Senin, 08 Mei 2017

Cersil 11 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Mandarin Online

Cersil 11 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Mandarin Online Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil 11 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Mandarin Online
kumpulan cerita silat cersil online
Cersil 11 Jodoh Si Naga Langit Kho Ping Hoo Mandarin Online
“Ah, ada murid wanita lain? Apakah ia juga memiliki tingkat kepandaian tinggi? Siapa namanya, Moguhai?” tanya Kaisar Kin.
“Ia juga lihai sekali. Sebelum menjadi murid...... Suhu, ia juga sudah lihai dan di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Ang Hwa Sian-li, namanya Thio Siang In. Usianya sebaya dengan saya dan kata orang-orang, kami berdua mirip satu sama lain. Ia ingin sekali berkunjung ke sini. Bolehkah, Ayah?”
Sejak kecil Moguhai amat manja kepada ayahnya dan terhadap ayahnya itu, ia tidak menggunakan banyak aturan sebagaimana keluarga kaisar yang lain. Kaisar yang amat menyayang puterinya itu pun membiarkannya saja.
“Tentu saja boleh! Kapan saja ia boleh datang berkunjung ke istana,” kata Sri Baginda Kaisar.
Puteri Moguhai menceritakan tentang pengalamannya ketika belajar ilmu dari Si Dewa Obat. Tentu saja ia sama sekali tidak menyinggung tentang rahasia yang telah ia ketahui mengenai riwayatnya dan Siang In dan tentang Gurunya yang sesungguhnya adalah Ayahnya sendiri dan dalam kesempatan itu ia bercerita pula akan pengalamannya ketika bertemu dengan Han Si Tiong dan Liang Hong Yi.
“Ayah, mereka adalah suami isteri pendekar yang gagah perkasa dan baik budi. Karena itu, ketika Toat-beng Coa-ong Ouw Kan menyerang dan hendak membunuh mereka, saya melindungi mereka. Saya tahu bahwa Ayah sudah tidak menaruh dendam kepada suami isteri itu dengan tewasnya Pangeran Cu Si dalam perang. Akan tetapi Ouw Kan masih saja memusuhi dan hendak membunuh mereka karena merasa malu atas kegagalannya membunuh mereka belasan tahun yang lalu.”
Kaisar itu menghela napas panjang. “Kami sesungguhnya bukan anak kecil yang tidak tahu bahwa gugur dalam perang bukan merupakan dendam pribadi. Akan tetapi pada waktu itu, mendiang Pangeran Hiu Kit Bong yang memanaskan hatiku sehingga aku utuskan Ouw Kan untuk membalas dendam. Setelah dia gagal, sebetulnya aku sudah menghapus dendam yang sesungguhnya salah itu. Aku tidak lagi mendendam, apalagi hubungan antara kerajaan kita dengan Kerajaan Sung kini sudah menjadi baik. Aku tidak pernah menyuruh Ouw Kan untuk membunuh suami isteri bekas pimpinan Pasukan Halilintar. Kalau dia masih berusaha membunuh mereka, itu adalah urusannya sendiri.”
Biarpun di depan Kaisar ia tidak bercerita tentang rahasia ibunya, akan tetapi ketika ia berada berdua dengan ibunya, Puteri Moguhai tidak dapat menahan diri lagi untuk merahasiakan semua itu. Tan Siang
Lin, selir kaisar itu, agaknya sudah menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu dengan puterinya yang selama setahun hidup bersama gurunya yang juga merupakan ayah kandungnya itu. Ia dapat merasakan sesuatu telah terjadi melihat sinar mata puterinya ketika memandang kepadanya semenjak anak itu pulang.
Kini, Moguhai agaknya sengaja menemuinya berdua dalam kamar itu. Dengan jantung berdebar tegang ia lalu duduk di atas pembaringan, setengah merebahkan diri dan memandang puterinya yang setelah memasuki kamar lalu menutupkan daun pintu dengan hati-hati.
Setelah menutupkan daun pintu Moguhai menghampiri ibunya dan duduk di atas tepi pembaringan. Dua orang wanita itu saling pandang dan sampai lama keduanya tidak bicara, hanya saling pandang dan keduanya tersenyum dengan sinar mata membayangkan kasih sayang yang besar. Melihat betapa sinar mata Moguhai mengandung keraguan, Tan Siang Lin berkata lirih sambil memegang lengan puterinya.
“Anakku, agaknya engkau akan menceritakan sesuatu kepada Ibumu. Jangan ragu-ragu, anakku, kalau ada sesuatu, ceritakanlah saja.”
“Ibu, aku sekarang mempunyai nama baru atau nama alias, pemberian...... Suhu Tiong Lee Cin-jin.”
Ibunya memandang tajam dan mulutnya tersenyum. “Nama baru? Engkau diberi nama apakah, Moguhai?”
“Aku diberi nama Sie Pek Hong, Ibu.”
Sepasang mata yang masih indah itu terbelalak. “...... Sie......?”
“Benar, Ibu. Pakai nama marga Sie dan nama Pek Hong adalah nama julukanku, Pek Hong Niocu.”
“Akan tetapi, mengapa marga Sie?”
“Karena Guruku juga bermarga Sie, Sie Tiong Lee, Ibu.”
Wajah wanita itu berubah kemerahan. “Akan tetapi...... mengapa engkau ikut-ikutan bermarga Sie?”
“Ibu, bukankah nama marga seorang anak harus mengikuti marga Ayahnya? Ibu bermarga Tan, tidak mungkin aku memakai marga Tan.”
Wajah ita menjadi semakin merah. “Moguhai......!” Ia memegang lengan pu-terinya dengan kuat. “Kau...... kau...... tahu......?”
Moguhai tersenyum dan mengangguk.
“Dia...... dia yang bercerita padamu?”
Kembali Moguhai mengangguk.
“Ohhh......!” Tan Siang Lin bangkit duduk dan memegang kedua tangan puterinya. Moguhai merasa betapa jari-jari tangan ibunya menjadi dingin dan gemetar.
“Apa...... apa saja yang dia ceritakan......?”
“Semuanya, Ibu. Tentang Ayah...... eh, Paman Sie...... eh, Suhu dan Ibu. Aku merasa terharu sekali mendengar akan nasib dia dan Ibu.”
Moguhai merangkul ibunya karena jelas ibunya menahan tangisnya. Tan Siang Lin merangkul puterinya dan sejenak mereka berangkulan. Wanita itu tidak mengeluarkan suara tangisan, akan tetapi pundaknya bergoyang perlahan. Akhirnya ia dapat menguasai perasaannya. Ia melepaskan rangkulannya, menghapus beberapa tetes air mata yang membasahi pipinya, lalu menghela napas panjang dan berkata lirih.
“Akan tetapi engkau tahu bahwa aku hidup cukup bahagia di istana ini. Sri Baginda amat baik terhadap kita berdua, Moguhai.”
“Hal itu tidak kusangkal, Ibu. Dan sudah kuceritakan dengan terus terang kepada Suhu. Karena itu, nama Sie Pek Hong juga hanya untuk aku dan Ibu saja, kepada orang luar aku tetap bernama Puteri Moguhai dan berjuluk Pek Hong Niocu. Selain rahasia yang kuceritakan tadi, Ibu, masih ada hal lain yang tentu akan membuat Ibu berbahagia kalau aku ceritakan.”
Tan Siang Lin yang masih berdebar jantungnya karena tegang dan haru mendengar bahwa puterinya telah mendengar pengakuan Sie Tiong Lee tentang rahasianya kini memandang kepada wajah Moguhai dengan kedua mata masih basah. Hatinya sudah terlalu tegang sehingga keharuan membuat ia tidak mampu bicara, hanya bertanya lirih dengan satu kata saja.
“Apa......?”
Moguhai memegang kedua tangan ibunya dan berkata dengan wajah berseri gembira. “Ibu, tahukah Ibu siapa gadis yang menjadi saudara seperguruanku dan yang bernama Thio Siang In? Ia adalah puteri Bibi Miyana!”
Sepasang mata itu terbelalak menatap wajah Moguhai. “Puteri...... puteri...... Miyana......?” Suara itu gemetar dan bibir itu menggigil.
“Ya, Ibu dan Siang In itu serupa benar dengan aku, tidak ada yang dapat membedakan kalau kami mengenakan pakaian yang sama. Ia adalah adik kembarku yang dulu dibawa pergi Bibi Miyana.”
Wajah Tan Siang Lin menjadi agak pucat. “Ia...... ia tahu ! pula akan hal itu?”
“Tahu, Ibu. Suhu...... Ayah...... menceritakan semua kepada kami berdua. Aku sudah singgah ke rumahnya dan bertemu Bibi Miyana yang sekarang menjadi Nyonya Thio Ki di kota Kang-cun. Ibu, Siang In akan berkunjung ke sini untuk bertemu dengan Ibu!”
Tan Siang Lin tak dapat menahan keharuan dan kebahagiaan hatinya lalu ia merangkul Moguhai sambil menangis tersedu-sedu. Tangis bahagia. Akan tetapi tiba-tiba ia teringat akan sesuatu dan menghentikan tangisnya, lalu memandang wajah Moguhai dan berkata dengan gelisah.
“Jangan, anakku! Jangan biarkan ia ke sini. Kalau Sri Baginda tahu......”
“Ibu jangan khawatir. Siang In juga sudah tahu bahwa Ayahanda Kaisar tidak boleh mengetahui akan kekembaran kami itu. Ia akan datang ke sini sebagai Thio Siang In yang berjuluk Ang Hwa Sian-li dan mengenakan pakaian yang berbeda sekali denganku. Wajah kami memang sama, namun warna dan bentuk pakaian kami berbeda jauh, juga bentuk sanggul rambut kami. Kemiripan kami itu tidak akan terlalu menyolok dengan adanya perbedaan-perbedaan itu, Ibu.”
Mendengar ucapan Moguhai itu, hati Siang Lin menjadi tenang kembali. Ibu ini menunggu pertemuan yang akan terjadi dengan puterinya itu dengan hati penuh ketegangan dan kegembiraan. Mendengar bahwa kini puteri kembarnya yang kedua itu telah menjadi seorang gadis yang lihai, sudah bertemu ayah kandungnya dan saudara kembarnya, sudah tahu pula bahwa ialah ibu kandungnya dan Miyana hanyalah ibu angkat, tahu bahwa ayah kandung mereka berdua adalah Sie Tiong Lee, hal ini saja sudah mendatangkan kebahagiaan besar dalam hatinya.
Karena telah meninggalkan istana selama setahun lebih, maka Kaisar Kin dan selirnya melarang Moguhai untuk pergi lagi. Puteri itu tinggal di istana dan ia sedang murung karena baik kaisar maupun ibunya mendesaknya agar mau memilih seorang di antara banyak pinangan yang diajukan padanya. Para pelamar itu terdiri dari para putera pejabat tinggi, ada pula putera-putera Pangeran yang menjadi saudara misan Sri Baginda Kaisar. Ketika Moguhai menolak, Kaisar menjadi marah. Baru satu kali ini Kaisar memarahi puterinya yang biasanya amat disayang itu.
“Bagaimana engkau ini? Ingat usiamu sudah duapuluh tahun! Kalau tidak sekarang menentukan jodohmu, mau tunggu sampai kapan lagi? Aku sudah memberi kebebasan sepenuhnya padamu, tidak memaksamu berjodoh dengan seseorang menurut pilihan kami. Kami sudah memberi kebebasan kepadamu untuk memilih seorang di antara para pemuda yang telah mengajukan pinangan dengan segala kehormatan!”
“Maafkan saya, Ayah. Akan tetapi, sesungguhnya saya sama sekali belum ingin terikat dalam sebuah pernikahan. Saya masih ingin sendiri......”
Kaisar menjadi marah. “Hemm, beginilah kalau anak terlalu dimanja. Sejak kecil, orang tua selalu berusaha untuk membahagiakan hatimu, akan tetapi sekarang, diharapkan membahagiakan hati orang tua satu kali saja tidak mau!” Kaisar marah dan meninggalkan Moguhai bersama, ibunya.
Sejak tadi Tan Siang Lin hanya diam saja. Ia pun ingin sekali melihat puterinya menikah dan mempunyai anak. Ia sudah ingin sekali menimang cucu. Telah menjadi anggapan semua orang tua di masa itu, hati mereka barulah merasa lega dan bahagia kalau anak perempuannya sudah menikah. Bagi mereka, pernikahan saja yang akan mendatangkan kebahagiaan dalam hati tiap orang gadis. Menjadi isteri lalu menjadi ibu! Apalagi kecuali itu yang akan membahagiakan hati seorang wanita?
Dan merupakan hal yang amat memalukan, bahkan dapat mendatangkan aib, akan menjadi buah bibir dan diam-diam menjadi bahan ejekan kalau seorang gadis yang sudah dewasa tidak segera mendapatkan jodoh. Disangka tidak laku! Padahal, anaknya kini sudah berusia duapuluh tahun! Sudah agak terlambat menurut ukuran jaman itu. Seorang gadis biasanya menikah dalam usia enambelas atau tujuh belas tahun, paling lambat delapanbelas tahun.
Dengan lembut Tan Siang Lin mendekati puterinya yang masih duduk termenung setelah dimarahi ayahnya tadi. Ia menaruh tangannya ke pundak Moguhai. Moguhai menoleh dan menghela napas panjang.
“Moguhai, mengapa engkau begitu kukuh menolak anjuran kami untuk menentukan pilihan jodohmu?” kata Ibu itu dengan lembut, Ialu ia duduk di atas kursi depan puterinya.
Moguhai menghela napas panjang lagi dan berkata, “Ibu, kalau aku bersama Ayah Sie Tiong Lee, aku yakin beliau tidak akan memaksaku menikah.”
“Mungkin saja ia akan bersikap begitu, mengingat dia seorang yang sejak muda hidup di dunia kang-ouw. Akan tetapi sikap seperti itu sama sekali tidak sesuai dengan pendapat umum, anakku. Ayahmu, Sri Baginda dan aku, menghendaki engkau mengambil pilihan dan segera menikah adalah tanda kesayangan kami kepadamu. Kami ingin melihat engkau hidup berbahagia sebagai seorang isteri, sebagai seorang ibu. Kami tidak ingin engkau menjadi bahan pembicaraan dan cemoohan orang, yang mengatakan bahwa engkau tidak laku. Ingatlah, usiamu sudah duapuluh tahun dan itu merupakan usia yang sudah lebih dari cukup bagi setiap orang wanita untuk meninggalkan masa kegadisannya dan memasuki kehidupan berumah tangga, berkeluarga.”
“Akan tetapi, Ibu. Kalau aku belum suka menikah, apakah aku harus memaksa diri untuk melakukan hal yang tidak atau belum kusukai itu?”
“Anakku, dalam hal ini tidak ada pemaksaan diri, melainkan pelaksanaan kewajiban. Ketahuilah, Moguhai, dalam kehidupan seorang wanita, terdapat kewajiban-kewajiban yang tidak kita ingkari. Menikah menjadi isteri orang, melahirkan menjadi ibu anak-anak, melayani suami dan mengurus rumah tangga, semua itu merupakan sebagian dari kewajiban seorang wanita. Wanita adalah induk dan sumber perkembang-biakan manusia di dunia ini, yang merupakan tugas yang teramat mulia. Kalau semua wanita berpendirian seperti engkau dan tidak mau menikah, tidak melahirkan anak, manusia akan musnah.”
“Aih, Ibu. Aku bukan bermaksud untuk tidak menikah selama hidupku, hanya saja, aku tidak mau menikah dengan pria yang tidak kusukai. Aku hanya mau menikah dengan seorang pria yang kucinta, Ibu.”
Tan Siang Lin menghela napas panjang. “Aku mengerti perasaanmu dan aku tahu bahwa semua wanita pasti memiliki perasaan yang sama seperti itu, walaupun yang terlaksana keinginannya hanya satu di antara seribu. Sebagian besar gadis dijodohkan orang tuanya, bahkan banyak yang sama sekali belum pernah melihat suaminya. Pertama kali melihatnya adalah di saat pernikahan dilangsungkan. Akan tetapi Sri Baginda telah bersikap bijaksana terhadapmu karena Beliau amat mencintamu. Buktinya Beliau memberi kebebasan kepadamu untuk memilih di antara mereka yang telah mengajukan pinangan.”
“Akan tetapi, Ibu. Aku sungguh belum mempunyai pilihan dan tentang usia...... hemm, Siang In juga belum menikah!”
“Mengapa mesti menunggu ia? Apakah selama ini engkau belum pernah bertemu dengan seorang pemuda yang menarik hatimu?”
Wajah Moguhai menjadi kemerahan, lalu menjawab malu-malu. “Sebetulnya memang ada, Ibu. Akan tetapi aku tidak tahu apakah dia juga tertarik padaku. Kami belum pernah saling menyatakan perasaan hati kami. Selain itu, dia adalah seorang pemuda pribumi Han, apakah mungkin Ayahanda mau menerima seorang Han sebagai mantunya?”
“Hemm, memang mungkin sukar Beliau dapat menerimanya. Akan tetapi bukankah aku juga seorang wanita Han? Aku yang akan membujuknya, Moguhai. Aku yakin dapat membujuk Beliau untuk menerima seorang mantu bangsa Han. Akan tetapi siapakah dia, anakku?”
“Ibu pernah melihatnya, bahkan dia telah berjasa besar ketika Ayahanda terancam oleh pemberontakan Paman Pangeran Hiu Kit Bong.”
“Ah! Aku tahu! Bukankah dia muridnya dan bernama Souw Thian Liong itu?”
Wajah Moguhai berubah semakin merah, akan tetapi ia mengangguk.
Tan Siang Lin merangkul pundak puterinya. “Anakku, apakah engkau mencinta Souw Thian Liong?”
“Aku tidak tahu, Ibu. Akan tetapi aku kagum sekali padanya. Dia amat baik budi, bijaksana dan rendah hati walaupun ilmu kepandaiannya tinggi sekali. Juga...... Ayah Sie 'l'iong Lee memuji-muji muridnya itu. Terus terang saja, hatiku tertarik kepadanya.”
“Dan bagaimaria dengan dia? Apakah Souw Thian Liong mencintamu?”
“Hal itu pun aku tidak tahu, Ibu. Dia selalu bersikap sopan terhadap aku dan tidak pernah memperlihatkan bagaimana perasaannya. Kami selama ini hanya bersahabat baik dan akrab.”
“Hemm, biarlah aku yang akan membicarakan hal ini dengan Sri Baginda. Aku kira Beliau akan setuju kalau bermantukan seorang pemuda seperti Souw Thian Liong itu, sungguhpun dia seorang pribumi Han.”
“Akan tetapi, Ibu. Sama sekali aku tidak bermaksud untuk memaksa dia...... ah, itu akan memalukan sekali. Aku tidak tahu apakah dia...... mencintaku, bahkan aku pun belum yakin benar akan perasaanku sendiri. Aku belum yakin apakah aku...... mencintanya dan ingin menjadi jodohnya.”
“Tentu saja kita tidak akan menggunakan paksaan, Moguhai. Aku hanya akan merundingkan dengan Sri Baginda. Setidaknya aku akan memberi penjelasan sehingga Sri Baginda akan dapat mengerti keadaan hatimu dan tidak akan men-desakmu untuk memilih dan menerima pinangan orang lain.”
Hati Moguhai menjadi tenang mendengar ucapan ibunya itu dan dia berterima kasih sekali. Ibu dan anak itu bercakap-cakap sampai jauh malam dan Moguhai menceritakan semua pengalamannya kepada ibunya yang mendengarkannya dengan asyik dan penuh perhatian, apalagi ketika Moguhai bercerita tentang keadaan dan kehidupan sehari-hari dari Sie Tiong Lee yang dulu menjadi kekasihnya itu.
Tujuh orang pengawal istana itu duduk santai dan mereka saling bicara dengan suara berbisik. Setiap kali berjaga malam yang digilir bergantian, mereka tidak berani bicara berisik, khawatir mengganggu keluarga istana yang sedang beristirahat dan tidur. Malam itu udara dingin sekali sehingga tujuh orang pera-jurit pengawal itu mengenakan baju luar mereka yang tebal. Yang mereka bicarakan adalah
peristiwa mengerikan yang terjadi beberapa hari yang lalu. Tuan muda Hiu Kan dan dua orang dari Sam-pak-liong yang menjadi pengawalnya, telah terbunuh dalam hutan dekat kota raja dan orang ke tiga dari Sam-pak-liong lumpuh dan remuk tulang lengan kirinya. Jiu To, orang ketiga ini dengan susah payah memasuki kota raja dan minta bantuan.
Kaisar dan keluarga istana memang tidak begitu mengacuhkan peristiwa kematian keponakan kaisar itu karena Pangeran Hiu Kan merupakan seorang pemuda yang hanya mencemarkan nama dan kehormatan keluarga istana. Pemuda putera mendiang Pangeran Hiu Kit Bong yang pernah memberontak itu adalah orang yang tidak berguna, hanya berfoya-foya menghabiskan harta peninggalan ayahnya dan terkenal sebagai seorang pemuda mata keranjang yang suka mengganggu gadis-gadis, bahkan isteri orang!
Akan tetapi peristiwa itu menggemparkan para perajurit dan orang-orang ahli silat di kota raja, bukan kematian Hiu Kan melainkan robohnya pengawalnya, yaitu Sam-pak-liong (Tiga Naga Utara) yang terkenal lihai itu. Dua orang dari mereka tewas dan orang pertama yang bernama Jiu To lengan kirinya lumpuh dan remuk tulang lengannya dari siku ke bawah. Menurut keterangan Jiu To, yang melakukan pembunuhan itu adalah seorang gadis muda cantik jelita yang amat lihai dan yang memaksanya memberitahu di mana tempat tinggal Ouw Kan, Toat-beng Coa-ong yang amat terkenal itu.
Kemudian terdengar berita yang lebih mengejutkan lagi. Toat-beng Coa-ong tewas dan menurut keterangan pelayannya, pembunuhnya adalah seorang gadis muda cantik jelita yang mengaku berjuluk Ang I Mo-li (Iblis Wanita Baju Merah)!
Tentu saja para pengawal itu menjadi gentar juga mendengar akan munculnya Ang I Mo-li yang membunuh Hiu Kan, dua orang di antara Sam-pak-liong, kemudian malah membunuh Toat-beng Coa-ong (Raja Ular Pencabut Nyawa) Ouw Kan yang sakti itu. Tujuh orang pengawal ini pun merasa gentar. Akan tetapi mereka tenang saja malam itu karena merasa bahwa mereka mendapat bagian penjagaan yang ringan, yaitu di sebelah dalam. Penjagaan di istana itu berlapis lapis dan dari regu-regu penjagaan di kompleks istana itu, dihitung dari regu penjaga di pintu gerbang sampai ke tempat berjaga, mereka berada di lapisan paling dalam atau pada lapisan keenam.
Jadi, kalau ada orang jahat hendak mengacau ke istana, dia harus dapat melewati lima lapis regu pengawal dulu sebelum berhadapan dengan mereka! Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan sungguhpun berita tentang Ang I Mo-li itu menyeramkan. Pula, sebagai pengawal yang paling dalam di istana itu, mereka terdiri dari orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi dan cukup tangguh untuk melindungi keselamatan kaisar dan keluarganya.
Selain itu, siapa yang tidak mengenal Puteri Moguhai yang berjuluk Pek Hong Niocu dan yang terkenal sakti dan lihai sekali? Dengan hadirnya puteri yang sering meninggalkan istana itu, semua orang merasa aman dan terlindung. Demikian pula dengan tujuh orang pengawal ini, merasa bahwa kedudukan mereka kuat sekali dan tidak perlu mengkhawatirkan sesuatu.
“Sungguh luar biasa dan mustahil! Bagaimana gadis muda mampu mengalahkan tiga orang Sam-pak-liong itu?” kata seorang dari mereka.
“Itu masih belum luar biasa. Yang lebih hebat dan tak masuk akal lagi, bagaimana gadis itu dapat membunuh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan yang terkenal sebagai datuk besar dunia persilatan?” orang kedua berkata.
“Tidak perlu diherankan. Sekarang memang bermunculan gadis-gadis muda yang amat lihai. Tidak usah jauh-jauh, apakah kalian lupa bahwa Sang Puteri Moguhai sendiri adalah seorang puteri yang amat tinggi ilmunya?” kata orang ketiga.
“Wah, kalau begin terus, semakin banyak wanita yang amat lihai dan tangguh, jangan-jangan akhirnya dunia ini akan dikuasai oleh wanita!” kata yang lain.
“Dan kita kaum pria menjadi pelayan mereka, mengasuh anak, mencuci pakaian, mengurus dan membersihkan rumah, memasak......”
“Dan bukan pria lagi yang melamar melainkan wanita yang meminang pria kalau ingin berumah tangga.”
Mereka tertawa, akan tetapi menahan suara mereka agar tidak menimbulkan kegaduhan.
“Ssstt......!” Tiba-tiba seorang di antara mereka mendesis dan menuding ke kanan. Semua orang menengok dan dengan gesit mereka berloncatan. Mereka adalah tujuh orang pengawal dalam istana yang memiliki kependaian tinggi, maka dalam kewaspadaan mereka, mereka segera siap siaga dan dengan cepat sekali mereka sudah mengepung seorang gadis baju merah yang tahu-tahu telah berada di situ!
“Hei! Siapa engkau?” bentak seorang dari mereka dengan suara lantang dan bengis, sungguhpun dalam hatinya dia gentar dan terkejut sekali karena dia sudah dapat menduga bahwa tentu gadis ini yang mereka bicarakan tadi. Kalau bukan orang yang memiliki kesaktian, mana mungkin dapat masuk sampai ke sini tanpa menimbulkan keributan melewati lima lapisan regu-regu penjaga istana itu?
Dugaan dalam hati pengawal ini, juga semua rekannya, memang benar. Gadis baju merah ini adalah Han Bi Lan. Seperti kita ketahui, Bi Lan telah berhasil membalas dendam kematian ayahnya, membelas dendam orang yang dulu menculiknya, membunuh Toat-beng Coa-ong Ouw Kan. Namun hatinya penasaran karena ia tetap menduga bahwa musuh utamanya adalah Kaisar Kin. Kaisar itu tentu yang mengutus Ouw Kan untuk membunuh dan membasmi keluarga mendiang ayahnya. Ia akan membunuh Kaisar Kin!
Dengan menggunakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, gadis yang sedang tertekan batinnya itu oleh kenyataan riwayat ibunya yang bekas pelacur, juga karena pengaruh pendidikan Heng-si Ciauw-jiok (Mayat Hidup Berjalan), yang membuat hatinya menjadi keras dan aneh, dapat menyusup ke istana tanpa diketahui lapisan penjaga yang pertama sampai yang kelima. Sebetulnya dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang tinggi, ia akan dapat pula melewati lapisan keenam ini tanpa mereka ketahui. Akan tetapi setelah tiba di bagian depan istana ini, ia menjadi bingung. Bangunan istana ini begitu luas. Ke mana ia harus mencari kaisarnya? Karena ia ingin mendapat keterangan tentang hal ini, maka ia sengaja memperlihatkan diri kepada para pengawal yang segera bergerak mengepungnya!
Biarpun tadi para pengawal itu membicarakan tentang Ang I Mo-li dengan hati seram dan gentar, namun setelah kini mereka berhadapan dengan Bi Lan, rasa takut itu segera menghilang. Gadis itu begini cantik jelita dan tampaknya lemah lembut, sama sekali tidak menimbulkan perassan gentar! Rasanya mustahil seorang gadis muda secantik ini dapat menjadi mahluk mengerikan seperti yang mereka gambarkan. Mereka adalah jagoan-jagoan istana, sungguh menggelikan kalau merasa takut kepada seorang gadis muda cantik jelita yang begini lembut dan lemah gemulai!
Mendengar pertanyaan kepala regu pengawal dan melihat betapa tujuh orang pengawal itu mengepungnya tanpa mengeluarkan senjata mereka, Bi Lan menjawab dengan suara tegas. “Siapa aku tidak penting. Yang penting, aku ingin tahu di mana adanya kaisar. Aku ingin bertemu dengan dia. Laporkan agar dia keluar menemuiku, atau tunjukkan di mana dia dan aku akan masuk dan menemuinya!”
Tujuh orang pengawal itu menahan tawa mereka karena mereka merasa geli. Gadis ini ingin bertemu dengan kaisar dengan sikap seperti seorang gadis ingin bertemu dengan pacarnya saja!
“Wah, tidak semudah dan sesederhana itu, Nona! Siapapun juga, tidak mungkin dapat menghadap Sri Baginda Kaisar di waktu malam begini. Kalau hendak menghadap, datang saja besok pagi dan melapor kepada penjaga di bagian depan.”
“Aku harus bertemu dengan dia sekarang juga! Laporkan dan suruh dia keluar, atau antarkan aku kepadanya!”
Gadis ini sudah gila, pikir para pengawal. Masa ada orang menyuruh Sri Baginda Kaisar keluar untuk menemuinya, malam-malam begini lagi!
“Nona, tidak mungkin kami dapat memenuhi permintaanmu. Kami tidak dapat melaporkan dan tidak dapat mengantarmu menghadap Sri Baginda.”
“Hemm, kalau begitu akan kupaksa seorang dari kalian untuk mengantar aku kepadanya!”
Mendengar ini, tujuh orang pengawal serentak menubruk hendak meringkus dan menangkap gadis itu. Bagaikan tujuh ekor harimau mereka menerkam gadis itu dari tujuh arah secara berbareng sehingga tidak mungkin bagi Bi Lan untuk mengelak lagi. Kalau ada orang menonton pada saat itu, tentu akan merasa yakin bahwa gadis itu akan dapat diringkus, bahkan tujuh orang pengawal itu pun sudah merasa pasti. Mereka bertujuh adalah laki-laki yang memiliki tenaga dalam yang kuat, juga semua pandai silat. Tidak mungkin gadis itu dapat meloloskan diri. Bahkan seekor burung yang pandai terbang sekalipun tidak akan dapat lolos dari terkaman tujuh orang dari segala penjuru itu.
Akan tetapi terjadi keanehan. Gadis itu seolah merupakan sebuah bom peledak. Begitu tujuh orang itu menerkam, ia menggerakkan tubuh berputar, kedua tangannya menyambar-nyambar dan tujuh orang pengawal itu berseru kaget dan tubuh mereka sudah berpelantingan ke belakang seolah dilanda alat peledak yang amat kuat! Mereka terbanting jatuh dan Bi Lan masih berdiri tegak dan kini melipat kedua lengan depan dada.
Tujuh orang pengawal itu tentu saja merasa gentar, akan tetapi mereka lebih takut lagi akan hukuman kalau membiarkan gadis itu lewat dan memasuki istana, apa lagi kalau sampai mengganggu bahkan membunuh kaisar. Maka setelah mengetahui bahwa gadis itu benar-benar lihai seperti iblis, mereka lalu mencabut pedang mereka dan hendak mengeroyok untuk membunuh gadis yang tidak mungkin mereka tangkap itu.
“Tahan senjata dan mundur semua!” terdengar bentakan nyaring dan mendengar suara wanita yang amat mereka kenal itu, tujuh orang pengawal itu berlompatan mundur.
Tampak banyak pengawal datang berlarian ke tempat itu sehingga sebentar saja di situ berkumpul sedikitnya limapuluh orang perajurit pengawal yang telah siap dengan pedang di tangan. Akan tetapi Bi Lan tidak memperhatikan mereka itu. Matanya mencari-cari kalau-kalau kaisar muncul di situ. Akan tetapi pandang matanya bertemu dengan pandang mata Puteri Moguhai yang sudah berdiri di depannya. Mereka saling pandang. Dua orang gadis yang sama-sama cantik jelita. Pakaian Bi Lan serba merah muda dan pakaian Puteri Moguhai serba putih!
“Mau apa engkau malam-malam begini membuat kekacauan di istana?” Puteri Moguhai menegur, suaranya mengandung wibawa.
“Mau bunuh Kaisar!” Bi Lan menjawab, sedikitpun tidak merasa gentar.
“Gila kau!” Moguhai berseru dan ia menyerang dengan pukulan jarak jauh. Kedua tangannya didorongkan ke arah Bi Lan dan pukulan ini mengandung tenaga sin-kang yang menyambar dahsyat ke arah Bi Lan.
Bi Lan tersenyum mengejek dan ia pun menggerakkan kedua tangannya, menyambut dengan dorongan yang diperkuat ilmu Sin-ciang yang ia dapatkan dari Si Mayat Hidup sehingga dari kedua telapak tangannya terdengar suara bercuitan ketika ada hawa kuat dan panas seperti kilat menyambar. Dorongan kedua tangan Bi Lan ini dahsyat sekali, merupakan ilmu yang langka dan tinggi yang ia pelajari dari Si Mayat Hidup.
Akan tetapi yang ia hadapi kini adalah murid, bahkan puteri Tiong Lee Cin-jin yang juga telah menurunkan ilmu yang hebat kepada Moguhai.
“Syuuuuttt...... blaarrrr......!!” Kedua orang gadis itu terpental dan tentu akan terjengkang kalau saja keduanya tidak cepat-cepat berpok-sai (bersalto) ke belakang sampai tiga kali sehingga dapat hinggap di atas tanah dengan tegak. Keduanya terkejut dan saling pandang penuh perhatian. Kebetulan para pengawal kini sudah memasang banyak obor sehingga tempat itu menjadi terang sekali. Mereka dapat saling memandang wajah masing-masing dengan jelas.
“Ahh...... engkaukah ini? Bukankah engkau ini...... yang dulu membantu Souw Thian Liong menghadapi pengeroyokan orang-orang Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai?”
“Dan engkau...... engkau Puteri Kerajaan Kin yang menjadi pasangan akrab dari Souw Than Liong?” Bi Lan berseru pula.
Keduanya saling pandang sampai lama dan semua pengawal di situ hanya memandang, tidak ada yang berani bergerak. Mereka bukan gentar terhadap Bi Lan, melainkan takut kepada Puteri Moguhai. Tanpa perkenan atau perintah puteri itu, mereka tidak berani turun tangan.
“Akan tetapi...... engkaukah yang memakai julukan Ang I Mo-li itu? Engkau yang membunuh putera pangeran, Hiu Kan dan dua orang pengawalnya, membunuh pula Toat-beng Coa-ong Ouw Kan?”
“Benar, aku yang membunuh mereka!”
“Akan tetapi mengapa?”
“Jahanam Hiu Kan dan dua orang pengawalnya itu berani bersikap kurang ajar kepadaku dan menghinaku!”
“Hemm, memang Hiu Kan itu pantas menerima hukuman. Akan tetapi Toat beng Coa-ong Ouw Kan?”
“Dia yang dulu menculik aku dan murid-muridnya yang membunuh Ayahku!”
“Ah, begitukah?” Puteri Moguhai teringat akan pengalamannya bersama Souw Thian Liong. “Engkau pula yang mencuri kitab milik Kun-lun-pai yang dibawa Souw Thian Liong?”
“Bukan urusanmu!” Bi Lan menjawab marah karena kalau diingatkan akan hal itu, ia teringat pula betapa karena perbuatannya itu Souw Thian Liong telah menampari pinggulnya sampai sepuluh kali, hal yang tak mungkin ia lupakan selama hidupnya!
“Baiklah. Aku tahu bahwa engkau bukan orang jahat. Engkau adalah seorang pendekar wanita dan mati-matian membela Souw Thian Liong yang benar dan difitnah sehingga engkau bahkan berani menentang Kun-lun-pai, padahal engkau murid Kun-lun-pai. Akan tetapi mengapa engkau hendak membunuh Ayahku, Sri Baginda? Apa kesalahan Ayahku?”
“Kaisar yang mengutus Ouw Kan membunuh Ayahku!”
“Hemm, siapakah Ayahmu?”
“Ayahku adalah Han Si Tiong!”
“Ahh! Jadi engkau...... engkau ini Han Bi Lan puteri Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi? Aku mengenal baik Ayah Ibumu!”
Dengan sikap tenang Bi Lan mengangguk. “Aku sudah tahu dan karena engkau pernah menolong orang tuaku dan bersikap baik kepada mereka, maka aku melayani engkau bicara!”
“Orang tuamu adalah orang-orang gagah yang setia kepada Kaisar Sung. Bersama-sama Souw Thian Liong, Kwee-ciangkun, beberapa orang pejabat yang setia kepada kaisar, orang tuamu mati-matian menentang Perdana Menteri Chin Kui yang jahat.”
“Aku sudah mendengar itu dan aku juga tahu bahwa engkau pun ikut membela orang tuaku, Puteri Moguhai!”
“Ya, kami memang bersahabat baik, bahkan seperti keluarga sendiri. Aku pun percaya bahwa engkau sebagai puteri mereka juga seorang pendekar yang gagah. Karena itu, maukah engkau juga bersikap baik kepada Ayahku dan mendengarkan dulu penjelasanku? Engkau salah kira, Bi Lan. Marilah, kita masuk dan bicara di dalam. Aku tidak ingin bermusuhan denganmu, mengingat akan hubunganku dengan orang tuamu.”
Bi Lan mengangguk. “Baiklah, Moguhai. Demi membalas kebaikanmu terhadap orang tuaku, aku menerima ajakanmu. Akan tetapi kalau ternyata Ayahmu yang mengutus orang untuk membunuh orang tuaku, jangan salahkan aku kalau aku pun berusaha untuk membalas dan membunuh Ayahmu.”
Moguhai memberi isyarat kepada semua perajurit pengawal untuk mengundurkan diri, lalu ia menggandeng tangan Bi Lan dengan sikap akrab dan mengajak gadis itu masuk ke istana. Tak lama kemudian mereka berdua sudah duduk di dalam kamar Moguhai yang luas dan me-wah indah. Mereka duduk berhadapan di atas kursi, sejenak saling pandang dengan penuh perhatian. Anehnya, di dalam hati kedua orang gadis ini tiba-tiba saja timbul gagasan dan dugaan yang sama, yaitu seberapa jauh hubungan masing-masing dengan Souw Thian Liong!
“Nah, sekarang apa yang hendak kaubicarakan dengan aku, Moguhai!”
“Dengarkan keteranganku ini, Bi Lan. Engkau tentu sudah dapat menduga bahwa aku juga seorang gadis kang-ouw dengan julukan Pek Hong Niocu. Aku paling benci kejahatan dan kecurangan dan aku henci pula akan kebohongan. Maka apa yang akan kukatakan kepadamu ini sama sekali bukan bohong. Untuk apa aku berbohong kalau ancamanmu sama sekali tidak membuat aku takut? Aku hanya ingin meluruskan persoalan, menghilangkan salah sangka darimu karena engkau sendiri tentu akan menyesal kalau engkau keliru melakukan pembalasan atau pembunuhan.”
“Jelaskanlah, aku mendengarkan.”
“Begini, Bi Lan. Belasan tahun yang lalu terjadilah perang antara Pasukan Kin melawan Pasukan Sung di perbatasan. Seperti engkau ketahui, Ayah Ibumu merupakan pemimpin yang gagah perkasa dari Pasukan Halilintar di bawah komando Jenderal Gak Hui yang terkenal itu. Seorang Pamanku, Pangeran Cu Si, menjadi seorang di antara para pimpinan Pasukan Kin. Dalam pertempuran, Pangeran Cu Si tewas di tangan Ayahmu. Hal ini sebetulnya wajar saja dan Ayahku, Sri Baginda Kaisar, juga menganggap hal ini wajar. Kalah menang dalam perang adalah wajar, dan kematian dalam perang juga bukan merupakan persoalan pribadi. Karena itu, biarpun hatinya sedih atas kematian Pangeran Cu Si, Sri Baginda Kaisar sama sekali tidak menaruh dendam kepada siapa pun juga. Kami sekeluarga tahu bahwa dalam perang itu, tentu Pangeran Cu Si juga telah merobohkan dan menewaskan banyak perajurit Sung, apakah keluarga mereka yang tewas dalam perang di tangan Pangeran Cu Si juga menaruh dendam pribadi kepada Pangeran Cu Si? Tentu saja tidak!”
“Akan tetapi menurut keterangan ibuku, Ouw Kan itu diutus oleh Kaisar Kin untuk membinasakan Ayahku sekeluarga dan karena Ayah Ibu tidak ada, dia menculik aku.”
“Pada mulanya, Sri Baginda Kaisar dihasut dan dibujuk oleh Pangeran Hiu Kit Bong, kakak Pangeran Cu Si, yang hendak membalas dendam atas kematian adiknya. Karena hasutan itu, Ayahku tidak melarang ketika Pangeran Hiu Kit Bong menyuruh Ouw Kan untuk membalas dendam kepada Paman Han Si Tiong. Ouw Kan agaknya sengaja mempergunakan nama Sri Baginda Kaisar sebagai pengutusnya untuk memperkuat kedudukannya. Apalagi Ouw Kan mendapat pesan pula dari Perdana Menteri Chin Kui untuk membasmi keluarga Paman Han Si Tiong, karena Chin Kui menganggap Paman Han Si Tiong berbahaya sebagai pembantu setia Jenderal Gak Hui yang dibenci dan dimusuhinya. Nah, itulah yang terjadi, Bi Lan. Kalau tidak demikian, tidak mungkin Souw Thian Liong mau membantu Ayah menghancurkan pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong. Sebuah bukti pula, kalau keluarga kami, termasuk aku sendiri, mendendam kepada Paman Han Si Tiong, mungkinkah aku membela Ayah Ibumu sehingga aku dan Souw Thian Liong dijebloskan penjara ketika kami menentang Chin Kui? Aku, keponakan Pangeran Cu Si yang terbunuh dalam perang oleh Ayahmu, tidak mendendam kepada Ayahmu bahkan bersahabat. Bagaimana sekarang engkau memusuhi Ayahku yang kauanggap mengutus Ouw Kan untuk membunuh Ayahmu?”
Bi Lan tertegun, bingung harus berkata apa. Ia dapat melihat kebenaran dalam semua ucapan puteri itu yang otomatis secara tidak langsung menyudutkannya sehingga kalau ia membalas dendam kepada Kaisar Kin akan kelihatan bahwa ialah yang jahat dan tidak mengenal budi!
“Akan tetapi, kalau tidak diutus oleh Kaisar Kin, mengapa Ouw Kan mati-matian memusuhi keluarga Ayahku, bahkan menyuruh dua orang muridnya untuk membunuh Ayah dan Ibu?” tanyanya dengan suara mengandung penasaran namun lemah.
“Aku sudah tahu sebabnya, Bi Lan. Karena Ayahku tidak mengutusnya, dan karena mereka yang mendukungnya, yaitu Pangeran Hiu Kit Bong dan Menteri Chin Kui telah tiada, maka hanya satu hal yang membuat Ouw Kan tiada hentinya berusaha membasmi keluarga Ayahmu. Dia mempunyai dendam tersendiri terhadap Paman Han Si Tiong. Pertama, karena dalam usahanya yang pertama kali dia gagal, bahkan setelah menculik dirimu, dia juga gagal karena engkau ditolong Jit Kong Lhama. Kemudian, beberapa kali dia yang merasa penasaran hendak mengulang serangannya terhadap Ayah dan Ibumu juga gagal ketika aku dan Souw Thian Liong menentang dan mengusirnya. Itulah sebabnya dia semakin penasaran. Engkau tentu dapat menyadarinya, Bi Lan. Kalau keluargaku memang mendendam kepada orang tuamu, mana mungkin aku membela mereka dan menentang Ouw Kan sendiri, bahkan aku meninggalkan tulisan untuk disimpan orang tuamu agar tulisanku itu mencegah Ouw Kan melakukan serangan lagi.”
Bi Lan menghela napas panjang. “Terima kasih atas semua penjelasanmu, Moguhai. Semua kata-katamu memang benar. Syukurlah bahwa aku belum terlanjur menyerang Ayahmu. Tulisan yang kau tinggalkan kepada orang tuaku memang telah menyelamatkan nyawa Ibuku, akan tetapi tidak menolong Ayahku.”
“Hemm......!” Moguhai mengerutkan alis dan mengepal tangannya. “Apakah Ouw Kan masih berani menyerang Ayah Ibumu?”
Bi Lan mengangguk. “Bukan dia sendiri, melainkan dua orang muridnya yang mewakilinya. Ayahku tewas dan Ibuku nyaris tewas, hanya terluka dan tidak jadi mereka bunuh setelah mereka melihat tulisanmu yang dibawa Ibuku.”
“Bi Lan, siapakah dua orang murid Ouw Kan itu?”
“Ketika aku datang ke rumah Ouw Kan dan berhasil membunuh jahanam itu, dua orang muridnya tidak ada dan menurut keterangan pembantu wanita yang berada di rumahnya, dua orang muridnya itu bernama Bouw Kiang dan Bong Siu Lan.”
“Hemm, aku pernah melihat mereka sekali ketika mereka dimintakan pekerjaan sebagai pengawal istana oleh Ouw Kan akan tetapi ditolak Ayahku setelah Ayah mendengar ceritaku tentang sepak terjang Ouw Kan sebagai seorang datuk jahat. Jahanam mereka berdua itu! Aku akan mencari dan menghukum mereka! Berani mereka melanggar laranganku agar jangan mengganggu Paman Han Si Tiong dan Bibi Liang Hong Yi.”
“Tidak perlu merepotkanmu, Moguhai. Aku sendiri yang akan mencari dan membunuh mereka!”
“Sama sekali tidak merepotkan Bi Lan. Ini merupakan kewajiban kami. Dua orang itu adalah orang utara, termasuk orang dari wilayah Kerajaan Kin, maka kalau mereka bersalah, kewajiban kamilah untuk menghukum mereka. Akan tetapi, setelah Paman Han Si Tiong meninggal dunia, bagaimana keadaan
Ibumu, Bibi Liang Hong Yi? Aku suka sekali dan hubunganku dengan Ibumu akrab seperti keluarga sendiri.”
“Ibu...... ia baik-baik saja,” jawab Bi Lan sambil menundukkan mukanya. Hatinya seperti diremas rasanya setiap ia teringat kepada ibunya.
“Apakah Ibumu masih tinggal di dusun Kian-cung dekat telaga See-ouw itu?”
Bi Lan tidak mengatakan apa-apa karena saat itu ia tahu bahwa kalau ia bicara, suaranya gemetar. Ia hanya menggeleng kepalanya sambil menekan dan menenangkan hatinya.
“Ah, kalau begitu Bibi Liang Hong Yi sudah pindah? Ke mana pindahnya? Aku ingin sekali berkunjung dan menghiburnya. Kasihan Bibi Liang Hong Yi......”
“Aku tidak tahu......”
“Ehh? Engkau tidak tahu ke mana Ibumu pindah? Tidak tahu di mana kini ia tinggal? Bagaimana pula ini, Bi Lan?”
“Kami saling berpisah di kota Cin-koan, aku tidak tahu ke mana ia per-gi......”
“Akan tetapi...... mengapa?”
“Sudahlah, Moguhai, aku tidak dapat menerangkan. Pendeknya, kami bertengkar dan aku pergi mencari musuh-musuhku.” Ia bangkit berdiri. “Sekarang aku harus pergi. Terima kasih, engkau telah menyadarkan aku bahwa Ayahmu tidak bersalah. Maafkan kesalah-pahamanku ini.” Setelah berkata demikian, Bi Lan berkelebat dan keluar dari ruangan itu dengan cepat bagaikan burung terbang.
“Bi Lan......!” Moguhai yang penasaran berseru mengejar. Akan tetapi Bi Lan sudah melompat ke atas genteng dan melalui wuwungan istana itu ia menghilang di malam gelap.
Moguhai cepat memanggil pengawal dan memberi perintah agar jangan ada perajurit yang menghalangi Bi Lan keluar dari istana.
Pada keesokan harinya Kaisar Kin terkejut mendengar laporan pengawal tentang adanya seorang gadis yang membikin kacau di istana. Moguhai segera menenangkan ayahnya dan menceritakan kepada kaisar dan semua keluarganya tentang Han Bi Lan, puteri Han Si Tiong yang datang hendak membalas dendam atas kematian Ayahnya karena mengira bahwa Ouw Kan diutus oleh Kaisar untuk membunuh keluarga Han Si Tiong.
“Akan tetapi saya telah dapat menyadarkannya dan ia kini tahu bahwa Ayahanda Kaisar tidak bersalah. Malam tadi, setelah kami bicara, ia mau mengerti dan ia pergi dengan damai.”
“Hemm, jadi berita tentang dibunuhnya Ouw Kan oleh seorang yang berjuluk Ang I Mo-li (Iblis Wanita Baju Merah) itu...... Han Bi Lan itukah orangnya?”
“Benar, Ayah. Namun ia sama sekali bukan iblis wanita. Ia seorang pendekar wanita yang gagah pekasa!”
“Akan tetapi kami mendengar beberapa waktu yang lalu, Ang I Mo-li ini mengamuk dan membuat cedera para pria bangsawan dan hartawan di kota Cin-koan!”
“Saya juga mendengar akan berita itu, Ayahanda Kaisar. Akan tetapi saya tidak menanyakan hal itu kepadanya. Saya anggap hal itu tidak aneh karena para pria itu memang tidak tahu malu, kotor dan sudah sepatutnya mendapat hajaran agar jangan lagi berani mempermainkan wanita!”
“Ehhh......!” Kaisar tidak mau berbantahan lagi tentang hal itu. Memang telah menjadi kelemahan kaum pria dan dia sendiri pun tidak dapat menyangkal bahwa dahulu dia juga seperti mereka, suka pelesir bersenang-senang di rumah-rumah pelesir.
“Jadi Han Bi Lan telah membalas dendam. Apakah Ouw Kan yang dibunuhnya itu telah membunuh orang tuanya?”
“Bukan Ouw Kan, akan tetapi dia menyuruh dua orang muridnya untuk melakukan itu. Han Si Tiong tewas dan isterinya hanya terluka. Sungguh menyebalkan Ouw Kan itu. Dulu ketika dia menyerang Paman Han Si Tiong, saya dan Souw Thian Liong mencegahnya dan saya telah meninggalkan tulisan kepada Paman Han Si Tiong untuk mencegah Ouw Kan mengganggunya. Akan tetapi tetap saja dia menyuruh dua orang muridnya untuk membunuh Paman Han Si Tiong. Hemm, sama saja dengan dia menantang aku!”
Tiba-tiba saja Kaisar mengerutkan alisnya dan berkata kepada puterinya dengan suara keren. “Moguhai, mulai sekarang aku melarang engkau bergaul dengan Souw Thian Liong!”
Moguhai terkejut bukan main. Wajahnya sampai berubah pucat mendengar kata-kata yang keras dan wajah Ayahnya membayangkan kemarahan kepadanya itu. Biasanya, ayahnya ini bersikap lembut dan penuh kasih sayang kepadanya, akan tetapi kini ayahnya dengan sikap galak melarang dia bergaul dengan Souw Thian Liong!
“Ayah! Mengapa Ayah berkata begitu?”
“Tidak perlu membantah. Engkau harus mentaati perintah Ayah sekali ini!”
“Ayah tidak adil! Lupakah Ayah bahwa Souw Thian Liong telah membantu kita, menyelamatkan Ayah bahkan membela kerajaan kita?”
“Moguhai, engkau sudah dewasa dan aku mengharapkan engkau berjodoh dengan seorang pemuda bangsa sendiri!”
“Ayah, apakah saya tidak boleh bergaul dengan Souw Thian Liong karena dia seorang bangsa Han? Bukankah Ibu juga seorang wanita Han?”
“Cukup!” Kaisar bangkit dengan marah. “Ingat, Moguhai! Engkau Puteri istana, Puteri Kaisar. Aku selama ini selalu menuruti kehendakmu. Apakah sekarang engkau tidak mau menuruti kehendakku yang satu ini? Apakah engkau ingin menjadi seorang Puteri istana yang melanggar peraturan dan seorang anak yang murtad kepada ayahnya?” Setelah berkata demikian, Kaisar meninggalkan ruangan itu.
Moguhai juga bangkit dengan marah, akan tetapi ibunya menubruknya karena khawatir anaknya itu akan menjadi lupa diri dan membuka rahasia pribadinya bahwa ia bukan anak kandung Kaisar!
“Sudahlah, Moguhai. Sudah, jangan membantah Ayahmu. Bagaimanapun juga dia seorang yang teramat mencintamu dan semua keinginannya itu bukan karena membenci Souw Thian Liong, melainkan karena tidak ingin engkau berjodoh dengan seorang Han.”
“Kalau begitu, Ibu sudah menceritakan tentang perasaanku kepadanya?”
“Benar, dan dia sama sekali tidak setuju. Dia berkeras agar engkau berjodoh dengan bangsa Yucen yang mendirikan Wangsa Kin ini.”
“Akan tetapi, Ibu. Mengapa Ayah mempunyai pendirian seperti itu? Bukankah Ayah sendiri juga mengambil Ibu sebagai isterinya?”
“Ketahuilah, Moguhai. Bagi bangsa kita, yang dianggap sebagai keturunan langsung adalah dari ayah. Kalau ayahnya bangsa Yucen, maka anaknyapun bangsa Yucen, tidak perduli isterinya dari bangsa apa pun. Kalau engkau menikah dengan seorang berbangsa Han, kalau kelak mempunyai anak, keturunan itu akan dianggap sebagai bangsa Han dan tidak dapat mewarisi tahta kerajaan. Inilah sebabnya Ayahmu berkeras mengharuskan engkau berjodoh dengan seorang pemuda bangsa Yucen. Bukan sekali-kali dia tidak suka kepada Souw Thian Liong.”
“Aku tidak ingin mewarisi tahta kerajaan, juga tidak ingin anakku mewarisi tahta kerajaan! Bagaimanapun juga, aku adalah seorang berdarah Han murni!”
“Hushh, jangan begitu, anakku. Apakah engkau hendak mencemarkan namaku? Apakah engkau hendak melumuri aib kepada Ibumu sendiri?” kata Tan Siang Lin dengan suara gemetar karena ia sudah menangis sesenggukan.
Moguhai menyadari kesalahannya dan ia merangkul ibunya, menciumi ibunya. “Aduh, ampunkan aku, Ibu. Bukan maksudku untuk...... ah, sudahlah, aku mengaku salah. Akan tetapi, Ibu. Bagaimanapun juga, aku belum ingin menikah dan ingin pergi lagi untuk mencari dua orang murid Ouw Kan itu. Aku harus turun tangan sendiri menghukum mereka!”
Tan Siang Lin mengenal watak puterinya yang keras. Akan percuma saja kalau ia melarang. “Terserah kepadamu, anakku. Akan tetapi kuminta kepadamu, taatilah perintah Ayahmu. Lupakan Souw Thian Liong dan pilihlah seorang di antara para pemuda Yucen yang meminangmu. Di antara mereka pun terdapat banyak pemuda yang tampan dan baik.”
“Aku tidak dapat menjanjikan apa-apa, Ibu. Akan tetapi aku dapat memastikan bahwa aku masih belum memikirkan tentang jodoh. Mengenai Souw Thian Liong, aku sendiri tidak tahu bagaimana perasaannya terhadap diriku, maka tentu saja aku pun tidak akan terlalu memikirkan dia.”
Pada keesokan harinya, ketika Kaisar mendengar laporan selirnya yang terkasih, Tan Siang Lin, bahwa Moguhai telah meninggalkan istana lagi, dia hanya menghela napas panjang dan menggeleng-geleng kepalanya. Dia terlalu sayang kepada puterinya itu, maka dia tidak mau melakukan kekerasan melarang ia keluar dari istana setiap saat yang di-kehendakinya. Akan tetapi, tetap saja dia tidak akan menyetujui dan mengijinkan kalau puterinya menikah dengan bangsa Han sehingga cucunya nanti terlahir sebagai
orang Han. Semenjak dulu, dia menganggap bangsa Han adalah bangsa yang lemah, sungguhpun dia harus mengakui bahwa ada orang Han yang gagah perkasa seperti Tiong Lee Cin-jin dan lain-lain. Akan tetapi tetap saja kesannya terhadap bangsa Han lemah, hal ini terpengaruh oleh Kaisar Sung yang dianggapnya lemah.
Sementara itu, pagi-pagi sekali Moguhai meninggalkan istana. Tidak ada seorang pun pengawal berani menghalanginya. Ia menunggang seekor kuda putih yang bagus, melarikan kudanya dengan santai keluar kota raja melalui pintu gerbang selatan.
Pagi hari itu hawanya sejuk sekali. Matahari belum tampak, akan tetapi sinarnya telah mendatangkan kehangatan dan memberi penerangan di permukaan bumi. Di jalan raya yang menuju ke pintu gerbang kota raja, hanya ada beberapa orang petani memikul dagangan hasil bumi. Jalan raya itu masih sepi dan Moguhai masih menjalankan kudanya dengan santai.
Seperti biasa, kalau ia keluar dari kota raja dan tiba di daerah yang sepi, di alam terbuka dengan sawah ladang terbentang luas, di mana angin semilir dengan segar dan udara yang amat jernih dapat direguk sepuas-nya, ia merasa seolah dirinya terbebas dari himpitan. Di istana, ia merasa terhimpit, bukan hanya terhimpit oleh bangunan istana yang besar dan tinggi, di mana-mana bertemu dinding, ruangan dan kamar-kamar, bertemu dengan banyak penghuni istana, bukan saja keluarga Kaisar, melainkan lebih banyak lagi dayang, pelayan dan pengawal, akan tetapi juga terhimpit segala macam peraturan yang harus ditaatinya sebagai seorang puteri Kaisar.
Terlalu dihormati dan disanjung-sanjung, dan ia pun harus mengatur tingkah lakunya, mana yang tidak patut dilakukan seorang puteri istana, mana yang seharusnya ia lakukan dan sikap tertentu bagaimana yang harus ia ambil. Terkadang ia merasa jenuh dan muak dengan itu semua! Ia ingin bebas! Tertawa bebas sesukanya tanpa sikap dibuat-buat, bicara keras menurut dorongan hatinya, mengeluarkan pendapat apa saja yang timbul di hatinya, duduk atau berdiri sesukanya dan seenaknya tanpa dikekang peraturan.
Begitu keluar dari kota raja dan berada di alam terbuka, ia merasa bebas, segar dan bahagia bagaikan seekor burung yang baru terlepas dari sangkar emas!
Tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda dari belakang. Ia menoleh dan melihat seorang laki-laki menunggang kuda yang berlari cepat. Moguhai mengerutkan alisnya. Mengganggu ketenangan saja, pikirnya. Akan tetapi ia tidak dapat melarang. Orang itu berkuda di jalan raya, jalan umum dan biarpun ia seorang puteri Kaisar, ia merasa tidak berhak melarang atau menegurnya. Agar orang itu cepat lewat dan ia dapat menikmati keheningan kembali, Moguhai meminggirkan kuda putihnya dan menanti untuk membiarkan orang itu lewat.
Akan tetapi penunggang kuda itu menghentikan kudanya tepat di depan Moguhai! Gadis itu memandang penuh perhatian. Penunggang kuda itu seorang pemuda berusia sekitar duapuluh satu tahun, wajahnya tampan dan pandang matanya lembut, tubuhnya sedang dan melihat pakaiannya, jelas bahwa dia seorang pemuda bangsawan Kerajaan Kin!
Moguhai merasa sudah mengenal wajah pemuda ini, akan tetapi ia lupa lagi di mana dan siapa dia. Pemuda itu menahan kudanya yang masih terengah, lalu melompat turun dan memegang kendali dekat mulut kudanya yang kini tenang kembali. Dia lalu memandang kepada Moguhai dan tersenyum.
“Adinda Moguhai, lupakah engkau kepadaku?”
Moguhai mengerutkan alisnya dan melihat pemuda itu turun dari atas kudanya dan pemuda itu jelas seorang bangsawan, ia pun merasa terikat peraturan sopan santun dan ia pun melompat turun, lalu dengan tangan kiri memegangi kendali kudanya. Mereka saling pandang dan Moguhai bertanya ragu.
“Eh, sungguh aku tidak kenal...... siapakah engkau?”
“Aku Kuang Lin.”
“Kuang Lin......? Siapa, ya......?”
“Aih, agaknya engkau sudah lupa sama sekali, akan tetapi biarpun baru bertemu denganmu beberapa kali saja ketika kita masih remaja, aku tidak lupa padamu. Adinda Moguhai, aku adalah putera Pangeran Kuang. Bukankah engkau akrab dengan Ayahku?”
“Ahhh......! Kiranya engkau putera Paman Kuang? Ya, aku ingat sekarang! Bukankah engkau yang menurut Paman Kuang dulu dikirim ke selatan agar mempelajari sastra Han kepada para sastrawan di Kerajaan Sung?”
“Benar! Kita pernah saling bertemu beberapa kali sebelum aku dikirim ke selatan, kurang lebih empat tahun yang lalu.”
“Ya, ya, aku ingat sekarang. Ketika itu aku berkunjung ke benteng di perbatasan selatan di mana Paman Kuang bertugas memimpin pasukan. Engkau...... rasanya engkau masih kecil ketika itu, Kuang Lin!”
Pemuda itu tersenyum dan matanya bersinar-sinar. Gadis itu menyebut namanya begitu saja, tanpa tata-cara lagi. Sebetulnya karena dia lebih tua, gadis itu harus menyebutnya kakanda dan dia tadi sudah menyebutnya adinda. Akan tetapi mendengar gadis itu menyebut na-manya begitu saja yang tentu lebih akrab tanpa embel-embel seperti kebiasaan bangsa pribumi Han, dia pun merasa lebih bebas.
“Tentu saja tidak sedewasa sekarang, Moguhai, akan tetapi aku bukan anak kecil lagi ketika itu. Kita sama-sama sudah remaja. Akan tetapi rasanya bagiku tidak banyak berubah sejak dulu, maka dengan mudah aku dapat mengenalmu. Engkau masih tetap mungil dan cantik!”
Pujian begini bagi bangsa Yucen merupakan hal biasa walaupun bagi bangsa pribumi Han mungkin dianggap tidak sopan.
Moguhai tersenyum. “Selama empat tahun di selatan itu, engkau mempelajari apa saja, Kuang Lin?”
“Ah, bermacam-macamlah, terutama kesusasteraan dan membaca kitab-kitab, terutama Su Si (Empat Kitab).”
“Wah tentu engkau kini menjadi seorang sastrawan besar, Kuang Lin, pantas engkau pandai merayu!”
Kuang Lin membelalakkan matanya, seperti terheran, akan tetapi dia lalu tertawa. Tawanya bebas lepas dan wajahnya menjadi cerah dan tampan sekali ketika tertawa.
“Ha-ha-ha-ha, aku memuji engkau cantik mungil itu kausebut merayu? Ha-ha-ha, agaknya engkaupun sudah ketularan kebiasaan para gadis Han yang menganggap pujian tulus sebagai rayuan. Engkau memang cantik, Moguhai, cantik jelita, bagaimana aku dapat mengatakan lain? Kalau aku bilang engkau jelek, berarti aku berbohong!”
Moguhai tertawa. Boleh juga pemuda ini, pikirnya, dapat mendatangkan suasana gembira. Pemuda terpelajar yang tampaknya lembut ini ternyata lincah dan gembira, seperti Paman Kuang, pikirnya.
“He-he-heh, engkau lucu, Kuang Lin. Mengingatkan aku kepada Ayahmu. Sekarang katakan terus terang, mengapa engkau menyusul aku?”
“Moguhai, rasanya tidak enak kalau kita bicara di tengah jalan begini. Mari kita tambatkan kuda kita di pohon itu dan kita duduk di atas batu-batu di sana itu agar kita dapat bicara dengan leluasa. Bagaimana, tidak keberatankah engkau menerima ajakanku? Sebentar saja kita bicara dan aku akan menjawab pertanyaanmu tadi.”
“Baiklah, aku pun tidak tergesa-gesa, Kuang Lin.”
Mereka menambatkan kuda mereka pada batang pohon, lalu mereka duduk di atas batu-batu yang terdapat di tepi jalan. Orang-orang yang berlalu lalang mulai banyak. Akan tetapi melihat dua orang muda yang dari pakaiannya jelas merupakan muda-mudi bangsawan itu, para pedagang hasil bumi yang datang dari dusun-dusun itu mengambil jalan di tepi yang berlawanan dan dengan hormat mereka berjalan dengan menundukkan muka, tidak berani memandang. Tidak ada di antara mereka yang mengetahui bahwa dua orang muda itu adalah keturunan bangsawan tinggi, Si Gadis puteri Kaisar dan Si Pemuda putera pangeran yang menjadi panglima besar!
“Nah, sekarang katakan, mengapa engkau menyusul aku dan bagaimana engkau tahu bahwa aku sedang hendak meninggalkan kota raja?”
“Nanti dulu, Moguhai. Maukah engkau lebih dulu mengatakan, bagaimana engkau dapat menduga bahwa aku sengaja menyusulmu?”
Moguhai tersenyum. “Apa sukarnya? Engkau melarikan kuda terburu-buru dan ketika melihat aku langsung berhenti. Apa lagi artinya kalau bukan engkau sengaja menyusul aku? Hanya aku tidak tahu bagaimana engkau dapat mengetahui bahwa aku keluar kota raja, dan apa maksudmu menyusul aku?”
Pemuda itu menghela napas panjang. “Sungguh berat bagiku melakukan hal ini, Moguhai. Aku sama sekali tidak berhak mencampuri urusanmu. Akan tetapi aku terpaksa melakukan ini untuk mentaati perintah.”
“Hemm, perintah siapa, Kuang Lin?”
“Perintah Ayahku.”
“Paman Kuang? Apa urusannya Paman Kuang menyuruh engkau menyusul aku?” Moguhai bertanya, penasaran.
Mendengar suara gadis itu agak ketus, Kuang Lin berkata dengan lembut membujuk. “Moguhai, engkau tahu betapa sayangnya Ayah kepadamu. Biasanya engkau demikian akrab dengan dia.”
“Memang, dia kuanggap sebagai orang tua sendiri atau sebagai guru yang sering kumintai nasihat, akan tetapi urusan pribadiku tidak boleh dicampuri siapapun juga, termasuk Ayahmu atau orang tuaku sendiri sekalipun!”
“Maafkan aku, Moguhai, dan maafkan Ayahku. Sesungguhnya, Ayahku juga mengetahui benar bahwa dia tidak berhak mencampuri urusan pribadimu, akan tetapi dia pun terpaksa menyuruh aku menyusulmu ini, Moguhai.”
“Terpaksa? Siapa yang memaksanya?”
“Tidak ada yang memaksanya, akan tetapi dia tidak dapat menolak permintaan Ibumu.”
“Permintaan Ibuku? Apa maksudmu, Kuang Lin?”
“Begini, Moguhai, akan kuceritakan semuanya kepadamu. Malam tadi, tanpa disangka-sanka, Ibumu datang berkunjung ke rumah kami. Yang menemuinya adalah Ayahku, Ibuku dan aku sendiri. Dalam pertemuan itu, Ibumu menceritakan kepada Ayahku, bahwa engkau akan meninggalkan istana lagi pada pagi hari ini. Kata Ibumu, Sri Baginda Kaisar dan Ibumu tidak dapat mencegahmu pergi padahal mereka berdua tidak menghendaki engkau pergi. Mereka terlalu sayang kepadamu, Moguhai, dan sudah terlalu sering dan terlalu lama engkau meninggalkan mereka sehingga mereka selalu khawatir akan keselamatanmu. Maklumlah, semua orang tua juga seperti itu perasaannya, apa lagi engkau adalah seorang anak perempuan. Kemudian, Ibumu minta kepada Ayahku agar Ayah suka membujukmu agar engkau tidak pergi meninggalkan istana. Nah, Ayah tentu saja tidak dapat menolak permintaan Ibumu dan Ayah lalu memerintahkan aku untuk menghadang engkau di pintu gerbang selatan karena Ayah menduga bahwa engkau tentu akan merantau ke selatan. Akan tetapi setelah tiba di pintu gerbang, aku terlambat. Ketika kutanyakan kepada perajurit penjaga pintu gerbang, aku diberitahu bahwa engkau telah keluar dari pintu gerbang, menunggang kuda ke selatan. Demikianlah, aku lalu mengejarmu dan untung engkau menjalankan kuda dengan santai sehingga aku dapat menyusulmu. Nah, demikianlah ceritanya mengapa aku menyusulmu, Moguhai. Kalau perbuatanku ini me-nyinggung hatimu dan membuat engkau marah dan tidak senang, aku minta maaf dan aku mintakan maaf untuk Ayahku.”
Moguhai menghela napas panjang.
Tidak mungkin ia dapat marah kalau pemuda ini bersikap dan bercerita seperti itu. Pula, ia pun tidak dapat marah kepada Paman Kuang yang sejak dulu dihormatinya. Kuang Lin tak bersalah, juga Paman Kuang tidak bersalah. Apa pun yang dilakukan ibunya, juga ayahnya, menunjukkan bahwa mereka amat menyayangnya, maka usaha mereka menghalanginya pergi meninggalkan istana adalah wajar dan tidak dapat disalahkan.
“Kuang Lin, apakah Ibu juga menceritakan mengapa aku hendak pergi merantau lagi?”
“Tidak, Moguhai. Hal itu pun ditanyakan Ayahku kepada Ibumu, akan tetapi Ibumu menjawab Beliau juga tidak tahu mengapa engkau hendak pergi. Dan sekiranya aku boleh mengetahui, mengapa engkau hendak pergi meninggalkan istana dan membuat Ayah Bundamu bersedih, Moguhai?”
Moguhai memandang ragu. Tentu saja ia tidak mau bercerita kepada siapapun juga tentang persoalan yang dihadapinya, yaitu tentang perjodohan, tentang ia harus berjodoh dengan bangsa Yucen dan tentang ia tidak boleh bergaul dengan Souw Thian Liong.
“Maaf, Moguhai. Aku bukan bermaksud mencampuri urusan pribadimu. Akan tetapi kalau engkau mau menceritakan mengapa engkau hendak meninggal istana, siapa tahu barang kali aku dapat membantumu.”
Moguhai tersenyum. “Bagaimana engkau akan dapat membantuku, Kuang Lin? Baiklah kalau engkau ingin mengetahui. Aku meninggalkan kota raja untuk mencari dua orang yang harus kuberi hukuman berat karena mereka berdua melanggar laranganku dan telah membunuh sahabat yang kuhormati.”
“Hemm, begitukah? Siapakah mereka yang berani menentangmu itu? Dan siapa pula yang mereka bunuh?”
“Yang mereka bunuh adalah Paman Han Si Tiong.”
“Ah, bekas Panglima Pasukan Halilintar Kerajaan Sung yang gagah perkasa itu? Aku pernah mendengar cerita Ayah tentang Han Si Tiong dan isterinya yang gagah perkasa, bahkan suami isteri itu ikut berjasa menggulingkan Perdana Menteri Chin Kui dari Kerajaan Sung yang korup dan hendak memberontak. Bahkan menurut cerita Ayah, engkau juga membantu Kerajaan Sung menjatuhkan pengkhianat itu.”
“Benar, Paman Han Si Tiong itu yang terbunuh sedangkan Bibi Liang Hong Yi terluka. Padahal aku sudah memberi surat kepada mereka untuk memperlihatkan kepada orang-orang yang berani mengganggunya!”
''Siapakah mereka yang begitu jahat?”
“Mereka adalah Bouw Kiang dan Bong Siu Lan, dua orang murid Toat-beng Coa-ong Ouw Kan.”
“Hemm, aku tahu siapa Toat-beng Coa-ong Ouw Kan, datuk sesat itu. Bukankah belum lama ini dia telah dibunuh oleh...... yang berjuluk Ang I Mo-li?”
“Benar, Ang I Mo-li itu adalah seorang pendekar wanita, puteri Paman Han Si Tiong. Akan tetapi mendiang Ouw Kan menyuruh dua orang muridnya untuk membunuh Paman Han Si Tiong. Karena Ang I Mo-li tadinya mengira bahwa Ayahanda Kaisar yang mengutus para pembunuh Ayahnya, maka aku sendiri harus membantunya mencari dua orang pembunuh itu. Selain untuk menghukum mereka yang tidak mengacuhkan laranganku, juga untuk membersihkan nama Sri Baginda Kaisar.”
“Aku mengerti sekarang dan aku tidak menyalahkan kalau engkau mencari mereka, Moguhai. Kalau begitu, aku akan membantumu, Moguhai!”
Moguhai tertawa. “He-he-heh, dengan apa engkau akan membantu aku, Kuang Lin? Dua orang murid Ouw Kan itu lihai sekali dan engkau adalah seorang sastrawan! Apakah engkau akan mengalahkan mereka dengan...... menulis sajak dengan huruf-huruf yang indah?”
Pemuda itu tidak marah dan tertawa pula. “Ha-ha-ha, kalau perlu. Siapa tahu dengan tulisan sajakku mereka akan takluk, Moguhai!”
“Sudahlah, Kuang Lin. Sampaikan terima kasihku kepada Paman Kuang atas perhatiannya dan terima kasih pula kepadamu yang menawarkan bantuan. Aku harus pergi sekarang. Lihat, matahari sudah tampak sekarang!” Tiba-tiba Moguhai melompat ke atas punggung kudanya, melepaskan ikatan kendali dan membedal kudanya sehingga binatang itu meringkik dan lari dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu.
“Moguhai......!!” Kuang Lin memanggil, akan tetapi gadis itu telah membalapkan kudanya dan telah jauh, sama sekali tidak menoleh atau menjawab. Kuang Lin berdiri mengikuti bayangan gadis itu dengan matanya, menghela napas panjang lalu dia pun menunggang kudanya, kembali ke kota raja. Dia harus melaporkan kepada ayahnya tentang kegagalan usahanya membujuk Moguhai.
Pulau yang berada di Laut Timur itu terpencil. Dari jauh tampak bentuknya melengkung seperti tubuh seekor udang. Karena bentuknya inilah maka pulau ini disebut Pulau Udang. Sebetulnya pulau itu tidak terlalu jauh dari pantai daratan dan mudah dikunjungi para nelayan. Akan tetapi tidak ada seorang pun nelayan berani berkunjung ke pulau itu, bahkan mendekatinya pun tidak berani. Mereka hanya berani mencari ikan paling dekat dua lie jauhnya dari Pulau Udang.
Semua orang tahu belaka bahwa pulau itu dikuasai seorang yang amat ditakuti. Tocu (Majikan Pulau) itu adalah Tung-sai (Singa Timur) Kui Tong yang dikenal sebagai seorang datuk kang-ouw yang menyeramkan. Setelah setiap orang nelayan berani mendekati pulau itu tewas, maka tidak ada lagi yang berani melanggar batas yang ditetapkan penguasa pulau itu, yakni tidak lebih dekat dari dua lie dari pulau.
Yang tinggal di Pulau Udang adalah Tung-sai Kui Tong dan anak buahya yang bersama keluarga mereka tinggal di pulau itu. Jumlah mereka berikut keluarga mereka ada tiga ratusan orang. Yang menjadi kepala dari keluarga-keluarga itu adalah murid atau anak buah Pulau Udang. Di antara mereka, yang menjadi pengawal pribadi Singa Timur, adalah limabelas orang gagu tuli. Seperti telah diceritakan di bagian depan, tadinya pengawal pribadi ini ada duapuluh orang, akan tetapi lima orang di antara mereka tewas di tangan Can Kok.
Kui Tong yang bertubuh tinggi besar bermuka singa yang menyeramkan, hidup bagaikan seorang raja di pulau itu. Tidak seperti para pria yang memiliki kekuasaan dan kekayaan seperti dia, Kui Tong hanya mempunyai seorang isteri. Padahal pada jaman itu, setiap orang pria yang kaya dan berkuasa, memiliki sedikitnya tiga orang selir di samping isterinya.
Kui Tong mempunyai seorang isteri yang amat dicintanya. Dia berusia enampuluh tahun lebih dan isterinya berusia empatpuluhan tahun, seorang wanita yang cantik dan lembut. Mereka mempunyai seorang anak perempuan yang kini telah berusia delapanbelas tahun bernama Kui Leng Hwa. Gadis ini cantik dan lembut seperti ibunya, akan tetapi ia sama sekali bukan gadis lemah. Sejak kecil ia telah mempelajari ilmu silat dari Ayahnya yang amat mencintainya.
Hari itu menjelang sore dan para anak buah Pulau Udang sudah pulang ke pondok masing-masing setelah melaksanakan pekerjaan sehari-hari mereka. Ada yang menjadi nelayan dan ada pula yang menggarap tanah di pulau itu.
Tiba-tiba semua orang dikejutkan suara menggereng atau mengaum seperti auman singa yang menggetarkan seluruh pulau. Mereka hanya menengok ke arah rumah induk tempat tinggal ketua atau
majikan mereka dan tidak ada yang berani bersuara. Mereka merasa gentar sekali karena mengenal bahwa suara dahsyat itu adalah suara majikan mereka yang mengeluarkan auman seperti itu apabila dia sedang marah.
Mereka semua tahu bahwa kalau suara itu dikerahkan dan dipusatkan untuk menyerang lawan, suara itu menjadi ilmu Sai-cu Ho-kang (Auman Singa Sakti) yang dapat merobohkan lawan. Orang yang tidak amat kuat tenaga saktinya, diserang dengan auman ini dapat roboh dan mati seketika karena jantung mereka terguncang hebat! Akan tetapi auman yang sekarang dikeluarkan majikan mereka itu, hanya menggetarkan seluruh pulau dengan gemanya dan tidak mengandung tenaga menyerang, tanda bahwa majikan mereka sedang marah besar.
Di ruangan sebelah dalam rumah besar itu, Kui Tong memang sedang marah bukan main. Dia duduk di atas kursi menghadapi sebuah meja besar. Di sudut kamar, menghadapnya, berdiri seorang wanita setengah tua dan seorang gadis. Dua orang wanita ini cantik jelita dan memiliki bentuk wajah yang mirip satu sama lain. Mereka adalah Nyonya Kui dan puterinya, Kui Leng Hwa. Mereka berdua berdiri dan Leng Hwa merangkul pundak ibunya seolah hendak melindunginya. Mereka berdua sedang menghadapi Kui Tong yang marah-marah.
“Engkau tidak bisa memaksa anak kita yang satu-satunya ini untuk berjodoh dengan keponakanmu yang gila itu! Seekor harimau pun tidak akan mencelakakan anaknya! Apakah engkau hendak menyengsarakan kehidupan Leng Hwa dengan memaksanya menjadi isteri orang gila?” kata Nyonya Kui, suaranya tetap lembut walaupun ia marah sekali.
“Siapa bilang Can Kok gila? Dia menjadi seorang yang sakti luar biasa, maka wataknya menjadi aneh. Akan tetapi dialah harapan kami, Empat Datuk Besar, untuk membalaskan sakit hati kami dan untuk itu, sudah sepatutnya kalau dia menjadi mantuku!” Kui Tong membentak. Dia marah sekali, mukanya yang seperti muka singa itu berubah merah, akan tetapi dia tidak berani menentang pandang mata isterinya karena Datuk Besar yang sesat dan kejam ini tiba-tiba menjadi lemah kalau bertemu dengan sinar mata isterinya. Dia amat mencinta isterinya, lebih dari apa pun di dunia ini!
“Ayah, aku tidak mau menjadi isteri Can Kok. Daripada menjadi isteri orang gila itu, lebih baik aku mati!” Tiba-tiba Kui Leng Hwa berkata dengan tegas.
“Brakkkk!!” Meja itu hancur berkeping-keping ketika Kui Tong menghan-tamnya dengan tamparan tangannya. Dia bangkit berdiri dan matanya mencorong karena marah, memandang kepada puterinya.
“Apa? Engkau bilang lebih baik mati? Kalau begitu matilah!” Dia menyambar sebatang tombak dari rak, yaitu senjata andalannya yang membuat dia disebut Bu-tek Sin-jio (Tombak Sakti Tanpa Tanding) dan siap membunuh puterinya dengan tombak itu.
Akan tetapi tiba-tiba Nyonya Kui menghadang di depannya dan membu-sungkan dadanya. “Langkahi mayatku dulu kalau engkau hendak membunuh anakku!” Nyonya yang biasanya lembut itu kini menatap wajah suaminya dengan sinar mata bersinar-sinar. Sejenak mereka saling berpandangan. Akan tetapi tidak lama. Kui Tong Datuk Besar yang terkenal sebagai Singa Timur dan yang ditakuti orang-orang di dunia kang-ouw tidak kuat bertahan beradu pandang dengan isterinya yang lembut dan lemah itu. Dia menundukkan pandang matanya.
“Sialan!” Dia menggerutu lalu dia menancapkan tombaknya di lantai. Tombak itu menghunjam lantai sampai setengahnya dan dia lalu meninggalkan ruangan itu dengan muka tunduk.
“Ibu......!” Leng Hwa kini menubruk dan merangkul ibunya sambil menangis. Tadi, di depan ayahnya yang marah-marah dan yang siap membunuhnya, gadis ini tidak tampak gentar dan sama sekali tidak menangis. Akan tetapi setelah ayahnya pergi, ia tidak mampu menahan kesedihan hatinya dan merangkul ibunya sambil menangis.
Mengagumkan sekali sikap Nyonya Kui, wanita yang lembut dan lemah itu. Ia sama sekali tidak menangis, hanya alisnya berkerut dan ia berkata kepada puterinya. “Sudahlah, Leng Hwa. Mari kita bicara di dalam kamar.” Ia mengajak puterinya masuk ke kamar Leng Hwa dan keduanya duduk di tepi pembaringan.
“Nah, sekarang katakan terus terang. Engkau mati-matian menolak kehendak Ayahmu untuk menjodohkanmu dengan Can Kok. Sesungguhnya, apa alasannya? Apakah hanya karena Can Kok itu seperti orang yang miring otaknya?”
“Ibu, bagaimana mungkin aku dapat menjadi isteri seorang yang gila dan mengerikan itu? Dahulu, Can Kok memang seorang pemuda yang baik dan sejak kecil menjadi teman baikku. Akan tetapi setelah dia dilatih oleh Empat Datuk Besar, dia menjadi gila dan mengerikan. Bahkan dia telah membunuh lima orang pengawal tuli gagu dari Ayah. Dulu memang aku tidak menolak ketika Ayah merencanakan untuk menjodohkan aku dengan Can Kok. Akan tetapi sekarang, ah, aku tidak sudi, Ibu.”
“Akan tetapi, mengapa engkau memilih mati daripada menikah dengan dia, Leng Hwa?”
“Aku...... aku sudah bersumpah, lbu......”
“Bersumpah?”
“Ya, aku sudah bersumpah tidak akan menikah dan kalau dipaksa lebih baik mati kalau tidak......”
“Ya......?”
“......kalau tidak dengan dia...... ah, Ibu tentu telah tahu……”
“Hemm, engkau sungguh mencinta Ho Lam itu?”
Gadis itu menjadi merah kedua pipinya dan ia mengangguk. “Dia seorang yang amat baik, Ibu. Dia lembut, bijaksana, dan selalu bersikap menentang kalau ada anak buah Pulau Udang melakukan kekejaman.”
Ibunya menghela napas panjang. “Ya, dia keponakanku dan dia memang lain. Karena wataknya yang bersih dia dibenci oleh Ayahmu dan sekiranya dia bukan keponakanku yang kulindungi, tentu dia sudah dibunuh Ayahmu sejak dulu. Akan tetapi dia yatim. piatu, tiada sanak keluarga......, hanya aku satu-satunya keluarga. Aku adik Ayahnya......”
“Kami sudah berjanji sehidup semati, Ibu. Aku siap hidup sederhana dan seadanya, sebagai isterinya.”
Nyonya Kui menghela napas panjang. “Aku dapat memahami perasaanmu, Leng Hwa, dan aku tidak menyalahkanmu. Aku bahkan setuju sepenuhnya kalau dapat berjodoh dengan Ho Lam. Akan tetapi apakah Ho Lam juga amat mencintamu?”
“Dia sanggup mengorbankan apa saja, bahkan nyawanya untukku, Ibu.”
“Hemm. Ayahmu tentu akan mati-matian menentang perjodohanmu dengan Ho Lam.”
“Kami sudah mengambil keputusan bulat, ibu. Kami akan nekat dan siap untuk mati di tangan Ayah, kalau Ayah memang tega kepadaku.”
“Ayahmu pasti tega. Biarpun dia amat sayang kepadamu, namun dia jauh lebih sayang kepada dirinya sendiri. Tidak ada jalan lain, Leng Hwa. Engkau harus pergi bersama Ho Lam dari pulau ini. Malam ini juga sebelum terlambat!”
“lbu......!”
“Sudahlah engkau harus menurut kata-kataku. Ini jalan satu-satunya. Kalau terlambat, jangan harap engkau akan dapat berjodoh dengan Ho Lam. Ayahmu tidak akan membunuhmu, akan tetapi dia dapat memaksamu. Dia itu licik dan cerdik. Dia dapat menggunakan racun untuk menjebakmu sehingga engkau akan menyerahkan diri dengan rela kepada siapa pun yang dikehendaki Ayahmu. Cepat berkemas! Aku sendiri yang akan mengatur agar Ho Lam bersiap-siap dan menyediakan perahu untuk kalian.”
Malam itu Pulau Udang kedatangan seorang tamu yang sudah dikenal oleh semua anggauta Pulau Udang, dan juga ditakuti karena tamu itu pernah membunuh lima orang pengawal Kui Tong yang gagu dan tuli. Tamu itu bukan lain adalah Can Kok. Para petugas jaga tidak ada yang berani menentangnya, bahkan menyambutnya dengan hormat lalu melaporkan kedatangan itu kepada Kui Tong. Mendengar akan kunjungan pemuda itu, dengan girang Kui Tong keluar menyambut.
“Ah, engkau Can Kok? Aku girang sekali engkau pulang!” kata datuk itu sambil tersenyum dengan wajah berseri. Dia merasa bangga kepada Can Kok. Pemuda ini adalah keponakannya, juga muridnya dan kini dia tahu bahwa pemuda ini telah memiliki ilmu kepandaian hebat, lebih tinggi daripada tingkat kepandaiannya sendiri. Sungguh membanggakan sekali untuk memamerkan Can Kok sebagai keponakan dan muridnya!
“Paman,” kata Can Kok sambil memberi hormat.
Kui Tong merasa girang bahwa kini Can Kok tidak liar lagi. Agaknya pemuda itu telah mulai terbiasa dan dapat mengendalikan tenaga sakti yang amat dahsyat dalam dirinya, yang membuat dia ketika itu menjadi liar tak terkendali sehingga mengamuk, bahkan membunuh lima orang pengawalnya di Pulau lblis itu. Dia lalu menggandeng tangan pemuda itu.
“Mari masuk, kita bicara di dalam, Can Kok!”
Setelah duduk berdua dalam ruangan, Kui Tong segera bertanya, “Bagaimana hasilnya usahamu mencari dan membunuh Tiong Lee Cin-jin, Can Kok'?”
“Untuk membicarakan itulah aku datang ini, Paman. Aku belum dapat menemukan di mana adanya Tiong Lee Cin-jin. Akan tetapi aku telah bertemu dengan dua orang muridnya.”
“Siapa mereka?”
“Mereka berjuluk Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li.”
“Ah, aku pernah mendengar nama gadis-gadis tokoh kang-ouw itu! Hemm, jadi mereka adalah murid-murid Tiong Lee Cin-jin? Lalu bagaimana, apakah engkau sudah menangkap atau membunuh mereka?”
Can Kok menggeleng kepalanya. “Ketika itu aku bertemu dengan Kui Tung.”
“Eh? Siapa orang yang namanya mirip dengan namaku itu?”
“Kui Tung adalah murid Suhu Lam-kai (Pengemis Selatan) Gui Lin dan kami berdua bertanding melawan dua orang gadis murid Tiong Lee Cin-jin. Sebetulnya kami sudah hampir dapat menundukkan mereka ketika tiba-tiba muncul sekitar seratus orang pasukan pemerintah. Sayang sekali, Paman. Aku tidak berhasil menangkap atau membunuh mereka.”
“Bagaimana tingkat kepandaian mereka?”
“Sudah cukup tinggi. Murid Suhu Lam-kai masih kalah setingkat dibandingkan seorang di antara mereka. Akan tetapi aku masih dapat mengungguli mereka kalau bertanding satu lawan satu. Karena aku belum berhasil menemukan di mana adanya musuh besar kita itu, Paman, maka aku datang untuk minta petunjuk Paman. Dan pula, mengingat bahwa Tiong Lee Cin-jin mempunyai murid-murid lihai, maka setelah kita mengetahui di mana dia berada, agar jangan sampai gagal, sebaiknya Paman dan ketiga Suhu lainnya bersama aku menyerbu agar dia dapat kita bunuh.”
“Kui Tong mengangguk-angguk. “Hemm, memang Tiong Lee Cin-jin memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat. Engkau benar, Can Kok. Kita semua harus bekerja sama. Aku mengundang See-ong (Raja Barat), Pak-sian (Dewa Utara) dan Lam-kai (Pengemis Selatan) untuk datang dan berkumpul di sini. Siapa tahu di antara mereka ada yang sudah dapat mengetahui di mana adanya Tiong Lee Cin-jin. Kalau sudah diketahui tempat tinggalnya, kita semua beramai-ramai menyerbu ke sana dan membunuhnya. Akan tetapi Sementara itu, aku hendak membicarakan hal yang amat penting denganmu, Can Kok.”
Can Kok menatap wajah Paman tuanya. “Ada urusan apakah, Paman?”
“Begini Can Kok. Engkau sejak kecil telah ikut denganku di sini dan kami semua sudah menganggap engkau sebagai keluarga sendiri. Katakan, Can Kok, bagaimana pendapatmu tentang Leng Hwa, anakku?”
“Hemm, apa maksudmu Paman? Pendapatku tentang Adik Leng Hwa? Ah, mengapa? Ia baik sekali.”
“Maksudku, menurut pandanganmu, apakah ia cukup cantik menarik?”
“Wah, Paman ini aneh. Tentu saja Leng Hwa cantik sekali dan menarik. Jarang aku bertemu seorang gadis secantik Leng Hwa!”
“Dan cukup pandai?”
“Pandai dan cerdik.”
“Can Kok, begini maksud aku dan Bibimu. Kami ingin menjodohkan Leng Hwa denganmu. Bagaimana pendapatmu?”
Sepasang mata itu mencorong dan terbelalak sejenak, lalu biasa kembali. “Wah, Paman, tentu saja aku merasa girang sekali! Memang sejak dulu aku merasa kagum kepada Adik Leng Hwa dan alangkah senangnya kalau ia menjadi isteriku!” kata Can Kok dan ucapannya ini saja sudah menunjukkan bahwa sikapnya memang sudah luar biasa. Agaknya dia tidak lagi mempunyai perasaan rikuh terhadap datuk yang menjadi gurunya dan juga pengganti orang tuanya itu.
“Ha-ha-ha-ha!” Tung-sai Si Singa Timur tertawa bergelak dan suara tawanya bergema di pulau itu, menggetarkan hati orang yang mendengarnya. “Bagus! Bagus sekali!” Dia lalu bertepuk tangan. Ini merupakan isyarat bagi para pelayan yang berada di dalam rumah bahwa majikannya itu memanggil mereka. Seorang pelayan wanita yang kebetulan berada di luar ruangan itu dan mendengar panggilan ini, segera memasuki ruangan dengan sikap hormat.
“Cepat panggil Toanio (Nyonya Besar) dan Siocia (Nona) ke sini!” perintah Tung-sai Kui Tong yang masih menyeringai tanda gembira hatinya.
Tak lama kemudian terdengar langkah kaki lembut dan muncullah Nyonya Kui, memasuki ruangan itu dengan alis berkerut dan sinar mata menunjukkan kegelisahan.
“Mana Leng Hwa? Aku minta ia datang ke sini. Kami ingin membicarakan urusan perjodohannya!”
Can Kok yang melihat bibinya, hanya mengangguk saja tanpa bangkit dari kursinya. “Bibi, harap undang Adik Leng ke sini, aku sudah merasa rindu padanya,” katanya.
Nyonya Kui menekan rasa tidak senangnya dan ia, tidak memperdulikan ucapan pemuda itu, melainkan berkata kepada suaminya. “Leng Hwa tidak berada dalam kamarnya.”
“Eh? Ke mana ia pergi?”
“Aku tidak tahu. Sejak tadi sudah kucari-cari di seluruh ruangan dan taman, akan tetapi ia tidak ada. Dan ketika aku memeriksa kamarnya, aku menemukan bahwa sebagian dari pakaiannya yang baru telah tidak ada.”
“Apa? Keparat! Ia minggat?” bentak Tung-sai sambil bangkit berdiri, lalu dia melangkah lebar keluar dari ruangan itu menuju ke kamar puterinya, diikuti oleh Can Kok yang tidak berkata apa-apa.
Nyonya Kui berlari kembali ke kamarnya dan menahan tangisnya.
Setelah tiba di kamar Leng Hwa, Tung-sai menggeledah kamar itu dengan marah-marah. Lalu dia berteriak memanggil pelayan yang biasa melayani puterinya. Pelayan itu, seorang wanita berusia empatpuluh tahunan, masuk dengan tubuh gemetar dan wajah pucat.
“Hayo katakan ke mana Nona pergi!” bentak Singa Timur itu.
“Saya...... saya tidak tahu, Tuan Besar ...... sejak sore tadi Nona mengeram diri dalam kamar dan melarang siapa pun memasuki kamarnya.”
“Bodoh! Sejak kapan ia tidak berada di kamarnya?” Si Singa Timur membentak.
“Sa...... saya tidak tahu...... kami semua baru tahu bahwa Nona tidak berada lagi dalam kamarnya ketika Nyonya Besar membuka pintu kamar dan ternyata Nona sudah tidak berada dalam kamar. Kami semua mencarinya akan tetapi Siocia (Nona) tidak dapat ditemukan.”
“Keparat! Apa artinya engkau menjadi pelayan kalau begitu? Lebih baik mampus saja!” Si Singa Timur melangkah maju dan hendak membunuh wanita pelayan yang ketakutan dan sudah terkulai dan berlutut saking takutnya itu.
“Jangan pukul ia!” tiba-tiba terdengar bentakan lembut dan Nyonya Kui muncul lalu melangkah menghampiri pelayan itu, menariknya bangun. “Pergilah ke belakang sana!” katanya, kemudian setelah pelayan pergi wanita itu mendekati suaminya.
“Mengapa menyalahkan orang lain? Kalau anak kita pergi, engkaulah yang menjadi biang keladinya, engkaulah penyebabnya! Engkau memaksanya untuk menikah! Mungkin kini ia telah mati membunuh diri dan engkaulah pembunuhnya! Engkau membunuh anakku......!” Nyonya itu menangis dan Si Singa Timur berdiri bagaikan patung. Hilang semua kegalakan dan kemarahannya, bahkan dia tertegun mendengar kemungkinan anaknya bunuh diri. Bagaimanapun juga, datuk ini amat mencinta puterinya.
Tiba-tiba Can Kok berkata. “Paman, tidak mungkin orang membunuh diri membawa pergi pakaian-pakaiannya!”
“Ah, benar!” Si Singa Timur seperti sadar. “Ia tidak bunuh diri, melainkan minggat! Mari kita cari, Can Kok!”
Dua orang itu lalu berlari keluar dari rumah meninggalkan Nyonya Kui yang kembali ke kamarnya dengan kaki gemetar. Ia merasa khawatir sekali. Ia tadi hampir berhasil membuat suaminya percaya bahwa anaknya membunuh diri sehingga tidak akan melakukan pengejaran. Akan tetapi siapa kira, pemuda gila itu yang menyadarkannya dan kini mereka mulai mencari Leng Hwa. Ah, bagaimana kalau mereka sampai dapat menyusul dan menemukannya?
Wanita itu gelisah sekali dan ia menjatuhkan diri menelungkup di atas pembaringannya dan menangis terisak-isak, mengeluh dan memohon kepada Thian (Tuhan) agar puterinya diselamatkan. Ia yang mengatur kepergian Leng Hwa. Diaturnya sejak mulai gelap tadi agar Leng Hwa dan Ho Lam, pemuda putera seorang anggauta Pulau Udang yang sudah tua, dapat melarikan diri dari pulau itu dalam sebuah perahu tanpa terlihat oleh siapa pun.
Tung-sai yang diikuti Can Kok mencari-cari di seluruh pulau, bertanya kepada semua anggauta Pulau Udang. Akan tetapi tak seorang pun mengetahui atau melihat Leng Hwa dan mereka tidak berhasil menemukan gadis itu. Melihat majikan mereka marah-marah mencari Leng Hwa, semua orang menjadi panik dan ikut mencari.
“Paman, aku yakin bahwa Adik Leng Hwa pasti melarikan diri dari pulau dengan menggunakan perahu. Sebaiknya Paman periksa apakah ada perahu yang hilang.”
“Ah, engkau benar, Can Kok!” Tung-sai lalu memerintahkan anak buahnya untuk memeriksa kalau-kalau ada perahu yang tidak berada di pulau. Pada waktu malam, biasanya semua perahu pasti ada di pulau. Para anak buah itu dengan gugup melaksanakan perintah dan tak lama kemudian mereka melaporkan bahwa ada sebuah perahu yang hilang, yaitu perahunya Ho Lam.
“Ah, tidak salah lagi, Paman. Pasti si keparat Ho Lam itu yang melarikan Adik Leng Hwa!”
“Hmm, Ho Lam adalah keponakan isteriku. Tentu Ibunya Leng Hwa yang merencanakan ini semua!”
Tergesa-gesa Tung-sai dan Can Kok berlari dari pantai pulau, kembali ke rumah dan dengan kasar Singa Timur itu membuka pintu kamarnya. Isterinya masih menelungkup di atas pembaringan sambil menangis.
Tung-sai mengguncang pundak isterinya. Ketika wanita itu bangkit duduk, dia berkata dengan marah. “Tentu engkau yang telah menyuruh keponakanmu, si jahanam Ho Lam itu untuk membawa minggat Leng Hwa!”
Wanita itu tiba-tiba menghentikan tangisnya, dengan muka masih basah air mata lalu berkata dengan lantang. “Benar! Aku yang menyuruh mereka pergi! Habis kau mau apa? Mau membunuh aku? Bunuhlah, aku pun lebih suka mati dari pada menderita batin sengsara menghadapi kekejamanmu!” Wanita itu mengedikkan kepalanya dan membusungkan dadanya, menantang. Si Singa Timur yang biasanya galak itu tertegun melihat isterinya menantang seperti itu.
“Paman, mereka tentu belum pergi jauh. Biar aku mengejar mereka dan membunuh jahanam Ho Lam itu dan membawa kembali Adik Leng Hwa!” Tanpa menanti jawaban, Can Kok sudah berkelebat keluar dari rumah itu.
“Aih, mengapa engkau melakukan ini?” Tung-sai mengeluh sambil menatap wajah isterinya yang amat disayangnya itu.
“Mengapa? Tanyalah kepada dirimu sendiri. Anak kita itu sudah saling mencinta dengan Ho Lam, mereka sudah bersumpah sehidup semati. Akan tetapi engkau hendak memaksanya berjodoh dengan Can Kok itu. Biarlah mereka berdua kabur saja meninggalkan pulau neraka ini, terbang bebas seperti sepasang burung merpati menuju kebebasan dan kebahagiaan. Jangan kejar mereka! jangan ganggu mereka!”
Tung-sai ingin menumpahkan kemarahannya, namun seperti biasa, menghadapi isterinya dia mati kutu.
“Keparat!” Dia memaki seperti kepada diri sendiri lalu dia pun berkelebat lari meninggalkan isterinya yang menangis kembali di atas pembaringannya karena hatinya merasa khawatir bukan main me-mikirkan keselamatan puterinya.
Ketika tiba di pantai pulau, Tung-sai mendengar dari anak buahnya bahwa Can Kok sudah sejak tadi naik perahu kecil meninggalkan pulau. Tung-sai lalu memerintahkan pengawal-pengawalnya yang gagu tuli itu mempersiapkan perahunya dan tak lama kemudian perahunya sudah berlayar meninggalkan pulau
untuk ikut melakukan pengejaran terhadap puterinya yang melarikan diri bersama Ho Lam, keponakan isterinya.
Pemuda itu mendayung perahu kecil dengan sekuat tenaga. Dari cara dia mendayung, dapat diketahui bahwa pemuda itu adalah seorang ahli dan juga memiliki tenaga besar. Perahu kecil itu meluncur cepat di permukaan air lautan yang pada malam itu tenang. Hulu perahu yang runcing bagaikan sebatang pedang menusuk dan membelah air. Rambut dan kain pengikat rambut pemuda itu berkibar tertiup angin saking lajunya perahu meluncur. Ketika merasa betapa perahu yang meluncur semakin kuat, pemuda itu menoleh dan dia melihat gadis yang duduk di belakangnya itu ternyata telah menggunakan dayung cadangan untuk membantunya mendayung perahu.
“Hwa-moi (Adik Hwa), engkau tidak perlu membantu, nanti engkau lelah,” tegurnya dengan lembut.
“Ah, tidak mengapa, Lam-ko (Kakak Lam). Aku juga terbiasa dan pandai mendayung. Kita lari bersama, harus bekerja sama. Masa engkau bersusah payah mendayung, aku hanya enak-enak saja?”
“Leng Hwa, kalau Ayahmu sudah mengetahui bahwa kita berdua melarikan diri, dia tentu akan mengejar dan akan celakalah kita.”
“Aku tidak takut menghadapi segala akibatnya, Lam-ko. Apakah engkau takut?”
“Aku tidak mengkhawatirkan diriku sendiri, untukmu aku rela mengorbankan nyawa sekalipun! Akan tetapi aku mengkhawatirkan keselamatanmu, Hwa-moi.”
“Mengapa khawatir, Koko? Apa pun yang terjadi, kita hadapi berdua. Kalau kita harus mati, kita mati berdua! Syukur kalau Thian melindungi kita sehingga kita dapat hidup berdua selamanya.”
“Terima kasih, Moi-moi...... kini aku tidak khawatir lagi. Aku berbahagia sekali dan akan selalu berbahagia selama aku bersamamu, hidup ataupun mati.”
Kini mereka tidak bicara lagi, melainkan mengerahkan seluruh tenaga dan perhatian untuk mendayung perahu itu ke daratan sana. Sinar lampu kecil-kecil di daratan itu seolah menggapai-gapai agar mereka datang lebih cepat ke sana. Dua orang muda ini memang sudah cukup lama menjalin cinta. Mereka bergaul sejak kecil di pulau itu dan setelah mulai dewasa, mereka saling tertarik dan akhirnya saling jatuh cinta. Akan tetapi, mereka adalah sepasang orang muda yang patut dijadikan tauladan.
Mereka saling mencinta sepenuh hati, merasa kehilangan dan rindu kalau tidak bertemu sehari saja. Akan tetapi keduanya dapat menjaga diri, saling menghormati dan menghargai. Mereka saling menjaga ke-hormatan masing-masing, tidak mau membiarkan diri terseret oleh nafsu berahi. Mereka yakin benar bahwa menjaga kesusilaan dan kehormatan masing-masing sebelum menikah itu merupakan modal batin yang paling berharga dan indah untuk membangun rumah tangga kelak.
Nafsu berahi, seperti nafsu-nafsu lain, bukanlah sesuatu yang buruk, bahkan semua nafsu merupakan anugerah dari Tuhan yang sudah diikutkan manusia sejak dia lahir. Akan tetapi, kalau nafsu berahi yang membawa kepada hubungan badan itu dilakukan oleh mereka yang bukan suami isteri, maka hubungan itu menjadi kotor dan mencemarkan cinta itu sendiri. Akan tetapi, kalau suami isteri yang melakukan, maka hal itu bukan saja wajar, bahkan indah dan bersih dari dosa. Malah dapat dikatakan bahwa
hubungan suami isteri tanpa nafsu berahi, adalah tidak mungkin. Sebaliknya hubungan berahi kalau dilakukan oleh bukan suami isteri, adalah kotor dan berdosa!
Cinta kasih yang mengikat hati Ho Lam dan Leng Hwa murni dan bersih dan semua ini berkat pendidikan Nyonya Kui Tong yang memiliki budi pekerti baik, sama sekali berbeda dari suaminya, datuk Si Singa Timur yang kejam itu. Nyonya Kui mendidik puterinya sejak kecil, juga ia mendidik Ho Lam yang menjadi keponakannya itu dengan budi pekerti baik sehingga kedua orang muda itu memiliki batin yang kuat untuk mengekang gairah nafsu mereka sendiri dan dapat membedakan mana cinta dan mana pula cinta berahi.
Dapat dibayangkan betapa lega rasa hati mereka ketika akhirnya perahu mereka tiba di pantai daratan. Bulan sepotong tersenyum di langit cerah. Dua orang nelayan setengah tua yang sedang bersiap-siap untuk keperluan mencari ikan pagi nanti, menghampiri perahu mereka karena tadinya mereka mengira bahwa perahu kecil yang mendarat itu adalah perahu rekan mereka yang mencari ikan di waktu malam. Akan tetapi mereka terheran-heran ketika tiba dekat mereka melihat seorang pemuda dan seorang gadis cantik yang turun dari perahu, sama sekali bukan nelayan! Sepasang orang muda itu pun tidak membawa ikan hasil tangkapan, atau jala dan pancing, melainkan membawa dua buntalan pakaian seperti orang yang sedang melakukan perjalanan.
“Selamat malam, Paman berdua,” sapa Ho Lam dengan sopan dan ramah.
“Selamat malam, Kongcu (Tuan Muda) dan Siocia (Nona). Sungguh kami merasa heran sekali. Ji-wi (kalian berdua) datang dari mana dan hendak ke manakah malam-malam begini?” tanya seorang di antara mereka yang bertubuh jangkung kurus.
Tiba-tiba Ho Lam mendapat suatu gagasan yang dia anggap baik dan dapat menyelamatkan mereka berdua.
“Paman berdua, maukah kalian menolong kami yang sedang menderita dan terancam bahaya?”
Dua orang laki-laki setengah tua itu saling berpandangan, lalu yang bertubuh pendek gendut menjawab. “Sudah menjadi kebiasaan para nelayan untuk saling menolong, Kongcu. Bahaya apakah yang mengancam Ji-wi (Anda berdua) dan bagaimana pula kami dapat menolong kalian?”
“Begini, Paman. Aku dan...... isteriku ini sedang melarikan diri karena terancam akan dibunuh orang jahat yang mengejar kami. Karena itu, kami minta tolong kepada kalian, apabila nanti atau besok atau kapan saja ada orang yang datang bertanya kepada kalian tentang diri kami berdua, harap Paman suka mengatakan bahwa Paman berdua tidak tahu dan tidak melihat kami. Maukah Paman berdua menolong kami begitu? Kami akan memberi imbalan atas pertolongan Paman berdua.”
“Aih, kalau cuma begitu tentu saja kami akan menolong Ji-wi, Kongcu dan Siocia. Sama sekali kami tidak mengharapkan imbalan karena kami tidak melakukan apa-apa, hanya mengatakan tidak tahu dan tidak melihat Ji-wi. Jangan khawatir, Kongcu, kami pasti akan ingat dan melaksanakan pesanmu ini,” kata yang jangkung kurus.
Ho Lam dan Leng Hwa girang bukan main mendengar jawaban ini.
“Benarkah Paman mau menolong kami?” tanya Leng Hwa. “Paman betul-betul berjanji akan mengatakan tidak melihat kami?”
Orang tinggi kurus itu mengangguk mantap. “Tentu, Siocia. Kami berjanji.”
“Terima kasih, Paman,” kata kedua orang muda itu. “Nah, kami akan melanjutkan perjalanan kami dan perahu kami ini kami berikan kepada Paman berdua.”
Dua orang nelayan itu terbelalak “Wah, kami sungguh tidak minta imbalan, Kongcu!” kata yang jangkung.
“Ini bukan imbalan, Paman. Kami memang tidak memerlukan lagi, maka kami berikan kepada Paman agar dapat dipergunakan untuk menangkap ikan. Kami mohon diri, Paman!” kata Ho Lam dan dia lalu menggandeng tangan Leng Hwa dan diajaknya melangkah cepat meninggalkan tempat itu.
Ho Lam cukup cerdik untuk tidak mengambil jalan melalui jalan umum yang terdapat di situ. Dia membelok ke kiri menyusuri pantai menuju ke arah selatan. Dua orang nelayan itu berdiri bengong sambil mengikuti bayangan dua orang muda itu dengan pandang mata sampai bayangan itu lenyap ditelan cuaca yang masih remang-remang gelap karena matahari agak jauh di ufuk timur, masih terbenam kaki langit di ujung lautan.
Tentu saja dua orang nelayan itu girang bukan main. Mereka merasa seolah menerima harta karun. Perahu bagi mereka merupakan modal untuk mencari ikan. Biasanya, mereka yang tidak mempunyai perahu hanya menjala atau memancing ikan di tepi, memasuki lautan sampai sedalam pinggang. Kini, dengan adanya perahu mereka bisa mencari ikan ke tengah lautan dan hasilnya tentu jauh lebih banyak. Apalagi perahu itu masih baik sekali keadaannya. Mereka merasa seperti bermimpi. Dan untuk mendapatkan perahu itu mereka hanya disuruh tutup mulut. Betapa mudahnya dan betapa besar imbalannya!
Akan tetapi, kegirangan hati mereka itu ternyata tidak bertahan lama. Setelah matahari muncul sebagai bola merah yang amat besar di permukaan air laut sebelah timur, dan selagi kedua orang itu hendak mulai dengan kehidupan baru sebagai nelayan berperahu tiba-tiba sebuah perahu meluncur ke tepi dan Can Kok melompat ke darat lalu menarik perahunya ke atas pantai. Dia melihat dua orang nelayan yang sedang siap menyeret perahu ke air dan sebagai seorang yang sejak kecil hidup di Pulau Udang, tentu saja dia segera mengenal perahu dua orang nelayan setengah tua itu. Itu adalah perahu Pulau Udang! Maka cepat dia menghampiri dua orang itu.
Melihat seorang pemuda tampan berpakaian mewah menghampiri mereka, dua orang nelayan itu memandangnya dan Si Gemuk Pendek segera memberi salam.
“Selamat pagi, Kongcu.”
Akan tetapi Can Kok tidak menjawab salam itu dan mengamati perahu mereka. “Hei!” Dia membentak. “Dari mana kalian mendapatkan perahu itu?”
“Dari...... dari......” Si Gemuk tergagap.
“Kongcu, ini adalah perahu milik kami sendiri,” Si Jangkung menjawab tenang.
“Jangan bohong! Tentu ada dua orang yang memberi perahu ini kepada kalian!”
“Kami...... kami......” Si Gemuk tergagap lagi.
“Terus terang saja, Kongcu. Kami menemukan perahu ini di tepi laut, tidak ada yang punya, maka kami lalu mengambilnya,” kata Si Jangkung.
“Tidak perlu bohong! Kalian tentu melihat pemuda dan gadis yang naik perahu ini! Hayo katakan, di mana mereka itu sekarang!”
“Kami tidak melihat mereka, Kongcu. Kami tidak tahu......” kata pula Si Jangkung.
“Hayo katakan di mana mereka! Atau kalian ingin kupukul? Kubunuh?” Can Kok membentak dan sekali tangannya bergerak ke arah perahu itu terdengar suara seperti ledakan keras.
“Brakkkk!” Dan perahu itu pecah berkeping-keping.
Dua orang nelayan itu menjadi pucat dan tubuh Si Gemuk gemetar.
“Sekali lagi, katakan di mana pemuda dan gadis itu berada atau ke mana mereka pergi! Kalau tidak, kalian akan kubunuh!”
“Mereka...... mereka......”
“A Sam, diam kau! Kita adalah orang-orang miskin, tidak mempunyai apa-apa, yang ada hanya kehormatan! Kalau kita melanggar janji, berarti kehormatan pun kita tidak punya!” Si Jangkung membentak kawannya.
“Mampus kau!” Can Kok menggerakkan tangan kirinya. Tangannya itu tidak menyentuh si nelayan jangkung karena jaraknya ada dua meter lebih, akan tetapi tubuh Si Jangkung terpelanting seperti disambar kilat dan dia roboh, tewas seketika dengan muka berubah kehitaman!
Melihat ini, Si Gendut menggigil seperti orang terserang penyakit demam dan kedua lututnya menjadi lemas sehingga dia terkulai dan berlutut.
“Kau! Hayo katakan ke mana pemuda dan gadis itu pergi!” Can Kok membentak.
Si Gemuk Pendek semakin menggigil; “Saya...... saya tidak berani......”
Can Kok menggerakkan tangannya dan telunjuknya menotok tengkuk nelayan gemuk.
Nelayan itu roboh dan bergulingan, merintih-rintih dan mengaduh-aduh, seluruh tubuhnya terasa nyeri bukan main, seperti ditusuk-tusuk dari dalam.
“Aduh......, ampun...... ampun...... aduh......”
“Katakan ke mana mereka!”
Dengan menggigil ketakutan, Si Gemuk menudingkan telunjuknya ke arah selatan. “Mereka...... mereka tadi berjalan ke arah sana......”
“Engkau tidak berbohong?”
“Tidak, sungguh mati...... mereka berjalan ke arah sana......”
“Baik, aku akan mengejar ke sana. Kalau engkau ternyata berbohong, nanti aku akan kembali untuk mencabut nyawamu!” Setelah berkata demikian, Can Kok lalu berkelebat dan berlari cepat menuju ke arah yang ditunjukkan nelayan gemuk, ke arah selatan.
Nelayan gemuk itu merintih-rintih dan ketika dia memandang ke arah mayat temannya, dia mengerang dan menangis. Dia menoleh ke arah perahu pemberian yang kini hancur berkeping-keping dan rintihannya semakin keras. Dia menangis mengguguk. Betapa rasa senang dalam waktu sebentar saja kini berubah menjadi rasa susah dan sakit. Dia mencoba untuk bangkit berdiri, akan tetapi terkulai kembali karena rasa nyeri yang tak tertahankan. Dia ingin kembali ke kampung, minta pertolongan penduduk, akan tetapi dia tidak mampu bangkit berdiri. Dia mencoba maju sambil merangkak-rangkak dan hatinya penuh penyesalan.
Sahabatnya Si Jangkung itu jauh lebih baik nasibnya, pikirnya penuh penyesalan. Sahabatnya itu mempertahankan kesetiaan akan janjinya sampai mati dan kini sudah mati, tidak menderita lagi dan mati sebagai seorang terhormat!
Akan tetapi dia? Dia telah melanggar janji, dia kehilangan kehormatannya dan kini menderita kesakitan yang lebih hebat deritanya daripada kematian sendiri! Sambil menangis seperti anak kecil nelayan gemuk itu merangkak dengan susah payah.
Tiba-tiba sebuah bentakan yang menggetarkan tanah di mana dia merangkak, mengejutkan hatinya.
“Hai! Katakan di mana dua orang pelarian dan pengejarnya tadi!”
Nelayan gemuk berhenti merangkak, berlutut dan mengangkat mukanya. Dia melihat Tung-sai Singa Timur itu berdiri seperti seorang raksasa di depannya, tangan kanan memegang sebatang tombak, menyeramkan sekali. Biarpun dia tidak tahu apa yang terjadi dan siapa orang-orang yang ditanyakan, namun dia dapat menduga bahwa tentu yang ditanyakan adalah pemuda dan gadis pemberi perahu, lalu pemuda pengejarnya tadi.
“Mereka...... mereka ke sana......” Dia menuding ke selatan.
Tung-sai Kui Tong menendang dan tubuh Si Gemuk itu terlempar jauh lalu jatuh berdebuk ke atas tanah. Akan tetapi dia tidak mengeluh dan tidak merasa nyeri. Dia sudah tidak merasakan apa-apa karena tendangan itu membuat dia tewas seketika!
Setelah memberi isyarat kepada sepuluh orang pengawalnya untuk menunggu di situ, kemudian dia pun berlari cepat ke arah selatan, menyusuri pantai.
“Lam-ko, aku lelah sekali......!” Leng Hwa mengeluh. Biarpun ia juga telah menguasai ilmu silat dan tubuhnya cukup kuat, namun ia tidak pernah berlari-larian sampai sejauh dan selama itu.
Sejak malam tadi, setelah memberikan perahu kepada dua orang nelayan, Ho Lam mengajak ia berlari-lari menyusuri pantai menuju ke selatan. Ketika ada gunung karang menghalang pantai, kekasihnya mengajak ia melanjutkan pelarian mereka mendaki bukit karang yang keras, kasar dan tajam meruncing sehingga sepatunya terobek dan telapak kedua kakinya terasa nyeri. Mereka berlari sampai matahari naik tinggi dan hawa udara mulai panas.
“Baiklah, Hwa-moi. Kasihan sekali engkau! Lihat, di atas sana ada guha. Kita beristirahat di sana melepas lelah.”
Mereka berdua mendaki bukit itu ke atas dan tiba di depan sebuah guha yang cukup luas. Kebetulan sekali lantai guha itu kering dan rata. Leng Hwa segera menjatuhkan diri duduk di dalam guha, menjulurkan kedua kakinya dan memijati paha dan betisnya.
Ho Lam duduk di dekatnya, memandang ke arah sepatu yang pecah-pecah itu. “Aduh, kasihan kedua kakimu, Moi-moi. Bukalah sepatunya. Akan kuperiksa apakah kedua kakimu lecet terluka. Aku membawa obat luka.”
Setelah gadis itu mengangguk, dengan hati-hati dan sopan Ho Lam membantu gadis itu membuka kedua sepatunya. Kedua kaki yang berkulit putih halus itu kemerah-merahan, akan tetapi tidak terluka parah, hanya lecet-lecet sedikit. Dengan hati-hati Ho Lam mengoleskan obat luka pada bagian yang lecet-lecet itu, lalu membantu Leng Hwa mengenakan sepatunya kembali.
“Aku haus, Lam-ko.”
“Untung aku telah siap tadi dan membawa seguci air dan roti daging (bak-pauw) untuk menahan haus dan lapar,” kata Ho Lam dan dia mengambil makanan dan minuman itu dari buntalan pakaiannya.
“Aku tidak lapar, hanya haus, Koko.” Leng Hwa lalu minum air dari guci itu dan merasa segar.
“Lam-ko, kita akan pergi ke mana?”
“Rencanaku begini, Hwa-moi. Kita pergi dulu ke kota Cin-le yang sehari perjalanan dari sini. Kalau kita berjalan agak cepat, sore atau paling lambat malam nanti kita akan tiba di sana. Nah, di Cin-le nanti kubeli dua ekor kuda dan kita melanjutkan perjalanan dengan menunggang kuda agar lebih cepat dan tidak terlalu melelahkan.”
“Pergunakan perhiasanku untuk membeli kuda, Lam-ko. Aku membawa perhiasan pemberian Ibu di dalam buntalan ini.”
“Aku juga membawa semua hasil tabunganku, Hwa-moi. Kalau nanti kurang, baru menggunakan perhiasanmu.”
“Akan tetapi ke mana kita akan pergi, Koko?”
“Hwa-moi, kita harus pergi sejauh mungkin dari sini, mengganti nama dan tinggal di sebuah dusun yang terpencil. Kita harus bersembunyi sampai beberapa tahun lamanya karena kalau tidak, kita akan dapat ditemukan Ayahmu. Engkau, mau bukan, hidup di tempat sunyi dalam keadaan melarat sebagai petani sederhana?”
Leng Hwa menatap wajah kekasihnya dengan penuh kepasrahan dan menjawab, “Mengapa engkau masih bertanya lagi, Koko? Apakah engkau belum percaya akan kesetiaanku? Aku dengan senang hati akan menemanimu, hidup bersamamu di manapun juga dan dalam keadaan apa pun juga.”
“Moi-moi......!” Ho Lam merangkul dan mendekap kepala gadis itu ke dadanya.
“Aku rela berkorban nyawa untukmu! Aku cinta padamu, Hwa-moi!”
“Aku juga, Lam-ko,” kata Leng Hwa lirih dan memejamkan mata dalam dekapan kekasihnya itu, merasa sangat berbahagia. “Lam-ko, kita beristirahat dulu di sini sampai kedua kakiku sembuh dari rasa pegal dan lelah, ya?”
“Baiklah, Hwa-moi. Akan tetapi jangan terlalu lama. Aku khawatir Ayahmu dapat menyusul kita.”
“Kalau hal itu terjadi, aku tidak takut, Lam-ko. Aku siap mati bersamamu.”
“Hwa-moi...!” Ho Lam mempererat dekapannya dengan hati penuh kasih sayang dan beberapa lamanya keduanya diam tak bergerak dalam suasana mesra itu.
Mungkin saking lelah dan semalam suntuk tidak tidur, ditambah kelegaan hati dalam dekapan kekasihnya setelah mengalami ketegangan dan kegelisahan semalam, tak lama kemudian Leng Hwa tertidur dalam dekapan, bersandar di dada Ho Lam. Melihat ini, Ho Lam tidak tega untuk membangunkan kekasihnya dan dia bahkan tidak mau membuat gerakan agar Leng Hwa dapat tidur dengan pulas.
Akan tetapi hati Ho Lam mulai merasa khawatir juga setelah lewat tiga jam Leng Hwa belum juga bangun. Matahari sudah mulai condong ke barat. Akan tetapi untuk membangunkan kekasihnya, dia tidak tega.
Tiba-tiba Ho Lam tersentak kaget dan matanya terbelalak memandang kepada Can Kok yang tahu-tahu telah berdiri di depan guha! Can Kok memandang dengan matanya yang mencorong aneh dan bibirnya tersenyum sinis. Karena Ho Lam tersentak kaget Leng Hwa terbangun. Begitu membuka matanya ia juga melihat Can Kok dan cepat gadis itu melompat dan bangkit berdiri.
“Can Kok, mau apa engkau menyusul kami?” Leng Hwa membentak dan dalam kemarahan dan kebencian ia menyebut nama Can Kok begitu saja, padahal dulu ia akrab dengan pemuda itu dan menyebutnya kakak.
“Adik Leng Hwa yang manis, aku diutus Paman Kui Tong untuk membawamu pulang ke Pulau Udang dan membunuh tikus busuk ini!” Can Kok menudingkan telunjuknya ke arah muka Ho Lam yang juga sudah berdiri di dekat Leng Hwa dengan sikap melindungi kekasihnya itu.
“Suheng (Kakak Seperguruan) Can Kok, di antara kita ada pertalian persaudaraan seperguruan dan hubungan antara kita sejak dulu baik. Apakah engkau tidak merasa kasihan kepada kami berdua? Kami saling mencinta dan kami telah bersumpah untuk sehidup semati. Biarkan kami pergi, Suheng, dan kami tidak akan melupakan budi kebaikanmu ini.”
Can Kok tertawa. Tawanya aneh, bergelak namun terdengar mengguguk seperti tangis! Ini menunjukkan bahwa hatinya dibakar kemarahan.
“Ha-ha-hu-hu-huk! Engkau telah berkhianat terhadap Paman, engkau harus mati di tanganku. Adik Leng Hwa ini adalah calon isteriku dan engkau berani membawa lari, keparat!”
“Can Kok, aku tidak sudi menjadi isterimu. Lebih baik mati daripada menjadi isteri seorang gila seperti engkau!” Leng Hwa berteriak dengan marah dan nekat.
“Can-suheng, kami tidak ingin bermusuhan denganmu. Kuharap engkau suka meninggalkan kami, kalau tidak kami terpaksa akan melawan mati-matian!” kata Ho Lam yang tahu bahwa tidak mungkin meloloskan diri dari ancaman Can Kok.
“Hemm, tikus busuk, mampuslah!” Can Kok membentak dan menyerang ke depan dengan dorongan tangan kanan ke arah Ho Lam.
Melihat Can Kok menyerang kekasihnya, Leng Hwa melompat ke depan menyambut serangan jarak jauh itu dengan kedua tangannya, melindungi Ho Lam.
“Wuuuttt...... desss ......!” Tubuh Leng Hwa terpental dan jatuh terjengkang.
“Jahanam!” Ho Lam marah sekali melihat kekasihnya roboh. Dia sudah mencabut pedangnya dan menerjang Can Kok dengan nekat. Gerakannya cukup kuat dan cepat. Namun, dibandingkan dengan Can Kok, kekuatannya itu tidak ada artinya sama sekali.
Can Kok tidak mengelak, akan tetapi ketika pedang itu sudah meluncur dekat hendak menusuk dadanya, tangan kanannya menyambar dan tahu-tahu pedang itu telah ditangkapnya. Sekali renggut pedang itu pun pindah tangan. Ho Lam terkejut, akan tetapi Can Kfok sudah menggerakkan tangannya yang menangkap pedang itu dan sekali sentakan, pedang itu membalik dan meluncur seperti anak panah cepatnya ke arah dada Ho Lam! Ho Lam tidak sempat lagi menghindar.
“Capppp......!!” Pedang itu menancap tepat di tengah dada Ho Lam. Pemuda itu terhuyung ke belakang dan roboh telentang.
Leng Hwa yang tadi hanya terjengkang dan kini sudah bangkit berdiri, terbelalak melihat kekasihnya roboh dengan dada ditembusi pedang.
“Iblis jahat, kau...... kaubunuh Lam-ko......!” Sambil menangis Leng Hwa lalu menyerang Can` Kok dengan pedangnya.
Akan tetapi sekali mengibaskan tangannya, pedang itu terlepas dari tangan Leng Hwa dan sebelum gadis itu dapat menyerang lagi, Can Kok sudah memeIuknya dan ia tidak mampu bergerak. Can Kok tertawa dan menciumi muka Leng Hwa yang meronta-ronta.
“Heh-heh, engkau mencinta tikus ini, ya? Nah, biarlah sebelum mampus tikus ini melihat betapa engkau bermesraan dengan aku!”
Can Kok duduk dekat Ho Lam yang belum tewas, yang telentang dengan mata terbelalak dan pedang menancap di dada. Leng Hwa meronta-ronta, akan tetapi Can Kok merobek bajunya dan sengaja hendak pamer mempermainkan gadis itu di depan Ho Lam yang masih belum mati.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara orang menegur. “Sungguh perbuatan yang terkutuk dan biadab! Engkau ini iblis berwajah manusia!”
Berbareng dengan teguran itu, ada angin menyambar ke arah Can Kok. Can Kok melepaskan tubuh Leng Hwa yang bajunya telah robek, lalu menangkis ke arah angin yang menyambar dari sebelah kanan.
“Wuuuttt...... desss!!” Can Kok terkejut bukan main dan berseru keras sambil melompat jauh ke belakang ketika dia merasa betapa tangkisannya bertemu dengan hawa yang amat kuat sehingga lengannya tergetar.
Mereka saling pandang dengan sinar mata mencorong. Yang menyerang Can Kok tadi bukan lain adalah Souw Thian Liong!
Seperti kita ketahui, Thian Liong berkunjung ke dusun Kian-cung dekat Telaga See-ouw untuk mengunjungi rumah Han Si Tiong. Di sana dia mendengar bahwa Han Si Tiong telah tewas ketika diserang dua orang muda dan bahwa Han Bi Lan telah pulang kemudian bersama ibunya meninggalkan Kian-cung menuju ke kota raja. Dia menduga bahwa ibu dan anak itu tentu pergi ke rumah Panglima Kwee di kota raja karena Han Bi Lan hendak dijodohkan dengan Kwee Cun Ki, putera Panglima Kwee. Setelah bersembahyang di kuburan Han Si Tiong, Thian Liong lalu melanjutkan perantauannya. Kebetulan dia tiba di bukit dekat pantai itu dan melihat Can Kok hendak memperkosa seorang gadis di depan seorang pemuda yang sudah hampir mati. Dia mendengar ucapan Can Kok dan menjadi marah lalu menyerang pemuda gila itu.
Kini mereka saling berhadapan dalam jarak sekitar tiga tombak. Thian Liong segera mengenal pemuda yang menjadi murid Empat Datuk Besar seperti dilihatnya di Pulau lblis dahulu. Sebaliknya, Can Kok tidak mengenalnya dan Can Kok marah bukan main melihat ada orang berani menghalanginya.
“Keparat, siapa engkau berani mencampuri urusanku?” bentak Can Kok. Kalau saja yang berbuat itu orang lain, tentu dia sudah turun tangan membunuhnya. Akan tetapi, dari tangkisannya tadi, dia tahu bahwa pemuda sederhana di depannya ini seorang yang memiliki kepandaian tinggi, maka dia ingin mengetahui siapa orang ini.
“Can Kok, aku bernama Souw Thian Liong.”
“Hemm, engkau mengenal namaku?”
“Tentu saja, engkau Can Kok murid Empat Datuk Besar dan engkau telah menguasai ilmu yang amat tinggi. Hanya sayang seribu sayang, ilmu yang tinggi itu kini diperalat iblis yang menguasai dirimu!”
Tiba-tiba terdengar jerit tangis. Dua orang pemuda itu menengok ke arah Leng Hwa. Tadi perhatian mereka sepenuhnya diarahkan kepada lawan sehingga tidak memperhatikan Leng Hwa. Gadis itu juga tidak memperdulikan mereka, melainkan lari menubruk tubuh Ho Lam yang masih telentang hampir mati dengan mata masih terbuka. Mata pemuda itu basah dan dua butir air mata bergulir turun ke atas pipinya ketika dia memandang Leng Hwa.
“......Hwa...... Hwa-moi......” kedua mata itu terpejam.
“Lam-ko...... tidak...... engkau tidak boleh mati sendiri!” Leng Hwa lalu menggunakan kedua tangannya untuk mencabut pedang yang menancap di dada Ho Lam. Darah muncrat dari dada Ho Lam. Leng Hwa menjerit ketika melihat muncratnya darah itu dan ia pun lalu menusukkan pedang itu ke dadanya sendiri sampai tembus lalu terkulai, dan roboh di atas dada Ho Lam. Darah muncrat-muncrat dari dua dada sepasang kekasih itu, bercampur dan membasahi tubuh mereka yang perlahan-lahan menghembuskan napas terakhir.
Thian Liong merasa ngeri dan terharu, juga menyesal bahwa dia tidak mampu mencegah hal itu terjadi. Dia kini memandang lagi kepada Can Kok, pandang matanya tajam penuh teguran.
“Can Kok, lihat itu korban dari kekejianmu! Kamu bukan manusia, melainkan iblis jahat yang harus dibasmi dari permukaan bumi ini!”
“Ha-ha-ha-hu-hu-huk!” Can Kok tertawa seperti tangis mengguguk karena marahnya. “Souw Thian Liong bocah sombong. Engkaulah yang akan mampus menemani mereka berdua! Haaiiiiikkkk!” Can Kok sudah menyerang dengan amat dahsyatnya. Tangan kirinya yang terbuka menampar dan dari telapak tangannya itu keluar hawa pukulan yang panas dan telapak tangannya berubah menjadi kemerahan. Inilah Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah), ilmu andalan dari Lam-kai Gui Lin, Pengemis Selatan itu.
Akan tetapi Thian Liong yang sudah tahu akan kelihaian Can Kok, dapat mengelak dengan gesit dan dari samping, tangan kirinya membalas dengan tamparan yang mengandung hawa sakti yang kuat pula. Namun Can Kok dapat pula mengelak.
Can Kok yang juga sudah menduga bahwa lawannya ini tidak seperti para lawan yang pernah dihadapinya, melainkan memiliki kesaktian, kini bersilat dengan gerakan yang amat aneh dan setiap gerakan kedua tangan dan kakinya membawa hawa pukulan yang dahsyat. Inilah ilmu silat gabungan dari ilmu-ilmu Empat Datuk Besar menjadi satu. Aneh, dahsyat dan berbahaya karena setiap sambaran tangan atau kaki itu merupakan serangan maut! Bukan saja serangan-serangannya itu kuat, namun juga mengandung hawa beracun yang jahat.
Thian Liong bersilat dengan tenang dan hati-hati sekali. Ketika dia mengintai di Pulau Iblis dan melihat Can Kok, dia sudah tahu bahwa pemuda yang dipersiapkan oleh Empat Datuk Besar untuk membunuh Gurunya, Tiong Lee Cin-jin ini merupakan lawannya yang paling kuat dan berbahaya. Maka kini setelah tanpa disengaja mereka saling bertemu dan bertanding, dia bersilat dengan hati-hati sekali. Dia mengerahkan seluruh sin-kang (tenaga sakti) dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh untuk mengimbangi serangan lawan dengan serangan balasan yang tidak kalah dahsyatnya.
“Haaaaiiikkk......!”
“Hyaaaattt...... blaarrr......!” Untuk kesekian kalinya dua tenaga sakti bertemu di udara dan keduanya terdorong ke belakang. Bahkan dalam hal tenaga sakti, kekuatan mereka seimbang.
Hanya ada sebuah perbedaan yang jauh dalam pertandingan hebat tanpa saksi ini karena dua orang yang berada di situ, Ho Lam dan Kui Leng Hwa, telah menjadi mayat. Perbedaan itu adalah bahwa kalau Can Kok mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menyerang dengan maksud membunuh, sebaliknya Thian Liong sama sekali tidak mempunyai niat untuk membunuh. Dia hanya ingin merobohkan dan menaklukkan lawannya saja, tidak pernah mau menggunakan serangan maut.
Ketika mereka terdorong ke belakang sehingga mereka berpisah dalam jarak lima-enam tombak, sebelum mereka bergerak menerjang lagi, tiba-tiba terdengar suara yang amat nyaring sehingga menggetarkan seluruh tempat itu. Suara gerengan seperti auman singa!
Dua orang pemuda itu sudah mengenal suara ini, suara yang dikeluarkan dengan ilmu Sai-cu Ho-kang (Suara Sakti Auman Singa) dari Tung-sai Kui Tong! Kalau Thian Liong yang mendengar ini menjadi terkejut dan gentar, sebaliknya Can Kok merasa girang sekali. Lawannya amat kuat dan munculnya Singa Timur itu tentu saja akan memudahkan dia membunuh Souw Thian Liong.
Si Naga Langit ini sebaliknya maklum bahwa dia tidak akan mungkin dapat menandingi pengeroyokan Can Kok dan Singa Timur. Apalagi kini tidak ada pula yang harus ditolong. Sepasang muda-mudi itu telah tewas dan dia tidak dapat melakukan apa-apa lagi. Maka begitu mendengar auman yang menggetarkan itu, Thian Liong segera melompat dan berkelebat pergi dari situ. Can Kok ragu untuk mengejar seorang diri.
Si Singa Timur muncul dengan tombak di tangan kanannya.
“Paman, mari kita kejar Souw Thian Liong!” kata Can Kok dengan girang. Kalau mereka mengejar berdua, besar kemungkinan mereka akan dapat membunuh lawan yang berat itu.
Akan tetapi Tung-sai tidak menjawab. Dia malah melangkah menghampiri dua tubuh yang bertumpuk di depan guha dan mandi darah itu. Ketika mendapat kenyataan bahwa tubuh yang menindih tubuh lain dan yang mandi darah dan sudah tewas itu adalah Kui Leng Hwa, wajahnya yang merah berubah pucat.
“Tidak......!” Tung-sai Kui Tong menancapkan tombaknya di atas tanah lalu dia berlutut dekat dua tubuh yang tumpang tindih itu. Dia membalikkan tubuh Leng Hwa yang tertelungkup seolah masih tidak percaya bahwa yang mati itu adalah puterinya. Ketika wajah Leng Hwa tampak Tung-sai mendekap mukanya dengan kedua tangannya.
“Tidak......! Leng Hwa...... ah, anakku......!” Tiba-tiba Singa Timur ini bangkit berdiri dan membalikkan tubuhnya menghadapi Can Kok. Wajahnya tampak menyeramkan sekali, matanya mencorong seperti mata seekor singa yang marah.
“Siapa membunuh anakku?” bentaknya.
“Paman, aku berhasil membunuh Ho Lam. Akan tetapi pada saat itu muncul jahanam itu dan kami berkelahi sehingga aku tidak sempat mencegah Adik Leng Hwa membunuh diri.”
“Bunuh diri?” Kembali Singa Timur menoleh dan memandang ke arah jenazah puterinya. Pedang itu masih menancap di dada Leng Hwa. Kini dia maklum. Ho Lam terbunuh dan puterinya itu, membela kekasihnya dengan membunuh diri! Tiba-tiba kemarahannya ditumpahkan kepada Ho Lam.
Tung-sai menyambar jenazah puterinya dengan rangkulan lengan kirinya sambil mencabut pedang yang tertancap di dada Leng Hwa, kemudian dia membentak-bentak dengan kalap.
“Engkau membunuh anakku! Keparat, engkau membunuh anakku!” Tangan kanan yang memegang pedang itu bergerak.
“Crak-crak-crakk!” Mayat Ho Lam menjadi empat potong. Leher, pinggang, dan lutut terbabat putus. Sambil menggereng-gereng Singa Timur membuang pedang itu dan mencabut tombaknya, la1u berlari sambil memondong jenazah puterinya, menuju pulang. Dia seolah telah lupa kepada Can Kok. Pemuda ini pun tertawa sinis dan berlari mengejar Singa Timur majikan Pulau Udang.
Kedatangan Tung-sai yang memondong jenazah puterinya di Pulau Udang disambut hujan tangis. Seluruh penduduk pulau itu menangisi kematian Kui Leng Hwa. Nyonya Kui menjerit-jerit dan jatuh pingsan melihat puterinya dibawa pulang sebagai mayat yang berlumuran darah.
“Leng Hwa......, Leng Hwa anakku......!” Nyonya itu menjerit-jerit sambil memeluk dan menciumi anaknya yang sudah menjadi mayat.
Ketika Tung-sai Kui Tong memegang pundak isterinya yang kesetanan itu untuk menghiburnya, tiba-tiba Nyonya Kui membalik kepadanya.
“Engkau......! Engkau yang telah membunuhnya!” Ia membentak dan, matanya terbelalak lebar, rambutnya awut-awutan, kemudian wanita yang lemah ini tiba-tiba menyerang suaminya, mencakar dengan kedua tangannya.
“Tenang......, anak kita membunuh diri, gara-gara si jahanam Ho Lam!” katanya.
“Tidak! Engkau yang membunuhnya! Engkau terkutuk, engkau membunuh anakku!” Wanita itu berteriak-teriak dan menangis, lalu terkulai dan jatuh pingsan. Tung-sai Kui Tong memondongnya dan membawanya ke dalam kamar. Hati datuk yang biasanya keras itu kini bersedih melihat keadaan isterinya dan anaknya. Sekarang baru terasa olehnya betapa dia amat menyayang puterinya sehingga kematiannya mendatangkan luka parah dalam hatinya.
Hati datuk timur itu semakin remuk ketika isterinya siuman dari pingsan lalu mengamuk, menangis dan tertawa. Isterinya mengalami tekanan batin yang demikian hebatnya, membuat pikirannya terguncang dan berubah. Dan yang lebih menyedihkan hati Singa Timur, tiga hari kemudian isterinya itu tewas menggantung diri dalam kamarnya! Hal itu dilakukan di tengah malam, ketika dia sedang tidur nyenyak karena sorenya dia minum arak sampai mabuk.
Tiga orang datuk besar yang lain datang melayat. Setelah upacara penguburan isteri dan anaknya selesai, empat orang datuk itu mengadakan perundingan bersama Can Kok.
Di depan mereka, Can Kok menceritakan tentang kematian Leng Hwa. “Kalau saja tidak muncul jahanam itu, pasti aku dapat mencegah Adik Leng Hwa membunuh diri. Jahanam itulah yang memberi
kesempatan kepada Leng Hwa untuk membunuh diri. Jahanam itulah yang seolah telah membunuh Leng Hwa.”
“Can Kok, mengapa engkau dulu tidak cepat membunuhnya agar engkau dapat menyelamatkan Leng Hwa?” Singa Timur bertanya, suaranya bernada menegur.
“Paman, jahanam itu memiliki ilmu kepandaian yang hebat dan ilmu silatnya mengingatkan aku kepada ilmu silat yang dimainkan dua orang gadis yang mengeroyok aku dulu itu. Tentu ada hubungannya antara dia dan kedua orang gadis itu.”
“Maksudmu Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li, dua orang murid Tiong Lee Cin-jin itu?”
“Benar, Paman. Aku yakin bahwa dia tentu murid Tiong Lee Cin-jin pula.”
“Murid-murid Tiong Lee Cin-jin? Hemm, apa maksud kalian?” tanya Pak-sian (Dewa Utara) Liong Su Kian. See ong (Raja Barat) Hui Kong Hosiang dan Lam-kai (Pengemis Selatan) Gui Lin juga ikut memandang dengan pertanyaan yang sama.
“Secara kebetulan aku telah bertemu dan bertanding dengan Pek Hong Niocu dan Ang Hwa Sian-li......”
“Hemm, aku tahu bahwa Pek Hong Niocu adalah Puteri Moguhai, puteri Kaisar Kin!” kata Pak-sian.
“Dan aku pernah mendengar akan nama Ang Hwa Sian-li. Ia seorang gadis pendekar yang malang melintang di daerah Kerajaan Sung!” kata pula Lam-kai.
“Omitohud, apakah engkau yakin bahwa dua orang gadis itu adalah murid-murid Tiong Lee Cin-jin, Can Kok?” tanya See-ong.
“Tentu saja aku yakin, See-suhu (Guru Barat). Mereka memperkenalkan nama mereka dan juga guru mereka.”
“Wah, lalu bagaimana tingkat kepandaian mereka, Can Kok?” tanya Pak-sian.
“Pak-suhu (Guru Utara), mereka cukup lihai, akan tetapi kalau menghadapi seorang dari mereka, aku pasti dapat mengalahkannya.”
“Hemm, bagaimana ketika mereka maju berdua? Apakah engkau dapat menandingi pengeroyokan mereka?” tanya Lam-kai.
“Memang berat kalau mereka maju berdua mengeroyokku, Lam-suhu (Guru Selatan), namun aku tidak akan kalah! Ketika itu, aku menghadapi mereka dengan murid suhu Kui Tung, dan kami berdua sudah hampir berhasil mengalahkan mereka, akan tetapi muncul ratusan orang perajurit kerajaan. Terpaksa kami meninggalkan musuh yang terlalu banyak itu.”
“Can Kok, ceritakan tentang jahanam yang menghalangimu sehingga engkau tidak sempat mencegah anakku membunuh diri. Siapakah dia? Benarkah dia itu juga murid Tiong Lee Cin-jin?” tanya Tung- sai.
“Dia seorang pemuda, usianya sekitar duapuluh dua tahun. Orangnya biasa saja, pakaiannya juga sederhana seperti seorang petani. Namanya Souw Thian Liong, Paman, dan dari gerakan silatnya ketika kami bertanding, aku melihat persamaan dasar dengan ilmu silat yang dimainkan dua orang gadis murid Tiong Lee Cin-jin itu, Paman. Maka aku hampir yakin bahwa dia juga seorang murid dari musuh kita itu!”
“Omitohud!” See-ong Hui Kong Ho-siang menggeleng-geleng kepalanya yang gundul. “Kalau manusia sombong itu mempunyai tiga orang murid yang lihai, kedudukannya menjadi kuat. Tentu terlampau kuat kalau dihadapi Can Kok seorang diri!”
“Itulah, maka aku mengajak kalian mengadakan perundingan,” kata Tung-sai Kui Tong. “Kalau kita hanya menyuruh Can Kok mewakili kita untuk menghadapi Tiong Lee Cin-jin seorang diri, tentu saja akan terlalu berat bagi Can Kok untuk menghadapi keparat itu yang dibantu oleh tiga orang muridnya. Akan sulitlah diharapkan hasilnya kalau Can Kok dikeroyok empat!”
“Tak dapat disangkal kebenaran kata-katamu, Tung-sai. Lalu bagaimana baiknya?” tanya Pak-sian dengan suaranya yang melengking tinggi.
“Aku mempunyai usul, Pak-suhu, See-suhu dan Lam-suhu. Seperti yang sudah kusampaikan kepada Paman Tung, cara satu-satunya agar kita berhasil adalah kita harus maju bersama ramai-ramai melakukan penyerbuan ke tempat tinggal Tiong Lee Cin-jin, membunuh dia dan semua muridnya. Akan tetapi sayang, aku belum dapat menemukan di mana dia tinggal.”
“Omitohud......! Kebetulan sekali aku mendengar berita bahwa dia kini di Puncak Pelangi, sebuah di antara puncak-puncak Go-bi-san (Pegunungan Gobi),” kata See-ong.
”Bagus kalau begitu, kita beramai-ramai ke sana. Sekali ini kita tidak boleh gagal. Ingat, kalau kita berhasil, bukan saja kita dapat membalas kekalahan kita, akan tetapi aku yakin manusia sombong itu masih menyimpan banyak kitab-kitab langka. Kita dapat memiliki kitab-kitab yang amat berharga itu!” kata Tung-sai.
Ucapan Singa Timur ini disambut gembira oleh rekan-rekannya dan mereka berlima lalu berunding untuk membuat persiapan keberangkatan mereka ke Puncak Pelangi di Pegunungan Go-bi.
Thian Liong yang terpaksa melarikan diri karena merasa tidak akan dapat mengalahkan Can Kok apabila Tung-sai datang membantu, pula karena melihat bahwa dua orang yang harus dilindunginya itu sudah tewas, menghentikan larinya setelah tiba di bawah bukit karang itu. Kemudian dia mengambil jalan memutar untuk mengintai apa yang terjadi di depan guha. Dia melihat Tung-sai memondong jenazah gadis yang ternyata puterinya itu sambil menangis dan pergi dari depan guha. Kemudian Can Kok juga mengikutinya.
Setelah kedua orang itu pergi, barulah Thian Liong kembali ke depan guha dan dia mengerutkan alisnya melihat mayat pemuda itu terpotong menjadi empat.
“Kejam, bukan manusia mereka itu!” gerutunya dan dia pun segera menggali tanah dan mengubur mayat pemuda yang tidak diketahuinya siapa itu. Akan tetapi dia menemukan dua buntalan pakaian pria dan wanita, maka dia dapat menduga bahwa gadis puteri Tung-sai itu agaknya melarikan diri dengan pemuda ini, kemudian dikejar Can Kok dan Tung-sai. Si pemuda tewas di tangan Can Kok dan gadis itu membunuh diri!
Setelah selesai mengubur jenazah yang terpotong-potong itu, Thian Liong lalu melanjutkan perjalanannya. Dia berniat mencari Bi Lan dan ibunya yang pergi ke kota raja untuk melihat apakah dugaannya benar bahwa ibu dan anak itu pergi berkunjung ke rumah keluarga Panglima Kwee dan untuk melangsungkan pernikahan seperti yang direncanakan Panglima Kwee dan isterinya. Dia tidak akan menemui mereka, dan kalau Bi Lan sudah menikah dengan putera Panglima Kwee, dia akan ikut merasa bahagia. Bahagia? Memang ada perasaan tidak enak dan hampa, akan tetapi dia tetap akan merasa bahagia melihat gadis itu mendapatkan suami yang baik dan kehidupannya dengan ibunyanya tenteram dan berbahagia.
Menjelang sore Thian Liong tiba di luar sebuah dusun yang cukup besar. Melihat sawah ladang di luar dusun demikian luas, dengan tanaman yang subur, juga adanya sebuah anak sungai yang airnya cukup banyak dan jernih mengalir di luar dusun, dia dapat menduga bahwa tentu penduduk dusun itu berkeadaan cukup makmur. Kalau sebuah dusun memiliki tanah subur dan air cukup, sudah dapat dipastikan penduduknya tentu hidup makmur, cukup sandang pangan papannya.
Thian Liong mengetahui dari pengalamannya bahwa kebutuhan hidup penduduk dusun tidaklah banyak. Asalkan sebuah keluarga setiap hari dapat makan kenyang, berpakaian utuh dan memiliki pengganti pakaian, lalu memiliki sebuah rumah untuk tidur dan berteduh, walaupun ketiga kebutuhan hidup itu tidaklah mewah, mereka akan merasa cukup makmur! Cukup sandang pangan papan, keluarga sehat, itulah dambaan setiap keluarga dusun.
Akan tetapi dia melihat di luar dusun itu sepi dan setelah agak dekat dia mendengar suara ribut-ribut di dalam dusun. Dia merasa heran dan cepat dia berlari memasuki dusun itu. Pertama-tama yang ditemuinya adalah rumah-rumah yang sama sekali di luar perkiraannya. Rumah-rumah itu sebagian besar hanya merupakan gubuk-gubuk reyot, bukan sederhana lagi akan tetapi lebih tepat disebut miskin, sepantasnya menjadi gubuk para gelandangan. Juga dia melihat beberapa orang anak-anak yang berseliweran di sekitar rumah-rumah gubuk itu berpakaian kotor dan compang-camping seperti pakaian pengemis! Akan tetapi Thian Liong tidak sempat terlalu memperhatikan keadaan yang di luar perkiraannya tadi karena dia sudah lari ke tengah dusun di mana terdapat banyak orang yang berteriak-teriak dan mereka berkumpul di depan rumah-rumah gedung yang mentereng dan mewah!
Sungguh seperti langit dan bumi keadaan deretan gedung yang terdiri dari sepuluh bangunan besar itu. Gedung-gedung itu kokoh dan indah, seperti bangunan rumah-rumah para bangsawan dan hartawan besar di kota-kota, dikelilingi dinding tembok yang dihias patung-patung singa dan binatang lain dan memiliki pintu gerbang besi! Hebatnya lagi, di depan gedung-gedung itu pada saat itu terdapat puluhan orang berbaris melindungi gedung-gedung itu, dan mereka ini mengenakan pakaian seragam seperti perajurit, dengan memegang senjata tombak atau pedang di tangan! Sikap mereka itu galak dan gagah, wajah mereka bengis memandang ke arah kerumunan orang di jalan depan gedung-gedung itu.
Thian Liong memperhatikan mereka yang berkerumun di situ. Tidak kurang dari seratus limapuluh orang yang berkumpul di situ sambil berteriak-teriak. Melihat keadaan mereka, Thian Liong kembali merasa kaget dan heran. Pakaian mereka itu sebagian besar juga kotor dan compang-camping seperti pakaian anak-anak tadi. Hanya belasan orang saja yang berpakaian tidak compang-camping, akan tetapi pakaian mereka juga kotor dan dari kain murah. Dibandingkan pakaian para penjaga rumah itu, sungguh jauh bedanya! Mereka berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tangan-tangan yang kasar dan kulitnya hitam terbakar sinar matahari, tangan-tangan yang biasa kerja berat.
“Pembesar lalim!”
“Munafik!”
“Penipu!”
Demikian mereka berteriak-teriak dan berdesak-desakan hendak memasuki pintu gerbang sebuah di antara gedung-gedung itu yang berada di tengah. Gedung ini tidaklah semewah gedung-gedung di kanan kirinya, biarpun cukup besar namun tidaklah tampak mentereng.
Akan tetapi barisan penjaga itu menghadang dengan senjata mereka dan seorang kepala pasukan jaga ini membentak, “Mundur semua! Apakah kalian hendak memberontak? Mundur atau kami bunuh kalian yang berani melawan penguasa!”
“Kami tidak memberontak, tidak melawan!” terdengar seorang di antara para penduduk miskin itu berseru.
Suaranya cukup lantang dan dia adalah seorang laki-laki berusia limapuluh tahun lebih yang pakaiannya amat sederhana, walaupun tidak compang-camping. Wajahnya lembut, akan tetapi matanya me-ngeluarkan sinar berapi penuh keberanian. “Kami hanya menuntut keadilan! Kami minta agar Mo-chungcu (Kepala Dusun Mo) menemui kami dan memenuhi janji-janjinya kepada kami, rakyat dusun Be-san ini!”
“Keparat, engkau yang memimpin pemberontakan ini, ya?” Komandan penjaga itu menggerakkan cambuk di tangannya.
“Tar-tarrr......!” Laki-laki yang bicara lantang tadi melindungi mukanya dengan kedua tangan. Cambuk melecuti tubuhnya dan dia pun terpelanting roboh, bajunya robek tercabik-cabik sengatan ujung cambuk dan tampak darah di sana sini keluar dari kulit yang ikut pecah.
Penduduk yang berkerumun di situ menjadi panik dan mereka bergerak mundur. Komandan gerombolan penjaga itu menyeringai dan melihat wajah para penduduk yang ketakutan, merasa mendapat angin. Dengan bengis dia lalu maju dan mengangkat cambuknya untuk menghajar laki-laki yang sudah roboh itu.
“Mampuslah engkau, pemberontak!” bentaknya. Akan tetapi sebelum cambuknya menyambar ke bawah, tiba-tiba saja cambuk itu direnggut orang. Renggutan itu kuat bukan main sehingga dia tidak mampu mempertahankan cambuk dan tahu-tahu sudah terlepas dari pegangannya dan dirampas orang. Ketika dia membalikkan tubuh dan memandang, ternyata yang merampas cambuknya itu seorang pemuda asing yang berpakaian sederhana. Pemuda itu jelas bukan penduduk dusun Be-san itu karena dia tidak mengenalnya.
“Jahanam busuk, siapa kamu berani merampas cambukku? Hayo kembalikan, cepat!” Dia maju dan hendak merampas kembali cambuknya yang berada di tangan Souw Thian Liong.
Pemuda yang merampas cambuk kepala pasukan penjaga itu adalah Thian Liong. Tadi dia marah sekali melihat perbuatan kepala jaga itu mencambuki orang yang tidak dapat melawan, maka dia lalu merampas cambuk itu. Kini melihat tukang pukul itu memakinya dan hendak merampas kembali
cambuknya, Thian Liong menangkis dengan tangan kirinya dan begitu lengan mereka bertemu, tukang pukul itu pun terpelanting roboh.
Dia marah bukan main. Cepat dia bangkit berdiri, mencabut goloknya dan membacok ke arah kepala Thian Liong.
Thian Liong menggerakkan tangan sambil mencondongkan tubuh ke kiri mengelak. Ketika golok meluncur lewat, tangan kirinya menyambar dan dia pun sudah merampas golok penyerangnya. Dengan mudah seperti orang mematahkan sebatang ranting kecil saja, Thian Liong mematah-matahkan golok itu lalu membuang ke atas tanah. Kemudian dia menggerakkan cambuk rampasan itu sehingga terdengar ledakan-ledakan cambuk yang menari-nari di atas tubuh kepala jaga itu. Tukang pukul itu mengaduh-aduh dan roboh menggeliat-geliat, bajunya robek-robek dan berlepotan darah.
Melihat ini, timbul keberanian para penduduk. Mereka berdesakan maju dan dengan wajah beringas mereka hendak mengeroyok komandan jaga yang galak itu. Kalau hal ini dibiarkan, tentu komandan jaga itu akan dihujani pukulan dan tak dapat ditolong lagi. Akan tetapi Thian Liong menghadang dan mengayun cambuknya ke atas sehingga terdengar meledak-ledak.
“Mundur! Ada urusan dapat dibicarakan, tidak perlu menggunakan kekerasan!” bentaknya dan para penduduk itu lalu menghentikan niat mereka menghajar komandan jaga itu. Setelah Thian Liong tidak mencambuki lagi, komandan jaga itu tertatih-tatih bangkit berdiri dan ditolong oleh beberapa orang temannya.
Pada saat itu muncul seorang laki-laki dari dalam gedung. Karena pendapa rumah besar itu lebih tinggi daripada pekarangan, maka semua orang dapat melihatnya, seolah dia berdiri di atas panggung. Kalau tadinya para penduduk itu saling bicara dengan suara riuh, kini mereka berhenti mengeluarkan suara sehingga suasananya hening. Thian Liong sendiri memandang ke arah pendapa dan melihat laki-laki itu melangkah dengan tenang sampai ke tepi pendapa menghadapi orang-orang yang berdiri di pekarangan, di bawah pendapa.
Laki-laki itu sudah tua, sekitar tujuhpuluh tahun usianya. Rambutnya sudah putih semua dan wajahnya mengandung senyuman, sikapnya tampak lembut sehingga Thian Liong diam-diam merasa heran. Kakek ini tampaknya baik hati dan penuh kesabaran. Mengapa kini penduduk ribut-ribut dan dari teriakan-teriakan mereka tadi seolah merasa penasaran dan menuntut? Kakek inikah yang tadi dimaki sebagai pembesar lalim, munafik dan penipu?
Sejenak kakek itu melayangkan pandang matanya kepada semua orang dan kini Thian Liong melihat bahwa di balik kelembutannya, kakek itu memiliki pandang mata yang membayangkan kekerasan hati. Semua penduduk diam dan tampak gelisah. Lalu terdengar suara kakek itu, suaranya juga terdengar lembut namun cukup lantang sehingga terdengar oleh semua orang.
“Hei, para penduduk Be-san. Kalian ini mau apa ribut-ribut di sini? Kalau ada urusan, siapa pun boleh menghadap padaku untuk membicarakannya, bukan ribut-ribut datang ke sini seperti perampok. Kalau kalian menggunakan kekerasan, aku pun dapat memerintahkan para pengawalku untuk membasmi kalian!” Setelah berkata demikian, kakek itu menggapai ke dalam dan muncullah lima orang laki-laki tinggi besar yang berwajah menyeramkan.
“Lihat, kalian semua tahu bahwa Twa-to Ngo-houw (Lima Harimau Bergolok Besar) ini adalah para pengawal pribadiku. Kalau kalian hendak menggunakan kekerasan dan hendak memberontak, aku dapat memberi perintah kepada mereka untuk membunuh kalian!” Kini suara yang lembut itu mengandung ancaman.
Lima orang tinggi besar itu berdiri tegak sambil tersenyum simpul, mengangkat dada dan memandang rendah semua orang yang berdiri di pekarangan.
Laki-laki yang tadi dicambuk berdiri di depan. Dia berseru dengan lantang. “Mo-chungcu (Kepala Dusun Mo), kami sama sekali tidak ingin memberontak, hanya ingin menuntut hak kami dan menagih semua janji Chung-cu kepada kami beberapa tahun yang lalu. Kami merasa dibohongi!”
“Apa?” Lurah Mo itu membelalakan matanya dan kini wajahnya berubah merah. “Kamu berani menuduh kami membohongimu? Aku sudah mati-matian berjuang demi kemakmuran desa dan rakyat dan kamu bilang aku berbohong? Pengawal, tangkap pemberontak itu!” Lurah Mo menuding ke arah laki-laki yang menjadi wakil pembicara penduduk dusun itu.
Seorang di antara lima pengawal itu menyeringai dan melangkah maju hendak turun dari atas pendapa, tangannya meraba gagang golok dengan sikap bengis mengancam. Akan tetapi sebelum dia turun, tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Thian Liong sudah berdiri di depannya.
Ketika Thian Liong menghajar kepala penjaga tadi, Lurah Mo dan lima orang pengawalnya tidak melihat hal itu. Maka kini melihat seorang pemuda asing, bukan penduduk dusun Be-san, tiba-tiba muncul, Lurah Mo membentak marah. “Hei, siapa kamu berani naik ke sini tanpa kami panggil?”
Sementara itu, lima orang Twa-to Ngo-houw sudah bergerak mengepung Thian Liong dengan sikap mengancam. Thian Liong bersikap tenang saja dan dia berkata dengan suara lantang.
“Saya bernama Souw Thian Liong dan kebetulan saja saya lewat di dusun Be-san ini dan melihat para penduduk hendak menyatakan isi hati mereka kepada Mo-chungcu. Tadi engkau sendiri yang mengatakan bahwa kalau ada urusan, mereka boleh bicara denganmu, akan tetapi mengapa, setelah kini ada yang mewakili para penduduk untuk bicara, malah kau ancam dan hendak menggunakan anjing-anjingmu untuk menggonggong dan menggigit penduduk?”
Tentu saja Lurah Mo marah sekali mendengar ucapan itu. Juga Twa-to Ngo-houw yang disebut anjing-anjing oleh pemuda asing sederhana ini.
“Tangkap bocah lancang mulut ini!” bentak Lurah Mo.
Karena mereka memang marah terhadap Thian Liong, maka tanpa diperintah dua kali, lima orang tukang pukul itu segera menerjang, ada yang menubruk, ada yang mencengkeram, ada yang memukul atau menendang. Agaknya mereka berlima berlumba untuk lebih dulu merobohkan pemuda itu. Para penduduk dusun yang menonton dari bawah pendapa, memandang dengan cemas karena mereka semua tahu betapa lihai dan kejamnya lima orang jagoan andalan Lurah Mo itu.
Akan tetapi, terjadilah hal yang membuat semua orang terperangah. Tiba-tiba tubuh Thian Liong berpusing seperti gasing dan tangannya berubah banyak, membagi-bagi tamparan kepada lima orang penyerangnya.
“Plak-plak-plak-plak-plak......!!” Dan lima orang tinggi besar itu berpelantingan roboh di atas lantai pendapa!
Lima orang jagoan itu sendiri terbelalak, heran dan juga pening. Akan tetapi mereka kini menjadi marah sekali, maklum bahwa pemuda itu bukan seorang lemah. Tanpa menanti komando lagi mereka sudah mencabut golok besar mereka dan kembali mereka mengepung Thian Liong.
“Hemm, orang-orang yang mengandalkan kekuasaan bertindak sewenang-wenang terhadap orang lain adalah siauw-jin (orang berbudi rendah) dan menjadi permainan iblis yang akan menyeretnya ke neraka jahanam!” kata Thian Liong. “Mundurlah kalian sebelum terlambat dan bertaubatlah!”
Akan tetapi ucapan ini bahkan menjadi minyak yang disiramkan ke api, membuat lima orang itu menjadi semakin marah. Mereka membentak nyaring dan golok mereka berkelebatan, diputar menjadi sinar bergulung-gulung menyelimuti tubuh mereka dan sinar-sinar golok mencuat dan menyambar ke arah Thian Liong!
Thian Liong maklum bahwa lima orang yang menggunakan julukan Lima Harimau Bergolok Besar ini tentu merupakan ahli-ahli golok yang tangguh dan berbahaya, maka dia pun sudah mencabut Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit) dan sekali dia berseru, pedangnya menjadi sinar panjang menyilaukan mata.
“Trang-trang-trang-trang-trang……!!” tampak api berpijar-pijar, disusul robohnya lima orang pengeroyok itu. Kejadian itu berlangsung amat cepatnya, tak dapat diikuti pandang mata dan tahu-tahu ketika semua orang memandang lagi, Thian Liong berdiri santai dan pedangnya sudah kembali ke tempatnya. Lima orang itu mengaduh-aduh, lengan kanan mereka berdarah karena terluka goresan pedang yang cukup dalam pada pangkal lengan kanan. Golok-golok besar mereka berserakan di atas lantai dalam keadaan patah menjadi dua potong!
Pada saat itu dari dalam gedung bermunculan empat orang laki-laki berusia antara tigapuluh sampai empatpuluh lima tahun, dan seorang laki-laki berusia sekitar enampuluh lima tahun. Lima orang laki-laki ini bukan tukang pukul. Pakaian mereka mewah dan mereka berdiri di belakang Lurah Mo dengan wajah pucat pula, seperti wajah Lurah Mo yang pucat dan matanya terbelalak, jerih memandang kepada Souw Thian Liong.
Akan tetapi, agaknya karena sudah banyak pengalaman, Lurah Mo dapat bersikap tenang dan dia lalu berkata kepada Thian Liong dengan suara yang lembut ramah dan membujuk setelah tahu bahwa pemuda ini tidak dapat dilawan dengan kekerasan.
“Souw-sicu (orang gagah Souw), sebetulnya apakah yang kau inginkan? Kalau engkau menginginkan uang, katakanlah berapa kebutuhanmu? Akan kami cukupi. Atau engkau menghendaki kedudukan? Akan kami beri kedudukan yang layak dan terhormat.”
“Tidak, Chung-cu, aku tidak butuh apa-apa. Aku hanya minta agar sekarang juga engkau mendengarkan tuntutan rakyat dusun yang kaupimpin ini.” Setelah berkata demikian, Thian Liong lalu berdiri menghadapi penduduk dan berkata dengan suara lantang. “Saudara-saudara sekalian, sekarang bicaralah, ceritakan semua isi hati dan tuntutanmu. Jangan takut, bukalah semua, aku yang menanggung bahwa tidak akan ada orang yang mengganggu kalian!”
Laki-laki yang menjadi juru bicara para penduduk itu lalu melangkah maju dan berkata dengan suara lantang. “Saya Liu Cin mewakili seluruh penduduk Be-san menyampaikan rasa penasaran dan tuntutan kami kepada Lurah Mo. Beberapa tahun yang lalu, ketika diadakan pemilihan lurah baru untuk dusun ini, Lurah Mo berjanji kepada kami untuk berjuang memajukan dusun dan mendatangkan kemakmuran bagi kami semua. Untuk usaha itu, Lurah Mo mengadakan peraturan-peraturan yang memberatkan kami seperti pajak-pajak, sumbangan-sumbangan, dan lain-lain. Kehidupan kami selama bertahun-tahun menjadi semakin berat. Hasil sawah ladang kami memang subur dan banyak, namun semua itu sebagian besar habis untuk membayar pajak dan sumbangan-sumbangan yang mencekik sehingga kami hidup melarat. Untuk memberi makan semua keluarga pun terkadang kurang, apalagi untuk membeli pakaian dan membetulkan rumah.”
“Akan tetapi, bukankah sudah sering kami katakan bahwa untuk mendatangkan kesejahteraan, kita harus prihatin? Bukankah sudah sering kami katakan bahwa ada pribahasa: Berakit-rakit ke hulu, berenang-renang ke tepian, bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian? Kita berprihatin sekarang ini untuk membangun desa, untuk mempersiapkan kehidupan yang makmur bagi anak keturunan kita?” Demikian Lurah Mo membantah dengan suaranya yang khas, lembut namun lantang.
Tiba-tiba para penduduk menjadi gaduh lagi. Ada yang berteriak-teriak.
“Munafik......!”
“Penipu......!”
Thian Liong mengangkat kedua tangan ke atas. “Saudara-saudara harap tenang dan dengarkan saja pembicaraan yang dilakukan wakil kalian dan Lurah Mo!” Semua orang lalu diam.
“Itulah yang selalu dikatakan Lurah Mo kepada kami seluruh penduduk dusun. Kami harus prihatin, hidup sederhana seadanya, demi pembangunan dusun, demi kemakmuran anak cucu. Kami menaati semua nasihat dan petunjuknya karena menganggap dia benar-benar berjuang demi kesejahteraan dusun dan penduduknya, akan tetapi apakah kenyataannya? Mungkin Lurah Mo sendiri tidak menonjolkan kekayaannya, akan tetapi lihatlah! Gedung-gedung besar dibangun oleh anak-anaknya dan saudaranya! Itu mereka berdiri di belakang Lurah Mo! Anak-anaknya dan saudaranya menjadi kaya raya, rumah gedung, memiliki ratusan ekor ternak, membeli hampir semua sawah ladang sehingga kami yang terpaksa menjual tanah untuk makan kini hanya menjadi buruh tani. Dan ke mana larinya semua hasil pajak yang kami bayar, semua sumbangan-sumbangan yang amat banyak diambil dari hasil keringat kami? Mana pembangunan untuk dusun ini? Yang ada hanya pembangunan untuk Lurah Mo sekeluarganya yang menjadi kaya raya. Demikian kayanya sampai gandum di lumbung mereka membusuk. Mereka sering mengadakan pesta pora dengan para hartawan dari kota.”
Laki-laki berusia sekitar enampuluh tahun yang berdiri di belakang Lurah Mo dan yang mengenakan pakaian mewah itu menjawab dengan suara lantang dan sikap gagah-gagahan.
“Heh, kalian orang-orang bodoh. Jangan menuduh sembarangan dan seenaknya saja! Kami memang kaya raya, akan tetapi kekayaan kami adalah hasil kami berdagang dengan para saudagar di kota!”
Empat orang Iaki-laki yang lebih muda juga berseru marah.
“Itu betul! Kami berdagang dan apa salahnya menjadi kaya karena keberhasilan kami berdagang?”
“Kalian hanya iri karena kalian tidak becus mencari uang! Karena kalian ini orang-orang desa yang bodoh! Kalau kami menjadi kaya karena pandai berdagang, dan kalian miskin karena kalian bodoh dan tidak becus, mengapa mau menyalahkan kami?”
Mendengar alasan-alasan keluarga lurah itu, kembali terjadi kegaduhan dan sekali lagi Thian Liong mengangkat kedua tangan ke atas. “Tenanglah, biarlah wakil kalian yang bicara!”
Setelah suasana menjadi hening, wakil pembicara penduduk itu lalu berkata lagi dengan, lantang. “Kami semua sudah mendengar ucapan keluarga Mo, putera-puteranya dan saudaranya. Jadi kalian menjadi kaya raya karena pandai dan berdagang sedangkan kami menjadi miskin karena bodoh? Memang kami akui, kami bodoh karena mudah saja dibodohi kalian. Kami masih ingat, ketika Lurah Mo dan keluarganya, anak-anaknya, saudaranya, dahulu sebelum Lurah Mo menjadi lurah, kalian semua tidak ada bedanya dengan kami! Kalian dulu juga hanya orang desa, kalian juga dulu miskin tidak punya apa-apa. Akan tetapi setelah Lurah Mo menjadi lurah di sini, kalian menjadi pedagang dan tuan tanah yang kaya raya dan berlebih-lebihan. Coba terangkan, dari mana kalian mendapatkan itu semua? Darimana kalian mendapatkan modal untuk berdagang secara besar-besaran, membeli ratusan ekor hewan ternak dan tanah yang luas sekali?”
Empat orang anak lurah dan seorang saudaranya itu menjadi pucat wajahnya dan tidak mampu menjawab, kini mereka semua memandang kepada Lurah Mo seolah minta pertolongan agar Sang Lurah yang menjawab. Melihat enam orang itu diam saja, mulailah penduduk ramai lagi saling bicara dan kata-kata keras dilontarkan mereka kepada keluarga itu.
Thian Liong mengangkat tangannya minta agar semua orang tenang, kemudian dia berkata kepada sang Lurah. “Mo-chungcu, silakan menjawab pertanyaan mereka. Dari mana keluargamu itu mendapatkan uang begitu banyak untuk dipakai modal berdagang? Kalau kalian tidak mau menjawab terus terang, terpaksa aku akan membiarkan para penduduk ini menggunakan kekerasan dengan cara mereka sendiri!”
Wajah Lurah Mo menjadi pucat dan wajahnya kini tampak lebih tua daripada biasanya. Berulang kali dia menghela napas panjang, memandang kepada anak-anak dan saudaranya, lalu berkata, “Mereka mendapatkan...... dari...... dari aku......”
Wakil pembicara para penduduk itu cepat bertanya lantang.
“Dan engkau mendapatkan uang demikian banyaknya itu darimana, Mo-chungcu?!?”
“Dari...... dari penghasilan kelurahan......!”
Thian Liong merasa betapa dadanya panas mendengar ini semua. Jelaslah baginya bahwa kepala dusun ini telah mempergunakan kesempatan selagi dia berkuasa di dusun itu untuk memperkaya diri sendiri dan keluarganya, tanpa memperdulikan penduduk yang hidupnya di bawah garis kemiskinan, padahal seluruh harta yang mereka miliki itu berasal dari hasil perahan keringat penduduk dusun Be-san. Maka, setelah mengerti dengan jelas permasalahannya, Thian Liong kini mewakili penduduk dan bertanya dengan suara mengguntur.
“Mo-chungcu, penghasilan kelurahanan yang kaumaksudkan itu adalah hasil tarikan pajak dan sumbangan dari penduduk, sebagian besar hasil sawah ladang mereka dan dari tanah mereka yang terpaksa dioperkan kepadamu karena kekurangan makan. Begitukah? Tidak perlu berbohong lagi, jawablah!”
Mo-chungcu tidak dapat mengeluarkan suara, hanya mengangguk-angguk.
“Mo-chungcu, engkau telah menyalahgunakan kekuasaanmu untuk memperkaya diri sendiri dan keluargamu, tanpa memperdulikan rakyat dusun ini! Seluruh harta kekayaanmu dan keluargamu berasal dari hasil sawah ladang yang disiram keringat para penduduk. Sadarkah engkau akan hal itu?”
Kembali Lurah itu mengangguk. Dan dia tampak lemah sekali, tubuhnya menggigil, mukanya pucat. Kemudian dia terhuyung-huyung lalu tangannya bergerak, telunjuknya menuding ke arah empat orang anaknya dan seorang saudaranya itu sambil berkata, “Kalian...... bodoh...... kalian terlalu pamer......” Dia lalu terguling roboh ke atas lantai dan ketika diperiksa, ternyata Lurah Mo telah tewas. Mungkin rasa takut, malu, dan tegang telah menekan jantungnya dan menewaskannya.

Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru