Senin, 08 Mei 2017

Cersil 7 Serial Kisah Naga Langit KPH Jadul

Cersil 7 Serial Kisah Naga Langit KPH Jadul Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil 7 Serial Kisah Naga Langit KPH Jadul
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil 7 Serial Kisah Naga Langit KPH Jadul
Kaisar Sung Kao Tsung mengangguk-angguk dan tersenyum. “Hemm, rasanya pernah kami mendengar
tentang pasukan Halilintar yang gagah berani itu. Dan dua orang muda ini, siapakah mereka?”
“Sri Baginda Yang Mulia, pemuda dan gadis ini bernama Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong......”
“Wah, celaka!” tiba-tiba Perdana Menteri Chin Kui memotong. “Sri Baginda, pemuda inilah pengkhianat itu,
antek Kerajaan Kin yang sudah hamba laporkan kepada paduka. Inilah orang buruan kita, berani benar
memasuki ruangan ini, tentu berniat jahat terhadap paduka. Pengawal, tangkap pemuda itu!”
Kwee-ciang-kun cepat berlutut dan berkata, “Ampun Yang Mulia, hamba yang menanggung bahwa Souw
Thian Liong tidak akan berbuat jahat di sini.”
“Wah, ini jelas komplotan!” Chin Kui berteriak-teriak. “Yang Mulia, mohon paduka berhati-hati, agaknya
Kwee-ciangkun sudah bersekongkol dengan pengkhianat ini dan dengan suami isteri bekas anak buah
Jenderal Gak Hui, tentu dengan niat untuk menjatuhkan Paduka dan merebut kedudukan mahkota raja!”
Chin Kui menudingkan tangannya kepada Kwee Gi dan empat orang yang berlutut. “Para pengawal cepat
tangkap lima orang itu sebelum mereka menyerang Sri Baginda!”
21.1 Tahanan Terhormat Penjara Istana
Akan tetapi pada saat itu, lima orang panglima dan lima orang pem¬besar sipil turun dari kursi mereka dan
maju lalu berlutut menghadap kaisar.
“Sri Baginda Yang Mulia,” kata seorang pembesar sipil, Menteri Kebudayaan, yang sudah tua dan dihormati
kaisar, berkata mewakili sembilan orang rekannya. “Hamba para abdi setia paduka bertanggung jawab
kalau Kwee-ciangkun mempunyai niat jahat atau memberontak. Mohon paduka sudi mendengarkan dulu
semua penjelasan sebelum menjatuhkan perintah menangkap mereka. Hamba semua hanya merupakan
abdi paduka yang setia dan yang selalu menjaga keselamatan paduka dan Kerajaan Sung.”
“Wah, ini pengkhianatan besar! Mereka semua merupakan persekutuan pemberontak! Sri Baginda, sebelum
terlambat, mereka harus ditangkap dari dihukum gantung!” teriak Perdana Menteri Chin Kui.
Akan tetapi Kaisar Sung Kao Tsu, biarpun amat percaya dan sudah berada dalam pengaruh perdana
menterinya yang dia anggap amat setia dan pandai, meragukan ucapan itu sekali ini.
“Kami kira mereka tidak akan memberontak. Bukan begini sikap orang-orang yang hendak memberontak.
Biar kami memeriksa mereka.”
Mendengar ucapan kaisar, itu, Kwee-ciangkun dan rekan-rekannya tampak bergembira, akan tetapi
Perdana Menteri Chin Kui mengerutkan alisnya dan wajahnya tampak muram dan penasaran sekali. Akan
tetapi dia tidak takut karena merasa betapa kaisar tentu lebih percaya kepadanya daripada kepada yang
lain, apa lagi mengingat betapa kuat kedudukannya.
Kaisar Sung Kao Tsu memandang Thian Liong dengan tajam lalu berkata, suaranya membentak. “Hei,
orang muda. Kami mendengar bahwa engkau telah berkhianat kepada Kerajaan Sung dengan membantu
Kerajaan Kin. Kamu menjadi mata-mata Kerajaan Kin untuk menyelidiki kerajaan kami, benarkah itu?”
Souw Thian Liong menjawab dengan hormat. “Berita itu hanya fitnah, Sri Baginda Yang Mulia. Hamba
memang berada di utara, daerah Kerajaan Kin, dalam perjalanan hamba mencari seorang maling yang
mencuri sebuah kitab pusaka dari hamba. Di sana hamba melihat usaha pemberontakan terhadap Kaisar
Kin. Pemberontaknya adalah Pangeran Hiu Kit Bong dan melihat ini hamba lalu membantu Kaisar Kin untuk
menghancurkan pemberontak. Hamba memang telah membantu Kaisar Kerajaan Kin, akan tetapi bantuan
dunia-kangouw.blogspot.com
itu hanya untuk melawan pemberontakan di sana. Sama sekali hamba tidak menjadi kaki tangan Kerajaan
Kin, apalagi untuk menjadi mata mata di sini.”
“Dia bohong, Sri Baginda! Hamba mendengar jelas bahwa Souw Thian Liong ini telah menjadi kaki tangan
Kerajaan Kin, bahkan hamba mendengar keterangan dari penyelidik hamba bahwa Souw Thian Liong
bergaul akrab dengan puteri Kaisar Kin!”
“Hei, Perdana Menteri Chin Kui! Siapa penyelidikmu itu? Tentu dia bernama Cia Song, penjahat busuk itu,
bukan? Cia Song itu utusanmu dalam persekutuanmu dengan pemberontak Pangeran Hiu Kit Bong,
bukan?” Pek Hong berteriak.
“Perempuan jahat! Jaga mulut busukmu! Sri Baginda, perempuan ini telah menghina hamba, berarti
merendahkan paduka. Berani ia berteriak-teriak di depan paduka. Tentu ia ini jahat sekali dan tentu dia
tokoh di utara yang menjadi mata-mata, teman baik pengkhianat Souw Thian Liong.”
Kaisar Sung Kao Tsu mengerutkan alisnya. Sudah biasa dia mempercaya semua omongan perdana
menterinya, dan diapun merasa agak tersinggung dan tidak senang melihat sikap Pek Hong yang begitu
berani seolah tidak perduli bahwa ia sedang berada di tengah persidangan dalam istana, bukan dalam
pasar atau di jalan umuml Akan tetapi kaisar itu juga terkejut mendengar ucapan gadis itu yang menuduh
Perdana Menteri Chin Kui bersekongkol dengan Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak terhadap Kaisar
Kin.
“Sri Baginda Yang Mulia, apakah paduka lebih percaya obrolan kosong gadis berlidah utara ini, mata-mata
Kin ini, daripada keterangan hamba yang selalu setia kepada paduka? Hamba bersumpah tidak pernah
berhubungan dengan pangeran manapun juga dari kerajaan Kin, apalagi dengan pemberontak. Untuk apa
hamba bersekutu dengan pemberontak? Apa keuntungan hamba? Harap paduka memberi hukuman
kepada perempuan yang menjatuhkan fitnah dan amat jahat ini, juga kepada Souw Thian Liong ini!”
Melihat kaisar bimbang, Panglima Kwee cepat berkata, “Mohon ampun Sri Baginda Yang Mulia. Kalau
memang kedua orang muda ini mempunyai niat jahat, untuk apa mereka berdua berani datang menghadap
paduka? Hamba yang bertanggung jawab. Harap paduka suka mempertimbangkan dan tidak tergesa gesa
menjatuhkan hukuman kepada orang-orang yang tidak berdosa. Kalau paduka masih meragukan
kebersihan Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong, hamba usulkan agar mereka berdua ini untuk sementara
ditahan dulu dalam penjara istana, kemudian paduka selidiki siapa yang bersalah dan siapa yang benar,
baru paduka menjatuhkan keputusan hukuman kepada yang bersalah. Harap paduka ampunkan hamba
yang berani mengajukan saran, akan tetapi semua ini hamba lakukan demi mempertahankan kebijaksanaan
dan keadilan paduka.”
Menteri Kebudayaan Pui yang tua itu mewakili teman-temannya yang kesemuanya masih berlutut bersama
Panglima Kwee segera berkata, “Hamba semua abdi paduka yang setia mendukung saran dari Kweeciangkun,
Yang Mulia.”
“Wah, kalian semua pengkhianat dan pemberontak! Berani sekali kalian bersikap kurang ajar kepada Sri
Baginda Yang Mulia? Sejak kapan pejabat-pejabat macam kalian boleh memberi perintah kepada Sri
Baginda Yang Mulia? Ini penghinaan namanya! Aku akan membasmi para pengkhianat dan pemberontak!
Para pengawal, tangkap mereka para pengkhianat ini!” Perdana Menteri Chin Kui berteriak-teriak dengan
marah sekali, kemarahan yang timbul dari rasa gelisah melihat betapa orang-orang itu berani hendak
membongkar rahasia dan kesalahannya di depan Sri Baginda Kaisar.
Sebagian dari para perajurit pengawal itu ada yang telah dipengaruhi Perdana Menteri Chin Kui dan
menerima sogokan, akan tetapi karena Kaisar tidak memberi tanda untuk bergerak menangkap, tentu saja
mereka tidak berani bergerak, menanti tanda dari Kaisar.
“Hentikan semua perdebatan ini! Memusingkan kami saja!” kata Kaisar Sung Kao Tsu sambil mengerutkan
alisnya. “Pengawal, tangkap Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong ini dan tahan mereka dalam penjara!
Kami akan mengambil keputusan kelak!”
Empat orang pengawal memberi hormat, lalu mereka maju menghampiri Souw Thian Liong dan Sie Pek
Hong dan dengan tertib mereka berempat menyuruh kedua orang muda itu berdiri dan mengawal mereka
berdua keluar dari ruangan itu. Karena memang sebelumnya sudah direncanakan oleh Kwee-ciangkun,
maka Thian Liong dan Pek Hong tenang-tenang saja ketika dikawal menuju ke penjara istana yang terletak
di bagian belakang bangunan istana yang luas itu. Bahkan ketika meninggalkan ruangan itu, Pek Hong
cengingisan, senyum-senyum dan ketika melihat Perdana Menteri Chin Kui memandang kepadanya, ia
melotot dan menjulurkan lidahnya kepada perdana menteri itu. Chin Kui yang merasa diejek di depan para
dunia-kangouw.blogspot.com
pejabat tinggi, sukar sekali menahan kemarahannya dan dia mengamangkan tinjunya ke arah Pek Hong
yang dibalas oleh gadis ini dengan meruncingkan bibirnya ke arah Chin Kui.
Semua orang melihat hal ini dan diam diam mereka heran akan keberanian gadis itu. Hanya Kwee Gi, Han
Si Tiong, dan Liang Hong Yi saja yang tidak merasa heran karena mereka maklum bahwa gadis itu adalah
puteri Kaisar Kin, tentu saja tidak merasa rendah diri atau takut menghadap semua penghuni istana
termasuk kaisarnya sendiri!
Biarpun belum ada keputusan hukuman Kaisar, namun hati Chin Kui sudah merasa lega bahwa dua orang
itu telah ditahan dalam penjara. Untuk sementara dia aman dan bukan merupakan pekerjaan sukar baginya
untuk membunuh dua orang muda berbahaya itu setelah mereka berada dalam penjara.
Kini Kaisar Sung Kao Tsu memandang kepada Han Si Tiong dan Liang Hong Yi, lalu bertanya. “Kalian
suami isteri yang dulu menjadi pimpinan Pasukan Halilintar, kami ingat bahwa setelah perang berhenti,
kalian mengundurkan diri dari jabatan. Sekarang apa kehendak kalian, berani ikut Kwee-ciangkun
menghadap dalam persidangan ini tanpa kami panggil?”
“Ampunkan hamba berdua, Sri Baginda Yang Mulia. Duabelas tahun yang lalu, hamba berdua
mengundurkan diri karena hamba berdua hendak mencari puteri hamba yang diculik orang. Kemudian,
karena merasa rindu kepada para sahabat hamba di kota raja, hamba berdua kembali ke sini untuk
berkunjung kepada para sahabat, terutama kepada Kwee-ciangkun yang sudah hamba anggap sebagai
saudara sendiri. Akan tetapi dalam perjalanan, tiba-tiba saja hamba berdua diserang hendak dibunuh oleh
tiga orang jagoan yang diutus oleh Perdana Menteri Chin Kui. Hamba berdua tidak melakukan kesalahan
apapun terhadap dia, akan tetapi kemudian hamba mengetahui bahwa Perdana Menteri Chin Kui memang
hendak membasmi semua orang yang pernah berjuang membela negara di bawah pimpinan mendiang
Jenderal Gak Hui.”
“Bohong, itu fitnah! Sri Baginda, harap jangan percaya fitnah itu. Hei, orang she Han, apa buktinya bahwa
aku menyuruh orang untuk membunuh kalian? Mana buktinya? Hayo tunjukkan buktinya, jangan bicara
bohong dan menyebar fitnah!” bentak Chin Kui.
“Buktinya memang tidak ada, akan tetapi saksinya banyak. Pertama, saksinya adalah Souw Thian Liong
dan Sie Pek Hong tadi karena dua orang muda itulah yang menyelamatkan kami berdua dan membuat para
pembunuh melarikan diri. Kemudian, ada lagi saksinya, yaitu Kwee-ciangkun yang bertemu dengan tiga
orang pembunuh itu, yang bukan lain adalah Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo ko, jagoan-jagoan yang
engkau kirim untuk membunuh kami!” kata Liang Hong Yi dengan berani.
“Bohong! Semua saksi itu adalah komplotan kalian yang sengaja mengatur muslihat untuk menjatuhkan
aku! Sri Baginda Yang Mulia, Han Si Tiong dan isterinya ini adalah dua orang yang jahat sekali. Paduka
tentu sudah mendengar bahwa Jenderal Ciang Sun Bo dan puteranya, Ciang Ban, telah dibunuh orang.
Paduka tahu siapa yang membunuh mereka? Bukan lain pembunuhnya adalah seorang gadis bernama Han
Bi Lan, puteri dari suami isteri jahat ini!”
Kaisar Sung Kao Tsu terkejut juga mendengar ucapan Perdana Menteri Chin Kui ini. Dia memandang
kepada suami isteri itu dan bertanya, “Han Si Tiong, benarkah puterimu membunuh Jenderal Ciang dan
puteranya?”
“Benar, Yang Mulia. Jenderal Ciang dan puteranya menipu puteri hamba. Mereka menjamu dan meracuni
puteri hamba, maka puteri hamba lalu membunuh mereka yang jahat itu,” jawab Han Si Tiong dengan
tenang.
“Nah, laporan hamba benar, Sri Baginda. Kalau puterinya pembunuh kejam, orang tuanya tentu bukan
orang baik baik dan mereka berdua ini harus dihukum!” teriak Perdana Menteri Chin Kui.
Kaisar Sung Kao Tsu benar-benar menjadi bingung dan pusing. Baru sekali ini dalam persidangan terjadi
perbantahan dan percekcokan saling tuduh seperti itu.
“Ampun, Sri Baginda Yang Mulia. Hamba menjadi penanggung jawab akan kebenaran keterangan Han Si
Tiong. Mendiang Jenderal Ciang Sun Bo adalah anak buah Perdana Menteri Chin Kui, maka dia hendak
mencelakai puteri Han Si Tiong itu. Mohon kebijaksanaan paduka untuk menyelidiki kebenaran laporan
hamba ini,” kata Panglima Kwee dan sepuluh orang pejabat tinggi itupun mengeluarkan pendapat mereka
melalui Menteri Kebudayaan Pui.
“Hamba semua mendukung kebenaran laporan Panglima Kwee Gi!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kaisar dengan pusing mengangkat tangan sebagai isyarat bahwa semua orang harus diam, kemudian dia
berkata. “Kami akan menyelidiki siapa yang bersalah dan siapa yang benar dalam hal ini. Untuk sementara,
Han Si Tiong dan isterinya ditahan seperti dua orang muda tadi. Pengawal, tahan Han Si Tiong dan Liang
Hong Yi ke dalam penjara, pisahkan dari dua orang muda tadi!”
Empat orang pengawal maju dan suami isteri itu lalu digiring keluar dari ruangan itu menuju ke penjara
istana. Setelah Han Si Tiong dan Liang Hong Yi dibawa pergi para pengawal, mulailah para pejabat tinggi,
dipimpin oleh Panglima Kwee Gi, berganti-ganti dan bersambungan, membuat pelaporan kepada Sri
Baginda. Semua memberi laporan yang membongkar keburukan Perdana Menteri Chin Kui, ada yang
melaporkan tentang penindasan Chin Kui dan kaki tangannya terhadap rakyat jelata dengan tindakan yang
sewenang-wenang, pemerasan melalui pajak yang berlebihan, sogok menyogok, dan berbagai korupsi.
Semua laporan itu membongkar kenyataan yang sangat jauh bedanya dengan laporan Chin Kui kepada
Kaisar yang selalu baik-baik saja. Kwee-ciangkun sendiri melaporkan betapa kehidupan Chin Kui amat
berlebihan, istananya bahkan lebih mewah daripada istana kaisar sendiri, kekayaannya amat besar dan
semua itu adalah hasil korupsi dan pemerasan terhadap rakyat.
Tentu saja Perdana Menteri Chin Kui dengan kemarahan meluap-luap berteriak-teriak menyangkal semua
tuduhan itu.
“Sri Baginda Yang Mulia. Mereka semua ini, Kwee Gi dan konco-konconya, adalah orang-orang yang tidak
senang dengan kekuasaan paduka sebagai raja! Mereka tidak berani terang-terangan menyerang paduka,
maka mereka alihkan kepada hamba yang merupakan abdi paling setia dari paduka. Mereka sengaja
menjatuhkan fitnah-fitnah keji untuk mengadu domba antara paduka dengan hamba, semua itu ditujukan
untuk melemahkan kedudukan paduka. Kalau muslihat mereka berhasil menjatuhkan hamba, barulah tiba
giliran paduka karena hamba sudah tidak ada lagi untuk membela paduka. Mereka ini jelas bermaksud
untuk memberontak dan menggulingkan kekuasaan paduka, Sri Baginda!” Setelah Perdana Menteri Chin
Kui berteriak demikian, para sekutunya juga mendukung dan membenarkannya.
Sebaliknya, Kwee-ciangkun dan sepuluh orang rekannya membantah. Terjadi perbantahan dan masingmasing
bahkan sudah menjadi panas dan hampir terjadi perkelahian di depan Kaisar!
Kaisar Sung Kao Tsu bangkit berdiri, memegangi kepala dengan kedua tangan dan membentak. “Semua
diam! Apakah kalian semua sudah tidak menganggap aku sebagai junjungan kalian lagi? Di dalam
persidangan, di depanku, kalian berani membikin ribut seperti dalam pasar!”
Semua pejabat lalu menjatuhkan diri berlutut dan hampir berbareng mulut mereka, baik pihak Perdana
Menteri Chin Kui dan sekutunya, maupun pihak Kwee-ciangkun dan rekan-rekannya, berseru memohon
ampun kepada Sri Baginda Kaisar.
“Sudah, aku sudah cukup pusing! Persidangan ditunda sampai satu minggu, baru aku akan mengambil
keputusan!”
Setelah berkata demikian, Kaisar Sung Kao Tsung dengan kasar lalu bangkit dan melangkah keluar dari
ruangan sidang itu, diikuti para thaikam dan pengawal pribadi. Agaknya kaisar memerintahkan dari sebelah
dalam kepada para perwira pengawal pribadi karena setelah kaisar pergi, tak lama kemudian semua
perajurit pengawal berkumpul di ruangan sidang itu, melakukan penjagaan kalau-kalau para pejabat tinggi
itu membuat ribut lagi.
Kwee-ciangkun dan sepuluh orang rekannya cepat meninggalkan istana, demikian pula Perdana Menteri
Chin Kui keluar bersama kelompoknya yang terdiri dari beberapa panglima dan menteri, berjumlah sekitar
lima belas orang. Para pejabat lainnya yang tidak memihak, akan tetapi sebagaian besar adalah pejabat
yang setia kepada kaisar, juga bubaran.
◄Y►
Kedua pihak yang bertentangan itu masing-masing berunding dengan kelompoknya. Pihak yang menentang
Chin Kui, dipimpin Kwee-ciangkun, segera membuat persiapan dengan pasukan mereka, berjaga-jaga kalau
pihak lawan menggunakan kekerasan. Adapun Chin Kui yang penasaran dan marah sekali, kemarahannya
yang timbul dari kekhawatiran, segera berunding pula dengan sekutunya. Mereka semua merasa terancam.
Kalau para penentang itu berhasil, berarti kedudukan mereka goyah dan penghasilan besar yang mengalir
masuk secara berlimpahan ke kantung mereka tentu saja akan berhenti atau terganggu. Tak seorangpun di
antara mereka rela kehilangan kedudukan mereka yang tinggi.
Kedudukan atau jabatan tinggi berarti kekuasaan, dan kekuasaan berarti melancarkan mengalirnya harta
yang memasuki kantung mereka. Kemuliaan, kemewahan, dan kekuasaan yang membuat mereka selalu
menang selalu benar itu menjadi sebab utama kemelekatan pinggul mereka kepada kursi kedudukan
dunia-kangouw.blogspot.com
sehingga mereka akan mempertahankan kursi kedudukan itu dengan cara apapun juga, kalau perlu dengan
kekerasan, bahkan dengan taruhan nyawa sekalipun!
Setelah berunding semalam suntuk, Chin Kui mengumpulkan saran-saran dari para sekutunya, kemudian
dia mengambil keputusan dengan suara tegas.
“Kita semua mengetahui bahwa kedudukan kita terancam bahaya dengan adanya tuduhan dari Souw Thian
Liong dan Sie Pek Hong, juga dari Han Si Tiong dan isterinya. Celakalah kita kalau sampai Kaisar
mendapat bukti akan keterlibatan kita dengan pemberontakan di Kerajaan Kin. Semua ini karena
keteledoran Cia Song sehingga mereka sampai mengetahui bahwa aku mengirim Cia Song ke utara.
Karena itu, jalan satu satunya untuk menyelamatkan diri adalah membunuh empat orang tahanan itu.
Setelah mereka berada dalam tahanan, tidak begitu sukar untuk membunuh mereka. Dan engkau, Cia
Song, engkau harus menebus keteledoranmu di utara itu. Engkau yang harus melakukan pembunuhan
terhadap mereka berempat. Engkau boleh membawa bantuan dan jangan sampai tugas itu gagal!”
Cia Song yang memang telah merasa betapa dia yang menyebabkan perdana menteri itu diketahui
mengadakan persekutuan dengan Pangeran Hiu Kit Bong yang mengadakan pemberontakan di Kerajaan
Kin, hanya dapat mengangguk menyanggupi.
“Akan tetapi apa artinya kalau hanya membunuh empat orang itu saja? Tentu Kaisar sudah kehilangan
kepercayaan kepada anda, Chin-taijin (pembesar Chin)!” kata seorang panglima yang bertubuh tinggi besar
bermuka hitam.
“Anda benar, Lo-ciangkun. Sebagaimana diusulkan oleh beberapa orang saudara tadi, sekali ini kita tidak
boleh bekerja kepalang tanggung. Selain menugaskan Cia Song untuk membunuh empat orang tahanan
yang berbahaya bagiku itu, kita juga harus pada malam itu juga membunuh kaisar. Kalau usaha itu berhasil
baik, kita harus menggunakan pasukan yang telah dipersiapkan untuk menyerbu dan menduduki istana.
Kalau kaisar sudah tewas, tentu mereka itu tidak dapat berbuat apa-apa. Akan tetapi kalau usaha
membunuh kaisar gagal kita harus bersabar, tidak boleh menyerbu istana dan mencari jalan dan
kesempatan lain yang lebih menguntungkan. Bagaimanapun juga, kurasa kaisar masih menaruh
kepercayaan kepadaku karena semua yang dituduhkan gerombolan pengacau itu belum dapat dibuktikan.”
21.2 Upaya Pembunuhan Tahanan Istana
Setelah berunding dengan matang, para pemberontak ini bubaran untuk mempersiapkan diri dengan tugas
masing masing. Cia Song juga membuat persiapan. Karena dia ketahuan sebagai penghubung Chin Kui
dengan pemberontak di Kerajaan Kin dan perdana menteri itu menyangkal, maka dia tidak boleh
memperlihatkan diri kepada umum dan diharuskan bersembunyi di dalam ruangan rahasia dalam istana
Perdana Menteri Chin Kui.
Cia Song mengajak empat orang kaki tangan Chin Kui yang telah diselundupkan dan menjadi perajurit
dalam pasukan pengawal istana untuk menemaninya melaksanakan tugas pembunuhan terhadap empat
orang tahanan itu. Dia tidak mau mengajak jagoan-jagoan yang berada di rumah Chin Kui karena
kemungkinan ketahuan lebih besar. Kalau mengajak empat orang itu, tentu akan mudah menyusup ke
dalam penjara istana dan dia dapat menyamar sebagai seorang dari mereka.
Sementara itu, Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko yang ditugaskan untuk melakukan pembunuhan terhadap
kaisar! Tiga orang ini memang merupakan jagoan jagoan kepercayaan Chin Kui dan ilmu kepandaian
mereka cukup tinggi sehingga perdana menteri itu menganggap bahwa mereka cukup kuat untuk
melakukan tugas itu dengan berhasil baik.
Perdana Menteri Chin Kui adalah seorang yang licik dan cerdik sekali. Dia selalu mendahulukan
kepentingan dan keselamatan dirinya sendiri. Oleh karena itu, dalam setiap tugas yang diberikan kepada
kaki tangannya, dia selalu menjaga agar kalau tugas itu gagal, jangan sampai namanya tersangkut. Oleh
karena itu, ketika memberi tugas kepada Cia Song untuk membunuh empat orang tawanan di dalam
penjara istana, juga memberi tugas kepada Hwa Hwa Cin-jin dan kedua Siang Mo-ko untuk membunuh
kaisar dalam istana, diam-diam dia menugaskan orang-orangnya yang telah ditanam di istana sebagai
pengawal-pengawal, untuk membayangi mereka yang bertugas itu.
Dua orang diharuskan membayangi Cia Song dan dua orang pula membayangi Hwa Hwa Cin-jin dan Siang
Mo-ko dengan pesan bahwa kalau sampai para petugas itu gagal dan tidak mampu lolos dari dalam istana,
maka para petugas itu harus dibunuhnya. Tidak boleh sekali-sekali ada yang tertangkap sehingga akan
mengaku bahwa mereka disuruh oleh Chin Kui!
dunia-kangouw.blogspot.com
Malam kedua setelah persidangan dalam istana yang kacau dan penuh perdebatan dan percekcokan
sehingga membuat kaisar menjadi pusing dan marah itu adalah malam yang sepi, gelap dan dingin. Hujan
baru saja berhenti setelah turun lebat sejak sore. Di luar rumah basah semua dan udara menjadi bersih
namun dingin bukan main sehingga orang orang segan keluar rumah dan membuat malam itu terasa sepi.
Dalam cuaca seperti itu, yang paling nyaman adalah tidur.
Di kompleks bangunan istana juga tampak sepi. Para penjaga yang merupakan pengawal istana bagian luar
berjaga di gardu masing-masing dan agak malas melakukan perondaan di malam yang dingin itu. Pula,
selama ini tidak pernah terjadi sesuatu di istana. Tidak mungkin ada pencuri berani memasuki kompleks
istana yang terjaga oleh tiga lapis pasukan. Pertama, pasukan pengawal luar istana, lalu ada pasukan
pengawal dalam istana dan pasukan pengawal keluarga kaisar. Masih ada lagi pasukan pengawal bagian
keluarga wanita istana dan para perajurit di sini adalah para thai-kam (sida-sida, kebiri).
Cia Song yang menyamar, berpakaian sebagai perajurit pengawal bagian dalam, bersama empat orang
perajurit pengawal yang menjadi kaki tangan Chin Kui, berhasil masuk dengan mudah. Dia lalu bersama
empat perajurit itu melakukan perondaan.
Sementara itu, Hwa Hwa Cin-jin dan Siang Mo-ko, yaitu Bu-tek Mo-ko dan Bu-eng Mo-ko, masuk secara
menggelap. Mereka sudah mendapat keterangan lengkap tentang jalan masuk ke taman istana melalui
pintu kecil di bagian belakang, setelah mereka dapat melewati pintu gerbang benteng istana yang dijaga
oleh para perajurit kaki tangan Chin Kui yang memang dipersiapkan malam itu bertugas jaga di situ.
Malam yang gelap dan sunyi amat membantu calon-calon pembunuh itu. Dengan mudah mereka dapat
mendekati sasaran masing-masing. Dengan jalan meronda, Cia Song dan empat orang perajurit pengawal
itu akhirnya mengambil jalan menuju ke belakang di mana terdapat sebuah bangunan yang menjadi tempat
tahanan istana yang penting.
Tepat seperti yang dikatakan Panglima Kwee, empat orang yang ditahan di penjara istana itu mendapat
perlakuan baik sekali dari kepala penjara itu yang mendukung perjuangan Panglima Kwee dan rekanrekannya
dalam menentang Perdana Menteri Chin Kui. Kepada anak buahnya kepala penjara itu
memperingatkan.
“Para tahanan ini adalah orang-orang gagah, pendekar-pendekar dan mereka hanya ditahan selama urusan
mereka masih dipertimbangkan oleh Sri Baginda Kaisar. Mereka belum dinyatakan bersalah, belum
dihukum. Maka kalau kalian memperlakukan mereka berempat secara kasar, aku tidak akan mengampuni
kalian karena tentu Sri Baginda akan menyalahkan aku. Aku yang bertanggung jawab di sini. Mengerti?”
Tentu saja para anak buahnya takut untuk membantah. Bagaimanapun juga, ucapan kepala penjara itu
benar. Oleh karena itu, Han Si Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian Liong, dan Sie Pek Hong diperlakukan
dengan baik. Memang, kamar tahanan mereka itu kokoh sekali, terbuat dari baja tebal dengan jeruji yang
kokoh dan tidak mungkin dipatahkan begitu saja. Akan tetapi mereka diperlakukan dengan baik, tidak ada
yang berani mengejek atau menghina dan mereka tidak kekurangan makanan dan minuman.
Thian Liong dan Pek Hong berada dalam satu kamar tahanan dan Han Si Tiong berdua dengan isterinya.
Thian Liong merasa rikuh juga berada dalam satu kamar dengan Pek Hong. Akan tetapi gadis itu bersikap
biasa. Juga dalam setiap kamar terdapat dua bangku batu sebagai tempat tidur dan setiap kamar dilengkapi
dengan kamar mandi dan kakus lengkap. Biarpun para penjaga bersikap baik, namun para tahanan itu tetap
waspada dan di waktu malam, tidur merekapun tidak pulas benar. Sedikit suara saja cukup membangunkan
mereka.
Pada malam kedua yang sepi dan dingin itu, Thian Liong duduk di atas pembaringan batu, bersila dan
menenangkan hati dan pikiran, mengumpulkan hawa murni agar dia dapat selalu siap menghadapi segala
kemungkinan, baik ataupun buruk. Tiba-tiba dia mendengar Pek Hong bersenandung. Lirih saja, akan tetapi
suaranya merdu dan lagunya terdengar asing, akan tetapi indah. Thian Liong membuka mata dan
memandang.
Gadis itu duduk di atas pembaringan batunya yang berada di dekat dinding seberang, kedua kakinya
digantung dan wajahnya tampak tenang saja. Diam-diam dia merasa kagum. Gadis ini memang luar biasa.
Menjadi tahanan, dikeram dalam kamar penjara, sama sekali tidak tampak sedih atau khawatir, malah
bersenandung, seperti orang yang sedang santai dan gembira. Padahal, ia itu seorang puteri yang biasa
hidup di dalam istana yang indah dan mewah! Akan tetapi, Thian Liong segera teringat bahwa Puteri
Moguhai ini juga Pek Hong Nio-cu, seorang pendekar wanita yang tentu saja biasa merantau dan hidup
dalam keadaan seadanya, bahkan tentu pernah kekurangan makan dan tidur di mana saja, mungkin di
dalam hutan. Maka hilanglah rasa herannya walaupun dia tetap saja masih merasa kagum.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hong-moi kenapa engkau begini gembira?” tanya Thian Liong.
Gadis itu memandang kepadanya dengan senyum manis sekali. “Habis, apakah engkau lebih suka melihat
aku menangis, Liong-ko?”
Mau tak mau Thian Liong tersenyum juga. 'Tentu saja tidak, Hong-moi. Akan tetapi aku merasa kagum akan
ketenanganmu, dalam keadaan terancam begini engkau masih dapat bersenandung dan tersenyum!”
“Karena aku yakin bahwa keadaan ini pasti tidak akan selamanya dan hanya sementara saja.”
“Engkau yakin bahwa perjuangan Paman Kwee dan rekan-rekannya akan berhasil? Kulihat Chin Kui itu
benar-benar telah mempengaruhi Kaisar.”
“Aku percaya kepada Paman Kwee, akan tetapi bukan kepadanya dan para rekannya saja. Akupun yakin
bahwa ayahku tidak akan diam saja membiarkan aku terancam bahaya, Liong-ko.”
“Eh? maksudmu?”
“Ayah percaya akan kemampuanku, akan tetapi dia juga amat sayang kepadaku. Mengingat bahwa aku
pergi ke selatan, ke wilayah Kerajaan Sung, aku yakin bahwa ayah tentu tidak akan melepaskan aku begitu
saja dan diam-diam tentu mengirim orang-orang untuk mengawasi dan menjagaku sehingga kalau aku
mendapatkan kesulitan mereka akan dapat menolongku.”
“Hemm, kau pikir begitukah, Hong moi?”
“Bukan itu saja Liong-ko. Kau ingat ketika kita terancam bahaya sewaktu kita tertawan kaki tangan
pemberontak di utara itu? Paman Sie menolong kita......”
“Maksudmu, suhu Tiong Lee Cin-jin?”
“Bukan, maksudku Paman Sie, sahabat ibuku dan juga guruku! Aku yakin dia tidak akan membiarkan aku
celaka.”
Ucapan itu dikeluarkan dengan suara demikian penuh keyakinan sehingga Thian Liong terpengaruh dan
percaya juga. Diapun percaya bahwa gurunya adalah seorang sakti yang dapat melakukan hal hal yang luar
biasa. Dia tidak mau berdebat dengan Pek Hong tentang siapa penolong mereka dahulu itu, apakah
gurunya Tiong Lee Cin-jin ataukah paman gadis itu yang disebut Paman Sie, ataukah keduanya itu memang
sama orangnya. Maka, diapun diam saja tidak mau membantah dan keduanya kini duduk diam, seolah
tenggelam ke dalam lamunan masing-masing. Karena keduanya diam, maka terasa sunyi sekali.
Hawa dingin menembus dinding tebal dan menyusup ke dalam kamar tahanan itu. Thian Liong memandang
gadis itu. Gadis yang begitu cantik jelita, begitu lihai dan juga gagah perkasa dan pemberani, seorang puteri
kaisar lagi! Dan sekarang, gadis itu meringkuk dalam kamar tahanan duduk di tempat tidur batu yang dingin!
Semua ini karena gadis itu hendak membantunya untuk membela Kerajaan Sung menentang Chin Kui!
“Hong-moi, maafkan aku. Aku menyesal sekali, Hong-moi.” Setelah menghela napas berulang-ulang, Thian
Liong berkata lirih.
Gadis yang tadinya menundukkan mukanya itu, kini mengangkat muka memandang. “Apa maksudmu,
Liong-ko? Maaf? Menyesal?”
“Ya, aku merasa menyesal sekali dan minta maaf padamu karena sekarang engkau menderita dan
terancam bahaya hanya karena aku! Kalau engkau tidak ikut dan membantuku, tentu engkau sekarang
berada di kamarmu sendiri, di istana ayahmu yang indah.”
Sepasang alis hitam melengkung itu berkerut. Sepasang mata bintang itu bersinar marah. “Liong-ko,
apakah dahulu ketika engkau membantu aku menghadapi pemberontak di utara lalu kita tertawan dan
terancam maut, aku juga minta maaf dan menyatakan menyesal karena engkau membantuku? Kalau begitu
engkau merasa menyesal bahwa aku membantumu, berarti engkau menyesal pula dahulu pernah
membantu aku!”
“Wah, sama sekali tidak, Hong-moi! Bukan begitu maksudku......”
“Kalau tidak begitu, syukurlah dan jangan kita bicarakan lagi hal itu!” Pek Hong lalu memutar duduknya,
menghadap ke arah pintu baja di mana terdapat jeruji baja yang kokoh dan mereka dapat memandang
keluar pintu melalui celah celah jeruji.
Thian Liong tahu bahwa gadis itu marah. Diapun tidak berani lagi bicara dan merasa bahwa memang dia
dunia-kangouw.blogspot.com
tadi telah salah omong. Semestinya, penyesalan itu untuk diri sendiri saja, disimpan di hati tidak dikeluarkan
melalui omongan. Diapun memandang ke luar pintu.
Malam makin larut. Penjara istana itu dijaga ketat oleh lima orang secara bergiliran. Lima orang penjaga
yang baru saja mendapat giliran menggantikan lima orang perajurit yang berjaga sejak sore tadi, masih
tampak segar dan belum mengantuk. Melakukan tugas jaga di penjara itu, di waktu penjara ada
penghuninya, bukan merupakan pekerjaan berat.
Penjara itu kokoh kuat. Orang yang ditahan dalam ruangan penjara itu tidak mungkin dapat membobol pintu
untuk melarikan diri. Juga teramat sukar bagi orang luar untuk dapat memasuki penjara ini guna
membebaskan mereka yang ditahan. Penjagaan dari pintu gerbang benteng istana sampai ke penjara itu
melalui penjagaan yang berlapis-lapis. Maka, lima orang perajurit pengawal yang melakukan penjagaan
inipun santai saja. Selama ini belum pernah terjadi ada tahanan dapat kabur meloloskan diri.
Apalagi sekarang penjara itu hampir kosong, hanya terdapat dua pasang tahanan. Itupun, menurut kepala
penjara, bukan merupakan orang tahanan berbahaya dan harus diperlakukan dengan sikap baik. Jadi, lima
orang itupun tidak mengkhawatirkan sesuatu. Empat orang dari mereka segera asyik bermain kartu,
sedangkan yang seorang duduk melakukan penjagaan kalau-kalau ada atasan mereka melakukan
pemeriksaan, agar dia dapat memperingatkan kawan-kawan yang sedang bermain kartu.
Cia Song dan empat orang perajurit pengawal itu berjalan dengan tenang menghampiri tempat penjagaan di
depan bangunan penjara. Perajurit yang melakukan penjagaan segera berbisik ke arah teman-teman yang
sedang berjudi.
“Ssstt...... ada yang datang!”
Empat orang itu segera menyembunyikan kartu dan mereka duduk seolah sedang melakukan penjagaan
ketat. Ketika perajurit yang menjadi kepala regu melihat bahwa yang datang adalah lima orang perajurit
pengawal, dia bertanya heran.
“He, kawan-kawan! Kami baru saja datang dan belum waktunya diganti!”
Cia Song yang berpakaian sebagai seorang perajurit pengawal mendekati kepala regu dan berkata dengan
ramah, “Kami hanya ditugaskan untuk melihat apakah keadaan di sini baik-baik dan aman saja.”
Empat orang perajurit pengawal yang menemani Cia Song, seperti telah diatur sebelumnya, juga mendekati
para penjaga itu dengan ramah bersahabat.
Lima orang penjaga itupun tidak merasa curiga dan mereka menjadi lengah. Tiba-tiba Cia Song
menggerakkan kedua tangannya dengan cepat sekali. Berturut turut dia menotok roboh tiga orang penjaga
tanpa mereka sempat berteriak karena mereka bertiga telah terkena totokan ampuh sehingga mereka roboh
dalam keadaan pingsan. Dua orang penjaga lainnya terkejut bukan main. Saking kagetnya, mereka tidak
mampu mengeluarkan suara dan pada saat itu, empat batang golok menyambar dan merekapun roboh
mandi darah, tewas tanpa sempat berteriak.
Empat orang perajurit itu lalu mengayun golok mereka, membunuh tiga orang perajurit penjaga yang tadi
roboh tertotok oleh Cia Song. Setelah yakin bahwa lima orang penjaga itu tewas, Cia Song lalu memasuki
lorong di luar kamar-kamar tahanan, diikuti oleh empat orang perajurit pengawal yang telah mengeluarkan
gendewa dan kantung penuh anak panah berukuran kecil.
Semua ini memang telah dipersiapkan dengan baik oleh Cia Song. Dia tahu betapa lihai Souw Thian Liong
dan Pek Hong Nio-cu. Dari keterangan Perdana Menteri Chin Kui bahwa Souw Thian Liong ditemani
seorang gadis cantik yang bicaranya seperti orang utara, dia seorang yang dapat menduga bahwa gadis itu
tentulah Puteri Kerajaan Kin yang juga mempunyai kepandaian tinggi dalam ilmu silat itu.
Dia sekali ini tidak mau gagal lagi, maka dia telah mempersiapkan diri dengan baik. Dia maklum biarpun dua
orang itu telah berada dalam sebuah kamar tahanan yang kokoh dan tidak akan mampu keluar, namun
membunuh mereka bukan merupakan hal yang mudah. Karena itu, tahu bahwa empat orang perajurit yang
menemaninya itu pandai mempergunakan senjata panah, dia lalu membekali mereka dengan gendewa kecil
dan anak panah yang mengandung racun yang amat kuat.
Kalau dua orang yang berada dalam ruangan itu di¬ berondong anak panah oleh empat orang perajurit dan
diapun membantu menyerang dari luar, mustahil bagi Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu untuk dapat
menyelamatkan diri! Dia sudah memperhitungkannya dengan matang. Dia menduga bahwa dua orang itu
pasti tidak membawa senjata untuk melindungi diri mereka dari hujan anak panah dan di dalam kamar
penjara itupun tidak terdapat sesuatu yang dapat dijadikan perisai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi dia sudah memperhitungkan bahwa Souw Thian Liong sendiri tidak
akan dapat mengelak terus. Tidak mungkin menghindarkan diri dari serbuan anak-anak panah dan
sebatang saja mengenai tubuhnya, cukup untuk membunuhnya.
Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong yang kebetulan sedang menghadap dan memandang ke arah pintu
yang berjeruji, melihat munculnya lima orang yang berpakaian perajurit itu di depan pintu. Tadinya mereka
mengira bahwa mereka adalah para penjaga yang melakukan perondaan, akan tetapi ketika mereka melihat
Cia Song, keduanya terkejut bukan main.
“Ha-ha-ha!” Cia Song tertawa. “Bersiaplah kalian untuk mampus!”
“Jahanam busuk kau!” Pek Hong memaki.
Akan tetapi Cia Song sudah memberi isyarat kepada empat orang yang memang sudah mempersiapkan
anak panah mereka. Begitu mereka berempat bergerak, sinar-sinar hitam meluncur masuk ke dalam
ruangan tahanan itu dan menyambar ke arah tubuh Thian Liong dan Pek Hong yang masih duduk di atas
pembaringan batu masing-masing. Dua orang muda ini cepat melompat dan mengelak. Akan tetapi empat
orang perajurit yang memang sudah tahu akan kelebihan dua orang yang harus mereka bunuh, melepas
lagi anak panah secara bertubi-tubi. Thian Liong dan Pek Hong tidak dapat berbuat lain untuk
menghindarkan diri kecuali dengan mengelak.
Mereka berloncatan ke sana-sini dengan cekatan sekali. Dari bau anak panah hitam itu keduanya maklum
bahwa anak panah itu beracun, maka tentu saja mereka tidak ingin terluka oleh senjata kecil beracun itu.
Melihat betapa dua orang itu dapat mengelak, Cia Song berseru.
“Arahkan kepada seorang saja!”
Empat orang perajurit itu mengerti. Kalau mereka berempat hanya menyerang seorang saja, maka akan
sukar sekali, bahkan tidak mungkin orang itu akan mampu menghindarkan diri dari hujan anak panah
mereka berempat.
Akan tetapi sebelum penyerangan kepada seorang saja ini dilakukan, tiba tiba ada angin menyambar dari
kanan. Angin itu demikian dahsyatnya sehingga empat orang perajurit itu tidak dapat bertahan dan mereka
roboh bergulingan.
Cia Song sendiri juga terkejut, cepat menengok ke kanan dan melihat betapa ada seorang laki-laki
mendorongkan tangan kirinya ke arah para perajurit itu.
Dia cepat mengerahkan tenaga sin-kang dan menggunakan kedua tangan untuk mendorong ke arah orang
itu untuk menyambut pukulannya dan membuat orang itu roboh.
“Wuuuttt...... blarrr......!” Dua tenaga sinkang bertemu dan akibatnya, tubuh Cia Song terpental seperti daun
kering tertiup angin dan dia harus berjungkir balik sampai lima kali agar tidak sampai terbanting jatuh. Cia
Song terkejut bukan main. Celaka, pikirnya, orang ini memiliki tenaga sin-kang yang luar biasa, jauh lebih
kuat daripada tenaganya sendiri.
Dia melihat orang itu berkelebat seperti bayang-bayang saja cepatya, menghampiri empat orang perajurit
yang roboh dan yang kini sedang merangkak bangun. Cepat sekali bayangan itu bergerak di antara mereka
dan empat orang perajurit itu tertotok dan roboh terkulai, tak mampu bergerak lagi.
“Suhu......!” Thian Liong berseru.
“Paman Sie......!” Pek Hong Nio-cu juga berseru.
Cia Song terkejut setengah mati mendengar Thian Liong menyebut suhu kepada orang itu. Jadi inikah tokoh
besar bernama Tiong Lee Cin-jin yang terkenal sebagai seorang manusia setengah dewa yang dijuluki Yoksian
(Dewa Obat) itu? Pantas dia memiliki tenaga sakti sehebat itu. Cia Song menjadi ketakutan dan dia
segera melompat dan melarikan diri.
Bayangan yang ternyata seorang laki laki berpakaian kuning berusia sekitar enampuluh dua tahun itu
segera membuka pintu tahanan dengan sebuah kunci yang agaknya tadi dia ambil dari gardu penjaga
penjara. Daun pintu kamar tahanan itu terbuka dan Pek Hong Nio-cu melompat keluar dan berseru
penasaran.
“Mari kita kejar jahanam itu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
21.3 Penyelamatan Kaisar Sung
Begitu keluar dari kamar tahanan, Thian Liong segera menjatuhkan diri di depan kaki Tiong Lee Cin-jin.
“Jangan kejar! Yang terpenting sekarang, cepat kalian ikut aku menyelamatkan kaisar!” kata Tiong Lee Cinjin
dan dia sudah berkelebat dan berlari keluar dari rumah penjara, diikuti oleh Thian Liong dan Pek Hong
Nio-cu.
Sebentar saja mereka sudah memasuki istana dan mendengar suara ribut ribut orang-orang berkelahi di
ruangan sebelah dalam. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu cepat berlari masuk dan setelah tiba di ruangan
dalam yang menjadi ruangan keluarga kaisar, mereka melihat terjadi perkelahian seru di tempat itu. Tiga
orang mengamuk, dilawan oleh belasan orang perajurit pengawal pribadi kaisar.
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu segera mengenal tiga orang itu yang bukan lain adalah Hwa Hwa Cin-jin,
Bu tek Mo-ko Teng Sui dan Bu-eng Mo-ko Gui Kong atau yang dikenal sebagai Siang Mo-ko (Sepasang
Iblis). Tiga orang ini mengamuk dan sudah merobohkan beberapa orang perajurit pengawal dan sisanya
sudah terdesak hebat. Di sudut ruangan itu tampak kaisar berdiri dengan muka pucat dan agaknya tidak
ada jalan keluar lagi bagi kaisar yang hanya mengandalkan para perajurit pengawal untuk melindungi
dirinya.
Karena sisa perajurit pengawal sudah terdesak dan semakin mundur ke arah kaisar yang berdiri di sudut,
keadaan gawat sekali bagi keselamatan kaisar.
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu cepat mengambil pedang para perajurit yang tewas, lalu mereka berdua
menyerbu ke depan dengan pedang mereka.
Tiga orang yang mengamuk dan yang bertugas membunuh kaisar itu terkejut bukan main ketika melihat
Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu menyerang mereka.
Menurut keterangan Perdana Menteri Chin Kui, dua orang itu telah ditahan dalam penjara. Kenapa kini tibatiba
muncul di situ? Hwa Hwa Cin-jin yang merasa jerih terhadap Thian Liong, segera mendahului dan maju
menyerang dengan pedangnya sambil mencari kesempatan untuk dapat melarikan diri. Akan tetapi Thian
Liong sudah memutar pedang dan menutup semua jalan keluar. Sinar pedangnya bergulung-gulung
menghadang semua jalan keluar dan Hwa Hwa Cin-jin tidak dapat berbuat lain kecuali melawan matimatian.
Pek Hong Nio-cu yang marah melihat tiga orang itu mengancam keselamatan nyawa kaisar, segera
menerjang dan menyerang Bu-tek Mo-ko (lblis Tanpa Tanding) Teng Sui yang tinggi kurus dan yang
mengamuk dengan pedangnya. Melihat pedang menyambar cepat dan kuat, Bu-tek Mo-ko terkejut dan
menangkis.
“Tranggg......!” Bunga api berpijar dan orang pertama dari Siang Mo-ko itu terhuyung ke belakang. Dia
terkejut dan gentar, akan tetapi Pek Hong Nio-cu sudah menerjang dan mendesak dengan pedangnya.
Orang kedua dari Siang Mo-ko, yaitu Bu-eng Mo-ko (Iblis Tanpa Bayangan), tidak dapat membantu kedua
orang rekannya karena dia sendiri kini dikeroyok para perajurit pengawal yang masih bersisa sembilan
orang itu. Tadi, ketika mereka bertiga menghadapi para perajurit pengawal, mereka bertiga menang di atas
angin dan selain merobohkan enam orang perajurit pengawal, mereka juga mendesak sembilan orang
perajurit yang lain. Akan tetapi kini Bu-eng Mo-ko harus menghadapi sembilan orang perajurit itu seorang
diri saja, maka diapun terdesak hebat.
Pek Hong Nio-cu mengerahkan seluruh kepandaiannya. Gerakannya cepat sekali dan juga tenaga saktinya
masih lebih kuat dibandingkan Bu-tek Mo-ko Teng Sui sehingga Iblis Tanpa Tanding ini terus mundur dan
hanya mampu menangkis saja. Setiap kali menangkis, dia pasti terdorong dan terhuyung ke belakang. Dia
menjadi panik dan setelah mendapat kesempatan, dia melempar diri ke atas lantai dan melompat untuk
melarikan diri. Akan tetapi Pek Hong Nio-cu membentak.
“Hendak lari ke mana kamu? Makanlah pedang ini!” Ia melontarkan pedang itu yang meluncur bagaikan
sebatang anak panah menuju sasarannya, yaitu punggung lawan.
“Singgg...... cappp!!” Pedang itu tepat mengenai punggung Bu-tek Mo-ko Teng Sui, begitu kuatnya lontaran
itu sehingga pedang menancap di punggung dan menembus ke dada! Tubuh Bu-tek Mo ko terjungkal dan
dia tewas seketika.
Bu-eng Mo-ko juga mengalami nasib tidak lebih baik daripada rekannya. Dia sudah melawan mati-matian,
akan tetapi musuh terlalu banyak dan diapun semakin panik ketika rekannya roboh. Pada saat itu, sebatang
dunia-kangouw.blogspot.com
pedang membacok betisnya dan diapun mengaduh dan terpelanting roboh. Para perajurit itu menghujaninya
dengan pedang sehingga sebentar saja tubuh Bu-eng Mo-ko Gui Kong yang pendek gendut itu tercabikcabik
dan diapun tewas dalam keadaan mengerikan!
Hwa Hwa Cin-jin menjadi semakin panik melihat dua orang rekannya roboh dan tewas. Karena merasa tidak
mungkin dapat meloloskan diri lagi, dan tidak ingin tewas di tangan para perajurit yang tentu akan
mencabik-cabik tubuhnya, Hwa Hwa Cin-jin menggerakkan pedang di tangannya ke arah lehernya sendiri.
Diapun roboh mandi darah dengan leher hampir putus!
Melihat tiga orang pembunuh itu telah tewas, kaisar lalu menghampiri Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.
Dua orang muda ini memberi hormat dengan membungkuk.
“Kalian telah menyelamatkan kami. Kami tidak akan melupakan jasa kalian,” kata kaisar yang lalu
diungsikan ke ruangan lain oleh perajurit pengawal.
“Mari kita tangkap mereka yang hendak membunuh kita tadi untuk menjadi saksi!” kata Thian Liong kepada
Pek Hong Nio-cu, sambil mencari-cari dengan pandang matanya. Akan tetapi yang dicarinya, yaitu Tiong
Lee Cin-jin, sudah tidak tampak bayangannya lagi. Mereka berdua segera berlari, kembali ke penjara untuk
menangkap empat orang yang tadi membantu Cia Song menghujani mereka dengan anak panah dan
mereka dirobohkan oleh Tiong Lee Cin-jin. Akan tetapi ketika mereka tiba di sana, mereka melihat betapa
empat orang itu telah tewas terkena senjata rahasia pisau beracun yang menancap di tubuh mereka.
“Hemm, tentu mereka ini dibunuh agar tidak membuka mulut,“ kata Thian Liong dengan gemas.
Ternyata musuh amat licik. Mengirim empat orang pembunuh ini dan agaknya telah diikuti orang lain yang
bertugas membunuh mereka kalau pekerjaan itu gagal. Dengan demikian, tidak ada yang dapat menjadi
saksi untuk mengatakan siapa yang menyuruh mereka untuk membunuh tawanan. Juga sayang sekali, tiga
orang datuk yang berusaha membunuh kaisar juga sudah tewas sehingga dalang semua ini tetap dalam
gelap, tidak ada saksi yang dapat membongkar rahasianya.
“Ah, sayang sekali. Jahanam Cia Song dapat lolos dan tadi aku hendak menangkap Hwa Hwa Cin-jin, maka
aku sengaja tidak menurunkan serangan yang mematikan. Sayang sekali diapun membunuh diri, tentu agar
tidak dipaksa mengaku siapa dalangnya. Sungguh cerdik dan licik majikan mereka!” kata Thian Liong.
“Kalau tidak licik dan cerdik, tidak mungkin dapat menjadi perdana menteri sampai sekian lamanya dan
dapat mempengaruhi kaisar,” kata Pek Hong Nio-cu.
“Kaupikir yang menjadi dalang adalah Chin Kui?”
“Siapa lagi kalau bukan tikus busuk itu!” kata Pek Hong Nio-cu, gemas dan benci kepada Perdana Menteri
Chin Kui yang telah bersekongkol dengan pemberontakan yang terjadi di kerajaan ayahnya.
Pada saat itu, terdengar suara gedobrakan dan cepat mereka menengok. Ternyata ada tubuh seseorang
agaknya dilempar dari luar pintu penjara. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu cepat melompat dan mendekati
orang itu. Ternyata dia seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun, berpakaian serba hitam
dan dia dalam keadaan tertotok sehingga, tidak mampu bergerak. Di baju bagian dadanya terpasang
sehelai kertas yang ada tulisannya.
Thian Liong cepat mengambil surat itu dan membacanya bersama Pek Hong Nio-cu.
“Hui-to-kui (Setan Pisau Terbang) inilah yang membunuh empat orang itu.”
“Suhu......!” Thian Liong cepat melompat keluar penjara, akan tetapi tidak melihat bayangan gurunya yang
dia tahu pasti yang menangkap penjahat berjuluk Setan Pisau Terbang ini.
Dia kembali ke dalam dan mengambil kunci dari gardu penjaga, lalu menyeret orang berpakaian hitam itu
dan bersama Pek Hong Nio-cu mereka menghampiri kamar tahanan di mana Han Si Tiong dan isterinya
dikeram. Pek Hong Nio-cu membuka kunci pintu penjara itu dan Thian Liong menyeret tawanannya ke
dalam kamar penjara, melemparnya ke sudut kamar.
“Ah, Thian Liong, sejak tadi kami merasa tegang dan khawatir melihat orang-orang menghujankan anak
panah ke kamar tahanan kalian. Apakah yang terjadi? Dan siapa orang ini?” tanya Han Si Tiong sambil
menunjuk ke arah orang yang berjuluk Hui-to-kui itu.
Dengan singkat Thian Liong menceritakan tentang serangan kepada mereka berdua oleh Cia Song dan
empat orang temannya. Lalu betapa mereka ditolong gurunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suhu merobohkan mereka dan menyelamatkan kami, paman.”
“Yang menyelamatkan kami adalah Paman Sie,” kata Pek Hong Nio-cu.
“Siapakah Paman Sie itu, tuan puteri...... eh, nona Pek Hong?” tanya Liang Hong Yi yang hampir lupa
bahwa Puteri Kaisar Kin itu sedang menyamar sebagai gadis Han bernama Pek Hong.
“Dia adalah suhu Tiong Lee Cin-jin!” kata Thian Liong.
Pek Hong Nio-cu menoleh dan memandang kepada Thian Liong yang juga sedang memandang kepada
gadis itu. Dua pasang sinar mata bertemu dan bertaut, akan tetapi keduanya lalu tersenyum dan untuk
sementara mereka berdua menerima saja dulu bahwa Paman Sie adalah Tiong Lee Cin-jin, jadi yang
berulang menolong mereka itu adalah Paman Sie alias Tiong Lee Cin-jin!
“LaIu bagaimana?” tanya Han Si Tiong dan isterinya.
“Kami diberi tahu bahwa kaisar sedang terancam bahaya. Kami lari ke sana dan melihat kaisar diancam tiga
orang tokoh sesat, yaitu Hwa Hwa Cin jin dan Siang Mo-ko yang sedang mengamuk dilawan belasan orang
perajurit pengawal pribadi kaisar. Kami segera turun tangan dan berhasil membunuh tiga orang itu.”
“Ah, syukurlah, Sri Baginda selamat!” kata Han Si Tiong. “Akan tetapi siapakah yang mengirim para
pembunuh itu, yang hendak membunuh kalian berdua dan juga membunuh Sri Baginda?”
“Kami menduga bahwa dalangnya tentu Chin Kui, akan tetapi tidak ada bukti dan saksinya. Empat orang
anak buah Cia Song yang ditotok roboh, tahu-tahu dibunuh orang, demikian pula tiga orang tokoh yang
hendak membunuh kaisar telah tewas. Akan tetapi untung sekali, kembali suhu Tiong Lee Cin-jin...... atau
Paman Sie telah membantu kami, menangkap orang ini. Dia ini Hui-to-kui dan dialah yang membunuh
empat orang itu. Maka kami lalu membawanya ke sini agar paman berdua dapat menjaganya agar dia tidak
sampai lolos atau bunuh diri karena dia merupakan saksi yang penting sekali.”
Han Si Tiong mengangguk-angguk mengerti. “Baik, akan kami jaga baik-baik orang ini.”
Tiba-tiba seorang thai-kam (sida-sida) yang menjadi orang kepercayaan kaisar, seorang pelayan dalam,
datang dan menyampaikan perintah kaisar bahwa Souw Thian Liong dan Pek Hong malam itu juga
dipersilakan pindah ke sebuah kamar tamu di istana, dan besok pagi-pagi akan dijemput pelayan untuk
menghadap kaisar!
Thian Liong dan Pek Hong menghaturkan terima kasih dan Thian Liong memesan kepada Han Si Tiong dan
isterinya agar menjaga baik-baik tawanan itu. Suami isteri itu menerima tugas itu dengan gembira dan
mereka lalu mengikat kedua kaki tangan Hui-to-kui erat erat sehingga penjahat itu tidak mungkin dapat
meloloskan diri.
This Liong dan Pek Hong lalu mengikuti thai-kam itu. Mereka mendapatkan dua buah kamar yang
berdampingan dan tentu saja mereka dapat mengaso dan tidur dengan pulas dalam kamar yang indah
bersih itu.
Pada keesokan harinya, setelah mandi dan bertukar pakaian, yaitu pakaian yang oleh utusan kaisar diambil
dari rumah Kwee-ciangkun untuk dua orang muda itu, Thian Liong dan Pek Hong lalu mengikuti thai-kam
yang menjemput mereka untuk menghadap Sri Baginda.
Mereka memasuki ruangan rahasia yang merupakan kamar duduk pribadi kaisar dan dua orang muda itu
merasa heran akan tetapi juga girang bahwa selain kaisar yang duduk di atas kursi kebesarannya, di situ
terdapat pula Kwee-ciangkun yang sudah lebih dulu menghadap kaisar. Thian Liong dan Pek Hong lalu
memberi hormat dengan berlutut dan duduk di atas kursi yang lebih rendah, sejajar dengan Kwee-ciangkun
karena kaisar menghendaki mereka duduk di atas kursi.
“Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong, kami panggil kalian berdua di sini untuk menceritakan dengan
sejujurnya apa yang telah terjadi tadi malam. Kwee-ciangkun sengaja kami panggil untuk menjadi saksi
mendengar keterangan kalian berdua,” kata Kaisar sambil memandang kepada dua orang muda itu dengan
wajah cerah karena dia ingat benar bahwa tanpa adanya dua orang itu yang membelanya, mungkin dia
sudah tewas di tangan tiga orang pembunuh lihai itu.
“Ijinkan hamba yang menjadi pembicara menceritakan apa yang telah terjadi semalam, Sri Baginda,” kata
Thian Liong karena dia khawatir kalau Pek Hong membuka suara, akan ketahuan bahwa ia bukan seorang
gadis Han.
“Baik, ceritakanlah,” kata kaisar.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Malam tadi, muncul Cia Song, pembantu Perdana Menteri Chin Kui bersama empat orang anak buahnya.
Mereka menyerang hamba berdua dengan anak panah dari luar kamar penjara dan ternyata mereka telah
membunuh lima orang perajurit yang berjaga di penjara. Hamba berdua tidak dapat melawan dan hanya
menghindar dari serangan anak panah beracun yang menghujani hamba. Untung dalam keadaan amat
gawat itu, muncul suhu hamba yang merobohkan empat orang pemanah dan Cia Song melarikan diri dan
lolos. Suhu lalu membuka pintu penjara dan minta kepada hamba berdua untuk cepat-cepat melindungi
paduka yang terancam bahaya. Hamba berdua lalu lari memasuki istana dan melihat betapa tiga orang
jahat itu mengamuk. Hamba berdua lalu turun tangan sehingga tiga orang itu dapat dibinasakan.”
“Tahukah engkau siapa tiga orang yang menyerang dan hendak membunuh kami itu?”
“Hamba dan Sie Pek Hong pernah bentrok dengan tiga orang itu, Sri Baginda. Mereka itu adalah Hwa Hwa
Cin jin, Bu-tek Mo-ko, dan Bu-eng Mo-ko yang ketika itu hendak membunuh Paman Han Si Tiong dan Bibi
Liang Hong Yi.”
“Ampunkan hamba kalau hamba mohon diperkenankan menambah sedikit keterangan Souw Thian Liong,
yang mulia,” kata Kwee-ciangkun.
“Boleh, katakanlah, Kwee-ciangkun,” kata kaisar.
“Tiga orang itu memimpin pasukan melakukan pengejaran dan mencari empat orang pelarian, yaitu Han Si
Tiong, Liang Hong Yi, Souw Thian Liong, dan Sie Pek Hong yang bersembunyi di rumah hamba. Ketika
hamba keluar, tiga orang itu mengatakan bahwa mereka mencari empat orang penjahat atas perintah
Perdana Menteri Chin Kui.”
Kaisar mengangguk-angguk. Mulai goyah kepercayaannya terhadap perdana menteri yang selalu
dipercayanya itu.
“Baiklah, hal itu akan kami urus nanti. Sekarang, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada kalian, Souw
Thian Liong dan Sie Pek Hong. Untuk itu kalian berdua boleh minta, imbalan jasa apa yang ingin kalian
dapatkan dari kami.”
Sie Pek Hong menggeleng-geleng kepala menandakan bahwa ia tidak minta apa-apa, akan tetapi Thian
Liong berkata, “Sri Baginda yang mulia, sekiranya paduka berkenan, hamba mohon, demi keselamatan
paduka dan kerajaan paduka, agar Perdana Menteri Chin Kui diadili dan dijatuhi hukuman.”
Kaisar menghela nepas panjang. Dia teringat, betapa beberapa tahun yang lalu, dia menjatuhkan hukuman
kepada tiga orang pejabat tinggi karena mereka berani mengajukan permintaan yang sama, yaitu agar
Perdana Menteri Chin Kui diadili! Pada waktu itu, kepercayaan terhadap Chin Kui demikian besarnya
sehingga dia menganggap mereka itu melempar fitnah keji! Akan tetapi sekarang, yang mohon agar Chin
Kui diadili adalah orang-orang muda yang baru saja menyelamatkan nyawanya dari serangan orang orang
yang menjadi anak buah Chin Kui sehingga kepercayaannya terhadap perdana menteri itu goyah.
“Kita lihat saja nanti dalam persidangan,” katanya. “Akan tetapi lepas dari persoalan yang menyangkut
Perdana Menteri Chin Kui, kami ingin memberi hadiah kepada kalian berdua atas jasa kalian semalam. Nah,
apakah yang kalian minta?”
Karena Thian Liong tidak mengharapkan imbalan apapun, dia memberi isyarat dengan gerakan sikunya
kepada Pek Hong, barangkali gadis itu yang hendak mohon sesuatu. Pek Hong lalu berkata dengan suara
lantang sehingga dialek utara terdengar jelas. Akan tetapi karena ia seorang puteri kaisar, tentu saja katakatanya
teratur baik sekali.
“Hamba berdua menghaturkan terima kasih yang tak terhingga atas kebijaksanaan paduka yang berkenan
hendak memberi hadiah kepada hamba berdua. Namun hamba juga mohon ampun beribu ampun bahwa
hamba berani menolak segala macam hadiah karena sesungguhnya, apa yang telah kami lakukan itu sudah
merupakan kewajiban hamba, yaitu membela yang benar dan menentang yang jahat, Sri Baginda yang
mulia.”
Kaisar tersenyum dan memandang kagum, akan tetapi lalu bertanya. “Sie Pek Hong, bicaramu
menunjukkan bahwa engkau orang dari daerah utara, benarkah?”
“Yang Mulia, hamba memang dilahirkan dan tumbuh dewasa di daerah Utara.
Kaisar mengangguk-angguk. Hatinya merasa gembira sekali dapat bicara leluasa dan akrab begini dengan
dua orang muda itu, suatu hal yang jarang sekali terjadi karena biasanya dia hanya bicara dengan formal
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan orang-orang sehingga suasananya menjadi kaku. Dia memandang kepada dua orang muda itu dan
berkata dengan sikap ramah.
“Souw Thian Liong, tadi engkau bercerita bahwa kalian berdua diserang penjahat dan diselamatkan gurumu
dan gurumu pula yang membebaskan kalian dari kamar tahanan agar kalian dapat menolong kami yang
terancam bahaya. Kalau begitu, jasa gurumu itu bahkan lebih besar. Katakanlah, siapa gurumu itu?”
22.1 Bantahan Pengkhianat Chin Kui
Guru hamba seorang pertapa kelana yang bernama Tiong Lee Cin-jin yang mulia,” jawab Thian Liong.
Kaisar membelalakkan kedua matanya. “Tiong Lee Cin-jin? Kami pernah mendengar nama besarnya!
Bukankah dia yang dijuluki Yok-sian?”
“Benar, yang mulia?”
“Ah, pantas engkau yang masih begini muda berkepandaian tinggi dan berwatak bijaksana, Souw Thian
Liong! Kiranya engkau murid Dewa Obat itu! Dan bagaimana dengan engkau, Sie Pek Hong? Apakah
engkau juga murid Dewa Obat?”
“Guru hamba adalah Paman Sie, yang mulia.”
“Paman Sie? Siapa dia?”
“Paman Sie adalah orang yang telah membebaskan hamba berdua dari kamar tahanan dan menyelamatken
hamba dari serangan panah penjahat dan yang menyuruh hamba berdua cepat menyelamatkan paduka
dari ancaman bahaya,” kata Pek Hong dengan lantang dan dia menengok kepada Thian Liong dengan
pandang mata menantang!
“Hei? Bagaimana ini? Bukankah tadi Souw Thian Liong mengatakan bahwa yang menolong kalian adalah
gurunya, yaitu Tiong Lee Cin-jin? Sekarang engkau mengatakan bahwa yang menolong kalian adalah
Paman Sie, guru Sie Pek Hong!”
“Ampun, yang mulia, hamba berdua tidak berbohong!” kata Thian Liong cepat-cepat. “Sesungguhnya, ketika
suhu Tiong Lee Cin-jin menurunkan ilmu kepada Sie Pek Hong, beliau memakai nama Paman Sie.”
“Ampun, Sri Baginda yang mulia. Keterangan Souw Thian Liong itu kurang tepat dan terbalik. Yang benar,
ketika Paman Sie mengejarkan ilmu kepada Souw Thian Liong, beliau memakai nama Tiong Lee Cin-jin!”
kata Sie Pek Hong dan kembali ia mengerling kepada Thian Liong dengan sinar mata menantang dan tidak
mau kalahl
Mendengar ucapan dua orang muda itu dan melihat betapa mereka saling berpandangan dengan sinar
mata tidak mau kalah, membuat kaisar tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha, kalian ini dua orang muda yang lucu! Ingin sekali kami melihat bagaimana sikap guru kalian
itu kalau mendengar dirinya diperebutkan dengan dua nama, ha-ha-ha!”
Dalam kesempatan itu, kaisar tampak gembira dan dia menyuruh dua orang muda itu tinggal di kamarkamar
tamu dan menjadi tamu istana sambil menanti datangnya saat persidangan dan menanti panggilan.
Ketika Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong mohon agar mereka diperkenankan membawa senjata mereka
yang kemarin dulu ditinggalkan dan disimpan di rumah Panglima Kwee, kaisar segera mengijinkan. Setelah
pertemuan itu selesai, Kwee-ciangkun pulang dan tak lama kemudian dia mengutus pengawalnya
menyerahkan pedang Thian-liong-kiam dan pedang bengkok kepada Thian Liong dan Pek Hong.
Panglima Kwee Gi dan para panglima lain yang setia kepada kaisar dan yang menentang Perdana Menteri
Chin Kui, diam-diam telah mempersiapkan pasukan yang kuat untuk melindungi istana kalau-kalau Chin Kui
dan sekutunya mengadakan pemberontakan dengan menggunaken pasukan dari para panglima yang
bersekutu dengannya.
◄Y►
Hari dan saat yang ditunggu-tunggu oleh kedua pihak yang bersengketa itu akhirnya tiba. Kaisar Sung Kao
Tsu memerintahkan mereka yang bersengketa menghadap di persidangan. Tidak seperti biasa, sekali ini
ketika Perdana Menteri Chin Kui mohon menghadap sebelum persidangan dimulai, kaisar tidak mau
menerimanya dan memerintahkan agar Chin Kui langsung menghadap di ruang persidangan seperti para
pejabat tinggi lainnya. Hal ini tentu saja membuat Chin Kui curiga dan merupakan tanda bahaya baginya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka diapun menghubungi sekutunya untuk bersiap siaga melaksanakan rencana mereka kalau-kalau dia
kalah dalam persidangan itu.
Semua pejabat tinggi sudah berkumpul di ruangan persidangan dan ketika kaisar muncul, semua orang
memberi hormat seperti biasa. Dengan sendirinya kedua pihak berikut sekutu mereka sudah mengambil
tempat yang berpisah, Kwee-ciangkun dan sekutunya berada di bagian kanan sedangkan Chin Kui dan
sekutunya berada di bagian kiri ruangan itu.
Kaisar membuka persidangan itu dengan mempersilakan Kwee-ciangkun yang bertindak sebegai penuduh
untuk bicara.
Kwee-ciangkun tetap dengan tuduhan semula, yaitu menuduh Perdana Menteri Chin Kui bersekutu dengan
para pemberontak di Kerajaan Kin untuk menggulingkan Kaisar Kin dengan pamrih agar kelak kaisar yang
baru Kerajaan Kin akan membantunya menggulingkan pemerintah Kerajaan Sung.
“Apa yang hamba laporkan ini bukan merupakan tuduhan kosong, Sri Baginda yang mulia. Jelas bahwa
Perdana Menteri Chin Kui mengirim wakilnya yang bernama Cia Song untuk bersekongkol dengen
Pangeran Hiu Kit Bong untuk mengadakan pemberontakan di Kerajaan Kin.”
Setelah diberi kesempatan, Perdana Menteri Chin Kui kukuh membantah dengan sikap angkuh. “Semua itu
fitnah belaka, Yang Mulia. Hamba selalu setia kepada paduka, siap mengorbankan nyawa demi paduka dan
Kerajaan Sung. Bagaimana mungkin hamba berkhianat? Siapa itu Cia Song? Hamba tidak mengenalnya.
Kalau memang benar hamba mengirim orang bernama Cia Song ke utara, silakan paduka memanggil orang
itu untuk menjadi saksi! Panglima Kwee dan kawan-kawannya ini berani melempar fitnah kepada hamba,
hal itu berarti hendak mengadu domba dan jelas mereka hendak memberontak terhadap paduka!”
Pada saat itu, seorang pengawal memasuki ruangan dan setelah memberi hormat kepada kaisar, dia
melaporkan bahwa telah datang seorang utusan dari Kaisar Kin yang mohon untuk menghadap kaisar.
Sebetulnya utusan ini adalah Pangeran Kuang, adik tiri Kaisar Kin dan kedatangannya sudah kemarin. Akan
tetapi telah diatur oleh kaisar sendiri agar utusan itu menghadap pada saat persidangan itu.
“Bawa dia masuk!” perintah kaisar kepada pengawal.
Tak lama kemudian, Pangeran Kuang sudah memberi hormat di depan kaisar, memperkenalkan diri
sebagai utusan Kaisar Kin dan menyerahkan segulung surat.
Surat diterima dan dibaca sendiri oleh kaisar. Kemudian kaisar menyerahkan gulungan surat itu kepada
seorang thai kam yang melayaninya dalam urusan surat menyurat dan memerintahkan thai kam itu untuk
membacanya kuat-kuat agar semua orang mendengarnya.
Dengan suara lantang thai-kam itu membacakan surat dari Kaisar Kin. Surat itu jelas menyatakan bahwa
Perdana Menteri Chin Kui telah bersekongkol dengan pemberontak di Kerajaan Kin dengan mengirim
seorang utusan bernama Cia Song. Dikatakan bahwa menurut pengakuan para pemberontak, Perdana
Menteri Chin Kui bersekongkol dangan para pemberontak dengan pamrih kalau pemberontakan itu berhasil,
kelak para pemberontak akan membantu Perdana Menteri Chin Kui merampas tahta Kerajaan Sung!
Suasana menjadi sunyi sekali ketika thai-kam yang bersuara lantang itu membacakan surat itu sampai
habis. Kaisar Sung Kao Tsu lalu memandang kepada Chin Kui.
“Perdana Menteri Chin Kui, bagaimana tanggapanmu dengan surat dari Kaisar Kin ini?”
“Sri Baginda yang mulia! Semua ini adalah fitnah yang sudah direncanakan lebih dulu oleh Panglima Kwee
dan sekutunya. Jelaslah bahwa justeru Panglima Kwee yang bersekongkol dengan Kerajaan Kin untuk
menjatuhkan hamba sehingga Panglima Kwee dan Kaisar Kin kini mengeroyok hamba dengan fitnah keji.
Hamba dituduh bersekutu dengan pemberontak di Kerajaan Kin. Tidak masuk akal dan fitnah belaka.
Mengapa hamba harus membantu pemberontakan di sana? Apa untungnya bagi hamba? Mereka melempar
fitnah keji bahwa hamba mengutus wakil yang bernama Cia Song ke utara. Apa buktinya? Kenapa tidak
ditangkap saja itu Cia Song dan diseret ke sini agar dia dapat menceritakan hal yang sebenarnya? Hamba
tidak mengenalnya! Selama ini hamba selalu setia dan tidak pernah berbohong kepada paduka, Sri
Baginda. Hamba berani bersumpah bahwa hamba tetap setia dan jujur. Mereka sengaja menjatuhkan
fitnah!” Setelah Chin Kui selesai bicara, kaisar menoleh kepada Panglima Kwee.
“Kwee-ciangkun, sekarang giliranmu untuk memberi tanggapan.”
“Sri Baginda yang mulia, pembelaan diri Perdana Menteri Chin Kui itu hanya dibuat-buat. Telah terbukti
nyata bahwa dia adalah seorang pengkhianat yang berhati palsu, pada lahirnya bersikap baik dan setia
kepada paduka, akan tetapi dalam batinnya dia seorang pengkhianat besar. Hal ini telah dibuktikan dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
peristiwa yang terjadi beberapa hari yang lalu, terjadi di dalam istana. Perdana menteri yang khianat ini
telah mengirim orang-orang untuk membunuh Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong, juga mengirim
pembunuh yang nyaris dapat membunuh Sri Baginda Kaisar!”
Semua orang yang mendengar tuduhan ini menjadi terkejut dan terbelalak. Tentu saja Kaisar tidak terkejut
karena sudah mengetahui akan peristiwa yang memang dirahasiakan itu.
“Penasaran!” Chin Kui berteriak. “Sri Baginda yang mulia, apakah paduka dapat menerima dan
mendiamkan saja fitnah-fitnah keji dan jahat yang mereka lontarkan kepada hamba? Hamba menolak
semua tuduhan itu karena hamba tidak merasa melakukannya! Apa buktinya, siapa saksinya untuk
membenarkan semua fitnah keji itu? Orang she Kwee, berani benar engkau menyebar kebohongan keji di
depan Sri Baginda yang mulia!”
Chin Kui tidak merasa kalah karena dia merasa yakin bahwa orang-orang yang bertugas membunuh akan
tetapi telah gagal itu telah mati semua, kecuali Cia Song yang dapat meloloskan diri dan sekarang telah
pergi entah ke mana. Karena yakin bahwa tidak mungkin ada bukti dan saksinya, maka Chin Kui merasa
tenang dan menantang para penuduhnya.
Kwee-ciangkun berkata kepada kaisar, “Ampun, Sri Baginda yang mulia. Mohon perkenan paduka agar
hamba dapat mendatangkan Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong sebagai saksi.”
Kaisar mengangguk dan Panglima Kwee lalu memberi isyarat kepada pengawal. Pengawal mengiringkan
Souw Thian Liong dan Sie Pek Hong memasuki ruangan dan kedua orang muda itu segera menghadap
kaisar dan memberi hormat.
Pangeran Kuang memandang dengan mata terbelalak kepada Sie Pek Hong dan tanpa disadari dia berseru
dengan girang.
“Puteri Moguhai……”
Pek Hong Nio-cu yang memakai nama Sie Pek Hong dan nama aselinya adalah Puteri Moguhai itu
tersenyum.
“Paman Pangeran Kuang!” katanya.
Kaisar Sung Kao Tsu memandang heran.
“Apa artinya ini?” tanyanya kepada Pangeran Kuang.
“Maafkan hamba, Sri Baginda. Gadis ini adalah keponakan hamba. Ia adalah Puteri Moguhai, puteri Sri
Baginda Kaisar Kerajaan Kin.”
“Ahh......! Puteri Moguhai, kenapa engkau menggunakan nama Sie Pek Hong dan tidak berterus terang
kepada kami bahwa engkau puteri Kaisar Kin?”
“Ampun, Sri Baginda, ceritanya agak panjang......” kata Pek Hong Nio-cu sambil tersenyum manis kepada
kaisar.
“Sri Baginda, sekarang jelas sudah! Souw Thian Liong ini datang bersama puteri Kaisar Kin, apa lagi
maksudnya kalau bukan hendak bersekongkol dengan Kerajaan Kin untuk menjatuhkan paduka? Mereka
sudah mengatur semuanya. Mula-mula menyerang hamba, untuk kemudian menjatuhkan paduka dan
merampas tahta!” teriak Chin Kui yang merasa mendapat kemenangan.
Kaisar mengangkat kedua tangan, memberi isyarat agar mereka semua diam dan tidak ribut. Setelah
suasana menjadi tenang, Kaisar menoleh kepada Panglima Kwee.
“Kwee-ciangkun, coba jelaskan dan ceritakan tentang laporanmu mengenai usaha pembunuhan di istana
tadi!”
Panglima Kwee dengan suara lantang, “Sri Baginda, yang lebih mengetahui dan mengalami sendiri
peristiwa itu adalah Souw Thian Liong dan...... eh, Puteri Moguhai ini, maka hamba rasa seyogianya mereka
yang menceritakan terjadinya peristiwa itu sebenarnya.”
Pek Hong Nio-cu tersenyum mendengar ini. Kaisar mengangguk-angguk dan berkata kepada puteri itu.
“Puteri Moguhai, sekarang ceritakanlah semuanya. Mengapa engkau terlibat dalam urusan ini dan apa yang
telah terjadi beberapa malam yang lalu di dalam istana.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek Hong Nio-cu memberi hormat kepada Kaisar. “Hamba siap, Sri Baginda dan biarlah semua orang,
terutama Chin Kui si pengkhianat itu, mendengarkan baik-baik!” Suaranya lantang dan jelas biarpun katakatanya
berdialek utara.
“Seperti telah dilaporkan dalam persidangan yang lalu, di Kerajaan Kin kami terjadi pemberontakan dan di
sana muncul orang yang bernama Cia Song yang menjadi utusan Chin Kui untuk berhubungan dengan
pemberontak dan membantu usaha pemberontakan itu. Saya, dibantu Souw Thian Liong berhasil
menghubungi Paman Pangeran Kuang yang mengerahkan pasukan dan menghancurkan pemberontak.
Sayang Cia Song dapat meloloskan diri. Mengingat akan bantuan Souw Thian Liong kepada kerajaan kami,
juga karena ingin menentang Chin Kui yang telah membantu pemberontakan di utara, saya mengambil
keputusan untuk membantu Souw Thian Liong. Karena itulah maka saya ikut dengan dia datang ke Lin-an
ini.”
“Bohong! Kami tidak mencampuri urusan pemberontakan di Kerajaan Kin!” teriak Chin Kui.
“Diam!” bentak kaisar yang marah melihat Chin Kui yang berulang kali bersikap lancang. “Lanjutkan, Puteri
Moguhai.”
“Sampai di sini kami dikejar-kejar anak buah Chin Kui dan kami bertemu Paman Han Si Tiong dan isterinya,
lalu kami berempat bersembunyi di rumah Paman Panglima Kwee. Setelah berunding, kami memutuskan
untuk menghadap Sri Baginda yang mulia untuk membongkar pengkhianatan, kecurangan dan kejahatan
Chin Kui. Beberapa malam yang lalu, Cia Song dan empat orang anak buahnya memasuki penjara dan
membunuh lima orang penjaga lalu menyerang kami berdua dengan anak panah beracun yang dihujankan
ke arah kami dari luar pintu kamar tahanan. Untung muncul Paman Sie......” sampai di sini Pek Hong Nio-cu
mengerling ke arah Thian Liong yang mengerutkan alisnya akan tetapi pemuda itu diam saja. “Untung
muncul Paman Sie yang merobohkan dan menotok empat pemanah itu. Sayang kembali Cia Song dapat
meloloskan diri. Manusia iblis yang licik itu memang lihai. Kami mendapat petunjuk dari Paman Sie, guruku,
untuk menyelamatkan Sri Baginda yang terancam bahaya. Setelah kami berdua tiba di ruangan dalam, kami
melihat tiga orang datuk sesat, yaitu Hwa Hwa Cin-jin dan kedua orang Siang Mo-ko, mengamuk dan
hendak membunuh Sri Baginda. Para perajurit pengawal sudah banyak yang tewas dan mereka terdesak,
Sri Baginda terancam. Kami berdua lalu melawan tiga orang itu dan berhasil merobohkan mereka. Ketika
kami hendak menawan Hwa Hwa Cin-jin, dia membunuh diri. Tiga orang itu adalah orang-orangnya Chin
Kui yang tadinya mengejar-ngejar kami berempat sebelum kami bersembunyi di rumah Panglima Kwee.
Kami lalu kembali ke penjara untuk menangkap empat orang pemanah yang tadinya ditotok oleh guruku.
Akan tetapi ternyata mereka telah tewas, tentu terbunuh oleh orangnya Chin Kui agar mereka tidak dapat
mengaku dan membocorkan rahasia bahwa Chin Kui yang mendalangi semua usaha pembunuhan itu!
Hemm, Chin Kui iblis tua yang khianat, hayo sangkal kalau kamu bisa!” kata Puteri Moguhai kepada
Perdana Menteri Chin Kui.
“Sri Baginda, semua yang diceritakan itu isapan jempol belaka. Andaikata benar ada pembunuh di istana,
jelas itu bukan hamba yang mendalanginya. Mungkin buatan mereka saja untuk menjatuhkan hamba. Mana
bukti dan saksinya? Hamba menyangkal semua itu. Hamba tidak tahu menahu dengan usaha pembunuhan
itu!”
Kini Kaisar Sung Kao Tsu sudah tidak sabar lagi mendengar bantahan dan penyangkalan Chin Kui yang
sudah jelas bersalah itu. Dia lalu bertepuk tangan tiga kali dan berseru kepada pengawal.
“Bawa masuk saksi terakhir itu!”
Semua orang menengok ke arah pintu memandang dua orang perajurit pengawal yang membawa masuk
seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan kedua lengan orang itu
dibelenggu ke belakang tubuhnya. Orang itu didorong dan jatuh berlutut di depan Sri Baginda Kaisar.
Melihat masuknya orang ini sebagai saksi, Perdana Menteri Chin Kui terbelalak dan mukanya seketika
berubah pucat. Sama sekali dia tidak menyangka bahwa jagoan yang diutus membunuh para petugas
pembunuhan itu kalau mereka gagal, ternyata tertawan! Dia mengira bahwa orang ini juga sudah tewas
ketika tidak datang melapor karena tidak ada berita dari para mata-matanya di istana bahwa orang itu
tertawan.
“Siapa namamu?” bentak kaisar.
“Nama hamba Lui Ki, Sri Baginda yang mulia,” kata orang tinggi kurus itu.
22.2 Nasib Seorang Pengkhianat Bangsa
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nah, ceritakan semua yang kau alami di istana, ceritakan sejujurnya dan jangan takut kepada ancaman
siapapun juga. Pengakuanmu yang sejujurnya akan meringankan hukumanmu, sebaliknya kalau engkau
berbohong, hukumanmu akan semakin berat!”
“Ampunkan hamba, Sri Baginda yang mulia. Pada malam hari itu, hamba mendapat tugas untuk mengawasi
mereka yang melakukan tugas pembunuhan atas diri dua orang tawanan, yaitu Souw Thian Liong dan Sie
Pek Hong. Tugas hamba adalah membunuh mereka kalau usaha pembunuhan itu gagal. Hamba
diselundupkan sebagai pengawal istana dan hamba dapat mengawasi lima orang pembunuh itu dengan
mudah. Ternyata mereka gagal membunuh dua orang tawanan yang ditotok roboh oleh seorang kakek yang
sakti. Ketika ditinggalkan, hamba melaksanakan tugas hamba membunuh empat orang pemanah akan
tetapi petugas utama yang bernama Cia Song telah lolos. Hamba tidak mungkin membunuhnya karena ilmu
kepandaiannya jauh lebih tinggi dari kemampuan hamba. Setelah melakukan pembunuhan terhadap empat
orang itu, sebelum hamba dapat melarikan diri, hamba roboh oleh kakek sakti itu sehingga hamba tertawan.
Demikianlah, Sri Baginda, keterangan hamba yang sejujurnya dan hamba berani bersumpah bahwa semua
keterangan hamba itu benar dan tidak bohong.”
“Hemm, engkau melupakan satu hal yang terpenting, Lui Ki. Engkau lupa menyebutkan, siapa yang
mengutus engkau, siapa yang menjadi dalang semua rencana pembunuhan itu? Siapa yang menyuruh tiga
orang datuk itu mencoba untuk membunuh kami?”
Lui Ki menjadi pucat wajahnya, lalu dia memandang ke arah Chin Kui dan berkata, suaranya gemetar
namun cukup lantang dan jelas terdengar oleh semua yang hadir dalam ruangan persidangan itu.
“Yang menjadi dalang dan mengutus hamba semua adalah Perdana Menteri Chin Kui!”
Kini semua orang menoleh dan memandang kepada Perdana Menteri Chin Kui. Wajah Chin Kui berubah
pucat dan dia maklum bahwa kini tidak ada gunanya lagi menyangkal. Akan tetapi tiba tiba dia tertawa
bergelak.
“Ha-ha-ha-ha!” Dia bangkit berdiri dan memandang ke sekeliling dengan gaya seorang kaisar yang
berkuasa. “Pasukan-pasukan pendukungku saat ini telah mengepung istana ini! Saya anjurkan Sri Baginda
dan semua pamong praja untuk menakluk dan menyerah agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan
dan membantai kalian semua. Ha-ha-ha!”
Semua orang terkejut karena pada saat itu mereka mendengar suara hiruk pikuk dan gaduh di luar istana,
suara tambur dan genderang dipukul gencar menandakan bahwa di luar istana terdapat banyak pasukan!
Akan tetapi Panglima Kwee lalu memberi isyarat ke arah pintu dan tak lama kemudian para perajurit
menggiring masuk belasan orang panglima pendukung Chin Kui yang sudah tertawan dengan kedua tangan
terbelenggu! Kiranya Panglima Kwee dan rekan rekannya sudah lebih dulu mengadakan pembersihan dan
menangkapi panglima sekutu Chin Kui sebelum mereka sempat bergerak dengan pemberontakan mereka!
Chin Kui terbelalak ketika melihat belasan orang panglima pendukungnya menjatuhkan diri berlutut di depan
kaisar. Peristiwa ini terlalu hebat baginya, mengguncang hatinya dengan hebat, memporak-porandakan
semua harapan dan cita-citanya dan dia merasa seolah-olah ada sesuatu yang pecah dalam kepalanya.
Perasaan kaget, kecewa, marah, dan takut bercampur menjadi satu teraduk dalam otaknya dan
mengacaukan hatinya.
“Ha-ha-ha-ha......!” Tiba-tiba dia tertawa terbahak-bahak sehingga mengejutkan semua orang yang
memandang kepadanya dengan mata terbelalak.
“Hu-hu-hu-huuhh......!” Tiba-tiba tawanya yang bergelak itu berubah menjadi tangis tersedu-sedu. Semua
orang menarik napas panjang. Perdana menteri Chin Kui yang berambisi dan berkhianat itu telah menjadi
gila!
Kaisar memerintahkan pengawal untuk menangkap Chin Kui. Bersama para panglima yang telah menjadi
tawanan, dia lalu dibawa ke penjara. Pada hari itu juga, kaisar memerintahkan kepada Panglima Kwee
untuk melakukan pembersihan, menangkapi mereka yang tadinya menjadi sekutu Chin Kui.
Souw Thian Liong dan Puteri Moguhai kembali mendapat tawaran dari kaisar untuk minta hadiah apa yang
mereka sukai, akan tetapi kedua orang muda itu menolak dengan hormat. Setelah semua selesai, mereka
berdua meninggalkan istana. Juga Han Si Tiong dan Liang Hong Yi meninggalkan istana. Suami isteri ini
berterima kasih sekali kepada Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu, dan mereka mengulang permintaan
mereka kepada dua orang muda itu agar memberitahu kepada Han Bi Lan di mana mereka tinggal kalau
kebetulan dapat berjumpa clengan gadis itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah itu, Souw Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu berpisah dari suami isteri yang akan kembali ke dusun
Kian cung di dekat Telaga Barat.
Mereka berdua keluar dari kota raja setelah berpamit dari Panglima Kwee. Begitu tiba di luar pintu gerbang
kota raja Lin-an, Thian Liong bertanya kepada Pek Hong Nio-cu, “Nio-cu, sekarang engkau hendak pergi ke
mana?”
Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu dan ia menghela napas panjang. Berat rasa hatinya untuk
berpisah dari pemuda ini. Akan tetapi ia seorang puteri kaisar. Tidak mungkin kalau ia harus terus mengikuti
Thian Liong yang tidak mempunyai tempat tinggal tertentu. Bahkan kemarin ketika Pangeran Kuang,
pamannya, mengajak ia pulang ke utara, ia menolak dan mengatakan bahwa ia akan pulang sendiri.
Penolakan itu ia lakukan karena ia merasa berat untuk berpisah dari Thian Liong yang dianggapnya sebagai
seorang sahabat yang baik sekali.
“Aku hendak pulang ke utara,” katanya dengan nada suara datar. “Dan engkau sendiri, hendak ke manakah,
Thian Liong?”
Thian Liong termenung. Dia sendiri tidak tahu akan pergi ke mana. Tugas tugas yang diberikan gurunya
kepadanya masih belum dapat dia selesaikan dengan sempurna. Memang, dia sudah berhasil membantu
dan membela Kerajaan Sung sehingga terbebas dari pengaruh Chin Kui yang berkhianat. Akan tetapi kitab
kitab yang harus dia kembalikan kepada para pemiliknya, masih ada satu yang belum dapat dia kembalikan,
yaitu kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat milik Kun lun-pai yang dicuri gadis baju merah itu. Tugas utama
sekarang adalah mencari gadis pencuri itu dan merampas kembali kitab untuk dikembalikan kepada yang
berhak, yaitu Kun-lun-pai.
“Hei, kenapa engkau tidak menjawab pertanyaanku?” Pek Hong Nio-cu berkata dengan suara keras.
Thian Liong terkejut dan baru ingat bahwa gadis itu tadi mengajukan pertanyaan kepadanya. “Apa? O ya,
aku hendak melanjutkan perantauanku, Nio-cu. Engkau tahu bahwa aku masih mempunyai sebuah tugas
penting, yaitu mencari gadis pakaian merah yang telah mencuri kitab kuno yang harus kuserahkan kembali
kepada Kun-lun-pai. Kalau aku belum dapat merampas kembali kitab itu dan mengembalikannya kepada
Kun-lun-pai yang berhak, berarti tugas yang diberikan suhu kepadaku belum kulaksanakan dengan baik.”
“Hemm, gurumu itu agaknya tukang bagi-bagi kitab, ya? Engkau harus menyerahkan kitab ke Siauw-lim-pai,
Bu-tong-pai, dan Kun-lun-pai!” kata Pek Hong Nio-cu berkelakar.
“Hemm, dan juga membagikan sebagian kitabnya kepadamu, bukan?”
Pek Hong Nio-cu tersenyum akan tetapi matanya memandang wajah pemuda itu penuh selidik lalu bertanya
dengan nada serius. “Thian Liong, katakan sebenarnya, apakah betul bahwa Paman Sie yang menjadi
sahabat ibuku dan juga yang memberi kitab-kitab dan hiasan rambut padaku ini adalah gurumu juga, Tiong
Lee Cin-jin?”
“Betul tidaknya tentu saja aku tidak bisa memastikan karena aku belum pernah melihat pamanmu itu. Akan
tetapi, kita berdua sudah berhadapan dengan dia ketika dia membebaskan kita dari kamar tahanan. Dia itu
benar-benar suhuku Tiong Lee Cin-jin. Masa aku lupa kepada guruku sendiri yang telah mendidik aku
selama sepuluh tahun? Dia itu benar-benar guruku, dan buktinya dia menolongku dan menyuruh aku
menolong Kaisar.”
“Hemm, sama saja denganku kalau begitu. Walaupun baru satu kali aku melihat Paman Sie di taman itu
ketika dia bercakap-cakap dengan ibuku, aku tidak pernah dapat melupakan wajahnya. Yang menolong kita
di utara dulu dan di kamar tahanan istana itu jelas Paman Sie!”
“Wah, kalau begitu tidak salah lagi. Aku tidak berbohong dan aku yakin engkau juga tidak berbohong.
Kesimpulannya adalah bahwa Paman Sie itu adalah juga guruku, dan suhu Tiong Lee Cin-jin itu juga
pamanmu.”
“Nah, itu baru adil namanya. Jadi kalau begitu, engkau pasti adalah suhengku (kakak seperguruanku).”
“Dan engkau su-moiku (adik seperguruanku)!”
“Mulai sekarang aku akan menyebutmu suheng!”
“Dan aku akan menyebutmu sumoi!”
“Suheng, engkau hendak mencari pencuri kitab itu? Ke mana engkau hendak mencarinya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Itulah yang menjengkelkan, su-moi. Aku tidak mengetahui siapa nama pencuri itu, hanya mengenal
mukanya dan aku tidak tahu sama sekali di mana ia berada.”
“Hemm, kalau begitu, ke mana engkau hendak mencarinya? Ah, aku ingat sekarang. Engkau pernah
bercerita kepadaku bahwa ilmu silat gadis pencuri itu mempunyai dasar ilmu silat para pendeta Lhama di
Tibet. Dan ia mencuri kitab itu ketika engkau berada di pegunungan Kun-lun-san. Maka, menurut
pendapatku, ia pasti tinggal di daerah barat, sekitar pegunungan Kun-lun-pai dan daerah Tibet. Kukira
engkau harus mencarinya ke sana, suheng!”
Thian Liong mengangguk-angguk. “Kurasa pendapatmu itu benar sekali. Baik, aku akan mencarinya di
daerah barat itu, su-moi.”
“Bagus, kalau begitu, aku akan pergi bersamamu!” kata Pek Hong Nio-cu dengan suara pasti dan wajah
berseri.
“Ahh?” Thian Liong memandang gadis itu dengan heran. “Akan tetapi, bukankah engkau harus pulang ke
utara, su-moi? Orang tuamu tentu akan menanti nantimu. Pula, perjalananku mencari maling itu belum pasti
berapa lamanya!”
Pek Hong Nio-cu menatap wajah pemuda itu dengan pandang mata tajam penuh selidik. “Suheng, engkau
merasa keberatan kalau aku ikut denganmu? Kalau keberatan katakan saja!”
Ditanya demikian itu, tentu saja Thian Liong menjadi tersudut dan serba salah. Tentu saja hatinya tidak
pernah merasa keberatan karena melakukan perjalanan dengan gadis yang baik budi, gagah perkasa dan
menyenangkan ini membuat perjalanannya tidak membosankan, bahkan menggembirakan. Akan tetapi
bagaimanapun juga, Pek Hong Nio-cu adalah seorang gadis, puteri Kerajaan Kin pula. Tentu saja hal ini
akan dipandang orang-orang sebagai hal yang tidak pantas!
“Hei, kenapa diam saja, suheng? Kalau engkau merasa keberatan katakan saja sejujurnya!” Pek Hong Niocu
membentak sehingga Thian Liong terkejut dan sadar dari lamunannya.
“Eh...... ohh...... tidak sama sekali, su-moi. Aku senang melakukan perjalanan bersamamu. Akan tetapi
engkau harus pulang dan......”
“Inipun merupakan perjalananku untuk pulang, hanya melalui daerah barat. Aku ingin membantumu
menemukan maling itu, suheng. Dari daerah itu kita dapat menemui Paman Kuang yang bentengnya berada
di sana dan kita minta bantuannya agar dia mengerahkan para penyelidik untuk disebar dan mencari gadis
pakaian serba merah yang telah mencuri kitabmu itu. Persoalannya sekarang hanya, engkau memutuskan
boleh atau tidak aku melakukan perjalanan bersamamu. Kalau tidak boleh, sekarang juga kita berpisah dan
aku kembali ke utara dan agaknya tidak mungkin kita akan saling bertemu lagi......”
“Ah, tentu saja boleh sekali, su-moi!” potong Thian Liong.
“Kalau boleh, mari kita melanjutkan perjalanan kita. Menuju ke Kun-lun-san dan Tibet!” Suara Pek Hong
Nio-cu seperti bersorak dan wajahnya berseri, matanya bersinar-sinar, mulutnya tersenyum sehingga Thian
Liong terpesona karena gadis itu tampak cantik jelita sekali.
Setelah berkata demikian, Pek Hong Nio-cu melarikan kudanya dengan cepat. Thian Liong juga cepat
mengejar dan dua ekor kuda pemberian Kwee-ciangkun itu, kuda-kuda yang tinggi besar dan kuat, kini
seperti berlumba berlari cepat menuju ke barat laut.
◄Y►
Setelah melakukan perjalanan berkuda selama beberapa pekan, pada suatu pagi yang cerah Thian Liong
dan Pek Hong Nio-cu tiba di kaki pegunungan di Propinsi Shansi. Di bawah sinar matahari pagi yang cerah
mereka menjalankan kuda mereka perlahan-lahan sambil menikmati pemandangan alam yang indah di
daerah pegunungan itu.
Ketika mereka tiba di lereng bukit di pegunungan Cin-ling-san itu, Pek Hong Nio-cu menahan kudanya dan
memandang ke bawah di mana terbentang pemandangan alam yang amat indahnya. Sinar matahari yang
putih kekuningan itu memandikan permukaan bumi di bawah sana. Thian Liong juga menghentikan kudanya
berdampingan dengan Pek Hong Nio cu dan melihat wajah gadis itu berseri, matanya berbinar dan
mulutnya tersenyum, tampak terpesona dan berbahagia, dia juga memandang ke arah yang dipandang Pek
Hong Nio-cu.
“Aahhh….....” gadis itu menarik napas panjang setelah tadi seolah ia menahan napasnya saking kagum
menyaksikan pemandangan indah itu. “Alangkah indahnya......, bukan main...... sungguh luar biasa, suheng,
dunia-kangouw.blogspot.com
lihat itu air danau kecil berkilauan, puncak pepohonan seperti berhiaskan emas, gundukan bukit-bukit itu......
ah, semuanya seolah tersenyum, begitu hidup......”
Thian Liong tersenyum. “Su-moi, tahukah engkau di mana sesungguhnya keindahan itu terdapat?”
“Eh? Di bawah sana itu, pemandangan alam ini, sinar matahari, lihat burung-burung kecil beterbangan......
ah, semua inilah tempat keindahan!”
“Bukan, su-moi. Keindahan itu terdapat di dalam hatimu!”
“Hemm, bagaimana maksudmu, suheng?”
“Begini, su-moi. Kalau hati sedang tenteram bahagia, tidak terganggu perasaan nafsu apapun, maka segala
sesuatu tampak indah bukan main. Bahkan di waktu hujan atau dalam keadaan apa dan bagaimanapun,
akan tampak indah karena segala sesuatu memiliki sifat dan ciri yang khas. Keindahan itu pencerminan
kebahagiaan. Kalau hatimu berbahagia, maka apapun akan tampak indah. Sebaliknya, kalau hati tidak
tenteram bahagia, terganggu ulah nafsu yang menimbulkan kecewa, marah, benci, dengki, iri, khawatir,
takut, bingung, sedih dan sebagainya, apapun yang kita hadapi akan tampak jelek dan sama sekali tidak
menyenangkan!”
Pek Hong Nio-cu tertegun, berpikir, merenungkan ucapan Thian Liong, kemudian berkata, “Hemm, aku
mulai dapat mengerti apa yang kaumaksudkan, suheng. Akan tetapi berilah contoh agar jelas!”
“Kalau hati kita tenteram bahagia, segala tampak indah, hujan atau panas, siang atau malam, apa saja,
tampak indah karena keadaan tenteram bahagia itu mendatangkan kasih. Kalau hati kita sedang tenteram
bahagia, semua orang, siapa saja, akan tampak seperti sahabat yang menyenangkan. Sebaliknya kalau hati
diusik nafsu menimbulkan segala macam perasaan tadi, hujan maupun panas tampak mengganggu, siang
maupun malam menjengkelkan dan kalau bertemu orang, siapa saja, tampak menjengkelkan seperti
musuh. Kalau hati kita tenteram bahagia, ada seekor kucing mendekat, kita ingin membelainya dengan hati
sayang, sebaliknya kalau kita kehilangan tenteram bahagia, ada kucing mendekat, kita ingin menendangnya
dengan benci.”
Pek Hong Nio-cu tersenyum. “Wah, sekarang aku dapat merasakan kebenaran kata-katamu itu, suheng!
Akan tetapi, bagaimana caranya agar hati kita selalu tenteram bahagia agar segala sesuatu tampak indah
menyenangkan?”
“Tidak ada caranya, su-moi. Kita hanya membuka hati sanubari dan mohon kepada Thian (Tuhan) untuk
bersemayam dalam hati kita. Kalau sudah begitu, dalam keadaan apapun juga, sehat atau sakit, untung
atau rugi, hati kita akan selalu tenteram bahagia.”
“Wah, mungkinkah itu, suheng? Dalam keadaan sakit dan tertimpa malapetaka, bagaimana kita dapat
merasa tenteram bahagia?” gadis itu membantah.
“Kenapa tidak dapat, su-moi? Kebahagiaan bukanlah kesenangan badan dan pikiran. Dalam keadaan
apapun juga, kita akan merasa tenteram bahagia karena kita yakin bahwa Thian beserta kita, kesengsaraan
badan tidak akan mempengaruhi batin yang sudah menyerah sebulatnya berdasarkan iman kepadaNya.”
“Hebat......! Dari mana engkau mendapatkan pengertian seperti itu, suheng?”
“Suhu Tiong Lee Cin-jin banyak memberi petunjuk, akan tetapi hanya Kekuasaan Thian yang membimbing
sehingga kita dapat mengerti. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang mustahil, tidak ada yang sukar bagi
Thian. Di dalam tanganNya, kita akan selalu merasa tenteram bahagia, dalam keadaan apa dan
bagaimanapun juga.”
“Wah, sungguh engkau beruntung dapat menjadi murid Paman Sie dan langsung mendapatkan petunjuk
darinya! Kalau begitu, sekarang engkau adalah seorang yang selalu merasa tenteram bahagia, suheng?”
Thian Liong tersenyum dan menghela napas panjang. “Su-moi, kita adalah manusia, mahluk yang
bergelimang dosa. Thian selamanya tak pernah meninggalkan kita sedetikpun. KekuasaanNya bekerja juga
dalam diri kita. Sebentar saja kekuasaanNya meninggalkan kita dan tidak bekerja, kita akan mati. Kita
manusia lemah dan aku juga seorang manusia, su-moi dengan segala kelemahanku pula. Bukan Thian
yang menjauhkan diri dari kita, melainkan kita yang menjauhkan diri dari Thian kalau kita terseret oleh nafsu
nafsu yang menguasai diri kita lahir batin. Tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini, sumoi. Yang
Maha Sempurna hanya Thian. Segala ciptaanNya pada semula adalah sempurna, namun kesempurnaan itu
dicemari oleh dosa kita manusia sendiri. Kita harus belajar, su-moi, belajar dan mengajar diri sendiri agar
dunia-kangouw.blogspot.com
selalu mendekatkan diri dengan penyerahan yang tulus ikhlas kepada Tuhan Yang Maha Kasih dan Maha
Kuasa.”
Mereka turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kuda mereka makan rumput yang hijau segar.
Tempat mereka berhenti itu merupakan padang rumput yang cukup luas dan landai. Mereka ingin
menikmati keindahan itu lebih lama lagi dan mereka duduk di atas batu gunung.
Tiba-tiba Pek Hong Nio-cu berseru, “Hei, itu ada banyak orang mendaki ke sini, suheng!”
Thian Liong memandang ke arah itu dan benar saja, dia melihat belasan orang mendaki lereng bukit itu ke
arah mereka. Dan melihat betapa mereka itu berlari cepat mendaki bukit, dapat diketahui bahwa mereka
bukan orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Setelah rombongan itu tiba cukup dekat sehingga wajah mereka tampak jelas, Thian Liong bangkit berdiri
dan berseru, “Hei, mereka adalah orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai!”
Pek Hong Nio-cu juga bangkit dan berseru, “Dan itu adalah si jahanam Cia Song dan dua orang gadis Kunlun-
pai tak tahu malu itu!”
Thian Liong mengerutkan alisnya. Dia mengenal Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai, juga Kim Lan dan
Ai Yin di antara para tokoh Kun-lun-pai dan dengan kaget dia mengenal Hui Sian Hwesio, Cu Sian Hwesio,
dan juga Cia Song di antara para tokoh Siauw-lim-pai. Jumlah para tokoh Kun-lun-pai ada sembilan orang
dan para tokoh Siauw-lim-pai ada enam orang! Hemm, ada apa lagi ini, pikirnya.
Melihat sikap orang-orang itu, Pek Hong Nio-cu berbisik kepada Thian Liong.
“Hati-hati, suheng, agaknya si jahanam Cia Song membuat ulah lagi!”
Setelah tiba di depan Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu, Ketua Siauw-lim-pai Hui Sian Hwesio, wakil ketua
Siauw-lim pai Cu Sian Hwesio berdiri dengan alis berkerut di depan kedua orang muda itu sedangkan di
samping pimpinan Siauw lim-pai ini berdiri pula Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai yang dari wajahnya
dapat diketahui bahwa mereka marah sekali. Cia Song berdiri di belakang pimpinan Siauw-lim-pai
sedangkan Kim Lan dan Ai Yin berdiri di belakang guru mereka. Delapan orang tokoh lain sudah mengambil
posisi mengepung Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu.
Karena dia sudah diaku sebagai murid Siauw-lim-pai oleh Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai, maka Thian
I.iong mengangkat kedua tangan di depan dada sambil membungkuk kepada kakek itu.
“Suhu......,” katanya dengan hormat.
22.3 Buronan Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai
“Tidak perlu engkau menyebut suhu kepada suheng!” bentak Cu Sian Hwesio. “Engkau tidak pantas
menjadi murid Siauw-lim-pai dan mulai saat ini engkau bukan murid, melainkan musuh Siauw lim-pai.”
“Ji-suhu (Guru kedua), harap jelaskan, apa kesalahan teecu (murid) maka pimpinan Siauw-lim-pai begini
marah kepada teecu?” tanya Thian Liong, sikapnya masih tenang karena dia tidak merasa melakukan
kesalahan apapun terhadap Siauw-lim-pai.
“Engkau masih ada muka untuk bertanya apa kesalahanmu? Jangan pura pura tidak tahu, Souw Thian
Liong! Engkau telah menjadi seorang pengkhianat! Engkau telah begitu rendah menjadi kaki tangan Kaisar
Kin, kemudian engkau memberontak terhadap Kerajaan Sung! Itu semua masih ditambah lagi dengan
perbuatanmu yang keji terhadap Kun-lun pai! Sebagai bekas murid Siauw-lim-pai, dosamu tidak dapat
diampuni. Engkau mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai, maka, kami datang sendiri untuk
menghukummu!” kata Cu Sian Hwesio.
“Hemm, teecu siap menerima hukuman kalau memang teecu melakukan kesalahan. Akan tetapi semua
kabar yang suhu terima itu hanyalah fitnah belaka, dan apa pula yang teecu lakukan terhadap Kun-lun-pai
yang suhu anggap perbuatan keji itu?” Thian Liong masih bersikap tenang dan ia menggeleng kepala
terhadap Pek Hong Nio-cu yang sudah mengerutkan alis dan mukanya merah, sinar matanya berapi-api
karena marah.
“Keparat busuk kau!” tiba-tiba Biauw In Su-thai yang terkenal galak itu memaki sambil menudingkan
telunjuknya ke arah muka Thian Liong. “Engkau telah melakukan perbuatan keji terhadap dua orang
dunia-kangouw.blogspot.com
muridku ini dan kau masih bertanya-tanya lagi seolah tidak berdosa sama sekali? Perbuatan yang terkutuk
itu harus dihukum dan pin-ni (aku) sendiri yang akan menghukummu!”
Pek Hong Nio-cu tidak mampu menahan kobaran api kemarahan dalam hatinya. Ia maju selangkah,
memandang kepada para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai, lalu membentak lantang dengan katakata
tajam.
“Heh, kalian ini kakek-kakek Siauw lim-pai dan nenek-nenek Kun-lun-pai! Hanya sebeginikah kesusilaan
kalian sebagai para pimpinan dua perkumpulan yang terkenal besar itu? Kalian ini kakek-kakek dan neneknenek
ceroboh dan bodoh seperti anak-anak yang mudah dihasut begitu saja, juga sama sekali tidak
mempunyai keadilan sehingga menuduh berdasarkan fitnah tanpa menyelidiki terlebih dulu. Kalian tidak
pantas menjadi pimpinan partai-partai persilatan besar!”
Tentu saja para pimpinan Siauw-lim pai dan Kun-lun-pai terkejut dan marah sekali mendengar kata-kata
yang keras dan tajam menusuk perasaan itu.
“Suhu, perempuan itu adalah puteri Kaisar Kin,” bisik Cia Song kepada dua orang gurunya.
“Oo, jadi engkau ini puteri Kaisar Kin, nona?” tanya Cu Sian Hwesio. “Pantas saja Souw Thian Liong mau
menjadi pengkhianat bangsa. Kiranya tergila-gila oleh kecantikanmu.”
“Tutup mulutmu kakek jahat! Aku Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu tidak sudi menerima penghinaan
dari seorang hwesio tua yang berpura-pura alim seperti kamu!”
“Su-moi......!” Thian Liong mencegah dan menyentuh lengan kiri gadis itu, akan tetapi Pek Hong Nio-cu
mengibaskan lengannya dan tetap menghadapi Cu Sian Hwesio dengan marah. Cu Sian Hwesio berdiri
dalam jarak dua meter dari Pek Hong Nio-cu. Tentu saja dia juga marah mendengar omongan gadis itu.
“Kau anak perempuan jahat!” katanya dan tangan kirinya dijulurkan ke depan.
Lengan itu mulur seperti karet dan tahu tahu sudah dekat sekali, hendak menotok leher Pek Hong Nio-cu.
Gadis ini terkejut melihat lengan yang bisa mulur itu. Akan tetapi ia tidak gentar dan menangkis tangan itu
sambil mengerahkan tenaga sakti pada tangannya yang menangkis.
“Wuuuuttt...... plakkk!” Dua tangan bertemu dan dengan kaget Cu Sian Hwesio menarik kembali tangannya
yang mulur. Dia terkejut bukan main karena tangkisan gadis itu kuat sekali dan dapat mengimbangi
tenaganya. Sebelum dia bergerak lagi, Hui Sian Hwesio menegurnya.
“Sute, hentikan itu!”
Cu Sian Hwesio menahan serangannya dan berdiri dengan alis berkerut.
“Omitohud, nona Puteri Moguhai, bagaimana kami dapat yakin bahwa engkau adalah puteri Kaisar Kin?”
tanya Hui Sian Hwesio, suaranya lembut.
Watak Puteri Moguhai adalah keras. Kalau ia dikasari, ia akan menjadi marah sekali, akan tetapi kalau
orang bersikap Iembut kepadanya, ia menjadi lemas.
Mendengar pertanyaan itu, ia mencabut pedang bengkoknya dari emas lalu berkata, suaranya juga lembut.
“Ini adalah pedang tanda kekuasaan yang diberikan Ayahanda Kaisar kepadaku.” Setelah berkata demikian,
ia menyimpan kembali pedang bengkoknya.
“Apakah losuhu ini Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai?” Ia pernah mendengar cerita Thian Liong tentang
ketua ini.
“Benar, nona puteri. Engkau keliru kalau menganggap kami tidak adil. Kami tidak akan menghukum seorang
murid kami kalau tidak ada bukti dan saksi akan kesalahannya. Omitohud, kami akan menjadi orang-orang
berdosa kalau kami menjatuhkan hukuman kepada orang yang tidak bersalah.”
“Hemm, jadi losuhu sekalian ini hendak menghukum Souw Thian Liong karena sudah mempunyai bukti dan
saksi bahwa dia benar bersalah?”
“Su-moi, jangan menentang suhu Hui Sian Hwesio!” Thian Liong mencegah Puteri Moguhai.
“Puteri Moguhai, ada hak apakah engkau ikut mencampuri urusan kami dengan seorang murid kami?”
bentak Cu Sian Hwesio penasaran.
dunia-kangouw.blogspot.com
Moguhai atau Pek Hong Niocu menegakkan kepalanya dan membusungkan dadanya. “Tentu saja aku
mempunyai hak untuk membela dia, karena dia adalah suhengku. Suheng Souw Thian Liong murid Tiong
Lee Cin-jin, akupun murid Sang Dewa Obat!”
Semua orang terkejut dan Cu Sian Hwesio sekarang tidak merasa heran bahwa tadi puteri Kaisar Kin itu
kuat menolak serangannya.
“Omitohud, kiranya nona puteri adalah murid Tiong Lee Cin-jin. Nah, coba sekarang apa pembelaanmu
terhadap Souw Thian Liong mengenai tuduhan-tuduhan tadi,” kata Hui Sian Hwesio dengan sikap dan
suaranya yang lembut.
“Nah, dengarlah kalian semua! Aku, Puteri Moguhai adalah saksi hidup karena aku mengalami semua
peristiwa yang dituduhkan itu bersama suheng Souw Thian Liong. Suheng sama sekali bukan pengkhianat
seperti yang dituduhkan. Ketika berada di utara, dia membantu aku untuk menentang dan menghancurkan
persekutuan pemberontak yang hendak menggulingkan pemerintahan ayahanda kaisar. Kami berhasil
menghancurkan pemberontak. Jadi, suheng Souw Thian l.iong hanya membantu Kerajaan Kin untuk
menghancurkan pemberontak di sana. Apakah itu dapat diartikan bahwa dia mengkhianati Kerajaan Sung?
Selain itu, ada pula kenyataan yang tentu saja kalian belum mengetahui! Sekarang dengarkan baik-baik.
Para pemberontak di Kerajaan Kin itu bersekutu dengan Perdana Menteri Chin Kui. Kami berdua melihat
dan bertemu sendiri dengan utusan Chin Kui yang dikirim ke utara untuk mendukung pemberontakan itu.
Dan kalian mau tahu siapa utusan Perdana Menteri Chin Kui itu?” Puteri Moguhai berhenti sebentar lalu
telunjuk kirinya menuding ke arah muka Cia Song yang berdiri di belakang Hui Sian Hwesio.
“Dialah orangnya, Cia Song yang jahat itu!”
Tentu saja semua orang terkejut, terutama sekali para pimpinan Siauw-lim pai. Hui Sian Hwesio sampai
menoleh ke belakang, memandang Cia Song.
Cia Song sudah memperhitungkan bahwa tentu Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu ingin membela diri
dengan membongkar rahasia dirinya. Dia sudah siap siaga untuk itu, maka kini dia menjatuhkan diri berlutut
di depan kaki Hui Sian Hwesio.
“Suhu, ternyata puteri Kaisar Kin ini keji, licik dan jahat sekali. Ia memutar balikkan fakta, bahkan berbalik
melempar fitnah kepada teecu. Tentu saja ia membela Thian Liong yang menjadi kekasihnya. Teecu
menyerahkan kepada kebijaksanaan suhu. Kalau suhu lebih percaya omongan puteri Kaisar Kin dan
hendak menghukum teecu, teecu pasrah dan menyerahkan nyawa teecu. Sejak kecil teecu menjadi murid
Siauw-lim-pai, telah berhutang budi dan akan setia kepada Siauw-lim-pai sampai mati.”
Hui Sian Hwesio menyentuh pundak Cia Song. “Bangunlah! Pinceng percaya kepadamu, Cia Song, dan
tidak akan ceroboh menjatuhkan hukuman begitu saja. Tentu pinceng (aku) lebih percaya kepadantu yang
sudah belasan tahun menjadi murid kami, sedangkan Thian Liong menjadi murid hanya dalam beberapa
bulan saja. Apalagi keterangan nona puteri dari utara ini, tentu membutuhkan penyelidikan lebih lanjut.”
“Hemm…...!” Pek Hong Nio-cu mendengus dengan nada mengejek. “Aku sering mendengar bahwa orang
kalau sudah tua menjadi pikun, lemah dan bodoh. Agaknya para pimpinan Siauw-lim-pai juga menjadi pikun
sehingga mudah saja dipermainkan dan dibohongi iblis cilik seperti Cia Song itu!”
“Bocah kurang ajar! Berani menghina pimpinan Siauw-lim-pai?” Cu Sian Hwesio membentak dan ia sudah
menyerang lagi kepada Pek Hong Nio-cu.
“Perempuan jahat dari Kin dan pengkhianat harus mampus!” Cia Song juga sudah menerjang maju.
Pek Hong Nio-cu tidak gentar. Ketika Cu Sian Hwesio menyerangnya, ia cepat mengelak dan membalas
dengan tendangan kaki kiri yang juga dapat ditangkis Cu Sian Hwesio.
Serangan Cia Song kepada Pek Hong Nio-cu ditangkis Thian Liong dan kedua orang muda ini sudah saling
serang.
“Tahan…...!” Hui In Sian-kouw berseru dan suara wanita yang menjadi ketua Kun-lun-pai bagian murid
wanita ini demikian menggetarkan dan amat berwibawa. “Kami yang berhak menghukum Souw Thian
Liong!”
“Sute dan Cia Song, mundurlah!” Hui Sian Hwesio juga berseru. Dua orang penyerang itu terpaksa mundur
dan perkelahian berhenti.
Kini Biauw In Su-thai yang maju. Tokoh Kun-lun-pai yang berusia limapuluh tahun ini terkenal galak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seperti kita ketahui, Kui Beng Thaisu, ketua Kun-lun pai telah mengharuskan Biauw In Su-thai menyepi di
pondok pengasingan selama tiga tahun. Akan tetapi setelah Kim Lan dan Ai Yin pulang dan sambil
menangis melaporkan kepada para pimpinan Kun lun-pai bahwa mereka berdua telah diperkosa Souw
Thian Liong, Kui Beng Thaisu memberi ijin kepada Biauw In Su-thai untuk menemani Hui In Sian-kouw turun
gunung mencari pemuda itu dan menghukumnya.
Dalam perjalanan, rombongan Kun-lun-pai ini bertemu dengan rombongan Siauw-lim-pai yang bahkan
dipimpin sendiri oleh ketuanya, yaitu Hui Sian Hwesio yang juga mencari Souw Thian Liong untuk
menghukumnya karena pemuda yang sudah dianggap murid Siauw-lim-pai ini menjadi pengkhianat yang
berarti mencemarkan nama besar Siauw-lim-pai seperti yang dilaporkan Cia Song kepada para pimpinan
Siauw-lim pai. Dua rombongan itu lalu bergabung dan akhirnya dapat berhadapan dengan Souw Thian
Liong dan Pek Hong Nio-cu.
“Souw Thian Liong! Engkau harus berani mempertanggung jawabkan perbuatanmu yang terkutuk terhadap
dua orang murid kami!” Biauw In Su-thai berseru dan wanita galak ini sudah mencabut pedangnya.
“Perbuatanmu yang terkutuk itu harus ditebus dengan nyawamu!”
“Su-thai, apakah kesalahan saya terhadap dua orang murid Su-thai itu?” tanya Souw Thian Liong tenang
sambil memandang ke arah Kim Lan dan Ai Yin yang memandang kepadanya dengan alis berkerut dan
mata berapi-api karena marah.
Kim Lan yang sejak tadi marah sekali, kemarahan yang bukan saja mengingat bahwa ia telah diperkosa
Souw Thian Liong, akan tetapi dikipasi oleh, anehnya, perasaan cemburu melihat betapa pemuda itu
demikian akrab dan dibela puteri cantik Kaisar Kin, melangkah maju dan mencabut pedangnya pula, diikuti
oleh Ai Yin.
“Keparat keji!” Kim Lan menudingkan pedangnya dengan sikap galak. “Engkau masih pura-pura bertanya?
Seolah lupa akan perbuatanmu yang terkutuk terhadap kami berdua!”
Thian Liong memandang heran. “Perbuatan terkutuk? Biadab? Apa yang kaumaksudkan, nona?”
“Engkau masih berpura-pura? Baiklah, kami berdua memang sudah tercemar aib. Biarlah semua orang
mengetahui betapa biadab dan terkutuk engkau, Souw Thian Liong! Di dalam penginapan di kota Kiang-cu
itu, engkau menotok kami berdua lalu...... lalu...... dengan biadab engkau memperkosa kami!” Setelah
berkata demikian, air mata mengalir dari mata Kim Lan, juga Ai Yin.
“Penasaran! Aku tidak melakukan perbuatan keji itu! Apa buktinya? Siapa saksinya?” kata Thian Liong
penasaran.
“Buktinya?” kata Kim Lan dengan suara parau karena bercampur tangis dan ia mengeluarkan sehelai surat
dari saku bajunya, melambaikan surat itu ke atas.
“Ini buktinya, suratmu yang kau tinggalkan di meja kamar penginapan. Engkau bukan saja telah
memperkosa, bahkan engkau juga meninggalkan surat menghina Kun-lun-pai!”
“Saksinya adalah aku!” Tiba-tiba Cia Song berkata lantang. “Aku yang menyaksikan bahwa pada waktu dua
orang nona murid Kun-lun-pai itu berada di Kota Kiang-cu, aku melihat Souw Thian Liong dan puteri Kin itu
juga berada di sana!”
Biauw In Su-thai berteriak, “Kim Lan! Ai Yin! Tak perlu banyak bicara lagi, kita bunuh jahanam ini!” Tokoh
Kun-lun pai ini menerjang, diikuti oleh Kim Lan dan Ai Yin sehingga Thian Liong diancam pengeroyokan tiga
orang wanita yang pandai mainkan Thian-lui-kiam-sut (llmu Pedang Kilat Guntur) itu.
Pek Hong Nio-cu juga mencabut pedang bengkoknya dan melompat ke depan Thian Liong untuk
melindungl pemuda yang masih berdiam tenang dan tidak mencabut pedangnya itu. Pek Hong Nio cu
bersiap melawan tiga orang wanita Kun-lun-pai itu. Melihat ini, tiga orang wanita itu menjadi semakin marah.
“Bentuk Thian-lui-kiam-tin (Pasukan Pedang Kilat Guntur)!” kata Biauw In Su-thai. Mereka sudah bergerak
dan siap menyerang. Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan tampak sesosok bayangan merah
berkelebat.
“Tahan senjata!” Dan di dekat Pek Hong Nio-cu, berhadapan dengan tiga orang wanita Kun-lun-pai, sudah
berdiri seorang gadis berpakaian serba merah muda. Melihat gadis cantik jelita dengan sepasang mata
indah yang mencorong dan bentuk mulut yang menggairahkan, Thian Liong terkejut.
“Engkau......?” dia membentak karena segera dia mengenal gadis yang dulu mencuri kitab Ngo-heng Lianhoan
Kun hoat dari tangannya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Bi Lan, gadis itu, menoleh dan tersenyum kepada Thian Liong berkata, “Ya, aku! Aku pernah bersalah
kepudamu dan sekarang aku hendak menebus kesalahan itu dengan membelamu!”
Biauw In Su-thai membentak. “Apa yang kaulakukan ini? Souw Thian Liong itu musuh kita! Dia telah
menodai dua orang kakak seperguruanmu. Mari bantu kami bunuh dia!”
Mendengar ini Thian Liong menjadi terheran-heran. Jadi, gadis yang mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan
Kun-hoat itu adalah murid Kun-lun-pai? Kenapa mencuri sendiri kitab milik Kun-lun-pai dan kini berbalik
membelanya?
“Tidak, bibi guru. Saya tadi sudah mendengar semua dan saya yakin bahwa Souw Thian Liong bukanlah
seorang jahat. Tuduhan ini harus diselidiki lebih dulu kebenarannya!” Gadis baju merah itu membantah.
Hui In Sian-kouw berkata, suaranya lembut namun mengandung teguran. “Tuduhan itu sudah ada bukti dan
saksinya, bukan hanya fitnah belaka. Harap engkau tidak mengkhianati Kun-lun-pai dan menjadi murid yang
ikut mempertahankan dan menjaga kehormatan Kun-lun-pai.”
“Maaf, subo (ibu guru), teecu bukan hendak berkhianat. Malah teecu ingin menjaga agar pimpinan Kun-lunpai
tidak bertindak salah menghukum orang yang tidak berdosa. Harap subo ingat bahwa Souw Thian Liong
adalah murid! Tiong Lee Cin-jin yang sudah berjasa mengembalikan kitab pusaka milik Kun-lun-pai yang
hilang, dan tidak sembarangan menjatuhkan hukuman kepadanya sebelum jelas bukti-buktinya,” gadis itu
membantah.
“Bagus!” Pek Hong Nio-cu bertepuk tangan memuji. “Suheng, sobat muda ini ternyata lebih u-ceng-li (punya
aturan) daripada para nenek Kun-lun-pai!” Lalu Pek Hong Nio-cu menghadapi Hui In Sian kauw. “Apakah
engkau pimpinan Kun-lun pai yang bertanggung jawab?”
“Benar, pin-ni (aku) adalah Hui In Sian-kouw, ketua bagian murid wanita Kun-lun-pai,” jawab pendeta wanita
itu.
“Bagus, kalau begitu aku mau bicara denganmu. Dengarlah, kalian semua, seperti juga tuduhan pihak
Siauw-lim-pai, tuduhan pihak Kun-lun-pai terhadap Souw Thian Liong juga palsu dan tidak benar sama
sekali. Bukti itu menunjukkan kebersihan suheng Souw Thian Liong karena surat itu adalah tulisanku yang
sengaja kulempar ke atas meja dalam kamar dua orang murid Kun-lun-pai itu. Sama sekali bukan tulisan
suheng Souw Thian Liong! Mau tahu bahwa aku tidak berbohong? Baik, akan kubacakan apa yang kutulis
itu karena aku masih ingat. Bunyinya tentu begini :
‘Murid-murid perempuan Kun-lun-pai tak tahu malu. Memaksa seorang la laki-laki menjadi suaminya.
Begitukah pelajaran yang kalian dapatkan dari Kun-lun-pai?’
Nah, coba baca surat itu, persis tidak dengan kata-kataku tadi? Kalau perlu aku akan menulis agar diketahui
bahwa surat itu aku yang menulis!”
“Perempuan keparat! Berani engkau menghina Kun-lun-pai!” bentak Biauw In Su-thai sambil mengelebatkan
pedangnya.
“Heh-heh, engkau yang bernama Biauw In Su-thai, bukan?” Pek Hong Nio-cu mendengar nama ini dari
cerita Thian Liong. “Jadi engkau ini guru dua orang murid perempuan itu, engkau yang memaksa mereka
untuk memaksa suheng Souw Thian Liong menjadi suami muridmu dan kalau suheng menolak harus
dibunuh? Oh, aturan mana itu?”
“Jahanam......!” Biauw In Su-thai hendak menyerang akan tetapi Hui In Sian-kauw mencegahnya.
“Tahan, su-moi. Puteri Moguhai, andaikata benar kesaksianmu tentang bukti itu, masih ada lagi kesaksian
murid Siauw-lim-pai Cia Song bahwa dia melihat engkau dan Souw Thian Liong berada di kota Kiang-cu
ketika peristiwa yang menimpa dua orang murid kami itu terjadi,” kata Hui In Sian-kauw.
“Memang benar bahwa kami berada di kota itu. Akan tetapi aku yang mendatangi kamar penginapan
mereka itu, dan aku menjadi saksi bahwa suheng Souw Thian Liong malam itu sama sekali tidak keluar dari
kamarnya, sesuai dengan anjuran si Cia Song itu agar suheng malam itu tidak keluar dari kamarnya.”
“Bohong, puteri Kaisar Kin itu bohong, sengaja memutarbalikkan kenyataan. Ia berbahaya sekali! Tidak
mungkin suhu dan para susiok lebih percaya ia dan Souw Thian Liong daripada teecu! Kita bunuh mereka!”
teriak Cia Song.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Subo, teecu yakin Souw Thian Liong itu yang menodai teecu berdua. Teecu mendengar suaranya ketika
dia mengejek dengan kata-kata: “Kalian ingin mengenal Souw Thian Liong”, lalu dia tertawa lirih,” kata Kim
Lan.
“Teecu juga mendengar suaranya itu!” kata pula Ai Yin.
Cia Song, Kim Lan, dan Ai Yin sudah menerjang Thian Liong dengan pedang mereka. Akan tetapi Pek
Hong Nio-cu menangkis serangan dua orang gadis murid Kun-lun-pai itu dan Thian Liong mengelak dari
serangan Cia Song yang dahsyat. Thian Liong masih merasa ragu untuk menggunakan pedangnya karena
dia berhadapan dengan para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang dia hormati dan dia tahu bahwa
mereka itu hanya terkena hasutan Cia Song saja.
“Omitohud, menyerahlah Thian Liong. Kami hendak menangkapmu dan akan mengadili setelah meneliti
perkara ini! Tangkap saja dia, jangan bunuh!” kata Hui Sian Hwesio.
Akan tetapi hanya Hui Sian Hwesio ketua Siauw-lim-pai dan Hui In Sian-kouw ketua Kun-lun-pai saja yang
tidak tergesa mengambil keputusan untuk membunuh Souw Thian Liong. Mereka yang lain sudah
terpengaruh kesaksian Cia Song dan pengakuan Kim Lan dan Ai Yin maka mereka menyerang dengan
dahsyat untuk membunuh Souw Thian Liong.
23.1 Pembelaan Tiga Jelita Perkasa
Dengan marah Pek Hong Nio-cu menggerakkan pedangnya untuk membela Thian Liong dari pengeroyokan
belasan orang yang semua memiliki ting¬kat kepandaian silat yang sudah tinggi itu. Melihat betapa Thian
Liong dikeroyok belasan orang dan dibantu oleh Pek Hong Nio-cu yang ia tadi dengar adalah Pute¬ri
Moguhai dari Kerajaan Kin, Han Bi Lan tidak tinggal diam dan iapun cepat mencabut pedangnya dan
membela Thian Liong. Gerakan Han Bi Lan ini dahsyat bukan main dan ia sengaja menerjang ke arah para
pengeroyok dari Siauw-lim¬-pai karena untuk melawan orang-orang Kun-lun-pai ia masih merasa sungkan.
Biarpun tingkat kepandaian tiga orang muda ini, terutama sekali tingkat kepan-daian Souw Thian Liong dan
Han Bi Lan, sudah tinggi dan tangguh sekali, namun mereka menghadapi pengeroyokan tigabelas orang
yang rata-rata juga mengua¬sai ilmu silat tingkat tinggi. Apalagi ka¬rena Thian Liong sendiri hanya
bertahan, tidak membalas kepada para pengeroyok lain kecuali kepada Cia Song, maka ten¬tu saja tiga
orang muda ini terdesak hebat.
Tiba-tiba terdengar lengkingan nya¬ring dan tampak bayangan hijau berkele¬bat memasuki perkelahian
dan terdengar suara seorang wanita.
“Liong-ko (kakak Liong), jangan kha¬watir. Aku datang membantumu!” teriak seorang gadis berpakaian
serba hijau, dan ia sudah memegang Siang-kiam (sepasang pedang) dan mengamuk, membantu Thian
Liong menghadapi para pengeroyok!
“In-moi (adik In)!” Thian Liong berse¬ru dan hatinya diliputi kebingungan kare¬na dia telah membuat tiga
orang gadis, yaitu Pek Hong Nio-cu, Si baju merah, dan Thio Siang In, terlibat dalam urusan¬nya dengan
Siauw-lim-pai dan Kun-lun-¬pai, juga aneh sekali, pada saat terdesak dan terancam seperti itu, Thian Liong
teringat akan persamaan wajah an¬tara, Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li Thio Siang In. Dan
sekarang dia ter¬ingat bahwa wajah mereka berdua itu persis sama. Bedanya hanya warna pakai¬an.
Kalau Pek Hong Nio-cu berpakaian serba putih, Ang Hwa Sian-li berpakaian serba hijau. Selain pakaian,
juga cara menyanggul rambut mereka berbeda. Kalau rambut Pek Hong Nio-cu digelung model Puteri Kin,
rambut Ang Hwa Sian-li model gadis Han. Masih ada lagi perbedaan pada wajah yang dapat membuat dia
bisa mengenal mana yang satu dan mana yang yaitu pada le¬tak tahi lalat kecil hitam. Tahi lalat Pek Hong
Nio-cu berada di pipi kanan, sedangkan tahi lalat Ang Hwa Sian-li ber¬ada di pipi kiri!
“Singgg...... tranggg! Brettt!” Thian Liong terkejut juga. Dia menangkis dua pedang akan tetapi sebatang
pedang la¬in hampir saja mengenai dadanya. Dia masih dapat mengelak dan bajunya yang terobek. Ini
akibat dia melamun dan membayangkan dua orang gadis yang berwajah mirip satu sama lain itu!
Biarpun kini dibantu lagi oleh Ang Hwa Sian-li dan tiga orang gadis jelita itu bersungguh-sungguh
melakukan perta¬wanan untuk membela Thian Liong, tetap saja mereka berempat terdesak hebat. Apalagi
setelah Hui Sian Hwesio maju pula menyerang Thian Liong. Pemuda itu tentu saja merasa sungkan untuk
mela¬wan Hui Sian Hwesio dan hanya meng¬hindarkan diri dengan tangkisan dan elakan. Serangan para
pengeroyok lain dengan senjata dia hadapi dengan tang¬kisan Thian-liong-kiam. Maka dia terde¬sak hebat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Bi Lan yang paling tangguh di antara tiga orang gadis yang membela Thian Liong, tiba-tiba harus
berhadapan dengan Hui In Sian-kouw yang menyerang¬nya dengan pedang. Sesungguhnya, ting¬kat
kepandaian Han Bi Lan pada saat itu masih tidak tertandingi oleh Hui In Sian-kouw, akan tetapi menghadapi
se¬rangan ketua Kun-lun-pai bagian wanita ini, Han Bi Lan menjadi rikuh bukan ma¬in. Di antara para
pimpinan Kun-lun-pai, hanya dua orang yang dia hormati, yaitu Kui Beng Thaisu dan Hui In Sian-kouw. Kini
Hui In Sian-kouw menyerangnya, maka iapun hanya berani menangkis dan mengelak. Padahal ia dikeroyok
ba¬nyak orang. Maka seperti Thian Liong, Bi Lan juga hanya mampu bertahan dan terdesak hebat.
Secara tidak disengaja, Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li bersatu, saling membelakangi menghadapi
pengeroyokan sepuluh orang sehingga mereka terlindung di bagian belakang atau saling melindungi. Akan
tetapi mereka berdua juga hanya mampu menangkis dan tidak dapat membalas.
Dalam keadaan terancam bahaya, em¬pat orang itu menjadi nekat. Pada saat itu, terdengar seruan lembut,
namun su¬ara itu menggetar udara dan menggun¬cang jantung semua orang.
“Sian-cai (damai)......! Kekerasan sama sekali bukan cara terbaik untuk menye-lesaikan persoalan!”
Hui Sian Hwesio sendiri, seorang yang paling tinggi kedudukan dan tingkat ilmu kepandaiannya, melompat
ke belakang karena merasakan getaran yang amat ku¬at terkandung dalam suara itu. Juga yang
merasakan guncangan jan¬tung dan mereka juga melompat ke be¬lakang sambil menoleh dan
memandang kepada orang yang mengeluarkan kata¬-kata itu.
Orang itu berada dalam jarak belasan meter dari situ dan kini dia melangkah dan menghampiri mereka
dengan tenang dan bibirnya tersenyum penuh kesabaran dan pengertian. Pakaiannya hanya kain berwarna
kuning dilibat-libatkan ke tubuhnya. Rambut yang sudah berwarna dua diikat dengan pita kuning pula.
Walau¬pun pakaiannya amat sederhana, namun tampak bersih. Mukanya bulat dengan dagu meruncing,
matanya tajam menco¬rong namun lembut dan hidungnya man¬cung. Laki-laki berusia enampuluh tahun
lebih ini menunjukkan bekas ketampan¬an. Tubuhnya sedang namun masih tam¬pak kuat. Dengan senyum
yang khas dia menghampiri mereka dan kata-katanya tenang lembut namun terdengar jelas se-kali seolah
dia bicara di dekat telinga semua orang.
“Betapa menyedihkan. Kejahatan dan ketidakadilan hampir selalu berada di atas angin tanpa disadari oleh
manusia yang bersangkutan!”
“Suhu......!” Thian Liong segera menja¬tuhkan diri berlutut menghadap laki-laki yang bukan Iain adalah
Tiong Lee Cin-jin itu.
“Paman Sie......!” Pek Hong Nio-cu juga berseru dan menghampiri orang itu, wa-jahnya berseri gembira.
“Bangunlah, Thian Liong. Dan engkau, Moguhai, mundurlah dulu, anak yang baik, biarkan aku menghadapi
mereka dan menyelesaikan persoalan ini,” kata Tiong Lee Cin-jin.
Pek Hong Nio-cu gembira se¬kali disebut anak yang baik! Ia dan Thian Liong berdiri di dekat Han Bi Lan
dan Ang Hwa Sian-li, dua orang gadis yang tadi membantu mereka.
“Terima kasih atas bantuan kalian berdua,” kata Pek Hong Nio-cu dengan ramah. Akan tetapi ketika ia
beradu pan¬dang dengan Ang Hwa Sian-li, mereka berdua terkejut dan terbelalak karena mereka merasa
seolah-olah memandang dirinya sendiri dalam cermin. Keduanya menjadi salah tingkah, bingung dan juga
tegang, lalu mengalihkan perhatiannya memandang ke arah Tiong Lee Cin-jin. Sementara itu, Thian Liong
memandang kepada Bi Lan dengan alis berkerut dan sinar mata menegur, akan tetapi Bi Lan
menyambutnya dengan senyum mengejek!
“Omitohud!” kata Hui Sian Hwesio yang menghampiri dan berhadapan dengan Tiong Lee Cin-jin, “Kelirukah
pinceng kalau menduga bahwa yang datang ini adalah Tiong Lee Cin-jin?” Ketua Siauw-lim-pai ini
mengangkat kedua ta¬ngan depan dada dan memberi salam dengan sembah.
“Tidak keliru, memang saya yang di¬sebut orang Tiong Lee Cin-jin, Hui Sian Hwesio.”
“Omitohud! Pinceng mendapat kesem¬patan bertemu muka untuk mengucapkan terima kasih atas
pengembalian kitab Sam-jong-cin-keng!” kata ketua Siauw-lim-pai itu.
“Kami juga mengucapkan terima ka¬sih atas pengembalian kitab kami Ngo¬-heng Lian-hoan Kun-hoat, Cinjin,”
kata Hui In Sian-kouw.
Tiong Lee Cin-jin menggoyang tangan¬nya. “Tidak perlu berterima kasih kepada saya, karena sudah
sewajarnya dan seharusnya kalau kitab-kitab itu kembali kepada pemiliknya yang sah. Kita bica¬rakan saja
soal lain. Saya melihat tadi betapa para pimpinan Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai mengeroyok Souw Thian
dunia-kangouw.blogspot.com
Liong yang dibantu tiga orang gadis ini. Saya melihat betapa hal itu memalukan, dan tidak pantas. Para
pimpinan dua perkumpulan besar mengeroyok empat orang muda!”
Dengan wajah berubah kemerahan ka¬rena merasa malu, Hui Sian Hwesio ber¬kata, “Omitohud! Urusan
kami dengan Souw Thian Liong merupakan urusan se¬orang murid dengan perguruannya, Cin-jin.”
Tiong Lee Cin-jin tersenyum, “Begitu¬kah, Hui Sian Hwesio? Berapa lama Thian Liong diangkat menjadi
murid Siauw-lim-pai? Berapa bulan? Harap di¬ingat bahwa Thian Liong menjadi murid saya selama sepuluh
tahun! Apakah ke¬nyataan itu tidak membuat saya lebih berhak mengurus persoalan murid saya ini
dibandingkan Siauw-lim-pai?”
“Omitohud, ucapan Cin-jin memang tak dapat dibantah kebenarannya. Akan teta¬pi, Cin-jin, urusan ini
adalah urusan Thian Liong dengan Siauw-lim-pai. Dia telah mencemarkan nama Siauw-lim-pai karena dia
telah diaku sebagai murid dan untuk itu tidak mungkin kami mendiam¬kannya saja. Ada aturan dalam
perkum¬pulan kami bahwa murid yang melaku¬kan perbuatan sesat sehingga mencemar¬kan nama Siauwlim-
pai harus dihukum.”
“Saya tidak ingin menentang peratur¬an Siauw-lim-pai, akan tetapi ada per¬aturan yang menjadi hukum
alam semes¬ta, bahwa hanya yang bersalah saja yang harus dihukum. Apakah Siauw-lim-pai hendak
melanggar hukum itu dan hendak menghukum orang yang tidak bersalah? Di mana letak keadilan yang
katanya se-lalu dijunjung tinggi oleh para pendekar Siauw-lim-pai?”
“Omitohud, Tiong Lee Cin-jin, selama¬nya Siauw-lim-pai tidak akan menyalahi hukum itu. Yang dihukum
hanya yang bersalah dan Souw Thian Liong jelas bersalah!”
Tiong Lee Cin-jin tersenyum lebar dan menudingkan telunjuknya kepada Cia Song yang bersembunyi di
balik pung¬gung Hui Sian Hwesio.
“Yang melaporkan tentang semua ke¬salahan Thian Liong itu tentu muridmu yang kini bersembunyi di
belakang pung¬gungmu itu, bukan? Hui Sian Hwesio dan semua yang hadir, dengarlah. Saya sendi¬ri yang
menjadi saksi ketika Cia Song ini mewakili Perdana Menteri Chin Kui membantu para pemberontak di utara,
sedangkan Thian Liong hanya membantu Puteri Moguhai untuk menghancurkan pemberontakan! Apakah
perbuatan itu kalian anggap suatu pengkhianatan terhn-dap Kerajaan Sung dan mencemarkan na¬ma
Siauw-lim-pai Bahkan Kaisar Sung Kao Tsu sendiri tidak menganggap Thian Liong sebagai pengkhianat,
bahkan telah menerima Thian Liong dan Puteri Mogu¬hai sebagai tamu kehormatan yang sudah berjasa!”
Mendengar ucapan ini, Hui Sian Hwe¬sio, Cu Sian Hwesio dan para tokoh Siauw-lim-pai lainnya kini
memandang kepada Cia Song yang bersembunyi di belakang Hui Sian Hwesio.
“Cia Song!” Hui Sian Hwesio berseru, suaranya masih lembut namun nadanya menegur. “Benarkah semua
yang pinceng dengar itu?”
Cia Song hanya menunduk dengan wa¬jah merah. Pada saat itu Puteri Moguhai tertawa, suara tawanya
nyaring dan be¬bas.
“Heh-heh-heh, kalian para pimpinan Siauw-lim-pai memang seperti kanak-ka¬nak yang mudah dibohongi,
seperti kata¬ku tadi. Kalian hendak medengar ceri¬ta yang bagus tentang muridmu yang bernama Cia Song
itu lebih lanjut? De¬ngar baik-baik. Si jahanam itu telah menjadi kaki tangan Perdana Menteri Chin Kui dan
ikut pula merencanakan pemberontakan! Dan siapa yang mengha¬langi niat busuknya itu sehingga
akhirnya Chin Kui dan antek-anteknya tertangkap dan dijatuhi hukuman? Yang membantu adalah suheng
Souw Thian Liong dan akulah yang membantunya. Bahkan se¬mua usaha pembelaan kami terhadap Kaisar
itu tentu mengalami kegagalan dan mungkin Kaisar sudah terbunuh kalau saja Paman Sie atau Tiong Lee
Cin-jin, guru kami ini tidak menolong kami! Cia Song menjadi antek Chin Kui, memban¬tu pemberontakan di
Kerajaan Kin, ke¬mudian setelah gagal, dia membantu Chin Kui yang mengadakan pemberontakan di
Kerajaan Sung! Nah, sekarang si-apakah yang menjadi pengkhianat dan pantas dihukum? Suheng Souw
Thian Liong ataukah Cia Song?”
Hui Sian Hwesio sendiri sampai mem¬belalakkan mata dan mukanya berubah pucat mendengar ucapan
Puteri Moguhai itu. Dia memutar tubuh menghadapi Cia Song yang kini menjadi pucat wajahnya.
“Cia Song, katakan, benarkah semua itu?” Hui Sian Hwesio membentak.
Pada saat itu Biauw In Su-thai berkata dengan suara nyaring dan galak. “Souw Thian Liong! Biarpun
mungkin engkau tidak bersalah terhadap Siauw-lim-pai, akan tetapi engkau harus mempertang¬gungjawabkan
perbuatanmu yang terku¬tuk terhadap dua orang murid kami!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Su-moi, mari kita membalas den¬dam!” kata Kim Lan kepada Ai Yin.
“Mari, suci!” kata Ai Yin.
Dua orang gadis itu dengan penuh kebencian karena dendam sakit hati mere¬ka, sudah menyerang ke arah
Thian Liong dengan pedang di tangan. Akan tetapi berkelebat bayangan hijau dan ba¬yangan putih. Ang
Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu seperti telah bersepakat sa¬ja tahu-tahu telah menyambut serangan dua
orang gadis Kun-lun-pai itu dengan pedang mereka. Terdengar suara geme¬rincing ketika pedang-pedang
mereka menangkis pedang dua orang murid Kun-lun-pai yang merasa tangan mereka tergetar oleh
tangkisan itu.
Thian Liong melompat ke depan. “Su-moi dan In-moi, tahan dan jangan berke¬lahi!” Mendengar suara
pemuda itu, Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu melang¬kah mundur.
Pada saat itu, Cia Song yang sudah tidak mendapatkan jalan untuk menghin¬darkan diri dari ancaman
karena rahasia¬nya telah terbongkar itu, mempergunakan kesempatan itu untuk melarikan diri. Me¬lihat Hui
Sian Hwesio berdiri di depan¬nya dia lalu mendorong dengan pukulan jarak jauh ke arah dada hwesio tua
itu. Dari kedua telapak tangannya menyam¬bar asap hitam karena dia telah mem¬pergunakan ilmu Hek-in
Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan Hitam) yang dipelajarinya da¬ri Ali Ahmed, bangsa Hui yang sakti itu.
Hui Sian Hwesio terkejut bukan main melihat serangan itu.
“Omitohud......!” Dia cepat menggerak¬kan tangan untuk menangkis. Akan tetapi karena tidak menyangka
akan diserang muridnya dari jarak dekat dan meng-gunakan ilmu pukulan asing pula, maka tangkisannya
kurang cepat dan asap hi¬tam itu hanya sebagian saja tertangkis, sebagian masih menyambar ke arah
dadanya.
“Omitohud......!” Tubuh ketua Siauw-lim¬-pai yang gemuk tinggi besar itu terhu¬yung dan dia lalu duduk
bersila dan mengerahkan tenaga sakti untuk mena¬han gempuran hawa beracun yang mema¬suki
dadanya!
Setelah memukul Hui Sian Hwesio, Cia Song melompat hendak melarikan diri. Akan tetapi tubuh Thian
Liong ju¬ga meluncur cepat dan dia sudah meng¬hadang Cia Song.
“Manusia jahat hendak lari ke mana engkau!” kata Thian Liong.
Kedua orang muda ini saling berhadapan dengan mata mencorong. Muka Cia Song menjadi me¬rah sekali
karena dia merasa benci seka¬li kepada Thian Liong. Orang inilah yang mencelakakan aku, pikirnya.
Cu Sian Hwesio, Ki Sian Hwesio dan para tokoh Siauw-lim-pai marah bukan main melihat Cia Song tadi
menyerang Hui Sian Hwesio dan mereka kini menya¬dari betul bahwa ternyata Cia Song yang menjadi
pengkhianat dan melemparkan fitnah kepada Souw Thian Liong, lalu ber¬gerak hendak maju mengeroyok
Cia Song. Akan tetapi Tiong Lee Cin-jin mengembangkan kedua lengannya dan berkata.
“Biarkan mereka berdua menyelesai¬kan sendiri masalah mereka. Tidak baik kalau kita orang-orang tua
mengeroyok orang muda.”
Ucapan ini membuat para pimpinan Siauw-lim-pai terpaksa menahan amarah mereka terhadap Cia Song.
Mereka hanya menonton perkelahian yang akan terjadi antara Cia Song dan Souw Thian Liong.
Sementara itu, melihat betapa Kim Lan, Ai Yin, Biauw In Su-thai merasa pe¬nasaran dan tampak sekali
mereka itu siap mengeroyok Thian Liong, Han Bi Lan lalu berkata dengan suara membujuk kepada mereka.
“Saya kira sebaiknya Kun-lun-pai membiarkan saja Souw Thian Liong me-nyelesaikan urusannya dengan
Siauw-lim-¬pai. Nanti masih ada waktu bagi kita un-tuk menuntutnya, apabila benar-benar ternyata dia
bersalah.”
Para pimpinan Kun-lun-pai dapat menerima usul ini karena bagaimanapun ju¬ga, mereka merasa lebih kuat
kalau Han Bi Lan berdiri di pihak mereka, kalau-kalau terjadi pertentangan dan perkela¬hian.
Kini semua orang menujukan pandang¬an mata mereka kepada dua orang muda yang saling berhadapan.
Mereka menon¬ton dengan hati tegang, terutama mereka yang sudah mengetahui bahwa Cia Song adalah
murid terpandai dari Siauw-lim-pai dan agaknya dia memiliki ilmu lain yang bukan dari Siauw-lim-pai
sebagai-mana terbukti ketika dia menyerang Hui Sian Hwesio tadi, pukulan jarak jauh dengan kedua telapak
tangan mengeluar¬kan asap hitam! Yang tampak tenang¬-tenang saja hanyalah Tiong Lee Cin-jin, Pek
Hong Nio-cu, Han Bi Lan, dan Hui Sian Hwesio karena mereka tahu akan kemampuan Thian Liong yang
mereka yakin pasti akan mampu mengalahkan Cia Song.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cia Song sendiri sudah putus harapan untuk dapat meloloskan diri dari situ. Semua tokoh Siauw-lim-pai kini
memusuhinya, dan di situ masih ada tiga orang gadis lihai yang membela Thian Liong, juga ada Tiong Lee
Cin-jin yang sakti sekali. Keputus-asaan ini membuat dia menjadi nekat dan ingin mengadu nyawa dengan
Souw Thian Liong yang dibencinya.
“Sratt!” Tampak sinar berkilauan ketika Cia Song mencabut pedangnya yang beronce merah.
“Mampuslah engkau, keparat!” Cia Song tidak memberi kesempatan kepada Thian Liong dan sudah
menerjang maju dengan gerakan cepat dan dahsyat. Thian Liong mengelak ke kiri dengan gerakan ringan
dan tidak kalah cepatnya. Namun Cia Song membalik ke kanan dan kembali pedangnya menyambar ke
arah leher Thian Liong.
23.2 Jenazah Penyebar Fitnah
“Tranggg......!!” Bunga api berpijar ketika Thian-liong-kiam yang dia cabut ketika mengelak dari serangan
pertama ta¬di. Setelah menangkis, Thian Liong membalas dengan serangan yang tidak kalah dahsyatnya.
Kembali terdengar bunyi berdentang nyaring dan bunga api berpijar ketika Cia Song menangkis serangan
itu.
Bertandinglah dua orang muda yang sama tangkas dan sama lihainya itu. Mereka saling serang dengan
dahsyat sehingga hawa serangan mereka menyambar-nyambar sampai terasa oleh mereka yang
menonton, padahal jarak antara kedua pemuda yang bertanding ini dan para penonton ada belasan meter
jauhnya.
Cia Song yang sudah nekat seperti harimau tersudut itu mengamuk, mengeluarkan jurus-jurus paling
ampuh dari ilmu pedang Siauw-lim-pai yang sudah dia gabungkan dengan ilmu pedang yang dia pelajari
dari Ali Ahmed sehingga gerakan pedangnya penuh jurus aneh yang mengandung tipu muslihat berbahaya.
Namun Thian Liong menghadapi serangan itu dengan tenang dan membalas dengan ilmu pedang Thianliong-
kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Langit).
Saking cepatnya mereka bergerak, tubuh mereka seolah berubah menjadi dua bayangan yang
berkelebatan, diselimuti gulungan sinar pedang. Hanya suara berdentang dan muncratnya bunga api itu
saja yang menunjukkan bahwa ada dua orang sedang bertanding hebat sekali. Para penonton menahan
napas dan Tiong Lee Cin-jin mengangguk puas melihat kemajuan muridnya yang telah mematangkan
semua ilmu itu dengan pengalaman bertanding melawan orang-orang yang tinggi ilmunya.
Dua orang muda yang bertanding mati-matian itu sama gagahnya, sama muda dan kuatnya dan samasama
telah menguasai banyak ilmu yang tinggi. Kalau dibuat perbandingan, Thian Liong yang sudah
menerima ilmu-ilmu dari Tiong Lee Cin-jin ditambah lagi mempelajari ilmu dari kitab Sam-jong-cin-keng di
bawah bimbingan Hui Sian Hwesio, memiliki tingkat yang lebih tinggi daripada tingkat yang dimiliki Cia
Song. Akan tetapi dalam keadaan nekat seperti itu, Cia Song dapat mengimbangi lawannya, maka
pertandingan itu menjadi seru dan mati-matian.
Setelah mereka bertanding hampir seratus jurus dalam keadaan yang seru dan seolah berimbang, Thian
Liong tetap saja menjaga agar dia jangan sampai membunuh Cia Song, dapat melihat kelemahan lawan.
Maka, ketika dia melihat kesempatan baik, ketika pedang Cia Song menyambar dengan tusukan ke arah
lehernya, dia mengelak ke kanan, kemudian. secepat kilat tangan kirinya menyambar, menotok siku kanan
lawan.
“Tukk! Aughh......!!” Tangan kanan Cia Song terus lumpuh sehingga pedangnya terlepas dari pegangan. Dia
terkejut sekali dan melompat ke belakang. Akan tetapi, Thian Liong tidak mengejar lawan yang bertangan
kosong itu dengan serangan pedangnya. Dia malah menyarungkan kembali Thian-liong-kiam!
“Ihh! Apa-apaan itu, suheng? Tusuk saja jantung pengkhianat itu dengan pedangmu!” seru Pek Hong Nio-cu
atau Puteri Moguhai penasaran melihat Thian Liong menyarungkan pedangnya.
“Hemm, kalau terlalu baik dan lemah, hal itu bisa mencelakakan dirinya sendiri!” kata pula Ang Hwa Sian-li.
“Hi-hik, kalian tidak tahu, dengan tangan kosong Souw Thian Liong jauh lebih unggul!” kata Han Bi Lan
tertawa.
Sementara itu, semua tokoh dari Siauw-lim-pai maupun Kun-lun-pai diam diam kagum akan sikap Thian
Liong yang tidak mau menghadapi lawan yang bertangan kosong dengan pedangnya! Benar benar sikap
gagah seorang pendekar sejati yang tidak mau mempergunakan kesempatan untuk menang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat Thian Liong menyimpan pedangnya, Cia Song timbul lagi harapannya dan bagaikan seekor singa
kelaparan menubruk calon mangsanya, dia melompat dan menerjang ke arah Thian Liong dengan ganas.
Thian Liong mengelak dan membalas. Dua orang muda itu kembali bertanding, kini dengan tangan kosong.
Saling tinju, saling tampar, dan saling tendang dengan gerakan cepat dan kuat sehingga kembali angin
pukulan menyambar-nyambar dan terasa oleh para penonton yang menonton dengan jantung berdebar
tegang saking hebatnya perkelahian itu.
Akan tetapi baru belasan jurus segera ternyata bahwa tingkat ilmu silat tangan kosong Thian Liong lebih
tinggi. Cia Song mulai terdesak terus dan akhirnya dia hanya mampu mengelak dan menangkis, jarang
mendapat kesempatan untuk membalas. Dia tahu benar bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia pasti akan
roboh dan kalah. Maka, dia lalu mengambil keputusan nekat, yaitu mengadu nyawa dengan orang yang
dibencinya ini. Tiba-tiba dia mengeluarkan gerengan kuat sambil melompat ke belakang, lalu kedua
lengannya bergerak dan dia sudah mendorong ke arah Thian Liong dari jarak dekat dengan ilmu Hek-in
Hoat-sut. Asap hitam menyambar dari kedua telapak tangannya.
Karena jaraknya dekat dan dia tidak dapat mengelak tanpa membahayakan dirinya sendiri, maka Thian
Liong lalu menyambut dorongan kedua telapak tangan berasap hitam itu dengan kedua telapak tangannya
sendiri.
“Plakk......!!” Dua pasang telapak tangan itu saling bertemu dan keduanya mengerahkan tenaga sakti untuk
saling dorong dan saling mengalahkan!
Ketegangan memuncak di antara penonton menyaksikan adu tenaga sakti itu. Mereka semua maklum
bahwa biarpun tampaknya kedua orang itu diam saja, tubuh tidak bergerak dan kedua telapak tangan saling
menempel, mengeluarkan asap hitam, namun sebenarnya mereka itu sedang bertanding mati-matian dan
adu tenaga itu dapat mengakibatkan kematian kepada yang kalah kuat!
Melihat betapa kedua telapak tangan Cia Song mengeluarkan asap hitam dan khawatir kalau-kalau Thian
Liong tidak mampu menahan panas yang membakar kedua telapak tangannya, Pek Hong Nio-cu bergerak
hendak mendekat dan membantu. Akan tetapi Tiong Lee Cin-Jin mencegah dan menghadangnya sambil
berkata lembut namun berwibawa.
“Moguhai, kita tidak boleh membantu, tidak boleh curang!”
“Paman Sie...... suheng...... dia......”
“Jangan khawatir, dia mampu mengatasinya,” kata Tiong Lee Cin-jin sambil tersenyum.
Pek Hong Nio-cu tidak berani membantah dan ia mundur lagi dan Ang Hwa Sian-li menarik tangannya
sehingga kembali dua orang gadis itu berdiri berdekatan. Entah mengapa, seolah ada daya yang saling
menarik antara dua orang gadis itu untuk berdekatan! Mereka berdua sama-sama merasa cemas
menyaksikan Thian Liong mati-matian mengadu tenaga sakti melawan Cia Song.
Pertandingan adu tenaga sakti itu semakin hebat. Sebetulnya, Cia Song masih kalah setingkat dalam hal
kekuatan tenaga sakti melawan Thian Liong. Akan tetapi karena dia tahu benar bahwa inilah saat mati
hidupnya setelah semua rahasia busuknya terbongkar, maka Cia Song mengerahkan seluruh tenaga sakti
dan tiba-tiba terdengar bunyi kain robek. Saking hebatnya tenaga yang dikerahkan Cia Song, bajunya
terobek, koyak-koyak dan dadanya tampak karena bajunya terbuka.
Tiba-tiba terdengar Ai Yin menjerit, lalu menutupi mulutnya dengan tangan dan matanya terbelalak
memandang ke arah dada Cia Song yang telanjang. Jelas tampak ada daging tumbuh sebesar telur ayam
menonjol di tengah-tengah dada yang lebar itu.
Jerit Ai Yin itu seolah-olah menambah daya dorong kedua tangan Thian Liong karena tiba-tiba tubuh Cia
Song terlempar ke belakang dan roboh terbanting. Dia rebah dengan telentang, lemas dan dari ujung
mulutnya keluar darah, tanda bahwa dia terluka dalam tubuhnya.
“Suci Kim Lan, dialah orangnya! Lihat benjolan di dadanya seperti kuceritakan kepadamu. Jahanam kaparat
ini yang telah memperkosa kita!” teriak Ai Yin dan bersama Kim Lan ia lari menghampiri Cia Song yang
masih rebah tak berdaya.
Pada saat itu, tampak Kwee Bi Hwa berlari menghampiri dan dara ini berteriak, “Keparat Cia Song! Engkau
yang telah berbuat keji kepadaku!”
Tiga orang gadis itu, Ai Yin, Kim Lan, dan Kwee Bi Hwa bagaikan kesetanan lalu membacoki tubuh Cia
Song yang sudah tidak berdaya itu dengan pedang mereka! Tidak ada orang yang sempat mencegah hal ini
dunia-kangouw.blogspot.com
terjadi. Darah muncrat dan sebentar saja tubuh Cia Song sudah tercacah-cacah menjadi onggokan daging
berdarah-darah! Tiga orang gadis itu membacoki sambil menangis dan air mata mereka bercucuran, darah
korban memercik ke pakaian mereka.
Kemudian bagaikan di bawah satu komando, tiga orang dara cantik itu menggerakkan pedang untuk
menggorok leher sendiri, berusaha membunuh diri!
Biauw In Su-thai dan Hui In Sian-kouw yang sejak tadi sudah waspada, cepat berkelebat dan merampas
pedang dari tangan Ai Yin dan Kim Lan. Pada saat itu, berkelebat sesosok bayangan yang merampas
pedang dari tangan Kwee Bi Hwa, pada saat yang amat tepat. Orang itu ternyata adalah Kwee Bun To,
ayah Bi Hwa.
Tiga orang gadis yang gagal membunuh diri itu kini menangis dalam rangkulan tiga orang yang mencegah
mereka membunuh diri. Biauw In Su-thai, Hui In Sian-kouw dan Kwee Bun To menghibur dan menasihati
tiga orang gadis itu sehingga mereka menyadari bahwa membunuh diri bukan perbuatan yang patut
dilakukan orang-orang gagah. Seorang pendekar bukan saja harus menentang kejahatan, akan tetapi juga
harus berani menghadapi segala penderitaan hidupnya. Membunuh diri hanya dilakukan para pengecut
yang tidak berani menghadapi kenyataan hidup sehingga ingin mengakhiri hidupnya.
Setelah ketegangan itu mereda, Hui Sian Hwesio menghadapi Thian Liong dan Tiong Lee Cin-jin dan
merangkap kedua tangan di depan dada, wajahnya agak kemerahan karena malu dan pandang matanya
sayu karena penyesalan. “Omitohud......! Pinceng telah bertindak picik dan bodoh sehingga secara tidak adil
telah mempercayai fitnah yang dijatuhkan atas diri Souw Thian Liong. Tian Liong dan Cin-jin yang mulia,
harap maafkan pinceng sekalian.”
'Siancai (damai)......! Manusia berbuat kesalahan, itu biasa, akan tetapi manusia menyesali kesalahannya
dan berhasil menemukan hikmat dari kesalahan itu dan bertaubat, itu adalah bijaksana!” kata Tiong Lee
Cin-jin lirih seperti orang membaca sajak.
“Teeeu (murid) tidak menyalahkan suhu karena suhu sekalian hanya tertipu,” kata Thian Liong sederhana.
Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai juga maju menghampiri Tiong Lee Cin-jin dan Thian Liong.
“Souw Thian Liong, maafkan kami, maafkan kedua orang muridku!” kata Biauw In Su-thai. Kim Lan dan Ai
Yin juga mendekat dan sambil menangis mereka juga minta maaf.
“Souw-taihiap...... maafkan kami......” isak mereka.
“Sudahlah, Su-thai dan nona berdua, tidak ada yang perlu dimaafkan karena kalian tidak bersalah.”
“Tidak bersalah apa?” tiba-tiba Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu berteriak. “Mereka mengadakan
aturan gila memaksa orang menjadi suami, apakah itu tidak bersalah?”
Wajah Biauw In Su-thai menjadi pucat lalu berubah merah sekali. “Untuk itu akulah yang bersalah dan aku
telah dihukum oleh ketua kami. Kim Lan dan Ai Yin tidak bersalah karena mereka hanya menaati
perintahku. Akulah yang bersalah......”
Tiong Lee mengerutkan alisnya kepada Puteri Moguhai sambil menggeleng kepalanya. Melihat ini, Pek
Hong Nio-cu menundukkan muka sambil cemberut, tidak berani membantah akan tetapi juga merasa
penasaran.
Hui In Sian-kouw memberi hormat kepada Tong Lee Cin-jin.
“Tiong Lee Cin-jin engkau telah berbuat baik sekali kepada kami dengan mengembalikan kitab Kun-lun-pai,
akan tetapi kami membalasnya dengan fitnah kepada muridmu. Sungguh kami merasa malu dan menyesal
sekali, dan mengharap maaf sebesarnya darimu.”
Tiong Lee Cin-jin tersenyum lebar.
“Aku tidak merasa berbuat baik, hanya melakukan kewajibanku. Kita semua, juga pihak Kun-lun-pai dan
Siauw-lim-pai, adalah korban-korban kelicikan manusia yang dikuasai setan, tidak ada yang patut
disalahkan, tidak ada yang perlu dimaafkan.”
Karena merasa tidak enak hati mereka diliputi rasa sesal dan malu, Hui In Sian-kouw dan Biauw In Su-thai
segera mengajak Kim Lan, Ai Yin dan lima tokoh lain pergi dari situ, kembali ke Kun-lun-pai. Kwee Bun To
juga mengajak puterinya, Kwee Bi Hwa yang masih menangis pergi dari situ. Demikian pula Hui Sian
Hwesio dan Cu Sian Hwesio mengajak tiga orang tokoh Siauw-lim-pai yang lain pergi setelah mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
membawa jenazah Cia Song yang sudah hancur itu dalam sebuah kain lebar untuk diperabukan di tempat
yang layak.
Sementara itu sejak tadi Ang Hwa Sian-li Thio Siang In berhadapan dengan Pek Hong Nio-cu atau Puteri
Moguhai, saling pandang dengan penuh perhatian dan keheranan. Setelah urusan di situ, selesai dan
rombongan Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai pergi, baru mereka mendapat kesempatan untuk saling pandang
dengan penuh selidik. Mereka saling pandang dengan hati tertarik dan semakin menyadari betapa mereka
itu mirip sekali satu sama lain. Mereka merasa seolah memandang bayangan sendiri dalam cermin, hanya
bayangan itu mengenakan pakaian yang berbeda!
“Hei, engkau ini siapakah?” Ang Hwa Sian-li akhirnya bertanya lebih dulu.
Pek Hong Nio-cu, yang sebagai seorang puteri raja tentu saja memiliki derajat yang terkadang membuat ia
bersikap agak angkuh, menjawab.
“Kenapa tidak kauperkenalkan lebih dulu dirimu kepadaku?”
Ang Hwa Sian-li juga memiliki keangkuhan, maka dua orang gadis itu kini berdiri berhadapan dan saling
pandang dengan sinar mata tidak mau mengalah.
Pada saat itu Tiong Lee Cin-jin menghampiri mereka berdua dan melihat dia mendekat, Pek Hong Nio-cu
segera menyambutnya dengan wajah berseri, “Paman Sie! Engkau benar Paman Sie yang pernah kulihat
bicara dengan ibuku di taman itu, bukan?”
Tiong Lee Cin-jin tersenyum memandang kepada mereka berdua. Senyum dan pandang matanya
mengandung kasih sayang yang terasa benar oleh dua orang gadis itu.
“Kalian berdua agaknya merasa heran setelah saling bertemu. Marilah ikut denganku ke hutan itu dan aku
akan menceritakan keadaan sebenarnya agar kalian berdua tidak akan merasa bingung dan heran lagi.
Adalah merupakan kewajibanku untuk menceritakan semua hal kepada kalian berdua.”
Setelah berkata demikian, Tiong Lee Cin-jin berjalan meninggalkan mereka ke arah sebuah gerombolan
hutan yang tidak jauh dari situ.
Dua orang gadis itu saling pandang lalu tanpa berkata apa-apa mereka segera mengikuti Tiong Lee Cin-jin.
Pek Hong Nio-cu menaati karena ia merasa bahwa orang itu adalah Paman Sie seperti yang diceritakan
ibunya, sedangkan Ang Hwa Sian-li yang sudah lama mendengar akan nama besar Tiong Lee Cin-jin, juga
ingin sekali mendengar apa yang akan diceritakan orang sakti itu.
Thian Liong kini tinggal bersama Han Bi Lan. Dia berhadapan dalam jarak sekitar tiga meter dengan gadis
itu dan mereka saling pandang. Bi Lan tersenyum, hatinya girang bahwa ia tadi membantu pemuda itu dan
pertempuran itu berakhir dengan kemenangan pemuda itu, karena dengan bantuan itu berarti ia telah
“membayar” kesalahannya mencuri kitab itu dahulu!
“Hei, kita berjumpa lagi!” katanya sambil tersenyum manis. Akan tetapi ia merasa heran melihat pemuda itu
memandangnya dengan alis berkerut dan mulut cemberut. Dan tidak menjawab ucapan yang gembira tadi.
“Eh, engkau ini kenapa sih? Diajak bicara dengan gembira malah mukamu cemberut seperti itu! Jelek ah
mukamu kalau bersungut-sungut seperti monyet kehilangan ekornya itu!”
Thian Liong semakin panas hatinya. Gadis inilah yang dulu mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat,
membuat dia setengah mati mencarinya ke mana-mana. Teringat dia akan janjinya dalam hati bahwa kalau
dia bertemu dengan gadis ini, selain akan dimintanya kitab yang dicurinya itu, juga gadis itu akan dia pukul
pantatnya sepuluh kali seperti kalau orang tua menghajar anaknya yang bengal!
“Gadis jahat!” dia menegur. “Engkau telah mencuri kitab Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang harus
kuserahkan kepada Kun-lun-pai! KembaIikan kitab itu kepadaku!”
Melihat Thian Liong membentak-bentak, Bi Lan tersenyum dan mengerling manja. “Aih, masih marahkah
engkau kepadaku? Apakah engkau tidak dapat memaafkan aku? Kitab itu sudah kukembalikan kepada para
pimpinan Kun-lun pai......”
“Engkau bohong! Engkau maling, penipu, pembohong pula!” bentak Thian Liong.
Bi Lan mengerutkan alisnya, matanya bersinar-sinar dan ia membanting banting kaki kirinya. Ini merupakan
peluapan perasaannya kalau ia marah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, kaukira hanya engkau seorang saja yang baik dan jujur di dunia ini? Apakah orang seperti aku tidak
bisa jujur? Kitab itu sudah kukembalikan kepada ketua Kun-lun-pai, bahkan aku diakui sebagai murid! Kau
masih tidak percaya? Dan lagi, bukankah aku tadi bersusah payah membela dan membantumu menghadapi
mereka? Berarti aku sudah menebus kesalahanku kepadamu!”
Thian Liong teringat akan ucapan Hui In Sian-kouw kepada gurunya tadi. Ketua Kun-lun-pai itu
mengucapkan terima kasih kepada Tiong Lee Cin-jin. Ini berarti bahwa ketua Kun-lun-pai memang sudah
menerima kitab itu. Gadis ini mungkin sekali tidak berbohong dan sudah mengembalikan kitab itu, akan
tetapi biarpun demikian, kedongkolan hatinya masih belum hilang.
“Enak saja kau bicara! Hanya membantu begitu saja sudah menebus kesalahanmu? Tahukah engkau
kesengsaraan yang harus kualami karena engkau mencuri kitab itu dariku? Aku malu kepada para pimpinan
Kun-lun-pai, aku takut kepada guruku! Dan aku telah merantau sampai ribuan lie ke utara dan barat untuk
mencari maling kitab itu, yaitu engkau! Enak saja dosamu dianggap sudah hilang hanya karena engkau
membantuku tadi!”
Melihat pemuda itu membentak-bentak dan marah, Bi Lan juga menjadi tidak kalah marahnya! Sambil
membanting-banting kaki kiri, ia menudingkan telunjuknya ke arah muka Thian Liong den berseru lantang.
“Habis, kau mau apa? Hayo katakan, aku tidak takut padamu! Mau bunuh? Silakan!”
“Aku sudah berjanji pada diriku sendiri bahwa kalau aku dapat bertemu denganmu, engkau akan
kutelungkupkan di atas kedua pahaku lalu kupukul pantatmu sepuluh kali biar engkau tahu rasa!”
23.3 Puteri Kembar Tiong Lee Cinjin
“Engkau berani?” Bi Lan menantang. “Coba, kalau engkau berani!!” Setelah berkata demikian, Bi Lan sudah
memasang kuda-kuda dengan sikap menantang sekali, kedua lengan menyilang di depan dada dan jari
tangannya memberi isyarat tantangan agar Thian Liong maju menyerangnya kalau berani!
Thian Liong menjadi semakin gemas. Bocah ini sungguh kurang ajar dan tidak tahu diri, pikirnya.
“Hemm, kaukira aku hanya menggertak sambal saja? Tentu saja aku berani, mengapa tidak? Heiiittt......!”
Thian Liong sudah menerjang untuk menangkap gadis itu.
“Heeeeiiitt!” Bi Lan mengelak dan kakinya mencuat, menyambar dengan tendangan ke arah perut Thian
Liong!
Thian Liong terkejut karena dari sambaran tendangan itu, dia tahu bahwa serangan gadis itu sungguhsungguh
dan amat berbahaya. Dia semakin marah. Bocah ini malah menyerangnya dengan serangan maut!
“Kurang ajar!” katanya dan dia mengelak sambil berusaha menangkap kaki yang menendang itu.
“Engkau yang kurang ajar!” bentak Bi Lan yang cepat menarik kembali sehingga tidak dapat ditangkap dan
ia lalu menyerang dengan cepat dan kuat sekali. Gadis ini sudah tahu bahwa lawannya adalah seorang
pemuda yang tinggi sekali ilmu kepandaiannya, maka begitu menyerang ia langsung saja memainkan ilmu
Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat yang menjadi ilmu rahasia dan simpanan para pimpinan Kun-lun-pai.
Thian Liong terkejut sekali. Ini bukan serangan main-mainan dan ilmu silat yang dimainkan gadis ini juga
bukan ilmu sembarangan! Cepat seperti kilat menyambar dan membawa tenaga sakti yang amat kuat!
Diapun cepat memainkan ilmu silat Sam-jong Cin-keng yang diajarkan Hui Sian Hwesio kepadanya.
Kalau dia menggunakan ilmu yang dipelajarinya dari gurunya, yaitu Tiong Lee Cin-jin, dia akan pasrah
sedemikian rupa sehingga tidak ada serangan lawan yang akan mampu mencelakai dirinya. Aan tetapi
bagaimanapun juga, dia tidak mau melakukan ini dan hendak melawan ilmu silat gadis itu dengan ilmu silat
lain yang tidak kalah ampuhnya. Diam diam dia merasa kagum sekali kepada gadis ini. Tingkat
kepandaiannya jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian Pek Hong Nio-cu atau Ang Hwa Sian li!
“Duk-duk-dukkkk!!” tiga kali lengan mereka bertemu dan tubuh Bi Lan terhuyung ke belakang. Ia semakin
marah dan tiba-tiba ia mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah Thian Liong.
“Wuuuusshhhh!” Angin yang amat dahsyat dan mengandung hawa panas menyambar.
Thian Liong cepat menyambut dengan dorongan kedua tangannya. Terjadi adu tenaga sakti. Akan tetapi
Thian Liong tidak mau mencelakai gadis itu, maka dia menyambut dengan tenaga lunak sehingga
dunia-kangouw.blogspot.com
akibatnya, tenaga sakti Bi Lan seolah amblas ke dalam air dan hilang tanpa bekas dan tidak menimbulkan
kerusakan apapun!
Kembali Bi Lan terhuyung karena tenaganya yang bertemu kekosongan itu membuat ia terdorong. Ia
semakin marah dan begitu ia berkemak-kemik, keluarlah asap hitam menyerang Thian Liong. Pemuda itu
mengibaskan lengan kirinya dan asap hitam itupun membuyar. Bi Lan lalu mengeluarkan pekik melengking
dan Thian Liong merasa betapa pekik itu mengandung getaran amat kuat yang membuat jantungnya
terguncang. Dia terkejut mendapat kenyataan bahwa Bi Lan bukan saja memiliki ilmu silat yang tinggi, akan
tetapi juga menguasai ilmu sihir. Akan tetapi dengan kekuatan batinnya, dia dapat menenteramkan
jantungnya, bahkan dia mendapat kesempatan untuk bergerak mendekat dan secepat kilat tangannya
berhasil nenotok jalan darah di pundak Bi Lan.
“Tukkk......!!” Tubuh Bi Lan terkulai dan tentu ia sudah roboh terguling kalau saja Thian Liong tidak cepat
menangkap lengannya. Pemuda itu lalu duduk dengan kedua kaki di julurkan dan melintangkan tubuh Bi
Lan menelungkup di atas kedua pahanya.
“Nah, bocah nakal, sekarang rasakan hukuman yang sudah kujanjikan!” kata Thian Liong, kemudian dia
menggunakan tangan kanannya untuk menampar sepasang bukit pinggul yang menonjol itu sebanyak
sepuluh kali, lima di kiri dan lima di kanan.
“Plak-plak-plak......”
“Setan kau! Monyet, anjing, babi, kuda, kucing, tikus busuk kau.:….!!” Bi Lan yang lemas tak mampu
meronta itu memaki-maki. Mungkin kedua bukit pinggulnya menjadi merah sekali seperti kedua pipinya saat
itu saking marahnya.
Setelah menampar sepuluh kali, Thian Liong melepaskan Bi Lan, bangkit berdiri dan menepuk pundak gadis
itu untuk membebaskannya dari totokan. Gadis itu bangkit berdiri dan memandang Thian Liong dengan
mata bersinar. Dari pelupuk mata itu turun dua tetes air mata.
“Souw Thian Liong…...!” katanya dengan suara mengandung dendam kemarahan. “Awas kau......! Aku akan
memperdalam ilmuku dan kautunggu saja pembalasan Han Bi Lan!” Setelah berkata demikian, ia memutar
tubuh dan melarikan diri.
Akan tetapi mendengar disebutnya nama ini, Thian Liong terkejut dan sekali tubuhnya berkelebat, dia telah
melewati Bi Lan dan berdiri menghadang di depan gadis itu. Melihat ini, Bi Lan semakin marah dan berdiri
dengan mata mencorong.
“Kau...... namamu...... Han Bi Lan??”
“Kalau benar kau mau apa?”
“Han Bi Lan, ayah ibumu, Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi mencari-carimu. Mereka tinggal di
dusun Kian-cung dekat See-ouw (Telaga Barat)......”
Belum habis Thian Liong bicara, Bi Lan sudah melompat dan berlari cepat meninggalkannya.
Sejenak Thian Liong hanya bengong memandang ke arah larinya gadis itu. Hatinya mulai merasa
menyesal. Dia memang mendongkol dan gemas kepada gadis itu, akan tetapi andaikata dia tadi tahu
bahwa gadis itulah puteri Han Si Tiong, tentu dia tidak akan melaksanakan keinginannya menghajar gadis
itu dengan menampari pinggulnya sebanyak sepuluh kali! Akan tetapi semua itu telah terlanjur dan dia
merasa tidak enak sekali kepada Han Si Tiong dan Liang Hong Yi. Dia menghela napas panjang lalu duduk
di atas batu, menanti munculnya gurunya yang tadi mengajak Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li
memasuki hutan di depan itu.
◄Y►
Kalau Pek Hong Nio-cu atau puteri Moguhai tidak merasa heran mendengar ajakan Tiong Lee Cin-jin untuk
mengikutinya masuk ke dalam hutan, Ang Hwa Sian-li merasa heran dan bingung. Akan tetapi karena ia
sudah mendengar akan kesaktian tokoh yang dijuluki orang Yok-sian (Tabib Dewa) itu, iapun mengikutinya
tanpa membantah.
Setelah menemukan tempat yang nyaman dalam hutan itu, atas ajakan Tiong Lee Cin-jin, mereka bertiga
duduk saling berhadapan di atas batu. Sejenak Tiong Lee Cin-jin memandang wajah kedua orang gadis itu
dan kedua matanya tampak basah. Dia menarik napas panjang beberapa kali seolah hendak menenangkan
guncangan hatinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kemudian dia mulai berkata, “Aku mengajak kalian berdua untuk bicara di tempat ini agar jangan sampai
terdengar orang lain. Tadinya aku ingin menyimpan rahasia ini dari kalian, akan tetapi mengingat bahwa
kalian telah menjadi gadis-gadis dewasa yang telah memiliki ilmu kepandaian yang dapat kalian andalkan,
dan melihat kalian berdua tadi saling berpandangan dengan keheranan terbayang di wajah kalian, aku tidak
mungkin dapat menyimpan rahasia ini. Kalian berhak untuk mengetahuinya. Sebelum aku melanjutkan,
hendaknya kalian lebih dulu menceritakan siapa nama kalian yang sesungguhnya dan sedikit tentang orang
tua kalian. Pek Hong Nio-cu, engkau mulailah lebih dulu.”
Pek Hong Nio-cu yang menganggap Tiong Lee Cin-jin sebagai paman dan juga gurunya, segera menjawab.
“Paman, nama saya yang aseli adalah Moguhai. Ayah saya adalah Raja Kerajaan Kin dan ibu saya seorang
wanita Han bernama Tan Siang Lin.”
“Dan engkau?” tanya Tiong Lee Cin jin kepada Ang Hwa Sian-li.
“Nama saya adalah Thio Siang In. Ayah saya seorang pemburu bernama Thio Ki dan ibu says seorang
wanita Ui gur bernama Miyana. Menurut cerita ibu, ibu saya adalah seorang puteri kepala suku Uigur.”
Tiong Lee Cin-jin mengangguk-angguk. “Mungkin kalian akan lebih berbahagia kalau kalian tinggal sebagai
apa yang kalian ketahui sekarang, akan tetapi aku akan merasa bersalah kalau tidak menceritakan kepada
kalian. Kalian berhak mengetahui dan semoga Tuhan mengampuni aku dan memberkati kalian. Dengarlah
ceritaku ini, Siang In dan Moguhai!”
Dua orang gadis itu saling pandang, lalu mendengarkan dengan penuh perhatian dan keinginan tahu.
Dengan suara tenang dan lembut, Tiong Lee Cin-jin bercerita. “Kurang lebih duapuluh tahun yang lalu ada
sepasang orang muda yang saling jatuh cinta. Akan tetapi karena pemuda itu miskin sekali, kedua orang tua
gadis itu tidak menyetujui perjodohan mereka. Bahkan akhirnya gadis itu diminta oleh Raja untuk menjadi
selirnya.” Dia berhenti sebentar dan kembali menghela napas. Agaknya berat sekali rasa hatinya untuk
menceritakan apa yang dikatakan rahasia itu.
“Akan tetapi, karena gadis itu amat mencinta si pemuda, maka sebelum ia dibawa ke istana raja, ia
menyerahkan diri kepada kekasihnya sehingga ketika akhirnya ia dibawa pergi ke istana untuk menjadi selir
raja, ia sudah mengandung.”
Dua orang gadis itu merasa terharu, akan tetapi kalau Moguhai merasa jantungnya berdebar tegang, adalah
Ang Hwa Sian-li yang merasa tidak mengerti, apa hubungannya cerita itu dengan dirinya.
“Nah, gadis itu menjadi selir terkasih dari raja. Ketika ia melahirkan, sang raja menganggap anak yang
dilahirkan itu anaknya sendiri. Akan tetapi dia tidak tahu akan sebuah rahasia lain lagi. Ketika gadis itu
melahirkan, ia melahirkn sepasang anak kembar.”
Kini Ang Hwa Sian-li baru terkejut dan tegang, lalu kedua orang gadis itu saling pandang dengan seribu
pertanyaan dalam pandang mata mereka.
“Karena tahu bahwa Raja akan menganggap kelahiran kembar itu suatu malepetaka dan mungkin kedua
anak akan dibunuh, maka ibu muda itu lalu cepat menghubungi seorang sahabatnya terdekat, yaitu seorang
janda muda dan mereka berdua lalu membuat persekutuan. Seorang dari anak kembar itu diserahkan
kepada si sahabat yang membawanya lari keluar dari kota raja dan dilaporkan kepada Raja bahwa selirnya
hanya melahirkan seorang anak perempuan. Bidan yang membantu kelahiran ternyata mati beberapa hari
kemudian tanpa ada yang mengetahui apa sebabnya. Nah, Raja menganggap bahwa selirnya melahirkan
seorang anak perempuan. Dan janda muda yang melarikan anak kembar yang kedua itu akhirnya menikah
dengan seorang laki-laki yang nenganggap anak bayi bawaan isterinya itu sebagai anaknya sendiri. Diapun
tidak tahu akan rahasia anak kembar, hanya menganggap bahwa bayi perempuan itu adalah bawaan janda
yang kini menjadi isterinya.”
Tiong Lee Cin-jin memandang wajah kedua orang gadis itu yang kini tampak pucat. “Kalian berdua dapat
mengerti dan menebak siapa sesungguhnya mereka semua itu?”
Dengan wajah pucat dan suara gemetar Puteri Moguhai berkata. “...... gadis itu adalah ibu kandungku dan
raja itu adalah ayahku, Raja Kin! Akan tetapi dia ternyata hanya ayah tiriku, ayah kandungku adalah kekasih
ibuku itu…… dia…… dia adalah...... engkau!”
“Dan gadis kembar yang dibawa janda itu adalah aku, janda itu adalah ibuku yang kawin dengan ayahku.
Ternyata ibu dan ayahku bukan orang tuaku. Orang tuaku adalah selir raja itu dan...... engkau......!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang gadis itu memandang kepada Tiong Lee Cin-jin dengan sinar mata mencorong penuh selidik lalu
keduanya bertanya dengan suara hampir berbareng.
“Benarkah itu??”
Kini dua tetes air mata jatuh ke pipi Tiong Lee Cin-jin, dan dia mengangguk angguk. “Benar, kalian adalah
anak-anakku.”
“Ayah......!” Pek Hong Nio-cu dan Ang Hwa Sian-li, dua orang gadis gagah perkasa dan berilmu tinggi itu
mendadak kehilangan kegagahan mereka. Mereka menubruk dan merangkul Tiong Lee Cin jin dari kanan
dan kiri sambil menangis seperti dua orang gadis cengeng dan manja!
Dengan mata basah Tiong Lee Cin-jin merangkul dua orang gadis itu dan sejenak mereka bertiga
tenggelam ke dalam keharuan den kesedihan mengingat akan keadaan mereka yang terpisah-pisah.
“Engkau...... adik atau kakakku......?” Ang Hwa Sian-li kini saling berpelukan dan berciuman dengan Pek
Hong Nio-cu.
“Siang In, engkau yang muda karena Moguhai lahir lebih dulu,” kata Tiong Lee Cin-jin. Mereka tenggelam
ke dalam keharuan dan kesedihan, akan tetapi juga pada dasarnya merasa bahagia.
“Sekarang bagaimana setelah kami mengetahui rahasia ini, ayah?” tanya Pek Hong Nio-cu sambil
memegangi tangan kanan Tiong Lee Cin-jin.
“Apakah kami harus membuka rahasia ini kepada ayah tiri kami?” sambung Ang Hwa Sian-li, memegangi
tangan kiri ayahnya.
“Untuk menjawab itu, aku ingin bertanya dulu kepada kalian yang harus dijawab sejujurnya. Moguhai,
apakah Raja Kin dan keluarga di istana menyayangmu?”
Pek Hong Nio-cu mengangguk. “Mereke semua menyayang saya, ayah. Bahkan Raja amat menyayang
saya.”
“Bagus! Dan bagaimana dengan engkau, Siang In. Apakah Thio Ki dan Miyana menyayangmu?”
“Mereka amat sayang kepadaku, ayah.”
“Nah, kalau begitu, biarkanlah keadaan seperti itu. Kalau kalian membuka rahasia ini, mungkin akan timbul
akibat-akibat yang tidak enak dan tidak baik. Kalian dapat berhubungan seperti sahabat, dapat saling
mengunjungi dan tentu saja kalau kalian saling mengunjungi, ibu kalian akan mengenal kalian sebagai
saudara kembar. Agar kesamaan kalian tidak terlalu menyolok, tetaplah kalian berpakaian seperti ciri khas
kalian sekarang. Rahasia ini hanya diketahui oleh ibu kalian masing-masing, dan oleh kita bertiga. Jangan
ada orang lain yang mengetahuinya.”
“Baik, ayah,” kata mereka berbareng.
“Dan jangan panggil ayah kepadaku. Panggil saja Paman Sie, karena namaku memang dahulu Sie Tiong
Lee. Akan tetapi dalam hati aku tetap ayah kalian dan kelak aku ingin menurunkan beberapa ilmu lagi
kepada kalian secara bergiliran. Sekarang, mari kita keluar dari hutan menemui Thian Liong. Dia tentu
sudah menunggu kita.“
Mereka semua bangkit berdiri. “Eh, nanti dulu!” kata Ang Hwa Sian-li sambil tertawa cekikikan dan
membuka buntalan pakaiannya mengeluarkan sepasang pakaian serba hijau persis seperti yang dipakainya
karena memang yang diambilnya itu pakaian penggantinya.
“Nah, kau pakai ini, Pek Hong,” kata Ang Hwa Sian-li.
“Untuk apa, Ang Hwa?” tanya Pek Hong Nio-cu.
“Ha-ha, bagus sekali itu!” tiba-tiba Tiong Lee Cin-jin tertawa. “Bagus sekali kalau aku memberimu nama
baru, menggunakan nama julukan kalian. Moguhai kuberi nama Sie Pek Hong dan Thio Siang In kuberi
nama Sie Ang Hwa!”
Ketiganya tertawa senang.
“Ang Hwa, untuk apa aku harus memakai pakaian yang sama denganmu? Bukankah ayah...... eh, Paman
Sie tadi mengatakan agar kita memakai pakaian kita sendiri agar persamaan antara kita tidak sangat
menyolok?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku ingin menggoda Thian Liong dan melihat apakah dia dapat mengenal kita,” kata Ang Hwa.
Pek Hong tertawa cekikikan dan iapun setuju, lalu dipakainya pakaian itu. Gelung rambutnyapun diubah dan
dengan bantuan Ang Hwa, sebentar saja di situ ada dua Ang Hwa Sian-li!
Tiong Lee Cin-jin hanya menggeleng geleng kepala sambil tersenyum. Anak anaknya ini menjadi dua orang
gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, juga lincah jenaka.
Souw Thian Liong masih duduk melamun ketika mereka bertiga menghampiri dari belakang. Mendengar
langkah mereka, dia bangkit berdiri, memutar tubuh dan...... menjadi bengong karena di depannya berdiri
dua orang Ang Hwa Sian-li. Wajahnya persis, pakaiannya sama, bentuk rambutpun serupa, masing-masing
memakai bunga mawar merah di rambutnya dan keduanya tersenyum manis kepadanya! Dia menjadi
bengong dan heran.
Tiong Lee Cin-jin tersenyum. “Thian Liong, kami hanya ingin mengujimu, apakah engkau dapat mengenal
yang mana Ang Hwa Sian-li yang aseli dan yang mana Pek Hong Nio-cu?”
Thian Liong tersenyum dan mnghampiri. Tentu saja dia tahu karena dia masih ingat. Yang mempunyai tahi
lalat di pipi kiri adalah Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu mempunyai tahi lalat di pipi kanan! Akan tetapi
dia tidak mau membuang kesukacitaan dalam hatinya karena dia mengenal rahasia perbedaan mereka,
yaitu pada tahi lalat mereka. Biarlah dia disangka tidak tahu. Dia lalu menunjuk kepada Pek Hong Nio-cu
dan berkata lantang.
“Engkaulah Ang Hwa Sian-li yang aseli! Benar, kan?”
Dua orang gadis itu tertawa girang akan tetapi tidak menjawab. Merekapun merasa senang karena tidak
dapat menebak dan ingin menyimpan rahasia mereka.
“Thian Liong, sekarang saatnya kita berpisah. Aku harap engkau memperoleh banyak pelajaran tentang
semua pengalamanmu yang lalu dan di masa mendatang akan berlaku hati-hati sekali karena di dunia ini
lebih banyak terdapat orang sesat daripada yang benar. Mereka berdua ini akan pergi bersamaku, kembali
ke utara. Selamat berpisah, Thian Liong.”
Thian Liong memberi hormat kepada gurunya. “Selamat jalan, suhu. Ang Hwa Sian-li dan Pek Hong Nio-cu,
selamat jalan dan terima kasih atas bantuan dan semua kebaikan kalian selama ini kepadaku.”
Dua orang gadis itu tersenyum manis.
“Selamat tinggal, Souw Thian Liong!” kata mereka, lalu mereka mengikuti Tiong Lee Cin-jin menuju ke
utara.
Thian Liong memandang ke arah mereka pergi, sampai bayangan mereka menghilang di balik pohonpohon.
Tiba tiba dia merasa kehilangan, merasa kesepian dan sedih! Bayangan tiga raut wajah yang cantik
jelita dan memiliki daya tarik khas masing-masing silih berganti muncul dalam ingatannya. Han Bi Lan, Ang
Hwa Sian-Ii, dan Pek Hong Nio-cu. Dan kini mereka semua telah pergi meninggalkannya. Betapa dia
sayang kepada mereka. Sekarang dia seorang diri, sebatang kara, kesepian.
“Huh! Cengeng!” Dia menepuk dahi sendiri lalu melangkah pergi, senyumnya muncul kembali dan
langkahnya tetap.
>>>>> T A M A T <<<<<
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru