Kamis, 18 Mei 2017

Kisah Silat Suling Emas 4 KPH Lanjutan Bu Kek Siansu

Kisah Silat Suling Emas 4 KPH Lanjutan Bu Kek Siansu Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Kisah Silat Suling Emas 4 KPH Lanjutan Bu Kek Siansu
kumpulan cerita silat cersil online
Kisah Silat Suling Emas 4 KPH Lanjutan Bu Kek Siansu
"Ilmu silat adalah ilmu yang jahat, pangkal permusuhan sumber kekejaman!"
"Ha-ha-ha, omongan apa ini? Ilmu tetap ilmu, baik jahatnya, kejam tidaknya, tergantung kepada si manusia
yang mempergunakan ilmu itu."
"Betul, Paman. Akan tetapi, ilmu silat merupakan pendorong yang berbahaya. Kalau pandai silat, tentu menjadi
berani untuk berkelahi, kalau gemar berkelahi tentu banyak musuh. Untuk apakah gunanya ilmu silat kalau
tidak untuk berkelahi, bunuh-membunuh dan menjual lagak?"
"Waduhhhh! Dari siapa kau mendengar pendapat tentang ilmu silat seperti itu? Siapa yang bilang begitu?"
"Yang bilang begitu adalah Ay... tidak Paman, itu adalah pendapatku sendiri."
“Hemm, agaknya ayah anak ini seorang sastrawan yang benci akan kekerasan maka membenci pula ilmu
silat,” pikir Kwee Seng.
Ia diam-diam merasa heran mengapa anak ini demikian berkeras merahasiakan riwatnya, dan ia pun heran
mengapa anak yang agaknya sejak kecil dididik sastra dan kehalusan, memiliki hati yang begini keras dan kuat
seperti benteng baja. Anak yang pandai sekali mempergunakan pikirannya, yang sekecil itu sudah
berpemandangan luas, dapat menangkap inti sari filsafat kebatinan, yang berhati tabah tak kenal takut, berani
mengemukakan jalan pikirannya secara terbuka dan jujur. Kwee Seng makin tertarik dan suka sekali.
"Baiklah, Bu Song. Kau menjadi muridku dan aku tidak akan mengajarmu ilmu silat, melainkan ilmu sastra, ilmu
kesehatan dan pengobatan. Mulai saat ini kau adalah muridku dan aku adalah Suhu-mu, kau harus ikut ke
mana pun aku pergi."
Girang hati Bu Song. Ia memang merasa tertarik dan suka kepada jembel yang rambutnya awut-awutan itu,
apalagi setelah menyaksikan sepak terjang Kwee Seng di depan rumah judi, ia benar-benar merasa kagum
dan maklum bahwa orang itu bukanlah orang sembarangan walau pun ia tidak setuju dengan sepak
terjangnya. Maka ia lalu cepat menjatuhkan diri berlutut memberi hormat sebagaimana layaknya seorang
mengangkat guru sambil menyebut, "Suhu!"
Kim-mo Taisu yang masih duduk di atas tanah sambil bersila, tiba-tiba menggunakan kedua telapak tangannya
menggebrak tanah di depan Bu Song dan... tubuh anak itu mencelat ke atas semeter lebih tingginya. Akan
tetapi, hebat memang ketabahan hati Bu Song. Ia mencelat ke atas dalam keadaan masih berlutut dan biar
pun hal itu merupakan hal tak tersangka-sangka dan amat mengejutkan, tidak sedikit pun seruan kaget atau
takut keluar dari mulutnya. Matanya yang bening dan tajam itu menatap ke arah wajah suhu-nya penuh
pertanyaan. Kim-mo Taisu tertawa girang dan menyambar tubuh muridnya itu, lalu dipeluknya.
"Anak baik, muridku yang baik....!"
Bu Song terharu, matanya terasa panas namun hatinya yang keras menentang untuk meruntuhkan air mata. Ia
merasa betapa dari diri suhu-nya memancar kasih sayang yang amat ia butuhkan, kasih sayang orang tua
yang amat ia rindukan karena sejak kecil ia telah kehilangan perasaan ini. Maka dalam saat itu, di dalam
hatinya timbul rasa kasih yang amat besar terhadap gurunya yang berpakaian jembel dan berambut riap-riapan
dunia-kangouw.blogspot.com
ini. Bukan hanya rasa taat dan bakti seorang murid terhadap guru, melainkan juga rasa sayang seorang anak
terhadap ayah!
"Bu Song, kau tunggu sebentar di sini!" tiba-tiba Kim-mo Taisu berkata dan tanpa menanti jawaban muridnya,
tubuhnya melesat lenyap dari tempat itu.
Bu Song bengong, kagum dan terheran-heran. Sewajarnyalah kalau pada saat itu timbul rasa inginnya untuk
belajar ‘terbang’ seperti yang dilakukan suhu-nya. Akan tetapi hatinya yang keras menolak keinginan ini karena
pesan ayahnya dahulu ketika ia masih kecil masih lekat di lubuk hatinya. Ia tidak tahu ke mana suhu-nya pergi,
juga tidak dapat menduga ke mana. Akan tetapi karena memang sejak semula maklum bahwa gurunya itu
seorang manusia dengan kelakuan edan-edanan, ia hanya menghela napas lalu duduk menanti di bawah
pohon itu. Kewajiban seorang murid untuk mentaati perintah gurunya dan andai kata gurunya itu sehari
semalam tidak kembali, ia akan tetap menanti di tempat itu!
Untung baginya, tak usah ia menanti sampai begitu lama. Belum sejam lamanya, Kim-mo Taisu sudah
berkelebat datang membawa pundi-pundi kuning. Datang-datang gurunya melempar pundi-pundi itu ke depan
Bu Song sambil tertawa bergelak dan berkata, "Ha-ha-ha, kau benar, muridku! Setan-setan judi itu memang
sukar disembuhkan dari penyakit gemar judi. Mereka itu telah ramai-ramai berjudi pula dan betul saja, uang
pembagian dariku mereka pergunakan sebagai modal! Benar-benar menjemukan!"
Bu Song menahan geli hatinya. Setelah Kim-mo Taisu menjadi gurunya, tentu saja tak berani ia
mentertawakannya. "Apakah yang kemudian Suhu lakukan terhadap mereka?" tanyanya, sikapnya hormat
sehingga Kim-mo Taisu tercengang.
"Aku? Ha-ha-ha, kurampas dari saku mereka seratus dua puluh tail, jumlah uangku sendiri, kemudian
kujungkir-balikkan meja judi, kelempar-lemparkan mereka ke atas genteng."
Bu Song diam saja, akan tetapi di dalam hati ia tidak setuju dengan perbuatan suhu-nya ini yang dianggap juga
sia-sia belaka. Tidak mungkin dapat mengobati penyakit para penjudi, malah hanya menimbulkan dendam
dalam hati mereka terhadap suhu-nya. Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan tajam sambil tersenyum,
mengerti bahwa muridnya tentu saja tidak setuju, akan tetapi melihat mulut muridnya tidak mengeluarkan katakata
sesuatu, diam-diam ia makin kagum. Bocah ini kecil-kecil sudah tahu akan arti ketaatan murid terhadap
guru, dan pandai pula menyimpan perasaan. Akan tetapi ia belum menguji sampai di mana keuletan dan
ketahanan hati muridnya ini.
"Bu Song, kau melihat gunung itu?" Ia menudingkan telunjuknya ke arah sebuah bukit di selatan. "Itu adalah
Gunung Tapie-san. Aku ada urusan penting ke sana, harus cepat-cepat berangkat. Kau bawalah pundi-pundi
uang ini dan kau susullah aku ke sana. Carilah jalan menuju puncaknya. Beranikah kau?"
"Mengapa tidak berani, Suhu?"
"Baik. Nah, sampai jumpa di pegunungan itu. Aku pergi sekarang!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu
menyerahkan pundi-pundi uang dan sekali berkelebat ia telah lenyap.
Untuk kedua kalinya Bu Song kagum karena gerakan gurunya itu sama sekali tidak kelihatan, tahu-tahu
bergerak dan lenyap begitu saja, seakan-akan suhu-nya pandai ilmu ‘menghilang’. Ia memandang pundi-pundi
itu kemudian mengikatkannya di punggung, lalu mulailah anak ini melangkah menuju ke selatan.
Bukit itu masih jauh, hanya kelihatan menjulang tinggi, puncaknya tertutup awan. Akan tetapi ia tidak merasa
jeri. Ia percaya penuh bahwa suhu-nya pasti menanti di sana. Mengejar ilmu harus berani menderita sengsara,
ini adalah ucapan ayahnya. Apa pun akan ia jalani untuk mentaati perintah suhu-nya. Hatinya lapang,
langkahnya ringan, akan tetapi perutnya lapar sekali.
Anak kecil ini memandang ke sekeliling, hanya pohon-pohon belaka, tidak ada dusun, maka tersenyumlah ia.
Kejanggalan yang menggelikan hatinya. Ia membawa banyak uang, malah beberapa potong uang kecil sisa
hasilnya bekerja masih terdapat di saku. Akan tetapi, di dalam hutan seperti ini, apa gunanya banyak uang? Di
kota orang berlomba mencari uang, akan tetapi di tempat seperti ini, uang segudang pun tiada gunanya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua hari sudah ia berjalan, melalui hutan-hutan belaka. Tidak ada dusun, tidak ada rumah orang di mana ia
dapat mencari pengisi perut. Namun, perantauannya selama ini membuat Bu Song selain tahan lapar, juga
mendapatkan pengalaman, menambah akalnya untuk mengisi perut kosong. Buah-buahan, telur-telur di
sarang burung, kalau perlu malah daun-daun muda dan beberapa macam ubi, dapat ia pergunakan untuk
mengusir lapar. Soal minum tidaklah sukar, karena banyak terdapat sumber-sumber air atau sungai-sungai
kecil. Hatinya lega karena akhirnya sampai juga ia ke kaki gunung Tapie-san.
Sementara itu, Kim-mo Taisu tentu saja sudah sampai di Gunung Tapie San lebih dulu. Bagi pendekar sakti ini,
perjalanan semalam sudah cukup karena ia mempergunakan ilmu berlari cepat. Pada keesokan harinya pagipagi
ia sudah berloncatan dari batu ke batu, melompati jurang-jurang, mendaki lereng Tapie-san sebelah utara.
Akhirnya ia berhenti di depan sebuah bangunan besar terkurung tembok tinggi, bentuknya seperti kuil kuno
yang besar dan yang agaknya belum lama diperbaiki karena cat dan kapurnya masih baru. Pagar tembok
bagian depan bersambung pada sebuah pintu cat merah, pintu yang tebal dan kokoh kuat, namun tertutup.
Sekeliling gedung itu sunyi senyap dan memang amat mengherankan bahwa di lereng yang sunyi jauh tempat
tinggal manisia ini terdapat sebuah gedung demikian megahnya, mirip sebuah istana musim panas di mana
seorang raja atau pangeran tinggal melewatkan musim panas. Tak mungkin seorang pengemis tinggal di
tempat seperti ini, akan tetapi karena yang ia cari adalah raja pengemis, siapa tahu kalau-kalau inilah
istananya?
Tanpa ragu-ragu lagi Kim-mo Taisu menghampiri pintu dan mengetoknya. Ketokannya keras dan suara
ketokan bergema, lalu sunyi. Ia menanti sebentar, lalu mengetok lagi. Apakah gedung itu kosong? Tak
mungkin! Kalau kosong pintu gerbangnya takkan tertutup, dan ia tadi melihat tiga ekor burung dara terbang
berputaran di atas gedung. Burung dara tentu dipelihara orang.
Benar dugaannya. Tak lama kemudian terdengar suara orang disusul langkah kaki ke arah pintu, kemudian
suara tapal pintu dibukakan orang. Daun pintu terbuka perlahan, pertama-tama memperlihatkan sebuah
pekarangan yang luas di depan gedung yang dilihat dari keadaan ruang depannya saja jelas membayangkan
kemewahan gedung. Dari balik daun pintu yang terbuka muncul dua orang pengemis tinggi besar yang
berwajah bengis!
Kim-mo Taisu melangkah masuk. Sekarang tampaklah olehnya serombongan orang berpakaian pengemis
berdiri berbaris di kanan kiri pekarangan itu, setiap baris sembilan orang, sedangkan dari dalam gedung itu
keluar tiga orang pengemis tua. Pakaian tiga orang tua ini pun tambal-tambalan, malah tidak begitu bersih
seperti barisan di pekarangan. Tampaknya tiga orang ini adalah pengemis-pengemis tulen. Akan tetapi sikap
dan langkah mereka sama sekali bukanlah sikap pengemis. Begitu angkuh dan agung-agungan seperti sikap
pembesar-pembesar tinggi!
Kim-mo Taisu memandang penuh perhatian. Yang manakah di antara tiga orang ini yang memakai nama
julukan Raja Pengemis? Akan tetapi menurut cerita yang ia dengar dari guru silat Liong, raja pengemis itu
masih muda sedangkan tiga orang pengemis ini biar pun agaknya juga merupakan pimpinan pengemis, sudah
berusia lima puluh lebih.
Melihat betapa semua orang yang hadir di tempat ini berpakaian tambal-tambalan, Kim-mo Taisu menunduk
untuk memandang pakaiannya sendiri, kemudian ia tertawa bergelak-gelak. Memang lucu. Tuan rumah dan
anak buahnya semua berpakaian pengemis, sedangkan dia sendiri pun pakaiannya butut dan penuh tambalan.
"Ha-ha-ha-ha! Dunia pengemis ini! Tamunya dan yang punya rumah sama-sama berpakaian pengemis. Akan
tetapi biar sama, jauh bedanya! Pakaianku memang butut dan tambal-tambalan, asli pakaian pengemis,
namun aku bukan pengemis. Sebaliknya, pakaian kalian adalah buatan, sengaja ditambal-tambal seperti
pakaian pengemis, akan tetapi kalian betul-betul pengemis! Ha-ha-ha, bukankah ini lucu dan memperlihatkan
kepalsuan manusia?"
Kini tiga orang pengemis tua itu sudah berada di depan Kim-mo Taisu. Mendengar perkataannya, tiga orang
pengemis itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka berkata, suaranya perlahan akan tetapi
mengandung tenaga sehingga terdengar jelas, "Apakah engkau ini orang gila yang mengacau di Sin-yang dan
hendak mencari Kai-ong?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Kim-mo Taisu terkejut. Bagaimana mereka ini bisa tahu akan peristiwa di Sin-yang? Padahal ia
telah melakukan perjalanan cepat sekali ke lereng gunung ini. Mungkinkah ada orang dari Sin-yang
mendahuluinya memberi kabar? Kalau memang ada tentu hebat bukan main ilmu lari cepat orang itu! Hampir
sukar dipercaya.
Tiba-tiba Kim-mo Taisu berdongak ke atas dan ia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha! Aku tidak bersayap, mana
bisa melawan kecepatan burung?" Ia kini dapat menduga bahwa tentulah dari Sin-yang orang mengirim surat
dengan perantaraan burung dara ke tempat ini. "Memang akulah yang mencari Kai-ong. Suruh dia keluar, aku
mau bicara dengannya!"
"Hemm, tidak mudah bertemu dengan Kai-ong. Orang muda, kau siapakah dan apa maksudmu mau bertemu
dengan Kai-ong?"
"Aku bukan datang untuk memperkenalkan nama. Suruh saja rajamu keluar, aku tidak ada urusan dengan
kalian pengemis-pengemis palsu."
"Hemmm, orang muda sombong! Kai-ong sudah menugaskan kami menjaga di sini, tanpa melalui kami bertiga
pengemis tua bertongkat sakti, mana bisa kau pergi menghadap Kai-ong?"
Mendengar ini, Kim-mo Taisu memandang teliti. Tiga orang kakek ini adalah orang-orang tua yang biasa saja,
bertubuh kurus seperti kurang makan, pakaiannya tambal-tambalan, memakai sepatu kulit. Akan tetapi tangan
mereka memegang sebuah tongkat panjang seperti toya, dapat dipergunakan sebagai tongkat mau pun
senjata. Melihat bentuk pentung ketiganya serupa, teringatlah ia akah nama tiga tokoh besar pengemis, yaitu
Sin-tung Sam-lo-kai (Tiga Pengemis Tua Bertongkat Sakti).
Akan tetapi sepanjang pendengarannya, Sin-tung Sam-lo-kai adalah tokoh-tokoh pengemis yang amat terkenal
di selatan, terkenal sebagai orang-orang pandai yang tidak termasuk golongan jahat, bahkan memimpin
kaipang-kaipang (perkumpulan pengemis) di selatan. Bagaimana sekarang tiga orang tokoh ini hanya menjadi
penjaga pintu di sini?
"Bukankah Sam-wi (Tuan Bertiga) ini Sin-tung Sam-lo-kai?"
Tiga orang kakek itu saling pandang, agaknya merasa heran. "Hemm, orang muda," kata kakek pertama yang
paling tua. "Jadi kau sudah mengenal kami? Kalau begitu, lebih baik kau memperkenalkan diri dan katakan
terus terang saja, apa maksudmu mencari Kai-ong?"
"Sam-wi Lo-kai adalah orang-orang ternama di selatan, bagaimana sekarang hanya menjadi penjaga pintu di
sini? Siapakah dia yang memiliki gedung ini?"
"Bukan urusanmu! Lebih baik kau lekas mengaku, atau pergi saja dari sini, jangan mengganggu kami," jawab
pengemis itu cepat-cepat.
Akan tetapi Kim-mo Taisu seorang cerdik. Ia dapat menduga bahwa tiga orang itu tentu merasa tidak senang
sekali dengan ‘pekerjaan’ mereka, akan tetapi agaknya dilakukan dengan terpaksa, entah oleh apa dan
mengapa.
"Ha-ha-ha, kau boleh takut pada raja pengemis itu, akan tetapi aku tidak. Biar dia seorang siluman sekalipun,
aku harus mencari dia!" Setelah berkata demikian, Kim-mo Taisu melangkah maju dan berkata keras, "Harap
kalian bertiga minggir!"
Namun tiga orang kakek itu sudah memalangkan tongkat mereka yang panjang, siap menerjang. Kim-mo
Taisu tertawa bergelak, seakan-akan tidak melihat ancaman tongkat terkenal itu, terus melangkah maju
hendak memasuki pintu depan rumah gedung.
"Apakah kau mencari mampus?" bentak tiga orang kakek pengemis itu dan terdengar suara angin menyambar
keras ketika mereka menggerakkan tongkat menyerang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dari angin serangan ini saja Kim-mo Taisu dapat menaksir bahwa kepandaian tiga orang kakek pengemis ini
tidak kalah oleh Koai-tung Tiang-lo yang pernah ia lawan di dalam rumah judi di Sin-yang. Maka dapat
dibayangkan hebatnya tiga batang tongkat yang menusuk dari kanan kiri dan sebatang lagi diputar
menghadang di depan!
"Wuuuttt! Wuuuttt!" dua batang tongkat berubah menjadi sinar kehitaman menyambar dari kanan kiri
mengancam lambung.
Kim-mo Taisu mengembangkan kedua lengannya, kemudian tangannya bergerak secepat kilat menangkap
ujung kedua tongkat, mengerahkan lweekang menarik ujung tongkat ke bawah sambil berseru keras. Dua
orang pengemis tua itu tak dapat melawan tarikan tenaga yang dahsyat ini. Betapa pun mereka
mempertahankan kehendak merampas kembali tongkat yang terpegang lawan, namun sia-sia belaka dan
tahu-tahu tongkat mereka telah amblas ke dalam tanah sampai setengahnya lebih!
Kakek ke tiga yang menyerang dari depan marah sekali. Ujung tongkatnya yang tadinya terputar-putar itu kini
meluncur ke depan bagaikan seekor ular hitam, menerjang maju dengan tusukan yang berlenggang-lenggok
dan sekaligus telah menotok ke arah tujuh jalan darah berturut-turut. Kim-mo Taisu maklum akan kelihaian
jurus serangan ini, maka ia cepat menggunakan ginkang-nya untuk berturut-turut pula mengelak ke kanan kiri,
kemudian lengan bajunya bergerak memutar, melibat ujung tongkat.
"Lepas....!!" teriaknya sambil mengerahkan sinkang. Sekali ia membetot dengan kuat, tongkat itu tak dapat
dipertahankan lagi oleh pemiliknya, terlepas dan meluncur bagaikan anak panah kemudian menancap pada
dinding pagar, gagangnya bergetar keras mengeluarkan bunyi.
Tiga orang kakek itu adalah Sin-tung Sam-lo-kai, dari julukannya saja sudah menyatakan bahwa mereka itu
ahli-ahli tongkat yang lihai. Tentu saja mereka kaget setengah mati melihat kenyataan yang sukar dipercaya,
betapa dalam segebrakan saja lawan muda yang seperti orang gila ini mampu merampas tongkat mereka!
Mereka menjadi penasaran sekali, dan selain penasaran, juga mereka tidak berani membiarkan orang ini
masuk ke dalam gedung begitu saja karena hal ini akan membuat mereka kesalahan dan akan mendapat
marah dari Kai-ong.
"Tahan dia!" seru kakek tertua memberi perintah kepada barisan pengemis ketika ia melihat Kim-mo Taisu
berlenggang seenaknya hendak memasuki gedung.
Ia sendiri lari untuk mencabut tongkatnya dari dinding, sedangkan kedua orang temannya juga sudah
mencabut tongkat masing-masing yang menancap di atas tanah. Barisan pengemis yang terdiri dari delapan
belas orang itu bergerak maju cepat sekali dari kanan kiri, dan terkurunglah Kim-mo Taisu.
Pendekar aneh ini berdiri di tengah-tengah pekarangan depan, bertolak pinggang dan tertawa bergelak melihat
barisan pengemis itu lari berputaran di sekelilingnya, membentuk barisan aneh yang berubah-ubah, kadangkadang
merupakan lingkaran bundar, dalam sedetik berubah menjadi segi tiga, terus berubah-ubah dengan
bertambah seginya dan setengah menjadi pat-kwa (segi delapan) lalu perlahan-lahan menjadi bulat lagi.
Barisan ini teratur sekali dan melihat perubahan-perubahan yang rapi ini diam-diam Kim-mo Taisu merasa
kagum.
"Orang muda, biar pun kau lihai, tak mungkin kau dapat lolos dari Kan-kauw-kai-tin (Barisan Pengemis
Pengejar Anjing) kami. Sebelum kami turun tangan membunuhmu, lebih baik kau lekas mengaku, siapakah
engkau dan apa perlumu mencari Kai-ong?!"
Kim-mo Taisu menarik napas panjang. "Barisanmu baik sekali, Sam-lo-kai, biarlah aku mencoba untuk menjadi
anjingnya biar dikejar-kejar barisanmu." Sambil tertawa bergelak Kim-mo Taisu lalu menerobos ke depan,
nekat hendak memasuki gedung.
Segera di depannya telah menghadang tiga orang pengemis anggota barisan yang sekaligus telah menerjang
dan menyerangnya dengan senjata mereka. Seorang bersenjata tongkat panjang, seorang lagi bersenjata
pedang dan orang ke tiga bersenjata joan-pian (ruyung lemas semacam cambuk). Tiga senjata yang amat
berbeda sifatnya, amat berbeda pula caranya menyerang, namun ketika maju bersama, ternyata mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
bertiga dapat bekerja sama baik sekali, seakan-akan seorang saja dengan tiga macam senjata, tiga pasang
kaki tangan menyerang Kim-mo Taisu!
Pendekar ini berseru kagum, dan tentu saja ia tidak gentar menghadapi serangan tiga orang ini. Kedua
tangannya digerakkan, dengan ilmu tangkapnya Kim-na-hoat ia hendak merampas senjata-senjata mereka.
Akan tetapi tiga orang itu tidak jadi menyerangnya dan berlari terus ke depan dan pada detik itu juga,
pengurung bagian belakang yang menyerang. Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh dan ia kaget melihat
betapa tiga orang di bagian belakangnya ini bersenjata persis seperti tiga orang pertama tadi akan tetapi cara
mereka menyerang berbeda sungguh pun kerja sama mereka tetap baik.
Karena ia diserang dari belakang, Kim-mo Taisu terpaksa mengelak dan lewatlah berturut-turut pedang, toya,
dan cambuk itu di samping tubuhnya. Begitu serangan mereka gagal, tiga orang ini bergerak lari, dan kini tiga
orang lain yang berada di belakang Kim-mo Taisu menerjang hebat dengan tiga macam senjata mereka.
Secara begini, sebentar saja Kim-mo Taisu telah diserang bertubi-tubi oleh barisan enam kali tiga orang ini dan
ia betul-betul menjadi seperti seekor anjing yang dikejar-kejar oleh barisan pengemis!
Kim-mo Taisu adalah seorang ahli silat ia memiliki penyakit yang sama, yaitu haus akan ilmu silat. Melihat
hebat dan rapinya Ilmu Barisan Kan-kauw-kai-tin ini, ia menjadi kagum dan tertarik sekali, tertarik untuk
mempelajarinya tentu. Kalau ia mau, dengan kepandaiannya yang jauh lebih tinggi dari pada para
pengeroyoknya, tidaklah sukar baginya untuk merobohkan mereka ini. Akan tetapi ia justru ingin melihat
bentuk permainan mereka dalam barisan itu, maka ia sengaja membiarkan dirinya diserang terus-menerus. Ia
hanya main berkelit saja karena tidak ingin merusak barisan mereka, maka ia dapat memperhatikan betapa
barisan ini bergerak dan berubah.
Setelah ia menghadapi pengurungan ini selama seperempat jam, tahulah ia bahwa ilmu barisan ini
sesungguhnya juga berdasarkan garis-garis perubahan dalam pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang terkenal
itu. Dia sendiri adalah ahli permainan Pat-kwa-kun (Ilmu Silat Segi Delapan) tentu saja ia tahu dan hafal akan
seluk-beluk pat-kwa, maka setelah menemui intisari barisan, ia menjadi jemu dan kecewa. Setelah
mendapatkan rahasia sumbernya, kiranya barisan ini biasa saja.
"Ha-ha-ha-ha, Sin-tung Sam-lo-kai! Kiranya barisanmu ini adalah barisan pengemis kelaparan mengejar
harimau! Bukan si harimau yang terpegang, melainkan pengemis-pengemis kelaparan ini yang menjadi
mangsa harimau, ha-ha-ha!" Sambil berkata demikian, Kim-mo Taisu mulai ‘bekerja’, tangan kakinya bergerak
cepat, tubuhnya berkelebat bagaikan bayangan kilat.
Terdengar suara gaduh dan hiruk-pikuk ketika senjata-senjata terlempar dan tubuh-tubuh menyusul
bertebangan ke atas genteng. Dalam tempo beberapa menit saja delapan belas orang anggota barisan itu
sudah berada di atas genteng semua, dilemparkan oleh Kim-mo Taisu tanpa mereka dapat mengerti
bagaimana mereka itu kehilangan senjata dan berada di atas genteng dengan kaki atau tangan salah urat.
Ketika melihat betapa Kim-mo Taisu mengamuk seperti harimau ganas, mereka ini tidak berani turun lagi!
Wajah Sin-tung Sam-lo-kai menjadi pucat. Barisan Kan-kauw-kai-tin sudah terkenal kehebatannya, namun
menghadapi seorang muda gila saja kocar-kacir! Mereka maklum bahwa jika orang muda gila ini memasuki
gedung, tentu mereka mendapatkan hukuman berat dari Kai-ong, maka dengan muka beringas mereka
bertekad untuk mempertahankan penjagaan mereka. Dengan senjata tongkat di tangan mereka berdiri
menghadang di depan pintu.
"Orang muda, kau lihai. Akan tetapi jangan harap dapat masuk mengganggu Kai-ong kalau tidak melalui mayat
kami bertiga!"
"Eh, eh, Sam-lo-kai! Raja pengemis itu orang macam apa sih? Aku Kim-mo Taisu datang ke sini bukan untuk
main-main dengan segala macam pengemis tua! Mengapa kau tidak segera melaporkan kepadanya bahwa
aku hendak bertemu?"
Terbelalak kaget tiga orang kakek pengemis itu ketika mendengar nama ini. Sengaja Kim-mo Taisu
memperkenalkan namanya karena ia merasa segan untuk bermusuhan dengan pimpinan pengemis yang
namanya di dunia kang-ouw terkenal baik itu. Dan memang akibatnya hebat. Tiga orang pengemis itu tentu
saja sudah mendengar nama besar Kim-mo Taisu yang orang di dunia kang-ouw sudah merangkaikannya
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan nama Kim-mo-eng, pendekar sastrawan yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dan yang
sejak beberapa tahun tidak pernah muncul, kemudian muncul seorang pengemis muda yang sikapnya edanedanan
dan berjuluk Kim-mo Taisu. Mereka mendengar bahwa Kim-mo Taisu amat sakti sekali dan juga
merupakan pemberantas kejahatan, pembela kebenaran, dan keadilan. Setelah terbelalak dengan muka pucat,
seorang di antara mereka yang tertua segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kim-mo Taisu dan berkata,
suaranya penuh permohonan.
"Ah, kiranya Taisu yang datang! Kim-mo Taisu, kami tiga orang saudara mohon pertolonganmu! Perkumpulan
kami, juga perkumpulan di empat penjuru, telah ditaklukkan oleh ketua baru Khong-sim Kai-pang, yaitu Kai-ong
yang amat bengis dan sakti. Kalau kami membiarkan Taisu masuk, berarti kami bertiga akan binasa. Karena
itu, tolonglah Taisu membantu kami, membalaskan sakit hati kami... agar nama baik perkumpulanperkumpulan
Kai-pang di selatan dapat diangkat lagi dan.... Auuhhh!" tiba-tiba kakek pengemis ini terguling
dan darah muncrat dari punggungnya yang tertembus sebatang sumpit gading yang meluncur dari dalam
gedung!
"Twa-suheng...!" dua orang adik seperguruannya menubruk, dan mereka memandang kepada Kim-mo Taisu
dengan mata penuh permohonan.
Kim-mo Taisu cepat membalikkan tubuh memandang. Akan tetapi tidak ada seorang raja pengemis muncul
melainkan seorang wanita cantik, masih muda berpakaian pelayan. Dengan gerak tubuh lemah lembut wanita
itu berkata, suaranya nyaring dan merdu. "Kai-ong-ya memerintahkan tamu terhormat Kim-mo Taisu untuk
datang menghadap!" Wanita itu lalu membungkuk dengan hormat, tangannya mempersilahkan.
Mendongkol hati Kim-mo Taisu. Bukan mendongkol karena pembunuhan atas pengemis tua, karena ia
memang seorang aneh dan hal itu dianggapnya bukan urusannya. Ia mendongkol oleh sikap Kai-ong itu, yang
seakan-akan benar-benar seorang raja yang memerintahkan tamunya datang menghadap! Akan tetapi bukan
watak Kim-mo Taisu untuk mengobral kemarahannya begitu saja. Ia tertawa begelak, lalu mengikuti wanita
cantik itu memasuki ruangan depan.
Heran sekali ia melihat perabot ruangan itu amat mewah, meja kursi halus dan dinding yang terkapur putih itu
penuh hiasan tulisan dan gambar serba indah. Ketika ia mengikuti wanita itu memasuki ruangan dalam,
keadaannya lebih mewah lagi, bahkan lantainya saja ditilam permadani merah muda! Mereka maju terus, ke
ruangan yang lebih dalam lagi. Sebuah pintu kaca yang lebar tertutup tilam sutera hijau. Benar-benar seperti
kamar di dalam istana raja. Pintu terbuka dan terdengarlah suara wanita-wanita yang merdu di antara tawa
yang genit, tercium bau asap dupa wangi.
"Harap Kim-mo Taisu suka membersihkan kaki lebih dulu," wanita itu berkata, menunjuk ke arah babut tebal di
depan pintu.
"Ha-ha-ha! Tanah yang menempel di telapak kakiku bukankah jauh lebih bersih dan sehat dari pada lantai dan
permadani? Tidak biasa aku membersihkan kakiku, kalau rajamu ingin kakiku bersih, biarlah ada yang
membersihkannya!"
Wanita itu nampak kaget sekali akan keberanian tamu ini. Ia hanya memandang bingung dan samar-samar
tampak oleh Kim-mo Taisu betapa di wajah yang cantik itu terbayang ketakutan dan kekhawatiran. Agaknya
wanita ini terlalu banyak menderita tekanan batin, pikirnya. Kasihan!
Tiba-tiba terdengar suara yang serak seperti orang berpenyakitan. "Tamu agung harus dihormati. Eh, kalian
bertiga pergilah ke luar, cuci kaki tamu agung sampai bersih. Cepat!"
Terdengar suara tertawa-tawa genit disusul suara pakaian berkeresekan tanda bahwa wanita-wanita itu
berjalan keluar tergesa-gesa, lalu muncul tiga orang wanita cantik-cantik dan muda. Pakaian mereka tidak
seperti pakaian pelayan, melainkan pakaian puteri-puteri istana, terbuat dari pada sutera tipis dan halus
beraneka warna. Sambil tertawa-tawa mereka keluar, wajah yang cantik dan berbedak tebal itu berseri-seri.
Akan tetapi ketika mereka keluar dan melihat bahwa ‘tamu agung’ itu adalah seorang jembel yang pakaiannya
penuh tambalan, kakinya telanjang dan rambutnya riap-riapan, mereka mengerutkan kening dan tersentak
kaget, berhenti dan saling pandang dengan ragu-ragu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi seorang di antara mereka yang berbaju hijau mengedipkan mata dan mereka cepat menghampiri
Kim-mo Taisu, menarik tangannya ke arah sebuah bangku sambil berkata. "Silahkan Khek-koan (tamu) duduk
di bangku ini, biarkan kami bertiga membersihkan kaki yang kotor."
Sejenak Kim-mo Taisu tercengang, tak disangkanya bahwa ucapannya tadi mendapat sambutan dari Kai-ong
yang aneh itu. Sukar baginya menggunakan kekerasan terhadap desakan tiga orang wanita ini, dan bau yang
harum sekali yang keluar dari pakaian mereka membuat kepalanya terasa pening!
"Eh... oh.... tidak usah, Nona-nona. Tak usah, biar kubersihkan sendiri!" katanya cepat-cepat sambil
menjauhkan diri, dan ia lalu menggosok-gosokkan kedua kakinya kepada babut tadi.
Ngeri ia membayangkan kedua kakinya dipegang-pegang dan dicuci oleh tiga orang wanita muda cantik itu,
yang demikian genit-genit. Tentu akan menimbulkan rasa seakan-akan kedua kakinya dikeroyok lintah yang
menghisap darahnya! Tiga orang wanita itu terkekeh-kekeh sambil menutupi mulutnya dengan sikap yang
amat genit, kemudian mereka mengantar Kim-mo Taisu memasuki ruangan indah sambil tertawa-tawa dan
setengah berlari ke dalam, di mana terdapat seorang laki-laki duduk menghadapi meja ditemani tiga orang
wanita muda lain.
Kim-mo Taisu berhenti melangkah, memandang penuh perhatian, sikapnya waspada menjaga diri kalau-kalau
menghadapi penyerangan. Ia melihat laki-laki itu dan merasa heran karena laki-laki itu tidak kelihatan seperti
seorang yang berilmu tinggi. Usianya tiga puluh tahun lebih, pakaiannya sengaja dibuat bersambung-sambung
seperti pakaian bertambal, akan tetapi karena bahan-bahannya adalah sutera yang halus, maka menyerupai
pakaian berkembang-kembang yang aneh warnanya. Sepatunya baru dan rambutnya tertutup topi sutera pula.
Wajahnya tampan akan tetapi kulit mukanya pucat, matanya seperti mata burung elang dan mukanya yang
sempit membayangkan kelicikan.
Laki-laki itu duduk menghadapi hidangan yang bermacam-macam dan arak yang baunya harum semerbak
menimbulkan selera. Ketika ia masuk, laki-laki itu sama sekali tidak melihat ke arahnya, bahkan agaknya
sedang bercakap-cakap dan bergurau dengan tiga orang wanita itu. Seorang wanita menyumpitkan daging dan
disodorkan di depan mulutnya, yang segera digigitnya sambil tersenyum-senyum. Wanita ke dua menuangkan
arak ke dalam cawan araknya. Ada pun wanita ke tiga yang bersikap gagah duduk di sebelah kanannya
dengan alis dikerutkan.
Laki-laki itu menoleh kepada wanita muda cantik yang kelihatan tidak senang itu, tersenyum dan menyentuh
dagunya yang halus dengan jari tangan sambil berkata halus, akan tetapi suara tetap serak tak sedap
didengar. "Moi-moi, mengapa kau kurang gembira? Marilah minum, dan kau sejak tadi tidak mau makan. Nih,
daging kelinci ini enak sekali!" Ia menyumpit sepotong daging dan mendekatkannya ke mulut si Cantik.
Wanita itu tersenyum paksa, membuka mulut kecil mungil dan menggigit daging itu, kemudian berkata, "Pouwkoko
(Kakanda Pouw), bukankah kau sudah berjanji bahwa kau akan menyuruh pergi semua selirmu? Aku tak
senang dengan keadaan seperti ini."
"Ha-ha-ha, Moi-moi yang manis! Selirku tadinya tiga puluh orang lebih, sebagian besar sudah kuhadiahkan
kepada para pembantuku. Akan tetapi yang lima ini...., hemm, sayang, Moi-moi. Hayo kalian berlima lekas
berlutut dan mohon kasihan kepada Nyonya besar agar diperkenankan tinggal di sini melayaniku!" ia menoleh
kepada lima orang wanita cantik itu.
Tiga orang di antara mereka cepat-cepat menjatuhkan diri berlutut di depan wanita berbaju biru tadi, akan
tetapi yang dua tidak mau berlutut, malah memandang penuh kebencian. Seorang di antara mereka, yang ada
tahi lalatnya di dagu, berkata genit. "Aku sudah setahun lebih melayani Kai-ongya dan menjadi kesayangan
Kai-ongya, namun tak pernah aku menyuruh usir selir lainnya. Mengapa Nona Loan ini begini manja? Apakah
tidak mau membagi kebahagiaan sedikit pun dengan wanita lain?" Ia menggoyang tubuhnya dengan
memalingkan muka, bibirnya yang merah cemberut.
"Benar, tidak adil!" kata wanita kedua yang bajunya merah. "Semenjak dia ini datang, kita seperti disia-siakan
oleh Kai-ongya. Apakah di dunia ini hanya dia saja wanita cantik?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Wanita baju biru itu tiba-tiba bangkit berdiri, alisnya terangkat dan matanya merah. "Mana bisa aku
dipersamakan dengan... perempuan-perempuan cabul macam kalian?"
"Sshh... sshh... Moi-moi, jangan marah, duduklah." Dengan tangannya, raja pengemis itu menyuruh
kekasihnya duduk, kemudian tangan kirinya bergerak cepat, dengan jari-jari terbuka menyambit ke arah dua
orang selirnya yang berani membantah itu.
"Aduhhh...! Aduhhh...!!" dua orang wanita cantik itu terjengkang roboh, menutupi muka sambil menjerit-jerit
bergulingan di lantai. Ternyata kedua mata mereka terusuk tulang-tulang bekas makanan yang berada di atas
meja dan tadi dipergunakan untuk menyambit mereka. Darah membasahi pipi. Hanya sebentar kedua orang
wanita itu menjerit-jerit berkelojotan, lalu diam karena rasa nyeri yang luar biasa membuat mereka pingsan.
"Hayo bawa pergi mereka, lekas!" perintah ini diturut tiga orang wanita yang lain dengan ketakutan. Mereka
lalu menggotong kedua orang wanita malang itu keluar dari ruangan.
"Hemm, inikah Kai-ong yang tersohor yang telah menaklukkan seluruh kai-pang (perkumpulan pengemis),
yang secara keji membunuh orang tertua dari Sin-tung Sam-lo-kai tadi, dan kini melukai dua orang selirnya
secara ganas pula?" Kim-mo Taisu berkata, suaranya dingin dan pandang matanya kepada Si Raja Pengemis
itu penuh ejekan.
Raja pengemis itu bukan lain adalah Pouw Kee Lui yang pernah kita kenal. Seperti kita ketahui, Pouw Kee Lui
adalah murid seorang pertapa sakti di pantai Po-hai yaitu pantai laut sebelah timur, yang secara kejam telah
membunuh gurunya sendiri karena ia ditegur ketika ia mengganggu isteri orang. Ia memperdalam ilmu dari
kitab-kitab simpanan gurunya itu, kemudian mulailah ia merantau dan merajalela mempergunakan ilmunya
yang tinggi.
Pertama-tama ia merebut kedudukan ketua di perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang. Pernah ia bertemu
dengan Liu Lu Sian dan hanya karena mengingat bahwa Lu Sian adalah puteri Beng-kauwcu, maka Pouw Kee
Lui yang cerdik ini membebaskan Lu Sian. Kemudian semenjak itu, ia memperbesar kekuasaannya dengan
menundukkan perkumpulan-perkumpulan pengemis yang ada, lalu mengangkat diri sendiri menjadi Kai-ong
atau raja pengemis yang hidup mewah, yang menundukkan siapa saja yang menentangnya dan merampas
gadis mana saja yang disukainya.
Wanita baju biru di sebelahnya itu adalah Liong Bi Loan murid yang kemudian diambil sebagai anak angkat
oleh guru silat Liong Keng. Ketika gadis ini berkelahi dengan tukang-tukang pukul di rumah judi, kebetulan
sekali Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong sedang jalan-jalan ke rumah judi. Melihat gadis cantik ini serta melihat
ilmu silatnya yang lumayan, hati Pouw-kai-ong tertarik sekali. Di antara tiga puluh orang lebih selirnya, tidak
ada yang memiliki ilmu silat seperti gadis ini. Maka ia lalu turun tangan dan dengan ilmu kepandaiannya yang
amat tinggi, ia mengalahkan Bi Loan dan berhasil membuat gadis ini kagum oleh kepandaian silatnya,
wajahnya yang tampan, dan sikapnya yang pandai berpura-pura dan memikat hati.
Gadis yang masih hijau ini terjatuh ke dalam perangkap, mereka bermain cinta dan gadis yang tidak tahu
bahwa yang ia sangka seorang pendekar sakti itu sebetulnya seorang manusia iblis yang keji. Ia mengikuti
Pouw Kee Lui bermain-main ke dalam hutan, dan di dalam sebuah kuil kosong, Si Manusia Iblis Pouw ini
berhasil memberi minum arak yang ia campur obat sehingga Liong Bi Loan menjadi mabuk dan dalam
keadaan tidak sadar telah menyerahkan dirinya dibawa terjun ke dalam jurang kehinaan oleh Pouw Kee Lui.
Ketika ia sadar, sesal pun tiada gunanya. Nasi telah menjadi bubur! Inilah akibatnya seorang gadis yang
membuta saja menurutkan nafsu hati, membuta dalam bercinta sehingga tidak tahu bahwa yang disangka
seekor domba sebenarnya adalah seekor serigala. Karena sudah terlanjur, ia hanya bisa menangis dan
akhirnya reda juga penyesalannya ketika Pouw Kee Lui membujuk-bujuknya, bersumpah mati-matian akan
bersetia kepadanya, akan mengambilnya sebagai isteri, sehidup semati dan lain omongan muluk-muluk lagi.
Terobatilah hati Bi Loan. Ketika pada keesokan harinya ayahnya mendapatkannya di situ, terpaksa ia ikut
pulang ayahnya. Dan tentu saja hatinya girang sekali ketika pada malam harinya, Pouw Kee Lui benar-benar
datang membawanya pergi dan tentu saja ia ikut pergi dengan sukarela. Lebih baik ikut pergi bersama
kekasihnya ini dan sehidup semati menjadi isterinya, dari pada menjadi seorang gadis ternoda yang akan
menderita malu seumur hidupnya! Apalagi setelah ia ketahui bahwa kekasihnya itu ternyata adalah seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
yang amat penting, seorang raja, biar pun hanya rajanya pengemis! Dan melihat selir ‘suaminya’ begitu
banyak, ia menjadi tidak senang dan minta kepada suaminya untuk menghalau semua selir itui, yang juga
diturut oleh Pouw Kee Lui, kecuali lima selir yang tadi melayani mereka makan minum. Demikianlah keadaan
singkat Si Raja Pengemis yang lihai itu.
Ketika Pouw-kai-ong mendengar kata-kata Kim-mo Taisu yang penuh teguran, ia mengangkat muka
memandang. Mulutnya tersenyum sinis, pelupuk matanya bergetar sedikit, kemudian terdengar suaranya yang
serak, "Kim-mo Taisu, apakah kau mendapat nama besar itu karena kesukaanmu mencampuri urusan dalam
rumah tangga orang lain? Kubunuh Lo-kai, itu adalah urusan kai-pang kami. Kubutakan mata kedua orang
selirku, itu adalah urusan keluargaku sendiri."
"Tidak peduli... tidak peduli..., aku hanya seorang tamu, aku tidak peduli akan segala urusanmu yang busuk!"
Kim-mo Taisu menggoyang-goyang tangannya.
"Heh-heh, itu baru ucapan seorang gagah. Nah, kau menjadi tamuku, seorang tamu agung harus disambut
dengan arak wangi dan hangat!" Raja pengemis ini menuangkan arak ke dalam mangkok itu dan berseru.
"Silakan!"
Sekali ia menggerakkan tangan, mangkok penuh berisi arak itu melayang cepat sekali seperti peluru menuju
ke arah dada Kim-mo Taisu, tanpa araknya tumpah sedikit pun. Kim-mo Taisu tersenyum, mengangkat tangan
kirinya. Begitu tangannya bergerak, ia sudah menerima mangkok itu di atas telapak tangan kirinya, di mana
mangkok itu kini berdiri dan sedikit pun tidak ada arak yang muncrat dari dalamnya. Diam-diam ia kagum juga
karena tenaga sambaran mangkok itu amat kuat, tanda bahwa penyambitnya memiliki sinkang yang hebat. Di
lain pihak, Pouw-kai-ong juga kagum. Menerima sambitannya semangkok penuh arak, tanpa tergoyang sedikit
pun badannya, tanpa mucrat setetes pun araknya, mungkin jarang didapatkan keduanya.
“Hebat Kim-mo Taisu ini,” pikirnya dan otaknya yang cerdik sudah diputar-putar untuk mencari akal.
Sementara itu, Kim-mo Taisu sudah menenggak habis arak di dalam mangkok dengan tenang, mengecapngecapkan
lidahnya dan mengangguk-angguk sambil memandang ke arah mangkoknya yang sudah kosong.
"Arak baik... hemm, arak yang baik sekali. Terima kasih, Kai-ong, ini kukembalikan mangkokmu!" Tiba-tiba
tangannya bergerak dan mangkok itu sudah ia sentil dengan jari telunjuknya.
"Tinggg!!" mangkok kosong itu kini melayang ke arah Pouw-kai-ong, akan tetapi melayang sambil berputar
seperti gasing. Pouw-kai-ong tersenyum dan mengangkat tangannya menyambut sambaran mangkok kosong.
"Brakkk!!" mangkok kosong itu begitu menyentuh tangannya, lalu pecah berantakan!
"Aiihhh!!" Pouw-kai-ong terloncat kaget. Mukanya menjadi merah sejenak, matanya mengeluarkan sinar
berapi, kedua tangannya menegang, jari-jari tangannya bergerak-gerak seperti cakar harimau.
Kim-mo Taisu tersenyum saja dengan tenang, menanti segala kemungkinan. Akan tetapi, lambat laun muka
raja pengemis itu menjadi pucat kembali seperti sediakala, bukan pucat berpenyakitan, melainkan pucat
karena latihan lweekang tertentu. Mulutnya masih tersenyum sinis dan tangannya membuat gerakan
mempersilakan tamunya duduk.
"Heh-heh, tamu agung yang hebat! Kim-mo Taisu, namamu terkenal dan ternyata bukan kosong belaka.
Silakan duduk!"
Kim-mo Taisu melangkah menghampiri meja dengan sikap masih tenang, mata tiada lepas dari gerakan raja
pengemis itu. Ia kemudian menarik bangku dan duduk. "Terima kasih, Kai-ong."
Kembali Pouw-kai-ong menuangkan arak ke dalam mangkok sampai penuh. Mangkok itu ia letakkan di atas
telapak tangan kanannya dan ia mengerahkan hawa sinkang di tubuhnya, disalurkan melalui tangan kanan
terus menjalar ke mangkok arak. Sebentar saja arak di dalam mangkok itu bergolak mendidih dan beruap!
Inilah hawa sinkang yang bukan main tingginya!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Silakan minum, Kim-mo Taisu!" katanya tersenyum sinis seraya menyodorkan mangkok arak mendidih itu
kepada tamunya.
Kim-mo Taisu menjadi kaget, kagum dan juga mendongkol. Harus ia akui bahwa demonstrasi hawa sinkang
yang diperlihatkan raja pengemis itu memang hebat dan hanya orang dengan kepandaian tinggi saja yang
akan mampu melakukannya. Akan tetapi, orang lain boleh merasa jeri, baginya demonstrasi itu hanyalah
permainan untuk menakuti anak kecil! Sambil tersenyum pula ia mengulur tangan menerima mangkok arak
mendidih itu sambil mengerahkan sinkang-nya. Aneh tapi nyata. Begitu mangkok arak mendidih itu berada di
telapak tangan Kim-mo Taisu, mendadak uapnya hilang dan arak itu tidak bergolak mendidih lagi!
"Terima kasih, sayang arakmu dingin," kata Kim-mo Taisu sambil menuangkan arak ke mulutnya, tetapi arak
itu tidak mau keluar dari mangkok karena ternyata telah membeku! Inilah demonstrasi yang lebih hebat lagi,
menggunakan sifat dingin dari tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi. Sambil tersenyum lebar
Kim-mo Taisu meletakkan mangkok itu ke atas meja dan memandang tuan rumah.
Agak berubah air muka yang pucat dari raja pengemis itu. Telah dua kali ia menguji dan mendapat kenyataan
bahwa kepandaian tamunya benar-benar hebat, maka ia harus berlaku hati-hati sekali. "Kim-mo Taisu,
keperluan apakah yang membawamu datang mencari aku?"
Kim-mo Taisu menyambar mangkok arak dan meneguknya habis, lalu mengangguk-angguk dan menjilati
bibirnya. "Arak baik, arak baik...!"
Pouw-kai-ong tertawa. "Ha-ha-ha, kiranya kau setan arak. Minumlah!" Ia melemparkan seguci arak ke arah
Kim-mo Taisu. Lemparan ini kuat bukan main karena disertai tenaga lweekang, sedangkan jarak antara
mereka dekat saja, hanya terpisah sebuah meja.
Namun dengan enaknya Kim-mo Taisu menerima guci arak itu dan terus menggelogoknya langsung tanpa
cawan atau mangkok lagi. Setelah lima enam mangkok arak memasuki perutnya, baru ia berhenti dan
meletakkan guci arak di atas meja.
"Pouw-kai-ong, kebetulan sekali aku berkenalan dengan Liong-kauwsu (Guru Silat Liong) di Sin-yang dan
karena tidak tahan mendengar tangis seorang ayah kehilangan puterinya, maka aku datang kesini mencarimu."
"Aaahhhh....!" wanita cantik baju biru yang sejak tadi duduk tenang menonton pertunjukan ilmu yang hebat itu,
kini berseru tertahan, wajahnya berubah pucat.
Akan tetapi Pouw Kee Lui tertawa mengejek. "Kim-mo Taisu, setelah sekarang kau dapat bertemu denganku,
apa yang kau kehendaki?"
"Orang she Pouw, kau telah menculik puteri Liong-kauwsu. Sekarang harap kau memandang mukaku dan
mengembalikan puterinya itu. Kalau tidak... ha-ha-ha, terpaksa aku lupa bahwa aku telah kau suguhi arak yang
baik!"
Pouw Kee Lui juga tertawa. "Heh-heh-heh, aku pun menyuguhi arak padamu sama sekali bukan dengan
maksud menyuap." Ia lalu bangkit berdiri dan memperkenalkan wanita yang duduk di sebelahnya. "Kim-mo
Taisu, perkenalkan. Inilah isteriku yang bernama Liong Bi Loan, puteri Liong-kauwsu dari Sin-yang!"
"Is... terimu....?" Kim-mo Taisu terkejut dan heran.
"Moi-moi kekasihku, kau katakanlah kepada Kim-mo Taisu, benarkah bahwa aku menculikmu?"
Dengan muka berubah menjadi merah sekali karena jengah, wanita itu memandang Kim-mo Taisu dan
berkata, "Aku pergi mengikutinya dengan sukarela, urusan kami berdua ini apa sangkut pautnya dengan orang
luar?"
Kim-mo Taisu memandang terbelalak kepada wanita itu. Sungguh tak pernah disangkanya sama sekali bahwa
ia akan menghadapi hal seperti ini, tak mengira bahwa urusan akan menjadi begini. Kalau ia tahu sebelumnya,
tentu saja ia tidak sudi ikut mencampuri. Dapat ia menduga bahwa wanita ini telah terpikat oleh Pouw-kai-ong,
dunia-kangouw.blogspot.com
telah jatuh cinta atau juga karena takut. Akan tetapi wajah yang cantik itu sama sekali tidak membayangkan
rasa takut, jadi terang bahwa wanita ini telah jatuh cinta kepada Si Raja Pengemis!
Tentu saja Kim-mo Taisu tidak tahu apa yang telah terjadi, tidak tahu bahwa sesungguhnya bukan karena takut
atau cinta, melainkan karena sudah terlanjur terjun ke dalam lumpur kehinaan maka wanita itu terpaksa
mengikuti Pouw Kee Lui!
Saking malu dan mendongkol, Kim-mo Taisu menepuk kepalanya sendiri lalu bangkit berdiri. Wajahnya
kehilangan senyumnya, seperti orang gila ketika ia berkata, "Cinta memang aneh! Pouw-kai-ong, pada detik ini
juga aku menyatakan lepas tangan tentang urusanmu dengan puteri Liong-kauwsu. Akan tetapi mendengar
bahwa kau telah merampas kedudukan semua perkumpulan pengemis dan betapa tanganmu dengan ganas
merenggut nyawa para pimpinannya, aku menduga bahwa kau tentu memiliki tangan maut yang lihai. Maka,
setelah aku datang, biarlah aku merasai kelihaian tangan mautmu itu. Kau yang menentukan, di dalam
ruangan ini atau di luar!"
Inilah tantangan blak-blakan! Orang gagah paling pantang menolak tantangan. Wajah Pouw Kee Lui yang
biasanya pucat itu kini menjadi merah dan sejenak matanya menyinarkan pancaran kilat karena marahnya.
Akan tetapi mulutnya tersenyum sinis dan matanya lalu bergerak-gerak melirik ke kanan ke kiri
membayangkan kecerdikan otaknya.
Selama ini ia sudah bersekutu dengan banyak orang pandai untuk bersama-sama meruntuhkan Kerajaan Tang
Muda. Di antara sekutunya itu terdapat Ban-pi Lo-cia tokoh Khitan yang menganggap Kerajaan Tang Muda
sebagai musuh. Dari Ban-pi Lo-cia inilah ia mendengar tentang kehebatan kepandaian Kim-mo-eng yang kini
berjuluk Kim-mo Taisu. Kalau Ban-pi Lo-cia yang demikian lihainya memuji kepandaian seseorang, maka ia
harus waspada menghadapi orang itu. Apalagi tadi ia pun sudah membuktikan sendiri kehebatan sinkang dari
manusia sinting ini. Dan sungguh kebetulan sekali, dalam beberapa hari ini ia sudah berjanji akan mengadakan
pertemuan dengan para sekutunya di Puncak Tapie-san. Maka ia lalu menahan kemarahannya, berkata
dengan senyum lebar.
"Bagus! Aku pun sudah lama mendengar akan kehebatanmu dan ingin sekali merasai pukulan tanganmu.
Akan tetapi kau dapat melihat sendiri, aku adalah... heh-heh, masih pengantin baru! Bagaimana aku dapat
mengotori suasana meriah dengan isteriku tersayang ini dengan pertandingan? Isteriku tentu akan merasa
gelisah setengah mati! Kim-mo Taisu, kalau kau memang jagoan dan tidak menyesal dengan tantanganmu,
biarkan aku beristirahat selama tiga hari untuk mengumpulkan tenaga, kemudian tiga malam berikut ini aku
akan menantimu di puncak gunung ini, di mana kita akan dapat bertanding sepuas hati kita tanpa mengganggu
isteriku. Bagaimana, apakah kau berani?"
Kim-mo Taisu tertawa bergelak. Ia cukup berpengalaman, dan ia dapat menduga bahwa calon lawannya itu
mencari alasan kosong. Entah tipu muslihat apa yang hendak digunakannya tiga hari kemudian di Puncak
Tapie-san. Akan tetapi ia sama sekali tidak merasa gentar. "Heh-heh-heh, tiga malam yang akan datang
kebetulan bulan gelap. Aku akan menantimu pagi-pagi pada hari ke empat di puncak. Nah, aku pergi!"
Setelah itu Kwee Seng melenggang keluar dari ruangan itu, terus berjalan dengan langkah seenaknya dan
tidak mempedulikan pandang mata para pengemis yang menjaga di luar gedung. Setelah keluar dari gedung,
tubuhnya bergerak cepat dan sebentar saja lenyaplah bayangannya dari pandang mata pengemis yang
tebelalak lebar penuh kekaguman dan juga ketakutan. Baru kali ini mereka melihat ada orang yang berani
menantang Kai-ong mereka dapat keluar dengan selamat dan seenaknya!
"Suhu...!!" Bu Song berseru girang sekali ketika ia melihat Kim-mo Taisu duduk bersemedhi di bawah pohon.
Kedua kakinya sudah merasa amat lelah mendaki bukit yang amat sukar itu, akan tetapi begitu melihat suhunya,
semangatnya timbul dan ia berlari terengah-engah di jalan tanjakan, menghampiri suhu-nya.
Kim-mo Taisu membuka kedua matanya dan tersenyum girang memandang muridnya. Bocah yang sama
sekali tidak pandai ilmu silat ini telah membuktikan keberanian luar biasa dan keuletan yang mengagumkan.
Anak ini dapat juga menyusulnya sampai ke lereng gunung yang merupakan perjalanan amat sukar bagi orang
yang tidak terlatih ilmu silat. Muridnya itu datang dengan muka agak pucat dan tubuh membayangkan
kelelahan hebat, akan tetapi pundi-pundi uang itu masih digendongnya dan semangat besar masih bernyalanyala
di sepasang mata yang bersinar-sinar itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bu Song, lekas kau duduk bersila di sini. Kau harus belajar bagaimana memulihkan tenagamu kembali dan
menghilangkan lelah."
Bu Song tidak membantah. Diturunkannya pundi-pundi dari pundaknya, kemudian ia duduk bersila di depan
gurunya, meniru kedudukan kaki yang ditekuk tumpang tindih.
"Tarik napas dalam-dalam sewajarnya tanpa paksaan, busungkan dada kempiskan perut, tarik terus yang
panjang...." Kim-mo Taisu memberi petunjuk sambil memberi contoh.
Bu Song memandang gurunya dan mentaati perintah ini, terus menarik napas dan merasa betapa dadanya
penuh sekali.
"Keluarkan napas, perlahan-lahan sewajarnya tanpa paksaan, kempiskan dada busungkan perut. Nah, begitu
ulangi sampai sembilan kali, makin panjang makin baik."
Otomatis Bu Song mentaati perintah suhu-nya ini, makin lama makin baik cara ia bernapas. Kemudian sambil
masih bersila, Kim-mo Taisu mengajar muridnya mengatur napas, menarik napas dari dada ke perut,
menahannya ke tengah pusar sampai perut terasa panas hangat, memberi petunjuk pula cara menguasai
napas. "Kau umpamakan napasmu seekor naga yang sukar dikendalikan, akan tetapi kau harus dapat
menunggang naga itu. Kau biarkan dirimu dibawa terbang keluar masuk, terus kau tunggangi, jangan lepaskan
sedikit pun juga, akhirnya kau tentu akan mampu menguasai dan menaklukannya," demikianlah Kim-mo Taisu
memberi petunjuk.
Kemudian ia mengajar muridnya untuk sambil duduk bersila menguasai napas, duduknya tegak dengan
punggung lurus, muka lurus ke depan, pandang mata menunduk ke arah ujung hidung, seluruh panca indera
dipusatkan ‘menunggang naga’. Inilah inti pelajaran ilmu bersemedhi, dan siulian atau semedhi ini pula menjadi
dasar pelajaran ilmu silat tinggi. Tentu saja Bu Song sama sekali tidak mengira bahwa gurunya mulai
menurunkan ilmu yang menjadi dasar ilmu silat tinggi.
Diam-diam Kim-mo Taisu kagum bukan main menyaksikan kekerasan hati dan kemauan muridnya. Sayang
muridnya terlalu membenci ilmu silat sehingga sukarlah baginya untuk melatih ilmu silat. Bocah ini yang baru
saja tiba setelah melalui perjalanan yang amat melelahkan, kini sanggup untuk bersemedhi, sungguh pun baru
saja dimulai hari ini, dari pagi sampai sore!
"Cukuplah!" kata Kim-mo Taisu sambil meraba punggung muridnya.
Bu Song bagaikan sadar dari mimpi indah dan dengan hati girang ia merasa betapa tubuhnya sehat dan segar,
tidak merasakan kelelahan lagi.
"Kau harus melatih siulian setiap kali ada waktu kosong. Dengan latihan ini, tubuhmu akan menjadi sehat, tidak
mudah lelah dan tidak mudah diserang penyakit."
"Kapankah Suhu akan mengajarkan ilmu menulis indah kepada teecu (murid)?"
"Ha-ha-ha! Tidaklah mudah, Bu Song. Kau tentu tahu, tulisan huruf indah baru dapat disebut indah kalau
tulisan itu dapat mengandung goresan yang bertenaga, dan untuk menghimpun tenaga dalam tangan agar
dapat membuat goresan yang tepat, perlu tanganmu diisi tenaga. Dalam latihan siulian ini dapat membuat
tanganmu bertenaga. Besok kuajarkan bagaimana kau harus menggunakan pernapasanmu untuk
membangkitkan tenaga dari dalam pusar, menggunakan kekuatan hawa yang kau sedot itu untuk menerobos
ke pergelangan tangan dan jari-jari tanganmu. Baru setelah tanganmu bertenaga, akan kuajarkan engkau
menulis huruf indah."
Kim-mo Taisu memandang muridnya dengan mata berseri-seri, akan tetapi diam-diam dia merasa malu
kepada diri sendiri bahwa ia harus bicara secara berputar-putar dan seakan-akan ia menipu muridnya ini yang
tidak mau belajar ilmu silat! Ia melihat betapa muridnya memandangnya penuh perhatian, sinar matanya
memancarkan kepercayaan dan ketaatan yang tulus. Terharu hati Kim-mo Taisu. Bocah ini hebat, memiliki
bakat yang baik sekali di samping watak yang keras dan bersih. Entah apa sebabnya, mungkin pandang mata
dunia-kangouw.blogspot.com
itulah, yang membuat Kim-mo Taisu benar-benar tertarik dan jatuh sayang kepada anak ini. Ia merangkul
pundak muridnya dan berkata halus.
"Bu Song, kau mengasolah. Kau tentu lapar, bukan? Nah, coba kau mencari makanan seperti yang kau
lakukan ketika kau mendaki bukit ini selama tiga hari tiga malam."
"Baiklah, Suhu."
Bu Song lalu memasuki hutan di sebelah kiri, menyusup-nyusup sampai jauh dan akhirnya dengan hati girang
ia mendapatkan sebuah pohon apel yang buahnya banyak yang sudah tua dan matang. Segera ia memanjat
pohon itu dan memetik banyak buah apel yang kulitnya kuning kemerahan dan baunya sedap mengharum itu.
Buah-buahan itu ia masukkan ke dalam kantung uang sampai penuh.
Tiba-tiba telinganya mendengar bunyi kelenengan kuda, nyaring sekali bunyi itu, bergema di antara pohonpohon.
Suara yang menyelinap ke dalam telinganya seakan-akan berubah menjadi jarum-jarum yang menusuk
telinga dan masuk merayap melalui urat-uratnya, membuat Bu Song menggigil dan tak dapat pula ia
mempertahankan diri. Buah-buah berikut pundi-pundi uang terlepas jatuh disusul tubuhnya jatuh pula dari atas
pohon!
Untung baginya, pohon itu tidak terlalu tinggi. Juga ketika ia terjatuh, tubuhnya tertahan oleh cabang dan
dahan di sebelah bawah sehingga ketika ia terbanting ke atas tanah, Bu Song hanya merasa pinggul dan bahu
kirinya saja yang agak sakit. Begitu ia melompat bangun lagi, suara itu masih terngiang di telinganya, membuat
kepalanya pening dan tubuhnya sakit-sakit. Betapa pun ia menahan dan menutupi telinganya dengan kedua
tangan, tetap saja suara itu menembus masuk. Saking sakitnya, serasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk
jarum.
Bu Song bergulingan di atas tanah, merintih-rintih. Ingin ia melompat dan lari ke tempat suhu-nya, namun
suara kelenengan itu makin keras. Kini ia sudah bangkit berdiri lagi. Tiba-tiba ia teringat akan nasehat suhunya,
"Kalau kau berhasil menunggang naga, apa pun di dunia ini tidak akan mampu mengganggu badan dan
pikiranmu." Menunggang naga adalah istilah untuk duduk memusatkan perhatian kepada masuk keluarnya
hawa pernapasan.
Teringat akan ini, cepat-cepat Bu Song mengerahkan tenaganya untuk duduk bersila, kemudian mengerahkan
pula segenap tekad dan kemauannya untuk menarik semua panca indera, terutama pendengarannya, menjadi
satu dan memaksa diri ‘menunggang naga’ seperti yang pernah ia latih di bawah petunjuk suhu-nya. Sebentar
saja anak yang bertekad membaja ini telah berhasil ‘tenggelam’ ke dalam keadaan diam, tekun menunggang
naga pernapasannya sendiri sehingga lupa pula akan suara kelenengan yang mempunyai daya mukjijat tadi!
Suara kelenengan masih terdengar nyaring, akan tetapi kini seakan-akan hanya lewat di luar daun telinganya
saja, tidak mampu masuk karena telinga itu telah ditinggalkan ‘penumpangnya’ atau penjaganya yang sedang
seenaknya menunggang naga!
Setelah lama suara kelenengan itu tidak berbunyi lagi, baru Bu Song sadar bahwa telinganya tidak
menghadapi bahaya suara mukjijat itu, maka ia lalu melompat bangun, mengumpulkan buah-buah yang
berceceran dan membungkusnya di dalam pundi-pundi uang. Kemudian ia lari menuju ke tempat suhu-nya.
Bunyi kelenengan yang tadi terdengar oleh Bu Song keluar dari sebuah kelenengan kecil yang dibunyikan oleh
tangan seorang kakek tinggi besar. Kakek ini menunggang keledai kecil sehingga kelihatannya lucu sekali.
Kedua kakinya yang panjang tergantung di kanan kiri perut keledai hampir menyentuh tanah. Namun keledai
kecil itu ternyata mampu berjalan cepat dan pandai pula mendaki bukit. Sambil membunyikan kelenengan,
kakek ini melengut di atas punggung keledai. Hiasan bulu di atas kain kepalanya mengangguk-angguk dan
jubahnya yang panjang lebar itu melambai-lambai tertiup angin gunung.
Ketika keledai itu tiba di depan Kim-mo Taisu yang masih duduk bersila di bawah pohon, kakek itu
mengeluarkan seruan tertahan dan keledainya berhenti. Ia lalu melompat turun dan sengaja membunyikan
kelenengannya di depan Kim-mo Taisu sambil mengerahkan tenaganya. Terheran-heran kakek itu melihat
betapa orang yang duduk bersila itu masih saja duduk, sama sekali tidak bergeming biar pun bunyi kelenengan
itu sebetulnya dapat merobohkan lawan tangguh!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Kim-mo Taisu membuka matanya memandang kakek itu lalu tertawa bergelak, "Ha-ha-ha! Makin tua
kau makin ugal-ugalan saja, Pat-jiu Sin-ong!"
Kakek itu terbelalak kaget. Kelenengannya terhenti dan ia membungkuk untuk memandang lebih teliti orang
yang duduk bersila itu. Seorang berusia tiga puluhan, pakaiannya tambal-tambalan dan kakinya telanjang,
tubuhnya tegap, rambutnya riap-riapan, dan mukanya terselimut awan kedukaan.
"Kau mengenal aku?"
"Beng-kauwcu, apakah usia tua sudah membuat kau menjadi lamur sehingga tidak mengenal lagi bekas calon
mantumu? Ha-ha-ha!" Kim-mo Taisu melompat berdiri.
"Hehh...?? Kau... kau... Kim-mo-eng Kwee Seng...!" kakek itu menjelajahi tubuh Kim-mo Taisu dari kepala
sampai ke kaki dengan pandang mata tidak percaya.
"Cukup Kim-mo Taisu saja, Kauwcu."
"Aha! Jadi kaulah Kim-mo Taisu...?" kakek itu lalu merangkul pundak dan tertawa bergelak-gelak. "Siapa akan
mengira...! Dahulu kau seorang sastrawan tampan, sekarang... sekarang...."
"Seorang jembel busuk!"
"Ha-ha-ha! Alangkah akan girang hatiku kalau melihat anakku berpakaian jembel duduk di sampingmu
bersiulian di bawah pohon! Ahhh, sayang tidak demikian jadinya. Eh, Kwee Seng, menyesal sekali dahulu ada
penjahat secara menggelap menyerangmu sehingga kau jatuh ke dalam jurang. Sungguh mati, kukira kau
sudah hancur di dasar jurang."
"Sebaiknya begitu, sayang nyawaku belum mau meninggalkan tubuh yang buruk nasib ini, masih ingin
membiarkan tubuh ini menderita. Pat-jiu Sin-ong, bagaimana kau bisa sampai di sini?"
Kakek itu menarik napas panjang. "Semua gara-gara Lu Sian, anak durhaka itu. Eh, apakah kau tidak pernah
bertemu dengannya?"
Kim-mo Taisu menggeleng kepala, di dalam hatinya ia enggan bicara tentang bekas kekasihnya itu.
"Dia sudah pergi meninggalkan suaminya, Jenderal Kam Si Ek! Ahhh, alangkah untungnya kau. Kalau dia
menjadi isterimu, agaknya kau pun akan makan hati seperti aku yang menjadi ayahnya. Dia pulang
menceritakan bahwa dia meninggalkan suaminya, ketika aku marah-marah kepadanya, ia malah minggat
sambil mencuri kitab-kitabku. Benar-benar anak durhaka dia! Aku mencarinya sampai berbulan-bulan. Kau
benar-benar beruntung dapat terlepas dari padanya."
Tiba-tiba Kim-mo Taisu tertawa bergelak sambil memandang awan. "Ha-ha-ha! Pat-jiu Sin-ong, kau bilang aku
bahagia karena terlepas dari padanya, bukankah kau juga sudah terlepas dari padanya? Bukankah dengan
demikian kita sama-sama menjadi orang bahagia? Ha-ha-ha!" Suara ketawa Kim-mo Taisu bergema di seluruh
hutan.
Di dalam hatinya, kakek itu terharu karena ia mampu menangkap tangis hati yang terkandung dalam suara
tawa itu. Maka ia pun tertawa dan berkata. "Kau benar! Kita harus rayakan ini! Dua orang laki-laki, muda dan
tua, tunangan dan ayah, terbebas dari rongrongan seorang wanita siluman! Ha-ha-ha! Kita harus rayakan ini,
tunggu... aku membawa arak baik!"
Kakek itu lari ke arah keledainya yang makan rumput tak jauh dari situ, mengambil guci arak dari atas pelana,
menuangkan arak ke dalam dua buah cawan dan membawanya kembali kepada Kim-mo Taisu. Mereka lalu
minum arak bersama sambil berangkulan dan tertawa-tawa. Dua orang aneh di dunia kang-ouw bertemu dan
kecocokan watak mereka mendatangkan kegembiraan sementara.
Saking gembira, mereka tidak melihat bahwa seorang anak laki-laki melihat dan mendengar percakapan
mereka. Anak ini Bu Song! Wajahnya berubah saat mendengar bahwa kakek itu adalah Pat-jiu Sin-ong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiranya orang tua itu adalah kakeknya sendiri! Tentu saja ia sudah mendengar penuturan kedua orang tuanya
tentang kakeknya, ketua Beng-kauw yang berjuluk Pat-jiu Sin-ong bernama Liu Gan. Dan sekarang kakeknya
berada di sini, kalau mengenalnya sebagai putera ibunya, tentu akan membawanya ke selatan!
Menurutkan kata hatinya, Bu Song sudah ingin berlari pergi meninggalkan tempat itu. Akan tetapi ia teringat
akan gurunya yang lapar, maka ia lalu menurunkan buntalan pundi-pundi uang berikut apel. Dengan hati-hati
dan perlahan ia meletakkan buntalan itu ke atas tanah, kemudian berindap-indap pergi dari tempat itu sambil
menoleh memandang kedua orang yang masih minum sambil tertawa-tawa. Dua butir air mata menghias
pipinya ketika ia teringat akan ucapan kakeknya tentang ibunya. Setelah dua orang itu tidak tampak lagi, Bu
Song lalu pergi secepatnya.
Setelah arak yang diminum habis, Pat-jiu Sin-ong melepaskan rangkulannya, melempar cawan kosong ke
bawah lalu berkata. "Kim-mo Taisu, sekarang kau bersiaplah, mari kita mengadu kepandaian!"
Kim-mo Taisu menghela napas, melemparkan cawan kosongnya pula ke atas tanah. "Pat-jiu Sin-ong, apa pula
ini? Kau tahu bahwa aku takkan bisa mengalahkanmu, dan pula, aku pun tidak ada nafsu untuk bertempur
denganmu. Tidak ada alasan bagiku mau pun bagimu untuk saling serang."
"Ha-ha-ha, tidak ada alasan katamu? Akulah yang membuat engkau terjungkal ke dalam jurang. Nah,
sekarang tiba saatnya kau harus membalas dan aku bersedia melayanimu untuk membayar hutang. Aku yang
membuatmu menjadi seperti ini, tak usah kau pura-pura, seorang laki-laki harus berani menghadapi
kenyataan!"
Akan tetapi Kim-mo Taisu menggeleng kepala. "Kenyataannya bukan seperti yang kau kira. Aku tidak
mendendam kepadamu. Bukan kau yang merobohkan aku beberapa tahun yang lalu. Dan aku tahu bahwa kau
tidak mempunyai niat buruk. Dahulu mau pun sekarang, Pat-jiu Sin-ong, kau seorang laki-laki sejati dan aku
tidak suka bermusuhan denganmu."
"Eh-eh!" Pat-jiu Sin-ong Liu Gan mencela dengan suara kecewa. "Siapa bilang tidak ada alasan? Bertahuntahun
aku tak pernah bertemu lawan tangguh, tanganku gatal-gatal. Kalau kau tidak mendendam kepadaku,
sebaliknya akulah yang mendendam padamu dan sekarang kau harus membereskan hutangmu kepadaku!"
Berkerut alis Kim-mo Taisu. "Hem, hem...! Kalau begini kata-katamu, tentu urusannya lain lagi. Katakan, aku
berhutang apa kepadamu? Kalau memang berhutang, tentu saja akan kubayar."
"Ha-ha-ha, kau masih berpura-pura? Aku kehilangan anak, aku menderita karena anak. Semua ini gara-gara
engkau dahulu menolaknya. Aku baik-baik menyerahkan dia kepadamu, akan tetapi kau tidak mencintanya
dan tidak mau menjadi suaminya, maka timbul urusan seperti sekarang ini. Andai kata dahulu kau suka
memperisteri dia, tentu kita semua akan hidup bahagia. Nah, penghinaanmu itu bukankah hutang besar?"
Tertusuk hati Kim-mo Taisu mendengar ini. Bukan dia yang menolak, melainkan Liu Lu Sian. Dia mencinta Lu
Sian, akan tetapi Lu Sian tidak mencintanya! Akan tetapi sebagai laki-laki, tentu saja ia malu untuk mengaku
terus terang akan hal ini kepada Pat-jiu Sin-ong. Pula, ia pun ingin sekali memperlihatkan kepandaiannya.
Kalau dibandingkan dengan beberapa tahun yang lalu, tingkatnya telah maju amat jauh. Kalau sebelum masuk
ke Neraka Bumi saja ia sudah sanggup menandingi Pat-jiu Sin-ong, agaknya sekarang ia akan mampu
merobohkan kakek sakti ini secara mudah. Dan ia pun sudah lama tidak berlatih melawan seorang lawan yang
tangguh, sedangkan sekarang tiba kesempatan yang amat baik.
Ia mengangguk-angguk. "Baiklah kalau begitu pendapatmu, Pat-jiu Sin-ong. Nah, aku sudah siap, kau
mulailah!"
Wajah kakek itu berseri girang. "Kepandaianku sudah maju pesat, orang muda, kau waspadalah!" Tiba-tiba ia
memekik keras sekali dan tubuhnya bergerak ke depan, jubahnya yang lebar itu berkibar mendatangkan angin
yang dahsyat.
Kim-mo Taisu kagum. Pekikan itu mengandung tenaga khi-kang yang hebat sekali. Dan seandainya ia tidak
mengalami latihan luar biasa di Neraka Bumi, daya pekik ini saja tentu sudah mengendurkan semangatnya.
Cepat ia menggeser kakinya, miringkan tubuh mengelak ke kiri sambil terus menghantamkan tangan kanannya
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan bantingan lengan dan tangan terbuka, serangan yang kelihatannya bertahan saja akan tetapi
sebetulnya hebat bukan main karena ia telah mempergunakan Ilmu Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti).
"Beng-kauwcu, awas serangan balasan!"
Pat-jiu Sin-ong melihat datangnya serangan tanpa didahului angin pukulan, akan tetapi telah terasa hawa amat
dinginnya. Ia menjadi terkejut dan cepat-cepat mengelak sambil melompat ke kanan. "Bagus, kau hebat!"
katanya sambil menerjang lagi.
Bertandinglah dua orang sakti itu, mula-mula hanya dengan jurus satu-satu dan lambat, akan tetapi makin
lama makin cepat dan kuatlah gerakan mereka sehingga tubuh mereka lenyap tak tampak lagi, yang kelihatan
hanya gundukan bayangan mereka yang sudah bercampur menjadi satu dan sukar dibedakan.
Sejam sudah mereka bertanding. Keduanya merasa kagum bukan main akan kemajuan lawan. Sepasang
lengan sudah terasa sakit-sakit karena sering beradu, namun belum pernah pukulan mereka mengenai
sasaran. Kim-mo Taisu selain kagum juga mulai bosan dan khawatir. Kalau dilanjutkan, tentu seorang di antara
mereka akan terluka hebat. Ia tidak ingin melukai orang tua itu, dan tentu saja tidak ingin dilukai. Akan tetapi ia
mengenal pula tabiat Pat-jiu Sin-ong yang gemar bertanding, sukar untuk dihentikan begitu saja.
Pada saat Kim-mo Taisu memutar otak mencari jalan untuk menghentikan pertandingan ini, tiba-tiba Pat-jiu
Sin-ong menyerang dengan pukulan kedua tangan berbareng sambil merendahkan tubuh. Kedua kakinya
ditekuk dan kedua lengan dilonjorkan dengan jari-jari tangan terbuka, menghantam ke arah dada Kim-mo
Taisu.
Jangan disangka ringan pukulan ketua Beng-kauwcu ini. Tubuhnya yang setengah berjongkok itu dalam posisi
pengumpulan tenaga dari pusat bawah perut yang meluncur ke luar melalui kedua lengan yang dilonjorkan.
Dengan pukulan simpanan Beng-kong-tong-te (Sinar Terang Menggetarkan Bumi) ini, ketua Beng-kauw ini
mampu merobohkan sebatang pohon dalam jarak lima meter hanya dengan hawa pukulannya.
Inilah sebuah di antara jurus-jurus rahasia yang tak pernah ia keluarkan, yang kesemuanya ia himpun dan
catat dalam kumpulan tiga kitab rahasia Sam-po-cin-keng (Tiga Kitab Pusaka) dan yang kesemuanya kini
lenyap dicuri puterinya sendiri! Pukulan Beng-kong-tong-te ini adalah ciptaannya sendiri dan merupakan
pukulan yang ia banggakan, oleh karena itu ia beri nama sebagai lambang dari pada Agama Beng-kauw
(Agama Terang) yang ia pimpin.
Jurus ini demikian hebat dan gemilang seolah-olah agama Beng-kauw yang merupakan sinar terang
menggetarkan bumi. Karena ingin sekali memperoleh kemenangan atas lawannya yang amat tangguh ini, Patjiu
Sin-ong mengeluarkan pukulan itu. Akan tetapi oleh karena ia diam-diam memang menaruh sayang kepada
Kim-mo Taisu dan tidak ingin mencelakainya, maka ia hanya mempergunakan tiga perempat bagian saja dari
tenaga sinkang-nya.
Menyaksikan gerak pukulan lawan, terkejutlah Kim-mo Taisu. Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, sekali
pandang saja dapatlah ia mengenal pukulan ampuh. Maka ia pun cepat-cepat memasang kuda-kuda. Dengan
kaki terpentang kokoh dan kuat, kedua lengannya pun ia hantamkan ke depan dengan tangan terbuka. Tak
berani ia mempergunakan tangan kapas lagi, karena maklum bahwa kedua tangan lawannya amatlah kuat dan
berbahaya, maka ia juga mengerahkan sinkang-nya untuk melawan keras sama keras.
"Wuuuttt! Dess...!!"
Jarak antara mereka dekat, maka dua pasang telapak tangan itu bertemu di udara, hebatnya bukan main
pertemuan dua tenaga sinkang kedua orang sakti ini. Akibatnya pun hebat karena keduanya terlempar ke
belakang dan terhuyung-huyung seperti layang-layang putus talinya sampai mereka terpisah sepuluh meter
jauhnya.
Kim-mo Taisu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan ia cepat bersila dan mengatur pernapasannya.
Pat-jiu Sin-ong juga jatuh terduduk, dari mulutnya tersembur ke luar sedikit darah segar. Untung bagi ketua
Beng-kauw ini bahwa Kim-mo Taisu juga mempergunakan tiga perempat tenaganya saja untuk menghadapi
pukulannya tadi, dan karena tenaga mereka memang seimbang, maka keduanya tidak sampai menderita luka
dunia-kangouw.blogspot.com
dalam. Hanya Pat-jiu Sin-ong lebih rugi karena dia yang menyerang, maka benturan tenaga seimbang itu
membuat tenaga serangannya membalik sendiri dan membuat ia menderita lebih banyak dari pada lawannya.
Dalam penggunaan tenaga dalam, tenaga dan napas, tidak sampai lima menit keduanya sudah melompat
bangun.
"Ha-ha-ha, kau hebat, Kim-mo Taisu. Akan tetapi aku masih belum kalah. Hayo kita lanjutkan!" kata-kata ini
diucapkan dengan wajah berseri, tanda bahwa kakek itu girang dan puas sekali dapat bertanding dengan
seseorang lawan yang dapat menandinginya.
Akan tetapi Kim-mo Taisu tidak punya nafsu lagi bermain-main dengan kakek itu. "Cukuplah, Kauwcu. Aku
harus menyimpan tenaga karena akan menghadapi lawan yang lebih tangguh dari padamu di puncak ini
besok. Lain kali saja kita lanjutkan."
Biar pun sudah tua, watak Pat-jiu Sin-ong yang tak mau kalah itu masih tetap ada. Mendengar ada lawan yang
lebih tangguh dari padanya, ia menjadi penasaran sekali. "Hemm, siapakah dia yang kau katakan lebih
tangguh dari pada aku?"
Kim-mo Taisu tersenyum. Memang ia cukup mengenal watak kakek ini maka tadi ia sengaja bilang demikian
agar si Kakek mau berhenti. "Dia seorang tokoh baru, masih muda, agaknya kau belum mengenalnya,
julukannya Raja Pengemis yang menguasai seluruh kai-pang di empat penjuru."
"Hemm, hemm ada Kai-ong baru, ya? Ingin sekali aku melihat macamnya bagaimana. Kau hendak bertanding
dengannya? Ha-ha-ha, Kim-mo Taisu, kalau kau kalah olehnya kemudian aku mengalahkannya, bukankah itu
sama saja dengan pertandingan kita dilanjutkan? Ha-ha, kita lihat saja nanti!" Sambil tertawa-tawa Pat-jiu Sinong
lalu berjalan menghampiri keledainya, sekali kaki kanannya diayun ke atas ia sudah duduk di punggung
keledai kecil itu dan berlarilah si keledai ketika mendengar kelenengan yang dibunyikan oleh penunggangnya.
Setelah bunyi itu kelenengan itu lenyap dan bayangan Pat-jiu Sin-ong tak tampak lagi, barulah Kim-mo Taisu
sadar dari lamunannya. Perjumpaannya dengan kakek itu sekaligus membangkitkan ingatannya kepada Lu
Sian. Jadi Lu Sian telah menikah dengan Kam Si Ek, jenderal muda yang amat terkenal itu? Jodoh yang tepat!
Akan tetapi mengapa Lu Sian kemudian meninggalkan suaminya? Semua itu bukan urusannya, namun sukar
baginya untuk tidak memikirkannya. Ia mengeluh dan membalikkan tubuh. Tampaklah buntalan pundi-pundi
uang, akan tetapi ia tidak melihat Bu Song. Baru sekarang ia teringat kepada Bu Song.
"Bu Song!" ia memanggil. Tiada jawaban. Ia menyambar buntalan dan melihat bahwa di dalamnya ada
beberapa buah apel. Ia makin heran. Anak itu telah berhasil mencarikan buah untuknya, menaruh dalam
bungkusan, mengapa lalu pergi? Dan ke mana perginya?
"Bu Song....!" Ia berseru lebih keras. Tetap tak ada jawaban. Tidak enaklah hatinya dan mulai ia mencari-cari
sambil berseru memanggil-manggil nama muridnya.
Ke manakah perginya Bu Song? Anak ini meninggalkan tempat itu sambil berlari-lari cepat setelah mendengar
bahwa orang tua yang bercakap-cakap dengan gurunya itu adalah kakeknya. Ia berlari-lari terus tanpa tujuan
tertentu, naik turun pegunungan. Kakinya sudah lelah bukan main namun ia tidak mau berhenti. Akhirnya dari
puncak sebuah bukit kecil ia melihat atap rumah di lereng bawah. Ia berlari lagi menuruni puncak dan akhirnya
karena tak dapat menahan lelahnya, ia roboh terguling di luar pagar rumah yang berdiri tanpa tetangga di
lereng itu. Sebuah rumah yang sederhana, dari papan, namun bersih dan cukup luas.
Bu Song merangkak bangun, memandang ke arah rumah itu. Dari bagian belakang rumah tampak asap
mengepul dan terciumlah bau masakan yang gurih dan sedap. Seketika perut Bu Song meronta-ronta dan
anak ini menelan ludah beberapa kali. Untuk dapat ikut makan masakan di rumah ini, ia harus membantu
pemilik rumah bekerja, seperti yang sudah-sudah. Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki pekarangan rumah.
"Haiii! Bocah, siapa kau dan mau apa?" tiba-tiba terdengar bentakan keras dan tahu-tahu di belakangnya
berdiri seorang kakek yang dahinya lebar sekali, mukanya berkeriput dan memegang sebatang tongkat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu Song tersentak kaget. Tadi di pekarangan itu sama sekali tidak tampak ada orang, bagaimana kakek ini
tiba-tiba muncul seperti keluar dari dalam bumi? "Maafkan aku, Kek. Aku ingin membantu pemilik rumah ini
dengan pekerjaan apa saja, sekedar mendapat upah makan," katanya sambil menjura dengan hormat.
Kakek itu memandang kepadanya. Matanya menakutkan, mata yang bundar dan lebar setengah melotot,
mulutnya yang ompong itu berkemak-kemik. "Kau akan mengemis makanan?"
Kini Bu Song yang mengedikkan mukanya dan pandang mata anak ini tajam melotot pula. "Aku bukan
pengemis! Aku mau bekerja, dan kalau tidak diberi pekerjaan, aku pun tidak sudi minta makanan! Kalau di sini
tidak ada pekerjaan, sudahlah!"
Dengan membusungkan dada Bu Song sudah memutar tubuh hendak keluar dari pekarangan itu. Akan tetapi
tiba-tiba kakinya seperti tertarik sesuatu sehingga ia terguling jatuh. Ketika Bu Song merayap bangun, kakek
itu sudah berada di dekatnya dan tersenyum mengejek.
"Bocah, tinggi hati sekali kau! Kalau cara orang minta pekerjaan semacam caramu ini, selamanya kau takkan
bisa mendapat pekerjaan. Kau bisa apa? Hemm, tubuhmu kuat, apa kau bisa mengambil air dari sumber di
puncak itu dipikul ke sini? Kalau kau sanggup, akan kami beri makan sekarang juga."
Girang sekali hati Bu Song. Ia tadi secara aneh terguling roboh, akan tetapi ia tidak mengira sama sekali
bahwa kakek inilah yang merobohkannya.
"Tentu saja aku sanggup, Kek. Akan kupenuhi semua tempat air di sini."
"Tak perlu omong besar lebih dulu, sebaiknya isi perutmu sampai kenyang agar kau kuat mengambil air. Mari
ikut ke dapur!"
Di bagian dapur rumah itu Bu Song bertemu dua orang lain. Seorang adalah wanita setengah tua, yang ke dua
seorang kakek pula yang tubuhnya tinggi besar dan tubuh bagian atas selalu tak tertutup pakaian. Ada pun
yang wanita selalu cemberut, tak banyak cakap akan tetapi sikapnya galak sekali, berbeda dengan kakek
tinggi besar yang selalu tersenyum dan sering tertawa berkelakar.
"Heh, A-kwi, jenggot kambing! Kau datang membawa anak kelaparan lagi?" tegur si Tanpa Baju kepada kakek
pertama.
"Aiiih, jangan kau main-main dengan bocah ini, A-liong. Dia sama sekali bukan pengemis, melainkan ingin
bekerja membantu kita. Aku tadi mengira dia pengemis, dia marah-marah dan hendak pergi. Ia tidak sudi diberi
makanan kalau tidak diberi pekerjaan. Pernahkah kau mendengar hal seaneh ini?"
Kakek yang bernama A-liong itu memandang tajam, juga si Nenek berpaling memandang. "Sam-hwa, kau
isilah padat-padat perut anak ini lebih dulu, baru suruh dia mencari air ke puncak. Ia berkata sanggup
memenuhi semua tempat air di sini. Lucu, kan?"
Nenek yang disebut Sam-hwa itu mengerutkan kening dan diam-diam Bu Song sudah merasa kecewa
mengapa ia tadi minta pekerjaan di tempat ini. Agaknya orang serumah ini tidak ada yang waras!
"Kau makanlah dan ambil sendiri di atas meja itu," kata Si Nenek tak acuh.
Karena yakin bahwa yang akan dimakannya itu adalah hasil keringatnya nanti, tanpa malu-malu atau raguragu
lagi Bu Song menghampiri meja. Melihat nasi dan masakan-masakan masih mengebulkan asap, perutnya
makin memberontak lagi. Ia segera mengambil mangkok kosong dan mengisinya dengan nasi dan masakan,
lalu mulai makan dengan lahapnya. Lezat benar masakan itu, sungguh pun bahannya sangat sederhana. Bu
Song adalah seorang anak yang sehat dan telah lama ia tidak bertemu nasi, setiap hari hanya makan buahbuahan
saja, maka kini ia kuat sekali makan. Setelah ia menaruh mangkok kosong dan berhenti makan,
persediaan nasi di tempat nasi tinggal tersisa setengahnya lagi!
"Ha-ha-ha-ha! Malam ini kita berpuasa, A-kwi!" kata A-liong sambil tertawa berkakakan, perutnya yang tak
tertutup baju itu berguncang-guncang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bocah ini kuat sekali makan, mudah-mudahan bekerjanya sekuat itu pula," kata A-kwi sambil menggelenggeleng
kepalanya.
Sam-hwa muncul dari pintu. Setelah melirik ke arah tempat nasi, ia pun mengerutkan kening dan bertukar
pandang dengan dua orang kakek itu. "Apakah kau tidak sembrono, A-kwi? Biar dia kuberi buah. Anak, mari
terima!"
Ia melemparkan sebutir buah merah ke arah Bu Song. Anak ini cepat menyambutnya, akan tetapi ia berteriak
kaget karena buah yang hanya sebesar kepalan tangannya itu terasa amat berat ketika ia sambut sehingga
tanpa dapat ia pertahankan lagi ia roboh terjengkang. Akan tetapi begitu korban roboh, buah itu ternyata biasa
saja, sama sekali tidak berat. Ia tak pernah belajar ilmu silat, tentu saja sama sekali tidak tahu bahwa yang
membuat buah tadi menjadi berat adalah tenaga lontaran si Nenek yang hendak mengujinya.
Melihat Bu Song roboh terjengkang, nenek itu dan kedua kakek menarik napas lega. A-kwi lalu menarik tangan
Bu Song ke luar dapur. "Hayo, mulai bekerja. Itu tahang air dan pikulannya bawa ke luar."
Bu Song dapat merasa betapa tangan kakek yang menariknya itu kuat bukan main. Akan tetapi karena ia
sudah menerima upahnya, ia tidak mau membantah lagi dan segera mengambil pikulan bersama tahang air
dari kayu yang terletak di sudut rumah.
"Kek, mengapa pikulannya begini kecil? Jangan-jangan tidak kuat menahan dua tahang air," celanya sambil
mengamat-amati kayu pikulan yang kecil berwarna putih.
"Oho, jangan pandang rendah kayu ini. Sepuluh tahang air ia masih sanggup angkat tanpa patah! Mari
kutunjukkan kepadamu letak sumber air di puncak." Kakek itu mendahului berjalan ke luar diikuti Bu Song.
Mendadak berkelebat bayangan dari luar pekarangan. Alangkah kaget hati Bu Song ketika tiba-tiba ia melihat
seorang kakek tua renta yang rambutnya riap-riapan seperti suhu-nya, seorang kakek yang kedua kakinya
rusak, ditekuk bersila sedangkan dua batang tongkat yang menunjang ketiaknya menggantikan pekerjaan
sepasang kaki.
"Siapa dia?" suara kakek lumpuh ini parau menyakitkan telinga.
A-kwi sudah memberi hormat dengan membungkuk dalam sekali sampai punggungnya hampir patah dua,
"Ong-ya, dia anak yang bekerja mengambil air."
Kakek itu mengangguk-angguk, akan tetapi matanya menyapu tubuh Bu Song dari atas ke bawah. "Siapa
namamu?"
"Nama saya Bu Song, Kek."
"Hushh, jangan kurang ajar!" A-kwi menjewer telinga Bu Song. "Kau harus sebut Ong-ya!"
Bu Song mengerutkan keningnya. Daun telinganya terasa panas dan nyeri. Ia mengangkat muka
memperhatikan kakek lumpuh. Kakek yang tua sekali, pakaiannya dan rambutnya kusut tidak karuan, masa
disebut ong-ya? Sebutan seolah-olah kakek ini seorang raja muda. Bu Song yang banyak membaca tahu akan
peraturan, maka ia menduga-duga. Tak mungkin orang macam ini menjadi raja muda. Ah, tentu seorang
kepala rampok, pikirnya. Sudah menjadi kebiasaan umum bahwa kepala perampok juga disebut Twa-ong!
Akan tetapi, menjadi kepala rampok juga tidak pantas. Masa kakek lumpuh menjadi kepala rampok? Karena
kakek lumpuh ini tak mungkin menjadi raja muda mau pun kepala rampok, maka Bu Song ragu-ragu dan tidak
mau menyebut Ong-ya!
"Sudahlah, A-kwi, yang tidak tahu tak perlu dipaksa. Di mana Nyonya Muda?"
"Pagi tadi Nyonya Muda bersama Nona Kecil keluar berkuda, mungkin seperti biasa berburu kelinci."
"Hemmm, kau keluar cari mereka. Lekas suruh pulang, ada urusan penting."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Baiklah, Ong-ya."
Kakek lumpuh itu menggerakkan tongkatnya dan... sekali berkelebat bayangannya lenyap ke dalam rumah. Bu
Song melongo dan bulu kuduknya meremang. Kakek itu seolah-olah pandai terbang atau pandai menghilang
saja. Ah, kalau begitu tentulah kepala rampok, biar pun tua dan lumpuh namun agaknya pandai sekali ilmunya.
Ia merasa menyesal sekali. Bekerja di keluarga perampok! Celaka. Kalau ia tahu, biar diupah lebih banyak lagi
ia tidak akan sudi. Akan tetapi, nasi sudah masuk ke dalam perut, dan ia harus bekerja melunasi hutangnya.
"Nah, di puncak bukit itu terdapat sumber air. Lihat pohon besar itu? Di bawah pohon itulah letaknya. Lekas
kau pergi ke sana mengisi kedua tahang ini, bawa ke sini dan terus saja ke dapur. A-liong dan Sam-hwa akan
memberi tahu ke mana kau harus menuangkan air. Kerja yang baik, aku mau pergi!" Setelah berkata demikian,
kakek yang bernama A-kwi itu meloncat dan sebentar kemudian nampak bayangannya sudah jauh sekali
seakan-akan ia lari setengah terbang.
Bu Song menghela napas panjang. Hebat, pikirnya. Orang-orang ini berkepandaian tinggi dan tanpa ia
sengaja, ia agaknya telah terjatuh ke dalam tangan segerombolan perampok dan harus bekerja untuk mereka.
Ia akan melakukan pekerjaannya cepat-cepat, memenuhi tempat air, dan kemudian segera meninggalkan
tempat ini.
Dengan penuh semangat Bu Song lalu mendaki bukit menuju ke sumber air. Perjalanannya sukar, namun ia
telah terlatih menghadapi kesukaran. Air jernih mengucur ke luar dari sebuah goa kecil, membentuk kolam air
yang tak pernah kering. Segera Bu Song mengisi dua tahang air itu dan ketika ia memikulnya, benar saja, kayu
pikulan itu dapat menahan dua tahang air, bahkan kayu ini mentul-mentul sehingga enak dipakai memikul.
Hati-hati ia lalu meninggalkan tempat itu, menuruni puncak menuju ke rumah di bawah yang tampak dari
tempat itu.
Dahinya penuh peluh ketika ia tiba di dapur rumah. A-liong menyambutnya sambil tertawa-tawa. "Latihan ini
menguntungkan, tidak rugi kau, apalagi ditambah setengah bagian nasi ransum kami, ha-ha-ha! Nah, tuangkan
air ke dalam kolam itu."
Kaget sekali hati Bu Song melihat kolam air yang amat besar, terbuat dari pada batu. Untuk memenuhi kolam
ini, sedikitnya ia harus mengambil air sepuluh kali! Celaka benar, ia tertipu. Akan tetapi apa boleh buat, nasi
sudah memasuki perut, ia harus memenuhi janjinya. Hatinya mendongkol bukan main atas kekejaman orangorang
tua ini menipu dia, akan tetapi mulutnya tidak berkata apa-apa. Setelah air di kedua tahang berpindah
tempat, ia lalu mendaki lagi.
Menjelang senja, sudah sembilan kali ia mengambil air. Pundaknya serasa hendak copot, kedua kakinya
seperti hendak lumpuh, tubuhnya sakit dan kelelahan yang dideritanya hebat sekali. Akan tetapi sekali angkut
lagi kolam itu akan penuh. Ia sudah bekerja setengah hari untuk menebus hutang perutnya tadi!
"Ha-ha-ha, anak baik. Kejujuran dan kekerasan hatimu menciptakan keuletan yang luar biasa. Kau hampir
lulus, tinggal satu kali lagi. Sebentar akan kuceritakan kepada Nyonya Muda, tentu ia tertarik dan menaruh
kasihan kepadamu."
Dengan wajah muram Bu Song hanya menjawab pendek, "Aku tidak membutuhkan kasihan orang!"
Lalu ia membawa pikulan kosong mendaki bukit lagi, memaksa tubuhnya untuk berjalan gagah, akan tetapi
karena memang sudah amat lelah, mana bisa ia berjalan dengan langkah tegap? Ia terhuyung-huyung dan
kedua kakinya tersaruk-saruk. Hebatnya, A-liong malah menertawainya, membuat ia makin jengkel dan
desakan hatinya untuk beristirahat ia tekan kuat-kuat.
Untuk ke sepuluh dan penghabisan kalinya ia tiba di bawah pohon besar, mengisi kedua tahang itu penuh air.
Biar pun masih kecil, Bu Song maklum bahwa sekali ia beristirahat menurutkan dorongan hatinya, ia takkan
mampu menyelesaikan pekerjaannya. Maka ia memaksa diri dan memikul lagi pikulannya yang kini ia rasakan
bukan main beratnya, seakan-akan bukan dua tahang air yang dipikulnya, melainkan dua puluh!
dunia-kangouw.blogspot.com
Baru ia menuruni tebing pertama, tiba-tiba ia mendengar suara orang. Wajahnya berubah dan ia cepat-cepat
menghampiri tempat itu dengan hati-hati sekali, sejenak lupa akan kelelahan kedua kakinya. Itulah suara
gurunya! Suara gurunya tertawa-tawa bergelak!
Karena takut kalau-kalau Pat-jiu Sin-ong masih bersama gurunya. Bu Song tidak berani muncul begitu saja. Ia
mengintai dari balik batu karang besar dan melihat betapa gurunya berdiri sambil bertolak pinggang dan
tertawa di depan tiga orang laki-laki. Seorang di antara mereka bermuka bopeng penuh totol-totol hitam orang
yang berdiri di tengah memakai pakaian tambal-tambalan, dan orang ketiga bermuka sempit seperti tikus.
"Ha-ha-ha-ha! Kai-ong, aku sudah menduga bahwa kau tentu akan menyambutku dengan meriah, memanggil
semua sekutumu. Tak bisa mengharapkan sifat jantan dari seorang pengemis. Akan tetapi aku tidak takut, Kaiong.
Kerahkan semua sekutumu untuk menjadi saksi, siapa di antara kita yang lebih kuat. Apakah kau sudah
siap?" demikian kata Kim-mo Taisu.
Pouw Kee Lui atau Pouw-kai-ong tersenyum menyeringai. "Kim-mo Taisu, kau sombong benar. Memang
sahabat-sahabat baikku ikut datang karena mereka ini pun tertarik sekali mendengar bahwa kau datang. Telah
lama mereka mendengar namamu dan ingin sekali menyaksikan apakan nama besarmu itu tidak sia-sia
belaka. Sahabatku ini adalah Hwa-bin-liong (Naga Muka Kembang) dari pantai timur, raja sekalian penjaga
gunung (perampok)." Ia menunjuk seorang sebelah kanannya yang bermuka bopeng. "Sahabat yang seorang
ini adalah Sin-ciang-hai-ma (Kuda Laut Bertangan Sakti), juga tokoh pantai timur, raja dari pada bajak. Masih
ada beberapa orang sahabat baikku yang akan datang menjumpaimu. Apakah kau takut?"
Bu Song mendengarkan semua itu dengan hati berdebar. Wah, gurunya telah bertemu orang-orang jahat,
pikirnya. Pada saat itu, tiba-tiba telinga kanannya dijewer orang, Bu Song kaget dan melirik. Kiranya kakek Akwi
yang menjiwirnya.
"Hayo pikul tahang air itu dan bereskan pekerjaanmu, pemalas!" bisik si Kakek tanpa melepaskan telinga Bu
Song.
Bu Song kaget dan ia cepat bangkit lalu memikul pikulannya. Ia tidak takut, melainkan taat karena tahu akan
kewajiban. Tinggal sekali lagi mengantar air, kemudian ia akan lari kembali ke sini menonton gurunya. Kakek
A-kwi melirik ke arah mereka yang sedang bantah-bantahan, nampaknya gelisah dan menarik telinga Bu Song
agar anak itu berjalan lebih cepat.
Setelah agak jauh dari situ, kakek itu mengomel, "Anak tolol, apakah kau mencari mampus? Banyak tontonan
di dunia ini, akan tetapi yang ditonton adalah harimau yang hendak bertempur melawan serigala-serigala! Gila
betul. Hayo cepat dan jangan sekali-sekali kau beristirahat sebelum kau sampai di rumah. Aku jalan lebih
dulu!" Sekali berkelebat kakek itu sudah meloncat jauh ke depan.
Bu Song sambil mengeluh di dalam hatinya memaksa diri untuk berjalan pula menuruni bukit. Istirahat yang
sebentar tadi benar-benar membuat kedua kakinya hampir tak dapat dipakai berjalan. Akan tetapi ia menggigit
bibir, memaksa diri untuk cepat-cepat menyelesaikan tugasnya agar ia dapat kembali ke tempat itu untuk
menjumpai gurunya.
Sementara itu, Kim-mo Taisu masih tertawa bergelak mendengar ucapan Pouw-kai-ong. "Ha-ha-ha, segala
rampok dan bajak. Pantas menjadi sahabat pengemis. Akan tetapi aku tidak punya urusan dengan segala
macam rampok dan bajak. Aku sengaja datang untuk mengulangi tantanganku kepadamu, Kai-ong. Mari kita
mulai!"
Ucapan itu merupakan penghinaan hebat bagi tokoh bajak dan tokoh rampok itu. Si Muka Bopeng Hwa-binliong
sudah melangkah maju, diikuti oleh si Kuda Laut. Mereka ini belum tua, paling banyak berusia empat
puluh tahun. Begitu tiba di depan Kim-mo Taosu, Hwa-bin-liong melolos sebatang golok besar yang terselip di
punggungnya, ada pun si Kuda Laut mengeluarkan sebatang cambuk yang terbuat dari pada ekor ikan pee.
Keduanya berdiri dengan sikap menantang.
"San-ong (Raja Gunung), biarkan aku menghadapi jembel kelaparan yang sombong ini!" kata si Tokoh Bajak
yang menyebut temannya raja gunung.
dunia-kangouw.blogspot.com
Segera cambuk ikan pee di tangannya digerak-gerakkan di atas kepala sehingga terdengar suara bersiutan
mengerikan. Ekor ikan pee itu penuh duri-duri yang runcing, kalau sekali mengenai kulit tubuh manusia benarbenar
akan mengakibatkan luka yang hebat.
"Bersabarlah, Hai-ong (Raja Laut). Biarkan aku menghadapinya lebih dulu. He, Kim-mo Taisu. Aku sudah lama
mendengar namamu yang baru muncul, dan dengan maksud baik aku ingin sekali berkenalan dan
menyaksikan kelihaianmu. Siapa kira, kau begini sombong dan tidak memandang orang lain. Keluarkan
senjatamu, biar aku Hwa-bin-liong mencoba sampai di mana kehebatanmu maka kau bersikap sesombong ini!"
"Ha-ha-ha-ha, raja pengemis dibantu oleh raja laut dan raja gunung, benar-benar hebat! Segala macam raja
sudah berkumpul di sini, biarlah kuantar kalian menghadap raja akhirat!"
Tentu saja kedua orang raja penjahat itu menjadi marah sekali. Hwa-bin-liong si Muka Bopeng yang sudah
bertahun-tahun merajalela di hutan-hutan dan gunung-gunung, menjadi raja dari sekalian begal dan rampok,
baru kali ini merasa dipandang rendah orang. Ia membentak marah. Tanpa menanti lawan mengeluarkan
senjata, ia sudah menyambar ke depan dan golok besarnya diayun mengarah ke leher Kim-mo Taisu.
"Wuttt... syuuuutttt! Tringgg...!!"
Kim-mo Taisu yang melihat datangnya golok berkelebat tidak mengelak, malah menggerakkan tangannya, dan
dengan jari tengah tangan kanan ia menyentil golok lawan yang sedang terbang mengarah lehernya itu.
Hebatlah tenaga sentilan dari Kim-mo Taisu ini, karena hampir saja golok itu terlepas dari pegangan si Muka
Bopeng, bahkan raja gunung itu terhuyung-huyung hampir roboh!
Marahlah si Raja Laut melihat kawannya mendapat malu. Senjatanya yang terbuat dari ekor ikan pee yang
menyeramkan itu melecut di udara, mengeluarkan bunyi berdesing dan berkelebatan diputar-putar di atas
kepalanya, lalu menyambar bertubi-tubi ke arah Kim-mo Taisu. Pendekar sakti ini tidak berani bertindak
sembrono. Ia belum tahu bagaimana sifat senjata lawan yang aneh ini, maka beberapa kali mengelak.
Gerakannya perlahan dan lambat saja, akan tetapi tak pernah senjata ekor ikan pee itu dapat menyentuh
kulitnya.
Setelah mempergunakan hidungnya mencium-cium di kala senjata itu lewat, Kim-mo Taisu yakin bahwa
senjata ini hanya mengerikan tampaknya, akan tetapi tidak mengandung racun berbahaya. Maka sambil
mengelak dari pada tusukan golok si Raja Gunung yang sudah mengeroyoknya, Kim-mo Taisu menyambar
ekor ikan pee itu dan menjepit ujungnya dengan dua jari tangan kiri! Ia menggunakan tenaga membetot
sehingga ekor ikan pee itu menegang, kemudian pada saat si Raja Gunung Hwa-bin-liong dengan girang
menyerangnya dari belakang, tiba-tiba ia mengerahkan tenaga betotan dan... melayanglah cambuk ekor ikan
pee itu ke arah penyerang di belakangnya, diikuti suara Hwa-bin-liong berteriak kesakitan.
Kim-mo Taisu cepat membalik. Sekali merenggut ia berhasil menyambar golok lawan yang terluka itu dan di
lain saat golok itu sudah terbang dan menancap pada paha Raja Laut yang masih terlongong karena
senjatanya tadi kena dirampas lawan. Ia terguling dalam saat hampir berbareng dengan Raja Gunung, masingmasing
terluka oleh senjata kawan sendiri. Luka yang tidak membahayakan keselamatan nyawa, namun cukup
hebat untuk membuat mereka tak mampu bertempur lagi dan harus beristirahat untuk beberapa pekan!
Kim-mo Taisu tidak mempedulikan lagi mereka berdua yang kini merangkak-rangkak menjauhkan diri dari situ.
Ia justru menghampiri Pouw-kai-ong, memandang tajam dan berkata, "Sudah kukatakan bahwa aku tidak
mempunyai urusan dengan segala rampok dan bajak. Mengapa kau mendatangkan penjahat-penjahat macam
begitu untuk menggangu pertemuan kita? Segala macam penjahat kecil yang tidak ada artinya, memuakkan
saja!"
Pouw Kee Lui tersenyum menyeringai. "Kim-mo Taisu, jangan buru-buru merasa takabur dan bangga. Masih
ada beberapa orang sahabat yang ingin sekali bertemu denganmu." Setelah berkata demikian, Pouw Kee Lui
lalu membalikkan tubuh, menjura dan memberi hormat sambil berkata, "Cu-wi Lo-cianpwe, harap sudi
memperlihatkan diri!"
Dari balik pohon dan batu besar bermunculan beberapa orang dan dapat dibayangkan betapa heran dan
kagetnya hati Kim-mo Taisu melihat mereka. Di antaranya banyak yang ia kenal sebagai tokoh-tokoh sakti
dunia-kangouw.blogspot.com
yang pernah menjadi lawannya, yaitu Ban-pi Lo-cia pendeta gundul raksasa, musuh lamanya yang memang ia
cari untuk membalaskan kematian bekas kekasihnya, Ang-siauw-hwa si Ratu Pelacur!
Orang ke dua yang dikenalnya bukan lain adalah Ma Thai Kun, sute (adik seperguruan) Beng-kauwcu Pat-jiu
Sin-ong Liu Gan yang pernah bermusuhan dengannya akibat cemburu dan iri hati karena paman guru ini
mencintai murid keponakannya sendiri, yaitu Liu Lu Sian. Ia maklum bahwa Ma Thai Kun membencinya seperti
ia membenci Ban-pi Lo-cia dengan dasar yang sama, ialah merenggut wanita terkasih.
Selain dua orang yang merupakan tandingan berat ini, muncul pula tokoh-tokoh dunia pengemis yaitu Kim-tung
Sin-yang dan Koai-tung Tiang-lo dari Sin-yang. Di dekat Ban-pi Lo-cia berdiri seorang laki-laki berusia tiga
puluh tahun lebih, sikapnya tenang, serius, dan gagah. Dia ini adalah Lauw Kiat, murid terkasih Ban-pi Lo-cia.
Lauw Kiat ini seorang petualang dari selatan yang merantau ke utara, bertemu dan dikalahkan Ban-pi Lo-cia
lalu menjadi muridnya. Ilmu kepandaiannya cukup hebat, hanya setingkat lebih rendah dari pada tingkat
suheng-nya, yaitu Bayisan.
"Ha-ha, Kim-mo Taisu. Kurasa kau sudah mengenal mereka ini, bukan? Ataukah perlu aku memperkenalkan
mereka kepadamu?"
Kim-mo Taisu tidak menjawab, akan tetapi Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha! Tak usah diperkenalkan,
aku dan dia adalah kenalan lama. Kau adalah pemuda sastrawan yang tampan bernama Kwee Seng yang
berjuluk Kim-mo-eng dan yang sekarang sudah bangkrut menjadi pengemis jembel gila lalu berjuluk Kim-mo
Taisu. Ha-ha-ha. Kenalan lama!"
"Orang she Kwee ini dengan aku pun mempunyai perhitungan lama yang belum dibereskan, Pouw-pangcu,"
kata Ma Thai Kun yang tidak suka banyak bicara.
Orang ini lalu maju dan langsung menerjang Kim-mo Taisu dengan pukulan yang mengeluarkan sinar merah.
Melihat tangan yang kemerahan itu, maklumlah Kim-mo Taisu bahwa Ma Thai Kun telah dapat
menyempurnakan Ang-tok-ciang (Tangan Racun Merah) yang memang telah dimilikinya sejak dahulu. Namun,
ketika ia mengelak, kagetlah ia karena dari kepalan tangan merah itu tampak uap mengepul putih yang
seakan-akan menyambar mukanya dengan hawa pukulan yang amat hebat. Biar pun pukulan itu tidak
mengenai sasaran, namun hawa pukulannya yang berupa uap putih itu masih merupakan ancaman hebat.
Dengan kaget Kim-mo Taisu mencelat mundur dan mengatur sikap karena lawannya ini ternyata telah maju
amat pesat kepandaiannya. Memang sesungguhnya tepat dugaan Kim-mo Taisu itu. Kini Ma Thai Kun yang
meninggalkan Beng-kauw, bertahun-tahun bertapa sambil menggembleng diri sehingga ia berhasil
menyempurnakan Ang-tok-ciang sedemikian rupa dan merobahnya menjadi ilmu pukulan yang ia namakan
Cui-beng-ciang, (Tangan Pengejar Nyawa)! Kembali Ma Thai Kun menerjang maju, dari kedua tangannya
keluar hawa pukulan berputar-putar yang amat panas. Terpaksa kali ini Kwee Seng menggunakan Bian-sinkun
(Tangan Kapas Sakti) untuk menangkis karena selain tak mungkin menghadapi desakan lawan tangguh
hanya dengan berkelit, juga ia ingin menguji kekuatan lawan.
Ketika kedua lengan bertemu, Ma Thai Kun kaget sekali. Ia merasa betapa tanaganya seperti tenggelam dan
tangan lawan sedemikian lunaknya sehingga ilmunya Cui-beng-ciang tidak berpengaruh sedikit pun,
sebaliknya ada hawa dingin yang menjalar dari tangannya sampai ke pangkal lengan. Oleh karena ini cepat ia
menarik tangannya, menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan. Hanya dengan cara ini ia dapat terbebas
dari pengaruh Bian-sin-kun. Sambil melompat berdiri, diam-diam Ma Thai Kun juga maklum bahwa ilmu
kepandaian Kwee Seng ternyata telah meningkat hebat. Maka ia bersikap hati-hati dan menyerang lagi dengan
Cui-beng-ciang, ditujukan ke arah anggota tubuh yang berbahaya, tidak mau lagi bertanding mengadu tenaga
seperti tadi.
Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak. "Hua-ha-ha-ha, Kim-mo Taisu. Kiranya kau telah memperoleh sedikit
kemajuan, pantas saja kau berani berlagak. Kau makanlah cambukku!" ucapan ini disusul suara ledakan
cambuk di udara.
Tampaklah gulungan sinar hitam yang membentuk lingkaran-lingkaran besar kecil melayang dari tangan Banpi
Lo-cia. Itulah cambuknya yang hebat, yang terkenal sebagai senjata tunggalnya yang ampuh dan disebut
dunia-kangouw.blogspot.com
Lui-kong-pian (Cambuk Petir), terbuat dari pada sirip dan ekor ular laut hitam yang hanya dapat ditemukan di
laut utara, di antara gunung-gunung es!
"Bagus! Kalian pengecut-pengecut besar boleh mengeroyokku!" Kim-mo Taisu tertawa mengejek.
Segera ia berkelebat, cepat menyelinap di antara garis-garis lingkaran yang dibentuk sinar cambuk, kemudian
membalas lawan lama ini dengan sebuah tendangan kilat. Ketika Ban-pi Lo-cia menangkis tendangan ini
dengan tangan kirinya, Kim-mo Taisu mempergunakan tenaga tangkisan lawan untuk mencelat ke arah Ma
Thai Kun dan sudah mendahului orang she Ma ini dengan sebuah gerakan dari ilmu silat Lo-hai-kun
(Pengacau Lautan).
Demikian cepat dan tak terduga gerakannya ini sehingga biar pun Ma Thai Kun sudah cepat menangkis,
namun pundaknya masih kena tampar, kelihatannya tidak keras namun cukup membuat Ma Thai Kun
terlempar dan bergulingan sampai lima meter jauhnya! Namun Ma Thai Kun memiliki kekebalan, dan tenaga
dalamnya sudah cukup kuat, maka ia dapat melompat bangun kembali sambil menerjang maju dengan
kemarahan meluap-luap.
Pada saat itu, murid Ban-pi Lo-cia yang bernama Lauw Kiat sudah maju pula. Dia ini bersenjatakan sebuah
tongkat dan gerakannya ternyata cukup hebat. Pemuda ini menerjang tanpa banyak suara, akan tetapi
serangannya selain kuat juga sungguh-sungguh sehingga sekali gebrakan saja ia sudah mengirim serangan
sampai tiga jurus.
Kim-mo Taisu menggunakan ginkang-nya menghindarkan diri dan ia belum sempat membalas pemuda she
Lauw itu karena kini kedua orang ketua kai-pang sudah menerjangnya juga sehingga dalam sekejap mata ia
sudah dikurung oleh lima orang lawan yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, terutama sekali tentu saja Ban-pi
Lo-cia dan Ma Thai Kun. Kim-mo Taisu maklum bahwa lawannya adalah orang-orang pandai dan keadaannya
berbahaya, namun seujung rambut pun ia tidak terjadi gentar. Sambil mengerahkan ginkang-nya yang kini
menanjak tinggi tingkatnya sejak ia berlatih di dalam Neraka Bumi, ia malah mengejek kepada Pouw Kee Lui
yang masih berdiri menonton. Hatinya panas bukan main. Diam-diam ia kagum akan kecerdikan raja pengemis
yang masih muda itu, yang dapat mengerahkan dan mempergunakan orang-orang pandai sedangkan dia
sendiri enak-enak menonton.
"Aha, tikus busuk she Pouw yang mengaku raja pengemis, kiranya kau hanyalah raja pengecut yang
mengandalkan kawan banyak....!"
Ia terpaksa berhenti mengejek untuk menangkis pukulan tongkat Lauw Kiat yang tak dapat ia elakkan.
Tangkisan ini disertai tenaga dalam sehingga Lauw Kiat berteriak kaget dan terlempar sampai jauh bersama
tongkatnya! Kemudian Kim-mo Taisu sudah berkelebat lagi menghindar dari sambaran cambuk Ban-pi Lo-cia,
sambil mengelak kakinya mencongkel ke arah Koai-tung Tiang-lo. Orang tua yang menjadi ketua perkumpulan
pengemis di Sin-yang dan sudah terjatuh ke dalam tangan Pouw-kai-ong ini berteriak kaget, roboh tergulingguling
dan tak dapat berdiri lagi karena sambungan lutut kanannya terlepas!
"Ha-ha, Pouw-kai-ong, kau tidak berani menghadapi aku, bukan?"
Melihat betapa dikeroyok lima lawannya itu masih dapat mengejeknya, bahkan merobohkan Koai-tung Tianglo,
diam-diam Pouw Kee Lui terkejut sekali. Ia maklum bahwa Kim-mo Taisu memang lihai, akan tetapi tidak
mengira akan dapat menghadapi pengeroyokan orang-orang sakti seperti Ban-pi Lo-cia dan yang lain-lain itu.
"Kim-mo Taisu, kematian sudah di depan mata masih berani mengoceh?!" teriak si Raja Pengemis dan cepat
ia menerjang maju, menggabungkan diri dengan barisan pengeroyok sehingga kini Kim-mo Taisu dikeroyok
lima.
Akan tetapi pengeroyokan yang sekarang ini jauh lebih berat dibanding dengan tadi. Koai-tung Tiang-lo
bukanlah seorang yang memiliki kepandaian seperti raja pengemis ini. Begitu maju Kai-ong menerjangnya
dengan tubuh berputar-putar sehingga tangan dan kakinya bergerak-gerak seperti angin badai dan
kelihatannya seperti berubah menjadi belasan banyaknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kim-mo Taisu maklum bahwa dia inilah lawan yang berat, tidak kalah berat jika dibandingkan dengan Ban-pi
Lo-cia, malah lebih lihai dari pada Ma Thai Kun! Sibuklah Kim-mo Taisu sekarang. Tadi pun ia sudah repot
melayani desakan para pengeroyoknya dan hanya menghindar mengandalkan kecepatan gerakannya, akan
tetapi sekarang pengeroyokan ditambah dengan Pouw-kai-ong yang ternyata memiliki gerakan yang hampir
sama cepatnya dengan dia sendiri. Betapa pun Kim-mo Taisu mengerahkan kepandaian, tetap ia tidak
mempunyai kesempatan sama sekali untuk balas menyerang. Namun kelima orang lawannya itu pun terheranheran
betapa orang yang mereka keroyok itu selalu dapat menghindar dari serangan yang bertubi-tubi itu.
"Ha-ha-ha, alangkah gagahnya, tokoh-tokoh kang-ouw yang terkenal mengeroyok seorang lawan yang
bertangan kosong!" Kim-mo Taisu sempat mengejek, akan tetapi ejekan ini ia bayar dengan terpukulnya
pinggang oleh tongkat di tangan Kim-tung Sin-kai.
Sebetulnya hal ini memang tak terelakkan lagi. Karena ia bicara, maka pencurahan panca inderanya
terganggu. Setelah berhasil menghindarkan serangan yang lain, pada detik yang bersamaan ujung cambuk
Ban-pi Lo-cia menyambar dari atas sedangkan tongkat Kim-tung Sin-kai menghantam ke arah pinggang. Tiga
orang pengeroyok lain telah menutup jalan ke luarnya, maka ia harus mengadakan pilihan. Menghindarkan
tongkat berarti membuka jalan untuk datangnya cambuk, menghindarkan cambuk, harus menerima hantaman
tongkat. Kim-mo Taisu tentu memilih dihantam tongkat, karena ia maklum bahwa hantaman ujung cambuk di
tangan Ban-pi Lo-cia merupakan bahaya maut, sedangkan Kim-tung Sin-kai, biar pun lihai dapat ia atasi
tenaganya.
"Bukkk!"
Kim-mo Taisu merasa pinggangnya agak sakit, akan tetapi di lain pihak Kim-tung Sin-kai menyeringai aneh
dan tubuhnya terangkat ke atas. Kim-mo Taisu menggunakan kesempatan ini meluncur lewat di bawah kedua
kaki Kim-tung Sin-kai yang masih terpengaruh oleh benturan tenaga dalam sehingga empat orang
pengeroyoknya tidak berani turun tangan, khawatir akan mengenai tubuh kawan sendiri. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Kim-mo Taisu untuk meloncat tinggi ke atas pohon, dan beberapa detik kemudian ia telah
turun kembali ke atas tanah, tangan kanannya memegang sebatang cabang pohon itu!
"Ha-ha-ha, sekarang ada senjata di tanganku, majulah!" ia menantang dan kagum juga melihat bahwa Kimtung
Sin-kai sudah pulih kembali, agaknya tidak terluka.
Tadinya ia heran karena tahu betul bahwa ketika pinggangnya terpukul, ia mengerahkan sinkang yang tentu
akan membuat tenaga kakek itu membalik dan melukai isi perutnya sendiri. Akan tetapi ketika melirik ke arah
Pouw-kai-ong yang baru saja mengantongi bungkus merah, ia dapat menduga bahwa tentulah Si Raja
Pengemis itu yang mempunyai obat penawar yang manjur sekali.
Kini tanpa menanti datangnya pengeroyokan, Kim-mo Taisu mendahului menggerakkan cabang pohon liu itu
dan serta-merta ia mainkan Ilmu Pedang Cap-jit-seng-kiam (Ilmu Pedang Tujuh Belas Bintang) yang ia cipta
dan sempurnakan dengan dasar ilmu yang ia baca dari kitab perbintangan di dalam Neraka Bumi.
Hebat sekali gerakannya ini, karena selain ilmu pedang itu merupakan ilmu pedang sakti yang diciptakan
menurut pengalaman dan ilmu pengetahuan, juga memang seluruh anggota tubuh Kim-mo Taisu sudah terlatih
sehingga hawa sinkang di dalam tubuhnya sudah mencapai tingkat yang sukar dicari bandingannya lagi.
Cabang kayu di tangannya itu mengeluarkan bunyi seperti angin mendesir-desir, membentuk sinar kehijauan
bergulung-gulung dan tampak membayang dalam gulungan sinar itu tujuh belas batang kayu. Kelihatan jelas
sekali cabang-cabang ini bergerak ke sana ke mari membagi-bagi serangan kepada lima orang lawan.
Dengan bersenjatakan cabang kayu dan mainkan Cap-jit-seng-kiam, Kim-mo Taisu masih terus bertahan, akan
tetapi tidak sepayah tadi. Kini ia mampu balas menyerang. Akan tetapi karena daya serangnya hanya satu
bagian saja sedangkan yang sembilan bagian dipakai untuk bertahan, maka tentu saja serangan balasannya
itu tidak ada artinya bagi lawan seperti Ban-pi Lo-cia, Pouw-kai-ong dan Ma Thai Kun yang dapat
mengimbangi. Hanya kedua orang lainnya Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat murid Ban-pi Lo-cia yang tingkat
kepandaiannya lebih rendah, terpengaruh serangan balasannya.
Melihat ini Kim-mo Taisu lalu menujukan serangan balasan kepada dua orang itu. Ketika ia mendapat
kesempatan, cepat sekali cabang kayu di tangannya bergerak disertai seruan keras, tubuhnya menyambar
dunia-kangouw.blogspot.com
laksana seekor burung garuda. Kedua orang yang diserang itu tiba-tiba menjadi silau matanya oleh sinar yang
menyambar dahsyat. Mereka mencoba untuk menangkis dengan tongkat di tangan mereka, akan tetapi
tongkat mereka seakan-akan terbetot oleh tenaga raksasa, terlepas dari tangan mereka, kemudian sinar hijau
berkelebat cepat dan robohlah Kim-tung Sin-kai dan Lauw Kiat, muntah darah! Beberapa orang anggota
pimpinan pengemis yang kiranya sudah berkumpul di sekitar tempat itu, cepat maju menolong dan membawa
mereka mundur.
"Ha-ha-ha. Pouw-kai-ong, Ban-pi Lo-cia dan Ma Thai Kun! Apakah tidak perlu kalian tambah lagi jumlah
pengeroyokan?" Kim-mo Taisu masih mengejek sambil memutar cabang kayu di tangannya.
Marahlah tiga orang itu, terutama sekali Ban-pi Lo-cia. Beberapa tahun yang lalu, ia masih dapat mengatasi
kepandaian Kim-mo-eng, dan selama ini kepandaiannya sendiri tidak berkurang, sungguh pun tenaga dalam
dan hawa sakti di dalam tubuhnya tentu tidak memperoleh kemajuan karena terlalu menuruti nafsu birahinya
yang tak kunjung padam. Namun ia merasa lebih unggul dari pada seorang lawan semuda Kim-mo-eng yang
kini menjadi Kim-mo Taisu. Ia jauh lebih tua, tentu lebih terlatih dan lebih berpengalaman.
Maka mendengar ejekan ini, matanya melotot besar kemerahan, mulutnya mengeluarkan gerengan seperti
beruang terluka. Tanpa berkata apa-apa Ban-pi Lo-cia memutar cambuknya dengan pengerahan tenaga
sekuatnya sehingga cambuk itu meledak-ledak dengan kerasnya, lalu membentuk sinar hitam yang melingkarlingkar
dan bagai hujan datang menyambar ke arah lawannya. Kim-mo Taisu tidak berani memandang rendah,
cepat memutar cabang liu di tangannya, membentuk sebuah bayangan payung yang melindungi tubuhnya dari
atas.
Pouw Kee Lui biar pun masih muda, namun dia belum pernah menemui lawan tangguh, maka sekali ini ia pun
amat penasaran. Ilmu kepandaiannya adalah warisan orang sakti yang merupakan ilmu yang jarang ditemui
orang di dunia persilatan, dan dalam hal tenaga dalam hawa sakti, dia boleh dibilang termasuk orang tingkatan
tinggi. Ketika tadi Kim-mo Taisu mengambil cabang pohon itu untuk senjata, ia pun sudah mengeluarkan
senjatanya, yaitu sebatang tongkat pula yang ia mainkan seperti orang bermain toya. Kini melihat betapa
lawan yang dikeroyok itu berhasil merobohkan dua orang kawan, ia menjadi marah dan penasaran.
Pouw Kee Lui berseru keras, menekan ujung tongkat yang ada tombol rahasianya sambil mencabut dan tahutahu
sebatang pedang telah ia keluarkan dari dalam tongkat, pedang yang mempunyai sinar merah! Kemudian
dengan gerakan yang tangkas sekali ia menyerbu, pedang di tangan kanan diputar dan tongkat di tangan kiri
digerakkan secara aneh. Belum pernah dalam sejarah ilmu silat ada orang mainkan pedang di tangan kanan
dan tongkat di tangan kiri, karena sebetulnya kedua senjata ini mempunyai gaya permainan yang amat
berbeda, bahkan berlawanan. Namun raja pengemis itu dapat memainkannya seakan-akan ia menjadi dua
orang yang memegang pedang dan toya.
Hanya Ma Thai Kun seorang yang tidak bersenjata. Memang bekas tokoh Beng-kauw ini tidak suka
menggunakan senjata, hanya mengandalkan keampuhan kedua tangannya yang sejak puluhan tahun telah
digembleng dan ‘diisi’ hawa beracun sehingga sebenarnya kedua tangannya itu lebih ampuh dan lebih
berbahaya dari pada sepasang senjata. Kalau senjata tajam hanya melukai kulit dan daging namun tangan Ma
Thai Kun ini selain merusak kulit daging, juga memasukkan hawa beracun!
Ia masih tetap mempergunakan ilmu pukulan Cui-beng-ciang yang amat hebat. Terlalu benci ia kepada Kimmo
Taisu yang membuat ia kehilangan wanita yang dicinta dan kehilangan tempat di Beng-kauw, maka setiap
pukulannya merupakan tangan maut yang akan mendatangkan kematian mengerikan. Namun Kim-mo Taisu
agaknya tak pernah mau membiarkan dirinya terkena pukulan maut ini sehingga membuat Ma Thai Kun
menjadi makin marah dan penasaran.
Setelah tiga orang itu maju dengan kemarahan meluap, diam-diam Kim-mo Taisu harus mengakui bahwa
sekali ini ia benar-benar dihadapkan kepada ujian berat sekali. Kalau mereka bertiga maju seorang demi
seorang, biar pun mereka ini merupakan lawan yang jarang dapat dicari bandingnya, namun ia masih sanggup
merobohkan mereka seorang demi seorang.
Akan tetapi menghadapi mereka bertiga maju bersama seperti ini, benar-benar amatlah berat karena mereka
bertiga itu memiliki kepandaian khusus yang harus dihadapi secara khusus pula. Dengan pengeroyokan ini, tak
dunia-kangouw.blogspot.com
mungkin ia memecah perhatian menjadi tiga untuk menghadapi mereka secara khusus, hanya dapat
mempertahankan diri dan sekali-kali membalas dengan serangan yang tak berarti.
Setelah kekurangan dua orang pengeroyok, tiga orang ini bukan menjadi lemah, bahkan makin kuat. Hal ini
adalah karena dua orang yang telah toboh tadi memiliki tingkat jauh lebih rendah sehingga mereka berdua tadi
bukannya membantu, bahkan menjadi penghalang gerakan bagi gerakan tiga orang ini dan sekarang setelah
lapangannya lebih luas dan longgar, mereka ini dapat bersilat leluasa dan mencurahkan seluruh daya
serangnya.
Kim-mo Taisu terdesak hebat. Apalagi kini Ban-pi Lo-cia menyelingi ayunan cambuknya dengan pukulan Heksee-
ciang, yaitu pukulan beracun dari Tangan Pasir Hitam yang hanya setingkat lebih lunak dari pada tangan
Cui-beng-ciang milik Ma Thai Kun! Bukan ini saja, juga Pouw-kai-ong menambah permainan tongkat dan
pedangnya dengan serangan air ludah! Luar biasa berbahaya dan menjijikkan sekali cara bertempur si Raja
Pengemis ini. Akan tetapi air ludah yang kadang-kadang ia semburkan dari mulutnya itu benar-benar tak boleh
dipandang ringan. Ketika Kim-mo Taisu kurang cepat mengelak sehingga ada air ludah sedikit mengenai
betisnya, terasa panas seperti terpercik air mendidih!
Ia kaget sekali dan cepat Kim-mo Taisu menghadapi tiga orang pengeroyoknya yang lihai ini dengan
permainan Pat-sian Kiam-hoat dan Lo-hai-kun. Kalau tadi ia mainkan Cap-jit-seng-kiam, maka permaianannya
itu hanyalah ilmu pedang belaka, ilmu pedang yang luar biasa namun masih kurang berhasil untuk
menghadapi pengeroyokan lawan yang begini saktinya. Kini ia mainkan kedua ilmu itu yang sebetulnya
merupakan ilmu yang sudah ia rangkai menjadi sepasang, dapat dimainkan berbareng.
Pada dasarnya, Pat-sian Kiam-hoat adalah ilmu pedang, penyempurnaan dari Pat-sian Kiam-hoat atas
petunjuk manusia dewa Bu Kek Siansu, sedangkan Lo-hai-kun aslinya adalah Lo-hai San-hoat, ilmu kipas
yang juga telah mendapat petunjuk Bu Kek Siansu. Jadi kalau menurut semestinya, Kim-mo Taisu harus
bermain pedang dan kipas, barulah ia dapat bersilat secara sempurna.
Akan tetapi sayang, pendekar ini sudah terlalu tidak memperhatikan diri lagi sehingga ia tidak memiliki pedang
mau pun kipas, hanya mengandalkan tangan kaki dan kalau perlu ia mempergunakan cabang sebagai pedang.
Tentu saja tidak bisa sehebat pedang tulen, apalagi kalau sedang menghadapi lawan tangguh. Karena tidak
ada pedang, kini ia gantikan dengan sebatang kayu, sedangkan tangan kirinya karena tidak bisa mendapatkan
kipas, lalu ia robah menjadi ilmu pukulan yang mendatangkan angin.
Betapa pun juga Kim-mo Taisu tetap terdesak. Pada saat ia sibuk mengelak dan menangkis desakan pukulan
Ma Thai Kun dan pedang serta tongkat Pouw Kee Lui, tiba-tiba tanpa mengeluarkan suara, cambuk hitam di
tangan Ban-pi Lo-cia telah membelit pinggangnya! Kim-mo Taisu terkejut sekali. Dahulu ketika bertanding
melawan Ban-pi Lo-cia, pinggangnya juga pernah terbelit dan ia tidak mampu melepaskan diri begitu saja.
Seperti juga dahulu, ia cepat mengerahkan tenaganya, meminjam tenaga tarikan cambuk, tubuhnya melayang
ke arah Ban-pi Lo-cia dan cabang di tangannya menusuk dada sedangkan tangan kirinya menampar kepala!
Hebat bukan main serangan ini dan Ban-pi Lo-cia tidak menyangka bahwa lawannya akan melakukan
perlawanan senekat ini. Terpaksa ia melepaskan cambuknya yang melibat tubuh lawan dan bergulingan ke
belakang!
Memang Kim-mo Taisu juga hanya menggunakan siasat agar terlepas dari libatan cambuk, maka ia tidak
mengejar karena pada saat itu, pedang di tangan Pouw Kee Lui sudah menyerangnya dengan ganas sekali,
disusul pula hantaman tongkatnya. Kim-mo Taisu cepat menangkis pedang dan tongkat. Oleh dorongan hawa
sakti dari tubuh mereka, ketiga senjata ini melekat, saling mengisap dan saling membetot.
Pada saat itu Ma Thai Kun menendang, mengenai belakang lutut Kim-mo Taisu, membuat pendekar ini roboh
terguling. Namun cabang liu itu masih menempel pada pedang dan tongkat Pouw Kee Lui. Kini dalam keadaan
setengah berbaring, Kim-mo Taisu mempertahankan tekanan kedua senjata Pouw Kee Lui yang hendak
menindas atau membikin patah cabang itu di tangannya. Adu tenaga dalam terjadi. Kim-mo Taisu di bawah
dan Pouw Kee Lui di atas. Namun perlahan-lahan cabang liu itu terangkat ke atas, menjadi bukti bahwa raja
pengemis itu kalah kuat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ma Thai Kun sudah melangkah maju. Wajahnya merah dan membayangkan kegirangan hatinya. "Sekarang
mampus engkau!" katanya lalu mengirim pukulan Cui-beng-ciang ke arah kepala Kim-mo Taisu!
Kagetlah pendekar ini. Karena senjatanya masih saling lekat dengan senjata si Raja Pengemis, maka tak
mungkin ia mengelak lagi dalam ke adaan setengah terbaring itu. Terpaksa ia lalu menggerakkan tangan
kirinya, mengerahkan tenaga sakti dan menggunakan Ilmu Tangan Kapas Sakti untuk menangkis.
"Plakk!" kembali kedua tangan itu lekat satu kepada yang lain sehingga kini dalam keadaan setengah
terbanting itu Kim-mo Taisu harus menahan tekanan kedua orang lawan dengan kedua tangannya!
Keadaannya menjadi berbahaya sekali karena Ban-pi Lo-cia sudah tertawa-tawa sambil mengayun cambuknya
untuk menghantam lawan yang sudah tak dapat menghadapinya lagi itu.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara ketawa terbahak-bahak disusul ucapan nyaring. "Ha-ha-ho-ho!
Setelah mendurhakai Beng-kauw, kau masih berani bersekongkol dengan segala macam penjahat? Benarbenar
memalukan sekali!" Dan muncullah Pat-jiu Sin-ong Liu Gan yang dengan langkah lebar menghampiri
tempat pertandingan itu.
Bukan main kagetnya hati Ma Thai Kun melihat datangnya bekas suheng-nya ini. Dalam keadaan tangannya
lekat pada tangan Kim-mo Taisu, berbahayalah kalau ia diserang, sedangkan ia maklum akan watak suhengnya
yang keras seperti baja dan tidak mengenal ampun. Maka terpaksa ia menarik kembali tenaganya
melompat mundur dan dengan mata beringas ia memandang suheng-nya, lalu memaki. "Lui Gan, di antara kita
tidak ada hubungan apa-apa lagi, mengapa kau selalu menentang aku?"
"Cerewet! Sebelum menghajar mampus padamu dengan tangan sendiri, hatiku takkan tenteram karena pada
suatu saat tentu kau mampus di tangan orang lain dan hal ini sama sekali tidak kukehendaki!"
"Liu Gan, kau benar-benar terlalu!" Ma Thai Kun membentak dan mengirim pukulan sambil mengeluarkan
teriakan garang. Pat-jiu Sin-ong tersenyum dan cepat menangkis. Di lain saat kedua orang yang tadinya
menjadi kakak beradik seperguruan ini sudah saling hantam dengan seru.
Biar pun sudah ditinggalkan Ma Thai Kun, keadaan Kim-mo Taisu masih dalam bahaya, karena Ban-pi Lo-cia
kini sudah mengayun cambuk menghantam kepalanya, sedangkan ia masih setengah berbaring. Akan tetapi
tiba-tiba Ban-pi Lo-cia berseru marah, tubuhnya terhuyung ke belakang dan otomatis serangannya tadi tidak
dilanjutkan.
"Setan iblis manakah yang berani main-main dengan Ban-pi Lo-cia?!" bentaknya.
Terdengar jawaban nyaring pula, "Setan iblis akulah yang datang, jahanam Khitan. Tempo hari, karena
kecurangan dan pengeroyokan terpaksa aku mundur. Sekarang, kau rasakanlah tanganku!" Dan muncullah
seorang kakek tua yang rambutnya riap-riapan dan kumisnya panjang, yang ‘berdiri’ bukan di atas kedua kaki
melainkan di atas sepasang tongkat yang dipegangnya. Inilah Kong Lo Sengjin atau bekas Raja Muda
Kerajaan Tang yang terkenal dengan julukan Sin-jiu Couw Pa Ong!
"Couw Pa Ong! Kau masih belum mampus?" Ban-pi Lo-cia berseru kaget sekali.
Ketika merobohkan Kerajaan Tang dan Couw Pa Ong mengamuk, dia juga ikut mengeroyok dan melihat
dengan mata kepala sendiri betapa dalam perang itu Sin-jiu Couw Pa Ong sudah dipukul roboh dan menderita
luka hebat, bahkan kedua kakinya sudah tak dapat digunakan lagi. Bagaimana sekarang kakek itu dapat
muncul kembali? Ia tahu betul betapa lihainya kakek ini, maka hatinya menjadi gentar. Apalagi ketika tadi
melihat munculnya Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, kini hatinya sudah tak bernafsu lagi untuk melanjutkan
pertandingan.
Ban-pi Lo-cia yang cerdik sudah cepat membuat perhitungan di dalam hati. Ma Thai Kun tentu sukar dapat
mengalahkan bekas suheng-nya. Pouw-kai-ong juga agaknya sukar sekali dapat mengatasi Kim-mo Taisu,
sedangkan dia sendiri masih ragu-ragu apakah dia akan dapat menangkan Couw Pa Ong, biar pun kakek itu
kini sudah lumpuh kedua kakinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat gelagat tidak menguntungkan, Ban-pi Lo-cia tertawa bergelak sambil berkata. "Couw Pa Ong,
sekarang di antara kita tidak ada urusan lagi. Biarlah aku pergi saja!" Ia lalu melesat jauh dan pergi dari tempat
itu.
"Monyet dari Khitan, kau hendak lari ke mana?" Kakek lumpuh itu lalu mencelat ke depan dan kedua tongkat
yang menggantikan kaki itu dapat bergerak dan berlari cepat sekali mengejar Ban-pi Lo-cia.
Melihat seorang kawannya yang boleh diandalkan lari, hati Pouw Kee Lui menjadi gentar. Ia menggunakan
kesempatan selagi Kim-mo Taisu memandang kakek lumpuh dengan mata terheran-heran itu untuk meloncat
pula dan lari pergi. Kim-mo Taisu tidak mengejar, karena pendekar ini sedang merasa terheran-heran. Sudah
lama ia mendengar nama besar Couw Pa Ong dan baru sekarang ia melihat orangnya. Melihat betapa Ban-pi
Lo-cia yang kosen itu lari ketakutan bertemu dengan kakek lumpuh ini, ia dapat menduga betapa kakek
lumpuh ini tentulah amat lihai, dan ternyata benar dugaannya karena cara kakek ini lari secepat itu dengan
sepasang tongkat saja sudah membuktikan kelihaiannya. Dengan Pouw Kee Lui ia tidak mempunyai urusan
yang amat penting, maka ia mendiamkan saja raja pengemis itu lari.
Ma Thai Kun berusaha melawan bekas suheng-nya, namun setelah beberapa kali mereka beradu lengan,
maklumlah Ma Thai Kun bahwa ia masih belum dapat menandingi bekas suheng-nya. Maka setelah melihat
betapa Ban-pi Lo-cia lari, juga Pouw Kee Lui yang dibantunya lari diam-diam, ia mengutuk kecurangan dan
sifat pengecut mereka. Ia mengerahkan tenaga, membentak dan menyerang dengan jurus Cui-beng-ciang
yang paling hebat. Pat-jiu Sin-ong tertawa mengejek dan menyambut datangnya pukulan itu dengan kekerasan
pula. Dua pasang tangan bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Pat-jiu Sin-ong terpental sampai dua tiga
meter ke belakang, akan tetapi Ma Thai Kun terguling-guling muntahkan darah segar, melompat kembali
dengan muka pucat lalu melarikan diri.
"Kalau belum mampus hatiku belum tenteram!" Pat-jiu Sin-ong mengejar dan sesaat kemudian Kim-mo Taisu
berdiri seorang diri di tempat yang kini menjadi amat sunyi itu.
Ia termenung, menghela napas berulang-ulang. “Tadi hampir saja aku menghadapi bahaya maut yang tak
terelakkan lagi. Kalau memang Tuhan belum menghendaki aku mati, akhirnya pertolongan datang juga,”
pikirnya.
Ia cukup mengenal Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Mustahil kakek ini sengaja menolongnya. Andai kata seorang di
antara para pengeroyok bukan Ma Thai Kun, agaknya kakek Beng-kauw itu sulit diharapkan untuk menjadi
penolong dan justru akan menikmati kematiannya dalam pengeroyokan. Ikut campurnya Pat-jiu Sin-ong hanya
untuk membunuh Ma Thai Kun yang dianggapnya mendurhakai Beng-kauw.
Ada pun kemunculan kakek Couw Pa Ong itu pun agaknya belum tentu karena kakek yang tak dikenalnya itu
akan datang membantunya. Semuanya serba kebetulan, dan memang aneh kalau orang belum ditakdirkan
mati. Sebetulnya mati bukan apa-apa bagi Kim-mo Taisu, ia sama sekali tidak gentar. Hanya ia akan merasa
sayang sekali kalau dalam pertandingan tadi dia yang mati, karena dengan demikian berarti orang-orang
macam Ban-pi Lo-cia dan Pouw kai-ong akan makin merajalela, padahal dua orang itu sama sekali tidak ada
artinya hadir di dunia ini karena hanya menimbulkan kesengsaraan bagi orang lain!
"Kwee-koko....!"
Kim-mo Taisu terkejut dan tidak bergerak. Ia justru membelalakkan mata. Gila, pikirnya, mengapa tiba-iba ia
bermimpi mendengar suara wanita? Tak mungkin ada wanita memanggilnya Kwee-koko dengan suara
semerdu itu.
"Kwee-koko....!"
Dengan jantung berdebar Kim-mo Taisu membalikkan tubuhnya dan wajahnya segera berubah, matanya
terbelalak, dan mulutnya ternganga ketika ia melihat seorang wanita cantik jelita berdiri di situ, menggandeng
seorang anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun. Wanita itu memandang kepadanya dengan
sepasang mata berlinang air mata, sedangkan anak perempuan itu melongo memandangnya dengan telunjuk
kiri di mulut, seperti anak terheran-heran.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kwee-koko...!" untuk ketiga kalinya wanita itu memanggilnya, suaranya gemetar penuh perasaan. "Mengapa
engkau menjadi begini?" Air matanya membanjir turun membasahi sepasang pipinya.
Kim-mo Taisu menggoyang-goyang kepalanya untuk mengusir bayangan itu, namun sia-sia. Tetap saja wanita
cantik itu masih berdiri di depannya, wanita cantik yang bukan lain adalah Ang-siauw-hwa. Tapi ini tak
mungkin! Ang-siauw-hwa sudah mati, tewas membunuh diri karena perbuatan Ban-pi Lo-cia! Sekali lagi ia
memandang dengan teliti. Wajah itu, cantik manis dengan rambut digelung tinggi-tinggi ke atas, ujungnya
terjuntai ke belakang, tubuh yang kecil ramping padat itu. Tak salah lagi, dia inilah Ang-siauw-hwa si Kembang
Pelacur di Telaga Barat. Tapi Ang-siauw-hwa sudah mati, hal ini ia yakin benar.
"Nona.... Eh, Nyonya.... Siapakah....?" ia bertanya gagap, suaranya juga gemetar karena jantungnya berdebar
keras. Kalau wanita ini bukan Ang-siauw-hwa, dan hal ini sudah pasti, maka ia tidak pernah mengenal wanita
ini. Mengapa dia memanggilnya Kwee-koko dengan suara begitu mesra?
Wanita itu menunduk dan air matanya terjatuh ke bawah, lalu ia memandang lagi sambil berkata halus, "Kweekoko,
aku adalah Gin Lin...."
"Ah...!" Kim-mo Taisu menepuk dahinya. "Engkau saudara kembar Ang... eh, Khu Kim Lin...?" Ia cepat
menahan sebutan Ang-siauw-hwa, karena nama julukan Ang-siau-hwa (Bunga Kecil Merah) adalah nama Kim
Lin sebagai seorang pelacur.
Wanita itu mengangguk. "Betul, mendiang Ang-siau-hwa adalah saudara kembarku."
"Apa...? Engkau sudah tahu bahwa dia... eh, dia... bernama Ang-siauw-hwa dan sudah meninggal dunia?"
"Aku tahu karena engkau sendiri yang menceritakan kepadaku...."
"Hehh...?!" Kim-mo Taisu memandang tajam, keningnya berkerut, apalagi melihat wanita itu menyembunyikan
senyum manis, senyum membayangkan kegelian hati. Aneh, pikirnya. Jangan-jangan saudara kembar Angsiauw-
hwa ini seorang yang tidak beres otaknya. Tadi menangis sekarang tersenyum, dan menyebut dia kanda
Kwee. "Nona, maaf. Mengapa menyebutku Kwee-koko? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku she Kwee?"
Naik sedu-sedan dari dada wanita itu ketika ia menarik napas panjang. "Kwee-koko, apakah kau tidak
mengenal suaraku?"
"Suaramu seperti... seperti suara Ang-siauw-hwa...."
"Ah, alangkah bodohnya kadang-kadang lelaki yang paling pintar di dunia ini! Agaknya tanpa bukti kau takkan
mengerti selamanya. Kwee-koko, kau kenalilah aku?"
Wanita itu dengan gerakan cepat mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya, menutupi muka dengan benda itu
dan ketika ia menurunkan kedua tangannya, Kim-mo Taisu melompat ke belakang sampai dua meter lebih,
berdiri terbelalak dengan muka pucat. Ternyata bahwa nenek penghuni Neraka Buni yang kini berdiri di
depannya!
"Kau...?! Kau...?!" ia berkata, suaranya menggigil dan kakinya melangkah maju.
Gin Lin melepas kedoknya dan melemparnya jauh-jauh. "Kwee-koko, apakah kau sekarang mengenalku?"
katanya sambil mengembangkan kedua lengannya. "Ah, Kwee-koko, betapa rinduku kepadamu...!"
Kim-mo Taisu berdongak dan tertawa bergelak-gelak, "Kau rindu....? Ah, dan aku.... aku... ah, sampai gila aku
memikirkan kau....!"
Bagaikan didorong tenaga mukjijat, keduanya saling tubruk dan saling peluk, lalu berdekapan mesra. Gin Lin
menangis terisak-isak sedangkan Kim-mo Taisu masih tertawa-tawa, akan tetapi kedua matanya bercucuran
air mata ketika mereka berpelukan dan berciuman. Kemudian kim-mo Taisu mengangkat tubuh Gin Lin dan ia
menari-nari sambil berputar-putar memondong tubuh ‘nenek’ itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha-ha! Dan aku menjadi seperti gila menyesali perbuatanku!"
Gin Lin mengusap-ngusap rambut yang terurai itu. "Kwee-koko, kenapa kau sampai menjadi begini?"
"Apa? Seperti jembel ini? Ha-ha-ha, agar tepat dengan keadaanmu sebagai seorang nenek-nenek keriputan.
Hanya seorang jembel gila yang begitu buta beristerikan seorang nenek. Kau isteriku, ha-ha-ha! Engkau
isteriku tercinta!"
Gin Lin memeluk dan mendekap kepala suaminya dengan terharu sambil menangis, sedangkan suaminya
masih memondongnya dan berjingkrak-jingkrak kegirangan, juga dengan pipi basah air mata. Mereka lupa diri,
lupa segala sehingga tidak ingat bahwa anak perempuan tadi memandang mereka dengan bengong, dan anak
itu menangis pula menyaksikan mereka mengucurkan air mata.
"Ibu... Ibu....!" Anak itu memanggil.
Kim-mo Taisu tersentak kaget seperti terpukul dadanya. Ia menurunkan Gin Lin dan terhuyung-huyung mundur
dengan wajah pucat. "Kau.. kau... sudah menjadi isteri orang lain...?"
Gin Lin tersenyum dengan air mata masih bercucuran, lalu menggandeng tangan anak itu. "Eng Eng, dia ini
ayahmu, Nak. Kwee-koko, setelah kau pergi, aku... aku melahirkan anak ini. Hanya karena dialah maka aku
merobah tekadku untuk mati di Neraka Bumi. Aku membawanya ke luar mencarimu. Dia ini anakmu, Kweekoko."
Terdengar rintihan isak di tenggorokkan Kim-mo Taisu. Ia berlutut, memegang kedua tangan anaknya,
memandang wajah yang mungil itu, kemudian ia memondongnya sambil tertawa. Tangan kirinya juga
menyambar dan memondong tubuh isterinya. Berganti-ganti ia memandang dan menciumi isteri dan anaknya
dengan kebahagiaan hati yang sukar dilukiskan. Ia merasa seakan-akan menerima anugerah yang paling
besar dan belum pernah selama hidupnya ia mengalami kebahagiaan seperti saat ini.
"Isteriku...! Anakku...! Ah, Kwee Seng... Kwee Seng... agaknya Thian masih menaruh kasihan kepadamu...!"
katanya, suaranya menggetar penuh keharuan.
"Ayah... sudah lama sekali aku mencari-carimu. Ibu seringkali menangis, katanya kau tidak mau menjadi ayah
Eng Eng. Sekarang Ayah sudah di sini, mengapa ibu masih menangis? Apa Ayah betul-betul tidak suka
kepada Eng Eng?"
Ucapan yang keluar dari bibir mungil itu seperti pisau mengiris jantung Kim-mo Taisu. Terasa olehnya betapa
ia telah melakukan dosa besar terhadap Gin Lin yang selain telah menolong nyawanya di Neraka Bumi,
ternyata masih menaruh cinta kasih yang amat besar kepadanya. Sungguh ia telah berdosa. Andai kata Gin
Lin benar-benar seorang nenek sekali pun, ia tidak semestinya meninggalkan seorang yang begitu
mencintanya.
"Eng Eng. Alangkah manis namamu. Ayah amat cinta dan sayang kepadamu, anakku!" Ia menciumi pipi
anaknya.
"Tapi Ayah mengapa menangis? Ibu juga? Mengapa susah?"
"Ayah tidak susah. Lihat, sekarang aku tertawa, dan Ibumu juga!" Anak itu memandang ayah dan ibunya,
benar saja mereka tersenyum dengan air mata membasahi pipi.
"Suhu...!"
Kwee Seng memandang dan ternyata Bu Song sudah muncul di situ.
"Teecu menghaturkan selamat bahwa Suhu telah dapat berkumpul dengan Subo (Ibu Guru) dan... dan adik
puteri Suhu," kata Bu Song dengan pandang mata sejujurnya dan muka ikut bergembira.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kim-mo Taisu menurunkan tubuh isterinya perlahan. Sambil memondong Eng Eng ia menghadapi muridnya
berkata, "Bu Song, kenapa kau pergi meninggalkan aku tanpa pamit?"
Mendengar suara ayahnya seperti marah dan melihat Bu Song menundukkan kepala, Eng Eng segera
menjawab ayahnya. "Ayah, jangan marah kepadanya. Dialah yang membawa Ibu dan aku ke sini menemui
Ayah. Bu Song tidak nakal, dia baik, Ayah!"
"Ehh...??" Kim-mo Taisu memandang isterinya yang tersenyum dan mengangguk, bahkan isterinya lalu
memberi penjelasan.
"Muridmu ini bekerja pada kami, mengambil air dari puncak. Ketika mengangsu air untuk kali terakhir, ia
melihat kau berhadapan dengan musuh jahat. Maka setibanya di rumah kami ia bertemu denganku dan
mengatakan bahwa gurunya Kim-mo Taisu, menghadapi bahaya maka ia harus cepat-cepat pergi dari rumah
kami, tanpa mau kutahan lagi. Aku memang ada dugaan bahwa Kim-mo Taisu adalah engkau, maka aku lalu
mengajak Eng Eng dan bersama Bu Song pergi menyusulmu ke sini. Kiranya benar-benar kau berhadapan
dengan musuh yang tangguh. Baiknya ada Pamanku Couw Pa Ong yang membantumu."
"Couw Pa Ong...? Dia itu... Pamanmu...?"
"Mari kita pulang dulu, nanti kita bicara sampai jelas."
"Pulang?" terharu hati Kim-mo Taisu, karena sesungguhnya, entah sudah berapa lamanya ia tidak mengenal
arti kata ‘pulang’ lagi. Sambil menggandeng tangan isterinya dan memondong Eng Eng, Kim-mo Taisu
mengangguk dan menjawab, "Marilah!"
"Bu Song, kau ikut dengan kami," kata Khu Gin Lin dengan suara halus, akan tetapi Bu Song masih berdiri
dengan kepala menunduk.
"Bu Song, hayo ikut, nanti kita main-main di rumah!" Eng Eng juga berkata, akan tetapi tetap saja Bu Song
tidak bergerak dan tidak pula mengangkat muka.
Anak itu sedang dilanda kedukaan hebat. Ia memang ikut bergirang menyaksikan kebahagiaan suhu-nya yang
telah berkumpul kembali dengan isteri dan anaknya, akan tetapi sekaligus peristiwa ini pun mengingatkan ia
akan keadaannya sendiri yang jauh ayah jauh ibu, seorang anak yang tidak dapat mengecap kebahagiaan
seperti Eng Eng karena ayah bundanya cerai berai. Pula agaknya suhu-nya marah kepadanya. Kalau suhunya
sendiri diam saja, bagaimana ia bisa ikut mereka?
Melihat Bu Song diam saja tidak menjawab, Eng Eng lalu melorot turun dari pondongan ayahnya, lari
menghampiri Bu Song dan menarik tangannya. "Hayo, kau ikut! Eh, kau... kau menangis? Kenapa??"
Mendengar ini, kagetlah Kim-mo Taisu. Ia sudah mengenal betul perangai Bu Song, seorang anak yang amat
keras hatinya, yang tidak pernah sudi menangis, tabah dan berani luar biasa. Kalau sekarang menangis,
benar-benar aneh! Tadinya, perjumpaannya dengan anak isterinya membuat Kim-mo Taisu sejenak
melupakan Bu Song, apalagi karena muridnya itu telah meninggalkannya tanpa pamit. Ia menganggap
muridnya sudah tidak suka lagi ikut dengannya, maka ia pun tadi tidak mengacuhkannya lagi. Akan tetapi
sekarang mendengar bahwa muridnya menangis, ia segera membalikkan tubuh menghampiri Bu Song.
"Bu Song, kau lihat aku!"
Bu Song mengangkat mukanya. Anak ini menggigit bibir menahan air mata dan memandang suhu-nya dengan
mata tajam.
"Ketika aku bicara dengan Beng-kauwcu, kenapa kau lalu pergi meninggalkan aku tanpa pamit? Apakah kau
sudah bosan ikut gurumu?"
Bu Song menggeleng kepalanya. "Teecu tidak bosan, akan tetapi teecu tidak mau bertemu dengan Pat-jiu Sinong
Liu Gan."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hehh...?? Kau tahu nama Beng-kauwcu? Mengapa kau tidak mau bertemu dengannya?" Kim-mo Taisu
benar-benar tertarik dan merasa heran.
"Karena... karena... dia adalah Kong-kong (kakek) teecu...."
"Apa kau bilang?!" Kim-mo Taisu melangkah maju mendekati muridnya, lalu berjongkok agar dapat
memandang wajah muridnya baik-baik. "Dia itu kakekmu? Bu Song, katakanlah siapa nama ayahmu?"
"Ayah teecu Kam Si Ek, akan tetapi teecu tidak mau pulang..., juga teecu tidak mau ikut Kong-kong, teecu
hendak mencari ibu...."
Jantung Kim-mo Taisu bedebar-debar keras, lalu ia memeluk Bu Song. "Ah, mengapa ada peristiwa begini
kebetulan? Bu Song... jadi kau anak Lu Sian dan Kam Si Ek...??"
Bu Song meronta dari pelukan suhu-nya, memandang dengan mata tebelalak. "Suhu mengenal Ayah dan
Ibu?"
"Anak baik, tentu saja aku mengenal mereka!"
"Kalau begitu maaf, teecu tidak dapat ikut Suhu lagi." Anak ini lalu membalikkan tubuhnya dan lari.
Akan tetapi dengan tiga kali lompatan saja Kim-mo Taisu sudah menangkap tangannya. "Kenapa?"
"Teecu tidak mau Suhu kembalikan teecu ke rumah Ayah atau Kong-kong. Teecu hendak mencari ibu."
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk. "Baiklah, Bu Song. Aku tidak akan mengantarmu kepada ayah dan
kakekmu. Kau ikut saja dengan kami dan kelak kubantu kau mencari Ibumu."
Kembali ia menghela napas karena teringat akan cerita Pat-jiu Sin-ong Liu Gan bahwa Liu Lu Sian telah
meninggalkan suami dan putera, malah telah melakukan hal-hal yang luar biasa di dunia kang-ouw, telah
mencuri kitab-kitab dari Beng-kauw sendiri. Sungguh aneh, mengapa secara kebetulan sekali putera Liu Lu
Sian menjadi muridnya? Pantas saja begitu berjumpa dengan anak ini, timbul rasa sayang di hatinya. Kiranya
anak ini darah daging Lu Sian! Diam-diam ia menjadi girang sekali dan berjanji kepada diri sendiri untuk
mengimbangi Bu Song seperti puteranya sendiri.
Maka turunlah mereka berempat dari puncak dengan wajah bahagia. Tangan Kim-mo Taisu tak pernah
dilepaskan oleh isterinya, yang kadang-kadang mengucurkan air mata sambil tersenyum-senyum memandangi
wajah suaminya yang dirindukannya selama bertahun-tahun. Mereka bergandeng tangan sambil bercakapcakap
menceritakan pengalaman masing-masing selama berpisah. Eng Eng yang sifatnya lincah itu pun
menggandeng tangan Bu Song diajak balapan lari atau diajak memetik bunga dan mengejar kupu-kupu di
sepanjang jalan, tentu saja sambil tertawa-tawa.
Secara singkat Kim-mo Taisu menceritakan pengalamannya sejak keluar dari Neraka Bumi, pengalaman yang
penuh kesengsaraan dan kepahitan sehingga membuat isterinya makin sayang kepadanya. Khu Gin Lin ikut
mengucurkan air mata mendengar betapa suaminya menyesali diri sendiri sampai menjadi seperti seorang
jembel gila.
Kemudian tiba gilirannya untuk bercerita. Seperti telah diceritakan oleh mendiang Ang-siauw-hwa atau Khu
Kim Lin kepada Kwee Seng, Gin Lin dan Kim Lin adalah anak kembar dari seorang pangeran bernama Khu Si
Cai, seorang Pangeran Kerajaan Tang. Khu Si Cai ini adalah adik ipar Raja Muda Couw Pa Ong yang terkenal.
Ketika terjadi perang yang mengakibatkan tumbangnya Kerajaan Tang, keluarga Kaisar dan para bangsawan
menjadi korban. Tak terkecuali keluarga Pangeran Khu yang ikut terbasmi.
Sepasang bocah kembar yang baru berusia lima tahun itu dapat diselamatkan oleh seorang pelayan, dibawa
lari ke luar pada saat istana pangeran itu diserbu musuh dan dibakar. Dalam pelarian ini mereka bertemu
keributan perang sehingga akhirnya Khu Gin Lin terlepas dari gandengan tangan pelayannya membuat ia
terpisah dari saudara kembarnya. Anak ini menangis sambil lari ke sana kemari, jatuh bangun ditabrak orangorang
yang sedang melarikan diri dari perang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akhirnya ia jatuh pingsan di tengah jalan hampir saja diinjak-injak orang yang sedang panik itu kalau saja tidak
ditolong oleh seorang tosu (pendeta To) yang kebetulan lewat. Tosu ini sudah tua sekali, mukanya pucat dan
melihat seorang anak perempuan menggeletak di jalan, hampir terinjak-injak, cepat ia menyambarnya dan
membawanya pergi cepat-cepat.
"Tosu itu adalah Kwan Cin Cun, seorang tokoh Thian-san-pai yang terkenal sebagai seorang patriot pembela
Kerajaan Tang, sahabat baik dari Paman Sin-jiu Couw Pa Ong," demikian Gin Lin melanjutkan ceritanya. "Dia
tidak tahu bahwa aku adalah keponakan Couw Pa Ong. Seperti juga Pamanku itu yang terluka hebat, dan
malah menjadi lumpuh kedua kakinya, Suhu Kwan Cin Cu juga terluka parah di sebelah dalam dadanya, luka
yang tak mungkin dapat disembuhkan lagi karena ia telah terkena pukulan beracun yang hebat. Dia
membawaku ke Neraka Bumi dan kebetulan sekali saat itu musim kering sehingga lebih mudah memasuki
Neraka Bumi. Neraka Bumi sebetulnya adalah tempat bertapa kakek gurunya, yaitu sucouw (kakek guru) dari
Thian-san-pai, tempat rahasia yang hanya diketahui oleh Suhu Kwan Cin Cu. Aku dibawa ke tempat itu, lalu ia
melatihku membaca kitab dan juga dasar-dasar ilmu silat. Sayang sekali, ketika aku berusia dua belas tahun,
Kwan Suhu meninggal dunia karena lukanya yang memang hebat sekali."
"Hemm, seorang sakti seperti dia, mengapa menyembunyikan diri dan tidak mau keluar lagi?" Kim-mo Taisu
mencela.
"Dia sudah putus harapan. Katanya kepadaku, dari pada keluar dari Neraka Bumi melihat negeri dijajah orang,
lebih baik ia bersembunyi dan bertapa sampai mati. Selama mendidikku, ia menanamkan kesan betapa
buruknya dunia, betapa jahatnya manusia, betapa berbahayanya hidup seorang gadis muda. Oleh karena
itulah maka aku lalu membuat kedok nenek-nenek dan tak pernah mau keluar dari Neraka Bumi, sampai...
sampai.... Thian membawamu masuk ke sana dan... dan... lahirnya Eng Eng." Jari-jari tangan Gin Lin
mencengkeram jari-jari tangan suaminya dan keluarlah getaran-getaran kasih dari jari tangan mereka.
Ketika mereka berempat tiba di rumah kediamannya Couw Pa Ong, ternyata kakek lumpuh itu telah berada di
situ, bahkan berdiri menanti di depan pintu. Bu Song memandang dengan kagum dan juga serem kepada
kakek sakti itu. Ada pun Kim-mo Taisu segera maju dan memberi hormat dengan kikuk. Sebagai tokoh kangouw,
ia enggan memberi hormat berlebihan, akan tetapi mengingat bahwa orang ini paman isterinya, tidak
enak pula kalau tidak memberi hormat.
Kong Lo Sengjin atau Sin-jiu Couw Pa Ong tertawa bergelak, kelihatannya girang sekali. "Sudahlah, tidak perlu
banyak sungkan, kita orang sendiri. Ha-ha-ha! Alangkah girang hatiku mendapat kenyataan bahwa suami
keponakanku adalah Kim-mo Taisu! Sungguh menyenangkan, ini berarti bahwa Dinasti Kerajaan Tang masih
belum saatnya lenyap dari permukaan bumi! Kim-mo Taisu, dengan adanya engkau sebagai keluarga kami,
maka kekuatan untuk memulihkan kekuasaan Kerajaan Tang menjadi makin besar.”
"Maaf, Ong-ya, eh... Paman, akan tetapi saya sama sekali tidak ada minat untuk memikirkan soal kerajaan,
saya tidak akan ikut-ikut...."
"Ha-ha-ha, coba saja kita sama-sama lihat! Aku Kong Lo Sengjin adalah seorang buronan, dicap sebagai
musuh kerajaan yang sekarang berkuasa. Juga isterimu dianggap sebagai anggota pemberontak, keluarga
bekas Kerajaan Tang. Kalau isterimu dimusuhi, apakah kau sebagai suaminya tidak?"
Kim-mo Taisu mengerutkan keningnya. "Kalau begitu, saya akan ajak isteri, anak dan murid saya untuk
menjauhkan diri, mengungsi di tempat sunyi, hidup mengasingkan diri di tempat aman tenteram."
Keng Lo Sengjin membanting-banting tongkatnya ke atas tanah. "Gin Lin! Kau dengar kata-kata suamimu?
Apa kau sudah lupa lagi akan keluarga Ayah Bundamu yang terbasmi?"
"Paman, harap bersabar. Aku akan mengikuti suamiku ke mana pun juga ia pergi. Tentang sakit hati keluarga,
sampai mati pun keponakanmu ini tidak akan lupa."
"Haaahhh, pergilah...!" Mulutnya bilang begitu akan tetapi kakek ini sendirilah yang pergi jauh dari rumah itu,
dengan gerakan cepat sekali, berloncat-loncatan menggunakan kedua ‘kakinya’ yang berupa sepasang
tongkat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Gin Lin lalu berbenah, dibantu oleh tiga orang pembantu rumah tangga yaitu A-kwi, A-liong, dan Sam-hwa
yang ternyata bukanlah pembantu rumah tangga sembarangan, karena ketiga orang ini adalah bekas-bekas
panglima pembantu Kong Lo Sengjin ketika kakek ini masih menjadi Raja Muda Sin-jiu Couw Pa Ong! Setelah
selesai, dengan terharu Gin Lin berpamit dari tiga orang pembantu ini. Mereka pun kelihatan terharu, apalagi
Sam-hwa yang menangisi kepergian Eng Eng yang ia anggap sebagai cucunya.
"Harap kalian bertiga jangan terlalu sedih," akhirnya Gin Lin berkata. "Betapa pun juga, waktu akan membawa
kita berkumpul dalam perjuangan yang sama," kata-kata ini agaknya menyadarkan mereka dan berserilah
wajah mereka, malah mereka mengantar keluarga itu sampai jauh ke luar hutan.
Setelah mereka berpisah, Kim-mo Taisu bertanya apa artinya ucapan isterinya ketika berpisah tadi.
Gin Lin menarik napas panjang. "Mereka itu adalah bekas panglima dan pejuang pembela Kerajaan Tang.
Seperti juga Paman dan aku sendiri, kita kehilangan keluarga, menyaksikan betapa keluarga terbasmi habis,
betapa kerajaan runtuh diobrak-abrik dan dirampok, diperkosa, dihina oleh musuh. Anehkah kalau di lubuk hati
kita masing-masing terpendam perasaan dendam yang tak dapat dipadamkan sebelum Kerajaan Tang bangkit
kembali? Kakek sudah berusaha keras, dan dengan kawan-kawan seperjuangan telah berhasil menjatuhkan
Kerajaan Tang Muda, akan tetapi hanya berhasil mempertahankan selama tiga belas tahun saja, dan Kerajaan
Tang Muda kembali jatuh di tangan musuh yang mendirikan Kerajaan Cin Muda. Ah, sebelum Kerajaan Tang
bangkit kembali seperti dahulu, agaknya hati kita masih akan tetap mengandung dendam."
Kim-mo Taisu mengangguk-angguk, akan tetapi tidak menjawab apa-apa. Baginya, perasaan dendam itu tidak
ada dan tak dapat ia merasakan atau mengerti apa yang diutarakan isterinya itu, karena ia sendiri tidak pernah
melibatkan diri dengan urusan negara.
"Yang terpenting kita mendidik Eng Eng dan Bu Song," akhirnya ia berkata. "Dan kalau kita terlibat urusan
perang, bagaimana kita mampu mendidik anak-anak itu? Mari kita pergi ke tempat yang tenteram dan jauh dari
pada keributan."
"Ke manakah? Asal jangan ke Neraka Bumi!" Gin Lin berkata dan meremang bulu tengkuknya kalau ia
membayangkan betapa puterinya harus hidup di neraka itu!
"Tempat yang baik dan berjasa," Kim-mo Taisu berkata sambil melamun.
"Ihhh, neraka itu kau anggap baik?"
Suaminya tersenyum dan memegang tangan si Isteri. "Kalau tidak ada Neraka Bumi, bagaimana kita bisa
saling berjumpa?"
Gin Lin menjadi merah sekali mukanya, ia membuang senyum dan berkata, "Sudahlah, ke mana kita sekarang
pergi?"
"Ke Min-san!"
Selama tinggal di Neraka Bumi dan ditinggal mati Kwan Cin Cu, Gin Lin membaca kitab-kitab dan banyak tahu
akan teori ilmu silat sambil melatih diri sedapatnya. Biar pun kurang sempurna karena kurang bimbingan,
namun dia telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi juga, maka dalam perjalanan jauh itu mereka tidak
mengalami banyak kesulitan. Apabila mereka melalui jalan yang sukar, Gin Lin menggendong puterinya
sedangkan Kim-mo Taisu menggandeng tangan Bu Song atau kadang-kadang juga memondongnya.
Setelah melakukan perjalanan beberapa bulan lamanya, akhirnya mereka sampai juga ke Puncak Min-san di
mana Kim-mo Taisu lalu membangun sebuah pondok sederhana untuk tempat tinggal mereka, jauh dari pada
dunia keramaian. Mulai saat itu, Bu Song dan Eng Eng menerima gemblengan dari Kim-mo Taisu dan
isterinya. Akan tetapi oleh karena Bu Song masih saja kukuh tidak mau mempelajari ilmu silat, maka hanya
Eng Eng saja yang menerima latihan ilmu silat, sedangkan Bu Song mendapat pelajaran ilmu sastra.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seperti kita ketahui, Kim-mo Taisu Kwee Seng ini dahulu adalah seorang mahasiswa yang tak pernah lulus
dalam ujian. Biar pun ia lebih gemar ilmu silat, namun sesungguhnya ia bukanlah seorang yang bodoh dalam
ilmu sastra. Tidak, bahkan ia amat pandai. Hanya pada masa itu, untuk dapat lulus dalam ujian tidaklah
mudah. Nafsu korupsi sudah menjadi penyakit wabah yang menyerang seluruh pembesar yang berhak
memeriksa ujian. Jangan harap seorang mahasiswa akan dapat lulus dalam ujian bila tanpa memberikan uang
sogokan. Kim-mo Taisu Kwee Seng adalah seorang yang berjiwa pendekar, tentu saja ia tidak sudi untuk
melakukan penyuapan. Tidak mau ia lulus ujian dengan cara menyogok, inilah yang membuat ia gagal terus
dalam ujian.
Karena memang pandai dalam ilmu sastra, tentu saja ia dapat mengajarkan ilmu itu kepada Bu Song. Akan
tetapi, di samping ilmu menulis dan membaca sajak ini, diam-diam Kim-mo Taisu menurunkan pelajaran dasardasar
ilmu silat yang secara cerdik ia masukkan ke dalam pelajaran yang ia sebut ilmu kesehatan dan ilmu
pengobatan. Dalam diri Bu Song memang terdapat bakat istimewa, maka segala macam pelajaran dapat ia
terima dengan mudah. Bahkan dalam latihan semedhi dan peraturan napas penyaluran jalan darah, ia jauh
lebih maju dari pada Eng Eng.
Bertahun-tahun keluarga ini hidup bersunyi, hanya bertetangga penduduk gunung yang tinggal di lereng Minsan.
Hanya sepekan sekali keluarga ini dapat bertemu orang, karena penduduk tidak ada yang berani naik ke
puncak yang sukar itu. Namun mereka hidup penuh ketenteraman dan kebahagiaan.
********************
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Lu Sian, maka agar jalan ceritera dapat lancar, marilah kita mengikuti
perjalanan tokoh wanita kita ini. Di dalam jilid dua telah dituturkan betapa dalam kemarahannya, Lu Sian
membunuh kekasihnya sendiri, yaitu Hui-kiam-eng Tan Hui, lalu membunuhi pula atau setidaknya membikin
luka berat sembilan orang piauwsu yang ia anggap sebagai gara-gara pertengkarannya dengan Tan Hui.
Setelah ikatan asmara yang mesra dengan Tan Hui selama kurang lebih dua bulan, kini kembali Lu Sian bebas
seperti burung liar yang terbang melayang di udara. Agak menyesal hatinya bahwa ia terpaksa harus
membunuh Tan Hui, laki-laki yang cukup menyenangkan hatinya. Akan tetapi di samping kekecewaan dan
penyesalannya itu, terselip rasa bangga dan girang bahwa ia kini telah mewarisi ilmu ginkang dari kekasihnya
itu, yaitu Ilmu Coan-in-hui (Terbang Menerjang Mega). Ginkang ini jauh lebih hebat dari pada ginkang yang
pernah ia pelajari. Dengan hati gembira, lupa lagi akan kematian kekasihnya, Lu Sian berlari-lari secepat
terbang menggunakan Coan-in-hui.
Selagi ia berlompatan melalui perjalanan yang amat sukar di lereng bukit, tiba-tiba ia melihat sebuah benda
bergerak-gerak jauh di depannya. Lu Sian kaget seketika melihat bahwa benda itu bukan lain adalah sebuah
bantal atau karung yang dapat berlompatan cepat sekali. Ia mengenal benda ajaib ini karena di dalam rumah
Raja Pengemis, benda ini telah menolongnya ketika ia berada dalam bahaya. Maka ia lalu mengerahkan
tenaga dan cepat mengejar. Karena kini ginkang-nya memang sudah mulai mahir, gerakannya seperti burung
walet menyambar-nyambar dan biar pun gerakan benda ajaib itu juga amat cepat, namun setengah jam
kemudian ia berhasil memperdekat jarak di antara mereka.
Akan tetapi benda itu terus berloncatan, seakan-akan melarikan diri, melompati jurang dan mendaki bukit itu.
Lu Sian merasa heran. Tak salah lagi, pastilah benda itu terisi orang, akan tetapi mengapa begitu kecil?
Apakah seorang anak kecil? Tidak mungkin rasanya. Masa seorang anak kecil memiliki kepandaian sehebat
itu? Orang tua pun akan sukar bergerak sedemikian cepatnya kalau bersembunyi di dalam karung.
"Lo-cianpwe, tunggu! Aku mau bicara!" serunya. Namun bantal itu malah makin cepat bergerak maju
berloncatan.
Lu Sian menjadi gemas. “Biar pun kau hendak lari ke langit, masa aku tidak mampu mengejarmu?” demikian
pikirnya dan ia mengejar terus.
Akhirnya benda itu tiba di puncak sebuah bukit kecil dan Lu Sian telah dapat menyusulnya. Tiba-tiba terdengar
suara dari dalam benda itu, "Waduh, waduh..., habis napasku...! Terlalu sekali, mengejar orang terus-terusan.
Aku terima kalah!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah terdengar suara ini, bantal itu pecah dan muncullah seorang kakek yang pendek kecil berjenggot
panjang berkepala besar. Tubuhnya pendek seperti kanak-kanak berusia sepuluh tahun, akan tetapi melihat
kepala yang besar dan penuh kumis dan jenggot itu, jelas dia seorang kakek yang sudah tua sekali! Napasnya
mengkas-mengkis (terengah-engah), dan begitu keluar dari dalam karung, ia seperti tidak melihat Lu Sian,
melainkan memandang ke kanan kiri dengan wajah ketakutan, seperti mencari sesuatu.
Lu Sian menahan senyumnya, lalu menjura dan berkata, "Kakek lucu, mengapa kau bersembunyi dalam bantal
dan mengapa pula lari terbirit-birit?"
Dengan napas masih tersengal-sengal kakek itu menyusut peluh di dahinya, lalu berkata cemberut, "Kenapa
kau mengejar-ngejarku terus? Huh, tentu saja aku kalah napas. Coba aku masih muda, ilmu ginkang Coan-inhui
itu mana mampu mengejarku?"
"Kakek yang baik, harap jangan marah. Aku mengejarmu untuk menghaturkan terima kasih atas
pertolonganmu di rumah Kai-ong."
"Sudahlah, apa kau melihat Bu Kek Siansu?" tiba-tiba kakek itu bertanya dan kembali matanya jelalatan ke
kanan kiri, pada wajahnya tersirat ketakutan.
Lu Sian adalah seorang wanita yang cerdik sekali. Melihat lagak kakek ini ia dapat menduga, bahwa biar pun
kakek ini seorang sakti, namun ada yang ditakuti. Dan agaknya Bu Kek Siansu yang amat ditakuti. Tentu saja
ia pernah mendengar nama Bu Kek Siansu. Siapa pun orangnya yang berkecimpung dalam dunia kang-ouw,
pasti pernah mendengar nama itu, biar pun jarang sekali yang dapat bertemu muka dengan manusia dewa
yang sakti itu. Maka ia tidak menjawab, melainkan berkata, "Sekarang tidak melihatnya, akan tetapi siapa tahu
gerak-gerik manusia dewa itu? Eh, Kakek, siapakah kau dan mengapa bertanya tentang Bu Kek Siansu?"
"Aku... aku jijik bertemu dengannya!" jawabnya dan kakek itu mengangkat muka dan membusungkan dadanya
yang tipis. "Mau tahu siapa aku? Bocah, dengar baik-baik supaya jangan terjungkal karena kaget. Akulah Bu
Tek Lojin!"
Belum pernah Lu Sian mendengar nama ini. Ia menganggap orang ini selain lucu juga agak sombong. Baru
namanya saja Bu Tek (tidak terlawan)! "Biar kau tidak terlawan, akan tetapi lariku lebih cepat dari pada larimu."
"Huh, bocah masih bau air susu! Kau sombong. Apakah ayahmu, si gila Pat-jiu Sin-ong Liu Gan itu datang
bersamamu?"
"Kalau aku panggil dia, tentu ayah datang!" jawab Lu Sian, sengaja mempergunakan nama ayahnya untuk
menakuti orang. Ia percaya bahwa nama ayahnya cukup disegani kawan ditakuti lawan, buktinya Si Raja
Pengemis yang lihai itu pun kuncup hatinya mendengar bahwa ia puteri Pat-jiu Sin-ong Liu Gan.
"Ho-ho-ho-hoh! Lekas panggil ayahmu datang. Dia ditambah kau ditambah seorang lawan lagi, akan
kupermainkan seperti... seperti... seperti...."
"Seperti apa?" Lu Sian sudah marah, mendongkol hatinya mendengar dia dan ayahnya dipandang ringan.
"Seperti ini!" Kakek itu lalu menggunakan ujung kakinya mencongkel sebuah batu dan... batu itu mencelat
terbang ke atas, padahal batu itu besar dan amat berat. "Nah, ini engkau. Dan ini Ayahmu!" ia mencongkel
sebuah batu lain yang lebih besar ke atas seperti tadi. "Dan yang ke tiga ini kawan ayahmu!" Batu ke tiga
mencelat ke atas dan kini tiga buah batu besar itu melayang turun berturut-turut akan menimpa kepala si
Kakek Cebol.
Akan tetapi kakek itu menggerakkan kedua tangannya dengan telapak menghadap ke atas dan... tiga buah
batu itu bermain-main di udara, bergerak ke atas dan ke bawah, tak pernah menyentuh telapak tangan kakek
itu, seakan-akan ada hawa yang berkekuatan luar biasa menahan dan mempermainkan tiga buah batu itu.
Lu Sian melongo. Ia maklum bahwa itu adalah permainan tenaga sinkang. Akan tetapi untuk dapat
mempermainkan tiga batu besar seperti itu, benar-benar membutuhkan tenaga sinkang yang hebat luar biasa.
Kakek ini sakti sekali dan ternyata kesombongannya bukan kosong belaka.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nah, kalian bertiga bisa apa terhadapku?" Ia lalu membuat gerakan dengan tangannya lalu membentak,
"Turun!"
Heran sekali. Tiga buah batu itu bertumpang-tindih bersusun tiga, lalu perlahan-lahan turun ke atas tanah
seperti dipegang tangan yang kuat, turunnya pun perlahan-lahan dan tidak menimbulkan debu. Akan tetapi
begitu kakek itu melompat mundur, tiga buah batu yang tersusun itu hancur berantakan!
Lu Sian menelan ludah. Hebat bukan main. Timbul keinginannya memperoleh ilmu dari kakek sakti ini, maka ia
cepat menjura sambil memuji. "Wah, hebat sekali kepandaian Lo-cianpwe!"
Kakek itu kelihatan girang dan bangga, lalu bertolak pinggang membusungkan dada. Matanya mengedipngedip
dan hidungnya bergerak-gerak dengan ujung hidung yang mekar! "Nah, maka kau jangan main-main
dengan Bu Tek Lojin! Aku pesan kepadamu, dan temannya-temanmu, apabila suling emas terjatuh ke dalam
tangan seorang di antara kalian, harus cepat-cepat serahkan kepada Bu Tek Lojin. Mengerti?"
"Tidak, tidak mengerti." Lu Sian menggeleng kepala.
Kakek itu marah-marah dan mengepal tinjunya, mengamang-amangkan kedua tinjunya di depan hidung Lu
Sian. "Kau lihat ini?" bentaknya.
Lu Sian benar-benar merasa ngeri dan takut, dan saking gugupnya ia menjawab sambil mengangguk-angguk.
"Aku lihat, dan baunya busuk!" Lu Sian kaget mendengar ucapannya sendiri. Celaka, sifat lincah dan liarnya
kumat sehingga ia bicara tanpa dipikir. Ia sudah siap-siap menanti serangan, karena kakek aneh ini tentu
marah.
Akan tetapi Bu Tek Lojin malah membawa kedua tangannya ke depan hidungnya sendiri, mencium-cium.
Hidungnya dikernyitkan dan ia berkata. "Benar bau tak enak! Habis belum dicuci, berhari-hari bersembunyi
dalam karung! Eh, bocah, biar tanganku bau, akan tetapi apakah badanmu lebih keras dari pada batu tadi?"
"Maaf Kek, aku benar-benar tidak mengerti. Apa sih yang kau maksudkan dengan suling emas?"
"Wah, ketanggor (melanggar batu) aku sekali ini! Kau benar bocah hijau tak tahu apa-apa. Pat-jiu Sin-ong Liu
Gan agaknya tidak pernah memberi pengertian kepada bocah ini! Suling Emas adalah pusaka pemberian Bu
Kek Siansu kepada Sastrawan Ciu Bun. Sekarang Sastrawan Ciu Bun lenyap, entah mampus atau belum,
akan tetapi suling emas itu lenyap, menjadi perebutan orang-orang di dunia. Nah, aku perlu suling itu. Kalau
seorang di antara kalian menemukannya, harus diberikan kepadaku. Harus, mengerti?!"
"Tidak, tidak mengerti."
"Tolol! Kau menantang?"
"Tidak, Bu Tek Lojin. Kumaksudkan, aku tidak mengerti mengapa hanya sebuah suling emas saja dijadikan
rebutan. Berapa sih harganya suling emas? Agaknya orang-orang kang-ouw sekarang sudah menjadi mata
duitan semua!"
Kakek itu tertawa bergelak-gelak, perutnya sampai menjadi keras. Ia memegangi perutnya, tubuhnya ditekuk
menjadi lebih pendek lagi. "Ho-ho-ho-hah-hah! Goblok! Sekali goblok tetap tolol. Kau tahu apa? Suling itu
menjadi kunci rahasia ilmu kesaktian hebat. Selain itu, emasnya mengandung logam murni yang berasal dari
bintang, siapa memegangnya, berarti memegang sebuah senjata yang paling ampuh di dunia ini."
"Ah, begitukah? Baik, nanti kusampaikan kepada ayah dan kawan-kawan lain," kata Lu Sian, akan tetapi di
dalam hatinya sudah timbul keinginan untuk memiliki sendiri suling emas itu.
Kakek itu kaget. Biar pun sakti, agaknya ia mudah kaget. "Bocah gendeng, bikin kaget saja, kukira Bu... eh!" Ia
menghentikan ucapannya, lalu berseru keras. "Muridku! Kau naik ke sini!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena tidak ingin berurusan dengan kakek itu, Lu Sian berkata, "Bu Tek Lojin, sudahlah, aku minta diri,
hendak melanjutkan perjalananku."
"Eh, nanti dulu, kau jumpai muridku yang baik!"
“Hemm, segala murid anak kecil disuruh menjumpai,” pikir Lu Sian. Akan tetapi tidak enak kalau membantah
dan membuat marahnya kakek sakti ini, maka ia berdiri menanti.
"Bocah tolol, tidak lekas-lekas naik? Kalau habis sabarku, kujewer telingamu sampai copot!" teriak kakek itu
marah-marah.
Diam-diam Lu Sian merasa kasihan kepada bocah murid kakek yang demikian galak ini.
"Teecu datang, Suhu!" terdengar teriakan dari jauh, akan tetapi mendadak berkelebat bayangan dan tahu-tahu
di situ berdiri seorang laki-laki yang tubuhnya juga agak cebol gemuk, kepalanya botak dan jenggotnya juga
panjang!
Hampir Lu Sian tak dapat menahan ketawanya. Yang disebut bocah dan ia sangka kanak-kanak ini tidak
tahunya juga seorang laki-laki yang sudah tua, malah panjang jenggotnya, laki-laki yang seperti juga gurunya,
berpakaian tidak karuan dan bertelanjang kaki. Orang botak itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan
gurunya.
"Kalisani, hayo kau lawan perempuan ini untuk ujian. Dia puteri Pat-jiu Sin-ong, cukup untuk kau pakai
berlatih!"
Kalisani, murid Bu Tek Lojin yang kita kenal sebagai bekas Panglima Khitan itu segera bangkit berdiri
memandang Lu Sian, lalu menjura. "Nona, Suhu sudah memerintah kepadaku, terpaksa kuharap Nona suka
melayaniku barang sepuluh jurus!"
Setelah berkata demikian, ia memasang kuda-kuda seperti orang hendak membuang air, karena ia berjongkok
sampai rendah sekali dan mukanya menahan napas sampai merah seperti orang sakit perut! Kuda-kuda ini
lucu sekali.
Seandainya Lu Sian belum menduga bahwa lawan aneh ini seorang yang tak boleh dipandang ringan, tentu ia
tidak dapat menahan ketawanya. Lu Sian sendiri memiliki watak aneh, keras hati dan tidak mau kalah.
Sekarang ia ditantang terang-terangan. Biar pun ia tahu bahwa kepandaian Bu Tek Lojin jauh lebih tinggi dari
pada tingkat kepandaiannya, namun ia tidak takut. Apa pun yang akan terjadi ia harus memperlihatkan
kepandaiannya. Oleh karena itu, melihat Kalisani sudah memasang kuda-kuda, ia berseru keras, "Orang
hutan, jaga seranganku!"
Tubuhnya bergerak cepat sekali dan ia menerjang maju, langsung mengirim tendangan dengan ujung
sepatunya ke arah leher orang yang berjongkok di depannya. Ketika lawannya melompat ke belakang sambil
mengulur tangan dengan maksud menangkap kakinya yang menendang, Lu Sian menarik kakinya dan
tubuhnya condong ke depan, langsung tangan kanannya menghantam dada sedangkan tangan kiri dengan
dua jari tangan menusuk ke arah mata. Inilah jurus dari Ilmu Silat Sin-coa-kun (Ular Sakti) yang amat
berbahaya dan ganas.
Akan tetapi Kalisani bukanlah seorang yang masih hijau. Sebelum menjadi murid Bu Tek Lojin, ia telah
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan menjadi panglima tua di Khitan. Tentu saja ia tidak dapat dikalahkan
dengan mudah, dan jurus yang berbahaya ini dengan amat mudahnya dapat ia hindarkan dengan cara
melompat ke kanan. Malah ia segera membalas serangan lawan dengan pukulan keras dari kanan.
Melihat lawannya juga dapat bergerak dengan gesit sekali, Lu Sian makin bersemangat. Ia mengelak dari
pukulan itu dan balas menerjang ganas sambil mengerahkan ginkang-nya dan terus mainkan Ilmu Silat Ular
Sakti yang memiliki jurus-jurus ganas dan berbahaya. Berkat ginkang Coan-in-hui yang ia pelajari dari Tan Hui,
kini permainan Ilmu Silat Tangan Kosong Ular Sakti menjadi berlipat ganda lebih lihai dari pada sebelum ia
memiliki ginkang itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Kalisani terkejut sekali. Sedikit pun juga ia tidak mengira bahwa lawannya begini hebat. Tadi ketika
ia disuruh suhu-nya menandingi Lu Sian, ia merasa ragu-ragu dan tidak enak hati. Dia seorang yang sudah tua
dan berpengalaman banyak, pula memiliki ilmu silat tinggi. Bagaimana harus melawan seorang wanita muda?
Akan tetapi karena suhu-nya yang memberi perintah, tentu saja ia tidak berani membantah. Ia tadinya hendak
berjaga diri saja dan sedapat mungkin mengalahkan wanita ini dengan lunak, karena Kalisani bukanlah
seorang pria yang suka menghina atau menyakiti hati wanita.
Siapa kira, kini menghadapi desakan Lu Sian, ia menjadi bingung dan pandang matanya kabur. Demikian
cepatnya wanita ini bergerak! Maka ia lalu tidak sungkan-sungkan lagi, cepat ia pun mainkan ilmu silatnya dan
mengerahkan tenaga dalam pada kedua lengannya, mempercepat gerakannya. Alangkah herannya ketika
beberapa kali lengan mereka saling bertemu, wanita itu tidak roboh atau mencelat, bahkan dia sendiri merasa
betapa hawa pukulan yang amat kuat menggetarkan lengannya! Maklumlah ia kini bahwa biar pun masih muda
wanita yang pantas menjadi lawannya ini lihai sekali. Pantas saja suhu-nya mengatakan bahwa wanita ini
cukup tangguh untuk diajak berlatih ilmu silat!
Dengan ilmu ginkang Coan-in-hui, Lu Sian benar-benar dapat menguasai lawannya. Ia menang cepat dan
sudah tiga kali tangannya berhasil menyerempet tubuh lawan, malah satu kali ia berhasil memukul pundak
Kalisani. Akan tetapi tubuh lawannya kebal dan pukulan itu hanya membuat Kalisani terhuyung-huyung
sebentar, maka ia berlaku amat hati-hati dan mencari kesempatan untuk dapat memukul tepat. Lu Sian
sengaja mempermainkan lawan dengan kecepatannya untuk mengacaukan pertahanannya.
"Bocah tolol! Segala macam ilmu cakar bebek dari Khitan itu mana mampu menghadapi Sin-coa-kun dari
Beng-kauw? Tolol! Kau muridku, mengapa tidak menggunakan pelajaran dariku?" Bu Tek Lojin marah-marah,
mencak-mencak dan memaki-maki.
Kalisani memang tidak mau mempergunakan ilmu simpanannya yang ia pelajari dari Bu Tek Lojin. Ilmu itu ada
tiga macam, yaitu Ilmu Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Selaksa Kati) yang merupakan penghimpunan tenaga
sinkang yang luar biasa, ke dua adalah Khong-in-liu-san yang merupakan ilmu serangan yang luar biasa
hebatnya, dan ke tiga adalah Ilmu Silat Kim-lun-sin-hoat (Ilmu Sakti Roda Emas), semacam ilmu silat yang
dapat dimainkan dengan tangan kosong, akan tetapi lebih tepat dengan gelang atau roda emas yang ia terima
sebagai tanda mata dari Tayami!
Ilmu-ilmu ini ia tahu amat hebat, maka ia tidak tega untuk mempergunakannya terhadap Lu Sian yang sama
sekali tidak dikenalnya dan tidak ada permusuhan dengannya. Kini mendengar seruan gurunya, baru ia ingat.
Akan tetapi terlambat. Sebelum ia sempat mempergunakan ilmu itu, sebuah hantaman Lu Sian mengenai
lehernya, membuat Kalisani terlempar dan bergulingan, kemudian terbentur pohon dan rebah telentang
dengan mata mendelik. Pingsan!
"Uuhhh, tolol, mencari mampus!" Bu Tek Lojin marah dan mendongkol sekali melihat ‘jagonya’ keok. Ia lompat
mendekat, dan dua kali menotok leher dan punggung, muridnya sudah merangkak bangun lagi. "Hayo maju
lagi, kalau kau tidak bisa menang kulemparkan kau ke dalam jurang!" bentaknya. Memang kakek ini memiliki
watak yang luar biasa sekali, sama sekali ia tidak pernah mau mengaku kalah terhadap siapa pun juga.
"Bu Tek Lojin, aku tidak hendak bermusuh!" kata Lu Sian, mendongkol juga karena sudah jelas ia menang,
mengapa kakek ini nekat menyuruh muridnya maju lagi? "Aku tadi melayani hanya untuk membuktikan bahwa
bukan muridmu saja yang memiliki kepandaian di kolong jagad ini. Sekarang aku tidak ada waktu lagi."
"E-e-eh, nanti dulu! Siapa bilang muridku kalah? Tadi ia sengaja mengalah, kau tahu? Kalisani, hayo maju
lagi!"
Lu Sian gemas. Orang tua ini harus diberi rasa, pikirnya. Kali ini aku akan memukul mampus muridnya, lihat
dia hendak berlagak bagaimana lagi? Maka ia cepat berseru keras dan mendahului Kalisani, menerjang
dengan cepat.
Kalisani sudah bersiap sedia. Ia sudah merasakan kehebatan kepandaian lawan, maka sekarang ia cepat
merobah gerakannya dan mainkan ilmu silat Kim-lun-sin-hoat dan mengerahkan tenaga Khong-in-ban-kin.
Tulang-tulangnya berbunyi berkerotokan, ini tanda bahwa sinkang di tubuhnya telah terhimpun. Sebenarnya, ia
dunia-kangouw.blogspot.com
belum matang dalam latihan Khong-in-ban-kin, maka tulang-tulangnya mengeluarkan bunyi. Kalau ia sudah
berhasil menghimpun tenaga tanpa tulang-tulangnya berbunyi, barulah ilmunya itu sempurna.
Ketika menerjang, Lu Sian disambut dengan hawa pukulan jarak jauh yang luar biasa kuatnya, yang menolak
setiap gerakannya sehingga ia tidak dapat mendekati lawannya. Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati Lu
Sian. Sebaliknya, kedua tangan lawan yang digerakkan berputar-putar membentuk lingkaran-lingkaran seperti
roda itu membingungkan hatinya. Baru belasan jurus, Lu Sian sudah main mundur.
"Hua-hah-ho-ho-ho-hoh!" Bu Tek Lojin tertawa bergelak-gelak menyaksikan betapa muridnya dapat mendesak
lawan. "Kalisani, jangan sungkan. Hantam dia sampai babak belur! Comot hidungnya, jewer telinganya, cubit
pantatnya, ha-ha-ha!"
Dapat dibayangkan betapa marahnya Lu Sian mendengar ejekan-ejekan ini. “Kakek tua bangka mau
mampus,” pikirnya marah.
Pada saat ia meloncat jauh ke belakang, tiba-tiba kedua tangannya bergerak dan dari kedua tangannya itu
menyambar sinar-sinar kemerahan ke arah Kalisani dan Bu Tek Lo Jin! Kakek cebol ini masih tertawa-tawa,
akan tetapi tiba-tiba suara ketawanya berhenti dan terkejutlah ia melihat sinar merah menyambar. Namun
dengan mudah saja ia mengebutkan lengan baju dan semua jarum Siang-tok-ciam (Jarum Racun Harum) yang
dilepaskan Lu Sian runtuh ke tanah.
Kalisani sebaliknya kaget sekali. Tahu bahwa dari depan menyambar senjata rahasia berbahaya, ia
membanting tubuh ke belakang dan bergulingan, sehingga ia terbebas dari pada ancaman jarum maut. Akan
tetapi Lu Sian tidak mau menyia-nyiakan kesempatan itu. Dalam kemendongkolannya, Lu Sian sudah
mencabut pedang Toa-hong-kiam dan kini ia memutar pedang menerjang Kalisani dengan Ilmu Pedang Toahong
Kiam-hoat yang gerakannya seperti angin badai mengamuk. Kasihanlah Kalisani. Ia berloncatan ke sana
ke mari menghindar dari gulungan sinar pedang, gerakannya benar-benar seperti monyet berjoget.
"Wah, bocah jahat!"
Tiba-tiba pedang di tangan Lu Sian berhenti di udara, dan ketika Lu Sian menoleh, kiranya pedangnya itu
ujungnya sudah dijepit dua buah jari tangan Bu Tek Lojin. Lu Sian marah sekali. Cepat ia mengerahkan tenaga
menarik pedang untuk membikin buntung jari tangan orang. Namun sia-sia, sedikit pun pedangnya tidak
bergeming, masih tetap terjepit dua buah jari tangan.
"Lepaskan pedangku!"
"Heh-heh-hoh!"
"Bu Tek Lojin, lepaskan pedangku!"
"Kalau tidak kulepaskan, kau mau apa? Mau panggil ayahmu? Panggillah dia, Aku tidak takut!"
"Ayah tidak berada di sini. Akan tetapi akan kupanggil Bu Kek Siansu!"
Tangan yang menjepit pedang itu tiba-tiba gemetar dan Lu Sian mempergunakan kesempatan ini untuk
menarik pedangnya dan meloncat mundur.
"Kau bohong! Dia... dia... eh, tidak berada di sini...," biar pun mulut berkata demikian, namun kakek itu jelalatan
memandang ke sana ke mari.
"Hemm, kau tidak percaya? Baru tadi aku bertemu dengan beliau, dan aku mendengar beliau mengancam
hendak menghajar kepalamu sampai peyok dan gepeng!"
"Oh... ah... tidak... bisa....!"
"Kau tidak percaya? Biar kupanggil beliau. Beliau paling benci melihat kau mengganggu orang muda. Siansu...!
Siansu...! Silakan datang ke sini, Bu Tek Lojin menantang Siansu...!!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ohhh... jangan...! Jangan... aku... aku hanya main-main tadi... Eh, murid tolol, hayo pergi!" Kakek aneh itu
menyambar lengan muridnya dan sekali berkelebat mereka lenyap dari tempat itu.
Lu Sian berdiri termenung. Untuk ke sekian kalinya ia mendapatkan orang-orang yang jauh lebih lihai dari
padanya! Ah, selamanya ia tentu akan menemui kekecewaan dan penghinaan saja kalau ia tidak berhasil
memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi di dunia ini. Ia teringat akan ayahnya. Betapa pun juga, tingkat
kepandaian ayahnya sudah amat tinggi dan ia ingat bahwa ayahnya menyimpan kitab-kitab ilmu yang tinggi
dan dirahasiakan. Ia harus menemui ayahnya, menceritakan perceraiannya dengan Kam Si Ek, kemudian
minta kepada ayahnya untuk menurunkan ilmu-ilmu silat yang tinggi kepadanya.
Dengan pikiran ini, Liu Lu Sian lalu berangkat ke selatan, melakukan perjalanan cepat menuju ke Nan-cao, ke
rumah ayahnya. Akan tetapi kembali ia kecewa. Ketika ayahnya mendengar bahwa ia meninggalkan Kam Si
Ek, ayahnya marah-marah dan memaki-makinya.
"Isteri dan anak macam apa engkau ini?!" antara lain kata-kata Pat-jiu Sin-ong ketika marah-marah
memakinya. "Seorang isteri dan ibu meninggalkan suami dan anak begitu saja?! Sungguh celaka!!"
"Kam Si Ek terlalu kukuh dan cinta kepada tugasnya, Ayah. Asal kuajak pindah dan meninggalkan
pekerjaannya, dia marah-marah. Aku bosan dan merasa dijadikan bujang dalam rumah!"
"Huh! Sudah menjadi kewajiban seorang isteri untuk mengurus rumah tangga, melayani suami dan memelihara
anak. Ke mana pun si suami pergi, si isteri harus mengikutinya. Sebelum menikah denganmu, Kam SI Ek
memang sudah terkenal sebagai seorang patriot, mana ia sudi menuruti kehendakmu meninggalkan tugasnya?
Sayang dia menjadi orang Shan-si. Kalau dia menjadi penduduk sini dan membantu negara kita, alangkah
baiknya. Dan kau meninggalkannya begitu saja? Anak durhaka! Perbuatanmu ini akan mengotori pula namaku
sebagai ayahmu. Tahu?!"
Lu Sian tidak tahan mendengar maki-makian ayahnya dan ia lari ke kamarnya dengan muka merah, menutup
diri dalam kamar tidak mau keluar lagi. Ia memeras otak. Agaknya tinggal di rumah ayahnya pun tidak akan
menyenangkan, pikirnya. Pula, setelah ayahnya marah-marah agaknya tidak mungkin tercapai
pengharapannya, yaitu menerima ilmu-ilmu tinggi dari ayahnya. Oleh karena inilah, maka pada malam hari itu
juga ia menyelinap masuk ke dalam kamar pusaka ayahnya, mengambil tiga kitab rahasia simpanan ayahnya
yang oleh ayahnya disebut Sam-po Cin-keng (Kitab Tiga Pusaka), lalu malam itu juga ia meninggalkan
ayahnya!
Tiga buah kitab itu adalah pusaka yang amat dirahasiakan Pat-jiu Sin-ong Liu Gan. Sebuah merupakan kitab
pelajaran inti Ilmu Khi-kang Coan-im-I-hun-to (Suara Merampas Semangat Orang). Ada pun kitab kedua
merupakan inti Ilmu Pukulan Beng-kong-tong-te (Sinar Terang Menggetarkan Bumi) dan kitab ke tiga adalah
inti pelajaran Ilmu Silat Beng-kauw-kun (Ilmu Silat Beng-kauw) yang merupakan ciptaan baru dengan maksud
untuk dijadikan pegangan bagi para pimpinan Beng-kauw. Ilmu silat ini adalah gabungan dari pada semua ilmu
silat yang pernah diajarkan ayahnya kepada Lu Sian, yaitu Pat-mo-kun, Sin-coa-kun, dan Toa-hong-kun.
Dengan semangat besar Lu Sian mempelajari ilmu-ilmu ini. Beng-kauw-kun dapat ia pelajari dengan mudah.
Karena ia sudah mengenal tiga macam ilmu silat itu, maka tentu saja lebih mudah baginya untuk menghafal
dan melatih diri dengan ilmu silat gabungan yang amat hebat ini. Akan tetapi bukanlah pekerjaan mudah untuk
melatih kedua ilmu perampas semangat melalui suara dan pandang mata. Untuk itu ia harus memperkuat
sinkang dan khi-kangnya lebih dahulu. Maka setiap kali ada kesempatan, ia lalu bersemedhi dan melatih
tenaga dalam menurut petunjuk kitab-kitab itu.
Di samping melatih diri dengan kitab-kitab yang ia curi dari ayahnya, juga Liu Lu Sian mulai mencari
keterangan perihal suling emas seperti yang ia dengar dari Bu Tek Lojin. Kakek ini amat sakti, dan kalau kakek
itu sendiri menginginkan suling emas yang katanya menjadi rahasia akan ilmu silat yang paling tinggi, tentu
suling emas itu merupakan benda keramat yang tak ternilai harganya. Akan tetapi tak seorang pun di antara
orang-orang kang-ouw yang ia tanyai tahu akan benda keramat itu.
Ia merantau terus ke timur dan masuklah ia di daerah yang termasuk wilayah Kerajaan Min (Hok-kian
sekarang). Pada suatu hari menjelang senja ia tiba di kota Kim-peng yang ramai dengan perdagangan dan
dunia-kangouw.blogspot.com
banyak dikunjungi orang luar kota. Lu Sian masuk ke dalam sebuah rumah penginapan An-hoa, tidak
mempedulikan pandang mata banyak laki-laki yang berada di ruangan depan. Seorang pelayan terbongkokbongkok
datang menyambutnya, dan langsung bersikap hormat ketika melihat pedang di pinggang Liu Lu Sian.
"Bung Pelayan, sediakan sebuah kamar yang bersih untukku!" kata Lu Sian lantang.
"Maaf, Lihiap (Pendekar Wanita), maaf... semua kamar telah penuh. Dan agaknya di seluruh rumah
penginapan dalam kota ini tidak ada lagi kamar kosong karena kota Kim-peng kita kebanjiran tamu yang
hendak menyaksikan perayaan besar di kuil Siauw-lim-si."
Mendongkol sekali rasa hati Lu Sian. Sudah biasa baginya tidur di atas pohon atau di dalam goa kalau ia
kemalaman di hutan, akan tetapi kalau ia berada di kota seperti sekarang ini, tentu saja ia ingin bermalam
dalam sebuah kamar rumah penginapan.
"Ah, tidak bisakah kau mencarikan sebuah kamar untukku?" tanyanya, suaranya bernada kecewa dan
menyesal.
"Sungguh mati, saya merasa menyesal sekali, Nona. Kami akan senang sekali dapat melayani Nona, akan
tetapi apa hendak dikata, banyak sekali tamu berkunjung. Sebelum Nona datang, sudah banyak pula tamu
yang terpaksa kami tolak karena sudah kehabisan kamar."
Lu Sian menghela napas panjang. Menurutkan kemendongkolan hatinya, ingin ia memaksa dan menggunakan
kekerasan. Akan tetapi ia tekan perasaan ini dan ia sudah membalikkan tubuh hendak meninggalkan rumah
penginapan An-hoa tu ketika tiba-tiba terdengar orang berkata.
"Nona, mencari ke mana pun tidak akan ada gunanya. Lebih baik kau bermalam di kamarku, semalam atau
selamanya pun boleh!"
Lu Sian memandang. Laki-laki itu usianya sudah tiga puluh tahun lebih, wajahnya bundar gemuk seperti bola,
basah oleh peluh. Baju di dadanya terbuka, agaknya karena hawa yang panas sehingga tampak dadanya yang
gemuk berdaging. Matanya sipit, mulutnya menyeringai, sikapnya kurang ajar. Dia ini duduk menghadapi meja
bersama tiga orang laki-laki lain yang tersenyum-senyum menahan ketawa.
Hati Lu Sian yang sudah mendongkol itu kini mendidih, akan tetapi hanya dugaannya saja laki-laki ini mainmain
dengannya, kenyataannya belum terbukti. Maka ia lalu berkata, "Terima kasih atas kebaikan tuan
memberikan kamar tuan kepada saya. Akan tetapi tuan sendiri lalu hendak tidur di mana?"
Laki-laki gendut itu tertawa menyeringai memandang kepada tiga orang kawannya yang juga tertawa gembira.
Kemudian dia bangkit berdiri dan melangkah maju mendekati Lu Sian sambil berkata, "Aiihhh, Nona, mengapa
repot-repot? Kamar yang kusewa itu selain bersih, juga cukup lebar sehingga cukup untuk kita berdua. Kalau
sudah pulas aku tidak banyak bergerak!"
"Ha-ha-ha-ha! Heh-heh-heh!" Tiga orang kawannya terpingkal-pingkal. "Memang tidak banyak bergerak akan
tetapi kalau sudah pulas! Ha-ha!" si Gendut berkata lagi.
Meledak rasanya hati Lu Sian saking marahnya. Pada saat itu muncul seorang pemuda dari kiri, seorang
pemuda yang sejak tadi duduk di meja sudut, berpakaian serba kuning. Cepat ia melangkah maju dan menjura
kepada Lu Sian sambil berkata, "Nona, harap jangan melayani mereka. Kau pakailah kamarku, aku dapat tidur
bersama dua orang suhengku di kamar belakang...."
Akan tetapi Lu Sian sudah tidak sudi mendengarkan omongan orang lain lagi karena matanya sudah
memancarkan cahaya berapi ditujukan kepada si laki-laki gendut. Tiba-tiba tubuhnya bergerak ke depan,
saking cepatnya sukar diikuti pandang mata, dan....
"Plak-plak-plak-plak!"
Muka dan tubuh laki-laki gendut itu dihajar habis-habisan oleh kedua tangan Lu Sian, tanpa sedikit pun
memberi kesempatan pada si Gendut untuk mengelak, membalas, bahkan bernapas. Tubuh si Gendut itu
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti di sambar petir, tersentak ke kanan kiri, ke belakang, terhuyung-huyung dan akhirnya roboh menabrak
kursi. Kulit mukanya hancur mandi darah, kedua matanya menonjol ke luar, hidungnya remuk, telinga kirinya
hilang dan napasnya empas-empis mau putus!
"Hayo, mana kawan-kawannya? Maju semua, biar kuhabiskan nyawanya! Bedebah! Keparat bermulut kotor!
Hayo kalian bertiga kawannya, bukan? Kalian tadi menertawai aku? Maju semua! Pengecut, anjing bernyali
tikus kalian kalau tidak berani maju!" Lu Sian dengan kemarahan meluap-luap menantang dan memaki.
Pemuda pakaian kuning itu agaknya terkejut menyaksikan sepak terjang Lu Sian yang demikian ganas, juga
amat kaget mendapat kenyataan bahwa Lu Sian memiliki kepandaian sehebat itu, terbukti dari gerakan
tubuhnya yang ringan tangkas sekali.
Si Gendut dan tiga orang kawannya adalah sebangsa buaya darat yang biasa mencari perkara dan mencari
keuntungan di tempat-tempat ramai. Tiga orang buaya darat itu menjadi kaget dan marah melihat kawannya
dihajar setengah mati. Tadi mereka hanya melongo karena sedemikian cepatnya Lu Sian bergerak sehingga
mereka tak sempat menolong kawan. Kini mereka bangkit serentak dan....
"Sratt-sratt-sratt!" tangan mereka telah mencabut golok.
"Awas...! Lari...!!" pemuda baju kuning berteriak kaget kepada tiga orang itu.
Namun terlambat! Sinar merah menyambar dari tangan Lu Sian, tidak hanya ke arah tiga orang buaya darat
itu, akan tetapi juga ada yang menyambar ke arah pemuda baju kuning. Pemuda itu dengan gerakan tangkas
miringkan tubuh dan tangannya menyambar sebatang jarum Siang-tok-ciam sambil melompat mundur. Akan
tetapi tiga orang buaya darat itu sudah terjengkang dan merintih-rintih karena dada mereka sudah tertusuk
jarum-jarum berbisa yang dilepas oleh Lu Sian tadi!
"Ah, jarum beracun yang hebat!" pemuda baju kuning itu berseru kaget sambil meneliti jarum merah di
tangannya. Kemudian ia melangkah maju mendekati Lu Sian, menjura sambil berkata. "Nona, kumohon
dengan hormat sudilah kiranya Nona mengampuni mereka ini dan memberi obat penyembuh racun."
Lu Sian melirik dengan pandang mata dingin. "Hemm, kau memiliki kepandaian juga!" katanya, hatinya panas
karena jarumnya dapat ditangkap oleh pemuda itu. "Apakah kau kawan mereka dan hendak membela
mereka?" Ucapan terakhir ini dikeluarkan dengan nada suara mengancam.
Pemuda itu tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Sama sekali bukan, Nona. Sebodoh-bodohnya orang
macam Yap Kwan Bi ini, masih belum begitu tersesat untuk bersahabat dengan segala macam buaya darat."
Lu Sian merasa heran sekali mengapa hatinya menjadi lega mendegar bahwa pemuda yang tampan sekali ini
bukan sahabat penjahat-penjahat itu. Pemuda ini amat tampan, mukanya halus seperti muka wanita, matanya
lebar dan memandang dunia dengan jujur dan berani. Senyumnya manis dan dagunya mempunyai belahan
yang membayangkan sifat jantan, alisnya seperti golok dan amat hitam.
"Kalau bukan sahabat, mengapa kau mintakan ampun?" tanyanya, masih mengagumi wajah yang amat
tampan dan bentuk tubuh yang tegap dan padat.
"Nona, aku tahu bahwa kau adalah seorang pendekar wanita yang lihai dan orang-orang ini mencari mampus
berani mengeluarkan ucapan menghina dan kurang ajar terhadapmu. Akan tetapi, nyawa manusia bukanlah
nyawa ayam yang mudah dicabut begitu saja. Pula, dengan melayani segala cacing kecil macam mereka ini,
bukankah berarti merendahkan kepandaian sendiri? Mereka sudah cukup mendapat pengajaran, maka
sepatutnya kalau mereka diampuni dan diberi obat penawar racun. Alangkah tidak baiknya kalau kota yang
tenteram ini dikotori oleh pembunuhan yang disebabkan hal-hal kecil! Aku Yap Kwan Bi yang bodoh
mengharapkan kebijaksanaan Nona."
Pemuda itu bicara dengan teratur dan sopan, halus dan mengesankan. Seketika lenyap kemarahan di hati Lu
Sian, seperti awan tipis tertiup angin. Ia mencibirkan bibirnya dan pemuda itu memejamkan matanya karena
jantungnya sudah jungkir balik di dalam dada. Bukan main wanita ini, pikirnya. Belum pernah selama hidupnya
dunia-kangouw.blogspot.com
ia bertemu dengan wanita secantik ini. Dan ketika bibir yang kecil mungil dan merah membasah itu mencibir,
memuncaklah daya tariknya sehingga ia hampir jatuh berlutut.
Ketika pemuda itu membuka matanya, Lu Sian telah mengeluarkan obat bubuk berwarna kuning, memberikan
tiga bungkus kepada tiga orang buaya darat itu sambil berkata, "Cabut jarum-jarum itu dan bersihkan, lalu
berikan kepadaku!"
Tiga orang itu dengan tubuh menggigil menahan sakit membuka baju dan mencabut jarum-jarum yang
menancap di dada mereka, dua batang seorang. Setelah membersihkan jarum-jarum itu dengan baju, mereka
menyodorkannya kepada Lu Sian yang menerima dan menyimpannya.
"Sekarang minum obat ini seorang sebungkus dengan arak!"
Tergesa-gesa mereka membuka bungkusan obat, meminumnya dengan arak dan seketika rasa gatal-gatal dan
panas pada tubuh mereka lenyap. Mereka segera menjatuhkan diri, mengangguk-anggukkan kepala sampai
dahi mereka membentur lantai di depan Lu Sian.
"Kalian bertiga tidak lekas pergi membawa teman kalian yang sial ini, apakah menanti hajaran lagi?" Yap Kwan
Bi berseru, muak menyaksikan sikap mereka itu.
Tanpa banyak bicara lagi tiga orang itu lalu menyeret tubuh teman mereka yang mukanya dirusak oleh Lu Sian
tadi, meninggalkan rumah penginapan. Karena semua orang memandangnya dengan mata kagum dan takut,
Lu Sian membuang muka dan hendak berjalan keluar meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi Yap Kwan Bi cepat berkata, "Nona, aku tidak main-main ketika menawarkan kamarku. Percayalah,
tidak ada niat buruk di hatiku. Pakailah kamarku dan aku akan tidur bersama kedua suhengku yang belum
datang. Kami bertiga memakai kamar besar."
Tak enak hati Lu Sian untuk menampik terus. Memang ia membutuhkan kamar dan pemuda ini amat sopan,
amat tampan, amat menarik. Ia segera menjura untuk membalas penghormatan pemuda itu. "Terima kasih.
Kau baik sekali, Saudara Yap. Karena aku harus membalas setiap kebaikan atau keburukan orang terhadapku,
maka aku persilakan kau suka menerima undanganku untuk makan dan minum bersamaku sore hari ini."
Yap Kwan Bi adalah seorang pemuda yang belum pernah bergaul dengan wanita. Penawaran ini
mendebarkan jantungnya dan membuat kedua pipinya kemerahan. Masa seorang wanita yang datang
sendirian mengajak makan minum seorang pemuda? Akan tetapi ia teringat bahwa wanita ini bukanlah gadis
sembarangan, melainkan seorang perantauan di dunia kang-ouw, maka hal itu tidaklah amat janggal. Ia cepatcepat
menjura menghaturkan terima kasih. "Kau baik sekali, Nona. Mari kuantar Nona ke kamar Nona,"
katanya hormat.
Lu Sian mengangguk dan memanggil pelayan. "Pesankan semeja makanan dan minuman untuk dua orang,
pilih masakan yang terbaik dan antarkan cepat ke kamarku."
"Baik, Lihiap, baik...," pelayan itu mengangguk-angguk dan pergi cepat-cepat untuk melakukan perintah orang.
Lu Sian bersama pemuda itu memasuki ruangan dalam, diikuti pandang mata banyak orang yang tadi
menyaksikan peristiwa hebat itu. Kamar itu tidak besar, namun cukup bersih. Pemuda itu mengambil
bungkusan pakaiannya untuk dipindahkan ke kamar lain dan Lu Sian melihat gagang pedang tersembul ke luar
dari dalam bungkusan pakaian. Ia tersenyum. Gerak gerik pemuda ini benar-benar sopan, dan ia demikian
tampan, ia demikian tangkas.
"Saudara Yap mari kita duduk bercakap-cakap sambil menanti datangnya hidangan. Silakan."
Mereka duduk menghadapi meja satu-satunya di dalam kamar. Mulut belum berkata apa-apa, mata sudah
saling pandang. Sesaat pandang mata mereka bertaut, sukar dilepaskan, lalu muka pemuda itu menjadi merah
sekali. Ia menjadi bingung dan gugup sehingga Lu Sian tak dapat menahan senyumnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat seorang pemuda terpesona oleh kecantikannya adalah hal yang lumrah, tidak aneh baginya. Akan
tetapi biasanya laki-laki yang terpesona oleh kecantikannya itu memperlihatkan sikap kurang ajar, sedangkan
pemuda ini sebaliknya malah menjadi malu-malu dan panik! Ia tahu bahwa kalau ia diamkan saja, pemuda itu
akan menjadi makin panik, maka ia segera berkata dengan senyum manis menghias bibir. "Saudara Yap
memiliki kepandaian yang tinggi, sungguh membuat orang kagum sekali."
Pemuda itu tersenyum dan cepat-cepat menjawab. "Ah, Nona terlalu memuji. Apakah artinya kebodohanku ini
dibandingkan dengan kelihaianmu? Justru Nonalah yang membuat semua orang, terutama aku sendiri,
menjadi amat kagum."
Pada saat itu pelayan datang mengantar hidangan dan arak yang ia atur di atas meja depan sepasang orang
muda itu.
Setelah pelayan pergi, Lu Sian menuangkan arak di atas cawan, lalu berkata sambil tersenyum, "Dalam
pertemuan ini kita saling cocok dan menjadi sahabat, akan tetapi janggal sekali sebutan yang masing-masing
kita gunakan. Saudara Yap, namaku Lu Sian dan kalau kau suka memberi tahu berapa usiamu, kita dapat
mengatur tentang sebutan."
Melihat wanita itu demikian terbuka dan jujur sikapnya, Kwan Bi merasa girang. "Tahun ini usiaku dua puluh
satu tahun."
"Kalau begitu biarlah aku menyebutmu Adik dan kau menyebutku Cici!"
Pemuda itu dengan muka gembira bangkit berdiri dan menjura. "Lu-cici (Kakak Lu)!"
Lu Sian juga bangkit berdiri, tertawa gembira mengingat betapa pemuda ini menyangka dia she Lu bernama
Sian. Ia pun menjura dan berkata dengan senyum melebar dan kerling mata menyambar, "Yap-te yang baik...!"
Mereka duduk kembali dan Lu Sian mengangkat cawan arak mengajak minum, menawarkan makan dengan
sikap lincah manis sehingga lenyaplah rasa malu-malu dan kikuk di pihak pemuda itu. Mereka makan dan sinar
mata mereka saling sambar dan saling lekat di kala sumpit-sumpit mereka tanpa sengaja bertemu dan beradu
ketika dalam waktu bersamaan mengambil masakan yang sama. Tadinya memang tidak disengaja, akan tetapi
lama kelamaan ada unsur kesengajaan!
Ketika hawa arak mulai membikin sepasang pipi Lu Sian menjadi kemerahan, ujung bibirnya bergerak-gerak
manis dan sinar matanya memancarkan kehangatan. Ia berkata, "Adik Yap baru berusia dua puluh satu tahun
sudah memiliki kepandaian hebat. Bolehkah aku tahu dari perguruan manakah?"
"Lu-cici terlalu memuji. Kepandaianku amat jelek dan masih rendah, boleh dibilang paling rendah di antara
murid-murid Siauw-lim-pai."
"Ahh! Kiranya murid Siauw-lim-pai?" Lu Sian menepuk kedua tangannya dengan pandang mata kagum, lalu ia
tertawa dan berdiri sambil memberi hormat. "Maafkan tadi aku berlaku kurang hormat kepada seorang
pendekar besar dari Siauw-lim!"
"Lu-cici jangan mentertawakan Siauw-te!" Pemuda itu pun berdiri dan tertawa. "Kau membikin aku menjadi
kikuk saja! Marilah kita duduk kembali dan jangan terlalu mengadakan pujian kosong terhadap diriku yang
bodoh."
Mereka tertawa-tawa gembira dan duduk kembali. Pengaruh arak telah membuat keduanya bicara makin
bebas dan gembira, diseling tawa dan senyum serta lirikan mata yang mulai memancarkan dendam birahi.
"Yap-te, siapakah yang belum mendengar tentang kehebatan dan kebesaran Siauw-lim-pai? Ilmu silat dari
Siauw-lim-pai adalah warisan langsung dari Tat Mo Couwsu, terkenal sebagai rajanya ilmu silat. Sudah lama
aku mendengar akan kebesaran Siauw-lim-pai, dan sejak kecil aku sudah bermimpi-mimpi ingin sekali
mendapat kesempatan mengunjungi dan melihat-lihat keadaan dalam kelenteng yang menjadi pusat Siauwlim-
pai!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, aku akan merasa bangga dan bahagia sekali andai kata dapat mengantar Lu-cici melihat-lihat ke sana!
Sayang, sungguh menyesal hatiku bahwa hal itu tak mungkin karena ada larangan keras wanita memasuki
ruangan dalam perguruan kami. Maaf, Lu-cici."
Lu Sian menarik napas panjang. "Sayang sekali, Yap-te. Akan tetapi kalau kau mau menceritakan tentang
keadaan sebelah dalam, aku pun bisa membayangkan dan bukankah itu sama dengan melihat sendiri? Aku
bisa melihat-lihat dengan meminjam sepasang matamu yang awas." Lu Sian tertawa dan pemuda itu pun
tertawa.
Maka sambil makan minum berceritalah Yap Kwan Bi tentang keadaan sebelah dalam kuil Siauw-lim-si yang
luas, tentang patung-patung besar, tentang ruangan-ruangan latihan, ruangan ujian dan kemudian untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan Lu Sian, pemuda ini bercerita tentang kamar kitab.
"Kamar kitab ini merupakan satu di antara kamar-kamar yang tidak boleh dimasuki murid, kecuali kalau masuk
bersama Suhu, Susiok (Paman Guru) atau mendapat perkenan langsung dari Sukong (Kakek Guru) ketua
Siauw-lim-pai sendiri."
"Adik yang gagah, kau sebagai murid terkasih tentu pernah masuk, bukan?"
Yap Kwan Bi mengangguk. "Sudah belasan kali ketika Suhu menyuruh aku memperdalam Ilmu I-kin-keng
untuk membersihkan dan memperkuat otot-otot dalam tubuh dan tentang ilmu semedhi melatih napas."
"Wah, kalau begitu lengkap sekali perpustakaan Siauw-lim-pai! Ah, betapa inginku menjenguk ke sana
sebentar. Adikku yang baik, tidak dapatkah kau mengantar Cici-mu ini masuk sebentar saja ke sana?"
Pemuda itu bergidik. "Mana bisa, Lu-cici? Percayalah, kalau ke tempat lain, biar mempertaruhkan nyawa, akan
kuantarkan. Akan tetapi ke ruangan dalam Siauw-lim-si? Ah, hukumannya berat, hukuman mati. Dan di sana
sama sekali tidak boleh dibuat main-main. Para Suhu amat keras dan lihai."
Lu Sian menghela napas penuh kecewa, akan tetapi dalam benaknya telah tergambar keadaan ruanganruangan
sebelah dalam Siauw-lim-si seperti yang diceritakan Yap Kwan Bi tadi. "Berapa banyakkah kitab-kitab
di dalam kamar kitab itu?"
Ia terus menghujani Kwan Bi dengan pertanyaan-pertanyaan sehingga beberapa saat kemudian Lu Sian sudah
tahu betul akan letak dan rahasia kamar ini, betapa kitab tentang semedhi berada di rak terbawah, kemudian
Ilmu Silat Lo-han-kun di rak kedua sebelah kiri, ilmu ini di rak itu, ilmu tentang itu di rak ini.
Akan tetapi yang menarik perhatian Lu Sian adalah kitab tentang ilmu menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai,
yang bernama Im-yang-tiam-hoat. Ilmu ini pernah ia dengar dari ayahnya yang menyatakan bahwa ilmu
menotok jalan darah Siauw-lim-pai ini adalah paling hebat, paling kuat dan merupakan dasar pelajaran segala
macam ilmu menotok jalan darah. Maka hatinya berdebar ketika ia bertanya kepada Kwan Bi dan mendengar
bahwa kitab Im-yang-tiam-hoat itu berada di rak paling atas di ujung kiri.
"Yap-te, aku merasa girang sekali bertemu denganmu dan dapat menjadi sahabat. Kau menyenangkan sekali!"
"Ah, Lu-cici, kaulah yang luar biasa. Kau baik sekali kepadaku dan... aku berhutang budi kepadamu. Entah
bagaimana aku dapat membalas kebaikanmu ini, Lu-cici."
Keadaan pemuda itu sudah mulai mabok. Tidak biasa ia minum arak sampai banyak, akan tetapi menghadapi
seorang wanita cantik jelita seperti Lu Sian, ia menjadi lupa diri dan minum terus setiap kali si Jelita mengisi
cawan araknya. Lenyaplah kekakuan sikap Yap Kwan Bi.
Ketika Lu Sian mengulur tangan kirinya di atas meja, dekat dengan tangan kanannya, jari-jarinya merayap
mendekati dan menyentuh kulit tangan halus lunak itu. Biar pun yang bersentuhan hanyalah ujung jari dengan
punggung tangan, namun seakan-akan ada aliran listrik memasuki tubuh melalui tempat persentuhan sebagai
pusat pembangkit tenaga, langsung menyerang jantung yang menjadi berdebar-debar keras. Karena tidak ada
reaksi apa-apa dari pihak Lu Sian, tangan pemuda itu makin berani dan di lain saat sepuluh buah jari tangan
mereka sudah saling cengkeram!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Lu-cici... alangkah janggalnya aku menyebutmu Cici. Kau... kau begini cantik jelita dan tentu lebih muda dari
padaku. Kau paling banyak delapan belas tahun...," pemuda itu berkata agak sukar karena cengkeraman jari
tangan itu membuat napasnya sesak dan kepalanya pusing!
Lu Sian tersenyum manis dan perlahan-lahan melepaskan jari-jari tangannya, lalu menarik kembali lengannya.
Kedua pipinya merah dan kedua matanya terselaput air, bibirnya tersenyum-senyum aneh dan matanya
memandang pemuda itu setengah terpejam. Sejenak ia menahan napas untuk menekan desakan nafsu yang
menggelora. Dia wanita lemah, mudah dibakar nafsu, akan tetapi dia pun kuat menguasai nafsu yang datang
membakar.
"Yap-te, aku memang lebih tua dari padamu."
"Ah, kau ini seperti Bibi Guruku saja, Lu-cici. Dia sudah berusia lima puluh tahun, akan tetapi semua orang
tentu tidak percaya karena ia kelihatan masih muda. Ah, agaknya biar pun Bibi Guru tidak mewarisi kelihaian
ilmu silat Siauw-lim-pai, namun ia telah mewarisi Ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Suci Sumsum) dengan
sempurna sehingga ia dapat mengalahkan usia tua dan menjadi tetap muda!"
Serentak perhatian Lu Sian terbangkit. "Siapakah Bibi Gurumu yang hebat itu? Apakah aku bisa berkenalan
dengannya?"
"Tentu saja bisa, Lu-cici. Dia dahulu bernama Su Pek Hong, dan kini setelah menjadi pendeta wanita disebut
Su-nikouw. Ia menjadi ketua kuil wanita di sebelah barat kota. Kau ingin bertemu dengannya, Cici? Mari
kuantar!"
"Ah, kau baik sekali! Akan tetapi, aku akan mandi dulu...."
"Mandi? Air persediaan di rumah penginapan ini hanya sedikit, itu pun tidak terlalu bersih, Lu-cici. Di sebelah
barat terdapat telaga kecil di sebuah hutan, tidak jauh dari kuil Kwan-im-bio tempat tinggal Bibi Guru Sunikouw.
Airnya jernih sekali dan aku sendiri selalu mandi di sana."
Lu Sian serentak bangkit berdiri, wajahnya berseri. "Kalau begitu menanti apa lagi? Mari kita ke sana, mandi,
lalu mengunjungi Bibi Gurumu Su-nikouw!"
Setelah membereskan perhitungan makanan, mereka berdua keluar dari rumah penginapan. Malam telah tiba
ketika mereka berada di luar rumah penginapan. Yap Kwan Bi yang mengenal jalan, tanpa ragu-ragu lagi
menggandeng tangan Lu Sian, diajak berjalan cepat melalui lorong-lorong gelap. Mereka setengah berlari
menuju ke sebelah barat kota, bahkan setelah keluar dari pintu gerbang sebelah barat, mereka berlari cepat
sambil tertawa-tawa seperti dua orang kanak-kanak bergembira. Tak lama kemudian mereka memasuki
sebuah hutan yang sunyi dan gelap karena sinar bulan tertutup daun-daun pohon. Jalan yang mereka lalui
semakin licin setelah makin dekat dengan telaga kecil yang berada di tengah hutan.
"Hati-hati, jalannya licin..," baru saja Kwan Bi berkata demikian, Lu Sian terpeleset dan tentu jatuh kalau Kwan
Bi tidak cepat memeluknya.
"Eh, hampir jatuh aku...," Lu Sian tertawa. Akan tetapi pemuda itu tidak melepaskan pelukannya. "Heee, Yapte,
mengapa kau ini....?" tegurnya pura-pura marah.
Dengan dada turun naik dan napas tersendat-sendat, Kwan Bi mempererat dekapannya dan berbisik di dekat
telinga Lu Sian, suaranya menggetar, tubuhnya agak menggigil. "Ah... aku telah gila... aku... aku cinta padamu,
Lu-cici!"
Lu Sian tertawa dan mencubit dagu yang halus tak ditumbuhi rambut itu sambil melepaskan diri dari pelukan.
"Aihhh, kiranya kau nakal!" kemudian sambil tertawa-tawa ia lari menuju ke telaga.
Kini pohon-pohon tidak begitu banyak lagi dan sinar bulan tampak indah sekali menyinari permukaan air telaga
dan membuat keadaan sekeliling yang sunyi itu menjadi amat romantis. Sejenak Yap Kwan Bi tertegun,
kemudian ia pun tertawa dan mengejar ke telaga. Cinta memang aneh dan luar biasa pengaruhnya. Seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
muda yang sedang dicengkeram cinta, seakan-akan menjadi buta dan linglung. Demikian pula dengan Kwan
Bi. Andai kata dia tidak dibikin mabok dan buta oleh perasaan ini, tentu dia akan menjadi curiga dan heran
mengapa seorang wanita sedemikian tinggi ilmu kepandaiannya seperti Lu Sian begitu mudah terpeleset
hampir jatuh! Mungkin hal ini terjadi bukan hanya karena ia menjadi buta oleh nafsu cinta, melainkan terutama
sekali oleh kekurangan pengalamannya.
"Yap-te, mari kita mandi!" seru Lu Sian dengan suara gembira
Yap Kwan Bi berdiri seperti terpaku di atas tanah, tak kuasa bergerak mau pun membuka suara. Matanya
memandang ke arah Lu Sian seperti orang terkena pesona, hanya kalamenjingnya yang bergerak perlahan
ketika ia menelan ludah. Pemandangan yang tampak olehnya benar-benar merupakan pemandangan yang
belum pernah ia saksikan selamanya, pemandangan indah dan menggairahkan hati mudanya. Betapa tidak?
Wanita yang cantik jelita seperti bidadari itu dengan gerakan indah seperti dewi menari, menanggalkan
pakaian luarnya begitu bebas, seakan-akan dia tidak berada di situ. Setelah menanggalkan pakaian luar dan
kaus serta sepatu, wanita itu kemudian melepaskan sanggulnya, menoleh kepadanya sambil tersenyum lebar
lalu meloncat ke dalam air!
Suara air muncrat menyadarkan Kwan Bi, dan ia pun lari mendekati telaga dengan hati berdebar-debar. Cepat
ia menanggalkan pula pakaiannya dan melompat ke dalam air, berenang menghampiri Lu Sian yang tertawatawa
dan bermain-main dengan air yang jernih di tengah telaga. Setelah dekat, Kwan Bi menangkap lengan
tangan Lu Sian sambil berkata, "Lu-cici, kau... tidak marah kepadaku?"
"Marah? Kenapa mesti marah?" kata Lu Sian tertawa dan memercikkan air.
"Kau tidak marah mendengar aku mencintaimu?"
"Hi-hik, kenapa marah? Kau baik sekali, akan tetapi harus kau buktikan dulu cintamu!" jawab Lu Sian manja,
dan ia kelihatan cantik luar biasa di bawah sinar bulan. Benar-benar seperti seorang dewi dari langit yang turun
dan mandi di telaga ini.
"Oh, Lu-cici... aku mencintaimu... aku berani bersumpah, dan kau minta bukti? Ini buktinya...!" Kwan Bi
memeluk, merangkul dan mencium.
"Eiiihhh... ini bukan bukti namanya. Belum apa-apa kau sudah mau enaknya saja!" Lu Sian merenggutkan diri
terlepas dari pelukan, lalu tertawa-tawa menggoda, membuat pemuda itu makin gemas, makin bergelora
gairahnya. "Adikku yang tampan, sebelum itu kau harus membuktikan bahwa kau benar-benar mencintaku dan
suka menolongku."
"Pertolongan apakah? Katakanlah, kasihku, katakan. Biar dengan taruhan nyawa sekali pun, aku pasti akan
memenuhi permintaanmu, membuktikan cinta kasihku kepadamu," kata Kwan Bi dengan suara gemetar dan
tubuh menggigil saking hebatnya golombang nafsu membakarnya.
"Yap Kwan Bi, aku ingin sekali melihat kamar penyimpanan kitab di Siauw-lim-si, memilih sebuah kitab dan
meminjamnya. Maukah kau menolongku?"
Bukan main kagetnya hati Yap Kwan Bi. "Ah... ini... ini... agaknya sukar sekali Lu-cici!"
Bibir yang melebihi madu manisnya itu berjebi dan cuping hidung yang bangir itu bergerak-gerak mengejek,
"Huhh! Dan kau bilang mencintaku? Berani bersumpah?" Lu Sian berenang ke pinggir telaga dan mendarat,
duduk di atas rumput.
Setelah wanita itu keluar dari dalam air, tubuh yang bentuknya ramping padat itu hanya tertutup pakaian dalam
yang basah kuyup oleh air pula. Kwan Bi seperti dicabut semangatnya. Sejenak ia menatap pemandangan luar
biasa itu, pandang matanya menelan lekuk-lengkung tubuh yang demikian menantang, maka maboklah
pemuda ini. Ia lupa segala, tidak peduli akan segala apa di dunia ini, yang teringat olehnya hanyalah wajah
jelita dan tubuh menggairahkan. Setiap titik darahnya, setiap hembusan napasnya, seakan-akan berteriakteriak
dalam kerinduan membutuhkan si jelita!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Lu-cici..., tunggu dulu!" serunya sambil mengejar, berenang ke darat.
Diam-diam Lu Sian tersenyum. Pemuda itu amat tampan, amat menyenangkan dan hatinya memang sudah
tergerak. Tanpa adanya harapan melihat kitab pusaka Siauw-lim-pai sekali pun ia akan merasa senang
bersahabat dengan Yap Kwan Bi, si muda remaja yang tampan ini. Apalagi kalau mendapatkan kitab!
"Mengapa lagi? Kau tidak mau menolongku, berarti kau tidak suka kepadaku," Lu Sian pura-pura marah dan
membuang muka dengan gerakan sedemikian rupa sehingga tubuhnya tampak dari samping dan makin
menonjol keindahannya.
Yap Kwan Bi menelan ludah beberapa kali, matanya seperti lekat pada lekuk lekung di depannya. "Lu-cici...
aku tadi bukan bilang tidak mau menolong, hanya menyatakan sukar sekali."
"Jadi kau mau menolongku?" tiba-tiba Lu Sian membalik dan memegang lengan pemuda itu. Tentu saja begitu
tubuhnya mendekat, dari rambut serta tubuhnya terpancar semerbak bau harum dan wangi yang khas!
Menggigil tubuh Kwan Bi dan hampir saja ia menitikkan air mata saking dikuasai haru, kasih dan nafsu.
"Tentu, Lu-cici. Biar pun hal itu merupakan perbuatan yang amat murtad. Kalau ketahuan, tentu akan dihukum
mati oleh para Suhu. Namun, demi cintaku kepadamu, Cici, biarlah akan kulakukan juga. Mati untukmu
merupakan kebahagiaan bagiku," suaranya menggetar dan terharulah hati Lu Sian.
Agaknya dalam soal cinta, pemuda yang lebih muda dari padanya ini tidaklah kalah oleh bekas suaminya, Kam
Si Ek, dan bekas kekasihnya, Tan Hui. Saking terharunya, ia lalu merangkul leher pemuda itu dan memberi
ciuman mesra dengan bibirnya.
"Kau baik sekali, Yap-te, dan aku beruntung mendapatkan sahabat seperti engkau." Kemudian ia menjauhkan
diri ketika melihat betapa pemuda itu terangsang oleh ciumannya dan hendak mendekapnya. "Nanti dulu,
Adikku, bersabarlah. Kau ceritakan, bagaimana kita akan dapat memasuki kamar kitab di Siauw-lim-si?
Padahal di sana tentu terjaga kuat oleh tokoh-tokoh Siauw-lim-pai yang lihai."
"Kau betul, Cici. Akan tetapi, kebetulan sekali besok lusa diadakan sembahyang besar di Siauw-lim-si.
Agaknya Thian memang akan menolong dan melindungi cinta kasih kita. Dalam upacara sembahyang besar
itu, semua murid Siauw-lim-si berikut pimpinannya yang telah menjadi hwesio dan nikouw, melakukan upacara
sembahyang beramai-ramai dan berbareng. Tidak ada seorang pun hwesio yang tidak ikut dalam upacara itu.
Nah, pada saat itulah, selama upacara sembahyang dilakukan, semua tempat dalam lingkungan Siauw-lim-si
tidak terjaga. Ada pun penjagaan hanya dilakukan oleh murid-murid bukan pendeta, itu pun yang dijaga hanya
sekeliling tembok yang mengurung Siauw-lim-si. Aku pun ikut menjadi penjaga, penjaga pintu gerbang dan
tembok bagian selatan. Kalau aku yang menjaga di sana, apakah sukarnya bagimu untuk masuk? Dan selagi
para hwesio melakukan upacara sembahyang, kau dapat dengan leluasa memasuki kamar kitab, bukan?"
Girang sekali hati Lu Sian. "Ah, bagus kalau begitu! Masih dua hari lagi? Ah, masih banyak waktu bagi kita
untuk...." Lu Sian mengerling tajam.
"...untuk bersenang-senang bersama bukan?" Yap Kwan Bi langsung menyambar kata-kata yang sengaja tidak
diselesaikan Lu Sian.
Lu Sian tersenyum. "Ketika kau menawarkan kamarmu untukku, bukankah di sudut hatimu sudah ada maksud
itu?"
Wajah yang tampan itu menjadi merah, akan tetapi pemuda ini menggeleng kepala dan berkata dengan suara
sungguh-sungguh, "Tidak, Lu-cici. Ketika itu aku hanya berniat menolong, karena memang sifat pendekar
harus selalu dilaksanakan oleh para murid Siauw-lim-pai. Akan tetapi... ah, entah mengapa, aku tergila-gila
kepadamu, dan aku cinta kepadamu! Tak baik kalau kita kembali ke sana bersama, Lu-cici. Orang-orang tentu
akan menaruh curiga. Di sinilah tempat kita, bukankah enak dan nyaman sekali di sini?" Yap Kwan Bi
memeluknya lagi dan kali ini Lu Sian mendiamkannya saja.
Tiba-tiba wanita ini bangkit berdiri dan menarik tangan Kwan Bi. "Eh, bocah pelupa! Bukankah kau hendak
memperkenalkan aku kepada Bibi Gurumu Su-nikouw?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Yap Kwan Bi tertawa, agak kecewa karena tidak ada keinginan lain di dunia ini baginya kecuali berdua-dua
dan bersenda gurau bermain cinta dengan Lu Sian, jauh dari urusan dan orang lain. Akan tetapi ia tidak berani
menolak. Setelah mengenakan pakaian luar, mereka berdua bergandeng tangan dan berlari menuju ke Kuil
Kwan-im-bio.
Su-nikouw atau Su Pek Hong adalah seorang nikouw yang ramah tamah wataknya. Ia menjadi ketua Kwan-imbio
yang kecil namun bersih dan rapi, hanya diurus oleh tujuh orang nikouw. Ketika Su-nikouw menyambut
kedatangan murid keponakannya, Lu Sian memandang dengan heran dan kagum. Nikouw itu tidak cantik,
wajahnya biasa saja dan tubuhnya terlalu kurus. Akan tetapi harus diakui bahwa melihat wajah dan tangannya,
wanita ini tentu tidak akan lebih dari tiga puluh tahun usianya. Padahal menurut penuturan Kwan Bi, nikouw ini
usianya sudah lima puluh tahun lebih! Benar-benar hebat sekali. Timbullah keinginan di hati Lu Sian untuk
mendapatkan ilmu awet muda ini.
"Eh, Kwan Bi, kaukah ini? Dari mana kau dan siapakah Nona ini? Apakah kau tidak ikut membuat persiapan di
Siauw-lim-si?"
Yap Kwan Bi sudah memberi hormat, lalu menjawab, "Bibi Guru, kedatangan teecu (murid) adalah untuk
mengantar Lu-lihiap (Pendekar Wanita Lu) ini, yang ingin berjumpa dan berkenalan dengan Bibi. Teecu
menanti kedatangan Sam-suheng dan Ngo-suheng (Kakak Seperguruan Ke Tiga dan Ke Lima) untuk
bersama-sama merencanakan tugas jaga besok lusa." Ia lalu memperkenalkan Lu Sian dan menceritakan
betapa Lu Sian memberi hajaran kepada para buaya darat di Kim-peng yang hendak mengganggu.
"Aih kiranya Nona seorang pendekar yang lihai!" Nikouw itu mengangkat kedua tangan di depan dada.
Lu Sian cepat-cepat membalas, menjura dan berkata, "Sudah lama mendengar nama besar Suthai dan setelah
bertemu muka, ternyata membuat aku yang muda kagum dan heran luar biasa."
"Omitohud...! Pinni hanya seorang nikouw yang lemah, kepandaian apa sih yang patut dikagumi? Dahulu pinni
terlalu malas berlatih silat sehingga dari ilmu silat Siauw-lim-pai yang maha hebat itu, tidak ada seperseratus
bagian yang dapat pinni miliki."
"Berhasil melawan usia tua merupakan kepandaian yang paling hebat di dunia ini, yang akan menjadi
kebanggaan kaum wanita," kata Lu Sian.
"Aihh, agaknya si bocah nakal Kwan Bi ini yang membocorkan rahasia, ya? Ah, Nona apa sih artinya awet
muda bagi seorang pendeta macam pinni? Pinni memang mempelajari ilmu dan pengobatan untuk melawan
usia tua, akan tetapi sekali-kali bukan menghendaki awet mudanya, melainkan menghendaki kesegarannya
agar jangan terlalu mudah diganggu penyakit!"
Setelah bercakap-cakap sebentar, Lu Sian minta diri, lalu pergi bersama Yap Kwan Bi. Ke manakah mereka
pergi? Kembali ke rumah penginapan? Sama sekali tidak. Dua orang muda hamba nafsu ini menyerah bulatbulat
kepada nafsu mereka sendiri, dan semalaman itu mereka bersenang-senang, bersenda gurau dan
bermabok-mabokan dibuai nafsu, di dekat telaga dalam hutan.
Yap Kwan Bi adalah seorang pemuda yang sama sekali belum ada pengalaman. Tentu saja dia benar-benar
jatuh ketika bertemu seorang wanita seperti Lu Sian. Kwan Bi dimabok nafsunya sendiri yang baginya sama
sekali bukan merupakan nafsu, melainkan berubah menjadi cinta kasih murni, cinta kasih yang tidak hanya
terbatas pada darah daging, melainkan menjiwa. Cinta kasih suci murni! Sama sekali ia tidak tahu bahwa ia
menjadi permainan nafsu belaka, tidak tahu bahwa perbuatannya itu sudah termasuk perbuatan maksiat,
perjinahan yang sama sekali tidak patut dilakukan oleh seorang yang menghargai tata susila dan kesopanan,
lebih tidak patut dilakukan oleh seorang pendekar atau satria.
Bagi Lu Sian, dia memang sudah tidak peduli lagi! Kalau ia menyukai seorang pria, siapa pun juga dia, harus
dia dapatkan. Bukan untuk dicinta selamanya, melainkan untuk menghibur hatinya, dan untuk kemudian
dipermainkan atau dipatahkan cintanya! Lu Sian tidak percaya lagi kepada cinta kasih murni, ia hanya mau
tunduk kepada cinta nafsu, hanya cinta untuk sementara waktu saja. Ia tidak mau lagi ditundukkan cinta,
sebaliknya ialah yang akan mempermainkan cinta kasih orang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua hari kemudian, tepat seperti yang diceritakan oleh Kwan Bi kepada Lu Sian, di Siauw-lim-si yang besar
diadakan upacara sembahyangan. Para tamu yang datang dari segenap penjuru di sekitar wilayah itu terdiri
dari bermacam golongan. Nama Siauw-lim-pai sudah amat terkenal sehingga banyak tokoh kang-ouw
memerlukan datang pula. Sembahyangan itu diadakan untuk merayakan hari lahir ketua Siauw-lim-pai yang
keseratus tahun!
Kian Hi Hosiang, ketua Siauw Lim Pai, kini sudah amat tua dan pikun, namun masih dihormat dan dicinta oleh
semua anak muridnya. Memang jasanya amat besar ketika ia masih kuat. Berkat keuletannya dan disiplin
keras yang ia jalankan di Siauw-lim-si, maka partai persilatan ini menelurkan banyak murid-murid pandai dan
pendekar-pendekar yang terkenal sebagai penumpas kejahatan. Nama Siauw-lim-pai makin harum, disegani
kawan ditakuti lawan.
Sekarang Kian Hi Hosiang sudah terlalu tua, sudah pikun, sehingga kerjanya hanya bersemedhi saja.
Sementara urusan Siauw-lim-pai diserahkan kepada muridnya yang paling dipercaya, yaitu murid pertama
Cheng Han Hwesio, dan murid kedua Cheng Hie Hwesio. Cheng Han Hwesio tepat memang menjadi calon
ketua karena ia berwatak tekun, jujur, keras hati, berdisiplin, dan sebagai seorang hwesio (Pendeta Buddha) ia
sudah menjauhkan diri dari pada urusan duniawi.
Ada pun Cheng Hie Hwesio, yang usianya juga sudah lima puluh tahun lebih ini biar pun dalam hal disiplin
sama dengan Cheng Han Hwesio, namun sikapnya halus dan ramah-tamah. Cheng Hie Hwesio inilah yang
terkenal sebagai hwesio pengawas para murid Siauw-lim-pai. Kalau ada seorang murid Siauw-lim-pai
melakukan penyelewengan sehingga menodai nama baik Siauw-lim-pai, biar pun murid murtad itu berada di
tempat sejauh seribu lie, dia takkan dapat terbebas dari jangkauan tangan besi Cheng Hie Hwesio yang pasti
akan datang menangkapnya dan menghukumnya sesuai dengan peraturan perguruan Siauw-lim-pai!
Para tamu disambut oleh hwesio-hwesio Siauw-lim-si dan dipersilakan duduk di ruangan depan yang amat
luas. Setelah terdengar bunyi genta yang keras dan nyaring, semua hwesio berkumpul di ruangan dalam untuk
mulai upacara sembahyangan. Asap hio dan nyala lilin membuat suasana menjadi seram. Di barisan belakang
para hwesio nampak pula murid-murid bukan hwesio yang terdiri dari laki-laki dan wanita, semua bersikap
gagah bersemangat.
Mereka ini adalah murid-murid Siauw-lim-pai bukan pendeta, baik yang masih belajar ilmu silat di kuil besar itu
mau pun yang sudah bekerja di luar, yang memepergunakan kesempatan itu untuk ikut memberi hormat dan
selamat kepada sukong mereka serta ikut melakukan sembahyang. Hanya beberapa orang murid,
kesemuanya murid-murid Kian Hi Hosiang, yang diwajibkan melakukan penjagaan dan perondaan di sekeliling
tembok yang memagari Siauw-lim-si.
Seperti telah diceritakan oleh Yap Kwan Bi kepada Lu Sian, pemuda ini termasuk seorang di antara muridmurid
yang ditugaskan menjaga. Dia murid termuda Kian Hi Hosiang, murid tersayang, biar pun usianya masih
amat muda. Pada saat di ruangan depan kuil Siauw-lim-si penuh tamu dan di ruangan tengah diadakan
upacara sembahyangan, maka di bagian belakang bangunan kuil yang besar dan luas itu sunyi senyap, tak
terdapat seorang manusia pun.
Akan tetapi pada saat itu kesunyian bagian belakang kuil itu terganggu oleh berkelebatnya bayang-bayang
orang yang gerakannya ringan bagaikan burung. Bayangan ini bukan lain adalah Lu Sian. Dengan mudah saja
ia tadi muncul dari tembok bagian selatan. Setelah mendapat ‘tanda aman’ dari Yap Kwan Bi yang berjaga di
situ, Lu Sian lari melompati tembok selatan dan dengan ringan tubuhnya melayang turun ke pekarangan
belakang, terus menyelinap dan berindap-indap masuk melalui bangunan-bangunan kecil di sebelah belakang
kuil Siauw-lim-si.
Ia menjadi kagum sekali. Baiknya malam tadi, di antara cumbu rayu, ia telah mendapat gambaran dan
keterangan yang amat jelas tentang keadaan Siauw-lim-si ini dari Kwan Bi. Andai kata tidak mendapat
keterangan yang jelas lebih dulu, kiranya akan sukar baginya untuk mencari tempat yang dimaksudkan, yaitu
kamar kitab. Bukan main luasnya kuil ini, banyak bangunan-bangunan kecil yang sama bentuknya. Akan tetapi
ia telah mendapat keterangan jelas, maka ia mulai menghitung dari kiri ke kanan. Bangunan yang ke tujuh
belas dari kiri, itulah kamar kitab!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan jantung berdebar Lu Sian mendorong daun pintu. Matanya menjadi silau dan kepalanya pening ketika
ia lihat deretan kitab di atas rak buku. Bukan main banyaknya. Kitab-kitab tebal dan sebagian sudah hampir
lapuk! Bau di kamar itu amat tidak enak, bau kertas membusuk. Namun ia sudah mendapat keterangan pula di
deretan mana letak kitab yang ia kehendaki, maka terus saja ia menghampiri rak dan memeriksa di rak paling
atas di ujung kiri.
Wajahnya berseri setelah membuka dua tiga buah kitab. Sebuah kitab yang amat kecil, hanya sebesar telapak
tangannya, bersampul kuning. Inilah kitab yang ia kehendaki. Kitab pelajaran Im-yang-tiam-hoat, ilmu menotok
jalan darah yang amat terkenal dari Siauw-lim-pai! Cepat ia membuka kancing bajunya sehingga tampak baju
dalamnya yang berwarna merah muda. Kitab kecil itu ia masukkan di balik baju dalam, menyelinap di antara
buah dadanya. Tempat aman! Dikancingkannya lagi baju luarnya, dan dengan hati girang ia berlompatan
menuju ke belakang. Matanya bersinar-sinar dan ia berjanji dalam hati akan menghadiahi Yap Kwan Bi dengan
cinta mesra sebagai upahnya!
Bibirnya sudah bergerak hendak memberi tanda dengan suara mendesis seperti yang sudah mereka janjikan
ketika ia melihat bayangan tubuh Yap Kwan Bi di atas tembok. Akan tetapi tiba-tiba berobah wajahnya dan ia
cepat menyelinap di balik sebuah arca penjaga taman. Orang yang berdiri di atas tembok itu sama sekali
bukan Kwan Bi kekasihnya! Melainkan seorang laki-laki lain yang berdiri dengan pedang telanjang di tangan
dan matanya menyapu ke arah dalam pekarangan!
Dari luar tembok melayang naik seorang laki-laki lain yang usianya tiga puluh tahun lebih. Dengan gerakan
ringan ia berdiri di atas, di sebelah laki-laki pertama, lalu berkata perlahan, "Belum kelihatan?"
"Belum, akan tetapi dia tentu akan keluar melalui sini. Mana Liok-sute?"
"Dia menjaga di tembok timur."
"Dan Yap-sute?"
"Sudah dibawa menghadap ke depan. Ah, siapa kira Yap-sute akan sampai hati berlaku khianat terhadap
perguruan kita. Sayang sekali, kasihan dia yang masih amat muda..."
Wajah dua orang laki-laki itu nampak muram dan berkali-kali menarik napas panjang. Dari balik arca itu, Lu
Sian menjadi kaget setengah mati. Mendengar percakapan mereka, agaknya perbuatan Yap Kwan Bi
menyelundupkannya masuk telah diketahui dan kini Yap Kwan Bi telah ditawan oleh saudaranya sendiri! Tentu
saja Lu Sian tidak takut. Ia sudah ingin menerjang naik ke atas mempergunakan kekerasan melawan para
penghadangnya.
Akan tetapi ia segera teringat akan Yap Kwan Bi. Pemuda itu dihadapkan di depan, tentu dihadapkan pada
para hwesio pimpinan. Tak mungkin ia mendiamkan saja. Ia harus menolong kekasihnya yang tertawan karena
dia! Dengan pikiran ini, Lu Sian lalu menyelinap di antara bangunan-bangunan itu menuju ke sebelah dalam,
menuju ke depan! Karena maklum bahwa ia berada di tempat berbahaya sekali, ia bersiap-siap dan waspada.
Akan tetapi, di ruangan belakang kuil besar yang menjadi bangunan utama itu tetap sunyi sekali. Setelah ia
mendekati ruangan tengah, barulah mulai terdengar suara berisik dari para hwesio yang berdoa. Asap hio
menyambutnya ketika Lu Sian memasuki lorong yang menghubungkan ruangan belakang dengan ruangan
tengah yang menjadi tempat sembahyang. Dari dalam lorong sudah tampak punggung sebuah arca Buddha
yang amat besar. Berdebar jantung Lu Sian. Betapa pun tabahnya, ia merasa ngeri juga kalau memikirkan
bahwa ia akan berhadapan dengan para tokoh Siauw-lim-pai yang merupakan tokoh-tokoh nomor satu dalam
dunia persilatan!
Hampir saja ia kembali lagi dan nekat menerjang ke luar melalui tembok belakang yang hanya terjaga oleh
murid-murid Siauw-lim-pai yang bukan pendeta. Akan tetapi kalau mengingat akan nasib Yap Kwan Bi, ia
membatalkan niat ini dan melanjutkan langkahnya berindap-indap menuju ke depan. Ia terlindung dan tertutup
oleh arca besar itu, tidak tampak oleh para hwesio yang berlutut di depan arca dan berdoa beramai-ramai.
Lu Sian mencabut pedangnya sambil bersembunyi, agak gelap. Lu Sian memegang pedang dan mengintai
dengan hati-hati sekali. Tidak kurang dari lima puluh orang hwesio berlutut dan berdoa. Paling depan tampak
dunia-kangouw.blogspot.com
seorang hwesio yang amat tua, dengan wajah tekun berlutut dan berdoa, matanya dipejamkan. Melihat
usianya, Lu Sian dapat menduga bahwa kakek ini tentulah ketua Siauw-lim-pai, yaitu Kian Hi Hosiang. Di
sebelah belakang kakek ini berlutut dua orang hwesio berusia lima puluh tahun lebih. Yang sebelah kanan
berwajah keras dan berwibawa, dia menduga tentu Cheng Han Hwesio. Sebelah kiri di belakang kakek itu
tentulah Cheng Hie Hwesio yang wajahnya halus tanpa kumis jenggot.
Sejenak Lu Sian meragu. Sulit untuk menerobos ke luar melalui pintu depan tanpa diketahui. Ia sangsi apakah
ia akan mampu menerobos di antara sekian banyak tokoh hwesio Siauw-lim-pai yang tersohor sakti. Kemudian
ia teringat akan cerita ayahnya tentang para hwesio Siauw-lim-si. Selain terkenal sakti, juga para hwesio
Siauw-lim-si adalah pendeta-pendeta yang tekun dalam agama. Maka ia lalu mengambil keputusan. Dengan
menekan debaran jantungnya, ia menyarungkan pedangnya, kemudian muncul ke luar dari balik arca dan
berjalan dengan langkah tenang, dada dibusungkan, menuju ke luar.
Tentu saja gerakannya ini tidak terlepas dari pendengaran para hwesio yang sedang berdoa. Namun tepat
seperti perhitungan Lu Sian, para hwesio itu tidak mau menunda sembahyang mereka, sungguh pun mereka
merasa terkejut, heran dan juga marah sekali. Bagaimana ada seorang wanita muncul dari ruangan dalam
kuil? Padahal sebuah di antara larangan yang amat keras dari kuil Siauw-lim-si di mana pun juga, adalah
hadirnya seorang wanita ke bagian dalam kuil! Merupakan pantangan keras karena para tokoh hwesio maklum
bahwa di antara segala godaan, yang paling mudah menjatuhkan keteguhan batin para pendeta adalah wanita.
Akan tetapi deretan anak murid Siauw-lim-pai yang berlutut paling belakang, yaitu golongan murid yang tidak
menjadi pendeta, tidaklah setekun para hwesio itu. Melihat munculnya seorang wanita muda cantik berpedang
dari balik arca, terkejutlah mereka dan bangkitlah kecurigaan mereka. Enam orang murid Siauw-lim-pai sudah
melompat dengan gerakan ringan, menghadang di pintu tengah antara ruangan tengah dan ruangan depan.
Para tamu yang hadir di ruangan depan juga menjadi heboh.
Melihat dirinya dihadang, Lu Sian tersenyum dingin. Ingin ia menyerbu ke luar, akan tetapi maklum bahwa cara
ini bukanlah cara yang bijaksana. Biarlah ia mempergunakan ketajaman lidahnya sebelum terpaksa
mengandalkan ketajaman pedangnya, maka ia berhenti melangkah dan menanti, berdiri tegak dan tetap
tersenyum dingin. Ia tahu bahwa murid-murid Siauw-lim-pai yang bukan pendeta itu biar pun masih banyak di
antara mereka yang muda-muda, rata-rata memiliki kepandaian tinggi karena mereka ini pun merupakan
murid-murid Kian Hi Hosiang ketua Siauw-lim.
Memang sesungguhnyalah dugaan Lu Sian ini. Di antara anak murid yang bukan pendeta, memang banyak
yang langsung menjadi murid Kian Hi Hosiang, bahkan murid-murid bukan pendeta inilah yang rata-rata
memiliki kepandaian tinggi karena mereka ini adalah murid ilmu silat, bukan murid agama.
Di antara para hwesio, kiranya hanya dua orang yang menonjol kepandaiannya, yaitu Cheng Han Hwesio dan
Cheng Hie Hwesio, sungguh pun mereka itu sejak kecil hanya belajar agama dan kebatinan, dan baru setelah
tua mempelajari ilmu silat. Bahkan tiga orang di antara para murid yang kini berdiri menghadang, yang usianya
di antara tiga puluh dan empat puluh tahun, terhitung suheng (kakak seperguruan) Cheng Han dan Cheng Hie
Hwesio, sungguh pun kedua orang hwesio ini lebih tua usianya. Mengapa demikian? Karena tiga orang ini
sudah lebih dulu menjadi murid mempelajari ilmu silat dari Kian Hi Hosiang.
Akan tetapi enam orang murid Siauw-lim-pai itu hanya berdiri menghadang dengan sinar mata tajam, tidak
turun tangan karena memang mereka hanya bermaksud mencegah wanita cantik itu keluar dari situ. Mereka
tidak akan mengganggu suasana hening dan penuh khidmat dalam upacara sembahyang itu. Akhirnya
selesailah pembacaan doa dan para hwesio itu bangkit berdiri.
Segera Cheng Han Hwesio yang keras dan jujur itu membentak, "Wanita dari mana berani mati memasuki kuil
kami tanpa ijin?!"
Lu Sian menentang pandang mata hwesio itu sambil tersenyum mengejek, tanpa menjawab. Tak sudi ia
menjawab. Pertanyaan itu dilontarkan dengan cara begitu kasar. Pada saat itu, para tamu yang melihat
sembahyangan telah selesai banyak yang mendekat untuk melihat peristiwa aneh itu.
Tiba-tiba seorang di antara mereka berseru. "Ah, dia Tok-siauw-kwi...!!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar julukan Tok-siauw-kwi (Iblis Cilik Beracun) ini semua orang kaget sekali. Lu Sian dengan tenang
mengerling dan melihat dandanan orang itu seperti piauwsu (pengawal). Ia dapat menduga bahwa orang itu
tentulah ada hubungannya dengan para piauwsu Hong-ma-piauwkiok yang telah menghancurkan pertalian
asmara antara dia dengan Tan Hui.
Para pendeta mendengar julukan yang biar pun masih baru namun sudah terkenal itu, terkejut. Kian Hi
Hosiang sendiri lalu berkata, "Omitohud...! Kiranya puteri Beng-kauwcu yang sengaja datang membikin geger!
Nona, di antara kami kaum pendeta Siauw-lim-pai tidak pernah ada urusan dengan Beng-kauw, bahkan
hubungan antara pinceng dan ayahmu, Beng-kauwcu Pat-jiu Sin-ong tak pernah dikotori oleh permusuhan.
Mengapa kau hari ini mengganggu upacara sembahyang kami?"
Mendengar ucapan yang sopan dan sikap yang sabar dari kakek itu, Lu Sian lalu berlagak penuh kehalusan. Ia
menjura dengan penuh hormat dan suaranya lemah lembut dan merdu ketika ia menjawab, "Harap Losuhu
sudi memaafkan saya yang lancang. Karena mendengar dari Ayah bahwa Siauw-lim-pai paling benci kepada
wanita dan memberi pantangan bahwa lantai pedalaman kuil Siauw-lim-pai tidak boleh diinjak kaki wanita, dan
sekali terinjak kaki wanita lantai akan dicuci dengan abu dapur, maka saya menjadi tertarik dan tidak percaya.
Maka, menggunakan kesibukan di Siauw-lim-si ini, saya sengaja mencuri masuk untuk melihat-lihat. Kiranya
tidak ada apa-apanya di dalam, yang macam begitu saja melarang terinjak kaki wanita. Sungguh keterlaluan!
Akan tetapi, betapa pun juga saya mohon maaf kepada Losuhu dan biarlah setelah pulang akan saya ceritakan
kepada Ayah bahwa biar pun para pendeta lain di Siauw-lim-si galak-galak dan benci wanita, namun ketuanya
amat peramah dan baik hati."
Kian Hi Hosiang tertawa dan menggeleng-geleng kepalanya. "Sungguh cocok dengan ayahnya. Pandai dan
keji, baik tangan mau pun mulutnya. Sudahlah, Nona cilik. Melihat muka ayahmu dan mengingat bahwa hari ini
adalah hari baik, biarlah pinceng menganggap pelanggaran berat ini seperti tidak pernah ada. Kau boleh
pergi." Ia menghela napas panjang.
"Suhu! Ijinkanlah teecu (murid) mengajukan pertanyaan lebih dulu. Munculnya wanita ini sungguh
mencurigakan!"
Kian Hi Hosiang mengangguk. "Boleh, tapi jangan lupa, pinceng telah memberi ampun akan pelanggarannya."
"Pelanggaran memasuki kuil memang telah Suhu beri ampun. Akan tetapi siapa tahu ada pelanggaran lain
yang lebih hebat. He, Tok-siauw-kwi, jawablah lebih dulu pertanyaan pinceng sebelum engkau pergi dari sini!"
Lu Sian membalikkan tubuh dan menghadapi hwesio itu dengan senyum mengejek. Panas dadanya
mendengar ia disebut Setan Cilik Beracun, sebuah julukan yang diberikan orang kepadanya di luar
kehendaknya. "Heh, Setan Tua Busuk, kalau pertanyaanmu tidak busuk, baru akan kujawab!"
"Kurang ajar, berani kau memaki pinceng?" Cheng Han Hwesio membentak dan matanya melotot.
Lu Sian juga pelototkan matanya. "Kau menyebut aku Setan Cilik Beracun, aku pun menyebut engkau Setan
Tua Busuk, apa bedanya. Bukankah itu berarti antara kita sudah impas, satu-satu?"
Bukan main marahnya Cheng Han Hwesio. Ia adalah seorang di antara murid Siauw-lim-pai yang dipercaya
suhu-nya, bahkan dialah calon ketua kelak, karena sejak saat gurunya mengundurkan diri untuk bertapa,
Cheng Han Hwesiolah yang mewakilinya. Karena ini ia senantiasa bersikap penuh wibawa dan sungguhsungguh.
Siapa nyana hari ini ia dipermainkan seorang wanita muda di depan banyak tamu! Kalau ia tidak
ingat akan pesan suhu-nya, tentu ia sudah turun tangan memberi hajaran kepada setan cilik ini!
"Baiklah akan kusebut Nona kepadamu. Nona, tadi Suhu sudah mengampunimu. Akan tetapi, kami tidak
percaya engkau akan dapat memasuki pekarangan belakang kuil tanpa diketahui penjaga. Tentu ada yang
membantumu masuk. Katakan, siapa dia yang membantumu?"
Diam-diam Lu Sian merasa heran. Para penjaga di belakang tadi sudah tahu agaknya akan perbuatan Kwan
Bi, kenapa kepala gundul ini belum tahu? Ah, tentu saja. Mereka ini tadi sedang sibuk berdoa, tentu hal itu
belum dilaporkan. Ia tersenyum lebar dan menjawab, "Losuhu, kuil ini adalah kuilmu, yang menjaga adalah
dunia-kangouw.blogspot.com
penjagamu, bagaimana aku bisa tahu akan kelalaian penjagamu? Tentang bagaimana caranya aku masuk ke
pekarangan belakang, ah, itu kewajibanmu untuk mencari tahu dan menyelidik. Sudah, aku mau pergi."
"Nanti dulu!" bentak Cheng Han Hwesio, suaranya mengguntur.
"Eh, hwesio tua, kau mau apa?" Lu Sian menoleh ke arah Kian Hi Hosiang dan berkata, "Losuhu yang mulia,
muridmu yang satu ini benar-benar tidak patut. Terpaksa saya berlaku kurang hormat kepadanya!"
"Cheng Han, mengapa menahan dia? Lebih baik lekas-lekas suruh dia pergi," hwesio tua itu mengomel dan
diam-diam ia mencela muridnya yang hanya mencari perkara saja menghadapi wanita ini. Di depan begini
banyak orang, wanita berandalan ini tentu dapat membuat para hwesio Siauw-lim-si menjadi buah tertawaan
orang banyak.
"Suhu," Cheng Han Hwesio memberi hormat kepada gurunya. "Dia baru saja berkeliaran di dalam kuil, siapa
tahu dia mengambil sesuatu?"
Mendengar ini, Lu Sian terkejut sekali. Tak disangkanya hwesio galak itu ternyata bukan orang bodoh. Ia lalu
cepat melangkah maju, mengedikkan kepala membusungkan dadanya mendekati Kian Hi Hosiang dan berkata
nyaring, "Losuhu, apakah ada orang menyangka aku mencuri benda di kuil? Hayo geledahlah aku,
geledahlah!!" Ia melangkah maju dan dadanya yang membusung itu menantang, agak berguncang ketika ia
menghampiri ketua Siauw-lim-si sampai dekat.
"Omitohud...!" Kian Hi Hosiang melangkah mundur, ngeri menyaksikan dada membusung itu begitu dekat.
"Pinceng takkan menggeledah..."
"Kau, hwesio tua? Kau mau menggeledah? Kau menuduh aku mencuri? Hayo geledahlah! Tak tahu malu,
geledahlah aku!" Kini ia menghampiri Cheng Han Hwesio yang juga mundur-mundur kewalahan, mukanya
berubah merah sekali.
"Menuduh orang mencuri, disuruh menggeledah tidak mau. Cih, benar-benar menyebalkan. Aku tidak mau
berdiam lebih lama lagi di sini!" Lu Sian melangkah lebar menuju ke pintu.
Mendadak berkelebat bayangan putih yang tahu-tahu sudah menghadang di depan Lu Sian. Dia adalah
seorang wanita berusia empat puluh tahun lebih, pedangnya di punggung, kelihatan gesit dan gagah. "Cheng
Han Suheng benar. Kau harus digeledah!" bentak wanita ini.
Lu Sian memandang dengan mata bersinar marah. "Kau? Hendak menggeledah? Berani kau begini
menghinaku?"
Wanita itu adalah seorang anak murid Siauw-lim-si yang kepandaiannya sudah tinggi, bernama Tan Liu Nio. Ia
memandang rendah Lu Sian yang kelihatan masih seperti seorang gadis muda, maka sambil tersenyum ia
menjawab, "Mengapa tidak berani menggeledahmu?" Kedua tangannya bergerak cepat sekali, hendak meraba
tubuh Lu Sian.
Akan tetapi tiba-tiba wanita itu mengeluarkan seruan kaget, tubuhnya sudah mencelat jauh ke belakang,
mukanya pucat karena hampir saja ia celaka. Ketika ia menggerakkan tangan tadi, Lu Sian juga bergerak dan
tahu-tahu secepat kilat dua jalan darah maut di tubuhnya sudah diserang oleh Lu Sian sehingga jalan satusatunya
bagi Tan Liu Nio hanyalah melompat ke belakang secepat mungkin sehingga ia terhindar dari pada
mala-petaka yang hebat.
Lu Sian tersenyum mengejek, "Siapa lagi hendak menggeledahku? Orang-orang gagah dari Siauw-lim-pai
memang hanya suka menghina seorang wanita! Hayo kalian hwesio-hwesio perkasa, siapa mau
menggeledah? Siapa mau menggunakan kesempatan ini untuk menghina seorang wanita, meraba-raba
badannya dengan dalih menggeledah? Tak tahu malu!"
Semua hwesio dan murid Siauw-lim-pai tidak ada yang berani berkutik. Mereka memandang dengan muka
merah dan serba salah. Tan Liu Nio merupakan seorang murid perempuan terpandai di Siauw-lim-pai, maka
murid perempuan lain tidak ada yang berani maju. Tan Liu Nio sendiri hampir celaka menghadapi wanita
dunia-kangouw.blogspot.com
berandalan yang lihai itu, apalagi mereka. Ada pun murid-murid pria yang berkepandaian lebih tinggi, menjadi
mati kutu setelah mendengar ucapan Lu Sian yang menantang. Memang serba susah kalau harus
menggeledah tubuh seorang wanita secantik dan semuda itu, apalagi di depan banyak orang. Padahal ketua
mereka sendiri sudah mengampuni wanita ini dan sudah memperkenankannya pergi.
Pada saat itu dari luar menerobos beberapa orang laki-laki, mengiringkan Yap Kwan Bi yang bermuka pucat
sekali. Tiga orang laki-laki itu bersama Kwan Bi sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap Kian Hi Hosiang.
Terdengar Kwan Bi berkata, suaranya gemetar. "Murid murtad Yap Kwan Bi menghadap Suhu, siap menerima
hukuman."
"...apa...? Ada apa...?" Kian Hi Hosiang terheran dan bertanya dengan gagap karena ia benar-benar tidak
pernah meragukan kesetiaan muridnya yang termuda dan tersayang ini.
"Suhu, Yap-sute telah bersekutu dengan orang luar dan lancang menyelundupkan seorang wanita memasuki
pekarangan belakang..."
"Keparat!" Cheng Han Hwesio yang membentak ini.
Akan tetapi pada saat itu, cepat bagaikan seekor garuda menyambar, Lu Sian sudah bergerak ke depan dan
menangkap lengan Yap Kwan Bi dan terus dibawa meloncat ke luar. Pada saat itu, Cheng Han Hwesio yang
melihat hal ini cepat menyusul dengan pukulan maut dari Siaw-lim-pai.
Yap Kwan Bi juga terkejut dan hendak meronta dari tangkapan Lu Sian, namun tak berhasil. Pada saat itu pula
pukulan Cheng Han Hwesio tiba. Biar pun tidak menyentuh tubuhnya, namun tiba-tiba ia merasakan dadanya
sesak sehingga pemuda ini langsung muntah darah! Melihat Kwan Bi pingsan, Lu Sian lalu memanggulnya dan
sambil meloncat ke depan, tangan kirinya bergerak menyambit ke belakang.
Pada saat itu tiga orang murid Siauw-lim-pai tingkatan atas bersama seorang wanita, yaitu Tan Liu Nio sudah
mengejar. Mereka berempat terkejut sekali dan cepat-cepat mereka lompat menghindarkan diri dari sambaran
sinar merah senjata rahasia Lu Sian. Ketika mereka mengejar terus, mereka telah tertinggal jauh. Tentu saja
sukar bagi mereka berempat untuk dapat menyusul Lu Sian karena Lu Sian telah mempergunakan ginkangnya
yang hebat, yang ia pelajari dari mendiang Hui-kiam-eng Tan Hui, yaitu Ilmu Lari Cepat Coan-in-hui
(Terbang Menerjang Mega)!
Untung bagi Lu Sian. Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio yang hendak mengejar pula telah dicegah
oleh Kian Hi Hosiang yang berkata, "Omitohud... semoga Sang Buddha melimpahkan kesadaran kepada
mereka yang sesat. Cheng Han dan Cheng Hie, tak usah mengejar. Ketiga Suheng-mu dan seorang Sumoimu
sudah cukup. Kita tidak perlu menanam bibit permusuhan dengan golongan lain. Kurasa empat orang
muridku itu sudah maklum. Asal dapat menangkap kembali Kwan Bi dan membawanya ke sini untuk menerima
hukuman, cukuplah."
Demikianlah, upacara sembahyang di Kuil Siauw-lim-si yang tadinya akan dibuat besar-besaran dan meriah,
ternyata menjadi sunyi dan muram akibat peristiwa itu. Para tamu juga tahu diri, melihat keadaan tuan rumah
tertimpa urusan yang tidak menyenangkan mereka lalu berpamit dan meninggalkan kuil itu dalam keadaan
suram.
Lu Sian berlari cepat sekali. Setelah memasuki sebuah hutan tiga puluh lie jauhnya dari Kim-peng, ia berhenti
dan meletakkan tubuh Kwan Bi di atas rumput, terlindung dari sinar matahari senja oleh pohon besar. Segera
ia memeriksa keadaan kekasihnya itu. Ketika membuka bajunya, tampak kulit dada membayang biru, tanda
bahwa Kwan Bi telah menderita luka pukulan yang cukup hebat. Cepat ia mencari air untuk membasahi kepala
pemuda itu, lalu memberinya pula minum sedikit.
Kwan Bi siuman kembali dan membuka matanya. Melihat Lu Sian, ia tersenyum dan menggeleng kepalanya.
"Lu-cici, aku telah membikin kau banyak susah..."
Lu Sian menggunakan pipinya menutup mulut pemuda itu dan berbisik di telinganya. "Hushhh, kau mengigau,
bicara dibolak-balik. Akulah yang membuat kau menderita seperti ini. Akan tetapi jangan takut. Selama ada
aku di sini, tidak ada seorang pun boleh mengganggumu, siapa pun juga dia!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwan Bi tersenyum, akan tetapi berbareng dua titik air mata membasahi pipinya, lalu kembali dia menggeleng
kepala dan menarik napas panjang. "Tidak mungkin... dosaku terhadap Suhu dan Siauw-lim-pai tidak boleh
kuhindari, aku harus kembali ke sana. Lu-cici kau pergilah, tinggalkan aku. Budimu sudah terlampau banyak.
Cin... cinta kasihmu takkan kulupakan selama hidupku. Kau tinggalkanlah aku, biar kuhadapi sendiri
kemarahan Suhu."
Lu Sian menciumnya. Timbul rasa sayangnya kepada pemuda ini, rasa sayang yang terdorong rasa haru
mendengar betapa pemuda ini amat mencintainya, cinta sungguh-sungguh, cinta yang membuat pemuda itu
sanggup berkorban untuknya. Belum pernah ia dicinta orang seperti ini, kecuali... kecuali agaknya... cinta kasih
Kwee Seng yang telah mati!
"Tidak, aku tidak akan pergi dari sampingmu. Mereka itu boleh saja datang dan mereka hanya akan dapat
mengganggu dirimu jika aku sudah menjadi mayat!"
"Lu-cici... ah, Lu-cici...!" Kwan Bi merangkul dan roboh pingsan pula. Guncangan jantungnya akibat rasa haru
dan kasih ini membuat napasnya sesak dan luka itu menyerangnya lagi, membuatnya pingsan.
Lu Sian cepat menaruh telapak tangan kirinya ke atas dada yang terpukul, lalu sambil duduk bersila ia
mengarahkan sinkang-nya untuk membantu kekasihnya memanaskan jalan darah, memperkuat hawa
sehingga luka itu akan cepat sembuh. Ia duduk dalam keadaan begini sampai senja terganti malam. Bulan
sudah muncul sore-sore dan keadaan menjadi terang seperti siang. Tiba-tiba Lu Sian terkejut oleh suara
bentakan.
"Perempuan tak bermalu! Kau serahkan murid Siauw-lim-pai yang murtad itu kepada kami!"
Lu Sian terkejut sekali, akan tetapi ia tidak melepaskan tangannya dari atas dada Kwan Bi. Ia hanya
mengerling dan tampaklah olehnya empat orang berdiri tidak jauh dari pohon. Yang seorang adalah wanita
yang tadi hendak menggeledahnya, maka ia memandang rendah. Yang tiga adalah laki-laki semua, yaitu
murid-murid Siauw-lim-pai yang tadi ia lihat ikut menghadang di pintu.
Dua orang berusia empat puluh lebih. Yang seorang lagi paling banyak berumur empat puluh, mukanya putih
halus seperti pemuda belasan tahun, tubuhnya kecil akan tetapi matanya berkilauan terkena cahaya bulan.
Orang kedua berkumis kecil panjang bergantung ke bawah, sedangkan orang ke tiga bermuka kurus sehingga
tulang-tulang pipinya menonjol ke luar, tampak menyeramkan.
"Cih, perempuan tak tahu malu. Menculik laki-laki!" Wanita yang bukan lain adalah Tan Liu Nio murid Siauwlim-
pai itu mencaci.
Panas hati Lu Sian. Wataknya yang nakal membuat ia sengaja memanaskan hati orang. Ia menunduk,
merangkul leher dan mencium Kwan Bi yang masih pingsan dengan mesra dan lama! Dengan hati geli ia
mendengar betapa Tan Liu Nio mengeluarkan suara menyumpah-nyumpah dan meludah, sedangkan laki-laki
berkumis itu membentak lagi.
"Kami mengingat ayahmu ketua Beng-kauw, dengan baik-baik minta kembalinya adik seperguruan kami. Akan
tetapi bukan berarti kami takut kepadamu! Jangan sesalkan kami kalau kami menggunakan kekerasan apabila
kau membangkang!"
Lu Sian tertawa mengejek dan ringan bagaikan seekor kupu-kupu ia melompat ke atas cabang pohon dan dari
situ ia melayang turun. Indah sekali gerakannya, indah seperti seorang dewi kahyangan menari dan seperti
seekor kupu-kupu terbang melayang mencari madu kembang. Dengan ringan sekali ia melompat pula ke
depan empat orang murid Siauw-lim-pai itu sambil berkata.
"Betul kalian tidak takut kepadaku? Kalau tidak takut, kenapa kalian mau mengeroyokku berempat?" Lu Sian
berkata sambil tersenyum manis.
"Siapa hendak mengeroyok? Tak tahu malu! Kami orang-orang Siauw-lim-pai bukanlah pengecut yang suka
mengandalkan jumlah banyak mencari kemenangan!" bentak si Muka Halus yang bernama Long Kiat.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aih, aih, begitukah? Jangan-jangan hanya untuk bersombong saja begitu, nanti kalau sudah terdesak lalu
melolong-lolong minta bantuan kawan dan sambil menebalkan muka kalian berempat maju berbareng!"
"Cukup, kami datang bukan untuk berdebat!" kata si Kumis yang bernama Lo Keng Siong. "Kuulangi lagi, kami
datang untuk membawa pulang Yap Kwan Bi, tidak ada sangkut-pautnya dengan kau!"
"Wah, jangan galak-galak. Bagaimana tidak ada sangkut-pautnya dengan aku? Kalian hendak membawa
pulang dia untuk dipukul lagi? Untuk dihukum? Enak saja! Aku yang tidak suka membiarkan dia disiksa."
Si Muka Kurus yang bernama Tan Bhok, kakak misan Tan Liu Nio, tak sabar lagi. Ia membentak sambil
menudingkan telunjuknya yang hanya tulang terbungkus kulit itu ke arah muka Lu Sian, "Bocah setan banyak
tingkah! Kami datang berurusan dengan Sute kami sendiri, mengapa kau turut campur? Kau berhak apakah
mencampuri urusan dalam orang-orang Siauw-lim-pai seperti kami?!"
"Huh, kalian berempat dan semua orang Siauw-lim-pai yang tak tahu malu! Kalian semua berhak apa
mencampuri urusan pribadi Yap Kwan Bi dan aku? Kami saling mencinta, kalian tahu? Kami saling mencinta,
dan kami berhak, sama-sama muda sama-sama suka, kalian mau apa? Tentu saja aku tidak membiarkan
kalian membawa pergi Yap Kwan Bi yang sudah terluka oleh si Keledai Gundul tadi!"
"Kurang ajar kau! Sekali lagi kuperingatkan, lebih baik kau mundur dan jangan mencampuri urusan Siauw-limpai!"
kata Lo Keng Siong marah.
"Tidak bisa tidak aku mencampuri urusan Yap Kwan Bi. Pendeknya, aku melarang kalian membawanya pergi,
habis perkara!"
"Kau menantang?" kumis Lo Keng Siong bergerak-gerak.
"Terserah! Aku sudah berjanji bahwa orang hanya dapat membawa tubuh Yap Kwan Bi kalau aku sudah
menjadi mayat!"
"Iblis betina, kau sudah bosan hidup?"
"Hi-hik, kalian hendak mengeroyok?" Lu Sian mengejek. "Kunasehatkan kalian, kalau memang hendak
memaksa dan hendak menyerangku, lebih baik kalian maju berempat mengeroyokku, karena kalau maju
seorang demi seorang berarti mengantar nyawa dengan sia-sia!"
"Perempuan sombong!" bentak Liong Kiat marah. "Twa-suheng, biar siauwte mengusir iblis betina ini!"
"Eh, eh, benar-benar hendak maju satu-satu? Awas, aku sudah memberi peringatan. Karena Kwan Bi juga
murid Siauw-lim-pai, aku tidak bermaksud memusuhi Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau kalian mendesak, jangan
salahkan kaki tanganku yang tidak bermata."
"Sombong!" Liong Kiat sudah menerjang dengan Ilmu Silat Tangan Kosong Lo-han-kun yang terkenal tangguh
itu. Dengan kuda-kuda terpentang dan langkah diseret hampir berbareng, ia melancarkan pukulan bertubi-tubi
ke arah dada dan pusar. Berat dan mantap pukulan ini, mendatangkan angin pukulan yang mengeluarkan
bunyi menderu.
Lu Sian menggerakkan tangannya dengan jari terbuka. Dengan telapak tangannya ia menerima kedua kepalan
tangan lawan hingga telapak dan kepalan itu saling menempel. Saat itu juga Lu Sian dapat merasakan tekanan
tenaga si Muka Halus amatlah kuatnya. Ia tidak melawan, melainkan meminjam tenaga pukulan Liong Kiat.
Kedua kakinya diayun ke belakang sehingga tubuhnya terangkat naik ke atas dengan kedua tangan masih
menempel pada kepalan lawan.
Selagi Liong Kiat terkejut sekali menyaksikan penyambutan lawan yang luar biasa ini, tiba-tiba Lu Sian sudah
mengirim pukulan dengan sodokan jari tangan kanannya mengarah ubun-ubun kepalanya. Karena pada saat
itu tubuh Lu Sian berada tepat di atasnya, maka serangan itu luar biasa dahsyat dan bahayanya, amat cepat
datangnya sehingga sukar ditangkis lagi!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sute, awas....!" Lo Keng Siong berseru kaget sekali sambil lompat mendekat diikuti Tan Bhok dan Tan Liu Nio.
Pada saat yang amat berbahaya itu, Liong Kiat masih sempat memperlihatkan bahwa murid Siauw-lim-pai
tidaklah semudah itu dirobohkan. Ia membuang tubuhnya ke belakang, roboh terjengkang bagaikan sepotong
balok kayu. Akan tetapi begitu pundaknya menyentuh tanah, ia sudah melakukan poksai (salto) ke belakang,
berjungkir balik sampai tiga kali. Ia berdiri dengan muka pucat dan keringat dingin membasahi dahinya.
Bergidik ia kalau teringat betapa dalam segebrakan saja ia tadi sudah hampir tercengkeram maut.
Lu Sian sudah berdiri sambil tersenyum manis. Memang kepandaian Lu Sian sekarang jauh bedanya dengan
ketika ia mula-mula meninggalkan suaminya, Kam Si Ek. Sekarang ia telah memperoleh kemajuan yang amat
hebat. Ginkang-nya sudah terlatih baik dan yang ia warisi dari Tan Hui adalah ilmu ginkang yang terhebat di
jaman itu. Juga ia telah mempelajari tiga macam kitab Sam-po-cin-keng dari ayahnya, maka baik ilmu silat
tangan kosong mau pun ilmu pedangnya sudah meningkat beberapa kali lipat, ditambah gerakan yang luar
biasa cepatnya berkat ginkang Coan-in-hui.
"Sudah kukatakan, lebih baik kalian mundur dan jangan ganggu aku dan Yap Kwan Bi. Atau kalau kalian nekad
mengajak berkelahi, majulah berbareng. Kalau satu-satu, percuma, tidak akan ramai!"
Bukan main pedas dan tajamnya kata-kata ini memasuki dada keempat orang murid Siauw-lim-pai itu. Akan
tetapi melihat kenyataan bahwa memang ilmu kepandaian wanita ini seperti iblis, dia memang bukan lawan
mereka kalau maju seorang demi seorang. Bahkan seandainya Cheng Han Hwesio sendiri yang maju, belum
tentu saudara seperguruan itu akan dapat menandingi Lu Sian.
"Kau menantang kami maju berempat?" kata Lo Keng Siong hati-hati.
"Hi-hik, mengapa tanya-tanya lagi? Majulah bersama, biar lebih asyik aku melayani kalian berempat."
"Bukan kami takut maju seorang demi seorang, akan tetapi kau menantang dan kau terlalu menghina. Ji-wi
Sute (Kedua Adik Seperguruan) dan Sumoi, mari kita basmi iblis betina sombong ini!" seru Lo Keng Siong
sambil mencabut senjatanya, sebatang ruyung berwarna hitam yang tadinya ia sembunyikan di bawah
bajunya.
Tan Liu Nio dan Liong Kiat mencabut pedang masing-masing, sedangkan Tan Bhok mengeluarkan senjatanya
yang hebat, yaitu sehelai rantai baja. Mereka segera mengambil kedudukan empat penjuru, mengurung Lu
Sian dengan gerakan perlahan dan langkah teratur, mata tak berkedip memandang lawan yang terkurung di
tengah-tengah!
Lu Sian masih tersenyum, kedua kakinya membuat kuda-kuda menyilang. Tubuhnya miring, kedua lengannya
diangkat ke atas, melengkung di atas kepala dengan jari-jari tangan terbuka. Pasangan kuda-kudanya ini amat
manis seperti orang menari, akan tetapi menyembunyikan kesiap-siagaan yang lengkap dan gagah.
"Keluarkan senjatamu!" bentak Lo Keng Siong yang menjadi pimpinan sambil mengangkat ruyungnya ke atas.
"Aku sudah siap, seranglah. Mengeluarkan senjata tak usah kau perintah!" jawab Lu Sian seenaknya.
"Ciuuuttt.... siiing... weeerrrr!!" keempat senjata itu sudah menyambar ganas, sinarnya tertimpa cahaya bulan
menyilaukan mata.
Akan tetapi keempatnya hanya mengenai angin karena tubuh Lu Sian sudah lenyap menjadi bayangan yang
berkelebatan dan menyelinap di antara sinar keempat senjata itu. Bukan main hebatnya ginkang Coan-in-hui
itu! Makin hebat empat senjata itu menyambar dan mengikuti gerakan bayangannya, makin cepat pula Lu Sian
bergerak dan mendadak....
"Cranggg... cringgg... tranggg-trang!" bunga api berpijar dan berhamburan.
Tanpa dapat diikuti pandang mata lawan, tahu-tahu Lu Sian sudah memegang Toa-hong-kiam di tangan
kanannya dan sekaligus ia telah menangkis keempat buah senjata lawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hanya Tan Liu Nio seorang yang merasa betapa tangan kanannya yang memegang pedang serasa lumpuh
karena ia kalah tenaga. Akan tetapi tiga orang murid Siauw-lim-pai yang lain dengan girang mendapat
kenyataan bahwa biar pun dalam ginkang mereka kalah jauh oleh Lu Sian, namun mengenai tenaga sinkang,
setidaknya mereka dapat mengimbangi. Maka mereka mendesak makin hebat, mengerahkan tenaga dan
berusaha mengadu senjata agar pedang di tangan puteri Beng-kauwcu itu terpukul lepas.
Namun Lu Sian adalah seorang yang amat cerdik. Ia maklum bahwa tidak menguntungkan baginya kalau ia
mengadu tenaga kekerasan dengan tiga orang laki-laki yang memiliki lweekang hampir sempurna ini, maka ia
lebih mengandalkan kelincahan gerakannya untuk mengelak dan balas menyerang. Karena ia lebih banyak
mengelak inilah maka empat orang pengeroyoknya mengira bahwa ia terdesak. Orang-orang Siauw-lim-pai
amat berdisiplin dan selalu mentaati guru mereka. Karena tadi mereka berempat sudah mendengar sendiri
betapa suhu mereka, Kian Hi Hosiang, tidak menghendaki permusuhan dengan Beng-kauw, bahkan sudah
mengampuni Lu Sian, kini mereka merasa tidak enak sekali kalau sampai membunuh Lu Sian.
"Tok-siauw-kwi, kami mentaati guru kami mengampunkan engkau. Pergilah dari sini dan jangan mencampuri
urusan Siauw-lim-pai!" kata Lo Keng Siong dengan suara keras.
Inilah salahnya. Tadinya Lu Sian hanya ingin mempermainkan mereka saja, mengalahkan mereka dengan
ilmunya kemudian lari lagi membawa pergi Yap Kwan Bi. Akan tetapi mendengar ucapan ini, bangkit
kemarahan dan keangkuhannya. Dia memang seorang yang keras hati, pantang dikatakan kalah. Mendengar
ini darahnya bergolak dan ia mengeluarkan seruan nyaring, merupakan lengking lebih mirip suara iblis siluman.
Akan tetapi pedangnya kini bergerak secara luar biasa, bergelombang dan berubah menjadi gulungan sinar
yang membentuk lingkaran-lingkaran besar lalu berubah lagi menjadi gelombang-gelombang yang datang
menerjang ganas. Inilah Toa-hong Kiam-sut yang kini telah menjadi ganas dan luar biasa dahsyatnya. Di
tengah-tengah lengkingnya yang belum putus, terdengar teriakan ngeri dan tampak Liong Kiat terguling roboh
dalam keadaan mengerikan karena pundaknya telah terbabat putus berikut lengan kanannya. Ia
bergelimpangan mandi darah, berkelojotan dan tak dapat mengeluarkan suara lagi.
"Tok-siauw-kwi, hutang jiwa harus dibayar jiwa!" teriak Lo Keng Siong marah sekali.
"Tok-siauw-kwi, berani kau membunuh Sute-ku?!" Tan Bhok juga membentak dan rantainya berdesing-desing
menyambar.
Lu Sian tertawa bergelak, lalu melompat mundur. Ketika ketiga orang pengeroyoknya yang menyangka dia
hendak kabur itu mendesaknya, tiba-tiba tangan kirinya bergerak dan... sinar merah menyambar ke arah
mereka!
"Celaka....!" Tan Liu Nio berseru.
Karena dia berada paling belakang, maka ia sempat melihat gerakan ini dan dapat mengelak. Akan tetapi dua
orang suheng-nya yang jaraknya terlalu dekat, terlambat mengelak. Mereka dapat melindungi tubuh atas
dengan putaran senjata, akan tetapi paha kanan masing-masing telah terkena jarum Siang-tok-ciam! Seketika
hidung mereka mencium bau amis akan tetapi harum, maka maklumlah mereka bahwa mereka terkena senjata
beracun. Namun keduanya masih belum roboh dan masih memutar senjata.
Lu Sian tidak berhenti sampai di situ. Begitu tangan kirinya menyambitkan jarum, ia telah menerjang maju lagi
mainkan pedangnya dengan jurus dari Ilmu Pedang Toa-hong Kiam-sut yang dahsyat. Dua kali pedangnya
berkelebat dan robohlah Lo Keng Siong yang tertembus pedang lehernya, dan Tan Bhok yang hampir putus
pinggangnya, perutnya robek dan isi perutnya ke luar. Mereka berdua tidak menderita lama, cepat
menghembuskan napas terakhir menyusul arwah Liong Kiat yang tewas lebih dulu.
"Tok-siauw-kwi, kau benar keji dan ganas...!" Tan Liu Nio marah sekali dan menjadi nekat, lalu menyerbu
dengan pedangnya.
Sambil tersenyum Lu Sian menangkis dan mengerahkan tenaga.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tranggg...!" pedang Tan Liu Nio terlepas dari tangannya.
Dengan kakinya Lu Sian menendang, membuat tubuh Tan Liu Nio roboh terguling, kemudian matanya yang
sudah menjadi beringas itu berkilat ketika pedangnya ditusukkan ke bawah.
"Trangggg!"
Lu Sian meloncat ke belakang, wajahnya pucat, matanya terbelalak memandang kepada Yap Kwan Bi yang
ternyata telah menangkis pedangnya.
"Kau... kau Tok-siauw-kwi....??" dengan pedangnya Kwan Bi menuding kepada kekasihnya.
"Orang menamakan aku begitu, namaku Lu Sian, kau tahu...."
"Kau... kau perempuan hina...! Kau telah membunuh tiga orang Suheng-ku dan hendak membunuh Suci-ku?
Keparat jahanam! Kubunuh engkau....!" Yap Kwan Bi menyerang, akan tetapi karena tubuhnya masih lemah,
sekali ditangkis ia roboh terguling.
Lu Sian yang mukanya menjadi pucat itu tiba-tiba meludah. "Cih, kiranya kau pun sama saja! Laki-laki berhati
palsu! Mual perutku melihatmu!" Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Lu Sian lenyap dari tempat itu.
Yap Kwan Bi menangis menggerung-gerung ketika menyaksikan keadaan tiga orang suheng-nya yang tewas
dalam keadaan demikian mengerikan. Ia menjambaki rambutnya dan memukuli kepalanya sendiri seperti
orang gila. Percuma saja Tan Liu Nio menghiburnya.
Akhirnya murid wanita Siauw-lim-pai itu berlari cepat melaporkan ke kuil Siauw-lim-si. Tentu saja berita ini
menimbulkan geger. Cheng Han Hwesio dan Cheng Hie Hwesio sendiri bersama beberapa orang sute berlarilari
ke arah hutan itu dan apa yang mereka dapatkan? Yap Kwan Bi telah tewas di samping ketiga orang
suheng-nya, lehernya hampir putus dan tangan kanan penuh darahnya sendiri. Ia telah membunuh diri karena
telah menyesal!
Sementara itu Lu Sian sudah mempergunakan Ilmu Coat-in-hui untuk berlari cepat sekali. Ia merasa kecewa
dan menyesal. Ia benar-benar muak mengingat kepalsuan cinta kasih Kwan Bi yang tadinya dikira benar-benar
suci murni. Bahkan pengalaman ini membuat ia makin muak terhadap laki-laki, makin tidak percaya, dan makin
sakit hati. Di samping kekecewaannya, ia pun merasa girang bahwa ia berhasil mengambil kitab Ilmu Im-yangtiam-
hoat dari Siauw-lim-pai. Ia gemas kepada orang-orang Siauw-lim-pai yang telah menghancurkan ikatan
cinta kasihnya dengan Kwan Bi, maka kini pikirannya tertuju kepada Su Pek Hong atau Su-nikouw di Kuil
Kwan-im-bio. Ia harus dapat merampas kepandaian nikouw itu, ilmu yang membuat ia selamanya takkan
menjadi tua! Ia akan memaksa pendekar wanita Siauw-lim-pai itu untuk menyerahkan rahasia kepandaiannya!
Hari telah malam ketika ia tiba di Kuil Kwan-im-bio. Kuil itu telah menutup daun pintu depan, akan tetapi
sebuah lampu gantung menerangi ruangan depan. Lu Sian menghampiri pintu dan mengetuk. Terdengar suara
langkah kaki dari dalam menuju pintu dan sebelum daun pintu dibuka, suara lembut seorang pendekar wanita
bertanya.
"Siapakah yang datang di luar dan ada keperluan apa malam-malam mengunjungi Kwan-im-bio?"
"Aku Lu Sian, mohon bertemu dengan Su-nikouw!"
Ketika Su-nikouw keluar dan melihat Lu Sian, ia tersenyum ramah dan menegur. "Eh, kiranya Lu-lihiap yang
datang. Keperluan apakah gerangan yang membawa Lihiap malam-malam datang mengunjungi tempatku
yang buruk? Dan di mana adanya Kwan Bi?"
Akan tetapi nikouw ini mengerutkan keningnya ketika melihat pandang mata Lu Sian amat berlainan dengan
beberapa hari yang lalu, bahkan ia melihat Lu Sian membanting kaki lalu berkata tak manis. "Tak perlu kita
berpanjang kata, Su-nikouw. Kedatanganku ini hanya perlu minta kepadamu agar kau membuka rahasiamu
tentang ilmu awet muda!" Lu Sian mengancam dengan suara dan pandang matanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau kemarin dulu ketika datang ke sini bersama Kwan Bi ia merasa suka kepada pendeta wanita yang awet
muda ini, sekarang ia memandangnya dengan mata benci. Su-nikouw kelihatan tidak menyenangkan hatinya
lagi. Memang pengaruh rasa benci amat jahat, membutakan mata. Karena ia merasa sakit hati kepada Siauwlim-
pai, menimbulkan benci di hatinya dan siapa pun orangnya yang sudah mabok rasa benci, pandang
matanya akan berbalik!
Akan tetapi Su-nikouw orangnya sabar. Ia sudah mampu menguasai batinnya dan ia memandang Lu Sian
dengan senyum wajar. "Lihiap, biar pun pinni merasa heran sekali atas perubahan sikapmu ini, namun
penolakan pinni bukan disebabkan oleh sikapmu, melainkan karena rahasia ini kalau terjatuh ke tangan wanita
yang belum sadar akan kebenaran, hanya akan merugikan dirinya sendiri saja. Kemudaan dan kecantikan
pada usia tua hanya akan menyelewengkan hati, membesarkan nafsu, dan percayalah, kelak di waktu kau
sudah berusia tua, kecantikan dan kemudaan yang disertai nafsu itu akan menyeretmu ke lembah
kesengsaraan belaka.”
"Tak usah banyak cerewet!" Lu Sian membentak. Lazim, orang yang sudah membenci seorang yang lain, apa
pun yang keluar dari mulut orang yang di benci itu selalu diterima keliru dan tak dipercaya. "Kau mau serahkan
secara baik-baik atau dengan paksaan, aku tetap harus mendapatkan rahasia itu!"
Su-nikouw menghela napas. "Lu-lihiap, pikiranmu sedang kacau, batinmu sedang gelap. Biarlah lain kali kau
datang kembali bersama Yap Kwan Bi, kita bicarakan hal ini perlahan-lahan secara baik-baik."
Alis yang hitam kecil itu bergerak, disusul gerakan tangan kiri. Su-nikouw cepat mengelak dengan menjatuhkan
diri ke belakang, namun terlambat, jalan darah di pundak kirinya tertusuk sebatang Siang-tok-ciam! Nikouw itu
terhuyung lalu menjatuhkan dirinya di atas sebuah kursi, memandang pada Lu Sian dengan mata terbuka lebar
saking heran dan kagetnya.
Sambil tersenyum dingin Lu Sian berkata perlahan. "Kau sudah terluka Siang-tok-ciam, obat pemunahnya
hanya padaku. Lekas kau keluarkan rahasia ilmu awet muda untuk ditukar dengan obat pemunahku."
Su-nikouw yang masih duduk di atas kursi kelihatan tenang-tenang saja. "Omitihud.... kau ini wanita muda
sungguh ganas, kasihan sekali kau tersesat jauh tanpa kau sadari! Seorang pertapa seperti aku ini
menganggap kematian sebagai pembebasan jiwa dari pada kurungan raga yang banyak kehendak dan lemah.
Racun jarummu yang mengancam nyawaku sama sekali tidak membikin pinni takut."
Diam-diam Lu Sian menjadi kecewa sekali. Celaka, pikirnya. Ia tidak bermaksud membunuh, hanya
mengancam, akan tetapi kalau wanita gundul ini nekat menghadapi kematian, tidak mau menukar obat
pemunah dengan rahasia ilmu awet muda, bagaimana?
"Nikouw bandel! Mengapa hendak kau kangkangi sendiri ilmu itu? Apakah kau hanya ingin muda sendiri dan
cantik sendiri? Ilmu seperti itu saja mengapa lebih kau hargai dari pada nyawamu?"
Su-nikouw menggeleng kepala. "Ilmu ini adalah ilmu yang bersumber pada ilmu dari Siauw-lim-pai, ilmu
menguatkan tubuh pelajaran Siauw-lim-pai yang kuperkembangkan. Merupakan rahasia Siauw-lim-pai, tak
boleh sembarangan diajarkan kepada orang luar, apalagi untuk maksud buruk. Tidak, biarlah kau pergi, pinni
akan mati tanpa mengeluh!"
Tiba-tiba Lu Sian tertawa. "Hi-hik, enak saja kau ingin mati. Mana aku membiarkan kau mati begitu saja kalau
kau tidak mau membuka rahasia itu? Ketahuilah, Su-nikouw, racun jarumku itu memiliki daya pembangkit
nafsu birahi! Racun Ngo-tok-hwa (Lima Bunga Beracun) telah mengalir di dalam jalan darahmu. Tidak
terasakah olehmu Nikouw tolol, betapa ujung hidungmu mencium bau wangi dan tulang punggungmu
berdenyut keras? Sebelum mati oleh racun, kau terserang oleh rangsangan birahi dan aku akan mengerammu
dalam kamar bersama seorang laki-laki yang kupaksa menemanimu. Hendak kulihat, bagaimana malunya
jiwamu kalau pada saat kematianmu engkau melakukan pelanggaran yang paling besar bagi seorang pendeta
wanita!"
Napas Su-nikouw terengah-engah, mukanya pucat dan matanya memandang penuh kengerian. "Ah, jangan....
jangan....! Sebenarnya siapakah engkau ini yang begini keji?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Orang menyebutku Tok-siauw-kwi."
"Aahhh... kiranya engkau Tok-siauw-kwi...?" Nikouw itu makin ketakutan karena ia pernah mendengar nama
julukan ini sebagai seorang tokoh kang-ouw yang amat keji dan ganas, maka ancaman tadi bukan tak mungkin
dilakukan oleh Tok-siauw-kwi yang terkenal kejam. Pula, sejak terluka tadi ia memang mencium bau harum
yang aneh dan memang betul tulang punggungnya berdenyutan keras!
Tentu saja sebagai seorang tokoh Siauw-lim-pai yang lebih mementingkan pelajaran batin, nikouw ini tidak
tahu tentang segala racun, dan ia tidak tahu bahwa Lu Sian sebenarnya membohong. Siang-tok-ciam yang
merah itu memang berbahaya dan racunnya cukup jahat untuk merampas nyawa korbannya, akan tetapi
sekali-kali tidak akan menimbulkan gejala nafsu birahi segala. Dia sengaja mengeluarkan ancaman ini karena
dengan tepat ia menduga bahwa hal seperti itu jauh lebih mengerikan dari pada kematian bagi seorang wanita
pertapa yang saleh!
"Bagaimana? Aku mengenal seorang kepala rampok dalam hutan, usianya tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi
besar seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan kaki tangan serta dadanya juga penuh bulu seperti
monyet. Dia tunduk kepadaku dan dia amat suka kepada wanita yang wajahnya bersih. Tentu dia akan senang
sekali mendapatkan engkau yang masih kelihatan muda dan cantik ini!"
Su-nikouw bergidik. Meremang bulu tengkuknya mendengar gambaran tentang laki-laki itu. Tak tertahan lagi ia
menangis, hal yang selama sepuluh tahun lebih tak pernah ia lakukan. "Baiklah, baiklah..., kuberikan rahasia
ilmu itu kepadamu."
Ia lalu masuk ke dalam kamar dan keluar lagi membawa sebuah kitab tipis tulisan tangan hasil pekerjaannya
sendiri. "Tidak mudah mencapai tingkat seperti aku," katanya. "Untuk dapat mengalahkan kerusakan kulit
daging dan tulang, kau harus memiliki dasar ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Cuci Sumsum) dan untuk pelajaran
itu, menyesal pinni tidak dapat memberi karena kitabnya tersimpan di Siauw-lim-pai. Akan tetapi seorang
berkepandaian tinggi seperti engkau ini tentu akan dapat mempelajarinya dengan mudah. Hanya saja, ilmu Ikin-
swe-jwe yang paling hebat di dunia ini hanyalah dari Go-bi-pai, di samping Siauw-lim-pai tentu saja. Nah,
setelah kau memiliki ilmu itu, engkau pelajari semedhi seperti tertunjuk dalam kitab ini, dan makan akar serta
daun yang sudah tertulis lengkap pula di situ."
Cepat Lu Sian menyambar kitab itu dan membuka-bukanya sebentar. Ia percaya bahwa nikouw itu tidak akan
membohonginya, maka ia pun lalu mengeluarkan obat pemunah dari sakunya sambil tertawa. "Siang-tok-ciam
senjata rahasiaku memang mematikan, akan tetapi mana bisa membangkitkan nafsu birahi?"
Nikouw itu marah sekali, bangkit berdiri dan menahan diri sedapatnya untuk tidak memaki-maki. Akan tetapi
setelah memberikan obat pemunahnya, Lu Sian sudah melompat ke luar dan menghilang di tempat gelap
sambil membawa kitab yang amat diinginkannya itu.
Su-nikouw kembali menjatuhkan diri di atas kursi dan menarik napas panjang berkali-kali. "Su Pek Hong... Su
Pek Hong.... Inilah hukumannya kalau orang tidak mentaati nasehat guru! Mendiang Suhu dahulu pernah
bilang bahwa ilmu awet muda ini mengandung sifat berbahaya dan tidak baik karena menentang hukum alam!
Betul kau hanya menghendaki awet muda demi kesehatan, namun wanita lain tentu akan menganggapku
pesolek dan ingin cantik selalu. Dan wanita yang selalu ingin cantik seperti ingin mendapat perhatian dan
pujian laki-laki. Ah, betapa memalukan. Su Pek Hong, kau sudah tua, mengapa tidak mau menerima
kekuasaan alam? Jadilah nenek-nenek yang penerima, hadapilah kematian usia tua yang sewajarnya, dan
tentu tidak akan mengalami hal yang begini memalukan..." Dengan wajah duka pendeta wanita ini lalu
mempergunakan obat pemunah racun yang ditinggalkan Lu Sian.
Harta benda, kepandaian, dan kekuasaan duniawi adalah anugerah, bukti kemurahan Tuhan kepada manusia.
Namun dalam anugerah ini terbawa pula ujian yang amat berat. Siapa yang kuat menerima anugerah ini, ia
akan dapat menikmatinya lahir batin. Sebaliknya, mereka yang tidak kuat menghadapi ujian ini, hanya akan
menikmati pada lahirnya saja, sedangkan pada batinnya mereka akan mengalami kemunduran yang akan
membawa mereka kepada kesengsaraan.
Namun di antara tiga macam anugerah itu, yang paling berbahaya akibatnya bagi mereka yang tidak kuat
adalah kekuasaan. Harta benda dapat menjadikan orang menjadi hamba nafsunya sendiri, kepandaian dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
menjadikan orang menjadi sombong, tinggi hati dan memandang rendah orang lain. Akan tetapi kekuasaan
yang timbul dari kekuatan atau pun kedudukan, amatlah berbahaya karena dapat menjadikan orang
sewenang-wenang terhadap orang lain, mau menangnya sendiri saja tanpa menghiraukan tata-susila dan perikemanusiaan.
Liu Lu Sian termasuk orang yang mendapat anugerah kekuatan, hasil dari pada banyaknya macam ilmu silat
yang ia kuasai. Makin pandai, makin kuatlah dia dan makin besar kekusaannya terhadap orang lain mentaati
kehendaknya. Ia menjadi mabok akan kekuatan sendiri, ingin menang sendiri dan tidak peduli akan perikemanusiaan.
Makin ia turuti nafsunya, maka makin hebatlah nafsu menggulung dirinya. Makin ia turuti
kemurkaannya akan ilmu, ia makin tidak puas dan menghendaki lebih. Sepak terjangnya makin liar menjadijadi,
sehingga beberapa tahun kemudian nama Tok-siauw-kwi menggemparkan dunia persilatan sebagai
seorang tokoh yang ganas, liar, kejam dan ditakuti.
Untuk mematangkan ilmu yang dirampasnya dari Su-nikouw, seorang diri Lu Sian memasuki Go-bi-pai. Ia
berhasil mencuri kitab Cap-sha-seng-keng (Kitab Ilmu Tiga Belas Bintang) yang selain mengajarkan latihan
lweekang dan langkah-langkah kaki, juga Ilmu I-kin-swe-jwe (Ganti Otot Mencuci Sum-sum) seperi yang ia
butuhkan. Ilmu kepandaiannya meningkat cepat sekali dan kini Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian benar-benar menjadi
seorang wanita sakti yang sukar dicari tandingannya. Di Go-bi-pai ia dikeroyok para hwesio, akan tetapi
sanggup melarikan diri dengan hanya menderita luka ringan setelah merobohkan banyak hwesio Go-bi-pai
yang terkenal kosen!
Bukan hanya Go-bi-pai yang ia serbu, juga ia naik ke Puncak Hoa-san, mencuri pedang pusaka Pek-giok-kiam
(Pedang Pusaka Kumala Putih) yang menjadi pedang pusaka Hoa-san-pai. Dalam pertempuran di Hoa-san, ia
dikeroyok dan berhasil merobohkan lima orang anak murid Hoa-san-pai yang tewas oleh pedangnya yang
ganas dan dahsyat. Kemudian ia lari lagi sehingga semenjak saat itu ia menjadi seorang buruan, dicari dan
dikejar oleh orang-orang Siauw-lim-pai, Go-bi-pai dan Hoa-san-pai! Namun berkat gerakannya yang lincah,
ginkang-nya yang tinggi serta kecerdikannya yang seperti setan, ia selalu berhasil meloloskan diri.
Bukan hanya itu semua kehebohan yang ia perbuat di dunia kang-ouw. Banyak golongan persilatan yang
sengaja ia datangi untuk diajak bertanding, mengalahkan ketuanya dan merobohkan banyak sekali tokoh
kenamaan sehingga namanya menjulang tinggi, bahkan melewati nama besar ayahnya sendiri, Pat-jiu Sin-ong!
Yang paling hebat adalah ketika ia mendatangi Kong-thong-pai karena mendengar berita bahwa Ilmu Pedang
Kong-thong-pai amat lihai. Ia datang sengaja hanya untuk menantang ketua Kong-thong-pai bertanding ilmu
pedang! Juga di Kong-thong-pai ini Lu Sian merobohkan banyak tokoh, sungguh pun ia belum sanggup
mengalahkan ilmu pedang ketua Kong-thong-pai yang bernama Kim Leng Tosu. Namun ia menang cekatan
dan lincah sehingga kekalahannya dalam ilmu pedang dapat ia atasi dengan kelincahannya.
Demikianlah selama sepuluh tahun Lu Sian malang-melintang di dunia kang-ouw. Ilmu kepandaiannya makin
hebat, akan tetapi berkat ilmunya awet muda, wajahnya masih tetap cantik jelita, tubuhnya menyiarkan
keharuman yang khas, sedangkan bentuk tubuhnya masih menggairahkan seperti seorang gadis remaja.
Betapa pun liar dan ganas watak Lu Sian, sebagai seorang ibu kadang-kadang ia merasa rindu kepada
puteranya, Bu Song. Rasa rindu inilah yang akhirnya membawa kedua kakinya melangkah menuju propinsi
Shansi. Pada waktu itu, Kerajaan Cin Muda telah roboh, terganti dengan kerajaan baru yang disebut Kerajaan
Han Muda. Propinsi Shan-si telah berdiri sendiri dan menjadi Kerajaan Hou-han.
Akan tetapi alangkah kecewa hatinya ketika ia mendengar kabar bahwa bekas suaminya, Kam Si Ek, telah
meletakkan jabatan dan telah pindah. Tak seorang pun tahu ke mana pindahnya Kam Si Ek, bekas suaminya.
Hatinya menjadi dingin kembali dan ia hanya percaya bahwa puteranya, Bu Song, tentu saja hidup aman
sentosa di samping bekas suaminya.
Lu Sian termenung sambil makan di sebuah rumah makan di kota raja Hou-han. Ingin ia menangis kalau
teringat akan puteranya, namun hatinya yang keras mencegahnya berduka lebih lama lagi. "Lebih baik dia
tidak mengenal aku sebagai ibunya," demikian pikirnya.
Bagaimana kalau puteranya itu bertemu dengannya dan mengenalnya sebagai seorang ibu yang
meninggalkan anaknya? Apalagi kalau mengenal bahwa ibunya adalah Tok-siauw-kwi, iblis betina yang
ditakuti orang? Lu Sian tersenyum, dan dengan gemas ia meneguk cawan araknya yang ke sembilan kalinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cara ia menuangkan arak ke mulut dan langsung ke perut melalui tenggorokan menandakan bahwa ia sudah
biasa dengan minuman keras ini. Memang jarang sekali ada wanita yang dapat minum arak seperti dia itu.
Cara ia minum benar-benar cara seorang ‘setan arak’ minum.
Tiba-tiba Lu Sian menengok ke kiri. Perasaannya yang tajam membuat ia tahu bahwa ia diperhatikan orang
dari arah kiri. Pemuda yang sedang memandangnya itu nampak gugup, hendak menundukkan muka atau
pura-pura tidak melihat, namun pandang matanya seakan-akan lekat pada wajah ayu itu. Lu Sian tersenyum,
membuang muka akan tetapi matanya yang tajam mengerling, tajam melebihi pedang. Hatinya pun tergetar.
Betapa tidak? Pemuda itu tampan bukan main. Tubuhnya tinggi tegap, mukanya halus putih seperti muka
wanita, namun alisnya hitam tebal, matanya lebar bercahaya terang dan tajam seperti mata harimau. Wajah
tampan dan tubuh tegap seorang pria ganteng selalu masih menggerakkan hati Lu Sian, biar pun usianya
sudah empat puluh tahun!
Semenjak hatinya yang mengalami cinta kasih telah dikecewakan oleh Kam Si Ek, Tan Hui dan yang terakhir
murid Siauw-lim-pai Yap Kwan Bi, ia menganggap pria hanya manusia jenis lain yang menarik, dan hanya
tepat dijadikan permainan belaka untuk memuaskan nafsunya. Semenjak ia merantau, banyak sudah pria yang
jatuh bertekuk lutut oleh kecantikannya yang luar biasa. Tetapi setelah Lu Sian mempermainkannya dan lakilaki
itu benar-benar telah roboh hatinya, selalu Lu Sian meninggalkannya pergi dan tertawa puas melihat bekas
kekasih ini menjadi patah hati, menjadi gila atau setengah gila!
Selagi Lu Sian berdebar hatinya bertemu dengan seorang pemuda tampan remaja yang paling tinggi berusia
dua puluh dua tahun ini, tiba-tiba terdengar angin mendesir dan pandang mata Lu Sian yang tajam dapat
melihat berkelebatnya senjata rahasia halus menyambar ke arah si Pemuda Tampan! Lu Sian merasa khawatir
sekali melihat sikap pemuda itu seperti seorang pemuda pelajar yang tak mengerti ilmu silat, maka ia lalu
menjemput nasi dengan sumpitnya dan sekali menggerakkan tangan, nasi itu menyambar ke arah sinar
senjata rahasia menjadi butiran-butiran nasi dan runtuh ke bawah tanpa mengeluarkan suara!!
Pemuda itu masih enak-enak minum araknya dan memang ia tidak tahu akan adanya bahaya yang tadi
mengancam nyawanya.
Setelah senjata-senjata rahasia jarum itu runtuh, terdengar orang berseru di luar rumah makan, "Biar ada yang
melindungi, kita harus bunuh pangeran ini!" dan muncullah tiga orang laki-laki tinggi besar yang membawa
golok telanjang di tangan.
Pemilik rumah makan dan dua orang pelayannya ketakutan, juga dua orang lain yang sedang duduk makan di
situ lari ke luar. Pemuda tampan itu pun kelihatan terkejut sekali mendengar ucapan ini, bangkit berdiri dari
kursinya dan mukanya pucat. Gerakan ini saja menyakinkan Lu Sian bahwa pemuda yang diserang tadi benarbenar
tak pandai silat, maka ia melirik ke arah tiga orang tinggi besar itu. Orang-orang yang kasar akan tetapi
tidak seperti penjahat.
“Tolong! Tolong!” teriak pemuda itu saat melihat tiga orang tinggi besar itu menyerbu ke arahnya.
Lu Sian tidak mau tinggal diam saja. Tangan kirinya bergerak tanpa ia bangkit dari kursinya. Terdengar tiga
orang itu berteriak kesakitan dan roboh bergulingan menabrak meja kursi. Mata mereka mendelik, dari dalam
hidung dan telinga keluar darah. Nyawa mereka sudah putus!
"Keparat dari mana berani membunuh murid-murid keponakanku?!" terdengar bentakan keras dan
melayanglah tubuh seorang tosu yang bersenjata pedang, langsung menghantamkan pedangnya dari atas ke
bawah tepat di atas kepala Lu Sian!
Wanita sakti ini hanya tersenyum, sama sekali tidak menoleh, akan tetapi tiba-tiba kursi yang didudukinya
mencelat ke samping dan ia masih enak-enak duduk di atasnya. Pedang itu menyambar terus ke bawah dan....
"Crakkkkk!!" meja yang tadi berada di depan Lu Sian terbelah menjadi dua potong!
Pemuda yang sebenarnya seorang pangeran yang menyamar itu menggigil ketakutan, juga tiga orang
pengurus rumah makan kini berjongkok bersembunyi di balik meja.
dunia-kangouw.blogspot.com
Si Tosu ternyata bertubuh tinggi kurus, usianya hampir lima puluh tahun, wajahnya pucat seperti orang
berpenyakitan. Namun menyaksikan betapa sekali bacok ia dapat membelah meja yang tebal, dapat
dibayangkan betapa besar tenaganya dan betapa tajam pedangnya. Hampir ia tidak percaya ketika pedangnya
hanya mengenai meja sedangkan wanita muda yang ia bacok itu masih enak-enak duduk di atas kursi dekat
sebuah meja lain. Ia membalikkan tubuh, mengeluarkan seruan marah dan melompat ke arah Lu Sian,
menerjang dengan pedang diputar cepat.
"Trakkk!" pedang itu berhenti di tengah-tengah dan kiranya telah terjepit sepasang sumpit yang berada di
tangan Lu Sian.
Si Tosu mengerahkan tenaga membetot, namun sia-sia karena pedangnya seakan-akan terjepit oleh jepitan
baja yang amat kuat. Mendadak Lu Sian melepaskan jepitannya sehingga si Tosu terhuyung mundur, dan
pada saat itu pula sepasang sumpit itu langsung melayang ke arah lambung dan leher si Tosu. Namun Si Tosu
ternyata cukup gesit karena ia mampu membuang diri ke samping dan bergulingan menyelamatkan diri.
Akan tetapi baru saja ia melompat bangun, datang sinar merah menyambarnya. Tosu itu memutar pedang dan
banyak jarum runtuh, namun sebatang jarum masih dapat menerobos dan menancap di dadanya. Tosu itu
mengeluh dan terguling roboh. Ia mencabut jarum di dadanya dan melihat jarum merah serta mencium bau
harum, matanya terbelalak memandang Lu Sian, telunjuknya menuding dan mulutnya berseru, "Kau... Toksiauw-
kwi....!" namun ia tak dapat bicara lebih lanjut karena racun jarum telah mencapai jantungnya dan ia mati
dengan mata mendelik.
Lu Sian hanya tersenyum dan masih duduk menghadapi meja.
Tiga orang pemilik dan pengurus rumah makan itu segera keluar dari tempat sembunyi mereka dan berlutut di
depan si Pemuda Tampan. "Syukur bahwa Tuhan masih melindungi Paduka...."
"Sssst, sudah jangan banyak ribut. Lebih baik lekas laporkan kepada penjaga keamanan kota dan mengurus
empat mayat penjahat itu," kata si Pemuda, kini sikapnya agung dan sudah tenang kembali.
Ia lalu melangkah menghampiri Lu Sian, merangkap kedua tangan di depan dada sambil membungkuk
memberi hormat. "Lihiap (Nona Perkasa) telah menolong nyawa saya, sungguh merupakan budi amat besar
dan membuat saya bingung bagaimana saya akan dapat membalas budi itu." Ucapannya halus dan tutur
katanya sopan menyenangkan.
Lu Sian segera bangkit berdiri dan membalas penghormatan orang. Bibirnya tetap tersenyum manis, kerling
matanya benar-benar mengiris jantung. "Ah, urusan kecil seperti itu bukan berarti menghutangkan budi. Ada
orang-orang jahat hendak membunuh Kongcu, bagaimana saya dapat berpeluk tangan saja?"
Pemuda itu memandang penuh kagum dan ia tidak menyembunyikan rasa kagum ini, bukan hanya kagum
akan kehebatan kepandaian wanita ini, namun juga kagum akan kecantikannya yang luar biasa, akan bau
harum semerbak yang keluar dari tubuh wanita itu dan memabokkannya. "Hebat sekali, Lihiap! Kalau tidak
menyaksikan dengan mata sendiri, mana mungkin saya percaya di dunia ini ada seorang yang kepandaiannya
seperti dewi, sedangkan Lihiap begini can.... eh, muda? Tadi pun merupakan teka-teki bagi saya siapa
gerangan yang membuat tiga orang penyerang saya jatuh tersungkur dan tewas seketika. Kalau tidak ada
penyerang ke empat tadi, sampai mati pun saya mungkin tidak percaya bahwa Lihiap yang telah menolong
saya."
Berdebar jantung Lu Sian. Laki-laki ini sungguh menarik hati dan menyenangkan. Rasa kagum yang terpancar
dari matanya dan pujian yang keluar dari mulutnya sama sekali bukanlah kosong dan menjilat sifatnya,
melainkan langsung keluar dari hati. Ia dapat membedakan hal ini. Sambil menjura lagi dan memperlebar
senyumnya sehingga tampak sedikit deretan gigi putih berkilau, ia berkata, "Ah, Kongcu terlalu memuji dan
membesar-besarkan. Kalau tidak salah pendengaran saya, bukankah Kongcu seorang pangeran? Inilah yang
mengagumkan, melihat seorang pangeran berada di luar istananya dengan berpakaian seperti rakyat biasa,
benar-benar jarang sekali dapat ditemui pada jaman kini."
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda itu tersenyum. "Apa sih bedanya pangeran dan orang biasa? Lihiap, sekali lagi, katakanlah
bagaimana saya harus membalas budimu?"
"Telah saya katakan tadi, tidak ada penghutangan budi. Kalau Kongcu hendak melakukan sesuatu untuk
menuruti permintaanku, saat ini tidak ada keinginan lain di hatiku kecuali keterangan mengapa Kongcu sebagai
pangeran diserang oleh empat orang ini dan siapakan mereka?"
Pemuda itu menggerakkan kipasnya untuk mengipas leher, padahal ia menggunakan benda itu untuk menutup
mulutnya dari orang lain agar kata-katanya tidak terdengar orang lain kecuali Lu Sian, kemudian berkata
perlahan, "Lihiap di sini bukan tempat kita bicara tentang itu. Saya persilakan Lihiap singgah di gedung kami,
sudikah Lihiap memberi penghormatan itu?"
"Ayaaa....! Kongcu benar-benar terlalu merendah! Undangan itu justru merupakan kehormatan besar sekali
bagiku. Terima kasih, Kongcu, tentu saja saya bersedia memenuhi undangan Kongcu."
Pada saat itu terdengar langkah kaki banyak orang dan masuklah tujuh orang berpakaian seragam yang sertamerta
menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.
"Bangunlah!" kata sang Pangeran dengan sikap berwibawa. "Urus empat mayat ini dan selidiki kalau-kalau
masih ada teman-teman mereka yang berkeliaran dalam kota!"
Mereka bangkit dengan sikap hormat.
"Sediakan dua ekor kuda untuk kami!" kata pula pemuda itu.
Cepat sekali dua orang di antara mereka keluar, dan tak lama kemudian terdengarlah derap kaki dua ekor
kuda di depan pintu rumah makan.
"Lihiap, mari kita berangkat," ajak si Pangeran.
Ketika Lu Sian hendak membayar harga makanan, cepat-cepat si Pemilik Rumah Makan mencegah dengan
ucapan manis. "Harap Lihiap tidak usah repot-repot. Semua yang berada di sini hamba sediakan untuk
keperluan sang Pangeran dan sahabat-sahabat beliau!"
Pangeran itu tersenyum dan mengajak Lu Sian ke luar. Di sana telah tersedia dua ekor kuda besar beserta
perlengkapannya. "Silakan, Lihiap," ajak pemuda itu.
Lu Sian tidak sungkan-sungkan lagi. Segera ia melompat ke atas pelana kuda, diikuti oleh pangeran itu.
Mereka segera menjalankan kuda, diikuti pandang mata kagum dari belakang.
Walau pun jarang keluar, Lu Sian pernah tinggal di kota ini bersama suaminya, karena itu ia mengenal jalan
dan tahu pula bahwa pemuda itu mengajaknya memasuki halaman sebuah gedung besar yang dahulu menjadi
istana Gubernur Li! Hatinya berdebar tidak enak, khawatir kalau-kalau ada orang mengenalnya. Akan tetapi ia
menjadi lega ketika teringat bahwa sudah lewat belasan tahun sejak ia berada di sini, pula dahulu ia tidak
pernah keluar rumah dan tak pernah bertemu dengan para pembesar di tempat ini. Selain itu, ia percaya
bahwa ilmu awet muda membuat ia takkan dikenal orang. Biar pun usianya sudah empat puluhan, namun ia
tetap kelihatan seperti seorang gadis dua puluh tahun lebih!
Bekas gedung Gubernur Li itu memang kini menjadi istana raja. Komplek bangunannya banyak sekali dan
pemuda ini bertempat tinggal di sebuah gedung sebelah kiri belakang. Begitu kuda mereka diurus oleh
pelayan, mereka lalu memasuki gedung. Banyak sekali pelayan laki-laki dan wanita menyambut mereka penuh
penghormatan.
"Sampaikan kepada Thai-thai (Nyonya Besar) bahwa aku hendak menghadap bersama seorang pendekar
wanita yang telah menolongku," kata Pangeran itu dengan sikap gembira kepada seorang pelayan wanita.
Mendengar ini, para pelayan memandang Lu Sian penuh perhatian dan kagum.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pangeran itu mempersilakan Lu Sian duduk di ruang tamu yang amat indah. Dengan kagum Lu Sian
memandangi lukisan-lukisan dan tulisan-tulisan yang bergantungan di sepanjang dinding. Alangkah bedanya
dengan suaminya dahulu, pikirnya. Suaminya itu biar pun seorang jenderal ternama, hidupnya sederhana dan
gedungnya tidak semewah dan seindah ini.
"Lihiap, bolehkah saya mengetahui nama Lihiap yang terhormat?"
Lu Sian terkejut. Kalau ia mengakui namanya, ada bahayanya orang mengenalnya sebagai bekas isteri
Jenderal Kam Si Ek! Ia tersenyum manis dan menjawab, "Saya seorang wanita perantau yang tidak pernah
mengingat nama. Seingat saya, nama saya Sian, akan tetapi orang-orang menjuluki saya...."
"Tok-siauw-kwi? Sungguh terlalu ketika aku mendengar tosu keparat itu memakimu Tok-siauw-kwi! Kau
patutnya seorang Sian-li (Dewi) dan mungkin Lihiap benar-benar seorang Dewi karena namanya Sian (Dewa).
Biarlah bagi saya, Lihiap adalah seorang Sian-li dan selanjutnya kusebut begitu...."
"Ah, Kongcu benar-benar membuat saya malu dengan pujian-pujian muluk. Dan siapakah Kongcu? Apakah
Thai-cu (Pangeran Mahkota)?"
"Ah, bukan... bukan! Saya hanya seorang pangeran yang lahir dari seorang selir, ibuku selir ke tiga dari Sri
Baginda. Namaku Lie Kong Hian."
Lu Sian mengangguk-angguk dan pada saat itu muncullah seorang pelayan wanita yang memberitahukan
bahwa nyonya besar telah siap menerima puteranya dan seorang sahabatnya. "Marilah kita menghadap ibu.
Beliau tentu girang sekali mendengar bahwa kau telah menolong nyawaku," kata pangeran yang bernama Lie
Kong Hian itu.
Lu Sian hanya tersenyum dan mengikuti pemuda itu memasuki ruangan belakang. Gedung ini amat besar dan
indah, di sebelah dalamnya terdapat taman yang kecil namun indah sekali. Di sebelah belakang juga terdapat
taman bunga yang dihias pintu bulan yang menembus ke taman gedung sebelahnya. Di ruangan belakang, ibu
pemuda itu sudah menanti sambil duduk di atas kursi, seorang wanita yang usianya empat puluh tahun lebih
namun masih memperlihatkan sisa-sisa kecantikannya. Di belakangnya menjaga dua orang pelayan wanita
yang memijit-mijit punggungnya akan tetapi segera disuruh berhenti ketika nyonya itu melihat masuknya Kong
Hian dan Lu Sian.
"Ibu....!" pemuda itu tanpa memberi hormat lagi merangkul pundak ibunya dengan sikap manja sekali. "Inilah
Nona Sian-li yang telah menyelamatkan nyawa puteramu." Serta-merta Pangeran itu menceritakan betapa di
dalam rumah makan ia diserang mata-mata musuh akan tetapi diselamatkan oleh Sian-li (Dewi) yang perkasa
ini.
"Nah, itulah jadinya kalau anak tidak mentaati nasehat orang tua," sang ibu mengomel. "Kau senang sekali
keluyuran di luar padahal kau tahu bahwa suasananya sedang tidak aman. Kekuasaan-kekuasaan sedang
timbul di mana-mana untuk saling berlumba merebutkan kedudukan. Tentu saja seorang pangeran seperti
engkau ini menjadi sasaran gemuk. Kong Hian, tanpa keluyuran di luar, kau di rumah kurang apa lagikah?
Aahhh, dasar anak sukar diurus....!" Nyonya itu menarik napas panjang, kemudian menoleh kepada Lu Sian
yang berdiri menundukkan muka.
"Nona, banyak terima kasih atas pertolonganmu kepada puteraku. Alangkah akan tenang rasa hatiku kalau dia
mempunyai seorang pelindung seperti engkau yang selalu mendampinginya! Agaknya Nona ini seperti Coa
Kim Bwee, sayang dia itu menjadi ibu ke tujuh Kong Hian, kalau tidak...."
"Ibu, urusan dalam istana kau sebut-sebut di depan Lihiap, mana dia tahu? Sudahlah, harap ibu beristirahat,
aku mau mengajak tamu kita melihat-lihat taman."
Ibunya tersenyum dan mengedipkan mata, kemudian menggerakkan tangan memberi ijin mereka pergi
meninggalkannya.
Sambil berjalan di samping Kong Hian memasuki taman belakang yang lebih besar dari pada taman di dalam
tadi, diam-diam Lu Sian merasa heran atas sikap selir raja yang ke tiga itu. Begitu bebas, bahkan ada sifat-sifat
dunia-kangouw.blogspot.com
genit dan agaknya senang melihat puteranya bergaul dengan wanita. Akan tetapi hanya sebentar saja ia
memikirkan hal ini karena segera ia tertarik oleh keindahan taman, kehalusan tutur kata dan ketampanan
wajah Kong Hian.
Pemuda pangeran ini pintar sekali mengarang sajak dan mengucapkannya dengan kata-kata berirama
sehingga Lu Sian makin tertarik dan teringat kepada Kwee Seng. Tanpa mereka sadari, percakapan menjadi
lebih bebas dan kini mereka duduk berhadapan di antara bunga-bunga, di dekat pintu bulan sambil menikmati
keindahan tubuh ikan-ikan emas yang berenang di dalam empang teratai.
"Sian-li...."
Lu Sian memandang dengan alis terangkat. Suara pemuda ini menggetar dan baru sekarang menyebutnya
Sian-li begitu saja sedangkan tadinya menyebut Lihiap atau kadang-kadang juga nona. Geli hatinya
mendengar sebutan Dewi ini, akan tetapi juga senang. Lebih baik Sian-li (Dewi) dari pada disebut Tok-siauwkwi
(Setan Cilik Beracun)!
"Hemmm...?" gumamnya sambil mengerling tajam.
Dengan gagap pangeran muda itu berkata. "Aku... aku akan merasa bahagia sekali kalau ucapan ibuku tadi
menjadi kenyataan."
"Ucapan yang bagaimana?"
"Kalau kau menjadi pelindung yang selalu mendampingiku!" Kong Hian menatap tajam dan melihat Lu Sian
tersenyum, sama sekali tidak marah, ia lalu memegang tangan wanita itu. Jari-jari tangan mereka yang
mengeluarkan getaran dan saling cengkeram menjadi bukti bahwa hati masing-masing telah menjawab.
Akan tetapi dengan halus dan perlahan Lu Sian menarik tangannya, tersenyum lebar dan berkata, "Apa
salahnya? Akan tetapi sebagai calon pelindung, aku harus tahu lebih dulu mengapa kau perlu dilindungi dan
siapakah para penyerangmu tadi, lalu apa syaratnya jika aku menjadi pelindungmu?"
Girang sekali wajah pangeran muda itu karena ia mendapat tanda bahwa wanita ini tidak akan menolaknya!
Cepat ia bercerita, "Empat orang itu adalah orang-orang yang bergabung dengan pemberontak. Mereka itu
bekas anak buah Jenderal Kam Si Ek yang sudah meletakkan jabatan."
Tentu saja disebutnya nama suaminya ini membuat Lu Sian terkejut. Akan tetapi ia dapat menguasai
perasaannya dan bertanya, "Mengapa meletakkan jabatan dan mengapa pula mereka memberontak?"
"Setelah Kerajaan Hou-han didirikan, Jenderal Kam Si Ek menentang karena hal itu ia anggap pengkhianatan
terhadap kesetiaan kepada Dinasti Tang yang sudah roboh. Dia masih baik, hanya meletakkan jabatannya dan
hidup mengundurkan diri ke dusun. Akan tetapi banyak di antara anak buahnya bersekutu dengan tokoh Tang,
yaitu bekas Raja Muda Couw Pa Ong. Mereka memberontak dan selalu berusaha meruntuhkan kerajaankerajaan
kecil yang sudah berdiri dengan jalan membunuhi para bangsawan dan keluarga raja."
Diam-diam Lu Sian terkejut. Nama Sin-jiu Couw Pa Ong tentu saja sudah dikenalnya baik-baik, sungguh pun
kini ia tidak gentar mendengar nama itu karena ilmu kepandaiannya sudah meningkat hebat, sehingga tidak
perlu lagi takut menghadapi orang-orang pandai seperti Couw Pa Ong atau Kong Lo Sengjin yang lumpuh itu.
Melihat Lu Sian tidak terkejut disebutnya tokoh sakti ini, Kong Hian bertanya. "Apakah Sian-li belum
mendengar nama Couw Pa Ong?"
Lu Sian mengangguk. "Kakek tua bangka lumpuh itu tentu saja pernah aku mendengar namanya, bahkan
pernah bertemu dengannya."
Kagetlah hati Pangeran. "Dan kau tidak gentar menghadapinya?"
"Ah, kakek seperti itu, hanya patut menakut-nakuti anak kecil."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kong Hian memandang kagum sungguh pun hatinya masih meragu apakah wanita cantik ini benar-benar akan
sanggup menghadapi seorang sakti menakutkan seperti Couw Pa Ong. "Kalau begitu benar-benar aku
mendapat perlindungan dewi dari kahyangan!" ia berseru girang.
"Kongcu, tadi ibumu menyebut-nyebut nama Coa Kim Bwee yang menjadi ibu ke tujuh darimu, siapakah dia
dan mengapa ibumu membandingkan dia dengan aku?"
"Ah, dia itu selir ke tujuh dari Sri Baginda, maka terhitung ibu ke tujuh dariku. Dia masih amat muda, akan
tetapi di antara semua penghuni istana, dialah yang paling lihai ilmu silatnya. Dia itu dahulu puteri seorang
jenderal yang berguru kepada orang-orang pandai. Memang dia hebat... eh, betapa pun juga dibandingkan
denganmu, dia bukan apa-apa!"
Lu Sian tersenyum lagi dan memainkan biji matanya. "Kau belum tahu sampai di mana kepandaianku,
bagaimana bisa menyatakan begitu? Agaknya Coa Kim Bwee itu amat lihai dan kau mengenal baik ibu tirimu
itu!"
Wajah Pangeran ini mendadak menjadi merah sekali dan mata tajam Lu Sian dapat menduga bahwa di antara
pemuda tampan dan selir ayahnya tentulah ada hubungan mesra. Sudah banyak ia mendengar tentang selirselir
raja yang masih muda mengadakan hubungan dengan putera-putera raja yang muda dan tampan. Akan
tetapi ia tidak peduli akan hal ini karena sepanjang pengalamannya, tak pernah ia mendapatkan seorang pun
laki-laki yang benar-benar hanya mencinta seorang wanita dan benar-benar ‘setia’ seperti yang seringkali
terdengung dari mulutnya.
"Lie-kongcu, sekarang apakah syarat-syaratnya kalau aku menjadi pengawal pribadimu?"
"Syaratnya? Eh... syaratnya tentu saja kau tidak boleh berpisah dari sampingku, siang... malam... jadi... eh, kau
selalu mendampingiku dan kalau kau suka menerimanya, aku... aku akan berterima kasih sekali. Biar aku
berlutut di depanmu....!" Pangeran muda yang sudah tergila-gila oleh kecantikan Lu Sian itu benar-benar
hendak berlutut!
Dengan halus Lu Sian menyentuh pundaknya, melarangnya berlutut. "Nanti dulu, Kongcu. Kau mempunyai
syarat, aku pun mempunyai permintaan sebagai syarat. Pertama, aku harus mendapat kebebasan bergerak di
dalam istana ini, kecuali tempat tinggal Raja tentu saja."
"Baik, baik, hal itu dapat dilaksanakan."
"Ke dua, di luar kehendakku, orang lain tidak boleh bertanya-tanya tentang diriku, dan ke tiga, segala
permintaanku harus kau turuti. Juga setiap saat aku meninggalkan tempat ini, tak boleh ada yang
menghalangiku."
"Baik, baik, asal Sian-li suka menjadi pelindungku, pengawal pribadiku yang tak pernah meninggalkanku siang
malam..."
"Dan tentang berlutut itu, nanti malam saja boleh kau berlutut sepuas hatimu!"
Mendengar ini, si Pangeran Muda menjadi girang dan tanpa banyak cakap lagi ia lalu bangkit dan merangkul
leher Lu Sian yang mandah saja terbuai dalam belaian si Pangeran Muda yang muda dan tampan. Bahkan
dengan halus ia berbisik. "Senja telah lewat, di sini sudah mulai gelap dan dingin, lebih baik kita masuk saja."
Pangeran muda itu bertekuk lutut dan benar-benar jatuh menghadapi rayuan seorang wanita yang
berpengalaman seperti Lu Sian. Sampai-sampai di dalam kamar Pangeran yang mewah dan bersih itu, ketika
mereka makan minum menghadapi meja, si Pangeran menuruti segala perintah Lu Sian, biar pun ia disuruh
minum arak dari sepatu Lu Sian yang dijadikan cawan! Disuruh berlutut, disuruh mengambilkan perhiasan apa
saja yang dikehendaki Lu Sian. Memang tidak ada kegelian yang lebih menggelikan dapat menghinggapi
seorang pria dari pada kalau ia sudah tergila-gila kepada seorang wanita!
Dua hari dua malam Lu Sian dan Pangeran Lie Kong Hian tak pernah meninggalkan kamar, tenggelam ke
dalam permainan nafsu. Pada pagi hari ke tiga, ketika Lu Sian terbangun dari tidurnya, pangeran itu sudah
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak berada di dalam kamar. Ia bangkit dan dengan malas-malasan Lu Sian duduk menghadapi cermin yang
besar, mengambil sisir dan menyisir rambutnya yang dilepas sanggulnya dan terurai panjang sampai ke
pinggul. Rambutnya hitam halus, berombak dan berbau harum. Sambil tersenyum-senyum puas dan girang
karena kini ia merasai kenikmatan hidup seperti seorang puteri istana, tiba-tiba ia mendengar suara ribut-ribut
di luar. Cepat ia bangkit dan mengintai dari balik pintu kamar.
Kagetlah hatinya ketika ia melihat Pangeran Lie Kong Hie berdiri dengan muka pucat dan kedua lengan
terpentang. Di depannya berdiri seorang wanita muda yang cantik bersikap galak, membawa pedang di tangan
dan di belakangnya terdapat seorang gadis lain berpakaian pelayan, juga membawa pedang telanjang! Lu Sian
cepat meraba kantung jarumnya. Sambil mengintai ia bersiap dengan jarum-jarum merahnya. Ia tidak segera
turun tangan karena hendak melihat dan mendengar dulu apa yang terjadi. Kalau gadis cantik itu hendak
membunuh Kong Hian, tentu ia akan mendahuluinya dengan jarum-jarum yang tak pernah meleset!
"Kau bersekongkol dengan pemberontak!" si Gadis membentak dengan suara yang nyaring, sedangkan
matanya memancarkan sinar berapi. "Hayo, serahkan dia kepadaku, ataukah kau benar-benar hendak
membelanya karena ia kabarnya cantik jelita? Mata keranjang! Kau rela bersekongkol dengan pemberontak
hanya karena dia cantik?"
"Tidak... tidak... Kim Bwee... eh, ibu... dia bukan pemberontak. Dia... dia pengawal pribadiku, dan malah
menolongku dari pada serangan kaum pemberontak!"
"Tapi dia Tok-siauw-kwi...!"
"Orang-orang jahat menamakan dia begitu akan tetapi dia seorang Dewi! Dia bukan pemberontak. Kim... eh,
ibu... harap suka bersabar dan jangan menuruti hati cemburu..."
"Siapa cemburu?? Biar engkau kumpulkan... eh, seribu orang perempuan lacur, aku tidak peduli! Akan tetapi
sekali engkau bersekongkol dengan pemberontak, pedangku sendiri yang akan menembus dadamu...!" Wanita
itu mengancam dan menodongkan pedangnya ke depan dada Lie Kong Hian. Sedangkan pelayan yang juga
berpedang itu sudah bergerak mengurung.
"Chit-moi (Adik ke Tujuh)... tahan pedangmu...!" tiba-tiba terdengar jerit tertahan dan selir raja ke tiga, ibu Lie
Kong Hian sudah datang berlari-lari dan memeluk puteranya, kemudian menghadang di depan puteranya
memandang kepada wanita berpedang itu. "Chit-moi, jangan engkau main-main dengan senjata tajam!
Mengapa kau bersikap begini?"
"Sam-cici (Kakak ke Tiga), puteramu yang bagus ini bersekongkol dan menyembunyikan seorang perempuan
pemberontak dalam kamarnya. Bagaimana aku dapat mendiamkannya saja? Bukankah hadirnya seorang
pemberontak, betapa cantiknya pun, berarti membahayakan kita semua, terutama Sri Baginda?"
"Tenanglah, Chit-moi. Memang betul ada datang seorang wanita yang telah menolong nyawa Hian-ji (Anak
Hian) ketika ia diserang pemberontak. Tentu saja kami percaya kepada penolong itu dan hatiku malah lega
ketika mendengar bahwa ia suka menjadi pengawal pribadi anakku. Kalau ia pemberontak, mengapa ia
menolong anakku? Dan andai kata ia pemberontak sekali pun, hal itu bukanlah salahnya anakku, melainkan
dia yang menyelundup dengan tindakan palsu. Mengapa kau tidak menyelidikinya lebih dulu sebelum bertindak
terhadap puteraku?"
"Memang aku akan menyelidikinya! Dia Tok-siauw-kwi, berarti dia pemberontak. Dia di kamarmu bukan?"
pertanyaan ini ditujukan kepada Kong Hian yang menjadi merah sekali wajahnya dan akhirnya mengangguk.
Wanita berpedang yang cantik dan galak ini memang Coa Kim Bwee, selir ke tujuh Sri Baginda. Memang
mudah diduga bahwa selain berkepandaian tinggi, Coa Kim Bwee yang masih amat muda dan cantik itu tentu
saja merasa tidak puas menjadi selir ke tujuh. Wataknya memang berandalan dan genit, dan Lie Kong Hian
bukanlah satu-satunya ‘anak tiri’ yang ia jadikan kekasihnya! Ada pun tindakannya sekarang ini selain menaruh
curiga, juga sebagian besar terdorong oleh rasa cemburu, mendengar bahwa seorang di antara kekasihnya
yang paling ia sayangi ini mengeram seorang wanita cantik dari luar sampai dua hari dua malam!
dunia-kangouw.blogspot.com
Coa Kim Bwee bersuit dan muncullah lima orang wanita pelayan lain yang memang sudah siap dengan
pedang di tangan masing-masing. Kini enam orang pelayan wanita itu mengikuti Coa Kim Bwee melangkah
perlahan menuju ke kamar Pangeran Lie Kong Hian!
Lu Sian tersenyum setelah mendengar dan melihat semua yang terjadi di luar. Ia sudah senang tinggal di
istana pangeran ini dan memang ia mulai bosan dengan perantauan yang kadang-kadang amat sengsara.
Kalau ia turun tangan membunuh Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya, tentu ia tak mungkin dapat
tinggal dalam istana lebih lama lagi. Coa Kim Bwee adalah selir terkasih dari Raja, tentu kematiannya akan
menimbulkan geger. Dan melihat betapa Coa Kim Bwee agaknya berpengaruh dan dapat bertindak sesukanya
di istana, ia rasa lebih baik wanita ini ia dekati. Untuk dapat melaksanakan niat ini, ia harus mampu
menaklukkan wanita ini yang dilihat dari langkahnya memiliki ilmu kepandaian yang lumayan. Maka melihat
Coa Kim Bwee dan enam orang pembantunya yang semua memegang pedang telanjang itu menuju ke
kamarnya, ia cepat duduk kembali di depan cermin dan menyisir rambutnya dengan sikap tenang.
Coa Kim Bwee muncul di sebelah belakangnya. Mereka bertemu pandang melalui cermin. Tanpa
menyembunyikan rasa kagumnya melihat wajah cantik terhias rambut hitam panjang itu, Coa Kim Bwee
memandang lalu membentak. "Apakah engkau Tok-siauw-kwi?" bentakannya mengandung keraguan karena ia
benar-benar tidak mengira akan menemui seorang wanita yang demikian cantik jelita, lagi masih muda.
Sepanjang pendengarannya, Tok-siauw-kwi tentu telah berusia empat puluh tahun, karena ketika Tok-siauwkwi
masih menjadi isteri Jenderal Kam Si Ek, dia sendiri baru berusia sepuluh tahun! Karena inilah ia ragu-ragu
dan bertanya.
Tanpa menoleh Lu Sian menjawab melalui cermin. "Kalau betul, mengapa? Mau apakah engkau datang
bersama enam orang pembantumu dengan pedang di tangan?"
Kembali Coa Kim Bwee tertegun. Sikap wanita ini demikian tenang dan manis, namun sinar mata melalui
cermin itu membuat tengkuknya berdiri. Banyak sudah Coa Kim Bwee menghadapi lawan tangguh, namun
belum pernah ia merasa jeri seperti pada saat ini. Akan tetapi ia memberanikan hati dan membentak lagi. "Aku
datang untuk menangkapmu. Menyerahlah baik-baik sebelum pedang kami memaksamu!"
Lu Sian tersenyum makin lebar. Giginya berkilat putih. "Adik yang manis, kalau ada urusan yang hendak
dibicarakan, mengapa tidak masuk sendiri dan bicara baik-baik tanpa diganggu enam orang pelayanmu yang
menjemukan?"
Coa Kim Bwee marah. Ia memberi isyarat dengan pedangnya kepada enam orang pembantunya sambil
berkata, "Tangkap dia!"
Juga enam orang pelayan itu marah karena dikatakan ‘menjemukan’ dan sama sekali tidak dipandang mata
oleh wanita berambut panjang itu. Mereka berenam adalah pelayan perempuan yang bertugas sebagai
pengawal, memiliki ilmu kepandaian silat yang cukup tinggi. Biasanya penjahat pria saja masih mampu mereka
hadapi dan kalahkan, apalagi hanya seorang perempuan tak bersenjata yang sedang bersisir rambut? Mereka
bahkan merasa malu untuk mengeroyok. Akan tetapi mereka tidak berani membantah karena telah menerima
perintah.
Coa Kim Bwee melangkah masuk dan berdiri di pinggir untuk memberi jalan kepada mereka. Enam orang
pelayan itu segera melangkah masuk menghampiri Lu Sian dari belakang dengan sikap mengancam. Akan
tetapi Lu Sian tetap tidak menoleh, hanya menatap mereka dengan pandang mata tajam melalui cermin di
depannya.
"Serbu!" seorang di antara mereka memberi komando dan dengan bermacam gerakan menyerbulah keenam
orang pelayan itu ke depan.
Lu Sian menggerakkan kepala sambil memutar tubuh. Rambutnya yang panjang itu bagaikan cambuk yang
banyak sekali menyambar ke depan, menggulung keenam orang penyerangnya. Terdengar ia berseru, "Pergi
kalian, tikus-tikus busuk!"
Hebat bukan main. Enam orang pelayan itu sama sekali tidak berdaya karena dalam sedetik saja tubuh
mereka, terutama tangan dan kaki, telah terbelit rambut dan tiba-tiba bentakan itu ditutup dengan gerakan
dunia-kangouw.blogspot.com
kepala. Akibatnya, enam orang pelayan itu terlempar ke luar pintu bagaikan daun-daun kering terhembus angin
keras. Mereka menjerit-jerit dan jatuh tunggang-langgang di luar kamar, babak-bundas dan ada yang terluka
oleh senjata pedang mereka sendiri!
"Nah, Adik yang manis. Tutuplah daun pintu dan mari kita bicara baik-baik tanpa gangguan orang lain," kata Lu
Sian sambil tetap tersenyum dan menyibakkan rambutnya yang menutupi sebagian mukanya.
Coa Kim Bwee berdiri melongo. Selama hidupnya, belum pernah ia menyaksikan kepandaian seperti ini. Ia
kagum dan gentar. Kagum menyaksikan betapa seorang bertangan kosong, sambil masih enak-enak duduk
dapat menghalau ke luar enam orang penyerangnya hanya mengandalkan rambut yang panjang dan harum!
Pula, bau harum yang merangsang ke luar dari tubuh Lu Sian membuat ia makin kagum. Hebat wanita ini,
pikirnya, dan patut ia jadikan guru! Ketika melihat enam orang pembantunya itu merangkak bangun memungut
pedang dan melongok ke dalam, ia memberi perintah singkat menyuruh mereka mundur! Kemudian ia
menutup daun pintu dan melangkah dekat, pedangnya masih di tangan.
"Engkau hebat! Ilmu siluman apakah yang kau gunakan? Akan tetapi jangan mengira bahwa aku takut...."
"Adik yang manis, ilmu lweekang begitu saja kau herankan? Mari, mari kita main-main sebentar agar kau tidak
menyangka aku seorang siluman. Akan kuhadapi pedangmu dengan duduk saja, hanya kugunakan rambutku,
bagaimana?"
"Hemm, kau mencari mampus. Jangan samakan aku dengan pelayan-pelayanku yang lemah!"
"Kalau aku kalah dan tewas di ujung pedangmu, aku takkan mengeluh karena hal itu menandakan bahwa
kepandaianku masih rendah. Akan tetapi, kalau kau yang kalah bagaimana?"
Coa Kim Bwee bukan seorang bodoh. Tidak, ia bahkan cerdik sekali. Dia dahulu adalah puteri seorang
jenderal, yaitu Jenderal Coa Leng yang bertugas di Shan-si, tangan kanan Gubernur Li Ko Yung. Akan tetapi
semenjak kecil Coa Kim Bwee mempunyai pula dua kesukaan, yaitu mengumbar nafsu mencari menang
sendiri dan mengejar ilmu silat. Banyak orang pandai menjadi gurunya, dan karena memang ia berwajah cantik
jelita, banyaklah pemuda tergila-gila kepadanya.
Sebagai puteri tunggal yang amat dimanjakan, Kim Bwee wataknya makin menjadi-jadi, bahkan ia berani mulai
bermain gila dengan pemuda-pemuda tampan. Ketika terjadi perang, ayahnya tewas dalam perang dan begitu
Kerajaan Hou-han bangkit, Kim Bwee yang terkenal cantik dan pandai mengambil hati itu dipilih menjadi selir
ke tujuh oleh Raja Hou-han! Di dalam istana inilah terkabul semua nafsunya. Selain kedudukannya yang tinggi
sebagai selir raja, juga kepandaian silatnya yang lihai membuat ia sebentar saja menjadi orang paling
berpengaruh. Di samping ini nafsunya yang buruk membuat ia makin binal dan cabul dan mulailah di belakang
punggung suaminya, Sang Raja, ia bermain gila dengan para pangeran dan pengawal yang tampan!
Kini bertemu dengan Lu Sian ia merasa kagum dan juga penasaran. Diam-diam ia berpikir bahwa
kepandaiannya yang sudah tinggi ini, apalagi ilmu pedangnya, kalau sampai kalah oleh wanita yang
melawannya sambil duduk dan hanya mempergunakan rambut, benar-benar hebat! Kalau benar ia kalah, jalan
paling baik adalah menarik wanita cantik ini sebagai sahabat, bahkan kalau mungkin sebagai guru. Maka tanpa
bersangsi lagi ia berkata. "Kalau pedangku ini kalah menghadapi rambutmu, biarlah aku mengangkatmu
menjadi guruku!"
Lu Sian tertawa. “Bagus,” pikirnya. “Wanita ini agaknya mempunyai pengaruh yang besar di istana. Jika
menjadi gurunya, berarti kedudukanku akan tetap menyenangkan. Selain itu, sebagai guru aku dapat melarang
wanita selir raja ini memberitakan di luar bahwa aku adalah Nyonya Jenderal Kam Si Ek.”
"Baik, nah, kau mulailah!" katanya tenang sambil duduk menghadapi lawannya dengan rambut panjang
tergantung di kanan kiri.
Coa Kim Bwee tidak mau sungkan-sungkan lagi karena maklum bahwa wanita di depannya ini memang
memiliki kepandaian tinggi. Kalau ia menang dan pedangnya membunuh wanita ini, berarti ia menyingkirkan
seorang ‘saingan’ berat, sebaliknya kalau benar-benar ia kalah, ia akan mengambil hati wanita ini untuk
mendapatkan pelajaran ilmunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Lihat pedang!" bentaknya nyaring.
Tubuhnya langsung bergerak, didahului sinar pedangnya yang berkelebat. Terdengar suara berdesing tanda
bahwa gerakannya cepat sekali dan tenaga yang menggerakkan pedang memiliki sinkang cukup kuat. Lu Sian
memandang rendah kepada lawannya, namun menyaksikan kecepatan gerakan ini, timbul niatnya mencoba
sampai di mana kekuatan si Wanita Cantik. Maka ia menggerakkan kepalanya sedikit dan....
"Werrrr!" segumpal rambut panjang menyambar ke depan.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru