Senin, 08 Mei 2017

Cersil 13 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Pdf Online

Cersil 13 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Pdf Online Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil 13 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Pdf Online
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil 13 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Pdf Online
Thian Liong tidak mau kepalang tanggung dalam menolong penduduk dusun Be-san itu. Dia bermalam di situ beberapa hari lamanya dan melakukan pembenahan. Atas keputusan orang-orang yang dianggap menjadi sesepuh dan pemuka di dusun itu, setelah mengadakan musyawarah, lalu diputuskan bahwa semua harta kekayaan Lurah Mo dan semua keluarganya, sanak kerabatnya yang kebagian harta tidak halal itu, disita oleh kepala dusun dan para pembantunya yang baru atas pilihan rakyat.
Harta sitaan itu dipergunakan untuk memperbaiki rumah-rumah penduduk, dan untuk pembangunan dusun yang diperuntukkan kesejahteraan penduduk. Sawah ladang penduduk dikembalikan kepada pemilik lama. Rumah besar itu menjadi rumah kelurahan dari lurah yang baru, dan rumah-rumah gedung yang tadinya milik para putera dan saudara mendiang Lurah Mo, kini menjadi gedung-gedung yang dipergunakan untuk penduduk melakukan berbagai kegiatan kesenian dan lain-lain.
Akan tetapi, atas usul Thian Liong yang dianggap sebagai pahlawan dan penolong penduduk Be-san, keluarga mendiang Lurah Mo tetap diperbolehkan tinggal di Be-san dan menempati rumah yang tidak banyak bedanya dengan perumahan penduduk. Mereka disadarkan dan mengakui bahwa selama ini mereka dibutakan oleh pengaruh harta dan kekuasaan. Setelah hidup sebagai penduduk biasa, sederajat dengan para penduduk lainnya, mereka malah merasa tenteram dan damai. Para tukang pukul yang memiliki kekejaman diusir dari dusun itu dan bagian keamanan dusun diserahkan kepada para pemuda.
“Dengar baik-baik,” kata Thian Liong ketika hendak meninggalkan dusun itu. “Kalian seluruh penduduk harus bersatu padu bergotong-royong saling bantu, bersama-sama menghadapi dan menentang kekuasaan yang sewenang-wenang hendak menindas kalian. Sama sekali bukannya jahat dan tidak boleh untuk menjadi orang berharta, asalkan harta itu didapatkan dengan cara yang wajar dan baik, bukan hasil pemerasan, pencurian, atau penipuan. Yang kaya membantu yang miskin, yang miskin juga dibutuhkan yang kaya. Kaya maupun miskin tidak mungkin hidup menyendiri tanpa bantuan orang lain. Ingatlah kata-kata bijaksana. Guru Besar Khong Cu :
Se-hai-ce-nei-cai-syung-ti-ye (Di empat penjuru lautan semua adalah saudara).
Karena itu kita harus tolong menolong seperti saudara, jangan berpesta pora di depan orang-orang yang kelaparan, jangan bermewah-mewah, berfoya-foya di depan orang-orang yang miskin dan papa.”
Setelah memberi nasihat kepada penduduk, dan berpamit kepada lurah baru dan para pembantunya, Thian Liong juga meninggalkan pesan kepada mereka, terutama kepada lurah baru itu.
“Ingatlah selalu bahwa kedudukan kalian ini diberi oleh rakyat dusun ini. Kalian dapat menjadi pemimpin karena mereka yang memilih dan menentukan. Kalian dipilih untuk mengatur dusun ini agar rakyatnya hidup sejahtera. Tanpa rakyat dusun ini, kalian ini bukan apa-apa. Karena itu, bekerjalah sebaik mungkin demi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Kalau kalian menjadi penguasa yang bijaksana dan mencinta rakyat, tentu rakyat akan mencinta kalian dan kalau sudah begitu, setiap perintah dan petunjuk kalian pasti akan ditaati dan dilaksanakan rakyat dengan senang hati dan patuh. Bukannya tidak boleh seorang penguasa hidup makmur, bahkan sudah sewajarnya seorang pemimpin hidup berkecukupan sebagai imbalan jasanya menyejahterakan rakyatnya, dan sudah menjadi kewajiban rakyatnya membagi sebagian dari penghasilannya kepada para pimpinan sebagai imbalan jasa. Akan tetapi sama sekali tidak benar kalau para pemimpin lain mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya dengan cara yang tidak wajar. Janganlah diulang lagi kesalahan pemimpin seperti yang sudah. Keluarga sendiri menumpuk harta sampai berlebihan, sedangkan sebagian besar rakyatnya hidup miskin sekali, padahal merekalah yang telah memilih pemimpin mereka. Penguasa seperti ini, yang mengandalkan kekuasaan dan mencari kesempatan memperkaya diri sendiri, bersenang-senang dan menari-nari di atas kepala rakyatnya, pasti tidak akan diberkati Thian dan akan terkutuk sehingga akhirnya mencelakakan diri dan keluarganya sendiri.”
Setelah memberi banyak nasihat, Thian Liong lalu meninggalkan dusun Be-san dan melanjutkan perjalanannya menuju kota raja Lin-an (Hang-chouw), yaitu kota raja Sung Selatan.
Thian Liong melakukan perjalanan menuju Lin-an. Hatinya masih merasa risau dan pilu kalau dia memikirkan Bi Lan, yang sudah berbulan-bulan meninggalkan dusun Kian-cung dekat Telaga Barat. Dia merasa iba kepada gadis itu, juga merasa bersedih mendengar akan kematian Han Si Tiong. Mudah-mudahan saja dugaannya benar bahwa Bi Lan dan ibunya pergi ke kota raja Lin-an, ke rumah keluarga Panglima Kwee dan mungkin kini telah menjadi isteri Kwee Cun Ki, putera Panglima Kwee dan hidup berbahagia di kota raja. Kalau sekiranya dibutuhkan, dia akan membantu gadis itu mencari para pembunuh ayahnya.
Ketika dia memasuki wilayah kota raja, dia mendengar berita tentang Ang I Mo-li (Iblis Betina Baju Merah) yang mengamuk di kota-kota besar, terutama di kota Cin-koan. Menurut kabar itu, Ang I Mo-li ini mengamuk, menghajar banyak laki-laki bangsawan dan hartawan yang sedang bersenang-senang di rumah-rumah pelesir. Wanita itu kabarnya amat lihai dan para laki-laki hidung belang itu ia lukai dan diberi cacat mukanya, akan tetapi tidak dibunuh. Rumah-rumah pelesir itu dirusak. Agaknya wanita itu mendendam dan membenci para pria yang suka berkeliaran dan bersenang-senang di rumah-rumah pelesir itu! Sungguh aneh, pikirnya.
Ketika dia mencari keterangan lebih lanjut dan mendengar bahwa Ang I Mo-li itu selain lihai juga masih muda dan cantik jelita, pikirannya melayang dan membayangkan Han Bi Lan. Gadis itu juga selalu berpakaian merah! Apakah Ang I Mo-li, Si Iblis Betina Baju Merah itu Han Bi Lan? Akan tetapi kalau benar, mengapa gadis itu mengamuk di rumah-rumah pelesir dan membikin cacat para pria yang berpelesir di situ? Rasanya tidak masuk akal. Apa hubungannya Han Bi Lan dengan mereka yang berpelesir? Ayahnya dibunuh seorang pemuda dan seorang gadis, demikian menurut penjaga rumah Han Si Tiong yang telah ditinggalkan keluarga itu. Akan tetapi kalau memang Ang I Mo-li itu Han Bi Lan, mengapa ia membenci para pria yang berada di rumah pelesir? Apakah dua orang pembunuh Han Si
Tiong itu ada hubungannya dengan rumah pelesir? Hal ini meragukan hati Thian Liong. Kalau begitu agaknya Si Iblis Betina Baju Merah itu bukan Han Bi Lan.
Thian Liong melamun dan membayangkan wajah Han Bi Lan. Terbayang olehnya betapa Han Bi Lan mati-matian membelanya ketika dia difitnah dan hendak menerima hukuman dari para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai karena fitnah yang ditimpakan kepadanya oleh Cia Song. Kemudian betapa dia yang ketika itu merasa penasaran dan marah kepada gadis yang mencuri kitab untuk Kun-lun-pai dari tangannya itu, dia tampari pinggulnya sampai sepuluh kali seperti yang dia janjikan dalam hatinya.
Sejak pertemuan terakhir itu, setahun lebih telah lewat. Pada pagi hari itu, Thian Liong menuruni sebuah bukit di puncak di mana dia melewatkan malam yang dingin. Tidak tampak dusun di sekitar bukit itu. Akhirnya dia menemukan jalan umum yang kasar dan dia ingat bahwa jalan ini menuju ke kota raja di sebelah timur, walaupun masih sekitar sehari penuh perjalanan dari tempat itu ke kota raja.
Jalan umum itu memasuki sebuah hutan yang lebat. Matahari pagi hanya mampu menyusup di antara daun-daun yang rimbun sehingga membentuk sinar-sinar putih menembus keremangan hutan. Indah sekali pemandangan itu. Thian Liong merasa seperti dalam dunia yang aneh dan asing, berjalan melalui berkas-berkas sinar putih itu.
Sunyi bukan main di jalan itu, tak tampak seorang pun manusia. Akan tetapi suasananya cukup riang dengan adanya kicau burung-burung yang berloncatan di dahan dan ranting pohon. Tiba-tiba Thian Liong berhenti melangkah. Di antara suara kicau burung-burung itu, dia mendengar suara lain yang aneh. Isak tangis tertahan! Dia memejamkan mata mengerahkan pendengarannya.
Tak salah lagi. Ada orang menangis dengan isak ditahan-tahan. Agak jauh dan lirih, namun pendengarannya yang tajam dapat menangkap suara itu dan dia lalu melangkah perlahan dan hati-hati menuju ke arah suara. Dia tidak ingin mengganggu orang yang sedang menangis itu, hanya ingin melihat apa yang terjadi maka dia berjalan perlahan agar jangan sampai diketahui orang yang sedang menangis dan dia hampiri.
Tak lama kemudian dia melihat seorang gadis duduk bersandar pada batang pohon dan dia menutupi mukanya dengan kedua tangan. Ia menangis terisak-isak akan tetapi jelas bahwa ia menahan agar tangisnya tidak terlalu nyaring.
Jantung dalam dada Thian Liong berdebar keras, hatinya merasa tegang sekali. Melihat bentuk tubuhnya, gadis itu masih muda dan pakaiannya serba merah muda! Han Bi Lan? Ah, dia tidak dapat melihat mukanya, maka dia masih ragu, tidak yakin apakah gadis itu Han Bi Lan. Seingatnya, gadis itu lincah jenaka galak dan bukan model wanita yang cengeng. Akan tetapi mengapa kalau gadis itu Bi Lan ia menangis, dan lebih aneh lagi mengapa ia berada di hutan ini seorang diri? Semestinya ia berada di kota raja Lin-an bersama ibunya!
Dengan hati-hati Thian Liong menghampiri dan dia sengaja batuk-batuk setelah berdiri dalam jarak sekitar tiga tombak dari gadis itu.
“Ugh-ugh-ugh......!”
Tiba-tiba gadis itu menghentikan tangisnya, menggunakan kedua tangan menggosok kedua matanya untuk menghapus sisa air mata lalu menurunkan kedua tangan memandang. Dua buah mata bintang menatapnya dengan tajam dan Thian Liong terbelalak.
“Kau...... eh, kau...... Nona Han Bi Lan......?”
Gadis itu memang Han Bi Lan. Sama sekali tidak pernah diduganya seujung rambutpun bahwa orang yang dicari-carinya selama ini, orang yang membuatnya mengertakan gigi saking gemas dan penasaran, membuat hatinya panas sekali setiap kali mengingatnya, tahu-tahu kini berada di depannya!
Kalau tahu bahwa Souw Thian Liong datang, sudah pasti ia tidak akan memperlihatkan tangisnya. Ia merasa malu bukan main telah dilihat orang bahwa ia menangis, apalagi yang melihatnya adalah Souw Thian Liong! Perasaan malu ini bagaikan minyak dituangkan ke dalam api, membuat hatinya menjadi semakin bernyala panas! Ia segera meloncat bangkit berdiri dengan cekatan sekali dan kini mereka berdiri saling berhadapan, dalam jarak sekitar tiga tombak (lima meter), saling pandang dengan penuh perhatian.
Diam-diam Thian Liong merasa kagum akan tetapi juga kasihan melihat Han Bi Lan. Gadis itu masih cantik jelita seperti dulu walaupun kini rambutnya kusut dan wajahnya tidak berseri. Akan tetapi ia masih tampak jelita dan manis sekali. Wajahnya yang bulat telur itu agak pucat dan agak kurus, rambutnya yang panjang hitam digelung sederhana dan sebagian terurai lepas, anak rambutnya semakin binal bermain di dahi dan pelipisnya.
Dahi yang berkulit halus putih kemerahan itu kini terhias dua garis melintang tanda bahwa gadis ini menderita batin. Alisnya hitam kecil dan tebal, matanya yang seperti sepasang bintang itu berkilauan, namun Thian Liong dapat menangkap kesayuan membayang dalam mata itu. Dia ingat betapa dahulu mata itu tajam dan penuh gairah hidup, penuh semangat. Hidung yang mancung itu sesuai sekali dengan bibirnya yang berbentuk indah penuh dan tipis kemerahan. Lesung pipi di kedua ujung mulut itu masih tampak. Dagunya agak meruncing seperti menantang. Kulitnya putih mulus. Tubuhnya yang ramping padat itu agak kurus.
“Nona Han Bi Lan, mengapa Nona menangis?” tanya Thian Liong dengan lembut, karena dia tidak tahu harus bicara apa. Begitu berhadapan dengan gadis itu, dia seolah menjadi gugup dan bingung.
“Bukan urusanmu!” Bi Lan menjawab dengan suara membentak marah dan melanjutkan. “Sungguh kebetulan sekali, sudah lama aku mencarimu, Souw Thian Liong!”
Thian Liong tersenyum, hatinya gembira mendengar ucapan itu.
“Ah, aku juga girang sekali dapat bertemu denganmu secara tidak tersangka-sangka seperti ini, Nona. Aku sedang mencari dan hendak menyusulmu ke kota raja Lin-an.”
“Hemm, mau apa engkau mencari dan menyusulku?” pertanyaan ini keluar dengan ketus.
“Aku mau menyatakan ikut berduka cita kepada engkau dan lbumu atas kematian Ayahmu, dan aku...... aku hendak minta maaf kepadamu atas perlakuanku kepadamu dahulu itu......” Lalu disambungnya, “dan engkau mencariku dengan keperluan apakah, Nona?”
“Enak saja sudah menghina orang minta maaf begitu saja! Aku mencarimu untuk membalas dendam atas penghinaanmu dahulu! Bersiaplah engkau, Souw Thian Liong! Aku akan menebus kekalahanku dan membalas penghinaanmu dengan menampar mukamu sebanyak duapuluh kali!”
Setelah berkata demikian, gadis itu memasang kuda-kuda. Aneh kuda-kudanya ini, tubuhnya berdiri tegak, kedua lengannya tergantung lurus ke bawah, kaku seperti patung atau seperti...... mayat karena wajahnya yang agak pucat itu kini benar-benar seperti wajah mayat dengan mata yang “mati” dan kulit muka kaku! Inilah ilmu silat Sin-ciang Tin-thian (Tangan Sakti Menaklukkan Langit) yang terdiri hanya dari tigabelas jurus yang ia pelajari dari gurunya yang baru, Si Mayat Hidup. Pembukaannya adalah seperti itu, kaku menyeramkan!
Thian Liong terbelalak heran dan juga merasa seram. Dia mengira bahwa tentu ilmu andalan gadis itu adalah Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dari Kun-lun-pai itu, dari kitab yang dulu dicurinya, akan tetapi setelah ia menguasainya dan mengembalikan kitab itu kepada Kun-lun-pai, ia bahkan diterima menjadi murid. Akan tetapi kuda-kuda aneh menyeramkan itu jelas bukan dari ilmu silat Kun-lun-pai.
“Bersiaplah!”
Thian Liong semakin terkejut dan seram ketika mendengar bentakan itu seolah keluar dari dalam perut Bi Lan tanpa gadis itu membuka mulut! Dia memang tidak ingin berkelahi dan tidak mau melawan.
“Tidak, Nona. Aku dahulu telah bersalah kepadamu. Kalau sekarang engkau hendak membalas dan hendak menampari aku, jangankan hanya duapuluh kali, biarpun sampai seratus kali aku akan menerimanya dan tidak akan melawan.”
Mendengar ucapan ini, Bi Lan mengurungkan kuda-kuda ilmu silatnya dan ia menghampiri Thian Liong dengan kedua pipi kini berubah merah saking marahnya.
“Engkau harus melawanku! Aku ingin mengalahkanmu lalu membalas tamparanmu dahulu itu. Hayo lawan aku!”
Thian Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. “Tidak, Nona Han Bi Lan. Engkau adalah puteri, Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi yang kuhormati, dan aku pernah bersalah kepadamu. Maka, kalau engkau hendak membalas, tamparlah aku sesukamu, aku tidak akan membalas.”
“Keparat kau! Engkau hendak membuat aku menjadi seorang pengecut curang yang menyerang orang yang tidak mau melawan? Engkau telah menghinaku, dan sekarang engkau ingin membuat aku menjadi seorang pengecut pula?”
“Tidak, Nona, bukan itu maksudku. Kalau engkau merasa terhina dahulu, sekarang engkau boleh menghinaku kembali dan kalau engkau hendak membalas tamparanku, engkau boleh menampar sesuka hatimu. Ini untuk membuktikan bahwa aku benar-benar menyesali perbuatanku kepadamu dahulu itu. Tamparlah, Nona, engkau berhak melakukan itu!”
Bi Lan yang marah sekali kalau mengingat betapa pinggulnya telah ditampari sehingga kalau ia teringat, sampai sekarang kedua bukit pinggulnya masih terasa panas dan pedas, lalu melangkah maju dan kedua tangannya menampar dari kanan kiri.
“Plak-plak!” Tamparan itu kuat sekali, mengenai kedua belah pipi Thian Liong. Kepala pemuda itu sampai terguncang ke kanan kiri oleh kerasnya tamparan. Karena ia hendak menampar sedikitnya sepuluh kali untuk membalas, Bi Lan melanjutkan tamparannya, bertubi-tubi.
“Plak-plak-plak......!” Tiba-tiba Bi Lan menahan gerakan tangannya dan terbelalak memandang Thian Liong yang terhuyung-huyung ke belakang sampai belasan langkah dan darah mengalir dari kedua ujung bibir pemuda itu! Bi Lan terkejut bukan main. Ia memang tidak menggunakan sin-kang (tenaga sakti) ketika menampar karena bukan maksudnya hendak mencelakai pemuda itu, akan tetapi ia telah menggunakan tenaga kasar yang cukup kuat. Ia mengira bahwa pemuda itu tentu akan mengerahkan tenaga untuk melindungi kedua pipinya. Akan tetapi ternyata Thian Liong sama sekali tidak melindungi kedua pipinya dengan tenaga sehingga ketika dia menerima tamparan-tamparan itu begitu saja, bibirnya pecah, mulutnya berdarah dan matanya berkunang-kunang, kepalanya berpusing sehingga dia terhuyung-huyung ke belakang sambil memejamkan kedua matanya.
Pada saat itu, tiba-tiba muncul dua orang. Yang seorang berpakaian tosu berusia enampuluh tahun lebih, membawa sebatang tongkat hitam berkepala ular, dan orang kedua seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih, tinggi besar berkumis tebal. Tahu-tahu mereka muncul dari balik pohon besar dan berada dekat Thian Liong yang terhuyung-huyung dengan mata terpejam. Dan tanpa berkata apapun juga, orang yang muda menggerakkan tangan yang memegang pedang, lalu dia membacok ke arah leher Thian Liong yang terhuyung-huyung mundur di dekatnya.
Ketika itu, Thian Liong merasa kepalanya pening karena terguncang oleh tamparan Bi Lan yang lima kali itu. Karena dia menerima tamparan tanpa melindungi dengan tenaga, maka selain bibirnya pecah, juga kepalanya terguncang sehingga dia terhuyung ke belakang. Akan tetapi ketika ada pedang menyambar ke arah lehernya, pendengarannya yang peka tajam itu dapat menangkap desingan pedang. Dia mencoba untuk mengelak dengan membuang tubuh ke kiri.
“Sing...... crott......!!” Pedang itu masih menyambar bahu lengan kanannya sehingga darah muncrat dari bahunya yang terluka cukup parah. Akan tetapi tubuh Thian Liong telah memiliki gerakan otomatis. Biarpun kepalanya masih pening dan pangkal lengannya terluka parah, terasa panas dan pedih, namun secara otomatis tubuhnya memutar ke kanan dan tangannya menampar ke depan, ke arah orang yang membacoknya.
“Wuuuttt...... dessss......!” Tubuh pemegang pedang itu terlempar ke belakang, akan tetapi pada saat itu juga tubuh Thian Liong terpelanting karena sebuah pukulan dengan telapak tangan mengenai punggungnya. Ternyata laki-laki yang tua itu yang memukulnya dari belakang dan pukulan itu mengandung tenaga sin-kang yang amat kuat.
Melihat Thian Liong terbacok pedang dan terpukul secara dahsyat Bi Lan mengeluarkan pekik melengking dan tubuhnya sudah melayang ke depan, menyambar ke arah tubuh kakek yang tadi memukul punggung Thian Liong. Melihat serangan yang hebat datangnya itu, kakek berambut putih yang berpakaian jubah tosu terkejut sekali dan dia pun mengeluarkan jeritan melengking tinggi dan mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan Bi Lan.
“Wuuuttt...... dessss......!!” Dua tenaga sakti bertemu dengan dahsyatnya di udara dan akibatnya, tubuh Bi Lan yang masih berada di udara itu terpental ke belakang. Akan tetapi tubuh gadis itu membuat pok-sai (salto), berjungkir balik lima kali dan turun ke atas tanah dengan ringannya. Sebaliknya, tubuh kakek itu terhuyung ke belakang dan wajahnya yang kurus menjadi pucat. Dia terkejut bukan main karena
pertemuan tenaga itu telah mendatangkan guncangan dalam dadanya dan ini menunjukkan bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang kuat sekali.
Apalagi melihat Thian Liong sudah bangkit kembali sambil menyeringai dan menahan rasa nyeri, dia menjadi semakin kaget. Padahal pukulannya tadi hebat bukan main, dilakukan dengan pengerahan tenaga sin-kang. Lawan yang tangguhpun akan tewas terkena pukulannya seperti itu. Akan tetapi pemuda itu masih mampu bangkit! Ini juga membuktikan bahwa pemuda itu pun lihai bukan main. Kalau pemuda dan gadis itu maju bersama, dia pasti kalah.
“Hemm...... Pak-sian (Dewa Utara) ternyata seorang yang curang,” kata Thian Liong dan mendengar ini, kakek berambut putih dengan tubuh tinggi kurus berjubah seperti tosu itu semakin jerih.
Ternyata pemuda ini mengenalnya. Maka tanpa banyak cakap lagi Pak-sian Liong Su Kian, datuk besar dari utara itu berkata kepada laki-laki berkumis itu.
“Mari kita pergi!” Keduanya lalu melompat jauh dan melarikan diri.
Bi Lan hendak mengejar, akan tetapi ia melihat Thian Liong terhuyung lalu roboh telentang di atas tanah. Ia tidak jadi melakukan pengejaran dan segera menghampiri Thian Liong dan berjongkok di dekatnya, memeriksanya. Bi Lan terkejut bukan main ketika memeriksa dengan teliti. Tamparan-tamparannya sendiri tidak mendatangkan luka parah, hanya membuat kedua bibir pemuda itu pecah-pecah. Luka bacokan pedang pada pangkal lengan kanan itu jauh lebih parah, dan ketika ia memeriksa punggung, wajah Bi Lan berubah pucat. Thian Liong telah menderita luka dalam yang amat parah terkena pukulan kakek tadi. Pukulan itu selain amat dahsyat juga mengandung hawa beracun yang berbahaya. Kalau tidak cepat hawa beracun itu dikeluarkan dari rongga dadanya, nyawa pemuda itu takkan dapat diselamatkan lagi!
Melihat wajah pemuda yang telentang itu amat pucat, di kedua ujung mulutnya berlepotan darah dan kedua matanya terpejam, napasnya agak terengah dan lemah, Bi Lan merasa jantungnya seperti diremas.
“Thian Liong......!” Ia berbisik, merasa menyesal sekali. Kalau ia tidak menampar pemuda yang sama sekali tidak melindungi dirinya itu sehingga terhuyung dan pening, tidak mungkin dia akan terluka bacokan pedang dan menerima pukulan yang amat dahsyat tadi. Ia yang menyebabkan pemuda itu sampai begini. Hatinya yang sejak tadi amat gundah sehingga tadi ia menangis, kini menjadi semakin sedih dan sambil menyusut darah dari kedua ujung bibir Thian Liong dengan saputangannya, Bi Lan mengusap kedua matanya yang basah dengan punggung tangan. Kemudian ia membuka kancing baju pemuda itu, menanggalkan baju itu dan kini Thian Liong bertelanjang bagian atas badannya.
Bi Lan mendorong tubuh pemuda itu sehingga miring, hampir menelungkup, lalu sambil duduk bersila di belakang tubuh itu ia menempelkan tangan kanannya pada punggung Thian Liong yang terdapat tanda telapak tangan menghitam. Bi Lan menyalurkan tenaga saktinya untuk mendorong dan mengusir hawa beracun itu dari rongga dada Thian Liong. Akan tetapi ia harus berhati-hati sekali karena kalau salah perhitungan dan menggunakan tenaga terlalu besar, bukan tidak mungkin tenaganya itu malah akan merusak jantung dan paru-paru!
Sampai beberapa lamanya, Bi Lan melihat bahwa usahanya itu belum juga berhasil. Ia menjadi bingung, dan serba salah. Mengerahkan tenaga terlalu besar, ia takut kalau akan mendatangkan luka pada isi
rongga dada. Kalau terlalu lemah, tidak kuat untuk mengusir hawa beracun dari dalam rongga dada Thian Liong.
“Ah...... Thian Liong.......” Ia mengeluh lagi dengan bingung dan panik karena melihat betapa pernapasan pemuda itu semakin melemah. Memandang wajah itu, kembali jantungnya seperti diremas dan kembali matanya menjadi basah dan dua butir air mata mengalir keluar dari pelupuk matanya, jatuh menetes pada punggung pemuda itu.
Tiba-tiba saja Bi Ian merasa betapa sesungguhnya, wajah yang berada di depannya ini belum pernah hilang dari kenangannya. Wajah ini selalu terbayang dan ia memaksa hatinya menganggap bahwa ia mengenang pemuda itu karena sakit hati, karena merasa terhina, karena jengkel dan marah. Akan tetapi sesungguhnya, di balik itu semua, terdapat perasaan rindu dan sakit hatinya itu lebih disebabkan kekecewaan mengapa pemuda yang dikaguminya itu malah menampari pinggulnya. Mengapa pemuda itu membencinya! Padahal ia mengharapkan pemuda itu memperlihatkan keramahan kepadanya. Kini bagaikan sinar kilat memasuki kesadarannya bahwa sesungguhnya, sejak pertemuan pertama, tanpa disadarinya, ia mencinta Thian Liong!
“Thian Liong......!” Ia mencoba lagi, berusaha sedapatnya untuk mengusir hawa beracun itu dengan menambah tenaganya, namun dengan hati-hati sekali sambil memperhatikan wajah Thian Liong. Kalau ada tanda sedikit saja bahwa tenaganya terlalu besar sehingga pemuda itu kesakitan, tentu akan dihentikannya.
Ia melihat sepasang mata itu bergerak, berkedip, akan tetapi wajah yang pucat itu tidak tampak kesakitan. Hatinya menjadi girang sekali, Thian Liong telah siuman!
Pemuda itu membuka kedua matanya dan menggerakkan kepalanya, menoleh agar dapat melihat siapa yang berada di belakang tubuhnya yang miring. Dia bertemu pandang dengan Bi Lan yang menyalurkan sin-kang melalui tangan kanan yang ditempelkan di punggungnya. Dengan heran Thian Liong melihat wajah itu, bibirnya tersenyum akan tetapi mata bintang itu basah air mata! Lalu dia teringat bahwa dia terkena pukulan ampuh dan Bi Lan sedang berusaha mengobatinya dengan penyaluran sin-kang untuk mengusir hawa beracun dari dalam rongga dadanya. Bi Lan mengobatinya? Tidak mimpikah dia?
“Nona Han Bi Lan, engkau...... engkau mengobati aku......?”
“Diamlah, Thian Liong. Engkau terkena pukulan beracun yang berbahaya, mudah-mudahan aku akan dapat mengusir hawa beracun dari dadamu.”
Thian Liong tersenyum! Hatinya girang bukan main melihat sikap Bi Lan. Gadis itu berusaha menolongnya, berarti telah memaafkan dia.
“Nona cabutlah pedangku...... Thian-liong-kiam...... tempelkan di punggungku......” katanya terengah karena rongga dadanya terasa panas yang membuat ia sesak napas.
Bi Lan mengerti. Ia tadi menanggalkan pedang dari punggung Thian Liong ketika melepas baju pemuda itu. Pedang itu ia letakkan di atas tanah. Ia lalu mencabut pedang itu dari sarungnya dan kagum melihat pedang itu berkilau. Kemudian ia menempelkan pedang itu di punggung Thian Liong.
Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit) adalah sebatang pedang puslika yang amat langka. Pedang ini mengandung daya untuk menyedot hawa beracun, bahkan air rendamannya dapat mengobati segala macam luka yang mengandung racun. Pedang ini pemberian Tiong Lee Cin-jin kepada muridnya itu.
Tak lama kemudian setelah pedang itu menempel di punggung Thian Liong, tampak asap hitam perlahan-lahan mengepul keluar dari punggung itu! Bi Lan memandang dengan kagum sekali, juga hatinya merasa girang karena tak lama kemudian, warna telapak tangan hitam di punggung itu perlahan-lahan menipis dan makin menghilang.
Thian Liong mulai dapat bernapas dengan longgar. Dia lalu bangkit duduk dan membantu daya sedot pedang itu dengan pengerahan sin-kang untuk mengusir bersih semua hawa beracun.
“Cukup, Nona. Bahaya yang mengancam nyawaku telah lewat. Terima kasih atas pertolonganmu, Nona. Engkau sungguh mulia.”
“Jangan banyak bicara dulu, lukamu di pangkal lengan perlu diobati dulu.”
Bi Lan lalu mengambil obat bubuk dari buntalan pakaiannya. Ia memang selalu membawa obat bubuk itu untuk mengobati luka. Setiap orang kang-ouw selalu membawa obat seperti ini. Setelah menaruh obat bubuk pada luka menganga di pangkal lengan kanan Thian Liong, Bi Lan lalu mengambil sehelai pita rambutnya dari buntalan itu dan membalut pangkal lengan Thian Liong.
“Cukup, Nona Han Bi Lan. Sungguh aku merasa berhutang budi dan berterima kasih sekali padamu,” kata Thian Liong yang lalu mengenakan kembali bajunya.
“Akan tetapi bibirmu......” Bi Lan hendak menyentuh ke arah muka Thian Liong, akan. tetapi ditariknya kembali tangan itu karena merasa tidak pantas. Ia memandang bibir yang pecah itu dengan hati penuh penyesalan.
“Ah, bibir begini saja tidak mengapa, Nona. Nanti akan sembuh sendiri. Hanya lecet sedikit saja.”
“Curang sekali Pak-sian Liong Su Kian tadi. Akan tetapi aku tidak tahu siapa orang berkumis yang membacok lenganku tadi,” kata Thian Liong.
“Aku mengenalnya. Dia adalah Jiu To, seorang dari Sam-pak-liong yang pernah bentrok dengan aku. Sam-pak-liong (Tiga Naga Utara) menjadi pengawal Hiu Kan, putera mendiang Pangeran Hiu Kit Bong. Mereka berempat menggangguku dan mereka kubunuh semua, hanya Jiu To yang kubiarkan hidup karena dia mau memberitahu kepadaku di mana adanya Toat-beng Coa-ong Ouw Kan.”
“Ah, dan engkau sudah dapat bertemu dengan musuh besarmu itu? Aku sudah mendengar dari orang tuamu bahwa dulu yang menculikmu adalah Ouw Kan.”
“Aku sudah membunuhnya!” kata Bi Lan singkat.
Diam-diam Thian Liong merasa ngeri dan menyesal mengapa gadis yang sesungguhnya amat baik ini dapat begitu liar dan kejam.
“Aku mendengar tentang Ang I Mo-li yang mengamuk melukai banyak bangsawan dan hartawan......”
“Akulah yang disebut Ang I Mo-li!” Bi Lan berkata pula, singkat.
Thian Liong merasa semakin menyesal sehingga dia tidak dapat mengeluarkan kata-kata Iagi. Juga Bi Lan tampak termenung. Mereka duduk di atas rumput tebal di bawah pohon besar itu. Matahari sudah naik agak tinggi sehingga cuaca dalam hutan lebat itu semakin terang. Beberapa kali Thian Liong menghela napas panjang dan kebetulan sekali gadis itu pun menarik napas panjang. Suasana menjadi kaku. Gadis itu diam seperti patung, seolah tidak mengacuhkan segala sesuatu, membuat Thian Liong menjadi salah tingkah dan merasa hatinya tidak nyaman. Dia memaksa diri membuka percakapan untuk mencairkan suasana yang seolah membeku itu.
“Nona.......”
“Tidak usah menyebut Nona padaku!” Bi Lan memotong cepat. “Engkau tahu, namaku Bi Lan, Han Bi Lan.”
Thian Liong tertegun, akan tetapi dia lalu tersenyum. Pembukaan percakapan yang baik, pikirnya.
“Baiklah, Bi Lan. Aku ingin mengulang permintaan maafku kepadamu atas perbuatanku yang sungguh tidak pantas terhadap dirimu beberapa waktu yang lalu.”
“Tidak perlu minta maaf karena aku pun tidak minta maaf kepadamu. Aku malah telah melakukan dua kali kesalahan terhadap dirimu. Aku sudah mencuri kitab darimu, dan tadi...... aku telah menamparimu tanpa engkau melawan sehingga hampir saja aku menyebabkan kematianmu.”
“Tidak, Bi Lan. Engkau berhak menampari atau memukuli aku! Aku memang telah menghinamu. Dan engkau telah berkali-kali menolongku. Pertama engkau membantuku ketika aku difitnah dan diserang para tokoh Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai. Kedua kalinya, tadi kalau tidak ada engkau yang menolongku, pasti aku sudah mati oleh serangan gelap Pak-sian. Sungguh, aku berhutang nyawa, berhutang budi padamu, Bi Lan.”
“Sudahlah, jangan bicara tentang hal itu lagi. Aku malu mengingat betapa aku memukuli orang yang sama sekali tidak membela diri. Perbuatanku itu curang dan aku menjadi pengecut. Kita bicara urusan lain saja, Thian Liong.”
“Kalau begitu, sudah tidak ada lagi dendam permusuhan di antara kita?”
“Kalau engkau mau, kita lupakan saja semua itu dan menganggap tidak pernah terjadi. Akan tetapi tentu saja kalau engkau mendendam dan hendak membalas......” suaranya menantang.
“Ah, sama sekali tidak, Bi Lan. Aku merasa bahagia sekali kalau kita lupakan semua itu. Sekarang kalau aku boleh bertanya, mengapa engkau tadi menangis?”
“Aku tadi sedih sekali.”
“Aku tahu, Bi Lan. Ayahmu meninggal dunia setelah dilukai orang. Aku ikut bersedih karena mendiang Ayahmu adalah seorang sahabat baikku yang kukagumi dan kuhormati. Akan tetapi, aku mendengar bahwa engkau pergi ke kota raja bersama Ibumu. Mengapa engkau berada di sini?”
“Aku sedang mencari dua orang murid Ouw Kan yang menyerang Ayah, akan tetapi aku belum mendapatkan keterangan di mana mereka berada.”
“Dan engkau mencari mereka di daerah Kerajaan Kin ini?”
“Mereka itu murid-murid Ouw Kan, tentu saja aku mengira bahwa mereka berada pula di daerah ini. Pula, aku memang sudah berada di daerah ini untuk mencari Ouw Kan. Setelah berhasil membunuh Ouw Kan, aku juga menyusup ke istana kaisar dengan maksud untuk membunuhnya.”
“Ah......? Mengapa, Bi Lan?”
“Aku mendengar dari Ibuku bahwa yang mula-mula menjadi penyebab Ayah Ibuku dimusuhi Ouw Kan adalah karena Ayah dan Ibu membunuh seorang Pangeran Kin dalam perang. Kaisar Kin marah dan mengutus Ouw Kan untuk mencari Ibu dan Ayah dan membunuh mereka. Karena Ouw Kan tidak menemukan Ayah dan Ibu, maka dia menculik aku. Demikianlah, kuanggap Kaisar Kin yang menjadi musuh besar yang mengutus Ouw Kan, maka aku pergi ke istananya untuk membunuhnya.”
Thian Liong terbelalak. “Dan engkau...... engkau berhasil?”
Bi Lan menggeleng kepala. “Aku dihadapi Puteri Moguhai dan dibujuk, dan akhirnya aku mendengar darinya bahwa Kaisar Kin tidak menyuruh Ouw Kan membunuh orang tuaku. Adalah Ouw Kan sendiri yang memusuhi orang tuaku karena dia kecewa dan malu tidak berhasil membunuh mereka, bahkan gagal pula menculik aku karena guruku Jit Kong Lhama merampas aku dari tangannya. Aku menyadari, apalagi Puteri Moguhai itulah yang menyelamatkan Ibuku dari kematian.”
“Hemm, bagaimana ceritanya?”
“Begini, dulu pernah orang tuaku diserang oleh Ouw Kan, akan tetapi Puteri Moguhai...... dan engkau sendiri menyelamatkan mereka. Lalu Puteri Moguhai meninggalkan tulisan di atas kain yang, diberikannya kepada Ayah agar tulisan itu diperlihatkan kalau Ouw Kan berani mengganggu lagi.”
Thian Liong mengangguk-angguk. “Ya, ya, aku ingat itu......”
“Tentu saja engkau ingat, Thian Liong. Engkau akrab sekali dengannya dan selalu bersamanya. Ia memang seorang puteri yang anggun, cantik jelita, dan lihai ilmu silatnya. Siapa tidak terkagum-kagum dibuatnya?”
Thian Liong memandang heran. Salah dengarkah dia kalau menangkap kepanasan hati dan kecemburuan dalam ucapan Bi Lan itu?
“Ah, kami hanya kebetulan saja melakukan perjalanan bersama, Bi Lan. Teruskan ceritamu tadi.”
“Ketika dua orang murid Ouw Kan itu muncul, nama mereka Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, mereka merobohkan Ayah yang terluka berat dan ketika mereka juga hendak membunuh Ibuku, mereka melihat tulisan pemberian Puteri Moguhai itu terselip di ikat pinggang Ibu. Mereka membaca tulisan itu lalu melarikan diri tanpa mengganggu Ibu. Surat Puteri Moguhai itulah yang menyelamatkan Ibu.”
“Bi Lan, ketika aku mendengar keterangan A Siong di rumah Paman Han Si Tiong bahwa engkau dan Ibumu pergi ke kota raja, aku mengira bahwa engkau tentu pergi berkunjung ke rumah Panglima Kwee Gi. Benarkah itu?”
Gadis itu mengangguk, lalu menundukkan mukanya karena hatinya perih ketika Thian Liong bicara tentang kunjungannya ke kota raja. Kunjungan itulah yang menjadi permulaan ia menghadapi kehancuran hatinya.
“Aku tahu, engkau dan Ibumu tentu ke sana karena bukankah engkau telah menjadi calon keluarga Panglima Kwee?”
Bi Lan mengangkat mukanya dan sepasang matanya seolah berubah menjadi dua sinar terang yang menyoroti wajah Thian Liong dengan penuh selidik. “Apa maksudmu, Thian Liong?”
“Maksudku...... eh, ketika dulu aku bersama Pek Hong Niocu......”
“Pek Hong Niocu......?”
“Maksudku, Puteri Moguhai. Ketika kami berada di rumah keluarga Panglima Kwee, mereka membicarakan tentang engkau dan...... dan...... mereka mengatakan bahwa mereka hendak menjodohkan putera mereka, Kwee Cun Ki, denganmu......”
“Cukup! Aku tidak mau bicara tentang hal itu!” tiba-tiba Bi Lan berkata dengan ketus dan marah.
Thian Liong melihat betapa kedua pipi gadis itu menjadi merah sekali, bukan merah karena malu, melainkan merah karena marah. Sepasang matanya berkilat. Dia merasa heran dan terkejut.
“Ah, maafkan aku, Bi Lan. Sekarang, di manakah Bibi Liang Hong Yi?”
“Aku tidak mau bicara tentang dirinya!”
“Tapi...... tapi ia Ibumu......!”
“Cukup, jangan bicara tentang mereka atau pergilah tinggalkan aku!” Bi Lan membentak.
“Maaf, Bi Lan. Baiklah, sekarang ke mana engkau hendak pergi?”
“Sudah kukatakan aku sedang mencari dua orang murid Ouw Kan itu.”
“Kalau begitu, aku akan membantumu, Bi Lan. Mari kita mencari mereka bersama.”
“Aku tidak butuh bantuanmu atau bantuan siapapun juga!”
“Aku percaya bahwa engkau akan mampu menghadapi mereka sendiri, Bi Lan. Akan tetapi aku pun berhak mencari mereka. Mendiang Paman Han Si Tiong adalah sahabat baikku, bahkan kami bersama-sama menghadapi fitnah dan bahaya ketika kami menentang Menteri Chin Kui, sama-sama ditahan dalam penjara. Aku pun ingin menghajar dua orang murid Ouw Kan yang telah menyerang dan melukainya sehingga dia meninggal. Selain itu, aku juga hendak mencari guruku, Tiong Lee Cin-jin.”
“Sudah banyak aku mendengar nama Tiong Lee Cin-jin.”
“Ketahuilah, Bi Lan. Suhu Tiong Lee Cin-jin terancam bahaya. Empat Datuk Besar kini bersekutu dan melatih seorang murid secara khusus untuk membunuh Suhu Tiong Lee Cin-jin. Empat Datuk Besar dari empat penjuru itu bersama murid istimewa dan para murid mereka akan mengeroyok Suhu. Kalau engkau tidak keberatan, aku mengharapkan bantuanmu untuk bersama Suhu menghadapi mereka.”
Diam sejenak. Bi Lan mengerutkan alisnya. Biarpun sama sekali tidak terbayang pada wajahnya yang jelita, namun di lubuk hatinya ia merasa gembira sekali membayangkan bahwa ia akan melakukan perjalanan bersama Thian Liong, pemuda yang selama ini tak pernah ia lupakan, dengan berbagai macam perasaan. Ada kagum, ada suka, ada marah, penasaran dan kecewa. Akan tetapi sekarang semua perasaan marah dan mendendam sudah tidak ada sama sekali dalam hatinya sehingga yang tinggal hanya rasa kagum dan suka!
“Bagaimana Bi Lan? Engkau tidak merasa keberatan untuk melakukan perjalanan bersamaku, bukan?” Thian Liong ingin sekali melakukan perjalanan bersama Bi Lan terdorong oleh keinginan untuk membalas kebaikan gadis itu dan, untuk membuktikan bahwa dia sama sekali tidak menghina atau merendahkan gadis itu. Apalagi kalau dia teringat bahwa gadis ini adalah puteri tunggal Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, suami isteri yang dia hormati.
Akhirnya gadis itu mengangguk. “Akan tetapi bukan berarti aku ikut engkau atau engkau ikut aku, Thian Liong, melainkan hanya kebetulan saja kita melakukan perjalanan bersama.”
Thian Liong tersenyum, ingat akan ucapannya tentang dia melakukan perjalanan bersama Puteri Moguhai. “Tentu saja, Bi Lan.”
“Dan mulai sekarang, di depan semua orang, engkau jangan menyebut Bi Lan kepadaku.”
“Eh? Lalu menyebut apa?”
“Sebut saja Han, tanpa embel-embel apa pun.”
“Lho, mengapa begitu?”
“Akan kaulihat nanti. Tunggu sebentar di sini!” Setelah berkata demikian, Bi Lan menyambar buntalan pakaiannya dan berkelebat lenyap ke balik pohon-pohon.
Thian Liong menggerakkan bahunya, sehingga terasa nyeri pada bahu kanannya, mengingatkan dia akan lukanya dan teringat betapa tadi Bi Lan dengan sungguh-sungguh berusaha mengobatinya. Teringat dan terasa olehnya betapa lembut dan hangatnya jari-jari tangan gadis itu menyentuh lengannya ketika ia membalut luka di pangkal lengan kanannya itu. Kini gadis itu bersikap aneh, minta dipanggil Han saja dan minta dia menunggu lalu menghilang di balik pohon-pohon. Apa maunya? Akan tetapi dia sabar menunggu.
Tidak lama kemudian Thian Liong melihat seorang pemuda muncul dari balik pohon-pohon dan dia terkejut, juga merasa heran. Dia bangkit berdiri, siap menghadapi ancaman. Siapa tahu pemuda itu juga
seorang musuh tangguh yang hendak menyerangnya. Akan tetapi pemuda itu melangkah, menghampirinya dan tersenyum.
“Thian Liong, perkenalkan, aku adalah Han.”
Biarpun suara pemuda itu wajar sebagai suara seorang pemuda, namun kata-kata itu tentu saja menyadarkan Thian Liong dengan siapa dia berhadapan.
“Bi Lan......!” serunya kagum bukan main. Gadis itu benar-benar pandai sekali menyamar. Pakaian pria yang agak longgar itu menyembunyikan lekuk lengkung tubuh gadisnya, dan hebatnya, gadis itu dapat mengubah penampilannya, menata rambutnya sehingga dia sendiri pun tidak akan mengenalnya kalau tadi tidak bicara. “Wah, engkau hebat sekali, Bi Lan. Sungguh aku sama sekali tidak mengenalmu. Engkau benar-benar menjadi seorang pemuda, tidak akan ada orang dapat menduga bahwa engkau seorang gadis!”
“Engkau yang akan membuka rahasiaku kalau engkau masih menyebut namaku seperti itu. Aku bernama Han, jangan lupakan itu.”
Thian Liong tertawa. “Baiklah, Han kalau ada yang bertanya, engkau menjadi apaku?”
“Sahabat, apa lagi? Nah, mari kita berangkat.”
“Ke mana?”
“Mencari makanan, perutku lapar sekali.”
Mereka lalu keluar dari hutan itu, menggendong buntalan pakaian masing-masing. Setelah keluar dari hutan, jalan umum itu membawa mereka memasuki sebuah kota yang cukup besar dan ramai. Ketika mereka mencari keterangan, mereka diberitahu bahwa itu adalah kota Leng-an dan kota itu terletak di sebelah selatan Telaga Kim-hi yang luas. Kim-hi-ouw (Telaga Ikan Emas) terkenal mengandung banyak ikan emas yang lezat dagingnya.
Thian Liong dan Bi Lan, atau lebih baik kita sebut saja Han seperti yang dikehendaki gadis itu, memasuki sebuah rumah makan yang besar dan ramai dikunjungi orang. Mereka mendapatkan meja di sudut dan Han segera memesan masakan ikan emas yang membuat kota Leng-an terkenal.
Setelah pesanan masakan dihidangkan dan mereka mulai makan, mereka membuktikan sendiri kelezatan, masakan ikan emas telaga itu seperti yang disohorkan orang. Setelah makan minum dengan puasnya, Han dan Thian Liong duduk santai dan baru mereka memperhatikan sekeliling.
Tak jauh dari meja mereka, terdapat tiga orang pemuda yang makan minum sambil bercakap-cakap. Mendengar mereka bicara tentang seorang gadis sedang mencari jodoh dengan cara bertanding ilmu silat, mereka tertarik sekali. Memang pada waktu itu, peristiwa seperti ini merupakan hal yang biasa. Banyak gadis dunia persilatan, oleh ayahnya dicarikan jodoh dengan jalan pi-bu (mengadu ilmu silat), semacam sayembara!
“Sayang aku tidak mempunyai kepandaian silat. Betapa akan senangnya menyunting bunga yang demikian indahnya!” kata seorang di antara mereka.
“Ah, kalau hanya mempunyai ilmu silat sedang-sedang saja, siapa berani mencoba-coba? Gadis itu lihai bukan main. Kemarin saja sudah ada tiga orang calon yang dikalahkan. Kalau kalah, selain sakit badan dan juga sakit hati karena malu,” kata orang kedua.
“Memang sayang sekali. Gadis itu demikian cantik jelita dan tampaknya lemah lembut, kulitnya putih mulus, akan tetapi ternyata bunga indah itu mempunyai duri yang tajam dan berbahaya. Kabarnya hari ini ia dan ayahnya tidak lagi mengadakan pertunjukan silat. Apa mereka sudah meninggalkan kota ini?” kata orang ketiga.
“Ah, tidak. Aku mendengar bahwa besok pagi gadis itu akan memberi kesempatan lagi kepada yang berminat untuk pi-bu. Kalau kabar ini sudah tersiar dan datang jago-jago dari kota lain, tentu akan ramai sekali.”
“Di mana akan diadakan pi-bu itu?”
“Di mana lagi kalau bukan di tempat yang kemarin, di tepi telaga itu. Besok kita harus nonton, tentu menarik sekali. Aku ingin melihat berapa orang laki-laki lagi yang dirobohkannya dan siapa yang akhirnya beruntung menyunting bunga itu.”
“Ah, kalau aku ogah mempunyai bini seperti itu. Biar cantik jelita, akan tetapi lihai ilmu silatnya. Jangan-jangan setiap hari aku akan dipukul dan ditendangnya!”
Tiga orang itu berhenti bicara. Thian Liong dan Han segera membayar harga makanan. Han mendahului membayarnya sehingga Thian Liong hanya tersenyum saja. Melihat dua orang pemuda ini membawa buntalan pakaian yang ditaruh di atas meja, pelayan rumah makan itu lalu berkata, setelah menerima pembayaran.
“Ji-wi Kongcu (Tuan Muda Berdua) agaknya datang dari luar kota. Kalau ji-wi (kalian berdua) membutuhkan pondokan, silakan bermalam di rumah penginapan kami, di belakang itu. Kami mempunyai kamar-kamar yang bersih.”
Thian Liong menoleh kepada Han, menyerahkan keputusannya kepada temannya itu. Sebetulnya, tadi mereka memasuki Leng-an hanya untuk mencari makanan, dan tidak ada rencana untuk menginap.
“Baik, kami akan menginap di sini semalam. Sediakan dua buah kamar yang bersih,” kata Han kepada pelayan.
“Dua buah, Kongcu (Tuan Muda)?”
“Ya, dua buah!” kata Han singkat dan suaranya agak ketus menunjukkan bahwa dia tidak senang dengan pertanyaan pelayan itu.
“Baik, baik, Kongcu. Mari silakan!”
Thian Liong dan Han mengikuti pelayan itu yang mengajak mereka ke bagian belakang rumah makan itu. Ternyata bagian belakangnya luas dan ada bangunan rumah penginapan yang memiliki belasan buah kamar. Mereka senang melihat kamar untuk mereka itu cukup bersih, biarpun perabotnya sederhana.
Setelah pelayan yang mengantar mereka pergi, Thian Liong bertanya, “Apa yang menarik hatimu sehingga ingin bermalam di kota ini, Han?”
Han memandang wajah Thian Liong dan tersenyum. Hemm, pikir Thian Liong. Penyamaran itu sudah baik sekali, akan ada satu hal yang agaknya terlupa. Kalau tersenyum lebar, lesung yang manis itu muncul di kanan kiri mulut Han, membuat wajah itu menjadi terlampau tampan sehingga akan menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan orang. Maka sebelum Han menjawab pertanyaan tadi, dia sudah cepat berkata, “Han, jangan tersenyum lebar, penyamaranmu dalam bahaya kalau engkau tersenyum.”
Han mengerutkan alisnya. “Mengapa?”
“Terlalu...... terlalu cantik, tidak jantan.”
Han mengangguk. “Akan kuingat itu.”
“Engkau belum menjawab pertanyaanku tadi. Apa yang menarik hatimu untuk bermalam di sini?”
“Sama dengan yang menarik hatimu, Thian Liong. Engkau juga ingin sekali nonton pi-bu (adu silat) yang diadakan gadis di tepi telaga itu, bukan? Eh, Thian Liong, siapa tahu engkau yang akan dapat mengalahkannya dan menjadi jodohnya.”
Digoda begitu, Thian Liong tidak mau membantah, bahkan berkata sambil tersenyum. “Yah, siapa tahu?” Dia terheran melihat betapa tiba-tiba wajah Han menjadi keruh, alisnya berkerut dan mulutnya merengut!
“Aku mau mengaso!” katanya singkat dan dia hendak memasuki kamarnya.
“Sore nanti kita melihat-lihat kota dan telaga, Han,” kata Thian Liong.
“Bagaimana nanti sajalah!” Han memasuki kamar dan menutup daun pintunya agak keras.
Thian Liong menggerakkan pundak dengan hati merasa heran atas sikap Han yang tidak dimengertinya itu. Dia pun memasuki kamarnya, mele-paskan buntalan dan meletakkannya di atas meja lalu dia pun merebahkan diri mengaso.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi, setetah mandi dan tukar pakaian, Han mengajak Thian Liong keluar dan mereka berdua segera menuju ke tepi telaga. Kemarin sore mereka sudah berjalan-jalan ke sini, bahkan sempat naik perahu sewaan berputar-putar di telaga. Mereka sudah mendapat keterangan bahwa gadis yang mengadakan pi-bu itu kemarin mengambil tempat di bagian tepi telaga yang tanahnya agak tinggi.
Setelah tiba di tempat itu, tepi telaga sudah mulai ramai. Bukan saja ramai dengan mereka yang hendak berangkat dengan perahu mereka menangkap ikan, ada pula yang baru pulang dari mencari ikan semalam dan kini membawa hasil tangkapan mereka untuk dijual ke dalam kota. Ada juga yang hendak pesiar, dan banyak orang-orang muda yang sengaja datang hendak nonton gadis yang mencari jodoh dengan jalan mengadakan pi-bu. Akan tetapi agaknya gadis dan ayahnya itu belum datang.
Akan tetapi Thian Liong dan Han tidak perlu menunggu lama. Ketika suasana menjadi riuh dengan suara orang-orang yang menujukan pandang mata ke satu jurusan, Thian Liong dan Han juga memandang ke arah sana. Tampak seorang gadis dan seorang laki-laki setengah tua datang ke tepi telaga yang tanahnya tinggi itu.
Thian Liong memandang penuh perhatian. Gadis itu berusia sekitar delapanbelas tahun. Tak dapat disangkal bahwa gadis itu memang cantik menarik, dengan bentuk tubuh yang denok padat, kulitnya yang putih mulus. Yang menarik adalah sepasang matanya yang lebar dan indah. Laki-laki yang berjalan di sampingnya itu berusia sekitar empatpuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan mukanya kuning, wajahnya muram seperti orang yang tidak bahagia. Dengan langkah lebar mereka berdua menuju ke atas tanah yang tinggi tanpa memperdulikan puluhan pasang mata yang memandang kepada mereka.
Setelah tiba di atas tanah tinggi itu, mereka menurunkan buntalan kain dari punggung mereka dan meletakkannya di atas batu-batu yang berada di atas tanah. Mereka juga melepaskan pedang berikut sarungnya dari pinggang dan meletakkan pedang mereka itu di atas buntalan pakaian. Setelah dua orang itu berada di situ, mereka yang memang datang hendak nonton, berbondong-bondong datang tanpa diatur, mereka sudah membentuk lingkaran yang cukup luas sehingga kedua orang itu seperti berdiri di atas panggung tanah tinggi itu merupakan gundukan tanah yang lumayan luasnya. Mereka yang nonton berdiri mengelilingi gundukan tanah itu.
Setelah di situ berkumpul lebih dari limapuluh orang, sebagian besar adalah pemuda-pemuda, laki-laki tinggi kurus itu lalu maju ke tengah lapangan itu dan menjura ke empat penjuru.
“Kami kira Cu-wi (Anda sekalian) tentu sudah tahu atau sudah mendengar bahwa kami sedang mengadakan sayembara pi-bu (adu silat) untuk memilih jodoh. Siapa saja dipersilakan memasuki sayembara ini apabila berminat. Adapun syarat-syaratnya seperti berikut: Pengikut sayembara haruslah seorang laki-laki yang belum menikah. Pengikut sayembara harus disetujui dulu oleh anak kami sebelum bertanding. Pengikut sayembara harus dapat mengalahkan anak kami dalam pertandingan silat dengan tangan kosong dan setelah dapat mengalahkannya, dia harus dapat bertahan melawan kami selama duapuluh jurus. Perkenalkan, nama kami adalah Ouwyang Kun, sedangkan ini anak kami satu-satunya bernama Ouwyang Siu Cen yang sudah tidak mempunyai ibu lagi. Nah, kalau ada yang berminat, silakan maju!”
Ouwyang Kun lalu memberi hormat lagi dan kembali duduk di atas batu dekat puterinya. Para penonton mulai berisik saling bicara sendiri. Akan tetapi belum juga ada yang maju memasuki lapangan.
“Thian Liong, gadis itu cantik jelita. Mengapa engkau tidak coba-coba?” bisik Han yang berdiri di samping pemuda itu.
“Mengapa tidak engkau saja yang maju dan mengalahkannya, Han?” Thian Liong menjawab sambil tersenyum.
Han hampir saja tersenyum lalu teringat dan dia cemberut. “Gila kau!” bisiknya.
Melihat belum juga ada yang' memasuki lapangan, Ouwyang Kun berbisik kepada puterinya. Siu Cen mengangguk dan ia lalu bangkit dan menuju ke tengah lapangan, berdiri tegak dan memandang ke sekeliling dengan matanya yang lebar dan indah, lalu berkata dengan suara lembut.
“Sambil menanti munculnya pengikut sayembara yang pertama, untuk mengisi kekosongan saya akan memainkan sebuah tarian pedang! Kalau tarianku jelek dan banyak kesalahannya, harap Cu-wi suka memaafkan dan memberi petunjuk.”
Setelah berkata demikian Siu Cen mencabut pedangnya dan mulailah ia dengan tarian pedangnya. Tarian itu sesungguhnya adalah ilmu silat pedang yang diberi gerakan kembangan sehingga tampak indah dan lemah gemulai. Siu Cen memang memiliki tubuh yang lentur dan gerakannya mengandung seni tari yang indah. Akan tetapi di balik kelemasan, kelenturan dan keindahan itu tersembunyi kekuatan yang mengagumkan. Daya tahan dan daya serang yang kokoh. Kalau semua gerakan kembangan dan variasi itu dihilangkan, maka gerakan-gerakan pedang itu akan menjadi berbahaya sekali bagi lawan.
“Hemm, cantik dan indah sekali, Thian Liong,” Han berbisik pula.
“Ilmu silatnya cukup tangguh. Kuda-kudanya seperti yang biasa dipergunakan para hwesio (pendeta Buddhis) kalau mengajarkan silat kepada muridnya. Kokoh dan mantap.”
Tarian itu tidak lama. Tentu saja Ouwyang Siu Cen tidak mau menghamburkan banyak tenaga karena ia menghadapi pertandingan silat kalau ada yang maju mengikuti sayembara. Ayahnya, Ouwyang Kun memang bijaksana. Di antara syarat-syarat bagi calon jodohnya itu, adalah syarat bahwa ikutnya seorang calon harus atas persetujuannya. Berarti ayahnya hanya mau menjodohkannya dengan seorang pemuda kalau Siu Cen menyetujuinya. Hal ini untuk mencegah agar gadis itu tidak terpaksa menjadi isteri seorang laki-laki yang tidak disukanya hanya karena laki-laki itu dapat mengalahkannya dalam pi-bu.
Setelah Siu Cen menghentikan tariannya, seorang pemuda berusia sekitar duapuluh tahun masuk ke dalam gelanggang, disambut tepuk tangan para penonton karena selain mereka mengenal pemuda itu sebagai putera guru silat Ciang di kota Leng-an, juga semua orang sejak tadi sudah tidak sabar menanti munculnya orang yang memasuki sayembara itu agar mereka dapat menonton pertandingan silat.
Melihat ada seorang pemuda memasuki gelanggang, Ouwyang Kun lalu bangkit dan menghampiri sehingga berdiri berhadapan dengan pemuda itu, sedangkan Ouwyang Siu Cen mundur dan berdiri di belakang ayahnya sambil memandang kepada pemuda itu. Ciang Lun adalah seorang pemuda yang berwajah cukup ganteng, tubuhnya sedang dan dia berdiri di depan Ouwyang Kun dengan tegak.
“Apa kehendakmu masuk ke sini, orang muda?” tanya Ouwyang Kun.
“Kalau boleh, saya ingin mencoba kelihaian Nona Ouwyang.”
Ouwyang Kun menoleh dan memandang kepada puterinya. Siu Cen mengangguk, tanda bahwa ia mau berpi-bu melawan pemuda itu.
“Orang muda, siapa namamu?”
“Nama saya Ciang Lun.”
“Baik, kami mempersilakan engkau untuk saling menguji kepandaian dengan Siu Cen.”
Setelah berkata demikian, Ouwyang Kun mundur dan duduk kembali ke atas batu. Kini Siu Cen berhadapan dengan pemuda itu.
“Silakan mulai, Nona. Aku telah siap!” kata Ciang Lun yang segera memasang kuda-kuda dengan berdiri tegak, kedua kaki merapat dan kedua tangan direntangkan, yang kanan menunjuk ke atas, yang kiri menunjuk ke bawah.
“Pembukaan Thian-te-sin-kun (Silat Sakti Langit Bumi),” bisik Thian Liong.
“Tapi rapuh,” bisik pula Han.
Thian Liong juga maklum bahwa pasangan kuda-kuda dari pemuda bernama Ciang Lun itu tidak cukup kokoh dan melihat gerakan kaki Siu Cen ketika menari silat pedang tadi dia sudah dapat menduga bahwa pemuda ini tidak akan menang melawan gadis itu. Tingkat kepandaian mereka berselisih jauh.
“Kami tuan rumah dan engkau tamunya, silakan menyerang lebih dulu,” kata Siu Cen yang juga memasang kuda-kuda dengan menekuk kedua lututnya, menghadap ke samping dan memutar kepala ke arah lawan, kedua tangan dikepal di pinggang.
“Hemm, kalau tidak salah kuda-kuda itu dari aliran Kwan-im-kun (Silat Dewi Kwan Im),” kata Han lirih.
“Atau silat Dewa Ji-lai-hud, ilmu silat yang biasanya dimainkan para pendeta,” kata Thian Liong.
Mendengar ucapan gadis itu, Ciang Lun tersenyum. “Baiklah, maaf, sambut seranganku, Nona!” Pemuda itu mulai menyerang dan dia mainkan ilmu silat Langit Bumi yang sebetulnya merupakan ilmu silat yang cukup ampuh karena gerakan serangannya berganda, serangan ke bagian atas tubuh lawan disusul dengan hampir berbarengan dengan serangan dari bawah. Kalau saja dia sudah menguasai dengan baik dan memiliki sin-kang (tenaga sakti) yang kuat, dia akan merupakan lawan yang tangguh dan berbahaya.
Akan tetapi, Siu Cen bergerak cepat dan gerakannya ringan sekali. Tubuhnya berkelebatan ketika mengelak dari serangkai pukulan pemuda itu. Ia pun balas menyerang dan Ciang Lun dapat menangkis serangan balasan itu dengan baik pula. Bagi mereka yang tidak mengenal ilmu silat, atau yang hanya mengenal kulitnya saja tentu menganggap bahwa pertandingan itu seru dan seimbang. Telah lebih dari tigapuluh jurus mereka bertanding dan tampaknya belum ada yang lebih unggul sehingga kelihatan seru dan seimbang. Akan tetapi Han berbisik kepada Thian Liong.
“Wah, engkau terlambat, Thian Liong. Gadis itu agaknya telah memilih calon suaminya.”
“Engkau benar dan aku ikut girang, mereka memang serasi untuk menjadi pasangan hidup.”
Sementara itu, Ouwyang Kun juga maklum apa yang terjadi pada puterinya. Dia tahu benar bahwa kalau dikehendaki, dalam belasan jurus saja puterinya itu akan mampu mengalahkan lawannya. Akan tetapi agaknya Siu Cen tidak mau melakukan hal itu. Ia mengalah dan hal ini hanya mempunyai arti bahwa puterinya itu jatuh cinta kepada Ciang Lun itu! Bagi dia mempunyai seorang mantu yang ilmu silatnya lebih rendah daripada tingkat puterinya tidak menjadi soal. Yang penting Siu Cen mencintanya dan mantunya itu bukan seorang jahat. Melihat betapa pertandingan itu berlangsung sampai hampir limapuluh jurus, Ouwyang Kun merasa cukup dan dia pun melompat ke tengah.
“Cukup, harap kalian berhenti!”
Dua orang itu mundur dan Siu Cen menundukkan mukanya yang menjadi kemerahan. Clang Lun memandang kepadanya dengan mulut terseyum, tampak dia girang sekali.
“Cu-wi, sayembara ini sudah selesai. Kami telah menemukan pilihan calon suami puteri kami.”
“Tidak bisa! Ini tidak adil!” terdengar teriakan dan seorang laki-laki berusia kurang lebih tigapuluh lima tahun, bertubuh tinggi besar dan mukanya hitam bopeng (bekas cacar) melompat ke tengah lapangan.
“Kemenangan bocah ini sama sekali tidak sah!” Dia berseru dengan suaranya yang parau dan terdengar logat bicaranya kaku dan asing.
“Hemm, dia itu orang dari barat, suku Tibet,” bisik Han kepada Thian Liong. Pemuda ini juga sudah menduga demikian karena pernah dia bertemu dengan beberapa orang pendeta Lhama dari Tibet ketika mereka datang mengunjungi gurunya, Tiong Lee Cin-jin.
Ouwyang Kun menghadapi orang itu dengan alis berkerut, akan tetapi dia menahan marah dan bertanya, “Sobat, menentukan pilihan calon suami untuk puteriku merupakan hak kami, orang luar sama sekali tidak berhak mencampuri.”
“Ho-ho-ha-ha! Enak saja engkau menentukan begitu! Akan tetapi tanyalah kepada semua penonton ini. Kalian berdua telah melanggar peraturan yang kalian adakan sendiri. Bukankah tadi engkau sendiri mengumumkan bahwa yang berhak berjodoh dengan puterimu adalah orang yang dapat mengalahkan puterimu dan dapat bertahan pula melawanmu selama duapuluh jurus? Hai, saudara-saudara, bukankah dia tadi berjanji demikian?”
Para penonton yang juga merasa tidak puas dengan keputusan yang diambil. Ouwyang Kun dan mereka menginginkan sebuah pertandingan berikutnya yang lebih seru, segera berseru, “Benar......!!”
Mendengar seruan orang banyak ini, Ouwyang Kun lalu bertanya dengan lantang. “Sobat, katakan siapa namamu!”
“Ho-ho, namaku Golam!” kata Si Tinggi Besar Muka Hitam. Dia berbangsa Mongol akan tetapi sudah belasan tahun tinggal di Tibet sehingga logat bicaranya seperti orang Tibet.
“Sekarang, apa kehendakmu maka engkau mencampuri urusan kami memilih jodoh ini?”
“Tentu saja engkau harus memegang janjimu, dan aku ingin memasuki sayembara, hendak mengalahkan puterimu dan menghadapimu selama duapuluh jurus. Kalau aku berhasil, maka puterimu ini harus menjadi isteriku!”
Ouwyang Kun mengerutkan alisnya dan menatap tajam wajah yang bopeng dan berwarna hitam itu. “Golam, melihat usiamu, engkau tentu sudah mempunyai isteri dan anak, bukan?”
“Ho-ho, punya anak isteri atau tidak sama sekali tidak ada hubungannya dengan sayembara ini. Pendeknya, aku memasuki sayembara dan kalian harus memenuhi janji dan melawan aku. Kecuali, tentu saja, kalau kalian Ayah dan anak merasa takut padaku! Kalau begitu, lebih baik kalian mengaku terus
terang di depan semua orang ini bahwa kalian takut melawan aku, lalu cepat gulung tikar dan tinggalkan kota ini sebagai pengecut!”
Beberapa orang penonton mengeluarkan suara tawa dan semua orang menjadi tegang karena mereka mengharapkan terjadinya pertandingan yang sungguh-sungguh dan sikap Golam itu memancing ketegangan.
Ouwyang Kun menjadi merah mukanya dan matanya mencorong marah.
“Golam!” suaranya membentak. “Sombong sekali engkau! Mendengar namamu, engkau tentu seorang Mongol dan suaramu menunjukkan bahwa engkau lama tinggal di Tibet! Aku mengerti betapa banyaknya orang Mongol yang terusir dari negaranya karena kejahatannya lalu berkeliaran di Tibet! Kami tidak pernah takut menghadapi orang-orang macam engkau ini. Guruku See-ong Hui Kong Hosiang tidak mempunyai murid pengecut!”
“Ho-ho-ha! Kiranya engkau murid See Ong (Raja Barat)? Bagus kalau kalian bukan pengecut. Suruh puterimu maju melawan aku, baru nanti engkau sendiri yang maju!”
Ouwyang Kun meragu, akan tetapi Siu Cen sudah bangkit berdiri dengan marah. Pada saat itu, Ciang Lun yang sejak tadi berdiri di pinggiran melangkah maju dan berkata kepada Golam dengan suara keras. “Sobat, minggirlah dan jangan mencampuri dan mengganggu urusan orang lain!”
Golam menyeringai melihat pemuda itu berdiri di depannya dengan sikap menantang.
“Pergi kau!” Dia membentak dan tangannya yang berlengan panjang itu menampar ke arah kepala Ciang Lun. Pemuda itu cepat menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
“Dukk......!!” Tubuh Ciang Lun terpelanting dan jatuh bergulingan saking kuatnya tenaga yang membentur tangkisannya. Golam tertawa bergelak sambil menengadah dengan sikap sombong sekali.
“Manusia sombong!” tiba-tiba Ouwyang Siu Cen membentak dan ia sudah menghadapi Golam dan memasang kuda-kuda ilmu silat Kwan-im-kun. Ayah gadis ini, Ouwyang Kun memang murid See-ong Hui Kong Hosiang yang merangkai ilmu silat Ji-lai-hud dan ilmu silat yang dimainkan oleh Siu Cen adalah ilmu silat berdasarkan Ji-lai-hud-kun, khusus untuk wanita dan dinamakan Kwan-im-kun.
Akan tetapi Golam tertawa mengejek. “Nona manis, aku akan malu kalau engkau bertangan kosong. Pergunakanlah pedangmu itu dan aku akan menghadapimu dengan tangan kosong. Itu baru adil namanya dan lebih seru!”
Akan tetapi Siu Cen sudah membentak nyaring dan maju menerjang dengan cepat dan kuat. “Lihat seranganku!”
Akan tetapi, Golam menangkis dan begitu lengan Siu Cen bertemu dengan tangannya, tenaga tangkisan itu begitu kuatnya sehingga tubuh Siu Cen terputar dan pada saat itu, tangan kiri Golam menyambar dan dengan kurang ajar sekali tangan itu telah mengelus dan membelai dagu dan leher.
Siu Cen menjerit kecil sambil melompat jauh ke belakang dengan terkejut dan marah sekali.
“Ha-ha-ho-ho, sudah kukatakan. Pergunakanlah pedangmu, Nona manis!”
Siu Cen cepat mengambil pedangnya, melompat ke depan Golam dan membentak. “Keluarkan senjatamu!” tantangnya.
“Ho-ho, tidak seru kalau aku menggunakan senjata. Aku tidak mau melukai kulitmu yang putih mulus itu, Nona. Tangan kakiku ini sudah lebih dari cukup untuk melayanimu main-main. Majulah!”
“Sombong, sambut pedangku!” Siu Cen membentak dan menyerang dengan pedangnya. Gerakannya cepat sekali. Akan tetapi ternyata lawannya memang hebat. Biarpun bertubuh tinggi besar, namun orang Mongol itu dapat bergerak cepat dan lebih hebat lagi, dia berani menangkis pedang Siu Cen dengan lengannya! Kalau pedang itu bertemu lengan Golam yang menangkis, terdengar bunyi seolah pedang itu bertemu sepotong baja yang amat kuat.
Kini para penonton mulai merasa tegang dan khawatir. Yang mereka tonton kini bukan lagi pertandingan adu kepandaian untuk mengukur tingkat masing-masing, melainkan pertandingan perkelahian sungguh-sungguh yang menggunakan senjata, yang dapat merobek tubuh dan merenggut nyawa! Maka, banyak di antara para penonton yang mulai mundur menjauhkan diri dan menonton dari jarak agak jauh yang aman. Tinggal sedikit saja yang menonton di tempat semula, di antara mereka termasuk Thian Liong dan Han.
Setelah pertandingan antara Siu Cen yang memegang pedang melawan Golam yang bertangan kosong itu berjalan lewat duapuluh jurus, terdengarlah Golam terkekeh dan diseling jerit-jerit kecil Siu Cen karena kini Golam yang lebih tinggi tingkatnya itu mulai mempermainkan Siu Cen. Tangannya secara kurang ajar sekali menowel pipi, meraba dada, dan mencubit pinggul. Siu Cen menjerit-jerit kecil dan merasa malu dan marah sekali.
“Jahanam busuk, biar kubunuh dia!” Han berbisik dengan muka berubah merah karena marahnya.
“Ssstt, jangan, Han. Ouwyang Kun adalah murid See Ong, seorang di antara Empat Datuk Besar. Dia pasti tidak membiarkan puterinya diganggu,” kata Thian Liong. Baru saja Thian Liong habis bicara, terdengar Ouwyang Kun membentak lantang.
“Golam bangsat kurang ajar!”
Thian Liong memandang dan dia melihat betapa Golam sudah merampas dan mematahkan pedang Siu Cen dan kini dia menangkap dan merangkul gadis itu.
Ouwyang Kun melompat dan langsung menyerang Golam dengan tamparan tangannya. Golam melepaskan rangkulannya dan mendorong tubuh Siu Cen sehingga gadis itu terpelanting. Kemudian dia mengangkat tangan menangkis.
“Desss ...... !!” Pertemuan dua tenaga itu dahsyat sekali dan akibatnya tubuh Golam terpelanting dan roboh bergulingan. Pada saat itu terdengar suara nyaring.
“Omitohud! Golam, bawa gadis itu. Engkau berhak memilikinya!”
Tampak bayangan berkelebat dan bayangan itu ternyata seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh lima tahun, bertubuh tinggi kekar dan mukanya penuh brewok akan tetapi kepalanya gundul dan dari jubahnya dapat diketahui bahwa dia itu seorang pendeta Lhama dari Tibet. Dengan gerakan yang cepat sekali pendeta itu mendorongkan kedua tangannya ke arah Ouwyang Kun. Hawa pukulan dahsyat disertai uap hitam menyambar ke arah Ouwyang Kun bagaikan angin badai. Ouwyang Kun terkejut sekali dan dia menyambut dengan kedua tangan sambil mengerahkan seluruh sin-kang (tenaga sakti) karena dia maklum bahwa pendeta Lhama itu menyerangnya dengan pukulan yang amat kuat dan ampuh.
“Blaaaarrrr......!!” Bukan main dahsyatnya pertemuan antara dua tenaga sakti itu. Semua penonton merasa betapa tanah yang mereka injak tergetar oleh benturan hebat itu. Tubuh Ouwyang Kun terpental ke belakang dan sebelum dia dapat bangkit, tubuh pendeta Lhama itu sudah meluncur dekat dan ketika tampak kilat menyambar, pedang di tangan pendeta itu telah memasuki dadanya! Ketika pedang dicabut, Ouwyang Kun mendekap luka di dadanya darimana darah mengucur dan dia memandang terbelalak kepada penyerangnya.
“Kau...... kau...... mengapa menyerangku?”
“Hemmm, engkau yang curang mengeroyok muridku!” kata pendeta Lhama itu. Ouwyang Kun roboh terkulai dan tewas.
“Ayaaahhh......!” Siu Cen yang tadi terpelanting, sebelum sempat menghindar Golam sudah menubruk dan menotok pundaknya sehingga ia tidak mampu melawan lagi. Tubuhnya terasa lemas tiada tenaga dan ia pun tidak dapat melawan ketika tubuhnya dipondong Golam. Akan tetapi ia melihat ayahnya tertusuk dan roboh maka ia menjerit. Golam melompat dan membawa gadis itu lari sambil terkekeh senang.
“Thian Liong, tolong gadis itu, biar kuhajar keledai gundul ini!” kata Han.
“Akan tetapi dia lihai sekali, Han!”
“Dulu aku pernah menghajarnya, jangan khawatir. Cepat kejar buaya darat yang melarikan Siu Cen itu!”
Thian Liong tidak membantah lagi dan dia sudah berkelebat cepat melakukan pengejaran terhadap Golam yang membawa lari Siu Cen.
Sementara itu, pendeta Lhama itu terkejut ketika tiba-tiba ada bayangan berkelebat di depannya dan tahu-tahu di depannya telah berdiri seorang pemuda yang amat tampan.
“Goat Kong Lhama, engkau memang seorang yang jahat dan kejam!”
“Omitohud! Engkau sudah mengenal nama pinceng (aku)? Siapakah engkau? Siapa namamu, orang muda?” tanya Goat Kong Lhama dengan heran.
Dia adalah seorang pendeta Lhama dari Tibet yang namanya asing di wilayah Kerajaan Kin maupun Kerajaan Sung Selatan. Kemunculannya ini baru yang kedua kalinya. Dulu, kurang lebih dua tahun yang lalu, dia pun pernah keluar dari Tibet untuk mencari Jit Kong Lhama, seorang tokoh Lhama yang dianggap murtad dan dicari oleh para Lhama di Tibet. Goat Kong Lhama menjadi utusan para Lhama untuk mencari dan menangkap Jit Kong Lhama.
Ketika itu, Jit Kong Lhama yang menjadi guru Han Bi Lan, sudah meninggalkan wilayah Sung dan kembali ke Tibet. Goat Kong Lhama tidak dapat bertemu dengan orang yang dicarinya dan dia bertemu dengan Bi Lan yang membela Kun-lun-pai karena Goat Kong Lhama menuduh Kun-lun-pai menyembunyikan Jit Kong Lhama. Terjadi perkelahian dan Bi Lan dapat mengalahkan Goat Kong Lhama dengan ilmu silat Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang ia pelajari dari kitab yang ia curi dari Thian Liong. Setelah Goat Kong Lhama kalah, dia diberi tahu bahwa Jit Kong Lhama sudah kembali ke Tibet dan dia pun lalu kembali ke barat.
“Tidak perlu engkau tahu siapa aku!” jawab Han dengan ketus. “Sekarang katakan, di mana adanya Jit Kong Lhama?”
Goat Kong Lhama membelalakkan matanya. “Mengapa engkau menanyakan Jit Kong Lhama? Apa hubunganmu dengan dia?”
“Tak perlu engkau tahu. Katakan saja di mana dia!”
“Omitohud……, ha-ha-ha, orang muda, engkau ingin mengetahui di mana adanya Jit Kong Lhama? Sebentar lagi engkau akan dapat bertemu dengan dia di neraka!”
Han atau Bi Lan terkejut. “Apa...... apa maksudmu?”
“Ha-ha, kami sudah membunuh murid murtad itu, dan sekarang engkau akan menyusulnya!” Tiba-tiba Goat Kong Lhama sudah menyerangnya dengan tusukan pedangnya, pedang yang masih bernoda darah dari dada Ouwyang Kun tadi.
Akan tetapi mendengar bahwa gurunya, Jit Kong Lhama dibunuh oleh pendeta Lhama ini, Han sudah menjadi marah sekali dan dengan cepat dia sudah miringkan tubuhnya dan gerakannya menjadi kaku dan aneh karena dia sudah mainkan ilmu silat aneh Sin-ciang Tin-thian yang dia pelajari dari Si Mayat Hidup. Biarpun gerakannya kaku sekali, akan tetapi dengan tangan telanjang dia berani menangkis pedang Goat Kong Lhama.
“Cringgg......! Tranggg……!!” Goat Kong Lhama terkejut bukan main ketika pedangnya terpental dan hampir terlepas dari pegangannya. Hampir dia tidak dapat percaya. Bagaimana mungkin pemuda itu kuat menangkis pedangnya? Dia sendiri memiliki kekebalan dan berani menangkis senjata tajam lawan, akan tetapi bukan pedangnya ini! Pedangnya adalah sebatang pedang pusaka yang dapat memotong sepotong besi baja seperti memotong kayu lunak saja. Dan gerakan pemuda itu mengerikan! Bukan seperti orang bergerak dalam ilmu silat, melainkan seperti setan atau mayat berjalan, kaku dan menyeramkan!
Goat Kong Lhama mengeluarkan seluruh jurus simpanannya dan mengerahkan seluruh tenaganya karena dia maklum betapa lihai lawannya yang masih muda itu. Padahal selama ini dia sudah mem-perdalam ilmu-ilmunya. Bagaimana mungkin dia yang bersenjatakan sebatang pedang pusaka ampuh tidak akan dapat mengalahkan seorang pemuda yang bertangan kosong? Saking penasaran, pendeta Lhama itu menyerang dengan hebat, mengamuk sambil mulutnya mengeluarkan suara bacaan mantram yang dapat mendatangkan kekuatan sihir yang ampuh. Namun, Han agaknya tidak terpengaruh dan terjadilah pertandingan mati-matian karena sambaran tangan dan kaki Han juga merupakan cengkeraman-cengkeraman maut bagi lawannya.
Sementara itu, Thian Liong sudah berlari cepat mengejar Golam yang melarikan diri sambil memondong Ouwyang Siu Cen. Orang Mongol ini lari ke arah telaga dan dia melepaskan tali sebuah perahu, agaknya hendak melarikan diri dengan perahu itu. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan di belakangnya.
“Lepaskan gadis itu!” Golam cepat membalikkan tubuhnya, lengan kiri masih memanggul tubuh Siu Cen di atas pundaknya dan tangan kanannya yang besar dan panjang itu menyambar ke arah Thian Liong. Tamparan itu kuat sekali. Akan tetapi Thian Liong yang mengkhawatirkan keselamatan gadis itu, takut kalau dia menggunakan kekerasan Siu Cen akan terluka, tidak menangkis melainkan mengelak dan secepat kilat tangan kirinya menotok ke arah pundak kiri Golam.
“Tukk!!” Golam mengeluh karena tiba-tiba lengan kirinya terasa lumpuh dan sebelum dia dapat menguasai dirinya, tahu-tahu tubuh Siu Cen sudah terlepas dari pondongannya. Dia menjadi marah bukan main, mengerahkan seluruh tenaganya sehingga kelumpuhan sementara pada lengan kirinya itu menghilang. Dengan suara menggereng seperti seekor srigala, dia menubruk ke arah Thian Liong. Akan tetapi pemuda yang masih memondong tubuh Siu Cen yang dirampasnya tadi memutar tubuh setengah lingkaran dan kaki kanannya mencuat dengan amat cepat dan kuatnya, merupakan sebuah tendangan kilat.
“Syuuuuttt...... desss!” Tubuh Golam terlempar jauh dan jatuh ke dalam telaga. Air muncrat dan Golam yang terkejut dan merasa dadanya nyeri dan napasnya sesak maklum bahwa pemuda itu lihai bukan main. Dia tidak akan menang melawan pemuda itu, maka takut kalau dikejar dan diserang, dia lalu menyelam ke dalam air.
Akan tetapi Thian Liong sama sekali tidak mempunyai niat untuk mengejar. Dia hanya memandang ketika orang Mongol itu muncul di permukaan air, sudah jauh di tengah lalu berenang dengan cepat ke arah menjauh. Lalu dengan hati-hati Thian Liong menurunkan tubuh Siu Cen di atas tanah dan menggunakan jari tangannya membuka totokan yang dilakukan Golam atas diri gadis itu.
Begitu terbebas dari totokan, Siu Cen bangkit berdiri, akan tetapi ia terhuyung dan mengeluh, “Ayah.......!”
Tiba-tiba Ciang Lun, pemuda yang tadi menjadi orang pertama memasuki sayembara, dan yang tadi ikut mencoba mengejar ketika melihat Siu Cen dilarikan Golam, sudah mendekati gadis itu dan memegang lengannya agar tidak jatuh.
“Nona, tenangkan hatimu......” Setelah Siu Cen tidak terhuyung lagi, Ciang Lun melepaskan pegangannya.
“Ahh...... bagaimana dengan Ayahku......?” Ia melihat Thian Liong yang tadi menolongnya sudah berlari cepat ke tempat dilakukan pi-bu tadi.
“Ayahmu terluka oleh pendeta jahat itu, akan tetapi sekarang seorang pemuda sedang berkelahi dengannya.”
“Ayah......!” Siu Cen menoleh ke arah tempat tadi lalu ia lari sambil terisak-isak. Ciang Lun juga lari mengikuti.
Perkelahian antara Goat Kong Lhama dan Han berlangsung seru. Pendeta Lhama itu makin terkejut ketika menghadapi serangan-serangan aneh dari Han, dengan gerakan kaku namun setiap gerakan itu mengandung tenaga sin-kang yang luar biasa. Di lain pihak, Han atau Bi Lan sengaja mengeluarkan jurus-jurus andalannya karena ia mengambil keputusan untuk membunuh pendeta Lhama yang tadi mengatakan telah membunuh gurunya, yaitu Jit Kong Lhama. Selain itu, juga dia tadi melihat betapa jahat dan kejamnya Goat Kong Lhama yang membantu Golam dengan membunuh Ouwyang Kun dan membiarkan orang Mongol itu menculik Siu Cen.
“Mampuslah……!!” Goat Kong Lhama menyerang dengan dahsyat sekali, menusukkan pedangnya ke arah dada Han sambil mengeluarkan teriakan menggelegar. Bagi lawan yang sinkangnya tidak kuat, baru menghadapi serangan suara menggelegar ini saja sudah dapat menewaskannya atau setidaknya melumpuhkannya. Akan tetapi Han tidak terpengaruh sama sekali. Bahkan ketika pedang itu meluncur ke arah dadanya, dia hanya miringkan tubuhnya sedikit saja namun cukup untuk menghindarkan diri. Pedang itu meluncur dekat sekali dengan tepi dada sebelah kiri. Han membarengi tusukan pedang itu dengan hantaman tangan kanannya, dengan gerakan kaku, lengannya menusuk seperti sebatang kayu. Gerakannya aneh namun tepat sekali karena pada saat itu Goat Kong Lhama sedang mencurahkan seluruh perhatiannya kepada pedang yang hampir menusuk dada pemuda itu.
“Han, jangan......!” Tiba-tiba terdengar Thian Liong yang baru datang di tempat itu. Dia terkejut melihat serangan Han kepada pendeta Lhama itu karena dia melihat bahwa serangan itu adalah pukulan maut. Dia dapat melihat sinar meluncur dari tangan Han yang memukul. Akan tetapi Han tidak menarik kembali atau menahan pukulannya. Bahkan dia menambahkan tenaga.
“Wuuuuttt...... blarrr......!” Tubuh Gwat Kong Lama terpental lalu terbanting, terjengkang di atas tanah dan tidak mampu bergerak lagi karena dia tewas seketika terkena pukulan ilmu dari Si Mayat Hidup!
“Han......!” Thian Liong menghampiri dan menengur dengan lembut namun nada suaranya mengandung penyesalan. “Mengapa engkau membunuhnya?”
“Mengapa aku membunuhnya? Tentu saja aku membunuhnya. Dia jahat dan kejam. Tidakkah engkau melihat sendiri betapa dia membantu Golam menculik Siu Cen dan dia membunuh Ouwyang Kun? Mengapa masih bertanya dan suaramu mencela kalau aku membunuh orang kejam ini?”
“Han, engkau menganggap dia kejam karena dia membunuh Ouwyang Kun, akan tetapi engkau sendiri membunuh Goat Kong Lhama! Lalu apa bedanya dengan dia dan engkau yang sama-sama menjadi pembunuh?”
“Thian Liong, mengapa engkau seolah membela dia?”
“Bukan membela, Han. Akan tetapi, setidaknya dia harus ditanya dulu mengapa dia membunuh Ouwyang Kun. Ketahuilah, seperti sudah kukatakan tadi, Ouwyang Kun adalah murid datuk besar yang sesat dari barat, jadi kita belum tahu ada urusan apa di antara mereka dan siapa tahu sebagai murid See Ong, Ouwyang Kun itu juga bukan orang baik-baik.”
“Dan engkau tidak mengerti, Thian Liong. Aku membunuh Goat Kong Lhama bukan hanya karena dia membunuh Ouwyang Kun, akan tetapi lebih dari itu, dia telah membunuh guruku, Jit Kong Lhama! Aku membalas dendam atas kematian Suhu di tangannya.”
Thian Liong mengangguk-angguk dan menghela napas panjang. Dia teringat akan wejangan gurunya, Tiong Lee Cin-jin bahwa dalam dunia persilatan terdapat banyak permusuhan, bunuh membunuh karena saling mendendam. Bunuh membunuh karena dendam ini tidak akan ada habisnya. Yang kalah mendendam lalu berusaha membalas, kalau dapat membunuh lawannya, maka lawan itu pun akan berganti menjadi pendendam dan berusaha membunuh musuhnya. Demikian tiada habisnya. Terhentinya dendam mendendam ini berada di tangan kita sendiri, kalau kita menghentikan mata rantai dendam itu ketika tiba pada bagian kita, maka rantai dendam mendendam itu menjadi putus.
Bi Lan adalah seorang manusia biasa, apalagi ia memang memiliki watak yang keras. Tidak terlalu aneh kalau ia mendendam kepada Goat Kong Lhama yang telah membunuh gurunya. Apalagi gadis itu melihat betapa jahat dan kejamnya pendeta Lhama itu membunuh Ouwyang Kun dan membantu Golam menculik Siu Cen. Mungkin juga kematiannya itu merupakan hukuman sebagai buah kejahatannya dan jatuhnya hukuman itu melalui diri Bi Lan.
Terdengar suara jerit tangis. Ketika Han dan Thian Liong menengok, ternyata yang menangis adalah Ouwyang Siu Cen yang berlutut dekat jenazah ayahnya. Ciang Lun berlutut di dekatnya dan pemuda ini mengucapkan kata-kata menghibur.
“Sudahlah, Nona, harap tenangkan hatimu. Ayahmu telah meninggal dunia, tidak ada gunanya ditangisi lagi. Pula, pembunuhnya juga sudah menerima hukumannya dan terbunuh. Lebih baik mengurus jenazah ayahmu, kasihan kalau dibiarkan menggeletak di sini.”
Siu Cen memandang ke arah mayat Goat Kong Lhama yang menggeletak tidak jauh dari situ, kemudian ia memandang jenazah ayahnya dan berkata lirih, suaranya parau karena tangis.
“Akan tetapi...... bagaimana mengurusnya......? Aku...... aku tidak mempunyai keluarga atau kenalan di sini......”
“Nona Ouwyang, biarlah aku yang akan mengurus, dari upacara persembahyangan sampai pemakaman selesai. Aku yakin Ayah Ibuku akan membantu dengan rela dan senang hati. Ketahuilah, Ayahku adalah seorang guru silat yang dikenal di kota ini. Mari, Nona, biar kuatur pengangkutan jenazah Ayahmu ke rumah kami.”
“Nanti dulu, Twako (Kakak). Aku harus mengucapkan terima kasih lebih dulu kepada dua orang pemuda yang tadi membela kami.” Akan tetapi ketika Siu Cen dan Ciang Lun bangkit dan mencari-cari, Han dan Thian Liong telah pergi meninggalkan tempat itu.
Ciang Lun lalu mendatangkan sebuah kereta untuk mengangkut jenazah Ouwyang Kun ke rumah orang tuanya. Siu Cen yang tadinya merasa rikuh sekali harus mengganggu keluarga Ciang yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengannya, menjadi lega setelah bertemu dengan Ciang-kauwsu (Guru Silat Ciang) dan isterinya yang menyambutnya dengan ramah sekali. Kiranya ayah dan ibu Ciang Lun merasa setuju sepenuhnya ketika Ciang Lun menceritakan hubungannya dengan Siu Cen dan betapa dalam pi-bu (adu silat) tadi dia telah diterima sebagai jodoh gadis itu. Jenazah Ouwyang Kun lalu diurus sebaik-baiknya sampai selesai dimakamkan. Tentu saja Siu Cen sangat berterima kasih dan karena memang sejak pi-bu tadi ia sudah tertarik dan suka kepada Ciang Lun, maka ia setuju ketika orang tua Ciang Lun dengan resmi mengangkatnya menjadi mantu.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Thian Liong dan Bi Lan atau yang kini menyamar sebagai seorang pemuda dengan nama Han, meninggalkan rumah penginapan lalu melanjutkan perjalanan keluar dari kota Leng-an. Mereka melangkah perlahan-lahan di atas jalan umum yang menuju utara. Pagi itu masih sepi dan mereka berjalan sambil bercakap-cakap, membicarakan peristiwa yang mereka alami kemarin di dekat telaga.
“Engkau agaknya sudah mengenal pendeta Lhama itu, Han. Bagaimana engkau bertemu dengannya?”
“Nanti dulu. Engkau juga agaknya mengenal See Ong, datuk besar yang menjadi guru Ouwyang Kun itu. Ceritakan dulu tentang pertemuanmu dengan datuk itu, baru nanti giliranku bercerita.”
Thian Liong lalu menceritakan pengalamannya ketika dia mengintai pertemuan antara Empat Datuk Besar di Pulau Iblis yang terdapat di tengah Telaga Barat.
“Hemm, mau apa Empat Datuk Besar itu berkumpul di sana?”
“Mereka itu secara bersama menggembleng seorang murid sehingga murid itu kini menjadi seorang yang lihai dan berbahaya sekali. Ilmu-ilmu dari Empat Datuk Besar itu telah digabung. Dia menjadi luar biasa kuatnya sehingga ketika mereka berempat menguji, mereka tidak mampu mengalahkan pemuda itu.”
“Wah, hebat pemuda itu! Siapa dia?”
“Namanya Can Kok dan dia adalah keponakan dari Tung-sai Kui Tong, datuk sesat dari timur, majikan Pulau Udang. Demikianlah, Han, pertemuanku dengan Empat Datuk Besar itu, atau lebih tepat bukan pertemuan karena ketika mereka muncul di pulau itu, aku hanya mengintai sambil bersembunyi. Sekarang ceritakan bagaimana engkau dapat mengenal pendeta Lhama tadi.”
Han tersenyum, lalu tiba-tiba cemberut karena teringat akan pesan Thian Liong agar dia jangan tersenyum yang akan memperlihatkan kecantikannya sebagai wanita. Melihat ini, Thian Liong tertawa.
“Ha-ha-ha, kalau tidak ada orang lain yang melihatnya, tentu saja engkau boleh tersenyum, bahkan senyumlah yang banyak karena aku senang melihatnya!”
“Tidak perlu memuji! Engkau mau mendengarkan atau tidak?”
“Ya-ya, maafkan aku, Han. Ceritakanlah, aku mendengarkan.”
“Ketika itu aku pergi ke Kun-lun-pai untuk bertemu dengan pimpinan Kun-lun-pai. Di sana aku melihat Goat Kong Lhama sedang mengacau dan menantang para pimpinan Kun-lun-pai. Beberapa orang pemimpin Kun-lun-pai telah dikaIahkan. Aku lalu membela Kun-Iun-pai dan setelah bertanding, aku berhasil mengalahkan dia berkat...... berkat perbuatanku dulu mencuri kitab dari buntalan pakaianmu itu!”
“Eh? Bagaimana bisa demikian?”
“Ketika aku mendapatkan kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat itu, aku lalu mempelajarinya dan tekun berlatih di bawah bimbingan guruku, Jit Kong Lhama. Setelah aku menguasai ilmu itu, aku lalu pergi ke
Kun-lun-pai dengan niat mengembalikan kitab itu kepada pemiliknya. Nah, aku melihat Goat Kong Lhama mengacau di sana. Dia utusan para Lhama di Tibet untuk mencari guruku, Jit Kong Lhama yang dianggap murtad. Nah, dengan ilmu yang kucuri dari Kun-lun-pai itu aku mengalahkan Goat Kong Lhama. Para pimpinan Kun-lun-pai memaafkan aku, menerima kembali kitab itu bahkan mengakui aku sebagai murid Kun-lun-pai. Dan tadi ketika aku bicara dengan Goat Kong Lhama dia mengaku bahwa dia dan para Lhama telah membunuh guruku.”
“Hemm, kalau begitu pantas engkau mendendam kepadanya,” kata Thian Liong sambil mengangguk-angguk.
“Apa maunya Empat Datuk Besar itu bergabung dan menurunkan ilmu mereka kepada pemuda bernama Can Kok itu? Engkau belum menceritakan hal itu.”
“Mereka mempunyai niat yang keji, yaitu agar murid mereka yang digembleng secara khusus itu dapat mewakili mereka untuk membunuh guruku, Tiong Lee Cin-jin.”
“Hemm, mengapa harus bersusah payah mendidik murid itu yang memakan waktu lama? Mengapa tidak langsung saja mereka melaksanakan niat mereka itu?”
Thian Liong tersenyum. “Mereka semua pernah dikalahkan Suhu dan mereka tidak berani. Karena itu, masing-masing membuang waktu dua tahun untuk bergantian melatih Can Kok dan kukira, dengan adanya Can Kok tentu saja mereka akan menjadi kuat sekali dan keselamatan Suhu terancam. Karena itu aku hendak menghadap Suhu dan menceritakan tentang bahaya yang mengancamnya itu.”
“Hemm, engkau sudah menceritakan hal itu kepadaku. Kukira tidak perlu dipusingkan benar. Kalau tingkat kepandaian para Datuk Besar itu hanya seperti itu, melihat tingkat Ouwyang Kun murid seorang dari mereka, apa yang perlu ditakuti? Tiong Lee Cin-jin pasti akan dapat mengalahkan mereka. Aku mendengar bahwa Tiong Lee Cin-jin memiliki kepandaian seperti dewa! Guruku, Jit Kong Lhama sendiri yang memuji-mujinya.”
Thian Liong menggeleng kepala dan menghela napas panjang. “Engkau tidak mengerti, Han. Suhu Tiong Lee Cin-jin sudah semakin tua dan aku mengetahui benar wataknya. Dia tidak suka bermusuhan dan kalau para datuk ditambah Can Kok dan murid-murid mereka yang lain, Suhu pasti mengalahkan dan tidak mau membunuh. Betapapun juga, menghadapi pengeroyokan mereka, apalagi dengan adanya Can Kok yang lihai, Suhu yang sudah tua sukar untuk dapat mengatasi mereka.” Thian Liong memandang wajah Han dan melanjutkan, “Karena itu, sekali lagi aku minta, maukah engkau membantu suhu untuk menghadapi Empat Datuk Besar dan murid-murid mereka itu?”
“Ah, apa yang dapat kubantukan? Kepandaianku masih rendah......”
“Wah, kalau tingkat ilmu silatmu masih rendah, lalu yang bagaimana tingkat yang tinggi itu? Kepandaianmu tidak rendah, Han, tetapi engkaulah yang merendah. Aku kagum sekali padamu. Selain engkau menguasai Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat dari Kun-lun-pai, engkau juga kebal terhadap serangan sihir seperti yang kulihat ketika engkau melawan Goat Kong Lhama tadi. Selain itu...... aku masih terkejut, terheran, dan kagum sekali melihat gerakanmu ketika menyerang tadi. Gerakanmu begitu aneh, kaku dan….. menyeramkan. Akan tetapi daya serangannya luar biasa hebatnya. Terus terang saja, karena mendapat bimbingan Suhu Tiong Lee Cin-jin, aku mengenal hampir semua dasar gerakan ilmu silat dari bermacam aliran. Akan tetapi melihat gerakanmu tadi, aku sama sekali belum pernah melihat
atau mendengarnya. Kalau engkau tidak ingin merahasiakannya, ingin aku mengetahui, dari mana engkau mempelajari ilmu aneh menyeramkan dan amat lihai itu?”
Gadis yang menyamar sebagai pemuda itu termenung. Dia terbayang dan terkenang masa lalu ketika menjadi murid Si Mayat Hidup. Selama satu tahun ia digembleng dengan ilmu silat “mayat hidup” yang aneh itu dan Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan) itu memesan agar setelah belajar setahun dia harus mengubur gurunya itu hidup-hidup! Akan tetapi dia tidak melakukan pesan ini dan setelah selesai belajar selama setahun, dia kabur dan pergi tanpa pamit. Kini Thian Liong bertanya tentang gurunya itu. Dia sudah percaya betul kepada pemuda itu dan mengharapkan dapat bekerja sama dengannya.
“Aku mau menceritakan, akan tetapi engkau harus berjanji untuk merahasiakan hal ini, tidak mengatakan kepada siapapun juga.”
“Aku berjanji!”
“Sumpah?”
“Aku bersumpah tidak akan menceritakan rahasiamu itu kepada siapapun juga!”
“Eh, sumpah macam apa itu?” Han mengomel.
“Habis bagaimana?”
“Engkau harus bersumpah bahwa kalau engkau melanggar sumpahmu, akan terjadi sesuatu padamu.”
“Oo, begitu? Baiklah, aku bersumpah tidak akan menceritakan rahasiamu kepada siapapun juga, kalau aku melanggar sumpahku ini biarlah....... selamanya aku tidak akan berpisah lagi denganmu!”
“Wah, enak betul kamu!”
“Han, kau anggap bahwa kalau kita berkumpul terus takkan pernah berpisah merupakan hal yang enak dan menyenangkan?”
“Kubilang kau yang enak dan senang.”
“Dan engkau sendiri? Tidak senangkah?”
“Sudahlah, jangan macam-macam. Engkau harus bersumpah bahwa kalau engkau melanggar, engkau akan mengalami hal yang tidak enak, seperti misalnya....... tidak bisa tidur dan tidak bisa makan!”
“Wah, kau biarkan aku ngantuk dan kelaparan?”
“Jangan bergurau, cepat bersumpah atau aku tidak akan sudi menceritakannya kepadamu.”
“Baiklah, Han. Nah, aku mengulang sumpahku. Kalau aku menceritakan rahasiamu kepada orang lain, biarlah aku tidak bisa tidur kalau makan dan tidak bisa makan kalau tidur!”
Sejenak Han mengerutkan alisnya, bingung mendengar kata-kata yang dibolak-balik itu. Akan tetapi ketika akhirnya dia mengerti, dia melotot dan marah-marah. “Enak saja kau! Sumpah macam apa itu? Tentu saja kalau tidur tidak bisa makan dan bagaimana mungkin makan sambil tidur? Engkau mau mempermainkan aku, ya?”
“Maaf, Han, terus terang saja aku memang belum pernah bersumpah, jadi tidak mengerti bagaimana seharusnya.”
“Katakan kalau engkau melanggar, kepalamu membengkak, rambutmu rontok gundul, telingamu besar kecil, matamu juling, hidungmu pesek rata, mulutmu sumbing, perutmu busung……“
“Cukup, jangan panjang-panjang, repot aku mengingatnya. Baiklah, kalau aku melanggar, kepalaku bengkak, rambutku rontok, telingaku besar, mataku juling, hidungku pesek, mulut sumbing, perut busung, akan tetapi bertambah tampan!”
“Dasar brengsek! Aku tidak mau menceritakan!”
“Aih, Han, begitu saja marah? Sudahlah, biar aku mohon ampun sebanyaknya kepadamu.” Thian Liong merangkap kedua tangan depan dada dan memberi hormat berulang-ulang. Han tertawa melihat ulah ini.
“Sudah, sekali ini kumaafkan. Awas lain kali kalau berani mempermainkan aku. Nah, dengarlah, guruku yang kedua itu berjuluk Heng-si Ciauw-jiok.”
Sekali ini Thian Liong tidak main-main lagi. Dia malah terbelalak, kaget dan heran. “Ah, Heng-si Ciauw-jiok? Suhuku pernah menyebut nama itu yang kabarnya telah tewas dikeroyok banyak datuk lain.”
“Benar, dialah guruku kedua yang membimbingku selama satu tahun. Suhu Jit Kong Lhama juga pernah bercerita kepadaku seperti itu. Akan tetapi kenyataannya dia masih hidup biarpun lebih pantas kalau disebut mayat hidup. Dia pesan agar setelah aku belajar ilmu selama setahun, aku harus mengubur dia hidup-hidup! Tentu saja aku tidak mau melaku-kan perbuatan kejam itu, apalagi selama setahun dia menjadi guruku! Maka, setelah belajar setahun lamanya, aku lalu meninggalkannya tanpa pamit.”
“Wah, hebat sekali! Pantas engkau begitu lihai, Han!”
“Apanya yang lihai? Buktinya aku masih tidak mampu mengalahkanmu. Padahal aku belajar mati-matian dengan niat untuk mengalahkanmu!”
Thian Liong menghela napas panjang. “Aku masih ingat semuanya itu, Han, dan selama ini aku selalu menyesali perbuatanku terhadap dirimu. Masih terus terngiang dalam telingaku kata-katamu bahwa engkau akan membalas penghinaanku kepadamu. Akan tetapi mengapa engkau tidak membalas sepenuhnya, baru menampar beberapa kali saja sudah berhenti, bahkan engkau menyelamatkan aku ketika aku diserang Pak-sian dan muridnya?”
“Karena....... karena....... ah, sudahlah! Semua itu merupakan sebab akibat yang sambung menyambung dan ruwet. Aku ingin sekali memperdalam ilmu, maka aku mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat darimu. Sebetulnya aku menyesal maka melihat engkau dikeroyok orang-orang Siauw-lim dan Kun-lun, aku membantumu. Kemudian engkau membalas dan menampari aku. Aku merasa sakit hati, lalu
memperdalam ilmu lagi untuk membalasmu. Kita saling bertemu dan engkau mengalah sehingga aku pun setengah hati membalas tamparanmu. Lalu muncul Pak-sian dan muridnya menyerang engkau yang tak berdaya. Tentu saja aku membelamu! Semua itu wajar, kecuali kalau engkau menganggap aku orang sesat seperti Empat Datuk Besar itu.”
Thian Liong mengangguk-angguk.
“Aku pun merasa menyesal bukan main setelah dulu menamparmu dan baru aku ketahui bahwa gadis baju merah yang mencuri kitabku itu adalah Han Bi Lan, puteri dari Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi yang kuhormati. Kalau aku tahu sebelumnya, tidak mungkin aku berani melakukan hal itu kepadamu.”
“Sudahlah, kita lupakan saja semua itu. Kita sama-sama merasa bersalah, ya sudahlah, kejadian itu menjadi pelajaran bagi kita.”
“Engkau benar, Han. Akan tetapi, bagiku, mendapatkan maaf darimu saja masih belum cukup. Aku ingin sekali mengakui kesalahanku itu kepada Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi. Akan tetapi....... sayang Ayahmu terbunuh orang dan engkau tidak mau mengatakan di mana Ibumu berada.”
“Sudah kukatakan, cukup dan jangan bicarakan lagi!”
“Maafkan aku. Engkau benar, membicarakannya hanya akan membangkitkan kenangan sedih tentang kematian Ayahmu.”
Kedua orang muda itu melakukan perjalanan ke barat. Tujuan perjalanan mereka adalah Pegunungan Gobi karena Thian Liong ingin menghadap gurunya, Tiong Lee Cin-jin yang tinggal di Puncak Pelangi, satu di antara puncak-puncak Pegunungan Gobi-san. Namun, di sepanjang perjalanan mereka mencari keterangan tentang keberadaan Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, dua orang murid Ouw Kan yang telah menewaskan Han Si Tiong.
Mereka melakukan perjalanan tanpa mengenal lelah, namun atas nasihat Thian Liong, mereka melakukan perjalanan secara santai karena selain hal ini akan memudahkan mereka mencari keterangan tentang dua orang murid Ouw Kan itu, juga tidak akan terlalu banyak menguras tenaga. Kalau malam tiba, mereka menginap di rumah penginapan sebuah kota, dan kalau terpaksa perjalanan tertunda waktu malam selagi mereka berada di hutan, mereka pun bermalam di tengah hutan.
Selama melakukan perjalanan ini, keduanya saling tertarik. Han Bi Lan atau Han melihat kenyataan bahwa Souw Thian Liong adalah seorang pemuda yang sederhana, rendah hati, lembut dan baik budi. Sebaliknya Thian Liong juga melihat bahwa Han Bi Lan adalah seorang gadis yang biarpun wataknya keras namun memiliki jiwa pendekar yang gagah. adil, pembela kebenaran dan....... Entah mengapa, segala gerak geriknya, cara ia bicara, memandang, semua itu tampak amat menarik hati, membuat dia terkagum-kagum dan terpesona. Dalam lubuk hatinya Thian Liong membandingkan gadis ini dengan para gadis lain yang pernah dekat dengannya seperti Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai, Ang Hwa Sian-li atau Thio Siang In, dan banyak lagi gadis lain yang pernah bertemu dengannya.
Pada suatu siang mereka tiba di sebuah hutan di lereng bukit yang tidak terlalu besar. Thian Liong mengerling ke samping dan melihat gadis yang menyamar pria itu melangkah dengan tegap di sampingnya. Caping lebar dan mantel longgar yang menutup kepala dan badannya, menyembunyikan
keaslian dirinya sebagai wanita. Thian Liong menghela napas panjang. Mengapa dia tertarik dan berpikir yang bukan-bukan terhadap Bi Lan? Dia mencela pikirannya sendiri. Dia tahu bahwa Han Bi Lan oleh orang tuanya telah dijodohkan dengan Kwee Cun Ki pemuda yang gagah dan tampan, putera Panglima Kwee yang terkenal, setia kepada Kaisar, bijaksana dan jujur itu! Dia harus membuang jauh-jauh khayalan hampa itu!
“Apa yang kaukatakan?”
Tiba-tiba Thian Liong seperti terseret turun ke alam kenyataan dari lamunannya tadi. Dia menoleh kepada Han dan balas bertanya.
“Mengatakan apa? Aku tidak bicara…...”
“Hemm, aku mendengar engkau tadi berkata-kata dengan bisikan.”
Thian Liong terkejut. Jangan-jangan jalan pikirannya dalam lamunan tadi terucapkan olehnya! “Oo....... itu? Aku...... aku tadi hanya bicara kepada diri sendiri bahwa....... perutku lapar sekali.......”
“Gila!” Han tertawa. “Perut lapar mengapa bicara kepada diri sendiri? Ka-takan saja dan kita dapat mencari makanan untuk perutmu yang gembul itu!”
“Ah, aku malu untuk bilang bahwa perutku lapar.”
“Nah itu sudah bilang! Mengapa tidak malu?”
“Ini namanya sudah terlanjur ketahuan!”
Mereka berdua tertawa. Akan tetapi suara tawa itu terhenti ketika tiba-tiba belasan orang muncul di hadapan mereka. Agaknya mereka itu tadi bersembunyi dan ketika Thian Liong dan Han tiba di situ, mereka berlompatan keluar dari balik semak dan pohon. Semua ada tigabelas orang, dipimpin seorang laki-laki berusia empatpuluh tahun lebih yang tinggi besar dan mukanya hitam. Laki-laki itu memegang sepasang golok besar, sedangkan duabelas orang kawannya semua memegang sebatang golok! Melihat penampilan mereka, mudah diduga bahwa mereka adalah golongan penjahat, mungkin perampok.
Han tersenyum kepada Thian Liong. “Nah, ini sudah datang para pelayan yang akan mencarikan makan untuk perutmu!”
Thian Liong tersenyum. Gadis ini memang pemberani dan di balik kekerasan hatinya, ia itu sebetulnya periang, jenaka dan nakal walaupun selama dalam perjalanan dia sering melihat Han bermuram durja tanpa mau mengatakan apa yang merisaukan hatinya.
Kepala perampok itu tertawa bergelak melihat dua orang pemuda yang tampaknya lemah itu. Dia tidak dapat mendengar jelas ucapan Han kepada Thian Liong karena Han hanya berbisik saja.
“Hoa-ha-ha, dua ekor anak ayam ini tidak banyak bulunya! Akan tetapi lumayan, dari pada ini hari kosong tidak ada pemasukan sama sekali!”
“Twako, siapa tahu dalam buntalan mereka itu terdapat apa-apa yang berharga!” kata seorang di antara para anak buah perampok.
“Ha, benar juga! Hei, kalian dua orang bocah! Cepat tanggalkan buntalan dari pundakmu dan juga tanggalkan pakaian luar kalian dan sepatu kalian di sini. Barulah kami melepaskan dan membolehkan kalian melanjutkan perjalanan!”
“Eh, muka hitam buruk kaya lutung! Kalau kami tidak mau, bagaimana?”
Muka yang sudah hitam itu menjadi semakin hitam, mungkin kalau bagi orang lain yang kulit mukanya agak bersih akan tampak merah saking marahnya mendengar ucapan Han yang amat merendahkan dan mengejek itu. Duabelas orang temannya juga menjadi marah dan juga heran merasa heran sekali ada orang muda lemah berani bicara sedemikian kurang ajarnya kepada pemimpin mereka.
“Bangsat kurang ajar kamu! Kawan-kawan, tangkap dia! Kita gantung di pohon!” Si Muka Hitam membentak dan memerintahkan kawan-kawannya.
Karena mereka juga marah, duabelas orang anak buah perampok itu lalu mengepung Han yang menjauhkan diri dari Thian Liong sehingga yang dikepung hanya dia. Thian Liong sendiri sambil tersenyum lalu duduk di atas akar pohon yang tersembul di permukaan tanah dan menonton. Orang-orang jahat itu mencari penyakit, pikirnya. Dan dia hendak melihat apakah nasihat-nasihatnya diturut oleh Han, yaitu bahwa amat tidak baik membunuh orang.
Duabelas orang itu dengan wajah bengis, mengancam dan menyeringai menakutkan, kini serentak maju menjulurkan tangan-tangan yang berotot dan besar untuk menangkap pemuda itu. Mereka hendak menangkap Han dan menggantungnya di pohon seperti yang diperintahkan pemimpin mereka tadi. Si Muka Hitam berdiri bertolak pinggang sambil tertawa, ingin segera melihat pemuda yang menghinanya tadi tergantung sampai mati di pohon.
Akan tetapi mukanya yang menyeringai itu berubah. Matanya terbelalak dan mulutnya ternganga ketika dia melihat betapa duabelas orang anak buahnya yang seolah berebut hendak menangkap pemuda itu, tiba-tiba berpelantingan ke belakang sambil mengeluarkan seruan-seruan kaget. Mereka semua terjengkang dan terbanting ke atas tanah. Kini tampak pemuda yang akan ditangkap dan digantung itu berdiri tegak dengan kedua lengan dilipat di depan dada, memandang kepadanya sambil tersenyum mengejek.
Melihat ini, selain kaget dan heran, kepala perampok itu juga menjadi marah dan penasaran sekali. Karena tadi tidak melihat bagaimana anak buahnya dapat berpelantingan seperti itu, dia berseru nyaring.
“Bunuh dia! Bunuh!!”
Duabelas orang itu memang penasaran juga. Tadi ketika mereka hendak menangkap, pemuda itu hanya berputar dan tahu-tahu mereka terjengkang seolah diterpa angin yang amat kuat. Kini mendengar aba-aba itu, mereka berloncatan berdiri dan mencabut golok masing-masing. Tanpa menanti komando lagi mereka menyerbu ke arah pemuda yang masih berdiri bersedakap sambil tersenyum-senyum itu.
Melihat ini, Thian Liong tenang saja karena dia yakin bahwa mereka tidak akan mampu menyakiti Han dan tadi dia sudah melihat betapa Han hanya membuat mereka berpelantingan dan tidak mencederai mereka, apalagi membunuh.
Andaikata kawanan perampok ini bertemu Han Bi Lan sebelum gadis itu bergaul dengan Thian Liong, sudah dapat dipastikan bahwa pada waktu pertama kali mereka tadi menyerang, kini mereka tentu sudah tewas semua. Akan tetapi, ternyata Han tidak mau mencederai mereka. Hal ini adalah karena ia yakin bahwa perbuatan membunuh itu adalah amat kejam dan tidak baik, dan terutama sekali karena dia merasa malu terhadap Thian Liong kalau dia melakukan pembunuhan. Kini, melihat duabelas orang itu malah menggunakan golok menyerangnya, hatinya menjadi panas dan ingin memberi hajaran yang lebih keras lagi.
Karena duabelas orang itu menyerang dengan kepungan ketat, maka kepala perampok itu tidak dapat melihat apa yang terjadi. Akan tetapi dia semakin terkejut ketika orang-orangnya berteriak dan kini terlempar ke belakang satu demi satu dengan tubuh terluka! Walaupun luka-luka itu tidak terlalu berat sehingga tidak mematikan, namun mengeluarkan banyak darah sehingga pakaian mereka berlepotan darah mereka sendiri. Ada yang terluka pundaknya, ada yang terbacok pahanya, ada yang tergores lengannya dan sebagainya dan semua luka itu diakibatkan oleh golok mereka sendiri yang tiba-tiba membalik dan menyerang diri mereka sendiri!
Melihat betapa duabelas orang roboh dan mengaduh-aduh, Si Muka Hitam cepat melarikan diri dari tempat itu.
“Heh, Muka Hitam, berhenti engkau!” Han berteriak dan teriakannya itu melengking, mengandung getaran kuat dan kepala perampok itu pun tiba-tiba berhenti berlari seolah-olah berubah menjadi arca!
“Muka Hitam, berbaliklah dan merangkaklah engkau ke sini!” kembali terdengar suara yang penuh wibawa dari Han.
'I'hian Liong tersenyum dan menggeleng-geleng kepalanya. Benar-benar nakal seperti anak kecil. Mempermainkan Si Muka Hitam dengan kekuatan sihir! Si Muka Hitam itu memang seperti seorang perajurit mendengar perintah jenderalnya. Dia memutar tubuh menghadap ke arah Han, lalu menjatuhkan diri berlutut dan merangkak menghampiri Han!
Setelah tiba di depan kaki Han, kepala perampok itu berhenti. Semua anak buahnya yang masih kesakitan kini juga memandang heran dan seolah lupa akan rasa nyeri di tubuh mereka ketika melihat pemimpin mereka merangkak-rangkak seperti itu.
Han tidak dapat menahan tawanya. “He-he-heh-hi-hik, engkau benar-benar seperti seekor lutung besar!”
Karena dia tertawa maka pengerahan tenaga sihirnya juga terhenti dan Si Muka Hitam terkejut bukan main ketika melihat dirinya berlutut di depan kaki pemuda itu. Dia melompat dan mencabut sepasang goloknya, lalu menyerang dengan marah. Melihat gerakan sepasang goloknya, Si Muka Hitam ini bukan seorang lawan yang lemah. Namun bagi Han tentu saja dia bukan apa-apa. Dengan gerakan ringan sekali dia dapat mengelak dari serangan sepasang golok yang bertubi-tubi datangnya itu. Betapapun cepatnya sambaran sepasang golok yang membentuk dua gulungan sinar itu, gerakan Han lebih cepat lagi. Tiba-tiba saja Si Muka Hitam berteriak mengaduh dan dia roboh terkulai dan sepasang goloknya sudah
berpindah tangan. Han menggerakkan sepasang golok itu dan “crat-crat!” kedua pundak Si Muka Hitam terluka sehingga darah mengucur membasahi bajunya.
“Han, jangan bunuh orang!” Thian Liong berseru.
Sambil menodongkan sepasang golok itu ke leher Si Muka Hitam, Han menoleh, memandang Thian Liong dan tersenyum sambil menggeleng kepalanya. Kemudian dia menghardik Si Muka Hitam.
“Kau dengar itu? Aku akan membunuhmu kalau engkau tidak cepat memenuhi permintaanku!”
Si Muka Hitam tak mampu bergerak karena kaki tangannya menjadi lumpuh terkena totokan yang Iihai dari Han. Akan tetapi dia dapat bicara.
“Ampun, Taihiap (Pendekar Besar), saya akan melaksanakan semua perintah Taihiap!” katanya dengan wajah pucat dan tubuh gemetar ketakutan.
“Nah, hayo cepat perintahkan anak buahmu untuk menyediakan makanan dan minuman untuk kami berdua. Kami lapar sekali! Hayo cepat!”
Si Muka Hitam segera memerintahkan anak buahnya untuk memenuhi permintaan itu. Biarpun dia tidak mampu bergerak, namun suaranya masih lantang ketika dia memerintahkan para anak buahnya.
“Hayo cepat laksanakan perintah Tai-hiap!”
“Akan tetapi di sini tidak ada penjual masakan “
“Goblok!” Si Muka Hitam membentak. “Carikan makanan seadanya yang terbaik. Panggang daging binatang hutan, petik buah-buahan, ambilkan arakku dalam tempat penyimpanan. Apa saja keluarkan semua. Hayo cepat!”
Han menghampiri Thian Liong dan duduk di dekat pemuda itu sambil ter-senyum-senyum. “Nah, laparmu akan terobati, bukan?”
Thian Liong tertawa dan memandang Si Muka Hitam yang masih rebah tak mampu berkutik. “Engkau bocah nakal! Mengapa dia dibiarkan seperti itu? Kalau, dia dapat bergerak pun tidak akan berani melawan atau melarikan diri. Bukalah totokan itu, Han.”
Sambil tersenyum Han mengambil dua buah kerikil dan dua kali dia melontarkan kerikil-kerikil itu ke arah tubuh Si Muka Hitam. Dengan tepat sekali kerikil itu mengenai jalan darah di punggung atas dan bawah tubuh Si Muka Hitam dan seketika orang itu terbebas dari totokan. Akan tetapi tentu saja dia tidak berani melarikan diri dan hanya bangkit duduk sambil membalut luka di kedua pundaknya.
Tak lama kemudian, anak buah perampok itu berbondong datang membawa berbagai makanan untuk dua orang pemuda itu. Ada panggang daging kijang, arak, air teh, buah-buahan. Tanpa rikuh lagi Han lalu mengajak Thian Liong makan. Setelah merasa kenyang dia iseng-iseng bertanya kepada Si Muka Hitam.
“Heh, Muka Hitam, apakah engkau dan anak buahmu mengetahui di mana adanya seorang pemuda bernama Bouw Kiang dan seorang gadis bernama Bong Siu Lan, dua orang murid Toat-beng Coa-ong
Ouw Kan? Apakah dua orang itu pernah lewat di sini? Kalau engkau tahu hayo cepat katakan kepadaku sebagai penebus nyawa kalian yang sudah kuampuni!”
Si Muka Hitam memandang kepada anak buahnya yang berkumpul dan berjongkok tidak jauh dari situ. “Kalian dengar apa yang ditanyakan Tai-hiap? Kalau ada yang mengetahui, cepat laporkan!” kata Si Muka Hitam.
Duabelas orang itu berbisik-bisik dan seorang dari mereka yang matanya buta sebelah, berkata, “Kami tidak mengenal dua orang yang dicari Tai-hiap itu, akan tetapi kemarin kami melihat lima orang yang amat mencurigakan dan amat lihai sehingga kami tidak berani memperlihatkan diri, hanya mengintai dari jauh. Kami sempat mendengar percakapan mereka dan dengan suara lantang seorang dari mereka, kakek yang berpakaian tambal-tambalan berkata bahwa dia akan senang sekali melihat musuh mereka tewas di depan kakinya.”
“Hemm, bagaimana kalian tahu bahwa mereka itu lihai sekali?” tanya Han tertarik.
“Mereka menerabas hutan dan apa pun yang menghalang di depan mereka, mereka singkirkan dengan cara yang luar biasa sekali. Pohon-pohon yang batangnya sebesar orang dewasa, sekali tendang tumbang. Batu-batu sebesar kerbau mereka lempar-lemparkan seolah ringan saja.”
“Kelima-limanya sekuat itu?” tanya Han penasaran.
“Benar, Taihiap. Kami berani bersumpah, karena itu kami hanya mengintai tidak berani keluar.”
“Hemm, dan siapa musuh yang mereka ingin lihat mati di depan kaki mereka itu?”
“Kakek berpakaian tambal-tambalan yang kurus pucat akan tetapi lihai sekali itu hanya menyebut nama Yok-sian (Dewa Obat).”
“Yok-sian......?” Kini Thian Liong bangkit berdiri dan menghampiri Si Mata Sebelah itu. “Mereka berlima itu hendak membunuh Yok-sian?”
Si Mata Satu terkejut melihat Thian Liong menghampirinya dan dia sudah ketakutan. “Begitulah...... yang kami dengar dari pembicaraan mereka yang tidak begitu jelas karena mereka melempar-lemparkan batu besar yang menghalang dan menumbangkan pohon-pohon sehingga gaduh sekali.”
“Hemm, coba gambarkan keadaan lima orang itu, mulai dari Si Kakek berpakaian tambal-tambalan,” kata Thian Liong dan Han juga semakin tertarik mendengar bahwa yang hendak dibunuh lima orang itu adalah Yok-sian, nama julukan Tiong Lee Cin-jin guru Souw Thian Liong!
Melihat sikap Thian Liong tidak galak seperti sikap Han, Si Mata Satu itu menjadi tenang kembali. Dia menoleh kepada kawan-kawannya dan berkata, “Kalian bantulah aku kalau keteranganku keliru. Taihiap, kakek kurus bermuka pucat itu berusia sekitar enampuluh tahun, mukanya yang pucat dan kurus sekali itu seperti tengkorak. Matanya mencorong menakutkan dan di punggungnya terdapat sebatang pedang.”
“Hemm, Lam-kai......” kata Thian Liong. “Coba gambarkan empat orang yang lain.”
Si Mata Satu melanjutkan. “Kakek kedua bertubuh tinggi besar, mukanya menyeramkan seperti singa dan dia membawa tombak...... dia menakutkan, tampak buas. Sekali ayun, tombaknya dapat mematahkan sebatang pohon besar dan suaranya menggereng seperti seekor singa......”
“Ah, itu Tung-sai!” kata pula Thian Liong dan Han mengangguk-angguk. “Dan tiga orang yang lain, bagaimana?”
Si Mata Satu berkata kepada kawan-kawannya. “Hayo, siapa yang dapat menceritakan tentang tiga orang muda itu? Aku tidak begitu ingat.”
Seorang yang mukanya brewok berkata dengan suaranya yang besar. “Mereka adalah dua orang pemuda dan seorang gadis. Yang seorang bertubuh sedang dan tegap, wajahnya bulat dan putih, matanya mencorong seperti mats harimau, rambutnya dikuncir dan di pungungnya tergantung sebatang pedang.”
“Dia pasti Can Kok,” kata pula Thian Liong.
“Pemuda yang kedua bertubuh tinggi besar, mukanya tampan akan tetapi hitam......”
“Dia membawa tongkat hitam?” Han memotong.
“Benar, Taihiap.”
“Ah, jangan-jangan dia Bouw Kiang yang kucari!” kata Han dengan hati tegang. “Dan gadisnya bagaimana? Hayo cepat ceritakan!” dia membentak sehingga Si Brewok menjadi gugup dan cepat bercerita.
“Gadis itu cantik, matanya lebar, tubuhnya ramping......”
“Dan senjatanya?” tanya Han.
“Kalau tidak salah, di punggungnya terdapat sepasang pedang.”
“Tak salah lagi, ia tentu Bong Siu Lan!”
“Aneh, apa hubungan dua orang murid Ouw Kan dengan para datuk itu?” Thian Liong bertanya heran.
“Apa anehnya? Ouw Kan juga seorang datuk, tentu mengenal dan mempunyai hubungan dengan para datuk lain. Mereka sama-sama sesatnya.”
“Ke arah mana mereka pergi dan sejak kapan?” tanya Thian Liong kepada Si Mata Satu.
“Mereka lewat kemarin, Tai-hiap, dan menuju ke arah sana. Mudah mengikuti jejak mereka karena mereka merobohkan pohon-pohon dan menyingkirkan batu-batu besar.” Orang itu menunjuk ke barat.
“Mari kita pergi, Han!” Setelah berkata demikian, Thian Liong dan Han berkelebat dan lenyap dari depan gerombolan perampok itu sehingga mereka terkejut dan ketakutan. Akan tetapi mereka merasa beruntung tidak sampai dibunuh dua orang muda yang memiliki kesaktian demikian hebat.
“Jelas bahwa lima orang itu akan pergi ke Puncak Pelangi di Pegunungan Go-bi untuk mencari dan menyerang Suhu,” kata Thian Liong yang berlari bersama Han.
“Hemm, kalau hanya mereka berlima saja, kiraku tidak perlu khawatir. Lo-cianpwe Tiong Lee Cin-jin pasti akan mampu menandingi mereka.”
“Mereka itu orang-orang jahat yang lihai dan juga licik curang. Biarpun Suhu dapat mengatasi mereka, namun aku sebagai muridnya harus membelanya.”
“Engkau benar, dan aku pun sudah berjanji akan membantumu. Apalagi dua orang yang kucari, pembunuh-pembunuh ayahku berada di sana pula. Dengan begini dapat dikatakan kita tepuk satu kali dapat dua ekor lalat!”
Dua orang itu melanjutkan perjalanan dan betul seperti keterangan anak buah perampok bermata satu tadi, mereka dengan mudah dapat mengikuti jejak lima orang itu karena mereka mengambil jalan pintas dengan menyingkirkan semua perintang dengan kekerasan.
Ketika Siang In berpamit kepada Thio Ki dan Miyana, suami isteri yang ia anggap sebagai ayah ibunya sendiri, suami isteri itu segera menyetujui karena biarpun Siang In berpamit untuk mengunjungi Pek Hong Niocu atau Puteri Moguhai, mereka tahu bahwa anak mereka itu sesungguhnya juga akan bertemu dengan ibu kandungnya sendiri, walaupun gadis itu masih belum mengetahui akan rahasia ini. Tentu saja suami isteri itu sama sekali tidak menduga bahwa Siang In sudah mengetahui segalanya, dan bahwa ia memang ingin sekali bertemu dengan Tan Siang Lin, selir Kaisar Kin yang menjadi Ibu kandungnya itu!
“Jaga dirimu baik-baik dan berhati-hatilah, anakku. Dan jangan lupa, kalau engkau mengunjungi Puteri Moguhai dan kebetulan bertemu dengan Ibunya, selir Kaisar, sampaikan salam hormatku kepadanya karena dahulu aku menjadi sahabat baiknya.”
Diam-diam Siang In tersenyum dalam hati. Tentu saja ia sudah tahu bahwa ibunya ini, Miyana, dahulu adalah sahabat baik selir kaisar yang sesungguhnya adalah ibu kandung anak kembar, ia dan Moguhai!
“Baik, Ibu. Aku tidak akan melupakan pesan Ibu,” jawabnya. Ia lalu berkemas, membawa buntalan pakaian dan menunggang seekor kuda yang besar dan baik. Setelah memperoleh pesan dan restu Thio Ki dan Miyana, Thio Siang In atau Ang Hwa Sian-li lalu menjalankan kudanya keluar dari pekarangan rumah orang tuanya, menuju ke pintu gerbang utara.
Akan tetapi sebelum tiba di pintu gerbang ia bertemu dengan Cin Han yang berjalan seorang diri. Melihat Siang In berkuda, Cin Han menegurnya dengan ramah.
“Hai, Adik Siang In!” tegurnya sambil menghampiri.
Siang In menahan kudanya lalu melompat turun. Tidak enak rasanya kalau dia bercakap-cakap dengan pemuda itu dengan duduk di atas kuda sedangkan Cin Han berdiri di atas tanah.
“Han-ko (Kakak Han), engkau hendak ke manakah?” tegurnya.
Cin Han tersenyum dan wajahnya tampak tampan dan lembut kalau tersenyum. Putera pangeran ini memang halus budi pekertinya dan ramah. “Aku hendak berkunjung ke rumahmu, In-moi (Adik. In).”
“Ah, maaf, Han-ko. Aku hendak pergi maka tidak dapat menyambutmu.”
“In-moi, kalau boleh aku bertanya, engkau hendak pergi ke manakah?”
“Tentu saja boleh, Han-ko. Aku hendak pergi mengunjungi Puteri Moguhai di kota raja.”
“Berapa lama engkau akan tinggal di sana?” tanya pemuda itu sambil memandang ke arah buntalan pakaian yang berada di punggung kuda yang besar itu.
“Entahlah, Han-ko, aku belum dapat menentukan. Mungkin bisa seminggu atau sebulan, tergantung keadaan.”
Cin Han mengangguk. “Baiklah, In-moi, harap engkau berhati-hati dalam perjalanan. Aku mendengar bahwa ada beberapa orang bekas sekutu Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak dulu, membentuk gerombolan dan suka mengacau. Akan tetapi aku percaya, engkau tidak mudah diganggu penjahat. Nah, selamat jalan, In-moi.”
“Terima kasih dan selamat tinggal, Han-ko!” kata Siang In dan ia segera melompat ke atas punggung kudanya dan menuju ke pintu gerbang utara, diikuti pandang mata Cin Han yang memandang kagum. Dulu dia tertarik sekali kepada Thio Siang In, setelah bergaul dekat, dia kini yakin bahwa dia benar-benar jatuh cinta kepada gadis yang berjuluk Ang Hwa Sian-li itu. Sambil tersenyum gembira Cin Han lalu kembali ke rumah orang tuanya.
Sementara itu, Siang In sudah keluar dari kota Kang-cun dan membalapkan kudanya ke utara, ke arah Kota Raja Peking di mana saudara kembarnya, Puteri Moguhai atau Pek Hong Niocu tinggal bersama ibu mereka di istana kerajaan. Akan tetapi ketika ia membalapkan kudanya, terbayanglah di depan matanya wajah Cin Han. Pemuda itu sungguh lembut, tampan dan juga telah memperlihatkan wibawa dan kecerdikannya ketika dulu membawa pasukan menolong ia dan Pek Hong Niocu.
Sungguh seorang pemuda yang menarik hati dan mengagumkan. Dan pemuda itu pernah melamarnya akan tetapi ia menolak keras padahal ia belum pernah melihat orangnya. Kini ia telah berkenalan dengan Cin Han dan kagum kepada pemuda yang pernah ditolak lamarannya itu. Ia menghela napas. Beruntunglah seorang gadis kalau dipersunting oleh pemuda tampan lembut putera seorang pangeran itu!
Siang In menghela napas panjang dan berbisik kepada diri sendiri. “Sayang......, dia seorang siu-cai (sastrawan) yang lemah dan tidak pandai ilmu silat......” Siang In menghela napas lagi dan tiba-tiba saja wajah Thian Liong terbayang dalam benaknya. “Ah, kalau saja Cin Han memiliki kelihaian seperti Thian Liong......”
Ia sadar dari lamunannya dan menggebrak kudanya sehingga binatang itu terkejut dan berlari cepat sekali, membuat rambut dan pakaian Siang In berkibar.
Di sepanjang perjalanan itu Thio Siang In mendengar berita dari penduduk bahwa memang benar apa yang dikatakan Cin Han kepadanya bahwa di daerah-daerah banyak terjadi gangguan terhadap
penduduk, yang dilakukan oleh gerombolan yang merampok dan membunuhi pejabat-pejabat kerajaan yang bertugas di dusun-dusun. Jelas bahwa gerombolan itu memang bersikap anti dan memberontak terhadap Kerajaan Kin.
Akan tetapi Siang In tidak mengalami gangguan seperti yang ia harapkan karena ia ingin bertemu dan membasmi gerombolan pengacau itu. Ia tiba di kota raja dan langsung saja menuju ke istana. Kepada perajurit pengawal yang berjaga di pintu gapura istana dan yang terheran-heran melihat ia begitu mirip Puteri Moguhai, Siang In mengatakan bahwa ia bernama Thio Siang In dan ingin bertemu dengan Puteri Moguhai yang menjadi sahabat baiknya.
Perajurit kepala jaga yang bersikap hormat mendengar bahwa gadis ini sahabat baik Puteri Moguhai yang mereka hormati dan takuti, segera memberitahu bahwa Puteri Moguhai tidak berada di istana.
Mendengar ini, Siang In merasa kecewa. Akan tetapi sesungguhnya kedatangannya ini terutama untuk mengunjungi ibu kandungnya, maka ia pun lalu berkata dengan sikap lembut.
“Kalau begitu, saya akan menghadap Ibunda Puteri Moguhai karena saya ada pesan yang amat penting dari Puteri Moguhai untuk disampaikan kepada Ibundanya.”
Kepala jaga itu mengerutkan alisnya. “Ah, Nona. Untuk menghadap Beliau kami harus melaporkan dulu kepada pengawal istana dan mereka yang akan melaporkan ke dalam istana. Kalau beliau bersedia menerimamu, barulah Nona akan diperkenankan dan dikawal oleh pengawal dalam istana. Mari kami antar Nona menemui kepala pengawal istana.”
Siang In lalu diantar oleh kepala jaga itu memasuki pekarangan istana yang luas dan segera ia dihadapkan kepada pengawal yang mengenakan seragam indah dan yang sikapnya angkuh. Akan tetapi kepala pengawal ini pun memandang heran melihat Siang In yang demikian mirip dengan Puteri Moguhai.
Kepala jaga pintu gapura melapor bahwa gadis itu mohon menghadap Ibunda Puteri Moguhai. Kepala pengawal yang memandang kepada Siang In dengan penuh perhatian itu lalu bertanya kepada Siang In.
“Siapakah engkau, Nona dan apakah keperluanmu hendak menghadap Beliau?”
“Nama saya Thio Siang In dan saya adalah sahabat baik dan saudara seperguruan Puteri Moguhai,” Siang In memperkenalkan diri, sengaja mengaku sebagai saudara seperguruan Moguhai karena ia tahu betapa Moguhai sudah terkenal sebagai seorang gadis yang berilmu tinggi.
Benar saja dugaannya. Kepala pengawal itu berubah sikap dan dengan hormat dia bertanya. “Thio-siocia, kami akan melaporkan ke dalam. Akan tetapi kalau kami ditanya apa keperluan Nona mohon menghadap Beliau, bagaimana kami harus menjawab?”
“Saya adalah anak dari Ibu Miyana yang dahulu menjadi sahabat baik beliau dan juga tinggal di istana ini. Saya membawa pesan dari Puteri Moguhai dan dari Ibu Miyana yang sangat penting untuk disampaikan kepada Beliau.”
“Akan tetapi, Nona. Kami takut kalau mendapat marah karena tidak boleh sembarangan orang memasuki istana, apalagi bagian puteri. Beritahukan saja kepada kami pesan itu dan kami yang akan menghaturkan kepada Beliau.”
“Tidak mungkin. Puteri Moguhai akan marah sekali kalau saya tidak dapat menyampaikan pesannya itu kepada Ibundanya.”
Ucapan ini manjur. Kepala pengawal itu tentu saja takut sekali kalau nanti Puteri Moguhai yang dia kenal amat keras itu marah kepadanya kalau dia melarang saudara seperguruannya ini masuk.
“Baiklah, Nona. Silakan tunggu sebentar dan silakan duduk, saya sendiri yang akan melaporkan ke dalam.” Setelah berkata demikian kepala pengawal yang bertubuh tinggi besar itu meninggalkan Siang In di situ.
Siang In duduk di atas bangku dan para pengawal yang melakukan penjagaan tidak berani memandang kepadanya secara langsung. Ini berkat nama besar Moguhai yang ditakuti semua orang, pikir Siang In. Ia merasa heran, ke mana perginya Moguhai?
Tak lama kemudian, kepala pengawal itu muncul dan dengan muka berseri dia berkata, “Beliau memerintahkan saya mengantar Nona menghadap beliau. Mari, Nona.”
Dengan jantung berdebar tegang Siang In dikawal kepala pengawal itu memasuki istana bagian puteri dan langsung membawanya ke dalam sebuah ruangan tertutup. Pengawal itu mengajak ia masuk dan setibanya di dalam, pengawal itu memberi hormat dengan menekuk sebelah lututnya.
“Nona Thio Siang In datang menghadap!”
Wanita setengah tua yang duduk seorang diri di ruangan itu memberi isyarat kepada pengawal itu dengan tangan. “Keluarlah!”
Pengawal itu keluar dan menutupkan kembali pintu ruangan itu. Siang In memandang dengan jantung berdebar-debar. Wanita itu berusia sekitar empatpuluh tahun, masih tampak cantik dan sikapnya lemah lembut. Wanita itu segera bangkit berdiri dan kedua orang wanita itu saling pandang.
Lalu wanita yang bukan lain adalah Tan Siang Lin selir Kaisar dan Ibu Moguhai itu perlahan-lahan melangkah menghampiri. Ia berhenti setelah berada dalam jarak satu tombak dari Siang In. Mereka saling pandang dan mata wanita itu mengeluarkan air mata yang perlahan menetes ke atas kedua pipinya.
Siang In seketika merasa bahwa wanita ini adalah ibu kandungnya. Ada sesuatu pada diri wanita ini yang menggetarkan jantungnya sehingga ia pun tak dapat menahan keluarnya air mata dari sepasang matanya.
“......engkau...... engkau Thio Siang In...... anak...... Miyana?” Wanita itu menelan ludah dan melanjutkan, “Moguhai...... tidak berada di sini, ia keluar kota raja beberapa hari yang lalu......”
“Saya...... saya datang untuk bertemu dengan Ibu......” kata Siang In dengan suara gemetar.
“Ibu??...... engkau...... engkau...... sudah tahu......??” Selir kaisar itu berkata lirih dan tergagap.
Siang In mengangguk-angguk. “......aku tahu...... engkau Ibu kandungku......”
Seperti ditarik sembrani, dua orang wanita itu menubruk ke depan dan saling rangkul.
“Anakku......!”
“Ibu……!!”
Keduanya menangis sesenggukan dan saling cium dengan muka basah air mata.
“Anakku......, maafkanlah Ibumu ini, Nak...... terpaksa...... terpaksa sekali...... begitu terlahir engkau kuberikan kepada Miyana......”
“Ibu tidak bersalah,” kata Siang In sambil merangkul erat, “Ibu terpaksa berbuat begitu karena...... karena Kaisar......”
“Anakku, Kaisar juga tidak bersalah,” kata selir kaisar itu sambil menarik tangan Siang In dan diajaknya gadis itu duduk di sampingnya. “Sejak ratusan tahun, bangsa Yu-cen yang mendirikan Kerajaan Kin (Cin), memiliki kepercayaan bahwa anak kembar mendatangkan malapetaka. Kaisar juga percaya akan hal itu maka mereka tidak berani membiarkan anak kembar hidup. Aku terpaksa memisahkan engkau dari Moguhai agar kalian berdua selamat, karena kalau tidak, kalian berdua tentu akan dibunuh begitu ketahuan terlahir kembar. Kebetulan Miyana yang menjadi sahabat baikku, yang telah menjadi janda karena suaminya, seorang pangeran telah meninggal dunia, bersedia menolongku dan membawamu keluar istana.”
Siang In merangkul ibunya dan mengusap air mata dari pipi ibunya dengan saputangan. “Sudahlah, Ibu. Harap jangan bersedih. Aku sudah mengetahui akan semua itu, mendengar cerita dari Ayah Sie Tiong Lee sendiri.”
Setelah dapat menguasai keharuan hati mereka dan menjadi tenang kembali, ibu dan anak ini duduk bersanding dan saling berpegangan tangan dengan hati merasa bahagia sekali..
“Ibu, ke manakah perginya Pek Hong?”
“Pek Hong? Ah, ya, aku ingat sekarang. Ayahmu memberi nama Sie Pek Hong kepada Moguhai! Dan engkau menjadi Sie Siang In! Ah, aku gembira sekali. Kalian berdua berdarah Han aseli karena Ayah dan Ibu kandungmu adalah orang-orang Han. Pek Hong baru beberapa hari pergi, katanya hendak pergi mencari orang-orang yang telah membunuh Han Si Tiong akan tetapi aku tahu bahwa selain itu juga ada hal-hal lain yang membuat ia pergi. Ia dimarahi Ayahnya karena ia selalu menolak pinangan para pangeran dan pemuda bangsawan putera para pejabat tinggi. Kaisar juga melarang ia bergaul dengan Souw Thian Liong walaupun pemuda itu pernah membantu Kerajaan Kin membasmi pemberontak. Kaisar bukan tidak suka Thian Liong, hanya dia ingin menjodohkan Moguhai dengan seorang bangsa Yu-cen. Karena itulah, Pek Hong pergi.”
“Ah, sayang Kaisar berpendirian demikian, Ibu. Souw Thian Liong adalah seorang pendekar budiman yang bijaksana, dan aku melihat keakraban antara Thian Liong dan Pek Hong.”
“Engkau tentu lebih mengetahui, sebenarnya bagaimanakah hubungan antara Souw Thian Liong dan Pek Hong? Ketika aku bertanya, Pek Hong menjawab bahwa ia memang kagum dan tertarik kepada pemuda itu, akan tetapi ia sendiri tidak tahu apakah ia mencinta Thian Liong atau hanya kagum.”
Sejenak Siang In termenung. Ia harus mengaku dalam hatinya bahwa ia sendiri amat kagum dan tertarik kepada Thian Liong dan kalau ada kesempatan, bukan mustahil ia pun akan jatuh cinta kepada pemuda itu.
“Aku sendiri tidak tahu pasti, Ibu.”
Selir Kaisar itu menghela napas panjang. “Mudah-mudahan saja Pek Hong dapat melupakan Thian Liong dan dapat mencinta seorang pemuda lain yang sesuai dengan keinginan Kaisar. Kalau tidak, tentu akan terjadi kesulitan besar. Kau tahu, Siang In, Kaisar mengira bahwa Pek Hong adalah darah dagingnya sendiri dan ia amat menyayangnya. Kalau sampai terjadi ia mencinta Thian Liong, tak dapat aku membayangkan apa yang terjadi. Tentu semua orang akan menderita. Kaisar yang amat mencinta puterinya itu akan berduka dan marah, Pek Hong sendiri akan mengalami kesusahan dan mungkin akan diusir dari istana dan terpisah dariku, dan aku sendiri tentu akan merana. Ah, akan tetapi kalau Thian menghendaki, segala dapat terjadi. Bukankah jodoh, seperti juga kelahiran dan kematian, berada sepenuhnya di tangan Thian dan tak seorang pun dapat mengubahnya?”
“Ibu benar, biarlah kita berdoa saja agar semuanya akan berjalan dengan baik sehingga membahagiakan semua orang.”
“Terima kasih, anakku. Ucapanmu itu sungguh membesarkan hatiku. Sekarang, coba ceritakan semua pengalamanmu menjadi anak Miyana.”
Dengan singkat Siang In menceritakan keadaannya sebagai puteri Thio Ki dan Miyana, menjadi murid mendiang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan yang wataknya sama sekali berlawanan dengan hatinya, sampai pengalamannya yang terakhir, bertemu dengan Pek Hong, kemudian mereka berdua diajak oleh ayah kandung mereka, Tiong Lee Cin-jin ke tempat pertapaan di Puncak Pelangi dan mempelajari ilmu yang lebih tinggi.
Mendengar semua itu, Tan Siang Lin menghela napas panjang dan wajahnya berseri ketika ia memandang kepada puterinya. “Ah, aku merasa berbahagia sekali. Ternyata sepasang anak kembarku sekarang telah menjadi pendekar-pendekar wanita sakti. Sekarang, anakku, kalau Pek Hong kini menghadapi persoalan karena Ayahnya, Kaisar, menghendaki ia berjodoh dengan seorang bangsa Yu-cen, lalu bagaimana dengan engkau sendiri? Tentu saja untuk urusan perjodohanmu, yang lebih berhak menentukan tentu saja ayah ibumu Thio Ki dan Miyana karena merekalah yang mengasuh, merawat dan mendidikmu sejak engkau masih bayi. Akan tetapi usiamu kini sudah duapuluh tahun, sudah sepatutnya engkau menjadi isteri dan ibu. Apakah oleh orang tuamu di Kang-cun engkau sudah dijodohkan? Aku hanya ingin tahu, anakku, bukan ingin mencampuri.”
“Ibu, agaknya tanpa disengaja, ada persamaan keadaanku dengan keadaan Pek Hong. Ayah dan Ibu di Kang-cun membujukku untuk segera memilih dan menerima pinangan seorang di antara mereka yang melamar aku. Akan tetapi aku selalu menolak karena masih belum ingin terikat rumah tangga, masih ingin bebas.”
“Hemm, dan bagaimana dengan hatimu? Apakah engkau sudah mempunyai pilihan sendiri?”
Siang In menundukkan mukanya dan terbayanglah wajah Cin Han dan Thian Liong berganti-ganti. “Belum, Ibu, aku masih bingung.”
“Ah, kalian berdua memang serupa benar, badan dan batinnya. Aku tidak dapat memaksa kalian, hanya mendoakan semoga segera menemukan jodoh kalian yang cocok dan dapat hidup berbahagia.”
“Ibu, sayang Pek Hong tidak ada. Saya akan menyusulnya karena kalau ia seorang diri mencari pembunuh seperti yang Ibu ceritakan tadi, mungkin ia perlu bantuan. Apakah ia menceritakan ke mana ia hendak mencari pembunuh itu dan siapakah Han Si Tiong yang dibunuh, siapa pula pembunuhnya?”
“Han Si Tiong adalah sahabat baik Pek Hong dan menurut apa yang diceritakan Pek Hong, Han Si Tiong tewas terbunuh oleh dua orang murid Ouw Kan......”
“Ah, Ibu, mengapa Toat-beng Coa-ong membunuh Han Si Tiong dan siapakah Han Si Tiong yang dibela sedemikian rupa oleh Pek Hong?”
“Aku pun hanya mendengar dari cerita Pek Hong. Han Si Tiong dan isterinya dahulu adalah perwira Kerajaan Sung Selatan, memimpin Pasukan Halilintar dan ketika terjadi perang antara Kerajaan Sung dan Kerajaan Kin (Cin), Pasukan Halilintar terkenal dan ditakuti karena kehebatan pemimpinnya. Bahkan ketika seorang pangeran Kerajaan Kin yang bernama Pangeran Cu Si maju memimpin pasukan melawan Pasukan Halilintar, Pangeran Cu Si tewas di tangan Han Si Tiong dan isterinya. Kematian seorang perwira dalam perang merupakan hal wajar dan bukan merupakan urusan pribadi, maka sebetulnya Kaisar Kin juga tidak mendendam kepada Han Si Tiong, walaupun Beliau merasa berduka atas kematian anggauta keluarganya. Akan tetapi ketika itu mendiang Pangeran Hiu Kit Bong yang kemudian memberontak dan tewas, membujuk Kaisar untuk membalas dendam kepada Han Si Tiong dan isterinya. Kaisar, lalu mengutus Ouw Kan untuk pergi ke kota raja Sung dan membunuh Han Si Tiong dan isterinya.”
“Hemm, sungguh tidak kusangka. Aku tidak mendengar sama sekali akan hal itu,” kata Siang In lirih. Ia sebagai murid Ouw Kan maklum bahwa gurunya itu adalah seorang datuk sesat dan seringkali ia bertentangan dengan gurunya dalam berbagai hal. Akan tetapi ia tidak pernah mendengar bahwa gurunya menjadi utusan Kaisar untuk membunuh seorang perwira Sung hanya karena perwira itu merobohkan seorang pangeran dalam perang!
“Akan tetapi Ouw Kan gagal membunuh suami isteri itu karena tidak menemukan mereka di kota raja. Hal ini membuat Ouw Kan merasa malu kepada Kaisar dan setelah kaisar melupakan hal itu, bahkan telah sadar bahwa dendam atas gugurnya Pangeran Cu Si dalam perang merupakan suatu kesalahan, dan membatalkan perintahnya kepada Ouw Kan, agaknya Ouw Kan melanjutkan usaha pembunuhan itu karena dendam pribadi. Bahkan ketika dia berusaha membunuh Han Si Tiong dan isterinya, Pek Hong muncul dan membela suami isteri itu, mengusir Ouw Kan. Kemudian Pek Hong yang menjadi sahabat baik Han Si Tiong dan isterinya, meninggalkan tulisan yang isinya melarang Ouw Kan mengganggu suami isteri itu. Pek Hong tidak membenarkan dendam seperti itu, tidak membenarkan membawa kematian dalam perang menjadi dendam pribadi.”
“Pek Hong memang bijaksana, Ibu.” Siang In memuji. “Kemudian bagaimana, Ibu?”
“Nah, belum lama ini terdengar berita bahwa Ouw Kan dibunuh oleh seorang yang mengaku berjuluk Ang I Mo-li. Beberapa hari kemudian pada suatu malam, Ang I Mo-li masuk menyusup ke istana ini untuk membunuh Kaisar! Ia menganggap Kaisar sebagai musuhnya karena ia mengira bahwa Kaisar Kin yang mengutus Ouw Kan dan murid-muridnya membunuh Han Si Tiong. Pek Hong menyambutnya dan ternyata Ang I Mo-li (Iblis Betina Baju Merah) itu adalah seorang gadis puteri Han Si Tiong bernama Han Bi Lan dan sudah mengenal Pek Hong. Pek Hong berhasil membujuknya dan menyadarkannya bahwa Kaisar sama sekali tidak mengutus Ouw Kan untuk membunuh ayahnya. Han Bi Lan itu bercerita kepada Pek Hong bahwa ayahnya, Han Si Tiong telah terbunuh oleh dua orang murid Ouw Kan yang bernama...... ah, aku sudah lupa lagi nama mereka......”
“Tentu bernama Bouw Kiang dan Bong Siu Lan!”
“Ya, benar! Eh, Siang In, bagaimana engkau bisa mengetahui nama dua orang pembunuh murid Ouw Kan itu?”
“Tadi sudah kuceritakan bahwa aku pernah berguru kepada Toat-beng Coa-ong, dia adalah Ouw Kan, Ibu. Maka aku dapat menduga bahwa yang melakukan pembunuhan itu tentulah dua orang muridnya yang lain, yang bernama Bouw Kiang dan seorang murid perempuan bernama Bong Siu Lan. Aku tidak akrab dengan mereka karena tempat tinggal kami berbeda kota dan hanya beberapa kali saja aku pernah bertemu dengan mereka. Juga aku pernah mendengar berita yang tidak baik tentang mereka.”
“Begitulah, Siang In. Han Bi Lan dapat menerima penjelasan Pek Hong dan ia pun membatalkan niatnya membunuh Kaisar.”
“Gadis berpakaian merah bernama Han Bi Lan? Rasanya pernah aku bertemu dengan gadis itu ketika kami membantu Souw Thian Liong menghadapi pengeroyokan orang-orang Siauw-lim dan Kun-lun, akan tetapi ketika itu aku belum mengetahui namanya. Akan tetapi mengapa Pek Hong mati-matian membela kematian Han Si Tiong dan pergi mencari pembunuhnya, Ibu?”
“Menurut Pek Hong, Han Si Tiong dan isterinya adalah orang-orang yang gagah perkasa dan baik, dan ia sudah mengenal mereka dengan akrab. Yang membuat Pek Hong merasa penasaran adalah bahwa ia telah meninggalkan tulisan yang melarang Ouw Kan mengganggu suami isteri itu, akan tetapi nyatanya dua orang murid Ouw Kan masih juga menyerang mereka sehingga Han Si Tiong tewas. Karena itu, Pek Hong lalu hendak niencari dua orang itu, ditambah lagi karena ia dimarahi Kaisar karena belum mau menikah.”
“Ibu, kalau begitu aku harus cepat menyusul Pek Hong. Dua orang pembunuh itu adalah orang-orang yang lihai dan licik. Pek Hong perlu bantuanku, Ibu.”
'Akan tetapi ke mana engkau hendak mencarinya, Siang In?”
“Aku kira ia tentu mencari dua orang pembunuh itu di tempat tinggal Suhu Ouw Kan. Aku akan menyusul ke sana. sekarang juga, Ibu.”
Wanita itu merangkul Siang In. “Tidak, engkau baru saja datang, bagaimana tega untuk meninggalkan aku lagi. Aku masih rindu padamu, Siang In. Besok pagi saja engkau pergi. Malam ini engkau harus berada di sini dan kita bicara melepas kerinduanku!”
Siang In balas merangkul. Ia tidak tega untuk menolak permintaan ibu kandung itu. Maka ia pun menunda perjalanannya menyusul Pek Hong dan bermalam di kamar ibunya di mana keduanya semalam suntuk bercakap-cakap dengan penuh kebahagiaan. Barulah pada keesokan harinya selir kaisar itu mengijinkan puterinya meninggalkan istana.
Pek Hong Niocu atau Sie Pek Hong atau juga Puteri Moguhai mendaki bukit menuju kota Ceng-goan. Kota itu letaknya di daerah perbukitan yang berpemandangan indah. Bukan kota dagang yang besar, namun lebih merupakan kota pariwisata yang hawanya sejuk dan peman-dangannya indah. Penduduknya bertani dan berdagang bunga-bunga yang dapat tumbuh dengan subur di daerah perbukitan itu.
Puteri Moguhai pernah datang ke Ceng-goan dan dia langsung menuju ke sebuah rumah mungil, yaitu rumah tinggal Ouw Kan pemberian Kaisar. Ia sudah mendengar dari Bi Lan bahwa Ouw Kan telah tewas di tangan Puteri Han Si Tiong itu. Akan tetapi ke mana lagi ia dapat mencari dan menyelidiki di mana adanya dua orang murid Ouw Kan itu kalau tidak ia mulai dari tempat tinggal mendiang Toat-beng Coa-ong Ouw Kan?
Ia melihat rumah itu sunyi dan pintu depannya tertutup. Lalu diketuknya daun pintu depan karena ia mendengar dari keterangan Bi Lan bahwa rumah itu dijaga seorang wanita setengah tua yang tidak diganggu oleh Bi Lan.
Tak lama kemudian, setelah tiga kali ia mengulang ketukannya, terdengar langkah ringan dan daun pintu dibuka dari dalam. Begitu janda tua penjaga rumah itu melihat seorang gadis muda berdiri di depan pintu, langsung saja ia menjatuhkan diri dan menangis.
“Ampun, Li-hiap (Pendekar Wanita)! Ampunkan saya yang tidak bersalah apa-apa dan tidak tahu apa-apa. Ampun dan harap jangan bunuh saya, Ang I Mo-li......!”
Moguhai tersenyum. Agaknya nenek ini mengira bahwa ia Bi Lan yang memperkenalkan diri sebagai Ang I Mo-li sehingga ia ketakutan dan minta ampun.
“He, Bibi yang bodoh. Lihat baik-baik siapa aku! Apakah pakaianku merah? Apa engkau tidak mengenal aku?”
Wanita itu kini mengangkat mukanya. Tadi saking ketakutan ia tidak berani melihat langsung secara teliti, langsung saja minta ampun. Setelah mengangkat muka ia melihat seorang gadis yang pakaiannya dari sutera halus putih bersih dan ketika ia mengenal wajah Puteri Moguhai, ia cepat berlutut menyembah-nyembah.
“Aduh, ampunkan hamba, Yang Mulia Puteri! Hamba tidak mengira bahwa Paduka yang datang maka bersikap tidak semestinya. Ampunkan hamba.” Biarpun hatinya terasa tegang, namun rasa takutnya hilang setelah melihat bahwa gadis itu bukan si pembunuh majikannya.
“Sudahlah, aku tidak marah. Sekarang duduklah yang baik, Bibi, duduk di bangku itu. Aku ingin bicara denganmu dan aku minta agar engkau dapat memberi semua keterangan yang kuminta.”
“Hamba tidak berani......” Pelayan tua itu tetap berlutut.
“Aku perintahkan engkau duduk dan engkau masih tidak mau mentaati?” Pek Hong membentak agar nenek itu ketakutan dan taat.
“Ampun...... ah, baik-baik, hamba menaati perintah Paduka.” Ia lalu bangkit dan duduk di atas bangku sambil menundukkan muka dan merangkap kedua tangan depan dada memberi hormat.
“Engkau tentu mengetahui bahwa mendiang Ouw Kan mempunyai dua orang murid, bukan?”
“Bukan dua, malah murid-murid yang dekat dengan almarhum ada tiga orang.”
“Tiga orang? Coba sebutkan siapa saja mereka!”
“Yang seorang adalah murid wanita yang kalau tidak salah bertempat tinggal di kota Kang-cun dan namanya Thio Siang In......”
Pek Hong mengangguk. tentu saja ia sudah tahu karena saudara kembarnya itu pernah bercerita ia pernah menjadi murid Toat-beng Coa-ong Ouw Kan.
“Lalu yang dua lagi siapa namanya?”
“Yang seorang adalah murid laki-laki bernama Bouw Kiang dan yang seorang lagi murid perempuan bernama Bong Siu Lan.”
“Engkau tahu di mana dua orang murid itu tinggal?”
“Aduh, Tuan Puteri yang mulia, hamba sungguh tidak tahu di mana kedua orang murid itu tinggal. Dulu, Ang I Mo-li yang membunuh Tuan Besar, juga menanyakan hal itu. Akan tetapi hamba sungguh tidak tahu. Mereka hanya kadang-kadang saja datang, bermalam sehari dua hari lalu pergi lagi. Hamba tidak berani bertanya di mana mereka tinggal. Mereka itu galak-galak, tidak seperti Thio-siocia (Nona Thio) yang ramah dan mau memberi tahu di mana tempat tinggalnya.”
“Coba engkau ingat-ingat, Bibi. Ketika Bouw Kiang dan Bouw Siu Lan datang ke sini dan bercakap-cakap dengan Ouw Kan, mungkin engkau mendengar sedikit pembicaraan mereka secara kebetulan.”
Nenek itu mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Hanya sedikit yang hamba ingat, Tuan Puteri. Ketika secara kebetulan hamba menghidangkan makan minum, mereka menyebut-nyebut tentang Empat Datuk Besar yang katanya menghubungi mereka berdua. Dan Tuan Besar Ouw Kan mengatakan boleh saja bekerja sama dengan Empat Datuk Besar, akan tetapi tugas terpenting mereka harus dilakukan dulu. Nah, hanya itulah yang hamba ingat, akan tetapi hamba tidak tahu apa yang mereka maksudkan.”
Pek Hong dapat menduga. Tugas penting yang harus diselesaikan dulu itu tentulah tugas membunuh Han Si Tiong. Akan tetapi ia tidak tahu apa maksud mereka berhubungan dengan Empat Datuk Besar.
“Bibi, siapkan kamar yang bersih untukku. Aku akan tinggal di sini selama beberapa hari untuk melakukan penyelidikan di sekitar tempat ini tentang kedua orang itu.”
“Baik, Tuan Puteri, akan hamba persiapkan.”
“O ya, Bibi. Coba gambarkan dulu bagaimana rupanya dua orang murid itu.”
“Yang bernama Bouw Kiang itu adalah seorang pemuda berusia sekitar duapuluh enam tahun, bertubuh tinggi besar berwajah tampan dengan kulit yang gelap agak hitam dan dia selalu membawa sebatang tongkat hitam yang terselip di pinggangnya. Adapun yang bernama Bong Siu Lan adalah seorang gadis berusia sekitar duapuluh tahun, wajahnya bulat telur, matanya lebar, mulutnya agak lebar namun ia cantik sekali. Bia-sanya ia membawa sepasang pedang di punggungnya.”
Demikianlah, setelah mendapat keterangan dari pelayan itu, Pek Hong tinggal di bekas rumah Ouw Kan selama beberapa hari dan setiap hari ia melakukan pencarian dan penyelidikan di sekitar daerah itu dengan bertanya-tanya. Akan tetapi tidak ada hasilnya. Akhirnya, ia merasa yakin bahwa dua orang murid Ouw Kan itu pasti tidak berada di daerah itu. Mengingat akan keterangan pelayan, mungkin sekali kedua orang itu mengadakan hubungan dengan Empat Datuk Besar. Akan tetapi di mana?
Selagi ia berjalan perlahan-lahan menuju rumah Ouw Kan sambil termenung karena bingung ke mana harus mencari dua orang itu, ketika ia tiba di pintu gerbang kota Ceng-goan, tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda datang dari arah belakang dan terdengar suara nyaring.
“Pek Hong……!!”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru