Senin, 07 Agustus 2017

Kho Ping Hoo Terebaru : Sepasang Pedang Iblis 7

Kho Ping Hoo Terebaru : Sepasang Pedang Iblis 7 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Kho Ping Hoo Terebaru : Sepasang Pedang Iblis 7
kumpulan cerita silat cersil online
-
Sejenak Keng In terbelalak bingung, masih belum dapat menerima ucapan itu. Gadis itu murid susiok-nya?
Teringat ia akan anggota Pulau Neraka yang tewas secara aneh. Kini mengertilah dia. Tentu Bu-tek Siauwjin
inilah yang telah membunuh wanita yang membelenggu Kwi Hong, dan kakek ini pula yang membuat
gadis itu tadi mampu membebaskan diri dari pada totokannya!
Keng In adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, akan tetapi menghadapi paman gurunya ini
yang bahkan disegani oleh Cui-beng Koai-ong sendiri, dia tidak berani melawan. Hanya keraguannyalah
yang membuat dia masih belum menyerahkan pedang yang diminta itu.
"Akan tetapi... Susiok..."
"Masih berani membantah dan tidak berikan pedang itu kepadaku?"
Cepat dan gugup Keng In menyerahkan pedang itu yang diterima oleh Bu-tek Siauw-jin dan
dilemparkannya pedang itu kepada muridnya. Kwi Hong menyambut pedang itu dengan hati girang sekali.
"Maaf, Susiok. Teecu tidak tahu bahwa dia murid Susiok..."
"Hemmm, sekarang sudah tahu!"
"Tapi... dia adalah keponakan dan murid Pendekar Siluman!"
"Ha-ha-ha-ha-ha-heh-heh! Dan engkau sendiri siapa, anak siapa? Heh-heh, setidaknya Pendekar Siluman
adalah Majikan yang tulen dari Pulau Es!"
Mendengar ucapan ini, wajah Keng In menjadi merah sekali. Dia merasa terhina dan marah, akan tetapi
terpaksa dia menahan kemarahannya. Dengan ucapan itu, paman gurunya yang ugal-ugalan itu hendak
mengingatkan bahwa dia hanyalah putera dari seorang Majikan atau Ketua Boneka dari Pulau Neraka!
Sama saja dengan mengatakan bahwa paman gurunya itu masih lebih baik dari pada gurunya dalam hal
menerima murid dan bahwa keponakannya atau murid dari Majikan Pulau Es masih lebih baik dari pada
putera dari Ketua Boneka Pulau Neraka!
"Susiok...!"
"Kau mau apa?"
"Teecu tidak apa-apa, akan tetapi teecu akan menceritakan kepada Suhu tentang keanehan ini."
"Hemmm, kalau engkau mengira akan dapat mempergunakan Gurumu sebagai perisai maka engkau
adalah seorang pengecut dan seorang yang bodoh!"
"Teecu tidak bermaksud mengadu... hanya... teecu rasa Susiok telah salah menerima murid..."
"Desssss!" Tiba-tiba tubuh Keng In terpental sampai beberapa meter jauhnya. Tidak tampak kakek pendek
itu menyerang, akan tetapi tahu-tahu pemuda itu terlempar! Keng In cepat meloncat berdiri lagi, diam-diam
dia terkejut akan tetapi juga lega bahwa susiok-nya yang aneh itu tidak melukainya.
"Kau berani memberi kuliah kepadaku tentang bagaimana mengambil murid?" Bu-tek Siauw-jin
membentak.
"Maaf, teecu mohon diri...!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Pergilah! Dan ingat, kelak muridku ini yang akan menandingimu!"
Keng In menjura dan meloncat pergi, loncatannya jauh sekali seperti terbang sehingga mengagumkan hati
Kwi Hong. Lebih terkejut lagi gadis ini ketika mendengar suara bisikan yang halus dan jelas dari jauh, suara
pemuda itu.
"Kita sama lihat saja apakah perempuan bodoh ini akan dapat menandingiku!"
Bu-tek Siauw-jin mengerutkan alisnya dan menoleh kepada para anak buah Pulau Neraka yang kini sudah
menjatuhkan diri berlutut semua. "Lekas kalian pergi dari sini, tinggalkan mayat-mayat itu biar dimakan
burung gagak!"
Anak buah Pulau Neraka itu menjura, kemudian bangkit dan pergi tanpa mengeluarkan kata-kata lagi. Butek
Siauw-jin lalu berkata kepada muridnya, suaranya singkat dan ketus, berbeda dengan biasanya yang
suka berkelakar. "Mari kita pergi!"
Kwi Hong menurut dan berjalan mengikuti kakek pendek itu keluar dari tanah kuburan, menuruni bukit
kecil. Akan tetapi akhirnya dia tidak kuat menahan penasaran hatinya dan berkata, "Suhu, bagaimana
engkau bersikap begitu kejam, membiarkan mayat anak buahmu terlantar di sana dan dimakan gagak?"
Mulut kakek itu tidak kelihatan bergerak, akan tetapi terdengar suara ketawanya, seolah-olah suara itu
keluar dari perut melalui lubang lain, bukan mulut!
"Heh-heh-heh! Engkau merasa kasihan kepada mayat yang tidak bernyawa lagi, akan tetapi tidak kasihan
kepada burung-burung gagak yang kelaparan!"
Kwi Hong terbelalak. "Suhu! Biar pun sudah menjadi mayat yang tak bernyawa, akan tetapi itu adalah
mayat-mayat manusia! Teecu tidak biasa bersikap kejam, sejak kecil diajar supaya berperi kemanusiaan
oleh paman atau guru teecu!"
Tiba-tiba Bu-tek Siauw-jin menghentikan langkahnya dan memandang muridnya dengan mata lebar dan
mulut menyeringai, kemudian dia tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Semenjak kecil, manusia diajar segala
macam kebaikan! Manusia mana yang sejak kecilnya tidak diajar dan dijejali segala macam pelajaran
tentang kebaikan oleh ayah bunda atau guru-gurunya? Agama bermunculan dengan para pendetanya.
Ahli-ahli kebatinan bermunculan saling bersaing, mereka semua berlomba untuk menjejalkan pelajaran
tentang kebaikan kepada manusia-manusia, semenjak manusia masih kecil sampai menjadi kakek-kakek.
Akan tetapi, adakah seorang saja manusia yang baik di dunia ini? Setiap orang manusia, menurut ajaran
agama masing-masing, berlomba keras dalam teriakan anjuran agar mencinta sesama manusia, namun di
dalam hati masing-masing menanam dan memupuk perasaan saling benci, bahkan yang pertama-tama
adalah membenci saingan masing-masing dalam menganjurkan cinta kasih antar manusia! Gilakah ini?
Atau aku yang gila? Ha-ha-ha! Muridku, kalau engkau melakukan kebaikan karena ajaran-ajaran itu,
bukanlah kebaikan sejati namanya, melainkan melaksanakan perintah ajaran itu! Engkau ini manusia
ataukah boneka yang hanya bergerak dalam hidup menurut ajaran-ajaran yang membusuk dan melapuk
dalam gudang ingatanmu?"
"Engkau sendiri dalam pertandingan dengan enak saja membunuh manusia lain, sama sekali tak merasa
akan kekejaman perbuatanmu, tetapi baru melihat aku meninggalkan mayat agar membikin kenyang perut
gagak yang kelaparan, kau katakan kejam! Ha-ha-ha, muridku. Pelajaran pertama bagi manusia umumnya,
termasuk aku, adalah mengenal wajah sendiri yang cantik, akan tetapi juga mengenal isi hati dan pikiran
kita sendiri yang busuk, jangan hanya mengagumi lekuk lengkung tubuh sendiri yang menggairahkan akan
tetapi juga mengenal isi perut yang tidak menggairahkan!"
Kwi Hong memandang gurunya dengan sinar mata bingung. Gurunya ini bukan manusia lumrah, bukan
orang waras. Tentu agak miring otaknya. Sekali bicara tentang hidup, kacau balau tidak karuan. Maka dia
diam saja, kemudian melanjutkan langkah kakinya ketika melihat gurunya sudah berjalan kembali dengan
langkah pendek.
"Kau tentu tidak dapat menangkan Keng In sebelum engkau mahir betul menggunakan Ilmu Menghimpun
Tenaga Inti Bumi. Bocah itu telah berhasil mewarisi kepandaian Suheng. Lihat saja warna mukanya tadi!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Hong cemberut, dalam hatinya dia tidak senang dikatakan bahwa dia tidak akan menang menghadapi
Keng In. Kini mendengar disebutnya warna muka muda itu dia mengingat-ingat. "Warna mukanya biasa
saja. Mengapa, Suhu?"
"Justru yang biasa itulah yang luar biasa!" Gurunya menjawab dan berjalan terus.
Kwi Hong menoleh, terbelalak tidak mengerti. "Eh, apa maksudmu, Suhu?"
"Begitu bodohkah engkau? Semua murid Pulau Neraka memiliki wajah yang berwarna, apakah engkau
lupa? Bahkan Ketua Boneka, ibu bocah itu sendiri, mukanya berwarna putih seperti kapur! Itulah tanda
orang yang memiliki tingkat tertinggi Pulau Neraka yang menjadi akibat himpunan sinkang yang
mengandung hawa beracun pulau itu! Bahkan mendiang Sute Ngo Bouw Ek pun mukanya masih berwarna
kuning, berarti bahwa ibu bocah itu masih setingkat lebih tinggi dari padanya. Hanya aku dan Suheng Cuibeng
Koai-ong saja yang tidak terikat oleh warna muka, bisa mengubah warna muka sesuka hati kami
berdua. Hal itu menandakan bahwa kami berdua adalah dapat mengatasi pengaruh hawa beracun Pulau
Neraka, dan tingkat kami sudah lebih tinggi. Kalau sekarang Wan Keng In sudah menjadi biasa warna kulit
mukanya, hal itu berarti bahwa dia pun sudah terbebas dari pengaruh hawa beracun, berarti tingkatnya
sudah lebih tinggi dari tingkat ibunya sendiri!"
"Wah, hebat sekali kalau begitu!" Diam-diam Kwi Hong bergidik. Kalau benar-benar pemuda itu tingkatnya
sudah melampaui tingkat kepandaian Majikan Pulau Neraka, benar-benar merupakan lawan yang berat!
"Teecu menerima gemblengan Suhu, jangan-jangan muka teecu akan menjadi berwarna pula!"
"Heh-heh-heh, jangan bicara gila! Kalau engkau berlatih di atas Pulau Neraka, tentu saja engkau akan
mengalami keracunan dan mukamu berubah-ubah sesuai dengan tingkatmu sebelum engkau dapat
mengatasi hawa beracun itu. Akan tetapi engkau kulatih di luar Pulau Neraka. Pula, engkau telah memiliki
dasar sinkang dari Pulau Es yang amat kuat, kiranya engkau hanya akan terpengaruh sedikit dan
setidaknya kalau engkau berlatih di sana, engkau mendapatkan warna putih atau kuning. Sudahlah, mulai
sekarang engkau harus benar-benar mencurahkan perhatian, berlatih dengan tekun. Melihat kemajuan dan
tingkat bocah tadi, aku hanya akan menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi saja kepadamu. Ini pun hanya
akan dapat kau andalkan untuk memenangkan pertandingan melawan Keng In kalau engkau berlatih
dengan sungguh-sungguh hati dan mati-matian."
Mereka berjalan terus dan sampai lama keduanya tidak bicara. Tiba-tiba Kwi Hong bertanya, "Suhu,
sebetulnya yang mempunyai kepentingan mengalahkan Wan Keng In itu siapakah? Teecu ataukah Suhu?"
Kakek itu berhenti dan menengok kepada muridnya, memandang dengan mata terbelalak kemudian
tertawa bergelak, "Ha-ha-ha, habis kau kira siapa?"
"Teecu tidak mempuyai urusan pribadi dan tidak mempunyai permusuhan langsung dengan pemuda Pulau
Neraka itu, sungguh pun teecu tidak suka kepadanya. Kalau tidak kebetulan bertemu dengannya, teecu
tidak bertempur dengannya dan teecu juga tidak akan mencari-cari dia untuk diajak bertanding. Hal itu
berarti bahwa kalau teecu mati-matian mempelajari ilmu sudah tentu bukan dengan tujuan untuk sematamata
kelak dipergunakan untuk menandingi orang itu."
"Kalau begitu, mengapa tadi engkau sudah enak-enak di dalam peti, tahu-tahu engkau keluar dan
menyerangnya?"
"Karena teecu tidak ingin dia mencelakai dara itu."
"Hemm, bocah puteri Ketua Thian-liong-pang itu! Mengapa engkau membantunya?"
Kwi Hong tak dapat menjawab. Tadi ketika membuka peti matinya dan melihat Milana, ia segera mengenal
dara itu sebagai Milana, puteri dari pamannya, puteri Pendekar Super Sakti dan Puteri Nirahai! Akan tetapi,
begitu mendengar bahwa dara itu adalah puteri Ketua Thian-liong-pang, dia menjadi ragu-ragu, bahkan
teringat bahwa yang hampir mencelakainya ketika dia mengintai di rumah penginapan rombongan Thianliong-
pang, yang menggunakan tali sutera hitam panjang, juga gadis itulah! Benarkah gadis itu Milana?
Kalau benar Milana, mengapa disebut puteri Ketua Thian-liong-pang? Maka, kini pertanyaan gurunya tak
dapat ia menjawabnya sebelum dia yakin benar apakah dara itu Milana atau bukan.
"Teecu... teecu tidak bisa diam saja melihat seorang gadis terancam bahaya."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha, cocok dengan semua pelajaran tentang kebaikan yang kau terima sejak kecil dari Pamanmu?"
Disindir demikian, Kwi Hong diam saja, hanya cemberut. Kemudian dia mendapat kesempatan membalas.
"Telah teecu katakan tadi bahwa teecu tidak mempunyai kepentingan mengalahkan Wan Keng In. Akan
tetapi Suhu agaknya bersemangat benar untuk melihat teecu mengalahkan dia! Apakah bukan karena
Suhu ingin bersaing dengan Supek Cui-beng Koai-ong?"
Kakek itu melotot, kemudian menghela napas dan membanting-banting kakinya seperti sikap seorang
anak-anak yang jengkel hatinya. "Sudahlah! Sudahlah! Engkau benar! Memang demikian adanya. Suheng
telah melanggar sumpah, mengambil murid! Maka aku pun memilih engkau sebagai murid untuk kelak
kupergunakan menandingi muridnya agar Suheng tahu akan kesalahannya! Nah, katakanlah bahwa
engkau tidak mau membantu aku! Tidak usah berpura-pura!"
Kwi Hong tersenyum. Suhu-nya ini benar-benar seorang yang amat aneh, luar biasa, agak sinting, sakti
seperti bukan manusia lagi, akan tetapi sikapnya menyenangkan hatinya! Biar pun ugal-ugalan, akan tetapi
entah bagaimana tidak menjadi benci, malah dia suka sekali.
"Suhu, sebagai murid tentu saja teecu akan membantu Suhu karena sebagai seorang guru yang mencinta
muridnya, tentu Suhu juga selalu ingin membantu muridnya seperti teecu, bukan?"
"Wah-wah-wah, dalam satu kalimat saja, engkau mengulang-ulang sebutan guru dan murid beberapa kali
sampai aku jadi bingung! Katakan saja, apa yang kau ingin kulakukan untuk membantumu agar kelak
engkau pun akan suka membantuku?"
Kwi Hong tersenyum lebar. Biar pun kelihatan sinting, gurunya ini ternyata cerdik sekali dan mudah
menjenguk isi hatinya. Ia teringat akan urusan Gak Bun Beng, dan teringat akan niatnya meninggalkan
pamannya. Dia berniat pergi ke kota raja, membantu Bun Beng menghadapi musuh-musuhnya yang berat,
dan juga untuk merampas kembali pedang Hok-mo-kiam yang dahulu dicuri oleh Tan-siucai dan Maharya.
Tanpa bantuan seorang sakti seperti gurunya ini, mana mungkin dia akan berhasil menghadapi orangorang
sakti seperti Koksu Negara Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan dua orang pembantunya yang hebat
itu, sepasang pendeta Lama dari Tibet, Thian Tok Lama dan Thai Li Lama. Belum lagi kalau berhadapan
dengan Tan-siucai dan gurunya yang sakti, Si Ahli Sihir Maharya!
"Suhu, sebelum bertemu dengan Suhu, teecu telah lebih dulu menjadi keponakan dan murid Pendekar
Super Sakti. Berarti, biar pun teecu berhutang kepada Suhu, akan tetapi teecu juga sudah berhutang budi
kepada Pendekar Super Sakti yang belum teecu balas. Benarkah pendapat ini?"
Betapa kaget hati Kwi Hong ketika melihat gurunya itu menggeleng kepala kuat-kuat! "Tidak benar! Tidak
betul! Orang yang melibatkan diri dalam hutang-piutang budi, baik yang berhutang mau pun sebagai yang
menghutangkan adalah orang bodoh karena hidupnya tidak akan berarti lagi! Katakan saja apa yang akan
kau lakukan dan apa yang dapat kubantu tanpa menyebut tentang hutang-piutang budi segala macam!"
Kwi Hong menelan ludahnya sendiri. Sukar juga menentukan sikap menghadapi seorang sinting dan
kukoai (ganjil) seperti gurunya ini! Akan tetapi dia teringat akan watak gurunya yang seperti kanak-kanak
ketika mengadu jangkrik, yaitu gurunya tidak bisa menerima kekalahan! Gadis yang cerdik ini segara
berkata,
"Suhu, urusan mengalahkan Wan Keng In adalah urusan mudah saja. Asalkan Suhu mau mengajar teecu
dengan sungguh-sungguh dan teecu akan berlatih dengan tekun, apa sih sukarnya mengalahkan bocah
sombong itu? Akan tetapi teecu mempunyai beberapa orang musuh yang benar-benar amat sukar
dikalahkan, amat sakti, jauh lebih sakti dari pada sepuluh orang Wan Keng In. Bahkan, dengan bantuan
Suhu sekali pun teecu masih ragu-ragu dan khawatir apakah akan dapat mengalahkan mereka...?"
"Uuuuttt! Sialan kau! Aku sudah maju membantu masih khawatir kalah? Jangan main-main kau! Siapa
musuh-musuhmu itu? Asal jangan tiga orang pengawal Tong Sam Cong saja, masa aku tidak mampu
kalahkan?"
Yang dimaksudkan oleh kakek itu dengan tiga orang pengawal Tong Sam Cong adalah tiga tokoh sakti
dalam dongeng See-yu, yaitu tiga orang pengawal Pendeta muda Tong Sam Cong atau Tong Thai Cu
yang melawat ke Negara Barat (India) untuk mencari kitab-kitab Agama Buddha. Mereka itu adalah Si Raja
Monyet Sun Go Kong, Si Kepala Babi Ti Pat Kai dan See Ceng.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Biar pun tidak sesakti para pengawal Tong Thai Cu, akan tetapi teecu sungguh tidak berani memastikan
apakah dengan bantuan Suhu sekali pun teecu akan dapat mengalahkan mereka. Mereka itu adalah Imkan
Seng-jin Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, Thai Li Lama dan Maharya!" Kwi Hong sengaja tidak
menyebut nama Tan-siucai karena untuk menghadapi orang ini tidaklah terlalu berat.
Kakek itu tiba-tiba menjadi bengong. "Kau... bocah begini muda... telah menanam bibit permusuhan
dengan orang-orang macam mereka itu?"
"Harap Suhu tidak perlu mengalihkan persoalan. Kalau Suhu merasa jeri dan tidak berani membantu teecu
menghadapi mereka teecu pun tidak dapat menyalahkan Suhu karena mereka memang amat sakti. Hanya
Paman Suma Han saja kiranya yang akan dapat mengalahkan mereka."
Kakek itu tersentuh kelemahannya. Mukanya menjadi merah sekali dan kedua lengannya digerak-gerakkan
ke kanan kiri. Terdengar suara keras dan empat batang pohon di kanan kirinya tumbang dan roboh terkena
pukulan kedua tangannya!
"Siapa bilang aku jeri? Kalau Suma Han pamanmu yang buntung itu dapat menandingi mereka, mengapa
aku tidak? Hai, bocah tolol, kau terlalu memandang rendah Gurumu! Lihat saja nanti, aku akan membikin
empat orang tua bangka itu terkencing-kencing dan terkentut-kentut minta ampun kepadamu! Haiii!
Mengapa kau bermusuh dengan mereka?"
"Pendeta India yang bernama Maharya itu telah membunuh burung-burung garuda peliharaan dan
kesayangan teecu di Pulau Es bahkan telah merampas pedang pusaka yang teecu amat sayang."
"Hemm, aku akan hajar dan paksa dia mengembalikan pedang. Wah, kau mempunyai sebuah pedang
pusaka lain lagi? Apakah Pedang Iblis macam yang kau bawa itu? Hati-hati, dengan segala macam pusaka
seganas itu, jangan-jangan akan berubah menjadi iblis!"
"Tidak, Suhu. Pedang pusaka itu adalah sebatang pedang pusaka sejati yang amat ampuh dan bersih."
"Heh-heh-heh! Pedang dibuat untuk memenggal leher orang, menusuk tembus dada orang, merobek perut
sampai ususnya keluar, mana bisa dibilang bersih?"
"Ada pun Bhong Ji Kun Si Koksu tengik itu, bersama dua orang pembantunya Thian Tok Lama dan Thai Li
Lama, mereka adalah orang-orang yang memimpin pasukan membakar Pulau Es. Karena itu mereka
adalah musuh-musuh besar teecu dan teecu hanya dapat mengandalkan bantuan Suhu untuk dapat
menghajar mereka."
"Uuuut! Bocah bodoh. Setelah kau mempelajari ilmu dariku dengan tekun dan berhasil baik, apa sih artinya
beberapa ekor keledai-keledai tua itu? Tidak usah kubantu, engkau sendiri sudah cukup, lebih dari cukup
untuk mengalahkan mereka."
"Akan tetapi, teecu tidak percaya dan tidak akan tenang kalau tidak bersama Suhu. Karena itu, marilah kita
pergi ke kota raja mencari mereka, Suhu."
"Tapi kau harus berlatih..."
"Sambil melakukan perjalanan, teecu akan tekun berlatih."
"Tapi aku harus mampir dulu ke kaki Gunung Yin-san, di dekat padang pasir."
"Ihh, tempat itu tandus dan sunyi, mengapa Suhu hendak ke sana? Tentu di sana tidak ada orangnya."
"Memang tidak ada orangnya karena aku ke sana bukan untuk mencari orang."
"Habis, mencari apa?"
"Mencari kelabang!"
"Ihhhh...!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kenapa ihh? Engkau tidak tahu, kelabang di sana berwarna merah darah, panjangnya satu kaki, besarnya
seibu jari kaki!"
"Ihhhh...!" Kwi Hong mengkirik, makin geli dan jijik.
"Eh, masih belum kagum? Racun kelabang raksasa merah itu tiada keduanya di dunia ini. Mengalahkan
semua racun yang berada di Pulau Neraka!"
Kwi Hong menahan rasa jijik dan gelinya agar tidak menyinggung hati gurunya yang kadang-kadang aneh
dan pemarah itu, maka dia berkata mengangguk-angguk, "Wah, kalau begitu hebat. Akan tetapi, untuk apa
Suhu mencari Kelabang Raksasa Raja Racun itu?"
"Bulan ini adalah musim bertelur, aku hendak menangkap seekor kelabang betina yang akan bertelur.
Sebelum telur-telur itu dikeluarkan, harus dapat kutangkap dia, karena telur-telur yang masih berada di
dalam perutnya itu mengandung racun yang paling ampuh karena terendam di dalam sumber racun
kelabang itu."
"Hemm, menarik sekali," kata Kwi Hong memaksa diri. "Setelah ditangkap, lalu untuk apa, Suhu?"
"Kupotong bagian perut yang penuh telur itu, lalu kumasak dengan arak merah..."
"Wah, perut penuh telur beracun ganas itu dimasak dengan arak?" Kwi Hong menelan ludah, bukan saking
kepingin melainkan untuk menekan rasa muaknya. "Mengapa menyiksa betinanya yang sedang bertelur,
Suhu? Bukankah kabarnya kelabang jantan lebih hebat racunnya?"
"Memang demikian biasanya, akan tetapi setelah tiba masa kawin disusul masa bertelur, semua racun
berkumpul di tempat telur. Kau tidak tahu, kelabang raksasa di tempat itu mempunyai kebiasaan aneh dan
menarik sekali. Di musim kawin, si betina pada saat bersetubuh menggigit leher si jantan dan menghisap
darah si jantan berikut racunnya sampai tubuh si jantan itu kering dan mati! Diulanginya perkawinan aneh
ini sampai dia menghisap habis darah dan racun lima enam ekor jantan, barulah perutnya menggendut
terisi telur. Nah, di tempat telur itulah berkumpulnya semua racun!"
Cuping hidung Kwi Hong bergerak-gerak sedikit karena dia merasa makin muak.
"Suhu mencari barang macam itu, memasaknya dengan arak, untuk Suhu makan?"
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya perlahan. "Bukan...!"
Kwi Hong memandang terbelalak. "Habis, untuk apa...?" Hatinya sudah tidak enak.
"Untuk kau makan!"
"Uuuukhhh!" Kwi Hong mencekik leher sendiri menahan agar jangan sampai muntah, matanya terbelalak
memandang gurunya yang tertawa terkekeh-kekeh.
"Bocah tolol! Jangan memikirkan jijiknya, akan tetapi pikirkan khasiatnya! Kalau engkau makan itu, segala
macam racun di dunia ini tidak akan dapat mempengaruhi tubuhmu, baik racun yang masuk melalui darah
atau melalui perutmu! Dan racun itu cocok sekali untuk membangkitkan tenaga Inti Bumi yang kau latih!"
Kwi Hong tidak dapat membantah lagi, akan tetapi setiap kali teringat akan perut kelabang penuh telur
beracun yang harus dimakannya, perutnya sendiri menjadi mual dan dia kepengin muntah! Hal ini agaknya
amat menyenangkan kakek itu sehingga di sepanjang jalan Bu-tek Siauw-jin selalu mengulangi godaannya
dengan menceritakan tentang segala macam kelabang dan binatang-binatang menjijikkan, hanya untuk
membuat muridnya mual, jijik dan ingin muntah! Orang yang aneh luar biasa pula.....
********************
Milana melarikan diri bersama sisa anak buahnya. Hatinya kacau dan berduka sekali ketika mereka
berhenti di dalam sebuah hutan dan mengubur jenazah Si Lengan Buntung, Su Kak Liong dan lain-lain
anak buahnya yang tewas dalam pertempuran melawan anak buah Pulau Neraka. Dia merasa penasaran
sekali dan mukanya menjadi merah saking marah dan malu kalau teringat betapa dia dipermainkan oleh
pemuda tampan, putera Majikan Pulau Neraka yang amat lihai itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia harus melapor kepada ibunya dan minta pelajaran ilmu silat yang lebih tinggi lagi. Untung gadis tadi
menolongnya, kalau tidak tentu dia telah menjadi tawanan. Milana bergidik kalau teringat akan hal itu tak
dapat dia membayangkan apa yang akan terjadi kalau dia menjadi tawanan pemuda yang gila itu! Thianliong-
pang telah mengalami kekalahan dan penghinaan dari Pulau Neraka. Ibunya sendiri harus turun
tangan menghajar orang-orang Pulau Neraka.
Setelah selesai mengubur jenazah-jenazah itu, Milana mengajak sisa anak buahnya yang tinggal delapan
orang itu untuk melanjutkan perjalanan malam itu juga. Rombongan ibunya berada di tempat yang tidak
jauh lagi dari situ. Tinggal dua hari perjalanan paling lama. Dia tidak akan merasa aman sebelum bertemu
dengan rombongan ibunya. Dua orang pembantu utamanya, Si Lengan Buntung dan Su Kak Liong, serta
beberapa orang lagi telah tewas. Dengan munculnya orang-orang Pulau Neraka yang dipimpin pemuda
lihai itu sebagai musuh, dia merasa kurang kuat.
Akan tetapi, ketika rombongan terdiri sembilan orang ini memasuki sebuah hutan pada keesokan harinya,
tiba-tiba tampak banyak orang berloncatan dan mereka telah dikurung oleh belasan orang! Milana terkejut,
akan tetapi ketika melihat bahwa yang mengurung itu adalah orang-orang yang berpakaian seperti orang
kang-ouw dan bercampur dengan beberapa orang hwesio dan tosu, maklumlah dia bahwa yang
mengurungnya bukan orang-orang Pulau Neraka seperti yang dikhawatirkannya, melainkan orang-orang
kang-ouw!
Milana cepat meloncat maju dan menghunus pedangnya. Tali suteranya telah putus dan ditinggalkan ketika
dia hampir tertawan oleh Wan Keng In, maka kini satu-satunya senjata di tangannya hanyalah pedangnya.
Melihat bahwa yang memimpin para pengurung itu adalah seorang hwesio tinggi besar bersenjata toya
yang berjenggot pendek, dia cepat menghampiri dan berkata, suaranya nyaring.
"Kami rombongan orang Thian-liong-pang sudah meninggalkan tempat yang dijadikan tempat pertemuan,
hendak kembali ke tempat kami. Mengapa kalian masih menghadang di sini? Apa kehendak kalian dan
siapakah kalian? Dari partai dan golongan apa?"
"Kami adalah sisa rombongan yang telah dipaksa mundur oleh Thian-liong-pang, dan karena kami merasa
bahwa perjuangan kami sama, maka kami bergabung dan mengambil keputusan untuk membasmi Thianliong-
pang yang banyak menimbulkan bencana terhadap perjuangan orang-orang gagah." Hwesio itu
berkata sambil melintangkan toyanya.
"Hemmm... perjuangan orang-orang gagah apa? Perbuatan kacau para pemberontak maksudmu?" Milana
berkata dengan marah setelah kini dia mendapat kenyataan bahwa sebagian besar di antara orang-orang
itu adalah benar anggota rombongan partai-partai yang telah dikalahkan di tanah kuburan. Bahkan tiga
orang hwesio itu adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai!
"Harap kalian suka tahu diri! Setelah kalian kalah dalam pertandingan mengadu ilmu di tanah kuburan,
mengapa kalian tidak pulang dan melaporkan kepada Ketua masing-masing akan tetapi malah diam-diam
bergabung dan bersekongkol dengan para pemberontak untuk menghadang kami?"
"Orang-orang Thian-liong-pang penjilat pemerintah asing! Membunuh kalian bagi kami adalah kewajiban
orang-orang gagah membunuh anjing-anjing penjilat yang kotor!" Seorang di antara mereka yang
berpakaian seperti orang-orang kang-ouw, yang belum pernah dilihat Milana, membentak dan sudah
menerjang dengan bacokan goloknya.
Tentu mereka inilah pemberontak-pemberontak yang asli, sedangkan para hwesio, tosu dan orang-orang
partai hanyalah terbawa-bawa saja, terhasut oleh kaum pemberontak yang tentu saja hendak melibatkan
partai-partai besar untuk membantu gerakan mereka.
Milana menangkis serangan golok itu dan segera ia dikeroyok oleh enam orang yang menghujankan
serangan. Agaknya para pengeroyok itu sudah maklum bahwa dia adalah orang yang paling lihai di antara
rombongannya, maka kini yang diberi tugas mengeroyoknya adalah enam orang yang cukup lihai, bahkan
mereka itu semua bersenjata golok besar dan gerakan mereka teratur sekali. Kiranya enam orang itu
membentuk sebuah barisan golok yang cukup kuat! Delapan orang anak buahnya sudah lemah dan lelah,
apa lagi tiga di antara mereka masih belum sembuh dari luka-luka yang diderita dalam pertandingan yang
lalu namun kini terpaksa mereka itu mengangkat senjata melakukan perlawanan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Milana sendiri sudah lelah dan kurang tidur, namun permainan pedangnya membuat enam orang lawan
yang membentuk barisan golok dan mengurungnya itu kewalahan. Maka majulah tiga orang hwesio Siauwlim-
pai yang lihai itu, ikut mengeroyok dengan senjata mereka. Setelah dikeroyok sembilan barulah Milana
merasa sibuk juga. Dia masih ingat bahwa tiga orang hwesio hanya terbawa-bawa saja, maka dia tidak
ingin membunuh. Justeru inilah yang membuat dia repot, karena sembilan orang pengeroyoknya itu sama
sekali tidak memberi kesempatan kepadanya dan semua serangan mereka adalah serangan maut yang
jelas membuktikan akan kebencian mereka kepadanya dan mereka bermaksud membunuhya!
Pertandingan yang berjalan berat sebelah itu tidak berlangsung lama karena di antara delapan orang anak
buah Thian-liong-pang sudah roboh lima orang. Hanya tiga orang yang masih melawan mati-matian,
sedangkan Milana sendiri yang dikeroyok sembilan orang baru berhasil merobohkan tiga orang. Akan
tetapi, tiga orang roboh, lima orang datang membantu sehingga dara itu terpaksa harus terus memutar
pedangnya untuk melingkari diri dari hujan senjata sebelas orang yang menyambarnya dari segala jurusan.
Pada saat itu tiba-tiba terdengar bunyi lengking yang nyaring dan menyeramkan sekali. Beberapa
pengeroyok terhuyung begitu mendengar lengking itu dan dari atas pohon-pohon meluncur sinar-sinar
kecil-kecil merah yang menyambar ke bawah, disusul meloncatnya bayangan orang berkerudung. Hanya
delapan orang di antara sebelas orang pengeroyok Milana yang berhasil mengelak, sedangkan tiga orang
lainnya roboh terkena jarum merah berbau harum yang dilepas oleh orang yang berkedok atau
berkerudung itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati semua orang kang-ouw ketika melihat bahwa yang muncul
adalah wanita berkerudung yang menyeramkan, Ketua dari Thian-liong-pang! Tak lama kemudian, muncul
pula enam orang wanita cantik yang menjadi pengawal atau pelayan Ketua itu, dipimpin oleh Tang Wi
Siang!
Orang-orang kang-ouw itu terkejut, akan tetapi mereka tidak takut biar pun maklum bahwa kini
keselamatan mereka terancam bahaya maut dengan munculnya Ketua Thian-liong-pang bersama enam
orang pelayan. Mereka menjadi nekat dan segera Ketua Thian-liong-pang dan puterinya dikeroyok.
Terjadilah pertandingan yang kembali berat sebelah, akan tetapi merupakan kebalikan dari pada tadi. Kini
biar pun jumlahnya masih tetap lebih banyak, rombongan orang kang-ouw itu yang terdesak hebat dan
sebentar saja Ketua Thian-liong-pang yang hanya mengamuk dengan tangan kosong itu telah merobohkan
enam orang pengeroyok dengan pukulan jarak jauh yang amat dahsyat!
Berturut-turut para pengeroyok itu berkurang jumlahnya, bahkan dalam waktu singkat saja Milana dan
ibunya telah berhasil merobohkan semua orang yang mengeroyok mereka! Kini yang masih terus
melakukan perlawanan hanya tiga orang hwesio Siauw-lim-pai dan tiga orang kang-ouw, termasuk dua
orang tosu Hoa-san-pai yang ditandingi oleh Tang Wi Siang dan teman-temannya. Mereka ini pun sudah
terdesak hebat dan agaknya tak lama kemudian akan roboh pula.
Tiba-tiba kembali terdengar bunyi suara melengking, kali ini jauh lebih hebat dari pada tadi, disusul suara
orang yang berpengaruh sehingga membuat semua orang tergetar jantungnya.
"Hentikan pertempuran...!"
Ketua Thian-liong-pang terkejut, menghentikan serangan dan menoleh. Demikian pula tiga orang hwesio
Siaw-lim-pai, dua orang tosu Hoa-san-pai, dan seorang kang-ouw meloncat mundur dan menoleh.
Berdebar hati semua orang ketika melihat seorang laki-laki, entah kapan dan dari mana datangnya, tahutahu
telah berada di tengah-tengah mereka, seorang laki-laki yang kaki kirinya buntung, berdiri tegak
dengan tongkat kayu sederhana membantu kaki tunggalnya.
Seorang laki-laki yang berwajah tampan sekali namun tampak diselimuti awan duka yang membuat
goresan mendalam di kulit wajahnya. Dia belum sangat tua, akan tetapi seluruh rambutnya yang dibiarkan
berurai di sekeliling kepalanya sampai ke pundak dan punggung, semua telah berwarna putih seperti
benang-benang sutera perak.
"Pendekar Super Sakti...!" Seorang tosu Hoa-san-pai berbisik. Walau pun bisikannya perlahan karena
keluar dari hatinya dan tanpa disengaja, namun karena keadaan di saat itu amat sunyi, tidak ada yang
bicara atau bergerak, maka suaranya terdengar jelas.
dunia-kangouw.blogspot.com
Laki-laki itu memang Suma Han, atau Pendekar Super Sakti, juga dikenal sebagai Pendekar Siluman,
Majikan Pulau Es. Setelah terdengar suara lirih tosu Hoa-san-pai menyebutkan nama julukan pria yang
berwajah penuh duka itu, keadaan menjadi makin sunyi.
"Han Han...!"
Suara ini lebih lirih dan oleh telinga lain hanya terdengar seperti berkelisiknya angin di antara daun-daun
pohon. Namun pendekar sakti itu kelihatan terkejut dan tersentak kaget, memandang ke kanan kiri seperti
orang mencari-cari, kemudian diam, bengong terlongong. Tidak salahkah telinganya menangkap suara lirih
itu?
Hanya ada beberapa orang saja yang memanggilnya dengan nama itu, nama kecilnya. Han Han! Dan
suara lirih halus merdu itu amat dekat dengan hatinya, seperti suara yang tidak asing baginya, akan tetapi
dia tidak yakin suara siapa yang menyebut nama kecilnya semerdu dan sehalus itu! Dia menjadi bingung,
kemudian teringat akan orang-orang di sekitarnya. Dia menoleh ke arah wanita berkerudung dan berkata
dengan suara keren penuh wibawa.
"Sudah bertahun-tahun aku mendengar di dunia kang-ouw tentang keanehan Thian-liong-pang yang selalu
membikin geger dunia kang-ouw, menculiki tokoh-tokoh kang-ouw, bahkan berita terakhir mengatakan
bahwa Thian-liong-pang membunuhi banyak tokoh kang-ouw yang menentang pemerintah penjajah.
Sekarang, kebetulan sekali Pangcu berada di sini dan kebetulan pula aku dapat menyelamatkan nyawa
para sahabat ini dari ancaman maut, aku ingin bertanya, apakah maksud Thian-liong-pangcu sebenarnya
dengan semua perbuatan itu?"
Sunyi senyap menyambut ucapan pendekar yang ditakuti, dihormati, dan disegani itu. Bahkan Tang Wi
Siang sendiri mukanya berubah pucat dan tidak berani mengangkat muka memandang, hanya
menundukkan muka saja seolah-olah silau jika memandang wajah yang mempunyai sepasang mata yang
kabarnya dapat membunuh lawan hanya dengan sinar mata itu!
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara yang bengis dan ketus, suara yang membuat para pendengarnya
meremang bulu tengkuknya, karena nadanya dingin melebihi salju, penuh tantangan dan seolah-olah
mengandung kebencian yang amat mendalam,
"Memang benar! Semua keributan di dunia kang-ouw itu akulah yang melakukannya! Akulah yang
bertanggung jawab! Aku yang memerintahkan anak buahku! Habis, engkau mau apa? Dengarlah baik-baik!
Semua perbuatanku itu memang kusengaja untuk menantangmu, agar engkau datang menyerbu ke
tempatku. Kalau kau berani!"
Semua orang terkejut mendengar ini, namun terdengar suara isak tertahan sehingga semua orang
menoleh ke arah Milana. Dara itulah yang tadi terisak seperti orang tersedak. Akan tetapi, dara itu kini
menundukkan mukanya dan semua orang kembali memandang ke arah Pendekar Super Sakti dengan hati
tegang, ingin mereka melihat apa yang akan terjadi selanjutnya antara dua orang hebat itu.
Suma Han sendiri sama sekali tidak pernah menyangka bahwa ucapan Ketua Thian-liong-pang itu
demikian ketus dan bengis terhadap dirinya, maka dia terkejut dan heran sekali. "Apa? Menantang dan
mengundangku? Mengapa...?"
"Sudah terlalu lama aku ingin mencincang hancur engkau! Engkau... manusia yang tak berjantung!
Manusia tiada perasaan!"
"Ehhh... heiiii? Mengapa? Apa... apa maksudmu?"
"Tak perlu banyak cakap lagi kau!"
Ketua Thian-liong-pang itu segera menyerang dengan hebat. Pedang yang telah dicabutnya, padahal tadi
ketika pengeroyokan dia sama sekali tidak pernah mencabut pedangnya, kini bergerak cepat sekali,
berubah menjadi sinar putih yang bergulung-gulung menerjang ke arah tubuh Pendekar Super Sakti.
Sejenak timbul niat di hati Suma Han untuk benar-benar mencoba dan menguji sampai di mana kehebatan
ilmu kepandaian Ketua Thian-liong-pang yang penuh rahasia ini dan untuk mengenal sumber ilmu
kepandaiannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi ia menjadi bingung juga ketika melihat bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh wanita
berkerudung itu adalah ilmu pedang campuran yang sukar diketahui atau dikenal lagi dasarnya. Segala
macam ilmu pedang partai besar di dunia persilatan terdapat dalam gerakan ilmu pedang ini! Belum pernah
selamanya dia menyaksikan ilmu pedang seperti itu, akan tetapi harus diakui bahwa gerakan wanita itu
cepat sekali sedangkan desing suara angin yang terbelah oleh pedang itu sendiri menyatakan betapa
kuatnya tenaga sinkang yang dimiliki wanita itu!
Terpaksa dia menangkis dengan tongkatnya dan balas menyerang, bukan menyerang sungguh-sungguh,
hanya untuk memaksa lawan itu mengeluarkan jurus simpanannya agar ia dapat mengenal dasar ilmu
silatnya. Akan tetapi wanita berkerudung itu benar-benar hebat sekali karena sampai belasan jurus, dalam
serang-menyerang itu, tidak pernah dia memperlihatkan dasar kepandaiannya, melainkan mainkan jurus
campuran dari pelbagai ilmu pedang yang sudah ‘dicurinya’ dari para tokoh yang pernah diculiknya.
Memang Nirahai amat lihai dan cerdik. Dari ilmu-ilmu silat yang dilihatnya, dia dapat mengambil inti sarinya
yang terpenting, kemudian menciptakan gabungan yang amat hebat, tentu saja dengan mendasarkan
kepandaiannya sendiri sebagai unsur pokok yang terpenting. Oleh karena itu, sekarang Suma Han tidak
dapat mengenal dasar ilmu pedangnya!
Suma Han memang tidak mempunyai niat untuk bertanding mati-matian. Enam orang kang-ouw masih
berada di situ, yaitu tiga orang hwesio, dua orang tosu dan seorang kang-ouw yang tentu akan terancam
keselamatan mereka kalau tidak ditolongnya. Pula, dia sendiri menghadapi banyak urusan besar. Mencari
Pedang Hok-mo-kiam saja belum berhasil. Kalau dia harus melayani tantangan Ketua Thian-liong-pang
yang galak dan entah mengapa selalu memusuhinya dan agaknya amat membencinya itu, berarti dia akan
melibatkan diri dengan banyak urusan yang memusingkan kepala!
Apa lagi sekarang terdapat kenyataan bahwa Thian-liong-pang yang diketuai oleh wanita aneh ini, aneh
dan amat lihai, telah mengabdi kepada pemerintah! Kalau dia melayani tantangannya, berarti akan menjadi
berlarut-larut. Padahal dia belum berhasil mengambil tindakan terhadap Koksu dan kaki tangannya yang
telah menghancurkan Pulau Es tanpa alasan sama sekali! Belum lagi masih banyak urusan yang harus dia
selesaikan secepatnya.
Pertama, dia harus merampas kembali pedang Hok-mo-kiam. Kedua, dia harus minta pertanggungan
jawab terhadap mereka yang telah menghancurkan Pulau Es dan Pulau Neraka. Ketiga, dia harus mencari
tahu bagaimana dengan keadaan Lulu setelah Pulau Neraka dibakar! Ke empat, dia harus menyelidiki pula
keadaan isterinya, Puteri Nirahai, yang tidak diketahuinya di mana. Dia sudah merasa amat rindu kepada
mereka semua itu. Kepada Lulu, kepada Puteri Nirahai, kepada anaknya dan anak Nirahai yang pernah
dilihatnya beberapa tahun yang lalu!
"Para sahabat kang-ouw, harap lekas pergi dari tempat ini!" Tiba-tiba Suma Han berkata.
"Tahan mereka! Jangan biarkan mereka pergi!" Ketua Thian-liong-pang berteriak pula dari balik
kerudungnya dengan suara yang bengis dan nyaring.
"Mengapa tidak biarkan mereka pergi saja...?" terdengar Milana berkata perlahan.
Dara ini sejak tadi menangis secara diam-diam. Menangis tanpa berani mengeluarkan suara atau air mata,
takut kalau ketahuan ibunya. Betapa dia tidak akan menangis, betapa jantungnya tidak akan terasa seperti
ditusuk-tusuk pisau kalau melihat keadaan seperti itu? Dia tahu bahwa Pendekar Super Sakti itu adalah
ayah kandungnya sendiri!
Untung bahwa Pendekar Super Sakti tidak mengenalnya, tentu telah lupa karena tentu saja banyak terjadi
perbedaan dan perubahan antara dia ketika masih kecil dengan dia sekarang yang telah menjadi seorang
dara dewasa! Betapa tidak akan hancur hatinya melihat ibu kandungnya bertanding dan memusuhi bahkan
tampak seperti membenci ayah kandungnya sendiri? Ingin sekali dia meloncat, ingin sekali dia terjun ke
dalam gelanggang pertandingan itu, untuk memisah mereka, untuk membujuk ibunya. Akan tetapi dia tidak
berani.
Kalau dia melakukan hal itu, tentu ibunya akan marah bukan main. Dia tidak boleh membuka rahasia
ibunya! Karena itulah dia merasa tertekan perasaannya, merasa berduka sekali dan menangis dalam
hatinya, kemudian, tanpa disadarinya, ia mencela ibunya mengapa tidak membiarkan mereka itu pergi
saja? Bukan hanya mereka orang-orang kang-ouw itu, akan tetapi terutama sekali ayah kandungnya! Kalau
dunia-kangouw.blogspot.com
memang ibunya tidak suka kepada ayah kandungnya, mengapa harus memusuhinya, tidak membiarkan
pergi saja?
Suma Han mendengar suara gadis itu dan diam-diam ia merasa heran. Tadi dia mendengar gadis itu
terisak, biar pun isak yang ditahan, dan kini mendengar gadis itu berkata demikian. Bukankah gadis itu
seorang anggota Thian-liong-pang yang paling penting, bahkan kalau tidak salah pendengarannya tadi
sebelum ia memperlihatkan diri, gadis itu adalah puteri Ketua Thian-liong-pang. Puteri wanita berkerudung
yang kejam itu! Hemm, jalan satu-satunya untuk mengendalikan Thian-liong-pang adalah puterinya ini.
Pikiran ini menyelinap di dalam otaknya dan tiba-tiba dia menggerakkan tongkatnya dengan pengerahan
tenaga.
"Trangggg!"
Ketua Thian-liong-pang terkejut sekali karena tahu-tahu lawannya lenyap. Tentu saja dia mengenal
Pendekar Super Sakti dan maklum pula bahwa pendekar itu telah menggunakan ilmunya yang mukjizat,
yaitu Gerak Kilat Soan-hong-lui-kun. Akan tetapi yang membuat dia terkejut adalah ketika melihat
bayangan pendekar itu mencelat ke arah puterinya, Milana yang berdiri dengan muka tunduk. Nirahai
mengeluarkan keluh perlahan dan otomatis menyimpan pedangnya, berdiri dengan kedua kaki gemetar!
Milana sendiri kaget setengah mati ketika tiba-tiba tangan kanannya disambar dan dipegang oleh tangan
kiri Pendekar Super Sakti, kemudian tampak sinar berkelebat ketika ujung tongkat itu telah menodong
lehernya.
"Tidak... tidak... jangan...!" Milana menjadi pucat, terbelalak memandang lelaki itu dan menggelenggelengkan
kepalanya.
Dia sama sekali bukan takut terbunuh, melainkan merasa ngeri kalau sampai ayah kandungnya itu tidak
mengenalnya dan kesalahan tangan membunuhnya. Sebagai seorang dara perkasa yang telah digembleng
kegagahan sejak kecil, mati bukan apa-apa baginya, tetapi mati di tangan ayah kandungnya sendiri benarbenar
merupakan hal mengerikan!
Suma Han sendiri terbelalak kaget melihat wajah cantik jelita itu, yang tertimpa sinar matahari dan
kelihatan pucat sekali. Betapa cantiknya dara ini! Tentu amat disayang oleh ibunya. Ketua Thian-liong-pang
yang seperti iblis itu!
"Thian-liong-pangcu, lekas kau bebaskan para sahabat kang-ouw itu, kalau tidak, aku terpaksa membunuh
anakmu di depan matamu!" Suma Han mengancam.
"Kau...! Kau...!" Nirahai tergagap-gagap sehingga mengherankan hati semua orang.
Tang Wi Siang juga merasa heran. Dialah seorang di antara mereka yang mengenal siapa adanya
Ketuanya yang selalu berkerudung itu. Pada waktu Nirahai menguasai Thian-liong-pang, setelah
mengalahkan semua tokohnya, pernah dia memperkenalkan diri sehingga Tang Wi Siang tahu bahwa
Ketuanya adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar sendiri dan tahu bahwa Milana adalah puterinya. Akan tetapi,
dia tidak tahu siapa ayah Milana dan dia pun tidak berani bertanya, karena bertanya berarti memancing
maut! Dia pun tidak berani bertanya ketika Nirahai membantu pemerintah membasmi para pemberontak.
Akan tetapi mengapa kini sikap Nirahai demikian berubah? Mengapa kelihatan begitu ketakutan setelah
puterinya diancam oleh Pendekar Siluman?
"Pangcu, bolehkah saya suruh mereka pergi saja?" Tang Wi Siang mendekati ketuanya dan bertanya
penuh hormat.
Nirahai mengangguk. "Yaaah, suruh mereka pergi."
"Kalian boleh pergi dari sini!" Tang Wi Siang berkata kepada tiga orang hwesio, dua orang tosu dan
seorang kang-ouw yang berpakaian seperti guru silat itu.
Mereka berenam segera menjura ke arah Pendekar Super Sakti untuk menghaturkan terima kasih, akan
tetapi Suma Han segera berkata tanpa menghentikan dorongan tongkatnya dari tenggorokan Milana,
"Harap Cu-wi segera pergi!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Enam orang itu kemudian membawa jenazah kawan masing-masing dan pergi dari situ dengan cepat.
Setelah bayangan mereka lenyap, barulah Suma Han berkata, "Thian-liong-pangcu, terpaksa kulakukan
hal ini..."
"Kau... laki-laki pengecut!"
Suma Han menghela napas panjang. "Benar agaknya, akan tetapi ketahuilah bahwa aku melakukan ini
bukan karena takut bertanding melawanmu, melainkan karena aku ingin mengambil jalan damai agar tidak
jatuh korban-korban lebih banyak lagi. Kini, terpaksa anakmu kubawa dulu, dan baru akan kulepaskan dia,
kukembalikan padamu kalau Thian-liong-pang sudah menghentikan sepak terjangnya yang mengacaukan
dunia kang-ouw!"
"Keparat, kembalikan anakku!" Nirahai membentak.
"Pangcu, selamat berpisah!" Suma Han menotok Milana, disambarnya tubuh dara itu dan dia bersuit keras.
Burung rajawali hitam menjawab suitannya dari jauh dan terbang menghampiri.
"Suma Han! Kembali kau!" Nirahai mengejar, akan tetapi tentu saja dia tidak dapat menyusul Suma Han
yang berlompatan dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun, kemudian bahkan meloncat ke atas punggung
rajawali yang terbang rendah.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati Tang Wi Siang dan teman-temannya ketika mereka
semua turut mengejar, mereka tidak melihat lagi Pendekar Siluman yang pergi membawa puteri Ketua
mereka naik di punggung rajawali dan melihat Ketua mereka mendeprok di atas tanah sambil menangis!
Sejenak mereka hanya dapat saling pandang dengan bingung. Akhirnya Tang Wi Siang berlutut dan
berkata, "Maaf, Pangcu. Kalau Pangcu menghendaki, kami seluruh anggota dan pimpinan Thian-liongpang
sanggup untuk dikerahkan dan mencari serta merampas kembali Nona Milana dari tangan Pendekar
Siluman!"
Nirahai mengangkat mukanya yang berkerudung, menahan isak dan bangkit berdiri. Kedatangan anak
buahnya membuat dia sadar kembali dan dapat menguasai hatinya. Dia terlalu marah kepada Suma Han.
Butakah mata suaminya itu sehingga tidak mengenal anaknya lagi? Ataukah... Suma Han memang
sengaja berpura-pura tidak mengenal Milana dan sengaja membawa Milana pergi untuk
mengendalikannya?
Betapa pun juga, dia menangis bukan karena mengkhawatirkan keselamatan anaknya. Sama sekali tidak!
Dia sudah mengenal siapa adanya orang yang pernah menjadi suaminya itu! Andai kata benar-benar
Suma Han lupa bahwa gadis itu anaknya sendiri sekali pun, dia tidak usah mengkhawatirkan keselamatan
Milana. Suma Han adalah seorang pria yang boleh dipercaya sepenuhnya! Yang dia tangiskan adalah
sikap Suma Han, orang yang dicintanya sepenuh jiwa raga, akan tetapi juga menimbulkan sakit hati dan
bencinya!
"Mari kita pulang," katanya kepada Tang Wi Siang. "Dan suruh anak buah mengubur semua jenazah itu."
"Semua, Pangcu? Juga jenazah pihak musuh?"
"Semua! Aku hendak pulang lebih dulu. Jangan melibatkan diri dalam pertempuran dengan siapa pun juga.
Kalau sudah selesai, cepat pulang menyusulku."
"Baik, Pangcu." Akan tetapi belum habis jawaban Wi Siang, tubuh wanita berkerudung itu telah berkelebat
dan lenyap dari situ.
Tang Wi Siang menarik napas dalam. Dia kagum kepada Ketuanya itu, kagum dan penuh hormat, juga
merasa setia dan sayang karena selama ini Nirahai telah bersikap baik sekali kepadanya, bahkan
memberinya beberapa ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi, sampai sekarang belum juga dia dapat mengenal
watak Ketuanya itu, apa lagi tadi saat Ketuanya itu berhadapan dengan Pendekar Siluman. Ia tahu bahwa
Ketuanya amat sakti, semua tokoh kang-ouw dan partai-partai persilatan yang besar tidak ada yang
mampu menandinginya. Dia ingin sekali menyaksikan, siapa yang lebih sakti antara Ketuanya dan
Pendekar Siluman! Hal yang benar-benar amat menarik dan membuat dia ingin sekali tahu, sungguh pun
hatinya tegang dan gelisah memikirkan betapa Ketuanya yang tercinta itu bertanding melawan Pendekar
Siluman yang kabarnya dapat membunuh lawan hanya dengan sinar matanya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tang Wi Siang sadar dari lamunannya dan ia cepat memerintahkan anak buahnya untuk mengubur semua
jenazah yang jatuh menjadi korban dalam pertandingan tadi. Baru saja selesai dan mereka habis mencuci
kaki dan tangan, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang pemuda tampan telah
berdiri di depan mereka! Tang Wi Siang dan lima orang gadis cantik para pelayan pembantunya siap
menghadapi segala kemungkinan, sedangkan anak buah Thian-liong-pang bekas pengikut Milana yang
tinggal tiga orang jumlahnya, menjadi kaget sekali dan cepat seorang di antara mereka berkata,
"Tang-kouwnio, dia... dia... adalah putera Majikan Pulau Neraka..."
Tang Wi Siang terkejut sekali. Akan tetapi pemuda itu yang bukan lain adalah Wan Keng In, tidak bicara
apa-apa, hanya melangkah maju menghampiri Tang Wi Siang dan lima orang gadis pelayan, matanya
memandang penuh selidik lalu menengok ke kanan kiri, seperti orang mencari-cari.
Tadinya enam orang wanita itu mengira bahwa pemuda tampan yang disebut sebagai putera Majikan
Pulau Neraka ini tentu mata keranjang dan seorang demi seorang, wajah para wanita ini sudah menjadi
merah karena malu dan marah. Akan tetapi ketika melihat pemuda itu seperti mencari-cari, mereka menjadi
heran.
"Mana dia...?" Tiba-tiba Wan Keng In bertanya, pertanyaan yang ditujukan kepada mereka semua.
Suaranya halus dan manis, akan tetapi mengandung sesuatu yang membuat rombongan orang Thianliong-
pang itu bergidik ngeri. Kecuali Tang Wi Siang, karena wanita ini telah memiliki ilmu kepandaian tinggi
dan dia sama sekali tidak takut berhadapan dengan orang yang dikatakan putera Majikan Pulau Neraka.
Hanya seorang pemuda remaja, pikirnya.
"Dia siapa yang kau cari?" Tang Wi Siang balas bertanya, suaranya dingin sekali. Biar pun pangcunya
sudah berpesan agar dia tidak membawa orang-orangnya terlibat dalam pertempuran, akan tetapi kalau
orang ini tokoh besar Pulau Neraka, tentu saja dia tak tinggal diam.
"Siapa lagi? Nona cantik jelita puteri Ketua Thian-liong-pang! Di mana dia? Kalian ini bukankah orangorang
Thian-liong-pang?" Wan Keng In bertanya lagi.
"Benar kami orang-orang Thian-liong-pang. Engkau ini orang Pulau Neraka mencari Nona Majikan kami,
ada keperluan apakah?" Tang Wi Siang membentak marah.
"Hemmm, dia harus menjadi isteriku. Dia calon isteriku!"
"Jahanam bermulut lancang!" Tang Wi Siang marah sekali dan tubuhnya mencelat ka atas lalu turun
menyambar dengan serangan dahsyat ke arah kepala Wan Keng In!
Wanita itu memang memiliki ilmu kepandaian istimewa berdasarkan ginkang yang luar biasa, yang
diajarkan oleh Nirahai kepadanya, yaitu Ilmu Yan-cu-sin-kun. Melihat datangnya serangan yang amat cepat
itu, tahu-tahu tangan kiri wanita itu memukul ke arah ubun-ubun kepalanya. Wan Keng In terkejut juga,
cepat ia miringkan kepala sambil melangkah mundur. Akan tetapi, Ilmu Silat Yan-cu-si-kun (Silat Sakti Burung
Walet) benar-benar hebat sekali, karena begitu pukulannya luput, dan tubuhnya melayang, cepat
sekali tubuh wanita itu sudah berjungkir balik dan tahu-tahu kedua tangannya telah memukul lagi dari
kanan kiri mengarah kedua pelipis!
"Plak-plak!"
Wan Keng In yang kaget sekali cepat menangkis dan tangkisan itu membuat tubuh Tang Wi Siang
terpelanting! Sekarang wanita inilah yang terkejut. Kiranya pemuda itu memiliki kepandaian tinggi. Dia
cepat meloncat dan mengirim Pukulan Touw-sin-ciang (Pukulan Menembus Hati) yang mengandung
sinkang kuat.
"Plakk!" kembali Wan Keng In menangkis dan kali ini ia mengerahkan tenaga sehingga tubuh Tang Wi
Siang terbanting keras.
Marahlah para anak buah Thian-liong-pang yang delapan orang banyaknya itu melihat wanita kepercayaan
Ketua mereka roboh. Cepat mereka mencabut senjata dan menerjang maju, mengeroyok pemuda lihai itu.
Tang Wi Siang juga sudah meloncat bangun dan mencabut pedangnya, mainkan ilmu Pedang Bu-tong
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiam-sut yang sudah disempurnakan oleh Ketuanya. Wan Keng In dikeroyok oleh sembilan orang yang
semuanya bersenjata!
Namun pemuda itu sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan dia tersenyum, senyum yang membuat
wajahnya makin menarik dan tampan. Dia tidak mengeluarkan senjata sama sekali, hanya meloncat ke
sana-sini sambil berkata,
"Hemmm, Bibi yang cantik, engkau agaknya yang menjadi pimpinan rombongan ini. Baiklah, aku akan
membiarkan kalian menghadap Ketua kalian dan katakan bahwa aku akan menyembuhkan kalian kalau
puterinya dijodohkan dengan aku. Kalau tidak, kalian akan tewas dan seluruh anggota Thian-liong-pang
akan kubasmi, kecuali puteri Ketua yang harus menjadi isteriku, mau atau tidak!"
Tentu saja kata-katanya itu membuat Tang Wi Siang dan teman-temannya menjadi amat marah, dan
mereka tidak dapat menjawab saking marahnya, hanya mempercepat gerakan mereka menyerang dengan
pergerahan tenaga sekuatnya. Ingin mereka mencincang hancur tubuh pemuda yang begitu kurang ajar,
hendak memaksa nona mereka menjadi isterinya dan mengancam akan membasmi seluruh anggota
Thian-liong-pang kalau kehendaknya tidak dipenuhi! Mana di dunia ini ada kesombongan dan kekurang
ajaran yang sehebat itu?
Akan tetapi, tiba-tiba pemuda itu mengeluarkan suara tertawa seperti ringkik kuda dan tiga orang yang
menyerang paling dekat dengannya tiba-tiba menjadi lemas sehingga mereka tidak mampu mengelak atau
menangkis lagi ketika tangan kiri pemuda itu menepuk punggung mereka, seorang sekali.
"Plak! Plak! Plak!" Tiga orang itu roboh terjungkal dan batuk-batuk, dari mulut mereka keluar darah merah.
Tang Wi Siang marah sekali, menggerakkan pedangnya dan menyerbu ke arah perut pemuda itu sambil
menggerakkan tangan kiri untuk memukul dengan mengerahkan tenaga Touw-sim-ciang ke arah dada kiri
Wan Keng In.
Pemuda itu mengelak sedikit untuk menghindarkan tusukan pedang, akan tetapi dia agaknya tidak tahu
akan datangnya pukulan tangan kiri Wi Siang yang ampuh itu. Tang Wi Siang merasa girang sekali karena
pukulannya mengenai sasaran yang tepat dan betapa pun lihainya pemuda itu, pukulannya yang
menembus jantung itu tentu akan merobohkahnya, atau sedikitnya melukai isi dadanya.
"Plakkk!"
Betapa kaget hati Wi Siang ketika telapak tangannya melekat pada dada kiri pemuda itu yang agaknya
sama sekali tidak merasakan apa-apa dan bahkan kini tangan kanan pemuda itu telah mencengkeram
pergelangan tangannya yang memegang pedang dan sekali memutar tubuhnya terbawa membalik dan
sebuah tepukan pada punggungnya membuat Tang Wi Siang terguling, kepalanya terasa pening,
tenggorokannya gatal membuat dia terbatuk-batuk dan muntahkan darah merah!
Cepat sekali Wan Keng In bergerak, tubuhnya seperti lenyap dan beruntun ia telah menepuk punggung
lima orang gadis pelayan pembantu Tang Wi Siang sehingga mereka ini hampir tidak tahu apa yang
membuat mereka roboh terguling, dan terbatuk-batuk mengeluarkan darah. Sembilan orang itu, termasuk
Tang Wi Siang yang amat lihai, telah roboh dan terluka oleh Wan Keng In dalam waktu beberapa menit
saja!
Kalau Tang Wi Siang tidak terkena pancingannya, tidak mengira bahwa pukulan Touw-sim-ciang sama
sekali tidak dapat menembus kekebalan tubuh Wan Keng In dan kalau wanita itu menggunakan ilmu
silatnya untuk mempertahankan diri, kiranya biar pun akhirnya dia akan roboh juga, namun sedikitnya
pemuda itu harus menggunakan waktu yang lebih lama. Namun pemuda itu cerdik sekali dan dia sudah
tahu akan kelihaian Tang Wi Siang, maka ia sengaja membiarkan dirinya terpukul untuk dapat merobohkan
wanita itu dalam waktu yang lebih cepat.
"Bibi yang cantik, katakanlah kepada Ketuamu bahwa kalau dalam waktu sebulan dia tidak menerima
pinanganku dan tidak mengumumkan bahwa puterinya telah menjadi tunangan Wan Keng In dari Pulau
Neraka, kalian akan mati dan aku akan datang sendiri ke sana untuk mengambil calon isteriku dan
membasmi Thian-liong-pang. Akan tetapi kalau dia menerima pinanganku, Thian-liong-pang akan menjadi
perkumpulan yang terkuat di dunia karena bantuanku!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat,
bayangan pemuda itu lenyap dari dalam hutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tang Wi Siang cepat meloncat bangun, menahan rasa nyeri di dalam dadanya. Ia melihat bahwa semua
anak buahnya sudah dapat berdiri akan tetapi menyeringai tanda bahwa mereka pun menderita nyeri.
Tahulah dia bahwa mereka semua telah terluka di sebelah dalam tubuh oleh tepukan pada punggung tadi.
"Buka bajumu!" Katanya kepada seorang anggota Thian-liong-pang pria yang tadi telah dirobohkan. Orang
itu membuka bajunya, setelah diperiksa ternyata di punggungnya terdapat bekas jari yang berwarna
merah!
"Hemmm, pukulan beracun, seperti yang kuduga," kata Tang Wi Siang yang memang sudah menduga
bahwa tokoh Pulau Neraka itu tentu menggunakan pukulan beracun. "Manusia sombong itu! Apa dikira
Pangcu kita tidak akan dapat menyembuhkan pukulan beracun macam ini saja? Hayo, kita cepat pulang
menyusul Pangcu, membuat laporan agar Pangcu dapat mengobati kita dan mencari si keparat itu untuk
diberi hajaran!"
Biar pun mulutnya berkata demikian, namun di dalam hatinya Tang Wi Siang merasa gelisah dan tegang
sekali karena dari pertandingan tadi saja dia sudah maklum bahwa pemuda itu benar-benar memiliki
kesaktian yang amat luar biasa! Dengan perasaan tertekan sembilan orang itu melakukan perjalanan
tergesa-gesa, tanpa mengeluarkan kata-kata menyusul Ketua mereka. Pikiran mereka tidak pernah
terlepas dari tanda tiga buah jari merah yang menempel di punggung mereka dan tersembunyi di bawah
baju masing-masing.
********************
"Hu-hu-huukkk...!" Milana tak dapat menahan kesedihan hatinya lagi ketika dia sudah berdua saja dengan
Pendekar Super Sakti di atas punggung burung rajawali yang terbang tinggi menembus awan.
Mula-mula dia merasa bahagia sekali dapat duduk membonceng ayah kandungnya di atas punggung
rajawali itu, hal yang sudah lama dia impi-impikan. Akan tetapi dia teringat kembali kepada ibunya, teringat
akan peristiwa antara ibu dan ayahnya, akan permusuhan antara ibu dan ayahnya dan akan rahasia ibunya
yang tidak diketahui ayahnya.
Bagaimana dia dapat bergembira biar pun sekarang dia sedang membonceng ayah kandungnya kalau
ayahnya itu tidak mengenal dan dia tidak boleh memperkenalkan diri? Dia tidak akan memperkenalkan diri
sebagai Milana, sebagai puteri Pendekar Super Sakti ini, demi menjaga rahasia ibunya. Betapa pun juga
dia harus membela ibunya! Dan dia pun kini mendapat kesempatan untuk mengenal dari dekat orang
macam apakah yang menjadi ayah kandungnya ini.
"Eh, Nona mengapa engkau menangis?" Tiba-tiba Suma Han bertanya kepada dara yang duduk di
depannya, membelakanginya ketika ia mendengar dara itu terisak.
"Apakah setelah menjadi tawananmu, aku tak boleh menangis?" Milana bertanya tanpa menoleh.
"Hemmm... wanita dan tangis adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Tentu saja kau boleh menangis,
akan tetapi kurasa, sebagai puteri seorang ketua perkumpulan besar macam Thian-liong-pang, sangatlah
memalukan kalau harus memperlihatkan kekecilan hati dan menjadi seorang yang cengeng."
Rasa panas membubung ke dada Milana dan dia menggigit bibir, mengusir sisa tangis yang berada di
dalam dadanya. "Aku tidak cengeng! Aku tidak kecil hati!" bantahnya.
Suma Han yang duduk di belakangnya tersenyum. Ia maklum bahwa tentu puteri Ketua Thian-liong-pang
ini membencinya dan menganggapnya musuh, akan tetapi semenjak tadi, dia sudah melihat perbedaan
watak yang besar sekali antara Ketua Thian-liong-pang dan puterinya ini.
Gadis ini sama sekali tidak berwatak kejam, liar dan ganas seperti ibunya. Sebaliknya dara ini mempunyai
watak lembut, terbukti dari isaknya dan pencelaannya kepada ibunya ketika berada di hutan tadi. Kini,
kembali tampak sifat halusnya dengan isak yang tertahan-tahan akan tetapi betapa pun juga, ada setitik
darah ibunya sehingga dara ini melawan perasaan sendiri dan kini berpura-pura memperlihatkan sikap
keras seperti sikap ibunya! Ahhh, betapa terbuka keadaan hati dan pikiran dara ini baginya sehingga biar
pun dara itu duduk membelakanginya dan ia tak dapat melihat wajahnya yang memang belum
diperhatikannya benar-benar, dia sudah dapat menjenguk isi hati dan mengenal wataknya!
"Kalau begitu mengapa menangis?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Ih, betapa halus suara ayahnya! Orang yang memiliki suara halus dan menggetarkan perasaan yang halus
pula itu tak mungkin seorang jahat, biar pun dijuluki Pendekar Siluman sekali pun! Bagaimana ibunya
mencacinya sebagai seorang yang pengecut, tidak berjantung, tiada perasaan?
"Kenapa engkau menawan aku? Apakah benar untuk menekan Thian-liong-pang agar tidak membantu
pemerintah membasmi para pengacau dan pemberontak lagi?"
Milana merasa betapa orang yang duduk di belakangnya itu menghela napas panjang. Ingin sekali dia
menengok dan memandang wajah yang menimbulkan rasa sayang dan kagum di dalam hatinya itu, ingin
melihat tarikan muka itu dan sinar mata yang aneh itu. Akan tetapi, pada saat itu dia sedang bersandiwara,
harus beraksi seperti orang yang asing sama sekali, yang tidak mengenal Pendekar Super Sakti, maka
tidak akan sopanlah sebagai seorang gadis tertawan kalau dia ingin memandang muka pria yang
menawan.
"Nona, biarlah engkau mendengar hal yang sesungguhnya. Bukan menjadi pendirianku untuk
mempergunakan cara pemerasan seperti ini, untuk menggunakan seorang gadis muda sebagai alat untuk
menekan Thian-liong-pang. Cara ini, tepat seperti pendapat ibumu, adalah cara seorang pengecut. Kalau
memang aku berniat menentang Thian-liong-pang, tentu akan kupergunakan cara laki-laki, yaitu langsung
menentangnya dan menghadapinya seperti seorang gagah, tinggal melihat hasilnya, menang atau kalah.
Akan tetapi, setelah aku melihatmu di sana tadi... hemm, aku berpendapat lain dan aku menawanmu
dengan maksud lain pula..."
Berdebar keras jantung Milana dan dia menarik tubuh ke depan agar orang yang berada di belakangnya itu
jangan sampai tahu debar jantungnya. Dia lupa bahwa yang duduk di belakangnya adalah seorang
pendekar yang memiliki kesaktian luar biasa sehingga pendengarannya sudah amat tajam, dapat
membedakan debar jantung yang berubah, apa lagi dari jarak demikian dekat! Ayah kandungnya ini
menawannya bukan untuk dipergunakan sebagai sandera, bukan untuk memeras dan menekan Thianliong-
pang! Habis untuk apa?
"Maksud apa lagi kalau bukan untuk menekan Ibuku?" tanyanya, menekan hatinya agar suaranya
terdengar biasa.
Tentu saja Suma Han dapat membedakan pula suara menggetar yang terbawa oleh perasaan tegang itu,
dan dia tersenyum, menduga tentu gadis ini mengira bahwa dia mempunyai niat yang bukan-bukan!
"Ketika aku melihatmu di sana tadi, timbul rasa kasihan di hatiku. Betapa seorang gadis muda yang
berdasarkan watak halus dan hati penuh welas asih dan mulia, bergelimang dalam perbuatan-perbuatan
rendah yang dilakukan oleh Thian-liong-pang! Kalau dibiarkan saja, akhirnya tentu anak itu akan menjadi
rusak dan menjadi seorang wanita yang kejam, liar, ganas dan berwatak iblis, seperti ibunya yang menjadi
Ketua Thian-liong-pang! Karena itu, timbul niatku untuk membawamu pergi dari lingkungan kotor ini!"
Tiba-tiba Milana menoleh dan matanya terbelalak penuh kemarahan. "Tidak! Biarkan aku kembali! Aku
tidak peduli, aku lebih senang kalau menjadi seperti Ibu! Dia tidak jahat, engkaulah yang jahat dan kejam!
Engkau telah membiarkan Ibuku merana dan sengsara dalam hidupnya!"
"Hahhh...? Apa maksudmu? Aku membikin Ibumu hidup sengsara?"
Milana terkejut sendiri. Dia telah kelepasan bicara. Cepat ia memutar otak mencari alasan. "Tentu saja!
Engkau telah menculik aku, anaknya, bagaimana Ibu tidak merasa sengsara dalam hidupnya memikirkan
keselamatanku?"
"Ah, begitukah? Kalau dia masih mempunyai perasaan seperti seorang ibu biarlah dia sadar bahwa dalam
hidupnya, jauh lebih penting memikirkan masa depan puterinya dari pada melampiaskan nafsu kemurkaan
melalui Thian-liong-pang. Biarkanlah dia menderita agar dia sadar. Kalau dia sudah sadar, aku pun tentu
saja tidak akan suka memisahkan seorang anak dari ibu kandungnya." Setelah berkata demikian, Suma
Han menepuk leher rajawali dan menekan berat tubuhnya ke kiri sehingga burung itu segera menukik ke
kiri dan meluncur turun.
Burung itu meluncur cepat sekali sehingga biar pun Milana telah memiliki kepandaian tinggi, dia merasa
pening dan ngeri juga. Akan tetapi di depan penawannya, atau bahkan ayah kandungnya, dia tidak mau
memperlihatkan kelemahannya, dan untuk menutupi rasa ngeri dan takutnya, dia bertanya,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Engkau mau membawa aku ke mana?"
"Engkau takut?"
Wah, ayahnya ini benar-benar amat waspada!
"Tidak!" jawabnya, akan tetapi suaranya gemetar juga ketika ia melirik ke bawah dan melihat seolah-olah
dia dibawa jatuh ke bawah dengan kecepatan mengerikan!
"Jangan takut, menunggang burung ini lebih aman dari pada menunggang seekor kuda."
Milana tidak mejawab lagi karena percuma saja dia hendak menyembunyikan rasa ngerinya. Setelah
penculiknya tahu, tidak lagi berpura-pura dan untuk mengusir rasa takutnya, dia memegangi tangan
Pendekar Super Sakti yang membiarkannya saja sambil diam-diam tersenyum karena Suma Han maklum,
bagi seorang yang belum biasa, betapa ngeri dan takutnya menunggang burung rajawali, apa lagi kalau
menukik turun. Dia sendiri ketika mula-mula menunggang burung garuda di Pulau Es juga berkunangkunang
dan merasa ngeri!
Burung itu hinggap di atas tanah di luar sebuah dusun. Suma Han meloncat turun diikuti oleh Milana. Suma
Han lalu mendorong tubuh burung rajawali itu sehingga terlempar ke atas dan burung itu segera terbang
tinggi.
"Mengapa kita turun di sini? Engkau hendak membawaku ke mana?"
Sambil membalikkan tubuhnya rnenghadapi gadis itu Suma Han menjawab, "Kita akan pergi ke...."
Tiba-tiba Suma Han tidak melanjutkan kata-katanya dan dia berdiri dengan mata terbelalak dan mulut agak
terbuka seperti terkena pesona ketika memandang wajah dara itu. Baru sekarang dia dapat melihat wajah
Milana dengan jelas dan dari jarak dekat. Mulut itu! Mata itu! Mata yang mengandung sinar seolah-olah dua
ujung pedang yang amat runcing menusuk sampai ke lubuk hati! Mata dan mulut yang sangat dikenalnya,
tidak asing sama sekali baginya, akan tetapi selama hidupnya baru sekali ini dia berjumpa dengan puteri
Ketua Thian-liong-pang!
"Kau... kau kenapa, Paman?" Milana bertanya.
Suara Milana yang halus itu menyadarkan Suma Han. Dia menarik napas panjang, lalu menggunakan
kedua telapak tangannya untuk menggosok-gosok matanya, kemudian menggosok seluruh mukanya terus
ke leher dan lalu ke tengkuknya yang dirasakan meremang tanpa dia ketahui sebabnya.
"Aaahhhh... tidak apa-apa..." Dia menghindarkan pandang matanya bertemu dengan sinar mata gadis itu
dan tak ingin lagi memandang wajah itu lama-lama karena merasa aneh dan... ngeri! "Aku hendak
membawamu ke kota raja."
"Ke kota raja? Mengapa ke sana, Paman? Apakah engkau sekarang tinggal di kota raja setelah... setelah...
kudengar..." Karena Pulau Es merupakan tempat tinggal ayah kandungnya, tempat yang sudah lama ia
rindukan, maka mendengar betapa pulau itu dibakar, Milana merasa terkejut dan duka, maka sekarang dia
pun merasa sukar untuk melanjutkan kata-katanya.
"Setelah Pulau Es dibakar? Tidak, aku tidak tinggal di kota raja atau di mana pun."
"Jadi, engkau sekarang tidak mempunyai tempat tinggal, Paman?"
Suma Han menggelengkan kepalanya dan diam-diam merasa betapa aneh keadaan mereka berdua itu.
Dia adalah penculik dan gadis itu yang diculik dan ditawannya, akan tetapi mereka bercakap-cakap seperti
seorang paman dan keponakannya saja, saling bersimpati dan saling menaruh kasihan!
"Kalau begitu, kenapa Paman hendak ke kota raja?"
"Aku akan minta pertanggungan jawab mereka yang telah membakar Pulau Es dan Pulau Neraka, dan aku
akan merampas kembali Pedang Hok-mo-kiam..."
dunia-kangouw.blogspot.com
"...yang dicuri oleh Pendeta Iblis Maharya dan muridnya?"
"Eh, bagaimana engkau bisa tahu?" tiba-tiba Suma Han bertanya dan kembali dia merasa jantungnya
seperti diguncang ketika memandang wajah yang cantik jelita luar biasa itu.
Ingin rasanya Milana menampar mulutnya sendiri karena kelepasan bicara itu.
"Siapa yang tidak tahu, Paman? Hal itu sudah diketahui di dunia kang-ouw, dan aku mendengar dari
Ibuku."
Suma Han tidak merasa heran. Peristiwa itu diketahui oleh orang lain, juga oleh Gak Bun Beng. Andai kata
pemuda itu tidak membicarakannya di luar, bisa jadi saja kalau Tan-siucai atau Gurunya membual bahwa
mereka telah merampas Hok-mo-kiam dari tangan Pendekar Super Sakti sehingga peristiwa itu diketahui
oleh Ketua Thian-liong-pang yang lihai dan berpengaruh.
"Hemm, begitukah? Benar, pedang itu akan kurampas kembali dari tangan mereka. Aku mendengar bahwa
kini mereka pun membantu Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun dan berada di kota raja."
"Wah, Paman hendak mencari banyak musuh di kota raja. Bagaimana dengan aku?"
"Engkau ikut saja denganku, tidak akan ada yang berani mengganggu."
"Habis, untuk apa aku ikut kalau hanya disuruh menonton? Apakah Paman... ingin supaya aku membantu
Paman?"
Suma Han tertawa. Bocah ini sungguh menyenangkan hatinya. Sikapnya begitu halus dan wajar, sedikit
pun juga tidak memperlihatkan sikap bermusuhan padahal jelas bahwa dia telah membawanya secara
paksa!
"Tidak, Nona. Engkau ikut saja denganku dan di waktu luang, aku akan mengajarkan ilmu kepadamu."
Hampir saja Milana bersorak saking girang hatinya. Di antara hal-hal yang sangat dia rindukan adalah
belajar ilmu dari ayah kandungnya, dari Pendekar Super Sakti, Pendekar Siluman Majikan Pulau Es yang
terkenal di seluruh jagad! Akan tetapi dia menahan diri dan hanya kelihatan betapa bibirnya yang merah
dan berbentuk kecil mungil indah itu merekah dalam senyum, sepasang matanya yang lebar itu terbelalak
dan bersinar-sinar penuh keriangan hati. Hal ini tidak lepas dari pandangan mata Suma Han sehingga
diam-diam pendekar ini merasa terharu dan timbul rasa suka yang mendalam di hatinya terhadap gadis ini,
timbul pula niat hatinya untuk menurunkan ilmu-ilmu yang paling tinggi kepadanya!
"Terima kasih, Paman. Engkau baik sekali!"
"Ha-ha-ha-ha-ha...!" Suma Han sendiri sampai terkejut. Bertahun-tahun sudah dia tidak pernah tertawa.
Akan tetapi kini, tanpa disadarinya, dia telah tertawa begitu bebas, suara ketawa yang langsung keluar dari
dalam hatinya. Bocah ini telah menciptakan sesuatu yang amat aneh dalam hatinya!
"Paman, kenapa kau tertawa?"
"Aku... tertawa...? Ahhhh, karena mendengar ucapanmu yang lucu tadi, Nona. Kau bilang aku baik sekali
padahal aku adalah penculikmu!"
"Biar pun begitu, sikapmu amat baik kepadaku, Paman, dan aku suka ikut bersamamu. Aku merasa bahwa
dengan ikut padamu, aku akan mengalami hal-hal yang hebat, dan lagi, menerima pelajaran ilmu dari
Pendekar Super Sakti merupakan hal yang amat menyenangkan sekali. Bagaimana aku tidak menjadi
girang dan menganggap Paman seorang yang amat baik? Nanti kalau bertemu dengan Ibu aku akan
meyakinkan hatinya betapa baiknya budi pekerti Paman."
Suma Han menghela napas. "Aaahhh... kalau ada yang menganggap baik tentu ada yang menganggap
sebaliknya, yaitu jahat. Dan aku sendiri tidak tahu siapa yang lebih benar di antara mereka yang menyebut
baik dan mereka yang menyebutku jahat."
"Bagaimana ini? Aku tidak mengerti, Paman?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tak usah kau pikirkan. Jangan merusak hatimu yang masih polos itu dengan teka-teki hidup yang tiada
habisnya, juga tiada gunanya. Eh, Nona, engkau kuanggap sebagai muridku atau sebagai... keponakanku
sendiri. Ehh, aku jadi teringat kepada Kwi Hong! Ke mana gerangan perginya bocah bengal yang sukar
diurus itu?"
"Kwi Hong? Apakah Paman maksudkan bahwa keponakan Paman yang bernama Kwi Hong pergi tanpa
pamit?"
Suma Han mengangguk. "Bocah itu nakalnya bukan main. Dia pergi merantau tidak menggelisahkan
karena ilmu kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk menjaga diri. Namun, dia membawa pergi pedang Limo-
kiam, itulah yang menggelisahkan hatiku..."
Tiba-tiba Milana meloncat kaget. "Aihhh...! Kalau begitu diakah...?"
Terbayang olehnya seorang gadis yang telah menyelamatkannya ketika ia hampir saja tertawan oleh Wan
Keng In, seorang gadis yang keluar dari dalam peti mati, dan yang memegang sebatang pedang yang
mengeluarkan sinar kilat! Gadis itu pula yang telah mengacau di rumah penginapan, menyelidiki keadaan
rombongan Thian-liong-pang! Ahhh, mengapa dia begitu pelupa? Tentu gadis perkasa itu Kwi Hong!
"Heiii! Apa engkau pernah bertemu dengannya?" Suma Han bertanya kaget.
Milana mengangguk, tapi belum berani membuka mulut karena dia harus menekan perasaannya yang
terguncang. Bertemu dengan Kwi Hong dan dia tidak mengenalnya, apakah Kwi Hong juga tidak
mengenalnya ketika menyelidiki rumah penginapan? Dan apakah Kwi Hong baru mengenalnya ketika turun
tangan menolongnya?
"Aku pernah bertemu dengan seorang gadis cantik yang membawa pedang bersinar kilat, Paman. Dia
pernah menyelidiki rombongan Thian-liong-pang, hampir tertangkap olehku, akan tetapi dia lihai sekali dan
dapat meloloskan diri. Kemudian, dia muncul pula bersama orang-orang Pulau Neraka!"
"Ah, kalau begitu bukan Kwi Hong! Tidak mungkin dia bersama orang-orang Pulau Neraka."
"Akan tetapi dia telah menolongku ketika aku hampir tertawan oleh pemuda iblis, putera Majikan Pulau
Neraka."
"Apa? Coba kau ceritakan yang jelas, Nona."
Dengan singkat Milana menceritakan bentrokan yang terjadi antara rombongan Thian-liong-pang yang
dipimpinnya melawan rombongan Pulau Neraka. "Mula-mula pihak kami sudah mendekati kemenangan,
lalu tiba-tiba muncul pemuda iblis yang lihai itu. Aku hampir saja tertawan olehnya, kemudian muncul gadis
itu dari dalam peti mati dan dengan sebatang pedang yang bersinar kilat, dia telah menyelamatkan aku
dengan membabat putus tali sutera yang mengikatku. Karena aku maklum bahwa tempat itu berbahaya
bagi rombonganku, kemudian aku mengajak rombonganku segera pergi meninggalkan tempat itu."
"Dan gadis itu bagaimana?"
"Entah, Paman. Ketika aku pergi, dia sedang bertanding dengan hebatnya melawan pemuda iblis yang
juga memegang sebatang pedang yang bersinar kilat!"
"Hemmm, Sepasang Pedang Iblis...!" Suma Han berkata perlahan sambil mengerutkan alisnya.
Milana sudah mendengar dari Gak Bun Beng betapa sepasang pedang itu telah ditemukan Bun Beng. Limo-
kiam, pedang betina, diberikan oleh Bun Beng kepada Kwi Hong sedangkan yang jantan, Lam-mokiam,
terampas oleh Wan Keng In putera Majikan Pulau Neraka. Akan tetapi dia pura-pura tidak tahu
karena kalau dia menyebut Bun Beng, tentu ayah kandungnya itu akan mengenal dan dengan demikian,
rahasia ibunya terbongkar.
"Apakah benar dia itu keponakanmu, Paman?"
"Agaknya begitulah. Dan dia tentu terancam bahaya..." Suma Han menggeleng kepala. "Akan tetapi, dia
keluar dari sebuah peti mati, katamu? Hemm... kalau begitu dia bukan Kwi Hong."
dunia-kangouw.blogspot.com
Di dalam hatinya, Milana sekarang merasa yakin bahwa gadis yang meloncat keluar dari peti mati itu pasti
Kwi Hong. Setelah diingatkan, kini dia dapat membayangkan wajah gadis itu dan dia merasa yakin bahwa
gadis itu, juga gadis yang pernah dia ‘lasso’ kakinya di atas genteng di rumah penginapan, tentu Giam Kwi
Hong orangnya! Akan tetapi, tentu saja dia tidak berani menyatakan isi hatinya itu.
"Nona, kulanjutkan pertanyaanku yang tadi terganggu oleh persoalan Kwi Hong yang bengal. Aku hendak
bertanya, siapakah namamu, Nona?"
Kaget juga hati Milana mendengar pertanyaan ini. Ayahnya, ayah kandungnya sendiri, menanyakan
namanya. Tidakkah hal ini amat ganjil? Ingin ia berteriak menyebutkan namanya, berteriak mengaku
bahwa dia adalah puteri Si Pendekar itu sendiri, ingin ia menangis dan mencela ayahnya yang seolah-olah
tidak mempedulikan anaknya! Akan tetapi Milana terpaksa harus menekan keinginan hatinya ini karena ia
harus melindungi rahasia ibunya. Entah mengapa ibunya menyembunyikan diri di balik kerudungnya itu,
dia sendiri tidak tahu. Entah mengapa ibunya tidak mau berbaik dengan ayahnya, tidak mau mengaku
bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah ibunya, dia sendiri tidak tahu. Betapa pun juga, dia harus membela
ibunya, harus melindungi rahasianya.
"Paman, panggil saja aku... Alan..."
"Hemmm, nama palsu, ya?"
Milana mengangguk. "Maaf, Paman. Aku tidak boleh memperkenalkan namaku yang sebenarnya
kepadamu..."
"Aku mengerti. Ibumu selalu bersembunyi di balik kerudung, penuh rahasia, tentu anaknya pun penuh
rahasia pula. Tak mengapalah, Alan, aku akan menyebutmu Alan seperti yang kau kehendaki. Mari kita
melanjutkan perjalanan ke kota raja."
"Kenapa tidak menunggang rajawali saja, tidak melelahkan dan lebih cepat?" Milana membantah karena
memang amat menyenangkan hatinya menunggang rajawali itu, berboncengan dengan ayahnya.
"Tidak, Alan. Dari sini ke kota raja hanya perjalanan tiga empat hari saja dan melalui banyak dusun dan
kota. Kalau kita menunggang rajawali, tentu akan menarik banyak perhatian orang."
"Dan burung itu sendiri bagaimana?"
"Dia sudah jinak dan dia akan mengikuti aku dari angkasa. Setiap kali kubutuhkan, kupanggil tentu dia
datang."
"Sungguh menyenangkan sekali mempunyai binatang peliharaan seperti itu, Paman. Akan tetapi... aku
pernah mendengar bahwa binatang peliharaan Paman di Pulau Es bukan rajawali, melainkan garuda
putih."
Suma Han menghela napas teringat akan dua ekor burung garudanya. "Mereka telah tewas di tangan
orang-orang yang merampas Hok-mo-kiam. Burung rajawali ini pun dari Pulau Neraka, aku temukan dalam
keadaan ketakutan karena Pulau Neraka dibakar. Aku dapat menundukkannya dan sekarang dia sudah
jinak dan penurut."
Demikianlah, dua orang itu berjalan memasuki dusun sambil bercakap-cakap. Mereka kelihatan begitu
rukun, sama sekali tidak pantas sebagai seorang yang ditawan dan penawannya, lebih patut sebagai
keluarga. Namun, hanya Milana seorang yang tahu bahwa mereka adalah anak dan ayah, ayah kandung!
Dua hari kemudian, mereka telah tiba di tapal batas, kota raja hanya tinggal lima puluh li jauhnya,
perjalanan setengah hari. Karena mereka datang dari arah utara, mereka melalui daerah yang agak tandus
dan pada pagi hari itu, mereka beristirahat di sebuah kuil tua yang sudah tidak dipakai lagi, di luar sebuah
dusun.
Suma Han mengeluarkan bungkusan roti kering yang tinggal dua potong dan sebuah guci terisi air yang
diisi penuh dalam perjalanan tadi. Tanpa bicara dia menyerahkan sepotong roti kering kepada gadis itu,
yang diterimanya tanpa berkata-kata pula, akan tetapi tidak segera dimakannya karena Milana kini duduk
sambil memandang ayah kandungnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pendekar Sakti itu duduk bersandar dinding butut, kaki tunggalnya ditekuk bersila, tongkat melintang di
atas pahanya, tangan kiri memegang roti kering sepotong. Melihat gadis itu tidak segera makan rotinya, dia
berkata, "Tinggal ini roti bekalku, akan tetapi perjalanan sudah dekat. Makanlah, Alan."
Namun dara itu tidak mau makan rotinya. Melihat betapa ayah kandungnya itu makan roti kering, kelihatan
dipaksakan dan seret melalui kerongkongan, hatinya menjadi terharu sekali.
"Paman, kasihan sekali engkau, hanya makan roti kering tawar dan air! Aku pandai masak, Paman. Aku
ingin memasakkan yang enak-enak untuk kau makan."
Suma Han menunda makannya, memandang dara itu dengan heran dan tersenyum. "Engkau aneh sekali.
Di tempat sunyi seperti ini, andai kata pandai masak sekali pun, apa yang hendak dimasak? Bahannya
tidak ada, bumbu-bumbunya pun tidak ada, yang ada hanya bahan bakar dan api!"
"Di selatan sana sudah tampak sebuah dusun, tentu ada yang menjual bahan dan bumbu. Kalau Paman
percaya kepadaku, aku akan ke sana membeli bahan kemudian akan kumasakkan yang enak untuk
Paman."
"Percaya? Tentu saja aku percaya kepadamu, Alan."
Wajah Milana berseri dan ia meloncat bangun. "Benarkah Paman percaya kepadaku? Terima kasih,
Paman. Aku akan pergi dulu mencari bahan masakan!" Gadis itu membalikkan tubuh dan berlari keluar dari
kuil tua.
"Heiii, Alan! Nanti dulu!"
Dara itu berhenti, menengok dan memandang dengan wajah kecewa. "Paman takut kalau aku melarikan
diri?"
Suma Han tersenyum, menggeleng kepala dan mengeluarkan sebatang pedang dari buntalannya. "Aku
percaya kepadamu, akan tetapi kau bawalah pedang ini untuk membela diri kalau-kalau terjadi hal yang
tidak diinginkan."
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Milana. Ayah kandungnya, biar pun belum tahu bahwa dia
adalah puterinya, sudah menaruh kepercayaan dan menaruh sayang kepadanya! Cepat ia berlari
menghampiri pendekar itu menerima pedang dan menjura, "Terima kasih, Paman. Engkau baik sekali,
selain percaya bahwa aku tidak akan melarikan diri, juga engkau ingat akan keselamatanku." Ia
memandang pedang di tangannya, mencabut dari sarungnya dan berseru girang. "Ah, pedang pusaka
yang indah! Pedang pusaka apakah ini, Paman?"
"Namanya Pek-kong-kiam, dahulu menjadi pegangan keponakanku. Akan tetapi sekarang dia tidak
memerlukannya lagi. Pergilah, Alan, dan hati-hatilah."
Alan mengangguk, memasangkan pedang di pinggangnya kemudian berlari-lari kecil meninggalkan kuil itu,
dipandang oleh Suma Han dengan bengong.
Setelah bayangan dara itu lenyap, dia menarik napas panjang. "Ahhh, Suma Han, apakah engkau benarbenar
memiliki dasar watak yang kotor? Mengapa engkau seperti tergila-gila kepada dara itu?" Ingin
pendekar sakti ini menempiling kepalanya sendiri.
Ada sesuatu dalam diri dara itu yang amat menarik hatinya, seperti besi sembrani menarik besi! Ada
sesuatu pada diri gadis itu yang membuat dia merasa suka sekali, merasa ingin sekali berdekatan selalu,
memandang wajah jelita itu, melihat senyum yang cerah dan mata yang lebar seperti matahari kembar itu.
Seolah-olah dia berhadapan dengan seorang yang sudah lama sekali dikenalnya, yang amat dekat dengan
hatinya, seolah-olah ada perasaan yang memenuhi hatinya bahwa sudah semestinya dan sewajarnya
kalau gadis itu selalu berada di dekatnya!
"Keparat!" Suma Han menepuk tanah di depannya. "Aihhh, Nirahai... Lulu... kalianlah yang membuat aku
menjadi begini! Aku rindu kepada kalian, rindu akan kasih sayang wanita sehingga begitu bertemu dengan
gadis ini aku seperti orang tergila-gila!" Ia mengeluh lalu duduk termenung. "Apakah yang harus kulakukan
agar aku dapat berkumpul kembali dengan Nirahai? Dengan Lulu?" Nirahai adalah isterinya, yang ia cinta
dunia-kangouw.blogspot.com
dan yakin bahwa isterinya itu pun mencintanya. Akan tetapi mengapa sikap Nirahai seaneh itu? Mengapa?
Dan Lulu?
Dia mencinta adik angkatnya itu, mencintanya dengan sepenuh hatinya, bukan cinta saudara, melainkan
cinta seorang pria terhadap wanita yang pertama kali merebut kasihnya. Terkenang dia akan ucapanucapan
Lulu ketika mereka bertemu di Pulau Neraka. "Aku sudah bersumpah untuk memilih antara dua
kenyataan dalam hidupku. Menjadi isterimu atau menjadi musuhmu!"
Demikianlah kata-kata Lulu yang masih menggores di hatinya. Tentu saja dia sukar untuk dapat menerima
tuntutan Lulu yang selain menjadi adik angkatnya, juga sudah menikah dengan orang lain biar pun kini
sudah menjadi janda, dan mengingat bahwa dia sudah menjadi suami Nirahai! Karena penolakannya, Lulu
memusuhinya, sesuai dengan sumpahnya! Akan tetapi, sekarang Pulau Neraka telah dibakar pemerintah,
bagaimana nasib wanita yang menjadi cinta pertamanya itu?
Bagaimana pula nasib Nirahai? Aihh, sikap Nirahai yang amat aneh, sama anehnya dengan sikap Lulu.
Masih terngiang di telinganya suara isterinya itu penuh dengan kemarahan, "Kini aku tidak sudi
menyembah-nyembah minta kau bawa! Dan hanya dengan paksaan saja engkau akan dapat membawaku
ke Pulau Es. Dengan paksaan, kau dengar? Aku sudah cukup menderita dan sakit hati karena kau biarkan,
seolah-olah aku bukan isterimu. Engkau laki-laki lemah, kejam dan canggung!"
Suma Han kembali menarik napas panjang, menundukkan muka dan menyangga kepalanya dengan kedua
tangan, seolah-olah kepalanya tiba-tiba menjadi amat berat begitu dia terkenang kepada Lulu dan Nirahai.
Apa yang harus dia lakukan agar mereka berdua, wanita-wanita yang dicintanya itu dapat berada di
sampingnya, menyegarkan rasa dahaga yang selama ini dia derita, menyembuhkan sakit rindu yang
selama ini membuat hidupnya tanpa gairah, memenuhi sisa hidupnya dengan kebahagiaan sebagai
penebus kesengsaraan yang sudah amat lama dirasakannya?
"Ahh, Lulu... Nirahai...!" Suma Han merasa jantungnya seperti diremas-remas.
Memang demikianlah manusia pada umumnya. Selama hidupnya, semenjak dia mulai mengerti, manusia
telah kehilangan kebebasan dan kewajarannya. Mulailah datang kesengsaraan bersama dengan
pengertian itu! Mulailah manusia dicengkeram dan dikurung dalam sangkar yang berupa pikiran, berupa
gagasan yang dibentuk semenjak dia mengerti. Segala macam gerak dan langkah hidup ditentukan oleh
gagasan, oleh pikiran yang bukan lain adalah Sang Aku yang penuh dengan loba, dengki, iri, takut,
khawatir, yang kesemuanya timbul karena iba diri, sayang diri yang didorong rasa takut kehilangan
kesenangan, kehilangan ketenteraman.
Suma Han adalah seorang pendekar besar, pendekar sakti, seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti
dewa. Namun semua itu hanyalah duniawi, lahiriah belaka. Karena itu ilmu kepandaiannya tidak akan
dapat membebaskan dia dari pada duka dan khawatir. Dia berduka mengenakan dua orang wanita yang
dicintanya, dan dia khawatir kalau-kalau sisa hidupnya akan tetap merana seperti yang dirasakannya
selama ini.
Dua orang wanita yang dia tahu amat mencintanya, akan tetapi yang karena keadaan tidak dapat hidup
berdampingan dengannya. Karena keadaankah? Ataukah karena jalan pikiran antara mereka yang tidak
cocok? Ataukah mereka berdua yang aneh? Apakah dia sendiri yang tidak pandai menundukkan hati
wanita? Tetapi sejak masih setengah dewasa dahulu, Lulu selalu menurut akan semua kata-katanya!
Mengapa sekarang berbeda?
Ahhh, tentu saja berubah, pikirnya. Dahulu Lulu mentaati segala kata-katanya karena merasa sebagai adik
angkatnya, dan sekarang... wanita itu cintanya sebagai seorang wanita terhadap seorang pria. Teringat
akan Lulu, dia terbayang akan pertemuannya dengan Lulu di Pulau Neraka, teringat pula tentang Pulau
Neraka yang telah dibumi hanguskan, dan akan burung rajawali Pulau Neraka yang berhasil ia taklukkan
dan jinakkan. Rajawali! Dia terkejut karena tidak melihat burung itu ketika ia tiba-tiba menengadah. Tadi
masih tampak burung itu beterbangan di atas kuil, kadang-kadang menyambar turun di depan kuil. Akan
tetapi sekarang tidak tampak!
Suma Han mencelat keluar mencari-cari burung itu dengan pandang matanya. Namun tetap saja tidak
tampak bayangan burung itu. Suma Han menjadi curiga, kemudian mengeluarkan suara melengking
nyaring. Suara yang keluar dari dadanya, dengan pengerahan khikang sehingga suara panggilan itu
bergema sampai jauh sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah mengeluarkan suara melengking sampai tiga kali berturut-turut, Suma Han diam tak bergerak
menanti jawaban. Tiba-tiba dari arah selatan terdengar suara burung itu, bukan sebagai jawaban
panggilan, melainkan suara memekik kemarahan! Dia merasa heran sekali. Suara burung seperti itu hanya
dikeluarkan kalau burung itu berhadapan dengan musuh atau terancam bahaya, atau sedang kesakitan!
Khawatir kalau-kalau burung itu terancam bahaya, Suma Han lalu mempergunakan kepandaiannya,
tubuhnya lantas berloncatan cepat sekali seperti terbang. Dia tidak memasuki dusun di sebelah selatan kuil
karena suara burung itu datangnya dari arah kiri dan kini sudah tampak olehnya dari jauh burungnya
sedang bertempur melawan seekor burung lain! Burungnya terdesak karena burung rajawali lainnya yang
menjadi lawan itu bertubuh lebih besar.
Suma Han mempercepat loncatan-loncatannya mendaki sebuah anak bukit dan tiba-tiba ia berdiri dengan
jantung berdebar tegang, matanya tidak lagi memandang ke arah burungnya yang sedang bertempur,
melainkan ke arah bawah karena di situ terjadi pertandingan lain yang lebih menegangkan hatinya.
Dia kini melihat Alan, gadis tawanannya, puteri Ketua Thian-liong-pang itu, sedang bertempur melawan
seorang pemuda jangkung yang lebih lihai sekali, ditonton oleh beberapa orang yang mukanya beraneka
warna. Anak-anak buah Pulau Neraka! Alan mempergunakan Pek-kong-kiam, menyerang dengan gerakan
yang cepat sekali sehingga tubuh dara itu lenyap terbungkus sinar pedangnya sendiri yang bergulunggulung
dan berwarna putih. Akan tetapi, pemuda jangkung itu menghadapinya dengan kedua tangan
kosong dan kelihatan bersilat seenaknya saja!
Dengan beberapa loncatan tinggi, tubuh Suma Han mencelat dan hinggap di atas atap sebuah podok tua
yang berdiri tak jauh dari tempat pertandingan. Jantungnya makin berdegup tegang ketika melihat wajah
pemuda tampan itu. Wajah itu mirip sekali dengan mendiang Wan Sin Kiat, suami Lulu! Melihat betapa di
situ hadir enam orang yang mukanya berwarna merah muda dan hijau pupus, mudah saja bagi Suma Han
untuk menduga, siapa adanya pemuda ini. Tentu inilah Wan Keng In, putera Ketua Pulau Neraka, putera
Lulu dan mendiang Wan Sin Kiat!
Bukan main hebatnya gerakan pemuda itu sehingga diam-diam Suma Han merasa kagum sekali. Akan
tetapi, melihat senyum dan sinar mata pemuda itu, ada sesuatu yang membuat hati Suma Han kecewa,
karena senyum dan sinar mata pemuda itu membayangkan hal yang mengerikan, watak yang aneh dan tak
dapat dipercaya! Banyak sudah dia melihat senyum dan sinar mata seperti itu yang hanya dimiliki oleh
datuk-datuk golongan sesat. Apa lagi ketika mendengar suara pemuda itu ketika berkata mengejek kepada
Alan, hatinya makin tidak enak lagi.
"Heh-heh-heh, Nona manis. Mengapa engkau masih nekat melawan aku? Bukankah sudah jelas bahwa
engkau bukan lawanku? Dan semenjak tadi aku tidak pernah menyerangmu, karena aku tidak ingin
melukaimu, tidak ingin mengalahkanmu karena takut kalau engkau merasa tersinggung. Hal ini sudah
membuktikan betapa mendalam cintaku kepadamu, Nona!"
"Iblis keji, siapa sudi kepadamu?"
Gadis itu membentak dan mengirim sebuah tusukan ke arah ulu hati pemuda itu. Suma Han yang berada
di atas atap melihat betapa tusukan pedang itu hebat sekali dan diam-diam dia terkejut karena mengenal
jurus itu berdasarkan Ilmu Pedang Sin-coa-kun (Ilmu Pedang Ular Sakti). Padahal Ilmu Pedang itu adalah
sebuah di antara ilmu-ilmu sakti dari Pendekar Sakti Suling Emas! Akan tetapi ia teringat bahwa ibu dara
itu adalah Ketua Thian-liong-pang yang terkenal memiliki dan mengenal segala macam ilmu silat yang
diambilnya dengan segala macam cara pula, kalau perlu dengan menculik tokoh-tokoh kang-ouw! Mungkin
saja Ketua Thian-liong-pang yang luar biasa itu berhasil pula mencuri dasar-dasar Sin-coa Kiam-hoat yang
bersumber dari Sin-coa-kun.
Akan tetapi dengan kagum Suma Han melihat betapa pemuda itu berhasil mengelak dengan mudah,
seolah-olah sudah mengenal jurus ini, kemudian menggunakan Ilmu Pukulan Toat-beng-bian-kun yang
amat hebat! Suma Han mengerti bahwa Toat-beng-bian-kun (Ilmu Silat Tangan Kapas Pencabut Nyawa)
merupakan ilmu pukulan yang sakti dan ampuh dari Lulu yang mendapatkan ilmu pukulan ini dari
mendiang Nenek Maya yang sakti. Dia sudah siap untuk menyelamatkan gadis itu dari pukulan itu ketika
dengan heran dia melihat bahwa pemuda itu bukan mempergunakan pukulan sakti yang semestinya
ditujukan ke arah leher itu diselewengkan menjadi sebuah totokan ke arah pundak!
Akan tetapi, hampir Suma Han berseru kaget dan kagum melihat betapa nona itu dapat mengelak secara
tepat sekali, yaitu dengan berjongkok, kemudian dari bawah kakinya menyambar merupakan sebuah
dunia-kangouw.blogspot.com
tendangan yang dibarengi dengan sabetan pedang. Kakinya menendang ke arah pusar sedangkan
pedangnya menyambar ke arah leher! Yang membuat Suma Han terheran adalah cara gadis itu mengelak
dari jurus Toat-beng-bian-kun, demikian tepat dengan berjongkok seolah-olah dara itu telah mengenal pula
jurus Toat-beng-bian-kun! Apakah Ketua Thian-liong-pang juga sudah berhasil mencuri ilmu peninggalan
Nenek Maya itu? Sungguh tidak mungkin! Kalau sudah demikian jauh, tentu Ketua Thian-liong-pang
merupakan seorang lawan yang luar biasa dan amat berat!
Setelah melihat dengan jelas bahwa ilmu kepandaian pemuda itu jauh lebih tinggi dari pada ilmu
kepandaian puteri Ketua Thian-liong-pang, apa lagi setelah pemuda itu kini mengeluarkan ilmu dengan
gerakan amat aneh, sambil tertawa-tawa mempermainkan dara itu seperti seekor kucing mempermainkan
tikus sebelum diterkamnya, Suma Han lalu melayang dari atas sambil berseru, "Tahan dulu...!"
Ketika itu Wan Keng In sudah berhasil mengempit pedang lawannya di bawah lengan kiri ketika dara itu
menusuk dadanya, dan tangan kanannya bergerak menyambar untuk mencengkeram pundak Milana.
Melihat ini, Suma Han sudah menggerakkan tongkatnya yang berubah menjadi sinar yang menyambar
antara tangan Wan Keng In dan pundak Milana.
Melihat sinar ini Keng In cepat menarik kembali tangannya. Terpaksa dia melepaskan kempitan pedang itu
ketika ada sinar meluncur ke arah dadanya. Ia meloncat mundur dan tertawa mengejek. "Ha-ha-ha-ha-ha!
Sudah kudengar suara lengkinganmu tadi! Bukankah engkau ini yang berjuluk Pendekar Siluman, bekas
Majikan Pulau Es berkaki buntung yang sombong?" Pemuda itu berdiri dengan tegak, kedua tangan
bertolak pinggang, pandang matanya yang tajam penuh kebencian, mulutnya tersenyum penuh ejekan.
Enam orang tokoh Pulau Neraka, dua wanita dan empat pria, menjadi terkejut sekali mendengar ucapan
pemuda itu. Mereka berenam telah menjadi pucat menyaksikan munculnya Pendekar Siluman itu dan
mereka sudah menunduk dengan hati tergetar dan jeri. Kini mendengar ucapan tuan muda mereka, benarbenar
mereka menjadi kaget dan makin takut karena maklum bahwa siauw-tocu mereka telah
mengucapkan penghinaan terhadap Pendekar Super Sakti itu!
Milana sudah marah sekali. Yang dimaki buntung sombong tadi adalah ayahnya! Maka dengan muka
merah dia sudah menusukkan pedangnya ke arah perut pemuda itu sambil membentak, "Manusia iblis
bermulut busuk!"
"Trangggg!"
Milana meloncat mundur ketika melihat bahwa yang menangkis pedangnya adalah tongkat Pendekar
Super Sakti!
"Bersabarlah dan biarkan aku yang bicara dengan dia," Suma Han berkata halus ketika melihat dara itu
memandangnya dengan mata terbelalak heran.
"Ha-ha-ha-ha, Nona yang cantik jelita! Apakah engkau tidak mengenal keparat ini? Dia adalah Pendekar
Siluman, Tocu Pulau Es, musuh besar kami dan musuh besar Thian-liong-pang. Dia adalah musuh kita
berdua, Nona! Mari kita berdua membunuh manusia busuk ini!"
Milana ingin berteriak kepada pemuda itu, mengatakan bahwa dia adalah puteri Pendekar Super Sakti,
tetapi ditahannya karena dia harus melindungi rahasia ibunya, maka terpaksa dia hanya menelan
kemarahannya, tidak menjawab ucapan pemuda itu. Hanya diam-diam dia merasa tidak puas mengapa
ayah kandungnya begitu sabar menghadapi pemuda yang demikian menjemukan dan yang telah berani
menghina Pendekar Super Sakti.
Tentu saja Milana tidak tahu mengapa Suma Han bersikap demikian sabar terhadap Keng In. Wan Keng In
adalah putera Lulu. Jangankan mengingat akan ibunya, sedang mengingat akan ayahnya, Wan Sin Kiat
yang pernah menjadi sahabat baik Suma Han saja, pendekar ini tentu bersikap sabar sekali dan banyak
mengalah.
"Engkau tentu Wan Keng In, putera dari Majikan Pulau Neraka, bukan?" Suma Han bertanya dengan suara
halus mernandang wajah pemuda itu penuh perhatian dan penyelidikan.
Wajah yang amat tampan, bentuk wajahnya seperti wajah Wan Sin Kiat. Mulut dan matanya seperti mulut
dan mata Lulu, akan tetapi sungguh sayang sekali, karena persamaan itu hanya pada bentuknya saja,
namun sifatnya jauh berbeda, bahkan merupakan kebalikannya seperti bumi dengan langit. Senyum Lulu
dunia-kangouw.blogspot.com
adalah senyum yang manis dan membuat dunia makin cerah, senyum yang menimbulkan rasa gembira di
hati siapa pun juga, membuat orang yang menyaksikan senyum itu ingin tersenyum pula.
Sinar mata Lulu adalah sinar mata yang membayangkan kejujuran hati, kepolosan dan kelembutan hati
yang wajar dan tidak dibuat-buat. Akan tetapi, senyum pemuda ini mendatangkan rasa ngeri. Walau pun
senyum itu menambah ketampanan wajahnya, namun mengandung sesuatu yang dingin mengerikan hati
orang yang melihatnya. Ada pun sinar mata pemuda itu amat tajam menusuk, seolah-olah menjenguk isi
hati orang yang dipandangnya, akan tetapi mengandung sifat kejam dan penuh kebencian dan ketidak
percayaan, pandang mata orang yang sama sekali tidak mengenal cinta kasih antara manusia.
"Benar, dan aku pula yang telah mengalahkan dan menghina murid dan keponakanmu! Aku pula yang
telah lama menanti munculmu, dan akan menantangmu untuk mengadu nyawa. Kebetulan sekali sekarang
kau muncul! Pendekar Siluman Suma Han, aku Wan Keng In pada saat ini menantangmu untuk bertanding
mengadu nyawa kalau engkau berani!"
"Siauw-tocu...!" Seorang anak buahnya berseru kaget.
"Plakkk...!"
Entah bagaimana digerakkannya, tahu-tahu tangan Keng In telah menampar dan tubuh anak buahnya itu
terguling-guling sampai lima meter lebih, kemudian berhasil bangun dengan muka bengkak dan ada tanda
lima buah jari tangan di pipinya!
Mendengar ucapan dan menyaksikan sikap itu, Suma Han merasa jantungnya seperti ditusuk. Ahh,
mengapa Lulu yang berwatak demikian lembut dan menyenangkan dapat mempunyai anak seperti ini?
Wan Sin Kiat bekas sahabatnya dahulu, ayah dari anak ini pun seorang gagah perkasa. Mungkin lebih
keras dan liar dibandingkan dengan Lulu, juga berjiwa petualang, akan tetapi tidak jahat apa lagi keji.
"Wan Keng In, tahukah engkau, dengan siapa kau bicara?"
"Tentu saja! Dengan Suma Han, Pendekar Siluman, yang juga disebut Pendekar Super Sakti, Majikan
Pulau Es yang pandai ilmu sihir. Nah, boleh coba sihir aku, atau boleh kau serang aku dengan ilmu-ilmumu
yang katanya setinggi langit itu!"
"Ah, anak muda... tidak pernahkah ibumu bicara tentang aku...?
"Jangan sebut-sebut nama Ibuku!" tiba-tiba pemuda itu membentak marah sekali, lalu menudingkan
telunjuknya ka arah hidung Suma Han sambil berkata dengan keras dan penuh kebencian, "Karena orang
macam engkau inilah ibuku menderita sampai belasan tahun, hidup merana dan selalu berduka! Karena
orang macam engkaulah maka ibuku sampai menjadi Ketua Pulau Neraka dan aku hidup di pulau itu sejak
kecil! Dan karena ibulah maka sekarang aku menantangmu untuk bertanding mati-matian, Suma Han!
"Wan Keng In, tahukah engkau bahwa mendiang Ayahmu, Wan Sin Kiat, adalah juga seorang sahabat
baikku, seperti saudaraku sendiri?"
"Tutup mulutmu yang palsu! Mendiang Ayahku mati karena engkau! Keparat!" Keng In menerjang dengan
hebat, menggunakan pedang Lam-mo-kiam yang mengeluarkan sinar berkilat dan membawa hawa yang
mengerikan. Serangan itu dahsyat bukan main, dan hanya dengan menggunakan kelincahan Ilmu Soanhong-
lui-kun saja Suma Han berhasil menghindarkan diri dari sambaran sinar berkilat itu.
"Wan Keng In, Ibumu adalah adik angkatku!"
"Engkau membuat hidupnya sengsara! Kakak angkat macam apa engkau ini? Telah kuambil keputusan
untuk memusuhimu, dan sekarang aku akan membunuhmu, bukan hanya karena Ibuku, akan tetapi juga
karena engkau menghalagi aku membawa pergi Nona calon isteriku ini."
"Orang muda, engkau tersesat. Ibumu akan berduka sekali melihat engkau seperti ini."
"Tak perlu banyak cakap lagi!" Wan Keng In sudah menerjang lagi dengan lebih hebat lagi karena dia
sudah marah, serangannya dahsyat, apa lagi kini dia mempergunakan Lam-mo-kiam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sinar pedang itu berkilat dan menyambar dengan suara bercuitan. Suma Han merasa berduka sekali
melihat putera Lulu seperti itu, cepat ia menggerakkan tongkatnya dan menangkis dari samping agar
tongkatnya tidak bertemu dengan mata pedang yang amat ampuh itu.
"Tranggg...!"
Keduanya terloncat mundur akibat benturan hebat antara pedang dan tongkat. Wan Keng In tidak merasa
heran ketika merasa betapa lengannya tergetar karena dia sudah mendengar dan maklum bahwa
Pendekar Super Sakti merupakan lawan yang amat tangguh dan memiliki tenaga sinkang yang jarang
terdapat tandingannya. Akan tetapi Suma Han terkejut dan kagum bukan main. Pemuda itu benar-benar
amat hebat, dan dari benturan antara tongkat dan pedang tadi, dia dapat mengukur kekuatan pemuda itu
yang jauh lebih besar kalau dibandingkan dengan tenaga sinkang yang dimiliki Lulu!
Biar pun maklum akan ketangguhan lawan, Wan Keng In tidak menjadi gentar, bahkan dia makin marah
dan sudah menerjang dengan hebatnya. Dia mengeluarkan seluruh ilmu pedang yang ia pelajari dari Cuibeng
Koai-ong dan dari ibunya, mengerahkan seluruh tenaganya yang mukjizat karena gurunya, datuk
pertama dari Pulau Neraka telah menggemblengnya dengan latihan-latihan sinkang yang tidak lumrah
sehingga dia menguasai kekuatan sinkang yang bercampur dengan ilmu hitam.
Begitu pemuda itu mainkan pedangnya, mengerahkan sinkang menggunakan tangan kiri membantu
pedangnya mendorong-dorong ke depan, nampak betapa tubuhnya diliputi kabut hitam dan dari dalam
kabut itu mencuat sinar-sinar kilat pedangnya melancarkan serangan maut ke arah Suma Han secara
bertubi-tubi.
Hati Pendekar Super Sakti merasa tidak karuan menghadapi serangan ini. Berbagai perasaan bercampur
aduk. Dia merasa terharu karena menyaksikan putera Lulu sudah menjadi seorang pemuda dewasa,
merasa kagum melihat ilmu silat pemuda ini yang benar-benar amat hebat, jauh lebih tinggi dari pada
kepandaian Lulu, dan biar pun dasarnya tidak lebih hebat dari pada dasar ilmu silat yang dimiliki Kwi Hong,
namun pemuda ini tentu tidak dapat terlawan oleh Kwi Hong karena selain memiliki ilmu pedang yang aneh
dan sinkang yang mengeluarkan kabut hitam, juga cara bertempur pemuda ini nekat dan kejam,
mengandung serangan-serangan ganas. Akan tetapi di samping rasa keharuan dan kekaguman ini, dia
juga merasa berduka dan marah menyaksikan betapa keponakannya telah tersesat seperti itu.
Sampai puluhan jurus Suma Han menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mencelat ke sana-sini
menghindarkan diri, kadang-kadang mendorong pedang dari samping. Melihat betapa sambaran tangan
kiri pemuda itu bahkan tidak kalah lihainya oleh pedang di tangan kanan, diam-diam Suma Han maklum
bahwa hanya gerak kilatnya saja yang akan mampu menandingi ilmu pedang pemuda itu!
Mengenai tenaga sinkang, tentu saja dia masih menang beberapa tingkat. Kalau dia menghendaki, dengan
Soan-hong-lui-kun, tentu dia akan dapat menggunakan ujung tongkatnya untuk merobohkan pemuda itu,
juga dengan sinkang-nya, ia bisa mengadu tenaga dan menangkan pertandingan. Akan tetapi dia tidak
tega melakukan hal ini, tidak tega melukai putera Lulu. Tadinya dia ingin menggunakan kekuatan sihirnya,
akan tetapi hal itu tentu akan membuat pemuda itu tidak tunduk kepadanya, tidak membuatnya dia kapok.
Kalau dia ingin supaya pemuda itu menjadi jeri, dia harus menundukkannya dengan ilmu kepandaian.
"Wan Keng In, aku tidak ingin bertanding denganmu. Katakanlah di mana Ibumu, aku ingin bicara
dengannya!"
"Kau harus mati di tanganku, atau boleh kau membunuhku kalau mampu!" Pemuda itu berteriak dan
memutar pedangnya dengan cepat, mengirim tusukan ke arah dada Suma Han disusul dorongan telapak
tangan kiri dari bawah mengarah pusar.
"Trakkkk...! Plakkk...!"
Suma Han tidak mengelak, melainkan menggerakkan tongkatnya menerima pedang itu dari samping.
Tangan kanannya menyambut dorongan telapak tangan pemuda itu dengan telapak tangannya pula.
Sepasang senjata dan dua buah tangannya itu saling bertemu dan melekat! Keng In terkejut bukan main.
Hampir dia tidak dapat percaya bahwa tongkat butut lawannya itu dapat menyambut pedangnya,
sedangkan pukulan tangan kirinya mengandung hawa beracun yang amat ampuh, kini telapak tangannya
juga disambut oleh telapak tangan Pendekar Siluman, melekat dan tak dapat ia tarik kembali seperti juga
pedangnya yang melekat pada tongkat!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemmm..., orang muda, kalau aku tidak mengingat Ibumu, tentu akan kucabut saja tunas buruk seperti
engkau ini. Pergilah!" Suma Han yang mempergunakan tenaga sinkang-nya untuk mengatasi pemuda itu,
mengerahkan tenaga sakti dan tubuh Wan Keng In terlempar sampai enam tujuh meter ke belakang.
Pemuda itu terhuyung akan tetapi tidak roboh, juga tidak terluka karena memang lawannya tidak ingin
melukainya. Wajah yang tampan itu menjadi agak pucat. Wan Keng In seorang pemuda yang keras hati
dan tidak mengenal takut, juga dia benci sekali kepada orang yang dianggapnya membikin sengsara
ibunya itu. Akan tetapi dia bukan seorang bodoh dan dia maklum bahwa kalau dia berlaku nekat
menyerang terus, akhirnya dia akan kalah dan celaka. Pertandingan membuktikan bahwa belum tiba
saatnya dia menantang Pendekar Super Sakti.
Dia harus menyempurnakan dulu ilmu kesaktian yang dia pelajari dari gurunya, Cui-beng Koai-ong. Setelah
memandang ke arah Suma Han dengan mata mendelik beberapa menit lamanya, dia mendengus,
membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi dari tempat itu, diikuti lima orang anak buahnya yang pergi tanpa
berani mengeluarkan sepatah kata pun, bahkan sama sekali tidak berani melirik ke arah Pendekar
Siluman. Kekalahan tuan muda mereka tadi mereka terima dengan sewajarnya karena memang mereka
maklum akan kesaktian pendekar kaki buntung itu.
Suma Han berdiri mengikuti pemuda itu dengan pandang matanya sampai akhirnya bayangan pemuda dan
lima orang anak buahnya itu lenyap di balik anak bukit. Tiba-tiba terdengar olehnya suara seperti bisikan
namun cukup jelas, pemuda itu!
"Suma Han, ingat saja engkau! Kalau aku sudah selesai menamatkan ilmuku, kelak akan kucari engkau
untuk kita bertanding lagi mati-matian! Biar pun kepandaianmu tinggi seperti siluman, engkau Si Kaki
Buntung ini akhirnya tentu akan mampus di tanganku!"
Wajah Suma Han menjadi merah sekali, akan tetapi diam-diam ia makin kagum. Khikang yang disalurkan
untuk mengeluarkan suara dari jarak jauh itu sudah cukup hebat! Diam-diam dia merasa berduka.
Dia tidak akan peduli dan memusingkan kalau dia dimusuhi tokoh-tokoh sesat dari mana pun juga dan
betapa saktinya pun. Tetapi, dimusuhi pemuda itu, putera Lulu, benar-benar merupakan hal yang
membuatnya berduka dan cemas. Sementara itu, tiada habis rasa heran dari hatinya kalau mengingat
betapa jujur, halus dan baik watak Lulu, sedangkan Wan Sin Kiat juga seorang pendekar yang gagah
perkasa dan selalu menentang kejahatan. Akan tetapi, mengapa putera mereka menjadi seorang pemuda
iblis seperti itu?
Suma Han menarik napas panjang. Ahh, tidak keliru kiranya bahwa watak manusia dibentuk oleh keadaan
sekitarnya. Anak itu semenjak kecil dibawa oleh ibunya ke Pulau Neraka dan tentu saja setiap hari anak itu
melihat watak-watak penghuni Pulau Neraka yang terkenal ganas, liar kejam dan palsu. Dan agaknya Lulu
sendiri terlalu sibuk dengan pekerjaan sebagai Ketua Pulau Neraka, atau mungkin sekali terlalu
memanjakan putera tunggalnya itu sehingga pembentukan watak anak itu sepenuhnya dikuasai oleh
keadaan sekelilingnya!
Kembali Suma Han menarik napas panjang. Betapa akan hancur hati Lulu kalau menyaksikan sepak
terjang puteranya. Dia tahu bahwa Lulu sendiri mempunyai perasaan hati yang aneh terhadapnya. Bisa
mencinta sehingga ingin menjadi isterinya, akan tetapi juga bisa membenci sehingga ingin pula
memusuhinya kalau tidak dapat menjadi isterinya. Akan tetapi andai kata menjadi musuhnya, wanita itu
tentulah seorang musuh yang gagah perkasa dan jujur dan watak Lulu tak mungkin berubah biar pun
sudah menjadi Ketua Pulau Neraka.
"Paman, mengapa Paman berduka?" Tiba-tiba terdengar suara halus di sampingnya.
Suma Han seperti baru sadar dari mimpinya. Dia menoleh dan memaksa bibirnya tersenyum ketika melihat
Alan sudah berdiri di situ dan memandangnya dengan sinar matanya yang lembut. Melihat wajah cantik
dan sinar mata lembut penuh kasih ini hati Suma Han menjadi makin sakit dan duka. Dara jelita ini adalah
puteri ketua Thian-liong-pang, seorang wanita iblis berkerudung yang terkenal jahat dan kejam. Seorang
wanita seperti iblis itu dapat mempunyai puteri sebaik ini, mengapa sebaliknya seorang wanita seperti Lulu
mempunyai seorang putera sejahat itu?
"Paman, mengapa Paman kelihatan berduka?" Kembali Milana bertanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tadi ketika melihat ayahnya bertanding melawan pemuda itu, dia menonton dengan penuh kagum, tetapi
juga kecewa karena ayahnya membebaskan pemuda itu begitu saja tanpa melukainya sedikit pun.
Kemudian ia melihat ayahnya berdiri termenung seperti arca, dengan wajah yang tampan itu sebentar
merah sebentar pucat, berkali-kali menghela napas panjang sambil memandang ke depan, ke arah
perginya Wan Keng In dan anak buahnya tadi.
"Ohh, tidak apa-apa, Alan. Hanya... eh, di mana rajawali kita?"
"Dia terbang dikejar oleh rajawali besar tadi, Paman. Dua ekor burung tadi bertanding, dan rajawali
peliharaan Paman terdesak dan luka-luka. Mereka bertanding sambil terbang tinggi sehingga aku tidak
dapat membantu."
"Hemmm, biarlah. Burung itu memang berasal dari Pulau Neraka, agaknya kini sudah ditundukkan kembali
oleh bekas majikannya itu. Alan, bagaimana engkau tadi dapat bertemu dan bertanding dengan dia?"
"Aku sedang menuju ke dusun untuk mencari bahan masakan ketika aku bertemu dengan rombongan
Pulau Neraka itu keluar dari dusun. Karena aku tahu betapa jahatnya mereka, aku lalu melarikan diri akan
tetapi mereka mengejar dan aku tersusul di sini. Tentu saja aku melawan sedapatku, akan tetapi dia lihai
sekali. Paman, mengapa Paman tadi membiarkan dia pergi? Orang seperti itu seperti seekor ular yang
beracun dan jahat, kalau tidak dibasmi, tentu kelak hanya akan mencelakai orang lain saja."
Suma Han menarik napas panjang. "Aku tak mungkin dapat membunuhnya, Alan. Engkau tidak tahu...
ahhh..." Wajah pendekar itu kelihatan berduka sekali.
Melihat ini Milana merasa amat kasihan kepada ayah kandungnya. Tentu ada sesuatu antara ayah
kandungnya dengan Pulau Neraka, ada rahasia besar yang membuat ayahnya itu bersikap lunak terhadap
Wan Keng In.
"Aku tidak berhasil memasakkan sesuatu untukmu, Paman. Maafkan..."
"Tidak mengapa, Alan. Aku tadi sudah makan roti kering, cukup kenyang. Marilah kita melanjutkan
perjalanan. Kota raja tidak jauh lagi, di sana tentu banyak rumah makan besar dan kita dapat makan
sepuasnya."
Milana tidak membantah dan berangkatlah mereka berdua menuju ke selatan, ke kota raja. Sebentar saja
mereka sudah melalui jalan raya menuju kota raja yang ramai dan tampak banyak penunggang kuda atau
kereta-kereta berkuda yang datang dari beberapa jurusan menuju ke kota raja, ada pula yang bersimpang
jalan, yaitu mereka yang baru saja meninggalkan kota raja.
Sudah belasan tahun Suma Han tidak pernah muncul di kota raja. Biar pun di dunia kang-ouw nama
Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, Tocu Pulau Es merupakan nama yang paling menonjol dan
amat terkenal, namun jarang ada orang pernah melihat Pendekar Super Sakti, bahkan tokoh-tokoh kangouw
sebagian besar belum pernah bertemu dengan pendekar itu. Apa lagi penduduk kota raja! Maka kini
Suma Han dengan enak dapat memasuki kota raja tanpa khawatir akan dikenal orang, baik oleh penduduk
mau pun oleh para prajurit penjaga. Di kota raja, yang sudah lama ditinggalkannya itu, tentu hanya
beberapa gelintir orang saja yang pernah bertemu dengannya dan mereka itu adalah orang-orang
berkedudukan tinggi seperti Thian Tok Lama, Koksu dan lain-lain yang tentu berada di dalam gedung
masing-masing dan tidak pernah berkeliaran di dalam kota.
Milana sendiri tidak asing di kota raja. Sudah sering dia keluar masuk kota raja, akan tetapi dia pun tidak
dikenal orang sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang. Oleh karena itu, dia pun memasuki pintu gerbang
kota raja di samping Suma Han dengan hati tenteram dan tidak khawatir dikenal orang. Apa lagi sejak dia
melakukan perjalanan di samping ayah kandungnya, terutama setelah ayahnya itu menyelamatkan dengan
mudah dari tangan Wan Keng In, hati Milana menjadi tenang dan penuh kepercayaan bahwa selama ia
berada di samping ayahnya, tidak ada seorang pun yang akan dapat mengganggunya!
Wajahnya berseri gembira ketika dia memasuki kota raja dengan ayahnya, penuh kebanggaan karena
kiranya tidak banyak orang yang dapat berdampingan dengan Pendekar Super Sakti! Dia bukan hanya
berdampingan, bahkan dia adalah puterinya, puteri kandungnya biar pun hal ini masih terpaksa harus dia
rahasiakan dari pendekar itu sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang tidak aneh melihat seorang berkaki buntung di waktu itu. Banyak terdapat orang-orang yang
menderita cacad akibat perang penyerbuan bala tentara Mancu yang baru saja padam.
Seperti halnya perang di bagian mana pun di permukaan bumi ini, semenjak jaman sebelum sejarah
sampai sekarang, perang mendatangkan mala petaka yang amat mengenaskan hati. Setelah perang
selesai, setelah hati tidak lagi dikuasai oleh nafsu angkara murka, barulah tampak oleh mata kita akan
akibat-akibat yang ditimbulkan oleh perang, akibat yang mendirikan bulu roma bagi orang yang masih
memiliki sedikit saja cinta kasih dan peri kemanusiaan.
Setelah perang padam, tampak bangunan-bangunan bekas terbakar, kuburan-kuburan penuh makam
baru, anak-anak yatim piatu, janda-janda muda terjerumus ke dalam lembah pelacuran, penderitapenderita
cacad yang buntung lengannya, buntung kakinya, luka-luka tubuhnya dan ada pula yang terluka
jiwanya menjadi gila, gelandangan-gelandangan karena kehilangan keluarga, kehilangan rumah,
kehilangan mata pencarian, dan dari kaum gelandangan ini timbul pengemis-pengemis, pencuri-pencuri,
atau ada yang menggabungkan dari dengan perampok-perampok. Mala petaka ini yang tampak oleh mata,
masih banyak mala petaka lain yang tidak tampak, namun lebih mengerikan lagi, yaitu akibat perang
berupa dendam sakit hati dan iri yang menjadi bahan penciptaan perang baru!
Tidak ada untungnya, lahir mau pun batin, dalam sebuah perang. Keuntungan yang tampak hanyalah
keuntungan palsu yang di jadikan hiburan manusia untuk menyelimuti kengerian akibat perang. Pemerintah
Mancu yang berhasil merebut tahta kerajaan dan kepemimpinan, mengatakan bahwa mereka
mendatangkan kemakmuran bagi rakyat dan telah berhasil menumbangkan kekuasaan pemerintah lama
yang penuh kelaliman. Namun, semua itu hampa belaka, karena sungguh tidak mungkin menciptakan
perdamaian dengan peperangan!
Bangsa Mancu menggunakan berbagai alasan hiburan untuk perjuangan mereka, yaitu memberantas
kelaliman para pemimpin dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat. Akan tetapi, setelah perang
berakhir, yang berubah dan berbeda hanyalah sifat dan caranya belaka, namun kelaliman tetap ada,
kemakmuran rakyat tetap hanya merupakan janji-janji yang diulur-ulur panjang belaka.
Hal seperti ini akan terus berlangsung selama manusia belum sadar akan perang yang terjadi di dalam diri
manusia masing-masing sendiri. Selama segala tindak, segala gerak, segala usaha merupakan akibat
langsung dari akal pikir yang paling suka memusatkan segala kepada AKU, diriku, keluargaku, milikku,
bangsaku, negaraku, agamaku, dan selanjutnya. Selama AKU menguasai setiap orang manusia, maka
sudah dapat dipastikan bahwa segala peristiwa, termasuk perang, merupakan gerakan demi kepentingan
Sang AKU. Betapa pun banyak selimut yang dipergunakan untuk menyembunyikan dasar ‘demi aku’ ini,
yang disebut dengan banyak kata-kata indah seperti perjuangan, kepahlawanan, demi nusa bangsa dan
lain-lain, namun sungguh sayang sekali, di dasar dari segala itu bersembunyilah Sang Aku yang
sebenarnya menjadi pendorong dari semua gerak hidup. Dan selama AKU bercokol menjadi dasar yang
mendorong semua gerak hidup, maka yang timbul hanyalah pertentangan dan persoalan yang
mendatangkan kepuasan di satu pihak, kekecewaan di lain pihak, suka duka, iri dengki, dendam dan
sebagainya.
Setiap tampak akibat yang tidak baik, seluruh manusia sibuk mencarikan kambing hitam agar diri sendiri
tetap bersih! Semua manusia lupa bahwa segala macam kemunafikan dan maksiat bukan berada di luar,
melainkan berada di dalam diri manusia sendiri! Semua manusia menujukan pandang mata keluar tanpa
mengingat untuk menujukan ke dalam biar semenit pun! Bahagialah dia yang menujukan pandang mata ke
dalam, menjenguk dan mengenal diri pribadi dengan segala macam isinya, mengenal pikiran sendiri yang
membedal ke mana-mana dengan liarnya, tak terkendalikan!
Suma Han dan Milana berjalan seenaknya sambil menikmati pemandangan di kota raja. Pemerintah
Mancu telah membangun gedung-gedung besar yang megah dan indah di sepanjang jalan di kota raja
sehingga kota raja nampak indah dan megah sekali, melebihi masa yang lalu. Kemajuankah ini?
Demikianlah kalau ditonton begitu saja, ditonton keadaan kota rajanya dengan bangunan-bangunan baru
yang besar dan indah.
Akan tetapi, adakah kemajuan dapat diukur dari keadaan bangunannya, bukan dari keadaan manusianya?
Kalau diketahui siapa pemilik gedung-gedung itu, maka akan ditemuilah jawab dari segala sebab timbulnya
perang yang semenjak jaman dahulu selalu timbul. Gedung-gedung itu tentu saja dimiliki oleh penguasa
yang menang perang! Hanya berganti bangunan baru dan penghuni, dari mereka yang dikalahkan kepada
mereka yang menang. Rakyat hanya dapat menonton dan dari menoton ini diharapkan ucapan mereka
‘kita telah mengalami kemajuan-kemajuan’!
dunia-kangouw.blogspot.com
Biar pun banyak terdapat orang berkaki buntung sungguh pun tidak pernah ada yang mengurai rambut
seperti Suma Han, apa lagi kalau rambutnya yang panjang itu sudah putih semua, dan banyak terdapat
gadis-gadis muda yang biasa merantau sebagai gadis-gadis kang-ouw, namun tetap saja Suma Han dan
Milana menarik perhatian orang. Laki-laki berkaki buntung itu wajahnya tampan dan belum tua benar,
namun rambutnya sudah putih semua seperti benang-benang sutera perak sedangkan sinar matanya
membuat orang-orang yang bertemu pandang menundukkan muka atau mengalihkan pandang mata
dengan tengkuk dingin mengkirik. Ada pun dara remaja yang berjalan dl samping laki-laki berkaki buntung
ini, dengan wajah berseri tersenyum-senyum, memiliki kecantikan yang luar biasa!
Suma Han melihat betapa banyak orang memandang mereka penuh perhatian, maka dia lalu mengajak
dara itu memasuki sebuah rumah penginapan. Seorang pelayan menyambut mereka, mata pelayan itu
tidak memandang kepada Suma Han yang tidak menarik baginya, melainkan memandang kepada Milana
yang benar-benar merupakan pemandangan yang amat menggairahkan hatinya!
"Beri kami dua buah kamar yang berdampingan," kata Suma Han. Pelayan itu terkejut karena tadinya dia
merasa seolah-olah terbang di sorga ke tujuh dan berjumpa dengan seorang bidadari Sorga! Ketika ia
menoleh dan bertemu pandang dengan Suma Han, dia terkejut sekali, punggungnya seperti disiram air
dingin dan dia cepat membungkuk-bungkuk dan mempersilakan mereka mengikutinya untuk memilih dua
buah kamar yang berdampingan.
Setelah menaruh barang bekal di kamar masing-masing dan makanan siang yang dipesannya dari pelayan
dan dihidangkan ke ruangan depan kamar mereka, Suma Han dan Milana duduk di dalam kamar Suma
Han, bercakap-cakap.
"Kapankah Paman akan mulai menyelidik dan mencari musuh-musuh Paman?"
"Aku harus berhati-hati, Alan. Musuh-musuhku adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi dan tentu
berada di dalam istana-istana yang terjaga ketat oleh pasukan pengawal. Menyelidiki di siang hari tidaklah
mungkin, bahkan di malam hari pun amat berbahaya karena biar pun pasukan yang baru tidak
mengenalku, namun para perwira dan panglima tentu akan mengenalku begitu bertemu denganku.
Sesungguhnya, mencari mereka di kota raja amat tidak leluasa bagiku, akan tetapi apa boleh buat, malam
nanti aku harus menyelidiki ke lingkungan istana, atau ke rumah Koksu karena di sanalah berkumpulnya
musuh-musuhku yang menjadi pembantu Koksu."
"Kalau bertemu dengan mereka, apa yang hendak Paman lakukan?" tiba-tiba Milana bertanya.
Mendengar pertanyaan ini, Suma Han termenung dan berpikir sejenak sebelum menjawab. "Aku... aku
akan minta pertanggungan jawab mereka yang telah merusak Pulau Es dan Pulau Neraka. Selama ini kami
tidak pernah menentang pemerintah, mengapa kini mereka menyerbu dan merusak Pulau Es? Selain itu,
karena Maharya dan Tan-siucai juga membantu Koksu, tentu mereka berada di sini dan aku hendak minta
kembali pedang Hok-mo-kiam yang mereka rampas." Suma Han tidak mau menceritakan niatnya yang lain,
yaitu menyelidik dan mencari Nirahai yang disangkanya tentu kembali ke kota raja!
"Paman, di antara musuh-musuhmu itu, siapakah yang paling lihai?"
"Hemm, hal ini agak sukar untuk ditentukan karena hanya beberapa orang di antara mereka yang pernah
bertanding melawanku, yaitu Thian-tok Lama, Pendeta Maharya, dan mungkin beberapa orang panglima
yang tertua. Dengan Koksu sendiri, aku belum pernah bertanding dan kabarnya dia amat lihai. Akan tetapi,
kurasa dia tidaklah selihai Pendeta Maharya. Pendeta dari barat itu benar-benar merupakan lawan yang
tangguh, selain lihai sekali ilmu silatnya, juga dia seorang yang memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang
kuat."
"Akan tetapi, aku yakin Paman tentu akan dapat mengalahkan mereka!" kata Milana dengan suara tegas
dan pandang mata penuh kekaguman ditujukan kepada wajah ayahnya. Melihat pandang mata gadis ini,
Suma Han merasa jantungnya berdebar!
"Aku dapat menandingi mereka satu lawan satu, tetapi kalau mereka mengeroyok, apa lagi dibantu
pasukan-pasukan pengawal yang kuat, belum tentu aku akan dapat menang. Akan tetapi, kedatanganku
bukan untuk menantang mereka bertanding, hanya untuk minta kembali pedang dan minta penjelasan dan
pertanggungan jawab mereka mengapa Pulau Es dan Pulau Neraka diserbu pasukan pemerintah."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mereka tentu akan mengeroyok dan menangkapmu, Paman!"
"Hemm, kalau memang demikian, apa boleh buat, terpaksa aku melawan."
Hati Milana merasa tidak enak sekali. Dia percaya bahwa ayahnya amat sakti, akan tetapi dia tahu bahwa
tepat seperti pengakuan ayahnya sendiri, kalau banyak orang sakti maju mengeroyok ditambah pasukanpasukan
pengawal kerajaan, mana mungkin ayahnya yang hanya seorang diri itu kuat bertahan? Baru
menyelidiki ke sana saja sudah amat tidak leluasa bagi ayahnya! Berbeda dengan dia!
Ibunya adalah bekas puteri Kaisar dan bekas pahlawan yang berkedudukan tinggi, bahkan kini Koksu
sendiri sudah tahu, ibunya adalah ketua ketua Thian-liong-pang dan kini Thian-liong-pang bekerja sama
dengan Koksu, membantu pemerintah menentang dan membasmi mereka yang hendak memberontak!
Kalau dia yang menyelidiki, kalau dia yang pergi kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, minta
kebijaksanaan Koksu itu untuk membujuk pembantunya, Maharya mengembalikan Hok-mo-kiam, minta
kepada Koksu agar jangan mengeroyok dan menentang Pendekar Super Sakti, tentu harapannya lebih
besar. Koksu sudah mengenalnya, juga para pembantunya sudah tahu bahwa dia adalah puteri Ketua
Thian-liong-pang yang kini merupakan sekutu mereka!
"Alan, malam ini aku akan pergi menyelidik. Harap engkau menantiku di sini saja dan jangan engkau pergi
ke mana-mana. Keadaan di kota raja berbahaya, di sini banyak terdapat orang pandai."
"Apakah Paman tidak mengajakku pergi menyelidiki?"
"Ah, aku hanya akan membawamu ke dalam bahaya, Alan. Dan pula, apa perlunya? Tidak, kau tunggu
saja di sini, aku pasti akan kembali sebelum pagi."
Milana menunduk. "Baiklah, Paman. Akan tetapi sore ini aku ingin sekali pergi berjalan-jalan melihat
pemandangan kota."
"Sesukamulah, akan tetapi harap kau berhati-hati. Engkau masih muda dan cantik jelita, akan banyak
menghadapi godaan."
"Aku dapat menjaga diri, Paman. Eh, benarkah pendapat Paman bahwa aku... cantik?" tanyanya dengan
hati girang sekali. Ayahnya sendiri yang memujinya, bagaimana hatinya tidak akan merasa bangga dan
senang?
"Engkau adalah seorang gadis yang amat cantik jelita, Alan."
"Terima kasih atas pujianmu, Paman. Nah, aku akan pergi berjalan-jalan. Harap Paman nanti berhati-hati
kalau pergi menyelidiki."
Suma Han mengangguk. "Biar pun aku percaya bahwa dengan kepandaianmu, tidak sembarang orang
akan dapat mengganggumu, tetapi harap engkau suka bersabar dan jangan menimbulkan keributan, juga
jangan terlalu malam kembali ke sini."
Milana mengangguk-angguk dan hatinya terharu. Pendekar itu menasehatinya seperti kepada anaknya
sendiri! Padahal dalam pengertian pendekar itu, dia adalah seorang tawanan bahkan puteri musuhnya!
Dengan hati senang bercampur haru, Milana pergi meninggalkan rumah penginapan. Tentu saja dia bukan
berniat untuk berjalan-jalan, melainkan hendak menjumpai Bhong Ji Kun, Koksu negara yang dia ketahui
pula di mana letak gedungnya. Akan tetapi, agar tidak menarik perhatian orang luar, dia pergi berjalan-jalan
lebih dahulu dan setelah malam tiba, keadaan cuaca mulai gelap, barulah dia menuju ke gedung Koksu
yang megah.
Sebagai puteri Ketua Thian-liong-pang, tentu saja Milana merasa rendah kalau harus datang menghadap
Koksu seperti orang biasa. Apa lagi kalau ia datang menghadap seperti itu, tentu dia akan berhadapan
dengan para penjaga dan diperlakukan seperti orang biasa saja. Tidak! Dia adalah puteri Ketua Thianliong-
pang, tentu saja dia harus bersikap sesuai dengan kedudukan ibunya yang tinggi dan lihai.
Dengan kepandaiannya, tidaklah sukar bagi Milana untuk berloncatan ke atas genteng, melalui pagar
tembok gedung Koksu dengan gerakan seperti terbang cepatnya sehingga tidak tampak oleh para penjaga
dan peronda, kemudian dengan hati-hati dia menyelinap antara bayangan gelap, mencari di mana adanya
Koksu pada saat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Masih untung bagi Milana bahwa pada saat itu, para pembantu Koksu yang lihai semua sedang berkumpul
di satu tempat, yaitu di ruangan dalam tempat mereka sedang berunding, duduk mengelilingi sebuah meja
besar di ruangan itu menghadapi koksu. Andai kata orang-orang lihai seperti Thian Tok Lama, Maharya,
para panglima besar seperti Bhe Ti Kong dan lain-lain berada di kamar masing-masing, juga koksu sendiri,
maka kemungkinan besar kedatangan Milana akan mereka ketahui semenjak tadi!
Milana berhasil mengintai dari luar jendela ruangan perundingan itu dan dia melihat Im-kan Seng-jin Bhong
Ji Kun dihadap oleh Thian Tok Lama, Maharya, dan enam orang panglima yang berpakaian gagah. Dia
merasa heran tidak melihat kehadiran Thai Li Lama dan Tan siucai. Tentu saja dia tidak tahu bahwa kedua
orang lihai ini telah tewas di tangan Gak Bun Beng saat mereka dahulu bersembunyi dan mengintai
pertandingan di gurun tandus yang diadakan oleh Thian-liong-pang.
Selagi Milana hendak memperlihatkan diri dan menyatakan kedatangannya, tiba-tiba ia mendengar suara
Koksu menyebut-nyebut nama ibunya! Tentu saja ia cepat menahan diri, bahkan menahan napas agar
dapat mendengarkan lebih jelas percakapan antara mereka.
"Puteri Nirahai telah menjadi ketua Thian-liong-pang dan telah membantu kita membasmi para
pemberontak. Akan tetapi, Kaisar belum tahu bahwa Ketua Thian-liong-pang adalah puterinya! Hanya
menerima pelaporan bahwa Thian-liong-pang membantu pemerintah. Munculnya Nirahai benar-benar
membikin ruwet rencana kita, agaknya dia ingin berbaik kembali dengan Kaisar. Dia lihai sekali dan dapat
menggagalkan rencana kita yang sudah hampir masak. Tidak ada jalan lain lagi, dia harus disingkirkan,
harus dibunuh!"
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Milana mendengar ucapan itu. Jantungnya berdebar sangat
keras sehingga ia khawatir kalau-kalau suara detak jantungnya akan terdengar oleh mereka yang sedang
mengadakan perundingan di sebelah dalam, maka dia menekan dada dengan tangan dan menekan
perasaannya, memasang perhatian untuk mendengar terus.
"Akan tetapi dia adalah puteri Kaisar!" terdengar Thian Tok Lama berseru kaget.
"Kalau dia berhasil terbunuh dengan memakai kerudung sebagai Ketua Thian-liong-pang yang kita buatkan
bukti-bukti memberontak, andai kata kemudian Kaisar sendiri mendengar bahwa dia puterinya, kiranya
Kaisar tidak akan menyalahkan kita. Bahkan akan menutup rahasia itu, karena Kaisar tentu tidak ingin
tersiar di luaran bahwa puterinya menjadi ketua Thian-liong-pang yang memberontak!" kata Koksu lagi.
"Memang tepat apa yang dikatakan Koksu," terdengar pula suara Maharya yang kaku. "Kalau Thian-liongpang
tidak dihancurkan lebih dulu, akan merupakan kekuatan sebagai pembela kaisar dan untuk
menghancurkannya, jalan satu-satunya adalah membunuh Ketuanya. Memang dia lihai, akan tetapi
menurut penglihatanku, aku sendiri dapat menandinginya, dan kalau aku dibantu oleh Thian Tok Lama, aku
yakin dia akan dapat dibunuh. Pihak Mongol sudah siap, tinggal menanti isyarat dari kita, kalau sampai
terhalang oleh utusan Thian-liong-pang, tentu akan tertunda lagi dan mereka akan patah semangat dan
mundur."
"Pihak Tibet juga sudah siap, tinggal menanti komando," kata Thian Tok Lama.
"Nah, kalau begitu, kita harus..." Mendadak Koksu menghentikan kata-katanya karena dia melihat tubuh
Maharya sudah bergerak meloncat ke jendela sambil menyambar senjatanya yang mengerikan, yaitu
tombak yang matanya melengkung seperti bulan sabit.
"Braaakkk!" jendela itu hancur berkeping-keping dan terbuka, tubuh Maharya melesat keluar.
"Trang-trang-trang...!" Senjata di tangan Maharya itu ditangkis sampai tiga kali oleh pedang Pek-kong-kiam
di tangan Milana.
"Eh, engkau... Nona...?" Maharya terkejut sekali ketika mengenal bahwa orang yang diserangnya adalah
puteri Ketua Thian-liong-pang! Dan pada saat itu, Koksu, Thian Tok Lama dan panglima yang tadi berada
di dalam ruangan telah meloncat ke luar semua.
Keringat dingin membasahi dahi Milana. Serangan Maharya tadi benar-benar hebat luar biasa. Selain
pendeta itu dapat mengetahui kehadirannya di luar jendela, juga begitu meloncat dan menerjang ke luar,
senjata di tangan pendeta itu telah langsung menyerangnya bertubi-tubi sehingga dia harus cepat-cepat
dunia-kangouw.blogspot.com
mengelak dan menangkis. Tangan kanannya terasa tergetar hebat ketika dia menangkis senjata tombak
bulan sabit di tangan pendeta Maharya tadi.
Kalau saja dia tidak mendengarkan percakapan tadi, tentu Milana tidak menjadi gentar menghadapi
mereka yang tentu saja dianggapnya sekutu ibunya. Akan tetapi kini, dia memandang mereka sebagai
musuh-musuh yang hendak membunuh ibunya! Tentu saja dia menjadi marah bukan main, kemarahan
yang disertai kekhawatiran akan nasib ibunya, lupa akan keadaan dirinya sendiri yang sudah terkurung dan
sedang terancam hebat itu.
"Ah, kiranya Nona Milana yang datang. Ada keperluan apakah tiba-tiba Nona datang berkunjung ke
rumahku?" Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun bertanya, matanya tajam memandang untuk menyelidiki apakah
nona ini tadi mendengar percakapan mereka atau tidak.
Milana bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa dia berada di goa singa yang amat berbahaya.
Kalau dia melampiaskan kemarahannya di saat itu, sehingga dia harus bertanding melawan mereka, tentu
dia akan celaka. Maka dia memaksa sebuah senyum manis sambil berkata,
"Koksu, aku datang untuk bicara mengenai urusan penting denganmu."
"Ahhh, maafkan penyambutan kami tadi, Nona, karena kami tidak tahu bahwa engkau yang datang. Mari,
silakan masuk."
Pintu ruangan itu dibuka lebar, kemudian mereka semua memasuki ruangan. Milana dipersilakan duduk
oleh Koksu yang masih ramah sikapnya. "Silakan duduk, Nona Milana dan terimalah ucapan selamat
datang dari kami dengan secawan arak."
"Terima kasih, tidak usah, Koksu. Aku datang hanya untuk bicara sebentar dan takkan lama di sini," jawab
Milana, akan tetapi dia duduk juga melihat semua orang sudah duduk.
"Apakah Nona datang seorang diri? Ataukah dengan Pangcu?" Koksu bertanya, diam-diam mengerling ke
arah jendela yang sudah pecah dan terbuka karena ia khawatir kalau-kalau nona ini datang bersama
ibunya yang luar biasa lihainya itu.
"Aku datang sendiri untuk... untuk..." Milana menjadi bingung sekali.
Setelah mendengar percakapan tadi dan mendapat kenyataan bahwa mereka semua ini adalah musuhmusuh
yang merencanakan pembunuhan terhadap ibunya, lenyap sama sekali keinginannya untuk
membujuk Koksu agar menyerahkan Pedang Hok-mo-kiam kepada Pendekar Super Sakti dan agar tidak
menentang ayahnya itu. Mana mungkin mereka mau memenuhi permintaannya setelah ternyata bahwa
mereka ini bukanlah sahabat melainkan justru musuh yang berbahaya? Maka ketika hendak menyatakan
isi hatinya, dia menjadi ragu-ragu dan gugup.
Tiba-tiba terdengar Maharya membentak. "Engkau tentu sudah sejak tadi datang, bukan? Mengakulah
dengan jujur!" Ucapan ini bukan sembarangan, melainkan suara yang disertai sinkang kuat sekali dan
membawa pengaruh sihir yang seolah-olah mencengkeram semua semangat dan kemauan Milana,
membuat dara itu tidak berdaya dan di luar kehendaknya sendiri, mulutnya mengeluarkan suara hatinya.
"Memang aku sudah datang sejak tadi." Milana amat kaget mendengar pengakuannya sendiri yang keluar
dari hati yang jujur.
"Dan engkau sudah mendengarkan percakapan kami? Hayo, jawab setulusnya!" Kembali Maharya
menghardik dengan suara yang bergema aneh dan penuh wibawa.
Milana kini sudah memandang wajah kakek itu dan pandang matanya bertemu dengan sinar mata yang
mendelik dan amat tajam. Dia maklum bahwa dia terpengaruh oleh kekuasaan sihir kakek itu, namun
betapa pun dia mengerahkan sinkang melawan, tetap saja dia tidak dapat menahan mulutnya yang
menjawab, "Benar, aku sudah mendengarkan percakapan kalian."
Koksu mengeluarkan seruan kaget dan kembali terdengar suara Maharya, "Apakah engkau tahu apa yang
kami percakapkan? Jawab dan jelaskan!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Milana kini sudah hampir dapat mengatasi dirinya. Sinkang-nya sudah kuat sehingga dia mampu melawan
pengaruh mukjizat itu, dan selain ini, dara ini mewarisi sinar mata tajam dari ayahnya sehingga pada
dasarnya dia memiliki sinar mata yang amat kuat. Akan tetapi dia belum lolos sama sekali dari
cengkeraman kekuasaan sihir Maharya, maka biar pun suaranya sudah lemah tanda bahwa dia hampir
dapat menguasai diri dan melawan tenaga mukjizat yang mendorongnya untuk mengaku, masih saja
terdengar pengakuannya.
"Aku... aku tahu... bahwa kalian... hendak membunuh Ibuku... aihhh!" Kini Milana sudah dapat menguasai
dirinya dan cepat ia meloncat ke belakang sambil mencabut Pedang Pek-kong-kiam yang tadi sudah dia
sarungkan kembali. Maklumlah dia bahwa dia sudah terlanjur membuat pengakuan dan maklum bahwa
tentu mereka itu tidak akan membiarkan dia pergi menyampaikan rahasia itu kepada Ibunya.
Benar dugaannya, karena Koksu sudah berseru, "Dia harus kita tangkap!"
Semua orang bergerak dan bayangan mereka berkelebatan cepat sekali, tahu-tahu Milana telah terkurung
dan berada di tengah-tengah. Maharya berada di depannya, Koksu dan Thian Tok Lama di kanan kirinya,
sedangkan enam orang panglima berada di belakangnya!
Milana berdiri dengan tegak, pedangnya melintang depan dada, tangan kiri terangkat ke atas kepala, siap
menghadapi serangan mereka. Seluruh urat syaraf di tubuhnya menegang dan menggetar, matanya melirik
ke depan, kanan dan kiri, dagunya ditarik keras dan mukanya agak menunduk, kedua kakinya berdiri
dengan tumit diangkat sedikit karena dia maklum bahwa menghadapi orang-orang lihai ini dia
membutuhkan kecepatan gerak dan ginkang-nya. Sampai agak lama mereka semua diam tak bergerak
seperti arca-arca batu, suasana menjadi amat tegang.
Tiba-tiba Maharya berkata dalam bahasa Nepal yang dimengerti oleh Koksu. Koksu ini adalah seorang
peranakan India yang sudah menjadi Warga Negara Mancu, akan tetapi karena sejak kecil dia tinggal di
Nepal, maka dia tidak mengerti bahasa India dan lebih paham bahasa Nepal. Karena itulah maka Maharya
bicara bahasa Nepal kepada murid keponakan itu, "Dia tahu akan rahasia kita, harus kita bunuh sekarang,
lebih cepat lebih baik!"
Akan tetapi, dalam bahasa Nepal pula yang tak dimengerti oleh Milana dan orang lain kecuali Thian Tok
Lama, Koksu berkata, "Jangan dibunuh, dia harus ditangkap untuk memancing dan memaksa ibunya
menakluk!"
Menggunakan kesempatan selagi dua orang itu bicara dan yang lain memperhatikan percakapan dalam
bahasa asing itu, tiba-tiba Milana meloncat dan memutar pedang Pek-kong-kiam melindungi tubuh dari
serangan di bawah kaki, sedangkan tubuhnya melayang ke arah jendela untuk melarikan diri.
"Tranggg...!" Tiba-tiba Maharya sudah berkelebat dan mendahului Milana menghadang di depan lubang
jendela sehingga ketika Milana menerjang, pendeta itu menangkis dengan senjatanya dan hampir saja
Milana melepaskan pedangnya saking kerasnya tangkisan itu yang membuat tangannya tergetar hebat.
Yang lain-lain sudah mengejar dan mengepung, namun Milana sudah memutar pedangnya dan mengamuk
dengan hebat. Dia seorang dara yang tak mengenal takut, percaya akan kepandaian sendiri dan dia
mengambil keputusan untuk melawan sampai titik darah terakhir. Ia maklum bahwa orang-orang ini adalah
musuh-musuh yang tak akan membiarkan ia hidup, maka hanya ada satu jalan baginya, yaitu melawan
mati-matian dengan dua kemungkinan, tewas di tangan mereka atau berhasil lolos untuk menyelamatkan
ibunya yang terancam bahaya maut.
"Wuuut-wuuuttttt...!"
Milana terkejut dan cepat melempar diri ke belakang dan berjungkir balik tiga kali untuk meloloskan diri dari
sinar merah yang menyambarnya dari samping dan menyilaukan matanya.
"Tarr-tarrr!"
Kiranya yang menyambarnya dan yang kini meledak-ledak adalah pecut kulit berwarna merah yang berada
di tangan Koksu yang berdiri sambil tersenyum mengejek di depannya.
"Pemberontak hina! Pengkhianat tak tahu malu!" Milana membentak marah. "Selain hendak berkhianat
terhadap pemerintah, engkau juga hendak membunuh Ibuku! Manusia macam engkau ini mana bisa
dunia-kangouw.blogspot.com
membunuh Ibuku? Lebih dulu kau mampus di tanganku!" Sambil berkata demikian Milana sudah
menerjang maju dengan cepat sambil menggerakkan pedangnya secara ganas namun hebat sekali. Koksu
yang memandang rendah dara remaja itu, dengan sembarangan mengebut dengan pecut merahnya.
"Singggg...! Tarrr... brettt!"
"Hayaaaa...!" Bhong Ji Kun berseru kaget.
Karena memandang rendah jurus yang dimainkan dara itu dan menangkis secara sembarangan saja,
ujung pecut merahnya telah terbabat putus. Itulah jurus dari Ilmu Pedang Pat-mo Kiam-hoat yang hebat
sekali, ilmu pedang tingkat tinggi ciptaan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan pendiri Beng-kauw, kakek luar dari
Pendekar Sakti Suling Emas! Dan Koksu ini dengan sembrono telah berani memandang rendah karena
dimainkan oleh seorang dara remaja!
Suara bercuit yang datang dari belakang membuat Milana cepat memutar tubuh sambil membabatkan
pedangnya menangkis.
"Tranggg!"
Sekali lagi pedangnya bertemu dengan senjata di tangan Maharya dan hampir saja terlepas dari
pegangannya. Cepat ia meloncat ke arah kiri, pedangnya bergerak dan terdengar suara nyaring dua kali
ketika ia berhasil membuat dua batang golok patah disusul robohnya dua orang panglima yang ikut
mengeroyok akan tetapi belum sempat turun tangan karena telah didahului oleh dara perkasa itu!
"Ihhh, keparat!" Koksu menjadi marah sekali, dengan pecut buntungnya dia menotok dari belakang,
mengarah punggung Milana.
Dara itu meloncat ke depan menghindar, akan tetapi dia disambut oleh pukulan Thian Tok Lama yang telah
berjongkok dan mengirim dorongan pukulan dengan tangan kiri. Angin pukulan yang dahsyat menyambar
ke depan, menyambut tubuh Milana yang masih melayang turun.
"Siuuuuutttt!"
Milana yang merasa datangnya angin pukulan dahsyat menyambarnya, terkejut bukan main. Dia berusaha
untuk berjungkir balik, akan tetapi tidak keburu dan terpaksa dia mengerahkan sinkang ke arah dada dan
perutnya untuk menahan serangan itu.
"Dessss!"
Angin pukulan menghantam perut Milana, membuat dara itu terjengkang dan hampir terbanting keras kalau
saja dia tidak cepat menjatuhkan diri miring dan menekan lantai dengan tangan, lalu meloncat bangun.
Napasnya sesak, mukanya pucat dan dia merasa dadanya sakit. Akan tetapi pada saat itu, senjata di
tangan Maharya kembali telah menyambar ke arah kakinya. Agaknya pendeta ini akan merobohkannya
tanpa membunuhnya, maka menyerang ke arah kaki Milana. Tentu saja Milana yang tentu tidak
memperbolehkan kakinya dibabat senjata, meloncat ke atas, dan pedangnya menyambar ke arah leher
Maharya yang cepat mengelak ke belakang.
"Gadis berkepala batu!" Koksu membentak marah. Dia menjadi penasaran sekali. Masa mereka bertiga,
kakek-kakek yang berilmu tinggi, harus mengeroyok seorang gadis remaja? Dengan marah dia menerjang
dengan pecut yang ujungnya buntung itu, dan kini pecut itu menjadi kaku, dipergunakan sebagai tongkat
menotok jalan darah di tengkuk Milana.
"Haiiiitttt!" Milana memutar tubuh, mengelebatkan pedang dengan niat untuk membabat pecut Koksu agar
putus tengahnya. Akan tetapi Koksu tiba-tiba membuat pecut lemas dan pedang menyambar dibiarkannya
lewat, kemudian pecut yang sudah lemas itu menyusul dan melibat pedang Milana! Dara itu berusaha
menarik pedangnya, akan tetapi tidak berhasil.
"Brettt... auhhhhhh!" Milana melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang. Paha kirinya tampak luka
dan berdarah karena celana dan kulit pahanya robek diserempet senjata Maharya. Akan tetapi, gadis yang
sedikitnya mewarisi watak keras dan berani mati dari ibunya ini, tidak menjadi jeri, bahkan tangannya
kanan kiri bergerak dengan cepat. Tampak sinar-sinar menyambar dibarengi bau harum ke arah tiga orang
kakek dan empat orang panglima.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Awas jarum!" teriak Maharya.
Untung dia berseru keras, sehingga empat orang panglima yang dibandingkan tiga orang kakek itu jauh
lebih rendah tingkat kepandaiannya dapat cepat melempar tubuh ke belakang dan bergulingan. Koksu,
Maharya dan Thian Tok Lama tentu saja dengan mudah dapat meruntuhkan jarum-jarum yang menyambar
mereka.
Thian Tok Lama kembali mengirim pukulan dari belakang kepada tubuh Milana yang mengeluh perlahan
dan roboh miring. Pahanya yang kiri terluka berdarah dan perut serta dadanya juga terluka, biar pun tidak
amat parah namun membuat napasnya sesak dan tenaga sinkang-nya tak dapat ia kerahkan.
"Iblis-iblis tua bangka tak tahu malu, mengeroyok seorang anak perempuan!" Tiba-tiba terdengar suara dan
tampak bayangan berkelebat amat cepat memasuki ruangan itu melalui jendela yang tadi pecah oleh
Maharya.
Sukar diikuti pandangan mata bayangan itu dan tahu-tahu Pendekar Super Sakti telah berdiri di situ,
berkata halus kepada Milana. "Bangkitlah dan duduk di punggungku!"
Milana girang bukan main melihat munculnya ayahnya ini. Cepat ia meloncat bangun, menahan rasa nyeri
di paha, perut dan dadanya, kemudian ia meloncat ke punggung Suma Han, mengaitkan kedua kakinya
yang panjang di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua lengannya di atas kedua pundak. Semua
gerakan ini dilakukan selagi Suma Han berdiri dengan satu kaki, sedikit pun tidak bergoyang dan pandang
matanya ditujukan kepada Maharya.
"Hemmm, kulihat engkau memperoleh kemajuan setelah berada di kota raja, Maharya!" katanya halus
namun nadanya penuh teguran dan ejekan. "Tetapi hanya kemajuan lahiriah dan duniawi yang kau
peroleh, sedangkan batinmu makin mundur dan makin mendekati jurang kehancuran!"
"Pendekar Siluman! Engkau manusia kaki buntung sejak dahulu memang sombong! Apa kau kira aku takut
kepadamu?" jawab Maharya.
Koksu yang melihat munculnya pendekar yang ditakuti ini, cepat mengeluarkan suitan tiga kali untuk
memberi aba-aba kepada para pengawalnya sehingga terdengarlah suara hiruk pikuk di luar ruangan itu
dan puluhan orang pengawal telah mengurung tempat itu dengan ketat, siap utuk melakukan penyerbuan
dan pengeroyokan!
"Hemmm, sungguh Koksu negara sekarang ini sangat gagah perkasa!" Suma Han mengejek.
Im-kan Seng-jin Bbong Ji Kun berkata lantang. "Pendekar Siluman, engkau datang seperti maling, tentu
saja kami mempersiapkan orang untuk mengepungmu! Engkau adalah Tocu dari Pulau Es, mengapa
sekarang engkau lancang mencampuri urusan kami dengan puteri Ketua Thian-liong-pang?"
"Bhong-koksu, aku melindungi gadis ini adalah urusan antara aku dan dia sendiri, tidak ada sangkut
pautnya dengan engkau. Dan memang aku sengaja datang ke sini untuk bicara dengan engkau dan
Maharya!" Suara Suma Han penuh wibawa dan sikapnya tetap tenang, sedikit pun tidak kelihatan gentar
biar pun menghadapi pengepungan orang-orang pandai ditambah puluhan orang pasukan pengawal.
"Heh, Pendekar Siluman! Mau apa kau mencariku?!" Maharya membentak, agaknya marah sekali karena
menurut perkiraan pendeta ini, yang membunuh Thai Li Lama dan muridnya, Tan Ki, dan juga yang
merampas Hok-mo-kiam, tentulah Pendekar Siluman ini.
"Maharya, perlukah kau bertanya lagi? Engkau telah membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang
Hok-mo-kiam. Aku datang untuk minta kembali pedang itu!"
Dapat dibayangkan betapa mendongkolnya hati Maharya, akan tetapi diam-diam kakek ini percaya akan
kata-kata Pendekar Siluman. Seorang sakti seperti Si Kaki Buntung itu tentulah tidak akan mau bicara
bohong dan ucapannya tadi membuktikan bahwa pembunuh muridnya dan perampas pedang Hok-mokiam
bukanlah Pendekar Siluman.
"Kalau tidak kuberikan engkau mau apa?" tantangnya dan merasa tidak perlu lagi memberi tahu kehilangan
pedang itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku akan menggunakan kekerasan memaksamu mengembalikannya kepadaku!" kata pula Suma Han.
Bhong Ji Kun tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha! Sungguh hebat sekali, sungguh besar sekali mulutnya dan
luar biasa kesombongannya! Pendekar Siluman, engkau hanya seorang yang berkaki satu, kini
menggendong gadis yang luka parah itu, masih bicara sombong hendak menggunakan kekerasan
terhadap seorang pembantuku! Hemmm, setelah kau mengatakan keperluan mencari Paman Guruku,
sekarang ceritakan apa pula keperluanmu mencari aku?"
"Bhong-koksu, engkau juga pandai berpura-pura. Bukan engkau yang harus bertanya, tetapi akulah yang
ingin bertanya kepadamu, mengapa engkau memimpin pasukan menyerbu Pulau Es dan Pulau Neraka?
Aku kini datang untuk minta pertanggungan jawabmu, dan sebelum engkau menjelaskan, jangan harap
engkau akan lolos dari tanganku!"
"Ha-ha-ha, benar-benar manusia sombong! Engkau tahu bahwa engkau sejak dahulu adalah seorang
manusia buruan musuh kerajaan. Engkau tahu bahwa aku adalah seorang koksu negara, tentu saja apa
yang kulakukan merupakan tugas dari pemerintah! Suma Han, Pendekar Siluman, engkau menyerahlah
bersama gadis itu. Melawan pun takkan ada gunanya karena kalian telah terkepung dan sebentar lagi
datang pasukan yang ratusan orang jumlahnya. Andai kata engkau mampu lolos dari gedung ini, engkau
pun tak mungkin dapat lolos dari kota melalui ribuan orang tentara penjaga."
"Kalian memang manusia-manusia yang curang dan pengecut, beraninya hanya mengandalkan
pengeroyokan jumlah besar. Aku tahu betul bahwa pemerintah Kerajaan Ceng tidak akan mengganggu
Pulau Es dan Pulau Neraka yang selamanya tidak pernah memberontak atau melawan pemerintah. Tentu
karena dorongan kehendakmu dan orang-orang macam Maharya inilah maka terjadi penyerbuan. Bhong Ji
Kun dan Maharya, aku menantang kalian menyelesaikan urusan antara kita secara jantan, atau kita
putuskan dan selesaikan di ujung senjata!"
"Ha-ha-ha-ha, kematian sudah berada di ujung hidung masih berlagak mengeluarkan tantangan. Serbu dan
bunuh pemberontak-pemberontak ini!" Bhong Ji Kun berseru sambil menudingkan pedang Pek-kong-kiam
yang dirampasnya dari tangan Milana tadi ke arah Suma Han sebagai isyarat kepada para pengawalnya
yang sudah mengurung di luar pintu dan jendela ruangan itu.
"Alan, pegang yang amat erat, kita harus keluar dari sini lebih dulu!" Suma Han berbisik kepada gadis yang
berada di gendongan punggungnya.
Dia bukanlah seorang nekat dan maklum bahwa kalau dia mengamuk menuruti nafsu kemarahannya
terhadap Bhong-koksu dan Maharya, tak mungkin ia dapat menandingi ratusan, bahkan ribuan orang
prajurit pengawal. Juga dia tidak ingin menyebar maut di antara para prajurit itu, maka dia mengambil
keputusan untuk melarikan diri lebih dulu, mengobati luka-luka Milana, kemudian mencari jalan untuk dapat
berhadapan dengan musuh-musuhnya tanpa campur tangan pasukan pengawal sehingga tertutup dan
terjaga kuat.
"Jangan harap dapat melarikan diri!" Bhong-koksu berteriak dan dari pintu besar menyerbulah enam orang
pengawal yang berpakaian sebagai perwira-perwira dengan senjata di tangan.
Mereka serempak maju menubruk dan menyerang pendekar berkaki buntung yang menggendong gadis
terluka itu. Mereka belum pernah bertemu dengan Suma Han, dan biar pun mereka sudah mendengar
akan Pendekar Super Sakti yang seperti dalam dongeng saja, sekarang melihat laki-laki berambut panjang
putih dan berkaki buntung sebelah itu, mereka jadi memandang rendah. Apa lagi pria yang tidak kelihatan
menyeramkan itu hanya bersenjata sebatang tongkat butut, masih menggendong seorang gadis yang
terluka pula! Mereka yakin bahwa sekali serbu saja mereka tentu akan dapat merobohkan Si Buntung itu.
"Rrrrtttttt!!"
Tiba-tiba tampak sinar bergulung-gulung menyambut hujan senjata itu dan tampak senjata para penyerbu
beterbangan disusul robohnya tubuh mereka malang melintang dan mereka tak mampu bangkit kembali,
bahkan bergerak pun tidak karena mereka sudah pingsan semua! Suma Han meloncat ke arah pintu
setelah merobohkan enam orang penyerbu pertama, akan tetapi pintu telah penuh dengan pasukan
pengawal sehingga tertutup dan terjaga kuat.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tolol! Kepung dan jaga saja, jangan menyerang sebelum diperintah!" Bhong-koksu berseru memaki para
pasukan anak buahnya. "Para panglima pengawal, majulah membantu kami menangkap pemberontak!"
Anak buah pasukan pengawal tidak ada yang berani maju lagi, bukan hanya karena seruan Koksu itu, akan
tetapi juga mereka merasa ngeri melihat betapa enam orang teman mereka roboh seolah-olah tanpa
sebab. Mereka melihat betapa enam orang teman mereka tadi menyerang dengan senjata terangkat, akan
tetapi tidak tampak pria kaki buntung itu bergerak, yang tampak hanya berkelebatnya bayangan yang
diselimuti sinar bergulung-gulung dan tahu-tahu enam orang itu menggeletak tak bergerak lagi, agaknya
tewas! Mereka tidak tahu bahwa Suma Han tidak membunuh mereka berenam, hanya merobohkan mereka
dengan totokan yang membuat mereka pingsan saja.
Sebelas orang panglima pengawal memasuki ruangan dengan senjata di tangan. Mereka menyingkirkan
tubuh enam orang pengawal yang pingsan dan mayat dua orang panglima yang tadi roboh oleh pedang
Milana, kemudian bersama panglima-panglima tinggi terdahulu, yaitu Bhe Ti Kong dan tiga orang lain,
semua berjumlah lima belas orang panglima pengawal, kini maju mengurung. Di luar barisan pengurung ini
berdiri Bhong Ji Kun, Thian Tok Lama, dan Maharya.
Koksu yang menganggap bahwa pecut merahnya yang sudah buntung itu tidak berguna lagi, memegang
pedang Pek-kong-kiam, Maharya yang memegang senjata tombak bulan sabit juga bersiap-siap,
sedangkan Thian Tok Lama berdiri dengan tangan kosong karena dia lebih mengandalkan kedua tangan
berikut lengan bajunya dari pada senjata tajam. Tiga orang sakti ini berdiri dengan mata terbelalak. Biar
pun mereka mengandalkan pasukan yang berjumlah besar sedangkan lawan yang hanya satu orang cacat
yang menggendong gadis terluka, namun mereka merasa agak jeri karena maklum betapa saktinya lawan
yang mereka hadapi sekarang.
Maharya berdiri dengan mata mendelik dan muka masih merah padam karena marah dan juga tersinggung
hatinya oleh ejekan Pendekar Super Sakti tadi. Memang terjadi banyak perubahan pada pendeta dari barat
ini. Biar pun bentuk pakaiannya masih amat sederhana, hanya kain itu yang dililit-lilitkan pada tubuh,
namun kain itu bukan sembarang kain, melainkan kain sutera yang mahal dan halus sekali. Kain pengikat
kepalanya juga berbentuk sederhana, akan tetapi kain pengikat kepala itu dihias dengan beberapa butir
mutiara yang besar dan berkilauan, dan dilengkapi dengan sebuah bulu burung dewata yang indah!
Juga sepasang kakinya ‘ada kemajuan’ seperti yang diucapkan Suma Han tadi. Kalau dahulu kedua
kakinya telanjang, kini kedua kaki itu memakai alas kaki dari kayu terukir halus dengan tombol terbuat dari
pada emas yang dijepit oleh ibu jari dan jari kedua kakinya. Hebatnya, biar pun kakinya beralaskan kelom
kayu, akan tetapi kedua kaki itu masih dapat bergerak gesit dan tanpa mengeluarkan suara sedikit pun!
Lima belas orang pegawal itu adalah panglima-panglima yang memiliki kepandaian tinggi dan bukanlah
ahli-ahli silat sembarangan. Mereka itu dipimpin oleh Bhe Ti Kong melakukan pengurungan dan
membentuk barisan bersenjata golok pedang atau senjata tombak trisula gagang pendek seperti yang
dipergunakan Bhe Ti Kong. Gerakan mereka rapi, dan begitu Bhe Ti Kong mengeluarkan aba-aba dengan
suara yang nyaring sekali, tiba-tiba barisan itu bergerak dan mereka yang berdiri di belakang Suma Han,
sebanyak empat orang, telah menyerang dengan senjata mereka. Karena tubuh belakang pendekar itu
tertutup oleh tubuh Milana yang digendongnya, tentu saja otomatis serangan-serangan itu mengancam
tubuh Milana!
Dengan kaki tunggalnya, tiba-tiba Suma Han memutar tubuh menghadapi empat orang itu, memandang
dengan sinar mata aneh dan... empat orang itu menghentikan serangan mereka, tubuh mereka kaku
seperti arca dalam posisi menyerang seolah-olah mereka telah terkena totokan yang membuat tubuh
mereka kaku! Padahal Suma Han sama sekali tidak pernah bergerak dan ternyata bahwa sinar mata
Pendekar Super Sakti inilah yang dalam sekejap mata saja sudah menguasai mereka berempat itu!
Tiba-tiba Maharya mengeluarkan teriakan dalam bahasa asing yang amat aneh dan melengking nyaring.
Kiranya itu adalah semacam mantera yang mempunyai daya pengaruh amat kuat, menggetarkan perasaan
dan empat orang itu tiba-tiba terguling roboh dan sadar! Mereka saling berpandangan dengan heran,
kemudian meloncat bangun dengan senjata di tangan, bingung karena tidak tahu apa yang telah terjadi.
Bhe Ti Kong dan kawan-kawannya menyerbu dari kanan kiri dan depan, sehingga belasan batang senjata
yang dahsyat menyambar ke arah tubuh Suma Han dan Milana.
Suma Han menggunakan gerak kilatnya, tubuhnya mencelat ke belakang yang sudah tak terjaga lagi
karena empat orang panglima tadi masih bengong terlongong dan kacau, tongkatnya diputar cepat dan
dunia-kangouw.blogspot.com
tubuhnya yang mencelat ke belakang itu sudah sampai ke dinding, kaki tunggalnya menyentuh dinding
sehingga tubuhnya kembali mencelat ke depan, kini dialah yang menyerbu barisan itu!
Para panglima terkejut melihat bayangan yang berkelebat cepat. Mereka mengangkat senjata masingmasing
dan terdengar bunyi nyaring bertubi-tubi disusul teriakan mereka karena senjata mereka telah
patah, ada yang terlempar, dan lima orang di antara mereka terguling roboh karena terdorong oleh hawa
sakti yang membuat tubuh mereka menggigil kedinginan. Tiga orang di antara mereka yang agak kuat
sinkang-nya berhasil merangkak bangun, akan tetapi dua orang yang lemah, tak dapat bangkit lagi dan
pingsan!
"Mundur...!" Maharya berseru marah. Bhe Ti Kong yang maklum bahwa dia dan teman-temannya bukanlah
lawan Pendekar Kaki Buntung itu, segera mengundurkan diri dan memimpin para panglima untuk
memperketat penjagaan dengan pasukan masing-masing.
Maharya kini menerjang Suma Han dengan senjatanya yang mengerikan. Gerakannya dahsyat sekali dan
mulutnya terus berkemak-kemik membaca mantera, kadang-kadang hanya berbisik-bisik, kadang-kadang
nyaring sedangkan matanya terus melotot menatap sepasang mata Pendekar Super Sakti. Ternyata
pendeta India ini menggunakan ilmunya untuk menolak pengaruh sakti dari pandang mata Suma Han dan
kini dia menggerakkan senjatanya menyerang ke arah dada pendekar itu.
"Dessss!"
Maharya terhuyung ke belakang ketika senjatanya kena ditangkis, demikian kuat tenaga dari pendekar itu,
jauh lebih kuat dibandingkan dengan dahulu, belasan tahun yang lalu ketika Pendekar Super Sakti
bertanding melawan Maharya. Maharya terkejut bukan main dan maklumlah dia bahwa selama bertahuntahun
itu, Pendekar Super Sakti bertambah kuat sedangkan dia bertambah lemah, hal ini selain pengaruh
usia, juga karena selama itu dia banyak memboroskan tenaga dengan berfoya-foya dan bersenangsenang,
sedangkan lawannya menghimpun tenaga dalam hidup berprihatin.
"Singggggg...!" Pedang di tangan Bhong Ji Kun sudah menyambar, merupakan sinar putih cemerlang,
mengarah leher Suma Han.
"Awas...!" Milana berseru kaget.
Dara ini sejak tadi mengempitkan kedua kaki di pinggang ayahnya dan merangkulkan kedua lengan di
leher, matanya yang indah bentuknya itu terbelalak lebar, mukanya pucat dan ia khawatir sekali, bukan
mengkhawatirkan keadaan dirinya sendiri, melainkan mengkhawatirkan ayah kandungnya yang terkepung
oleh banyak orang pandai itu.
"Trangggg!"
"Jangan khawatir, Alan...!"
Suma Han tanpa menoleh sudah berhasil menangkis pedang di tangan Bhong Ji Kun dan diam-diam
pendekar ini terkejut karena tangkisan yang dilakukan untuk mengukur tenaga itu mendapat kenyataan
bahwa tenaga sinkang yang memegang pedang itu tidak kalah kuat dibandingkan dengan Maharya!
Ternyata bahwa Koksu itu merupakan orang yang amat lihai, dan dia harus mencatat hal ini di dalam
hatinya. Agaknya di dalam ilmu silat, Koksu itu tidak kalah lihai dari Maharya yang ternyata adalah paman
gurunya sendiri, hanya mungkin kalah berbahaya karena Maharya memiliki ilmu sihir dan ilmu hitam yang
kuat. Orang pertama yang tertangguh adalah Maharya, kedua adalah Koksu inilah.
"Kok-kok-kok! Wuuut-wuuut-wuuuttt!"
"Awas pukulan Si Gundul itu, Paman!" Milana kembali berseru kaget. Dia sendiri sudah merasakan akibat
hebat dari tenaga pukulan pendeta Lama itu yang telah melukainya biar pun pukulan itu dilakukan dari
jarak jauh.
Tentu saja tanpa diperingatkan Suma Han sudah mengenal suara berkokok seperti suara katak buduk
yang keluar dari perut Thian Tok Lama karena pendeta Lama itu adalah musuhnya belasan tahun yang
lalu. Dia memutar tubuh dan menghadapi lawan ini dan tepat seperti dugaannya, Thian Tok Lama telah
berjongkok, tangan kiri menekan perut dan tangan kanan dengan lengan dilonjorkan membuat gerakan
dunia-kangouw.blogspot.com
mendorong tiga kali ke arah Suma Han. Itulah pukulan Hek-in-hwi-bong-ciang dan dari tangan kanannya itu
keluar uap hitam bergulung-gulung!
Tiga kali pukulan yang ditujukan kepada Suma Han ini tentu saja jauh bedanya dengan pukulan Thian Tok
Lama yang tadi merobohkan Milana. Karena tidak ingin membunuh dara itu sesuai dengan kehendak
Koksu, tadi Thian Tok Lama hanya mempergunakan seperempat tenaganya saja, akan tetapi kini,
menghadapi musuh lama yang ia tahu amat tangguh itu, dia mengerahkan seluruh tenaganya dan
memukul sampai tiga kali ke arah dada kanan kiri dan pusar!
Suma Han memindahkan tongkat ke tangan kanannya, kemudian dia pun mendorong ke depan dengan
telapak tangan kirinya. Dari telapak tangan ini meluncur tenaga sakti dahsyat sekali menyambut pukulan
tiga kali beruntun dari Thian Tok Lama.
Dua tenaga raksasa yang tidak kelihatan bertemu tiga kali di udara dengan amat hebat. Seketika uap hitam
pertama yang datang melayang, terhenti dan tersusul oleh gulungan uap hitam kedua dan ketiga,
berkumpul menjadi satu dan seperti terjadi dorong-mendorong, akan tetapi akhirnya uap hitam yang telah
terkumpul dan bergumpal-gumpal itu kembali ke arah Thian Tok Lama dengan perlahan, makin lama makin
cepat.
Thian Tok Lama masih berjongkok dengan tangan kanan dilonjorkan, telapak tangan terbuka. Wajahnya
pucat sekali, keringat dingin sebesar kacang tanah menghias kepala dan mukanya. Dia maklum bahwa
keselamatan nyawanya terancam hebat. Untuk menghindarkan diri tidak mungkin lagi, dan kini pukulannya
Hek-in-hwi-hong-ciang telah membalik dan mengancam untuk menghancurkan isi dada dan isi perutnya
sendiri, ‘dipaksa’ kembali oleh dorongan hawa sakti dari tangan Suma Han!
Sebagai ahli-ahli ilmu silat tinggi, tentu saja Koksu dan Maharya maklum akan keadaan kawan mereka,
maka serentak Maharya menyerang dengan senjatanya. Serangan berbahaya sekali karena tombak bulan
sabit itu membabat ke arah kaki tunggal Suma Han, sedangkan pedang di tangan Bhong Ji Kun menusuk
lambung kiri!
Menghadapi serangan ganas dan secepat kilat ini, terpaksa Suma Han meninggalkan Thian Tok Lama
dengan jalan menggunakan Soan-hong-lui-kun, kakinya mengenjot dan tubuhnya tiba-tiba mencelat ke
atas sehingga serangan kedua orang itu betapa pun cepatnya, tidak dapat mengenai sasarannya. Milana
sampai memejamkan mata saking ngerinya. Seolah-olah terasa olehnya ujung kedua senjata itu yang
menyambar dekat dan tahu-tahu tubuhnya sudah berada di atas! Dia pernah menunggang burung rajawali
dengan ayah kandungnya ini, namun dibandingkan dengan kecepatan gerakan burung itu, gerakan
ayahnya ini lebih cepat lagi. Kalau dia tidak erat-erat memeluk tentu dia akan terlempar jatuh!
Akan tetapi, ketika Milana membuka kedua matanya, ia menjadi makin ngeri. Ayahnya telah turun lagi dan
kini ayahnya dikeroyok tiga oleh Maharya, Bhong Ji Kun, dan Thian Tok Lama yang menyerang secara
bertubi-tubi dan hebat, sedangkan lima belas orang panglima yang kini tinggal tiga belas karena yang dua
orang masih roboh pingsan, mengepung dan membantu dengan kadang-kadang menyerang secara tibatiba
dari belakang, kanan atau kiri. Milana merasa gelisah sekali. Lawan amat banyak dan lihai, sedangkan
ayahnya hanya seorang diri, dan masih menggendongnya pula. Tentu saja dengan menggendongnya
gerakan ayahnya menjadi terhalang dan terganggu, tidak leluasa lagi.
Kalau sampai ayahnya terpukul dan tewas, tentu dia sendiri pun tidak akan selamat, dan... ibunya akan
celaka pula. Sebaliknya, kalau ayahnya berhasil meloloskan diri, biar pun dia sendiri tertawan, dia tidak
akan dibunuh karena bukankah dia hendak dipergunakan sebagai umpan untuk memancing kedatangan
ibunya? Kini ada ayahnya, kalau mendampingi ibunya, biar pun dia tertawan apakah mereka berdua yang
bergabung menjadi satu tidak akan mampu membebaskannya? Andai kata tidak berhasil sekali pun, yang
pasti, ibunya akan selamat! Dia tidak boleh mementingkan diri sendiri saja.
"Paman... beritahukan kepada Ibu... mereka tadi... berunding untuk membunuh Ibu..." Milana berbisik di
dekat telinga Suma Han yang menjadi terheran-heran.
Tadi pun dia sudah merasa heran melihat Alan puteri Thian-liong-pang dikeroyok dan dilukai. Bukankah
menurut desas-desus, Thian-liong-pang kini merupakan kaki tangan pemerintah? Mengapa puteri
Ketuanya malah dilukai dan Ketuanya sendiri, menurut Alan, akan dibunuh?
"Jangan khawatir, kita akan dapat lolos dari sini!" Suma Han menjawab, berbisik.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak... engkau saja pergi, Paman...," Milana berbisik pula.
Suma Han terkejut, tidak mengerti apa yang dikehendaki gadis itu. Pada saat itu, tiba-tiba Maharya
menusukkan tombak bulan sabitnya ke arah muka Suma Han, dan beberapa detik kemudian, Bhong Koksu
menerjang dari belakang dengan sebuah loncatan dahsyat, pedangnya membacok dari atas ke bawah
mengarah kepala Milana!
"Trangggg!"
Suma Han menangkis senjata Maharya dan membatalkan tongkatnya untuk menangkis pedang yang
menyambar dari atas. Dia tidak tahu betapa seorang panglima tinggi mendekat meja kecil bundar dan
memutar meja itu. Tiba-tiba saja lantai yang diinjak pendekar itu terbuka!
Milana yang melihat hal ini, terkejut sekali. Dengan menggendongnya, mana mungkin ayahnya dapat
melepaskan diri dari bahaya? Cepat dia melepaskan kedua kakinya yang mengempit pinggang dan kedua
lengannya yang merangkul leher, membiarkan tubuhnya terlepas dan terjatuh ke bawah!
"Alan...!"
Suma Han sudah berhasil meloncat dengan Soan-hong-lui-kun. Biar pun lantai itu terbuka ke bawah,
namun ujung kakinya yang masih menyentuh lantai tadi dapat dipergunakan untuk membuat tubuhnya
mencelat ke kanan, selain menghindarkan lubang jebakan, juga menghindarkan pedang dari atas yang
dibacokkan oleh Bhong-koksu. Akan tetapi, dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika tubuh Alan yang
berada di gendongannya terlepas dan jatuh. Hal ini sama sekali tidak diduga-duganya, maka dia tidak
dapat mencegahnya. Cepat tubuhnya yang masih mencelat itu membuat gerakan seekor burung walet dan
matanya terbelalak melihat tubuh Alan melayang jatuh ke dalam lubang jebakan yang lebarnya dua meter
persegi dan kelihatan gelap saking dalamnya.
"Alan...!" Tiba-tiba tubuh Suma Han menukik ke bawah dan bayangannya tak tampak, berkelebat
memasuki lubang itu, menyusul Alan!
Lantai yang menjebaknya itu kini tertutup kembali secara otomatis. Bhong Ji Kun dan para pembantunya
dengan wajah pucat saling pandang, akhirnya mereka tersenyum dan menarik napas lega.
"Hebat bukan main dia...!" Thian Tok Lama memuji musuh lama itu.
"Heran sekali, mengapa dia mati-matian membela puteri Ketua Thian-liong-pang?" Maharya juga berkata,
namun masih penasaran kerena dia tidak tahu siapa yang merampas Hok-mo-kiam.
"Sudahlah, dia sudah begitu tolol memasuki kamar tahanan di bawah tanah bersama gadis itu. Tidak
mungkin mereka dapat lolos. Bahkan amat baik untuk memancing datangnya Ketua Thian-liong-pang.
Kalau kita berhasil membasmi Pendekar Siluman dan Ketua Thian-liong-pang, ha-ha-ha, bereslah urusan
kita dan pasti akan berhasil!"
Tiba-tiba Bhong Ji Kun menepuk dahinya sendiri dan berkata, "Aih... aihh! Mengapa aku begitu tolol? Tentu
saja dia membela gadis itu mati-matian, puteri Thian-liong-pang! Ha-ha-ha! Tentu saja!"
Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan para panglima memandang Koksu itu dengan heran, tetapi
hanya Bhe Ti Kong yang berani bertanya, "Harap Koksu suka memberi tahukan kami. Mengapa dia
menolong gadis itu?"
"Bubarkan dulu semua pengawal dan suruh bereskan tempat ini. Suruh periksa apakah mereka benarbenar
telah berada di dalam kamar tahanan dan perkuat penjagaan di luar kamar-kamar tahanan di bawah
tanah! Kemudian susul aku ke dalam kamar untuk mendengar mengapa Suma Han membela gadis itu
mati-matian."
Para pembantu koksu itu cepat mengerjakan perintah ini, kemudian Maharya, Thian Tok Lama, Bhe Ti
Kong dan tiga orang panglima tinggi lainnya mememui Koksu dalam kamarnya.
"Ketua Thian-liong-pang adalah Puteri Nirahai, puteri Kaisar yang dahulu melarikan diri bersama Suma
Han Si Pendekar Super Sakti. Kalau Puteri Milana itu anak Puteri Nirahai, dan melihat betapa Pendekar
Super Sakti membelanya mati-matian, maka tidak akan keliru kiranya dugaanku bahwa dia adalah
dunia-kangouw.blogspot.com
ayahnya!" Semua yang mendengarkan mengangguk-angguk. "Akan tetapi hal ini harus dirahasiakan,
karena kalau Kaisar mendengarnya, biar pun puteri itu telah menjadi orang buruan kiranya Kaisar akan
tergerak hatinya dan menaruh kasihan mendengar bahwa Beliau telah mempunyai seorang cucu dari
Puteri Nirahai."
Kemudian para pendengarnya mengangguk. Setelah mendengar pelaporan panglima rendahan yang
memeriksa ke bawah bahwa dua orang itu telah berada di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat dan
bahwa pendekar kaki buntung itu tengah merawat luka-luka gadis itu, sedangkan penjagaan dilakukan
dengan kuat, Bhong Ji Kun tertawa senang kemudian mengajak para pembantunya melanjutkan
perundingan mengenai rencana mereka merebut kekuasan Kaisar!
Betapa pun tinggi dan mahirnya tingkat ginkang Milana, namun dengan perut dan dada terasa nyeri karena
terguncang dan terluka oleh pukulan Thian Tok Lama, sedangkan paha kirinya robek kulitnya, kiranya dia
pasti akan terbanting juga ke atas lantai kamar tahanan jikalau Suma Han tidak cepat bertindak, melayang
turun dan mendahuluinya, lalu memondongnya sebelum tubuh dara itu terbanting ke atas lantai!
Akan tetapi dara itu tidak menjadi girang ditolong ayahnya. Sebaliknya dia merasa makin gelisah dan
terkejut sekali karena tadinya dia mengira ayahnya itu telah berhasil membebaskan diri untuk memberi
tahukan ibunya. Siapa kira ternyata ayahnya itu malah menyusulnya ke bawah!
"Aihhhh... mengapa engkau berada di sini...?" Milana menegur penuh kekecewaan dan penyesalan.
"Hemmm, Alan, mengapa engkau melepaskan diri dari pondonganku tadi?" Suma Han menegur setelah
menurunkan tubuh dara itu duduk di atas lantai yang terbuat dari batu hitam.
Setelah menghela napas melepaskan kekesalan hatinya, Milana menjawab, "Aku sengaja melepaskan diri
agar Paman tidak terganggu dan dapat meloloskan diri, kemudian memberi tahukan Ibu, sehingga Paman
dan Ibu dapat bekerja sama untuk membebaskan aku dan untuk menghadapi mereka yang hendak
membunuh Ibu. Siapa tahu, Paman justru menyusulku ke sini. Apa perlunya Paman menyusulku, malah
tidak membebaskan diri sendiri yang aku yakin dapat Paman lakukan lebih mudah setelah tidak
menggendongku?"
Suma Han tersenyum dan merasa makin suka kepada dara ini. "Perbuatanmu itu baik dan cerdik, akan
tetapi juga bodoh sekali, tidak tahu bahwa dirimu terluka cukup hebat dan akan berbahaya kalau tidak
segera diobati."
"Aku tidak pernah khawatir tentang diriku, hanya khawatir tentang Paman... eh, maksudku agar Paman
dapat memberi tahu Ibu..." Milana menjadi gugup karena tentu saja dia tidak boleh menyatakan
kecemasannya akan keselamatan Pendekar Super Sakti yang ‘bukan apa-apa’ dengan dia! "Mengapa
Paman membiarkan diri terjun ke dalam lubang jebakan pula?"
"Alan yang baik dan bodoh! Biar pun menggendongmu, apa kau kira aku akan begitu mudah mereka
robohkan? Tidak, karena aku masih mempunyai harapan besar untuk meloloskan diri. Tetapi engkau
terjatuh ke dalam jebakan, terpaksa aku menyusulmu karena tidak mungkin aku membiarkan engkau yang
terluka terjerumus ke dalam jebakan seorang diri. Kalau engkau tidak terluka, mungkin lain lagi. Aku
menyusulmu karena harus mengobatimu. Engkau terkena pukulan beracun."
Diam-diam hati Milana menjadi girang dan terharu, maka terusirlah kekecewaannya. Ayahnya ini benarbenar
seorang pendekar tulen! Seorang satria pilihan! Kalau saja ayahnya mengenal dia sebagai anak
kandung, hal itu tidaklah aneh. Akan tetapi ayahnya tidak mengenalnya, bahkan dia adalah puteri
musuhnya, seorang tawanan, namun ayahnya ini rela berkorban diri ikut masuk ke dalam jebakan karena
tidak tega melihatnya terluka dan ingin mengobatinya! Dia yang sejak kecil rindu akan kasih sayang ayah,
kini melihat sikap ayahnya, ingin dia menangis dan berlutut memeluk kaki tunggal orang yang menjadi ayah
kandungnya itu. Terhadap orang bukan anaknya saja demikian baik budi, apalalagi kalau tahu dia anaknya!
"Luka di pahaku bukan apa-apa, Paman. Hanya tergores sedikit...!"
"Hmm, kulit dan daging terobek kau bilang hanya tergores. Akan tetapi luka di paha itu memang tidak
berbahaya, yang harus segera diobati adalah luka akibat pukulan Thian Tok Lama. Bagian mana yang
terkena?"
"Di perut dan dada, Paman. Rasanya sesak napas dan perih-perih di dalam perut."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hemmm, kuatkan hatimu dan jangan salah duga, Alan. Aku terpaksa harus melihat tempat yang terpukul
untuk menentukan sampai berapa hebat lukanya. Cukup kau buka sedikit pakaianmu, memperlihatkan ulu
hatimu dan perut di atas pusar, sebentar saja."
Kalau saja laki-laki lain yang ingin melihat ulu hati dan perutnya, biar pun dia terluka parah dan hendak
diobati, tentu dia tidak akan sudi melakukannya. Akan tetapi setelah beberapa hari melakukan perjalanan
dengan Pendekar Super Sakti, setelah dengan penuh keyakinan mengenal watak pendekar besar ini,
andai kata pendekar ini bukan ayahnya sendiri sekali pun, tentu Milana akan memenuhi permintaannya
tanpa ragu-ragu. Apa lagi ayahnya sendiri! Maka dengan gerakan wajar dan sedikit pun tidak kelihatan
malu-malu, dara itu lalu membuka pakaiannya dari depan berikut pakaian dalam, memegangi pakaian itu di
kanan kiri memperlihatkan bagian tubuh depan dari leher sampai ke pusar.
Suma Han yang sudah berlutut dengan kaki tunggalnya hendak memeriksa tubuh dara yang sudah
berbaring terlentang di atas lantai, terpesona dan terbelalak, matanya terbuka lebar dan jelas sekali tampak
dadanya terguncang turun naik, napasnya agak memburu. Diam-diam Milana terkejut bukan main, seperti
kilat menyambar ke dalam kepalanya dugaan yang mengerikan kalau-kalau ia salah mengenal ayahnya ini,
salah mengenal wataknya!
"Ini... apakah ini...?" tiba-tiba Suma Han berkata dengan suara gemetar dan jari tangannya menyentuh
belahan dada di atas ulu hati di mana tampak sebuah mata kalung terbuat dari emas berhiaskan batu
kemala berwarna hijau, berbentuk seekor burung Hong berbulu hijau.
Leher Milana seperti dicekik. Hampir dia terisak untuk menyatakan penyesalan hatinya yang telah secara
keji menuduh ayahnya seorang laki-laki yang berwatak cabul dan mata keranjang. Kiranya ayahnya bukan
terpesona oleh kulitnya yang halus dan putih kekuningan, melainkan terpesona oleh mata kalungnya!
"Itu hanya mata kalung, Paman."
"Mata kalung ini... burung Hong berbulu hijau... eh... aku... aku pernah melihatnya... di dada seorang... aih,
Alan, dari mana engkau memperoleh benda ini?"
Ketika Milana mengangkat pandang mata dan bertemu pandang dengan ayahnya, dara ini mengkirik.
Pantas saja ayahnya dijuluki Pendekar Siluman oleh para musuhnya. Mata ayahnya benar-benar bukan
seperti mata manusia kalau sudah memandang seperti itu. Seolah-olah keluar sinar yang melebihi ujung
pedang tajamnya, yang menusuk dan langsung menembus dada menjenguk isi hati! Milana menjadi
khawatir sekali. Kalung ini adalah pemberian ibunya! Dan dia tahu bahwa yang memakai kalung seperti ini,
menurut penuturan ibunya, hanyalah puteri-puteri Kaisar! Celaka sekarang, tentu akan terbongkar rahasia
ibunya, rahasianya!
"Ini...? Ah, ini pemberian Ibuku, hasil pencurian anak buah Thian-liong-pang dari kamar pusaka istana
Kaisar!" Milana melihat sinar mata itu menjadi kecewa, seperti mata orang yang salah mengira. "Eh,
Paman. Mengapa Paman bersikap begini aneh? Hendak memeriksa lukaku ataukah hendak memeriksa
kalung?"
Suma Han menghela napas panjang, dengan sukar dia mengalihkan pandang matanya dari mata kalung
itu, betapa tidak akan terguncang hatinya melihat mata kalung itu. Dahulu ia pernah mengagumi mata
kalung itu di dada wanita lain yang sama halus dan putih seperti dada gadis ini!
"Ohhh... maafkan aku." Dengan cekatan dan cepat dia melihat ulu hati dan perut dara itu, kemudian
meraba dengan telapak tangannya sebentar, lalu bangkit berdiri. "Ah, untung pendeta Tibet itu tidak
menggunakan seluruh tenaga Hek-in-hwi-hong-ciang. Agaknya memang dia tidak berniat membunuhmu.
Lukamu tidak berbahaya, hanya terguncang saja. Bereskan kembali bajumu."
Milana memakai kembali dan mengancingkan kembali bajunya. Kemudian Suma Han memeriksa paha
yang terluka. Diambilnya sebungkus obat luka dari saku bajunya, dan begitu luka itu diberi obat bubuk
berwarna merah, rasa nyerinya hilang dan terasa dingin nyaman. Kemudian Suma Han duduk di belakang
dara itu, menempelkan kedua telapak tangannya di punggung atas dan bawah. Hanya beberapa menit saja
dia melakukan pengobatan ini. Milana merasa betapa dari kedua telapak tangan itu keluar hawa yang amat
panas, yang menyusup masuk ke dalam tubuhnya, berputaran di sekitar perut dan dadanya. Setelah
pendekar itu melepaskan kedua tangannya, rasa nyeri di dalam dada dan perutnya lenyap sama sekali!
Tentu saja dia menjadi girang dan kagum bukan main!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Terima kasih, Paman. Semua rasa nyeri lenyap. Aku sudah sembuh. Sayang sekali Paman tertawan di
sini dan pedang Pek-kong-kiam pemberian Paman itu terampas oleh Koksu."
"Jangan menyesalkan semua hal yang sudah terjadi. Engkau perlu beristirahat agar kesehatanmu cepat
pulih sama sekali. Rebah dan tidurlah."
Milana menurut, merebahkan diri dan berbaring menghadapi ayahnya. Suma Han duduk menekuk kaki
tunggalnya seperti orang bersila, alisnya berkerut dan dia seperti orang termenung, sama sekali tidak
mempedulikan keadaannya, tidak memeriksa tempat tahanan seolah-olah tidak ada pikiran untuk berusaha
keluar dari situ! Wajah tampan yang dikelilingi rambut putih itu kelihatan berduka sekali.
Milana merasa kasihan. Ayahnya kelihatan berduka sekali. Apakah karena tertawan ini? Mustahil! Ayahnya
sengaja membiarkan dirinya tertawan, hanya untuk dapat mengobatinya! Ah, tentu karena mata kalung
tadi! Tentu teringat akan Puteri Nirahai! Benarkah ini? Apakah ayahnya masih mencinta ibunya? Kalau
masih mencinta, seperti ibunya yang kadang-kadang juga tampak mencinta ayahnya, mengapa mereka
saling berpisah?
"Paman, kenapa Paman terkejut melihat kalungku? Siapakah yang dahulu pernah memakai kalung ini,
Paman?"
Suma Han hanya menoleh sebentar, akan tetapi pandang matanya sayu dan seolah-olah dia tidak melihat
wajah gadis itu. Dia tidak menjawab, hanya terdengar suara menggumam dari bibirnya yang tetap tertutup,
melalui hidung, "Hemmm..."
Sunyi sejenak dan pendekar itu tetap duduk melamun, sedangkan Milana merasa makin kasihan. Jelas,
tentu ayahnya itu sedang mengenang ibunya! Ingin dia mendengar apa yang sesungguhnya telah terjadi
antara kedua orang tuanya itu. Ibunya pun selalu menutup mulut kalau ditanya mengenai hal ini, seakanakan
merasa tidak senang untuk bicara tentang itu. Ingin pula dia tahu rahasia apa yang terdapat antara
ayahnya dan Pulau Neraka sehingga ayahnya bersikap demikian lunak terhadap Wan Keng In yang jahat.
"Apakah engkau tidak percaya kepadaku?" Tiba-tiba Milana bertanya, suaranya agak nyaring karena suara
ini tanpa disadarinya timbul dari hatinya, melalui mulut sehingga dia sendiri menjadi kaget.
Akan tetapi pertanyaan itu menyadarkan Suma Han. Pendekar ini menoleh dan mereka saling
berpandangan. Melihat wajah dara itu, entah mengapa, timbul sesuatu yang mengharukan dan mesra di
hati Suma Han sehingga timbul niat di hatinya untuk membuka semua isi hatinya, untuk membuka semua
rahasianya terhadap dara ini!
Hanya ada seorang saja di dunia ini yang telah dia percaya, yaitu Phoa Ciok Lin, bekas saudara
seperguruannya di waktu dia kecil dahulu, yang kini telah menjadi wakilnya urusan dalam di Pulau Es.
Kepada wanita yang dia tahu amat mencintanya itu, cinta sepihak, dia telah membukakan semua rahasia
hatinya, telah menumpahkan semua isi hatinya dan kini perasaan seperti itu timbul ketika dia bertemu
pandang dengan gadis ini!
"Alan, ketahuilah bahwa aku pernah melihat kalung yang persis seperti yang kau miliki itu tergantung di
leher... isteriku."
"Aku pernah mendengar bahwa Paman Pendekar Super Sakti, Tocu Pulau Es adalah seorang yang tidak
beristeri."
"Aku pernah mempunyai isteri, Alan."
"Di manakah dia sekarang, Paman?"
"Entah di mana..."
"Kalung ini adalah curian dari kamar pusaka istana, dan menurut keterangan, hanya puteri-puteri Kaisar
saja yang memakainya. Bagaimana isteri Paman dapat memakai kalung seperti ini? Apakah Paman juga
mencuri dari istana lalu dihadiahkan kepadanya?" Milana memancing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Han menggeleng-geleng kepala. Agaknya ragu-ragu, kemudian setelah sekali lagi memandang
wajah dara itu, melihat betapa sinar mata dara itu penuh keharuan dan penuh harapan mendengar
ceritanya dia lalu berkata, "Dengarlah, ia adalah seorang puteri Kaisar! Dia adalah Puteri Nirahai! Dan dia
telah meninggalkan aku! Ohhh...!"
Melihat betapa pendekar itu menutupi muka dengan kedua tangan, Milana tak dapat menahan lagi
keharuan hatinya. Air matanya bercucuran, akan tetapi dia menahan diri, menekan hatinya agar jangan
menjeritkan sebutan ayah, hanya jari tangannya saja yang diangkat menyentuh lengan pendekar itu,
suaranya agak tergetar.
"Paman... jangan... jangan bersedih..."
Suara yang penuh getaran ini membuat Suma Han menurunkan kedua tangan dan tampaklah dua titik air
mata menuruni pipinya. Dia terkejut dan memegang tangan gadis itu ketika melihat betapa gadis itu
mencucurkan air mata!
"Kau... kau menangis?"
Milana mengangguk, berusaha tersenyum sehingga menambah kemesraan dan juga keharuan yang
membayang di wajahnya karena biar pun bibirnya tersenyum paksaan, sepasang matanya basah!
"Aku kasihan sekali padamu, Paman. Mengapa dia meninggalkan Paman yang begini baik hati? Mengapa
dia begitu kejam?"
"Tidak! Dia tidak kejam, Alan, mungkin akulah yang bersalah, aku... ah, aku tidak tahu harus berbuat apa.
Sebaiknya kau mendengar semua yang terjadi antara aku dan isteriku."
"Baik, akan kudengarkan, Paman dan terima kasih sebelumnya atas kepercayaanmu kepadaku."
"Kami saling mencinta, Puteri Nirahai dan aku. Sampai-sampai dia meninggalkan istana, meninggalkan
Kaisar yang menjadi ayahnya dan meninggalkan kedudukan mulia karena dia adalah seorang panglima
tertinggi di kerajaan ayahnya. Akan tetapi setelah kami berdua melarikan diri sebagai orang-orang buruan
kerajaan, dan kami berkumpul sebagai suami isteri selama sebulan, dia meninggalkan aku! Dia
mengajakku pergi menghambakan diri ke Mongol, aku menolaknya dan dia pergi sendiri, meninggalkan
aku. Hidupku menjadi hampa, aku merana seorang diri, kemudian aku kembali ke Pulau Es, di mana aku
dahulu menggembleng diri ketika masih muda sekali, dan menjadi Tocu di sana. Dan... begitulah...
agaknya kami berdua, dia dan aku memang tidak berjodoh..."
Milana mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa tidak setuju dengan tindakan
ibunya. Mengapa ibunya meninggalkan suami yang dicintanya? Seorang isteri seharusnya mengikuti
suaminya, ke mana pun suaminya pergi!
"Apakah Paman tidak pernah berjumpa dengan dia lagi?"
"Pernah kira-kira sepuluh tahun yang lalu dan dia... dia telah mempunyai seorang anak perempuan, dia
anakku... anak kami... dia telah mengandung saat pergi meninggalkan aku ke Mongolia." Suma Han tak
dapat melanjutkan ceritanya karena kembali dia melamun dan kelihatannya berduka sekali.
Melihat itu, Milana yang hanya ingin mendengar penuturan tentang ayah kandungnya itu, segera
mengajukan pertanyaan untuk mengalihkan pikiran ayahnya.
"Paman, ketika Paman bertemu dengan Wan Keng In, Paman telah memperlihatkan sikap amat lunak. Ada
hubungan apakah kiranya Paman dengan dia? Dan mengapa dia mengatakan bahwa Paman telah
merusak penghidupan ibunya, telah membikin sengsara ibunya?"
Benar saja, pertanyaan ini memang membuat Suma Han sadar dan dapat melupakan Nirahai. Akan tetapi,
perhatiannya kini berpindah kepada Lulu oleh pertanyaan itu dan kesedihan yang lebih besar lagi melanda
hatinya!
"Engkau telah banyak mendengar riwayatku, baiklah engkau dengar seluruhnya, Alan. Ibu Keng In
bernama Lulu, dan dia itu adalah adik angkatku yang menikah dengan seorang sahabatku bernama Wan
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Kiat, seorang pemuda yang gagah perkasa dahulu. Mereka mempunyai seorang putera, yaitu Wan
Keng In."
Milana mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya karena dia merasa heran sekali.
"Apakah ayah pemuda itu dahulu ketua Pulau Neraka?"
"Ah, sama sekali tidak! Wan Sin Kiat dahulu adalah seorang pejuang yang amat gagah perkasa, bahkan
dia akhirnya tewas karena gugur dalam perjuangan."
"Aihhh, kalau begitu, mengapa adik angkatmu itu bisa menjadi Tocu Pulau Neraka yang kabarnya ganas
dan lihai seperti iblis? Dan mengapa pula kemudian puteranya memusuhimu dan kulihat dia amat
membencimu? Apakah adik angkatmu itu yang telah menjadi Tocu Pulau Neraka, juga membencimu?"
Suma Han mengangguk. "Seperti juga Nirahai, Lulu telah membenciku. Semua orang di dunia ini
membenciku..."
"Mengapa, Paman?"
"Panjang ceritanya, Nona. Akan tetapi sudah kepalang, biarlah engkau mendengar seluruhnya. Aku pun
tadinya tidak tahu bahwa dia marah dan membenciku, sebelum aku bertemu dengan dia di Pulau Neraka,
ketika aku membebaskan Kwi Hong yang diculiknya. Seperti juga dengan Nirahai, aku tadinya tidak tahu
bahwa dia membenciku, baru kuketahui setelah aku bertemu dengannya. Aku seorang manusia bodoh dan
sangat canggung..."
Milana memegang tangan pendekar itu. "Tidak! Engkau seorang gagah perkasa yang tiada keduanya di
dunia! Engkau seorang yang paling jantan, paling berbudi mulia di dunia ini!"
Mata Suma Han terbelalak, kemudian dia berkata lagi setelah gadis itu melepaskan pegangan tangannya
dan menunduk karena baru Milana sadar bahwa kembali dia dikuasai hatinya.
"Ketika aku bertemu dengannya di Pulau Neraka, aku terkejut mengenal Ketua Pulau Neraka itu bukan lain
adalah adik angkatku sendiri, Lulu. Dari mulutnya sendiri aku mendengar pengakuannya yang luar biasa,
bahwa dia semenjak dahulu mencintaku, bukan sebagai adik angkat, melainkan sebagai seorang wanita
terhadap seorang pria. Dia menyalahkan aku yang telah menjodohkannya dengan Wan Sin Kiat padahal
kami saling mencinta, katanya. Setelah memperoleh seorang putera, dia meninggalkan suaminya karena
tidak tahan lagi berpisah dengan aku, lalu membawa puteranya pergi. Wan Sin Kiat gugur dalam
perjuangan karena dia pun tahu akan isi hati isterinya, bahwa isterinya itu sesungguhnya mencinta aku,
maka Wan Sin Kiat seolah-olah membunuh diri dengan berjuang secara nekat. Lulu menyatakan bahwa
dia hanya bisa hidup sebagai isteriku atau sebagai... musuhku! Hampir sama dengan pendirian Nirahai
yang katanya mencintaku akan tetapi juga siap untuk memusuhiku dengan kebencian yang tiada taranya."
Milana mendengarkan penuturan itu tanpa pernah berkejap mata, seolah-olah pandang matanya
bergantung kepada bibir Pendekar Super Sakti yang bicara bergerak-gerak. Hatinya tertarik sekali,
terbayang dalam pikirannya semua pengalaman ayahnya, dan ia seolah-olah ikut pula hidup dalam
pengalaman itu, ikut merasa suka dukanya, merasa tegang, terharu dan penasaran. Barulah sesudah
pendekar itu berhenti bicara, ia terlempar kembali ke dunia kenyataan dengan masih membawa semua
perasaan terharu dan penasaran.
"Paman, tidak perlu kutanya lagi, kiranya tentu Paman mencinta isteri Paman, Puteri Nirahai itu, bukan?"
"Tentu saja. Kalau tidak, tentu aku tidak menjadi suaminya."
"Bagaimanna perasaan Paman terhadap Lulu itu? Apakah Paman juga cinta kepada wanita aneh itu?"
Suma Han mengangguk, persis seperti pengakuannya ketika Phoa Ciok Lin juga menanyakan hal yang
sama. Akan tetapi kalau Phoa Ciok Lin, sebagai seorang wanita yang sudah lebih matang oleh usia dan
lebih maklum akan lika-liku cinta antara pria dan wanita yang mengandung banyak keanehan, gadis itu
masih penasaran dan mendesak.
"Bukan cinta kakak angkat?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bukan, Alan. Terus terang saja, aku mencinta Lulu sebagai seorang pria terhadap wanita. Bahkan
semenjak dahulu dia kucinta. Dialah cinta pertamaku, dan aku tak pernah berhenti mencintanya. Antara
kami terdapat api cinta yang kekal, semenjak kami masih belum dewasa, akan tetapi karena hubungan
kami sebagai kakak dan adik angkat, kami berdua menganggapnya sebagai cinta saudara. Setelah dia
kukawinkan dan kami saling berpisah, barulah terasa bahwa sesungguhnya kami saling mencinta sebagai
pria dan wanita! Aku menemukan cintaku yang kedua terhadap Nirahai, akan tetapi gagal pula."
"Paman, kini aku mengerti mengapa Paman bersikap lunak terhadap Wan Keng In. Kiranya dia adalah
putera sahabat baik dan adik angkat Paman, jadi dia masih keponakan Paman sendiri. Tentu Paman tidak
sampai hati untuk mencelakainya, untuk menghancurkan hati Lulu, wanita yang Paman cinta."
"Hemm, engkau masih begini muda akan tetapi dapat menyelami perasaanku, Alan. Memang demikianlah
halnya."
"Paman, siapakah antara mereka berdua yang lebih Paman cinta, Puteri Nirahai ataukah Lulu?" Milana
bertanya sambil miringkan tubuh, menghindarkan pandang matanya dan kini dia tidak mengangkat muka,
melainkan merebahkan kepalanya di atas lantai dengan telinga menempel lantai.
"Hemm, pertanyaan aneh karena belum pernah ada yang bertanya seperti itu bahkan hatiku sendiri pun
belum pernah. Aku mencinta keduanya, sukar untuk dikatakan dan diukur siapa yang lebih kucinta,
sungguh pun dasar yang mendorong cinta kasihku berbeda. Terhadap Nirahai didorong oleh anak kami itu,
sedangkan terhadap Lulu didorong oleh masa muda kami... heii, ada apakah, Alan?"
Suma Han terkejut ketika melihat sepasang mata gadis itu terbelalak penuh keheranan dan alisnya
berkerut, wajahnya agak berubah. Atas pertanyaannya, Alan menudingkan telunjuk ke lantai dan berbisik.
"Ada suara tertawa di bawah lantai!"
Suma Han mengerutkan alisnya. Tak mungkin, kata hatinya. Dia memiliki kepandaian yang jauh lebih tinggi
dari gadis itu, sinkang-nya amat kuat dan pendengarannya tentu jauh lebih tajam. Kalau gadis itu dapat
mendengar suara ketawa, masa dia tidak mendengar apa-apa sama sekali? Suma Han menggeleng
kepala dan berkata tirih, "Alan, jangan bingung sehingga engkau mendengar yang bukan-bukan.
Percayalah, aku akan mampu membawamu keluar dari tempat ini!"
Milana bangkit duduk dan berkata, "Benar-benar ada orang tertawa di bawah lantai ini, Paman. Kalau tidak
percaya, kau dengarlah sendiri!"
Suma Han memandang ke lantai dan dia tertarik. Ternyata ada sebuah lubang kecil di lantai itu, di mana
tadi Alan menaruh kepalanya. Agaknya melalui lubang kecil itulah dia mendengar suara dari bawah. Kalau
begitu mungkin juga! Suma Han lalu mendekatkan kepala pada lantai dan menempelkan telinganya di
dekat lubang lantai dan... tak salah lagi! Ada suara orang tertawa-tawa dan bicara di bawah! Bahkan bukan
hanya suara satu orang, melainkan dua orang. Suara yang lucu karena diseling tertawa-tawa dan yang
dibicarakan juga hal-hal yang lucu, dijawab oleh suara halus seorang wanita. Tiba-tiba Suma Han tersentak
kaget ketika mengenal bahwa suara wanita itu adalah suara Kwi Hong!
"Hemmm, kurasa muridku yang bengal, Giam Kwi Hong, berada di ruangan bawah lantai ini," katanya.
Ucapannya itu membuat Milana terheran-heran. Suma Han memindahkan tubuhnya dan dia
mendengarkan dari bagian lain dengan hanya menempelkan telinga di lantai karena begitu pun sudah
cukup jelas baginya untuk dapat menangkap percakapan di bawah, agar gadis itu dapat ikut
mendengarkan. Milana lalu cepat menempelkan telinganya tepat pada lubang kecil itu dan begitu dia
mendengar percakapan di bawah yang memasuki telinganya secara sayup-sayup namun cukup jelas, dia
tak dapat menahan diri, tertawa cekikikan karena merasa lucu!
"Heh-heh, sungguh untung besar kita! Mendapat teman yang menarik!" terdengar suara parau yang
tertawa-tawa dan lucu itu berseru.
"Dikeram seperti ini bagaimana bisa disebut untung besar?" terdengar suara wanita. "Dan siapa teman
itu?"
"Ha-ha-ha, dengarlah baik-baik. Bukankah ada suara jangkrik di sini. Hayo kita cari dia!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam sejenak, tidak terdengar apa-apa, akan tetapi mudah bagi dua orang yang mencuri dengar itu untuk
menduga behwa dua orang yang berada di bawah lantai itu tentu sedang sibuk mencari jangkrik! Seperti
dua orang anak kecil saja!
"Celaka tiga belas! Sial dangkalan! Dia bersembunyi di dalam lantai berbatu! Mana bisa mengeluarkan
dia?" terdengar pula suara parau.
"Apa sukarnya! Kita gali saja, biar dia bersembunyi di balik besi masa pedangku tidak bisa menggalinya?"
"Wahhh, tidak tepat! Pedangmu begitu tajam, jangan-jangan bukan hanya batunya yang tergali akan tetapi
juga tubuhnya hancur terkena pedangmu!"
"Habis bagaimana?" Wanita itu bertanya, suaranya agak penasaran.
"Engkau memang bodoh! Sudah menjadi muridku masih bodoh! Bagaimana mengeluarkan jangkrik dari
lubangnya tanpa bahaya melukainya? Tentu saja mengaliri lubangnya dengan air. Kalau dia terendam air
di dalam lubangnya, tentu dia akan keluar sendiri!"
"Akan tetapi dari mana kita mendapatkan air untuk itu? Untuk minum saja kadang-kadang kurang! Si
bedebah-bedebah itu harus kuhajar kalau tidak menambah jatah minuman untuk kita!"
"Hssshhh! kita adalah orang-orang tahanan, mana bisa mau enak saja? Dan engkau betul memalukan
sekali karena bodohmu. Kenapa ribut-ribut mencari air? Bukankah kita, seperti setiap orang manusia di
dunia ini, masing-masing mempunyai simpanan air yang cukup di dalam perut?"
"Ihhh! Suhu jorok sekali!"
"Kenapa jorok? Apanya yang jorok? Masa bicara tentang air kencing saja dikatakan jorok? Siapa sih
orangnya yang tidak mengenal air kencing? Kalau aku kencingi lubang ini, masa jangkrik itu tidak akan
cepat-cepat keluar?"
"Suhu, jangan!" Terdengar mereka berdua tertawa-tawa. "Jangkrik itu mungkin kuat bertahan di dalam
lubangnya, akan tetapi aku yang tidak kuat akan baunya!" Kembali mereka tertawa-tawa.
"Kalau Suhu nekad, aku tidak mau lagi berlatih!"
"Wah-wah-wah, kau mengancam, ya? Kalau begitu biarlah jangkrik itu mengerik di dalam lubangnya, akan
tetapi engkau harus berlatih sekarang juga, hendak kulihat sampai di mana kemajuanmu."
Suma Han mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak tertawa geli seperti puteri Ketua Thian-liong-pang
itu, melainkan dengan terheran-heran mendengar murid atau keponakannya itu menyebut ‘suhu’ kakek
yang ugal-ugalan dan agaknya benar-benar seorang yang aneh sekali itu. Keheranannya memuncak ketika
tiba-tiba ia mendengar suara mendesir di bawah itu. Itulah suara pedang yang digerakkan secara mukjizat!
Tak mungkin Kwi Hong dapat bermain pedang sehebat itu, seperti badai mengamuk, biar dia
menggunakan Li-mo-kiam sekali pun! Akan tetapi, siapa lagi kalau bukan Kwi Hong?
Kalau Pendekar Super Sakti terheran-heran mendengarkan sambaran angin gerakan pedang yang
dimainkan Kwi Hong, pembaca tentu terheran-heran bagaimana gadis dengan gurunya yang sinting itu
bisa berada di dalam kamar tahanan di bawah tanah, bahkan letaknya di bawah kamar tahanan Suma
Han? Kita tinggalkan dulu Suma Han yang terheran-heran untuk mengikuti perjalanan Kwi Hong bersama
gurunya yang sinting itu.....
********************
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Kwi Hong yang tadinya tertawan oleh Wan Keng In, dibebaskan
oleh Bu-tek Siauw-jin, gurunya dan juga paman guru Wan Keng In. Kemudian guru dan murid ini menuju ke
kota raja, akan tetapi Kwi Hong terpaksa harus mentaati kehendak gurunya untuk melakukan perjalanan
melalui padang pasir di utara untuk mencari racun kelabang bagi keperluan Kwi Hong sendiri dalam
menerima gemblengan ilmu mukjizat yang tinggi dari kakek sinting itu.
Mereka tiba di tempat itu, sebuah pegunungan yang aneh, jauh dari dunia ramai dan tidak ada seorang pun
manusia di sekitar tempat itu. Kwi Hong merasa heran bagai mana gurunya dapat menemukan tempat
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti ini. Kadang-kadang mereka melalui hutan yang penuh pohon-pohon aneh, akan tetapi ada bagian
di pegunungan itu yang gundul tidak ada pohonnya sama sekali, bahkan rumput pun tidak dapat tumbuh di
situ seolah-olah tanahnya mengandung racun yang membunuh semua tanaman. Ada pula bagian yang
penuh pasir, akan tetapi tampak bekas-bekas pohon, hanya tinggal batangnya yang besar setinggi tiga
empat meter, tanpa daun sehelai pun dan sudah kering. Di tempat inilah Bu-tek Siauw-jin mencari
kelabang!
Kakek itu berhenti di bagian yang penuh pasir dan di sana-sini tampak sisa pohon mati itu, memandang ke
kanan kiri dan mengangguk-angguk. "Di sinilah... hmmm aku sudah mencium bau mereka dan tampak
bekas mereka..."
Kwi Hong mengempiskan cuping hidungnya, mencium-cium, dan memang ada tercium bau amis yang
aneh olehnya.
"Awas udara di sini beracun! Napas yang masuk harus dibakar dengan sinkang!" kakek itu berkata sambil
tertawa-tawa. Melihat sikap kakek itu yang suka berkelakar, Kwi Hong memandang rendah dan bernapas
seperti biasa.
"Suhu... celaka...!" Tiba-tiba dia mengeluh, kepalanya pening, perutnya mual seperti diaduk dari dalam.
"Wah, bocah bandel! Sudah diberi tahu tidak percaya. Hayo cepat duduk bersila, atur pernapasanmu." Kwi
Hong cepat duduk bersila dan Bu-tek Siauw-jin lalu menempelkan telapak tangan kirinya di punggung,
membantu gadis itu mengusir keluar hawa beracun dari dalam dada. Beberapa kali Kwi Hong
mengeluarkan hawa dari perut melalui mulut dan akhirnya kepeningan kepalanya lenyap.
"Tempat ini penuh hawa beracun, jangan memandang rendah sebelum engkau memakan racun kelabang!"
kata kakek itu ketika Kwi Hong meloncat bangun. Kini gadis itu berhati-hati sekali, bernapas dengan teratur
dan mempergunakan hawa murni dan sinkang-nya.
"Suhu, apa yang berkilauan itu?"
Tiba-tiba Kwi Hong menuding ke bawah. Tampak ada benda seperti batu permata yang sebesar kepalan
tangan.
"Hemm, itu batu biasa."
"Ah, tidak mungkin, Suhu. Batu gunung biasa masa berkilauan seperti itu. Tentu batu mulia."
"Kau tidak percaya? Coba pegang baru kau tahu!"
Kwi Hong membungkuk dan tangannya mengambil batu itu. Tiba-tiba dia berteriak dan melepaskan batu itu
kembali, telapak tangannya telah menjadi hitam dan terasa panas dan perih. Batu mengadung racun yang
luar biasa!
"Ha-ha-ha! Itulah air liur kelabang yang membasahi batu. Kelihatan berkilauan menarik akan tetapi
sebetulnya mengandung racun yang berbahaya. Biar pun sinkang-mu sudah kuat, kalau tanganmu terkena
racun ini, tanpa mendapatkan obat anti racun yang tepat, lambat laun akan membusuk, dan hancur seperti
terkena penyakit kusta!"
"Kalau sudah tahu berbahaya, mengapa Suhu menyuruh aku memegangnya?" Kwi Hong menuntut.
"Heh-heh-heh, kalau belum jatuh terpeleset, mana bisa hati-hati?"
"Suhu membiarkan aku keracunan? Mana ada guru seperti ini?"
"Ha-ha-ha! Bodoh, aku hanya membikin engkau matang dalam pengalaman. Terkena racun begitu saja,
kalau ada aku apa artinya? Biar racun yang seratus kali lebih hebat, selama aku masih menjadi gurumu,
engkau tidak akan celaka."
Bu-tek Siauw-jin mengeluarkan sebuah batu yang berwarna hijau dari saku bajunya, menyambar tangan
Kwi Hong dan menempelkan batu hijau itu kepada tangan yang telapaknya berubah hitam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam waktu singkat semua hawa beracun telah tersedot oleh batu dan tangan gadis itu pulih seperti
biasa.
"Batu ini sebuah benda pusaka yang ampuh!" Kwi Hong tertarik sekali dan ingin memilikinya.
"Ha-ha-ha! Batu macam ini saja apa artinya? Kalau engkau sudah selesai berlatih ilmu, tidak perlu
mengandalkan batu mati seperti ini!"
Kwi Hong menjadi bersemangat sekali. Ingin dia segera memiliki ilmu yang dapat membuat dia kebal akan
segala racun! Dia memang harus memiliki kepandaian yang tinggi agar kelak ia dapat menandingi Wan
Keng In, pemuda yang amat dibencinya itu!
"Mari kita lekas mencari kelabang bertelur itu, Suhu!"
"Hushh! Bukan kelabang bertelur. Kalau sudah bertelur, tidak ada gunanya lagi. Yang kucari adalah
kelabang bunting!"
Kwi Hong menghela napas menyabarkan hati. "Baiklah, kelabang bertelur, kelabang bunting atau kelabang
busung sama saja, yang perlu lekas kita menemukannya."
"Tidak begitu mudah. Pergilah engkau ke hutan di sebelah kanan itu dan engkau harus dapat menangkap
hidup seekor ayam hutan betina yang gemuk. Nah, pergilah cepat sebelum malam tiba!"
"Baik, Suhu," Kwi Hong membalikkan tubuh hendak meloncat pergi.
"Awas, jangan keliru. Yang betul-betul gemuk, lho, dan jangan yang terlalu tua, darahnya sudah kurang
manis!"
Di dalam hatinya Kwi Hong mengomel. Gurunya ini cerewet benar, akan tetapi karena maklum bahwa
kecerewetan gurunya itu biar pun dilebih-lebihkan menurut wataknya yang sinting, bukan tidak ada artinya,
maka dia hanya mengangguk dan mengingat baik-baik pesan itu lalu melesat pergi dengan cepat. Tak
lama kemudian gadis itu telah kembali kepada gurunya, kedua tangannya memegang dua ekor ayam hutan
betina yang gemuk-gemuk!
"Ehh... kenapa dua ekor?"
"Yang seekor untuk kelabang bunting, yang seekor lagi untuk Suhu dan aku!"
"Ha-ha-ha-ha, kau pintar sekali!" Bu-tek Siauw-jin menerima seekor ayam, mengikat kedua kaki ayam itu
dan mencabuti bulunya. Ayam itu tentu saja berkeok-keok kesakitan akan tetapi kakek sinting itu tidak
peduli, mencabuti terus sambil berkata,
"Eh, kenapa bengong saja? Lekas potong leher ayam itu dan bakar dagingnya."
Kwi Hong memutar leher ayam. Setelah binatang itu mati, dia mencabuti bulu-bulunya, mengeluarkan isi
perutnya yang diminta oleh gurunya untuk kelabang di samping ayam hidup yang diberunduli semua
bulunya. Kwi Hong membuat api membakar daging ayam, kemudian bersama gurunya makan daging
panggang sambil menanti datangnya malam gelap.
"Menurut perhitunganku, sekarang tepat bulan purnama! Kelabang-kelabang itu akan keluar dan kalau
terjadi perebutan ayam mulus ini, engkau jangan kaget dan diam saja. Setelah ayam itu diseret, barulah
kita mengikuti karena para pemenang itu terus akan membawa ayam ini kepada kelabang betina yang
bunting. Yang menang tentu kelabang jantan yang terkuat, maka betinanya tentu juga paling hebat!"
"Menurut penuturan Suhu, kelabang jantannya sudah dibunuh oleh yang betina."
"Memang, di waktu terjadi perkawinan. Tetapi setelah bunting, tidak ada lagi kelabang jantan yang
mengganggunya, dan kelabang jantan yang menyerahkan hadiah-hadiah adalah calon-calon pengantinpengantin
dan calon bangkai karena pada waktu perkawinan mereka pun akan mati konyol. Ha-ha-ha!"
Kwi Hong merasa ngeri dan membenci kelabang betina yang pekerjaannya hanya kawin, membunuh
pengantin jantan, dan bertelur saja itu! Akan tetapi dia juga ngeri kalau mengingat bahwa dia harus makan
dunia-kangouw.blogspot.com
perut kelabang yang demikian menyeramkan, yang amat beracun, sedangkan air liurnya saja sudah
demikian hebatnya!
Malam tiba, kakek sinting itu membiarkan api unggun bernyala terus. "Setelah bulan purnama muncul dan
keadaan di sini cukup terang, baru api ini kita padamkan. Betapa pun lihai dan beracun, kelabang-kelabang
itu takut melihat cahaya api. Kalau sekarang api kita padamkan, mereka akan bermunculan dan tak hanya
ayam dan isi perut ayam yang mereka serang, akan tetapi juga mereka akan menyerang kita."
"Ihhhh...!" Kwi Hong mengkirik ngeri. "Kalau nanti bulan sudah muncul dan api kita padamkan, mereka
datang dan menyerang kita bagaimana?"
"Apa sukarnya? Kita meloncat ke atas pohon-pohon mati itu, mereka tidak akan mampu mengejar."
"Sekarang kita bisa meloncat ke sana, Suhu."
"Dasar bodoh! Kalau mereka kita biarkan datang sebelum bulan muncul dan kita menyelamatkan diri ke
atas pohon mati, bagaimana kita akan dapat mengikuti ke mana mereka membawa pergi ayam yang kita
umpankan itu?"
Sekarang mengertilah Kwi Hong dan dia merasa tegang. Bicara tentang kelabang-kelabang itu, tidak ada
nafsu makan lagi padanya sehingga sisa daging ayam panggang itu diganyang habis oleh Bu-tek Siauwjin,
bahkan agaknya dia masih belum puas karena terdengar suara keletak-keletuk bunyi tulang-tulang
sayap dan kaki ayam pecah-pecah karena gigitannya, untuk diisap sumsumnya!
"Suhu, bulan sudah muncul. Lihat!" Tiba-tiba Kwi Hong yang sejak tadi memandang ke arah timur berteriak
sambil menudingkan telunjuknya.
"Biarkan dia naik agak tinggi sampai tempat ini terang betul," jawab guruya yang masih enak-enak saja
menggerogoti tulang kaki ayam.
Akhirnya bulan purnama sudah menyinarkan cahayanya yang cemerlang dan daging berikut tulang ayam
panggang sudah habis dikunyah hancur oleh kakek sinting itu. Bu-tek Siauw-jin lalu melemparkan ayam
gundul yang diikat kakinya ke atas tanah di samping isi perut ayam yang dipanggang tadi, kemudian
memadamkan api dan mengajak muridnya meloncat ke atas dua batang pohon mati yang berdampingan.
Dengan tergesa-gesa karena merasa ngeri, Kwi Hong mendahului gurunya meloncat. Tubuhnya melayang
ke atas dan hinggap di atas puncak batang pohon mati seperti seekor burung garuda sigapnya. Gurunya
juga mencelat ke atas dan hinggap di pohon kedua. Batang pohon yang tingginya lebih dari tiga meter itu
cukup besar sehingga mereka dapat duduk di atasnya sambil memandang ke bawah. Dari tempat itu jelas
kelihatan ayam gundul yang mereka pergunakan sebagai umpan karena cahaya bulan dengan lembutnya
menyinari seluruh tempat itu.
Kurang lebih dua jam mereka menanti, dua jam penuh ketegangan dan terasa seperti dua pekan bagi Kwi
Hong. Beberapa kali dia menoleh ke arah gurunya dan melihat betapa gurunya itu duduk melenggut di atas
puncak batang pohon, tidur-tidur ayam kekenyangan daging ayam. Beberapa kali tubuh kakek itu
mendoyong ke sana-sini kelihatannya seperti akan jatuh, akan tetapi selalu dia tersentak kaget sebelum
terguling dan melenggut lagi. Tentu saja hati Kwi Hong mendongkol sekali. Orang setengah mati karena
tegang, gurunya enak-enak melenggut, bahkan kini terdengar dengkurnya perlahan.
Tiba-tiba Kwi Hong mencium bau yang amat keras, bau yang amis dan memuakkan dan mendadak
terdengar suara gurunya, "Awas, jangan berisik dan atur napasmu, lawan hawa beracun. Mereka sudah
datang!"
Kwi Hong cepat mengerahkan sinkang, mengatur pernapasan dan melindungi paru-paru dengan hawa
murni, matanya memandang ke bawah dengan terbelalak dan sama sekali tidak berani mengeluarkan
suara. Dilihatnya ayam yang diikat itu masih bergerak-gerak, menggerakkan leher dan berusaha
melepaskan diri. Bau makin keras dan dari sebelah kanan tampaklah kini olehnya benda yang berkilauan,
bergerak-gerak mendekat. Kelihatan panjang sekali, akan tetapi setelah dekat, barulah tampak olehnya
bahwa yang datang adalah barisan kelabang yang besar-besar dan panjang-panjang! Karena binatangbinatang
itu merayap beriringan, dari jauh yang tampak hanya sinar berkilauan kulit mereka dan kelihatan
seperti sebuah benda atau ular yang panjang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terlihat tidak kurang dari lima belas ekor kelabang yang kulitnya merah mengkikap, panjangnya masingmasing
antara dua puluh sampai tiga puluh senti meter! Kwi Hong bergidik. Sudah pernah dia melihat
kelabang, akan tetapi besarnya paling-paling hanya sebesar jari tangan dan panjangnya tidak lebih dari
sepuluh senti. Belum pernah dia melihat kelabang-kelabang raksasa seperti itu!
Barisan kelabang itu makin dekat dengan umpan, dan makin ngeri pula rasa hati Kwi Hong. Tiba-tiba ayam
itu meronta dan berkeok-keok keras tanda ketakutan dan Kwi Hong memejamkan kedua matanya melihat
betapa belasan ekor kelabang itu seperti terbang cepatnya mencelat ke depan, memperebutkan ayam
yang kelabakan sebentar, lalu tak bersuara lagi. Barulah Kwi Hong berani membuka matanya.
Ayam itu telah mati, akan tetapi kini belasan ekor kelabang itu saling serang, saling gigit dan saling terjang
dengan hebat. Mereka memperebutkan bangkai ayam seperti yang telah dituturkan oleh gurunya! Kwi
Hong melirik ke arah gurunya dan melihat kakek itu tersenyum-senyum menyeringai lebar dan menggosokgosok
kedua tangannya kelihatan girang sekali, bahkan mulutnya bergerak-gerak dan mengeluarkan air liur
seperti sikap seorang kelaparan melihat daging empuk! Kwi Hong bergidik!
Gurunya benar-benar bukan manusia! Baru saja mengganyang habis seekor ayam panggang, hanya
diambil sedikit olehnya, dan sekarang melihat kelabang-kelabang gemuk, sudah keluar air liurnya! Benarbenar
manusia sinting, atau bukan golongan manusia! Betapa pun juga, harus dia akui bahwa gurunya
amat baik kepadanya, dan ilmu-ilmu yang diberikan kepadanya benar-benar hebat!
Saking ganasnya kelabang-kelabang itu, pertempuran tidak berlangsung lama. Sepuluh ekor kelabang
yang lebih kecil sudah menggeletak tak bergerak, mati. Empat ekor yang lebih besar dan agaknya lukaluka
tidak mempedulikan luka mereka dan dengan lahap mereka kini merasa puas dengan isi perut ayam.
Karena isi perut itu cukup banyak terutama ususnya yang panjang, empat ekor kelabang itu memperoleh
bagian yang cukup dan dari atas mereka tampak seperti ulat-ulat sutera sedang lahap makan daun murbei!
Kwi Hong melihat bahwa seekor kelabang yang terbesar dan tentu yang telah keluar sebagai pemenang
dalam perebutan tadi, kini menggondol bangkai ayam gundul dan dia benar-bedar tercengang akan
kekuatan kelabang itu! Dengan mulut menggigit leher ayam, kelabang itu mampu membawa bangkai ayam
itu dengan gerakan cepat menuju ke sebuah di antara pohon-pohon mati yang terbesar, memasuki sebuah
lubang di bawah pohon dan lenyap!
"Bagus! Tempatnya di bawah pohon itu! Mari...!" Bu-tek Siauw-jin tertawa girang dan meloncat turun diikuti
oleh Kwi Hong. Ketika dara itu melayang turun, begitu kedua kakinya menginjak tanah, ia sudah menahan
jerit dan meloncat lagi melihat benda melintang di bawah kakinya. Benda itu disangkanya kelabang, akan
tetapi ternyata hanyalah kayu lapuk!
"Siapkan pedangmu!" Bu-tek Siauw-jin berbisik. "Aku akan mencabut pohon itu dan kalau engkau melihat
seekor kelabang yang amat besar dan gemuk, jangan ragu-ragu, kau bacok putus bagian kepala dan
ekornya, kemudian bagian tengahnya cepat kau masukkan ke dalam botol ini dan tutup rapat." Kakek itu
menyerahkan sebuah botol kosong yang sudah dipersiapkan sebelumnya.
Karena hatinya merasa tegang, Kwi Hong tidak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk.
Kalau dia disuruh menghadapi lawan manusia, biar musuhnya amat banyak dan seganas iblis, dara
perkasa itu takkan merasa gentar seujung rambut pun. Akan tetapi disuruh menghadapi kelabang-kelabang
yang menggelikan dan menjijikkan ini, benar-benar dia merasa tegang dan semua bulu yang tumbuh di
tubuhnya berdiri tegak! Dengan hati-hati dia mencabut pedangnya, dipersiapkan di tangan kanan yang
agak gemetar, tangan kiri memegang botol dan pernapasan tetap teratur agar tidak terserang hawa
beracun yang amat hebatnya memenuhi tempat itu. Dengan hati-hati dia lalu mengikuti gurunya
menghampiri pohon besar di mana kelabang raksasa yang membawa bangkai ayam tadi lenyap.
Bu-tek Siauw-jin menghampiri pohon, merangkul batang pohon yang sebesar tubuh manusia itu dengan
kedua lengannya, berjongkok, kemudian bangkit berdiri sambil mengerahkan tenaga menjebol batang
pohon yang tingginya tiga setengah meter itu. Terdengar suara keras ketika akar-akar kering pohon itu
patah-patah dan terjebol berikut tanahnya, disusul suara lebih keras karena pohon itu telah dilemparkan
jauh oleh kakek sinting.
Hampir Kwi Hong menjerit ketika melihat seekor kelabang besar merayap keluar dan kelihatan marah
sekali. Kelabang ini mulutnya masih menggigit kepala ayam, kini seperti hendak menyerang kaki Kwi Hong.
Gadis ini melihat bahwa kelabang ini besar sekali, perutnya menggembung dan warna kulitnya sama
seperti Kelabang-kelabang yang tadi, merah darah akan tetapi agak kehijauan dan mengeluarkan sinar
dunia-kangouw.blogspot.com
mengkilap. Sekilas pandang ia melihat bangkai ayam di dalam lubang bekas jebolan pohon dan di samping
bangkai ayam itu menggeletak pula kelabang besar yang tadi membawa bangkai, sudah mati pula.
Agaknya Sang ‘Ratu’ kelabang yang bunting ini benar-benar amat ganas. Disanjung dan dirayu oleh
kelabang besar, dihadiahi bangkai ayam gundul gemuk, malah dibalas dengan membunuhnya!
"Kelabang celaka!" Kwi Hong marah dan gemas sekali teringat akan ini, dua kali pedangnya berkelebat.
"Cres! Cress!"
Dia terkejut karena pedangnya bertemu dengan kulit yang amat alot dan keras. Andai kata bukan Li-mokiam
yang berada di tangannya, tentu dia akan kecelik kalau tidak mengerahkan sinkang, karena kulit
kelabang itu ternyata amat tebal. Akan tetapi Li-mo-kiam adalah sebatang pedang pusaka yang ampuhnya
menggila, maka dua kali sabetan itu berhasil baik, tubuh kelabang terpotong menjadi tiga, leher dekat
kepala dan dekat ekornya putus! Akan tetapi bagian tengahnya yang masih panjang itu menggeliat-geliat
hidup sehingga Kwi Hong merasa jijik untuk mengambilnya.
"Bodoh, lekas masukkan botol!" Bu-tek Siauw-jin membentak.
Kwi Hong menabahkan hatinya, disambarnya bagian badan yang masih panjang dan menggeliat itu.
Hampir saja dilepaskannya kembali karena jari-jari tangannya merasa geli dan jijik, seperti memegang ular
saja. Akan tetapi karena botol di tangan kirinya sudah siap, dia cepat memasukkan bagian tubuh yang
menggeliat-geliat itu ke dalam botol, menutupkannya rapat-rapat kemudian hendak mengambil kembali
pedangnya yang tadi dia tancapkan di atas tanah ketika tangan kanannya mengambil tubuh kelabang.
"Aihhh...!" Kwi Hong menjerit dan tidak jadi mengambil pedang karena melihat betapa seluruh tangan
kanannya menjadi merah kehitaman dan mulailah terasa kaku dan lumpuh!
"Itulah racunnya yang kuat sekali. Nih, pegang batu hijau ini!" Gurunya menyerahkan batu hijau ke tangan
kanan Kwi Hong yang keracunan. Gadis itu menerima batu hijau dan menggenggamnya. Sebentar saja
warna tangannya putih kembali, racun yang amat jahat itu disedot habis oleh batu hijau.
"Kau simpan batu itu dan tak akan ada racun dapat mempengaruhi kulitmu. Akan tetapi kalau engkau
sudah selesai berlatih dan sudah makan perut kelabang bunting, tubuhmu lebih kebal dari racun, lebih
hebat dari pada batu hijau itu!"
Kakek ini tertawa-tawa, lalu dia mengambil bangkai kelabang jantan yang berada di dalam lubang,
kemudian mengajak Kwi Hong kembali ke tempat tadi. Dapat dibayangkan betapa jijik hati Kwi Hong ketika
melihat empat ekor kelabang besar yang tadi dengan lahap makan isi perut ayam, kini masih melingkar di
tempat tadi, diam tak bergerak sama sekali dan tubuh mereka menjadi gemuk dan menggembung seperti
mau pecah. Seluruh isi perut ayam habis bersih, dan anehnya, sepuluh ekor kelabang yang telah mati tadi
pun lenyap tak tampak bekasnya sama sekali.
"Ha-ha-ha, heh-heh-heh! Untung besar! Empat ekor ini benar-benar gembul dan kiciak (pelahap dan segala
macam dimakan tanpa jijik)! Bangkai sepuluh ekor temannya sendiri masuk perut! Ha-ha-ha, kita pesta
besar! Engkau makan kelabang bunting, aku mengganyang lima ekor kelabang gembul!"
Sambil berkata demikian, kakek sinting itu menggunakan kedua tangannya menangkap empat ekor
kelabang itu yang sama sekali tidak melawan atau meronta karena memang sudah tak dapat bergerak
saking kenyangnya! Dia mengumpulkan empat ekor kelabang kekenyangan itu dengan bangkai kelabang
terbesar yang mati di dalam lubang betina. Empat kali telunjuknya bergerak memukul dan empat ekor
kelabang itu mati dengan kepala pecah.
"Sebetulnya, daging kelabang paling enak kalau digoreng dan dimakan dengan cocol kecap, hemmm...
sedap bukan main. Sayang di sini tidak ada minyak, maka kita godok saja. Dimasak kuah juga enak sekali,
kuahnya sedap dan banyak vitamin! Heh-heh-heh!"
Kwi Hong merasa hendak muntah. Akan tetapi ditekannya persaan itu dan berkata, "Suhu, aku khawatir
takkan dapat menelan kelabang ini..." Dia meletakkan botol terisi kelabang bunting itu ke depan suhu-nya.
"Eh-eh, bodoh! Apa engkau hendak menyia-nyiakan kesempatan baik mendapatkan ilmu yang membuat
tubuhmu kebal akan segala racun yang dapat menimbulkan sinkang yang tiada tandingannya di dunia?
Pula, apa kau kira daging kelabang tidak enak?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku jijik, Suhu. Dan tentu saja tidak enak!"
"Wah-wah, picik sekali engkau. Heh, murid tolol. Kapankah engkau pernah makan daging kelabang?"
"Selama hidupku belum pernah!" jawab Kwi Hong cepat-cepat untuk menyatakan bahwa selama ini,
sebagai murid dan keponakan Pendekar Super Sakti, dia hidup ‘bersih’!
"Itulah tololnya! Kalau selama hidupmu engkau belum pernah makan daging kelabang, bagaimana engkau
bisa mengatakan bahwa daging kelabang tidak enak dan menjijikkan? He, Kwi Hong, jangan engkau
meniru-niru manusia-manusia yang berwatak munafik itu!"
"Hemm, urusan makan daging kelabang, mengapa menyangkut urusan orang berwatak munafik?" Kwi
Hong terheran.
"Tentu saja sama! Orang-orang munafik itu pun begitu, hanya karena membaca kitab atau mendengar
ucapan mulut orang lain, tanpa membuktikan dan menyatakan sendiri, sudah mengambil keputusan mati
yang tak dapat ditawar-tawar lagi! Sampai-sampai ada yang mati-matian bersumpah bahwa dia matimatian
membenci dan memusuhi segala setan dan iblis!"
"Tentu saja, Suhu!"
Kakek sinting itu memandang muridnya dengan mata terbelalak, lalu meloncat berdiri dan membantingbanting
kedua kakinya, seperti anak kecil yang rewel dan sudah siap menangis! "Apa? Engkau...?
Muridku...? Engkau pun ikut-ikutan latah dan munafik? Jadi engkau pun membenci dan memusuhi setan
dan iblis? Coba katakan, kenapa kau membenci mereka?"
"Hemm... karena mereka jahat, karena musuh manusia!"
"Ngawur! Apakah setan dan iblis itu ada? Pernahkah engkau bertemu dengan setan dan iblis?"
Melihat suhu-nya mencak-mencak dan memekik-mekik marah, Kwi Hong menjadi gentar juga. Dia
menggeleng kepala dan menjawab "Tidak pernah ada, Suhu."
"Kau tidak pernah bertemu dengan setan atau iblis, engkau tidak tahu apakah mereka itu ada atau tidak,
bagaimana engkau sudah mengambil keputusan memusuhi dan membenci mereka, bagaimana bisa
mengatakan mereka jahat dan musuhmu? Ehh, bocah tolol. Coba jawab lagi, pernahkah engkau diganggu
setan atau iblis? Dicubit? Dipukul? Dimaki atau ditipu? Hayo jawab yang jujur! Pernahkah engkau
diperlakukan jahat oleh setan atau iblis? Kalau pernah, kapan dan di mana, dan bagaimana? Ceritakan!"
Kwi Hohg melongo. Gurunya ini benar-benar sinting, akan tetapi ditanya seperti itu, dia tidak dapat
menjawab. Tentu saja dia belum pernah bertemu, dan kalau belum pernah bertemu, bagaimana mungkin
dia bisa diganggu. Bahkan ada atau tidaknya setan iblis masih merupakan teka-teki yang tak dapat dijawab
dengan kenyataan. Kembali dia menggeleng kepala, "Belum pernah, Suhu!"
"Nah, itulah! Engkau pun termasuk seorang munafik, hanya untuk plintat-plintut mengikuti ketahyulan
manusia yang pura-pura suci saja. Jangan engkau terseret oleh kebiasaan umum yang belum tentu benar.
Karena umum biasanya makan daging ayam, maka enak saja engkau makan daging ayam. Karena umum
tidak biasa makan daging kelabang, biar pun selamanya engkau belum pernah merasakannya, mudah saja
kau bilang tidak enak dan menjijikkan. Munafik!"
Kwi Hong merasa bohwat (kehabisan akal), karena biar pun ucapan gurunya kasar dan seenak perutnya
sendiri, kebenarannya dalam ucapan itu sukar dibantah. "Maafkanlah, Suhu. Akan tetapi benar enakkah
daging kelabang?" Suaranya halus dan penuh penyesalan itu sekaligus mengusir kemarahan Bu-tek
Siauw-jin yang sudah menyeringai kembali!
"Heh-heh-heh, engkau mau tahu rasanya? Pernahkah engkau makan daging udang?"
"Pernah, bahkan sering kali, Suhu. Ketika masih tinggal di Pulau Es, di sebelah timur pulau terdapat bagian
laut yang dihuni banyak udang besar, sebesar lengan tangan dan sering kali anak buah kami menangkap
udang-udang besar itu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Pernah kau makan daging udang yang dipanggang dalam tanah liat?"
"Belum pernah. Bagaimana, Suhu?"
"Wah, kalau begitu engkau belum tahu benar-benar rasanya daging udang! Apa lagi udang besar seperti
itu. Mula-mula udang itu dilumuri tanah liat basah cukup tebal sampai tidak kelihatan kulitnya, kemudian
dipanggang dan dibiarkan sampai tanah liat itu menjadi kering sekali. Setelah tanah liat itu retak-retak dan
mengeluarkan bau gurih, nah, itu tandanya udangnya sudah matang. Kalau sudah tampak uap keluar dari
bungkusan tanah yang retak-retak, panggang udang itu boleh diangkat dari api. Tanah liat yang sudah
kering itu dikupas dan kulit udangnya tentu akan terbawa dan terkupas pula karena melekat pada tanah liat
dan kini hanya tinggal daging udangnya, putih bersih kemerahan panas-panas beruap dan sedap baunya.
Rasanya? Wah, kalau digigit kenyal-kenyal akan tetapi lunak, sedap manis... hemm!"
Kwi Hong menelan ludah. Timbul seleranya dan dia kemecer (mengeluarkan air liur) mendengar penuturan
itu.
"Nah, daging kelabang pun rasanya sama dengan daging udang! Yang lima ekor ini akan kupanggang
dalam tanah liat, akan tetapi yang bunting itu harus direbus, karena kalau dipanggang, racunnya banyak
yang hilang. Direbus juga enak, coba saja nanti."
Berkuranglah rasa jijik di hati Kwi Hong, Apa lagi setelah dia mencari air sungai yang terdapat dalam
bagian bukit yang subur, kemudian mereka memasak kelabang dan memanggang yang lima ekor, gurunya
tiada hentinya menceritakan kelezatan daging kelabang yang dagingnya sejenis dengan daging udang,
kepiting, belalang, jangkrik, dan lain binatang yang kulitnya keras.
Kesibukan memasak udang itu berlangsung sampai pagi, karena tidak mudah bagi Kwi Hong mencari air
dan daun-daun bumbu di dalam hutan di waktu malam seperti itu, sungguh pun sinar bulan banyak
membantunya. Akan tetapi, akhirnya masakan-masakan itu selesai di waktu pagi.
"Nah, kau makan dulu seekor daging panggang sebagai cuci mulut!" kata Bu-tek Siauw-jin.
Kwi Hong tertawa. Benar-benar lucu. Masa cuci mulut dengan daging panggang, dan lagi mana ada cuci
mulut sebelum makan? Akan tetapi dia tidak membantah dan bersama suhu-nya, dia mengupas tanah liat
yang sudah kering. Benar saja kulit kelabang itu ikut terkupas dan tampaklah kini dagingnya yang putih
kemerahan dan mengepulkan uap tipis yang sedap. Melihat suhu-nya makan daging itu dengan lahapnya,
Kwi Hong lalu menggigit daging yang dipegangnya dan benar-benar gurunya tidak membohong. Rasanya
enak sekali, gurih dan enak manis, seperti daging udang!
"Jangan dihabiskan, separuh saja. Yang separuh untuk nanti setelah kau makan daging rebus."
Kwi Hong tersenyum, tanpa membantah lagi dia mengambil panci kecil di mana daging kelabang bunting
itu telah dimasak. Bu-tek Siauw-jin mengambil sebuah guci arak dan menuangkan arak ke dalam masakan
itu. Uap mengepul dan bau wangi arak merah itu bercampur dengan bau gurih sedap namun ada pula bau
yang amis dan keras.
"Makan dagingnya sedikit-sedikit saja agar tidak terlalu mengejutkan tubuhmu. Jangan khawatir apa pun
yang terasa olehmu, makan terus sampai habis. Ingat, yang kau makan ini bukan hanya daging yang lezat,
akan tetapi terutama sekali obat untuk menyempurnakan latihan ilmu yang kuajarkan kepadamu."
Kwi Hong mengangguk, menggunakan sepotong kayu menusuk daging itu dan mulai menggigit dan
memakan daging itu. Terpaksa ia memejamkan mata karena berbeda dengan ketika makan daging
kelabang panggang tadi, kini daging kelabang yang direbus kelihatan putih dan besar, juga agak kehitaman
di sebelah dalamnya, hitam kehijauan dan dia tahu itu adalah racun kelabang yang amat jahat!
Rasanya memang ada enaknya, akan tetapi lebih banyak tidak enaknya dari pada enaknya. Memang ada
bau sedap, akan tetapi hampir tertutup sama sekali oleh bau amis dan keras bahkan bau arak itu pun tidak
dapat melenyapkan bau amis. Rasanya memang gurih, akan tetapi terasa pula getir dan pahit, juga ada
rasa keras yang membuat lidah terasa seperti ditusuk-tusuk. Namun Kwi Hong dengan nekat mengunyah
dan menelan. Hanya sebentar mengunyah, tidak menunggu sampai lembut asal tidak terlalu besar, lalu
ditelannya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia terus memejamkan mata dan biar pun terasa betapa dada dan perutnya panas sekali ketika makanan
itu ditelannya, dia makan terus. Biarlah kalau dia akan mati karena ini, pikirnya. Sudah kepalang! Makin
lama hawa panas makin hebat sehingga terasa gerah sekali. Keringatnya membasahi pakaian, seolah-olah
dia merasa tubuhnya dipanggang. Akan tetapi, Kwi Hong adalah seorang gadis yang berhati keras dan
nekat. Dia terus makan sampai akhirnya daging kelabang bunting habis ditelannya.
Kepalanya pening. Akan tetapi sebuah tangan menekan tengkuknya. Jari tangan Bu-tek Siauw-jin menotok
punggung, rasa ingin muntah yang timbul hilang, kemudian telapak tangan gurunya menempel di
punggungnya dan dari telapak tangan itu menjalar hawa dingin sejuk yang melawan hawa panas di
tubuhnya. Akan tetapi sebentar saja tangan gurunya ditarik kembali ketika Kwi Hong yang teringat akan
Swat-im Sinkang, mengerahkan inti tenaga dingin untuk melawan serangan hawa panas itu. Sinkang-nya
sudah amat kuat, apa lagi Im-kang yang didapatkannya ketika berlatih di Pulau Es, bahkan lebih kuat dari
pada Im-kang yang disalurkan gurunya tadi. Hal ini adalah karena latihan Im-kang di Pulau Es merupakan
puncak latihan menghimpun hawa dingin yang sukar dapat dimiliki oleh mereka yang berlatih di tempat
panas.
"Bagus! Engkau dapat menahan hawa panas. Nah, makanlah sisa daging panggang itu."
"Suhu, aku sudah tidak ada nafsu lagi untuk makan daging..."
"Ih, jangan membantah! Ini perlu sekali untuk membuat perutmu kenyang dan terisi cukup..."
"Aku sudah kenyang sekali."
"Bodoh, kalau tidak kau isi sampai penuh sekali, mana dapat bertahan selama tiga hari tiga malam?"
"Apa maksudmu, Suhu?"
"Sudahlah, jangan banyak membantah. Kau makanlah sisa daging panggang ini dan habiskan!"
Karena maklum bahwa menghabiskan daging panggang ini termasuk kepentingan latihan itu, bukan
semata-mata untuk membikin kenyang atau makan enak, Kwi Hong terpaksa makan habis sisa daging
panggang. Perutnya menjadi kenyang sekali.
"Sekarang, minum kuah dalam panci itu sampai habis."
"Wah, mana perutku kuat, Suhu? Sudah terlalu kenyang dan kuah itu banyak sekali!" Kwi Hong
membantah. Sebetulnya bukan soal terlalu kenyang, akan tetapi dia merasa jijik kalau harus minum kuah
itu. Baru dagingnya saja tadi sudah begitu memuakkan, apa lagi kuahnya!
"Kwi Hong, tahukah engkau bahwa kuahnya ini yang jauh lebih penting? Andai kata engkau tidak makan
dagingnya, masih tidak mengapa, akan tetapi kalau tidak minum kuahnya, kurasa akan sia-sia semua
latihanmu. Sari obat berada di dalam kuah inilah!"
Kwi Hong bergidik. Yang dimaksudkan suhu-nya dengan ‘sari obat’ tentulah sari dan semua racun yang
mengeram di dalam perut kelabang itu! Apa boleh buat! Sudah terlalu jauh dia melangkah, andai kata
mendaki gunung sudah hampir sampai puncaknya. Dia mengangkat panci, membawa bibir panci
menempel bibirnya, memejamkan mata, menahan napas agar hidungnya tidak mencium bau yang
memuakkan itu, membuka mulut dan menuangkan isi panci itu sekaligus ke dalam perutnya melalui mulut!
Begitu isinya habis, Kwi Hong mengeluh, panci kosong terlepas dari pegangannya dan terguling pingsan!
Bu-tek Siauw-jin sudah siap, menerima tubuhnya dan membiarkan dara itu rebah terlentang di atas tanah
sambil menyeringai dan tersenyum-senyum puas.
"Engkau hebat, muridku. Engkau hebat! Ha-ha-ha, hendak kulihat apa yang dapat dilakukan Suheng
kepadamu. Heh-heh-heh, betapa suheng akan mencak-mencak kalau melihat muridnya kalah oleh
muridku!"
Kalau tadi Kwi Hong tahu bahwa dia akan pingsan selama tiga hari tiga malam, kiranya dia akan pikir-pikir
dulu untuk minum kuah itu! Dan hal ini sudah diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin maka tadi kakek sinting ini
setengah memaksa muridnya menghabiskan daging kelabang panggang agar selama tiga hari tiga malam
pingsan itu, muridnya tidak akan terlalu kelaparan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada pagi hari yang ke empat, Kwi Hong siuman, menggerakkan tangan, mengeluh perlahan dan
membuka mata. Ia merasa tubuhnya panas dan lapar sekali. Ketika melihat gurunya duduk bersila tak jauh
dari situ sambil memandangnya dan tersenyum-senyum, Kwi Hong cepat bangkit duduk. Segera ia
memejamkan kedua matanya karena begitu ia bangkit duduk, matanya berkunang dan kepalanya
berdenyut-denyut keras.
"Jangan tergesa-gesa, Kwi Hong. Tenang-tenang sajalah! Engkau baru saja bangkit dari kematian dan
mulai hidup baru. Ha-ha-ha!"
Kwi Hong membuka matanya kembali. "Apa yang terjadi, Suhu? Apakah aku tertidur?"
"Engkau tidur, juga pingsan, bahkan boleh dibilang mati selama tiga hari tiga malam! Dan engkau telah
berhasil!"
Kwi Hong teringat kembali. "Aihh! Ketika minum kuah itu... aku lalu pingsan selama tiga hari tiga malam?"
Kwi Hong duduk bersila dan mulailah dia digembleng oleh Bu-tek Siauw-jin dengan ilmu yang mukjizat,
yang diciptakan oleh kakek aneh ini selama menyembunyikan diri. Kakek itu benar-benar amat tekun
melatih muridnya, bahkan dia kini yang mencarikan makan untuk muridnya agar Si Murid tidak usah
menghentikan latihan, dan hanya berhenti kalau perlu makan saja. Sampai dua pekan Kwi Hong disuruh
melatih diri.
Karena memang pada dasarnya gadis ini telah memiliki kekuatan sinkang yang hebat berkat latihan yang
ia terima dari Pendekar Super Sakti, maka dalam waktu singkat saja dia sudah dapat menguasai ilmu-ilmu
yang diajarkan oleh kakek sinting itu, padahal bagi orang lain, belum tentu akan dapat dikuasai dalam
latihan bertahun-tahun! Kemudian, berdasarkan tenaga mukjizat ini Bu-tek Siauw-jin menambahkan jurusjurus
yang aneh dan dahsyat dalam ilmu pedang Kwi Hong. Juga dara ini dilatih menggunakan pukulanpukulan
dengan telapak tangan, pukulan yang amat hebat karena hawa pukulannya mengandung
ancaman maut, mengandung hawa beracun yang selamanya belum pernah dia pelajari.
Tanpa disadarinya, Kwi Hong yang semenjak kecil menerima gemblengan-gemblengan pamannya dengan
ilmu-ilmu tinggi yang bersih, kini telah mempelajari ilmu-ilmu golongan hitam! Memang benar bahwa segala
ilmu dapat dipergunakan untuk kebaikan mau pun kejahatan, tergantung manusianya. Akan tetapi, ilmu
golongan sesat atau golongan hitam mengandung sifat-sifat yang ganas, kejam dan dahsyat, sehingga
sekali turun tangan dapat merampas nyawa lawan dengan mudahnya!
Demikianlah sambil melatih diri setiap ada kesempatan, Kwi Hong diajak oleh gurunya melanjutkan
perjalanan menuju ke kota raja. Dasar kakek sinting, begitu tiba di kota raja, dia langsung saja menuju ke
gedung koksu, berdiri di depan pintu gerbang karena para penjaga melarang kakek sinting ini masuk.
Sambil berdiri tegak dan bertolak pinggang, kakek itu berteriak,
"Heh, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, keluarlah kamu dan hayo lawan aku Bu-tek Siauw-jin! Kalau aku
kalah olehmu, biarlah aku meninggalkan muridku ini karena aku tidak pantas lagi menjadi gurunya!"
Para penjaga yang tadinya menghadang dan melarang kakek ini melalui pintu gerbang menjadi terkejut
karena suara itu membuat mereka terpelanting ke kanan kiri dan mereka tidak mampu bangkit lagi, tubuh
mereka menggigil dan mereka hanya dapat memandang dengan mata terbelalak saja ketika kakek itu
bersama dara jelita di sampingnya memasuki pintu gerbang istana koksu seenaknya!
Kwi Hong juga terkejut, tidak menyangka bahwa gurunya akan bersikap selancang ini. Mestinya, menurut
pendapatnya, mereka menyelidik dan menyusup ke dalam istana koksu di malam hari. Akan tetapi gurunya
dengan terang-terangan menantang sambil berteriak-teriak seperti itu! Mana ada seorang koksu yang
berpangkat tinggi ditantang begitu saja seperti seorang anak kecil menantang berkelahi anak kecil?
Teriakan yang disertai khikang kuat itu tidak saja membuat para penjaga di luar terpelanting, akan tetapi
juga mengejutkan seluruh isi istana koksu karena bangunan besar itu seolah-olah tergetar dan akan
ambruk! Berbondong-bondong keluarlah pasukan pengawal dengan senjata di tangan. Akan tetapi mereka
menjadi ragu-ragu ketika melihat bahwa yang berjalan masuk dengan langkah lenggang kangkung itu
hanyalah seorang kakek tua sekali yang tubuhnya pendek, hanya setinggi pundak dara jelita yang berjalan
di sampingnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Manusia lancang! Apakah engkau sudah bosan hidup berani mengacau gedung koksu?" Seorang perwira
pengawal membentak.
"Heh-heh! Memang aku sudah bosan hidup!" jawab Bu-tek Siauw-jin seenaknya saja. "Apakah engkau ini
Giam-lo-ong tukang cabut nyawa?"
Perwira itu merasa diejek dan dihina, maka cepat ia mengayun goloknya membacok ke arah kepala Bu-tek
Siauw-jin. Kakek itu sama sekali tidak bergerak, juga dara cantik yang berdiri di sebelahnya dengan wajah
dingin sama sekali tidak peduli.
"Wuuuuuttt... krekkkk!"
"Hayaa... aduuuuhhh...!" Perwira itu berteriak dan memegangi lengan kanannya yang patah tulangnya,
seperti juga goloknya yang patah ketika bertemu dengan kepala kakek sinting itu!
Para anggota pasukan pengawal tentu saja memandang dengan bengong dan tak seorang pun berani
maju menyerang. Sementara itu, Bhong Koksu sendiri bersama para pembantunya juga mendengar gema
suara yang mengandung khikang kuat itu dan kini berbondong-bondong mereka keluar dari istana. Melihat
munculnya koksu, para pasukan lupa akan rasa ngerinya dan menyerbu ke depan untuk mengeroyok Butek
Siauw-jin.
"Tahan...!" Seruan ini keluar dari mulut pendeta Maharya yang kemudian berbisik kepada koksu, "Harap
Taijin perintahkan pasukan mundur. Dia adalah seorang yang tidak boleh dibuat main-main!"
"Semua pasukan mundur, biarkan kami menyambut tamu!" Koksu berseru dan para panglima segera
membubarkan pasukan pengawal yang sudah mengurung dan hendak turun tangan mengeroyok.
Setelah para pasukan mundur, Bhong Ji Kun, Maharya dan Thian Tok Lama bersama lima orang panglima
tinggi termasuk Bhe Ti Kong, maju menghampiri kakek pendek dan gadis cantik itu. Ketika mereka semua
mengenal Kwi Hong mereka terkejut dan diam-diam mereka siap untuk mencabut senjata. Tentu saja
mereka semua mengenal Giam Kwi Hong, murid atau keponakan Pendekar Super Sakti, penghuni Pulau
Es yang dahulu pernah mereka tawan dalam kapal ketika mereka menyerbu Pulau Es itu. Tentu
kedatangannya ada hubungannya dengan penyerbuan Pulau Es, akan tetapi siapakah kakek pendek yang
tertawa-tawa itu?
Bu-tek Siauw-jin tidak memandang kepada orang lain kecuali kepada Maharya. Setelah memperhatikan
pendeta India ini dari kepala sampai ke kaki naik turun beberapa kali, akhirnya dia tertawa bergelak. "Haha-
ha-ha, bukankah engkau ini Si Maharya yang dulu sering kali bertanding gulat melawan aku di lereng
Himalaya?"
Maharya merangkap sepuluh jari tangannya ke depan hidung sebagai penghormatan lalu menjawab sambil
tertawa pula, "Siauw-jin, engkau masih hidup? Sungguh panjang usiamu!"
"Ha-ha-ha, tentu saja usiaku panjang karena aku masih ingin membuat engkau sekali lagi meniru bunyi
kambing untuk menyatakan kalah. Heh-heh-heh, Kwi Hong muridku, pernahkah engkau mendengar
permainan adu tenaga bergulat, dan yang kalah harus mengeluarkan bunyi seperti kambing sebagai tanda
menyerah?"
Kwi Hong semenjak tadi menyapu orang-orang di depannya itu dengan pandang mata penuh kebencian,
sikapnya dingin dan tangannya sudah gatal-gatal untuk segera turun tangan menyerang dan membalas
dendam.
"Belum pernah, akan tetapi aku tidak tertarik, aku lebih suka melihat pendeta busuk ini mengembalikan
Hok-mo-kiam kepadaku!"
"Ha-ha-ha, nanti dulu, itu urusan kecil. Dahulu, di lereng Himalaya, aku sering kali bergulat dengan
Maharya ini dan entah sudah berapa kali dia meniru bunyi kambing menyatakan kalah. Wah, dia pandai
benar meniru bunyi kambing, benar-benar seperti kambing tulen, ha-ha-ha!"
"Suhu, kurasa sekarang dia lebih pandai meniru bunyi anjing yang suka menjilat telapak kaki orang
berpangkat!" Kwi Hong berkata mengejek.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bhong Koksu segera maju dan mengangkat tangan memberi hormat kepada Bu-tek Siauw-jin yang dia
dapat menduga tentu seorang yang amat sakti sehingga paman gurunya begitu menghormat dan
mengalah. "Harap maafkan kalau saya tak mengenal Locianpwe yang agaknya sudah mengenal baik
Paman Guru Maharya. Kehormatan apakah yang akan Locianpwe berikan kepada kami dengan kunjungan
ini?" Koksu ini bersikap cerdik. Dia tahu bahwa gadis ini adalah murid Pendekar Super Sakti, mengapa kini
menyebut suhu kepada kakek pendek ini? Setelah muncul sebagai murid kakek ini, dia bersikap hati-hati
dan sengaja tidak mau menegur Kwi Hong.
"Ha-ha-ha, engkau murid keponakan Si Maharya? Koksu, kalau begitu engkau tentu murid sahabat ahli
pembuat pedang Nayakavhira!"
"Ahh! Locianpwe sudah mengenal mendiang guru saya?"
"Ha-ha-ha! Nayakavhira adalah sahabat kontan, tidak seperti Maharya ini yang sejak mudanya dahulu licik
dan curang. Jadi engkau muridnya? Aku mendengar dahulu bahwa Nayakavhira hanya mempunyai
seorang murid, yaitu seorang pemuda tukang penggembala kuda!"
Wajah Koksu merah sekali karena dialah yang dimaksudkan itu. Dialah penggembala kuda itu! Cepat ia
menyembunyikan pecutnya, senjata yang tadinya dibawanya untuk menghadapi musuh. Akan tetapi Bu-tek
Siauw-jin lebih cepat lagi, tangannya bergerak dan tahu-tahu pecut itu seperti hidup, terlepas dari tangan
Koksu dan berpindah ke tangannya.
"Bagus! Engkau penggembala kuda itu? Dan sekarang menggembalakan orang-orang termasuk paman
gurunya sendiri? Ha-ha-ha!" Kakek itu mengembalikan pecutnya dan Koksu menjadi pucat. Cara kakek itu
merampas pecutnya tadi sudah membuktikan bahwa kakek ini benar-benar lihai bukan main!
"Siauw-jin, engkau selamanya benar-benar seorang siauw-jin (manusia rendah budi)!" Maharya
membentak marah. "Apakah kedatanganmu mau mencari permusuhan? Ataukah engkau masih mengingat
akan hubungan lama dan kini hendak mencoba kepandaianku! Boleh kau coba, mengenai ilmu silat, ilmu
sihir atau ilmu kebatinan!"
"Maharya, kembalikan pedang Hok-mo-kiam, kalau tidak, akan kubunuh sekarang juga engkau!"
"Bocah sombong!" Maharya membentak, tangan kirinya bergerak dan asap hitam menyambar ke arah
muka Kwi Hong. Hanya sebuah serangan ringan saja, akan tetapi asap itu mengandung racun yang dapat
membikin pingsan lawan. Namun Kwi Hong hanya tersenyum, sedikit pun tidak mengelak sehingga angin
pukulan berikut asap itu mengenai mukanya.
Maharya terbelalak melihat betapa gadis itu sama sekali tidak terpengaruh, baik oleh angin pukulannya
mau pun oleh asap beracun! Kwi Hong sudah menggerakkan jari tangan hendak mencabut pedang, akan
tetapi tiba-tiba gurunya menyentuh lengannya dan tertawa.
"Ha-ha-ha, Maharya. Melawan muridku saja engkau tidak akan menang, maka engkau tidak menarik lagi
menjadi lawan bertanding. Lawan mengadu kecerdikan dengan teka-teki, engkau pun takkan menang.
Dahulu pun, teka-tekiku yang paling mudah sudah kuberi waktu tiga hari tiga malam engkau masih tidak
mampu memecahkannya. Apa lagi sekarang! Eh, Kwi Hong, tahukah engkau bahwa teka-teki yang amat
sederhana saja dia dahulu tidak becus menebak. Teka-tekiku dahulu itu begini, biar semua orang
mendengar betapa mudahnya. Ada sebuah benda mati tercipta dari yang hidup, berkepala dan bertubuh
lengkap, akan tetapi seluruh anggota tubuhnya, dari kepala sampai ke kakinya, semua menjadi satu. Nah,
apa itu?"
Kwi Hong termenung, mengasah otak dan anehnya, semua orang di situ semua kelihatan mengerutkan
alis, semua mencari pemecahan cangkriman ini, termasuk para panglima dan para pasukan yang berdiri di
tempat jauh akan tetapi ikut mendengarkan kata-kata Si Kakek Pendek. Melihat ini Maharya terkejut bukan
main. Biar pun hanya berupa olok-olok dan teka-teki yang dibuat kelakar, namun suara kakek itu ternyata
telah mempengaruhi semua orang sehingga mereka semua lupa keadaan dan ikut mencari jawabannya. Ini
saja sudah membuktikan betapa kuat sinkang kakek itu, betapa mukjizat dan tidak akan menanglah dia
kalau bertanding ilmu sihir!
Tiba-tiba Maharya mengeluarkan suara tertawa bergelak, suara tawa yang melengking panjang dan
bergema di udara seperti guntur, juga mirip suara kuda meringkik, dan semua orang menjadi sadar dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
penuh keheranan betapa mereka tadi sempat mencurahkan seluruh perhatian dan memeras otak untuk
mencari jawaban sebuah teka-teki, sungguh merupakan hal yang janggal sekali pada saat seperti itu!
"Hemm, Maharya, engkau sekarang bisa tertawa. Kwi Hong, dia sekarang memandang rendah karena
dahulu telah kuberi tahu jawabannya."
"Suhu, apa sih jawabannya? Teka-tekimu itu aneh dan sukar sekali!"
"Jawabannya? Dengar baik-baik...!"
Kembali semua orang, termasuk Koksu sendiri, mendengarkan penuh perhatian. Maharya terkejut dan
pendeta ini maklum bahwa pada detik itu kalau Si Kakek Pendek mau mempergunakan kekuatannya, bisa
saja dia mempengaruhi semua orang yang berada di situ, disuruh tidur tentu tidur, disuruh apa saja tentu
menurut karena mereka semua telah terjatuh ke dalam cengkeraman kekuasaan hebat dari kakek pendek
itu. Akan tetapi Bu-tek Siauw-jin hanya mendemonstrasikan kekuatannya saja dan tidak mau melakukan
sesuatu, melainkan melanjutkan ucapannya yang sengaja dihentikan sebentar untuk menguasai perhatian
semua orang.
"Jawabannya adalah... semut dipelintir. Ha-ha-ha-ha!"
Semua orang memandang heran, termasuk Kwi Hong. "Eh, Suhu, mengapa semut dipelintir?"
"Heh-heh, bukankah semut itu kalau dipelintir, seluruh anggota tubuhnya menjadi satu, sukar dibedakan
mana kepala mana kaki lagi? Dan semut itu tadinya hidup, maka benda yang berupa semut dipelintir itu
tercipta dari yang hidup dan tentu saja menjadi benda mati!"
Semua orang, termasuk Koksu, tersenyum menyeringai karena merasa dipermainkan seperti anak kecil
oleh kakek yang sinting ini.
"Bertanding kesaktian, engkau tentu kalah, Maharya. Bertanding sihir, engkau masih harus berguru seratus
tahun lagi. Bertanding teka-teki pun engkau tak akan menang..."
"Siauw-jin, aku hendak menantangmu untuk bertanding pengetahuan kebatinan!" tiba-tiba Maharya berkata
tegas.
"Heh-heh, begitu? Boleh! Paling-paling engkau paham filsafat Hindu dan Buddha, dan aku sudah hafal
semua."
"Harus memakai taruhan!" kembali Maharya berkata. "Tentu saja kalau kau berani, kalau tidak aku pun
tidak akan memaksamu."
"Wah-wah, sejak dahulu engkau memang licik dan curang, bermulut manis dan pandai menggunakan akal
bulus! Tahu kau akal bulus? Kalau berdepan, menyembunyikan kepala ke dalam perut, kalau ditinggal,
menggigit dari belakang! Akan tetapi jangan kira aku takut. Nah, apa taruhannya?"
"Begini! Aku akan mengajukan sebuah pertanyaan mengenai hidup yang amat pelik dan engkau harus
dapat menjawabnya dengan tepat berikut uraian dan alasannya agar jangan ngawur belaka. Kalau engkau
mampu menjawab, kami akan menerimamu sebagai tamu dan sahabat baik, dan semua permintaan Nona
yang menjadi muridmu ini tentu akan kami pertimbangkan baik-baik. Akan tetapi kalau engkau tidak bisa
menjawab, engkau dan muridmu harus pergi dari sini tanpa banyak ribut lagi dan tidak boleh mencari
perkara. Aku beri waktu satu bulan kepadamu dan selama kau memikirkan jawabannya, engkau boleh
tinggal di dalam kamar tahanan bersama muridmu selama sebulan dengan jaminan makan minum
secukupnya. Bagaimana? Beranikah kau menerima tantanganku ini?"
"Ha-ha-ha! Cukup adil! Boleh sekali, tetapi ingat, kalau sampai aku bisa menjawab, segala permintaanku
harus kau penuhi. Permintaanku tidak banyak, hanya menantang Koksu, engkau dan dia ini... ehhh,
bukankah aku pernah melihat hwesio gendut ini di Tibet? Kalau tidak salah, ada seorang lagi yang kurus
kering, dua orang Lama dari Tibet..."
Thian Tok Lama merangkap kedua tangannya di depan dadanya. "Omitohud, ingatan Locianpwe benarbenar
tajam sekali. Memang pinceng adalah Thian Tok Lama dari Tibet."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bagus! Dari India, dari Tibet, semua berkumpul di sini mengabdi kepada Mancu, ya? Luar biasa. Nah, aku
akan menantang kalian bertiga mengadu ilmu, sedangkan permintaan muridku adalah... eh, Kwi Hong, apa
permintaanmu kalau aku menang bertaruh? Jangan malu-malu, katakan saja!"
"Suhu," Kwi Hong mengerutkan alisnya, hatinya kurang senang. "Mengapa urusan ini dibuat main-main?
Lebih baik sekarang saja gempur mereka!"
"Wah, jangan begitu! Apa kau mau merampas kesenanganku bertaruh? Jangan khawatir, aku pasti
menang. Nah, jika aku menang, apa permintaan dan tuntutanmu?"
"Permintaanku, pertama Maharya harus mengembalikan Hok-mo-kiam dan kupotong ujung hidungnya
yang terlalu panjang karena dia telah berani membunuh Kakek Nayakavhira dan mencuri pedang. Kedua,
Koksu yang memimpin pasukan yang merusak Pulau Es harus membangun kembali pulau itu seperti
dahulu dan berlutut minta ampun ke depan Pendekar Super Sakti, menerima segala hukuman dan
keputusan yang dijatuhkan oleh Pendekar Super Sakti."
"Nah, bagaimana, Maharya?"
Koksu hendak membantah. Tentu saja tuntutan itu amat berat dan tak mungkin dilaksanakan. Biar pun
kakek pendek ini lihai bukan main, akan tetapi setelah berani memasuki istananya dan dikurung oleh
ratusan pengawal, bahkan kalau dia menggerakkan pasukan sampai ribuan orang pun tidak sukar, perlu
apa takut dan mengalah. Akan tetapi Maharya sudah cepat menjawab,
"Boleh! Nah, mari kita masuk ke ruangan dalam untuk mulai bertanding pengetahuan ilmu kebatinan."
"Suhu...!" Kwi Hong menyatakan keraguannya dengan pandang mata.
Sungguh amat bodoh memasuki istana itu, sama saja dengan memasuki goa harimau. Akan tetapi gurunya
tersenyum lebar dan berkata, "Jangan ragu-ragu, masuk saja. Hendak kulihat apa yang akan dikeluarkan
dari perut Maharya!"
Bagaikan seorang pahlawan yang pulang dari medan perang membawa kemenangan, Bu-tek Siauw-jin
berjalan penuh gaya. Dadanya diangkat membusung, wajah berseri, mulutnya tersenyum-senyum dan
matanya memandang ke kanan kiri! Akan tetapi Kwi Hong berjalan dengan hati-hati, agak menunduk dan
sepasang matanya yang indah mengerling ke kanan kiri, siap siaga menghadapi penyerangan gelap atau
jebakan musuh.
Koksu kini mengerti bahwa Maharya hendak menundukkan kakek pendek itu secara halus, maka dia pun
diam saja, hanya diam-diam dia memberi isyarat kepada para pembantunya untuk mengadakan persiapan
dan mengerahkan pasukan untuk menjaga dan mengurung. Ada pun Maharya diam-diam memperhatikan
Bu-tek Siauw-jin.
Puluhan tahun yang lalu dia memang pernah bertemu dengan Bu-tek Siauw-jin di lereng Pegunungan
Himalaya yang tinggi dan kakek ini dahulu hanya mengaku berjuluk Siauw-jin saja, sebuah ‘julukan’ yang
amat aneh dan kiranya orang sedunia, apa lagi seorang tokoh kang-ouw yang berilmu, tidak ada yang sudi
menggunakannya karena Siauw-jin berarti manusia rendah budi! Dan orang pendek itu sejak dahulu
memang berwatak ugal-ugalan, namun penuh rahasia dan memiliki ilmu yang aneh-aneh.
Memang Bu-tek Siauw-jin, tokoh atau datuk kedua Pulau Neraka ini amat berbeda dengan suheng-nya,
Cui-beng Koai-ong datuk pertama Pulau Neraka. Kalau Cui-beng Koai-ong selalu menyembunyikan diri,
lebih banyak berdekatan dengan mayat-mayat dan kerangka-kerangka manusia dari pada dengan manusia
hidup dan mencari ilmu-ilmu hitam di dalam tanah-tanah kuburan, sebaliknya Bu-tek Siauw-jin ini selain
mencari ilmu-ilmu hitam di kuburan, juga suka melakukan perantauan tanpa tujuan dengan menggunakan
nama samaran Siauw-jin dan tak pernah mengaku bahwa dia datang dari Pulau Neraka. Karena itu, dia
telah merantau sampai jauh ke barat, melalui Himalaya, Tibet, sampai ke India dan Nepal. Akan tetapi
namanya tidak terkenal dan dia hanya dikenal oleh orang yang pernah berjumpa dengannya sebagai
seorang yang berotak miring atau berwatak sinting. Di lain pihak, biar pun dia sendiri tidak terkenal, namun
dalam perantauannya ini Bu-tek Siauw-jin mengenal dunia kang-ouw dan mengenal pula atau setidaknya
mendengar nama para tokoh kang-ouw dan tahu akan kelihaian dan keistimewaan mereka.
Mereka telah memasuki ruangan yang luas. Yang ikut masuk ke dalam ruangan itu mengiringkan Bu-tek
Siauw-jin dan Kwi Hong adalah Maharya, Koksu, Thian Tok Lama, Bhe Ti Kong dan belasan orang
dunia-kangouw.blogspot.com
panglima pengawal. Namun tentu saja dengan diam-diam ruangan itu, juga gedung itu, telah dikurung oleh
pasukan yang melakukan penjagaan ketat.
Tanpa dipersilakan lagi, Bu-tek Siauw-jin lalu duduk di atas kursi, menyambar seguci arak dan minum arak
itu tanpa cawan dan tanpa penawaran tuan rumah lagi. Arak itu dituangkan begitu saja ke mulut sampai
gucinya kosong! Kemudian ia mengembalikan guci kosong ke atas meja, mengusap bibir dengan ujung
lengan baju dekil dan berkata,
"Nah, keluarkan isi perutmu, Maharya. Pertanyaan tentang ilmu batin apa yang hendak kau ajukan untuk
kupecahkan dan jawab? Hayo, keluarkan seluruh kepunsuanmu (kepandaianmu)!"
Semua orang mengambil tempat duduk, kecuali Kwi Hong yang hanya berdiri di belakang gurunya, tangan
kiri bertolak pinggang, tangan kanan meraba gagang pedang, wajahnya dingin. Kalau ada orang yang
sudah mengenal Kwi Hong sebelum ia menjadi murid Bu-tek Siauw-jin, tentu kini akan terheran-heran
melihat betapa wajah dan sikap dara itu berubah sama sekali. Kini wajah yang dahulu cerah dan riang itu
kelihatan muram dan dingin, sikapnya angkuh dan memandang rendah. Tanpa disadarinya oleh dia sendiri,
pengaruh ilmu mukjizat yang dimilikinya telah menguasai batinnya!
Hal ini tidak diketahui oleh Bu-tek Siauw-jin. Kakek ini adalah seorang yang telah memiliki batin kuat sekali,
dan memang memiliki dasar yang baik sehingga dia dapat mengatasi pengaruh segala ilmu hitam yang
dipelajarinya. Berbeda dengan suheng-nya yang juga tercengkeram oleh pengaruh ilmu hitam. Kini murid
kakek ini, Kwi Hong, biar pun semenjak kecil digembleng oleh Pendekar Super Sakti, kini tanpa disadarinya
juga mulai berubah sikapnya, menjadi dingin, murung dan kehalusan perasaannya menipis, membuatnya
tak pedulian dan kejam.
"Bu-tek Siauw-jin," Maharya mulai bicara sedangkan semua orang mendengarkan penuh ketegangan
karena belum pernah mereka yang terdiri dari orang-orang berilmu tinggi ini menyaksikan pertandingan
seaneh ini, pertandingan mengadu pengetahuan tentang ilmu batin! "Segala macam ilmu kepandaian yang
dimiliki manusia di dunia ini tidak ada artinya kalau manusia tidak mengerti akan hidup dan inti hidup.
Karena itu, mengapa kita mesti berkelahi seperti anak kecil untuk menentukan siapa yang lebih unggul?
Sebaiknya kita menguji kematangan jiwa. Apakah engkau siap untuk mencoba memecahkan dan
menjawab pertanyaanku?"
"Wah, sejak dahulu kau memang tajam lidah! Lekas keluarkan pertanyaan kentutmu itu, perlu apa banyak
rewel?" Bu-tek Siauw-jin kena dibakar dan dibuat tidak sabar oleh sikap Maharya yang memang sengaja
merangsang kemarahan lawannya.
"Bu-tek Siauw-jin, jawablah ini: Apakah yang dinamakan Aku yang sejati?"
"Apa lagi?"
"Cukup satu itu, karena yang satu itu sudah mencakup seluruh pengetahuan batin."
"Hemmm..., di dunia ini banyak sekali pengetahuan kebatinan berdasarkan agama dan filsafat yang timbul
dari tradisi bangsa-bangsa. Kurasa tiap-tiap agama mempunyai jawaban yang berbeda-beda terhadap
pertanyaanmu itu, Maharya. Jawaban dari sudut pendangan agama apa yang kau kehendaki?"
"Aku tidak akan menyangkut kepercayaan agama atau filsafat, karena selama masih ada yang
menyangkal, berarti belum tentu tepat. Jawaban agama atau filsafat tentu akan menghadapi tantangan dari
agama atau filsafat lain. Aku menghendaki agar engkau dapat memecahkan ini dengan tepat, disertai
dengan alasan-alasan yang kuat, tidak peduli engkau mengambil agama atau filsafat apa pun, asal benar.
Hanya aku menghendaki jawaban satu kali saja dan hanya yang satu kali itu yang berlaku, benar atau
salah. Kalau benar, kami siap memenuhi semua permintaanmu. Kalau salah, engkau dan muridmu harus
pergi dari sini dan selamanya tidak boleh mengganggu kami lagi."
Bu-tek Siauw-jin benar-benar merasa terpukul. Tak disangkanya Maharya akan mengajukan pertanyaan
yang sedemikian hebat! Pertanyaan yang mungkin sekali waktu akan menyelinap ke dalam hati setiap
orang manusia dan yang sudah ribuan tahun semenjak sejarah manusia tercatat, belum ada jawaban yang
tepat untuk pertanyaan itu! Dia menggaruk-garuk kepalanya dan menoleh kepada Kwi Hong. "Kwi Hong,
monyet kurus ini benar-benar lihai sekali. Aku memerlukan waktu untuk memikirkan jawaban pertanyaan
itu. Terpaksa kita harus mengeram di dalam kamar tahanan untuk beberapa hari, muridku."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Hong cemberut, "Suhu, perlu apa melayani segala macam obrolan? Harap Suhu jangan kena dibujuk
dan ditipu mentah-mentah oleh pendeta palsu itu! Tanpa bantuan Suhu sekali pun, aku sanggup untuk
membasmi mereka semua ini!" Kwi Hong membuat gerakan dan tiba-tiba terdengar suara berdesing dan
tampak sinar kilat menyambar di dalam ruangan itu.
"Pedang Iblis...!" Koksu dan Thian Tok Lama berseru kaget menyaksikan pedang yang berkilat-kilat di
tangan gadis itu.
"Hushhh, sarungkan kembali pedangmu, muridku." Bu-tek Siauw-jin menyentuh lengan Kwi Hong dan
gadis itu terkejut karena merasa lengannya tergetar. Suhu-nya telah mempergunakan tenaga dan ini tentu
berarti bahwa dia harus menyimpan pedangnya karena sesuatu yang amat gawat. Sambil menghela napas
dia menyimpan kembali pedangnya dan menundukkan muka.
"Maharya, engkau tua bangka licik! Pertanyaanmu merupakan pertanyaan seluruh manusia, akan tetapi
karena waktunya sebulan, biarlah aku dan muridku berdiam di dalam kamar tahanan sebagai tamu yang
tidak agung. Heh-heh-heh! Marilah, antar kami ke tempat kami!"
Dengan wajah berseri Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama sendiri mengantar kedua orang itu ke dalam
kamar tahanan yang berada di ruangan bawah tanah, melalui anak tangga dan terowongan yang amat
dalam. Mereka berdua memasuki sebuah kamar yang ditunjuk, kemudian pintunya yang terbuat dari baja
yang amat kuat seperti pintu kerangkeng gajah itu ditutup dan dikunci dari luar. Demikianlah, guru dan
murid ini menjadi orang-orang tahanan dan mereka selalu menerima jaminan makan dan minum melalui
jeruji di atas pintu kamar tahanan.
"Mengapa Suhu begini bodoh mau ditipu?" Kwi Hong menegur gurunya setelah mereka berada di dalam
kamar tahanan.
"Wah, jangan murung, muridku yang manis! Tempat ini amat baik untuk kau berlatih dan memperdalam
ilmumu. Dengar baik-baik. Kulihat Maharya, Koksu, dan Thian Tok Lama merupakan lawan-lawan yang
tidak lemah. Apa lagi di samping mereka masih ada belasan orang panglima dan mungkin ribuan orang
prajurit. Karena itu, sebelum kita turun tangan, engkau harus menyempurnakan ilmu pedangmu yang baru
lebih dulu, dan mematangkan tenaga sinkangmu. Waktu yang sebulan ini kiranya cukup. Dan selain
engkau dapat berlatih, aku pun amat tertarik untuk mencari jawaban atas pertanyaan Maharya itu."
Kwi Hong mengangguk-angguk. Kelihatannya saja gurunya ini sinting, sebenarnya di balik watak sintingnya
itu bersembunyi kecerdikan yang mengagumkan. Maka dia pun tidak banyak cakap lagi dan berlatih
dengan tekunnya di dalam kamar tahanan, kadang-kadang saja menerima petunjuk dari Bu-tek Siauw-jin.
Ada pun kakek ini, untuk melewatkan waktunya kadang duduk bersila dan mengerutkan kening, mengasah
otak sampai ubun-ubunnya mengepulkan uap putih, mencari jawaban atas pertanyaan yang diajukan
Maharya. Kalau sudah terlalu lelah dan jawaban yang tepat belum juga dapat ditemukan, dia lalu bermainmain
seperti anak kecil, kadang-kadang mengumpulkan batu dan dibuatlah kelereng, bermain kelereng
sendirian sambil tertawa-tawa.
Telah tiga pekan mereka berada di dalam kamar itu dan ilmu pedang Kwi Hong sudah mengalami
kemajuan yang pesat sekali sehingga menggirangkan hati gurunya. Akan tetapi, pertanyaan itu masih
belum didapatkan jawabnya oleh Bu-tek Siauw-jin! Saking kesalnya, ketika ia mendengar jangkrik, ia girang
sekali dan ingin benar ia menangkap jangkrik itu. Mereka berdua tidak tahu bahwa pada saat itu
percakapan mereka sedang didengarkan oleh Suma Han dan Milana di dalam kamar tahanan yang berada
di atas mereka!
Melihat betapa gurunya ingin sekali menangkap jangkrik, dan karena keadaan cuaca dalam kamar tahanan
itu agak gelap, Kwi Hong kemudian menyalakan lampu minyak sehingga kamar itu tidak begitu gelap lagi.
"Wah-wah, tidak mau mengerik lagi!" Bu-tek Siauw-jin berlutut di lantai, menelungkup dan menempelkan
telinganya di lantai yang penuh batu berserakan, yaitu batu-batu yang dicokel keluar dari lantai oleh kakek
itu untuk dipakai sebagai gundu. "Wah, kenapa lampunya dinyalakan? Kalau keadaan terang, tentu saja
jangkrik itu mengira hari telah siang dan tidak mau berbunyi."
"Memang sekarang bukan malam, Suhu."
"Benar, akan tetapi kalau tidak dinyalakan akan gelap, jangkrik itu mengira malam dan berbunyi. Hayo
padamkan lagi biar dia mengeluarkan bunyi!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aihh, Suhu ini aneh-aneh saja! Biar pun lampu dipadamkan, kalau Suhu ribut-ribut begitu mana dia mau
mengerik? Pula, sudah diketahui dia berada di dalam lubang itu, biar dia mengerik sekali pun tentu dari
dalam lubang."
"Oya, kau benar aku yang salah. Kalau begitu, biar kukencingi!"
"Jangan, Suhu! Kamar ini menjadi makin bau! Karena kalau ditepuk-tepuk di sekitar lubang, dia akan kaget
dan akan keluar juga, atau kalau ditiup lubangnya." Kini Kwi Hong mulai tertarik dan ia pun ikut berlutut di
dekat suhu-nya, mereka memandangi lubang jangkrik seolah-olah hal menangkap jangkrik merupakan
peristiwa yang terpenting di saat itu!
"Oya, kau benar dan aku salah!" Kembali kakek itu berkata. "Kalau kukencingi, mana jangkrik itu kuat
bertahan terkena kencingku? Tentu akan mati pengap! Biar kutiup lubangnya dan kau tepuk-tepuk di
sebelah atas lubangnya."
Dua orang itu bekerja sama dengan asyik. Tiba-tiba dari dalam lubang itu meloncat keluar seekor jangkrik
yang segera ditangkap oleh tangan kakek itu yang segera bersorak girang sambil menggenggam jangkrik
itu.
Kwi Hong juga terseret dalam kegembiraan. Baru sekarang tampak wajahnya berseri dan kembalilah dia
seperti Kwi Hong yang lincah gembira. Akan tetapi hanya sebentar saja. "Besarkah jangkriknya, Suhu?
Merah atau hitam bulunya?"
Mereka mengintai bersama ketika kakek itu membuka sedikit genggaman tangannya.
"Uhhhh!" Kwi Hong berseru geli dan menutupi mulutnya.
"Sialan dangkalan!" Bu-tek Siauw-jin memaki ketika melihat ke dalam genggaman tangannya. "Ini namanya
jangkrik upo (jangkrik kecil pemakan nasi upo)! Jangkrik kecil tidak bisa diadu! Engkau penipu kecil seperti
Maharya saja!"
Kakek itu tiba-tiba membuka lebar mulutnya dan... jangkrik kecil itu ditelannya bulat-bulat! Kala menjingnya
bergerak dan berbunyi "ceguk-ceguk!" ketika ia menelan jangkrik itu hidup-hidup!
"Ihhhh! Mengapa Suhu jorok (kotor) sekali? Masa jangkrik hidup-hidup ditelan?" Kwi Hong mencela.
Gurunya ini benar-benar aneh, kadang-kadang dia pandang sebagai guru yang pandai, akan tetapi ada
kalanya dia merasa seperti berhadapan dengan seorang anak kecil yang memerlukan teguran-teguran!
"Apa kau bilang? Kotor? Wah, menelan jangkrik mentah dan hidup masih mending. Pernahkah engkau
mendengar orang-orang sinting menelan cindil (anak tikus) hidup-hidup? Coba bandingkan! Kan lebih
gagah jangkrik dari pada cindil? Jangkrik memiliki sifat jantan dan pemberani, tidak seperti tikus-tikus cilik
itu!"
Kwi Hong tidak mau membantah lagi. Payah memang berbantah dengan gurunya yang pandai berdebat
ini. Pula kegembiraannya telah hilang dan kembali dara itu termenung dengan wajah muram dan dingin.
"Kwi Hong...!" Tiba-tiba terdengar suara panggilan yang amat jelas, seolah-olah Kwi Hong mendengar
suara pamannya di dekat telinga dan pamannya seperti berdiri di sampingnya. Kwi Hong mencelat kaget.
"Paman...!"
"Kwi Hong, dengan siapa engkau di situ dan mengapa?" kembali suara Pendekar Super Sakti bergema
memasuki ruangan kamar tahanan itu.
"Paman, di mana engkau? Suaramu begini dekat...!" Kwi Hong yang merasa bingung itu tiba-tiba menjadi
takut. Bagaimana dia harus menerangkan kepada pamannya bahwa dia telah menjadi murid kakek sinting,
Datuk Pulau Neraka ini?
"Ha-ha-ha-ha! Sungguh lucu! Eh, bukankah Suma-taihiap, Pendekar Super Sakti Tocu Pulau Es yang
berada di atas itu? Maaf, maaf! Kita belum pernah saling bertemu akan tetapi sudah bertahun-tahun aku
dunia-kangouw.blogspot.com
kagum sekali kepada Taihiap. Sekarang, secara aneh kita bertemu akan tetapi tak dapat saling pandang!
Ha-ha-ha!"
Karena kakek itu mengerahkan khikang maka suaranya meluncur melalui lubang kecil itu ke kamar di atas
dan terdengar jelas sekali oleh Suma Han yang menjadi kagum dan maklum bahwa orang yang berada di
bawah bersama keponakannya itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.
"Siapakah Locianpwe yang telah mengenalku?" tanyanya, menahan rasa penasaran karena tadi
keponakannya menyebut ‘suhu’ kepada orang itu.
"Wah-wah, jangan menyebutku Locianpwe. Harap Taihiap ketahui bahwa aku hanyalah seorang kakek tua
bangka yang tidak ada harganya, hanya keturunan para buangan di Pulau Neraka."
Suma Han makin terkejut dan teringatlah ia akan penuturan Alan puteri Ketua Thian-liong-pang tentang
keponakannya yang keluar dari lubang kuburan! Suaranya memang berbeda akan tetapi siapa lagi yang
begitu lihai dan mengaku sebagai keturunan buangan Pulau Neraka kalau bukan kakek mayat hidup yang
pernah bertemu dan bertanding dengannya, yang amat sakti itu sehingga hampir saja ia celaka? Akan
tetapi, mungkinkah Kwi Hong menjadi murid manusia iblis itu? Bukankah kakek iblis itu menjadi guru Wan
Keng In? Dia merasa bingung dan hatinya tegang.
"Apakah Cui-beng Koai-ong di bawah sana?" tanyanya penuh wibawa.
"Ha-ha-ha-ha, kiranya Taihiap sudah pernah bertemu dengan Suheng-ku itu? Tidak, Taihiap. Aku hanyalah
Bu-tek Siauw-jin, sute-nya dan aku mendapat kehormatan besar sekali untuk menjadi guru keponakanmu."
Kwi Hong berdiri dengan muka pucat. Dia tahu bahwa dia telah berbuat sesuatu yang amat salah dalam
pandangan pamannya. Dia adalah keponakan, dan terutama sekali murid Pendekar Super Sakti.
Bagaimana dia berani menjadi murid orang lain? Hal ini sama saja dengan menghina guru atau pamannya
itu! Maka, sebelum pamannya mengucapkan sesuatu yang timbul dari kemarahan, dia cepat mendahului,
berkata dengan pengerahan khikang.
"Paman, harap suka mendengarkan penuturanku!" Cepat ia menuturkan pertemuannya dengan Bu-tek
Siauw-jin dan bagaimana ia sampai menjadi muridnya. Betapa gurunya itu biar pun seorang Datuk Pulau
Neraka, akan tetapi sikapnya baik sekali, bahkan kini mereka ke kota raja karena kakek itu hendak
membantunya menghadapi musuh-musuhnya, Koksu dan kaki kanannya.
"Sayang sekali, Suhu ditipu oleh Maharya. Suhu diajak bertaruh memecahkan sebuah pertanyaan yang
sulit. Suhu diberi waktu sebulan di sini, dan sudah tiga pekan kami berada di sini, agaknya Suhu belum
berhasil! Harap Paman suka mengampunkan aku yang lancang... akan tetapi sesungguhnya Suhu adalah
seorang yang sakti dan amat baik, Paman."
Sunyi sejenak, hanya terdengar suara Bu-tek Siauw-jin tertawa kecil, agaknya merasa geli mendengarkan
penuturan Kwi Hong tadi.
"Bu-tek Siauw-jin, setelah mendengar penuturan keponakanku, dan karena dia sudah terlanjur menjadi
muridmu, biarlah aku mengucapkan terima kasih kepadamu. Pertanyaan apakah yang diajukan oleh
Maharya kepadamu? Aku akan membantumu mencarikan jawabannya."
"Bagus! Engkau benar-benar seorang pendekar tulen, Suma-taihiap! Tidak saja tidak marah kepadaku
yang merampas muridmu, akan tetapi juga berterima kasih dan ingin membantuku memecahkan teka-teki.
Wah, jika engkau benar-benar bisa membantuku memecahkan pertanyaan itu, benar-benar aku takluk dan
mengangkat engkau sebagai sahabatku yang paling jempol di dunia ini! Pertanyaannya adalah: Apakah
yang dinamakan Aku yang sejati? Nah, bantulah aku menjawabnya, Taihiap."
Suma Han yang tadinya mendekatkan mukanya di lantai kamar tahanan, kini bangkit duduk dan kedua
alisnya berkerut. Pertanyaan yang amat luar biasa! Bagaimana menjawabnya? Dia sudah banyak
membaca filsafat kuno dari berbagai agama. Akan tetapi, apakah jawabannya yang tepat? Apakah itu
SENG yang merupakan anugerah Tuhan seperti yang dimaksudkan dalam ujar-ujar Nabi Khong-cu?
Apakah itu TAO seperti yang dimaksudkan dalam Agama Tao? Ataukah Atman seperti yang disebut-sebut
oleh pendeta-pendeta Hindu. Ataukah Roh Suci? Mana yang benar?
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat ayah kandungnya duduk termenung diam tak bergerak seperti arca itu, Milana ikut pula duduk di
lantai. Luka-lukanya sudah sembuh, tubuhnya tidak merasa nyeri lagi. Dia duduk bersila dan memikirkan
pertanyaan aneh itu. Hatinya bicara sendiri. Hemm, orang-orang tua ini memang aneh! Apa gunanya? Apa
untungnya kalau mengetahui AKU SEJATI? Membuang-buang tenaga pikiran saja. Pula apa pun juga
jawabannya, siapa yang akan dapat memastikan apakah jawaban itu benar atau salah? Adakah manusia
yang pernah melihatnya atau bertemu dengan AKU SEJATI itu? Mungkin ada, pikirnya. Kalau tidak ada
mengapa disebut-sebut? Adanya disebut, tentu ada yang pernah mengalami bertemu dengannya!
Lama kelamaan kepalanya menjadi pening memikirkan pertanyaan yang ruwet itu. Jangankan
mendapatkan jawaban, bahkan pertanyaan itu saja tidak dimengertinya. Dia tidak mengenal yang disebut
Aku Sejati itu. Mendengar pun baru sekarang! Milana melirik ke arah ayahnya dan dia melihat pendekar itu
masih duduk termenung penuh kesungguhan. Dia tidak berani mengganggu, bahkan kemudian
menjauhinya dan untuk melewatkan waktu Milana meraba-raba dinding untuk memeriksanya dan mencari
kemungkinan membobol dinding itu.
Tiba-tiba jari tangannya yang halus itu meraba permukaan dinding yang tidak rata, ada lubang-lubang
besar kecil, panjang pendek seperti ukir-ukiran. Dia tertarik sekali dan cepat dia menggosok dan
membuang lumut-lumut hijau yang tumbuh di atas batu dinding. Maka tampaklah ukiran huruf-huruf kecil di
atas batu. Dengan penuh semangat dan amat tertarik, Milana terus membersihkan batu dinding dan
setelah bekerja keras hampir satu jam lamanya, akhirnya dia dapat melihat sebaris huruf yang cukup jelas.
Saking girangnya, dia lupa akan ayahnya dan membaca huruf-huruf itu dengan suara agak keras.
"Sesungguhnya yang ada itu bukan, karena yang ada itu diadakan oleh pikiran manusia."
"Apa kau bilang?" Tiba-tiba Suma Han menoleh dan bertanya seperti orang terkejut.
Milana juga kaget karena di luar kesadarannya dia telah membaca huruf-huruf itu keras-keras, "Aku
membaca ukir-ukiran huruf di dinding ini, Paman."
Sekali berkelebat Suma Han telah berada di depan dinding itu dan membaca ukiran huruf-huruf yang
coretannya indah dan kuat itu, mula-mula hanya perlahan, kemudian dibacanya lagi agak keras, diulangulangi.
SESUNGGUHNYA YANG ADA ITU BUKAN, KARENA YANG ADA ITU DIADAKAN OLEH PIKIRAN
MANUSIA. Belum pernah dia bertemu dengan kalimat seperti itu, akan tetapi seperti ada hubungannya
dengan pertanyaan Maharya! Ia menggunakan ingatannya, mengenang kembali ayat-ayat dalam kitabkitab
yang pernah dibacanya. Tiba-tiba ia menepuk pahanya, "Hampir sama dengan makna dalam kitab
To-tik-keng ayat pertama!"
Milana yang biar pun telah banyak membaca tetapi sejak dulu memang tidak menaruh minat terhadap
kitab-kitab filsafat dan agama, lalu bertanya, "Bagaimana bunyinya, Paman?"
Suma Han mengangkat mukanya dan mengerutkan kening, membaca ayat pertama kitab To-tik-keng
seperti yang diingatnya:
Jalan (Tao) yang dapat dipergunakan sebagai jalan bukanlah Jalan (Tao) yang sejati.
Nama yang dapat dipergunakan sebagai nama bukanlah nama sejati.
Tanpa Nama adalah awal Bumi dan Langit.
Dengan Nama adalah ibu segala benda.
Tidak Ada kalau kita ingin menyatakan rahasianya.
Ada kalau kita ingin menyatakan keadaannya
keduanya berpasangan walau namanya berbeda
pasangan yang disebut amat gaib pintu semua rahasia!
Tiba-tiba Milana memandang ayahnya dengan wajah berseri dan dia berseru, "Wah! Kalau begitu amat
cocok! Itulah jawaban untuk teka-teki yang diajukan oleh pendeta Maharya itu, Paman!"
Suma Han melongo. "Hemm? Apa? Bagaimana? Bagaimana jawabannya?"
"Jawabannya adalah itu! Tidak ada apa-apa!"
"Ah, masa jawaban begitu? Engkau terpengaruh oleh kalimat terukir di dinding itu, diperkuat pula oleh
bunyi ayat pertama kitab To-tik-keng yang memang ada persamaan dengan kalimat di dinding itu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Justeru keduanya cocok pula dengan jawaban pertanyaan Maharya. Jawaban ini sekaligus
menghancurkan pertanyaan itu, Paman"
"Alan, engkau masih terlalu muda untuk mencampuri urusan ini. Yang diajukan adalah pertanyaan gawat
yang tak pernah dapat terjawab oleh manusia, yaitu apakah yang dinamakan Aku Sejati? Kalimat di dinding
dan ayat pertama To-tik-keng sama sekali tidak menerangkan siapa sebetulnya Aku Sejati!"
"Sudah jelas diterangkan bahwa sebetulnya tidak ada apa-apa, Paman! Yang ada itu bukan, karena
diadakan oleh pikiran manusia. Yang bisa dinamakan bukanlah nama sejati! Awal Langit Bumi adalah
Tanpa Nama. Jadi jelas bahwa yang dikatakan Aku Sejati itu sesungguhnya bukanlah yang sejati! Aku
Sejati yang dimaksudkan itu hanyalah buatan pikiran manusia saja, jadi palsu karena dia ada oleh pikiran
yang mengada-ada! Yang sejati tentu tidak bisa disebut dengan nama. Adakah manusia di dunia ini yang
sudah bertemu dengan Aku yang Sejati?"
"Husshh! Jangan engkau lancang, Alan. Tentu saja ada. Manusia-manusia suci di jaman dahulu tentu
sudah tahu akan Aku Sejati itu, mungkin di jaman sekarang pun ada yang memiliki kesucian sedemikian
tinggi sehingga dapat mengerti dan bertemu dengan Aku-nya yang Sejati!"
"Ah, hal itu tidak mungkin, Paman!"
"Mengapa tidak mungkin?"
"Misalnya aku yang bertemu dengan Aku-ku yang Sejati, habis siapa itu yang bertemu dan siapa pula yang
ditemui? Apakah ada dua Aku? Yang palsu dan yang sejati saling bertemu, yang palsu mau pun yang
sejati, hanyalah khayalan pikiran saja, Paman. Karena pikiran mengingat akan pelajaran yang pernah
dipelajarinya, pernah mendengar tentang Aku Sejati, mencarinya, maka timbullah bayangan Aku Sejati
yang bukan lain juga khayalan pikiran sendiri belaka!"
Suma Han mengangguk-angguk. "Hm... hm... biar pun uraianmu itu tidak berdasarkan filsafat-filsafat kuno,
akan tetapi masuk diakal pula!" Suma Han termenung, wajahnya makin lama makin terang. Beberapa kali
dia mengangguk-angguk dan menggumam. "Engkau hebat, Alan... engkau telah membuka kesadaranku...
engkau membuka mata batinku..."
Milana tidak mengerti dan terheran-heran. Akan tetapi dia kagum sekali melihat betapa wajah Pendekar
Super Sakti itu sekarang berubah, berseri dan bersinar seolah-olah kemuraman yang tadinya selalu
merupakan awan menutupi wajah tampan itu kini terusir bersih.
"Terima kasih, Alan...!" Tiba-tiba Suma Han merangkul pundak dara itu, kemudian memeluknya, mencium
dahinya.
Milana terkejut, mengira bahwa Suma Han hendak berbuat tidak sopan, tetapi ketika ayahnya itu mencium
dahinya, Milana terisak dan memejamkan matanya. Ingin dia balas memeluk dan menjeritkan sebutan
ayah, akan tetapi perasaan ini ditahannya.
Suma Han memegang pundak gadis itu dan mendorongnya, memandang wajah cantik itu dan Milana
melihat betapa wajah ayahnya kini benar-benar cemerlang dan penuh kebahagiaan.
"Ahhh, siapa sangka! Di tempat ini aku baru mendapatkan penerangan batin!"
"Apa... apa maksudmu, Paman?"
"Aku tidak hanya menemukan jawaban dari teka-teki Maharya saja, melainkan jawaban dari segala macam
pertanyaan di dunia ini! Aihhh, semuanya karena engkau yang mulai menyalakan api penerangan itu, Alan.
Biar pun tidak kau sengaja, karena engkau polos, wajar, karena engkau tidak tahu apa-apa itulah malah
yang menyalakan api penerangan! Tahukah engkau? Siapa yang sengsara, yang tidak bahagia, maka dia
merindukan kebahagiaan, ia mengejar kebahagiaan. Setelah dia merasa mendapatkan kebahagiaan, maka
kebahagiaan yang didapatkannya itu hanyalah kebahagiaan palsu hasil khayalan pikirannya belaka, tidak
akan bersifat kekal. Orang bahagia tidak akan merasakan kebahagiaannya sudah menjadi satu. Kalau
terpisah, berarti tidak bahagia, dan kebahagiaan hanya menjadi renungan saja! Ha-ha-ha! Dan semua
pelajaran itu... ha-ha-ha, semua itu sungguh menggelikan. Hanya permainan khayal, lelucon hidup!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Milana memandang wajah ayahnya, mula-mula khawatir karena baru sekarang dia melihat dan mendengar
ayahnya itu tertawa bergelak. Akan tetapi setelah melihat jelas bahwa suara ketawa itu sewajarnya, dia ikut
merasa gembira walau pun bingung juga karena tidak mengerti.
"Bagaimana, Paman? Apa hubungannya dengan teka-teki Maharya?"
"Sudah terjawab semua, Alan! Kebenaran bukanlah kebenaran kalau dinyatakan oleh mulut dan pikiran!
Kebahagiaan bukanlah kebahagiaan kalau dinyatakan oleh pikiran. Aku Sejati pun bukan Aku Sejati kalau
dinyatakan oleh pikiran. Semua adalah khayalan pikiran karena pelajaran-pelajaran yang pernah didengar
atau dilihatnya meniru-niru dan mengulang-ulang barang lama pusaka usang!"
"Wah, sekarang akulah yang menjadi bingung, Paman!" Milana berseru sambil memijit-mijit pelipis
kepalanya karena dia menjadi pening mengikuti semua kata-kata ayahnya.
"Aku sendiri pun tidak mudah membebaskan semua yang menempel di dalam benakku, Alan. Pikiran
merupakan kertas putih bersih dan kalau sudah terlalu penuh dengan coretan-coretan beraneka warna,
tidaklah mudah untuk membersihkannya, walau pun bukan tidak mungkin. Dan selama kertas itu tidak
kembali putih bersih dan kosong seperti semula, maka selalu akan menjadi kabur oleh bekas-bekas
goresan, bahkan akan diselundupi goresan-goresan baru. Aihhh, kini aku mengerti mengapa kaum
budiman di jaman dahulu memuji dan mengagumi kehidupan anak-anak yang bagaikan kertas putih belum
ternoda oleh goresan-goresan kotor!"
Tiba-tiba dari bawah terdengar suara Bu-tek Siauw-jin. "Heiii! Pendekar Super Sakti, Suma-taihiap! Lapatlapat
aku mendengar engkau bilang telah mendapatkan jawaban. Betulkah itu? Kalau betul, harap segera
memberitahukan kepadaku, jangan menjual mahal!"
Suma Han tersenyum, lalu menjawab, "Bu-tek Siauw-jin, temuilah Maharya dan jawablah bahwa Aku Sejati
yang dia tanyakan itu adalah khayalan pikiran alias palsu!"
Hening sampai lama sekali di bawah. Karena mendengar jawaban itu, Bu-tek Siauw-jin menjadi bingung
dan terheran-heran, memeras otaknya memikirkan jawaban yang dianggapnya aneh itu. Sekitar
seperempat jam kemudian, barulah terdengar suaranya. "Suma-taihiap, apakah engkau memang sengaja
memperolok-olokkan aku seorang tua? Jawaban itu bukanlah jawaban!"
"Mengapa bukan jawaban? Itulah jawabannya yang paling tepat. Kalau engkau menjawab dengan dasar
filsafat sesuatu agama, tentu akan dibantahnya dengan dasar filsafat lain. Akan tetapi jawaban ini
berdasarkan kenyataan yang tak dapat dibantah lagi. Siapa yang dapat membantah kenyataan? Dengarlah
baik-baik, Bu-tek Siauw-jin. Dia bertanya apakah yang dinamakan Aku Sejati, bukan? Nah, jawabannya
yang dinamakan Aku Sejati adalah bukan Aku Sejati, melainkan khayalan pikiran alias palsu!"
"Kenapa begitu?"
"Karena, yang dapat dinamakan itu hanyalah Aku Sejati atas dasar pelajaran yang pernah didengar dari
seorang guru atau dari kitab, sehingga menciptakan Aku Sejati khayalan pikiran. Jadi jelas bahwa yang
dinamakan Aku Sejati adalah bayangan khayalan pikiran, palsu."
"Hemm, seperti jawaban akal bulus, akan tetapi dapat kurasakan kebenarannya. Bagai mana kalau dia
tanya, ada atau tidakkah Aku Sejati?"
"Bu-tek Siauw-jin, harap jangan bodoh. Yang ditanyakan adalah apa yang dinamakan Aku Sejati, bukan
mempersoalkan ada atau tidaknya. Ada atau tidaknya bukanlah persoalan manusia, bukan persoalan
hidup."
"Kau benar aku salah. Aku takkan mau menjawab kalau dia tanyakan itu, dan akan kutempiling kepalanya
kalau dia mengajukan lain pertanyaan karena yang dijanjikan hanya satu ini. Akan tetapi, Suma-taihiap, di
antara kita sendiri, apakah kau percaya akan adanya Aku Sejati?"
"Bu-tek Siauw-jin, percaya atau tidak percaya hanyalah merupakan kebodohan. Kalau kita ingin mengerti,
kita harus melakukan penyelidikan dengan penuh perhatian dan kesungguhan. Setelah kita mengerti, tidak
ada lagi persoalan percaya atau tidak. Setelah kita melihat bahwa matahari terbit dari timur, tidak ada lagi
persoalan percaya atau tidak, bukan? Setelah kita merasakan sendiri bahwa jantung kita berdenyut, tidak
ada persoalan lagi apakah kita percaya atau tidak akan hal itu. Percaya atau tidak hanya timbul kalau kita
dunia-kangouw.blogspot.com
belum mengerti, dan tidak ada gunanya sama sekali. Selama kita didorong keinginan mengerti apakah ada
Aku Sejati, selama kita didorong keinginan mencarinya, kita tidak akan pernah mengerti tentang Aku Sejati,
atau Kebahagiaan, atau Cinta Kasih, atau sebutan suci lain lagi. Mari kita sama-sama menyelidikinya, Butek
Siauw-jin, dengan mengenal diri sendiri, mengenal nafsu-nafsu kita, mengawasi kesemuanya itu dan
menyadari apa yang kita hadapi saat ini. Bebas dan bersihnya pikiran dari masa lampau dan semua
goresannya melenyapkan sang aku yang selalu menjadi pusat segala pemikiran, dan pergerakan manusia
sehingga timbullah pertentangan-pertentangan karena perpisahan dan pemecahan-pemecahan antara aku
dan engkau dan dia dan mereka!"
"Wah-wah-wah! Aku jadi ingin sekali melihat wajahmu, Suma-taihiap! Belum pernah selama hidupku aku
mendengar orang berbicara seperti itu."
"Aku pun baru saja menemukan diriku sendiri. Akan tetapi cukuplah semua itu, kini mari kita menjumpai
Koksu dan para pembantunya."
"Kita?"
"Benar, karena aku akan turun ke bawah, akan kujebolkan lantai ini. Hati-hati di bawah sana, Siauw-jin dan
Kwi Hong, jangan tertimpa pecahan lantai!"
Terdengar suara ledakan keras saat Suma Han dengan seluruh tenaganya menerjang lantai dan lantai
batu itu ambrol! Suma Han memegang lengan Milana, dan membawa dara itu meloncat turun ke dalam
kamar tahanan Kwi Hong dan Bu-tek Siauw-jin.
Ketika Kwi Hong melihat Milana, dia terkejut sekali. Baru sekarang dia mengenal gadis itu setelah gadis itu
muncul, bersama pamannya. "Kau... kau... Milana...!" teriaknya.
Milana juga terkejut. Setelah Kwi Hong mengenalnya, mana mungkin dia bisa mungkir lagi? "Kwi Hong...!"
katanya dan ia terisak.
"Milana...? Engkau... engkau... Alan... engkau Milana...?" Suma Han merasa seperti disambar petir ketika
dia membalikkan tubuh dan memandang wajah Milana. "Aihhh, betapa bodohku! Dan ibumu... Nirahai...
dia... dia..."
Milana masih menangis, dia mengangguk dan terdengar isaknya. "Be... benar Ayah...!"
Suma Han mengeluarkan suara melengking panjang, tangannya menangkap lengan Milana dan tiba-tiba
dia mencelat ke arah pintu. Terdengar suara ledakan keras lagi, pintu kamar tahanan Bu-tek Siauw-jin
pecah berantakan dan tubuh Pendekar Super Sakti itu lenyap bersama Milana.
"Paman...!" Kwi Hong berseru, akan tetapi sia-sia saja karena pamannya sudah tidak berada di situ lagi.
Terdengar teriakan-teriakan di luar dan disusul suara berdebukan robohnya para pengawal yang menjaga
ketika mereka itu secara berani mati mencoba untuk menghadapi larinya Pendekar Super Sakti.
Bu-tek Siauw-jin menggeleng-gelengkan kepalanya dan menghela napas panjang. "Waaah, aku kecelik!
Paman atau gurumu itu sehebat itu, dan engkau masih berguru kepadaku. Benar-benar aku merasa malu
sekali!" Dia terus menggeleng-geleng kepala dan mulutnya berkecap-kecap kagum, "tsk-tsk-tsk!" tiada
hentinya.
"Akan tetapi ilmu yang kau ajarkan kepadaku juga hebat, Suhu," bantah Kwi Hong.
"Sudahlah, mari kita keluar." Kakek itu lalu monyongkan mulutnya, berteriak nyaring sekali, "Haiiiii!
Maharya pendeta palsu! Hayo ke sini dan terima jawabankuuuuu...!"
Bersama Kwi Hong, kakek itu melangkah keluar melalui daun pintu baja yang sudah ambrol, berjalan
seenaknya dan tertawa ha-ha heh-heh seperti orang keluar dari kamar tidurnya sendiri saja.
"Ayah... harap jangan marah, Ayah... ampunkan aku, Ayah... dan janganlah marah kepada Ibu... hu-huhuuuk..."
Milana yang dibawa lari ayahnya yang mengamuk keluar, merobohkan siapa saja yang
menghalanginya sehingga mereka dapat keluar dari tembok kota raja, menangis di sepanjang jalan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Han berhenti, mukanya merah sekali, matanya mengeluarkan sinar berapi, akan tetapi ketika dia
menoleh dan memandang anaknya, dia terisak dan memeluk Milana, mendekap kepala puterinya itu di
dadanya dan mengelus-elus rambut yang halus itu.
"Milana... ahhh, anakku... aku seperti buta tidak mengenalmu...! Milana, betapa kejam hati ibumu, mengapa
merendahkan diri seperti itu, menjadi Ketua Thian-liong-pang, melakukan hal-hal keji dan menggegerkan
dunia kang-ouw? Mengapa dia begitu kejam menyeret engkau, anakku, ke dalam kejahatan seperti itu? Di
mana dia? Di mana Nirahai? Aku harus bertemu dengannya dan menegurnya!"
"Ayah, jangan memarahi Ibu..."
"Aku akan mengajaknya bicara dan engkau sebagai anak boleh mendengarkan dan mempertimbangkan
siapa yang keliru dan siapa yang benar dalam hal ini."
"Ayah, aku tidak tahu siapa yang lebih kejam, Ibu atau engkau! Baiklah, kalau Ayah ingin bertemu dengan
Ibu. Rahasianya telah terbuka, bukan karena salahku. Mari, Ibu berada di cabang kami dekat kota raja
kalau aku tidak salah duga!" Setelah berkata demikian, Milana lalu berlari cepat diikuti ayahnya menuju ke
markas Thian-liong-pang yang berada di dekat kota raja dan yang baru saja didirikan setelah Thian-liongpang
membantu pemerintah.
Para anggota Thian-liong-pang terkejut setengah mati ketika mereka melihat Pendekar Super Sakti datang
mengunjungi perkumpulan mereka. Mereka yang belum pernah melihat pendekar ini memandang dengan
mata terbelalak ketika teman-temannya yang pernah bertemu dengan Suma Han memberi tahu dengan
bisik-bisik bahwa itulah Pendekar Siluman Tocu Pulau Es yang amat terkenal itu.
Andai kata Suma Han datang seorang diri, biar pun jeri, agaknya mereka masih akan menghadangnya,
sedikitnya untuk bertanya dan menahannya di luar sebelum mereka melapor kepada ketua mereka. Akan
tetapi karena kedatangan pendekar ini bersama Milana, tak ada seorang pun anggota Thian-liong-pang
yang berani mencegah mereka berdua memasuki gedung. Bahkan ketika mereka tiba di ruangan dalam,
dua orang tokoh Thian-liong-pang, Sai-cu Lo-mo Toan Kok, dan Lui-hong Sin-ciang Chie Kang,
menyambut mereka dengan muka pucat melongo.
"Siocia, apa artinya ini...?" Sai-cu Lo-mo berseru kaget sambil mencelat bangun dari kursinya ketika
melihat Suma Han.
"Nona, tahan dulu...!" Lui-hong Sin-ciang Chie Kang juga berseru dengan ragu-ragu dan bingung karena
tentu saja dia tidak berani lancang turun tangan terhadap Tocu Pulau Es yang sudah diketahui
kelihaiannya itu.
Milana membalikkan tubuh menghadapi mereka berdua. "Harap kedua kakek suka mundur dan jangan
mencampuri urusan kami. Ini adalah urusan pribadi, sama sekali bukan urusan Thian-liong-pang. Kakek
Bhok, di mana Ibu?"
"Di dalam taman," jawab Sai-cu Lo-mo yang lalu memegang tangan kawannya dan memberi isarat agar
jangan bergerak ketika dua orang itu pergi meninggalkan ruangan itu.
Sai-cu Lo-mo menjadi pucat wajahnya. Hanya dia seoranglah yang sudah diberi tahu oleh ketua mereka
bahwa Milana adalah puteri Pendekar Super Sakti, yaitu ketika dia dahulu melamar dara itu untuk cucu
keponakannya, Gak Bun Beng. Dan kini, pendekar itu, suami Ketua Thian-liong-pang, telah datang dan
agaknya rahasia ketua mereka telah terbuka! Dia dapat membayangkan betapa hebatnya peristiwa ini,
akan tetapi karena maklum bahwa urusan itu adalah urusan keluarga, maka dia menarik tangan Chie Kang
dan berkata,
"Chie-sute, mari kita ke depan, jangan mencampuri urusan itu. Pangcu tentu akan membunuh kita kalau
kita mencampurinya."
"Eh, apa yang terjadi, Suheng?"
"Sssstt, diamlah dan mari kita pergi ke depan saja."
Suma Han yang masih panas isi dadanya itu tidak pernah bicara, hanya mengikuti Milana yang sudah lari
ke belakang gedung memasuki taman yang luas, di pinggir sebuah anak sungai yang airnya mengalir
dunia-kangouw.blogspot.com
tenang. Tempat ini adalah pemberian dari Koksu sebagai hadiah kepada Thian-liong-pang dan merupakan
cabang yang terbesar karena dari sinilah dipusatkan kekuatan Thian-liong-pang yang membantu
pemerintah membasmi para pemberontak yang terdiri dari orang-orang kang-ouw.
Tiba-tiba Milana berhenti dan terisak perlahan, mukanya membuat gerakan ke depan untuk menunjukkan
kepada ayahnya. Suma Han sudah melihat wanita berkerudung yang duduk di bawah pohon di tepi anak
sungai, kelihatan melamun di tempat sunyi itu. Seketika kemarahannya membuyar seperti awan tipis ditiup
angin ketika ia melihat wanita berkerudung itu duduk bersunyi seorang diri seperti itu. Kini dia mengenal
betul bentuk tubuh Nirahai di balik pakaian dan kerudung itu, biar pun mereka telah saling berpisah lama
sekali.
"Nirahai...!" Suara Suma Han gemetar dan kaki tunggalnya menggigil saat dia mencelat ke dekat wanita itu
dan berdiri dalam jarak tiga meter.
Wanita berkerudung itu memang Ketua Thian-liong-pang, Nirahai. Dia mencelat berdiri sambil
membalikkan tubuh, terkejut seperti disambar petir.
"Han Han...!" Sepasang mata di balik kerudung itu memandang bingung, akan tetapi dia melihat Milana
menangis tak jauh dari situ, mengertilah dia bahwa rahasia telah terbuka oleh Milana.
Sekali renggut saja dia telah melepas kerudungnya dan Suma Han terpesona melihat wajah isterinya itu
masih cantik jelita seperti dulu, masih seperti ketika dia bertemu dengan Nirahai pada waktu Milana berusia
tujuh delapan tahun yang lalu, bahkan masih seperti waktu masih gadis dahulu, seolah-olah baru kemarin
mereka saling berpisah!
"Kau... kau mau apa datang ke sini...?" Nirahai bertanya, suaranya juga gemetar dan kedua matanya
seperti sepasang mata kelinci ketakutan, pelupuk matanya bergerak-gerak, bibirnya dan cuping hidungnya
bergerak seperti hendak menahan tangis.
"Nirahai!" Tiba-tiba Suma Han membentak, suaranya penuh kemarahan karena dia sudah marah lagi
mengingat betapa isterinya telah menjadi Ketua Thian-liong-pang. "Jadi engkaukah Ketua Thian-liong-pang
yang selama ini melakukan segala macam perbuatan keji dan rendah itu?"
Kalau tadinya Nirahai gemetar dan pucat, pandang matanya sayu dan dia seperti setangkai kembang yang
hampir layu dan kekeringan, haus akan siraman cinta kasih, mendengar ucapan Suma Han itu tiba-tiba
wajahnya menjadi kemerahan, pandang matanya berapi dan tubuhnya berdiri tegak, dada membusung,
dagu terangkat dan terdengar ia berkata dengan suara dingin tegas keras, seperti biasanya suara Ketua
Thian-liong-pang.
"Benar! Memang aku telah melakukan itu semua dan tahukah engkau, Suma Han? Seperti telah kukatakan
padamu dahulu, semua itu kulakukan dengan sengaja untuk menantangmu bertanding! Majulah, Suma
Han Majikan Pulau Es yang sombong dan lawanlah Ketua Thian-liong-pang sampai seorang di antara kita
menggeletak tanpa bernyawa di tempat ini!"
Setelah berkata demikian Nirahai menggerakkan tangannya dan kerudungnya sudah kembali menutupi
mukanya. Dia berdiri dan bertolak pinggang, sepasang mata dari balik kerudung seolah-olah mengeluarkan
sinar berapi yang ditujukan penuh kebencian ke arah muka Suma Han.
"Nirahai! Aku tidak peduli untuk apa kau lakukan itu semua, juga tidak peduli untuk menantang aku atau
siapa juga. Akan tetapi, dengan perbuatanmu yang tidak patut itu engkau telah menyeret anak kita Milana
ke dalam pecomberan! Engkau terlalu mementingkan diri sendiri, terlalu mementingkan perasaan hatimu
sendiri, tidak ingat sama sekali akan kepentingan anak kita!"
"Cukup!" Nirahai membentak sambil menghentakkan kakinya ke atas tanah. Pohon di sebelahnya tergetar
dan banyak daunnya rontok oleh getaran itu. Kemudian telunjuk kirinya menuding ke arah muka Suma Han
dan dia berkata, "Tak perlu kau menyebut-nyebut anak kita! Tengok tengkukmu sendiri dan bercerminlah!
Engkau menyalahkan aku, akan tetapi semenjak Milana kulahirkan, pernahkah engkau datang
mencarinya? Pernahkah engkau sebagai ayahnya menimang anakmu itu satu kali saja? Engkau
melupakan anak kita, engkau hidup dengan angkuh dan sombong sebagai raja di Pulau Es. Sang
Pendekar Super Sakti yang bertahta di angkasa, begitu tinggi, begitu sakti bagaikan dewa! Sekarang
setelah Pulau Es hancur, engkau pura-pura mencari anakmu, pura-pura datang mau menyalahkan aku?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nirahai! Engkau tahu dan yakin aku tidak seperti itu! Biar pun aku sekarang sudah tidak punya apa-apa,
kalau engkau mau, kalau engkau sudi, bersama Milana, marilah ikut bersamaku, sebagai isteriku yang
tercinta, marilah kita melanjutkan sisa hidup ini untuk mendidik anak kita..."
"Tidak sudi! Berulang kali engkau hendak membujuk rayu! Laki-laki pengecut!"
"Nirahai, engkau tetap keras kepala seperti dahulu! Engkau bahkan kembali menjadi algojo membunuh
orang-orang gagah dengan dalih menindas pemberontakan. Semua ini tentu gara-gara bujukan Bhong
Koksu. Baik, sekarang juga akan kuhancurkan dia, membasmi Koksu berikut semua kaki tangannya.
Selamat tinggal, Nirahai!" Dengan wajah pucat dan mata terbelalak penuh dengan sakit hati, Suma Han
membalikkan tubuh dan berloncatan pergi.
"Ayaahhh...! Ayaaahh... tungguuuu...!" Milana menjerit dan meloncat lalu lari mengejar, tidak
mempedulikan ibunya yang kini tidak berdiri tegak lagi melainkan terhuyung ke belakang dan berpegang
pada batang pohon sambil menangis!
Mendengar jerit anaknya, Suma Han menghentikan loncatannya akan tetapi dia tetap berdiri tegak, tidak
menoleh.
"Ayahh...!" Milana menubruk kaki ayahnya yang tinggal satu itu, menangis tersedu-sedu. "Ayah, mengapa
Ayah begini kejam? Ibu sudah banyak menderita karena Ayah. Lupakah Ayah akan kesadaran Ayah tadi di
dalam tahanan? Mengapa Ayah hendak menurutkan nafsu hati yang terdorong oleh ingatan? Apakah Ayah
kembali hendak memasuki alam penghidupan seperti boneka, dipermainkan oleh angan-angan dan pikiran
sendiri yang palsu? Ayahhh...!"
Lemas seluruh tubuh Suma Han mendengar ini. Dia lalu menghela napas panjang dan berkata lirih,
"Anakku... engkau jauh lebih bersih dari pada aku atau ibumu, aku... aku hanya manusia lemah... manusia
canggung yang tidak tahu lagi apa yang akan kulakukan... aku tidak hanya cacad lahiriah, akan tetapi juga
cacad batiniah, lemah dan canggung. Mungkin ibumu lebih benar. Biarkanlah aku pergi dulu, Milana..."
"Ayaaahhh...!" Milana menjerit, akan tetapi Suma Han sudah melesat jauh dan lenyap dari situ.
"Ibuuuuu...!" Milana yang menoleh ke arah ibunya, terkejut melihat ibunya terhuyung-huyung dan hampir
roboh terguling. Cepat ia lari menghampiri, memeluknya dan kedua orang ibu dan anak ini bertangistangisan.
"Ibu, mengapa kita menjadi begini?"
Nirahai memeluk puterinya, menahan isaknya. "Entahlah, anakku... entahlah... aku sendiri tidak mengerti
mengapa aku menjadi begini kalau bertemu dengan ayahmu..."
"Ibu mencinta Ayah, aku yakin akan hal ini."
"Tidak ada manusia lain yang kucinta melainkan engkau dan ayahmu. Akan tetapi dia sudah menyakiti
hatiku, dan satu-satunya jalan untuk memperbaiki hatiku yang rusak hanya..."
"Hanya bagaimana, Ibu?"
"Biar dia tahu sendiri. Engkau tentu akan membuka rahasia hatiku, seperti telah kau buka rahasia
kerudungku kepadanya."
"Ah, tidak sama sekali, Ibu. Karena pertemuan kami dengan Kwi Hong di dalam kamar tahanan di gedung
Koksulah yang membuat rahasia itu terbuka!"
"Di kamar tahanan gedung Koksu?" Nirahai menghentikan isaknya dan memandang puterinya dengan
heran. Milana lalu menceritakan pengalamannya semenjak dia diculik oleh ayah kadungnya sendiri,
menceritakan betapa baik ayah kandungnya itu, betapa hampir saja dia terculik Wan Keng In kalau tidak
ada ayahnya yang menolong, kemudian tentang pengintaiannya ke gedung Koksu.
"Ibu, mereka itu hendak membunuhmu! Persekutuan dengan Thian-liong-pang yang diadakan oleh Koksu
itu sebetulnya hanya hendak mencelakakan Ibu, karena Koksu dan kaki tangannya mempunyai rencana
pemberontakan dan khawatir kalau-kalau Ibu membela kerajaan."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Apa...?!" Keharuan dan kedukaan hati Nirahai lenyap tertutup oleh keheranan dan kemarahannya
mendengar ini.
Milana lalu menceritakan sejelasnya akan semua percakapan yang ia curi di dalam ruangan istana Bhong
Ji Kun.
Kemarahan Nirahai memuncak. "Si keparat Bhong Ji Kun! Manusia seperti itu harus dibunuh, dia
berbahaya bagi kerajaan!" Nirahai meloncat bangun, semua kelemahan akibat keharuan dan kedukaan
sudah lenyap dan semangatnya bernyala-nyala kembali sebagai Ketua Thian-liong-pang yang tegas!
Tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut dan muncullah Tang Wi Siang bersama anak buahnya dengan langkah
terhuyung-huyung, kemudian mereka semua menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Nirahai. Juga Sai-cu
Lo-mo dan Lui-hong Sin-ciang ikut memasuki taman, dan dengan kepala tunduk Sai-cu Lo-mo berkata,
"Maaf, Pangcu. Saya sudah melarang mereka masuk, akan tetapi karena mereka terluka parah dan perlu
segera menghadap Pangcu..."
Nirahai mengangkat tangan ke atas. "Tidak mengapa, Lo-mo. Eh, Wi Siang, apa yang telah terjadi?"
Dengan suara tersendat-sendat Tang Wi Siang yang biasanya gagah itu menceritakan tentang perbuatan
Wan Keng In yang melukai mereka semua di dalam hutan. "Kami tidak mampu melawannya, Pangcu. Dia
lihai bukan main, iblis cilik Pulau Neraka itu. Dia sengaja memberi pukulan beracun pada punggung kami
dan menyuruh kami menghadap Pangcu. Dia... dia... mengajukan pinangan kepada Nona Milana... Kalau
dalam waktu sebulan Pangcu tidak mengumumkan perjodohan antara Nona Milana dan Wan Keng In, dia
datang membasmi Thian-liong-pang...!"
"Bresss! Krrakkk!" Pohon di samping Ketua Thian-liong-pang itu tumbang oleh pukulan Nirahai yang
menjadi marah bukan main.
"Bangsat cilik! Dia menggunakan nama Pulau Neraka untuk menghina Thian-liong-pang? Bangsat itu harus
mampus di tanganku!"
"Harap Pangcu suka menaruh kasihan kepada Tang Toanio dan para anak buah yang terluka parah," tibatiba
Sai-cu Lo-mo berkata.
Nirahai menghampiri seorang anggota Thian-liong-pang yang berlutut di depannya, merobek bajunya dan
langsung dia terkejut melihat tapak tiga jari tangan merah di punggung orang itu.
"Apakah semua terluka seperti ini?" tanyanya kepada Wi Siang.
Tang Wi Siang mengangguk. "Dia bilang bahwa dalam satu bulan kami akan mati, kecuali kalau Pangcu
menerima pinangannya, dia akan datang menyembuhkan kami, demikianlah pesannya."
"Hemm, si keparat!" Nirahai memaki dan dia lalu memeriksa luka yang kelihatannya tidak hebat itu, hanya
merupakan ‘cap’ merah dari tiga buah jari tangan. Ia mencoba dengan menyalurkan sinkang, telapak
tangannya ditempelkan di punggung untuk mengusir luka pukulan beracun itu. Namun hasilnya sia-sia.
"Hemmm, pukulan beracun ini aneh sekali dan aku tidak mengenal racun apa yang terkandung dalam
hawa pukulan. Lo-mo, ambilkan pisau perak di kamarku."
Sai-cu Lo-mo cepat pergi dan tak lama kemudian dia sudah kembali membawa sebatang pisau tajam
meruncing terbuat dari pada perak. Nirahai menggerakkan ujung pisaunya menggurat tanda tapak jari
tangan di punggung orang itu yang menggigit bibir menahan rasa nyeri agar tidak menjerit.
"Aihhh...!" Nirahai berseru kaget. Pisaunya menjadi hitam seperti dibakar dan tanda guratan pisau itu
memanjang ke bawah dan menjadi merah pula seperti tanda tapak jari itu. Tiba-tiba orang itu meronta, dan
roboh bergulingan, berkelojotan dan merintih perlahan, kemudian tak bergerak sama sekali. Ketika Nirahai
memeriksanya, ternyata dia telah mati!
Tentu saja semua orang menjadi kaget sekali, terutama Tang Wi Siang dan teman-temannya yang terluka.
Tang Wi Siang yang berlutut itu maju mendekati ketuanya dan berkata, "Pangcu, harap Pangcu bunuh saja
dunia-kangouw.blogspot.com
saya dengan sekali pukul. Pukulan yang beracun ini agaknya hanya dapat diobati oleh iblis cilik itu, dan
saya lebih baik mati dari pada Nona Milana diperisteri olehnya. Dari pada menanggung derita sebulan
lamanya, biarlah sekarang saja Pangcu membunuh saya."
Nirahai mengerutkan alisnya. "Jangan putus harapan, Wi Siang. Aku akan mencarikan obatnya. Waktu
sebulan masih lama..."
"Percuma saja, Pangcu. Memang benar hanya dia atau akulah yang akan dapat menyembuhkan luka
beracun itu!"
Nirahai dan semua orang cepat menengok. Mereka sama sekali tidak mendengar ada orang datang dan
tahu-tahu di situ telah berdiri seorang wanita cantik sekali biar pun usianya sudah tidak muda lagi, kurang
lebih empat puluh tahun. Akan tetapi ada sesuatu yang amat mengerikan pada wanita ini yaitu mukanya.
Mukanya itu berwarna putih seperti kapur!
Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, akan tetapi begitu melihat wanita ini, timbul rasa kasihan di
dalam hati Milana! Gadis ini, dan semua anggota Thian-liong-pang sama sekali tidak tahu bahwa pada saat
itu, wajah di dalam kerudung Ketua Thian-liong-pang menjadi pucat sekali ketika dia mengenal wanita
bermuka putih itu. Tentu saja Nirahai mengenalnya karena wanita itu bukan lain adalah sumoi-nya sendiri
ketika mereka berdua dahulu menjadi murid Nenek Maya. Wanita bermuka putih dan amat cantik itu bukan
lain adalah Lulu!
"Bibi yang baik, benarkah Bibi dapat menyembuhkan mereka ini?" Milana bertanya dan mengagumi wajah
yang cantik itu. Sayang mukanya berwarna putih seperti kapur karena sesungguhnya wanita itu cantik
sekali, terutama sekali matanya yang seperti bintang dan yang membuat dia merasa suka adalah karena
wajah wanita ini mirip-mirip dengan wajah ibunya yang tersembunyi di balik kerudung.
Wanita ini mengangguk, mukanya tetap dingin sungguh pun sepasang mata yang indah itu memandang
Milana dengan pernyataan rasa tertarik dan suka. "Tentu saja aku dapat menyembuhkan mereka dengan
mudah."
Nirahai menjadi curiga. Apakah hubungan Lulu dengan Pulau Neraka? Dan ke mana saja selama ini
perginya? Dia lalu melangkah maju, merubah suaranya menjadi suara Ketua Thian-liong-pang yang dingin
dan berwibawa,
"Siapakah engkau? Dan bagaimana engkau begitu yakin akan dapat menyembuhkan luka mereka ini?"
Lulu menatap muka berkerudung itu, sesaat bertemu pandang, dan ia kagum melihat sepasang mata yang
begitu bersinar-sinar penuh semangat dan wibawa. Orang ini memang patut menjadi Ketua Thian-liongpang
yang terkenal, pikirnya.
"Aku merasa yakin, Pangcu. Tidak ada orang lain yang akan dapat menyembuhkan mereka ini, biar pun
engkau akan mendatangkan ahli-ahli pengobatan dari mana pun juga, karena obat penawar racun ini
hanya terdapat di Pulau Neraka."
"Hemm, kalau begitu, bagaimana engkau bisa mendapatkan obat penawarnya?"
Lulu hanya menggerakkan bibir sedikit sebagai pengganti senyum. Melihat ini, Nirahai bergidik. Dulu Lulu
adalah seorang wanita yang periang, jenaka dan ramah, mengapa sekarang menjadi segunduk es beku,
dingin dan mengerikan?
"Pangcu, Wan Keng In yang melukai anak buahmu ini adalah puteraku, tentu saja aku bisa menyembuhkan
mereka!"
Terdengar seruan-seruan kaget dan marah. Tang Wi Siang sudah melompat bangun dan memandang
dengan mata terbelalak. "Engkau... Ketua Pulau Neraka...?"
Lulu mengangguk dan berkata muak, "Bekas... ketua boneka..."
"Iblis betina!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Para anggota Thian-liong-pang yang terluka itu kini serentak meloncat bangun dan menyerang Lulu,
dipelopori oleh Tang Wi Siang, bahkan diikuti pula oleh beberapa orang anak buah Thian-liong-pang lain
yang sudah berada di situ. Tidak kurang dari dua puluh orang menyerbu Lulu, ada yang memukul, ada
yang mencengkeram, ada yang menendang.
Terdengar suara bak-bik-buk dan disusul teriakan-teriakan hiruk-pikuk ketika tubuh dua puluh orang itu
terlempar ke sana-sini dan terbanting keras. Setelah semua penyerang roboh terjengkang, kini tampaklah
Lulu yang masih berdiri dengan tenang dan matanya yang indah itu mengerling ke sekelilingnya dengan
muka digerakkan ke kanan kiri. Melihat mereka sudah mencabut senjata dan hendak bangkit lagi, Lulu
mengangkat kedua lengan ke atas dan berkata, suaranya melengking nyaring dan penuh wibawa karena
dikeluarkan dengan pengerahan khikang.
"Tahan...! Thian-liong-pangcu, mengapa engkau tidak menghentikan anak buahmu yang lancang dan
bodoh ini? Kalau aku datang dengan iktikad buruk, perlu apa aku bicara lagi? Tanpa turun tangan pun,
dengan membiarkan mereka, anak buahmu yang terluka itu akan mati semua. Kalau aku berniat jahat,
perlu apa aku menawarkan penyembuhan?"
Nirahai sebetulnya tidak setuju dengan sikap anak buahnya tadi. Akan tetapi dia terlalu heran mendengar
Lulu mengaku sebagai Ketua Pulau Neraka sehingga dia melongo dan tidak sempat melarang anak
buahnya menyerang Lulu yang akibatnya amat luar biasa itu, yaitu anak buahnya terjengkang semua dan
roboh seperti daun kering tertiup angin.
Kini dia cepat membentak, "Kalian ini benar-benar kurang ajar. Hayo mundur semua dan jangan turun
tangan kalau tidak ada perintah!" Kemudian Nirahai menghadapi Lulu dan berkata, suaranya masih dingin,
"Jadi engkau adalah Majikan Pulau Neraka yang tersohor itu? Hemm, sungguh aneh. Akan tetapi, bicara
tidak ada gunanya sebelum ada bukti iktikad baikmu. Tocu (Majikan Pulau), kau sembuhkan dulu anak
buahku, barulah kita bicara."
Lulu mengangguk dan merasa kagum. "Engkau patut menjadi Ketua Thian-liong-pang. Buka baju kalian
bagian punggung dan berlututlah berjajar agar mudah aku mengobati kalian!"
Mereka yang terluka oleh pukulan Wan Keng In, yaitu Tang Wi Siang dan anak buahnya, segera
menyingkap baju dan memperlihatkan punggung yang ada tandanya tapak tiga buah jari tangan merah,
kemudian berlutut dan berjajar menjadi barisan punggung telanjang yang lucu juga. Kalau keadaan tidak
demikian menegangkan, tentu kejadian ini akan menimbulkan ketawa.
Lulu memandang sekelebatan saja dan maklum bahwa puteranya telah menggunakan pukulan yang
mengandung racun akar merah seperti yang diduganya ketika tadi ia melihat akibat yang menewaskan
seorang anggota yang terluka pada waktu Ketua Thian-liong-pang menorehnya dengan pisau untuk
melihat darah dan menyelidiki racunnya. Dia mengeluarkan sebungkus obat bubuk berwarna hijau. Dengan
jari tangan kiri dia memukul punggung itu untuk memunahkan hawa pukulan puteranya, kemudian tangan
kanannya melaburkan obat bubuk dan menekankannya ke atas tanda tapak jari merah di punggung.
Setelah selesai mengobati semua orang, dia berkata,
"Luka dipunggung akan terasa gatal-gatal dan mengeluarkan cairan, kemudian dalam waktu sehari akan
kering seperti bekas luka yang merobek kulit. Kalian sudah sembuh, hanya sayang seorang di antara
kalian tak tertolong." Ia memandang mayat yang masih menggeletak di situ.
Nirahai menghampiri Tang Wi Siang yang sudah membereskan bajunya. "Bagaimana rasanya sebelah
dalam tubuhmu?"
"Sesak napas dan rasa nyeri di perut sudah lenyap, Pangcu."
Nirahai lalu menjura kepada Lulu dan berkata, "Terima kasih atas pertolongan Tocu, silakan Tocu masuk
ke dalam di mana kita dapat bicara."
Lulu tadi mendengar pelaporan Tang Wi Siang akan sebab perbuatan puteranya yang melamar puteri
Ketua Thian-liong-pang, maka dia mengangguk karena dia pun ingin bicara akan hal itu. Tanpa bicara,
kedua orang wanita aneh itu berjalan menuju ke dalam gedung, hanya diiringkan oleh Milana karena
Nirahai memberi isyarat dengan gerak tangan kepada Sai-cu Lo-mo dan yang lain-lain agar tidak
mengganggu mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga orang wanita itu memasuki ruangan dalam dan duduk menghadapi meja. Sejenak mereka saling
pandang, kemudian Nirahai berkata,
"Sungguh tidak pernah kusangka bahwa hari ini Thian-liong-pang akan menerima kunjungan Tocu Pulau
Neraka dalam keadaan seperti ini!"
Lulu menarik napas panjang. "Harap jangan menyebut Tocu kepadaku karena kini Pulau Neraka sudah
tidak ada lagi. Aku hanyalah seorang perantauan yang tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai
anak buah..."
"Tetapi anak buah Pulau Neraka masih berkeliaran di mana-mana!" Milana berkata, membantah.
Kembali Lulu menarik napas panjang. "Itulah yang menyusahkan hatiku. Puteraku itu... Ah, Pangcu, justru
karena puteraku itulah maka aku sekarang berhadapan denganmu, dan marilah kita bicara sebagai dua
orang ibu membicarakan masa depan kedua orang anaknya!"
Diam-diam Nirahai merasa terharu sekali. Wanita ini adalah Lulu! Lulu yang dahulu amat riang gembira dan
jenaka itu. Dan kini putera Lulu ingin berjodoh dengan puterinya! Kalau saja keadaan ternyata lain, tidak
seperti sekarang ini, alangkah akan bahagianya peristiwa ini! Akan tetapi, Lulu adalah Majikan Pulau
Neraka, sudah berubah seperti iblis betina, dan puteranya itu, demikian kejam dan kurang ajarnya!
"Maksudmu bagaimana, Tocu?" tanya Nirahai.
"Pangcu, terus terang saja, aku tidak sengaja masuk ke tempatmu untuk mengobati luka anak buahmu.
Aku dalam perjalanan ke kota raja, di tengah jalan aku melihat anak buahmu yang terluka oleh pukulan Jari
Tangan Merah, sebuah pukulan dari Pulau Neraka. Aku terkejut dan diam-diam aku mengikuti mereka.
Setelah mereka masuk ke sini menghadapmu, aku mengintai dan mencuri masuk taman, dan barulah aku
tahu akan segala hal yang hebat itu. Tahu bahwa mereka adalah anak buah Thian-liong-pang, bahkan baru
aku tahu bahwa mereka itu dilukai oleh puteraku, dan terutama sekali, baru aku tahu bahwa puteraku jatuh
cinta kepada puterimu dan mengajukan pinangan kepadamu dengan cara itu!"
"Cara yang amat bagus!" Nirahai mencela.
Lulu menarik napas panjang. "Agaknya tidak perlu dibicarakan lagi hal itu, Pangcu. Bukankah anak
buahmu telah kusembuhkan? Hal itu berarti penebusan kesalahan puteraku. Yang penting sekarang,
setelah aku mengetahui bahwa puteraku jatuh cinta kepada puterimu, tentu dia inilah puterimu dan aku
tidak heran mengapa puteraku jatuh cinta kepada dara yang cantik jelita ini, maka aku mempergunakan
kesempatan ini untuk mengajukan lamaran secara resmi."
"Tidak! Tidak bisa aku menerima ini! Puteramu begitu kurang ajar dan kejam!" Nirahai mengepal tangannya
membentuk tinju.
"Sabarlah, Pangcu. Urusan jodoh adalah urusan dua orang anak yang hendak menjalaninya, bukan urusan
kedua orang ibunya yang hanya akan menjadi penonton. Yang terpenting adalah anak-anak itu sendiri.
Puteraku sudah jelas mencinta puterimu, maka setelah kini puterimu hadir pula, sebaiknya kita mendengar
pendapatnya akan pinangan ini. Bukankah sebaiknya begitu?"
Nirahai terkejut. Benar-benar berubah hebat sekali Lulu ini, bicaranya sudah matang dan sikapnya begitu
tenang! Dia merasa kalah bicara, maka sambil menoleh kepada Milana dia bertanya,
"Hemmm, coba kau yang menjawab, Milana. Bagaimana pendapatmu dengan pemuda itu? Maukah kau
menerima pinangannya?"
Wajah Milana seketika berubah merah sekali, akan tetapi mulutnya cemberut dan ia bangkit berdiri. "Aku
tidak sudi! Aku... aku benci kepadanya!" Setelah berkata demikian, Milana membalikkan tubuh dan
meloncat pergi dan meninggalkan dua orang wanita itu.
Lulu pejamkan kedua matanya. Melihat wajah yang berwarna putih itu membayangkan kedukaan, dan
kedua mata itu terpejam, timbul rasa iba di hati Nirahai terhadap bekas sumoi-nya itu.
"Tocu, kau maafkan sikap anakku."
dunia-kangouw.blogspot.com
Lulu membuka matanya, memandang heran, "Betapa anehnya! Aku mendengar bahwa Ketua Thian-liongpang
adalah seorang iblis betina yang kejam dan tidak mengenal peri kemanusiaan. Sekarang, anakku
telah melakukan penghinaan kepadamu, dan anakmu baru bersikap sewajarnya seperti itu saja engkau
mintakan maaf. Pangcu, apakah engkau ini seorang dewi berkedok iblis, ataukah seorang iblis bertopeng
dewi? Aku memuji dan kagum kepada puterimu. Memang seharusnya begitulah sikap orang menghadapi
urusan cinta. Kalau cinta mengaku cinta, kalau benci mengaku benci, tidak boleh pura-pura yang akan
mengakibatkan kehancuran dan kesengsaraan seperti yang telah kualami!"
Jantung Nirahai berdebar keras. Rahasia apakah yang tersembunyi di balik muka seperti topeng berwarna
putih itu? Apakah yang dialami oleh Lulu selama berpisah dengannya? Dahulu dia mendengar dari
suaminya bahwa Lulu telah menikah dengan Wan Sin Kiat dan tentu Wan Keng In adalah putera Wan Sin
Kiat. Apakah kini Wan Sin Kiat juga ikut menjadi pimpinan di Pulau Neraka?
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru