Senin, 14 Agustus 2017

Kho Ping Hoo : Jodoh Rajawali 4

Kho Ping Hoo : Jodoh Rajawali 4 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Kho Ping Hoo : Jodoh Rajawali 4
kumpulan cerita silat cersil online
-
Akan tetapi sekali ini dia sungguh-sungguh bertemu tanding. Biar pun si gagu itu tidak mengeluarkan ilmuilmu
tertentu yang dapat dikenal orang, melainkan hanya bergerak sembarangan saja, bahkan gerakannya
meniru gerakan lawan, namun tetap saja Kang Swi menjadl kewalahan! Pukulan-pukulannya dengan
mudah dapat dielakkan atau ditangkis tanpa mengakibatkan apa-apa karena hawa pukulan mukjijat yang
tajam itu ternyata lenyap ditelan hawa pukulan dari lawannya, bahkan beberapa kali dia dibuat terhuyung
ke belakang, terpelanting ke samping atau hampir jatuh terjerumus ke depan. Seolah-olah dia tidak
berdaya dan dipermainkan oleh serangkum tenaga dahsyat yang menguasainya.
Celakanya, secara aneh sekali tenaga si gagu itu kadang-kadang mengandung hawa panas membakar
dan kadang-kadang dingin membekukan sehingga Kang Swi benar benar menjadi bingung dan penasaran.
Karena jelas bahwa dia kalah angin, dan betapa pun dia mengeluarkan seluruh kepandaian dan
mengerahkan seluruh tenaganya tetap saja dia terdesak, dia merasa tersinggung kehormatannya, maka
Kang Swi meraba gagang pedangnya dengan maksud menggunakan senjatanya itu.
“Uh-uh-uhhh!” terdengar si gagu berseru keras dan tiba-tiba saja Kang Swi terpelanting roboh, dan dia
hanya merasa betapa kakinya terangkat dan dia tidak dapat mencegah lagi tubuhnya terpelanting!
Sorak-sorai menyambut kemenangan si gagu ini. Akan tetapi Kang Swi menjadi amat marah. Dia meloncat
bangun dan hendak mencabut pedangnya, akan tetapi ternyata Ho-nan Ciu-lo-mo telah berada di situ dan
berkata, “Silakan Ji-wi ikut bersama kami menghadap gubernur!” Dan ternyata Siauw-hong juga sudah
diajak oleh Wan Lok It ini. Sementara itu, Perwira Su Kiat mengumumkan bahwa kini telah terpilih tiga
orang yang dianggap patut menjadi pengawal-pengawal pribadi di istana gubernur, yaitu yang pertama
adalah si gagu, kedua adalah Kang Swi, dan ketiga adalah Siauw-hong.
Para penonton menyambut pengumuman ini dengan sorak-sorai memuji sedangkan tiga orang yang dipilih
itu sudah diajak menghadap gubernur dan berlutut di depan Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam yang merasa
girang memperoleh tiga orang yang demikian gagah perkasa sehingga hal itu akan lebih memperkuat
kedudukannya. Sang gubernur segera memuji-muji mereka bertiga dan menyatakan bahwa hari itu juga dia
akan mengajak mereka bertiga kembali ke Lok-yang dan mereka itu langsung saja bertugas sebagai
pengawal-pengawal istananya.
Perwira Su Kiat masih sibuk untuk mengadakan pemilihan calon-calon prajurit dan selagi para penonton
masih memenuhi tempat itu, diam-diam Siluman Kecil menyelinap di antara banyak orang. Tidak ada orang
yang menaruh curiga kepadanya. Siapa yang akan mencurigai seorang kakek sederhana dan biasa saja,
seorang kakek yang menjadi seorang di antara ribuan orang penonton itu?
Siluman Kecil melihat seorang yang pakaiannya penuh tambalan seperti pengemis menyelinap di antara
banyak penonton dan hatinya tertarik sekali. Pengemis yang usianya setengah tua ini pakaiannya penuh
tambalan, akan tetapi bersih. Serupa benar dengan pakaian Siauw-hong sebelum pemuda itu berganti
pakaian untuk mengikuti sayembara, sewaktu Siauw-hong masih menjadi seorang pengemis muda pula.
Pakaian yang agaknya masih baru namun sudah penuh tambalan.
Lebih tertarik lagi hatinya pada saat dia melihat betapa ada seorang kakek, agaknya terus membayangi
pengemis itu dan ternyata olehnya bahwa kakek ini adalah Ho-nan Ciu-lo-mo yang sudah dikenalnya.
Siapa yang tidak mengenal jagoan Ho-nan itu? Tentu saja dia sudah mengenal baik Ho-nan Ciu-lo-mo, apa
lagi pernah dia menjadi tamu kehormatan Gubernur Ho-nan ketika dia membersihkan Ho-nan dari para
penjahat sehingga dia memperoleh kehormatan diterima sebagai tamu kehormatan oleh gubernur dan dia
sekalian menitipkan Phang Cui Lan kepada sang gubernur.
Melihat betapa Ciu-lo-mo membayangi atau lebih tepat mengejar pengemis setengah tua itu, Siluman Kecil
merasa tertarik sekali dan dia pun cepat membayangi mereka berdua. Dan benar saja dugaannya. Ketika
pengemis setengah tua itu telah keluar dari pekarangan semacam alun-alun yang penuh dengan penonton
itu, dan agaknya dia maklum bahwa dia dibayangi oleh Ciu-lo-mo, pengemis itu lalu melarikan diri dengan
gerakan cepat sekali. Ciu-lo-mo juga cepat mengejarnya dan diam-diam Siluman Kecil yang masih
menyamar sebagai seorang kakek itu pun mengejar dari jauh, ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan
oleh Ciu-lo-mo terhadap pengemis itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suasana di kota agak sunyi karena semua orang tertarik untuk menonton sayembara di depan istana,
maka pengemis itu yang berlari cepat dikejar oleh Ciu-lo-mo juga dapat bergerak leluasa dan akhirnya
yang berkejaran itu menuju ke pintu gerbang kota di sebelah utara. Pengemis itu ternyata dapat berlari
cepat sekali sehingga sampai sekian lamanya belum juga Ciu-lo-mo mampu menyusulnya. Ketika melihat
betapa pengemis itu akan lolos melalui pintu gerbang, Ciu-lo-mo cepat mengerahkan khikang-nya dan
berteriak memberi perintah kepada para penjaga pintu gerbang untuk menutupkan pintu gerbang.
“Tutup pintu gerbang...! Jangan biarkan dia lolos...!” Suaranya menggema sampai jauh dan para penjaga
pintu gerbang dapat mengenali suara Ciu-lo-mo. Apa lagi ketika para penjaga yang berjaga di menara pintu
gerbang melihat dari atas betapa Ciu-lo-mo datang berlari dari jauh mengejar seorang pengemis yang juga
berlari cepat sekali, mereka cepat-cepat memutar alat yang menggerakkan pintu gerbang itu. Pintu besi
yang amat tebal dan berat itu bergerak perlahan dari kanan kiri, berderit-derit suaranya ketika bergerak di
atas landasan besi.
Karena tergesa-gesa didorong oleh perintah Ciu-lo-mo, maka empat orang sekaligus maju memutar alat
untuk menggerakkan daun pintu besi yang dua buah dan yang maju dari kanan kiri itu. Dua buah daun
pintu itu sudah hampir tertutup, tinggal dua jengkal lagi ketika pengemis itu akhirnya tiba di sana. Empat
orang penjaga menghadangnya dengan tombak di tangan, akan tetapi dengan beberapa kali gerakan kaki
tangannya, empat orang penjaga itu terlempar ke kanan kiri dan pengemis itu bagaikan burung terbang
cepatnya sudah menerjang ke arah pintu yang masih dua jengkal terbuka. Dia menggunakan kedua tangan
menahan dua buah daun pintu.
Terjadilah adu tenaga antara empat orang penjaga yang memutar alat penutup pintu dan si pengemis.
Empat orang itu mengerahkan seluruh tenaga untuk memutar alat yang tiba-tiba macet itu, akan tetapi siasia
belaka. Dua orang penjaga maju lagi dan menyerang si pengemis yang mempertahankan daun pintu
dengan golok, akan tetapi dua kali kaki pengemis itu menendang dan dua orang penjaga itu terlempar
serta terbanting roboh. Kini pengemis itu mengeluarkan suara nyaring dan tiba-tiba tubuhnya menyelinap
melalui renggangan yang sebetulnya terlalu kecil untuk dilalui tubuhnya itu. Ternyata dia telah
mempergunakan ilmu Sia-kut-hoat yang amat hebat sehingga dia dengan mudah dapat menerobos celah
dua daun pintu itu dan lolos ke luar dari pintu gerbang, tepat pada saat Ciu-lo-mo telah tiba di situ.
“Tolol! Buka pintu!” teriak Ciu-lo-mo ketika melihat daun pintu itu kini lantas tertutup setelah tidak ditahan
lagi oleh tangan pengemis.
Mendengar bentakan ini, empat orang penjaga itu terkejut dan cepat memutar lagi alat pembuka daun
pintu. Ciu-lo-mo lalu menerobos keluar dan melanjutkan pengejarannya. Para penjaga hanya melongo dan
memandang dengan bingung ketika mereka melihat seorang kakek lain cepat berlari keluar dari pintu
gerbang, tidak lama setelah Ciu-lo-mo lewat. Tentu saja kakek ini adalah Siluman Kecil yang terus saja
membayangi mereka berdua.
Setelah keluar dari kota, kini pengemis itu berlari makin cepat lagi, akan tetapi Ciu-lo-mo yang merasa
penasaran mengejar secepatnya sehingga setelah tiba di lereng bukit, dia hampir berhasil menyusul
pengemis itu. Tiba-tiba pengemis itu berhenti, mengeluarkan busur dan meluncurkan anak panah yang
meletus ketika melayang sampai di tempat yang tinggi. Itu adalah tanda rahasia dan tentu saja Ciu-lo-mo
menjadi makin curiga.
Kiranya sekarang pengemis itu tidak lari lagi, bahkan menyambut kedatangan Ciu-lo-mo dengan sikap
tenang. Mereka berhadapan dan Ciu-lo-mo membentak, “Mata-mata laknat! Engkau tentu seorang matamata,
hayo cepat berlutut dan menyerah dengan baik-baik dari pada harus kupaksa dengan kekerasan!”
“Setan Arak, siapa yang takut kepadamu?” Pengemis setengah tua itu membentak.
“Mata-mata hina!” Ho-nan Ciu-lo-mo marah sekali dan guci arak di tangannya langsung menyambar ganas
ke arah kepala pengemis itu.
Pengemis itu cepat mengelak dan balas menyerang dengan sebuah tongkat pendek yang ujungnya
bercabang. Gerakannya gesit dan juga mengandung tenaga dahsyat maka cepat Ciu-lo-mo menangkis
dengan guci araknya.
Tenaga mereka seimbang karena benturan dua macam senjata itu membuat keduanya terjengkang akan
tetapi tidak sampai roboh. Melihat hal ini, Ciu-lo-mo tentu saja terkejut. Tak disangkanya bahwa pengemis
itu demikian lihai, maka dia cepat menubruk dan mengirim serangan bertubi-tubi dengan guci arak dan
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan tangan kirinya. Pengemis itu pun bergerak cepat, mengelak, menangkis dan balas menyerang. Kini
terjadilah pertandingan yang seru, dan dari balik sebuah pohon yang besar, Siluman Kecil hanya menonton
tanpa mencampuri pertandingan itu karena dia pun tidak mengenal siapa adanya pengemis setengah tua
yang cukup lihai itu.
Tiba-tiba Ciu-lo-mo mengeluarkan suara melengking nyaring dan guci araknya menyambar dari bawah
menghantam ke arah dada lawan. Serangan ini dahsyat sekali dan ketika pengemis itu menggerakkan
tongkatnya untuk menangkis, dia terkejut bukan main melihat sinar keemasan menyambar ke arah
mukanya. Itulah arak yang muncrat dari dalam guci, yang merupakan senjata rahasia yang amat aneh dan
berbahaya.
“Ahhhhh...!” Pangemis itu menarik kepalanya ke belakang dan gerakan ini membuat tangkisannya menjadi
kurang tepat.
“Trakkkkk...!”
Tongkatnya patah dan dia terlempar ke belakang. Akan tetapi dia cepat sudah meloncat bangun dan
melempar diri ke kiri sehingga terhindar dari pukulan maut yang disusulkan oleh Ciu-lo-mo.
“Tahan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus.
Pada saat itu Ciu-lo-mo kembali sudah menyerang, akan tetapi dia merasa betapa ada serangkum hawa
yang amat kuat mendorongnya dari samping membuat dia hampir roboh dan cepat-cepat dia melompat ke
belakang dengan kaget sekali, lalu mengangkat muka memandang.
Ternyata yang muncul adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi tegap dan bersikap gagah, bersama
seorang setengah tua yang juga bersikap gagah walau pun pakaian mereka sederhana. Siluman Kecil
yang mengintai dari balik pohon, tadi kagum bukan main menyaksikan betapa kakek tua itu mendorong
Ciu-lo-mo dari jarak cukup jauh menggunakan tenaga sinkang yang amat hebat, dan dia mengenali kakek
ini sebagai kakek pembeli sepatu rumput dari nenek penjual sepatu rumput, kakek yang memimpin
rombongan beberapa orang. Dia lalu menduga-duga, siapa gerangan kakek tua yang memiliki kepandaian
tinggi ini.
Sementara itu, Ciu-lo-mo terkejut bukan main ketika dia mengenal laki-laki setengah tua, karena dia tahu
bahwa laki-laki itu bukan lain adalah Panglima Souw Kee An, komandan Pasukan Garuda yang dulu
mengawal Pangeran Yung Hwa! Komandan yang lolos ketika dikepung dan telah terjerumus ke dalam
selokan air di bawah tanah.
Dan kini komandan Souw Kee An datang bersama kakek tua yang kelihatan lihai ini, maka tentu saja dia
menjadi gentar. Menghadapi pengemis itu saja, dia sudah merasa agak sukar memperoleh kemenangan,
dan dia tahu bahwa kepandaian komandan Souw itu juga tinggi, setidaknya berimbang dengan dia.
Padahal kakek yang tadi hampir merobohkannya dengan dorongan dari jarak jauh itu sudah jelas
merupakan lawan yang amat berat.
Ciu-lo-mo tidak akan menjadi orang kepercayaan Gubernur Ho-nan kalau saja dia, di samping
kepandaiannya yang tinggi, tidak cerdik pula. Dia tahu bahwa menggunakan kekerasan merupakan
kebodohan, maka dia cepat menjura ke arah komandan Souw Kee An dan menebalkan muka berkata
ramah, “Ahhh, kiranya Souw-ciangkun yang datang! Kalau Cu-wi ada keperluan dengan taijin, silakan
menghadap selagi taijin masih berada di Ceng-couw. Saya tadi mengejar dia karena sikapnya
mencurigakan dan saya mengira dia seorang mata-mata musuh.”
“Hemmm, memang dia mata-mata yang kami suruh menyelidiki ke Ceng-couw!” Tiba tiba kakek tinggi
tegap yang gagah itu berkata, suaranya menggeledek dan penuh wibawa. “Dan memang kami ingin bicara
dengan Gubernur Ho-nan, Kui Cu Kam taijin. Akan tetapi kami tidak sudi memasuki perangkap yang kalian
pasang di Ceng-couw, seperti yang telah kalian lakukan terhadap Pangeran Yung Hwa. Ciu-lo-mo, cepat
kau sampaikan kepada Gubernur Kui, kalau dia ingin damai, dia harus menemui kami di sini, bukan di
istananya. Kalau tidak, maka terpaksa kami akan menghancurkan istananya dan menangkapnya sebagai
seorang tawanan pemberontak!”
Biar pun dia tidak berani memperlihatkan sikap secara berterang karena dia merasa kedudukannya saat itu
kalah kuat, namun di dalam hatinya Ciu-lo-mo mengejek kata kata yang dianggapnya terlalu sombong ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga orang ini berada di wilayah Propinsi Ho-nan, akan tetapi berani mengeluarkan kata-kata sesombong
itu!
Agaknya kakek tua itu dapat juga membaca isi hati Ciu-lo-mo, maka mendadak dia mengeluarkan suara
menggereng seperti seekor singa marah. Suaranya terdengar demikian keras sehingga bumi sekitar
tempat itu seperti tergetar karenanya. Siluman Kecil sendiri yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi
menjadi terkejut dan diam-diam dia kagum sekali, di dalam hati memuji kekuatan khikang kakek ini yang
ternyata mahir ilmu Sai-cu Ho-kang (Ilmu Auman Singa). Ilmu seperti ini kalau dipergunakan untuk
menyerang lawan, sekali mengaum saja cukup untuk merobohkan lawan yang kurang kuat dan wibawanya
melebihi singa tulen yang kalau hendak menangkap mangsa didahului dengan auman yang cukup
membikin pingsan atau lumpuh binatang yang akan menjadi korbannya.
Ciu-lo-mo juga kaget setengah mati, apa lagi ketika dia mendengar suara yang gegap gempita, suara
banyak sekali orang dari balik bukit. Keringat dingin membasahi leher dan dahi jagoan Ho-nan itu karena
dia mengerti apa artinya itu. Kiranya kakek luar biasa ini bukan hanya datang sendirian, melainkan
membawa bala tentara yang entah berapa banyaknya!
“Di sana terdapat selaksa prajurit pilihan yang sudah siap untuk menghancurkan daerah ini dan
menangkap Gubernur Ho-nan kalau dia tidak mau hadir di sini. Nah, cepat kau pergilah!” kata kakek itu
dengan sikap penuh wibawa kepada Ciu-lo-mo.
Ciu-lo-mo bersikap hormat, jantungnya berdebar penuh ketegangan. Kakek ini dapat memimpin pasukan
yang begitu besar, tahu-tahu sudah memasuki Propinsi Ho-nan tanpa ada penjaga tapal batas yang datang
memberi kabar. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa kakek ini memang hebat luar biasa dan bahwa
Propinsi Ho-nan terancam bahaya hebat. Dia menjura dengan hormat dan berkata, “Baiklah, saya akan
menyampaikan pesan itu kepada Kui-taijin. Akan tetapi bolehkah saya mengetahui siapa gerangan
Locianpwe, agar saya dapat memperkenalkan kepada Kui-taijin?”
Kakek itu tidak menjawab, bahkan memandang pun tidak kepada Ciu-lo-mo. Adalah komandan Souw Kee
An yang menjawab, “Ketahuilah olehmu, Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It. Beliau ini adalah utusan yang
dipercaya oleh Sri Baginda Kaisar untuk menuntut pertanggungan jawab Gubernur Ho-nan atas peristiwa
yang terjadi di Ho-nan tempo hari. Dunia kang-ouw mengenal beliau sebagai Sai-cu Kai-ong (Raja
Pengemis Singa) dan secara tidak resmi seluruh perkumpulan kai-pang (persatuan kaum pengemis)
memujanya sebagai seorang pemimpin dan pengawas.”
Siapakah sebenarnya kakek yang hebat ini? Memang kakek ini hanya terkenal di antara para tokoh dunia
pengemis saja, sungguh pun dia tidak pernah berpakaian pengemis. Kakek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong
dan dianggap sebagai raja oleh seluruh pengemis yang bagaimana rendah sampai tinggi pun ini, dari yang
lemah sampai yang sakti ini, sebenarnya bernama Yu Kong Tek dan memang nenek moyangnya dahulu
merupakan tokoh-tokoh pengemis yang hebat-hebat. Yu Kong Tek ini masih keturunan dari Yu Jin Tianglo,
ketua perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang yang amat terkenal di jaman Suling Emas!
Yu Jin Tianglo mempunyai putera Yu Kang, kemudian Yu Kang mempunyai putera Yu Siang Ki (baca cerita
Mutiara Hitam) yang menikah dengan Song Goat puteri seorang berilmu yang berjuluk Si Raja Obat (Yokong)
dan kemudian suami isteri ini hidup sebagai orang-orang biasa dan membuka sebuah toko obat. Biar
pun Yu Siang Ki sudah tidak mengurus perkumpulan pengemis, bahkan telah mengundurkan dlri dari dunia
pengemis, namun dia selalu masih menghargai kedudukan nenek moyangnya. Oleh karena itu, turunmenurun
keluarga Yu ini masih menggunakan tradisi nenek moyang mereka, yaitu di waktu muda
mengembara sebagai seorang pengemis untuk menggembleng diri lahir batin!
Sampai kepada Kakek Yu Kong Tek, tokoh ini pun tidak pernah melupakan tradisi nenek moyangnya dan
walau pun dia sekarang sebagai seorang kakek tidak lagi berpakaian pengemis, namun dia memakai
julukan pengemis, yaitu Sai-cu Kai-ong! Dan biar pun dia tidak langsung menjadi raja pengemis, namun
namanya dikenal dan dihormati oleh seluruh kaum pengemis, dari anggota terkecil sampai dengan para
ketua perkumpulan yang berkepandaian tinggi.
Bagi para pembaca yang telah membaca cerita Suling Emas dan cerita Mutiara Hitam, tentu akan bertemu
dengan nenek moyang Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek ini. Karena nenek moyangnya di pihak ayah adalah
seorang ahli silat yang sakti, sedangkan dari pihak ibu adalah seorang ahli pengobatan, maka Yu Kong Tek
ini selain mewarisi ilmu silat tinggi, juga mahir ilmu pengobatan. Dia jarang muncul, namun akhirnya dapat
menjadi kepercayaan kaisar karena komandan Souw Kee An yang memperkenalkan namanya kepada
kaisar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semenjak istana ditinggalkan oleh Puteri Milana, kaisar kehilangan orang kepercayaan yang memiliki
kesaktian, maka banyak ponggawa yang setia memperkenalkan banyak orang-orang pandai, akan tetapi
Sai-cu Kai-ong memperoleh kepercayan kaisar dan dalam kesempatan ini kepandaian dan kesetiaan tokoh
ini diuji oleh kaisar dengan mengutusnya untuk membereskan kekacauan di Ho-nan.
Ho-nan Ciu-lo-mo Wan Lok It tidak mengenal kakek ini. Tokoh Ho-nan berambut merah yang lihai ini hanya
pernah mendengar bahwa di kalangan para pengemis terdapat seorang tokoh yang dijunjung tinggi dan
dihormati oleh para pengemis, yang besar sekali pengaruhnya secara turun-temurun dan ilmu silat
keluarga tokoh ini kabarnya amat hebat, bahkan menurut dongeng, tidak kalah hebatnya oleh ilmu silat
keluarga Suling Emas!
Menurut dongeng yang didengarnya, antara keluarga tokoh pengemis itu dan keluarga Suling Emas,
dahulu, ratusan tahun yang lalu, memang terdapat hubungan yang amat erat, bagai keluarga saja. Seperti
dikabarkan orang, ilmu keluarga Suling Emas katanya terjatuh ke tangan keluarga Pulau Es, dan ilmu
keluarga pengemis aneh itu entah terjatuh ke tangan siapa. Apakah benar kakek ini keturunan dari
keluarga pengemis aneh itu? Hatinya penuh ketegangan dan setelah memberi hormat dan berjanji akan
menyampaikan semua kepada majikannya, Ciu-lo-mo lalu pergi meninggalkan mereka.
Setelah jagoan Ho-nan yang berambut kemerahan dan membawa guci arak itu pergi, pengemis setengah
tua yang tadi bertanding melawan Ciu-lo-mo segera melangkah maju dan menjatuhkan diri berlutut di
depan kakek gagah itu. “Suhu!”
Kakek yang berjuluk Sai-cu Kai-ong itu memandang muridnya dan bertanya, “Bagai mana hasil
penyelidikanmu?”
Pengemis setengah tua itu adalah murid pertama dari Sai-cu Kai-ong dan dia pun hanya menggunakan
nama julukan saja, sungguh pun dia masih memperkenalkan she-nya (nama keturunannya), yaitu she Gu.
Dia berjuluk Gu Sin-kai (Pengemis Sakti she Gu). Mendengar pertanyaan gurunya, Gu Sin-kai kemudian
menceritakan tentang pemilihan pengawal yang diadakan oleh Gubernur Ho-nan, sampai dia dicurigai dan
dikejar oleh Ho-nan Ciu-lo-mo tadi.
“Selain itu, teecu juga melihat suatu keanehan luar biasa, Suhu,” sambungnya. “Teecu melihat sute, akan
tetapi sungguh mengherankan, teecu melihat bahwa sute memasuki sayembara pula dan dia berhasil
dipilih sebagai pengawal gubernur tingkat ketiga, yaitu sesudah seorang pincang gagu dan seorang kongcu
yang tampan.”
Dia kemudian menceritakan jalannya pertandingan pemilihan pengawal itu, dan Sai-cu Kai-ong
mengerutkan alisnya yang tebal.
“Ahhhhh...! Memang telah kuberitahukan bahwa dia telah tamat belajar dan dia sudah bebas untuk menjadi
pengemis atau orang biasa, akan tetapi sungguh tidak kuduga mengapa dia mengangkat diri menjadi
pengawal Gubernur Ho-nan yang tersesat itu!”
Siluman Kecil yang masih mengintai dan terus mendengarkan menjadi maklum bahwa ternyata Sai-cu Kaiong
yang gagah perkasa itu adalah guru dari Siauw-hong! Maka dia merasa tidak enak untuk mengintai
terus, apa lagi ketika guru dan murid itu mulai membicarakan urusan mereka sendiri. Dia tidak perlu
mendengarkan terus karena bagi dia masih banyak urusan menanti, yaitu mencari nenek pencuri dan
kemudian mencari pencuri kitab-kitab pusaka Suling Emas. Maka keluarlah Siluman Kecil dari tempatnya
bersembunyi dan dia berjalan pergi.
“Eh, apakah dia itu temanmu?” Tiba-tiba Sai-cu Kai-ong bertanya kepada Gu Sin-kai.
“Teecu tidak mengenal dia, tidak tahu pula bahwa dia berada di sini.”
“Ahhh...!” Sai-cu Kai-ong mengeluarkan suara gerengan seperti singa dan tahu-tahu tubuhnya mencelat ke
depan.
Karena dia menaruh curiga kepada kakek yang diam-diam menyelinap pergi dari tempat
persembunyiannya itu, langsung saja Sai-cu Kai-ong mengulurkan tangannya hendak mencengkeram
pundak Siluman Kecil dan menangkapnya untuk diperiksa. Dia sedang memimpin pasukan dengan tugas
amat penting dari kaisar, maka tentu saja kakek sakti itu harus bersikap waspada terhadap semua gerakdunia-
kangouw.blogspot.com
gerik musuh yang mungkin sudah menyebar banyak mata-mata, dan di antaranya barangkali adalah kakek
yang hendak ditangkapnya itu.
“Wuuuttttt...!” Tangan Sai-cu Kai-ong seperti cakar singa yang menyambar, cepat dan kuat bukan main
menuju ke pundak kiri Siluman Kecil.
“Plakkkkk!”
Tanpa menoleh, Siluman Kecil menggerakkan tangannya menangkis sehingga kedua tangan bertemu di
udara. Keduanya tergetar dan Sai-cu Kai-ong yang tubuhnya masih melayang tadi, cepat berjungkir-balik
dan turun ke atas tanah dengan mata terbelalak lebar! Sungguh tidak disangkanya bahwa orang itu mampu
menangkis cengkeramannya dan bukan hanya mampu, bahkan dia merasa betapa lengannya tergetar
hebat! Juga Siluman Kecil merasa lengannya tergetar, tanda bahwa Sai-cu Kai-ong memang benar
seorang sakti yang memiliki sinkang kuat sekali.
Sai-cu Kai-ong makin curiga. Orang yang dapat menangkis dengan kekuatan seperti itu, malah agaknya
jauh lebih kuat dari pada Ciu-lo-mo tadi, tentulah seorang yang benar benar merupakan mata-mata pilihan
dari Gubernur Ho-nan dan merupakan bahaya bagi tugasnya. Maka dengan cepat dia sudah menerjang
lagi, kini menambah tenaga dalam gerakan tangannya. Di lain pihak, ketika tadi dia merasakan betapa
lengannya sendiri tergetar hebat dalam pertemuan tangan tadi, Siluman Kecil menjadi gembira dan ingin
sekali dia menguji kehebatan guru Siauw-hong itu. Maka ketika melihat kakek gagah itu menyerang
dengan cepat dan kuat, dia pun segera bergerak mengelak dan lalu balas menyerang tidak kalah
hebatnya.
“Plakkk! Plakkk!” Kembali ada pertemuan tenaga yang dahsyat melalui dua pasang telapak tangan dan
keduanya terdorong mundur.
“Uhhhh...!” Sai-cu Kai-ong makin penasaran, mendengus keras dan menyerang lagi. Akan tetapi, Siluman
Kecil sudah lenyap dari depannya seperti setan dan tahu-tahu telah menyerangnya dari atas,
mencengkeram ke arah batok kepalanya.
“Hebat...!”
Sai-cu Kai-ong menggerakkan tubuhnya miring dan tangannya menyambar, yang dapat ditangkis oleh
Siluman Kecil yang selanjutnya mengeluarkan ilmunya yang mukjijat, yaitu gerakan yang amat cepat
seperti berkelebatnya kilat, seperti seekor burung yang beterbangan ke sana-sini dengan kecepatan yang
menakjubkan. Namun, dia harus mengakui puka bahwa daya tahan kakek itu pun hebat sekali sehingga
setelah dia berkelebatan dan bertanding sampai lima puluh jurus, barulah dia berhasil melubangi ujung
lengan baju kakek itu.
“Bukan main...!” Sai-cu Kai-ong melompat ke belakang dan memeriksa lengan bajunya yang sudah bolong!
Kalau tidak menghadapinya sendiri tentu dia takkan percaya. Meski hanya merupakan kekalahan tipis saja,
akan tetapi ternyata bahwa kakek di depannya ini sudah dapat mengalahkannya! Sungguh sukar
dipercaya.
Tidak mungkin kiranya kalau Gubernur Ho-nan memiliki mata-mata yang seperti itu kepandaiannya,
sedangkan orang kepercayaan gubernur itu saja, si Ciu-lo-mo, tingkat kepandaiannya baru setingkat
dengan muridnya, Gu Sin-kai. Dan di lain pihak, Siluman Kecil juga kagum karena kembali dia dapat
bertemu dengan seorang yang sakti! Kalau mereka berdua bertanding sungguh-sungguh, dia masih belum
dapat memastikan apakah dia akan dapat mengalahkan kakek ini dengan mudah. Maka kini dia merasa
ragu-ragu untuk maju, hanya menanti gerakan lawannya.
“Sabar, tahan dulu! Siapakah engkau dan mengapa engkau mengintai di sini?” tanya Sai-cu Kai-ong sambil
memandang kakek di depannya itu penuh perhatian.
Siluman Kecil menjura dan menjawab, “Maaf, saya tidak sengaja mencampuri urusan Locianpwe. Saya
kebetulan lewat, hanya orang lewat biasa saja... maaf.” Siluman Kecil menjura lagi dan memutar tubuhnya
hendak pergi dari situ.
“Sahabat yang baik, tunggu dulu!” Sai-cu Kai-ong berseru. Kakek ini sungguh luar biasa, pikirnya, berwatak
demikian sederhana dan merendah, kepandaiannya begitu tinggi namun masih menyebut dia ‘locianpwe’.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Setelah kita bertemu di sini, setelah tanpa disengaja kita saling menguji kepandaian, apakah sahabat
menganggap saya masih terlalu rendah untuk dijadikan kenalan? Saya disebut orang Sai-cu Kai-ong dan
saya merasa kagum sekali kepadamu yang memiliki kepandaian hebat. Bolehkan saya mengetahui
namamu yang terhormat?”
Siluman Kecil menggeleng kepalanya yang penuh rambut putih menutupi mukanya yang keriputan. “Saya
tidak bernama...saya tidak mempunyai nama...“
Sai-cu Kai-ong tidak merasa heran mendengar ini. Dia maklum bahwa makin tinggi kepandaian orang,
makin seganlah dia memperkenalkan namanya. Dia sendiri pun tidak pernah menyebutkan namanya
sendiri dan membiarkan orang lain menamakannya. Tidak pernah nama aslinya, yaitu Yu Kong Tek,
dikenal orang.
“Sahabat yang baik, biar pun engkau tidak sudi memperkenalkan nama, akan tetapi dengan hormat saya
mengundangmu untuk menemani kami. Harap saja engkau orang tua tidak akan menolak undangan kami.”
Siluman Kecil sebetulnya tidak suka untuk berkenalan dengan orang banyak. Akan tetapi, mendengar
tentang urusan Pangeran Yung Hwa tadi, dia merasa tertarik sekali dan sebetulnya ingin juga dia
mengetahui bagaimana perkembangan urusan yang menyangkut diri pangeran itu, maka tanpa banyak
cakap dia lalu mengangguk. Sai-cu Kai-ong girang sekali dan dia lalu bersama Siluman Kecil, diiringkan
oleh Gu Sin-kai dan Panglima Souw Kee An, kembali ke perkemahan para pasukan di balik bukit, di mana
dia menjamu Siluman Kecil dan bercakap-cakap tentang ilmu silat.
Makin gembiralah hati Sai-cu Kai-ong mendengar betapa tamunya itu ternyata luas sekali pengetahuannya
tentang ilmu silat. Sebaliknya, Siluman Kecil terkejut ketika mendengar pengakuan tuan rumah bahwa
kakek gagah itu ternyata adalah keturunan dari para pendiri Khong-sim Kai-pang dan nenek moyangnya
menjadi sahabat-sahabat baik dari keturunan Pendekar Sakti Suling Emas! Siluman Kecil mendengarkan
pula penuturan tentang lenyapnya Pangeran Yung Hwa yang tadinya menjadi utusan kaisar, lenyap pada
saat terjadi keributan besar di taman bunga istana Gubernur Ho-nan. Yang menceritakan urusan ini adalah
Perwira Souw Kee An.
Menjelang sore hari itu, penjaga melaporkan bahwa di kejauhan muncul kurang lebih seribu orang prajurit
dari Ho-nan dan utusan pasukan itu datang menyampaikan berita bahwa Gubernur Ho-nan telah datang
untuk menemui pimpinan pasukan kota raja yang diutus oleh kaisar dan ingin bicara! Mendengar ini, Sai-cu
Kai-ong mengangguk-angguk.
“Baik sekali kalau dia datang bicara,” katanya di hadapan Siluman Kecil, Souw Kee An, dan Gu Sin-kai.
“Aku pun tidak akan merasa senang kalau harus menggempur Ho-nan dan mengorbankan banyak prajurit
dan rakyat yang tidak berdosa.” Kakek gagah ini lalu memerintahkan penjaga untuk membawa utusan
pasukan gubernur itu menghadap.
Setelah prajurit yang bermuka pucat itu menghadap, Sai-cu Kai-ong kemudian berkata, “Sampaikan
kepada Gubernur Kui Cu Kam, bahkan saya akan menantinya di puncak bukit, dan saya mempersilakan
dia datang tanpa pasukan, hanya bersama satu orang pengawal saja. Pergilah!”
Prajurit itu pergi dan Sai-cu Kai-ong berkata, “Sahabat yang baik, sekarang aku minta kepadamu untuk
menemaniku menemui gubernur.”
“Baik, Kai-ong,” jawab Siluman Kecil. “Saya pun ingin sekali mendengar bagaimana nasib pangeran itu.”
Siluman Kecil kini menyebut tuan rumah itu Kai-ong, karena Sai-cu Kai-ong menolak ketika disebutnya
locianpwe. Sedangkan Saicu Kai-ong hanya menyebut Siluman Kecil ‘sahabat’ saja karena Siluman Kecil
masih tetap berkeras tidak mau memperkenalkan namanya.
Berangkatlah dua orang itu ke puncak bukit. Dan mereka melihat bahwa dari depan, ada dua orang pula
yang mendaki puncak bukit kecil itu dan ternyata mereka itu adalah Gubernur Kui Cu Kam sendiri yang
dikawal oleh seorang kakek yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa, kepalanya botak, mantelnya lebar
dan berwarna merah darah, dan mulutnya selalu menyeringai lebar dengan lagaknya yang congkak. Orang
ini bukan lain adalah Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang telah bersekutu dengan Gubernur Ho-nan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah empat orang ini saling berjumpa di puncak bukit itu, mereka tidak saling memberi hormat,
melainkan saling pandang dengan sinar mata penuh selidik. Akhirnya, Gubernur Ho-nan bertanya,
“Menurut pelaporan Ciu-lo-mo, engkau mengundang kami datang ke sini. Apakah urusannya?”
Dari suaranya, jelas bahwa gubernur ini marah sekali karena sesungguhnya dia datang dengan terpaksa
karena khawatir mendengar ancaman itu, bahwa kalau dia tidak mau datang maka Ho-nan akan diserbu.
Menurut para penyelidiknya, memang ada sepuluh ribu orang prajurit kota raja siap di balik puncak bukit
ini!
Sai-cu Kai-ong mengangguk dan berkata, “Gubernur Kui Cu Kam, kami memenuhi perintah kaisar untuk
menuntut agar engkau suka membebaskan Pangeran Yung Hwa dan memberi penjelasan akan sikapmu
yang tidak layak itu!”
Suara Sai-cu Kai-ong menggeledek dan muka gubernur itu menjadi agak pucat. Akan tetapi, Ban Hwa
Sengjin hanya tersenyum mengejek dan memandang rendah, bahkan dia menggerak-gerakkan kakinya
untuk menghilangkan lumpur dari bawah sepatunya pada sebongkah batu karang. Nampak bunga api
berpijar ketika bawah sepatunya bertemu dengan batu karang dan ujung batu karang itu pun hancur lebur
oleh injakan sepatunya yang dilapis tapal baja! Tentu saja suara tapal baja mengenai batu karang itu
nyaring dan mengganggu dan memang inilah yang dimaksudkan oleh Ban Hwa Sengjin untuk
memperlihatkan sikap bahwa dia sama sekali tidak memandang sebelah mata kepada dua orang kakek di
depannya itu.
Gubernur Kui tersenyum dan matanya yang sipit menyambar penuh kecerdikan. “Kalau memang manusia
she Hok dari Ho-pei itu sudah mengadu ke sana, penjelasan dari kami apa lagi artinya? Tentu keadaan
yang sebenarnya sudah diputar balikkan oleh orang she Hok Gubernur Hopei itu. Di antara dia dan kami
memang sudah lama ada pertikaian mengenai wilayah di perbatasan, dan pertikaian itu lalu meletus ketika
dia mengantar Pangeran Yung Hwa sebagai utusan kaisar. Keributan antara dia dan kami serta para
pembantu kami kedua pihak tak dapat dicegah lagi. Sudah tentu saja dia memutar balikkan kenyataan dan
mendongeng di kota raja bahwa pihak kami sengaja hendak mencelakakan Pangeran Yung Hwa. Padahal,
pihak orang she Hok itulah yang sengaja memancing timbulnya keributan di taman istana kami agar dapat
menggunakan sebagai bahan fitnah.”
Sai-cu Kai-ong mengerutkan alisnya. Dia pribadi tentu saja tidak akan berpihak kepada Gubernur Ho-nan
ini atau kepada Gubernur Ho-pei, dan dia tidak pula mengetahui apa urusannya antara mereka berdua.
Tetapi sebagai utusan, ia hanya akan melaksanakan apa yang menjadi tugasnya.
“Gubernur Kui, penjelasanmu tentu akan kami sampaikan kepada Sri Baginda Kaisar. Sekarang, kami
harap engkau suka membebaskan Pangeran Yung Hwa agar beliau dapat kembali ke kota raja bersama
kami.”
Gubernur itu kembali tersenyum, lalu berkata dengan lantang, “Anggapan bahwa kami menangkap
Pangeran Yung Hwa tentu timbul oleh karena fitnah yang dilontarkan oleh Gubernur Ho-pei itu. Padahal,
kami hanya melindungi Pangeran Yung Hwa karena kami tahu bahwa pihak Ho-pei tentu berusaha sekuat
mungkin untuk dapat membunuh pangeran itu sehingga kemudian kami pula yang akan dituduh sebagai
pembunuhnya. Pangeran Yung Hwa kami lindungi dan dalam keadaan selamat. Tentu akan kami
bebaskan dan setelah mendengar perjelasan kami ini, maka pengiriman pasukan dari kota raja itu sungguh
tidak pada tempatnya dan harap sekarang juga ditarik mundur kembali.”
“Hemmm, mudah saja menarik mundur pasukan. Akan tetapi saya hanya akan menarik mundur pasukan
kalau sudah melihat Pangeran Yung Hwa dibebaskan dan berada di antara kami.”
“Orang tua yang tinggi hati! Kami dengar bahwa engkau bukanlah seorang panglima, dan menurut Ciu-lomo,
engkau hanyalah seorang kang-ouw yang mempunyai julukan Sai-cu Kai-ong.”
“Memang benar demikian,” jawab kakek itu tenang.
“Mengapa orang seperti engkau tidak mempercayai kami?” bentak gubernur itu, marah bukan main bahwa
seorang ‘raja pengemis’ saja berani tidak percaya kepadanya.
“Tidak ada soal percaya atau tidak percaya, Kui-taijin. Kami hanya menjalankan tugas yang akan kami
pertahankan sampai detik terakhir. Kami ulangi bahwa kami baru akan menarik mundur pasukan kalau
Pangeran Yung Hwa sudah diserahkan kepada kami.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Gubernur itu menoleh kepada Ban Hwa Sengjin dan sampai beberapa lamanya mereka bertemu pandang,
kemudian Gubernur Kui berkata, “Baiklah, kau tunggu saja. Besok akan kami bebaskan Pangeran Yung
Hwa. Hari sudah mulai gelap, kami akan kembali dulu.”
Setelah berkata demikian, gubernur itu mengangguk kepada Ban Hwa Sengjin. Koksu dari Nepal yang
bertubuh seperti raksasa itu lalu memondong tubuh Gubernur Kui, lalu dia berlari cepat sekali menuruni
bukit itu. Gerakannya gesit dan larinya seperti terbang saja.
“Hemmm, raksasa itu lihai sekali dan gubernur itu amat cerdik,” kata Sai-cu Kai-ong dan Siluman Kecil
mengangguk.
“Saya kira juga ada sesuatu yang direncanakannya,” kata Siluman Kecil.
Sai-cu Kai-ong mengajak Siluman Kecil kembali ke perkemahan dan dia mengadakan rapat kilat di antara
para pembantunya. Semua pembantunya juga menyatakan rasa curiga mereka terhadap Gubernur Kui,
maka akhirnya diambil keputusan bahwa Sai-cu Kai-ong sendiri, dibantu oleh Gu Sin-kai, pergi menyelidiki
ke istana Gubernur Kui di Lok-yang dan atas permintaan Sai-cu Kai-ong, Siluman Kecil mau juga
menemani mereka. Berangkatlah mereka bertiga pada malam hari itu juga menuju ke Lok-yang.
********************
Malam itu suasana sangat sunyi di istana gubernuran di kota Lok-yang. Karena menurut keterangan dari
Ho-nan Ciu-lo-mo bahwa Gubernur Kui sedang sibuk dengan urusan penting dan belum sempat berbicara
dengan tiga orang jagoan yang terpilih sebagai pengawal-pengawal pribadi, maka tiga orang yang
memenangkan sayembara yang diadakan di Ceng-couw itu kini diserahi tugas menjaga keamanan di
istana gubernuran, ditemani oleh Ciu-lo-mo sendiri.
Seperti diceritakan di bagian depan, yang memang dalam pertandingan itu adalah tiga orang, yaitu
pertama adalah laki-laki pincang yang gagu, yang kedua adalah Kang Swi pemuda royal itu, dan ketiga
adalah Siauw-hong, yaitu pengemis muda yang tadinya menjadi tukang kuda dari Kang Swi. Setelah
menang dalam sayembara, Kang Swi lalu memberikan keempat ekor kudanya kepada A-cun, kacungnya
itu, dan lalu menyuruh kacungnya itu pergi.
Kang Swi yang berwatak ugal-ugalan dan manja, juga agak angkuh itu, masih merasa penasaran karena
dia hanya jatuh nomor dua, dinyatakan kalah oleh si pincang gagu! Padahal, siapakah si gagu itu? Orang
yang sama sekali tidak punya nama! Benar-benar tidak punya nama karena si gagu itu tidak bisa
menjawab ketika ditanyai namanya, dan ketika disuruh tuliskan namanya, dia menggeleng-geleng kepala
dan menggoyang goyangkan tangannya sebagai tanda bahwa dia tak dapat menulis. Pincang, gagu, dan
buta huruf! Akan tetapi toh dianggap pengawal nomor satu dan dia berada di bawahnya!
Karena malam itu sunyi dan mereka menanti berita dari gubernur, maka mereka merasa kesal juga.
Setelah makan malam, Ciu-lo-mo lalu mengajak mereka bermain kartu. Akan tetapi, dalam permainan ini
pun si gagu amat bodoh dan sukar diajari sehingga Kang Swi merasa makin tidak senang.
“Aku berani bertaruh bahwa kumismu itu palsu, Gagu!” katanya.
Karena tidak punya nama, maka laki-laki pincang gagu yang menjadi yang nomor satu atau juara di antara
tiga pengawal baru yang terpilih itu, disebut Gagu. Dan si Gagu ini biar pun tidak pandai bicara, rupanya
dapat mengerti semua kata-kata orang yang ditujukan kepadanya. Akan tetapi ternyata orangnya pendiam,
sabar dan sama sekali tidak mau melayani terhadap goda-godaan dan gangguan-gangguan dari Kang Swi.
“Kang-sicu, harap kau suka hentikan godaan-godaanmu itu. Jangan sampai dia menjadi marah dan terjadi
keributan antara engkau dan dia,” Ciu-lo-mo akhirnya menegur Kang Swi yang terus-menerus menggoda
Gagu.
“Hemmm, kalau dia marah aku pun tidak takut,” kata Kang Swi.
“Bukan soal takut, akan tetapi kalau sampai terjadi keributan di sini, bukankah hal itu tidak baik sekali?”
Ciu-lo-mo menasehatinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, di dalam hatinya Kang Swi masih merasa penasaran dan marah karena dikalahkan oleh orang
gagu dan pincang ini, maka dia tetap saja membantah. “Mana dia berani ribut-ribut? Akan kubuka
kedoknya kalau dia ribut-ribut. Dia ini orang palsu, entah darimana dia. Kalau dia berani ribut, akan kuajak
keluar dia dan dalam pertandingan sungguh-sungguh, tentu pedangku mampu membuka kedoknya!”
Ciu-lo-mo mengerutkan alisnya dan tiba-tiba si gagu menggebrak meja, lalu bangkit berdiri dan
meninggalkan mereka bertiga. Kang Swi juga bangkit, akan tetapi Ciu-lo-mo berkata, “Kang-sicu, harap
kau jangan mencari keributan di sini. Biarlah dia sendiri dan jangan mengganggu lagi!” Suaranya mulai
terdengar keras hingga mau tidak mau Kang Swi menengok kepadanya.
“Apa yang dikatakan oleh Ciu-lo-mo memang benar, Kang-kongcu. Sebagai pengawal pengawal baru,
sungguh tidak baik kalau membuat ribut-ribut. Kalau nanti taijin datang dan mendengar bahwa antara
engkau dan si Gagu terjadi keributan, tentu beliau menjadi marah,” Siauw-hong juga membujuk Kang Swi.
Pemuda tampan ini mengeluarkan suara mendengus dari hidungnya, seolah-olah dia tidak takut akan
semua akibatnya, akan tetapi akhirnya dia duduk kembali dan mereka bertiga melanjutkan permainan
mereka tanpa mempedulikan si Gagu yang kelihatan berjalan-jalan perlahan seperti orang yang sedang
meronda, memandang ke sana-sini dengan penuh perhatian. Ketika Ciu-lo-mo menoleh kepadanya, si
Gagu lalu memberi isyarat dengan kedua tangannya bahwa dia hendak meronda dan berkeliling
memeriksa istana itu untuk menjaga keamanan. Ciu-lo-mo dapat mengerti maksudnya, maka untuk
mencegah agar jangan sampai si Gagu itu digoda terus oleh pemuda she Kang itu, dia mengangguk
memberi ijin.
Mula-mula si Gagu meronda di dekat sekitar tempat itu dan masih kelihatan oleh tiga orang pengawal yang
bermain kartu, akan tetapi ketika dia mendapat kenyataan bahwa dirinya tidak lagi diperhatikan oleh tiga
orang yang makin asyik bermain kartu setelah tidak ada gangguan dari si Gagu yang kurang pandai
bermain, si Gagu menyelinap dan masuk ke bagian belakang dari istana itu. Dan begitu dia menyelinap
masuk dan tidak nampak lagi oleh tiga orang itu, tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan dengan kecepatan luar
biasa dia telah meloncat ke dalam taman dan mencari-cari! Agaknya dia tidak asing dengan tempat itu,
buktinya dia berlari ke sana-sini dengan cepatnya dan akhirnya tibalah dia di tempat tahanan yang
tersembunyi, yaitu di bagian ujung belakang istana. Dia melihat enam orang prajurit pengawal berjaga di
luar sebuah kamar sambil bercakap-cakap. Si Gagu lalu keluar dari tempat sembunyinya, dan berjalan
seenaknya menghampiri mereka.
Ketika melihat si Gagu, enam orang prajurit itu lalu cepat berdiri dan memberi hormat. Mereka tentu saja
sudah mengenal si Gagu yang telah diperkenalkan kepada semua pasukan pengawal, bahkan tiga orang
pengawal pribadi gubernur yang baru itu tadi menjadi bahan percakapan mereka, terutama si Gagu ini
yang membuat mereka amat merasa kagum sekali. Pincang, gagu dan kabarnya buta huruf, akan tetapi
memiliki kepandaian yang amat tinggi sehingga dapat mengalahkan semua peserta sayembara. Bahkan
mereka mendengar bahwa tingkat kepandaian si Gagu ini kiranya masih lebih tinggi dari pada tingkat
kepandaian Ciu-lo-mo sendiri.
“Selamat malam, Ciangkun!” kata mereka serentak, bingung harus menyebut apa kepada si Gagu yang tak
bernama ini.
Si Gagu mengangguk-angguk sambil tersenyum lebar, kemudian dengan tangannya dia menuding ke arah
kamar dan menunjuk dada sendiri, lalu menunjuk dua orang di antara mereka. Dengan jelas dia memberi
isyarat bahwa dia ingin memeriksa kamar itu dan minta agar ditemani oleh dua orang di antara mereka.
Mereka saling pandang dengan ragu-ragu, akan tetapi karena si Gagu ini adalah orang baru yang menjadi
pengawal pribadi gubernur, mereka tentu saja tidak berani membantah, apa lagi ada mereka di situ, dan si
Gagu minta diantar oleh dua orang. Dua orang pengawal lalu mengantarnya membuka pintu kamar dengan
kunci dan masuklah mereka bertiga.
Ternyata Pangeran Yung Hwa yang berada di dalam kamar itu, kamar yang cukup mewah dan indah, dan
pangeran itu kelihatan sehat-sehat saja, bahkan ketika mereka memasuki kamar itu, pangeran yang muda
itu sedang asyik membaca kitab. Ketika mendengar pintu dibuka, dia menoleh dan memandang tiga orang
yang masuk itu dengan alis berkerut, kemudian Pangeran Yung Hwa membentak, “Mau apa kalian? Berani
sekali masuk tanpa kupanggil!”
Dua orang pengawal itu menjura dengan hormat sekali. “Harap Paduka maafkan, Pangeran. Perwira...
ehhh, Gagu yang baru saja diangkat menjadi pengawal ini...“
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba orang itu menghentikan kata-katanya karena pada saat itu, berbareng dengan temannya dia
sudah roboh pingsan karena ditotok dengan jari-jari tangan si Gagu di arah tengkuk mereka. Si Gagu cepat
menyambar tubuh mereka agar tidak roboh.
Pangeran Yung Hwa tentu saja terkejut sekali, tetapi tiba-tiba orang yang dinamakan Gagu itu berkata lirih
kepadanya, “Harap Paduka tenang saja, Pangeran. Saya datang untuk menolong Paduka keluar dari
tempat tahanan ini.”
Ternyata si Gagu itu sama sekali tidak gagu! Bahkan dia dapat bicara dengan halus sekali.
“Akan tetapi...“ Pangeran Yung Hwa berkata dengan mata terbelalak, bingung dan juga curiga.
“Sssttttt...“ Si Gagu itu memberi tanda dengan jari di depan bibir, kemudian dia berjalan ke pintu, membuka
pintu sedikit dan memberi isyarat kepada para penjaga di luar pintu agar dua di antara mereka masuk.
Dua orang pengawal bergegas masuk, tetapi begitu mereka samapi di dalam, sebelum mereka sempat
berteriak, mereka sudah roboh oleh totokan si Gagu yang amat lihai. Kembali dia menjenguk keluar pintu
dan dua orang penjaga lainnya dipanggilnya masuk dengan isyarat tangan, dan mereka ini pun
dirobohkannya. Enam orang pengawal itu roboh semua dalam keadaan pingsan tertotok!
“Apa artinya ini?” Pangeran Yung Hwa bertanya sambil berdiri tegak dan memandang tajam kepada orang
yang tidak dikenalnya itu.
“Maaf, Pangeran. Kiranya tidak banyak waktu untuk memberi penjelasan. Akan tetapi saya datang untuk
membebaskan Paduka...“
“Ahh, akan tetapi aku tidak ditahan! Aku malah dilindungi di sini.”
Si Gagu menjadi terkejut dan memandang heran. “Dilindungi?”
“Benar, Gubernur Ho-nan telah menyelamatkan aku dan melindungi aku dari ancaman Gubernur Ho-pei
yang hendak memberontak! Aku tidak diperbolehkan kembali karena khawatir kalau tertimpa bencana,
bahkan katanya sampai sekarang orang-orangnya Gubernur Ho-pei masih mencari-cariku. Dan kau...
jangan-jangan... kau...“ Pangeran itu memandang tajam penuh kekhawatiran.
“Ahh, Paduka telah kena ditipu! Gubernur Ho-nan itulah yang akan memberontak! Saya mengalaminya
sendiri, juga Gubernur Ho-pei hampir saja tewas! Percayalah kepada saya, Paduka, dan mari kita lari
selagi masih ada waktu.”
“Hemmm, engkau orang aneh, aku tidak mengenalmu, akan tetapi... memang aku juga selalu curiga
kepada Gubernur Ho-nan. Katanya aku selalu dilindungi dan dijaga, akan tetapi aku dilarang keluar dari
kamar, seperti orang tahanan saja.”
“Memang Paduka ditawan..., marilah...“ Si Gagu lalu menggandeng tangan Pangeran Yung Hwa diajak lari
keluar dari dalam kamar itu. Dengan cepat dia mengajak pangeran itu ke ruangan dalam dan dia mencaricari
jalan keluar yang paling aman.
“Sebaiknya kalau saya menyelidiki dulu keadaan di luar… harap Paduka menunggu...“ bisiknya dan dia lalu
menghampiri jendela ruangan itu, menjenguk ke luar untuk melihat keadaan. Kemudian perlahan-lahan dia
membuka pintu ruangan itu untuk meneliti keadaan di luar.
“Wuuuttttt...!”
Terkejutlah si Gagu ketika dia melihat ada bayangan orang menyambar turun dari atas genteng dan tahutahu
orang itu telah tiba di depan pintu ruangan. Orang ini adalah seorang pengemis setengah tua. Si Gagu
terkejut sekali melihat munculnya seorang yang berpakaian pengemis. Juga pengemis itu pun terkejut
melihat seorang laki-laki bercambang bauk berada di dalam tempat itu bersama Pangeran Yung Hwa yang
telah dikenalnya.
“Pangeran, harap Paduka tenang. Kami datang untuk menolong Paduka!” berkata si pengemis dan secepat
kilat dia sudah menyerang si Gagu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja si Gagu terkejut dan dia pun cepat mengelak dan balas menyerang, karena dia sendiri tidak
percaya bahwa pengemis ini datang untuk menolong Pangeran Yung Hwa. Keadaan negara sedang kacau
dan banyak terdapat orang-orang yang berniat membantu pemberontak, maka dia tidak boleh percaya
kepada siapa pun juga dalam hal menolong Pangeran Yung Hwa ini.
Pengemis setengah tua itu bukan lain adalah Gu Sin-kai, murid dari Sai-cu Kai-ong yang datang ke istana
itu bersama gurunya dan Siluman Kecil. Mereka bertiga sedang melakukan penyelidikan secara berpencar
untuk mencari tempat ditahannya Pangeran Yung Hwa dan kebetulan sekali Gu Sin-kai melihat si Gagu
bersama Pangeran Yung Hwa di dalam ruangan itu. Tentu saja Gu Sin-kai menganggap si Gagu itu adalah
orangnya gubernur dan langsung saja dia menyerangnya. Terjadilah pertempuran di dalam ruangan itu.
Pangeran Yung Hwa sendiri hanya menonton saja dengan bingung. Dua orang yang saling hantam ini
keduanya mengaku datang hendak menolongnya, akan tetapi kedua duanya tidak dia kenal, maka tentu
saja dia tidak tahu harus percaya dan membantu yang mana. Karena itulah maka dia diam saja dan hanya
menanti perkembangan selanjutnya.
Tetapi ternyata kepandaian si Gagu terlalu tinggi bagi Gu Sin-kai dan dalam belasan jurus saja Gu Sin-kai
sudah terdesak hebat sekali sampai beberapa kali terhuyung dan nyaris roboh. Baiknya bagi pengemis ini
adalah kenyataannya bahwa si Gagu tidak mau menurunkan tangan besi, karena kalau demikian, kiranya
pengemis itu sudah roboh sejak tadi.
Tiba-tiba terdengar suara menggeledek, “Muridku, mundurlah kau!”
Dari luar menerjang masuk seorang kakek yang gagah perkasa, yang datang-datang terus menerjang si
Gagu dengan pukulan yang mendatangkan angin bersuitan saking kuatnya tenaga sinkang yang
terkandung di dalamnya. Gu Sin-kai cepat melompat mundur dan hatinya girang melihat kedatangan
gurunya, yaitu Saicu Kai-ong.
Seorang kakek lain yang sebenarnya adalah penyamaran Siluman Keciil, juga sudah tiba di situ dan
Siluman Kecil hanya menonton saja pada saat melihat Sai-cu Kai-ong bertanding melawan laki-laki penuh
cambang bauk itu. Tidak perlu membantu seorang yang sakti seperti Sai-cu Kai-ong, pikirnya dan di dunia
ini jarang ada orang yang akan mampu menandingi kakek itu.
Akan tetapi, makin lama dia menjadi makin terheran-heran dan memandang dengan mata terbelalak kaget
dan kagum ketika dia melihat betapa lawan Sai-cu Kai-ong itu ternyata memiliki gerakan yang cepat dan
hebat bukan main! Tentu saja Sai-cu Kai-ong sendiri merasa terkejut ketika tangkisan lengan lawannya itu
membuat dia terhuyung ke belakang. Dia menjadi penasaran dan menubruk dengan pengerahan tenaga
dahsyat karena dia ingin cepat merobohkan lawan ini agar dapat menolong Pangeran Yung Hwa.
“Desssss...!”
Pertemuan tenaga itu amat hebatnya dan akibatnya tubuh Sai-cu Kai-ong terlempar ke belakang dan ia
harus berjungkir-balik beberapa kali baru dapat berdiri dan memandang kepada lawannya dengan mata
terbelalak. Kemudian dia menerjang lagi dan kali ini Siluman Kecil yang menjadi bengong. Orang itu
ternyata dapat melancarkan pukulan pukulan Swat-im Sin-ciang dan Hwi-yang Sin-ciang dari Pulau Es!
“Keparat!” bentaknya.
Ketika Sai-cu Kai-ong terdorong mundur lagi dengan muka pucat dan tubuh menggigil kedinginan, Siluman
Kecil sudah menerjang ke depan, disambut oleh si Gagu dengan sama kuatnya. Keduanya terkejut karena
ternyata serangan mereka dapat dielakkan oleh lawan dengan mudah. Melihat kesaktian lawannya,
Siluman Kecil langsung saja mengeluarkan ilmunya, ilmu yang hebat, yaitu ilmu gerak kilat yang diberi
nama Sin-ho Coan-in (Bangau Sakti Menerjang Awan). Hebat bukan main pertandingan itu. Tubuh Siluman
Kecil mencelat ke sana-sini, namun sungguh tidak mudah baginya untuk dapat mengalahkan si Gagu yang
ternyata benar-benar sakti dan menyimpan banyak ilmu ilmu mukjijat dan sakti itu.
Sai-cu Kai-ong yang berdiri menonton berkali-kali menggelengkan kepalanya. Baru sekarang ini selama
hidupnya dia menyaksikan pertandingan yang seperti ini hebatnya. Dia seorang sakti, keturunan dari
keluarga yang gagah perkasa, namun pandang matanya sampai menjadi kabur ketika dia menyaksikan
kakek berambut putih itu bertanding melawan laki-laki bercambang bauk. Sukar mengatakan siapa yang
terdesak karena keduanya berkelebatan seperti dua ekor burung garuda bertanding di angkasa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di seluruh ruangan itu menyambar-nyambar angin pukulan yang bercampur aduk, sebentar panas
kemudian sebentar dingin sehingga Pangeran Yung Hwa sendiri sudah bersembunyi di balik meja di sudut
ruangan karena tidak tahan menghadapi sambaran sambaran angin itu. Kulit mukanya terasa sakit semua
dilanda hawa yang amat panas dan kadang-kadang berubah amat dingin itu, bahkan Gu Sin-kai sendiri
juga sudah menjauh sampai mepet dinding ruangan.
Si Gagu agaknya merasa penasaran bukan main. Selama ini, dia hanya mengeluarkan sebagian kecil saja
kepandaiannya untuk melayani musuh, akan tetapi sekarang ini, biar pun dia sudah mengeluarkan semua
ilmu simpanannya, dia masih tidak mampu menang, bahkan mulai terdesak karena gerakan kilat lawannya
benar-benar amat hebat. Dengan penasaran dia lalu mengerahkan seluruh tenaga di kedua tangannya,
lalu memukul dengan dorongan kuat.
Siluman Kecil terkejut bukan main. Dia tahu bahwa pukulan lawannya itu merupakan pukulan maut yang
amat hebat, maka dia pun lalu menerimanya dengan dua tangan didorongkan ke depan sambil
mengerahkan tenaga sakti yang selama ini dilatihnya, yaitu tenaga sakti yang merupakan penggabungan
dari inti tenaga Im dan Yang.
“Bresssss...!”
Tubuh si Gagu terlempar seperti sehelai daun tertiup angin dan tubuh Siluman Kecil terhuyung-huyung
sampai jauh ke belakang. Hebat bukan main pertemuan tenaga itu, terasa oleh semua orang dan dinding
ruangan itu sampai tergetar. Tubuh si Gagu rebah terlentang dan dia mengeluh perlahan, kulitnya luka-luka
seperti terkena air mendidih. Cambang bauk dan kumisnya ternyata palsu semua dan kini cambang bauk
itu copot semua, meninggalkan pemuda yang tampan.
Akan tetapi, Siluman Kecil juga kehilangan topeng penyamarannya yang dilakukan oleh Kang Swi. Topeng
itu terkupas oleh hawa pukulan lawan sehingga kelihatanlah wajah yang asli, wajah seorang pemuda yang
tampan akan tetapi dengan rambut panjang berwarna putih semua, wajah Siluman Kecil yang asli.
“Kokoooo...!” Tiba-tiba Siluman Kecil lari dan menubruk si ‘Gagu’ yang masih terlentang di atas lantai
ruangan itu. “Koko... ahh, Kian Lee koko... kiranya engkau... ya Tuhan, apa yang telah kulakukan tadi...?”
Siluman Kecil merangkul dan memeluk tubuh si ‘Gagu’ itu dan menangis sejadi-jadinya!
Semua orang menjadi terkejut bukan main menyaksikan peristiwa yang aneh ini. Sai-cu Kai-ong sampai
melongo karena tidak disangkanya bahwa ‘kakek’ sakti yang menjadi temannya itu ternyata adalah
seorang yang masih amat muda dan yang kini menangis seperti anak kecil, memeluk bekas lawannya yang
juga masih amat muda.
Sementara itu, si ‘Gagu’ yang ternyata adalah penyamaran Suma Kian Lee, membuka mata memandang
orang yang memeluknya. Luka yang baru dideritanya akibat pukulan gabungan tenaga Im dan Yang dari
Siluman kecil itu hebat sekali, akan tetapi dia tidak pingsan, bahkan kini dia tidak mengeluh sama sekali,
menahan rasa nyeri yang seolah olah menghancurkan seluruh tulang di dalam tubuhnya.
Mula-mula dia memandang penuh keraguan ke arah wajah pemuda berambut putih itu, rambut putih itulah
yang meragukannya, akan tetapi kemudian dia pun menggerakkan kedua lengannya yang lemah, memeluk
dan berkata, “Aihhh... Kian Bu adikku... sayang, betapa sukarnya mencarimu, Bu-te. Engkaukah kiranya si
kakek berambut putih tadi? Bukan main, adikku, kau hebat... sekali..., ahhh, kau maju pesat sekali... uhhh,
adikku, betapa selama bertahun-tahun aku rindu kepadamu, Bu-te...”
“Koko, ah, Koko... apa yang telah kulakukan tadi...?” Siluman Kecil yang ternyata bukan lain adalah Suma
Kian Bu, masih menangis melihat keadaan kakaknya.
Pukulannya tadi hebat sekali, pukulan yang sudah dilatihnya selama bertahun-tahun ini, pukulan yang
mengandung penggabungan dari inti tenaga sakti Im dan Yang. Di tempat asal mereka, yaitu di Pulau Es,
mereka berdua memang telah digembleng oleh ayah mereka, Si Pendekar Super Sakti, dan telah melatih
diri dengan ilmu inti hawa sakti Im, yaitu Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, inti dari hawa sakti
Yang. Dan ayah mereka pun telah melatih mereka dengan penggabungan antara kedua ilmu itu, akan
tetapi penggabungan itu hanya merupakan kerja sama, yaitu menggunakan Hwi-yang Sin-kang dan Swatim
Sin-kang secara bergantian, atau juga berbareng dengan tangan kanan dan kiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tetapi, penggabungan kedua tenaga yang berlawanan, sehingga merupakan tenaga yang mukjijat sekali,
yang ketika melatihnya hampir saja mengorbankan nyawanya akan tetapi ternyata dia telah berhasil
menguasai tenaga mukjijat itu. Dan kini, yang menjadi korban adalah kakaknya sendiri!
“Sudahlah... jangan kau berduka, adikku... aku... aku mati pun tidak akan penasaran... engkau tidak
bersalah... kita saling menyamar dan tidak mengenal... dan engkau hebat sekali, Bu-te... ehhh, adikku,
mengapa rambutmu menjadi putih semua...? Apakah untuk menyamar? Bu-te... kalau kau pulang nanti...
jangan bilang kepada Ayah dan Ibu... bahwa... kita saling bertanding...“ Napas Kian Lee terengah-engah
dan agaknya sukar sekali baginya untuk bicara.
“Koko...!” Kian Bu memeluknya. Sampai dalam keadaan hampir tewas pun kakaknya ini tidak
menyalahkannya, bahkan ingin agar tidak sampai diketahui oleh orang tua mereka bahwa adiknya yang
telah memukulnya seperti itu! “Kian Lee koko... kalau kau mati... aku pun tidak mau hidup!”
“Ahh, jangan begitu, Bu-te...“ Kakak dan adik ini berpelukan.
Melihat ini, Saicu Kai-ong yang sejak tadi melongo dan hanya mendengarkan saja dua orang pemuda luar
biasa itu berangkulan dan bicara, kini melangkah maju dan berkata, “Biarkan saya memeriksa dan
mengobatinya.”
Kian Bu menoleh kepadanya. “Locianpwe, dia ini kakakku, dan dia hampir tewas oleh pukulanku sendiri.
Kalau Locianpwe dapat menyembuhkannya, aku Suma Kian Bu akan berterima kasih sekali dan tidak akan
melupakan budimu.”
“Suma...?” Kini Sai-cu Kai-ong terkejut setengah mati. “Kalian berdua she Suma? Ada hubungan apa
dengan majikan Pulau Es, Suma Han?”
“Dia adalah ayah kami...,“ kata Suma Kian Bu dengan suara lirih dan lemah.
“Ahhh...! Ya Tuhan, kalian adalah putera Pendekar Super Sakti dan telah saling hantam sendiri?
Minggirlah, biarkan aku memeriksanya dan aku akan berusaha mati-matian untuk menyelamatkan dia.”
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ribut-ribut. Ternyata kini pasukan pengawal telah mengepung
ruangan itu! Melihat munculnya banyak pengawal, otomatis Kian Bu memondong tubuh kakaknya,
sedangkan Sai-cu Kai-ong cepat memondong Pangeran Yung Hwa.
“Dari mana datangnya penjahat-penjahat yang bosan hidup berani mengancam di sini?”
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan seperti seekor burung melayang tahu-tahu di antara para pasukan
pengawal itu meloncat masuk seorang pemuda tampan yang bukan lain adalah Kang Swi. Pemuda ini
langsung menyerang ke arah Sai-cu Kai-ong untuk merampas Pangeran Yung Hwa yang dipondong oleh
kakek itu.
Akan tetapi, kakek gagah perkasa itu sudah melompat ke samping dan terdengar Gu Sin-kai membentak
marah lalu kakek pengemis inilah yang menerjang dan menyambut Kang Swi. Mereka segera bertanding
dengan hebat sedangkan para pengawal sudah menyerbu ke dalam ruangan itu sehingga kakek gagah
perkasa dan Kian Bu yang masing-masing menggendong Pangeran Yung Hwa dan Kian Lee, mengamuk
dengan tamparan satu tangan dan tendangan-tendangan kaki mereka.
Sepak terjang kakek itu hebat, dan Kian Bu yang marah dan berduka melihat keadaan kakaknya, juga
marah bukan main sehingga tiap tendangan atau tamparan tangannya tentu langsung merobohkan
seorang pengeroyok. Senjata-senjata beterbangan dan para pengeroyok terlempar ke sana-sini di tengahtengah
teriakan-teriakan mereka.
Akan tetapi, Gu Sin-kai terdesak hebat oleh Kang Swi yang amat lihai, apa lagi setelah Kang Swi mencabut
pedangnya. Biar pun Gu Sin-kai melawan mati-matian dengan tongkatnya, namun tetap saja dia menjadi
kewalahan karena pedang di tangan Kang Swi benar-benar amat lihai, mengeluarkan suara bersuitan dan
mengandung hawa yang panas dan tajam. Tiba-tiba Gu Sin-kai berteriak kaget ketika ujung pedang itu
mencium pundaknya sehingga bajunya robek dan pundaknya berdarah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mundurlah, Gu Sin-kai, biarkan saya yang menghadapinya!” teriak Kian Bu marah dan biar pun dia
menggunakan tangan kirinya untuk memanggul tubuh kakaknya, namun dengan berani dia menerjang
Kang Swi dengan tangan kosong.
“Wuuuuuttt...!” Angin pukulan dahsyat menyambar ganas ke arah pemuda royal itu.
“Eihhhhh..., kau...?” Kang Swi berseru kaget sekali, tidak mengira bahwa Siluman Kecil yang telah menjadi
‘sahabatnya’ itu sekarang menyerangnya demikian ganas. Dia cepat mengelak, akan tetapi tetap saja
sambaran hawa pukulan itu membuat dia terdorong mundur dan terhuyung-huyung!
“Saudara Kang Swi, mundurlah! Kau sudah keliru membela orang! Gubernur Ho-nan adalah seorang
pemberontak,” Suma Kian Bu berkata. “Jangan coba kau halangi kami menyelamatkan Pangeran Yung
Hwa!”
“Twako, kini aku telah menjadi pengawal, aku harus setia kepada tugasku. Kembalikan Pangeran Yung
Hwa dan aku akan membiarkan kalian pergi dengan baik-baik!” kata Kang Swi.
“Bandel, kalau begitu terpaksa kita harus menjadi lawan!” Kian Bu menerjang lagi.
Kang Swi menyambut dengan pedangnya yang ditusukkan ke arah lambung Kian Bu, sedangkan kakinya
menendang ke arah lutut Siluman Kecil itu.
“Huhhhhh!” Kian Bu mendengus, tangannya tidak ditarik mundur melainkan langsung menangkis pedang
itu! Dan dia pun menyambut tendangan lawan dengan tendangan kakinya.
“Tranggg... dukkk... aihhhhh...!” Kang Swi menjerit
Tubuhnya terlempar ke belakang, terbanting keras dan dia bangkit duduk dengan mata terbelalak sambil
memijit-mijit kakinya. Tulang keringnya bertemu dengan kaki Siluman Kecil, bukan main nyerinya, kiut-miut
rasanya menusuk-nusuk tulang sumsum, sedang pedangnya yang tadi bertemu dengan tangan pendekar
itu sudah terlempar, entah lenyap kemana. Tentu saja dia menjadi bengong dan hampir tidak percaya
bahwa dia dirobohkan hanya dalam segebrakan saja, dan betapa pedangnya ditangkis oleh tangan kosong
saja!
Akan tetapi, Kian Bu tidak mempedulikannya lagi oleh karena pada saat itu telah muncul Ho-nan Ciu-lo-mo
dan Siauw-hong! Di belakang mereka nampak banyak pengawal lagi yang memenuhi tempat itu!
Ho-nan Ciu-lo-mo segera mengenal Kian Lee yang berada di atas pundak Kian Bu, maka tahulah dia
bahwa istana itu telah kebobolan mata-mata dari Ho-pei, akan tetapi ketika dia melihat Sai-cu Kai-ong, dia
terkejut setengah mati. Kiranya orang tua gagah yang memimpin pasukan besar dari kota raja itu pun telah
berada di situ dan kini sudah memondong Pangeran Yung Hwa. Dia maklum akan siasat majikannya, maka
dia lalu membentak marah, “Penculik-penculik hina, lepaskan Pangeran Yung Hwa!” bentaknya dan
bersama beberapa orang pembantu dia sudah menerjang maju.
Tetapi Kian Bu yang tak ingin melihat pangeran itu terancam bahaya, sudah memapaki si muka dan rambut
merah itu dengan tamparan tangan kanannya sedangkan tangan kirinya masih terus memondong tubuh
kakaknya.
“Wuuuttttt...!”
Ciu-lo-mo cepat mengelak dan terkejut melihat sambaran tenaga dahsyat itu. Cepat dia menggerakkan
guci araknya menyerang ke arah kepala Kian Bu, sedangkan arak dari guci itu muncrat menyerang ke arah
muka Kian Lee yang setengah pingsan.
“Keparat!” Kian Bu membentak, dengan gerakan tangannya dia kemudian menangkis dan sekaligus
membuyarkan percikan arak itu dengan tiupan mulutnya.
“Tranggggg!” Guci arak itu membalik dan nyaris terlepas dari tangan Ciu-lo-mo saking kerasnya terpental
oleh tangkisan itu.
“Hong-ji (Anak Hong)...!” Terdengar Sai-cu Kai-ong berseru keras pada saat dia melihat Siauw-hong
menyerbu ke dalam.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suhu...!”
“Apa kau sudah gila? Kau mau membantu musuh-musuhku?” Kakek itu membentak lagi sambil
merobohkan seorang pengawal yang menyerangnya dengan golok dari samping dengan tendangan
kakinya yang panjang dan besar.
“Suhu...!” Siauw-hong memandang bingung. “Teecu... teecu menjadi pengawal dengan baik...“
“Tolol! Yang kau bantu adalah seorang pemberontak!”
“Ahhhhh...!” Siauw-hong memandang bingung.
“Hayo kau bantu kami keluar dari tempat ini, menyelamatkan Pangeran ini!” Kakek itu kembali berseru.
“Baik, Suhu!” Siauw-hong berseru dan sekarang dia membalik, sekali bergerak dia telah merobohkan dua
orang pengawal!
Akan tetapi, kini banyak sekali pengawal yang sudah mengepung tempat itu sehingga tidak ada lagi jalan
keluar yang terbuka. Para pengawal yang tidak kebagian ruangan berjejal di depan pintu dan jendela, siap
dengan senjata di tangan untuk menggantikan kawan-kawan mereka yang roboh. Melihat ini Kian Bu
merasa khawatir. Betapa pun lihainya mereka, menghadapi begitu banyak lawan di tempat sempit ini amat
berbahaya, pikirnya. Apa lagi amat berbahaya bagi kakaknya yang terluka parah.
“Mampuslah!” Dia membentak dan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang ke arah Ciu-lo-mo.
Kakek pemabuk ini terkejut mendengar suara pukulan yang bercicitan suaranya itu. Dia cepat
menggerakkan guci araknya dengan sepenuh tenaga untuk menangkis.
“Pyarrrrr...!” Guci arak itu pecah berantakan araknya muncrat berhamburan dan tubuh si muka dan rambut
merah itu roboh terjengkang!
“Siauw-hong, kau tolong panggul kakakku ini, biar aku membuka jalanl” Tiba-tiba Kian Bu berseru kepada
Siauw-hong yang juga masih mengamuk dan melindungi suhu-nya.
“Baik, Taihiap,”' jawab Siauw-hong dan dia cepat mendekati Kian Bu serta menerima tubuh Kian Lee yang
sudah lemas setengah pingsan itu, lalu dipondongnya.
Melihat ini, Sai-cu Kai-ong merasa girang. “Hong-ji, kau sudah mengenal pendekar ini?” tanyanya sambil
bergerak ke sana-sini sambil menggerakkan lengan bajunya yang lebar untuk menghalau senjata-senjata
yang datang menyerangnya.
“Tentu saja, Suhu,” jawab Siauw-hong sambil meloncat ke kiri untuk membiarkan lewat sebatang tombak
yang menusuknya, kemudian tangan kanannya mendorong dan si pemegang tombak itu langsung menjerit
dan roboh terjengkang. “Taihiap ini adalah Siluman Kecil.”
“Ahhhhh...” Sai-cu Kai-ong berteriak kaget.
Sungguh dia telah mendengar banyak hal yang aneh dan mengejutkan. Tadi, pemuda berambut putih itu
mengaku sebagai putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan kini ternyata menurut penuturan
muridnya, pemuda itu adalah juga Siluman Kecil yang namanya sudah tersohor!
Kini Kian Bu yang sudah tidak lagi memondong tubuh kakaknya, mengamuk bagaikan seekor naga sakti.
Dia menggunakan ilmunya yang mukjijat, yaitu ilmu Sin-ho-coan-in. Tubuhnya berkelebatan ke sana-sini
dengan cepat dan kedua tangannya menyambar nyambar ganas sehingga dalam waktu pendek saja,
semua pengawal yang berada di ruangan itu sudah roboh malang melintang seperti disambar petir.
“Mari keluar, biar aku membuka jalan!” teriaknya dan dia sudah menerjang ke pintu, dengan sekali dorong
saja dia merobohkan enam orang pengawal di luar pintu. Tentu saja kehebatan pemuda yang rambutnya
putih terurai ini mengejutkan orang-orang, apa lagi ketika mereka mengenal bahwa pemuda itu bukan lain
adalah Siluman Kecil!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siluman Kecil...!”
“Celaka, dia mengamuk. Minggir...!”
Kini para perwira pengawal dan para anggota pengawal yang sudah pernah melihat bayangan Siluman
Kecil, bahkan pernah menyanjungnya sebagai seorang pendekar perkasa yang mengamankan Ho-nan,
menjadi gentar sekali dan mereka semua lantas mundur. Memang nama Siluman Kecil sudah terkenal
sekali di Ho-nan.
Dia pernah membersihkan Ho-nan dari gangguan orang-orang jahat, bahkan pernah mengakurkan semua
pihak yang bertentangan dari orang-orang kang-ouw, dan dia pernah diterima oleh Gubernur Ho-nan
sendiri sebagai seorang pahlawan. Dan kini, Siluman Kecil tengah mengamuk dan membantu orang-orang
yang hendak melarikan Pangeran Yung Hwa. Keraguan dan rasa jeri menghantui hati para pengawal
sehingga mereka tidak banyak melawan atau menghalangi ketika Kian Bu mempelopori teman temannya
keluar dari ruangan itu dan langsung melarikan diri keluar dari daerah istana gubernuran.
“Siluman Kecil mengamuk!”
“Siluman Kecil melarikan Pangeran Yung Hwa!”
Teriakan-teriakan para pengawal ini membuat para pengawal lain menjadi gentar hatinya dan mereka tidak
banyak melakukan usaha pencegatan sehingga rombongan Kian Bu dapat terus melarikan diri sampai ke
pintu gerbang.
“Buka pintu! Aku, Siluman Kecil, hendak lewat bersama kawan-kawanku! Janganlah membikin aku marah!”
Kian Bu membentak, suaranya nyaring dan menggema karena memang dia sengaja mengerahkan
khikang-nya dan dia sengaja menggunakan nama julukannya untuk menggertak agar supaya mereka tidak
perlu mengerahkan tenaga dan membuang waktu untuk menggunakan kekerasan terhadap para penjaga
pintu gerbang itu.
Dia harus cepat-cepat dapat menyelamatkan kakaknya. Jangan-jangan kakaknya yang dipondongnya lagi
itu telah tewas! Dia menunduk, dan melihat bahwa Suma Kian Lee ternyata masih membuka mata,
memandangnya dengan kagum.
“Kau hebat, adikku... kau hebat...,“ bisik Kian Lee.
“Ahhhhh...!” Jantung Kian Bu rasanya seperti ditusuk dan bagi pendengarannya, pujian kakaknya itu
seperti ujung pedang menghujam dadanya karena kehebatannya itu sudah dipergunakan untuk memukul
roboh kakaknya sendiri!
“Lekas buka! Kalau tidak, kubunuh kalian semua!” bentaknya geram untuk menutupi hatinya yang tersiksa
rasanya.
“Baik... baik, Taihiap!” terdengar jawaban seorang penjaga dan bergegas dia membuka pintu benteng itu
dibantu oleh kawan-kawannya.
Keluarlah mereka dari tembok kota yang menjadi benteng pertahanan kota Lok-yang. Akan tetapi, malam
telah mulai terganti pagi dan tiba-tiba nampak debu mengebul dan dari depan datanglah serombongan
orang berkuda yang dipimpin oleh seorang raksasa berkepala botak bermantel merah. Ban Hwa Sengjin
koksu dari Nepal tiba bersama pengawal-pengawal pribadi Gubernur Kui dari Ho-nan!
Kiranya telah ada berita terdengar oleh Gubernur Kui yang masih berada di Ceng-couw dan mendengar
berita bahwa ada keributan di Lok-yang, maka gubernur minta bantuan Koksu Nepal yang amat sakti itu
untuk memimpin serombongan pengawal cepat-cepat menuju ke Lok-yang dan kebetulan sekali mereka
bertemu dengan rombongan yang melarikan Pangeran Yung Hwa itu di luar tembok benteng Lok-yang!
“Ha-ha-ha-ha, kiranya kalian ini hanyalah penculik-penculik yang hina!” bentak Ban Hwa Sengjin sambil
tertawa bergelak penuh ejekan. “Seperti sekumpulan maling kesiangan saja. Setelah bertemu dengan
kami, lebih baik kalian menyerah dari pada mati konyol!” Biar pun suaranya agak kaku namun ternyata
Koksu Nepal ini pandai sekali berbicara dalam bahasa daerah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sai-cu Kai-ong menjadi marah sekali. “Manusia sombong! Engkau menjadi kaki tangan pemberontak,
padahal kulihat engkau bukanlah orang Han. Agaknya engkau malah yang membujuk Gubernur Ho-nan
untuk memberontak. Sekarang bertemu dengan aku Sai-cu Kai-ong, berarti ajalmu sudah berada di depan
mata! Siapakah engkau, orang asing?”
“Ha-ha-ha-ha! Aku adalah sahabat baik dari Gubernur Ho-nan, dan namaku Ban Hwa Sengjin. Kini aku
bertugas menangkap kalian maling-maling kecil. Julukanmu Sai-cu Kai-ong? Ha-ha-ha, biar pun suaramu
seperti seekor sai-cu (singa) akan tetapi engkau menghadapi aku seperti seekor singa ompong, jembel
busuk!”
Dimaki singa ompong dan jembel busuk yang tentu saja diambil dari julukannya sebagai Kai-ong (Raja
Pengemis), kakek gagah itu menjadi marah bukan main. “Siauw-ji, kau jagalah beliau,” katanya sambil
menunjuk Pangeran Yung Hwa yang sekarang berdiri di belakangnya, kemudian dengan langkah lebar dia
menghampiri Ban Hwa Sengjin yang dengan sikap tenang telah turun dari atas punggung kudanya.
“Ban Hwa Sengjin pengecut hina! Kau mengandalkan pasukanmu yang jumlahnya dua puluh orang lebih
ini untuk menggertak kami? Kau kira kami takut?” Sai-cu Kai-ong membentak.
“Ha-ha, mereka ini hanya menjadi pengantarku. Dengan tenagaku sendiri aku mampu merobohkan kalian
semua, satu demi satu atau berbareng. Kalau aku sampai tak dapat mengalahkan kalian, biarlah kalian
lewat tanpa kami ganggu.”
Ucapan ini merupakan kesombongan yang hebat.
“Benarkah itu? Apakah manusia macam engkau akan dapat menahan diri untuk tidak bersikap curang dan
dapat memegang janji?”
Alis yang tebal itu jadi berkerut. “Sai-cu Kai-ong, tahan sedikit mulutmu. Kau tidak tahu dengan siapa kau
berhadapan. Aku adalah seorang koksu dari Kerajaan Nepal, tahu?” bentak Ban Hwa Sengjin.
“Ah, kiranya begitu?” Sai-cu Kai-ong berseru. Mengertilah kini dia mengapa orang Nepal ini berada di sini.
Kiranya dalam usahanya untuk memisahkan diri dari kaisar, Gubernur Ho-nan telah mendekati dan
mengadakan hubungan rahasia dengan Kerajaan Nepal di barat!
“Nah, majulah menyerahkan nyawamu!” Ban Hwa Sengjin melangkah maju dengan tangan kosong sambil
tersenyum mengejek.
“Sambutlah!” Sai-cu Kai-ong membentak.
Sai-cu Kai-ong sudah menerjang ke depan dengan gerakan tangkas dan karena dia dapat menduga akan
kelihaian kakek botak ini, maka begitu dia menyerang langsung dia mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu
ilmu keluarga turun-temurun dari nenek moyangnya. Ilmu ini dinamakan Khong-sim-sin-ciang (Ilmu Pukulan
Tangan Sakti Hati Kosong), sesuai dengan nama perkumpulan pengemis yang dahulu dipimpin oleh nenek
moyangnya, yaitu perkumpulan Khong-sim-kai-pang.
Ilmu pukulan ini amat lihai, kelihatan kosong namun berisi dan memang inti ilmu pukulan ini berdasarkan
kekosongan. Menurut dongeng yang diceritakan turun-temurun dalam keluarganya, nenek moyangnya
adalah orang-orang yang suka sekali mempelajari Agama To dan dari pelajaran Agama To inilah maka
Ilmu Khong-sim-sin-cang itu diciptakan. Menurut cerita neneknya dahulu, dalam keluarga Yu terdapat ayat
dari Kitab To-tik-khing yang amat mereka junjung tinggi, yaitu pelajaran dari Nabi Lo Cu tentang
kekosongan yang menjadi inti dari segalanya, bahkan yang berisi tidak akan ada gunanya tanpa ada
kekosongan itu seperti disebutkan dalam ayat ke sebelas dari Kitab To-tik-khing.
Tiga puluh ruji berpusat pada satu poros roda,
pada tempat yang kosong terletak kegunaannya.
Dari tanah liat dibuatlah jembangan,
pada tempat yang kosong terletak kegunaannya.
Lubang pintu dan jendela dibuat untuk rumah,
pada tempat yang kosong terletak kegunaannya.
Selain ayat dari To-tik-khing itu, juga masih banyak wejangan keluarga turun-temurun yang mengingatkan
mereka akan pentingnya kekosongan, antara lain dinyatakan bahwa di dalam setiap langkah kaki, jarak
dunia-kangouw.blogspot.com
yang dilewati antara kedua kaki, yaitu yang tidak terinjak, yang kosong itulah yang berguna karena tanpa
itu tidak akan ada kemajuan dalam langkah kaki. Juga keindahan dan kenikmatan sebuah lagu tidak akan
terasa lagi tanpa adanya jarak-jarak yang kosong antara satu dan lain nada!
Serangan yang dilancarkan oleh Sai-cu Kai-ong hebat bukan main. Kelihatannya sih ringan dan kosong
saja, akan tetapi begitu anginnya menyambar, seorang sakti seperti koksu dari Nepal itu sendiri sampai
mengeluarkan seruan kaget dan cepat-cepat dia mengelak. Jubahnya yang lebar dan merah itu sampai
berkibar terkena hembusan hawa pukulan yang sifatnya kosong namun berisi penuh dengan kekuatan
dahsyat itu! Dia cepat membalas dengan pukulan yang tak kalah dahsyatnya hingga Sai-cu Kai-ong juga
terkejut dan cepat melompat ke samping karena dia tidak berani menyambut pukulan yang amat hebat itu.
Terjadilah pertandingan hebat dan keadaan sekeliling tempat itu disambar oleh hawa hawa pukulan kuat
sekali sehingga dua puluh orang lebih pengawal yang mengiringkan Ban Hwa Sengjin terpaksa mundur
oleh karena kuda mereka meringkik ketakutan dan gelisah sekali. Bahkan Pangeran Yung Hwa juga
segera bersembunyi di balik tubuh Siauw-hong karena merasa ngeri.
Akan tetapi, seorang yang sudah menjadi koksu sebuah negara, bahkan kini menjadi utusan raja, tentu
saja adalah orang yang memiliki kepandaian yang boleh diandalkan. Dahulu, di jaman Kerajaan Bengtiauw,
seorang utusan kaisar seperti Panglima Besar The Hoo juga merupakan seorang yang luar biasa
saktinya, juga semua utusan raja-raja dari semua negara tentulah merupakan seorang tokoh pilihan yang
berilmu tinggi.
Demikian pula dengan Ban Hwa Sengjin ini. Ilmu kepandaiannya amat tinggi karena boleh dibilang dia
merupakan tokoh nomor satu yang dikenal orang di negara Nepal, maka tentu saja dia telah membekali
dirinya dengan ilmu-ilmu yang amat hebat. Tidak hanya ilmu silat, akan tetapi juga dia mahir sekali dalam
ilmu sihir dan ilmu perang, juga ahli dalam soal-soal kenegaraan! Kini, menghadapi seorang lawan yang
sedemikian lihainya seperti Sai-cu Kai-ong, dia merasa gembira dan dia tidak mau menggunakan ilmu
sihirnya selama ilmu silatnya masih belum kalah. Dan dia selama ini menganggap bahwa tidak mungkin
ilmu silatnya dapat dikalahkan orang lain!
Memang, amat berbahayalah bagi seorang manusia yang merasa telah mempelajari ilmu sampai tinggi,
apa lagi kalau sudah menerima sanjungan-sanjungan orang lain! Seorang yang dipuji-puji orang lain,
kepalanya menjadi seperti sebuah balon karet yang ditiup, penuh oleh angin pujian sehingga kepalanya
melembung besar dan dia merasa bahwa dialah orang yang terpandai, terbaik dan segala macam ‘ter’ lagi.
Dan kalau sudah demikian, dia menjadi orang yang setolol-tololnya, sebodoh-bodohnya dan patut
dikasihani. Maka, seorang bijaksana akan selalu waspada akan semua kekurangan dan kebodohan diri
sendiri sampai saat kematian tiba, karena hanya dengan kewaspadaan ini saja maka dia dapat melihat
betapa bahayanya semua pujian yang diterimanya dalam keadaan bagaimana pun juga.
Akan tetapi Ban Hwa Sengjin terang tidak bijaksana. Dia sudah dihinggapi penyakit angkuh dan
menganggap diri sendiri orang terpandai di dunia ini. Dan memang ilmu kepandaiannya hebat dan bahkan
Sai-cu Kai-ong yang merupakan ahli waris dari ilmu keturunan yang amat mukjijat itu ternyata kalah kuat
dibandingkan dengan Ban Hwa Sengjin sehingga setelah lewat seratus jurus, Raja Pengemis itu terdesak
hebat dan dalam satu pertemuan tenaga ketika kedua tangan mereka bertemu, Sai-cu Kai-ong terlempar
ke belakang dan terbanting jatuh. Napasnya menjadi sesak dan kepalanya pening, tanda bahwa dia telah
mengalami luka walau pun tidak sangat berat, akan tetapi dia harus berdiam diri dan cepat mengumpulkan
hawa murni untuk menyembuhkan lukanya.
Siluman Kecil atau Suma Kian Bu menyerahkan Kian Lee kepada Siauw-hong. Dia akan maju sendiri.
“Hati-hati, Bu-te. Dia memang lihai sekali, aku sendiri pernah melawan dia dan hampir aku celaka...,“ bisik
Kian Lee kepada adiknya ketika dia diserahkan kepada Siauw-hong untuk dipondong karena dia tidak kuat
untuk berdiri sendiri.
Kian Bu mengangguk dengan sikap tenang. “Jangan khawatir, Koko.”
Dengan langkah lebar dia lalu menghampiri Ban Hwa Sengjin. Koksu Nepal yang sudah memperoleh
kemenangan itu menjadi makin sombong sikapnya. Melihat bahwa yang maju hanya seorang pemuda,
tentu saja dia memandang rendah. Kakek yang berjuluk Raja Pengemis dan yang benar-benar sakti tadi
saja tidak kuat melawannya. Apa lagi pemuda ini? Masih begini muda, pantas menjadi anaknya, bahkan
cucunya, biar pun rambut pemuda ini sudah putih semua!
“Kau mau apa?” tanyanya dengan sikap memandang rendah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ban Hwa Senjin, kalau aku mampu mengalahkanmu, bagaimana?” Kian Bu bertanya.
“Kau? Mengalahkan aku? Ha-ha-ha, tidak mungkin, orang muda!”
“Kalau aku kalah, kami semua menyerah kepadamu, Ban Hwa Sengjin. Akan tetapi, bagaimana kalau kau
yang kalah?”
“Ha-ha-ha, bocah lancang. Dengar baik-baik. Kalau kau mampu mempertahankan diri terhadap
seranganku selama dua puluh jurus saja, biarlah aku mengaku kalah dan kalian boleh lewatt!
“Engkau adalah Ban Hwa Sengjin, jagoan besar dan koksu dari Kerajaan Nepal. Akan tetapi apakah
omongan seorang koksu dari Nepal dapat dipercaya sepenuhnya? Apakah nanti engkau tidak akan
menarik kembali omonganmu, menjilat kembali ludah yang telah dikeluarkan, dan benar-benar kalau aku
mampu mempertahankan diri terhadap seranganmu selama dua puluh jurus, engkau mengaku kalah dan
kami semua boleh lewat?” tanya Siluman Kecil yang sengaja menekankan hal pelanggaran janji itu agar
menyinggung kehormatan koksu yang kelihatan lihai sekali ini.
Dan anak panah yang dilepaskan berupa kata-kata ini tepat mengenai sasarannya. Wajah Ban Hwa
Sengjin menjadi merah sekali, seluruh muka sampai ke kepalanya yang botak menjadi merah, semerah
mantelnya dan kedua tangannya yang besar itu dikepalkan. Dia menjadi marah dan tersinggung.
“Bocah bermulut lancang! Kau kira, aku orang macam apa? Orang-orang seperti aku, janji lebih berharga
dari pada nyawa, mengerti? Akan tetapi, sebaliknya kalau dalam dua puluh jurus kau tidak mampu
mempertahankan diri, kalau kau tidak sampai kupukul mampus, engkau dan semua temanmu selain harus
menyerah dan tunduk, juga harus mentaati semua perintahku!”
Siluman Kecil diam-diam merasa girang dan kini dia yakin bahwa tentu si botak tinggi besar ini tidak akan
ada muka lagi untuk melanggar janjinya sendiri. “Baik, kalau sampai aku roboh sebelum dua puluh jurus,
engkau memang pantas menjadi kakek buyutku yang harus kutaati!”
“Nah, sambutlah ini jurus pertama!” Ban Hwa Sengjin berseru.
Tubuhnya yang tinggi besar itu sudah bergerak cepat ke depan, sedemikian cepat gerakannya sehingga
mantelnya yang merah itu sampai berkibar di belakangnya seperti layar perahu tertiup angin. Kedua
tangannya sudah melancarkan serangan dahsyat sekali, tangan kiri membentuk cakar garuda
mencengkeram ke arah batok kepala Siluman Kecil atau Kian Bu, sedangkan tangan kanannya dengan jari
tangan terbuka menghantam ke arah dada! Cakaran tangan kiri itu kelihatannya amat menyeramkan dan
agaknya kalau mengenai kepala, akan remuklah kepala itu, dan dilakukan dengan amat cepat sedangkan
tangan kanan yang menghantam ke arah dada itu sebaliknya gerakannya lambat dan perlahan.
Namun, Kian Bu yang sejak kecil menerima gemblengan ilmu-ilmu yang amat tinggi sudah tahu bahwa
cakaran itu hanya merupakan kembangan saja atau gertakan, sedangkan serangan yang sesungguhnya
dan merupakan inti pukulan adalah yang dilakukan oleh tangan kiri itu, karena tangan kiri kakek raksasa itu
melakukan pukulan yang mengandung tenaga mukjijat yang dapat disebut Hun-kin Coh-kut (Memutuskan
Otot dan Melepaskan Tulang). Kalau pukulan itu mengenai dadanya dengan tepat, tentu akan copot semua
tulang iganya!
Karena maklum akan hebatnya serangan jurus pertama ini, Kian Bu cepat melindungi dirinya dengan Ilmu
Silat Sin-coa Kun-hoat (Ilmu Silat Ular Sakti). Kedua lengannya bergerak cepat dan meliuk-liuk seperti
gerakan ular dan tubuhnya juga dapat meliuk cepat sekali hingga tidak sukarlah baginya untuk mengelak
dan menangkis dua lengan lawan itu dari samping dengan meminjam tenaga pukulan lawan. Ilmu Silat Sincoa
Kun-hoat ini adalah merupakan satu di antara banyak ilmu-ilmu silat yang tinggi dari ibunya, yaitu
Puteri Nirahai, yang telah diwariskan kepada Kian Bu. Tentu saja, gerakan ilmu silat yang bagaimana tinggi
pun tidak akan banyak manfaatnya tanpa dilandasi tenaga sinkang yang kuat, maka gerakan Sin-coa Kunhoat
ini oleh Kian Bu didorong dengan tenaga Hwi-yang Sin-kang yang panas.
“Plak-plak...!”
Kedua lengan kakek raksasa botak itu kena ditangkis sehingga menyeleweng karena tangkisan dari
samping itu mendorong tenaga serangannya dan dia merasa kedua lengannya panas sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ehhh...!” Ban Hwa Sengjin terkejut.
Kalau pemuda itu hanya dapat mengelak atau menangkis serangannya yang pertama itu, tidaklah amat
mengejutkan bagi dirinya, karena seorang pemuda yang sudah berani menghadapinya tentulah
mempunyai juga sedikit kepandaian. Akan tetapi, tangkisan pemuda itulah yang membuat dia tanpa
disadarinya mengeluarkan seruan kaget karena dia merasakan adanya tenaga mukjijat yang panas sekali
menyerang dirinya melalui pertemuan kedua lengan itu.
Sebagai seorang yang sudah berpengalaman banyak, Ban Hwa Sengjin segera dapat mengenal sifat
gerakan lawan. Dia mengenal ilmu silat yang mendasarkan gerakannya dan sifatnya dengan sifat dan
gerakan ular. Semua ilmu silat yang mendasarkan gerakan dan sifatnya dengan ular adalah gerakan yang
memupuk tenaga Khi (hawa) yang dilatih dengan aturan pernapasan. Karena tenaga Khi inilah maka
seekor ular kelihatan lunak dan lembut tanpa tenaga kalau tubuhnya menyentuh sesuatu, akan tetapi dia
dapat menarik kekuatan hebat luar biasa setiap saat! Seperti baja yang terbaik, dapat menjadi benda yang
paling keras, akan tetapi juga dapat dibuat menjadi kawat yang paling lembut dan lemas. Gerakan ilmu silat
ular amat lemas dan cekatan, terus-menerus bergerak lembut namun kuat. Kedua jari telunjuk dan jari
tengah mematuk-matuk seperti lidah ular dan merupakan serangan totokan yang ampuh.
Karena sudah mengenal sifat Sin-coa Kun-hoat, maka Ban Hwa Sengjin tahu bagai mana harus
menghadapinya. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas, lalu seperti seekor burung garuda hendak
menyerang seekor ular dia menerjang dan menyerang Kian Bu dengan jurus yang kedua.
Tetapi, Kian Bu adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Melihat cara penyerangan lawan, dia pun
maklum bahwa menggunakan Sin-coa Kun-hoat untuk menyambut serangan dari atas itu amat berbahaya,
maka secara otomatis dia sudah mengubah gerakan tubuhnya. Kini dia bergerak menurut Ilmu Silat Pat-mo
Kun-hoat, juga ilmu warisan dari ibunya yang memang kaya dengan segala macam ilmu silat itu.
Gerakannya menjadi kacau-balau tidak karuan, membingungkan lawan akan tetapi di dalam kekacauan ini
terdapat gerakan inti yang amat tertib.
“Des-des-plakkk!”
Kini tubuh Ban Hwa Sengjin yang masih di udara itu terpental dan dia meloncat turun dengan mata
terbelalak lebar dan muka makin merah karena penasaran dan marahnya. Ternyata jurus keduanya itu
dihancurkan oleh pemuda itu dengan amat mudah dan aneh sekali, seolah-olah pemuda itu tahu ke mana
dia hendak menyerang dan mendahuluinya dengan tusukan sehingga terpaksa dia menangkis sampai dua
kali dan akhirnya terpental karena tahu bahwa kalau dia tidak cepat-cepat menjauhkan diri, dia malah yang
terancam bahaya, maka dalam pertemuan tangkisan berikutnya dia telah meminjam tenaga lawan dan
melemparkan dirinya ke belakang sehingga terpental.
“Hemmm, kau boleh juga!” katanya dengan tenang untuk menutup rasa kagetnya.
Kemudian sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor harimau terluka, dia sudah menyerang
dan kini dia bergerak cepat sambil memutar tubuhnya seperti gasing! Itulah ilmunya yang amat diandalkan
oleh koksu dari Nepal ini. Ilmu ini adalah ilmu yang dinamakan Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi)
yang diumpamakan seperti mengamuknya angin taufan yang mengandung angin puyuh berputaran, seperti
badai dahsyat yang amat mengerikan. Dan memang hebat bukan main gerakan dari kakek botak ini.
Tubuhnya berputaran seperti gasing, kedua lengannya yang panjang bergerak-gerak dan dalam putaran itu
seolah-olah kedua tangan telah berubah menjadi puluhan maut yang amat cepat tidak terduga dan dari
gerakan memutar itu meniup angin yang seperti angin puyuh ke arah lawan. Hebat bukan main dan bahkan
Suma Kian Bu sendiri sampai terkejut sekali. Selama ini, baru dua kali dia bertemu lawan yang benarbenar
amat hebat, yaitu yang pertama adalah Sin-siauw Sengjin yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pendekar
Sakti Suling Emas, dan kedua adalah koksu dari Nepal inilah. Tentu saja perlawanannya ketika
menghadapi kakaknya sendiri tidak masuk hitungan.
Agaknya Ban Hwa Sengjin setelah melihat kelihaian lawan selama dua jurus tadi, merasa khawatir kalaukalau
dia sampai kalah, maka langsung saja dia mainkan ilmu silat tangan kosong yang menjadi
andalannya itu untuk mencoba merobohkan lawan. Dan memang Kian Bu menjadi kaget sekali. Masih
banyak ilmu-ilmu silat tinggi yang dikuasainya, baik yang diwarisi dari ayahnya mau pun dari ibunya.
Namun dia maklum bahwa menghadapi ilmu silat lawan yang amat aneh dan dahsyat ini, dia tidak boleh
percaya pada ilmu-ilmu silat lain yang dikuasainya, karena hal itu dapat membahayakan dirinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sukar sekali untuk menghadapi serangan dari bayangan yang berpusing seperti gasing itu sehingga dia
tidak lagi dapat melihat jelas bagian-bagian tubuh lawan, bahkan serangan-serangan lawan yang mencuat
dari pusingan itu sukar pula diduga-duga. Maka terdengarlah suara melengking dari mulut Siluman Kecil ini
dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat dan lenyap dari pandangan para pengikut Ban Hwa Sengjin dan yang
lain-lain. Demikian cepatnya gerakan Kian Bu yang tubuhnya mencelat ke sana-sini seperti kilat
menyambar-nyambar sehingga sukar diikuti oleh pandangan mata. Itulah ilmunya yang baru, yaitu ilmu
ciptaannya sendiri yang disebut Sin-ho-coan-in. Dengan gerakan seperti itu, semua serangan dari Ban
Hwa Sengjin menjadi gagal!
Ban Hwa Sengjin amat terkejut. Setiap kali tubuhnya yang berpusing itu menyerang dengan pukulan
tangan yang cepat tak terduga, tiba-tiba saja tubuh lawan itu melesat dan lenyap! Dan berturut-turut dia
telah menyerang sampai sembilan belas jurus! Kurang satu jurus lagi dan dia akan kalah! Tahulah dia
bahwa dia menghadapi seorang pemuda yang selain lihai sekali, juga amat cerdik. Pemuda itu sama sekali
tidak mau balas menyerang! Dengan demikian, pemuda itu dapat memusatkan seluruh perhatian pada
perlindungan diri saja sehingga akan dapat melewati dua puluh jurus dan tidak dapat dirobohkan, berarti
menang! Kalau pemuda itu tergoda untuk balas menyerang, tentu pertahanan dirinya menjadi berkurang
kuatnya, akan tetapi satu kali pun Kian Bu tidak mau membalas serangan lawan.
Tentu saja Ban Hwa Sengjin menjadi khawatir sekali. Tentu kalah dia kalau dalam jurus terakhir ini dia
tidak mampu mengalahkan atau merobohkan pemuda ini. Dia harus menggunakan sihirnya! Dari sepasang
matanya memancarkan cahaya yang amat aneh dan berpengaruh. Dia menarik napas panjang,
mengumpulkan kekuatan mukjijat lalu terdengar suara yang dalam dan berpengaruh sekali, mengandung
kumandang aneh, berseru, “Lihat nagaku menerkammu!”
Kian Bu terkejut bukan main dan terbelalak memandang ke atas ketika tiba-tiba saja dia melihat seekor
naga hitam yang menyemburkan api menyerangnya dari atas udara. Tentu saja menghadapi ancaman
hebat ini, seluruh perhatiannya tercurah ke atas dan dia tidak tahu bahwa pada saat itu Ban Hwa Sengjin
siap melancarkan serangan jurus terakhir! Semua orang, termasuk Kian Lee, menjadi khawatir sekali
melihat adiknya itu tiba-tiba saja berdiri bengong memandang terbelalak ke atas, seolah-olah tidak lagi
mempedulikan lawannya yang sudah siap untuk menerjangnya!
Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara ketawa, tertawa merdu halus akan tetapi juga nyaring dan
mengandung pengaruh yang mukjijat. Lalu oleh Kian Bu yang seperti baru sadar ketika mendengar suara
ketawa itu, tampak seekor naga merah yang menyambar dan menerkam naga hitam itu. Terdengar suara
keras dan naga hitam itu lenyap bersama naga merah dan sadarlah Kian Bu bahwa dia berada di bawah
pengaruh sihir. Marahlah Siluman Kecil dan dia mengerahkan seluruh tenaga yang ada padanya,
menggabungkan tenaga Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang, lalu dia menyambut kakek itu yang
sudah menyerangnya dengan ganas, serangan dari jurus terakhir!
“Desssss...!”
Ban Hwa Sengjin terpental dan terbanting roboh ke atas tanah dalam keadaan pingsan! Untung dia
memiliki tenaga mukjijat karena kalau tidak, tentu dia sudah mengalami luka luka seperti tersiram air panas
seperti yang diderita oleh Kian Lee. Dia hanya terbanting roboh dan pingsan saja, sebagian besar karena
terpukul oleh kekuatan mukjijatnya sendiri yang dipergunakan untuk menyihir dan ternyata membalik
karena campur tangan wanita yang mengeluarkan suara ketawa tadi.
Kian Bu cepat menengok ke kanan dan dia melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya, yang berdiri
lemas seperti batang pohon yang-liu, dan mulutnya tersenyum mengejek memandang kepadanya, seorang
yang cantik manis, pakaiannya serba indah dan di bawah ketiak kirinya mengempit sebuah payung hitam.
Dia merasa seperti pernah mengenal dara ini, akan tetapi dia lupa lagi di mana.
Karena dia menduga bahwa tentu gadis ini yang telah menolongnya tadi dari bahaya maut akibat pengaruh
sihir, maka dia lalu menjura ke arah gadis itu sambil berkata, “Terima kasih!”
Akan tetapi pada saat itu, Sai-cu Kai-ong sudah cepat berkata, “Mari kita cepat pergi dari sini!” dan dia
sudah mendahului Kian Bu dengan menggendong Pangeran Yung Hwa.
Kian Bu sadar bahwa memang mereka harus cepat pergi selagi Ban Hwa Sengjin yang lihai itu tidak
berdaya, maka dia pun segera berkata kepada Siauw Hong, “Cepat kau ikuti Suhu-mu, biar aku yang
menjaga dari belakang.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siauw Hong mengangguk dan sambil memondong tubuh Kian Lee, pemuda remaja ini pun cepat berlari
pergi mengejar suhu-nya, sedangkan Kian Bu berlari paling belakang untuk menjaga dua orang yang
memondong Pangeran Yung Hwa dan kakaknya itu. Akan tetapi setelah melihat Ban Hwa Sengjin roboh,
dan mengenal pula Siluman Kecil, para pengawal Gubernur Ho-nan itu sama sekali tidak berani bergerak
dan membiarkan mereka pergi.
Gadis cantik jelita yang tadi tersenyum-senyum, sekali berkelebat juga lenyap dari situ. Gadis ini tentu saja
bukan lain adalah Siang In! Seperti kita ketahui, gadis ini masih terus mencari Syanti Dewi yang lenyap dari
puncak Naga Api di Pegunungan Lu-liang-san, dari sarang Hwa-i-kongcu Tang Hun secara aneh, dan
kebetulan saja dia menyaksikan pertandingan hebat antara Siluman Kecil dan koksu dari Nepal itu.
Andai kata koksu itu tidak mempergunakan ilmu sihir, tentu Siang In tidak akan mencampuri pertandingan
hebat itu, bahkan dia sendiri menonton dari kejauhan dengan kagum sekali karena maklum, bahwa yang
sedang bertanding itu adalah dua orang yang memiliki tingkat kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada
tingkatnya sendiri.
Akan tetapi begitu melihat kakek raksasa botak itu mempergunakan ilmu hitam, tentu saja hatinya tertarik
dan dia menjadi penasaran maka tanpa diminta dia lalu turun tangan membuyarkan pengaruh sihir itu.
Bukan sengaja untuk mendukung orang muda yang rambutnya putih dan aneh itu, melainkan hanya karena
dia selalu tertarik oleh pertunjukan ilmu sihir karena dia sendiri adalah seorang ahli sihir! Dia pangling
terhadap Kian Bu karena pemuda itu kini rambutnya sudah menjadi putih semua dan dia pun hanya melihat
wajah pemuda itu dari jarak yang cukup jauh. Padahal, telah lama dia mencari pemuda ini!
Akhirnya tibalah mereka di perkemahan pasukan yang dipimpin oleh Sai-cu Kai-ong dari kota raja itu.
Legalah hati Sai-cu Kai-ong karena kini dia yakin bahwa dia telah berhasil menyelamatkan Pangeran Yung
Hwa dari bahaya maut. Maka begitu mereka tiba di ruangan dalam dari kemah induk yang ditinggali oleh
Sai-cu Kai-ong, kakek yang gagah perkasa ini lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Pangeran Yung Hwa
untuk memberi hormat.
Dengan hati terharu pangeran yang rendah hati dan selalu ramah ini memeluk dan mengangkat bangun
kakek itu sambil berkata, “Locianpwe, jangan menggunakan terlalu banyak sikap sungkan terhadap saya.
Pada saat ini saya hanyalah seorang yang telah berhutang budi dan nyawa kepada kalian semua.
Sebaiknya Locianpwe cepat-cepat menolong Suma Kian Lee yang terluka parah itu.”
Sai-cu Kai-ong mengangguk dan merasa girang karena kini dia memperoleh kenyataan akan kebenaran
berita di luaran tentang sikap Pangeran Yung Hwa yang bijaksana dan baik terhadap siapa saja. Di
samping merasa bahwa sudah menjadi kewajibannya untuk membantu kerajaan, juga dia merasa girang
telah membantu seorang pangeran yang begitu menyenangkan sikapnya. Cepat dia lalu menghampiri Kian
Lee yang sudah direbahkan di atas pembaringan dan cepat dia melakukan pemeriksaan dengan teliti.
Setelah melakukan pemeriksaan agak lama, Sai-cu Kai-ong lalu berkata kepada Kian Bu yang mengikuti
pemeriksaan itu penuh perhatian.
“Taihiap, sungguh baru satu kali ini aku melihat kehebatan-kehebatan yang amat luar biasa. Akibat pukulan
darimu amat mengerikan, akan tetapi daya tahan kakakmu ini juga amat luar biasa. Kalau bukan dia yang
mengalami pukulan seperti ini, agaknya dia akan kehilangan seluruh sumber tenaga murninya dan akan
menjadi seorang penderita cacad selama hidupnya.“
“Ahhh, Locianpwe...!” Kian Bu cepat menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu. “Harap Locianpwe sudi
mengusahakan agar kakakku dapat sembuh...!” Dia berkata dengan muka pucat dan hati menyesal bukan
main.
Sai-cu Kai-ong tersenyum dan membangunkan pemuda itu. “Jangan khawatir, Taihiap. Kakakmu ini
memiliki dasar kekuatan yang tidak lumrah manusia berkat sinkang yang selama hidup belum pernah
kusaksikan sedemikian kuatnya sehingga dia hanya mengalami luka yang tidak membahayakan nyawanya.
Tetapi, luka itu kalau kuobati dengan obat-obat biasa, akan memakan waktu berbulan-bulan. Hanya ada
semacam obat yang kutahu akan dapat menyembuhkannya secara cepat sekali, akan tetapi aku sangsi
apakah kita akan dapat memperoleh obat itu...“
“Di mana tempatnya? Locianpwe, aku sendiri akan mencari obat itu!” Kian Bu berseru.
Kakek itu mengerutkan alisnya, “Obat itu adalah semacam jamur yang amat mukjijat dan tidak ada
keduanya di dunia ini. Jamur panca warna yang hanya nampak warnanya kalau berada di tempat gelap,
dunia-kangouw.blogspot.com
karena di dalam tempat gelap itu jamur ini mengeluarkan sinar mencorong dan kelihatanlah warnanya
seperti warna pelangi. Kalau terkena sinar terang, jamur itu menutupkan kelopaknya seperti jamur mati dan
hanya di waktu gelap saja dia mekar, mengeluarkan sinar dan warnanya.”
Kian Bu mengangguk-angguk. “Sudah saya catat dalam hati tentang keadaan jamur itu, Locianpwe, lalu di
mana tempatnya?”
“Itulah sukarnya. Aku sendiri belum pernah ke sana, dan hanya mendengar penuturan seorang pendeta
yang pernah tersesat ke sana. Tempat itu agaknya tidak mungkin didatangi orang. Pernah aku sendiri
mencapai tebing itu, akan tetapi tidak melihat jalan turun saking terjal dan licinnya. Akan tetapi, melihat
kesaktian Taihiap, siapa tahu kalau kalau Taihiap dapat menuruninya. Pendeta yang kini telah meninggal
itu pun hanya karena tersesat saja, karena kecelakaan dan terguling ke dalam jurang lalu mencoba
mencari jalan keluar, maka dapat tiba di tempat itu dan dia pun sudah tidak tahu lagi bagaimana dia dapat
sampai ke tempat itu. Dialah yang membawa jamur aneh itu dan memberikan kepadaku, sayang bahwa
jamur itu sudah habis kupakai mengobati orang. Tempatnya di tepi Sungai Huang-ho. Mari kubuatkan
gambaran petanya.”
Kakek yang gagah perkasa itu lalu memberi petunjuk kepada Kian Bu tentang letaknya tebing yang curam
di pegunungan dekat muara Sungai Huang-ho itu sampai pemuda ini jelas benar akan tempat yang hendak
dikunjunginya untuk mencarikan obat bagi kakaknya. Setelah merasa yakin bahwa dia akan dapat mencari
tempat itu, Kian Bu lalu berpamit kepada kakaknya.
“Lee-ko, harap tenangkan hatimu. Aku akan mencarikan obat jamur panca warna itu untukmu, dan
percayalah, aku pasti akan bisa mendapatkan jamur itu. Harap kau baik baik menjaga diri dan biarlah Saicu
Kai-ong locianpwe yang akan merawatmu.”
Kian Lee memegang tangan adiknya. “Jangan terlalu lama, Bu-te. Kita belum puas bicara, bahkan aku
belum tahu bagaimana riwayatmu sehingga selama lima tahun ini engkau menghilang dan tahu-tahu
rambutmu telah menjadi putih semua dan ilmu kepandaianmu meningkat sedemikian hebatnya,” kata Kian
Lee dengan pandang mata penuh kasih sayang kepada adiknya.
“Nanti saja kalau aku sudah kembali kita bicara sebanyaknya, Koko. Yang terpenting sekarang adalah obat
untukmu.”
“Suma-taihiap, kalau nanti engkau kembali dan melihat kami sudah tidak berada di sini, berarti pasukan
kami telah ditarik mundur kembali ke kota raja dan aku akan membawa kakakmu ke tempat tinggalku di
puncak Bukit Nelayan untuk beristirahat dan diobati. Kami mempunyai pondok di sana, di puncak Bukit
Nelayan di pinggir sungai, sebelah selatan kota Pao-teng.”
“Hati-hatilah mencari obat yang amat sukar didatangi tempatnya itu, Taihiap,” kata Pangeran Yung Hwa
yang hadir pula di situ. “Apakah perlu kiranya kau dikawal oleh pasukan? Mereka dapat membantumu.“
“Terima kasih, saya kira tidak perlu,” jawab Kian Bu.
Maka segera berangkatlah pemuda perkasa ini meninggalkan perkemahan pasukan itu, menggunakan
kepandaiannya berlari cepat sekali menuju ke tempat yang telah digambarkan oleh Sai-cu Kai-ong
kepadanya. Apa pun yang akan dihadapinya, apa pun yang akan menimpanya, dia harus mendapatkan
obat untuk kakaknya itu, demikian dia mengambil keputusan di dalam hatinya.
********************
Para pembaca yang pernah mengikuti pengalaman-pengalaman pendekar sakti Gak Bun Beng di waktu
dia masih kecil, yaitu dalam cerita Sepasang Pedang Iblis, mungkin masih ingat ketika pendekar sakti itu di
waktu masih kecil terlempar ke dalam air Sungai Huang-ho yang amat deras, kemudian dia diseret oleh
pusaran air, disedot ke bawah dan dihanyutkan melalui terowongan aneh sampai dia mendarat di lambung
gunung! Terowongan yang menembus dalam tubuh gunung itu merupakan terowongan maut dan hanya
secara ‘kebetulan’ saja dia dapat selamat dan tiba di tempat yang luar biasa anehnya, tempat yang penuh
dengan binatang setengah kera setengah anjing (baboon) di mana dia menemukan sepasang pedang iblis
dan kitab-kitab Sam-po Cin-keng yang mukjijat.
Di tempat luar biasa itulah adanya jamur panca warna yang dimaksudkan oleh Sai-cu Kai-ong. Dan
memang benar seperti yang dituturkan oleh Sai-cu Kai-ong, tempat itu tidak pernah atau tidak mungkin
dunia-kangouw.blogspot.com
didatangi manusia. Pendeta Buddha yang kebetulan dapat tersesat ke situ adalah seorang hwesio pencari
daun-daun obat yang hanya kebetulan saja dapat tiba di situ.
Hwesio ini ketika sedang mencari obat di tebing dan menginjak sebuah batu telah tergelincir dan dia
terjatuh ke dalam jurang yang amat terjal itu. Akan tetapi secara aneh, tubuhnya yang pingsan itu ‘diterima’
oleh sebatang pohon yang tumbuh di tebing. Tubuh itu ditangkap oleh cabang, ranting dan daun-daun
pohon dan pohon kecil itu jebol, terbawa melayang turun dan akhirnya setelah mencelat ke sana-sini, tubuh
itu terjatuh ke air! Itulah air anak sungai yang terbentuk dari air hujan dan yang mengalir masuk ke air
terowongan yang dulu menghanyutkan pendekar sakti Gak Bun Beng! Dan karena kebetulan yang luar
biasa ini hwesio itu dapat berada di situ.
Setelah siuman dia lalu mencari jalan keluar, menemukan jamur panca warna yang belum diketahui
khasiatnya dan hanya diambil karena sifatnya yang luar biasa. Setelah dia berusaha mati-matian sampai
berbulan dan sampai lupa jalan, akhirnya dapat juga dia keluar dari tebing maut itu, melalui perjalanan
yang amat jauh dan yang tidak dapat diingatnya kembali karena perjalanan itu menyusup-nyusup, naik
turun jurang kecil dan memakan waktu sampai sebulan lebih baru dia dapat ‘keluar’ dari sana!
Akan tetapi Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil bukanlah seorang manusia biasa, melainkan seorang
pemuda yang telah memiliki kepandaian amat hebat. Maka setelah dia tiba di tempat yang dimaksudkan,
dia menjenguk ke tepi tebing dan mengerutkan alisnya. Memang tidak mungkin bagi seorang manusia
untuk menuruni tebing itu, tepat seperti yang dikatakan oleh Sai-cu Kai-ong. Agaknya keturunan pengemis
sakti pendiri Khong-sim Kai-pang itu telah pula berdiri di tepi tebing ini, pikir Kian Bu. Dia sendiri kalau
dalam keadaan biasa, tentu lebih baik cepat-cepat menjauhkan diri dari tebing itu, apa lagi harus mencari
jalan turun! Akan tetapi dalam keadaan seperti saat itu, untuk mencarikan obat bagi kakaknya, jangankan
hanya tebing yang curam, biar lautan api pun tentu akan ditempuhnya!
Dengan menggunakan ketajaman pandang matanya, Kian Bu dapat mengerti mengapa tidak mungkin ada
orang dapat menuruni tebing itu. Kalau hanya curam saja, asal ada tempat untuk berpijak kaki dan
berpegang tangan, pasti dia akan mampu menuruninya, betapa terjal sekali pun. Atau biar pun amat terjal,
kalau dia sudah tahu bagaimana keadaan dasar tebing itu, tentu dia pun akan berani mempergunakan
ilmunya Sin-ho Coan-in untuk berloncatan ke bawah dengan menggunakan dinding tebing sebagai
penahan luncuran dan tempat menjejakkan kakinya. Akan tetapi tanpa mengetahui keadaan dasar tebing,
padahal tenaga luncuran berat tubuhnya tentu akan luar biasa kuatnya dari tempat setinggi itu, berarti
mempertaruhkan nyawa secara konyol.
Dia dapat pula menggunakan Ilmu Pek-houw-yu-jong (Cecak Bermain-main di Tembok) dengan sinkang
yang mengeluarkan daya sedot pada kaki tangannya yang telanjang untuk merayap menuruni tebing. Akan
tetapi tentu saja ilmu itu hanya dapat digunakan untuk pendakian yang tidak begitu tinggi atau penurunan
yang tidak securam tebing ini. Dia tentu sudah akan kehabisan tenaga sebelum mencapai seperempat
jarak tebing itu dan kehabisan tenaga berarti akan melayang jatuh dan mati dalam keadaan tubuh hancur
lebur! Menggunakan tali? Mana mungkin mencari tali yang panjangnya seperti itu? Pula, merayap turun ke
tebing menggunakan tali berarti menggantungkan nyawa pada tali itu, padahal tali itu terikat di atas tebing.
Sekali bacok saja tali di atas tebing itu oleh musuh, nyawanya akan melayang.
Kian Bu duduk termenung di tepi tebing dengan alis berkerut. Betapa pun juga, dia tidak akan menyerah
begitu saja! Dia harus mencari akal dan kembali dia menjenguk ke bawah. Memang terjal bukan main
sampai dia tidak dapat melihat jelas keadaan di bawah sana. Jangankan seorang manusia, bahkan seekor
monyet sekali pun kiranya tidak akan mungkin menuruni tebing ini, pikirnya. Kadang-kadang ada kabut
melayang di bawah sehingga menutupi keadaan bawah tebing sama sekali.
Tiba-tiba dia melihat seekor burung terbang melayang. Seekor burung walet hitam dan dia memandang
dengan penuh iri. Kalau aku bersayap seperti burung itu! Alangkah akan mudahnya menuruni tebing ini,
pikirnya. Jangankan baru tebing ini, biar naik ke langit pun tiada sukarnya bagi seekor burung yang
bersayap!
Kembali dia menjenguk ke bawah, bahkan tubuh atasnya condong ke tepi tebing. Dia tidak melihat bahwa
ada bayangan hitam berkelebat di belakangnya. Kalau saja perhatiannya tidak tercurah sepenuhnya ke
bawah tebing dan untuk mencari jalan turun ke bawah, tentu pendengarannya yang sudah terlatih dan
menjadi tajam luar biasa berkat sinkang-nya itu akan dapat menangkap gerakan si bayangan hitam ini,
betapa pun cekatan dan ringan gerakan si bayangan hitam ini.
“Heiii, jangan coba bunuh diri...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba terdengar seruan halus dan nyaring itu yang membuat Kian Bu terkejut bukan main. Dalam
keadaan melamun dan menjenguk ke dalam tebing seperti itu lalu tiba-tiba mendengar bentakan yang
demikian nyaring, benar-benar amat membahayakan. Orang yang lemah jantungnya tentu akan terperanjat
dan dapat saja langsung terjungkal ke dalam jurang!
Dia cepat membalikkan tubuhnya dan matanya terbelalak memandang, kemudian dia mengerutkan alisnya
dengan hati mengkal. Kiranya di situ telah berdiri gadis cantik jelita berpakaian serba hitam yang
membawa-bawa ular, yang dahulu pernah menyerangnya kalang-kabut hanya karena berbeda pendapat
tentang diri Cui Lan dan oleh karena menyangka bahwa dia mengejar-ngejar gadis ini!
Setelah dia membalik, gadis itu pun terkejut, kemudian tersenyum mengejek. Begitu tersenyum, seketika
tercipta dua buah lesung pipit di kanan kiri bibirnya. Manis bukan kepalang! Lalu bibir itu merekah
membentuk senyum sehingga deretan gigi kecil yang putih bersih berkilau sesaat di antara belahan bibir
yang merah basah. Cantik sekali!
“Ya ampuunnn...! Kiranya engkau ini? Aha, kalau begitu lanjutkan usahamu itu, Siluman Kecil. Lanjutkan
selagi aku menjadi saksi di sini. Aihhh, betapa akan senangnya menjadi orang satu-satunya yang
menyaksikan betapa Siluman Kecil yang tersohor itu ternyata hanyalah seorang laki-laki yang berhati kecil
pula seperti julukannya, seorang pengecut yang mudah patah hati, seorang laki-laki cengeng yang mudah
mendapat dorongan hasrat untuk membunuh diri. Hi-hi-hik, teruskanlah bunuh diri di depanku, aku akan
senang sekali!”
Kian Bu bangkit berdiri dan memandang dengan melongo, lalu dia maju beberapa langkah, memandang
wajah cantik jelita dan manis itu penuh selidik. Melihat sinar mata yang mencorong dari pemuda berambut
putih itu, diam-diam gadis itu bergidik. Gadis itu tentu saja adalah Hwee Li, puteri ketua Pulau Neraka!
“Ihhh! Kenapa kau memandang aku seperti itu?” bentaknya dengan suara dibikin galak untuk menutupi
rasa ngerinya.
Dia sebenarnya merasa ngeri terhadap pemuda berambut putih ini yang dia tahu memiliki kepandaian amat
tinggi sehingga dia sama sekali tidak akan mampu menang melawannya. Kalau dia bersikap angkuh dan
berani, hal itu hanya dilakukan agar dia jangan dipandang rendah saja! Memang, biar pun dia sudah
dewasa, Hwee Li masih belum dapat menghilangkan sifat kekanak-kanakannya.
Suma Kian Bu dahulunya adalah seorang pemuda yang berwatak penuh keriangan, gembira dan jenaka,
juga bengal dan pandai bicara, pandai berdebat dan suka menggoda orang (baca cerita Kisah Sepasang
Rajawali).
Setelah dia mengalami pukulan batin karena cinta kasihnya terhadap Puteri Syanti Dewi menemui
kegagalan dan kekecewaan, kemudian ditambah lagi oleh latihan ilmu penggabungan tenaga Im (dingin)
dan Yang (panas) dari Pulau Es sehingga membuat rambutnya mengalami perubahan warna, dia menjadi
seorang pendiam yang penuh rahasia. Misterius!
Pendiam karena dia seperti terbenam dalam tumpukan kedukaan dan kekecewaan yang membuat dia
menjadi pemurung, kadang-kadang ganas, akan tetapi tentu saja sebagai seorang yang berjiwa satria,
keganasannya hanya ditujukan kepada kaum penjahat saja. Kini ia telah berjumpa dengan kakaknya dan
hal ini membangkitkan atau setidaknya sedikit membongkar sifatnya yang tadinya sudah tertimbun oleh
kedukaan itu, mengingatkannya akan keluarganya sehingga timbul kembali gairah hidupnya.
Kini, bertemu dengan gadis berpakaian hitam yang amat lincah jenaka dan galak ini sepasang matanya
mengeluarkan sinar mencorong dan wajahnya mulai agak berseri, seolah-olah mulai ditanggalkanlah
sedikit demi sedikit topeng kedukaan yang selama ini menutupi wajah aslinya.
“Nona, apakah otakmu miring?” Tiba-tiba Kian Bu yang sudah mulai ‘menemukan’ kembali sifat
kegembiraannya itu bertanya sambil memandang tajam.
Dia bukan hanya sekedar menggoda atau balas mengejek, melainkan bertanya dengan sungguh-sungguh
karena memang dia mulai menyangka dengan perasaan sayang bahwa gadis yang demikian cantik jelita
dan berkepandaian tinggi itu agaknya gila. Buktinya, dahulu pun sudah mencari keributan dengan dia untuk
perkara yang bukan bukan saja, dan sekarang bicaranya begitu tidak karuan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Hwee Li merasa seperti disengat kalajengking ketika mendengar pertanyaan itu. Ada rasa kaget, heran
akan tetapi marahlah yang lebih besar menguasainya sehingga biar pun matanya terbuka lebar amat
indahnya, namun bibirnya cemberut meruncing dan sepasang alis yang hitam kecil panjang itu berkerut.
“Siluman Gila! Engkau adalah seorang gila, bunuh diri merupakan perbuatan gila, dan kau masih
mengatakan orang lain gila. Sungguh gila!” Hwee Li memberi tekanan kepada setiap kata ‘gila’ sehingga
dia seolah-olah telah membalas dengan makian gila kepada Siluman Kecil sampai empat kali gila!
Melihat cara gadis ini melampiaskan rasa mendongkolnya, Kian Bu tak dapat menahan diri lagi dan dia
tersenyum. Senyum pertama semenjak dia berjuluk Siluman Kecil! Sebelum ini, kalau toh dia tersenyum,
maka senyumnya itu tentulah hanya senyum untuk bersopan-sopan saja, senyum paksaan. Akan tetapi
baru sekali ini dia tersenyum yang terdorong oleh kegembiraan hati.
“Nona ular...“
“Engkau makin kurang ajar!” Hwee Li membanting kaki kanannya.
“Harus disebut apa kalau tidak mau dinamakan nona ular? Engkau ke mana-mana pasti membawa ular
yang menjijikkan!”
“Tidak lebih menjijikkan dari pada manusia, apa lagi yang gila seperti engkau!” Hwee Li balas menyerang.
“Hemmm...kau mengingatkan aku akan sebuah syair...”
“Wah, orang gila mau bersyair, coba kudengarkan sampai di mana kegilaannya!”
“Manusia adalah mahluk gila yang tidak mengenal kegilaannya!
Yang gila mengaku waras, yang waras dimaki gila!
Adakah yang lebih gila dari pada manusia?”
Hwee Li bersorak. “Bagus, bagus! Nah, syair itu cocok menggambarkan keadaan dirimu sendiri, hi-hi-hik!
Sudah kusangka bahwa engkau memang Siluman Gila, Siluman Gila yang kecil!”
Kian Bu yang belum pulih semua kelincahannya merasa kewalahan juga menghadapi dara yang ternyata
pandai sekali berdebat ini. “Nona, kau tadi datang-datang lantas membentak sampai aku kaget, lalu tiada
hujan tiada angin kau memaki aku pengecut, cengeng, rendah dan gila yang akan membunuh diri.
Sikapmu itulah yang membuat aku mengira engkau berotak miring.”
“Habis, mau apa engkau melongok-longok ke bawah tebing securam itu kalau bukan untuk bunuh diri?
Ataukah engkau bercanda dengan kabut yang melayang di bawah kaki? Nah, itu pun merupakan tandatanda
bahwa engkau gil...”
“Sudahlah, jangan engkau mengobral makian. Sungguh tak pantas maki-makian macam itu keluar dari
mulut yang begitu indah.”
Sepasang mata itu terbelalak, lalu dia mengangguk-angguk. “Hemmm, sekarang baru aku mengerti
mengapa Cui Lan jatuh hati kepadamu. Kiranya engkau adalah seorang laki-laki yang selain
berkepandaian tinggi, berwajah tampan dan berambut aneh, juga pandai merayu!”
Kian Bu bengong. “Aku? Merayu?”
“Menyangkal lagi! Baru saja kau bilang mulutku indah...“
“Kalau memang benar mulutmu indah, harus berkata bagaimana aku ini? Lihat, bentuk bibirmu amat indah,
kemerahan dan segar, kalau tersenyum gigimu kecil berderet rata dan putih berkilau, dan lesung pipit di
kanan kiri mulutmu mengintai. Benar indah mulutmu. Apakah aku harus bilang mulutmu buruk dan jelek?
Aku tidak merayu, hanya bicara sebenarnya. Salahkah itu?” Kian Bu mulai menemukan kembali
kepandaiannya berdebat dan kini Hwee Li yang menjadi bengong, mencari-cari jawaban yang tepat.
Akan tetapi sekali ini sukar dia membantah. Wanita mana yang tidak suka akan pujian? Dan pujian dari
Siluman Kecil itu begitu wajar dan terbuka, begitu langsung dan jelas bukan pujian kosong! Tanpa
disadarinya, warna kemerahan menjalar di kedua pipi yang halus putih itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sudahlah!” katanya gemas karena tidak berdaya lagi untuk menangkis. “Ketahuilah, Siluman Kecil, hatiku
masih penasaran dan benci kepadamu kalau aku teringat kepada Cui Lan!”
“Hemmm, mengapa tidak kau lupakan saja dia?”
“Huh, pantas! Apa kau tidak peduli betapa dara yang cantik jelita dan halus budi pekertinya itu jatuh cinta
kepadamu? Dia tergila-gila kepadamu, sungguh tolol mengapa seorang gadis seperti dia bisa tergila-gila
kepada seorang sepertimu ini. Dia tergila-gila kepadamu, hatinya merana penuh kerinduan kepadamu, dan
kau bersikap tidak peduli kepadanya! Bukankah hal itu membuktikan bahwa engkau sebenarnya adalah
seorang yang kejam, keji, dan jahat, suka melihat kesengsaraan yang diderita seorang wanita?”
Melihat dara itu hendak nerocos terus menyerangnya dengan kata-kata tajam, Kian Bu cepat mengangkat
tangan ke atas. “Stop! Engkau salah mengerti dan tidak mengerti, Nona. Aku memang pernah menolong
Nona Cui Lan. Dan dia jatuh cinta kepadaku, hal ini aku mengetahuinya. Akan tetapi, salahkah aku kalau
ada seorang gadis jatuh cinta kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak membalas cintanya? Engkau
sungguh tidak mengerti. Hanya karena aku merasa amat kasihan kepadanya sajalah maka aku sengaja
bersikap tidak peduli dan kasar kepadanya. Memang sikap itu kusengaja!”
Sepasang mata yang bening itu melotot. “Coba, betapa gilanya! Kasihan kepada orang dan menyatakan
rasa kasihan itu dengan sikap tidak peduli dan kasar! Seperti baris terakhir dari syair gilamu itu, ‘Adakah
yang lebih gila dari pada itu’?”
“Engkau seperti anak kecil saja, dan memang engkau seorang anak-anak yang belum tahu tentang selukbeluk
cinta.”
Makin meradang hati Hwee Li. “Engkau makin besar kepala dan sombong saja. Baiklah, Guru Besar,
berilah kuliah kepada hamba mengenai cinta karena Guru Besar tentu merupakan seorang yang
berpengalaman dan ahli tentang cinta!” Hwee Li menjura dengan sikap mengejek.
Tetapi Kian Bu tidak mempedulikan sikap ini. “Aku sengaja bersikap kasar kepadanya agar dia
membenciku! Aku tahu betapa sengsaranya hati yang menderita karena cinta gagal, dan kurasa
penderitaannya itu hanya akan berakhir kalau cintanya terhadap aku berubah menjadi benci. Dengan
demikian barulah dia akan dapat melupakan aku dan itulah sebabnya aku bersikap kasar kepadanya!” Kian
Bu bicara penuh semangat dan Hwee Li menjadi bengong melihat betapa wajah tampan yang tadinya
mulai berseri dan bersemangat itu kini kembali menjadi muram sekali, penuh duka yang membayang di
dalam sinar mata dan tarikan mulutnya.
“Ohhh... begitukah? Mengapa kau tidak dapat mencintanya? Dan bagaimana kau tahu bahwa cinta gagal
menimbulkan penderitaan hebat?”
“Karena aku sendiri... ahh, sudahlah, Nona. Harap kau tidak lagi menggangguku. Aku sedang menghadapi
kepentingan yang sangat besar di sini dan kedatanganmu hanya mengganggu terlaksananya kepentingan
besar itu. Maaf, aku tidak dapat lama-lama menunda urusanku.”
Akan tetapi gadis itu tentu bukan Hwee Li kalau dapat ‘digebah’ sedemikian mudahnya. Dia adalah
seorang dara yang keras kepala, lebih keras dari pada baja sehingga dia tidak akan mudah saja disuruh
pergi sebelum dia sendiri menghendakinya untuk pergi!
“Eh, apakah tempat ini milikmu maka kau berani mengusir aku pergi dari sini? Kalau aku tidak mau pergi,
kau mau apa?” tantangnya.
Siluman Kecil melirik dan menarik napas panjang. Dia tahu bahwa kalau dilayani, hal itu hanya akan
berkepanjangan dan mungkin sekali mereka akan bertarung lagi. “Terserah kepadamu, akan tetapi jangan
ganggu aku dengan bicaramu lagi.” Setelah itu, dia lalu menghampiri tepi tebing, merenung kembali sambil
mengasah otaknya, mencari jalan bagaimana dia dapat turun ke dasar tebing itu.
Setiap orang manusia tentu mempunyai sifat ingin tahu. Hwee Li pun tidak terkecuali. Melihat pemuda itu
longak-longok memandang ke bawah tebing, dia tak dapat menahan lagi hasrat ingin tahunya dan dia pun
lalu menghampiri tepi tebing dan mulai pula ikut longak-longok memandang ke bawah tebing, seolah-olah
hendak mencari sesuatu yang sedang dicari-cari pula oleh pemuda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Bu sudah tenggelam dalam renungannya mencari-cari akal maka dia tidak peduli, bahkan hampir
tidak sadar bahwa tidak jauh dari situ ada seorang gadis yang juga longak-longok seperti dia menjenguk ke
bawah tebing. Akhirnya dia menarik napas panjang dan menggeleng kepala, dan seperti dalam mimpi dia
melihat Hwee Li juga menjenguk ke bawah tebing lalu gadis itu mengangkat muka memandangnya.
Mereka saling bertemu pandang dan Hwee Li bertanya secara otomatis, “Sudah ketemu?”
Secara otomatis pula Kian Bu menggeleng kepala sambil menjawab, “Belum...,“ baru dia terkejut dan
sadar, maka sambungnya dengan bentakan. “Ketemu apanya?”
“Tentu barang yang kau cari-cari itu, apa lagi? Tentu buntalan pakaianmu tadi terjatuh ke bawah tebing ini,
bukan? Maka kau sejak tadi mencari-cari. Kurasa tidak mungkin dapat kelihatan dari sini buntalan itu
dan...“
“Buntalan hidungmu!” Kian Bu membentak dengan hati mengkal karena dia merasa digoda terus-terusan.
Hwee Li meloncat berdiri dan kedua tangannya bertolak pinggang. Hampir saja bertemu jari-jari kedua
tangannya di sekeliling pinggang itu saking rampingnya pinggang gadis ini. Mukanya merah dan matanya
bersinar-sinar penuh kemarahan.
“Sombong, benar! Engkau berani menghidung-hidungkan orang, ya? Aku sudah susah payah ikut mencaricari,
engkau malah memaki orang sebagai balasan! Hayo berdirilah dan kita selesaikan penghinaan ini di
ujung kedua kaki tangan!”
Kian Bu menarik napas panjang. “Sudahlah, Nona. Kita ribut-ribut untuk urusan kosong belaka. Aku tidak
mencari buntalan apa pun, tidak ada kehilangan apa pun. Aku sedang mencari akal bagaimana aku dapat
turun ke dasar tebing ini. Nah, Nona manis, sudah puaskah engkau sekarang dan sudikah engkau
meninggalkan aku untuk melanjutkan usahaku ini?”
Hwee Li kembali menjenguk ke bawah tebing, lalu mendengus. “Huh, disebut gila tidak mau akan tetapi
mau turun ke dasar tebing! Mau apa sih engkau hendak turun ke sana?”
Dengan setengah hati Kian Bu terpaksa menjawab, dengan maksud agar dara itu cepat pergi setelah rasa
penasarannya dipenuhi, “Aku hendak mencari obat untuk kakakku yang terluka parah, dan obatnya hanya
terdapat di dasar tebing itu. Nah, sudah cukupkah penyelidikanmu, Nona? Silakan meninggalkan aku
sekarang.”
Tiba-tiba Hwee Li tertawa dan Kian Bu mengerutkan alisnya. Terjadi perang di dalam hatinya melihat dara
itu tertawa. Di satu pihak, ingin dia menempiling perawan ini, di lain pihak dia kagum melihat wajah itu
ketika tertawa. Bukan main indah dan cantiknya ketika tertawa, seperti matahari di senja kala! Cerah
namun tidak menyengat! Karena tertawa dara itu tidak dibuat-buat melainkan wajar, maka dia bertanya,
“Kenapa kau tertawa?”
“Karena sekarang engkau harus bersikap sopan dan ramah kepadaku kalau engkau ingin dapat turun ke
dasar tebing sana.”
“Hemmm, apa maksudmu?”
“Karena, biar pun engkau berjuluk Siluman Kecil, biar pun engkau memiliki kepandaian amat tinggi
sehingga engkau mampu mengalahkan Sin-siauw Sengjin, namun engkau tidak akan mungkin turun ke
dasar tebing ini kecuali kalau kau hendak membunuh diri. Oleh karena hanya aku seoranglah yang dapat
menolongmu turun ke sana, tentu saja dengan selamat.”
“Jangan main-main, Nona!”
“Siapa main-main? Aku berani bertaruh potong leher bahwa aku dapat membawamu dengan selamat
sampai di bawah tebing sana.”
Kian Bu mengerutkan alisnya. “Nona, jangan main-main. Aku menghadapi urusan yang amat penting dan
aku tahu bahwa engkau memiliki kepandaian yang tinggi. Akan tetapi sedikit banyak aku telah mengukur
kepandaianmu itu dan aku yakin bahwa engkau tidak mungkin dapat menggunakan kepandaianmu itu
untuk menuruni tebing ini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tentu saja! Siapa pun tidak mungkin dapat menuruni tebing ini, akan tetapi dengan terbang, betapa akan
mudahnya!”
“Terbang? Jangan bilang bahwa kau pandai terbang...“
“Aku sih bukan kupu-kupu yang mempunyai sayap. Akan tetapi burung garudaku tentu bisa!”
Kian Bu terbelalak. “Kau... kau mempunyai burung garuda?”
“Tentu saja, kalau tidak, perlu apa aku banyak bicara kepadamu?” Gadis itu lalu bangkit berdiri, menaruh
kedua tangan di kanan kiri mulutnya kemudian terdengarlah bunyi lengking aneh seperti suara burung dari
mulut yang dilindungi dua tangan itu.
Kian Bu terkejut. Lengking itu memang bunyi lengking untuk memanggil burung seperti rajawali atau
garuda! Berkali-kali Hwee Li mengeluarkan suara melengking nyaring itu dan tiba-tiba dia menuding ke
atas.
“Nah, itu dia garudaku!”
Benar saja. Seekor burung garuda yang besar menukik turun dan terbang berputaran di atas kepala
mereka. Berdebar jantung Kian Bu. Memang inilah jalan satu-satunya turun ke sana. Naik di atas
punggung garuda! Dan dia bukanlah seorang yang asing dengan pengalaman seperti itu. Dia sudah sering
kali naik punggung rajawali ketika dia masih berada di Pulau Es.
“Ahh, sungguh hebat kau, Nona! Maafkan semua kekasaranku tadi dan sekarang aku percaya. Kau
tolonglah aku, Nona. Biarkan aku meminjam burungmu itu untuk turun ke sana mencarikan obat untuk
kakakku.”
“Enaknya! Pinjam! Apa kau kira akan dapat menguasai Sin-eng-cu (Garuda Sakti)? Kau boleh
kuboncengkan ke bawah sana, asal engkau mau minta maaf kepadaku dan mengatakan siapa adanya
kakakmu yang terluka itu. Aku hampir tidak percaya bahwa seorang yang berjuluk Siluman Kecil masih
mempunyai seorang kakak.”
Karena Kian Bu tahu bahwa hanya dengan pertolongan gadis ini sajalah dia akan dapat memperoleh obat
untuk kakaknya itu dengan cepat dan pasti, maka tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjura dan berkata halus,
“Nona, harap kau suka memaafkan semua kesalahanku. Kakakku menderita luka dalam yang cukup hebat,
kini dirawat oleh Sai-cu Kai-ong, obatnya hanya terdapat di daerah bawah tebing itu. Kakakku bernama
Suma Kian Lee dan...“
“Kian Lee...? Aihhh, kenapa tidak dari tadi-tadi kau bilang...!” Hwee Li melonjak kaget dan cepat-cepat dia
melengking keras memanggil garudanya. Burung itu menukik dan hinggap di atas tanah di depan gadis itu,
mengeluarkan suara nguk-nguk-nguk manja, kemudian mendekam.
“Hayo cepat, nanti saja kau ceritakan bagaimana Suma Kian Lee sampai terluka hebat. Kau boleh duduk di
belakangku. Sin-eng-cu, kauantarkan kami ke bawah sana!” Berkata demikian, Hwee Li melompat ke
punggung garuda itu lalu menggeser ke depan sedikit untuk memberi tempat kepada Kian Bu.
Pemuda itu yang sudah biasa menunggang burung besar, lalu meloncat dengan ringan agar tidak
mengejutkan burung itu dan dia telah duduk di belakang Hwee Li.
“Sin-eng-cu, berangkatlah!” Hwee Li menepuk leher burung itu yang lalu mengeluarkan suara keras,
kemudian menggerakkan kedua sayapnya, kedua kakinya menggenjot dan melayanglah dia ke atas, lalu
terbang melayang ke bawah tebing.
“Sekarang ceritakan, benarkah kakakmu itu Suma Kian Lee?”
“Benar,” jawab Kian Bu dan jantungnya mulai berdegup tidak karuan.
Punggung garuda itu agak melengkung di tengah-tengahnya, sehingga dia yang duduk di bagian belakang,
tentu saja selalu melorot ke depan sehingga tubuhnya merapat dengan tubuh belakang dara itu. Rambut
dara itu tertiup angin dan menyapu-nyapu muka dan hidungnya, selain mendatangkan rasa geli juga bau
harum menyergap hidungnya dan rambut halus itu mengusap-usap mukanya seperti membelainya!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sungguh aneh! Engkau Siluman Kecil dan kakakmu Suma Kian Lee. Lalu siapa namamu sebenarnya?”
“Namaku Suma Kian Bu... “
“Ahhh...!” Gadis itu berseru demikian keras hingga burungnya terkejut dan agak miring. Hwee Li cepat
menepuk-nepuk punggungnya menenangkan.
“Jadi engkau dan kakakmu itu putera-putera Pulau Es?”
Kian Bu kini yang terkejut. Bagaimana gadis ini dapat mengenal kakaknya dan tahu pula bahwa dia dan
kakaknya itu dari Pulau Es? Akan tetapi karena dia mengharapkan bantuan gadis itu, dia tidak mau banyak
bertanya lebih dulu.
“Benar, Nona.”
“Pantas engkau begini lihai!”
“Hemmm...”
”Dan pantas saja engkau agaknya sudah biasa menunggang garuda.”
“Memang kami juga mempunyai rajawali di sana...“
Hwee Li mengangguk. “Aku tahu...”
Hening sejenak dan terdengar oleh Kian Bu gadis itu bicara kepada diri sendiri, lirih, “Kiranya dari Pulau
Es...”
Tak lama kemudian gadis itu berkata lagi, “Aku tahu bahwa Suma Kian Lee juga amat lihai seperti engkau,
bagaimana dia sampai dapat menderita luka parah?”
Kian Bu hampir tidak dapat menjawab pertanyaan itu karena dia sekarang makin gelisah duduknya. Sejak
tadi jantungnya sudah berdebar keras tidak karuan dan makin lama makin hebat gelora di dalam hatinya.
Dia duduk begitu rapat sehingga tubuh depannya menempel ketat pada tubuh belakang gadis itu! Dan
kehangatan tubuh itu sampai terasa olehnya kelunakan dan kehalusan kulit di balik pakaian itu, tercium
olehnya bau keringat, bau badan yang khas, dan mulailah dia membayangkan yang bukan-bukan.
Teringatlah dia ketika dia mengalami permainan cinta yang amat mesra dan hebat ketika dia untuk
beberapa lamanya dahulu terpikat oleh seorang wanita cantik yang berwatak cabul, yaitu Mauw Siauw Moli
Lauw Hong Kui, si Siluman Kucing. Dan membayangkan semua pengalamannya dengan Lauw Hong Kui
yang lalu, sedangkan di depannya duduk seorang dara yang malah jauh lebih cantik menarik dari pada
Lauw Hong Kui, lebih muda, lebih menggairahkan, maka seketika naiklah darah ke kepala Kian Bu dan
sejenak menggelapkan mata batinnya.
Dia memejamkan mata akan tetapi makin terbayanglah adegan-adegan mesra antara dia dan Lauw Hong
Kui ketika bermain cinta, dan wajah Hong Kui itu berubah menjadi wajah dara yang duduk di depannya! Dia
berusaha untuk menekan perasaan ini dan mengusir bayangan-bayangan itu, maka terjadilah perang hebat
di dalam hati dan pikirannya pada saat itu.
Tidak salah lagi, timbulnya segala macam nafsu keinginan, termasuk nafsu birahi adalah dari ingatan yang
bertumpuk di dalam pikiran. Biar pun kita duduk dikelilingi oleh puluhan orang wanita cantik manis, kalau
kita menghadapi mereka dengan wajar dan dengan pikiran bebas, tidak akan terjadi sesuatu dalam batin
kita. Akan tetapi, begitu pikiran mengusik dan mengingat pengalaman-pengalaman yang lalu, baik
pengalaman itu kita alami sendiri dengan wanita mau pun pengalaman orang lain yang kita dengar atau
baca, terbayanglah adegan-adegan mesra antara kita dengan wanita atau laki-laki lain dengan wanita. Dan
kalau sudah begitu, timbullah keinginan untuk menikmati kesenangan itu, bangkitlah nafsu birahi, timbul
nafsu untuk memiliki. Seorang pertapa yang duduk semedhi seorang diri di puncak gunung, biar pun dalam
jarak ratusan li jauhnya tidak ada wanita, namun kalau pikirannya membayangkan permainan cinta yang
pernah dialaminya atau dialami orang lain dengan wanita, akan timbul pula nafsu birahinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikian pula dengan Suma Kian Bu. Selama lima tahun lebih ini dia tidak pernah mengalami hal seperti
saat itu. Ketika dia duduk di atas punggung burung garuda bersama Hwee Li, duduk demikian dekatnya
dan merapat ketat karena punggung itu miring sehingga tubuh depannya menempel rapat ke tubuh
belakang Hwee Li, mula mula tidak terjadi apa-apa. Akan tetapi, setelah dia membayangkan adeganadegan
mesra yang pernah dialaminya bersama Lauw Hong Kui, maka mulailah terasa olehnya betapa dia
seakan-akan sedang memeluk dara cantik jelita di depannya itu, memeluk dari belakang sehingga terasa
dan tercium segala-galanya, kelembutannya, kepadatan tubuhnya, kehalusannya, kesedapannya, dan
bangkitlah birahinya!
Karena sampai lama tidak memperoleh jawaban, Hwee Li menoleh dan bertanya, “Heiii, katakanlah, siapa
yang melukai Suma Kian Lee?”
Ketika Hwee Li menoleh, muka mereka begitu berdekatan dan napas hangat dara itu menghembus di
pipinya, membuat Kian Bu hampir tak kuat bertahan pula dan birahinya makin berkobar.
“Ihhhhh...!” Tiba-tiba Hwee Li berseru dengan kaget dan geli dan pada saat itu Kian Bu menjawab gugup
karena dia maklum mengapa dara itu menjerit.
“Akulah yang memukulnya...”
“Ahhhhh...!” Kembali Hwee Li berseru kaget dan sekali ini seruannya adalah karena dua hal, pertama
karena dia merasakan keadaan pemuda itu yang sedang diamuk birahi dan kedua kalinya mendengar
bahwa pemuda itu yang memukul dan melukai Suma Kian Lee. Berbareng dengan seruannya itu,
tangannya bergerak dan dua ekor kepala ular mematuk dari kanan kiri ke arah leher dan dahi Kian Bu.
“Heiii...!” Kian Bu berteriak keras, cepat dua tangannya menangkis dengan pengerahan tenaga.
“Plak! Plak! Bukkkkk...!”
Kedua ekor ular itu ditangkis remuk kepalanya, tetapi tangan Hwee Li telah mendorong dadanya sehingga
tanpa dapat dicegah lagi tubuh Kian Bu terguling jatuh dari atas punggung garuda!
Untung bagi Kian Bu bahwa pada saat itu mereka telah tiba di atas dasar tebing itu, tidak begitu tinggi lagi
sehingga ketika dia terguling, dia dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan meloncat ke arah sebatang
pohon yang tumbuh di bawah itu dan menyambar cabang pohon sehingga dia dapat mendarat dengan
selamat. Cepat dia lalu meloncat turun ke atas tanah dan peristiwa berbahaya itu sekaligus mengusir
semua bayangan yang tadi membuat dia kehilangan kesadaran dan diamuk oleh nafsu birahi. Mukanya
menjadi merah sekali ketika dia teringat dan dia melihat kini burung garuda yang ditunggangi oleh Hwee Li
itu terbang berputaran di atas kepalanya.
“Kau adalah laki-laki cabul! Kau laki-laki kurang ajar yang tidak tahu kesusilaan dan kau laki-laki porno!”
terdengar Hwe Li memaki-maki sambil menjenguk dari atas punggung garudanya, suaranya penuh dengan
kemarahan. “Dan engkau juga laki-laki kejam dan durhaka, memukul kakak sendiri!”
Kian Bu merasa malu bukan main mengingat apa yang terjadi di atas punggung garuda tadi. Tentu saja
dara itu menjadi kaget kemudian menjadi geli dan jijik! Tentu saja dara itu merasa dan tahu bahwa dia
diamuk birahi karena tubuh mereka begitu rapat seolah olah dara itu tadi setengah dipangkunya!
“Nona... kau… kau maafkanlah aku...“ Dia berkata dengan pengerahan khikang hingga suaranya pasti
dapat terdengar dari atas punggung garuda yang terbang berputaran di atas kepalanya beberapa tombak
tingginya itu. “Engkau... engkau begitu cantik dan kita duduk begitu berdekatan dan aku... aku hanyalah
orang lemah...“ Kian Bu menunduk, kemudian berkata lagi, “Aku menyesal sekali, Nona. Percayalah!”
Pemuda ini memang benar-benar merasa malu dan amat menyesal mengapa dia tadi membiarkan saja
pikirannya melamun dan mengingat-ingat hal yang dapat membangkitkan birahinya.
Dia tidak tahu betapa di atas punggung garuda, Hwee Li yang marah-marah itu menjadi merah mukanya
karena jengah atau malu teringat akan keadaan pemuda itu tadi yang duduk mepet di belakangnya
sehingga pinggulnya dapat merasakan kebangkitan birahi pada pemuda itu. Mendengar ucapan Kian Bu,
diam-diam Hwee Li memuji kejujuran pemuda itu dan dia memang sudah memaafkannya karena bukankah
sesungguhnya pemuda itu tidak melakukan sesuatu terhadap dirinya?
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau pemuda itu sudah menggerakkan tangan untuk merabanya misalnya, barulah hal itu dapat dianggap
sebagai suatu kekurangajaran. Yang membuat dia penasaran adalah ketika mendengar betapa Siluman
Kecil itu memukul dan melukai Suma Kian Lee. Birahi yang timbul pada diri Siluman Kecil tadi bahkan
membuktikan bahwa dia memang mempunyai kecantikan dan daya tarik istimewa sehingga seorang tokoh
besar seperti Siluman Kecil, yang dia melihat sendiri menolak cinta kasih seorang gadis cantik jelita seperti
Cui Lan, ternyata timbul birahinya terhadap dia!
“Aku tidak mau bicara tentang itu!” bentak Hwee Li dari atas dan dia membiarkan garudanya terus
beterbangan perlahan mengelilingi pemuda itu. “Akan tetapi engkau telah memukul Suma Kian Lee,
padahal, dia kakakmu sendiri!”
Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, lima enam tahun yang lalu, Hwee Li pernah bertemu dengan
Suma Kian Lee ketika pemuda ini terluka pahanya oleh senjata rahasia peledak yang dilepas oleh Mauw
Siauw Mo-li dan Kim Hwee Li yang ketika itu baru berusia sebelas dua belas tahun, telah menolong
pemuda itu, menyembunyikannya dan mengobatinya.
Melihat Suma Kian Lee yang tampan dan gagah, di dalam hati gadis kecil yang ketika itu baru menjelang
dewasa, telah terdapat perasaan kagum dan memuja, dan Kian Lee merupakan pemuda atau pria pertama
yang pernah menggoncangkan perasaan wanitanya. Oleh karena itu, ketika mendengar bahwa Kian Lee
terluka parah dan yang memukulnya adalah pemuda yang mengaku adiknya itu sendiri, tentu saja dia
menjadi marah bukan main. Apa lagi, ketika menangkis serangan ular-ularnya tadi, Siluman Kecil telah
memukul mati kedua ularnya!
Kian Bu mengerti bahwa hanya dengan bantuan gadis itu dia dapat mencapai dasar tebing, dan juga tanpa
bantuan gadis dengan garudanya itu, agaknya akan sukar bahkan tidak mungkin baginya untuk mendaki
tebing yang amat tinggi itu. Dia tidak takut menghadapi ancaman bahaya terkurung di situ, akan tetapi
kalau tidak dibantu, tentu ia akan terlambat sekali membawa obat untuk kakaknya. Maka dia mengambil
keputusan untuk mengaku terus terang kepada gadis yang aneh itu. Siapa tahu gadis yang aneh itu
mempunyai watak gagah yang dapat mempertimbangkan keadaan dengan adil. Buktinya gadis itu pun
telah menghabiskan saja urusan yang timbul karena bangkitnya nafsu birahinya tadi, dan hal ini saja sudah
menunjukkan bahwa gadis itu mempunyai kebijaksanaan dan kegagahan.
“Nona dengarlah baik-baik. Kakakku itu kena pukulanku karena kami berdua berkelahi dalam keadaan
saling menyamar. Aku menyamar sebagai kakek-kakek dan dia menyamar sebagai seorang jagoan
Gubernur Ho-nan sehingga kami tidak saling kenal dan saling serang. Setelah dia roboh dan
penyamarannya terbuka, barulah kami saling mengenal. Melihat dia terluka parah, kemudian aku pergi ke
sini untuk mencarikan obat penyembuhnya. Nah, terserah apakah engkau mau percaya atau tidak.
Sekarang aku hendak mencari obat itu.”
Dia lalu membalikkan tubuhnya dan tidak lagi mempedulikan nona itu, melainkan meneliti keadaan di situ
untuk mencari anak sungai seperti yang telah digambarkan oleh Sai-cu Kai-ong kepadanya. Walau pun dia
maklum bahwa dia membutuhkan bantuan nona itu dan burung garudanya untuk dapat menyampaikan
obat kepada kakaknya, tentu saja kalau sudah ditemukannya, namun bukanlah watak Suma Kian Bu untuk
mengemis-ngemis bantuan orang. Maka dia pun tidak merasa kecewa ketika melihat burung itu terbang
naik meninggalkan dirinya, dan dia melanjutkan penyelidikannya.
Akhirnya ditemukanlah anak sungai tidak jauh dari situ dan tepat seperti yang digambarkan oleh kakek itu
dari hwesio yang secara kebetulan menemukan tempat itu, dan Kian Bu cepat mengikuti aliran sungai kecil
itu sampai anak sungai itu memasuki sebuah goa yang gelap. Tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu turun ke
air sungai yang dalamnya hanya selutut itu karena untuk mengikuti aliran sungai dari tepi sudah tidak
mungkin lagi sekarang. Ketika dia hendak memasuki goa, dia melihat burung garuda itu menukik dan nona
yang duduk di atas punggung burung itu terus memandang penuh perhatian, akan tetapi dia tidak mau
mempedulikan lagi dan terus memasuki goa yang gelap.
Dia tidak tahu berapa jauhnya dia menempuh jalan yang amat gelap dan sukar itu karena dia harus terus
berjalan di dalam sungai dengan air kadang-kadang sampai sedalam dadanya dan dasar sungai itu
kadang-kadang amat licin dan kadang-kadang penuh dengan batu-batu runcing. Akan tetapi, setelah
melewati waktu yang agaknya tiada habisnya itu, akhirnya Kian Bu melihat cahaya terang di sebelah depan
dan tibalah dia di daerah terbuka.
Dia lalu mendarat di tepi sungai yang penuh dengan batu-batu besar hitam dan hatinya lega ketika melihat
bahwa tempat itu terbuka, langit dapat kelihatan dari situ sungguh pun daerah itu merupakan sumur
dunia-kangouw.blogspot.com
raksasa yang amat dalam dan sekeliling tebingnya terjadi dari dinding batu yang amat licin dan tidak
mungkin sama sekali untuk mendaki naik. Akan tetapi di bawah dinding licin yang amat tinggi itu terdapat
banyak batu-batu karang besar dan terdapat pula goa-goa yang besar dan hitam sehingga tempat yang
terpencil itu kelihatan menyeramkan sekali.
Kian Bu menjadi bingung. Menurut petunjuk dari Sai-cu Kai-ong, setelah tiba di tempat terbuka dia harus
memasuki sebuah goa karena di dalam goa yang katanya merupakan terowongan panjang itulah dia akan
menemukan jamur panca warna yang akan menjadi obat bagi kakaknya. Akan tetapi goa yang mana?
Dilihat dari tempat ia berdiri, agaknya di sekeliling tempat yang merupakan lambung gunung terhimpit
tebing itu terdapat ratusan buah goa! Mana dia bisa tahu goa yang manakah yang benar? Dia tidak
menyalahkan Sai-cu Kai-ong karena kakek itu sendiri belum pernah tiba di tempat ini dan hanya
mendengar dari orang lain.
Tiba-tiba ada bayangan hitam di dekat kakinya. Cepat dia melihat ke atas dan benar saja, jauh sekali di
atas tebing-tebing itu nampak titik hitam yang bukan lain adalah burung garuda tadi! Tentu saja seekor
burung yang terbang dapat memeriksa keadaan sekeliling itu dan dapat menemukan ‘sumur raksasa’ ini,
tetapi kalau harus mendatangi tempat ini melalui atas, dengan jalan kaki, sungguh merupakan hal yang
sama sekali tidak mungkin.
Burung itu lewat dan samar-samar dia melihat gadis aneh yang duduk di punggung burung itu menjenguk
ke bawah. Akan tetapi dia tidak mempedulikan gadis pemarah itu karena dia masih menghadapi banyak
pekerjaan yang sukar sekali. Tanpa membuang banyak waktu lagi, mulailah Kian Bu memeriksa dan
memasuki goa itu satu demi satu! Sungguh hal ini merupakan pekerjaan yang amat sukar dan melelahkan.
Goa-goa itu ternyata banyak sekali yang amat dalam, merupakan terowongan-terowongan panjang dan
berliku-liku, akan tetapi setelah dimasuki dan diikuti, ternyata hanya merupakan goa-goa kosong dan
buntu, tidak ada nampak jamur sama sekali di situ. Karena tidak dimasuki sinar matahari, lumut pun tidak
nampak, apa lagi jamur panca warna!
Baru belasan lubang goa yang diperiksanya dengan sia-sia, hari telah mulai gelap. Kian Bu merasa heran
sekali ketika keluar dari goa dan melihat matahari telah lenyap dan tempat itu cepat sekali gelap. Tadi
ketika dia membonceng gadis itu turun, hari masih pagi dan dia membuang waktu untuk memeriksa goagoa
itu hanya makan waktu empat lima jam saja. Mengapa sekarang tahu-tahu telah menjadi remangremang,
menjadi senja dan hampir malam?
Akan tetapi ketika dia berdongak memandang ke sekeliling di atas tempat yang seperti sumur raksasa itu,
mengertilah dia. Tentu saja di tempat ini, waktu yang diukur dengan sinar matahari amatlah berbeda
dengan di atas sana, di lapangan terbuka di mana sinar matahari dapat bercahaya sepenuhnya. Di sini,
matahari cepat lenyap terhalang ujung tebing di barat dan biar pun di dasar tempat itu sudah gelap, namun
dia dapat menduga bahwa di atas sana tentu masih terang dan baru lewat tengah hari!
Karena gelap, terpaksa Kian Bu menunda pekerjaannya memeriksa goa-goa itu. Dia duduk di atas batu
yang halus permukaannya dan banyak terdapat di tempat itu, sambil termenung dan memandang ke
sekeliling. Di tempat ini tidak ditumbuhi pohon karena lantainya penuh dengan batu. Ada pohon-pohon
tumbuh di lereng tebing dan pohon pohon itu merupakan pohon-pohon liar yang tidak mengandung buah
yang dapat dimakan. Akan tetapi, dia tidak lapar dan sebagai seorang yang terlatih, tidak makan beberapa
hari saja bagi pemuda Pulau Es ini tidaklah merupakan hal yang menyiksa.
Juga dia tidak perlu membuat api unggun karena hawa dingin tidak akan mengganggu tubuhnya yang
sudah biasa dengan hawa yang jauh lebih dingin ketika dia berlatih di Pulau Es. Maka duduklah Suma Kian
Bu di atas batu itu, bersila dan mulai melakukan siulan untuk mengumpulkan hawa murni, memulihkan
tenaga dan memberi kesempatan kepada tubuhnya untuk mengaso.
Kegelapan kini menyelimuti tempat itu dan hanya sinar bintang-bintang di langit yang hanya seperempat
luasnya kalau dibandingkan langit biasanya di tempat terbuka, yang mendatangkan cahaya remangremang.
Sunyi sekali di sekitar tempat itu, kesunyian yang makin terasa karena adanya suara gemercik air
yang tiada hentinya dan yang kini terdengar amat jelas.
Berbeda dengan waktu siang yang harinya pendek sekali, sebaliknya waktu malamnya di tempat itu amat
panjang dan lama karena matahari yang di permukaan bumi sudah muncul dan naik tinggi, di dasar sumur
raksasa itu masih belum nampak! Kian Bu sudah tidak melihat adanya bintang-bintang di langit yang sudah
disapu bersih oleh sinar matahari, namun tempat itu masih gelap.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba dia mendengar suara di belakangnya. Cepat dia menoleh dan meski Kian Bu merupakan seorang
pemuda gemblengan, seorang pendekar sakti yang berkepandaian tinggi, tak urung bulu tengkuknya
meremang ketika dia melihat sesosok tubuh berindap indap keluar dari sebuah di antara ratusan goa itu.
Akan tetapi segera dia melenyapkan rasa takut itu dengan dugaan bahwa tentu orang itu adalah dara
cantik yang tentu saja dapat turun dengan bantuan garudanya. Karena itu dia pun bersikap dingin saja dan
melanjutkan siulannya.
Bayangan orang itu dapat bergerak cepat dan kini telah tiba di dekat Kian Bu, lalu tiba tiba saja bayangan
itu menyerang dengan cengkeraman dari belakang ke arah tengkuk dan kepala pemuda itu. Kian Bu
terkejut dan cepat dia meloncat ke depan sehingga cengkeraman itu luput. Akan tetapi orang itu dengan
marah menerjangnya terus dengan pukulan-pukulan yang aneh.
“Nona, berhenti dulu! Mengapa kau menyerangku? Nona...!” Kian Bu lalu mengelak ke sana-sini dan dia
makin terheran ketika memperoleh kenyataan bahwa gerakan orang ini sungguh jauh berbeda dari pada
gerakan nona pemilik garuda. Dara cantik pemilik garuda itu memiliki gerakan yang berdasarkan gerakan
ilmu silat tinggi, lihai sekali, akan tetapi sebaliknya orang ini menyerangnya dengan gerakan kasar, hanya
gerakannya lebih nekat dan liar.
“Heh-heh-heh, hi-hik, kau menyebutku Nona? Hi-hi-hik!” Wanita itu terkekeh dan Kian Bu makin terkejut
dan terheran ketika dia mendapat kenyataan dari suara wanita ini bahwa dia sama sekali bukanlah dara
pemilik burung garuda! Akan tetapi cuaca masih terlalu gelap untuk dapat mengenal orang ini yang hanya
tampak bayangannya saja.
“Siapakah kau? Dan kenapa kau menyerangku?” tanyanya.
“Hi-hik-hik, kau adalah pembunuh keji! Kau manusia jahat, masih tanya mengapa aku menyerangmu? Heheh-
heh, aku hendak membunuhmu untuk membalaskan kematian nyonya majikanku!” Dan wanita itu
menyerangnya lagi.
Kian Bu kembali mengelak ke sana ke mari dengan amat mudahnya karena ternyata kini bahwa seranganserangan
itu hanya sembarangan saja dan sama sekali tiada artinya bagi dia. Akan tetapi dia merasa tidak
enak untuk merobohkan seorang wanita, apa lagi seorang wanita yang agaknya tidak waras otaknya.
“Aku tidak membunuh nyonya majikanmu! Siapa sih nyonya majikanmu itu?” tanya lagi Kian Bu sambil
tetap mengelak ke sana-sini dan terus main mundur.
Wanita itu terus mengejar dan mendesaknya, melancarkan serangan-serangan nekat dan membabi-buta.
“Huh, engkau masih pura-pura lagi bertanya? Nyonyaku tentu saja Ang Siok Bi, siapa lagi? Dan dia sudah
kalian bunuh secara kejam, dan kalian telah melemparkan aku ke sungai, ke pusaran maut. He-heh-heh,
akan tetapi kalian keliru, aku tidak mati dan sekarang aku akan membalaskan kematian majikanku, hik-hik!”
Kian Bu mengerutkan alisnya. Tentu saja dia tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh wanita ini.
Sementara itu, cahaya matahari mulai menerangi tempat itu dan akhirnya dia dapat melihat bahwa yang
menyerangnya mati-matian itu adalah seorang wanita yang usianya sudah tiga puluh tahun lebih,
rambutnya awut-awutan dan pakaiannya juga seperti pakaian seorang jembel terlantar, seluruh tubuhnya
menunjukkan bahwa wanita itu telah lama menderita di tempat ini. Sepasang matanya yang berputar-putar
itu menandakan bahwa wanita ini memang tidak waras lagi otaknya.
Kian Bu mengelak ke samping dan kini jari tangannya menyambar. Robohlah wanita itu terkena
totokannya. Setelah Kian Bu dapat melihat keadaan wanita itu, maka dia tidak ragu-ragu lagi untuk
merobohkannya dengan totokan yang tidak berbahaya, hanya membuat kaki tangan wanita itu lumpuh.
Wanita itu memandang kepada Kian Bu dengan mata terbelalak, kemudian menangis. “Hu-hu-huukkkk...
kiranya engkau adalah Tuan Muda Ang Tek Hoat...! Hu-huuuk, Tuan Muda, Ibumu telah mati dibunuh
orang...!”
Kini Kian Bu terkejut bukan main mendengar wanita ini menyebut nama Ang Tek Hoat. Tentu saja dia
mengenal nama ini, mengenalnya dengan baik sekali. Bukankah Ang Tek Hoat ini yang telah menjadi
penyebab kehancuran hatinya dan kehidupannya? Dia telah jatuh cinta kepada Puteri Syanti Dewi,
mencinta puteri itu dengan seluruh jiwa raganya, kemudian hatinya hancur berkeping-keping ketika dia
mendapat kenyataan bahwa puteri yang dicintanya itu ternyata mencinta Ang Tek Hoat, pemuda yang
dunia-kangouw.blogspot.com
tadinya amat jahat itu! Pemuda yang sebenarnya masih terhitung keponakannya sendiri, karena Ang Tek
Hoat adalah cucu dari ibu Suma Kian Lee (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Dan wanita ini menyebut
Ang Tek Hoat sebagai tuan muda, dan mengatakan bahwa ibu Ang Tek Hoat mati dibunuh orang!
Kian Bu maklum bahwa jalan satu-satunya untuk menghadapi seorang yang gila adalah melayani
kegilaannya. Dia disangka Ang Tek Hoat, maka akan percuma saja kalau dia menyangkal di depan
seorang gila. Biarlah dia berpura-pura menjadi Tek Hoat untuk mendengar tentang kematian ibu Tek Hoat
itu.
“Bibi yang baik, engkau siapakah? Aku sudah lupa lagi,” katanya sambil duduk di atas batu dan
membebaskan totokannya sehingga wanita itu kini dapat bergerak dan duduk pula di atas batu sambil
menangis.
“Ahhh, Kongcu (Tuan Muda), engkau sudah lupa lagi kepadaku? Aku adalah Cui-ma, pengasuhmu di
waktu kau masih kecil.”
“Hemmm, Cui-ma, tentu saja aku lupa karena sekarang engkau menjadi seperti ini. Ceritakanlah, Cui-ma,
mengapa engkau bisa berada di sini dan apa yang telah terjadi dengan... Ibuku?”
Dengan sikap seorang gila yang mengerikan, kadang-kadang menangis, dan kadang kadang tertawa,
mulailah wanita itu bercerita yang didengarkan oleh Kian Bu dengan penuh perhatian. Karena cerita itu
menyangkut Ang Siok Bi, ibu dari Ang Tek Hoat, seorang di antara tokoh-tokoh besar cerita ini, maka
sebaiknya kalau kita mengikuti sendiri apa yang telah dialami oleh wanita she Ang itu, dari pada
mendengarkan cerita Cui-ma yang tidak karuan…..
********************
Seperti telah diceritakan di bagian terdepan dari cerita ini, Ang Siok Bi, ibu dari Ang Tek Hoat, menyusul
puteranya ke Kerajaan Bhutan. Setelah wanita yang bernasib malang itu mengetahui bahwa dugaannya
selama ini keliru, yaitu yang memperkosa dia waktu dia masih gadis dahulu bukanlah Gak Bun Beng
seperti yang selama itu disangkanya, melainkan Wan Keng In putera dari Lulu, isteri kedua majikan Pulau
Es, maka sakit hatinya berpindah kepada keluarga Pulau Es! Dan untuk membalas dendamnya kepada
keluarga Pulau Es, tentu saja dia merasa tidak mampu dan dia hendak menyuruh puteranya yang kini telah
menjadi seorang sakti untuk membalas dendamnya kepada keluarga Pulau Es yang lihai itu. (baca cerita
Kisah Sepasang Rajawali dan Sepasang Pedang Iblis)
Akan tetapi, Ang Tek Hoat yang sudah memperoleh kedudukan baik di Bhutan, sebagai panglima muda
dan lebih-lebih lagi sebagai tunangan puteri raja, yaitu Puteri Syanti Dewi, menolak bujukan ibunya
sehingga Ang Siok Bi menjadi marah. Ang Siok Bi lalu menemui Raja Bhutan dan membuka rahasianya
sendiri bahwa calon mantu raja itu, puteranya yang bernama Ang Tek Hoat adalah seorang anak haram
tanpa ayah.
Setelah meninggalkan kata-kata beracun yang kemudian berakibat hebat itu, Ang Siok Bi lalu
meninggalkan Bhutan, kembali ke tempat tinggalnya di puncak Bukit Angsa, di lembah Huang-ho di mana
dia hidup mengasingkan diri, hanya ditemani oleh seorang pembantunya yang setia, yaitu Cui-ma, seorang
janda yang telah lama ikut bersama dia. Sebagai teman satu-satunya, tentu saja dia mengajarkan ilmu silat
kepada Cui-ma, sekedar untuk menjaga kesehatan dan untuk dipakai bela diri apa bila perlu. Cui-ma ini
yang selalu menemaninya dalam semua kesengsaraannya hidup menyendiri itu.
Ketika melihat Ang Siok Bi pulang dan begitu tiba di pondoknya lantas menangis sejadi jadinya, penuh
kedukaan dan kekecewaan, Cui-ma cepat memeluk dan menghiburnya. Akan tetapi pelayan dan teman
yang setia ini pun ikut menangis pada saat mendengar cerita nyonya majikannya bahwa betapa Ang Tek
Hoat, kongcu yang ditunggu-tunggu kedatangannya, yang diharap-harapkan akan dapat menghibur hati
ibunya itu, ternyata menolak ajakan ibunya untuk meninggalkan Bhutan.
“Cui-ma, mulai saat ini kita harus berhati-hati...“ Setelah tangisnya mereda, Ang Siok Bi berkata, lalu cepatcepat
dia menutupkan daun pintu yang tadi terbuka, menutupkan pula semua daun jendela pondoknya
yang terbuka.
Melihat sikap nyonya majikannya ini, Cui-ma terkejut dan merasa heran. Tempat itu biasanya sunyi dan
selama ini keamanan mereka tidak pernah terganggu orang mau pun binatang. Lalu kenapa sekarang
nyonya majikannya kelihatan begitu gelisah dan menutupi daun pintu dan jendela seperti orang ketakutan?
dunia-kangouw.blogspot.com
Padahal, andai ada bahaya mengancam sekali pun, apa yang perlu ditakutkan? Bukankah nyonya
majikannya ini memiliki kepandaian yang lihai?
“Toanio, apakah yang telah terjadi? Siapa yang mengancam keselamatan kita?”
“Panglima dari Bhutan... kalau tidak salah, Mohinta namanya, putera panglima tertinggi di Bhutan.
Beberapa hari yang lalu aku melihat dia, dan dia bersama orang-orangnya berusaha untuk menangkap
aku. Melihat gelagatnya agaknya dia memiliki tekad untuk membunuhku. Kita harus siap menghadapi
mereka, Cui-ma.”
“Mengapa, Toanio? Siapa mereka dan mengapa?”
“Mereka orang-orang Bhutan yang telah menjebak puteraku, mengikat puteraku dan agaknya mereka itu
diperintah oleh raja mereka untuk membunuh aku karena aku dianggap menghalangi rencana mereka
mengikat anakku Tek Hoat...“
Dengan rasa cemas karena maklum bahwa dia menghadapi orang-orang yang sudah merencanakan
kematiannya, mulai hari itu pula Ang Siok Bi dibantu oleh Cui-ma lalu mengatur persiapan untuk
menghadapi musuh-musuh itu. Ang Siok Bi adalah seorang wanita yang berani dan berhati baja, maka biar
pun dia sering kali kelihatan gelisah, namun dia membuat persiapan yang teliti, bahkan di balik daun pintu
dan jendelanya dia pasangi alat-alat rahasia yang akan secara otomatis menggerakkan jarum-jarum hitam
yang dipasangnya menyerang siapa saja yang membuka pintu atau jendela dari luar dengan paksa!
Tiga hari tiga malam Ang Siok Bi berjaga-jaga, tidak berani tidur, jarang makan dan tidak pernah berganti
pakaian sejak dia pulang. Cui-ma menjadi khawatir sekali melihat keadaan nyonya majikannya itu. Pada
malam yang kedua rumah itu telah diserbu orang ketika mereka tertidur saking lelahnya. Terdengar suara
gedebugan dan ketika mereka memeriksa pada keesokan harinya, jelas nampak bekas kaki orang di luar
pintu, daun pintu terbuka dan ada darah berceceran di situ. Jelas bahwa anak panah yang dipasang pada
belakang daun pintu telah mengenai korbannya, yaitu orang-orang yang membuka pintu itu semalam.
Sejak itu, Siok Bi dan Cui-ma tidak lagi berani tidur!
“Cui-ma, dengar baik-baik. Tidak boleh kita berdua mati di sini. Jika kita berdua berjaga di sini sampai
akhirnya musuh dapat menerjang masuk dan kita berdua mati, tentu anakku tidak akan tahu apa yang telah
terjadi dengan ibunya. Kau harus pergi dari sini!”
“Ahh, lebih baik kita pergi berdua saja, Toanio. Mengapa kita harus menanti datangnya musuh di sini?
Marilah kita pergi dan bersembunyi di lain tempat...”
Ang Siok Bi cepat menggelengkan kepala. “Percuma, mereka sudah membayangi dan mengejarku sejak
dari Bhutan. Hendak bersembunyi ke mana? Tentu akhirnya akan mereka dapatkan juga. Dan kalau aku
mati di tangan mereka, aku ingin mati di rumahku sendiri dan dapat melakukan perlawanan sebaiknya, dari
pada mati di tempat asing. Kau pergilah, Cui-ma...“
“Tidak, Toanio. Kalau Toanio tidak mau pergi, biar aku mati bersamamu di sini.”
“Jangan banyak membantah!” Siok Bi membentak marah. “Aku sudah cukup mengenal kesetiaanmu. Aku
menyuruh kau pergi bukan karena sayang nyawamu atau tak percaya kepada kesetiaanmu. Justeru kalau
engkau setia, engkau harus pergi, harus hidup dan kelak kau ceritakanlah kepada Ang Tek Hoat anakku
bagaimana ibunya mati dan oleh siapa. Mengertikah engkau? Katakan bahwa yang membayangi ibunya
adalah Mohinta dan anak buahnya, orang-orang dari Bhutan. Mengerti?”
Sambil menangis akhirnya Cui-ma mentaati perintah majikannya dan sore hari itu juga pergilah dia
meninggalkan rumah sewaktu menjelang senja dan cuaca sudah mulai gelap. Ang Siok Bi berjaga-jaga
seorang diri di dalam kamarnya, matanya menatap ke arah pintu dan jendela kamarnya secara bergantian.
Di balik pintu telah dia pasangi anak panah dan kalau pintu itu terbuka dari luar, tentu anak panah akan
menyambar ke luar. Sedangkan di jendela kamarnya dia pasangi jarum-jarum hitamnya yang juga akan
menyambar keluar apa bila daun jendela dibuka dengan paksa dari luar. Dia sendiri rebah terlentang
melepaskan lelah dengan pedang terhunus di atas mejanya.
Malam itu sunyi sekali. Rasa kantuk hampir tidak tertahankan lagi, namun Ang Siok Bi mempertahankan
rasa kantuk itu dengan mencoret-coret pada kayu pembaringannya, menggunakan jarum hitamnya
menuliskan huruf-huruf kecil di kayu itu dengan cara menggores-goreskannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
‘Tiga malam aku tidak tidur, menanti serangan si pengecut laknat. Kalau ada puteraku di sini, engkau akan
mampus...’
Tiba-tiba dia menghentikan goresan jarumnya karena dia mendengar sesuatu di luar kamarnya. Siok Bi
cepat meloncat turun dan dengan pedang di tangan, matanya memandang tajam ke arah jendela dan
pintu, juga dia melirik ke atas, kalau-kalau ada musuh yang datang masuk melalui genteng. Tetapi suara itu
lenyap dan selanjutnya tak ada gerakan apa-apa lagi. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi lalu dia
tenang kembali. Tentu hanya tikus, pikirnya dan dia merebahkan diri lagi di atas pembaringan, meletakkan
pedang di dekat pembaringan, di atas meja sehingga sewaktu-waktu dia dapat menyambarnya. Gangguan
suara yang mencurigakan itu menambah semangat dan mengusir rasa kantuknya yang tadi hampir tidak
dapat ditahankannya lagi itu.
Dia membayangkan puteranya, tak terasa air matanya berlinang. Harapan satu-satunya hanya kepada
puteranya. Dia telah menderita tekanan batin belasan tahun lamanya. Dia merasa sakit hati semenjak ada
orang memperkosanya, orang yang disangkanya semula adalah pendekar sakti Gak Bun Beng akan tetapi
yang ternyata bukan pria yang pernah menjatuhkan hatinya itu, melainkan Wan Keng In, putera dari Lulu
yang kini menjadi isteri kedua dari Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es.
Dan Tek Hoat, puteranya yang diharap-harapkan akan dapat menebus penghinaan dan membalaskan
sakit hatinya itu, ternyata telah mengecewakan! Bahkan kini dia dikejar kejar oleh rombongan orang-orang
Bhutan yang dipimpin oleh panglima Mohinta itu!
Jangan-jangan rombongan itu disuruh pula oleh puteranya! Mungkinkah itu? Dia menggigit bibir dan
teringatlah dia akan dongeng kuno tentang seorang janda yang puteranya setelah menjadi seorang besar
kemudian melupakan ibunya. Bukan hanya melupakan ibunya yang miskin, bahkan karena tidak ingin
orang mengetahui bahwa wanita janda miskin itu adalah ibunya, si anak yang telah menjadi orang besar itu
menyuruh membunuh ibunya sendiri! Akan demikian pulakah nasibnya? Sedemikian jahat dan durhakakah
puteranya? Membayangkan kemungkinan yang dibantahnya sendiri ini, Ang Siok Bi tidak dapat menahan
lagi tangisnya dan air matanya bercucuran.
Akan tetapi, dia merasa mengantuk sekali. Rasa kantuk yang tidak dapat ditahannya lagi dan karena
menangis tadi, maka dia menjadi lengah, tidak melihat betapa ada asap halus memasuki kamarnya dari
lubang di dekat pintu! Setelah asap itu mengenai mukanya, timbuliah rasa kantuk yang amat hebat, yang
tidak dicurigainya karena selama tiga hari tiga malam boleh dibilang dia tidak berani memejamkan mata.
Dan sekarang, bersedih karena membayangkan kemungkinan puteranya akan berbuat keji dan durhaka
terhadap dirinya, Siok Bi menjadi lemah dan bersikap masa bodoh, maka dia pun tidak melawan rasa
kantuk itu dan akhirnya tertidurlah wanita ini dengan nyenyaknya.
Tak lama kemudian ada suara gerakan di atas kamar itu. Genteng dibuka dan sesosok bayangan
melayang masuk. Ketika bayangan itu melihat betapa Siok Bi telah tidur, dia tertawa di balik sapu tangan
yang dipergunakan sebagai kedok menutupi mulut dan hidungnya, kemudian dia mengeluarkan suara
suitan perlahan. Dari atas genteng lalu melayang turun lagi seorang yang juga memakai kedok sapu
tangan dan orang ini mengangguk-angguk.
“Dia sudah pulas, Tuan Muda Mohinta,” kata orang pertama dalam bahasa Bhutan.
Laki-laki kedua yang ternyata adalah Mohinta itu, mencabut pedangnya dan dengan tenang saja dia
menggerakkan tangannya. Pedang meluncur dan menusuk dada Ang Siok Bi, tepat mengenai ulu hatinya
dan menembus sampai ke punggung! Cepat Mohinta mencabut pedang itu dan tubuh Ang Siok Bi
berkelojotan, darah muncrat muncrat dari dada dan punggungnya, lalu dia terdiam dan tewas tanpa dapat
bersuara lagi, hanya sepasang matanya yang terbelalak memandang kepada dua orang yang
membunuhnya secara curang itu.
Dua orang laki-laki itu lalu meloncat keluar melalui genteng, di mana terdapat beberapa orang teman
mereka dari pergilah mereka menghilang ditelan kegelapan malam. Tidak ada seorang pun yang
menyaksikan pembunuhan keji itu.
Demikianlah peristiwa pembunuhan atas diri Ang Siok Bi dan ketika Ang Tek Hoat muncul di dalam pondok
ibunya, dia hanya mendapatkan kerangka ibunya, coretan tulisan di atas kayu pembaringan, dan pedang
ibunya, tanpa dapat mengerti siapa yang telah membunuh ibunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja cerita yang disampaikan oleh Cui-ma kepada Suma Kian Bu tidak lengkap, dan dia hanya
bercerita tentang Ang Siok Bi sampai dia disuruh pergi oleh majikannya di waktu senja itu, kemudian dia
menangis lagi sesenggukan.
“Lalu bagaimana, Cui-ma? Bagaimana dengan... Ibuku?” Suma Kian Bu mendesah, masih terus
bersandiwara melayani si gila itu yang menyangka dia adalah Ang Tek Hoat putera dari Ang Siok Bi.
“Karena tidak berani membantah, sore hari itu aku meninggalkan rumah, tetapi aku tidak pergi jauh dan
pada keesokan harinya, aku kembali lagi ke pondok. Aku tidak berani membuka pintu atau jendela yang
dipasangi senjata rahasia, maka aku mengintai dan aku melihat nyonya majikan... Ibumu itu hu...
huuukkk... dia telah tewas...“
Kian Bu terkejut juga, terkejut dan marah walau pun dia tahu bahwa yang diceritakan itu bukanlah ibunya
sendiri.
“Celaka!” serunya sambil mengepal tinju. “Siapa yang membunuhnya, Cui-ma? Siapa?”
“Tadinya aku pun tidak tahu siapa... hu-hukkk... akan tetapi tiba-tiba mereka itu muncul dan menangkapku.”
“Mereka siapa?”
“Orang-orang Bhutan itu, yang dipimpin oleh Mohinta, persis seperti diceritakan Toanio kepadaku. Mereka
menangkapku, kemudian membawaku dengan paksa ke sungai dan melemparkan aku ke pusaran air maut
di Huang-ho...“
“Pusaran maut?”
“Ya, aku tidak berdaya. Aku dilempar di air dan pusaran air menyedot dan menarikku. Aku tidak tahu apaapa
lagi dan ketika aku sadar, ternyata aku telah berada di sini... di tepi sungai yang memasuki terowongan
itu...“ Kembali dia menangis.
Suma Kian Bu tertegun dan terheran-heran. Kiranya di samping hwesio yang tergelincir ke dalam jurang
dan menemukan tempat ini secara aneh, juga dia yang dapat turun dibantu oleh gadis yang memiliki
burung garuda, ada seorang lain yang dapat tiba di sini secara lebih aneh lagi, yaitu Cui-ma ini. Melalui
pusaran air dan sungai yang memasuki terowongan! Kemudian dia teringat akan keperluannya sendiri.
Mungkin Cui-ma ini mengetahui tentang jamur panca warna!
“Cui-ma, setelah mendengarkan ceritamu, maukah engkau menolongku?”
“Tentu saja, Kongcu. Akan tetapi engkau harus membalaskan kematian Ibumu.”
“Sudah pasti akan kulakukan itu, Cui-ma. Sekarang katakanlah, apa engkau tahu di mana adanya jamur
panca warna yang berada di dalam satu di antara goa-goa ini?” tanya Kian Bu sambil memandang wanita
itu penuh harapan.
“Jamur panca warna...?” Wanita itu memandang kepada Kian Bu dengan sinar mata tak seliar tadi.
Agaknya pertemuannya dengan pemuda yang disangka putera majikannya itu, dan cerita yang dituturkan
sambil menangis tadi, telah banyak mengurangi tekanan batinnya.
“Ya, jamur panca warna untuk obat.” Kemudian Kian Bu teringat bahwa mungkin Cui-ma tidak mengenal
nama jamur itu. “Jamur itu kalau siang biasa saja, akan tetapi kalau malam mengeluarkan sinar lima
macam seperti pelangi dan berada di dalam satu di antara goa-goa itu.”
Mendadak Cui-ma nampak ketakutan dan bergidik seperti melihat sesuatu yang sangat mengerikan. Dia
memandang ke kiri, ke arah sebuah goa besar dan berkata, “Kau... kau maksudkan... ihhhhh... mata-mata
iblis itu, mata setan yang kalau malam mengejar ngejarku... hiiihhhhh, sungguh mengerikan, di goa
Tengkorak itu penuh tengkorak bayi dan anak kecil, di situ terdapat pula mata iblis yang hidup kalau
malam. Aku takut, Kongcu, aku takut...!” Wanita yang mengalami banyak tekanan dan penderitaan batin itu
menjerit dan melompat hendak lari. Akan tetapi Kian Bu lebih cepat lagi dan sudah memegang lengannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tenanglah, Cui-ma, tidak ada apa-apa dan jangan takut. Ada aku di sini. Yang kau maksudkan dengan
goa Tengkorak itu yang mana? Yang besar itu? Yang di depannya ada tumpukan tiga buah batu besar
itu?” Dia menuding ke arah kiri di mana terdapat sebuah goa yang agak besar.
Wanita itu menoleh dan memandang ke arah goa itu dan matanya makin terbelalak berputaran. Agaknya
gilanya kumat lagi. “Benar... benar... aku takut... takuttt...!”
Dan dia lalu menangis terisak-isak dalam pelukan Kian Bu yang merasa kasihan sekali kepada wanita ini.
“Hemmm, katanya mencari jamur, kiranya hanya mencari perempuan untuk dicumbu rayu. Huh, dasar lakilaki
cabul!”
Kian Bu terkejut bukan main. Dia menoleh dan kiranya dara cantik jelita itu telah berdiri di atas batu dan
burung garudanya hinggap di pohon yang tumbuh tinggi di dinding tebing. Tentu saja sukar mendengarkan
suara halus dari gerakan sayap yang menahan peluncuran mereka tadi dan tahu-tahu gadis itu telah
berada di situ, mengeluarkan kata kata yang mengejek dan dengan pandang mata yang marah dan
mengandung hinaan pula.
“Ahh, jangan sembarangan bicara!” bentaknya marah, akan tetapi tentu saja dengan perasaan tidak enak
dia melepaskan pelukannya yang tadi dilakukan untuk mencegah Cui-ma lari dan membiarkan wanita itu
menangis.
Tiba-tiba Cui-ma menjerit nyaring sekali. “Siluman datang hendak mencabut nyawaku!” Dia menoleh ke
arah dara itu, lalu melarikan diri dengan cepat berloncatan ke atas batu batu yang besar-besar dan
berserakan di tempat itu.
“Cui-ma...!” Kian Bu berteriak mengejar. Akan tetapi seperti orang nekat Cui-ma telah lari cepat berloncatan
membabi-buta. Tiba-tiba dia tergelincir dan terbanting jatuh ke depan.
“Prakkk!” terdengar suara dan tubuhnya terguling, tidak bergerak lagi.
“Cui-ma...!” Kian Bu melompat dan cepat berlutut di atas batu di mana Cui-ma roboh tadi. Dia memeriksa
dan menarik napas panjang, lalu menoleh ke arah dara cantik yang masih berdiri itu.
“Dia telah mati...,“ katanya seperti orang mengeluh.
“Mati...?” Gadis itu cepat berlari menghampiri, terbelalak memandang wanita setengah tua yang kini
kepalanya pecah berlumuran darah.
Kiranya ketika terjatuh tadi, kepalanya menimpa batu keras dan pecah sehingga dia tewas seketika! Dan
baru sekarang Hwee Li mendapat kenyataan bahwa wanita yang dipeluk oleh Kian Bu tadi ternyata adalah
seorang wanita setengah tua yang mukanya kotor menjijikkan dan yang agaknya adalah seorang wanita
yang tidak waras otaknya.
“Dia siapa? Kenapa?” tanyanya sambil memandang kepada Kian Bu.
Tetapi Kian Bu masih merasa marah, sedih dan kecewa melihat nasib Cui-ma sehingga dia tidak
menjawab pertanyaan gadis itu, malah tidak mempedulikannya lagi dan dia memondong mayat Cui-ma,
dibawanya ke tempat yang ada tanahnya. Dia menggali lubang tanpa bicara sepatah kata pun, kemudian
mengubur mayat Cui-ma di situ, di depan sebuah goa. Akhirnya dia membersihkan kedua tangannya
sambil menghela napas.
“Suma Kian Bu, kau menganggap dirimu ini siapa sih? Sikapmu begitu sombong!” Hwee Li yang sejak tadi
diam saja dan menonton semua yang dilakukan Kian Bu sambil duduk di atas batu besar, kini menegur
dengan wajah cemberut karena dia merasa sama sekali tidak diacuhkan oleh pemuda itu.
Kian Bu menengok dengan alis berkerut. “Engkau telah membuat dia ketakutan dan menjadi sebab
kematiannya, dan kau sama sekali tidak menyesal?”
“Ehh, ehh! Siluman Kecil, ngawur saja bicaramu! Bagaimana duduk perkaranya maka kau katakan bahwa
aku menjadi sebab kematiannya?” Hwee Li berseru sambil bangkit berdiri dan bertolak pinggang, wajahnya
merah karena marahnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemmm, pemarah benar gadis ini,” pikir Kian Bu. Akan tetapi dia tak mau kalah karena memang merasa
kasihan sekali kepada Cui-ma dan mendongkol melihat kedatangan gadis itu yang mengejutkan Cui-ma.
“Kau telah mengejutkan dia, mengira engkau siluman maka dia lari lalu terjatuh. Apa kau tidak melihat itu?”
“Huh, kalau dia menganggap aku siluman, apakah itu kesalahanku? Kalau dia takut melihat aku lalu lari
seperti gila, apakah itu juga kesalahanku? Kalau kau yang dekat dengan dia tidak mampu mencegah dia
lari, apakah itu pun kesalahanku? Kalau memang wajahku jelek sekali seperti siluman sehingga membikin
dia takut, apakah itu juga kesalahanku?” Diberondong oleh ucapan yang nadanya menantang dan
mengejek, namun tak dapat dibantah kebenarannya itu membuat Kian Bu merasa tidak enak dan serba
salah. Memang kalau dipikir benar-benar, tentu saja munculnya gadis itu tidak salah dan tidak sengaja
hendak mengagetkan Cui-ma.
“Kau tidak berwajah jelek...,“ saking bingungnya dia membantah kalimat terakhir itu.
“Sudah jelas dia menyangka aku siluman sehingga dia ketakutan! Wajahku jelek seperti siluman, dan apa
dayaku?”
Kalau dia diserang dengan kata yang mengandung kemarahan, agaknya Kian Bu akan dapat membalas
karena dia pun terhitung seorang yang pandai bicara, bahkan dahulu sebelum dia menjadi Siluman Kecil,
dia adalah seorang pemuda yang lincah jenaka dan pandai menggoda orang lain dengan kata-kata, akan
tetapi sekarang melihat dara itu memburuk-burukkan diri sendiri, dia menjadi makin tidak enak.
“Tidak, tidak..., sebaliknya malah, kau cantik sekali...“
“Huh, sudah keluar pula sifat cabulnya!” Hwee Li mengejek.
Suma Kian Bu makin bingung. Celaka, gadis ini benar-benar membikin orang menjadi kewalahan dan
mendongkol sekali! “Maksudku, kau tidak jelek dan karena cantik itu agaknya dia menyangka kau siluman.
Tentu saja bukan salahmu, akan tetapi, ahh, aku kasihan sekali padanya. Nasibnya demikian buruk sampai
matinya...“ Dan pemuda itu memandang ke arah gundukan tanah campur batu yang menjadi kuburan Cuima
itu.
Melihat sikap yang sungguh-sungguh dari pemuda itu, rasa penasaran Hwee Li juga mereda dan dia
bertanya sambil memandang ke arah kuburan itu, “Siapakah dia itu?”
“Namanya Cui-ma, dia pelayan dari Ang Siok Bi yang telah menjadi gila karena tekanan batin yang hebat
dan dia sampai di sini karena dilempar ke Sungai Huang-ho dan hanyut oleh pusaran air.”
“Ihhh...! Siapa yang melakukannya dan kenapa? Siapa pula itu Ang Siok Bi?”
“Dia adalah ibu Ang Tek Hoat.”
“Ang Tek Hoat...? Ang Tek Hoat? Serasa pernah aku mendengar nama itu!” Hwee Li mengerutkan alisnya
sambil mengingat-ingat.
“Mungkin saja. Dia pernah terlibat dalam urusan pemberontakan Pangeran Liong Bin Ong. Dia terkenal
dengan julukannya si Jari Maut, Ang Tek Hoat.”
“Ahhh...! Benar! Wah, dia terkenal sekali dan orang itu amat menarik. Kau bilang bahwa wanita tadi adalah
pelayan ibu si Jari Maut?”
Melihat betapa Hwee Li amat tertarik, maka dengan singkat Kian Bu lalu menuturkan tentang
pertemuannya dengan Cui-ma dan tentang cerita Cui-ma bahwa ibu dari Tek Hoat telah dibunuh oleh
orang-orang Bhutan yang dipimpin oleh orang yang bernama Mohinta, seorang panglima dari Bhutan yang
lihai. Hwee Li mendengarkan dengan penuh perhatian dan dia kembali memandang ke arah kuburan itu.
“Maafkan aku, tadinya kusangka...“
“Kau sangka apa?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dari atas tadi kulihat engkau memeluk seorang wanita, kelihatan kalian seperti sedang bercinta-cintaan
dan bermesra-mesraan.”
Kian Bu sudah mendapatkan kembali sifatnya yang nakal dan suka menggoda orang. “Andai kata benar
demikian, mengapa?”
Kedua pipi itu berubah merah dan matanya bersinar marah. “Aku sih tidak peduli! Akan tetapi karena kau
bilang hendak mencarikan obat untuk Suma Kian Lee, dan melihat kau bermain gila, maka aku sudah
menegurmu.”
“Obat? Ahh, benar! Agaknya aku sudah menemukan tempatnya, berkat petunjuk dari Cui-ma,” berkata
demikian, Kian Bu lalu melangkah menuju ke goa yang ditunjuk oleh Cui-ma tadi.
Hwee Li cepat mengikutinya dan mereka berdiri di depan goa besar yang agak gelap karena sinar matahari
tidak dapat langsung masuk ke dalamnya. Akan tetapi lambat laun mata mereka sudah menjadi biasa dan
ketika mereka memasuki goa, kelihatanlah oleh mereka banyak sekali kerangka kecil di situ.
“Hemmm, Cui-ma bilang bahwa goa ini penuh tengkorak bayi dan anak kecil. Agaknya inilah goa
Tengkorak itu...,“ kata Kian Bu sambil memandang tengkorak dan tulang tulang yang berserakan.
“Tidak ada tengkorak bayi atau anak kecil. Ini adalah tengkorak dan kerangka binatang, semacam monyet,
hanya mukanya seperti anjing. Hemmm, tidak salah lagi, ini adalah kerangka binatang baboon yang
tubuhnya monyet dan mukanya anjing. Ini agaknya menjadi kuburan mereka.”
“Dan Cui-ma bilang di sini terdapat mata iblis...,“ kata pula Kian Bu.
Mereka masuk terus ke dalam goa yang agak panjang itu. Tiba-tiba Hwee Li berseru, “Ihhhhh...” dan
otomatis tangannya memegang tangan Kian Bu.
Pemuda ini pun terkejut sehingga dia pun membalas pegangan tangan itu. Mereka saling berpegang
tangan dan jantung mereka berdebar tegang. Jauh di sebelah dalam, di tempat gelap, nampak banyak
mata yang mencorong dan bersinar-sinar memandang ke arah mereka! Bukan mata manusia, bukan pula
mata binatang, dan agaknya itulah mata iblis yang ditakuti oleh Cui-ma.
Tiba-tiba Hwee Li tertawa dan melepaskan tangannya. “Ahhh, memang benda yang berkilau dan
mengeluarkan sinar, akan tetapi lihatlah, sinarnya tidak pernah bergerak. Bukan mata, melainkan bendabenda
bersinar.”
“Benar engkau, Nona. Dan agaknya inilah yang kucari-cari. Lihat, bukankah sinarnya berubah-ubah dan
seperti warna pelangi? Inilah jamur panca warna itu! Dan menurut penuturan Sai-cu Kai-ong, jamur itu
hanya mengeluarkan sinar di tempat gelap, kalau di tempat terang tidak bersinar.”
Kian Bu mendekat, berjongkok dan menggunakan tangannya mencabuti jamur-jamur itu. Jamur-jamur itu
masih bersinar-sinar di tangannya ketika dia bawa keluar, akan tetapi setibanya di luar, jamur-jamur itu
kehilangan sinarnya dan berubah sebagai jamur biasa saja!
“Inilah obatnya, tidak salah lagi!” Kian Bu berseru dan menoleh ke arah kuburan Cui-ma sambil berkata,
“Terima kasih, Cui-ma, engkau telah menyelamatkan kakakku.”
“Belum tentu,” tiba-tiba Hwee Li berkata. “Kalau kau tidak dapat keluar dari sini dan cepat-cepat
memberikan jamur itu kepada kakakmu, mana bisa dia tertolong? Mari, kuantar kau naik.”
Hwee Li mengeluarkan suara melengking dan burung garuda itu menyambar turun lalu hinggap di atas
batu di depan gadis itu. “Siluman Kecil...“
“Namaku Suma Kian Bu, Nona.”
“Sebaiknya sekarang kukenal sebagai Siluman Kecil saja. Kau akan kubantu agar dapat naik ke sana.”
“Terima kasih, Nona. Akan tetapi...“ Kian Bu meragu karena dia merasa ‘ngeri’ kalau harus duduk
membonceng lagi. Dia tidak berani tanggung kalau tidak akan bangkit birahinya lagi duduk berhimpitan
dengan nona yang amat cantik itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kau kira akan membonceng? Aku pun tidak mau...!”
“Kalau aku duduk di depan...”
“Huh, di depan pun berbahaya. Seorang cabul seperti engkau!”
“Kalau begitu kau tinggalkan saja aku di sini, Nona, aku akan mencari jalan ke luar sedapatku dan aku
tidak mau menyusahkanmu.”
“Sombong!” Hwee Li lalu meloncat dengan gerakan ringan sekali ke atas punggung garudanya dan burung
itu pun terbang ke atas. Hwee Li menjenguk ke bawah sambil berteriak, “Kau bergantunglah pada ini!” Dan
sehelai sabuk sutera merah muda meluncur ke bawah.
Kian Bu tersenyum. Memang banyak akalnya nona ini, pikirnya dan karena dia harus cepat-cepat dapat
kembali ke kakaknya, maka dia pun lalu meloncat dan menangkap ujung sabuk sutera itu, bergantung di
udara. Gadis itu mengeluarkan suara melengking dan burungnya terbang ke atas dengan cepat sekali.
Tubuh Kian Bu tetap bergantung dan diam-diam pemuda perkasa ini merasa ngeri juga. Ia tahu bahwa
nyawanya berada di telapak tangan nona itu karena sekali saja nona itu melepaskan sabuk, betapa pun
tinggi kepandaiannya, dia tidak akan mungkin dapat menyelamatkan nyawanya lagi.
Untuk keluar dari tempat itu, belum tentu akan dapat dilakukannya dalam waktu berhari hari karena dia
harus akan mencari-cari jalan lebih dulu, tetapi dengan menggantung pada sabuk sutera itu, dalam waktu
beberapa menit saja dia sudah tiba di atas tebing dan dia meloncat turun. Burung garuda itu terbang
perlahan-lahan, berputaran di atas kepalanya dan gadis itu menjenguk ke bawah. “Siluman Kecil, kau
cepat bawa obat itu kepada kakakmu!”
Kian Bu menjura ke arah gadis itu dengan mengangkat kedua tangan ke depan dada sambil berkata,
“Engkau sungguh amat baik, Nona. Engkau telah menolong aku dan berarti engkau telah menyelamatkan
nyawa kakakku. Aku menghaturkan terima kasih atas bantuanmu.”
“Aku tidak membantumu! Kalau tidak ingat kepada kakakmu, apa kau kira masih hidup setelah apa yang
kau lakukan di atas punggung garuda kemarin?”
Wajah Kian Bu terasa panas dan menjadi merah sekali. “Nona, semua itu terjadi tanpa kusengaja, apakah
kau tidak dapat memaafkan aku?”
“Sudahlah, cepat pergi dan obati kakakmu.”
“Tapi tinggalkan dulu namamu, Nona.”
“Aku tidak ingin menjadi kenalanmu.”
“Akan tetapi kalau kakakku bertanya siapa adanya dewi kahyangan yang menolongnya bagaimana aku
akan menjawab?”
Disebut dewi kahyangan, Hwee Li tersenyum. “Engkau memang perayu besar! Katakan saja bahwa lima
enam tahun yang lalu aku pernah mengobati luka di paha kakakmu!” Setelah berkata demikian dia
menepuk punggung garudanya yang terbang cepat ke atas.
Kian Bu menjadi bengong. Pernah kakaknya dahulu bercerita betapa ketika kakinya terluka parah, terkena
ledakan senjata rahasia Mauw Siauw Mo-li, paha kakaknya yang terluka itu diobati dan disembuhkan oleh
seorang gadis cilik yang bernama Kim Hwee Li, yaitu puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka! Jadi
gadis cantik jelita itu adalah puteri ketua Pulau Neraka!
“Engkau Kim Hwee Li dari Pulau Neraka?” Dia berseru nyaring ke arah burung garuda yang sudah terbang
tinggi. Tidak ada jawaban kecuali suara melengking nyaring yang makin menjauh, entah lengking gadis
aneh itu ataukah lengking garuda…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Bu melakukan perjalanan cepat sekali, akan tetapi ketika dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-nan di
mana tempo hari pasukan kerajaan berada, kini tempat itu telah menjadi sunyi dan tahulah dia bahwa
pasukan itu telah meninggalkan tempat itu. Dan hal itu memang benar. Setelah Pangeran Yung Hwa
selamat sampai di istana kaisar, kaisar lalu memerintahkan agar pasukan kembali ke kota raja.
Kaisar tidak ingin melihat timbulnya perang saudara yang baru, karena pasukan lebih diperlukan untuk
menjaga perbatasan dengan negara tetangga dan melindungi tanah air dari serbuan orang-orang liar
terutama dari utara dan barat, dari pada dipergunakan untuk perang saudara. Ada pun mengenai tandatanda
dan sikap-sikap memberontak dari para gubernur, akan diserahkan kepada orang-orang pandai dari
kerajaan untuk mengatasi dan membereskannya.
Setelah mendapatkan kenyataan bahwa pasukan telah meninggalkan tempat itu, Kian Bu teringat akan
pesan Sai-cu Kai-ong, maka tanpa membuang waktu lagi dia langsung pergi dengan cepat menyusul ke
puncak Bukit Nelayan, yaitu bukit di tepi sungai sebelah selatan kota Pao-teng di mana Sai-cu Kai-ong
tinggal.
Beberapa hari kemudian, setelah tiba di puncak Bukit Nelayan, benar saja dia bertemu dengan Sai-cu Kaiong
dan kakaknya juga berada di situ, berbaring di dalam sebuah kamar dan keadaannya tidaklah separah
ketika dia tinggalkan berkat perawatan yang baik dari seorang ahli pengobatan yang pandai, yaitu Sai-cu
Kai-ong. Kakek itu girang dan kagum sekali menerima jamur panca warna dari Kian Bu.
“Benar..., benar inilah jamur yang mukjijat itu... aihhh, Suma-taihiap, sungguh engkau hebat sekali, dan
kakakmu tentu akan sembuh dengan cepat berkat obat ini,” kata kakek itu sambil membawa masuk jamur
itu untuk dibuatkan ramuan obat.
Kian Bu memandang girang dan menoleh ketika kakaknya berkata, “Bu-te, engkau telah bersusah-payah
untukku. Aku harus mengucapkan terima kasih kepadamu, adikku.”
Kian Bu duduk di atas bangku dekat pembaringan kakaknya, wajahnya berseri gembira dan dia berkata,
“Lee-ko, kau tidak semestinya mengucapkan terima kasih kepadaku, karena yang berjasa mendapatkan
jamur mukjijat itu bukanlah aku...“
“Aku tahu, memang Locianpwe Sai-cu Kai-ong juga telah melimpahkan budi kepadaku, akan tetapi engkau
yang bersusah payah mendapatkannya, padahal menurut cerita Locianpwe itu, amat sukarlah
mendapatkannya dan engkau telah berhasil dalam waktu singkat.”
“Ah, sama sekali bukan aku. Kalau tidak ada pertolongan orang itu, kiranya belum tentu satu bulan lagi aku
sudah dapat kembali, bahkan belum tentu bisa mendapatkan jamur itu.”
“Ah, begitukah? Siapakah penolong yang budiman itu, adikku?”
“Dia adalah seorang yang amat kau kenal baik, Koko.”
“Siapa?”
“Pacarmu!”
Kian Lee terkejut dan mengerutkan alisnya memandang wajah adiknya yang berseri dan kemudian dia
tersenyum. Meski adiknya ini telah mengalami banyak sekali perubahan, rambutnya putih semua persis
seperti keadaan ayah mereka si Pendekar Super Sakti, wajah adiknya itu sudah nampak dewasa dan
‘matang’, namun ternyata adiknya masih belum kehilangan sifat kebengalannya!
“Kian Bu, jangan main-main kau!” katanya menegur karena dia mengira bahwa yang dimaksudkan oleh
Kian Bu itu tentulah Ceng Ceng, atau Lu Ceng, atau kini telah menjadi isteri Kao Kok Cu putera sulung
Jenderal Kao Liang yang dulu berjuluk Topeng Setan. Ketika mendengar adiknya menyebut ‘pacarmu’,
terbayanglah wajah Ceng Ceng, akan tetapi Kian Lee cepat-cepat mengusir bayangan itu karena maklum
bahwa tidak semestinyalah kalau dia membayangkan wajah isteri orang lain!
Melihat wajah kakaknya menjadi agak muram, Kian Bu segera teringat dan maklum, maka cepat-cepat dia
menyambung, “Bukan dia maksudku, Lee-ko, akan tetapi dara cantik jelita yang menjadi pacarmu dalam
cinta pertamamu. Hayo, masa kau lupa lagi siapa yang menerima cinta pertamamu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Lee masih mengerutkan alisnya. Dia tahu bahwa adiknya ini bengal dan suka menggoda orang,
terutama menggoda wanita-wanita muda. Dia sendiri jarang bergaul dengan wanita, dan selama hidupnya,
baru satu kali dia jatuh cinta, jatuh cinta benar benar dan ternyata yang dicintanya itu, Ceng Ceng,
keponakan tirinya sendiri! Ceng Ceng adalah puteri gelap dari mendiang Wan Keng In, sedangkan Wan
Keng In itu adalah anak kandung dari ibunya sendiri, jadi satu ibu lain ayah dengan dia! Tentu saja tidak
mungkin dia berjodoh dengan Ceng Ceng dan kenyataan itu sebenarnya banyak menolongnya, karena
kalau tidak, tetap saja dia akan patah hati, malah lebih parah lagi karena ternyata Ceng Ceng mencinta
seorang laki-laki lain, yaitu Kao Kok Cu!
“Aku tidak mengerti siapa yang kau maksudkan itu, Bu-te,” katanya menggeleng kepala.
Kian Bu tertawa. “Dia sendiri tidak mau memperkenalkan namanya. Akan tetapi dia adalah seorang gadis
yang cantik jelita dan manis sekali Koko, galak dan lincah, menunggang seekor garuda, pakaiannya serba
hitam dan ilmu kepandaiannya hebat.”
Kian Lee tetap tidak dapat menduga siapa adanya gadis itu. “Siapakah dia, Bu-te? Katakanlah, siapa dia
dan mengapa kau tadi mengatakan bahwa dia adalah pacarku.”
“Dia tidak bilang begitu, Koko, maafkan aku. Akan tetapi dia hanya mengatakan bahwa dia dahulu pernah
menolongmu dan mengobati pahamu yang terluka parah lima enam tahun yang lalu...”
“Aihhh...! Dia...?” Tentu saja Kian Lee teringat baik akan peristiwa itu.
Lima tahun lebih yang lalu dia terluka oleh ledakan senjata rahasia Mauw Siauw Mo-li, dan dia tentu akan
tertawan musuh dan tidak berdaya dalam keadaan luka itu kalau tidak ditolong oleh seorang gadis cilik
yang manis dan mungil, murid keponakan Mauw Siauw Mo-li sendiri, gadis yang muncul bersama banyak
kucing, Kim Hwee Li atau puteri tunggal dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka! Terbayanglah dia
wajah anak yang cantik itu.
“Benar dia, tentu kau ingat sekarang bukan, Koko?” tanya Kian Bu sambil tersenyum dan menyelidiki wajah
kakaknya. Dia tahu bahwa kakaknya telah patah hati karena kasih tak sampai dan dia akan senang kalau
kakaknya ini mendapatkan seorang pacar baru, dan gadis pakaian hitam itu memang hebat!
“Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka?” Kian Lee menegaskan.
“Benar, dialah orangnya yang memungkinkan aku secepat ini memperoleh jamur itu untukmu, Koko.” Kian
Bu lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia mencari jamur dan bertemu dengan Hwee Li yang
memboncengkannya turun ke bawah tebing itu. Tentu saja dia tidak berani menceritakan tentang peristiwa
memalukan dan lucu ketika dia terserang oleh nafsu birahi yang bangkit ketika dia dibonceng di belakang
tubuh Hwee Li dan betapa Hwee Li menjadi marah-marah dan menyerangnya sehingga dia terjatuh ke
bawah.
“Dia... dia cinta padamu, Koko.”
“Hushhhhh...!” Kian Lee membentak dengan muka berubah merah. “Jangan menyalah tafsirkan kebaikan
orang, Bu-te. Apakah karena dia dahulu pernah mengobati pahaku, kemudian sekarang membantumu
mencari jamur panca warna, kemudian kau anggap kebaikan hatinya itu sebagai tanda jatuh cinta? Kau
sungguh terlalu merendahkan kebaikan orang, Bu-te.”
“Bukan begitu, Lee-ko. Aku tentu saja tidak akan sembarangan bicara kalau tidak ada bukti-bukti nyata.
Buktinya menyatakan bahwa dia cinta kepadamu.”
“Hemmm, kau masih bengal seperti dulu, Kian Bu. Hayo, apa buktinya?” Kian Lee mendesak.
“Ketika dia mengobati pahamu dahulu tentu saja aku tidak dapat membuktikannya, apa lagi ketika itu dia
tentu masih kecil, belum dewasa, maka tidak patut bicara tentang cinta. Akan tetapi sekarang, hemmm...
dia telah menjadi seorang dara dewasa yang cantik jelita dan manis sekali, Koko...“
“Hal itu belum menjadi bukti bahwa dia cinta padaku, agaknya padamulah dia jatuh hati, Bu-te, karena
engkau selalu pandai merayu wanita!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak, Lee-ko, dengarlah dulu ceritaku. Kukatakan tadi bahwa dia menolongku dengan membonceng
garudanya turun ke dasar tebing. Nah, ketika dalam penerbangan itu dia bertanya mengapa kau terluka,
dan dia tadinya sudah menunjukkan pula bahwa hanya karena mendengar Suma Kian Lee terluka saja
maka dia mau membantuku. Ketika aku berterus terang mengatakan bahwa kau terluka oleh pukulanku,
sebelum aku sempat menceritakan bahwa hal itu kulakukan tanpa sengaja dia sudah menjadi begitu marah
dan dia menyerangku sampai aku terjungkal dari atas punggung garudanya!”
“Ahhh...!” Kian Lee terkejut sekali
“Untung burung itu telah terbang rendah dan hampir sampai di dasar tebing sehingga aku selamat. Akan
tetapi bukankah hal itu jelas membuktikan bahwa dia cinta padamu sehingga ketika dia mendengar engkau
luka terpukul olehku dia lalu marah dan hendak membunuhku?”
“Hemmm, dia ganas...!” Kian Lee berkata lirih. Tentu saja dia tidak memikirkan gadis itu, melainkan
memikirkan bahaya yang mengancam adiknya.
“Akan tetapi dia sudah kuceritakan bahwa perkelahian antara kita adalah karena tidak tahu, maka dia
berbaik kembali dan mau mengantarku naik dengan garudanya setelah aku berhasil menemukan jamur
itu.”
“Karena petunjuk wanita gila itu seperti yang kau ceritakan tadi? Ahh, sungguh hebat pengalamanmu,
adikku. Siapa kira di tempat itu kau bertemu dengan pelayan Ibu Tek Hoat yang menceritakan peristiwa
hebat yang menimpa diri Ang Siok Bi itu. Entah Tek Hoat sudah mendengar atau belum bahwa ibunya
dibunuh oleh Mohinta dan teman temannya dari Bhutan.”
Percakapan mereka terhenti karena munculnya Sai-cu Kai-ong yang datang bersama Siauw Hong dan Gu
Sin-kai. Siauw Hong membawa periuk obat yang terisi godokan obat yang berwarna hijau.
“Ahh, Suma-taihiap,” kata Sai-cu Kai-ong kepada Kian Bu. “Kakakmu tidak boleh diajak bicara terlalu
banyak. Dia harus banyak istirahat karena luka yang dideritanya amat hebat. Jamur panca warna ini akan
menyelamatkannya, akan tetapi dia harus banyak beristirahat.”
Kakek ini lalu mengambil periuk dari tangan Siauw Hong dan memberi minum ramuan jamu panca warna
yang telah digodok dengan obat-obat lain itu kepada Kian Lee. Rasanya pahit dan baunya tidak sedap,
agak amis dan wengur, akan tetapi ada hawa yang hangat menjalar dari perut setelah Kian Lee
menghabiskan obat semangkok itu.
“Sekarang, beristirahatlah, Taihiap,” kata Sai-cu Kai-ong kepada Kian Lee. “Setiap hari Taihiap harus
minum obat, ramuan ini tiga mangkok, pagi siang dan sore.” Maka mulailah Kian Lee minum obat campur
jamur mukjijat itu, dilayani oleh Siauw Hong yang menggodokkan obatnya dan Kian Bu yang menjaganya
siang malam.
Pada hari keempat, pagi-pagi sekali atas perkenan Sai-cu Kai-ong, Suma Kian Bu memondong tubuh Kian
Lee yang belum boleh banyak bergerak itu keluar dari kamar, menuruni puncak dan menuju ke tepi sungai.
Kian Bu menurunkan tubuh kakaknya di atas rumput hijau. Hawa amat nyaman di pagi hari itu, apa lagi
setelah matahari pagi yang murni dan jernih itu mulai melimpahkan cahayanya yang keemasan.
“Sekarang tiba saatnya engkau menceritakan semua pengalamanmu, Bu-te. Mengapa selama lima tahun
ini engkau tidak pernah pulang ke Pulau Es dan ke mana saja engkau pergi? Mengapa pula rambutmu
menjadi putih semua seperti itu? Apakah memang karena engkau mewarisi warna rambut Ayah, ataukah
ada terjadi hal lain?”
Mendengar pertanyaan kakaknya itu, tiba-tiba saja wajah Siluman Kecil itu menjadi muram kembali. Kalau
tadinya semenjak dia mencari obat jamur dan bertemu dengan Hwee Li, hampir pulih kembali
kegembiraannya dan hampir nampak kembali sifat-sifat Kian Bu yang lincah gembira, kini dia kembali
muram seperti wajah Siluman Kecil selama ini!
Dia menarik napas panjang dan berkata lirih dan lambat, “Aku telah tenggelam di dalam kedukaan hebat,
Koko. Semenjak aku melihat pencurahan kasih sayang dari Puteri Syanti Dewi kepada Ang Tek Hoat di
dalam hutan, semenjak aku melihat kenyataan bahwa puteri yang kucinta dengan sepenuh jiwa raga itu
ternyata mencinta orang lain, aku tak dapat menahan guncangan batin karena kecewa dan duka, dan aku
tenggelam di dalam kesedihan seperti hampir gila dan tidak ingat apa-apa lagi...“
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Lee menarik napas panjang dan memegang tangan adiknya penuh kasih sayang dan belas kasihan.
“Aku tahu, adikku. Aku telah mengenal pula perasaan itu. Sekarang lanjutkanlah ceritamu.”
“Aku seolah-olah menjadi bosan hidup. Alam di sekelilingku berubah seperti neraka dan aku tidak ingin
kembali ke Pulau Es, tidak ingin bertemu siapa pun juga kecuali bertemu dengan malaikat maut yang boleh
mencabut nyawaku. Aku pergi merantau ke mana pun kakiku membawaku, tanpa tujan, tanpa kemauan
dan yang ada hanya perasaan merana dan sengsara.”
“Ahhh, kasihan sekali kau, Bu-te. Tidak kusangka seorang yang segagah dan selincah engkau, yang selalu
gembira dan nakal, ternyata masih begitu lemah setelah tertimpa kekecewaan cinta...” Kian Lee
memandang dengan sinar mata terharu sekali.
“Aku sendiri pun merasa heran, Koko. Tadinya kuanggap bahwa cinta terhadap wanita hanya merupakan
permainan belaka. Akan tetapi cintaku terhadap Syanti Dewi sungguh lain sama sekali. Puteri itu telah
menguasai seluruh jiwa ragaku, setiap bulu di tubuhku seperti telah mencintainya dan tidak mau berpisah
lagi dari sisinya, maka begitu terjadi perpisahan dan kenyataan bahwa aku tidak dapat mendekatinya, aku
jatuh dan hancur lebur. Akan tetapi biarlah kulanjutkan ceritaku agar tidak membosankan engkau yang
mendengar aku merengek-rengek tentang cintaku yang gagal, Koko. Dengarlah…..”
Kian Bu lalu bercerita. Dengan hati patah dan hancur dia lalu berkelana, naik turun gunung, menyeberangi
sungai dan telaga, masuk keluar hutan-hutan besar dan lebat, sama sekali tidak mempedulikan lagi dirinya
sehingga pakaiannya compang-camping, tubuhnya kurus dan wajahnya pucat, rambutnya terurai riapriapan
tanpa pernah dibereskan. Karena membiarkan dirinya tenggelam dalam duka sedemikian rupa, dan
mungkin karena ditambah dengan keturunan, dalam waktu beberapa bulan saja sudah tumbuh rambut
putih di kepalanya.
Pada suatu hari, tanpa disadarinya dia tiba di perbatasan Propinsi Ho-pei sebelah selatan dan mendaki
sebuah bukit. Karena dia tidak mempedulikan apa-apa lagi, maka dia tidak peduli pula akan cegahan
orang-orang ketika dia tiba di bawah bukit. Orang orang itu memperingatkannya agar tidak naik ke bukit itu,
karena menurut mereka, bukit itu berada di bawah kekuasaan kakek dewa yang menghuni di gedung tua di
puncak bukit itu dan kakek dewa itu amat galak, tidak memperkenankan sembarangan orang mendekati
gedungnya.
Akan tetapi Kian Bu tidak mempedulikan itu semua, bahkan dia seperti sengaja hendak menempuh bahaya
karena baginya pada waktu itu, kalau kematian datang, hal itu dianggapnya baik sekali! Dia seperti orang
nekat dan dengan sembarangan saja dia lalu mendaki bukit yang sunyi itu pada waktu matahari mulai
tenggelam.
Senja kala mendatangkan sinar layung yang kemerahan di permukaan bukit, membuat segala sesuatu
seperti menyala kekuningan, terang sekali dan sesungguhnya amatlah indahnya. Namun bagi seorang
yang sedang dilanda kedukaan hati dari pikirannya sendiri, tidak ada apa-apa yang indah, adanya hanya
mengesalkan dan menjemukan hati belaka.
Jelaslah bahwa indah dan buruk hanyalah penilaian yang sesuai dengan keadaan hati seseorang belaka.
Kenyataannya tidaklah baik atau buruk, melainkan ya sudah begitu, apa adanya, tidak baik tidak buruk,
tidak indah tidak jelek. Hanya pikiran dan hati sendirilah yang memberi penilaian, sesuai dengan suka dan
tidak suka, menyenangkan dan tidak menyenangkan, menguntungkan dan merugikan.
Ketika malam mulai datang, gelap menyelimuti cahaya terakhir dari matahari, Kian Bu menghentikan
langkahnya dan duduklah dia di atas batu di pinggiran jurang, melamun, kadang-kadang merenung ke
dalam kegelapan, kadang-kadang pula dia berdongak memandang langit yang terhias bintang-bintang
muda yang berkedap-kedip lemah di langit yang masih muda warnanya. Pikirannya kosong, melayanglayang
tanpa arah tujuan tertentu, suasana menjadi lengang dan kesepian menyelimutinya, menimbulkan
ketrenyuhan hati yang makin merana.
Dia tidak tahu di mana dia berada. Sebenarnya pada saat itu dia telah berada di wilayah Pegunungan Taihang-
san, di salah sebuah di antara puncak bukit-bukit di sekitar pegunungan itu. Tiba-tiba terdengar suara
suling melengking, memecah kesunyian malam, menyelinap di antara suara belalang dan jengkerik serta
binatang-binatang kecil yang biasa meramaikan suasana keheningan malam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Bu tertarik oleh suara suling itu. Sungguh nyaring sekali suara suling itu, peniupnya tentu seorang
yang pandai. Seperti ada daya tarik luar biasa pada suara suling itu. Kian Bu lalu bangkit berdiri dan
berjalan menuju ke arah suara itu. Sementara itu, bintang bintang di langit mulai nampak lebih terang
karena langit makin tua warnanya, dan bintang-bintang itu kelihatan seperti permata-permata indah
tergantung pada beludru hitam yang bersih. Tidak begitu gelap keadaan di tempat itu sehingga Kian Bu
dapat melihat seorang kakek yang duduk bersandarkan batang pohon dan meniup suling.
Suara suling itu terhenti seketika dan kakek itu meloncat, di tangan kanannya nampak sebatang tongkat
dan sebatang suling yang putih berkilau, yang telah diselipkan di ikat pinggangnya. Kakek itu tinggi kurus
dan usianya tentu sudah enam puluh lima tahun lebih. Sikapnya agung dan gagah ketika dia berdiri dengan
kaki yang terpentang lebar, tongkatnya melintang dan kedua matanya memandang Kian Bu penuh
perhatian dan kecurigaan.
“Siapa kau? Mau apa naik ke bukit ini yang berada di bawah kekuasaan kami? Hayo cepat kau pergi dari
sini sekarang juga!” bentak kakek itu.
Kian Bu mengerutkan alisnya. “Apakah engkau ini yang dinamakan orang di bawah sana sebagai kakek
dewa?” tanyanya.
Kakek itu mendengus dan menggerakkan tongkatnya yang panjang. “Kalau benar mau apa?”
“Hemmm, kalau benar begitu, namamu saja kakek dewa, akan tetapi sikapnya lebih menyerupai kakek
iblis.”
“Bocah keparat! Berani engkau memaki Gin-siauw Lo-jin (Kakek Suling Perak)? Hayo pergi, aku masih
sabar dan dapat mengampunimu. Aku tidak mau ribut dengan seorang bocah masih ingusan.”
Kian Bu yang memang sedang murung itu, menjadi marah. “Kakek sombong, kalau aku tidak dapat
mengalahkan engkau lebih baik aku mati saja!”
Ucapan yang sebenarnya keluar dari hati yang kesal itu tentu saja membuat Gin-siauw Lo-jin menjadi
marah bukan main. “Bocah tak tahu diri! Pergi!” bentaknya, dan tangan kirinya menampar. Dia mengira
bahwa Kian Bu adalah seorang pemuda ugal-ugalan dari bawah gunung, maka dia bermaksud untuk
menampar pundaknya agar pemuda itu takut dan lari. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kagetnya
melihat pemuda itu tidak mengelak atau menangkis.
“Plakkk!” Tubuh kakek itu terhuyung dan hampir roboh! Maklumlah kakek itu bahwa dia berhadapan
dengan seorang pandai yang agaknya memang datang untuk mengacau, maka sambil berseru keras dia
sudah menggerakkan tongkat panjangnya menyerang.
“Wuuuuuttttt...! Wirrrrr...!”
Kian Bu juga kaget. Bukan main lihainya tongkat itu, gerakannya teramat cepat dan mengandung angin
pukulan yang dahsyat. Ternyata bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang benar-benar amat
lihai, maka dia pun tidak mau mengalah begitu saja. Cepat dia mengelak dan balas menyerang. Terjadilah
perkelahian yang seru dan kakek itu berkali-kali mengeluarkan seruan kaget ketika melihat betapa
tongkatnya membalik dan telapak tangannya panas ketika bertemu dengan lengan pemuda itu.
“Keparat!” bentaknya.
Dengan sepenuh tenaganya karena penasaran, dia mengarahkan hantaman tongkatnya pada kepala Kian
Bu. Sekali ini dia menyerang untuk membunuh! Kian Bu menanti sampai tongkat itu menyambar dekat,
kemudian dia menggerakkan kedua lengannya memapaki dari kanan kiri dengan gerakan menggunting.
“Krekkk-krekkkkk!” Tongkat panjang itu patah-patah menjadi tiga potong dan bagian tengahnya terlempar
jauh.
“Ehhhhhh...!” Kakek yang mengaku berjuluk Gin-siauw Lo-jin itu berseru keras saking kagetnya dan
marahnya.
Dia adalah murid pertama dari Sin-siauw Sengjin (Kakek Dewa Seruling Sakti) yang menjadi ahli waris dari
pendekar sakti Suling Emas, dan tongkatnya itu adalah sebuah benda pusaka yang selama puluhan tahun
dunia-kangouw.blogspot.com
berada di dalam tangannya dan belum pernah terkalahkan. Akan tetapi kini patah menjadi tiga bertemu
dengan lengan pemuda ini! Tentu saja dia menjadi penasaran, malu dan hal ini membuat ia marah bukan
main.
Kemarahan sudah pasti timbul karena penonjolan kepentingan pribadi tersinggung, dan penonjolan
kepentingan pribadi selalu mengejar kesenangan baik lahir mau pun batin. Salah satu di antara
kesenangan batin adalah bayangan betapa pandainya diri sendiri. Membayangkan bahwa diri sendiri
pandai, gagah perkasa, berkuasa dan sebagainya adalah menyenangkan dan kalau bayangan ini dirusak
oleh kenyataan, maka akan menjadi marahlah batin.
Demikian pula halnya kakek Gin-siauw Lo-jin itu. Selama ini dia merasa dirinya sangat hebat, tongkatnya
amat hebat, akan tetapi kenyataan bahwa tongkatnya patah-patah bertemu dengan lengan pemuda itu
membuatnya marah bukan main.
“Bocah setan, engkau datang mengantar nyawa!” serunya dan nampak berkelebat sinar putih ketika dia
mencabut suling perak dari ikat pinggangnya.
Ketika dia dan Suma Kian Lee, kakaknya, meninggalkan Pulau Es untuk pergi ke kota raja mencari encinya,
yaitu Puteri Milana, oleh ayah ibu mereka di Pulau Es, mereka dilarang membawa senjata. Dan
memang dua orang pemuda Pulau Es itu tidak lagi membutuhkan senjata. Seorang yang sudah memiliki
ilmu kepandaian setingkat mereka memang sebenarnya tidak memerlukan lagi senjata.
Selain kedua lengan dan kedua kaki mereka merupakan senjata yang ampuh, bahkan setiap buah jari
tangan mereka merupakan senjata ampuh, juga setiap benda yang mereka temukan dapat saja mereka
pergunakan sebagai senjata. Kini, melihat kakek itu mencabut suling perak yang tadi ditiupnya, Kian Bu
bersikap waspada. Dia adalah seorang yang sedang tenggelam ke dalam kekecewaan dan kedukaan,
tentu saja melihat orang yang dianggapnya keterlaluan itu dia menjadi marah.
“Sing-sing-singgggg...!”
Sinar perak berkelebatan seperti kilat yang menyambar-nyambar dahsyat, disertai bunyi berdesingan yang
nyaring.
“Bagus!” Kian Bu berseru kagum karena memang hebat gerakan suling itu.
Cepat dia mengelak ke sana-sini dan kemudian terkejutlah dia ketika dia melihat cara suling itu digerakkan.
Dia mengenal gerakan itu. Cepat dia menghindarkan diri dan karena penasaran dia tidak balas menyerang
melainkan mengelak ke sana-sini untuk mempelajari gerakan lawan lebih lanjut. Tidak salah lagi, itulah
gerakan dari jurus-jurus Pat-sian Kiam-hoat!
Dan ilmu ini adalah sebuah di antara ilmu-ilmu keistimewaan kakaknya, Suma Kian Lee, yang mewarisinya
dari ibunya, yaitu Lulu yang pernah menjadi ketua Pulau Neraka, bahkan yang mewarisi kitab-kitab ilmu
silat peninggalan pendekar sakti Suling Emas! Dia sendiri mengenal dan dapat memainkan Ilmu Pat-sian
Kiam-hoat karena selain dia menerima petunjuk dari ibu tirinya itu, juga ibunya sendiri, Puteri Nirahai
adalah seorang wanita yang serba bisa dan telah mempelajari semua Ilmu, termasuk ilmu dari Suling Emas
ini!
Setelah kakek itu menyerangnya sampai sepuluh jurus dan dia yakin bahwa ilmu yang dimainkan itu
adalah Pat-sian Kiam-hoat, dia meloncat ke belakang sambil berseru, “Bukankah yang kau mainkan itu
Pat-sian Kiam-hoat?”
Kakek itu tertegun dan memandang kepadanya dengan heran, kemudian tersenyum mengejek karena
mengira bahwa pemuda yang lihai itu merasa takut. “Hemmm, kau sudah mengenal ilmu silatku yang
hebat? Bagus, kalau begitu lekas kau berlutut minta ampun dan mengenalkan dirimu agar engkau tak akan
menjadi setan penasaran tanpa nama, tewas di ujung suling mautku,” kata kakek itu yang merasa
mendapatkan kembali harga dirinya.
“Hemmm, maling hina! Dari mana engkau mencuri Ilmu Pat-sian Kiam-hoat?” Kian Bu membentak marah.
Kakek itu terkejut dan tentu saja dia menjadi marah sekali. Dikiranya pemuda itu menjadi gentar mengenai
ilmunya, tidak tahu malah menghinanya dan mengatakannya maling! Terngiang bunyi di dalam telinganya,
merah pandang matanya karena darahnya sudah naik ke kepala saking marahnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bocah lancang bermulut busuk, mampuslah!” bentaknya dan dia sudah menggerakkan lagi suling
peraknya, kini dengan gerakan yang lebih dahsyat lagi sampai suling itu mengeluarkan suara melengking
nyaring seperti ditiup mulut!
Kian Bu cepat mengelak, akan tetapi kini dia mengelak lalu membalas serangan lawan dengan pukulan
Swat-im Sin-ciang.
“Wusssss...!”
Kakek itu pun mengelak karena kaget sekali betapa hawa yang sedang menyambarnya membawa rasa
dingin yang menyusup tulang, lalu sulingnya kembali menghujankan serangan.
Pertandingan itu cukup hebat karena memang suling kakek itu amat lihai. Akan tetapi bagaimana pun juga,
dia bertemu dengan pemuda Pulau Es, putera Pendekar Super Sakti yang sudah memiliki tingkat
kepandaian tinggi sekali, maka lewat tiga puluh jurus lebih, hawa sakti dari Hwi-yang Sin-ciang yang panas
itu menyambar dadanya dan Gin-siauw Lo-jin berteriak keras dan roboh terguling dalam keadaan pingsan
dan dengan suling masih tergenggam tangan.
Kian Bu memandang tubuh yang rebah pingsan itu, diam-diam merasa heran bagai mana kakek ini dapat
menguasai ilmu simpanan dari ibu tirinya yang mewarisi ilmu-ilmu dari Suling Emas, kemudian dia
menghapus peluhnya dan pergi meninggalkan tempat itu. Dia sudah tidak mempedulikan lagi kakek itu
karena sudah mulai tenggelam lagi dalam kedukaannya.
Akan tetapi ketika dia berjalan di lereng bukit itu, di bawah sinar bintang-bintang di langit, peristiwa
pertemuannya dengan kakek yang pandai ilmu peninggalan Suling Emas itu membuat dia ingat kepada
Suma Kian Lee, kepada ibu tirinya, kepada ayah bundanya sendiri dan kepada Pulau Es dan bangkitlah
rasa rindu di dalam hatinya. Teringat kepada mereka semua yang tercinta membuat hatinya makin merasa
prihatin, merasa betapa sunyi hidupnya, betapa sengsara hatinya dan pemuda ini kemudian menjatuhkan
diri duduk di atas rumput, terasa lemah seluruh tubuh dan dia duduk bersemedhi sampai pagi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah disadarkan oleh kicau burung yang riang gembira
menyambut datangnya pagi hari yang cerah dan indah. Akan tetapi tidak terasa keindahan itu di hati Kian
Bu yang sedang gundah gulana. Dia teringat akan kakek yang dirobohkannya semalam dan hatinya segera
merasa menyesal. Tidak ada persoalan hebat antara dia dan kakek itu, akan tetapi dia telah
merobohkannya dan meninggalkannya rebah pingsan. Jangan-jangan kakek yang sudah tua itu akan
tewas karenanya. Dia menyesal sekali. Bukan wataknya untuk membunuh orang begitu saja, padahal tidak
ada persoalan penting di antara mereka. Teringat akan ini Kian Bu cepat bangkit dan pergi mendaki bukit
itu lagi menuju ke tempat di mana dia berkelahi dengan kakek itu semalam.
Akan tetapi ketika dia tiba di tempat itu, di situ sunyi saja dan kakek itu sudah tidak ada lagi di tempat dia
rebah semalam. Yang ada hanya burung-burung beterbangan sambil berkicau riuh-rendah. Padahal dia
tahu betul bahwa di situ tempatnya, bahkan tongkat panjang yang patah-patah milik Gin-siauw Lo-jin pun
masih berada di situ. Agaknya kakek itu sudah siuman lalu pergi dari situ. Kian Bu menarik napas lega.
Baik kalau kakek itu tidak mati!
Tetapi belum puas hatinya jika belum dapat bertemu untuk menyatakan penyesalannya dan minta maaf.
Lebih baik dia berkenalan dengan kakek itu dan bertanya secara baik baik tentang Ilmu Silat Pat-sian
Kiam-hoat itu. Siapa tahu masih ada hubungan atau pertalian perguruan antara kakek itu dengan ibu
tirinya! Kalau memang benar demikian, bukankah berarti bahwa dia telah merobohkan kerabat atau kawan
sendiri? Dia merasa makin menyesal dan mulailah dia mencari-cari di sekitar tempat itu. Akan tetapi sunyi
saja di sekeliling situ, sunyi yang amat indah karena pagi itu memang cerah sekali.
Tiba-tiba dia mendengar suara orang bersenandung, lapat-lapat terdengar olehnya. Cepat Suma Kian Bu
melangkah menuju ke arah suara itu yang makin lama makin nyata. Kiranya itu adalah suara wanita yang
amat merdu dan kiranya bukan nyanyian yang disenandungkan itu, melainkan doa yang dinyanyikan
dengan suara yang amat merdu dan halus. Tak lama kemudian nampaklah orangnya yang berdoa itu dan
kiranya dia adalah seorang nikouw (pendeta Buddha wanita) yang sedang memetik daun obat.
Nikouw itu sudah tua, tentu sudah hampir enam puluh tahun usianya. Tubuhnya masih ramping, wajahnya
masih berkulit halus dan putih, masih nampak nyata bekas-bekas kecantikan seorang wanita, dan
sekarang wajah itu nampak agung dan suci, di bawah kerudung yang berwarna kuning. Seorang nikouw
dunia-kangouw.blogspot.com
tua yang berwajah lembut, yang memetik daun obat sambil berdoa, begitu bahagia nampaknya. Tiada
bedanya antara dia dan burung yang sedang berkicau di atas dahan pohon, asyik dengan keriangan
menyambut pagi yang indah!
Ah, nikouw itu agaknya tidak asing dengan tempat ini. Tentu dia tahu di mana dia dapat bertemu dengan
Gin-siauw Lo-jin! Berpikir demikian, Kian Bu lalu membalikkan tubuh hendak menghampiri, akan tetapi
pada saat itu, nikouw tadi pun agaknya sudah selesai memetik daun obat dan melangkah pergi. Dan
terkejutlah pemuda Pulau Es itu. Sekali berkelebat, nikouw tua itu seperti terbang saja cepatnya
meninggalkan tempat itu! Bukan main cepat dan ringannya gerakan kedua kaki nikouw itu yang seolaholah
dapat terbang di atas rumput, pergi sambil terus bersenandung!
Tentu saja Kian Bu menjadi kagum bukan main. Mengapa bermunculan begitu banyak orang pandai di
tempat ini, pikirnya. Gin-siauw Lo-jin itu sudah hebat, bahkan pandai memainkan ilmu silat tinggi Pat-sian
Kiam-hoat. Dan nikouw ini pun bukan main ilmu ginkang-nya, seolah-olah pandai terbang saja.
Dia menjadi penasaran dan mengerahkan ginkang-nya untuk lari mengejar. Akan tetapi, dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mendapat kenyataan bahwa dia tidak mampu menandingi
kecepatan gerakan nikouw itu!
Nikouw itu seperti terbang di atas rumput-rumput, mendaki bukit dan dia terus mengejar, mengerahkan
seluruh kepandaiannya karena Kian Bu merasa penasaran sekali. Dia telah dilatih ginkang oleh ayah dan
ibunya sendiri, padahal ayahnya adalah seorang ahli dalam Ilmu Soan-hong-lui-kun, yaitu gerakan kijang
yang kecepatannya tiada keduanya di dunia ini! Biar pun dia sendiri tidak mungkin dapat mewarisi Ilmu
Soan-hong-lui-kun yang hanya dapat dimainkan oleh seorang yang berkaki tunggal seperti ayahnya,
namun dia telah memiliki ginkang yang hebat, tidak kalah oleh kecepatan ibunya, Puteri Nirahai yang
terkenal itu. Namun, kini dia tidak mampu menyusul nikouw tua itu!
Kian Bu merasa malu dan heran sekali dan mengerahkan seluruh tenaganya, namun maklumlah dia bahwa
dia benar-benar jauh kalah cepat. Akan tetapi nikouw itu berhenti di dekat puncak bukit dan mulai memetik
daun-daun obat yang lain lagi, tetap sambil bersenandung seolah-olah larinya yang amat cepat tadi sama
sekali tidak membuatnya lelah, padahal Kian Bu sendiri agak terengah karena mengerahkan seluruh
tenaga. Teringatlah pemuda ini akan niatnya bertanya kepada nikouw itu tentang Gin-siaw Lo-jin. Kini lebih
mantap lagi hatinya bahwa dia harus minta maaf kepada kakek itu karena ternyata bahwa bukit ini benarbenar
dihuni oleh orang-orang pandai sekali.
“Maafkan saya, Suthai...“
Nikouw itu menoleh dan tiba-tiba saja wajahnya berubah pucat dan keranjang terisi daun obat itu terlepas
dari tangannya dan jatuh ke atas tanah, menggelinding sampai ke dekat kaki Kian Bu! Sejenak nikouw itu
hanya berdiri bengong memandang wajah Kian Bu, lalu dia berkata lirih, “Omitohud...!”
Seruan ini agaknya menyadarkannya dari kekagetan atau keharuan itu dan dia tersipu sipu memandang ke
arah keranjang yang isinya tumpah semua itu.
“Maaf, Suthai, saya telah mengagetkan Suthai...,“ kata Kian Bu yang cepat mengambil keranjang itu dan
mengumpulkan dauh-daun yang berserakan, lalu memasukkannya kembali ke dalam keranjang, serta
menyerahkannya kepada nikouw itu penuh hormat.
Nikouw itu memandang dengan mata tetap membayangkan keheranan dan penuh rasa tertarik,
memandang Kian Bu sejak tadi dari atas ke bawah, lalu menarik napas panjang dan bibirnya berkemakkemik
membaca doa yang tidak terdengar.
“Ah, tidak... sama sekali tidak. Sicu siapakah?” Suara itu halus sekali dan sinar mata itu penuh kelembutan
sehingga Kian Bu seketika merasa suka dan hormat sekali kepada nikouw tua ini.
Akan tetapi dia yang sudah melakukan kelancangan merobohkan orang di tempat yang dihuni orang-orang
pandai ini segera menjura tanpa berani memperkenalkan namanya, melainkan bertanya. “Kalau saya boleh
mengganggu kesibukan Suthai, saya ingin bertanya apakah Suthai tahu di mana saya dapat bertemu
dengan Gin-siauw Lo-jin?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Gin-siauw Lo-jin? Ahhh, di puncak itulah tempat tinggalnya,“ jawab nikouw itu sambil menuding ke arah
puncak bukit, tetapi matanya tetap saja tidak pernah meninggalkan wajah Kian Bu yang rambutnya panjang
terurai dan dibiarkan awut-awutan itu.
Kian Bu menjadi girang sekali dan kembali dia menjura, “Banyak terima kasih atas petunjuk Suthai, dan
sekali lagi maaf atas kelancangan saya mengganggu kesibukan Suthai.”
Setelah berkata demikian, pemuda itu lalu membalikkan tubuh dan berjalan mendaki puncak.
“Nanti dulu... Sicu... siapakah Sicu?” terdengar nikouw itu bertanya.
Kian Bu menoleh dan merasa tidak enak. Dia telah berbuat salah di tempat itu, bagai mana harus
memperkenalkan nama? Akan tetapi, nikouw itu demikian ramah dan halus budi, tidak mungkin pula tidak
menjawab. “Suthai, saya she Suma..., maaf!”
Dia lalu melanjutkan perjalanan dengan cepat naik ke atas puncak. Sama sekali dia tak tahu betapa
jawaban itu membuat nikouw ini kembali menjadi pucat sekali wajahnya, matanya terbelalak dan tangan
kirinya otomatis menyentuh dada kiri.
“Omitohud... omitohud... omitohud...“ berulang-ulang ia memuji dan tidak mempedulikan lagi keranjangnya
yang jatuh untuk kedua kalinya. Kini dia telah melangkah perlahan lahan naik ke puncak, sepasang
matanya memandang ke arah bayangan Kian Bu dan mulutnya masih terus menyerukan pujian untuk Sang
Buddha.
Sementara itu, Kian Bu sudah mendaki puncak dengan cepat dan tibalah dia di depan sebuah rumah yang
besar dan kuno. Rumah itu kelihatan sunyi saja seperti tidak ada penghuninya, akan tetapi ketika dia
menghampiri pintu depan, terdengarlah suara dari dalam, suara yang berwibawa dan mengandung tenaga
khikang amat kuat, “Inikah pemuda yang kau ceritakan itu?”
“Benar, Suhu.”
Kian Bu terkejut. Suara yang menyebut ‘suhu’ itu adalah suara Gin-siauw Lo-jin! Dan kini keluarlah dua
orang dari dalam rumah kuno itu yang bukan lain adalah Gin-siauw Lo-jin bersama seorang kakek yang
lebih tua lagi, yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh lima tahun, namun masih bersikap agung dan
gagah. Kian Bu merasa tidak enak sekali melihat dua orang kakek itu memandang padanya dengan muka
membayangkan kemarahan, maka cepat-cepat dia menjura dengan sikap hormat.
“Locianpwe, saya Suma Kian Bu datang untuk minta maaf atas semua kejadian malam tadi,” katanya dan
ucapan ini ditujukan kepada Gin-siauw Lo-jin.
Akan tetapi yang menjawabnya adalah kakek yang lebih tua itu, yang berkata dengan suara kereng,
“Orang muda, semalam kau telah mengalahkan muridku yang pertama, berarti bahwa engkau sungguh
sangat lihai. Dan sekarang engkau muncul pula di sini, sungguh engkau bernyali besar. Apakah engkau
hendak menyatakan bahwa engkau berani pula bertanding ilmu melawan kami yang mewarisi ilmu dari
pendekar maha sakti Suling Emas?”
Kian Bu mengerutkan alisnya. Dia telah merendahkan diri, telah mengalah dan datang untuk minta maaf,
akan tetapi ucapan dari kakek tua ini sungguh di luar dugaannya. Tersembunyi kesombongan besar dalam
ucapan itu! Dan juga dia merasa penasaran dan curiga. Bukankah pewaris ilmu-ilmu dari Suling Emas
adalah orang tuanya di Pulau Es? Bukankah kitab-kitab ilmu dari pendekar Suling Emas terjatuh ke tangan
ibu Lulu, ibu tirinya dan bahkan pusaka suling emas menurut ibunya pernah dipakai sebagai senjata oleh
ibunya sendiri? Mengapa kakek ini sekarang mengaku sebagai pewaris pusaka Suling Emas? Namun,
sebagai seorang pemuda yang terdidik baik, dia masih mampu menahan diri.
“Maaf, Locianpwe, saya datang bukan untuk mengajak bertanding ilmu dengan siapa pun juga,” jawabnya
dengan suara agak kaku.
“Hemmm, kalau begitu kau takut?”
Sepasang mata Kian Bu bersinar dan mengandung kemarahan ketika dia memandang kepada kakek tua
itu. Benar-benar besar kepala dan sombong si tua bangka ini, pikirnya gemas.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak ada persoalan takut atau berani, Locianpwe. Saya datang untuk menyatakan penyesalan saya atas
peristiwa yang terjadi semalam dan saya mau minta maaf.”
“Hayo lekas berlutut dan minta ampun dengan pai-kwi (menyembah dengan berlutut) sebanyak delapan
kali, baru kami pikir-pikir apakah dapat mengampunimu!” Kakek itu membentak lagi.
Berkobar kemarahan di dalam hati Kian Bu. Dia mengangkat dada dan berdiri dengan sikap menantang.
“Saya Suma Kian Bu selama hidup tidak pernah bersikap pengecut! Saya selalu berani menanggung
semua perbuatan saya. Jangan harap Locianpwe akan dapat melihat saya merendahkan diri seperti itu!”
“Ha, kau menantang?”
“Terserah penilaian Locianpwe kepada saya.”
“Orang muda, engkau memang bernyali besar. Hemmm, engkau tak tahu dengan siapa engkau
berhadapan. Aku adalah Sin-siauw Sengjin, dan dia ini adalah muridku yang pertama. Aku adalah pewaris
dari pendekar maha sakti Suling Emas dan biasanya, sekali aku turun tangan tentu lawanku akan mati.
Tetapi, aku masih menaruh kasihan kepadamu...“
“Cukup, Locianpwe. Aku tidak takut akan segala ancaman, tidak takut mati. Akan tetapi tentang mewarisi
pusaka pendekar Suling Emas, hal itu kiranya masih harus diselidiki lebih dulu! Kalau memang benar
pusaka itu ada pada tangan Locianpwe, maaf kalau saya berani mengatakan bahwa Locianpwe tentu telah
mencurinya!”
“Keparat!” Gin-siauw Lo-jin marah sekali dan sudah menerjang maju dengan pukulan tangan kanan.
“Desssss...!”
Tubuh Gin-siauw Lo-jin terpental dan tentu dia sudah terbanting ke atas tanah kalau saja tangan kiri Sinsiauw
Sengjin tidak diulur dan dengan cekatan sekali kakek ini menangkap leher baju muridnya dan
mencegah muridnya terbanting. Gerakan kakek itu cepat sekali sehingga mengagumkan Kian Bu,
sebaliknya Sin-siauw Sengjin juga terbelalak melihat betapa tangkisan orang muda itu membuat muridnya
terpental!
“Orang muda, engkau benar-benar berani sekali. Terpaksa aku tidak memandang lagi usia, dan bersiaplah
untuk menandingi pewaris ilmu-ilmu Suling Emas!”
Orang ini terlalu menonjol-nonjolkan diri sebagai pewaris Suling Emas, pikir Kian Bu dengan hati
mendongkol. Jelas bahwa dia telah mengaku-aku saja, atau kalau melihat betapa muridnya dapat mainkan
Pat-sian Kiam-hoat, agaknya kakek ini telah mencuri kitab-kitab itu dari Pulau Es!
“Baiklah, ingin aku melihat sampai di mana kehebatan ilmu-ilmu yang palsu itu.”
Sin-siauw Sengjin sudah marah sekali dan karena dia maklum betapa lihainya pemuda itu, maka dia sudah
mencabut suling emas yang terselip di pinggangnya dan menerjang maju.
“Swinggggg... singgggg...!”
Kian Bu terkejut. Sinar emas berkilauan itu memang hebat bukan main dan matanya terbelalak
memandang ke arah suling emas di tangan kakek itu yang tadi hampir saja mengenai kepalanya kalau saja
dia tidak cepat-cepat mengelak. Dari mana kakek ini mendapatkan senjata pusaka ampuh itu? Apakah
benar itu suling emas, senjata dari pendekar sakti Suling Emas ratusan tahun yang lampau, seperti yang
diceritakan oleh ibunya?
Akan tetapi dia tidak diberi kesempatan untuk berheran-heran lebih lama lagi karena sinar emas itu
bergulung-gulung dan sudah menerjangnya dari segala jurusan dengan amat dahsyat! Kian Bu cepat
mengelak dan membalas dengan melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang tidak kalah dahsyatnya.
Namun ternyata kakek itu gesit sekali, juga ketika dengan lengan kiri menangkis, dari lengannya
menyambar hawa sinkang yang amat kuat, bahkan tidak kalah kuatnya dari tenaga sinkang yang dikuasai
oleh Kian Bu sendiri sehingga keduanya terhuyung ke belakang! Kakek itu makin terkejut, akan tetapi juga
Kian Bu merasa kaget dan berhati-hati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Makin lama, makin terheran-heranlah Kian Bu melihat betapa kakek itu dengan suling emasnya
memainkan ilmu-ilmu yang dikenalnya sebagai Pat-sian Kiam-hoat, Lo-hai Kun-hoat, dan akhirnya suling
itu mengeluarkan bunyi melengking dan mendengung dengung seperti ditiup orang ketika kakek itu
membuat gerakan corat-coret aneh sekali.
Kian Bu mengenal gerakan ini sebagai ilmu mukjijat Hong-in Bun-hoat, ilmu yang amat ampuh dari
pendekar Suling Emas, yang amat sukar dipelajari, bahkan ibu tirinya, Lulu sendiri pun belum dapat
menguasainya secara sempurna! Ilmu ini didasari kepandaian sastra, kepandaian menulis huruf indah dan
dari gerakan corat-coret huruf inilah maka diciptakan ilmu silat yang amat mukjijat ini.
“Kau… kau pencuri...!” teriaknya kaget.
Terpaksa dia harus mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena kakek itu ternyata amat lihai.
Setiap huruf yang digerakkan oleh sulingnya mengandung tenaga dahsyat dan mengeluarkan bunyi
lengkingan aneh sekali. Beberapa kali Kian Bu sampai terhuyung karena terdorong oleh hawa yang amat
tajam dan aneh. Dia sudah berusaha untuk membalas dengan pukulan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im
Sin-ciang secara berselang-seling, namun kakek yang lihai itu dapat pula menghindarkan diri.
Bukan main hebatnya pertandingan itu. Mati-matian dan seru, sama kuat dan seratus jurus lewat dengan
cepatnya. Kian Bu menjadi penasaran dan juga terheran-heran. Tidak banyak dia menemui lawan berat
selama perantauannya, dan ternyata kakek ini hebat sekali, sungguh pun dia masih tidak percaya bahwa
ilmu-ilmu Suling Emas yang dimainkannya itu adalah ilmu-ilmu yang asli, karena pada dasarnya terdapat
beberapa perbedaan dengan ilmu-ilmu yang dikenalnya sebagai ilmu-ilmu peninggalan dari Suling Emas.
Menurut ibunya, kemukjijatan Ilmu Hong-in Bun-hoat terletak pada bunyi suling yang ketika dimainkan
seperti ditiup orang dan mengeluarkan lagu yang amat indah dan hal ini amat mempengaruhi lawan. Akan
tetapi, walau pun suling emas di tangan kakek ini juga mengeluarkan suara melengking-lengking dan
seperti berlagu, namun sama sekali tidak dapat disebut indah karena bagi telinganya terdengar sumbang!
Betapa pun juga, harus diakuinya bahwa sukar baginya untuk dapat mengimbangi kecepatan kakek itu dan
dia mulai terdesak hebat.
Maklum bahwa kalau dilanjutkan, tentu dia yang akan celaka akibat kalah cepat oleh gerakan suling, maka
Kian Bu kemudian mengambil keputusan untuk menggunakan pukulannya yang paling ampuh dan paling
hebat. Kalau dia tidak dapat merobohkan lawan, tentu dia yang akan roboh. Gulungan sinar emas itu
terlalu cepat baginya!
Maka tiba-tiba pemuda ini lalu mengeluarkan pekik dahsyat yang melengking nyaring, kemudian kedua
tangannya mendorong ke depan dengan inti tenaga sinkang yang bertentangan, yaitu yang kanan
melancarkan pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas sedangkan sedetik kemudian yang kiri mendorong
dengan pukulan Swat-im Sin-ciang. Bukan main hebatnya dua pukulan ini yang sedemikian hebatnya
sehingga pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang panas itu mampu untuk memukul hangus lawan, sedangkan
pukulan Swat-im Sin-ciang yang amat dingin dapat membikin beku darah dalam tubuh lawan.
“Ihhhhh...!” Kakek itu berseru keras.
Dia pun mendorongkan kedua lengannya untuk menahan serangan hawa pukulan mukjijat itu, dan
sulingnya dia sambitkan ke depan pada saat dia mendorongkan kedua tangannya. Suling Emas itu
meluncur melalui bawah lengan kiri Kian Bu seperti kilat menyambar.
“Desssss... tukkkkk...!”
Tubuh kakek itu terlempar ke belakang dan dia menggigil, sedangkan Kian Bu sendiri terpelanting dan
roboh terguling karena suling itu dengan kuatnya telah menotok ketiak kirinya sehingga dia roboh dan
merasa betapa separuh tubuhnya yang kiri menjadi lumpuh sama sekali!
“Ughhh... ughhh...!” Sin-siauw Sengjin terbatuk dan dia muntahkan darah segar, akan tetapi dia segera
memejamkan mata dan mengatur pernapasan sehingga sebentar saja pulih kembali kekuatannya. Dia
membuka mata dan menghampiri Kian Bu yang masih rebah miring dengan sinar mata penuh keheranan
dan penasaran. Suling Emasnya yang menggeletak di atas tanah, lalu dipungutnya kembali dan diamatamatinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Saya... saya... mengaku kalah, akan tetapi... tunggu lima tahun lagi... saya pasti akan mencari Locianpwe
dan membuat perhitungan... ahhhhh...,“ Kian Bu mengeluh karena totokan itu hebat bukan main dan
agaknya bukan hanya menghentikan jalan darahnya, melainkan merusak banyak jalan darah di tubuhnya
yang sebelah kiri.
Mendengar ucapan Kian Bu itu, Sin-siauw Sengjin mendengus, lalu dia berkata, “Orang muda ini terlalu
berbahaya...,” seperti berkata kepada muridnya atau kepada dirinya sendiri, lalu nampak sinar emas
berkelebat dan sulingnya sudah menyambar ke arah tubuh Kian Bu yang sudah tidak berdaya itu.
Kian Bu berusaha menangkis dengan tangan kanannya yang masih dapat digerakkan, namun suling yang
mengarah ke kepala itu tertangkis meleset dan masih mengenai tengkuknya.
“Desss...!” Kian Bu mengeluh dan roboh pingsan!
“Omitohud...!” Sesosok bayangan berkelebat dan demikian cepat gerakan bayangan ini sehingga tahu-tahu
nikouw itu telah berada di situ, berlutut dan memeluk tubuh Kian Bu yang sudah tidak bergerak lagi, dari
mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah!
Kakek itu dan muridnya terkejut, akan tetapi segera mengenal siapa adanya orang yang demikian cepat
gerakannya itu. Sin-siauw Sengjin kemudian berkata, “Kiranya Kim Sim Nikouw dari Kwan-im-bio. Hemmm,
mengapa kau mencampuri urusan kami?”
“Siancai… siancai… siancai...!” Kim Sim Nikouw berkata halus. “Seorang yang gagah perkasa seperti
Locianpwe, mengapa bisa berlaku rendah, menyerang orang yang sudah tidak berdaya lagi? Mengapa di
hari tua tidak mencari jalan terang, melainkan menambah kegelapan yang kelak hanya akan
menggelapkan perjalanan sendiri? Omitohud... semoga semua manusia sadar akan dosa-dosanya...
Omitohud...!”
Wajah kakek itu menjadi pucat, lalu merah dan tanpa berkata apa-apa dia memasuki rumah gedungnya,
diikuti oleh muridnya. Terdengar daun pintu dibanting keras dan nikouw itu lalu memondong tubuh Kian Bu
dan dibawa pergi. Agak berat juga baginya memondong tubuh pemuda itu, maka lalu dipanggulnya.
Dengan gerakan kaki yang cepatnya luar biasa, nikouw itu lalu berlari seperti terbang menuju ke lereng
sebelah barat dari Gunung Tai-hang-san, tidak begitu jauh dari puncak bukit itu.
Perlahan-lahan Kian Bu membuka matanya akan tetapi lalu ditutupnya kembali karena pandang matanya
berkunang dan dia melihat cahaya merah kuning biru menari-nari menyilaukan matanya. Sentuhan jari
tangan halus di dahinya dirasakan hangat dan menenangkan, lalu dibukanya kembali kedua matanya.
Tubuhnya lemah sekali dan dia segera teringat akan keadaan dirinya. Dia teringat bahwa dia telah roboh
oleh Sin-siauw Sengjin. Tubuhnya mati sebelah!
Kini pandang matanya berusaha menembus kesuraman itu dan nampaklah segores wajah yang lembut,
sepasang mata yang memandangnya penuh kasih sayang. Mata ibunya? Siapa lagi orangnya yang
memiliki mata sebening dan seindah itu, semesra itu memandangnya kalau bukan mata ibunya? Siapa lagi
yang dapat mengangkatnya dari jurang maut kalau bukan tangan ibunya? Jari tangan siapa yang
menyentuh demikian halus dan lembutnya di dahinya tadi, yang mengusir semua kepeningan kalau bukan
jari tangan ibunya?
“Ibuuuuu...,” Dia memanggil dengan suara bisikan panjang.
Mulut itu tersenyum dan sepasang mata yang bening itu menjadi basah! Ibunya menangis? Belum pernah
dia melihat mata ibunya menjadi basah. Ibunya bukan orang cengeng, melainkan seorang wanita perkasa
yang belum pernah dilihatnya menangis!
Kian Bu membuka lebar matanya dan kini dia dapat melihat lebih terang. Kiranya bukan ibunya yang duduk
di tepi pembaringannya, melainkan seorang nikouw berkerudung kain kuning. Seorang nikouw yang pernah
dijumpainya di lereng bukit, nikouw pemetik daun obat yang memiliki ginkang amat luar biasa itu, yang
seolah-olah pandai terbang!
“Suthai...,” Kian Bu memanggil lirih.
“Omitohud... terima kasih kepada kemurahan Sang Buddha...! Engkau sudah siuman, Suma-sicu? Aihhh,
betapa khawatir hati pinni (aku) melihat engkau menggeletak begitu lama seperti... seperti... sudah tak
dunia-kangouw.blogspot.com
bernyawa lagi...,” Nikouw itu menghapus dua titik air mata dari bawah matanya dengan ujung lengan
bajunya yang panjang dan lebar.
Pada saat Kian Bu hendak bangkit duduk, dia mengeluh karena tubuhnya yang separuh tidak dapat
digerakkan. Nikouw itu lalu cepat mencegah dengan menggerakkan tangan dan memegang pundaknya,
merapatkan duduknya.
“Jangan bergerak dulu... lukamu amat parah dan hebat...”
“Ouhhhhh...!” Kian Bu mengeluh lagi. Kini pandang matanya sudah terang dan pulih kembali dan dia
teringat akan semuanya. “Sudah berapa lama saya berada di sini, Suthai?”
“Sudah tiga hari tiga malam engkau rebah tak bergerak, seperti mati. Syukur pagi hari ini kau siuman, itu
pertanda baik sekali.”
“Jadi... Suthai yang menolong saya...?”
Nikouw itu menaruh telunjuk ke depan mulut. “Sssttt... janganlah banyak bicara dulu, anakku. Kau harus
banyak beristirahat dan memulihkan kembali kesehatanmu. Jangan khawatir, selama berpuluh tahun ini
tidak percuma pinni mempelajari ilmu pengobatan. Pukulan keji Sin-siauw Sengjin tidak akan
membunuhmu. Pinni yang membawamu ke sini, anakku, dan sekarang beristirahatlah.”
Nikouw itu cepat mengambil sebuah mangkok dari meja dan membantu Kian Bu untuk bangkit duduk
dengan merangkul pundak pemuda itu dan memberinya minum tajin dari mangkok itu sampai habis.
“Nah, kau tidurlah sekarang, aku akan mengumpulkan dan memasak obat untukmu,” kata nikouw itu
setelah merebahkan kembali Kian Bu dan menyelimutinya. Kian Bu memaksa senyum dan memejamkan
matanya, sebentar kemudian dia pun sudah tidur pulas.
Beberapa hari kemudian, Kian Bu sudah sadar benar, namun tubuhnya masih setengah lumpuh. Meski dia
sudah dapat bangkit duduk namun dia belum dapat turun dan belum dapat menggerakkan kaki dan tangan
kirinya. Ketika pagi hari itu dia melihat nikouw itu datang dan seperti biasa melayaninya untuk makan
bubur, buang air dan sebagainya, Kian Bu tak dapat menahan rasa keharuan dan terima kasihnya. Ingin
dia menjatuhkan diri berlutut di depan nikouw itu, namun kaki kirinya tidak mengijinkannya. Melihat setiap
hari nikouw itu merawatnya, membuangkan air kencing dan kotorannya, membersihkan tubuhnya,
menyuapkan makanan, memberi obat, sungguh tak ubahnya seperti seorang ibu sendiri! Dan nikouw itu
selalu menyebutnya ‘anakku’!
“Nah, sekarang bahaya telah lewat!” pada pagi hari itu nikouw tua itu berkata dengan wajah berseri.
“Engkau sudah tidak terancam maut lagi dan kini tinggal memulihkan tenaga.”
“Akan tetapi kaki tangan kiri saya belum dapat bergerak...”
“Jangan khawatir. Memang pukulan-pukulan itu hebat sekali, dapat menghancurkan seluruh rangkaian
urat-uratmu. Untung Swat-im Sin-kang di tubuhmu melindungimu, anakku. Pinni yakin engkau akan
sembuh kembali sama sekali.”
“Betapa, besar budi Suthai kepada saya...” Kian Bu berkata dan matanya terasa panas karena dia merasa
terharu sekali.
Nikouw tua itu kini duduk di tepi pembaringan dan memegang lengannya. “Sekarang engkau sudah tidak
terancam bahaya. Bolehlah kita bicara. Suma Kian Bu, katakanlah sejujurnya, siapa nama ayahmu?”
“Ayah? Ayah bernama Suma Han...”
“Han Han... ahhh, sudah kuduga... wajahmu, sikapmu... dan Swat-im Sin-ciang itu...! Dugaanku tidak
salah... ahhh, Han Han...” Dan nikouw itu menghapus air matanya, mulutnya tersenyum ketika dia
memandang pemuda itu melalui air matanya. “Engkau puteranya! Hemmm, sudah pinni duga dan engkau
juga anakku, Suma Kian Bu, engkau anakku...”
“Apa maksudnya ini, Suthai?” Kian Bu bertanya penuh keheranan. Dia adalah anak Suma Han dan Puteri
Nirahai, mengapa nikouw ini mengaku dia sebagai anaknya?
dunia-kangouw.blogspot.com
Nikouw itu kembali menghapus air matanya dan melihat betapa mulutnya tersenyum di antara tangisnya,
mengertilah Kian Bu bahwa tangis wanita itu bukan karena berduka, melainkan karena terharu dan
gembira!
“Jangan salah mengerti anakku. Tentu saja engkau anak dari Suma Han dan... ehhh, siapa ibumu?”
“Ibu adalah Puteri Nirahai.”
“Hemmm, pantas... pantas...! Kuulangi lagi, janganlah kau salah mengerti. Tentu saja engkau anak ayah
bundamu itu, dan aku... aku hanyalah bekas sahabat baik ayahmu, bahkan dahulu... dahulu sekali…
puluhan tahun yang lalu, saat namaku masih Kim Cu, di antara ayahmu dan aku masih ada pertalian
saudara seperguruan. Karena itu aku mengenal pukulan Swat-im Sin-ciang yang kau gunakan tadi. Dan
dahulu... dahulu... sekali... aku dan ayahmu senasib sependeritaan, dan aku... aku mencintanya. Namun
nasib memisahkan kami, dan kini nasib pula yang mempertemukan aku dengan engkau, puteranya!
Karena engkau adalah puteranya, maka engkau seakan-akan juga anakku sendiri, Kian Bu.”
Kian Bu mendengarkan penuh keharuan. Nikouw ini pada waktu mudanya tentu cantik jelita. Dan mencinta
ayahnya! Akan tetapi mereka dipisahkan oleh nasib!
“Bagaimana keadaan ayahmu, Kian Bu?” tanya nikouw itu sambil mengusap air mata untuk ke sekian
kalinya.
“Baik, Suthai. Baik sekali. Ayah dan ibu dan semua keluarga berada di Pulau Es, dan saya... telah
beberapa lama meninggalkan Pulau Es.”
“Jadi ayahmu hidup bahagia?”
Kian Bu mengangguk.
“Terima kasih kepada Sang Buddha yang maha kasih!” Nikouw itu berseru. “Betapa bahagianya
mendengarkan dia dalam keadaan sehat dan bahagia!”
Kian Bu memandang wanita itu dan ada sesuatu yang membuatnya terharu sekali, dan yang memaksanya
bertanya, “Di wakktu muda dahulu, Suthai... mencinta ayahku?”
Nikouw itu memandangnya, mengangguk dan menarik napas panjang. “Sampai detik ini tak pernah aku
berhenti mencintanya.”
“Dan ayah... apakah ayah juga membalas cinta kasih Suthai?”
Nikouw itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Dia suka dan kasihan kepadaku, akan tetapi cinta?
Mungkin sekali, ya, aku yakin bahwa dia tidak mencintaku seperti aku mencintanya...”
“Dan Suthai tidak menderita sengsara? Tidak berduka, bahkan bergembira mendengar berita tentang
ayah?” Kian Bu makin terheran.
“Puluhan tahun aku telah menderita, akan tetapi sudah lama pinni sadar bahwa semua penderitaan itu
bukanlah akibat cinta, melainkan akibat dari iba diri. Seorang yang mencinta, barulah benar-benar
dikatakan bahwa cintanya itu murni, apa bila dia merasa bergembira kalau melihat orang yang dicintanya
itu bahagia, baik orang itu menjadi jodohnya atau pun tidak. Pinni gembira mendengar dia bahagia, Han
Han seorang yang amat baik...,” dan dia berhenti sebentar. “Entah berapa puluh tahun setiap hari pinni
bersembahyang mohon belas kasihan dari Kwan Im Pouwsat agar kehidupan Han Han diberkahi dan dia
dapat hidup berbahagia. Ternyata doa pinni telah terkabul, dia hidup berbahagia dan mempunyai putera
yang seperti engkau. Tentu saja pinni merasa gembira sekali...”
“Ahhh, betapa mulia hatimu, Suthai. Cintamu terhadap ayah demikian suci murni... dan sekarang Suthai
telah menyelamatkan nyawa saya... ahh, bagaimana saya akan dapat membalas semua budi Suthai ini,
budi Suthai yang telah dilimpahkan dalam cinta kasih yang demikian suci murni terhadap ayah dan dalam
pertolongan kepada saya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Budi? Membalas budi? Omitohud... manusia selalu mengikat dan melibatkan diri dalam budi dan dendam,
itulah biang segala pertentangan! Tetapi, karena hal itu telah menjadi kebiasaan dalam kehidupan manusia
dan telah dianggap sebagai tingkat kemanusiaan, maka supaya hatimu jangan merasa penasaran dan
jangan merasa berhutang budi, baiklah kau balas dengan cara... mau kuanggap sebagai anakku.
Ketahuilah Kian Bu, ketika engkau baru siuman tempo hari dan menyebut ibu kepadaku, aku seperti lupa
diri, lupa bahwa aku adalah seorang nikouw, dan aku merasa seakan-akan engkau adalah anakku sendiri.”
Kian Bu menggigit bibirnya. Bukan main wanita tua ini! Demikian halus perasaannya, demikian mulia
hatinya dan siapakah yang tidak akan merasa bangga kalau mempunyai seorang ibu seperti wanita tua ini?
Tanpa ragu-ragu dia lalu menggerakkan tangan kanannya menyentuh dada sambil berkata, “Ibu...”
Kim Sim Nikouw merangkulnya dan menangis!
Sampai lama nikouw itu menangis sambil memeluk Kian Bu, lalu dia dapat menekan perasaannya, duduk
dan dengan muka basah air mata namun bibirnya tersenyum dan sinar matanya bercahaya, dia mengelus
dahi pemuda itu. “Terima kasih, anakku, terima kasih. Percayalah, aku akan menyembuhkanmu, engkau
akan dapat bergerak lagi seperti sedia kala.”
“Terima kasih, Ibu. Akan tetapi sungguh aneh, aku belum mengetahui nama Ibu.”
Kian Bu tertawa, Kim Sim Nikouw juga tertawa dan suasana menjadi gembira.
“Dulu aku bernama Kim Cu, anakku, akan tetapi sekarang aku adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwanim-
bio ini dengan beberapa orang nikouw pembantu yang menjadi murid-muridku pula dalam hal
keagamaan dan melayani orang-orang yang datang untuk bersembahyang ke kuil ini.”
“Aku ingin sekali cepat sembuh, Ibu.”
“Jangan khawatir, akan tetapi kita harus bersabar, anakku. Kiranya tidak percuma aku mempelajari
pengobatan selama puluhan tahun ini.”
“Aku harus cepat sembuh agar dapat mencari Sin-siauw Sengjin,” kata Kian Bu sambil mengepal tinju
kanannya.
Kim Sim Nikouw mengerutkan alisnya dan memandang wajah anak angkatnya itu. “Kau mendendam
karena kekalahan itu dan hendak membalasnya?”
Kian Bu juga memandang dan ketika bertemu pandang mata yang sinarnya lembut dan penuh teguran itu,
dia cepat-cepat menggeleng kepalanya, “Tidak, Ibu. Bukan karena kekalahan itu, melainkan karena aku
harus merampas kembali kitab-kitab peninggalan pendekar sakti Suling Emas yang telah dicurinya.”
Kim Sim Nikouw membelalakkan matanya. “Apa maksudmu?”
“Jelas bahwa Sin-siauw Sengjin itu seorang penipu atau seorang pencuri. Dia dapat memainkan ilmu-ilmu
dari Suling Emas, padahal sepanjang pengetahuanku, ilmu-ilmu itu terjatuh ke tangan ibu tiriku yang
berada di Pulau Es. Tentu dia telah mencurinya, atau mungkin juga dia memalsukan ilmu-ilmu itu. Maka,
setelah sembuh aku harus menghadapinya lagi dan membongkar rahasia ini.”
Nikouw itu mengerutkan alisnya. “Ahh, dia amat lihai. Bahkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang
yang kau pergunakan pun tidak mampu mengalahkannya.”
“Betapa pun, setelah sembuh, akan kucoba lagi menandinginya, Ibu.”
“Kau dapat belajar, anakku! Dan jangan kira bahwa ibumu ini selama ditinggalkan oleh ayahmu puluhan
tahun ini hanya menganggur saja! Tidak, aku telah mempelajari teori ilmu-ilmu baru, anakku.”
“Aku telah melihat bahwa ginkang ibu amat luar biasa.”
“Itu satu di antaranya. Aku telah mempelajari ilmu meringankan tubuh itu dan telah menciptakan Ilmu Jouwsang-
hui-teng (Ilmu Terbang di Atas Rumput), akan tetapi itu belum dapat diandalkan untuk menandingi
kakek itu. Dahulu aku bersama ayahmu pernah mempelajari Ilmu Swat-im Sin-ciang dari Ma-bin Lo-mo,
dan aku tahu bahwa ayahmu telah pula mempelajari Ilmu Hwi-yang Sin-ciang yang menjadi lawannya. Biar
dunia-kangouw.blogspot.com
pun aku bukan ahli Hwi-yang Sin-ciang, namun aku tahu akan sifat-sifatnya dan aku telah mencoba untuk
menggabungkan kedua sinkang yang berlawanan itu. Aku sendiri tidak berhasil melatihnya, tetapi menurut
perhitunganku, maka baik Hwi-yang Sin-ciang mau pun Swat-im Sin-ciang tidak akan mampu
menandinginya.”
“Ah, kalau begitu Ibu harus mengajarkannya kepadaku!” Kian Bu berseru dengan girang sekali, akan tetapi
alisnya lalu berkerut karena ketika dalam kegirangannya itu dia mencoba bergerak, ternyata kaki tangan
kirinya masih lumpuh. “Ah, mana mungkin aku dapat belajar dalam keadaan begini?”
“Kau harus bersabar, anakku. Keadaanmu memang parah dan kurasa dalam waktu setahun barulah boleh
diharapkan engkau akan sembuh. Dan mempelajari Jouw-sang Hui-teng bukanlah hal yang mudah,
memerlukan waktu lama, latihan dan ketekunan. Apa lagi melatih penggabungan kedua sinkang yang
berlawanan itu. Aku sendiri sudah mencoba sampai belasan tahun, namun belum juga berhasil.”
“Ahhh, kalau begitu akan sukar sekali! Dan aku ingin secepatnya menemui Sin-siauw Sengjin!”
“Hemmm, lupakah kau bahwa engkau berjanji akan menemuinya lagi setelah lewat lima tahun?”
“Apa? Apakah maksudmu, Ibu?” Kian Bu berseru kaget.
Nikouw itu tersenyum. “Agaknya pukulan kakek itu hebat sekali hingga engkau sampai tidak ingat lagi apa
yang kau ucapkan. Engkau telah berjanji kepadanya bahwa engkau mengaku kalah dan dalam waktu lima
tahun lagi engkau akan membuat perhitungan.”
“Ahh, kenapa begitu lama?”
“Malah sebaiknya begitu, anakku. Engkau bisa menunggu sampai sembuh sama sekali, lalu engkau masih
banyak waktu untuk berlatih dan meningkatkan kepandaianmu agar kelak kalau engkau menghadapinya,
engkau tidak akan kalah lagi. Pula, janji seorang pendekar pasti tidak akan diingkari sendiri, bukan?”
Suma Kian Bu menarik napas panjang dan terpaksa dia membenarkan kata-kata ibu angkatnya itu dan
semenjak hari itu, dia dirawat dan diobati oleh Kim Sim Nikouw yang amat tekun itu…..
“Demikiahlah, Lee-ko, riwayatku semenjak kita saling berpisah dan itu pula sebabnya mengapa aku tidak
pernah pulang ke Pulau Es.” Kian Bu mengakhiri ceritanya. “Selama kurang lebih tiga tahun itu aku
memperdalam ilmu kepandaian di bawah pimpinan ibu angkatku itu, Kim Sim Nikouw, dan selain aku dapat
sembuh sama sekali, aku juga dapat menguasai Jouw-sang-hui-teng. Dari ilmu ginkang yang sudah
diajarkan oleh ibu angkatku ini, aku lalu menciptakan Ilmu Sin-ho-coan-in (Bangau Sakti Menerjang Mega),
yaitu ginkang istimewa itu kugabungkan dengan dasar-dasar gerakan dari ilmu ayah Soan-hong-lui-kun.”
Semenjak tadi Kian Lee mendengarkan penuh perhatian, dengan hati terharu dan kagum.
“Dan pukulanmu yang membuat tubuh seperti disiram air panas itu...?” tanyanya kagum.
“Itulah hasil dari melatih diri menggabungkan dua tenaga Hwi-yang Sin-ciang dengan Swat-im Sin-ciang,
yang teorinya diberikan oleh ibu angkatku. Memang amat sukar dan berbahaya sekali melatih
penggabungan itu sehingga engkau dapat melihat sendiri rambutku.”
“Hemmm, rambutmu lalu menjadi putih semua?” Kian Lee memandang kepala adiknya itu. “Itu disebabkan
melatih sinkang mukjijat itu?”
“Sebagian dari sebab itu, sebagian pula mungkin karena akibat pukulan Sin-siauw Sengjin, dan sebagian
pula karena kedukaan yang menyiksaku selama itu. Setelah selesai berlatih selama tiga tahun dan
berhasil, aku masih harus menanti dua tahun lagi untuk memenuhi janjiku terhadap Sin-siaw Sengjin. Maka
dalam waktu dua tahun itu aku berusaha untuk menentang kejahatan di sekitar daerah Ho-nan sehingga
banyak orang kang-ouw mulai mengenalku dan memberi julukan Siluman Kecil kepadaku.”
Kian Lee mengangguk-angguk. “Sudah lama aku mendengar dan mengenal namamu itu, Bu-te. Semenjak
aku mendengar nama itu memang aku sudah ingin sekali bertemu dengan orangnya, sungguh pun aku
sama sekali tidak menyangka bahwa engkaulah orangnya. Pertama-tama, aku ingin bertemu karena ketika
aku terancam bahaya, orang orang yang tunduk kepadamulah yang menolongku, dipimpin oleh Nona
Phang Cui Lan. Dan kedua kalinya aku ingin sekali bertemu dengan Siluman Kecil untuk menegurnya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Bu memandang kepada kakaknya dengan heran. “Menegurnya?”
“Benar, dan sekarang aku akan langsung menegurmu, Bu-te. Aku mengenalmu sebagai seorang yang
suka menggoda orang, terutama sekali kepada wanita. Akan tetapi apa yang kau lakukan terhadap Nona
Cui Lan sungguh keterlaluan!”
“Ehh, ada apa dengan dia?” Kian Bu bertanya dengan mata terbelalak.
“Dia seorang gadis yang begitu baik, lemah lembut, halus budi pekertinya, hatinya penuh dengan cinta
kasih yang murni terhadap dirimu, namun engkau melupakan dia begitu saja dan membiarkan dia merana.
Bagaimana engkau dapat bersikap demikian kejam terhadap seorang gadis yang sebaik dia, Bu-te?”
Kian Lee lalu menceritakan tentang pertemuannya dengan Cui Lan di istana Gubernur Ho-nan, kemudian
tentang keberanian gadis itu ketika menolong Gubernur Ho-pei dan ketika mengerahkan teman-teman
untuk menyelamatkannya, tentang pengakuan gadis itu kepadanya, akan cinta kasihnya terhadap Siluman
Kecil yang dinyatakan dalam nyanyiannya yang penuh kerinduan.
Mendengar semua penuturan Kian Lee yang disertai teguran keras itu, Kian Bu lalu menundukkan
mukanya dan berulang kali dia menarik napas panjang. Setelah Kian Lee berhenti bercerita dan
menegurnya, dia berkata, “Justeru karena aku tahu bahwa dia mencintaku maka aku sengaja menjauhkan
diriku, Koko. Aku sudah tahu dari semula ketika aku menolongnya bahwa gadis itu jatuh cinta kepadaku,
maka aku sengaja menjauhkan diri bahkan bersikap tidak manis kepadanya dengan maksud agar dia
membenciku karena hanya itulah yang kukira dapat mengobati cintanya yang hanya sepihak. Koko yang
baik, salahkah aku kalau Cui Lan jatuh cinta kepadaku? Salahkah aku kalau aku tidak dapat membalas
cintanya? Salahkah aku kalau sampai saat ini pun aku masih mencinta Syanti Dewi dan tidak mungkin
jatuh cinta kepada orang lain? Koko, apakah hanya untuk tidak merusak hati Cui Lan aku harus pura-pura
membalas cintanya dan bersikap palsu?”
Kian Lee menjadi terharu dan memegang tangan adiknya yang wajahnya menjadi agak pucat. Dia
menghela napas.
“Tentu saja tidak, adikku. Asal kau tidak mempermainkannya, dan mendengar ceritamu, agaknya memang
engkau tidak pernah menggodanya dan bukan salahmu kalau dia mencintamu tanpa dapat kau balas
karena engkau mencinta orang lain. Aihh, mengapa kita berdua menjadi korban cinta dan mengalami
banyak kesengsaraan karena cinta? Sungguh kasihan sekali Nona Phang Cui Lan, dan kasihan pula
engkau, adikku...”
“Lee-ko, tidak perlu engkau mengasihani dia atau aku. Dan setelah aku bertemu dengan ibu angkatku, Kim
Sim Nikouw, baru terbuka mataku bahwa memang selama ini kita berdua amat lemah, bahkan sampai saat
ini pun aku masih melihat kelemahanku sendiri dalam persoalan cinta. Kita sebenarnya bukanlah mencinta
orang lain, tetapi mencinta diri sendiri, Koko. Karena itulah maka kita menderita ketika orang yang kita cinta
tidak membalas cinta kita, dan kita berduka karena kita kehilangan orang yang kita cinta. Cinta kasih
seperti yang terdapat dalam hati ibu angkatku, itulah baru cinta kasih yang suci murni namanya, dan
sungguh ayah kita berbahagia sekali dicinta oleh seorang seperti ibu angkatku itu.”
“Memang luar biasa sekali Kim Sim Nikouw seperti yang kau ceritakan itu, adikku. Dan agaknya seperti dia
pulalah Nona Phang Cui Lan, dan mudah-mudahan dapat pula mengatasi tekanan batinnya karena cinta
tidak terbalas seperti nikouw itu. Dan aku girang mendengar bahwa engkau tidak menggodanya, Bu-te.”
“Ahh, aku bukan lagi adikmu yang suka menggoda orang seperti lima tahun yang lalu, Lee-ko. Aku sudah
cukup banyak menderita karena wanita, dan agaknya akan sukar bagiku untuk jatuh cinta lagi kepada
wanita lain.”
Biar pun mulutnya berkata demikian, namun tanpa disadarinya sendiri, tahu-tahu wajah Hwee Li yang
sangat cantik itu terbayang di depan matanya! Dia cepat melawan ini dengan kata-kata, “Dan aku akan
mencontoh ibu angkatku, aku akan berbahagia sekali kalau mendengar bahwa Syanti Dewi dapat hidup
berbahagia di samping orang yang dicintanya, yaitu Ang Tek Hoat. Kasihan dia, mungkin dia belum tahu
bahwa ibunya telah tewas oleh orang-orang Bhutan.” Dia lalu menceritakan lagi tentang wanita gila, bekas
pelayan dari Ang Siok Bi, ibu Ang Tek Hoat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar penuturan ini, Kian Lee menarik napas panjang. “Sungguh aku khawatir sekali bahwa
kenyataannya tidak seperti yang kau harapkan itu, adikku.”
“Apa maksudmu, Lee-ko?”
“Tentang kebahagiaan Syanti Dewi di samping Tek Hoat itu. Belum lama ini telah aku bertemu dengan Ang
Tek Hoat, dan agaknya dia telah tersesat lagi. Dia membantu orang-orang jahat, bahkan dia tidak segansegan
untuk mengeroyok aku di tempat kediaman penjahat-penjahat.”
Kian Lee lalu menceritakan semua pengalamannya, mengenai perjalanannya mencari adiknya itu, lalu
pertemuannya dengan Jenderal Kao Liang dan dua orang puteranya yang menyerangnya dan
menuduhnya mencuri harta pusaka Jenderal Kao dan juga menculik keluarganya. Kemudian tentang
pengalamannya ketika dia berada di istana Gubernur Ho-nan, dan selanjutnya ketika dia mengawal Phang
Cui Lan dan Gubernur Ho-pei sampai pertemuannya dengan Tek Hoat dan dia dikeroyok dan dirobohkan.
Mendengar cerita kakaknya itu, bermacam perasaan mengaduk di hati Kian Bu. Dia terharu sekali
mendengar akan sepak terjang Phang Cui Lan yang patut dipuji, dan dia marah dan khawatir mendengar
betapa Ang Tek Hoat membantu Hek-eng-pangcu, dan betapa Tek Hoat telah menjatuhkan fitnah kepada
dirinya yang dikatakan merampas harta benda keluarga Kao Liang. Akan tetapi kekhawatirannya lebih
besar dari pada kemarahannya terhadap Tek Hoat, yaitu khawatir tentang diri Syanti Dewi.
“Apakah yang telah terjadi dengan Syanti Dewi?” katanya dengan alis berkerut. “Andai kata Syanti Dewi
berada di sisi Ang Tek Hoat, tidak mungkin orang itu melakukan penyelewengan! Kalau Tek Hoat sudah
kumat lagi gilanya, hal itu tentu berarti bahwa Syanti Dewi tidak lagi berada di dekatnya. Tentu telah terjadi
sesuatu!” Dia mengepal tinju dan kelihatan gelisah. “Dan aku sendiri yang akan menghajar Tek Hoat kalau
dia menghancurkan kehidupan Syanti Dewi!”
“Tenanglah, Bu-te. Dalam keadaan seperti kita sekarang ini yang belum tahu semua persoalannya, tidak
baik untuk mengambil kesimpulan-kesimpulan dan dugaan-dugaan, apa lagi mengandung kemarahan di
dalam hati terhadap seseorang. Bahkan aku sendiri yang sudah dia jatuhkan dalam pengeroyokan, aku
masih ingin tahu mengapa dia melakukan hal itu, karena aku yakin bahwa tentu ada sesuatu yang
mendorongnya berbuat demikian.”
“Hemmm, aku sudah tahu bahwa dia jahat, Koko. Tetapi...” Kian Bu tidak melanjutkan kata-katanya karena
dia maklum bahwa Tek Hoat adalah keponakan kakaknya ini, keponakan langsung dari ibunya, karena Tek
Hoat adalah cucu kandung dari ibu Kian Lee. Karena teringat akan hal ini maka dia diam saja.
Mereka kemudian saling menceritakan pengalaman masing-masing selanjutnya. Kian Bu bercerita tentang
pembalasannya yang berhasil terhadap Sin-siauw Sengjin, dan tentang pusaka-pusaka Suling Emas yang
agaknya sebagian telah sempat dicuri oleh Ang-siocia dan menurut tantangan gadis itu, dia akan menanti
di pantai Po-hai di teluk sebelah utara.
“Hemmm, banyak persoalan yang harus kita hadapi, adikku. Urusan Jenderal Kao Liang masih belum
beres, muncul pula urusan warisan Suling Emas yang juga harus kita jernihkan.”
“Akan tetapi engkau belum sehat benar, Lee-ko. Biarlah kita menanti sampai engkau sudah sehat benar,
dan nanti kita bersama menyelidiki persoalan-persoalan itu sampai beres. Nah, itu dia tabibmu sudah
menyusul!”
Benar saja, muncullah Sai-cu Kai-ong. “Wah, jangan lama-lama membiarkan diri ditiup angin sejuk, Kian
Lee taihiap!” Kakek itu segera menegur. “Mari kita pulang dan sudah waktunya Taihiap minum obat!”
Kemudian dia berkata kepada Kian Bu, “Dan aku membutuhkan beberapa macam ramuan obat yang telah
habis dan obat-obat itu hanya bisa dibeli di kota besar. Maka, kuharap engkau suka menemani Siauw
Hong untuk mencari dan membelikan ramuan obat untuk kakakmu itu, Kian Bu taihiap.”
“Tentu saja saya akan suka sekali pergi, Locianpwe. Akan tetapi, Locianpwe, kami dua kakak beradik yang
sudah menerima banyak budi Locianpwe, menganggap Locianpwe sebagai paman sendiri, maka harap
buang saja sebutan taihiap kepada kami,” kata Kian Bu.
“Benar apa yang dikatakan adikku, Locianpwe,” sambung Kian Lee.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha, kalau begitu kalian harus membuang sebutan locianpwe dan sebut saja paman kepadaku.” Mereka
bertiga tertawa dan Kian Lee lalu dipondong lagi oleh adiknya, kembali ke tempat tinggal kakek itu yang
seperti istana kuno dikelilingi tembok tebal seperti benteng.
Ketika tiba di pintu gerbang dan melihat kedua orang kakak beradik itu memandang kagum, Sai-cu Kai-ong
berkata, “Biarlah kelak kalau Kian Lee telah sembuh, kalian akan kubawa berkeliling dan melihat-lihat
rumah peninggalan nenek moyangku ini.”
Mereka memasuki pintu gerbang yang terjaga oleh beberapa orang anak buah Sai-cu Kai-ong yang
berpakaian pengemis dan setelah perlahan merebahkan kakaknya di atas pembaringan dalam kamar, Kian
Bu lalu berangkat bersama Siauw Hong mencarikan obat-obat yang dibutuhkan oleh kakek itu…..
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Puteri Syanti Dewi yang bernasib malang itu. Kita melihat dia yang
terakhir berada di dalam gedung dari Hwa-i-kongcu Tang Hun, majikan Liong-sim-pang di puncak Naga Api
di Pegunungan Lu-liang-san dekat belokan Sungai Huang-ho. Seperti telah diceritakan di bagian depan,
Tang Hun sastrawan yang juga ahli silat dan sihir murid Durganini ini tergila-gila kepada Syanti Dewi dan
memaksa puteri itu untuk menikah dengan dia.
Akan tetapi di tengah-tengah keramaian pesta pernikahan itu, secara aneh sekali Syanti Dewi telah hilang
tanpa diketahui jejaknya! Bahkan Siang In, dara jelita yang gagah perkasa dan pandai ilmu sihir yang
berusaha menolong dan membebaskan Syanti Dewi, juga tidak tahu ke mana perginya puteri itu. Bukan dia
saja, malah Ang Tek Hoat, yang dengan bantuan anak buah Hek-eng-pang berusaha membebaskan
Syanti Dewi, juga hanya dapat membebaskan Syanti Dewi palsu, sedangkan dia pun tidak tahu ke mana
lenyapnya Syanti Dewi yang asli!
Ke manakan perginya Syanti Dewi? Dan bagaimana caranya dia dapat lenyap dari penjagaan yang amat
ketat itu, bahkan lenyap dari pengejaran seorang dara perkasa seperti Siang In, dan dari pencarian
seorang sakti seperti Ang Tek Hoat yang masih dibantu oleh banyak anak buah Hek-eng-pang? Mari kita
ikuti pengalaman Syanti Dewi semenjak dia berada di dalam kamar sebagai calon pengantin itu…..
Seperti kita ketahui, Syanti Dewi merasa gembira dan lega ketika bertemu dengan Siang In yang
mengunjunginya di dalam kamarnya. Kalau dalam beberapa hari itu dia selalu termenung berduka, tidak
mau mandi, tidak mau makan, tidak mau berganti pakaian, setelah Siang In mengunjunginya dan tahu
bahwa gadis yang luar biasa itu akan menolong dan membebaskannya, kegembiraan membuat dia
seketika merasa lapar sekali dan dia segera memesan makan minum kepada pelayan-pelayannya
sehingga para pelayan itu menjadi heran dan juga girang sekali.
Dari dapur yang khusus didatangkan hidangan-hidangan, diantar oleh seorang koki tua agak gemuk yang
berwajah riang dan dibantu oleh para pelayan yang menghidangkan masakan-masakan istimewa di atas
meja dalam kamar sang puteri atau calon pengantin wanita itu. Syanti Dewi yang memang sudah lapar itu
cepat makan dan minum, akan tetapi terkejutlah dia ketika tiba-tiba dia mendengar suara berbisik di
telinganya, “Perut kosong jangan terlalu cepat diisi, dan jangan terlalu banyak.”
Dia menoleh ke kanan kiri. Di situ hanya ada lima enam orang pelayan wanita, dan koki itu ternyata masih
berdiri di sudut tanpa dipedulikan oleh para pelayan. Pada saat dia bertemu pandang dengan kakek yang
berpakaian koki itu, secara mendadak kakek itu mengedipkan sebelah matanya. Syanti Dewi terkejut dan
dia seperti sudah mengenal wajah koki itu.
Tahulah dia bahwa suara bisikan yang didengarnya tadi, tentu adalah suara koki itu yang entah bagaimana
dapat menjadi bisikan di dekat telinganya tanpa didengar oleh para pelayan agaknya. Tetapi sebagai
seorang yang sudah banyak bergaul dengan orang-orang yang memiliki kesaktian hebat, seperti pendekar
sakti Gak Bun Beng, bekas tunangannya Ang Tek Hoat, puteri sakti Milana, dan banyak lagi orang dari
golongan hitam yang berilmu tinggi, Syanti Dewi tidak lagi merasa heran dan tahulah dia bahwa koki itu
adalah seorang yang berilmu tinggi!
“Harap kau suruh mereka itu keluar, kecuali pelayan yang berbaju biru itu,” kembali terdengar bisikan tadi.
Syanti Dewi tentu saja tidak mempercayai suara itu begitu saja, biar pun dia seperti pernah mengenal
wajah koki itu, akan tetapi anehnya, ada pengaruh mukjijat yang membuat dia tidak dapat menolak lagi!
dunia-kangouw.blogspot.com
Seperti di luar kehendaknya sendiri, dia lalu berkata, “Kalian semua keluarlah, kecuali engkau yang baju
biru. Aku tidak suka makan ditunggui banyak orang.”
Para pelayan itu tersenyum dan mereka pun lalu pergi meninggalkan kamar itu, tanpa mempedulikan koki
tua yang masih berdiri seperti arca di sudut kamar.
“Kau tutupkan daun pintunya, kunci dari dalam.” Kembali Syanti Dewi berkata kepada pelayan baju biru
seperti bukan atas kehendaknya sendiri. Pelayan baju biru yang cantik itu mengangguk, lalu menutupkan
daun pintu dan menguncinya, kemudian dia kembali duduk di dekat sang puteri untuk melayaninya.
Kini kakek yang berpakaian koki itu melangkah maju mendekati meja, dipandang penuh perhatian dan
dengan hati mulai curiga oleh Syanti Dewi. Agaknya baru sekarang pelayan baju biru itu melihat kakek ini.
Dia terkejut dan heran. “Ihhh, kau masih di sini? Tidak boleh, hayo cepat keluar...”
Akan tetapi tiba-tiba tangan kakek itu bergerak ketika melihat kenyataan pelayan itu lari ke pintu, dan tahutahu
dia telah menjambak rambut pelayan itu, diseretnya mendekati meja di mana Syanti Dewi masih
bengong, lalu terdengar kakek itu berkata lirih namun dengan nada penuh ancaman, “Jangan berteriak,
jangan banyak ribut, kalau tidak akan kuhancurkan kepalamu! Kau diam dan menurut saja kalau ingin
selamat!”
Tiba-tiba sebuah totokan di tengkuk pelayan tua membuatnya lemas dan tidak dapat bergerak lagi, hanya
matanya saja yang terbelalak memandang dengan penuh rasa takut. Dicobanya untuk mengeluarkan
suara, akan tetapi sekali tekan pada leher wanita itu oleh jari tangan kakek aneh tadi, si pelayan tidak
dapat mengeluarkan suaranya sama sekali seperti orang gagu!
“Hemmm, apa artinya ini? Siapa engkau?” Syanti Dewi bangkit berdiri dan memandang tajam.
“He-he-he, kau lupa lagi kepadaku, Puteri?” Kakek itu melepaskan penutup kepalanya seperti yang biasa
dipakai oleh koki untuk mencegah rambut kepalanya rontok dan masuk ke dalam masakan. Kini kelihatan
kepalanya yang botak dan sedikit rambutnya yang putih. Biar pun sudah lima tahun tidak berjumpa lagi
dengan kakek ini dan biar pun kakek ini sekarang agak gendut perutnya, tapi melihat wajah yang
tersenyum-senyum itu teringatlah Syanti Dewi.
“Ah, bukankah Locianpwe ini guru Siang In? Locianpwe See-thian Hoatsu...?” tanyanya dengan heran.
“Ha-ha-ha, ternyata ingatanmu kuat sekali, Puteri! Benar, Siang In adalah muridku.”
Hati Syanti Dewi girang sekali. Beberapa tahun yang lalu ketika dia dikejar-kejar oleh Raja Tambolon dan
anak buahnya, dia pernah ditolong dan diselamatkan oleh kakek yang pandai ilmu sihir ini dan dari
percakapannya dengan Siang In dia tahu bahwa kakek ini adalah guru Siang In. Maka tentu saja dia
menjadi girang dan kini menaruh kepercayaan kepada kakek ini. (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali)
“Locianpwe, baru saja Siang In juga datang dan berjanji hendak membawaku keluar dari sini...”
“Itulah sebabnya mengapa aku datang sendiri, Puteri Syanti Dewi. Keadaan di sini amat berbahaya dan
terlalu banyak orang pandai menghendaki dirimu. Rencana Siang In tentu akan gagal kalau aku tidak cepat
turun tangan. Sekarang kau diamlah saja dan menurut segala petunjukku.”
Syanti Dewi tidak terkejut mendengar itu sebab dia maklum bahwa dia berada di tempat berbahaya, maka
dia lalu mengangguk.
“Cepat kau tanggalkan pakaian luarmu,” bisik kakek itu, dan ketika Syanti Dewi melihat kakek itu mulai
menanggalkan pakaian luar pelayan yang ditotoknya itu, mengertilah dia maksudnya dan tanpa ragu-ragu
lagi dia membalikkan tubuhnya dan menanggalkan pakaian luarnya. Dia tidak perlu merasa malu dalam
keadaan seperti itu, apa lagi yang melihat dia dalam pakaian dalam yang tipis itu hanya seorang kakek
sakti yang sudah amat dipercaya.
“Aih, sukarnya...!” Kakek itu mengomel ketika dia mencoba untuk mengenakan pakaian luar Syanti Dewi
pada pelayan itu sehingga Syanti Dewi yang cepat sudah mengenakan pakaian luar pelayan itu segera
membantunya. Kakek itu memang cerdik. Yang tadi dipilihnya adalah seorang pelayan yang selain cantik
juga memiliki bentuk tubuh yang hampir sama dengan bentuk tubuh Syanti Dewi sehingga ketika pakaian
mereka saling ditukar, dapat pas sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah selesai, kakek itu lalu berbisik, “Cepat kau atur rambutnya seperti sanggul rambutmu dan tambah
bedak di mukanya biar wajahnya seputih wajahmu.”
Syanti Dewi cepat melakukan semua perintah itu, kemudian See-thian Hoat-su sendiri menggunakan alat
penghias yang terdapat di dalam kamar itu untuk mengubah bentuk bibir, alis serta mata Syanti Dewi
dengan menggunakan pemerah bibir dan penghitam. Sebentar saja, ketika dia selesai dan Syanti Dewi
melihat bayangannya sendiri dalam cermin, puteri ini hampir tertawa geli melihat betapa dia sudah berubah
menjadi seorang wanita yang bermata sipit, alisnya tebal dan mulutnya lebar, mukanya ada beberapa totol
hitam yang melenyapkan semua kemanisannya.
“Mari cepat...,” kata kakek itu dan dia segera menarik pelayan yang sudah mengenakan pakaian Syanti
Dewi, mendudukkannya di atas kursi, lalu dia memandangnya dengan sinar mata penuh pengaruh yang
amat kuat sambil berkata, “Kau tidak akan dapat bicara semalam ini dan akan menurut saja apa yang
dilakukan orang-orang kepada dirimu!” Setelah menanamkan kata-kata ini melalui sihir ke dalam benak
pelayan itu, See-thian Hoat-su lalu menggandeng tangan Syanti Dewi dan di bawa menyelinap ke luar
melalui jendela, tidak lupa untuk lebih dulu meniup padam lilin yang bernyala di atas meja.
Akan tetapi baru saja mereka meloncat ke luar dan menutupkan daun jendela, Syanti Dewi menahan
seruan kaget dan memegang lengan kakek itu. Dua orang pengawal berjalan dengan langkah tegap ke
arah mereka! Tetapi, kakek itu sudah menggerakkan kedua tangannya ke arah dua orang pengawal itu.
Mereka memandang, terkejut dan berdiri seperti patung dengan mata terbelalak, sama sekali tidak dapat
bergerak sampai kakek itu menggandeng tangan Syanti Dewi dan menariknya pergi dari situ.
Setelah kakek dan puteri itu lenyap, barulah keduanya sadar, saling pandang dan merasa terheran-heran.
“Ehh, kenapa kita berdiri bengong di sini?” tanya yang seorang.
“Heran, aku merasa seperti baru saja terjadi sesuatu, akan tetapi ternyata tidak ada apa-apa. Seperti mimpi
saja,” kata yang kedua.
“Hemm, agaknya kita tadi sudah terlalu banyak minum arak.” Dan mereka melanjutkan perondaan mereka.
Sementara itu, See-thian Hoat-su mengajak Syanti Dewi bersembunyi di tempat gelap, di ruangan dekat
dapur yang penuh dengan pot-pot bunga dan pohon-pohon katai. Hwa-i-kongcu Tang Hun memang
mempunyai kegemaran mengumpulkan bunga-bunga dan pohon-pohon katai yang aneh dan indah dalam
pot-pot kuno dan dikumpulkan di ruangan itu. Bukan ruangan tertutup, akan tetapi cukup gelap dan Syanti
Dewi merasa heran sekali mengapa penolongnya itu mengajaknya bersembunyi, dan di tempat terbuka
seperti itu.
“Kenapa kita tidak lari...?” bisiknya.
“Sssttttt... kita tunggu sampai terjadi keributan,” jawab See-thian Hoat-su.
Syanti Dewi hendak bertanya mengapa mereka bersembunyi di tempat terbuka seperti itu, akan tetapi dia
mengurungkan niatnya bicara karena pada saat itu muncul tiga orang yang berjalan ke arah tempat itu.
Mereka berjalan sambil bercakap-cakap, dan ternyata mereka adalah dua orang tamu yang agaknya
melihat-lihat, diantar oleh salah seorang pengawal.
“Ini adalah kumpulan-kumpulan bunga-bunga aneh dan pohon-pohon katai yang disayang sekali oleh
Kongcu,” si pengawal menerangkan.
Mereka melihat-lihat bunga itu, bahkan seorang dari mereka mendekati Syanti Dewi dan mencium-cium,
mendengus-dengus.
“Hemmm, wangi...!” katanya. “Sayang agak gelap tempat ini sehingga kita tidak dapat mengagumi bungabunga
ini dengan jelas.”
“Besok saja kita melihat-lihat lagi ke sini,” kata tamu kedua dan mereka berjalan pergi.
Syanti Dewi sudah gemetar saking tegang dan gelisahnya. Rambutnya tadi dicium-cium oleh orang itu dan
dia disangka bunga! Dia terheran-heran, akan tetapi ketika dia menoleh kepada kakek itu yang terkekeh
dunia-kangouw.blogspot.com
geli, mengertilah dia bahwa peristiwa aneh itu adalah akibat permainan sihir kakek ini. Tentu tiga orang
yang tadi datang telah melihat mereka berdua seperti bunga dalam pot, maka rambutnya dicium oleh
seorang di antara mereka. Teringatlah dia akan permainan sihir dari Siang In yang membuat dara itu
kelihatan seperti sebuah kursi bagi orang lain!
“Kenapa kita harus menunggu sampai terjadi keributan, Locianpwe?” Dia berbisik.
Kakek itu menarik napas panjang. “Siang In terlalu sembrono. Dia tidak melihat bahwa di sini hadir orang
dari Nepal yang memiliki kekuatan sihir lebih hebat dari pada dia. Kalau kita lari sekarang dan ketahuan,
banyak bahayanya akan gagal karena di depan orang itu tentu saja tidak mungkin mengandalkan kekuatan
sihir.”
Saat yang dinanti-nanti oleh kakek See-thian Hoat-su itu ternyata tidak lama. Tiba-tiba terdengarlah canang
dipukul bertalu-talu tanda bahaya dan disusul teriakan-teriakan nyaring. Dari tempat sembunyi itu, mereka
melihat berkelebatnya banyak wanita-wanita pelayan dan melihat pula seorang pelayan wanita tua yang
cantik memondong Syanti Dewi palsu tadi dengan gerakan ringan sekali. Lalu terdengar keributan di
ruangan pesta, disusul padamnya lampu-lampu dan ributnya suara orang bertempur!
“Sekarang...!” Kakek itu berbisik dan dia menggandeng tangan Syanti Dewi, diajaknya melarikan diri
melalui jalan belakang.
“Heiii, siapa...?” Akan tetapi dua orang itu sudah jatuh terjungkal oleh kakek See-thian Hoat-su sebelum
dua orang pengawal itu dapat melihat jelas. Dengan cepat See-thian Hoat-su lalu memondong tubuh
Syanti Dewi dan dibawanya melompati pagar tembok di taman belakang. Tanpa banyak halangan karena
semua orang sedang sibuk berkelahi dan mengejar-ngejar penculik Syanti Dewi palsu, See-thian Hoat-su
dapat membawa pergi puteri itu dari puncak Bukit Naga Api.
Setelah pergi jauh, Syanti Dewi berkata, “Locianpwe, bagaimana dengan Siang In? Kenapa kita tidak
menanti dia?”
Kakek itu menurunkan tubuh Puteri Bhutan dan menyeka peluhnya, lalu memandang ke angkasa yang
indah penuh bintang. “Ahhh, dia kini bukan anak kecil lagi, tentu dapat menjaga diri sendiri.”
“Akan tetapi... tentu dia akan mencari-cari Locianpwe dan saya...”
“Dia tidak tahu bahwa aku berada di sini, dan biarlah dia mencarimu untuk meluaskan pengalamannya, haha-
ha!” Kakek yang aneh itu tertawa.
Syanti Dewi tak membantah lagi. Kakek ini mempunyai watak yang luar biasa anehnya dan dia tahu bahwa
memang orang-orang sakti di dunia kang-ouw ini mempunyai watak yang kadang-kadang mendekati watak
orang gila!
“Lalu... lalu kita akan pergi ke mana, Locianpwe?” tanyanya penuh keraguan.
“Ke tempatku di pantai Po-hai. Akhirnya Siang In tentu akan ke sana pula kalau dia tidak berhasil
mencarimu. Dan kulihat engkau diperebutkan banyak orang, Puteri, maka untuk sementara waktu ini,
kiranya akan lebih aman kalau kau berada di sana bersamaku.”
Syanti Dewi tidak membantah lagi. Dia meninggalkan Bhutan bersama Siang In, dan biar pun dia berniat
mencari Tek Hoat, namun mencari seorang diri saja mana mungkin berhasil? Di bagian dunia ini banyak
sekali terdapat orang-orang jahat yang amat lihai, dan tanpa seorang teman seperjalanan yang sakti
seperti Siang In, dia merasa ngeri dan tidak sanggup untuk mencari Tek Hoat sendirian saja. Pula, kini dia
ikut bersama guru dari Siang In, berarti dia berada di tangan yang aman dan tentu banyak harapan akan
berjumpa kembali dengan gadis ahli sihir itu.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, peristiwa penculikan atas diri Syanti Dewi dari gedung Hwa-ikongcu
Tang Hun itu menimbulkan kegegeran hebat.
Rombongan Hek-eng-pang yang dipimpin oleh Yang-liu Nionio sendiri berhasil menculik Syanti Dewi tanpa
mereka sadari bahwa yang mereka culik adalah yang palsu. Mereka telah mengorbankan banyak anak
buah dan Syanti Dewi telah diserahkan kepada Ang Tek Hoat yang melarikannya, akan tetapi kemudian
ternyata Syanti Dewi itu hanyalah seorang pelayan! Seperti kita ketahui, saking marahnya Yang-liu Nionio
dunia-kangouw.blogspot.com
lalu membunuh pelayan itu dan kemudian mayatnya dilemparkan kepada Siang In oleh Tek Hoat yang
merasa gemas dan berkhawatir akan diri kekasihnya.
Siang In sendiri juga terkejut ketika melihat mayat yang disangkanya Puteri Bhutan itu ternyata hanya
seorang pelayan. Tahulah, dia bahwa Syanti Dewi telah lenyap tanpa dia ketahui siapa penculiknya. Jelas
bukan Tek Hoat, bukan pula salah satu wanita dari rombongan Hek-eng-pang, namun jelas sudah lenyap
dari rumah Hwa-i-kongcu. Habis, siapakah yang telah menculiknya? Dia merasa penasaran sekali dan
mulai melakukan pengejaran dan penyelidikan.
Sementara itu, seperti telah diceritakan pula di bagian depan, dalam pesta pernikahan Hwa-i-kongcu itu
terdapat pula seorang tamu yang amat lihai, bahkan tamu itu telah membuyarkan kekuatan sihir dari Siang
In ketika gadis yang menyamar sebagai penari dan pemain sulap ini memperlihatkan kepandaiannya.
Orang itu adalah Gitananda, kakek tokoh Nepal yang tinggi besar, bersorban dan jenggotnya panjang
sampai ke perut itu.
Seperti kita ketahui, Gitananda juga mencoba untuk menahan diri Yang-liu Nionio yang dianggapnya telah
menculik pengantin perempuan, akan tetapi Yang-liu Nionio yang dibantu banyak anak buahnya itu dapat
meloloskan diri dan Gitananda tidak berani melakukan pengejaran dalam gelap karena dia tahu bahwa hal
itu amat berbahaya, mengingat bahwa rombongan penculik itu terdiri dari orang-orang pandai.
Gitananda adalah seorang di antara pembantu-pembantu Ban Hwa Sengjin, koksu dari Nepal yang
mengemban tugas untuk menghubungi pembesar-pembesar yang condong untuk menentang kekuasaan
kaisar. Koksu Nepal yang cerdik itu maklum bahwa untuk memperkuat kedudukannya, dia harus
menghubungi tokoh-tokoh kang-ouw di dunia timur ini, dan sedapat mungkin berbaik dengan tokoh-tokoh
dari golongan hitam.
Oleh karena itulah, maka dia menyebar para pembantunya, dan ketika mendengar akan pernikahan di
puncak Naga Api, yaitu pernikahan dari Hwa-i-kongcu Tang Hun yang didengarnya sebagai ketua Liongsim-
pang, seorang pemuda yang selain kaya raya, juga amat lihai, bahkan akhir-akhir ini kabarnya menjadi
murid Durganini, tentu saja dia tidak mau melewatkan kesempatan baik itu dan mengutus Gitananda
mewakilinya dan menghadiri pesta itu. Durganini adalah seorang nenek ahli sihir dari India dan Ban Hwa
Sengjin sudah mengenalnya.
Sebetulnya, ketika Gitananda mendengar bahwa yang menjadi pengantin puteri adalah Syanti Dewi dari
Bhutan, dia terkejut sekali. Betapa akan senangnya koksu kalau sampai dia bisa mendapatkan puteri itu.
Puteri itu dapat dipergunakan untuk memaksa Pemerintah Bhutan tunduk kepada Nepal! Tetapi tentu saja
dia tidak boleh membikin marah Hwa-i-kongcu, lebih-lebih Durganini, maka Gitananda juga tak mau
mengganggu pengantin puteri.
Akan tetapi ketika terjadi penculikan atas diri pengantin puteri, tentu saja Gitananda melihat kesempatan
yang sangat baik! Puteri itu diculik orang, kalau saja dia mampu merampasnya kembali dari tangan
penculik. Bukan untuk diserahkan kembali kepada Hwa-i-kongcu, sungguh pun hal itu akan berarti
melepaskan Liong-sim-pang sebagai sahabat. Kiranya akan lebih penting lagi diri Puteri Bhutan itu bagi
Nepal, dari pada persahabatan Liong-sim-pang. Pula, kalau dia bisa mendapatkan puteri itu di luar tahu
Liong-sim-pang, bukankah tetap akan menjadi sahabat untuk dapat bekerja sama sewaktu-waktu jika
keadaan membutuhkan karena Hwa-i-kongcu sudah melihat sendiri betapa dia telah membantu untuk
melawan para penculik, biar pun tidak berhasil.
Dia harus dapat mengejar penculik dan merampas kembali Puteri Bhutan, tentu saja tanpa diketahui oleh
Hwa-i-kongcu! Maka setelah para penculik itu kabur, Gitananda melakukan pengejaran dengan seenaknya
karena dia perlu untuk diam-diam kembali ke kamarnya, lalu pergi lagi turun dari puncak ke tempat yang
sunyi.
Pada esok harinya, pagi-pagi sekali Gitananda melepaskan seekor burung berwarna hijau yang paruhnya
merah, burung kecil yang menjadi burung peliharaannya, amat terlatih dan merupakan burung yang amat
cerdik. Dengan dalih ingin memeriksa kamar pengantin wanita yang terculik malam tadi, dia berhasil
memasuki kamar pengantin dan berhasil pula memperoleh sehelai saputangan yang tadinya dipakai oleh
Syanti Dewi, dari seorang pelayan yang disogoknya dengan sepotong emas! Kini dia melepaskan burung
itu yang membawa robekan saputangan di antara paruhnya yang merah dan kuat.
“Carilah sampai dapat!” teriak Gitananda sambil melepaskan burung itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Burung hijau itu terbang seperti kilat cepatnya ke atas, tinggi sekali, lalu mulai terbang tinggi berputar
membentuk lingkaran-lingkaran yang makin lama makin luas. Binatang yang cerdik itu mulai mencari-cari,
menggunakan nalurinya mengandalkan benda yang berada di paruhnya. Sepasang matanya yang kecil
melirak-lirik ke bawah, tajam sekali.
Gitananda menanti sampai hampir menjelang tengah hari. Tiba-tiba dia bangkit dari duduknya di atas
rumput ketika dia melihat sinar hijau melayang telah kembali! Benar saja, burung hijau itu terbang sampai
tiba di atas tempatnya berdiri, lalu melepaskan robekan saputangan dan mengeluarkan suara mencicit.
“Burung yang baik, kau telah menemukan dia?”
Burung itu mencicit dan terbang ke atas lagi. Gitananda lalu mengikutinya dan burung itu sengaja terbang
tidak terlalu cepat sehingga Gitananda yang memiliki ilmu berlari cepat itu dapat mengikutinya dari bawah!
Dan burung itu terbang menuju ke timur! Jenggotnya yang panjang berkibar-kibar, ujung sorbannya juga
berkibar sehingga kakek ini nampak gagah dan juga aneh, seperti seorang dewa dalam dongeng.
Sementara itu, See-thian Hoat-su yang sedang berjalan seenaknya bersama Syanti Dewi, ketika keluar
dari sebuah hutan kecil, tiba-tiba melihat seekor burung hijau yang terbang berputaran di atas mereka.
Mula-mula Syanti Dewi yang melihat burung itu. Dara bangsawan ini sedang memandang ke atas, seolaholah
hendak mencari berita dari awan-awan di angkasa di mana adanya Ang Tek Hoat pada saat itu.
“Eh, burung apakah itu demikian aneh?” katanya sambil menuding ke atas.
See-thian Hoat-su juga memandang ke atas dan dia mengerutkan alisnya. Biar pun usianya jauh lebih tua,
akan tetapi kakek ini memiliki sepasang mata yang terlatih baik sekali dan dia dapat mengerahkan
kekuatan pandang matanya untuk melihat jauh sehingga burung itu nampak jelas olehnya.
“Puteri, katakan, apakah engkau mempunyai sehelai saputangan kuning?” tiba-tiba dia bertanya sambil
memandang ke arah burung hijau yang terbang berputaran itu.
“Saputangan kuning...?” Tentu saja Syanti Dewi merasa kaget dan heran mendengar pertanyaan tiba-tiba
yang janggal itu.
“Ya... ya, saputangan sutera kuning. Apakah engkau memakai benda itu ketika berada di puncak Naga Api,
di tempat tinggal Hwa-i-kongcu?”
“Benar... akan tetapi kutinggalkan di kamar...”
“Ah, celaka...! Benar, dia tentu burung mata-mata!” teriak See-thian Hoat-su dengan kaget, apa lagi ketika
dia melihat burung itu tiba-tiba saja meluncur cepat sekali ke barat, tentu akan melapor kepada majikannya
bahwa dia telah menemukan orang yang dicarinya!
“Kita harus cepat pergi dari sini!” Berkata demikian, kakek itu memondong tubuh Syanti Dewi dan
dibawanya berlari cepat sekali sehingga Syanti Dewi memejamkan matanya karena merasa ngeri.
Saking khawatirnya kalau-kalau dia akan tersusul oleh para pengejarnya yang dia tahu tentu terdiri dari
orang-orang pandai sehingga membahayakan keadaan Syanti Dewi, maka See-thian Hoat-su tidak
mempedulikan pandangan para penghuni dusun-dusun yang dilewatinya. Tentu saja orang-orang dusun itu
terkejut dan terheran-heran melihat seorang dara cantik jelita dipondong dan dibawa lari oleh seorang
kakek botak yang larinya seperti setan!
Lebih-lebih lagi keheranan mereka ketika tidak beberapa lama kemudian, muncul pula seorang kakek
berkulit hitam, tinggi besar, kepalanya memakai sorban, jenggotnya panjang sampai ke perut dan dengan
suara kaku dan asing kakek ini bertanya kepada mereka apakah mereka melihat seorang dara yang cantik
jelita, yang kulitnya putih kemerahan, matanya lebar seperti sepasang bintang, sikapnya lemah lembut,
halus budi dan agung, lewat di dusun itu.
“Ah, kami melihat seorang dara cantik jelita, akan tetapi dia dipondong dan dibawa lari seorang kakek
botak...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Yaaa! Itulah dia! Ke mana mereka pergi?” Gitananda bertanya dengan girang karena dia tidak merasa
ragu lagi bahwa itulah dara yang dicarinya dan benar saja, agaknya Sang Puteri Bhutan itu dilarikan
seorang penculik!
Kini para penghuni dusun merasa ragu-ragu karena mereka kurang percaya kepada orang asing bersorban
yang bicaranya kaku ini, akan tetapi Gitananda cepat berkata, “Agaknya kalian belum tahu. Kakek botak itu
adalah seorang penjahat besar, seorang penculik! Dan dara yang diculik itu adalah seorang puteri! Puteri
Raja Bhutan dan aku adalah seorang petugas yang akan menolong sang puteri. Harap kalian cepat
memberi tahu, ke mana mereka itu pergi?”
Tentu saja para penghuni dusun merasa kasihan sekali kepada sang puteri dan berpihak kepada orang
asing ini yang hendak menolong sang puteri yang terculik penjahat, maka berebutlah mereka memberi tahu
ke mana arah larinya kakek botak yang memondong dan menculik sang puteri. Setelah mendengar bahwa
kakek botak itu melarikan sang puteri menuju ke timur, Gitananda cepat melakukan pengejaran bersama
burung hijaunya. Maka ramailah para penghuni dusun itu membicarakan peristiwa yang aneh itu sehingga
cerita tentang kakek botak yang seperti iblis menculik Puteri Bhutan lalu dikejar oleh kakek seperti dewa
hitam tersiar luas di dusun itu dan bahkan keluar sampai ke dusun-dusun lain.
Sementara itu, See-thian Hoat-su yang memondong tubuh Syanti Dewi melakukan perjalanan cepat sekali
menuju ke timur dan akhirnya, beberapa hari kemudian setelah melakukan perjalanan yang hampir tidak
pernah ditundanya kecuali kalau malam gelap sekali dan untuk makan, tibalah kakek ini bersama Syanti
Dewi di Goa Tengkorak. tempat pertapaan See-thian Hoat-su selama bertahun-tahun ini.
Syanti Dewi merasa lega ketika kakek itu mengatakan bahwa mereka telah tiba di tempat pertapaan yang
tersembunyi, dan dia lalu memeriksa tempat itu. Tempat yang amat indah akan tetapi juga menyeramkan.
Goa besar itu dalamnya seperti sebuah rumah saja, amat lebar dan dibagi-bagi menjadi beberapa buah
kamar, bahkan ada tempat dapurnya yang terisi perabot dapur lengkap. Goa itu terletak di antara batu-batu
karang yang besar-besar sehingga tersembunyi, dan menghadap ke luar Teluk Po-hai.
Suara ombak memecah di batu-batu karang terdengar setiap saat siang dan malam, merupakan dendang
yang tiada hentinya sehingga menciptakan suasana yang aneh dan berbeda sekali dari suasana di darat
dan pegunungan. Angin bersilir terus jarang berhenti, dan di atas goa itu adalah sebuah bukit batu karang
yang di bagian atasnya ditumbuhi bermacam pohon yang tahan hidup di tepi pantai. Di sebelah kiri goa
terdapat air tawar yang bercucuran dari celah-celah batu yang pecah oleh akar-akar pohon, air yang
merupakan berkah bagi penghuni goa karena memudahkan pengambilan air tawar yang amat dibutuhkan.
Goa itu sendiri kalau dilihat dari jauh memang berbentuk seperti tengkorak manusia.
“Jangan terlalu jauh meninggalkan goa,” kata See-thian Hoat-su yang memanggil kembali Syanti Dewi
yang berjalan-jalan di sekitar tempat itu sampai ke pantai Po-hai. “Sekarang belum aman benar. Siapa tahu
orang yang mempunyai burung hijau dapat mengejar sampai ke sini. Siapa pun mereka, jangan harap akan
dapat merampasmu dari sampingku, Puteri. Akan tetapi kalau kau berkeliaran terlalu jauh, dan mereka
menculikmu, tentu saja aku tidak tahu dan tidak berdaya untuk mencegah mereka.”
Mendengar itu, Syanti Dewi tidak lagi berani pergi jauh dan mulailah puteri ini bekerja membersihkan goa,
kemudian memasak air dan menanak nasi yang semua bahannya terdapat di tempat itu. Biar pun dia
seorang puteri raja, namun pengalaman beberapa tahun yang lalu ketika dia meninggalkan Kota Raja
Bhutan membuat dia tidak canggung melakukan pekerjaan rumah, bahkan untuk hidup secara sederhana
sekali. Melihat kecekatan puteri ini, diam-diam See-thian Hoat-su merasa kagum sekali. Seorang puteri raja
namun demikian gapah memainkan sapu dan pengebut bulu ayam, dan demikian cekatan untuk bergaya di
dalam dapur! (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali)
Malam itu Syanti Dewi menyalakan lilin sebagai penerangan di dalam goa. Heran dia mengapa di sebelah
dalam goa itu tidak ada angin, padahal kalau dia berdiri di depan goa, angin bersilir tiada hentinya. Namun
di dalam goa, api lilin tidak bergoyang sedikit pun, tanda bahwa di situ tidak dimasuki angin sama sekali!
Tentu saja dara ini tidak tahu bahwa hawa bersifat seperti air, hanya akan mengalir masuk tempat yang
berlubang dan ada tembusannya. Goa itu merupakan lubang yang rapat di bagian belakangnya sehingga
telah penuh dengan hawa dan tidak memungkinkan lagi hawa lain dari luar mengalir masuk.
Setelah mereka makan dengan sederhana, yaitu hanya nasi dengan lauk panggang ikan yang ditangkap
oleh See-thian Hoat-su dari teluk, makan malam sederhana yang amat lezat karena hati tenang dan perut
lapar ditambah tubuh yang lelah, mereka lalu mengaso. Saking lelahnya setelah berlari sambil memondong
Syanti Dewi beberapa hari lamanya, sebentar saja See-thian Hoat-su sudah tidur mendengkur.
dunia-kangouw.blogspot.com
Namun Syanti Dewi tidak dapat tidur. Hatinya gelisah memikirkan nasibnya. Memang benar bahwa dia
telah selamat dan aman di tangan guru Siang In, akan tetapi kapankah dia dapat berjumpa dengan Siang
In? Dan terutama sekali, kapankah dia akan dapat bertemu dengan Tek Hoat dan bagaimana sikap Tek
Hoat kalau berhadapan dengan dia? Teringat akan semua pengalamannya, Syanti Dewi menarik napas
panjang. Apa lagi yang akan dialaminya selanjutnya?
Baru beberapa bulan yang lalu dia masih menjadi seorang puteri di istana ayahnya, hidup bahagia sekali
dan menghadapi masa depan gilang gemilang, dengan Ang Tek Hoat sebagai tunangannya yang gagah
perkasa dan amat dicintanya, dan pernikahan antara mereka hanya tinggal menanti saatnya saja. Akan
tetapi tiba-tiba saja terjadi malapetaka yang amat hebat, yaitu datangnya ibu kandung Tek Hoat yang
membikin marah ayahnya dengan pengakuannya yang menggemparkan, yaitu bahwa Ang Tek Hoat
adalah seorang anak haram.
Ayahnya marah dan memutuskan pertunangan itu sehingga Tek Hoat merasa malu dan lolos dari Bhutan!
Dia menarik napas panjang. Dia amat mencinta Tek Hoat, mencinta pribadinya. Apa artinya riwayat hidup
keluarga pemuda itu baginya? Dia dulu pun sudah tahu bahwa Tek Hoat pernah menjadi orang tersesat,
bahkan membantu pemberontak. Akan tetapi, bukankah pemuda itu sudah sadar dan kembali ke jalan
benar? Betapa pun juga, dia mencinta Tek Hoat, dan dia tidak peduli apa pun yang menjadi latar belakang
riwayat hidup ayah dan ibu pemuda itu.
“Syanti Dewi...!” Tiba-tiba dia mendengar suara halus datang dari luar Goa Tengkorak.
Suara seorang wanita yang halus memanggilnya! Mimpikah dia? Syanti Dewi bangkit duduk dan
mendengarkan dengan penuh perhatian. Ketika dia melirik ke arah kamar di sebelah kamarnya, dia masih
mendengar suara dengkur See-thian Hoat-su. Dia harus berhati-hati. Bukankah kakek itu mengatakan
bahwa boleh jadi orang-orang jahat yang hendak merampasnya kembali datang ke tempat itu?
“Enci Syanti Dewi...!” Kembali terdengar bisikan yang terdengar olehnya seperti desis seekor ular.
Siapakah dia? Siang In? Hanya Siang In yang menyebutnya enci Syanti Dewi! Akan tetapi mungkinkah
Siang In? Dia curiga sekali. Kalau benar Siang In, mengapa harus memanggilnya dengan suara lirih dari
luar goa? Bukankah goa ini adalah tempat tinggal See-thian Hoat-su, kakek yang menjadi gurunya sendiri?
Mengapa gadis itu tidak mau langsung masuk saja menemuinya dan memanggil dari luar secara
mencurigakan?
Syanti Dewi sudah banyak mengalami hal-hal hebat dan tahulah dia bahwa orang-orang jahat di dunia
kang-ouw amat licik dan curang, dan oleh karena itu dia tetap saja diam mendengarkan, tidak mau tergesagesa
keluar. Kembali sunyi keadaannya, sunyi yang menegangkan hati Puteri Bhutan itu. Tidak lama
kemudian, terdengarlah lagi suara itu, kini agak keras biar pun masih dengan suara mendesis agar tidak
terlalu nyaring dan terdengar oleh kakek yang sedang tidur.
“Kalau benar bahwa yang berada di dalam itu Puteri Syanti Dewi, harap ke luar, adikmu Candra Dewi
berada di sini!”
Syanti Dewi terkejut, jantungnya berdebar keras. Candra Dewi! Ceng Ceng! Dia tidak ragu-ragu lagi karena
dia mengenal suara itu. Turunlah dia dari atas pembaringan dan dengan berindap-indap dia keluar dari
kamarnya, terus berjalan keluar goa yang gelap karena penerangan hanya ada di dalam kamarnya dan di
kamar See-thian Hoat-su saja.
Di luar goa juga gelap, remang-remang karena hanya diterangi bintang-bintang di langit. Dia melihat
sesosok tubuh seorang wanita berdiri di luar goa itu. Syanti Dewi tidak berani segera ke luar, mengintai
dulu dan jantungnya berdebar penuh kegirangan ketika dia mengenal bahwa orang itu memang Candra
Dewi atau Ceng Ceng adanya!
Wanita itu memang benar Lu Ceng atau Ceng Ceng, atau nyonya Kao Kok Cu si Naga Sakti dari Gurun
Pasir! Dahulu, ketika dia masih tinggal di Bhutan, Ceng Ceng diakui adik oleh Syanti Dewi dan diberi nama
Candra Dewi. Seperti telah diceritakan di bagian depan, wanita perkasa ini bersama suaminya, si Naga
Sakti dari Gurun Pasir Kao Kok Cu, terpaksa meninggalkan tempat mereka yang terasing dari dunia ramai,
jauh di utara di gurun pasir, memasuki dunia ramai di selatan untuk mencari putera mereka yang hilang!
Mereka mencium jejak putera mereka itu dibawa orang ke selatan, namun sampai sekian lamanya belum
juga mereka berhasil menemukan kembali Kao Cin Liong, putera mereka yang berusia lima tahun itu. Kini
dunia-kangouw.blogspot.com
Ceng Ceng kembali melakukan penyelidikan dengan terpisah dari suaminya, karena dengan melakukan
penyelidikan terpisah, lebih banyak harapan untuk mendapatkan kembali jejak yang hilang itu. (baca Kisah
Sepasang Rajawali)
Di dalam perjalanannya melakukan penyelidikan dan mencari puteranya itulah Ceng Ceng mendengar
desas-desus di dalam dusun-dusun yang dilaluinya tentang seorang puteri yang terculik oleh seorang
penjahat dan dikejar-kejar oleh seorang kakek seperti dewa. Ketika dia mendengar bahwa ada ‘Puteri
Bhutan’ dilarikan iblis dan dikejar dewa, dia masih belum menduga bahwa itu adalah Syanti Dewi. Akan
tetapi ketika dia teringat bahwa beberapa hari yang lalu dia melihat Mohinta, putera panglima tua di Bhutan
yang pernah dikenalnya, berkeliaran dengan beberapa orang pembantunya, mulailah dia curiga. Janganjangan
Syanti Dewi yang lagi-Iagi menimbulkan geger di tempat ini!
Karena hatinya merasa penasaran, dia lalu melakukan pengejaran pula dan akhirnya dia tiba di depan Goa
Tengkorak pada malam hari itu. Tetapi dia tidak berani lancang menyerbu ke dalam, maka dia lalu
menggunakan tenaga khikang-nya untuk memanggil, karena wanita sakti ini yakin bahwa kalau mendengar
suaranya, tentu Syanti Dewi akan keluar, kalau memang benar Syanti Dewi puteri yang terculik itu.
“Adik Ceng...!” Syanti Dewi yang kini tidak ragu-ragu lagi itu berseru sambil lari keluar.
“Enci Syanti...!”
Dua orang wanita ini saling rangkul.
“Aihhh, kiranya benar engkau, Enci Syanti!”
“Adik Candra... betapa girangnya hatiku bertemu denganmu...“
Pada saat itu, dari balik batu besar meloncat sesosok bayangan yang tinggi besar dan bayangan ini
langsung menerkam ke arah Ceng Ceng. Wanita perkasa ini cepat-cepat mendorong tubuh Syanti Dewi,
“Enci, menjauhlah!” katanya dan dia cepat membalik, menggerakkan lengannya untuk menangkis karena
mengelak sudah tidak sempat lagi. Serangan bayangan hitam itu cepat bukan main.
“Desssss...!”
Tangkisan Ceng Ceng yang dilakukan dengan cepat itu mengandung tenaga sinkang mukjijat. Di dalam
cerita Kisah Sepasang Rajawali dituturkan betapa nyonya ini di waktu belum menikah dahulu, bersama
Topeng Setan yang ternyata adalah Kao Kok Cu yang sekarang menjadi suaminya, telah berhasil
memperoleh anak naga yang diperebutkan seluruh orang kang-ouw di Telaga Sungari, walau pun untuk itu
Kao Kok Cu telah mengorbankan sebelah lengannya yang dicaplok oleh naga di telaga itu.
Setelah Ceng Ceng minum darah anak naga untuk mengobati luka dan penyakit yang dideritanya, tidak
saja dia sembuh dari lukanya di sebelah dalam tubuhnya, akan tetapi juga dia telah memperoleh tenaga
mukjijat dari khasiat darah anak naga itu. Tentu saja setelah dia menjadi isteri Kao Kok Cu, dia telah dilatih
oleh suaminya yang sakti itu dan kini dia telah dapat menguasai tenaga mukjijat itu dengan baiknya, di
samping ilmunya yang sudah memperoleh kemajuan pesat sekali.
Tubuh Gitananda, kakek tinggi besar yang menyerangnya itu, sampai terlempar jauh ketika lengan mereka
saling bertemu dengan kerasnya. Kakek itu terkejut bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa wanita
yang diserangnya memiliki sinkang sedemikian dahsyatnya.
Tadi kakek ini hanya mengintai dan menanti kesempatan baik untuk merampas Syanti Dewi. Dia tidak
berani sembrono menyerbu ke dalam goa dan hanya menanti saat baik selagi puteri itu keluar sendiri.
Munculnya seorang wanita yang memanggil-manggil dari luar goa membuat dia terheran-heran, akan tetapi
giranglah hatinya melihat Syanti Dewi benar-benar keluar dari dalam goa dan cepat dia lalu menerjang
wanita itu dengan maksud merobohkannya kemudian melarikan Syanti Dewi. Tetapi, dapat dibayangkan
betapa kagetnya ketika wanita itu menangkis dengan tenaga yang demikian hebatnya sehingga tubuhnya
terlempar ke belakang sampai jauh!
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring dan Ceng Ceng harus cepat mengelak karena dari dalam goa
sudah muncul seorang kakek yang menyerangnya kalang-kabut dengan pukulan-pukulan yang
mendatangkan angin berputaraan. Tahulah dia bahwa lawannya adalah seorang yang lihai, maka Ceng
Ceng lalu membalas dengan tamparan-tamparan kedua tangannya yang ampuh. Terjadilah pertempuran
dunia-kangouw.blogspot.com
yang amat seru dan dahsyat di depan goa, di dalam cuaca yang remang-remang itu dan mereka berdua
lebih mengandalkan ketajaman pendengaran mereka untuk mengikuti gerakan lawan dari pada ketajaman
pandangan mata yang tentu saja amat berkurang di dalam cuaca remang-remang itu.
Syanti Dewi tadi merasa terkejut sekali ketika dia didorong ke pinggir oleh Ceng Ceng, dan dia melihat
betapa Ceng Ceng tadi diserang oleh kakek tinggi besar. Kemudian, melihat Ceng Ceng diserang kakek
botak dari dalam goa, dia terkejut. Kakek itu adalah See-thian Hoat-su! Dia segera melangkah maju dan
bibirnya telah bergerak untuk berseru agar mereka berhenti berkelahi karena mereka bukanlah musuh,
akan tetapi tiba-tiba ada bayangan hitam menyambar. Syanti Dewi berusaha untuk mengelak, akan tetapi
tingkat kepandaian silatnya jauh sekali dibandingkan dengan tingkat Gitananda dan sekali kakek itu
menepuk tengkuknya, tubuh Syanti Dewi menjadi lemas dan pingsanlah puteri itu. Gitananda cepat
memondongnya dan menyelinap pergi di dalam kegelapan malam.
Ceng Ceng dan See-thian Hoat-su yang sedang bertanding dengan hebat itu sama sekali tidak melihat
bahwa Syanti Dewi dirobohkan dan dibawa pergi orang lain. Mereka masih saling serang dengan hebat
dan sungguh-sungguh karena mereka mendapatkan kenyataan bahwa lawan masing-masing amat lihai.
“Plak-plakkk!”
Untuk ke sekian kalinya kedua telapak tangan mereka saling bertemu dan tubuh Ceng Ceng terdorong
mundur, akan tetapi See-thian Hoat-su juga merasa betapa tubuhnya tergetar hebat! Dia terkejut sekali,
maklum bahwa wanita yang dilawannya memiliki sinkang yang amat mukjijat dan kalau saja pertandingan
itu dilanjutkan beberapa kali mengadu tenaga seperti itu, amatlah berbahaya bagi jantungnya yang dapat
tergetar dan rusak!
Maka dia kemudian mulai berkemak-kemik, hendak menggunakan ilmu sihirnya untuk mengalahkan
lawannya. Kalau saja cuaca tidak segelap itu, dengan pengaruh pandang matanya agaknya dengan mudah
dia akan dapat menguasai lawan ini. Akan tetapi cuaca amat gelap dan dia kini hendak menggunakan sihir,
akan tetapi justeru pada saat itu lawannya mendesaknya dengan pukulan-pukulan ampuh sehingga belum
beranilah kakek ini membagi tenaganya untuk menggunakan sihir oleh karena sekali saja terkena pukulan
wanita itu tanpa dilawan dengan sinkang sepenuhnya, akan sangat berbahaya baginya.
Sementara itu, Ceng Ceng juga makin terkejut dan heran. Disangkanya bahwa yang menculik Puteri
Bhutan itu seorang penjahat biasa saja. Kiranya puteri itu benar Syanti Dewi dan penculiknya ternyata
adalah seorang yang berkepandaian tinggi! Hal ini membuat dia menjadi marah bukan main dan dia sudah
mencabut sebatang pedang yang mengeluarkan sinar mengerikan, hijau kehitaman. Itulah pedang Bantok-
kiam (Pedang Selaksa Racun) yang bukan main ampuhnya.
Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah dituturkan bahwa Ceng Ceng menerima pedang itu dari
seorang iblis betina berjuluk Ban-tok Mo-li dan betapa pedangnya itu pernah terampas oleh Tambolon dan
kawan-kawannya yang tewas dalam perang oleh Tek Hoat dan para orang gagah, Ceng Ceng akhirnya
berhasil memperoleh pedangnya kembali dan semenjak dia menikah, pedang itu selalu disimpannya saja
dan tidak pernah dipergunakannya.
Hanya ketika puteranya lenyap, dan dia bersama suaminya meninggalkan Istana Gurun Pasir untuk
mencarinya, dia membawa Ban-tok-kiam, hanya untuk berjaga-jaga saja karena dengan ilmu
kepandaiannya yang tinggi, sebenarnya dia tidak usah memerlukan bantuan pedangnya. Akan tetapi,
melihat ada orang menculik Syanti Dewi dan orang itu sedemikian lihainya, Ceng Ceng menjadi marah dan
mencabut Ban-tok-kiam yang mengerikan itu.
“Ihhhhh...!” See-thian Hoat-su adalah seorang ahli silat tingkat tinggi, juga seorang ahli sihir yang amat
pandai, akan tetapi dia bergidik juga ketika melihat berkelebatnya cahaya hijau kehitaman yang mendirikan
bulu roma itu.
“Penculik hina dina!” Ceng Ceng lalu memaki. “Engkau telah berani menculik kakakku, Puteri Syanti Dewi
dari Bhutan, maka engkau pun akan tewas di tanganku!” Berkata demikian, wanita perkasa itu sudah
menerjang dan terdengar suara bercicit nyaring ketika Ban-tok-kiam meluncur ke depan mencari korban
dengan ganasnya!
“Heiii... nanti dulu...!” See-thian Hoat-su mencelat ke belakang, berjungkir balik sampai empat kali dan
ketika dia turun, dia mengangkat kedua lengan ke atas sambil berseru, “Nanti dulu, nanti dulu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kau mau bicara apa lagi?” Ceng Ceng membentak, matanya memandang tajam dan mengeluarkan sinar
seperti mata seekor naga berapi hingga kembali See-thian Hoat-su terkejut dan merasa ragu-ragu apakah
dia akan mampu menguasai lawan yang memiliki mata seperti itu dengan sihirnya.
“Engkau mengaku kakak kepada Syanti Dewi? Dan menuduh aku menculiknya? Aneh… sungguh aneh
sekali. Heiii, Sang Puteri, ke sinilah dan coba jelaskan keanehan ini! Benarkah aku penculik? Dan
benarkah dia ini adikmu?”
Akan tetapi, tentu saja tak ada jawaban terhadap teriakan See-thian Hoat-su itu karena Syanti Dewi sudah
tidak berada di tempat itu lagi. Mendengar kata-kata kakek itu, Ceng Ceng juga terkejut, lalu dia menoleh
dan mencari Syanti Dewi.
“Enci Syanti Dewi...! Enci Syanti, di mana kau? Keluarlah!” teriaknya pula.
Akan tetapi sia-sia belaka. Mereka berdua berteriak memanggil-manggil dan mencari cari, namun Puteri
Bhutan itu lenyap tanpa meninggalkan jejak.
“Celaka...!” See-thian Hoat-su membanting-banting kakinya. “Selagi kita berdua saling hantam, ada orang
ketiga yang datang dan membawanya lari!”
Ceng Ceng terkejut dan membenarkan dugaan itu. “Dia tentu belum lari jauh. Mari kita berpencar dan
mengejar!” Tanpa menanti jawaban, tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. See-thian Hoat-su juga meloncat
dan mencari-cari.
Sia-sia saja mereka berdua mengejar dan mencari sampai malam berganti pagi. Akhirnya mereka kembali
ke depan goa dan saling berjumpa di depan goa dengan alis berkerut. Kini mereka dapat saling
memandang dengan jelas dan Ceng Ceng merasa seperti pernah melihat wajah kakek botak berambut
putih itu.
“Siapakah Locianpwe? Dan bagaimanakah Locianpwe dapat membawa Enci Syanti ke sini?” tanyanya
sambil memandang tajam.
See-thian Hoat-su bersungut-sungut. “Kalau kau benar-benar adiknya, mengapa datang malam-malam
seperti pencuri? Kalau datangmu biasa saja di waktu siang hari, tentu aku tidak menyerangmu dan Sang
Puteri tidak akan lenyap. Akan tetapi sudahlah! Aku adalah See-thian Hoat-su, dan siapakah Nona yang
masih muda akan tetapi memiliki kepandaian hebat sekali dan memiliki pedang yang demikian
mengerikan?”
Ceng Ceng membelalakkan matanya. “Aihhh! Kiranya Locianpwe See-thian Hoat-su!” Tentu saja dia
pernah mendengar nama ini, bahkan pernah pula melihat orangnya ketika terjadi perang melawan
Tambolon dan pasukannya, karena kakek inilah yang merobohkan nenek Durganini dan membawanya
pergi.
“Saya adalah adik angkat dari Enci Syanti Dewi, yaitu dahulu ketika saya masih tinggal di Bhutan.
Sekarang saya telah menjadi isteri dari suami saya yang dikenal sebagai si Naga Sakti dari Gurun Pasir.”
“Aaahhhhh...!” Kiranya begitukah? Pantas saja kepandaianmu hebat sekali, Toanio! Dan maafkan kalau
aku menyerangmu tadi karena kusangka engkau adalah penculik yang membayangi kami sampai di sini.”
“Sayalah yang harus minta maaf, Locianpwe, dan saya menyesal sekali karena saya tahu sekarang, bahwa
saya salah duga dan saya yang menyebabkan lenyapnya Enci Syanti Dewi. Tidak salah lagi, tentu ini
perbuatan dewa hitam itu!”
“Dewa hitam? Apa pula maksudmu, Toanio?” See-thian Hoat-su bertanya, akan tetapi melihat wajah
nyonya muda itu nampak lesu dan muram, juga kelihatan lelah sekali, dia cepat berkata, “Mari kita bicara di
dalam, Toanio. Agaknya banyak hal yang perlu saling kita tuturkan.”
Memang Ceng Ceng merasa lesu dan muram wajahnya, hal ini karena dia selama ini berada dalam
kecemasan memikirkan nasib puteranya yang lenyap dan belum juga dapat dia temukan. Kini ditambah
lagi menghadapi urusan Syanti Dewi lenyap diculik orang, tentu saja dia merasa semakin gelisah dan
berduka. Maka ketika kakek itu mempersilakan dia masuk ke dalam goa besar, dia hanya mengangguk dan
mereka lalu memasuki tempat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah duduk berhadapan, Ceng Ceng lalu menceritakan betapa dia mendengar tentang Syanti Dewi dari
orang-orang dusun di sepanjang jalan yang menceritakan bahwa mereka melihat seorang dara cantik
dipondong dan dilarikan oleh seorang kakek, dan betapa kemudian muncul seorang kakek hitam bersorban
yang memberi tahu mereka bahwa puteri itu adalah Puteri Bhutan yang diculik oleh seorang jahat.
Penghuni dusun lalu menyebar luaskan berita itu dengan cerita bahwa Puteri Bhutan diculik setan dan
dikejar oleh seorang dewa hitam yang hendak menolong sang puteri.
“Mendengar puteri itu disebut Puteri Bhutan, saya sudah merasa tertarik sekali, dan menduga bahwa Enci
Syanti Dewi yang dimaksudkan, maka saya pun lalu melakukan pengejaran. Ketika saya memanggil Enci
Syanti Dewi keluar, kami bertemu dan sempat berangkulan. Pada saat itulah saya diserang orang dari
belakang. Saya mendorong Enci Syanti Dewi ke pinggir dan menangkis serangan orang itu sehingga dia
terlempar ke belakang. Akan tetapi lalu Locianpwe muncul dan menyerang saya. Karena mengira bahwa
tentu Locianpwe adalah sekutu dari penyerang pertama itu, maka saya tidak mempedulikan dia lagi dan
melayani Locianpwe yang ternyata lebih lihai. Siapa kira, agaknya orang itulah yang disebut dewa hitam
dan yang mempergunakan kesempatan selagi kita bertempur, lalu dia melarikan Enci Syanti.”
See-thian Hoat-su mengerutkan alisnya yang putih. “Orang hitam bersorban? Siapa gerangan dia? Apakah
dia datang dari pesta itu dan terus membayangiku?”
“Pesta apa yang Locianpwe maksudkan?” Ceng Ceng bertanya.
Kakek itu menarik napas panjang. “Sebaiknya kuceritakan dari permulaannya,” katanya. “Ketika itu aku
sedang bertapa dan mengundurkan diri di goa ini setelah muridku yang bernama Siang In kuperbolehkan
untuk merantau dan meluaskan pengalaman. Akan tetapi tiba-tiba datanglah nenek gila yang pernah
menjadi isteriku itu...“ dia berhenti dan menghela napas panjang.
“Nenek Durganini...?” Ceng Ceng bertanya menegaskan, karena sesungguhnya dia sudah tahu bahwa
yang dimaksudkan tentulah nenek itu.
“Siapa lagi kalau bukan dia?” Nenek gila itu mengganggu aku yang sedang siulian, datang-datang
mengamuk dan hampir saja membunuhku kalau aku tidak segera sadar dari siulian. Dia datang dan marahmarah,
katanya dia mendengar dari muridku bahwa aku hendak menghajarnya, maka dia datang dan
menantang-nantang! Aku maklum bahwa tentulah muridku yang bengal itu yang menjadi gara-gara, akan
tetapi aku pun mengerti bahwa tentu ada sebabnya yang amat memaksa maka Siang In sampai
menggunakan akal itu untuk memancing Durganini datang ke sini. Maka aku berhasil menyabarkan hatinya
dan si nenek gila itu mulai bercerita tentang Syanti Dewi.”
“Ahhh...? Sungguh heran mengapa Enci Syanti yang sudah pulang ke negerinya itu tiba-tiba dapat berada
di sini lagi.”
“Aku pun baru mendengar tentang itu dari Puteri Syanti Dewi ketika aku membawanya lari ke sini. Akan
tetapi biarlah kulanjutkan ceritaku. Durganini menceritakan bahwa dia telah mempunyai seorang murid
baru, yaitu Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang yang tinggal di puncak Bukit Naga Api di
Pegunungan Lu-liang-san. Secara kebetulan saja Tang Hun ini bertemu dengan muridku, Siang In, yang
melakukan perjalanan bersama Puteri Syanti Dewi. Tang Hun jatuh cinta dan menangkap Syanti Dewi dan
hendak dijadikan isterinya. Siang In tidak mampu melindunginya karena di situ terdapat isteriku si nenek
gila itu, maka Siang In lalu menggunakan akal, membohongi nenek itu dan mengatakan aku berada di sini
dan hendak menghajarnya.” Kakek itu menarik napas panjang dan tersenyum geli teringat akan kenakalan
muridnya.
“Nenek gila itu paling benci mendengar aku mengancamnya, maka dia lalu lari ke sini dan mengamuk. Dia
menceritakan bahwa Syanti Dewi hendak diperisteri oleh Tang Hun dan mendengar ini, aku
mengkhawatirkan keadaan muridku dan juga puteri itu. Aku lalu meninggalkan nenek gila itu dan pergi ke
puncak Naga Api menyelidik. Ternyata cerita itu benar dan aku melihat betapa banyak orang bersiap-siap
hendak menculik Syanti Dewi, di antaranya adalah muridku yang berusaha menolongnya. Akan tetapi
karena aku melihat banyak orang lihai di situ, maka aku sendiri turun tangan dan membawa Sang Puteri
lari sampai ke sini. Aku hendak menanti datangnya Siang In di sini, akan tetapi ternyata engkau datang
lebih dulu dan Syanti Dewi terculik lagi.”
Ceng Ceng mengerutkan alisnya. “Dan bagaimana Enci Syanti Dewi meninggalkan negaranya dan berada
di tempat ini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dia menceritakan kepadaku ketika dalam perjalanan menuju ke sini. Katanya terjadi keributan di
negerinya, Raja Bhutan, yaitu ayahnya memutuskan tali pertunangan ltu sehingga tunangannya, Ang Tek
Hoat pergi dari Bhutan. Puteri Syanti Dewi ingin sekali menyusul, kebetulan Siang In datang
mengunjunginya dan muridku itulah yang sudah membantunya lolos dari istana Bhutan dan hendak
mencari Tek Hoat, akan tetapi sebelum dapat bertemu telah ditangkap oleh ketua Liong-sim-pang.”
“Hemmm, sungguh kasihan Enci Syanti. Siapa kiranya yang kini menculiknya malam tadi?”
Kakek itu mengepal tinjunya. “Salahku! Aku kurang hati-hati, Akan kuselidiki sampai dapat. Akan tetapi,
Toanio, engkau yang tinggal di lstana Gurun Pasir, tempat rahasia yang seperti hanya terdapat dalam
dongeng, mengapa pula kau berada di sini, kalau aku boleh bertanya?”
Ceng Ceng menarik napas panjang, teringat akan puteranya yang lenyap. “Sudah berbulan-bulan saya dan
suami saya meninggalkan Istana Gurun Pasir dan menjelajahi Tiong-goan, Locianpwe. Kami suami isteri
juga sedang tertimpa malapetaka. Putera kami telah hilang.”
“Hilang?”
“Ya, hilang tanpa meninggalkan jejak. Tentu diculik orang pula, seperti halnya Enci Syanti Dewi. Kami telah
mencari dan kadang-kadang menemukan jejaknya, akan tetapi lalu hilang lagi sehingga sampai kini kami
belum berhasil.”
“Aihhh, manusia mana yang berani main gila menculik puteri si Naga Sakti dari Gurun Pasir? Iblis pun akan
berpikir panjang untuk melakukan hal itu,” kata See-thian Hoat-su dengan heran. Nama besar si Naga
Sakti ditakuti oleh seluruh dunia kang-ouw seperti juga nama besar lainnya, misalnya Pendekar Super
Sakti dari Pulau Es. Juga Naga Sakti tidak pernah mencampuri urusan kang-ouw, bagaimana ada orang
yang berani menculik puteranya?
“Buktinya ada yang menculiknya!” kata Ceng Ceng gemas. “Kalau saja aku dapat menangkap penculik
hina itu!” Dan dia mengepal tinjunya.
See-thian Hoat-su sendiri bergidik mendengar ancaman yang terkandung dalam suara itu. Dia tadi sudah
merasakan kelihaian nyonya muda ini, apa lagi pedangnya yang mengerikan itu. Baru nyonyanya sudah
demikian hebat, entah bagaimana si Naga Sakti sendiri! Benar-benar si penculik itu mencari penyakit!
“Aku akan mencari Puteri Syanti Dewi, akan tetapi juga akan membuka mata dan telinga untuk
membantumu mencari puteramu, Toanio. Berapakah usianya dan bagai mana ciri-cirinya?”
“Banyak terima kasih atas kebaikan hati Locianpwe,” kata Ceng Ceng yang sebagai seorang ibu, hatinya
gelisah sekali dan tentu akan terasa bersyukur kalau ada orang membantunya menemukan puteranya.
“Nama putera kami itu adalah Kao Cin Liong, usianya sekitar lima tahun, mukanya bundar putih dan
matanya lebar, di bawah telinga kirinya terdapat sebuah tahi lalat kecil. Hanya itu ciri-cirinya.”
“Baik, aku akan membuka mata dan telinga. Sekarang pun aku akan berangkat hendak mencari jejak
Syanti Dewi sambil mendengarkan tentang puteramu.”
“Terima kasih, Locianpwe.”
Mereka keluar dari dalam goa dan keduanya lalu pergi mengambil jalan terpisah. Di sepanjang jalan Seethian
Hoat-su mengeluh panjang pendek. Dia sudah tua sekali, sudah delapan puluh tahun lebih usianya,
sudah bosan dengan urusan dunia yang hanya menimbulkan banyak persengketaan dan permusuhan.
Tadinya, setelah muridnya Siang In meninggalkannya dia menganggap bahwa tugasnya telah selesai,
bahwa dia boleh menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan tenang dan tenteram di dalam tempat
pertapaannya, di Goa Tengkorak dan hidup penuh damai dengan diri sendiri dan dengan alam di tempat
sunyi itu sampai dia mati. Siapa kira, belum ada setahun saja dia sudah terseret lagi dalam urusan dunia!
Dan setelah kini melihat Syanti Dewi diculik orang dari tangannya, tentu saja dia akan selalu merasa
bersalah dan menyesal sebelum dia dapat menyelamatkan Puteri Bhutan itu kembali.
“Uuuuuhhh, sialan kau, tua-tua tidak dapat menikmati hidup damai...“ gerutunya, namun tetap saja dia
melanjutkan perjalanan sambil mencari-cari jejak Puteri Bhutan itu. Dari jejak-jejak kaki di dekat goanya,
dia melihat jejak kaki itu menuju ke utara, maka dia pun tidak membuang waktu dan mengejar ke utara.
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Warung nasi itu penuh dengan orang yang makan siang. Warung itu terkenal menjual nasi tim dan
masakan-masakan yang cukup lezat dan terutama sekali murah harganya dibandingkan dengan harga
makanan di restoran-restoran lain, maka selalu penuh dengan tamu, apa lagi di waktu siang dan malam,
waktunya orang-orang makan siang dan makan malam.
Siang itu hawanya panas bukan main, apa lagi di dalam restoran kecil atau warung nasi itu, seolah-olah
merupakan pertanda bahwa di situ akan terjadi hal-hal yang hebat. Selagi banyak orang makan minum
sambil bercakap-cakap, masuklah seorang wanita dan seorang pemuda. Wanita yang usianya mendekati
empat puluh tahun namun masih kelihatan muda, cantik jelita dengan lirikan mata dan gerak bibir
tersenyum genit. Pakaiannya serba indah dan pesolek, bibirnya yang memang bagus sekali bentuknya itu
kemerahan oleh gincu, juga kedua pipinya ditambahi bedak dan pemerah pipi, di punggungnya tergantung
pedang.
Wanita ini memasuki restoran dengan lenggang yang lemah gemulai, kedua bukit pinggulnya yang
terbungkus ketat oleh celana biru dari sutera itu menari-nari ketika dia melenggang, membuat beberapa
orang yang sedang makan mi terpaksa harus menjulur-julurkan lehernya karena mi panjang yang
ditelannya itu nyasar, mata mereka melotot dan melekat kepada buah pinggul yang menari-nari. Pemuda di
sebelah wanita itu masih muda, baru dua puluh tiga tahun kurang lebih, tampan dengan muka yang
membayangkan kekerasan, agak muram dengan mata tajam dingin, mulutnya tertarik seperti orang
mengejek, dan sikapnya tidak mempedulikan siapa pun.
Wanita itu adalah Lauw Hong Kui, tokoh sesat yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li atau Siluman Kucing, dan
yang berjalan di sebelahnya adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan dari kisah ini,
mereka meninggalkan sarang perkumpulan Hek-eng-pang untuk mencari jejak Syanti Dewi. Seperti kita
ketahui, Ang Tek Hoat yang dibantu oleh Yang-liu Nionio, ketua Hek-eng-pang, telah menyerbu puncak
Naga Api dan berusaha merampas Puteri Syanti Dewi dari tangan Hwa-i-kongcu Tang Hun.
Akan tetapi, ternyata yang mereka rampas dan mereka kira Syanti Dewi itu sebenarnya hanyalah seorang
pelayan! Mereka sama sekali tidak tahu bahwa mereka menjadi korban kenakalan kakek See-thian Hoat-su
yang telah membawa lari Syanti Dewi. Dan ketika Ang Tek Hoat hendak pergi meninggalkan Yang-liu
Nionio, Mauw Siauw Mo-li mengatakan bahwa dia melihat ada seorang gadis mencari-cari Puteri Syanti
Dewi dan menawarkan bantuannya kepada Tek Hoat untuk membantu pemuda itu mencari kekasihnya.
Demikianlah, hari itu mereka tiba di kota di mana Mauw Siauw Mo-li berjumpa gadis yang mencari-cari
Syanti Dewi, dan memasuki restoran di mana dia beberapa hari yang lalu melihat gadis itu. Dan Mauw
Siauw Mo-li memang tidak berbohong. Di restoran ini, beberapa hari yang lalu ketika dia pergi mengunjungi
muridnya, Yang-liu Nionio, dia memang melihat seorang gadis cantik yang mencari-cari Syanti Dewi dan
gadis ini bukan lain adalah Siang In yang masih terus menyelidiki dan mencari sahabatnya itu.
Tentu saja Mauw Siauw Mo-li bukanlah seorang yang demikian baik hatinya untuk membantu orang lain
tanpa ada pamrih lain di dalam hatinya. Begitu dia bertemu kembali dengan Ang Tek Hoat, pemuda yang
pernah membangkitkan gairah birahinya lima tahun yang lalu, maka timbuliah hasratnya untuk mendekati
pemuda tampan dan gagah ini. Maka dia menawarkan bantuannya yang hendak dipergunakan menjadi
jalan agar dia dapat mendekati Si Jari Maut, pendekar muda yang pernah menggemparkan dunia
persilatan itu. (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali)
Akan tetapi selama tiga hari tiga malam ini, dia sama sekali belum berhasil ‘mendekati’ Ang Tek Hoat yang
bersikap dingin dan tak acuh kepadanya! Bahkan pagi hari tadi, ketika mereka melewatkan malam di hutan
dan pagi tadi dia sengaja mandi di sumber air dengan bertelanjang bulat dan berusaha menarik perhatian
Tek Hoat, pemuda itu malah marah-marah dan berdiri membelakanginya, sedikit pun tak pernah mau
melirik, apa lagi mengagumi keindahan bentuk tubuhnya! Diam-diam Mauw Siauw Mo-li menjadi gemas
dan marah sekali, hatinya terasa sakit sekali. Tidak mengindahkan dan tidak menyatakan kagum terhadap
keindahan tubuhnya merupakan penghinaan! Dan kalau saja bukan Tek Hoat, tentu dia sudah akan
membunuh pria yang berani menghinanya seperti itu.
Akan tetapi terhadap Tek Hoat dia tidak berani main-main karena dia maklum betapa lihainya pemuda ini
dan betapa berbahayanya untuk memusuhi Si Jari Maut di tempat sunyi itu tanpa pembantu. Maka dia
menahan kesabarannya dan mengambil keputusan untuk berhati-hati dan bersikap cerdik menghadapi
pemuda ini, akan perlahan-lahan memasang jaringnya untuk menjebak Tek Hoat ke dalam pelukannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua mata para tamu yang terdiri dari kaum pria itu tidak ada yang tidak memandang kepada Mauw
Siauw Mo-li, atau setidaknya tentu mengerling kagum. Seorang wanita yang cantik manis dan sudah
matang! Tetapi Mauw Siauw Mo-li tidak mempedulikan mereka, melainkan tersenyum bangga dan sadar
akan kekaguman yang membanjiri dirinya dan matanya memandang ke arah seorang pelayan gendut lalu
dia menggapai ke arah pelayan itu.
Pelayan itu sedang membawa baki melayani beberapa orang tamu. Ketika dia melihat Mauw Siauw Mo-li
menggapai kepadanya, dia cepat-cepat menyerahkan baki berisi masakan kepada seorang rekannya dan
dia sendiri tergesa-gesa menghampiri wanita cantik itu dan terbongkok-bongkok dan tersenyum-senyum
dengan sikap penuh hormat dan penjilatan.
“Ahhh... apakah Toanio dan Kongcu yang terhormat ingin makan? Mari, saya pilihkan tempat yang kosong
dan enak bagi Ji-wi (Anda berdua).”
Mauw Siauw Mo-li mengangguk dan pelayan itu dengan terbongkok-bongkok lalu mengantar mereka ke
sudut di mana terdapat meja kosong yang cepat dibersihkannya dengan kain yang selalu tergantung di
pundaknya.
“Toanio hendak pesan apa? Dan Kongcu?” tanyanya ramah.
“Keluarkan mi, daging dan sayur terbaik untuk dua orang, kemudian harus engkau sendiri yang melayani
kami karena kami ingin bicara denganmu.”
Pelayan itu membelalakkan matanya yang kecil sipit, tetapi lalu tersenyum-senyum dan menganggukangguk
seperti seekor ayam sedang makan beras. “Baik, Toanio, baik...“ dan dia lalu mengundurkan diri
untuk memenuhi pesanan Mauw Siauw Mo-li itu.
“Dialah yang ketika itu ditanyai oleh gadis yang kumaksudkan, maka aku minta dia yang melayani klta,”
bisik wanita cantik itu kepada Tek Hoat yang hanya mengangguk.
Pelayan itu datang membawa masakan dan arak yang dipesan, kemudian setelah mengatur semua itu di
atas meja, dia berdiri tak jauh dari situ sambil tersenyum-senyum dan siap untuk melayani dua orang ini
kalau-kalau membutuhkan sesuatu.
Mauw Siauw Mo-li mengajak Tek Hoat makan minum tanpa berkata-kata. Baru setelah dia merasa
kenyang dan menyusut bibirnya yang merah dan berminyak itu dengan sapu tangan, dia memberi isyarat
kepada pelayan itu untuk mendekat. Si pelayan mendekat dan membongkokkan tubuhnya agar kepalanya
lebih dekat dengan wanita itu untuk mendengarkan apa yang hendak dikatakan wanita itu.
“Aku ingin bertanya kepadamu tentang sesuatu dan kau harus menjawab sejujurnya dan sebenarnya.
Kalau kau memberi keterangan yang menyenangkan, jangan khawatir, aku akan memberi hadiah
kepadamu. Tapi jika kau berbohong atau menyembunyikan sesuatu, pedangku tidak akan segan-segan
untuk menyembelih lehermu.”
“Uhhhhh...! Ti... tidak... mana saya berani...“ Pelayan gendut itu berkata dan tubuhnya menggigil.
Mauw Siauw Mo-li terkekeh sehingga empat orang pria yang duduk di meja yang tidak jauh dari situ
menoleh semua. Melihat wanita cantik itu terkekeh genit dan matanya mengerling penuh daya tarik kepada
mereka, empat orang laki-laki yang melihat pakaiannya tentu terdiri dari kongcu yang beruang itu juga
tersenyum-senyum. Bahkan seorang di antara mereka yang termuda, usianya paling banyak tiga puluh
tahun, pakaiannya rapi dan indah, mengedipkan mata kepada Mauw Siauw Mo-li. Sambil terkekeh genit
wanita ini membalas dengan kedipan mata kanan sehingga laki-laki itu kelihatan girang bukan main lalu
minum araknya. Mereka berempat lalu tertawa-tawa dan berbisik-bisik. Tek Hoat melihat ini semua dengan
hati muak, akan tetapi dia pura pura tidak tahu dan diam saja, hanya memandang kepada pelayan gendut
itu.
Setelah sedikit gangguan main mata dengan empat orang pria itu, Mauw Siauw Mo-li kembali menghadapi
pelayan dan mulailah dia bertanya, “Beberapa hari yang lalu aku juga makan di sini...“
“Ahhh, saya ingat, Toanio. Saya ingat, maka ketika Toanio datang tadi, saya cepat menyambut karena
saya merasa pernah melihat Toanio...,“ pelayan itu cepat berkata.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dan pada waktu itu, engkau melayani seorang gadis cantik berbaju sutera merah indah dan membawa
payung. Dia bertanya kepadamu tentang seorang gadis cantik yang dibawa dengan paksa oleh seorang
kakek.” Mauw Siauw Mo-li membiarkan pelayan itu mengerutkan alis mengingat-ingat.
Ketika dia membayangi gadis yang dijumpainya di tepi jalan di dusun Khun-kwa tak jauh dari kota ini, dia
terus mengikuti gadis itu sampai gadis itu memasuki rumah makan di kota ini. Akan tetapi karena pada
waktu itu terdapat banyak sekali tamu dan suasana amat berisik, maka dia tidak dapat mendengarkan
percakapan antara gadis itu dan pelayan gendut ini dengan jelas, hanya melihat si gendut ini menggerakgerakkan
tangan. Pada waktu itu dia tidak begitu memperhatikan, bahkan tidak mempedulikan urusan itu,
akan tetapi setelah dia berniat membantu Tek Hoat, barulah dia teringat bahwa yang dimaksudkan oleh
gadis itu tentulah Puteri Syanti Dewi.
“Ahhh, sekarang saya ingat, Toanio. Benar..., gadis membawa payung...“
“Nah, dengarlah. Aku juga ingin mencari gadis yang dibawa oleh kakek itu. Ke manakah mereka?” Lalu dia
menambahkan, “Awas, jangan berbohong kau!”
“Aihhh, mana saya berani berbohong? Saya akan menceritakan kepada Toanio seperti yang saya
ceritakan kepada nona itu, seperti yang saya ketahui. Memang ada kakek dan gadis seperti yang
dimaksudkan itu makan di sini, akan tetapi tentu saja saya tidak tahu ke mana mereka pergi. Hanya di
waktu makan, saya mendengar kakek itu menyebut-nyebut pantai Laut Po-hai. Hanya itulah yang saya
ketahui dan demikian pula saya ceritakan kepada gadis itu, Toanio.”
“Pantai Lautan Po-hai?” Tek Hoat mengulang dan alisnya berkerut. “Kalau begitu, aku akan menyusul ke
sana!” katanya dan alisnya berkerut makin dalam ketika dia melihat Mauw Siauw Mo-li sudah tersenyumsenyum
dan bermain mata lagi dengan laki-laki berbaju kuning di meja lain itu. Ternyata Siluman Kucing ini
tidak mendengarkan atau mempedulikan keterangan si pelayan sama sekali, tetapi asyik bermain mata
dengan laki-laki itu!
Tiba-tiba laki-laki itu yang agaknya sudah setengah mabuk dan tidak kuat menyaksikan permainan mata
dan bibir Mauw Siauw Mo-li, berdiri dan dengan langkah yang agak terhuyung dia menghampiri meja
wanita itu, berpegang pada ujung meja dan dengan berdiri tidak lurus, agak tergoyang-tergoyang, dia
tersenyum lebar kepada Mauw Siauw Mo-li.
“He-he-he, engkau... he-he, cantik seperti bidadari... mari kita makan minum bersama... he-he-he, tentu
kita berdua akan senang sekali...”
“Prattt...!”
Laki-laki itu menjerit dan menutupi mukanya yang disiram kuah panas oleh Mauw Siauw Mo-li. Bukan
hanya karena kuah itu panas yang membuat laki-laki itu kini bergulingan dl atas lantai sambil menjerit-jerit,
akan tetapi karena kuah itu dilemparkan dengan pengerahan tenaga sakti oleh Mauw Siauw Mo-li yang kini
tertawa terkekeh-kekeh dan suara ketawa ini mengandung suara seekor kucing! Tek Hoat mengerutkan
alisnya, akan tetapi duduk saja dengan tenang.
Tentu saja tiga orang laki-laki lain yang duduk di meja sebelah menjadi terkejut dan marah sekali melihat
teman mereka bergulingan seperti itu. Mereka menyangka bahwa teman mereka itu dipukul atau terkena
senjata lain karena kalau hanya kuah, tidak mungkin teman mereka sampai menderita seperti itu. Serentak
mereka bangkit dan lari menghampiri meja Mauw Siauw Mo-li.
“Kau apakan teman kami?” bentak mereka.
“Hi-hik, dia terlalu mabuk dan kalian juga!”
Kini berhamburanlah mangkok-mangkok beserta sumpit-sumpit dari atas meja di depan wanita itu dan
terdengar suara berteriak-teriak kesakitan dan tiga orang laki-laki ini pun terpelanting dan roboh
bergulingan seperti teman mereka yang pertama. Muka mereka luka-luka, ada yang tertusuk sumpit
matanya, ada pula yang pecah pelipisnya terkena sambaran mangkok yang menghantam kepala sampai
pecah mangkok itu sehingga pecahannya melukai muka. Tentu saja restoran itu segera menjadi geger dan
para tamu banyak yang lari keluar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat ini, hati Tek Hoat terasa muak dan dia lalu bangkit berdiri, terus keluar dari tempat itu tanpa
mempedulikan Mauw Siauw Mo-li lagi. Wanita ini cepat memburu.
“Ehh, nanti dulu, Ang-sicu...!” Dia mengejar, akan tetapi Tek Hoat tidak menengok lagi, bahkan tidak peduli
ketika Mauw Siauw Mo-li melangkah di sampingnya dan mereka keluar dari kota itu.
Setelah mereka jauh meninggalkan pintu gerbang kota, dan melihat Tek Hoat sama sekali tidak
mempedulikannya, Mauw Siauw Mo-li lalu berkata, “Ang-sicu, apakah kau marah kepadaku?”
Tek Hoat tidak menjawab dan ketika untuk kedua kalinya Mauw Siauw Mo-li bertanya sambil memegang
tangannya, Tek Hoat malah mengibaskan tangan itu terlepas dan membalik, matanya memancarkan sinar
berkilat. “Pergilah dan jangan membikin aku merah!” hardiknya. Dia sudah siap untuk menyerang!
“Eh, ehh, Ang Tek Hoat!” Mauw Siauw Mo-li berkata dengan alis berkerut. “Berhari-hari aku selalu bersikap
hormat dan baik kepadamu, akan tetapi mengapa engkau sama sekali tidak memandang sebelah mata
kepadaku? Lupakah engkau bahwa aku berada di sampingmu karena hendak membantumu mencari
Syanti Dewi?”
Tek Hoat menghela napas. Benar juga, betapa pun wanita ini telah berusaha membantu menemukan
kembali jejak Syanti Dewi. Kembali dia menarik napas panjang dan agak mereda kemarahannya. ”Sepak
terjangmu membuat aku kesal dan marah.”
Mauw Siauw Mo-li tersenyum. Mulut yang bibirnya merah basah itu terbuka sehingga nampak deretan gigi
yang rapi dan putIh, rongga mulut yang merah seperti daging mentah yang masih segar. Melihat pemuda
itu reda kemarahannya, hati wanita ini menjadi gembira kembali.
“Sepak terjangku yang manakah yang tidak menyenangkan hatimu?” tanyanya halus, sikapnya merendah.
Ang Tek Hoat merasa tidak enak hatinya. Mengapa dia mempedulikan benar apa yang sudah dilakukan
oleh wanita ini? “Perbuatanmu terhadap empat orang di restoran itu memuakkan hatiku!” akhirnya dia
berkata dengan terus terang menyatakan isi hatinya.
“Ehhh?? Hi-hik, Ang-sicu yang baik. Mereka adalah laki-laki tak berharga yang sudah sepantasnya dihajar!
Perlukah orang-orang macam mereka itu diperlakukan dengan baik dan dihormati?”
Mereka saling pandang sejenak dan Tek Hoat mendengus lalu membuang muka. “Aku tidak membela
mereka atau siapa pun juga. Akan tetapi, engkau telah bermain mata dengan mereka, lalu menyiksa
mereka. Siapa tidak menjadi sebal melihatnya?”
Senyum itu melebar, mata yang masih indah itu terbelalak dan dari kerongkongannya terdengar suara
lembut seperti suara seekor kucing kalau dibelai. “Jadi engkau... engkau memperhatikan semua itu? Dan
hatimu tidak senang melihat aku bermain mata dengan mereka?” Pandang mata itu kini penuh selidik.
Wajah Tek Hoat menjadi merah.
“Sudahlah! Aku tidak peduli apa yang akan kau lakukan, akan tetapi di depanku selama kita melakukan
perjalanan bersama, kau tidak boleh bertindak seperti itu yang hanya menimbulkan kekesalan hatiku.”
“Aihhh... Sicu. Sungguh aneh sekali mendengar ini dari mulutmu. Bukankah aku kini berhadapan dengan Si
Jari Maut? Bukankah dalam hal kekerasan, aku sendiri masih boleh berguru kepada Si Jari Maut? Kita
berdua adalah orang-orang dari golongan hitam, tindakan kekerasan merupakan kesenangan kita,
kepandaian dan kekerasan merupakan hukum kita. Ataukah terjadi hal mukjijat di mana Si Jari Maut telah
berubah menjadi lemah dan lunak, si harimau ganas yang gagah perkasa telah berubah menjadi seekor
domba yang jinak?”
“Sudahlah! Jangan sebut-sebut tentang Si Jari Maut... Aku benci kepadanya! Aku benci...!” Tek Hoat lalu
membalikkan tubuh dan melanjutkan perjalanannya ke timur.
Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan mengikutinya terus tanpa berani bicara apa-apa lagi sampai mereka
berdua berhenti di dalam hutan karena malam telah tiba dan malam itu gelap sekali tiada bulan, hanya ada
sedikit bintang yang tidak cukup terang untuk memungkinkan mereka melakukan perjalanan melewati
hutan lebat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seperti biasa, Tek Hoat tidak pernah mau repot-repot dan setelah bersemedhi beberapa lama lalu tidur
sambil bersandar pada batang pohon, dan kembali Mauw Siauw Mo-li yang bekerja mengumpulkan kayu
dan daun kering, membuat api unggun dan duduk melamun. Sampai lama wanita ini memandang ke arah
Tek Hoat yang sudah tidur pulas karena kehangatan api unggun mendatangkan kantuk pada matanya
yang dibayangi kedukaan dan kekhawatiran dan pada tubuhnya yang lelah.
Berkali-kali Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang, mengamati wajah yang ditimpa api unggun itu,
wajah seorang pemuda yang kelihatan masih remaja kalau sedang tidur memejamkan mata seperti itu.
Lenyaplah garis-garis kekerasan di wajah Tek Hoat. Di waktu tidak tidur, maka tarikan dagu yang
mengeras, dan pandang matanya yang memancarkan ketajaman yang menusuk, serta bayangan muram
pada wajah yang kelihatannya tidak acuh, semua itu membuat wajah Si Jari Maut menjadi matang dan
menyeramkan.
Akan tetapi di waktu tidur seperti itu, lenyaplah sifat-sifat Si Jari Maut dan wajah itu membayangkan
seorang pemuda yang patut dikasihan! Teringat betapa selama berhari hari dia tak berhasil ‘mendekati’
pemuda ini, Mauw Siauw Mo-li menarik napas panjang penuh penyesalan, kekecewaan dan juga
penasaran. Jarang ada pria yang sanggup bertahan terhadap rayuan mautnya. Baru kerling dan
senyumnya saja tadi telah membuat empat orang laki-laki di restoran itu tergila-gila. Dan rayuan-rayuannya
dahulu pernah menundukkan putera dari Pendekar Siluman!
Kalau dia mengenang kembali peristiwa itu, terdapat rasa kebanggaan yang luar biasa di dalam lubuk
hatinya. Entah sudah berapa ratus, berapa ribu orang pria yang jatuh bertekuk lutut di depan kakinya, yang
mabuk kepayang dalam pelukan dan belaiannya, namun kalau dia terkenang kepada Suma Kian Bu,
putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, jantungnya berdebar penuh kebanggaan! Betapa bangganya
mengenangkan betapa pemuda Pulau Es itu, yang tampan sekali dan gagah perkasa, pernah mabuk
kepayang di dalam pelukan dan belaiannya, pernah menjadi kekasihnya. Dialah yang memperoleh
perjakanya pemuda sakti itu!
Kembali dia memandang wajah Tek Hoat. Pemuda ini tidak banyak selisihnya dengan Suma Kian Bu.
Sama muda, sama tampan, dan sama gagah perkasa. Perbedaannya yaitu, kalau Suma Kian Bu adalah
seorang tokoh dari golongan putih yang selalu menentang kejahatan, adalah Ang Tek Hoat sebaliknya,
seorang tokoh hitam yang mengerikan, yang berjuluk Si Jari Maut! Jadi lebih cocok dengan dia!
“Aihhh... mengapa engkau begitu angkuh...?” keluhnya, membayangkan betapa akan nikmatnya kalau
malam itu dia dapat terbuai dalam pelukan pemuda itu.
Sudah berhari-hari dia tak pernah berdekatan dengan pria, padahal Tek Hoat si pemuda ganteng ini setiap
hari berada di sampingnya. Sungguh keadaannya seperti seekor kucing kelaparan yang dekat dengan
daging segar, akan tetapi tidak dapat menerkam daging yang menggairahkan itu!
Tiba-tiba Mauw Siauw Mo-li mendengar suara yang tidak wajar. Dia lalu bangkit dan melirik ke arah Tek
Hoat. Masih tidur nyenyak pemuda itu. Dengan gerakan ringan dan tanpa mengeluarkan suara, Mauw
Siauw Mo-li meninggalkan api unggun, menyelinap di antara pohon-pohon yang gelap. Tak lama kemudian
dia melihat lima orang laki-laki dan di antara mereka terdapat dua yang dikenalnya, karena dua orang ini
adalah dua orang di antara empat orang yang tadi dihajarnya di restoran. Mauw Siauw Mo-li tersenyum.
Dia sedang ‘haus’ dan kini datang lima orang laki-laki. Setidaknya ada dua orang di antara mereka yang
masih cukup muda dan tidak buruk. Lumayan untuk memuaskan kehausannya yang datang menyiksa
karena selalu dekat dengan Tek Hoat yang tidak mempedulikannya. Akan tetapi tiba-tiba dia teringat akan
sesuatu dan senyumnya melebar. Mengapa tidak? Mungkin ini merupakan jalan dan siasat yang amat baik,
pikirnya. Cepat dia membuka kancing bajunya luar dalam sehingga dadanya kelihatan terbuka dan
sebagian dari bukit-bukit dadanya nampak. Lalu dia berjalan memapaki lima orang itu.
“Ohhh...!” Dia menahan seruannya ketika sudah berhadapan dengan mereka.
Lima orang laki-laki itu terkejut, akan tetapi seorang dari mereka yang mengenal Mauw Siauw Mo-li
berseru, “Ini dia siluman itu!”
Dan mereka berlima lalu menyerbu Mauw Siauw Mo-li. Wanita ini mengelak ke sana-sini dan menangkis,
akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan mengenal pundaknya dan dia terhuyung. Lima orang itu menerkam
dan Mauw Siauw Mo-li mempertahankan diri mati matian sehingga pakaiannya koyak-koyak.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tolonggg...! Toloonggggg... Ang-sicu...!” Terdengar dia menjerit-jerit.
Tek Hoat terbangun dan terkejut mendengar jeritan itu. Otomatis dia meloncat dalam keadaan sadar
sepenuhnya dan di lain saat dia telah berlari cepat menuju ke arah datangnya suara itu. Dan ketika dia tiba
di tempat itu, apa yang dilihatnya membuat Tek Hoat mengerutkan alis saking marahnya. Dia melihat
Mauw Siauw Mo-li rebah terlentang di atas tanah, pakaiannya tidak karuan dan di sana-sini terbuka,
sedangkan lima orang laki-laki sedang memegangi tubuh yang meronta-ronta itu! Dia tidak tahu betapa di
dalam gelap itu, Mauw Siauw Mo-li masih sempat melirik ke arah Tek Hoat.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru