tali dengan kuat, mengulur tali sedikit demi sedikit ketika Bun Beng sudah mulai
menuruni sumur. Sebentar saja, dua orang itu tidak lagi melihat bayangan Bun Beng yang lenyap ditelan
kegelapan yang hitam pekat di dalam sumur itu.
Syanti Dewi berlutut di tepi mulut sumur sambil memandang. Dua tangannya dirangkap di depan dada
karena diam-diam dia berdoa demi keselamatan pendekar sakti itu dan demi tertolongnya Ceng Ceng.
“Aahhhhh...!” Tiba-tiba Jenderal Kao berseru kaget.
Wajahnya berubah dan cepat-cepat dia menarik tambang itu dengan kedua tangannya secepatnya. Tadi
ketika dia mengulur tambang sampai hampir habis, tiba-tiba tambang itu menegang dan terasa berat, tidak
bergerak lagi! Syanti Dewi memandang terbelalak dan pucat mukanya.
Biar pun sudah terluka, jenderal itu masih kuat sekali sehingga sebentar saja dia sudah dapat menarik
keluar tubuh Gak Bun Beng dari dalam sumur, tubuh yang tergantung pada ujung tambang yang mengikat
pinggangnya. Dan ternyata pendekar itu telah pingsan dengan muka pucat dan kulit muka serta leher dan
kedua tangannya agak kehitaman!
“Paman...!” Syanti Dewi hendak menubruk tubuh pingsan yang kini direbahkan di atas tanah itu, akan tetapi
Jenderal Kao cepat mencegahnya.
“Harap paduka mundur. Dia keracunan, biar kucoba menyadarkannya!”
Mendengar ini, Syanti Dewi yang gelisah sekali itu hanya dapat memandang dengan air mata bercucuran,
sedangkan Jenderal Kao yang berpengalaman itu lalu menempelkan kedua telapak tangan di dada dan
perut Gak Bun Beng, mengerahkan sinkang-nya membantu pendekar itu untuk dapat bernapas lagi dan
mengusir hawa beracun dari dalam dadanya. Akhirnya Bun Beng dapat bernapas kembali dan mengeluh,
lalu bangkit dan duduk, memegangi kepalanya yang terasa pening. Ketika dia membuka mata dan melihat
Syanti Dewi menangis, dia berkata,
“Tenanglah, Dewi. Aku tidak apa-apa.” Kemudian kepada Jenderal Kao dia berkata, “Di bawah sana gelap
sama sekali, dan dalamnya sukar diukur. Selagi masih tergantung, tiba-tiba ada tercium bau yang aneh
dan napasku menjadi sesak, lalu tidak ingat apa-apa lagi.”
Jenderal itu mengangguk-angguk. “Itu tentulah gas yang keluar dari dalam bumi. Sudah jelaslah nasib
nona Lu... kasihan dia...”
“Dia... dia... telah mati...” Syanti Dewi menangis lalu berlutut di tepi sumur.
Sejenak mereka bertiga memandang ke dalam sumur dan seperti mengheningkan cipta. Barulah mereka
sadar ketika terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan dari benteng di bawah pimpinan seorang
perwira yang setia terhadap Jedecal Kao. Perwira itu bernapas lega melihat atasannya selamat, kemudian
menceritakan betapa wakil Panglima Kim telah melarikan diri begitu mendengar akan kegagalan
rencananya. Juga dia melaporkan bahwa Pengawal Souw Kee It yang tadinya datang bersama Ceng Ceng
ternyata telah dibunuh oleh Panglima Kim sendiri yang memimpin pemberontakan.
Jenderal Kao mengepal tinjunya. “Tak kusangka! Akan tetapi, aku bersumpah untuk menangkap dan
menghukum jahanam she Kim itu!”
Dia mendendam hebat karena menganggap bahwa kematian Ceng Ceng adalah gara-gara pengkhianatan
Kim Bouw Sin. Bahaya yang mengancam dirinya sendiri, yang hampir menewaskannya, tidak teringat lagi
olehnya karena sebagai seorang panglima yang telah puluhan tahun berkecimpung di dalam ketenteraan,
dunia-kangouw.blogspot.com
ancaman maut baginya merupakan hal yang biasa saja. Akan tetapi kematian Ceng Ceng, hal itu sukar
untuk dapat dilupakan oleh jenderal perkasa ini.....
********************
Jenderal Kao lalu mengajak Gak Bun Beng dan Puteri Syanti Dewi yang diliputi kedukaan itu ke
bentengnya untuk diajak berunding. Bagaimanakah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi dapat datang di sumur
maut dan berhasil menyelamatkan Jenderal Kao sungguh pun mereka agak terlambat sehingga tidak dapat
menyelamatkan Ceng Ceng? Untuk mengetahui hal ini, sebaiknya kita mundur dulu untuk mengikuti
perjalanan dan pengalaman mereka yang hebat-hebat sampai mereka tiba di sumur maut itu.
Seperti kita ketahui, Gak Bun Beng melakukan perjalanan bersama Syanti Dewi dengan susah payah,
meninggalkan kota raja menuju ke timur karena pendekar sakti itu jatuh sakit keras setelah jantungnya
terguncang hebat dalam perjumpaannya dengan Puteri Milana, kekasihnya yang kini telah menjadi isteri
orang lain.
Perjalanan ke utara itu bukan main sukarnya bagi Syanti Dewi. Gak Bun Beng benar-benar terserang
penyakit yang payah. Sakit luar dalam! Sakit badan karena mengalami pukulan-pukulan dahsyat dari Siang
Lo-mo, iblis kembar yang amat lihai itu, dan sakit hatinya karena perjumpaannya dengan Milana membuat
hati yang terluka itu pecah kembali!
Semua ini masih ditambah lagi oleh keharuan dan kegelisahan hatinya menyaksikan sikap Syanti Dewi
kepadanya. Sikap seorang wanita muda yang membuat dia amat khawatir karena melihat gejala-gejala
yang mencemaskan hatinya bahwa Puteri Bhutan itu telah jatuh cinta kepadanya! Hal ini membuat penyakit
dalam di hatinya makin parah dan otomatis membuat dia makin berhutang budi kepada puteri itu karena
makin parah sakitnya, makin tekun dan penuh ketelitian lagi sang puteri merawat dan menjaganya.
Luka yang diderita Bun Beng cukup parah, dan selama ini tidak diobati sama sekali, maka tentu saja
keadaannya menjadi bertambah parah dan lemah. Andai kata hatinya tidak terluka sehebat itu, tentu
dengan kepandaiannya yang tinggi, pendekar ini mampu mengobati luka dalam akibat pukulan sepasang
iblis itu. Akan tetapi, keadaan hatinya membuat dia seolah-olah tidak peduli lagi akan penderitaan
tubuhnya. Andai kata tidak ada Syanti Dewi, sudah tentu ia tidak mau melanjutkan perjalanan, dan akan
menyerah kepada nasib dan bersembunyi di dalam hutan.
“Dewi, kau banyak mengalami kesengsaraan... aku membuat kau menjadi sengsara saja...”
“Paman, jangan berkata demikian.”
“Betapa pun juga, aku harus dapat membawamu menghadap Jenderal Kao Liang, baru akan tenang rasa
hatiku akan tetapi... ahhh, kesehatanku makin memburuk, padahal perjalanan ini tidak boleh ditundatunda...”
“Jangan khawatir, Paman. Aku akan merawatmu...”
Akan tetapi keadaan Bun Beng makin memburuk sehingga pada suatu hari dia tidak kuat berjalan lagi!
Pendekar ini maklum bahwa kalau sampai dia mati sebelum bertemu dengan Jenderal Kao Liang,
keselamatan Syanti Dewi akan terancam karena dia harus hidup tanpa pengawal.
“Dewi, kau buatiah alat penyeret dari bambu... kita harus melanjutkan perjalanan...”
“Aduh, Paman... sakitmu semakin hari semakin bertambah parah, bagaimana kita dapat melanjutkan
perjalanan? Marilah kita beristirahat dulu di hutan ini, biar aku yang merawat sampai Paman sembuh baru
kita melanjutkan perjalanan ini.”
“Tidak! Harus dilanjutkan sampai tiba di benteng Jenderal Kao! Setelah tiba di sana, tentu aku akan
mendapat perawatan dan pengobatan. Sebelum tiba di sana, bagaimana hatiku dapat tenteram?”
Sesungguhnya, Bun Beng ingin segera tiba di benteng Jenderal Kao adalah karena dia mengkhawatirkan
keadaan Syanti Dewi, sama sekali bukan karena ingin memperoleh pengobatan. Terpaksa Syanti Dewi
tidak berani membantah dan gadis ini lalu membuat alat penyeret dan melanjutkan perjalanan sambil
menyeret tubuh pendekar itu yang rebah telentang di atas anyaman bambu yang menjadi alat penyeret itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dapat dibayangkan betapa sukarnya dara itu melakukan perjalanan seperti ini. Padahal mereka melalui
gunung-gunung dan daerah-daerah tandus, melalui jalan yang amat sukar. Seorang puteri raja yang
biasanya hidup mewah dan segala dilayani, segala tersedia, sekarang harus melakukan perjalanan sambil
menyeret orang sakit seperti itu, mencari makan di tengah jalan tandus dan merawat orang sakit. Dapat
dibayangkan, betapa hebat penderitaannya.
Namun Syanti Dewi tidak pernah mengeluh dan selalu mendahulukan kepentingan Bun Beng dari pada
kebutuhan dirinya sendiri. Dia kurang makan, kurang tidur, kelelahan sampai tubuhnya menjadi kurus dan
wajahnya agak pucat, kedua telapak tangannya yang memegang bambu seretan menjadi tebal dan kulit
mata kakinya lecet-lecet!
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Syanti Dewi sudah menyeret tubuh Bun Beng keluar dari sebuah hutan di
mana semalam mereka bermalam di bawah pohon besar, dan kini dara itu mendaki daerah pegunungan
yang penuh batu karang sehingga pagi-pagi sudah berpeluh. Tanah pegunungan penuh batu itu jelas
kelihatan tandus, pohon dan tetumbuhan tidak dapat hidup subur, apa lagi pada waktu itu telah tiba musim
kering sehingga rumput-rumput pun menguning kering dan kehausan.
Ketika Syanti Dewi menuruni sebuah puncak batu karang dan tiba di sebuah tikungan, tampaklah olehnya
di depan, sebuah dataran dan dari jauh kelihatan gerakan beberapa orang yang sedang bertempur.
“Paman Gak, ada orang bertempur di depan sana!” dara itu berkata sambil berhenti.
“Hadapkan aku ke sana, Dewi.” Bun Beng berkata lirih.
Syanti Dewi memutar alat penyeret itu sehingga Bun Beng dapat melihat ke depan. Setelah memandang
sebentar, pendekar sakti yang sedang sakit itu berkata, “Jalan saja terus dan jangan pedulikan mereka,
Dewi. Biar pun si kecil itu dikeroyok tiga, dia tidak akan kalah.”
Syanti Dewi melanjutkan perjalanannya, matanya memandang ke arah orang-orang yang bertempur dan
merasa heran sekali. Yang bertanding adalah empat orang dan merupakan pertempuran berat sebelah dan
tidak adil karena seorang di antara mereka, seorang kanak-kanak, dikeroyok oleh tiga orang dewasa!
Panas juga hati Syanti Dewi menyaksikan betapa seorang anak kecil yang melihat tingginya tentu tidak
akan lebih dari dua belas tahun usianya, yang hanya membawa sebatang ranting, dikeroyok oleh tiga
orang tua yang gerakannya lihai bukan main. Akan tetapi anehnya, anak kecil itu sama sekali tidak
kewalahan, bahkan dengan gerakan rantingnya yang amat cepat, yang dimainkan seperti sebatang
pedang, anak itu berhasil mendesak tiga orang pengeroyoknya!
Karena Gak Bun Beng sudah menyuruhnya agar tidak mempedulikan mereka, maka ketika tiba di dataran
itu, Syanti Dewi terus berjalan sambil menyeret tubuh pedekar yang sedang sakit itu, sama sekali tidak
mengeluarkan suara dan bahkan tidak menengok ke arah empat orang yang bertempur itu.
Akan tetapi, ketika tiga orang lihai yang sedang mengeroyok anak kecil itu melihat Bun Beng dan Syanti
Dewi, mereka mengeluarkan seruan girang, meloncat ke belakang menjauhi anak kecil yang mereka
keroyok, lalu lari menghampiri Syanti Dewi dan menjatuhkan diri berlutut di depan dara itu sambil
mengangkat kedua tangan memberi hormat. Tentu saja Syanti Dewi menjadi terkejut dan heran melihat ini,
bingung karena tidak tahu apa artinya semua itu. Otomatis dia berhenti.
“Dewi, hadapkan aku kepada mereka.” Bun Beng berkata lirih dan Syanti Dewi lalu memutar bambu
penyeretnya sehingga pendekar itu rebah terlentang menghadapi tiga orang yang masih berlutut.
“Harap Lociapwe (orang tua yang gagah) sudi memaafkan kami bertiga yang tidak mengadakan
penyambutan karena tidak tahu akan keadaan Locianpwe.” Seorang di antara mereka yang berkumis tebal,
berkata dengan sikap dan suara amat menghormat.
Bun Beng mengerutkan alisnya. Dia mengerti bahwa orang-orang ini tentulah ‘salah alamat’ dan mengira
dia seorang lain. Akan tetapi sebelum dia menjawab, dengan sekali gerakan kaki saja ‘anak kecil’ itu sudah
meloncat dekat dan sekarang tampaklah oleh Syanti Dewi kenyataan yang sudah dilihat oleh Bun Beng
dari jauh tadi bahwa ‘anak kecil’ itu sebetulnya bukanlah anak-anak lagi, melainkan seorang tua yang
bertubuh kecll dan wajahnya kekanak-kanakan pula!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hei, kalian tiga orang Pek-san-pai (Perkumpulan Pegunungan Putih) yang pengecut! Hayo lanjutkan
pertandingan kita, ataukah kalian hendak mengajukan orang mau mampus ini sebagai jago? Kalau benar
demikian, hayo cepat maju dan lawanlah aku!”
Melihat orang tua bertubuh kanak-kanak yang bersifat sombong ini, Gak Bun Beng mengurungkan niatnya
untuk mengaku bahwa tiga orang itu salah mengenai orang. Dia kini diam saja dan mendengarkan sambil
melihat keadaan.
Tiga orang itu cepat menoleh dan berkata kepada si kecil, “Engkau orang tua adalah jago undangan Heksan-
pai (Perkumpulan Pegunugan Hitam), akan tetapi hari ini bukanlah saatnya kita bertanding. Engkau
mendesak kami, sungguh ini melanggar peraturan! Saat hari pertandingan adalah besok, di Jembatan
Angkasa, akan tetapi mengapa kau mendesak kami?”
“Ha-ha-ha-ha, katakan saja bahwa kalian takut! Pertandingan diadakan sekarang atau besok apa
bedanya? Kalau kalian takut, lekas suruh ketua kalian maju, boleh juga kalau mengeroyok aku!”
Tiga orang itu kelihatan marah, tetapi juga tampak bahwa mereka itu memang merasa jeri menghadapi si
kecil yang amat lihai itu, maka mereka kini memandang kepada Bun Beng dengan sinar mata penuh
harapan. Melihat ini, Bun Beng dengan susah payah bangkit duduk di atas anyaman bambu itu,
memandang kepada si kecil dan berkata, “Kalau aku boleh bertanya, benarkah sudah dijanjikan bahwa
saat pertandingan adalah besok pagi di Jembatan Angkasa?”
Melihat sinar mata Bun Beng yang sangat tajam dan suaranya yang penuh wibawa, si kecil itu kelihatan
menjadi ragu-ragu dan menjawab, “Benar, memang saatnya besok di Jembatan Angkasa, akan tetapi
kalau sama beraninya, sekarang pun, di tempat ini pun kita dapat mengadu ilmu, mengukur kegagahan!”
Sambil berkata demikian, orang tua yang seperti anak-anak itu memutar ranting di antara jari-jari
tangannya sehingga lenyaplah ranting itu, berubah menjadi segulungan sinar hijau.
“Sobat,” Gak Bun Beng berkata dengan suara halus, akan tetapi sikapnya serius dan pandang matanya
berwibawa, “seorang yang gagah perkasa tidak akan memamerkan kegagahannya, seorang yang mengerti
tidak menonjolkan pengertiannya. Akan tetapi engkau terlalu mengandalkan kepandaianmu sehingga tidak
lagi memandang kepada orang lain. Seorang yang jantan akan selalu memegang janji yang dihargainya
lebih dari nyawa, tetapi engkau agaknya lebih suka melanggar janji antara dua partai. Kegagahan
seseorang bukan diukur dari keberaniannya berkelahi, sebab sesungguhnya keberanian berkelahi yang
nekat dan konyol hanyalah membuktikan bahwa dia dihantui rasa takut dan khawatir. Takut kalah, khawatir
dianggap tidak gagah, khawatir tidak akan dipuji, khawatir tidak akan memperoleh nama besar, dan
sebagainya lagi. Sobat yang baik, apakah engkau yang menurut percakapan tadi adalah seorang jago
undangan dari Hek-san-pai, ingin disebut seorang yang nekat dan hanya berani karena merasa lebih kuat,
dan seorang yang suka melanggar janji?”
Wajah si kecil itu sebentar pucat dan sebentar merah. Ranting yang di tangan kanannya menggigil, tangan
kirinya yang kecil dikepal-kepal, matanya berapi dan sesungguhnya dia marah sekali. Tetapi karena apa
yang diucapkan orang sakit itu tidak dapat dibantah kebenarannya, sampai lama dia tidak mampu
menjawab. Akhirnya dia membanting ranting di atas tanah, diinjaknya dan dia meludah di tanah, lalu
berkata,
“Orang berpenyakitan! Aku menunggu kedatanganmu di atas Jembatan Angkasa besok. Hendak kulihat
apakah kepandaianmu juga selihai mulutmu. Huhhh!” Dia membalikkan tubuhnya dan dengan beberapa
kali loncatan saja si kecil itu sudah lenyap dari tempat itu.
Gak Bun Beng menarik napas panjang dan diam-diam merasa menyesal sekali karena kata-katanya yang
dimaksudkan untuk menyadarkan orang bertubuh kecil itu, ternyata hanya mampu mengurungkan niat
orang kecil itu untuk memaksa tiga orang lawannya berkelahi, akan tetapi bahkan mendatangkan rasa
dendam di hati si orang kecil. Dia memandang kepada tiga orang yang masih berlutut di depannya, lalu
bertanya, “Harap sam-wi (saudara bertiga) sudi menjelaskan, apakah sebenarnya yang telah terjadi di
sini?”
Syanti Dewi merasa lega juga melihat bahwa pamannya berhasil mengusir orang kecil tadi tanpa
pertandingan, maka dia pun kemudian duduk di atas tanah dekat pamannya, mendengarkan penuturan
orang berkumis tebal yang ternyata adalah suheng (kakak seperguruan) dari dua orang lainnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di pegunungan itu tinggal dua orang kakak dan adik seperguruan yang berkepandaian tinggi. Namun
karena guru mereka menurunkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan bakat masing-masing,
timbullah rasa iri hati di dalam hati masing-masing, mengira bahwa guru mereka lebih sayang kepada
saudara seperguruannya. Perasaan iri hati dan bersaing ini terus tumbuh dengan subur dan setelah guru
mereka meninggal dunia, kedua orang kakak beradik ini berpisah.
Akhirnya si suheng (kakak seperguruan) tinggal di Hek-san (Gunung Hitam) sedangkan si sute (adik
seperguruan) tinggal di Pek-san (Gunung Putih). Hek-san dan Pek-san sebetulnya masih di satu daerah
pegunungan, hanya berbeda puncak yang berwarna hitam dan putih. Hek-san berwarna hitam karena batu
karang hitam yang keras memenuhi puncak itu, sedangkan Pek-san berwarna putih karena puncaknya
banyak mengandung batu kapur. Kedua orang lihai ini akhirnya menerima murid-murid dan berdirilah dua
buah perkumpulan yang dinamakan menurut nama puncak masing-masing yaitu Hek-san-pai dan Pek-sanpai.
Persaingan atau permusuhan secara diam-diam itu berlangsung terus dan akhirnya meledak menjadi
permusuhan terbuka karena mereka yang kini mempunyai banyak anggota itu membutuhkan air untuk
keperluan sehari-hari dan terutama sekali untuk keperluan sawah ladang mereka. Padahal air yang amat
dibutuhkan itu hanya terdapat di bawah Jembatan Angkasa yang merupakan sumber yang tidak pernah
kering. Terjadilah bentrokan-bentrokan kecil memperebutkan air, yang kemudian makin lama menjadi
makin hebat sehingga kakak dan adik seperguruan itu sendiri turun tangan sendiri bertanding di atas
jembatan gantung, disaksikan oleh para murid mereka!
Betapa pun juga, kedua orang ini masih ingat akan sumpah mereka di depan mendiang guru mereka
bahwa mereka dilarang keras untuk saling membunuh, maka dalam pertandingan ini mereka berdua
menjaga agar jangan sampai lawan yang masih saudara seperguruan sendiri itu tewas! Akhirnya, sang
sute kalah dan menderita luka-luka. Karena dia tidak dibunuh, maka dia menaruh dendam dan menantang
untuk bertanding lagi setahun kemudian.
Demikianlah, permusuhan yang aneh ini berlangsung terus sampai dua tiga keturunan mereka. Setiap
tahun diadakan pertandingan di antara mereka, jago melawan jago untuk menentukan siapa yang unggul.
Mereka yang menang dianggap menguasai mata air di bawah Jembatan Angkasa dan menentukan
pembagian air untuk keperluan mereka sampai ada keputusan tahun depan dalam pertandingan
mendatang!
“Dan hari pertandingan untuk tahun ini jatuh pada hari besok, Locianpwe,” si kumis tebal mengakhiri
ceritanya. “Telah bertahun-tahun lamanya, karena ingin sekali mencapai kemenangan, kedua belah pihak
tidak puas dengan jago golongan sendiri dan mulailah mendatangkan jago dari luar kalangan sendiri. Pada
tahun ini, pihak Hek-san-pai telah mendatangkan jago orang yang bertubuh kecil tadi, yang berjuluk Sinkiam
Lo-thong (Anak Tua Pedang Sakti). Baru menggunakan ranting saja, kami bertiga murid-murid kepala
Pek-san-pai tak dapat menandinginya, apa lagi kalau dia menggunakan pedang!”
“Hemm, lalu mengapa kalian yang tidak mengenalku begitu berjumpa telah memberi hormat berlebihan?”
“Biar pun belum pernah bertemu, kami tahu bahwa Locianpwe tentulah Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat
Tangan Sakti) dari puncak Ci-lan-kok (Lembah Bunga Cilan). Ketua atau guru kami telah mengundang
Locianpwe, maka begitu Locianpwe muncul kami telah mengenal Locianpwe yang tahun ini diundang oleh
suhu (guru) sebagai jagoan kami.”
Bun Beng tersenyum. Kiranya orang-orang ini telah salah menduganya sebagai seorang tokoh yang
bernama Sin-ciang Yok-kwi dan yang dicalonkan sebagai jago pihak Pek-san-pai. Dia tidak ingin
mencampuri urusan ini, akan tetapi karena melihat bahwa orang kecil tadi memang lihai dan tentu pihak
Pek-san-pai akan kalah, dia ingin melihat perkembangan lebih jauh. Pula, timbul niat di hatinya untuk
mengusahakan perdamaian di antara perkumpulan yang masih bersaudara itu.
“Aku bukan Sin-ciang Yok-kwi, akan tetapi aku kebetulan lewat dan biarlah aku akan menonton besok.
Kalau Yok-kwi yang kalian tunggu ternyata tidak muncul, aku akan mengusahakan agar tidak ada
pertumpahan darah.”
Tiga orang itu girang sekali. Biar pun mulut mereka tidak mengatakan sesuatu namun pandang mata
mereka saling bertemu dan saling maklum. Bagi mereka, tidak salah lagi bahwa tentu orang sakti ini adalah
Sin-ciang Yok-kwi! Ciri-cirinya sama! Biar pun mereka belum pernah jumpa dengan kakek setan obat itu,
dunia-kangouw.blogspot.com
namun kabarnya Yok-kwi adalah seorang yang berpenyakitan dan yang sama sekali tidak pernah mau
mengakui namanya sendiri, tidak mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi!
Tentu saja mereka tidak pernah dapat melihat Yok-kwi, karena kabarnya kakek yang tinggal sebagai
pertapa di puncak Ci-lan-kok itu wataknya aneh luar biasa. Orang-orang sakit yang datang kepadanya,
pasti sembuh. Akan tetapi orang waras yang berani datang, tentu akan dihajarnya sampai menjadi sakit!
Karena itu tidak ada orang waras yang suka atau berani naik ke puncak Ci-lan-kok.
Bun Beng tak membantah ketika bersama Syanti Dewi dia diajak pergi ke puncak Pek-san-pai di mana dia
disambut dengan segala kehormatan oleh ketua Pek-san-pai sendiri, seorang laki-laki berusia lima puluh
tahun lebih yang bertubuh tinggi besar dan gagah.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketua Pek-san-pai mengajak rombongannya, juga Bun Beng dan
Syanti Dewi, pergi ke Jembatan Angkasa. Empat orang anggota Pek-san-pai memanggul alat penyeret
bambu di mana Bun Beng rebah diikuti oleh Syanti Dewi.
Jembatan Angkasa itu adalah bangunan batu karang hitam kuat yang menyambung satu tepi jurang
dengan tepi yang lain, bentuknya seperti jembatan gantung! Jembatan buatan alam ini memang ajaib dan
patut dinamakan Jembatan Angkasa karena orang yang melalui jembatan ini berada di tempat tinggi
seperti terbang saja melalui tangga awan. Dan tepat di kolong jembatan batu ini terdapatlah sumber atau
mata air yang dijadikan perebutan dan bahan pertentangan. Kini semua pihak telah berkumpul, pihak Heksan-
pai di ujung kiri Jembatan Angkasa dan pihak Pek-san-pai di ujung kanan. Seperti biasa pada setiap
pertemuan pertandingan itu, sebelum masing-masing jago kedua belah pihak maju bertanding, terlebih
dahulu dua orang ketua masing-masing perkumpulan maju dan bertemu di atas jembatan.
Ketua Pek-san-pai sudah mendaki jembatan dan disambut oleh ketua pihak Hek-san-pai yang masih
terhitung suheng-nya sendiri. Keduanya bertemu, mengangkat tangan memberi hormat dan ketua Pek-sanpai
berkata, “Apakah tahun ini Suheng sebagai ketua Hek-san-pai tetap tidak mau mengalah dan hendak
menguasai mata air?”
Ketua Hek-san-pai yang mukanya seperti seekor orang hutan dan hidungnya pesek, tersenyum mengejek.
“Tentu saja, Sute. Memang selamanya kami dari Hek-san-pai yang seharusnya menguasai mata air itu.”
“Hemm, kalau begitu, Suheng menantang untuk diadakan pertandingan?”
“Tentu saja! Kami sudah mempunyai jago kami, yaitu Sin-kiam Lo-thong!”
“Dan kami juga sudah mengundang jago kami, Sin-ciang Yok-kwi!”
Sin-kiam Lo-thong yang berdiri di ujung kiri jembatan sudah tertawa-tawa dan meraba-raba gagang
pedangnya. Sementara itu, Syanti Dewi mendengarkan penjelasan seorang anggota Pek-san-pai tentang
sebab permusuhan itu, tentang sumber mata air dan tentang aturan jalannya pertandingan yang ada
pantangannya, yaitu tidak boleh membunuh lawan dan siapa yang roboh dianggap kalah dan kekalahan ini
harus diterima oleh pihak partai yang menjagoi yang kalah itu.
“Pamanku itu bukanlah Sin-ciang Yok-kwi,” kata Syanti Dewi karena dia khawatir sekali melihat Bun Beng
yang sedang sakit itu hendak disuruh bertanding.
Pemuda Pek-san-pai itu hanya tersenyum. “Tentu saja bukan...” katanya karena dia pun sudah mendengar
bahwa Sin-ciang Yok-kwi tidak pernah mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi. “Akan tetapi tanpa
bantuan locianpwe itu, pihak kami tentu akan kalah lagi. Sudah lima tahun berturut-turut pihak kami kalah
selalu karena Hek-san-pai pandai mencari jago-jago yang lihai. Bahkan tahun ini, jagonya yang berdiri di
sana itu amat lihai.” Pemuda itu menuding ke arah Sin-kiam Lo-thong yang tampak dari situ seperti
seorang anak kecil yang berdiri di atas batu.
Oleh karena merasa tidak ada gunanya bersikeras menyangkal, akhirnya Syanti Dewi bertanya, “Di
manakah tempat bertapa Sin-ciang Yok-kwi?”
Pemuda itu memandang kepadanya sambil tersenyum, seolah-olah dia menganggap dara ini main-main,
akan tetapi dia tidak berani untuk tidak menjawab, maka dia lalu menunjuk ke arah sebuah puncak lain
yang tidak berapa jauh dari Jembatan Angkasa itu. “Di puncak sana itulah tempat pertapaan tabib dewa
itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benarkah bahwa dia pandai mengobati segala macam penyakit?”
Pemuda itu mengangguk. “Sepanjang pendengaranku, belum pernah ada orang sakit yang tidak dapat
disembuhkannya.”
Percakapan itu terpaksa dihentikan karena Syanti Dewi melihat betapa Gak Bun Beng, dengan langkahlangkah
lemah dan terhuyung-huyung, sudah naik ke atas Jembatan Angkasa.
“Paman...!” Serunya lirih dan dia meninggalkan pemuda Pek-san-pai itu lari ke jembatan batu.
Gak Bun Beng berhenti, menengok dan memberi isyarat kepada Syanti Dewi agar tidak ikut naik. Dara itu
tidak berani membantah, berdiri di kaki jembatan sambil memandang ke atas, mukanya pucat sekali dan
pandang matanya penuh kekhawatiran.
Gak Bun Beng menghampiri dua orang ketua yang saling berdebat di atas Jembatan Angkasa itu. Melihat
orang yang menderita sakit ini telah maju, Sin-kiam Lo-thong juga berlari-lari mendatangi dari ujung
jembatan yang lain.
“Ha-ha-ha-ha, engkau yang disebut Sin-ciang Yok-kwi? Majulah kalau memang engkau dijadikan jago oleh
Pek-san-pai, melawan aku Sin-kiam Lo-thong jago dari Hek-san-pai!” Kakek bertubuh kanak-kanak itu
menantang.
Bun Beng sudah tiba di atas jembatan, berdiri tegak dan mengatur pernapasannya, kemudian berkata
dengan suara halus namun kata-katanya mengejutkan semua orang, terutama ketua Pek-san-pai, “Cu-wi
sekalian, memang aku datang dan melihat urusan ini timbul keinginan hatiku untuk mencampurinya. Akan
tetapi, aku sama sekali tidak mewakili Pek-san-pai, tidak mewakili atau membantu kedua pihak, karena aku
adalah pihak ketiga yang membutuhkan tempat dan sumber air ini!”
“Apa katamu...?” ketua Hek-san-pai membentak dengan mata melotot.
“Locianpwe... apa... apa artinya ini...?” Ketua Pek-san-pai juga bertanya heran.
“Keparat! Manusia berpenyakitan hampir mampus ini ternyata pengacau! Baik kubasmi dia!” Sin-kiam Lothong
berteriak marah dan untuk memperlihatkan kelihaiannya dan mencari jasa, dia sudah mencabut
pedangnya dan menyerang Gak Bun Beng dengan tusukan kilat!
“Hmm...” Pendekar ini menggeram. Biar pun tubuhnya terasa lemah dan sebelah dalam dadanya nyeri,
namun sekali dia mengerahkan sinkang, dia dapat mengelak cepat dan tangan kirinya menampar ke arah
sinar pedang yang berkelebat.
“Krekkkk! Aughhhh...!”
Pedang itu kena dihantam tangan miring Gak Bun Beng dan patah menjadi dua potong, bahkan sebuah
tusukan jari tangan kanan yang cepat mengenai jalan darah di pundak Sin-kiam Lo-thong, membuat kakek
bertubuh kecil itu terjengkang dan roboh tak dapat bangun kembali karena sudah tertotok lumpuh!
“Bawa dia pergi...!” Bun Beng berseru ke arah anak buah Hek-san-pai yang cepat lari mendatangi, dan dua
orang itu lalu menggotong pergi Sin-kiam Lo-thong yang masih lumpuh kaki tangannya.
Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian mereka menghadapi Gak Bun Beng dengan alis berkerut.
“Sebetulnya, apa kehendakmu?” ketua Hek-san-pai yang melihat jagonya roboh itu bertanya.
“Locianpwe, bukankah Locianpwe mewakili kami sehingga kini pihak Pek-san-pai yang menang?” tanya
ketua Pek-san-pai penuh harap.
Gak Bun Beng memandang mereka dengan mulut tersenyum mengejek. “Aku tidak mewakili siapa-siapa.
Sejak tadi sudah kukatakan bahwa aku mewakili diriku sendiri untuk memperebutkan tempat ini berikut
sumber airnya.”
“Ahhh! Tetapi tempat ini adalah warisan dari nenek moyang kami kedua perkumpulan! Kami kakak beradik
seperguruan saja yang berhak atas tempat ini!” bantah ketua Pek-san-pai yang merasa kecewa sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bun Beng memperlebar senyumnya. “Kakak beradik seperguruan macam apa kalian ini? Kalau kalian
sudah memperebutkan tempat ini dan setiap tahun bertanding, biarlah aku juga memperebutkannya. Akan
tetapi alangkah curangnya kalau untuk kepentingan sendiri harus mengundang jagoan-jagoan bayaran.
Hayo, kalian kakak beradik yang membutuhkan tempat ini majulah bersama melawan aku. Kalau kalian
kalah, tempat ini menjadi milikku dan untuk keperluan air, kalian boleh membeli atau menyewa dariku.
Kalau aku yang kalah, nah, tempat ini menjadi milik kalian berdua, keperluan air kedua pihak tentu dapat
dicukupi tanpa adanya permusuhan dan perebutan.”
Kedua orang saudara seperguruan yang sudah beberapa keturunan menjadi musuh karena air itu kini
saling pandang. Mereka menjadi ragu-ragu dan penasaran. Urusan jembatan dan air adalah urusan dalam
antara mereka sendiri, dan kini muncul orang luar yang hendak merampas tempat itu dan memaksakan diri
untuk masuk ke dalam perebutan turun-temurun itu!
“Apakah kalian ini telah menjadi orang-orang yang demikian pengecut, beraninya hanya ribut antara
saudara sendiri dan takut untuk menentang orang luar?” Bun Beng berkata lagi, nadanya amat menghina
sehingga wajah kedua orang ketua itu menjadi merah.
“Siapa takut? Kami hanya menghormatimu karena nama besarmu sebagai Sin-ciang Yok-kwi...,” kata ketua
Peksan-pai.
“Aku bukan Yok-kwi (Setan Obat) atau setan apa pun. Aku adalah Gak Bun Beng seorang perantau yang
ingin memiliki jembatan dan sumber air ini. Kalau kalian takut, sudah saja kalian bayar sewa tahunan
kepadaku untuk menggunakan air di sini. Kalau berani, majulah!”
“Keparat, tempat ini akan kami pertahankan dengan nyawa!” bentak ketua Hek-san-pai.
“Bagus, kalau begitu majulah kamu berdua. Tetapi, kalian harus ingat akan pertaruhan dan janjinya. Kalau
aku menang, kalian menjadi penyewa tempat ini dan membayar kepadaku. Kalau aku yang kalah, kalian
harus berdamai dan tidak lagi memperebutkan tempat ini, memakainya sebagai milik bersama.”
Dua orang ketua itu telah menjadi marah sekali. Dari kanan kiri mereka maju menyerang Bun Beng.
Pendekar ini diam-diam merasa gembira karena siasatnya berhasil baik. Maka dia juga bergerak dan
menangkis tanpa mengerahkan tenaganya karena tadi begitu dia mengerahkan sinkang ketika menghadapi
Sin-kiam Lo-thong, dadanya terasa makin nyeri. Biar pun kini dia tidak mengerahkan sinkang-nya, akan
tetapi karena dia harus mengelak ke sana ke mari dan menangkisi pukulan-pukulan kedua orang ketua
yang juga memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi itu, lama kelamaan Bun Beng merasa betapa kepalanya
pening.
Akhirnya, pukulan ketua Hek-san-pai mengenai dadanya sedangkan pukulan ketua Pek-san-pai mengenai
punggungnya. Bagi tubuh Bun Beng yang sudah memiliki daya tahan dan kekebalan luar biasa, pukulanpukulan
itu tidak berbahaya, namun cukup kuat untuk membuat kepalanya yang sudah pening menjadi
makin pening, pandang matanya gelap dan robohlah dia dalam keadaan pingsan!
“Kalian manusia-manusia berhati kejam...!” Tiba-tiba Syanti Dewi berlari naik ke atas jembatan
menudingkan telunjuknya ke arah muka kedua orang ketua itu dengan marah. “Butakah mata kalian?”
Kedua orang ketua itu terheran-heran. Tadinya mereka siap menghadapi dara ini karena mereka
menyangka bahwa dara itu akan menuntut balas atas kekalahan Gak Bun Beng. Kini mereka saling
pandang dan bingung.
“Sudah jelas bahwa paman Gak sengaja hendak memaksa kalian agar berdamai dan menghentikan
permusuhan ini, permusuhan bersifat kanak-kanak yang memalukan! Paman Gak sengaja mengalah dan
mengorbankan dirinya agar kalian menang dan bisa berdamai. Kalau tidak, apakah kiranya kalian berdua
akan dapat menang menghadapi dia? Tidak kalian lihat tadi betapa dalam segebrakan saja dia mampu
mengalahkan Sin-kiam Lo-thong? Buta! Kalian buta dan tidak mengenal budi!” Setelah berkata demikian,
Syanti Dewi lalu berlutut dekat Gak Bun Beng.
Dua orang ketua itu terbelalak seperti disambar petir rasanya. Baru sekarang mereka mengerti. Mereka
pun otomatis berlutut dekat tubuh Bun Beng yang masih pingsan.
“Maafkan kami, Nona. Biarlah kami menolong dan merawat locianpwe ini...,” kata ketua Pek-san-pai.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kami memang bodoh dan locianpwe ini telah memberi pelajaran hebat kepada kami dengan
mengorbankan diri. Maafkan kami, Nona. Kami akan berusaha merawat dan mengobatinya.”
Syanti Dewi bangkit berdiri. “Apakah di antara kalian terdapat ahli pengobatan yang pandai?”
Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian menggeleng kepala.
“Kalau begitu, tolong bawa paman Gak ke rumah, aku akan pergi menemui Sin-ciang Yok-kwi di Ci-lankok.”
Kembali kedua orang ketua itu tertegun. “Jadi... benarkah locianpwe ini bukan Sin-ciang Yok-kwi?”
“Kalian memang bodoh dan buta karena permusuhan picik ini. Dia adalah paman Gak Bun Beng yang
sedang sakit dan kebetulan lewat di tempat ini. Aku mau pergi mencari Yok-kwi!”
Syanti Dewi sudah hendak lari ketika dua orang ketua itu berseru.
“Tahan dulu, Nona!”
“Ada apa lagi?”
“Sebaiknya kalau Gak-locianpwe ini dibawa saja ke puncak Ci-lan-kok menghadap dan mohon bantuan
Sin-ciang Yok-kwi. Kalau Nona pergi ke sana mengundangnya, tentu beliau tidak mau, bahkan amat
berbahaya bagi keselamatanmu.”
“Tidak! Paman Gak sedang menderita dan sakit berat, mana mungkin dibawa naik puncak? Aku akan
mencarinya, menemuinya dan memintanya turun puncak mengobati paman Gak. Kalian rawat paman Gak
baik-baik!” Tanpa menanti jawaban lagi Syanti Dewi lari meninggalkan jembatan itu, dia tidak
mempedulikan peringatan dan cegahan kedua orang ketua itu.
Setelah mengadakan permufakatan, akhirnya Gak Bun Beng yang pingsan itu digotong ke tempat tinggal
ketua Pek-san-pai dan selanjutnya kedua orang ketua yang masih terhitung kakak beradik seperguruan itu
bersama-sama merawat Bun Beng dan nampak rukun sekali. Melihat ini, otomatis para anak murid atau
anak buah mereka menjadi girang dan tanpa diperintah mereka itu pun menjadi rukun, berkelompok dan
bercakap-cakap seperti sahabat-sahabat lama baru saling berjumpa lagi.
Di puncak lembah Ci-lan-kok terdapat sebuah kuil tua yang sudah rusak. Kuil ini ratusan tahun yang lalu
dihuni oleh para tosu yang bertapa di tempat itu, dan sekarang telah kosong tidak dipergunakan lagi. Akan
tetapi semenjak beberapa tahun yang lalu, kuil yang dikabarkan orang berhantu itu mendapatkan seorang
penghuni baru yang amat aneh.
Seorang kakek bertongkat yang menderita sakit, tidak perah kelihatan sehat, akan tetapi hebatnya, kakek
berpenyakitan ini memiliki kepandaian yang amat tinggi dalam ilmu pengobatan. Mula-mula yang
diobatinya adalah anak-anak penggembala kerbau yang sampai di lereng Ci-lan-kok, kemudian beberapa
orang penebang kayu dan pemburu yang terluka. Lama kelamaan banyak orang sakit yang datang
kepadanya. Memang hebat kepandaian kakek ini. Hampir tidak ada penyakit yang tak dapat
disembuhkannya dan cara mengobatinya juga amat aneh.
Memang sebagian besar dari mereka yang datang minta obat kepadanya, diberi obat ramuan daun, bunga,
buah dan akar-akaran. Akan tetapi ada kalanya dia menyuruh orang makan tanah, ada yang diludahi, ada
yang ditampar pundak atau dadanya, ada yang ditotok, ada pula yang dipukul kepalanya dengan tongkat
sampai benjol. Tetapi apa pun yang diberikan oleh tangannya atau dilakukan dengan tangannya, orang
yang sakit menjadi sembuh kembali! Inilah sebabnya, biar pun dia tidak pernah menyebutkan namanya, dia
segera memperoleh julukan Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Bertangan Sakti). Sikap dan wataknya
memang aneh seperti setan, tapi tangannya dianggap sakti.
Dia disebut setan karena memang aneh wataknya. Orang yang menderita sakit, kalau menghadap
kepadanya, tentu diobatinya biar pun secara luar biasa dan kadang-kadang menyakitkan hati. Akan tetapi
orang waras yang berani menghadapinya sekedar ingin melihat dan mengenalnya, tentu akan diamuknya,
menjadi korban pukulan tongkatnya sehingga orang yang waras itu akan lari lintang-pukang dengan kepala
benjol-benjol dan tubuh sakit-sakit! Dan ternyata bahwa ilmu silat kakek itu juga hebat, karena banyak di
dunia-kangouw.blogspot.com
antara mereka yang dihajar itu sendiri orang-orang yang berkepandaian tinggi, namun yang sama sekali
tidak berdaya menghadapi hajaran tongkat kakek berpenyakitan itu!
Pada hari itu, seperti biasa, Sin-ciang Yok-kwi duduk bersandar pada dinding di luar kuil, di bawah
sebatang pohon besar yang tumbuh di depan kuil. Kakek ini duduk bersandar dengan mata masih
mengantuk, memegang tongkatnya yang gagangnya bengkok dan yang dipakai menopang dagunya.
Kelihatannya dia masih mengantuk dan lemas sekali, bahkan kadang-kadang terdengar dia mengeluh dan
merintih seperti orang yang menderita penyakit berat. Kedua kakinya tidak bersepatu dan pakaiannya yang
cukup bersih itu amat sederhana. Melihat wajahnya yang sudah penuh keriput, agaknya kakek ini tentu
sudah ada enam puluh tahun usianya.
Matahari telah naik tinggi ketika dari lereng puncak Ci-lan-kok muncul belasan orang. Melihat keadaan
mereka, jelas tampak bahwa mereka adalah orang-orang yang menderita sakit. Ada yang terhuyunghuyung,
ada yang dipapah, ada yang digotong dan ada yang mengerang dan terengah-engah. Ketika
mereka melihat kakek yang mereka harapkan akan dapat menyembuhkan penderitaan mereka itu berada
di luar kuil, mereka berhenti.
Biar pun mereka itu mengandung harapan untuk disembuhkan, namun nama kakek yang tersohor aneh
dan galak ini membuat mereka takut dan seolah-olah ingin orang lain menghadap lebih dulu. Seperti
serombongan orang yang menderita sakit gigi antri di depan kamar periksa dokter gigi! Ingin diobati namun
ngeri membayangkan cara pengobatan yang menyiksa.
Seorang di antara mereka, yang masih berusia muda, mengangkat dadanya lalu dengan langkah lebar
menghampiri kakek itu, kemudian menjatuhkan diri berlutut di depan Sin-ciang Yok-kwi yang masih
memejamkan mata bersandar dinding butut.
“Locianpwe, saya mohon pertolongan Locianpwe untuk menyembuhkan penderitaan saya, sesak di dada
dan lambung kiri...” Orang muda itu berkata sambil berlutut.
Perlahan-lahan mata itu terbuka, memandang tak acuh kepada pemuda yang berlutut di depannya. “Huh,
kau habis berkelahi?” tiba-tiba bibir kakek itu bergerak dan pertanyaan penuh celaan ini membuat pemuda
itu menundukkan mukanya.
“Benar, Locianpwe, akan tetapi saya tidak bersalah, saya...”
“Sudah berkelahi berarti bersalah! Kalau sudah berani berkelahi, terluka, tanggung saja sendiri!”
“Harap Locianpwe mengasihi saya... dada ini terasa sakit bukan main kalau bernapas...”
“Sudahlah! Engkau memang kurang mendapat pukulan!” Tiba-tiba tangan kiri kakek itu meraih ke depan,
ujung kuncir rambut pemuda itu yang menggantung di depan telah dipegangnya dan ditariknya hingga
kepala pemuda itu tertarik, tubuhnya membungkuk, lalu tongkat itu bergerak memukul punggung si
pemuda.
“Dukkkk...! Uakkhh...!” Pemuda itu muntahkan darah dan roboh menelungkup di depan kaki Yok-kwi.
Matanya terbelalak dan mukanya menjadi merah. Dia marah sekali dan cepat dia bangkit duduk lalu
meloncat bangun, kedua tangannya dikepal.
“Locianpwe...! Aihhh... dadaku... sudah tidak terasa sakit lagi...!”
Pemuda itu berloncat-loncatan dengan girangnya biar pun bibirnya masih berlepotan darah.
“Pergilah!” Kakek itu mengangkat tongkatnya hendak memukul dan pemuda itu lari dari tempat itu sambil
tertawa-tawa girang.
Mereka yang menyaksikan cara pengobatan itu menjadi makin ngeri sehingga diam-diam mereka yang
merasa bahwa penyakitnya tidak berat, segera meninggalkan tempat itu, menuruni puncak tidak berani
berobat!
Kini yang berlutut di depan kakek itu adalah sepasang suami isteri. Usia mereka tiga puluh tahun lebih, si
suami bertubuh gendut dan tiada hentinya mengusap keringat yang membasahi dahi dan lehernya,
dunia-kangouw.blogspot.com
sedangkan isterinya yang cantik dan bertubuh montok cemberut karena suami itu kelihatannya jeri dan
agaknya dipaksa menghadap Yok-kwi.
Dengan tarikan-tarikan tangannya, isteri itu terus mendesak agar si suami cepat bicara kepada Yok-kwi.
Tapi suami itu kelihatan ketakutan dan sukar mengeluarkan kata-kata, keringatnya makin banyak. Maka
terjadilah tarik-menarik tangan antara mereka di depan kakek yang sudah melenggut lagi itu. Akhirnya,
setelah isteri itu mencubit lengan sang suami sekerasnya, si gendut itu berteriak kesakitan dan Yok-kwi
membuka matanya memandang.
“Ada apa kalian ini?” tegurnya.
Laki-laki gemuk itu terkejut dan makin ketakutan, memberi hormat dengan memukul-mukulkan dahi ke atas
tanah sambil berkata, “Mohon maaf, Locianpwe... saya... ehhh, kami... mohon obat kepada Locianpwe...
agar kami berdua... dapat dikurniai anak...”
Sejenak kakek itu memandang kepada mereka bergantian, lalu bertanya kepada wanita itu, “Benarkah
engkau ingin mempunyai anak?”
Dengan muka berubah merah sekali dan tanpa berani mengangkat mukanya, wanita itu menjawab lirih,
“Benar... Locianpwe...”
Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas tanah di dekat si suami, membuat si gendut ini terkejut dan
ketakutan. “Kalau ingin mempunyai anak kau harus tidur dengan laki-laki lain!”
Jawaban ini tentu saja mengejutkan suami isteri itu, dan menggelikan hati semua orang, namun tidak ada
yang berani tertawa. Suami yang gendut itu membentur-benturkan dahinya di atas tanah, lalu berkata
gagap, “Akan tetapi... Locianpwe, ini... ini adalah...”
“Pergi! Lekas! Atau kuketuk kepala kalian dengan tongkat ini!” bentak kakek itu marah-marah.
Si isteri lalu memegang tangan suaminya dan menariknya pergi dari situ. “Hayo cepat pergi...” bisiknya.
Suami gendut itu menurut, dan pergilah mereka, suara mereka masih terdengar karena mereka agaknya
mulai cek-cok. “Kini kau tergesa-gesa hendak mencari pria lain, ya?” terdengar si suami mengomel.
“Cih! Kau yang tak becus!” isterinya membantah.
“Awas kau kalau tidur dengan laki-laki lain...!”
“Sshhhh, manusia tak tahu malu! Didengar orang, tahu tidak?”
Orang-orang yang berada di situ tersenyum geli juga mendengar percekcokan suami isteri itu dan diamdiam
merasa heran akan sikap kakek yang sudah melenggut pula itu. Tentu saja mereka tidak tahu bahwa
dua kali pengobatan itu sudah membuktikan kelihaian Yok-kwi. Pemuda tadi telah disembuhkannya
dengan cara pukulan sinkang yang sekaligus mengusir bahaya dari dalam tubuh si pemuda dan
memunahkan akibat dari pukulan yang membuat pemuda itu mengalami cidera di dalam tubuhnya.
Ada pun kata-katanya kepada suami isteri itu memang atas dasar kenyataan bahwa menurut
penglihatannya yang tidak ngawur, melainkan menurut perhitungan dan pengalaman, suami yang gendut
itu memang tidak dapat memberikan benih keturunan kepada isterinya.
Jawaban itu mungkin terdengar tidak sopan dan bahkan agak kurang ajar, dan memang demikianlah watak
aneh dari Yok-kwi, namun sebenarnya memang tepat, karena wanita yang bertubuh sehat dan montok itu
pasti dapat memperoleh keturunan kalau tidur dengan pria lain yang normal, tidak seperti suaminya!
Setelah beberapa orang yang sakit diobati oleh Yok-kwi dengan cara-caranya yang istimewa, akhirnya
tampak sepasang suami isteri berlutut menghadap kakek itu. Si suami yang bertubuh tinggi besar dan biar
pun usianya sudah lima puluh tahun namun mukanya terpelihara bersih, pakaiannya pun rapi, berwajah
pucat dan datang ke tempat itu dipapah oleh isterinya yang baru berusia tiga puluhan tahun, cantik dan
bersikap genit penuh daya pikat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Locianpwe, mohon sudi mengobati suami saya yang menderita sakit sudah berbulan-bulan,” berkata si
isteri sambil berlutut.
Kakek itu memandang laki-laki pucat itu sampai beberapa lama, kemudian mengerling ke arah si isteri lalu
membentak, “Apa kau ingin membunuh suamimu?”
Isteri itu terkejut bukan main, demikian pula suaminya. “Apa... apa maksud Locianpwe?” isteri itu bertanya
dengan gagap, sedangkan si suami memandang isterinya dengan alis berkerut.
“Kalau kau tidak ingin membunuh suamimu, tinggalkan dia kalau malam. Harus pindah kamar sampai tiga
bulan lamanya!” Tiba-tiba tangan kanan kakek itu menyambar sebutir batu, melemparkan batu kecil ke atas
pohon dan jatuhlah seekor burung, mati karena kepalanya disambar batu. “Masak ini dengan arak, tim
yang empuk lalu makan habis. Setiap hari harus makan burung seperti ini dengan arak, sampai sebulan.
Nah, kalian pergilah!”
Suami isteri itu tidak banyak cakap lagi, menerima bangkai burung dan menghaturkan terima kasih, cepat
pergi dari tempat itu dengan muka merah. Di antara sisa mereka yang hendak berobat, ada yang
tersenyum geli. Mereka pun berpikir, itulah resikonya seorang laki-laki tua mempunyai isteri muda sekali.
Akhirnya semua orang telah menerima giliran berobat dan yang terakhir sekali seorang dara cantik jelita
berlutut di depan kakek itu. Yok-kwi memandang dengan alis berkerut kepada Syanti Dewi, kemudian
berkata galak, “Kau tidak sakit! Kalau kau lekas menikah tentu akan terobat rindu di hatimu terhadap pria
yang kau cinta! Hayo pergi, kalau bukan seorang anak perempuan, sudah kupukul kepalamu!”
Syanti Dewi sudah mendengar akan watak aneh dari kakek ini, bahkan tadi dia telah menyaksikan caracara
kakek ini mengobati orang. Biar pun dia merasa gentar juga, namun demi keselamatan Bun Beng, dia
tidak akan mundur dan bahkan dia telah memperoleh akal untuk mengundang kakek ini agar suka
mengobati Gak Bun Beng. Betapa pun juga, kata-kata kakek itu mengejutkan hatinya dan membuat dia
sejenak termenung dengan muka berubah merah. Dia rindu terhadap pria yang dicintanya?
“Hayo pergi...!” Kakek itu membentak dan bangkit berdiri karena dia ingin masuk ke dalam kuil kembali
setelah semua orang itu pergi.
“Maaf, Locianpwe. Memang saya tidak sakit. Kedatangan saya ini untuk menyaksikan sendiri kabar yang
saya dengar tentang kepandaian Locianpwe yang katanya setinggi langit. Akan tetapi saya kecewa melihat
cara Locianpwe mengobati orang tadi. Apa lagi melihat keadaan Locianpwe sendiri jelas bukan orang
waras dan menderita sakit hebat, saya makin tidak percaya.”
Yok-kwi memandang Syanti Dewi dengan alis berkerut dan mata terbelalak penuh kemarahan. Sebagai
orang yang berpengalaman dan tajam penglihatannya, dia sekali pandang saya sudah mengenal orang.
Dia tahu bahwa wanita muda ini bukan orang sembarangan, gerak-geriknya halus, kata-katanya teratur
dan sopan, sikapnya agung. Jelas bukanlah wanita sembarangan. Namun mengapa ucapannya seolaholah
sengaja hendak menghina dan merendahkannya?
“Nona, aku tidak tahu engkau siapa dan apa perlumu datang ke tempat ini. Akan tetapi ketahuilah, biar pun
aku tidak biasa membuat propaganda seperti tukang jual obat di pasar, aku menantang semua penyakit di
dunia ini! Orang yang menderita penyakit apa pun, selama dia belum mampus, tentu dapat kuobati sampai
sembuh!” Suara kakek itu kereng dan marah sekali karena kelemahannya telah disinggung oleh Syanti
Dewi dan memang inilah tujuan dara yang cerdik itu.
Syanti Dewi adalah seorang wanita yang sejak kecil dididik dengan kebudayaan tinggi dan kesopanan
dalam istana sehingga otomatis dia memiliki sifat dan sikap yang amat halus. Akan tetapi di balik ini semua
terdapat kecerdikan luar biasa. Maka melihat sikap dan watak kakek Yok-kwi, dia sudah lantas dapat
mengambil sikap yang tepat agar keinginannya terkabul dan pancingannya berhasil untuk menarik kakek
ini agar pergi mengobati Gak Bun Beng.
“Mungkin saja ucapan Locianpwe itu benar, tetapi bagaimana saya bisa tahu bahwa Locianpwe tidak
hanya menjual kecap? Buktinya, kalau Locianpwe dapat mengobati semua penyakit asal orangnya belum
mati, mengapa Locianpwe tidak bisa mengobati diri sendiri yang menderita sakit berat?”
Kakek itu makin marah. “Bocah lancang mulut! Tentu saja aku tidak bisa mengobati diriku sendiri. Orang
bisa saja melihat kesalahan orang lain dengan amat jelasnya, akan tetapi melihat kesalahan sendiri tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
mungkin! Orang bisa saja melihat keburukan dan cacat cela orang lain dengan amat mudah, akan tetapi
tidak mungkin melihat keburukan diri sendiri. Mudah saja untuk menasehati orang lain, akan tetapi tidak
bisa menasehati diri sendiri. Maka, apa salahnya kalau aku mampu mengobati orang lain akan tetapi tidak
mampu mengobati diriku sendiri? Apa pedulimu dengan itu semua?”
Diam-diam, biar pun merasa gentar hatinya, Syanti Dewi makin girang karena makin marah kakek ini,
makin mudahlah memancingnya untuk pergi turun puncak mengobati Bun Beng yang amat dia khawatirkan
keselamatannya itu.
Syanti Dewi sengaja tersenyum mengejek, kemudian berkata, “Locianpwe, harap jangan marah dulu.
Kedatanganku ini memang sengaja hendak melihat kelihaian Locianpwe karena saya amat tertarik sekali.
Keadaan Locianpwe sama benar dengan keadaan pamanku. Pamanku juga seorang yang amat ahli dalam
ilmu pengobatan, tidak ada penyakit yang tak dapat disembuhkannya, dan saya percaya dia masih lebih
pandai dari pada Locianpwe, sedikitnya tentu tingkatnya lebih tinggi satu dua tingkat! Akan tetapi celakanya
seperti Locianpwe pula, dia juga menderita penyakit yang dia tidak mampu obati sendiri. Maka saya
sengaja datang untuk menantang Locianpwe mengadu ilmu dengan pamanku itu yang kini berada di rumah
ketua Pek-san-pai.”
“Tidak sudi! Kau hanya memancing agar aku mengobati dia! Huh, setelah kau bersikap kurang ajar, masih
mengharapkan aku menyembuhkan pamanmu? Dia tentu seorang undangan dari pihak Pek-san-pai untuk
menghadapi jagoan Hek-san-pai, bukan? Huh, aku sudah tahu semua tentang mereka. Pergilah dan biar
pamanmu mampus! Aku tidak sudi mengobatinya!”
Dapat dibayangkan betapa perih rasa hati Syanti Dewi. Sudah bersusah payah dia berlagak dan
menggunakan muslihat, namun tetap tidak berhasil. Betapa pun juga, dia tidak putus harapan dan
menyembunyikan perasaan hatinya. Kakek yang tadinya girang melihat dara itu terpukul dan
mengharapkan dara itu akan menangis, menjadi terkejut melihat dara itu kini tersenyum lagi, bahkan
berkata nyaring dengan nada penuh ejekan,
“Locianpwe, kalau kau takut, katakan saja takut! Pamanku bukanlah orang undangan Pek-san-pai mau pun
Hek-san-pai. Pamanku seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi. Dia bukan hanya tidak memihak, malah
dia berhasil mendamaikan Pek-san-pai dan Hek-san-pai sehingga mulai sekarang tidak akan ada lagi
perang di antara mereka. Pamanku berhasil mendamaikan dan menginsyafkan mereka. Tetapi melihat
pamanku sakit dan Locianpwe juga sakit dan memiliki keadaan yang sama, maka aku sengaja datang
menantang Locianpwe untuk mengadu kepandaian.”
“Apa...?” Kakek itu memukulkan tongkatnya ke atas sebongkah batu dan batu itu pecah berhamburan dan
bunga api berpijar. Syanti Dewi terkejut sekali melihat kakek itu marah-marah. “Pamanmu telah
mendamaikan mereka? Celaka tiga belas! Pamanmu jahat bukan main! Pamanmu dengki dan jahat!”
Biar pun dia takut, namun mendengar Gak Bun Beng dimaki-maki, Syanti Dewi menjadi marah. “Harap
Locianpwe tidak sembarangan memaki orang! Pamanku adalah seorang pendekar sakti yang budiman,
yang telah mengakurkan kedua belah pihak yang masih bersaudara seperguruan itu dari permusuhan.
Mengapa Locianpwe malah memakinya jahat dan dengki?”
“Bodoh...! Bodoh...! Mengapa aku sampai susah payah tinggal di sini, mendekati Hek-san-pai dan Pek-sanpai
kalau tidak ada permusuhan tahunan itu? Permusuhan itu menimbulkan banyak korban yang terluka,
baik yang ringan mau pun yang berat. Sekarang, pamanmu lancang dan dengki, menghentikan
permusuhan dan berarti tidak akan ada pertempuran lagi. Bukankah itu berarti aku akan kehabisan
langganan orang yang sakit terluka?”
Mengertilah kini Syanti Dewi dan makin heran dia akan jalan pikiran kakek yang aneh ini. Pandangan
kakek itu benar-benar aneh dan menyeleweng dari umum, tidak lumrah. Syanti dewi kembali tersenyum.
“Memang agaknya pamanku sengaja berbuat demikian, namun Locianpwe akan dapat berbuat apa?
Dalam ilmu pengobatan pun, Locianpwe akan kalah. Aku berani tanggung bahwa pamanku pasti akan
sanggup menyembuhkan penyakit yang diderita Locianpwe.”
“Omong kosong!”
“Marilah kita buktikan saja! Mari, jikalau Locianpwe berani ikut bersama saya, dan coba Locianpwe
mengobati pamanku, kemudian baru pamanku akan mengobati Locianpwe. Hendak kulihat siapa di antara
kalian yang lebih sakti!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Terbakar juga hati Yok-kwi oleh sikap dan kata-kata Syanti Dewi. “Baik! Aku pasti akan datang mengusir
penyakitnya, tetapi kalau dia tidak mampu menyembuhkan penyakitku, dia akan kubunuh dan mungkin kau
juga.”
“Boleh, itu taruhanku!” jawab Syanti Dewi girang dan dara ini berlari cepat turun dari puncak, diikuti oleh
Yok-kwi yang berjalan dibantu tongkatnya.
Ketua Pek-san-pai dan ketua Hek-san-pai yang masih berada di situ menyambut dengan heran dan girang,
juga kagum melihat bahwa Syanti Dewi benar-benar berhasil mengajak Yok-kwi turun puncak. Karena
nama besar Yok-kwi yang berwatak aneh itu, semua orang memandang dengan segan dan takut, bahkan
mereka tidak berani marah ketika kakek itu memasuki pondok tanpa membalas penghormatan mereka,
bahkan tak mengacuhkan mereka yang dianggapnya seperti arca saja. Dia langsung mengikuti Syanti
Dewi memasuki ruangan besar di mana tubuh Bun Beng yang tadinya pingsan itu dibaringkan.
“Paman...!” Syanti Dewi lari menghampiri pembaringan itu dan Bun Beng yang sudah siuman mengangkat
muka, tersenyum kepada Syanti Dewi.
“Dewi, apa yang kau lakukan? Ke mana kau pergi...?”
“Aku mengundang Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Nah, ini dia sudah datang.”
Bun Beng menengok dan kedua orang sakti itu saling bertemu pandang. Diam-diam Bun Beng terkejut
melihat kakek aneh itu, sebab dia dapat melihat sinar aneh dari wajah kakek bertongkat itu.
Sebelum Bun Beng sempat membuka mulutnya, Yok-kwi yang sudah marah sekali dan memandang
rendah kepadanya, sudah melangkah maju dan berkata, “Keponakanmu ini menyombongkan
kepandaianmu dan menantangku untuk menandingimu tentang ilmu pengobatan. Biarlah kuobati kau lebih
dulu, baru kemudian kau mengobati aku, kalau kau mampu!”
Tanpa menanti jawaban, Yok-kwi lalu berdiri tegak, matanya terpejam, pernapasannya seperti terhenti
seketika. Kalau Syanti Dewi dan yang lain-lain memandang heran, adalah Bun Beng yang memandang
kagum karena dia maklum bahwa kakek itu telah mengerahkan seluruh panca inderanya untuk
mengumpulkan tenaga murni. Kemudian, Yok-kwi membuka matanya yang kini mengeluarkan cahaya
berkilat, dan tongkatnya sudah bergerak mengetuk-ngetuk dan menotok-notok seluruh tubuh Bun Beng,
dari ujung kaki sampai ubun-ubun kepala! Tentu saja Syanti Dewi terkejut dan khawatir, akan tetapi melihat
Bun Beng tersenyum saja hatinya menjadi lega.
“Ahhhh...!” Sin-ciang Yok-kwi tiba-tiba berseru kaget ketika dengan tangan kirinya dia menekan-nekan
dada dan perut Bun Beng.
Yang mengejutkan hatinya itu adalah karena dia merasa betapa dari dalam pusar orang yang sakit itu
keluar tenaga sakti yang amat kuat, yang kadang-kadang panas kadang-kadang dingin, namun kedua
macam inti tenaga Yang dan Im itu luar biasa kuatnya. Tahulah dia bahwa dara itu tidak berbohong dan
memang orang yang sakit ini bukanlah seorang manusia biasa, melainkan seorang yang memiliki kesaktian
hebat! Maka dia pun tidak berani main-main lalu memeriksa keadaan Gak Bun Beng lebih teliti lagi.
Orang-orang yang melihat cara kakek itu memeriksa orang sakit, biar pun hati mereka gentar terhadap
kakek aneh yang galak itu, namun mereka merasa geli di dalam hati mereka. Sin-ciang Yok-kwi memang
luar biasa. Dia memeriksa tubuh Bun Beng bukan hanya dengan mengetuk sana-sini dengan tongkatnya,
memijat sana-sini dengan tangannya, juga dia menggunakan hidungnya untuk mencium-cium sana-sini
dengan cuping hidung kembang kempis, malah akhirnya dia menjilat keringat di leher Gak Bun Beng, lalu
menggerak-gerakkan mulut dan matanya terpejam seperti tingkah seorang yang mencicipi masakan
apakah cukup asinnya!
“Aihhh, luka dalam dadanya memang hebat dan akan mematikan orang yang bertubuh kuat sekali pun.
Akan tetapi dia dapat bertahan, sungguh luar biasa!” Akhirnya dia berkata, “Bagi dia, luka itu tidak
membahayakan, yang lebih hebat adalah keruhnya hati dan pikiran. Akan tetapi, aku bukan seorang ahli
pengobatan yang pandai kalau tidak mampu menyembuhkan penyakit macam ini saja!” Kakek itu lalu
menuliskan resep yang terdiri dari bahan yang aneh-aneh, sungguh pun tidak sukar untuk dicari. Di antara
banyak daun, buah, bunga dan akar pohon dan tetumbuhan, juga terdapat arang kayu dan tujuh ekor kutu
rambut dalam resep itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Beri dia minum ini pasti sembuh. Sepekan kemudian aku menanti dia di puncak Ci-lan-kok!” kata kakek itu
lalu pergi dari situ menyeret tongkatnya tanpa mempedulikan ucapan-ucapan terima kasih dari Syanti Dewi
dan dua orang ketua perkumpulan.
Akan tetapi tentu saja Syanti Dewi tidak mempedulikan sikap kakek aneh itu karena dia sudah cepat-cepat
mempersiapkan obat seperti yang tertulis dalam resep. Dengan bantuan dua orang ketua Pek-san-pai dan
Hek-san-pai, akhirnya dalam hari itu juga terkumpullah semua bahan resep yang lalu dimasak oleh Syanti
Dewi sampai airnya tinggal semangkuk, lalu setelah dingin diminumkan kepada Gak Bun Beng.
Pendekar itu masih berada dalam keadaan setengah pingsan, hanya teringat sedikit saja apa yang terjadi.
Akan tetapi setelah minum obat itu, sinar mukanya yang tadinya pucat kekuningan berubah menjadi agak
merah. Dengan penuh ketekunan Syanti Dewi, dibantu dua orang ketua, merawat dan meminumkan obat
menurut resep Sin-ciang Yok-kwi dan dalam waktu lima hari saja Gak Bun Beng sudah sembuh sama
sekali!
Pada pagi hari ke enam, ketika pendekar ini terbangun dengan tubuh yang ringan dan nyaman, masuklah
kedua orang ketua Pek-san-pai dan Hek-san-pai, bersama Syanti Dewi.
“Paman, kau sudah sembuh...!” Syanti Dewi langsung berseru girang sambil duduk di tepi pembaringan.
“Hemm, berkat perawatanmu yang baik, Dewi.”
“Juga berkat bantuan kedua orang Paman Ketua, Paman Gak.”
“Ahhh, kalau begitu aku berhutang budi kepada Ji-wi (Kalian berdua),” kata Gak Bun Beng kepada kedua
orang itu sambil mengangkat kedua tangan yang dirapatkan itu di depan dada.
“Ah, Taihiap... justru kamilah yang harusnya berterima kasih,” dua orang itu serta merta menjatuhkan diri
berlutut di depan Gak Bun Beng.
Pendekar ini terkejut dan cepat dia menggunakan kedua tangannya untuk mengangkat bangun mereka itu.
“Jangan begitu, mari duduk dan kita bicara dengan baik,” kata Gak Bun Beng dan setelah mereka duduk di
atas bangku-bangku dalam kamar itu, Bun Beng berkata lagi. “Syukur bahwa kalian sudah sadar dan dapat
hidup rukun sebagai saudara seperguruan.”
Keduanya menjura. “Kami telah sadar berkat bantuan Taihiap. Memang selama puluhan tahun kami
berdua hidup sebagai musuh. Sungguh memalukan sekali. Sekarang kami insyaf dan kami akan berusaha
menjadi orang-orang baik.”
Gak Bun Beng menghela napas panjang. “Ji-wi harus mengerti bahwa kebaikan tidak dapat diusahakan.
Yang penting adalah menginsyafi dan menyadari akan keburukan kita sehingga semua keburukan itu
hilang. Sumber air itu adalah pemberian alam, untuk siapa saja yang membutuhkan, cukup banyak.
Mengapa harus diperebutkan? Lebih baik diusahakan agar airnya dapat mengalir di tempat-tempat yang
membutuhkannya.”
Dua orang ketua itu mengangguk-angguk. Akan tetapi, sungguh sayang bahwa mereka itu kurang
memperhatikan sehingga tidak dapat menangkap arti dari kata-kata Gak Bun Beng yang pertama kali tadi
seperti juga manusia pada umumnya tidak pernah sadar akan keadaan dirinya sendiri seperti apa adanya.
Mata ini tidak pernah dipergunakan untuk memandang keadaan diri sendiri sehingga mengenal diri pribadi
saat demi saat, tetapi dipakai untuk merenung jauh ke depan, memandang, melihat dan menjangkau halhal
yang belum menjadi kenyataan.
Dua orang itu berjanji akan berusaha menjadi orang-orang baik!
Dapatkah kebaikan itu diusahakan dan dipelajari? Kebaikan barulah sejati kalau menjadi sifat, seperti
harum pada bunga. Kebaikan yang telah berada dalam diri manusia menuntun semua gerak-gerik
perbuatan si manusia itu sehingga segala yang dilakukan pun tentu baik tanpa disadari lagi bahwa itu
adalah kebaikan. Sebaliknya, kebaikan yang dipelajari, dilatih dan diusahakan, hanyalah akan menjadi
pengetahuan belaka dan kalau pun ada perbuatan yang dianggap baik oleh orang yang memaksakan
kebaikan dalam perbuatannya, maka kebaikan itu hanyalah menjadi suatu cara untuk mencapai suatu
tujuan, dan karenanya menjadi kebaikan palsu. Seperti kedok belaka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau kita melakukan sesuatu yang kita anggap suatu kebaikan, tentu tersembunyi pamrih tertentu, baik
pamrih lahir mau pun batin di balik perbuatan yang kita lakukan itu. Kebaikan yang diusahakan, yang
berpamrih, bukanlah kebaikan namanya, melainkan palsu, hanya merupakan cara atau jembatan untuk
memperoleh yang dipamrihkan tadi.
Kebaikan seperti itu serupa dengan seorang anak yang menyapu lantai dengan tekun dan bersih, namun
pekerjaannya itu dilakukan karena dia mengingat bahwa ibunya akan memujinya, ayahnya tidak akan
memarahinya kalau dia menyapu dengan baik. Baginya yang penting bukanlah menyapu lantai dengan
bersih, melainkan ingin dipuji ibunya dan agar tidak dimarahi ayahnya. Sungguh jauh bedanya dengan
kalau anak itu menyapu lantai dengan bersih karena memang dia CINTA AKAN PEKERJAANNYA ITU,
karena dia memang suka melakukan pekerjaan itu tanpa pamrih apa-apa, bahkan dia tidak ingat lagi
bahwa dia melakukan itu!
Kebaikan adalah suatu sifat. Tidak dapat diusahakan atau dilatih. Yang penting adalah mengenal diri
sendiri, membuka mata memandang keadaan diri sendiri. Kalau kita ingin menjadi orang baik, hal ini
terdorong oleh kenyataan bahwa kita tidak baik, bukan? Dari pada mengejar kebaikan, lebih baik kita
menyadari akan ketidak baikan kita, akan kekotoran kita. Kesadaran dengan pengertian mendalam ini akan
menghentikan segala ketidak baikan dan kekotoran itu, dan kalau sudah tidak ada ketidak baikan lagi di
dalam diri kita, perlukah kita berusaha menjadi baik? Kalau sudah tidak ada kekotoran di dalam diri kita,
perlukah kita mencari kebersihan? Tidak perlu lagi, karena baik dan bersih itu sudah menjadi sifat setelah
kejahatan dan kekotoran lenyap.
“Aku hanya ingat secara samar-samar tentang seorang kakek yang mengobatiku. Dia datang bersamamu,
Dewi. Siapakah dia?” Bun Beng bertanya kepada Syanti Dewi.
“Memang, dia adalah Sin-ciang Yok-kwi, Paman. Dialah yang mengobati Paman sampai sembuh. Akan
tetapi dia itu orang gila, wataknya aneh dan mengerikan. Hanya dengan susah payah dan dengan akal saja
aku berhasil mengajak dia ke sini untuk mengobati Paman.”
“Aihhh, kalau begitu aku harus mengunjungi kakek itu dan menghaturkan terima kasih kepadanya.” Bun
Beng berkata sambil bangkit berdiri.
“Saya kira tidak usah, Paman. Jangan-jangan dia malah akan menimbulkan keributan baru!” Syanti Dewi
lalu menceritakan akalnya menantang Sin-ciang Yok-kwi yang akan ‘diadu’ dalam hal kesaktian dengan
pamannya, akal yang digunakan untuk memancing Kakek Setan Obat itu agar mau mengobati Bun Beng.
Mendengar penuturan Puteri Bhutan itu, hati Bun Beng jadi terharu sekali. Puteri yang berwatak halus itu
sampai rela memaksa diri menjadi seorang pembohong dan penipu besar hanya karena ingin
menolongnya! Kemudian dia memegang tangan puteri itu dan berkata, “Jangan khawatir, kita tetap harus
pergi ke Ci-lan-kok. Ji-wi, kami akan pergi sekarang. Mari, Dewi!”
Kedua orang ketua itu tidak dapat mencegah dan mereka bersama anak buah mereka hanya memandang
dengan khawatir ketika melihat dua orang itu mendaki puncak Ci-lan-kok untuk menemui Sin-ciang Yok-kwi
yang mereka takuti. Di tengah perjalanan menuju ke puncak itu, Syanti Dewi berkata, “Paman, perlukah
kita menjumpainya? Aku telah membohonginya dan mengatakan bahwa Paman adalah seorang ahli
pengobatan pula. Tentu dia akan marah-marah dan aku takut kalau-kalau hal ini akan menimbulkan
sesuatu yang tidak menyenangkan, Paman.”
“Tenanglah, Dewi. Aku memang bukan seorang ahli pengobatan, namun aku melihat sesuatu ketika dia
memeriksaku. Samar-samar aku masih ingat bahwa tubuh kakek itu mengeluarkan hawa beracun yang
amat berbahaya. Kalau benar demikian, aku harus menolongnya.”
Syanti Dewi terkejut. “Begitukah? Ahhh, kalau demikian, memang seharusnya Paman menolongnya!”
Gak Bun Beng menghentikan langkahnya dan memandang dara itu penuh kagum. Makin lama dia
mengenal Puteri Bhutan ini, makin kagumlah hatinya, makin menonjol dan tampak olehnya sifat-sifat baik
dara ini, makin jelas pula tampak olehnya kasih sayang bersinar keluar dari dalam hati dara itu melalui
sinar matanya dan senyumnya, dalam kata-katanya. Dan makin gelisahlah dia!
“Syanti Dewi, engkau baik sekali. Selama ini... ahhh, takkan terlupakan selama hidupku, kau sudah
bersusah payah untukku, merawatku, membawaku lari dari kota raja melalui perjalanan yang sukar,
dunia-kangouw.blogspot.com
membawa aku yang sedang sakit, kemudian mempertaruhkan nyawa memancing seorang aneh seperti
Sin-ciang Yok-kwi untuk mengobatiku...”
“Sshhhh..., cukuplah, Paman. Di antara kita, kalau mau bicara tentang kebaikan, takkan ada habisnya
karena siapakah yang menyelamatkan nyawaku, siapa yang selama ini kugantungi harapanku, yang
menjadi pelindungku, menjadi pembelaku? Apa yang telah kulakukan untuk Paman tidak ada artinya sama
sekali dan memang sudah seharusnya. Kita hanya berdua, kalau kita tidak saling bantu, habis bagaimana?
Pula... yang penting sekarang ini, asal Paman sudah sembuh kembali, aku sudah merasa girang bukan
main. Soal-soal lain tidak perlu dibicarakan lagi, Paman.”
Mereka saling pandang. Dua pasang mata bertemu pandang dan saling bertaut sampai lama. Akhirnya
Gak Bun Beng perlahan-lahan membuang muka, memejamkan mata seolah-olah tidak tahan dia melihat
sinar mata penuh kasih yang ditujukan kepadanya dari sepasang mata yang bening indah itu! Aku harus
menjauhkan diri darinya, harus dan secepat mungkin, demikian suara hatinya. Kalau dilanjutkan begini,
berbahayalah aku! Akan tetapi Milana pun telah menjadi isteri orang lain, tentu saja tidak berhak
mencampuri urusannya!
“Kau kenapa, Paman?” Syanti Dewi mendekat dan memegang tangan Bun Beng karena merasa khawatir
sekali melihat Bun Beng memejamkan mata dan mengerutkan kening.
Bun Beng membuka matanya kembali, mata yang agak basah. “Tidak apa-apa, Dewi, mari kita lanjutkan
perjalanan kita menemui Sin-ciang Yok-kwi.”
Ketika mereka tiba di depan kuil kuno, ternyata Sin-ciang Yok-kwi sudah menanti di depan kuil, duduk di
atas batu besar dan memandang kepada Bun Beng dengan penuh perhatian. Gak Bun Beng cepat
menghampiri dan bersama Syanti Dewi dia menjura kepada kakek itu.
“Ha-ha-ha, bocah nakal! Apa kau masih tidak percaya akan kemampuanku mengobati? Sekarang
pamanmu telah sembuh, bukan?”
“Terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Sebenarnya sejak dahulu pun saya tidak pernah meragukan
kepandaian Locianpwe,” jawab Syanti Dewi.
“Ha-ha-ha, memang kau nakal dan kau sengaja memancingku. Heiiii, Gak Bun Beng! Apakah kau datang
untuk memperlihatkan kepandaianmu? Apakah benar kau pandai mengobati?”
Melihat sikap yang kasar dan terbuka dari kakek itu, Gak Bun Beng tersenyum dan sambil memandang
wajah kakek itu dia berkata, “Sin-ciang Yok-kwi, terus terang saja bahwa keponakanku ini berbohong
kepadamu. Aku bukan ahli pengobatan, dan aku berterima kasih kepadamu bahwa kau telah
menyembuhkan penyakitku. Akan tetapi, ketika engkau memeriksaku, aku mendapat kenyataan bahwa
ada hawa beracun keluar dari dadamu. Kalau engkau memang tidak keberatan, aku suka untuk
mengeluarkan hawa beracun dari tubuhmu.”
Kakek itu kelihatan terkejut, kemudian membuka kancing bajunya di depan dada. “Nah, kau boleh
memeriksa!”
Bun Beng melangkah dekat, menggunakan kedua telapak tangannya ditempelkan ke dada kakek itu.
Terkejutlah dia! Benar-benar terdapat hawa mukjijat dalam dada kakek itu yang sangat kuat dan aneh,
yang tak dapat dikendalikan oleh kakek itu sehingga menjadi penyakit yang hebat.
“Tidak salah!” serunya. “Ada hawa beracun yang kuat di dalam tubuhmu, Sin-ciang Yok-kwi. Tetapi karena
bukan tabib, aku tidak tahu mengapa bisa demikian dan mengapa pula sampai berlarut-larut kau diamkan
saja!”
“Engkau hebat,” Yok-kwi berkata. “Biar pun engkau tidak tahu akan ilmu pengobatan, namun dengan
rabaan tangan yang penuh dengan sinkang engkau sudah dapat mengetahui keadaanku yang tak
kuketahui sendiri! Sekarang mengertilah aku. Dahulu, karena terlampau ingin menguasai ilmu pengobatan
terhadap segala macam racun, aku sengaja menelan bermacam-macam racun, dan lalu kuobati sendiri.
Semua obatku bisa menolong memunahkan racun itu, akan tetapi agaknya hawa racun dan obat yang
memunahkannya telah berkumpul sedikit demi sedikit dalam tubuhku tanpa kurasakan sehingga kini tidak
dapat kukeluarkan lagi. Kalau aku mengerahkan kekuatan sinkang, tentu perlindungan di tubuhku kurang
kuat dan hawa itu akan membunuhku. Untung selama ini aku tidak bertanding melawan musuh kuat,
dunia-kangouw.blogspot.com
karena pengerahan sinkang yang kuat tentu akan membunuhku sendiri. Hemm... kau sudah menemukan
penyakitku, biar pun tidak ada obatnya, aku tidak akan penasaran lagi andai kata penyakit ini akan
mencabut nyawaku.”
“Tidak, Sin-ciang Yok-kwi. Hawa itu masih dapat diusir dari dalam tubuhmu. Aku akan membantumu.”
“Tapi... hal itu membutuhkan tenaga yang amat kuat...”
“Akan kucoba. Duduklah bersila dan marilah kita mulai. Dengan kekuatan kita berdua, mustahil hawa itu
tidak akan dapat terusir keluar.”
Sejenak kakek itu menatap wajah Bun Beng, kemudian bertanya, “Gak Bun Beng, aku tidak pernah
mendengar namamu sebagai seorang tokoh besar. Dari partai manakah engkau?”
Gak Bun Beng tersenyum den menggeleng kepala. “Bukan dari partai mana pun juga. Apa sih bedanya
itu? Mari, silakan.”
Sin-ciang Yok-kwi lalu melempar tongkatnya ke samping dan duduk bersila di atas tanah. Bun Beng juga
segera duduk bersila di depan kakek itu, meluruskan kedua lengannya ke depan sehingga kedua
tangannya menempel pada dada kakek itu. Syanti Dewi hanya menonton dengan jantung berdebar penuh
ketegangan. Dia mengharapkan pendekar sakti itu akan mampu menyembuhkan kakek itu, akan tetapi di
samping ini dia juga khawatir karena biar pun ilmu silatnya sendiri belum tinggi akan tetapi dia pernah
mendengar betapa menyembuhkan orang dengan menggunakan sinkang itu sangat melelahkan. Dia
khawatir kalau-kalau Gak Bun Beng yang baru saja sembuh akan kehabisan tenaga dan jatuh sakit lagi.
Sin-ciang Yok-kwi terkejut bukan main ketika dia merasa betapa dari kedua tangan Bun Beng keluar hawa
yang amat panas, mula-mula hanya hangat akan tetapi makin lama makin panas menyerap ke dalam
dadanya. Dia mengikutinya, juga dengan pengerahan sinkang-nya, membuat tubuhnya menjadi panas
sampai mengepulkan uap! Hawa panas yang masuk dari kedua telapak tangan Bun Beng itu amat kuatnya,
terasa bergerak berputaran di dalam dadanya, hampir tak tertahankan panasnya sampai kakek ini
mengeluarkan keringat dan napasnya mulai terengah-engah.
Bun Beng melihat ini, maka dia lalu mengurangi tenaga Hwi-yang Sinkang (Hawa Sakti Inti Api) sehingga
rasa panas yang menyerang Yok-kwi mulai berkurang dan makin lama makin dingin, akan tetapi tidak
berhenti menjadi normal karena terus menjadi makin dingin sampai luar biasa sekali.
Kembali Yok-kwi terkejut dan kagum. Dia sendiri adalah seorang ahli tenaga dalam dan memiliki sinkang
yang kuat. Akan tetapi menghadapi hawa dingin yang keluar dari sepasang telapak tangan orang itu, dia
tidak mampu mengikutinya terus dan tubuhnya segera menggigil kedinginan. Dia tidak tahu bahwa Gak
Bun Beng telah mengganti tenaga Hwi-yang Sinkang tadi menjadi Swat-im Sinkang (Hawa Sakti Inti Salju)!
Dua tenaga sinkang yang bertentangan dan yang hanya dimiliki oleh penghuni Pulau Es.
Syanti Dewi memandang dengan bingung dan heran, juga khawatir! Dia tidak tahu apa yang telah dan
sedang terjadi. Dia hanya melihat betapa kakek yang sakti itu tadinya menjadi merah mukanya,
mengeluarkan banyak keringat dan tubuhnya beruap, napasnya agak terengah-engah, akan tetapi
sekarang keadaannya berubah, mukanya menjadi pucat dan agak kebiruan, tubuhnya menggigil dan
napasnya makin terengah-engah!
Dengan kekuatan sinkang-nya yang hebat, perlahan-lahan Bun Beng mendorong keluar hawa mukjijat
yang mengeram di dalam dada dan perut kakek itu dan mulailah tampak uap hitam membubung keluar dari
mulut, hidung dan tubuh atas kakek itu! Gak Bun Beng maklum bahwa kalau dia melanjutkan pengerahan
Swat-im Sinkang, kakek itu tentu tidak akan dapat bertahan, maka melihat betapa hawa beracun itu sudah
mulai keluar, dia merubah lagi pengerahan sinkang-nya dan kini dia mengerahkan Tenaga Sakti Inti Bumi
yang halus dan lunak namun menyembunyikan kekuatan yang dahsyat pula.
Uap menghitam yang membubung keluar itu semakin menipis, kemudian kakek itu mengeluarkan keluhan
panjang dan tubuhnya terguling roboh, tepat pada saat Bun Beng lebih dulu menarik kembali tenaganya.
Pendekar ini cepat memejamkan matanya, mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan tenaganya yang
diperas keluar dari tubuhnya yang masih lemah tadi.
Syanti Dewi memandang dengan hati gelisah. Dia melihat Yok-kwi terguling roboh dan tidak bangun
kembali, sedangkan Gak Bun Beng masih duduk bersila dengan muka pucat. Dan kakek kecil pendek yang
dunia-kangouw.blogspot.com
tadi menyerang dengan lemparan senjata rahasia hingga merobohkan Yok-kwi telah berdiri di belakang
Gak Bun Beng. Sambil mulutnya menyeringai, Sin-kiam Lo-thong, bekas jagoan panggilan pihak Hek-sanpai,
sekarang mencabut pedangnya dan menghampiri Gak Bun Beng!
Munculnya kakek bertubuh kanak-kanak ini memang mengejutkan dan tidak disangka-sangka. Tadi ketika
Gak Bun Beng dan Yok-kwi keduanya sedang mencurahkan seluruh perhatian kepada pengobatan itu,
kakek ini muncul dan langsung saja menyerang Yok-kwi dengan jarum merah. Oleh karena tidak
menyangka dan terkena jarum tepat pada lehernya, kakek itu langsung roboh terguling dan pingsan,
sedangkan Gak Bun Beng yang sedang mengerahkan Tenaga Inti Bumi secara tiba-tiba mengalami
kekagetan dan menarik kembali tenaganya secara serentak, membuat tubuhnya yang masih lemah itu
mengalami goncangan hebat sehingga dia terpaksa harus menghimpun hawa murni, kalau tidak
jantungnya bisa pecah!
Sin-kiam Lo-thong tersenyum girang. Dia menganggap bahwa Yok-kwi tentu telah tewas karena lehernya
sudah kemasukan jarum merahnya, sedangkan sebagai seorang ahli dia maklum akan keadaan Gak Bun
Beng, maka dengan cepat dia sudah menghampiri pendekar itu dengan pedang terhunus.
“Manusia keji...!” Syanti Dewi menjerit dan cepat dia menyambar batu sebesar kepala, menyambitkan batu
itu sekuat tenaganya ke arah Sin-kiam Lo-thong yang sudah berada dekat sekali di belakang Gak Bun
Beng.
Sin-kiam Lo-thong mengangkat lengan kirinya menangkis batu yang menyambarnya itu.
“Prakkk!” Batu itu hancur berkeping-keping dan Sin-kiam Lo-thong sudah menggerakkan tangan kanannya,
pedangnya membacok ke arah leher Gak Bun Beng.
“Ohhh... jangan...!” Syanti Dewi menjerit dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.
“Singgg...!”
Pedang di tangan Sin-kiam Lo-thong berkelebat menjadi sinar terang yang menyambar ke arah leher Gak
Bun Beng. Syanti Dewi memejamkan mata membayangkan betapa leher pendekar itu akan terbabat putus!
“Takkk! Aughhh...!”
Mendengar pekik ini, Syanti Dewi membuka matanya. Dia terbelalak keheranan namun juga kegirangan
melihat bahwa Gak Bun Beng masih tetap saja duduk seperti tadi, bersila dan lehernya masih utuh!
Sebaliknya, Sin-kiam Lo-thong terlempar ke belakang, pedangnya terlepas dari pegangan dan kini kakek
bertubuh kanak-kanak itu merangkak hendak bangun dengan muka pucat dan ketakutan.
Kiranya seluruh tubuh Gak Bun Beng pada saat itu masih terlindung hawa sinkang Inti Bumi sehingga
ketika pedang itu menyambar tengkuk, otomatis tenaga sakti itu melindungi dan tidak hanya membuat
pedang itu tidak melukai tengkuk, bahkan reaksi dari tenaga sakti itu membuat pedang terlempar dari
tangan Lo-thong dan kakek itu sendiri terpukul hawa mukjijat itu dan terlempar ke belakang!
Betapa kagetnya ketika Lo-thong melihat bahwa kini Yok-kwi telah bangun dan sedang menghampirinya
dengan mata melotot penuh kemarahan. Disangkanya Yok-kwi telah tewas. Tidak mungkin orang yang
sudah ditembusi jarum merah lehernya masih dapat hidup! Dan memang Yok-kwi juga masih tertolong oleh
hawa sinkang yang dikerahkan Gak Bun Beng ketika mengobatinya tadi.
Hawa sinkang yang amat kuat itu sedang berputar-putar di seluruh tubuhnya, maka ketika jarum merah
menyambar dan mengenai lehernya, otomatis hawa sinkang itu melindunginya, membuat lehernya kebal
sehingga jarum merah itu tidak terus masuk, melainkan hanya menancap setengahnya saja. Jadi Yok-kwi
tadi pingsan bukan karena jarum merah, melainkan karena ditariknya Tenaga Inti Bumi oleh Bun Beng
secara tiba-tiba. Perubahan mendadak itulah yang membuat dia pingsan. Akan tetapi dia pingsan hanya
sebentar. Ketika siuman dan mencabut jarum dari lehernya, dia melihat Lo-thong terlempar dan kini dia
menghampiri kakek kecil itu dengan penuh kemarahan.
Sin-kiam Lo-thong meloncat dan hendak melarikan diri, akan tetapi Yok-kwi membentak, “Pemberontak
hina, hendak lari ke mana kau?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tangannya bergerak dan jarum merah itu menyambar. Lo-thong lalu memekik nyaring, roboh dan
berkelojotan karena jarumnya sendiri telah menembus ke dalam kepalanya melalui tengkuk!
“Paman...!” Syanti Dewi menghampiri Bun Beng dan berlutut, mukanya masih pucat akan tetapi bibirnya
tersenyum tanda girang.
Bun Beng membuka kedua matanya, tersenyum kepada Syanti Dewi, kemudian berdiri dan menengok.
Alisnya berkerut ketika dia melihat Lo-thong berkelojotan dalam sekarat.
“Yok-kwi, kenapa engkau membunuhnya?”
“Dia layak dibunuh dua kali!” jawab kakek itu.
“Kenapa?”
“Pertama, dia tadi hendak membunuh kita berdua. Kedua kalinya, dia adalah seorang anggota
pemberontak laknat, kaki tangan Pek-lian-kauw.”
“Hemm...!” Gak Bun Beng tidak berkata apa-apa lagi, melainkan memandang kepada tubuh kecil yang
sudah tidak bergerak lagi itu sambil menarik napas panjang.
Yok-kwi menghampirinya dan menjura. “Gak-taihiap, selain amat berterima kasih bahwa engkau telah
dapat menyembuhkanku, juga aku merasa amat kagum akan kesaktian Taihiap. Jika sekiranya kakimu
buntung sebelah, tentu engkau inilah yang patut menjadi Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman,
Tocu dari Pulau Es yang terkenal.”
Gak Bun Beng tersenyum. “Beliau adalah guruku.”
Kakek itu terbelalak, lalu tertawa dan kembali menjura dengan hormat. “Ha-ha-ha-ha, kiranya begitu? Ah,
maafkan aku yang tidak mengenal Gunung Thai-san menjulang di depan mata! Sungguh beruntung sekali
aku dapat berjumpa dan bersahabat dengan seorang murid Pendekar Super Sakti. Gak-taihiap, namaku
adalah Kwan Siok, nama yang puluhan tahun kusembunyikan sehingga orang menyebutku Yok-kwi. Dan
aku datang ke sini bukan hanya untuk mengasingkan diri dan menguji kepandaian dengan mendekati dua
perkumpulan yang saling bermusuhan, akan tetapi juga diam-diam aku memperhatikan keadaan para
pemberontak yang mulai meluaskan pengaruhnya di perbatasan ini. Diam-diam aku membantu untuk
membalas budi kepada Puteri Milana...”
Tiba-tiba dia menghentikan kata-katanya ketika melihat Bun Beng memandangnya dengan mata bersinarsinar
kaget. Akan tetapi ketika Bun Beng merasa betapa jari-jari tangan Syanti Dewi mencengkeram
lengannya, dia dapat menenangkan hatinya. Sambil tersenyum dia berkata, “Budi apakah yang kau terima
dari puteri yang gagah perkasa dan terkenal itu?”
Yok-kwi menjura lagi. “Maaf, tentu Taihiap mengenal baik Puteri Milana. Bukankah dia itu puteri dari
Pendekar Super Sakti? Sebagai murid pendekar itu maka kau...”
“Tentu saja, dia terhitung sumoi-ku sendiri. Nah, katakanlah, budi apa yang kau terima darinya?”
“Ketika aku dikepung oleh musuh-musuhku, yaitu para tokoh Pek-lian-kauw yang sudah puluhan tahun
menjadi musuhku, dalam keadaan terdesak dan terancam bahaya maut Puteri Milana lewat dan
menolongku. Sekarang, kota raja sedang ribut dengan adanya pertentangan antara para pengeran, dan
adanya usaha-usaha pemberontakan. Melihat Sang Puteri itu sibuk menangani sendiri untuk
mengamankan kota raja, diam-diam aku membantu dengan mengamat-amati keadaan di sini.”
Gak Bun Beng mengangguk-angguk. “Aihhh, kiranya engkau juga seorang yang berjiwa patriot, Kwan Loenghiong
(Orang Tua Gagah she Kwan).”
“Gak-taihiap, jangan menyebutku enghiong. Karena orang sudah memberiku nama Yok-kwi, biarlah
kupakai terus nama itu. Kalau aku boleh mengetahui, mengapa Taihiap dan Nona ini sampai tiba di tempat
sejauh ini?”
“Kami hendak pergi menjumpai Jenderal Kao Liang, untuk menceritakan keadaan di kota raja. Dan Nona
ini...” Gak Bun Beng ragu-ragu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Yok-kwi tertawa. “Ha-ha-ha, dia tentu saja adalah Sang Puteri dari Bhutan!”
Syanti Dewi mengeluarkan seruan tertahan dan Bun Beng memandang tajam penuh kecurigaan kepada
kakek itu. “Yok-kwi, bagaimana kau bisa tahu?”
“Mudah saja, Taihiap. Aku sudah mendengar akan Puteri Bhutan yang lenyap di tengah perjalanan dan
kabar terakhir bahwa mungkin puteri itu tertolong oleh seorang sakti ketika hanyut di sungai. Sekarang,
melihat Taihiap muncul di sini hendak menjumpai Jenderal Kao yang setia, bersama seorang dara yang
sikap dan wibawanya seperti puteri, juga yang jelas adalah seorang dara berkebangsaan tanah barat,
mudah saja menduga-duga.”
“Kau memang cerdik sekali, Yok-kwi. Memang benar, dia adalah Puteri Syanti Dewi dari Bhutan.”
Yok-kwi menjura kepada Syanti Dewi. “Harap Paduka sudi memaafkan segala kekurang ajaran saya.”
Syanti Dewi menghampiri Yok-kwi dan memegang tangan kakek itu. “Aihhh, Locianpwe terlalu merendah.
Sayalah yang harus minta maaf karena telah berani mempermainkan Locianpwe.”
Yok-kwi tertawa bergelak sambil meraba jenggotnya, “Mempermainkan saya? Ha-ha-ha, kalau tidak ada
Paduka, agaknya aku Si Tua Bangka masih tetap menjadi orang yang berpenyakitan.”
“Akan tetapi Paman Gak juga tentu belum sembuh.”
Mereka tertawa gembira karena mendapat kenyataan bahwa mereka adalah orang segolongan.
“Kami akan segera melanjutkan perjalanan kami ke benteng Jenderal Kao di utara,” kata Bun Beng.
“Tidak jauh lagi, Taihiap. Dari sini ke utara, lewat bukit di depan itu lalu membelok ke timur. Saya masih
akan tetap tinggal di sini dan siap setiap saat untuk membantu, biar pun sesungguhnya saya sudah muak
berurusan dengan dunia ramai yang penuh kepalsuan.”
Mereka lalu berpisah, dan Gak Bun Beng yang sudah sembuh sama sekali itu dapat melakukan perjalanan
cepat bersama Syanti Dewi. Akan tetapi, baru saja turun dari puncak Ci-lan-kok, mereka dihadang oleh
orang-orang Hek-san-pai dan Pek-san-pai yang menyediakan dua ekor kuda untuk mereka. Ketika Bun
Beng menceritakan tentang Sin-kiam Lo-thong, Ketua Hek-san-pai menjadi pucat wajahnya.
“Aahhh... celaka, siapa tahu bahwa dia seorang pengkhianat? Inilah akibatnya kalau bermusuhan dengan
keluarga sendiri. Dia datang dan menawarkan diri menjadi jago. Melihat kelihaiannya, saya menerimanya.
Ahhh, Taihiap, biarlah yang sudah dilupakan saja. Semenjak sekarang, kami dari Hek-san-pai dan Peksan-
pai siap untuk membantu pemerintah menghadapi pemberontak setiap saat kami diperlukan.”
Gak Bun Beng dan Syanti Dewi berpisah dari mereka, melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda.
Akan tetapi karena tidak mengenal jalan di daerah yang sunyi itu, mereka salah jalan dan tanpa disengaja
keduanya malah tiba di daerah sumur maut di mana Gak Bun Beng berhasil menolong dan menyelamatkan
Jenderal Kao Liang dari pengeroyokan para pemberontak.
Demikianlah, seperti telah diceritakan di bagian depan, Gak Bun Beng dan Syanti Dewi muncul di tempat
itu, agak terlambat sehingga biar pun pendekar sakti itu berhasil menolong Jenderal Kao, namun dia tidak
berhasil menyelamatkan Ceng Ceng yang terlempar ke dalam sumur maut. Biar pun kemudian pendekar
itu mencoba untuk menyelidiki dengan turun ke sumur melalui tambang, sia-sia belaka bahkan hampir saja
dia celaka kena diserang gas beracun di dalam sumur.
Maka dengan penuh duka, terutama sekali Syanti Dewi yang masih menangis, Jenderal Kao mengajak
mereka berdua pergi ke bentengnya. Setelah tiba di dalam benteng, pertama-tama Jenderal Kao
memerintahkan pasukannya untuk menyerbu benteng pembantunya, yaitu panglima Kim Bouw Sin dan
menangkap Panglima itu.
Gak Bun Beng mengkhawatirkan bahwa akan terjadi perang saudara antara pasukan pemerintah sendiri
dan hal ini akan merugikan sekali. Maka dia lalu berkata kepada Jenderal Kao, “Jika Goanswe tidak
berkeberatan, ijinkan saya untuk pergi menyelundup ke benteng itu dan menangkap Panglima Kim si
pemberontak itu. Kalau dia dan kaki tangannya sudah ditangkap dan dilumpuhkan, tentu pasukannya yang
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak tahu apa-apa itu akan menyerah. Tenaga pasukan itu masih amat dibutuhkan, bukan? Perang
terbuka antara saudara sendiri hanya akan melemahkan kedudukan pertahanan di perbatasan ini.”
Kao Liang memandang dengan wajah berseri. “Tepat sekali. Aku memang sudah punya rencana demikian,
hanya tidak berani minta bantuanmu karena engkau bukan anak buah kami, Taihiap. Dan untuk menyuruh
orang lain, kiranya tidak ada di antara anak buahku yang memiliki ilmu kepandaian begitu tinggi sehingga
diharapkan akan berhasil menangkap pengkhianat itu tanpa menimbulkan perang saudara. Kalau Gaktaihiap
bersedia, kita akan bersama menangkapnya, dan biarlah pasukanku hanya mengurung saja.”
Jenderal Kao dan Bun Beng lalu mengatur rencana siasat mereka untuk menangkap Kim Bouw Sin dan
kaki tangannya tanpa menimbulkan perang saudara. Sementara itu Syanti Dewi dipersilakan untuk
mengaso dan tinggal di dalam sebuah kamar serta dilayani dengan hormat, dianggap sebagai seorang
tamu agung.
********************
Bagaimanakah keadaan Ceng Ceng? Benarkah seperti dugaan Jenderal Kao, Gak Bun Beng dan Syanti
Dewi bahwa dara perkasa itu tewas di dalam sumur yang mengandung gas beracun dan sukar diukur
dalamnya itu? Untuk mengetahui keadaan Ceng Ceng, sebaiknya kita mengikuti semua pengalamannya.
Dara perkasa itu terkejut bukan main dan merasa ngeri ketika dia menyelamatkan Jenderal Kao Liang
dengan menendang tubuh pembesar itu sehingga terpental keluar dari lubang sumur, dia sendiri terdorong
dan terjerumus ke dalam lubang tanpa dapat dicegah lagi! Dia merasa ngeri dan ketika tubuhnya melewati
bagian yang ada gasnya, dia tak dapat bernapas dan pingsan. Kalau saja dia lebih lama berada di bagian
itu, tentu dia akan tewas oleh gas beracun.
Akan tetapi, ternyata bahwa gas itu keluar dari dinding sumur, bukan dari dasar sumur, maka setelah
tubuhnya yang melayang ke bawah itu melewati sumber gas, di sebelah bawah tidak ada gas beracun ini
dan dia selamat, biar pun masih dalam keadaan pingsan dan masih terus melayang ke bawah, ke dalam
sumur yang seperti tidak ada dasarnya itu.
Dalam keadaan pingsan meluncur ke bawah, tentu tubuhnya akan hancur lebur kalau terbanting ke dasar
sumur itu. Akan tetapi, tidak jauh dari dasar sumur yang merupakan lantai batu keras, tiba-tiba tubuh Ceng
Ceng terhenti dan tertahan oleh sesuatu. Kiranya dia telah ditangkap oleh seekor ular besar! Ular ini
besarnya melebihi paha seorang dewasa dan panjangnya lima meter lebih!
Dengan ekornya, ular itu telah ‘menangkap’ tubuh Ceng Ceng, membelit pinggang dara itu dengan ekornya
sehingga Ceng Ceng tidak sampai terbanting mati di dasar sumur. Memang sudah menjadi kebiasaan ular
besar ini untuk menangkap binatang apa saja yang kebetulan jatuh dari atas, yang kemudian menjadi
mangsanya. Kini, memperoleh korban seorang manusia, ular itu mulai mendekatkan kepalanya kepada
Ceng Ceng, dan tubuhnya melingkari batu dinding yang menonjol. Matanya berkilat-kilat, lidahnya keluar
masuk dan agaknya dia sudah mengilar sekali melihat calon mangsanya.
Tiba-tiba terdengar suara mendesis tajam dari bawah, suara mendesis yang membuat ular itu tampak
terkejut dan menoleh ke bawah. Kembali terdengar suara mendesis-desis penuh kemarahan dari mulut
seorang nenek yang duduk mendeprok di atas lantai sumur itu. Mula-mula ular besar itu meragu, akan
tetapi kemudian dengan perlahan dia merayap turun setelah menggigit punggung baju Ceng Ceng yang
masih pingsan, membawa gadis ini turun menghampiri nenek yang duduk di bawah itu.
Setelah tiba di depannya, nenek itu berkata, “Lepaskan dia!”
Ular itu melepaskan gigitannya sehingga tubuh Ceng Ceng menggeletak di atas lantai batu, kemudian
mengangkat kepalanya dan mendesis-desis seperti ragu-ragu.
“Pergi...!” Nenek itu menjerit lagi, tangan kirinya diangkat ke atas dan seperti seekor anjing jinak yang
dibentak majikannya, ular besar itu mengeluarkan suara berkokok lalu merayap pergi, naik lagi ke atas.
Ceng Ceng mengeluh, membuka matanya dan cepat meloncat bangun, berdiri dan siap menghadapi
segala kemungkinan. Cahaya dari atas mendatangkan penerangan yang cukup dan ketika dia menengok
ke atas, dia seperti melihat benda bulat yang bercahaya di dalam tempat gelap ini. Kemudian ia teringat
dan tahu bahwa benda bulat bercahaya itu adalah mulut sumur yang demikian tingginya seperti sebuah
matahari yang aneh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Matanya mulai terbiasa dengan keadaan remang-remang itu dan dia menggigil teringat betapa tubuhnya
terjatuh dari tempat yang sedemikian tingginya. Akan tetapi mengapa dia tidak mati? Mengapa tubuhnya
tidak hancur, bahkan luka pun tidak, hanya terasa agak sakit di pinggangnya? Mendadak ia meloncat
mundur ketika melihat gerakan di depannya. Ketika dia memandang, hampir dia menjerit saking ngerinya.
Tadi dia tidak melihat apa-apa karena memang tempat itu agak gelap dan di lantai dasar sumur itu yang
kelihatan hanya warna hitam belaka. Kini baru terlihat olehnya bahwa di depannya, duduk di atas lantai,
terdapat seorang manusia yang keadaannya amat aneh dan mengerikan!
Ceng Ceng mengerahkan kekuatan pandang matanya agar dapat melihat lebih jelas lagi. Jantungnya
berdebar penuh ketegangan karena ia tidak tahu apakah makhluk yang berada di depannya ini. Manusia
ataukah setan? Muka yang amat pucat dan kurus, hanya tengkorak terbungkus kulit, rambutnya panjang
riap-riapan, tubuhnya kurus kering terbungkus kain lapuk, kedua kakinya ditekuk di bawah dan kini dia
memandang kepada Ceng Ceng dengan sepasang mata yang berkilauan dalam gelap seperti mata kucing
dan mulut yang tak bergigi lagi itu menyeringai aneh, amat mengerikan hati Ceng Ceng, apa lagi ketika dia
melihat betapa nenek itu merangkak mendekatinya dengan menggunakan kedua siku lengannya,
mengesot karena kedua kaki itu ternyata lumpuh. Makhluk ini lebih menyerupai binatang aneh atau setan
dari pada seorang manusia.
“Heh-heh-heh, kau cantik, cantik dan muda...!” Nenek itu berkata, suaranya melengking tinggi mengejutkan
hati dan Ceng Ceng merasa betapa bulu tengkuknya meremang dan terasa dingin.
“Kau... siapakah...?” Walau pun tergagap, akhirnya dara itu dapat juga mengeluarkan suara melalui
kerongkongannya yang terasa kering. “Dan... bagaimanakah aku dapat... selamat tiba di sini...?” Dia
memandang ke atas, ke arah ‘matahari’ yang tinggi itu dan bergidik. Tidak mungkin manusia dapat hidup
setelah terjatuh dari tempat setinggi itu, pikirnya.
“Heh-heh, kalau tidak ada Siauw-liong (Naga Kecil) itu, tubuhmu tentu sudah hancur di lantai batu ini, hehheh!”
Nenek itu berkata sambil menudingkan telunjuk kirinya ke atas.
Ceng Ceng memandang ke arah yang ditunjuk dan hampir dia menjerit. Otomatis dia meloncat ke belakang
ketika dia melihat ular besar yang tadinya tak tampak olehnya itu, melingkar di dinding sumur dan
memandang ke bawah dengan mata berkilat-kilat. Seekor ular yang besar dan panjang sekali, yang disebut
Naga Kecil oleh nenek itu! Bagaimana ular besar itu dapat menolongnya? Pinggangnya terasa sakit, tentu
pernah dililit oleh tubuh ular itu. Ceng Ceng bergidik ngeri.
“Dan sekarang engkau tentu sudah aman di dalam perutnya kalau saja tidak ada Ban-tok Mo-li, heh-hehheh!”
“Ban-tok Mo-li...?” Ceng Ceng bertanya heran. Dia memang tidak pernah mendengar nama julukan Ban-tok
Mo-li (Iblis Betina Selaksa Racun).
“Ya, Ban-tok Mo-li Ciang Si, aku sendiri, heh-heh. Ular Siauw-liong itu menyambarmu ketika tubuhmu
melayang turun, sebelum dia mengirimmu ke dalam perutnya, aku telah mencegahnya.”
Sekarang mengertilah Ceng Ceng apa yang telah terjadi dengan dirinya. Betapa pun menjijikkan dan
menakutkan keadaannya, dia menduga bahwa nenek yang bernama Ban-tok Mo-li ini tentulah seorang
yang memiliki kepandaian amat hebat dan tadi telah menolongnya, maka dia cepat menjatuhkan diri
berlutut di depan nenek itu.
“Banyak terima kasih teecu haturkan kepada Locianpwe yang telah menolong teecu dari cengkeraman
maut.”
“He-he-heh-heh, aku senang menolongmu, aku senang bertemu denganmu. Siapakah namamu?”
“Nama teecu (murid) adalah Lu Ceng.”
“Engkau dapat tiba di sini dengan selamat, ini namanya jodoh! Lu Ceng, mari pergi ke tempat tinggalku.
Kau lihat, aku tidak bisa jalan. Maukah engkau menggendongku kalau memang benar kau berterima kasih
kepadaku?”
Ceng Ceng bergidik, akan tetapi dia menekan perasaannya dan mengangguk. Namun ketika dia hendak
dunia-kangouw.blogspot.com
membungkuk untuk mengangkat tubuh nenek yang kedua kakinya lumpuh itu, tiba-tiba secepat kilat tubuh
itu melesat ke atas dan tahu-tahu telah berada di punggungnya! Dia terkejut bukan main menyaksikan
kelincahan luar biasa ini.
“Heh-heh, kau gendonglah aku lewat terowongan itu.” Nenek itu menuding ke depan.
Ceng Ceng lalu menggendong nenek itu melalui terowongan yang gelap sekali. Kalau tak ada nenek itu
yang memberi petunjuk, tentu dia akan menabrak dinding. Untungnya nenek itu sudah hafal benar akan
jalan terowongan gelap ini. Dia selalu mengingatkan Ceng Ceng, membelok ke kiri, ke kanan,
merendahkan tubuh agar tidak terbentur kepalanya dan sebagainya. Setelah melalui terowongan yang
berliku-liku dan gelap itu sepanjang ratusan meter, akhirnya tampak cahaya terang dan keluarlah Ceng
Ceng dari terowongan, memasuki sebuah goa yang menghadapi jurang amat curamnya.
“Heh-heh-heh-heh, di goa sinilah aku tinggal,” kata nenek itu, masih tetap duduk di atas punggung Ceng
Ceng.
Dara ini melangkah ke depan, ke pinggir jurang di depan goa, menengok ke bawah dan bergidik ngeri.
Jurang itu selain curam tak mungkin dituruni, juga tidak nampak dasarnya karena terhalang oleh uap
halimun saking dalamnya! Menengok ke kanan kiri goa, juga merupakan dinding batu yang curam dan
tegak lurus, licin dan tidak mungkin dijadikan jalan untuk meninggalkan tempat itu. Dia benar-benar telah
terjebak ke dalam tempat yang benar-benar terputus hubungannya dengan dunia ramai!
“Heh-heh-heh, kau mencari jalan keluar? Tidak mungkin, Lu Ceng. Aku sendiri sudah dua puluh tahun lebih
berada di sini, tidak menemukan jalan keluar. Jalan satu-satunya hanyalah melalui mulut sumur itu, dan
tidak mungkin ada manusia dapat naik melalui jalan itu karena dinding sumur itu banyak mengeluarkan gas
beracun. Dan menuruni tebing-tebing jurang di sini, sama saja dengan membunuh diri. Engkau sudah
berjodoh denganku untuk menemaniku selama hidupmu di tempat ini, anak manis.”
“Tidak! Tidak mungkin...!” Ceng Ceng menjerit. “Harap Locianpwe turun, teecu hendak mencari jalan
keluar.”
Melihat dara itu hendak menurunkannya, tiba-tiba nenek itu berkata, “Tidak, aku tidak mau turun lagi
selamanya dari punggungmu, heh-heh-heh!”
Ceng Ceng menjadi terkejut sekali, terkejut dan marah. Kedua tangannya sudah hendak bergerak
menangkap tubuh nenek itu dan memaksanya turun, akan tetapi tiba-tiba dia merasa betapa jari-jari tangan
nenek itu menyentuh ubun-ubun kepalanya.
“Jangan bergerak! Kalau bergerak, kepalamu akan kuhancurkan!” bentak nenek itu, suaranya mendesisdesis
seperti ular marah. “Aku sudah terlalu lama hidup tanpa kaki, merayap seperti ular. Aku ingin hidup
wajar, ingin melihat dunia ramai dan tak mungkin kulakukan tanpa kaki. Sekarang aku sudah mendapatkan
kedua kaki, kakimu, dan aku tidak akan melepaskannya lagi!”
“Locianpwe... gila...!” Ceng Ceng berseru, matanya terbelalak. Ngeri dia membayangkan bahwa untuk
selamanya nenek itu tidak mau turun dari punggungnya!
“Heh-heh, aku ahli racun yang nomor satu di dunia ini. Ingat, julukanku adalah Ban-tok (Selaksa Racun),
dan memang aku mengenal selaksa racun yang terdapat di dunia ini. Aku bisa menggunakan ilmuku untuk
menanam tubuhku ini di punggungmu, melekat untuk selamanya dan kedua kakimu menjadi pengganti
kedua kakiku yang lumpuh, ha-ha-ha!”
Bukan main ngeri dan jijiknya rasa hati Ceng Ceng. Dia telah diselamatkan oleh seorang nenek gila,
seorang nenek yang berwatak seperti iblis. Kiranya masih lebih baik mati dari pada harus hidup seperti itu,
selamanya menggendong nenek ini, siang malam, di waktu dia makan, di waktu tidur, mandi dan lain-lain.
Selamanya! Mana mungkin? Lebih baik mati!
Dia sendiri tidak takut mati, akan tetapi agaknya nenek tua renta ini masih sayang akan hidupnya, masih
suka hidup. Dara itu tersenyum dan dengan langkah seenaknya dia mendekati tebing jurang, kemudian
berkata, “Baiklah, Locianpwe. Kalau begitu mari kita mampus bersama!”
“Heiii...! Apa... apa maksudmu...?” Nenek itu menjerit sambil memandang ke bawah, ke dalam jurang yang
tertutup kabut tebal itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Locianpwe lebih suka hidup, akan tetapi aku lebih suka mati. Kita meloncat ke bawah, mungkin di bawah
sana terdapat air yang akan menelan dan membuat kita mati tenggelam, mungkin juga batu-batu runcing
tajam seperti pedang yang akan menerima tubuh kita sampai hancur berkeping-keping, atau batu keras
yang menerima tubuh kita sampai gepeng. Mari kita mampus bersama!”
“Heiii, jangan...! Apa kau gila...? Dua puluh tahun aku bersusah-payah mempertahankan hidupku, masa
sekarang akan kau akhiri begitu saja. Biarkan aku turun...!”
Akan tetapi kini Ceng Ceng menggunakan kedua tangannya memegang erat-erat dua kaki yang lumpuh
itu. “Tidak, aku tidak akan menurunkanmu, aku akan mengajakmu mampus bersama, untuk menjadi
temanku pergi ke neraka menerima siksaan di sana!”
“Lepaskan... aihhh... aku tidak mau mati... belum mau mati...!” Kini nenek itu merengek dan hampir
menangis.
Ceng Ceng tersenyum geli. Biar pun dia telah terjebak ke tempat mengerikan itu, namun pada saat itu dia
lupa akan kesengsaraannya dan dia gembira dapat mempermainkan nenek yang seperti iblis ini.
“Aku hanya mau menurunkan Locianpwe dan tidak akan meloncat ke bawah kalau Locianpwe suka berjanji
untuk mengangkat murid kepada teecu dan menurunkan semua ilmu kepandaian Locianpwe kepada
teecu.”
“Baik, aku berjanji... lekas mundur jauhi tebing ini... hihhh...!”
Ceng Ceng melompat mundur, melepaskan kedua kaki nenek itu dan Ban-tok Mo-li meloncat turun.
Mereka berhadapan dan kembali Ceng Ceng merasa ngeri dan jijik, akan tetapi juga kasihan menyaksikan
nenek itu menelungkup seperti seekor kadal.
“Kau... kau bocah nakal dan cerdik, hi-hik! Kau memang pantas menjadi muridku, Lu Ceng. Aku memang
membutuhkan teman di sini, dan kalau kau menjadi muridku, berarti kita tidak akan saling berpisah pula,
Nah, mulai saat ini kau menjadi muridku.”
Karena tidak ada pilihan lain dan agaknya dia harus pula mengandalkan kepandaian nenek ini untuk dapat
keluar, selain itu juga dia ingin memperdalam ilmunya agar dia kelak dapat mencari sendiri jalan keluar
kalau nenek itu tidak mau membantunya, Ceng Ceng lalu menjatuhkan diri berlutut sambil berkata, “Teecu
Lu Ceng menghaturkan terima kasih kepada Subo (Ibu Guru).”
“Heh-heh-heh, engkau tidak tahu betapa beruntungnya kau hari ini, Lu Ceng. Engkau tak tahu siapakah
Ban-tok Mo-li Ciang Si yang kau angkat menjadi guru ini. Aku sendiri mungkin tidak terkenal, akan tetapi
suheng-ku adalah seorang di antara tokoh-tokoh nomor satu dari Pulau Neraka. Suheng-ku Bu-tek Siauwjin
(Manusia Hina Tanpa Tanding) adalah seorang tokoh Pulau Neraka yang suka merantau dan dari
Suheng itu aku memperoleh banyak ilmu mukjijat. Hi-hik, kau beruntung sekali.”
Mulai hari itu Ceng Ceng berdiam di tempat terasing ini bersama gurunya dan di dalam penyelidikannya,
tempat itu benar-benar terputus dari dunia luar. Untung bahwa di dalam terowongan terdapat sumber air
yang terus menetes dari dinding batu, dan untuk menyambung hidup, selama puluhan tahun gurunya
hanya makan daun-daun dari tanaman yang merambat di tepi jurang di luar goa, jamur-jamur yang banyak
tumbuh di dalam terowongan, ribuan macam banyaknya, dan akar-akar tumbuhan yang terpendam di
dalam tanah di goa dan di luar goa.
Akan tetapi Ceng Ceng tidak mau meniru gurunya yang kadang-kadang makan cacing dan binatang dalam
tanah lainnya. Dia merasa jijik dan karena dia tidak lumpuh seperti gurunya, akhirnya dia berhasil juga
menyambit jatuh burung-burung yang kebetulan terbang di tempat tinggi itu.
Setelah berhari-hari tinggal dengan Ban-tok Mo-li Ciang Si, dia mendengar penuturan gurunya. Ceng Ceng
memperoleh kenyataan bahwa gurunya itu memang memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.
Tidak saja ilmu silatnya luar biasa, akan tetapi terutama sekali gurunya adalah seorang ahli besar dalam
soal racun. Berkat latihannya yang tekun selama beberapa puluh tahun, gurunya telah menguasai semua
racun. Seluruh tubuh gurunya mengandung racun yang dapat digunakan untuk membunuh lawan. Dari
dunia-kangouw.blogspot.com
tamparan tangannya, sampai jari kukunya, sabetan rambutnya, gigitan mulut yang tak bergigi lagi, sampai
ludahnya mengandung racun yang cukup berbahaya dan dapat membunuh lawan!
Biar pun pada waktu itu dia belum melihat kemungkinan untuk dapat bebas dari neraka itu, namun Ceng
Ceng tidak putus asa dan tidak mau membenamkan dirinya dalam kedukaan atau keputus asaan yang
menggelisahkan. Dia tetap gembira, merasa yakin bahwa pada suatu saat kalau ilmu kepandaiannya
sudah tinggi, dia pasti akan dapat keluar dari tempat itu. Pikiran inilah yang membuatnya tetap gembira dan
bahkan membuatnya makin tekun mempelajari ilmu dari nenek luar biasa itu.
Pada suatu hari, kurang lebih sebulan semenjak Ceng Ceng berada di tempat itu, sehabis latihan pagi,
Ceng Ceng memberanikan dirinya bertanya kepada gurunya, “Subo, bagaimanakah Subo sampai dapat
berada di tempat ini, dan bagaimana pula Subo yang berilmu tinggi sampai dapat menderita penyakit
lumpuh kedua kaki Subo?”
Pada saat itu, Ban-tok Mo-li Ciang Si sedang menggelung rambutnya. Semenjak Ceng Ceng berada di situ,
melihat kebersihan muridnya yang setiap hari mandi dan mencuci pakaian, dia terbawa oleh kebiasaan ini
dan mulailah dia mau mengurus tubuh dan pakaiannya. Pakaiannya kini bersih, dicucikan oleh muridnya
dan rambutnya pun bersih dan disanggul, tidak seperti biasanya terurai dan kotor, membuatnya kelihatan
seperti kuntilanak. Mendengar pertanyaan muridnya itu, mukanya yang pucat menjadi merah dan
sepasang matanya mengeluarkan sinar marah.
“Kalau yang mengajukan pertanyaan itu orang lain, tentu akan kubunuh seketika juga karena pertanyaan
itu mengingatkan aku akan hal-hal yang tidak menyenangkan. Akan tetapi karena kau adalah muridku,
sebaiknya kau tahu karena hanya engkaulah yang kuharapkan kelak akan dapat membalaskan
penderitaanku ini kepada mereka itu.”
“Mereka siapakah, Subo? Dan apa yang mereka lakukan kepadamu?”
“Ahhh...” Nenek itu menarik napas panjang. “Mungkin hari ini atau besok mereka akan datang ke sini untuk
menagih janji, mengambil kitab catatanku tentang racun...”
Ceng Ceng cepat menekan jantungnya yang berdebar-debar keras penuh ketegangan. Mereka akan
datang ke tempat itu? Hal ini membuktikan bahwa terdapat jalan untuk memasuki tempat ini dan berarti
ada pula jalan keluarnya!
Biar pun dia tidak mengatakan sesuatu, gurunya dapat menduga jalan pikirannya dan gurunya berkata,
“Percuma saja, Lu Ceng. Sudah hampir dua puluh tahun aku berada di sini dan apakah kau kira aku
selama itu tidak berusaha menemukan jalan keluar itu? Akan tetapi aku tidak berhasil. Jalan rahasia itu
hanyalah diketahui oleh mereka berdua, karena memang tempat ini adalah milik mereka, dulu adalah
tempat pertapaan mereka.”
“Siapakah mereka?”
“Mereka adalah dua orang iblis berwajah manusia yang terkenal dengan julukan Siang Lo-mo (Sepasang
Iblis Tua), dua orang kembar yang amat jahat.”
“Mengapa mereka menganiaya Subo?”
Nenek itu kembali menarik napas panjang. “Dua puluh tahun yang lalu mereka bertemu denganku dan
hanya setelah mereka maju mengeroyok saja aku terpaksa harus kalah. Mengetahui bahwa aku memiliki
ilmu yang tinggi tentang racun, mereka memaksaku untuk membuatkan kitab cacatan tentang selaksa
racun. Tentu aku tidak sudi, biar pun mereka memaksaku. Akan tetapi, mereka berdua amat keji, dengan
marah mereka lalu menghancurkan tulang-tulang kedua kakiku.”
“Aihhh...!” Ceng Ceng menjerit ngeri.
“Kemudian mereka membawa aku yang pingsan ke dalam tempat ini. Ketika aku sadar, mereka
mengancam akan datang membunuhku jika aku tak mau memenuhi permintaan mereka. Aku tetap
menolak dan hingga kini mereka belum juga membunuhku. Karena sudah tahu bahwa tidak dapat keluar
dari sini, aku memperdalam ilmuku tentang racun dan aku bersiap untuk membunuh mereka. Paling akhir
mereka mengancam bahwa mereka akan datang untuk yang terakhir, kalau aku tidak memberikan catatan
dunia-kangouw.blogspot.com
racun, mereka tentu benar-benar akan membunuhku. Hari yang dijanjikan itu adalah hari ini atau besok
pagi. Akan tetapi, aku sudah siap menghadapi mereka dan mereka akan mampus, hi-hi-hi...!”
“Maksud Subo, Subo hendak melawan dan akan dapat mengalahkan mereka?”
“Tidak, kalau melawan terang-terangan, tak mungkin dapat menangkan dua tua bangka kembar itu. Akan
tetapi sudah bertahun-tahun aku merencanakan akal, mari kau lihat saja dan bantu aku membuat
persiapan!”
Ceng Ceng mengikuti subo-nya memasuki goa dan sesampainya di mulut terowongan yang berada di
sebelah dalam goa, nenek itu kemudian berhenti dan mengeluarkan bunyi mendesis-desis dan diseling
suara melengking.
“Subo memanggil Siauw-liong (Naga Kecil)?” bertanya Ceng Ceng yang sudah pernah mendengar subonya
memanggil ular besar itu. Selama sebulan di tempat itu baru pagi hari ini dia merasakan ketegangan
hebat setelah mendengar bahwa tempat itu akan kedatangan musuh yang lihai, bukan hanya tegang
karena musuh itu melainkan karena harapannya bahwa dia akan dapat menemukan jalan keluar yang
dirahasiakan oleh sepasang kakek iblis itu.
Tak lama kemudian, terdengar suara mendesis-desis dan muncullah ular besar yang merayap dari dalam
terowongan. Nenek itu juga merayap dekat, lalu memegang leher dan perut ular dengan kedua tangan.
Dengan gerakan tiba-tiba dia melemparkan ular itu ke atas, ke arah batu menonjol di atas goa. Ular itu
menggunakan ekornya melibat batu dan berdiam di situ tak berani bergerak lagi, melingkari batu.
Setelah melihat ular itu di tempat seperti yang dikehendakinya, Ban-tok Mo-li tertawa, kemudian
mengeluarkan sebuah bungkusan dari saku bajunya, membuka bungkusan yang ternyata berisi bubuk
berwarna hitam. Ditaburkannya bubuk itu di sepanjang jalan terowongan di mulut goa sebelah dalam. Tidak
ada tampak bekasnya, namun lantai yang ditaburi bubuk sambil mengesot mundur itu, mulai dari mulut
terowongan sampai ke dalam sejauh tiga meter lebih telah terlapis dengan bubuk hitam.
“Ha-ha-ha, nanti kau akan melihat mereka bergelimpangan, Lu Ceng.” Nenek itu tertawa sambil
mengantongi lagi kertas pembungkus racun hitam tadi.
“Apakah Subo pasti akan berhasil?” Ceng Ceng bertanya ragu, mengingat akan cerita gurunya betapa lihai
kedua orang kakek itu.
“Hi-hi-hik, tentu saja! Racun itu tidak tampak sama sekali, tetapi sekali menyentuhnya, biar memakai
sepatu sekali pun, yang menginjaknya akan roboh dan tewas. Andai kata kakek kembar iblis busuk itu
mampu melewatinya, tentu Siauw-liong yang girang melihat kedatangan korban akan menyerang mereka.
Serangan ini tentu akan membuat mereka meloncat mundur lagi dan mau tidak mau akan menginjak racun
hitam. Heh-heh-heh!”
“Kalau gagal bagaimana, Subo?”
“Hemm, gagal? Aku sudah siap dengan jarum-jarumku yang akan kusebar dari sebelah luar goa. Dan
engkau selama ini sudah berlatih melempar jarum beracun dan pasir beracun, kau bantu aku menyerang
dari samping kiri.”
“Baik, Subo.”
“Nah, kita siap sekarang.”
Nenek itu lalu mengesot ke sebelah kanan mulut goa, bersembunyi di balik batu besar. Ceng Ceng juga
melompat ke samping kiri mulut goa, bersiap dengan pasir dan jarum merah beracun yang sudah
dikantonginya. Jantungnya berdebar tegang. Yang menjadi perhatian sepenuhnya adalah kemungkinan
baginya untuk menemukan jalan rahasia keluar dari tempat itu! Kalau selama sebulan ini dia kurang giat
mencari jalan keluar adalah karena dia sudah putus harapan untuk dapat menemukan jalan keluar, karena
dia tidak tahu bahwa memang terdapat jalan rahasia. Kini, setelah mendengar cerita gurunya, timbul
semangatnya. Kalau orang lain mampu keluar masuk tempat ini, mengapa dia tidak?
Menanti merupakan pekerjaan yang paling melelahkan. Apa lagi dalam suasana di mana ketegangan
mencekam hati seperti pada saat itu. Sejak pagi Ceng Ceng menanti bersama subo-nya, di kanan kiri
dunia-kangouw.blogspot.com
mulut goa, bersembunyi sambil mengintai ke sebelah dalam terowongan yang hitam pekat. Apa lagi dia
sebagai manusia yang dipermainkan pikiran dan khayal pikirannya sendiri, sedangkan ular besar itu pun
mulai kelihatan gelisah akan tetapi tidak berani merayap turun karena takut sekali kepada nenek itu. Hanya
kepalanya saja digoyang-goyang ke kanan kiri, matanya melirik-lirik dan lidahnya berkali-kali dijulurkan
keluar sambil mengeluarkan suara mendesis-desis. Setiap kali dia mendesis, nenek itu mendesis-desis
keras dan ular itu terdiam.
Ceng Ceng sudah hampir tidak kuat lagi menahan. Dia adalah seorang dara yang lincah gembira, mana
dia dapat bertahan untuk diam saja seperti arca selama berjam-jam? Matahari telah naik tinggi dan sudah
lebih dari tiga jam mereka menanti di situ. Akan tetapi baru saja dia hendak membuka mulut mengajak
subo-nya bicara, nenek itu sudah menggerakkan tangan memberi isyarat agar dia tidak mengeluarkan
suara. Ceng Ceng menarik napas panjang dan menundukkan mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut
bukan main. Dengan amat jelas terdengarlah suara orang tertawa, jauh dari sebelah dalam terowongan itu!
“Ha-ha-ha! Ban-tok Mo-li nenek ular yang buruk! Keluarlah kau..., kami datang menagih janji! Ha-ha-ha-ha!”
Ceng Ceng merasa ngeri. Baru suaranya saja sudah membayangkan bahwa orang yang tertawa itu
mempunyai kekejaman luar biasa!
Keadaan menjadi sunyi sekali dan amat menyeramkan setelah suara tertawa dan kata-kata itu habis
gemanya. Dara itu melirik ke arah subo-nya dan melihat betapa nenek itu juga tegang, memandang ke
dalam goa sambil mengintai dari balik batu besar, jarum-jarum hitam di kedua tangannya. Ceng Ceng juga
mempersiapkan jarum merah di tangan kanan dan pasir di tangan kiri. Pasir yang digenggamnya itu
bukanlah pasir biasa melainkan pasir yang didapat di lantai goa itu dan yang sudah direndam dalam racun
oleh subo-nya. Dia sendiri sudah menggunakan obat pemunahnya sehingga tidak berbahaya baginya,
namun lawan yang terkena pasir ini, sedikit saja lecet kulitnya tentu akan terancam bahaya maut karena
dari luka itu racun pasir akan meracuni semua jalan darahnya!
Tiba-tiba tampak bayangan dua orang di sebelah dalam terowongan. Karena di dalam terowongan itu
memang gelap sekali, maka yang tampak hanya bayangannya saja. Tetapi dengan jantung berdebar Ceng
Ceng merasa pasti bahwa bayangan itu tentulah sepasang kakek kembar Siang Lo-mo, musuh dari
gurunya. Apakah mereka itu akan menginjak lantai yang beracun? Ataukah akan meloncati tempat itu?
Akan tetapi kini dia mengerti akan siasat gurunya.
Gurunya mengajak dia bersembunyi, dan hal ini merupakan jebakan dan pancingan. Kalau tidak kelihatan
ada orang di situ, tentu dua orang kakek itu akan berhati-hati dan akan maju perlahan-lahan, tidak berani
sembarangan meloncat begitu saja, khawatir akan terjebak. Dan karena hati-hatinya, tentu dua orang
kakek itu akan menginjak lantai yang sudah dipasangi racun dan yang tidak nampak sama sekali.
Ceng Ceng melihat dua orang atau dua bayangan itu bergerak melangkah maju, dan dia melihat pula
betapa Siauw-liong, ular besar itu sudah mulai menjulurkan kepalanya ke bawah, agaknya dengan air liur
membasahi lidahnya binatang itu sudah siap mencaplok korban yang akan menjadi mangsanya itu.
Setapak demi setapak dan bayangan orang itu melangkah maju, makin mendekati lantai beracun, dan
makin berdebar pula rasa jantung Ceng Ceng. Mereka itu makin dekat dan tiba-tiba terdengar jerit
melengking. Kedua orang itu roboh tepat di atas lantai beracun. Mereka roboh begitu kaki mereka
menyentuh lantai itu!
Bukan main ngeri, kagum dan juga girangnya hati Ceng Ceng karena melihat dua orang musuh tangguh
dari gurunya itu dapat dirobohkan sedemikian mudahnya. Dia hendak meloncat keluar, tetapi
mengurungkan niatnya ini ketika dia menoleh ke arah gurunya. Dia melihat gurunya itu dengan muka pucat
dan pandang mata gelisah memberi isyarat agar tetap bersembunyi. Bahkan gurunya kini siap untuk
melemparkan jarum-jarumnya ke depan!
Selagi Ceng Ceng terheran-heran dan bingung melihat sikap gurunya, tiba-tiba terdengar suara dua orang
tertawa-tawa dan dari dalam terowongan berkelebatlah dua sosok bayangan orang. Sambil tertawa-tawa
dua orang itu meloncat ke depan, menginjak punggung dua orang pertama yang masih menelungkup di
atas lantai beracun, lalu dari punggung itu mereka meloncat ke depan dan barulah tampak oleh Ceng Ceng
bahwa yang meloncat hanya satu orang sedangkan orang kedua duduk di atas pundak orang pertama.
Orang pertama yang berada di bawah itu memakai sepatu kulit tebal dan orang kedua yang duduk di atas
pundak orang pertama itu tidak bersepatu, bahkan tidak berpakaian kecuali hanya sepotong cawat!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba ular besar tadi menyerang ke bawah.
“Heh-heh-heh!” Orang yang tidak berpakaian dan hanya bercawat itu terkekeh. “Masih adakah
permainanmu yang lain lagi, Nenek Buruk?” bentaknya dan kedua tangannya bergerak cepat.
Dengan jari-jari tangan kurus panjang disodokkan ke arah kepala ular, jari-jari tangan itu telah menembus
kulit ular seperti pisau-pisau runcing masuk ke dalam kepala dan leher ular besar itu! Darah muncratmuncrat
dan tubuh ular itu melorot turun, mencoba untuk membelit dua orang tadi.
Pada saat itu, Ban-tok Mo-li sudah menggerakkan kedua tangannya bergantian dan sinar-sinar hitam
menyambar ke arah dua orang kakek itu, disusul sinar-sinar merah dari jarum-jarum Ceng Ceng dan sinar
putih dari pasir beracunnya. Namun, sambil tertawa kakek yang telanjang itu sudah memutar-mutar
bangkai ular besar sehingga semua serangan jarum dan pasir mengenai tubuh ular, membuat ular itu mati
seketika dan tidak berkelojotan lagi. Kakek telanjang membuang bangkai ular dan melompat turun,
kemudian kedua orang kakek itu melompat keluar mulut goa.
Sekarang Ceng Ceng dapat memandang dengan jelas. Wajah kedua orang kakek itu bentuknya sama
benar dan jelas bahwa mereka adalah orang kembar. Akan tetapi kesamaan ini lenyap oleh perbedaanperbedaan
lain yang amat mencolok.
Kakek pertama memakai pakaian lengkap dan serba baru, dari sepatu kulit sampai baju bulunya yang amat
indah, mukanya pun berwarna pucat putih seperti kapur dan mukanya serius. Melihat baju mantel bulu dan
penutup kepala bulu halus yang mahal itu pantasnya dia adalah seorang hartawan besar yang
mengenakan pakaian untuk musim salju dan agaknya dia terus merasa kedinginan!
Ada pun kakek kedua sama sekali tidak memakai pakaian kecuali cawat atau celana pendek sekali itu,
tubuhnya yang kurus itu seperti selalu terasa gerah dan mukanya pun kemerahan seperti dipanggang!
Kakek inilah yang tertawa-tawa dan sikapnya seperti orang gembira biar pun wajahnya yang merah itu
kelihatan menyeramkan seperti orang mabuk atau orang yang marah.
“Heh-heh-heh-heh, Ban-tok Mo-li, kau kira kami hanyalah orang-orang bodoh? Untung kami menemukan
dua orang di atas sana dan untung pula ada ular besar. Heh-heh!” kata kakek bermuka merah.
“Ban-tok Mo-li, cepat kau berikan kitab catatan racun kepada kami!” Kakek muka putih menyambung.
Si Muka Putih ini berjuluk Pak-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia Utara) sedangkan Si Muka Merah adalah adik
kembarnya, berjuluk Lam-thian Lo-mo (Iblis Tua Dunia Selatan). Seperti telah diceritakan di bagian depan
cerita ini, kedua orang kakek kembar ini lebih terkenal dengan sebutan Siang Lo-mo (Iblis Tua Kembar)
dan pernah menyerbu ke Pulau Es memusuhi Pendekar Super Sakti, namun dikalahkan oleh pendekar itu
dan kedua orang isterinya yang sakti.
Mereka ini berasal dari Formosa (Taiwan) dan memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Si Muka Putih Pakthian
Lo-mo itu memiliki Im-kang yang amat kuat sehingga tubuhnya kedinginan terus, maka dia selalu
memakai pakaian tebal. Sebaliknya, Si Muka Merah Lam-thian Lo-mo adalah seorang ahli Yang-kang
sehingga tubuhnya yang kurus itu selalu telanjang karena dia merasa gerah terus.
“Aku tidak akan menyerahkan kitab apa pun kepada kalian dua manusia iblis!” Ban-tok Mo-li memekik
marah, matanya memandang dengan sinar berapi penuh kebencian.
“Kau bosan hidup!” Pak-thian Lo-mo membentak marah.
“Heh-heh-heh, siapa takut mampus? Kalian majulah, hendak kulihat siapa di antara kita yang akan
mampus lebih dulu!” nenek itu menantang sambil tertawa mengejek.
“Singgg...!” Pak-thian Lo-mo sudah melolos sabuknya yang panjang berupa pecut baja yang mengerikan.
“Eihhh, Pak-heng (Kakak Pak), perlahan dulu. Jangan mudah dibujuk oleh nenek busuk ini. Keenakan
kalau dia dibunuh begitu saja, ha-ha-ha-ha!” Lam-thian Lo-mo mencegah kakak kembarnya. “Jika dia
berkeras tidak mau memberikan catatan itu memang sudah selayaknya dia mampus, akan tetapi harus
mati perlahan-lahan dan kita siksa dulu sepuasnya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Agaknya Pak-thian Lo-mo yang amat menginginkan pengetahuan tentang segala jenis racun itu mengerti
akan akal adik kembarnya, maka dia hanya bersungut-sungut sambil menyimpan kembali senjatanya yang
ampuh.
“Ban-tok Mo-li dengarlah,” kata Lam-thian Lo-mo sambil tertawa. “Telah puluhan tahun engkau hidup
seperti ular, kedua kakimu lumpuh, akan tetapi engkau masih dapat menggunakan kedua lenganmu untuk
mengesot dan merangkak. Sekarang, kalau kau tidak mau menyerahkan catatan itu, kami akan
melumpuhkan kedua lenganmu pula. Hendak kulihat bagaimana kau akan dapat merayap maju, apakah
akan berlenggak-lenggok seperti ular, ha-ha-ha!”
“Heh-heh-heh, Lam-thian Lo-mo. Siapa tidak mengetahui kelicikan kalian manusia iblis yang sudah mau
mampus?” nenek itu balas mengejek. “Kalian takut mendekati aku, karena begitu mendekat, kalian tentu
akan mampus, maka kalian menggertak. Hendak kulihat bagaimana kalian hendak membuntungi atau
melumpuhkan kedua tanganku ini, hi-hi-hik. Majulah!”
Dua orang kakek itu saling pandang. Memang apa yang diucapkan oleh nenek ini benar. Mereka berdua
maklum betapa nenek ini setelah lumpuh kedua kakinya, selama dua puluh tahun di dalam goa,
memperdalam ilmunya sehingga kini merupakan lawan yang amat berbahaya, seolah-olah keadaan di
sekeliling nenek itu beracun!
“Pak-heng, memang kau benar. Nenek busuk ini harus dihajar. Disangkanya kita tidak bisa menghajarnya
dari jarak jauh!” kata Si Muka Merah.
“Memang dia harus dihajar sampai mampus!” jawab Si Muka Putih. “Lam-te, mari kita serang dia dengan
batu dari jauh, baru kita menggunakan senjata.”
Pada saat itu, Ceng Ceng sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dia meloncat ke depan sambil
berseru, “Dua orang kakek berhati kejam!”
“Lu Ceng, jangan...!” Ban-tok Mo-li berteriak, akan tetapi terlambat sebab dara itu sudah menyerang
kepada dua orang kakek itu dengan pukulan-pukulan tangannya.
“Ha-ha-ha, Ban-tok Mo-li sudah mempunyai seorang pembantu yang nekat!” Lam-thian Lo-mo tertawa
mengejek ketika dia bersama kakaknya dengan mudahnya mengelak dari serangan-serangan Ceng Ceng
yang marah sekali.
“Sepasang manusia iblis keji! Kalian telah menyiksa Subo, telah membuat hidup Subo amat sengsara, dan
kalian masih saja mendesak dan mengganggunya!” Ceng Ceng memaki-maki sambil menyerang lagi
dengan ganas. Namun semua serangannya gagal karena dua orang kakek itu amat mudah mengelaknya
tanpa banyak bergerak.
Melihat betapa Ceng Ceng membelanya mati-matian, nenek itu menjadi tercengang dan terheran-heran.
Tadinya dia adalah seorang pembenci manusia, siapa pun dibencinya dan dimusuhinya karena dia seperti
merasa bukan manusia lagi. Juga terhadap Ceng Ceng sebetulnya dia benci, hanya karena dia enggan
kehilangan dara itu yang telah datang di tempat itu dan dapat menjadi temannya, bahkan dapat pula kelak
dipaksa untuk mengajaknya keluar, maka dia tidak membunuh Ceng Ceng bahkan menerimanya sebagai
murid.
Akan tetapi sekarang, melihat betapa dara itu membelanya mati-matian, dengan nekat melawan dua orang
kakek itu, timbul perasaan terharu dan sayang kepada Ceng Ceng, maka tentu saja dia menjadi amat
khawatir melihat betapa Ceng Ceng menyerang dua orang kakek yang tentu saja sama sekali bukan lawan
muridnya itu.
“Lu Ceng muridku..., jangan...! Kau mundurlah dan biar aku yang menghadapi mereka!” Nenek itu
berteriak-teriak sambil mengesot maju.
Dua orang kakek kembar itu adalah orang-orang yang cerdik. Sebetulnya mereka tidak ingin benar
membunuh nenek itu karena memang tidak mempunyai permusuhan apa-apa. Yang penting bagi mereka
adalah kepandaian nenek itu tentang racun, dan semua penyiksaan dan ancaman yang mereka lakukan
terhadap Ban-tok Mo-li semata-mata karena ingin memaksa nenek itu menyerahkan catatan tentang racun.
Kalau sampai mereka membunuh nenek itu tentu karena kecewa dan marah akan kekerasan hati nenek
itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini mereka dapat melihat sikap Ban-tok Mo-li, dan mendengar dalam suara nenek itu terkandung rasa
sayang kepada gadis yang menjadi muridnya itu, maka sekaligus mereka telah dapat menentukan sikap
dan akal mereka. Memang ada pertalian batin yang aneh di antara dua orang kembar ini, kadang-kadang
tanpa kata-kata mereka sudah dapat mengerti isi hati masing-masing.
Lam-thian Lo-mo tertawa bergelak, lalu tubuhnya bergerak membalas serangan Ceng Ceng. Dara ini
terkejut bukan main menyaksikan serangan yang teramat dahsyat itu. Lengan telanjang itu menyerangnya
dengan berbareng, yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya, yang kiri mencengkeram ke
arah dadanya dengan jari-jari terbuka.
Dia cepat meloncat ke belakang sambil menggerakkan kedua tangan menangkis, akan tetapi tiba-tiba ada
hawa dingin menyambar dari arah belakang dan sebelum dia sempat mengelak, kedua pergelangan
tangannya sudah ditangkap oleh kedua tangan Pak-thian Lo-mo! Ceng Ceng meronta-ronta, akan tetapi
Lam-thian Lomo tertawa-tawa dan sudah menyambar ke bawah dan di lain saat tubuh dara itu sudah
tergantung dan terlentang seperti seekor rusa ditangkap dan hendak disembelih.
Kedua tangannya dipegang oleh Pak-thian Lo-mo sedangkan kedua kakinya dipegang oleh Lam-thian Lomo.
Ceng Ceng hanya meronta-ronta memaki-maki, akan tetapi tidak berdaya melepaskan diri dari
pegangan dua orang kakek itu. Jika mereka menghendaki, betapa mudahnya bagi mereka untuk
membunuh dara itu.
“Lu Ceng...!” Ban-tok Mo-li menjerit ketika melihat muridnya tertawan. “Siang Lo-mo, keparat busuk!
Lepaskan muridku!”
“Ha-ha-ha!” Lam-thian Lo-mo tertawa dan bersama kakak kembarnya dia menghampiri tepi jurang depan
goa. “Ban-tok Mo-li, kau lihatlah dulu muridmu yang cantik jelita dan muda belia ini terbang ke bawah sana
agar tubuhnya hancur lebur di dasar jurang yang tak tampak dari sini, dengar saja jeritnya yang melengking
nanti agar dapat kau nikmati sebelum kau pun mampus pula di tangan kami. Ha-ha-ha!” Bersama kakak
kembarnya, Lam-thian Lo-mo mengayun-ayun tubuh dara itu dan siap untuk melepaskan pegangan dan
melemparkan tubuh itu ke dalam jurang.
“Tunggu...! Tahan...! Kalian menghendaki catatan racun? Sudah kubuatkan...!” Nenek itu menjerit penuh
kegelisahan melihat tubuh muridnya sudah hampir dilemparkan ke jurang.
“Ha-ha-ha-ha, siapa percaya omonganmu, nenek busuk?” Lam-thian Lo-mo mengejek.
“Bedebah! Ini kitabnya! Sudah aku siapkan!” Nenek itu merogoh pinggangnya untuk mengeluarkan sejilid
kitab kecil bersampul hitam.
“Bagus! Berikan itu kepada kami, maka kami akan membebaskan muridmu,” kata pula Lam-thian Lo-mo,
girang bukan main karena isi kitab itu akan membuat mereka berdua bertambah lihai.
“Lemparkan dia kepadaku dan aku akan melemparkan kitab ini kepadamu!” nenek itu kini menahan diri
karena melihat betapa musuh amat menginginkan kitab itu.
“Baik, aku akan melemparkannya kepadamu. Akan tetapi kau juga harus melemparkan kitab itu kepadaku.”
Lam-thian Lo-mo berkata.
“Nanti dulu, Lam-te!” Pak-thian berkata tenang. “Jangan sampai kita dapat ditipu nenek busuk itu!
Peganglah tangan gadis ini!”
Lam-thian Lo-mo memegang kedua pergelangan kaki Ceng Ceng dengan tangan kiri sedangkan tangan
kanannya kini menggantikan kakak kembarnya memegangi kedua pergelangan tangan gadis itu. Kuat
sekali kedua tangan kakek kurus bermuka merah ini sehingga Ceng Ceng merasa betapa kedua kaki
tangannya seperti dijepit alat dari baja dalam genggaman jari-jari tangan kakek itu.
Pak-thian Lo-mo mengeluarkan sepasang sarung tangan putih, kemudian memakainya. Setelah itu baru
dia berkata, “Nah, sekarang pertukaran boleh dilakukan, Lam-te.”
“Ha-ha-ha, kau benar cerdik, Pak-heng. Aku sampai lupa bahwa tentu kitab itu penuh dengan racun
berbahaya pula!” Dia memandang nenek itu yang kelihatan marah-marah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ban-tok Mo-li, lagi-lagi siasatmu tidak berhasil, ha-ha-ha! Hayo lempar kitab itu kepada Pak-heng dan aku
akan melemparkan dara ini kepadamu!”
“Keparat, iblis busuk!” Nenek itu memaki dan melemparkan kitab hitam kepada Pak-thian Lo-mo pada saat
Lam-thian Lo-mo melemparkan tubuh Ceng Ceng kepadanya.
Tubuh Ceng Ceng tentu akan terbanting jika saja kedua tangan subo-nya tidak menarik dan
menyangganya agar dara itu duduk di sebelahnya dan segera dapat dilindunginya. Sementara itu, Pakthian
Lo-mo sudah membalik-balik kitab kecil dan wajahnya yang serius itu kini berseri melihat catatan
racun-racun dengan obat pemunahnya. Dia mengangguk kepada adik kembarnya dan keduanya lalu
melompat jauh melewati kepala Ceng Ceng dan Ban-tok Mo-li, melompati pula lantai beracun seperti tadi,
yaitu Lam-thian Lo-mo, di atas pundak kakak kembarnya yang meloncat dan menginjak mayat dua orang
tadi sebagai batu loncatan, kemudian keduanya menghilang di dalam terowongan gelap.
Ceng Ceng sudah bangkit berdiri hendak mengejar, akan tetapi tangannya dipegang oleh nenek itu. “Kau
mau apa?”
“Subo, aku hendak membayangi mereka untuk mencari jalan keluar mereka.”
“Sssttt... percuma. Mereka bergerak cepat sekali dan kalau sampai ketahuan bahwa kau membayangi
mereka, tentu kau akan mereka bunuh.”
Ceng Ceng mengurungkan niatnya, tetapi diam-diam dia mengingat semua peristiwa tadi, tentang
kemunculan mereka, suara mereka ketika pertama kali datang, agar dia dapat menyelidiki dan mengirangira
dari mana kiranya mereka itu datang ke dalam terowongan. Dia menyangka bahwa sudah pasti di
dalam terowongan yang gelap itu terdapat sebuah pintu rahasia yang menghubungkan tempat itu dengan
dunia luar.
“Jangan mengharapkan yang bukan-bukan, muridku. Selama betahun-tahun aku telah menyelidiki seluruh
tempat itu, telah memeriksa seluruh terowongan, namun tak berhasil menemukan. Sekarang lebih baik kau
tekun belajar agar dapat menguasai semua ilmu-ilmuku sehingga kelak kalau mereka berdua datang, kau
akan mampu merobohkan mereka dan memaksa mereka mengantarmu keluar dari sini.”
“Apakah mereka akan datang lagi setelah berhasil merampas kitab?”
Nenek itu menyeringai lalu tertawa. “Heh-heh-heh-heh, mereka mengira aku ini orang macam apa? Sudah
kuatur sebelumnya dan biar pun racun yang kuoleskan pada kitab itu tidak berhasil karena kecerdikan Pakthian
Lo-mo, tetapi aku sengaja membuat obat ramuan pemunah satu di antara racun yang paling jahat
secara keliru. Kalau mereka kelak mendapat kenyataan itu, apa lagi kalau mereka membutuhkan obat
pemunah, tentu mereka akan turun lagi ke sini! Dan sementara itu, engkau tentu sudah pandai dan dapat
kita bersama membunuh mereka...”
“Membunuh...?”
“Maksudku, membunuh setelah mereka kita paksa membawa kita keluar.” Nenek itu cepat menyambung.
Ceng Ceng boleh jadi cerdik, namun dia tidak mampu melawan kecerdikan nenek itu sehingga tidak dapat
menduga isi hati nenek itu yang sebenarnya. Nenek itu sama sekali sudah tidak mempunyai keinginan
untuk keluar dari tempat itu. Apa gunanya keluar kalau dia sudah menjadi seorang manusia tak berguna
seperti itu? Hanya akan mendatangkan penghinaan dan rasa malu. Akan tetapi dia ingin melihat muridnya
ini berkepandaian tinggi agar kelak dapat membalaskan sakit hatinya, dapat membunuh dua orang kakek
itu. Soal mereka akan dapat keluar dari tempat itu atau tidak, sama sekali tidak dipedulikannya.
Ceng Ceng yang tidak melihat jalan lain lalu menghibur diri dengan belajar secara tekun sekali sehingga
dia memperoleh kemajuan pesat dan perlahan-lahan dia pun mulai memasukkan sari-sari racun yang
terdapat di antara jamur-jamur yang tumbuh di terowongan dan makin lama dia makin berbahaya karena
mulailah dia menjadi seorang ‘manusia beracun’ seperti ibu gurunya, sehingga setiap tendangan, setiap
pukulan, setiap tamparan atau cengkeraman, mengandung racun hebat. Bahkan dia mulai melatih ilmu
sinkang beracun untuk membuat setiap anggota tubuhnya, sampai ke ludah-ludahnya mengandung racun
yang berbahaya!
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Pertentangan antara para pangeran yang dipelopori oleh dua Pangeran Tua Liong Bin Ong dan Liong Khi
Ong di satu pihak dan Perdana Menteri Su yang setia kepada Kaisar, sungguh pun merupakan
pertentangan yang tidak terang-terangan, namun telah mendatangkan keadaan yang panas dan kacau di
kota raja. Namun, berkat ketrampilan dan kegagahan Puteri Milana dan pasukan-pasukan yang dipimpin
olehnya sebagai bantuan terhadap tugas suaminya, yaitu Perwira Pengawal Han Wi Kong, keadaan di kota
raja dapat dibikln tenteram dan aman. Kedua orang Pangeran Liong tidak berani membuat huru-hara di
kota raja karena mereka tahu bahwa pihak Menteri Su dan Puteri Milana yang tentu saja bekerja sama itu
hanya menanti sampai ditemukan bukti-bukti pemberontakan mereka untuk dapat turun tangan menentang
mereka secara terang-terangan.
Sebagai adik-adik dari Kaisar, tentu saja kedua orang Pangeran Liong ini mempunyai pengaruh yang
cukup besar. Tanpa adanya bukti penyelewengan mereka, Kaisar sendiri tidak dapat mengambil tindakan
secara begitu saja. Dan mereka cukup cerdik untuk menghapus semua bekas dan bukti pemberontakan
mereka, karena mereka memiliki pembantu-pembantu yang amat pandai, orang-orang berilmu tinggi yang
mewakili mereka melakukan hubungan dengan luar kota raja.
Pada hari itu, kota raja kelihatan ramai dan banyak pembesar keluar dari gedung masing-masing untuk
mengunjungi Istana Pangeran Liong Bin Ong yang merayakan ulang tahunnya yang ke enam puluh!
Diadakan perayaan besar-besaran di dalam istana pangeran tua ini dan tentu saja para bangsawan dan
keluarga kerajaan datang semua memenuhi undangan ini. Bahkan Perdana Menteri Su dan Puteri Milana
sendiri, merasa tidak enak kalau tidak menghadiri pesta itu, di mana mereka diundang dan termasuk tamutamu
kehormatan! Bahkan Kaisar sendiri mengirim hadiah ulang tahun dan mewakilkan kehadirannya dan
ucapan selamatnya kepada Perdana Menteri Su.
Gedung istana yang besar dan megah itu dipajang meriah dan karena jumlah tamu amat banyak, maka
yang datang terlambat terpaksa dipersilakan duduk di kursi-kursi yang diatur di luar ruangan depan, yaitu di
dalam taman dan di samping kiri ruangan itu, taman yang sudah dihias dan dirubah menjadi ruangan tamu
dengan penerangan cukup dan terlindung tenda-tenda besar.
Sejak siang tadi sampai malam, bunyi alat musik tidak pernah berhenti, dan bau arak wangi sampai dapat
tercium oleh penduduk yang berdiri menonton pesta di luar pagar di tepi jalan raya depan istana pangeran
itu. Karena pesta itu diadakan di waktu malam, maka para tamu datang berbondong-bondong mulai sore
dan setelah keadaan menjadi gelap dan tempat pesta itu diterangi oleh banyak sekali lampu penerangan,
tempat itu telah penuh dengan para tamu. Juga di luar pagar penuh dengan penduduk yang turut
menonton, sebagian besar anak-anak.
Mereka ini tidak hanya ingin mendengarkan musik dan menonton orang pesta, akan tetapi juga ingin sekali
melihat orang-orang besar dan bangsawan-bangsawan istana yang pada malam hari itu berkumpul di situ,
padahal biasanya amat sukar bagi rakyat untuk menyaksikan mereka. Mereka memperhatikan para
penyambut tamu yang meneriakkan nama tamu yang terhormat sebagai laporan kepada pihak tuan rumah
yang menyambut di ruangan agar pihak tuan rumah tahu siapa yang telah datang di pintu gerbang dan
mempersiapkan sambutan sesuai dengan kedudukan para tamu terhormat itu.
Sejak tadi, pihak penyambut tamu di depan tiada hentinya meneriakkan nama-nama para bangsawan yang
datang berbondong, dari pejabat militer yang tentu berkedudukan panglima sampai kepada pembesar yang
merupakan orang-orang penting dalam pemerintahan. Setiap ada nama bangsawan disebut, orang-orang
yang berkerumun di luar memanjangkan leher untuk melihat bagaimana bentuk orangnya, karena banyak
yang sudah mereka dengar namanya namun belum pernah melihat orangnya.
“Yang terhormat Perwira Pengawal Han Wi Kong bersama isteri, Yang Mulia Puteri Milana...!”
Seruan ini disambut oleh suara gaduh dan bahkan ada suara tepuk tangan di antara para penonton di luar
pagar. Siapakah yang tidak mengenal nama Puteri Milana? Bagi penghuni kota raja, besar kecil semua
mengenal nama ini dan merasa kagum serta berterima kasih karena puteri inilah yang selalu menentang
para pengacau dan puteri ini yang selalu siap melindungi rakyat apa bila terjadi penindasan dari pihak
pemerintah atau alat pemerintah yang menyalah gunakan kekuasaannya.
“Hidup Yang Mulia Puteri Milana...!” Terdengar seruan di antara para penonton itu dan bahkan anak-anak
yang berada di situ berebut tempat untuk dapat melihat dengan lebih jelas wajah Puteri Milana yang
mereka kagumi dan hormati itu. Di antara para penonton ini, terdapat dua orang pemuda yang juga
dunia-kangouw.blogspot.com
memandang dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri-seri kepada puteri yang baru saja turun dari
kereta bersama suaminya, seorang perwira yang tampan dan gagah itu.
Perwira itu adalah Han Wi Kong, seorang pria berusia hampir empat puluh tahun yang bertubuh sedang,
berwajah tampan dan pendiam, berpakaian sebagai seorang perwira pengawal dengan sebatang pedang
tergantung di pinggangnya. Dengan sikap amat menyayang dan menghormat dia membantu isterinya turun
dari kereta. Begitu turun dan mendengar sambutan rakyat yang menonton, Puteri Milana menoleh keluar
dan mengangkat tangan melambai sambil tersenyum, akan tetapi senyumnya tidak dapat merubah
wajahnya yang agak pucat dan dingin.
Puteri ini memang cantik jelita. Biar pun usianya sudah tiga puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih
ramping seperti seorang dara belasan tahun. Pakaiannya indah namun sederhana bahkan rambutnya pun
tidak dihias dengan emas permata. Pakaiannya lebih menyerupai pakaian seorang pendekar wanita yang
sering melakukan perjalanan jauh, ringkas dan sederhana dari pada pakaian seorang puteri cucu kaisar
dan isteri perwira.
Sehelai mantel berwarna ungu yang lebar menutupi pakaiannya dan menyembunyikan sebatang pedang
yang tergantung di pinggangnya. Warna ungu mantelnya itu cocok sekali dengan warna pakaiannya yang
serba kuning dan dengan tenang dia melangkah di samping suaminya, mukanya diangkat dan matanya
lurus memandang ke depan, sikapnya tenang sekali padahal semua orang dapat menduga dan dia sendiri
tahu bahwa dia memasuki goa macan!
Pangeran Liong Bin Ong menyambut Puteri Milana dan suaminya dengan penuh kehormatan dan dengan
wajah berseri dan mulut tersenyum lebar. Lalu setelah mereka saling memberi hormat seperti yang
semestinya karena pangeran itu masih terhitung paman kakeknya sendiri, Puteri Milana lalu diantar duduk
di tempat kehormatan di mana telah duduk Perdana Menteri Su yang menyambut puteri itu dengan
pandang mata penuh arti dan mulut tersenyum.
Setelah duduk di kursi yang disediakan untuknya, Milana lalu memandang ke seluruh ruangan itu penuh
perhatian. Dia memperoleh kenyataan bahwa pihak tuan rumah telah mengatur sedemikian rupa sehingga
golongan yang memihak Kaisar berada di satu kelompok, ada pun para bangsawan yang diragukan
kesetiaannya duduk tersebar mengelilingi kelompok itu. Kini seolah-olah kelompok yang setia kepada
Kaisar telah dikurung! Namun dia bersikap tenang-tenang saja seolah-olah tidak ada hal yang perlu
dirisaukan.
“Wah, Enci (Kakak) Milana hebat sekali, ya?” Seorang di antara kedua pemuda yang berada di antara para
penonton berkata sambil menyiku lengan pemuda kedua.
“Memang dia hebat! Mengapa kita tidak menghadap dia, Bu-te?” kata Suma Kian Lee kepada Suma Kian
Bu yang kelihatan girang dan bangga sekali melihat kakaknya.
Dua orang pemuda Pulau Es itu baru saja tiba di kota raja siang tadi dan sebagai dua orang pemuda yang
belum pernah melihat kota besar dan seindah itu, mereka menjadi kagum dan berkeliling kota, mengagumi
segala keindahan yang amat luar biasa itu. Akhirnya mereka terbawa oleh arus orang yang menuju ke
depan istana Pangeran Liong Bin Ong yang sedang mengadakan perayaan itu dan mereka ikut pula
menonton.
“Lee-ko, Ibu telah berpesan kepadaku agar aku pandai-pandai membawa diri di kota raja, jangan bersikap
liar dan tidak sopan, karena hal itu akan memalukan Enci Milana sebagai seorang puteri istana. Aku tidak
berani memanggilnya di tempat ini, Koko.”
“Kau benar, Bu-te. Memang tidak pantas, apa lagi pakaian kita sudah kotor begini. Enci Milana dihormati
sedemikian rupa dan dikagumi rakyat, kalau kita menegurnya dan semua orang mendengar bahwa kita
adalah adik-adiknya, tentu akan menimbulkan keributan dan akan memalukan Enci Milana. Kita menonton
saja di sini dan nanti kalau dia pulang, kita ikuti dan kita menghadap di tempat tinggalnya.”
Kian Bu mengangguk dan kedua orang muda itu lalu menonton ke dalam, bercampur dengan anak-anak
dan orang-orang lain. Tentu saja perhatian mereka selalu tertuju kepada Puteri Milana yang tempat duduk
kelompoknya agak tinggi sehingga dapat terlihat dari luar.
Sementara itu, sambil kadang-kadang mengangkat cawan arak mengajak para tamunya minum, diam-diam
Pangeran Liong Bin Ong tersenyum memandang ke arah kelompok yang duduk di bagian kehormatan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka yang memusuhiku berada di situ, pikirnya melamun.
Terutama sekali Perdana Menteri Su dan Puteri Milana, musuh besar dan penghalang utamanya. Jika
pada saat itu dia mengerahkan kaki tangannya dan berhasil membunuh mereka, alangkah baiknya! Akan
tetapi tentu saja hal itu akan menimbulkan geger! Sebaiknya digunakan siasat seperti yang telah diaturnya
dengan para pembantunya. Betapa pun hatinya menyesal mengapa dia tidak dapat membunuh mereka
semua itu selagi kesempatan terbuka begini lebar. Sekali dia mengerahkan para pengawal dan
pembantunya, mereka yang kini terkurung itu tentu tidak akan mampu lolos!
Tiba-tiba seorang pengawalnya menghampiri pangeran tua ini, memberi hormat dan menyerahkan sepucuk
surat tanpa berkata-kata. Pangeran Liong Bin Ong menerima surat itu dan memberi isyarat agar
pengawalnya mundur, kemudian sambil tersenyum dibacanya surat kecil itu. Mendadak mukanya berubah
agak pucat ketika dia membaca surat laporan dari kepala pengawal yang sudah disuruhnya melakukan
penjagaan dan penyelidikan. Tulisan pengawalnya itu adalah seperti berikut:
Menurut hasil penyelidikan, orang-orangnya Puteri Milana sudah menyelinap di antara para tamu, para
penabuh musik dan di antara para penonton. Bahkan pasukan istimewa Perwira Han Wi Kong melakukan
baris pendam mengurung istana ini.
Pangeran Liong Bin Ong mengusap peluh dengan sapu tangannya. Untung bahwa semua rencananya
membunuh kelompok di tempat kehormatan itu hanya merupakan lamunan kosong belaka. Kalau
dilaksanakan, sebelum hal itu terjadi, tentu dia sudah ditangkap dan istana itu diserbu!
Bukan main cerdiknya Puteri Milana dan dia mengerling ke arah puteri itu dan suaminya dengan sinar mata
penuh kebencian. Tentu saja para penjaganya tidak melihat baris pendam yang telah diatur oleh Han Wi
Kong. Tentu para anggota pasukan istimewa itu telah melakukan pengurungan dengan bersembunyi,
hanya siap sewaktu-waktu untuk menyerbu dan melindungi junjungan mereka!
Pangeran Liong Bin Ong masih memandang pada Milana dan suaminya dengan penuh kemarahan dan
kebencian. Tetapi karena pada saat itu hidangan sedang dikeluarkan, ia menahan sabar dan bahkan
dengan muka dimanis-maniskan dia berdiri dari kursinya, menghampiri para tamu terhormat sambil
terbongkok-bongkok dan mempersilakan mereka menikmati hidangan yang dikeluarkan. Mulailah para
tamu makan minum sambil bercakap-cakap dan di bagian para tamu yang kebagian tempat duduk di dalam
taman, tampak Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu ikut pula makan minum dengan lahapnya di sebuah
meja!
Ternyata Suma Kian Bu tidak dapat menahan keinginan hatinya ketika dia melihat para tamu mulai makan
minum. Bau arak wangi dan masakan yang masih mengepulkan uap, membuat perutnya yang sudah lapar
itu menjadi makin lapar, maka dia menyentuh lengan kakaknya dan memberi isyarat dengan kepala,
kemudian tanpa menanti jawaban Suma Kian Lee yang mengerutkan alisnya, Suma Kian Bu pergi keluar
dari rombongan para penonton yang memandang orang makan sambil menelan air liur itu.
Kian Bu mengajak Kian Lee ke bagian yang sunyi, kemudian mereka menggunakan waktu semua
penonton memandang ke dalam, seperti dua ekor burung rajawali mereka meloncati pagar tembok dan
menyusup melalui tempat gelap, akhirnya mereka dapat menyelinap masuk dan duduk di kursi paling
belakang dari rombongan tamu yang kebagian tempat di taman!
Mereka bersikap biasa-biasa saja ketika para pelayan datang membawa hidangan dan mengangguk
dengan sikap angkuh seolah-olah mereka juga tamu-tamu kehormatan ketika para pelayan menaruh
hidangan dan memandang hidangan-hidangan dan arak yang telah diatur di atas meja itu dengan sikap
angkuh dan acuh tak acuh, dengan pandangan yang jelas menyatakan bahwa mereka telah ‘biasa’ dengan
hidangan seperti itu, seperti sikap orang-orang muda bangsawan dan kaya raya.
Akan tetapi begitu para pelayan itu meninggalkan meja mereka untuk melayani para tamu lain, Suma Kian
Lee dan Suma Kian Bu segera menyerbu hidangan-hidangan itu dan makan dengan lahapnya karena
memang perut mereka sudah lapar dan selamanya mereka belum pernah makan hidangan mahal selezat
itu.
Sementara itu, Pangeran Liong Bin Ong sudah memutar otaknya. Rencananya gagal total. Tadinya dia dan
anak buahnya telah merencanakan siasat keji untuk membasmi musuh-musuhnya. Rencana ini adalah
memancing keributan hingga terjadi pertempuran seolah-olah pihak pemberontak mengacaukan pestanya
dan di dalam kekacauan ini dia akan mengerahkan kaki tangannya yang lihai untuk membunuh Perdana
dunia-kangouw.blogspot.com
Menteri Su dan Puteri Milana, sedangkan dia telah merencanakan untuk membiarkan dirinya ‘diculik’ oleh
pengacau.
Hal ini diatur untuk membuktikan kebersihannya, sehingga selain musuh-musuh yang diseganinya,
Perdana Menteri Su dan Puteri Milana dapat ditewaskan, juga Kaisar akan kehilangan kecurigaannya
terhadap dirinya. Tentu saja yang ‘menculiknya’ adalah kaki tangannya sendiri dan dia akan mencari akal
untuk dapat lolos dari tawanan para penculik, kalau perlu dengan tuntutan penebusan kepada pihak istana.
Akan tetapi, siapa kira, Panglima Han Wi Kong, atau lebih tepat lagi Puteri Milana, karena dia menduga
keras bahwa puteri itulah yang mengatur semua ini, agaknya telah mencium rahasia itu atau juga telah
menduga akan terjadinya sesuatu yang tidak wajar sehingga istana itu dikepung oleh pasukan terpendam
sehingga tentu saja rencananya gagal karena kalau dilanjutkan, tentu saja akan ketahuan bahwa dialah
yang mengatur kekacauan itu.
Sambil bersungut-sungut Liong Bin Ong memberi isyarat kepada seorang yang berdiri sebagai penjaga di
sudut ruangan. Orang ini sebetulnya adalah kepala pengawalnya yang sejak tadi terus memandang ke
arah majikannya setelah dia menyuruh seorang pengawal menyerahkan laporan tertulisnya. Melihat kepala
pengawal itu memandang kepadanya, Pangeran Liong Bin Ong lalu mengangkat tangan kanannya ke atas,
dan menekuk semua jari tangannya kecuali jari tengah dan telunjuk. Ini merupakan isyarat rahasia bahwa
dia menghendaki agar ‘siasat kedua’ dijalankan, karena siasat pertama gagal total. Memang, sebagai
seorang ahli siasat, Pangeran Liong Bin Ong dan anak buahnya sudah mengatur rencana secara lengkap,
yaitu telah merencanakan siasat cadangan untuk merubah rencana kalau yang pertama gagal.
Rencana ini akan mempergunakan siasat kedua, tidak lagi untuk membunuh Perdana Menteri Su dan
Puteri Milana. Tak mungkin lagi dilakukan rencana pembunuhan setelah Puteri Milana dengan cerdiknya
mengatur barisan pendam mengurung istana, bahkan menyelundupkan pengawal-pengawalnya ke dalam
para tamu, para penonton bahkan ahli-ahli musik yang sedang menghibur para tamu.
Akan tetapi siasat kedua dapat dijalankan, yaitu untuk membuat pihak Puteri Milana malu di depan para
tamu bangsawan, yaitu dengan jalan mengadu kepandaian antara jago-jago yang telah dipersiapkan oleh
Pangeran Liong Bin Ong sebelumnya, dan pihak tamu kehormatan yang akan ditantang dengan jalan
halus.
Kalau sampai berhasil memancing kemarahan Puteri Milana dan puteri yang perkasa itu turun tangan
sendiri, itulah yang diharapkan karena hal itu berarti bahwa siasat mereka berhasil. Kalau Sang Puteri
maju, maka hanya ada dua kerugian di pihak Puteri Milana. Kalau Sang Puteri kalah, jelas hal ini yang
dikehendaki Pangeran Liong Bin Ong, apa lagi kalau dalam pertandingan itu Puteri Milana sampai dapat
ditewaskan.
Andai kata sebaliknya, karena puteri itu memang amat lihai, setidaknya puteri itu telah merendahkan diri
melayani jagoan-jagoan, dan merendahkan derajatnya sebagai puteri cucu Kaisar dan tentu hal ini akan
mudah dijadikan bahan menghasut Kaisar agar Kaisar yang tua itu membenci cucunya yang dianggap
mencemarkan kehormatan keluarga kerajaan!
Setelah semua tamu selesai makan, Pangeran Liong Bin Ong diam-diam lalu memberi isyarat. Tidak lama
kemudian, dari rombongan tamu yang berada di dalam taman, berdirilah dua orang, yang seorang
bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan kelihatan kasar dan kuat sekali, sedangkan orang kedua tinggi
kurus dengan muka kuning mata sipit, langkahnya gontai seperti orang lemah.
Kedua orang ini seperti orang mabuk berjalan menuju ke tempat kehormatan, kemudian menjatuhkan diri
berlutut di atas lantai di tengah ruangan yang memang telah disiapkan untuk menjadi tempat gelanggang
adu kepandaian di mana hanya terdapat meja besar tempat menyimpan semua hadiah dan sumbangan.
Dua orang itu menghadap kepada Pangeran Liong Bin Ong dan Si Tinggi Kurus yang berkata dengan
suara melengking nyaring sehingga terdengar oleh semua yang hadir, terutama sekali oleh mereka yang
duduk di panggung kehormatan karena kedua orang itu berlutut menghadap ke situ.
“Mohon paduka sudi mengampunkan kami berdua. Namun kami berdua menagih janji paduka untuk
menguji kami di depan para tamu yang mulia agar dapat memutuskan apakah kami patut menjadi
pengawal pribadi paduka yang dapat dipercaya.”
Semua orang tentu saja memandang dan selain merasa heran juga berkhawatir melihat keberanian dua
orang itu mengganggu pesta dan tentu Pangeran Liong Bin Ong akan marah sekali. Tetapi pangeran itu
dunia-kangouw.blogspot.com
hanya memandang dengan tersenyum, sedangkan yang menjadi marah adalah Pangeran Liong Khi Ong
yang tadi mendekati kakaknya, tak lama setelah pengawal mengantar surat. Pangeran Liong Khi Ong
bangkit berdiri dari kursinya dan sambil menudingkan telunjuknya kepada kedua orang itu dia membentak.
“Manusia-manusia kurang ajar! Berani kalian mengganggu pesta dengan bicara tentang pekerjaan?”
Pangeran Liong Khi Ong sudah menoleh kepada pengawal untuk memberi perintah menangkap mereka,
akan tetapi tiba-tiba Pangeran Liong Bin Ong memegang lengan adiknya itu dan berkata nyaring sehingga
semua tamu mendengar suaranya,
“Jangan persalahkan mereka! Memang aku sudah berjanji kepada mereka untuk menguji mereka dalam
pesta ini!” Kemudian Pangeran Liong Bin Ong bangkit berdiri dan menghadapi para tamu di bagian
kehormatan sambil berkata, “Cu-wi sekalian yang mulia. Di dalam keadaan terancam oleh pengacauanpengacauan
para pemberontak suku bangsa di luar tapal batas, kita perlu sekali menghimpun tenaga untuk
menjadi pengawal-pengawal dan melindungi kita.”
Puteri Mllana dan Perdana Menteri Su saling bertukar pandang, dan Puteri Milana menahan senyum
mengejek. Betapa tak tahu malu pangeran tua yang menjadi paman kakeknya itu. Biar pun belum ada
bukti, sudah terang bahwa kedua orang Pangeran Liong itulah yang mengandalkan semua pemberontak
suku bangsa, sekarang masih berani bicara seperti itu!
“Kedua orang saudara dari dunia kang-ouw ini sudah mendengar bahwa kami sedang membutuhkan
tenaga pengawal-pengawal yang sakti. Kemarin dulu mereka datang menghadap kami dan melamar
pekerjaan menjadi pengawal pribadi. Karena kami sedang menghadapi perayaan, maka kami memutuskan
untuk menguji mereka pada saat pesta ini, sekalian untuk memeriahkan suasana pesta. Karena kami
mengerti bahwa pada saat inilah terkumpul semua tokoh gagah perkasa yang tentu akan sudi turun tangan
membantu kami untuk menguji mereka berdua apakah benar mereka memiliki kepandaian dan patut
menjadi pengawal pribadi kami. Yang tinggi besar bermuka hitam ini adalah Yauw Siu, seorang jagoan dari
Pantai Po-hai!”
Si Muka Hitam bangkit berdiri dan dengan mengerahkan tenaga membuat otot-otot lengan dan lehernya
tampak menggembung. Dia membungkuk dan memberi hormat keempat penjuru.
“Yang tinggi kurus bermuka kuning adalah Sun Giam, jagoan dari pegunungan selatan,” kata pula
Pangeran Liong Bin Ong dan Si Tinggi Kurus juga memberi hormat keempat penjuru.
“Silakan jika di antara Cu-wi ada yang suka membantu kami untuk menguji kedua orang calon pengawal
ini!” Pangeran Liong Bin Ong menutup kata-katanya lalu duduk kembali.
Suasana menjadi sunyi sekali. Biar pun terdengarnya seperti seorang yang minta bantuan menguji dan
sekaligus memeriahkan suasana pesta, namun bagi mereka yang diam-diam menentang pangeran ini,
jelas terasa bahwa pangeran itu mengajukan dua orang jagoannya untuk menantang! Betapa pun, di
antara para tamu kehormatan tidak ada yang sudi untuk memenuhi tantangan ini, karena mereka tidak sudi
merendahkan diri melawan orang-orang yang dianggapnya rendah itu.
Kesunyian yang mencekam sekali dan tampak Puteri Milana menahan senyum, girang bahwa pancingan
pangeran tua itu tidak berhasil. Dua orang jagoan yang kini masih berdiri itu memandang ke sekeliling, dan
kelihatan bingung karena tidak ada yang menyambut tantangan Pangeran Liong Bin Ong.
Timbullah kesombongan dalam hati Yauw Siu yang mengira bahwa diamnya para tamu ini adalah karena
mereka gentar kepadanya! Maka sambil mengangkat dada dia berkata nyaring setelah tertawa, “Ha-ha-ha,
harap para orang gagah yang hadir di sini tidak khawatir karena saya Yauw Siu yang berjuluk Hek-bin Tiatliong
(Naga Besar Bermuka Hitam) tidak perlu membunuh dalam pi-bu (mengadu kepandaian)!”
Tiba-tiba tampak seorang pembesar bangkit dari kursinya, pembesar ini gemuk dan dia adalah seorang
pembesar sastrawan yang berwenang memeriksa hasil ujian para calon sastrawan, seorang pembesar
yang mata duitan dan tentu saja suka makan sogokan para calon sastrawan yang mengikuti ujian. Sambil
tersenyum pembesar ini menjura ke arah Pangeran Liong Bin Ong dan berkata, “Harap paduka maafkan
saya. Melihat bahwa tidak ada orang yang suka membantu paduka untuk menguji kedua orang calon
pengawal itu, bagaimana kalau saya mengajukan lima orang pengawal pribadi saya? Kedua orang itu
kelihatan gagah perkasa dan tentu lihai sekali, maka tidak tahu apakah mereka berani menghadapi lima
orang pengawal saya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebelum Pangeran Liong Bin Ong menjawab, Yauw Siu si Muka Hitam sudah cepat menjawab, “Boleh
sekali! Silakan lima orang itu maju berbareng dan akan saya tandingi sendiri, tidak perlu Saudara Sun
Giam turun tangan!”
Jawaban ini memancing suara berisik dari para tamu yang menganggap orang muka hitam itu sombong
sekali. Namun Pangeran Liong Bin Ong melambaikan tangan dan mengangguk tanda setuju. Pembesar itu
lalu menggapai ke belakang, maka muncullah lima orang pengawalnya yang berpakaian seragam biru, lima
orang berusia tiga puluhan tahun dan kesemuanya bertubuh tegap dan gagah. Setelah menjura dengan
penuh hormat kepada semua yang hadir, lima orang itu melangkah maju menghadapi Yauw Siu,
sedangkan Sun Giam sambil menyeringai sudah mundur dan duduk di atas lantai di pinggiran.
Yauw Siu sudah menghadapi lima orang gagah itu sambil tersenyum lebar, kemudian terdengar dia
bertanya, “Sebelum kita mulai, bolehkah saya bertanya Ngo-wi (Anda Berlima) ini murid-murid dari partai
manakah?”
Pertanyaan itu sungguh terdengar menantang dan tinggi hati, akan tetapi seorang di antara lima orang
pengawal itu menjawab, “Kami adalah murid-murid dari Gak-bukoan (Perguruan Silat Gak) di Seng-kun.”
“Ahhh! Ha-ha-ha, jadi Ngo-wi adalah murid-murid dari Gak-kauwsu? Bagus sekali! Aku sudah mengenal
baik guru kalian itu dan tahu bahwa guru kalian mengandalkan ilmu menghimpun tenaga yang amat kuat di
kedua lengannya dan terkenal dengan Ilmu Pukulan Pek-lek-jiu (Tangan Halilintar), bukan?”
Lima orang itu mengangguk dan Si Muka Hitam melanjutkan, “Kalau begitu, biarlah kalian menguji
tenagaku dan sebaliknya aku akan menguji apakah benar-benar kalian telah mempelajari ilmu secara baikbaik
dari Gak-kauwsu.” Dia memberi isyarat kepada Sun Giam dan orang tinggi kurus ini melemparkan
segulung tali yang besar dan kuat kepada temannya.
Yauw Siu lalu menyerahkan tali itu kepada lima orang pengawal sambil berkata, “Harap Ngo-wi suka
mengikat kedua kaki dan tangan, juga pinggangku, kemudian Ngo-wi di satu pihak menarik dan aku di lain
pihak mempertahankan. Dengan demikian kita mengadu tenaga satu lawan lima. Bukankah ini menarik
sekali dan mengingat akan hubungan di antara kita, tidak perlu ada yang sampai roboh terluka atau
tewas?” Si Muka Hitam yang sombong itu ternyata pandai bicara dan pandai pula berlagak hingga menarik
perhatian para tamu.
“Bagus! Itu adil sekali! Hayo kalian cepat lakukan!” dari tempat duduknya, pembesar sastrawan itu bertepuk
tangan gembira. Tentu saja hatinya menjadi lega dan dia mengharapkan kemenangan lima orang
pengawalnya karena pertandingan yang ditentukan oleh Si Muka Hitam sendiri itu menguntungkan
pihaknya.
Lima orang itu cepat memenuhi permintaan Yauw Siu. Pergelangan kaki, tangan, juga pinggang Si Muka
Hitam itu diikat dengan tali, kemudian mereka berlima memegang ujung tali di depan Si Muka Hitam.
Semua tamu menonton dengan gembira, bahkan di antara para pembesar itu kini sibuk bertaruh sehingga
keadaan menjadi berisik dan gembira. Dua orang pangeran tua saling pandang dan tersenyum-senyum,
kadang-kadang mereka melirik ke arah Perdana Menteri Su dan Puteri Milana yang kelihatan masih
tenang-tenang saja.
“Siap...! Tarik...!” Tiba-tiba Yauw Siu berteriak nyaring dan lima orang pengawal itu telah mengerahkan
tenaganya menarik tali yang mengikat tubuh Si Muka Hitam.
Yauw Siu berdiri dengan tegak, mengerahkan tenaganya sehingga mukanya berubah menjadi makin hitam.
Urat-urat yang tampak di lengan dan leher yang tidak tertutup pakaian itu menggembung besar, matanya
melotot dan betapa pun lima orang lawannya membetot dan mengerahkan tenaga sekuatnya, tetap saja
tubuh Si Tinggi Besar itu tidak bergoyang sedikit pun!
“Tahan...!” Yauw Siu memekik keras dan kedua tangannya digerakkan ke belakang.
Dua orang pengawal yang memegang kedua ujung tali yang mengikat tangannya itu terhuyung ke depan.
Kembali Yauw Siu berseru dan kedua kakinya melangkah mundur, juga mengakibatkan dua orang
pengawal lain terbawa dan terhuyung, kemudian dia mengeluarkan bentakan keras, tubuhnya meloncat ke
belakang dan lima orang itu jatuh tertelungkup dan terseret!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tepuk tangan dan sorak memuji bergemuruh menyambut kemenangan Yauw Siu ini, yang sambil tertawatawa
menggunakan jari-jari tangannya yang besar dan kuat untuk memutus-mutuskan tali yang mengikat
kedua kaki, tangan dan pinggangnya. Kembali demonstrasi tenaga yang amat kuat ini memancing tepuk
tangan gemuruh. Yauw Siu mengangguk dan membungkuk keempat penjuru menerima sambutan dan
pujian itu.
Sun Giam meloncat ke depan dan memberi isyarat kepada temannya untuk mundur. Si Muka Hitam lalu
mundur dan duduk di pinggiran, di atas lantai, sedangkan Sun Giam sendiri membantu lima orang itu
berdiri, menggulung tali dan melemparnya kepada temannya. Kemudian Sun Giam berkata, ditujukan
kepada pembesar sastrawan yang bersungut-sungut menyaksikan kekalahan lima orang pengawalnya.
“Apakah Taijin mengijinkan kalau saya menghadapi mereka ini dalam ilmu silat untuk menguji saya?”
Wajah pembesar itu berseri. Kini terbuka lagi kesempatan untuk membersihkan dan menebus kekalahan
tadi. Dia tahu bahwa lima orang pengawalnya adalah ahli-ahli ilmu silat, maka sambil mengangguk dia
berkata, “Baik, kami setuju sekali!”
Sun Giam kini berkata, ditujukan kepada semua hadirin, “Tadi sahabat saya, Yauw Siu, telah
memperlihatkan kekuatan tubuhnya yang dahsyat. Kalau hanya tenaga dua puluh lima orang biasa saja
kiranya dia masih akan mampu menandinginya. Akan tetapi, dia belum memperlihatkan ilmu silatnya dan
karena dia telah mengeluarkan tenaga, biarlah saya yang akan menghadapi lima orang murid perguruan
Gak-bukoan ini.”
Lalu sambil menghadapi mereka, Si Muka Kuning ini berkata pula, “Harap Ngo-wi suka
mendemonstrasikan pukulan-pukulan Pek-lek-jiu yang telah terkenal itu dan sekaligus maju menyerang
saya.”
Lima orang yang sudah kalah dalam adu tenaga itu, kini mengepung Si Muka Kuning. Kemudian terdengar
seorang di antara mereka mengeluarkan aba-aba, maka serentak menyeranglah mereka dengan pukulanpukulan
yang mendatangkan angin dahsyat. Akan tetapi, dengan gerakan lemas dan lincah Si Tinggi Kurus
itu dapat mengelak ke sana ke mari sambil menggerakkan kedua tangannya menyampok setiap pukulan
yang tidak sempat dielakkannya.
Tampaklah pemandangan yang mengagumkan di mana Sun Giam menggunakan kelincahannya dikeroyok
lima orang itu. Jelas tampak oleh mata para ahli yang duduk di situ bahwa Si Tinggi Kurus ini memang
sengaja mendemonstrasikan kepandaiannya, maka sengaja hanya mengelak dan menangkis, padahal
jelas mudah dilihat betapa tingkatnya jauh lebih tinggi dari pada para pengeroyoknya.
“Ngo-wi, awas...!” Tiba-tiba ia berkata halus, lalu kaki tangannya bergerak dengan cepat sekali dan
berturut-turut terdengar kelima orang itu memekik disusul robohnya tubuh mereka di atas lantai karena
totokan jari-jari tangan dan tendangan kaki Sun Giam.
Kembali terdengarlah sorak dan tepuk tangan memuji yang disambut oleh Sun Giam dengan membungkuk
ke empat penjuru. Seperti dua orang yang memang sudah biasa berdemonstrasi dan menjual kepandaian
di depan umum, kini Yauw Siu dan Sun Giam sudah berdiri mengangkat tangan ke atas, memberi
kesempatan kepada lima orang pengawal itu mengundurkan diri dan setelah pujian agak mereda.
Terdengar Yauw Siu berkata dengan suaranya yang lantang, “Sahabatku Sun Giam telah memperlihatkan
kepandaian. Akan tetapi kami berdua masih belum puas karena apa yang kami perlihatkan tadi tidak ada
harganya dan tentu belum memuaskan hati junjungan kami Pangeran Liong Bin Ong. Oleh karena itu kami
mohon dengan hormat sudilah kiranya para tokoh besar yang hadir di sini suka turun tangan menguji kami.
Lima orang pengawal tadi, biar pun kepandaiannya cukup hebat, namun masih jauh di bawah tingkat
kami!”
Hening sampai lama setelah Si Muka Hitam ini bicara. Melihat bahwa tiada sambutan, Sun Giam membuka
mulutnya, “Kami berdua mendengar sebelum memasuki kota raja bahwa kota raja menjadi pusat orang
pandai, menjadi pusat para pengawal berilmu tinggi. Sungguh kami tidak percaya kalau sekarang tidak ada
yang berani menghadapi kami!”
Ucapan ini mulai memanaskan hati para tamu yang merasa memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi
ketika Han Wi Kong yang mukanya menjadi merah karena marah hendak bangkit. Puteri Milana, isterinya
yang duduk di sampingnya, mencegah dengan pandangan matanya. Puteri ini masih kelihatan tenangdunia-
kangouw.blogspot.com
tenang saja karena dia sedang memutar otak mencari tahu atau menduga-duga apa gerangan yang
tersembunyi di balik semua ini, yang dia yakin tentu diatur oleh Pangeran Liong Bin Ong. Dia tidak mau
sampai terpancing oleh pangeran yang cerdik itu, maka dia menyabarkan suaminya yang mulai marah
melihat sikap dan mendengar kata-kata kedua orang jagoan Pangeran Liong Bin Ong itu.
Sebagian para pengawal yang hadir di tempat itu dalam melaksanakan tugas mengawal para pembesar
militer dan sipil, biar pun merasa marah dan penasaran, namun mereka ini tidak berani lancang turun
tangan di dalam perjamuan orang-orang besar seperti itu tanpa perintah dari junjungan masing-masing.
Sedangkan para pembesar jarang pula yang berani memerintahkan pengawalnya untuk menghadapi dua
orang jagoan itu.
Mereka yang memang terpengaruh oleh Pangeran Liong Bin Ong tentu saja tidak suka menentang,
sedangkan mereka yang berpihak Kaisar dan diam-diam tidak suka kepada pangeran ini, juga tidak berani
menyuruh pengawal mereka setelah Sun Giam membuka mulutnya setengah menantang para pengawal
kota raja. Mereka merasa segan juga untuk menentang pangeran ini secara terang-terangan, mengingat
akan pengaruh dua orang pangeran itu.
Melihat betapa tidak ada sambutan sama sekali, Yauw Siu dan Sun Giam yang memang sudah menerima
tugas dari Pangeran Liong Bin Ong untuk memanaskan suasana dan untuk menujukan tantangan kepada
Puteri Milana secara halus, lalu saling pandang dan Yauw Siu bangkit berdiri, menghadap ruangan
kehormatan dan berkata lantang, “Kami berdua belum lama meninggalkan tempat pertapaan, saya
meninggalkan pantai laut dan Sahabat Sun Giam meninggalkan pegunungan. Namun, kami telah
mendengar akan kehebatan ilmu kepandaian para tokoh di kota raja, maka kami sengaja datang ke kota
raja untuk mencari pekerjaan agar kepandaian kami dapat digunakan demi kepentingan kerajaan! Apakah
sekarang tidak ada orang gagah yang sudi menguji kami? Ataukah benar seperti dugaan Sahabat Sun
Giam tadi bahwa orang-orang di kota raja agak... penakut?”
“Manusia busuk...!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan berkelebatlah bayangan orang. Tahu-tahu di
depan kedua orang jagoan itu telah berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar
dan gagah, pakaiannya preman, jenggotnya panjang sekali dan wajahnya angker, mengandung wibawa.
“Di jaman kekacauan merajalela dan banyak manusia tak berbudi memberontak, muncul kalian yang
bermulut besar! Kalau hanya menghadapi kalian berdua saja, tidak perlu orang-orang gagah di kota raja
turun tangan. Aku Tan Siong Khi, cukuplah kiranya menghadapi orang-orang macam kalian yang bermulut
besar!” Orang ini memang Tan Siong Khi, pengawal Kaisar yang gagah perkasa, yang telah kita kenal
karena dialah yang memimpin rombongan penjemput Puteri Raja Bhutan!
Namun sebelum dua orang jagoan itu sempat membuka mulut, tiba-tiba Pangeran Liong Khi Ong bangkit
berdiri dan menudingkan telunjuknya kepada Tan Siong Khi sambil berkata, “Bukankah engkau Pengawal
Tan Siong Khi yang sudah gagal melaksanakan tugas mengawal Puteri Bhutan sehingga puteri itu telah
lenyap tanpa diketahui ke mana perginya?”
“Keparat! Berani engkau muncul di sini setelah engkau melakukan dosa dan kelalaian besar itu?
Kebodohan dan kelalaianmu menyebabkan Sang Puteri lenyap tak diketahui masih hidup atau sudah mati.
Dan kau berani malam ini datang ke sini dan berlagak menjadi jagoan? Kenapa kegagahanmu tidak kau
perlihatkan ketika rombonganmu dihadang musuh? Mengapa Sang Puteri yang kau kawal sampai lenyap
sedangkan kau masih hidup? Aku sendiri akan minta kepada Sri Baginda untuk menjatuhkan hukuman
seberatnya kepadamu!”
Semua tamu memandang dengan hati tegang. Semua mengenal pula siapa adanya Tan Siong Khi,
seorang pengawal kepercayaan Kaisar, bahkan kini menjadi pembantu dari Puteri Milana dalam
mengamankan kota raja. Mereka semua telah mendengar pula akan kegagalan pengawal itu menjemput
Puteri Bhutan, calon isteri Pangeran Liong Khi Ong. Maka sepantasnyalah kalau pangeran itu, yang urung
menjadi pengantin, yang kehilangan calon isterinya marah-marah kepada pengawal ini.
“Mengapa kau berani datang ke sini? Hayo pergi...! Pergi kau...!”
Tan Siong Khi yang kelihatan tenang itu menoleh ke arah Perdana Menteri Su dan Putri Milana. Dia
melihat kedua orang pembesar itu mengangguk kepadanya dan memberi isyarat agar supaya dia pergi.
Sebetulnya munculnya Tan Siong Khi di tempat itu adalah karena dia ditugaskan oleh Kaisar untuk
mengawal Perdana Menteri Su yang malam itu juga mewakili Kaisar, berarti dia menjadi pengawal utusan
Kaisar. Akan tetapi, sebagai seorang pengawal setia yang telah berpengalaman dan berpemandangan
dunia-kangouw.blogspot.com
luas, di tempat umum itu dia tidak mau membela diri dengan menyebut nama perdana menteri, karena dia
tidak mau menjadi penyebab terjadinya keributan atau perasaan tidak enak.
Setelah menerima isyarat, dia kemudian menjura kepada Pangeran Liong Khi Ong dan berkata, “Baik,
hamba dengan langkah lebar meninggalkan tempat pesta melalui pintu gerbang depan.”
Keadaan menjadi sunyi sekali setelah pengawal itu pergi. Peristiwa tadi menimbulkan ketegangan. Tibatiba
suasana yang sunyi itu dipecahkan oleh suara tertawa dari Yauw Siu. Dia sudah bangkit berdiri dan
berkata, “Sungguh menyesal sekali bahwa Pengawal Tan Siong Khi tadi kiranya seorang yang telah
melakukan dosa dan kelalaian besar dan sepatutnya dia dihukum. Kalau tidak agaknya dia memiliki sedikit
kepandaian untuk diperlihatkan agar kami berdua dapat diuji. Harap Cu-wi yang merasa memiliki ilmu
kepandaian sudi maju sebagai penggantinya. Kami maklum bahwa di antara Cu-wi banyak yang memiliki
ilmu kepandaian tinggi sekali, akan tetapi jangan khawatir bahwa kami akan celaka. Kami takkan
mengecewakan Cu-wi. Selama kami merantau, kami belum pernah dikalahkan orang. Bahkan kami tadinya
merencanakan untuk mencari Pulau Es...”
Tiba-tiba terdengar bentakan halus namun suara ini menembus semua kegaduhan dan memasuki telinga
Yauw Siu seperti jarum-jarum menusuk. “Mau apa kalian mencari Pulau Es?”
Yauw Siu terkejut sekali, cepat menoleh ke arah Puteri Milana yang telah mengajukan pertanyaan itu.
Melihat sepasang mata yang amat tajam itu, diam-diam dia menjadi gentar juga. Tentu saja Yauw Siu dan
Sun Giam maklum siapa adanya puteri cantik dan agung itu.
Mereka maklum bahwa puteri itu adalah puteri dari Majikan Pulau Es, Pendekar Super Sakti atau Pendekar
Siluman, dan ibunya adalah bekas panglima besar wanita Puteri Nirahai! Kalau saja mereka berdua tidak
menjadi kaki tangan kedua orang Pangeran Liong, tentu mereka akan berpikir-pikir dulu untuk berani mainmain
di depan Puteri Milana. Akan tetapi, justru tugas mereka adalah untuk memancing puteri itu agar
bangkit kemarahannya dan membuat puteri itu menjadi serba salah. Maju menghadapi mereka berarti
merendahkan derajatnya, kalau tidak berarti terhina karena ditantang tanpa menanggapi!
“Kami hendak mencari Pulau Es karena kami tidak pernah bertemu tanding! Kami mendengar bahwa
Majikan Pulau Es adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi!” jawab Sun Giam.
“Akan tetapi, sebelum melihat sendiri, bagaimana kami dapat percaya?” sambung Yauw Siu. “Hanya
kabarnya, banyak pula muridnya berada di kota raja, maka apa salahnya kalau ada muridnya yang mau
mencoba-coba dengan kami agar dari kepandaian muridnya kami dapat mengukur pula tingkat gurunya?
Kami adalah dua orang baru yang tidak tahu apakah benar di kota raja ada murid Pendekar Super Sakti
Majikan Pulau Es yang terkenal itu.”
Tentu saja Yauw Siu cukup cerdik untuk melindungi diri mereka dengan dalih bahwa mereka tidak tahu
menahu tentang Pendekar Super Sakti, tidak tahu bahwa puteri Pendekar Super Sakti berada di tempat
perjamuan itu karena kalau demikian halnya, tentu Puteri Milana yang cerdik langsung merasa curiga dan
menduga akan adanya pancingan dan jebakan.
“Biar aku menghajar mereka!” kata Panglima Han Wi Kong dan isterinya mengangguk.
Tadi Puteri Milana telah menyaksikan gerakan kedua orang jagoan itu dan dia maklum bahwa mereka
berdua itu hanyalah memiliki tingkat yang biasa saja sehingga dia merasa yakin bahwa suaminya akan
dapat mengalahkan mereka. Mendengar dua orang jagoan kasar itu menyinggung nama ayahnya tanpa
dia melakukan sesuatu, tentu akan mencemarkan nama dan kehormatannya.
Akan tetapi kalau dia turun tangan sendiri juga merupakan hal yang tidak baik karena dia adalah seorang
puteri cucu Kaisar dan puteri Pendekar Super Sakti, amat rendahlah untuk melayani dua orang jagoan
kasar! Berbeda lagi kalau Han Wi Kong yang turun tangan karena suaminya itu juga bekas seorang
pengawal kaisar yang kini turun tangan menghadapi mereka yang menantang-nantang semua orang gagah
di kota raja!
“Manusia-manusia sombong! Biar akulah yang akan menghadapi kalian!” bentak Han Wi Kong yang sekali
melancat sudah berada di depan kedua orang itu.
Sun Giam dan Yauw Siu cepat menjura dengan hormat, kemudian Sun Giam menjura ke arah Pangeran
Liong Bin Ong sambil berkata, “Harap Paduka Pangeran berkenan dan sudi mengampunkan permohonan
dunia-kangouw.blogspot.com
hamba berdua. Hamba berdua tentu tidak berani sembarang mengangkat tangan menghadapi para tamu
yang terdiri dari para pembesar dan bangsawan agung. Oleh karena itu, kami baru berani mengangkat
tangan kalau yang datang ke gelanggang ini menganggap diri sendiri sebagai seorang kang-ouw, seorang
ahli silat tanpa membawa-bawa kedudukannya.”
Sebelum Pangeran Liong Bin Ong atau Liong Khi Ong sempat menjawab, Han Wi Kong sudah
membentak, “Aku takkan membawa kedudukanku karena aku pun bekas seorang pengawal! Aku maju
karena ingin menyaksikan kepandaian kalian manusia sombong!” Han Wi Kong cukup mengerti untuk tidak
membawa-bawa nama ayah mertuanya, yaitu Pendekar Super Sakti, maka dia lalu mengaku bahwa dia
maju sebagai seorang bekas pengawal, jadi atas namanya sendiri.
“Bolehkah kami mengetahui nama besar paduka?” Yauw Siu bertanya.
Tentu saja dia tadinya sudah memperoleh keterangan bahwa laki-laki gagah ini adalah suami Puteri
Milana, akan tetapi dia ingin memancing agar dari mulut laki-laki ini keluar sendiri pengakuannya. Akan
tetapi Han Wi Kong sudah terlalu marah, dan menjawab dengan bentakan nyaring, “Tidak perlu aku
memperkenalkan nama kepada kalian! Semua yang hadir sudah tahu siapa aku! Hayo majulah kalian
berdua!”
Sun Giam berseru, “Ehh...! Maju berdua? Benarkah kami disuruh maju berdua?”
Han Wi Kong bukan orang yang sombong atau sembrono. Kalau dia berani menantang agar mereka maju
berdua secara berbareng adalah karena tadi dia sudah menyaksikan sepak-terjang mereka dan merasa
yakin akan dapat mengalahkan mereka berdua, apa lagi dia ingin cepat merobohkan mereka yang
sombong ini, tidak usah mereka disuruh maju satu demi satu!
“Ya, majulah kalian berdua mengeroyokku. Aku ingin menguji kepandaian kalian yang sesungguhnya tidak
patut menjadi pengawal seorang pangeran!”
“Bagus! Engkau yang menyuruh sendiri, Sobat. Kalau sampai kami kesalahan tangan membunuh, jangan
persalahkan kami.”
“Dalam pibu, membunuh atau terbunuh adalah soal biasa, mengapa kalian banyak cerewet lagi? Majulah!”
“Awas serangan. Hiaaaatttt...!” Sun Giam sudah menyerang.
“Haiiittt...!” Yauw Siu juga menyusul dengan pukulannya yang dahsyat.
“Hemmm...!” Han Wi Kong menggeram dan cepat dia mengelak sambil memutar tubuh dan menangkis
dengan kedua lengannya.
“Dukkk! Dukkk!”
Tubuh Han Wi Kong tergetar akan tetapi pukulan kedua orang lawannya juga terpental. Diam-diam Han Wi
Kong terkejut. Tidak disangkanya sama sekali bahwa kedua orang ini ternyata mempunyai tenaga sinkang
yang sangat kuat! Mengapa tadi mereka tidak memperlihatkan tenaga sinkang ini? Di dalam otaknya
segera dia mencari dan mengerti bahwa kedua orang ini telah menjebaknya! Tadi mereka sengaja berpurapura
sebagai ahli-ahli silat biasa saja dan menyembunyikan kepandaian asli mereka dan dia sudah
terjebak! Dua orang ini ternyata bukan orang sembarangan dan segera dia memperoleh kenyataan akan
hal itu karena kini mereka telah mainkan ilmu silat yang amat aneh, cepat, dan kuat sekali!
Wajah Puteri Milana juga berubah agak pucat. Sebagai seorang ahli silat tinggi, dia pun dapat melihat
perubahan yang terjadi pada kedua orang jagoan itu. Dan gerakan-gerakan mereka sekarang ini, jelas
tampak olehnya bahwa mereka bukanlah jagoan-jagoan kasar seperti semula setelah melihat sepak
terjang mereka tadi. Kiranya mereka adalah ahli-ahli yang tangguh, yang menyembunyikan kepandaian
mereka di balik sikap kasar dan ugal-ugalan tadi. Tentu untuk memancing!
Puteri Milana menjadi serba salah. Memang, di dalam tahun-tahun pertama pernikahan mereka, dia telah
menurunkan beberapa macam ilmu silat kepada suaminya dan ilmu kepandaian suaminya sudah
meningkat dengan pesat kalau dibandingkan dengan dahulu sebelum menjadi suaminya. Namun,
suaminya tidak memiliki dasar untuk menjadi seorang ahli ilmu silat tinggi dan tidak mungkin dapat melatih
sinkang dari Pulau Es. Maka kini bertemu dengan dua orang jagoan itu, suaminya berada dalam keadaan
dunia-kangouw.blogspot.com
terancam! Kalau maju seorang lawan seorang, mungkin suaminya masih dapat mengimbangi, akan tetapi
dikeroyok dua!
Memang demikianlah sebenarnya! Dua orang itu bukanlah orang sembarangan dan tadi memang mereka
berpura-pura, mengeluarkan ilmu-ilmu kasar untuk memancing dan menjebak. Sebenarnya mereka adalah
ahli-ahli silat yang memiliki kepandaian tinggi dan sudah lama menjadi tangan-tangan kanan dari Raja
Muda Tambolon, yaitu raja muda kaum pemberontak di perbatasan barat yang sedang merongrong
Kerajaan Bhutan. Karena kedua orang ini tidak pernah muncul di dunia kang-ouw maka mereka sama
sekali tidak terkenal dan memang hal inilah yang dikehendaki oleh Pangeran Liong Bin Ong.
Tadinya, untuk keperluan memancing kemarahan Puteri Milana untuk menjatuhkan orangnya atau
namanya ini, Pangeran Tua Liong Bin Ong hendak menggunakan tenaga Siang Lo-mo, sepasang kakek
kembar yang amat lihai itu. Akan tetapi sungguh di luar dugaan dan perhitungannya bahwa Siang Lo-mo
ketika tiba di kota raja telah bentrok dengan Milana di dalam rumah penginapan ketika Siang Lo-mo
bertemu dengan Gak Bun Beng yang mereka kenal selama ini sebagai ‘orang sakit yang lihai’.
Karena peristiwa itu, maka Pangeran Liong Bin Ong kemudian tidak berani dan tidak jadi menggunakan
kedua orang kakek itu, dan mencari penggantinya. Siang Lo-mo pula yang mengusulkan kepada Liong Bin
Ong untuk mengundang Yauw Siu dan Sun Giam, dua orang di antara para pembantu Raja Tambolon.
Untuk menjaga nama keluarga isterinya, yaitu para penghuni Pulau Es, juga untuk menjaga nama isterinya
dan dirinya sendiri, biar pun maklum bahwa kedua orang itu merupakan dua orang lawan yang terlalu
tangguh baginya, namun Han Wi Kong tidak menjadi gentar dan dia sudah menerjang dengan pengerahan
tenaga sekuatnya dan mengeluarkan jurus-jurusnya yang paling ampuh. Namun dua orang lawannya dapat
mengelak dan menangkis dengan cepat, bahkan langsung membalas dengan serangan-serangan dahsyat
yang kembali membuat Han Wi Kong terhuyung ke belakang ketika terpaksa menangkis dua serangan dari
depan itu.
Segera berlangsunglah pertandingan yang seru sekali antara tiga orang itu, disaksikan oleh banyak pasang
mata dengan tegang. Diam-diam suasana tegang itu ditimbulkan oleh perasaan bahwa di dalam
pertandingan ini seolah-olah terjadi persaingan antara Pangeran Tua Liong Bin Ong dan pihak Milana serta
Perdana Menteri Su! Semua tamu maklum belaka atau setidaknya sudah dapat menduga bahwa di antara
kedua pihak itu memang terdapat permusuhan atau persaingan terpendam! Dan kini, seolah-olah kedua
orang jagoan itu mewakili pihak Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan Han Wi Kong tentu saja mewakili
pihak isterinya, Puteri Milana dan Perdana Menteri Su.
Tentu saja yang merasa paling tegang dan gelisah adalah Puteri Milana sendiri! Diam-diam dia merasa
menyesal mengapa tadi dia membiarkan suaminya turun tangan dan memasuki jebakan pihak Pangeran
Liong Bin Ong sehingga kini suaminya terancam. Dia adalah seorang yang amat cerdas, maka setelah
berpikir sejenak maklumlah dia bahwa sesungguhnya yang diserang adalah dia!
Suaminya tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Liong Bin Ong yang menjadi paman kakek tirinya itu,
akan tetapi dia tentu saja dianggap musuh oleh pangeran tua itu. Maka pertandingan itu tentu dimaksudkan
untuk memukul dia! Mulai merah kedua pipi puteri yang gagah perkasa ini dan setiap urat syaraf di
tubuhnya menegang, siap untuk membela suaminya.
Dia merasa kasihan sekali kepada suaminya, seorang pria yang amat baik dan gagah perkasa. Bertahuntahun
dia menjadi isteri Han Wi Kong hanya pada lahirnya saja, namun mereka sebetulnya hanyalah
merupakan sahabat setelah keduanya maklum bahwa tidak ada cinta kasih antara pria dan wanita, antara
suami dan isteri di dalam hati mereka, atau setidaknya, di dalam hati Milana. Han Wi Kong maklum akan
hal ini, maka dia pun secara jantan dan bijaksana membebaskan isterinya dan hanya mengakui isterinya
secara lahiriah saja untuk menjaga nama baik isterinya! Bukan isterinyalah yang menemaninya di dalam
kamarnya, melainkan dua orang selir cantik yang setengah dipaksakan oleh Milana untuk melayani
suaminya itu!
Biar pun tidak ada hubungan kasih di dalam hatinya terhadap Han Wi Kong, namun Milana
menganggapnya sebagai seorang sahabat yang paling baik di dunia ini, maka tentu saja dia merasa
gelisah dan khawatir sekali menyaksikan keadaan suaminya dan dia sudah mengambil keputusan untuk
melindungi suaminya dari bahaya.
“Yaaahhh!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Han Wi Kong yang sudah terdesak terus-menerus itu mengeluarkan teriakan nyaring, tubuhnya
menerjang dengan kecepatan kilat ke depan, kedua tangannya dikepal dan menghantam ke arah muka
dan pusar Yauw Siu secara hebat sekali!
Milana terkejut menyaksikan gerakan suaminya ini. Kalau suaminya terus memperkuat daya
pertahanannya, walau pun terdesak kiranya masih tidak mudah bagi kedua orang pengeroyoknya untuk
merobohkannya. Tetapi agaknya suaminya itu tidak mau didesak terus dan kini mengeluarkan jurus nekat
yang ditujukan kepada seorang di antara dua orang pengeroyoknya. Agaknya Han Wi Kong sudah
bertekad untuk merobohkan salah seorang lawan dengan resiko dia sendiri terpukul oleh lawan kedua.
Milana maklum akan isi hati suaminya, yaitu bahwa biar pun suaminya roboh, setidaknya telah dapat
merobohkan seorang lawan pula, sehingga tidaklah akan terlalu memalukan.
“Heiiiittttt...!” Yauw Siu berteriak, kaget juga menyaksikan serangan yang hebat ini. Dia mencelat mundur
dan ketika lawan terus mengejar, dia juga melonjorkan dua lengannya dan bertemulah kedua tangannya
dengan kepalan tangan Han Wi Kong.
“Desss... bukkk...!”
Yauw Siu kalah tenaga karena memang dia sedang mundur. Begitu kedua tangannya bertemu dengan
tangan lawan, dia terlempar dan terjengkang, akan tetapi pada saat itu juga, Sun Giam sudah menerjang
dari samping dan pukulannya yang amat keras dan ditujukan kepada leher Han Wi Kong, meski pun sudah
dielakkan oleh Han Wi Kong dengan jalan miringkan tubuh, tetap saja masih mengenai pundaknya,
membuat bekas panglima pengawal ini roboh pula!
Yauw Siu dan Sun Giam kini melompat ke depan, agaknya hendak mengirim pukulan maut kepada lawan
yang sudah rebah miring dan belum sempat bangun itu, apa lagi Yauw Su yang menjadi marah karena
tubuhnya masih tergetar oleh pertemuan kedua tangannya tadi, dan pinggulnya masih panas dan nyeri
karena dia terjengkang dan terbanting.
“Plakk! Plakk!”
Dua orang jagoan itu terkejut sekali dan terhuyung-huyung ke belakang. Mereka terbelalak memandang
puteri cantik yang sudah berdiri di depan mereka yang tadi menangkis kedua tangan mereka yang sudah
diayun untuk menghantam Han Wi Kong, tangan halus sekali yang ketika menangkis terasa dingin seperti
es dan membuat mereka menggigil dan terhuyung ke belakang.
“Bedebah! Kalian manusia curang, setelah mengeroyok masih hendak membunuh orang yang terluka?
Tunggulah sebentar!” kata Puteri Milana dengan nada suara dingin sekali, lalu dia memapah suaminya
kembali ke kursinya.
Setelah melihat bahwa luka suaminya tidaklah berat, hanya mengalami patah tulang pundak, dia lalu
membalikkan tubuh hendak menandingi dua orang jagoan itu. Akan tetapi betapa heran hatinya ketika di
tengah tempat pibu itu kini telah muncul dua orang pemuda remaja yang menghadapi Yauw Siu dan Sun
Giam sambil tersenyum-senyum mengejek! Dan banyak tamu yang berbisik-bisik dan ada yang bertepuk
tangan memuji karena ketika Milana sedang memapah suaminya tadi, dari tempat duduk para tamu di
samping melayang dua sosok bayangan dan tahu-tahu dua orang pemuda itu telah berdiri di depan Sun
Giam dan Yauw Siu. Gerakan meloncat yang indah inilah yang menarik perhatian para tamu.
“Siapakah mereka?”
“Dari mana mereka datang?”
Pangeran Liong Bin Ong sendiri terkejut dan bingung, akan tetapi melihat bahwa yang muncul hanyalah
dua orang pemuda yang masih remaja, dia percaya bahwa dua orang jagoannya itu akan dapat mengatasi
mereka.
Sun Giam yang tinggi kurus bermuka kuning itu sudah meloncat ke depan dan matanya yang sipit menjadi
makin sipit seperti terpejam ketika dia membentak marah, “Bocah-bocah lancang, mau apa kalian datang
ke sini?”
Dua orang pemuda itu bukan lain adalah Kian Bu yang setengah memaksa kakaknya untuk maju di
gelanggang itu, dengan mendahului meloncat dan disusul oleh kakaknya. Saat tadi melihat Puteri Milana
dunia-kangouw.blogspot.com
tiba-tiba maju menyelamatkan laki-laki gagah yang maju menghadapi dua jagoan dan yang terkena
pukulan, Kian Bu dan Kian Lee memandang penuh perhatian. Mereka berdua tidak tahu siapa adanya lakilaki
itu.
Mereka dahulu masih terlalu kecil ketika bertemu dengan Han Wi Kong sehingga mereka tidak ingat lagi.
Akan tetapi tentu saja hati mereka berpihak kepada laki-laki ini ketika melihat betapa laki-laki gagah ini
menghadapi dua orang jagoan yang menantang Pulau Es! Kalau tidak dicegah kakaknya, ketika
mendengar tantangan tadi tentu dia sudah meloncat untuk menghajar Sun Giam dan Yauw Siu.
Sekarang melihat kakaknya menolong laki-laki itu dan membawanya duduk kembali ke kursinya, Kian Bu
berbisik kepada kakaknya, “Lee-ko, dia itu adalah Cihu (Kakak Ipar)!”
“Ah, benar...! Cihu telah terpukul oleh mereka!” kata Kian Lee.
“Dan Enci Milana akan maju sendiri, hayo kita dului!” Tanpa menanti jawaban Kian Lee, Kian Bu sudah
meloncat dan terpaksa Kian Lee mengikuti adiknya sehingga mereka berdua kini berhadapan dengan Sun
Giam dan Yauw Siu.
Kian Bu tahu bahwa dia tidak bisa mengandalkan kakaknya untuk bicara, kakaknya yang pendiam itu,
maka dia cepat mendahului kakaknya menjawab bentakan Sun Giam tadi. “Siapa adanya kami bukan hal
yang patut diributkan, akan tetapi yang penting adalah siapa adanya kalian berdua! Kalian berdua
mengaku hendak melamar pekerjaan pengawal, akan tetapi kami tahu bahwa kalian tidak patut menjadi
pengawal, karena kalian hanyalah dua orang badut yang tidak lucu!”
Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya semua orang mendengar ucapan pemuda tampan yang
suaranya lantang itu. Betapa beraninya bocah itu menghina dua orang jagoan yang demikian kosen, yang
telah berhasil mengalahkan bekas Panglima Pengawal Han Wi Kong, suami Puteri Milana sendiri! Akan
tetapi yang lebih heran dan juga amat marah adalah Sun Giam dan Yauw Siu. Yauw Siu melangkah maju.
“Setan cilik, apa kau sudah bosan hidup?”
“Setan gede, kalian yang sudah bosan hidup berani menjual lagak di sini. Apa kalian kira kami tidak tahu
bahwa tadi kalian bermain curang. Kalau kalian tidak main curang, mana kalian mampu menang
menghadapi orang gagah tadi? Manusia macam kalian ini, jangankan menjadi pengawal, menjadi jongos
pun tidak patut,” kata Kian Bu.
“Wah, pantasnya menjadi apa, Adikku?” Kian Lee bertanya membantu adiknya.
“Jadi apa, ya? Pantasnya mereka ini tukang-tukang pukul kampungan, atau pencopet-pencopet di pasar,
menjadi penjahat besar pun tidak patut!”
Tentu saja makin bising keadaan di situ karena para tamu maklum bahwa dua orang pemuda yang masih
remaja itu dengan sengaja hendak mencari perkara dan sengaja menghina dua orang jagoan tangguh itu.
Hati mereka menjadi tegang dan bertanya-tanya siapa gerangan dua orang muda yang nekat itu.
Yang paling marah adalah Sun Giam dan Yauw Siu. Mereka adalah dua orang yang kasar dan tak
mengenal takut karena bertahun-tahun lamanya mereka menjadi orang-orang yang memiliki kekuasaan di
antara gerombolan liar di bawah pimpinan Raja Tambolon, maka kini dimaki dan dihina oleh dua orang
pemuda tanggung itu, hati mereka seperti dibakar rasanya.
Akan tetapi, di samping kekasaran mereka, dua orang ini pun cerdik dan mereka menahan kemarahan hati
karena mengingat bahwa di tempat itu terdapat banyak orang pandai dan bahwa mereka berada di kota
raja yang besar dan tidak boleh bertindak sembarangan. Kalau saja tidak berada di tempat itu, tentu
mereka sudah sejak tadi turun tangan membunuh dua orang pemuda yang berani menghina mereka
seperti itu. Mereka masih tidak tahu siapa dua orang pemuda ini. Siapa tahu, melihat sikap mereka yang
begitu berani, dua orang pemuda ini adalah putera-putera pembesar yang berkedudukan tinggi di kota raja!
Maka Sun Giam lalu memberi isyarat kepada kawannya agar menahan kemarahan, kemudian dia menoleh
dan berlutut ke arah Pangeran Liong Bin Ong.
“Mohon paduka mengampuni hamba berdua!” katanya lantang. “Tanpa perkenan atau perintah paduka,
hamba tidak berani turun tangan sembarangan. Akan tetapi, dua orang pemuda ini telah menghina hamba
berdua dan karena hamba adalah calon pengawal paduka, maka penghinaan yang dilakukan di sini berarti
dunia-kangouw.blogspot.com
menghina paduka pula. Maka hamba berdua mohon perkenan untuk menghajar dua orang pemuda ini
dengan perkenan paduka!”
Tadinya Liong Bin Ong juga terkejut dan marah, dan memang diam-diam dia merasa girang bahwa kedua
orang jagoannya itu ternyata boleh diandalkan, berhasil melukai suami Milana dan mungkin akan berhasil
membikin malu puteri yang menjadi musuhnya itu. Dia menduga bahwa kedua orang pemuda itu jelas
merupakan pendukung puteri itu, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu mengangguk!
Tentu saja girang bukan main rasa hati Sun Giam dan Yauw Siu. Kalau tadi mereka masih terpaksa
menelan kesabaran adalah karena mereka ragu-ragu karena tidak mengenal kedua orang pemuda itu,
takut kalau kesalahan tangan. Sekarang, setelah memperoleh perkenan Pangeran Liong Bin Ong, tentu
saja hati mereka menjadi besar dan dengan muka beringas mereka menoleh kepada Kian Lee dan Kian
Bu.
“Bocah-bocah lancang, hayo lekas beritahukan siapa kalian dan siapa orang tua kalian. Kami adalah
orang-orang gagah yang tidak mau menghajar anak orang tanpa diketahui siapa ayahnya!” kata Yauw Siu
dengan lagak sombong karena dia kini tidak khawatir lagi terhadap ayah anak-anak ini setelah dilindungi
oleh Pangeran Liong Bin Ong.
Semua tamu termasuk Milana yang sudah duduk kembali karena dia dapat melihat sifat luar biasa pada
kedua orang anak itu, memandang dan mendengarkan dengan penuh perhatian karena dia pun ingin sekali
mendengarkan siapa gerangan dua orang pemuda remaja yang sudah begitu berani mengacaukan pesta
Pangeran Liong Bin Ong! Namun, di antara semua tamu yang hadir, hanya Milana seoranglah yang berani
mempersiapkan diri untuk melindungi kedua orang pemuda remaja itu kalau-kalau terancam bahaya maut
di tangan dua orang jagoan itu. Puteri ini tentu saja tidak tega membiarkan mereka tewas karena membela
dia, atau membela nama Pulau Es yang disebut-sebut dan ditantang oleh dua orang jagoan itu.
Sementara itu, melihat lagak sombong dari Yauw Siu, Kian Lee yang pendiam hanya memandang dengan
matanya yang lebar terbelalak, akan tetapi adiknya, Kian Bu sudah tertawa riang dan mendahului kakaknya
menjawab, “Kalian adalah she Yauw dan she Su, dan ketahuilah bahwa kakakku ini bernama Ta-yauw-eng
(Pendekar Pemukul Orang she Yauw) dan namaku adalah Ta-sun-eng (Pendekar Pemukul Orang she
Sun)! Nah, kalian tidak lekas berlutut minta ampun?”
Jawaban yang tak disangka-sangka orang ini selain menimbulkan kemarahan hebat di dalam hati dua
orang jagoan itu, juga membuat geli hati mereka yang berpihak kepada suami Puteri Milana yang terluka
tadi. Namun kegelisahan hati mereka bercampur dengan kekhawatiran karena mereka maklum betapa
marahnya dua orang tukang pukul yang sudah memperoleh perkenan dari Pangeran Liong Bin Ong untuk
menghajar dua orang pemuda remaja itu dan tentu mereka tidak akan bertindak kepalang tanggung.
Mungkin akan dibunuhnya dua orang pemuda remaja yang tampan dan sedikit pun tidak mengenal takut
itu.
“Bocah setan! Kau sudah bosan hidup!” Sun Giam dan Yauw Siu membentak, lalu keduanya menerjang
dan menyerang Kian Bu.
“Heeiiitt...! Eiiittt...!” Kian Bu sudah berloncatan ke belakang dengan sikap mengejek dan mempermainkan,
lalu menudingkan telunjuknya ke arah muka mereka bergantian. “Kiranya kalian ini benar-benar hanya
tukang-tukang pukul kampungan yang beraninya mengeroyok orang! Tadi kalau tidak mengeroyok dan
curang, tentu kalian telah roboh oleh orang gagah itu. Apa sekarang kau hendak mengeroyok aku pula?”
Wajah kedua orang jagoan itu menjadi merah. Sudah banyak mereka menghadapi lawan tangguh, akan
tetapi baru sekarang mereka merasa dipermainkan oleh seorang anak-anak! “Kalian juga berdua, majulah!”
teriak Sun Giam menahan kemarahannya karena dia pun malu kalau dikatakan mengeroyok seorang
bocah!
“Eh-eh, nanti dulu!” Kian Bu mengangkat kedua tangan ke atas menahan mereka, juga sekaligus menahan
kakaknya yang sudah bersiap-siap hendak menerjang Yauw Siu. “Katanya kalian adalah orang-orang
gagah, maka sekarang di depan begini banyak tamu agung, perlihatkanlah kegagahanmu. Kalian
merupakan dua jago tua dan kami adalah dua orang jago muda, mari kita bertanding satu-satu agar lebih
sedap ditonton dan lebih dapat dinikmati bagaimana kalian menghajar kami satu-satu! Betul tidak?”
“Betul...!” Otomatis Yauw Siu menjawab karena tertarik oleh cara Kian Bu bicara.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hushhh!” Sun Giam membentak dan barulah Yauw Siu sadar bahwa dia telah terseret oleh kata-kata
bocah itu dan menanggapinya! Terdengar suara tertawa di antara para tamu menyaksikan sikap dua orang
jagoan itu.
Yauw Siu yang menjadi malu sekali sudah melangkah maju. “Baik, mari kita bertanding satu lawan satu!”
bentaknya sambil membusungkan dadanya yang bidang dan kekar.
“Nanti dulu, kau tidak sabar amat!” Kian Bu berkata sambil tersenyum. “Lawanmu adalah kakakku, ingat?
Kakakku adalah Ta-yauw-eng, jadi harus dia yang memukul engkau! Sedangkan aku adalah Ta-sun-eng,
biarlah sekarang aku menghadapi Sun Giam lebih dulu, baru engkau.”
“Setan! Siapa pun di antara kalian boleh maju, kalau perlu boleh maju berdua kulawan sendiri!” teriak Yauw
Siu yang hampir tak dapat menahan kemarahannya lagi.
“Heiit, sabar, sabar! Hanya mau mengalami hajaran saja mengapa tergesa-gesa amat? Hayo, engkau
orang she Sun, kau hadapilah aku Tukang Pemukul Orang she Sun!”
Sun Giam lebih pendiam dari pada kawannya, dan juga ia tidak kelihatan menyeramkan seperti Yauw Siu
yang tinggi besar bermuka hitam itu. Akan tetapi, orang berusia empat puluh tahun yang bertubuh tinggi
kurus, bermuka kuning dan matanya sipit ini memiliki keahlian yang sebetulnya lebih berbahaya
dibandingkan dengan Yauw Siu.
Kalau Yauw Siu yang berjuluk Hek-bin-tiat-liong (Naga Besi Bermuka Hitam) itu adalah seorang yang
bertenaga raksasa dan seorang ahli gwa-kang (tenaga otot), sebaliknya Sun Giam adalah seorang ahli
lwee-keh (tenaga dalam) yang tangguh. Hal ini diketahui dengan baik oleh Milana ketika wanita sakti ini
tadi menangkis pukulan mereka berdua. Tentu saja untuk dia pribadi, kepandaian mereka berdua itu tidak
ada artinya, akan tetapi kini melihat betapa Sun Giam berhadapan dengan pemuda remaja yang usianya
paling banyak enam belas tahun itu, tidak urung hati Milana menjadi tegang juga.
Sun Giam orangnya pendiam, namun menyaksikan lagak dan mendengarkan ucapan pemuda tampan
yang amat memandang rendah kepadanya itu, dia juga sudah tidak dapat menahan kemarahannya. “Baik,
bocah kurang ajar. Engkau yang menantang dan semua tamu agung yang hadir menjadi saksi. Kalau kau
terpukul mampus, nyawamu jangan penasaran dan menyalahkan aku!”
Setelah berkata demikian, Sun Giam sudah menggulung kedua lengan bajunya hingga tampaklah kedua
lengannya yang kurus kecil dan panjang. Melihat ini, Kian Bu tertawa, “He-he-he-he, kedua lenganmu kecil
sekali seperti kayu kering yang lapuk, perlu apa dipamerkan? Jangan-jangan untuk menyerangku menjadi
patah-patah nanti!”
Kembali terdengar suara orang tertawa. Biar pun semua orang masih ragu-ragu apakah pemuda remaja
yang tampan dan nakal jenaka itu dapat menandingi Sun Giam, namun setidaknya godaan-godaan itu
cukup membuat hati mereka yang tidak suka kepada dua orang jagoan itu menjadi senang.
Akan tetapi suara ketawa itu terhenti dan semua mata memandang penuh ketegangan ketika mereka
melihat Sun Giam menggerak-gerakkan kedua lengannya dengan jari tangan berbentuk cakar dan
terdengarlah bunyi berkerotokan mengerikan dari tulang-tulang lengan dan tangannya! Juga tampak
betapa kedua lengan itu berubah menjadi kehijauan dan mengeluarkan getaran hebat.
Milana menggenggam tangan kanannya. Dia mengenal ilmu yang dimiliki oleh Sun Giam itu, semacam tokciang
(tangan beracun) yang mengandung sinkang kuat dan berbahaya karena beracun! Dia mengerti
bahwa hantaman kedua tangannya itu selain amat kuat, juga dapat menembus kulit daging dan meracuni
tulang dan otot di tubuh lawan. Dugaannya memang tidak salah, Sun Giam sudah melatih semacam
pukulan beracun dan kedua tangannya itu mahir dengan Ilmu Cheng-tok-ciang (Tangan Beracun Hijau)
yang dahsyat!
“Wah-wah, kiranya engkau pandai main sulap. Tentu dulu kau adalah seorang penjual obat yang suka
main di pasar-pasar, bukan? Sayang permainanmu kurang menarik dan tidak kebetulan aku tidak
membawa uang kecil!” berkata Kian Bu sambil menyeringai. Tentu saja, sebagai putera Pulau Es, dia pun
mengenal kedua tangan itu, akan tetapi dia memandang rendah.
“Bocah sombong, terimalah pukulan mautku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sun Giam sudah menghardik sambil bergerak maju. Gerakannya cepat sekali, kedua kakinya maju tanpa
diangkat, hanya bergeser mengeluarkan suara “syet-syet!” dan kedua lengannya sudah bergerak-gerak,
setelah dekat dengan Kian Bu dia membentak keras,
“Huiii...! Wut-wut-wut-wut!”
Empat kali beruntun kedua tangannya menyambar dahsyat, dimulai dengan tangan kiri membacok dengan
tangan terbuka ke leher, disusul tangan kanan mencengkeram iga, lalu tangan kiri menusuk lambung dan
diakhiri dengan tangan kanan mencengkeram ke arah bawah pusar. Tiap serangan merupakan
cengkeraman maut yang bisa merenggut nyawa seketika.
“Aihh...! Wuusss... plak-plak-plak...!”
Dengan gerakan lincah sekali Kian Bu mengelak kemudian menangkis tiga kali dengan tangannya,
lagaknya seperti orang kerepotan tetapi semua tangkisannya tepat membuat kedua tangan lawan
terpental.
“Sayang luput...! Desss...!” Kembali dia menangkis hantaman ke arah mukanya dengan tangan kiri, lalu
tangan kanannya menampar ke depan.
“Plakk...! Aughhh...!”
Sun Giam terkejut setengah mati. Bukan hanya semua serangannya dapat dielakkan dan ditangkis, bahkan
tahu-tahu pipi kirinya sudah kena ditampar keras sekali sampai kepalanya mendadak menjadi puyeng dan
matanya berkunang, pipi kirinya berdenyut-denyut panas! Dia terhuyung ke belakang sambil mengusap pipi
kirinya.
“Wah, mukamu menjadi hitam sebelah!” Kian Bu menggoda. “Mari biar kutampar yang sebelah lagi agar
tidak menjadi berat sebelah!”
Bisinglah keadaan para tamu ketika menyaksikan hal yang dianggapnya amat aneh ini. Pemuda nakal itu
dalam segebrakan saja telah mampu menampar pipi Sun Giam! Dan dilakukan dengan cara semudah itu,
seperti mempermainkan seorang anak kecil saja, malah diejek seolah-olah Sun Giam merupakan lawan
yang sama sekali tidak memiliki kepandaian apa-apa.
Sun Giam mengeluarkan suara melengking dari kerongkongannya. Tubuhnya mencelat lagi ke depan,
sekali ini menggunakan jurus yang amat hebat, kedua lengannya sampai kelihatan menjadi amat banyak
saking cepatnya kedua tangan itu bergerak mengirim pukulan-pukulan maut yang amat gencar bertubi-tubi
dan saling susul-menyusul.
“Wuuut-tak-tak-tak-syuuuttt...!
“Aihhh, lagi-lagi hanya kena angin belaka!” Kian Bu mengejek, tubuhnya berloncatan, berputaran, seperti
menari-nari dan dengan gerakan yang aneh menyelinap ke sana-sini namun selalu dia dapat mengelak
atau menangkis semua pukulan itu.
“Mampuslah!” Sun Giam yang terus menyerang itu tiba-tiba berteriak, kaki kanannya melayang ke arah
bawah pusar Kian Bu.
Kalau tendangan maut ini mengenai sasaran bagian tubuh yang paling lemah dari seorang pria itu, tentu
sukar dapat menyelamatkan nyawa. Semua orang yang ahli dalam ilmu silat diam-diam menahan napas
menyaksikan serangan maut ini, kecuali Milana yang tampak tenang saja akan tetapi kini matanya
mengeluarkan sinar aneh memandang pemuda remaja itu, duduknya enak dan sama sekali tidak bersiapsiap
lagi untuk membantu.
“Wirrrrr...!”
Tendangan itu melayang dengan kecepatan yang sukar diikuti pandangan mata. Kian Bu seolah-olah tidak
melihat ini, akan tetapi begitu kaki lawan mendekat, dia menggeser tubuh ke kiri, membiarkan kaki lewat di
sebelah kanan tubuhnya, tangan kanannya menyambar dan merangkul pergelangan kaki, sedangkan
tangan kirinya menyambar ke depan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Plakkk!”
Kembali Sun Giam terhuyung ke belakang dan mengeluh, otomatis tangan kanannya mengusap pipi
kanannya yang kena ditampar.
“Nah, sekarang barulah berimbang, mukamu menjadi kemerah-merahan seperti muka seorang dara cantik
yang segar, he-he-heh!” Kian Bu berkata sambil bertepuk tangan.
Para tamu yang berpihak kepadanya juga tertawa dan bahkan ada pula yang bertepuk tangan.
Sun Giam menjadi mata gelap saking marahnya. Dia tahu sekarang bahwa pemuda yang bengal ini
ternyata memiliki ilmu kepandaian yang mukjijat. Bukan hanya dapat menangkis tangan beracunnya tanpa
terluka sedikit pun, juga pemuda itu memiliki gerakan yang kelihatannya seenaknya dan sembarangan
saja, namun selalu dengan tepat dapat menangkis semua pukulannya, dan setiap kali pukulannya
tertangkis, Sun Giam merasa betapa seluruh lengannya dari ujung jari sampai ke ketiaknya, terasa tergetar
hebat sekali tanda bahwa pemuda itu memiliki sinkang yang amat luar biasa! Dia maklum, akan tetapi tentu
saja dia tidak mau menyerah begitu saja.
Dia tidak sudi menerima kenyataan bahwa dia kalah menghadapi seorang bocah bengal. Maka sambil
mengeluarkan lengking dahsyat, kembali ia menubruk, dengan kedua lengan dikembangkan dan kedua
tangan membentuk cakar harimau, lagaknya persis seekor harimau kelaparan yang menubruk kambing.
Kembali banyak orang terkejut karena melihat betapa pemuda itu enak-enak saja tertawa dan bertepuk
tangan, seolah-olah terkaman itu tidak ada artinya sama sekali atau dia tidak tahu betapa dirinya terancam
bahaya maut yang mengerikan. Dua lengan lawan itu bergerak-gerak dan sukar diduga ke arah mana akan
menyerang dan sekali saja dirinya kena dicengkeram tentu akan hebat akibatnya.
Namun tentu saja ini pendapat para penonton, tidak demikian dengan pendapat Kian Bu sendiri. Dia dapat
melihat dengan jelas, dapat mengikuti gerakan kedua tangan lawan itu, maka dia enak-enak saja. Ketika
jaraknya sudah dekat, tiba-tiba dia pun mengulur kedua lengannya dan kedua tangannya menyambut
cengkeraman kedua tangan lawan dan berbareng dia mengangkat lutut kirinya ‘memasuki’ perut lawan.
“Ngekkk...!”
Biar pun Sun Giam sudah mengerahkan lweekang-nya untuk membuat perutnya keras dan kebal, namun
hantaman lutut yang dilakukan dengan kuat dan tiba-tiba itu tidak urung membuat perutnya mulas dan
napasnya sesak, dan pada saat itu Kian Bu sudah menggerakkan tangan kanan yang saling berpegangan
dengan tangan kiri lawan, menariknya tiba-tiba sehingga tubuh Sun Giam tertarik dan terbawa maju, lalu
dengan gerakan yang luar biasa cepatnya Kian Bu menekuk lengan kanannya itu, sikunya menyambar ke
depan.
“Croott...!”
Siku itu mencium muka Sun Giam, tepat mengenai hidungnya. Bagian ini sukar untuk diisi tenaga
lweekang sekuatnya, maka biar pun batang hidung itu tidak remuk, akan tetapi getaran pukulan siku itu
membuat darahnya muncrat keluar dari dalam!
“Aughhh...!” Sun Giam mengeluh dan tubuhnya terhuyung ke belakang. Sibuklah kedua tangannya, yang
satu mengelus perut yang mulas, yang satu lagi menutupi hidungnya yang berdarah.
“Bocah setan...!” Tiba-tiba Yauw Siu memaki dan langsung dia menubruk ke arah Kian Bu.
“Heiii...! Eh, uh, luput! Eh, kau adalah lawan kakakku!” Kian Bu mengelak ke sana ke mari dengan cekatan
sekali sehingga setiap pukulan, setiap tubrukan mengenai tempat kosong.
Namun Yauw Siu yang marah sekali menyaksikan betapa temannya tadi dipermainkan, saking marahnya
terus menerjang seperti seekor harimau, kedua lengannya yang besar panjang itu bergerak-gerak dan
kedua tangannya menyambar-nyambar ganas. Mukanya yang hitam menjadi makin hitam dan matanya
melotot lebar menyeramkan.
Melihat betapa calon lawannya itu mengamuk dan menyerang adiknya, Kian Lee hanya berdiri tersenyum.
Tentu saja seratus persen ia tahu bahwa orang kasar itu sama sekali bukan tandingan adiknya. Biar ada
dunia-kangouw.blogspot.com
sepuluh orang seperti itu belum tentu akan dapat mengalahkan adiknya, maka dia tenang-tenang saja dan
membiarkan adiknya yang jenaka itu bergembira memborong semua lawan!
“Wah... eiiittt... Koko, bagaimana ini?” Kian Bu masih mengelak terus.
“Ambil saja untukmu, biar aku menonton saja!” jawab Kian Lee.
“Begitukah? Ha-ha, Yauw Siu, engkau masih untung! Kalau melawan kakakku, tentu kepalamu akan
hancur. Aku masih mending, kau hanya akan mengalami benjut-benjut saja!”
“Keparat...!” Yauw Siu sudah menubruk lagi, kedua kaki dan tangannya dipentang lebar, agaknya tidak ada
jalan keluar lagi bagi Kian Bu untuk mengelak.
Dan pemuda ini pun sama sekali tidak mengelak lagi! Bahkan ia memapaki, menyambut terkaman itu,
kedua tangannya didorongkan ke depan sehingga... tubuh tinggi besar itu seperti daun ditiup angin,
terlempar ke samping dan terbanting keras.
Yauw Siu terkejut bukan main. Dia tidak tahu bagaimana dia tadi terbanting roboh, yang dirasakannya
hanyalah ada angin menyambar dahsyat, angin yang terasa amat dingin. Akan tetapi dia merasa
penasaran. Cepat dia meloncat berdiri dan menerjang lagi bagai angin puyuh, mengamuk membabi buta
mengirim pukulan dan tendangan.
Kian Bu mengeluarkan kepandaiannya. Dengan amat mudah ia mengelak dengan jalan meloncat ke
belakang dan tahu-tahu lenyaplah dia dari depan Yauw Siu yang menjadi bingung dan terbelalak
memandang, mencari ke kanan kiri. Terdengar gelak tawa para penonton karena mereka dapat melihat
betapa tubuh pemuda lihai itu tadi mencelat dengan kecepatan yang sukar diikuti pandang mata, tahu-tahu
telah berada di belakang Yauw Siu sambil tersenyum-senyum.
Mendengar suara ketawa dari para penonton, Yauw Siu menjadi makin bingung dan matanya memandang
liar. Tiba-tiba ada yang menyentuh pundaknya dari belakang. Dia membalik dan...
“Plak-plak!” kedua pipinya kena ditampar dan dia terhuyung-huyung ke belakang.
Tepuk tangan menyambut ‘kemenangan’ pemuda itu. Sementara itu, Pangeran Liong Bin Ong memandang
pucat, memberi isyarat dengan pandang matanya kepada para pengawalnya.
Yauw Siu sangat terkejut dan semakin marah. Biar pun dia kini juga maklum bahwa dia berhadapan
dengan seorang pemuda yang amat lihai, namun rasa malu dan marahnya membuat dia nekat.
“Srattt...!” Dia telah mencabut sebatang ruyung lemas yang bergigi, yang tadi melingkar di pinggangnya.
“Singgg... wir-wir-wirrr...!” Sun Giam kini juga sudah mengeluarkan senjatanya yang tadi melibat
pinggangnya, yaitu sebuah senjata rantai baja dengan bola berduri di kedua ujungnya.
“Mundurlah, Bu-te!” Kian Lee berkata dengan marah melihat betapa dua orang jagoan itu benar-benar tak
tahu diri. Betapa pun juga, dia amat sayang kepada adiknya dan melihat kenekatan dua orang itu yang
telah mengeluarkan senjata, dia cepat melompat maju.
Kian Bu meloncat ke belakang. “Celakalah kalian sekarang,” katanya mengejek kepada dua orang jagoan
itu.
Akan tetapi dua orang jagoan yang sudah amat marah itu tidak mempedulikan ejekan Kian Bu. Melihat
bahwa sekarang pemuda kedua yang maju dengan tangan kosong saja, dengan sikap tenang sekali
namun dengan wajah yang tampan itu membayangkan kemarahan dan mata yang tajam itu memandang
tanpa berkedip, mereka sudah menerjang maju menggerakkan senjata masing-masing tanpa peduli lagi
akan teriakan-teriakan para tamu yang memaki mereka dan yang mengkhawatirkan keselamatan pemuda
itu.
Han Wi Kong yang pundaknya sudah dibalut dan sejak tadi memandang kagum, kini hendak bangkit dari
tempat duduknya. “Si keparat tak tahu malu!” desisnya. Akan tetapi tiba-tiba tangan Milana menyentuh
lengannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Biarkan saja...”
“Apa...? Kedua orang anak muda itu terancam...”
Milana menggelengkan kepala. Mulutnya tersenyum dan matanya bersinar, wajahnya berseri-seri. “Apakah
kau tidak juga dapat menduga siapa mereka? Apakah kau tidak mengenal Sin-coa-kun, kemudian loncatan
Soan-hong-lui-kun dan dorongan pukulan Swat-im Sin-ciang yang dilakukan Kian Bu tadi?”
“Kian Bu... ahhh dan yang satu itu...?”
“Kian Lee, siapa lagi?”
Han Wi Kong memandang terbelalak dan dengan penuh kekaguman dia melihat betapa Kian Lee
menghadapi dua orang lawan bersenjata itu dengan sikap tenang sekali. Dua gulungan sinar senjata itu
datang menyambar-nyambar ke depan. Kian Lee berkelebat mengelak di antara dua gulungan sinar
senjata itu, gerakannya cepat sekali sehingga tidak dapat dilihat lagi bentuk tubuhnya, hanya bayangannya
saja berkelebatan dan tiba-tiba terdengar dua kali teriakan keras, dua batang senjata itu terlempar dan dua
orang jagoan itu terlempar dan roboh terbanting!
Kian Lee telah berdiri dengan sikap penuh wibawa, kedua kaki terpentang lebar, kedua tangan bersedakap
dan ia menghardik, “Kalian masih berani menjual lagak lagi di sini?”
Dua orang jagoan itu merangkak bangun, muka mereka menjadi pucat sekali, kemudian mereka saling
pandang dan membalikkan tubuhnya.
“Tunggu...!” Klan Bu mencelat dari tempat dia berdiri, tahu-tahu telah berada di depan kedua orang itu.
“Tadi kalian melukai orang, terlalu enak kalau kalian dibiarkan pergi begitu saja tanpa dihukum!” Kedua
tangannya bergerak cepat menyambar ke depan.
Kedua orang jagoan yang masih merasa nanar itu berusaha membela diri, akan tetapi mereka jauh kalah
cepat.
“Krek-krek! Krek-krek!” Dua orang itu jatuh berlutut, kedua tulang pundak mereka telah dipatahkan oleh jari
tangan Kian Bu yang hendak membalaskan orang gagah yang tadi patah tulang pundaknya.
“Nah, pergilah kalian!” bentaknya.
Dua orang itu mengeluh, menggigit bibir, memandang dengan mata melotot, kemudian bangkit berdiri dan
pergi cepat meninggalkan tempat itu melalui pintu gerbang dengan gerak langkah yang amat lucu. Kaki
mereka melangkah cepat setengah berlari, tetapi kedua lengan mereka tidak dapat berlenggang, hanya
tergantung lumpuh di kanan kiri tubuh.
“Tangkap kedua orang pengacau itu...!” Tiba-tiba Pangeran Liong Bin Ong berteriak memerintah sambil
menudingkan telunjuknya ke arah Kian Lee dan Kian Bu. Belasan orang pengawal bergerak maju
mengepung dengan senjata di tangan.
“Ehh, ehhh, kenapa kami hendak ditangkap?” Kian Bu berseru heran sambil berdiri dari tempat duduknya.
“Kalian mengacau!” Pangeran itu membentak pula. Dia pun telah melihat betapa banyak di antara para
tamu menggelengkan kepala tanda tidak setuju kalau dua orang muda itu ditangkap.
“Ahh! Ahh! Jadi kami yang mengacau?” Kian Bu berteriak pula tanpa takut sedikit pun. “Dua orang jagoan
kampungan tadi telah mengeluarkan tantangan dan penghinaan terhadap Pulau Es. Siapa pun tahu bahwa
Majikan Pulau Es adalah Pendekar Super Sakti! Pendekar itu adalah mantu dari Yang Mulia Kaisar dan
ayah dari Puteri Milana yang hadir di sini sebagai tamu kehormatan! Kami berdua maju menghajar orang
yang menghina mantu Kaisar malah dituduh pengacau! Kalau begini, siapa yang mengacau?”
Mendengar ucapan ini, Liong Bin Ong menjadi merah mukanya. Apa yang diucapkan dua orang pemuda
remaja itu terdengar oleh semua orang dan hampir semua orang mengangguk-angguk membenarkan.
“Siapa kalian?” bentaknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sebagai putera-putera Pendekar Super Sakti, tentu saja kami tidak membiarkan orang-orang macam
mereka itu menghina Pulau Es.”
“Kian Bu...! Kian Lee...!” Milana tak dapat menahan lagi kegirangan hatinya. Dia sudah bangkit berdiri dan
menghampiri dua orang pemuda yang serta merta berlutut di depan Milana itu.
“Enci Milana...!” Mereka berkata hampir berbareng.
Milana tertawa dan sekaligus mengusap air matanya, menyuruh bangun mereka dan memeluk mereka,
menarik mereka ke ruangan tamu kehormatan dan memperkenalkan mereka kepada Pangeran Liong
berdua dan para tamu.
“Mereka adalah adik-adikku Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee dari Pulau Es!”
Melihat keluarga yang saling bertemu itu bergembira dan disambut oleh para tamu dengan girang, dua
orang Pangeran Liong saling pandang dengan muka pucat. Tentu saja mereka tidak dapat berbuat sesuatu
terhadap adik-adik Puteri Milana, yaitu cucu Kaisar sendiri, apa lagi karena semua tamu tadi jelas
menyaksikan betapa dua orang pemuda itu mengalahkan dua orang jagoan yang dianggap menghina
Pulau Es. Para tamu berbondong datang dan menghaturkan selamat kepada Puteri Milana yang telah
bertemu dengan dua orang adiknya yang gagah perkasa.
Dengan alasan kedatangan dua orang adiknya, Puteri Milana dan suaminya yang terluka pundaknya itu
bergegas meninggalkan tempat pesta, pulang ke istana mereka sendiri. Setelah Han Wi Kong yang patah
tulang pundaknya itu memperoleh perawatan dari seorang tabib dan mengundurkan diri untuk beristirahat
di kamarnya sendiri, Milana mengajak dua orang adiknya bercakap-cakap sampai semalam suntuk.
Tidak ada habis-habisnya mereka saling menceritakan keadaan masing-masing, dan terutama sekali
dengan penuh kerinduan hati Milana ingin mendengarkan segala hal mengenai Pulau Es. Ketika dia
mendengar tentang Siang Lo-mo, dua orang kakek kembar yang pernah dilawannya di rumah penginapan
itu ternyata pernah pula menyerbu Pulau Es dengan kawan-kawannya, puteri ini mengerutkan alisnya dan
dengan penuh kekhawatiran dia dapat menduga bahwa Pangeran Liong ternyata dibantu oleh orang-orang
pandai.
Beberapa hari kemudian, setelah membawa dua orang adiknya menghadap kepada Kaisar, Milana lalu
memberi tugas kepada kedua orang adiknya yang dia tahu memiliki kepandaian yang cukup tinggi untuk
menjaga diri dan untuk menunaikan tugas rahasia itu. Dia menyuruh Kian Lee dan Kian Bu pergi ke utara,
menemui Jenderal Kao Liang dan menceritakan semua keadaan di kota raja, mengajak Jenderal Kao yang
amat setia dan yang menguasai sebagian besar pasukan itu untuk mengerahkan pasukan menumpas
pemberontak-pemberontak tanpa menanti perintah Kaisar lagi karena Kaisar tentu saja terpengaruh oleh
para pangeran yang menjadi saudaranya sendiri itu, dan tidak percaya bahwa mereka merencanakan
pemberontakan. Pendeknya Milana mengajak Jenderal Kao untuk mendahului gerakan pemberontakan
dan sekaligus membasmi pemberontak yang belum sempat bergerak itu.....
********************
Tengah malam telah lewat. Udara amat dingin membuat para penjaga yang berkumpul di gardu benteng
mengantuk dan mereka berusaha untuk melawan dingin dengan api unggun besar. Perang antara
dinginnya hawa udara dan panasnya api unggun mendatangkan kehangatan yang membuat orang cepat
mengantuk, apa lagi setelah bertugas menjaga dan meronda sehari semalam menanti penggantian giliran
besok pagi. Banyak di antara para penjaga itu yang mendengkur tanpa dapat ditahan lagi, ada yang
berbaring begitu saja di bawah gardu, ada yang tidur sambil bersandar gardu, dan yang belum tidur ratarata
sudah melenggut digoda kantuk yang berat. Mereka sudah malas meronda. Pula, perlu apa diadakan
perondaan secara ketat? Benteng itu penuh pasukan tentara, siapa berani mengantar nyawa memasuki
benteng?
Kelengahan para penjaga karena ngantuknya ini makin memudahkan dua orang yang bergerak seperti iblis
saja di malam hari itu. Dengan gerakan ringan bukan main mereka meloncat ke atas pagar tembok, lalu
melayang turun dan cepat menyelinap di antara bangunan-bangunan di dalam benteng, menghindarkan
diri dari pertemuan dengan penjaga-penjaga yang bertugas di dalam.
Dua sosok bayangan orang itu berkelebatan kadang-kadang naik ke atas genteng dan berloncatan,
kemudian melayang turun lagi dan menyelinap di antara bangunan-bangunan rumah asrama para pasukan
dunia-kangouw.blogspot.com
tentara. Dari gerak-gerik mereka, jelas bahwa selain memiliki kepandaian tinggi, juga dua orang ini sudah
hafal akan keadaan di situ.
Tentu saja demikian karena seorang di antara mereka ini adalah Jenderal Kao Liang dan yang seorang lagi
adalah Pendekar Sakti Gak Bun Beng. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Jenderal Kao Liang
dibantu Gak Bun Beng pergi ke benteng yang dikuasai oleh Panglima Kim Bouw Sin, untuk menumpas
para pemberontak. Menyetujui pendapat Bun Beng agar tidak mendatangkan perang saudara secara
terbuka antara pasukan-pasukan sendiri, maka jenderal itu bersama Bun Beng memasuki benteng berdua
saja secara diam-diam dan menggunakan waktu malam untuk menyelidik.
Sudah tentu saja andai kata Jenderal Kao masuk dari pintu gerbang, para penjaga akan mengenalnya dan
tidak akan ada yang berani melarangnya, akan tetapi kalau hal itu dilakukan dan Kim Bouw Sin mendengar
akan kedatangannya, tentu panglima yang memberontak itu akan mengadakan persiapan untuk
mencelakakannya. Maka mereka berdua memasuki benteng malam itu secara diam-diam, dan berkat
pengetahuan jenderal itu tentang benteng di mana dahulu dia pernah menjadi komandannya, maka mereka
berdua dapat dengan mudah menyelinap masuk dan langsung menuju ke tempat kediaman Panglima Kim
Bouw Sin.
Akhirnya, Jenderal Kao dan Bun Beng sudah tiba di balik pintu ruangan besar di mana Panglima Kim Bouw
Sin tampak sedang berunding dengan belasan orang, kelihatan panglima itu marah-marah.
“Kalian sungguh-sungguh tidak ada gunanya!” Agaknya entah sudah berapa puluh kali dia memaki seperti
itu. “Sekarang, semua gagal dan kita akan celaka.”
“Kim-ciangkun, apakah tidak sebaiknya kalau kita mengirim pasukan yang lebih kuat dan diam-diam
berusaha lagi untuk...”
“Jangan sembrono! Setelah kegagalan itu, tentu Kao Liang akan berjaga dengan teliti dan kuat. Lebih baik
kita cepat melaporkan kepada Pangeran Liong dan kalian yang ikut membantu di sumur maut harus cepat
menyembunyikan diri sehingga andai kata dia datang memeriksa, dia tidak akan menemukan bukti apaapa
di sini.”
“Bagus sekali siasatmu, tetapi rahasiamu sudah terbuka, Kim Bouw Sin! Pengkhianat hina, pemberontak
busuk, menyerahlah kalian!”
Bentakan suara Jenderal Kao yang sangat nyaring ini tentu saja amat mengejutkan semua orang yang
tengah berada di dalam ruangan itu. Mereka meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak
dan muka pucat ke arah jendela yang tiba-tiba bobol dari luar diikuti melayangnya tubuh dua orang yang
kini sudah berdiri di situ memandang mereka dengan sinar mata berapi.
Kim Bouw Sin tidak mengenal siapa adanya laki-laki gagah berpakaian sederhana dan bercaping lebar
yang berdiri di samping Jenderal Kao itu, akan tetapi mengerti bahwa rahasianya telah terbuka, maka dia
cepat berseru, “Bunuh mereka!”
Sebelum menyerbu masuk, Jenderal Kao yang melihat betapa di antara belasan orang itu terdapat Kim
Bouw Sin dan tiga orang panglima pembantunya, juga terdapat dua orang yang dia lihat ikut
mengeroyoknya di sumur maut, telah membisiki Gak Bun Beng bahwa mereka berdua harus dapat
menangkap hidup atau mati Kim Bouw Sin, tiga orang pembantunya, dan dua orang pengeroyok itu.
Yang lain-lain hanyalah kaki tangan yang tidak begitu penting, akan tetapi ketiga orang pembantu dan dua
orang pengeroyok itu merupakan saksi yang penting sekali akan pemberontakan Kim Bouw Sin yang
menjadi kaki tangan Pangeran Liong seperti dapat dibuktikan dari perundingan mereka tadi. Gak Bun Beng
mengangguk dan menyerbulah mereka ke dalam ruangan itu.
Aba-aba yang dikeluarkan oleh mulut Kim Bouw Sin tidak perlu diulang kembali karena semua yang hadir
dalam perundingan itu mengenal belaka siapa adanya laki-laki berusia lima puluhan tahun yang bertubuh
tinggi besar, gagah perkasa dan berpakaian panglima itu. Sungguh pun kebanyakan di antara mereka tidak
ada yang mengenal laki-laki yang lebih muda, berusia empat puluh tahunan berpakaian sederhana itu,
namun mereka dapat menduga bahwa laki-laki itu tentulah kaki tangan Jenderal Kao. Hanya dua orang
yang ikut menyerbu ke sumur maut mengenal Bun Beng dan mereka ini menjadi begitu kaget dan
ketakutan sehingga ketika Kim Bouw Sin dan yang lain-lain mencabut senjata dan menyerbu, dua orang ini
lari menyelinap dan berusaha pergi dari tempat berbahaya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itu, Jenderal Kao Liang sudah mencabut pedang panjangnya dan dengan gagah perkasa
menghadapi serbuan lima enam orang, sedangkan Gak Bun Beng dengan tangan kosong sedang
menghadapi hujan senjata para kaki tangan Kim Bouw Sin yang rata-rata terdiri dari orang-orang
berkepandaian tinggi. Akan tetapi melihat dua orang yang tadi ditunjuk oleh Jenderal Kao sedang berusaha
menyelinap pergi, Bun Beng melepaskan topi caping lebarnya dan sekali tangannya bergerak, topi caping
lebar itu meluncur, mengeluarkan suara berdesing, berputar-putar seperti gasing dan lantas menyambar ke
arah lutut kedua orang yang melarikan diri itu dari belakang.
“Crak-crakkk!”
Dua orang itu mengeluarkan suara menjerit dan roboh terjungkal karena kedua lutut kaki mereka seperti
dibacok senjata tajam, membuat mereka berdua lumpuh tak dapat bangun kembali sedangkan mata
mereka terbelalak memandang ke arah benda yang masih berputaran dan kini melayang kembali ke arah
Gak Bun Beng.
Caping itu memang dilemparkan dengan gerakan pergelangan tangan yang istimewa sehingga berputar
amat cepatnya. Maka ketika menyentuh lutut kedua orang itu, dalam keadaan terputar seperti golok
tajamnya dan bersentuhan dengan lutut mereka itu membuat caping tadi yang masih berputar cepat itu
berbalik arah dan melayang kembali ke arah pemiliknya. Memang hal ini telah diperhitungkan oleh Bun
Beng melalui latihan-latihan yang tekun bertahun-tahun lamanya.
Dengan tenang Bun Beng menghadapi pengeroyokan orang banyak. Ketika dia melihat capingnya
melayang kembali, tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas, dan lalu menyambar benda itu untuk terus dipakai
di atas kepalanya dan mulailah dia menggunakan kaki tangannya menghadapi pengeroyok.
Jenderal Kao yang dikeroyok oleh Kim Bouw Sin bersama kaki tangannya, mengamuk hebat. Pedangnya
bergerak seperti seekor naga bermain-main di angkasa, sehingga lenyap bentuk pedangnya berubah
menjadi segulungan sinar yang menyilaukan mata tertimpa cahaya lampu di ruangan itu dan dalam
belasan jurus saja dia telah berhasil merobohkan dua di antara tiga panglima pembantu Kim Bouw Sin
yang mengakibatkan seorang tewas dan yang seorang lagi setengah mati karena kaki kanannya buntung
dan pundaknya terluka parah.
Gan Bun Beng yang sudah lama sekali, belasan tahun sudah, tidak pernah melukai orang apa lagi
membunuh, merasa ngeri juga, maka dia mengambil keputusan untuk cepat mengakhiri pertempuran itu
tanpa terlalu banyak membunuh orang. Tiba-tiba dari dalam perutnya, melalui kerongkongannya keluar
pekik melengking yang luar biasa sekali, sedangkan kedua lengannya didorongkan ke depan.
Menyambarlah angin-angin pukulan yang berhawa dingin, dan semua pengeroyoknya yang berjumlah
delapan orang itu roboh semua, sebagian karena sudah lumpuh mendengar pekik melengking itu dan
sebagian lagi roboh oleh dorongan angin pukulan yang mengandung hawa dingin luar biasa itu.
Kemudian tubuhnya mencelat ke arah Jenderal Kao yang sedang mengamuk. Dengan beberapa kali
menggerakkan tangan dan kakinya, maka robohlah seorang panglima pembantu dan dua orang yang tadi
ditunjuk oleh Jenderal Kao, yaitu dua orang yang pernah mengeroyok jenderal itu di sumur maut. Jenderal
ini kagum dan juga girang sekali, pedangnya mendesak hebat kepada bekas pembantunya dan betapa pun
Kim Bouw Sin mempertahankan dengan pedangnya, namun tidak sampai sepuluh jurus dia roboh,
pedangnya terlepas dari pegangan dan lehernya sudah dicengkeram oleh jari-jari tangan kiri Jenderal Kao!
Melihat robohnya para panglima itu, sisa para pengeroyok segera menjadi jeri dan cepat melarikan diri
keluar dari ruangan sambil berteriak-teriak untuk minta bantuan. Dari luar berbondong-bondong masuklah
para pengawal dari penjaga yang bersenjata lengkap.
“Gak-taihiap, lekas bawa dua orang itu!”
Bun Beng sendiri bingung menghadapi keadaan yang amat gawat itu. Kalau semua pasukan datang
menyerbu, mereka berdua mana mungkin mampu melawan puluhan ribu orang tentara? Maka dia tidak
banyak bertanya, cepat dia menyambar dua orang yang dirobohkannya tadi, menotok mereka lalu
mengempit tubuh mereka, mengikuti Jenderal Kao yang sudah memanggul tubuh Kim Bouw Sin dan
meloncat keluar dari ruangan itu melalui jendela.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar suara anak panah yang banyak sekali mengaung dan berdesir menyambar, namun Jenderal
kao dapat meruntuhkannya dengan putaran pedangnya sedangkan Bun Beng sudah melesat ke atas
dengan cepat sekali, diikuti oleh Jenderal Kao.
“Mari kau ikuti aku!” Jenderal Kao berkata dan keduanya lalu berloncatan melalui atap rumah-rumah di
dalam benteng itu menuju ke menara!
Dengan kecepatan luar biasa keduanya dapat tiba di menara. Belasan orang penjaga menara ketika
melihat bahwa yang muncul adalah Jenderal Kao yang mengempit Panglima Kim Bouw Sin dan seorang
pria gagah yang membawa dua orang, menjadi terkejut, bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.
“Hai, para penjaga! Aku Jenderal Kao kini datang untuk membasmi pemberontakan dan pengkhianatan.
Hayo kalian lekas bunyikan tanda supaya seluruh prajurit berkumpul!” dengan suara yang nyaring dan
penuh wibawa jenderal itu membentak, kemudian menambahkan. “Ataukah kalian hendak ikut
memberontak pula dan ingin kubunuh semua di sini?”
Para penjaga itu menjadi ketakutan, apa lagi melihat bahwa panglima mereka telah tidak berdaya. Dua
orang di antara mereka cepat meniup terompet dan memukul tambur tanda berkumpul bagi seluruh
penghuni benteng itu. Sementara itu pagi sudah mulai tiba, biar pun cuaca masih remang-remang, namun
tidaklah segelap tadi.
Para prajurit yang sedang tidur lelap itu terbangun dan menjadi kaget sekali, cepat-cepat mereka
berpakaian dan berlari-lari menuju ke lapangan terbuka di bawah menara. Dalam keadaan hiruk-pikuk itu,
tentu saja berita tentang penyerbuan dua orang yang menggegerkan itu diterima dalam keadaan bingung
dan simpang-siur oleh para prajurit sehingga mereka itu tidak jelas apa yang sebenarnya terjadi dan
menyangka bahwa tanda berkumpul itu tentu ada hubungannya dengan berita kekacauan itu.
Karena sudah terlatih, dalam waktu singkat saja semua prajurit telah berkumpul rapi di lapangan itu,
menghadap ke menara dipimpin oleh perwira yang mengepalai pasukan masing-masing. Dari atas menara,
Jenderal Kao melihat bahwa tidak ada seorang pun panglima yang hadir. Dari tempat itu dia dapat melihat
jelas karena para prajurit yang bertugas bagian penerangan telah memasang banyak lampu dan obor
untuk menerangi tempat itu. Padahal Kim Bouw Sin mempunyai lima orang pembantu sebagai panglimapanglima
di benteng itu. Tiga orang di antara yang lima itu ikut mengkhianati pemerintah dan telah
dirobohkan, akan tetapi yang dua lagi, Panglima Kwa dan Panglima Coa, tidak nampak hadir. Apakah yang
dua itu pun ikut memberontak dan dalam keadaan berbahaya itu telah melarikan diri?
Setelah semua prajurit telah berkumpul, Jenderal Kao membawa Panglima Kim Bouw Sin yang setengah
pingsan itu ke depan menara sehingga tampak oleh semua prajurit karena di bagian depan menara itu
telah dipasangi lampu oleh para penjaga yang menjadi bingung sekali melihat betapa panglima mereka
ditawan oleh Jenderal Kao yang terkenal galak dan ditakuti juga disegani dan dihormati semua prajurit itu.
Melihat munculnya Jenderal Kao yang memegang tengkuk Panglima Kim Bouw Sin dan memaksa bekas
komandan benteng itu berdiri di sampingnya, terkejutlah semua prajurit dan di bawah menjadi bising.
“Semua tenang...!” Suara Jenderal Kao bergema sampai jauh di bawah menara dan seketika keadaan
menjadi hening, tidak ada seorang pun yang berani membuka suara.
Hati jenderal itu menjadi lega menyaksikan ketaatan ini. Hal ini hanya berarti bahwa belum semua prajurit
dipengaruhi oleh rencana pemberontakan Kim Bouw Sin yang menjadi kaki tangan Pangeran Liong Bin
Ong. Dan dia pun bersyukur sekali bahwa dia menyetujui rencana Gak Bun Beng untuk mengakhiri urusan
ini secara menyelundup ke dalam benteng, dibantu oleh pendekar yang sakti itu. Kalau dia datang bersama
sepasukan tentara, tentulah terjadi salah paham dan pasukan benteng itu akan dapat mudah dibujuk untuk
melakukan perlawanan.
Akan tetapi sekarang, setelah semua panglima yang memimpin pemberontakan dirobohkan dan ditawan,
mereka tidak sempat lagi membujuk dan para prajurit yang kebingungan baru bangun tidur itu tentu saja
tidak berniat untuk memberontak karena yang muncul hanyalah seorang saja, yaitu Jenderal Kao Liang
yang mereka takuti dan hormati.
Setelah melihat semua prajurit tenang dan suasana menjadi hening, jenderal itu bicara dan suaranya
menggema dari atas menara, “Para perwira dan para prajurit yang gagah perkasa! Di antara kalian tentu
ada yang sudah tahu, ada yang dapat menduga dan mungkin ada pula yang belum tahu bahwa Panglima
dunia-kangouw.blogspot.com
Kim Bouw Sin, juga menjadi komandan kalian, yang menjadi pembantuku yang kupercaya, ternyata telah
berkhianat dan menyelewengkan kalian ke arah pemberontakan yang amat hina dan rendah!”
Jenderal itu berhenti sebentar dan melihat banyak mata memandang dengan ketakutan. Cepat dia
menyambung, “Kalian tahu apa yang akan menimpa kalian kalau hal itu terlaksana? Kalian akan dibasmi,
dihancurkan dan masing-masing akan menerima hukuman berat sekali, dicap sebagai pengkhianat dan
pemberontak yang amat rendah sehingga sampai beberapa keturunan nama kalian menjadi busuk, bahkan
nama nenek moyang terbawa-bawa ke dalam kehinaan! Untung bahwa aku mengetahui hal itu dan cepat
malam ini aku turun tangan menangkap pengkhianat Kim Bouw Sin ini bersama kaki tangannya. Dan aku
tahu bahwa kalian tidak berdosa, bahwa kalian hanya terbawa-bawa saja oleh atasan yang menyeleweng.
Oleh karena itu, kalau kalian mau insyaf dan mulai saat ini tunduk dan setia kepada pemerintah, aku
Jenderal Kao Liang akan menanggung bahwa kalian tidak akan dihukum dan tidak dianggap berdosa.
Bagaimana pendapat kalian?”
Hening sejenak, keheningan yang amat menegangkan hati Gak Bun Beng karena pendekar ini maklum
bahwa kalau sampai jenderal itu gagal menguasai para prajurit ini sehingga mereka memberontak, tentu
dia dan Jenderal Kao tidak dapat meloloskan diri lagi dari kepungan puluhan ribu orang prajurit itu!
“Hidup Jenderal Kao...!”
“Basmi pemberontak...!”
Gak Bun Beng bernapas lega dan diam-diam dia kagum sekali atas ketenangan dan kepribadian jenderal
itu. Jenderal Kao mengangkat kedua tangannya sehingga semua kebisingan yang di bawah berhenti.
“Yang memimpin pemberontakan adalah Kim Bouw Sin dan tiga orang pembantunya, mereka sudah
kurobohkan, dibantu pula oleh tenaga-tenaga dari luar benteng. Akan tetapi aku tidak melihat adanya
Panglima Kwa dan Panglima Coa, ke manakah kedua orang itu?”
Terdengar jawaban dari bawah, dari mulut seorang perwira, “Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun telah
ditangkap dan ditawan oleh Kim Bouw Sin!”
“Ahh!” Jenderal Kao Liang berseru. “Lekas bebaskan mereka dan hadapkan kepadaku!”
Dari bawah terdengar suara menyanggupi dan tampak beberapa orang perwira berlari ke dalam rumah
tahanan dan tak lama kemudian mereka datang kembali membawa dua orang laki-laki bertubuh tegap
yang pakaiannya kusut dan robek-robek, yang tubuhnya banyak luka-luka bekas cambukan. Mereka ini
berlari ke depan, dan cepat menjatuhkan diri berlutut di bawah menara, menghadap ke arah Jenderal Kao.
“Kwa-ciangkun dan Coa-ciangkun, apa yang terjadi? Mengapa kalian ditangkap oleh Kim Bouw Sin?”
Jenderal Kao bertanya.
“Kami berdua menentang pemberontakannya, tidak mau terbujuk, maka kami ditangkap dan kami disiksa
untuk mau membantu, akan tetapi kami berdua lebih baik memilih mati dari pada harus memberontak,”
jawab Kwa-ciangkun.
“Para perwira dan prajurit! Kalian sudah mendengar sendiri. Itulah baru suara seorang prajurit sejati! Maka,
untuk sementara waktu ini, aku mengangkat Kwa-ciangkun sebagai komandan benteng ini yang baru dan
Coa-ciangkun menjadi wakilnya!”
Kembali terdengar sambutan sorak-sorai, sebagian besar dari para prajurit yang merasa beruntung sekali
bahwa mereka yang tadinya terbujuk untuk membantu Kim Bouw Sin, memperoleh pengampunan yang
demikian mudahnya. Baru sekarang mereka melihat kenyataan betapa lemah kedudukan mereka, betapa
lemah pemimpin mereka yang mengajak memberontak sehingga dengan munculnya dua orang saja, para
pemimpin itu telah dibuat tidak berdaya sama sekali! Kalau mereka terlanjur memberontak, menghadapi
pasukan pemerintah di bawah pimpinan seorang panglima seperti Jenderal Kao, tentu mereka akan
dibasmi hancur!
Jenderal Kao lalu menyerahkan pimpinan kepada kedua orang panglimanya yang baru. Kwa-ciangkun dan
Coa-ciangkun lalu menggunakan kesempatan itu untuk memberi ‘kuliah’ kepada para prajurit sampai hari
menjadi terang, sedangkan Jenderal Kao dan Gak Bun Beng menyerahkan para tawanan itu, Kim Bouw
Sin dan dua orang kaki tangannya yang akan diajukan sebagai saksi, kepada para penjaga agar mereka itu
dunia-kangouw.blogspot.com
ditawan dengan kaki tangan dibelenggu. Akan tetapi ketika mereka turun dari menara dan memasuki
ruangan pertempuran tadi, ternyata tiga orang pembantu panglima yang menjadi kaki tangan Kim Bouw Sin
telah tewas semua, membunuh diri!
“Ahhh... saya yang ceroboh, Panglima!” Bun Beng berseru menyesal. “Mestinya mereka itu kutotok lumpuh
sebelum kita tinggalkan tadi.”
“Tidak mengapa, Taihiap. Mereka pun sudah sepatutnya mampus, manusia-manusia rendah yang hanya
mengejar kesenangan tanpa mempedulikan lagi caranya itu sehingga mereka mau saja diperalat oleh
Pangeran Liong untuk memberontak. Yang penting adalah Kim Bouw Sin sebagai tokoh utamanya dan dua
orang pembantunya itu sebagai saksi karena mereka berdua ikut mengeroyokku di sumur maut.”
Jenderal Kao lalu mengajak dua orang komandan baru untuk berunding, kemudian dia bersama Gak Bun
Beng kembali ke bentengnya sendiri dikawal oleh sepasukan istimewa yang membawa Kim Bouw Sin dan
dua orang pembantunya itu dalam kereta kerangkeng, karena Jenderal Kao menghendaki agar tiga orang
tawanan itu dibawa ke bentengnya agar langsung berada di bawah penjagaannya sendiri menanti saatnya
mereka dihadapkan ke kota raja. Dia pun sudah memerintahkan dengan tegas agar mereka bertiga tidak
diberi kesempatan untuk membunuh diri, karena di dalam hatinya jenderal ini mengambil keputusan untuk
menggunakan mereka bertiga itu untuk membongkar rahasia pemberontakan Pangeran Liong Bin Ong.
Rasa persahabatan terhadap Bun Beng makin mendalam berakar di hati jenderal yang perkasa itu. Di
sepanjang perjalanan kembali ke bentengnya, mereka yang duduk berkuda berdampingan, tiada hentinya
bercakap-cakap dan di dalam percakapan ini Jenderal Kao Liang menceritakan tentang keadaannya.
Di dalam pelaksanaan tugasnya yang penting, berbahaya, dan di perbatasan yang sunyi dan liar, dia tidak
membawa keluarganya, meninggalkan isteri dan tiga orang anaknya di kota raja setelah terjadi hal
menyedihkan ketika keluarganya dahulu dibawanya di perbatasan itu....
Di waktu keluarganya ikut bersamanya di benteng perbatasan, puteranya yang sulung, ketika itu baru
berusia sepuluh tahun, pada suatu hati telah lenyap ketika anak itu bermain-main di luar benteng seorang
diri. Tentu saja Jenderal Kao telah mengerahkan pasukan mencari-cari, dia sendiri pun sudah mencari,
mengarungi padang pasir di utara, namun hasilnya sia-sia, puteranya pun tidak dapat diketemukan kembali
bahkan mayatnya pun tidak! Setelah terjadi peristiwa menyedihkan itu, ia lalu mengirim kembali
keluarganya ke kota raja dan peristiwa yang sudah terjadi selama belasan tahun yang lalu itu masih saja
berbekas di dalam hatinya, kadang-kadang membuatnya termenung memandang padang pasir yang luas,
teringat akan nasib puteranya yang dianggapnya tentu telah tewas tak tentu kuburnya itu.
Ada pun Gak Bun Beng juga merasa makin kagum terhadap pribadi jenderal ini, yang ternyata selain
seorang yang amat setia kepada pemerintah, keturunan orang-orang besar dalam bidang kemiliteran, juga
adalah seorang laki-laki gagah perkasa yang berjiwa besar. Maka hatinya pun menjadi lega bahwa dia
telah membawa Syanti Dewi kepada jenderal itu. Dia pun lalu menceritakan tentang diri Syanti Dewi
selengkapnya, seperti yang diketahuinya.
“Saya merasa kasihan sekali terhadap Syanti Dewi. Dia seorang puteri raja, akan tetapi nasib
membawanya mengalami banyak kesengsaraan lahir dan batin. Tidak hanya dia terpaksa mentaati
kehendak orang tua untuk menikah dengan seorang pangeran tua yang sama sekali belum pernah
dijumpainya, akan tetapi juga ternyata bahwa pangeran itu seorang berhati curang, bahkan mungkin sekali,
karena hal ini belum dapat terbukti kuat, adalah seorang pengkhianat dan pemberontak. Lebih lagi setelah
tiba di sini, dia mendengar akan kematian Candra Dewi atau Nona Lu Ceng, adik angkatnya.”
Mendengar disebutnya nama Lu Ceng, Jenderal itu memejamkan matanya sebentar dan merasa betapa
jantungnya seperti ditusuk. Nona yang telah mati karena menolong dirinya itu! Tidak pernah dia akan dapat
melupakan betapa nona itu benar-benar telah mengorbankan nyawa untuk menebus nyawanya sendiri,
karena kalau bukan Ceng Ceng yang menendangnya keluar dari sumur, tentu bukan dara itu melainkan dia
yang akan tewas!
“Memang kasihan sekali dia...” katanya, sudah tidak tentu lagi siapa yang dimaksudkan dengan ‘dia’, puteri
itukah atau Ceng Ceng.
“Maka saya mengharapkan kebijaksanaan dan kemurahan hatimu, Kao-goanswe, untuk menerima gadis
itu dan melindunginya. Saya hendak pergi melanjutkan perjalanan, dan saya menitipkan Syanti Dewi
kepadamu agar kelak dapat kau antarkan dia kepada Puteri Milana...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, kenapa kepada Puteri Milana?” Jenderal itu menatap tajam wajah pendekar itu.
Bun Beng menahan getaran jantungnya dan bersikap tenang dan biasa saja. “Siapa lagi yang dapat
melindunginya selain puteri yang namanya sudah amat terkenal sebagai seorang yang gagah perkasa dan
budiman, puteri dari Pendekar Super Sakti itu? Kalau Syanti Dewi berada di bawah perlindungannya,
barulah hatiku akan merasa tenang.”
“Baiklah, Taihiap. Syanti Dewi akan kuanggap sebagai anakku sendiri. Anakku ada tiga orang,
kesemuanya laki-laki, yang paling besar telah hilang, dan aku akan senang sekali menganggap dia sebagai
anakku sendiri. Akan kulindungi dia sampai ada kesempatan bagiku untuk mengantarnya sendiri kepada
Puteri Milana.”
Gak Bun Beng seketika mengangkat kedua tangannya memberi hormat dengan wajah berseri-seri.
“Budimu amat besar, dan aku tidak akan melupakannya, Goanswe!”
Jenderal Kao memandang wajah itu makin tajam penuh selidik, kemudian dia menarik napas dan berkata,
“Gak-taihiap, engkau memutar balikkan kenyataan dan demikianlah memang sifat pendekar-pendekar
budiman. Engkaulah yang telah menyelamatkan nyawaku, kemudian membantuku membasmi
pemberontak. Tanpa bantuanmu, takkan begitu mudah urusan ini dapat diatasi. Akan tetapi... hemm,
sungguh aneh sekali... aneh sekali...!”
Gak Bun Beng yang duduk di atas kudanya di sebelah kiri jenderal itu, menengok dan bertanya heran,
“Apakah yang aneh, Kao-goanswe?”
“Taihiap, pernahkah engkau mendengar Jit-hui-houw, tujuh jagoan dari kota Shen-bun?”
Bun Beng memandang dengan hati penuh pertanyaan, tidak mengerti mengapa jenderal itu menanyakan
ini, lalu mengingat-ingat, dan akhirnya menggeleng kepalanya.
“Dan kurang lebih dua tahun yang lalu, pernahkah Taihiap tinggal di kota Shen-yang?”
“Shen-yang dekat kota raja?”
Jenderal itu mengangguk.
“Tidak pernah, Goanswe. Belasan tahun ini saya mengembara di gunung-gunung dan dusun-dusun, tidak
pernah tinggal di kota besar.”
Jenderal Kao Liang mengangguk-angguk. “Sudah kuduga demikian... tetapi menurut berita, namanya juga
Gak Bun Beng dan juga amat lihai, lebih terkenal dengan julukan Si Jari Maut...”
“Aihhh, dahulu ketika pertama kali kita saling berjumpa, engkau pun menyebut Si Jari Maut. Siapakah dia
dan apa sangkut-pautnya dengan saya, Kao-goanswe?”
“Saya sendiri tidak pernah bertemu dengannya, hanya menurut kabar, dia lihai sekali, lihai dan kejam.
Namanya Gak Bun Beng, julukannya Si Jari Maut, kabarnya masih muda, akan tetapi engkau pun belum
tua benar, Taihiap.”
“Hemm, tentu dia orang lain. Apakah pekerjaannya?”
“Dia merampok, membunuh, memperkosa...”
“Ahhh...!” Bun Beng mengerutkan alisnya. “Kalau begitu halnya, tentu hanya ada dua kemungkinan.”
“Maksudmu, Taihiap?”
“Pertama, memang ada seorang penjahat keji yang lihai dan yang memiliki nama dan she yang sama
dengan saya. Kedua, dia adalah seorang musuh tersembunyi yang sengaja hendak merusak nama saya.
Akan tetapi, yang mana pun kenyataan dari kedua kemungkinan itu, saya harus pergi mencarinya, Kaogoanswe.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Jenderal itu mengangguk-angguk. “Saya lebih condong menduga kemungkinan kedua, Taihiap. Seorang
pendekar lihai seperti Taihiap tentu dahulu sudah sering kali bentrok dengan golongan hitam dan kaum
sesat, oleh karena itu tidaklah aneh kalau ada yang mendendam dan kini membalas dengan cara
memburukkan namamu.”
Gak Bun Beng menggelengkan kepalanya perlahan. “Agaknya tidak mungkin, Goanswe. Sudah belasan
tahun saya tidak pernah terjun ke dunia kang-ouw. Betapa pun juga, saya akan melakukan penyelidikan.”
“Berita itu mula-mula muncul dari Shen-yang, kemudian di sekitar daerah sebelah selatan kota raja. Ke
sanalah kalau engkau hendak melakukan penyelidikan, Taihiap.”
“Baik, hari ini juga saya akan berangkat setelah saya pamit kepada Puteri Syanti Dewi.”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru