Senin, 07 Agustus 2017

Kho Ping Hoo Terbaik : Sepasang Pedang Iblis 9

Kho Ping Hoo Terbaik : Sepasang Pedang Iblis 9 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Kho Ping Hoo Terbaik : Sepasang Pedang Iblis 9
kumpulan cerita silat cersil online
-
Pada saat itu Milana telah menjatuhkan diri, berlutut menghadap kepada Kaisar sambil menangis dan
berkata, "Mohon Sri Baginda sudi mengampunkan hamba dan ibu hamba...! Thian-liong-pang sama sekali
bukan pemberontak, bahkan sebaliknya. Thian-liong-pang selalu membantu kerajaan! Karena itulah, baru
saja kemarin, Thian-liong-pang diserbu dan dihancurkan oleh pasukan pemberontak Koksu pengkhianat.
Para pembantu Ibu tewas semua dan hamba sendiri pun nyaris tewas... harap Paduka sudi
mengampunkan ibu dan Ibu... Ibu... selamanya... setia kepada Paduka..."
Milana tak dapat melanjutkan kata-katanya karena dia sudah menangis tersedu-sedu. Baru sekarang ini
dia bertemu dengan Kaisar yang sebetulnya masih kakeknya sendiri! Dia menangis bukan karena takut
melihat ancaman terhadap ibunya dan dia, tetapi merasa berduka dan terharu.
Lulu juga mendengar ucapan ini. Dia ragu-ragu dan memandang wanita berkerudung itu dengan bingung.
Sekarang wanita berkerudung itu pun menjatuhkan diri berlutut menghadap Kaisar dan terdengar suaranya
lantang.
"Sesungguhnyalah apa yang dikatakan oleh puteri hamba Milana itu. Semenjak dahulu, hamba adalah
puteri Paduka yang setia..." Nirahai merenggut kerudung yang menutupi mukanya dan tampaklah wajah
yang cantik agung dan diliputi penderitaan batin itu.
"Suci (Kakak Seperguruan)...!" Lulu menjerit saking kagetnya karena sedikit pun tidak pernah diduganya
bahwa Ketua Thian-liong-pang, ibu Milana, adalah Nirahai!
"Nirahai...!" Kaisar juga berseru girang, lalu melangkah maju. "Aihhh... jadi engkaukah yang selama ini
menjadi Ketua Thian-liong-pang? Dan gadis ini... dia anakmu...?"
Nirahai menggandeng tangan Milana, dibawa menghadap kemudian berlutut di depan Kaisar. "Harap
Paduka sudi mengampunkan hamba, Milana adalah anak hamba dan...”
"...dan dia cucuku! Ahhhhh!" Sang Kaisar menyentuh kepala Milana dengan ujung jari tangannya. "Nirahai,
sukurlah bahwa engkau sudah kembali. Sekarang, aku serahkan seluruh pengawal. Seperti dahulu,
pimpinlah mereka membersihkan pemberontak-pemberontak laknat itu! Tangkap Yauw Ki Ong dan Bhong
Ji Kun, seret mereka ke pengadilan! Dan... wanita bernama Lulu ini, siapakah dia? Sumoi-mu?"
"Dia adalah Lulu, Sumoi hamba dan... dialah bekas Ketua Pulau Neraka yang telah dibasmi oleh pasukan
kerajaan." Nirahai berkata dan Lulu sudah menjatuhkan diri berlutut.
Kaisar mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang. "Hemmm..., semua adalah gara-gara perbuatan
Bhong Ji Kun yang khianat. Dialah yang melaporkan kepadaku bahwa Pulau Es dan Pulau Neraka
merupakan kekuatan-kekuatan berbahaya dan perlu dibasmi, dan aku selalu percaya kepadanya. Apa lagi
karena aku mengira bahwa engkau berada di Pulau Es... ahh, benar-benar menyesal sekali aku, telah
mendengar bujukan Si Palsu itu."
"Baik Thian-liong-pang, Pulau Es, dan Pulau Neraka tidak pernah memusuhi kerajaan!" Nirahai berkata
dan Lulu hanya menundukkan mukanya karena dia benar-benar menjadi bingung sekali setelah mendapat
kenyataan bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah Nirahai. Jadi puteranya, Wan Keng In, tergila-gila kepada
anak Nirahai? Dan anak Nirahai berarti anak... Han-koko, pikirnya terharu dan terkejut, karena bukankah
suci-nya itu pernah menjadi isteri Suma Han Si Pendekar Super Sakti?
"Si keparat Bhong Ji Kun yang berdosa. Nirahai, dan engkau Lulu, aku menyerahkan tugas dan kekuasaan
kepada kalian berdua untuk membasmi pemberontak. Setelah itu barulah kita bicara. Nah, terimalah
pedangku sebagai lambang kekuasaan tertinggi!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kaisar meloloskan pedang yang sarungnya bertahtakan naga dan burung Hong, menyerahkan pedang itu
kepada Nirahai yang menerimanya sambil berlutut. Kemudian, dikawal oleh pengawal-pengawal
pribadinya, Kaisar mengundurkan diri dan Nirahai lalu mengajak Lulu dan Milana untuk mengatur pasukan
bersama para panglima istana yang kini menganggap Nirahai sebagai kepala mereka. Para panglima yang
tua tentu saja masih mengenal Nirahai dan mereka girang sekali mendapatkan pimpinan wanita sakti ini
karena yang mereka lawan adalah Koksu yang dibantu oleh banyak orang lihai.
Akan tetapi, ketika Nirahai yang dibantu oleh Lulu mengerahkan pasukan untuk membikin pembersihan,
ternyata bahwa Pangeran Yauw Ki Ong, Bhong-koksu dan semua pembantunya, diam-diam telah lolos dari
kota raja dan melarikan diri ke utara untuk bergabung dengan sekutu mereka dan membentuk barisan
untuk menyerang kerajaan secara terbuka! Dengan penuh rasa penasaran, Nirahai lalu mengerahkan
pasukan, melakukan pengejaran ke utara, tetap dibantu oleh Lulu. Ada pun Milana tidak ikut membantu
ibunya karena dara ini bersikeras untuk mencari ayahnya, menyerahkan pedang Hok-mo-kiam dan juga
diam-diam dara ini mengkhawatirkan keadaan Bun Beng yang sama sekali tidak dia ketahui bagaimana
nasibnya.
Berangkatlah pasukan besar yang dipimpin oleh Puteri Nirahai, menuju ke perbatasan utara untuk
mengejar para pemberontak. Semangat pasukan itu besar sekali karena mereka menaruh kepercayaan
penuh kepada Puteri Nirahai yang dahulu pun telah amat terkenal sebagai seorang pemimpin yang pandai
dan gagah perkasa. Apa lagi karena Puteri Nirahai adalah puteri kaisar sendiri!
********************
Tubuh Bun Beng terayun-ayun di ujung bambu yang dipikul Bu-tek Siauw-jin. Pemuda ini maklum bahwa
dia tadi telah ditolong oleh kakek pendek yang luar biasa ini. Dia tidak tahu siapa kakek ini, dan di dalam
gelap tadi dia tidak dapat memperhatikan wajahnya. Kini bulan sepotong menimpakan cahaya yang cukup
terang, akan tetapi dia tergantung di ujung bambu seperti seekor binatang buruan, seperti seekor kijang
atau babi hutan yang tertangkap, kaki dan tangannya masih terbelenggu dan tergantung di belakang
tubuhnya. Dari tempat ia bergantung, dia hanya dapat melihat punggung tubuh yang pendek dengan
rambut riap-riapan, langkah-langkah kedua kaki kecil pendek dengan gerak pinggul yang lucu, seperti
menari-nari!
"Heh-heh-heh, tentu akan terjadi perang lagi. Tentu debu-debu jalanan akan mengebul kotor dilanda
barisan bala tentara yang berbaris. Ramai! Ramai!" Kakek cebol itu lalu mengayun langkah pendekpendek,
berlenggang meniru gerakan pasukan berbaris. Bambu panjang yang dipanggulnya, bergerak naik
turun dan dipegang seperti tentara memanggul tombak, mulutnya meniru aba-aba komandan pasukan,
"Tu-wa! Tu-wa! Tu-wa!"
Diam-diam Bun Beng mendongkol sekali. Karena ayunan itu, tentu saja tubuhnya ikut terangguk-angguk di
ujung bambu, membuat kepalanya menjadi makin pening! Celaka, pikirnya, kakek cebol ini agaknya sudah
terlalu tua dan pikun sehingga berubah seperti kanak-kanak, atau memang otaknya agak miring! Sulit
diduga apa yang akan menimpa dirinya yang terjatuh ke dalam tangan seorang kakek gila yang sakti,
sedangkan dia menderita luka dalam yang amat parah sehingga jangankan menggunakan tenaga dan
kepandaiannya, bahkan melepaskan diri dari belenggu kaki tangannya saja dia tidak sanggup. Setiap
pengerahan sinkang akan mempercepat nyawanya melayang. Maka dia pun tidak bergerak dan tidak
bersuara, hanya menyerahkan nasibnya di tangan kakek cebol yang aneh itu.
Memang kalau orang belum tiba saat-nya tewas, ada saja penolongnya seperti halnya Bun Beng. Dia
sudah terancam maut di tangan Thian Tok Lama dan Wan Keng In, menjadi tawanan dan tiada harapan
baginya untuk meloloskan diri. Sungguh kebetulan sekali, ketika dia menolong Milana, berhasil
membebaskan dara itu dan dia sendiri mengamuk, ada sepasang mata yang menonton semua itu dengan
penuh rasa kagum. Sepasang mata itu adalah mata Bu-tek Siauw-jin yang sedang mengikuti jejak
Pendekar Super Sakti. Kalau saja Bu-tek Siauw-jin tidak menyaksikan semua peristiwa ketika Bun Beng
menyelamatkan Milana di atas pohon, agaknya kakek ini tidak mau mencampuri urusan, apa lagi menolong
Gak Bun Beng yang sama sekali tidak dikenalnya.
Bukan hanya sikap dan kata-kata Bun Beng yang menggerakkan hati kakek itu, menimbulkan kekaguman
dan rasa suka, tetapi terutama sekali ketika ia menyaksikan dengan penuh keheranan betapa Gak Bun
Beng mampu menghadapi Wan Keng In dan Thian Tok Lama, bahkan dengan bantuan pasukan yang
mengeroyoknya. Dia menyaksikan betapa ilmu kepandaian pemuda itu luar biasa sekali, dan seandainya
dunia-kangouw.blogspot.com
pemuda itu tidak menghadapi pedang Lam-mo-kiam di tangan Wan Keng In, agaknya belum tentu pasukan
itu dapat menawannya.
Sebagai seorang sakti, Bu-tek Siauw-jin terheran-heran dan ingin sekali tahu dari mana pemuda itu
memperoleh kepandaian yang demikian tinggi, maka ia mengambil keputusan untuk menculik Bun Beng.
Bukan semata-mata karena dia tertarik dan kagum kepada Bun Beng, juga sebagian terdorong oleh rasa
tidak sukanya kepada Wan Keng In, murid suheng-nya itu!
Setelah kini Bun Beng dapat diculiknya, dia menjadi bingung sendiri, tidak tahu apa yang harus dia lakukan
terhadap pemuda itu, maka dipanggulnya seperti seekor babi hutan yang tertangkap, dibawa melanjutkan
mengikuti jejak Pendekar Super Sakti. Apa lagi ketika matanya yang tajam mendapat kenyataan bahwa
pemuda yang ditolongnya itu menderita luka pukulan yang amat hebat, dan untuk menyembuhkannya
bukan merupakan hal yang mudah. Biarlah kuserahkan dia ke pada Pendekar Super Sakti, pikir kakek itu.
Ketika Bun Beng dan Milana bercakap-cakap tentang cinta mereka di atas pohon, kakek ini mencuri
dengar, maka dia tahu bahwa pemuda yang dipanggulnya ini saling mencinta dengan puteri Pendekar
Super Sakti. Calon mantu! Tentu pendekar itu akan girang kalau dia memberi ‘hadiah’ calon mantunya ini!
Bu-tek Siauw-jin memang pandai sekali mengikuti jejak orang. Setelah tiba di balik bukit kecil di mana
terdapat tumpukan batu-batu gunung tampaklah olehnya Pendekar Super Sakti berdiri tegak dengan kaki
kanannya, tangan kiri memegangi tongkatnya dan wajahnya diangkat memandang ke arah bulan sepotong,
diam tak bergerak seperti arca! Rambutnya yang panjang putih itu tertimpa sinar bulan pucat, menjadi
makin mengkilat putih seperti perak. Lengan kanannya menyilang depan dada, berpegang pada lengan kiri.
Hanya ujung rambutnya yang putih panjang itu saja bergerak sedikit tertiup angin malam.
"Brukkkk!"
Bambu itu dilemparkan ke bawah oleh Bu-tek Siauw-jin dan tentu saja tubuh Bun Beng terbanting ke atas
tanah. Akan tetapi ternyata bantingan itu tidaklah keras benar dan tubuh Bun Beng terjatuh miring sehingga
hanya pundak dan pangkal pahanya saja yang terbanting. Ia tetap berbaring miring dan dapat melihat
kakek cebol itu berjalan menghampiri Pendekar Super Sakti yang sama sekali tidak bergerak seolah-olah
suara kedatangan kakek itu tidak terdengar olehnya, atau kalau terdengar juga, tentu tidak dipedulikannya
sama sekali.
Sebetulnya kakek cebol itu girang sekali berhasil mencari Pendekar Super Sakti yang amat ia kagumi.
Namun betapa kecewa hatinya ketika ia menghampiri pendekar kaki buntung itu, ia melihat Suma Han
sama sekali tidak peduli kepadanya dan pendekar itu ternyata sedang termenung memandang bulan
dengan air muka penuh duka!
Bu-tek Siauw-jin menggeleng-geleng kepala, berjalan hilir-mudik di depan pendekar itu sambil menaruh
kedua tangan di punggungnya. Kadang-kadang dia berhenti di depan pendekar itu, menatap wajahnya dan
melihat reaksi satu-satunya pendekar itu hanya berulang kali menghela napas panjang, kembali ia
menggeleng-geleng kepala dan berjalan hilir-mudik lagi.
Biar pun dirinya menderita nyeri dan belum mampu membebaskan diri, Bun Beng yang rebah miring itu
memandang dengan bengong. Kakek cebol itu agaknya benar-benar sinting! Akan tetapi mengapa
Pendekar Super Sakti diam saja? Apakah mereka telah saling mengenal? Tadinya dia merasa tegang,
tertarik sekali karena pasti akan ramai bukan main kalau sampai kakek cebol yang ia tahu amat sakti itu
bertanding ilmu melawan Pendekar Siluman!
Akan tetapi, sungguh sama sekali tidak diduganya, kini kedua orang sakti itu bersikap luar biasa sekali.
Pendekar kaki buntung itu tetap berdiri tegak sedangkan kakek cebol itu berjalan hilir-mudik sambil
menggeleng-geleng kepala. Hal ini berlangsung sampai sejam lebih! Benar-benar sinting mereka itu!
Akhirnya terdengar kakek cebol itu bersenandung, suaranya serak parau tidak enak didengar, akan tetapi
kata-katanya aneh dan jelas menyindir keadaan Suma Han.
Sekali hidup, siapa minta?
Segala macam peristiwa menimbulkan suka duka, salah siapa?
Apa pun yang terjadi tak mungkin dirubah
Tiada hubungan dengan suka duka, mengapa susah?
Kakek bulan pun tidak selalu sempurna, mengapa kecewa?
dunia-kangouw.blogspot.com
Tuhan tidak mengharuskan setan, tidak memaksa tawa atau tangis!
Yang senang memang bodoh, tapi yang berduka lebih tolol lagi!
Kini tubuh Suma Han mulai bergerak. Terdengar dia menghela napas panjang lalu menurunkan muka
memandang kakek itu yang telah berdiri di depannya. "Hemm, Bu-tek Siauw-jin. Yang menonton memang
berbeda dengan yang merasakan! Memang amat mudah mencela, semudah membalikkan telapak tangan,
akan tetapi bagi yang merasakannya sendiri barulah dapat menilai akan ringan beratnya."
Kakek itu tertawa. "Memang baru terasa ringan atau berat kalau dirasakan. Ehhh, Pendekar Siluman,
engkau kelihatan berduka sekali, lebih muram dan pucat dari pada bulan itu. Tentu engkau merasa betapa
berat penanggungan derita hatimu setelah kau rasakan. Kalau begitu, mengapa dirasakan?"
"Karena aku ada pikiran."
"Siapa menyuruh engkau memikirkan sampai engkau menderita susah?"
"Tidak ada yang menyuruh."
"Nah, jika begitu engkau tentu tahu betapa bodohnya engkau. Kita mempunyai pikiran, apakah tepat kalau
pikiran itu kita pergunakan untuk selalu memikirkan hal-hal yang menimbulkan duka? Dari pada pikiran
dipergunakan secara keliru seperti itu, jauh lebih baik digunakan untuk memikirkan kenapa kita sampai
berduka! Sebab sesungguhnya, suka mau pun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran kita
sendiri itulah!"
"Bu-tek Siauw-jin, memang hidup ini isinya suka atau duka. Kita tidak dapat terlepas dari pada pengaruh Im
dan Yang, dan kedua unsur inilah yang membentuk hidup, memberi isi kepada hidup, tanpa mengenal
duka, bagaimana kita dapat mengenal suka?" Suma Han menjawab setelah menghela napas panjang.
"Ha-ha-ha-ha, Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti yang namanya tersohor di seluruh dunia, Pendekar
Siluman Majikan Pulau Es yang membuat iblis sendiri menggigil ketakutan, kiranya hanyalah seorang
manusia lemah yang tunduk kepada pengaruh Im dan Yang. Sungguh mengherankan sekali, engkau yang
membuka hati dan pikiranku di dalam kamar tahanan, engkau yang menyalakan api di dalam diriku,
ternyata kau sendiri tidak tahu akan api itu dan masih tinggal terbuai di alam mimpi dalam tidur nyenyak.
Ternyata engkau yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, hanyalah seorang yang hidupnya tidak bebas, yang
terikat oleh keadaan dari luar, yang ditentukan oleh segala filsafat, pelajaran, dan kenangan masa lampau.
Sungguh kasihan!"
Tentu saja Suma Han menjadi penasaran sekali. "Kau sombong, Bu-tek Siauw-jin!" dan pendekar ini
menjatuhkan tubuhnya duduk bersila di atas sebuah batu.
"Aku hanya bicara tentang kenyataan, dan pendapatmu bahwa aku sombong kembali membuktikan
kelemahanmu. Engkau tak mau membuka mata melihat keadaan diriku, tak mau mengerti melainkan
menurutkan isi pikiran sendiri yang selalu menyesatkan." Kakek itu pun menggerakkan tubuhnya dan....
"Bruukkk!" dia sudah duduk pula di atas sebongkah batu besar tak jauh di depan Suma Han.
Sejenak keduanya berpandangan. Cuaca mulai gelap dan Bun Beng masih rebah miring, mendengarkan
dengan penuh keheranan. Dia merasa tegang sekali dan juga ingin dia menyaksikan, bahkan
mengharapkan terjadinya perang tanding di antara dua orang yang memiliki kesaktian tinggi ini. Akan tetapi
dia kecewa! Ternyata kedua orang itu mulai bertanding suara, berbantahan dan berdebatan tentang hidup.
Namun, makin didengar, makin tertariklah hati Bun Beng karena yang dipercakapkan dua orang aneh itu
adalah hal-hal mengenai rahasia hidup dan makin didengar, makin terbukalah mata batin pemuda ini
sehingga dia merasa seolah-olah tubuhnya disiram air dingin yang membuatnya sadar.
"Bu-tek Siauw-jin, bicaramu makin memanaskan perut dan ngawur!" Suma Han menyerang dengan suara
mengejek. "Kau seolah-olah memandang rendah kepada pikiran yang kau katakan selalu menyesatkan.
Tanpa pikiran bagaimanakah manusia dapat hidup?"
"Aku tidak mengatakan bahwa kita harus hidup tanpa pikiran. Akan tetapi engkau, juga aku selama ini, kita
manusia selalu diperbudak oleh pikiran, segala gerak hidup dikemudikan oleh pikiran. Coba buka mata
batinmu dan mari kita jenguk kita lihat keadaan kita ini, keadaan pikiran kita. Memang hidup membutuhkan
tenaga pikiran untuk mengingat-ingat dan mengenal benda, untuk bekerja dan untuk menyelesaikan segala
dunia-kangouw.blogspot.com
macam urusan lahiriah. Pikiran perlu pula untuk mempelajari hal-hal mengenai keperluan hidup, namun
terbatas kepada urusan lahiriah. Sekali pikiran terjun ke dalam dan mengacau batin, hidup menjadi rusak
karena kita menjadi boneka-boneka hidup yang dikemudikan oleh pikiran!"
"Trakkk!" Ujung batu yang diduduki Suma Han dicuwil oleh tangan Si Pendekar yang mencengkeramnya.
"Siauw-jin, siapa sudi bicara main-main denganmu? Hati-hatilah engkau bicara, jangan mencoba mengusik
hatiku yang sedang tidak senang. Aku tidak ingin kesalahan tangan membunuh seseorang yang telah
bersikap baik kepada keponakanku!"
"Nah, itulah contohnya kalau orang selalu dipengaruhi oleh pikiran sendiri, Suma-taihiap. Kalau sampai
engkau turun tangan dan berhasil membunuhku, bukanlah aku yang mengusik hatimu, melainkan
pikiranmu sendiri. Pikiran memang menjadi biang keladi segala peristiwa di dunia ini, pikiran amat licin dan
cerdiknya menipu diri sendiri. Ha-ha-ha!"
"Hemmm, engkau bicara seperti orang gila, seperti teka-teki. Apa maksudmu?"
"Seperti kukatakan tadi, suka mau pun duka bukan datang dari luar melainkan dari pikiran kita sendiri,
karena itu, sebagai seorang yang bijaksana dan sakti sepertimu ini, mengapa mau saja diperbudak oleh
pikiran?"
"Bu-tek Siauw-jin, ucapanmu aneh dan kacau-balau. Aku telah dikaruniai pikiran, mengapa tidak akan
kupergunakan?"
"Ha-ha-ha, siapa yang mengaruniaimu? Dan siapakah itu yang kau sebut aku yang mempunyai pikiran?
Pendekar Super Sakti, dengarlah baik-baik segala yang hendak kukemukakan, karena semua kesadaran
ini kudapat setelah mendengar petunjukmu di dalam kamar tahanan. Dengarkanlah dengan hati kosong
terbuka, tanpa penilaian, tanpa kesimpulan, dengarkan saja baik-baik. Aku bukan bermaksud memberi
pelajaran kepadamu, bukan bermaksud mengurui. Sama sekali tidak karena engkau jauh lebih pandai dari
pada aku. Maukah engkau mendengarkan?"
"Bicaralah, kakek aneh."
"Pikiran adalah penampungan masa lalu, gudang dari semua hal yang dialami seratus tahun yang lalu atau
kemarin. Pikiran adalah kenangan dari semua itu, mengenangkan hal yang menyenangkan dan hal yang
tidak menyenangkan. Dengan sendirinya pikiran menciptakan Si Aku yang tentu saja segera melakukan
pemilihan, menghindarkan hal yang tidak menyenangkan dan rindu akan hal yang menyenangkan. Kalau
sudah begini, bagaimana tidak akan timbul suka dan duka? Bagaimana tidak akan timbul iri, dendam, benci
dan sengsara?"
"Nanti dulu!" kata Suma Han nyaring dan untuk sejenak keduanya berdiam, menerima ucapan tadi yang
meresap di dalam diri mereka. "Coba jelaskan lagi, bagaimana pikiran mula-mula mengemudikan dan
menguasai kita."
"Kita melihat setangkai kembang yang indah dan harum. Takkan terjadi akibat sesuatu yang buruk dari
kejadian ini. Akan tetapi pikiran lalu masuk dan mengacaunya. Pikiran membayangkan hal-hal yang
menyenangkan dari masa lalu mengenai kembang itu, dan karena pikiran berputar dengan pusatnya Si
Aku yang diciptakannya, maka timbullah nafsu keinginan untuk memetik kembang itu, untuk menciumnya,
dan untuk mengambilnya sebagai miliknya pribadi! Nah, setelah demikian, mulailah kekacauan yang akan
terus berekor dan berakibat. Kembang dipetik secara kasar dan marahlah Si Pemilik kembang, disusul
percekcokan dan lain-lain."
"Aku dapat mengikuti dan mengerti uraianmu itu, Bu-tek Siauw-jin. Memang agaknya tidak salah lagi
bahwa nafsu keinginan timbul dari pikiran yang mengenangkan pengalaman masa lalu yang memisahmisahkan
kesenangan dan penderitaan. Hal-hal yang menimbulkan kesenangan melekat dan ingin
didapatkan terus, sedangkan hal yang sebaliknya ingin dihindarkan. Pendapat dibentuk dan ditentukan
oleh pusat yaitu Si Aku, sehingga yang menyenangkan Si Aku selalu dikejar, yang menyusahkan Si Aku
dijauhi. Ini menimbulkan pertentangan-pertentangan. Benar sekali! Akan tetapi, apa hubungannya dengan
iri?"
"Karena nafsu ingin memiliki yang menyenangkan sudah ditimbulkan pikiran, maka melihat yang
menyenangkan dimiliki orang lain, timbullah kecewa dan iri hati. Yang menimbulkan iri tentulah hanya yang
menyenangkan saja."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bagaimana dengan dendam dan benci?"
"Dendam menimbulkan benci dan keduanya ini memang serupa. Dendam kebencian ini pun ditimbulkan
oleh pikiran yang mengenangkan masa lalu, mengenangkan hal-hal tidak menyenangkan yang dilakukan
orang lain kepadanya. Kebencian kepada seseorang akan melekat terus selama pikiran mengenangkan
masa lalu yang tidak menyenangkan dirinya itu. Si Aku diganggu, dirugikan, dibikin tidak senang. Pikiran
berupa ingatan atau kenangan memperkuat ini dan menimbulkan dendam kebencian. Semua ini tentu saja
melahirkan pertentangan, permusuhan dan kesengsaraan."
Suma Han duduk bersila, diam tak bergerak seperti arca. Kata-kata yang keluar dari mulut kakek itu
seolah-olah terasa olehnya mengalir dingin ke dalam tubuhnya, menyentuh kesadarannya, namun keadaan
dirinya yang semenjak kecil sudah terisi oleh pengaruh Im dan Yang itu membuyarkan kembali kekuatan
pemersatu yang timbul dari pengertian itu, dan tubuhnya bergoyang-goyang kembali.
"Apa hubungannya semua itu dengan kedukaanku, Bu-tek Siauw-jin?"
"Kedukaan? Hemmmm... kedukaanmu?"
Kakek itu diam sejenak. Pengertian yang tiba-tiba memastikan dirinya, seolah-olah ada sesuatu yang
membukanya semenjak dia bertemu dengan Pendekar Siluman di kamar tahanan itu, belum menyerap
benar di sanubarinya sehingga dia harus membuka mata batin lebar-lebar dan menghilangkan segala
penghalang yang menutupi dirinya sendiri selama ini. Maka pertanyaan itupun membuatnya ragu-ragu.
Akan tetapi kemudian dia menjawab lancar.
"Sebelumnya maafkan kalau kata-kataku ini kau anggap tidak tepat. Aku pun hanya seorang pencari yang
baru saja mulai, Pendekar Siluman. Marilah kita cari bersama persoalan duka ini. Apakah sebenarnya duka
di hati? Bagaimana timbulnya dan dari mana timbulnya? Saya berduka misalnya. Tentu berduka tentang
sesuatu yang telah lalu. Sebuah pengalaman lalu yang amat tidak menyenangkan hati, berlawanan dengan
keinginan hatiku dan apa yang kuinginkan tidak tercapai. Dari semua inilah timbulnya duka, bukan? Dan
bagaimana kedukaan timbul? Tentu saja kalau pikiran kita main-main lagi, mengenangkan hal yang lalu itu.
Jadi, sebetulnya duka itu tidak ada, sahabatku. Yang ada hanyalah permainan pikiran yang menggali masa
lalu, bayangan-bayangan masa lalu ini ditekan-tekankan sendiri dalam perasaan, maka datanglah duka.
Sebetulnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran sendiri! Bukankah demikian,
Suma-taihiap?"
Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian. Hatinya tertarik sekali. Cuaca sudah menjadi gelap dan
dia tidak lagi dapat melihat wajah kedua orang itu. Akan tetapi telinganya dapat menangkap semua
percakapan. Kini kedua orang itu berhenti bicara, sampai lama keadaan sunyi sekali. Kesunyian yang amat
dalam, kesunyian yang amat suci dan bersih, kesunyian yang mencakup segala apa di dunia ini. Bun Beng
merasa seolah-olah dia hidup di dunia yang baru.
Sunyi melenggang kosong luas tak terukur, tak terjangkau oleh pikiran. Suara daun gemerisik ditiup angin,
suara jangkrik dan belalang yang mulai berdendang menyambut malam, suara burung kemalaman yang
terbang lewat mencicit bingung mencari sarang mereka, semua suara itu bukanlah lawan kesunyian, bukan
pula merusak kesunyian, melainkan menjadi bagian dari kesunyian itu sendiri.
Dia rebah di atas tanah, dua orang sakti yang tidak tampak lagi duduk di atas batu, bau tanah yang sedap,
rasa pegal di kedua lengannya dan kakinya yang terikat, rasa di kepalanya yang minta digaruk, semua ini
menjadi bagian dari kesunyian yang luas itu. Kesunyian suci, tidak tersentuh oleh waktu, tidak ada kemarin
dan esok, tidak ada bagaimana dan mengapa!
Dua orang sakti itu masih terus berdebat atau bertukar pikiran mengenai hidup, dan tentu saja dalam
kesempatan ini, Suma Han membongkar semua pengetahuan filsafat yang dimilikinya, untuk melawan
ucapan kakek yang selalu mengemukakan fakta apa adanya, bukan sebagai pelajaran atau filsafat baru,
melainkan sebagai hasil pandangan mata batin yang terbuka lebar, tidak lagi digelapkan atau dibikin suram
oleh segala pendapat dan pelajaran hafalan yang telah lalu.
Bun Beng hanya kadang-kadang saja mendengarkan karena dia merasa betapa dada dan lehernya nyeri
bukan main. Teringatlah dia bahwa dia telah terkena pukulan beracun yang amat jahat dari Wan Keng In.
Dia berusaha melepaskan ikatan tangan kakinya. Kalau menggunakan sinkang, tentu sekali renggut saja
akan putus ikatan kaki tangannya itu, akan tetapi bukan hanya ikatan itu yang akan putus, juga nyawanya
dunia-kangouw.blogspot.com
mungkin akan putus pula! Luka di dalam tubuhnya akibat pukulan beracun itu tidak memungkinkan dia
mengerahkan sinkang.
Bun Beng perlahan-lahan menggulingkan tubuhnya mendekati sebuah batu karang, kemudian dia mulai
menggosok-gosokkan tali pengikat tangannya di belakang tubuh itu kepada pinggiran batu yang tajam.
Karena tidak berani mengerahkan tenaga dalam, Bun Beng bekerja perlahan-lahan, hanya mengandalkan
tenaga luar. Tekun sekali dia mengerjakan semua ini sehingga hanya kalau dia berhenti mengaso saja dia
dapat mendengar percakapan dua orang itu sekarang. Baginya, lebih penting melepaskan ikatan kaki
tangannya yang kalau dibiarkan dapat membuat jalan darahnya terganggu sekali. Karena pekerjaan yang
lambat dan makan waktu ini, maka setelah malam terganti pagi, barulah dia berhasil melepaskan ikatan
kaki dan tangannya. Dia cepat duduk bersila dan mengatur pernapasan, memulihkan jalan darah pada
pergelangan kaki tangan yang terlalu lama terikat itu. Terdengar pula olehnya kedua orang sakti itu masih
berdebat!
"Memang enak saja menjadi orang seperti engkau yang tidak dilanda penderitaan batin seperti yang
kualami semua, Bu-tek Siauw-jin. Enak saja untuk bicara tentang hidup karena memang agaknya hidupmu
berjalan lancar tanpa gangguan! Akan tetapi, aku? Terhadap orang seperti engkau tidak perlu aku
menyembunyikannya lagi. Kau dengarlah dan coba pertimbangkan, bagaimana aku tidak akan berduka
selama hidupku?"
Pendekar Super Sakti yang sedang tenggelam dalam kedukaan hebat itu kemudian membuka semua
rahasia hatinya kepada Bu-tek Siauw-jin. Tanpa disengaja, Bun Beng ikut pula mendengarkan, tetapi
sebagian dari rahasia itu memang sudah diketahui oleh pemuda ini. Akan tetapi, mendengar penuturan
semua itu dia pun terkejut, terheran dan merasa terharu sekali. Tak disangkanya bahwa pendekar besar
yang dikaguminya, yang dijunjungnya tinggi itu adalah seorang yang telah dilanda kepahitan hidup yang
demikian hebatnya!
"Tanpa kusadari aku saling mencinta dengan adik angkatku, dan karena aku buta, karena aku hendak
mengingkari perasaan sendiri, aku setengah memaksanya untuk menikah dengan orang lain! Kemudian
aku melibatkan diri dengan Puteri Nirahai yang mengorbankan kedudukannya sebagai puteri kaisar dan
panglima besar untuk menjadi isteriku. Namun, hanya sebulan kemudian dia telah meninggalkan aku
karena kami tidak sepaham mengenai jalan hidup selanjutnya. Kami berpisah dan aku hidup merana,
hatiku terobek oleh dua perasaan cinta kasih, terhadap adik angkatku dan terhadap isteriku. Aku berusaha
mengubur semua kedukaan di Pulau Es, menjadi Majikan Pulau Es. Namun, nasib masih terus
mempermainkan diriku, memaksaku berjumpa lagi dengan mereka berdua! Adik angkatku yang telah
berputera seorang itu ternyata telah meninggalkan suaminya yang gugur dalam perang karena patah hati,
dan ternyata adik angkatku itu pun menderita karena cintanya kepadaku. Dan engkau tentu tahu siapa dia
karena dia menjadi Ketua Pulau Neraka. Ada pun Puteri Nirahai, isteriku yang telah mempunyai seorang
anak perempuan, anak kami berdua, kini malah menjadi Ketua Thian-liong-pang! Coba pikir, menghadapi
semua ini, bagaimana aku dapat bertahan untuk tidak berduka?"
Sejenak keadaan sunyi, yang terdengar hanya tarikan napas panjang dari kedua orang sakti itu. Setelah
agak lama, Bu-tek Siauw-jin berkata, perlahan "Wahh, aku sendiri selamanya tidak berani berurusan
dengan wanita, Taihiap. Menurut dongeng, wanita adalah satu-satunya makhluk yang dapat menguasai
pria, satu-satunya makhluk yang paling aneh dan sukar dimengerti. Katanya, hanya wanita yang sanggup
menciptakan surga dunia mau pun neraka dunia bagi seorang pria, dan jatuh bangunnya seorang pria
banyak tergantung kepada seorang wanita. Memang sekarang kusadari bahwa segalanya tergantung
kepada kita sendiri, kepada pikiran kita, akan tetapi aku ngeri kalau membayangkan betapa daya tarik
seorang wanita, polah tingkahnya, wibawa dan pengaruhnya, akan dapat menghancurkan dan
menjatuhkan segala pertahanan hati seorang pria. Sehingga kini seorang gagah perkasa seperti engkau
pun roboh dan merana karena wanita, apa lagi kalau engkau dikeroyok oleh dua orang wanita seperti itu!
Hukkh, ngeri aku memikirkannya! Apakah... apakah mereka itu masih mencintamu, Taihiap?"
"Agaknya demikianlah."
"Dan engkau pun mencinta mereka?"
"Sejak dahulu sampai saat ini."
"Huhhh, alangkah mengerikan! Cinta! Celaka, pikiranku buntu, Taihiap. Aku tidak bisa
mempertimbangkannya, apa lagi memberi nasihat yang harus kau lakukan!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali sunyi senyap karena kedua orang sakti itu tenggelam dalam pikiran masing-masing, memikirkan
jalan apa yang terbaik untuk menghadapi dua orang wanita yang menghancurkan hidup pendekar kaki satu
itu.
Tiba-tiba terdengar suara lantang dan nyaring, "Seorang isteri harus dalam keadaan apa pun juga ikut
dengan suaminya! Seorang kekasih harus setia dan ikut ke mana juga kekasihnya pergi. Seorang laki-laki
sejati harus tidak lari dari pada pertanggungan jawabnya dan tidak mengingkari perasaan hatinya sendiri!"
Dua orang sakti itu terkejut dan tampak dua sosok bayangan berkelebat cepat sekali, tahu-tahu Suma Han
dan Bu-tek Siauw-jin telah berdiri di depan Bun Beng yang masih duduk bersila di atas tanah.
"Ahhh, engkau bisa membebaskan diri dari ikatanmu?" Bu-tek Siauw-jin bertanya heran dan agaknya baru
kakek ini teringat kepada pemuda yang diculiknya.
"Ah, engkau terluka hebat, nyawamu terancam maut!" Suma Han berseru kaget.
Gak Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut di depan kedua orang itu. "Harap Suma-taihiap sudi
memaafkan saya yang mengganggu, dan terima kasih saya aturkan kepada Bu-tek Siauw-jin Locian-pwe
yang telah menolong saya."
"Engkau... Gak Bun Beng!" Kini Suma Han berseru setelah mengenal wajah pemuda itu di bawah cuaca
yang masih remang-remang.
"Ha-ha-ha, sudah tahu namaku Siauw-jin (Manusia Hina) masih menyebut locianpwe (orang tua gagah)
pula. Engkau ini mengangkat atau membanting?"
Bun Beng tak dapat membantah kata-kata kakek sinting itu, maka dia diam saja, dan kakek itu melanjutkan
kata-katanya, kini ditujukan kepada Suma Han.
"Tahukah engkau mengapa aku menolongnya, Pendekar Siluman? Setelah engkau ceritakan padaku
bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah isterimu, maka aku menolong pemuda ini karena pemuda ini telah
menyelamatkan puterimu. Tadinya aku tidak tahu bahwa dara itu puterimu. Hemm, sungguh kebetulan
sekali."
"Milana? Mengapa dia?" Suma Han bertanya kepada Bun Beng.
Bun Beng lalu menceritakan semua pengalamannya. Betapa di dalam hutan ia melihat Milana menjadi
tawanan Wan Keng In dan Thian Tok Lama yang memimpin pasukan menghancurkan Thian-liong-pang.
Betapa ia telah berhasil pula mengembalikan pedang Hok-mo-kiam kepada Milana untuk diserahkan
kepada Pendekar Super Sakti.
"Sukur bahwa puteri Taihiap telah dapat saya bujuk supaya melarikan diri membawa Hok-mo-kiam. Saya
menahan mereka agar tidak melakukan pengejaran. Akan tetapi mereka itu lihai sekali, terutama Wan
Keng In dengan Lam-mo-kiam di tangannya, dan Thian Tok Lama. Akhirnya saya roboh dan sebelum
tertolong oleh Locianpwe ini, Wan Keng In telah memukul saya dengan pukulan beracun."
"He-heh-heh, agaknya dia telah memukulmu dengan Toat-beng-ci-tok, dan siapa yang menderita pukulan
ini, dalam waktu dua puluh empat jam akan tewas. Bocah setan itu telah memiliki kepandaian tinggi dan
tenaganya pun hebat. Nyawamu terancam, Gak Bun Beng," kata Bu-tek Siauw-jin setelah memeriksa
sebentar.
"Tidak, dia harus diobati sampai sembuh. Jasanya terhadapku sudah terlampau besar sehingga aku rela
mengorbankan nyawaku untuknya. Dia telah menyelamatkan Milana, telah mengembalikan Hok-mo-kiam,
dan... dan terutama sekali ucapannya tadi telah membuka mata batinku, telah mendatangkan ketegasan
dalam hatiku hingga lenyaplah segala duka nestapa yang tolol selama ini. Bu-tek Siauw-jin, kau harus
membantuku mengobati sampai sembuh, kalau tidak, aku akan menuntut engkau yang lancang berani
mengambil keponakan dan muridku sebagai muridmu," kata Suma Han.
"Wah-wah, ini namanya pemerasan. Apa boleh buat, aku memang suka kepada anak ini. Dan kalau
kuingat bisik-bisiknya dengan dara itu di atas pohon."
dunia-kangouw.blogspot.com
Bun Beng terbelalak dan seperti melotot kepada kakek itu yang tertawa dan sudah duduk bersila di
depannya, menempelkan kedua tangan pada dada Bun Beng dan berkata, "Kau kerahkan Im-kang di
punggungnya, Pendekar Siluman. Aku tahu cara mengobati pukulan Toat-beng-ci-tok dari suheng-ku yang
amat keji ini."
Suma Han sudah bersila pula di belakang Bun Beng, menempelkan tangan kirinya dan mengerahkan Imkang.
Mula-mula keadaan Bun Beng tersiksa bukan main. Hawa yang amat dingin menyerangnya dari
belakang, seolah-olah membuat seluruh darah di tubuhnya membeku dan hawa yang panas dan
mengeluarkan bau amis menyerangnya dari depan. Kadang-kadang keadaan tubuhnya seperti separuh
dibakar dan separuh direndam es, lalu kedua hawa itu berputar-putar di seluruh tubuhnya, membuat dia
hampir pingsan. Akan tetapi lambat laun terjadi hal yang aneh, kedua hawa itu seolah-olah menghentikan
pertandingan mereka, bersatu dan menimbulkan rasa hangat yang amat nyaman. Rasa nyaman ini
mendesak rasa nyeri dari dada dan leher, dan tak dapat ditahannya lagi, Bun Beng memuntahkan darah
hitam tiga kali. Baiknya dia masih teringat untuk miringkan mukanya sehingga darah hitam yang keluar dari
mulut tidak sampai mengenai tubuh kakek yang bersila di depannya.
Ternyata pengobatan yang hanya dilakukan kurang lebih dua jam itu telah berhasil baik. Kakek itu dan
Suma Han melepaskan tangan dan keduanya duduk bersila untuk memulihkan tenaga masing-masing.
Bun Beng maklum akan keadaan dirinya yang telah tertolong, maka dia tetap berlutut di depan mereka
tanpa berani bergerak menanti sampai mereka menyelesaikan pemulihan tenaga mereka yang makan
waktu kurang lebih dua jam.
Matahari telah naik tinggi ketika akhirnya kedua orang sakti itu membuka mata. Melihat betapa Bun Beng
masih berlutut di depan mereka, Suma Han diam-diam kagum sekali. Tidak disangkanya bahwa putera Si
Datuk Sesat Gak Liat ini telah menjadi seorang yang benar-benar patut dipuji. Seorang pemuda yang
tampan, gagah, dan berbudi agung, juga seorang yang ingat akan budi orang. Dia teringat akan Kwi Hong
dan memang ada niat di hatinya untuk menjodohkan keponakannya itu dengan pemuda ini. Namun dia
teringat akan ucapan Bu-tek Siauw-jin tentang bisik-bisik antara puterinya, Milana, dengan Bun Beng,
maka hatinya menjadi bimbang.
"Bangkitlah, Bun Beng. Engkau telah sembuh," katanya perlahan.
Bun Beng memberi hormat kepada mereka. "Pertolongan Ji-wi seolah-olah telah memberi nyawa baru
kepada saya, tak tahu bagaimana saya harus membalas budi yang amat besar itu."
"Ha-ha-ha-ha, untuk membalas, engkau harus menerima dan mempelajari ilmu kami berdua sekarang juga.
Kalau engkau tidak mau atau tidak bisa, kami terpaksa akan minta kembali nyawa yang kau bilang kami
berikan kepadamu tadi."
Ucapan ini hanya merupakan kelakar saja dari Si Kakek Sinting, akan tetapi Bun Beng menerima dengan
sungguh-sungguh. "Teecu sanggup menerimanya dan memenuhi syaratnya."
Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin saling pandang dan keduanya mengangguk. Mereka berdua semalam
suntuk telah berdebat tentang kebatinan, mengemukakan pegangan masing-masing. Suma Han telah
mengeluarkan ilmu-ilmunya yang berdasarkan Im dan Yang, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menandinginya
dengan Ilmu Tunggal, yaitu yang mempersatukan dua tenaga bertentangan itu sehingga menjadi satu,
tidak seperti Suma Han yang mempergunakan kedua-duanya.
Kini mereka telah merasakan sendiri betapa tenaga sinkang mereka yang berdasarkan ilmu-ilmu itu, ketika
dipergunakan untuk menyembuhkan Bun Beng ternyata dapat digabungkan menjadi satu! Biar pun tidak
saling mengutarakan isi hati dengan kata-kata, keduanya sudah maklum bahwa pemuda ini memiliki bakat
yang luar biasa, memiliki tenaga sinkang yang hebat dan agaknya hanya pemuda inilah yang sanggup
menerima gabungan ilmu mereka!
"Bun Beng, kami berdua telah sepakat untuk menurunkan inti tenaga kami kepadamu. Tentu saja
gabungan inti tenaga sakti kami itu baru akan dapat dipergunakan dengan hasil baik dalam sebuah
gerakan ilmu silat yang tinggi. Karena itu, coba kau mainkan ilmu silat tertinggi yang kau miliki."
Bun Beng masih muda, akan tetapi dia telah mempelajari bermacam ilmu silat tinggi di samping ilmu-ilmu
silat dari Siauw-lim-pai. Baginya, ilmu silat tertinggi yang pernah dipelajarinya adalah ilmu silat yang dia
‘curi’ dari tempat persembunyian Ketua Thian-liong-pang, yaitu Ilmu Silat Lo-thian-kiam-sut. Ilmu itu adalah
dunia-kangouw.blogspot.com
ilmu yang dicurinya dari Ketua Thian-liong-pang yang ternyata adalah isteri Pendekar Super Sakti ini. Kalau
sampai diketahui oleh pendekar ini, apakah tidak berbahaya baginya?
Tentu ia dianggap pencuri! Tetapi jika tidak dimainkannya, berarti ia menyembunyikan sesuatu dan
membohong kepada dua orang gurunya yang baru ini! Dia mengambil keputusan nekat. Dia tidak sengaja
mencuri! Pula, Ilmu Lo-thian-kiam-sut itu mirip dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang ia temukan di dalam
goa bersama Sepasang Pedang Iblis, dan ia mempelajarinya tanpa sengaja mencuri!
"Ilmu itu adalah ilmu pedang, akan tetapi teecu tidak mempunyai pedang," jawabnya lirih.
"Kau boleh memakai tongkatku ini!" kata Suma Han.
Bun Beng menerima tongkat itu dengan jari-jari gemetar. Betapa dia tidak akan terharu, bangga, dan
gembira hatinya? Dia diperbolehkan menggunakan senjata Pendekar Super Sakti! Setelah menerima
tongkat butut itu, dengan penuh keharuan dia mencium tongkat itu, lalu memberi hormat kepada kedua
orang itu dan mulailah dia meloncat bangun dan mainkan Ilmu Pedang Lo-thian-kiam-sut. Gerakannya
gesit dan ringan bukan main sehingga bagi pandang mata biasa, tubuhnya lenyap terbungkus gulungan
sinar yang dibentuk oleh tongkat itu. Angin yang berdesir menyambar dari gerakan tongkat membuktikan
betapa sinkang dari pemuda itu sudah amat kuat.
Suma Han dan Bu-tek Siauw-jin memandang dan melongo. Kadang-kadang mereka saling pandang,
kadang-kadang menarik napas panjang dan menggelengkan kepala saking kagumnya. Bun Beng bersilat
sebaik mungkin, dengan penuh ketekunan. Ketika selesai, dia meloncat turun dari jurus terakhir yang
dihabiskan dengan gerak meloncat tinggi sambil memutar pedang yang diwakili tongkat itu, tongkat yang
ternyata cocok sekali digunakan sebagai pedang, kemudian dengan hormat menyerahkan tongkat kembali
kepada pemiliknya. Napasnya biasa saja, hanya mukanya menjadi merah sekali karena pengerahan
tenaga yang cukup melelahkan.
"Ha-ha-ha, dan orang seperti engkau ini kuambil sebagai murid? Ha-ha-ha, aku benar-benar Siauw-jin
yang tidak memandang orang! Bocah, ilmu kepandaianmu ini, ilmu pedang aneh yang baru kau
perlihatkan, kiranya sudah cukup untuk membuat aku orang tua menjadi mati kutu!"
Bun Beng menjura, "Harap Locianpwe memaafkan teecu, tidak menertawakan teecu yang bodoh dan teecu
mohon petunjuk."
"Ahhh, aku tidak main-main. Ilmu pedangmu tadi hebat, kalau ditambah gabungan inti tenaga sakti kami...
wah... agaknya suheng-ku Cui-beng Koai-ong sendiri harus tunduk kepadamu!"
"Gak Bun Beng, dari mana kau peroleh ilmu pedang tadi?" Tiba-tiba terdengar suara Suma Han, suaranya
tegas dan pandang matanya membuat Bun Beng mengkirik karena seolah-olah dia merasa betapa sinar
mata pendekar itu menembus jantungnya!
"Maafkan, teecu mendapatkannya secara tidak sengaja, dari sebuah kitab dan ilmu ini bernama Lo-thian
Kiam-sut, hampir sama dasarnya dengan Ilmu Sam-po-cin-keng yang pernah teecu dapatkan pula dalam
sebuah goa. Akan tetapi, Ilmu Lo-thian Kiam-sut ini teecu pelajari secara sembunyi dan... dan... mencuri..."
Bu-tek Siauw-jin tertawa bergelak, namun Suma Han kecewa sekali dan dia berkata, "Mencuri? Dari
siapa?"
"Dari Ketua Thian-liong-pang."
"Heh...?!" Kedua orang sakti itu terbelalak dan bahkan Bu-tek Siauw-jin sendiri kaget karena tidak
menyangka sama sekali.
Bun Beng sudah menjatuhkan diri berlutut dan tanpa menyembunyikan sesuatu dia lalu menceritakan
semua pengalamannya sampai dia mempelajari ilmu yang luar biasa, ilmu yang oleh Nirahai sendiri tidak
dapat dimainkan itu. Mendengar ini, kembali Bu-tek Siauw-jin tertawa kagum, sedangkan Suma Han
menghela napas panjang dan berkata, "Dia tersesat, mencuri ilmu-ilmu orang lain, sedangkan ilmu tertinggi
tidak dapat dipelajarinya, bahkan terjatuh ke tangan orang lain. Ini namanya pembalasan! Gak Bun Beng,
tahukah engkau, bahwa setelah engkau memiliki Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut ini, sebetulnya engkau
terhitung sute-ku (adik seperguruanku) sendiri? Melihat dasar gerakanmu aku yakin bahwa kitab itu adalah
peninggalan Suhu Koai-lojin."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ahhhh...!" Bun Beng terbelalak penuh kaget dan kagum. "Teecu... teecu... mana berani...?"
Suma Han tersenyum. Dia merasa makin suka kepada Bun Beng. Jelas bahwa pemuda ini memiliki watak
baik, dan ternyata memiliki kepandaian yang hebat pula, hal yang tidaklah mengherankan kalau wataknya
demikian sederhana dan merendah.
"Tidak mengapalah, Bun Beng. Tidak ada bedanya apakah engkau menjadi sute-ku, ataukah muridku,
ataukah hanya sahabat saja. Apa artinya segala sebutan kosong? Sekarang yang penting, engkau harus
benar-benar mengerahkan seluruh ketekunan dan semangatmu, mencurahkan seluruh perhatian untuk
menerima gabungan inti tenaga sakti dari kami berdua, hal yang tak mungkin ditemukan oleh orang lain di
dunia ini."
Mulailah kedua orang sakti itu melatih Bun Beng. Pendekar Super Sakti menurunkan Hwi-yang Sinkang
dan Swat-im Sinkang, dua inti tenaga panas dan tenaga dingin, sedangkan Kakek Bu-tek Siauw-jin
menurunkan sinkang dari Pulau Neraka yang telah merubah warna muka semua tokoh Pulau Neraka!
Karena pada diri Bun Beng sudah terdapat tenaga sinkang yang mukjizat dari jamur-jamur berwarna yang
dimakannya ketika dia berada di dalam goa di bawah tanah tempat persembunyian Ketua Thian-liongpang,
maka Ilmu Tenaga Sakti Inti Bumi yang mukjizat dari Bu-tek Siauw-jin ini tidak mempengaruhi warna
mukanya.
Bun Beng yang amat tekun, cerdas dan memang berbakat luar biasa sekali itu, melatih diri siang malam
tanpa pernah mengaso dan hanya membutuhkan waktu tiga hari saja untuk mewarisi ilmu gabungan dari
dua orang manusia sakti itu! Melihat hasil ini, makin kagumlah Suma Han dan dia lalu memberi petunjuk
kepada Bun Beng bagaimana untuk memanfaatkan Ilmu Pedang Lo-thian Kiam-sut itu sebagai ilmu tangan
kosong atau dengan menggunakan senjata lain. Biar pun Suma Han sendiri tidak pernah mempelajari ilmu
ini, namun karena dasarnya sama dengan ilmu-ilmu yang ia pelajari dari Pulau Es, peninggalan Koai-lojin,
ditambah pengetahuannya yang luas akan ilmu silat, dia dapat memberi petunjuk yang amat berharga itu.
Pada hari ke empat, saat Bun Beng sedang tekun berlatih silat dengan tangan kosong, menggunakan
tenaga sakti sehingga terdengar suara bercuitan akibat menyambarnya hawa pukulannya yang
mengerikan, Suma Han yang berdiri agak jauh bersama Bu-tek Siauw-jin, berkata,
"Dia telah memperoleh kemajuan yang luar biasa."
"Ha-ha-ha, tidak mungkin ada lawannya lagi!" Bu-tek Siauw-jin mengelus jenggotnya, menyesal mengapa
pemuda sehebat itu bukan menjadi murid tunggalnya. Dia pun telah mengajarkan Tenaga Sakti Inti Bumi
kepada Kwi Hong, namun dara itu tidak dapat menggabungkannya dengan dua tenaga Im-yang dari
pamannya, juga bakat dara itu kalah jauh kalau dibandingkan dengan Bun Beng.
"Bu-tek Siauw-jin, sekarang aku hendak pergi."
Kakek itu menoleh ke kiri, memandang wajah pendekar besar yang kini tidaklah keruh dan berduka lagi,
bahkan dari sepasang mata yang tajam luar biasa membuat dia tidak berani lama-lama menentangnya itu
keluar sinar yang penuh harapan dan gairah hidup yang besar!
"Ke mana kalau aku boleh bertanya? Siapa tahu, kita dapat saling berjumpa pula. Perkenalanku denganmu
ini amat menyenangkan dan amat menguntungkan, dan mau rasanya aku menganggap kau sebagai guru
karena engkaulah yang telah membuka mata batinku ketika menghadapi teka-teki Maharya, Suma-taihiap."
Suma Han menarik napas panjang. "Hanya kebetulan saja, dan ternyata sifatmu yang polos sederhana itu
malah lebih mudah menerima penerangan kebenaran sehingga aku tertinggal jauh. Telah kukatakan,
ucapan pemuda yang menjadi murid kita itulah yang membuat aku berterima kasih sekali, yang membuka
mataku, menyadarkan aku betapa tololnya selama belasan tahun ini aku telah menempuh hidup. Karena
ucapannya itulah aku harus segera pergi menyusul mereka."
"Lulu dan Puteri Nirahai?" kakek itu bertanya.
Suma Han mengangguk. "Persoalan yang rumit dan sukar takkan dapat dipecahkan oleh pikiran yang
penuh dengan pengetahuan lama, oleh pikiran yang hanya dapat melamun dan merasa diri terlalu pandai,
terlalu bersih. Hanya pikiran yang sederhana, tidak melayang-layang di angkasa khayal, yang dapat
menghadapi kenyataan saja yang akan dapat menyelami dan memecahkan serta mengatasi persoalan,
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti yang diucapkan Bun Beng empat hari yang lalu itu. Aku hendak menyusul mereka sekarang juga.
Harap kau orang tua yang baik suka mencari Kwi Hong dan suruh dia kembali ke Pulau Es yang akan
kubangun kembali bersama mereka."
Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk dan tertawa. "Engkau masih belum setua aku, Suma-taihiap,
segalanya masih belum terlambat. Selamat berjuang dan sampai jumpa pula. Ingin aku bertemu kembali
denganmu kelak, di Pulau Es, di samping mereka yang kau cinta."
Akan tetapi tubuh Suma Han telah berkelebat lenyap dari depan kakek itu yang masih tertawa-tawa dan
mengangguk-angguk. Sudah puluhan tahun kakek ini tidak pernah mempedulikan dunia ramai, hidup
seperti orang sinting dan tidak sudi mempedulikan dirinya sendiri, apa lagi orang lain. Kini bertemu dengan
Suma Han, dia tertarik sekali, merasa suka sekali dan kagum sehingga perasaan ini membangkitkan gairah
hidupnya kembali.
Bun Beng berhenti berlatih, cepat menghampiri Bu-tek Siauw-jin dan berkata,
"Kemanakah perginya Suma-taihiap tadi, Locianpwe?"
Biar pun dia tadi berlatih tekun, namun pendengarannya cukup tajam untuk mendengar suara
berkelebatnya tubuh pendekar itu. Dia tetap menyebut Locianpwe kepada Bu-tek Siauw-jin dan taihiap
kepada Suma Han, karena kedua orang sakti ini, yang hanya menurunkan tenaga inti mereka, tidak mau
dianggap guru.
"Dia sudah pergi menyusul kedua orang yang dicintanya. Ha-ha-ha, sungguh kasihan sekali dia, merana
selama belasan tahun. Dengan bekal pengertiannya yang baru tentang hidup dan pandangan hidup, tentu
dia akan dapat berbahagia bersama mereka itu. Sekarang kita pun harus pergi, Bun Beng."
"Ke mana, Locianpwe?"
"Kau bantu aku mencari Kwi Hong ke kota raja. Entah ke mana perginya bocah nakal itu!"
Menurutkan kata hatinya, Bun Beng lebih ingin mencari Milana, akan tetapi karena dia pun tidak tahu ke
mana perginya Milana, dan kemungkinan besar masih berada di kota raja, maka kebetulan sekali kalau
kakek ini hendak mengajaknya ke kota raja. Tentu saja dia tidak berani menolak setelah mendengar
penuturan kakek itu bahwa Kwi Hong adalah muridnya!
Berangkatlah kakek dan pemuda itu dengan gerakan cepat sekali, menuju ke kota raja. Dengan bekal
kepandaiannya yang hebat dengan mudah Bun Beng bisa mengimbangi gerakan kaki Bu-tek Siauw-jin
yang amat cepat larinya.
Akan tetapi, ketika Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin tiba di kota raja, keadaan di sana sudah sepi. Para
pimpinan pemberontak yang dipimpin oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Koksu yang memberontak itu,
telah melarikan diri setelah komplotan yang hendak membunuh Kaisar digagalkan oleh Lulu dan Nirahai.
Kini bahkan kedua orang wanita perkasa itu diserahi pimpinan barisan urtuk melakukan pengejaran dan
membasmi pasukan-pasukan pemberontak yang sudah dikumpulkan di perbatasan utara.
Bu-tek Siauw-jin yang ugal-ugalan itu masih tidak mau terima. Dia menyelundup ke dalam istana mencaricari,
bahkan memasuki bekas istana Koksu, memeriksa bekas kamar tahanan kalau-kalau murid-nya
masih ‘terselip’ di situ, namun sia-sia belaka karena Kwi Hong tidak dapat ditemukan, bahkan tidak ada
seorang pun yang tahu ke mana perginya gadis itu.
Kesempatan itu dipergunakan pula oleh Bun Beng untuk mencari dan menyelidiki tentang Milana, dara
yang dicintanya. Akan tetapi juga tidak ada orang yang dapat menerangkan ke mana adanya dara itu,
bahkan tidak ada yang mengenalnya. Sebaliknya, hampir semua orang tahu bahwa kini Puteri Nirahai telah
kembali ke istana, dan bahwa kini puteri perkasa itu memimpin pasukan besar untuk mengejar dan
membasmi pemberontak. Mendengar ini, Bun Beng menduga bahwa tentu dara itu ikut bersama ibunya
untuk membantu. Maka dia pun mengajak Bu-tek Siauw-jin untuk melakukan pengejaran ke utara.
"Teecu tahu di mana berkumpulnya kaki tangan pemberontak Koksu itu. Siapa tahu Kwi Hong juga ikut ke
sana untuk menonton keramaian membasmi pemberontak," kata Bun Beng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu menggeleng kepala. "Celaka tiga belas Si Koksu dan Si Maharya gila! Ulah mereka
mendatangkan perang dan bunuh-membunuh, saling menyembelih antara manusia itu kau katakan
tontonan? Benar-benar dunia sudah tua, ataukah manusianya yang tolol semua? Hayolah!" Mereka
kembali meninggalkan kota raja menuju ke utara.
Apakah yang telah terjadi dengan Milana? Seperti telah diceritakan di bagian depan, dara itu tidak ikut
bersama dengan ibunya untuk mengejar pemberontak ke utara, melainkan ditinggalkan di kota raja.
Tadinya Puteri Nirahai menyuruh puterinya itu mencari Pendekar Super Sakti untuk menyerahkan kembali
Hok-mo-kiam, akan tetapi ketika dia menerima tugas berat dari Kaisar untuk membasmi pemberontak yang
dia tahu dipimpin oleh banyak orang sakti, terpaksa dia meminjam Hok-mo-kiam dari tangan anaknya.
"Biarlah pedang ini kupinjam lebih dulu untuk menghadapi lawan-lawan tangguh itu," pesannya kepada
Milana. "Engkau tunggu saja di sini, kalau bertemu dengan ayahmu, ceritakan semuanya dan minta
bantuannya untuk menghadapi para pemberontak yang lihai. Juga, kalau engkau bertemu dengan Gak Bun
Beng lagi, suruh dia membantu kami di utara. Kami membutuhkan bantuan banyak orang pandai untuk
menghadapi para pimpinan pemberontak yang merupakan gabungan orang-orang sakti dari Mongol,
Nepal, dan orang Han sendiri."
Setelah menjadi seorang panglima kembali, kini berubah sikap Nirahai, yang terpenting baginya pada saat
itu adalah tugasnya. Maka sama sekali terlupalah urusan pribadi, sehingga dia tidak malu-malu untuk
memesan Milana minta bantuan Suma Han. Semua demi tugas kerajaan, dan memang beginilah sifat
seorang panglima yang baik.
Akan tetapi, nasib buruk menimpa diri Milana. Hati dara ini sudah diliputi kegembiraan besar, bukan hanya
kegembiraan kalau dia teringat kepada Gak Bun Beng, pemuda yang dicintanya dan yang juga
mencintanya, akan tetapi juga karena adanya harapan yang timbul di hatinya tentang ayah dan bundanya.
Kalau mereka itu dapat bersatu kembali, alangkah bahagianya hidup ini, apa lagi di sana ada... Bun Beng!
Dua hari Milana menanti di kota raja. Sebagai seorang cucu Sri Baginda Kaisar yang diakui, apa lagi
sebagai puteri dari Panglima Puteri Nirahai, dia amat dihormat dan mendapatkan sebuah kamar yang
indah di lingkungan istana, bagian puteri. Namun, darah petualangannya sebagai seorang bekas puteri
Ketua Thian-liong-pang, yang sudah biasa bebas merdeka di alam terbuka, tentu saja Milana tidak dapat
tahan lama tinggal di lingkungan tertutup itu. Segera dia telah mengenakan pakaian ringkasnya lagi
sebagai seorang pendekar, dan melayang keluar dari lingkungan istana bagian puteri itu untuk ke luar dan
melakukan penyelidikan kalau-kalau dapat berjumpa dengan ayahnya atau dengan Bun Beng.
Akan tetapi, bukan Pendekar Super Sakti atau Gak Bun Beng yang dijumpai ketika pada sore hari itu dia
menyelinap keluar dari istana, melainkan seorang yang amat dibenci dan ditakutinya. Wan Keng In! Baru
saja Milana meloncat turun dari atas pagar tembok, tiba-tiba tampak dua sosok bayangan berkelebat dan
tahu-tahu pemuda tampan itu berdiri dengan senyum mengejek di depannya, dan di sebelah pemuda itu
berdiri seorang kakek yang amat mengerikan, kakek kurus kering seperti mayat hidup, yang matanya
seperti mata boneka tidak bergerak sama sekali. Kakek ini bukan lain adalah Cui-beng Koai-ong!
"Sayur di gunung garam di laut, kalau sudah jodoh pasti akan bertemu menjadi satu, menjadi masakan
yang lezat! Ha-ha-ha-ha, adik Milana yang manis, kekasihku yang cantik, calon isteriku tercinta. Dengan
penuh rindu aku datang hendak menjemputmu di dalam istana, kiranya engkau telah tidak sabar lagi dan
keluar menyambutku. Terima kasih!"
"Manusia iblis! Hayo pergi dari sini! Kalau tidak, akan kukerahkan semua pengawal untuk membunuhmu!"
Milana mengancam, namun jantungnya berdebar tegang dan penuh rasa ngeri.
"Hemm, sudah kudengar berita bahwa ibumu, Ketua Thian-liong-pang itu, ternyata adalah Puteri Nirahai
dan kini menjadi panglima. Kebetulan sekali, lebih cocok kau menjadi isteriku, engkau cucu Kaisar, dan
aku... calon raja di Pulau Neraka. Marilah manis." Tangan Wan Keng In meraih hendak menangkap
pinggang ramping dara itu.
Tentu saja Milana tidak sudi membiarkan tubuhnya dipeluk. Dia mencelat ke kanan sambil menggerakkan
tangan kiri yang tadi diam-diam sudah mempersiapkan segenggam Siang-tok-ciam (Jarum Racun Wangi).
Sinar merah menyambar ke arah dada dan perut Wan Keng In dan agaknya pemuda ini tidak tahu bahwa
dirinya diserang, karena dia tidak mengelak, tidak pula menangkis. Hal ini menggirangkan hati Milana
karena dia merasa yakin bahwa tentu akan mengenai sasaran dan merobohkan lawannya. Kegirangannya
menjadikan kelengahan. Dara ini menjerit ketika pemuda ini melanjutkan tubrukannya, tidak peduli sama
dunia-kangouw.blogspot.com
sekali akan jarum-jarum yang menembus pakaian mengenai dada dan perutnya, tahu-tahu pinggang
Milana telah dipeluknya dan di lain saat tubuh Milana telah menjadi lemas karena ditotoknya!
Sambil tertawa, Wan Keng In mencabut jarum-jarum yang menancap di bajunya, sama sekali tidak melukai
kulitnya yang kebal, kemudian memondong tubuh Milana dan dibawanya lari bersama gurunya yang sejak
tadi diam saja tidak mengeluarkan suara.
"Haiii! Berhenti...!" Dua orang penjaga istana, pengawal yang menjaga di luar tembok, datang berlari
setelah mendengar teriakan Milana. Ketika mereka melihat siapa yang dipondong dan dibawa lari, mereka
terkejut dan marah sekali. Ada penjahat menculik cucu Kaisar yang baru dan cantik, puteri dari Panglima
Nirahai!
Mereka berdua melupakan keadaan bahwa orang yang dapat menculik puteri itu tentu memiliki ilmu
kepandaian hebat. Dengan tombak di tangan mereka berteriak dan mengejar. Wan Keng In dan gurunya
belum lari jauh. Karena dua orang pengawal itu melihat Si Kakek berlari di sebelah belakang, otomatis
mereka mengerjakan tombak mereka, menusuk ke punggung kakek itu yang agaknya tidak mempedulikan
sama sekali.
"Crot! Crot!"
Dua batang tombak itu menusuk ke punggung, agaknya menembus ke dalam, akan tetapi kakek itu tidak
roboh, bahkan tiba-tiba tombak itu meluncur ke belakang seperti anak panah, gagang tombak menembus
dada dua orang pengawal itu yang roboh seketika, berkelojotan dengan sinar mata penuh keheranan dan
kekagetan. Mereka mati dalam keadaan terheran-heran melihat orang yang telah mereka tusuk dan
tembus punggungnya itu tidak apa-apa, malah mereka sendiri yang menjadi korban senjata masingmasing.
"Jahanam, lepaskan aku!" Milana meronta-ronta, akan tetapi Keng In hanya tertawa-tawa saja, seolah-olah
dia merasa senang sekali dara itu meronta dan menggeliat dalam pondongannya, membuat dia merasa
betul bahwa yang dipondongnya adalah benar-benar dara yang dicintanya, yang membuatnya tergila-gila,
dara yang hidupnya dan yang selamanya akan menjadi sisihannya, menjadi permaisurinya di Pulau
Neraka!
Beberapa orang pengawal terkejut sekali menyaksikan peristiwa itu dari jauh. Mereka segera
membunyikan tanda bahaya, sebagian melakukan pengejaran yang sia-sia, sebagian lagi segera
melaporkan kepada panglima pengawal di dalam istana. Panglima itu terkejut, terpaksa dengan gemetar
melaporkan penculikan atas diri Puteri Milana ini kepada Kaisar.
Tentu saja Kaisar menjadi marah. Baru saja dia mendapatkan kembali puterinya bersama cucunya, dan
kini selagi puterinya itu melaksanakan tugas berat membasmi pemberontak, cucunya diculik orang!
Dengan suara keras Kaisar memerintahkan kepada panglimanya untuk mengerahkan pasukannya
melakukan pengejaran dan membebaskan kembali cucunya. Akan tetapi sebagai Kaisar yang
berpengalaman dia pun maklum bahwa penculik itu tentulah bukan orang biasa, dan sewaktu puterinya
yang lihai, dan juga Lulu, pergi memimpin pasukan, kiranya di istana tidak ada orang yang boleh
diandalkan memiliki kepandaian tinggi menghadapi penculik itu. Maka segera ditambahkannya,
"Cari Pendekar Super Sakti, Tocu Pulau Es. Kalau dia bisa mengembalikan cucu kami, akan kami
ampunkan semua dosanya. Umumkan hari ini!"
Panglima mundur dan sibuk melaksanakan perintah Kaisar itu. Akan tetapi mana mungkin mengejar
penculik-penculik yang berkepandaian setinggi yang dimiliki Wan Keng In dan gurunya. Sia-sia saja para
pasukan pengawal mencari ke sana ke mari. Juga sia-sia saja mereka mencari Pendekar Super Sakti,
karena ketika pendekar ini selesai melatih Bun Beng dan datang ke kota raja, dia mendengar akan tugas
membasmi pemberotak yang dilakukan Nirahai dan Lulu, maka dia bergegas menyusul ke utara!
Demikianlah, tentu saja sia-sia Bun Beng mencari Milana, dan peristiwa itu memang dirahasiakan oleh
Kaisar yang diam-diam berusaha keras untuk dapat membebaskan cucunya kembali dari tangan para
penculiknya agar tidak sampai terdengar oleh Puteri Nirahai, puterinya yang keras hati ini. Kalau sampai
terdengar oleh Puteri Nirahai, siapa tahu akan akibatnya. Mungkin saja puterinya itu akan meninggalkan
tugasnya membasmi pemberontak.....
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan ke manakah perginya Giam Kwi Hong? Telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong berhasil keluar
dari kamar tahanan bersama gurunya yang baru, Bu-tek Siauw-jin. Setelah mempelajari ilmu, terutama
sekali setelah memperoleh tenaga sakti Inti Bumi ditambah dengan pedang Li-mo-kiam di tangannya, Kwi
Hong sekarang menjadi seorang yang luar biasa lihainya. Namun sayang sekali, pengaruh tenaga sakti liar
dari Pulau Neraka itu mempengaruhi pula wataknya, dan agaknya pengaruh ini datang dari tenaga sakti itu
dan dari pedang Li-mo-kiam di tangannya, karena memang pedang itu bukanlah pedang sembarangan,
melainkan sebuah di antara Sepasang Pedang Iblis yang telah menghirup banyak darah manusia tak
berdosa, dan dibuatnya pun secara mukjizat dan kejam!
Setelah berhasil keluar dari kepungan para jagoan yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan Maharya yang
lihai, Kwi Hong menurut petunjuk suhu-nya, pergi hendak mencari pamannya, Pendekar Super Sakti.
Namun usahanya tidak berhasil, bahkan dia mendengar akan keributan di istana dan betapa Koksu
berhasil melarikan diri keluar dari kota raja. Kwi Hong yang masih merasa penasaran itu cepat mengejar
pula keluar dari kota raja dan dia berhasil mendapatkan jejak Pangeran Yauw Ki Ong, pangeran Mancu
yang berusaha memberontak dibantu Koksu. Pangeran ini sedang melarikan diri melalui pintu gerbang kota
raja sebelah utara, dikawal oleh Koksu, Maharya dan beberapa orang panglima yang setia kepada mereka,
termasuk beberapa orang tokoh Mongol dan Nepal.
Hati dara ini tadi belum merasa puas. Ketika dia dikepung oleh Koksu, Maharya dan lain-lain bersama
gurunya, dia mengamuk dan merobohkan banyak perwira pengawal kaki tangan Koksu dengan
pedangnya. Dia merasa gembira sekali melihat darah muncrat setiap kali pedang berkelebat, maka dia
agak menyesal dan kecewa ketika gurunya menyuruhnya melarikan diri dari kepungan. Dia amat
membenci Koksu dan Maharya, yang dianggap musuh-musuh besar pamannya. Kini, selagi dia sendirian,
tidak ada gurunya yang melarangnya, kebetulan sekali dia dapat menyusul rombongan musuh ini, tentu
saja dia tidak mau membuang kesempatan baik untuk memuaskan hati dan pedangnya!
Rombongan Pangeran Yauw Ki Ong melakukan perjalanan yang penuh kelesuan, sungguh pun dengan
tergesa-gesa. Mereka telah mengalami pukulan hebat, dan hanya karena di situ ada Koksu yang pandai
menghiburnya dengan janji-janji muluk bahwa pasukan mereka akan dikerahkan untuk langsung
memerangi Kaisar, maka Pangeran Yauw tidak putus asa. Pangeran ini telah kehilangan segala
kemewahan hidup dan kemuliaan, bahkan tidak sempat membawa pergi selir-selirnya yang muda-muda,
harta bendanya yang berlimpah, dan kini menjadi seorang pelarian yang harus melakukan perjalanan
melarikan diri tanpa berhenti selama dua hari dua malam!
Pada malam ketiga, Pangeran Yauw setengah memaksa Koksu untuk menghentikan perjalanan. Dia sudah
merasa terlalu lelah, bahkan isterinya sudah beberapa kali jatuh pingsan saking kelelahan. Juga roda-roda
kereta perlu dibetulkan karena hampir copot. Melihat bahwa pengejaran tidak ada, atau mungkin juga
masih jauh, dan tempat penjagaan pasukan-pasukan mereka yang pertama sudah dekat, Koksu tidak
keberatan dan beristirahatlah mereka di sebuah dusun. Penduduk dusun yang belum tahu akan keributan
yang terjadi di kota raja, menyambut rombongan ini penuh penghormatan. Terhibur juga hati Pangeran
Yauw dan rombongannya karena dapat melepaskan lelah malam hari itu, dan pada keesokan harinya,
pagi-pagi sekali perjalanan dilanjutkan dalam keadaan tubuh mereka lebih segar.
Akan tetapi, baru saja rombongan keluar dari dusun dan tiba di pinggir sebuah hutan, tiba-tiba terdengar
jerit-jerit mengerikan dan tiga orang pengawal yang menunggang kuda paling depan roboh dengan tubuh
hampir putus menjadi dua potong terbabat kilatan pedang di tangan seorang dara yang cantik namun
sepak terjangnya ganas bukan main. Koksu dan Maharya bersama para panglima pembantu mereka cepat
melarikan kuda ke depan dan di sana mereka melihat seorang gadis dengan sebatang pedang yang
berkilat sinarnya menyilaukan mata di tangan, berdiri dengan sikap gagah penuh tantangan. Dara itu bukan
lain adalah Giam Kwi Hong! Melihat dara itu, terkejut hati Koksu dan Maharya, karena mereka menyangka
bahwa munculnya dara perkasa itu tentulah bersama kakek sinting yang mereka takuti, Bu-tek Siauw-jin!
Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara melengking tertawa penuh ejekan yang sengaja dia keluarkan
untuk memancing keluar Bu-tek Siauw-jin, "Siauw-jin manusia rendah dan hina, tua bangka cebol mau
mampus, keluarlah jangan bersembunyi di belakang celana murid perempuanmu!"
Sepasang mata Kwi Hong mengeluarkan sinar berapi karena marahnya mendengar ucapan menghina
Maharya yang ditujukan kepada gurunya. "Maharya pendeta iblis!" pedangnya menuding ke depan dan
sinar berkilat menyilaukan mata keluar dari ujung pedang itu, membuat semua orang bergidik ngeri
melihatnya. "Suhu tidak berada di sini, tidak perlu engkau membuka mulut mengeluarkan hawa busuk
memaki Suhu! Aku datang sendiri untuk membunuh engkau yang menghina Suhu, dan membunuh Koksu
dunia-kangouw.blogspot.com
yang telah membasmi Pulau Es. Kalian berdua adalah manusia-manusia berakhlak bejat, dan aku mewakili
pamanku untuk membasmi kalian!"
Pangeran Yauw Ki Ong menjenguk keluar dari keretanya. Melihat gadis itu, jantungnya berdebar penuh
ketegangan, juga penuh gairah. Gadis itu luar biasa cantiknya! Dan dia telah kehilangan begitu banyak selir
muda yang cantik. Kalau bisa mendapatkan gadis ini, terhiburlah dia oleh kehilangan semua selirnya itu.
"Seng-jin, siapakah dia?" bisiknya kepada Koksu setelah dia turun dan mendekati.
"Dia bernama Giam Kwi Hong, keponakan Majikan Pulau Es dan kini agaknya menjadi murid Bu-tek Siauwjin,
setan bangkotan Pulau Neraka. Dia lihai, terutama pedangnya, akan tetapi harap Ong-ya tidak perlu
khawatir. Tanpa gurunya, mudah bagi saya untuk menundukkan dan membunuhnya."
"Jangan dibunuh. Kalau kita dapat menariknya sebagai sekutu, bukankah baik sekali? Tentu membuka
kemungkinan untuk menarik pamannya, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es, untuk membantu kita pula
menghadapi Kaisar."
Sepasang mata Koksu itu bersinar-sinar dan sekaligus dia dapat memikirkan akal yang amat baik, sesuai
dengan usul pangeran yang dianggapnya tepat sekali ini. Cepat dia mengeluarkan ucapan dalam bahasa
India yang ditujukan kepada paman gurunya, Maharya. Pendeta itu mengangguk-angguk, tertawa dan
melangkah maju bersama Koksu menghampiri Kwi Hong.
"Bagus, majulah kalian berdua, agar mudah bagiku untuk membunuh kalian sekaligus dengan pedangku!"
Kwi Hong membentak, siap dengan pedangnya.
"Sabarlah, Nona. Kami hendak membicarakan urusan penting dengan Nona. Sabarlah, sebab
sesungguhnya di antara kita tidak ada permusuhan sesuatu." Tiba-tiba Maharya mengeluarkan kata-kata
dengan lambat namun jelas, keluarnya satu-satu dan setiap ucapan mengeluarkan getaran hebat dari ilmu
hitamnya untuk mempengaruhi gadis itu.
Gelombang getaran hebat menyambar ke arah Kwi Hong dan terasa benar oleh dara ini, membuatnya
agak pening dan tubuhnya bergoyang-goyang. Akan tetapi, dengan pengerahan sinkang-nya dia dapat
berdiri tegak kembali dan memandang dengan mata penuh kemarahan. Akan tetapi sebelum dia sempat
menjawab, terdengar suara Koksu lemah lembut,
"Nona, harap maafkan kalau kami pernah menyerangmu karena Nona berada bersama dengan Bu-tek
Siauw-jin. Setelah kami mengetahui bahwa Nona bukan menyeberang kepada Pulau Neraka, melainkan
masih keponakan Majikan Pulau Es, maka sadarlah kami bahwa Nona bukanlah musuh, melainkan teman
senasib dan seperjuangan dengan kami."
"Tidak perlu mengeluarkan kata-kata membujuk yang kosong!" Kwi Hong masih dapat mempertahankan
diri terhadap getaran yang terus dikerahkan oleh Maharya untuk mempengaruhi dirinya dan pikirannya.
"Memang aku keponakan Majikan Pulau Es, dan aku tidak akan pernah lupa betapa kalian memimpin
pasukan menghancurkan Pulau Es, membunuh banyak orang kami, bahkan telah menawanku dengan akal
jahat!"
"Aihhh, harap Nona jangan terburu nafsu. Pada waktu itu kami hanyalah petugas-petugas saja dari Kaisar.
Kaisar yang memusuhi Pulau Es. Kaisar membenci Pendekar Siluman pamanmu itu karena pamanmu
pernah mencemarkan nama baik kerajaan. Kami hanya ditugaskan untuk menyerang Pulau Es. Kalau mau
bicara tentang biang keladinya, hanyalah Kaisar sendiri yang bertanggung jawab! Kami sudah merasa
menyesal sekali mengapa dahulu kami menurut saja akan perintah Kaisar lalim itu! Karena kelalimannya
maka kami memberontak! Kita semua telah dibikin sakit hati oleh Kaisar lalim itu, Nona. Karena itu, apa
perlunya antara kita bermusuhan sendiri, sedangkan kita semua dikejar-kejar oleh pasukan Kaisar yang
dipimpin oleh Majikan Pulau Neraka dan oleh Ketua Thian-liong-pang? Mereka menggunakan kesempatan
ini untuk merangkul Kaisar, untuk menghancurkan kita, ya, kita, karena Pulau Es menjadi musuh besar
mereka!"
Hati Kwi Hong mulai tergerak, sebagian karena ucapan-ucapan Koksu, tetapi terutama sekali oleh
gelombang getaran ilmu hitam Maharya yang mukjizat. Dia menjadi ragu-ragu sekali. "Hemmm...
begitukah? Paman memang tidak pernah mau dekat dengan kerajaan..."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tentu saja. Pamanmu juga seorang pelarian, seperti kami. Dari pada antara kita yang senasib ini terjadi
permusuhan, bukankah jauh lebih baik jika kita bersatu menghadapi Kaisar lalim dan membalas dendam
kita bersama?"
Pengaruh ilmu sihir yang dikerahkan oleh Maharya telah melumpuhkan semua daya tahan Kwi Hong, dan
kini dia mendengarkan ucapan Koksu dengan penuh perhatian, alisnya berkerut dan tangannya yang
memegang pedang Li-mo-kiam tidak menegang lagi. Kemudian dia mengangguk-angguk dan berkata,
masih agak meragu,
"Mana mungkin kita melawan pasukan pemerintah?"
"Ha-ha!" Maharya kini berkata dengan suaranya yang menggetar. "Jangan Nona ragu-ragu, karena kami
telah membuat persiapan. Marilah Nona ikut bersama kami dan menyaksikan sendiri persiapan kami
dengan pasukan kami yang amat kuat. Kalau Nona membantu kami, apa lagi kalau kita bersama dapat
bergabung dengan Majikan Pulau Es, apa sukarnya menghancurkan kekuasaan Kaisar lalim itu?"
Kwi Hong teringat. Pamannya menjadi pelarian, bersembunyi dan mengasingkan diri di Pulau Es, bahkan
kemudian pulau itu dihancurkan oleh pemerintah. Memang harus dia akui bahwa pemerintah telah
memusuhi pamannya dan telah melakukan hal-hal yang menyakitkan batin.
"Baiklah," dia menyarungkan pedang Li-mo-kiam. "Aku suka bekerja sama dengan kalian, untuk
menghukum Kaisar lalim!"
Pangeran Yauw Ki Ong segera maju dan memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan ke depan
dada. "Kami merasa berterima kasih, bersyukur, dan bergirang hati sekali mendengar keputusan Lihiap
(Pendekar Wanita) yang bijaksana. Selamat datang dan selamat berjuang bersama-sama, Lihiap.
Percayalah, kami Pangeran Yauw Ki Ong yang tidak sudi menyaksikan kelaliman Paman Kaisar menindas
rakyat. Setelah kami berhasil menduduki singasana, tidak akan pernah dapat melupakan jasa Lihiap yang
amat berharga ini!" Ucapan itu dikeluarkan dengan sikap halus dan sopan, disertai pandang mata kagum
dan senyum menggerakkan kumis tipis pangeran itu yang dimaksudkan untuk menundukkan hati perawan
cantik perkasa itu. Namun, Kwi Hong hanya balas menghormat dan seujung rambut sekali pun tidak
pernah merasa tertarik kepada aksi Si Pangeran ini.
Seekor kuda yang terpilih disediakan untuk Kwi Hong dan tak lama kemudian, dara ini telah menunggang
kuda di antara rombongan itu, menjadi sekutu mereka dan bersama-sama mereka lalu melanjutkan
perjalanan menuju ke utara di mana terdapat gabungan pasukan anak buah Koksu, orang-orang Nepal dan
orang-orang Mongol.
Demikianlah, tentu saja sia-sia bagi Bu-tek Siauw-jin untuk mencari muridnya itu di kota raja. Dia dan Bun
Beng hanya menduga bahwa karena di utara ada ‘keramaian’, yaitu pengejaran yang dilakukan pasukanpasukan
pemerintah di bawah pimpinan Puteri Nirahai terhadap para pemberontak, agaknya Kwi Hong pun
tentu akan menonton keramaian ke sana. Dugaan ini membuat keduanya tidak betah tinggal terlalu lama di
kota raja dan segera mereka pun melakukan perjalanan cepat menyusul ke utara. Di sepanjang perjalanan,
tiada hentinya Bun Beng memperdalam ilmunya yang baru, terutama sekali permainan Ilmu Silat Pedang
Lo-thian Kiam-sut yang dilakukan dengan tangan kosong dengan pengerahan tenaga gabungan yang dia
latih dari Pendekar Super Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin.
Rombongan yang diikuti Kwi Hong itu setelah tiba di Tembok Besar di sebelah utara Peking, lalu menyusuri
sepanjang tembok yang besar dan panjang itu menuju ke timur. Kiranya pasukan gabungan para
pemberontak itu bersembunyi di dekat gunung-gunung dan jurang-jurang yang amat curam. Memang
tempat ini amat tersembunyi dan juga liar sehingga pasukan penjaga kerajaan pun hanya beberapa hari
sekali saja meronda di bagian ini. Akan tetapi pada waktu itu, semua pasukan di sekitar daerah ini yang
melakukan penjagaan di tapal batas Tembok Besar adalah pasukan anak buah Koksu yang memang
sudah diatur sebelumnya. Karena ini pula maka mudah bagi orang-orang Nepal dan Mongol untuk
menyelundup masuk melalui Tembok Besar di mana terjaga oleh kaki tangan Koksu sendiri.
Di sekitar Tembok Besar di lembah Sungai Luan itu telah dibangun pondok-pondok darurat yang dijadikan
markas oleh pasukan gabungan pemberontak ini. Bahkan para jagoan yang tadinya menanti di sebelah
utara kota raja, di daerah sumber minyak di mana Bun Beng pernah mengamuk, setelah usaha mereka
membunuh Kaisar gagal, sisa para jagoan ini pun sudah melarikan diri dan berkumpul menjadi satu di
lembah Sungai Luan ini, untuk memperkuat pasukan pemberontak. Kekuatan mereka terdiri dari kurang
dunia-kangouw.blogspot.com
lebih lima ratus orang, dan merupakan gabungan pasukan Mongol, Nepal dan pasukan pengawal Koksu
yang rata-rata merupakan prajurit-prajurit pilihan.
Pangeran Yauw Ki Ong yang tergila-gila oleh kecantikan Kwi Hong, bersikap amat manis terhadap nona
ini. Pangeran yang sudah banyak pengalaman dengan usianya yang mendekati empat puluh tahun itu tidak
mau melakukan tindakan yang tergesa-gesa dan sembrono terhadap Kwi Hong karena dia maklum bahwa
nona ini bukan seorang wanita sembarangan. Dia ingin menguasai tubuh Kwi Hong, akan tetapi bukan
hanya tubuhnya yang menggairahkan dan wajahnya yang cantik saja, juga terutama sekali ilmu
kepandaiannya yang tinggi.
Kalau dia dapat meraih dara ini menjadi selirnya yang tercinta, maka dia sekaligus mendapatkan seorang
penghibur yang cantik jelita dan seorang pengawal pribadi yang boleh diandalkan! Dia maklum bahwa
dengan bantuan Koksu dan Maharya, setelah dara ini dapat dibujuk bergabung, dengan mudah dia dapat
menggunakan kekerasan atau dengan pengaruh ilmu sihir Maharya untuk menggagahi tubuh dara ini
secara paksa. Namun hal ini sama sekali tidak dikehendakinya.
Setelah tiba di markas mereka yang berada di lembah Sungai Luan, di atas puncak Pegunungan Merak
Merah, rombongan ini beristirahat. Pada keesokan harinya mereka berkumpul, yaitu Pangeran Yauw,
Koksu, Maharya, Thian Tok Lama, Kwi Hong, dan para panglima tinggi, untuk mengatur siasat menghadapi
pemerintah yang ingin mereka gulingkan. Akhirnya diambil keputusan untuk selain melakukan penjagaan
ketat, juga untuk mengirim utusan mata-mata dan para penyelidik untuk mengetahui gerak-gerik musuh di
selatan.
Selesai berunding, Pangeran Yauw mengajak Kwi Hong untuk berburu di bawah puncak dengan pasukan
pengawal.
"Lihiap tentu belum mengenal daerah ini," katanya manis. "Di sini banyak sekali terdapat rusa kesturi yang
mempunyai dedes yang amat harum baunya."
Kwi Hong tertarik sekali. "Pangeran, apakah dedes itu?"
Sang Pangeran tersenyum penuh gaya. Sambil menggerak-gerakkan tangan untuk menimbulkan kesan
lebih mendalam, dia menjawab, "Dedes adalah semacam peluh yang keluar dari tubuh belakang rusa
kesturi, dan merupakan bahan wangi-wangian yang amat berharga dan sukar dicari bandingnya dalam hal
keharumannya, dan tidak sembarang waktu seekor rusa kesturi mengeluarkan peluh dedes ini. Peluh ini
hanya keluar di waktu seekor rusa kesturi datang birahinya dan keluarnya dedes yang menyiarkan bau
harum itu adalah daya penarik untuk mengundang seekor lawan kelaminnya untuk... hemmm... untuk
bermain cinta."
Biar pun pangeran itu sudah bicara dengan hati-hati sekali, namun tetap saja wajah Kwi Hong menjadi
merah sekali mendengar penuturan itu. Sejenak Pangeran Yauw terpesona. Betapa cantiknya ketika
sepasang pipi Kwi Hong berubah merah seperti itu! Andai kata dia sendiri seekor rusa kesturi, di saat itu
tentulah dia akan mengeluarkan peluh dedes yang tidak kepalang tanggung banyaknya!
"Di samping rusa kesturi ini, juga terdapat rusa-rusa muda yang tanduknya merupakan bahan obat kuat
yang amat mujarab. Obat lok-jiong (tanduk menjangan muda) amat mahal dan tanduk itu dapat membuat
tubuh menjadi sehat segar dan usia menjadi panjang. Selain binatang-binatang itu kita manfaatkan
tanduknya dan dedesnya, juga dagingnya sedap bukan main, lunak gurih dan menghangatkan tubuh. Di
samping ini, masih terdapat binatang-binatang lain dan tanam-tanaman yang belum pernah Nona saksikan
sebelumnya. Marilah kita berburu, saya tanggung Nona akan merasa puas dan gembira sekali."
Dan pangeran itu memang tidak berbohong. Pemandangan alam di Pegunungan Merak Merah itu benarbenar
amat indah, dan banyak terdapat tumbuh-tumbuhan dengan bunga-bunga beraneka warna yang
belum pernah dikenal Kwi Hong. Bermacam batang bambu yang aneh-aneh dan bagus sekali tumbuh di
daerah ini. Setelah berburu selama setengah hari, Kwi Hong dan Pangeran Yauw berhasil memanah roboh
dua ekor rusa yang gemuk dan muda, dan kebetulan sekali dari dua ekor rusa ini terdapat dedesnya dan
dari yang kedua terdapat tanduknya yang muda dan panjang.
Sore hari itu, Pangeran Yauw mengundang Kwi Hong untuk duduk di tepi Sungai Luan, di dalam taman
alam yang amat sejuk dan indah, menghadapi meja penuh hidangan arak dan bermacam masakan daging
rusa yang lezat! Dalam kegembiraannya, Kwi Hong yang menganggap bahwa pangeran itu adalah seorang
bangsawan yang sopan dan ramah, sama sekali tidak menaruh curiga dan makan minum bersama
dunia-kangouw.blogspot.com
pangeran itu, bahkan tertawa memuji ketika Sang Pangeran menuliskan beberapa baris sajak. Kiranya
pangeran bangsa Mancu ini pandai pula dalam hal kesusastraan. Setelah mereka makan cukup kenyang
dan minum arak yang cukup memanaskan tubuh, Pangeran Yauw memanggil pelayan pribadinya dan
menyuruh mengambil arak simpanannya. Arak di dalam sebuah guci batu giok biru itu ditaruh di atas meja.
"Giam-lihiap, ini adalah arak simpanan yang saya dapatkan di selatan. Arak yang amat luar biasa, sudah
tua sekali. Harap Lihiap sudi menerima penghormatan kami dengan tiga cawan arak ini!" Sambil tersenyum
Pangeran Yauw menuangkan secawan arak dari guci arak batu giok itu. Arak itu berwarna merah
kekuningan, amat harum baunya dan ketika berada di dalam cawan, kelihatan seperti air emas.
"Kami namakan arak ini arak emas. Silakan minum, Lihiap!"
Kwi Hong merasa sudah terlalu banyak minum akan tetapi dia merasa tidak enak untuk menolak.
Diminumnya arak dari cawan itu bersama dengan pangeran yang juga mengangkat cawannya. Arak itu
memang enak sekali, manis dan harum, akan tetapi juga amat keras sehingga Kwi Hong merasa betapa
hawa panas naik ke kepalanya, membuat ubun-ubun kepalanya berdenyut-denyut.
"Masih dua cawan lagi, Lihiap," kata Sang Pangeran gembira sambil menuangkan lagi arak ke dalam
cawan Kwi Hong yang kosong.
"Maaf, Ong-ya. Saya sudah minum terlalu banyak. Tidak kuat lagi..." Kwi Hong menundukkan mukanya dan
mengatur napas untuk menghilangkan rasa pening di kepalanya.
"Aihhh, apakah penghormatan kami yang hanya tiga cawan tak dapat Lihiap terima?" Pangeran itu berkata
dengan suara ringan, tanda bahwa dia pun agak mabok.
"Bukan begitu, Ong-ya. Tentu saja saya tidak berani menolak kebaikan Ong-ya, akan tetapi saya benarbenar
telah agak pening, maka dua cawan arak ini... biarlah saya minum perlahan-lahan..."
Pangeran itu tersenyum ramah lagi dan mengangguk-angguk. "Aku percaya seorang gagah seperti Lihiap
tak akan mengecewakan hatiku. Biarlah guci arak ini kutinggalkan saja di sini, harap Lihiap nanti suka
menerima dua cawan arak kehormatan dariku lagi, bahkan boleh menghabiskan arak ini kalau suka.
Sisanya berikut guci araknya boleh Lihiap kembalikan nanti, aku menanti di kamar... aku mempunyai
sebuah benda yang amat berharga, hendak kuserahkan kepada Lihiap sebagai hadiah." Setelah berkata
demikian, pangeran itu meninggalkan Kwi Hong dengan langkah kaki agak terhuyung-huyung, langkah
seorang mabok.
Kwi Hong menjadi lega hatinya. Harus diakuinya bahwa pangeran itu bersikap amat baik kepadanya.
Memang dia tidak bermaksud menolak minum dua cawan arak lagi, akan tetapi ia hanya takut kalau dua
cawan itu diminumnya sekaligus, dia akan menjadi mabok betul-betul. Kalau dibiarkannya minum sendiri
perlahan-lahan, kiranya tidak apa-apa. Dia mengangkat guci arak itu dan dipandangnya di bawah sinar
lampu merah yang dipasang di taman alam itu. Sebuah guci arak giok yang amat indah. Dia tersenyum,
meletakkan guci ke atas meja, kemudian memandang cawan arak wangi.
Cawan yang kedua! Ketika tangannya bergerak ke arah cawan, hendak diangkat dan diminumnya arak itu
sedikit demi sedikit, tiba-tiba dara itu menaruh cawan araknya cepat ke atas meja dan gerakan cepat ini
membuat arak sedikit tumpah, sedangkan tangan kirinya menyambar benda hitam yang meluncur ke arah
dirinya. Melihat bahwa benda itu adalah sebuah batu hitam kecil dan ada sehelai kertas diikat pada batu,
dia menjadi curiga dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah meloncat ke arah datangnya batu tadi.
Akan tetapi tidak ada siapa-siapa di sekitar tempat itu, dan ketika dia melanjutkan pencariannya keluar dari
taman alam itu, dia hanya melihat lima orang tukang kuda sedang bekerja keras menyikat tubuh kuda-kuda
tunggangan pangeran dan para pembesar lainnya. Tentu saja Kwi Hong tidak mau menanyakan sesuatu
kepada mereka ini dan dia kembali ke dalam taman. Di bawah sinar lampu merah, dia melihat tulisan di
atas kertas itu. Hanya beberapa huruf yang ditulis dengan tergesa-gesa agaknya. JANGAN DIMINUM
ARAK PERANGSANG ITU!
Kwi Hong mengerutkan alisnya, meremas hancur kertas itu dan membuangnya sambil memandang ke
arah cawan arak dan guci yang masih terletak di atas meja. Dia merasa penasaran karena sungguh tidak
mengerti. Apa artinya arak perangsang? Jelas bukan arak beracun, sebab jika beracun, tentu dia sudah
roboh. Pula, mengapa pangeran akan meracuninya? Pangeran itu dan semua pembantunya merupakan
sekutunya untuk menghadapi Kaisar! Tak mungkin mereka itu mempunyai niat buruk terhadap dirinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, apa maksud Si Penulis surat aneh ini? Dan siapa orangnya? Diukur dari tenaga lemparan batu
kecil tadi, orang itu memiliki kepandaian biasa saja!
Biar pun Kwi Hong tidak mempedulikan isi tulisan itu dan dia pun tidak takut kalau-kalau dia diracuni,
namun kegembiraannya lenyap dan dia tidak mau lagi minum arak. Arak yang sudah berada di dalam
cawan itu dia tuangkan kembali ke dalam guci, kemudian dia membawa guci batu giok itu menuju pondok
besar tempat peristirahatan Pangeran Yauw Ki Ong.
Setelah penjaga mempersilakan masuk seperti yang dikehendaki pangeran, Kwi Hong memasuki pondok.
Alisnya berkerut dan hatinya tidak senang sekali ketika ia melihat pangeran itu dengan pakaian setengah
telanjang roboh telentang di atas pembaringan dan dikeroyok oleh dua orang wanita cantik yang
menggosok tubuhnya dengan minyak, sedangkan orang kedua memijat tubuhnya.
"Ha-ha, engkau telah datang menyusulku, Lihiap? Harap kau taruh saja guci itu di atas meja dan duduklah.
Duduklah di kursi itu, atau di pinggir pembaringan ini, nanti akan kuambilkan sebuah hiasan rambut burung
Hong dari batu giok yang amat indah, hendak kuhadiahkan untukmu."
Karena sikap pangeran ini masih ramah dan tidak menonjolkan kekurang ajaran, maka Kwi Hong yang
agak pening oleh arak itu masih tidak merasa. Dia masih terlalu jujur untuk dapat mengenal kegenitan
seorang laki-laki yang hendak menjatuhkannya, maka setelah meletakkan guci itu di atas meja dia menjura
dan berkata,
"Saya hendak mengaso, Pangeran, dan tidak berniat melanjutkan percakapan kita. Soal hadiah, saya tidak
membutuhkannya dan kalau Ong-ya hendak memberikan kepadaku, besok masih banyak waktu. Selamat
malam dan maafkan saya." Tanpa menanti jawaban dara itu membalikkan tubuh dan dengan langkah lebar
meninggalkan pangeran itu yang menjadi kecewa sekali.
Pangeran Yauw mendorong dua orang pelayannya dan meloncat turun, menyambar guci arak, membuka
tutupnya dan mengintai isinya. Dia kecewa sekali dan maklum bahwa calon korbannya itu tidak minum lagi.
Biar pun secawan dari arak emas ini sudah cukup untuk merobohkan seorang wanita yang bagaimana
keras hati dan dingin sekali pun, namun agaknya masih kurang kuat untuk menundukkan Kwi Hong! Obat
perangsang itu belum cukup kuat untuk mempengaruhi Kwi Hong yang masih bersih, hanya membuat dara
itu bingung saja! Pangeran Yauw maklum bahwa dia tidak boleh terburu nafsu, dan dia akan mencari
kesempatan lain untuk melampiaskan niatnya. Dia tersenyum mengusir kekecewaannya, kemudian
merangkul dua orang pelayannya itu sebagai penghibur dan pengganti diri Kwi Hong yang tadinya ia
harapkan malam itu akan terjatuh ke dalam pelukannya.
Selagi Pangeran Yauw Ki Ong tenggelam ke dalam hiburan kedua orang pelayan wanita muda itu, dan Kwi
Hong ke dalam kenyenyakan tidur tanpa mimpi akibat hawa arak, dan Koksu bersama para pembantunya
yang berilmu tinggi juga beristirahat dengan hati tenteram karena percaya akan ketatnya penjagaan anak
buah mereka, tampaklah dua sosok bayangan tubuh orang yang berkelebat dan bergerak seperti setan di
dekat markas para pemberontak ini.
Di dalam kegelapan malam muda itu memang dua sosok bayangan yang berkelebatan di sekitar tempat itu
amat mengerikan. Gerakan mereka cepat laksana gerakan iblis sendiri, meloncat ke sana-sini dan kadangkadang
terdengar suara ketawa menyeramkan. Karena bulan belum muncul, sukar untuk menentukan
bentuk dua sosok bayangan itu.
Akan tetapi setelah bulan yang lambat itu mulai muncul dan memuntahkan cahayanya yang pucat disaring
awan-awan tipis sehingga menciptakan cahaya redup kehijauan di malam hari yang sunyi itu, bentuk dua
sosok bayangan itu kelihatan agak jelas. Kiranya mereka adalah dua orang manusia, sungguh pun tidak
mungkin manusia biasa melihat cara mereka bergerak secepat itu.
Seorang di antara mereka bertubuh pendek sekali, rambutnya panjang riap-riapan membuat kepalanya
yang besar itu kelihatan makin besar, dan Si Pendek inilah yang tertawa-tawa. Temannya tidaklah setua
kakek pendek ini, melainkan seorang muda yang kepalanya dilindungi sebuah topi caping lebar dan di
punggungnya tampak buntalan pakaiannya. Sebuah kuncir rambut besar kadang-kadang melambai di balik
pundaknya ketika dia bersama kakek itu berloncatan melalui jurang-jurang yang curam. Dilihat dari jauh,
ulah mereka seperti dua ekor kijang bermain-main dan saling berkejaran di malam sunyi itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi tak lama kemudian tampaklah bayangan mereka. Kakek itu masih tertawa-tawa, akan tetapi
mereka membawa sekumpulan senjata yang banyak sekali. Susah payah mereka membawa senjatasenjata
tajam yang malang-melintang itu sehingga ada yang tercecer di jalan.
"Ha-ha-ha, betapa lucunya kalau mereka itu dikejutkan dan dalam kegugupan mencari-cari senjata
mereka!" kata yang muda. Kakek pendek itu pun tertawa, akan tetapi dia lalu menengadah dan bernyanyi,
Senjata adalah benda sialan
dibenci oleh siapa pun juga
tidak dipergunakan para bijaksana,
Bahkan dalam kemenangan sekali pun
senjata tak sedap dipandang mata
karena yang mengagungkannya
hanyalah pembunuh-pembunuh kejam!
Alat pembunuhan antar manusia
menimbulkan kematian terpaksa
mendatangkan duka dan air mata
dan kemenangan dirayakan dengan upacara kematian!
"Locianpwe, saya mengenal sebagian kalimat nyanyian Locianpwe adalah dari isi kitab To-tek-keng! Akan
tetapi juga tak sama..." Pemuda itu, Gak Bun Beng menegur heran.
"Ha-ha-ha, perlu apa menghafal isi ujar-ujar kitab apa pun juga seperti seekor burung? Yang penting
adalah mengerti dan melaksanakan, karena pelaksanaan yang berdasarkan pengertian bukanlah
penjiplakan belaka namanya. Aku benci segala macam senjata, hayo kita buangkan semua senjata di
dalam gudang itu!"
Dua orang itu membawa senjata-senjata yang mereka panggul itu ke tepi jurang, lalu melemparkan
senjata-senjata itu ke dalam jurang yang hitam, jurang yang tak dapat diukur dalamnya sehingga ketika
senjata-senjata itu sampai ke dasar ujung, tidak terdengar apa-apa dari tempat mereka berdiri! Sambil
tertawa-tawa, Bu-tek Siauw-jin dan Bun Beng segera berlarian lagi menghampiri gudang senjata milik para
pemberontak untuk mengangkuti semua senjata yang terkumpul di situ dan dibuang ke dalam jurang.
Belasan orang penjaga gudang itu masih berdiri di tempat masing-masing, akan tetapi mereka ini berdiri
seperti arca karena sudah tertotok, bahkan senjata di tangan dan di pinggang mereka pun sudah dilucuti
oleh Bu-tek Siauw-jin dan ikut terbawa untuk dibuang ke dalam jurang itu.
Karena jarak antara gudang senjata dan jurang tempat pembuangan itu cukup jauh, dan jumlah senjata
dalam gudang amat banyak sedangkan betapa pun saktinya, kedua orang itu masing-masing hanya
mempunyai sepasang tangan, setelah bekerja sampai pagi, belum ada setengah isi gudang berhasil
mereka buang ke dalam jurang.
Ketika untuk kesekian kalinya Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin kembali ke gudang, begitu mereka
memasuki gudang, terdengar bentakan-bentakan dan ternyata gudang itu telah dikurung oleh puluhan
orang prajurit! Mereka telah ketahuan, atau lebih tepat lagi, peronda telah melihat penjaga-penjaga yang
tertotok kaku itu sehingga mereka segera melaporkan kepada Koksu dan Koksu yang menduga bahwa
tentu ada mata-mata musuh menyelundup sudah memasang perangkap sehingga ketika dua orang itu
datang, mereka telah terkurung!
Tentu saja kedua orang itu segera diserbu dan dikeroyok oleh puluhan orang prajurit. Apa lagi setelah
Koksu menerima pelaporan bahwa yang mengacau di gudang senjata adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak
Bun Beng, segera dia kerahkan para pembantunya untuk mengeroyok.
"Wah, repot nih, Bun Beng!" Bu-tek Siauw-jin berkata, sambil sibuk meloncat ke sana-sini di antara serbuan
para prajurit. "Kita membuang senjata supaya jangan ada perang, malah diperangi!"
"Mari kita keluar, Locianpwe!" Bun Beng berkata, khawatir juga karena dia tidak mungkin dapat
menghadapi pengeroyokan hebat itu dengan sikap berkelakar dan tidak peduli seperti kakek yang agaknya
tidak bisa melihat bahaya itu.
Dengan gerakan kaki tangannya, Bun Beng berusaha membuka jalan keluar dari dalam gudang senjata,
akan tetapi karena Bu-tek Siauw-jin enak-enak saja menandingi semua pengeroyoknya, kadang-kadang
terkekeh girang kalau melihat beberapa orang terjengkang roboh sendiri setelah memukulnya, Bun Beng
dunia-kangouw.blogspot.com
merasa bingung dan benar-benar mendongkol sekali. Kakek itu agaknya malah girang dan gembira
menghadapi pengeroyokan itu, seperti seorang kanak-kanak memperoleh sebuah permainan baru dan
merasa sayang untuk meninggalkannya!
Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan keras di luar gudang tempat pengeroyokan itu dan terjadilah
kekacauan hebat. Menurut pendengarannya yang memperhatikan suara teriakan-teriakan itu, Bun Beng
mendapat kenyataan bahwa markas pemberontak itu telah diserbu oleh pasukan pemerintah! Keadaan
menjadi kacau balau. Koksu dan para pembantunya segera lenyap dari situ meninggalkan Bun Beng dan
Bu-tek Siauw-jin yang masih dikeroyok oleh para pasukan penjaga. Tentu saja bagi Koksu dan temantemannya,
berita penyerbuan pasukan pemerintah itu lebih penting, lebih hebat dan harus segera
ditanggulangi dari pada kekacauan yang disebabkan oleh perbuatan dua orang ini.
Memang benarlah apa yang didengar oleh Bun Beng. Pasukan besar pemerintah yang dipimpin oleh Puteri
Nirahai dan Lulu telah datang menyerbu tempat itu secara mendadak. Terjadilah perang yang amat hebat,
perang mati-matian karena para pemberontak membuat pertahanan yang terakhir. Mereka masih menanti
datangnya bala bantuan dari barat dan utara, siapa mengira bahwa pagi hari itu mereka harus menghadapi
penyerbuan pasukan pemerintah yang tidak mereka sangka-sangka akan demikian cepat datangnya.
Tentu saja Koksu tidak menyangka bahwa Puteri Nirahai sendiri yang menjadi pemimpin penyerbuan ini,
seorang puteri yang sudah banyak pengalamannya dalam menghadapi pasukan pemberontak, seorang
yang tidak saja ahli dalam hal ilmu silat, juga seorang ahli perang yang terkenal!
Setelah Koksu dan para pembantunya meninggalkan gudang senjata di mana Bun Beng dan Bu-tek Siauwjin
terkepung, tentu saja dengan mudah kedua orang sakti ini mampu keluar dari kepungan. Apa lagi
karena para prajurit yang mendengar akan penyerbuan tentara musuh sudah menjadi panik, bahkan
akhirnya sisa mereka meninggalkan dua orang itu untuk membantu teman-teman menghadapi pasukan
pemerintah. Gudang senjata telah mereka bobol dari belakang dan sisa senjata yang masih berada di
dalam gudang telah mereka angkut keluar untuk dipergunakan para pasukan menghadapi musuh.
"Wah, perang telah terjadi?" kata Bu-tek Siauw-jin setelah mereka berdua keluar dari dalam gudang
senjata. Terdengar dari situ pekik sorak mereka yang berperang, dan suara senjata yang menggegap
gempita.
"Mudah-mudahan saja para pemberontak segera dapat dihancurkan," kata Bun Beng sambil berdiri
termenung. Yang terbayang di depan matanya adalah Milana. Apakah dara itu ikut berperang membantu
ibunya yang memimpin pasukan pemerintah itu? Teringat betapa pihak pemberontak terdapat orang-orang
pandai seperti Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama, ia merasa khawatir juga akan kekasihnya itu.
"Locianpwe, saya hendak menonton perang dan kalau perlu membantunya."
"Eh, kau mau membantu siapa?"
"Membantu Puteri Nirahai dan puterinya."
"Mengapa? Apakah engkau sudah menjadi kaki tangan pemerintah pula?"
"Bukan begitu, Locianpwe. Akan tetapi, kita sudah melihat bahwa pemberontak dipimpin oleh orang-orang
sesat macam Koksu, Maharya, dan yang lain-lain. Mereka itulah yang menimbulkan perang sehingga akan
mengorbankan nyawa banyak orang, karena itu maka merekalah yang akan saya tentang."
Bu-tek Siauw-jin mengangguk-angguk. "Hemm, boleh kita menonton, akan tetapi kalau tidak perlu sekali,
untuk apa kita mengotorkan tangan ikut dalam perang yang hanya merupakan penyembelihan antara
manusia?"
Bun Beng tidak mau banyak berbantah dengan kakek sinting ini, dan keduanya lalu menyelinap di antara
pohon-pohon dan berloncatan melalui jurang-jurang menuju ke tempat di mana terjadi perang yang amat
dahsyat.
Akan tetapi ketika mereka tiba di bagian yang datar, tiba-tiba mereka melihat hal yang amat mengejutkan.
Para pasukan pemberontak di bagian ini tiba-tiba mundur, akan tetapi ketika pasukan pemerintah
mendesak, tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan muncullah seekor gajah yang amat besar.
Binatang raksasa inilah yang mengeluarkan suara melengking tadi dan pasukan pemerintah yang berada
dunia-kangouw.blogspot.com
paling depan segera berhadapan dengan gajah ini. Seorang tinggi kurus berkulit hitam yang menunggang
gajah itu. Pendeta Maharya sendiri mengeluarkan aba-aba dan gajah itu mengamuk!
Dengan belalainya yang besar, sekali sambar gajah itu menangkap dua orang prajurit musuh,
membantingnya remuk dan dengan kedua kaki depannya yang besar binatang itu menginjak ke depan,
membuat dua orang musuh lain lagi terinjak gepeng. Maharya yang berada di atas gajah itu masih
menggerakkan senjatanya tombak bulan sabit, tampak sinar berkelebat dan empat orang prajurit
pemerintah roboh. Maharya mengeluarkan pekik nyaring dan tiba-tiba cuaca di tempat itu menjadi gelap,
debu mengepul tinggi dan di balik kegelapan ini menyerbulah pasukan Nepal yang dipimpin oleh Maharya,
menyerbu bagaikan pasukan setan ke depan!
Pasukan pemerintah menjadi kacau balau dan pecah belah. Mereka menjadi bingung, apa lagi ketika dua
orang perwira pemimpin mereka dengan mudah roboh binasa oleh amukan gajah dan melihat betapa
cuaca menjadi gelap, debu mengebul tinggi, mereka makin panik. "Pasukan siluman...!" terdengar teriakan.
"Pasukan siluman... laporkan ke induk pasukan!"
Kiranya, pasukan itu adalah pasukan Nepal yang baru saja datang, pasukan yang dinanti-nanti oleh Koksu.
Begitu pasukan ini tiba bersama lima ekor gajahnya, Maharya cepat menyambutnya, menunggangi seekor
gajah dan segera Maharya sendiri yang memimpin pasukan istimewa ini, menggunakan ilmu hitamnya,
dibantu oleh pasukan istimewa ini yang menggunakan debu dan asap hitam untuk mengacau musuh.
Jumlah mereka sebetulnya hanya seratus orang, akan tetapi karena mereka itu terlatih dan memiliki caracara
berperang yang aneh, mereka mampu mendatangkan kekacauan dan banyak di antara pasukan
pemerintah yang roboh menjadi korban, terutama sekali amukan lima ekor gajah, seekor di antaranya yang
ditunggangi Maharya sendiri.
"Locianpwe, kita harus membantu mereka menghadapi pasukan siluman itu!" Bun Beng berkata,
kemarahannya timbul menyaksikan musuh besarnya, Maharya, dengan ganas membunuh pasukan
pemerintah dengan bantuan gajahnya dan tombak bulan sabitnya.
"Ha-ha-ha! Maharya Si Dukun Lepus itu memang menyebalkan sekali. Ilmu setannya ini, siapa lagi kalau
bukan aku yang dapat membuyarkannya?" Bu-tek Siauw-jin tertawa sambil menerjang ke depan
menyambut debu dan uap yang mengebul itu.
"Maharya, sejak dahulu engkau mendatangkan keributan saja!" Bun Beng membentak lalu meloncat ke
depan, langsung menyerang pendeta kurus itu dengan pukulan tangan ke arah kepala.
Melihat munculnya pemuda ini, Maharya memandang rendah. Biar pun pemuda itu dia tahu cukup lihai
seperti yang diperlihatkannya ketika pemuda itu membela Pulau Es ketika pulau itu diserbu oleh pasukan
Koksu dahulu, namun baginya, pemuda itu tidak ada artinya. Yang membuat dia khawatir hanya ketika
melihat munculnya Bu-tek Siauw-jin tadi.
Kakek pendek itulah yang perlu diperhatikan, karena dia tahu bahwa dia sendiri takkan dapat menangkan
kakek iblis Pulau Neraka itu. Akan tetapi, dia dibantu oleh gajah-gajahnya, oleh pasukan siluman dari
Nepal, apa lagi Koksu, Thian Tok Lama, dan banyak tokoh pandai lain berada tidak jauh dari situ. Pemuda
ini harus dibunuh lebih dulu.
"Mampuslah!" Dia berteriak dengan suara nyaring. Tombak bulan sabit di tangannya bergerak, gagangnya
menusuk dan menyambut tubuh Bun Beng yang meloncat ke atas tadi, menusuk ke arah pusar pemuda
itu.
Melihat gerakan Maharya ini amat kuat, Bun Beng tentu saja tidak membiarkan dirinya disate gagang
tombak.
"Haaiiittt...! Plak! Wiiirrr...!"
Tangan Bun Beng menangkis gagang tombak itu dengan meminjam tenaga tusukan gagang tombak ini, ia
membuat tubuhnya mencelat ke atas dan membuat salto jungkir balik, kemudian seperti seekor burung
garuda terbang, dia menyerang ke arah ubun ubun kepala Maharya! Dengan jari tangan kanan dia
menusuk ke arah ubun-ubun ketika tubuhnya meluncur ke bawah.
"Aeehhhh!" Maharya berseru keras dan kaget bukan main, kakinya menekan telinga gajah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Binatang itu mengeluarkan suara melengking dan mengangkat kedua kaki depannya. Gerakan ini tentu
saja membuat tubuh Maharya terbawa ke belakang dan otomatis terbebas dari serangan Bun Beng yang
tubuhnya meluncur ke bawah itu. Dengan geram Maharya menggerakkan tombak bulan sabitnya
menyambut tubuh Bun Beng dan dibantu oleh gajahnya yang sudah menggerakkan belalainya untuk
menangkap tubuh pemuda itu!
Bun Beng tidak merasa kaget menghadapi kegagalannya dan dia melihat serangan berbahaya ini. Dia
sudah cukup mengenal siapa kakek ini dan betapa lihainya kakek ini, maka cepat sekali kakinya bergerak
ke depan, menyambut gagang tombak di bawah bulan sabit yang tajam itu, mengerahkan tenaga sehingga
begitu kakinya menyentuh gagang tombak tubuhnya sudah mencelat lagi ke atas, berputaran, kemudian
ketika tubuhnya turun dan disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang perkasa ini menyambut belalai
dengan tusukan dua buah jari tangannya! Sambaran tombak di tangan Maharya kembali dapat ia elakkan
di tengah udara.
"Plakkk!"
Gajah itu mengeluarkan jerit menyayat hati, kedua kaki depannya diangkat, tubuhnya bergoyang-goyang
penuh kemarahan karena kulit belalainya telah terobek oleh dua jari tangan kecil tadi, mencucurkan darah.
Melihat dengan mata kecilnya betapa manusia bercaping yang menyakitinya itu telah meloncat ke atas
tanah di depannya, gajah itu lalu menghempaskan kedua kakinya hendak menginjak tubuh itu sampai
lumat.
Namun, dengan sigap Bun Beng sudah meloncat ke samping, dan tiba-tiba dia sudah menyerang Maharya
dari samping kanan. Gerakannya cepat bukan main dan dari tangan kanannya menyambar hawa pukulan
yang mengeluarkan bunyi bercuitan ke arah lambung Maharya. Kemudian ketika tubuhnya turun dan
disambut lagi oleh belalai gajah, pemuda yang perkasa ini menyambut belalai dengan tusukan dua buah
jari tangan!
"Uuuuh...!" Maharya terkejut sekali ketika dia menggerakkan tombak ke kanan untuk menyambut,
tombaknya itu menyeleweng terdorong oleh hawa pukulan dahsyat, dan pukulan tangan kanan pemuda itu
masih terus melayang datang bersama tubuh pemuda itu yang melayang cepat. Biar pun dia merasa kaget
sekali karena tombaknya menyeleweng terdorong hawa pukulan, namun Maharya tidak gugup dan dia
sudah dapat menggunakan lengannya menangkis datangnya tamparan tangan Bun Beng ke arah
lambungnya itu.
"Dessss...! Aiihhh...!" Maharya kini terpaksa mengeluarkan teriakan kaget sekali karena benturan
lengannya dengan lengan pemuda itu membuat lengannya seperti lumpuh dan tubuhnya terlempar dari
atas tubuh gajahnya!
Dia tidak terbanting dan masih dapat menguasai dirinya, namun dia kini memandang kepada Bun Beng
dengan mata terbelalak penuh keheranan, kaget serta penasaran. Pemuda itu dapat memaksakannya
turun dari punggung gajah dan kini pemuda itu telah berdiri di depannya dengan wajah tenang dan topi
caping lebar masih di atas kepalanya!
"Hemm, orang muda, bukankah engkau Gak Bun Beng?"
"Tidak salah dugaanmu, Maharya, dan sebagai seorang muda aku merasa terhormat sekali bahwa namaku
dikenal oleh seorang seperti engkau!" Bun Beng menjawab tanpa berani menentang pandang mata
pendeta itu.
Biar pun dia telah memiliki kekuatan sinkang yang mukjizat, namun dia maklum betapa hebat pengaruh
pandang mata kakek ahli sihir ini, yang dalam ilmu itu bahkan berani menentang dan mengadu sihir
dengan Pendekar Super Sakti. Kalau saja sampai dia terpengaruh ilmu hitamnya yang mukjizat, dia bisa
celaka!
"Gak Bun Beng, mengapa berkali-kali engkau memusuhi aku seorang tua yang tidak mempunyai urusan
pribadi dengan dirimu? Mengapa?" Suara pendeta itu terdengar halus menimbulkan rasa malu dan iba.
Namun Bun Beng sudah menekan perasaannya dengan tenaga dalam. Dia menjawab, suaranya lantang,
"Sejak aku masih kanak-kanak, engkau telah menjadi seorang jahat yang kuanggap musuhku, Maharya.
Pertama kali ketika engkau bersama muridmu yang gila, Tan-siucai, mencuri Hok-mo-kiam. Kemudian
dunia-kangouw.blogspot.com
melihat engkau membantu Koksu menghancurkan Pulau Es, Pulau Neraka, kuanggap engkau seorang
yang patut ditentang."
"Hok-mo-kiam...? Hemmm, karena pedang itu muridku telah tewas, dan pedang itu lenyap.
Memperebutkan pedang di antara orang gagah tidak bisa disebut jahat, orang muda."
"Bukan soal pedang, melainkan karena engkau seorang pendeta yang selalu mengejar kemuliaan duniawi,
mengejar kedudukan sehingga rela menjual diri bersekutu dengan Koksu, dipergunakan oleh Koksu,
mengacau orang-orang gagah, bahkan tidak segan-segan untuk bermuka dua, berpura-pura bersahabat
dengan Thian-liong-pang, akan tetapi diam-diam mengusahakan kematian ketuanya. Apa kau kira aku
tidak tahu apa yang kalian lakukan di Se-cuan ketika Thian-liong-pang mengadakan pertemuan besar
dahulu itu?"
Maharya memandang tajam. "Ehhh? Kau tahu? Kalau begitu... kau tahu pula tentang kematian Tan Ki dan
Thai Li Lama...?"
"Tentu saja! Pedang Hok-mo-kiam bukan miliknya atau milikmu. Pedang itu kini sudah kukembalikan
kepada yang berhak."
Merah muka Maharya, sedangkan tombak bulan sabit di tangannya menggetar. "Jadi... engkaukah
orangnya yang membunuh muridku?"
"Dia mencari kematiannya sendiri..." Bun Beng tidak dapat melanjutkan kata-katanya sebab ia harus cepat
mengelak dari sambaran tombak bulan sabit yang telah meluncur ketika Maharya menyerangnya dengan
gerakan penuh kemarahan dan penuh nafsu membunuh.
Maharya sudah marah sekali mendengar bahwa pemuda ini yang membunuh muridnya dan merampas
Hok-mo-kiam, dan dia pun maklum bahwa pemuda ini memiliki ilmu kepandaian tinggi, kalau tidak cepat
dirobohkan akan berbahaya sekali.
"Robohlah! Lihat aku siapa! Pandang aku! Tak mungkin dapat menang melawan aku!" Berkali-kali Maharya
membentak dengan suara yang amat berpengaruh, namun Bun Beng sama tidak mempedulikannya, juga
tidak pernah menentang pandang mata kakek itu. Dia hanya mengelak dengan cepat karena tombak bulan
sabit itu bergerak seperti kilat menyambar-nyambar, sambil menanti kesempatan untuk merobohkan lawan
yang tangguh itu.
Sementara itu, dari gumpalan debu dan asap yang menyembunyikan pasukan siluman bangsa Nepal
menyambar ratusan batang anak panah ke arah pasukan pemerintah. Pasukan pemerintah yang sedang
kacau ini tentu saja menjadi makin bingung ketika tiba-tiba mereka diserang anak-anak panah yang tidak
ketahuan dari mana datangnya sehingga banyak di antara mereka yang terjungkal roboh menjadi korban
anak panah lawan.
Melihat ini Bu-tek Siauw-jin lalu membentak keras, kedua tangannya mendorong ke depan berkali-kali dan
dia terus menerjang maju, tidak mempedulikan anak panah anak panah yang menyambutnya dan yang
mengenai seluruh tubuhnya bagian depan. Anak panah yang mengenai tubuhnya runtuh, tidak mempan,
dan dari kedua telapak tangan kakek sakti ini menyambar angin yang membuat debu dan asap itu
membuyar dan tertiup membalik ke arah para pasukan Nepal sendiri!
Mulailah pasukan Nepal itu tampak setelah debu dan asap membuyar, dan melihat seorang kakek cebol
yang sakti membantu pihak mereka, bangkit kembali semangat para prajurit pemerintah. Mereka berteriakteriak
menyerbu dan terjadilah perang sampyuh yang sangat dahsyat antara orang-orang Nepal dan orangorang
Mancu prajurit pemerintah.
Bu-tek Siauw-jin tidak sudi bertanding melawan prajurit-prajurit Nepal yang baginya terlalu lemah itu, dan
dia bergembira menghadapi serbuan empat ekor gajah yang ditunggangi oleh perwira-perwira Nepal. Dia
menubruk kaki seekor gajah, dicobanya untuk mengangkat tubuh binatang itu, namun terlampau berat,
mendorongnya pun amat berat dan agaknya merupakan hal yang amat sukar untuk merobohkan binatang
raksasa itu. Bu-tek Siauw-jin menjadi penasaran, meloncat ke belakang, kemudian dia lari ke depan
dengan kepala dipasang seperti seekor kerbau mengamuk.
"Desssss!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan kepalanya, kakek cebol yang sinting itu menubruk dada seekor gajah dan... binatang raksasa itu
terjengkang kemudian roboh! Dua orang prajurit Nepal yang tidak menyangka sama sekali dan berada di
dekat gajah yang mereka andalkan itu terhimpit perut gajah dan tewas seketika, sedangkan penunggang
gajah itu, seorang perwira Nepal yang sudah tua, terlempar dari atas punggung gajah dan terbanting
pingsan!
Amukan kakek cebol sinting itu benar-benar menimbulkan kekacauan kepada pasukan istimewa Nepal itu,
apa lagi setelah tiga ekor di antara lima ekor gajah itu telah roboh oleh Bu-tek Siauw-jin, dan debu serta
asap hitam telah membuyar. Tadinya anak buah pasukan itu mengandalkan ilmu hitam Maharya, akan
tetapi kakek India itu sendiri sedang bertanding hebat dan mati-matian melawan pemuda yang amat
tangguh dan lihai itu. Tentu saja hal yang melemahkan semangat pasukan Nepal ini sebaliknya
mendatangkan semangat baru kepada para prajurit pemerintah yang tadinya sudah merasa agak panik.
Pertandingan antara Bun Beng dan Maharya memang terjadi makin seru dan mati-matian. Kakek India itu
benar-benar amat lihai. Andai kata Bun Beng belum menerima ilmu terakhir dari Pendekar Super Sakti dan
Bu-tek Siauw-jin, kiranya ia pun tidak akan mudah untuk dapat menandingi Maharya. Sebetulnya, dalam
hal ilmu silat tentu saja Bun Beng memiliki dasar yang lebih murni dan lebih tinggi tingkatnya, dan juga
dalam inti tenaga sakti, dia tidak kalah kuat. Kekalahannya dalam hal pengalaman dan latihan dapat ditutup
oleh keunggulannya karena ilmu silatnya adalah ciptaan manusia dewa yang amat tinggi tingkatnya.
Akan tetapi, yang membuat Maharya amat sukar dilawan dan sukar dikalahkan adalah tenaga mukjizat
yang keluar dari pribadi kakek ini, berkat ilmu hitamnya. Bun Beng harus berhati-hati sekali, sama sekali
tidak pernah berani bertemu pandang mata dengan lawannya, dan kadang-kadang dia bergidik karena
merasa betapa ada hawa tenaga mukjizat menyambar dari lawannya, kadang-kadang disertai suara aneh
yang membuat bulu tengkuknya meremang, seperti suara jerit tangis kanak-kanak yang disiksa, suara
tertawa wanita yang tidak lumrah manusia. Seolah-olah tempat itu, atau di kanan kiri dan belakang
lawannya terdapat iblis-iblis yang tidak tampak akan tetapi yang terdengar suaranya dan terasa pula
sambaran angin pukulannya!
Bun Beng melawan secara mati-matian. Ia sama sekali tidak tahu bahwa kakek sinting itu, biar pun
kelihatannya mengamuk di lain bagian namun diam-diam kakek itu tidak pernah melepaskan perhatiannya
dan selalu mengikuti pertandingan itu, atau hanya sebentar saja kadang-kadang dia mengalihkan
perhatian. Dia selalu menjaga dan siap untuk melindungi pemuda yang disukanya itu.
Diam-diam kakek ini kagum sekali. Setelah menyaksikan sepak terjang Maharya dia harus mengakui
bahwa dalam pertandingan mati-matian ini, memang hebat sekali pendeta itu dan dia sendiri pun tidak
akan mudah dapat mengalahkan Maharya. Namun pemuda yang hanya tiga hari menjadi muridnya itu
dengan tangan kosong mampu menandingi Maharya dalam pertempuran hebat selama seratus jurus lebih,
sedangkan Maharya yang tadinya menunggang gajah bersenjatakan tombak bulan sabit, kini sudah
kehilangan gajahnya dan agaknya tombaknya itu pun sudah tidak banyak artinya dalam pertempuran hebat
itu.
Kini Maharya telah melolos kalung tasbihnya yang terbuat dari mutiara-mutiara putih yang besar-besar,
memegang tombak bulan sabit di tangan kanan tasbih di tangan kiri. Menghadapi serangan-serangan yang
ganas dan dahsyat dari dua senjata aneh itu, Bun Beng mengandalkan kegesitan dan keringanan
tubuhnya, akan tetapi dia pun sudah menanggalkan topi capingnya dan menggunakan benda ini untuk
membantunya menangkis sambaran senjata yang bertubi-tubi.
Di bagian lain, di balik puncak Pegunungan Merak Merah, tidak tampak dari situ hanya terdengar suaranya
yang riuh rendah, terjadi pula perang yang lebih hebat dan seru lagi karena pusat perang terjadi di tempat
itu, antara pasukan inti yang dipimpin oleh Koksu sendiri dan pasukan inti penyerbu dari pemerintah yang
dipimpin oleh Nirahai dan Lulu!
Dalam perang dahsyat ini Koksu mendapat bantuan Thian Tok Lama dan Kwi Hong! Kwi Hong tentu saja
membantu Koksu ketika melihat penyerbuan pasukan pemerintah yang dianggap musuhnya dan musuh
pamannya. Apa lagi ketika dia mendapat keterangan dari Koksu bahwa yang memimpin penyerbuan itu
adalah Ketua Thian-liong-pang dan Ketua Pulau Neraka, dia tidak ragu-ragu lagi untuk membantu pihak
Koksu.
Memang sudah dipikirkannya masak-masak. Permusuhannya dengan Koksu dan kaki tangannya hanya
karena Koksu melakukan tugas membasmi Pulau Es, dan sebagai petugas, tentu saja dia tidak dapat
terlalu menyalahkan Koksu, sebab Kaisarlah yang sesungguhnya menjadi musuh pamannya. Kini Kaisar
dunia-kangouw.blogspot.com
mengirim pasukan, apa lagi dipimpin oleh Ketua Thian-liong-pang dan Pulau Neraka yang sejak dahulu
memang bukan sahabat Pulau Es, bahkan ketika dia masih kecil pernah dia diculik oleh Ketua Pulau
Neraka. Maka ketika terjadi pertempuran, Kwi Hong sudah membantu Koksu, mengamuk dengan pedang
Li-mo-kiam di tangannya. Para prajurit pemerintah yang berhadapan dengan amukan dara perkasa ini
menjadi ngeri karena pedang yang mengeluarkan sinar kilat itu benar-benar menyeramkan. Tidak ada
senjata yang mampu menandinginya, begitu bertemu satu kali saja tentu akan terbabat putus berikut tubuh
pemegangnya!
Betapa pun juga, karena jumlah pasukan jauh kalah banyak, pasukan pemberontak terdesak hebat. Kwi
Hong sendiri, biar pun mendatangkan kekacauan kepada pihak musuh dengan amukan pedangnya yang
dahsyat dan membuat para prajurit musuh gentar, terpaksa harus menggunakan sebagian besar
perhatiannya untuk melindungi tubuhnya karena banyaknya lawan yang mengeroyoknya. Bermacam
senjata datang bagaikan hujan menyerangnya.
Koksu tentu merasa sangat girang melihat kenyataan bahwa Kwi Hong benar-benar membantunya. Dia
sendiri bersama Thian Tok Lama lebih mementingkan penjagaan terhadap Pangeran Yauw Ki Ong, karena
kalau sampai pangeran ini tewas, habislah arti dari semua usaha perjuangannya. Tanpa adanya pangeran
ini, tidak mungkin dia akan mendapatkan dukungan orang-orang Mancu sendiri yang berpihak kepada
pangeran ini, dan berarti jalan masuk baginya ke Kerajaan Mancu akan tertutup.
Dia pun lalu mengerahkan seluruh pembantunya, memimpin pasukan untuk melakukan perlawanan matimatian.
Dia mengharapkan agar paman gurunya Maharya, yang lagi memimpin pasukan bantuan melawan
musuh, dapat segera mengubah keadaan dan dapat datang membantunya. Namun yang ditunggu-tunggu
tak kunjung datang dan dia mendengar pelaporan anak buahnya bahwa pasukan siluman Nepal yang
dipimpin oleh Maharya sendiri itu pun mengalami tekanan hebat dari pihak musuh! Sama sekali Koksu
tidak menyangka bahwa yang membuat Maharya tertahan itu adalah Bu-tek Siauw-jin dan Gak Bun Beng!
Kalau dia tahu, tentu dia merasa khawatir sekali, apa lagi kalau diingat bahwa munculnya dua orang itu,
terutama Bu-tek Siauw-jin yang sudah menjadi guru Giam Kwi Hong, tentu akan mendatangkan perubahan
besar kepada Kwi Hong.
Betapa pun gigih Koksu dan anak buahnya mempertahankan, namun pihak musuh terlampau kuat dan
jauh lebih besar jumlahnya. Terpaksa Koksu dan Thian Tok Lama sendiri mundur untuk melakukan
penjagaan atas diri Pangeran Yauw yang berlindung di dalam pondoknya, mendekam di atas
pembaringannya dengan muka pucat dan dikelilingi para pelayan wanita yang seolah-olah hendak
dijadikannya sebagai perisai terakhir.
Pasukan pemberontak makin terdesak mundur dan tak lama kemudian, muncullah Nirahai dan Lulu sendiri
di depan pondok persembunyian Pangeran Yauw Ki Ong yang dijaga oleh Koksu, Thian Tok Lama dan
para panglima tinggi serta jagoan kaki tangan Koksu. Memang Nirahai mengajak Lulu meninggalkan
pasukan mereka yang sudah mendesak dan hampir menang itu untuk mencari-cari biang keladi
pemberontak, yaitu Pangeran Yauw, Koksu dan kaki tangannya.
"Yauw Ki Ong, pemberontak laknat!" Nirahai membentak sambil merobohkan beberapa orang anggota
pengawal yang sudah menyambut dia dan Lulu. "Menyerahlah untuk kuseret ke depan kaki Kaisar!"
Yauw Ki Ong adalah saudara tiri Nirahai sendiri. Keduanya adalah keturunan Kaisar, berlainan ibu. Yauw
Ki Ong tentu saja sudah mengenal dan maklum akan kelihaian Nirahai, maka mendengar suaranya, dia
menjadi pucat dan tidak berani keluar dari tempat persembunyiannya di dalam pondok yang terjaga kuat
itu. Koksu dan para pembantunya, terutama sekali Thian Tok Lama, sudah bersiap-siap menjaga di situ
dan kini mereka meloncat keluar menghadapi Nirahai dan Lulu.
"Bhong Ji Kun, manusia rendah! Seekor anjing sekali pun akan ingat akan budi orang. Engkau telah
memperoleh kemuliaan dari Kaisar, sebagai seorang asing peranakan India engkau telah diangkat menjadi
Koksu negara. Akan tetapi engkau tidak berterima kasih malah menjadi pemberontak hina! Manusia
macam engkau ini tidak ada harganya untuk hidup!" Tanpa menanti jawaban lagi, Nirahai sudah
menggunakan pedangnya menerjang Bhong-koksu.
Kakek botak tinggi kurus ini terkejut bukan main melihat pedang di tangan Nirahai yang mengeluarkan
cahaya menyilaukan mata itu. Dia segera mengenal Hok-mo-kiam, pedang yang dahulunya terjatuh ke
dalam tangan Maharya, paman gurunya, kemudian pedang itu lenyap bersama tewasnya Tan Ki, murid
Maharya yang tewas bersama Thai Li Lama tanpa ada yang tahu siapa pembunuhnya dan siapa yang
dunia-kangouw.blogspot.com
mencuri atau merampas Hok-mo-kiam. Kini tahu-tahu pedang pusaka itu berada di dalam tangan bekas
Ketua Thian-liong-pang ini!
"Tar-tarr... singggg...!" Pecut kuda berbulu merah di tangan kiri dan sebatang golok besar, golok perang di
tangan kanan Koksu itu menyambar ganas.
"Cringgg... trakkk!" Ujung golok di tangan Bhong-koksu patah ketika bertemu dengan Hok-mo-kiam, tetapi
Nirahai harus cepat menarik pedang dan mencelat ke belakang karena ujung cambuk merah sudah
mengancam lengannya yang memegang pedang.
Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun marah sekali, cepat mengeluarkan aba-aba kemudian menerjang ke depan
dibantu oleh jagoan-jagoan yang menjadi kaki tangannya. Juga Thian Tok Lama dan beberapa orang
temannya sudah menerjang dan mengeroyok Lulu.
Tidak seperti Nirahai yang menggunakan Hok-mo-kiam, bekas Ketua Pulau Neraka ini menghadapi para
pengeroyoknya dengan tangan kosong. Namun sepak terjangnya amat hebat dan menyeramkan karena
begitu bergerak dia telah memainkan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat yang amat halus dan tinggi tingkatnya,
serta menggunakan tenaga mukjizat Toat-beng-bian-kun yang telah bercampur dengan tenaga beracun
dari Pulau Neraka. Dua orang pembantu Thian Tok Lama yang agaknya memandang rendah dan berani
menyambut pukulan tangan yang kecil-kecil itu dengan lengan mereka segera mengeluarkan pekik
mengerikan dan mereka lantas roboh terjengkang dengan seluruh lengan berwarna hitam, berkelojotan
dan tewas tak lama kemudian!
Repot juga Lulu dan Nirahai ketika dikeroyok oleh banyak sekali orang pandai itu sehingga mereka tidak
dapat mencegah ketika lewat beberapa puluh jurus, Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun mengundurkan diri
dari pertempuran, hanya menyerahkan kepada pasukan pengawal untuk mengepung ketat. Mereka berdua
sudah cepat memasuki pondok untuk membuat persiapan menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong!
Akan tetapi Nirahai yang berpemandangan tajam dapat menduga akan keadaan ini. Melihat Koksu dan
Thian Tok Lama menghilang dan yang mengepung hanyalah anak buah mereka, dia segera memutar Hokmo-
kiam, membuka jalan darah dan tubuhnya melesat ke atas wuwungan.
"Yauw Ki Ong pemberontak hina, hendak lari ke mana engkau?" Bentaknya sambil melayang turun
membobol genteng.
Tiba-tiba dia melihat sinar berkilat menyambar dari samping. Nirahai terkejut, maklum bahwa ada lawan
tangguh menyerangnya secara tiba-tiba dan menyambutnya ketika tubuhnya baru saja turun dari atas.
"Trangggg...!" Bunga api perpijar dan Kwi Hong menjerit lirih. Tangannya terasa panas dan pedang Li-mokiam
yang biasanya setiap kali bertemu senjata lawan pasti berhasil merusak senjata lawan, kini tergetar
hebat!
Nirahai juga kaget bukan main. Baru sekarang Hok-mo-kiam bertemu dengan sebatang pedang yang amat
kuat sehingga tidak patah, apa lagi ketika dia melihat seorang gadis cantik dan gagah memegang sebatang
pedang yang mengeluarkan sinar berkilat! Kedua orang wanita itu, yang satu dara remaja dan yang lain
wanita setengah tua, keduanya sama cantik dan sama keras hati, saling berhadapan dan saling pandang,
pedang pusaka yang ampuh menggila di tangan masing-masing!
Kini Nirahai tak lagi mengenakan kerudung muka hingga Kwi Hong dapat memandang wajahnya yang
cantik, pakaiannya yang indah, pakaian seorang panglima wanita! Berdebar jantung Kwi Hong ketika dia
mengenal wanita itu. Inilah wanita cantik yang dahulu bertemu dengan pamannya, wanita cantik yang
kabarnya puteri kerajaan dan menjadi isteri pamannya, ibu dari Milana! Dia masih belum tahu bahwa Ketua
Thian-liong-pang adalah isteri pamannya!
Akan tetapi, Nirahai tidak lagi mengenal Kwi Hong. Ketika untuk pertama kalinya dia bertemu dengan gadis
ini, pada saat dia bertemu kembali untuk pertama kalinya dengan Suma Han, keadaan terlampau tegang
sehingga dia tidak memperhatikan orang lain sehingga dia tidak mengenal keponakan suaminya ini.
Karena dara cantik yang memegang sebatang pedang pusaka ampuh mengerikan itu berada di situ dan
telah menyerangnya, sedangkan dia melihat pangeran dikawal Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah
lari dari dalam pondok, dia menganggap gadis ini seorang di antara kaki tangan Koksu yang tangguh,
maka dia segera menyerangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Trang-trang-cringggg...!"
Kembali dua orang wanita itu terhuyung mundur. Nirahai terhuyung dua langkah sedangkan Kwi Hong
terhuyung mundur sampai empat langkah. Betapa pun juga, dara itu masih belum mampu menandingi
tenaga sinkang yang dimiliki Nirahai, sungguh pun dia telah memperoleh kemajuan hebat semenjak
menjadi murid Bu-tek Siauw-jin. Bunga api muncrat menyilaukan mata ketika tiga kali berturut-turut pedang
Hok-mo-kiam bertemu dengan Li-mo-kiam.
Kedatangan Kwi Hong memang pada saat yang tepat, karena kalau tidak ada dara ini, agaknya Koksu dan
Thian Tok Lama takkan begitu mudah untuk dapat menyelamatkan Pangeran Yauw Ki Ong. Ketika Kwi
Hong mengamuk dan melihat betapa pasukan anak buah Koksu terdesak hebat oleh gelombang serbuan
pasukan pemerintah yang jauh lebih banyak jumlahnya, gadis ini merasa khawatir dan maklum bahwa
kalau dilanjutkan, perang itu akan berakhir dengan kekalahan di pihak sekutunya.
Ketika dia menengok dan tidak melihat Koksu dan para pembantunya, yaitu Thian Tok Lama dan para
jagoan yang berkepandaian tinggi, dia makin khawatir. Ke manakah mereka pergi? Dia harus mengusulkan
kepada Koksu untuk melarikan diri saja sebelum terlambat. Dengan pikiran ini, Kwi Hong membuka jalan
darah dengan pedangnya, keluar dari kepungan dan menuju ke markas, yaitu ke pondok Pangeran Yauw
dan sekutunya. Kedatangannya tepat sekali. Dia melihat Koksu dan Thian Tok Lama bersama Pangeran
Yauw, siap hendak melarikan diri.
"Ahhh, keadaan musuh terlampau banyak dan terlampau kuat. Kita harus melarikan diri, Lihiap," kata
Koksu begitu melihat munculnya Kwi Hong dengan pedang Li-mo-kiam yang berlepotan darah.
"Sebaiknya begitu," jawab Kwi Hong singkat.
"Akan tetapi, ke manakah kita akan lari? Apakah Nona mempunyai usul yang baik?" Koksu memancing,
padahal di dalam hatinya, dia ingin sekali melarikan diri ke... Pulau Es, pulau yang sudah kosong itu karena
hanya di sanalah dia akan aman dari kejaran pemerintah. Tempat itu merupakan tempat yang sukar
didatangi, dan hanya mereka yang tahu jalan saja yang akan dapat menjadi penunjuk jalan saja. Kalau
nona ini mau tentu akan dapat membawa mereka ke Pulau Es! Dia tahu bahwa tempat itu sudah kosong,
dan kalau rombongannya dapat sampai ke tempat itu lebih dulu, berarti mereka akan memperoleh sebuah
tempat pertahanan yang kuat!
"Kalian larilah ke timur, ke pantai. Nanti kuantar kalian pergi melarikan diri ke Pulau Es," jawab Kwi Hong.
Tentu saja Koksu menjadi girang sekali. Namun dia cerdik dan cepat menjawab, "Akan tetapi... apakah
Tocu pulau itu sudi menerima kami? Dan penghuninya...?"
"Pulau itu sudah kosong. Paman tidak lagi tinggal di sana. Lagi pula, kalau paman tahu bahwa kalian
melawan pemerintah, tentu paman suka menerima kalian. Paman sendiri pun seorang pelarian. Cepat
pergilah...!"
Pada saat itu Nirahai datang, meloncat masuk dari atas atap yang dibobolnya. Begitu melihat seorang
wanita melayang turun, Kwi Hong segera menyerangnya dan barulah dia terkejut ketika mendapat
kenyataan bahwa wanita itu adalah isteri pamannya sendiri, ibu dari Milana!
Tentu saja di dalam hatinya Kwi Hong menjadi bingung sekali dan dia sebetulnya tidak mau bermusuhan
dengan isteri pamannya ini. Akan tetapi karena dia diserang terus dan karena dia ingin memberi
kesempatan kepada Koksu untuk menyelamatkan Pangeran Yauw, terpaksa dia melakukan perlawanan
tanpa mengeluarkan kata-kata.
Dia dapat menduga bahwa tentu wanita ini lupa dan tidak ingat kepadanya. Hal ini melegakan hatinya
karena kalau sampai wanita cantik ini tahu bahwa dia adalah keponakan Pendekar Super Sakti, tentu akan
menjadi marah sekali sedangkan dia sendiri pun tidak tahu harus bersikap bagaimana terhadap wanita ini.
Jelas bahwa wanita ini adalah seorang tokoh pemerintah, dan mungkin puteri ini yang memimpin pasukan
pemeritah. Melihat kedudukan itu, wanita cantik ini patut dimusuhinya, akan tetapi kalau teringat bahwa
wanita ini adalah isteri pamannya, bagaimana dia berani bersikap kurang ajar dan melawannya?
Betapa pun lihai Kwi Hong sekarang, dengan ilmu yang dipelajarinya dari Bu-tek Siauw-jin dan dengan
pedang Li-mo-kiam di tangan, namun berhadapan dengan Nirahai, dia menjadi repot juga. Apa lagi Nirahai
menggunakan sebatang pedang pusaka yang amat hebat pula. Pedang Hok-mo-kiam adalah satu-satunya
dunia-kangouw.blogspot.com
pedang yang sanggup menandingi Sepasang Pedang Iblis yang ganas. Andai kata Nirahai tidak
memegang Hok-mo-kiam, agaknya wanita perkasa ini masih akan repot sekali harus menandingi Kwi Hong
yang memegang Li-mo-kiam.
Untung bagi Kwi Hong bahwa dia tidak perlu terlalu lama menahan serangan yang bertubi-tubi dan amat
dahsyat dari Nirahai karena Koksu yang cerdik itu sudah cepat mengirim bala bantuan berupa dua puluh
orang lebih pengawal pribadi pangeran yang telah menyerbu dalam pondok itu dan mengeroyok Nirahai.
Kesempatan ini digunakan oleh Kwi Hong untuk mencelat ke luar dari dalam pondok, meninggalkan Nirahai
yang dikepung dan dikeroyok oleh para pengawal. Cepat dia berlari keluar dan bergabung dengan
rombongan Pangeran Yauw, dilindungi oleh pasukan dan melarikan diri ke timur menuju pantai, melalui
pegunungan dan jurang-jurang.
Sementara itu, pertandingan antara Gak Bun Beng dengan Maharya yang berlangsung amat hebat itu
masih terjadi dengan seru, sedangkan Bu-tek Siauw-jin menonton dari pinggir sambil tersenyum-senyum.
Kakek cebol yang sinting ini sekarang menganggur karena pasukan Nepal itu sedang dihajar oleh pasukan
pemerintah yang pulih kembali semangat mereka setelah debu dan asap hitam membuyar. Tidak perlu lagi
kakek ini membantu hingga kini dia dapat menonton dengan enaknya, menonton pertandingan antara
Maharya dan Gak Bun Beng.
"Ha-ha-ha, Maharya dukun lepus! Engkau tidak akan mampu mengalahkan muridku, ha-ha-ha!"
Bu-tek Siauw-jin sengaja mengaku pemuda itu sebagai muridnya buat membanggakan dirinya. Padahal dia
hanya mengajar selama tiga hari saja, itu pun hanya menurunkan inti tenaga saktinya yang hanya
merupakan sebagian dari gabungan sinkang-nya dengan sinkang Pendekar Super Sakti! Kalau melawan
‘muridnya’ saja Maharya tidak mampu menang, apa lagi melawan dia yang menjadi gurunya?
"Siauw-jin, asal engkau tidak begitu pengecut untuk mengeroyok aku..."
"Heh-heh-heh, siapa sudi mengeroyokmu?" Bu-tek Siauw-jin mengejek.
Inilah yang dikehendaki Maharya. Betapa pun sintingnya, ucapan dari seorang kakek sakti seperti Bu-tek
Siauw-jin boleh dipercaya. Tanpa diminta, jawaban kakek sinting itu sudah merupakan janji. Boleh jadi
pemuda ini lihai, akan tetapi dengan hanya bertangan kosong dan tanpa dibantu Bu-tek Siauw-jin, masa
dia tidak akan mampu mengalahkannya? Untuk mengandalkan ilmu sihirnya, percuma, dan hal ini sudah
diketahuinya semenjak tadi karena pemuda itu sama sekali tidak pernah mau beradu pandang mata dan
pemuda itu memiliki sinkang yang amat kuat. Apa lagi sekarang ada Bu-tek Siauw-jin duduk menonton di
situ, tentu saja dia tidak dapat mengandalkan ilmu hitamnya.
Sebetulnya tidak perlu Maharya harus menggunakan akal untuk memancing janji seorang seperti Bu-tek
Siauw-jin. Bagi kakek yang tidak lumrah manusia sehingga seperti sinting ini, kalah menang bukanlah apaapa,
dan dia sudah pasti tidak akan sudi turun tangan membantu Bun Beng biar pun pemuda itu andai kata
terancam bahaya maut kalau pertempuran yang dihadapi pemuda itu merupakan pertempuran yang adil
dan pantas.
Kalau tadi dia selalu memperhatikan Bun Beng adalah karena dia khawatir kalau-kalau pemuda itu terjebak
ke dalam perangkap Maharya yang banyak akalnya. Jika pemuda itu dikeroyok, tentu saja dia akan
membelanya, juga kalau Maharya menggunakan ilmu sihir, tentu dia akan berusaha menghalau kekuasaan
dan pengaruh ilmu hitam itu. Akan tetapi dalam sebuah pertandingan seperti yang terjadi sekarang, tanpa
diminta pun dia tidak akan mencampurinya.
Bu-tek Siauw-jin merasa gembira dan tegang menonton pertandingan itu, akan tetapi sama sekali bukan
tegang karena khawatir Bun Beng kalah. Bagi dia, siapa yang kalah siapa yang menang dalam sebuah
pertandingan adil, tidak menjadi soal. Dia merasa tegang karena pertandingan itu memang hebat sekali,
dahsyat dan seimbang.
"Heeaaahhh!"
Maharya yang sudah menjadi marah sekali karena merasa penasaran menubruk maju. Tombak bulan sabit
di tangan kanannya diputar seperti kitiran angin dan menyambar ganas, sedangkan tangan kiri yang
memegang tasbih sudah siap pula mengirim serangan susulan. Berbeda dengan tadi, Maharya kini
agaknya hendak mempercepat dan mengakhiri pertandingan karena melihat betapa pasukannya sudah
dunia-kangouw.blogspot.com
mundur dan banyak yang tewas. Tadi dia masih selalu bersikap hati-hati, akan tetapi sekali ini dia
mengerahkan seluruh kepandaiannya untuk menyerang.
"Haiittttt!"
Bun Beng meloncat ke atas dan berjungkir-balik menghindarkan diri dari sambaran tombak bulan sabit,
tetapi bukan semata-mata hendak mengelak saja karena sambil berjungkir-balik itu tangannya
mencengkeram dan dia menggunakan gerakan cepat luar biasa ini untuk menangkap batang tombak di
dekat bulan sabit yang tajam itu.
Maharya terkejut sekali, namun dia adalah seorang yang memiliki banyak pengalaman dalam pertandingan
melawan orang-orang pandai sehingga setiap keadaan yang bagaimana pun juga, bahkan yang
kelihatannya mengerikan, dapat dia manfaatkan sebaiknya demi keuntungannya. Karena itu, dia sengaja
tidak mau menarik tombaknya untuk merampas kembali senjata yang telah dipegang lawan ini, bahkan
menggunakan kesempatan selagi tubuh lawan masih di angkasa, tasbih di tangan kirinya menyambar
dada!
Bun Beng sudah siap karena memang dia pun sudah menduga bahwa lawannya tidak akan berhenti di situ
saja. Maka dia pun menggerakkan capingnya untuk menangkis.
"Trakkkk!" Caping dan tasbih bertemu dan pada saat itu, kedua kaki Bun Beng sudah tiba lagi di atas
tanah.
Akan tetapi di luar dugaan pemuda ini, tiba-tiba kakek itu melepaskan tombaknya dan berbalik merampas
topi capingnya. Karena gerakan Maharya ini tidak disangka sama sekali, dan ketika memegang tombak
lawan dia mengerahkan tenaga, tubuhnya agak terhuyung dan tahu-tahu tasbih lawan telah meluncur dan
melibat lehernya!
Bun Beng mengerahkan tenaga. Lehernya tercekik dan terdengar suara lawannya tertawa. Bun Beng
maklum bahwa keadaannya amat berbahaya, dia terancam maut, maka dengan pengerahan tenaganya,
dia menyodokkan gagang tombak rampasannya ke arah pusar lawan. Maharya yang memegang caping
rampasan, menangkis sodokan gagang tombak itu, akan tetapi bukan itulah maksud serangan Bun Beng
karena tiba-tiba tombaknya ditarik kembali dan kini bagian yang tajam berbentuk bulan sabit itu membabat
ke atas, ke arah tasbih yang melibat dan mencekik lehernya.
"Cringgg... rrrttt!" Disambar bagian yang amat tajam dari tombak bulan sabit itu, tasbih yang membelit leher
Bun Beng putus dan mutiara-mutiara besar yang diuntai itu jatuh berserakan.
"Wuuuttt... brakkkk!"
Pada saat tombak tadi menyambar tasbih, Maharya juga melihat gerakan ini dan maklum bahwa dia tidak
dapat menyelamatkan tasbihnya, maka dengan kemarahan meluap dia menghantamkan caping
rampasannya ke arah muka Bun Beng. Kakek pendeta ini menyerang dengan pengerahan tenaga
sekuatnya dan Bun Beng yang baru saja menggunakan tombak untuk menyelamatkan lehernya dari belitan
tasbih, melihat datangnya caping dengan kecepatan kilat.
Dia tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak, terpaksa dia menekuk kedua lututnya, memberi
kesempatan kedua tangannya untuk menggerakkan tombak yang diangkat melintang dan menerima
hantaman caping itu. Hebat bukan main pertemuan antara caping dan tombak. Caping pecah dan tombak
patah-patah, pundak Bun Beng masih terpukul pecahan caping demikian kerasnya sehingga tubuhnya
terguling ke atas tanah.
"Mampuslah!" Maharya menubruk dengan injakan kedua kakinya ke arah kepala Bun Beng, tetapi pemuda
itu dengan sigapnya berhasil menggulingkan tubuhnya sehingga enam tujuh kali injakan kaki Maharya ke
arah kepalanya yang merupakan serangan maut itu dapat dihindarkannya.
Karena serangan kaki secara bertubi-tubi itu tidak memberinya kesempatan untuk membalas atau
meloncat bangun, ketika untuk kesekian kalinya berguling, tangannya menyambar tanah dan sambil
berguling dia melontarkan tanah ke arah muka lawan. Biar pun melontarkannya sambil bergulingan, namun
tenaga sambitan ini hebat dan kalau tanah itu mengenai muka, terutama mata akan hebat akibatnya bagi
Maharya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat datangnya sinar hitam ini, terpaksa Maharya loncat ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan
oleh Bun Beng untuk meloncat bangun. Pundaknya terasa nyeri, akan tetapi dia sudah siap sehingga
ketika melihat tubuh Maharya menerkamnya, dia menyambut dengan kedua telapak tangan didorongkan
ke depan.
Maharya sudah marah sekali. Pasukannya sudah habis, sebagian melarikan diri, dan dia sudah terkepung
sendiri di situ oleh pasukan pemerintah yang kini seperti juga Bu-tek Siauw-jin, hanya menonton. Namun
kakek ini maklum bahwa dia telah terkepung dan sukar untuk lolos kalau tidak dapat segera mengalahkan
pemuda ini dan mengalahkan Bu-tek Siauw-jin. Maka kini, melihat Bun Beng meloncat bangun dalam
keadaan terluka pundaknya, dia sudah mengirirn serangannya yang paling dahsyat dengan memukulkan
kedua telapak tangannya yang penuh dengan tenaga sinkang bercampur tenaga yang keluar dari ilmu
hitamnya.
"Bresss!"
Bukan main hebatnya pertemuan tenaga sakti yang amat kuat dari kedua pihak itu, dan akibatnya, mulut
Maharya menyemburkan darah segar, akan tetapi tubuh Bun Beng terjengkang dan bergulingan! Maharya
terkejut, maklum bahwa dia terluka parah, maka dia berlaku nekat. Dengan suara melengking seperti iblis
marah, dia menubruk tubuh Bun Beng yang bergulingan, dengan maksud untuk mengadu nyawa,
mengajak lawan mati bersama.
Tetapi dia tidak tahu sama sekali bahwa pemuda itu memang sengaja menjatuhkan diri dan bergulingan
untuk mengambil kekuatan dari bumi sesuai dengan ilmu yang diterimanya dari kakek Bu-tek Siauw-jin,
yaitu tenaga sakti Inti Bumi. Begitu melihat kakek itu menubruk, dengan menekan bumi Bun Beng mengirim
pukulan dari bawah, dengan telapak tangan kanan didorongkan ke atas menyambut tubuh kakek itu.
"Desssss...!"
Terdengar pekik mengerikan saat tubuh kakek itu terlempar kembali ke atas, terbanting ke atas tanah,
berkelojotan dengan mata mendelik dan mulut muntah-muntah darah segar, kemudian mengejang dan
tewas.
Bun Beng cepat bangkit duduk dan bersila, memejamkan mata. Biar pun lukanya tidak hebat, akan tetapi
pukulan dengan caping yang pecah dan mengenai pundaknya tadi menggetarkan isi dadanya dan harus
cepat disembuhkan dengan pengerahan sinkang. Bu-tek Siauw-jin menoleh kepada para prajurit
pemerintah yang menonton, lalu membentak ke arah mereka.
"Hayo pergi kalian! Mau apa menonton? Ini bukan tontonan! Kalian telah membawa kami terpaksa ikut
berperang. Sialan!"
Para prajurit terkejut sekali. Mereka tidak mengenal siapa adanya kakek cebol ini dan pemuda yang amat
gagah itu, akan tetapi karena sudah jelas bahwa kedua orang itu tadi bertempur membantu mereka, maka
mereka tidak berani membantah dan segera meninggalkan tempat itu untuk membantu pasukan yang
masih mengejar-ngejar sisa pasukan pemberontak.
Pasukan pemberontak telah dihancurkan, sebagian kecil yang merupakan pasukan khusus, pengawalpengawal
pribadi Koksu dan Pangeran Yauw, ikut melarikan diri dan mengawal rombongan pangeran itu,
termasuk tukang kuda dan pengurus kereta yang telah kehilangan kereta karena tak dapat dipergunakan
dalam pelarian yang tergesa-gesa itu. Bahkan tidak semua dari mereka dapat menunggang kuda.
Nirahai dan Lulu merasa penasaran sekali. Biar pun pasukan-pasukan pemberontak dapat dihancurkan,
markas mereka dibasmi dan dibakar, akan tetapi biang keladi pemberontak dapat melarikan diri. Saat
mereka mendengar laporan tentang dua orang sakti yang membantu pasukan ketika pasukan siluman
Nepal dengan gajah-gajah mereka mengamuk, Nirahai segera menduga bahwa mereka itu tentulah Bu-tek
Siauw-jin dan Gak Bun Beng. Maka dia mengajak Lulu untuk mendatangi tempat itu. Ternyata benar
dugaannya. Gak Bun Beng masih duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin berdiri di dekatnya, tertawa-tawa
ketika melihat Nirahai.
"Wah-wah, setelah kerudungnya dibuka, ternyata dalamnya sebuah wajah yang luar biasa cantiknya!" kata
kakek sinting itu, sama sekali tidak peduli bahwa dia bicara dengan bekas Ketua Thian-liong-pang, bahkan
puteri Kaisar yang menjadi panglima besar.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bu-tek Siauw-jin, terima kasih atas bantuanmu kepada pasukanku sehingga pasukan Nepal yang
membantu pemberontak dapat dihancurkan," kata Nirahai, suaranya tenang saja. Dia bukanlah seorang
muda yang dapat panas hatinya oleh sikap kakek sinting ini, apa lagi dia sudah tahu akan watak kakek ini
yang tidak lumrah manusia.
"Ha-ha-ha, engkau sendiri pernah menolongku ketika aku diganggu Koksu palsu itu selagi mandi.
Pertolonganmu itu lebih berharga karena hampir aku dibuat malu!"
Agak merah sedikit kulit muka yang halus itu karena Nirahai teringat betapa kakek sinting ini pernah berdiri
bertelanjang bulat begitu saja di depannya tanpa malu-malu! Dia melirik ke arah Bun Beng dan bertanya,
"Apakah dia terluka?"
Sebelum Bu-tek Siauw-jin menjawab, Bun Beng sudah membuka mata, bangkit berdiri dan memberi
hormat. "Locianpwe, saya tidak apa-apa hanya terluka sedikit. Syukur bahwa Locianpwe telah berhasil
menghancurkan musuh..."
"Aihh, dialah orangnya yang dahulu membantu Koksu di kapal ketika menyerang Pulau Es!" Ucapan ini
keluar dari mulut Lulu ketika dia memandang mayat Maharya
Mendengar ini, Bu-tek Siauw-jin ter-tawa, "Ha-ha-ha, dia pula yang membasmi Pulau Neraka akan tetapi
Majikan Pulau Neraka sama sekali tidak becus mempertahankan pulaunya!"
Lulu mengerutkan alisnya. Mukanya yang pucat itu tidak berubah, dan sepasang matanya yang lebar dan
jernih namun berkilat mengerikan itu ditujukan kepada kakek cebol itu. "Siapa engkau?"
Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin tidak menjawab, melainkan melanjutkan kata-katanya, "Muridku inilah yang
telah berhasil membunuhnya, maka engkau harus berterima kasih kepadanya!"
Lulu segera melirik ke arah Gak Bun Beng, alisnya masih berkerut. "Bukankah engkau pemuda yang
dahulu membantu pula ketika Pulau Es diserbu pasukan pemerintah?"
Bun Beng memberi hormat dan memandang penuh heran, kaget dan kagum. "Dan kalau saya tidak salah
menduga, Locianpwe adalah wanita sakti yang dahulu melepas bahan-bahan peledak, kemudian
mengacau di kapal Koksu.".
"Hemmm, agaknya engkau seorang bocah ringan tangan, di mana-mana engkau hadir dan bercampur
tangan!" Lulu berkata lirih, akan tetapi diam-diam dia heran bukan main bagaimana seorang pemuda
seperti ini dapat membunuh Maharya yang demikian lihai!
"Sungguh aku heran sekali mengapa semua orang muda kau akui sebagai muridmu, Bu-tek Siauw-jin?"
Nirahai bertanya karena sudah mendengar dari puterinya bahwa Kwi Hong juga diambil murid oleh Bu-tek
Siauw-jin.
Sebelum kakek sinting itu menjawab, Lulu sudah mencelat ke depan, berhadapan dengan kakek cebol itu.
"Jadi engkau yang bernama Bu-tek Siauw-jin?"
Ketika pertama kalinya Nirahai menyebut nama kakek itu, dia kurang memperhatikan karena perhatiannya
lebih tertarik kepada mayat Maharya. Baru sekarang dia mendengar nama itu dan kemarahannya bangkit.
"Dan mana yang satu lagi? Mana dia yang disebut Cui-beng Koai-ong?"
Bu-tek Siauw-jin tertawa. "Heh-heh, jadi engkau sudah mendengar nama kami? Tentu puteramu yang
manja dan jahat itu yang memberi tahu!"
"Tua bangka sialan!" Lulu yang masih belum hilang betul watak kerasnya jadi marah mendengar betapa
puteranya dicela oleh kakek ini. "Kau kira aku takut kepadamu? Biar pun engkau dan Cui-beng Koai-ong
disebut tokoh-tokoh iblis dari Pulau Neraka, aku tidak takut!"
"Lulu, kita dalam tugas, jangan bawa-bawa urusan pribadi!" Nirahai memperingatkan Lulu, akan tetapi
setelah marah seperti itu, mana mungkin dengan mudah saja Lulu dibikin sabar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia sudah menerjang kakek itu dengan pukulan sakti dari Hong-in-bun-hoat! Kakek itu cepat mengelak,
akan tetapi angin pukulan masih membuat dia terhuyung dan sambil tertawa kakek itu menjauhkan diri
bergulingan lalu meloncat bangun.
"Eit-eit-eit, sungguh galak engkau! Kalau dahulu bukan aku yang melarang suheng, agaknya engkau hanya
tinggal nama saja! Dan kalau aku tidak melihat bahwa engkau adalah pewaris kitab-kitab Pendekar Sakti
Suling Emas yang kami kagumi dan hormati, apakah aku akan melarang suheng menghancurkan engkau?
Tocu (Majikan Pulau) yang memiliki warisan senjata kipas pusaka dan ilmunya Lo-hai San-hoat (Ilmu Kipas
Pengacau Lautan), mengapa tidak mengeluarkannya dalam pertempuran?"
Lulu terbelalak. "Kau... kau... tahu akan itu semua?"
"Heh-heh, sehari setelah Tocu datang, kami berdua sudah memeriksa seluruh benda yang Tocu bawa,
karenanya aku berkeras melarang suheng turun tangan karena Tocu adalah ahli waris Suling Emas."
"Lulu!" Nirahai kini menghadapi Lulu dengan alis berkerut dan sinar mata memandang dengan penuh
selidik. "Jadi engkaulah yang mengambil benda-benda pusaka itu? Jadi engkau yang membunuh Kakek
Gu Toan...?"
Lulu membanting-banting kakinya teringat akan semua peristiwa yang dialaminya. Di bagian depan cerita
ini telah dituturkan betapa ketika Lulu mulai merantau bersama anaknya yang masih kecil, Wan Keng In,
dia tiba di kuburan keluarga Suling Emas, melihat kakek itu diserang oleh seorang yang amat lihai, dan
oleh Kakek Gu Toan dia disuruh menyelamatkan benda-benda pusaka peninggalan keluarga Suling Emas.
Dia telah mewarisi ilmu-ilmu itu, akan tetapi dia tidak mau mempergunakannya karena ingin
menyembunyikan diri di Pulau Neraka sampai niatnya berhasil, yaitu bertemu dengan orang yang
dicintainya, menjadi isteri orang itu atau menjadi musuh besarnya. Kiranya keadaan menghendaki lain,
semua niat dan cita-citanya hancur berantakan. Puteranya menyeleweng menyakitkan hatinya, Pulau
Neraka hancur dan Suma Han... menambah sakit hatinya.
"Tidak! Aku tidak membunuhnya. Dahulu aku hanya melihat seorang tinggi kurus seperti orang India
menyerangnya dan mendesaknya. Sekarang aku tahu siapa adanya orang kurus itu. Bukan lain adalah Imkan
Seng-jin Bhong Ji Kun! Aku tidak tahu apakah Kakek Gu Toan mati atau hidup dalam pertandingan itu
karena dia minta kepadaku untuk mengambil benda-benda pusaka dan melarikannya."
"Di mana benda-benda itu sekarang?" tanya Nirahai.
"Ada kusimpan sebelum Pulau Neraka dulu dihancurkan. Mengapa, Suci?" tanya Lulu, suaranya penuh
tantangan.
Tiba-tiba terdengar suara melengking tinggi dan nyaring sekali, datang dari jauh dan membuat semua
orang terkejut. Hanya seorang yang memiliki kepandaian amat tinggi dan sinkang yang luar biasa kuatnya
saja mampu mengeluarkan suara melengking seperti itu.
"Ha-ha-ha-ha! Dia baru datang!" Bu-tek Siauw-jin terkekeh dan Bun Beng juga sudah dapat menduga siapa
adanya orang yang mengeluarkan suara melengking seperti itu.
Nirahai dan Lulu saling pandang, agaknya baru menduga setengahnya, dan mereka baru terkejut ketika
lengking itu disusul suara yang terdengar dari jauh akan tetapi amat jelas.
"Nirahai...! Lulu...! Kalian memang patut dihajar!"
Wajah Nirahai berubah merah sekali, dan wajah Lulu yang telah menjadi putih karena keracunan di Pulau
Neraka tidak berubah, akan tetapi matanya bergerak-gerak liar ke kanan kiri mencari-cari. Tentu saja
kedua orang wanita ini mengenal suara itu, suara yang mereka takkan lupakan selama hidup mereka,
suara yang selalu terdengar oleh telinga mereka di waktu mereka melamun atau di waktu mereka
bermimpi. Tanpa disengaja keduanya saling pandang, dan seolah-olah dalam pandang mata mereka itu
terjadilah sebuah permufakatan tanpa direncanakan atau dibicarakan, bahkan kini tanpa diucapkan.
Bun Beng memandang dengan hati penuh ketegangan, apa lagi ketika ia melihat sikap kedua orang wanita
cantik itu. Diam-diam dia merasa heran sekali mengapa Pendekar Super Sakti tiba-tiba marah-marah, dan
dunia-kangouw.blogspot.com
mengapa kedua orang wanita itu kini hendak menyambut kedatangan pendekar yang dikagumi itu dengan
jarum-jarum di tangan kiri!
Bagaikan seekor burung garuda putih tubuh Pendekar Super Sakti meluncur turun dari atas, gerakannya
cepat bukan main sebab ia telah mempergunakan ilmunya yang luar biasa, yaitu Soan-hong-lui-kun.
Dengan ilmu ini dia dapat bergerak cepat, berloncatan dengan ayunan kaki tunggalnya, makin lama makin
cepat seolah-olah Kauw Cee Thian (Si Raja Monyet) sendiri yang berloncatan! Dengan wajahnya yang
tampan gagah itu kini kehilangan kemuramannya, sepasang matanya yang tajam dan aneh itu bersinarsinar,
dua pipinya kemerahan, wajahnya berseri, dagunya mengeras membayangkan kemauan keras yang
tidak dapat dibantah, pendekar itu kini telah berdiri di depan kedua orang wanita itu dengan tegak.
"Singg... wir-wir-wir... siuuuttt...!"
Sinar-sinar merah meluncur dari tangan kiri Nirahai dan sinar-sinar hitam meluncur dari tangan kiri Lulu.
Itulah jarum-jarum Siang-tok-ciam dan Hek-kong-ciam dari dua orang wanita sakti itu. Jarum-jarum yang
selain mengandung racun mematikan, juga dilempar dengan pengerahan tenaga sinkang sehingga jarumjarum
kecil itu cukup kuat untuk menembus benda keras! Namun Pendekar Super Sakti sama sekali tidak
mengelak atau bergerak menangkis, masih berdiri tegak dengan sikap tenang sekali, bibirnya tersenyum
dan sinar matanya amat tajam.
"Cep-cep-cep, wir-wir-wirrr!"
Jarum-jarum yang saking cepatnya sudah menjadi sinar-sinar merah dan hitam itu seolah-olah menembus
tubuh Suma Han. Padahal tidak ada sebatang pun jarum yang menyentuh kulitnya karena jarum-jarum itu
hanya mengenai baju sekeliling tubuhnya, menembus baju itu dan meluncur terus ke sebelah belakang
tubuh Suma Han. Kiranya, biar pun kelihatan marah dan ganas, kedua orang wanita itu melontarkan
senjata rahasia mereka dengan terarah, sama sekali tidak ada yang ditujukan kepada tubuh orang yang
mereka cinta, melainkan membidik ke sekeliling tubuhnya.
"Ihhhh...!" Lulu menahan seruannya dan matanya yang lebar terbelalak.
"Ohhhh...!" Nirahai juga menahan seruannya dan otomatis tangan kirinya meraba bibir menutupi mulutnya.
Kedua orang wanita itu kaget setengah mati, bukan hanya karena rahasia mereka terbuka, rahasia bahwa
mereka itu biar pun di luarnya kelihatan marah dan memusuhi, namun di balik sikap ini terkandung rasa
cinta yang besar sehingga mereka tidak mau menyerang sungguh-sungguh dengan jarum-jarum mereka.
Bukan karena ini mereka terkejut, melainkan karena melihat kenyataan betapa Suma Han sama sekali
tidak mengelak atau menangkis!
Mereka maklum bahwa biar pun mereka menyerang dengan sungguh-sungguh sekali pun, tak mungkin
mereka akan dapat melukai pendekar itu dengan jarum-jarum mereka. Mereka mengharapkan pendekar itu
mengelak atau memukul runtuh jarum-jarum mereka dengan kibasan tangan atau dengan tongkat. Siapa
kira, pendekar itu sama sekali tidak mengelak sehingga andai kata mereka tadi menyerang sungguhsungguh,
tentu tubuh Suma Han telah terkena jarum beracun!
"Kau... kau mau apa...?" Lulu bertanya, gagap.
"Pendekar kaki buntung, mau apa engkau datang ke sini?" Nirahai juga menegur, suaranya ketika
menyebut ‘Pendekar Kaki Buntung’ menyakitkan hati sekali.
Akan tetapi Suma Han tidak mempedulikan itu, hanya memandang mereka kemudian terdengar suaranya
menegur, seperti seorang ayah menegur dua orang anaknya yang nakal.
"Apa yang kalian lakukan ini? Mengapa kalian begini bodoh untuk melibatkan diri dengan urusan negara?
Benar-benar kalian masih belum dewasa, lancang dan perlu dihajar!"
Nirahai dan Lulu terbelalak memandang Suma Han. Sedikit pun mereka tidak pernah mimpi akan
mendengar ucapan seperti itu dari mulut Suma Han, laki-laki yang sejak dahulu bersikap lemah, yang
menyakiti hati mereka oleh kelemahan sikapnya itu. Akan tetapi, di samping keheranan luar biasa, juga
ucapan Suma Han membangkitkan kemarahan besar.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Peduli amat engkau dengan apa yang ingin kami lakukan?" Nirahai balas membentak. "Engkau mau apa
kalau kami mencampuri urusan negara?"
"Tentu saja aku peduli karena engkau isteriku, Nirahai. Setiap perbuatan seorang isteri menjadi tanggung
jawab suaminya pula. Dan juga perbuatan Lulu menjadi tanggung jawabku! Aku larang kalian melanjutkan
penglibatan diri kalian dengan segala urusan pemerintah!"
"Suma Han, enak saja engkau bicara!" Lulu membentak marah dan bertolak pinggang. "Nirahai-suci boleh
jadi isterimu, akan tetapi engkau tidak berhak mencampuri urusan pribadiku!"
Suma Han tersenyum memandang Lulu dan senyum ini saja sudah hampir melepaskan semua sendi
tulang di tubuh wanita ini. "Lulu, berani engkau bicara seperti itu kepadaku? Engkau adik angkatku..."
"Aku tidak sudi menjadi adikmu!"
"Aku tahu, biarlah kurubah sebutan itu. Engkau sebagai wanita yang mencintaku juga yang kucinta, tentu
saja engkau menjadi tanggung jawabku pula dan engkau harus menurut kata-kataku!"
Lulu membanting-banting kaki kanannya, kebiasaan yang masih belum juga dapat dia hilangkan sejak dia
masih seorang dara remaja! "Tidak tahu malu! Tak tahu malu...!"
"Suma Han, apa kehendakmu dengan segala sikap aneh ini? Apakah engkau datang untuk membadut?
Ataukah engkau sekarang sudah gila?"
"Ha-ha-ha! Ho-ho-ho-heh-heh! Lucu...! Lucu...! Belum pernah aku melihat yang selucu ini! Mau aku
digantung kalau aku pernah melihat yang selucu ini! Ha-ha-ha!" Bu-tek Siauw-jin tertawa-tawa sambil
memegangi perutnya.
Bun Beng yang tadinya merasa tegang, terpaksa menahan geli hatinya mendengar ucapan dan melihat
sikap kakek sinting itu. Di sana-sini terdengar suara tertawa dan Suma Han segera menoleh ke kanan kiri.
Kiranya tempat itu penuh dengan prajurit-prajurit anak buah Nirahai yang menonton!
"Keparat kalian semua! Pergi dari sini...!" Suma Han yang menjadi merah mukanya itu membentak ke
kanan kiri, ditujukan kepada para prajurit.
Para prajurit menjadi kaget, akan tetapi mereka tidak bergerak pergi. Panglima mereka berada di situ,
mana mungkin mereka pergi begitu saja diusir oleh orang luar, sungguh pun mereka mendengar bisikanbisikan
bahwa yang mengusir mereka itu Pendekar Siluman yang namanya pernah menggegerkan istana!
Nirahai menoleh ke kanan kiri dan dia pun membentak, "Kalian pergi! Pergi...! Pergi yang jauh dan jangan
ada yang mendekat!"
Tentu saja perintah yang keluar dari mulut Nirahai ini seperti cambukan pada tubuh sekumpulan domba.
Mereka terkejut dan ketakutan, cepat mereka itu membubarkan diri dan pergi dari tempat itu. Tak seorang
pun berani mendekati tempat itu, biar dengan sembunyi sekali pun, karena mereka tahu bahwa sembunyi
pun percuma, tentu akan diketahui oleh panglima wanita yang amat lihai itu. Sebentar saja tempat itu
menjadi sunyi. Kini yang masih berada di tempat itu hanyalah Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin.
"Nirahai, sekarang kujawab pertanyaanmu tadi. Aku datang sebagai suamimu dan engkau sebagai isteriku
harus tunduk kepadaku, dan harus ikut ke mana pun aku pergi. Aku hendak membawamu pergi. Aku
hendak membawamu pergi dari sini dan kau harus ikut denganku!"
"Tidak sudi!"
"Sudi atau tidak, mau atau tidak, engkau harus ikut bersama aku sekarang juga. Kalau kubiarkan terus
sendirian, makin lama engkau makin keras kepala dan menimbulkan keributan di mana-mana. Huh,
sungguh gila! Menjadi Ketua Thian-liong-pang, memakai kerudung, menggegerkan dunia kang-ouw,
kemudian sekarang malah kembali menjadi panglima pemerintah. Apa-apaan ini?"
"Setan! Engkau kira akan mudah saja memaksaku?!" Nirahai hampir menjerit saking marahnya. Mukanya
merah, sepasang matanya mendelik dan tangannya telah meraba gagang pedang Hok-mo-kiam di
pinggangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Lawan saja, Suci. Dia memang seorang manusia tak tahu diri, biar kubantu engkau, Suci!" Lulu berkata,
juga suaranya terdengar marah sekali.
"Lulu, engkau pun mulai saat ini harus ikut dengan aku. Suka tidak suka, mau tidak mau, kau harus berada
di sampingku untuk selamanya!" kembali Suma Han berkata dan di dalam suaranya terkandung ketegasan
yang tidak boleh dibantah lagi.
"Apa? Lebih baik aku mati!" Lulu membentak.
"Engkau tidak akan kubiarkan mati. Kalian harus ikut bersamaku dan habis perkara!" kembali Suma Han
berkata.
"Singggg...!"
Hok-mo-kiam telah dicabut dari sarungnya, kemudian Nirahai langsung menerjang maju menyerang Suma
Han dengan gerakan cepat sekali. Lulu tidak tinggal diam dan dia pun sudah menyerang dengan pukulanpukulan
maut.
"Bagus! Memang aku harus menundukkan kalian berdua dengan kekerasan, hal yang semestinya
kulakukan sejak dahulu!" Suma Han berkata, suaranya terdengar gembira, dan tubuhnya sudah mencelat
mengelak, kemudian seperti kilat dia mainkan Soan-hong-lui-kun untuk menghadapi dua orang wanita yang
dicintanya, dua orang wanita yang selama kurang lebih dua puluh tahun telah membuat dia menderita amat
hebat!
Tongkatnya berubah menjadi sinar bergulung-gulung mengimbangi sinar pedang Hok-mo-kiam, dan dia
menghadapi dua orang wanita itu dengan pengerahan ilmunya karena baik Nirahai mau pun Lulu, bukanlah
dua orang wanita seperti dua puluh tahun yang lalu, melainkan telah memperoleh kemajuan yang luar
biasa sehingga tingkat kepandaian mereka sudah amat tinggi.
Nirahai dan Lulu juga mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk mengalahkan Suma
Han. Hanya inilah satu-satunya jalan bagi mereka untuk mempertahankan harga diri dan keangkuhan
mereka. Mereka tidak akan menyerah mentah-mentah sungguh pun di sudut hati mereka, dua orang
wanita ini merasa terharu, bangga dan juga bahagia bahwa pria yang mereka cinta itu bersikeras untuk
hidup bersama mereka! Seperti telah bermufakat sebelumnya, dalam menghadapi Suma Han ini, Nirahai
dan Lulu dapat bekerja sama dan seolah-olah saling membantu sehingga tentu saja kedudukan mereka
kuat bukan main, membuat Suma Han yang sudah mempergunakan Ilmu Sakti Soan-hong-lui-kun itu harus
bersikap hati-hati kalau dia tidak ingin gagal dan dikalahkan!
"Ha-ha-ha, lucu! Lucu dan gila! Eh, Bun Beng, lihat mereka bertiga itu! Seperti kanak-kanak, atau orangorang
dewasa yang miring otaknya! Ha-ha-ha, jangan mau kalah, Nirahai dan Lulu! Laki-laki macam itu
memang pantas dihajar babak belur, biar kapok, biar tahu bahwa wanita-wanita macam kalian tak boleh
dibuat sembarangan, tak boleh dipermainkan. Ha-ha! Eh, Pendekar Siluman, masa engkau tak mampu
menundukkan mereka? Wanita-wanita keras kepala memang harus ditundukkan dengan kekerasan. Itulah
yang mereka kehendaki! Mereka suka ditundukkan, suka menyerah di bawah kekerasan laki-laki! Kalau
engkau menjadi suami yang terlalu lunak, terlalu halus terlalu mengalah, mereka malah muak! Hayo,
gaplok saja! Wah, ramai...! Ramai...! Ha-ha-ha!"
Tiga orang itu saling serang dengan hebat. Bun Beng menonton dengan hati gelisah, akan tetapi Bu-tek
Siauw-jin tertawa-tawa gembira bertepuk-tepuk tangan, bersorak dan menyiram minyak pada api di hati
ketiga orang itu saling bergantian, agaknya ingin melihat pertandingan itu semakin seru dan mati-matian.
Lagaknya pun seperti kalau dia mengadu, jangkrik, akan tetapi kali ini dia tidak memihak, kedua pihak
dipujinya juga dicelanya!
"Locianpwe, bagaimana Locianpwe dapat mengatakan lucu? Teecu tidak melihat sesuatu yang lucu, hanya
tegang karena pertandingan hebat ini benar-benar amat berbahaya." Biar pun bicara dengan Bu-tek Siauwjin,
namun pandang mata Bun Beng tidak pernah beralih dari gerakan tiga orang yang bertempur itu.
Dia kagum bukan main. Belum pernah selama hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang demikian
dahsyat dan luar biasa. Ilmu yang dimainkan tiga orang itu adalah ilmu silat-ilmu silat tinggi yang sebagian
besar bersumber kepada ciptaan-ciptaan Bu Kek Siansu atau Koai-lojin, juga menjadi ilmu silat pusaka dari
keluarga Suling Emas yang terkenal sepanjang masa itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Eh? Engkau tidak melihat lucunya? Mereka itu saling mencinta, dan sekarang saling menyerang seperti
orang-orang yang saling membenci mati-matian. Mereka seperti orang gila, dan memang mereka telah
dibikin gila oleh cinta! Ha-ha!"
Bun Beng mengerutkan alisnya, dan sekarang dia mengalihkan pandang matanya dari pertempuran itu
karena penasaran. Mengapa kakek sakti ini demikian memandang rendah cinta? Cinta baginya suci murni,
halus dan sungguh-sungguh urusan perasaan yang paling halus, terutama dia berpendapat seperti itu
setelah pertemuannya yang terakhir dengan Milana. Namun kakek ini bicara soal cinta seolah-olah cinta
merupakan hal yang remeh dan lucu!
"Locianpwe, menurut pendapat teecu, cinta adalah perasaan yang mulus, murni dan bersih. Tak ada yang
lebih suci dari pada cinta. Mengapa Locianpwe menganggapnya lucu?" Suaranya mengandung penasaran.
Kalau cinta dianggap lucu dan remeh, apakah cinta antara dia dan Milana juga remeh dan lucu?
"Ha-ha-ha, itulah tandanya engkau dimabok cinta! Tandanya engkau menjadi korban cinta! Semua cinta
yang disebut-sebut manusia adalah cinta yang palsu!"
"Wah, teecu tidak bisa menerima pendapat Locianpwe ini!" Bun Beng membentak dan mereka berdua kini
sudah melupakan tiga orang yang masih saling serang.
Kini mereka berdua berhadapan, saling pandang seperti dua orang yang siap untuk bertanding, bukan
bertanding pukulan melainkan bertanding pendapat tentang cinta! "Bagaimana Locianpwe dapat
mengatakan bahwa cinta yang murni dari Suma-taihiap terhadap mereka itu palsu?"
"Cinta antara pria dan wanita bukanlah cinta yang sejati namanya! Melainkan asmara yang timbul dari
kecocokan selera, baik mengenai ketampanan mau pun mengenai watak sehingga saling tertarik, kagum
seperti orang melihat bunga-bunga indah. Gairah karena kecocokan selera ini bercampur dengan nafsu
birahi. Asmara ini penuh dengan keinginan menguasai, memiliki, memperbudak, penuh dengan keinginan
dimanja, dipuja dan dijunjung tinggi, di samping keinginan menikmati kepuasan dari hubungan badan yang
didorong nafsu birahi. Semua ini bersumber kepada Si Aku yang selalu menujukan segala hal demi
kepentingan dan kesenangan diri sendiri, biar pun dengan cara yang cerdik berliku-liku, tujuan terakhir
adalah untuk diri sendiri, untuk Si Aku. Sebab itulah asmara antara pria dan wanita ini menimbulkan hal-hal
gila seperti sekarang ini. Kalau diputuskan menimbulkan duka, kalau dikhianati menimbulkan benci, kalau
kurang tanggapan menimbulkan cemburu. Pendeknya, asmara antara pria dan wanita menimbulkan
bermacam pertentangan, ketakutan, yaitu takut kehilangan, dan duka. Itulah cinta antara pria dan wanita
yang kau agung-agungkan itu!"
Bun Beng masih penasaran. "Mungkin itu gambaran cinta seorang yang berwatak buruk, seorang yang
hanya ingin mementingkan dirinya pribadi! Cinta seorang yang berhati murni amat bersih, sanggup
berkorban, dan siap melakukan apa pun juga, bahkan berkorban nyawa kalau perlu, untuk orang yang
dicinta!"
"Ha-ha-ha-ha, alasan kuno yang sudah menjadi kembang bibir semua orang yang dimabok cinta! Memang
aku percaya bahwa engkau akan berani berkorban nyawa untuk gadis yang kau cinta, Bun Beng. Akan
tetapi bagaimana seandainya gadis itu tak membalas cintamu? Bagaimana kalau engkau melihat dia
berkasih-kasihan dengan pria lain? Bagaimana kalau dia tidak setia kepadamu, memperolok cintamu dan
dengan mencolok bermain cinta dengan pria lain di hadapanmu? Apakah engkau rela dan cintamu akan
tetap?"
"Cintaku takkan berubah..." Bun Beng menjawab, akan tetapi jawabannya yang keluar dengan suara
sumbang itu lenyap ditelan suara kakek itu. Bun Beng masih penasaran dan berkata, "Kalau begitu,
apakah tidak ada cinta suci di dunia ini menurut pendapat Locianpwe?"
"Tidak ada! Yang disebut-sebut orang, semua adalah cinta palsu yang berdasarkan kepada kepentingan Si
Aku masing-masing."
"Ah, masa begitu, Locianpwe? Bagaimana dengan cinta seorang anak pada ibunya?" Bun Beng
mengajukan pertanyaan dengan penuh semangat, sebab dia merasa bahwa tentu kakek itu takkan mampu
menjawab. Bagaimana mungkin orang menyangsikan cinta kasih seorang anak terhadap ibunya?
dunia-kangouw.blogspot.com
"Itupun palsu! Seorang anak merasa terkurung budi kepada ibunya, orang terdekat dengannya sejak kecil!
Orang yang bersikap manis, orang yang selalu digantunginya, disandarinya, sehingga dia terbiasa oleh
perlindungannya dan setelah Si Anak besar, teringat akan kebaikan-kebaikan ini merasa berhutang budi
dan ingin membalas budi. Bukan cinta yang sejati, melainkan perasaan hutang budi belaka. Andai kata Si
Anak sejak bayi diberikan kepada seorang wanita lain, kalau wanita itu melimpahkan kebaikan-kebaikan
kepadanya, tentu anak itu akan berhutang budi pula. Ini pun bersumber kepada Si Aku. Coba kalau
seorang ibu bersikap buruk kepada anaknya, bersikap kejam dan sebagainya, apakah Si Anak akan tetap
mencintanya seperti yang diucapkan mulutnya? Lihat saja semua orang yang telah dewasa, setelah
menikah, bukankah perasaannya lebih mendekat kepada suami, isteri, dan anak-anaknya?"
"Wah, Locianpwe pandai sekali berdebat. Bagaimana kalau cinta kasih seorang ibu kepada anaknya? Nah,
beranikah Locianpwe menyangkalnya dan mengatakan bahwa cinta kasih seorang ibu kepada anaknya
juga palsu?"
"Memang palsu selama Si Ibu mengharapkan kesenangan dari cintanya itu. Kalau seorang ibu hendak
membuktikan cintanya palsu atau bukan, dia boleh bertanya kepada diri sendiri, marahkah dia kalau Si
Anak tidak menurut kata-katanya, bencikah dia kalau Si Anak berani melawannya dan bersikap kurang ajar
kepadanya, dan dukakah dia kalau Si Anak melupakannya dan tidak membalas budi kepadanya. Kalau
benar demikian, maka sesungguhnya dia tidak mencinta anaknya, karena di mana ada cinta, di situ tidak
mungkin ada kebencian, kemarahan dan kedukaan."
"Wah, kalau begitu pendapat Locianpwe, cinta bukan perasaan manusia biasa! Agaknya hanya cinta kasih
manusia terhadap Tuhan saja yang suci!" Bun Beng membantah.
"Sama sekali tidak! Cinta manusia terhadap Tuhan lebih munafik lagi! Sesungguhnya bukan cinta,
melainkan pemujaan dan pemujaan ini palsu belaka kalau di baliknya terdapat keinginan agar memperoleh
balas jasa atau imbalan. Kalau manusia memuja Tuhan dengan niat agar memperoleh imbalan berkah,
baik selagi masih hidup atau kelak kalau sudah mati, maka pemujaan itu pun palsu belaka, seperti jual beli!
Cinta adalah sederhana dan wajar, tanpa pamrih, karenanya tidak akan mendatangkan kecewa, benci atau
duka."
"Haaaiiittt... desss! Desss!"
Bun Beng dan Bu-tek Siauw-jin terpaksa menengok dan mereka melihat betapa Nirahai dan Lulu tadi
menyerang secara berbareng, akan tetapi dengan teriakan panjang tubuh Suma Han mencelat ke atas dan
ketika kedua orang wanita itu mengejar dengan loncatan cepat, Suma Han mendorongkan kedua
tangannya untuk menangkap mereka. Mereka menangkis dan keduanya terlempar kembali ke bawah,
hampir terbanting kalau tidak cepat-cepat menggulingkan tubuh lalu meloncat berdiri. Dengan kemarahan
meluap keduanya sudah menerjang dan pertandingan berlangsung terus lebih ramai.
Melihat ini, Bun Beng kembali menoleh kepada Bu-tek Siauw-jin. "Locianpwe yang begitu pandai
menguraikan tentang cinta, yang begitu pandai menyeret semua cinta kepada hal yang remeh dan palsu,
tentu sudah mempunyai banyak sekali pengalaman tentang cinta. Pernahkah Locianpwe mencinta
seseorang, seorang wanita maksud teecu?"
Bu-tek Siauw-jin meloncat tinggi ke belakang seperti disambar seekor ular berbisa, matanya terbelalak.
"Hehhh...? Aku...? Aku mencinta seorang wanita? Gila kau! Aku... aku belum pernah terjeblos ke dalam
perangkap asmara!"
"Kalau begitu, bagaimana Locianpwe bisa bicara tentang asmara?"
"Bukan karena pengalaman sendiri, melainkan karena melihat akibat-akibat yang terjadi dan dengan
membuka mata melihat, membuka telinga mendengar. Lihat dan dengar saja tiga orang itu! Jelas, bukan?
Mereka tidak saling mencinta, dalam arti kata cinta suci. Kalau tidak demikian, mana ada duka, mana ada
benci, dan mana ada pertempuran seperti sekarang ini?"
"Haiii, Bu-tek Siauw-jin! Kami bukan bertempur, melainkan aku sedang berusaha untuk menundukkan
mereka ini!" Jawaban ini keluar dari mulut Suma Han dan sekali ini Bu-tek Siauw-jin membalikkan tubuh
menonton.
Dia terkekeh, merasa terpukul pernyataannya yang terakhir tadi tentang tiga orang ini sebab kini baru dia
tahu bahwa pertandingan yang kelihatan mati-matian itu sebetulnya mengandung hal-hal tidak wajar yang
dunia-kangouw.blogspot.com
amat lucu! Biar pun Suma Han melancarkan pukulan-pukulan hebat, akan tetapi semua pukulan itu hanya
dimaksudkan untuk menangkap kedua orang wanita itu, bukan untuk merobohkan.
Dan lucunya, pedang Hok-mo-kiam itu biar pun berkelebatan dan sinarnya bergulung-gulung,
sesungguhnya lebih banyak merupakan ancaman dari pada serangan betul-betul, seolah-olah
pemegangnya selalu khawatir kalau-kalau pedang yang ampuh itu betul-betul akan menembus tubuh
Suma Han. Demikian pula dengan Lulu, pukulan-pukulannya hanyalah pukulan yang dia yakin takkan
mencelakai tubuh orang yang dicintanya! Tiga orang itu melampiaskan kemarahan dan kemendongkolan
hati, namun tetap saja tidak tega untuk saling mencelakakan, apa lagi saling membunuh!
"Cringgg...! Bun Beng, terimalah pedang ini!"
Sebuah tangkisan tongkat yang digetarkan oleh tangan Suma Han membuat pedang Hok-mo-kiam terlepas
dari tangan Nirahai dan terlempar ke arah Bun Beng. Pemuda itu tentu tidak akan berani menerima pedang
yang tadinya dipegang oleh Nirahai itu kalau tidak diperintah oleh Suma Han. Dia cepat menyambut
pedang itu dan tetap berdiri dengan pedang di tangan, memandang penuh perhatian.
"Kalian benar-benar keras kepala!" Ucapan Suma Han ini disusul dengan serbuannya ke depan, serbuan
yang nekat dan bukan merupakan jurus ilmu silat lagi, melainkan menubruk dan menggunakan kedua
lengannya merangkul pinggang kedua orang wanita itu, terus diangkat dan dipanggulnya! Karena dia tidak
melakukan penotokan, tentu saja amat mudah bagi Nirahai dan Lulu andai kata mereka hendak
mencelakai Suma Han.
Kaki tangan mereka meronta-ronta dan mulut mereka berteriak, "Lepaskan! Lepaskan aku!" Akan tetapi
mereka sama sekali tidak menggunakan tangan yang bebas untuk melakukan serangan. Padahal dalam
keadaan seperti itu, kalau mereka melakukan totokan atau pukulan, tentu Pendekar Super Sakti tidak akan
mampu menjaga dirinya!
"Tidak akan kulepaskan kalian lagi!" kata Suma Han yang memanggul tubuh dua orang itu di atas
pundaknya, dengan dipeluk pinggang mereka kuat-kuat.
"Lepaskan aku, kalau tidak, akan kupukul pecah ubun-ubun kepalamu!" Lulu berteriak, tangannya dikepal
dan mengancam di atas kepala Suma Han.
"Hayo lepaskan aku! Apa kau ingin kutotok jalan darah kematianmu di tengkukmu!" Nirahai mengancam
pula, jari tangannya sudah menyentuh jalan darah pokok di tengkuk Suma Han.
Suma Han hanya tersenyum dan kelihatan gembira sekali. "Biar kalian membunuhku, aku takkan
melepaskan kalian sebelum kalian berjanji untuk memenuhi permintaanku."
"Manusia tak tahu malu! Apa permintaanmu?" Nirahai membentak.
"Nirahai, engkau adalah isteriku, maka mau atau tidak, engkau mulai sekarang harus ikut bersamaku, ke
mana pun aku pergi dan kau harus selalu memenuhi perintahku sebagai suamimu!"
"Suma Han! Nirahai-suci mungkin saja kau paksa karena dia isterimu. Akan tetapi aku tidak semestinya
kau paksa!" Lulu meronta dan berteriak.
"Kita telah melakukan kekeliruan, biar pun saling mencinta tidak bersikap jujur. Untuk menebus kesalahan
kita itu, mulai sekarang kita tak boleh berpisah lagi. Engkau harus ikut pula bersama kami, Lulu, dan untuk
selamanya hidup bersamaku!" jawab Suma Han, suaranya tegas.
"Suma Han, enak saja kau bicara! Katakan, siapakah yang kau cinta? Aku ataukah Lulu-sumoi?" Nirahai
menuntut.
"Aku... aku mencinta kalian berdua, dan aku... aku mau menghabiskan sisa hidupku di samping kalian
berdua, sampai kakek nenek, sampai mati."
"Aku tidak sudi menjadi adik angkatmu!"
"Kalau begitu, karena kita saling mencinta dan sudah semestinya demikian, engkau mulai sekarang
menjadi isteriku juga."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Gila! Mana mungkin suci mau menerima aku sebagai madunya?"
"Lulu-sumoi! Kau bilang apa? Kalau dia tidak mau mengambil engkau sebagai isterinya, aku pun tidak akan
sudi ikut bersamanya."
"Nirahai-suci...!" Jerit yang keluar dari mulut Lulu ini sudah berubah, tidak lagi marah melainkan
mengandung isak.
"Sumoi, sudah semestinya begini...!" Nirahai berkata dan keduanya masih dipanggul di atas kedua pundak
Suma Han, kini saling rangkul di punggung pendekar itu, saling rangkul sambil menangis.
Bun Beng yang menonton dan mendengarkan semua ini menjadi terharu bukan main. Kalau menurutkan
perasaan hatinya, melihat betapa pendekar yang dikaguminya dan dijunjung tinggi itu mendapatkan
kembali kebahagiaan hidupnya bersama dua orang wanita yang dikasihinya, melihat keadaan mereka yang
telah dihimpit duka nestapa dan kesengsaraan selama belasan tahun, kini seolah-olah orang-orang yang
kelaparan mendapatkan makanan, atau orang-orang yang menderita penyakit payah mendapatkan obat,
ingin dia menangis. Dengan suara terharu, menggetar dan yang keluar dari lubuk hatinya, Bun Beng
menjura ke arah Pendekar Super Sakti dan berkata,
"Suma-taihiap, teecu menghaturkan selamat atas kebahagiaan Taihiap bertiga!"
"Ha-ha-ha, Gak Bun Beng, engkau gila! Semestinya engkau bukan menghaturkan selamat, melainkan
memujikan dia selamat dari penyakit yang dicarinya sendiri ini. Ha-ha-ha! Eh, Suma-taihiap, Pendekar
Siluman, tahukah engkau mengapa murid kita ini memberi selamat? Karena dia terlalu bahagia melihat
orang-orang yang menderita penyakit asmara dapat berkumpul kembali, karena dia sendiri sedang dilanda
penyakit itu. Sekarang biarlah aku mewakili dia, di sini, di depan isteri-isterimu, aku meminang puterimu
yang bernama... eh, Bun Beng, siapakah nama dara yang kau tolong di atas pohon itu?"
Merah muka Bun Beng. Biar pun sinting, kakek ini sudah melakukan hal yang di luar dugaannya sama
sekali, maka dia menjawab lirih, "Milana..."
"Oya, puterimu Milana itu kupinang untuk menjadi calon isteri Gak Bun Beng. Bagai mana? Bagaimana,
Tuan Puteri Nirahai?"
Nirahai yang masih berangkulan dengan Lulu dan tubuhnya bergantung di belakang punggung Suma Han,
menjawab, "Terserah kepada ayahnya. Aku memiliki kekuasaan apa lagi, sih?"
"Ha-ha-ha, belum apa-apa sudah bertobat. Benar-benar isteri yang hebat! Nah, bagai mana Sumataihiap?"
Suma Han mengerutkan alisnya. Menurut rencana hatinya dia ingin menjodohkan Kwi Hong dengan
pemuda ini, akan tetapi kalau Milana memang mencintanya... dan hal ini harus dia selidiki terlebih dahulu.
Maka dengan suara tegas ia menjawab,
"Bu-tek Siauw-jin Locianpwe, urusan jodoh memang orang tua yang memutuskan, akan tetapi harus
mendengar lebih dahulu pendapat anak yang bersangkutan. Gak Bun Beng, kau bawalah Hok-mo-kiam itu
dan aku memberi tugas kepadamu untuk mencari Milana, dan mengajaknya ke Pulau Es. Soal perjodohan,
biarlah kita bicarakan kelak. Terima kasih atas kebaikanmu, Bu-tek Siauw-jin. Kami hendak pergi, selamat
berpisah!" Setelah berkata demikian, dengan ilmunya yang hebat, tubuh pendekar itu melesat dan lenyap
dari situ sambil memanggul tubuh dua orang wanita itu!
"Heeiii... Pendekar Siluman...! Sekali waktu aku ingin mengadu ilmu denganmu...!" Tiba-tiba Bu-tek Siauwjin
berteriak, suaranya melengking nyaring sehingga Bun Beng yang berada di dekatnya cepat
mengerahkan sinkang untuk melindungi jantungnya. Khikang dari kakek ini benar-benar amat luar biasa.
Tak lama kemudian, dari jauh terdengar suara Pendekar Super Sakti,
"Sekarang aku tidak ada waktu untuk melayanimu, Bu-tek Siauw-jin. Tetapi sewaktu-waktu engkau boleh
datang ke Pulau Es...!"
Bu-tek Siauw-jin memandang pemuda itu, tertawa. "Ha-ha-ha, sungguh heran sekali. Semenjak puluhan
tahun aku menganggap penghuni Pulau Es sebagai musuh besar dari nenek moyangku. Akan tetapi,
dunia-kangouw.blogspot.com
begitu bertemu dengan dia, dendam itu lenyap sama sekali. Dan aku ikut puas menyaksikan
kebahagiaannya. Orang seperti dia tidak sepatutnya hidup sengsara." Kakek itu mengangguk-angguk.
"Dan sekarang, ke mana engkau hendak pergi, Bun Beng?"
"Seperti yang Locianpwe telah mendengar sendiri, teecu diserahi tugas untuk mencari Nona Milana dan
mengajaknya ke Pulau Es. Karena teecu tidak tahu di mana adanya Nona Milana, teecu akan ke kota raja
dan menyelidikinya dari sana."
"Memang seharusnya begitulah. Dan engkau tidak mengecewakan hati mereka yang menjadi calon
mertuamu. Mungkin itu merupakan ujian pula buatmu. Aku sendiri akan kembali ke Pulau Neraka. Setelah
bertemu dengan Tocu Pulau Es dan api permusuhan di hatiku padam sama sekali, perlu apa lagi aku
berkeliaran di dunia ini? Nah, aku pergi!" Kakek itu menggerakkan lengan bajunya dan berkelebat lenyap
dari situ.
"Locianpwe, teecu belum menghaturkan terima kasih atas segala kebaikanmu!" Bun Beng mengerahkan
khikang-nya seperti yang dilakukan kakek itu tadi.
Dari jauh terdengar suara ketawa kakek itu. "Ha-ha-ha! Kalau kini kau menghaturkan terima kasih, berarti
hutangmu telah terhapus! Dan aku ingin kau membayar hutangmu dengan tiga cawan arak merah kelak, di
Pulau Es!"
Bun Beng menjatuhkan diri berlutut menghadap ke arah suara dengan perasaan terharu. Kakek itu boleh
jadi agak sinting, akan tetapi harus diakui bahwa di dalam kesintingannya, banyak kebaikan dari pada
keburukan yang muncul dari pribadinya. Setelah memberi hormat ke arah suara kakek itu, Bun Beng
bangkit berdiri, mengambil sarung pedang Hok-mo-kiam yang tadi tanpa bicara telah dilemparkan ke
bawah oleh Nirahai, memasangkan pedang itu di punggungnya, kemudian mengambil capingnya yang
pecah-pecah, membetulkan caping, memakainya di atas kepala.
Bun Beng menoleh ke arah mayat Maharya, dan memandang kepada mayat-mayat yang malangmelintang
memenuhi tempat itu. Dia menghela napas panjang. "Maharya, maafkan aku. Tidak mungkin aku
dapat mengubur jenazah semua orang yang gugur dalam perang ini, yang jumlahnya ribuan dan tak
mungkin kukubur sendiri."
Dia lalu meloncat dan meninggalkan tempat itu. Andai kata hatinya tidak dikejar oleh keinginan untuk
cepat-cepat mencari dan menemukan Milana, agaknya pemuda ini terpaksa akan mencoba untuk
mengubur jenazah semua korban perang itu!
Di dalam perjalanan menuju ke selatan ini, masih terbayang semua peristiwa mengenai Pendekar Super
Sakti, Nirahai dan Lulu itu di depan matanya. Dia merasa terharu dan girang, juga tidak mengerti, merasa
heran karena dia pun kini dapat merasakan betapa aneh kelakuan tiga orang itu. Yang sudah gila diserang
penyakit asmara, kata Bu-tek Siauw-jin. Benarkah begitu? Apakah dia sendiri pun akan melakukan hal-hal
yang tidak lumrah dan aneh-aneh kelak karena penyakit asmara ini? Akan tetapi hal yang paling membuat
dia tidak mengerti adalah keputusan yang diambil oleh Nirahai. Apa kata wanita bangsawan, ibu Milana
pujaan hatinya itu? Kalau Pendekar Super Sakti tidak mengambil Lulu sebagai isterinya, dia pun tidak akan
sudi ikut bersama suaminya itu!
Tentu saja Bun Beng yang masih muda itu tidak tahu bahwa seorang wanita bermadu, bagi Nirahai adalah
hal yang amat wajar dan lumrah. Dia adalah puteri seorang Kaisar yang mempunyai banyak selir. Bahkan
dia sendiri puteri seorang selir. Pada waktu itu kehidupan kekeluargaan bangsawan amat berbeda dengan
kehidupan keluarga orang sekarang. Semua bangsawan tentu mempunyai isteri lebih dari seorang. Bahkan
kalau ada seorang bangsawan tidak mempunyai selir hanya mempunyai seorang isteri saja, hal ini
merupakan suatu kejanggalan dan keanehan besar. Keadaan demikian itu telah menjadi kebiasaan, dan
karena biasa inilah maka oleh para wanitanya juga diterima sebagai hal yang biasa, yang sama sekali tidak
mendatangkan perasaan iri atau cemburu. Bahkan tentu saja Nirahai merasa girang sekali mempunyai
madu Lulu, sumoi-nya sendiri dan yang dia tahu telah saling mencinta dengan suaminya sebelum
suaminya itu bertemu dengan dia! Di lubuk hatinya, Nirahai merasa betapa Lulu lebih berhak atas cinta
suaminya dari pada dia, dan betapa karena cintanya itu, Lulu telah menderita hebat sekali.
Memang tak dapat disangkal pula bahwa cinta asmara antara pria dan wanita menjadi sumber segala
peristiwa, menjadi bahan segala cerita, menjadi poros yang memutar roda penghidupan dengan segala
suka dukanya. Tanpa adanya cinta asmara antara pria dan wanita kiranya keadaan hidup manusia di dunia
dunia-kangouw.blogspot.com
akan berubah sama sekali, dan sukarlah membayangkan akan bagaimana keadaannya, sungguh pun kita
tidak berani menentukan bahwa perubahan itu buruk adanya!
********************
Milana menghentikan gerakannya meronta-ronta. Dia tahu bahwa semua itu percuma saja. Kalau tadinya
dia meronta-ronta dan berteriak-teriak sedapatnya karena tubuhnya tertotok lemas, bukanlah untuk
membebaskan diri karena dia maklum bahwa hal itu tidak mungkin, melainkan untuk menarik perhatian
orang. Dia melihat betapa para penjaga yang berusaha menolongnya malah menjadi korban kelihaian dan
keganasan Wan Keng In, maka dia berteriak-teriak dan memaki-maki hanya untuk meninggalkan jejak ke
mana dia dilarikan agar para petugas istana itu dapat membayangi arah larinya Wan Keng In dan gurunya.
Akan tetapi setelah dua hari dia menjadi tawanan masih belum ada penolong datang, harapannya menipis.
Tentu ayahnya atau ibunya belum tahu bahwa dia diculik pemuda Pulau Neraka ini, karena kalau ayah
bundanya sudah mendengar, tentu sekarang mereka sudah mengejar dan menolongnya dari cengkeraman
pemuda iblis yang gila ini. Kini dia tidak dapat mengandalkan orang tuanya, para pengawal, atau siapa pun
juga. Dia harus menolong dirinya sendiri, maka dia mulai tenang dan tidak lagi meronta-ronta.
Akan tetapi ketika Wan Keng In dan kakek seperti mayat hidup itu mulai mendaki sebuah gunung dengan
gerakan cepat sekali seperti terbang, Milana kembali merasa ngeri. Bagaimana kalau ayah bundanya
mencarinya dan kehilangan jejak? Dia tidak memperlihatkan rasa gelisahnya, akan tetapi diam-diam dia
merobek-robek sapu tangannya dan melempar-lemparkan robekan sapu tangan itu di sepanjang jalan
menuju ke atas puncak gunung itu.
"Malam hampir tiba. Pemandangan di puncak ini indah sekali dan hawanya sejuk, sebaiknya kita
beristirahat dan melewatkan malam di sini, Suhu." Wan Keng In berkata ketika mereka tiba di puncak.
"Sesukamulah," jawab gurunya tak acuh sambil memandang ke arah barat di mana matahari telah menjadi
sebuah lampu besar yang mulai menyuram seolah-olah kehabisan minyak.
"Nah, engkau manis sekali kalau begini, Milana. Engkau tidak meronta-ronta lagi dan tidak memaki-maki
aku lagi." Keng In berkata kepada dara yang dipondongnya.
"Kalau engkau bersikap manis dan sopan, tidak kurang ajar, tentu aku akan bersikap baik pula, tidak
melawan dan tidak memaki. Kau turunkanlah aku, aku bukan anak kecil yang harus dipondong saja."
Wan Keng In tertawa gembira. "Ha-ha-ha, bagus sekali! Nah, mestinya begini, Milana. Aku tidak akan
menggunakan kekerasan, aku cinta padamu, dan aku akan bersikap baik selama engkau tidak
memberontak." Keng In menurunkan tubuh dara itu, meraba pundaknya dan membebaskan totokannya.
Milana segera duduk di atas rumput dan menyalurkan tenaga untuk memulihkan jalan darahnya. Biar pun
dia bebas, akan tetapi dia tidaklah begitu bodoh untuk mencoba melawan atau melarikan diri. Pemuda itu
memiliki kepandaian yang amat luar biasa, dan dia bukanlah tandingan pemuda itu. Baru pemuda itu saja
seorang diri, dia tidak akan mampu melawan atau melarikan diri, apa lagi di situ masih ada guru pemuda
itu yang amat mengerikan. Tentu gurunya ini sakti seperti iblis sendiri!
"Suhu, lihat! Dia seorang anak yang baik, bukan? Pilihan teecu (murid) takkan meleset, Suhu. Dia cantik
jelita, manis, halus, pintar... pendeknya tidak ada keduanya di dunia ini!" Wan Keng In tersenyum-senyum
senang sekali melihat Milana tidak memberontak lagi.
"Huhhh...! Perempuan...!" Hanya itu saja yang keluar dari mulut Cui-beng Koai-ong, kemudian dia
membuang muka, duduk membelakangi mereka di atas batu dan sama sekali tidak bergerak lagi seolaholah
tubuhnya telah berubah menjadi batu pula.
Milana yang melihat gerak-gerik kakek itu bergidik. Setiap gerak-gerik dan suara yang dikeluarkan kakek
itu membuat bulu tengkuknya meremang. Kakek itu tiada ubahnya seperti mayat hidup, gerakannya seperti
kaku, akan tetapi cepat dan tiba-tiba, amat mengejutkan. Kelingking jari tangan kiri yang putus separuh itu
menambah seram keadaannya.
Sementara itu, dengan wajah berseri Keng In telah membuka buntalan, mengeluarkan beberapa potong
roti dan seguci air jernih. Roti dan guci terisi air ini dia letakkan di depan Milana dan dia berkata ramah,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Milana pujaan hatiku, makan dan minumlah. Engkau tentu lapar, sudah dua hari engkau tidak mau makan
atau minum sedikit pun, membuat hatiku menjadi tidak enak dan khawatir!"
Milana masih memandang punggung kakek yang duduk di atas batu. "Dia juga tidak pernah makan atau
minum selama ini," katanya perlahan karena memang hatinya selalu bertanya-tanya. Kalau dia menderita
kelaparan selama dua hari itu karena dia selalu menolak makan atau minum, mengapa kakek itu pun tidak
pernah makan minum, bahkan pemuda itu tidak pernah menawarkan kepada gurunya, hanya selalu makan
minum sendiri kalau Milana menolak.
"Suhu? Hemm, Suhu hanya makan hawa dan minum kabut embun."
Kembali Milana merasa betapa bulu tengkuknya meremang. Manusia biasa mana ada yang seperti itu?
"Aku tidak mau makan dan minum," katanya lirih.
"Aihhh, jangan begitu, Manis. Mana bisa engkau seperti Suhu? Kalau sampai engkau jatuh sakit, siapa
yang susah? Makanlah sedikit, dan minumlah air ini. Air jernih sejuk, baru kuambil siang tadi di lereng
gunung."
Ingin rasanya Milana membuat pemuda itu susah selama hidupnya, akan tetapi memang benar, dia tidak
mungkin dapat hidup tanpa makan dan minum. Sekarang pun dia merasa amat haus dan lapar. Akan tetapi
dia menahan diri. Kesempatan baik, pikirnya.
"Aku tidak bisa makan seperti ini." katanya sambil memandang roti kering itu. "Aku biasanya hanya makan
nasi dan masakan yang enak."
"Wah, jangan khawatir. Kalau kita sudah tiba di Pulau Neraka, engkau mau minta masakan apa saja, tentu
akan kusediakan. Akan tetapi di sini, mana ada nasi dan masakan?"
"Tidak peduli!" Suara Milana agak keras, sebagian terdorong oleh rasa gembira bahwa dia dapat
merongrong pemuda itu, kedua karena timbul harapannya untuk mencari kesempatan meloloskan diri.
"Pendeknya, aku hanya mau makan kalau ada nasi, ada arak dan setidaknya ada daging panggang!"
Wan Keng In memandang dengan mata terbelalak kepada gadis itu, akan tetapi kemarahannya lenyap
ditelan penglihatan yang mempesonakan hatinya. Bibir dara itu! Untuk bibir itu saja mau kiranya dia
melakukan apa pun juga. Jangankan hanya mencarikan nasi dan sekedar daging panggang, biar disuruh
memetik bintang dari langit sekali pun, kalau dia bisa, tentu akan dilakukannya!
"Aihhh... bibirmu itu..." Keng In menghela napas.
Milana yang mengira ada sesuatu pada bibirnya, otomatis menggunakan ujung lidah untuk menjilati
sepasang bibirnya. Penglihatan ini membuat Keng In makin terpesona sampai dia melongo memandang
dan menelan ludah. Barulah Milana maklum bahwa pemuda itu memuji bibirnya. Seketika sepasang
pipinya menjadi kemerahan dan dia memandang dengan tajam.
"Sudahlah! Kalau tidak ada nasi dan daging berikut araknya, aku tidak sudi makan!"
"Serrrrrr!" Hampir Keng In mengeluh. Pandang mata itu seolah-olah anak panah yang menancap di ulu
hatinya.
"Aihhh... matamu... dan bibirmu... ehhh, baiklah, Milana. Apa sih sukarnya mencarikan semua itu untukmu,
Sayang?" Tiba-tiba tubuh pemuda itu bergerak, sekali berkelebat dia telah lenyap ke dalam hutan di bawah
puncak yang sudah mulai gelap.
Berdebar jantung Milana. Pancingannya berhasil! Pemuda itu benar-benar pergi untuk memenuhi
permintaannya. Di sekitar tempat itu, mana ada nasi dan daging serta arak? Pemuda itu tentu akan pergi
mencari dusun dan belum tentu akan mendapatkan yang dimintanya sampai semalam suntuk. Dengan
hati-hati Milana melirik ke arah kakek yang menimbulkan rasa ngeri di hatinya. Kakek itu masih duduk
bersila di atas batu, sama sekali tidak bergerak, bahkan agaknya bernapas pun tidak. Kakek itu seperti
arca mati yang sudah melekat dan menjadi satu dengan batu yang didudukinya. Bagaimana kalau dia lari
sekarang? Akan tetapi dia harus hati-hati dan tidak sembrono. Sekali dia gagal, tentu Keng In akan
dunia-kangouw.blogspot.com
menjaga ketat lagi, mungkin tidak akan membebaskannya dari totokan. Dia memang harus berusaha lari,
akan tetapi sekali melakukannya harus berhasil.
Milana bangkit berdiri dan berjalan-jalan. Matanya tak pernah beralih dari tubuh kakek yang masih duduk
bersila. Dengan memberanikan diri dia berjalan perlahan melewati depan kakek dan ia melihat bahwa
kakek itu duduk bersila sambil memejamkan mata dan... agaknya benar-benar tidak bernapas! Biar pun
cuaca sudah remang-remang, namun dia masih dapat melihat keadaan kakek itu.
Sampai tiga kali dia berjalan perlahan seperti orang melemaskan kaki, mengelilingi kakek itu dan berhenti
di sebelah belakangnya. Kakek itu sama sekali tidak pernah bergerak apa lagi menengok. Milana lalu
membungkuk, mengambil sepotong batu, dan melontarkan batu itu ke semak-semak di sebelah kanan
kakek itu, kemudian matanya memandang tajam. Namun, kakek itu tetap tidak bergerak sama sekali,
seolah-olah telah mati, atau telah tidur nyenyak!
Jantung Milana berdebar tegang. Tentu kakek itu tidak akan merintanginya karena sedang tidur, atau
demikian tenggelam dalam semedhinya sehingga seperti orang mati. Berindap-indap Milana melangkah
menjauhi kakek itu, mengambil arah yang berlawanan dengan perginya Keng In tadi. Makin lama
langkahnya yang gemetar itu menjadi makin tetap, langkah kecil-kecil menjadi makin melebar dan karena
kakek itu sudah tidak tampak lagi dalam cuaca yang suram, dia tidak lagi menengok dan selagi dia
mengambil keputusan hendak lari, tiba-tiba terdengar suara orang di depannya. Seketika dia menjadi
lemas melihat Keng In muncul dengan seekor ayam hutan di tangannya.
"Aihh, sudah begitu laparkah engkau, Sayang? Apakah engkau sengaja menyongsong aku? Lihat, aku
memperoleh seekor ayam gemuk untukmu, enak dibuat menjadi ayam panggang!"
Milana memaksakan dirinya untuk tersenyum dan berkata dengan suara agak gembira, "Aku hendak
menyusul, habis engkau lama benar sih, dan perutku sudah amat lapar!"
"Aduh... alangkah kasihan, bidadari yang jelita! Nah, terimalah ayam ini, kau tentu mau memanggangnya
untuk kita makan bersama, bukan?"
Milana menahan kemarahan dan kekecewaannya, terpaksa menerima bangkai ayam hutan yang gemuk
itu, kemudian sengaja berkata, "Ahhh, kenapa hanya ayam saja? Apakah aku hanya akan kau suruh
makan daging panggang? Mana nasinya? Mana araknya? Wan Keng In, aku sudah mulai menurut karena
sikapmu yang baik, tetapi kalau permintaan macam itu saja kau tidak mampu penuhi, apa gunanya aku
tunduk?"
"Wah-wah... sabarlah, Sayang. Aku memang sengaja membawa ayam ini lebih dulu agar dapat kau
panggang. Selagi kau memanggangnya, aku akan pergi mencari nasi dan arak, jadi tidak ada waktu
terbuang sia-sia, bukan?"
Milana tersenyum, agak lebar supaya kelihatan lebih manis, kemudian mengangguk.
"Baiklah, Keng In, akan tetapi jangan terlalu lama, ya? Perutku sudah lapar sekali."
"Hi-hik, perutmu lapar atau engkau tidak tahan berpisah lama denganku?"
Ingin Milana meludahi muka pemuda itu untuk kata-kata ini, akan tetapi dia menahan sabar dan hanya
melirik sambil cemberut, sikap yang dia tahu menambah kemanisan wajahnya. Keng In tertawa, kemudian
berkelebat pergi, kini menuju ke kanan, agaknya di sebelah sana terdapat dusun terdekat.
Kembali berdebar jantung Milana. Sekarang inilah saatnya, pikirnya. Dia tidak boleh membuang waktu lagi.
Hampir saja dia tadi celaka. Kalau saja Keng In mendapatkan dia tadi sedang melarikan diri, sedang berlari
cepat, tentu rahasianya ketahuan dan mungkin sekarang dia sudah rebah terbelenggu atau tertotok. Dia
bergidik, kemudian setelah menanti sejenak agar Keng In berlari cukup jauh ke sebelah kanan puncak,
Milana lalu membanting bangkai ayam hutan lalu meloncat melarikan diri, mengambil jalan sebelah kiri
puncak.
"Bressss...!" Milana terjengkang dan cepat dia berjungkir balik agar jangan terbanting.
Ketika berlari cepat tadi, tahu-tahu dia menabrak sesuatu yang tiba-tiba menghalang di depannya. Ketika
dia memandang, hampir dia menjerit karena yang ditabraknya adalah tubuh kakek iblis guru Keng In yang
dunia-kangouw.blogspot.com
entah bagaimana dan kapan tahu-tahu telah berdiri di situ dengan kedua lengan bersedakap dan kedua
mata terpejam!
"Augghhh...!" Milana merintih menahan rasa ngeri, meloncat ke kiri tubuh kakek itu dan lari lagi.
"Brukkk...!" Kembali dia terjengkang dan ketika meloncat bangun dan memandang, lagi-lagi kakek iblis itu
yang ditabraknya.
"Aihhhhh...!" Milana meloncat sambil membalikkan tubuh, berlari lagi untuk menjauhi kakek yang
menyeramkan itu, namun ke mana pun juga dia lari, dia selalu menabrak tubuh kakek berdiri itu, yang
entah bagaimana tahu-tahu telah berada di depannya. Rasa ngeri bercampur takut membuat dia marah
sekali, dengan nekat dia lalu menghantam dada kakek itu!
"Buk-buk-desss!" Tiga kali dia menghantam dan yang ketiga kalinya dia mengerahkan seluruh tenaga,
akan tetapi akibatnya dia roboh sendiri! Tubuh itu kaku dan keras seperti baja, sama sekali tidak bergoyang
terkena pukulan-pukulannya yang disertai sinkang!
Tiba-tiba rambut Milana yang terlepas dan terurai panjang itu dijambak, tubuhnya diseret. Dengan mata
terbelalak dia memandang. Kiranya kakek itu yang menjambak rambutnya dan yang menyeretnya. Dia
menangis dan mengeluh, sama sekali tidak melawan karena maklum bahwa menghadapi kakek ini, dia
lebih lemah dari pada seorang anak kecil! Setelah tiba di tempat tadi, kakek itu melepaskan jambakannya
dan melemparkan tubuh Milana ke atas rumput, sedangkan dia sendiri lalu duduk di atas batu, bersila dan
meram seperti tadi, seolah-olah telah berubah menjadi arca!
Milana menghentikan isaknya. Air matanya masih bercucuran, air mata jengkel, marah, dan putus harapan
serta kecewa. Sekarang dia memandang kepada kakek itu dengan kemarahan meluap. Biar iblis sekali
pun, kakek itu sudah menghalanginya untuk lari, menggagalkan kesempatan baik yang diperolehnya.
"Iblis tua bangka...!" Dia meloncat dan langsung menerjang tubuh kakek itu.
Milana menggunakan jurus terlihai dari Sin-coa-kun (Ilmu Silat Ular Sakti), jari tangan kiri menotok ke
tengkuk, membidik jalan darah kematian, tangan kanan dengan jari terbuka membacok ke arah lambung
dengan pengerahan sinkang. Serangannya ini hebat sekali, selain terarah juga teratur dan disertai
pengerahan seluruh tenaganya. Dara yang kecewa ini sudah nekat dan hendak membunuh atau terbunuh
oleh kakek itu!
"Plakkk! Bukkk!"
Milana terpekik mundur, kedua lengannya lumpuh. Pukulan tadi tepat mengenai sasaran, akan tetapi tubuh
kakek itu sama sekali tidak terguncang, bahkan kedua tangannya terasa nyeri dan lengannya seperti
lumpuh. Kakek itu mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, tiba-tiba tangannya sudah meluncur ke
belakang dan menotok jalan darah di pundak Milana, membuat tubuh dara itu kehilangan tenaga dan roboh
lemas! Totokan kakek itu hebat luar biasa sehingga Milana tidak hanya lemas, akan tetapi juga lumpuh dan
sama sekali tidak dapat digerakkan, kecuali bibir dan pelupuk matanya untuk menangis! Dia rebah miring
dan ujung-ujung rumput yang menggelitik pipi dan daun telinganya amat mengganggu, akan tetapi dia tidak
dapat menggerakkan kepalanya.
Benar seperti dugaan Milana, menjelang pagi, setelah ayam hutan mulai berkeruyuk dan cahaya di langit
timur sudah mulai muncul, baru Wan Keng In muncul, membawa bungkusan nasi, sayur-mayur, dan seguci
arak!
"Milana kekasihku, inilah permintaanmu... heiii! Mengapa kau?" Pemuda itu meletakkan bawaannya,
berlutut dekat Milana dan cepat membebaskan totokan yang membuat dara itu lemas. Begitu terbebas dari
totokan, biar pun tubuhnya masih lemas dan jalan darahnya belum pulih benar, Milana sudah mencelat
bangun dan menyerang Wan Keng In!
"Brukkkk! Heiiiii... mengapa kau ini...?" Keng In cepat menangkap lengan Milana dan merangkulnya,
meringkusnya membuat dara itu tak mampu melepaskan diri. "Milana bidadariku, pujaan hatiku, kenapa
kau...? Mana daging panggang itu dan kenapa kau tertotok?"
Mau rasanya Milana menangis mengguguk. Demikian kecewa dan mendongkol rasa hatinya. Mendengar
pertanyaan ini, timbul akalnya untuk mengadu domba antara guru dan murid ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mau tahu? Tanya saja gurumu tua bangka iblis itu!" Ingin dia membohong, ingin dia menjatuhkan fitnah
kepada kakek yang menyeramkan itu, mengatakan bahwa kakek itu hendak memperkosanya, akan tetapi
karena sejak kecil dia tidak biasa membohong kata-kata ini tidak bisa keluar dari mulutnya.
Keng In menoleh kepada gurunya yang kini sudah membuka matanya. "Suhu, apakah yang terjadi?
Mengapa Suhu membuat Milana rebah dengan totokan?"
"Wan Keng In, engkau ini laki-laki macam apa? Tidak semestinya seorang laki-laki membiarkan dirinya
dihina perempuan! Jika kau suka dia dan dia banyak rewel, paksa saja!"
Milana merasa benci bukan main pada kakek itu setelah melihat kakek itu bicara tanpa menggerakkan bibir
dan mendengar ucapan yang amat menghina dan merendahkan wanita itu. Jika dia tidak tahu bahwa
melawan kakek itu percuma saja, tentu dia sudah menerjang mati-matian.
"Aahhh, Suhu, mana bisa teecu berlaku keras kepada Milana? Tentu dia tadi hendak melarikan diri maka
Suhu menotoknya, bukan? Wah, jangan sekali-kali kau melarikan diri, biar pun aku tidak ada. Masih untung
bahwa Suhu hanya merobohkanmu, tidak membunuhmu."
"Aku tidak takut mati!" Milana membentak.
"Huh, perempuan keras hati ini," kembali kakek itu mengomel. "Dan kau mencinta dia?"
"Benar, Suhu. Aku cinta Milana. Aku ingin menjadikan dia sebagai seorang isteri yang tercinta, yang
membalas cintaku, oleh karena itu, sangat mustahil jikalau aku harus mengganggu badan atau nyawanya
dengan kekerasan. Harap Suhu suka bersabar menghadapi Milana."
"Huh, agaknya kau takut mengganggunya. Anak siapa dia?"
"Dia bukan seorang gadis sembarangan, Suhu. Dia adalah puteri tunggal dari Ketua Thian-liong-pang."
"Huh!" Cui-beng Koai-ong mendengus memandang rendah.
Milana sudah bangkit berdiri dan membusungkan dadanya yang sudah busung itu, suaranya lantang ketika
dia berkata, "Ibuku tidak hanya Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi dia juga Puteri Nirahai puteri Kaisar
yang perkasa, dan ayahku adalah Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Tocu Pulau Es! Kalau
ayah bundaku tahu bahwa aku kalian culik, tentu mereka akan datang dan mencabut nyawa kalian berdua
seperti mencabut rumput saja!"
Kakek yang tadinya kelihatan diam seperti arca itu, kini membuka mata memandang dan Keng In juga
kelihatan terkejut karena dia tidak menyangka-nyangka bahwa dara yang dicintanya itu ternyata adalah
puteri Pendekar Super Sakti. Cui-beng Koai-ong mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau
marah, kemudian tubuhnya mencelat dekat, tangannya bergerak. Milana berusaha mengelak, namun kalah
cepat.
"Brettt-brett-brettt...!"
Milana menjerit kaget melihat tubuhnya yang sudah menjadi telanjang bulat sama sekali karena tiga kali
renggutan oleh tangan Cui-beng Koai-ong tadi sudah membuat seluruh pakaiannya, luar dan dalam,
terobek dan tanggal semua.
"Suhu...!"
Cui-beng Koai-ong melemparkan pakaian itu ke atas tanah. "Perkosa dia! Hayo kau perkosa puteri
Pendekar Siluman ini!" katanya kepada Keng In.
Keng In membuka jubah luarnya dan menubruk gadis telanjang bulat yang matanya terbelalak lebar dan
mukanya pucat, yang dengan sia-sia mencoba menggunakan tangan untuk menutupi tubuhnya,
menutupkan jubah itu menyelimuti tubuh Milana. Dengan cepat gadis itu menggunakan jubah menutupi
tubuhnya dan memandang kepada kakek itu dengan sinar mata penuh kebencian akan tetapi juga
kengerian.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Keng In, perkosa dia!" Kembali Cui-beng Koai-ong berkata. "Kalau tidak, aku yang akan melakukannya!"
"Suhu, jangan, Suhu. Aku ingin mendapatkan dia dengan suka rela karena aku cinta padanya."
"Aku tidak peduli kau cinta atau tidak. Saat ini aku ingin melihat engkau memperkosa seorang perempuan,
dan kau harus melakukan hal itu!"
"Suhu, tunggu...! Ada orang...!" Wan Keng In berseru dan meloncat ke depan.
Benar saja tampak bayangan berkelebatan dan muncullah lima orang yang gerakannya gesit dan bersikap
gagah. Empat orang laki-laki setengah tua yang bersenjata pedang dan seorang wanita berusia tiga
puluhan tahun, juga gagah sikapnya, bersenjata sebatang cambuk.
"Cepat bebaskan Nona itu!" Wanita itu sudah membentak dan cambuknya bergerak mengeluarkan suara
meledak-ledak. Juga empat orang laki-laki itu sudah menerjang maju, disambut oleh Keng In yang sudah
mengeluarkan pedangnya. Begitu pemuda ini mengelebatkan pedangnya, tampak sinar berkilat dan sinar
ini menyambar ke arah empat orang penyerangnya.
"Cringgg trak-trak-trak-trak!"
Empat batang pedang di tangan empat orang laki-laki gagah itu patah semua ketika bertemu dengan Lammo-
kiam di tangan Wan Keng In, bahkan disusul robohnya tubuh mereka yang hampir putus menjadi dua
potong. Mereka roboh dan tak bergerak lagi, mandi darah mereka sendiri.
Milana tadinya hendak bergerak membantu para penolongnya, akan tetapi terpaksa mengurungkan niatnya
karena teringat akan tubuhnya yang telanjang bulat dan hanya terselimut jubah luar. Kalau dia bergerak,
tentu jubahnya terbuka! Apa lagi melihat betapa dalam segebrakan saja Keng In telah membunuh empat
orang itu, harapannya lenyap kembali.
Wanita bercambuk itu menjadi kaget dan marah. Cambuknya menyambar ke arah Wan Keng In yang
sambil tersenyum telah menyarungkan Lam-mo-kiam kembali. Cambuk menyambar dan mengenai leher
Keng In, melibat leher dan wanita itu menarik. Namun, tubuh Keng In sama sekali tidak bergoyang, bahkan
sekali Keng In menarik leher ke belakang, tubuh wanita itu terhuyung ke depan, tertangkap oleh pelukan
kedua lengan Keng In. Wanita itu hendak meronta, akan tetapi cambuknya sudah mengikat kedua
tangannya sehingga tidak dapat berkutik.
"Apakah Suhu masih tetap ingin melihat aku memperkosa perempuan?" Keng In yang sengaja tidak
membunuh wanita ini karena ingin menolong Milana, menoleh kepada gurunya.
"Hem, hayo cepat!" gurunya yang gila itu berkata.
Keng In menotok wanita itu sehingga menjadi lemas, kemudian dia menanggalkan seluruh pakaian wanita
itu satu demi satu, melempar-lemparkan pakaian itu kepada Milana sambil berkata, "Milana, kau pakailah
pakaiannya, pakaianmu sudah robek semua."
Milana tidak mengerti apa yang akan terjadi, akan tetapi melihat pakaian itu dilempar-lemparkan
kepadanya, ia lalu memakainya. Untung bahwa bentuk tubuh wanita itu hanya sedikit lebih besar dari
tubuhnya, maka pakaian itu, dari pakaian dalam sampai pakaian luar, dapat dipakainya dengan baik. Akan
tetapi, betapa kaget dan ngeri hati Milana ketika melihat Keng In mulai menanggalkan pakaiannya sendiri
kemudian menubruk wanita tawanan yang sudah menggeletak di atas rumput tanpa pakaian itu.
"Kau...!" Milana marah bukan main, lupa diri dan bergerak menyerang Keng In.
Tetapi, dengan tangan kirinya Keng In menyambar cambuk wanita tadi, menggerakkan cambuk itu
sehingga ujungnya menotok pundak Milana yang terguling roboh dan tidak mampu bergerak lagi. Gadis ini
mula-mula terbelalak memandang penglihatan yang terjadi hanya dua meter di depan matanya, kemudian
dia memejamkan matanya dan seluruh tubuhnya menggigil. Hatinya penuh dengan kebencian dan dia
berjanji untuk membunuh Wan Keng In dan gurunya itu karena dia menganggap mereka itu bukan
manusia, kejam melebihi binatang buas, bahkan iblis sendiri belum tentu seganas dan sejahat mereka!
Biar pun dia telah memejamkan matanya, namun Milana tetap saja mendengar rintihan wanita itu. Betapa
heran dirinya setelah beberapa lama, terdengar wanita itu berkata diseling isak, "Aku... aku akan
dunia-kangouw.blogspot.com
membantumu... aku bersedia menjadi pembantumu yang setia... asal jangan bunuh aku... ampunkanlah
aku..., aku telah berani menentang seorang gagah seperti engkau..."
Ucapan itu terhenti, terdengar suara "prakkk!" dan keadaan lalu menjadi sunyi. Tidak terdengar apa-apa
lagi. Setelah agak lama, baru Milana merasa pundaknya disentuh dan dia terbebas dari totokan. Dibukanya
matanya dan dia terbelalak. Sinar matahari pagi menimpa tubuh yang telanjang bulat, tubuh yang berkulit
putih bersih, akan tetapi kini kulit yang putih kuning itu telah berlepotan darah, di antaranya darah yang
masih menetes keluar dari kepalanya yang pecah!
"Ihhh...!" Milana menutupi mata dengan kedua tangannya.
Wan Keng In yang sudah berpakaian lagi itu merangkulnya dan berbisik, "Terpaksa kulakukan untuk
memuaskan hati Suhu, dan sebagai penggantimu..."
Biar pun masih nanar, Milana maklum apa artinya semua itu, dan kejijikan terhadap Keng In makin
menghebat. Direnggutnya secara kasar tubuhnya dari rangkulan Keng In.
Tiba-tiba Wan Keng In meloncat ke atas batu besar di puncak itu, memandang ke arah sekeliling.
Kemudian dia melayang turun lagi, berkata kepada suhu-nya yang masih duduk di atas batu, "Suhu,
kurang lebih lima puluh orang telah mengurung puncak ini, agaknya teman-teman lima orang itu.
Bagaimana baiknya? Apakah teecu amuk dan bunuh saja mereka?"
"Mana anak buah kita?" Kakek itu berkata tak acuh.
"Belum ada yang muncul, Suhu."
"Hemmm..., panggil mereka. Suruh mereka basmi anjing-anjing itu!"
Keng In lalu membuat api unggun, terus ditambahi dahan dan daun kering sehingga bernyala besar sekali.
Kemudian dia menggunakan tenaga khikang untuk meniup dan setiap kali tiup, segumpal asap hitam
bergulung-gulung ke angkasa. Beberapa kali dia lakukan hal ini dalam jarak-jarak waktu tertentu. Milana
hanya memandang dengan heran. Hatinya tegang. Benarkah ada lima puluh orang mengurung tempat ini?
Siapakah mereka? Dan siapa pula lima orang yang berusaha menolongnya akan tetapi tewas semua ini?
"Ibuuuuuuu...!" Tiba-tiba Milana berteriak sambil mengerahkan khikang-nya. Suaranya melengking tinggi
dan bergema di seluruh lereng gunung.
"Milana, jangan...!" Keng In meloncat dengan sigapnya, mengejar gadis yang berusaha melarikan diri itu
dan seperti ketika pertama kali dia menculik Milana, gadis itu dikempit pinggangnya dan dipanggulnya
setelah ditotok lemas.
Milana meronta-ronta tanpa hasil. Tiba-tiba terdengar suara melengking panjang, akan tetapi suara itu
mengecewakan hati Milana karena bukan lengking suara ibunya, bukan pula suara ayahnya yang sudah
dikenalnya. Dan ternyata memang bukan karena Keng In segera mengeluarkan teriakan yang sama
sebagai jawaban. Tak lama kemudian Milana mendengar suara hiruk-pikuk orang bertanding di sekeliling
puncak.
"Suhu, anak buah kita sudah mulai berpesta membunuhi mereka," Keng In berkata dan gurunya hanya
mendengus.
"Tahukah engkau, Milana? Anak buah kita, para penghuni Pulau Neraka, telah datang. Sebentar lagi
orang-orang yang mengurung kita tentu akan terbasmi dan kita akan melanjutkan perjalanan ke Pulau
Neraka. Jangan mencoba untuk lari lagi, Manis. Kau tahu hal itu percuma, dan pula, bukankah aku sudah
bersikap baik terhadapmu? Aku cinta padamu. Milana, berilah ciuman..." Keng In mendekatkan mulutnya,
akan tetapi Milana berkata dengan suara mendesis saking marahnya.
"Aku berjanji takkan melarikan diri, berjanji akan menyerah. Akan tetapi kalau kau berani menciumku,
berani menjamahku, biar pun aku tidak dapat melawanmu, aku akan membunuh diri!"
Mulut Keng In yang sudah hampir menyentuh pipi Milana itu ditarik ke belakang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aihhh... jangan, Manis. Kalau kau bunuh diri, habis aku bagaimana...?" Ucapannya terdengar tolol dan
kekanak-kanakan, atau seperti ucapan orang yang tidak waras otaknya.
"Kalau begitu, lepaskan aku. Aku takkan lari."
Keng In cepat menurunkan tubuh Milana dan membebaskan totokannya. Mereka bertiga duduk di situ
menanti sampai suara hiruk-pikuk dari senjata beradu dan teriakan kematian diseling sorak kemenangan
itu makin berkurang, akhirnya berhenti. Tak lama kemudian tampak bermunculan tiga puluh lebih orangorang
Pulau Neraka yang mukanya berwarna-warni, ada yang merah, biru, hijau, merah muda dan hijau
pupus. Mereka semua menjatuhkan diri berlutut di depan Keng In dan Cui-beng Koai-ong.
"Mohon ampun atas kelambatan kami, Siauw-tocu."
"Tidak mengapa," kata Keng In kepada seorang kakek berkepala gundul bermuka merah muda yang
memimpin rombongan orang Pulau Neraka itu. "Kong To Tek, siapa para pengepung tadi dan bagaimana
keadaan mereka sekarang?"
"Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang bergabung dengan pengawal-pengawal yang dipimpin oleh
seorang panglima pengawal. Kami telah menyerbu dan menurut penglihatan kami, mereka yang jumlahnya
lima puluh dua orang telah mati semua, Siauw-tocu. Kami menanti perintah selanjutnya."
"Bagus! Sediakan sebuah perahu, kami hendak kembali ke Pulau Neraka."
Orang-orang yang berlutut itu mengangkat muka dan kelihatan terkejut dan tidak menyangka-nyangka.
"Dan kami..., Siauw-tocu?"
"Kalian juga. Kita bangun kembali pulau kita, aku yang akan memimpin bersama calon isteriku ini, dibantu
oleh Suhu."
Orang-orang itu bersorak girang. "Perahu sudah siap di pantai dekat goa Naga Hitam, Siauw-tocu."
Sebentar saja mereka sudah menuntun datang beberapa ekor kuda, yaitu tunggangan para penyerbu yang
telah tewas semua itu. Para pengurung puncak itu memang benar rombongan pengawal dari kota raja
yang dipimpin oleh seorang panglima. Rombongan ini berhasil mengikuti jejak Wan Keng In dan di
sepanjang jalan mereka minta bantuan orang-orang kang-ouw, termasuk empat orang dan seorang wanita
yang telah lebih dulu menjadi korban keganasan Wan Keng In itu.
"Apakah Suhu juga hendak menunggang kuda?" Wan Keng In bertanya ragu kepada suhu-nya. Biar pun
kakek itu gurunya, namun dia sama sekali tidak mengenal betul keadaan kakek itu, yang gerak-geriknya
penuh rahasia dan tidak pernah mau bercerita tentang dirinya sendiri.
Cui-beng Koai-ong mendengus, kemudian sekali berkelebat, tubuhnya yang kaku itu telah lenyap. "Suhu
telah pergi lebih dulu ke Pulau Neraka. Hanya kalian kawal kami berdua. Semua orang harus tunduk dan
hormat kepada Puteri Milana ini, dia adalah calon isteriku. Siapa yang membuat hatinya tidak senang akan
kubunuh!"
Semua orang itu adalah tokoh-tokoh Pulau Neraka dan sebagian di antara mereka sudah mengenal
Milana, bahkan sudah pernah bentrok dengan gadis ini ketika Milana memimpin orang-orang Thian-liongpang.
Mereka tahu bahwa Milana adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, maka mendengar bahwa dara
yang cantik jelita dan perkasa itu akan menjadi isteri majikan mereka, hati mereka menjadi terheran-heran,
akan tetapi juga girang.
Berangkatlah Keng In dengan rombongannya. Milana yang tidak mempunyai harapan untuk dapat lolos lagi
itu, kini menurut saja. Yang penting baginya sekarang adalah mencegah Keng In memaksanya sebagai
isterinya, dan tentang meloloskan diri, akan diatur sebaiknya kalau sudah ada kesempatan terbuka.
Tiada halangan terjadi yang menghalangi rombongan ini sampai mereka menggunakan perahu
melanjutkan perjalanan dan tiba di Pulau Neraka. Milana merasa ngeri melihat keadaan pulau ini. Sebuah
pulau liar penuh dengan binatang buas yang beracun, dan biar pun sudah pernah diserbu dan dibakar oleh
pasukan pemerintah yang amat kuat, kini tidak kehilangan keangkerannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia tidak banyak memperlihatkan perlawanan, bahkan membantu ketika Keng In dan anak buahnya
membangun kembali bangunan yang telah terbakar. Bahkan dia bersikap baik terhadap Cui-beng Koai-ong
yang sudah lebih dulu berada di pulau itu. Dengan perantaraan Keng In, gadis ini malah mulai mempelajari
ilmu-ilmu aneh dan mukjizat dari Cui-beng Koai-ong!
"Aku hanya bersedia menjadi isterimu dengan satu syarat, yaitu ayah bundaku harus menyetujuinya.
Sebelum itu, biar kau paksa sekali pun, aku tidak akan menurut dan kalau kau menggunakan paksaan, aku
akan membunuh diri lalu rohku akan selalu mengejarmu untuk membalas dendam."
Ucapan yang dikeluarkan Milana dengan sungguh-sungguh ini membuat Wan Keng In maklum bahwa dia
harus memenuhi permintaan itu sebelum dia dapat menundukkan dara itu agar secara suka rela menjadi
isterinya. Dia merasa tersiksa sekali karena harus menahan nafsunya yang kadang-kadang membakar
dirinya. Dia terlalu mencinta Milana dan ingin hidup selamanya di samping wanita ini, maka betapa pun
sukarnya, dia akan mengusahakan agar orang tua dara itu menyatakan persetujuannya, kalau perlu
dengan kekerasan dan untuk ini dia mengandalkan bantuan gurunya.
Mulailah sebuah kehidupan baru bagi Milana, di atas Pulau Neraka yang sedang dibangun oleh Keng In, di
mana dia dikenal sebagai calon isteri Siauw-tocu, dan di mana dia harus mempergunakan seluruh
kecerdikannya untuk menyelamatkan diri dari gangguan Keng In tanpa menimbulkan kecurigaan pemuda
luar biasa itu.
********************
Andai kata tidak ada Kwi Hong yang menjadi petunjuk jalan, biar pun Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian
Tok Lama dan beberapa orang panglima pembantunya pernah melawat ke Pulau Es, namun agaknya
perahu mereka itu takkan pernah dapat sampai ke Pulau Es. Berkat petunjuk Kwi Hong, biar pun makan
waktu sampai dua pekan, akhirnya sampai juga perahu besar itu dan mendarat di Pulau Es. Kwi Hong
melompat ke darat lebih dahulu. Hatinya terharu sekali menyaksikan pulau di mana dia tinggal sejak kecil
yang kini keadaannya sudah banyak rusak, istana pulau yang dari jauh sudah kelihatan runtuh bekas
terbakar.
Teringat ia akan pemuda Thung Ki Lok yang mencintanya dan tewas oleh pengkhianat Kwee Sui, teringat
akan para paman pembantu Pendekar Super Sakti yang tewas dalam pertempuran ketika pasukan
pemerintah menyerbu. Hatinya menjadi terharu sekali, akan tetapi tidak ada setitik pun air mata tumpah.
Hati dara ini telah mengeras karena gemblengan-gemblengan pengalamannya.
Para tokoh yang membantu Bhong Ji Kun mengikuti bekas Koksu itu meloncat turun pula. Mereka itu
adalah Thian Tok Lama yang mengiringkan Pangeran Yauw Ki Ong yang digandeng oleh dua orang
selirnya, yaitu bekas-bekas pelayan yang masih bisa melarikan diri bersamanya, disusul oleh Liong Khek,
tokoh kurus muka pucat yang tidak ketinggalan membawa senjatanya yang istimewa, yaitu sebatang
gagang pancing lengkap dengan tali dan mata kailnya, Gozan jagoan Mongol yang bertubuh tinggi besar
bagaikan raksasa, Thai-lek-gu Si Pendek Gendut bertangan panjang yang bersenjata sepasang golok, dan
seorang yang tinggi besar bersenjata tombak panjang.
Orang ini sikapnya kereng, gerak-geriknya gesit dan dihormat oleh pembantu lainnya. Dia adalah seorang
ahli tombak dari selatan, berjuluk Sin-jio (Tombak Sakti) bernama Ciat Leng Souw. Memang ilmu
tombaknya hebat bukan main, juga tenaga sinkang-nya amat kuat sehingga di dalam rombongan itu,
kiranya hanya Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama saja yang akan mampu menandingi tombaknya yang
lihai! Pantas kalau dia dihormat oleh para pembantu bekas Koksu itu.
Selain para jagoan ini, juga ada beberapa orang panglima yang berkepandaian tinggi, dan beberapa orang
pelayan biasa, tukang kuda yang bertugas sebagai tukang perahu dalam pelayaran itu. Mereka
berbondong turun dan kasihan sekali para pelayan yang tidak memiliki kepandaian tinggi karena begitu
mendarat di Pulau Es, mereka sudah menderita kedinginan!
Rombongan Pangeran Yauw Ki Ong yang dikawal Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun ini bersama Kwi Hong
jumlahnya masih ada dua puluh orang. Segera atas perintah Bhong Ji Kun, mereka mulai membetulkan
bekas istana Pulau Es yang telah terbakar itu. Karena istana itu memang besar dan jumlah mereka tidak
begitu banyak, maka tempat itu cukup untuk melindungi mereka dari hawa dingin. Sebuah api unggun yang
besar terpaksa harus dinyalakan terus di dalam istana itu melawan hawa dingin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika Kwi Hong yang telah rindu kepada pulau ini mengadakan peninjauan seorang diri, kesempatan ini
dipergunakan oleh Bhong Ji Kun untuk mengajak Pangeran Yauw dan para kaki tangannya untuk
berunding. Mereka tadinya membujuk Kwi Hong selain untuk menarik Pendekar Super Sakti di pihak
mereka, juga untuk memanfaatkan tenaga gadis itu. Sekarang, setelah Kwi Hong berhasil mengantar
mereka ke Pulau Es, mereka harus cepat mengambil keputusan menundukkan gadis itu sebelum gadis
berwatak keras dan aneh sukar ditundukkan itu berubah pikiran dan memberontak.
Tetapi diam-diam Bhong Ji Kun dan dibantu oleh Thian Tok Lama dan Sin-jio Ciat Leng Souw melakukan
penyelidikan di sekitar pulau sambil mencari-cari pusaka-pusaka Pulau Es itu. Namun usaha mereka tidak
ada hasilnya, maka pada keesokan harinya, Bhong Ji Kun mengundang Kwi Hong untuk mengadakan
perundingan. Mereka semua berkumpul di dalam ruangan istana, tentu saja para pelayan dan dua orang
selir Pangeran Yauw yang tidak ikut.
Kwi Hong masih belum lagi menyadari keadaannya sehingga dia tidak curiga ketika dipersilakan duduk, di
antara Thian Tok Lama dan Bhong Ji Kun, sedangkan Ciat Leng Souw duduk di sebelah belakangnya,
berhadapan dengan Pangeran Yauw dan para panglima.
"Giam-lihiap, kami berterima kasih sekali bahwa lihiap telah suka membawa kami untuk berlindung di pulau
ini. Terpaksa kita semua harus tinggal untuk sementara di sini selama kekuatan pasukan kita belum
tersusun. Kita harus mengadakan hubungan dengan saudara-saudara di Mongol, Tibet, dan Nepal, juga
mengadakan perhubungan baru dengan kaum orang gagah di pedalaman yang mendendam sakit hati
kepada Kaisar. Karena itu, sambil menanti keadaan dan untuk menghilangkan rasa kesepian di pulau yang
dingin ini, kami harap saja Lihiap suka memperlihatkan setia kawan dan suka mengeluarkan kitab-kitab
pusaka Pulau Es agar kita dapat mempelajarinya untuk menambah pengetahuan."
Ucapan Bhong Ji Kun ini terdengar seperti guntur di siang hari oleh Kwi Hong. Sama sekali tidak pernah
disangkanya bahwa bekas Koksu ini akan mengeluarkan pernyataan seperti itu, karena soal pusaka Pulau
Es tadinya tidak pernah disinggung dalam persekutuan dan kerja sama mereka.
"Apakah yang kau maksudkan, Bhong-Koksu?" Biar pun sekarang bukan Koksu lagi, namun Kwi Hong dan
beberapa orang lain masih menyebut Koksu, hal ini adalah karena memang dia dicalonkan sebagai Koksu
juga kalau Pangeran Yauw Ki Ong berhasil dengan pemberontakan itu dan merebut tahta kerajaan.
"Maksudku sudah jelas, Nona." Suara Bhong Ji Kun terdengar halus namun dingin dan penuh ejekan.
"Ketika kami bertugas menyerbu pulau ini, kami tidak dapat menemukan pusaka-pusaka yang tersimpan di
Istana Pulau Es. Padahal Istana Pulau Es dahulu adalah tempat tinggal Manusia Dewa Bu Kek Siansu
yang terkenal. Maka kami merasa yakin bahwa pusaka-pusaka itu tentulah disimpan dan disembunyikan,
dan Nona sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, tentu dapat mengetahui
tempat penyimpanannya."
Bukan main marahnya hati Kwi Hong. Mukanya menjadi merah sekali dan suaranya lantang ketika dia
menjawab, "Aku tidak mengerti mengapa engkau membawa-bawa urusan pusaka ke dalam kerja sama kita
ini, Bhong-koksu. Akan tetapi sesungguhnya aku tidak tahu akan pusaka yang disimpan. Semua pusaka
dan benda berharga Pulau Es telah dibagi-bagikan oleh paman kepada para anggota sebelum dibubarkan,
dan kalau kau maksudkan kitab-kitab, semua itu hanya paman yang mengetahui dan menyimpannya."
"Mustahii Giam-lihiap sebagai muridnya tidak tahu di mana disembunyikannya kitab-kitab itu? Pinceng
(Saya) rasa lebih baik Lihiap memperlihatkan kepada Bhong-koksu sehingga terbuktilah bahwa Lihiap
memang benar-benar ingin bekerja sama dengan kami," kata Thian Tok Lama mendesak.
"Aku tidak tahu! Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Kalau tidak percaya, habis kalian mau apa?" Kwi
Hong sudah marah sekali dan kedua tangannya yang berada di atas meja dikepal keras.
"Hemm, Lihiap masih bersikap keras kepada kami. Padahal Lihiap adalah pembantu kami dan sebagai
pembantu harus taat kepada pimpinan. Perlukah kami harus mengambil jalan kekerasan?"
"Brakkkk!" Kwi Hong bangkit berdiri dan menggunakan tangannya menggebrak meja. Alisnya diangkat
ketika matanya dilebarkan, memandang dengan sinar berapi kepada Bhong Ji Kun. "Boleh saja! Siapa
takut akan jalan kekerasanmu?"
Pangeran Yauw segera bangkit berdiri, ia mengangkat kedua tangannya ke atas. "Aih-aih... apa perlunya
semua ini? Giam-lihiap, harap suka duduk kembali dan harap suka bersabar. Bhong-koksu, tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
semestinya mendesak Lihiap. Kalau Lihiap bilang tidak tahu tentu benar-benar tidak tahu. Giam-lihiap
adalah sahabat kita, bahkan aku telah menganggapnya sebagai pengawal yang paling kupercaya. Di
antara orang sendiri tidak semestinya terjadi keributan hanya karena soal kecil saja."
Bhong-koksu tersenyum lebar dan cepat dia berdiri dan menjura ke arah Kwi Hong sambil berkata, "Ahhh,
kami sudah terburu nafsu dan harap maafkan kami, Lihiap. Agaknya kekalahan yang kami derita, kemudian
keadaan yang penuh kesukaran di sini membuat kami lupa diri. Tetapi, hendaknya Lihiap juga tidak selalu
memperlihatkan sikap keras. Sikap Lihiap tentu saja menimbulkan keraguan kami dan hanya ada satu jalan
yang kiranya akan membuat keraguan kami lenyap sama sekali, dan bahkan mendatangkan keyakinan di
dalam hati kami akan kesetia-kawanan Lihiap terhadap persekutuan kami."
Kwi Hong mengira bahwa tentu Koksu itu tetap akan minta pusaka Pulau Es, dan kini dengan jalan halus
dan bujukan, maka dengan kemarahan ditahan dia bertanya, "Satu jalan apakah yang kau maksudkan?"
Koksu melirik ke arah Pangeran Yauw Ki Ong yang tersenyum dan mengangguk-angguk, kemudian
berkata, "Pangeran telah membuka rahasia hatinya kepadaku. Semenjak beliau bertemu dengan Lihiap,
beliau telah tertarik dan jatuh cinta kepada Lihiap. Maka Pangeran berkenan mengambil Lihiap sebagai
selir, dan tentu saja kelak kalau perjuangan kita sudah berhasil, Lihiap akan diperisteri secara resmi dan
besar kemungkinan Lihiap kelak akan menjadi permaisuri."
Wajah Kwi Hong menjadi pucat seketika, kemudian berubah merah. Maklumlah dia bahwa orang-orang
yang disangkanya sahabat ini ternyata adalah orang-orang yang memiliki niat jahat terhadap dirinya, dan
ternyata selama ini dia dikelilingi oleh musuh! Teringatlah dia akan arak suguhan Pangeran Yauw dan
tentang surat peringatan yang dikirim secara aneh penuh rahasia oleh orang tak dikenal. Bukan main rasa
menyesalnya. Dia telah membantu orang-orang jahat ini! Bahkan dia telah membawa mereka ke Pulau Es!
Apakah yang telah dia lakukan?
Akan tetapi dia masih menahan sabar dan bangkit berdiri sambil berkata, "Aku tidak dapat menerima
permintaan itu!"
Tentu saja semua ini memang telah direncanakan oleh Bhong Ji Kun, Pangeran Yauw dan para
pembantunya. Sama sekali bukan maksud mereka untuk mengangkat dara itu menjadi permaisuri. Maksud
sesungguhnya adalah kalau sampai Kwi Hong dapat diperisteri oleh Pangeran Yauw, otomatis Pendekar
Super Sakti tentu kelak akan mau membantu usaha pemberontakan mereka.
Sekarang melihat sikap Kwi Hong yang dengan keras menolak, Bhong Ji Kun dan para pembantunya
meloncat mundur, Pangeran Yauw cepat menyelamatkan diri dan mundur di belakang para jagoannya dan
mereka membuat gerakan mengurung Kwi Hong yang masih berdiri tegak dengan sikap gagah, tangan kiri
bertolak pinggang, tangan kanan dengan jari-jari terbuka siap di dekat gagang pedang Li-mo-kiam!
"Jika begitu, jelas engkau tidak berniat baik, maka terpaksa kami harus menggunakan kekerasan!" Bhong
Ji Kun berkata sambil mencabut senjatanya, pecut kuda berbulu merah dan sebatang golok besar.
Thian Tok Lama juga sudah mengeluarkan sebatang tongkat pendeta, sebuah senjata baru yang kini selalu
dipegangnya karena pendeta ini dalam pengalamannya maklum bahwa kedua tangan kosongnya yang
biasanya amat ampuh itu tidak cukup untuk menghadapi seorang lawan tangguh seperti murid Pendekar
Super Sakti ini. Sin-jio Ciat Leng Souw Si Tombak Sakti sudah siap pula dengan tombak gagang panjang
dilintangkan di depan dada, demikian pula para tokoh pembantu Koksu yang lain telah pula siap dengan
senjata masing-masing mengurung Kwi Hong.
"Bhong-koksu, harap jangan melukainya, apa lagi membunuhnya," berkata Pangeran Yauw sebelum
mengundurkan diri dari ruangan luas itu.
"Ha-ha, jangan khawatir, Ong-ya. Akan hamba tangkap hidup-hidup untuk Paduka."
Kemarahan hati Kwi Hong yang terdorong rasa penyesalan besar itu tidak dapat ditahannya lagi. Sambil
mengeluarkan seruan melengking tinggi nyaring, dara perkasa itu sudah menerjang maju, menggerakkan
pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat dan dia telah menerjang Bhong Ji Kun yang amat dibencinya.
Kakek ini cepat-cepat mengelak dan dia masih sempat berseru, "Ingat jangan bentur senjatanya!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang sebelum terjadi pengeroyokan ini, Koksu telah mengatur terlebih dahulu siapa yang akan
menghadapi dara ini, dan mereka semua telah diperingatkan untuk tidak mengadu senjata mereka dengan
pedang Li-mo-kiam yang amat ampuh itu. Maka semua serangan Kwi Hong hanya dielakkan oleh yang
diserangnya, sedangkan teman lain cepat turun tangan menerjang dara itu dari belakang sehingga yang
diserang oleh Kwi Hong selalu tertolong, sebaliknya dara itu sendiri yang menghadapi serangan serentak
dari belakang dan kanan kiri.
Terjadilah pertandingan mati-matian bagi Kwi Hong karena para pengeroyoknya adalah orang-orang yang
tinggi ilmu kepandaiannya. Yang mengepungnya berjumlah sepuluh orang, dan sebagian besar dari
mereka yang paling lihai semua memegang senjata panjang. Bhong Ji Kun dengan cambuk merahnya,
Thian Tok Lama dengan tongkat pendetanya, Ciat Leng Souw dengan tombak panjangnya, Liong Khek
dengan senjata pancingnya, Thai-lek-gu dengan sepasang golok, dan empat panglima lain yang bersenjata
pedang. Hanya Gozan yang bertangan kosong, akan tetapi raksasa Mongol ini tidak ikut menerjang maju,
hanya siap untuk turun tangan kalau keadaan mengijinkan untuk menangkap dara itu hidup-hidup seperti
yang dikehendaki Pangeran Yauw Ki Ong tadi.
Giam Kwi Hong adalah murid Pendekar Super Sakti, dan dia bahkan telah digembleng oleh Bu-tek Siauwjin,
tentu saja ilmu silatnya hebat. Apa lagi di tangannya ada Li-mo-kiam yang ampuh, maka andai kata
diadakan pertandingan satu lawan satu, kiranya hanya Bhong Ji Kun seoranglah yang akan mampu
mengatasinya, sedangkan Thian Tok Lama dan Ciat Leng Souw kiranya akan menghadapi kesukaran
hebat untuk dapat mengalahkan dara perkasa ini.
Akan tetapi kini dia dikepung ketat oleh sepuluh orang, dan mereka itu bersikap hati-hati, tidak mau
menangkis pedang Li-mo-kiam, melainkan selalu menyerang serentak dari belakang kalau dia menyerang
seorang di antara mereka. Senjata mereka panjang dan ini masih ditambah oleh pukulan-pukulan sinkang
jarak jauh yang dilontarkan oleh Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama. Tentu saja Kwi Hong menjadi repot
sekali, bahkan beberapa kali dia terhuyung oleh angin pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang yang dilakukan oleh
Thian Tok Lama.
Pendeta Tibet ini memang terkenal sekali dengan ilmu pukulannya ini, pukulan mukjizat yang dapat
merobohkan lawan dari jarak jauh. Tangan kanannya berubah menjadi biru dan setiap kali dia melakukan
pemukulan dengan dorongan telapak tangan, dari perutnya terdengar bunyi kok-kok seperti ayam betina
habis bertelur, dan dari telapak tangannya menyambar uap hitam!
Yang amat merepotkan Kwi Hong adalah ujung pecut merah Bhong Ji Kun yang menyambar-nyambar dari
atas, meledak-ledak dan mengancamnya dengan totokan-totokan maut. Namun Kwi Hong tidak menjadi
jeri dan sudah mengambil keputusan untuk bertanding mati-matian mempertaruhkan nyawa. Karena dia
maklum bahwa di antara mereka semua, yang paling lihai adalah Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama, maka
kedua kakek inilah yang menjadi sasaran utama dari sinar pedangnya.
Dengan gerakan yang amat cepat disertai bentakan nyaring, pedang Li-mo-kiam yang berubah menjadi
sinar kilat itu menyambar ke atas lalu meluncur ke arah tenggorokan Thian Tok Lama yang cepat meloncat
ke belakang. Tetapi sinar pedang itu mengejar terus. Mata pendeta Tibet itu menjadi silau dan terpaksa
dengan kaget sekali dia menangkis dengan ujung tongkatnya. Sementara itu, Bhong Ji Kun melihat
temannya terancam bahaya, sudah menggerakkan cambuknya dan ujung pecut ini menyambar ke arah
jari-jari tangan kanan Kwi Hong yang menggenggam gagang pedang. Hal ini sudah dijaga oleh Kwi Hong,
maka tanpa menghentikan serangannya kepada Thian Tok Lama, dia merubah kedudukan kaki sehingga
tubuhnya membalik, tangan kirinya menyambar dan menangkap ujung pecut itu sambil mengerahkan
tenaga menahan!
"Crokkk!"
Ujung tongkat Thian Tok Lama terbabat patah sedikit dan sinar pedang Li-mo-kiam masih terus
menyambar tenggorokannya. Pendeta itu berteriak kaget, dengan terpaksa membuang tubuhnya ke
belakang dan bergulingan. Biar pun dia kaget setengah mati, dan ujung tongkatnya patah, namun dia
selamat.
Dengan tangan kiri masih memegang ujung pecut, Giam Kwi Hong menggerakkan pedangnya yang gagal
mengenai Thian Tok Lama untuk menangkis datangnya senjata yang bertubi-tubi. Semua senjata cepat
ditarik kembali karena takut terbabat rusak, akan tetapi tali pancing itu di tangan Liong Khek Si Muka Pucat
telah melibat pedang, sedangkan Ciat Leng Souw yang melihat pedang yang ditakuti itu sementara tak
dunia-kangouw.blogspot.com
dapat dipergunakan karena terlibat tali pancing, cepat membabatkan tombaknya ke arah kedua kaki Kwi
Hong!
Dara perkasa itu terkejut sekali. Tangan kirinya masih memegang ujung cambuk Bhong Ji Kun dan
pedangnya tertahan oleh tali pancing, kini kedua kakinya terancam bahaya diserampang oleh tombak.
Maka dia lalu menggunakan tenaga pertahanan cambuk dan tali pancing, menggenjot tubuhnya dan
meloncat ke atas sehingga sambaran tombak itu lewat di bawah kakinya. Tetapi pada saat itu, Gozan yang
sejak tadi telah siap menanti saat baik, menubruk ke depan, kedua lengannya yang panjang berbulu dan
besar itu telah merangkul tubuh Kwi Hong, meringkusnya dengan kekuatan seekor gajah!
Sebelum Kwi Hong yang kaget sekali dapat melawan, Koksu telah menotok pundak kirinya sedangkan
gagang tombak Ciat Leng Souw telah mengetuk lututnya. Tubuh dara itu lemas dan dia tidak dapat
bergerak lagi, tak dapat melawan ketika kaki tangannya dibelenggu dan dia diseret dan dilempar ke dalam
sebuah kamar di istana itu, dipaksa rebah di atas pembaringan dan kaki tangannya dibelenggu pada kaki
pembaringan!
Pangeran Yauw minta dengan sangat kepada Koksu agar Kwi Hong tidak diganggu, dan hal ini pun
dipenuhi oleh Koksu yang melarang para pembantunya mengganggu tawanan itu. Dia masih menaruh
harapan besar agar Kwi Hong dapat ditundukkan, karena hal ini akan menguntungkan mereka. Sebaliknya,
kalau terpaksa gagal, mereka tentu akan dimusuhi oleh Pendekar Super Sakti dan hal ini tidak
menguntungkan usaha pemberontakan mereka. Karena inilah maka Koksu memerintahkan kepada para
pembantunya yang melakukan penjagaan untuk mengirim makan minum kepada tawanan itu dan
memperlakukannya baik-baik.
Akan tetapi, Kwi Hong sama sekali tidak mau makan, bahkan setiap kali ada yang memasuki kamar
tahanan, dia memaki-maki dan berusaha meronta. Wajahnya menjadi pucat setelah selama dua hari dua
malam dia tidak makan, tidak minum, dan tidak tidur sama sekali. Mendengar laporan tentang dara itu,
Pangeran Yauw menjadi khawatir akan keselamatan Kwi Hong, maka dia mengambil keputusan untuk
membujuk sendiri.
Demikianlah pada hari ketiga, setelah menyuruh para penjaga menjauhkan diri agar tidak menyaksikan
pertemuan itu, Pangeran Yauw seorang diri lalu memasuki kamar tempat Kwi Hong ditahan. Begitu masuk,
pangeran itu mengeluh dan berlutut di dekat pembaringan di mana Kwi Hong dibelenggu kaki tangannya.
"Ahhh, betapa sakit hatiku melihat keadaanmu seperti ini, Nona. Mengapa engkau berkeras kepala? Kalau
tidak aku yang minta-minta kepada mereka, tentu engkau telah dibunuh atau diperlakukan lebih
mengerikan dari pada kematian. Aku yang minta agar kau tidak diganggu dan dilayani sebaiknya, akan
tetapi engkau tetap keras hati."
"Cukup! Mau apa engkau datang ke sini? Mau bunuh, bunuhlah. Siapa takut mati? Mendengarkan
omonganmu yang beracun lebih mengerikan dari pada menghadapi maut!"
"Aihhhh, Kwi Hong... kenapa engkau bersikap begini? Tidakkah engkau melihat bahwa semua kesabaran
itu, semua kerendahan ini kulakukan karena aku cinta padamu? Karena aku tergila-gila kepadamu?
Engkau menurutlah menjadi isteriku, kelak engkau akan kuangkat menjadi permaisuri, dan...," suara
Pangeran Yauw menurun menjadi bisikan halus, "...sakit hatimu akan terbalas semua. Setelah aku berhasil
dengan perjuanganku, aku akan menghukum mampus Bhong-koksu dan semua pembantunya yang telah
menghinamu... kau mau bukan menjadi kekasihku, menjadi permaisuriku, sayang?"
"Cuhhh...!" Kwi Hong meludah dan tepat mengenai pipi kanan pangeran itu.
"Aduhhh...!" Pangeran itu terjengkang dan meraba pipinya yang terasa nyeri seperti dihantam benda keras.
Matanya terbelalak penuh kemarahan, telunjuknya menuding ke arah muka Kwi Hong. "Perempuan laknat!
Berani engkau meludahi aku? Aku akan menyiksamu untuk penghinaan ini! Akan kusuruh semua orang
memperkosamu di depan mataku, sampai engkau mampus...!"
Pangeran Yauw tak dapat melanjutkan kata-katanya karena tiba-tiba sebuah ledakan terdengar dan sinar
merah menyambar ke lehernya, tubuhnya terangkat ke atas dan ternyata dia sudah tergantung di ujung
cambuk yang dipegang oleh Koksu. Mata pangeran itu mendelik, kaki tangannya bergerak-gerak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemm... engkau hendak membunuh kami kelak, ya? Pengkhianat tak tahu malu, tak mengenal budi!"
Bhong Ji Kun melemparkan tubuh di ujung cambuk itu kepada Gozan yang bersama yang lain ikut pula
masuk, lalu berkata, "Lemparkan dia dalam keadaan telanjang bulat ke luar!"
Pangeran Yauw berteriak-teriak minta ampun dan melimpahkan janji-janji muluk, tetapi Gozan
mengangkatnya seperti seorang mengangkat anak kecil, membawanya keluar dari istana. Pangeran itu
meronta-ronta, meratap-ratap, namun tidak ada yang suka atau berani menolongnya. Dengan renggutanrenggutan
tangannya yang kuat, Gozan menelanjangi pangeran itu hingga tak ada secarik kain pun yang
melindungi tubuhnya ketika tubuh itu dilempar ke atas salju yang dingin. Pangeran itu berlutut,
menyembah-nyembah minta ampun, akan tetapi setiap kali dia hendak lari ke istana mencari tempat
berlindung dari hawa dingin, dia ditendang ke luar. Akhirnya suara ratapannya makin lemah, tak lama
kemudian dia sudah rebah meringkuk dengan tubuh beku kedinginan di atas tumpukan salju!
Dua orang pelayan wanita yang tadinya menjadi selir pangeran dan selalu dipandang dengan sinar mata
penuh iri oleh anggota rombongan yang lain, kini menjadi rebutan di antara para pembantu Bhong Ji Kun,
kecuali Thian Tok Lama dan Ciat Leng Souw yang telah tua. Satu-satunya nafsu keinginan mereka
hanyalah mengejar kedudukan dan kemuliaan. Lalu atas perintah Bhong Ji Kun, kedua orang pelayan
muda itu harus menyerahkan diri kepada Liong Khek Si Muka Pucat dan Gozan raksasa Mongol!
Memang patut dikasihani seorang manusia yang hidupnya dikuasai nafsu-nafsu keinginan seperti
Pangeran Yauw Ki Ong. Dia sebagai seorang makhluk manusia dengan penghidupannya sama sekali tidak
ada artinya, tidak penting lagi karena yang terpenting hanyalah pengejaran segala keinginannya itulah.
Ketika tergila-gila kepada Kwi Hong, agaknya pangeran yang entah sudah berapa ratus kali berganti selirselir
baru itu, bersedia untuk bersumpah bahwa dia mencinta Kwi Hong. Akan tetapi kenyataannya, begitu
Kwi Hong menolak cintanya, perasaannya yang disebut cinta itu berubahlah menjadi benci yang hebat!
Cinta macam itu sungguh tidak ada harganya!
Cinta yang begitu mudah merubah diri menjadi benci, hanyalah nafsu birahi, yang nilainya sama rendah
dengan benci. Namun, betapa banyaknya orang yang masih belum sadar akan hal ini, menganggap
dengan penuh keyakinan bahwa perasaan seperti itu adalah cinta! Bahkan cinta suci katanya! Ada yang
kalau cintanya ditolak berubah benci. Ada pula yang cintanya ditolak lalu membunuh diri. Ini lebih gila lagi,
karena apa yang di sebutnya hanya sama nilainya dengan kegilaan, karena hanya orang yang tidak waras
otaknya sajalah yang akan melakukan bunuh diri! Bagi mereka yang masih belum sadar ini, cinta mereka
sama dengan benci, atau cinta mereka sama dengan gila!
Pangeran Yauw Ki Ong selama hidupnya juga didorong untuk selalu memperoleh yang diinginkan. Dia
tidak tahu bahwa nafsu memperoleh ini ujungnya adalah kebosanan. Nafsu memperoleh ini pada awalnya
menimbulkan gairah, namun pada akhirnya, setelah yang diinginkannya itu diperoleh, berubahlah gairah
menjadi kebosanan, dan timbullah pula nafsu memperoleh hal atau benda lain lagi. Dengan demikian ia
terseret dalam lingkungan setan yang tiada berkeputusan, hidupnya seperti makhluk penasaran yang
selalu mengejar-ngejar nafsu yang dibuatnya sendiri. Tidak menyedihkankah hidup seperti itu, menjadi
boneka permainan nafsu keinginan?
Bhong Ji Kun tak hanya marah kepada Pangeran Yauw Ki Ong yang mengkhianatinya, akan tetapi juga dia
marah kepada Kwi Hong yang terang-terangan sampai mati pun tidak akan suka menuruti kehendaknya,
yaitu menyerahkan pusaka Istana Pulau Es. Kekecewaan hatinya menimbulkan kemarahan yang membuat
dia makin kejam dan ganas, merencanakan hukuman dan siksaan yang dianggapnya paling keji dan hebat
bagi Kwi Hong.
"Engkau tetap keras kepala, ya? Baiklah ingin kulihat apakah engkau cukup keras untuk tidak minta ampun
seperti Pangeran Yauw, Si Keparat tadi! Dua orang selirnya masih jauh lebih terhormat nasibnya dari pada
perempuan keras kepala macam engkau! Setidaknya mereka menjadi milik pribadi dua orang pembantuku
yang berkedudukan tinggi! Akan tetapi engkau! Hemmm, biar pun engkau seorang yang masih perawan,
akan tetapi engkau akan kuserahkan kepada para bujang, tukang kuda dan pelayan. Engkau akan menjadi
milik mereka secara bergiliran! Dan siapa yang dapat membuat engkau mengeluh dan menangis akan
kuberi hadiah! Ha-ha-ha, ingin sekali aku mendengar teriakanmu seperti yang dilakukan pangeran gila
tadi!"
Para bujang yang jumlahnya ada delapan orang itu tentu saja menyeringai gembira, biar pun hati mereka
merasa agak gentar juga. Mereka adalah orang-orang yang tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tetapi
menghambakan diri kepada seorang majikan macam Bhong Ji Kun, tentu saja membuat watak mereka pun
tak dapat dikatakan baik. Setelah mendengar keputusan Koksu yang menghadiahkan gadis tawanan itu
dunia-kangouw.blogspot.com
kepada mereka, dimulai malam nanti, beramai-ramai delapan orang itu sibuk menjadikan Kwi Hong
semacam hadiah undian untuk menarik giliran masing-masing!
Kwi Hong yang masih rebah telentang di atas pembaringan, tak dapat melakukan sesuatu ketika Bhong Ji
Kun menotok dua jalan darah di punggungnya yang membuat kaki dan tangannya lemas dan setengah
lumpuh. Iia dapat bergerak, tetapi tak mampu mengerahkan tenaga sinkang-nya. Setelah ikatan kaki dan
tangannya dilepaskan, dia segera meloncat. Akan tetapi dia terbanting roboh lagi di atas pembaringan
karena selain kedua kaki dan tangannya lemas juga tubuhnya lemah akibat kurang makan, kurang minum,
dan kurang tidur. Bhong Ji Kun tertawa bergelak lalu meninggalkan kamar tahanan itu.
Kwi Hong rebah miring. Dia maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Maklum bahwa mengandalkan
tenaganya, tidak mungkin dia menghindarkan diri dari mala petaka. Tanpa dapat menggerakkan kaki
tangan secara leluasa, tanpa dapat mengerahkan sinkang, apa dayanya. Kehormatannya terancam dan
dia tidak mampu mempertahankan kehormatannya dengan ilmu silat dan tenaga. Akan habiskah dia?
Tidak adakah harapan lagi baginya? Dan pada saat itu, terbayanglah wajah Gak Bun Beng.
Tidak terasa lagi dua titik air mata membasahi pelupuk matanya. Dia mencinta Bun Beng, dan biar pun
hanya menjadi rahasia hatinya sendiri, sering kali dia bermimpi berjumpa dengan pemuda itu yang dalam
mimpinya juga mencintanya. Beberapa kali dia mimpi bercumbu dengan pemuda itu, bahkan mimpi
menjadi isteri pemuda itu. Betapa bahagianya! Akan tetapi semua itu hanya mimpi, dan sekarang dia
berada di tepi jurang kehancuran, terancam mala petaka yang lebih mengerikan dari pada maut sendiri,
dikorbankan oleh Bhong Ji Kun untuk diperkosa secara bergiliran oleh para bujang tanpa dia dapat
mempertahankan diri sama sekali.
"Bun Beng... ahhh, Bun Beng..., di manakah engkau...?" Kwi Hong mengeluh dan air matanya bercucuran.
Apakah dia harus minta ampun kepada Bhong Ji Kun? Akan tetapi tidak mungkin. Hal itu hanya akan
menimbulkan bahan penghinaan dari para musuhnya itu, karena dia benar-benar tidak tahu di mana
pamannya menyimpan kitab-kitab pusaka Istana Pulau Es. Andai kata dia tahu sekali pun, dia tidak
percaya bahwa dengan memberikan kitab-kitab itu dia akan terbebas dari kematian.
Orang-orang seperti Bhong Ji Kun dan kaki tangannya sama sekali tak mungkin dapat dipercaya dan
mereka itu baru bersikap baik kalau mempunyai maksud tertentu demi keuntungan mereka sendiri.
Buktinya telah ada, Pangeran Yauw sudah merencanakan pembunuhan mereka, dan begitu hal ini
diketahui Bhong Ji Kun, dengan kejam pangeran itu dibunuh tanpa ampun lagi. Dia, sebagai murid dan
keponakan Pendekar Super Sakti, musuh besar mereka, mana mungkin bisa mendapatkan ampun?
Betapa bodohnya dia! Mudah saja ditipu oleh Bhong Ji Kun!
Malam tiba. Hal ini diketahui Kwi Hong dari lenyapnya sinar matahari yang makin menyuram melalui lubang
angin di bawah genting kamar tahanan dan terganti sinar penerangan dari ruangan samping. Cuaca
menjadi remang-remang dan jantung Kwi Hong berdebar. Bahaya telah mulai datang mendekat dan dia
mencari akal bagaimana untuk dapat mempertahankan diri.
Yang akan muncul tentulah seorang di antara pelayan yang sebagian besar sudah tua dan lemah. Biar pun
dia tidak dapat mengerahkan sinkang, dan tubuhnya lemas, akan tetapi dia masih menguasai ilmu silat. Dia
akan menggunakan sedikit tenaga yang ada untuk merobohkan, kalau bisa membunuh setiap laki-laki yang
berani menjamahnya! Dia tahu caranya. Dengan tendangan perlahan mengenai alat kelaminnya, dengan
tusukan jari tangan mengenai matanya, dua serangan ini saja, betapa pun lemahnya, cukup membuat
pengganggunya tak berdaya.
Timbul lagi harapannya untuk lolos dari ancaman bahaya ini. Untung bahwa kebencian Bhong Ji Kun
kepadanya amat besar sehingga saking inginnya menghinanya sampai serendah-rendahnya, dia tidak
diberikan kepada para pembantunya yang memiliki kepandaian tinggi, meiainkan kepada para bujang
untuk diperkosa secara bergilir. Kalau dia diberikan kepada seorang seperti Thai-lek-gu atau Gozan, tentu
akan habis harapannya, karena dalam keadaannya seperti ini takkan mungkin dia melawan seorang di
antara mereka. Dia bergidik! Membayangkan betapa dia dipermainkan seorang laki-laki seperti Gozan,
raksasa Mongol yang tubuhnya berbulu-bulu sampai ke jari tangan dan lehernya itu!
"Gerriiittt...!" Pintu kamar tahanan terbuka dari luar, bayangan seorang laki-laki agak bongkok memasuki
kamar, membalik dan menutupkan kembali daun pintu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan gerakan otomatis Kwi Hong meloncat dari keadaan berbaring. Dia lupa diri, maka loncatan itu
membuat tubuhnya terbanting kembali ke atas pembaringan. Dia menahan keluhan, terpaksa bangkit
duduk di atas pembaringan dengan mata terbelalak memandang laki-laki itu yang sekarang sudah
membalikkan tubuh lagi menghadapinya sambil menyeringai.
Seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar akan tetapi agak bongkok dan kurus, mukanya penuh brewok
yang sudah bercampur uban, usianya tentu kurang lebih enam puluh tahun, pakaiannya tidak karuan dan
sepasang matanya bergerak liar, mulutnya menyeringai aneh, Si Gila! Kwi Hong pernah melihat seorang di
antara pengurus kuda yang keadaannya menyedihkan ini dan oleh teman-teman pelayan lain dia disebut Si
Gila. Aihh, benar-benar Bhong Ji Kun ingin merendahkannya sampai yang paling hina sehingga untuk
malam pertama itu dia diserahkan kepada pelayan paling mengerikan dan menjijikkan!
"Heh-heh-heh-heh, ini namanya hukum karma...!" Si Gila itu melangkah perlahan-lahan menghampiri Kwi
Hong, tangan kirinya memegang sebatang tabung bambu. Ketika bicara, air ludahnya muncrat-muncrat.
Saking jijiknya, Kwi Hong segera turun tangan. Dia turun dari pembaringan, menahan napas
mengumpulkan semua tenaga yang ada, kemudian melakukan serangan dengan jari-jari tangan kiri
menusuk ke arah mata Si Gila itu, disusul gerakan kaki kanannya menendang ke bawah pusar. Biar pun
serangannya itu tidak mengandung tenaga sinkang, dan tidak lebih hanya mengandung tenaga seorang
wanita yang hampir kelaparan, namun kalau mengenai sasaran, mata dan anggota kelamin, agaknya
cukup membuat Si Gila itu terjungkal!
"Ehhh...?" Si Gila berseru dan tubuhnya bergerak cepat di luar dugaan Kwi Hong.
Tusukan mata dapat dielakkan, tendangan berhasil ditangkis, dan tubuh Kwi Hong didorong kembali
hingga jatuh ke atas pembaringan dalam keadaan telentang! Celaka, pikirnya. Kiranya Si Gila ini bukanlah
orang yang lemah. Bahkan gerakan-gerakannya tadi jelas membayangkan gerakan silat yang cukup baik!
Habislah harapan Kwi Hong dan dia mulai ketakutan ketika Si Gila mencelat dan duduk di pinggir
pembaringan sambil terkekeh-kekeh.
"Hukum karma atau bukan... heh-heh-heh... aku tidak rela engkau dipermainkan orang. Lebih baik kau mati
saja dari pada diperkosa mereka secara bergilir." Si Gila itu lalu membuka tutup tabung bambu. "Bocah
bodoh, kenapa engkau tidak membunuh diri saja? Apa... apa engkau memang suka untuk diperkosa
secara bergilir oleh mereka?"
Kwi Hong memandang dengan mata terbelalak. Orang ini bicaranya tidak karuan, jelas bahwa otaknya
miring, akan tetapi isi kata-katanya benar-benar membuat dia berdebar.
"Apa... apa maksudmu...?"
"Biar pun ibumu diperkosa, tetapi pemerkosanya bertanggung jawab dan memang mencinta ibumu.
Sedangkan mereka yang hendak memperkosamu secara bergiliran hanya ingin mempermainkanmu, ingin
memakaimu seperti orang memakai pakaian yang kalau sudah butut dan rusak dicampakkan begitu saja
dan tidak ditoleh lagi!"
"Apa... apa maksudmu dengan Ibu...?"
"Heh-heh! Ibumu masih perawan tulen ketika diperkosa, seperti engkau... heh-heh-heh, akan tetapi
pemerkosanya bertanggung jawab, ibumu dijadikan isterinya... dan engkau terlahir. Biar pun ibumu
diperkosa, aku tidak rela melihat engkau diperkosa orang! Heh-heh-heh, biar pun aku memperkosa ibumu,
tetapi aku cinta padanya... dan aku yang membunuhnya... heh-heh, akan tetapi... aku tidak rela melihat
engkau diperkosa orang! Lebih baik kau mati!"
Si Gila itu menggerakkan tabung bambu dan keluarlah seekor ular merah. Karena disentakkan keluar, ular
itu tiba di leher Kwi Hong, akan tetapi begitu dia menyentuh leher Kwi Hong sambil dipandang oleh Si Gila
yang terkekeh-kekeh, tiba-tiba ular itu menyambar membalik dan menggigit lengan Si Gila.
"Auggghhhh...!" Si Gila memekik dan roboh di atas lantai. "Kwi Hong... lebih baik kau mati dari pada
diperkosa... ahh..." Si Gila itu masih sempat berkata kemudian tubuhnya berkelojotan dan ular merah ikut
bergerak-gerak di lengannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Hong bangkit berdiri, terbelalak dengan muka pucat memandang wajah Si Gila yang berkelojotan itu.
Kini teringatlah dia. "Ayaaahhhh...!" Ia menubruk.
Tentu saja! Tentu saja orang ini ayahnya! Dan tentu ayahnya ini pula yang dahulu memperingatkannya
tentang arak beracun di taman yang disuguhkan Pangeran Yauw. Ayahnya telah menjadi gila, atau
berpura-pura gila? Bagaimana mungkin dia mengenal ayahnya, yang ditinggal pergi bersama pamannya
ketika dia masih kecil? Apa lagi ayahnya yang dahulunya seorang perwira tinggi itu kini telah menjadi
tukang kuda yang gila dan pakaiannya tidak karuan. Bagaimana dia dapat mengenalnya?
Betapa pun juga, sampai saat terakhir ayahnya dengan cara gilanya masih berusaha menyelamatkannya
dari perkosaan dan penghinaan, yaitu dengan cara membunuhnya. Tentu ayahnya tidak tahu bahwa di
dalam tubuhnya telah mengalir obat penolak ular merah sehingga begitu mencium kulit lehernya, ular itu
menjadi takut dan membalik menggigit Si Gila sendiri! Entah bagaimana ayahnya dapat menangkap ular
dalam tabung itu.
"Ayah...!" Akan tetapi Kwi Hong maklum bahwa ayahnya telah mati.
Racun gigitan ular merah memang amat hebat. Bagi yang lemah berakibat kematian, bagi yang kuat sekali
pun akan mendatangkan pengaruh mukjizat, ada yang menjadi terangsang nafsu birahinya, ada pula yang
menjadi gila!
Melihat ayahnya, biar pun gila dan menjijikkan akan tetapi tetap ayah kandungnya, menggeletak tak
bernyawa lagi dan kini wajahnya yang tadi diselubungi kegilaan tampak tenang dan makin jelas
persamaannya dengan wajah ayahnya dahulu, Kwi Hong menjadi marah. Dipegangnya ular itu, ditariknya
terlepas dari lengan ayahnya, dan akan dibantingnya. Akan tetapi dia teringat dan tiba-tiba wajahnya
berseri biar pun air matanya bercucuran ketika dia memandang ayahnya.
"Ayah, beristirahatlah dengan tenang, Ayah. Usaha pertolongan Ayah tidak sia-sia, anak berterima kasih,
Ayah."
Dia lalu menggerakkan sisa tenaganya, menggurat-guratkan tubuh ular pada batu dinding yang agak kasar
sehingga kulit itu pecah terluka dan berdarah. Ular itu sama sekali tidak berani melawan, dan setelah
dilepaskan di atas lantai dekat mayat Giam Cu, bekas perwira ayah Kwi Hong yang telah menjadi gila itu,
ular berkelojotan dan darah mengucur dari luka-lukanya. Kwi Hong maklum bahwa darah ular merah yang
keluar dari seekor ular merah yang masih hidup mempunyai bau yang mengandung daya mengundang
ular-ular merah lain.
Telah dituturkan di bagian depan cerita ini betapa Giam Cu, panglima tinggi besar brewok yang diwaktu
bala tentara Mancu menyerbu ke selatan telah memperkosa Sie Leng, gadis enci (kakak perempuan)
Pendekar Super Sakti, akan tetapi lalu menculik gadis itu dan menjadikannya sebagai isterinya (baca cerita
Pendekar Super Sakti). Dalam pernikahan ini Sie Leng mempunyai seorang anak perempuan, yaitu Giam
Kwi Hong.
Ketika Pendekar Super Sakti dituduh melarikan Puteri Nirahai, dalam kekhawatirannya tersangkut karena
isterinya adalah enci Suma Han, Giam Cu lalu membunuh isterinya sendiri. Perbuatannya ini membuat dia
menyesal bukan main karena dia memang mencinta isterinya. Maka setelah Kwi Hong dilarikan Suma Han,
perwira tinggi ini menjadi gila! Tentu saja dia tidak dapat menduduki pangkatnya lagi, dan akhirnya orang
tidak tahu ke mana dia pergi. Kiranya, setelah gila dan terlantar, tidak ada orang yang mengenalnya lagi,
diam-diam bekas perwira yang gila ini bekerja sebagai tukang kuda di istana Koksu!
Melihat mayat ayahnya, Kwi Hong merasa terharu. Dia mengangkat mayat itu ke atas pembaringan,
pekerjaan yang amat sukar bagi tenaganya yang masih lemas itu, kemudian dia duduk bersila,
mengumpulkan hawa Swat-im Sinkang yang dilatihnya sejak kecil, perlahan-lahan dia berusaha
memulihkan tenaganya dan membuyarkan pengaruh totokan sambil menanti hasil usahanya memanggil
ular-ular dengan darah ular merah tadi.
Betapa girangnya ketika hidungnya mencium bau wangi-wangi yang aneh namun tidak asing baginya, dan
benar saja, tak lama kemudian terdengar suara mendesis-desis dan tampaklah ular-ular merah merayaprayap
datang dari segala penjuru, memasuki kamar tahanan itu! Kegirangan Kwi Hong bukan hanya karena
ular-ular itu dapat melindunginya sehingga orang-orang hendak mengganggunya tidak berani mendekat,
akan tetapi juga hawa beracun dari ular-ular merah itu mempunyai daya yang mukjizat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hal ini adalah penemuan pamannya dan dia pernah disuruh berlatih sinkang di antara ular-ular merah ini
dan hawa yang bagi orang lain mengandung racun berbahaya itu, baginya adalah memperlancar
latihannya. Karena itu, kini dengan bantuan hawa beracun, dia makin tekun melancarkan jalan darahnya
dan menghimpun tenaga sinkang untuk memulihkan tenaganya. Dia tetap duduk bersila di lantai,
membiarkan pembaringannya ditempati mayat ayahnya.
Kalau dia teringat masa lalu, dia terbayang di depan matanya betapa ibu kandungnya dibunuh ayahnya ini,
ditusuk dadanya sampai tembus dengan pedang, maka ingatan itu membuat dia tidak dapat berduka oleh
kematian ayahnya. Namun, melihat betapa setelah tersiksa dan hidup seperti orang gila, namun pada saatsaat
terakhir masih berusaha melindungi anaknya, hatinya merasa terharu juga.
"Ular...! Ular...!"
Jeritan-jeritan itu terdengar dari mulut para penjaga ketika mereka melihat ular-ular merah, apa lagi ketika
mereka mengejar ular-ular itu ke kamar tahanan, melihat gadis tawanan itu duduk bersila di atas lantai
tengah kamar, dikelilingi ular merah ratusan banyaknya, dan tubuh Si Gila yang menjadi mayat
menggeletak di atas pembaringan.
Tak lama kemudian Koksu dan teman-temannya datang. Mereka berada di luar kamar memandang
dengan mata terbelalak.
"Mundur semua! Ular-ular itu beracun!" bekas Koksu Bhong Ji Kun berteriak dan semua orang cepat
mundur karena bau harum bercampur amis itu pun membuat mereka muak dan tidak tahan.
Tentu saja kecewa sekali hati Kwi Hong. Tenaganya belum pulih, dan dia sudah ketahuan. Kalau Bhong Ji
Kun turun tangan, tentu dia tidak mampu membela diri. Akan tetapi dia tidak memperlihatkan rasa takut,
bahkan tersenyum dan menggertak,
"Siapa berani mendekati aku, tentu akan mampus! Bhong Ji Kun, aku ingin sekali melihat apakah engkau
berani memasuki kamar tahanan ini!"
Bhong Ji Kun menggereget giginya. "Perempuan siluman! Lekas kau enyahkan semua ular itu, kalau tidak,
kamar ini akan kubakar sampai engkau dan ular-ularmu mati hangus!"
Tentu saja ancaman membunuhnya dengan cara apa pun juga tidak mendatangkan rasa takut di hati Kwi
Hong. Dia memang sudah berada di ambang maut, peduli apa dengan segala gertakan? Akan tetapi dia
tidak ingin melihat ular-ular itu ikut pula mati terbakar, dan pula, selama masih ada kesempatan, dia harus
mempergunakannya untuk menyelamatkan diri. Kalau sudah tidak ada jalan lain, dalam menghadapi
penghinaan, kini dia menemukan cara yang paling tepat, seperti yang dikatakan oleh ayah kandungnya
tadi, yaitu membunuh diri! Takut apa lagi? Ia tersenyum.
"Bhong Ji Kun, engkau menyuruh aku mengusir ular-ular ini, kalau mereka sudah pergi, kau akan senang
melihat aku diganggu orang-orangmu, bukan? Benar-benar engkau seorang yang amat baik hati. Baiklah,
aku akan mengusir ular-ularku. Buka pintu kamar ini agar lebih cepat mereka pergi."
Bhong Ji Kun sendiri melangkah maju membukakan pintu, sedang para pembantunya berdiri di
belakangnya dengan muka membayangkan kengerian. Mereka sungguh merasa heran mengapa gadis
tawanan itu dapat mengumpulkan ular beracun sekian banyaknya dan sama sekali tidak terganggu! Benarbenar
seorang gadis yang amat lihai dan tak boleh dipandang rendah.
Kwi Hong mengeluarkan bunyi dengan lidahnya untuk membangkitkan perhatian ular-ular itu, mengambil
ular yang terluka dan masih berkelojotan, kemudian tiba-tiba dia melempar ular terluka itu ke arah Bhong Ji
Kun sambil membentak, "Makanlah ini!"
Bhong Ji Kun cepat mengelak, lalu meloncat jauh ke pinggir. Di belakangnya terdengar orang berseru
kaget dan ular yang terluka itu ternyata mengenai dadanya, dan... semua ular merah yang berada di dalam
kamar itu menyerbu keluar dan langsung menyerang Panglima Mancu yang terkena ular terluka tadi,
tubuhnya penuh dengan ular merah yang langsung menggigit. Panglima itu memekik nyaring mengerikan
dan roboh berkelojotan terus tewas seketika!
dunia-kangouw.blogspot.com
Bhong Ji Kun sudah meloncat ke dalam kamar tahanan yang sudah tidak ada ularnya. Kwi Hong meloncat
bangun, namun tubuhnya masih belum pulih, masih lemah maka dalam beberapa gebrakan saja dia telah
roboh oleh Bhong Ji Kun yang lihai.
"Gunakan api, usir ular-ular itu!" Bhong Ji Kun berteriak marah.
Para pembantunya cepat menggunakan api. Benar saja, ular-ular itu segera melarikan diri keluar dari
tempat itu. Seperti binatang-binatang apa saja di dunia ini, ular-ular itu pun takut sekali akan api yang amat
panas itu.
"Bhong-koksu, bunuh saja gadis itu!" Thian Tok Lama berkata.
Ucapan ini dibenarkan semua pembantu Bhong Ji Kun. Setelah menyaksikan betapa dalam keadaan
lemah saja gadis itu telah berhasil mengakibatkan kematian seorang bujang dan seorang panglima,
mereka menjadi gentar dan akan selalu cemas sebelum gadis yang berbahaya itu dibunuh.
"Dia sudah kutotok dan takkan dapat bergerak selama semalam suntuk. Memang mudah membunuhnya.
Akan tetapi kalau dipikir lagi, apa gunanya membunuhnya? Kurasa, kalau dia hidup dia lebih berguna dari
pada kalau dia mati. Siapa tahu gunanya kelak. Biarlah besok kita rundingkan lagi, pendeknya dia harus
selalu dijaga ketat agar tidak mendapat kesempatan melakukan hal-hal yang tidak diinginkan lagi."
Keputusan Bhong Ji Kun ini membuat Kwi Hong hampir kehilangan akal dan kehabisan harapan karena
selain tertotok, dia pun dibelenggu kaki tangannya, dilempar ke atas pembaringan dalam kamar tahanan
itu, pintunya dipalang dari luar dan di luar pintu selalu ada dua orang pembantu Bhong Ji Kun yang berdiri
menjaga dengan bergilir! Andai kata dia dapat membebaskan totokan, dia harus membebaskan belenggu,
dan masih harus berhadapan dengan dua orang penjaga yang berilmu tinggi dan yang tentu akan
memanggil datangnya Bhong Ji Kun dan para pembantunya yang lain!
Akan tetapi, kenyataan bahwa dia belum dibunuh oleh Bhong Ji Kun menimbulkan harapan baru. Hal itu
hanya berarti bahwa bekas Koksu itu masih ingin melihat dia hidup, dan selama masih ada harapan untuk
hidup, dia tidak akan putus asa dan tidak akan membunuh diri seperti yang dianjurkan ayah kandungnya.
Memang amat mudah membunuh diri, tidak memerlukan tenaga dan biar pun dia dibelenggu seperti itu,
masih amat mudah membunuh diri. Bagi seorang yang terlatih seperti dia, menahan napas dan dengan
paksa menghentikannya sudah cukup untuk membuat nyawanya melayang, atau lebih sederhana lagi,
menggigit lidahnya sendiri sampai putus!
Gadis yang keras hati dan tahan uji ini sama sekali tidak tahu bahwa pada keesokan harinya terjadi
perubahan yang amat besar, terjadi peristiwa hebat sekali di Pulau Es. Peristiwa itu dimulai dengan
munculnya Majikan Pulau Es sendiri, Suma Han Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang
datang berperahu bersama dua orang wanita sakti, Nirahai dan Lulu, atau kedua orang isterinya yang
bersama dia akan memulai hidup baru di pulau itu!
Ketika pagi hari itu Suma Han tiba di Pulau Es dan melihat sebuah perahu besar telah berlabuh di pantai,
pendekar ini mengerutkan alisnya dan berkata kepada dua orang isterinya. "Agaknya kita telah didahului
tamu-tamu tidak diundang. Jarang ada orang luar berani mendatangi Pulau Es. Nirahai dan Lulu, kita
sudah saling berjanji tidak akan mencari urusan di luar, karena aku tahu bahwa kalian masih mempunyai
kekerasan hati, maka apa pun yang terjadi nanti, kuharap kalian tinggal diam dan menonton saja. Biarlah
aku sendiri yang akan menanggulanginya."
Nirahai dan Lulu saling pandang, tersenyum dan keduanya mengangguk. Telah terjadi perubahan besar
atas diri pria ini, pria berkaki buntung yang mereka cinta dan junjung tinggi. Jika dahulu Suma Han
merupakan seorang pendekar sakti yang berhati lemah, kini mulai tampak kejantanannya, dan pertamatama
kejantanannya itu diperlihatkan dengan menguasai kedua orang isterinya!
Setelah menarik perahu kecil mereka di pantai yang dangkal, ketiganya melompat turun ke darat dan
berdiri tegak dengan sikap tenang, memandang Bhong Ji Kun yang sudah diberi kabar oleh anak buahnya
dan kini berlarian datang menyambut bersama seluruh pembantunya, dengan senjata siap di tangan
masing-masing. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan berdebar penuh kegelisahan hati Bhong
Ji Kun ketika melihat bahwa yang datang bukan hanya Pendekar Super Sakti seorang, melainkan ditemani
oleh Puteri Nirahai bekas Ketua Thian-liong-pang dan Lulu bekas Majikan Pulau Neraka! Baru Pendekar
Super Sakti seorang saja sudah merupakan seorang lawan yang amat menakutkan dan amat berat
dilawan, apa lagi masih ada dua orang wanita sakti itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan sikap tenang Suma Han, Nirahai, dan Lulu berdiri di pantai. Hanya bola mata mereka yang
bergerak, melirik ke arah Bhong Ji Kun dan para pembantunya yang datang dari kanan kiri. Diam-diam
Suma Han merasa lega ketika mendapat kenyataan bahwa yang boleh dicatat sebagai lawan tangguh
hanyalah Bhong Ji Kun sendiri, Thian Tok Lama, dan agaknya orang yang memegang tombak gagang
panjang itu. Dia merasa sanggup untuk mengatasi mereka.
Akan tetapi dia merasa curiga melihat sikap Bhong Ji Kun yang kelihatannya sama sekali tidak takut
kepadanya, padahal dia datang bersama Nirahai dan Lulu. Salah seorang wanita itu sendiri saja sudah
cukup untuk menandingi Bhong Ji Kun! Akan tetapi kakek itu begitu berani menyambutnya dengan sikap
seolah-olah keadaannya lebih kuat. Tentu ada apa-apanya ini!
"Aha, Pendekar Super Sakti, engkau baru datang? Sudah lama kami mengharapkan kedatanganmu!" kata
Bhong Ji Kun sambil menekan debar jantungnya.
"Hemm, mengunjungi tempat orang tanpa ijin, dan selagi tempat itu ditinggalkan penghuninya. Hanya
orang seperti engkaulah yang tidak malu melakukan kedua hal itu, Im-kan Seng-jin," kata Suma Han
dengan suara halus namun nadanya cukup membuat para pembantu Bhong Ji Kun merasa seram.
Di antara mereka semua, hanya Ciat Leng Souw seorang yang belum pernah bertemu dengan Suma Han,
hanya mendengar nama julukannya saja. Kini melihat bahwa orang yang disohorkan sebagai dewa atau
siluman itu ternyata hanyalah seorang yang wajahnya masih muda dan tampan, rambutnya putih semua,
dan sebuah kakinya buntung, senjatanya hanya sebatang tongkat butut. Apanya sih yang perlu ditakuti?
Berubah wajah Bhong Ji Kun mendengar ucapan itu. "Harap Tocu (Majikan Pulau) tidak salah paham,
karena sesungguhnya kedatangan kami ke sini bukan sebagai tamu tidak diundang."
"Tidak sebagai tamu, melainkan sebagai pelarian-pelarian perang yang sudah hancur kekuatannya!"
Nirahai tak dapat menahan hatinya dan berkata nyaring, akan tetapi tidak melanjutkan karena Lulu
menyentuh tangannya, membuat dia teringat akan larangan suaminya!
Bhong Ji Kun menjura ke arah Nirahai dan Lulu. "Pelarian sementara! Karena itulah, maka kami
bergembira sekali kini berhadapan dengan Pendekar Super Sakti dan dengan Ji-wi Lihiap (Kedua Wanita
Pendekar) yang berilmu tinggi, karena kami yakin bahwa dengan kerja sama antara kami dengan Sam-wi
(Anda Bertiga), kekalahan kami akan tertebus dan akhirnya perjuangan kami akan berhasil."
"Apa?! Mengajak kami bekerja sama...?" Nirahai kembali berseru saking herannya.
"Aihh, dia sudah gila!" Lulu juga tidak dapat menahan untuk berseru heran.
Siapa orangnya tidak akan heran. Dia dan Nirahailah yang memimpin pasukan pemerintah menghancurkan
pemberontak ini, dan sekarang bekas Koksu pemberontak itu mengajak mereka untuk bekerja sama
memberontak. Hanya orang gila saja yang mengajukan usul demikian.
Akan tetapi Suma Han berpikir lain. Sejak tadi dia sudah curiga menyaksikan sikap Koksu Bhong Ji Kun
yang memberontak itu sama sekali tidak gentar, bahkan kelihatan terlalu berani. Sekarang dengan
pertanyaannya itu, yaitu mengusulkan kerja sama, bahkan bukan mengusulkan, karena kata-katanya itu
seperti menentukan, makin jelas bahwa tentu ada sesuatu yang tidak beres, sesuatu yang membuat bekas
Koksu ini yakin akan kemenangannya!
"Im-kan Seng-jin, apa yang membuat engkau begitu yakin bahwa kami akan suka bekerja sama
denganmu? Tidak perlu bersikap rahasia, katakanlah saja!" Suma Han berkata sambil memandang tajam.
Akan tetapi, teringat akan nasehat mendiang Maharya agar berhati-hati menghadapi Pendekar Siluman ini,
terutama jangan sekali-kali menentang pandang matanya, sejak tadi Bhong Ji Kun tidak pernah berani
bertemu pandang dengan pendekar itu. Bhong Ji Kun bertepuk tangan, isyarat yang memang sudah diatur
sebelumnya dan muncullah seorang Mongol raksasa mengempit tubuh Kwi Hong yang kaki tangannya
dibelenggu, wajahnya pucat dan pakaiannya compang-camping.
Bukan main kagetnya Suma Han melihat ini, akan tetapi selain raksasa Mongol itu siap untuk memukul
kepala Kwi Hong dengan tangannya yang besar dan kuat, juga Thai-lek-gu yang gendut telah meloncat ke
dekat Gozan dan menodongkan goloknya pada gadis tawanannya itu! Tidak ada gunanya menggunakan
dunia-kangouw.blogspot.com
kekerasan untuk mencoba menolong keponakannya, pikir Suma Han. Dia tentu kalah cepat dan andai kata
dia dapat membunuh semua orang itu, tentu Kwi Hong akan terbunuh lebih dulu.
"Ahhh, Si Jahanam menawan Kwi Hong...!" Lulu berteriak.
Nirahai juga terkejut ketika mendengar bahwa murid atau keponakan suaminya telah menjadi tawanan.
Mengertilah dia kini mengapa bekas Koksu itu bersikap seberani itu. Kiranya sama sekali bukan gila,
melainkan licin dan curang sekali! Melihat betapa Suma Han menggerakkan jari tangan ke arah mereka,
maklumlah kedua orang wanita itu bahwa mereka dilarang untuk turun tangan. Dan memang mereka pun
sudah cukup cerdik untuk tidak sembarangan turun tangan, karena hal ini berarti kematian bagi Kwi Hong.
"Kwi Hong! Bagaimana engkau bisa tertawan?" Suma Han menegur muridnya.
Air mata bercucuran dari kedua mata Kwi Hong dan suaranya berduka sekali ketika dia menjawab, "Harap
Paman tidak mendengarkan permintaan iblis-iblis ini. Biarkan aku mati, Paman, memang sudah patut kalau
aku harus mati. Aku telah ditipunya, aku telah bersekutu dengan pemberontak-pemberontak laknat ini,
karena menyangka bahwa pemerintah adalah musuh Paman. Setelah pemberontakan gagal, aku malah
mengajak mereka menyembunyikan diri ke pulau ini. Akan tetapi, ternyata mereka adalah iblis-iblis yang
jahat. Aku telah salah, dan aku rela mati. Harap Paman tidak mengorbankan apa-apa untukku!"
"Wah, dia benar-benar seorang gadis yang gagah perkasa!" Bhong Ji Kun memuji. "Akan tetapi kami masih
sangsi apakah Pendekar Super Sakti yang terkenal itu memiliki cukup kegagahan seperti muridnya untuk
berkorban demi muridnya. Terserah pilihanmu, Tocu!"
"Jahanam busuk!" Nirahai membentak.
"Keparat hina!" Lulu juga memaki.
Akan tetapi Suma Han mengangkat kedua tangannya menyuruh kedua orang wanita itu bersabar dan tidak
turun tangan. Kemudian dia menghadapi Bhong Ji Kun dan berkata, "Bhong Ji Kun, engkau tentu mengerti
dengan baik bahwa sampai mati sekali pun kami bertiga tidak mau melibatkan diri dalam pemberontakan
yang kau pimpin itu. Permintaanmu sebagai pengganti kebebasan keponakanku sungguh tidak masuk
akal. Pikirlah baik-baik sebelum terpaksa kami membasmi kalian sebagai penukar nyawa murid dan
keponakanku."
Diam-diam Bhong Ji Kun mempertimbangkan. Tak dapat diragukan lagi, jika Pendekar Super Sakti
mengamuk dibantu dua orang wanita sakti yang entah bagaimana kini menjadi baik dengan Pendekar
Super Sakti, tentu dia dan semua pembantunya ditukar hanya dengan nyawa gadis itu!
"Tentang kerja sama biarlah kita bicarakan kemudian," kata Bhong Ji Kun yang cerdik itu. "Sekarang
kuganti penukarannya. Pertama kami mau membebaskan muridmu asal engkau dan dua orang wanita itu
tidak mengganggu kami."
"Sudah tentu! Kalau engkau suka membebaskan Kwi Hong, kami pun tidak akan mengganggumu dan
kalian boleh pergi dengan aman," jawab Suma Han, jawaban yang membuat alis kedua orang wanita sakti
itu berkerut. Mereka sama sekali tidak setuju kalau orang-orang macam Bhong Ji Kun dan teman-temannya
itu dibiarkan pergi begitu saja! Akan tetapi keduanya tidak berani membantah!
Agaknya mereka pun sudah menarik pelajaran dari pengalaman mereka setelah mereka menderita batin
karena asmara gagal selama belasan tahun.
"Dan kedua, engkau harus menyerahkan kitab-kitab pusaka peninggalan Bu Kek Siansu yang tentu tadinya
berada di Pulau Es kepada kami."
"Kitab-kitab pusaka Pulau Es tidak berada padaku. Ketika pasukan yang kau pimpin menyerbu ke sini,
pusaka-pusaka itu telah dibawa oleh pembantuku."
"Hemm, jangan kau main-main dengan nyawa muridmu, Tocu, dan amat memalukan kalau seorang
pendekar dengan kedudukan seperti engkau mengeluarkan kata-kata membohong."
Sepasang mata Suma Han mengeluarkan cahaya menyambar seperti kilat, membuat Bhong Ji Kun terkejut
dan cepat menundukkan muka.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bhong Ji Kun, untuk kata-katamu itu saja, dalam lain keadaan sudah cukup menjadi alasan bagiku untuk
menghancurkan mulutmu!"
Nada dalam suara Pendekar Super Sakti itu membuat wajah bekas Koksu itu menjadi pucat karena dia
merasa betul betapa penuh wibawa dan bukan ancaman kosong saja kata-kata itu.
"Siapa yang bisa percaya bahwa seorang Tocu tidak menyimpan sendiri pusaka milik istananya?" Dia
membela diri.
"Pusaka ada di sini...!" Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan bayangannya berkelebat datang.
Kiranya orang ini adalah Phoa Ciok Lin yang datang membawa sebuah peti kayu cendana yang berukir
indah.
Melihat peti ini, Kwi Hong dengan suara tangisnya berkata, "Bibi... jangan... jangan kau berikan kepada
mereka...! Lebih baik aku mati saja dari pada mengorbankan pusaka-pusaka itu...!"
Phoa Ciok Lin, wakil urusan dalam di Pulau Es, pembantu Suma Han yang usianya sebaya dengan kedua
isteri pendekar itu, mengerling kepada Suma Han dan dua orang isterinya, tersenyum penuh syukur akan
tetapi pandang matanya sayu penuh derita batin, kemudian cepat menghampiri bekas Koksu dan berkata,
"Im-kan Seng-jin, engkau membutuhkan pusaka Pulau Es? Inilah pusaka-pusaka itu, boleh kuserahkan
kepadamu asal engkau membebaskan Kwi Hong lebih dulu!"
Mata Bhong Ji Kun dan kawan-kawan-nya terbelalak penuh gairah memandang ke arah peti berwarna
coklat itu. Akan tetapi Bhong Ji Kun yang sudah biasa melakukan segala macam tipu muslihat, tentu saja
menjadi seorang yang tidak mudah percaya dan selalu berprasangka buruk. Memang demikianlah, watak
seseorang dibentuk oleh kebiasaan dan pengalamannya sendiri. Seorang pembohong akan selalu tidak
percaya kepada kata-kata orang lain, seorang penipu akan selalu curiga terhadap semua orang.
"Suma Tocu, benarkah ini peti berisi pusaka Istana Pulau Es?" tanyanya sambil menoleh ke arah Suma
Han.
Pendekar ini mengangguk dan suaranya dingin sekali ketika menjawab, "Dia adalah wakilku dan
kepercayaanku yang membawa pusaka Istana Pulau Es."
Makin berseri wajah Bhong Ji Kun. "Suma-tocu, aku mau menukar muridmu dengan pusaka-pusaka itu,
akan tetapi berjanjilah bahwa engkau tidak akan menghalangi dan merampas kembali kalau peti berisi
pusaka telah diserahkan kepadaku."
"Aku berjanji!"
"Paman, jangan! Lebih baik aku mati!"
"Diam kau!" Suma Han membentak dan Kwi Hong hanya terisak menangis.
"Im-kan Seng-jin, bebaskan Kwi Hong, baru akan kuserahkan kepadamu peti berisi pusaka ini!" kembali
Phoa Ciok Lin mendesak, wajahnya yang cantik itu agak pucat.
Bhong Ji Kun tersenyum lega. Setelah mendapatkan janji Suma Han, siapa lagi yang dia takuti? Dia lalu
memberi isyarat dengan anggukan kepala kepada Gozan dan Thai-lek-gu. Dua orang ini lalu melepaskan
belenggu kaki tangan Kwi Hong, lalu mendorong tubuh dara yang sudah lemas dan lemah itu ke arah
Pendekar Super Sakti.
Kwi Hong jatuh berlutut di depan kaki pamannya, dia menangis terisak-isak dan tidak berani mengangkat
muka. Suma Han sama sekali tidak mempedulikan dia, hanya memandang Phoa Ciok Lin dengan alis
berkerut dan hati menekan kegelisahan.
"Tawanan telah kubebaskan, berikan peti itu!" Bhong Ji Kun berkata sambil mengulur tangan hendak
mengambil peti dari tangan Phoa Ciok Lin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengeluarkan suara ketawa aneh, petinya terlempar ke belakang, ke arah
Suma Han, sedangkan dia sendiri seperti gila telah menubruk bekas Koksu itu dengan pukulan kedua
tangannya, pukulan maut yang amat berbahaya.
"Ciok Lin, jangan...!" Suma Han berseru mencegah pembantunya.
Namun terlambat. Serangan Phoa Ciok Lin yang hebat itu membuat Bhong Ji Kun terkejut bukan main.
Untuk mengelak sudah tiada kesempatan lagi, maka dia hanya dapat menangkis pukulan ke arah pusarnya
yang amat berbahaya dan terpaksa menerima tamparan pada dadanya.
"Desss...!"
Phoa Ciok Lin adalah murid nenek yang terkenal sebagai datuk kaum sesat, Toat-beng Ciu-sian-li, maka
tentu saja ilmu kepandaiannya tinggi. Apa lagi setelah dia menjadi pembantu Pendekar Super Sakti dan
memperdalam ilmunya selama bertahun-tahun di Pulau Es. Biar pun tentu saja dia masih kalah jauh kalau
dibandingkan dengan bekas Koksu yang sakti itu, namun pukulannya itu pun bukanlah pukulan ringan
sehingga tubuh Koksu yang sakti itu sampai roboh terjengkang. Akan tetapi dia sendiri pun terhuyung ke
kiri karena daya tolak tenaga sinkang bekas Koksu yang lihai itu. Dan tampak sinar putih berkelebat disusul
keluhan Phoa Ciok Lin yang roboh terguling, dadanya terluka oleh tombak di tangan Sin-jio Ciat Leng Souw
yang menyerangnya dengan kecepatan kilat sehingga Suma Han sendiri sampai tercengang dan tidak
mampu mencegahnya.
"Bibi...!" Kwi Hong menjerit dan meloncat menubruk Phoa Ciok Lin, lalu mengangkat tubuhnya dan
membawanya ke pinggir.
Terdengar suara melengking tinggi nyaring dan tahu-tahu tubuh Suma Han telah berada di depan Bhong Ji
Kun yang sudah bangkit kembali. Setelah menyerahkan peti pusaka dalam perlindungan Lulu dan Nirahai,
Suma Han dengan marah kini menghadapi bekas Koksu dan para pembantunya.
"Bhong Ji Kun!" Suaranya terdengar tegas dan penuh wibawa sehingga bekas Koksu itu dan para
pembantunya memandang dengan hati gentar, akan tetapi juga dengan kesiap siagaan para jagoan yang
tahu bahwa mereka menghadapi seorang lawan tangguh. "Sebagai penghuni Pulau Es menghadapi orangorang
yang mengotorkan pulau, aku menantang kalian untuk mengadu ilmu!"
Bhong Ji Kun tentu saja menjadi penasaran dan marah sekali, juga kecewa. Ia sengaja mengeluarkan
suara ketawa mengejek. "Ha-ha-ha, Pendekar Super Sakti, Tocu Pulau Es yang terkenal itu ternyata
hanyalah seorang yang suka bermain curang! Hendak menarik kembali janjinya, melanggar janji seperti
seorang yang rendah. Hendak kemana kau taruh mukamu nanti?"
"Bhong Ji Kun, mulutmu lancang sekali! Kuhancurkan nanti!" Nirahai berteriak marah mendengar suaminya
tercinta dimaki orang.
Namun Suma Han bersikap tenang, biar pun pandang matanya tajam menusuk. "Im-kan Seng-jin Bhong Ji
Kun, siapakah yang curang? Aku tadi berjanji tidak menghalangi apabila pembantuku menyerahkan peti.
Akan tetapi dia tidak menyerahkan peti kepadamu, hal itu adalah urusan antara kamu dan dia! Dia
menipumu dan engkau telah membebaskan Kwi Hong dan mengeroyok pembantuku sampai terluka hebat.
Perbuatanmu sungguh tidak patut. Antara kita tidak ada perjanjian apa-apa lagi."
"Ha-ha-ha! Bukankah kau berjanji bahwa kalau kami membebaskan muridmu, engkau akan membiarkan
kami pergi tanpa mengganggu?"
"Benar! Akan tetapi ingat, engkau membebaskan Kwi Hong bukan karena perjanjian antara kita, melainkan
karena perjanjianmu dengan Phoa Ciok Lin. Sekarang aku menantang kalian mengadu ilmu. Kalau kalian
tidak berani, aku baru mau melepaskan kalian kalau kalian mau berlutut dan minta ampun kepada kedua
orang isteriku!"
Bhong Ji Kun membelalakkan mata. Kiranya pendekar ini telah akur kembali dengan Puteri Nirahai! Dan
Ketua Pulau Neraka itu pun telah menjadi isterinya! Bukan main! Akan tetapi dia tidak berani menyatakan
sesuatu akan pengakuan pendekar itu, apa lagi mengejek, karena kalau hal itu dia lakukan, tentu dia akan
celaka di bawah tangan suami isteri, tiga orang yang memiliki kesaktian luar biasa itu! Kalau harus berlutut
minta ampun, benar-benar hal ini amat berat. Dia adalah bekas Koksu, bahkan seorang tokoh yang
dunia-kangouw.blogspot.com
terkenal di dunia kang-ouw. Demikian pun para pembantunya adalah orang-orang gagah yang lebih
menghargai nama dan kehormatan dari pada nyawa.
"Pendekar Siluman!" teriaknya dengan muka merah. "Menyuruh kami berlutut minta ampun sama dengan
menyuruh matahari timbul dari barat!"
"Bagus, kalau begitu majulah, dan juga para pembantumu, terutama yang memegang tombak cagak
gagang panjang itu!" Suma Han melirik ke arah Ciat Leng Souw karena hatinya masih panas mengingat
betapa pembantunya, Phoa Ciok Lin roboh oleh tombak orang ini.
"Wuuuuttt... syettt!"
Sin-jio Ciat Leng Souw dengan gerakan tangkas sudah meloncat dan berdiri tegak di depan Suma Han,
tombak panjangnya itu dipalangkan di depan dada, sikapnya gagah sekali dan matanya menentang lawan
sambil memperhatikan keadaan pendekar yang amat terkenal itu, kemudian berkata, "Pendekar Siluman!
Orang lain mungkin takut mendengar namamu, tetapi, aku Sin-jio Ciat Leng Souw sama sekali tidak gentar
untuk menghadapimu!"
Suma Han memandang orang tinggi besar itu. Sekelebatan saja matanya yang tajam dapat menaksir
keadaan calon lawan ini. Tentu memiliki tenaga yang amat kuat dan ilmu tombak yang sakti. Sayang
bahwa orang gagah ini sampai dapat terbujuk menjadi kaki tangan Bhong Ji Kun. Kalau dia menghendaki,
dengan kekuatan sihir, tentu Suma Han akan dapat menundukkan calon lawan ini dengan mudah. Akan
tetapi dia tidak mau melakukan hal ini.
Dia telah menunjukkan kegagahannya kepada dua orang isterinya, telah menunjukkan kejantanan dengan
memaksa mereka mengikutinya ke Pulau Es. Sekarang pun dia harus memperlihatkan, tidak hanya kepada
kedua isterinya tercinta, akan tetapi juga kepada Bhong Ji Kun dan semua pembantunya bahwa nama
Pendekar Super Sakti sebagai Majikan Pulau Es bukanlah nama kosong belaka, dan bahwa dia, tanpa
bantuan siapa pun, akan dapat mempertahankan pulaunya.
"Bagus! Engkau seorang pemberani dan gagah, Ciat Leng Souw, dan tentu ilmu tombakmu lihai sekali.
Cobalah robohkan aku seperti engkau merobohkan pembantuku secara membokong tadi!"
Mendengar tantangan yang mengandung teguran dan ejekan ini merahlah muka Ciat Leng Souw. Dia
adalah seorang tokoh yang terkenal di selatan dan belum pernah tombaknya menemui tandingan. Kalau
tadi dia turun tangan melukai Phoa Ciok Lin adalah karena melihat wanita itu menggunakan kecurangan
dan mengancam keselamatan Bhong Ji Kun. Melihat betapa Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan para
orang gagah yang membantu bekas Koksu itu kelihatan gentar menghadapi Suma Han, dia sudah merasa
penasaran sekali.
Dia sudah banyak mendengar nama Pendekar Super Sakti, akan tetapi melihat betapa pendekar yang
disohorkan orang itu hanya seorang yang sederhana dan berkaki buntung, dia makin penasaran dan ingin
sekali mencoba kepandaiannya. Kini kesempatan itu tiba. Mendengar ucapan Suma Han, Ciat Leng Souw
mengeluarkan suara menggereng dan tombak panjangnya sudah bergerak meluncur dan menyambar ke
arah dada Suma Han dengan tusukan kilat.
"Trakkk!"
Tombak itu tertangkis oleh tongkat di tangan kiri Suma Han. Benar saja dugaan pendekar buntung itu,
tenaga jago dari selatan ini memang kuat sekali. Betapa pun juga, kalau Suma Han menghendaki, dengan
pengerahan sinkang-nya yang mukjizat, dia akan dapat mengalahkan lawan dalam pertemuan tenaga
pertama kali itu. Akan tetapi dia tidak mau mengalahkan lawan dengan menggunakan sinkang-nya yang
jarang ada tandingannya, juga tidak mau menggunakan kekuatan pandang matanya yang dapat
melumpuhkan pikiran orang. Melihat betapa lawannya sudah cepat sekali menarik kembali tombaknya
yang tertangkis lalu menggerakkan tombak dengan lihai sehingga tampak sinar panjang menyambarnyambar,
Suma Han cepat menghindar dan selanjutnya dia mempergunakan ilmunya yang amat dahsyat,
yaitu Ilmu Silat Soan-hong-lui-kun.
Ilmu silat yang mukjizat ini merupakan gerakan-gerakan berdasarkan ginkang yang hanya dapat dilakukan
oleh orang berkaki buntung! Tubuhnya berkelebatan bagaikan seekor burung terbang dan betapa pun Ciat
Leng Souw mainkan tombaknya dengan hebat, tetap saja gerakan tombaknya tidak dapat mengikuti
berkelebatnya bayangan lawan yang makin lama makin cepat seperti kilat menyambar-nyambar dan
dunia-kangouw.blogspot.com
sebentar saja kepalanya menjadi pusing dan pandang matanya berkunang karena bayangan lawannya
menjadi bertambah banyak! Hal ini bukan terjadi karena ilmu sihir, melainkan saking cepatnya Suma Han
bergerak.
"Siluman...!" Ciat Leng Souw berseru dan dia mulai merasa gentar.
"Krekkk! Plak! Plak!"
Tubuh yang tinggi besar itu terhuyung ke belakang, wajahnya pucat dan dari mulutnya mengalir darah
segar, tombaknya patah-patah dan akhirnya dia roboh terguling dan mengeluh. Suma Han telah berdiri
dengan tegak, tongkat di tangan dan dia tidak mempedulikan lagi Ciat Leng Souw yang dirobohkan.
Pendekar ini dengan sikap tenang menanti majunya jago lain di pihak musuh. Dia telah berhasil
mengalahkan Ciat Leng Souw tanpa membunuhnya, hanya mematahkan tombaknya dan dua kali
menampar pundak lawan, membuat tulang kedua pundak Ciat Leng Souw patah!
Melihat ini, Gozan, jagoan Mongol yang seperti raksasa, Liong Khek, Si Muka Pucat yang bersenjatakan
pancing, Thai-lek-gu Si Pendek Gendut yang bertangan panjang dengan sepasang golok jagal babinya,
dan tiga orang panglima kaki tangan Bhong Ji Kun sudah bergerak maju mengurung Suma Han.
"Tak tahu malu!" Lulu membentak.
"Betapa gagahnya, main keroyokan!" Nirahai juga mengejek.
"Biarkan saja tikus-tikus ini, kalian jaga saja peti itu!" Suma Han menoleh kepada dua orang isterinya
sambil tersenyum.
Padahal tanpa dia beritahu pun Nirahai dan Lulu tidak akan bergerak membantu suami mereka karena
mereka maklum bahwa menghadapi pengeroyokan itu, suami mereka tidak perlu dibantu, apa lagi mereka
bertugas menjaga peti pusaka Istana Pulau Es.
Gozan sebagai seorang jagoan Mongol yang juga memandang rendah Suma Han, apa lagi dia
mengandalkan ilmu gulatnya dan tenaganya, sudah tidak sabar lagi dan sambil memekik dia lari menerjang
dan hendak menangkap pendekar kaki buntung itu dengan kedua lengannya yang berotot kuat.
Menghadapi serangan ini, Suma Han hanya berdiri tenang saja, bahkan ia tidak mengelak sama sekali
ketika kedua tangan lawan ini mencengkeram pundak dan pinggangnya. Akan tetapi, betapa terkejut hati
Gozan ketika dia merasa seolah-olah jari-jari tangannya mencengkeram baja yang dingin dan keras! Dia
mengerahkan tenaga, hendak mengangkat tubuh itu dan membantingnya namun betapa pun dia
mengerahkan seluruh tenaganya, tubuh yang hanya berdiri dengan satu kaki itu sama sekali tidak
bergoyang.
"Pergilah!" Suma Han membentak sambil menggoyangkan tubuh dengan gerakan berputar.
"Krekk! Krekk!" Gozan terpelanting roboh dan mengaduh-aduh, kedua lengannya tergantung lumpuh
karena sambungan siku dan pergelangan kedua tangannya telah terlepas, terbawa oleh gerakan memutar
tubuh Pendekar Super Sakti tadi.
Liong Khek dan teman-temannya sudah menerjang maju, menggunakan senjata mereka. Hujan senjata
menyambar ke arah tubuh Suma Han. Pendekar ini tenang-tenang saja memegang tongkatnya, kemudian
secara tiba-tiba tongkatnya diputar, dan terdengarlah suara nyaring disusul runtuhnya senjata para
pengeroyok yang patah-patah dan terpental ke sana-sini, kemudian tampak bayangan Suma Han
berkelebat di antara mereka.
Para pengeroyok mengeluh panjang pendek dan seorang demi seorang terlempar ke kanan kiri tanpa
dapat melawan lagi karena sambaran tongkat Suma Han yang terarah dan dengan tenaga terbatas para
pengeroyok itu menderita patah tulang, tertotok lumpuh, atau terluka dalam! Belasan orang itu roboh hanya
dalam waktu belasan jurus saja! Tadinya memang hanya enam orang yang maju, akan tetapi begitu Gozan
roboh, semua kaki tangan bekas Koksu itu maju mengeroyok. Kini hanya tinggal Bhong Ji Kun dan Thian
Tok Lama berdua saja masih berdiri dengan muka agak pucat, namun sikap mereka ditenang-tenangkan
ketika Suma Han menghadapi mereka.
"Bhong Ji Kun, sekarang aku ingin merasai kelihaianmu. Dan Thian Tok Lama, kita adalah lawan-lawan
lama yang sudah puluhan tahun tak pernah saling mengukur kepandaian. Agaknya engkau telah
dunia-kangouw.blogspot.com
memperoleh kemajuan hebat, hanya sayangnya, semenjak dahulu kedudukanmu tidak mengalami
kemajuan dan selalu menjadi kaki tangan pemberontak!" Wajah Thian Tok Lama menjadi merah
mendengar ejekan ini, karena memang dia dan sute-nya yang sudah tewas, Thai Li Lama, dahulu pernah
terlibat pula dalam pemberontakan (baca cerita Pendekar Super Sakti).
Thian Tok Lama sudah pernah mengalami bertanding melawan Pendekar Super Sakti dan dia merasa
gentar karena maklum bahwa tingkat kepandaiannya masih kalah jauh oleh Majikan Istana Pulau Es itu,
akan tetapi tentu saja dia merasa malu untuk mengaku kalah, apa lagi di situ ada Bhong Ji Kun yang dia
andalkan. Bekas Koksu ini biasanya amat percaya kepada kepandaiannya sendiri, namun biar dia belum
pernah bentrok dan mengadu ilmu melawan Pendekar Super Sakti, nama pendekar ini membuat dia
merasa gentar, apa lagi setelah menyaksikan betapa dengan mudah saja pendekar itu tadi merobohkan
semua anak buahnya, maka nyalinya menjadi kecil.
Dia memang cerdik dan dengan suara dibuat-buat agar tidak kentara perasaan jerinya, dia bertanya,
"Suma-tocu, apakah engkau menantang kami maju berdua? Benarkah engkau berani menghadapi kami
berdua tanpa bantuan orang lain?" Berkata demikian bekas Koksu itu sengaja melirik ke arah Nirahai dan
Lulu.
Kalau seorang saja di antara kedua orang wanita sakti itu maju, tentu dia dan Thian Tok Lama takkan
mampu menandinginya. Akan tetapi kalau pendekar kaki buntung sebelah ini dia keroyok bersama Thian
Tok Lama dia masih tak percaya kalau mereka berdua tidak akan mampu keluar sebagai pemenang!
"Bhong Ji Kun manusia pengecut!" Nirahai membentak marah. "Beraninya hanya main keroyok. Hayo kau
lawan aku kalau memang ada kepandaian!"
"Aku pun siap menghadapimu satu lawan satu!" Lulu juga menantang.
Bhong Ji Kun tersenyum. "Bukan kami yang menantang, melainkan Suma-tocu. Kalau dia tidak berani,
kami pun tidak akan memaksa."
"Im-kan Seng-jin tak perlu banyak cakap lagi. Majulah bersama Thian Tok Lama, aku sudah siap
menghadapi kalian berdua." Terdengar Suma Han berkata, suaranya tenang karena dia tidak dapat
dipanaskan hatinya oleh sikap dan ucapan Bhong Ji Kun yang cerdik.
"Tar-tar-tar...!" Pecut merah di tangan bekas Koksu itu meledak-ledak di udara. Kini dia bersikap sungguhsungguh
dan telah melangkah maju dengan senjata istimewa itu di tangan.
Juga Thian Tok Lama sudah siap, lengan kanannya di gerakkan berputaran perlahan dan tangan itu
berubah menjadi biru, sedangkan tangan kirinya memegang golok, diacungkan di atas kepala. Dengan
langkah-langkah lambat dua orang itu menghampiri Suma Han sambil mengatur posisi yang baik, pandang
mata mereka tidak pernah berkedip ditujukan kepada Pendekar Super Sakti.
Suma Han berdiri dengan sikap tenang sekali, tidak bergerak seperti sebuah arca, tongkat di tangan kiri
masih membantu berdirinya kaki tunggal itu, tubuh tegak akan tetapi mukanya menunduk, hanya pandang
matanya yang bergerak perlahan mengikuti gerak-gerik kedua orang lawannya.
"Hyaaaattt...! Tar-tar-tar-tar...!"
"Haiiittt...! Sing-sing-sing-wuuutttt!"
Serangan yang datang mengikuti pekik yang keluar dari mulut Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama hampir
berbareng itu datang bagaikan hujan ke arah tubuh Suma Han. Pecut merah berubah menjadi sinar merah
yang menyambar-nyambar dan meledak-ledak seperti halilintar, bertubi-tubi menyambar ke arah kepala
dan dada Pendekar Super Sakti. Golok di tangan kiri Thian Tok Lama merupakan sinar putih yang
bergulung-gulung membabat ke arah kaki tunggal lawan, sedangkan tangan kanannya digerakkan dengan
dorongan dahsyat ke arah pusar Suma Han, mengeluarkan uap hitam karena pukulan itu adalah pukulan
Hek-in-hwi-hong-ciang (Pukulan Sakti Api Angin dan Uap Hitam), dari perut pendeta Lama ini keluar suara
kok-kok seperti ayam betina habis bertelur!
Suma Han maklum betapa lihainya kedua orang yang mengeroyoknya itu. Dia sudah mengenal kelihaian
Thian Tok Lama dan sudah dapat mengukur sampai di mana tingkat ilmu kepandaian kakek pendeta dari
Tibet ini, akan tetapi dia belum hafal benar akan sifat dan tingkat ilmu silat Bhong Ji Kun, karena itulah
dunia-kangouw.blogspot.com
maka dia berlaku hati-hati dan tadi hanya bersikap menanti dan berjaga-jaga. Setelah melihat kedua orang
lawannya secara tiba-tiba dan serentak menerjangnya secara dahsyat, Suma Han segera mengerahkan
tenaga dan mempergunakan ilmunya yang mukjizat, yaitu Soan-hong-lui-kun.
Tubuhnya melesat ke sana-sini, cepatnya melebihi sinar senjata lawan, bagaikan kilat menyambar untuk
menghindarkan diri dari serbuan kedua orang lawannya. Ketika tubuhnya dapat lolos dari kurungan
serangan kedua orang dan melesat ke udara, tampak sinar merah pecut berkelebat menyambar dari
bawah mengejar bayangan Suma Han. Pendekar Super Sakti diam-diam merasa terkejut dan kagum akan
kecepatan gerak senjata lawan, namun tidak menjadi gugup, kaki tunggalnya digerakkan dan tubuhnya
membalik, tongkatnya menangkis sinar cambuk merah.
"Tarrr...!"
Tampak asap mengepul dari pertemuan dahsyat antara tongkat dan cambuk itu, dan Suma Han sudah
melayang turun lagi. Diam-diam dia kagum juga akan kelihaian lawan karena dalam pertemuan tenaga tadi
tahulah dia bahwa tenaga sakti bekas Koksu ini lebih kuat dari pada Thian Tok Lama! Akan tetapi dia tidak
diberi kesempatan untuk membanding lebih lama lagi karena cambuk merah itu sudah meledak-ledak
mencari sasaran, sedangkan golok di tangan Thian Tok Lama juga sudah menerjangnya secara bertubitubi.
Suma Han menggerakkan tongkatnya, menangkis semua serangan kedua orang pengeroyoknya. Sampai
tiga puluh jurus lebih pendekar ini hanya menjaga diri, mengelak dan menangkis untuk menguji lawan.
Melihat sikap suami mereka itu, Lulu dan Nirahai hampir kehilangan kesabaran mereka. Kalau saja mereka
menurutkan watak mereka yang dahulu, tentu mereka sudah tadi-tadi turun tangan membunuh bekas
Koksu dan pendeta Tibet itu.
Akan tetapi mereka merasa takut kepada suami mereka, takut kalau suami mereka marah! Apa lagi karena
mereka yakin bahwa suami mereka tidak akan kalah, maka kedua orang wanita perkasa itu hanya
menonton. Peti pusaka Istana Pulau Es terletak di depan kaki mereka.
Ada pun semua anak buah Bhong Ji Kun biar pun tidak ada yang tewas dan hanya terluka ketika mereka
dirobohkan Suma Han, tidak ada yang berani maju lagi membantu Bhong Ji Kun. Mereka hanya menonton
dan tentu saja mengharapkan agar dua orang kakek itu dapat mengalahkan Pendekar Super Sakti.
Ternyata harapan mereka itu kosong belaka karena kini Pendekar Super Sakti mulai membuat gerakan
balasan dengan tongkatnya. Begitu tongkat di tangan kirinya itu menambah gerakan menangkis dengan
serangan dahsyat, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama terdesak hebat dan terpaksa
banyak mundur karena betapa pun mereka memutar senjata, beberapa kali ujung tongkat itu tahu-tahu
telah menyelonong depan hidung mereka dan mengancam bagian tubuh yang lemah.
Ini memang siasat Suma Han yang dalam segala hal, juga dalam pertandingan, bersikap tenang dan
penuh perhitungan. Kalau saja dia tadi tidak bersikap mengalah dan mempertahankan diri, kiranya tidak
mudah baginya untuk mendesak kedua orang lawannya yang juga memiliki kepandaian sangat tinggi,
terutama sekali mendesak Bhong Ji Kun.
Akan tetapi, ketika dia hanya mempertahankan diri selama tiga puluh jurus lebih tadi, diam-diam dia
mempelajari dasar gerak kedua orang lawannya, terutama sekali gerakan cambuk Bhong Ji Kun, karena
dia sudah tahu akan kepandaian Thian Tok Lama. Tiga puluh jurus cukuplah bagi Pendekar Super Sakti
ini, dan setelah mengenal dasar gerakan lawan, barulah kini dia mengeluarkan kepandaiannya untuk
menyerang lawan.
Thian Tok Lama merasa cemas karena hal ini memang sudah dikhawatirkannya. Ada pun Bhong Ji Kun
yang tadinya sudah merasa girang dan memandang rendah lawan ketika dia dan temannya seolah-olah
sudah mendesak Suma Han, kini merasa terkejut bukan main. Tongkat pendekar kaki buntung itu
gerakannya aneh sekali, sama anehnya dengan gerakan tubuh pendekar itu yang dapat mencelat ke sanasini
secara luar biasa, dan dari tongkat itu menyambar keluar hawa pukulan yang membuat bekas Koksu
ini makin bingung. Tongkat itu kadang-kadang kaku melebihi baja, kadang-kadang lemas seperti batang
pohon cemara, akan tetapi yang lebih hebat lagi, kadang-kadang mengandung hawa serangan panas dan
ada kalanya amat dingin!
Mendadak terdengar suara melengking tinggi yang keluar dari dalam dada Pendekar Super Sakti.
Tongkatnya bergerak menyambut golok dan cambuk lawan dan... tiga buah senjata melekat menjadi satu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Betapa pun Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama berusaha menarik kembali senjata mereka, sia-sia saja
seolah-olah cambuk dan golok sudah menjadi satu dengan tongkat!
"Haiiiiittttt!" Bhong Ji Kun menggunakan tangan kiri memukul dengan telapak tangan didorongkan ke
depan.
"Hyaaattt!" Thian Tok Lama sudah menggunakan pula tangan kanannya, melakukan pukulan Hek-in-hwihong-
ciang yang mengeluarkan uap hitam.
Suma Han maklum akan bahaya maut ini. Pukulan tangan kosong Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tidak
kalah ampuhnya dibandingkan dengan Hek-in-hwi-hong-ciang dari pendeta Lama itu. Cepat dia
melepaskan tongkatnya selagi kedua lawannya mencurahkan perhatian pada pukulan mereka, kemudian
dengan tubuh tegak pendekar kaki tunggal ini sudah mendorongkan pula kedua tangannya ke depan
menyambut pukulan kedua lawannya.
"Desss! Desss!"
Tubuh Bhong Ji Kun menggigil dan terhuyung ke belakang. Dia telah terkena hantaman Inti Es yang selain
menolak pukulannya sendiri juga dengan kekuatan dahsyat masih mendorongnya. Sedangkan Thian Tok
Lama terlempar ke belakang dan terbanting roboh dengan muka merah seperti dibakar. Dia tadi dilawan
dengan pukulan panas Inti Api yang luar biasa dahsyat dan kuatnya.
Dengan kemarahan meluap-luap, Bhong Ji Kun dan Thian Tok Lama sudah meloncat bangun lagi tanpa
mempedulikan darah yang menetes keluar dari ujung bibir mereka. Bhong Ji Kun menerjang dengan
cambuknya yang tadi sudah terlepas dari tongkat Suma Han. Akan tetapi karena benturan tenaga sakti tadi
telah mendatangkan luka di dalam dadanya, gerakannya tidak sedahsyat tadi dan menghadapi serangan
ini, Suma Han yang telah memegang tongkatnya lagi bersikap tenang sekali.
"Tarr-tarrrr...!"
Cambuk merah itu menyambar ke arah kepala, ujungnya seperti patuk burung garuda mematuk ke arah
ubun-ubun kepala Suma Han. Dengan sikap tenang Suma Han menggerakkan tongkatnya menangkis,
akan tetapi tiba-tiba tampak sinar kilat berkeredepan menusuk ke arah dada pedekar itu. Suma Han
mengeluarkan seruan kaget, maklum bahwa lawannya menggunakan senjata yang luar biasa ampuhnya,
maka sambil menggerakkan tubuh mencelat ke kanan, tongkatnya bergerak menangkis senjata yang
berkeredepan itu.
"Cringggg! Trakkkk!" Tongkat di tangan Pendekar Super Sakti itu patah menjadi dua bertemu dengan
pedang itu.
"Li-mo-kiam...!" Suma Han berteriak kaget. Cepat dia mendorongkan kedua tangannya, yang kiri memukul
ke arah pergelangan tangan kiri lawan yang memegang Pedang Iblis itu, sedangkan yang kanan
mendorong ke arah dada Bhong Ji Kun.
"Desss! Augghhh...!"
Pedang Iblis Betina terlepas dari pegangannya dan cepat disambar oleh Suma Han, sedangkan tubuh
bekas Koksu itu terjengkang seperti dihantam palu godam raksasa yang amat kuat. Mulutnya muntahkan
darah segar. Dia terkena pukulan yang mengandung tenaga sakti Inti Api, yang sama sekali tidak
diduganya karena dia mengira bahwa lawannya akan menggunakan Im-kang seperti tadi. Apa lagi dia telah
mempergunakan Li-mo-kiam yang dirampasnya dari Kwi Hong. Melihat pendekar itu terkejut dan
tongkatnya patah, hatinya sudah girang sekali, membuat kewaspadaannya berkurang.
"Singggg... trakkkk! Desss!"
Golok di tangan Thian Tok Lama patah-patah bertemu dengan Li-mo-kiam, tangan kanan Thian Tok Lama
yang melancarkan pukulan Hek-in-hwi-hong-ciang bertemu dengan tangan kiri Suma Han yang
menyambutnya dengan Im-kang sehingga pendeta Lama dari Tibet ini terpental sampai beberapa meter
jauhnya dan roboh pingsan dengan muka pucat kebiruan!
Suma Han memandang Li-mo-kiam di tangannya, mengebutkan bajunya dan kemudian menghampiri
Bhong Ji Kun yang sudah merangkak bangun sambil meringis. Suma Han memandang bekas Koksu itu
dunia-kangouw.blogspot.com
dan berkata dengan suara dingin penuh wibawa, "Bhong Ji Kun, bawa semua kaki tanganmu ke perahumu
dan lekas tinggalkan tempat ini!"
Sambil meringis Bhong Ji Kun bangkit berdiri, mukanya pucat dan mulutnya masih berlepotan darahnya
sendiri. Dia memandang ke sekelilingnya. Thian Tok Lama masih pingsan dan anak buahnya tidak seorang
pun tewas, akan tetapi semua menderita luka yang membuat mereka tidak berdaya. Dia mengangguk,
menarik napas panjang dan berkata, "Engkau hebat. Pendekar Super Sakti. Sekali ini aku mengaku kalah,
akan tetapi tunggu saja, akan datang saatnya aku menebus kekalahan ini."
Sambil terhuyung-huyung, bekas Koksu ini mengambil cambuk merahnya, kemudian menyuruh anak
buahnya membawa teman yang lukanya agak berat, menggotong Thian Tok Lama, kemudian tanpa
berkata apa-apa kepada Suma Han dia bersama anak buahnya naik perahu yang segera dilayarkan
meninggalkan Pulau Es, menuju ke selatan.
"Anjing-anjing licik macam itu mengapa tidak dibunuh saja?" Baru sekarang Nirahai membuka mulut
mencela suaminya.
"Memang sepantasnya mereka dibunuh, kalau tidak kelak hanya akan menimbulkan kekacauan saja," Lulu
juga berkata tak puas, dan memandang bekas kakak angkat yang kini menjadi suaminya yang tercinta itu.
Suma Han menarik napas panjang. "Aku kasihan kepada orang-orang sesat seperti itu. Mudah-mudahan
kekalahan mereka ini menjadi pelajaran dan membuat mereka bertobat. Pula, aku tidak menghendaki
pembunuhan di pulau ini, apa lagi aku tidak ingin memulai hidup baru kita dengan pembunuhan."
"Akan tetapi mereka telah membunuh pembantumu!" kata Nirahai.
Suma Han terkejut dan menengok, seolah-olah baru teringat kepada pembantunya yang setia itu. Dengan
cepat dia menghampiri, diikuti oleh Nirahai dan Lulu. Mereka bertiga berlutut dekat Phoa Ciok Lin yang
masih rebah di atas tanah dipeluki oleh Kwi Hong yang masih menangis terisak-isak.
Melihat keadaan Phoa Ciok Lin yang dadanya ditembus tombak, Suma Han maklum bahwa nyawa
pembantunya itu tak mungkin ditolong lagi. Melihat muridnya atau keponakannya, alisnya berkerut. Dara
inilah yang menjadi gara-gara, pikirnya penuh kekecewaan dan penyesalan.
"Perlu apa engkau menangis lagi? Menangis setelah terlambat tiada gunanya! Kenapa sebelumnya engkau
tidak berpikir panjang dan percaya kepada orang-orang seperti mereka?"
Tangis Kwi Hong semakin meledak ketika dia mendengar suara yang bernada penuh teguran dari
pamannya itu. Dia merebahkan tubuh Phoa Ciok Lin perlahan-lahan di atas tanah, kemudian menjatuhkan
diri berlutut di depan Suma Han sambil menangis dan berkata, "Harap Paman bunuh saja aku yang
berdosa ini!"
Suma Han memandang tajam, kerut di alisnya makin mendalam. "Hemmm, pernahkah aku mengajarmu
bersikap seperti pengecut ini? Setiap orang membuat kesalahan, dan sikap terbaik adalah menyadari
kesalahan itu, bukan dengan penyesalan yang menimbulkan keinginan untuk bunuh diri! Sekarang aku
mempunyai tugas untukmu, jika engkau melaksanakan tugas ini dengan baik berarti engkau mempunyai
keinginan untuk menebus kesalahanmu. Sanggupkah engkau?"
"Biar harus mengorbankan nyawa, akan saya laksanakan tugas itu, harap Paman lekas beritahukan
kepada saya."
"Kau pergilah meninggalkan pulau ini, carilah Milana sampai dapat, bawa dia ke pulau ini menyusul kami.
Juga kau selidiki di mana adanya Gak Bun Beng yang sudah kusuruh mencari Milana. Mereka telah kami
tunangkan dan keduanya harus menyusul kami di sini untuk dilaksanakan pernikahannya. Juga kau harus
mencari Wan Keng In, selain minta dia menyerahkan Lam-mo-kiam juga katakan kepadanya bahwa ibunya
telah berada di Pulau Es, menjadi isteriku. Nah, berangkatlah!"
Wajah Kwi Hong seketika pucat ketika dia mendengar perintah ini. Biar pun amat sukar menundukkan Wan
Keng In, apa lagi memaksanya menyerahkan Lam-mo-kiam dan mengajaknya ke Pulau Es, namun hal itu
masih tidak membuat dia terkejut. Yang membuat wajahnya pucat adalah ketika dia mendengar akan
pertunangan antara Gak Bun Beng dan Milana! Jantungnya seperti ditusuk rasanya dan cepat
menundukkan mukanya untuk menyembunyikan kepucatan wajahnya dan dua titik air mata yang sudah
dunia-kangouw.blogspot.com
bergantung di bulu matanya. Dia mengangguk, kemudian menerima pedang Li-mo-kiam yang disodorkan
pamannya. Tanpa menjawab, tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan dia sudah berlari-lari ke pantai, meloncat
ke dalam sebuah perahu kecil yang tadi dipergunakan oleh Phoa Ciok Lin, dan meluncurkan perahu
dengan cepatnya menuju ke utara, melalui celah-celah pegunungan es yang terapung di lautan.
Suma Han berdiri tegak memandang bayangan keponakannya itu, alisnya berkerut. Pendekar Super Sakti
ini diam-diam merasa kasihan dan terharu. Dia memang sengaja tadi memberitahukan tentang
pertunangan antara Bun Beng dan Milana, karena dia tahu bahwa keponakannya itu menaruh hati cinta
kepada Bun Beng. Dia ingin agar keponakannya yang mudah dibujuk orang jahat itu belajar melihat
kenyataan hidup dan menghadapinya dengan penuh keberanian! Hal ini akan menanamkan kepercayaan
kepada diri sendiri, membuatnya waspada dan tidak lengah. Mengingat betapa dia telah menggembleng
dara itu, dan bahwa Bu-tek Siauw-jin juga sudah menurunkan ilmu kepada keponakannya itu, dia tidak
khawatir lagi akan keselamatan Kwi Hong yang tentu sudah cukup kuat untuk menjaga diri, apa lagi
dengan Li-mo-kiam di tangannya.
"Taihiap engkau sungguh kejam...!"
Mendengar suara Phoa Ciok Lin ini, Suma Han cepat menengok lalu berlutut di dekat kedua isterinya.
Kiranya pembantunya itu telah siuman dari pingsannya dan sekarang memandang kepadanya dengan
muka pucat sekali dan mata sayu. Dengan terharu dia memegang tangan wanita yang sedang sekarat itu
tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.
"Taihiap, apakah engkau tidak tahu... bahwa Kwi Hong mencinta Bun Beng seperti... seperti... aku
mencintamu pula? Aku bukan seorang muda, aku dapat melihat bahwa cintaku sia-sia, bahwa aku
bertepuk sebelah tangan... dan demi cintaku... aku bahagia menyaksikan engkau telah dapat berkumpul
dengan kedua orang wanita yang kau cinta. Aku... aku... demi cintaku kepadamu, aku dengan senang hati
suka berkorban, aku akan mati dengan hati tenteram... akan tetapi Kwi Hong masih muda sekali! Dapatkah
dia bersikap seperti aku? Taihiap... kasihan dia... entah apa yang akan terjadi dengan dia... tapi... aku
percaya kepadamu Taihiap, selamat tinggal...!"
Phoa Ciok Lin menghembuskan napas terakhir. Agaknya kekhawatiran dalam hatinya mengenai nasib Kwi
Hong tidak dapat mengusir kebahagiaan hatinya menyaksikan orang yang amat dikasihinya itu akhirnya
dapat berkumpul dengan Lulu dan Nirahai, sehingga tepat seperti yang diucapkannya tadi, dia
menghembuskan napas terakhir dengan senyum di bibirnya!
Suma Han menarik napas panjang, berbisik, "Ciok Lin, aku pun cinta padamu, akan tetapi bukan cinta
seperti yang kau maksudkan itu..."
Kemudian, dengan dibantu oleh Lulu dan Nirahai yang tidak berkata sesuatu, Suma Han menguburkan
jenazah Phoa Ciok Lin di bagian yang paling tinggi di pulau itu agar kuburannya tidak selalu tertimbun oleh
salju.
Ketika mereka bertiga berdiri di depan kuburan itu dan kebetulan mereka menghadap ke selatan, mereka
melihat udara di selatan amat gelap dan tampak kilat menyambar-nyambar dan awan hitam bergumpalgumpal
amat menakutkan. Nirahai yang belum pernah menyaksikan penglihatan seperti itu menjadi ngeri
dan memegang tangan suaminya.
"Ihhh! Apakah di sana itu?"
Lulu yang menjawabnya, karena Lulu sudah bertahun-tahun tinggal di Pulau Es ini, "Badai. Di selatan ada
badai yang mengamuk, Suci. Dan anjing-anjing tadi yang di sini mendapat pengampunan, ternyata tidak
diampuni oleh Tuhan. Mereka tentu tewas semua ditelan badai!"
"Untung bahwa Kwi Hong tadi mengambil jalan ke utara," Suma Han berkata.
Dia menggandeng tangan ketua orang wanita itu, dan dengan penuh kasih sayang mereka bertiga berjalan
bergandengan menuju ke istana Pulau Es, menuju ke hidup baru setelah belasan tahun ketiga orang sakti
ini merana oleh cinta yang putus di antara mereka. Mereka tidak memikirkan apa-apa lagi. Mereka hendak
melepaskan rindu selama belasan tahun itu, melepaskan dahaga dengan menghirup madu cinta kasih di
antara mereka sekenyang dan sepuas mungkin.....
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda itu berjalan cepat sekali. Wajahnya berseri dan bibirnya sering kali tersenyum menandakan
keriangan hatinya. Sepasang matanya bersinar-sinar penuh bahagia. Betapa hatinya tidak akan merasa
bangga, bahagia dan riang setelah kini secara resmi dia diterima oleh Pendekar Super Sakti dan isterinya
sebagai calon mantu! Dia malah diberi tugas oleh suami isteri itu untuk mencari Milana! Kekasih hatinya!
Calon isterinya!
Tersenyum dia membayangkan betapa dara itu akan menjadi merah mukanya, menjadi malu-malu kalau
dia nanti menceritakan tentang pertunangan mereka! Dan yang lebih dari pada segala yang
menyenangkan hatinya adalah kalau dia mengingat akan pertemuannya dengan Milana yang terakhir
kalinya, di mana dara itu dengan jelas membayangkan bahwa Milana pun membalas cinta kasihnya!
Tadinya kebahagiaan karena dara itu membalas cintanya masih diliputi awan keraguan kalau-kalau ayah
bunda dara itu tidak menyetujui. Akan tetapi sekarang setelah kedua orang tua itu menyatakan setuju, biar
pun belum disahkan, dunia seolah-olah berubah bagi pandang mata Bun Beng! Sinar matahari menjadi
lebih cemerlang. Tumbuh-tumbuhan menjadi lebih segar. Segala yang dipandangnya, yang didengarnya,
menjadi lebih indah menyenangkan.
Bun Beng mempercepat gerakan lari kakinya. Kota raja tidak jauh lagi. Setelah keluar dari hutan besar
yang terakhir di sebelah utara kota raja ini, dinding yang mengelilingi kota raja sudah akan tampak. Heran
sekali dia, mengapa sebelum ini dia tidak melihat keindahan hutan besar ini?
Daun-daun kering yang memenuhi tempat itu, yang terinjak oleh kakinya terasa lunak, biasanya tampak
buruk, sekarang menimbulkan perasaan senang melihatnya, begitu rapi bertumpuk di atas tanah, seperti
diatur saja. Dan seolah-olah sengaja disebar untuk menjadi permadani yang lunak halus bagi kedua
kakinya. Dan baunya! Daun-daun yang sudah membusuk, menjadi sampah, bukankah biasanya
mendatangkan bau tidak enak? Sekarang kalau dia mencium, terciumlah bau daun-daun busuk itu, akan
tetapi sama sekali tidak busuk baunya, bahkan ada kesedapan yang khas! Jelaslah kini olehnya bahwa
segala yang disebut indah atau buruk, enak atau tidak, semua tergantung dari keadaan hati seseorang!
Pendapat seperti yang dialami Bun Beng itu menjadi pendapat umum. Akan tetapi selama orang
memandang atau mendengar sesuatu dengan penilaian akan baik buruknya yang dipandang atau didengar
itu, maka seluruhnya tergantung dari keadaan pikiran dan hati. Karena itu, kita selalu diombang-ambingkan
antara suka dan duka, puas dan kecewa dan kalau dihitung dan dijumlah, jauh lebih banyak dukanya dari
pada sukanya, lebih banyak kecewanya dari pada puasnya.
Kalau saja kita dapat melepaskan diri dari pengaruh pikiran! Kalau saja kita dapat terbebas dari keinginan,
dari pengejaran akan sesuatu yang tidak ada pada kita! Kalau kita terbebas dari rasa khawatir akan
kehilangan yang kita senangi dan terbebas dari rasa takut akan sesuatu yang belum terjadi! Kalau
demikian halnya, agaknya hidup ini tidaklah seperti yang kita alami sekarang ini di mana terdapat penuh
pertentangan, penuh persoalan benar atau salah, penuh dengki dan iri hati, penuh benci, dan penuh
dengan apa yang kita sebut kesengsaraan lahir mau pun batin!
Gak Bun Beng yang sekarang telah menjadi seorang yang memiliki kepandaian luar biasa berkat
gemblengan terakhir yang dilakukan bersama oleh Pendekar Super Sakti dan Kakek Bu-tek Siauw-jin,
berlari seperti terbang cepatnya dan sebentar saja dia telah keluar dari dalam hutan lebat itu. Sejenak dia
berhenti untuk memandang tembok yang megah, yang mengelilingi kota raja sehingga dari jauh kelihatan
seperti sebuah benteng yang kokoh kuat.
Tiba-tiba pandang matanya tertarik akan sesuatu yang bergerak tak jauh di sebelah depan, di lereng
pegunungan sebelah bawah. Seorang manusia! Dan jalannya tidak wajar karena seperti terhuyunghuyung.
Bun Beng segera meloncat ke depan dan berlari cepat menuju ke arah orang yang terhuyunghuyung
itu.
Orang itu roboh terguling dan mengeluh ketika Bun Beng tiba di sebelah belakangnya. Bun Beng cepat
berlutut dan mengangkat tubuh bagian atas laki-laki setegah tua itu. Beberapa buah luka yang cukup hebat
memenuhi tubuhnya, pakaiannya robek-robek dan berlepotan darah. Keadaan laki-laki itu payah sekali,
napasnya empas-empis.
"Kau kenapa, Paman? Siapa yang menyiksamu seperti ini?" Bun Beng bertanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang itu membuka matanya, akan tetapi pandang matanya seperti orang lamur, manik matanya tidak
bercahaya lagi, seperti api yang hampir padam. Mulutnya bergerak, "Semua tewas... aughh... mereka dari
Pulau Neraka... celaka sekali... cucu Sri Baginda mereka bawa..."
"Apa?! Milana? Paman, jawablah! Apakah Milana yang mereka bawa?"
"Cucu Sri Baginda... puteri Panglima Nirahai... diculik pemuda Pulau Neraka dan..." Kepala itu terkulai.
"Ke mana, Paman? Dibawa ke mana dia?" Bun Beng bertanya mengguncang-guncang tubuh yang telah
lemas itu. Namun tiada jawaban. Bagaimana mayat dapat menjawab?
Bun Beng menghela napas panjang, dan pandang matanya yang tadinya penuh kebahagiaan kini berubah
sama sekali. Penuh kekhawatiran dan kemarahan! Dia tidak mengenal orang ini, betapa pun juga, orang ini
telah berjasa kepadanya, menceritakan sesuatu tentang Milana, sungguh pun ceritanya amat tidak
menyenangkan. Maka dia segera menggali lubang dan mengubur jenazah orang tak dikenal itu. Semua ini
dilakukannya dengan cepat dan segera dia berlari sekencangnya memasuki kota raja untuk mencari berita.
Berita itu mudah didengarnya. Semua orang tahu belaka bahwa cucu Kaisar, puteri Panglima Wanita
Nirahai yang amat terkenal, telah diculik dan dilarikan orang. Menurut beritanya itu, penculiknya adalah
seorang pemuda tampan bersama seorang kakek yang seperti mayat.
"Hmmm, siapa lagi kalau bukan Wan Keng In?" Pikir Bun Beng dengan hati panas dan kemarahan
berkobar seperti api membuat mukanya kemerahan dan pandang matanya ganas.
Setelah merasa yakin bahwa yang menculik kekasihnya adalah pemuda Pulau Neraka itu, Bun Beng
segera meninggalkan kota raja. Menurut kabar, Kaisar sendiri sudah mengerahkan para pengawal yang
berilmu untuk mencari cucunya, bahkan ada berita bahwa Kaisar mengundang Pendekar Super Sakti untuk
mengembalikan dara yang diculik orang itu, dengan janji pengampunan bagi pendekar yang tadinya
dianggap seorang pemberontak dan buruan itu! Akan tetapi, Bun Beng maklum bahwa tak mungkin dia
bisa mendapatkan keterangan di kota raja ke mana larinya Wan Keng In yang menculik kekasihnya.
Setelah memutar otaknya, akhirnya Bun Beng menduga bahwa kemungkinan besar pemuda Pulau Neraka
itu membawa kekasihnya ke Pulau Neraka! Atau setidaknya tentu pemuda iblis itu berkeliaran di utara, di
sepanjang pantai. Hatinya menjadi sakit sekali, penuh kecemasan akan keselamatan kekasihnya. Ia
khawatir kalau-kalau dia terlambat menolong kekasihnya.
"Aihhh! Mengapa aku begini lemah?" Dia mencela diri sendiri. "Terlambat atau tidak, bagaimana nanti
keadaannya sajalah. Yang terpenting, aku harus mencarinya sampai dapat!"
Pikiran ini agak meredakan gelombang kecemasan yang melanda hatinya dan mulailah dia melakukan
perjalanan ke utara kembali, tidak berani melakukan cepat karena dia harus melakukan penyelidikan,
bertanya-tanya di sepanjang jalan. Dia menganggap bahwa orang yang terluka dan tewas ketika bertemu
dengannya itu merupakan jejak terakhir dari Milana, dia lalu mengambil jalan yang ditempuh orang itu, dari
tempat dia bertemu orang itu lalu terus ke utara.
Di sepanjang perjalanan Bun Beng bertanya-tanya dan untuk mencegah timbulnya kecurigaan, maka dia
bersikap bersahaja. Pakaiannya memang selalu sederhana, dan kini dia selalu memakai sebuah caping
bundar yang pinggirannya lebar, sedangkan pedang Hok-mo-kiam tidak pernah tampak dari luar karena dia
sembunyikan di balik jubahnya. Dalam penyelidikannya, secara sambil lalu dia bertanya tentang seorang
nona muda yang cantik dengan gelung tinggi ke atas kepala, seorang pemuda tampan yang mukanya
pucat dan pakaiannya mewah, dan seorang kakek yang kurus seperti mayat. Dia tidak mau menyebut
nama-nama.
Biar pun agak sulit baginya untuk memperoleh keterangan yang jelas, kecuali beberapa orang yang
menuturkan kepadanya pernah melihat tiga orang itu, ada pula yang melihat serombongan orang-orang
gagah naik kuda menuju ke utara, bagi Bun Beng sudah cukup untuk mengikuti jejak para penculik yang
membawa pergi kekasihnya. Tepat seperti dugaannya, Milana dibawa ke utara!
Akhirnya pada suatu pagi, dia tiba di tempat bekas pertempuran dan melihat banyak mayat manusia
berserakan dan sebagian sudah menjadi kerangka. Hatinya penuh dengan bermacam perasaan. Ada rasa
girang karena dia kini yakin bahwa di sinilah terjadinya perang dan di sini pula agaknya orang yang
dunia-kangouw.blogspot.com
bercerita tentang Milana itu terluka. Tentu dia seorang di antara pengawal utusan Kaisar yang mengejar
para penculik!
Ada rasa ngeri menyaksikan betapa di tempat ini telah terjadi penyembelihan manusia yang agaknya
dilakukan oleh Wan Keng In dan kakek seperti mayat! Atau mungkin juga ada anak buah Pulau Neraka,
karena melihat luka-luka yang diderita oleh orang yang dijumpainya itu, hanyalah luka-luka akibat senjata
tajam, sedangkan kalau Wan Keng In sendiri yang turun tangan, apa lagi menggunakan Lam-mo-kiam
yang dirampas pemuda Pulau Neraka itu, tentu tidak memungkinkan orang itu hidup lebih lama lagi.
Ada pula rasa yang makin menghebat, yaitu rasa khawatir. Setelah yakin bahwa Wan Keng In yang
menculik Milana, dia merasa khawatir sekali. Kalau penculiknya orang lain, agaknya Milana akan mampu
menjaga diri karena dia tahu bahwa kekasihnya itu adalah seorang dara yang memiliki kepandaian tinggi
dan sukar ditandingi orang. Tapi terhadap Wan Keng In, agaknya kekasihnya itu tidak akan berdaya
mempertahankan keselamatannya!
Dengan hati tak karuan, Bun Beng cepat melanjutkan perjalanannya ke utara. Setelah matahari condong
ke barat, tibalah dia di kaki gunung dan dari tempat dia turun sudah tampak sebuah telaga kecil yang
airnya jernih kebiruan. Timbul keinginannya untuk menyegarkan tubuhnya yang lelah, mandi di telaga itu.
Maka ke sanalah dia menuju.
Ketika tiba dekat telaga mendadak dia berhenti. Di tepi telaga terdapat serombongan orang terdiri dari dua
belas orang dan di antaranya ada yang membawa bendera, berhadapan dengan seorang lelaki muda dan
agaknya mereka itu sedang bercekcok. Bun Beng merasa tertarik hatinya, akan tetapi karena dia tidak tahu
urusannya dan tidak mau dianggap lancang mencampuri urusan orang lain, dia menyelinap dekat dan
diam-diam dia menonton sambil mendengarkan percekcokan mereka. Tanpa sengaja dia mendekati
tumpukan batu gunung yang menyembunyikan sebagian air telaga dan mendengar suara air.
Ketika dia menoleh, Bun Beng terbelalak dan seketika mukanya menjadi merah sekali. Betapa jantungnya
tidak akan berdebar tegang dan mukanya tidak akan menjadi merah sekali kalau dia melihat seorang
wanita muda dan cantik sedang merendam tubuh yang mulus dan polos di dalam air telaga? Cepat dia
membuang muka dan agak menjauhi tempat itu, bersembunyi di belakang batu gunung dekat telaga, lalu
mengintai ke arah laki-laki muda berpakaian sederhana yang berhadapan dengan para piauwsu (pengawal
barang) itu.
"Cuwi-piauwsu (para pengawal sekalian) hendaknya jangan mempersalahkan aku saja!" Terdengar laki-laki
muda itu membantah dengan suara keras. "Aku bukanlah seorang tukang pukul yang sembarangan
memukul orang. Kalau sampai kongcu (tuan muda) tadi kupukuli, tentu ada sebab tertentu yang memaksa
aku."
"Hemm, kalau memang ada sebabnya, mengapa engkau tidak menceritakan kepada kami? Apakah
sebabnya?" tanya kepala piauwsu, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang bertubuh tegap
dan bersikap angker.
"Sebabnya tak dapat kuceritakan kepada orang lain!" jawab orang muda itu.
Kakek yang memimpin pengawal angkutan itu memandang tajam, suaranya terdengar tegas, "Orang
muda, jangan kau main-main dengan kami! Chi-kongcu adalah putera Tihu dari Kang-ciu dan kami yang
mengawalnya bersama barang-barangnya adalah para pengurus Eng-jiauw-piauwkiok (Ekspedisi Cakar
Garuda), anak murid Bu-tong-pai. Lebih baik kau berterus terang agar kami mempertimbangkan."
Wajah orang muda itu kelihatan bimbang. Kemudian dengan suara terpaksa ia berkata, "Baiklah, biar Cuwi
mengetahui betapa kotor perbuatan kongcu yang Cu-wi kawal itu. Isteriku sedang mandi di telaga
seorang diri, lalu datang kongcu itu menggodanya. Melihat ini, tentu saja aku tidak dapat membiarkannya
saja dan memberi hajaran. Nah, bukankah hal itu sudah pantas kulakukan?"
Para piauwsu itu mengerutkan alis. Mereka adalah orang-orang gagah yang tentu saja merasa tidak
senang mendengar perbuatan kongcu itu, sungguh pun di dalam hati, semua pria itu tidak merasa heran
akan perbuatan itu.
"Sampai sejauh manakah perbuatannya maka engkau memukulinya hingga mukanya bengkak-bengkak
dan berdarah?" tanya piauwsu tertua.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja dia merasa bertanggung jawab akan keselamatan putera bangsawan yang dikawalnya.
Rombongan mereka tadi berhenti dan mengaso tak jauh dari telaga. Chi-kongcu seorang diri berjalan-jalan
ke telaga dan tak lama kemudian kongcu itu datang berlari-lari dengan muka bengkak-bengkak berdarah,
mengatakan bahwa dia dipukuli seorang laki-laki dekat telaga.
"Ehh! Apakah Cu-wi (Anda sekalian) tidak menyalahkan perbuatan kongcu keparat yang kurang ajar itu?"
Laki-laki muda itu balas bertanya dengan muka merah.
"Memang kurang sopan. Akan tetapi apakah yang dilakukannya terhadap isterimu?"
"Kalau dia sudah melakukan sesuatu, tentu dia telah kubunuh! Isteriku, mandi seorang diri, dia datang
menghampiri dan menggoda dengan kata-kata tidak sopan."
"Orang muda, engkau agaknya terlalu mengandalkan kekuatanmu sendiri sehingga bersikap galak! Semua
perkara harus diperiksa lebih dahulu dengan jelas, jangan sembarangan main hakim sendiri mengandalkan
kekuatanmu. Harus kami akui bahwa perbuatan Chi-kongcu tidak patut, sungguh pun kami masih
meragukan mengapa dia sampai berani menggoda seorang wanita yang sedang mandi seorang diri. Entah
apa yang telah diucapkannya yang membuat engkau marah dan memukulnya. Apakah yang dikatakannya
orang muda?"
"Aku tidak mendengarnya sendiri, hanya kulihat dari jauh dia berkata-kata dan tertawa-tawa kepada isteriku
yang sedang mandi, dan isteriku marah-marah kepadanya."
"Jadi masih belum jelas lagi apa yang diucapkannya. Hemmm, biarlah hal yang sudah terjadi tak perlu
diributkan lagi. Chi-kongcu telah bersalah mengajak seorang wanita yang mandi bercakap-cakap, akan
tetapi engkau pun terlalu ringan tangan. Kami tidak akan memperpanjang urusan ini kalau engkau suka
minta maaf kepadanya."
"Tidak sudi! Kalau disuruh menambah pemukulan kepadanya aku mau!" Orang muda yang berdarah panas
itu membantah.
Ketua piauwsu itu mengerutkan alisnya. "Orang muda, kami sudah mengambil jalan tengah dan banyak
mengalah kepadamu, akan tetapi engkau masih berkeras kepala. Kami terpaksa mencampuri urusan ini
karena kewajiban kami untuk mengawal Chi-kongcu! Apakah engkau tidak memandang muka kami dan
hendak menentang kami?"
"Terserah! Aku tidak takut pada siapa pun untuk menjaga dan melindungi kehormatan isteriku!" Pemuda itu
bertolak pinggang dan siap untuk menghadapi lawan, sikapnya sangat gagah karena dia merasa gagah
telah dapat mempertahankan kehormatan isterinya.
"Hemm, engkau terlalu memandang rendah murid Bu-tong-pai!" Kakek itu berkata dan sudah mengepal
tinju.
Dari tempat sembunyinya, Bun Beng dapat melihat jelas dari sikap pemuda itu bahwa dia tidak pandai ilmu
silat, sedangkan para piauwsu itu sebagai murid Bu-tong-pai, apa lagi kakek itu, tentu saja memiliki
kepandaian tinggi. Maka sebelum terjadi perkelahian yang tentu akan mencelakakan orang muda itu, Bun
Beng melompat keluar dari tempat sembunyinya dan berdiri tegak di depan kakek pemimpin para piauwsu
sambil berkata halus, "Tahan dulu!"
Para piauwsu memandang kepada Bun Beng penuh kecurigaan, juga orang muda itu menoleh dan
memandang heran kepada pemuda tampan yang menyembunyikan sebagian mukanya di balik caping
bundar yang lebar itu.
"Harap Cuwi-piauwsu suka menghabiskan perkara ini, karena mendengar penuturan saudara ini, yang
bersalah adalah kongcu itu. Kurasa tidak biasanya para tokoh Bu-tong-pai bertindak sewenang-wenang!"
Mendengar ucapan itu, pimpinan piauwsu memandang tajam dan melangkah maju, membungkuk dan
bertanya, "Siapakah Siauw-sicu (Tuan muda yang gagah) yang mengenal Bu-tong-pai dan ada hubungan
apa Sicu dengan saudara ini?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Namaku Gak Bun Beng dan aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan Twako (Kakak) ini. Aku
hanya tidak ingin melihat nama besar Bu-tong-pai direndahkan oleh para anak muridnya kalau Cu-wi
hendak menggunakan kekerasan terhadap Twako yang tidak bersalah ini."
Ucapan Bun Beng ini membuat para piauwsu menjadi serba salah. Mau marah, terang bahwa pemuda
bercaping bundar ini mengangkat tinggi nama Bu-tong-pai, kalau mengalah mereka merasa penasaran
sekali karena pemuda yang bernama Gak Bun Beng ini sama sekali tidak mempunyai nama besar
sehingga tidak sepatutnya kalau mereka mengalah dan menyudahi urusan dengan orang muda itu hanya
melihat muka seorang pemuda asing yang sama sekali tidak mereka kenal.
"Orang muda she Gak, permintaanmu sungguh berat sebelah. Engkau membujuk kami untuk mengalah,
sebaliknya engkau membiarkan orang muda itu yang telah memukuli orang kawalan kami tanpa
perhitungan apa-apa. Mengapa engkau sebagai seorang penengah yang bijaksana, tidak minta dia untuk
mengalah dan minta maaf kepada yang dia pukuli sehingga urusan menjadi selesai dengan damai?"
Bun Beng mengerutkan alisnya dan berkata, "Sepanjang pendengaranku tadi, jelas sudah bahwa yang
bersalah adalah kongcu itu dan sudah sepatutnya dia mendapatkan hajaran. Sepantasnya Cu-wi sebagai
pengawalnya yang lebih mengerti tentang peraturan mintakan maaf untuknya kepada sahabat ini.
Bagaimana mungkin Saudara ini yang telah mengalami penghinaan malah disuruh minta maaf?"
Pemimpin piauwsu itu kelihatan makin tidak senang. "Gak-sicu, agaknya engkau terlalu mengandalkan
kepandaian sendiri sehingga secara lancang mencampuri urusan orang dan sama sekali tidak memandang
muka kami sebagai piauwsu yang bertanggung jawab terhadap kawalannya, sebagai anak murid Bu-tongpai
yang siap memaafkan kesalahan orang asalkan orang itu suka mengaku salah dan minta maaf. Kami
yakin Sicu mengerti akan hal ini dan mau melepas tangan terhadap urusan kecil ini."
Bun Beng menggeleng kepalanya. "Cu-wi sekalian pikirlah baik-baik. Bukan aku yang mengandalkan
kepandaian atau sahabat ini yang bersalah, sebaliknya Cu-wi yang hendak mengukuhi kebaikan sendiri.
Harusnya Cu-wi malah berpandangan bijaksana, menyuruh kongcu kurang ajar itu mohon maaf kepada
sahabat ini atas kekurang ajarannya terhadap isteri sahabat ini. Dengan demikian baru tepatlah tindakan
Cu-wi sebagai murid-murid Bu-tong-pai yang gagah perkasa."
"Manusia sombong, engkau benar-benar besar kepala, tidak menghormati kami. Baiklah, kita putuskan
urusan ini dengan kepandaian!"
"Oho! Cu-wi malah menantang? Silakan! Sahabat, mundurlah, kau bukan tandingan orang-orang gagah ini,
biar aku mewakilimu!"
"Bocah sombong, sambutlah ini!" Seorang di antara para piauwsu, yang bertubuh tinggi kurus, sudah
menerjang maju dan menghantamkan kepalan tangan kanannya ke arah dada Bun Beng.
Melihat gerakan orang itu, Bun Beng maklum bahwa orang kasar itu lebih memiliki tenaga kasar dari pada
ilmu silat yang tinggi, maka dia pun tidak mau menangkis atau mengelak, bersikap seperti tidak tahu bahwa
dia sedang dipukul.
"Bukkkk!"
"Aduhhh!" Orang tinggi kurus itu memekik kesakitan dan memegangi tangan kanannya yang membengkak
seolah-olah yang dipukulnya tadi adalah benda dari baja yang amat keras.
Bun Beng hanya tersenyum saja, sama sekali tidak mempedulikan orang yang telah memukulnya tadi,
melainkan memandang kepada pemimpin rombongan, kakek yang bersikap penuh wibawa itu.
"Hemmm, kiranya engkau mempunyai kepandaian juga, orang muda. Pantas bersikap sombong!" Kakek itu
melangkah maju. "Biarlah aku memberanikan diri berkenalan dengan tubuhmu yang kebal."
"Twa-suheng (Kakak Seperguruan Tertua), biarkan siauwte (adik) menghadapinya, tidak perlu Twa-suheng
sendiri yang maju!" Ucapan ini keluar dari mulut seorang di antara mereka yang usianya hampir lima puluh
tahun, tubuhnya kurus kering seperti orang menderita penyakit, kepalanya kecil dan wajahnya pucat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat adik seperguruannya ini, kakek itu mengangguk, dan berkata, "Boleh engkau mencobanya, Sute.
Akan tetapi berhati-hatilah, orang muda she Gak ini agaknya lihai sehingga dia berani bersikap keras
kepala dan sombong."
"Cu-wi yang keterlaluan, bukan aku yang keras kepala, melainkan Cu-wi sendiri yang enggan mengalah
biar pun pihak Cu-wi bersalah." Bun Beng membantah, memandang Si Kurus Muka Pucat itu. Dia maklum
bahwa orang yang seperti berpenyakitan itu sama sekali tidak boleh disamakan dengan orang kasar tadi,
maka dia tidak berani memandang rendah dan bersikap hati-hati.
"Orang muda, sambutlah seranganku!" Orang kurus itu berseru nyaring dan tubuhnya sudah mencelat ke
depan.
Tepat seperti yang diduga oleh Bun Beng, gerakan orang itu cepat bukan main, membuktikan bahwa dia
memiliki ginkang yang sudah tinggi tingkatnya, dan dia menyerang Bun Beng bukan mengandalkan tenaga
kasar seperti penyerang pertama tadi, melainkan dengan totokan jari tangan ke arah jalan darah di dada
kanan dan di pundak kiri Bun Beng, dua totokan sekaligus secara berbareng!
Namun dari sambaran angin serangan ini, Bun Beng juga sudah dapat mengukur tenaga lawan, maka dia
tidak khawatir akan totokan-totokan itu, hanya menutup jalan darahnya di pundak, kemudian dengan
tenang sekali dia menyambut tangan yang menotok dadanya dengan totokan jari telunjuk tangan kirinya
sedangkan totokan ke arah pundaknya dia terima begitu saja tanpa dielakkan. Jari telunjuknya tepat sekali
menotok telapak tangan kanan lawan pada saat pundaknya juga terkena totokan tangan kiri Si Kurus Pucat
itu.
"Cusss! Desss!"
"Aihhh!"
Si Muka Pucat itu berseru kaget, cepat melompat ke belakang, namun dia terhuyung dan lengan kanannya
menjadi lumpuh sedangkan jari tangan kirinya yang menotok pundak tadi pun merasa nyeri bukan main.
Dia meringis dan menggunakan tangan kirinya mengurut-urut lengan kanan yang lumpuh ketika telapak
tangannya, pada jalan darah yang berpusat di antara ibu jari dan telunjuknya, tertotok oleh telunjuk tangan
kiri Bun Beng.
"Minggir semua!" Pemimpin para piauwsu membentak ketika melihat teman-temannya maju, agaknya
hendak mengeroyok Bun Beng. Dia terkejut bukan main melihat betapa pemuda bertopi bundar lebar itu
dalam segebrakan saja sudah dapat mengalahkan sute-nya yang dia tahu bukanlah seorang yang lemah.
Mengertilah dia bahwa pemuda itu ternyata merupakan seorang yang berilmu tinggi.
"Orang muda, engkau ternyata lihai bukan main. Biarlah sekarang aku sendiri mewakili Bu-tong-pai untuk
mencoba kelihaianmu!" Kakek itu menggerakkan tangan kanannya dan....
“Singgggg!” terdengar suara nyaring ketika sebatang pedang telah dicabutnya. Pedang itu tergetar di
tangan kanannya, mengeluarkan cahaya berkilauan.
"Lo-enghiong (Orang Tua Gagah), aku tidak mau menghadapimu jikalau engkau mempergunakan nama
Bu-tong-pai. Perselisihan paham di antara kita ini sama sekali tiada sangkut-pautnya dengan Bu-tong-pai,
melainkan sebagai orang-orang saling bertemu di jalan dan bentrok karena mempertahankan kebenaran
masing-masing."
"Terserah kepadamu, akan tetapi keluarkanlah senjatamu. Aku ingin menyaksikan sampai di mana
kelihaianmu!" Kakek itu melintangkan pedangnya di depan dada dan sikapnya amat menantang. Agaknya
kakek itu sudah marah sekali melihat kedua orang adik seperguruannya telah dikalahkan sedemikian
mudahnya oleh pemuda yang sama sekali tidak terkenal di dunia kang-ouw itu.
Bun Beng tersenyum dan masih bersikap tenang. "Lo-enghiong, bentrokan di antara kita hanyalah kesalah
pahaman belaka yang timbul karena Cu-wi (Anda Sekalian) merasa terlalu besar untuk mengalah, sama
sekali bukan berarti bahwa di antara kita terdapat permusuhan besar. Kita sudah mengambil keputusan
untuk mempertahankan pendirian dan kebenaran masing-masing dengan kepalan, mengapa sekarang Loenghiong
mengeluarkan senjata? Senjata tidak bermata, apakah Lo-enghiong berniat untuk membunuh
aku hanya karena perselisihan kecil ini?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Orang muda, engkau memiliki ilmu silat yang lihai, apakah engkau berpura-pura tidak tahu bahwa dalam
sebuah pibu (pertandingan mengadu ilmu silat), luka-luka atau kematian merupakan hal yang wajar?
Sudahlah, tidak perlu kita berkepanjangan dan bicara yang tiada gunanya. Keluarkan senjatamu dan
hadapi pedangku. Kalau aku kalah, baik terluka atau tewas dalam tanganmu, berarti pihakku bersalah
dalam urusan ini dan kami takkan banyak cakap lagi."
Bun Beng menarik napas panjang. Memang bentrokan ini tak dapat dihindarkan lagi pikirnya. Kakek
pemimpin para piauwsu ini memiliki keangkuhan tinggi. Dia merasa serba salah. Kalau dia teringat akan
Ang-lojin (Kakek Ang) atau Ang Thian Pa, ketua Bu-tong-pai, sungguh tidak enak kalau dia harus bentrok
dengan anak muridnya. Apa lagi kalau dia teringat akan Ang Siok Bi, dara jelita puteri ketua itu, yang
pernah hendak dijodohkan dengan dia! Betapa pun juga, tidak mungkin dia membiarkan saja para piauwsu
ini menekan kepada orang muda yang isterinya telah dihina itu. Akan tetapi, tidak mungkin pula kalau dia
sampai harus mengeluarkan Hok-mo-kiam seperti menghadapi seorang musuh besar saja.
"Lo-enghiong, engkau yang menghendaki menggunakan senjata, bukan aku. Karena itu, kalau engkau
berkeras hendak menggunakan pedang, silakan. Aku sendiri hanya akan mengandalkan kaki dan tangan."
Ucapan yang terus terang ini diterima salah oleh kakek itu. Dia sudah mengeluarkan pedang, dan pemuda
itu tetap hendak menghadapinya dengan tangan kosong saja, berarti pemuda ini terlalu memandang
rendah kepadanya. Kemarahannya meluap dan dia membentak, "Pemuda sombong! Kalau begitu,
rasakanlah kelihaian Bu-tong-kiam-sut (Ilmu Pedang Bu-tong-pai)!"
"Singgg... wirrr... siuuuttt!"
Sinar pedang berkelebatan, tiga kali kakek itu menyerang, dua kali menusuk dan satu kali membabat.
Ketika Bun Beng cepat-cepat menggerakkan tubuhnya, gerakan yang sedikit saja namun sudah dapat
menghindarkan tubuhnya dari ketiga serangan itu, kakek murid Bu-tong-pai menjadi terkejut dan
penasaran. Pedangnya diputar cepat sekali sehingga lenyaplah bentuk pedangnya, berubah menjadi
gulungan sinar putih dan hanya kadang-kadang saja tampak bentuk pedang menjadi banyak. Gulungan
sinar ini menyambar-nyambar dan mengurung tubuh Bun Beng, namun pemuda itu yang tentu saja dapat
melihat dengan jelas gerakan pedang ini, dengan tepat dapat mengelak ke kiri, kadang-kadang
menggunakan tangannya menepuk dan menyampok lengan lawan sehingga gerakan pedang itu
menyeleweng. Dengan cara mengelak dan menangkis ini, Bun Beng membiarkan lawannya melakukan
penyerangan sampai dua puluh jurus!
"Belum cukupkah, Lo-enghiong?" Bun Beng bertanya. Dia sengaja mengalah dan kalau secara ini kakek itu
belum mengerti bahwa kepandaiannya masih jauh kalah oleh pemuda yang diserangnya, benar-benar
benar kakek itu keterlaluan sekali. Demikian pikir Bun Beng.
Jago tua Bu-tong-pai itu sama sekali bukan orang bodoh atau nekat. Tentu saja dia sudah tahu. Dia kaget
bukan main ketika mendapat kenyataan betapa pemuda itu yang berani menghadapinya dengan tangan
kosong, membuat semua serangan pedangnya tidak ada artinya dan dengan mudah sekali menghindarkan
semua serangan selama dua puluh jurus tanpa membalas sedikit pun juga, padahal dia melihat sendiri
betapa kesempatan untuk itu banyak terdapat.
Dia tahu pula bahwa agaknya akan sukar baginya untuk dapat menangkan pemuda itu. Namun bagaimana
mungkin dia mundur? Sekali ini, dia bertanding bukan hanya karena urusan pribadi! Karena dia sudah
terlanjur mengaku sebagai murid Bu-tong-pai, maka gerakan pedangnya yang mainkan Ilmu Pedang Butong-
pai itu membuat dia seolah-olah bertanding demi nama dan kehormatan Bu-tong-pai! Inilah sebabnya
mengapa dengan nekat terus menyerang tanpa memperdulikan peringatan Bun Beng.
"Cukup! Berhentilah!" Bun Beng membentak nyaring, tubuhnya berkelebat ke kiri kemudian sebelum kakek
itu sempat membalik, dia sudah mendahuluinya dengan sambaran tangan kanannya, dengan terbuka dan
miring dipukulkan ke arah pedang dari samping.
"Trakkk!"
Dapat dibayangkan betapa kaget hati kakek Bu-tong-pai itu ketika tiba-tiba tangannya tergetar, gagang
pedang yang dipegangnya hampir terlepas dan pedang itu sendiri telah patah menjadi dua potong!
Mematahkan pedangnya dengan sabetan tangan kosong! Dia terbelalak, akhirnya matanya yang tadi
memandang pedang buntung di tangannya, dialihkan memandang kepada Bun Beng. Dia menghela napas
dunia-kangouw.blogspot.com
panjang. Tahulah dia bahwa biar pun andai kata dia mengeroyok pemuda itu dengan semua saudaranya,
mereka tidak akan dapat menangkan pemuda yang ternyata memiliki ilmu kepandaian tidak lumrah ini.
"Sudahlah. Aku menerima kalah dan tidak berhak bicara lagi!" Dia menjura, kemudian melempar pedang
buntungnya dan pergi dari situ, memberi isyarat kepada semua saudaranya yang juga tidak berani
membantah. Rombongan piauwsu itu melanjutkan perjalanan dengan wajah murung, apa lagi kongcu
bangsawan yang kena dihajar oleh suami wanita cantik tadi dan para pengawalnya tidak mampu menebus
penghinaan dan malu yang dideritanya!
"Terima kasih, Taihiap. Saya akan menjemput isteri saya untuk bersama-sama menghaturkan terima kasih
atas pertolongan Taihiap!" Orang muda itu cepat lari ke tepi telaga untuk menjemput isterinya yang tadi
masih bersembunyi, tak berani naik karena suaminya berkelahi dengan kongcu yang menggodanya.
Bun Beng mengerutkan alis. Dia tidak membutuhkan terima kasih, maka menggunakan kesempatan selagi
orang itu pergi menjemput isterinya, dia pun menggerakkan kakinya meninggalkan tempat itu.
Pekik melengking yang didengarnya datang dari telaga itu menahan gerak kaki Bun Beng. Dia
membalikkan tubuh dan dengan beberapa loncatan jauh telah tiba di pinggir telaga, meloncat turun dan
memandang dengan mata terbuka lebar kepada suami yang menangisi isterinya itu. Wanita muda cantik
yang tadi dilihatnya merendam tubuhnya di dalam air telaga, sekarang telah menggeletak tanpa nyawa
dengan mata mendelik dan lidah terjulur keluar tanda mati tercekik.
Suami itu menoleh dan dengan suara terisak berkata, "Dia... dia telah diperkosa... dan dibunuh...!"
Bun Beng sudah meloncat lagi ke atas dan berlari cepat sekali melakukan pengejaran. Siapa lagi yang
melakukan perbuatan terkutuk itu kalau bukan seorang di antara rombongan piauwsu tadi! Bahkan
mungkin sekali kongcu yang melampiaskan dendamnya dengan memperkosa dan membunuh Si Isteri
selagi suami wanita itu ribut bertengkar dengan para piauwsu. Jahanam, harus kudapatkan pembunuh
biadab itu, pikirnya.
Karena Bun Beng mempergunakan ilmu berlari cepat, sebentar saja dia sudah berhasil menyusul
rombongan itu. "Berhenti...!" serunya dengan suara nyaring.
Kakek pemimpin rombongan dan saudara-saudaranya terkejut sekali ketika tiba-tiba pemuda bercaping
bundar yang lihai itu telah berada di depan mereka tanpa mereka ketahui lewatnya! Kakek itu segera
mengangkat tangan menyuruh rombongannya berhenti, di dalam hatinya penuh dugaan mengapa pemuda
itu mengejar mereka. Menduga bahwa pemuda itu berniat buruk, mungkin seorang perampok tunggal yang
hendak merampok barang kawalan dalam kereta. Dia sudah meloncat ke depan, menghadapi pemuda itu
dengan pandang mata tajam.
"Gak-sicu mengejar kami ada kehendak apakah?"
Bun Beng yang masih marah sekali itu tidak menjawab, hanya matanya bergerak memandang ke
sekelilingnya, meneliti para piauwsu seorang demi seorang. Dia tahu bahwa para piauwsu itu tidak ada
yang berkesempatan melakukan pembunuhan, karena dia melihat mereka itu semua bersiap-siap ketika
terjadi perselisihan. Akan tetapi ketika melihat seorang pemuda berpakaian mewah menjenguk keluar dari
dalam kereta yang dikawal, pemuda yang pipi kanannya masih bengkak, dia segera mengenjot tubuhnya,
meloncat ke dekat kereta, dan sekali menggerakkan tangannya, dia telah menangkap leher baju pemuda
berpakaian mewah itu dan menariknya turun dari kereta!
"Ouhhh... ehhh... ada apa ini...? Para piauwsu, tolong...!" Pemuda bangsawan itu ketakutan dan berteriakteriak.
"Gak-sicu, harap lepaskan dia. Apa artinya perbuatanmu ini?"
"Semua mundur! Aku tidak mempunyai urusan dengan kalian para piauwsu, akan tetapi aku ingin bertanya
kepada kongcu ini!" Bentak Bun Beng dengan suara nyaring karena marah.
Menyaksikan sikap Bun Beng, para piauwsu menghentikan gerakan kaki mereka yang tadinya hendak
mengeroyok untuk menolong kongcu putera bangsawan yang mereka kawal. Kini mereka memandang
kepada Bun Beng dengan penuh keheranan. Ada urusan apa lagi dengan kongcu itu?
dunia-kangouw.blogspot.com
Bun Beng menggunakan kekuatan tangannya mengguncang tubuh kongcu itu, lalu dia mencengkeram
pundaknya dan membentak, "Hayo engkau mengaku, apa yang telah kau lakukan di tepi telaga tadi ketika
terjadi pertandingan!"
"Aku... aku... tidak melakukan apa-apa."
"Jangan bohong engkau! Kuhancurkan kepalamu kalau kau membohong!" Bun Beng membentak, makin
marah. "Engkau berada di mana ketika terjadi pertandingan!"
"Aku... aku berada di dalam kereta... augghh, lepaskan aku...!"
"Gak Bun Beng! Engkau sungguh keterlaluan!" Tiba-tiba kakek pemimpin para piauwsu membentak dan
melompat dekat, tangannya sudah memegang sebatang pedang yang dipinjamnya dari seorang sute-nya.
"Kalau engkau tidak segera melepaskan Chi-kongcu, terpaksa aku mengadu nyawa denganmu!"
Bun Beng melepaskan pundak Chi-kongcu, sadar bahwa dia terburu nafsu. Betapa pun mencurigakan
keadaan kongcu itu, tanpa bukti tak mungkin dia dapat menyalahkannya begitu saja.
"Aku menuduh dia ini sudah memperkosa dan membunuh isteri saudara muda yang diganggunya tadi."
"Apa...?" Kakek murid Bu-tong-pai itu bertanya dengan kaget sekali.
"Untuk membikin terang perkara penasaran ini, kuharap Cu-wi piauwsu dan Chi-kongcu ini suka kembali ke
telaga agar kita bersama melakukan penyelidikan dan yang bersalah harus dihukum!" Bun Beng
mengerling kepada Chi-kongcu.
Akan tetapi kongcu itu kini mengangkat dada dan berkata penasaran, "Aku memang sudah lancang
menggoda wanita dengan kata-kata memuji kecantikannya dan untuk itu suaminya sudah memukulku.
Sekarang, aku tidak tahu menahu tentang perkosaan dan pembunuhan. Hayo kita ke sana dan menyelidiki,
aku tidak takut karena aku tidak berdosa!"
Sikap dan kata-kata Chi-kongcu ini membuat Bun Beng makin bingung dan meragu. Akan tetapi dia lega
melihat rombongan itu tidak membantah dan suka memenuhi pemintaannya. Beramai-ramai mereka
kembali ke tepi telaga.
"Heiiii!"
"Ihhhh!"
Seruan-seruan kaget ini terdengar dari mulut para piauwsu, sedangkan Bun Beng sendiri berdiri
memandang dengan mata terbuka lebar. Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati pemuda ini
melihat dua tubuh yang menggeletak tanpa nyawa di tepi telaga itu. Tubuh wanita muda yang masih
telanjang bulat, dan tubuh suaminya yang juga sudah menjadi mayat tanpa luka!
"Gak-sicu, apa maksudmu membawa kami ke sini? Apakah engkau juga hendak mengatakan bahwa orang
muda ini juga dibunuh oleh Chi-kongcu atau oleh kami?" Pemimpin piauwsu itu bertanya dengan suara
lantang dan bernada tajam.
Bun Beng menggeleng kepala, matanya masih memandang mayat orang muda itu. "Aku tidak mengerti...
tadi dia masih hidup menangisi isterinya..."
"Apakah engkau masih menuduh Chi-kongcu membunuh wanita itu?"
Kembali Bun Beng menggeleng kepalanya. "Agaknya bukan dia... sungguh aneh..., aneh sekali..."
"Sama sekali tidak aneh!"
Suara kakek murid Bu-tong-pai itu membuat Bun Beng menoleh dan memandang penuh pertanyaan. "Apa
maksudmu, Lo-enghiong?"
"Menurut dugaanku, pembunuh suami isteri ini tentu hanya satu orang, dan agaknya seorang yang lihai
sekali tangannya, dapat membunuh tanpa menggunakan senjata! Lihat, wanita itu dicekik, dan laki-laki itu
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak terluka, akan tetapi di pelipis kirinya terdapat tanda tapak jari tangan! Jadi, tidak mungkin dilakukan
oleh Chi-kongcu yang jelas kalah oleh laki-laki muda ini. Lebih tepat kalau mereka ini dibunuh oleh seorang
yang ahli dengan ilmu silat tangan kosong!" Kalimat terakhir ini diucapkan oleh kakek itu dengan nada yang
jelas, apa lagi ketika semua piauwsu itu memandang kepada Bun Beng dengan mata penuh tuduhan!
"Apa? Kalian... kalian gila kalau menuduh aku!"
Chi-kongcu yang berjalan mendekat segera berkata, "Ada saatnya menuduh dan ada saatnya dituduh!
Kalau kita berdua sama-sama menjadi tertuduh, agaknya keadaanmu lebih berat, Gak-sicu!"
Bun Beng mengerutkan alisnya. "Hemm, kalau aku membunuh mereka, apa gunanya aku mengejar dan
menyusul kalian dan kuajak ke sini?"
"Gak-sicu, kami tidak seperti engkau yang suka menuduh orang secara sembarangan saja. Akan tetapi
andai kata engkau dituduh, perbuatanmu menyusul dan mengajak kami ke sini pun tidak aneh. Mungkin
sekali seorang pembunuh akan mempergunakan akal ini untuk menarik kami sebagai saksi akan
kebersihannya!"
"Apa? Dan kalian tentu bersedia menjadi saksi bahwa aku bukanlah pembunuh dua orang ini!"
Kakek itu menggeleng kepala. "Tak mungkin kami menjadi saksi yang sembrono seperti itu, Sicu. Engkau
seorang pemuda yang amat aneh, mencampuri urusan kami, memiliki ilmu silat tangan kosong yang
mentakjubkan akan tetapi tidak terkenal di dunia kang-ouw. Bagaimana kami berani menanggung bahwa
bukan engkau pembunuhnya? Sungguh pun hal ini bukan berarti bahwa kami menuduhmu, untuk itu pun
masih belum ada bukti dan saksinya."
Bukan main marahnya Bun Beng. Dia menolong suami isteri itu, dan tadinya berusaha mencari sampai
dapat pembunuh wanita muda itu. Siapa kira, sekarang keadaan membuat dia malah menjadi tertuduh,
bukan hanya sebagai pembunuh wanita muda itu, juga pembunuh suaminya!
"Pergi! Pergi kalian!" Bentaknya marah karena dia khawatir kalau-kalau kemarahannya membuat dia
kehilangan kesabaran dan menghajar rombongan piauwsu itu.
Para piauwsu segera meninggalkan tempat itu dan Bun Beng lalu menggali lubang, mengubur suami isteri
yang tidak pernah dikenalnya itu sambil berpikir-pikir, siapa gerangan pembunuh suami isteri ini? Mengapa
membunuh mereka secara demikian penuh rahasia, dan seolah-olah ada hubungannya dengan dia?
Siapakah pembunuh itu, dan apakah Si Pembunuh melakukan hal itu dengan sengaja untuk merusak
namanya agar dia disangka seorang pemerkosa dan pembunuh?
Dengan hati penuh penasaran Bun Beng tidak segera meninggalkan telaga itu setelah selesai mengubur
jenazah suami isteri yang bernasib malang itu. Dia melakukan penyelidikan, tidak hanya di sekitar tempat
pembunuhan, bahkan dia lalu melakukan penyelidikan di sekeliling telaga itu. Akan tetapi, para penghuni
dusun-dusun di sekitar telaga itu adalah petani-petani sederhana. Ketika dia mencari keterangan dari
mereka, terdapat jawaban bahwa suami isteri yang ditanyakan oleh Bun Beng itu bukanlah penduduk
dusun itu.
"Di sini sering kedatangan pelancong-pelancong dan agaknya orang-orang yang kongcu tanyakan itu
adalah suami isteri pelancong pula." Demikian jawaban yang ia dapatkan.
Menjelang malam, perhatian Bun Beng tertarik akan sebuah pondok terpencil yang berada di sebelah timur
telaga itu. Pondok ini bukan seperti rumah penduduk dusun yang sederhana, melainkan lebih pantas
rumah pondok seorang bangsawan atau hartawan yang sengaja membangun pondok di tempat itu untuk
tempat peristirahatan, terbuat dari kayu dan atapnya dari genteng dicat cukup indah. Pondok terpencil itu
sunyi, bahkan kelihatannya kosong. Bun Beng mengambil keputusan untuk menyelidiki pondok itu dan
kalau memang kosong, akan melewatkan malam itu di dalam pondok.
Akan tetapi ketika dia mendekat, dia melihat penerangan api menyorot keluar dari dalam pondok. Bukan
pondok kosong, pikirnya dengan hati tegang. Keadaan pondok ini amat mencurigakan dan siapa tahu
pembunuh yang dicarinya berada di dalam pondok ini.
Setelah malam tiba, dengan gerakan ringan sekali Bun Beng menyelinap di bawah bayangan pohonpohon,
mendekati pondok, kemudian setelah mendengarkan dengan penuh perhatian dan tidak melihat
dunia-kangouw.blogspot.com
atau mendengar sesuatu, Bun Beng meloncat ke atas genteng pondok itu, cepat dan ringan seperti seekor
burung. Tanpa mengeluarkan suara dia melangkah di atas genteng, kemudian menemukan sebuah lubang
di antara genteng dan mengintai ke bawah.
Apa yang dilihatnya di dalam pondok itu membuat dia kecewa dan terheran. Hanya seorang kakek
berpakaian seperti sastrawan, dan seorang dara cantik berpakaian mewah dan indah seperti kebiasaan
dara-dara bangsawan atau dara hartawan di kota besar! Keduanya merupakan orang-orang yang sukar
dituduh melakukan perkosaan dan pembunuhan!
Akan tetapi, siapa tahu? Di dalam dunia kaum sesat, bukan hanya laki-laki muda yang menjadi jai-hwa-cat
(penjahat pemetik bunga atau pemerkosa), bahkan banyak pula kakek-kakek yang suka memperkosa
wanita muda! Maka dia segera mendekam di atas genteng dan mengintai sambil mendengarkan. Siapa
tahu kakek itu seorang penjahat besar yang berpakaian sastrawan. Buktinya berada di dalam pondok
bersama seorang dara cantik, berdua saja!
"Kim Bwee, kenapa kau sering kali menyusul aku ke sini? Bukankah kau lebih senang di kota raja! Tempat
ini sepi sekali dan aku tidak mempunyai apa-apa di sini."
"Mengapa Kongkong meninggalkan kami dan tinggal di tempat sepi ini? Sejak kecil Kong-kong mendidikku
dengan ilmu silat dan ilmu sastra, setelah Kongkong (Kakek) pergi, tidak ada lagi yang mengajarku. Maka
aku minta ijin Ayah dan Ibu untuk tinggal bersama Kakek di sini selama satu bulan."
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru