Kamis, 18 Mei 2017

Bu Kek Siansu 3 Kho Ping Hoo Cersil Terpopuler

Bu Kek Siansu 3 Kho Ping Hoo Cersil Terpopuler Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Bu Kek Siansu 3 Kho Ping Hoo Cersil Terpopuler
kumpulan cerita silat cersil online
Bu Kek Siansu 3 Kho Ping Hoo Cersil Terpopuler
Akan tetapi orang itu menggeleng kepala. "Bagaimana saya bisa tahu? Di atas sana banyak murid-murid
Lo-enghiong dan orang-orang seperti kami tidak mempunyai hubungan dengan Puncak Awan Merah. Kami
tidak diperbolehkan naik kecuali kalau ada pesanan dari sana, hanya kadang-kadang saja Siocia atau
murid Lo-enghiong yang turun ke sini. Melihat pertandingan yang amat dahsyat itu, saya ketakutan dan
cepat lari turun lagi...."
Swat Hong mengerutkan alisnya. Mungkinkah suheng-nya ‘kesasar’ sampai di tempat ini?
Tiba-tiba Kwee Lun bertanya, "Yang kau sebut Siangkoan Lo-enghiong itu, apakah dia bernama Siangkoan
Houw?"
“Nama lengkapnya mana saya tahu?" orang itu menggeleng kepala, kelihatannya takut-takut.
"Julukannya Tee-tok (Racun Bumi), bukan?"
Orang itu makin ketakutan, akan tetapi dia mengangguk. "Pernah saya mendengar muridnya bicara
menyebut julukan itu.... harap Ji-wi maafkan, saya masih banyak pekerjaan di dapur." Dia tidak menanti
jawaban tapi langsung kembali ke dapur dengan sikap ketakutan.
"Aihh, kiranya Tee-tok sekarang tinggal di tempat ini!" kata Kwee Lun.
"Twako, siapakah Racun Bumi itu?"
"Hemm, seorang yang luar biasa, dapat dikatakan saingan Suhu. Menurut cerita Suhu, sukar dikatakan
siapa yang lebih unggul. Dia adalah seorang di antara tokoh-tokoh dunia kang-ouw yang sudah terkenal
sekali. Aku sendiri baru mendengar namanya dari Suhu saja. Menurut Suhu, dia adalah seorang yang
gagah perkasa dan jujur. Akan tetapi sayang sekali, hatinya ganas dan kejam terhadap orang yang tak
disukainya dan dia amat lihai dan berbahaya sebagai seorang ahli racun yang mengerikan. Karena itu
julukannya adalah Racun Bumi. Sungguh tidak dinyana bahwa kita bakal bertemu dengan orang seperti
dia!"
"Hemm... kalau begitu engkau sudah merencanakan untuk mengunjungi Puncak Awan Merah, Twako?"
"Tidak begitukah kehendakmu? Agaknya sangat boleh jadi beruang itu milik Suheng-mu, Hong-moi, karena
di tempat tinggal seorang seperti Tee-tok, segala apa mungkin saja terjadi. Tentu saja amat mencurigakan
dan hatiku tidak akan merasa puas kalau belum menyelidiki ke sana. Kalau ternyata Suheng-mu tidak
berada di sana kita turun lagi karena aku tidak mempunyai urusan dengan Tee-tok."
Swat Hong mengangguk. "Baiklah, kalau begitu mari kita berangkat. Entah mengapa, betapa pun sedikit
kemungkinannya bahwa Suheng berada di sana, akan tetapi hatiku merasakan sesuatu yang aneh. Kita
harus menyelidiki ke sana."
Setelah membayar harga makanan berangkatlah kedua orang itu ke Puncak Awan Merah, tentu saja diikuti
pandang mata penuh keheranan dan kegelisahan oleh pelayan warung yang mereka tanyai di mana
adanya puncak itu. Setelah mereka mendekati bukit dan tiba di lereng atas, tampaklah bangunan besar di
puncak yang dimaksudkan itu. Mereka tidak mengerti mengapa puncak itu disebut Puncak Awan Merah,
padahal ketika mereka tiba di situ di siang hari itu, awannya tidak berwarna merah melainkan biru dan putih
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti biasa.
"Twako, kedatangan kita hanya menyelidiki apakah Suheng berada di sana. Oleh karena itu tidak baik
kalau kita datang berterang, bisa menimbulkan kecurigaan orang, padahal kita tidak berniat mencari
perkara dengan tokoh kang-ouw itu, bukan? Maka sebaiknya kita berpencar. Kau menyelidiki dengan
memutar dari kiri, aku dari kanan, sampai kita saling bertemu. Kalau Suheng tidak ada di sana, dan
beruang itu bukan beruangnya, kita segera kembali ke dusun tadi dan bermain saja di sana."
"Baik, Hong-moi. Dengan cara demikian penyelidikan memang dapat dilakukan lebih leluasa dan lebih
cepat."
Mereka mendaki terus, dan setelah tiba di luar pagar tembok gedung besar di puncak itu mereka
berpencar. Swat Hong yang mengambil jalan dari kanan menyelinap di atas pohon-pohon dan batu
gunung. Tak lama kemudian dia mendengar suara orang. Cepat dia menghampiri dan mengintai, dan apa
yang dilihatnya membuat dia hampir berteriak saking kagetnya!
Dapat dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat suheng-nya, Kwa Sin Liong, terbelenggu
kedua pergelangan tangannya dan setengah tergantung pada pohon! Tubuh atas suheng-nya itu telanjang
dan hanya celana dan sepatunya saja yang menutupi tubuhnya. Sin Liong kelihatan tenang saja, biar pun
dahinya berpeluh. Agaknya pemuda itu memang sengaja membiarkan dirinya terbelenggu. Swat Hong
yakin sekali, bahwa apabila dikehendaki oleh suheng-nya itu, apa sukarnya membebaskan diri dari
belenggu seperti itu? Tentu ada sesuatu yang aneh telah terjadi di sini!
Swat Hong menahan kemarahannya yang membuat dia ingin menyerbu, dan dia memandang kepada
orang-orang di sana. Dua orang yang berpakaian seragam, memakai topi aneh, menjaga di belakang
pohon dan tangan mereka meraba gagang golok. Seorang kakek yang tinggi besar, brewok dan matanya
lebar, dengan marah-marah menghampiri Sin Liong, tangan kanannya memegang senjata yang aneh.
Bukan senjata, pikir Swat Hong, melainkan tanduk rusa yang agaknya hendak dipakai sebagai senjata.
Tanduk rusa seperti itu saja apa artinya bagi suheng-nya? Yang membuat dia terheran-heran adalah
melihat suheng-nya berada di tempat itu dan mudah saja dibelenggu dan dihina! Apa yang telah terjadi?
--- dunia-kang-ouw.blogspot.com ---
Seperti telah kita ketahui, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Ouw Soan Cu, gadis Pulau
Neraka yang hendak mencari ayahnya. Sebetulnya, mencari ayahnya ini hanya merupakan alasan yang
dicari-cari saja oleh Ouw Kong Ek, ketua Pulau Neraka. Puteranya Ouw Sin Kok, ayah kandung Soan Cu,
telah menghilang selama belasan tahun, tak pernah kembali dan tidak pula ada kabarnya sehingga
menimbulkan dugaan besar bahwa Ouw Sian Kok telah meninggal dunia. Selain itu, andai kata masih
hidup, tak seorang pun mengetahui di mana tempat tinggalnya. Soan Cu ditinggal ayah kandungnya sejak
bayi, bagaimana mungkin dia dapat mencari ayahnya yang belum pernah dilihatnya dan tak diketahui ke
mana perginya itu?
Kalau Ouw Kong Ek menggunakan alasan ini dan mendesak kepada Sin Liong agar membawa dara itu
bersama keluar dari Pulau Neraka, adalah karena sebenarnya dia ingin agar cucunya itu dapat berjodoh
dengan Sin Liong. Dia sering-kali mengingat akan nasib cucu yang dicintanya itu. Karena jauh dari dunia
ramai, akhirnya cucunya itu terpaksa hanya akan berjodoh dengan seorang penghuni Pulau Neraka! Maka
munculnya Sin Liong untuk pertama kalinya itu sudah mendatangkan harapan untuk menjodohkan cucunya
dengan pemuda itu.
Apa lagi ketika Sin Liong datang untuk kedua kalinya, bahkan pemuda itu telah menolong Soan Cu, dan
menolong Pulau Neraka yang diserbu bajak laut. Tentu saja dia tidak dapat memaksa pemuda itu untuk
menjadi calon suami cucunya, akan tetapi dengan kesempatan melakukan perantauan bersama, dia harap
akan timbul cinta di dalam hati pemuda itu terhadap cucunya yang dia tahu merupakan seorang gadis yang
cantik jelita dan berilmu tinggi, juga berwatak baik....
Demikianlah, Sin Liong meninggalkan Pulau Neraka bersama Soan Cu dan juga beruang raksasa yang
menjadi jinak itu. Dengan sebuah perahu yang disediakan oleh Ouw Kong Ek, berangkatlah mereka
meninggalkan Pulau Neraka, berlayar melalui pulau-pulau di daerah itu. Akhirnya, karena tidak berhasil
menemukan Swat Hong yang dicari-carinya, juga tidak tampak seorang pun manusia tinggal di daerah
lautan berbahaya itu, Sin Liong mengemudikan perahunya menuju ke arah barat, ke daratan besar.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Besar kemungkinan Sumoi mendarat. Kalau sampai belasan tahun ayahmu tidak pernah pulang dan tidak
ada beritanya, juga bukan tidak mungkin Ayahmu tinggal di sana," katanya kepada Soan Cu. "Mari kita
mencari jejak mereka di daratan besar."
Soan Cu tidak membantah. Demikianlah akhirnya mereka mendarat, hanya beberapa hari lebih dulu dari
pendaratan yang dilakukan oleh Swat Hong yang tersesat jalan dan mendarat jauh di selatan sehingga dia
bertemu dengan Kwee Lun. Karena dari pantai ke barat banyak melalui daerah yang sunyi, pegunungan
dan hutan, maka adanya beruang bersama mereka tidak terlalu mengganggu benar. Pula, binatang itu
sudah jinak sekali, bahkan dapat disuruh untuk mencari buah-buahan, pandai pula mencari air di dalam
hutan yang lebat.
Pada suatu hari, tibalah mereka di pegunungan Tai-hang-san. Tanpa mereka ketahui, mereka tiba di lereng
puncak Awan Merah, daerah kekuasan Tee-tok. Ketika mereka memasuki sebuah hutan besar, tiba-tiba
terdengar auman harimau yang amat keras sehingga suara itu menggetarkan hutan. Mendengar auman ini,
beruang itu menjadi marah sekali. Sin Liong cepat memegang dan memeluk binatang itu, khawatir kalaukalau
beruang itu akan lari dan berkelahi dengan harimau yang mengaum itu.
"Hai......! Ada harimau! Biar kutangkap dia!" Sian Cu sudah berlari-lari membawa senjatanya yang aneh
dan istimewa, yaitu sebatang cambuk berduri yang menjadi senjata kesayangannya di samping pedang.
Dia tertawa-tawa gembira sehingga Sin Liong tidak tega untuk melarangnya. Dara itu masih remaja, masih
bersifat kanak-kanak dan hanya kadang-kadang saja tampak kedewasaanya.
Sin Liong maklum bahwa gadis yang sejak bayi dibesarkan di tempat seperti Pulau Neraka itu, tentu saja
memiliki sifat-sifat liar, akan tetapi dia pun mengenal dasar-dasar baik dari hati Soan Cu. Selain
membiarkan gadis itu bergembira, juga dia percaya penuh bahwa ilmu kepandaian Soan Cu sudah tinggi
sekali, cukup tinggi untuk melindungi diri sendiri.
Soan Cu berlari cepat sekali, dan ketika berlari ini timbullah kegembiraan yang luar biasa di dalam hatinya.
Di depan Sin Liong dia selalu harus menekan perasaannya karena sikap pemuda ini sungguh penuh
wibawa dan membuat dia tunduk, takut dan hormat seolah-olah pemuda itu menjadi pengganti kakeknya.
Akan tetapi sesunguhnya sejak dia meninggalkan Pulau Neraka, ada perasaan gembira yang
disembunyikannya dan baru sekarang dia memperoleh kesempatan untuk melepaskan kegembiraannya
yang meluap-luap. Ingin dia bersorak gembira kalau saja tidak takut terdengar oleh Sin Liong! Maka
kegembiraannya itu disalurkannya lewat kedua kakinya yang berloncatan dan berlari-lari menuju ke arah
suara harimau yang mengaum.
Karena auman harimau itu keras sekali, mudah saja bagi Soan Cu untuk menuju ke tempat itu. Akhirnya
dia melihat seekor harimau yang amat besar dan kuat, berbulu indah sekali, loreng-loreng hitam kuning
sedang berdiri memandang ke arah seorang laki-laki tua yang berdiri ketakutan. Harimau itu membukabuka
moncongnya, seperti seorang anak kecil yang menggoda kakek itu, menakut-nakutinya, kadangkadang
mengaum. Tiap kali harimau itu mengaum, kedua kaki orang itu menggigil.
Kakek itu mencoba untuk bersembunyi di belakang sebatang pohon sambil berkata dengan suara yang
terputus-putus, "Kakak harimau yang baik... saya... saya... A-siong pedagang kayu bakar... hendak
mengirim kayu bakar kepada Lo-enghiong..., harap jangan mengganggu saya...."
Harimau itu sebetulnya adalah harimau peliharaan Tee-tok. Biasanya dia dikurung dalam kerangkeng dan
hanya pada waktu-waktu tertentu saja dibiarkan berkeliaran di hutan. Agaknya penjaga harimau pada hari
itu terlupa sehingga harimau itu tetap berkeliaran pada waktu A-siong sedang mengirim kayu bakar ke
Puncak Awan Merah. A-siong adalah seorang di antara pedagang-pedagang kayu bakar yang suka
menjual kayu bakar di tempat itu.
Melihat harimau itu, Soan Cu lalu berseru, "Kucing besar, kau nakal sekali!"
Harimau itu menggereng dan menoleh. Dia menggereng ketika melihat seorang wanita memegang
cambuk. Cepat sekali dia sudah membalik dan menubruk, gerakannya sungguh gesit, berlawanan dengan
tubuhnya yang besar.
"Celaka...!" A-siong berseru kaget, memeluk batang pohon dan menahan napas, membelalakan matanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi tanpa mengelak Soan Cu sudah menggerakkan cambuknya.
"Tar-tar!" ujung cambuk itu menyambar dan membelit kaki depan kanan harimau itu, dan sekali tarik, tubuh
harimau yang sedang meloncat itu terbanting ke atas tanah.
Harimau itu menggereng dan kelihatan marah sekali. Kembali dia menubruk, akan tetapi sekali ini, Soan
Cu yang sedang gembira meloncat ke kiri. Melihat tubuh harimau itu menyambar lewat, dengan tangan
kirinya dia menangkap ekor harimau yang panjang, dan sekali tubuhnya bergerak, dia telah berada di atas
punggung harimau! Sambil tersenyum-senyum dan membuat gerakan seperti orang menunggang kuda,
Soan Cu menggerak-gerakkan ujung cambuk menyabeti moncong harimau itu.
Tentu saja harimau itu merasa kesakitan karena ujung cambuk itu berduri. Dengan kemarahan meluap
harimau itu berusaha mencakar dan menggigit ujung cambuk yang mungkin dikira seekor ular yang ganas,
namun tak pernah berhasil, bahkan bagaikan buntut seekor ular, ujung cambuk itu terus melecuti hidung
dan bibirnya sampai berdarah!
"Hayooo... kucing binal! Hayo jalan baik-baik!"
Seperti seorang pemain sirkus yang mahir, Soan Cu menunggangi harimau itu. Tangan kirinya
mencengkeram kulit leher, tangan kanannya mempermainkan cambuknya. Sedangkan harimau itu
melangkah perlahan-lahan, mengejar ujung cambuk yang digerak-gerakkan.
A-siong yang menonton sambil berusaha menyembunyikan diri di balik batang pohon, terbelalak dan
hampir tak percaya kepada matanya sendiri. Beberapa kali tangan kirinya menggosok kedua matanya
dengan ujung lengan baju karena dia mengira bahwa dia sedang dalam mimpi. Akan tetapi tetap saja
penglihatan yang luar biasa itu masih tampak oleh kedua matanya.
"Soan Cu, turunlah...!" tiba-tiba terdengar suara teguran.
Mendengar dan mengenal suara Sin Liong, lenyaplah semua kegembiraan yang liar dari gadis itu. Dia
masih tersenyum, akan tetapi matanya kehilangan sinar yang berapi-api dan liar tadi. "Liong-koko, dia... dia
hendak menerkam orang...." ujarnya. Ucapannya ini bersifat membela diri. Dia ketakutan terhadap pemuda
itu karena kedapatan sedang mengganggu harimau.
"Turunlah. Berbahaya sekali permainanmu itu!"
Soan Cu meloncat turun, dan tentu saja harimau yang marah itu cepat mencakar dengan kecepatan luar
biasa. Namun dia hanya mencakar tempat kosong karena gerakan Soan Cu lebih cepat lagi. Dara ini telah
meloncat ke dekat Sin Liong dan mengejek ke arah harimau dengan meruncingkan mulutnya dan
mengeluarkan bunyi, "Hiii....! Hiiiiii...!!"
Sementara itu, beruang yang tadinya sudah dapat ditenangkan oleh Sin Liong dan diajak menyusul Soan
Cu, timbul kembali kemarahannya setelah kini melihat harimau itu, bahkan lebih hebat dari-pada tadi. Pada
saat Sin Liong lengah karena menegur gadis itu, tiba-tiba beruang itu melompat ke depan dan menggereng
sambil memperlihatkan taringnya, memandang harimau dengan mata merah.
Harimau itu agaknya tidak merasa gentar menghadapi tantangan ini, dia pun menggereng dan menubruk.
Akan tetapi beruang itu sudah siap. Ketika harimau itu menubruk dengan kedua kaki depan lebih dulu, dia
menggerakkan kaki depan kanan yang amat kuat, memukul dari samping dan menangkis kedua kaki
depan harimau. Karena tubuh harimau itu berada di udara, tentu saja dia kalah kuat dan tubuhnya
terlempar ke bawah. Akan tetapi dia sudah meloncat lagi dan siap untuk melanjutkan serangannya.
"Hushhh...! Beruang yang baik, jangan berkelahi!" Sin Liong sudah menangkap kaki depan beruangnya
dan mengelus kepalanya, menenangkannya. Akan tetapi sekali ini agak sukar karena beruang itu marah
sekali, meronta-ronta, apa lagi melihat harimau itu masih menggereng hendak menyerangnya.
"Ihh, kucing licik! Hayo mundur kau!" Soan Cu melangkah maju, menggerakkan cambuknya ke depan
untuk menghalau harimau itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tar-tar-tarr....!!"
Sang harimau merasa jeri menghadapi cambuk Soan Cu, akan tetapi bukan berarti dia takut. Dia masih
menggereng-gereng memperlihatkan taringnya, dan matanya merah bersinar-sinar.
"Hayo pergi! Kalau tidak akan kuhajar kau!" Soan Cu membentak.
"Siapa dia berani kurang ajar hendak mengganggu harimau kami?!" tiba-tiba terdengar seruan nyaring dan
muncullah banyak orang di tempat itu.
Serombongan orang yang berpakaian seragam telah bergerak mengurung tempat itu. Orang yang berseru
tadi adalah seorang kakek tinggi besar yang brewok, pakaiannya ringkas, tubuhnya membayangkan
tenaga yang kuat. Matanya lebar membayangkan kekerasan dan kejujuran, akan tetapi tarikan bibirnya
membayangkan kekejaman.
Di sampingnya berjalan seorang gadis yang cantik sekali dengan pakaian yang mewah dan indah.
Rambutnya ditekuk ke atas dan diikat dengan kain kepala dari sutera merah, dihias dengan bunga emas
permata. Pakaian yang indah itu membungkus ketat tubuhnya sehingga membayangkan lekuk lengkung
tubuhnya yang padat dan ramping, di pinggang yang kecil ramping itu melibat sehelai sabuk sutera merah.
Telinganya terhias anting-anting batu kemala panjang berwarna hijau, menambah kemanisan wajahnya
yang bentuknya mendaun sirih itu.
Sin Liong cepat menjura dengan hormat. "Harap Lo-cianpwe sudi memaafkan kami yang secara tidak
sengaja memasuki daerah ini," kata Sin Liong dengan halus sambil memegangi kaki depan beruangnya.
Kakek itu memandang tajam. Jawaban penuh kesopanan dan sepasang mata bersinar halus tanpa rasa
takut sedikit pun itu mencengangkan hatinya. "Melanggar daerah ini masih bukan apa-apa, akan tetapi
kalian berani mengganggu harimau peliharaanku. Apakah karena mempunyai beruang itu maka kalian
menjadi sombong?"
"Kami tidak menggangu, Lo-cianpwe. Hanya karena harimau itu dan beruang kami akan berkelahi maka
kami melerai dan mencegahnya."
"Hemm... dua ekor binatang akan berkelahi, apa anehnya? Hanya kalau manusia sudah mencampurinya,
maka manusia itu lebih rendah dari-pada binatang!"
"Eh, tahan tuh mulut!" Soan Cu membentak dan menudingkan telunjuknya ke arah mulut kakek gagah itu.
Dara ini tidak lagi dapat menahan kemarahan hatinya mendengar ucapan yang menghina tadi. "Kami
melerai karena yakin bahwa kucing hutan busuk ini tentu akan mampus dirobek-robek oleh beruang kami.
Engkau ini orang tua tidak berterima kasih, malah mengucapkan kata-kata menghina!"
Sepasang mata kakek itu besinar-sinar, bukan hanya marah akan tetapi juga kagum. Kakek ini memang
orang aneh. Melihat keberanian orang, apa lagi seorang dara muda seperti Soan Cu yang pada saat itu
muncul kembali sifat liarnya karena marah, dia kagum bukan main. Kakek ini adalah Siangkoan Houw yang
terkenal dengan julukan Tee-tok (Racun Bumi)! Ia seorang gagah yang jujur dan bersikap terbuka, maka
perangainya kasar sekali, dan kalau dia sudah marah, kejamnya melebihi harimau peliharaannya.
Tee-tok terkenal sekali di dunia kang-ouw sebagai seorang di antara tokoh-tokoh besar. Dia hidup di
Puncak Awan Merah itu dengan tenteram bersama puteri tunggalnya, yaitu gadis cantik yang datang
bersamanya dan yang sejak tadi diam saja. Tee-tok Siangkoan Houw sudah duda, dan hanya hidup berdua
dengan puterinya yang bernama Siangkoan Hui.
Ada pun orang-orang lain yang berada di situ adalah para murid-muridnya yang juga menjadi anak
buahnya, kurang lebih lima belas orang banyaknya. Salah satu di antaranya adalah seorang kakek yang
usianya sebaya dengan dia dan rambutnya sudah putih semua. Kakek ini merupakan murid kepala dan
telah memiliki kepandaian tinggi pula, namanya Thio Sam dan berjuluk Ang-in Mo-ko (Iblis Awan Merah).
"Bagus sekali!" kakek ini memuji. "Kalau begitu, mari kita adukan kedua binatang itu. Hendak kulihat
apakah benar-benar beruangmu dapat mengalahkan harimauku?!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Boleh!" Soan Cu menjawab.
"Jangan! Soan Cu, tidak boleh begitu!" Sin Liong berseru, kemudian dia berkata kepada kakek itu, "Harap
Lo-cianpwe suka memaafkan kami dan biarlah kami pergi dari sini sekarang juga. Bukan maksud kami
untuk mengganggu siapa pun."
"Kucing belang macam itu saja, biar ada lima akan diganyang oleh beruang kami!" Soan Cu masih marahmarah.
"Kakek sombong mengandalkan harimaunya menakut-nakuti orang. Kalau aku tidak cepat datang,
agaknya harimau itu sudah makan orang tadi! Dia memang perlu diberi hajaran!"
"Hayo kita adukan mereka!" Tee-tok berteriak-teriak dengan kumis bangkit saking marahnya. "Sebelum
kedua binatang peliharaan kita saling diadu, jangan harap kalian akan dapat pergi dari sini!"
"Kami tidak takut!" Soan Cu menjerit lagi.
Mendengar ucapan kakek itu, Sin Liong menyesal bukan main. Kalau dia tidak membolehkan beruang
diadu, tentu kakek itu bersama teman-temannya akan menghalangi dia dan Soan Cu pergi dan akibatnya
pasti lebih hebat lagi. Maka dia menghela napas dan berkata, "Baiklah, mari kita lepaskan mereka dan
melihat apakah mereka memang mau berkelahi. Kuharap saja setelah ini, kami diperbolehkan pergi."
"Koko, lepaskan beruang kita, biar dia hancur-lumatkan kucing keparat itu.”
“Tar-tar-tarrr...!!" Soan Cu sudah membunyikan cambuknya di udara berkali-kali.
Sin Liong melepaskan beruangnya dan dia menghampiri Soan Cu, memegang lengannya dan berbisik,
"Soan Cu, kau tenangkanlah hatimu, jangan marah-marah. Ingat, kita tidak mau melibatkan diri dalam
permusuhan dengan siapa pun juga, bukan?"
Dipegang lengannya secara demikian halus oleh Sin Liong, seketika api yang bernyala dalam hati Soan Cu
padam seperti tertimpa hujan, semangat dan tubuhnya lemas dan dia menunduk sambil menganggukan
kepalanya. Dia seperti seekor harimau liar yang tiba-tiba menjadi jinak!
Sementara itu, setelah keduanya kini dilepas dan tidak ada yang menghalangi, dua ekor binatang itu
mengeluarkan suara auman dan gerengan yang dahsyat dan menggetarkan. Mula-mula mereka saling
pandang dan masing-masing hendak menggetarkan lawan dengan kekuatan suara, kemudian harimau
yang ganas itulah yang mulai menerjang maju!
Dengan berdiri di atas kedua kaki belakangnya, harimau itu menubruk dan menerkam. Akan tetapi dengan
gerakannya yang agak lamban dan tenang, namun kuat dan tetap sekali, beruang menangkis terkaman itu.
Beruang lalu balas mencengkeram dengan kuku jari kakinya yang biar pun tidak seruncing kuku harimau,
namun tidak kalah kuatnya. Segera harimau terguling-guling akibat terkena tamparan beruang yang amat
kuat itu!
Sepasang mata Soan Cu bersinar-sinar girang, akan tetapi dara ini tidak berani berkutik di dekat Sin Liong.
Ingin hatinya bersorak dan mulutnya mengeluarkan kata-kata mengejek melihat betapa harimau itu
terguling-guling, namun dia merasa segan terhadap Sin Liong.
Harimau itu meloncat lagi dan menerkam makin dahsyat. Terjadilah perkelahian yang amat dahsyat
ditengah-tengah suara gerengan yang menggetarkan seluruh bukit. Pada saat itulah koki warung yang
menemani sudara misannya mengantar kayu bakar mendapat kesempatan menonton harimau bertanding
melawan beruang, akan tetapi karena merasa ngeri dan takut, dia cepat meninggalkan tempat itu dan
berlari turun lagi.
Perkelahian yang dahsyat, seru dan mati-matian. Beruang itu sudah menderita banyak luka di tubuhnya
akibat cakaran dan gigitan harimau. Akan tetapi akhirnya dia berhasil mencengkeram kepala harimau,
menindihnya dan menggigit leher harimau sampai robek, terus luka di leher itu dirobeknya sampai ke perut!
Tentu saja harimau itu berkelojotan dan mati tak lama kemudian.
"Heiii...!" Soan Cu berteriak, namun terlambat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Selarik sinar hitam menyambar ke arah leher beruang. Pada detik itu pula binatang ini mengeluarkan pekik
mengerikan, lalu roboh dan tak bergerak lagi, mati di atas bangkai harimau yang tadi menjadi lawannya.
"Kau membunuh beruang kami!" Soan Cu melompat dan menuding dengan marah kepada kakek yang tadi
menyerang beruang dengan Hek-tok-ting (Paku Hitam Beracun).
"Dia pun membunuh harimau kami!" Tee-tok menjawab dengan mata mendelik saking marahnya.
"Manusia curang kau!" Soan Cu sudah menerjang maju dan cambuknya mengeluarkan suara meledakledak
di udara.
"Tar-tar-cring-tranggggg....!!" bunga api berpijar ketika cambuk itu tertangkis oleh sepasang pedang yang
bersinar hitam, itulah pedang Ban-tok-siang-kiam (Sepasang Pedang Selaksa Racun) yang ampuh dari
Tee-tok.
Akan tetapi bukan main kagetnya Tee-tok ketika tadi pedangnya menangkis cambuk duri. Dia merasakan
lengannya tergetar, tanda bahwa dara muda itu memiliki sinkang yang amat kuat.
"Heii, jangan bertempur....!" Sin Liong cepat menegur.
Akan tetapi sekali ini Soan Cu pura-pura tidak menengarnya, apa lagi kakek itu pun sudah marah dan
sudah membalas serangannya dengan sepasang pedangnya. Terjadi pertempuran hebat sekali antara
gadis itu dan Tee-tok.
Melihat gerakan sepasang pedang itu lihai bukan main dan ada hawa yang kuat menyambar dari
lawannya, Soan Cu tidak berani memandang ringan, dan tangan kanannya sudah mencabut pedangnya.
Pedang di tangan gadis ini adalah pemberian kakeknya, ketua Pulau Neraka dan seperti juga cambuknya,
pedang ini aneh dan ampuh sekali. Bentuk pedang itu juga berduri seperti cambuknya dan namanya pun
Coa-kut-kiam (Pedang Tulang Ular), terbuat dari-pada tulang ular beracun yang telah dikeraskan dan
diperkuat dalam rendaman tetumbuhan beracun sehingga keras seperti baja.
Sedangkan cambuknya itu pun bukan cambuk biasa karena terbuat dari ekor ikan hiu yang istimewa dan
hanya terdapat di pantai Pulau Neraka. Seperti juga pedangnya, cambuk itu pun mengandung bisa yang
tidak dapat diobati, kecuali oleh dia sendiri yang selalu membawa obat penolaknya!
Sin Liong sudah mengenal kakek itu ketika muncul tadi, tapi dia memang tadinya tidak mau
memperlihatkan bahwa dia telah mengenalnya. Tentu saja dia mengenal kakek yang dahulu pernah pula
membujuknya untuk ikut dan menjadi muridnya, ketika para tokoh kang-ouw datang memperebutkan dia di
lereng pegunungan Jeng-hoa-san. Kini, melihat betapa Soan Cu sudah bertanding mati-matian melawan
kakek itu, dia menjadi khawatir sekali. Cepat dia berkata, "Lo-cianpwe, seorang tokoh besar yang berjuluk
Tee-tok dan disegani di seluruh dunia Kang-ouw, benar-benar mengecewakan dan merendahkan nama
besarnya kalau sekarang melayani bertanding melawan seorang dara remaja!"
Mendengar ucapan itu, Tee-tok menjadi merah mukannya. Dia menangkis pedang Soan Cu sekuat tenaga
sampai pedang itu hampir terlepas dari tangan Soan Cu, lalu melompat mudur dan menghadapi Sin Liong.
"Hemm, orang muda! Kau sudah mengenal aku, kalau begitu majulah kau menggantikan gadis itu!"
Sin Liong menjura. "Bukan maksudku dengan kata-kata itu menantangmu, Lo-cianpwe. Saya hanya
hendak mengatakan bahwa kami berdua sama sekali bukan datang untuk bertanding."
"Tapi kalian datang dan mengakibatkan harimau peliharaan kami mati. Kalau kalian tidak datang
mengacau, mana biasa harimau kami mati?"
"Dia mampus karena kalah dalam pertandingan yang adil!" Soan Cu membentak, akan tetapi menjadi
tenang kembali karena Sin Liong mendekatinya dan minta gadis itu menyimpan pedang dan cambuknya
kembali.
"Siangkoan Lo-cianpwe, memang kami akui bahwa harimau peliharaan Lo-cianpwe mati karena beruang
kami, akan tetapi Lo-cianpwe telah membalas kematian itu dengan membunuh beruang kami. Bukankah itu
artinya sudah lunas?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak!" Tee-tok yang masih marah itu membentak. "Biar pun beruangnya sudah mati, akan tetapi
pemiliknya belum dihukum!"
Soan Cu tak dapat lagi menahan kemarahannya. "Dihukum apa? Kau hendak membunuh kami?"
"Tak perlu dibunuh! Pelanggaran ke dalam daerah ini sudah merupakan kesalahan, dan matinya harimau
tidak cukup ditebus dengan kematian beruang. Pemiliknya harus dihukum rangket seratus kali, baru adil!"
"Keparat!"
"Soan Cu!" Sin Liong berkata dan memegang lengan dara itu sehingga Soan Cu menelan kembali katakatanya.
"Soan Cu, aku mita kepadamu agar kau sekarang juga meninggalkan tempat ini. Biarkan aku
yang berurusan dengan Siangkoan Lo-cianpwe. Kau turunlah dan kau tunggu aku di dusun itu. Mengerti?"
Soan Cu mengerutkan alisnya dan matanya memandang ragu. Akan tetapi melihat sinar mata Sin Liong
yang tegas dan halus itu, dia tidak dapat menolak dan akhirnya kepalanya mengangguk.
"Berangkatlah, dan tunggu aku di sana." Sin Liong berkata lagi sambil tersenyum.
Soan Cu membanting kakinya, lalu melotot ke arah Siangkoan Houw. Setelah itu baru dia meloncat pergi,
meninggalkan isak tertahan.
Semua orang memandang dengan kagum akan keberanian dara itu, yang sekali meloncat lenyap dari situ.
Akan tetapi terutama sekali mereka kagum kepada Sin Liong yang bersikap demikian tenang dan halus,
namun memiliki wibawa demikian besarnya sehingga gadis liar seperti itu menjadi demikian jinak dan taat.
Setelah Soan Cu pergi jauh dan tidak tampak lagi bayangannya, Sin Liong lalu menyodorkan kedua
lengannya. Sambil tersenyum tenang dia berkata, "Nah, Lo-cianpwe. Tidak ada yang perlu diributkan lagi.
Aku sudah mengaku bersalah telah memasuki tempat ini dan menimbulkan keributan. Biarlah aku
menerima hukuman rangket seratus kali agar hatimu puas."
Sikap yang tenang dan halus ini diterima keliru oleh Siangkoan Houw. Matanya terbelalak lebar dan dia
menganggap pemuda itu menantangnya, menantang ancaman hukumannya.
"Belenggu kedua lengannya!" bentaknya kepada para muridnya.
Empat orang muridnya menyerbu dan Sin Liong hanya tersenyum saja ketika bajunya dibuka, kedua
pergelangan lengannya diikat dengan tali yang diikatkan pula pada cabang pohon sehingga tubuhnya
setengah tergantung.
"Ayah...!" tiba-tiba dara cantik jelita yang sejak tadi hanya menonton dan selalu memandang ke arah Sin
Liong penuh kagum, berkata kepada Tee-tok, "Apakah tidak berlebihan perbuatan kita ini? Harap Ayah
berpikir lagi dengan matang sebelum melakukan suatu kesalahan."
"Dipikir apa lagi? Kita telah dihina orang. Kalau tidak memperlihatkan kekuatan, bukankah akan menjadi
bahan tetawaan orang sedunia?"
Mendengar kata-kata orang tua itu, Siangkoan Hui, gadis itu, menunduk dan melirik ke arah Sin Liong yang
telah siap menerima hukuman.
"Terima kasih atas kebaikan hatimu, Nona. Akan tetapi biarlah, aku sudah siap menghadapi hukuman.
Dengan begini, habislah segala urusan dan Ayahmu takkan marah lagi."
"Diam kau!" Tee-tok membentak, kemudian menuding kepada seorang muridnya yang bertubuh tinggi
besar. "Ambil cambuk dan rangket dia seratus kali!"
Murid itu berlari pergi dan tak lama kemudian sudah datang kembali membawa sebatang cambuk hitam
yang besar dan panjang. Setelah menerima isyarat gurunya, murid tinggi besar ini mengayun cambuknya.
Terdengar suara meledak-ledak dan cambuk itu menyambar ke bawah, melecut tubuh atas Sin Liong yang
dunia-kangouw.blogspot.com
telanjang itu.
"Tar...! Tar...! Tarrr...!"
Semua orang terbelalak memandang penuh heran. Cambuk itu menyambar bertubi-tubi, melecuti tubuh itu,
mukanya, lehernya, lengannya, dada, dan punggungnya, namun sama sekali tidak membekas pada kulit
halus putih itu! Hanya dahi pemuda itu yang berkeringat, akan tetapi dahi si pemegang cambuk lebih
banyak lagi peluhnya! Sampai seratus kali cambuk itu menyambar tubuh Sin Liong dan ujungnya sudah
pecah-pecah. Namun jangankan sampai ada darah yang menetes dari kulit tubuh Sin Liong, bahkan
tampak merah saja tidak ada, seolah-olah cambuk itu bukan melecut kulit pembungkus daging, melainkan
melecut baja saja!
Setelah menghitung sampai seratus kali, Si Algojo itu jatuh terduduk, napasnya terengah-engah dan dia
menggosok-gosok telapak tangan kanannya yang terasa panas dan lecet-lecet. Mukanya pucat dan
matanya terbelalak penuh keheranan dan kengerian. Semua anak buah atau murid Tee-tok terbelalak dan
pucat.
Akan tetapi muka Tee-tok sendiri menjadi merah sekali. Tahulah dia bahwa pemuda itu adalah seorang
yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan tadi telah menggunakan sinkang-nya sehingga tubuhnya kebal,
tentu saja lecutan cambuk itu tidak membekas! Hal ini menambah kemarahan hatinya. Dia merasa dihina
dan ditantang. Dengan kemarahan meluap dia menyambar senjata aneh, yaitu tanduk rusa yang kering itu.
Tanduk rusa itu bukanlah sebuah senjata sembarangan. Tee-tok merupakan seorang ahli racun. Dia telah
menemukan tanduk rusa ini yang mempunyai daya ampuh untuk melawan kekebalan. Tanduk ini
mengandung racun yang tak dapat ditahan oleh kekebalan yang bagaimana kuat pun. Kini dalam
kemarahannya dia hendak menghajar pemuda ini dengan tanduk rusa ini!
--- dunia-kang-ouw.blogspot.com ---
Pada saat itulah Swat Hong datang dan mengintai dengan mata terbelalak keheranan. Seluruh urat syaraf
di tubuhnya sudah tegang dan dia sudah hampir meloncat ke luar untuk menolong suheng-nya. Namun
tiba-tiba dia melihat seorang gadis datang berlari dan berlutut di depan kakek yang memegang senjata
tanduk rusa itu. Melihat ini, Swat Hong menahan diri dan terus mengintai.
"Ayah, jangan... jangan pukul dia dengan ini...!"
"Hui-ji (Anak Hui), mundurlah kau! Dia telah menghina kita, memperlihatkan dan memamerkan
kekebalannya! Hemm, hendak kulihat sampai di mana kekebalannya kalau dia merasai pukulanku dengan
ini!" dia mengamangkan senjata aneh itu.
"Jangan, Ayah! Jangan...! Aku akan melindunginya kalau Ayah memaksa! Ayah bersalah, dia... dia orang
gagah yang budiman, luar biasa.... Mengapa Ayah tak bisa melihat orang...?"
Siangkoan Houw menundukkan mukanya. Ia melihat wajah puterinya yang pucat, mata yang sayu dan
tampak dua titik air mata di pipi puterinya. Dia terkejut dan terheran-heran, kemudian marah sekali.
Puterinya telah jatuh cinta kepada pemuda itu!
"Hemm..." suaranya penuh geram. "Lupakah kau kepada putera Lu-san Lojin...?!"
"Ayahhh...!" Siangkoan Hui berseru dan menangis terisak sambil memeluk kedua kaki ayahnya.
Betapa pun bengisnya, Tee-tok yang hanya mempunyai seorang anak itu, tentu saja merasa tidak tega
kepada anaknya. Hatinya mencair ketika dia melihat puterinya menangis sambil memeluk kedua kakinya.
Dia menghela napas panjang. Pandang matanya yang ditujukan kepada Sin Liong kini kehilangan
kekejaman dan kemarahannya, hanya terheran dan ragu-ragu. Puterinya mencintai pemuda ini?
“Hemm...., seorang pemuda yang amat tampan,” pikirnya.
Harus diakuinya bahwa biar pun pemuda itu kelihatan halus seperti seorang lemah, namun pemuda itu
gagah perkasa, penuh ketenangan dan keberanian. Dan kekebalannya itu pun membuktikan bahwa
dunia-kangouw.blogspot.com
pemuda ini bukan orang sembarangan. Dia belum melihat putera Lu-san Lojin, entah bagaimana setelah
dewasa sekarang. Apakah sebaik pemuda ini?
"Hai, orang muda. Siapakah namamu?"
Sin Liong memandang kepada kakek itu dan menjawab halus, "Nama saya Kwa Sin Liong, Lo-cianpwe."
"Bagaimana engkau bisa mengenal aku?"
"Siapa yang tidak mengenal Lo-cianpwe yang terkenal di dunia kang-ouw? Lo-cianpwe adalah Tee-tok
Siangkoan Houw yang amat tinggi ilmu kepandaiannya, dan saya pernah bertemu dengan Lo-cianpwe...."
tiba-tiba Sin Liong berhenti bicara karena baru dia teringat bahwa sebenarnya tidak ada perlunya
menyebut-nyebut hal itu.
"Bertemu? Di mana?"
Karena sudah terlanjur bicara, Sin Liong merasa tidak enak untuk membohong lagi. Maka dia berkata, "Di
lereng Jeng-hoa-san. Bahkan Lo-cianpwe pernah membujuk saya menjadi murid...."
"Astaga...! Engkaukah ini? Engkaukah anak ajaib? Engkau Sin-tong...?" Tee-tok berseru dan cepat
melangkah maju. "Benar, engkaulah Sin-tong! Aihh.... maafkan kami. Di antara kita telah timbul salah
pengertian besar!"
Dia cepat meloncat dan merenggut lepas tali yang mengikat kedua lengan Sin Liong, bahkan cepat
meneriaki muridnya untuk menyerahkan kembali baju Sin Liong.
Sin Liong tersenyum. "Tidak mengapa, Lo-cianpwe. Memang saya mengaku salah, telah menimbulkan
keributan dan mengakibatkan kematian harimaumu."
"Aihh... hei, matamu tajam sekali, Hui-ji! Engkau benar! Dia anak baik, bukan hanya baik saja. Aduh,
betapa dahulu aku mati-matian memperebutkan anak ini! Hui-ji, dia Sin-tong! Betapa girangku dia tiba-tiba
muncul di sini!"
Dengan girang Tee-tok menggandeng lengan Sin Liong dan menariknya. "Hayo masuk ke rumah kami, kita
bicara!"
"Tapi, Lo-cianpwe. Saya ingin melanjutkan...."
"Nanti dulu, kita bicara! Sejak engkau dibawa oleh... eh, di mana dia sekarang...?" kakek itu menengok
kekanan-kiri, seolah-olah merasa ngeri karena dia teringat akan Pangeran Han Ti Ong yang sakti. Siapa
tahu pangeran yang luar biasa itu tahu-tahu muncul pula di situ.
"Lo-cianpwe maksudkan Suhu? Saya hanya datang berdua dengan adik Soan Cu."
"Mari kita bicara. Ah, pertemuan ini sungguh menggirangkan hati!"
Melihat sikap kakek itu begitu gembira, Sin Liong tidak tega untuk menolak terus. Urusan telah selesai
dengan baik, dan Soan Cu tentu sedang menanti di dusun di kaki bukit. Terlambat sedikit pun tidak
mengapa dari-pada memaksa menolak dan menimbulkan kemarahan kakek yang berangasan ini.
Siangkoan Hui memandang kepada Sin Liong dengan sepasang mata bersinar-sinar penuh kekaguman.
Ketika ayahnya menggandeng pemuda itu dengan tangan kanan, kemudian tangan kiri ayahnya
menggandeng dirinya, dia pun tersenyum dan meronta melepaskan diri karena malu, kemudian berlari-lari
kecil meninggalkan mereka.
"Ha-ha-ha! Hui-ji... ha-ha-ha-ha! Engkau benar. Dia ini seorang pemuda pilihan, seorang pemuda hebat!"
Dengan penuh kegembiraan Tee-tok menjamu Sin Liong.
"Siapakah Nona yang lihai dan berani itu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dia adalah Ouw Soan Cu, seorang sahabat baik saya, Lo-cianpwe. Dia sedang mencari ayahnya dan
saya membantunya."
"Mana dia? Karena dia sahabatmu, dia pun sahabat kami. Biar aku menyuruh orang mengundangnya."
"Tidak usah, Lo-cianpwe. Wataknya aneh dan keras, jangan-jangan malah menimbulkan salah paham."
"Ha-ha-ha, aku suka kepadanya! Sejak pertemuan pertama aku kagum kepada anak itu! Keras, aneh dan
berani! Hebat dia! Aihh, Sin-tong...."
"Lo-cianpwe, nama saya Kwa Sin Liong."
"Tidak apa, aku tetap menyebutmu Sin-tong. Engkau memang anak ajaib, luar biasa sekali. Apakah
engkau telah menjadi murid pangeran Han Ti Ong?”
Sin Liong mengangguk dan merasa agak gugup. "Benar, akan tetapi saya dilarang untuk bicara tentang
Suhu...."
"Ha-ha-ha, aku tahu. Dia bukan manusia biasa! Aku girang sekali bertemu dengan muridnya, apa lagi
muridnya adalah engkau, Sin-tong! Ahhh... kegirangan yang bercampur dengan kekecewaan sebesar
gunung!"
Tiba-tiba kakek itu meremas cawan araknya. Cawan arak yang terbuat dari-pada perak itu seperti tanah
lihat saja, di dalam kepalannya berubah menjadi perak yang pletat- pletot, lenyap bentuk cawannya.
Sin Liong terkejut, namun tidak berani bertanya.
Kakek itu melempar cawan yang sudah tidak karuan itu ke bawah meja dan berteriak kepada muridnya
minta diberi sebuah cawan baru. Kemudian dia berkata, "Siapa tidak kecewa? Anakku hanya seorang,
perempuan lagi. Celakanya, dia sudah ditunangkan sejak kecil!" kakek ini memang selalu bicara keras,
kasar dan jujur, tak pernah mau menyembunyikan sesuatu!
Sin Liong menjadi makin terheran. "Telah ditunangkan sejak kecil adalah baik sekali, mengapa celaka, Locianpwe?”
"Kalau ditunangkan dengan engkau, tentu saja baik sekali! Akan tetapi bukan denganmu, dengan orang
lain yang tak kunjung datang! Dan karena telah ditunangkan itu, mana mungkin aku dapat mengambil
engkau sebagai mantuku? Padahal aku tahu, Hui-ji suka padamu, dia jatuh cinta padamu. Ha-ha, anak
pintar itu, matanya tajam sekali."
Tentu saja Sin Liong menjadi terkejut dan malu. Ia menunduk dan tidak berani bicara lagi.
"Engkau tentu belum bertunangan, bukan?"
Sin Liong hanya menggeleng kepalanya.
"Kalau begitu, mudah saja ! Engkau menjadi mantuku, menikah saja dengan Hui-ji..."
"Lo-cianpwe, ingatlah bahwa Siocia telah bertunangan. Ada pun aku... aku sama sekali tidak mempunyai
pikiran untuk menikah."
Kakek itu menarik napas panjang. "Engkau betul, memang tidak patut kalau diputuskan begitu saja dari
satu pihak. Aihhh, Lu-san Lojin. Engkau tua bangka sekali ini benar-benar membuat hatiku kesal! Barubaru
ini aku telah pergi ke sana dan dia bersama puteranya itu, juga bersama seorang puterinya, menurut
penuturan penduduk di sekitar Lu-san, telah pergi entah ke mana! Aihh, betapa kesal hatiku...."
"Harap Lo-cianpwe menenangkan pikiran. Mungkin mereka sedang mencari Lo-cianpwe. Kalau sudah
jodoh, tentu kelak akan dipertemukan."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali kakek itu mengangguk-angguk. Memang dia tertarik dan terkejut sekali setelah mendengar bahwa
pemuda yang tadinya akan dibunuhnya itu ternyata adalah Sin-tong, yang dahulu dibawa oleh Pangeran
Han Ti Ong tokoh Pulau Es. Bukan hanya untuk mencoba menarik pemuda itu menjadi mantunya, akan
tetapi juga untuk keperluan lain yang amat penting. Dia masih ragu-ragu untuk membicarakan urusan ini,
maka dia menanti kesempatan baik dan hendak menjajaki lebih dulu, di fihak manakah pemuda ini berdiri.
Sementara itu, Siangkoan Hui merasa malu sekali. Dia sudah mengenal baik watak ayahnya yang kasar
dan jujur. Tentu kalau dia ikut masuk ke dalam rumah menemui pemuda itu, ayahnya akan bicara yang
bukan-bukan tanpa tedeng aling-aling lagi! Dia merasa malu dan... girang bukan main. Tak dapat ia menipu
hatinya sendiri. Dia memang telah jatuh cinta kepada pemuda itu!
Pemuda yang amat luar biasa, bukan hanya tampan dan gagah, namun memiliki watak yang amat hebat.
Belum pernah dia bertemu dengan pemuda segagah itu, begitu halus, begitu budiman, begitu tabah dan
mengalah, akan tetapi juga amat lihai sehingga seratus kali rangketan itu tidak membekas sama sekali di
kulit tubuhnya yang putih halus dan padat membayangkan tenaga yang luar biasa! Dia sudah jatuh cinta!
Dan ayahnya sudah mengetahui akan hal ini. Tentu ayahnya akan bicara terang-terangan kepada pemuda
itu. Akan tetapi, bagaimana dengan tunangannya?
Teringat akan ini, tiba-tiba Siangkoan Hui menjadi lemas. Dia duduk bersandar pohon dan termenung,
menanggalkan sabuk sutera merah yang melibat pinggangnya. Kiranya sabuk itu hanya sabuk tambahan
dan dapat dipergunakan sebagai sapu-tangan, karena di pinggang itu telah terdapat sabuk lain yang
berwarna kuning. Sambil menggigit-gigit ujung sabuk sutera merah, Siangkoan Hui termenung, mukanya
sebentar pucat sebentar merah, tanda bahwa hatinya kacau tidak karuan oleh jalan pikirannya.
Dara ini sama sekali tidak tahu bahwa sejak tadi ada bayangan yang mengikutinya, bayangan seorang
gadis lain yang memandangnya dengan sinar mata berapi-api penuh kemarahan! Gadis ini bukan lain
adalah Han Swat Hong! Tadinya Swat Hong mengintai dan hampir saja dia melompat ke luar untuk
menolong suheng-nya. Akan tetapi kemunculan Siangkoan Hui yang melarang ayahnya menggunakan
tanduk rusa memukul Sin Liong, membuat dia membatalkan niatnya menolong Sin Liong. Apa lagi melihat
betapa usaha pertolongan dara cantik puteri kakek berangasan itu berhasil!
Hatinya terasa panas sekali, seperti dibakar dan serta merta dia merasa benci kepada Siangkoan Hui!
Kebencian yang membuat dia diam-diam mengikuti dara itu dengan niat untuk membunuhnya! Swat Hong
sendiri tidak mengerti mengapa dia selalu marah dan tidak senang kalau melihat ada gadis
memperlihatkan sikap baik dan mencinta kepada Sin Liong. Dia sendiri tidak tahu bahwa hatinya diamuk
cemburu! Melihat Siangkoan Hui yang dibayanginya itu duduk seorang diri di tempat sunyi itu, menggigit
ujung sabuk merah dengan wajah sebentar pucat sebentar merah, melamun dan kadang-kadang
tersenyum manis, Swat Hong merasa perutnya seperti dibakar!
"Perempuan tak tahu malu!" bentaknya
Dia sudah melompat ke luar, mencabut pedangnya dan menyilangkan pedang itu di tangan kanan dan
sarung pedang di tangan kiri, memasang kuda-kuda dan kembali membentak, "Bersiaplah untuk mampus
di tangan Nonamu!"
Siangkoan Hui adalah seorang gadis yang sejak kecil digembleng ilmu silat tinggi oleh ayahnya, maka
begitu melihat bayangan berkelebat tadi, dia sudah meloncat bangun. Kini melihat bahwa yang muncul dan
datang-datang memakinya itu adalah seorang gadis cantik yang tidak dikenalnya, dia melongo. "Eh-eh,
apakah kau ini orang gila?"
Tentu saja pertanyaan ini membuat Swat Hong menjadi makin marah. Kedua pipinya merah seperti udang
direbus dan sepasang matanya yang jeli itu mengeluarkan sinar berapi-api. Sukar dikatakan siapa di antara
kedua orang dara itu yang lebih menarik. Keduanya sama muda, sama cantik jelita dan pada saat itu sama
marahnya!
"Kau... kau... perempuan rendah! Perempuan macam engkau berani jatuh cinta kepada Suheng-ku?!" Swat
Hong memaki.
Siangkoan Hui terkejut sekali, akan tetapi perutnya juga sudah panas dibakar kemarahan mendengar
dirinya dimaki-maki orang. "Apa? Kau ini mengaku Sumoi-nya? Sungguh tidak patut! Seekor naga mana
dunia-kangouw.blogspot.com
bisa mempunyai Sumoi seekor cacing?"
Dapat dibayangkan betapa marahnya hati yang keras seorang dara seperti Swat Hong mendengar ini.
Ingin dia mencaci maki habis-habisan, ingin dia menjerit-jerit, akan tetapi dia tak pandai cekcok dengan
suara. Dia hanya mengeluarkan suara melengking nyaring dan pedangnya sudah menerjang ke arah dada
Siangkoan Hui!
"Singgg... Wuuttt.....!"
Siangkoan Hui juga mengeluarkan pekik kemarahan. Tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas dan dari atas
sabuk sutera merahnya yang ternyata adalah senjatanya yang ampuh itu menyambar ke bawah dengan
serangan balasannya yang tidak kalah berbahaya.
"Plakkk!!" sarung pedang di tangan kiri Swat Hong berhasil menangkis serangan itu.
Swat Hong terkejut juga menyaksikan kelincahan lawan. Tahulah Swat Hong bahwa lawannya tak boleh
dipandang ringan dan memiliki ginkang yang amat hebat, maka dia memutar pedangnya dengan
kecepatan kilat. Repotlah Siangkoan Hui menghadapi permainan pedang lawannya yang amat luar biasa
itu.
Sebetulnya tingkat kepandaian Siangkoan Hui sudah tinggi, dan pada jaman itu, sukar dicari tandingannya.
Sebagai puteri tunggal, Tee-tok telah menurunkan semua ilmu simpanannya dan selain memiliki senjata
istimewa berupa sabuk sutera, juga dara ini adalah seorang ahli racun seperti ayahnya. Ayahnya adalah
seorang tokoh yang berjuluk Racun Bumi, tentu saja dia mempelajari pula penggunaan racun-racun yang
ampuh.
Setelah mendapat kenyataan betapa permainan pedang lawannya benar-benar amat lihai dan berbahaya,
tiba-tiba Siangkoan Hui membentak dan dari tangan kirinya menyambar sinar-sinar merah. Swat Hong
mengeluarkan suara mendengus dari hidung dan mengejek, sinar pedangnya berkelebatan dan bergulunggulung
sehingga jarum-jarum merah yang dilepas Siangkoan Hui secara lihai itu semua dapat dipukul
runtuh.
"Haiittt...!!"
Swat Hong meluncur ke depan. Didahului sinar pedangnya, pedang itu menusuk lalu disambung
membabat ke kanan-kiri, sedangkan sarung pedangnya masih bergerak menghantam dari atas. Semua
jalan ke luar seolah-olah telah ditutupnya dan tidak memungkinkan lawan untuk mengelak lagi!
"Hiaaaaahhhh!!" Siangkoan Hui memekik nyaring, sabuknya berubah menjadi sebatang benda keras yang
diputar-putar melindungi tubuhnya.
Pada saat pedang tertangkis, tiba-tiba dari ujung sabuk merah itu menyambar dua batang paku merah
yang meluncur tanpa tersangka-sangka dan dengan cepat sekali meluncur ke arah tenggorokan Swat
Hong!
"Aihhh...!!" Swat Hong menjerit.
Tidak ada jalan lain baginya kecuali membuka mulutnya yang kecil dan ‘menangkap’ dua batang paku
merah itu dengan gigitan giginya yang kecil-kecil dan putih berderet rapi itu! Siangkoan Hui terkejut dan
kagum bukan main. Pada saat itu, Swat Hong telah meniupkan dua batang paku ke arah tubuh lawan.
Tentu saja Siangkoan Hui dapat mengelakkan senjata rahasianya sendiri ini dengan mudah.
Akan tetapi kini Swat Hong sudah marah sekali dan pedangnya bergerak untuk membunuh! Jurus-jurus
terhebat dari Pulau Es dimainkannya dan tentu saja Siangkoan Hui terdesak hebat. Ujung sabuk
Siangkoan Hui sudah robek dicium ujung pedang Swat Hong!
"Sumoi, jangan...!!!" tiba-tiba terdengar seruan.
Sin Liong melompat memasuki lapangan pertandingan, menolak lengan sumoi-nya dengan tangan kiri.
"Sumoi...! Syukur kita dapat saling bertemu di sini...!" Sin Liong berseru girang bukan main.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi perut Swat Hong terasa panas saking mendongkolnya. Tadi dia sudah berhasil mendesak
lawan dan belasan jurus lagi saja dia tentu akan menang. Siapa tahu suheng-nya muncul dan lawannya itu
dapat meloncat ke luar dan kini berdiri di belakang kakek yang menjadi ayahnya!
"Aku harus membunuhnya!" bentaknya dan dia hendak melompat ke arah Siangkoan Hui.
"Sumoi, jangan serang orang!"
"Kalau begitu, serang kau saja!" dan gadis itu lalu menyerang Sin Liong kalang kabut dengan pedangnya!
"Eh-eh...! Ohhh...! Sumoi, mengapa kau marah-marah?" Sin Liong terpaksa mengelak dengan berlompatan
ke sana-sini karena sambaran pedang di tangan sumoi-nya itu bukan main-main!
"Kenapa kau membelanya? Kenapa?" Swat Hong berkata perlahan dan menyerang terus tanpa
mempedulikan seruan suheng-nya.
Pada saat itu tampak dua sosok bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ telah berdiri Kwee Lun dan
Soan Cu. Bagaimana dua orang muda ini dapat datang bersama?
--- dunia-kang-ouw.blogspot.com ---
Telah kita ketahui bahwa Soan Cu disuruh pergi oleh Sin Liong. Karena gadis ini amat taat kepada Sin
Liong, dengan hati berat dia meninggalkan puncak itu hendak turun ke dusun kembali. Dan telah
diceritakan pula di bagian depan betapa Kwee Lun melakukan penyelidikan bersama Swat Hong dan
mereka berpencar. Kwee Lun mengambil jalan dari kiri.
Kebetulan sekali ketika pemuda ini sedang berindap-indap melakukan penyelidikan, dia melihat seorang
gadis cantik berjalan seorang diri keluar dari pagar. Tentu saja dia mengira bahwa gadis itu adalah seorang
musuh. Timbul dalam pikirannya untuk menangkap gadis ini dan memaksanya mengaku apa yang telah
terjadi di sebelah dalam. Hal ini akan lebih memudahkan penyelidikannya, dari-pada menyelidiki dari luar
tak berketentuan. Dengan pikiran ini, Kwe Lun tiba-tiba meloncat ke luar dari tempat sembunyinya dan
langsung dia menubruk dan memeluk Soan Cu!
Dapat dibayangkan betapa marahnya dara ini. Ketika tiba-tiba ada seorang laki-laki keluar dari semaksemak
dan dengan gerakan secepat kilat menyergap dan memeluknya, tentu saja dia mengira bahwa ini
tentulah anak buah Tee-tok yang hendak menangkapnya atau hendak berkurang ajar.
"Setan keparat jahanam terkutuk!!" bentaknya dan dia mengerahkan tenaganya, meronta dan
menggerakkan kaki tangannya, menyepak dan menampar.
"Plak-plak-plak...!”
“Wah-wah... galak benar!" Kwee Lun kewalahan dan terpaksa melepaskan rangkulannya karena tulang
kering kakinya kena ditendang, pipinya dicakar dan dagunya ditampar!
Kini mereka berhadapan dan saling pandang. Keduanya kelihatan tertegun karena sama-sama tidak
menyangka. Kwee Lun sama sekali tidak menyangka bahwa yang ditangkapnya tadi, dipeluknya karena
disangkanya seorang pelayan wanita, kiranya adalah seorang dara remaja yang cantik jelita! Sedangkan
Soan Cu yang terkejut melihat seorang pemuda yang begitu tampan gagah perkasa. Sejenak keduanya
saling pandang.
Sesaat kemudian timbul kegalakan Soan Cu yang menjadi marah. Dia memang sudah mendongkol disuruh
pergi oleh Sin Liong. Hatinya gelisah memikirkan Sin Liong, biar pun dia yakin pemuda itu akan mampu
menjaga dirinya. Kini ada orang yang betapa gagahnya pun, namun telah berlaku kurang ajar. "Setan alas!
Siapa kau? Tentu kaki tangan Tee-tok, ya? Hendak menangkap aku? Keparat jahanam! Engkau sudah
bosan hidup!"
"Tar-tar-tar...!!" cambuk buntut ikan hiu itu sudah meledak-ledak di atas kepala Kwee Lun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Soan Cu mengira bahwa sekali serang saja kepala pemuda gagah itu tentu akan pecah. Seberapa hebat
sih kepandaian anak buah Tee-tok? Akan tetapi betapa herannya ketika dia melihat pemuda tinggi besar
itu dapat mengelak dengan amat cepatnya, bahkan telapak tangan pemuda itu berhasil menepuk
lengannya yang memegang cambuk.
"Plakkk!"
Pemuda itu terheran. Tamparannya tidak membuat cambuk itu terlepas! "Aihhh... nanti dulu, jangan
menyerang begitu. Aku bukan anak buah Tee-tok atau racun mana pun juga!"
Namun Soan Cu sudah merasa penasaran sekali. Kembali dia menyerang dan kini cambuknya berubah
menjadi segulung sinar hitam yang menyambar-nyambar dibarengi suara meledak-ledak. Akan tetapi Kwee
Lun tetap dapat mengelak dan meloncat ke sana-sini, bahkan kadang-kadang dia berani menangkis
cambuk itu dengan telapak tangannya! Hal ini tentu saja mengagumkan hati Soan Cu. Dia tidak tahu
bahwa pemuda itu menggunakan ilmu Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti) yang mengandung sinkang
tingkat tinggi yang membuat telapak tangannya menjadi lemas seperti kapas dan karenanya tidak terluka
oleh benda keras!
"Nona cantik tapi galak seperti kucing lapar!" Kwee Lun balas memaki ketika melihat nona itu menyerang
terus sambil memaki-maki. "Berhentilah dulu dan kita bicara!"
"Iblis raksasa, kau yang kelaparan!" Soan Cu membentak makin marah dan kini dia sudah mencabut
pedangnya, pedang Coa-kut-kiam! Dengan kedua senjatanya ini, dia menyerang kalang kabut!
"Wah, runyam! Perempuan galak dan ganas!" Kwee Lun terancam bahaya maut dan dia pun terpaksa lalu
mencabut pedangnya dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya memegang kipas gagang perak.
"Tringgg...! Cringgg-tranggg...!" bunga api berpijar.
Keduanya terdorong ke belakang oleh pertemuan senjata yang hebat itu tadi. Kipas bertemu dengan
cambuk dan pedang bertemu dengan pedang. Masing-masing menjadi terkejut dan terheran. Tenaga
sinkang mereka seimbang!
"Bagus! Mari kita bertanding sampai selaksa jurus!" Soan Cu sudah menerjang lagi.
"Tranggg...! Tranggg...!!"
Kembali Kwee Lun menangkis sekuatnya dan mereka terdorong mudur. "Sombongnya! Manusia mana kuat
bertanding sampai selaksa jurus? Makan waktu berapa bulan? Tunggu dulu, mengapa kau marah-marah
kepadaku seperti orang kebakaran jenggot?"
"Ngaco! Jenggotmu yang kebakaran!"
"Eh, ohhh! Kau bikin aku bingung! Benar, kau tidak berjenggot. Eh, kenapa kau marah-marah begini? Dan
kau lihai bukan main! Senjatamu mengerikan!"
“Cerewet!" Soan Cu sudah hendak menerjang lagi, sekarang terdorong oleh rasa penasaran bahwa dia
tidak mampu mengalahkan pemuda ini.
"Nanti dulu! Kita bicara dulu, baru kita bertanding selaksa.... eh, seratus jurus saja! Aku salah menduga,
kukira kau tadi seorang pelayan di sini!"
"Menghina kamu ya? Orang macam aku ini pelayan? Kalau kau baru pantaslah menjadi jongos! Atau jagal
babi!"
"Maafkanlah. Aku tadi melihat dari jauh. Aku sedang menyelidiki.... Wah, celaka! Kau tentu puteri Tee-tok!"
Kwee Lun terkejut dan menyesali kebodohannya. Mengapa dia tidak menduganya lebih dulu? Siapa lagi
kalau bukan puteri Tee-tok yang begini lihai?
"Aku bukan anak racun bumi, bukan anak racun bau! Aku malah musuhnya!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Wah, benarkah? Kalau begitu kita cocok! Aku pun sedang melakukan penyelidikan. Aku mendengar ada
beruang diadu dengan harimau. Pemilik beruang itu adalah sahabatku, eh, maksudku, sahabatnya
sahabatku!"
Soan Cu menjadi bingung. "Bicaramu seperti orang sinting!”
"Memang betul, sahabatnya, eh, malah Suheng-nya sahabatku. Kau siapa?"
"Aku baru saja meninggalkan pemilik beruang itu yang menjadi sahabat baikku."
Dengan singkat Soan Cu menuturkan betapa Sin Liong mengalah dan malah menyuruh dia pergi dan ingin
menerima hukuman!
"Wah, kenapa kau sudah begini besar masih begini tolol?"
"Siapa? Siapa tolol?" Soan Cu melangkah maju dan sepasang senjatanya sudah menggetar di tangannya.
"Siapa lagi kalau bukan engkau? Mengapa kau meninggalkan sahabatmu itu menghadapi hukuman? Kau
tidak tahu siapa itu Tee-tok Siangkoan Houw? Dari julukannya saja sudah mudah diketahui. Dia Racun
Bumi, kejamnya bukan main. Sahabatmu itu, Suheng sahabatku, pemilik beruang, tentu akan dibunuhnya!"
"Apa...?!" Wajah Soan Cu menjadi pucat sekali. "Celaka...!"
"Hayo cepat kita kesana, barangkali belum terlambat!"
Demikianlah, kedua orang itu seperti berlomba lari saja, bersicepat lari kembali ke puncak. Dan mereka
tiba di tempat yang tepat di mana mereka melihat Swat Hong sedang menyerang kalang kabut kepada Sin
Liong yang mengelak ke sana-sini.
--- dunia-kang-ouw.blogspot.com ---
Ketika itu Kwee Lun melihat sahabatnya menerjang seorang pemuda dengan mati-matian. Dia mendapat
kenyataan betapa pemuda itu lihai bukan main, biar pun bertangan kosong namun pedang di tangan Swat
Hong sama sekali tidak pernah menyentuhnya. Dia sudah menggerakkan pedang dan kipasnya, meloncat
maju sambil membentak, "Berani kau menghina Hong-moi?"
"Trangg-cringgg...!!"
Kwee Lun terdorong ke belakang dan matanya terbelalak melihat bahwa yang menangkisnya adalah
sepasang senjata di tangan... Soan Cu yang mendelik dan memaki, "Kerbau tolol! Berani kau mencampuri
urusan Liong-koko?"
Setelah berkata demikian Soan Cu menyerang kalang kabut, dan kembali mereka saling serang dengan
serunya! Melihat ini, otomatis Swat Hong menghentikan serangannya dan Sin Liong juga sudah meloncat
ke belakang.
"Jangan bertempur! Soan Cu, mundurlah...!" seru Sin Liong.
"Liong-ko, biarkan aku bertempur dengan gajah ini sampai selaksa....... eh, seratus jurus!"
"Kwee-koko, mundur! Orang sendiri...!"
"Hehhh...? Orang sendiri...? Dia ini...." Kwee Lun terkejut dan terheran-heran, sebentar memandang
kepada Sin Liong, lalu kepada Soan Cu.
"Kwee-koko, inilah Suheng-ku yang kucari-cari." Swat Hong memperkenalkan.
"Eh... akan tetapi, mengapa kau menyerangnya...??"
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Liong cepat berkata, "Saudara yang gagah, Sumoi-ku ini memang kalau lama tidak bertemu lalu ingin
mengajakku berlatih."
Mendengar ini, merah wajah Swat Hong. Setelah ketahuan oleh semua orang betapa dia marah-marah dan
menyerang suheng-nya sendiri, baru dia teringat dan menjadi malu.
Sementara itu, dapat dibayangkan betapa kaget dan sedihnya hati Siangkoan Hui ketika itu. Kiranya dara
cantik yang amat lihai ini adalah Sumoi dari Kwa Sin Liong, dan melihat sikapnya, dia dapat menduga
bahwa dara yang galak ini cemburu kepadanya. Maka dia sudah melangkah maju dan menjura sambil
berkata, "Ah, harap maafkan. Kiranya Cici adalah Sumoi dari Kwa-taihiap...."
"Hemmm.... sudahlah!" Swat Hong berkata malu, kemudian memperkenalkan kepada suheng-nya,
"Suheng, dia ini adalah Saudara Kwee Lun, murid dari Lam-hai Sengjin."
"Ha-ha-ha! Kiranya murid majikan Pulau Kura-kura? Selamat datang! Dan Nona adalah Sumoi dari Kwataihiap?
Aihhh..... sungguh hari ini kami kedatangan banyak tokoh besar!" Kemudian berkata kepada Soan
Cu yang masih cemberut. "Baik sekali Nona sudah datang kembali. Mari... mari orang-orang muda yang
gagah perkasa, marilah kita duduk dan bicara di dalam."
Tee-tok Siangkoan Houw lalu mempersilakan mereka semua memasuki gedungnya. Dia menjamu mereka
dengan hidangan mewah, dibantu oleh puterinya, Siangkoan Hui yang merasa kagum sekali kepada Swat
Hong, akan tetapi juga merasa iri hati dan berduka.
Tidaklah demikian dengan perasaan Soan Cu. Memang tak dapat disangkal lagi bahwa gadis Pulau
Neraka ini amat tertarik kepada Sin Liong yang dianggapnya sebagai seorang pemuda yang luar biasa dan
amat mengagumkan hatinya. Akan tetapi, selama dalam perjalanan ini Sin Liong jelas memperlihatkan
sikap bahwa pemuda itu sama sekali tidak tertarik kepadanya, juga bahwa sikap baiknya itu lebih
mendekati sikap baik seorang kakak terhadap adiknya. Pula, dia melihat bahwa sesungguhnya Swat Hong,
sumoi pemuda itu, juga mencintai suheng-nya. Soan Cu maklum bahwa tidaklah mungkin dia membiarkan
cintanya terhadap Sin Liong berlarut-larut.
Pertemuannya dengan Kwee Lun telah mengubah seluruh perasaan hatrinya. Pemuda raksasa ini amat
hebat, amat menarik dan jelas lebih cocok dengan dia! Kwee Lun merupakan seorang pemuda yang jujur,
terus terang, gagah perkasa dan biar pun baru sekali bertemu saja, mereka telah saling serang sampai dua
kali! Oleh karena itu, ketika mereka semua makan bersama mengelilingi meja besar, perhatian Soan Cu
lebih banyak tertuju kepada pemuda perkasa itu.
Setelah mereka makan minum, berkatalah Tee-tok Siangkoan Houw, suaranya sungguh-sungguh dan
kata-katanya ditujukan kepada Sin Liong dan Swat Hong. "Saya tidak tahu dengan jelas apakah Ji-wi
mempunyai hubungan dengan Pulau Es. Akan tetapi mengingat bahwa Kwa-taihiap adalah murid dari
Pangeran Han Ti Ong dari Pulau Es, maka agaknya apa yang hendak saya bicarakan ini akan menarik
perhatian Ji-wi. Dan sesungguhnya saya, atas nama para orang gagah di dunia kang-ouw, saya amat
mengharapkan bantuan Sin-tong!"
"Ah, mengapa Lo-cianpwe terlalu sungkan dan merendahkan diri? Harap diceritakan ada urusan apakah
yang kiranya dapat kami bantu, dan harap jangan membawa-bawa nama Pulau Es."
"Justeru karena urusan ini menyangkut Pulau Es."
"Heiii...? Ada urusan apakah yang menyangkut Pulau Es?" Swat Hong bertanya penuh semangat.
Mendengar ini Tee-tok tersenyum dan memandang. "Sebagai Sumoi dari Sin-tong, tentu Nona juga dari
Pulau Es, bukan? Gerakan pedang Nona tadi hebat bukan main...."
“Siapa pun tidak perlu tahu, apakah aku dari Pulau Es atau tidak,” jawab Swat Hong tegas. “Tapi kalau ada
urusan Pulau Es, kami ingin mendengar.”
"Lo-cianpwe, harap ceritakan kepada kami dan maafkanlah sikap Sumoi yang selalu tegas dan singkat.
Perlu saya beri-tahukan bahwa memang amatlah penting artinya bagi kami kalau ada urusan yang
menyangkut Pulau Es."
dunia-kangouw.blogspot.com
Tee-tok menarik napas panjang. "Kalau dibicarakan sungguh membuat orang menjadi penasaran sekali. Jiwi
(Anda Berdua) tentu telah mendengar nama besar Bu-tong-pai, bukan? Nah, semua orang gagah dari
dunia kang-ouw bersepakat untuk menentang Bu-tong-pai mati-matian."
"Haiii...? Mengapakah? Maaf kalau aku mencampuri, akan tetapi sungguh hatiku penasaran sekali
mendengar Bu-tong-pai dimusuhi orang kang-ouw. Bukankah anak murid Bu-tong-pai adalah orang-orang
gagah yang dihormati oleh dunia kang-ouw? Mengapa sekarang hendak dimusuhi?" Kwee Lun berseru
lantang, matanya terbelalak lebar karena penasaran.
"Ha-ha-ha, agaknya gurumu, si tua bangka Lam-hai Sengjin masih belum mendengar berita ini. Dia selalu
bertapa di pulaunya sehingga engkau pun belum tahu, orang muda yang gagah, Bu-tong-pai telah
beberapa bulan ini dikuasai oleh seorang ketua baru!"
"Soal pengangkatan ketua baru Bu-tong-pai, kurasa adalah urusan dalam Bu-tong-pai sendiri!" kata pula
Kwee Lun.
"Memang demikian kalau ketua baru itu orang dalam Bu-tong-pai pula. Akan tetapi ketua baru itu mengaku
dirinya sebagai Ratu Pulau Es dan telah melakukan perbuatan sewenang-wenang, melanggar peraturan
kang-ouw, mengalahkan banyak tokoh kang-ouw dan kabarnya bahkan bersekutu dengan pemberontak!"
"Ihhh...!" Swat Hong berseru. "Kiranya dia di sana...!"
Ketika Swat Hong berseru tadi, Sin Liong juga ikut berseru kaget.
Mendengar seruan dua orang muda sakti dari Pulau Es itu, Tee-tok cepat memandang penuh selidik. "Ji-wi
mengenal wanita itu?"
Sin Liong mengangguk tenang. "Agaknya begitulah. Dan sekarang juga kami berdua minta diri karena kami
harus segera berangkat ke Bu-tong-pai."
"Tapi biarlah kami membantumu, dan kalau perlu kita memberi-tahukan teman-teman di dunia kang-ouw
agar...."
"Tidak usah, Lo-cianpwe. Ini adalah urusan antara kami sendiri. Bukankah begitu, Sumoi?"
"Benar! Harus kami berdua saja yang berangkat ke sana. Kwee-koko, terima kasih atas bantuanmu
mencari Suheng. Setelah kini aku bertemu Suheng dan kami ada urusan yang amat penting, terpaksa aku
akan meninggalkanmu. Kita berpisah sampai di sini, Kwee-koko."
Kwee Lun mengangguk dan berkata dengan suara lirih setelah menarik napas panjang. "Aku mengerti,
Hong-moi."
"Soan Cu, aku harap engkau suka menanti dulu di sini dan harap Siangkoan Lo-enghiong melimpahkan
kebaikan hati dengan menerima Soan Cu di sini untuk beberapa hari sampai saya selesai berurusan
dengan Bu-tong-pai."
"Tentu saja! Dengan senang hati! Biarlah Ouw-siocia tinggal di sini dulu ditemani oleh anakku."
"Tidak, Liong-koko! Aku... aku... akan pergi saja melanjutkan usahaku mencari Ayah. Kau pergilah
menyelesaikan urusanmu dengan Swat Hong...," kata Soan Cu sambil menekan perasaannya. "Urusan kita
memang berlainan. Selamat tinggal, aku pergi lebih dulu!" setelah berkata demikian, Soan Cu lalu bangkit
berdiri dan berlari pergi tanpa menoleh lagi.
Kwee Lun juga bangkit berdiri. "Kalau begitu aku pun pamit. Biarlah aku membantu dia kalau dia mau."
Kwee Lun lalu berlari sambil berseru, "Nona...., tunggu dulu...!!"
Namun Soan Cu tidak menengok lagi dan berlari cepat sehingga Kwee Lun terpaksa harus mengerahkan
ginkang-nya untuk mengejar. Sebentar saja kedua orang muda yang berkejaran itu sudah lenyap dari
pandangan mata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Liong dan Swat Hong juga berpamit dan meninggalkan Tee-tok bersama puterinya yang mengantar
mereka sampai di pintu depan. Setelah kedua orang itu berjalan pergi dan tidak nampak lagi, terdengar
Siangkoan Hui terisak dan menutupi matanya dengan ujung lengan bajunya. Siangkoan Houw menghela
napas dan merangkulnya. Dara itu makin berduka, menangis sesenggukan di dada ayahnya.
Tee-tok menepuk-nepuk pundak puterinya dan berkata, "Hemm, tidak patut anak Tee-tok begini lemah
hatinya! Aku tahu bahwa kau jatuh cinta kepadanya, Hui-ji. Memang dia seorang pemuda luar biasa! Akan
tetapi, aku melihat sesuatu yang aneh pada diri Sin-tong itu. Aku akan merasa heran kalau sampai
mendengar dia itu menikah! Dia tidak seperti manusia biasa! Dia dari Pulau Es, demikian pula Sumoi-nya.
Mereka itu berbeda dengan kita. Selain itu, engkau adalah tunangan putera Lu-san Lojin Bu Si Kang.
Engkau sejak kecil telah dijodohkan dengan Bu Swi Liang. Biarlah aku akan mencari mereka lagi!"
Siangkoan Hui tidak menjawab dan dia menurut saja ketika diajak masuk ke rumah oleh ayahnya yang
amat menyayanginya. Sebetulnya sukar dikatakan apakah Siangkoan Hui benar-benar jatuh cinta kepada
Sin Liong. Kiranya lebih tepat dikatakan kalau dia tertarik dan suka menyaksikan wajah dan sikap pemuda
yang halus budi itu. Untuk dikatakan jatuh cinta, kiranya masih terlalu pagi!
--- dunia-kang-ouw.blogspot.com ---
Keadaan di Bu-tong-pai mengalami perubahan hebat semenjak The Kwat Lin menjadi ketua partai
persilatan besar itu. Bukan hanya perubahan di luar, yang nampak jelas karena adanya banyak anggota
perkumpulan golongan hitam dan sepak terjang mereka yang kasar dan ugal-ugalan, mengandalkan
kepandaian untuk menentang siapa saja, akan tetapi juga terjadi perubahan di sebelah dalam yang tidak
diketahui oleh orang luar.
Terjadi hal yang membuat Swi Nio sering-kali menangis seorang diri di dalam kamarnya! Peristiwa yang
memalukan hati dara itu, yaitu ketika dia melihat betapa kakaknya, Swi Liang, telah menjadi kekasih dari
subo mereka sendiri! Tadinya tentu saja hal itu terjadi secara sembunyi-sembunyi, akan tetapi kini dia
melihat sendiri betapa subo-nya dan kakaknya itu berjinah secara terang-terangan, tidak bersembunyi lagi.
Biar pun pada siang hari di mana banyak mata para anggota Bu-tong-pai menyaksikannya, dengan
seenaknya ketua Bu-tong-pai itu memasuki kamar Bu Swi Liang, atau sebaliknya pemuda itu memasuki
kamar subo-nya kemudian pintu kamar ditutup dari dalam! Hati Swi Nio memberontak, akan tetapi apa
yang dapat dia lakukan kecuali menangis?
Dan memang sungguh menyedihkan sekali kenyataan bahwa seorang pemuda seperti Bu Swi Liang kini
terjebak oleh nafsu birahi dan menjadi hamba nafsu birahi, juga menjadi hamba subo-nya sendiri yang
membuatnya tergila-gila! Hal ini tidak amat mengherankan, mengingat bahwa Swi Liang adalah seorang
pemuda yang masih hijau. Seorang pemuda remaja yang tentu saja tidak kuat menahan godaan dan
rayuan seorang wanita yang sudah matang seperti The Kwat Lin pula.
Memang rasa kagum seorang muda terhadap lawan kelaminnya yang lebih tua dengan mudah
menyeretnya ke dalam perangkap cinta nafsu. Di lain pihak, peristiwa itu bukanlah dapat diartikan bahwa
The Kwat Lin adalah seorang wanita yang gila laki-laki atau gila birahi. Sama sekali tidak. Dia adalah
seorang yang normal, dan hanya keadaanlah yang membuat dia menjadi seorang penyeleweng besar.
The Kwat Lin adalah seorang wanita yang belum tua benar, baru tiga puluh tahun usianya, berwajah cantik
dan bertubuh sehat. Setelah menjadi janda dan hidupnya menyendiri, wajarlah kalau dia merindukan cinta
asmara, merindukan kehangatan rasa sayang seorang pria. Ada pun pria yang sudah dewasa dan yang
dekat dengannya adalah Bu Swi Liang, maka tidak pula mengherankan apa bila dia tertarik dan jatuh hati
kepada muridnya sendiri ini.
Karena pemuda ini masih hijau, tentu saja dia tidak berani mulai dengan langkah pertama. Maka The Kwat
Lin yang menggunakan perasaan kewanitaannya untuk membuka pintu dan menggerakkan kaki dalam
langkah pertama. Dialah yang memikat dan merayu sehingga akhirnya Swi Liang jatuh dan mabuk. Sekali
saja hubungan jinah dilakukan, maka membuat orang menjadi mencandu. Yang pertama kali segera
disusul oleh yang ke dua, ke tiga, kemudian mereka menjadi ketagihan dan seolah-olah tidak dapat lagi
hidup tanpa kelanjutan hubungan gelap mereka!
Tentu saja hal ini dapat terjadi karena keadaan hidup Kwat Lin. Andai kata dia masih seorang pendekar
dunia-kangouw.blogspot.com
wanita seperti belasan tahun yang lalu, tentu perbuatan ini sampai mati pun tak kan dia lakukan. Akan
tetapi kini keadaannya lain. Dia menjadi seorang wanita yang berhati keras oleh sakit hati, kemudian
menjadi tak peduli oleh keadaannya sebagai seorang ketua paksaan dari Bu-tong-pai, seorang yang
bercita-cita untuk mencarikan kedudukan setingginya bagi puteranya. Kedudukannya memberi dia
perasaan lebih dan berkuasa, maka timbul sifat untuk bertindak sewenang-wenang tanpa mempedulikan
orang lain lagi.
Akan tetapi, selain hubungan gelap dengan muridnya yang tersayang ini, Kwat Lin juga mulai dengan
langkah-langkah ke arah tercapainya cita-citanya. Dia mulai memperkuat Bu-tong-pai dengan mengadakan
hubungan dengan para pembesar di kota raja melalui anggota-anggota barunya, yaitu para pembesar yang
mempunyai cita-cita yang sama, para pembesar calon pemberontak. Kedudukan Bu-tong-pai makin kuat
setelah terjadi peristiwa hebat pada beberapa hari yang lalu....
Pada beberapa hari yang lalu, pagi-pagi sekali, anak buah Bu-tong-pai gempar dengan munculnya dua
orang laki-laki di pintu gerbang Bu-tong-pai. Tidak ada seorang pun anak buah Bu-tong-pai yang berani
sembarangan turun tangan ketika mendengar dan mengenal bahwa dua orang ini adalah tokoh-tokoh
besar dalam dunia persilatan.
Ketika seorang di antara mereka, yang usianya sudah enam puluh tahun lebih, kumis dan jenggotnya
sudah putih, mengatakan bahwa mereka minta berjumpa dengan ketua Bu-tong-pai yang baru, para anak
murid Bu-tong-pai cepat memberi kabar kepada The Kwat Lin yang pada saat itu masih enak-enak pulas
dalam pelukan muridnya, sekaligus juga kekasihnya, Bu-swi Liang! Terkejutlah dia ketika pintu kamarnya
diketuk dan mendengar laporan seorang murid bahwa di luar pintu gerbang terdapat dua orang tamu, ayah
dan anak she Coa dari dusun Koan-teng di kaki Pegunungan Bu-tong-san yang minta bertemu dengan
sang ketua!
"Suruh mereka menanti di luar! Aku segera datang!" kata Kwat Lin dengan marah.
Tak lama kemudian, Kwat Lin yang ditemani oleh Swi Liang dan Swi Nio, juga ikut pula Han Bu Ong yang
usianya hampir sebelas tahun, keluar dari pintu gerbang menemui dua orang itu. Senyum mengejek
menghias bibir ketua Bu-tong-pai yang cantik itu.
Semenjak dia merampas kedudukan ketua dengan paksa, sudah lima kali dia didatangi tokoh-tokoh kangouw
yang agaknya datang karena permintaan para tosu Bu-tong-pai yang mengundurkan diri. Para tokoh
ini merasa penasaran dan membela para tokoh Bu-tong-pai. Dengan mudahnya semua tokoh yang datang
berturut-turut itu dirobohkan oleh Kwat Lin, ada yang tewas seketika, ada yang terpaksa pergi membawa
luka-luka berat! Dan kini, ayah dan anak yang datang itu merupakan tokoh-tokoh yang datang ke enam
kalinya.
Swi Liang dan Swi Nio yang menggandeng tangan Bu Ong segera minggir dan membiarkan subo mereka
seorang diri menghadapi dua orang tamu itu. Dengan pakaian yang mewah dan indah, dandanan seperti
puteri kerajaan, The Kwat Lin tampak sebagai seorang wanita bangsawan agung yang memiliki wibawa.
Dengan sikap angkuh dia melangkah maju menghadapi dua orang itu sambil tersenyum.
Kedua orang itu berpakaian sederhana, namun dari sikap mereka yang tenang jelas tampak kegagahan
mereka sebagai pendekar-pendekar penentang kejahatan. Kakek itu biar pun sudah tua, namun masih
kelihatan sehat dan kuat. Jenggot dan kumisnya yang putih menambah keangkeran wajahnya. Di
pinggangnya tergantung sebatang pedang dan dia memandang ketua Bu-tong-pai dengan sinar mata
penuh selidik.
Orang ke dua masih muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya, bertubuh tegap dan berwajah tampan
gagah. Ada kemiripan pada wajah kakek dan laki-laki ini karena memang mereka itu adalah ayah dan anak
yang terkenal sekali namanya sebagai pendekar-pendekar dari dusun Koan-teng yang menjadi sahabatsahabat
baik dari para tosu Bu-tong-pai.
Kakek Coa Hok memiliki ilmu pedang turunan keluarga Coa yang amat lihai, dan ilmu pedang ini sudah
diturunkan pula kepada puteranya itu yang bernama Coa Khi. Ketika ayah dan anak ini mendengar akan
mala-petaka yang menimpa para pemimpin Bu-tong-pai, yaitu munculnya orang termuda dari Cap-sha Sinhiap,
seorang wanita yang merampas kedudukan ketua, kemudian mendengar betapa banyak sahabatsahabat
kang-ouw yang membela mereka telah roboh di tangan wanita itu, mereka berdua menjadi marah
dunia-kangouw.blogspot.com
sekali. Sebagai orang-orang yang biasa menentang kejahatan mereka tidak mempedulikan berita tentang
kesaktian wanita itu. Berangkatlah mereka meninggalkan rumah, berbekal pedang, semangat dan
kebenaran, naik ke Bu-tong-san menjumpai ketua Bu-tong-pai itu.
The Kwat Lin bukan seorang bodoh. Setiap kali ada tokoh naik ke Bu-tong-san dan hendak menantangnya,
dia selalu membujuk mereka untuk berdamai dan bekerja sama. Selama cita-citanya belum tercapai, dia
membutuhkan bantuan sebanyak mungkin orang pandai. Maka setiap kali ada orang gagah datang dengan
maksud menantangnya dan membela para bekas pimpinan Bu-tong-pai, dia selalu menyambut mereka
dengan bujukan manis. Hanya karena bujukannya tidak berhasil dan mereka itu berkeras, terpaksa dia
turun tangan menerima tantangan mereka.
Memang demikianlah sifat orang-orang yang mempunyai cita-cita besar, cita-cita yang sesungguhnya
hanyalah nafsu keinginan untuk kesenangan diri pribadi. Demi tercapainya cita-cita yang merupakan
pamrih bagi diri peribadi ini, orang tidak segan untuk bersikap palsu, membujuk orang sebanyaknya untuk
membantunya demi tercapainya cita-cita itu. Orang-orang yang tidak membantu di anggap musuh dan
perlu dibasmi agar jangan menjadi penghalang cita-citanya. Sebaliknya, mereka yang mati-matian
membantunya, jika cita-cita itu sudah tercapai sebagian besar dilupakannya begitu saja! Atau kalau teringat
pun, hanya diberi pahala sekedarnya karena yang dipentingkan bukan orang-orang yang membantunya,
melainkan dirinya sendiri!
Begitu berhadapan dengan ayah dan anak itu, The Kwat Lin mengangkat kedua tangannya ke depan dada
sambil berkata. "Kiranya Ji-wi Coa-enghiong (Kedua Pendekar she Coa) yang datang. Sudah lama kami
mendengar Ji-wi yang terkenal gagah perkasa, maka kami merasa beruntung sekali hari ini dapat bertemu.
Apa lagi mendengar bahwa Ji-wi adalah sahabat baik dari Bu-tiong-pai...."
"The Kwat Lin!" kakek Coa membentak dengan telunjuk kiri menuding ke arah muka ketua baru Bu-tongpai
itu. "Aku mengenalmu sebagai seorang di antara Cap-sha Sin-hiap yang gagah perkasa, sebagai seorang
murid Bu-tong-pai yang selalu menjunjung tinggi nama Bu-tong-pai. Aku telah puluhan tahun bersahabat
dengan Bu-tong-pai dan telah mendengar akan namamu. Akan tetapi, mengapa setelah menghilang
bertahun-tahun, engkau kembali ke sini dan menjadi seorang murid murtad? Mengapa engkau merampas
kedudukan ketua mengandalkan kekerasan dan kepandaian? Aku sebagai seorang sahabat Bu-tong-pai
tentu saja tidak mungkin dapat mendiamkan hal penasaran ini tanpa turun tangan!"
Kwat Lin tersenyum manis dan melirik ke arah Coa Khi yang berwajah tampan, akan tetapi Coa Khi
mengerutkan alis dan memandang penuh kemarahan.
"Coa-lo-enghiong agaknya kena dibujuk orang! Memang benar saya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi
hal itu adalah demi kebaikan Bu-tong-pai, demi cinta saya kepada Bu-tong-pai. Saya ingin menjadikan Butong-
pai perkumpulan terbesar dan terkuat di dunia kang-ouw, dan saya ingin menarik semua orang gagah
menjadi sahabat yang dapat bekerja sama. Karena itu, saya harap Ji-wi dapat membuka mata melihat
kenyataan dan saya persilakan Ji-wi untuk datang sebagai sahabat dan untuk minum arak persahabatan
bersama kami."
"Perempuan murtad! Jangan mengira dapat menyogok kami dengan omongan manis!" kakek itu
membentak marah.
Kedua alis yang hitam kecil dan panjang itu bergerak-gerak. Biar pun mulut yang berbibir tipis itu masih
tersenyum, namun kata-kata yang keluar mengandung nada dingin, "Habis apa yang kalian akan lakukan?"
"Sing! Singgg!!" ayah dan anak itu telah mencabut pedang.
Kakek Coa lalu berkata, "Hanya ada dua pilihan bagi engkau dan kami. Pertama engkau pergi
meninggalkan Bu-tong-pai dan kami akan berterima kasih kepadamu yang mengembalikan Bu-tong-pai
kepada para pimpinan Bu-tong-pai, atau kalau engkau berkeras, terpaksa kami ayah dan anak turun
tangan menggunakan pedang membela kehormatan sahabat-sahabat dari Bu-tong-pai!"
"Hi-hik! Betapa gagahnya keluarga Coa! Apakah Ilmu Pedang Hok-liong-kiam-sut sehebat sikap mereka,
perlu ditonton terlebih dulu!" tiba-tiba terdengar suara yang lantang dan merdu ini, jelas suara seorang
wanita.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua orang menengok, juga The Kwat Lin yang menjadi terkejut melihat ada orang datang tanpa
diketahuinya. Hal itu saja membuktikan bahwa wanita yang muncul ini memiliki ilmu kepandaian yang
hebat. Ayah dan anak itu juga menengok dengan kaget, apa lagi mendengar nama ilmu pedang turunan
mereka disebut-sebut.
Wanita itu pakaiannya mentereng. Biar pun usianya sudah kurang lebih setengah abad, namun harus
diakui bahwa dia adalah seorang wanita cantik. Rambutnya hitam gemuk dan panjang, dibiarkan terurai
sampai ke pinggulnya yang menonjol di balik celana yang ketat. Tangan kanannya memanggul sebatang
payung hitam dan wanita itu tahu-tahu telah berdiri di situ dengan gaya lemah lembut. Dia seorang wanita
yang masih kelihatan cantik dengan tubuh padat, akan tetapi ada sesuatu yang dingin mengerikan keluar
dari sikapnya, terutama sekali sepasang matanya yang amat tajam itu karena mata itu terbelalak
memandang hampir tak pernah berkejap!
Melihat wanita ini, kakek Coa terkejut bukan main dan otomatis dia berseru keras. "Kiam-mo Cai-li...!!"
Puteranya, Coa Khi juga terkejut. Tentu saja dia sudah pernah mendengar nama ini, nama seorang datuk
kaum sesat yang amat terkenal sebagai seorang iblis betina yang selain kejam dan ganas, juga amat tinggi
ilmu kepandaiannya.
Kakek Coa merasa heran sekali mengapa iblis betina yang sudah bertahun-tahun tak pernah muncul di
dunia kang-ouw dan kabarnya hanya bertapa di tempat kediamannya, yaitu di Rawa Bangkai di kaki
pegunungan Lu-liang-san itu tahu-tahu kini muncul di situ. Dan biasanya, di mana pun iblis itu muncul,
tentu akan terjadi mala-petaka hebat!
The Kwat Lin juga sudah mendengar nama itu, yaitu sepuluh tahun yang lalu ketika dia masih menjadi
seorang di antara Cap-sha Sin-hiap. Ketika itu, nama Kiam-mo Cai-li (Wanita Cerdik Berpedang Payung)
sudah amat terkenal. Akan tetapi dia belum pernah bertemu dengan iblis betina itu dan sekarang dia
melirik ke arah wanita itu dengan senyum mengejek. Dengan kepandaiannya seperti sekarang ini, dia tidak
perlu takut menghadapi iblis yang mana pun juga!
"Kiam-mo Cai-li, apakah kedatanganmu tanpa diundang ini pun hendak menantang aku sebagai ketua Butong-
pai? Kalau memang demikian, jangan kepalang tanggung, majulah kau bersama kedua orang She
Coa ini agar lebih cepat aku menghadapi kalian!"
Ucapan yang keluar dengan tenangnya dari mulut ketua Bu-tong-pai itu mengejutkan hati kedua orang
ayah dan anak She Coa itu. Berani bukan main wanita ini menantang Kiam-mo Cai-li seperti itu! Menyuruh
datuk kaum sesat itu untuk mengeroyok!
Akan tetapi Kiam-mo Cai-li tertawa lebar sehingga tampaklah deretan giginya yang putih dan rapi, "Hi-hihik,
hebat sekali mulut ketua baru Bu-tong-pai! Pantas kau disebut-sebut di dunia kang-ouw, kiranya
memang memilki keberanian yang hebat! Hanya karena mendengar engkau adalah Ratu Pulau Es, maka
aku terpaksa meninggalkan tempatku yang aman dan tenteram. Kalau tidak karena nama ini, biar siapa
pun yang akan menduduki Bu-tong-pai, aku peduli apa? Sekarang hendak kulihat bagaimana kau
menghadapi pewaris-pewaris Ilmu Pedang Hok-liong-kiam-sut yang terkenal ini. Kalau kau memang
berharga untuk melawanku, barulah kita nanti bicara lagi!"
The Kwat Lin tersenyum mengejek dan mendenguskan suara dari hidung. "Hemm, kau merasa terlalu
tinggi untuk mengeroyok? Baiklah, kalau begitu tunggu saja sampai aku membereskan dua orang ini. Di
sini tidak ada bangku, duduklah di sini!"
Setelah berkata demikian, Kwat Lin menghampiri sebatang pohon. Sekali tangan kirinya bergerak
menyabet dengan telapak tangan miring, terdengar suara keras dan pohon itu tumbang. Hebatnya, batang
pohon itu putus seperti dibabat pedang tajam saja, rata dan halus sehingga sisanya merupakan sebuah
bangku!
"Hi-hi-hik, memang hebat sinkang-mu! Terima kasih, aku menanti di sini," kata Kiam-mo Cai-li Liok Si.
Sekali meloncat, tubuhnya sudah melayang ke atas batang pohon yang merupakan bangku bermuka halus
itu. Dia duduk bertumpang kaki dan menunjang dagu dengan sebelah tangan, seperti seorang yang akan
menikmati suatu tontonan yang menarik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ayah dan anak she Coa itu saling pandang. Di dalam pandang mata yang bertemu ini mereka seperti
sudah saling bicara, menyatakan bahwa mereka menghadapi lawan yang amat lihai. Akan tetapi, jiwa
pendekar kedua orang ini membuat mereka sama sekali tidak merasa gentar. Mereka bukan saja membela
sahabat-sahabat mereka Kui Tek Tojin dan para tokoh Bu-tong-pai, akan tetapi juga menuntut balas atas
kematian dan kekalahan para tokoh kang-ouw yang datang lebih dulu dari mereka membela Bu-tong-pai.
Selain itu mereka sudah datang sebagai dua orang penuntut kebenaran. Kalau sekarang mereka harus
mundur melihat kehebatan lawan, hal ini akan membuat mereka menjadi pengecut. Bagi dua orang
pendekar seperti mereka yang namanya sudah terkenal harum selama beberapa keturunan, lebih baik mati
sebagai orang gagah dari-pada hidup menjadi pengecut hina!
"Kalau begitu, The Kwat Lin, bersiaplah engkau!" teriak kakek Coa.
Pedang di tangan kanan kakek Coa sudah melintang di depan dada. Gerakan ini diturut oleh Coa Khi, lalu
kedua orang itu berdiri berjajar dengan memasang kuda-kuda yang kuat.
Kwat Lin menggerakkan tangan kanannya dan tongkat pusaka ketua Bu-tong-pai yang selalu dipegangnya
itu menancap di atas tanah di depannya. Tongkat itu baginya diperlukan untuk menghadapi orang-orang
Bu-tong-pai yang menghormati tongkat itu dan menganggapnya sebagai benda keramat lambang
kedudukan tertinggi di Bu-tong-pai. Kini menghadapi dua orang luar, sengaja dia tidak mau
mempergunakannya, sekaligus untuk memamerkan kepandaiannya. Dia hendak menghadapi dua orang itu
dengan tangan kosong!
"Ceppp!" tongkat itu amblas setengahnya ke dalam tanah.
Sekali Kwat Lin menggerakkan ke dua kakinya, tubuhnya mencelat ke depan dua orang gagah She Coa
itu. "Mulailah!" katanya.
"Sing-singgg... wut-wut-wut-wutttt...!!" bertubu-tubi kedua pedang itu menyambar dengan kekuatan dan
kecepatan dahsyat sehingga tampak sinar-sinar berkilauan dibarengi suara bersiutan ketika kedua pedang
membelah udara.
Diam-diam Kwat Lin terkejut dan harus memuji kehebatan dan keindahan gerakan ilmu pedang mereka itu.
Namun, tentu saja dengan latihan yang didapatnya dari Pulau Es, gerakannya lebih cepat lagi. Dengan
mudah dia dapat mengelak ke sana-sini, menghindarkan diri dari sambaran sinar kedua pedang itu dengan
gerakan yang cepat dan indah.
Tiba-tiba Kwat Lin tersenyum manis. Kini dia telah merasa yakin, bahwa betapa pun indah dan lihainya
ilmu pedang mereka, namun dia masih memiliki tingkat yang jauh lebih tinggi dalam hal sinkang. Bagaikan
seekor kucing mempermainkan dua ekor tikus, dia sengaja selalu mengelak ke sana ke mari memamerkan
kegesitan tubuhnya, bukan hanya kepada dua orang itu melainkan terutama sekali kepada wanita yang
dianggapnya merupakan calon lawan yang lebih lihai, yaitu Kiam-mo Cai-li yang menonton pertandingan
itu.
Mendadak Kwat Lin mengeluarkan seruan tertahan. Ketika matanya melirik, segera dia maklum bahwa ada
dua orang bekas anak buah Bu-tong-pai yang mendekati tongkat pusaka itu dan berusaha mencabut
tongkat pusaka dari dalam tanah. Peristiwa itu terjadi cepat sekali, tetapi Kwat Lin yang cerdik lebih cepat
lagi mengambil kesimpulan bahwa dua orang itu tentulah pengkhianat-pengkhianat yang berpura-pura
takluk kepadanya, namun diam-diam mencari kesempatan untuk mencuri tongkat pusaka, tentu dengan
maksud mengembalikan tongkat itu kepada Kui Tek Tojin!
Pada saat itu, dua pedang ayah dan anak itu menusuk dari depan dan belakang dengan cepatnya.
Gerakan Kwat Lin tentu saja agak terlambat karena perhatian yang terpecah tadi. Maka dia cepat
menggulingkan tubuhnya, mengelak dari tusukan pedang di depan, sedangkan tusukan pedang dari
belakang yang masih mengancamnya di tangkisnya dengan lengan kiri yang dilindungi gelang-gelang
emas.
"Cringgg...!!"
Coa Khi terkejut bukan main ketika lengan yang memegang pedang itu tergetar hebat dan hampir saja
dunia-kangouw.blogspot.com
pedangnya terlepas dari pegangan ketika bertemu dengan gelang di pergelangan tangan kiri ketua Butong-
pai itu! Ketika dia dan ayahnya memandang, ternyata wanita itu telah lenyap dan tahu-tahu terdengar
jerit-jerit mengerikan dari kiri. Ketika mereka memandang, ternyata wanita itu telah merobohkan dua orang
laki-laki yang tadi mencoba mencuri tongkat pusaka. Dua orang laki-laki itu roboh dengan kepala pecah
disambar jari-jari tangan Kwat Lin yang marah.
Setelah membunuh kedua orang itu, sekali meloncat Kwat Lin sudah kembali menghadapi dua orang
lawannya. Kini dialah yang menerjang, menyerang dengan kedua tangan terbuka, cepatnya bukan main
sehingga ayah dan anak itu terpaksa mudur sambil melindungi tubuhnya dengan pedang.
Seru dan indah dipandang pertandingan itu. Tubuh Kwat Lin lenyap dan hanya kadang-kadang saja
tampak, bergerak-gerak di antara gulungan dua sinar pedang. Dia seolah-olah seorang penari yang amat
indah dan lemah gemulai gerakannya, seperti sedang bermain-main dengan gulungan sinar pedang yang
dipandang sepintas lalu seperti dua helai selendang yang dimainkan oleh wanita itu.
Tiba-tiba kedua orang ayah dan anak itu mengeluarkan pekik yang menggetarkan bumi. Tampak mereka
menerjang secara berbareng dari depan dengan pedang terangkat ke atas dan membacok sambil
meloncat. Inilah jurus paling ampuh dari ilmu pedang yang mereka lakukan dengan berbareng, jurus
terakhir dari Hok-liong- kiam-sut (Ilmu Pedang Naga). Serangan ini demikian dahsyatnya sehingga tidak
memungkinkan lawan yang diserangnya untuk mengelak lagi karena jalan keluar sudah tertutup dan ke
mana pun lawan mengelak, ujung pedang tentu akan mengejar terus.
Akan tetapi, sambil tersenyum Kwat Lin tidak menghindarkan diri sama sekali. Ia tidak mengelak, bahkan
menubruk ke depan! Tiba-tiba ketika tubuh Coa Khi yang meloncat ke atas itu sudah dekat dan pedang
pemuda itu sudah menyambar ke arah kepalanya, dia menjatuhkan diri ke bawah. Dalam kedudukan
berjongkok kedua tangannya menyambar ke atas dan depan dengan jari-jari terbuka.
"Hyaaaattt...!!" pekik melengking yang keluar dari mulut Kwat Lin ini dahsyat sekali dan kedua tangan yang
mengandung sepenuhnya tenaga Inti Salju yang ampuh itu telah menyambar perut kedua orang
laawannya.
"Plak! Plak!" tamparan jari-jari tangan yang mengandung tenaga sinkang mukjijat ini tepat mengenai perut
Coa Khi yang sedang melayang di atas dan Coa Hok yang berada di depan.
Ayah dan anak itu mengeluarkan jerit tertahan yang mengerikan. Mereka merasa tubuh mereka dimasuki
hawa dingin yang tak tertahankan hebatnya dan robohlah ayah dan anak itu, roboh tanpa dapat berkutik
lagi karena mereka telah tewas dengan muka membiru. Darah mereka telah membeku terkena pukulan
yang mengandung Swat-im-sinkang yang hebat dari Pulau Es!
"Bagus sekali...!!" Kiam-mo Cai-li Liok Si memuji dan melayang turun dari atas batang pohon, kemudian
berdiri berhadapan dengan ketua Bu-tong-pai itu.
Keduanya sama cantik dan sama mewah pakaiannya. Sejenak mereka saling pandang seperti hendak
mengukur kelebihan lawan dengan pandang mata.
"Hebat kepandaianmu, Pangcu (Ketua)! Melihat tingkatmu, engkau pantas menjadi lawanku bertanding.
Mari kita coba-coba, siapa diantara kita yang lebih lihai!"
The Kwat Lin mengerutkan alisnya dan bertanya, "Kiam-mo Cai-li, di antara kita tidak pernah ada urusan
sesuatu. Apakah engkau menantangku demi membela para tosu Bu-tong-pai yang sudah mengundurkan
diri?"
"Hi-hi-hik!" wanita yang sudah hampir nenek-nenek namun masih amat genit itu terkekeh. "Aku membela
tosu Bu-tong-Pai? Jangan bicara ngaco! Bagi aku, siapa pun yang akan menjadi ketua Bu-tong-pai, masa
bodoh! Akan tetapi hatiku tertarik mendengar bahwa yang mengetuai Bu-tong-pai disebut Ratu Pulau Es.
Sekarang melihat engkau benar-benar lihai, makin ingin hatiku menguji kelihaianmu dan bertanya, apakah
benar engkau Ratu Pulau Es?"
Kwat Lin mengangguk. "Benar, aku adalah bekas Ratu Pulau Es! Kiam-mo Cai-li, kalau engkau tidak
membela tosu-tosu Bu-tong-pai, perlu apa kita bertanding? Ketahuilah, aku sedang membangun Bu-tongdunia-
kangouw.blogspot.com
pai dan aku membutuhkan kerja sama dengan orang-orang pandai, terutama sekali engkau. Apakah
seorang dengan kepandaian seperti engkau ini tidak pula mempunyai cita-cita tinggi untuk mencapai
matahari dan bulan? Ataukah hanya menanti kematian begitu saja, membusuk di tempat pertapaanmu di
Rawa Bangkai?"
"Hi-hi-hik, aku sudah mendengar pula akan usahamu yang bercita-cita luhur! Karena itu pula aku tertarik
dan datang ke sini. Akan tetapi sebelum kita bicara tentang kerja sama dan cita-cita, kita harus
menentukan dulu siapa di antara kita yang patut memimpin dan siapa pula yang harus taat."
"Maksudmu?" The Kwat Lin memandang tajam dengan alis berkerut.
"Kita bekerja sama, itu pasti! Dan kalau kita berdua sudah bekerja sama, di tangan kita kaum wanita, tentu
segalanya akan berhasil baik! Lihat saja keadaan di istana kerajaan. Seorang selir mampu mengemudikan
seluruh kendali pemerintahan! Akan tetapi untuk menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya di
antara kita, perlu diketahui sekarang juga."
"Bagus! Dengan lain kata-kata engkau menantang untuk kita mengadu kepandaian, ya? Kiam-mo Cai-li,
engkau seperti seekor katak dalam sumur! Majulah!" Kwat Lin membanting kakinya ke atas tanah dekat
pusaka Bu-tong-pai dan.... tongkat yang menancap setengahnya lebih itu mencelat ke atas seperti
didorong dari bawah tanah, lalu tongkat itu disambar dan dipegangnya.
Kiam-mo Cai-li menganguk-angguk. "Hebat memang sinkang-mu, Pangcu. Akan tetapi jangan kau salah
sangka. Sekali ini aku benar-benar menyadari bahwa usiaku sudah makin tua dan aku perlu memperoleh
kedudukan yang akan menjamin masa tuaku sampai mati. Kita hanya mengukur kepandaian, bukan
bertanding sebagai musuh, hanya untuk menentukan tingkat siapa yang lebih tinggi di antara kita berdua."
Mendengar kata-kata ini, berkurang panas hati Kwat Lin dan teringat lagi dia bahwa betapa pun juga, dia
membutuhkan tenaga bantuan wanita iblis yang terkenal sebagai datuk kaum sesat ini. Kalau dia dapat
menarik wanita ini sebagai pembantu, tentu akan banyak tokoh kaum sesat yang dapat ditariknya untuk
membantu tercapainya cita-citanya.
"Baiklah kalau begitu, Kiam-mo Cai-li. Mari kita mulai!"
"Pangcu, awas serangan pedang payungku!" Kiam-mo Cai-li berseru.
Belum selesai ucapannya, tubuh Kiam-mo Cai-li sudah menerjang ke depan, didahului oleh bayangan
hitam dari pedang payungnya yang terbuka dan menyembunyikan gerakannya. Ujung payung berbentuk
pedang itu menusuk, sedang payung itu sendiri berputar mengaburkan pandangan mata lawan.
Namun dengan tenang saja Kwat Lin menggerakkan tangan kirinya. Dengan telapak tangan terbuka dia
mendorong ke depan sehingga hawa pukulan sinkang yang hebat menyambar dan membuat payung itu
seperti tertiup angin keras dan menahan daya serang ujung payung yang seperti pedang, kemudian disusul
dengan gerakan tongkat pusaka di tangan Kwat Lin yang menyambar dari samping dengan dahsyatnya.
"Plakk...! Cringg-cringgg...!!"
Tongkat itu mula-mula ditangkis dengan kuku tangan Kiam-mo Cai-li yang tadinya hendak mencengkeram
dan merampas tongkat. Namun tongkat sudah ditarik kembali dan langsung mengirim hantaman dua kali
berturut-turut yang dapat ditangkis kembali, kali ini oleh pedang di ujung payung. Maklum akan kehebatan
lawannya, Kiam-mo Cai-li bergerak cepat sekali dan dia sudah mainkan ilmu pedangnya yang luar biasa,
yaitu Tiat-mo Kiam-hoat (Ilmu Pedang Payung Besi).
Kalau saja Kwat Lin belum mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi tingkatnya dari Pulau Es, tentu dia
bukanlah lawan Kiam-mo Cai-li yang lihai sekali itu. Akan tetapi, karena The Kwat Lin kini telah menjadi
seorang yang berilmu tinggi, maka dia dapat mengimbangi permainan lawannya dan terjadilah
pertandingan yang amat seru dan seimbang.
Kiam-mo Cai-li memang luar biasa lihainya. Tidak percuma dia menjadi seorang datuk kaum sesat,
seorang tokoh golongan hitam yang ditakuti seperti seorang iblis betina yang kejam dan berilmu tinggi.
Tidak hanya ilmu pedangnya yang lain dari-pada yang lain. Permainan pedang dengan gerakan tangan
dunia-kangouw.blogspot.com
yang terlindung dan tersembunyi oleh payung hitam itu jauh lebih praktis dan berbahaya dari-pada
menggunakan perisai.
Di samping ilmu pedangnya, tangan kirinya juga merupakan senjata yang amat berbahaya dengan kukukukunya
yang panjang dan mengandung racun. Ini semua masih dilengkapi lagi dengan rambutnya yang
hitam panjang, karena rambutnya ini seperti ular-ular hidup, dapat dipergunakan untuk menotok, melecut,
atau melibat!
Akan tetapi, tidak percuma pula The Kwat Lin pernah menjadi isteri seorang manusia yang disohorkan
seperti setengah dewa, yaitu Han Ti Ong yang sukar diukur lagi tingkat kepandaiannya. Tidak percuma
selama sepuluh tahun bekas murid Bu-tong-pai ini digembleng di Pulau Es, apa lagi telah mewarisi kitabkitab
pusaka Pulau Es yang telah dilarikannya.
Yang jelas, dalam hal tenaga sinkang, dia masih menang setingkat dibandingkan dengan Kiam-mo Cai-li.
Tenaga sinkang-nya adalah hasil latihan di Pulau Es, maka dia telah dapat menyedot tenaga inti salju,
yaitu Swat-im Sinkang. Tenaga sinkang ini mengandung hawa dingin, sehingga dapat membekukan darah
lawan yang kurang kuat ketika beradu tenaga dalam. Selain menang dalam tenaga sinkang, juga dasar
ilmu silatnya lebih sempurna dari-pada dasar ilmu silat Kiam-mo Cai-li yang sesungguhnya merupakan
gabungan ilmu silat campur-aduk.
Demikianlah, pertandingan itu berlangsung sampai seratus jurus lebih dengan amat serunya. Kiam-mo Caili
menang keanehan senjatanya dan menang pengalaman bertanding. Akan tetapi kelebihannya ini menjadi
tidak berarti karena dia kalah tenaga sinkang, sehingga setiap serangan dan desakannya dapat dibuyarkan
oleh hawa sinkang dari dorongan telapak tangan The Kwat Lin. Akhirnya iblis betina ini harus mengakui
keunggulan lawan. Sebagai seorang ahli dia maklum, bahwa kalau dilanjutkan, salah-salah dia akan
menjadi korban hawa Swat-im Sinkang yang mukjijat.
Maka dia meloncat ke belakang dan berseru, "Cukup, Pangcu! Kepandaianmu hebat, engkau pantas
menjadi Ratu Pulau Es, pantas menjadi ketua Bu-tong-pai dan biarlah aku membantumu dalam kerja sama
kita!"
Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Kwat Lin mendengar ini. Dia lalu menghampiri Kiam-mo Cai-li,
menggandeng tangan wanita itu dan memperkenalkan kepada Swi Liang, Swi Nio, dan Han Bu Ong.
Kemudian dia mengajak sahabat baru itu memasuki gedungnya, dan sambil menghadapi hidangan lezat
kedua orang wanita lihai ini bercakap-cakap dan mengadakan perundingan untuk bekerja sama.
Ternyata mereka cocok sekali dan memang keduanya merindukan kedudukan yang mulia dan terhormat,
maka dalam perundingan ini Kiam-mo Cai-li dianggap sebagai pembantu utama dan tangan kanan Kwat
Lin. Bahkan Rawa Bangkai yang terletak di kaki pegunungan Lu-liang-san itu dijadikan markas kedua, di
mana kelak akan dilakukan semua pertemuan dan perundingan rahasia.
Benar saja seperti yang diharapkan. Setelah Kiam-mo Cai-li menjadi pembantunya, banyaklah kaum sesat
yang bergabung dan menyatakan suka bekerja sama. Biar pun tidak resmi, mulai saat itu The Kwat Lin
bukan hanya menjadi ketua Bu-tong-pai, akan tetapi juga diakui sebagai datuk kaum sesat nomor satu!
Hubungan rahasia yang diadakan oleh The Kwat Lin dengan para pembesar kota raja menjadi makin luas.
Diam-diam persekutuan ini mulai mengatur rencana pemberontakan untuk menggulingkan Kaisar! Dari
para pembesar yang mengharapkan bantuan orang-orang kang-ouw inilah Kwat Lin memperoleh bantuan
keuangan sehingga Bu-tong-pai menjadi makin kuat, dan wanita lihai ini dapat menarik banyak tenaga
bantuan orang pandai dengan mempergunakan uang sebagai pancingan.
--- dunia-kang-ouw.blogspot.com ---
Keadaan kerajaan Tang di masa itu memang sedang diancam pergolakan hebat. Saat itu yang duduk
berkuasa di singgasana adalah Kaisar Beng Ong, atau yang terkenal juga dengan sebutan Kaisar Hian
Tiong. Tak dapat disangkal lagi, di bawah pemerintahan Kaisar Beng ini Kerajaan Tang mengalami
perkembangan yang amat pesat sehingga menjadi sebuah kerajaan yang luas sekali wilayahnya. Di jaman
pemerintahannya inilah (712-756) di Tiongkok bermunculan sastrawan-sastrawan dan pelukis-pelukis yang
menjadi terkenal sekali dalam sejarah, seperti Li Tai-po, Tu Fu, Wang Wei dan lain-lain.
dunia-kangouw.blogspot.com
Namun disayangkan bahwa kebijaksanaan Beng Ong dalam mengemudikan roda pemerintahan ini
mengalami godaan hebat yang meruntuhkan segala-galanya. Seperti sering-kali telah terjadi, di jaman apa
pun dan di negara mana pun juga, Beng Ong yang hatinya teguh menghadapi godaan segala macam
keduniawian, ternyata lumpuh ketika menghadapi seorang wanita! Sudah banyak dibuktikan oleh sejarah,
betapa pria-pria yang hebat, pandai, gagah perkasa dan kuat hatinya, menjadi luluh dan tak berdaya begitu
bertemu dengan seorang wanita yang berkenan di hatinya.
Peristiwa itu terjadi pada tahun 745. Ketika itu Raja Beng Ong sudah berusia enam puluh tahun lebih,
sebenarnya sudah tua dan sudah kakek-kakek. Namun seperti telah terbukti dari jaman dahulu sampai
sekarang, laki-laki betapa pun tuanya, ketika menghadapi wanita akan menjadi seperti seorang kanakkanak
yang hijau dan lemah.
Salah seorang di antara begitu banyak pangeran, yaitu putera Kaisar yang terlahir dari banyak selirnya,
adalah Pangeran Su. Pangeran ini mempunyai seorang isteri yang amat cantik jelita, bahkan menurut
kabar angin, wanita ini cantiknya melebihi bidadari kahyangan. Wanita ini bernama Yang Kui Hui, yang
memang memiliki kecantikan yang amat luar biasa sehingga terkenal di seluruh penjuru dunia.
Ketika Kaisar Beng Ong dalam suatu kesempatan bertemu dan melihat Yang Kui Hui, seketika hati Kaisar
tua itu tergila-gila. Ratusan orang selir cantik dan pelayan-pelayan muda yang masih perawan tidak lagi
menarik hatinya. Setiap saat yang tampak di depan matanya hanyalah bayangan wajah Yang Kui Hui yang
cantik jelita. Akhirnya Kaisar tidak dapat lagi menahan nafsu hatinya. Dengan kekerasan dia memaksa
puteranya sendiri, Pangeran Su, untuk menceraikan isterinya dan mengawinkan pangeran ini dengan
seorang wanita lain. Ada pun Yang Kui Hui, tentu saja, segera dimasukan ke dalam istana, di dalam
kumpulan harem (rombongan selir) di istana.
Setelah Yang Kui Hui pada malam pertama melayani Kaisar Beng Ong, bekas ayah mertuanya, sejak saat
itulah terjadi lembar baru dalam sejarah Kerajaan Tang. Kaisar Beng Ong yang tadinya giat mengurus
pemerintahan, memperhatikan segala urusan pemerintahan sampai ke soal yang sekecil-kecilnya, kini
mulai tidak acuh dan menyerahkan semua urusan ke tangan para Thaikam (Orang Kebiri Kepercayaan
Raja) dan para pembesar yang berwenang. Dia sendiri dari pagi sampai jauh malam tak pernah
meninggalkan tempat tidur di mana Yang Kui Hui menghiburnya dengan penuh kemesraan.
Dalam beberapa bulan saja, selir yang tercinta ini berhasil menguasai hati Kaisar seluruhnya sehingga apa
pun yang dilakukan oleh Yang Kui Hui selalu benar, dan apa pun yang diminta oleh selir ini, tidak ada yang
ditolak oleh Kaisar tua yang sudah dimabuk cinta itu. Yang Kui Hui bukanlah seorang wanita bodoh. Sama
sekali bukan. Tentu saja hatinya menaruh dendam kepada kaisar Beng Ong karena dia dipisahkan dari
suaminya yang tercinta. Sudah pasti sekali dalam melayani semua nafsu birahi Kaisar tua itu, ada
tersembunyi niat yang lain lagi, bukan semata-mata karena dia membalas cinta kasih Kaisar yang sudah
tua itu. Dia tidak menyia-nyikan kesempatan amat baik itu.
Setelah membuat Kaisar tergila-gila dan seolah-olah bertekuk lutut di depan kakinya yang kecil mungil,
mulailah Yang Kui Hui memetik hasil pengorbanan diri dan hatinya. Dia menggunakan pengaruhnya
terhadap Kaisar, menarik keluarganya menduduki tempat-tempat penting dalam pemerintahan! Bahkan
kakaknya yang bernama Yang Kok Tiong diangkat menjadi menteri pertama dari Kerajaan Tang setelah
menteri yang lama dicopot secara menyedihkan oleh Kaisar, tentu saja atas bujukan Yang Kui Hui! Dan
masih banyak lagi anggota keluarga selir yang cantik jelilta ini memperoleh kedudukan yang tinggi sekali
yang sebelumnya tak pernah termimpikan oleh mereka.
Pada jaman itulah muncul seorang yang akan menjadi terkenal sekali dalam sejarah Tiongkok. Orang ini
bukan lain adalah An Lu Shan, seorang yang tadinya dari keturunan tak berarti. An Lu Shan dilahirkan di
Mancuria Selatan, di luar Tembok Besar, yaitu di Liao-tung. Orang tuanya berdarah Turki dari suku bangsa
Khitan, keturunan keluarga yang bersahaja dan terbelakang. Ketika An Lu Shan menjadi seorang pemuda
remaja, sebagai seorang budak belian, dia dijual kepada seorang perwira Kerajaan Tang yang bertugas di
utara, di Tembok Besar. Mulai saat itulah bintangnya menjadi terang.
Sebagai kacung seorang perwira, dia ikut pula ke medan perang. Ternyata bocah ini membuktikan dirinya
sebagai seorang yang gagah berani dan cerdik sekali, memiliki keahlian dalam pertempuran sehingga
beberapa kali dia membuat jasa pada pasukan yang dipimpin oleh majikannya. Maka diangkatlah dia
menjadi prajurit dan dalam waktu singkat saja dia membuat jasa-jasa besar sehingga dia diangkat terus,
lalu dinaikkan menjadi perwira. Beberapa tahun kemudian, setelah dia memenangkan beberapa
dunia-kangouw.blogspot.com
peperangan melawan musuh dari luar sehingga berjasa besar bagi Kerajaan Tang, dia akhirnya diangkat
menjadi jenderal!
Mulailah jenderal An Lu Shan ini mendekati Kaisar. Setelah pangkatnya setinggi itu, tentu saja terbuka
kemungkinan baginya untuk berhadapan dengan Kaisar yang waktu itu sedang tergila-gila kepada Yang
Kui Hui yang telah memperoleh kedudukan tinggi. An Lu Shan memang seorang yang amat cerdik.
Menyaksikan pengaruh dan kekuasaan selir yang cantik jelita itu terhadap Kaisar, dia melihat kesempatan
baik sekali untuk mengangkat diri sendiri ke tempat yang lebih tinggi. Dengan sikapnya yang lucu dan ugalugalan,
pembawaan watak liarnya, dia berhasil menyenangkan hati Kaisar dan memancing kegembiraan
Yang Kui Hui sendiri.
Selir yang setiap hari harus melayani seorang pria yang sudah tua dan sudah lemah, tentu saja bangkit
gairahnya melihat jenderal yang tegap, gembira dan kasar liar itu! Terjadilah ‘main mata’ antara kedua
insan ini. Akhirnya, dengan bujukan dan rayuannya, Yang Kui Hui memuji-muji kesetiaan dan jasa-jasa An
Lu Shan sehingga Kaisar menjadi semakin suka kepada jenderal ini. Bahkan Yang Kui Hui dengan akalnya
yang licik telah mengangkat An Lu Shan sebagai ‘putera angkatnya’.
Hal ini tidak dijadikan keberatan oleh Kaisar. Bahkan Kaisar memuji selirnya sebagai seorang selir yang
cerdik, selir yang mencinta dan yang setia. Perbuatan Yang Kui Hui itu dianggapnya sebagai taktik untuk
menyenangkan hati seorang pahlawan sehingga dengan demikian memperkuat kedudukan Kaisar. Kaisar
Beng Ong yang terkenal pandai dan bijaksana itu ternyata menjadi lemah tak berdaya, sama lemahnya
dengan seuntai rambut lemas hitam dari Yang Kui Hui yang setiap saat dapat dipermainkan oleh jari-jari
tangan halus dari selir yang cantik jelita itu.
Tentu saja setiap sukses dari seseorang, baik didapatkan dengan jalan apa pun juga, akan melahirkan iri
hati kepada orang-orang lain. Biar pun tidak ada yang berani secara terang-terangan menentang selir
cantik yang amat dikasihi Kaisar tua itu, namun diam-diam banyak anggota keluarga kerajaan yang merasa
iri hati dan membenci Yang Kui Hui, terutama sekali para selir lainnya yang kini seolah-olah diabaikan oleh
Kaisar yang setiap malam selalu dibuai dalam pelukan Yang Kui Hui.
Pada suatu malam Kaisar beristirahat di dalam kamarnya sendiri. Betapa pun dia tergila-gila kepada Yang
Kui Hui, namun karena dia sudah tua sekali, tenaganya tidak mengijinkan dia setiap malam mengunjungi
selirnya yang masih muda, penuh nafsu dan panas itu. Malam itu merupakan malam istirahatnya dan dia
tidak mendekati selirnya yang tercinta. Tubuhnya terasa lelah setelah sore tadi dia berpesta makan minum
dan menikmati tari-tarian yang disuguhkan untuk kehormatan jenderal An Lu Shan yang datang berkunjung
ke istana. Setelah mengijinkan jenderal perkasa itu mengundurkan diri ke kamar tamu yang disediakan,
Kaisar yang merasa lelah itu berbisik kepada selirnya tercinta bahwa malam itu dia ingin beristirahat karena
merasa lelah, kemudian langsung menuju ke kamarnya sendiri.
Menjelang tengah malam, Kaisar terbangun dan ternyata yang mengganggu tidurnya adalah seorang selir
muda belia yang cantik seperti selir-selir lain. Selir ini bernama Yauw Cui, masih berdarah bangsawan dan
termasuk selir termuda sebelum Kaisar mengambil Yang Kui Hui yang merupakan selir terakhir.
"Hemmm, apa maksudmu datang mengganggu?" Kaisar berkata tanpa marah karena dia pun pernah
mencinta selir yang cantik ini, bahkan tangannya lalu diulur untuk membelai dagu yang berkulit putih halus
itu.
"Hamba mohon Sri Baginda mengampunkan hamba," selir itu berkata dengan suara agak gemetar.
"Sebetulnya hamba tidak berani mengganggu Paduka yang sedang beristirahat, akan tetapi...."
Kaisar yang tua itu tersenyum dan salah menyangka. Dikiranya selir muda ini merindukan curahan
kasihnya karena sudah lama dia tidak mengunjungi kamar selirnya ini dan tidak pula memerintahkan
selirnya itu datang melayaninya. "Aihh, manis, naiklah ke sini dan kau pijiti punggungku...," katanya
sebagai uluran tangan. Karena membayangkan hasrat selirnya ini, sudah bangkit pula birahinya.
Yauw Cui tidak berani membantah. Segera ia bangkit dari lantai di mana dia berlutut, dan jari-jari
tangannya yang halus mulai menari-nari di atas punggung tua yang pegal-pegal itu. Akan tetapi selir ini
berkata lagi, "Rasa penasaran memaksa hamba memberanikan diri mengunjungi Paduka. Hamba tidak
ingin melihat Paduka yang hamba junjung tinggi ditipu dan dihina orang!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Tangan Kaisar yang mulai membelai tubuh selirnya itu tiba-tiba terhenti. Dengan pandang mata penuh
selidik Kaisar Beng Ong bertanya, "Apa maksudmu? Siapa yang berani menipu dan menghinaku?"
Yauw Cui menangis, dan dengan suara terisak-isak dia berkata, "Hamba... secara tidak sengaja...
mendengar... An-goanswe (jenderal An) berada di dalam kamar... Yang Kui Hui...."
Seketika Kaisar bangkit duduk dengan mata terbelalak. Dengan alis berkerut dia memandang selirnya yang
masih menangis itu. Hatinya tidak percaya sama sekali karena memang sudah sering-kali Yang Kui Hui
difitnah orang lain yang merasa iri hati. "Hemmm, jangan bicara sembarangan saja karena terdorong iri
hati."
"Tidak... hamba rela untuk dihukum mati, rela diapakan saja kalau hamba membohong.... Tidak berani
hamba menjatuhkan fitnah.... Hamba hanya merasa penasaran melihat Paduka dihina, maka hamba
memberanikan diri melapor...."
"Pengawal...!!" Kaisar berseru sambil mendorong selirnya turun dari pembaringan.
Pintu terbuka dan enam orang pengawal pribadi meloncat masuk. Mereka langsung berlutut setelah
melihat bahwa Kaisar tidak dalam bahaya.
Kaisar menyambar jubah luarnya. "Antar kami ke kamar Yang Kui Hui," kata Kaisar singkat sambil memberi
isyarat dengan matanya agar Yauw Cui ikut pula bersamanya.
Pada saat Yauw Cui melapor kepada Kaisar, kamar Yang Kui Hui sudah gelap remang-remang, dan pada
saat itu memang selir yang cantik jelita ini sedang bersama An Lu Shan. Mereka seperti mabuk nafsu
birahi. Tentu saja segala pertahanan di hati Yang Kui Hui runtuh menghadapi jenderal yang tegap dan
gagah perkasa ini, yang masih memiliki sifat-sifat liar dan kasar dari tempat asalnya. Selama tujuh tahun
Yang Kui Hui menekan kekecewaan hatinya melayani seorang kakek-kakek lemah. Kini bertemu dengan
An Lu Shan dan berkesempatan menikmati rayuan laki-laki yang jantan dan jauh lebih muda dari Kaisar ini,
tentu saja dia terbuai dan lupa segalanya.
Tiba-tiba sesosok bayangan menyelinap ke dalam kamar itu dan berbisik di luar kelambu pembaringan.
Bisikan itu merubah suasana di dalam kamar itu. Yang Kui Hui dan An Lu Shan dalam waktu beberapa
menit saja telah memakai pakaian yang rapi, duduk menghadapi meja yang diterangi dengan beberapa
batang lilin, dan di atas meja terdapat gambar peta daerah utara. Di ujung-ujung kamar itu terdapat
pengawal dan pelayan berdiri seperti patung, hanya memandang saja ketika An Lu Shan dengan suara
lantang sedang menjelaskan tentang situasi dan keadaan pertahanan di perbatasan utara.
Demikianlah, ketika Kaisar yang diiringi Yauw Cui dan para pengawal memasuki kamar itu dengan sikap
kasar, dia melihat selirnya yang tercinta itu memang benar duduk berdua dengan An Lu Shan, akan tetapi
bukanlah berjinah seperti yang dilaporkan Yauw Cui, melainkan sedang bicara urusan pertahanan!
"Hamba sedang mempelajari keadaan kekuatan pertahanan kita di utara dari An Lu Shan," antara lain
Yang Kui Hui membela diri ketika Kaisar menyatakan kecurigaannya. "Paduka terlalu mempercayai mulut
seorang wanita yang cemburu dan iri hati setengah mati kepada hamba."
Karena semua pengawal dan pelayan yang berada di kamar itu merupakan saksi yang kuat bahwa selir
tercinta itu tidak bermain gila dengan putera angkatnya, tentu saja Kaisar menjadi marah kepada Yauw
Cui.
Selir muda ini mengerti bahwa dia berbalik kena fitnah oleh madunya yang lihai itu, maka maklum bahwa
tidak ada lagi harapan baginya. Dia menudingkan telunjuknya kepada Yang Kui Hui sambil berteriak
nyaring, "Kau wanita Iblis! Karena engkaulah kerajaan ini akan hancur!" dan sebelum para pengawal yang
diperintah oleh Kaisar yang marah-marah itu sempat menangkapnya, Yauw Cui lari membenturkan
kepalanya di dinding kamar itu sehingga kepalanya pecah dan dia tewas di saat itu juga!
Tentu saja pada hari berikutnya, ada seorang pelayan yang menerima hadiah banyak sekali dari Yang Kui
Hui, yaitu pelayan yang membisikinya semalam sehingga menyelamatkannya. Semenjak peristiwa itu,
kepercayaan Kaisar terhadap Yang Kui Hui dan An Lu Shan makin besar. Tentu saja kesempatan baik ini
tidak dibiarkan lewat percuma oleh Yang Kui Hui dan An Lu Shan yang mengadakan hubungan gelap
dunia-kangouw.blogspot.com
sepuas hati mereka.
Karena pengaruh Yang Kui Hui di depan Kaisar, maka An Lu Shan memperoleh kehormatan yang besar,
bahkan diangkat menjadi gubernur di Propinsi Liao Tung. Dengan demikian, An Lu Shan menguasai
pasukan-pasukan terbaik dari kerajaan dan menjaga di propinsi yang merupakan perbatasan timur.
Kehormatan ke dua diterimanya tak lama kemudian, tentu saja atas desakan dan bujukan Yang Kui Hui,
yaitu ketika dia dianugrahi gelar Pangeran Tingkat Dua. Kehormatan yang besar sekali karena biasanya,
gelar ini hanya diberikan kepada keluarga kerajaan yang berdarah bangsawan!
Memang An Lu Shan seorang yang berasal dari suku bangsa terbelakang, namun dia diberkahi dengan
kecerdikan luar biasa. Melihat betapa kaisar bertekuk lutut di depan kedua kaki yang mungil dari selir
kaisar Yang Kui Hui, dia mengeluarkan semua kepandaian untuk mengambil hati selir ini. Ternyata semua
muslihatnya berhasil baik sehingga dia memperoleh kedudukan yang tinggi sekali. Akan tetapi tentu saja
banyak pula orang merasa iri hati dan tidak suka kepada An Lu Shan. Di antara mereka ini adalah kakak
kandung Yang Kui Hui sendiri, yaitu Yang Kok Tiong yang menjadi Menteri Pertama.
Dengan kedudukannya yang tinggi, Yang Kok Tiong lalu melakukan penyelidikan. Saat dia memperoleh
berita bahwa An Lu Shan mempersiapkan pemberontakan, segera dia berunding dengan Putera Mahkota
dan melapor kepada Kaisar. Kaisar tidak percaya dan menganggap pelaporan ini omong kosong belaka.
Tetapi atas desakan para pangeran, akhirnya Kaisar memanggil An Lu Shan.
Jenderal ini memang benar telah mempersiapkan suatu pemberontakan, namun belum dijalankan karena
merasa keadaannya belum cukup kuat. Dia menghadap Kaisar dan dengan air mata bercucuran. Dia
memprotes, menyatakan kesetiaanya terhadap Kaisar dan dalam hal ini kembali pengaruh Yang Kui Hui
membantunya. Selir ini pun mencela Kaisar yang mudah saja dipermainkan orang yang merasa iri hati,
bahkan Yang Kui Hui mengambil contoh selir Yauw Cui yang iri hati kepadanya.
"Hendaknya Paduka ingat bahwa An Lu Shan adalah seorang pahlawan kerajaan yang jasanya sudah
amat besar. Tidak mungkin dia memberontak, dan andai kata dia benar mempunyai niat memberontak
tentu dia tidak akan datang memenuhi panggilan Paduka! Kedatangannya ini sudah merupakan bukti akan
kebersihan dan kesetiaannya! Kabar tentang niat pemberontakan itu tentu ditiup-tiupkan oleh mereka yang
merasa iri hati kepadanya."
Seperti biasa, hati Kaisar luluh dan lenyaplah semua kecurigaan dan keraguannya, dia malah menjamu An
Lu Shan. Malam itu pula, dengan amat pandainya An Lu Shan ‘membalas budi’ Yang Kui Hui, dengan
sepenuh hatinya, di dalam kamar selir Kaisar itu, aman karena terjaga oleh orang-orang kepercayaan
mereka. Demikianlah, pada saat cerita ini terjadi, An Lu Shan sudah kembali ke utara dengan penuh
kebesaran dan kebanggaan, dan diam-diam dia makin mempercepat persiapannya untuk memberontak!
Dan demikian pula dengan keadaan kerajaan Tang pada waktu itu. Kelemahan Kaisar yang jatuh di bawah
telapak kaki halus dari Yang Kui Hui, menimbulkan ketidak-puasan pada banyak pembesar sehingga di
sana-sini timbul niat untuk memberontak. Keadaan yang lemah dari kerajaan Tang inilah dipergunakan
oleh The Kwat Lin untuk mulai dengan petualangannya, untuk memenuhi cita-citanya mencarikan
kedudukan tinggi untuk puteranya!
--- dunia-kang-ouw.blogspot.com ---
Pada suatu hari, datanglah seorang utusan dari kota raja mendaki Pegunungan Bu-tong-san, menghadap
ketua Bu-tong-pai. Melihat bahwa utusan ini adalah utusan dari Pangeran Tang Sin Ong dari kota raja,
Kwat Lin cepat menerimanya di kamar rahasia. Setelah utusan itu menyampaikan tugasnya dia cepat pergi
lagi meninggalkan Bu-tong-pai dan terjadilah kesibukan di Bu-tong-pai.
Pangeran Tang Sin Ong adalah seorang pangeran di kota raja yang mempersiapkan pemberontakan pula.
Saingan besar dari An Lu Shan ini merupakan pangeran yang dihubungi oleh Kwat Lin. Baru saja dia
mengirim berita tentang hari dan tempat di mana Yang Kui Hui akan ikut dengan Kaisar yang hendak
berburu binatang dalam hutan, sebuah di antara kesenangan Kaisar. Saat inilah yang dinanti-nanti oleh
The Kwat Lin dan Pangeran Tang Sin Ong untuk menjalankan siasat yang telah lama mereka rencanakan.
Beberapa hari kemudian, tibalah saatnya Kaisar bersama Yang Kui Hui bersenang-senang di dalam hutan
di kaki pegunungan Fu-niu-san, tidak jauh dari kota raja. Seperti biasa, di waktu mengadakan perburuan
dunia-kangouw.blogspot.com
tempat itu dijaga oleh para pengawal. Ada pula pasukan yang tugasnya hanya mencari dan menggiring
binatang hutan agar binatang-binatang yang ketakutan itu berlarian menuju ke dekat tempat Kaisar dan
Permaisurinya menanti sehingga dengan mudah Kaisar dapat melepaskan anak panah ke arah binatangbinatang
itu. Sekali ini, selain beberapa orang pembesar penting, Kaisar juga ditemani oleh Pangeran Tang
Sin Ong....
Seperti biasa Kaisar dan selirnya yang tercinta menanti di dalam pondok yang memang tersedia di situ, di
tengah-tengah hutan. Para pembesar dan Pangeran Tang Sin Ong menanti di luar pondok sambil
bercakap-cakap. Mereka menanti sampai datangnya binatang-binatang yang akan digiring oleh pasukan
yang sudah menyusup-nyusup ke dalam hutan lebat di depan. Para pengawal menjaga di sekeliling tempat
itu, terdiri dari pengawal Kaisar dan pengawal Pangeran Tang Sin Ong karena pangeran ini mempunyai
pasukan pengawal sendiri.
Mereka tidak usah lama menanti. Segera terdengar sorak-sorai dari jauh, makin lama makin mendekat.
Itulah suara pasukan yang bertugas menggiring binatang hutan menuju ke tempat penyembelihan itu, di
mana para pembesar telah menanti dengan gendewa bersama dengan anak panahnya siap di tangan.
Mendengar suara ini, kaisar sudah keluar dari pondok sambil tersenyum-senyum gembira membawa
sebatang gendewa. Seorang thaikam yang menjadi kepercayan dan pelayannya mengikuti Kaisar sambil
membawa tempat anak panah. Tak lama kemudian, mulailah bermunculan binatang-binatang hutan yang
panik ketakutan karena dikejar-kejar dan digiring oleh pasukan di belakang mereka yang bersorak-sorai itu.
Dan mulailah Kaisar bersama Pangeran Tang Sin Ong dan para pembesar lainnya menghujankan anak
panah mereka ke arah binatang-binatang itu.
Tidak ada seorang pun melihat ketika dari rombongan pengawal Pangeran Tang Sin Ong, tiba-tiba seorang
pengawal menyelinap ke dalam semak-semak. Orang ini lalu menanggalkan pakaian dan menyelinap
memasuki pondok Kaisar dari samping, meloncat masuk dari jendela yang terbuka. Dengan kecepatan
kilat, laki-laki setengah tua ini menyergap Yang Kui Hui yang sedang berdiri menonton di ambang pintu
depan. Terdengar selir cantik itu menjerit, akan tetapi tubuhnya menjadi lemas ketika dia tertotok. Pada
saat semua orang menoleh karena mendengar jeritan itu, Yang kui Hui telah dipondong dan dibawa lari
oleh laki-laki itu.
"Penculik...!"
"Penjahat...!"
"Jangan lepas anak panah, bisa salah sasaran...!!" tiba-tiba Pangeran Tang Sin Ong berseru keras.
Mendengar ini, Kaisar yang sudah pucat mukanya cepat berseru, "Benar! Jangan lepas anak panah. Kejar
dan tangkap! Selamatkan dia...!"
Semua orang, pengawal, pembesar, pangeran Tang Sin Ong, bahkan Kaisar sediri, segera mengejar
penculik yang memiliki gerakan yang amat gesit itu. Dengan beberapa loncatan saja penculik itu telah lari
jauh sekali.
"Cepat kejar... tolong dia.... Ahhh, Kui Hui...!!" kaisar berteriak dengan muka pucat.
Tiba-tiba tampak dua sosok bayangan orang berkelebat menghadang penculik itu. Dari jauh kelihatan jelas
bahwa dua orang itu adalah wanita-wanita cantik yang gerakannya cepat luar biasa. Wanita yang lebih tua
sudah menerjang maju dan dengan serangan mendadak berhasil memukul roboh penculik dan merampas
Yang Kui Hui, disusul kemudian wanita ke dua yang muda dan cantik menggerakkan pedangnya menusuk.
Terdengar jerit melengking yang nyaring sekali ketika pedang itu menembus dada penculik itu yang
berkelojotan, terbelalak dan menudingkan telunjuknya kepada wanita pertama seolah-olah hendak berkata
sesuatu, akan tetapi sebuah tendangan yang mengenai kepalanya membuat penculik itu tak dapat
bergerak lagi dan tewas seketika!
Kaisar dan rombongannya sudah tiba di situ. Dengan tepukan perlahan wanita perkasa yang lebih tua itu
membebaskan totokan Yang Kui Hui. Selir ini mengeluh dan menangis sambil menubruk Kaisar yang
memeluknya. Kaisar memandang kepada dua orang wanita cantik yang sudah berlutut di depan kakinya
dengan perasaan bersyukur dan berterima kasih.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Untung sekali kalian berdua yang gagah perkasa datang menolong!" kata kaisar dengan penuh rasa
syukur, suaranya masih gemetar karena ketegangan hebat yang baru saja dialaminya. "Siapakah kalian?"
"Hamba adalah Ketua Bu-tong-pai bernama The Kwat Lin," berkata wanita cantik itu, lalu menuding kepada
dara muda yang cantik jelita dan tinggi semampai di sebelahnya. "Dan ini adalah Bu Liang Cu murid
hamba."
"Ahhh, kiranya ketua Bu-tong-pai yang terkenal!" kata Kaisar sambil tersenyum lebar. "Pantas saja
demikian lihai! Kalian telah berjasa, telah menyelamatkan kekasih kami dan membunuh penculik jahat.
Kalian pantas diberi hadiah besar."
Yang Kui Hui sudah menghentikan tangisnya, dan kini dia pun memandang kedua orang wanita itu dengan
mata berseri. "Kalian datanglah ke istana, aku akan memberi hadiah kepada kalian."
The Kwat Lin menyembah dengan hormat. "Hamba berdua hanya melakukan tugas hamba sebagai rakyat
yang setia kepada junjungannya. Hamba berdua tidak mengharapkan balas jasa, hanya apabila Paduka
sudi menerima, biarlah murid hamba ini bekerja sebagai pengawal pribadi Paduka. Sekarang banyak orang
jahat, tanpa pengawalan yang kuat tentu membahayakan Paduka.”
Girang bukan main hati Yang Kui Hui. "Baik sekali! Siapa namamu tadi?" tanyanya kepada gadis cantik
yang menunduk sejak tadi.
Gadis itu kini mengangkat mukanya, dan dengan sepasang mata yang bersinar-sinar dia menjawab,
"Nama hamba Bu Liang Cu.”
Saking girangnya, Yang Kui Hui mencabut tusuk konde dari emas berhiaskan permata dan menghadiahkan
benda itu kepada The Kwat Lin, dan dia menerima pula gadis murid Bu-tong-pai itu sebagai pengawal
pribadinya. Mulai saat ini gadis yang bernama Bu Liang Cu itu ikut bersama rombongan Kaisar, selalu
mengawal di belakang Yang Kui Hui, kembali ke istana.
Ada pun The Kwat Lin segera kembali ke Bu-tong-san dengan hati girang karena siasatnya berjalan
dengan baik sekali, sungguh pun untuk itu dia terpaksa harus mengorbankan nyawa seorang anggotanya.
Penculik itu bukan lain adalah seorang anggotanya sendiri, seorang bekas penjahat yang memiliki ginkang
tinggi. Penculik itu hanya diperintah untuk melarikan Yang Kui Hui dengan janji akan dibantunya kalau
sampai mengalami bahaya. Akan tetapi, penculik itu baru tahu bahwa dia dikhianati oleh ketuanya sendiri
setelah dia roboh dengan pedang menembus dadanya. Baru ia tahu bahwa dia dikorbankan untuk suatu
siasat licik dari The Kwat Lin, namun pengetahuan ini tiada gunanya karena dia keburu mati sebelum dapat
mengeluarkan suara.
Siapakah gadis cantik yang kini menjadi pengawal Yang Kui Hui? Tadinya, untuk tugas ini The Kwat Lin
menunjuk muridnya, Bu Swi Nio. Akan tetapi betapa marahnya ketua Bu-tong-pai ini ketika dia menghadapi
penolakan muridnya!
"Teecu tidak berani, Subo. Perintahlah teecu untuk melakukan hal lainnya. Biar disuruh membasmi
penjahat yang bagaimana pun, biar harus mempertaruhkan nyawa, teecu tidak akan mundur dan pasti
akan memenuhi perintah Subo! Akan tetapi ini... ah, teecu tidak mau terlibat dalam... pemberontakan...,"
jawab Swi Nio sambil berlutut dan menundukkan mukanya.
Hampir saja Kwat Lin menampar kepala muridnya itu saking marah dan kecewanya. Dan pada saat itu, Swi
Liang yang melihat adiknya terancam bahaya kemarahan subo-nya, cepat maju dan berkata, "Subo, kalau
Moi-moi tidak berani, biarlah teecu yang melakukannya."
"Kau seorang pria... mana mungkin...?"
"Teecu bisa saja menyamar sebagai seorang gadis. Dahulu di waktu kecil sering-kali teecu mengenakan
pakaian Moi-moi dan bermain-main seperti seorang anak perempuan."
Mendengar ini Kwat Lin termenung. Betapa pun juga dia lebih percaya kepada muridnya sekaligus
kekasihnya ini. Selama ini Swi Nio selalu memperlihatkan sikap dingin dan kadang-kadang menentang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Berbeda dengan Swi Liang yang selalu menuruti kehendaknya, bahkan pemuda itu mau pula melayani
nafsu birahinya! Pekerjaan yang direncanakan ini amat berbahaya kalau sampai bocor, maka sebaiknya
kalau dilakukan oleh orang yang paling dipercayainya. Memaksa Swi Nio amat berbahaya karena siapa
tahu kalau-kalau murid perempuan ini akan mengkhianatinya kelak.
"Hemm, kita coba saja!" katanya.
Setelah melihat Swi Liang berpakaian wanita dan bergaya, Kwat Lin menjadi girang sekali. Agaknya murid
itu memang mempunyai bakat bermain sandiwara, maka ketika berpakaian wanita dan beraksi, dia sendiri
hampir pangling dan mengira bahwa Swi Liang adalah Sawi Nio! Demikianlah rencana siasat itu dijalankan
dengan baik. Swi Liang yang menyamar sebagai seorang gadis cantik bernama Bu Liang Cu berhasil
menyusup ke dalam istana sebagai pengawal pribadi dari Yang Kui Hui!
Memang itulah tujuan pokok dari siasat Kwat Lin, yaitu memikat hati Yang Kui Hui. Pemikatan dengan cara
menolong selir itu dari bahaya telah berjalan cukup baik, akan tetapi akan lebih berhasil lagi kalau
muridnya itu berhasil menjatuhkan hati selir itu dengan ketampanannya! Kalau sampai berhasil Swi Liang
menjadi kekasih Yang Kui Hui, akan mudah saja melakukan gerakan pemberontakan dari dalam! Inilah
sebabnya maka dia setuju muridnya itu menyamar sebagai wanita. Dia rela memberikan kekasihnya ini
kepada Yang Kui Hui demi tercapainya cita-citanya.
Berbeda dengan kakaknya yang telah mabuk bujukan gurunya, Swi Nio makin lama merasa makin tidak
enak tinggal di Bu-tong-san. Dia sama sekali tidak senang dan hatinya menentang menyaksikan semua
perbuatan subo-nya. Tadinya memang dia rela menjadi murid subo-nya karena wanita sakti itu yang
menolong dia dan kakaknya, juga yang telah membunuh Pat-jiu Kai-ong, musuh besar yang telah
membunuh ayah mereka.
Akan tetapi semenjak menyaksikan betapa subo-nya itu menguasai Bu-tong-pai dengan kekerasan,
melihat subo-nya melawan susiok sendiri dan bahkan membuat para tokoh Bu-tong-pai mengundurkan diri
dari Bu-tong-pai, hatinya sudah merasa tidak senang. Apa lagi melihat masuknya anggota-anggota baru
Bu-tong-pai yang terdiri dari orang-orang kasar yang dia ketahui adalah bekas-bekas penjahat, dia merasa
penasaran.
Semua itu masih ditambah lagi kenyataan yang membuatnya merasa malu dan hina, yaitu melihat
kakaknya menjadi kekasih subo-nya. Sering-kali secara diam-diam Swi Nio menasehati kakaknya, bahkan
menganjurkan kakaknya untuk bersama dia melarikan diri saja dari Bu-tong-pai, namun semua itu tidak
diacuhkan oleh Swi Liang. Swi Nio menderita batin seorang diri, sering-kali menangis di dalam kamarnya.
Melihat munculnya Kiam-mo Cai-li, hatinya menjadi makin gelisah. Dia dahulu sudah mendengar dari
mendiang ayahnya bahwa Kiam-mo Cai-li adalah seorang datuk kaum sesat yang amat kejam. Namun
kenyataannya, subo-nya menjadi sekutu iblis itu, bahkan diakui sebagai pemimpin!
Pagi hari itu, setelah merasa kehilangan kakaknya yang pergi tanpa pamit bersama subo-nya, dan
kemudian melihat subo-nya pulang sendiri tanpa kakaknya, Swi Nio tak dapat menahan kegelisahan
hatinya lagi. Dia memberanikan diri memasuki kamar subo-nya di mana subo-nya sedang bercakap-cakap
dengan Kiam-mo Cai-li yang kebetulan datang ke Bu-tong-san.
"Subo, teecu (murid) tidak melihat adanya Liang-koko yang tadinya pergi bersama Subo selama beberapa
hari lamanya. Ke manakah dia, Subo? Apakah yang terjadi dengan kakakku itu?" tanyanya dengan wajah
agak pucat karena beberapa malam dia kurang tidur memikirkan kakaknya.
The Kwat Lin mengerutkan alisnya. Hatinya memang sudah tidak senang pada muridnya ini, apa lagi ketika
Swi Nio terang-terangan berani menolak perintahnya sehingga tugas itu digantikan oleh Swi Liang. Biar
pun pemuda itu berhasil baik, betapa pun juga The Kwat Lin merasa kehilangan, apa lagi di waktu malam
yang sunyi dan dingin!
"Kau tidak perlu tahu!" jawabnya membentak.
"Tapi... Subo, dia adalah kakak teecu...," Swi Nio membantah.
"Hemm, dia bertugas di kota raja. Sudah, pergilah dan jangan kau mengganggu kami yang sedang bicara!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Swi Nio bangkit berdiri dari atas lantai dan memandang gurunya dengan mata terbelalak dan muka pucat.
"Jadi... dia... dia telah menyelundup ke dalam istana...?"
The Kwat Lin bangkit berdiri dan menudingkan telunjuknya ke muka Swi Nio sambil membentak marah.
"Gara-gara engkaulah! Apa kau kira kalau tidak terpaksa aku suka membiarkan dia melakukan tugas
berbahaya itu? Mestinya engkau yang bertugas, akan tetapi engkau telah menolak. Dia seorang murid
yang amat baik, tidak seperti engkau yang tak mengenal budi!"
Swi Nio membalikkan tubuhnya, menutupi muka dan menangis sambil mengeluh, "Liang-koko... ah,
Koko...!"
Setelah dara itu berlari pergi, Kwat Lin lalu duduk kembali. Dengan wajah keruh dia mengomel, "Murid
yang murtad! Sungguh menjengkelkan saja dia itu!"
Kiam-mo-Cai-li tersenyum. "Mengapa pusing-pusing menghadapi seorang gadis seperti itu? Kalau
dibiarkan saja, tentu dia akan terus merongrongmu dan boleh jadi kelak akan membahayakan perjuangan
kita. Dia harus ditundukkan!"
"Hemm, maksudmu menggunakan kekerasan?"
"Ah, aku mengenal gadis seperti itu. Wataknya keras dan kalau digunakan kekerasan, sampai mati pun dia
tidak akan tunduk. Kalau sampai dia mati, amat tidak baik bagi kakaknya yang kita butuhkan tenaganya.
Dia harus dilawan dengan cara halus."
"Bagaimana maksudmu? Membujuknya?"
Kiam-mo Cai-li menggelengkan kepalanya. "Dibujuk pun takkan berhasil. Akan tetapi sekali dia telah jadi
isteri orang, tentu dia akan menurut segala kehendak suaminya."
"Ihhh! Aku tidak pernah memikirkan hal itu. Dengan siapa?"
"Kita harus cerdik, kita harus memakai siasat sekali tepuk memperoleh dua ekor lalat atau menggunakan
pedang yang bermata dua. Di satu fihak, kita harus menyenangkan hati Pangeran Tang Sin Ong yang aku
tahu memiliki watak mata keranjang. Dia tentu akan berterima kasih sekali kepadamu kalau kau rela
memberikan muridmu yang cantik manis itu kepadanya, menjadi seorang selirnya yang tercinta dan dapat
diandalkan. Ke dua, kalau muridmu itu sudah menjadi selir Pangeran Tang Sin Ong, tentu dia akan tidak
banyak membantah lagi!"
The Kwat Lin mengangguk-angguk. Diam-diam dia memuji kecerdikan temannya ini. "Siasatmu memang
baik sekali, Cai-li! Akan tetapi... biar pun sudah pasti sekali Pangeran akan menerima penawaran ini
dengan kedua tangan terbuka, kukira belum tentu Swi Nio akan mau dijadikan selir pangeran itu. Kalau dia
menolak, lalu bagaimana?"
Kiam-mo Cai-li tertawa. "Hi-hi-hik, tidak usah khawatir, Pangcu. Aku yang tanggung-jawab dia tentu tidak
akan menolak...." dia lalu mendekatkan mulutnya ke telinga The Kwat Lin berbisik-bisik.
Kwat Lin mengangguk-angguk. " Hemm, kalau dia merupakan seorang murid yang baik dan taat, tentu aku
tidak tega. Akan tetapi... demi suksesnya perjuangan kita, agar dia tidak menjadi penghalang malah kelak
mungkin dapat membantu, biarlah... kita atur secepatnya agar Pangeran dapat berkunjung ke sini."
"Tentu mudah saja dan tidak akan menimbulkan kecurigaan. Bukankah peristiwa di hutan itu membuat
nama Bu-tong-pai terangkat tinggi dalam pandangan kerajaan? Kalau seorang Pangeran berkunjung ke
sini, menemui penolong selir Yang Kui Hui, hal itu sudah semestinya! Hi-hi-hik."
"Kau memang cerdik sekali, Cai-li!" The Kwat Lin memuji dan kedua orang wanita berkepandaian tinggi itu
sambil tersenyum-senyum minum arak wangi yang berada di dalam cawan-cawan perak mereka.
Beberapa hari kemudian, sesuai dengan siasat mereka itu, datanglah rombongan tamu agung dari kota
raja. Pangeran Tang Sin Ong! Inilah hasil pertama dari siasat The Kwat Lin menolong Yang Kui Hui.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebelum peristiwa itu, hubungannya dengan pangeran itu dilakukan secara sembunyi-sembunyi, itu pun
berupa pertemuan rahasia yang diadakan hanya melalui kurir (utusan). Akan tetapi sekarang, setelah
siasat di hutan itu sekaligus mengangkat nama Bu-tong-pai, Pangeran Tang Sin Ong berani datang secara
berterang, bahkan sebelum berangkat pangeran itu menerima titipan bingkisan hadiah yang dikirim oleh
Yang Kui Hui sendiri melalui pangeran itu.
Tentu saja keadaan di Bu-tong-san seperti dalam pesta. Semua anak buah Bu-tong-pai mengenakan
pakaian baru dan rombongan tamu agung itu disambut dengan meriah seperti sambutan terhadap seorang
pengantin. Dengan penuh kehormatan para tamu agung dijamu di ruangan yang lebar dari Bu-tong-pai,
dan pesta pora diadakan di ruangan yang biasa dipergunakan sebagai Lian-bu-thia (ruang belajar silat).
Sambutan resmi dilakukan dan pangeran menyerahkan bingkisan dari Yang Kui Hui serta menyerahkan
pula bingkisan dari dirinya sendiri kepada ketua Bu-tong-pai.
Malam harinya, sebagai penghormatan khusus, Pangeran Tang Sin Ong seorang diri dijamu oleh The Kwat
Lin di ruangan dalam. Kali ini sang ketua hanya ditemani oleh Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio! Sebenarnya
dara ini hadir karena setengah dipaksa oleh subo-nya untuk menemaninya menjamu pangeran itu. Biar pun
di dalam hatinya Bu Swi Nio tidak setuju, namun dia tidak berani membantah. Pula, di dalam hatinya dia
ingin sekali mendengar percakapan mereka yang tentu akan menyangkut pula keadaan kakaknya di kota
raja.
Ketika pengeran ini dipersilakan duduk menghadapi meja yang sudah penuh hidangan, The Kwat Lin
memperkenalkan Kiam-mo Cai-li Liok Si sebagai pemilik istana Rawa Bangkai. Setelah itu baru dia
memperkenalkan Bu Swi Nio pula sebagai muridnya yang terkasih.
Pangeran itu memandang Kiam-mo Cai-li dan Bu Swi Nio, lalu tertawa gembira dan berkata, "Sungguh
beruntung sekali Pangcu mendapatkan seorang pembantu seperti Liok Toanio ini yang saya yakin tentu
memiliki ilmu kepandaian tinggi. Dan muridmu ini... aaihh... penerangan ini menjadi makin bercahaya,
suasana menjadi makin gembira dan segar, hidangan menjadi bertambah lezat. Sungguh saya merasa
berbahagia sekali bahwa Nona Bu suka menemani saya makan minum, untuk ini saya harus
menghaturkan arak penghormatan sebanyak tiga cawan!"
Pangeran itu tentu saja tadinya sudah diberi-tahu oleh Kwat Lin bahwa ketua ini hendak menghadiahkan
muridnya kepadanya. Maka begitu melihat Swi Nio yang masih amat muda dan cantik jelita itu, hati Sang
Pangeran sudah jatuh dan gairahnya sudah bernyala-nyala.
Wajah Swi Nio menjadi merah padam. Dia merasa malu sekali menyaksikan sikap dan mendengar katakata
yang penuh pujian ini. Dia tidak biasa berhadapan dengan pria seperti ini. Hatinya berdebar tegang
dan khawatir, akan tetapi untuk menolak, tentu saja dia tidak berani. Sambil menunduk dan membisikan
kata-kata terima kasih dia menerima tiga cawan arak berturut-turut. Biar pun dia tidak biasa minum banyak
arak, akan tetapi terpaksa tiga cawan arak itu diminumnya tanpa banyak membantah.
Melihat ini The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li tertawa girang. Dari seberang meja, The Kwat Lin
mengedipkan sebelah matanya kepada Tang Sin Ong. Sang Pangeran mengerti akan isyarat ini, maka dia
lalu melepas seuntai kalung emas bertaburan permata yang tergantung di lehernya, bangkit berdiri dan
mengulurkan kedua tangan yang memegang kalung itu kepada Swi Nio.
"Nona Bu, kalung ini sama sekali tidak dapat mengimbangi kecantikan Nona, akan tetapi karena pada saat
ini yang ada pada saya hanya kalung ini, maka sudilah Nona menerimanya sebagai tanda penghormatan
saya kepada seorang Nona secantik dewi!" kata Pangeran itu.
Bu Swi Nio terkejut sekali dan cepat dia menoleh kepada subo-nya. Menurutkan kata hatinya, ingin dia
menolak keras dan mencela sikap pangeran yang terlalu berani itu.
Akan tetapi dia melihat subo-nya mengangguk dan berkata, "Swi Nio, Pangeran telah bermurah hati
kepadamu, mengapa tidak lekas menerima dan menghaturkan terima kasih?"
Bu Swi Nio merasa terdesak. Dengan suara gemetar dia berkata, "Hamba... hamba... tidak berani
menerimanya...."
"Swi Nio...!" The Kwat Lin menegur.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bu Swi Nio, mengapa kau menolak kemurahan hati Pangeran?" Kiam-mo Cai-li juga ikut menegur.
Pangeran Tang Sin Ong tertawa. "Ahh, tentu saja Nona Bu merasa malu-malu, tidak seperti gadis-gadis
yang haus akan harta benda. Hal ini malah menonjolkan kecemerlangan watak seorang gadis yang cantik
jelita dan gagah perkasa! Nona, biarlah aku mengalungkan hadiah ini di lehermu."
Berkata demikian, Sang Pangeran lalu bangkit berdiri dan mengalungkan kalung emas itu melingkari leher
Swi Nio yang menundukan kepalanya. Karena tak dapat menolak lagi maka kalung yang lebar itu dalam
sekejap sudah mengalungi lehernya.
Dengan muka sebentar pucat sebentar merah Swi Nio menjura, "Banyak terima kasih hamba haturkan..."
"Aahhh, jangan sungkan-sungkan," Pangeran itu tertawa, kedua orang wanita sakti itu pun tertawa. Secara
bergantian mereka kemudian menyuguhkan arak kepada Sang Pangeran dan juga Bu Swi Nio.
"Muridku, karena pangeran telah bermurah hati kepadamu, tidak saja menyuguhkan arak tetapi juga
menghadiahkan kalung, mengapa kau tidak bersikap sebagai seorang muridku yang tahu aturan dan
mengenal budi? Hayo cepat suguhkan tiga cawan kepada Pangeran sebagai penghormatanmu!"
Muka Swi Nio menjadi merah. Dia tidak membantah kebenaran ucapan ini, maka secara terpaksa dia
bangkit berdiri, dipandang oleh pangeran yang tersenyum-senyum dan mengelus jenggotnya. Swi Nio
menghampiri pangeran dan menuangkan arak ke cawan Sang Pangeran dari guci emas.
"Silakan Paduka minum arak sebagai tanda kehormatan hamba, Pangeran," kata Swi Nio dengan malumalu.
"Ha-ha-ha, terima kasih, Nona. Akan tetapi, aku tidak mau minum kalau tidak kau temani. Hayo untukmu
juga secawan!"
Kembali Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li ikut membujuk dan terpaksa akhirnya Swi Nio kembali minum tiga
cawan arak bersama Sang Pangeran. Karena tidak biasa minum arak, kini diloloh banyak arak yang diamdiam
telah dicampuri bubuk putih yang dilepas secara lihai oleh Kiam-mo Cai-li ke dalan cawan gadis itu,
akhirnya Swi Nio menjadi mabuk. Dia mulai tersenyum dengan lepas, memperlihatkan deretan gigi yang
putih, dan mulai berani mengangkat muka memandang pangeran yang pandai bicara itu.
"Ha-ha-ha, setelah ditemani makan minum oleh Nona Bu, aku lupa semua wanita di istanaku! Hemm,
bagaimana aku dapat berpisah lagi darimu, Nona?" kata Pangeran itu.
Mendengar ini Swi Nio mengerutkan alisnya, akan tetapi karena kepalanya sudah pening dan pandang
matanya sudah berkunang, hanya sebentar saja dia merasa betapa kata-kata itu tidak pada tempatnya dan
dia hanya tersenyum!
"Bu Swi Nio, muridku yang baik. Pangeran telah berkenan mencintaimu! Kau akan diambilnya sebagai selir
yang tercinta. Cepat kau berlutut dan haturkan terima kasih, muridku."
Sepasang mata dara itu terbelalak. "Tidak...! Ah, tidak...!"
Terdengar suara pangeran, "Nona, kau cantik sekali... kau gagah perkasa, aku cinta padamu dan marilah
kau ikut bersamaku ke kota ke kota raja. Kau akan menjadi selirku yang paling tercinta, menjadi pengawal
pribadiku...."
"Tidak...! Ahhh, tidak mau... oughh....!"
Swi Nio yang tadinya bangkit berdiri serentak itu tiba-tiba terhuyung. Dia kembali menjatuhkan diri di atas
bangku karena melihat betapa kamar itu berputar-putar dan dirinya merasa seperti terayun-ayun. Karena
tidak tahan lagi, Swi Nio merebahkan kepalanya di atas kedua lengan yang berada di atas meja, hanya
menggoyang kepalanya tanda menolak. Terdengar olehnya lapat-lapat suara gurunya.
"Jangan bodoh, Swi Nio. Engkau akan menjadi seorang nyonya Pangeran yang terhormat, dan di kota raja
dunia-kangouw.blogspot.com
kau dapat bekerja sama dengan kakakmu...."
"Aku tidak mau... ah, tidak mau...." Swi Nio membuka matanya dan melihat wajah yang dekat sekali
dengan mukanya. Wajah Sang Pangeran Tang Sin Ong, wajah seorang laki-laki yang cukup tampan
gagah, akan tetapi sudah tua, sedikitnya lima puluh tahun usianya. Dia merasa ngeri, takut dan akhirnya
dia tidak ingat apa-apa lagi. Obat bubuk yang dicampurkan di araknya oleh Kiam-mo Cai-li telah bekerja
dengan baik, dia tertidur dan tidak merasa apa-apa lagi.
Swi Nio mengeluh dan mengerang. Dia mimpi. Seolah-olah dia berada di dalam sebuah perahu berdua
saja bersama Pangeran Tang Sin Ong. Lalu perahu itu diserang badai, terguling dan dia meronta-ronta
hendak melawan gulungan ombak yang menggelutnya. Namun dia merasa tubuhnya lemas, dia terseret,
tenggelam, gelagapan dan seluruh tubuhnya terasa sakit-sakit, kepalanya pening. Sebentar dia timbul, lalu
tenggelam lagi, dan lapat-lapat dia mendengar suara Pangeran Tang Sin Ong yang menyatakan cinta
kasihnya.
Jauh lewat tengah malam Swi Nio mengeluh dan merintih perlahan, lalu membuka matanya. Mimpi itu
teringat lagi olehnya, membuat dia bergidik ngeri. “Untung hanya mimpi,” pikirnya.
Ketika membuka mata, dia mendapatkan dirinya telah rebah di atas pembaringannya sendiri di dalam
kamarnya. "Oughhh...!" kepalanya masih pening sekali.
Dia bangkit duduk dan hampir dia menjerit kaget ketika melihat bahwa dia tidak berpakaian sama sekali!
Dia teringat bahwa dia menemani subo-nya, Kiam-mo Cai-li, dan Pangeran Tang Sin Ong makan minum.
Teringat betapa dia terlalu banyak minum dan mabuk. Mengapa dia tahu-tahu berda di pembaringannya
tanpa pakaian? Dia memeriksa keadaan tubuhnya, melihat kalung yang masih bergantung di lehernya, dan
tiba-tiba tahulah dia akan semua yang telah terjadi atas dirinya!
"Keparat...!" dia bangkit akan tetapi terguling lagi. Selain kepalanya pening sekali, tubuhnya juga panas
dan lemas seolah-olah kehabisan tenaga. Dia tidak tahu bahwa itulah pengaruh obat bubuk, racun yang
diminumnya bersama arak, yang membuat dia pulas sehingga tidak dapat melawan ketika Pangeran Tang
Sin Ong membawanya ke dalam kamar dan menggagahinya.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka dari luar. Swi Nio menahan napas, mengambil keputusan untuk
mengerahkan seluruh tenaganya membunuh Pangeran itu. Dia sudah maklum bahwa dirinya diperkosa
Pangeran itu.
"Selamat, muridku. Engkau telah menjadi isteri Pangeran! Besok Pangeran Tang Sin Ong akan
menjemputmu secara resmi dan membawamu ke kota raja sebagai selirnya terkasih...."
"Tidak sudi! Aku harus membunuhnya!" Swi Nio meloncat turun tanpa mempedulikan tubuhnya yang
telanjang bulat, kedua tangannya dikepal.
"Plak!" Swi Nio terlempar dan terbanting di atas pembaringannya lagi ketika kena tamparan tangan
gurunya.
"Swi Nio, apa yang kau ucapkan itu? Engkau suka sendiri melayani Pangeran, engkau menerima
kalungnya, engkau tersenyum-senyum kepadanya. Setelah engkau dan dia bersenang-senang di dalam
kamar ini, semestinya aku mengutukmu. Akan tetapi aku sayang kepadamu, aku tidak marah malah
bersyukur bahwa engkau akan menjadi isteri muda seorang pangeran. Dan sekarang kau hendak
memberontak? Hendak membikin malu Gurumu? Kau mau membunuh kekasihmu sendiri? Bocah setan
tak kenal budi! Kalau tidak aku rubah pendirianmu, aku sendiri yang akan membunuhmu! Pikirkan ini baikbaik.
Engkau sudah bukan perawan lagi, engkau milik Pangeran Tang Sin Ong!" The Kwat Lin
meninggalkan kamar itu dan membanting keras-keras daun pintu kamar.
Swi Nio menutupi mukanya dan menangis mengguguk, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Dengan
terisak-isak dan jari-jari tangan gemetar dia mengenakan pakaiannya yang bertumpuk di sudut
pembaringan. Kepalanya masih pening dan tenaganya habis. Tak mungkin dalam keadaan seperti itu dia
melarikan diri. Tentu akan mudah tertangkap kembali oleh gurunya. Melawan pun tidak mampu, apa lagi
dia benar-benar merasa seperti tidak bertenaga lagi. Apa lagi hendak membunuh pangeran itu yang selalu
terkawal kuat!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ya Tuhan...!" dia menangis sesenggukan lagi. "Ayah... Koko..., apa yang harus aku lakukan...?"
Dia sudah ternoda. Mau atau tidak, dia harus menjadi selir Pangeran itu. Dia tidak sudi! Lebih baik mati!
Mati!! Ya, matilah jalan satu-satunya, demikian pikiran yang ruwet itu mengambil keputusan. Dirabanya ikat
pinggangnya. Tidak, dia seorang gadis gagah perkasa, tidak semestinya mati menggantung diri seperti
wanita-wanita lemah. Dihampirinya pedangnya yang tergantung di dinding. Biar pun tangannya gemetar
dan tidak bertenaga dipaksanya tangan itu mencabut pedangnya, lalu sambil memejamkan matanya, dia
mengayun pedang itu ke lehernya.
"Plakkk!!" lengan kanannya dipegang orang dan pedang itu dirampasnya.
Tadinya dia mengira bahwa subo-nya yang mencegahnya membunuh diri, maka dia terisak dan membalik.
Betapa kagetnya ketika dia melihat bahwa yang mencegahnya membunuh diri itu adalah seorang laki-laki
muda, paling banyak tiga puluh tahun usianya. Laki-laki ini tersenyum, wajahnya cukup tampan dan
membayangkan kegagahan.
"Membunuh diri bukan perbuatan seorang gagah," bisik laki-laki itu. "Kalau sudah mati, mana mungkin
dapat menghilangkan penasaran? Kalau masih hidup, selalu terbuka harapan untuk membalas dendam!"
Ucapan ini menyadarkan Swi Nio. "Siapa kau...?"
"Sssttt...,” bisik pula laki-laki itu. "Aku seorang mata-mata yang dikirim oleh Jenderal An Lu Shan. Nona,
dari-pada engkau membunuh diri, mari kubantu kau keluar dari tempat ini dan kau ikut bersamaku. Dengan
bekerja untuk An-goanswe, kelak kau berkesempatan untuk membalas kepada semua orang yang telah
mendatangkan mala-petaka ini kepadamu."
Seperti kilat masuknya pikiran ini ke dalam kepala Swi Nio. Mengapa tidak? Mati bukan merupakan jalan
yang memecahkan persoalan! Dia harus membalas kepada Pangeran itu! Dan kini, dia dapat menduga
bahwa dia tentu pingsan karena pengaruh obat dari Kiam-mo Cai-li. Dia tahu bahwa wanita itu adalah
seorang ahli tentang racun. Kini dia mengerti semua. Dia sengaja dikorbankan oleh gurunya dan oleh
wanita iblis itu, seperti seekor domba yang sengaja dikorbankan menjadi mangsa serigala, Si Pangeran itu!
Dendamnya bertumpuk, kini terbuka jalan baginya, perlu apa mengambil jalan pendek membunuh diri?
"Baik, mari ikut aku...," bisiknya.
Dengan berindap-indap Swi Nio mengajak laki-laki itu melalui jalan rahasia. Akhirnya, menjelang pagi
mereka berdua berhasil keluar dari tembok pagar Bu-tong-pai.
"Haiii...!!" tiba-tiba terdengar bentakan.
Lima orang anggota Bu-tong-pai muncul dari tempat penjagaan tersembunyi. Akan tetapi mereka terheranheran
ketika melihat Swi Nio, memandang kepada gadis itu lalu kepada orang asing yang keluar dari jalan
rahasia bersama murid utama ketua mereka. Malam itu memang banyak datang tamu dari kota raja yang
ikut dalam rombongan Pangeran, maka mereka mengira bahwa tentu orang ini adalah anggota rombongan
pula. Akan tetapi sepagi itu, masih gelap, apakah yang akan dilakukan tamu ini bersama Swi Nio keluar
dari Bu-tong-pai dengan diam-diam?
Tiba-tiba terdengar teriakan berturut-turut dan lima orang itu roboh dan tewas seketika. Mereka hanya
mampu satu kali saja mengeluarkan teriakan karena tenggorokan mereka hampir putus disambar jari-jari
yang amat kuat dari mata-mata itu yang bergerak dengan cepat luar biasa menyerang mereka. Melihat
kelihaian orang itu, Swi Nio tercengang. Dia makin kagum, kiranya mata-mata ini bukan orang biasa. Andai
kata pelarian mereka ketahuan pun, orang ini akan menjadi lawan tangguh, sungguh pun tentu saja dia
sangsi apakah orang ini akan mampu lolos kalau Kiam-mo Cai-li dan subo-nya turun tangan.
"Mari cepat...!" orang laki-laki itu berkata.
Melihat keadaan Swi Nio yang masih lemas, tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menyambar tubuh gadis itu,
dipanggulnya dan berlarilah dia dengan amat cepatnya meninggalkan tempat yang berbahaya baginya
itu....
dunia-kangouw.blogspot.com
--- dunia-kang-ouw.blogspot.com ---
Gadis bernama Liang Cu yang sebenarnya adalah penyamaran Bu Swi Liang kini bekerja di dalam istana
sebagai pengawal pribadi Yang Kui Hui. Dia bertugas memikat hati selir Kaisar yang cantik jelita ini. Dapat
dibayangkan betapa tersiksa hati pemuda itu menyaksikan semua yang terjadi di dalam kamar Yang Kui
Hui, melihat selir yang cantik jelita itu beristirahat, mandi, berganti pakaian dan lain-lain di depan matanya
begitu saja karena dia dianggap wanita pula! Betapa tersiksa hati orang muda ini hidup di antara wanitawanita
cantik, yaitu para pelayan Yang Kui Hui.
Di istana bagian puteri ini tidak ada prianya. Walau pun terlihat sebagai pria, namun para thaikam yang
bertugas di situ sesunguhnya tidak lagi dapat disebut sebagai pria. Swi Liang adalah seorang pemuda
yang sedang berkobar nafsunya karena di Bu-tong-san dia diseret ke dalam kekuasaan nafsu birahi oleh
subo-nya sendiri. Sebagai seorang pemuda yang baru gila birahi, kini berada ditengah-tengah para wanita
cantik itu, tentu saja dia tidak kuat bertahan terlalu lama.
Dia belum berani melakukan tugasnya untuk memikat Yang Kui Hui karena kesempatannya belum tiba. Dia
tidak berani bersikap kasar dan membuka rahasia penyamarannya begitu saja. Sekali gagal, dia tentu akan
mati konyol. Akan tetapi untuk menunda lebih lama lagi menguasai nafsunya, dia tidak sanggup! Akan
tetapi, Swi Liang menahan gelora hatinya sedapat mungkin. Dia harus bersabar menanti kesempatan baik.
Tugasnya amat penting bagi perjuangan subo-nya, sama sekali tidak boleh gagal karena taruhannya
adalah nyawanya.
Pada suatu senja belasan hari kemudian, Swi Liang diperbolehkan mengaso karena malam itu kaisar akan
mengunjungi selirnya yang tercinta. Tempat itu penuh dengan pengawal-pengawal pribadi Kaisar sendiri.
Swi Liang lalu mengundurkan diri ke dalam kamarnya, sebuah kamar yang amat indah dan berdekatan
dengan kamar para pelayan utama atau pelayan pribadi selir Kaisar itu.
Selagi duduk melamun sendiri di dalam kamarnya, mencari akal bagaimana untuk memulai tugasnya
merayu dan memikat hati Yang Kui Hui, tanpa sengaja dia membayangkan keadaan selir itu sehingga
jantungnya berdebar penuh nafsu dan gairah. Selir itu memang cantik luar biasa, dan ketika mandi atau
bertukar pakaian, dia dapat menyaksikan seluruh bagian tubuh yang padat dan amat menggairahkan itu.
Pernah dia membantu pelayan menyelimutkan kain setelah selir itu mandi. Jari-jari tangannya menyentuh
kulit yang halus, lunak, dan hangat, dan tercium pula olehnya bau semerbak harum dari tubuh selir itu.
Keharuman yang khas dan alangkah jauh bedanya antara kecantikan dan tubuh indah selir itu
dibandingkan dengan subo-nya!
"Enci Liang Cu! kenapa melamun saja?" seorang gadis cantik berbaju hijau menegurnya sambil tertawatawa,
di belakangnya masuk pula seorang gadis cantik berbaju merah. Mereka itu adalah dua orang
pelayan pribadi Yang Kui Hui, dua orang gadis cantik jelita yang genit-genit.
"Ah, Enci Liang Cu orangnya pendiam amat sih, tidak mau bersenda-gurau dengan kami.”
Swi Liang tersenyum menekan jantungnya yang berdebar-debar dan menahan matanya agar jangan terlalu
melotot melahap kecantikan dua orang gadis itu. "Ahh, aku lelah dan sedang beristirahat. Jarang ada
kesempatan beristirahat seperti ini...," kata Swi Liang.
"Mari temani kami main thioki (kartu) di kamarku, Enci Liang Cu!" kata Si Baju Hijau.
"Ya, marilah, Enci Liang Cu. Tidak enak hanya bermain berdua. Marilah, sambil kita berkenalan lebih erat
lagi. Kenapa sih? Bukankah kita ini rekan-rekan yang berkerja di sini?" kata Si Baju Merah sambil menarik
tangan Swi Liang.
Tak dapat lagi Swi Liang menolak karena hal ini akan mendatangkan kecurigaan. Apa lagi memang dia
sudah rindu sekali akan sentuhan tangan wanita cantik setelah belasan hari berpisah dari subo-nya. Kedua
orang gadis itu tertawa-tawa, menggandeng kedua tangan Swi Liang dan membawanya kedalam kamar Si
Baju Hijau yang berbau harum. Sebuah meja bundar rendah telah dipersiapkan di tengah kamar, di dekat
pembaringan. Di sekeliling meja itu terdapat tikar yang ditilami kasur dan bantal. Selain kartu untuk main,
juga di atas meja terdapat seguci arak wangi dan cawan-cawan kecil, juga beberapa macam kue kering.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Duduklah, Enci Liang Cu. Mari kita main-main. Eh, kau bermalam saja di sini malam ini, ya?" Si Baju Hijau
berkata sambil merangkul.
"Dan tubuhmu begini tegap dan kelihatan kuat, Enci Liang Cu," kata Si Baju Merah memegang-megang
lengan pemuda itu. "Aihhh, tangan Enci Liang Cu kuat dan kasar!" kata Si Baju Merah sambil mengelus
telapak tangan pemuda itu.
Swi Liang menarik tangannya. "Aahh, aku sejak kecil berlatih silat. Tentu saja aku seorang gadis yang
kasar, mana bisa dibandingkan dengan kalian yang halus mungil?"
"Hi-hik, kau terlalu memuji, Enci!" kata Si Baju Merah sambil mencubit paha Swi Liang.
"Kalau engkau menjadi seorang laki-laki, tentu tampan dan gagah, Enci Liang Cu!" kata Si Baju Hilau.
Dapat dibayangkan betapa tubuh Swi Liang terasa panas dingin menghadapi godaan-godaan ini. Cepatcepat
dia mengajak mereka bermain kartu, karena kalau godaan mereka itu dilanjutkan, tentu dia takkan
kuat lagi bertahan! Sudah timbul keinginan keras di hatinya untuk merangkul dan mendekap mereka,
menciumi bibir yang merah dan lincah itu!
"Eh, untuk apa arak ini?" katanya setelah Si Baju Merah menuangkan secawan arak yang berbau wangi.
"Hi-hik, bermain thioki tanpa taruhan tidak menyenangkan. Siapa kalah harus menebus kekalahannya
dengan minum secawan arak wangi!" kata Si Baju Hijau.
Mereka mulai bermain thioki sambil bercakap-cakap dan bersendau gurau, atau lebih tepat lagi, kedua
orang gadis itu yang bercakap-cakap dan bersendau gurau sedangkan Swi Liang hanya mendengarkan
dan kadang-kadang tersenyum saja. Karena dia tidak ingin dilolohi arak sehingga rahasianya dapat
terbuka, maka Swi Liang bermain sungguh-sungguh sehingga dia jarang kalah dan yang kebagian minum
arak adalah kedua orang gadis itulah! Mereka bermain terus sampai menjelang tengah malam dan
akhirnya arak dalam guci kecil itu habis!
"Ahhh, hawanya panas sekali...!" kata Si Baju Hijau.
"Bukan panas, hanya engkau terlalu banyak minum, maka terasa panas," kata Swi Liang.
"Hemm, mungkin... aihhh, gerahnya," Si Baju Hijau membuka kancing bajunya dan mengebut-ngebut
dengan kipas.
Swi Liang menelan ludah. Matanya memandang ke arah dada yang hanya tertutup pakaian dalam yang
tipis sehingga membayangkan tonjolan-tonjolan yang memikat hati. Karena pandang matanya selalu
tertarik ke arah dada Si Baju Hijau, maka permainan Swi Liang menjadi kalut dan sekali ini dia kalah. Akan
tetapi arak telah habis!
"Wah, Enci Liang Cu jarang kalah, ketika sekarang kalah araknya justru terlanjur habis. Mana dia bisa
menebus kekalahannya?" kata Si Baju Merah cemberut.
"Hi-hik, kalau arak habis dia harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Hijau.
"Hi-hi-hik, benar! Dia harus didenda dengan ciuman dan mulai sekarang, taruhannya dirubah. Karena arak
habis, siapa kalah harus membayar dengan ciuman!" kata Si Baju Merah.
Kedua orang gadis itu dari kanan-kiri lalu menyerbu dan mencium pipi Swi Liang dengan hidung mereka.
Swi Liang memejamkan kedua matanya!
"Eh... eh..., kalian ini bagaimana? Ihh... malu, kan...?" katanya gelagapan.
"Enci Liang Cu, mengapa kau begitu kejam? Kita bertahun-tahun dikurung di tempat ini dan hanya dapat
menyaksikan orang lain bermain cinta. Bertemu dengan pria pun merupakan hal yang tak mungkin bagi
kita. Apa salahnya di antara kita saling menghibur dan saling mencumbu? Sekedar menghilangkan
rindu...," kata Si Baju Merah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Permainan dilanjutkan dan makin lama Swi Liang makin terseret oleh gelora nafsu birahinya sendiri. Ketika
dia menang dan harus mencium, dia tidak mencium seperti biasa dengan hidung ke pipi, melainkan
mencium mulut dua orang gadis itu dengan mulutnya! Dua orang gadis itu mengeluh dan balas mencium
sehingga tanpa diperintah lagi permainan kartu itu bubar dan dilanjutkan dengan permainan saling
mencumbu, saling peluk dan saling cium antara tiga orang itu!
"Aihh, Enci Liang Cu... kau hebat sekali...," keluh Si Baju Hijau.
"Enci Liang Cu... kalau saja engkau seorang pria...," bisik Si Baju Merah.
"Kalian senang?" Swi Liang berkata, sedikit terengah-engah. "Matikanlah lampunya, barangkali di dalam
gelap aku akan dapat pian-hoa (bermain rupa) menjadi pria, siapa tahu?"
Sambil terkekeh genit, Si Baju Hijau meniup pandam lampu di meja dan mereka bertiga pindah ke
pembaringan, melanjutkan permainan yang mengasyikkan hati mereka itu. Mereka merasa semakin bebas
setelah keadaan di dalam kamar itu menjadi gelap, mereka dapat mencurahkan seluruh nafsu mereka
tanpa malu-malu lagi. Tak lama kemudian terdengar jerit tertahan, disusul teriakan-teriakan yang lebih
menyerupai bisikan kaget bercampur girang.
"Eh... kau...?"
"Hemm, diamlah sayang...," terdengar suara Swi Liang.
Selanjutnya kamar itu sunyi, tidak terdengar suara keras lagi sehingga kalau didengar dari luar kamar,
seolah-olah tiga orang ‘gadis’ itu sedang tidur pulas. Padahal tentu saja keadaannya jauh dari-pada itu,
bahkan sebaliknya.
Menjelang pagi terdengar suara Si Baju Hijau, suara yang berbisik dan agak serak karena semalam tidak
tidur rupanya, "Engkau... setiap malam harus menemani kami... ya, koko yang baik?"
"Harus, kalau tidak... hemm, kami akan melaporkan bahwa kau adalah seorang pria sejati...," bisik pula Si
Baju Merah dengan nada manja mengancam.
Sunyi mengikuti kata-kata bisikan itu, kemudian terdengar jerit tertahan dan tak lama kemudian, tampak
Swi Liang dalam pakaian seperti Liang Cu meloncat ke luar dari dalam kamar itu memondong tubuh dua
orang pelayan itu yang sudah menjadi mayat! Dengan tergesa-gesa Swi Liang membawa dua mayat itu ke
kebun, menggali lubang, mengubur dengan cepat sekali, kemudian kembali ke kamarnya dengan badan
penuh keringat dan muka pucat. Akan tetapi hatinya lega.
Diam-diam dia menyesali perbuatannya sendiri. Mengapa dia begitu lemah sehingga tidak dapat menahan
diri terjatuh ke dalam rayuan dua orang gadis cantik itu? Dia terpaksa membunuh mereka, sungguh pun hal
itu dilakukannya dengan perasaan penuh penyesalan. Tugasnya lebih penting dan kalau sampai gagal, dia
akan tewas, akan mati konyol. Dengan membuka rahasianya kepada dua orang gadis itu, keadaannya
tentu saja terancam hebat. Belum apa-apa dua orang gadis itu telah ‘memerasnya’ untuk setiap malam
melayani mereka dengan ancaman akan dibuka rahasianya! Tentu saja dia terpaksa harus membunuh
mereka demi keselamatan dirinya sendiri.
Lenyapnya dua orang pelayan itu hanya menimbulkan sedikit keributan di istana bagian puteri. Betapa pun
juga, mereka itu hanyalah dua orang pelayan. Akhirnya Yang Kui Hui hanya memerintahkan para pengawal
untuk melakukan pengejaran karena dikira bahwa mereka itu tentu melarikan diri, dan kalau sampai dapat
ditangkap agar supaya dijatuhi hukuman berat.
Mengertilah kini Swi Liang bahwa dia harus cepat-cepat turun tangan kalau tidak mau terjadi gangguan lain
lagi. Mulailah dia mendekati Yang Kui Hui. Setiap kali ada kesempatan, dia membantu para pelayan yang
memandikan selir jelita itu, menggosok punggungnya, mengeringkan tubuhnya dan mengenakan
pakaiannya. Bahkan pada suatu malam, ketika Yang Kui Hui merebahkan diri seorang diri dengan mata
merem melek seperti seekor kucing malas, ia mendekatinya, berlutut dan menggunakan tangannya untuk
memijit-mijit kaki selir itu dengan perlahan, meniru perbuatan pelayan yang suka memijit tubuh selir itu.
Jantungnya berdebar keras sekali. Nafsu hatinya ditekannya keras sekali. Dia merasa betapa api birahi
dunia-kangouw.blogspot.com
telah membakar dadanya dan api itu menyala dari ujung jari tangannya yang bersentuhan dengan kulit kaki
yang halus lunak dan hangat.
"Ehhmmm...," Yang Kui Hui menggeliat seperti seekor kucing dan membuka sedikit matanya untuk melihat
siapa yang memijit kakinya. Matanya terbuka agak lebar dan tersenyum. "Aihhh, kiranya engkau, Liang
Cu? Engkau pandai pula memijit? Ahhh, tanganmu kuat sekali. Nah, kau lanjutkanlah, tubuhku memang
sedang pegal-pegal....."
Selir itu sudah memejamkan matanya, kembali rebah terlentang di depan Swi Liang. Pemuda itu
melanjutkan pekerjaannya memijit betis mengendurkan urat yang kaku dan pandang matanya melahap
wajah yang menengadah itu. Betapa cantik jelitanya, demikian rangsangan hatinya. Rambut yang hitam
agak mengeriting itu terurai di atas bantal, anak rambutnya melingkar-lingkar menghias dahi dan pelipis
sampai ke bawah telinga. Dahi yang melengkung halus sekali seperti lilin diraut, berkulit putih bersih itu
nampak makin putih terhias anak rambut yang menghitam. Sepasang alis yang hitam sekali, melengkung
seperti dilukis, melindungi mata yang terpejam sehingga tampak bulu mata yang panjang. Bayangan bulu
mata menggelapkan pipi sebelah atas, menyembunyikan warna kemerahan yang menyegarkan. Hidung
yang mancung, dengan dua cuping hidung yang tipis, agak bergerak terdorong napas yang keluar masuk.
Di bawah hidung itu, sepasang bibir yang kemerahan dan agak basah, kelihatan menebal sebelah
bawahnya karena selir itu tersenyum. Sebuah lesung pipit menghias di ujung mulut sebelah kiri. Manis dan
cantik jelita! Kemudian leher itu, dan dada itu, pinggang itu...!
Swi Liang menelan ludahnya berkali-kali dan jari-jari tangannya yang memijit kaki itu agak menggigil.
Agaknya Yang Kui Hui dapat merasakan tangan yang menggigil ini, maka dia membuka sedikit matanya.
"Ada apakah Liang Cu? Tanganmu gemetar...," tanyanya.
"Ahhh... tidak apa-apa, hanya... Paduka demikian cantik jelita... hamba sampai merasa terharu
memandangi Paduka....."
"Aihhh...., hi-hik, kau aneh, Liang Cu. Coba kau tutup dan kunci pintu kamar itu, dan beri-tahukan kepada
penjaga di luar bahwa aku tidak ingin diganggu malam ini, hendak beristirahat. Oya, suruh penghubung
laporkan kepada Sri Baginda agar tidak datang ke kamarku. Setelah itu, kau temani aku di sini, pijati
tubuhku sampai aku tidur."
Dengan jantung berdebar penuh ketegangan dan gairah, Swi Liang mentaati perintah itu. Setelah itu dia
menutup dan memalang daun pintu sehingga mereka hanya berdua saja di dalam kamar yang mewah dan
harum itu. Swi Liang segera berlutut lagi di depan pembaringan dan melanjutkan pekerjaannya memijit
betis yang berdaging gempal, lunak, halus dan hangat itu.
"Nanti dulu, Liang Cu. Coba kau bantu aku membuka pakaian luarku. Setelah pintu ditutup, kamar ini
menjadi agak panas...," kata Yang Kui Hui sambil bangkit duduk di atas pembaringannya yang bertilam
sutera merah berkembang.
Swi Liang tidak mampu menjawab karena merasa lehernya seperti tercekik. Dengan jari-jari tangan
gemetar dia membantu puteri itu membuka pakaian luarnya. Kini Yang Kui Hui hanya memakai pakaian
dalam yang amat tipis dan tembus pandang sehingga terbayanglah lekuk lengkung tubuh yang amat
menggairahkan. Begitu pakaian luarnya dibuka, Swi Liang memejamkan mata sebentar sambil menarik
napas panjang. Tercium olehnya bau harum yang memabukan, keharuman yang membuat selir Kaisar itu
terkenal sekali di samping kecantikannya yang sukar dicari bandingannya.
"Hi-hik... mengapa kau seperti patung dan memejamkan matamu, Liang Cu?" suara terkekeh halus dan
teguran itu menyadarkan Swi Liang yang segera membuka matanya.
"Ampunkan hamba... hamba... silau, seolah-olah melihat bidadari turun dari langit...."
Selir Kaisar itu tertawa senang. "Aihh, kata-katamu seperti seorang laki-laki saja! Hayo pijiti aku lagi dan
jangan bersikap seperti orang gila!"
Swi Liang segera melakukan perintah ini dengan penuh gairah. Jari-jari tangannya kembali memijit betis
dan paha, makin ke atas makin tersiksalah hatinya apa lagi mendengar puteri itu terkekeh kegelian.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hi-hi-hik, kau begitu kuat, jari tanganmu juga tegang dan kuat seperti tangan laki-laki membelai...!"
Yang Kui Hui membalikkan tubuhnya dan kini rebah terlentang. Karena pakaian dalam yang tipis itu
tersingkap, Swi Liang hampir tidak kuat menahan lagi. Cahaya kemerahan dari lampu merah di dalam
kamar membuat tubuh yang membayang di balik pakaian tipis itu seolah-olah telanjang bulat di depannya!
"Nah kau pijiti pahaku, pegal-pegal rasanya. Akan tetapi jangan kuat-kuat, perlahan saja, Liang Cu."
Dapat dibayangkan betapa tersiksa hati seorang pemuda yang sudah menjadi lemah karena dikuasai nafsu
birahi seperti Swi Liang menghadapi Yang Kui Hui yang tanpa disengaja telah menimbulkan godaan dan
tantangan yang demikian menggairahkan hati pria. Namun tentu saja Swi Liang tidak berani bertindak
sembrono. Sambil menguatkan hatinya dan menundukkan mukanya yang menjadi merah,
menyembunyikan dadanya yang bergelombang dengan menunduk dan menahan nafsunya yang memburu,
dia memijit paha yang gempal itu.
Jari-jari tangannya seolah-olah bertemu langsung dengan kulit paha karena hanya tertutup sutera tipis.
Setiap sentuhan jarinya seolah-olah mendatangkan aliran hawa panas yang menjalar naik ke dada dan
kepala melalui lengannya. Makin lama dia makin gelisah, tubuhnya panas dingin dan sama sekali dia tidak
berani memandang wajah puteri itu karena takut kalau-kalau Sang Puteri marah.
Betapa pun nafsu birahi telah menyundul sampai ke ubun-ubunnya, namun Swi Liang tidaklah demikian
nekat untuk berani bertindak kurang ajar, tidak berani melakukan langkah pertama dan hanya menanti
uluran tangan Sang Puteri. Dia sangat maklum, bahwa sekali keliru bertindak tebusannya adalah
nyawanya di samping kegagalan tugasnya.
"Kau memang aneh, Liang Cu. Benar kata-kata beberapa orang pelayan yang selama ini tidak kau
perhatikan. Sekarang baru aku melihat sendiri. Kau seorang gadis yang aneh. Apakah seorang gadis kalau
sudah mempelajari ilmu silat tinggi lalu berubah sifatnya, menjadi kejantan-jantanan? Kau patut menjadi
seorang laki-laki. Suaramu agak berat, gerak-gerikmu kaku, tanganmu kuat dan kasar, dan pandang
matamu... hemmm..., engkau seolah-olah hendak menelanku bulat-bulat setiap kali kau melihatku! Hi-hik,
aku sampai merasa sungkan dan malu!"
Swi Liang terkejut sekali. Sambil membungkuk rendah dia berkata dan berusaha sedapatnya untuk
meninggikan nada suaranya, "Harap Paduka ampunkan semua kekurangan hamba."
"Ah, tidak apa-apa, Liang Cu. Engkau sudah berjasa besar, dan... hemm... keadaanmu yang kejantanjantanan
itu bukanlah hal yang tidak menyenangkan. Sayang sekali, kau seorang wanita dan sifat
kejantananmu hanya karena kau seorang gadis kang-ouw yang berkepandaian silat tinggi. Kalau engkau
seorang pria sejati, hi-hik, betapa lucunya... tentu akan lebih menyenangkan hatiku...."
Seketika terhenti jari-jari tangan yang tadi menari-nari dan memijiti paha kenyal itu. Jantung Swi Liang
seperti berhenti berdetak mendengar ucapan Sang Puteri, kemudian berdebar-debar dengan kerasnya
sehingga suara detak jantungnya memasuki kedua telinganya dengan amat nyaring.
Kesempatan baik telah terbuka! Selir jelita ini telah membuka rahasia hatinya! Begitu menantang, seperti
setangkai bunga yang tinggal memetik saja, tinggal mengulur tangan dan akan terpenuhilah kedua citacitanya,
yaitu menikmati tubuh yang telah membuat tergila-gila ini dan sekaligus menyempurnakan
tugasnya memikat hati Yang Kui Hui demi suksesnya siasat yang sedang dilakukan oleh subo-nya!
Tiba-tiba Swi Liang berlutut dan menempelkan dahinya di lantai dekat pembaringan. "Hamba... hamba rela
mengorbankan nyawa demi Paduka, dan hamba siap sedia melakukan apa saja untuk menyenangkan hati
Paduka. Akan hamba lakukan dengan taruhan nyawa dan hamba siap menanti perintah Paduka...."
“Hi-hik, Liang Cu. Engkau memang aneh. Betapa pun juga, mana mungkin engkau menjadi laki-laki sejati?"
"Kalau Paduka kehendaki, pasti dapat terjadi. Perintah Paduka merupakan keputusan bagi hamba, seperti
perintah dari langit."
Yang Kui Hui menjadi terheran-heran. Dia bangkit duduk, membiarkan pakaian dalamnya tersingkap lebar,
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak hanya pada pahanya, akan tetapi juga pada pundaknya sehingga setengah dadanya tampak jelas,
putih halus membusung. "Apa....,apa maksudmu, Liang Cu?"
"Hamba telah mempelajari ilmu kesaktian dari Subo, sehingga kalau Paduka menghendaki, hamba dapat
pian-hoa (mengubah diri) menjadi seorang pria sejati."
“Ehhh...?!" mata yang bening indah itu terbelalak. Mulut yang kecil itu ternganga sehingga bibir merah
membasah itu membentuk lingkaran memperlihatkan lidah yang meruncing merah, dan rongga mulut yang
lebih merah lagi terhias deretan gigi seperti mutiara.
Sinar mata Yang Kui Hui menjelajahi tubuh pembantunya yang berlutut itu, akhirnya dia dapat berkata,
"Benarkah itu? Sungguh aneh dan luar biasa! Coba kau buktikan omonganmu, Liang Cu. Coba kau pianhoa
menjadi seorang pria!"
Swi Liang menekan jantungnya yang berdebar tegang, mengangkat mukanya dan berkata, "Hamba...
hamba... mana berani kurang ajar...?"
"Lakukanlah, ini merupakan perintah! Berdirilah dan pian-hoalah!" Yang Kui Hui berkata penuh nafsu
karena dia ingin sekali menyaksikan apakah benar gadis ini dapat pian-hoa menjadi pria, hal yang hanya
pernah didengar dalam dongeng kuno saja.
"Kalau Paduka memerintahkan, hamba tidak berani membantah." Swi Liang lalu bangkit berdiri dan
membungkuk. "Maafkan hamba...."
Dia lalu melepas gelung rambutnya, menggosok bedak dan yanci dari mukanya, kemudian dengan wajah
merah berseri dia berkata, "Hamba telah berubah menjadi seorang pria," suaranya kini besar, suara
seorang laki-laki tulen!
Yang Kui Hui memandang terbelalak. "Aihhh, mana aku bisa percaya? Hanya suaramu yang berubah.
Mukamu tanpa bedak dan yanci memang seperti muka pria, akan tetapi mana buktinya bahwa kau pria?"
Swi Liang mengerutkan alisnya. "Paduka ingin bukti? Baiklah, maafkan kelancangan hamba!" Dia lalu
merenggut pakaiannya, baju di bagian atas sehingga tanggal kancing-kancingnya dan terbukalah dadanya.
Sebuah dada yang tegap dan bidang, tidak berbuah, dada seorang laki-laki tulen!
Wajah Yang Kui Hui berseri-seri, mulutnya tersenyum lebar ketika dia memandang dada yang bidang,
tegap dan berkulit putih bersih itu. "Memang tidak salah lagi, tubuhmu bagian atas memang tubuh seorang
pria. Akan tetapi aku belum puas, Liang Cu. Buka semua pakaianmu!"
Perintah ini sama sekali tidak disangka-sangka oleh Swi Liang. Biar pun sudah lama dia menghendaki
terjadinya hal yang hanya dalam mimpi ini, namun sebagai seorang laki-laki, dia merasa jengah dan malu
juga menerima perintah agar dia bertelanjang bulat seperti itu! Akan tetapi gairah yang meluap-luap dan
kegembiraannya mengusir semua rasa malu. Dengan jari tangan gemetar Swi Liang menanggalkan semua
sisa pakaiannya sehingga tak lama kemudian dia telah berdiri membuktikan bahwa dirinya adalah seorang
pria sejati di depan selir jelita itu.
"Ahhh... Liang Cu..., ke sinilah kau! Sungguh hebat... tak kusangka sama sekali. Rebahlah kau di sini, di
sisiku, manis!"
Tanpa diperitah kedua kalinya, karena memang itulah yang diinginkannya selama ini, Swi Liang lalu naik ke
pembaringan dan merebahkan dirinya di sisi selir cantik itu. Yang Kui Hui terkekeh genit, lalu
menyambutnya dengan peluk cium ganas, menerkamnya seperti seekor harimau kelaparan, atau seperti
seekor ular yang memagutnya dan membelit-belitnya.
Manusia, baik laki-laki atau wanita, kaya atau miskin, dari golongan ningrat maupun jembel terlantar, sekali
dikuasai nafsu birahi akan menjadi lupa diri dan lupa segala. Pada saat seperti itu, lenyaplah duka, lenyap
pula takut, hilang segala pertimbangan dan akal, yang ada hanyalah tindakan sebagai akibat dorongan
nafsu birahi yang minta dilampiaskan.
Hebatnya, makin dipenuhi dorongan nafsu, makin berkobarlah birahi, seperti nyala api, makin dibiarkan
dunia-kangouw.blogspot.com
makin membesar dan takkan padam sebelum habis bahan bakarnya! Hanya manusia yang selalu sadar
akan keadaan dirinya, akan gerak-gerik dirinya lahir mau pun batin, yang takkan kehilangan kewaspadaan
dan kebijaksanaan, yang takkan dapat dicengkeram oleh nafsu dalam bentuk apa pun.
Hal ini bukan berarti bahwa manusia bijaksana menolak nikmat hidup yang didatangkan oleh gairah nafsu,
sama sekali tidak. Bahkan hanya manusia sadar sajalah yang benar-benar akan dapat menikmati hidup
karena baginya nafsu kesenangan hanyalah pelengkap hidup, bukan hal yang mutlak dan tidak harus
dikejar-kejarnya. Dialah orang yang menguasai nafsu, bukan nafsu yang menguasai dia. Menguasai nafsu
dengan kewaspadaan dan mengenal akan keadaan diri sendiri seperti apa adanya, lahir mau pun batinnya,
bukan menguasai nafsu dengan cara pengekangan dan penyiksaan diri. Dengan cara pengamatan yang
sewajarnya, penuh kesadaran, pengamatan terhadap nafsu dan gerak-geriknya, tanpa celaan tanpa pujian,
maka nafsu akan kehilangan kekuasaannya sendiri terhadap diri pribadi.
Sebaliknya, menggunakan kemauan untuk menekan dan mengekang nafsu tidak akan ada gunanya. Boleh
jadi nafsu akan dapat dibendung pada saat itu, namun sewaktu-waktu nafsu yang masih menguasai diri itu
dapat meluap. Bagaikan api dalam sekam, sewaktu-waktu akan dapat menyala lagi, demikianlah kalau
orang menguasai nafsu dengan pengekangan yang berarti menguasainya dengan kekerasan.
Dengan pengamatan waspada, nafsu yang seperti api itu akan padam dengan sendirinya. Namun dengan
pengekangan, api itu hanya membara dan tidak tampak, akan tetapi sewaktu-waktu dapat menyala lagi,
karena yang mengekang nafsu adalah nafsu juga. Mengekang berarti menggunakan kekerasan menuruti
keinginan!
Menjelang pagi, Yang Kui Hui yang kekenyangan melampiaskan nafsu birahinya, terlena di pembaringan.
Wajahnya yang agak pucat menoleh kepada Swi Liang yang tidur pulas di sampingnya, lalu wanita cantik
itu tersenyum. Jari-jari tangannya yang halus itu bergerak membelai dada telanjang dari pemuda itu, lalu
ditariknya kembali tangannya dan dia menghela napas panjang. Setelah kekenyangan, barulah dia dapat
berpikir dan barulah selir Kaisar ini sadar betapa bodohnya dia membiarkan dirinya terseret oleh nafsu
birahi.
Pemuda ini tentu seorang pria sejati yang menyamar sebagai wanita. Hal ini sudah jelas! Dan di balik
penyamaran ini tentulah ada suatu rahasia! Kesadaran ini mengejutkan hatinya dan menimbulkan
kekhawatirannya. Dia adalah selir yang cerdik sekali. Yang Kui Hui bangkit duduk. Dengan perlahan-lahan
dia mengenakan pakaiannya, agar jangan membangunkan pemuda itu. Matanya tak pernah berpindah dari
wajah Swi Liang. Sambil memakai pakaiannya, dia mengenangkan semua yang mereka lakukan semalam
ketika mereka bermain cinta tanpa mengenal puas sampai akhirnya tertidur kelelahan.
Betapa pun juga, pemuda itu terlalu halus. Bagi wanita macam Yang Kui Hui yang sudah banyak
pengalaman bermain cinta dengan pria, kejantanan Swi Liang kurang memuaskan hatinya. Betapa jauhnya
dibandingkan dengan An Lu Shan! An Lu Shan barulah boleh disebut seorang laik-laki sejati! Dengan
kekudukannya yang tinggi dan pengaruhnya yang besar, dengan tubuhnya yang tinggi besar, tenaganya
yang seperti singa, dengan permainan cintanya yang liar kasar dan wajar, menonjolkan kejantanan yang
amat hebat!
Sedangkan pemuda ini terlalu halus, masih hijau dan kurang pengalaman, dan yang lebih berbahaya lagi,
pemuda ini tentulah seorang mata-mata musuh! Yang Kui Hui bergidik ngeri. Betapa bodohnya dia, mudah
terbujuk dan terseret oleh nafsunya sendiri dan terkena rayuan seorang mata-mata. Untung mata-mata ini
belum bertindak terlalu jauh. Bagaimana kalau semalam dia dibunuhnya?
Yang Kui Hui bergidik dan bergegas turun dari pembaringan, dengan hati-hati dia mengambil pedang
bersarung indah yang diletakan oleh Swi Liang di atas tumpukan pakaiannya, kemudian selir Kaisar itu
berindap-indap menuju ke pintu kamar, membuka pintu dan keluar setelah menutupkan kembali daun pintu
perlahan-lahan. Tak lama kemudian dia telah berbisik-bisik dengan beberapa orang pengawal pribadinya,
kemudian memasuki kamar lain setelah merasa yakin bahwa para pengawalnya yang kini telah berkumpul
itu akan melaksanakan perintahnya dengan baik.
Swi Liang terbagun dari tidur nyenyak, menggeliat dan tersenyum penuh bahagia ketika dia teringat akan
keadaan dirinya. Dirabanya kasur di mana dia rebah dan hidungnya kembang kempis, masih penuh oleh
keharuman tubuh Yang Kui Hui. Baru saja terbangun dari tidur, teringat akan wanita cantik itu, berkobar
lagi nafsunya, lenyap semua kelelahan tubuhnya. Dia membalik ke kanan, lengan kirinya dan kaki kirinya
dunia-kangouw.blogspot.com
merangkul memeluk. Dia membuka matanya ketika tangan dan kakinya bertemu dengan kasur yang
kosong, lalu bangkit duduk, menoleh ke kanan-kiri, mencari-cari. Yang Kui Hui telah pergi dari kamar itu!
Swi Liang merasa heran dan juga terkejut, kemudian timbul kekhawatiran di dalam hatinya. “Ke manakah
perginya wanita itu sepagi ini?” pikirnya.
Karena khawatir kalau-kalau ada pelayan memasuki kamar dan memergoki keadaannya, bergegas dia
menyambar dan cepat mengenakan pakaiannya, pakaian wanita penyamarannya. Dengan tergesa-gesa
dia menghampiri meja rias Yang Kui Hui, menggunakan bedak dan yanci untuk memulas mukanya yang
semalam telah menjadi muka pria aslinya sedangkan sisa-sisa bedak di mukanya telah terhapus sama
sekali oleh ciuman-ciuman Yang Kui Hui. Kemudian dia mencari pedangnya dan betapa heran dan terkejut
hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa pedangnya tidak berada di dalam kamar itu!
Akan tetapi dia segera tersenyum menenangkan hatinya sendiri. Tentu Yang Kui Hui sengaja hendak mainmain
dengan dia! Tak mungkin wanita itu melakukan hal yang bukan-bukan dan merugikannya setelah apa
yang mereka nikmati bersama semalam! Tentu Yang Kui Hui sudah bertekuk lutut dan mencintanya
setelah dia membuktikan kejantanannya semalam, pikir Swi Liang dengan bangga. Dengan hati ringan dia
lalu melangkah ke pintu, membuka daun pintu hendak mencari kekasihnya itu.
Sunyi di luar kamar itu, padahal biasanya penuh dengan pengawal. Kemudian muncul seorang pelayan
wanita yang bertugas membersihkan kamar Yang Kui Hui setiap pagi. Melihat pelayan ini, Swi Liang
dengan suara biasa lalu menanyakan di mana adanya majikan mereka yang cantik itu.
"Beliau tadi memerintahkan bahwa kalau Liang-lihiap sudah bangun agar Lihiap suka pergi menyusul ke
dalam pondok di taman. Beliau menanti di sana."
Mendengar kata-kata ini, Swi Liang bergegas pergi ke taman, hatinya girang sekali. Tak salah dugaannya.
Yang Kui Hui telah bertekuk lutut di depan kakinya! Selir yang angkuh dan cantik itu telah jatuh cinta
kepadanya sehingga kini selir itu ingin melanjutkan permainan cinta mereka di dalam pondok taman, tentu
agar jangan sampai menimbulkan kecurigaan para pelayan lain!
"Ha-ha-ha, kau cerdik sekali, manis," kata hatinya penuh kegembiraan, "untuk kecerdikanmu itu akan
kuberi upah ciuman hangat!"
Sambil tersenyum-senyum Swi Liang melangkah lebar ke dalam taman yang indah dan luas itu. Dia
membayangkan segala kemesraan yang akan dialaminya sebentar lagi di dalam pondok taman. Taman itu
sunyi karena hari masih amat pagi. Memang biasanya pun taman itu hanya dikunjungi para puteri istana
setelah matahari naik tinggi sehingga mereka dapat menghirup hawa segar di situ. Bahkan tidak tampak
seorang pun juru taman yang biasanya sepagi itu tentu telah membersihkan taman.
Ketika melewati tempat di mana dia malam-malam beberapa hari yang lalu mengubur mayat dua orang
pelayan wanita, Swi Liang menggerakkan pundaknya untuk menenteramkan hatinya yang agak
terguncang. Salah kalian sendiri, pikirnya. Dan untuk menekan perasaannya, dia telah menginjak kuburan
yang tidak kentara dan tak dikenal orang lain kecuali dia itu.
Dia kini sudah berdiri di depan pintu pondok, lalu mengetuk pintu pondok sambil berkata dengan suara
biasa, suara pria, halus dan penuh rayuan, "Dewiku yang cantik jelita, bidadari dari sorga. Manis, bukalah
pintu, aku sudah amat rindu kepadamu...!"
Daun pintu pondok merah itu terbuka dari dalam dan... Swi Liang meloncat ke belakang sambil menahan
seruan kagetnya ketika dia melihat bahwa dari dalam pondok itu keluar dua puluh orang lebih pengawal
yang memegang senjata di tangan! "Menyerahlah engkau, Liang Cu. Kami mendapat perintah untuk
menangkapmu!" komandan pengawal berkata keren.
Seketika pucat muka Swi Liang dan otomatis tangan kanannya meraba pinggang, hanya untuk diingatkan
bahwa pedangnya telah lenyap dari dalam kamar tadi! "Apa... apa... dosaku..?" dia bertanya gagap. Saking
bingungnya dia lupa menyembunyikan suara laki-laki yang keluar dari mulutnya.
Dua puluh lebih pengawal itu tertawa dan sang komandan membentak, "Lekas berlutut dan menyerah!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Swi Liang maklum bahwa rahasianya tentu telah terbuka. Dia tidak tahu apa yang terjadi dan siapa yang
telah membuka rahasianya. Sampai saat itu dia sama sekali tidak menyangka bahwa Yang Kui Hui yang
telah mengkhianatinya. Akan tetapi dia tahu bahwa kalau dia tertangkap, tentu dia akan celaka.
"Mampuslah!" bentaknya sambil menerjang ke depan.
Swi Liang menghantam komandan dengan kepalan tangan kanan sedangkan kepalan tangan kiri
menghantam pengawal ke dua yang berdiri di dekatnya. Komandan itu memiliki kepandaian silat yang
cukup tinggi, maka dia dapat menangkis biar pun dia menjadi terhuyung-huyung. Akan tetapi pengawal
yang terkena hantaman tangan kiri Swi Liang mengeluarkan teriakan keras dan roboh terguling, muntahmuntah
darah karena pukulan yang mengenai dadanya tadi amat kuat.
Segera Swi Liang dikeroyok oleh dua puluh orang lebih. Para pengawal itu rata-rata memiliki ilmu silat yang
cukup tangguh. Karena mereka semua bersenjata, repot jugalah Swi Liang yang harus membela diri
dengan tangan kosong!
"Jangan bunuh dia! Kita harus menangkapnya hidup-hidup!" beberapa kali komandan berteriak.
Swi Liang mengamuk sekuatnya. Namun setelah tubuhnya terkena beberapa kali bacokan dan tusukan,
akhirnya dia terguling dan teringkus. Dalam keadaan luka-luka dan setengah pingsan dia diseret ke dalam
kamar tahanan. Sementara itu, Yang Kui Hui segera mengadu kepada Kaisar bahwa pelayan wanita yang
dahulu menolongnya itu ternyata adalah seorang pemuda dan mungkin mata-mata musuh yang sengaja
menyelundup.
Mendengar ini, Kaisar memerintahkan agar Swi Liang disiksa dan dipaksa untuk mengakui keadaannya.
Pada hari itu juga, di dalam kamar tahanan yang dirahasiakan, Swi Liang dikompres untuk mengaku.
Ada beberapa macam semangat yang mendorong seseorang menjadi prajurit. Semangat patriotik sebagai
pengabdian kepada negara dan bangsa, semangat mencari kedudukan dan kemuliaan, dan semangat
yang timbul dari keadaan lain pula. Di antara semua itu, hanya prajurit yang didorong semangat mengabdi
kepada negara dan bangsa sajalah yang akan berani mempertaruhkan nyawa dengan rela, karena dia
merasa yakin bahwa apa yang diperjuangkan dalam hidupnya itu benar! Kebenaran seseorang yang tentu
saja mengharapkan sesuatu, misalnya nama sebagai seorang pahlawan atau ‘tempat baik’ di alam baka!
Betapapun juga, lepas dari-pada tepat tidaknya kebenaran semacam itu, harus diakui bahwa hanya prajurit
yang bersemangat demikian sajalah yang akan menghadapi kematian dan siksaan dengan berani dan
gagah.
Tidaklah demikian dengan Swi Liang. Dia melakukan tugasnya karena dorongan subo-nya yang juga
menjadi kekasihnya, karena keinginannya untuk kelak memperoleh kedudukan tinggi jika cita-cita subo-nya
terlaksana. Kalau putera subo-nya sampai bisa menjadi kaisar seperti yang dicita-citakan subo-nya, dia
tentu setidaknya akan menjadi seorang menteri! Karena semangat seperti ini yang mendorongnya
berjuang, maka begitu gagal patahlah semangatnya.
Begitu dia disiksa, keluarlah pengakuan dari mulut Swi Liang bahwa dia adalah kaki tangan subo-nya, The
Kwat Lin Ratu Pulau Es yang kini menjadi ketua Bu-tong-pai dan yang bersekutu dengan Pangeran Tang
Sin Ong, dan tugasnya adalah memikat hati Yang Kui Hui agar selir itu kelak mau membantu
pemberontakan mereka. Pengakuan ini tentu saja menimbulkan geger. Pangeran Tang Sin Ong ditangkap
dan beberapa hari kemudian, Swi Liang dan Pangeran Tang Sin Ong dijatuhi hukuman penggal kepala di
tempat umum agar menjadi peringatan bagi siapa saja yang hendak memberontak.
Kaisar lalu mengirim pasukan untuk menangkap ketua Bu-tong-pai yang memberontak. Habislah riwayat
hidup Bu Swi Liang, putera Lu-san Lojin Bu Si Kang yang gagah perkasa itu. Memang patut disayangkan
karena sebenarnya dahulu Bu Swi Liang adalah seorang pemuda yang baik dan gagah perkasa, yang
dididik oleh ayahnya sejak kecil agar menjadi seorang pendekar yang selalu membela kebenaran dan
keadilan. Memang keadaan sekeliling amat mempengaruhi jalan hidup seseorang. Tapi hal ini tidaklah
berarti bahwa sekeliling yang bersalah sehingga menyeret seseorang ke jalan sesat seperti halnya Bu Swi
Liang. Sebetulnya, yang bersalah adalah dirinya sendiri!
Orang yang mengenal diri sendiri akan selalu dalam keadaan waspada dan sadar sehingga berada di
dalam lingkungan apa pun juga dia akan selalu mengamati tingkah laku sendiri lahir batin setiap saat, tak
dunia-kangouw.blogspot.com
mungkin terseret atau ternoda. Seperti emas murni atau bunga teratai, biar berada di lumpur akan tetapi
tetap bersih! Sebaliknya, orang yang tidak mau mengamati dirinya sendiri setiap saat, akan mudah lupa diri
karena terlalu menonjolkan ‘akunya’. Si Aku ini memang selalu ingin menang sendiri, ingin enak dan
senang sendiri, sehingga untuk memenuhi segala keinginannya itu, diri terseret dan mudah terjeblos ke
dalam jurang penuh dengan ular-ular berbisa bernama iri, dendam, benci, sombong, duka, dan lain-lain
yang kesemuanya berakhir dengan kesengsaraan.
Hari itu di Bu-tong-san telah tiba pasukan yang kuat dan dipimpin seorang perwira tinggi yang membawa
perintah penangkapan dari Kaisar sendiri. Namun mereka terlambat. The Kwat Lin, ketua Bu-tong-pai yang
baru dan hendak ditangkap itu telah melarikan diri bersama anak buah yang setia kepadanya.
Tentu saja hal ini tidaklah mengherankan. Sebelum Swi Liang membuka rahasia pemberontakannya, The
Kwat Lin telah lebih dulu mendengar bahwa muridnya telah gagal dan ditangkap. Dia merasa kecewa
sekali, akan tetapi dia juga maklum akan bahaya yang mengancam dirinya. Kalau sampai pasukan
pemerintah menyerang Bu-tong-pai, tentu saja dia tidak mungkin dapat melawan pasukan yang besar itu.
Maka diam-diam dia lalu meloloskan diri dari Bu-tong-san. Bersama anak buahnya yang setia dia lalu
melarikan diri ke Rawa Bangkai yang menjadi markas ke dua dari komplotan ini.
Seperti di ketahui, Kiam-mo Cai-li Liok Si yang menjadi datuk kaum sesat itu telah ditaklukkannya sehingga
menjadi sekutunya. Tempat tinggal datuk wanita ini, Rawa Bangkai di kaki pengunungan Lu-liang-san,
kemudian menjadi markas ke dua. Ketika menghadapi bahaya penangkapan dari kota raja, tentu saja Kwat
Lin lalu melarikan diri ke tempat yang merupakan daerah rahasia dan berbahaya itu.
Pelarian dari Bu-tong-pai ini diterima dengan baik oleh Kiam-mo Cai-li Liok Si yang memperoleh
kesempatan untuk menonjolkan jasanya. Segera Rawa Bangkai dijaga dengan kuat sekali dan Liok Si
menghibur The Kwat Lin atas kegagalan muridnya.
"Aku hanya merasa kecewa sekali mengenangkan murid-muridku," kata The Kwat Lin dengan suara
gemas. "Swi Nio telah mengkhianatiku, lari dengan seorang mata-mata musuh entah dari mana dan
pengharapanku tadinya tinggal kepada Swi Liang. Dia sampai terbuka rahasianya dan tertangkap, hal itu
katakanlah sebagai suatu kegagalan yang menyedihkan. Akan tetapi mengapa dia membocorkan rahasia
Pangeran Tang Sin Ong sehingga Pangeran itu pun dihukum mati? Dengan matinya Pangeran Tang Sin
Ong habislah harapan kita!" The Kwat Lin menghela napas panjang dan mengepal tinjunya dengan hati
gemas.
"Aihhh, seorang yang memiliki ilmu kepandaian seperti Pangcu, mengapa mudah sekali putus asa?" Liok
Si mencela.
"Hem, Cai-li, jangan kau menyebutku Pangcu lagi. Aku bukan lagi ketua Bu-tong-pai setelah kini menjadi
pelarian pemerintah. Dan aku tidak membutuhkan perkumpulan itu. Siapa yang tidak akan putus asa? Citacita
kita kandas setengah jalan. Betapa pun tinggi kepandaian kita, menghadapi pasukan pemerintah yang
puluhan laksa banyaknya, kita dapat berbuat apa?"
Kiam-mo Cai-li tersenyum. Dia maklum bahwa wanita yang amat lihai ini memiliki cita-cita yang besar
sekali. "The-pangcu... eh, Lihiap, seorang dengan kepandaian seperti engkau tentu dapat mencari
kedudukan dengan mudah sekali."
"Hemm, mana mungkin? Pemerintah telah menganggapku sebagai pemberontak dan aku akan selalu
menjadi pelarian dan buruan pemerintah. Pula, aku adalah seorang bekas ratu. Oleh karena itu cita-citaku
hanya satu, ialah aku akan berusaha sekuat tenaga agar puteraku memperoleh kedudukan yang sepadan
dengan darah keturunannya."
Kiam-mo Cai-li mengangguk-angguk. "Memang sepatutnya... sudah sepatutnya..., dan aku bersedia
membantumu asal kelak kau tidak akan melupakan bantuanku."
The Kwat Lin memegang tangan datuk wanita itu dan memandang tajam. "Kiam-mo Cai-li, kita bukan anakanak
kecil lagi. Kita sama-sama wanita dan kita saling mengetahui isi hati masing-masing. Engkau sudah
banyak menolongku, masihkah engkau menyangsikan bahwa aku menganggapmu sebagai tangan dan
kaki sendiri dan kita akan senasib sependeritaan, bahkan sehidup-semati?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiam-mo Cai-li tersenyum dan mengangguk. "Aku tahu bahwa engkau adalah seorang wanita yang selain
berilmu tinggi, juga berkemauan keras dan bercita-cita tinggi, The-lihiap. Kita tidak perlu putus asa dengan
kegagalan muridmu. Masih ada jalan lain yang kurasa akan lebih menguntungkan kita."
"Bagaimana?"
"Bersekutu dengan An Lu Shan!"
The Kwat Lin memandang wajah Kiam-mo Cai-li dengan alis berkerut. Majikan Rawa Bangkai itu
tersenyum dan diam-diam The Kwat Lin harus memuji bahwa wanita yang usianya sudah lima puluh tahun
itu kalau tersenyum kelihatan masih muda dan masih cantik.
Kata-kata Kiam-mo Cai-li mengejutkan hatinya dan sekaligus menimbulkan kecurigaannya. Sudah terang
bahwa mereka menjadi saingan An Lu Shan, bagaimana sekarang dapat bersekutu dengan Panglima itu?
Bahkan yang menyalakan api pemberontakan dalam dada Pangeran Tang Sin Ong adalah karena merasa
iri hati kepada An Lu Shan yang disuka oleh Kaisar dan selalu dibela oleh Yang Kui Hui. Dan sekarang,
sekutunya ini mengusulkan untuk bersekutu dengan An Lu Shan!
"Cai-li, apa maksudmu?" tanyanya. Suaranya membentak dan matanya memandang tajam menyelidik.
"Aih, The-lihiap, aku tahu mengapa engkau terkejut. Akan tetapi bukankah para cerdik pandai jaman
dahulu pernah berkata bahwa orang cerdik harus pandai memilih kawan? Demi tercapainya cita-cita, kalau
perlu kawan menjadi lawan dan lawan berbalik menjadi kawan!"
Berseri wajah The Kwat Lin dan dia memandang kagum. "Kau benar, Cai-li. Kau benar dan cerdik sekali!
Akan tetapi, mungkinkah dia mau?"
"Jangan khawatir. Aku sudah lama mengenal baik panglima kasar itu. Di balik semua langkahnya menjilat
Kaisar dan Yang Kui Hui, dia bercita-cita merebut kekuasaan Kaisar. Dan pada waktu ini dia amat
membutuhkan bantuan orang-orang pandai, tentu saja dia akan menerima kita dengan tangan terbuka."
The Kwat Lin berdebar-debar dan menggosok-gosok pipinya yang berkulit halus itu dengan tangannya.
Tampaknya wanita ini ragu-ragu. "Akan tetapi, bagaimana kita dapat mengadakan hubungan?"
"Aku akan menyuruh anak buahku. Harap kau suka tulis surat untuk disampaikan kepada An Lu Shan.
Sebaiknya begini isinya...."
Wanita cerdik Kiam-mo Cai-li berunding dengan The Kwat Lin, mengulurkan tangan kepada An Lu Shan
mengajak bersekutu melalui sehelai surat yang ditulis oleh tangan halus The Kwat Lin. Dalam hal
menggunakan siasat, kiranya wanita lebih cerdik dari-pada pria, dan hal ini dibuktikan oleh The Kwat Lin
dan Kiam-mo Cai-li Liok Si.
Sebulan kemudian tampak lima orang muncul di tepi rawa yang sunyi itu. Mereka ini terdiri dari empat
orang pria dan seorang wanita, kesemuanya kelihatan gagah perkasa dan tangkas.
Rawa ini amat luas, sunyi dan terkenal berbahaya sekali. Kelihatannya tidak berbahaya, hanya merupakan
genangan air yang amat luas seperti telaga besar, namun air itu tertutup oleh rumput dan bermacam
tetumbuhan kecil sehingga kadang-kadang tidak nampak airnya. Bahkan seolah-olah tertutup oleh lapisan
tanah tipis dan inilah yang berbahaya sekali. Manusia mau pun binatang yang berani mendekati rawa dan
salah injak, mengira bahwa tanah berumput itu keras, akan terperosok ke dalam air berlumpur yang
mempunyai daya penyedot sehingga sekali kaki terbenam, akan disedot ke bawah dan sukar ditarik ke
atas lagi.
Air berlumpur itu dalam sekali. Karena amat lembek, maka seolah-olah menyedot kaki, padahal kaki orang
atau binatang itu yang terus tenggelam secara perlahan-lahan. Lumpur di rawa ini memang mempunyai
daya lekat sehingga kaki seolah-olah disedot dan ditahan, sukar untuk ditarik kembali ke atas. Selain
bahaya yang merupakan perangkap-perangkap maut dari alam ini, juga di situ terdapat banyak ular dan
binatang berbisa lain yang bersembunyi di antara rumput-rumput dan tetumbuhan lain. Karena sering-kali
terdapat bangkai-bangkai binatang-binatang yang terperosok ke dalam perangkap alam sekitar rawa, juga
bahkan kadang-kadang tampak mayat mausia-manusia yang sampai membusuk dimakan lumpur, maka
dunia-kangouw.blogspot.com
terkenallah rawa itu dengan sebutan Rawa Bangkai!
Jauh dari rawa, tampak di tengah-tengah rawa itu sebuah pulau dan di situ terdapat bangunan-bangunan
yang tampak dari jauh. Namun tidak ada orang dari luar rawa yang berani mencoba untuk mendekati pulau
ini. Selain jalan menuju ke situ harus menyeberangi rawa maut itu, juga telah terkenal bahwa bangunanbangunan
itu adalah sarang dari iblis betina yang ditakuti semua orang, yaitu Kiam-mo Cai-li.
Karena Kiam-mo-Cai-li yang cerdik itu melarang para anak buahnya untuk mengganggu rakyat di sekitar
tempat itu, maka tidak akan ada alasan bagi alat pemerintah untuk memusuhinya, pula pembesar setempat
merasa ngeri untuk menentang iblis betina itu. Dengan demikian, datuk kaum sesat ini hidup aman dan
tenteram di kaki pegunungan Lu-liang-san itu, dan tempat ini menjadi tempat pesembunyian yang baik
sekali bagi The Kwat Lin dan anak buahnya.
Kita kembali kepada lima orang yang pada hari itu berada di tepi rawa. Tiga orang di antara mereka lakilaki
tua berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun. Seorang lagi adalah laki-laki berusia tiga
puluh tahun, berwajah tampan gagah dan bertubuh tegap, sedangkan wanita itu masih muda, seorang
gadis berusia paling banyak enam belas tahun, tubuhnya langsing dan wajahnya manis namun sepasang
matanya mengandung sinar keras.
Wanita itu bukan lain adalah Bu Swi Nio dan laki-laki muda tampan gagah itu adalah penolongnya ketika
dia hendak membunuh diri setelah malam itu dia diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong! Bagaimana dia
sekarang bersama laki-laki dan tiga orang kakek dapat berada di tepi Rawa Bangkai?
--- dunia-kang-ouw.blogspot.com ---
Malam itu, setelah diperkosa oleh Pangeran Tang Sin Ong dalam keadaan mabuk dan tidak sadar, Swi Nio
hendak membunuh diri dengan pedang. Akan tetapi dia dicegah oleh laki-laki yang ternyata adalah
seorang mata-mata dari An Lu Shan. Dia dapat diingatkan oleh laki-laki itu bahwa membunuh diri bukanlah
jalan terbaik untuk membalas sakit hati. Maka Swi Nio lalu ikut dengan orang itu dan menjadi petunjuk jalan
sehingga mata-mata itu berhasil menyelamatkan diri bersama Swi Nio, keluar dari tembok Bu-tong-pai.
Kedua orang ini tanpa bicara melarikan diri terus dengan cepatnya sampai matahari naik tinggi. Ketika tiba
di kaki pegunungan Bu-tong-san, barulah mereka berhenti mengaso di dalam sebuah hutan lebat. Begitu
duduk di bawah pohon melepaskan lelah, Swi Nio teringat akan nasib yang menimpa dirinya, maka serta
merta dia menangis mengguguk.
Laki-laki itu memandang ke arahnya dan menghela napas panjang, mengepal tinju dan hanya
mendiamkannya saja karena pengalamannya membuat dia mengerti bahwa dalam keadaan berduka
seperti itu, tidak ada obat yang lebih baik bagi gadis itu kecuali tangis dan air mata yang bercucuran.
Setelah agak mereda tangis Swi Nio, dia berkata, "Nona, seperti aku katakan pagi tadi, tidak perlulah hal
yang telah terjadi dan yang telah lalu ditangisi dan disedihkan. Yang penting, kita melihat ke depan. Jalan
hidup masih lebar dan terbentang luas di depan kita. Mengubur diri dengan kedukaan saja tidak ada artinya
dan pula hanya akan melemahkan semangat kita yang perlu kita pupuk untuk dapat membalas kepada
orang-orang yang telah merusak hidup kita."
Kata-kata yang dikeluarkan dengan suara gagah ini membuat Swi Nio mengangkat mukanya yang pucat
dan basah. Mereka berdua saling pandang sejenak, keduanya baru melihat nyata akan wajah masingmasing.
Wajah pria itu menimbulkan kepercayaan di hati Swi Nio sedangkan wajah gadis itu membuat
jantung laki-laki itu berdebar dan tertarik.
"Kau siapakah?" akhirnya Swi Nio bertanya.
"Sudah kukatakan kepadamu, aku adalah seorang mata-mata, seorang kepercayaan Jenderal An Lu Shan.
Namaku Liem Toan Kie. Dalam penyelidikanku di Bu-tong-pai, aku telah mengenal namamu, Nona.
Engkau adalah Nona Bu Swi Nio, bersama kakakmu Bu Swi Liang engkau adalah murid dari Ketua Butong-
pai yang baru. Aku pun telah mengetahui akan nasibmu semalam...."
"Ahhh...! Si Jahanam Tang Sin Ong...!" Engkau benar! Aku tidak perlu berputus asa, aku tidak perlu
mengubur diri dalam kedukaan, aku harus berusaha untuk membalas semua penghinaan ini. Akan
kubunuh Si Jahanam Tang Sin Ong!" gadis itu mengepal kedua tangannya dengan penuh kemarahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nah, itu baru gagah dan bersemangat! Akan tetapi, tidak semudah itu membunuh seorang Pangeran, apa
lagi dia sahabat baik gurumu yang amat lihai. Jalan satu-satunya, marilah ikut aku, mengabdi kepada
Jenderal An Lu Shan. Hanya itulah jalannya sehingga kelak engkau akan dapat membalas dendam."
"Kau... kau seorang prajurit bawahan Jenderal itu?"
Toan Ki menggelengkan kepalanya. "Bukan, aku bukan prajurit. Aku orang luar yang telah menggabungkan
diri dengan An-goanswe dan mendapatkan kepercayaannya untuk menyelidiki Bu-tong-pai. Aku disuruh
menyelidiki rencana apa yang diadakan oleh Pangeran Tang Sin Ong dan Bu-tong-pai. An-goanswe adalah
seorang yang amat cerdik. Dia biarkan pemberontakan lain agar kedudukan Kaisar makin lemah, namun
dia harus tahu segala gerak-gerik musuh, baik gerak-gerik Kaisar mau pun pemberontak lain. Sekarang
aku tahu bahwa rencana mereka adalah melemahkan Kaisar melalui Yang Kui Hui, dan sekarang aku akan
kembali dan melaporkan hasil penyelidikanku kepada An-goanswe. Kau ikutlah, akan kuperkenalkan dan
engkau tentu akan diterima, karena engkau memiliki kepandaian yang lumayan di samping dendammu
kepada Tang Sin Ong."
"Aku... aku tidak suka menjadi pemberontak."
"Hemm, apakah kau kira aku suka menjadi pemberontak, Nona? Tidak! Aku membantu An Lu Shan bukan
karena aku suka menjadi pemberontak, melainkan karena aku pun sakit hati terhadap pemerintah."
"Eh?" Swi Nio tertarik dan memandang wajah yang gagah itu. "Mengapa?"
"Hampir sama nasib kita, Nona, hanya berbeda jalannya saja. Ketahuilah, dahulu aku adalah seorang
tokoh Hoa-san-pai yang tentu saja tak mau mencampuri urusan politik dan pemberontakan, bahkan
condong untuk setia kepada pemerintah. Akan tetapi pada suatu hari terjadilah hal yang amat hebat... yang
merubah seluruh jalan hidupku...."
Swi Nio teringat akan nasibnya sendiri. Dia mendekat lalu berkata, "Liem-twako, kau ceritakanlah!" Sejenak
mereka berpandangan, lalu Toan Ki menceritakan riwayatnya secara singkat.
Dia tinggal di kota Ma-kiu-bun, sebuah kota yang cukup ramai di tepi sungai Huangho. Hidupnya tenang
dan bahagia dengan isterinya yang baru dinikahinya selama tiga bulan. Dengan membuka toko obat dan
mengajar ilmu silat, dia hidup lumayan. Namun isterinya merasa kecewa karena setelah tiga bulan
menikah, belum juga ada tanda-tanda mengandung. Maka Toan Ki mengijinkan isterinya untuk
bersembahyang ke kelenteng untuk minta berkah agar isterinya dapat memperoleh keturunan secepatnya.
Akan tetapi mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Menjelang senja, setelah pergi sejak pagi,
barulah isterinya pulang dan turun dari joli dalam keadaan payah, mukanya pucat dan basah air mata.
Sambil menangis sesenggukan isterinya lari ke dalam rumah, menjatuhkan diri dan berlutut di depan
kakinya sambil menceritakan bahwa ketika tadi bersembahyang di kelenteng, kebetulan di kelenteng itu
terdapat putera bangsawan Lui yang bermain catur dengan para hwesio. Melihat dia, putera bangsawan
menyeretnya ke dalam kamar di kelenteng dan memperkosanya!
Setelah mengucapkan pengakuan yang hebat itu, isterinya lari ke dalam kamar sambil menangis
sesenggukan. Hati Toan Ki terasa tidak enak. Tadi dia termangu-mangu seperti patung saking marah dan
dukanya mendengar penuturan isterinya sehingga dia agak lalai membiarkan isterinya lari. Cepat dia
mengejar, dan melihat pintu kamar isterinya dipalang dari dalam, ia lalu menendang pecah daun pintu! Dia
berdiri pucat dan terbelalak. Apa yang dilihatnya?
"Isteriku telah rebah mandi darah di lantai! Pedangku ia pergunakan untuk membunuh diri, menusuk
dadanya hampir tembus!" dia mengakhiri ceritanya sambil menutupkan kedua tangan di depan mukanya.
"Ohhh...!!" Swi Nio menjadi pucat sekali. Dia menyentuh lengan Toan Ki dengan penuh perasaan terharu.
"Putera bangsawan dan hwesio-hwesio keparat itu harus dihukum! Dan aku akan membantumu, Liemtwako!"
Toan Ki menurunkan tangannya, memegang tangan Swi Nio dengan erat. Mereka saling berpegangan dan
saling menggenggam tangan. "Kita senasib, Nona. Karenanya ada kecocokan di antara kita dan karenanya
dunia-kangouw.blogspot.com
aku menolongmu pagi tadi. Akan tetapi, bicara soal bantu-membantu, akulah yang akan membantumu
kelak kalau saatnya tiba untuk membalaskan sakit hatimu. Sedangkan sakit hatiku sendiri sudah kubalas
impas dan lunas. Pemuda bangsawan keparat itu telah kubunuh bersama semua hwesio kelenteng itu!
Karena itu aku menjadi buronan dan aku terpaksa lari kepada Jenderal An Lu Shan yang segera
menerimaku karena dia membutuhkan bantuan kepandaianku."
"Ahhh, engkau baik sekali, Twako. Dan engkau bernasib buruk sekali seperti aku. Aku merasa beruntung
dapat bertemu dan dapat bersahabat denganmu. Baiklah, aku akan ikut bersamamu menghadap Jenderal
An Lu Shan."
Demikianlah, Swi Nio ikut bersama Toan Ki. Benar saja seperti dikatakan laki-laki gagah itu, dia diterima
dengan baik di dalam rombongan orang-orang gagah, bukan prajurit yang menjadi pembantu-pembantu An
Lu Shan.
Persahabatan Bu Swi Nio dengan Liem Toan Ki menjadi makin akrab dan bahkan tumbuh benih-benih
cinta kasih di antara kedua orang yang sama nasibnya ini, Liem Toan Ki kehilangan isterinya yang
dikawininya baru tiga bulan lamanya, sedangkan Swi Nio kehilangan keperawanannya karena diperkosa
oleh seorang pangeran. Akhirnya keduanya bersepakat untuk mengikat perjodohan, namun Swi Nio
mengatakan bahwa dia baru mau melangsungkan pernikahan secara resmi apabila sakit hatinya telah
terbalas semua! Maka kedua orang ini hidup sebagai dua orang tunangan yang saling mencinta, apa lagi
karena perjodohan mereka itu direstui oleh An Lu Shan yang pandai mengambil hati orang-orang yang
memiliki ilmu kepandaian yang amat dibutuhkan bantuannya.
Pada suatu hari An Lu Shan memanggil Liem Toan Ki dan Bu Swi Nio bersama tiga orang tokoh lain yang
merupakan orang-orang berkepandaian tinggi di antara para pembantu An Lu Shan.
Yang seorang bernama Tan Goan Kok, seorang kakek tinggi besar yang yang terkenal di utara sebagai
seorang ahli gwakang yang hebat. Kabarnya Tan Goan Kok ini biar pun usianya sudah lima puluh tahun
lebih, tapi dapat menggunakan kekuatan otot tubuhnya untuk mengangkat seekor kerbau bunting. Di
samping tenaganya yang besar, juga dia memiliki ilmu silat toya yang sukar dicari bandingannya.
Kakek kedua adalah Pat-jiu Mo-kai (Pengemis Iblis Tangan Delapan), seorang kakek yang berusia enam
puluh tahun. Pakaiannya penuh tambalan biar pun bersih dan baru dan selalu memegang sebatang
tongkat butut. Semua orang bahkan termasuk An Lu Shan sendiri menyebutnya Pangcu (Ketua), padahal
kakek jembel ini hanyalah seorang ketua yang tidak mempunyai anak buah! Pat-jiu Mo-kai tidak memimpin
suatu perkumpulan pengemis, namun nama besarnya sedemikian terkenal sehingga setiap orang
pengemis di mana pun juga akan selalu menyebutnya Pangcu! Sampai ketua para perkumpulan pengemis
juga menyebutnya Pangcu! Ilmu tongkatnya amat tinggi dan kabarnya belum pernah kakek ini dikalahkan
lawan selama dalam perantauannya sampai akhirnya dia dapat dibujuk membantu An Lu Shan.
Orang ke tiga berusia lima puluh tahun lebih dan berpakaian tosu. Dia memang seorang penganut Agama
To, seorang kakek perantau yang disebut Siok Tojin. Berbeda dengan kedua orang kakek pertama, Siok
Tojin orangnya pendiam, tidak terkenal, namun ilmu pedangnya amat hebat sehingga ketika dia diuji, ilmu
pedangnya itu bahkan mampu menandingi tongkat Pat-jiu Mo-kai!
Setelah Liem Toan Ki, Bu Swi Nio, dan tiga orang kakek itu menghadap An Lu Shan yang memanggilnya,
Jenderal pemberontak ini lalu menceritakan akan surat dari The Kwat Lin, bekas ketua Bu-tong-pai yang
mengajak kerjasama dalam menentang Kaisar.
"Aku sengaja mengutus Ngo-wi (kalian berlima) untuk menjajaki hati wanita berilmu tinggi ini, apakah
benar-benar dia hendak bersekutu? Bu Swi Nio adalah muridnya, maka aku mengutusnya untuk mengukur
hati gurunya. Kalau dia benar-benar hendak bersekutu, tentu dia tidak akan marah kepada muridnya yang
telah melarikan diri dan menjadi pembantuku. Kau menemani dan menjaga tunanganmu, Toan Ki. Dan
Pangcu bersama dua orang Lo-enghiong hendaknya menguji kepandaian mereka yang hendak bersekutu,
di samping melindungi mereka berdua ini kalau-kalau terancam bahaya."
--- dunia-kang-ouw.blogspot.com ---
Demikianlah maka pada pagi hari itu, lima orang kaki tangan An Lu Shan ini telah berada di tepi Rawa
Bangkai. Mereka memandang ke arah pulau di tengah-tengah rawa yang tampak dari tempat itu dalam
dunia-kangouw.blogspot.com
jarak yang cukup jauh, kemudian memandang permukaan rawa dengan wajah membayangkan kengerian.
Sudah banyak mereka mendengar akan bahayanya melintasi rawa itu.
"Saya hanya baru satu kali mengunjungi tempat ini bersama Subo," terdengar Swi Nio menerangkan ketika
dia ditanya oleh teman-temannya. "Ketika itu kami mengikuti Kiam-mo Cai-li yang membawa kami
berlompatan dari tempat ini ke pulau itu. Setiap lompatannya membawanya ke tanah keras dan aman.
Akan tetapi tentu saja aku tidak bisa mengingat lagi karena dia melompat-lompat ke kanan kiri, kadangkadang
membalik lagi."
"Hemmm, tentu merupakan jalan rahasia yang sukar diketahui orang luar," kata Pat-jiu Mo-kai sambil
meraba-raba dagunya yang berjenggot panjang.
"Menurut Kiam-mo Cai-li, katanya meleset sedikit saja merupakan bahaya maut karena di sepanjang jalan
penuh dengan jebakan alam. Kadang-kadang dia membawa kami meloncat ke bagian yang ada airnya,
sampai saya merasa ngeri, akan tetapi ternyata bagian itu airnya hanya semata kaki. Sedangkan tanah
yang kelihatan kering di dekatnya, menurut keterangannya, bahkan merupakan tempat berbahaya sekali.
Ketika pulang ke Bu-tong-san, Subo sendiri mengatakan bahwa dia tidak akan berani lancang menempuh
jalan ini sendirian saja karena dia pun tidak dapat mengingat kembali jalan berliku-liku itu."
"Bagaimana kalau kita menggunakan tali yang panjang? Biar kau tidak hafal jalan itu, setidaknya kau
pernah melaluinya dan dapat kau mencarinya, Moi-moi. Kita berempat mengikuti dari belakang,
menggunakan tali yang ditalikan di pinggangmu sehingga andai kata kau salah jalan dan masuk
perangkap, kita dapat menolongmu dengan menarik tali itu," kata Liem Toan Ki kepada kekasihnya.
"Begitu pun boleh. Aku akan coba mengingat-ingat, akan tetapi harus kau sendiri yang memegang ujung
tali, Koko, karena aku ngeri!"
"Ah, aku tidak setuju! Usul itu tidak tepat, Liem Sicu!" tiba-tiba Tan Goan Kok berkata dengan suaranya
yang parau dan nyaring.
"Akan tetapi aku tidak takut, Tan-lo-enghiong!" Swi Nio membantah. "Pula, kalau Liem-koko yang
memegang ujung talinya, aku tidak takut apa-apa lagi. Andai kata aku terjeblos, tentu akan dapat cepat
ditariknya naik lagi."
"Bukan tidak setuju karena takut, melainkan karena kalau hal itu diketahui mereka, tentu akan menjadi
bahan ejekan. Perlu apa kita harus mencari-cari jalan rahasia yang disembunyikan orang? Kita harus
mencari jalan masuk yang lebih gagah, tidak mencuri-curi seperti segerombolan maling."
Bu Swi Nio mengerti dan membenarkan pendapat ini. Mereka berlima lalu duduk di tepi rawa sambil
mengerutkan alis, mencari akal bagaimana mereka akan dapat mengunjungi pulau di tengah rawa itu
sebagai tamu-tamu yang datang secara gagah. Karena kalau usul Liem Toan Ki dan Swi Nio tadi
dilanjutkan, dan sampai terjadi Swi Nio terjebak ke dalam perangkap alam, tentu hal ini akan membuat
mereka memandang rendah saja. Akan tetapi, betapa pun banyak pengalaman mereka dan betapa pun
tinggi ilmu kepandaian mereka, belum pernah mereka menghadapi kesukaran seperti sekarang ini.
Siok Tojin yang sejak tadi tidak ikut bicara, akhirnya mengeluarkan suara mengomel, kemudian berkata,
"Dapat! Aku teringat akan orang-orang Mongol yang menggunakan akal mencari ikan di rawa-rawa seperti
ini!"
Empat orang kawannya memandang ke arah tosu ini dengan wajah gembira dan penuh harapan. "Lekas
katakan, Totiang, bagaimanakah akal itu?" Tan Goan Kok bertanya.
"Mereka menggunakan bambu-bambu sebagai perahu."
"Ahh, mana mungkin? Menggunakan perahu menyeberangi rawa ini? Tentu akan mogok di tengah jalan
kalau bertemu dengan air yang tertutup tanah dan rumput," bantah Pat-jiu Mo-kai sambil memandang ke
rawa dengan alis berkerut.
"Kita jangan meniru mereka yang membuat rakit dari bambu. Kita masing-masing menggunakan sebatang
bambu saja, ujungnya dibikin runcing," kata Siok Tojin singkat, akan tetapi maksudnya sudah dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
ditangkap oleh teman-temannya.
"Bagus sekali! Tentu kita berhasil! Dengan bambu runcing, kita dapat meluncur melalui apa saja!" Tan
Goan Kok berteriak girang.
"Hemm, kusangka tidak semudah itu. Kita harus hati-hati, benar-benar mengerahkan ginkang dan sinkang.
Kalau sampai tergelincir tentu kita celaka dan akan makin berbahaya bila kemudian tertawan pula. Betapa
pun juga, akal itu baik sekali. Mari kita mencari bambu dan membuat dayung," kata Pat-jiu Mo-kai yang
bersama Siok Tojin dianggap orang tertua dan tertinggi ilmunya.
Tak lama kemudian, tampaklah lima orang itu meluncur di atas Rawa Bangkai yang terkenal sukar dilalui
orang itu. Dilihat dari jauh, seolah-olah lima orang itu terbang meluncur di atas air rawa! Akan tetapi kalau
orang melihat dari dekat barulah tampak bahwa kaki mereka menginjak sebatang bambu besar yang kedua
ujungnya telah diperuncing dan mereka menggunakan dayung kayu untuk mendorong bambu yang mereka
injak itu meluncur ke tengah.
Orang yang tidak memiliki ginkang dan sinkang jangan mencoba-coba untuk menyebrang menggunakan
cara seperti ini. Bambu sebatang yang diinjak kaki itu tentu saja amat berbahaya, selain licin juga dapat
berputar sehingga kaki dapat terpeleset. Namun, dengan kekuatan sinkang, telapak kaki mereka seolaholah
melekat pada batang bambu sehingga tidak dapat berputar lagi, dan dengan ginkang mereka dapat
memperingan tubuh mereka sehingga bambu yang mereka injak itu meluncur cepat ke tengah rawa.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Yang paling rendah tingkatannya di
antara mereka adalah Bu Swi Nio, padahal wanita ini sudah amat lihai karena semenjak kecil dia telah
digembleng pula oleh wanita sakti The Kwat Lin, ratu dari Pulau Es! Diam-diam, dari berbagai tempat
persembunyian, banyak pasang mata mengintai dan memandang dengan kagum ketika lima orang itu
meluncur datang ke arah pulau di tengah Rawa Bangkai. Melihat lima orang itu menggunakan sebatang
bambu yang diinjak, melihat mereka itu menggunakan kepandaian membunuh ular dan binatang berbisa
lain yang menghadang di tengah perjalanan itu, orang-orang Rawa Bangkai menjadi kagum dan segera
melaporkan kepada Kiam-mo Cai-li dan The Kwat Lin akan kedatangan lima orang itu.
Kedua orang wanita sakti ini segera berunding sambil menanti kedatangan mereka. Melihat bahwa Bu Swi
Nio berada di antara mereka, The Kwat Lin menjadi marah sekali.
"Keparat," desisnya marah. "Murid itu mengantarkan nyawanya ke sini!"
"Ahhh, The-lihiap, mengapa marah? Harap diingat bahwa dia bukanlah muridmu yang dahulu, melainkan
seorang pembantu An Lu Shan yang dipercaya. Karena itu, untuk memulai dengan hubungan persekutuan,
amatlah tidak baik memusuhi utusan An Lu Shan," kata Kiam-mo Cai-li.
The Kwat Lin tercengang dan teringat akan cita-citanya. Memang benar, urusan pribadi harus di
kesampingkan kalau dia ingin agar cita-citanya yang amat tinggi untuk putranya itu akan dapat terlaksana.
Maka dia lalu mengajak Kiam-mo Cai-li berunding bagaimana cara untuk menghadapi lima orang itu,
utusan-utusan An Lu Shan di mana termasuk bekas muridnya itu. Kiam-mo Cai-li yang amat cerdik lalu
memberi nasehat-nasehat sehingga keduanya dapat mengatur siasat.
Biar pun penyeberangan itu amat sukar dan mereka berlima harus membunuh banyak ular berbisa, saling
bantu-membantu ketika batang bambu mereka itu menemui banyak halangan, akhirnya lima orang itu
berhasil juga melompat ke atas pulau di mana telah berdiri serombongan orang yang ditugaskan
menyambut mereka. Melihat dua puluh lebih orang yang berdiri seperti pasukan menyambut mereka, Patjiu
Mo-kai segera tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, sungguh bagus sekali penyambutan Rawa Bangkai terhadap utusan dari An Goan-swe!" kata
Pat-jiu Mo-kai.
Seorang di antara anggota pasukan itu, yang berjenggot panjang dan bermata sipit, melangkah maju dan
memberi hormat. "Selamat datang di Rawa Bangkai! Karena kami tidak tahu bahwa Cuwi yang terhormat
datang berkunjung, maka kami tidak mengadakan penyambutan di luar rawa. Akan tetapi Cuwi telah
memperlihatkan kegagahan yang membuat kami tunduk dan kagum. Sekarang, silakan Cuwi semua ikut
dengan kami menghadap Hong-houw (Ratu)."
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam lima orang itu terkejut juga sungguh pun mereka tahu siapa yang dimaksudkan dengan sebutan
ratu itu. Benar-benar bekas ketua Bu-tong-pai adalah seorang wanita yang angkuh dan hendak menerima
mereka sebagai seorang ratu! Akan tetapi karena mereka berada di sarang yang berbahaya, mereka tidak
banyak cakap melainkan mengikuti pasukan itu menuju ke tengah pulau, di mana terdapat bangunanbangunan
yang kuat dan cukup indah. Lima orang utusan An Lu Shan itu diterima oleh The Kwat Lin,
Kiam-mo Cai-li Liok Shi, dan Han Bu Ong putra The Kwat Lin, di dalam sebuah ruangan yang luas.
Muka Swi Nio agak pucat dan otomatis dia menyentuh tangan Liem Toan Ki yang membalas dengan
genggaman seolah-olah hendak menghibur kegelisahan calon istrinya itu. Tentu saja Swi Nio merasa takut
karena dia sudah mengenal watak subo-nya yang keras dan kejam, juga maklum betapa lihainya subo-nya
itu. Dia tahu bahwa andai kata subo-nya berniat buruk, mereka berlima tentu akan tewas semua di tempat
itu.
"Ibu, itu Swi-suci yang telah minggat datang kembali!" tiba tiba Han Bu Ong berkata sambil menudingkan
telunjuknya ke muka Swi Nio.
Swi Nio tidak dapat berdiam diri lebih lama lagi. Dia maju menjatuhkan diri berlutut sambil berkata, "Subo,
teecu harap subo sudi mengampunkan teecu."
The Kwat Lin memandang tajam sejenak, lalu menghela napas dan menggerakkan tangannya. Dia cukup
bermata tajam untuk dapat melihat betapa empat orang laki laki yang datang bersama Swi Nio itu bersikap
siap siaga. Kalau dia menurutkan hati panas, lalu turun tangan mengganggu muridnya itu, tentu empat
orang utusan An Lu Shan itu akan membela Swi Nio mati-matian. Hal ini sama sekali tidak diharapkannya
dan sudah dibicarakannya tadi bersama Kiam-mo Cai-li.
Maka The Kwat Lin menekan perasaannya dan berkata, "Bangkitlah, engkau pergi dan menjadi
kepercayaan An-goanswe, tidak terlalu mengecewakan."
Lega bukan main hati Swi Nio. Dia bangkit berdiri lalu berkata kepada Bu Ong, "Sute engkau baik baik
saja, bukan?"
Han Bu Ong yang biar pun masih kecil namun sikapnya sudah seperti orang dewasa itu mencibirkan
bibirnya. Ia mendengus seperti orang mengejek, lalu berkata, "Suci, baik sekali engkau, ya? Suheng
dibunuh orang, dan ibu sampai lari ke sini, akan tetapi engkau malah minggat dan enak enak saja!"
"Bu Ong, diamlah engkau!" The Kwat Lin berkata, lalu melanjutkan kepada Swi Nio, "Swi Nio, tahukah
engkau bahwa kakakmu telah tewas?"
Swi Nio mengangguk. Air matanya yang bercucuran segera diusapnya. "Teecu sudah mendengar akan hal
itu, Subo."
"Kalau begitu kita sama-sama mendendam kepada pemerintah. Kita lupakan saja semua urusan lama, Swi
Nio, dan baik sekali kalau kita dapat bekerja sama. Agaknya engkau kini sudah dipercaya menjadi utusan
An-goanswe, ya?"
Swi Nio cepat menjawab dan memperkenalkan teman-temannya. "Teecu hanya menjadi pembantu dan
penunjuk jalan saja bersama... dia ini...." Swi Nio menunjuk kepada Liem Toan Ki dan mukanya menjadi
merah.
"Siapa dia?" The Kwat Lin memandang tajam kepada Liem Toan Ki.
Toan Ki cepat maju menjura dengan hormat. "Maafkan, Pangcu...."
"Aku bukan ketua Bu-tong-pai lagi, aku adalah bekas Ratu Pulau Es!" jawab Kwat Lin ketus.
"Maaf, saya bernama Liem Toan Ki dan Bu-moi adalah calon istri saya."
"Ibu, dia ini yang pernah menyerbu Bu-tong-pai dan dialah tentunya yang membawa minggat Suci!" tibatiba
Bu Ong berkata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Toan Ki diam-diam memuji kecerdikan anak laki-laki itu dan dia terkejut sekali. "Benar demikian, saya yang
dahulu menjadi petugas An-goanswe menyelidiki Bu-tong-pai dan kemudian mengajak pergi Bu-moi yang
sekarang menjadi calon istri saya."
The Kwat Lin mengerutkan alisnya. Laki-laki ini sebenarnya telah menghinanya sebagai bekas ketua Butong-
pai dan sebagai guru Swi Nio. Akan tetapi diam-diam dia menerima isyarat mata Kiam-mo Cai-li,
maka dia menoleh kepada Swi Nio sambil bertanya, "Benarkah kau menjadi calon isterinya?"
Muka Swi Nio menjadi merah sekali. "Benar, Subo. Kami saling mencinta, akan tetapi teecu dan dia berjanji
hanya akan melangsungkan pernikahan setelah dendam saya terbalas, yaitu setelah kerajaan sekarang
jatuh dan dikuasai An-goanswe."
"Hemm, sudahlah. Kalau kau dan calon suamimu ini hanya membantu, siapa yang menjadi utusan Angoanswe
menghadap padaku?"
"Mereka inilah," Swi Nio menunjuk kepada tiga orang teman-temannya. “Dia adalah Pat-jiu Mo-kai, dan
Totiang ini adalah Siok Tojin, Lo-enghiong itu adalah Tan Goan Kok. Mereka bertiga yang menjadi utusan
An-goanswe.”
The Kwat Lin memandang tajam kepada tiga orang itu seolah-olah hendak menimbang bobot mereka
dengan matanya.
Pat-jiu Mo-kai adalah orang tertua di antara ketiga utusan An-goanswe. Selain itu dia juga memiliki
kemampuan bicara yang lebih pandai bila dibandingkan dengan Tan Goan Kok yang kasar dan jujur, apa
lagi terhadap Siok Tojin yang jarang sekali membuka mulut. Tak heran An Lu Shan menunjuknya sebagai
pemimpin rombongan ini sekaligus juga sebagai juru bicara.
Melihat pandangan tajam The Kwat Lin, Pat-jiu Mo-kai segera tertawa. "Ha-ha-ha, kami bertiga pun
hanyalah pembantu-pembantu rendahan saja dari An-goanswe, akan tetapi kami menerima kehormatan
untuk menjadi utusan beliau menghadap Toanio The Kwat Lin yang namanya terkenal sebagai Ratu Pulau
Es dan ketua Bu-tong-pai, juga menghadap Kiam-mo Cai-li yang juga amat terkenal di dunia Kang-ouw
sebagai seorang wanita yang amat lihai dan cerdas sekali. Kami merasa amat terhormat dapat menjadi
tamu-tamu di Rawa Bangkai ini."
Kiam-mo Cai-li Liok Si yang memang amat cerdas, kini mendahului Kwat Lin dan berkata, "Tidak tahu
apakah kedatangan Cuwi ada hubungannya dengan pesan kami kepada An-goanswe?"
"Dugaan Cai-li benar sekali. Kami berlima adalah utusan An-goanswe untuk menghadap dan bicara
dengan Jiwi. An-goanswe telah menerima pesan Jiwi dan sebagai jawaban An-goanswe mengutus kami
untuk bicara."
"Lalu bagaimana keputusan An-goanswe tentang ajakan kami untuk bekerja sama?" The Kwat Lin
bertanya.
"An-goanswe merasa amat senang menerima surat Jiwi dan tentu saja An-goanswe menerima dengan
kedua tangan terbuka uluran kerja sama Jiwi itu. Sudah lama An-goanswe merasa kagum, terutama sekali
melihat siasat gemilang yang berhasil baik sehingga Jiwi sekalian dapat menyelundupkan orang menjadi
kepercayaan Yang Kui Hui. Hanya sayang, pada saat terakhir siasat gemilang itu mengalami kegagalan
karena orang kepercayaan Jiwi tidak dapat menahan nafsu birahinya. Kami diutus oleh An-goanswe untuk
menyampaikan pesan bahwa jika Jiwi suka membantu dari dalam, yaitu berusaha menanam tenagatenaga
bantuan di dalam kota raja, dan kalau mungkin di dalam istana agar kelak memudahkan
penyerbuan ke kota raja apabila saatnya yang tepat tiba, maka An-goanswe akan berterima kasih sekali."
Mendengar pesan An Lu Shan yang di sampaikan oleh Pat-jiu Mo-kai ini, hati kedua orang wanita itu
menjadi girang sekali sungguh pun kegirangan itu tidak terbaca di wajah mereka. "Kami yang tidak
mempunyai pasukan besar memang tahu diri dan tentu saja hanya akan membantu dari dalam seperti
yang diusulkan An-goanswe. Kami dapat menerima usul itu dan sebaiknya kita rencanakan siasatsiasatnya
bersama." The Kwat Lin berkata.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sebelum kita berunding dan mengatur siasat agar dapat kami sampaikan kepada An-goanswe, terlebih
dahulu kami harus menyampaikan semua pesan beliau untuk Jiwi. Selain usul itu juga An-goanswe
mengatakan bahwa pekerjaan membantu dari dalam itu merupakan pekerjaan yang amat rumit, sulit, dan
berbahaya. Hanya orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi saja yang akan dapat
berhasil dan An-goanswe ingin memperoleh keyakinan bahwa para pembantunya tidak akan gagal."
Mendengar kata-kata kakek berpakaian tambalan itu, merahlah wajah The Kwat Lin dan hatinya menjadi
panas. "Hemm, ucapanmu itu berarti bahwa kalian hendak menguji kepandaian kami?"
Sambil tertawa Kiam-mo Cai-li yang melihat kemarahan kawannya itu bangkit berdiri dan meloncat ke
tengah ruangan yang luas itu sambil berkata, "Memang sudah seharusnya demikian! An-goanswe adalah
seorang Jenderal besar yang cerdik pandai, tentu akan menguji setiap orang sekutu atau pembantunya.
Nah, biarlah aku yang lebih dulu memperlihatkan kepandaian. Siapakah di antara Cuwi berlima yang
hendak menguji?" dengan lagak memandang rendah Kiam-mo Cai-li berdiri dan memandang ke arah lima
orang utusan itu.
Tentu saja Bu Swi Nio tidak berani bergerak, juga Liem Toan Ki yang sudah maklum akan kehebatan ilmu
kepandaian wanita Majikan Rawa Bangkai itu, mengerti bahwa dia bukanlah tandingannya.
Melihat wanita yang usianya lima puluh tahun namun masih cantik menarik itu memegang sebatang
payung dan berdiri dengan sikap memandang rendah, Siok Tojin yang sejak tadi diam saja sudah bangkit.
Ilmu kepandaian tosu ini amat tinggi terutama ilmu pedangnya. Di dalam rombongan itu dia merupakan
orang ke dua yang terpandai.
"Biarlah pinto yang akan menguji," katanya.
Pat-jiu Mo-kai mengangguk. Memang yang akan menjadi tukang menguji kepandaian dua orang wanita itu
adalah mereka bertiga. Dia sudah mendengar bahwa kepandaian bekas Ratu Pulau Es itu lebih hebat daripada
kepandaian Kiam-mo Cai-li, maka memang sebaiknya kalau Siok Tojin yang menghadapi Kiam-mo
Cai-li, sedangkan dia nanti yang akan menghadapi The Kwat Lin.
Kiam-mo Cai-li memandang tosu itu penuh perhatian, kemudian sambil tersenyum dia berkata, "Kalau aku
hanya mampu menandingi Siok Tojin, agaknya belumlah patut aku menjadi tangan kanan Ratu Pulau Es
dan akan menjadi kepercayaan An-goanswe. Akan tetapi hendak kuperlihatkan bahwa aku akan dapat
mengalahkan totiang dalam sepuluh jurus. Kalau sampai dalam sepuluh jurus aku tidak mampu
mengalahkan Totiang, anggap saja aku tidak becus dan aku akan mengundurkan diri!"
Ucapan ini mengejutkan semua utusan itu. Biar pun mereka sudah lama mendengar nama besar datuk
wanita yang merupakan iblis betina ini, namun Siok Tojin bukan orang sembarangan. Ilmu pedangnya amat
tangkas, hebat dan kuat. Bagaimana wanita itu berani bersombong mengatakan hendak mengalahkannya
dalam sepuluh jurus?
Namun The Kwat Lin tenang-tenang saja. Dengan pandang matanya yang tajam dia dapat menilai orang.
Juga Kiam-mo Cai-li bukanlah menyobongkan diri secara ngawur, melainkan dia pun sudah dapat menilai
kepandaian tosu itu dari gerakannya, maka dia berani menantang akan mengalahkannya dalam sepuluh
jurus.
Siok Tojin mengerutkan alisnya, perutnya terasa panas. Dia tidak pandai bicara, maka dalam
kemendongkolannya dia hanya berkata, "Hemm, seekor kerbau diikat hidungnya, manusia diikat
mulutnya!"
Ucapan ini mengandung maksud bahwa kalau Kiam-mo Cai-li tidak memenuhi janji yang diucapkan
dengan mulut, dia sama dengan seekor kerbau! Setelah berkata demikian, tangan kanannya bergerak dan
tampaklah sinar berkilau dari pedang yang telah dicabutnya.
"Tentu saja mulutku dapat dipercaya, Siok Tojin! Aku akan mengalahkanmu dalam waktu sembilan jurus!”
Kiam-mo Cai-li berkata sambil mengejek. Tangan kanannya memegang payung yang segera terbuka dan
dipakainya, sedangkan tangan kirinya meraba-raba sanggul rambutnya, seperti sedang merapikan padahal
diam-diam dia melepas tali rambutnya yang panjang itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sebagai nyonya rumah rasanya kurang sopan jika aku menyerang tamuku. Silakan dimulai, Totiang,” ujar
Kiam-mo Cai-li.
“Singgg...!” Siok Tojin langsung menghunus pedangnya. Tosu ini memang lebih pandai berbicara melalui
pedang dibandingkan dengan mulutnya.
Pihak lawan sudah memintanya membuka pertarungan, maka tanpa sungkan lagi tosu ini menerjang ke
depan, apa lagi perutnya masih panas akibat dia tadi diremehkan. Melihat iblis wanita yang menjadi
lawannya menyandang payung di bahu kanan, langsung pedangnya menusuk lurus ke arah pundak kiri
lawan yang lebih terbuka. Dalam pertarungan biasa, dia akan menusukkan pedangnya tepat ke jantung
lawan, tetapi karena pertarungan ini hanya untuk menguji kepandaian, maka sengaja dia arahkan
pedangnya lebih tinggi sehingga tidak mengancam jiwa lawannya.
Tidak percuma Liok Si bergelar Cai-li (Wanita Pandai). Melihat gerakan pembuka tosu ini dia lantas paham
bahwa pihak lawan memang hanya ingin mengujinya, tidak punya maksud mencelakakan. Sebab itu
bibirnya mengembangkan senyum manis, dan dalam hati dia pun bertekad untuk tidak menurunkan tangan
berat kepada tosu itu. Begitu pedang datang menyambar, Kiam-mo Cai-li cepat menarik kaki kiri sedikit ke
belakang, sedangkan kaki kanannya ditekuk sehingga tubuhnya merendah dan menjauh dari pedang Siok
Tojin.
Namun gerakan pembuka tadi ternyata hanya pancingan belaka. Begitu tubuh lawan bergerak, segera Siok
Tojin menahan pedangnya, lalu membuat gerakan memutar dan membabat lengan kiri lawan. Kiam-mo
Cai-li tidak mengelak lagi, secepat kilat tangan kanannya yang memegang payung digerakkan untuk
menangkis pedang yang mengancam lengannya. Melihat urat di dahi tosu itu menegang, tanda bahwa dia
sedang mengerahkan tenaga penuh, Kiam-mo Cai-li turut menghimpun sinkang dan menangkis dengan
sekuatnya.
“Tranggg...!” timbul percikan api akibat benturan payung dan pedang, diikuti langkah mundur keduanya.
Dalam sekali gebrakan, keduanya langsung paham kemampuan lawan masing-masing. Pedang Siok Tojin
bergerak lebih dulu, namun payung Kiam-mo Cai-li yang sampai lebih awal di tempat tujuan, padahal jarak
yang ditempuh pedang lebih pendek dibandingkan payung. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan majikan
Rawa Bangkai itu masih lebih unggul. Selain itu, ketika terjadi benturan tadi Siok Tojin dapat melihat
pedangnya sedikit terpental dan merasakan perih di telapak tangannya, sedangkan payung di tangan
wanita iblis itu hanya terlihat sedikit tergetar. Mau tidak mau Siok Tojin harus mengakui bahwa sinkang-nya
juga lebih asor.
“Hemmm..., baik kecepatan mau pun sinkang-nya lebih unggul, tidak heran lidahnya bisa berucap hingga
menjilat langit. Melihat kenyataan ini, sebaiknya aku bertahan saja selama sepuluh jurus, hendak kulihat
apa yang bisa dia lakukan terhadap diriku. Lewat sepuluh jurus, jika aku masih berdiri tegak, bukankah dia
sendiri yang harus mengaku kalah?” demikian jalan pikiran si tosu dalam mengatur siasat.
Setelah mengambil keputusan demikian, Siok Tojin tidak mau bergerak sembarangan lagi. Dia hanya
berdiri tegak dengan kuda-kuda sekokoh batu karang, kedua kaki dipentang dengan lutut sedikit menekuk,
pedang menuding diarahkan lurus ke depan, tangan kirinya dipasang melintang di depan dada, sedangkan
matanya mengawasi lawan dengan waspada.
Mula-mula Kiam-mo Cai-li tertegun melihat lawannya diam tak bergerak, namun dia segera sadar akan isi
benak si tosu. Semenjak sebelum pertarungan dimulai, ketika dia menyatakan akan menundukkan
lawannya di bawah sepuluh jurus, wanita cerdik ini sudah memikirkan pula kemungkinan ini.
“Hi-hik..., baru satu jurus Totiang sudah mematung tidak berani maju. Apakah Totiang merasa takut kepada
seorang wanita? Bukankah Totiang bermaksud mengujiku? Atau... justru aku yang perlu menguji
kepandaian Totiang?” dengan cerdik Kiam-mo Cai-li menyindir tajam sambil tersenyum mengejek.
Walau pun seorang tosu, agaknya Siok Tojin adalah orang yang lebih mengutamakan hati dibandingkan
otak. Mendengar sindiran lawan, dia lupa pada siasat yang sudah ditanam dalam pikirannya. “Siapa yang
takut?!” bentaknya sambil kembali menerjang.
Kiam-mo Cai-li tahu An-goanswe tidak mungkin mengirim orang lemah untuk menguji dirinya. Bisa
dunia-kangouw.blogspot.com
melewati rawa maut hingga kakinya menginjak istana kediamannya saja sudah menunjukkan bahwa tosu
ini bukan lawan yang mudah dikalahkan begitu saja. Bila Siok Tojin hanya bertahan saja, dia khawatir
hingga lewat sepuluh jurus dirinya belum mampu mengalahkan tosu ini. Karena itu dia memang sengaja
memancing kemarahan lawan agar mau menyerang, dengan demikian akan timbul lubang-lubang yang
dapat diterobos payung, kuku, atau rambutnya yang seperti cambuk.
Segera kedua orang itu saling serang dengan dahsyat. Walau pun Siok Tojin tidak bertahan sama sekali,
namun pada kenyataannya dia ada di pihak yang lebih banyak bertahan. Dalam empat gerakan, dia hanya
menyerang satu kali, sisa tiga gerakan lainnya berupa tangkisan atau gerakan mengelak untuk
mempertahankan diri. Selain dia kalah cepat, niatnya untuk bertahan tidak terhapus hilang dari otaknya.
Tidak demikian dengan Kiam-mo Cai-li. Wanita ini harus menjatuhkan lawan sebelum jurus ke sepuluh
dimainkan, karena itu dia langsung mengembangkan jurus-jurus pilihan. Payungnya berkelebat cepat,
kadang tertutup lain kali terbuka, sekali menusuk dua kali membabat. Di samping itu tangan kirinya tidak
tinggal diam, akan tetapi turut menyerang dengan kuku-kukunya yang beracun.
Setelah lewat empat lima jurus kedudukan Siok Tojin sudah sangat payah. Seluruh ruang geraknya
seakan-akan tertutup tanpa jalan lolos, terkepung oleh kelebatan sinar payung dan cengkeraman kuku jari
Kiam-mo Cai-li. Hingga suatu saat, pada jurus kelima, tubuh Tosu itu terhuyung setelah pedangnya
terpaksa menangkis payung lawan yang menyabet lengan atasnya dengan tenaga penuh.
Tiba-tiba Kiam-mo Cai-li mengeluarkan suara lengking yang membuat telinga semua orang mendengung.
Mendadak tangan kiri wanita iblis ini menyerang ulu hati lawan dengan gerakan mencengkeram,
mengandalkan kuku jarinya yang panjang dan mengandung racun. Dalam waktu yang bersamaan, payung
di tangan kanannya berkelebat secepat kilat membabat pinggang kiri si tosu.
Walau pun dalam keadaan terhuyung, Siok Tojin masih dapat melihat dua serangan sekaligus yang sama
berbahaya ini. Cepat tangan kirinya bergerak menangkap pergelangan tangan Kiam-mo Cai-li, sementara
pedangnya diayun menangkis payung yang mengarah pada pinggangnya. Kiam-mo Cai-li mendengus, dia
biarkan tangan lawan menangkap pergelangan kirinya, namun tanpa mengurangi tenaga, cakar kiri itu
tetap mendorong dan mengancam ulu hati Siok Tojin. Di saat itu pula dia kerahkan sinkang pada
payungnya sehingga pedang lawan menempel tanpa dapat dilepaskan.
Sekejap itu pula terjadilah adu tenaga antara kedua orang ini, majikan Rawa Bangkai berada pada
kedudukan menyerang, sedangkan utusan An Lu Shan berjuang untuk mempertahankan diri. Pada saat
itu, hanya sekejap saja, Siok Tojin sempat melihat senyum di bibir Kiam-mo Cai-li tanpa tahu apa
maksudnya. Dia baru tersentak keget ketika kepala wanita itu tiba-tiba menghentak ke depan, diikuti oleh
serangkum bayangan hitam yang panjang bagaikan ular menyambar ke arahnya.
"Ehhh... celaka...!!" Siok Tojin berseru.
Akan tetapi bagaimana dia dapat menghindarkan diri dari serangan ke tiga ini? Kedua tangannya telah
menahan dua ancaman maut dan sama sekali tidak bisa dilepaskan.
"Plak-plak...!!" seperti ular hidup mematuk saja layaknya, ujung rambut panjang itu menotok dua kali,
membuat ke dua lengan tangan Siok Tojin seketika lumpuh dan pedangnya telah dirampas oleh ujung
rambut yang terayun-ayun dan berputar ke atas, membawa pedang itu berputaran di atas kepala.
"Bagaimana, Totiang?" Kiam-mo Cai-li bertanya.
Sambil menundukkan kepalanya, Siok Tojin berkata lirih, "Pinto mengaku kalah."
Memang dia tahu akan kekeliruannya sekarang, akan tetapi dia harus mengaku bahwa dia telah dikalahkan
dalam lima enam jurus saja! Dia tahu pula bahwa lawan tidak hendak mencelakakannya, kalau tidak, tentu
ujung rambut itu dapat melakukan totokan maut yang akan menewaskannya.
Rambut itu membawa pedang meluncur ke bawah dan melempar pedang menancap di depan kaki Siok
Tojin, kemudian dua kali rambut menyambar, dan menotok sehingga terbebaslah tosu itu dari totokan. Siok
Tojin menghela napas, mengambil pedangnya, menjura lalu tanpa berkata-kata lagi dia melangkah mundur
ke tempat teman-temannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha, bukan main hebatnya Kiam-mo Cai-li. Pedang payung lihai, kukunya berbahaya, rambutnya
hebat, akan tetapi yang lebih hebat lagi adalah kecerdikannya yang memancing kemarahan Siok Tojin!
Memang kecerdikan seperti itu amat dibutuhkan dalam tugas bekerja dari dalam yang membutuhkan
kecerdikan seperti yang dimiliki Kiam-mo Cai-li. Kionghi (Selamat)! An-goanswe tentu akan girang sekali
mendengar laporan kami tentang diri Kiam-mo Cai-li!"
Kiam-mo Cai-li yang sudah duduk kembali, tersenyum girang. “Aihh, Lo-enghiong Pat-jiu Mo-kai terlalu
memuji!” katanya dengan bangga dan girang.
"Sekarang untuk melengkapi tugas kami yang diberikan oleh An-goanswe, kuharap The-toanio suka
memperlihatkan kepandaian," kata pula Pat-jiu Mo-kai sambil melangkah maju menyeret tongkat bututnya.
"Dan agaknya terpaksa aku sendiri yang harus maju melayani Toanio."
The Kwat Lin masih tetap duduk dan memandang kakek pengemis itu dengan sinar mata tajam penuh
selidik, kemudian dengan suara tenang dia berkata, "Siapa lagi yang diutus oleh An-goanswe untuk
menguji kami?"
"Hanya kami bertiga, dan karena Siok Tojin sudah kalah....."
"Maka tinggal engkau dan Tan-lo-enghiong itu. Nah, kau lihat Tan-lo-enghiong juga telah membawa
senjatanya, membawa sebatang toya, maka sebaiknya kalau kalian berdua maju dan mengeroyokku!"
Pat-jiu Mo-kai tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, The-toannio, apakah Toanio juga hendak menggunakan siasat
seperti Kiam-mo Cai-li tadi? Ingat, tidaklah mudah untuk memancing kemarahanku!"
The Kwat Lin mengerutkan alisnya, lalu melangkah maju. "Siapa yang menggunakan siasat? Tanpa siasat
pun aku masih sanggup menghadapi kalian berdua."
Tiba-tiba terdengar suara Han Bu Ong, "Ibu, berikan dia kepadaku! Biar aku yang menandingi pengemis
tua itu!"
Pat-jiu Mo-kai diam-diam terkejut. Kalau seorang anak belasan tahun berani menghadapinya, tentu ibunya
memiliki kepandaian yang hebat sekali.
Akan tetapi The Kwat Lin menoleh kepada puteranya dan berkata, "Bu Ong, kita tidak sedang menghadapi
musuh, dan pertandingan ini hanya untuk menguji kepandaian saja. Jangan kau ikut-ikut!"
Han Bu Ong cemberut, lalu berkata, "Apa lagi hanya dikeroyok dua, biar kalian berlima maju semua, ibu
akan dapat mengalahkan kalian dengan satu tangan saja!"
Kembali Pat-jiu Mo-kai terkejut. Bocah itu, putera The Kwat Lin, tidak boleh dianggap seperti bocah biasa.
Dia tentu telah memiliki kepandaian tinggi pula, maka kata-katanya tidak boleh dianggap kosong belaka.
Lenyaplah keraguannya dan dia berkata kepada The Kwat Lin, "Memang sesungguhnya aku sendiri dan
Tan Goan Kok merupakan orang-orang yang diutus menguji kepandaian Toanio, apakah kami boleh maju
bersama menghadapi kelihaian Toanio?"
Dengan sikap tak acuh The Kwat Lin berkata sambil menggerakkan tangan kirinya, "Majulah, jangan
sungkan-sungkan!"
Tan Goan Kok yang berwatak kasar itu melompat ke depan. "Hemm, tentu Nyonya rumah memiliki
kelihaian yang luar biasa maka menantang kita maju berdua, Pat-jiu Mo-kai!"
Pat-jiu Mo-kai mengangguk-angguk. "Hati-hatilah, Tan-sicu."
Mereka berdua lalu memasang kuda-kuda di sebelah kanan-kiri The Kwat Lin. Pat-jiu Mo-kai memegang
tongkat butut dengan tangan kanan seperti memegang sebatang pedang. Tongkat itu menuding lurus ke
depan dari dadanya, sedangkan tangan kirinya menjaga di depan pusar. Kedua kakinya ditekuk sedikit,
agak merapat di depan dan belakang. Tan Goan Kok memegang toyanya dengan kedua tangan. Kudakudanya
kuat sekali, kokoh seperti batu karang dan toya di kedua tangannya itu sedikit pun tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
bergoyang.
Melihat dua orang itu sudah memasang kuda-kuda, The Kwat Lin lalu mencabut pedangnya, yaitu Angbwe-
kiam dan melangkah maju sambil berkata, “Nah silakan kalian mulai!"
"Kami adalah tamu-tamu dan kami maju berdua, tidak pantas kalau kami mulai, silakan Toanio mulai," kata
Pat-jiu Mo-kai yang tidak mau membuka serangan karena dia ingin lawan maju menyerang lebih dulu agar
dia atau temannya dapat mengacaukan pertahanan lawan dengan serangan mendadak.
The Kwat Lin tersenyum, maklum akan siasat kakek jembel itu. "Nah, sambutlah!" teriaknya.
Pat-jiu Mo-kai kecele kalau hendak melanjutkan siasatnya, karena tiba-tiba pedang itu lenyap bentuknya,
berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah mereka seperti kilat cepatnya sehingga sekali bergerak,
pedang itu telah menyerang mereka berdua dalam waktu yang hampir bersamaan! Tentu saja mereka
terkejut sekali dan cepat menggerakkan tongkat dan toya untuk menangkis.
"Trang...! Cringggg...!!"
Pat-jiu Mo-kai dan Tan Goan Kok terhuyung ke belakang. Tenaga yang keluar dari Ang-bwe-kiam sungguh
dahsyat, membuat telapak tangan mereka terasa panas dan hampir saja senjata mereka terlepas.
Terkejutlah kedua orang itu dan The Kwat Lin diam-diam mentertawakan mereka karena dia memang
hendak mengukur lebih dulu kekuatan lawan. Karena merasa penasaran, kini ke dua orang itu maju dari
kanan-kiri dan mulailah mereka menyerang dengan ganas.
Kwat Lin sudah dapat mengetahui bahwa di antara kedua orang pengeroyoknya, tongkat kakek jembel
itulah yang lebih lihai, maka dia selalu mendahulukan tangkisannya terhadap tongkat itu, baru dia
menangkis toya yang menyambar. Dia tahu bahwa kakek Tan Goan Kok yang kasar itu hanyalah
mengandalkan tenaga gwakang yang besar, namun makin besar tenaga kasar lawan, makin mudah dia
menghadapinya karena sedikit getarkan pedang yang dilakukan dengan pengerahan sinkang cukup
membuat telapak tangan Tan Goan Kok terpukul sendiri oleh tangannya. Lewat sepuluh jurus, setelah dia
yakin akan ukuran tenaga kedua orang lawannya, tiba-tiba The Kwat Lin menyarungkan kembali
pedangnya dan menghadapi kedua lawan itu dengan tangan kosong.
Tentu saja dua orang lawannya cepat menahan senjata dan Pat-jiu Mo-kai berseru, “Heiii, The-toanio.
Kami belum kalah, mengapa engkau mengakhiri pertandingan?"
"Siapa mengakhiri? Lanjutkanlah serangan kalian, aku menyimpan pedang karena takut rusak."
"Huhhh, dengan tangan kosong pun ibu akan mudah mengalahkan kalian!"
Mendengar teriakan bocah itu, dua orang kakek itu lalu maju lagi dan menggerakkan senjata mereka untuk
menyerang. Tongkat Pat-jiu Mo-kai melayang dari atas menghantam kepala, sedangkan toya Tan Goan
Kok menyambar dari samping menghantam lambung! Mereka terkejut setengah mati melihat lawan itu
sama sekali tidak mengelak, hanya miringkan sedikit tubuhnya dan meloncat sedikit.
"Bukk! Bukkk!!" tongkat itu dengan kerasnya menghantam leher dan toya itu menghantam pangkal paha,
akan tetapi tiba-tiba dua orang kakek itu roboh terguling dalam keadaan lemas tertotok!
"Horeeee...!!" Han Bu Ong bersorak melihat betapa dalam segebrakan saja setelah ibunya menyimpan
pedang, dua orang pengeroyok itu dapat dirobohkan.
Sementara itu The Kwat Lin cepat membebaskan totokannya sehingga dua orang kakek itu dapat bangkit
sambil memungut senjata mereka dan memandang dengan mata terbelalak kagum kepada wanita itu.
Hampir mereka tidak dapat percaya bahwa mereka dapat dirobohkan hanya dalam segebrakan saja,
namun kenyataannya memang demikian. Mengingat akan siasat lawan ini, mereka bergidik dan kagum
sekali.
Ternyata ketika tadi dia menggunakan pedang, The Kwat Lin hanya ingin mengukur sampai di mana
kekuatan dua orang lawannya. Setelah yakin benar, dia menyimpan pedang dan sengaja menerima
hantaman yang sudah dia ukur akan dapat diterima oleh leher dan pinggulnya. Kemudian pada saat kedua
dunia-kangouw.blogspot.com
senjata itu tiba di tubuhnya, dia menggunakan kesempatan selagi kedua orang kakek itu terkejut melihat
lawan tidak mengelak dan menerima pukulan. Cepat seperti kilat kedua tangan The Kwat Lin bergerak dan
berhasil menotok roboh dua orang kakek yang sama sekali tidak menduga bahwa lawan yang terkena
hantaman dua kali itu akan menotok mereka!
"Bukan Main!!!" Tan Goan Kok berseru dan menggeleng-gelengkan kepalanya. Belum pernah selama
hidupnya dia bertemu tanding sehebat itu. "Kami mengaku kalah! Kiranya The-toanio memiliki kelihaian
yang amat luar biasa dan kami akan melaporkan semua ini kelak kepada An-goanswe," kata Pat-jiu Mo-kai.
The Kwat Lin dan Kiam-mo Cai-li girang sekali setelah dapat menundukkan para utusan itu, maka pesta
lalu diadakan untuk menyambut utusan-utusan An Lu Shan. Sambil makan minum mereka lalu
merundingkan dan merencanakan siasat untuk bekerja sama.
Dalam kesempatan ini, Pat-jiu Mo-kai mengeluarkan sebuah peti hitam kecil dan menyerahkannya kepada
The Kwat Lin sambil berkata, "Harap Toanio suka menerima hadiah tanda persahabatan dari An-goanswe
ini."
The Kwat Lin menyatakan terima kasih, lalu bersama Kiam-mo Cai-li membuka peti yang berisi emas dan
perak dalam jumlah yang cukup banyak. The Kwat Lin lalu melepaskan rantai kalungnya dan
menyerahkannya kepada Pat-jiu Mo-kai sambil berkata, "Kami tidak mempunyai apa-apa untuk
dipersembahkan kepada An-goanswe sebagai tanda persahabatan ini, harap Mo-kai suka menerima dan
menyampaikan kepada beliau."
Pat-jiu Mo-kai menerima kalung itu. Mereka berlima terbelalak kagum melihat mata kalung yang amat
besar dan indah penuh batu permata yang amat luar biasa. Biar pun mereka bukanlah ahli, namun
pengalaman membuat mereka, terutama tiga orang kakek itu, dapat menduga bahwa harga kalung ini tidak
kalah mahalnya dengan peti dan isinya, hadiah dari An Lu Shan tadi!
"Hendaknya di antara pelaporan Cuwi, diberi-tahukan kepada An-goanswe bahwa kami sama sekali tidak
membutuhkan harta benda, melainkan hendaknya An-goanswe mengingat bahwa saya adalah bekas Ratu
Pulau Es dan puteraku adalah seorang Pangeran. Sedangkan Kiam-mo Cai-li adalah majikan Rawa
Bangkai sehingga kelak kalau perjuangan kita berhasil, sudah sepatutnya kalau kami memperoleh
kedudukan yang setingkat dengan keadaan dan dengan bantuan kami."
Mengertilah tiga orang kakek itu bahwa wanita lihai bekas ratu ini ternyata memiliki ambisi untuk
kedudukan tinggi bagi puteranya.
--- dunia-kang-ouw.blogspot.com ---
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Liu Bwee, Ratu Pulau Es yang bernasib sengsara, ibu dari Swat
Hong itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Liu Bwee meninggalkan Pulau Es, naik perahu dan
mencari atau menyusul puterinya, Han Swat Hong yang lebih dulu meninggalkan Pulau Es menuju ke
Pulau Neraka hendak menggantikan hukuman yang dijatuhkan oleh Raja Pulau Es atas diri Liu Bwee.
Sambil menahan tangisnya, wanita yang menderita sengsara karena madunya ini mendayung perahu
secepatnya meninggalkan Pulau Es. Akan tetapi, biar pun semenjak kecil berada di Pulau Es, namun dia
belum pernah pergi Ke Pulau Neraka. Siapakah orangnya yang berani pergi ke Pulau Neraka, kecuali
mereka yang memang dihukum buang ke pulau terkutuk itu? Karena tidak mengenal jalan, Liu Bwee
menjadi bingung, apa lagi karena tidak lagi melihat bayangan puterinya.
Dia adalah puteri nelayan Pulau Es, tentu saja dia pandai mengemudikan perahu. Akan tetapi karena tidak
tahu di mana letaknya Pulau Neraka, dia menjadi bingung dan meluncurkan perahunya tanpa arah tertentu,
asal meninggalkan Pulau Es sejauh-jauhnya saja. Dia ingin menjauhkan diri dari suaminya yang amat
tercinta, dan terutama dari The Kwat Lin, madunya yang telah menghancurkan hidupnya.
Setelah sehari semalam berputaran tanpa tujuan dan sama sekali tidak melihat Pulau Neraka atau
puterinya, bahkan tidak melihat seorang pun manusia yang dapat dia tanyai di antara gumpalan-gumpalan
es yang mengambang di laut dan pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di situ, tanpa makan tanpa
tidur, akhirnya Liu Bwee terpaksa mendarat di sebuah pulau kosong yang subur. Dia mencari makanan
untuk memenuhi tuntutan perutnya yang lapar. Melihat bahwa pulau ini cukup subur dan baik hawanya, dia
dunia-kangouw.blogspot.com
mengambil keputusan untuk tinggal di pulau itu, betapa selama hidupnya sampai hari akhir. Dia sudah
merasa bosan dengan urusan dunia yang hanya mendatangkan kesengsaraan batin belaka.
Mulailah Liu Bwee, wanita cantik yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun dan masih kelihatan
muda sekali itu mengasingkan diri dan bertapa di pulau kosong sampai hampir enam bulan lamanya. Dia
sudah menemukan ketenteraman batin, melupakan segala urusan duniawi. Namun ada saja sebabnya
kalau memang belum jodohnya menjadi pertapa. Pada suatu hari, badai yang amat hebat mengamuk.
Badai inilah yang membasmi Pulau Es dan badai ini mengamuk juga di pulau kosong di mana Liu Bwee
bertapa itu.
Badai itu hebat bukan main! Biar pun Liu Bwee tadinya sudah bersembunyi di dalam goa, dia diterjang air
laut yang naik ke atas pulau. Berkat ketangkasan dan kepandaiannya, Liu Bwee berhasil menyambar ujung
ranting pohon ketika tubuhnya diseret oleh harus ombak laut yang amat kuat dan dia berhasil naik ke
puncak pohon kecil yang menyelamatkannya. Akan tetapi air terus datang bergelombang dari arah laut dan
dia harus berpegang kepada batang pohon itu kuat-kuat setiap kali air menghantamnya dengan kekuatan
yang amat dahsyat. Dan hal ini berlangsung berjam-jam.
Betapa pun kuatnya Liu Bwee, dia hanya seorang manusia, maka makin lama makin lemaslah tubuhnya
karena dia harus berjuang melawan air laut yang dahsyat itu. Setiap kali ombak datang bergulung, setiap
kali pula hampir menenggelamkan pohon itu. Selain dia harus berpegangan kuat-kuat mengerahkan
sinkang-nya agar jangan sampai terseret oleh air, juga dia harus menahan napas karena air menghantam
seluruh tubuh dan mukanya.
"Celaka...!" pikirnya ketika untuk kesekian puluh kalinya dia berhasil mempertahankan dirinya dari
serangan air laut. "Kalau terus begini, aku tidak akan kuat lagi bertahan...."
Liu Bwee melihat ke kanan-kiri. Banyak pohon yang sudah tumbang dan dia merasa ngeri. Kalau pohon di
mana dia berlindung ini tumbang, dia tentu akan tewas. Sayang dia tidak dapat pindah ke pohon yang
tinggi di sana itu, tentu di sana dia akan aman karena air tidak dapat mencapai pohon itu. Kembali datang
serangan air. Liu Bwee memejamkan mata, menahan napas dan berpegangan erat-erat, maklum bahwa
yang datang ini adalah ombak yang amat ganas dan kuat.
"Haiii...! Yang di sana itu...! Berpeganglah kuat-kuat! Aku akan berusaha menolongmu!" suara teriakan lakilaki
ini datang dari arah pohon tinggi tadi.
Liu Bwee membuka matanya, melihat sinar hitam kecil menyambar dari pohon besar itu. Akan tetapi pada
saat itu air pun datang menerjang dengan kekuatan yang amat dahsyat.
"Oughhh...!"
Betapa pun kuat kedua tangan Liu Bwee berpegang pada ranting pohon, namun kekuatan air itu lebih
dahsyat lagi. Terdengar batang itu patah dan tubuh Liu Bwee hanyut terseret ombak. Dia sudah putus asa
dan menyerahkan jiwa raganya kepada Tuhan. "Matilah aku...," bisiknya.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terasa nyeri dan tertahan, kemudian tubuhnya ditarik menuju ke pohon
besar! Ketika dia memperhatikan, kiranya tubuhnya telah terlibat sehelai tali hitam yang amat kuat dan
teringatlah dia akan sinar hitam yang tadi menyambar kepadanya sebelum air menghantamnya. Dia
maklum bahwa ada orang menolongnya, maka bangkit kembali semangatnya untuk melawan maut, untuk
mempertahankan hidupnya.
Liu Bwee mulai menggerakkan kaki tangannya, berenang agar tidak sampai tengelam. Dia membiarkan
dirinya diseret oleh tali itu ke arah pohon besar yang lebih tinggi itu. Napasnya terengah-engah hampir
putus karena tenaganya sudah habis dipergunakan untuk melawan hantaman-hantaman air yang bertubitubi
tadi. Kalau saja tidak ada tali hitam yang melingkari pinggangnya yang selain menariknya ke arah
pohon juga menahannya dari seretan ombak, tentu dia tidak sanggup berenang ke pohon itu. Dia berenang
hanya untuk mencegah tubuhnya tenggelam saja. Tahulah dia bahwa nyawanya diselamatkan oleh tali itu
dan diam-diam dia berterima kasih sekali kepada orang yang berada di pohon dan yang belum tampak
olehnya itu. Dengan seluruh tenaga yang masih bersisah padanya, Liu Bwee berusaha keras agar dia tidak
sampai tenggelam.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Pertahankanlah... sebentar lagi...," terdengar suara laki-laki tadi dari pohon.
Liu Bwee merasa betapa tubuhnya ditarik makin cepat ke arah pohon karena dari arah laut sudah datang
lagi gelombang yang amat dahsyat. Ngeri juga dia menyaksikan gelombang sebesar gunung yang datang
bergulung-gulung dari depan seolah-olah seekor naga raksasa yang datang hendak menelannya.
"Cepat... cepatlah!" dia merintih.
Dalam keadaan setengah pingsan dia merasa betapa tubuhnya ditarik atau lebih tepatnya diseret ke arah
pohon itu. Akhirnya dia tiba di pohon itu dan sebuah lengan yang kuat menyambarnya. Tubuhnya diangkat
ke atas pohon tepat pada saat gelombang itu datang bergulung-gulung. Liu Bwee mengeluh dan tak
sadarkan diri!
"Aneh...!" lapat-lapat Liu Bwee mendengar kata-kata ‘aneh’ itu.
Akan tetapi seluruh tubuhnya sakit-sakit, kepalanya pening dan tenaganya habis, maka dia tidak membuka
mata dan membiarkan saja ketika merasa betapa ada telapak tangan hangat menyentuh tengkuknya. Dari
telapak tangan itu keluar hawa sinkang yang hangat dan membantu peredaran jalan darahnya,
memulihkan kembali tenaganya secara perlahan-lahan.
"Aneh sekali...!"
Kini Liu Bwee teringat semua dan mengenal suara itu sebagai suara laki-laki yang menolongnya. Cepat dia
membuka matanya dan menggerakkan tubuhnya hendak bangkit duduk. Akan tetapi hampir dia menjerit
karena tubuhnya limbung dan kalau laki-laki itu tidak cepat menyambar lengannya, tentu dia sudah jatuh
terguling dari atas batang pohon yang besar itu, jatuh ke bawah yang masih direndam air laut yang masih
berguncang.
"Ahhh...!" keluh Liu Bwee, lalu mengangkat muka memandang.
Seorang laki-laki, usianya tentu sudah empat puluh tahun lebih, duduk di atas dahan di depannya. Laki-laki
itu berwajah gagah sekali. Alisnya tebal, matanya lebar dan air mukanya yang penuh goresan tanda
penderitaan batin itu kelihatan matang dan penuh ketulusan hati. Tubuhnya tegap, pakaiannya bersih dan
rapi, dan di punggungnya tampak sebatang pedang. Laki-laki itu memandang kepadanya dengan air muka
membayangkan keheranan, maka tentu laki-laki ini yang tadi berkali-kali menyerukan kata-kata ‘aneh’ dan
tentu laki-laki ini pula yang telah menolongnya karena di dalam pohon itu tidak ada orang lain kecuali
mereka berdua.
"Engkaukah yang menyelamatkan nyawaku tadi? Aku harus menghaturkan banyak terima kasih atas budi
pertolonganmu," Liu Bwee berkata sambil memandang wajah yang gagah dan sederhana itu.
Laki-laki itu mengelus jenggot yang hitam panjang, menatap wajah Liu Bwee, lalu berkata, "Harap jangan
berkata demikian. Dalam keadaan dunia seolah-olah kiamat ini, alam mengamuk dahsyat tak terlawan oleh
tenaga manusia mana pun, sudah sepatutnya kalau di antara manusia saling bantu-membantu. Hemmm...
sungguh aneh sekali...!"
"In-kong (Tuan Penolong), mengapa berkali-kali mengatakan aneh?" tanya Liu Bwee.
Orang itu tidak tertawa, hanya mengelus jenggotnya dan menatap wajah Liu Bwee tanpa sungkansungkan,
seolah-olah dia sedang memandang benda yang aneh dan belum pernah dilihatnya. "Siapa kira
di pulau kosong ini, di mana laki-laki pun sukar untuk hidup, terdapat seorang wanita yang masih muda dan
cantik jelita."
Liu Bwee merasa betapa mukanya menjadi panas dan dia tahu bahwa tentu kulit mukanya menjadi merah
sekali. Diam-diam dia memaki dirinya sendiri. “Huh, apa artinya kau bertapa sampai berbulan-bulan kalau
sekarang mendengar pujian dari mulut seorang laki-laki kau lantas merasa berdebar dan girang?” demikian
dia memaki dalam hatinya.
Untuk menutupi perasaannya, dia pura-pura tidak mendengar dan cepat bertanya, "Bagaimana In-kong
bisa tiba di tempat ini? Setahuku, di pulau ini tidak ada orang lain kecuali aku seorang."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Memang aku tidak tinggal di pulau ini, Toanio...."
Kembali wajah Liu Bwee menjadi merah mendengar sebutan ‘nyonya besar’ ini. Laki-laki itu terlalu
merendahkan diri.
"Aku adalah seorang perantau di antara pulau-pulau kosong di sekitar tempat ini, akan tetapi tidak pernah
mendarat di sini karena tidak menyangka bahwa di sini ada orangnya. Sekali mendarat di sini, badai
mengamuk dan kebetulan sekali aku melihat engkau berjuang melawan maut di pohon kecil itu."
"Untung bagiku. engkau seolah-olah diutus oleh Thian untuk datang menolongku."
"Aku girang berhasil menyelamatkanmu, dan aku kagum sekali. Belum tentu ada satu di antara seribu
orang yang akan dapat bertahan melawan hantaman gelombang air laut sehebat itu berkali-kali, dan kau
malah masih kuat berenang. Inilah yang mengherankan aku. Seorang wanita muda....."
"Aku tidak muda lagi, usiaku sudah tiga puluh lima tahun...."
"Itu masih muda namanya, setidaknya bagiku. Seorang wanita muda...," dan mata laki-laki itu bercahaya
penuh tantangan sehingga Liu Bwee tidak membantah lagi, "cantik dan berkepandaian tinggi, bukan orang
sembarangan, ini sudah jelas sekali, berada seorang diri di pulau kosong. Siapa tidak akan merasa heran?"
"Aku sedang mencari puteriku yang hilang...."
"Ah...!" laki-laki itu terkejut dan memandang penuh perhatian. "Berapakah usianya dan siapa namanya?
Aku akan membantumu mencarinya," dia bicara dengan suara mengandung keperihatinan dan perasaan
iba yang nampak jelas sekali sehingga Liu Bwee merasa makin tertarik dan berterima kasih. Jelas baginya
bahwa penolongnya adalah seorang laki-laki yang baik hati, sungguh pun kehadirannya di bagian dunia
yang amat terasing ini bukanlah hal yang tidak aneh.
"Dia sudah dewasa, sekitar enam belas tahun, namanya Han Swat Hong...."
"Ahhh?!" kembali laki-laki itu memotong dengan seruan kaget dan matanya terbelalak memandang Liu
Bwee. "She Han...? Apa hubungannya dengan Han Ti Ong?"
"Dia anaknya...." Liu Bwee sendiri terkejut karena merasa telah terlanjur bicara, maka dia menahan katakatanya.
Laki-laki itu terkejut dan jelas terbayang di mukanya betapa jawaban ini sama sekali tidak disangkanya.
Matanya memandang Liu Bwee dengan penuh perhatian dan penuh selidik, dan sampai lama dia baru
bertanya. "Kalau puterimu itu adalah anak Han Ti Ong berarti bahwa... Paduka adalah Ratu Pulau Es...."
Liu Bwee menarik napas panjang. Dia tidak dapat bersembunyi lagi, dan pula, orang yang telah
menyelamatkan nyawanya ini memang berhak untuk mengetahui semuanya. Apa lagi karena memang
penderitaan batinnya adalah karena terkumpulanya rasa penasaran di dalam hatinya yang membutuhkan
jalan ke luar. Selain ini, sebutan ‘paduka’ amat menyakitkan telinganya. Maka dia kembali menarik napas
panjang. "Itu sudah lalu... sekarang aku bukanlah ratu lagi, melainkan seorang buangan....."
"Apa...?! Seorang permaisuri dibuang dari Pulau Es?"
Liu Bwee lalu menceritakan riwayatnya, menceritakan betapa suaminya, Raja Pulau Es telah mengambil
seorang selir bernama The Kwat Lin dan betapa akhirnya karena ulah selir itu, dia difitnah dihukum buang
Ke Pulau Neraka!
"Puteriku, Han Swat Hong menjadi marah dan lari minggat dari Pulau Es hendak mewakili aku menerima
hukuman buang di Pulau Neraka. Aku mengejarnya, akan tetapi tidak berhasil, bahkan aku tersesat ke
pulau ini. Karena merasa putus harapan, aku lalu bertapa di sini sampai enam bulan lamanya. Hari ini
semestinya penderitaanku berakhir, akan tetapi agaknya Thian masih hendak memperpanjang hukumanku
makanya aku dapat kau selamatkan...," tak tertahankan lagi, Liu Bwee menutupi mukanya dan menahan
tangisnya, akan tetapi tetap saja dia terisak-isak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Krekkk! Krekkk!" ranting kayu di depan laki-laki itu telah hancur berkeping-keping karena diremasnya
dengan tangan kanan. "Kejam! Jahat sekali! Orang yang merasa dirinya bersih adalah sekotor-kotornya
orang! Seperti Han Ti Ong dan semua raja di Pulau Es! Menghukumi orang-orang dan membuang mereka
ke Pulau Neraka, hidup di neraka yang amat sengsara. Akan tetapi mereka sendiri, si penghukum itu,
melakukan kekejian dan kejahatan bertumpuk-tumpuk dan merasa dirinya benar! Betapa menjemukan! Aku
akan mempertaruhkan nyawa untuk menentang kejahatan dan kepalsuan macam ini!"
Liu Bwee mengangkat mukanya memandang. Kedua pipinya masih basah oleh air matanya. "In-kong,
engkau siapakah dan mengapa seolah-olah menaruh permusuhan dengan Pulau Es?"
"Aku bernama Ouw Sian Kok, aku putera tunggal dari ketua di Pulau Neraka."
"Ohhh...!!" kini giliran Liu Bwee yang menjadi kaget setengah mati karena tidak mengira bahwa
penolongnya ternyata adalah musuh besar Pulau Es!
"Harap Paduka jangan khawatir...."
"In-kong, jangan kau menyebutku Paduka. Aku bukanlah seorang permaisuri lagi, melainkan seorang
buangan seperti engkau pula. Kau tahu bahwa namaku Liu Bwee, orang biasa anak nelayan, hanya bekas
ratu yang sekarang menjadi orang buangan."
"Hem, baiklah Liu-toanio. Dan aku pun tidak suka disebut In-kong. Aku lebih tua dari-padamu, sebut saja
aku Twako. Sebutlah, aku bukanlah musuh langsung dari Pulau Es, karena aku bukan seorang buangan,
melainkan keturunan seorang buangan. Akan tetapi aku pun hanya bekas putera Ketua Pulau Neraka
karena sudah lima belas tahun lamanya aku meninggalkan Pulau Neraka, tidak pernah menjenguknya lagi
dan menjadi perantau di antara pulau-pulau kosong ini...." Tiba-tiba wajah yang gagah itu kelihatan
menyuram.
"Eh, kenapakah Ouw-twako? Apa yang terjadi denganmu maka engkau menjadi demikian?" Liu Bwee
bertanya, tertarik hatinya.
Ouw Sian Kok menghela napas panjang, agaknya tidak suka menceritakan peristiwa masa lalu yang telah
merubah jalan hidupnya sama sekali. "Aku memang sudah tidak senang tinggal di Pulau Neraka. Keadaan
pulau itu membuat orang yang tinggal di situ menjadi buas, liar dan kejam karena terpaksa oleh kekejaman
di pulau itu. Akan tetapi sebagai putera ketua, aku menekan ketidak senanganku dan terutama karena aku
hidup penuh kasih sayang dengan isteriku. Kami mempunyai seorang anak perempuan yang sudah lima
belas tahun tidak pernah kulihat. Tuhan menghukum aku. Isteriku yang tercinta itu meninggal dan aku...
aku lalu pergi meninggalkan ayah, anakku, dan Pulau Neraka sampai sekarang." Sehabis bercerita, Ouw
Sian Kok menundukkan mukanya dan berkali-kali menghela napas panjang.
Liu Bwee memandang dengan mata penuh belas kasihan, bengong dan tidak dapat berkata-kata. Betapa
besar persamaan penderitaan di antara mereka. Dia pun kehilangan suami. Sungguh pun suaminya masih
hidup, akan tetapi apa bedanya dengan mati kalau suaminya sudah tidak mencintainya lagi? Dan dia
kehilangan anaknya pula, sama benar dengan nasib Ouw Sian Kok yang kehilangan isteri dan anaknya.
Hanya bedanya, kalau dia mencari-cari Swat Hong, adalah laki-laki ini sengaja meninggalkan puterinya.
"Kasihan engkau, Ouw-twako," katanya sambil menyentuh tangan laki-laki yang telah menolongnya itu.
Ouw Sian Kok menghela napas, kemudian tiba-tiba mengangkat mukanya dan tersenyum. "Betapa aneh
dan lucunya. Engkau yang bernasib malang ini menaruh kasihan kepada aku! Hemm, isteriku dirampas
oleh Tuhan, aku tidak mungkin bisa mendendam. Sebaliknya, suamimu dirampas wanita lain, itu
merupakan hal yang lebih menyakitkan hati lagi. Sudahlah, lebih baik kita melupakan semua itu dan yang
terpenting kita memperhatikan keadaan kita sendiri, berusaha menghindarkan bahaya. Lihat, badai mulai
berhenti dan air yang merendam pulau sudah surut dan kembali ke laut, cuaca sudah terang dan tidak
segelap tadi!"
Liu Bwee memandang ke bawah lalu ke kanan-kiri. Benar saja, badai telah berhenti. Seketika lupalah dia
akan segala kedukaan dan wajahnya berseri. Dia tidak tahu, betapa Ouw Sin Kok memandangnya dengan
penuh kagum melihat wajah cantik dengan air mata yang masih menempel di pipi itu kini tersenyum dan
dunia-kangouw.blogspot.com
berseri-seri.
"Mari kita turun!" kata Liu Bwee setelah melihat bahwa dengan amat cepatnya air telah meninggalkan
pulau, seperti serombongan anak-anak nakal yang pulang ke rumah dipanggil ibunya.
Mereka meloncat turun dan menuju ke tepi pantai di mana Ouw San Kok menaruh perahunya. Girang
hatinya bahwa sebelum meninggalkan perahu ketika badai mulai mengamuk, dia telah mengikat perahunya
dengan kuat sekali pada batu karang sehingga kini perahunya itu masih berada di situ. Akan tetapi perahu
Liu Bwee lenyap tak meninggalkan bekas.
"Liu-toanio, mari kita berangkat."
"Eh, ke mana?" Liu Bwee memandang penuh keheranan dan mengerutkan alisnya.
"Ke Pulau Es."
"Apa...? Apa maksudmu?" Liu Bwee hampir menjerit. "Aku tidak sudi! Aku tidak mau kembali hanya untuk
menerima penghinaan saja."
"Liu-toanio, seorang wanita seperti Toanio tidak selayaknya hidup sengsara seperti ini. Han Ti Ong telah
berlaku sewenang-wenang dan tersesat. Biarlah aku yang akan menegur dan mengingatkan akan
kesesatannya itu, Toanio. Aku tidak rela melihat Toanio diperlakukan dengan tidak adil, aku tidak rela
melihat Toanio hidup sengsara. Marilah dan jangan khawatir, aku sebagai seorang laki-laki tentu akan lebih
mudah menyadarkan suamimu yang sedang tergila-gila kepada wanita lain itu. Akulah yang bertanggungjawab,
dan aku pertaruhkan nyawaku untuk itu."
Liu Bwee memandang dengan kaget dan terheran-heran, bengong dan seperti terpesona sehingga dia
menurut saja ketika diajak naik ke perahu oleh Ouw Sian Kok. Setelah perahu meluncur, barulah dia dapat
berkata, "Ouw-twako... mengapa kau melakukan semua ini untukku? Mengapa engkau menolongku,
membelaku mati-matian? Mengapa engkau begini baik kepadaku?"
Sambil mendayung perahunya dengan gerakan tangkas dan kuat sekali sehingga perahu itu melucur amat
cepatnya di permukaan air laut yang kini amat tenang, setenang-tenangnya seolah-olah raksasa yang
habis mengamuk hebat itu kini kelelahan dan kehabisan tenaga, Ouw Sian Kok menjawab tanpa menoleh
kepada Liu Bwee, "Engkau begitu sengsara, dan begitu tenang, mengingatkan aku kepada isteriku yang
tercinta. Engkau begitu membutuhkan perlindungan, begitu membutuhkan bantuan. Siapa lagi kalau bukan
aku yang membantumu, Toanio?"
Liu Bwee memandang laki-laki itu dari samping, tak terasa lagi kedua matanya basah dan beberapa butir
air mata turun di sepanjang pipinya. Sejenak dia tidak mampu menjawab. Memang dia sudah tidak
mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini, hanya Swat Hong yang sekarang tidak diketahuinya berada di
mana. Tidak ada seorang pun yang menemaninya, apa lagi membelanya. Maka kemunculan laki-laki
gagah perkasa ini yang memperlihatkan sikap membelanya mati-matian itu menimbulkan sikap keharuan
hatinya. Apa lagi mendengar betapa laki-laki itu ketika melihat dia teringat akan isterinya tercinta yang telah
meninggal dunia, hatinya menjadi terharu sekali dan dia tidak tega untuk menolak lagi.
Di samping itu, juga ada rasa sungkan dan malu-malu di dalam hati wanita ini karena dia seperti mendapat
bisikan hatinya bahwa laki-laki penolongnya ini menaruh hati kepadanya dan rela membelanya dengan
taruhan nyawa! Hal ini bukan membuat dia merasa bangga dan girang seperti yang mungkin akan
dirasakannya jika dia masih seorang gadis muda, melainkan mendatangkan rasa sungkan dan malu
sehingga pelayaran itu dilanjutkan dengan diam-diam karena Liu Bwee merasa sukar sekali untuk
membuka mulut.
Beberapa jam berlalu dengan sunyi. Akhirnya Ouw Sian Kok yang merasa tidak tahan berkata, "Toanio,
aku mohon maaf sebanyaknya kalau semua ucapanku yang sudah-sudah menyinggung perasaanmu."
Liu Bwee menggigit bibirnya. Laki-laki yang gagah perkasa dan budiman ini, harus diakuinya memiliki sifat
jantan dan rendah hati. "Tidak ada yang harus dimaafkan," katanya lirih.
"Toanio marah kepadaku?" sejenak kemudian Ouw Sian Kok bertanya lagi, sekali ini dia tidak dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
menahan keinginan hatinya lagi untuk tidak menengok dan menatap wajah wanita itu. Kebetulan sekali
pada saat itu Liu Bwee juga memandang kepadanya. Sedetik dua pasang mata itu bertemu bertemu.
Akan tetapi Liu Bwee segera mengalihkan pandang matanya dan menjawab dengan gerakan kepalanya
menggeleng.
Jawaban ini cukup bagi Ouw Sian Kok. Dengan wajah berseri dan suara gembira dia berkata, "Aku girang
bahwa kau tidak marah kepadaku, Toanio."
Perahu didayungnya kuat-kuat sehingga meluncur cepat sekali menuju ke tujuan, yaitu Pulau Es. Biar pun
tidak pernah mendatangi pulau itu, namun dia sudah tahu di mana letaknya karena sering-kali dalam
perantauannya dia memandang pulau itu dari jauh. Kegembiraan besar seperti yang belum pernah
dialaminya selama lima belas tahun ini memenuhi hatinya. Kalau saja tidak ada Liu Bwee di situ, kalau saja
dia tidak merasa malu, tentu dia akan bernyanyi dengan riang sebagai peluapan rasa gembiaranya.
Dua hari dua malam meeka melakukan pelayaran, kalau lapar mereka makan ikan panggang di atas
perahu dan minum air es yang mengambang di atas permukaan laut. Akhirnya tibalah mereka di Pulau Es
dan dari jauh saja sudah kelihatan perbedaan pulau itu yang amat mengherankan Liu Bwee.
"Mengapa begitu sunyi? Mengapa begitu bersih licin? Ouw-twako, cepatlah mendarat, kurasa telah terjadi
apa-apa di sana," Liu Bwee berkata dengan jantung berdebar, tidak saja karena melihat pulau di mana dia
di besarkan sejak kecil itu, akan tetapi juga tegang hatinya membayangkan pertemuannya dengan
suaminya dan dengan selir suaminya.
Setelah perahu menempel di pulau, Liu Bwee meloncat ke darat. Jantungnya berdebar tegang, akan tetapi
kini disertai rasa khawatir. Pulau Es berubah bukan main. Mengapa tidak tampak seorang pun? Tak lama
kemudian dia berlari diikuti Ouw Sian Kok yang sudah mengikat perahunya. Pria ini pun terheran-heran,
mengapa pulau yang terkenal sekali di Pulau Neraka sebagai kerajaan itu kelihatan begini sunyi senyap?
Ketika mendekati sebuah tanjakan dan tampak Istana Pulau Es, Liu Bwee mengeluarkan seruan tertahan
dan mukanya menjadi pucat sekali. "Apa... apa yang terjadi...? Dan bangunan-bangunan mereka...
mengapa lenyap? Hanya tinggal istana yang kosong dan rusak... ahhh...."
Terhuyung-huyung Liu Bwee berlari mendekati istana, tetapi diikuti oleh Ouw Sian Kok yang merasa
khawatir sekali. Seperti seorang mabuk, Liu Bwee berteriak-teriak memanggil orang-orang dan berlari
memasuki istana yang sudah kosong itu, diikuti oleh Ouw Sian Kok yang juga merasa heran. Akan tetapi
laki-laki ini segera dapat menduga apa yang telah terjadi.
"Ke mana...? Mereka semua ke mana...?" Liu Bwee berdiri di tengah ruangan istana yang dahulu begitu
megah dan kini kosong dan sunyi itu.
Melihat wajah yang pucat dengan mata yang terbelalak liar itu, Ouw Sian Kok cepat meloncat dan
memegang lengan Liu Bwee, ditariknya ke luar dari istana. Setelah tiba di luar istana, Ouw Sian Kok
berkata, suaranya tegas dan penuh rasa iba, "Liu-toanio, kuatkanlah hatimu. Ingatlah apa yang telah kita
alami di pulau kosong itu. Badai itu hebat bukan main, selama hidupku belum pernah mengalami badai
sehebat itu. Pulau Es ini tidak begitu jauh, dan melihat hebatnya badai, tidak salah lagi bahwa pulau ini pun
dilanda badai."
Bagaikan kilat cepatnya gerakan Liu Bwee ketika dia membalikkan tubuh memandang pria itu, matanya
terbelalak. "Ahhh...! Kau benar...! Badai itu! Pulau Es diamuk badai dan disapu bersih oleh badai. Ya
Tuhan...!" Liu Bwee mendekap mukanya dengan kedua tangan, menjatuhkan diri berlutut di atas es dan
menangis sesenggukan.
"Aku khawatir sekali, Toanio, bahwa tidak hanya benda-benda yang disapu bersih dari permukaan pulau
ini, melainkan juga para penghuninya. Kalau ada penghuninya yang selamat, mustahil mereka
meninggalkan pulau. Siapa yang mampu melawan kedahsyatan badai seperti itu?"
"Kau benar... ah... suamiku... aihhh, semua saudaraku di Pulau Es, benarkah kalian tewas semua?
Benarkah ini? Ataukah hanya mimpi...?" seperti orang kehilangan ingatan Liu Bwee mendekati istana,
meraba-raba tembok istana dan berbisik-bisik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat ini Sian Kok merasa kasihan sekali. Akan tetapi karena dia maklum akan kehancuran hati bekas
permaisuri Raja Pulau Es itu, dia hanya memandang dan menjaga, mendiamkannya saja.
"Ohhh... mereka semua tewas? Semua tewas...? Siapa percaya... suamiku begitu gagah perkasa, berilmu
tinggi, tak mungkin dia tewas oleh badai...." Liu Bwee berbisik-bisik dan meraba-raba tembok seolah-olah
dia hendak bertanya dan mencari keterangan kepada dinding batu itu.
Tiba-tiba jari tangannya menyentuh huruf-huruf terukir di situ. Matanya terbelalak memandang dan bibirnya
bergerak membaca tulisan yang dikenalnya benar, tulisan suaminya yang dibuat dengan cara mengukir
batu itu dengan jari tangannya!
‘Sin Liong dan Swat Hong, maafkan aku. Thian telah menghukum aku dan membasmi Pulau Es. Pergilah
kalian mencari wanita jahat itu, rampas kembali semua pusaka. Dan Bu Ong bukanlah puteraku, dia
keturunan Kai-ong.’
"Ohhh...!!" Liu Bwee memejamkan matanya, kepalanya seperti dipukuli orang dan pandang matanya
berkunang. Dia cepat menekankan kedua tangannya pada dinding agar jangan roboh, tidak tahu bahwa
Sian Kok sudah meloncat ke dekatnya dan siap menolongnya.
Pria ini membaca ukiran huruf di dinding itu dan menggeleng-geleng kepalanya. Dia kagum sekali, Raja
Pulau Es benar-benar hebat. Dalam saat terakhir melawan badai masih sempat menuliskan huruf secara
itu!
"Jelas bahwa badai telah membasmi semua isi pulau ini, Toanio," katanya hati-hati.
Liu Bwee tersadar. Membuka mata dan kebetulan sekali tangannya meraba bekas cengkeraman jari
tangan suaminya pada dinding batu. Melihat itu, tak tertahankan lagi dia sesenggukan. Dia pun dapat
membayangkan apa yang terjadi.
"Duhai suamiku... betapa hebat kau menderita...," bisiknya di antara isak tangisnya.
Sian Kok memandang bekas cengkeraman jari tangan itu dan dia pun dapat membayangkan Han Ti Ong
berusaha menahan dirinya dari seretan air dengan mencengkeram batu dinding. Namun kekuatan badai
yang amat dahsyat itu akhirnya menang, dan tentu Raja itu diseret dan ditelan gelombang membadai,
lenyap dalam perut lautan.
Liu Bwee menjatuhkan dirinya berlutut sambil menangis. Kembali tangannya meraba huruf-huruf di bawah.
Agaknya huruf-huruf dibuat orang sambil berlutut pula dan di dinding bawah ini juga terdapat bekas
cengkeraman jari tangan. Setelah mengusap matanya agar pandangan matanya tidak tertutup air mata, dia
membaca lagi, ‘Bwee-moi, dosaku padamu terlalu besar, maka Thian menghukum aku. Selamat tinggal.’
Selesai membaca ini Liu Bwee mengeluarkan suara menjerit, lalu tergelimpang dan roboh pingsan. Untung
Sian Kok cepat menyambarnya sehingga kepalanya tidak sampai terbentur dinding batu. Sian Kok cepat
mengangkat tubuh wanita itu dan matanya menyapu tulisan di bawah itu. Dia menghela napas dan
membawa tubuh yang pingsan itu ke dalam istana dan meletakkannya ke dalam sebuah kamar. Ketika
memeriksanya, dia memperoleh kenyataan bahwa nyonya ini menerima pukulan batin yang hebat
sehingga keadaannya amat gawat.
Dengan tergesa-gesa Sian Kok meninggalkan Liu Bwee, berlari ke perahunya dan cepat mendayung
perahunya menuju ke sebuah pulau dan memetik beberapa daun obat yang dikenalnya. Tak lama
kemudian dia sudah kembali ke Pulau Es, memasak obat dan mencekokkan obat itu ke dalam mulut Liu
Bwee. Kemudian dia membantu nyonya itu dengan penyaluran sinkang-nya sehingga semalam suntuk dia
duduk bersila di dekat Liu Bwee, mengerahkan tenaga agar tubuh nyonya yang pingsan itu tetap hangat.
Pada keesokan harinya Liu Bwee mengeluh dan sadar sehingga menggirangkan hati Sian Kok yang lupa
akan keadaan dirinya sendiri yang kehabisan tenaga dan mukanya pucat sekali. Setelah sadar dan teringat
lagi, Liu Bwee menangis sesenggukan, dibiarkan oleh Sian Kok yang menganggap tangis itu sebagai obat
mujarab. Setelah tangisnya mereda, Liu Bwee teringat bahwa tahu-tahu dia berada di dalam kamar istana
yang kosong itu. Maklumlah dia bahwa dia pingsan dan dibawa ke tempat ini oleh Sian Kok. Dia
dunia-kangouw.blogspot.com
mengangkat muka, menghentikan tangisnya dan memandang. Dia melihat betapa pria itu pucat mukanya
dan kelihatan lelah sekali, maka sebagai seorang ahli, dia dapat menduga sebabnya.
"Berapa lamakah aku pingsan di sini, Toako?"
"Hemm, semalam suntuk kau pingsan, membuat hatiku gelisah."
"Dan selama ini engkau menjagaku, mengerahkan sinkang untuk membantuku, bukan?"
"Hemmm..., tak perlu dibicarakan itu. Yang penting, engkau telah siuman kembali dan harap kau suka
menjaga kesehatanmu sendiri, jangan terlalu menurutkan perasaan berduka. Toanio, dalam tulisan pesan
suamimu itu disebut Sin Liong, siapakah dia?"
"Sin Liong adalah murid suamiku, seorang pemuda yang amat baik," Liu Bwee berkata sambil menghapus
sisa air matanya.
"Kalau begitu, legakan hatimu, Toanio. Biar pun sangat boleh jadi suamimu, seperti semua penghuni Pulau
Es, disapu habis oleh badai, namun kurasa puterimu selamat dan baru-baru ini datang pula ke pulau
kosong ini."
Liu Bwee memandang dengan mata terbelalak. "Bagaimana engkau bisa tahu?"
"Aku melihat bekas tapak kaki mereka masih jelas membekas di bagian es yang membeku di atas sana,
tapak kaki seorang wanita dan seorang pria. Dan aku juga menemukan ini." Ouw Sian Kok mengeluarkan
sehelai sapu-tangan hijau dan memberikannya kepada Liu Bwee.
Liu Bwee menyambar sapu-tangan itu dan kembali matanya yang sudah mengering mencucurkan air mata.
Dia mendekap sapu-tangan itu dan berkata, "Benar, ini adalah sapu-tangan pengikat rambut anakku! Di
mana tapak-tapak kaki itu, Toako? Ingin aku melihatnya!"
Mereka lalu meninggalkan istana menuju ke bagian atas. Benar saja, tampak jelas bekas tapak kaki dua
orang, kecil dan besar, tanda bahwa baru saja, mungkin paling lama kemarin, ada dua orang datang ke
pulau itu. Seorang laki-laki dan seorang wanita. Siapa lagi kalau bukan Swat Hong dan Sin Liong?
"Tidak salah lagi, tentu anakku dan Sin Liong. Akan tetapi di mana mereka sekarang? Aku harus bertemu
dengan puteriku, Ouw-twako."
Ouw Sian Kok mengerutkan alisnya yang tebal. "Mereka itu adalah orang-orang muda yang lihai dan tentu
mereka telah melihat pula tulisan berukir di dinding pesan suamimu. Dan tentu mereka berusaha untuk
mencari sampai dapat wanita bernama The Kwat Lin itu."
"Kalau begitu, aku akan menyusul mereka, Toako. Tentu mereka melakukan pengejaran ke daratan besar."
Ouw Sian Kok mengangguk-angguk. "Kukira dugaanmu tidak keliru. Akan tetapi, Toanio, pernahkah Toanio
ke daratan besar di barat sana?"
Liu Bwee menggeleng kepala tanpa menjawab, alisnya berkerut karena dia pun merasa bingung dan
khawatir. Ke mana dia harus mencari puterinya? Padahal menurut penuturan yang didengarnya di Pulau
Es, daratan besar amatlah luasnya, seluas lautan yang tiada tepi.
Melihat wajah wanita itu, Ouw Sian Kok merasa makin kasihan dan dengan suara penuh semangat dia
berkata, "Toanio, jangan khawatir. Di dalam perantauanku, pernah aku mendarat di daratan besar dan
biarlah aku menemanimu mencari puterimu Han Swat Hong itu, sekalian menjadi penunjuk jalan."
Berseri wajah Liu Bwee. Dia memandang kepada laki-laki itu penuh harapan dan rasa terima kasih, akan
tetapi mulutnya berkata, "Ahhh, aku selalu menyusahkan Twako saja...."
"Jangan berkata demikian, Toanio. Aku hidup sebatang kara, akan tetapi aku adalah seorang pria.
Sedangkan engkau seorang wanita yang masih muda, mana bisa harus hidup bersunyi diri? Apa lagi
engkau hendak mencari puterimu di daratan besar, mana mungkin aku berpeluk tangan? Aku sudah
dunia-kangouw.blogspot.com
merasa cukup berbahagia kalau Toanio sudi kutemani."
"Tentu saja aku girang sekali dan banyak terima kasih atas budimu yang berlimpah-limpah itu, Toako.
Semoga kelak Thian saja yang dapat membalasmu karena apakah dayaku untuk membalas kebaikanmu?"
Dia menjadi terharu sekali. Dahulu Liu Bwee adalah seorang wanita periang dan jenaka, namun
penderitaan batin membuat dia menjadi perasa dan halus budi serta lemah.
Ouw Sian Kok tidak menjawab, hanya menjawab dalam hatinya, "Pandang matamu itu sudah merupakan
pembalasan yang berlipat ganda bagiku."
Berangkatlah kedua orang ini meninggalkan Pulau Es. Pelayaran yang amat sulit dan sukar. Biar pun
bekas permaisuri Raja Pulau Es, Liu Bwee di waktu kecil sudah kenyang bermain-main dengan perahu,
maka dia tidaklah amat menderita. Bahkan dia dapat membantu sehingga perjalanan dengan perahu
mengarungi lautan luas itu berjalan lancar.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru