Jumat, 11 Agustus 2017

Kho Ping Hoo Tamat Kisah Sepasang Rajawali 12


Kho Ping Hoo Tamat Kisah Sepasang Rajawali 11 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Kho Ping Hoo Tamat Kisah Sepasang Rajawali 12
kumpulan cerita silat cersil online
-Dengan tongkatnya Pendekar Super Sakti menuding dan... jubah itu seperti ketakutan, seperti seorang
kanak-kanak yang ketakutan, dan lari kepada ayahnya. Jubah yang seperti hidupp itu kini ‘memasuki’ lagi
tubuh dan kedua lengan See-thian Hoat-su dan telah dipakainya kembali.
Sejenak kedua orang itu saling pandang. Ceng Ceng yang masih pucat dan Hwee Li yang masih
gemetaran itu memandang dari tempat jauh, sedangkan Siang In juga sudah bangkit duduk dan menonton.
Orang-orang yang tadinya menjauhkan diri, kini berani lagi agak mendekat akan tetapi tetap saja agak jauh
dan mereka berjongkok untuk menonton apa yang selanjutnya akan terjadi.
Sampai lama kedua orang tua itu saling pandang. Kemudian See-thian Hoat-su tertawa bergelak, “Ha-haha-
ha, hampir tidak dapat aku percaya. Benarkah aku berhadapan dengan Pendekar Super Sakti, tocu dari
Pulau Es yang juga terkenal sebagai Pendekar Siluman yang tersohor itu?”
Pendekar Super Sakti belum pernah mengenal kakek ini, juga belum pernah mendengar namanya, maka
dengan tenang dan sikap sederhana dia menjawab, “Saya memang datang dari Pulau Es.”
“Ha-ha-ha-ha, bagus, bagus! Kalau dicari sampai mati pun belum tentu dapat jumpa! Pendekar Siluman,
kabarnya engkau di samping memiliki kepandaian silat yang tidak terkalahkan, juga amat kuat di dalam
ilmu sihir. Nah, aku See-thian Hoat-su memang paling suka main-main dengan ilmu sihir, maka pertemuan
ini tak boleh dilewatkan begitu saja. Mari kita main-main untuk melihat siapa yang lebih kuat di antara kita.”
“See-thian Hoat-su, kita bukan anak kecil lagi. Perlu apa kita bersikap seperti anak kecil yang suka pamer?
Kalau ada persoalan di antara kita, apakah tidak lebih baik kita selesaikan secara damai?” Suma Han
berkata.
“Ha-ha-ha-ha, justru tidak ada persoalan! Ada pun kecil tidak berarti, dan aku tadi pun hanya main-main
saja dengan mereka.” Tiba-tiba pandang mata See-thian Hoat-su mengeluarkan sinar mencorong yang
aneh. “Pendekar Siluman, kulihat tongkatmu itu bukan sembarangan tongkat, lihat dia pandai terbang...!”
Pendekar Super Sakti menghela napas panjang. “Sesukamulah, Hoat-su.”
Dan dia membiarkan tongkatnya terlepas dari tangannya dan sekali See-thian Hoat-su menggerakkan
tangannya, tongkat itu benar-benar melayang di udara, di antara mereka. Pendekar Super Sakti hanya
bersedakap dan bersikap tenang saja. Semua orang yang menonton menjadi melongo saking herannya,
melihat tongkat butut itu melayang-layang di antara dua orang kakek itu, seolah-olah tongkat itu adalah
sebuah benda hidup.
“Pendekar Siluman, lihat tongkatmu menjadi harimau yang akan menelanmu sendiri, ha-ha-ha!” Terdengar
suara See-thian Hoat-su. Dia berbicara sambil tertawa-tawa, seperti orang berkelakar saja, akan tetapi di
dalam suaranya itu terkandung kekuatan mukjijat yang amat berwibawa.
Semua orang yang berada di situ menjadi pucat mukanya dan melotot penuh rasa ngeri dan takut ketika
melihat betapa tongkat yang tadinya melayang-layang dan bergerak-gerak seperti hidup itu tiba-tiba kini
telah berubah menjadi seekor harimau yang amat besar dan yang menggereng dengan suara
dunia-kangouw.blogspot.com
menggetarkan tempat itu dan harimau itu meringis, memperlihatkan taringnya seperti hendak menyerang
kakek berkaki buntung sebelah itu.
“Kau keliru, Hoat-su. Tongkatku itu tidak menjadi harimau, melainkan menjadi seekor naga yang hendak
menyerangmu!” Pendekar Super Sakti berkata, suaranya halus tenang namun juga mengandung wibawa
yang amat kuat.
Para penonton sekarang menjadi makin ketakutan, ada yang menggigil dan tidak dapat bangkit berdiri,
kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka makin lebar terbelalak ketika melihat betapa harimau besar
itu tiba-tiba saja berubah menjadi seekor naga yang amat buas dan yang bersikap marah hendak
menyerang Kakek See-thian Hoat-su!
See-thian Hoat-su menggerak-gerakkan kedua tanganya di udara dan bentuk naga itu berubah lagi
menjadi bentuk harimau, akan tetapi tidak lama, karena segera berubah lagi menjadi bentuk naga seperti
yang dikatakan oleh Pendekar Siluman tadi. Terjadilah adu tenaga sihir yang amat aneh dan orang-orang
yang menonton di situ makin lama menjadi makin ketakutan.
Siapa yang tidak akan merasa ngeri melihat tongkat butut itu berubah-ubah bentuknya antara bentuk
harimau dan bentuk naga, bahkan kadang-kadang ‘pertandingan’ itu sedemikian hebatnya hingga ada
kalanya tongkat itu berubah menjadi seekor harimau yang tubuh bagian belakangnya berbentuk naga, atau
malah seekor naga yang tubuh belakangnya berbentuk harimau! Tentu saja semua orang menjadi
ketakutan dan makin lama mereka makin mundur menjauhi dua orang kakek yang mereka anggap
siluman-siluman itu.
Setelah mengadu kekuatan sihir beberapa lama, akhirnya See-thian Hoat-su terpaksa mengakui
keunggulan Pendekar Super Sakti ketika tongkat itu sepenuhnya berubah menjadi seekor naga yang
beterbangan dan mengancam kepala kakek dari barat itu.
“Hebat engkau, Pendekar Siluman. Biar aku mengakui keunggulanmu!” katanya sambil menghentikan
pengerahan tenaga mukjijat.
Suma Han mengangkat tangannya dan ‘naga’ itu terbang kembali ke tangannya dan berubah lagi menjadi
sebatang tongkat.
“See-thian Hoat-su, engkau sudah tua sekali akan tetapi masih suka main-main seperti seorang anak-anak
saja.” Pendekar Super Sakti menegur.
“Ha-ha-ha-ha, memang orang tua bukan lain hanyalah anak-anak yang tubuhnya besar. Anak-anak suka
bermain-main dengan barang-barang mainan, orang-orang tua juga suka bermain-main dengan pikiranpikiran
dan nafsu-nafsu keinginannya sendiri. Tidak begitukah?”
Suma Han tersenyum. “Engkau benar, Hoat-su. Harap kau orang tua suka memaafkan kalau dua orang
temanku yang muda itu tadi melakukan kesalahan terhadapmu.” Suma Han menuding ke arah Ceng Ceng
dan Hwee Li.
Akan tetapi dia tersenyum melihat Hwee Li dan nona cantik murid kakek itu ternyata sudah duduk
berdekatan dan bicara dengan asyik dan dalam suasana bersahabat! Memang demikianlah. Hwee Li dan
Siang In yang keduanya mempunyai watak yang hampir sama, ternyata sudah bersahabat, bahkan Hwee
Li telah setengah memaksa subo-nya untuk mengobati Siang In. Tentu saja tidak ada lagi persoalan di
antara mereka, bahkan mereka lalu bersahabat.
“Bagaimanakah Majikan Pulau Es yang berada jauh di utara bisa tersesat sampai ke tempat ini?” Kakek
See-thian Hoat-su yang tidak biasa bersikap hormat terhadap siapa pun juga itu bertanya.
“Aku sedang mencari puteraku, Hoat-su. Barangkali engkau melihatnya. Dia bernama Suma Kian Bu...”
“Heee, Siang In. Bukankah kau mengenal seorang pemuda yang bernama Kian Bu?” tiba-tiba kakek itu
memanggil muridnya.
Mendengar disebutnya nama itu, Siang In memandang kepada gurunya dengan kedua pipi berubah merah
sekali. Akan tetapi dia lalu meninggalkan Hwee Li dan mendekati gurunya, memandang kepada Pendekar
Super Sakti dengan penuh selidik.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tentu saja aku mengenal dia, Suhu,” jawabnya.
“Bagus!” Suma Han berseru girang. “Di mana kau terakhir bertemu dengan dia, Nona?”
“Nanti dulu,” Siang In menjawab, “Siapakah Locianpwe yang aneh ini dan mengapa pula bertanya tentang
dia?”
“Ha-ha-ha, bocah tolol. Yang berdiri di depanmu ini adalah Pendekar Siluman dari Pulau Es, ayah dari
pemuda itu.”
Siang In terkejut sekali dan cepat dia menjura dengan hormat. “Maafkan saya...”
Pendekar Super Sakti tersenyum. Seorang dara yang cantik jenaka dan pantas menjadi murid seorang
sakti seperti See-thian Hoat-su, pikirnya.
“Aku hanya ingin tahu di mana engkau bertemu dengan dia akhir-akhir ini, Nona?” Dia mengulang
pertanyaannya.
“Di dalam hutan... pada saat terjadi pencegatan yang dilakukan gerombolan Tambolon terhadap
rombongan pengawal Puteri Bhutan.” Gadis itu lalu bercerita, akan tetapi tentu saja dia tidak menceritakan
betapa dia telah dicium oleh pemuda itu!
Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya. “Kalau menurut perkiraanmu, ke mana sekarang perginya
anakku yang suka bertualang itu, Nona?”
“Dia agaknya diam-diam mengawal Sang Puteri Bhutan, dan tentu sekarang sudah berada di tapal batas
Bhutan dan...” Siang In menoleh ke kanan kiri. Melihat banyak orang anggota suku bangsa penggembala
itu menonton, ia lalu berkedip dan mendekati Pendekar Super Sakti, berbisik, “Mereka ini adalah suku
bangsa yang terbujuk oleh Tambolon, sekarang Tambolon sedang memerangi Bhutan dan saya berani
bertaruh bahwa putera Locianpwe itu sedang ikut perang membela Bhutan.”
Melihat Siang In tadi mendekati Suma Han dan berbisik-bisik pelan, Ceng Ceng yang menaruh curiga lalu
mendekat pula. Dia terkejut mendengar bahwa Bhutan diserang oleh Tambolon, maka dia pun lalu berkata
kepada Pendekar Super Sakti, “Kalau begitu, saya harus cepat ke sana untuk membantu...”
See-thian Hoat-su tertawa. “Ha-ha-ha, kami guru dan anak tidak mau mencari keributan, kami mempunyai
urusan pribadi sendiri, maka maafkanlah kami yang sekarang harus pergi. Hayo, Siang In!” Dia memegang
tangan muridnya dan pergi dengan cepat. Siang In melambaikan tangan kepada mereka terutama kepada
Hwee Li yang dibalas pula oleh Hwee Li.
Setelah guru dan murid itu pergi, Pendekar Super Sakti berkata kepada Ceng Ceng, “Kita harus berhatihati
dan jangan sembrono, Nona. Lebih baik kita mendekati lebih dulu pimpinan suku bangsa ini dan
mencari keterangan dari mereka.”
Baru saja dia berkata demikian, para penonton yang merasa kagum kepada pendekar kaki buntung ini
yang tadi telah memperhatikan kehebatan ilmu sihirnya sehingga mereka yang menonton menjadi kagum
dan juga takut, kini bergerak minggir dan memberi jalan dengan sikap hormat kepada tiga orang yang
berpakaian jubah lebar dan lebih mewah dari pada pakaian mereka semua. Kiranya mereka ini adalah tiga
orang pimpinan suku bangsa itu yang mendengar akan kehebatan ilmu sihir dari kakek berkaki buntung
sebelah, juga kehebatan seorang dara muda yang mengalahkan orang India ahli bermain ular.
Dengan sikap ramah tiga orang kepala suku itu lalu mengundang Pendekar Super Sakti dan dua orang
dara cantik itu sebagai tamu kehormatan. Kesempatan ini tentu saja disambut dengan baik oleh Pendekar
Super Sakti. Mereka kemudian diajak memasuki perkemahan dan dijamu dengan masakan-masakan yang
terbuat dari daging domba, menerima minuman yang bagi mereka merupakan minuman khas dan mewah,
yaitu susu domba.
Pendekar Super Sakti, Ceng Ceng dan Hwee Li mendengar penuturan mereka melalui seorang
penerjemah, bahwa memang benar mereka itu merupakan suku bangsa yang berpihak kepada Raja
Tambolon yang kini sedang memerangi Bhutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kami membutuhkan bantuan orang-orang pandai seperti Anda,” kata kepala suku tertua sambil
memandang Suma Han penuh perhatian. “Karena di pihak tentara Bhutan terdapat pemimpin-pemimpin
yang amat pandai, bahkan seorang panglima wanita berada di sana memimpin pasukan pertahanan
Bhutan. Kabarnya panglima wanita itu adalah puteri Kerajaan Ceng yang amat lihai. Ia dibantu oleh
seorang laki-laki setengah tua yang luar biasa tinggi ilmunya, juga terdapat seorang pemuda yang luar
biasa.”
Mendengar ini, Pendekar Super Sakti lalu menduga-duga dengan hati girang. Panglima wanita Kerajaan
Ceng itu siapa lagi kalau bukan Milana, anaknya sendiri? Dan pemuda lihai itu tentulah Suma Kian Bu.
“Baiklah, kami akan melihat-lihat peperangan itu kalau kalian suka membawa kami ke sana,” katanya
dengan girang.
Kepala suku itu menjadi girang dan pada keesokan harinya, berangkatlah serombongan orang laki-laki
muda dari suku bangsa itu yang dipilih sebagai tenaga-tenaga bantuan untuk pasukan Raja Tambolon
yang sedang sibuk mengurung kota raja Bhutan. Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu ikut
bersama mereka menuju ke medan peperangan. Karena suku bangsa liar itu sudah mengenal jalan
dengan baik, maka perjalanan dapat dilakukan dengan amat cepatnya, dengan memotong jalan melalui
pegunungan, menunggang kuda-kuda yang sudah terlatih baik.
Akan tetapi, sebelum mereka tiba di perkemahan yang didirikan oleh barisan pengurung kota raja Bhutan,
ketika rombongan mereka tiba di lapangan terbuka, mereka terkejut sekali mendengar bunyi melengking
tinggi dari atas, apa lagi ketika mereka memandang dan melihat seekor burung rajawali yang besar dan
berbulu hitam menyambar turun sambil mengeluarkan bunyi melengking keras. Bubarlah pasukan itu dan
pemimpin mereka lalu mementang gendewa, membidik ke arah rajawali.
“Jangan panah...!” Pendekar Super Sakti berseru, namun terlambat, anak panah itu telah meluncur ke arah
burung.
“Hek-tiauw, awas panah...!” Hwee Li yang telah mengenal burungnya itu berseru keras.
Akan tetapi penyerangan itu terlalu ringan bagi rajawali hitam. Dengan mudahnya dia menyampok anak
panah itu dengan kakinya, lalu dia menukik dan hendak menyerang ke arah kepala suku yang
memanahnya tadi.
Akan tetapi, dengan sekali bergerak Pendekar Super Sakti telah mencelat dari atas kudanya, memapaki
rajawali hitam yang menyambar turun itu.
“Plak! Desss...!”
Rajawali terpental dan terdengar teriakan kaget dari atas punggungnya. Kiranya ada orang yang
menunggang rajawali itu.
“Ayah...!” Hwee Li berteriak ketika mengenal orang itu.
Sedangkan Hek-tiauw Lo-mo juga terkejut mendengar suara anaknya. Dia tadi amat kaget ketika
serangkum hawa yang kuat keluar dari tangan Pendekar Super Sakti, membuat burungnya terpental. Maka
kini melihat puterinya berada di situ, dia menjadi girang dan juga heran. Setelah menyuruh burung
rajawalinya turun, dia pun meloncat ke atas tanah.
“Ayah...! Kau sungguh terlalu, Ayah, selalu meninggalkan aku!” Hwee Li berseru dengan wajah bersungutsungut.
Sementara itu, rombongan suku bangsa liar itu terbelalak dengan muka pucat. Tentu orang ini bukan
manusia, pikir mereka, melainkan dewa yang tinggal di langit dan kini turun menunggang burung raksasa
untuk menghukum. Maka dua puluh lebih orang-orang yang tidak pernah takut menghadapi lawan manusia
itu kini menjatuhkan diri berlutut!
Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo tidak mempedulikan mereka, juga tidak mempedulikan puterinya setelah
sekilas pandang melihat puterinya sehat-sehat saja, melainkan dia memandang dengan penuh perhatian
kepada kakek yang sebelah kakinya buntung dan yang tadi membuat rajawalinya terpental. Sampai lama
kedua orang ini berdiri saling pandang karena Suma Han juga sudah meloncat turun dari kudanya setelah
dunia-kangouw.blogspot.com
tadi menyelamatkan pimpinan rombongan yang diserang rajawali hitam. Sedangkan Hwee Li sudah lari ke
dekat burung rajawalinya itu dan merangkul lehernya.
“Aih, hek-tiauw, kau telah sembuh...?” katanya sambil membelai kepala burung rajawali itu yang
mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing yang dibelai majikannya.
Hal ini membuat semua orang suku bangsa liar itu menjadi bengong dan semakin ketakutan. Kiranya
rombongan tiga orang yang hendak membantu mereka itu adalah golongan dewa!
“Kau... kau... tak salah lagi! Kau tentu Pendekar Siluman Suma Han, Majikan Pulau Es!” Akhirnya Hektiauw
Lo-mo berseru keras, dengan sedikit keraguan masih menempel di dalam suaranya.
“Hek-tiauw Lo-mo, engkau seharusnya berada di Pulau Neraka yang telah kau rampas dan kuasai,” kata
Suma Han, nada suaranya keras dan berwibawa. “Tahukah engkau tempat apa yang kau rampas dan
kuasai itu? Tempat pembuangan dan siapa sudah menetap di sana tidak boleh pergi lagi dari pulau itu,
karena kepergiannya berarti hanya menyebar mala petaka. Kembalilah kau ke Pulau Neraka.”
“Ha-ha-ha-ha!” Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. “Sudah puluhan tahun aku ingin sekali bertemu dengan
Pendekar Siluman sebelum aku mati dan selalu tidak pernah ada kesempatan. Siapa tahu sekarang
bertemu di sini, sungguh girang sekali hatiku. Ingin aku merasakan sendiri kehebatan Pendekar Super
Sakti atau Pendekar Siluman yang namanya menggetarkan kolong langit.”
Setelah berkata demikian Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan kedua lengannya. Terdengar suara
berkerotokan dan dari kedua tangannya mengepul uap hitam! Agaknya karena maklum akan kelihaian
Suma Han, kakek ketua Pulau Neraka ini telah mengerahkan ilmu Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun
Ular Hitam) dan bagaikan badai mengamuk dia lalu menerjang Pendekar Super Sakti.
“Wuuuutttt... syuuuuttt...!”
Angin yang dahsyat menyambar, membuat pasir dan debu beterbangan saking hebatnya serangan yang
dilakukan oleh kakek ini. Rombongan suku bangsa liar itu terkejut dan ketakutan, cepat mereka mundur
dan berusaha menenangkan kuda mereka yang meringkik ketakutan dan meronta berusaha melarikan diri.
“Hemmm...!” Suma Han mengeluarkan seruan.
Tubuhnya telah mencelat ke kiri dengan gerak loncat Soan-hong-lui-kun menghindarkan serangan Hektiauw
Lo-mo. Akan tetapi kakek Pulau Neraka ini sudah menyerang lagi, menubruk seperti seekor singa
kelaparan dengan kedua tangan terpentang dan jari-jarinya membentuk cakar singa. Kembali Suma Han
menggunakan kecepatan gerakan kaki tunggalnya, membiarkan lawan menubruk tempat kosong.
“Ayaaaah... jangan...!” Hwee Li berteriak.
“Sssttt, Hwee Li, jangan mencampuri urusan orang tua!” Ceng Ceng berseru mencegah muridnya karena
dia tahu betapa berbahayanya kalau muridnya itu mendekati dua orang sakti yang sedang bertanding itu.
Dia maklum akan kelihaian dan bahayanya Hek-tiauw Lo-mo, bahkan dia pernah terluka parah oleh tokoh
Pulau Neraka itu. Maka kini, berhadapan dengan Majikan Pulau Es, Ketua Pulau Neraka itu bertemu lawan
dan tentu pertandingan itu akan hebat dan berbahaya sekali.
Hwee Li tidak berani bersuara lagi, lebih-lebih melihat burung rajawali hitam itu menjadi gelisah dan dia
tahu bahwa kalau dia melepaskan burung itu, tentu burung itu akan membantu ayahnya dan mengeroyok
Pendekar Super Sakti. Maka dia yang tidak ingin melihat pendekar yang dia tahu amat baik hati itu
dikeroyok, lalu merangkul leher burungnya dan menenangkannya, seperti rombongan itu menenangkan
kuda masing-masing.
“Haaaihhh... waaahhhh!”
Hek-tiauw Lo-mo masih menyerang terus dengan dahsyat dan bertubi-tubi sampai dua puluh empat jurus
dia menerjang terus menerus dan sambung menyambung tanpa memberi kesempatan sedikit pun kepada
lawannya. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa Suma Han terdesak. Sama sekali tidak, melainkan
pendekar itu memang hanya mengelak saja, mengandalkan gerakan Soan-hong-lui-kun yang kecepatan
gerakannya tidak ada keduanya di dunia. Pukulan-pukulan Hek-coa-tok-ciang membuat di sekeliling dua
orang itu tampak uap hitam berhamburan dan bau amis memenuhi udara.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, kau sungguh tak tahu diri, Hek-tiauw Lo-mo!” terdengar seruan Pendekar Super Sakti.
Tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan mata lawan, tahu-tahu dari belakang lawan tangannya melayang
dan membalas serangan-serangan itu. Hek-tiauw Lo-mo terkejut, membalik sambil menangkis, namun
tubuh lawannya berkelebat dengan kecepatan yang luar biasa dan sudah lenyap lagi, tahu-tahu menyerang
dari kanan. Dia cepat mengelak dan demikianlah, Hek-tiauw Lo-mo sekarang hanya mengelak dan
menangkis karena tubuh lawannya bergerak terlalu cepat sehingga sukar dia ikuti dengan pandang mata!
“Pendekar Siluman, jangan menggunakan ilmu siluman, hayo kau hadapi aku secara jantan!” teriaknya
marah dan juga jeri.
“Hek-tiauw Lo-mo, apa yang kau maksudkan dengan cara jantan?”
“Heiiittttt!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan sinar hitam tipis menyambar ke arah berkelebatnya
bayangan Pendekar Super Sakti yang menunda serangan-serangannya karena melayani lawan bicara.
“Plakkk!”
Jala itu kena sambaran hawa pukulan tangan kiri Pendekar Super Sakti dan... robek seperti terbakar. Itulah
pukulan Hui-yang Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga benda pusaka yang tahan api itu
masih tidak mampu bertahan menghadapi pukulan itu.
“Keparat!” Hek-tiauw Lo-mo makin marah dan dia kini menghantam sambil berteriak, “Hadapi pukulanku
ini!”
“Hemm...!” Pendekar Super Sakti berdiri tegak, mengempit tongkatnya sehingga dia hanya berdiri dengan
satu kaki, kedua tangannya menerima hantaman kedua tangan lawan.
“Dessss...!”
Tubuh Pendekar Super Sakti yang hanya ditopang oleh sebelah kaki seperti seekor burung bangau berdiri
dengan satu kaki itu bergoyang-goyang, seperti batang padi tertiup angin, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lomo
terlempar dan terbanting roboh lalu bergulingan. Ketika dia meloncat bangkit lagi, matanya menjadi
merah, mukanya pucat dan dia mengusap sedikit darah yang mengalir keluar di ujung bibirnya! Sejenak dia
memandang penuh kebencian, penuh kemarahan, akan tetapi juga penuh takjub akan kehebatan lawan
yang sudah bertahun-tahun dianggapnya sebagai musuhnya yang nomor satu di dunia ini.
Sejenak mereka berpandangan dari jarak sekitar lima meter, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menunduk,
membungkuk lalu membentak, “Pendekar Siluman, kau sambutlah ini kalau memang kau jantan...!” Lalu
tubuh Ketua Pulau Neraka itu bergerak lari ke depan dengan kepala di depan, persis seperti seekor kerbau
menyerang dengan tanduknya. Kepalanya menuju ke arah perut Pendekar Super Sakti.
Pendekar ini terkejut sekali melihat kenekatan lawan, akan tetapi dia tidak bergerak menyingkir, bahkan
lalu menerima serudukan nekat itu dengan perutnya yang kecil.
“Capppp...!”
Kepala Hek-tiauw Lo-mo seolah-olah memasuki rongga perut Pendekar Super Sakti, tubuh kakek Pulau
Neraka ini kaku seperti sebatang kayu sehingga kakinya lurus ke belakang. Mendadak kedua tangannya
bergerak menghantam ke arah kedua pundak Pendekar Super Sakti, akan tetapi pendekar ini telah terlebih
dulu menggerakkan kedua tangannya menyambut hantaman itu!
“Plakkk!” Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan melekat.
“Locianpwe, jangan bunuh ayahku...!” Tiba-tiba Hwee Li yang masih merangkul rajawali hitam itu berseru
nyaring.
Sejenak Pendekar Super Sakti mengerling ke arah bocah itu, lalu terdengar mulutnya mengeluarkan bunyi
melengking nyaring yang membuat semua kuda rombongan suku bangsa liar itu meringkik ketakutan dan
membuat rajawali hitam juga meronta-ronta ketakutan. Berbareng dengan pekik melengking ini, tubuh Hektiauw
Lo-mo terlempar ke arah puterinya dan terbanting jatuh.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aduuuhhhh...!” Tanpa tertahankan lagi Ketua Pulau Neraka ini mengeluh, kemudian menggoyang-goyang
kepala mengusir kepeningan, sekilas memandang ke arah lawan yang masih berdiri tegak dan tenang,
kemudian secepat kilat dia menyambar pinggang Hwee Li dan meloncat ke atas punggung rajawali hitam
yang segera menggerakkan sayapnya terbang dari tempat itu.
“Hwee Li...!” Ceng Ceng berseru kaget.
“Ayah, lepaskan aku...! Aku mau ikut Subo...!” Hwee Li meronta-ronta akan tetapi tidak mampu melepaskan
diri dari rangkulan ayahnya dan tak lama kemudian burung itu sudah terbang tinggi dan lapat-lapat
terdengar tangis Hwee Li.
“Ohhh...,” Ceng Ceng mengeluh.
“Dia diajak pulang oleh ayahnya, perlu apa disesalkan? Dan anak itu memang perlu berdekatan dengan
ayahnya. Agaknya hanya anaknya itu saja yang akan mampu merubahnya,” kata Pendekar Super Sakti.
Ceng Ceng diam saja dan memang peristiwa ini hanya sebentar saja menggores hatinya yang sudah
menjadi layu.
Kini pimpinan rombongan, diikuti oleh semua anak buahnya berlutut di depan Pendekar Super Sakti.
“Pendekar besar... siapakah yang datang menunggang burung dewa tadi? Apakah dia itu golongan dewa
atau golongan iblis?” tanya pimpinan rombongan yang paling pandai berbahasa Han dari pada yang lain.
Suma Han tersenyum. “Kalau dikatakan bahwa dia itu iblis memang lebih cocok,” jawabnya.
“Ahhh, kalau begitu paduka adalah seorang dewa!” Ucapan ini disusul oleh sikap yang amat menghormat,
mereka berlutut dan menyembah-nyembah.
“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan,” kata Suma Han.
Oleh karena mereka merasa dibantu oleh dewa, rombongan itu melanjutkan perjalanan menuju ke kota
raja Bhutan yang sedang dikurung oleh pasukan-pasukan Tambolon dengan gembira.....
********************
Puteri Milana, Gak Bun Beng, Panglima Jayin dan para panglima lainnya malam itu mengadakan
perundingan. Bentrokan dengan pihak musuh secara terbuka ternyata tidak menguntungkan mereka. Biar
pun dalam perang pertama kali itu kalau dihitung jatuhnya korban, mereka dapat dikata menang karena
jumlah musuh yang menjadi korban jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah tentara mereka, akan
tetapi robohnya para korban di pihak mereka itu berarti berkurangnya jumlah mereka sehingga pertahanan
mereka menjadi makin lemah, sedangkan pihak musuh yang mengurung di luar tentu saja dapat menyusun
kembali kekuatan dengan mendatangkan bala bantuan dari luar!
Mereka semua merasa bingung dan kehabisan akal. Akan tetapi Puteri Milana yang sudah biasa dengan
siasat perang, dalam keadaan segawat itu tidak menjadi putus asa dan dia berkata, “Kalau mengandalkan
perang terbuka, jumlah kita yang belum tentu ada separuh jumlah mereka pasti akan menderita kerugian
besar. Maka sebaiknya kita menggunakan siasat, menyerang mereka dari luar.”
“Menyerang mereka dari luar?” tanya Jayin bingung. “Apa yang paduka maksudkan?”
“Sepasukan pengawal pilihan yang dipimpin oleh Sangita dan Tek Hoat telah menanti saat baik di luar dan
mereka tentu akan bergerak setelah kita beri tanda lagi. Kalau kita menyelundupkan pasukan-pasukan
keluar, kemudian menyerang mereka dari berbagai jurusan, tentu mereka akan menjadi kacau-balau.
Benteng kita cukup kuat, dan tidak perlu dijaga terlalu banyak tentara. Kalau banyak terjadi penyerangan
oleh pihak kita dari luar, tentu mereka menyangka bahwa penyerang-penyerang dari luar itu adalah bala
bantuan yang datang dari berbagai pihak dan hal ini pasti akan melemahkan semangat mereka. Barisan
yang dipimpin Tambolon bukan merupakan suatu suku bangsa yang bersatu, melainkan dari banyak suku
bangsa. Sekali semangat mereka dipatahkan, mereka tentu akan cerai-berai.”
Semua orang tidak ada yang dapat membantah siasat yang dikemukakan oleh Milana.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Biar aku yang memimpin pasukan menyelundup dan menerobos keluar dari kepungan musuh,” kata Bun
Beng.
Milana mengangguk. “Memang penerobosan keluar ini saya percayakan kepadamu, Gak-suheng. Kita
memilih bagian yang paling lemah dijaga musuh, yaitu di bagian barat karena kini bagian selatan sudah
diperkuat, kemudian setelah berhasil keluar dari pintu gerbang, harus dapat berpencar menjadi pasukanpasukan
kecil yang dipimpin oleh perwira masing-masing, kemudian mencari tempat persembunyian yang
baik di empat penjuru dan mengadakan serangan-serangan gangguan di waktu malam agar pihak musuh
tak dapat beristirahat dan mengalami kekacauan.”
Puteri Milana lalu mengemukakan rencana siasatnya, didengarkan penuh perhatian oleh para
pembantunya. Sampai lewat tengah malam mereka berunding dan mengatur persiapan karena menurut
rencana mereka, pada malam itu juga, menjelang pagi sehingga keadaan para penjaga pihak musuh
sedang lelah-lelahnya, mereka akan melakukan penyelundupan atau penerobosan keluar itu.
Semua pasukan yang jumlahnya empat ribu orang, yang kemudian akan dipecah menjadi empat kelompok,
sudah siap di pintu gerbang barat, menanti saat dibukanya pintu gerbang dan menanti isyarat yang akan
diberikan oleh Sang Puteri Milana sendiri. Pasukan itu dipimpin oleh Gak Bun Beng yang berpakaian biasa,
bahkan banyak sekali, sebagian besar di antara anak buah pasukan, mengenakan pakaian biasa seperti
yang telah diatur dalam rencana siasat Puteri Milana sehingga oleh pihak musuh akan disangka bahwa
pasukan-pasukan itu adalah bala bantuan dari luar.
Akan tetapi sebelum isyarat diberikan oleh Puteri Milana, mendadak terdengar suara gaduh di luar tembok.
Penjaga segera datang menghadap dan melaporkan bahwa di luar tembok benteng, di sebelah timur
terjadi kekacauan di pihak musuh dan nampak api berkobar seperti terjadi kebakaran besar dan terdengar
teriakan-teriakan dan tanda-tanda persiapan dan perang!
Peristiwa yang sama sekali tidak disangka-sangka ini membuat Puteri Milana terpaksa menunda gerakan
penerobosan itu. “Kita harus tahu lebih dulu apa artinya peristiwa itu,” katanya kepada Gak Bun Beng.
“Penerobosan dapat ditunda sampai besok malam... aku khawatir kalau-kalau Tek Hoat melakukan
sesuatu di luar rencana.”
Semua orang berkumpul di atas benteng, memandang ke tempat terjadinya kebakaran dan melihat perang
yang hanya mereka ketahui dari suaranya saja. Akan tetapi tidak lama kemudian, sinar matahari pagi
menerangi keadaan di bawah dan tidak jauh dari tembok benteng, pandang mata Bun Beng dan Milana
melihat seorang laki-laki yang dikepung dan dikeroyok oleh banyak tentara musuh. Biar pun dari atas
menara masih agak jauh tempat pertempuran itu, dan orang-orang yang bertempur itu kelihatan kecil-kecil
saja, namun melihat gerakan silat orang yang dikepung di tengah-tengah itu membuat Bun Beng terkejut
bukan main.
“Dia Tek Hoat...!” serunya.
“Eh, benarkah?” tanya Milana.
“Aku tidak lupa gerakan silatnya!”
“Hemm, seperti yang kukhawatirkan. Anak itu lancang sekali.”
“Dan terlalu berani. Lihat, kemungkinan semua pasukannya sudah terbasmi habis. Yang bertanding hanya
tinggal dia seorang diri. Aku harus menolongnya. Milana, harap kau perintahkan penjaga pintu gerbang
untuk bersiap menolongku masuk..., aku harus menolongnya.”
“Tapi...”
“Tidak ada tapi...”
“Gak-taihiap, itu terlalu berbahaya.” Sri Baginda yang juga ikut pula meninjau keadaan keributan di bawah
itu berkata, “Lebih baik suruh sepasukan pengawal untuk keluar membantunya.”
“Kita tak boleh kehilangan banyak anggota pasukan, Sri Baginda. Saya dapat menolong dia. Sumoi, aku
pergi!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan cekatan Gak Bun Beng lalu meloncat turun dari atas menara itu ke tembok tingkat yang lebih
rendah, kemudian terus dia berloncatan dengan gerakan berjungkir-balik, cepat sekali sehingga sukar bagi
mata biasa untuk mengikuti gerakan tubuhnya yang seolah-olah terbang itu dan tak lama kemudian dia
telah tiba di atas tanah di luar tembok benteng. Segera terdengar teriakan-teriakan dan anak-anak panah
meluncur dari berbagai jurusan.
Akan tetapi Puteri Milana yang mengikuti gerakan kekasihnya dengan penuh perhatian itu telah
memerintahkan barisan panah untuk menyerang dan melindungi Bun Beng yang meruntuhkan semua anak
panah dengan gerakan kedua lengannya, kemudian pendekar ini terus berloncatan maju ke arah Tek Hoat
yang dikepung oleh banyak musuh. Puteri Milana sendiri cepat turun dan mengatur pasukan penjaga pintu
gerbang untuk bersiap-siap melindungi Bun Beng dan Tek Hoat jika mereka nanti sudah mundur sampai di
pintu gerbang.
Dugaan Bun Beng memang tepat sekali. Menjelang pagi hari itu, atau lebih tepat lewat tengah malam, Tek
Hoat telah memimpin pasukannya untuk mengacau dan membakar perkemahan Tambolon dan
mengamuk. Mula-mula Panglima Sangita tidak setuju akan niat pemuda itu.
“Kita harus menanti isyarat dari Puteri Milana,” kata panglima itu. “Sungguh tidak baik kalau bertindak
sendiri tanpa menanti perintah atasan.”
“Ciangkun, keadaan musuh makin kuat saja dan pihak musuh dengan mudah dapat memperkuat
kedudukan dengan mendatangkan bala bantuan dari suku-suku bangsa liar. Akan tetapi kota raja terkurung
dan dari mana diharapkan bantuan? Jalan satu-satunya hanyalah mengacaukan keadaan mereka,
menyerbu di tengah malam selagi mereka tidak menyangka, melakukan pembakaran perkemahan mereka
sebanyaknya dan kita menyergap di dalam kegelapan malam. Pembakaran-pembakaran yang kita lakukan
merupakan pertanda bagi para pasukan kota raja untuk bertindak pula. Aku tidak tahan kalau harus terus
berdiam diri menyaksikan kota raja dikurung dan diancam bahaya.”
Demikianlah Tek Hoat bicara penuh semangat, didengarkan oleh semua pasukan yang segera
menyatakan persetujuan dan kegembiraan mereka. Pasukan itu adalah pasukan pilihan yang gagah
perkasa, maka mereka pun merasa gelisah harus bersembunyi dan diam saja menyaksikan kota raja
dikepung pihak musuh. Akhirnya Sangita, yang juga merupakan seorang panglima setia dan gagah
perkasa, menyetujui dan setelah lewat tengah malam, mulailah mereka bergerak menyerbu dan membakar
perkemahan pihak musuh.
Tentu saja pasukan Tambolon menjadi terkejut. Datangnya serbuan itu sangat tidak mereka sangka dan
sepak-terjang Tek Hoat dan Sangita bersama pasukannya amat hebat, sehingga mereka kalang kabut dan
banyak terjatuh korban di pihak musuh. Perang mati-matian dan hebat sekali di dalam gelap terjadilah,
namun tentu saja pihak penyerbu lebih diuntungkan karena mereka sudah memperhitungkan segalagalanya,
sedangkan pihak pasukan Tambolon yang terkejut dan panik itu tidak tahu sampai di mana
kekuatan pihak penyerbu sehingga banyak di antara mereka yang saling serang antara kawan sendiri.
Tetapi Tambolon yang menjadi marah oleh gangguan dari luar ini telah mengumpulkan pasukan besar dan
mengurung hutan itu sehingga pasukan pengawal pimpinan Sangita dan Tek Hoat itu kini tidak mempunyai
jalan mundur lagi. Terpaksa mereka mengamuk dengan mati-matian dan biar pun mereka telah
merobohkan banyak sekali jumlah lawan, setiap orang prajurit paling sedikit membunuh lima orang musuh,
namun setelah pagi tiba mereka terkurung, terhimpit dan mulailah mereka berjatuhan satu demi satu
karena kelelahan dan terlalu banyak musuh yang mengeroyok. Sangita yang sudah tua mengamuk dengan
sepasang goloknya seperti seekor singa tua.
Entah berapa puluh orang musuh menjadi korban sepasang goloknya, tetapi akhirnya dia pun roboh di
bawah serangan puluhan senjata sehingga tubuhnya menjadi hancur lebur, kematian yang amat gagah
dari seorang prajurit, akan tetapi juga kematian yang amat menyedihkan.
Serbuan dan pembakaran yang dilakukan oleh Tek Hoat dan pasukannya ini benar-benar berhasil baik,
selain membunuh banyak sekali musuh, juga membikin mereka panik, kacau dan menurun semangat
mereka. Akan tetapi, pasukan itu sendiri pun terbasmi, roboh satu demi satu sampai akhirnya tinggal Tek
Hoat sendiri yang masih mengamuk.
Tak terhitung banyaknya lawan yang roboh oleh pemuda perkasa ini. Pedang rampasan di tangannya
sudah menjadi merah sampai ke gagangnya oleh darah musuh, akan tetapi dia sendiri pun tidak terhindar
dari luka-luka yang dideritanya karena hujan senjata musuh. Dengan pakaian compang-camping, tubuh
dunia-kangouw.blogspot.com
luka-luka dan berlumuran darah sendiri bercampur dengan darah lawan, pemuda ini masih mengamuk
hebat ketika Bun Beng muncul.
Betapa pun gagahnya pemuda ini, menghadapi jumlah musuh yang amat banyak, yang roboh sepuluh
datang dua puluh, yang seperti gelombang samudera hebatnya, dapat dipastikan bahwa melihat dari lukalukanya,
tak lama lagi Tek Hoat tentu akan roboh pula seperti Sangita kalau pertandingan itu dilanjutkan.
“Plak-plak-desss...!”
Enam orang di antara para pengeroyok Tek Hoat segera terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir
ketika Gak Bun Beng menyerbu. Tek Hoat mengerling ke arah Bun Beng dan melanjutkan amukannya
dengan pedang rampasannya.
“Tek Hoat, mari kita mundur ke pintu gerbang...!” Bun Beng berteriak sambil bergerak merobohkan dua
orang pengeroyok lagi.
“Tidak bisa!” Tek Hoat menjawab tegas. “Semua anak buahku telah tewas, aku harus melawan sampai titik
darah terakhir membela mereka!”
Pedangnya yang tadinya sudah agak lemah gerakannya karena kelelahan itu seperti memperoleh tenaga
baru, berkelebat dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang sekaligus merobohkan enam orang
lawan!
“Tidak ada gunanya, musuh terlampau banyak...,” Bun Beng membujuk.
“Kalau kau takut, kembalilah!” Tek Hoat berteriak marah.
Bun Beng menarik napas panjang. Pemuda ini berhati keras sekali dan membujuknya tidak akan ada
gunanya. Akan tetapi membiarkan dia mati pun sayang sekali. Pemuda ini gagah perkasa dan tidak
memalukan menjadi cucu tiri Pendekar Super Sakti, dan biar pun pernah melakukan penyelewengan,
namun pemuda inilah yang kelak akan dapat menjunjung tinggi nama ayahnya yang tersesat.
“Kalau begitu biarlah kita mati bersama!” Gak Bun Beng berkata dan dia pun mengamuk di dekat Tek Hoat.
Hatinya pun lega melihat pemuda itu tidak menaruh kecurigaan kepadanya dan bahwa pemuda itu sudah
lelah sekali, hampir kehabisan tenaga dan menjadi lemah karena luka-lukanya yang amat banyak itu.
Diam-diam Bun Beng merasa terharu dan dapat menyelami hati pemuda ini. Tentu pemuda ini merasa
malu dan menyesal akan semua penyelewengannya dan kini hendak menebus semua itu dengan darah
dan nyawanya!
Dia bertempur makin dekat dengan Tek Hoat. Pada saat Tek Hoat lengah karena harus menghadapi
serbuan dari depan dan kanan kiri, tiba-tiba Gak Bun Beng menggunakan totokan satu jari dengan
pengerahan tenaga sinkang-nya yang amat kuat. Biar pun Tek Hoat memiliki kepandaian yang lebih hebat
lagi, dalam keadaan lengah tak mungkin dia akan dapat menahan totokan dahsyat ini.
Dia mengeluh, tubuhnya lemas dan pedangnya terlepas dari tangannya. Bun Beng menyambar tubuhnya
terus dipanggulnya, kemudian menyambar pedang lalu meloncat ke belakang. Pedang itu diputar
sedemikian rupa sehingga setiap senjata lawan yang menyerangnya tentu patah-patah, dan banyak pula
musuh roboh. Kehebatan pendekar ini membuat jeri para prajurit musuh.
“Tangkap dia! Kejar! Kurung...!” Tambolon berteriak sambil berlari cepat mengejar, dan kini dia sendiri ikut
menyerang.
Akan tetapi, tangkisan pedang itu yang digerakkan oleh lengan tangan Bun Beng yang luar biasa kuatnya,
membuat golok besar di tangan Tambolon menyeleweng. Raja liar ini terkejut dan jeri, akan tetapi dia
masih memimpin orang-orangnya untuk mengepung dan selalu mengejar apa bila Bun Beng meloncat
makin mendekati pintu gerbang.
“Hujani anak panah!” Tambolon berteriak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Teriakan ini melegakan hati Bun Beng. Dia tidak khawatir akan keroyokan anak panah dan sambil berlari
mendekati pintu gerbang, dia memutar pedangnya. Semua anak panah runtuh dan dia terus berlari, dikejar
oleh Tambolon dan anak buahnya sampai ke pintu gerbang.
Tiba-tiba pintu gerbang terbuka dan terdengar aba-aba yang nyaring dari Puteri Milana, maka hujanlah
anak panah dan batu dari atas benteng, juga Puteri Milana sendiri menyambut kedatangan Gak Bun Beng
itu dengan pedang di tangan melindunginya. Akhirnya pendekar itu berhasil memasuki pintu gerbang
sambil memondong Tek Hoat, dan pintu gerbang ditutup kembali, tentara Tambolon dipaksa mundur oleh
hujan anak panah dari atas benteng.
Puteri Milana girang sekali dan di depan Sri Baginda dia memuji-muji Ang Tek Hoat. Serbuan pemuda itu
dengan pasukannya secara nekat, membunuh banyak musuh dan menurunkan semangat mereka, benarbenar
amat menguntungkan karena di dalam keributan tadi, Puteri Milana dapat melaksanakan siasatnya
dengan baik sekali, berhasil menyelundupkan keluar empat ribu orang pasukan, hanya ada sedikit
perubahan, yaitu Gak Bun Beng terpaksa tidak ikut karena pendekar ini tadi menyelamatkan Tek Hoat.
Tempatnya digantikan oleh Panglima Jayin yang sudah berhasil pula membawa keluar pasukannya,
kemudian memecahnya menjadi empat bagian dan mereka berpencar keempat penjuru, bersembunyi di
hutan-hutan sambil menanti isyarat selanjutnya.
Puteri Syanti Dewi yang mendengar akan keadaan Tek Hoat, cepat berlari ke luar dan sambil menangis
melihat tubuh pemuda itu penuh luka yang berlumuran darah, dia lalu memaksa ayahnya untuk
mengijinkan dia sendiri merawat pemuda yang disebutnya sebagai penolongnya dan penyelamat
nyawanya. Sri Baginda maklum akan keadaan hati puterinya, karena dia sendiri pun kagum dan suka
sekali kepada pemuda yang gagah perkasa itu, yang dengan semangat luar biasa membela Bhutan,
bahkan dengan rela hampir mengorbankan nyawa. Seluruh prajurit Bhutan membicarakan kegagahan Tek
Hoat ini dan memuji-muji.
Pihak musuh benar-benar mengalami kerugian hebat sekali. Pembakaran-pembakaran yang dilakukan
oleh Tek Hoat dan pasukannya mengakibatkan kebakaran besar dan baru dapat dipadamkan setelah
malam terganti pagi sampai hampir siang. Hampir semua peralatan dan ransum perang rusak oleh
kebakaran itu. Banyak pula yang tewas oleh penyerbuan tiba-tiba itu, banyak juga yang terluka oleh
amukan api.
Yang lebih merugikan lagi, peristiwa itu kemudian mendatangkan rasa panik di antara mereka sehingga
menurunkan semangat juang mereka sungguh pun Tambolon sendiri sudah berusaha membangunkan
semangat mereka dan mengatakan bahwa setelah mengumpulkan kekuatan dan mendatangkan bala
bantuan yang akan memakan waktu satu minggu, mereka akan melakukan serangan besar dan menduduki
kota raja Bhutan!
Dengan berdiri di atas panggung sehingga tampak oleh para pimpinan suku dan para pembantunya,
Tambolon mengajak gurunya, Nenek Durganini yang baru muncul, dan berkata dengan lantang, “Kita
memang telah disergap di waktu malam dan mengalami sedikit kerugian. Tetapi tunggu sampai satu
minggu, kita akan melakukan pembalasan! Jangan khawatir, di dalam tembok benteng itu terdapat harta
berlimpahan, dan wanita-wanita yang cantik untuk kalian semua. Dan jangan takut menghadapi Puteri
Mancu dan para pembantunya, karena sekarang kita dibantu oleh guruku sendiri yang menguasai ilmu
gaib.”
Durganini terkekeh, kedua tangannya bergerak-gerak, mulutnya ternganga dan semua orang memandang
takjub dan ngeri ketika dari kedua tangan dan dari mulut nenek itu keluar api berkobar-kobar! Tak lama
kemudian nenek itu ‘menelan’ kembali semua api itu dan Tambolon berkata, “Lihat betapa guruku akan
dapat membakar seluruh kota raja Bhutan dengan api mukjijat dari mulutnya. Dan guruku dapat pula
menutup matahari menimbulkan kegelapan!”
Nenek itu lalu mengangkat kedua lengan ke atas, berkemak-kemik diikuti oleh semua mata orang-orang
yang menonton dari bawah. Dan mulailah cuaca menjadi gelap, makin lama makin gelap. Semua orang
menjadi panik, ada yang menjerit-jerit dan ada yang berlutut dan minta-minta ampun kepada nenek yang
memiliki ilmu seperti dewa itu! Nenek itu menyudahi permainan sihirnya dan dengan cara ini, Tambolon
berusaha membangkitkan kembali semangat para pembantunya yang terdiri dari bermacam suku bangsa
liar itu.
Perawatan yang penuh ketekunan dan kemesraan dari Syanti Dewi membuat hati Tek Hoat menjadi
dunia-kangouw.blogspot.com
terharu sekali. Berkat pengobatan dari Gak Bun Beng dan Puteri Milana yang pandai, dalam waktu tiga hari
saja sembuhlah Tek Hoat.
“Dewi... aku... sungguh berhutang budi padamu...” Pagi hari itu Tek Hoat yang sudah duduk di atas
pembaringan, berkata dengan suara tergetar karena terharu. Pagi-pagi sekali dia sudah mandi dan merasa
tubuhnya segar, kesehatannya sudah pulih kembali, dan sepagi itu, Syanti Dewi sudah memasuki
kamarnya dengan membawa sarapan dan minuman panas.
“Jangan berkata demikian, Tek Hoat. Engkau tahu bahwa aku melakukan semua ini dengan hati tulus
ikhlas, dengan rela dan tidak ada budi di antara kita...”
“Dewi, baru membolehkan aku menyebut namamu saja sudah merupakan kehormatan tiada taranya
bagiku. Engkau seorang puteri raja, sedangkan aku... aku...”
“Engkau seorang pahlawan Bhutan! Semua prajurit dan rakyat menyanjungmu atas pembelaanmu
terhadap Bhutan, Tek Hoat. Dan aku belum mengucapkan terima kasih atas jasamu.” Syanti Dewi
tersenyum dan Tek Hoat memandang silau.
“Tidak, Dewi..., ketahuilah bahwa dahulu aku...”
“Sudah kau ceritakan padaku, Tek Hoat. Engkau penjahat keji katamu. Akan tetapi aku tak peduli apa
adanya engkau dahulu... yang penting bagiku adalah apa adanya engkau sekarang ini, Tek Hoat. Bagiku...
engkaulah satu-satunya pria yang paling mulia, paling gagah, paling rendah hati... dan di kereta itu... kalau
saja semua yang kudengar dari mulutmu itu benar...”
“Tentu saja benar! Aku cinta padamu, demi Tuhan... aku cinta padamu, akan tetapi aku pun tahu akan
keadaan diriku. Tidak! Engkau terlalu agung dan aku terlalu rendah... mencium ujung sepatumu pun masih
terlalu terhormat bagiku...”
“Ihhh, jangan berkata demikian, Tek Hoat... perih hatiku mendengarnya. Aku tidak ingin melihat engkau
terus merendah, karena... engkaulah satu-satunya pria...” Syanti Dewi menundukkan mukanya dan kedua
pipinya menjadi merah sekali.
Tek Hoat membelalakkan matanya. Dia sudah merasakan kemesraan dan getaran cinta kasih puteri ini,
akan tetapi selalu dibantahnya sendiri karena dianggapnya tidak masuk akal.
“...ya...? Lalu bagaimana..., Dewi?” Suara Tek Hoat gemetar dan jantungnya berdebar seperti akan
meledak.
“...engkau satu-satunya pria yang... kucinta, Tek Hoat...”
“Ahh...!” Tek Hoat meloncat ke dekat jendela, membelakangi Syanti Dewi dan menutupi muka dengan
kedua tangan untuk menyembunyikan dua butir air mata yang meloncat keluar.
“Tek Hoat...! Ada apakah...?” Syanti Dewi mengejar dan memegang lengan pemuda itu.
Tek Hoat membalik, mereka saling berpegang tangan, saling pandang dan melihat dua butir air mata di
bawah mata pemuda itu, Syanti Dewi tersenyum lalu tertarik menangis!
“Kau... kau menangis...?” bisiknya di antara isaknya.
Tek Hoat mengangguk, menggigit bibir sendiri lalu berbisik, “Tangis bahagia... tetapi mungkinkah ini...?”
Syanti Dewi tidak menjawab melainkan kedua lengannya lalu merangkul leher Tek Hoat dan dia
membenamkan mukanya di dada pemuda itu yang memeluknya, memeluknya dengan ketat seolah-olah
dia hendak menanamkan tubuh puteri itu di dalam dadanya sehingga mereka tidak akan terpisah lagi, agar
tubuh puteri itu menjadi satu dengan tubuhnya.
Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling peluk dan tak bergerak, dengan seluruh
tubuh mengalirkan getaran-getaran kasih yang hanya dapat dirasakan oleh mereka berdua. Mereka lupa
akan segala hal, bahkan Tek Hoat yang mempunyai pendengaran terlatih itu tidak mendengar ketika ada
orang memasuki kamar itu. Suara berdehem dari Sri Baginda mengejutkan mereka. Tek Hoat melepaskan
dunia-kangouw.blogspot.com
rangkulannya, kemudian menjatuhkan diri berlutut sambil memejamkan mata, sadar akan dosanya,
sedangkan Syanti Dewi berlari dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya.
“Ayah... kami... kami berdua saling mencinta...” bisik Syanti Dewi seolah-olah hendak melindungi
kekasihnya.
Sri Baginda mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. “Aku sudah menduganya dan aku amat
girang mendengar ini, Anakku. Dia memang pantas menjadi pelindungmu selama hidup dan engkau, Tek
Hoat. Sadarkah engkau betapa engkau telah kejatuhan bulan, menerima kurnia yang tak terbilang
besarnya karena telah menjadi pilihan hati Syanti Dewi?”
“Hamba... hamba... akan mempertaruhkan nyawa untuk melindunginya dan membikin dia bahagia...” kata
Tek Hoat lirih.
Sri Baginda mengangguk-angguk dan mengerutkan alis. “Engkau telah memperlihatkan pembelaanmu
terhadap kerajaan, akan tetapi hendaknya engkau ingat bahwa kini kota raja kita masih terkurung oleh
musuh, dan selama bahaya ini belum dapat dihalau, pantaskah kalau kita memikirkan tentang urusan dan
kesenangan pribadi?”
Ang Tek Hoat terkejut bukan main, dan mukanya menjadi merah sekali. Dia menyadari sepenuhnya betapa
marah sebetulnya hati orang tua ini melihat puterinya bermain asmara sedangkan negara masih terancam
bahaya.
“Harap paduka mengampunkan hamba... sekarang juga hamba akan menyerbu ke luar!” Tek Hoat
memberi hormat dan cepat bangkit lalu berlari keluar dari kamarnya.
“Tek Hoat...!” Syanti Dewi menjerit.
“Orang muda, rundingkan segalanya dengan Puteri Milana!” Sri Baginda juga berteriak, kemudian dia
merangkul puterinya dan berbisik, “Dia gagah perkasa, kita lihat saja apakah dia patut menjadi mantu
Kerajaan Bhutan, Anakku.”
Sementara itu, Tek Hoat sudah berlari ke dalam ruangan besar di mana Milana, Gak Bun Beng dan
panglima lainnya sudah hadir dan sedang mengadakan perundingan. Kedatangan Tek Hoat diterima
gembira oleh Milana dan Bun Beng.
“Ahhh, kau sudah sehat kembali, Tek Hoat? Bagus! Memang kami amat membutuhkan bantuanmu, dan
malam nanti kita harus bergerak.”
Tek Hoat lalu duduk dan ikut mendengarkan rencana siasat yang diatur oleh Puteri Milana. Diam-diam dia
merasa makin kagum kepada puteri ini dan berdebar jantungnya kalau dia teringat akan cerita tentang
dirinya. Ayahnya, manusia iblis yang memperkosa ibunya, adalah kakak tiri dari puteri ini!
“Kini Panglima Jayin sudah mengatur pasukan yang berhasil menerobos keluar itu, mengambil kedudukan
di empat penjuru dan sudah mempelajari kedudukan musuh. Dengan penyergapan dari empat penjuru,
musuh tentu dapat dibikin kacau dan biar pun jumlah kita kalah banyak, akan tetapi kita menang semangat
dan menang perhitungan. Malam nanti cuaca amat gelap dan dingin, sedangkan bala bantuan dari para
musuh belum tiba. Gak-suheng akan membawa pasukan, menyerbu keluar melalui pintu gerbang timur,
dan Tek Hoat memimpin pasukan menyerbu keluar melalui pintu gerbang selatan. Aku sendiri akan
memimpin pasukan inti kemudian menyerbu keluar melalui pintu gerbang utara yang menjadi pusat barisan
musuh. Serbuan kalian harus diarahkan ke utara dan selagi perang berlangsung, kita akan memberi tanda
kepada pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Panglima Jayin agar bergerak dari luar dan menyerang
bagian belakang pihak musuh.”
Setelah membagi-bagi tugas, maka bersiaplah mereka dengan pasukan masing-masing, dibantu oleh para
perwira tinggi dan para pendeta Buddha yang memiliki kepandaian silat. Memang sudah diperhitungkan
oleh Puteri Milana. Malam itu gelap karena tidak ada bulan, bahkan bintang-bintang di langit hanya nampak
sedikit karena tertutup oleh awan. Hawa udara amat dinginnya sehingga para penjaga pihak musuh
terkantuk-kantuk di udara terbuka.
Lewat tengah malam, menjelang pagi di waktu hawa sedang dingin-dinginnya dan semua orang sedang
mengantuk-ngantuknya, mendadak terdengar bunyi terompet melengking nyaring di pintu gerbang selatan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pintu gerbang terbuka dan menyerbulah pasukan yang dipimpin oleh Tek Hoat, menyerbu ke tempat pihak
musuh yang sudah diketahui sebelumnya.
Tentu saja pihak musuh menjadi panik karena baru saja terbangun dari tidur dan tahu-tahu perkemahan
mereka dibakar lawan. Dengan pakaian tidak karuan, bahkan ada yang masih telanjang dan setengah
telanjang, mereka berlarian keluar dari kemah untuk menghadapi amukan pasukan Bhutan yang berada
dalam keadaan bersemangat dan segar.
Pula, pertempuran yang terjadi di tempat gelap itu dilakukan dengan baik sekali oleh pasukan Bhutan.
Mereka dapat mengenal teman-teman sendiri melalui isyarat bentakan ‘houw’ yang berarti ‘harimau’
sehingga biar pun bertanding di dalam gelap, mereka dapat saling mengenal kawan sendiri dan dapat
bekerja sama dengan baik. Teriakan-teriakan ‘houw’ terdengar di mana-mana disusul pekik kebingungan
dan robohnya para anggota tentara musuh yang tentu saja menjadi panik dan ada yang saling serang di
antara kawan sendiri di dalam gelap.
Pada saat yang hampir bersamaan, di pintu gerbang timur, pasukan yang dipimpin oleh Gak Bun Beng
juga mengadakan penyerbuan yang sama. Pasukan ini menggunakan isyarat bentakan ‘liong’ (naga) untuk
saling mengenal kawan sendiri dalam pertempuran keroyokan dalam gelap itu. Seperti juga Tek Hoat yang
memimpin pasukannya dengan penuh keberanian dan yang sepak-terjangnya menggiriskan hati musuh,
demikian juga Gak Bun Beng mengamuk seperti seekor naga sakti.
Selagi pihak musuh yang panik mulai dapat diatur kembali oleh Tambolon serta para pembantunya, tibatiba
di udara yang gelap kelihatan sinar merah meluncur di angkasa. Empat kali sinar merah itu meluncur
dan tiba-tiba terdengar bunyi terompet, tambur dan sorak-sorai dari mana-mana, dari empat penjuru dan
menyerbulah pasukan-pasukan yang bersembunyi di dalam hutan-hutan, yaitu pasukan-pasukan yang tiga
hari yang lalu telah menyelundup keluar di bawah pimpinan Panglima Jayin. Kejadian ini benar-benar
mengejutkan hati Tambolon karena tahu-tahu barisannya diserang dari belakang dan di empat penjuru
pula!
Pelepas anak panah api merah sebagai isyarat itu adalah Puteri Milana sendiri yang kini memimpin
pasukan inti yang paling besar jumlahnya, keluar dari pintu gerbang utara disertai bunyi terompet, tambur
dan sorak-sorai bergemuruh, lalu menyerbu keluar. Maka kacau-balaulah pasukan musuh karena seolaholah
mereka menghadapi lawan dari depan, belakang, kanan dan kiri! Apa lagi pihak Bhutan menyerang di
malam gelap, dengan gerakan yang begitu teratur sehingga pihak Tambolon menyangka bahwa bala
bantuan untuk Bhutan datang dari empat penjuru.
Memang siasat yang dilaksanakan oleh Puteri Milana itu hebat sekali. Semacam perang gerilya yang
diperhitungkan dengan masak-masak sehingga biar pun jumlah tentara Bhutan jauh lebih kecil, namun
sekali pukul ini membuat pasukan-pasukan Tambolon yang jauh lebih banyak itu menjadi kacau-balau dan
kocar-kacir.
Hal ini adalah karena Tambolon terlalu mengandalkan jumlah besar pasukannya, akan tetapi pasukanpasukan
itu terdiri dari bermacam suku bangsa sehingga tentu saja tidak ada persatuan yang kompak.
Mereka ini hanya mengandalkan keberanian dan tenaga kasar saja, maka menghadapi siasat yang cerdik
itu mereka menjadi panik dan banyak di antara mereka yang menjadi korban dalam perang yang terjadi di
malam gelap, hanya diterangi oleh berkobarnya api yang membakar perkemahan-perkemahan mereka.
Akan tetapi, Tambolon dan para pembantunya dengan nekat melakukan perlawanan mati-matian sehingga
pertempuran itu berlangsung sampai hari menjadi terang. Kini nampaklah pertempuran itu. Di mana-mana
mayat anggota pasukan-pasukan Tambolon berserakan, api masih berkobar dan pihak musuh yang
tadinya mengepung di selatan telah dapat didesak oleh Tek Hoat sehingga mereka mundur ke arah timur
kota raja di mana mereka menggabungkan diri dengan pasukan di timur yang juga telah mengalami
hantaman dahsyat dari pasukan yang dipimpin oleh Gak Bun Beng dan pasukan yang menyerbu dari luar.
Kini pasukan ‘harimau’ yang dipimpin Tek Hoat bergabung dengan sisa pasukan yang menyerbu dari
belakang musuh, bersatu dengan pasukan timur dan terjadilah perang yang amat besar di mana Tek Hoat
dan Gak Bun Beng berkelahi bahu-membahu dan sepak-terjang dua orang ini memang hebat sekali,
menggiriskan pihak lawan. Biar pun mereka tidak memegang senjata, namun kedua tangan dan kaki
mereka merupakan senjata-senjata yang amat ampuhnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat perang sedang hebat-hebatnya, tiba-tiba saja udara menjadi gelap, makin lama makin gelap
sehingga menggelisahkan pasukan Bhutan, apa lagi karena agaknya pihak musuh tidak merasakan
kegelapan itu.
“Ini tidak wajar! Perbuatan sihir...!” Beberapa orang pendeta Buddha yang membantu pasukan Kerajaan
Bhutan berseru dan mereka itu segera duduk bersila untuk melawan pengaruh sihir itu.
Namun pengaruh itu terlampau kuat sehingga mereka tidak mampu menandinginya dan kini bahkan
banyak anak buah pasukan Bhutan yang merasa ngeri oleh karena mereka melihat awan hitam datang
bergulung-gulung dan dari awan itu muncul naga-naga yang menyemburkan api! Tentu saja perasaan
ngeri dan takut itu membuat mereka kurang waspada dan banyak di antara mereka yang roboh oleh
babatan senjata lawan.
Gak Bun Beng dan Tek Hoat juga merasakan pengaruh mukjijat ini. “Celaka, agaknya musuh
menggunakan ilmu hitam!” kata Bun Beng yang sudah berpengalaman, namun dia merasa tidak berdaya
karena dia tidak menguasai ilmu itu.
“Tentu nenek iblis Durganini!” Tek Hoat berseru. “Gak-taihiap, biar aku mencari nenek iblis itu. Kalau dia
dapat dibinasakan, tentu lenyap pengaruh mukjijat ini!” Sebelum Bun Beng menjawab, pemuda yang
perkasa ini sudah melompat dan merobohkan setiap orang penghalang. Bun Beng merasa khawatir karena
maklum betapa lihainya nenek yang kabarnya adalah guru dari Tambolon dan memiliki kepandaian yang
amat hebat itu, maka dia pun lalu mengejar bayangan Tek Hoat yang mengamuk dan menuju ke utara.
Dugaan Tek Hoat memang tepat sekali. Melihat keadaan pasukannya kocar-kacir dan terancam
kemusnahan, Tambolon menjadi bingung dan jengkel karena tidak melihat gurunya. Maka dia lalu mencari
sendiri dan melihat nenek yang pikun itu masih enak-enak tidur mendengkur di dalam perkemahan, dia
setengah menyeret gurunya itu untuk disuruh membantu.
Nenek yang terganggu tidurnya itu mengomel, akan tetapi dia memenuhi permintaan muridnya,
mengerahkan kekuatan ilmu hitamnya dan menciptakan awan hitam yang mengandung banyak naga
siluman sehingga pihak musuh menjadi panik dan ketakutan. Akan tetapi, selagi nenek ini berdiri dengan
kedua lengan bersilang di depan dada, di depannya mengepul seikat dupa yang dibakar, mulutnya
berkemak-kemik dan asap hio membubung tinggi menciptakan pemandangan yang aneh itu, tiba-tiba
muncul seorang kakek berkaki satu.
Kakek ini bukan lain adalah Pendekar Super Sakti Suma Han yang datang bersama Ceng Ceng dan
rombongan penggembala liar yang hendak membantu ‘perjuangan’ Raja Tambolon. Kebetulan sekali
begitu memasuki daerah pertempuran, Pendekar Super Sakti melihat gejala yang tidak wajar yang
ditimbulkan oleh ilmu sihir Nenek Durganini. Tentu saja Suma Han terkejut bukan main.
“Nona, kau tunggu dulu di sini...” katanya dan sebelum Ceng Ceng sempat menjawab kakek berkaki satu
itu sudah berkelebat dan kemudian lenyap di antara banyak orang yang sedang bertanding.
Ceng Ceng berdiri bengong dan tentu saja dia segera membantu pasukan Bhutan yang mudah dikenalnya
dari pakaiannya. Melihat gadis asing ini tahu-tahu mengamuk dan membantu mereka, para prajurit Bhutan
menjadi girang dan mereka bertanding dengan penuh semangat.
Dengan kecepatan kilat karena gerak Ilmu Soan-hong-lui-kun, Pendekar Super Sakti kini tiba di depan
Nenek Durganini yang masih mengerahkan ilmunya. Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya, tidak
senang melihat nenek itu menggunakan ilmu hitam dalam perang. Maka dia lalu menggerakkan tangan
kirinya, didorongkan ke depan, ke arah dupa yang mengepulkan asap itu.
“Blaaarrr...!”
Tampak sinar kilat dan tempat dupa itu hancur berantakan, apinya berhamburan dan seketika itu juga
lenyaplah awan gelap yang mengandung naga-naga siluman.
Nenek Durganini terkejut bukan main dan cepat dia memandang ke depan. Ketika dia melihat seorang lakilaki
berusia kurang dari enam puluh tahun, berkaki satu, berdiri tegak bersandar pada tongkat bututnya,
laki-laki yang memiliki sepasang mata yang tajam dan seperti dua buah bintang amat berwibawa, dia
menjadi marah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Heh-heh, manusia lancang. Berani engkau menentang Durganini? Lihat betapa api neraka membasmi
orang-orang Bhutan!” Nenek itu menudingkan telunjuknya ke atas dan dari telunjuknya itu menyambar kilat
ke atas yang berubah menjadi api berkobar dan api ini mengejar orang-orang Bhutan yang tentu saja lari
ketakutan karena ada lidah-lidah api yang ‘hidup’ mengejar-ngejar mereka.
“Hemmm, mengapa engkau begitu kejam?” Suma Han berseru dan menggerakkan tangannya ke atas.
“Apa artinya api menghadapi air?” Tiba-tiba saja dari atas turun hujan lebat dan padamlah lidah-lidah api
itu!
Orang-orang Bhutan tidak melihat mengapa awan gelap yang mengandung naga-naga siluman tadi lenyap,
tidak mengerti pula mengapa ada hujan turun memadamkan lidah-lidah api, akan tetapi hal ini membuat
mereka bergembira dan bersorak-sorailah mereka. Suara sorak-sorai yang menggegap-gempita itu
membuat Nenek Durganini menjadi makin marah karena dia merasa seolah-olah dia yang ditertawai!
“Keparat, siapa engkau?” tanyanya kepada Suma Han sambil mengerahkan tenaga di dalam pandang
matanya untuk menguasai orang yang kakinya buntung sebelah itu.
“Namaku Suma Han,” jawab Pendekar Super Sakti dengan tenang sekali dan dia pun menentang pandang
mata itu dengan sikap tenang dan penuh kesabaran.
Nenek yang berpakaian serba hitam itu mengeluarkan suara melengking tinggi. “Engkau berani menentang
Durganini, berarti engkau sudah bosan hidup!” Sambil berkata demikian, dia melontarkan tongkat hitamnya
ke atas dan tongkat itu berubah menjadi Nenek Durganini kedua yang menerjang ke depan dengan kedua
tangan membentuk cakar harimau.
Suma Han memandang tajam, lalu melontarkan tongkatnya pula yang juga berubah menjadi bayangan
dirinya. Maka bertempurlah dua bayangan itu dengan hebatnya di udara! Orang-orang yang sedang
bertanding di tempat itu, baik anak buah Tambolon mau pun orang-orang Bhutan, berhenti bertempur
karena mereka melihat peristiwa yang amat luar biasa itu. Mereka melihat nenek berpakaian hitam itu
berdiri berhadapan dalam jarak enam tujuh meter dari seorang kakek berkaki satu.
Keduanya berdiri tak bergerak, akan tetapi di atas udara, di antara mereka, nampak dua batang tongkat
bergerak sendiri dan saling serang seolah-olah kedua batang tongkat itu bernyawa! Suma Han menjadi
terkejut dan kagum. Tahulah dia bahwa dia bertemu dengan seorang ahli sihir yang amat kuat tenaga
batinnya, maka maklumlah dia bahwa kalau hanya mengandalkan kekuatan sihir, mungkin dia akan kalah.
Akan tetapi sebelum dia bergerak untuk menggunakan kepandaian silatnya, tiba-tiba muncul See-thian
Hoat-su dan gadis remaja yang menjadi muridnya itu.
“Pendekar Siluman, dia itu isteriku, harap kau maafkan dia!” kata kakek ini yang sudah meloncat ke dekat
Nenek Durganini.
Nenek itu memang kalah dalam hal ilmu silat terhadap bekas suaminya ini, dan karena dia sedang
mencurahkan seluruh tenaga sihirnya untuk menghadapi kakek berkaki tunggal yang ternyata merupakan
lawan yang tangguh dalam ilmu sihir, maka dia tidak mampu melawan lagi ketika bekas suaminya itu
menotoknya dan dia roboh lalu dipanggul oleh bekas suaminya itu.
Suma Han sudah menarik kembali tongkatnya. See-thian Hoat-su tertawa dan berkata kepadanya, “Kalau
tidak ada engkau yang membantu, sukar aku menundukkan isteriku yang binal. Terima kasih dan sampai
jumpa, Pendekar Siluman!” See-thian Hoat-su lalu memegang tangan muridnya. “Hayo kita pergi, Siang
In.”
“Ouhhh... Suhu, aku ingin ikut main-main dalam keramaian ini.”
“Bukkk!” kakinya sudah menyambar dan tepat menendang pantat seorang anak buah Tambolon sehingga
orang itu berjingkrak-jingkrak dan mengaduh-aduh karena tulang di antara pinggulnya remuk terkena
tendangan Siang In. Kemudian dara ini meloncat dengan elakan manis, ketika seorang lawan menusuknya
dengan tombak, kemudian membalik dan menuding ke arah orang itu.
“Eihhh, mengapa engkau memegang ular?”
Orang itu tiba-tiba terbelalak karena tombak di tangannya itu tiba-tiba saja berubah menjadi seekor ular!
Sebelum dia sadar bahwa dia menjadi permainan seorang gadis yang baru saja mempelajari ilmu sihir,
dunia-kangouw.blogspot.com
Siang In sambil tertawa sudah menampar kepalanya. Dia berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja jarijari
tangan yang kecil halus itu mengenai pelipisnya, membuat dia berputaran tujuh keliling dan dunia
menjadi gelap baginya.
Seorang lain dengan golok di tangan menyerangnya marah sekali. “Hei, lihat, siapa aku? Aku adalah
ibumu!” Siang In berteriak dan orang itu menahan goloknya, terbelalak memandangnya karena bagi
pandang matanya, gadis remaja cantik itu tiba-tiba berubah menjadi ibunya yang telah mati beberapa
tahun yang lalu.
“Dukkk!”
Orang yang sedang bengong terlongong itu tentu saja tidak dapat mengelak lagi ketika kepalan tangan
Siang In menonjok lambungnya. Dia terpelanting sambil memegangi perutnya yang menjadi mulas,
agaknya usus buntunya yang terkena hantaman kepalan tangan yang kecil namun kuat itu. Melihat hasil
ilmu sihir yang baru saja dipelajari dari gurunya itu, Siang In menjadi gembira bukan main hingga dia
menjadi kurang waspada.
“Bocah setan, mau lari ke mana kau?” Tiba-tiba ada dua buah lengan yang panjang, kuat dan berbulu
meringkusnya dari belakang.
Siang In berusaha meronta, namun orang itu kuat sekali sehingga usahanya sia-sia belaka. Rasa takut
membuat dia kehilangan kekuatan sihir yang baru saja dilatihnya itu. Akan tetapi dasar Siang In seorang
yang cerdik, biar pun dia tahu bahwa ilmu sihirnya takkan dapat menolongnya, dia tidak menjadi khawatir,
bahkan dia lalu tersenyum manis sekali dan mengangkat mukanya sehingga mukanya dapat terlihat oleh
orang tinggi besar yang meringkusnya. Orang itu menunduk dan terpesona oleh kecantikan wajah yang
tersenyum luar biasa manisnya itu.
“Aihh... kamu benar-benar jantan dan kuat sekali... akan tetapi pelukanmu terlalu kuat... menyakitkan...,”
kata Siang In dengan lagak yang amat genit karena dia telah meniru lagak Si Siluman Kucing atau Mauw
Siauw Mo-li seperti yang pernah dia pamerkan kepada Suma Kian Bu. Mulutnya tersenyum agak terbuka,
matanya mengerling tajam penuh daya pikat dan biar pun dia menyandarkan kepalanya di dada orang itu,
diam-diam dia melangkah maju.
Laki-laki itu benar-benar terpesona dan otomatis dia melonggarkan ringkusannya. Daya tarik yang keluar
dari sikap dan kecantikan wajah Siang In kiranya tidak kalah hebat dan kuatnya dari pada ilmu sihirnya,
maka orang itu seperti kehilangan kewaspadaannya, tidak tahu betapa tiba-tiba kaki Siang In yang kecil itu
membuat gerakan seperti seekor kuda ke menyepak belakang.
“Bukkk... aughhhh... adouuuuhhh...” Laki-laki itu mendekap bawah perutnya yang kena dihantam tumit kaki
Siang In dan mengaduh-aduh setengah berjongkok.
Siang In mengayun kakinya lagi menendang, mengenai dagunya dan orang itu roboh terjengkang, akan
tetapi masih memegangi alat kelaminnya yang kena disepak dan yang rasanya kiut-miut menusuk tulang,
terasa sampai ke ubun-ubun!
“Bocah nakal, hayo kita pergi!” See-thian Hoat-su kini berhasil memegang pergelangan tangan muridnya
dan membawanya loncat berkelebat dan lenyap dari situ membawa murid dan bekas isterinya.
Pendekar Super Sakti menggeleng-gelengkan kepala sambil tersenyum menyaksikan keadaan kakek,
bekas isterinya, dan muridnya itu. Dia tidak lagi bergerak, akan tetapi mereka yang bertempur di
sekelilingnya tidak ada yang berani mengganggunya.
Sementara itu, Ceng Ceng yang tentu saja mempunyai rasa setia kawan dengan Bhutan, sudah
mengamuk sampai terpisah agak jauh dari Pendekar Super Sakti, dan dia pun tidak tahu apa yang telah
terjadi antara Pendekar Super Sakti dengan Nenek Durganini, karena pihak musuh sudah mengepungnya
ketika melihat betapa lihainya dara ini yang telah merobohkan banyak lawan.
Tiba-tiba terjadi keributan tak jauh dari situ. Ketika Ceng Ceng menengok, dia melihat Tek Hoat yang juga
mengamuk dan merobohkan setiap orang anak buah Tambolon yang berdekatan dengannya. Begitu
melihat pemuda ini, timbul kemarahan hebat di hati Ceng Ceng. Teringat dia betapa oleh pemuda ini dia
telah diserahkan kepada Tambolon sebagai penukar Syanti Dewi, betapa dia telah ditipu oleh Tek Hoat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jahanam keparat!” Dia memaki dan meninggalkan musuh-musuhnya, lalu lari dan tiba-tiba saja dia
menyerang Tek Hoat.
Serangan itu demikian dahsyat karena kemarahan di hati Ceng Ceng secara otomatis menggerakkan
tenaga sinkang mukjijat di dalam tubuhnya yang timbul dari khasiat anak ular naga. Angin pukulan yang
amat hebat menyambar dan Tek Hoat menjadi terkejut bukan main karena ketika dia menangkis, dia masih
terhuyung ke belakang! Akan tetapi ketika melihat bahwa yang menyerangnya adalah Ceng Ceng, dia
memandang rendah dan juga menjadi marah.
“Hemm, kiranya engkau telah diperalat oleh Si Keparat Tambolon pula?” teriaknya dan melihat Ceng Ceng
menyerang lagi, dia cepat mengelak dan balas menyerang! Diam-diam Tek Hoat terkejut melihat kemajuan
hebat dalam gerakan Ceng Ceng. Dia tidak tahu bahwa selama ini Ceng Ceng telah menerima petunjukpetunjuk
dari Topeng Setan dan telah memiliki sinkang mukjijat dari anak ular naga.
Maka terjadilah pertandingan yang amat seru dan para prajurit kedua pihak tidak ada yang berani
mendekati karena gerakan dua orang itu mendatangkan hawa pukulan yang bersiutan dan dari jauh saja
mereka hampir tidak dapat menahan.
Betapa pun juga, tingkat kepandaian Tek Hoat masih jauh di atas tingkat Ceng Ceng, dan mulailah Tek
Hoat mendesaknya. Akan tetapi, sejak dahulu, ada perasaan aneh di dalam hati pemuda ini terhadap Ceng
Ceng, rasa suka yang aneh, maka sekarang pun dia merasa tidak tega untuk merobohkan Ceng Ceng.
“Ceng Ceng, kau mundurlah dan jangan tolol membela Tambolon!” beberapa kali Tek Hoat berseru
kepadanya.
Ceng Ceng maklum bahwa Tek Hoat membela Bhutan dan salah menduga dia menjadi kaki tangan
Tambolon. Akan tetapi dia tidak peduli. Dengan Tek Hoat dia mempunyai urusan pribadi yang tidak ada
sangkut-pautnya dengan Bhutan atau Tambolon, dan dia tidak mau membela diri dari tuduhan itu. Dia tidak
takut mati, bahkan kalau dia tidak dapat menangkap Tek Hoat, biarlah dia mati menyusul Topeng Setan.
Coba kalau ada Topeng Setan di sisinya, Tek Hoat ini tentu tidak berani banyak lagak terhadap dirinya!
Teringat akan Topeng Setan, hatinya berduka sekali dan dia menjadi makin nekat!
Tek Hoat merasa kewalahan juga ketika Ceng Ceng menyerangnya lebih hebat dan lebih nekat, seolaholah
dara itu tidak mempedulikan keselamatan dirinya sendiri. “Ceng Ceng, jangan bodoh kau, mundurlah!
Kalau tidak, terpaksa aku akan membunuhmu!”
“Sombong, keparat keji! Siapa takut mampus?” Ceng Ceng membentak marah sekali, lalu menerjang lagi
seperti seekor singa betina menghantam kepala Tek Hoat dengan tangan kanannya.
“Plakkkk...!”
Tek Hoat cepat menyambar pergelangan tangan Ceng Ceng. Ketika tangan kiri Ceng Ceng menampar, dia
cepat menangkis sedemikian kuatnya sehingga pasangan kuda-kuda kaki Ceng Ceng tergempur.
Kesempatan itu digunakan oleh Tek Hoat yang masih memegang lengan Ceng Ceng dengan tangan
kirinya untuk menghantamkan tangan kanannya yang terbuka dan yang mengandung penyaluran sinkang
Inti Bumi ke arah kepala Ceng Ceng. Hantaman ini kalau mengenai kepala dara itu tentu akan langsung
menghancurkannya dan membinasakan, karena tenaga yang terkandung amat kuatnya, cukup kuat untuk
membikin remuk batu karang.
“Tek Hoat, jangan...!” Seruan Gak Bun Beng ini dibarengi dengan dorongan tangan kiri sehingga ada hawa
pukulan menyentuh punggung Tek Hoat.
Pemuda ini terkejut sekali, sekaligus dia pun sadar akan apa yang akan dilakukannya terhadap dara yang
sebetulnya amat disukanya itu, bahkan andai kata di dunia ini tidak ada Syanti Dewi, besar sekali
kemungkinannya dia akan jatuh cinta kepada Ceng Ceng. Dan sekarang, karena desakan Ceng Ceng yang
telah nekat, hampir saja ia membunuh gadis ini! Dia cepat meloncat mundur dan melepaskan
pegangannya sehingga Ceng Ceng terhuyung-huyung.
“Tek Hoat, apakah kau sudah gila?” Gak Bun Beng membentaknya. “Tidak tahukah engkau, Ceng Ceng,
bahwa kalian sebetulnya adalah saudara-saudara seayah?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi ucapan itu hampir tidak kedengaran karena pada saat itu Ceng Ceng sudah memaki-maki Tek
Hoat, “Manusia sombong, manusia curang dan jahat. Kalau... kalau Paman Topeng Setan tidak mati...
kalau dia ada... kau tidak akan berani menjual lagak...!” Dan segera dara ini menangis terisak-isak karena
dia teringat kepada Topeng Setan yang begitu baik, yang jauh sekali bedanya dengan Tek Hoat ini!
Akan tetapi Tek Hoat mendengar ucapan Gak Bun Beng tadi dan dia berseru, “Apa...? Dia... Ceng Ceng
ini... saudaraku sendiri?”
Mendengar ini, Ceng Ceng terbelalak, lalu berjebi. “Huh, aku saudaramu? Siapa bilang? Tak sudi aku
mempunyai saudara macam engkau!”
“Ceng Ceng, janganlah engkau berkata demikian. Tek Hoat ini pun putera dari ayah kandungmu, Wan
Keng In, hanya bedanya, kalau ibumu adalah Lu Kim Bwee, ibu Tek Hoat adalah Ang Siok Bi. Kalian masih
kakak beradik, seayah.”
Tek Hoat menjadi bengong. “Pantas...” bisiknya lirih. “Pantas aku mempunyai perasaan yang aneh
terhadap dia... aku suka sekali padanya...”
“Hah, kau suka tetapi baru saja engkau hendak membunuhku?” Ceng Ceng berseru marah. “Kakak macam
apakah kau ini?”
“Ceng Ceng..., maafkan aku... karena engkau begitu nekat dan kepandaianmu hebat sekali sehingga amat
berbahaya...”
“Sudahlah, nanti kita bicara. Musuh masih banyak,” kata Gak Bun Beng yang sudah cepat melerai mereka.
“Ceng Ceng, bagaimana kau bisa tiba di sini?”
“Saya datang bersama Locianpwe Pendekar Super Sakti.”
“Ahhh...?” Gak Bun Beng terkejut dan berseru girang. “Di mana beliau?”
Ketika Ceng Ceng menunjuk dengan jarinya ke arah perginya Pendekar Super Sakti, Bun Beng cepat pergi
untuk mencari gurunya sambil berkata, “Tek Hoat, kau harus melindungi adikmu itu.”
Setelah Gak Bun Beng pergi, dua orang muda itu saling pandang, Tek Hoat tersenyum dan wajahnya
berseri karena sungguh girang hatinya mendengar bahwa gadis yang amat disukanya ini ternyata adalah
adiknya! Akan tetapi Ceng Ceng tetap cemberut, masih panas hatinya teringat betapa tadi hampir saja dia
dibunuh oleh Tek Hoat.
“Ceng Ceng, engkau... engkau adikku...”
“Huh, belum tentu! Ibu kita berlainan, siapa tahu kalau-kalau aku yang lahir lebih dulu dari pada engkau.
Mungkin aku malah enci-mu!”
“Adik atau enci, pokoknya kita bersaudara, dan aku girang sekali. Ehh, Ceng Ceng, aku tahu bahwa sejak
kecil engkau di Bhutan, marilah kita berlomba untuk membunuh Tambolon!”
Ceng Ceng hanya mengangguk karena untuk membunuh musuh besar itu, tentu saja dia tidak dapat
membantah.
“Hayo ikut dengan aku!” Tek Hoat cepat merobohkan dua orang sambil meloncat, diikuti oleh Ceng Ceng
yang juga membuka jalan sambil merobohkan anak buah Tambolon.
Mereka mencari-cari dan akhirnya mereka dapat melihat Tambolon sedang mengamuk, dikeroyok oleh
Panglima Jayin dan beberapa orang perwira Bhutan, akan tetapi mereka ini terdesak hebat oleh Tambolon
yang mengamuk dengan kemarahan meluap-luap karena gurunya telah dilarikan oleh Kakek See-thian
Hoat-su dan pasukannya telah kocar-kacir. Raja liar itu kini menggunakan senjata golok gagang panjang
dan sepak-terjangnya dahsyat sekali.
“Ciangkun, minggirlah, biar kami berdua yang akan menghadapinya!” Tek Hoat berseru.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat pemuda ini, Panglima Jayin menjadi girang dan langsung memerintahkan para pembantunya untuk
mundur. Akan tetapi dia melihat Ceng Ceng dan dengan girang sekali dia berseru, “Sumoi...!”
Seperti kita ketahui, Panglima Jayin ini adalah murid dari mendiang kakek Lu Kiong dan sejak dahulu dia
memanggil Ceng Ceng sumoi.
“Suheng, biarlah aku menghadapi raja liar itu.” Ceng Ceng berkata sambil melompat ke depan.
Panglima Jayin tentu saja meragu dan khawatir sekali karena dia tahu bahwa tingkat kepandaian sumoinya
ini tidak jauh dengan tingkatnya, bahkan dia masih lebih tinggi sedikit. Akan tetapi melihat loncatan
Ceng Ceng yang seperti burung walet terbang itu, dia terkejut dan girang, maklum bahwa sumoi-nya itu
tidak boleh dibandingkan dengan sumoi-nya di waktu belum meninggalkan Bhutan dahulu.
Melihat majunya Tek Hoat dan Ceng Ceng, Tambolon terkejut bukan main karena dia maklum akan
kelihaian pemuda itu, dan teringat pula betapa dahulu nona ini pernah membebaskan diri dengan
memperlihatkan tenaga mukjijat, dia pun maklum bahwa nona yang telah memperoleh khasiat dari anak
ular naga ini telah memiliki tenaga sakti yang juga amat hebat. Akan tetapi karena dia sendiri percaya
penuh akan dirinya sendiri, juga agar tidak menurunkan semangat anak buahnya, dia tertawa bergelak dan
sekali tangan kanannya bergerak....
“Kraakkk!” terdengar bunyi dan gagang goloknya yang panjang itu telah dipatahkannya sehingga berubah
menjadi sebatang golok gagang biasa. Kemudian tangan kirinya meraba pinggangnya.
“Singggg...!” tercabutlah sebatang pedang yang mengeluarkan sinar yang mukjijat dan menyeramkan.
“Ha-ha-ha, bocah perempuan setan! Engkau akan mampus di ujung pedangmu sendiri!”
Ceng Ceng terkejut dan marah ketika mengenal Ban-tok-kiam, yaitu pedang pemberian Ban-tok Mo-li yang
telah dirampas dari tangannya oleh raja liar itu.
“Tambolon keparat! Aku harus membunuhmu!” Ceng Ceng yang sudah nekat itu segera menubruk ke
depan dengan tangan kosong, mengirim pukulan yang dahsyat. Tambolon menggerakkan pedang itu
memapaki.
“Ceng Ceng, hati-hatilah...!” Tek Hoat mengkhawatirkan keselamatan gadis yang nekat itu dan cepat dia
pun mengirim pukulan dahsyat ke arah Tambolon. Terpaksa Raja liar ini menggunakan goloknya
menyambut serangan Tek Hoat.
Tentu saja Ceng Ceng tidak membiarkan dirinya dimakan pedangnya sendiri begitu saja. Tubuhnya sudah
cepat mengelak dan dari bawah kakinya menyambar ganas ke arah pergelangan tangan lawan yang
memegang pedang. Akan tetapi Tambolon dapat menarik tangannya dan pada saat itu, Tek Hoat yang
sudah mengelak pula telah menghantam dengan pukulan jarak jauh.
“Dessss...!”
Tambolon terpaksa menerima hawa pukulan itu dengan bahunya dan dia terhuyung. Bukan main kagetnya
dan kini dia menggerakkan pedang dan golok itu, diputar-putar sehingga tampaklah dua sinar yang saling
membelit dan bergulung-gulung mengelilingi tubuhnya.
“Taihiap, pakailah ini! Sumoi, pakailah senjata ini!” Tiba-tiba terdengar Panglima Jayin berseru dan dua
batang pedang melayang ke arah Tek Hoat dan Ceng Ceng yang cepat menyambarnya.
Ceng Ceng girang melihat pedang di tangannya karena dia mengenal pedang mendiang kakeknya yang
dihadiahkan kepada suheng-nya itu, sedangkan pedang yang diberikan kepada Tek Hoat itu pun
merupakan pedang pusaka Bhutan karena pedang itu adalah pedang kebesaran tanda pangkat Jayin yang
diterimanya dari rajanya. Biar pun kedua pedang itu tidak dapat dibandingkan dengan Ban-tok-kiam yang
mukjijat dan beracun, akan tetapi keduanya terhitung pedang pusaka yang terbuat dari baja pilihan.
Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat, Tek Hoat dan Ceng Ceng cukup cerdik untuk mengenal
keampuhan pedang Ban-tok-kiam, maka mereka tidak mau mengadu pedang mereka dengan Ban-tokkiam,
tetapi ketika golok di tangan kanan Tambolon menyambar, seperti telah bersepakat lebih dulu,
pemuda dan gadis itu menggerakkan pedang yang menggunting dari kanan kiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Krekkk!” Patahlah golok itu dan Tambolon terpaksa meloncat mundur sambil memutar Ban-tok-kiam di
tangan kirinya.
Ceng Ceng meloncat dan mengejar, diikuti oleh Tek Hoat. Keduanya mengurung dan menghimpit sehingga
biar pun tangannya memegang pedang yang ampuh, tetap saja Tambolon terdesak hebat dan mulai
merasa cemas.
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring. Muncullah dua orang lawan tangguh, yaitu Liauw Kui Si
Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut, dua orang pengawal pribadi dari Tambolon. Si Petani Maut
telah memutar batang pikulannya dan Yu Ci Pok sudah menggerakkan siang-koan-pit secara hebat.
Melihat hal ini, tentu saja Jayin dan teman-temannya tidak tinggal diam, akan tetapi mereka didahului oleh
bentakan halus nyaring, “Harap kalian minggir!”
Panglima Jayin terkejut dan girang ketika mengenali Puteri Milana. Kiranya panglima yang memimpin
seluruh pertahanan Bhutan itu sendiri yang berkenan turun tangan menghadapi dua orang lihai ini.
“Bibi Milana...!” Ceng Ceng berseru girang melihat Milana.
Milana yang sudah menggerakkan pedangnya menyambut sinar pikulan dan siang-koan-pit itu, tersenyum
kepada Ceng Ceng. “Engkau membantu saudaramu? Bagus!”
Ang Tek Hoat juga girang melihat puteri ini, karena hal itu hanya menandakan bahwa pasukan mereka
telah menang. Kalau tidak, tentu puteri ini tidak sempat turun tangan sendiri.
“Ceng Ceng, kau bantulah Sang Puteri!” katanya.
“Hushh, Sang Puteri itu adalah bibi kita, tolol. Ayah kita adalah juga kakak tirinya.” Ceng Ceng menegur,
akan tetapi dia tetap mendesak Tambolon.
“Kepala batu! Aku tidak suka kau bantu! Aku ingin menghadapi Tambolon sendiri!” Tek Hoat berseru
karena dia maklum bahwa betapa pun juga, masih amat berbahaya bagi Ceng Ceng untuk menghadapi
Tambolon yang amat lihai itu.
Puteri Milana mengerti akan isi hati Tek Hoat, maka melihat bahwa pemuda itu cukup tangguh untuk
menghadapi Tambolon, dia berkata, “Ceng Ceng, kau bantulah aku. Aku sudah lelah.”
Mendengar ini, tentu saja Ceng Ceng meloncat seperti kilat dan dia sudah menerjang Yu Ci Pok dan
mendesak siucai ini dengan gerakan pedangnya yang mengandung tenaga mukjijat sehingga tangkisan
siucai itu membuat tangannya tergetar dan siucai itu pun terkejut bukan main.
Pertandingan terpecah menjadi tiga dan kini tempat itu dikurung oleh pasukan Bhutan yang ingin menonton
pertandingan hebat ini, juga Jayin dan teman-temannya ikut pula menonton karena kini pihak musuh sudah
kocar-kacir dan kemenangan sudah di depan mata. Keadaan tidak berbahaya lagi maka ‘tontonan’ yang
demikian hebatnya tidak akan mereka lepaskan begitu saja.
Tanpa diketahui orang lain, Milana berbisik kepada Ceng Ceng, “Jangan robohkan lawan, biar mereka
semua ini dirobohkan oleh saudaramu yang akan menjadi calon mantu Raja Bhutan.”
Mendengar ini, sepasang mata Ceng Ceng terbelalak, jantungnya berdebar dan diam-diam dia merasa
terharu sekali. Kakak angkatnya, Puteri Syanti Dewi akan menjadi isteri Tek Hoat! Dan Tek Hoat adalah
saudaranya, satu ayah! Dia tidak lagi mampu menjawab, hanya mengangguk dan bersama Puteri Milana
dia melayani lawannya seperti main-main saja. Kalau mereka mau, apa lagi Puteri Milana yang
menghadapi Si Petani Maut, tentu dengan amat mudahnya mereka mengalahkan lawan mereka itu.
Yang bertanding secara sungguh-sungguh dan mati-matian adalah Tek Hoat. Hebat sekali pemuda ini
menyerang dan mendesak Raja Liar Tambolon. Raja liar ini pun mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya karena dia maklum bahwa dia tersudut dan tidak dapat melarikan diri lagi. Jalan satusatunya
hanya mempertahankan diri sampai saat terakhir dan kalau mungkin membunuh musuh
sebanyaknya. Akan tetapi pemuda ini terlalu tangguh baginya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah bertanding hampir seratus jurus, Tambolon makin terdesak dan mukanya sudah basah oleh
keringat. Baiknya dia memiliki pedang Ban-tok-kiam, karena kalau tidak demikian, tentu sudah tadi dia
roboh oleh pemuda yang luar biasa ilmu silatnya ini. Tiba-tiba ketika kakinya menendang, ujung kakinya
dapat menyerempet paha Tek Hoat dan pemuda itu lantas terguling jatuh. Semua orang menjerit, kecuali
Puteri Milana yang berpemandangan tajam dan yang melayani Si Petani Maut sambil menonton!
Tambolon mengeluarkan suara gerengan seperti seekor harimau marah, pedang Ban-tok-kiam menyambar
ketika dia menubruk lawan yang sudah roboh di tanah itu. Akan tetapi tiba-tiba kaki Tek Hoat bergerak dan
hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya menyambar.
“Bressss...!”
Tambolon memekik kaget dan kesakitan, pedang Ban-tok-kiam terlempar jauh dan dia terdorong sampai
bergulingan. Kiranya Tek Hoat yang sengaja menjatuhkan diri itu telah menggunakan kekuatan Inti Bumi
yang paling ampuh, yang diambilnya dari tenaga bumi ketika dia rebah, dan kakinya telah menyerang
dengan kekuatan luar biasa, yang kiri menendang pergelangan tangan lawan sehingga pedang Ban-tokkiam
terlempar, kaki kanan menendang ke arah dada dan biar pun sudah ditangkis oleh tangan kiri
Tambolon, tetap saja tubuh raja yang tinggi besar seperti raksasa itu terlempar dan bergulingan.
Tek Hoat sudah meloncat dan mengejar. Tambolon mengeluarkan senjata jala yang ketika digerakkan
berubah seperti uap, akan tetapi Tek Hoat yang sudah mengenal senjata ini tidak menjadi gentar. Bahkan
dengan sengaja dia memapaki jala itu dengan pedangnya. Tambolon menjadi girang karena jalanya
berhasil menangkap dan membelit pedang. Dia menyangka bahwa seperti biasa, tentu pemuda itu akan
berusaha menarik kembali pedangnya. Akan tetapi Tek Hoat memang sengaja membiarkan pedangnya
terampas dan secepat kilat, dia melepaskan gagang pedang dan menggunakan kedua tangannya untuk
menyerang dengan pukulan tangan terbuka yang mengandung tenaga Inti Bumi, yang kiri ke arah pusar
sedangkan yang kanan ke arah pelipis.
Tambolon terkejut, berusaha menangkis dan memang berhasil menangkis pukulan ke pusarnya, akan
tetapi tangan kanan Tek Hoat sudah menyambar pelipisnya.
“Dessss...!”
Tambolon terpelanting dan roboh dengan mata mendelik, tubuhnya kaku dan dia tewas seketika!
Jayin dan para pembantunya segera bersorak. Panglima ini cepat menyambar pedang, memenggal kepala
Tambolon yang dipasangnya di atas tombak dan diangkat tinggi-tinggi ke atas agar kelihatan oleh semua
orang dan untuk melenyapkan semangat tentara musuh.
“Tek Hoat, kau bantulah kami!” Puteri Milana berseru.
Tek Hoat memandang dengan terheran-heran melihat betapa Puteri Milana yang dia tahu amat lihai itu dan
Ceng Ceng belum juga mampu merobohkan Si Petani Maut dan Si Siucai Maut. Dia memekik keras dan
dengan tangan kosong dia menerjang Si Petani Maut Liauw Kui yang memang sudah jeri sekali karena dia
bukan tidak tahu betapa Puteri Milana mempermainkannya, menyambut terjangan Tek Hoat dengan
pikulannya. Namun, dengan mudah Tek Hoat menangkap batang pikulan itu. Dengan pengerahan tenaga
dia memaksa batang pikulan itu membalik dan robohlah Si Petani Maut, batang pikulan memasuki perutnya
menembus ke punggung.
Tek Hoat yang sudah beringas seperti harimau yang haus darah itu lalu menubruk ke arah Siucai Maut
sambil berseru, “Ceng Ceng minggirlah!”
Yu Ci Pok menyambut dengan totokan dua senjata siang-koan-pit, akan tetapi Tek Hoat yang sudah
melindungi tubuhnya dengan kekuatan tenaga sakti Inti Bumi dan juga menghentikan jalan darah di bagian
yang tertotok, menerima dua totokan itu dan membarengi dengan gerakan jari tangannya dipergunakan
seperti sebatang pedang menusuk ke depan.
“Craattt!” Jari-jari tangan kanannya memasuki dada Yu Ci Pok seperti sebatang pedang dan robohlah
pengawal kedua dari Tambolon ini, berkelojotan dan tewas.
dunia-kangouw.blogspot.com
Puteri Milana dan Ceng Ceng bertepuk tangan memuji, kemudian mereka bertiga terus mengamuk
sehingga pihak musuh makin kacau dan akhirnya larilah sisa pasukan dari suku-suku bangsa liar itu, apa
lagi setelah mereka semua mendengar bahwa Raja Tambolon telah tewas.
Berakhirlah perang itu dengan kemenangan gemilang di pihak Bhutan. Panglima Jayin mengarak Tek Hoat
sebagai seorang pahlawan gagah perkasa karena dia sendiri telah menyaksikan betapa pemuda yang
gagah perkasa ini sudah berhasil membunuh Tambolon yang demikian lihainya, berarti bahwa pemuda ini
memang telah membuat jasa besar sekali dan patut diperlakukan sebagai seorang pahlawan yang dengan
setia telah membela Kerajaan Bhutan.
Gak Bun Beng yang telah bertemu dengan Pendekar Super Sakti, cepat berlutut di medan perang itu,
memberi hormat dengan hati terharu karena dia tadinya sudah tidak mengira akan dapat bertemu dengan
pendekar sakti yang dianggap sebagai gurunya ini.
Sejenak Pendekar Super Sakti juga menunduk dan memandang, lalu mengangguk-angguk dan bertanya,
“Bun Beng, aku sudah mendengar bahwa Kerajaan Bhutan dibantu oleh engkau dan Milana. Di mana
sekarang dia?”
“Sumoi Milana sedang memimpin pasukan untuk membasmi barisan pemberontak, Suhu. Bagaimana
keadaan Suhu dan Subo di Pulau Es? Mudah-mudahan dalam keadaan sehat.”
“Kami baik-baik saja, Bun Beng. Aku meninggalkan Pulau Es untuk pergi menyusul dan mencari dua orang
sute-mu. Kian Lee telah kujumpai dan sudah kusuruh pulang, akan tetapi Kian Bu masih kucari-cari.
Apakah engkau melihat dia?”
Bun Beng menggeleng kepala. “Teecu pernah bersama dengan Sute Kian Bu ketika membantu pemerintah
menghadapi para pemberontak yang dipimpin oleh dua orang Pangeran Liong, akan tetapi setelah itu, Sute
Kian Bu pergi meninggalkan kota raja, kemudian terdengar lagi beritanya pada waktu dia menolong Puteri
Syanti Dewi dari penghadangan Tambolon dan Durganini, lalu dia pergi lagi tanpa ada yang mengetahui ke
mana, Suhu.”
“Hemmm, mari kita mencari Milana, mungkin dia tahu tentang adiknya itu.”
Bun Beng hanya mengangguk, tidak berani menceritakan betapa sejak dari kota raja, kekasihnya itu
melakukan perjalanan bersama dia dan tentu saja pengetahuan Milana tentang Kian Bu tidak ada bedanya
dengan apa yang telah dia ketahui. Bahkan dia masih merasa sungkan dan khawatir kalau-kalau pendekar
sakti ini tidak akan senang hatinya mendengar akan keputusan mereka berdua untuk hidup bersama
setelah Milana menjadi janda. Tentu saja orang tua sakti ini tidak tahu bahwa puterinya itu sebetulnya telah
menjadi janda yang masih perawan!
Ketika mereka tiba di tempat pertempuran di mana Milana yang dibantu oleh Ceng Ceng dan Tek Hoat
mengamuk, pertempuran telah selesai dan musuh telah terbasmi, yang melarikan diri dikejar oleh pasukanpasukan
Bhutan.
“Ayah...!” Milana cepat lari menyambut Pendekar Super Sakti dan di lain saat dia telah memeluk orang tua
itu. Air mata puteri yang perkasa ini membasahi baju di dada ayahnya.
Pendekar Super Sakti mengelus rambut puterinya penuh kasih sayang. “Milana..., mana suamimu?”
Mendengar pertanyaan yang seolah-olah merupakan sebatang pedang yang langsung menikam ulu
hatinya, Milana mengguguk tangisnya. Akhirnya dapat juga dia menjawab lirih, “...dia... dia telah tewas...”
Pendekar Super Sakti Suma Han adalah seorang manusia yang sudah dapat mengatasi segala perasaan,
maka dia biasa saja mendengar berita hebat ini, hanya bertanya, “Bagaimana terjadinya hal itu?”
“Ayah, marilah kita memasuki kota raja dan bicara di sana dengan jelas.”
Pada saat itu, Raja Bhutan sendiri keluar menyambut dan dengan penuh kehormatan semua tamu agung
yang sudah berjasa membantu Bhutan, terutama Tek Hoat, diarak masuk ke kota raja. Pendekar Siluman
tidak menolak karena dia ingin mendengar cerita Milana tentang Kian Bu dan tentang Han Wi Kong,
mantunya yang dikabarkan tewas itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua orang di kota raja menyambut para tamu agung, terutama sekali mereka menyanjung-nyanjung
Puteri Milana dan Tek Hoat. Bahkan Tek Hoat sekaligus telah dikenal oleh mereka sebagai calon mantu
raja!
Istana telah cepat sekali mempersiapkan penyambutan yang dipimpin sendiri oleh Puteri Syanti Dewi
sehingga ketika rombongan pemenang ini memasuki kota raja dan tiba di depan istana, tempat ini telah
dihias dengan meriah dan penari-penari serta musik menyambut mereka.
Pertemuan yang amat menggembirakan, semua orang tersenyum dan tertawa, semua wajah berseri-seri
dan semua mata bersinar-sinar. Akan tetapi, suasana menjadi sangat mengharukan ketika tanpa disangkasangkanya
Puteri Syanti Dewi melihat Ceng Ceng di antara rombongan itu. Puteri ini terbelalak seperti
mimpi saja dia melihat adik angkatnya, kemudian kedua orang dara cantik itu menjerit dan saling
menubruk.
“Candra...!”
“Enci Syanti...!”
Mereka berangkulan dan menangis, saling berciuman karena sejak berpisah di tengah mala petaka ketika
perahu mereka terguling, baru satu kali inilah mereka dapat saling bertemu kembali dan pertemuan ini
terjadi di Bhutan! Sungguh merupakan hal yang aneh dan tidak tersangka-sangka oleh Syanti Dewi.
Betapa hebat pengalaman mereka semenjak saling berpisah. Dan betapa cepatnya waktu berlalu karena
begitu saling bertemu dan berpelukan, mereka merasa seolah-olah baru kemarin saja mereka saling
berpisah.
Saling bergandeng tangan karena tidak sempat bicara di depan banyak orang, Syanti Dewi dan Ceng Ceng
bersama semua rombongan itu memasuki istana di mana Raja Bhutan mengadakan penyambutan dengan
pesta untuk merayakan kemenangan yang gemilang itu.
Rakyat dan para prajurit semua juga berpesta pora merayakan kemenangan besar itu. Suasana Kerajaan
Bhutan gembira bukan main, sungguh pun harus diakui bahwa banyak pula yang menangis dan dilanda
kedukaan hebat karena kematian suami, anak atau ayah yang menjadi prajurit Bhutan dan gugur dalam
perang itu. Akan tetapi suara tangis mereka tenggelam dan hanyut oleh arus kegembiraan dari kota raja
yang merayakan kemenangan.
Demikianlah adanya perang dan akibat-akibatnya! Di mana pun di bagian dunia ini, dan di jaman apa pun!
Para korban perang yang membantu terlaksananya kemenangan, terlupa oleh yang merayakan
kemenangan, oleh yang mengecap keuntungan dalam kemenangan perang. Kalau pun para korban itu
diingat oleh mereka, hal ini hanya sekilas saja, sekedar hiburan bagi keluarga si korban, atau lebih tepat,
sebagai penonjolan dari yang merayakan kemenangan bahwa mereka itu tidak melupakan para korban,
sungguh pun yang dikatakan tidak lupa itu hanya untuk satu kali setahun, dan itu pun hanya beberapa
menit saja, lalu tidak dipedulikan lagi sama sekali sampai saatnya diperingati lagi!
Perang merupakan bukti betapa busuknya si aku mementingkan diri pribadi, secara keji mempergunakan
manusia-manusia lain, kalau perlu mengorbankan laksaan nyawa manusia lain, demi untuk mencapai citacita
yang tidak lain dan tidak bukan hanyalah merupakan pengejaran sesuatu yang menguntungkan diri
pribadi lahir mau pun batin. Perang merupakan bukti pula betapa bodohnya manusia, dipermainkan oleh
slogan-slogan kosong, seperti sekelompok ikan memperebutkan umpan tidak tahu bahwa di dalam umpan
tersembunyi maut!
Di dalam kesempatan berpesta-pora ini, Pendekar Super Sakti mendengar semua penuturan Milana
tentang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Tanpa menyembunyikan sesuatu, Milana menuturkan tentang
kepatahan hati dua orang pemuda Pulau Es itu.
“Aku kasihan sekali kepada mereka, Ayah. Kian Lee jatuh cinta kepada Ceng Ceng, dan ternyata kemudian
bahwa Ceng Ceng adalah keponakan sendiri karena gadis itu adalah putera Wan Keng In dan Lu Kim
Bwee.”
Pendekar Super Sakti Suma Han memandang ke arah Ceng Ceng yang sedang duduk menyendiri dengan
wajah muram. Dia teringat akan pertemuannya dengan gadis itu, mula-mula di rumah makan ketika dia dan
isterinya Lulu tiba di tempat itu dalam usaha mereka mencari putera mereka. Kiranya gadis yang kemudian
melakukan perjalanan bersamanya itu adalah puteri Wan Keng In! Dengan demikian, Lulu telah menolong
dunia-kangouw.blogspot.com
cucunya sendiri di dalam rumah makan itu! Lalu dia teringat akan Topeng Setan dan Pendekar Super Sakti
menghela napas panjang. Ternyata buah perbuatan Wan Keng In masih terasa sampai sekarang!
“Tidak perlu dikasihani, Milana. Kalau dia melihat kenyataan bahwa gadis itu adalah keponakan sendiri,
mengapa dia harus patah hati? Dan bagaimana dengan Kian Bu?”
“Bu-te lebih parah lagi, Ayah. Dia jatuh hati kepada Syanti Dewi, akan tetapi agaknya Puteri Bhutan itu
tidak membalas cintanya karena puteri itu agaknya jatuh hati kepada Tek Hoat.” Puteri Milana mengerling
dan Suma Han juga melihat betapa mesra puteri itu di dalam pesta melayani Tek Hoat yang duduk di
samping Raja Bhutan dan permaisuri!
“Hemm, cinta yang menuntut balasan, kalau tidak dibalas lalu patah hati bukanlah cinta namanya...” Suma
Han berkata lirih seperti kepada diri sendiri. “Kepatahan hati itu adalah salahnya sendiri, timbul dari iba diri.
Di mana kiranya dia sekarang?”
“Aku tidak tahu, Ayah.”
“Biarlah, aku akan mencarinya. Dan engkau sendiri, Milana. Bagaimana engkau bisa berada di sini tanpa
suamimu? Dan apa pula artinya ucapanmu bahwa suamimu telah tewas?”
Puteri Milana menekan perasaannya agar jangan sampai dia menangis di dalam pesta itu. Kemudian,
dengan hati-hati dan lirih berceritalah dia tentang keadaannya dengan Han Wi Kong, betapa mereka itu
menikah tanpa cinta kasih di pihaknya, hanya untuk memenuhi kehendak Kaisar, dan betapa Han Wi Kong
telah bersikap jantan dan tidak memaksa dia memenuhi kewajiban sebagai isteri.
Kemudian tentang perbuatan Han Wi Kong yang membunuh Pangeran Liong Bin Ong sebagai tindakan
‘bunuh diri’ untuk memberi kesempatan kepadanya berkumpul kembali dengan orang yang dicintanya,
yaitu Gak Bun Beng, dan tentang surat-surat Han Wi Kong yang sengaja ditinggalkan untuk dia dan Bun
Beng.
Mendengarkan semua ini, Suma Han memejamkan kedua matanya dengan alis berkerut. Milana sudah
siap untuk mendengar teguran dan kemarahan ayahnya, akan tetapi setelah Suma Han membuka kembali
matanya, pendekar bijaksana itu berkata perlahan, “Nasib manusia berada di dalam tangannya sendiri,
tergantung dari sepak-terjangnya sendiri dalam kehidupan. Semua pengalamanmu itu hanya menjadi bukti
bahwa apa pun yang kita lakukan di dalam kehidupan ini, Milana, haruslah kita lakukan dengan cinta kasih
di dalam hati. Tanpa cinta kasih, maka semua perbuatan itu hanya akan menimbulkan pertentangan dan
kedukaan belaka, seperti perbuatanmu menikah dengan Han Wi Kong, dan perbuatanmu bersama Bun
Beng yang saling berpisah mematahkan ikatan perasaan antara kalian. Jadi sekarang, engkau dan Bun
Beng...”
Milana menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. “Kami telah bersepakat untuk menghadap ke
Pulau Es mohon restu dan ijin dari Ayah dan Ibu, dan karena saya telah menjadi buronan di kota raja,
maka kami berdua akan pergi mengasingkan diri, entah ke mana, saya hanya akan menurut dan ikut
dengan Gak-suheng...”
Suma Han mengangguk-angguk. “Memang sebaiknya jika kalian lebih dulu menghadap ibumu. Nah,
biarlah sekarang juga aku pergi, Milana. Aku akan mencari Suma Kian Bu.” Sebelum Puteri Milana
menjawab, tampak tubuh ayahnya berkelebat dan lenyaplah pendekar itu dari tempat itu, seolah-olah
menghilang begitu saja di tengah-tengah orang banyak yang sedang berpesta.
Milana maklum akan sifat ayahnya yang aneh, maka dia cepat menghadap Raja Bhutan dan mintakan
maaf bahwa ayahnya telah pergi tanpa pamit karena ayahnya mempunyai urusan pribadi yang penting.
Semua orang terkejut dan kagum, akan tetapi hanya mengangguk-angguk dan merasa seram melihat ada
orang dapat lenyap begitu saja di tengah-tengah mereka, seperti siluman!
Tidak lama kemudian, nampak Puteri Milana dan Gak Bun Beng sudah duduk berdua menghadapi meja
dan bercakap-cakap dengan mesra, berbisik-bisik karena puteri itu menceritakan kepada kekasihnya
tentang reaksi ayahnya ketika tadi mendengar pengakuannya tentang mereka. Legalah hati Bun Beng
karena tadi pun, dari meja lain, dia melihat berkelebatnya gurunya itu lenyap, membuat dia khawatir sekali
dan menduga bahwa pendekar itu pergi dengan marah. Kiranya tidak demikian, maka tentu saja hatinya
merasa lega.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua orang di dalam pesta itu bergembira-ria, tenggelam dalam kebahagiaan masing-masing sehingga
tentu saja melupakan orang lain. Tek Hoat yang dihujani sanjungan dan kini dilayani dengan mesra dan
dengan terbuka oleh Syanti Dewi, di depan Raja dan Permaisuri Bhutan yang memandang sambil
tersenyum penuh arti, tentu saja merasa bahagia sekali. Demikian pula Syanti Dewi yang melihat betapa
pria yang dicinta dan dipilihnya itu kini telah kembali dalam keadaan selamat, sebagai seorang pahlawan
pula, tentu saja menjadi sangat gembira sehingga dia pun lupa akan keadaan orang lain.
Semua orang bergembira-ria, kecuali Ceng Ceng. Sebaliknya, dara ini menjadi sedih sekali karena
kebahagiaan orang-orang itu mengingatkan dia akan nasib dirinya. Teringat akan Topeng Setan, satusatunya
manusia yang dicinta, dan teringat akan Kok Cu, satu-satunya manusia yang dibencinya, ternyata
kedua orang itu adalah sama, dan kini telah mati!
Padahal, dua orang itulah yang membuat dia tadinya masih ada gairah untuk hidup di dunia yang penuh
duka ini. Topeng Setan menghiburnya dan kebaikan hati Topeng Setan membuat dia jatuh cinta kepada
orang yang selalu menyembunyikan wajahnya di balik topeng yang amat buruk itu. Dia jatuh cinta bukan
karena wajahnya, melainkan karena kebaikan yang banyak dilimpahkan kepadanya oleh pendekar sakti itu
sehingga kehadiran Topeng Setan di dalam jalan hidupnya itu menimbulkan gairah hidup yang baru.
Ada pun Kok Cu yang selama ini dimusuhinya dan dibencinya karena pemuda itu telah memperkosanya,
merupakan pula suatu dorongan sehingga dia tidak ingin mati dulu sebelum dia dapat membalas
dendamnya. Dengan cara yang amat berlainan, bahkan dengan berlawanan, dua nama itu telah membuat
dia bersemangat untuk hidup. Akan tetapi, seperti halilintar datangnya, terbukalah kenyataan bahwa yang
amat dicintanya adalah orang yang amat dibencinya, sebaliknya pula yang amat dibencinya itu ternyata
adalah orang yang dicintanya, dan kini keduanya, yang sesungguhnya satu orang juga, telah mati! Apa lagi
yang menahannya untuk hidup di dunia penuh duka kecewa ini? Lebih baik mati saja dan rasanya mati
akan jauh lebih menyenangkan dari pada hidup!
Betapa banyaknya manusia di dunia ini hidup dalam duka dan kesengsaraan batin sehingga dunia ini
dianggapnya sebagai tempat yang amat buruk, sebagai neraka yang amat menyiksa. Seperti juga Ceng
Ceng, kita manusia selalu dirundung duka yang seribu satu macam sebabnya sehingga kita selalu haus
akan kebahagiaan, selalu haus akan kesenangan dan selalu merasa bahwa di dunia ini, hanya kita
sendirilah yang paling sengsara sedangkan orang-orang lain semua jauh lebih bahagia dari pada kita.
Benarkah demikian? Sesungguhnya tidaklah demikian kenyataannya. Selama kita memperhatikan
keadaan orang lain, membanding-bandingkan dengan keadaan kita, akan timbul rasa kecewa dan iri,
memupuk rasa iba diri. Dan kita lupa, seperti juga Ceng Ceng, bahwa justru kekecewaan dan kedukaan itu
datang karena keinginan kita mencari yang lebih baik dan lebih menyenangkan itulah! Kita selalu menolak
apa yang ada, selalu menolak kenyataan yang terjadi, membutakan mata terhadap kenyataan yang tidak
menyenangkan dan mengejar-ngejar bayangan yang dianggap akan dapat menyenangkan.
Padahal, kenyataan seperti apa adanya tidak mengandung suka mau pun duka. Kenyataan apa adanya
adalah kebenaran! Ada pun senang atau susah bukanlah bagian dari kenyataan itu, melainkan merupakan
permainan dan pikiran kita sendiri, yang selalu menonjolkan dirinya pribadi, yang selalu akan senang kalau
diuntungkan lahir mau pun batin, dan selalu susah, kalau dirugikan lahir mau pun batin. Pikiranlah biang
keladi susah dan senang. Pikiranlah sumber segala duka dan sengsara! Dan ini merupakan suatu
kenyataan, nampak dengan jelas sekali asal kita mau membuka mata dan memandang kenyataan tanpa
dipengaruhi oleh segala macam pendapat, prasangka dan kesimpulan yang juga merupakan permainan
dari pikiran pula.
Ceng Ceng tenggelam ke dalam lamunan yang menyedihkan. Namun dia hendak merahasiakan semua ini,
demi kebahagiaan Syanti Dewi. Dia tidak ingin mengganggu kebahagiaan kakak angkatnya itu, maka
ketika Syanti Dewi teringat kepadanya dan mendatanginya, lalu menarik tangannya diajak duduk bersama
satu meja dengan keluarga raja, juga bersama Puteri Milana dan Gak Bun Beng yang sudah diminta pula
oleh Syanti Dewi, Ceng Ceng tidak menolak dan berusaha menyelimuti kedukaan hatinya dengan senyum
manis.
Ketika Raja mengumumkan pertunangan Tek Hoat yang masih mengaku she Ang itu dengan Puteri Syanti
Dewi, semua orang menyambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai, juga Ceng Ceng segera
menghampiri kakak angkatnya, dipeluknya dan diciuminya Syanti Dewi sambil mengucapkan selamat.
Kedua orang wanita cantik ini mengusap air mata keharuan dan Ceng Ceng lalu menghampiri Tek Hoat
sambil menjura dan berkata, “Kionghi (selamat), semoga engkau akan menjadi suami kakak angkatku yang
baik.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tek Hoat tersenyum, menyatakan terima kasihnya dan berkata, “Ceng Ceng, kita adalah saudara seayah,
maka kita semua ternyata bukanlah orang-orang lain, bukan? Harap kau maafkan segala kesalahanku
yang lalu terhadapmu.”
Ceng Ceng tidak menjawab, hanya di dalam hatinya dia masih mengkhawatirkan apakah kakak angkatnya
akan bahagia kelak menjadi isteri Tek Hoat yang dikenalnya sebagai seorang yang licik dan curang, dan
jahat. Betapa pun juga, dia tak mengatakan apa-apa karena dia segera teringat akan laki-laki yang tak
pernah dapat dilupakannya, biar pun telah mati itu. Topeng Setan atau Kok Cu itu, seperti juga Tek Hoat,
baik atau jahatkah?
Kalau dia teringat akan Kok Cu, pemuda yang telah memperkosanya di dalam goa, maka jelas bahwa
pemuda itu amat jahat, bahkan merupakan orang yang telah menghancurkan hidupnya, menghancurkan
harapannya. Sebaliknya, kalau dia teringat akan Topeng Setan, jelaslah bahwa orang itu amat baik, terlalu
baik malah, telah melimpahkan budi kebaikan kepadanya, telah mengorbankan lengannya, bahkan
beberapa kali hampir mengorbankan nyawa untuknya. Jadi baikkah orang itu? Atau jahatkah?
Ceng Ceng termenung. Baik atau jahat ternyata tergantung dari pada penilaian kita sendiri, dan penilaian
kita pun didasarkan atas kepentingan diri pribadi. Buktinya, kalau dia mengingat Kok Cu yang telah
merugikan dia, maka otomatis dia menganggapnya jahat sekali. Dan kalau dia mengingat Topeng Setan
yang telah menguntungkan dia, maka otomatis dia menganggapnya baik sekali. Padahal keduanya itu
adalah orang yang sama! Tentu demikian pula dengan Tek Hoat. Siapa pun orangnya yang merasa
dirugikan oleh Tek Hoat, tentu akan menganggapnya jahat, sebaliknya Syanti Dewi yang tentu telah
menerima budi kebaikan dari Tek Hoat seperti dia menerimanya dari Topeng Setan, tentu saja
menganggap Tek Hoat sebaik-baiknya manusia!
Ceng Ceng menghela napas panjang. Kenyataan yang membuka matanya lahir batin ini membuat dia
menjadi muak akan kepalsuan manusia, akan kepalsuan dirinya sendiri. Setiap orang selalu menginginkan
yang menguntungkan dan menyenangkan bagi dirinya sendiri saja, dan menolak yang merugikan atau
tidak menyenangkan, maka timbullah suka dan tidak suka, timbullah cinta dan benci, timbullah puas, dan
kecewa dan kesemuanya itu tentu saja mendatangkan pertentangan dan kesengsaraan.
Syanti Dewi yang sedang tenggelam dalam kegembiraan itu kini mulai memperhatikan Ceng Ceng. Biar
pun adik angkatnya itu kelihatan tersenyum-senyum dan ikut pula berpesta, namun wajahnya pucat dan
matanya muram, jelas kelihatan oleh Syanti Dewi betapa kegembiraan Ceng Ceng hanyalah pura-pura
belaka untuk menyembunyikan kedukaan yang amat besar.
Perang hebat terjadi di dalam batin Ceng Ceng. Di satu pihak dia menderita pukulan batin yang
membuatnya amat berduka teringat kepada Topeng Setan, ditambah menyaksikan kemesraan antara Tek
Hoat dan Syanti Dewi, dan pada lahirnya dia memaksa diri untuk ikut bergembira. Arak yang manis
diminumnya terasa pahit, semua hidangan yang lezat terasa seperti racun di lidahnya. Dia berusaha
menahan-nahan diri, akan tetapi makin diingat makin hebatlah tekanan yang menghimpit batinnya.
Akhirnya dia mengeluh dan roboh terguling dari tempat duduknya.
“Adik Candra...!” Syanti Dewi menjerit.
“Ceng Ceng, kau kenapa...?” Tek Hoat juga berseru dan cepat pemuda ini melompat dan memondong
tubuh Ceng Ceng yang pingsan, dibawanya masuk bersama Syanti Dewi dan diikuti pula oleh Puteri Milana
dan Gak Bun Beng.
Puteri Milana dan Gak Bun Beng cepat memeriksa keadaan Ceng Ceng, dan keduanya saling pandang,
lalu Puteri Milana berkata kepada Syanti Dewi, “Biarkan dia beristirahat. Dia mengalami tekanan batin...”
lalu dia bersama Bun Beng keluar dari dalam kamar itu, diikuti pula oleh Tek Hoat yang membiarkan Syanti
Dewi sendiri menemani Ceng Ceng yang masih rebah pingsan.
Sri Baginda sendiri juga berkenan menengok, dan Sri Baginda lalu bertanya kepada calon mantunya apa
yang terjadi dengan diri Ceng Ceng, adik angkat puterinya itu. Dengan halus Tek Hoat melaporkan bahwa
Ceng Ceng kelelahan dan perlu beristirahat. Sedangkan Milana sendiri berkata lirih kepada Bun Beng,
“Heran sekali, apa yang menyebabkan dia begltu tertekan batinnya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dan aku pun heran ke mana perginya Topeng Setan yang dulu selalu menemaninya? Sayang Suhu tidak
bercerita apa-apa sehingga kita tidak tahu bagaimana Ceng Ceng sampai berpisah dari Topeng Setan dan
tahu-tahu datang bersama Suhu.”
Mereka menduga-duga, akan tetapi tidak dapat mengerti apa sebabnya dara itu sampai menderita pukulan
batin demikian hebatnya, yang dapat mereka ketahui dari pemeriksaan mereka tadi. Untuk menghormati
perayaan kemenangan itu, Milana, Bun Beng, dan Tek Hoat sendiri melanjutkan kehadiran mereka dalam
perayaan sungguh pun hati mereka tidak dapat melupakan keadaan Ceng Ceng. Hanya Syanti Dewi saja
yang tidak muncul lagi karena puteri ini menjaga sendiri adik angkatnya dengan hati gelisah.
Malam itu pesta dilanjutkan dengan meriah. Beberapa kali secara bergantian, Tek Hoat, Milana, dan Bun
Beng menengok keadaan Ceng Ceng yang masih saja rebah seperti tidur pulas dalam keadaan tidak
sadar. Bun Beng menyalurkan tenaga sinkang yang kuat dan halus untuk membantu gadis dan
memperkuat jantungnya, kemudian dia pun keluar sambil memesan kepada Syanti Dewi bahwa apa bila
Ceng Ceng sadar, biarkan gadis itu menangis sepuasnya karena keadaan Ceng Ceng itu hanya akan
terbebas dari bencana kalau gadis itu dapat menangis atau menyalurkan beban yang menekan batinnya
dengan menceritakan kepada orang lain yang dipercayanya. Syanti Dewi mengangguk dengan air mata
berlinang.
Dalam keadaan tidur atau setengah pingsan itu Ceng Ceng mengigau, tubuhnya mulai panas. Syanti Dewi
memperhatikan dengan gelisah dan menjadi bingung melihat sikap Ceng Ceng dalam igauannya. Kadangkadang
gadis itu memaki-maki nama ‘Kok Cu’, dan kadang-kadang dia memanggil-manggil ‘Topeng Setan’
dengan mesranya.
Menjelang tengah malam, Ceng Ceng membuka mata dan tiba-tiba meloncat bangun sambil menjerit, “Kau
telah mati...!” Akan tetapi karena tubuhnya lemah dan kepalanya pening, hampir saja dia terguling kalau
tidak cepat-cepat dirangkul oleh Syanti Dewi.
“Candra... adikku... ingatlah, aku siapa...?” Syanti Dewi yang merangkul itu berbisik dengan suara parau
dan air matanya mengalir di kedua pipinya.
Sejenak sepasang mata Ceng Ceng yang muram itu menatap wajah Syanti Dewi seperti yang tidak
mengenalnya, tatapan pandang mata yang kosong seolah-olah di balik sinar mata muram itu tidak ada
semangatnya lagi. Syanti Dewi merasa seperti ditusuk jantungnya melihat tatapan pandang mata ini.
“Candra Dewi... adikku... kau... kau kenapa...?” Dia merangkul lagi, menciumi pipi yang pucat seperti mayat
itu.
Akhirnya Ceng Ceng sadar. “Enci Syanti...!”
Dia merintih dan menangislah Ceng Ceng dalam pelukan Syanti Dewi, menangis sesenggukan akhirnya
mengguguk dan air matanya mengalir seperti air bah membobol bendungannya. Syanti Dewi juga
menangis, akan tetapi menangis dengan hati lega karena dia teringat akan pesan Bun Beng bahwa tangis
akan membebaskan Ceng Ceng dari ancaman bahaya. Maka dia merangkul dan membiarkan Ceng Ceng
menangis sepuasnya. Setelah agak reda tangis adik angkatnya itu, dia lalu mengambil sapu tangannya
dan menyusuti air mata Ceng Ceng dari pipinya, menyusuti muka yang pucat itu.
“Adikku... adikku yang baik, kenapa kau begini berduka? Ceritakanlah kepada enci-mu ini dan aku
bersumpah demi langit dan bumi, aku akan membantumu dengan seluruh kekuasaanku untuk
melenyapkan ganjalan hatimu, Candra.”
“Ohh, Enci Syanti...” Ceng Ceng kembali menyembunyikan mukanya di pundak puteri itu. Bagaimana dia
akan dapat menceritakan persoalannya itu kepada orang lain?
“Ceritakanlah, Adikku...”
Ceng Ceng tak dapat menjawab, hanya menggelengkan kepala tanpa menghentikan tangisnya.
“Aihh, Candra. Kau kira aku ini siapa? Aku adalah kakakmu, tahukah kau? Lupakah engkau betapa kita
bersama-sama meninggalkan Bhutan dan kemudian mengalami segala macam peristiwa hebat? Dan
sekarang setelah kita bersama dapat pulang dan berkumpul lagi di sini, engkau menjadi begini. Lebih hebat
lagi, agaknya engkau sudah tidak percaya lagi kepada kakakmu ini...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Enci Syanti...! Janganlah kau berkata begitu... jangan...” Ceng Ceng terisak, suaranya seperti orang
merintih.
“Kalau begitu, kau ceritakanlah semua kedukaanmu itu padaku. Kita ini selain saudara angkat, juga
senasib sependeritaan, kalau engkau bahagia, aku pun ikut gembira, kalau engkau sengsara, aku pun ikut
berduka. Bagaimana mungkin aku akan dapat menikmati kebahagiaanku sekarang ini kalau melihat
engkau sengsara, Adikku?”
Ceng Ceng memejamkan matanya. Memang tidak salah ucapan kakak angkatnya ini. Dahulu dia
mempunyai kakeknya akan tetapi kini sudah tidak ada. Kemudian di dunia ini ada Topeng Setan yang
dianggapnya satu-satunya orang yang paling baik dan dekat dengannya. Topeng Setan pun sudah tidak
ada. Dan Syanti Dewi yang tadinya sudah terpisah dari dia dan disangkanya sudah tewas atau tertawan
musuh, sekarang sudah kembali dan berkumpul dengan dia. Memang satu-satunya orang yang paling
dekat dengan dia hanya Puteri Bhutan inilah.
Dia menarik napas panjang dan melepaskan rangkulannya. “Baiklah, Enci Syanti. Mari kita duduk dan
dengarlah ceritaku.”
Dua orang wanita muda yang cantik jelita itu lalu duduk di atas pembaringan, saling berhadapan dan
mulailah Ceng Ceng bercerita. Dia ingin menyingkat ceritanya yang amat panjang itu, hanya
mengemukakan hal-hal yang membuat dia merana dan sengsara seperti yang diderita sekarang ini.
“Ketika kita saling terpisah karena perahu kita terguling...” Ceng Ceng berhenti karena teringat betapa
peristiwa itu terjadi gara-gara Tek Hoat yang kini menjadi calon suami puteri itu!
Syanti Dewi agaknya dapat meraba perasaan hati adik angkatnya, maka dia tersenyum dan berbisik,
“Lanjutkanlah...”
“Aku berjumpa dengan seorang pemuda yang tertawan musuh-musuhnya dan berada dalam sebuah
kerangkeng. Karena kasihan kepadanya, aku melarikan dia dengan kerangkengnya, membawanya ke
sebuah goa dan di situ aku membuka kerangkeng dan membebaskannya...” Ceng Ceng berhenti lagi.
Seperti tampak di depan matanya semua peristiwa itu, betapa pemuda itu dengan berkeras minta agar
supaya dia tidak membebaskannya! Agaknya pemuda itu tahu bahwa dia keracunan dan akan terjadi hal
yang hebat kalau sampai dia dibebaskan dari dalam kerangkeng!
“Lalu bagaimana, Adikku?” Syanti Dewi mulai tertarik oleh cerita yang dipersingkat ini.
“Setelah aku membebaskan dia... lalu dia itu... dia lihai sekali, dia merobohkan aku dengan totokan...”
“Ahhh...!”
“Kemudian... kemudian... dia memperkosaku...!” Ceng Ceng menutupi mukanya dengan kedua tangannya
seolah-olah tidak ingin melihat peristiwa yang kembali membayang di depan matanya.
“Ehhh...!” Syanti Dewi terbelalak, otomatis pandang matanya menjelahi tubuh adiknya. Kemudian dia
bangkit berdiri di depan pembaringan, kedua tangannya dikepal dan sepasang matanya bernyala-nyala.
“Dia... dia memperkosamu? Adikku, katakan siapa jahanam itu! Aku akan menyuruh Tek Hoat mencarinya
sampai dapat dan aku tidak akan mau menikah dengan dia sebelum dia dapat menyeret jahanam itu di
depan kakimu! Aku juga akan mohon bantuan Paman Gak Bun Beng! Hayo katakan, siapa jahanam itu!”
Ceng Ceng menurunkan kedua tangannya, memandang puteri yang marah-marah itu dengan muka pucat,
kemudian dia memegang kedua tangan puteri itu dengan perasaan berterima kasih sekali. “Enci Syanti,
ceritaku belum habis...”
Syanti Dewi duduk kembali di atas pembaringan. “Apakah bukan peristiwa terkutuk itu yang membuatmu
berduka? Kalau karena sakit hati itu, biar aku akan mengerahkan segala kemampuanku untuk
membantumu membekuk jahanam itu!”
Ceng Ceng menggeleng kepalanya dengan lemas, pandang matanya muram dan sayu, kemudian dia
berkata, “Aku akan melanjutkan, dengarlah, Enci Syanti. Seperti dapat kau maklumi, aku menaruh dendam
dunia-kangouw.blogspot.com
kepada orang itu dan selama ini tiada hentinya aku mencari-cari dia untuk membalas sakit hatiku. Dalam
perantauanku ini, aku bertemu dengan seorang lain, yaitu Topeng Setan.”
“Hemm, aku juga sudah mendengar tentang dia, yang kabarnya selalu membantumu dan merupakan
seorang manusia ajaib dan lihai sekali yang bersembunyi di balik topengnya.”
“Benar. Dia adalah seorang manusia yang amat baik kepadaku, Enci, telah berulang kali menyelamatkan
nyawaku, bahkan dia... dia... telah berkorban dengan lengan kirinya menjadi buntung ketika menolongku.
Aku berhutang nyawa kepadanya, berhutang budi dan sudah sepatutnya kalau dia kuanggap sebagai
manusia yang paling mulia di dunia ini...”
“Tentu saja! Aku pun tadinya mengalami hal seperti engkau itu dan aku sampai kini selalu menganggap
Paman Gak Bun Beng sebagai seorang manusia yang paling mulia di dunia ini, tentu saja sesudah orang
tuaku dan... Tek Hoat.”
Ceng Ceng mengangguk-angguk. “Dan kemudian... belum lama ini..., aku mendapat kenyataan yang
menghancurkan seluruh perasaanku, yang membuat aku hampir gila, sebuah kenyataan yang amat hebat,
Enci Syanti...” dan Ceng Ceng tak dapat menahan air matanya lagi.
Syanti Dewi memegang kedua tangan adik angkatnya. “Kenyataan apakah, Candra? Cepat kau
beritahukan kepadaku.”
“Kenyataan bahwa Topeng Setan, orang yang paling kumuliakan dan karenanya paling kucinta... ketika
topengnya terbuka... ternyata... ternyata dia... dia... adalah... pemuda yang memperkosa aku dahulu...”
“Aihhhh...!” Syanti Dewi setengah menjerit dan kembali dia meloncat berdiri, mukanya menjadi pucat dan
pandang matanya penuh rasa iba, lalu mulutnya komat-kamit seperti berdoa akan tetapi terdengar
bisiknya. “...jadi kau... membenci dan sekaligus mencinta orang yang sama...? Dan dia itu... musuhmu dan
sekaligus sahabatmu, pemerkosamu dan sekaligus penolongmu...? Aihhh, bagaimana ini...?”
Seperti dalam mimpi, suaranya lirih dan datar, terdengar Ceng Ceng berkata membela, “Akan tetapi...
ketika dia memperkosaku... dia... dia dalam keadaan tidak sadar karena keracunan... dan dia sudah
berusaha mencegah aku membuka kerangkengnya...”
Mendengar ini, Syanti Dewi mengangguk-angguk, kemudian merangkul adik angkatnya itu dan berkata
dengan suara serius, “Dengarlah baik-baik, Candra. Sekarang jawablah aku. Engkau sekarang ini, setelah
semua itu terjadi, setelah semua itu lewat dan lupakan semua itu, sekarang jawablah, apakah engkau
sekarang ini membencinya ataukah mencintanya?”
Ceng Ceng tertunduk lesu dan sampai lama tidak menjawab.
Syanti Dewi mencium kedua pipinya. “Sadarlah, Adikku. Tak perlu kau membiarkan diri tenggelam dalam
peristiwa yang lalu. Katakanlah kepadaku. Bencikah kau kepadanya? Ataukah engkau cinta kepadanya?”
Ceng Ceng menggeleng kepada. “Entahlah, Enci Syanti. Aku tidak tahu. Dia demikian baik kepadaku,
mungkin tanpa dia aku sudah mati, dan tidak mungkin lagi bertemu denganmu. Dia mengorbankan
segalanya untukku, bahkan lengannya putus sebelah karena aku... akan tetapi... dia... dia yang
memperkosaku.”
Syanti Dewi memandang Ceng Ceng sambil tersenyum. Sampai lama dia menatap wajah yang menunduk
itu, kemudian dia memegang kedua pundak adik angkatnya, lalu memegang dagu yang meruncing itu dan
tersenyum lebarlah Puteri Bhutan itu. “Adikku yang manis, kau cantik sekali! Tahukah kau apa yang
tampak olehku? Jelas terbayang di wajahmu, Adikku, dan aku tidak akan salah lihat bahwa engkau cinta
kepadanya.”
“Ehhh...?” Ceng Ceng terkejut sekali dan memandang tajam kepada kakak angkatnya itu, akan tetapi dia
menundukkan mukanya lagi dan wajahnya makin muram.
“Candra... adikku yang cantik, mengapa kau khawatir? Engkau terlalu memandang rendah kepada
kakakmu ini. Apa kau kira aku akan diam saja setelah melihat kenyataan bahwa engkau mencinta pria itu?
Jangan kau khawatir, biar kusuruh sekarang juga Tek Hoat, agar dia mencari dia sampai ketemu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ceng Ceng menghela napas panjang, terdengar dia mengeluh. “Aihhh, Enci Syanti, sia-sia saja segala
perhatianmu kepadaku, karena dia... dia sudah mati...” Dan air mata mengalir turun lagi dari kedua mata
Ceng Ceng.
“Heiiii...?!” Kini Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya pucat. Kemudian dia
menubruk, merangkul Ceng Ceng dan sekarang puteri itulah yang menangis tersedu-sedu. Dan anehnya,
melihat kakak angkatnya menangis begitu sedih, Ceng Ceng merasa terhibur hatinya, atau setidaknya dia
melupakan kesedihannya sendiri, bahkan kini dia yang berusaha menghibur Syanti Dewi!
“Sudahlah, Enci Syanti, sudahlah..., ditangisi pun sia-sia...!”
Memang aneh sekali, akan tetapi telah menjadi kenyataan bahwa kedukaan seseorang akan berkurang,
menjadi ringan, atau setidaknya terhibur melihat kedukaan orang lain! Kenyataan ini pahit sekali,
membayangkan dengan jelas bahwa kedukaan timbul dari rasa iba kepada diri sendiri, maka rasa iba itu
menjadi berkurang kalau melihat orang lain juga menderita, apa lagi kalau penderitaan orang lain itu lebih
besar dari pada penderitaannya sendiri. Rasa iba diri ini adalah penonjolan dari pada si aku yang selalu
ingin menguasai batin manusia maka terjadilah kesengsaraan dan kedukaan yang memenuhi kehidupan
kita.
Perlu sekali untuk disadari benar-benar bahwa kesengsaraan dan kedukaan bersumber kepada pikiran kita
sendiri, yang membentuk si aku, karena pikiran kita sendirilah yang menimbulkan pertentanganpertentangan
di dalam batin dengan selalu menginginkan hal-hal lain dari pada kenyataannya yang ada,
selalu menginginkan yang dianggapnya menyenangkan sehingga apa yang ada, yaitu kenyataan setiap
saat yang dihadapinya, selalu tidak diamatinya benar-benar dan dianggapnya tidak menyenangkan.
Semua ini adalah permainan pikiran kita sendiri setiap saat dan demikianlah pikiran kita menguasai
kehidupan kita setiap hari! Mata kita baru akan terbuka, keindahan setiap saat yang terkandung dalam
setiap peristiwa baru akan tampak apa bila pikiran atau si aku tidak mencampurinya! Cinta kasih yang
murni dan suci, terhadap apa pun juga, baru ada apa bila pikiran atau si aku tidak memegang kendali!
“Adik Candra..., betapa hebat penderitaanmu. Sungguh aku berdosa besar kepadamu, Adikku, aku
bergembira, berbahagia, bersenang-senang tanpa memikirkan bahwa kau sesungguhnya sedang
menderita kedukaan hebat...”
“Sudahlah, Enci Syanti. Engkau tidak bersalah apa-apa. Engkau tidak mengetahuinya dan tidak perlu pula
Enci berduka karena keadaanku. Lanjutkanlah kegembiraanmu, Enci, engkau berhak untuk hidup
berbahagia. Setidaknya, mengingat bahwa engkau akan berjodoh dengan seorang yang masih seayah
denganku, membuat aku bersyukur. Aku sendiri... ahhh, hidup tidak ada artinya lagi, aku... aku
bermaksud... akan pergi lagi dari sini besok...”
“Ehhh... ke mana...?”
“Entahlah. Mungkin kembali ke bekas tempat tinggal Kakek, atau... entah ke mana aku sendiri belum bisa
memastikan...”
“Jangan, Candra...! Setidaknya, kau tinggallah di sini sampai hari pernikahanku.”
Ceng Ceng menggelengkan kepalanya dan menghapus sisa air matanya. “Tidak, Enci. Kehadiranku yang
penuh kepahitan hanya akan mengganggu kebahagiaanmu saja. Aku sudah mengambil keputusan untuk
pergi besok, pagi-pagi dari sini. Kau tidak boleh dan tidak bisa menahanku, Enci Syanti...”
“Candra...!” Syanti Dewi merangkul dan kembali kedua orang kakak beradik yang dipermainkan nasib
sehingga keadaan mereka kini seperti bumi dan langlt itu saling bertangis-tangisan.
Malam itu juga Syanti Dewi pergi menemui Tek Hoat yang dimintanya agar sebagai saudara seayah, suka
membujuk Ceng Ceng. Tek Hoat terkejut sekali saat mendengar semua penuturan kekasihnya itu tentang
Ceng Ceng dan Topeng Setan. Tak pernah disangka seujung rambut pun bahwa Topeng Setan adalah
musuh besar yang selalu dicari-cari Ceng Ceng itu, dan baru sekarang dia tahu bahwa adiknya seayah itu,
adik tirinya, telah menjadi korban perkosaan Topeng Setan sendiri yang kini kabarnya telah tewas!
Tergopoh-gopoh dia menemui Ceng Ceng di kamar gadis itu.
“Kau tidak boleh pergi...!” begitu memasuki kamar itu Tek Hoat berseru.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ceng Ceng yang tadinya duduk termenung itu, kini meloncat bangun. Mukanya yang tadinya pucat menjadi
agak merah karena perasaan marah menyelinap dalam hatinya. Dia berdiri menentang wajah pemuda itu
dan menjawab dengan ketus, “Ada hak apa engkau melarang aku pergi?”
“Ada hak apa? Hemm, lupakah kau bahwa aku ini kakakmu, bahwa kita ini seayah? Kau tidak boleh pergi
dalam keadaan begini!”
“Dalam keadaan bagaimana?”
“Kau sedang mengalami kedukaan, kau bisa jatuh sakit di jalan. Dan sudah menjadi kewajibanku sebagai
saudara untuk menjaga dan melindungimu, aku akan berusaha untuk menggembirakan hatimu,
menghiburmu...”
“Dengan sikapmu yang keras dan selalu memusuhiku itu? Hemm, Tek Hoat, agaknya engkau
mengandalkan kepandaianmu dan mengandalkan kedudukanmu sekarang, maka kau hendak memaksaku.
Kau kira aku mau tunduk begitu saja? Kau boleh bunuh aku sekarang juga, aku tetap hendak pergi besok
pagi. Ingin kulihat kau bisa berbuat apa!” Ceng Ceng menantang, berdiri dengan kedua tangan dikepal.
“Kau... kau keras kepala!” Tek Hoat menegur, kedua tangannya juga dikepal.
Mereka berhadapan seperti dua orang musuh bebuyutan (musuh besar turun-temurun) yang hendak
mengadu nyawa. Akhirnya setelah beberapa lama mereka saling pandang dengan sinar mata berapi, Tek
Hoat menurunkan kembali tangannya dan menarik napas panjang. Kemudian dia berkata lirih setelah
menghela napas lagi.
“Ceng Ceng, kau tidak tahu... biarlah selagi masih ada kesempatan aku akan mengaku semuanya
kepadamu. Semenjak kita saling berjumpa dahulu, ketika aku menolongmu dari air sungai, timbul rasa
suka yang aneh dan mendalam di dalam hatiku terhadap dirimu. Cobalah kau ingat-ingat, kalau tidak
begitu, mana mungkin aku membiarkan engkau menguasai aku hanya dengan sumpah dan sapu tangan,
bahkan aku rela pula menghambakan diri menjadi pembantumu ketika kau diangkat menjadi bengcu! Andai
kata di dunia ini tidak ada Syanti Dewi yang lebih dulu telah menjatuhkan hatiku, yang telah kucinta sejak
pertemuan pertama, agaknya... aku tidak akan ragu lagi bahwa aku tentu akan jatuh cinta kepadamu.
Sejak dahulu ada getaran perasaan yang mengikat hatiku kepadamu, tidak tahu bahwa sesungguhnya
engkau masih sedarah dengan aku. Engkau adikku... di dunia ini hanya ada seorang adik bagiku...”
“Hemm, kakak macam apa engkau ini yang selalu bersikap keras kepadaku.” Akan tetapi suara teguran
Ceng Ceng itu mengandung getaran keharuan karena memang dia terharu sekali mendengar pengakuan
Tek Hoat itu. Teringat dia betapa dahulu pun hampir saja dia jatuh cinta kepada pemuda ini dan di sudut
hatinya memang selalu ada rasa suka terhadap Tek Hoat seperti yang diakui pula oleh pemuda itu.
Ternyata pertalian darah itulah yang menimbulkan getaran itu.
“Memang, kita sama-sama keras kepala, Adikku. Agaknya inilah yang diwariskan oleh mendiang ayah kita
yang kabarnya amat jahat itu. Kita berdua adalah keturunan orang yang jahat... akan tetapi hanya aku yang
mewarisi kejahatannya, sedangkan engkau adalah seorang gadis yang gagah perkasa dan berbudi mulia.
Akan tetapi kenapa justru engkau yang menderita kesengsaraan sedangkan aku berenang dalam
kebahagiaan? Tidak! Engkau tidak boleh menderita kalau aku berbahagia. Adikku, Ceng Ceng... aku minta,
aku mohon kepadamu, jangan kau pergi, Adikku...” Terdorong oleh rasa harunya, Tek Hoat pemuda yang
berhati baja itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ceng Ceng!
“Tek Hoat...” Ceng Ceng juga berlutut dan seperti digerakkan oleh tenaga gaib, kedua orang saudara tiri
seayah ini saling rangkul dan untuk beberapa lamanya Ceng Ceng menangis di atas dada saudaranya.
Akan tetapi kekerasan hatinya timbul pula dan dia lalu bangkit berdiri, menyusut air matanya. “Tek Hoat,
aku pun tidak pernah dapat membencimu. Terima kasih atas kebaikanmu kepadaku. Akan tetapi engkau
tentu tahu, dalam keadaan seperti sekarang ini, aku membutuhkan ketenangan dan keheningan, aku harus
pergi menyendiri, entah ke mana. Percayalah, kalau aku tidak mati, dan kalau luka di hati ini sudah tidak
parah lagi, engkaulah satu-satunya orang yang akan kucari sebagai keluargaku.”
Tek Hoat menghela napas panjang dan juga bangkit berdiri. Dia telah mengenal bagai mana sifat Ceng
Ceng yang amat keras. Seperti baja yang tak dapat ditekuk lagi. “Kalau begitu, aku hanya dapat ikut
prihatin dan akan selalu mendoakan, Adikku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ceng Ceng berangkat pergi sebelum ada yang
bangun dari tidurnya. Tentu saja dengan mudah dara ini keluar dari istana, juga dengan mudah keluar dari
pintu gerbang sebelah timur karena para prajurit yang menjaga semua mengenal adik angkat Puteri Bhutan
ini.
Dengan muka pucat dan pandang mata kosong Ceng Ceng keluar dari pintu gerbang tanpa menengok lagi.
Langsung dia melanjutkan perjalanan dengan langkah-langkah perlahan maju ke depan tanpa tujuan
karena pikirannya kosong dan semangatnya seperti telah terbang meninggalkan tubuhnya.
Belum jauh dia meninggalkan pintu gerbang timur, tiba-tiba ada suara memanggilnya, “Sumoi...!”
Ceng Ceng menghentikan langkahnya, berdiri lesu tanpa menoleh karena dia mengenal suara itu, suara
Panglima Jayin, yang juga merupakan suheng-nya karena panglima ini pernah berguru kepada kakeknya.
Ketika Jayin tiba di depannya, Ceng Ceng berkata lesu, “Suheng, harap kau jangan ikut-ikut menahanku
karena sudah bulat tekadku untuk pergi dan tak seorang pun boleh menahanku.”
“Sumoi, aku sama sekali tidak akan menahan dan mencampuri urusan pribadimu. Aku menyusulmu karena
aku diutus oleh Sang Puteri Syanti Dewi. Beliau mengutus aku mengejarmu dan memanggilmu kembali
karena tadi malam ada seorang tamu yang datang ke istana mencarimu. Akan tetapi karena hari telah
malam, terpaksa kusuruh tamu itu bermalam di gedung tamu dan menunggu sampai pagi. Baru pagi tadi
aku dapat menghadap Sang Puteri untuk menyampaikan permintaan tamu yang hendak menjumpaimu itu.
Akan tetapi pagi-pagi sekali engkau sudah pergi, maka Sang Puteri mengutus aku untuk menyusul dan
memanggilmu kembali ke Istana.”
“Suheng, aku tidak ingin bertemu dengan siapa pun juga. Engkau kembalilah dan katakan kepada Enci
Syanti Dewi bahwa aku tidak mau menemui siapa pun.”
“Akan tetapi, Sumoi... engkau belum tahu siapa tamu itu!” Suara panglima ini tergetar karena dia pun
sudah mendengar akan keadaan sumoi-nya itu dari Puteri Syanti Dewi. “Dia telah datang menyusul
bersamaku. Inilah dia orangnya!”
Akan tetapi Ceng Ceng tidak mempedulikan kata-kata ini dan dia terus melanjutkan langkahnya. Siapa pun
orangnya yang datang mencarinya, dia tidak ingin melihat dan menemuinya. Tanpa menoleh sedikit pun,
Ceng Ceng melangkah terus, sama sekali tidak mempedulikan.
Baru beberapa langkah dia berjalan, tiba-tiba terdengar suara, “...bengcu...!”
Ceng Ceng berhenti seperti disambar petir dan dia berdiri tegak, mukanya pucat, kedua kakinya menggigil
dan dia tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Dia tidak berani menoleh, karena tentu
pendengarannya yang menipunya dan kalau dia menoleh, dia akan kecewa. Tidak mungkin! Tapi suara
yang didengarnya tadi amat dikenalnya, terlalu dikenalnya malah, karena suara itu adalah suara Topeng
Setan!
“Bengcu...!” Suara itu memanggil lagi, kini terdengar tergetar.
Untuk kedua kalinya Ceng Ceng tersentak kaget. Dia menoleh dan....
“Ouhhhhhh...!” dia menutupi mulut dengan punggung tangan kiri, menahan jeritnya.
Betapa kagetnya ketika dia melihat laki-laki yang berlutut di depannya itu, laki-laki yang melihat pakaian
dan lengan kirinya, jelas adalah Topeng Setan, akan tetapi melihat wajahnya yang tidak tertutup topeng itu,
wajah yang tampan dan gagah sekali sungguh pun pada saat itu kelihatan pucat dan dicekam perasaan
khawatir, adalah wajah Kok Cu, pemuda yang telah memperkosanya.
“Kau...? Kau...?” Hati Ceng Ceng menjerit, akan tetapi bibirnya hanya bergerak-gerak dan mulutnya
terbuka tanpa ada suara yang keluar, kemudian terdorong oleh kedua kakinya yang tiba-tiba menjadi lemas
seperti lumpuh dan kekejutan yang meremas hatinya, Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut dan menubruk
orang itu sambil merintih dan menangis.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kau... kau... masih hidup..., ohhh, kau masih hidup...?” berulang-ulang dia berbisik seperti dalam mimpi
ketika dia mendekapkan mukanya di atas dada yang bidang itu.
“Suhu menolong dan menyembuhkan aku...,” bisik Topeng Setan atau Kok Cu itu.
“...ahhh... hu-huuu-huukk... aku... aku girang sekali... aku... aku cinta padamu, Pam...” Ceng Ceng tiba-tiba
menghentikan kata-katanya, tidak melanjutkan sebutan ‘paman’ tadi karena dia segera teringat dan cepat
dia mengangkat mukanya.
Begitu melihat wajah tampan itu, dia berseru, “Ohhhh...!” dan merenggutkan tubuhnya menjauh.
Sementara itu, begitu Ceng Ceng tadi merangkul ‘tamu’ itu, Panglima Jayin sudah melangkah pergi dan
memberi isyarat kepada para penjaga untuk pergi menjauh, lalu memasuki pintu gerbang dan membiarkan
kedua orang itu bicara dengan leluasa. Senyum penuh rasa syukur membayang di wajah panglima gagah
itu.
“Aku bukan Topeng Setan lagi...” Pemuda itu berkata. “Aku adalah Kao Kok Cu, aku adalah si pemuda
laknat dan aku datang untuk menerima hukuman, Ceng Ceng. Semenjak peristiwa terkutuk yang terjadi di
goa, aku selalu dikejar oleh dosa dan penyesalan. Apa lagi ketika aku mendengar bahwa engkau adalah
penyelamat nyawa Ayah, aku makin menyesal, maka untuk menebus dosa dan untuk membalas budimu
terhadap Ayah, aku kemudian menjadi Topeng Setan yang selalu melindungi dan membelamu. Sekarang,
rahasiaku telah kau ketahui, maka aku datang untuk menerima hukuman. Kalau kau hendak membunuhku,
lakukanlah, aku tidak akan menyesal mati di tanganmu, Ceng Ceng, karena aku akan mati di tangan
seorang yang paling kucinta di dunia ini, yang paling kuhormati, kukagumi dan kujunjung tinggi.”
Ceng Ceng yang masih menggigil seluruh tubuhnya itu, mengeluh dan dia kembali menubruk, merangkul
karena memang perasaan bahagia melihat ‘Topeng Setan’ masih hidup mengusir semua perasaan lain.
“Paman... Paman... melihat engkau masih hidup, aku... ahhh, betapa bahagia rasa hatiku.” Dia berkata dan
kembali dia lupa akan wajah tampan itu, merasa bahwa dia berada dalam pelukan Topeng Setan. “Melihat
engkau mati, baru aku tahu bahwa aku cinta padamu, Paman, dan aku tidak ingin lagi terpisah darimu...”
“Ceng Ceng, janganlah menyebutku Paman... Engkau isteriku sayang... engkau sudah kuanggap isteriku
sejak aku mengenakan topeng... Betapa bahagia hatiku mendapat pengakuan cintamu...”
Ceng Ceng merangkul dan menatap wajah itu, wajah tanpa topeng yang ternyata amat tampan dan gagah.
Wajah yang semenjak peristiwa di goa itu tidak pernah dapat dilupakannya! Kok Cu yang melihat wajah
jelita basah air mata itu, tergerak hatinya, penuh keharuan, penuh iba dan penuh kemesraan cinta, maka
dia menunduk dan di lain saat dia sudah mencium mulut yang setengah terbuka itu, menciumnya dengan
seluruh perasaan kasih sayang yang terluap dari lubuk hatinya, melalui bibirnya.
Sejenak Ceng Ceng terlena dan memejamkan mata, otomatis perasaan bahagia dan kasih sayang dari
hatinya membuat kedua lengannya melingkari leher pemuda itu dan bibirnya pun bergerak menyambut.
Akan tetapi tiba-tiba terbayang peristiwa di dalam goa. Mulutnya yang melekat pada mulut Kok Cu
meronta, matanya terbelalak dan dia merenggutkan dirinya.
Kok Cu memandangnya dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran.
“Plak! Plakk!”
Dua kali kedua tangan Ceng Ceng bergerak dan nampaklah garis-garis merah di kedua pipi Kok Cu yang
pucat. Pemuda itu tersenyum.
“Terima kasih dan pukulan-pukulanmu barusan baik sekali, merupakan obat yang akan menyembuhkan
penyesalanku. Kau pukullah lagi, Ceng Ceng. Sudah kukatakan bahwa aku siap menebusnya dengan
kematian sekali pun...”
“Ouhhh... tidak... tidak...!” Ceng Ceng kembali merangkul. Kini dia memandangi wajah tampan itu dan jarijari
kedua tangannya mengelus dan membelai bekas tamparannya di kedua pipi pemuda itu. “Tidak... kau...
kau adalah orang satu-satunya di dunia ini yang kucinta... kau adalah Topeng Setan yang telah
melimpahkan budi kepadaku...”
“Akan tetapi aku juga pemuda laknat yang telah memperkosamu, Ceng Ceng.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak... tidak...! Pada waktu itu engkau dalam pengaruh racun... peristiwa itu adalah kesalahanku sendiri.
Engkau sudah berusaha mencegah aku membebasanmu dari kerangkeng... dan engkau sudah berusaha
sekuat tenaga mencegah, akan tetapi racun itu lebih kuat... tidak, engkau tidak bersalah...”
Wajah yang tampan dan gagah itu berseri. Tiba-tiba Kok Cu berdiri dan dengan satu tangannya yang luar
biasa kuatnya itu, sekali angkat dia sudah mengangkat Ceng Ceng sehingga gadis ini berdiri pula. Wajah
yang tampan itu menjadi kemerahan, matanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan. “Kalau begitu... kau
mengampuni aku...?”
“Tidak ada ampun karena kau tidak bersalah.”
“Aku berdosa dan aku mengharapkan ampunmu, Ceng Ceng.”
“Kalau begitu, aku mengampunimu, Pam... eh, Koko (Kakanda)...”
“Dan kau tidak membenci lagi kepada Kok Cu?”
Sambil merangkul leher pemuda itu, dan matanya masih mengalirkan air mata, Ceng Ceng tersenyum dan
menggeleng kepala. “Sebaliknya malah, aku mencinta orang yang bernama Kok Cu.”
“Moi-moi...!”
“Koko...!”
Kembali mereka berdekapan dan sekali ini ketika Kok Cu mencium Ceng Ceng, dara itu menyambut dan
membalasnya dengan penuh kemesraan. Dekapan dan ciuman itu seolah-olah menjadi tempat pencurahan
seluruh perasaan mereka, rasa cinta, rasa rindu, dan semua kebahagiaan yang terasa di hati masingmasing
sehingga mereka seolah-olah tidak ingin saling melepaskan lagi.
“Ceng Ceng, Moi-moi... betapa bahagia hatiku... ketahuilah, aku datang bersama Ayah. Selain
menyusulmu, juga Ayah membawa tugas dari Kaisar untuk menyampaikan selamat kepada Kerajaan
Bhutan, juga untuk menyatakan keampunan Kaisar terhadap Puteri Milana. Selain itu pula... juga Ayah
akan meminangmu secara resmi... marilah, sayang, mari kita kembali ke istana Bhutan...”
Tiba-tiba Ceng Ceng melepaskan dirinya dari rangkulan lengan kanan kekasihnya, dan sambil tersenyum
di antara air matanya, dengan kedua pipi merah, dia menggeleng. “Tidak... aku tidak mau kembali...” Dan
dia pun membalikkan tubuhnya dan lari.
“Ehh, Ceng Ceng...!” Kok Cu mengejar dan kalau saja dia mau tentu dengan mudah dia dapat menyusul
larinya gadis itu. Akan tetapi melihat kekasihnya itu lari sambil tersenyum, dia sengaja mengejar dari
belakang dan berteriak, “Kenapa kau tidak mau?”
“Aku malu...!” Ceng Ceng berlari terus, memasuki sebuah hutan kecil.
Akhirnya Ceng Ceng memperlambat larinya dan membiarkan dirinya disusul, ditangkap dan dipeluk di
bawah sebatang pohon besar. Dia menyerah dan menyambut ketika pemuda itu kembali menciuminya
sampai keduanya gelagapan kehabisan napas. Akhirnya mereka duduk di bawah pohon, di atas rumput
tebal dan hijau.
“Ceng-moi, kenapa kau malu?”
“Aku tidak ingin kembali ke sana, tidak ingin... sementara ini menemui orang-orang lain, aku khawatir
kebahagiaanku akan terganggu. Aku ingin berdua saja denganmu, Koko, kalau bisa, berdua saja di dunia
ini, tidak akan saling terpisah lagi... Koko, ah, Koko... aku masih belum percaya... apakah aku tidak sedang
mimpi...?”
“Ceng-moi, kau kekasihku, kau pujaan hatiku, kau isteriku... apakah ini mimpi?” Dia mencium dan
menggigit leher Ceng Ceng sampai dara itu terpekik halus. “Aku sendiri pun hampir tidak percaya bahwa
engkau dapat mengampuni aku, apa lagi mencintaku! Aku selalu merasa ngeri untuk menghadapi
pertemuan ini... tidak ada kengerian yang lebih hebat dari pada melihat engkau membenci aku...
dunia-kangouw.blogspot.com
bayangkan saja betapa sengsara hatiku sebagai Topeng Setan ketika engkau menyatakan betapa
hebatnya kebencianmu kepada Kok Cu...”
Sambil menyandarkan kepalanya di atas dada yang bidang itu, dan memainkan jari-jari tangan kanan Kok
Cu yang dia tarik ke atas dadanya, Ceng Ceng berkata, suaranya manja. “Siapa sih yang membenci Kok
Cu? Aku membencinya karena dia... menghilang begitu saja setelah peristiwa itu...! Aku benci karena dia
tidak muncul lagi, padahal dia kuharap-harapkan... padahal hatiku sudah jatuh cinta begitu aku melihat dia
di dalam kerangkeng itu...!”
“Tapi kau... kau mencinta Topeng Setan!” Kok Cu menggoda.
Ceng Ceng menarik lengan baju kiri yang kosong itu dan mencium lengan baju itu. “Mengapa tidak?
Topeng Setan telah mengobankan lengannya, bahkan beberapa kali hampir berkorban nyawa untukku.
Aku mencinta Topeng Setan karena budinya, tanpa mempedulikan bagaimana macamnya wajah di balik
topeng, tanpa mempedulikan usianya, akan tetapi aku mencinta Kok Cu karena pribadinya, karena tatapan
sinar matanya, karena... karena memang aku cinta dan sebabnya aku tidak tahu!”
“Hemm..., kalau begitu engkau mencinta dua orang! Hayo, katakan, siapa yang lebih kau cinta, Kok Cu
atau Topeng Setan?” pemuda itu menuntut, pura-pura cemberut.
Ceng Ceng membalikkan tubuhnya, tertawa geli. “Kau cemburu? Hi-hik, lucunya! Kau cemburu kepada
siapa?”
Dengan muka dibuat seperti marah Kok Cu berkata, “Tentu saja kepada Topeng Setan! Hayo katakan, kau
lebih mencinta Kok Cu atau Topeng Setan?”
“Ya ampun... tentu saja aku lebih mencinta Kok Cu!”
Tiba-tiba Kok Cu mengeluarkan sebuah topeng dan sekali bergerak, topeng itu telah dipakai di mukanya
dan berubahlah ia menjadi Topeng Setan, suaranya pun agak berubah karena terhalang topeng. “Bagus,
Ceng Ceng...! Jadi cintamu kepadaku palsu, ya? Jadi kau lebih cinta kepada pemuda laknat itu dari pada
kepadaku?”
Sambil menahan gelinya, Ceng Ceng pun berkata, “Siapa bilang, Paman? Aku cinta padamu, Paman
Topeng Setan!”
Kok Cu membuang topengnya dan sambil memegang dagu yang runcing itu, dijepit antara telunjuk dan ibu
jarinya, mengangkat muka Ceng Ceng menengadah, dia lalu menghardik, “Perempuan tamak! Sebetulnya
kau lebih mencinta yang mana?”
“Aku cinta keduanya, dan cintaku itu kini menjadi satu, tiada bandingannya lagi, dan... ehmmm...” Ceng
Ceng tidak dapat melanjutkan kata-katanya lagi karena mulutnya telah ditutup oleh sepasang bibir yang
seolah-olah tidak akan ada puas-puasnya itu. Dia memejamkan matanya, menyambut dengan hati terbuka
dan penuh penyerahan.
Angin semilir di atas mereka, membuat daun-daun pohon berkeresekan saling sentuh seperti saling
berbisik membicarakan pertemuan asyik-masyuk penuh kemesraan di bawah pohon besar itu. Bagi Ceng
Ceng dan Kok Cu, waktu dan segala sesuatu lenyap, bahkan diri pribadi juga lenyap, yang ada hanyalah
kebahagiaan dan keindahan. Hidup adalah bahagia, hidup adalah indah.
Hanya sayang sekali, hanya sewaktu-waktu saja, hanya selewat saja, dalam keadaan seperti yang dialami
oleh Ceng Ceng dan Kok Cu, kita mengenal kebahagiaan dan keindahan itu. Selebihnya, waktu dalam
hidup kita penuh dengan pertentangan, penuh dengan kebencian, iri hati, angkara murka yang
kesemuanya itu hanya mendatangkan kesengsaraan belaka.
Adakah yang lebih indah dari pada cinta? Sayang, betapa cinta oleh kita telah dipecah-belah, ditafsirkan
menurut kecondongan hati yang menyenangkan sehingga timbul bermacam pendapat dan kesimpulan.
Cinta bukanlah sex semata, bukanlah kewajiban semata, bukanlah pengorbanan semata, bukanlah
pemberian atau permintaan semata.
Kesemuanya itu terdapat dalam cinta dan cinta mencakup segala karena cinta hanya terisi keindahan.
Cinta tidak mengenal perbedaan suku, tidak mengenal perbedaan ras, tidak mengenal perbedaan bangsa,
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak mengenal perbedaan usia, tidak mengenal kaya atau miskin, pintar atau bodoh, tidak mengenal
tingkat tinggi atau rendah. Cinta tak mengenal kebencian, tak mengenal permusuhan, tidak mementingkan
diri pribadi. Cinta adalah kebahagiaan. Tanpa cinta matahari akan kehilangan sinarnya, bunga kehilangan
keharumannya, dan manusia kehilangan kemanusiaannya.
Oleh karena itu, segala macam gerak perbuatan tanpa dasar cinta kasih yang kita adalah palsu belaka.
Ada pun yang kita lakukan di dunia ini barulah benar dan suci apa bila didasari oleh cinta kasih di dalam
hati sanubari kita.....
>>>>> T A M A T <<<<<
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru