Senin, 07 Mei 2018

Cerita Silat Pendekar Lengan Buntung 2 Tamat


Cerita Silat Pendekar Lengan Buntung 2 Tamat
-----
baca juga

  • ▼  April (78)
  • Memang Sian Hwa sedang pingsan akibat muntahkan darah terlalu banyak tadi. Melihat gadis itu hanya pingsan saja dan tidak terluka berat, cepat Kong Hwat menotok Sian Hwa, untuk beberapa detik kemudian Sian Hwa sadar dari pingsannya. Dilihatnya pemuda bersuling masih seru dikeroyok tiga orang gadis Sian-li-pay. Melihat betapa di situ muncul Koay Lojin dan Kong Hwat, cepat Ho Siang memainkan sulingnya lebih cepat lagi gerakan-gerakan kilatnya bagaikan guntur menyambar dan begitu sulingnya ke atas bergerak cepat menulis huruf “Thian”, tahu-tahu tiga gadis itu sudah terlempar ke belakang dengan senjata terlepas dari pegangan. Bu-tek Sianli terkejut sekali melihat gerak yang aneh ini, sampai ke tiga tamunyapun memandang dengan mata terbelalak. “Luar biasa…….!” tanpa terasa lagi memuji Hok Losu, hwesio tua Siauw-lim-pay, kalau tidak memandang dengan tuan rumah ingin sekali ia memuji kehebatan suling pemuda itu! Memang sudah menjadi lazim bagi tokoh-tokoh kang-ouw apabila melihat ilmu silat aneh dan luar biasa, timbul dihatinya, untuk mencobanya seperti Hok Losu ini.
  • 358
  • Sementara itu melihat betapa tiga orang dara Sian-li-pay tidak lagi menyerangnya, cepat Ho Siang menghampiri Sian Hwa dan Bwe Lan sambil berkata: “Nona, mari kita keluar dari neraka ini!” “Orang muda, kau hebat..... akan tetapi tak kita dilepas dari pulau ini!” kata Bwe Lan. “Kita mesti mencari jalan keluar nona, jangan kuatir tentang pemuda buntung itu, tentu sudah dapat lolos meninggalkan pulau bersama kawanku, hayo kita keluar! Ikuti aku!” berkata begitu Ho Siang berjalan ke luar diikuti oleh kedua gadis ini. Sian Hwa berjalan dengan terhuyung-huyung! Cepat Bwe Lan menggandengnya keluar. Akan tetapi beberapa bayangan berkelebat dan tahu-tahu Bu-tek Sianli, Bong Bong Sianjin, Hok Losu dan Leng Ek Cu sudah menghadang di depannya. “Ha ha ha, Wiwi….. kau ini sudah gendeng, mengapa bermain-main sama orang muda. Biar mereka keluar!” Koay Lojin mendorong kedua tangannya dan tahu-tahu tubuh Ho Siang, Bwe Lan dan Sian Hwa terpental jauh dan bergulingan keluar. Dara-dara bidadari mengejar keluar, akan tetapi begitu kedua tangan Koay Lojin bergerak entah bagaimana caranya lima dara Sian-li-pay melayang kembali ke tempat semula! “Kong Hwat, kau ikutlah orang muda itu!” Koay Lojin memerintah. Dengan gesit Kong Hwat mengejar tiga orang muda yang berlarian ke pantai. Beberapa dara mengejarnya, akan tetapi begitu mereka menyerang, tangan Ho Siang bergerak dan tahu-tahu ke tiga dara Sian-li-pay sudah roboh tertotok.
  • 359
  • Kong Hwat mendorong perahu besar, perahu yang tinggal satu-satunya di pulau itu. Ho Siang, Sian Hwa dan Bwe Lan melompat ke dalam perahu! Dengan sekali dorong perahu itu sudah meluncur cepat sekali meninggalkan pulau. Melihat betapa di pulau itu tidak ada perahu, cemas hati Ho Siang mengingat Koay Lojin yang masih tertinggal di gedung Sian-li-pay. “Saudara Kong Hwat, bagaimana dengan gurumu locianpwe Koay Lojin?” tanya Ho Siang. “Dia….. gampang! Suhu terkenal sebagai setan air sudah barang tentu dapat mengatasi kesulitannya. Eh, twako, kau hebat permainan sulingmu membuat aku kagum, siapakah namamu?” tanya Kong Hwat sambil mendayung. “Namaku Ho Siang, she Khu,” memperkenalkan Ho Siang sambil melirik ke arah dua orang gadis yang belum diketahui namanya. Melihat isyarat ini, Bwe Lan yang perasa tahu dan berkata: “Terima kasih Ho Siang twako, kau sudah menolong kami. Namaku Bwe Lan, tidak mempunyai she keturunan. Aku sebatang kara dan ini….. eh, namamu?” “Aku she Lim namaku Sian Hwa!” memperkenalkan Sian Hwa. “Nampaknya kau terluka nona, biar aku memeriksa lukamu,” berkata Ho Siang. Dan dengan amat cekatan ia memeriksa Sian Hwa. Sudah tentu sebagai murid Nakayarvia pertapa dari India sedikit banyak Ho Siang dapat mengerti hal pengobatan luka atau luka-luka yang
  • 360
  • beracun dan begitu ia memeriksa luka di pundak Sian Hwa ia tersenyum sambil berkata, “Ah, jantungmu tergetar, untung pertahanan di tubuhmu kuat, kalau tidak jantungmu pasti akan pecah, nah, kau makanlah ini!” Ho Siang mengeluarkan sebuah pil merah diberikan kepada Sian Hwa. Demikian juga luka di pundak Bwe Lan. Hampir serupa dengan yang dialami oleh Sian Hwa, akan tetapi Bwe Lan tidak begitu menguatirkan. Sin-kang di tubuhnya lebih matang dari Sian Hwa dan dengan dorongan tenaga sakti itu sebetulnya iapun dapat menyembuhkan lukanya, akan tetapi ia menerima saja pil yang diberikan Ho Siang dan menelannya. Akan tetapi belum lama mereka meninggalkan pulau, tiba-tiba sebuah perahu meluncur dengan amat cepatnya di dayung oleh seorang gadis. Gadis Sian-li-pay yang berjuluk Sian-li-eng-cu! Tentu saja Bwe Lan mengenalnya, sumoaynya ini dan berkata: “Ahh….. sumoayku mengejar.” Kong Hwat mengangkat mukanya. Dilihatnya tidak berapa jauh meluncur sebuah perahu kecil di dayung oleh seorang gadis jelita. Melihat yang datang adalah seorang gadis cantik, Kong Hwat jadi tertawa: “Biarlah ia serahkan kepadaku!” Sehabis berkata begitu Kong Hwat menyerahkan dayung kepada Ho Siang: “Ho Siang Twako, tolong kau pegang dayung ini, biar aku membereskan bidadari dari Sian-li-pay!”
  • 361
  • Ho Siang tertawa sambil menerima dayung: “Hati-hati Hwat-te! Jangan kau jatuh terpeleset menghadapi bidadari yang cantik itu……, ha ha ha!” “Beres!” Sebuah papan dilempar oleh Kong Hwat dan sekali berkelebat tubuhnya melesat berdiri di atas papan dan meluncur menghampiri perahu si gadis. Sian-li-eng-cu terkejut bukan main melihat pemuda itu berjalan di atas air. Matanya membelalak dan begitu Kong Hwat dekat dan meloncat ke atas perahu, nampak di bawah kakinya sebuah papan mengambang. Hebat! Diam-diam gadis ini kagum kepada Kong Hwat. Akan tetapi mulutnya membentak sambil mengeluarkan cambuknya: “Kunyuk, berani kau mengacau di pulau?!!” “Tar tar tar!” Tiga kali cambuk itu melecut hampir saja kepala Kong Hwat hancur dihantam cambuk yang ganas menyambar kepalanya kalau ia tidak cepat mengelak ke kiri dan meloncat ke ujung perahu. “Nona yang cantik, sabar! Lebih baik kita damai. Jangan marah-marah begitu,” Kong Hwat mencelat lagi ketika perkataannya disambut oleh serangkum jarum sianli-tok-ciam yang menancap di tiang perahu. Bergidik Kong Hwat melihat keganasan gadis ini. “Nona tahan!” seru Kong Hwat mencelat lagi menghindarkan lecutan-lecutan cambuk yang bertubi-tubi menggeletar.
  • 362
  • Melihat pemuda itu dengan amat mudahnya dapat menahan serangan-serangannya Sian-li-eng-cu bertambah panas hatinya. Pecutnya semakin menggila laksana ular panjang menyambar-nyambar mencari mangsa. Sudah barang tentu Kong Hwat yang terkenal sebagai murid si kakek gila dari Fu-niu-san dapat menandingi gadis liar ini. Sebetulnya ingin sekali ia menggunakan jurus-jurus Fu-niu-san-tung-hoat dan mengeluarkan tongkat kecilnya namun ia merasa sayang melukai gadis jelita yang sekali lihat saja sudah begini amat menggemaskan dan membuat hatinya merasa sayang. Oleh sebab itu, ia hanya meloncat-loncat saja menghindarkan serangan pukulan-pukulan cambuk yang bertubi-tubi amat ganasnya. Hanya sekali-sekali Sian-li-eng-cu menyambitkan dengan sianli-tok-ciamnya, entah mengapa untuk kedua malu rasanya ia menggunakan jarum beracun kepada lawan yang cuma mengelak meskipun hatinya menjadi panas dan gemas kepada pemuda yang diam-diam mengagumkan hatinya ini. Ia mainkan ilmu cambuknya lebih dahsyat lagi dan ingin cepat-cepat menundukkan pemuda yang cuma mengelak tanpa membalas ini. Sombong! Pikir Sian-li-eng-cu sengit! “He, kunyuk! Jangan mengelak-elak begitu kaya monyet berloncatan. Hayo balas serang!” Sian-li-eng-cu membalas menyerang dengan ganas sehingga di udara terdengar suara lecutan cambuk mengguntur laksana petir yang siap menghancurkan tubuh pemuda tinggi tegap yang mengelak ke sana ke mari.
  • 363
  • Perahu bergoyang menerima tubuh kedua orang muda yang tengah bertarung dengan amat serunya. Sementara Ho Siang mendekati perahu itu dan menonton dari jarak yang tiada berapa jauh. Bwe Lan memandang sumoaynya yang bertempur melawan Kong Hwat dengan kuatir. Akan tetapi setelah Ho Siang berkata bahwa gadis sumoaynya itu takkan menang melawan Kong Hwat, dan nampaknya Kong Hwat pun tidak ingin mencelakakan gadis itu. Tenanglah hati Bwe Lan. Akan tetapi tidak setenang hati Sian Hwa saat itu. Entah perasaan apa yang tengah mengaduk-aduk di hatinya. Sebentar saja pikirannya menerawang ke arah sam-suhengnya yang bernama Sung Tiang Le yang buntung lengan kanannya. Teringat itu ibalah hatinya. “Kasihan kau Tiang Le koko, gara-gara suci engkau kehilangan lenganmu! Ahhh... koko, masih mending kehilangan sebelah lengan dari padaku, wajahku.....!” Mengingat wajahnya yang rusak dan amat menakutkan dari balik kerudung suteranya itu menitik air mata si gadis. Tentu saja ini tidak terlihat oleh Bwe Lan atau Ho Siang karena muka gadis itu tertutup kerudung hitam! Setelah menghadapi gadis galak ini lebih dari limapuluh jurus. Kong Hwat mendapat akal yang jitu. Begitu cambuk si gadis menyambar cepat menyabet kakinya, ia tidak mengelak. Sian-li-eng-cu girang sekali cambuknya membelit kaki pemuda itu, dengan tertawa mengejek ia membetot keras. Tentu saja Kong Hwat tertarik dan terjengkang ke belakang.
  • 364
  • Pada saat itulah bagaikan orang gugup Kong Hwat berguling dan keccbur ke laut! Terdengar pekik lirih dari Sian-li-eng-cu, melihat bayangan Kong Hwat terus tenggelam menimbulkan pusar-pusar air yang membawa tubuhnya ke bawah! Akan tetapi, tiba-tiba gadis itu terhuyung. Perahu kecilnya berguncang keras dan terbalik! Keruan saja gadis ini menjerit ketika ada sebuah tenaga yang amat kuat membetotnya dan kecebur masuk ke dalam air sungai! Bwe Lan dan Sian Hwa melihat dua orang muda itu tercebur dan tenggelam ke dalam laut. Keduanya siap melompat ke dalam air menolong mereka, akan tetapi Ho Siang mencegahnya. “Mereka tidak apa-apa!” katanya. Dan begitu mereka memandang, benar saja tidak berapa jauh nampak Kong Hwat berenang menuju perahunya sambil memanggul tubuh Sian-li-eng-cu yang kelihatan sudah pingsan! “Ho Siang twako…!” Kong Hwat memanggil menggapaikan tangan. “Oiyy….. Hwat-te (adik Hwat)!” Ho Siang berseru mengayuh dayungnya lebih cepat lagi. Perahu meluncur ke arah Kong Hwat dan Kong Hwat naik ke atas perahu dengan dibantu oleh Ho Siang yang menarik tangan pemuda itu. Begitu naik ke atas perahu Kong Hwat tertawa kepada teman-temannya.
  • 365
  • “Gadis ini lihay dan galak, hampir saja cambuknya merenggut nyawaku. Entah siapakah dia?” Kong Hwat mengusap mukanya yang basah! “Dia sumoayku yang kedua namanya Han Soan Li, berjuluk Sian-li-eng-cu,” menyahut Bwe Lan sambil memapah gadis Sian-li-pay yang bernama Han Soan Li itu yang masih pingsan. Dibawanya ke bilik perahu untuk berganti pakaian, diikuti pula oleh Sian Hwa. Melihat gadis-gadis itu sudah masuk ke dalam bilik perahu, Kong Hwat membuka bajunya dan menukar dengan yang kering. Sementara itu tak habis-habisnya pemuda murid Koay Lojin memuji-muji gadis yang bernama Han Soan Li, gadis Sian-li-pay yang telah mengobrak abrik pertahanan hatinya. Memang cinta itu aneh, ia dapat tumbuh dalam waktu yang singkat! Tentu saja Ho Siang yang berpandangan tajam ini memaklumi bahwa diam-diam pemuda kawannya ini sudah jatuh hati kepada gadis lawannya, Han Soan Li Kita tinggalkan orang-orang muda yang lihay di dalam perahunya yang telah mengarungi laut Po-hay dalam usaha melarikan diri dari Pulau Bidadari. Kita kembali ke pulau itu menjenguk kakek aneh Koay Lojin. Tentu saja kakek ini dikepung oleh Bu-tek Sianli dan banyak anak muridnya, malah ke tiga orang tamunya sudah turun tangan pula karena tak tahan ia gatal-gatal tangan melihat kakek aneh yang sakti ini. Maka dikeroyok oleh tokoh-tokoh sakti, diam-diam kakek gila mengeluh di dalam hatinya.
  • 366
  • Meskipun mulutnya mengoceh nggak keruan: “Curang....... main keroyokan.......wah, wah....... orang-orang Sian-li-pay curang.......!!!” “Jangan banyak bacot, kau orang tua gila mengacau di tempat kami. Biar jiwa kalian menggantikan orang-orang muda yang sudah kabur! Kau harus mampus!” Bu-tek Sianli menerjang dengan pukulan-pukulan Bu-tek-sin-kun yang amat lihay bukan main. Sementara permainan jubah Hok Losu membuat Koay Lojin terhuyung-huyung dan kacau gerakan kakinya, apalagi ditambah oleh serangan-serangan pukulan jarak jauh dari Bong Bong Sianjin dan tokoh Khong-thong-pay Leng Ek Cu. Bukan main. Kasihan kakek gila ini, meskipun kagum melihat gerakan-gerakannya yang aneh dan lucu yang kadang-kadang seperti orang-orang mabuk, terhuyung-huyung dan seperti orang hendak jatuh akan tetapi anehnya, dengan langkah-langkah ajaib seperti ini semua pukulan-pukulan dari tokoh-tokoh sakti dapat dihindarkannya dengan baik. Meskipun berkali-kali jubah Hok Losu sudah berhasil menyentuh pundaknya, namun kakek sakti ini benar-benar kebal! Biar gila, kakek ini tahu akan bahaya. Melihat bahwa lawan-lawannya ini demikian tangguh dan tak mungkin ia dapat dikalahkan, Koay Lojin mencari jalan keluar dan terdengar pekiknya yang dahsyat meruntuhkan dinding tembok dan banyak di antara gadis-gadis Sian-li-pay mencelat mundur mengerahkan
  • 367
  • sin-kang di dada untuk melawan serangan jeritan kakek Koay Lojin yang lihay. Hanya Bu-tek Sianli, Hok Losu dan Bong Bong Sianjin yang tidak terpengaruh oleh kakek gila ini, meskipun demikian serangan-serangan mereka menjadi mengendur karena sebagian tenaga dikerahkan untuk menolak suara yang menggetarkan jantung. Melihat kesempatan ini, sambil menggereng keras Koay Lojin mencelat ke atas dan terdengar suara genteng dan eternit di atas bobol terhantam tubuh Koay Lojin yang sudah melompat keluar. “Kejar dia!!” Bu-tek Sianli mengejar ke luar diikuti oleh murid-muridnya dan tiga orang tamu, Bong Bong Sianjin, Hok Losu dan Leng Ek Cu. Akan tetapi secepat itu mereka mencelat keluar dari lobang yang tadi dibobolkan oleh Koay Lojin, mereka terheran karena tidak melihat lagi kakek gila, bayangannyapun tidak kelihatan! “Dia hebat….. biarkan dia pergi!” berkata Hok Losu yang tidak ingin meneruskan permusuhan ini dengan kakek gila itu. “Tak mungkin ia bisa menghilang begitu tiba-tiba, hemm,” sambil mendengus Bu-tek Sianli memerintahkan dara-dara jelita Sian-li-pay untuk mengejar ke pantai. Dan apa yang mereka lihat di pantai itu, memang benar, Koay Lojin berlarian terus berlari memasuki di atas air yang mengeriak jernih. Tidak ada perahu lagi di pantai. Tentu saja gadis itu dibuat heran karenanya. “Gila, mana ada manusia dapat berjalan di atas air?”
  • 368
  • Sesungguhnya tidak demikian. Memang Koay Lojin itu aneh dan sakti. Akan tetapi tak mungkin ia mampu berjalan, malah berlari-lari di atas air kalau tidak dibantu oleh sebilah papan kecil tempat berpijak kakinya. Dan dengan gin-kang yang tinggi itulah kakek ini berhasil berlari di atas air dengan bantuan sebilah papan di bawah kakinya. Dan sebentar saja ia sudah dapat mengejar orang-orang muda yang melarikan diri dengan berperahu. Sambil tertawa-tawa girang kakek Koay Lojin itu naik ke atas perahu yang didayung oleh Kong Hwat dan Ho Siang. Sementara Sian-li-eng-cu Han Soan Li tengah bersungut-sungut dihadapan sucinya Bwe Lan. Sedangkan Sian Hwa tenggelam dalam lamunannya. Pikirannya menerawang ke arah Sung Tiang Le dan Bwe Lan. Hemm, bermacam-macam perasaan yang mengaduk-aduk hati gadis itu sekarang. Ada sedikit perasaan cemburu kepada gadis di depannya ini yang bernama Bwe Lan yang secara terang-terangan berani mati telah mencintai Tiang Le dan ahh........ banyak lagi perasaan-perasaan hati itu. Sian Hwa kasihan kau! ◄Y► 10 Air laut mengeriak tenang. Sementara matahari sudah mulai tenggelam merupakan bola bulat merah di ujung laut. Nyuk In dan Tiang Le mengayuhkan dayung lebih cepat lagi menuju ke darat karena takut kemalaman di tengah laut. Meskipun Tiang Le
  • 369
  • buntung lengan kanannya akan tetapi ia dapat membantu gadis ini mendayung dengan tangan kirinya. Selama perjalanan di tengah laut itu Tiang Le jarang sekali berkata-kata. Baru setelah udara mulai agak gelap mereka sudah sampai ke pantai, dengan cepat sekali Tiang Le mengikuti Nyuk In meloncat dari perahu dan berlarian di sebuah dusun mencari rumah penginapan. Karena hari sudah gelap, Tiang Le dan Nyuk In tidak tahu lagi dusun apa gerangan tempat ini. Akan tetapi dusun ini cukup besar dan mudah bagi mereka mencari rumah penginapan. Sebelumnya mereka memesan makanan kepada seorang pelayan rumah penginapan ini. Begitu hidangan tersedia di meja, Nyuk In berkata kepada Tiang Le, “Setelah makan kita harus bermalam di sini, o ya, aku lupa menanyakan namamu!” “Namaku Tiang Le…... Sung Tiang Le,” sahut Tiang Le menyambung sambil melirik ke arah gadis ini. Usia gadis ini tidak lebih dari duapuluh tahun. Cukup cantik akan tetapi angkuh, pikirnya. Memang sejak perjalanan di laut itu sebetulnya jarang Nyuk In berbicara. Entah mengapa berjalan dengan pemuda buntung ini, ia merasa canggung dan kikuk. Lain waktu berjalan dengan Ho Siang, rasanya dengan Ho Siang ia lebih cocok. Sudah barang tentu! Sebab dengan Ho Siang ia sudah jatuh hati dan karenanya berjalan dengan orang yang dicintai sangat membawa kesan dan menyenangkan!
  • 370
  • Kini menghadapi pemuda buntung yang bernama Tiang Le itu ia merasa amat kikuk sekali, meskipun demikian ia memperkenalkan juga dirinya, “Namaku Nyuk In she Cung……, hemm aku sudah lapar sekali……. mari kita makan!” Tiang Le mengangguk dan dengan sinar matanya itu ia menyatakan rasa terima kasih. Heran, kenapa menghadapi gadis ini ia merasa amat rendah diri? Ah, betapa malunya ia apabila pandangan gadis itu membentur lengannya yang buntung! Ia merasa dirinya amat rendah dan tiada berharga! “Bwe Lan, gara-gara engkaulah aku jadi begini,” mengeluh Tiang Le dalam hati. Sedikit sekali Tiang Le makan karena perasaannya tidak enak. Nyuk In heran melihat Tiang Le makan sangat sedikit, akan tetapi ia tak bertanya. Ia diam saja sambil menyikat makanan yang di atas meja. “Saudara Tiang Le, aku sudah pesan kamar untuk kita. Kau di kamar nomor tujuh dan aku di kamar nomor delapan saling menyebelah. Mari kita ke sana!” berkata Nyuk In bangkit dari duduknya diikuti oleh Tiang Le yang tidak berkata apa-apa. Begitu mereka hendak memasuki kamarnya masing-masing sebelumnya Nyuk In berkata kepada Tiang Le: “Selamat beristirahat saudara Tiang Le, sampai berjumpa lagi besok pagi.” Tiang Le menjura menyatakan terima kasih, lalu ia memasuki kamarnya dengan diikuti oleh seorang pelayan, “Ini kamarnya
  • 371
  • kongcu (tuan), kalau ada apa-apa, kongcu dapat memesannya kepada pelayan?!” Tiang Le mengangguk, “Baiklah lopek nanti kalau aku ada perlu seauatu akan kupanggil kau!” Si pelayan membungkuk dan keluar dari kamar. Tiang Le sendirian di kamar itu. Nyuk In juga sendirian di kamar sebelah. Setelah meletakkan perbekalannya di atas meja, ia merebahkan dirinya di atas pembaringan tanpa membuka sepatu. Matanya menatap langit-langit kelambu! Pikirannya menerawang jauh. Teringat kepada Ho Siang, ia jadi melamun sendiri. Ah, Nyuk In kau betul-betul telah jatuh cinta kepada murid Nakayarvia itu. Kau lemah….. Memang aku lemah, bisik Nyuk In, aku mengagumi Ho Siang. Ia tampan, gagah dan bersikap sederhana, simpatik. Hemm, Ho Siang…. Ho Siang-koko, Nyuk In berbisik sendirian. Ia menoleh mengawasi lilin yang menyala menerangi samar-samar kamar ini. Angin bertiup perlahan dan ujung api itu bergoyang lincah bermain-main. Nyuk In memperhatikan kamar yang berbentuk empat persegi ini sambil merebahkan diri. Akan tetapi tiba-tiba telinganya yang tajam membuat ia meniup api lilin dan mencelat ke luar. Di atas genteng itu betapa terkejutnya ia ketika melihat ada lima orang tua telah mengurungya. Di antara ke lima orang tua itu nampak seorang setengah tua yang memakai sorban kuning dan
  • 372
  • berkepala botak seperti hwesio. Tubuhnya gendut dan pendek, sepasang lengannya berbulu nampak mengerikan sekali. Inilah dia tokoh dari dunia barat yang disebut Thay-lek-hui-mo (Iblis Terbang Bertenaga Seribu Kati) murid Nakayarvia yang pertama. Dan ke empat orang yang lainnya adalah tokoh-tokoh biasa suku bangsa Han, yang bongkok itu adalah tokoh Bu-thong-pay yang bernama Bhong Cu Siang, terkenal dengan permainan senjatanya yang berbentuk arit. Sedangkan tiga orang lainnya adalah anak buah dari Hek-lian-pay (Perkumpulan Bunga Teratai Hitam). “Nona, harap kau menyerahkan diri dan jangan mencari mampus,” bentak Thay-lek-hui-mo dengan suara yang berat. Dan cahaya bulan yang tinggal sepotong itu, Nyuk In dapat melihat tokoh bersorban ini. Ia tidak mengenal Thay-lek-hui-mo. Memang harus diakui, karena gadis ini belum lama turun gunung dan belum banyak mengenal tokoh-tokoh kang-ouw. “Kalian ini siapakah malam-malam begini menghadang aku?” tanya Nyuk In. Seorang dari ketiga anak buah Hek-lian-pay menyahut: “Gadis liar kau telah mengacau pulau bidadari, mana bisa kau hendak meninggalkan pulau itu seenaknya saja. Hayo turut kami kembali ke pulau.......!” Nyuk In memandang tajam. “Hemm, kiranya orang-orang ini adalah kaki tangan Sian-li-pay, pantas,” berpikir demikian Nyuk In menarik kipas dan pit. Sambil tersenyum ia berkata: “Ahh, kalian ini adalah antek-antek Sian-li-pay, ya?”
  • 373
  • “Kami dari Hek-lian-pay! Hayo menyerah.......” jawab kakek bongkok sambil mengacungkan aritnya. “Pantes, tidak tahunya kalian ini orang-orang Hek-lian-pay sama jahatnya dengan Sian-li-pay. Kalian hendak menangkapku, boleh kalau kalian dapat mengalahkanku!” tantang Nyuk In. “Straatt…,” kipasnya telah terbuka. “Kalian mencari mati. Bocah sombong!” sambil membentak demikian kakek bongkok Bong Cu Siang mengabitkan aritnya. Nyuk In tersenyum mengejek dan menarik kaki kirinya menghindarkan sambaran arit yang amat kuat sehingga menimbulkan angin berciutan. Akan tetapi baru saja ia menghindari serangan dari kakek bongkok ini tahu-tahu serangkum hawa dingin menyambar belakangnya. Nyuk In terkejut sekali! Cepat mengibaskan kipasnya ke belakang, tangan kanannya yang memegang pit menangkis pukulan arit kakek bongkok yang sudah menerjangnya lagi. Karena ia tidak menduga serangan pukulan dari belakang itu demikian hebatnya begitu ia mengebutkan kipasnya terdengar suara keras: “Brett…... kerak… kerakkk!! Desss!” Hebat sekali pukulan jarak jauh hwesio bersorban kuning ini. Bukan saja kipas Nyuk In robek dan hancur berantakan, juga tanpa dapat dicegah lagi tubuh Nyuk In terlempar jauh. Cepat ia bergulinggan berpok-sai turun dari atas genteng. Begitu ia menginjak tanah, terasa dadanya menjadi nyeri dan sakit. Terkejutlah ia!
  • 374
  • “Ha ha ha, bocah begini saja sudah berani mengacau Sian-li-pay?” Sambil tertawa Thay-lek-hui-mo menggelundung ke bawah seperti karet bal jatuh, disusul dengan berkelebat bayangan lain. Nyuk In sudah berdiri lagi. Tidak berapa jauh darinya terdengar suara hiruk pikuk senjata beradu. Tahulah ia bahwa Tiang Le juga sedang dikeroyok oleh orang-orang Hek-lian-pay. Tiga kali pitnya bergerak, tahu-tahu Nyuk In sudah merangsek kakek bongkok yang bersenjata arit dan menggerak-gerakkan tangan kanannya memukul sambil mengerahkan hawa sakti. Sebagai murid Bu-beng Sianjin tentu saja Nyuk In pantang menyerah menghadapi lawan-lawan meskipun tangguh seperti setan. Semakin lihay lawannya, semakin sengit Nyuk In menggerak-gerakan pitnya dan pukulan-pukulan tangan kanannya. Bentakan-bentakan yang keluar dari mulut gadis ini membuat lawan-lawannya yang tiga orang ini menjadi keder dan jeri. Terasa jantung mereka menggetar mendengar bentakan dari gadis itu. Permainan pedangnya mengendur. Akan tetapi tentu bagi Thay-lek-hui-mo dan si kakek bongkok Bong Cu Siang tidak terpengaruh oleh bentakan-bentakan gadis itu. “Bocah setan, tidak lekas menyerah mau tunggu kubikin mampus?” Thay-lek-hui-mo membentak menggerakkan kedua tangannya memukul ke depan. Ia maklum bahwa, lawannya ini tentulah seorang yang pandai, pantas saja gadis ini dapat meloloskan diri dari Sian-li-pay.
  • 375
  • Kemantapan dari gerakan pitnya itu saja sudah membayangkan tenaga lwekang yang hebat. Ia tidak berani memandang ringan lagi, maka diloloskan cambuk pemberian suhunya Nakayarvia. Cambuk itu hitam warnanya, panjang dan berat, tapi di tangan hwesio gendut itu terasa ringan dan enak. Tentu saja selama beberapa tahun ia bermain-main cambuk ini! Melihat bahwa hwesio gendut sudah mengeluarkan cambuk yang menggeletar-geletar memekakkan anak telinga. Cepat Nyuk In mengeluarkan pedang dari balik jubahnya. Inilah pedang tipis pek-liong-pokiam yang jarang ia keluarkan menghadapi lawan. Akan tetapi sekarang menghadapi kakek bersorban ini, mau tidak mau ia harus keluarkan pedangnya, karena kipas yang biasanya ia andalkan sudah hancur disambar pukulan lawannya tadi. “Hemm, kalian memaksaku. Baik aku, murid Bu-beng Sianjin, tak akan mundur setapakpun!” Pedang Pek-liong-pokiam berkelebat menyilaukan mata. Terkejut sekali lawan-lawannya ini. Hebat, pantes demikian lihai, tahunya gadis ini adalah murid Bu-beng Sianjin, pertapa sakti dari puncak Thang-la! Akan tetapi tentu saja bagi Thay-lek-hui-mo dan Bong Cu Siang mereka tidak menjadi gentar, malah semakin hebat mendesak lawan. “Nona, kami tidak ingin mencelakakanmu. Harap kau menyerah saja dan supaya kami bawa kau ke pulau bidadari, Ketahuilah kami dengan suhumu Bu-beng Sianjin, tidak ada permusuhan apa-apa, menyerahlah! Kami jamin kau tidak akan dipersakiti oleh Sianli,”
  • 376
  • kata Bong Cu Siang membujuk. Segan memang ia untuk berurusan dengan kakek pertapa Thang-la, oleh sebab itu kalau bisa dibujuk gadis ini, itu lebih baik! Akan tetapi Nyuk In bertambah marah. “Tak usah banyak cerewet, lihat pedang!” gadis ini menggerakkan pedangnya dan berkelebat sinar perak menyilaukan mata. Bong Cu Siang kaget dan bingung seketika karena gerakan pedang itu hebat dan menyilaukan. Thay-lek-hui-mo yang sudah menjadi marah membentak keras dan kedua tangannya bergerak mendorong. Inilah pukulan Gin-san-ciang yang belum lama ini ia pernah terima dari gurunya Nakayarvia, amat hebat dan mengeluarkan hawa panas dan berapi. Merasa hawa pukulan ini sangat panas dan membara, tak berani Nyuk In menangkis dengan pukulan pula. Waktu sabit di tangan Bong Cu Siang menyabet dan tiga orang anggota Hek-lian-pay menggerakkan pedangnya, dengan cepat luar biasa Nyuk In mencelat ke atas menggunakan gin-kangnya. Sambaran angin pukulan Thay-lek-hui-mo lewat di bawah kakinya dan terdengar jeritan mengerikan dari ketiga orang anggota Hek-lian-pay yang tidak keburu mengelak dari serangan Gin-san-ciang kakek bersorban yang lihay itu. Untuk seketika jeritannya itu berganti dengan tubuh mereka yang berkelojotan mati dengan muka hangus dan mendelik. Inilah hebat. Nyuk In sampai bergidik sekali.
  • 377
  • “Anak setan! Kau mampuslah!” Thay-lek-hui-mo berseru marah, jubahnya berputaran menimbulkan angin puyuh. Untung saja pada saat itu bulan bersinar terang sehingga Nyuk In dapat menangkap gerakan-gerakan pukulan lawan. Berkali-kali pukulan Gin-san-ciang kakek bersorban itu menyentuh, tubuhnya terasa panas dan nyeri menyesakkan dada. Oleh karena itu ia mainkan pedangnya dengan jurus-jurus Pek-liong-kiam-sut lebih hebat lagi. Pada saat itu berkelebat banyak bayangan berlarian. Tahu-tahu Bu-tek Sianli telah berada di hadapan Nyuk In. Terkejut sekali gadis ini melihat nenek Pay-cu Sian-li-pay yang telah berada di tempat ini. Bagaimana boleh jadi. Tentu saja ia tidak tahu. Setelah nenek ini kehilangan Koay-lojin dengan marah, cepat-cepat ia mengejar, sebelumnya ia melepaskan burung posnya mengabarkan berita kepada kaki tangannya di luar pulau bidadari. Oleh sebab itulah mengapa orang-orang Hek-lian-pay sudah dapat menangkap berita itu sebelum ke dua orang muda itu masuk ke dalam penginapan. Melihat gadis muda berjalan dengan pemuda buntung, tentu saja orang-orang memandang ringan kepada Tiang Le, melainkan mengarahkan perhatiannya kepada gadis bernama Nyuk In yang dikabarkan sangat lihay tak heran kalau Thay-lek-hui-mo, Bhong Cu Siang dan tiga orang Hek-lian-pay mengeroyok gadis cantik ini. Sebaliknya dengan mengandalkan banyak orang Hek-lian-pay, orang-orang ini menyerbu Tiang Le.
  • 378
  • Untung bagi Tiang Le ia cuma dikeroyok oleh orang-orang kasar seperti ini, sehingga dengan mudahnya ia dapat menghindari serangan-serangan dan balas memukul dengan tangan kirinya. Akan tetapi tak lama kemudian, siapa sangka muncul tiga orang bidadari dari Sian-li-pay yang sudah sampai ke tempat ini bersama Bu-tek Sianli. Terkejut bukan main Tiang Le. Apa lagi permainan pedang dara-dara Sian-li-pay ini demikian ganas dan lihay. Maka dengan mengandalkan keringanan tubuhnya ia mencelat ke sana ke mari menghindari sambaran pedang dari dara-dara Sian-li-pay yang lihay ini. Diam-diam Tiang Le mengeluh tadinya ia ingin menolong gadis yang bernama Nyuk In itu, yang tengah dikeroyok oleh kakek bersorban kuning, sekarang jangankan untuk membantu. ia sendiri merasa kewalahan menghadapi lawan-lawannya yang lihay ini. Semakin banyak orang Hek-lian-pay yang mengeroyoknya semakin payah Tiang Le. Lama kelamaan ia menjadi lelah juga mengelak ke sana ke mari. Jalan satu-satunya adalah membuka jalan darah. Melihat bahwa yang mengeroyoknya adalah orang-orang Hek-lian-pay yang tidak begitu lihai, ia mendesak orang-orang yang mengurungnya itu, menggerakkan tangan kakinya, menendang dan memukul. Tiga orang Hek-lian-pay menjerit roboh menghantam pukulan tangan kiri Tiang Le, dengan cepat Tiang Le mencelat menjauhi berlari.
  • 379
  • “Anjing buntung mau lari kemana kau?” salah seorang dari ke tiga gadis Sian-li-pay itu membentak sambil mengejar cepat. Sebuah sabuk sutera meluncur dengan amat luar biasa cepatnya dan tahu-tahu menjirat kaki Tiang Le dan keruan saja Tiang Le jadi terguling dibuatnya. “Tar tar tar!” Lecutan sabuk sutera itu terdengar nyaring bertubi-tubi di atas kepalanya, disusul berkelebat bayangan tiga orang gadis mengejarnya. Terkejut sekali Tiang Le. Ia tidak boleh tertangkap oleh gadis ini, celaka kalau ia dibawa kembali ke pulau bidadari! Oleh sebab itu, begitu sabuk itu terlepas dari kakinya, ia membiarkan sabuk sutera melecut memukul pundaknya mengerahkan tenaga sakti di pundak. Tiang Le mengeluh, akan tetapi ia mencelat lagi, sebuah bayangan gesit mengirim tendangan, Tiang Le terjungkal dan terasa sejuta bintang berputar-putar di atas kepalanya. Terdengar suara bidadari membentak, “Anjing buntung! kau tidak dapat melarikan diri...... hik hik!” Tiang Le menjadi kalap sekali. Ia menerjang, gadis itu mengirim pukulan yang ngawur karena kepalanya menjadi puyeng, sebisa-bisanya ia memukul. Terdengar suara tertawa nyaring disusul berkelebatnya sinar pedang siap menusuk leher Tiang Le. “Trang!” sinar pedang itu menghantam cambuk. Si gadis yang memegang pedang menoleh, “Kenapa?!!” tanyanya heran.
  • 380
  • “Jangan bunuh dia, tangkap hidup-hidup, bawa kembali ke pulau!” terdengar suara gadis yang memegang sabuk sutera. Tiang Le melompat bangun. Terhuyung-huyung. “Ha ha ha, anjing buntung sudah mabok. Sebentar lagi ia akan jatuh dan kita tinggal menggaet kakinya, ha ha ha!!” Tiang Le menjadi panas. Tangan kirinya terbuka menggeletar dan menerjang maju. “Ihhh,” gadis yang memegang cambuk menjerit lirih, menggeser kakinya ke samping tubuh Tiang Le meluncur dan bergulingan jatuh. “Tar tar tar!” Tiga kali sabuk sutera melecut, tubuh Tiang Le menggeliat-geliat menahan sakit pada punggung yang terhantam cambuk. Bulan di atas tiba-tiba menjadi suram, bersembunyi di balik awan hitam. Suasana menjadi remang-remang. Si gadis melecutkan sabuknya sambil tertawa-tawa mengejek. Tak tertahan lagi rasa nyeri yang menggerogoti punggung dan mukanya yang tersambar lecutan cambuk. Suara-suara bidadari terdengarnya seperti suara-suara hantu neraka yang menyiksanya setengah mati. Tiba-tiba dirasakannya dunia ini berputar, tubuhnya melayang jatuh semangatnya turun melayang, terayun-ayun. Dan tak sadarkan diri lagi.
  • 381
  • “Minggir!” si gadis memegang cambuk sutera mencelat ke belakang ketika tanah yang dipijaknya jadi longsor. Suara gemuruh mengiringi tubuh Tiang Le yang tergulung pula oleh tanah longsor. Tempat itu sangat gelap sekali. Gadis-gadis cantik ini seketika kehilangan pemuda buntung. Orang-orang Hek-lian-pay turut membantunya mencari, akan tetapi karena tempat itu kini menjadi gelap dan takut kalau-kalau tanah yang dipijaknya menjadi longsor lagi, maka orang-orang Hek-lian-pay melapor: “Tidak ada, pemuda itu tentu sudah mampus masuk jurang!” “Baik,” sahut gadis Sian-li-pay yang memegang pedang, “kita laporkan kepada Pay-cu!” Ke tiga gadis Sian-li-pay dan orang-orang Hek-lian-pay berlari-lari menemui Pay-cu yang telah menanti dengan wajah bersungut, “Goblok, kalian……, menghadapi pemuda buntung saja tidak becus!” Bu-tek Sianli marah-marah. Tentu saja ia menjadi rungsing bukan main, baru saja ia dan teman-temannya tidak berhasil menangkap gadis lihay itu, kini pemuda buntung itu juga lolos. “Benar-benar terlalu!” nenek ini mengepalkan tinjunya. “Kembali ke pulau!” perintahnya singkat. Dan malam itu juga Bu-tek Sianli kembali ke pulaunya. Karena tiga orang tamu dari kotaraja, yaitu Bong Bong Sianjin, Hok Losu dan Leng Ek Cu masih menanti di sana! Mengapa nenek sakti ini tidak berhasil menangkap Nyuk In, padahal ia dibantu oleh Thay-lek-hui-mo dan Bhong Cu Siang yang lihay?
  • 382
  • Seperti kita ketahui memang menghadapi Thay-lek-hui-mo ini, Nyuk In sudah kewalahan setengah mati apa lagi ditambah oleh Bhong Cu Siang dan munculnya Bu-tek Sianli, benar-benar Nyuk In terancam nyawanya! Pukulan sakti Bu-tek Sianli yang langsung menerjangnya membuat beberapa kali gadis ini terlempar jauh muntahkan darah segar. Parah sekali keadaannya Nyuk In bahaya sekali ia tidak cepat-cepat mengerahkan tenaga murni ke dada, ia menekan dadanya yang terasa sesak dan nyeri. Pandangannya menjadi nanar, ia terhuyung-huyung. Thay-lek-hui-mo tertawa mengakak melihat lawannya sudah hampir roboh. Arit di tangan Bhong Cu Siang menyambar leher si gadis dibarengi dengan pukulau tangan kanan Bu-tek Sianli yang menggeletar dahsyat. Nyuk In tak kuasa lagi mengelak begitu pitnya menangkis arit Bhong Cu Siang terasa tangannya bergetar hebat, dalam keadaan yang hampir setengah sadar ia menggerakkan kakinya menghindarkan diri dari dari sambaran jubah kakek bersorban, akan tetapi sebuah pukulan tangan Bu-tek Sianli tak dapat ia hindari lagi. Cepat ia mengerahkan sin-kang di dada menerima pukulan dahsyat ini. Desss!” Tubuh Nyuk In terlempar jauh, pingsan sambil muntah darah segar. Bhong Cu Siang memburu dengan arit di tangan dan mengelebatkan aritnya. Pada saat yang mengancam keselamatan gadis itu, sebuah benda menyambar dan arit Bhong Cu Siang menyeleweng ke samping. Sesosok tubuh berkelebat dengan amat gesitnya menyambar tubuh Nyuk In.
  • 383
  • “Kejar……!” Bu-tek Sianli memerintah. Ke tiga orang itu memburu bayangan hitam berlari dengan amat cepatnya ke selatan. Berkali-kali tangan kiri Bu-tek Sianli mengayun melempar Sianli-tok-ciam dan nampak sinar halus menyambar bayangan di depan, akan tetapi betapa terkejut hati mereka melihat jarum-jarum runtuh sebelum menyentuh bayangan hitam yang terus lenyap di balik sebuah pohon yang besar. Dalam beberapa detik ke tiga orang yang mengejar sudah sampai di bawah pohon besar yang agak gelap. Tiba-tiba Bu-tek Sianli melempar jarumnya ke atas. Akan tetapi tidak terdengar suara apapun, Thay-lek-hui-mo menjadi marah, dengan geram kedua tangannya terangkat dan mendorong ke depan. Terdengar suara keras batang pohon yang sebesar pelukan itu roboh dan semua daun-daunnya rontok hangus tersambar pukulan Gin-san-ciang luar biasa itu! “Tidak ada disini!” bisik Thay-lek-hui-mo. Tentu saja kalau memang orang yang menolong gadis itu bersembunyi di pohon ini, tentu akan hangus pula tersambar pukulannya yang dahsyat! Demikianlah hati penasaran dan uring-uringan ke tiganya kembali ke markas Hek-lian-pay. Bu-tek Sianli kembali ke pulau dan Thay-lek-hui-mo dan Bong Cu Siang terus menyelidiki sekitar dusun mencari ke dua orang muda, akan tetapi yang dicari lenyap bagaikan ditelan bumi! ◄Y► 11
  • 384
  • Tiang Le merasa tubuhnya dihentakkan oleh tenaga yang luar biasa ke alam lain. Ia melihat tempat yang begitu gelap pekat, panas dan menyesakkan rongga pernapasannya. Ia merasa bermimpi yang amat menakutkan. Mimpi yang dirasakannya dunia ini menjadi kiamat, bulan di atasnya jatuh menimpa bumi. Tiang Le menjerit ngeri ketika melihat banyak manusia-manusia menangis dan meratap digiring oleh sebuah makhluk yang berkepala sembilan dan bertangan duabelas. Manusia apakah itu atau malaikatkah yang meogiringi orang-orang yang sudah mati. Di tempat apa ini? Di neraka? Tiang Le menjerit sekuat-kuatnya ia dapat mengeluarkan jeritannya. Akan tetapi aneh, tiada terdengar suara jeritannya itu. Matikah aku ini? Sekali lagi ia menjerit sekuat-kuatnya. Tiada suara. Tiba-tiba sinar terang menyilaukan matanya. Berputar-putar membentuk sesosok tubuh manusia. Ia melihat seorang laki-laki nelayan yang amat sederhana, namun berwajah tampan, didampingi oleh wanita cantik yang wajahnya diliputi kedukaan. Mereka tersenyum-senyum kepadanya dan melambaikan tangan. Tiang Le menangis hendak mengikuti kedua orang tua yang semakin lama semakin hilang dari pandangan matanya. Ia memangil: “Ayah....... ibu!” Akan tetapi orang yang dipanggil sudah hilang disapu awan yang menjemputnya. Ingin ia terbang. Akan tetapi dirasakannya tubuh
  • 385
  • demikian kaku dan nyeri. Kembali sejuta bintang berputar di kepalanya, membuat tubuhnya terayun-ayun nikmat sekali, ia memejamkan mata. Kembali gelap itu bukan main menghantui hidupnya. Ia merasa seperti di neraka. Api neraka membakarnya, ia berteriak ngeri waktu dirasakannya tubuhnya terbanting jatuh masuk ke dalam kawah api yang menyala-nyala luar biasa panasnya. Ia menyebutkan nama Tuhan dan Tuhan datang meniup api-api yang menakutkan itu. Serasa Tuhan berkata lembut kepadanya: “Diamlah....... tenanglah....... kau terserang penyakit demam yang hebat……” Suara itu. Bukan. Bukan suara Tuhan. Suara itu seperti suara bidadari demikian lembut dan menyejukkan hatinya. Ia melihat sebuah wajah yang cantik jelita. Wajah seorang gadis. Ia bingung dan tidak mengenal wajah gadis ini. Wajah aneh, sebentar seperti wajah Sian Hwa, kemudian berubah seperti wajah Bwe Lan yang tadinya amat galak kepadanya, sebentar lagi........ hanya samar-samar, seperti....... seperti Pei Pei....... seperti Cia Pei Pei! Oh, Pei Pei! Bibirnya bergerak menyebut nama gadis itu. Heran, jauh sekali ia mendengar Pei Pei berkata: “Tiang Le koko......., tenangkanlah hatimu.” Mendadak semua bayangan itu menjadi lenyap. Tiang Le menyesal bukan main, di dalam gelap ia mencari-cari! Akan tetapi gadis-gadis yang membayang tadi tidak nampak lagi. Hilang ditelan kabut yang amat hitam pekat!
  • 386
  • Akan tetapi, telinganya mendengar suara seorang gadis berkata lembut, suara itu seperti yang didengarnya tadi di dalam gelap: “Tiang Le koko……, tenangkanlah hatimu!” Bagaikan tersentak dari mimpi yang amat buruk Tiang Le membuka matanya. Pertama-tama yang dilihatnya adalah sebuah wajah yang sangat jelita. Untuk sejenak ia memandang wajah ini. Serasa ia pernah mengenalnya. “Syukurlah kau sudah siuman, koko! Tadinya aku kuatir bukan main,” wajah itu menampakkan sebuah senyuman. “Kau.......?” Tiang Le berusaha hendak bangun, akan tetapi pundak kirinya terasa sakit sekali dan ketika tangan kirinya meraba, kiranya di pundak kiri sebelah belakang sudah terbalut oleh kain putih bersih. Teringatlah ia kini bahwa sabuk di tangan gadis Sian-li-pay yang lihay itu membuat luka-luka pada kulit pundaknya. Akan tetapi mengapa ia berada di tempat ini dan gadis itu? pikirnya heran. “Koko….... aku Cia Pei Pei, belum lama kita berpisah, agaknya kau sudah lupa padaku, Koko....... aku Pei Pei!” Tiang Le berusaha bangun. Akan tetapi sebuah tangan meraih pundaknya, “Eeee....... tidak boleh bangun dulu, kau harus rebah……, wah badanmu panas seperti api, koko rebahlah dulu!” Tiang Le menarik napas panjang, membiarkan tangan si gadis merebahkan tubuhnya: “Pei Pei…... ahh, lagi-lagi kau yang
  • 387
  • menolongku betapa besarnya budimu terhadapku, entah dengan cara bagaimana kubalas kebaikanmu.” “Diamlah koko…... diam, jangan kau bicara soal itu…… jangan bicara tentang budi…..” suara Pei Pei hampir menangis, menangis menahan haru di dadanya yang menyesak. Memang semenjak ia berpisah dengan Tiang Le beberapa bulan yang lalu, entah mengapa hidup ini dirasakannya menjadi sunyi dan hampa. Siang malam ia berharap akan kembalinya Tiang Le, siapa sangka ia dapat bertemu dan kembali dalam keadaan yang seperti dulu. Ia dapatkan Tiang Le sudah pingsan di antara gundukan tanah longsor di samping rumahnya. Memang karena malam kemarin udara demikian gelap pekat, tentu saja gadis-gadis dari Sian-li-pay tidak mengetahui bahwa tanah yang longsor itu jatuh di dekat samping sebuah rumah. Dan Pei Pei yang terkejut mendengar suara berisik disamping rumahnya segera keluar dan apa yang dilihat? Ya Allah, kiranya sesosok tubuh yang sedang pingsan itu adalah tubuh Tiang Le pemuda lengan buntung yang selama ini dirindukannya sepanjang siang dan malam. Demikianlah sepanjang malam dan siang hari itu Tiang Le pingsan dan selama itu Pei Pei merawatnya dengan hati berkuatir. Berkali-kali ia mengompres kening Tiang Le dengan air dingin, karena wajah pemuda itu panas membara.
  • 388
  • Sebetulnya Pei Pei sudah memanggil Kwa-shinse, akan tetapi sayang sekali orang tua tukang obat itu tidak berada di tempat, maka Pei Pei inilah sendirian merawat Tiang Le sebisanya. Dan hatinya lega ketika siang hari itu Tiang Le siuman. Dan panasnya telah menurun banyak. Dengan menahan rasa sakit, Tiang Le bangun lagi, tak perduli akan cegahan gadis itu. “Eh, jangan bangun…... kau mau apa?” Pei Pei bertanya memegang lengannya. “Aku…... aku harus pergi dari sini!” “Eh, jangan!? Kau masih lemah, lihat badanmu masih panas begini. Demammu belum sembuh betul. Kau hendak pergi dari sini, pergi kemanakah?” “Aku harus menolong, gadis temanku, ia dikeroyok oleh......... eh, sesungguhnya apa yang terjadi denganku. Bukankah aku juga dikeroyok oleh gadis-gadis Sian-li-pay mengapa aku di sini?” “Tiang Le koko, kau tenanglah. Duduklah…... biar aku ceritakan kepadamu,” sambil memegang tangan kiri pemuda itu menyuruh duduk, berceritalah Pei Pei. “Semalam....... aku dikejutkan oleh bunyi berisik di samping rumahku. Kukira ada pohon yang rubuh. Eh, nggak tahunya cuma tanah longsor doang, tebing di sebelah sana itu longsor dan aku menjadi terkejut melihat engkau sudah pingsan dalam timbunan tanah longsor, untung cepat-cepat aku menolongmu.”
  • 389
  • Tiang Le mengangguk-angguk. Tahulah ia bahwa tanah longsor itu yang menolongnya. Kalau ia tak ikut terjatuh tanah longsor, tentu ia akan tertangkap di tangan gadis-gadis Sian-li-pay yang lihay itu. Melirik ke arah tangan kanannya Tiang Le menarik napas panjang. Ia menyesal tangan kanannya buntung, sehingga tidak dapat bermain pedang. Heran apabila teringat kepada lengan buntungnya ini, teringat pula ia kepada Bwe Hwa. Tiang Le menarik napas berat: “Setelah lenganku buntung ternyata aku menjadi cacat tanpa daksa....... hemm.” Pei Pei terharu sekali melihat wajah yang murung itu. Lama ia memandangi wajah itu. “Tiang Le.......” bisiknya. Tiang Le mengangkat mukanya. Terkejut ia melihat mata gadis itu telah menjadi basah. “Pei-moay, mengapa kau menangis?” “Koko….. aku kasihan melihatmu....... nasibmu malang....... bukan saja kau kehilangan lengan....... dan menjadi begini....... tapi selalu dikejar bahaya koko.......” “Pei-moay memang nasibku begini....... aku menjadi pemuda cacat tanpa daksa..., percuma suhu melatihku...., sedangkan aku jadi begini, aku tak bisa bermain pedang lagi, ahhh.......” Tiang Le mengeluh perlahan. Mukanya tertunduk tangan kirinya menutupi muka itu, dari cela-cela tangan itu menetes airmata Tiang Le. Pei Pei memandang dengan mata basah.
  • 390
  • “Koko untuk apa kau bermain pedang….., untuk apa kau melibatkan diri dalam permusuhan yang tak ada habis-habisnya?” “Aku harus membalas dendam mendiang suhu, Pei-moay, harus! Kalau tidak ah….. memalukan benar suhu mempunyai murid sepertiku ini….. murid yang tak berguna, tak berguna!” Tiang Le mengelepak kepalanya. Pei Pei menubruk sambil menangis, “Koko……. jangan begitu ah,” tangan yang halus itu mengusap kepala pemuda itu. Tiang Le terharu melihat perbuatan gadis ini. Sepasang tangannya dipegangnya oleh tangan kiri Tiang Le. “Pei-moay kau baik sekali,” sepasang tangan halus kecil milik Pei Pei didekapnya dalam benaman dadanya. Semakin membanjir air mata si gadis. “Tiang Le koko, aku…… aku cinta padamu.” Bagaikan disentak oleh ular berbisa, Tiang Le melepaskan sepasang tangan itu pada dadanya. Ia mengangkat muka memandang dan pandangannya bertemu dengan sebuah telaga yang jernih airnya meluap membanjir. Melihat pandangan Pei Pei begitu sayu dan basah, tak tega hati Tiang Le buat menyakitinya. Menyesal ia merenggut sepasang tangan itu. Tangan yang kini berjuntai bagaikan tak bertenaga.
  • 391
  • “Pei-moay, jangan kau mencintaiku…… aku....... aku…..” “Koko!” Pei Pei menjerit lirih menerima tubuh Tiang Le yang rubuh pingsan. Ternyata saking hebatnya tekanan bathin yang menyerangnya dan tanpa ia dapat tolak membuat Tiang Le menjadi demikian lemah. Dan pandangannya berkunang-kunang. Tak tahu lagi ia, begitu ia tak tahu diri, Pei Pei memburu dan memeluknya sambil menangis, memapahnya ke tempat pembaringan. Lima menit kemudian Tiang Le sadar lagi. Begitu ia membuka mata dilihatnya Pei Pei masih menangis duduk di sampingnya di pembaringan sambil tangannya mengusapi kain dingin pada keningnya. “Pei Pei.....” Tiang Le memanggil lemah. Pei Pei menarik tangannya. Menyusut air mata yang meleleh di pipi. Memandang pemuda itu. “Pei Pei..... kau...... maafkanlah aku!” Pei Pei menggeleng-gelengkan kepala, air matanya semakin membanjir membasahi dada Tiang Le. “Jangan menangis Pei-moay...... aku tidak sengaja menyakitimu…...” tangan Tiang Le terangkat mengusap lembut pipi yang basah itu! Pei Pei menggigit bibirnya, menahan air mata yang membucah-bucah.
  • 392
  • Ia tidak bisa berkata apa-apa, hanya mengguguk perlahan. Tiba-tiba terdengar pintu rumahnya diketok orang. Pei Pei menengok dari jendela kamar. Tiba-tiba ia menoleh kepada Tiang Le, wajahnya menjadi pucat seperti kertas. “Ada apa?” Tiang Le bertanya heran. “Celaka, jangan-jangan…… yang datang itu adalah orang-orang Hek-lian-pay….” suara Pei Pei terdengar kuatir. “Biar aku yang sambut,” Tiang Le bangun. Akan tetapi, Pei Pei sudah menubruknya sambil menangis: “Jangan koko, jangan kau menampakkan diri… bahaya….. bagi keselamatanmu, diamlah kau di sini koko….. biar aku yang menghadapi mereka itu…..” “Hemm......,” Tiang Le menarik napas berat. Tubuhnya terasa masih lemah dan sakit-sakit. Ia membiarkan Pei Pei keluar, akan tetapi diam-diam ia mengikuti gadis itu. Memang yang datang itu adalah orang orang Hek-lian-pay. Begitu pintu dibuka, mereka menjadi melongo melihat seorang gadis cantik berkata dengan halus: “Kalian ini hendak mencari siapakah?” Orang yang bercambang bauk dan kasar tertawa cengir kuda sambil suaranya dibuat-buat: “Eh….. anu…… kami dari Hek-lian-pay, barang kali ada….. seorang pemuda yang buntung lengannya
  • 393
  • bersembunyi di sini…... ini, hanya barangkali nona, harap jangan marah!” Pei Pei tersenyum manis: “Pemuda buntung?” “Ya, pemuda buntung....... semalam telah bertempur di atas tebing itu dengan orang-orang kami, akan tetapi kabarnya hilang ditelan longsor. Pay-cu kami memeriksa dusun ini!” “Oooo, jadi kalian maksudkan pemuda buntung itu bersembunyi di sini, mana mungkin! Aku tidak pernah melihatnya!” “Hayya, twako.......mengapa meladeni gadis ini? Periksa saja ke dalam, barang kali dia bersembunyi di dalam siapa tahu?” Orang yang satu lagi berkata ketus sambil mendorong gadis yang di depan pintu itu. Pei Pei pucat sekali wajahnya, sepucat mayat, akan tetapi nampak demikian manis bagi pandangan orang-orang kasar ini. “Maaf nona, kami harus memeriksa ke dalam!” berkata si cambang bauk yang memegang golok besar di tangan. Pei Pei ingin mencegahnya, akan tetapi tak kuasa membuka mulut. Hanya wajahnya saja semakin pucat dan kuatir. Ke tiga orang Hek-lian-pay itu memasuki ruangan dalam, pandangan matanya menyapu segala apa yang ada di situ. Sampai di depan kamar yang tertutup itu, seorang di antaranya, yang berkumis tikus bertanya pada Pei Pei: “Kamar ini……?”
  • 394
  • “Ini kamar saya.......” sahut Pei Pei menekan suaranya yang bergetar. Keringat dingin membasahi wajahnya. Melihat orang kasar itu mendorong daun pintu dan suara berderit keras memecah keheningan. Kalau saja, ke tiga orang Hek-lian-pay itu menoleh kepada gadis di belakangnya, tentu mereka akan melihat betapa wajah Pei Pei semakin pucat dan mengigil. Akan tetapi sebentar cuma orang-orang itu melongok ke dalam. Tidak didapat yang dicari, si cambang bauk berkata hormat kepada Pei Pei, “Nona maafkan kami!” Pei Pei tidak berkata apa-apa. Hatinya lega melihat Tiang Le tidak ada di kamarnya. Ia mengantarkan orang Hek-lian-pay sampai di depan pintu dan mengawasi orang-orang itu berjalan dengan amat cepatnya. Terdengar orang yang berkumis tikus berkata sambil tertawa: “Ha ha ha....... twako, hari ini mujur ketemu gadis cantik, bagaimana kalau besok kita datang lagi?!” “Huss….. jangan main-main…… kau…… inikan tugas, bukan waktunya untuk mencari pacar!” “Ha ha ha, twako alim-alim sembuk! Cewek begitu cantik masa dilepas begitu saja….. Biar kalau twako nggak mau, nanti aku yang gantiin….. Bagaimana Ouwyang-te (adik Ouwyang)?” “Akur beeng, ada kesempatan mengapa tidak digunakan. Nanti kalau udah direbut orang baru nyaho, betul tidak twako?” jawab
  • 395
  • orang yang bernama Ouw-yang sambil menepuk-nepuk pundak twakonya yang bercambang bauk. Ketiganya sudah menjauh. Tak terdengar lagi oleh Pei Pei. Diam-diam ia kuatir sekali, takut orang-orang itu akan datang lagi. Dengan perasaan cemas Pei Pei menutup daun pintu dan berjalan menuju kamarnya. Dilihatnya Tiang Le tidak ada. “Koko.......!” panggil Pei Pei “Tiang Le koko…….” panggilnya lagi. “Kokooo.......!” Kuatir kalau-kalau Tiang Le sudah pergi dan meninggalkan dia. Ia berlari keluar, masuk lagi ke kamar. Tiba-tiba ia dikejutkan oleh sesosok tubuh yang mencelat turun dari atas langit-langit kamar. Tiang Le tertawa. “Sudah pergi setan-setan itu?” tanyanya. Tiang Le melihat Pei Pei tersenyum manis dan tiba-tiba gadis itu berlari merangkulnya: “Ah.... kokoo kau membuat hatiku kuatir saja… kukira kau sudah pergi!” “Pei-moay…..” “Kokooo...” Kini kedua-duanya saling berangkulan, Tiang Le mengangkat sedikit dagu si gadis ke atas. Sepasang mata memandangnya sayu dan berkaca-kaca, merupakan cermin hati yang mengungkapkan perasaan cinta kasih.
  • 396
  • Pemuda ini merasai hal yang aneh di dalam hatinya, perasaan aneh yang pernah ia rasakan ketika pada hujan-hujan lebat di dalam pondok bersama Sian Hwa waktu berpelukan, waktu untuk pertama kali ia mengecup Sian Hwa dan Sian Hwa membalasnya dengan perasaan cinta kasih. Perasaan aneh ini kembali mengejar-ngejar waktu memandang mata Pei Pei yang basah. Seluruh isi dadanya serasa bergejolak, darahnya berdenyar-denyar dan bergelora. Semangatnya sebagian melayang naik ke sorga, rasa nyeri di pundaknya tak terasa lagi. Hemm, memang demikianlah adanya. cinta dapat menghilangkan rasa sakit, dapat melenyapkan kesedihan hati! Karena cinta itu merupakan kekuatan yang mujijat dalam diri manusia! Dengan cinta orang yang berputus asa mempunyai harapan dan gairah hidup kembali, dengan cinta orang yang kuat menjadi lemah dan yang lemah menjadi kuat. Aneh! Demikianlah sejak kejadian-kejadian itu, Tiang Le tinggal bersama-sama Pei Pei, dan lukanya di pundak semakin hari semakin sembuh. Pei Pei merawatnya ini dengan telaten dan penuh cinta kasih. Ah betapa bahagianya Tiang Le, untuk sejenak lupalah ia akan segala tugas-tugasnya. Di samping Pei Pei dunia ini seakan-akan menjadi begitu indah. Senyum Pei Pei membawa kekuatan yang baru di hati yang hilang semangat itu.
  • 397
  • Di tempat sunyi ini Tiang Le menemui kebahagiaan yang baru kali ini ia rasakan. Hari demi hari dilaluinya dengan sendah gurau dan bisikan-bisikan cinta kasih kepada Pei Pei. Hati Tiang Le demikian terisi, lama kelamaan hati itu penuh dengan cinta kasih kepada Pei Pei. Dan Pei Pei tidak bertepuk sebelah tangan. O, hari-hari yang dilaluinya begitu indah dan romantis! Pada suatu hari ketika Tiang Le sedang memancing ikan di kolam tidak jauh dari rumah Pei Pei, tiba-tiba telinganya yang tajam mendengar suara tertawa parau yang datang dari rumah Pei Pei. Tiang Le menjadi tertarik dan menoleh ke belakang. Alangkah herannya ia ketika melihat tiga orang kasar menarik-narik tangan Pei Pei dan memeluknya. Untuk yang kedua kali telinganya mendengar Pei Pei berteriak: “Tiang Le kokooo...!” Mendengar suara ini bagaikan terbang tubuh Tiang Le mencelat dan sekali dua kakinya bergerak, tahu-tahu ke tiga orang kasar yang memegang tangan si gadis terpental dan untuk beberapa lama tidak dapat bangun saking hebatnya tendangan Tiang Le yang meloncat ke dekat Pei Pei. “Hem, bajingan-bajingan ini hendak mengganggumu, biar kumampusin sekalian,” tangan kiri Tiang Le siap memukul ke depan. Ingin sekali saat itu ia membunuh ke tiga orang kasar yang telah mengganggu Pei Pei, entah mengapa hatinya menyadi panas dan marah. Kalau pundaknya tidak disentuh oleh Pei Pei tentu ke tiga orang ini telah mampus oleh Tiang Le. Untungnya Pei Pei mencegahnya: “Jangan koko....... mereka itu adalah anak buah Hek-lian-pay!”
  • 398
  • “Hemm anak buah Hek-lian-pay kek, setan neraka kek, pokoknya siapa saja yang menganggumu, tanganku ini yang akan merenggut nyawanya,” berkata Tiang Le menghampiri ke tiga orang itu. “Anjing Hek-lian-pay, tidak lekas minggat mau tunggu kumampusin?” Kaki Tiang Le mencongkel dan tiga orang kasar itu telah berdiri dan memandangnya dengan mata mendelik. “Siapa kau?!!” “Twako….. ini dia pemuda buntung yang tempo hari dicari-cari oleh Pay-cu, hayo kita lapor!” Orang yang berkumis tikus berkata keder. Tak berani ia melawan pemuda buntung yang tadi sudah dirasai kelihaiannya. Orang yang dipanggil twako itu pun tidak berani lagi main-main, pandangannya berapi-api menatap Tiang Le. Ke tiga orang inilah yang beberapa waktu yang lalu memeriksa rumah Pei Pei dan tidak disangkanya pemuda buntung yang dicari-carinya itu berada di sini. Dengan geram orang kasar yang bercambang bauk itu berkata, “Tunggu pembalasan kami buntung!” Setelah berkata demikian ke tiga orang anggota Hek-lian-pay itu berlari terpincang-pincang, seperti anjing kena gebuk kakinya. Tiang Le hanya tersenyum mengejek, “Celaka koko…… mereka mengetahui kau disini, jangan-jangan nanti ia akan memanggil teman-temannya!” kata Pei Pei dengan cemas dan memegang tangan kiri pemuda itu. Tiang Le menoleh dan melihat senyum Pei Pei.
  • 399
  • “Jangan kuatir Pei-moay, ada aku di sini……” “Bagiku sih nggak takut koko, akan tetapi dirimu sendiri....... mudah-mudahan kau dapat mengatasi mereka, mereka itu terkenal kejam dan banyak teman-temannya.” “Mari masuk Pei Pei!” Tiang Le menggandeng tangan Pei Pei masuk ke dalam rumah. “Kau tidak apa-apa bukan?” “Maksudmu?” “Tadi kulihat kau diganggu oleh bajingan-bajingan tengik itu!” “Ya, untung ada kau koko….., mereka itu laki-laki ceriwis mau menggangguku……. memaksa. “Makanya aku tadi kepingin tidak memberi ampun kepada mereka, kalau mereka itu sudah berani kepadamu tentu kepada perempuan-perempuan lain juga mereka merajalela,” Tiang Le berkata sengit! Pei Pei menyentuh lengan pemuda itu dan menariknya masuk. “Sudahlah koko....... kau lupakanlah itu, mari kita makan, hidangan sudah kusediakan,” Pei Pei tersenyum manis. Tiang Le mengusap bibir itu dengan telunjuknya, mata si gadis bersinar-sinar cerah. Sungguh merupakan sepasang merpati yang ideal dan serasi. Yang lelaki meski kehilangan lengan kanannya
  • 400
  • akan tetapi nampak gagah dan tampan, dan yang perempuan, hemm, cantik jelita! Pei Pei mengajak Tiang Le kemeja makan. Makanan memang sudah disediakan sejak tadi. Pei Pei menyendok nasi ke mangkok dan disodorkan kepada Tiang Le dan Tiang Le menerimanya. Kalau kita melihat kerukunan dari orang muda ini kelihatannya seperti sebuah rumah tangga yang amat rukun dan saling mencintai. Hati kita bisa iri dibuatnya. Tapi tidak dong ya? Jangan iri begitu. Memang itu kehidupan Tiang Le dan Pei Pei yang penuh dengan madu cinta kasih, yang berkelimpahan air susu dan madu. Lain daripada kita tentunya. Sebab setiap manusia itu mempunyai kehidupan yang berlainan, mempunyai liku-liku yang berlainan pula! Kehidupan manusia tidaklah sama sejalan dengan orang lain. Inilah kebesaran Tuhan. Oleh sebab itu kita tak perlu iri. Mari kita melihat Tiang Le dan Pei Pei yang tengah makan. Sambil makan itu mereka saling lirik, saling senyum. Kadang-kadang Pei Pei menyumpit sebuah ikan atau sayuran dan sambil bersenyum sumpit yang berisi sayuran itu diletakkan di atas mangkok dan Tiang Le hanya memandang gadis ini dengan sayang!
  • 401
  • Tiba-tiba Tiang Le menahan gerakan sumpitnya di dekat bibir. Ia menoleh keluar melalui pintu depan, suara derap kaki kuda yang didengarnya nampak mendatangi dengan amat cepatnya. Sebentar kemudian lima orang penunggang kuda itu sudah berada di depan rumah. Meloncat turun dari kuda. Melihat ini Pei Pei menjadi terkejut dan mengikuti Tiang Le ke depan. “Kaukah yang telah melukai anak buah Hek-lian-pai?” Orang yang di depan itu bertanya mengawasi Tiang Le, berkilat matanya memandang lengan baju yang terjubrai tanpa lengan. “Cuwi (tuan sekalian) ini siapa dan ada keperluan apakah gerangan berkunjung ke pondok kami?” Tiang Le bertanya penuh selidik, ia maju selangkah. Pei Pei mengikuti di belakang Tiang Le. “Pay-cu, pemuda buntung inilah yang telah mengacau Sian-li-pay dan yang barusan melukai tiga orang saudara Hek-lian-pay,” Orang berkumis tikus berjenggot kambing berkata menunjuk ke arah pemuda lengan buntung. Orang yang dipanggil Pay-cu adalah seorang setengah tua, berusia hampir empatpuluh tahun, tubuhnya kurus kering seperti tinggal tulang terbungkus kulit saja tanpa daging sedikitpun, namun tubuhnya itu masih nampak gesit dan ini waktu kita lihat ia melompat turun dari kudanya tadi. Ia memegang sebuah tongkat hitam berkepala naga. Matanya mencorong tajam menyapu tubuh Tiang Le. “Ooo, jadi inikah anjing buntung yang kabarnya telah membuat kacau di pulau Bidadari…… hemm, orang muda buntung,
  • 402
  • benarkah kau pernah mengacau Sian-li-pay dan barusan melukai muridku?” Suara kakek Pay-cu Hek-lian-pay itu tinggi melengking. Tahulah Tiang Le bahwa kakek kurus ini mempunyai tenaga sin-kang yang tidak boleh dianggap remeh. Melihat bahwa yang datang ini adalah Pay-cu Hek-lian-pay sendiri, cepat Tiang Le memberi hormat menaruh lengan kiri di atas dada. “Maaf……. kalau tidak salah siauwte berhadapan dengan Pay-cu Hek-lian-pay yang ke sohor itu. Silahkan masuk!” “Terima kasih orang muda urusan cukup diselesaikan di sini saja. Kau tadi sudah melukai tiga orang muridku, untuk ini saja aku yang tua harus menyeretmu ke markas untuk diadili, baru setelah itu aku akan membawamu ke Sian-li-pay. Orang muda buntung, sekarang hendak berkata apa kau?” “Locianpwe, engkau orang tua kalangan atas dan sebagai Pay-cu Hek-lian-pay yang cukup bijaksana dan berpandangan luas harap mempertimbangkan hal ini dan terlebih dahulu memeriksa ke tiga orang muridmu. Mereka itu hendak mengganggu nona Pei Pei, menyeret-nyeretnya secara kurang ajar, hemm, baiknya aku cukup sabar hati. Kalau tidak ada nona ini mencegahnya tentu siang-siang orang-orangmu itu sudah kumampusin!” Pay-cu Hek-lian-pay yang bernama Teng Kiat dan berjuluk Hek-sin-tung Pay-cu marah bukan main. Ingin ia sekali gebuk membikin remuk kepala pemuda buntung ini, akan tetapi sebagai ketua Hek-lian-pay yang kesohor, tentu saja ia tidak mau melakukan hal yang akan merendahkan namanya. Ia hanya melotot memandang Tiang Le lalu membentak,
  • 403
  • “Bocah setan, berani kau berkata begitu di depan Pay-cu Hek-lian-pay? Berani, kau menantangku?!” Tiang Le menggeleng kepala, tersenyum mengejek. “Siapa yang berani melawanmu, Pay-cu. Harap jangan panas hati dulu. Tak pantas sebagai ketua, sikapmu berangasan seperti kepala perampok. Kau tanyakan dulu kepada tiga orang muridmu, apa benar mereka itu tukang mengganggu wanita? Hem jangan-jangan muridmu itu semuanya gila perempuan, jay-hoa-cat (penjahat pemetik bunga).” “Jadi kau hendak membela dirimu bahwa kau benar?” “Tentu saja karena aku tidak bersalah dan muridmu itulah yang telah kurang ajar kepada nona Pei Pei. Bagaimana dapat dibilang aku yang salah, muridmu itulah yang bertingkah sok jago pengganggu perempuan!” “Keparat berani kau menghina anak murid-muridku!” Ketua itu membentak. “Tak perduli mereka itu anak muridmu atau anak setan. Siapa saja yang melakukan perbuatan sewenang-wenang, hem, tanganku inilah yang menghajarnya!” “Tanganmu tinggal sebelah, hendak mengandalkan apakah kau membuka bacot di depan Pay-cu Hek-lian-pay?” “Tanganku yang sebelah ini memang sudah tidak ada, akan tetapi yang sebelah ini…..,” Tiang Le mengacungkan tangan kirinya:
  • 404
  • “Tanganku yang satu ini masih mampu memutar batang leher anak buahmu!” “Bocah buntung, keparat! Kau bermulut besar dan sombong. Kau menghina muridku, menghina Hek-lian-pay. Apakah kau mempunyai nyawa rangkap?” “Nyawaku cuma satu, Pay-cu! Akan tetapi tidak gampang-gampang orang hendak mencabut nyawaku?” Terdengar teriakan marah dan seorang yang di sebelah Pay-cu Hek-lian-pay sudah mencelat maju. Orang yang berhidung bengkok ini yang memegang toya adalah sute (adik seperguruan) dari ketua Hek-lian-pay, lihai sekali permainan toya besinya dan ia diberi julukan Tiat-pang-hek-lian (Tongkat Besi Berantai Hitam). Wataknya berangasan dan kasar, mendengar ucapan yang menantang dari Tiang Le, ia tidak mau sabar lagi. “Bocah setan! Berani kau menghina Hek-lian-pay?” sambil berkata demikian toya besi yang berat itu menyambar kepala Tiang Le. Cepat Tiang Le mendorong Pei Pei ke belakang dan ia sendiri menggeser kakinya mengelak. Melihat gerakan tongkat yang mengeluarkan angin berciutan ini tahulah Tiang Le bahwa lawannya mempunyai tenaga lwekang yang tak boleh dipandang ringan. Sambil mencelat ke samping tangan kirinya mendorong ke depan, inilah pukulan Pek-lek-jiu. Kalau saja si kakek hidung bengkok ini tidak memandang rendah kepada Tiang Le tentu ia akan berlaku waspada dan siap-siap akan tetapi rupanya karena wataknya yang
  • 405
  • kasar berangasan itu lupa bahwa ia menghadapi seorang pemuda luar biasa, pemuda yang telah membuat kacau di Sian-li-pay. Maka begitu toya hampir mengenai tubuh Tiang Le, kakek hidung bengkok tertawa senang dan menyabet pinggang lawan. Melihat gerakan toya itu amat lambat meskipun bertenaga besar, cepat Tiang Le meloncat ke atas membarengi dengan pukulan tangan kiri yang menggunakan hawa Pek-lek-jiu, suara toya berdesir di bawah kakinya akan tetapi begitu tangan kirinya bergerak, tahu-tahu tubuh si kakek hidung bengkok terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi dada dan muntah darah segar. “Sute…..!” Hek-sin-tung Pay-cu meloncat memburu sutenya. Dan menotok dada yang terluka oleh pukulan Tiang Le. Sementara itu tiga orang kakek yang memegang pedang dan ruyung sudah mencelat mendekati Tiang Le sambil membentak: “Awas pedang!” Dengan cepat orang tua yang berjenggot kambing yang bernama Sauw Ki membentak sambil menerjang dangan pedangnya. Gerakan pedangnya amat cepat dan kuat dan mengeluarkan suara berdesing mengerikan. Cepat Tiang Le menggerakkan kepalanya dan mencelat menghindarkan ruyung yang menyambar pula dari tangan kakek berambut putih yang bernama Jin Ho dan bersamaan dengan gerakan ini, angin pukulan bersiutan diputar-putar oleh kakek ketiga yang berkaki buntung. Kiranya kakek buntung ini sudah menggerakkan tangannya memutar-mutar merupakan angin pukulan jarak jauh. Terkejut sekali Tiang Le.
  • 406
  • Pei Pei menjerit perlahan melihat tubuh Tiang Le terhuyung-huyung tersambar angin pukulan kakek kaki buntung yang luar biasa ini. Dikeroyok oleh tiga orang yang berkepandaian hebat ini, Tiang Le tak dapat membalas dengan pukulan. Ia hanya dapat mengandalkan keringanan tubuhnya saja, mencelat ke sana ke mari dengan repot. Akan tetapi belum limapuluh jurus, ia sudah terdesak hebat. Pukulan-pukulan kakek kaki buntung ini demikian hebat dan mengetarkan tangannya yang menangkis. Limapuluh jurus sudah lewat, dan ketiga orang yang mengeroyok ini menjadi penasaran malu. Masa menghadapi pemuda buntung yang hanya bisa mengelak ini saja, mereka tidak dapat robohkan. Sauw Ki tiba-tiba mengeluarkan jeritan nyaring sekali dan pedangnya melakukan terjangan kilat. Pei Pei menutup mulutnya dan sebelum tubuhnya menegang, ia tidak dapat lagi melihat bagaimana Tiang Le mengelak dari sambaran terjangan dari kakek jenggot kambing yang demikian cepat itu apabila sebuah pukulan dari kakek buntung membuat Tiang Le terjungkal dan pada saat itulah bagaikan kilat pedang di tangan Sauw Ki mengejar dengan cepatnya menubruk. “Desss! Ceppp!” pedang itu menancap di tanah di samping kepala Tiang Le akan tetapi tubuh Sauw Ki terlempar ke belakang dan roboh. Ternyata pada detik yang amat berbahaya itu, Tiang Le berlaku waspada dan dengan sedikit saja ia menggeser kepalanya, pedang Sauw Ki meluncur amblas di tanah sampai ke gagang.
  • 407
  • Ketika itulah tangan kiri Tiang Le bergerak ke depan melakukan pukulan jarak jauh dengan tenaga Pek-in-kang. Keruan saja Sauw Ki menjerit ngeri dan tubuhnya terjengkang ke belakang. Sauw Ki bangkit berdiri, akan tetapi tiba-tiba ia muntahkan darah merah. Ternyata pukulan Tiang Le dalam jarak dekat itu sudah mendatangkan luka parah di dalam dadanya. Hal ini tidak mengherankan karena Tiang Le melakukan tenaga Pek-in-kang dalam jarak yang begitu dekat dan tepat memukul dada lawan! Pei Pei menarik napas lega melihat Tiang Le bangun dan terhuyung-huyung. Akan tetapi ia menjerit keras begitu dilihatnya kakek kaki buntung dan kakek berambut putih sudah menerjangnya dengan pukulan-pukulan dan serangan ruyung yang mengeluarkan suara bersuitan keras dan menggetar-getar. Terkejut sekali Tiang Le, ia melompat membuang diri ke belakang, akan tetapi kurang cepat pukulan kakek kaki buntung menyerempet pundaknya. Tiang Le mengeluh dan terlempar ke belakang. Sebuah pukulan lagi tak dapat dihindarkan, segera mengerahkan sin-kang ditubuhnya! Matilah aku kali ini, pikir Tiang Le. Mengangkat tangan menangkis. Sebaliknya kakek kaki buntung juga berseru kagum. Cepat menarik kembali lengannya yang terasa panas beradu dengan lengan kiri pemuda itu. Pada saat itulah ruyung kakek rambut putih Jin Ho menyambar lambung Tiang Le. Pei Pei menjerit. Tubuh Tiang Le terlempar. Hebat sekali pukulan ini. Darah mengalir leget dagu pemuda itu. Pei Pei menubruk dan menangis.
  • 408
  • “Kokoooo….. Tiang Le……!” “Minggir perempuan geladak, biar kumampusi lelaki jobong ini!” si kakek rambut putih menarik tangan Pei Pei. Dan si Ruyung dengan sengitnya menghantam lagi. Tiang Le menggeliat menahan sakit pada lambungnya. Tubuhnya terlempar lagi. Terbosai lagi. Entah berapa kali ia jungkir balik. Melihat ini bercucuran air mata Pei Pei melihat penyiksaan yang menyayat hatinya, tak tahan Pei Pei melihat ini lebih lanjut, ia menubruk kakek kaki buntung yang siap hendak menghancurkan kepala Tiang Le yang sudah terkulai setengah pingsan. “Jangan bunuh dia..... jangan bunuh Tiang Le,” Pei Pei merangkul kaki kakek buntung yang sebelah kanan, akan tetapi begitu kakek ini mendengus, tubuh Pei Pei terlempar jauh dan pingsan! Mengingat dua orang kakak seperguruannya ini sudah terluka di tangan pemuda buntung ini, kakek rambut putih menjadi sengit bukan main, cepat ia mencabut pedang Sauw Ki yang menancap di tanah dan menyambitkan pedang itu ke arah Tiang Le. Bagaikan orang yang setengah ingat, setengah sadar, Tiang Le bergulingan dan pedang itu menancap di sampingnya, mengeluarkan suara desingan keras dan menancap di tanah beberapa senti saja dari tubuh Tiang Le. Sauw Ki menjadi penasaran dan marah, ruyungnya berkelebat lagi. Dibarengi pukulan jarak jauh yang menghantam belakang Tiang Le dan untuk yang kesekian kalinya tubuh Tiang Le mengulet dan
  • 409
  • jatuh terkulai lemah. Ruyung si kakek berambut putih terangkat ke atas. Pada saat itu terdengar bentakan keras: “Tahan!” Hek-sin-tung-paycu ketua Hek-lian-pay maju ke depan. Menghampiri Tiang Le. “Dia sudah mati!” “Bagus, biar dia jadi nyaho!” “Mari kita kembali ke markas!” perintah ketua itu. “Pemuda ini, apakah tidak dibawa untuk diserahkan kepada Pay-cu Sian-li-pay?” tanya kakek kaki buntung mencongkel tubuh Tiang Le dengan kakinya. “Tak usah, dia sudah mati untuk apa dibawa-bawa, kecuali kalau ia masih hidup. Sudahlah, mari kita kembali!” Pay-cu Hek-lian-pay memapah sutenya yang lemah terluka dan dinaiki ke atas kuda dan kakek rambut putih mengangkat tubuh Jin Ho yang lemas setelah muntahkan darah banyak sekali. Setelah mereka itu pergi, udara menjadi gelap. Awan hitam dengan cepatnya bergerak menaungi tempat itu dan sebentar itu pula hujan turun dengan lebatnya. Mungkin karena tersiram air hujan, itulah yang menyadarkan Pei Pei. Ia mengeluh perlahan menyebut nama Tiang Le dan
  • 410
  • beringsut-ingsut gadis itu menghampiri Tiang Le. Hujan turun membasahi ke duanya. “Kokooo…..!” suara gadis itu demikian menyayat hati. Tangannya menggerepe mengusap tubuh pemuda buntung itu. Mengguncangkan. Tiang Le membuka matanya. Tersenyum dalam deraian hujan yang semakin menggila. Matanya melirik dan ia hanya melihat Pei Pei seorang. Tangan kiri Tiang Le memeluk gadis itu, ternyata Tiang Le belum mati seperti yang diduga oleh ketua Hek-lian-pay itu. Ini karena kehebatan tenaga sin-kang Tiang Le. Karena ia tahu tak mungkin ia bertahan lagi, cepat Tiang Le mengerahkan hawa murni dan menutup jalan darah dan mematikan raga. Demikianlah begitu pukulan-pukulan itu menyambar tubuhnya Tiang Le seakan-akan tidak merasa itu. Ia sudah mematikan raganya, ia menerima saja tubuhnya digebukin lempar sana lempar ini, sampai lawannya menduga ia sudah mati! Dengan cara inilah ia dapat selamat. Ia dapat mengelabui mata ketua Hek-lian-pay dan orang-orangnya, sehingga mereka itu menyangka ia sudah mati. Inilah yang terbaik, coba saja kalau ia masih hidup tentu Pay-cu Hek-lian-pay akan membawanya ke markas dan untuk diserahkan kepada Sian-li-pay! Tiang Le mengerahkan tenaganya yang hampir habis. Terasa badannya begitu sakit-sakit dan tiga kali ia batuk mengeluarkan
  • 411
  • darah. Pei Pei menangis. Tiang Le bangkit dan mengusap muka Pei Pei yang basah tersiram air hujan. “Pei Pei..... jangan menangis aku tidak apa-apa sayang?” “Kokooo… aku kuatir..... sekali kau kenapa-kenapa!” “Tidak apa moay-moay, mari kita ke dalam!” Tiang Le memapah tubuh Pei Pei yang terluka dalam akibat tendangan kakek buntung. Ke duanya berangkulan! Sampai di dalam kamar itu Tiang Le, roboh dan dari bibir keluar darah merah! “Tiang Le……!” Pei Pei mengangkat kepala Tiang Le dan direbahkannya. Ia sendiri cepat-cepat bertukar pakaian, sementara Tiang Le masih pingsan. Tiang Le terluka parah di dalam dadanya. Sering kali ia muntahkan darah segar. Ini membuat hati Per Pei berkuatir sekali. Gadis itu menangis di samping Tiang Le. Demikianlah selama tiga hari itu Tiang Le pingsan tak sadarkan diri. Mukanya semakin pucat pasi. Napasnya semakin lemah. Untung pada hari yang kedua itu Pei Pei sudah agak sehat dan dapat berjalan. Dengan jalan perlahan-lahan ia menuju ke toko obat. Membelinya obat tambah darah, karena mengira tentu Tiang Le kekurangan darah karena sering muntah darah. Pada hari ketiga ini Tiang Le tidak lagi muntah darah. Luka di dalam dadanya perlahan-lahan sembuh berkat siulan sambil tidur. Sebetulnya selama tiga hari itu, Tiang Le bukan pingsan, ia hanya
  • 412
  • siulan mengerahkan hawa murni menyembuhkan luka di dalam dada. Kalau saja tidak kuat pertahanannya, tentu siang-siang Tiang Le sudah pecah jantungnya. Hari keempat dan kelima Tiang Le bisa makan sedikit bubur. Bisa sedikit-sedikit berbicara dengan gadis perawatnya ini. Ia tahu bahwa selama ini gadis inilah yang merawatnya dengan setia. Terharu hatinya apabila dilihatnya Pei Pei sering menangisi dirinya. Hem, di antara seratus gadis, hanya Pei Pei lah yang patut untuk dicintai! Hari ketujuh Tiang Le sudah dapat bangkit duduk dan bercakap-cakap dengan gadis itu. Pei Pei girang sekali melihat kesehatan pemuda ini yang semakin hari semakin baik. Ia membawakan semangkok bubur untuk Tiang Le. “Makanlah bubur ini koko!” “Tarulah di meja dulu, aku belum lapar Pei-moay!” “Koko, bagaimana rasanya, baikkankah?” tanya Pei Pei prihatin. “Jangan kuatir Pei-moay, aku akan sembuh. Hanya tinggal lemasnya saja ini….. ah!” “'Syukurlah koko……!” Pei Pei setengah berbisik, tak sengaja ia melirik ke arah lengan kanannya yang buntung. Tiang Le menarik napas dalam: “Beginilah moay-moay setelah lenganku buntung, bukan saja aku menjadi seorang pemuda
  • 413
  • cacad, akan tetapi ahhhh……, tentu arwah suhu akan penasaran sekali, aku tak dapat membalas dendam, aku murid tak berbakti!” Mendengar suara Tiang Le yang berputus asa, pecahlah bendungan air yang sejak tadi ditahan-tahan. Gadis itu mengeluh lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Tiang Le duduk di pembaringan, memeluk kedua kaki pemuda itu dan menangis tersedu-sedu. “Tiang Le.......kookoooo…. kau....... kau untuk apa kau melibatkan dirimu dengan permusuhan yang membahayakan dirimu saja. Biar lenganmu buntung, biar engkau menjadi pemuda tanpadaksa, aku….. mencintaimu Kokooo!” Tak kuat hati Tiang Le, menahan air mata yang turun bertitik-titik ketika ia menunduk dan memandang kepada Pei Pei yang kusut rambutnya. Ia mengangkat kepala itu, memandang wajah yang basah itu! “Pei-moay, kau tahu, dengan lenganku buntung, Aku…… aku tak dapat lagi mempermainkan pedang. Ahh, moay-moay baru saja aku hampir binasa oleh Pay-cu Hek-lian-pay itu, karena aku tak dapat melawan, jangankan untuk melindungimu moay-moay, setelah lenganku ini buntung, ahh, apa yang dapat kuperbuat lagi.” Pei Pei menggigit bibirnya memandang wajah pemuda yang tengah diliputi kedukaan besar. Matanya berkaca-kaca. Mereka berpandangan melalui air mata, kemudian bagaikan besi sembrani yang saling menarik, ke duanya berangkulan dan bertangisan dalam pelukan. Dengan air mata mereka membasahi muka masing-masing.
  • 414
  • “Pei-moay, aku menjadi orang yang tak berguna kini!” “Koko! Begitu besar hasratmu untuk bisa bermain pedang?” Pei Pei bertanya dengan suara tersendat dalam isak. “Tak mungkin aku bisa bermain pedang lagi, Pei-moay!” Pei Pei tak menyahut. Air matanya bercucuran deras. Berderai jatuh dipangkuan pemuda itu. Sambil mengusap air matanya Pei Pei bangkit berdiri berjalan ke sebuah lemari besi dan mengeluarkan sebuah kitab tebal yang nampaknya sudah tua dan kotor. “Koko, kitab ini kudapat waktu aku masih kecil, sebagian sudah terbakar, kau pelajarilah koko, barangkali berguna untukmu,” dengan mata basah menyerahkan kitab itu Dengan dada berdebar Tiang Le menerima buku yang disodorkan oleh gadis itu, sebuah buku tebal yang sudah lapuk dan berwarna kekuning-kuningan. Dan di bagian lain nampak bekas lembaran-lembaran yang sudah terbakar. Ia heran memandang gadis di depannya ini. “Pei-moay!?” tanyanya tak mengerti. Pei Pei meraih buku tua itu dari tangan Tiang Le dan berkata, “Buku tebal ini adalah milik ayah dulu, sengaja kusimpan baik-baik karena dengan buku ini mempunyai riwayat dalam hidupku. O ya, ada lagi sebuah pedang. Pedang itu adalah pedang buntung...... tunggu aku akan mengambilnya.”
  • 415
  • Pei Pei memberikan lagi buku tebal itu kepada Tiang Le dan berlalu ke lemari besi mengeluarkan sebuah benda yang terbungkus oleh kain kuning. Pei Pei membuka bungkusan kain kuning itu. Adalah sebuah pedang pendek, pedang buntung. Akan tetapi begitu dibuka oleh gadis itu dari sarungnya, nampak sebuah sinar kebiru-biruan yang memancar dari kilatan pedang yang telanjang itu. Debaran dada Tiang Le bertambah kencang. Ia turun dari pembaringan dan menghampiri Pei Pei. Mengambil pedang buntung yang mengeluarkan cahaya kebiru-biruan itu. “Dari mana kau mendapatkan kitab dan pedang ini Pei-moay,” Tiang Le bertanya heran. Menimang pedang pendek. Hawa dingin yang memancar dari cahaya sinar pedang itu membuat pemuda itu memperhatikan lebih seksama. Inilah pedang pusaka buntung, yang pernah mendiang suhunya ceritakan padanya. Heran, dari mana Pei Pei mendapatkan semuanya ini?” “Ceritanya panjang koko….. kitab dan pedang ini mempunyai riwayat hidupku. Mari kau duduklah koko....... biar sambil duduk ini kau sambil mendengarkan ceritaku,” Pei Pei menarik tangan Tiang Le memapah duduk di tempat tidur, sedang ia sendiri menyeret kursi ke dekat tepi pembaringan. Di depan Tiang Le gadis itu bercerita. “Ayahku dulu, pada beberapa belas tahun yang lalu adalah seorang piauwsu, pengantar barang-barang, bernama Cia Teng
  • 416
  • Kok,” demikian Pei Pei bercerita didengar oleh Tiang Le dengan penuh perhatian. <> Siapakah Cia Pei Pei ini? Pada tujuh belas tahun yang lalu, gadis yang sekarang bernama Cia Pei Pei ini masih kecil dan berusia sekitar tiga tahun. Ayahnya adalah seorang Piauw-su yang gagah perkasa dan jujur, bernama Cia Teng Kok. Karena kegagahan dan kejujuran inilah yang membuat orang she Cia ini maju di dalam usaha ekspedisi yang dipimpin olehnya. Banyak para pedagang menitipkan barang kepadanya untuk dikirim keluar daerah. Tentu saja karena orang she Cia ini sering bepergian, maka jarang sekali ia didapati dirumahnya. Piauw-kiok (ekspedisi)nya yang terkenal itu bernama Kawan Tua. Ekspedisi ini maju pesat di bawah pimpinan Cia Teng Kok. Pada suatu hari, ketika mereka itu melalui daerah perbatasan Fu-nian, rombongan ekspedisi ini dikejutkan oleh kedatangan seorang yang amat tua dan dalam keadaan yang terluka ia berkata memohon kepada Teng Kok, “Cia-piauwsu, tolonglah……, kutitipkan ini… kau.... kau selamatkanlah cepat!” Orang tua yang nampaknya terluka hebat itu dengan tangan gemetar memberikan sebuah bungkusan. Teng Kok menerimanya
  • 417
  • bungkusan ini dengan heran: “Lopek..... apa maksudmu dikirim ke mana barang ini?” Orang tua itu terengah-engah menggoyang-goyangkan tangannya, “Simpanlah....... simpanlah, ja… jangan sampai terjatuh ke dalam….. tangan orang-orang jahat……. cepat!” Sementara suara kaki kuda terdengar mendatangi. Teng Kok yang cerdik segera memasukkan benda yang terbungkus kain kuning itu ke balik jubahnya dan orang tua yang nampaknya kelelahan itu tersenyum dan sekali gerakkan tubuhnya, tahu-tahu tubuh orang tua itu sudah memapaki orang berkuda, berdiri dengan tegak dan kaki terpentang. Seorang penungang kuda yang berjambang bauk itu menudingkan goloknya, membentak: “Orang she Lim, hayo serahkan kitab dan pedang itu kalau tidak ingin nyawamu melayang!” “Ha ha ha, Sin-kiam-ong Song Tek Hay kau sudah terkenal sebagai Raja Pedang Sakti, mengapa masih penasaran mauin pedang buntung dan kitab, untuk apa?” “Jangan banyak cerewet, serahkan pedang itu!” Golok di tangan kiri penunggang kuda bercambang bauk menyambar diiringi sinar pedang berkelebat dari tangan kanannya. Meskipun orang tua ini nampak terluka, akan tetapi ia masih cukup gesit untuk menghindari serangan golok dan pedang mencelat ke kanan dan balas memukul dengan pukulan tangan kosong. “Setan! Kau kepingin dimampusin?”
  • 418
  • “Sin-kiam-ong….. kau mendesakku selalu....... terlalu! Apa kau kira pedang dan kitab itu ada di tanganku?” “Jangan banyak cakap, hayo serahkan kitab dan pedang, kalau kau masih membangkang jangan harap Sin-kiam-ong Song Tek Hay bertindak keterlaluan kepadamu. Aku sudah cukup sabar Lim Sin Jian, kalau tidak…… hemm, aku tidak memandang mata lagi kepadamu orang tua!” “Ha ha ha, Sin-kiam-ong……! Kau katakan tidak ingin memandang mata kepadamu, omong kosong saja kau. Buktinya kau sudah memaksaku…… aku… aku sudah terluka oleh pukulan Jiu-pek-ciangmu yang dahsyat itu....... mengapa kau mendesakku sih? Pedang dan kitab itu tidak ada di tanganku harap kau mengerti dong!” “Tua bangka bajingan, siapa yang percaya omonganmu! Baik, kalau kau tidak juga serahkan kitab dan pedang itu, terpaksa pedangku ini berbicara!” Amat cepat sekali gerakan si Raja pedang sakti ini sehingga sambil berseru kaget kakek Lim Sin Jian cepat mengegoskan diri ke samping, akan tetapi pedang sakti itu demikian cepatnya menyambar dan berkelebat tahu-tahu tubuh kakek she Lim itu sudah terhuyung-huyung dan....... dan terjerembab ke depan sambil memegang dada yang tersambar pedang. “Berikan kitab dan pedang!” “Ha ha ha….. kakek she Lim bangkit berdiri sambil memegangi dada kiri tertawa menuding ke arah Sin-kiam-ong Song Tek Hay,
  • 419
  • “Kau, kau…. jahat dan kejam dan tamak….., tak mungkin mendapatkan pedang dariku…. ha ha.” “Sratt!” sekali pedang orang she Song itu berkelebat darah merah muncrat dari leher kakek Lim yang tertawa terbahak-bahak. Sebuah kepala menggelinding jatuh, disusul dengan robohnya tubuh tua itu berkelonjotan sebentar dan mati! Melihat adegan ini Cia Teng Kok berseru marah dan menarik pedangnya, “Orang gila kau keji dan telengas, aku Cia Teng Kok tak dapat menerima kekejaman ini!” Song Tek Hay menoleh kepada piauwsu ini dan tertawa: “Ha ha ha..... kiranya Cia-piauwsu yang berada di sini, pantas si tua bangka she Lim itu tenang-tenang saja matinya. Nggak tahunya pedang dan kitab sudah diserahkan kepadamu, ya?” “Jangan ngaco, tidak ada pedang dan kitab!” “Kau tidak mengaku, biar aku periksa barang-barangmu ini!” “Lancang! Siapapun tidak boleh menyentuh barang-barang kiriman ini..... disini tidak ada pedang dan kitab!” Cia Teng Kok membentak marah menghadang gerobak kiriman barang. Lima orang anak buah kepala piauwsu sudah mencabut senjatanya masing-masing. “Aku tak ingin bertempur orang she Cia, cuma aku inginkan pedang dan kitab. Biarkanlah aku memeriksa barang-barang ini,” berkata demikian si raja pedang sakti Song Tek Hay mencelat ke atas
  • 420
  • gerobak barang dan sekali pedangnya bekerja kain terpal yang menutupi barang-barang itu sudah terobek besar. “Kurang ajar!” Salah seorang dari ke lima piauwsu itu menerjang dengan golok di tangan. Akan tetapi hebat memang si raja pedang sakti Song Tek Hay ini, begitu dari belakang didengarnya suara golok menyambar. Tanpa melihat ke belakang, pedangnya menyambar dan terdengar teriakan ngeri dari seorang piauwsu yang terbabat tangan kanannya dengan pedang, darah merah mengucur deras. Melihat kekejaman orang bercambang bauk ini, marahlah hati Cia Teng Kok dan bersama-sama ke empat anak buahnya mereka menerjang maju dan mengelebatkan pedangnya menerjang orang bercambang bauk yang telah membuntungi lengan kawannya. Akan tetapi, sama seperti tadi begitu si raja pedang bergerak. Pedangnya berputar cepat dan tahu-tahu ke empat piauwsu telah mati dengan kepala terpisah dari badannya. Darah merah membanjiri membasahi pinggiran gerobak barang. Teng Kok terkejut bukan main melihat kelihaian pedang lawannya ini. Dengan sengit ia menerjang lagi maju sambil membentak keras: “Mampus kau!” “Ha ha ha! Hebat juga permainan pedangmu Cia-piauwsu, akan tetapi, tetap saja kau akan kehilangan nyawa jika kau tidak menyerahkan pedang dan kitab itu.”
  • 421
  • Teng Kok tidak menyahut, ia mainkan pedangnya. Pedangnya berkelebat cepat merupakan sambaran kilat menusuk dada si raja pedang sakti Song Tek Hay, akan tetapi begitu Tek Hay mengegoskan tubuhnya sedikit, pedang Teng Kok melesat di samping iganya dan menyusul sebuah sentilan membuat pedang Teng Kok terlepas. Melihat bahwa lawannya ini lihay tentu saja bukannya menjadi mundur malah orang she Cia yang gagah ini menerjang lagi dengan pukulan tangan kanan kiri dan tendangan kaki. Memang Teng Kok ini pernah mempelajari ilmu silat dari cabang Bu-tong-pay, sedikitnya ia lebih lihay dari pada para piauwsu-piauwsu yang lain. Oleh sebab itu ia tidak takut menghadapi si raja pedang yang lihay ini. Melihat kenekatan kepala piauwsu itu. Tek Hay jadi marah dan begitu pedangnya berkelebat, tahu-tahu tubuh Teng Kok terlempar dengan kaki kiri buntung. Teng Kok menjerit ngeri dan menahan sakit. Ia memandang orang bercambang bauk yang demikian lihai ilmu pedangnya ini. Tiba-tiba pikirannya teringat kepada bungkusan kuning yang tadi diserahkan oleh orang tua she Lim itu kepadanya. Jangan-jangan di dalamnya ini adalah pedang dan kitab. Celaka kalau kitab dan pedang ini terjatuh ke dalam tangan orang yang demikian lihai dan kejam seperti Tek Hay itu. Berbahaya sekali! Aku harus menyelamatkan benda yang tersembunyi di dalam jubahku ini, pikir Teng Kok. Ia merangkak bangun. Seluruh baju dan celananya yang putih sudah berlopotan oleh darahnya sendiri.
  • 422
  • Si Raja pedang sakti Song Tek Hay maju menghampiri. Kakinya menendang sambil membentak: “Cia piauwsu, serahkan pedang dan kitab itu!” Tubuh Teng Kok terlempar. Sebuah sungai mengalir deras di sampingnya. Aku harus menyelamatkan diri, pikir Teng Kok, dan dengan sekali menggerakkan tubuhnya tahu-tahu ia sudah melompat ke dalam air sungai dan terus tenggelam dengan amat cepat sekali. “Srat srat srat!” Tek Hay terkejut sekali melihat kenekatan lawan yang tak diduga-duga mencebur ke sungai. Tiga kali tangannya bergerak pisau terbang menyambar ke dasar sungai. Nampak darah merah membubus mengalir bersama-sama air sungai. Tek Hay berdiri di pinggir sungai mengawasi air yang merah itu. Ia mempunyai keyakinan tentu kepala piauwsu ini telah tewas, maka dengan hati kecewa dan marah ia berkelebat meninggalkan sungai itu. Matikah Cia Teng Kok terbawa arus sungai yang deras itu? Tidak. Biarpun orang she Cia ini sudah merasakan tubuhnya kaku dan nyeri, ia tetap mempertahankan diri. Ia pandai sekali berenang sebab itu, begitu tubuhnya menyelam ke dalam sungai, ia memberatkan tubuhnya dan berjalan di dasar sungai. Baru setelah agak jauh, ia mumbul kembali dari permukaan sungai itu. Dan dengan napas yang terengah-engah ia naik ke atas sungai. Dan berjalan terpincang-pincang menuju rumah.
  • 423
  • Beberapa kali ia jatuh pingsan, akan tetapi apabila ia mengingat kitab dan pedang, ia terus berjalan, jatuh bangun. Dan begitulah seterusnya menahan rasa nyeri yang hebat. Wajahnya pucat dan lemah. Kasihan sekali, betapa hebat penderitaan orang she Cia ini. Berkat semangat dan kemauan untuk sampai di rumah, akhirnya sampailah ia di rumahnya. Dan pingsan! Cia Pei Pei, yang baru berusia tiga tahun itu menangis melihat ayahnya terguling di depan rumah. Can Mama, seorang tua pembantu rumah tangga Cia piauwsu memburu ke arah tubuh majikannya dan mengangkatnya. Akan tetapi, tubuh Cia Teng Kok sudah demikian amat lemah. Napasnya sudah payah sekali. Wajahnya sudah pucat seperti kertas. “Ayah…..!” Pei Pei menangis mengguguk melihat keadaan ayahnya ini. Can Mama cepat mengurut-urut dada majikannya yang sesak bernapas, pelayan tua ini menjerit kecil kaget melihat kaki majikannya sudah buntung dan membengkak. “Loya…..! Loya (tuan) mengapa kau jadi begini…?” “Ayah…..!” Air mata Pei Pei bercucuran. Memeluki ayahnya. Begitu Cia Teng Kok sadar, ia batuk-batuk dan mengurut-urut dadanya dibantu Can Mama, pelayannya, “Pei-jie (anak Pei)….., kasihan….. kau se..... setelah ibumu meninggal… kau…., kau.......”
  • 424
  • “Ayah……. Ayah…!” “Loya....... istirahatlah... biar aku cari obat dan panggil shinse... kau terluka berat, ah, kau jadi begini……. siapakah orangnya yang membuatmu begini?” “Can Mama…... kau pelayan disini sudah lama, kau baik sekali…. aku terluka berat….. tak mungkin……” “Loya… jangan berkata begitu. Kau mesti sembuh kasihan Pei Pei masih kecil…..” Can Mama mengurut-urut dada tuannya. Cia Teng Kok batuk darah, si pelayan tua terkejut bukan main mengambil kain dan menyusut mulut tuannya yang berlumuran darah. “Can… Ma… ma… ma aku tak tahan Pei Pei…!” tangan Teng Kok menggerepe mengusap kepala Pei Pei yang menangis mengguguk sambil menyebut-nyebut ayahnya. Can Mama menjadi bingung sekali melihat keadaan tuannya yang amat menguatirkan ini. Ia bangkit berdiri dan hendak cepat-cepat memanggil shinse, akan tetapi tangan tuannya menggeleng-geleng mencegah. “Tidak usah….. Can… mama....... tak usah….. kau ke marilah!” Cia Teng Kok berkata lemah terbatuk-batuk lagi. “Aku tak dapat lama hidup, kau bawa Pei Pei pergi mengasingkan diri ke sebuah dusun sunyi dan rawatlah Pei Pei sebagai anakmu,
  • 425
  • dan kau bawa ini bungkusan. Ini jangan berikan kepada orang lain, simpan....... ahhh ughh. “Ayahhh…..” “Loya, loya!” Air mata Pei Pei membanjir turun menggigit bibirnya untuk menahan tangisnya di depan pemuda buntung yang memandangnya dengan dada penuh haru! “Setelah ayahku meninggal, aku diajak Can Mama ke tempat ini, di dusun inilah aku dibesarkan oleh Can Mama, pembantu rumah tangga ayah yang baik hati.... Akan tetapi, iapun meninggal beberapa tahun yang lalu….. Bungkusan ini kusimpan…... karena bungkusan inilah yang membuat ayah mengorbankan nyawanya. Tiang Le tertunduk membaca huruf yang tertera pada sampul kitab yang dipegangnya, “Hemm, kitab ini adalah kitab pelajaran silat… “Memang kitab itu adalah kitab pelajaran silat, akan tetapi aku tak pernah mempelajarinya. Can Mama melarangku untuk belajar silat. Can Mama tidak menghendaki aku membalas dendam, makanya sampai sekarang kitab dan pedang ini kusimpan saja... Koko, kalau kau berminat boleh kau coba-coba pelajari kitab ini, barang kali saja berguna bagimu.” “Terima kasib Pei-moay, mudah-mudahan saja!” Dengan tangan kiri Tiang Le membuka lembaran kitab itu. Ia harus hati-hati membukanya kalau tidak akan hancur kepingan-kepingan
  • 426
  • kertas yang sudah tua dan kuning. Sebagian huruf-hurufnya nampak yang tidak nyata, akan tetapi gambar-gambar yang tertera di dalamnya masih jelas betul dan mudah dimengerti.” Tiang Le membaca tiga buah kalimat yang membagi bagian-bagian dalam buku ini, ia membaca perlahan didengar oleh Pei Pei: “Sian-tien-jiu, gerak tangan kilat, Tok-pik-kun-hoat, ilmu silat tangan buntung, Ji-cap-it-sin-po, duapuluh satu langkah-langkah ajaib.” Terkejut dan girang hati Tiang Le membaca huruf-huruf itu. Ia membuka perlahan-lahan lembaran-lembaran yang berisi gambar-gambar orang bermain silat. Ternyata cocok seperti keadaannya orang dalam gambar itu juga adalah seorang yang buntung lengan kanannya, gerakan-gerakannya itu yang menggunakan tangan kiri disebut Sian-tien-jiu (Gerak tangan kilat) dan bagian gambar-gambar yang lain memperlihatkan lukisan-lukisan orang bersilat dengan memakai pedang buntung di tangan kiri dan ilmu silat pedang itu disebut Tok-pik-kun-hoat dan Tok-pik-kiam-hoat! Girang sekali melihat kenyataan ini. Dengan serta merta ia turun ke pembaringan dan menggerak-gerak tangannya menurut gambar yang dilihatnya. Akan tetapi Pei Pei mencegahnya: “Koko..... kuharap kau berlatih setelah kau sembuh benar.” Tiang Le mengangkat dagu Pei Pei dan dikecupnya. “Jangan kuatir Pei-moay..... besok juga pasti aku sudah sembuh......., besok pagi-pagi sekali aku akan berlatih.”
  • 427
  • “Eh, mengapa secepat itu?” “Mengapa tidak?” “Kau masih lemah koko……” suara Pei Pei cemas. Tiang Le tertawa, “Justru aku diam saja di ranjang ini yang membuatku lemas, tidak bergerak tubuhku. Lihat besok pasti aku akan segar bugar!” “Betulkah koko?!” “Mengapa aku bohong? Pei Pei badanku lemah karena aku kurang bergerak, memang selalu banyak istirahat dan tidur melulu juga nggak baik..... eh kau tahu Pei-moay, ilmu silat tangan buntung gerak tangan kilat dan langkah-langkah ajaib!” Setitik air mata Pei Pei meloncat girang melihat kekasihnya demikian semangat untuk melatih diri dengan kitab pemberiannya. Dalam hatinya itu ia berdoa: “Koko..... mudah-mudahan kau berhasil menjadi seorang pendekar lengan buntung, seorang yang berbakti untuk masyarakat dan bangsa! Ah betapa senangnya........ hatiku, tak ada kesukaran yang besar selain melihatmu bahagia seperti ini!” ◄Y► 12 Kong Hwat benar-benar menjadi kewalahan menghadapi gadis Sian-li-pay ini. Ia seperti seorang ayah yang menghadapi seorang
  • 428
  • anak perempuan yang nakal, yang sering nyambek dan membuatnya bingung. Berkali-kali ia menyabarkan hati gadis ini, namun Sianli-eng-cu Soan Li bukannya menjadi lembut malah semakin galak. Untung saja setelah nenyeberangi laut Po-hay, kawan-kawannya Ho Siang, Bwe Lan dan Sian Hwa berpencar. Ho Siang pergi menyelidiki keadaan Nyuk In kembali ke pulau, sedangkan Bwe Lan dan Sian Hwa diam-diam mengambil jalan masing-masing untuk mencari pemuda Lengan Buntung Sung Tiang Le, pemuda yang amat dikasihi itu. Sedangkan Kong Hwat dibiarkan meneruskan perjalanannya bersama Han Soan Li yang selama perjalanan itu terus menerus marah-marah dan kadang-kadang mengajaknya bertempur. Kadang-kadang Soan Li ngomel memaki-maki Kong Hwat. “Kau curang! Mengandelkan ilmu setan, menenggelamkan perahu. Coba sekarang di darat berani kau melayani permainan cambukku?” “Nona Soan Li sudah dong jangan marah-marah, kau kenapa sih marah-marah melulu ingat, orang pemarah lekas tua!” Kong Hwat menggoda, akan tetapi ia harus cepat-cepat menggerakkan tubuhnya karena tanpa bilang sesuatu apa-apa, Soan Li sudah menerjang mengirimkan pukulan tangan kiri. “E, e, e,….. ngamuk lagi jangan gitu ah!”
  • 429
  • “Kunyuk! Kau menyebut-nyebut namaku Soan Li, Soan Li. Emang namaku Soan Li! Aku Sianli-eng-cu dari Sian-li-pay kau tahu?” Han Soan Li merengut. “Memang kau Sian-li-eng-cu, nona gagah perkasa dari Sian-li-pay, murid Pay-cu Bu-tek Sianli..... akan tetapi aku lebih suka memanggil namamu Han Soan Li, alangkah indahnya namamu, lebih indah dari sebutan bidadari yang turun dari langit!” “Kau memang pengecut!” Soan Li memaki, “beraninya kau di laut dan secara curang menggulingkan perahu sehingga aku tak berdaya. Hemm kalau kau gagah, sekarang lawan aku! Kuyakin sabukku ini akan menjirat lehermu dan mampus!” Kong Hwat menoleh. Ia berhenti. Merasa bahwa udara di siang hari ini memang agak panas terik, alangkah nyaman duduk di bawah pohon ini di antara semilir angin kering berhembus. Berpikir demikian Kong Hwat duduk di akar sebatang pohon yang menonjol memandang Soan Li yang tengah merengut. Melihat gadis galak ini merengut dingin, bibir setengah ditarik dan pandangan mata yang berapi-api berkilau, Kong Hwat jadi terpesona memandang si gadis bagaikan orang kena hikmat. Dada pemuda itu berdebar keras memdenyar-denyar. Sementara Soan Li jadi bertambah uring-uringan kesal dipandang seperti itu. Gadis itu membanting-bantingkan kakinya: “Kau ceriwis!” “Nona Soan Li mengapa kau benci betul denganku?”
  • 430
  • “Aku harus membunuh kau!!” “Membunuh…?” Kong Hwat bertanya menudingkan jari telunjuknya ke dadanya sendiri. Alisnya terangkat naik seperti orang terperanjat kaget. “Ya, aku harus membunuhmu. Kau pengecut curang!” “Apanya yang curang, apanya yang pengecut! Aku? Aku pengecut?” Kong Hwat menggeleng-gelengkan kepala: “Kata pengecut tidak ada dalam kamus hatiku!” Soan Li meloncat ke depan, sabuk merahnya bergetar di tangan, “Bagus… kalau tidak mau dikatai pengecut, hayo lawan aku. Mari kita bertanding sampai seribu jurus!!” “Nona….., aku....... aku tidak ingin berkelahi denganmu!” “Tapi aku harus membunubmu, aku tak senang kau berlaku curang menenggelamkan aku ke laut! Hayo hadapi aku!” “Aku tak sengaja menenggelamkanmu, hanya…… hanya aku waktu itu ingin menaklukkanmu dan........ dan tidak ingin melukaimu!” “Artinya kau pengecut, beraninya hanya di air, di darat kau takut, Hu, manusia pengecut! Pengecut!”
  • 431
  • Merah wajah Kong Hwat, betapapun ia mengagumi gadis ini dan tidak ingin berkelahi, akan tetapi bagi seorang gagah seperti dia pantang dikatai pengecut, Makian ini tak boleh diterima. Kong Hwat maju selangkah. Ia tersenyum pahit dan berkata: “Kau terlalu Soan Li, beberapa kali aku selalu mengalah terhadapmu, namun kau selalu mengataiku pengecut. Aku bukan pemuda seperti dugaanmu, aku bukan pengecut!!” “Kalau bukan pengecut mengapa kau tidak berani bertanding denganku? Takut sabukku ini merenggut nyawamu?” “Aku tidak takut....... seandainya aku kalah dan nyawaku melayang, aku akan pergi dengan senang hati, akan tetapi….. aku… aku tak ingin berkelahi denganmu Sianli, jangan kau mendesakku. Marilah duduk kita mengobrol di sini……” “Setan! Aku bukan tukang ngobrol….. Siapa sudi mengobrol denganmu, ahhh….. tak perlu mengadu lidah, lihat seranganku!” Sambil membentak demikian Soan Li telah maju menerjang dengan gerakan sabuk sutera merah yang tiba-tiba meluncur menjadi kaku seperti sebatang tongkat dan menyerang dahsyat. Akan tetapi serangan ini membuat Kong Hwat hampir berseru terkejut karena sabuk sutera yang menerjang seperti tongkat itu dengan tepat sekali menyerang ke arah jalan darahnya. Ah, tidak tahunya gadis Sian-li-pay ini adalah ahli tiam-hoat (ilmu menotok jalan darah) maka ia segera mengelak dengan cepat. Serangan kedua dan ketiga menyusul cepat dan semua serangan tertuju ke arah jalan darah yang berbahaya.
  • 432
  • “Lihay!” Kong Hwat memuji dan iapun segera mencabut tongkatnya untuk mempertahankan diri karena ternyata gadis ini betul-betul hendak merobohkannya dan lagi tangguh. Melihat bahwa pemuda itu hanya melayaninya dengan sebatang ranting kering di tangan, Soan Li bertambah marah dan terhina. Masa ia yang terkenal di Sian-li-pay sebagai murid tersayang dari Bu-tek Sianli kini hanya dihadapi oleh permainan ranting kering di tangan pemuda itu, betul-betul menghina. Dengan menjerit keras gadis ini menerjang dahsyat, sabuk suteranya bagaikan ular merah yang menyambar-nyambar. Akan tetapi begitu terpukul oleh ranting kering di tangan Kong Hwat terkejutlah ia karena merasa telapak tangannya menjadi perih dan sakit. Dasar Soan Li berwatak keras dan pantang menyerah, melihat bahwa lawannya benar-benar tangguh dan pandai, ia tidak menjadi sungkan-sungkan lagi. Berkali-kali nampak sinar jarum beracun menyambar lembut dari tangan kiri si gadis, akan tetapi Kong Hwat dapat memukulnya runtuh atau dengan kibasan lengan bajunya! Terkejut sekali ia karena lawannya benar-benar hendak mengambil nyawanya. Terkejut ia karena permainan sabuk di tangan gadis itu semakin dahsyat dan terpaksa Kong Hwat mainkan jurus-jurus ilmu tongkat yang pernah dipelajarinya dari suhunya Koay lojin yang bernama Fu-niu-san-tung-hoat (ilmu tongkat dari gunung Fu-niu). Maka bertempurlah mereka dengan seru!
  • 433
  • Kong Hwat memainkan tongkat rantingnya dengan cermat dan hati-hati. Ia kagum juga melihat permainan sabuk sutera dari gadis Sian-li-pay ini. Sabuk itu kadang-kadang seperti ular hidup yang bermata dan licin, di lain saat sabuk merah itu seperti tongkat yang keras dan kuat. Maka ia melawan dengan hati-hati dan waspada. Sebaliknya melihat bahwa kepandaian pemuda ini demikian lihay permainan ranting kering sebagai tongkat kecil itu Soan Li menjadi kesal dan penasaran dan memainkan sabuk suteranya dengan nekat, seakan ia seorang yang telah terlanjur berbuat sesuatu kesalahan yang tak mungkin dapat dimaafkan lagi. Memang aneh betul gadis ini, hatinya sekarang menyesal, mengapa ia mati-matian untuk memaksa pemuda lawannya ini bertempur pada hal kepandaiannya ternyata di bawah tingkat pemuda itu. Hemm, akan tetapi aku tak perlu mengalah, masakan aku kalah sama dia! Melihat kenekatan gadis ini Kong Hwat lalu memperlihatkan kepandaiannya berkelahi dengan mempengunakan ilmu tongkat ciptaan Koay Lojin yang terlihai, sebentar saja gadis itu nampak sudah terdesak oleh serangan-serangan tongkat ranting Kong Hwat yang bertubi-tubi itu. Si gadis bertambah marah ia mengeluarkan lengking tinggi, lengking yang biasanya untuk memanggil kawannya. Ia mengeluarkan lengkingan ini karena saking jengkelnya, permainan sabuknya berkelebat luar biasa, sementara tangan kirinya bersiap-siap melempar sianli-tok-ciam (jarum beracun bidadari).
  • 434
  • Kong Hwat tahu. Kalau ia mau tentu ia akan dapat mengalahkan gadis ini secepat mungkin akan tetapi entah mengapa ia tak tega untuk mengalahkan gadis. Ia tahu gadis ini takkan mudah menyerah dan lagi keras hati. Bagaimana jadinya kalau ia kalahkan gadis itu, tentu Soan Li akan bertambah penasaran lagi. Maka lebih baik ia mengalah saja dari pada Soan Li terus menerus mengamuk. Pada saat sabuk sutera yang lihai di tangan gadis itu menyambar tongkatnya, sengaja Kong Hwat menggunakan gerakan menekan ke bawah dan sebentar saja tongkatnya sudah dibelit oleh sabuk itu. Soan Li membentak keras membetot kuat tahu-tahu tubuh Kong Hwat melayang ke atas saking kuatnya tarikan dari ujung sabuk yang dipenuhi tenaga lwekang tingkat tinggi. Pada saat tubuh pemuda itu melayang di udara itulah dua kali tangan Soan Li bergerak, puluhan jarum beracun menyambar pemuda itu. Kong Hwat terkejut sekali melihat jarum-jarum halus menyambar ke tubuhnya. Sebetulnya ia tidak menduga sama sekali kalau Soan Li melemparkan jarum-jarumnya pada saat tubuhnya melayang di udara. Dengan kaget dan cepat Kong Hwat menggerakkan lengan bajunya menangkis, beberapa jarum runtuh ke tanah akan tetapi saking banyaknya jarum-jarum itu menyambar, dua di antaranya tepat menancap pundaknya. Kong Hwat mengeluh dan terguling. Kedua tangannya terasa kaku dan gatal-gatal, segera Kong Hwat mengerahkan lwekang di pundak, akan tetapi ia menjerit lagi, jarum yang masuk ke bagian pundaknya demikian luar biasa, tak tahan lagi ia roboh!
  • 435
  • Pada saat itu terdengar suara tertawa keras. “Ha ha ha, bagus, bagus sekali Sianli, pemuda inilah yang juga pernah mengacau Sian-li-pay…... hayo tangkap dia!” Soan Li menoleh, ternyata yang tertawa itu adalah Thay-lek-hui-mo dan beberapa anak buah Hek-lian-pay. Seperti kita ketahui setelah Thay-lek-hui-mo ini gagal menangkap Nyuk In, dengan uring-uringan ia menyelidik ke sekitar daerah itu. Dan secara kebetulan sekali ia melihat anak buah Sian-li-pay sedang bertempur dengan pemuda yang menurut penyelidikannya pernah mengacau Sian-li-pay. Memang Bu-tek Sanli lihay dan cerdik, ia menyebarkan berita tentang orang-orang muda yang mengacau di Sian-li-pay itu dengan cukup jelas sehingga begitu melihat cara pemuda itu memainkan tongkat rantingnya tahulah ia bahwa pemuda ini tak salah lagi tentu murid Koay Lojin salah seorang anak muda yang mengacau Sian-li-pay, maka begitu dilihatnya Kong Hwat roboh terkena jarum beracun Soan Li....... hwesio gendut ini lalu menampakkan dirinya! Soan Li yang tidak mengenal Thay-lek-hui-mo menjadi terkejut sekali. Ia melihat tiga orang anak buah Hek-lian-pay hendak meringkus Kong Hwat. Dengan marah sekaili ia menggerakkan sabuk suteranya dan tahu-tahu ke tiga orang itu telah roboh dalam totokannya. Thay-lek-hui-mo heran sekali memandang gadis yang diduganya adalah anak buah Sian-li-pay. “Eh, kenapa kau merobohkan anak buah Hek-lian-pay?”
  • 436
  • “Kau siapa..... mengapa mencampuri urusanku!” bentak Soan Li marah. Diam-diam kenapa hatinya menjadi kuatir akan pemuda yang terkena jarumnya itu. Ia menyesal sekali telah menyambitkan jarumnya melukai pemuda itu. Akan tetapi sekarang kekesalannya ini ditumplekkan kepada hwesio gendut ini. “Nona bukankah kau murid Bu-tek Sianli dari Sian-li-pay, mengapa kau merobohkan tiga orang Hek-lian-pay?” “Tidak ada urusannya Sian-li-pay dengan Hek-lian-pay, hayo kalian pergi, jangan mencampuri urusanku!!” “Ha ha ha, nona keliru, pinceng betul bukan anggota Hek-lian-pay, akan tetapi baru saja tadi kami diberi perintah oleh Bu-tek Sianli untuk menangkap pemuda ini, juga orang-orang Hek-lian-pay sudah dihubungi oleh Pay-cu itu. Jadi kami berhak menawan pemuda ini untuk diserahkan kepada Pay-cu Sian-li-pay!” Thay-lek-hui-mo maju hendak menangkap leher Kong Hwat, akan tetapi Soan Li sudah menggerakkan sabuk suteranya dan tahu-tahu tubuh pemuda itu sudah melayang jatuh ke dekatnya. Soan Li menotok pemuda itu dan mengepitnya. “Pemuda ini aku yang merobohkannya, tak perlu kau mencampuri urusan Sian-li-pay lagi, aku hendak membawa dia ke Sian-li-pay!” Soan Li hendak meloncat pergi, Thay-lek-hui-mo berkelebat dan tahu-tahu telah berada di hadapannya.
  • 437
  • “Ha ha ha…… enak betul kau bicara nona, mana boleh kau sendiri yang membawa pemuda itu, biarlah pinceng dan orang-orang Hek-lian-pay yang membawanya.......” “Tidak!” Soan Li membentak marah, sementara hatinya berkuatir bukan main melihat keadaan pundak dan leher Kong Hwat sudah menghitam dan pemuda itu pingsan dalam kempitannya. Aku harus cepat menolongnya, kalau tidak bahaya sekali kalau racun Sianli-tok-ciam itu menjalar ke jantungnya. Amat berbahaya, pikir Soan Li yang tiba-tiba begitu merasa cemas hatinya. Heran mengapa ia kini cemas dan kuatir, bukankah ia sendiri yang melukainya? Aneh! Thay-lek-hui-mo menghampiri Soan Li. “Nona harap kau tinggalkan pemuda itu!” “Tidak, aku yang merobohkannya, aku yang berhak membawanya ke Sian-li-pay, enak saja kau…… setelah pemuda ini kurobohkan kalian hendak menangkapnya dan menyerahkan kepada Pay-cu, hem, bagus betul….. aku yang setengah mati melawannya dan merobohkan, hem, engkau yang hendak menyerahkan kepada Pay-cu, tidak!” “Ha ha ha, kau keras kepala nona. Kalau kau sendiri tidak merobohkannya tentu tanganku ini juga yang merobohkan dan kemudian menyerahkan kepada Sian-li-pay. Sudahlah, kau mau serahkan kepadaku atau tidak?” “Tentu saja tidak, karena aku yang bersusah payah merobohkannya, kamu ini hwesio curang....... sudah ia roboh baru kalian muncul!”
  • 438
  • Soan Li sudah bersiap dengan cambuknya. Akan tetapi begitu merasa leher Kong Hwat demikian panas, ia terkejut bukan main! Celaka! Ia harus cepat-cepat pergi dari tempat ini dan menolongnya secepat mungkin! Berpikir demikian, Soan Li mencelat ke atas pohon. Thay-lek-hui-mo menggerakkan jubahnya dan angin besar berpusing, menyambar Soan Li yang mencelat ke atas pohon dengan cepat sekali. Merasa ada angin yang demikian kuat menyambar ke atas, cepat Soan Li mencelat lagi berpindah pohon, demikianlah ia terus mencelat dari pohon ke pohonn yang lain. Sementara Thay-lek-hui-mo menggerakkan tangannya ke atas, apabila tangan itu terayun terdengar suara keras pohon itu roboh dan daun bertebaran jatuh. Inilah hebat sin-kang hwesio Iblis terbang bertenaga seribu itu. Pukulan yang digerakkannya adalah pukulan-pukulan Gin-san-ciang yang luar biasa hebatnya. Akan tetapi sebaliknya, sambil mengempit tubuh Kong Hwat, Soan Li juga memperlihatkan gin-kangnya meloncat-loncat dari atas pohon ke pohon yang lain. Tentu saja percuma sekali, ia yang telah mendapat julukan Sian-li-eng-cu atau si Bayangan Bidadari kalau saja ia tidak dapat menghindari pukulan-pukulan maut dari hwesio itu. Maka dengan berloncatan dari pohon ke pohon yang lain dalam hutan itu, sebentar saja, Thay-lek-hui-mo kehilangan jejaknya. Hanya dari kejauhan didengarnya suara si hwesio itu memaki-maki dan menyumpah-nyumpah. Soan Li girang sekali bahwa lawannya kehilangan jejak, dengan cepat sekali ia melarikan diri.
  • 439
  • Ia terus berlari ke arah selatan hutan. Semakin dalam hutan itu semakin lebat dan penuh pohon-pohon besar. Akan tetapi Soan Li tidak memperdulikan ini, ia terus berlari menjauhi suara Thay-lek-hui-mo yang memaki-maki kalang kabut. Baru setelah suara itu tak terdengar lagi, Soan Li menurunkan Kong Hwat dalam kempitannya. Ternyata Kong Hwat sudah sadar dalam pingsannya, cuma saja ia merasa tubuhnya demikian kaku dan panas sekali seperti dibakar. Begitu Kong Hwat siuman, terheran ia begitu ia melihat dirinya di kempit oleh Soan Li dan membawanya lari dengan amat cepatnya merasa bahwa gadis itu berhenti larinya. Kong Hwat menoleh ke arah gadis yang tengah mengempitnya. Tiba-tiba merasa Kong Hwat sudah bergerak, Soan Li melemparkan kempitan itu dan keruan saja tubuh pemuda itu terbanting ke tanah. “Turun kau, keenakan kubawa lari,” Soan Li mengomel. Akan tetapi Kong Hwat tidak menyahut. Ia merasakan lehernya demikian panas dan gatal-gatal. Ia meraba leher dan tiba-tiba kepalanya menjadi pening bukan main. Tak tertahankan ia, dan Kong Hwat memeramkan matanya. Dirasanya kepala berayun- ayun dan di dalam kegelapan itu tampak bintang-bintang berputaran. Soan Li mendekati pemuda itu. Mendekur di tanah dan memegang kepala Kong Hwat sambil berkata pelan: “Kau terluka oleh jarumku…... coba kuperiksa!”
  • 440
  • Akan tetapi Kong Hwat tak mendengar perkataan lembut itu. Ia merasa dirinya berada di alam lain. Tak menyadari lagi apa yang terjadi. Tak tahu ia betapa Soan Li mengusap lehernya perlahan, membuka bajunya di bagian pundak dan menempelkan bibir itu ke pundak dan menyedotnya kuat-kuat. Tiga kali Soan Li menyedot luka di pundak pemuda itu, tiga kali itu pula Kong Hwat mengeluh perlahan. Mulutnya berbisik: “Aduuh….. panas…… panas!” “Diamlah…… Kong Hwat…… diamlah kau, darahmu sudah keracunan oleh jarumku sendiri, biar kubersihkan darahmu yang bercampur dengan racun itu,” Soan Li berbisik di dekat telinga pemuda yang mengeluh seperti orang mengigau. Kemudian ia menyedot lagi luka pemuda itu dan meludah ke tanah. Darah merah menyembur dari mulut si gadis itu. Darah yang bercampur racun hijau yang terdapat pada jarum Sianli-tok-ciam. Lima kali sudah Soan Li menyedot luka itu, perlahan-lahan jarum halus yang tadi melesak ke dalam daging menyembul sedikit. Dengan kuku jarinya yang runcing, gadis itu mencabutnya. Kong Hwat mengeluh perlahan. Waktu ia membuka matanya, alangkah herannya melihat gadis yang tadi menyerangnya mati-matian itu berjongkok di dekatnya sambil membalut luka di pundak. Tak mengerti Kong Hwat, bagaikan mimpi rasanya waktu tangan halus lembut itu meraba pundaknya dan membalut lukanya. Kong Hwat membuka matanya.
  • 441
  • Seperti orang kaget Soan Li mencelat menjauhi dan mukanya menjadi merah untuk seketika ia tertunduk dan menekan perasaan. “Aku telah melukaimu dengan jarum Sianli-tok-ciam,” Soan Li berkata pelan seperti ia berkata pada dirinya sendiri. Setengah berbisik. Kong Hwat tersenyum lega. Ia kira gadis itu mencelat hendak menyerangnya, tidak tahunya Soan Li hanya berdiri tertunduk seperti orang bingung dan malu. Ia tak berani menentang pandangan pemuda itu. Ia merasa dirinya bersalah, telah bertindak keterlaluan melukai pemuda itu. Kong Hwat menghampiri Soan Li. “Tidak apa nona, bukankah kau sendiri yang telah merawat lukaku. Eh, seharusnya akulah yang mengucapkan terima kasih kepadamu, nona. Terima kasih!” Kong Hwat menjura. Soan Li mengangkat mukanya. Tiba-tiba wajahnya memerah. Malu dan jengah. GILA!!! Bukankah tadi aku hendak menangkap pemuda ini, dan membawanya ke Sian-li-pay? Pikirnya. Mengingat ini ia mencabut sabuk suteranya dan meloncat ke depan. “Bagus, kau sudah sembuh Kong Hwat, kita teruskan pertandingan kita tadi!” Karuan saja Kong Hwat jadi terbelalak heran.
  • 442
  • “Eeee...... kenapa jadi begitu…... mengapa kita harus bertanding lagi.” Kong Hwat memandang gadis itu dengan mata bodoh. Si gadis mengedikkan kepalanya, matanya melirik ke arah luka di pundak si pemuda yang masih dalam balutan: “Mengapa diam saja, hayo, layani aku lagi!” “Sudah nona, tak usah bersandiwara, kita tak perlu bertempur lagi…... bukankah kita sudah bersahabat?” “Bersahabat?” “Ya. Tentu kita sudah bersahabat. Kau tadi melukaiku dengan jarummu, akan tetapi kau tidak sengaja bukan? Buktinya....... kau merawat lukaku.” “Ahhh…... jangan banyak bicara, eh, Kong Hwat…... berani tidak melawan tongkatku?” “Tentu saja aku tidak berani melawanmu nona.......” suara Kong Hwat terdengar penuh perasaan hati. Sejenak Soan Li terheran dan berdebar hatinya. Pemuda ini begitu lemahkah hatinya....... mudah mengalah?? Ah tidak! Aku merasa penasaran sekali!! “Pokoknya aku belum puas kalau belum mengalahkanmu. Hayo kita bertanding lagi, biar seribu jurus akan kulayani!” “Nona sudahlah, aku mengaku kalah, eeeh memang aku sudah kalah, buktinya aku terluka olehmu.......”
  • 443
  • “Aku tak puas!” Soan Li membentak, “Kau tahu....... aku adalah murid Sian-li-pay....... murid kedua terkasih dari Bu-tek Sianli. Aku ditugaskan untuk menangkapmu dan kawan-kawanmu, dan si buntung yang menjadi biang keladi keributan ini. Sekarang kebetulan kita saling bertemu di sini, hanya berdua saja! Hayo kau layani aku, kalau tidak terpaksa aku akan menyeretmu untuk dibawa ke Sian-li-pay. Mau kau kuseret seperti anjing?” Aneh sekali. Timbul keraguan dan kesangsian di hati Kong Hwat. Padahal sebelumnya ia seringkali mendengar sepak terjang murid-murid Sian-li-pay yang dikabarkan orang ganas dan berbahaya, dan ia ingin sekali menghancurkan Sian-li-pay itu! Eh, siapa sangka, bertemu dengan gadis galak ini, yang bernama Soan Li, terpesona dan tidak tega untuk mengangkat senjata menghadapi nona jelita ini. Apalagi setelah ia mendapat perawatan luka-luka bekas sambaran jarum gadis itu dan merawat lukanya....... ah, makin tidak tegalah ia menghadapi gadis ini. “Hayo....... keluarkan tongkatmu........ mau tunggu apa lagi? Aku segan menghadapi lawan tanpa senjata.......” Soan Li mengejek dan gadis ini sudah berdiri tegak dengan sabuk sutera merah di tangan, sikapnya gagah menantang, juga amat cantik. “Nona Soan Li…... aku tak ingin bertempur denganmu. Mengapa kau ini haus untuk mengalahkanku? Kalau memang kau hendak main-main dan memamerkan kepandaian denganku sebaiknya tak usah pakai senjata, biar kita bertempur dengan tangan kosong, bagaimana?”
  • 444
  • “Kunyuk! Siapa yang hendak main-main. Memang aku anak kecil....... Aku sungguh-sungguh hendak bertempur denganmu….. bukan main-main!” Kali ini saking jengkelnya Soan Li, gadis ini membanting-bantingkan kakinya dan setitik air mata melintas di pipi itu. Melihat tingkah laku gadis yang aneh ini. Kong Hwat menjadi terharu sekali. Ingin sekali pada saat itu ia memeluk gadis yang telah menjatuhkan hatinya ini dan mencumbunya dan....... dan....... akan tetapi tidak untuk bertanding. “Nona Soan Li……, dengarlah omonganku dulu….... Sungguh mati, aku memang tidak ingin bertanding denganmu....... malah aku ingin sekali mengikat persahabatan denganmu….. bukan untuk bertanding....... Nona pada mula pertama aku melihat engkau....... aku sudah tertarik sekali kepadamu, aku kasihan kepadamu.......” “Kunyuk kau! Siapa minta kasihan darimu? Eh, Kong Hwat mengapa mendadak sontak kau begitu tertarik kepadaku........ hem, dasar mata lelaki, begitu melihat perempuan ciami atau cantik lantas saja mulutmu lemas seperti perempuan…... dasar kau mata keranjang!” Wajah Kong Hwat menjadi merah. Gadis jelita ini selain gagah dan liar, juga lidahnya amat tajam! “Nona….. aku bukan mata keranjang, memang sesungguhnya begitu, begitu melihat engkau…... aku sudah merasa kagum dan sayang…... ahh salahkah aku kalau aku mencintaimu nona?
  • 445
  • Apakah seorang laki-laki jatuh cinta terhadap seorang wanita dikatakan mata keranjang…...?” “Wah, wah....... begitu muda amat kau jatuh cinta kepadaku, begitu melihat sudah cinta…... hemm, apalagi itu kalau bukan cinta palsu yang gampang luntur? Orang muda jangan kau berlagak di depanku mengobral cinta. Aku tak sudi cinta yang semurah itu!” Wajah pemuda itu sebentar pucat sebentar merah. Perlahan-lahan ia menggerakkan tangannya ke balik jubah dan mengeluarkan tongkat kecil. “Nona, mulutmu tajam dan berbisa……, kau menuduhku yang bukan-bukan. Menyesal…... aku sudah mengutarakan isi hatiku kepadamu, hemm, benar aku lemah nona, cintaku begini murah, tak patut dan tiada senilai hatimu. “Memang aku terlalu mengalah kepadamu, akan tetapi kau sombong, angkuh dan tinggi hati, namun aku seorang laki-laki sejati, dan tak ingin dihina dan diinjak-injak oleh seorang wanita seperti ini. Kalau kau memang penasaran untuk mengalahkanku, silahkan maju!” Soan Li tersenyum, “Nah ini baru namanya jantan! Kong Hwat, aku bukan menuduh cintamu begitu murah, akan tetapi aku juga tak mau laki-laki gampang jatuh di kakiku....... biasanya yang gampang jatuh cinta, adalah laki-laki buaya. Kong Hwat aku ingin mengalahkanmu, dan membawamu ke Sian-li-pay. Nah bersiaplah kau!” Tangan kirinya bergerak mendorong diikuti dengan gerak sabuk sutera merah di tangan kanan ketika gadis yang bernama Han Soan Li itu menyerang dengan hebat.
  • 446
  • Terkejut hati Kong Hwat. Tak disangkanya gadis ini demikian ganas dan lihay, serangannya begitu dahsyat. Cepat ia memutar tongkat menangkis sambil meloncat ke samping menghindarkan diri dari pada samberan sabuk sutera yang mendatangkan angin pukulan hebat itu. Tangan kirinya memapaki pukulan tangan kiri si gadis yang mendorong ke depan. Dua tenaga bertemu di udara. Ke dua-duanya terhuyung mundur. Akan tetapi tiba-tiba Soan Li terguling hampir jatuh? Diam-diam ia kaget dan juga kagum. Dilain pihak, Kong Hwat juga terkejut dan heran. Ia tadi merasa betapa tongkatnya terbentur membalik oleh sabuk di tangan gadis itu dan biarpun ia sudah menghindar, hampir saja ujung sabuk sutera merah itu menyentuh lambungnya. Akan tetapi, entah mengapa. tiba-tiba sabuk itu berkibar pergi dan ia merasa ada sambaran hawa lewat di samping tubuhnya dan melihat gadis itu hampir jatuh. Ia maklum bahwa gadis ini sangat lihai dan tak boleh dibuat gegabah! Dengan hati penasaran Soan Li menerjang maju lagi, kini lebih hebat. Sabuknya tiba-tiba mengejang keras dan diputar di atas kepala lalu melayang turun ke arah lawan, sedangkan tangannya meluncur maju menotok ulu hati yang akan mendatangkan maut apabila mengenai sasaran dengan tepat. Kembali Kong Hwat menggerakkan pedangnya menangkis sabuk merah sedangkan tangan kirinya dikebutkan untuk menampar jari totokan yang lihai itu.
  • 447
  • “Wuuuttt....... kembali keduanya terhuyung dan alangkah kaget hati Soan Li ketika ia merasa tadi betapa sabuknya tiba-tiba hilang kekuatannya dan bahkan membalik dan menyerang dirinya sendiri. Ia membanting tubuh ke belakang dan bergulingan, wajahnya pucat. Hebat pemuda ini! Diam-diam Soan Li bertambah kagum dan juga penasaran. Sabuk sutera merahnya dimainkan lebih cepat lagi. Kong Hwat terkejut sekali melihat kenekadan gadis ini. Celaka, benar-benar susah gadis ini, gemas dan liar! Akan tetapi juga....... hemm, entah perasaan apa yang membuat Kong Hwat tidak tenang memainkan tongkatnya. Ia menjadi kuatir dan gelisah melihat kenekatan gadis ini. “Nona Soan Li….. aku sungguh-sungguh tidak ingin bertempur mati-matian denganmu....... sudahlah… hentikan serangan……!” “Terima ini!” Soan Li membentak dan sudah melompat maju, sabuknya menyambar merupakan kilatan merah memanjang, diikuti gerakan tangan kiri yang memukul ke dada Kong Hwat. Uap hitam menyambar dan agaknya pemuda itu akan celaka kalau pada saat itu tidak nampak sinar menyilaukan berkelebat dan tahu-tahu Soan Li memekik kesakitan dan pundaknya terpukul tongkat di tangan Kong Hwat. Ia roboh dan mengerang kesakitan. Melihat ini kagetlah Kong Hwat. Kini ia merasa yakin bahwa diam-diam ada orang yang membantunya. Tadi tongkatnya meleset dan terus menusuk ke arah leher Soan Li, sedangkan sinar yang berkelebat menghantam sabuk. Baiknya ia masih keburu menarik
  • 448
  • tongkatnya sehingga tidak menembus lehernya yang indah melainkan menyeleweng dan menusuk pundak. Mungkin saking kaget, penasaran dan sakit, Soan Li roboh dan pingsan! Ketika ia membuka mata, Kong Hwat sedang mengobati pundaknya. Bukan main heran dan kagetnya hati Soan Li, akan tetapi ia pura-pura masih pingsan. Dari balik bulu matanya yang lentik ia memandang wajah tampan itu dengan penuh perhatian memeriksa lukanya dan kemudian mengobatinya dengan obat bubuk yang terasa dingin sekali. Melihat gadis itu menggerakkan bulu mata, Kong Hwat cepat menyelesaikan pengobatan itu dan berkata perlahan: “Maaf…... maaf, aku menyesal sekali……. bukan maksudku untuk……” Soan Li sudah meIompat bangun. Mukanya merah dan ia memungut sabuk sutera merahnya yang menggeletak di atas tanah. “Maaf....... Soan Li…. Aku… aku tak sengaja.” Soan Li berpaling dan mukanya berobah ketika memandang Kong Hwat. Pandangan matanya masih penuh kekaguman, penuh keheranan dan penasaran. “Kau hebat sekali. Gerakanmu begitu cepat sehingga aku tidak tahu bagaimana caranya kau mengalahkanku, aku masih penasaran, Kong Hwat, mari kita lanjutkan. Kalau kau dapat mengalahkan aku….. aku berjanji untuk.... tidak ingin
  • 449
  • menangkapmu lagi untuk diserahkan kepada Pay-cu Sian-li-pay malahan, aku bersedia melindungimu dari kemarahan Sianli...” Ia bersenyum dan diam-diam Kong Hwat morat marit hatinya. Senyum dengan lesung pipit itu bukan main manisnya. Akan tetapi lagi-lagi gadis ini mengajaknya bertempur lagi. Benar-benar gila! Rupanya entah mengapa, sesungguhnya ia tidak ingin sekali bertempur dengan gadis ini. “Nona Soan Li....... sudahlah, aku tidak ingin hertempur denganmu. Aku malah minta maaf kepadamu... dan marilah kita habisi di sini rasa penasaran itu!” “Kalahkan dulu sabukku, perlihatkan ilmu silatmu, o ya.... aku tak ingin kau menggunakan ilmu sihir itu!” Sambil membentak demikian, Soan Li memutar sabuknya. Akan tetapi baru saja ia hendak menerjang, tiba-tiba berkelebat sebuah bayangan dan berdiri di depan Soan Li dan menegur: “Soan Li sumoay, kau terlalu, pemuda ini sudah begitu mengalah terhadapmu, kau masih saja hendak mendesaknya….., hayo kau ikut aku!” “Suci…...!” Soan Li terheran melihat gadis yang baru datang itu. “Sumoay Soan Li marilah ikut aku....... aku memerlukan bantuanmu, marilah sumoay,” Bwe Lan menarik tangan sumoaynya. Soan Li menoleh kepada Kong Hwat. “Suciku ini jadi biang kerok! Eh, Kong Hwat, lain kali kita lanjutkan!”
  • 450
  • Tangan Soan Li ditarik oleh Bwe Lan. Keduanya berlari-lari meninggalkan pemuda itu. Kong Hwat berdiri bengong, ia menarik napas panjang, bingung memikirkan keadaan hatinya sendiri. Mengapa setelah gadis itu pergi dirasakannya dunia ini menjadi sepi dan hilang semangat. Ah, bayang-bayang barusan tadi itu masih melekat di kisi-kisi hatinya. Senyum manis berlesung pipit gadis itu, mata berbulu lentik itu, ahh, mulut yang bagus, bibir yang galak dan cerewet. Semuanya itu menyelimuti kulit hati Kong Hwat. Ia benar-benar sudah jatuh hati kepada murid Bu-tek Sianli itu. Aneh memang cinta tidak mengenal siapa dia. Cinta akan tumbuh bagi siapa saja, dimana saja dan kapan saja! Ah, Kong Hwat! Benar-benar kau sudah jatuh hati kepada gadis itu. Mengapa kau sekarang melamun, memang di dalam sentuhan-sentuhan cinta itu manusia akan banyak tenggelam ke alam khayalan. Kong Hwat sekarang tengah berkhayal, mengkhayali tentang gadis yang bernama Han Soan Li itu! Apa kata gadis tadi? “Kalau kau dapat mengalahkan aku, aku berjanji untuk tidak menangkapmu lagi dan menyerahkan kepada Sian-li-pay, malahan aku bersedia melindungimu dari kemarahan Sianli.......” Ucapan Soan Li masih berdengung-dengung dalam telinga Kong Hwat ketika ia berjalan perlahan di dalam hutan itu. Kini Kong Hwat telah menjadi seorang pemuda yang linglung dalam terombang-ambing asmara.
  • 451
  • Cinta, betapa berkuasanya engkau merubah watak seseorang! Ketika Kong Hwat yang melanjutkan perjalanannya memasuki sebuah rimba belantara, ia berjalan perlahan sambil termenung. Bayangan Soan Li yang selama ini tidak pernah meninggalkan bayangan matanya, kini sangat mempengaruhi otaknya, setelah ia merasa kesunyian seorang diri di dalam hutan yang luas itu. Bahkan perasaannya seolah-olah ia melihat wajah Soan Li yang sebenarnya muncul di mana-mana, di tempat-tempat mana yang dilaluinya. Tiba-tiba saja wajah yang jelita dan galak itu terbayang disela-sela daun hijau dan di antara kembang-kembang indah. “Ah, aku sudah menjadi gila!” Kong Hwat mengoceh pada dirinya sendiri, lalu ia menjatuhkan dirinya di bawah sebatang pohon untuk beristirahat. Akan tetapi makin celaka, setelah ia berhenti dan duduk, bayangan Soan Li makin jelas kelihatan dan makin bertambah hebat mengoda pikirannya! Ia lalu melompat bangun dari duduknya, dan melanjutkan perjalanannya. Baru saja beberapa tindak ia melangkah, tiba-tiba telinganya mendengar suara orang memanggilnya di belakang: “Saudara Kong Hwat!” Kong Hwat menoleh ke belakang dan tersenyum lebar. “Aii, Siang-twako, bikin aku kaget saja!”
  • 452
  • “Makanya kau melamun saja sih? Hemm, aku tahu kau melamunin nona dari Sian-li-pay yang galak itu, ya?” “Ahhh kau bisa saja twako, memang sebenarnya aku kaget kau memanggilku secara mendadak begitu. Eh, kau hendak ke manakah twako.....? Mana kawan-kawan yang lain?” tanya Kong Hwat melihat Ho Siang datang sendirian saja. “Mereka mengambil jalan masing-masing Kong Hwat-te, baru saja kemaren aku menolong nona Nyuk In yang dikeroyok oleh Bu-tek Sianli dan orang orang Hek-lian-pay, untung aku keburu menolongnya dan membawanya pergi!” “Ooooo, ke mana sekarang nona Nyuk In yang kau tolong itu, kok nggak bersamamu?” “Dia pagi tadi sudah berangkat ke kota raja, katanya hendak mencari suhengnya yang bernama si Cambuk Sakti Oey Goan….. Eh Kong Hwat, kulihat kau lesu benar, apa sih yang terjadi sebenarnya denganmu? Dan mengapa kau berada di dalam hutan lebat ini? Tadi belum lama ini aku melihat kau bertempur kalang kabut dengan nona Soan Li dan ia terluka olehmu dan kau menolongnya. Heran! “Tadinya kau yang terluka dan ditolong oleh nona Soan Li mengeluarkan jarum sianli-tok-ciamnya yang menancap di pundakmu. Eh, mendadak setelah kau siuman gadis aneh itu menyerangmu lagi, mati-matian! Heran Bagaimana ini?” Sejenak Kong Hwat melongo, kemudian tersenyum maklum dan meloncat ke samping dan memegang tangan Ho Siang, “Wah
  • 453
  • kiranya kau yang telah membantuku, Siang-twako? Ah, pantas saja begitu mudah aku mendapat kemenangan. Mengapa kau lakukan ini, Siang twako?” “Hwat lote, ada sebabnya mengapa aku membantumu, seperti juga engkau aku memang sayang kepada Soan Li dan tidak ingin melihat dia tersesat. Dia sebetulnya seorang gadis baik meskipun mempunyai guru atau Pay-cu Sian-li-pay yang amat jahat. Akan tetapi, ternyata gadis gadis Sian-li-pay tidaklah sekejam Pay-cunya. Waktu muncul Thay-lek-hui-mo dan beberapa orang Hek-lian-pay di hutan itu. Soan Li lah yang membawamu ke tempat ini melarikan diri dari Thay-lek-hui-mo dan di sini ini, kulihat ia menyembuhkan luka jarum di pundakmu. Apa ini dikata jahat? Hemm, menurut tafsiranku....... gadis itu....... merasa suka padamu! Seperti....... maksudku kau juga cinta sama Soan Li, bukan?” Ditanya begini langsung Kong Hwat merasa seakan-akan diserang tusukan pedang yang langsung menembus jantungnya. Wajahnya menjadi merah sampai ke telinganya dan dengan gagap ia menjawab: “Aku....... aku tertarik kepadanya.” “Kau cinta padanya, Hwat-lote?” “Aku….. aku…. suka.” “Dan....... cinta padanya?”
  • 454
  • Akhirnya Kong Hwat mengangguk. Mukanya merah. “Nah, karena itu kau harus menangkan dia, lote. Soan Li seorang gadis yang cukup pantas dilindungi. Ia memang berwatak aneh dan akan tunduk jika dapat memenangkannya, karena itu kau harus menang!” “Dia lihai twako, belum tentu aku dapat menangkannya!” “Mengapa tidak……. asalkan kau bersungguh-sungguh untuk mengalahkannya, tadi itu kulihat kau banyak mengalah terhadap Soan Li, sedangkan dia mati-matian untuk mengalahkanmu….. Kong Hwat, kau hadapi dia dengan serius….. kau pasti menang!” “Baiklah…… akan ku usahakan....... mudah-mudahan jika ia tertemu denganku lagi tidak terjadi pertempuran…..” Kong Hwat menarik napas panjang. Sesungguhnya ia tak ingin bertempur dengan gadis perkasa yang meruntuhkan pertahanan hatinya itu. Kong Hwat tersenyum mengenang Soan Li. “Hwat-lote....... sekarang hendak kemanakah tujuanmu?” “Entahlah twako, sebetulnya…… aku tidak mempunyai tujuan….... eh, barangkali aku hendak ke Wu-nian. Aku mempunyai urusan sedikit di sana.......” sahut Kong Hwat pelan. “Ke Wu-nian? Kabarnya di sana itu tengah terserang bahaya kelaparan dan wabah penyakit di sepanjang sungai Sin-kiang.”
  • 455
  • “Justru itu aku hendak ke sana, twako…… Limaribu tail emas yang disumbangkan oleh kaisar sudah kukirim ke Wu-nian dan aku hendak melihat perkembangannya……..” “Ahhh!” Ho Siang berseru kagum: “Kiranya kau yang telah berhasil menyelamatkan sumbangan kaisar yang kabarnya dirampok orang di kaki gunung Fu-niu tempo hari. Hebat…….! Sumbangan itu kau serahkan kepada siapakah lote?” “Tentu saja dengan panitia yang mengurus korban kelaparan dan wabah penyakit.” “Hemm, apakah boleh dipercaya panitia itu? Lote, dalam jaman sekarang ini hati-hatilah mempercayai orang. Kebanyakan manusia hatinya nggak jujur setelah melihat uang, apa lagi limaribu tail emas…... aiiii, bukan sedikit itu!” Kong Hwat menoleh. Kagetlah hatinya. Ia seakan-akan diingatkan sesuatu dengan bergetar ia berkata: “Celaka twako....... jangan-jangan ahh….., hayo cepat kita berangkat ke Wu-nian, kita selidiki ke sana.” Ho Siang mengangguk. Maka berangkatlah kedua orang muda itu menuju Wu-nian. Mereka berlari dengan amat cepat sekali keluar dari hutan lebat ini dan terutama Kong Hwat ia ingin cepat-cepat segera sampai untuk melihat perkembangan panitia korban bencana alam yang dititipkan uang limaribu tail emas itu. Hatinya kuatir kalau-kalau uang yang disumbangkan dari kaisar itu akan habis digerogoti oleh
  • 456
  • tikus-tikus yang bisa melakukan penyelewengan dan korupsi dan yang mementingkan dirinya sendiri saja! ◄Y► Kita tinggalkan dulu Ho Siang dan Kong Hwat yang tengah berangkat menuju ke Wu-nian, dan marilah untuk sejenak kita mengikuti pengalaman-pengalaman Nyuk In di Kotaraja yang hendak menemui suhengnya yang bernama Oey Goan itu. Telah lama ia mendengar akan tindak tanduk suhengnya yang menjadi kepala pengawal perajurit di Kotaraja, dan disamping itu banyak sudah ia mendengar akan perbuatan-perbuatan suhengnya yang berlaku sewenang-wenang dalam memimpin barisannya. Oleh karena selentingan-selentingan itulah ia hendak menyelidiki keadaan suhengnya di Kotaraja. Sudah barang tentu, nama si Cambuk Sakti Oey Goan sangat dikenal di Kotaraja. Begitu gadis itu bertanya kepada salah seorang penduduk, semua orang dapat mengenalnya. Hanya yang sangat disayangkan adalah Oey Goan ini jarang sekali bertugas di Kotaraja. Ia sering keluar kota, mengadakan perjalanan keliling meninjau rakyat dan menjaga keamanan! Siang hari itu, karena udara demikian panas terik, Nyuk In memasuki sebuah rumah makan. Rumah makan Hai-lam cukup besar dan terkenaI di kotaraja. Karena itulah ia memasuki rumah makan. Begitu ia masuk, dengan ramah tamah seorang pelayan menghampiri sambil memberi hormat membungkukkan badannya.
  • 457
  • “Silahkan masuk siocia…... silahkan duduk! Hendak memesan masakan apakah? Daging babi sekba, Ayam panggang, Kodok Oh, Baso sapi istimewa, cah ayam.......” “Baso sapi dan bakmi pangsit saja....!” Nyuk In memesan. Mengambil tempat duduk di sebelah kiri ruangan. Dilihatnya ruangan itu ada tiga orang lelaki memandangnya. Nyuk In mengalihkan pandangan pura-pura tidak melihat. Di pojok sebelah sana, tiga meja jauhnya nampak seorang pemuda cakap dengan pedang di punggung, bercakap-cakap dengan seorang wanita muda cantik. Mereka bercakap-cakap amat perlahan sekali. Akan tetapi tentu saja pendengaran Nyuk In yang tajam dan terlatih ia dapat juga mendengar pembicaraan dua orang muda itu. Nyuk In pura-pura tidak melihat, akan tetapi ia memasang telinga! “Biauw Eng, kau hendak pergi ke Wu-nian, apakah tidak dicari oleh ayahmu?” tanya pemuda di depan wanita yang dipanggil Biauw Eng itu. Dan matanya tajam. “Hok Sun, aku harus ikut kau. Biar aku tinggali surat saja kepada ayah!” “Nanti ayahmu marah Biauw Eng, lebih baik kau tak usah ikut, ketahuilah, tugasku amat berat. Aku hendak meninjau Wu-nian dari dekat dan sekalian hendak membawa barang kiriman dari ayah, kalau kau ikut, mana ayahmu mengijinkan?”
  • 458
  • Pemuda yang bernama Hok Sun mengangkat sumpitnya. Makan bakmi dengan tenang dan gadis yang Biauw Eng nampak merasa penasasaran dan kurang senang. “Hok Sun! Pokoknya aku ikut kau.” “Kau memang keras kepala Biauw Eng, terserah padamulah pokoknya kalau ayahmu marah, aku tidak tanggung jawab, bukan aku yang mengajakmu, tapi engkau yang memaksa untuk ikut!” “Aku yang bertanggung jawab. Hendak kulihat Wu-nian yang dikabarkan orang amat menyedihkan itu…. Hok Sun, aku mendengar kabar, katanya sungai Sin-kiang kuning airnya........ ikan-ikan pada mati, akan tetapi jauh di sebelah selatan katanya dusun-dusun menjadi telaga karena digenangi air dan hujan turun terus menerus....... “Hemm, alangkah menyedihkan sekali Tiongkok masa kini....... Sayang Hong-siang (Kaisar) tidak mau meninjau hanya mengirim sumbangan-sumbangan saja. Akan tetapi anehnya wabah penyakit dan kelaparan masih terus merajalela tak ada habis-habisnya! “Sstt....... Eng-moay, bicara jangan sembarang. Tidak boleh kita menyinggung-nyinggung Hong-siang, kalau ada orang jail mendengar dan melapor bisa celaka kita!” Hok Sun memasang telunjuk di bibir. Sementara tiga orang laki -laki yang duduk di meja sebelah depan, salah seorang di antaranya menggebrak meja: “Lalat-lalat hijau
  • 459
  • membisingkan telinga saja. Diam! Jangan mengoceh melulu! Disini rumah makan, untuk makan bukannya untuk mengobrol!” Nyuk In menoleh ke belakang. Dilihatnya, yang membentak tadi adalah seorang laki-laki muka hijau, rambutnya diikat, golok di atas meja melintang. Matanya melotot lebar memandang kedua orang muda yang duduk di meja ketiga. Keruan saja Biauw Eng dan Hok Sun menoleh. “Hem, kiranya tiga orang kasar dari Huang-ho nyasar ke sini, mau apa dia?” Biauw Eng berkata kepada Hok Sun. Akan tetapi Hok Sun tidak mau mencari ribut cuma memberi isyarat saja dengan kedipan mata. Si muka hijau menjadi panas. Dengan kasar sekali ia menarik bangku sehingga nenimbulkan suara berderit keras dan tiba-tiba tangannya terangkat. Bangku itu meluncur cepat menyambar Hok Sun yang membelakanginya. Pelayan-pelayan dan tamu-tamu hadir di situ terkejut dan berteriak ngeri. Nyuk In melirik. Dan alangkah terkejut dan herannya semua orang melihat betapa bangku yang tadi meluncur keras menimpa belakang pemuda itu, kini bagaikan ada daya sedot yang luar biasa, bangku bunder itu menancap di punggung Hong Sun. Pemuda ini menoleh dan berkata kepada tiga orang di belakangnya. “Sobat, baik sekali hatimu memberikan satu bangku untuk duduk. Akan tetapi sayang matamu, barangkali sudah buta, tidak melihat
  • 460
  • bahwa aku sudah mendapatkan tempat duduk mengapa harus memakai bangku dua, biar kukembalikan kepadamu!” Dengan menggerakkan tubuh sedikit, bangku yang tadi menempel di punggungnya terlepas dan bagaikan peluru kendali meluncur menyambar si muka hijau. Amat cepat sekali luncuran bangku itu sehingga tak keburu si muka hijau menangkis, mulutnya tersambar kaki bangku dan keruan saja mengeluarkan kecap. Sambil mengusap mulut yang berdarah si Muka Hijau membentak marah, “Setan! Berani kau menghadapi Sam-hauw-huang-ho? Aku Ong Lun, si Harimau muka Hijau yang telah malang melintang di sepanjang sungai Huang-ho, kini menghadapi lalat-lalat hijau seperti kau ini, hem, biarlah kepalanku yang memberi hajaran kepadamu!” Si Harimau Muka Hijau Ong Lun melangkahkan kakinya dan kepalan tangannya yang berat penuh bulu itu menyambar ke arah si pemuda, akan tetapi entah bagaimana caranya, tahu-tahu terdengar suara “Ngek!” dan tubuh Ong Lun yang tinggi besar terlempar dan memegangi perut yang terasa melilit kepingin berak. Ong Lun jadi meringis. Matanya jelalatan dan tiba-tiba dengan berlari cepat ia memasuki rumah makan. Keruan saja para pelayan menjadi panik hatinya. Akan tetapi begitu si Harimau Muka Hijau Ong Lun menerjang pintu kakus yang tertutup dan mendengar suara keras yang memberobot, keruan saja pelayan-pelayan di situ jadi tertawa sambil memegangi hidungnya!
  • 461
  • Dua orang teman si Muka Hijau berdiri saking marahnya. Si gemuk pendek yang bertubuh seperti buntalan bak-pao, mengangkat goloknya dan maju menghampiri Hok Sun. “Tidak kenal dengan kami?” Si gemuk pendek menepuk dadanya. Melotot memandang Hok Sun. Akan tetapi Biauw Eng telah menggebrak meja sambil membentak, “Kalian ini gendut pendek hendak berlagak di sini, hendak mencari mampus, hayo pergi!” Begitu tangan gadis itu menepuk pinggiran meja, lima pasang sumpit kayu meluncur cepat menyambar si gendut pendek yang menjadi gelagapan memutar goloknya menangkis serangan-serangan sumpit terbang yang lihai itu. Hebat sekali gerakan golok si gendut pendek ini, begitu golok diputar terdengar suara mengaung dan sumpit-sumpit terpotong dua tersambar golok yang amat tajam itu. Akan tetapi saking kerasnya tangkisan golok si gendut itu, beberapa potong sumpit yang terbelah dua mental dan meluncur cepat ke arah temannya, satu batang mengemplang si teman itu dan satunya lagi dengan kerasnya memukul batang hidung yang bengkok itu. Amat kerasnya sambaran potongan sumpit itu menyambar hidung bengkok, sehingga dari dalam hidung itu keluar kecap melele mengalir ke sela-sela kumis yang jarang dan kaku, kaya kawat berduri itu. Tentu saja si Hidung Bengkok menjadi marah bukan main. Sekali tangannya bergerak, tiga buah piauw (pisau terbang) menyambar si gadis. Akan tetapi Biauw Eng dengan kecepatan luar biasa telah
  • 462
  • mengangkat tangan kirinya dan menjepit tiga buah pisau terbang yang meluncur ke arahnya. “Ah, pisau pemotong lalat saja diunjuk-unjuki kepadaku, terimalah!” terdengar suara mendesing. Tiga buah pisau terbang menyambar ke arah si hidung bengkok. Si Hidung bengkok terkejut sekali, cepat ia membuang diri ke belakang dan bergulingan. Tiga buah piauw meluncur di atas kepalanya dan menancap dalam pada tiang penglari. Pisau itu bergoyang-goyang saking kuatnya! Akan tetapi secara kebetulan sekali si Hidung Bengkok bergulingan dekat meja Nyuk In. Dengan cepat sekali kaki gadis itu menendang mencongkel, dan tubuh si hidung bengkok melayang keluar dan kepalanya beradu dengan patung singa-singaan yang memang sengaja dipasang sebagai hiasan di muka pintu masuk rumah makan itu. Keruan saja kepala yang membentur patung batu itu mengeluarkan jendol sebesar telur bebek. Dengan menggereng seperti harimau terluka, si Hidung Bengkok berdiri dan mengangkat patung batu singa-singaan itu sampai di atas kepalanya. Dan melempar ke arah gadis yang membelakangi itu! Melihat ini Hok Sun dan Biauw Eng hampir saja mencelat hendak menyambar batu yang menimpah kepala gadis itu. Akan tetapi, ke dua orang muda itu tertegun melongo melihat batu singa-singaan yang besar dan berat itu kini berdiri tertahan di bawah sebatang sumpit di tangan si gadis.
  • 463
  • Dengan tersenyum mengejek Nyuk In menoleh keluar dan berkata, “Hidung bengkok, kurang ajar sekali kau mengganggu aku yang sedang makan. Minggatlah kau dari sini!” Batu singa-singaan itu berputar-putar di atas sebatang sumpit dan dengan cepat sekali meluncur ke arah si Hidung Bengkok yang sudah siap siaga memasang kuda-kuda menyambut datangnya luncuran batu itu. Begitu batu itu ditangkapnya, ia terjengkang ke belakang, dadanya tertindih batu dan untuk beberapa lama muntahkan darah segar. Melihat kawannya yang hampir semaput ini, si gendut pendek cepat meloncat keluar dan mengangkat batu singa-singaan yang menindih temannya. Sementara itu dengan wajah pucat, si muka Hijau keluar dari dalam rumah makan sambil memegangi perut dan berkata, “Kalian orang-orang muda yang hebat, kami Sam-hauw Huang-ho mengaku kalah, akan tetapi kami mengundang kedatangan kalian di Kotaraja di kelenteng Sung-thian-hok nanti sore!” Habis berkata kemudian, bagaikan ular kena penggebuk, ketiga orang yang dijuluki Tiga Harimau Sungai Huang-ho mengangkat pantatnya dan pergi meninggalkan rumah makan itu! Hok Sun dan Biauw Eng kagum sekali melihat demontrasi lwekang yang tadi dipertunjukkan oleh gadis yang di meja sebelah sana itu. Cepat Hok Sun dan Biauw Eng menjura sambil berkata, “Lihiap (pendekar wanita) yang gagah, terimakasih atas bantuanmu mengusir si Hidung bengkok barusan!”
  • 464
  • Nyuk In tersenyum dan membalas mengangkat ke dua tangannya. “Sama-sama....... kalian juga hebat dan luar biasa… entah siapa jiwie enghiong (tuan muda yang gagah) ini!” “Namaku Hok Sun she Lim, dan ini temanku Sie Biauw Eng, puteri tayjin Sie Teng.......” memperkenalkan Hok Sun. “Oo, kiranya aku berhadapan dengan saudara Hok Sun dan nona Biauw Eng yang gagah, perkenalkanlah namaku Cung Nyuk In. Hemm, kalian tadi ditantang oleh tiga lalat hijau itu untuk ke kelenteng Sung-thian-hok nanti sore bukan?” “Ahh, tiga orang tadi memang tidak tahu diri, nona Nyuk In, mungkin mereka hendak memanggil teman-temannya untuk membalas kekalahannya ini,” sahut Hok Sun. “Tiga orang tadi sungguh menyebalkan. Nggak tahu diri!” Biauw Eng memaki. Merengut! “Biar nanti sore aku juga hendak melihat-lihat di kelenteng Sung-thian-hok, sekarang aku permisi,” Nyuk In menjura. Meletakkan beberapa potong perak di meja. Bangkit berdiri. “Sampai kita berjumpa,” kata Nyuk In. Akan tetapi Biauw Eng menghampiri berkata, “Nyuk In cici, hendak ke manakah kau….. mampirlah ke rumahku dulu.......!” “Terima kasih Biauw Eng, aku sudah pesan tempat di sebuah penginapan di kota ini. Biarlah lain kali aku singgah dirumahmu.”
  • 465
  • “Ahh, nona pakai sungkan-sungkan. Bermalamlah di rumah Biauw Eng kawanku ini rumahnya besar dan banyak kamar, mengapa sewa kamar penginapan?” Hok Sun berkata. “Terimakasih, nanti sore kita bertemu lagi!” sehabis berkata demikian, Nyuk In berkelebat dan tahu-tahu telah lenyap di tempat itu. Hok Sun jadi bengong dan heran, tanpa disadarinya mulutnya berkata: “Hebat, gadis itu…… entah murid siapakah dia……” Akan tetapi ia menghentikan kata-katanya begitu menoleh, dilihatnya wajah Biauw Eng sebentar pucat sebentar merah, merengut! “Maafkan aku Eng-moay……!” Hok Sun menyatakan penyesalannya. “Memang kau mata keranjang. Bertemu wanita cantik memuji, merayu dan……. ahh, menyebalkan!” “Em, e, e, kok marah…… jangan cemburu dong.” “Siapa yang cemburu, memang kau mata hidung belang!” “Maafkan aku Eng-moay…….!” “Sudahlah, aku mau pulang dulu,” nada suara Biauw Eng nampak kesal dan gemetar. Mereka berdua meninggalkan rumah makan itu
  • 466
  • Hok Sun berjalan di samping Biauw Eng tak henti-hentinya membujuk supaya itu tidak marah-marah lagi. Akan tetapi Biauw Eng masih marah-marah ia ketika ia memasuki rumahnya dan membantingkan diri di kamar, membenamkan dirinya dalam tangis yang tak bersuara. <> Siapakah Hok Sun dan Biauw Eng? Para pembaca pernah sekali saja diperkenalkan dengan gadis yang bernama Biauw Eng ini. Waktu itu Biauw Eng dan ayahnya yang bernama Sie Tek Peng masih tinggal di sebuah dusun Ting-ling-bun yang minus dan tengah terancam bahaya kelaparan. Orang tua she Sie ini, sejak kedatangan mendiang Swie It Tianglo yang menegur karena pemerasan terhadap orang-orang dusun yang miskin, sejak itu ia mengundurkan diri dan pindah ke kotaraja. Karena orang she Sie ini banyak uang, sebentar saja ia sudah berpengaruh di Kotaraja dan dengan jalan menyogok seorang pembesar atasan ia berhasil mendapat sebuah kedudukan dan bekerja di sebuah perpustakaan di Istana Kaisar. Tentu saja sebagai seorang kutu buku, orang she Sie ini gemar sekali membaca cerita-cerita sejarah Tiongkok kuno. Pada suatu hari ia membawa sebuah buku kuno, akan tetapi karena ia tidak mengerti ilmu silat maka buku kuno itu disimpannya di rumahnya. Kebetulan diketemui oleh Biauw Eng, anaknya dan dibacanya. Ternyata buku kuno itu adalah kitab pelajaran silat.
  • 467
  • Maka dengan diam-diam Biauw Eng mempelajari isi kitab itu di dalam kamarnya. Ia melatih diri dengan cara bersiulan dan melatih pernapasan. Baru setelah tiga bulan kemudian ia sampai pada pergerakan tangan dan kaki bersilat tangan kosong. Alangkah sukarnya bersilat tanpa bimbingan seorang guru. Beberapa kali ia melakukan gerakan yang salah dan berlainan. Kesal sekali hati gadis ini. Akan tetapi tekadnya yang besar untuk bisa bersilat, ia terus melatih diri di dalam kamarnya. Dan berkat kesabaran dan ketekunan yang luar biasa inilah akhirnya Siauw Eng berhasil menguasai kitab pelajaran dari ilmu silat yang terdapat dalam kitab kuno itu. Pada suatu malam yang dingin, tatkala semua orang sudah masuk ke dalam kamarnya dan bersembunyi di balik selimut tebal dan melelapkan diri dalam tidur yang nyenyak, Biauw Eng masih berada dikamarnya sedang bersiulan. Meskipun ia nampak seperti orang tertidur akan tetapi perasaan dan pendengarannya yang tajam dapat menangkap gerakan-gerakan kaki di atas genteng rumahnya. Dengan cepat ia meniup lampu dan dari jendela ia melompat ke atas genteng. Sesosok bayangan berkelebatan dari genteng ke genteng lainnya dan berhenti di genting rumah yang paling tinggi. Orang itu celingukan sebentar tiba-tiba ia melayang turun. Memasuki sebuah kamar dari jendela yang didongkel. Biauw Eng menanti orang yang berkerudung hitam mukanya itu. Ia mendekam di balik wuwungan rumahnya. Pada saat itu sebuah gerakan yang amat gesit berkelebat pula bagaikan seekor walet,
  • 468
  • bersembunyi. Biauw Eng terkejut sekali melihat bayangan putih itu. Akan tetapi ia menahan diri! Tidak lama kemndian sesosok bayangan hitam melayang ke atas genting dengan gerakan yang luar biasa gesitnya. Bayangan itu bertubuh langsing dan agak tinggi kurus, pakaiannya tertutup jubah hitam dan pada mukanya terdapat kerudung hitam yang terbuat dari pada sutera hitam yang menutup bagian muka sampai di bawah mata. Matanya yang tidak tertutup berkilat-kilat tajam melirik ke sana ke mari. Di punggungnya nampak gagang sebuah pedang. Dan pada saat itu ia menggendong dua buah kantong kain kuning yang besar dan berat. Sebuah bayangan putih yang tadi bersembunyi di balik wuwungan berkelebat menyambar buntalan kuning sambil membentak. “Maling hina, serahkan barang curian itu!” Dari balik kerudung itu terdengar suara dengusan halus, matanya tajam menyambar bayangan yang berkelebat menyambar buntalan pada punggungnya. Dengan sedikit mengegoskan diri ke samping pemuda baju putih itu menyambar cengkraman angin. “Tangkap! Tangkap maling…..” dari arah bawah terdengar teriakan beberapa orang penjaga gedung Lim-wangwe yang memiliki kepandaian silat tinggi mengejar ke atas genteng dengan pedang dan golok di tangan. Akan tetapi, bayangan hitam di atas genteng itu amat lihay dan luar biasa. Begitu penjaga-penjaga meloncat ke atas genteng, tiba-tiba
  • 469
  • tangan bayangan hitam itu bergerak dan angin besar berdesir menyambar dan keruan saja tiga orang penjaga terpelanting saking kuatnya angin pukulan itu. Biauw Eng melompat dan membentak, “Maling hina, lihat pedang!” Bayangan hitam itu menoleh sejenak dan tertawa lirih. Terkejut sekali Biauw Eng mendengar suara tawa dari balik kerudung hitam Itu. Suara tawa seorang wanita yang nyaring dan bersih. “Ahh, kiranya kau maling perempuan! Hayo menyerah dan berlutut di depanku!” Sinar pedang berkeredepan menyambar bayangan hitam, akan tetapi dengan sekali menggeserkan kakinya, bayangan hitam itu sudah terluput dari serangan pedang Biauw Eng. Baru saja ia hendak mencelat pergi, sesosok bayangan putih sudah menerjangnya dengan pukulan dahsyat dari tangan kiri sedangkan pedang di tangan kanan menyambar luar biasa cepat dan kuatnya. Terkejutlah bayangan hitam itu. Dengan gerakan cepat tangannya telah mencabut pedang dan memekik keras menerjang kedua orang muda yang lihai ini. Sementara itu penjaga-penjaga di bawah telah memasang obor. Sinar terang menerangi ke atas. Biauw Eng dapat melihat sinar mata yang tajam dan tubuh yang langsing dari maling wanita ini. Ia mainkan pedangnya demikian dahsyat, sedangkan tangan kirinya menggunakan pukulan ilmu silat kong-ciak-sin-na yang ia dapat pelajari dari kitab kuno ini.
  • 470
  • Ketiga orang yang bertempur di atas itu hebat dan seru, nampaknya berimbang. Apalagi kini setelah ruangan di atas genting itu sudah menjadi terang benderang oleh para penjaga yang memasang obor. Lim Wan-gwe dan keluarganya menjadi kaget dan heran bukan main melihat wanita muda yang luar biasa yang bermain pedangnya itu. Ia mengenal betul puteri Sie Tek Peng ini, tidak disangkanya puteri Sie-tayjin yang lemah lembut dapat memainkan ilmu pedang demikian lihai. Seorang pemuda baju putih juga lihai ilmu pedangnya. Ia mendesak hebat kepada maling perempuan yang hebat luar biasa ini. Pada saat maling wanita mengeluarkan jeritan aneh dan menggeletar-geletar, lemaslah tubuh Biauw Eng dan pemuda baju putih itu. Inilah pengerahan sin-kang tingkat tinggi yang luar biasa dan dua sosok bayangan berkelebat menyerbu Biauw Eng dan pemuda baju putih, salah satu bayangan hitam yang juga berkerudung, itu berseru nyaring, suara wanita merdu, “Suci…… lekas lari!” Mendengar suara ini, maling wanita yang membawa buntalan kuning di punggungnya meloncat cepat dan dua orang penjaga, cepat mengeluarkan piauwnya, lalu menggerakkan tangan mereka. Empat batang piauw ke arah punggung maling wanita yang melarikan diri itu. Akan tetapi sungguh mengagumkan. Tanpa menoleh lagi bagaikan punggungnya bermata yang melihat datangnya senjata-senjata rahasia itu, bayangan hitam itu mengelak ke samping dan ketika
  • 471
  • sebatang piauw menyambar dekat, ia gerakkan tangan kanannya menangkap piauw itu tanpa melihat. Betapa tinggi ilmu silatnya dan ketajaman pendengarannya! Dua bayangan hitam yang lainnya, juga terdiri dari wanita-wanita yang memiliki tubuh langsing dan kecil, menggerakkan pedangnya dan sekali ia melompat jauh dan menghilang di dalam gelap! Para penjaga masih mencoba dan mencari-cari, akan tetapi ketiga bayangan hitam itu sudah lenyap dari pandangan mata. Biauw Eng hendak meloncat pergi, tetapi pemuda baju putih sudah menghadangnya, menjura, “Terima kasih atas bantuanmu nona!” Biauw Eng hanya mengerling sebentar dan mencelat pergi. Demikianlah sejak malam itu, Sie-tayjin telah mengetahui bahwa anaknya pandai bermain silat. Dan seluruh pembesar-pembesar istana mengetahui bahwa Biauw Eng mempunyai ilmu pedang yang hebat dan luar biasa. Dan pemuda baju putih itu, adalah Lim Hok Sun, putera Lim Wangwe. Ia adalah murid seorang tokoh sakti Bu-thong-pay perantauan. Dan karena gin-kangnya tinggi ini, dan kepandaian yang luar biasa maka orang muda ini dijuluki Hui-eng (si Garuda Terbang) Lim Hok Sun.” Demikianlah, sejak pertemuan malam itu, Biauw Eng dan Hok Sun menjadi kawan yang akrab dan secara diam-diam, gadis puteri Sie Tek Peng ini menaruh hati kepada Hok Sun, si Garuda Terbang.
  • 472
  • Pada sore hari itu Hok Sun menyamperin Biauw Eng untuk menepati janji atas undangan tiga orang Sam-hauw-huang-ho di kelenteng Sung-thian-hok. Sore hari itu agak sedikit mendung, udara sejuk dan agak basah. Biauw Eng dan Hok Sun melarikan kudanya keluar Kotaraja dengan cepat dan membedal kudanya. Sebetulnya tadi itu diam-diam Hok Sun mencari nona Nyuk In yang katanya tinggal di hotel. Akan tetapi ternyata gadis yang dicarinya itu sudah berangkat! Memang Nyuk In sudah berangkat. Ia cepat-cepat mencari keterangan letak kuil kelenteng Sung-thian-hok. Kelenteng tua yang letaknya seratus lie dari pintu gerbang Kotaraja. Dalam waktu setengah jam saja ia berlari cepat menggunakan gin-kangnya, ia telah sampai di halaman depan kelenteng yang nampaknya tidak terurus. Sangat sepi sekali suasana di tempat ini. Nyuk In berhati-hati dan waspada! Akan tetapi, baru saja ia menginjak pintu depan kelenteng itu, tiba-tiba menyambar berpuluh-puluh anak panah mengeluarkan suara mendesing keras. Nyuk In menggerakkan pit dan kipas tahu-tahu duapuluh batang anak panah telah runtuh di tanah! Tiba-tiba berkelebat bayangan dan tahu-tahu di depan kelenteng tua itu sudah berdiri tiga orang Sam-hauw-huang-ho yang tadi dikenalnya di sebuah rumah makan di Kotaraja. Dan di belakang mereka nampak berdiri banyak orang yang dilihat dari cara pakaiannya seperti bajak laut. Tahulah gadis itu bahwa lawan-lawannya ini tentu golongan bajak dan perampok-perampok jahat.
  • 473
  • “Ha ha ha, selamat datang nona cantik, ternyata kamu menepati janji yang bagus! Akan tetapi kenapa kau datang sendiri mana dua orang lalat hijau itu?” Salah seorang dari Sam-hauw-huang-ho, yang bertubuh gendut pendek bertanya sambil tertawa mengejek. Nyuk In maju selangkah, kipas hitamnya bergerak terbuka. “Tidak perlu dengan dua orang muda yang gagah perkasa itu, cukup nonamu ini yang akan mengobrak-abrik kumpulan kalian yang jahat dan mengganggu rakyat saja, eh, Sam-hauw-huang-ho, apakah kalian ini pemimpin bajak laut?” Nyuk In bertanya. Pit dan kipas di tangan kanan dan kiri melintang. Terdengar suara nyaring dan keren dari dalam kelenteng. “Ha ha ha! Gagah juga kau….. sombong dan tak tahu diri tidak melihat tingginya gunung dan dalamnya laut. Hayo berlutut kau!” bentakannya nyaring itu diiringi berkelebat sesosok tubuh dan tahu-tahu telah berdiri di depan Nyuk In, dan tersentak kaget melihat kipas dan pit di tangan gadis itu. “Ahhh....... apakah kau…… gadis yang pernah berkunjung ke Sian-li-pay belum lama ini?” gadis berkerudung hitam itu bertanya keren. Nyuk In dapat melihat tatapan pandangan mata yang tajam dan berwibawa dari gadis yang berkerudung hitam itu. “Betul. Aku Cung Nyuk In, pernah mendapat kehormatan datang ke pulau Bidadari akan tetapi siapa sangka gadis cantik di sana tidak bisa menghormati tamu, sehingga banyak tamu yang datang tidak betah tinggal di sana karena nenek galak itu!”
  • 474
  • “Keparat kau menghina Pay-cu, mampuslah kau!” Suara pedang ditarik terdengar berdesing. Tiga orang Sam-hauw Huang-ho berkata hormat sambil menjura. “Harap Sianli bersabar, biar kami yang memberi hajaran kepada gadis lancang mulut ini!” Gadis kerudung itu mendengus. Membiarkan tiga orang harimau Huang-ho ini maju. Ia sendiri menonton. Ia melihat tiga orang harimau Huang-ho telah maju menerjang Nyuk In dengan golok dan pedang. Akan tetapi dengan enaknya saja Nyuk In mengelak ke kiri dan menggerakkan pitnya memutar menangkis golok. Terdengar suara keras dan bunga api memercik kecil-kecil dan si gendut pendek yang memegang golok terkejut hatinya merasa telapak tangannya perih dan hampir saja goloknya terlepas dari pegangan tangannya. Ia menggereng marah. Si Hidung Bengkok menggerakkan tangannya dan tiga buah pisau terbang menyambar amat cepat mengarah dada si gadis. Melihat kekejaman Si Hidung Bengkok ini, Nyuk In menjadi marah. Kipasnya bergerak mengebut dan tiga buah pisau terbang yang menyambarnya mental kembali dan meluncur ke arah si penyambit. Terdengar suara jeritan ngeri waktu pisau itu tepat menyambar leher si Hidung Bengkok. Untuk sesaat orang itu berkelojotan dan napasnya telah putus.
  • 475
  • Gadis kerudung hitam terkejut sekali melihat kelihaian gadis berkipas hitam ini. Dengan cepat dilepaskan burung pos yang membawa tulisan tangannya. Burung itu terbang tinggi dan sebentar itu pula lenyap dalam pandangan mata. Memang gadis-gadis Sian-li-pay ini memakai burung pos sebagai penghubung memanggil bala bantuan. Melihat si Hidung bengkok sudah mati. Dua orang Sam-hauw-huang-ho menjadi marah. Mereka menerjang maju, diikuti dengan kawanan bajak yang berjumlah sekitar duapuluh orang itu. Dan sebentar saja Nyuk In sudah dikeroyok oleh puluhan bajak laut yang berkepandaian cukup tinggi itu. Tentu saja merasa dirinya dikeroyok oleh puluhan bajak ini ia menjadi marah dan sambil mengeluarkan lengkingan tinggi gadis itu mainkan kipas hitamnya dan pit di tangan kanan dengan amat hebat luar biasa. Tiap kali kipas itu dikebut, nampak angin besar menyambar kuat sekali membuat beberapa orang bajak yang di dekatnya terpental jatuh dan disusul oleh gerakan pit menotok orang itu. Amat cepat sekali gerakan gadis ini, sehingga bagi pandangan mata biasa sukarlah mengikuti pergerakan kipas dan pit di tangan kanan dan kiri gadis itu. Begitu pit bergerak, terlihat beberapa orang bajak roboh dan dalam keadaan tertotok. Sebentar saja di tempat itu ada sekitar sepuluh orang bajak yang berkepandaian tak begitu tinggi telah menggeletak tersambar kipas dan totokan pit! Biarpun Nyuk In lihay dan luar biasa sekali gerakan-gerakan kipas pit di tangan kanan dan kiri itu, akan tetapi dikeroyok oleh limabelas
  • 476
  • orang-orang bajak yang berkepandaian tinggi ini, ia menjadi repot juga. Sedikit saja ia lambat atau lengah, niscaya tubuhnya akan hancur tersayat pedang dan golok yang berkelebat saling berganti dan bertubi-tubi itu! Sementara di atas awan hitam memberat hendak hujan. Angin bertiup dengan amat kerasnya menggoyangkan pepohonan dan merontokkan daun-daun yang bertebaran jatuh di tanah dan melayang lagi tertiup angin. Nyuk In mainkan pit dan kipasnya dengan cepat dan tubuhnya berkelebatan ke sana ke mari dengan amat cepat. Pada saat itu, terdengar suara bentakan nyaring dengan diiringi melayang sesosok tubuh yang telah terjun ke dalam pertempuran itu dan menggerakkan pedangnya. Tiga orang bajak laut yang tidak menduga-duga akan serangan dari orang yang di belakang ini, menjadi terkejut bukan main. Cepat mereka membuang diri ke samping menghindarkan samberan pedang yang dapat ditangkap oleh pendengaran telinganya itu. Akan tetapi betapa kaget hati mereka ketika sebuah angin pukulan menyambarnya dengan cepat. Tak keburu mereka mengelak, terpaksa mereka mengangkat tangan menangkis. “Dess!” Tubuh tiga orang itu terlempar jauh dan mati pada saat itu juga. Biauw Eng menggerakkan pedangnya lagi, dan matilah salah seorang yang tak keburu menghadapi sambaran pedang yang aneh dan amat cepatnya itu.
  • 477
  • Hok Sun yang telah sampai di situ menjadi kaget setengah mati melihatkan keganasan Biauw Eng ini. Iapun maju menerjang mendekati gadis itu sambil berkata: “Eng-moay, jangan sembarangan membunuh!” “Tidak perduli,” sahut gadis itu dengan suara masih agak ketus dan marah. Memang entah mengapa gadis ini masih kesal hatinya kepada pemuda ini. Hatinya merasa panas seperti dibakar ketika tadi melihat Nyuk In telah berada di kelenteng ini, malah iapun segera menghadapi musuh-musuhnya dengan gagah perkasa. Ia menjadi panas, seakan-akan gadis itu hendak memamerkan kepandaian di depanku, pikirnya. Oleh sebab itulah begitu ia muncul, dalam segebrakan itu ia telah membunuh tiga orang bajak yang tak keburu menangkis pukulannya. Kedatangan dua orang ini, membuat dua orang Sam-hauw-huang-ho menjadi keder hatinya. Apalagi menghadapi gadis yang baru datang ini ilmu pedangnya aneh dan kuat, lama kelamaan si gendut yang pendek sangat terdesak, dan dengan permainan goloknya menjadi kacau. Bentakan-bentakan Biauw Eng ini membuat permainan goloknya menjadi lemah. Pada saat itu ia menerjang membacok, Biauw Eng mencelat ke atas dan sekali menggerakkan kakinya menendang, golok di tangan si gendut pendek terlepas dari pegangannya. Dan menyusul tendangan kedua dari gadis itu dengan sengitnya membuat si gemuk pendek terjengkang, pedang Biauw Eng berkelebat menyambar.
  • 478
  • “Ceepp!” Darah merah muncrat dari dada si gemuk pendek itu, mulutnya menggereng seperti babi disembelih, kemudian ia terkulai lemah dan matilah ia dengan mata melotot menakutkan. Hok Sun kaget sekali melihat keganasan gadis ini, berkali-kali ia mencegah Biauw Eng, semakin dicegah semakin bernapsu gadis ini untuk membunuh lawannya! Nyuk In juga melihat keganasan gadis yang baru datang itu. Akan tetapi ia tidak bilang apa-apa. Memang sudah sepatutnya bajak-bajak laut ini mampus! Pikirnya. Kipasnya menyambar menampar dan orang ketiga dari Sam-hauw-huang-ho yang bernama Ong Lun itu terjengkang dan menyusul pit panjang menotok robohkan orang bajak itu. Sebentar saja habislah duapuluh tiga bajak-bajak laut itu berikut tiga orang yang berjuluk Sam-hauw-huang-ho. Ong Lun yang tertotok tak dapat bangun itu memandang gadis berkipas dan memaki kalang kabut. “Kalian….. bertiga sudah membasmi bajak-bajak laut, awaslah kau….. Hay-ong-pang tidak akan membiarkan penghinaan ini, sebentar lagi Hay-ong-pangcu akan membunuh kalian…. Ahhgg.” Pedang Biauw Eng menyambar leher orang yang tengah memaki itu. Keruan saja Ong Lun tak dapat meneruskan kata-katanya dan lehernya putus tersambar pedang. Hok Sun kaget sekali melihat keganasan Biauw Eng. Ia menoleh, pandangannya menegur gadis yang menatapnya, pula menantang.
  • 479
  • “Kenapa kau tidak senang ia kubunuh-bunuhi mereka semua!” Biauw Eng menyatakan kemengkalan hatinya. Hok Sun menarik napas panjang. “Bukan aku tidak senang Eng-moay….., akan tetapi tidak seharusnya kau menjatuhi tangan maut kepada mereka.” “Ooo….. jadi kau tidak senang? Apakah perbuatanku membunuhi mereka ini kau anggap salah? Mereka bajak laut, mereka jahat…… sudah seharusnya kubunuh! Kau mau apa?” Akhirnya Hok Sun bo-hwat atau kehabisan akal, menghadapi gadis ini, dia tahu kalau Biauw Eng sedang marah seperti itu, tak boleh diganggunya. Akan tetapi yang membuat ia heran, mengapa gadis ini masih marah terhadapnya? Padahal ia telah minta maaf tadi siang, hemm, begitu besarkah cemburu Biauw Eng terhadapnya….. berdebar dada Hok Sun. Akan tetapi ia tidak meladeni gadis ini. Waktu ia menoleh dilihatnya Nyuk In sudah berhadapan saling pandang dengan gadis kerudung hitam seakan-akan dengan pandangan masing-masing mereka mengukur tingkat kepandaiannya. Tiba-tiba terdengar suara mendesing keras. Pedang di tangan gadis kerudung hitam ke luar dari sarung dan tanpa berbicara apa-apa lagi ia menerjang gadis di depannya yang telah siap dengan kipas dan pit di tangan! “Bagus!” kata Nyuk In yang segera meloncat ke belakang menghindarkan sambaran pedang gadis kerudung hitam yang mengeluarkan suara mendesing saking kuatnya, segera ia
  • 480
  • ayunkan tangan kirinya membalas. Sebuah angin pukulan yang keluar dari kipas hitam bergelombang menyambar dada si gadis kerudung hitam yang dapat berkelit dengan baik pula! “Rasakan ini!” bentak gadis kerudung hitam itu dan ketika tangan kirinya terayun puluhan jarum halus menyambar mengeluarkan angin lembut. Menghadapi serangan senjata rahasia yang berbahaya ini, Nyuk In memperlihatkan kepandaiannya. Ia tahu bahwa ia tak dapat berkelit, maka ia menggunakan kipasnya mengebut hingga beberapa jarum yang menyambar tuhuhnya dapat dipukul runtuh. “Lihai!” Gadis kerudung hitam itu memuji dari balik kerudung yang menutupi mukanya tapi kini ia berada dekat dan menyerang dengan pedangnya. Nyuk In menangkis dengan pit di tangan kanan dan balas menyerang. Hebat sekali kepandaian gadis kerudung dari Sian-li-pay ini dengan mengandalkan gin-kangnya yang tinggi dan ilmu pedangnya yang luar biasa itu, ia dapat menghadapi serangan Nyuk In yang bersenjata kipas hitam dan pit ini. Hanya kadang-kadang ia terhuyung-huyung apabila kipas hitam di tangan gadis yang lihai itu membentur pedangnya. Memang dalam hal tenaga lwekang rupanya gadis kerudung hitam ini kalah setingkat dengan Nyuk In! Hanya mengandalkan kelincahan tubuhnya inilah gadis kerudung hitam ini berhasil menghindarkan serangan pit yang lihai dan pukulan yang mengeluarkan tenaga dahsyat itu.
  • 481
  • Gadis kerudung itu berkelebat ke sana ke mari di atas serangan ujung pit yang menyambar-nyambar dahsyat, hingga merupakan seekor kupu-kupu terbang bermain di atas bunga-bunga yang tengah mekar! Diserang dan kadang-kadang terbungkus oleh gerakan-gerakan kipas dan pit yang mengeluarkan sinar hitam bagaikan kilat menyambar! Limapuluh jurus lewat, sebetulnya Hok Sun ingin membantu gadis itu, akan tetapi melihat wajah Biauw Eng yang masih merengut tak senang, ia urungkan maksudnya dan menonton dengan dada berdebar tegang. Kagum dan terkejut ia melihat dua orang gadis yang bertempur dengan amat serunya ini, mereka itu sama-sama lihay, sama-sama mempunyai kepandaian silat tinggi! Hemm, melihat ilmu silat gadis kerudung hitam itu, belum tentu ia dapat menandingi, pikirnya. Tiba-tiba ia mendengar suara gadis kerudung hitam membentak. “Robohlah!” dan tangan gadis kerudung hitam itu melepaskan bola hitam merupakan pelor yang menyambar ke arah pundak Nyuk In. Ketika Nyuk In mengebut dengan kipasnya, pelor hitam itu mental ke samping akan tetapi begitu pitnya menyambar membentur pelor itu, tiba-tiba benda bulat hitam itu meledak dan dari dalamnya menyambar berpuluh-puluh jarum beracun ke arah Nyuk In. Tentu saja gadis ini menjadi terkejut sekali dan dengan gugup tubuhnya mencelat ke udara. Tapi karena serangan jarum-jarum beracun itu amat banyak dan cepat seperti seekor panah yang melesat dari busurnya, tak urung sebuah di antara jarum beracun itu menancap di kaki Nyuk In.
  • 482
  • Gadis itu merasa kakinya panas sekali dan kepalanya pening maka dari atas gadis itu meluncur jatuh dengan kepala lebih dulu! Biauw Eng dan Hok Sun kaget bukan main, mereka hendak memburu bergerak menolong, akan tetapi gadis kerudung hitam yang telah mencelat di depan mereka dan membentak, “Jangan bergerak!” Terpaksa mereka urungkan maksudnya dan memandang ke arah gadis itu. Ternyata Nyuk In biarpun sudah terluka dan keracunan jarum pada kakinya, ia masih dapat mengumpulkan tenaganya. Ketika tubuhnya melayang jatuh, ia mengerahkan pit dan kipas memukul tanah dan tubuhnya membal lagi ke atas dan berpok-say (membuat salto) tiga kali, ia turun dengan terhuyung-huyung dan pingsan! Biauw Eng cepat memeriksa. “Celaka! Ia terkena jarum beracun, tapi jangan kuatir....... aku kebetulan membawa pil penolak racun,” berkata demikian Biauw Eng memasukkan pil ke dalam mulut Nyuk In. “Awas!” Tiba-tiba Hok Sun berseru dan cepat ia mendorong tubuh Biauw Eng dan ia sendiri bergulingan. Suara halus terdengar ketika puluhan jarum lewat di atas kepalanya. Melihat kecurangan gadis kerudung hitam ini, Biauw Eng membentak marah dan mengirim tusukan pedang. “Gadis sialan, jangan berlaku curang!” Suara pedang berdesing waktu Biauw Eng menyerbu maju menyerang gadis kerudung
  • 483
  • hitam yang terdengar tertawa mengejek dan mengelak dari sambaran pedang. Pada saat itu, berkelebat beberapa sosok bayangan. Dan tahu-tahu di sekitar kelenteng tua ini bermunculan orang-orang tua yang berpakaian seperti pengemis, penuh tambalan dan warna pakaiannya berkembang-kembang. Orang yang di depan itu adalah seorang kakek pengemis, sudah tua sekali, tubuhnya bongkok dan memegang tongkat butut, bergoyang-goyang tubuhnya waktu menuding ke arah Biauw Eng yang sudah meloncat mundur. “Kalian ini dua ekor tikus, berani kurang ajar terhadap Sian-li-pay dan tidak memandang mata kepada Hwa-ie-kay-pang (Perkumpulan pengemis baju kembang. Hayo berlutut!” Aneh sekali, begitu tongkat butut itu ditudingkan, baik Hok Sun maupun Biauw Eng tergetar kakinya dan terus melosoh lumpuh. Inilah totokan yang dikirimkan melalui suara tadi. Suara yang hanya dapat digunakan bagi orang yang sudah mempunyai kepandaian lwekang tingkat tinggi. Hok Sun dan Biauw Eng terkejut bukan main. Biauw Eng hendak memaki, akan tetapi urat lehernya sakit dan ia tak dapat berbicara, karena urat gagunya telah ditotok. Inilah hebat.
  • 484
  • Kakek pengemis bongkok baju kembang-kembang itu menjura hormat kepada gadis kerudung hitam. “Sianli, mereka inikah yang telah membuat onar di Sian-li-pay?” Gadis kerudung hitam itu menggelengkan kepala, “Bukan mereka,” katanya menunjuk kepada Biauw Eng dan Hok Sun, “akan tetapi gadis inilah…… ia sudah terluka kena jarumku!” “Oh….. ya, gadis yang bersenjata kipas dan pit itu?” Gadis kerudung hitam mengangguk dengan angkuh ia mengedikkan kepalanya dan memerintah, “Pangcu Hwa-ie-kay-pang, kutitipkan mereka bertiga ini kepadamu, untuk seterusnya yang bersenjatakan kipas dan pit harus diserahkan kepada Sian-li-pay! Selamat tinggal!” Sekali menggerakkan tubuhnya, gadis perkasa Sian-li-pay itu sudah mencelat pergi. Kakek pengemis bongkok yang memegang tongkat butut itu berjalan perlahan menghampiri Nyuk In yang masih pingsan. “Ho ho ha ha! Rupanya gadis ini yang dikabarkan membuat heboh di Sian-li-pay, sungguh berani mati!” suara yang serak dari kakek pengemis itu terdengar mengakak, menggeletar-geletar! Sekali tongkat butut di tangan kakek bongkok pengemis itu bergerak, tubuh Nyuk In yang masih pingsan itu terlempar sejauh lima meter dan jatuh di dekat kaki seorang pengemis baju kembang-kembang.
  • 485
  • “Tawan gadis itu, jangan sampai lolos dan kabarkan kepada Pay-cu Sian-li-pay bahwa gadis itu berada di Hwa-ie-kay-pang. Dan dua orang muda itu,” kakek pengemis bongkok itu menunjuk ke arah Hok Sun dan Biauw Eng, “Bawa ia ke markas, laporkan kepada Sianli Ku-koay……!” “Baik pangcu!” sahut kakek pengemis baju kembang yang bertubuh tinggi sambil memondong tubuh Nyuk In dan memerintahkan kepada pengemis baju kembang lain untuk membawa tubuh Hok Sun dan Biauw Eng yang tak berdaya pingsan. Maka hari itu, biarpun bulan muncul sedikit akan tetapi sinarnya masih cukup terang untuk mengusir kekelaman malam. Bagaikan setan-setan bergentayangan, berkelebat bayangan hitam yang berlari mereka yang lincah dan riang mudah diduga bahwa pengemis Hwa-ie-kay-pang ini berkepandaian cukup tinggi. Biauw Eng dan Hok Sun tak berdaya dalam pondongan pengemis yang lihai ini sementara ia melirik ke arah tubuh Nyuk In legakan hati mereka melihat gadis itu sudah sadar dari pingsannya dan perlahan-lahan menggerakkan kepala. Akan tetapi tentu saja gadis itupun tidak berdaya dalam pondongan kakek pengemis yang berlari dengan amat cepatnya. Angin malam menerpa tubuh mereka yang dipondong dibawa lari cepat. Ada kira-kira sepuluh orang kakek pengemis yang berlari-lari cepat mengikuti di belakang, sedangkan kakek pengemis bongkok sudah tidak kelihatan lagi, entah kemana!
  • 486
  • Di dalam keremangan malam itu, samar-samar terlihat sebuah gedung besar dan mentereng berdiri dengan megahnya. Mereka memasuki gedung itu dan langsung masuk ke ruang dalam. Ruangan dalam amat terang oleh sinar lilin besar yang menyala di pojok ruangan. Beberapa pengemis tua, berpakaian seragam baju kembang berdiri tegak seperti penjaga. Mengangguk hormat waktu rombongan pengemis yang memondong tubuh Nyuk In berlalu di depannya beberapa pengemis lain berpencar. Dua orang pengemis yang memondong tubuh Hok Sun dan Biauw Eng dibawa masuk ke ruangan lain, membelok ke kiri dan apabila di depan pintu yang tertutup rapat, seorang pengemis mengetuk pintu itu. Tiga kali ia mengetuk. “Siapa?” terdengar suara nyaring dan merdu dari ruangan dalam. Dan begitu pintu itu terbuka, seorang gadis berkerudung hitam pada mukanya muncul dan langsung bertanya: “O, It Lokay dan Jie Lokay yang datang, ada apakah?” “Sianli, mohon bertemu dengan Niocu, kami membawa dua orang tawanan. Pangcu menyuruh kami menyerahkan kepada Niocu!” Gadis kerudung hitam yang dipanggil Sianli oleh pengemis baju kembang menoleh, mengawasi kedua orang tawanan dalam pondongan kedua orang pengemis itu. “Hemm, seorang wanita cantik dan pemuda tampan....... silahkan masuk Jie-wie lokay. Niocu berada di ruang dalam…….”
  • 487
  • Kedua orang pengemis itu masuk ke dalam, ternyata ruangan dalam di sini begitu luas dan angker nampaknya. Seorang wanita tua berusia sekitar limapuluhan, duduk di bangku yang terbuat dari kulit harimau, sedangkan di kanan kiri nenek itu berdiri dua orang wanita muda, cantik dan gagah, berpakaian indah mentereng dan kedua pipi yang halus putih itu diulas tipis-tipis gincu yang berwarna merah muda. Nampak cantik sekali ke dua wanita muda yang berdiri di kanan kiri si nenek. Akan tetapi sepasang mata itu menyambar berkilat-kilat waktu melihat kakek pengemis baju kembang memondong seorang pemuda. Pemuda tampan dan gagah akan tetapi tak berdaya dalam totokan. Tubuhnya lemas dan lunglai waktu diturunkan oleh kakek pengemis baju kembang. Begitu juga dengan Biauw Eng. Ke dua orang pengemis itu berlutut. “Niocu, dua orang muda ini telah membunuh Sam-hauw-huang-ho dan anak buah bajak laut. Pangcu menyerahkan kedua orang muda iai untuk mendapat pertimbangan dari Niocu yang mulia….. salah seorang dari kedua kakek pengemis itu membuka suara sambil berlutut. Sepasang mata nenek itu menyambar tubuh Hok Sun dan Biauw Eng. Memandang tajam ke arah dua orang muda ini. Suaranya terdengar nyaring dan berwibawa: “Kalian siapa? Mengapa kalian membunuh Sam-hauw-huang-ho?” Akan tetapi, tentu saja kedua orang muda ini tidak dapat berkata, karena urat gagu mereka telah tertotok.
  • 488
  • Mengetahui ini, si nenek memerintahkan kepada ke dua orang pengemis yang masih berlutut dengan sikap hormat dan takut. “Bebaskanlah mereka agar mereka dapat menjawab pertanyaanku!” Dua orang kakek pengemis itu menurut perintah. Dua kali tangan mereka bergerak ke arah leher Hok Sun dan Biauw Eng, ke dua orang muda itu telah terbebas dari totokan. Biauw Eng mencelat berdiri. Diikuti oleh Hok Sun. Berdiri dengan gagahnya menghadap si Nenek. “Gagah dan tampan,” bisik si Nenek. Sepasang matanya memandang tubuh Hok Sun yang tinggi tegap dan menyelusuri wajah yang tampan itu. Melihat dua orang muda ini berdiri tegak, tidak berlutut seperti ke dua orang kakek pengemis baju kembang, seorang gadis kerudung hitam yang tadi membukakan pintu, maju dan membentak. “Berlutut kau!” Biauw Eng menoleh. Memandang gadis yang berkerudung pada mukanya, mendengus perlahan: “Hemm, kau menyuruh aku berlutut kepada siapakah?” “Gadis dusun, kau berhadapan dengan Sianli Ku-koay…… Nio-cu kami, hayo berlutut!” bentak gadis kerudung itu. “Ooo, jadi nenek di situ itu Sianli Ku-koay, hemm, apa perlunya kami berlutut, dia bukan dewi, bukan dewa, mengapa harus dipuja?”
  • 489
  • Baru saja si gadis kerudung hendak membuka mulut memaki, tiba-tiba terdengar suara si Nenek: “A Lan, gadis di depanmu itu cukup gagah, coba kau layani dia!” Gadis kerudung hitam yang dipanggil A Lan oleh si Nenek Sianli Ku-koay menjura mengangkat sepasang tangannya: “Baik Nio-cu, biar teecu memberi hajaran kepada gadis dusun yang tak tahu sopan ini!” Berkata demikian, A Lan mencabut pedangnya. Melihat ini, Hok Sun cepat-cepat menghadang Biauw Eng dan berkata: “Eng-moay, jangan mencari keributan disini.......” Biauw Eng menoleh kepada Hok Sun. “Aku disuruh berlutut, siapa sudi?” “Sudahlah....... jangan ribut........ mari kita bicara baik-baik dengan nenek itu....” Hok Sun memegang lengan Biauw Eng, akan tetapi gadis itu mengibaskan lengannya. “Tak sudi aku! Biar kuhadapi gadis sombong itu,” sambil berkata demikian Biauw Eng telah mencabut pedangnya. Melihat gadis ini menarik pedang, tahulah nenek itu bahwa A Lan belum tentu dapat menghadapi gadis ini, akan tetapi ia membiarkan ketika A Lan mulai menyerang Biauw Eng, suara pedang terdengar beradu.
  • 490
  • Dalam segebrakan itu kedua duanya mencelat mundur. Berdiri berhadapan, saling memandang, seakan-akan tengah mengukur kepandaian lawannya masing-masing melalui pandangan mata. Hok Sun berdiri memandang gadis temannya itu. Ia tahu bahwa Biauw Eng mempunyai watak yang keras dan tak mungkin dapat disabarkan lagi. Dengan tegang ia berdiri memandang kedua orang gadis yang sudah saling gempur dengan amat serunya. Biauw Eng memainkan ilmu pedangnya dari kitab kuno yang pernah ia pelajari. Karena waktu ia baca kitab itu, banyak huruf-huruf yang sudah tidak dapat dibaca dan agak kabur, maka ia tidak mengenal jurus-jurus yang ia mainkan. Ia hanya menurut gerak ilmu silat pedang yang ia pelajari dari gambar-gambar yang tertera pada kitab kuno, maka sudah barang tentu setiap jurus ia namai sendiri menurut kehendak hatinya. Sebetulnya gadis ini juga tidak mengenal siapa pencipta kitab kuno itu, maka boleh dibilang ia sama sekali tidak mengerti dari golongan mana ilmu pedang ini. Akan tetapi sesungguhnya luar biasa sekali ilmu pedang yang ia mainkan ini, sinar pedangnya berkeredep cepat dan kadang-kadang nampak percikan bunga api di udara waktu kedua pedang itu beradu. Ke dua-duanya tergetar hebat. Nampak ke dua-duanya terhuyung ke belakang. Melihat ini tahulah Hok Sun bahwa kepandaian Biauw Eng setingkat dengan gadis kerudung hitam itu. Selama Biauw Eng mempelajari ilmu pedang dari kitab kuno yang dia pelajari, baru kali ini ia menghadapi lawan yang cukup tangguh. Biauw Eng yang berwatak keras menjadi penasaran dan marah.
  • 491
  • Ia mainkan pedangnya lebih cepat lagi sementara mulutnya melengking tinggi membuat gerakan pada pukulan-pukulan tangan kiri dan sesudah ada kurang lebih limapuluh jurus mereka bertempur, nampak tubuh keduanya terbungkus oleh sinar pedang yang berkelebat ganas. Gadis kerudung hitam juga nampak menjadi sengit, mainkan ilmu silatnya lebih hebat lagi! Pandangan mata Sianli Ku-koay berkilat-kilat memandang pertempuran yang tengah berlangsung dengan serunya. Ia tahu, bahwa A Lan tak dapat menandingi gadis itu. Tiba-tiba terlintas sebuah pikiran yang membuat bibir nenek itu tersenyum girang. Gadis ini, demikian lihay, belum lagi pemuda tampan yang berdiri itu, belum ia tahu sampai di mana tingkat kepandaian pemuda itu, kalau ia dapat menaklukkan orang-orang muda yang lihay ini dan menjadi pembantunya, hemm, merupakan tenaga muda yang boleh diandalkan, demikian Sianli Ku-koay berpikir. Tiba-tiba Nenek ini berteriak kaget. Hampir saja ia mencelat menyambar tubuh A Lan yang dengan entah dengan cara bagaimana tahu-tahu A Lan terpental ke atas dan meluncur turun dengan kepala di bawah pada saat itulah dengan gerakan kilat dan aneh, pedang Biauw Eng menyambar membabat. Hok Sun kaget sekali melihat gerakan ini, ia sudah bersiap-siap hendak melerai kalau seandainya Biauw Eng menjatuhkan tangan maut kepada gadis kerudung hitam. Akan tetapi, ia menarik napas lega dan berganti dengan rasa kagum yang hebat, karena begitu tubuh A Lan, meluncur dengan kepala ke bawah dan kaki di atas, pada saat ia mendengar suara pedang berdesing menyambar
  • 492
  • lehernya, dengan bentakan keras ke dua tangannya memukul lawan Biauw Eng menyambut pukulan tangan lawannya itu dengan dorongan tangan kiri. Pada saat itulah, dalam detik yang amat cepat A Lan meminjam tenaga dorongan lawan untuk mencelat lagi ke atas, tubuhnya membal ke udara, sementara pedang Biauw Eng luput dari sasaran. Gemas sekali Biauw Eng, ia memburu, mengelebatkan pedangnya waktu tubuh lawannya masih melayang di udara. “Singg!!” suara pedang menyambar angin. Tubuh A Lan berpok-sai tiga kali di udara dan hinggap di atas tiang penglari yang amat tinggi itu! Biauw Eng memandang ke atas. Membentak keras: “Turun kau!” “Ha ha ha, Sianli-Ku-koay tertawa nyaring, “A Lan kau turunlah, kau telah kalah……..!” “Teecu belum kalah Nio-cu, biar teecu layani sekali lagi gadis dusun ini!” A Lan mengelebatkan pedangnya. “A Lan, turun kau!” nenek Sianli Ku-koay memerintah. “Niocu....... kau mundur....... biar Jie-wi Lokay menghadapi pemuda tampan, Eh, A Hok dan A Pin kau hadapilah pemuda itu!” Kedua pengenais baju kembang yang disebut Ji-wie Lokay, bangkit dan menjura kepada Sianli Ku-koay. A Hok berkata dengan suara sember: “Kami bersiap sedia melayani pemuda ini……”
  • 493
  • “Majulah!” Si nenek Sianli Ku-koay memerintah. Hok Sun tak mengerti. “Apa-apaan ini, mengapa aku dan Biauw Eng diuji seperti ayam jagoan? Apa maksud si nenek ini?” pikir Hok Sun heran memandang nenek di depannya!” “Ha ha ha, orang muda. Kau berkenan mengunjungi Hwa-ie-kay-pang, memang penyambutan kami begitu. Setiap orang luar yang datang ia harus diuji, barang siapa yang kalah oleh orang-orangku yang kutunjuk sebagai penguji, ia itu harus mati! Akan tetapi jika kalian menangkan orang-orangku, kami akan menyambutmu sebagai tamu kehormatan. Kulihat kau bukan pemuda lemah…… cobalah hadapi ke dua orang-orangku ini!” Hok Sun maju selangkah menjura dengan sikap hormat. “Niocu…….” Hok Sun ikut-ikutan memanggil nenek ini dengan sebutan Nio-cu seperti yang ia dengar tadi: “Apa maksudmu? Mengapa kau mengadu kami seperti jangkerik aduan? Kami tidak ingin berkelahi Nio-cu.” “Akan tetapi kau harus menghadapi kedua lo-kay itu? Orang muda apakah kau takut menghadapi kedua orang pengemis itu?” tanya Sianli Ku-koay, menatap tajam. Merah wajah Hok Sun dikata takut. Ia paling pantang untuk disebut penakut. Seorang gagah, tidak mengenal kamus penakut di dalam hatinya. Maka dengan gagah dan dengan dada sedikit agak membusung, Hok Sun berkata: “Aku tidak takut dengan dua lokay itu, atau
  • 494
  • dengan siapapun....... akan tetapi aku tidak sudi dijadikan binatang aduan seperti jangkrik. Niocu....... sebaiknya kau biarkan kami pergi!” “Ha ha ha, orang muda! Gagah juga perkataanmu. Akan tetapi tidak segagah perbuatanmu. Engkau kutantang menghadapi kedua orangku apakah kau tidak mau melayaninya? Apakah kau....... hemm, kau bilang kau bukan pemuda penakut....... nah hadapilah!” Biauw Eng membanting kakinya, membentak marah: “Nenek peot, nggak tahu diri....... berani kau menantang Hok Sun biarlah aku menghadapi dua jembel busuk ini!” “Singg!” suara pedang itu terdengar ditarik oleh Biauw Eng. “Eng-moay, jangan lancang!” Hok Sun mencegah. Biauw Eng mendengus marah: “Sun-ko, mereka menantangmu, mengapa kita harus mengalah?” “Diamlah, Eng-moay....... biar aku yang menghadapi,” Hok Sun menyuruh gadis itu menyarungkan pedangnya. Biauw Eng mengesut mundur ke belakang akan tetapi matanya berapi-api memandang Sianli Ku-koay. Dua orang kakek pengemis baju kembang yang dipanggil A Hok dan A Pin telah mencabut pedangnya masing-masing. A Hok kakek pengemis kurus tinggi, berjenggot putih menghampiri Hok Sun dan menegur dengan nada mengejek, “Orang muda, mengapa kau belum mencabut pedangmu, mau tunggu apalagi?
  • 495
  • “Lokay, aku tidak ingin berkelahi....... akan tetapi engkau telah menawanku dan membawa kami ke tempat ini, apakah aku hendak dijadikan jangkerik aduan?” Hok Sun menggelengkan kepala, tersenyum sinis. “Aku bukan jangkerik, juga bukan binatang aduan. Kalau memang nenek itu hendak merasai tajamnya pedangku, biar ia sendiri maju……” Merah wajah nenek Sianli Ku-koay, ia memandang marah kepada Hok Sun dan membentak kepada dua pembantunya: “Jie lokay. jangan banyak ngobrol....... serang pemuda itu!” “Nenek peot kau cerewet amat sih, kalau kau bernyali, sini turun, biar aku yang membeset mulutmu yang jelek itu!” Biauw Eng membentak marah. “Gadis binal, berani kau menghina Niocu? Makan ini!” A Lan yang masih panas hatinya membentak dan mengirim serangan tusukan pedang yang dahsyat. Biauw Eng menangkis, menggerakkan tangannya mendorong ke muka sambil membentak: “Perempuan gila, mukamu ditutup-tutup apakah wajahmu penuh keriput seperti si nenek itu, buka!” Angin pukulan menyambar ke muka A Lan, akan tetapi dengan cepat A Lan mengegoskan lehernya ke samping dan membalas memukul, tak lama kemudian kedua gadis itu sudah bertempur lagi dengan amat serunya. Kali ini ke duanya bertempur dengan amat hebat dan masing-masing saling berlumba untuk cepat-cepat menjatuhkan lawannya. Ke dua-duanya sudah sama-sama panas hati dan penasaran!”
  • 496
  • Sementara itu, Hok Sun juga terpaksa sudah mencabut pedangnya didesak oleh Jie-wie-lokay (dua pengemis), terkejut bukan main ia melihat betapa kedua orang kakek pengemis ini demikian lihai permainan pedangnya. Diam-diam Hok Sun mengeluh, “Celaka, ia telah memasuki sarang naga dan harimau, siapa tahu, ia dibawa kesini menghadapi lawan-lawan yang tangguh. Baru saja menghadapi dua pengemis baju kembang ini, ia sudah merasa terdesak apalagi kalau sampai si Nenek itu turun tangan. Wah, serba berabe. O ya, belum lagi dua orang gadis cantik yang berdiri di kanan kiri si nenek, entah sampai dimana lagi kelihayannya!” Akan tetapi ia mainkan pedangnya lebih hebat lagi. Hok Sun tidak berani semberono, dan ia lalu mengeluarkan ilmu pedang Hwie-hay-liong-kiam-sut bagian mempertahankan diri yakni gerakan naga laut mandi di air. Gerakan ini amat kuat dan merupakan benteng pertahanan yang sukar ditembusi oleh pedang lawan, pedangnya berputar merupakan segumpalan sinar perak yang melindungi dirinya. Akan tetapi biar bagaimana lihay, menghadapi kedua pedang di tangan dua pengemis baju kembang ini, ia harus berlaku hati-hati dan waspada. Ia sengaja belum mau membalas, memang ia sengaja hendak mengukur sampai di mana tingkat lawan. Bukan main kagum hati Sianli Ku-koay melihat kepandaian ilmu pedang yang kuat dan mantap di tangan pemuda tampan itu, melihat sepintas dia, tahu dia bahwa dua orang pengemis ini setingkat kepandaiannya dengan pemuda itu! Akan tetapi diam-diam ia merasa sayang kepada pemuda tampan ini.
  • 497
  • Memang inilah watak Sianli Ku-koay, meskipun wajahnya sudah keriput dan usianya sudah mencapai limapuluh lebih, akan tetapi melihat pemuda tampan ia masih tertarik dan bergairah, apalagi melihat potongan pemuda itu, tubuh yang bidang kuat dan wajah yang tampan....... diam-diam Nenek ini menelan air liurnya. Semangat mudanya bergelora-gelora, berdebar-debar darahnya, matanya berkilat penuh cinta dan napsu! Memang Sianli Ku-koay ini, sejak gadisnya pun telah menjadi gadis berandal. Entah berapa banyak lelaki yang telah menjadi korbannya. Dan sampai menjadi nenek-nenek sekalipun, ia masih doyan bermain cinta dan nafsu berahi! Di lain pihak, kedua pengemis baju kembang itu menjadi kagum dan juga merasa penasaran menyaksikan kepandaian permainan pedang yang kuat dari pemuda lawannya ini, maka A Hok, si pengemis tua yang bertubuh kurus kering itu berseru keras dan tiba-tiba ia menambahi serangan-serangan pedangnya dengan pukulan kiri yang penuh hawa sin-kang. Begitu kepalan tangan kirinya menyambar, Hok Sun merasakan angin pukulan yang bergelombang menyambarnya. Terkejut sekali ia merasakan hawa panas dari tangan kiri si kakek pengemis yang memukulnya itu. Maka dengan mengandalkan gin-kangnya, ia mencelat ke sana ke mari menghindarkan diri dari pukulan tangan kiri A Hok yang bertubi-tubi, sedangkan si kakek pengemis baju kembang yang dipanggil A Pin, sudah mengeluarkan sebuah cambuk hitam.
  • 498
  • Dengan pedang dan cambuk di tangan A Pin, lama kelamaan pemuda itu terdesak hebat, gerakannya mulai kacau dan lemah. “Lokay....... jangan kau membunuh!” Sianli Ku-koay yang tiba menjadi kuatir atas keselamatan pemuda itu berseru memperingati dua pengemis yang tengah menerjang lawannya dengan hebat. Tentu saja bagi kedua pengemis baju kembang ini, mereka sudah dapat meraba kemana maksud tujuan Niocu nya yang memperingatinya mereka tadi. Diam-diam mereka merasa tak puas kepada wanita tua ini, yang mereka tahu nenek itu mata keranjang! Akan tetapi tentu saja ketidak puasan hati mereka ini, tidak berani diutarakan secara terang-terangan. Hanya mereka bertambah ganas mainkan pedangnya, bertambah sengit karena hati yang mendongkol! Sebetulnya, tak perlu lagi Hok Sun dikuatirkan, karena pemuda yang memang sangat berlaku hati-hati ini telah maklum pula akan kehebatan pedang lawan, maka tiba-tiba gerakan pedangnya berubah dan dengan amat cepat luar biasa ia telah mainkan ilmu pedang bagian menyerang yang disebut gerakan rajawali sakti menyambar api. Sinar pedang berkelebat dan angin pukulan yang datang dari tangan kiri pemuda itu bergerak-gerak menimbulkan hawa panas. Angin pukulan yang panas ini, sekarang dapat menangkis dan menolak kembali serangan-serangan pukulan tangan kiri A Hok, sedangkan pedangnya yang bergerak cepat bagaikan rajawali sakti menyambar di udara mendesak permainan cambuk di tangan
  • 499
  • kiri pengemis baju kembang yang bernama A Pin itu, tentu saja mengalami perobahan yang tidak disangka-sangka dahsyatnya ini. A Pin berlaku waspada dan mainkan ilmu cambuknya lebih hebat lagi, sehingga di ruang itu terdengar suara lecutan cambuk dan pedang beradu, membuat api lilin bergoyang-goyang tersambar lecutan cambuk. Tak terasa lagi si nenek Sianli Ku-koay berseru memuji: “Bagus!” Diam-diam nenek Sianli Ku-koay ini menjadi girang dan bangga ternyata kepandaian pemuda itu lebih setingkat dari kepandaian gabungan dua orang kakek pengemis baju kembang. Ia terus memperhatikan jalannya pertempuran dengan wajah berseri-seri, dilihatnya pedang Hok Sun bagaikan telah berubah menjadi seekor rajawali sakti yang menyambar-nyambar dan menyemburkan hawa panas dari mulutnya! Namun, dua orang pengemis baju kembang inipun lihai sekali. Biarpun kini ia terdesak hebat, namun berkat pengalaman dan keuletan tenaga yang digabung menjadi satu, mereka ini merupakan sebuah batu karang yang sukar sekali dirobohkan oleh ombak dahsyat yang selalu datang menghempasnya bertubi-tubi! Sungguh lawannya ini amat ulet dan keras! Hampir seratus jurus, Hok Sun mengeluarkan jurus-jurus Hwie-hay-liong-kiam-sut, akan tetapi belum juga ia dapat merobohkan dua orang pengemis ini. Peluh diwajahnya bercucuran....... akan tetapi ia terus mendesak dua pengemis baju kembang itu mengeluarkan jurus-jurus simpanan!
  • 500
  • Sianli Ku-koay maklum bahwa kalau dilanjutkan juga akhirnya ke dua orang pengemis itu akan kalah, maka ia memikir lebih baik dipisahkan saja sebelum kedua kakek itu roboh di tangan orang muda yang gagah ini, maka bagaikan layang-layang putus talinya, Sianli Ku-koay telah melompat dan dengan sekali mengangkat tongkatnya........ tahu-tahu baik Hok Sun maupun ke dua orang pengemis baju kembang sudah terlempar ke belakang tiga langkah. Sambil bergebrak demikian si Nenek itu membentak, “Cukup orang muda! Kepandaianmu cukup memenuhi syarat dan mendatangkan kegembiraan dihatiku. Marilah kita bicara sebagai seorang sahabat!” Hok Sun yang tadi dibuat kaget oleh gebrakan si Nenek yang telah membuat pukulan tangan kirinya dan kuda-kudanya tergempur hebat memandang kagum kepada Nenek ini. Lalu pandangannya beralih ke arah Biauw Eng yang sedang seru-serunya melawan nona kerudung hitam. Sianli Ku-koay juga menoleh. Begitu tangan kirinya mendorong ke depan. Tahu-tahu dua orang gadis yang tengah bertempur itu melayang jatuh terlempar tiga meter jauhnya dalam keadaan masih berdiri. “A Lan, cukup! Mundurlah kau……” kemudian Nenek ini menoleh kepada Biauw Eng dan tersenyum manis: “Nona kepandaianmu hebat dan mengagumkan hatiku….. sudahlah....... perselisihan kita sampai di sini…….” Biauw Eng tak berkata apa-apa. Ia menghampiri Hok Sun. Berdiri sambil memegang pedang telanjang di samping pemuda itu.
  • 501
  • Hok Sun menoleh dan berbisik, “Eng-moay masukkanlah pedangmu!” “Hem?” Biauw Eng mengerutkan alisnya tak senang, akan tetapi Hok Sun memberi isyarat dengan kedipan mata. Didengarnya si Nenek sakti itu bertepuk tangan tiga kali. Beberapa orang gadis cantik menghampiri berlutut, “Hamba siap menanti perintah!” “Keluarkan hidangan, atur meja makan di ruang ini dan panggil musik,” dan sesudah berkata demikian si nenek itu menoleh kepada Biauw Eng dan Hok Sun, “Jiwi-enghiong, silahkan duduk!” Nenek itu berjalan menuju tempat duduknya dan tak lama kemudian, gadis-gadis cantik dengan amat cekatan dan teratur telah memasang meja bundar dan hidangan berupa makanan-makanan yang lezat dikeluarkan, arak wangi dan musik membaur di ruangan itu. “Jiwi enghiong, kalian mengagumkan hatiku. Ketahuilah bahwa kami adalah persekutuan Hwa-ie-kay-pang, ketua kami sedang ada urusan dengan seorang sahabat di Sian-li-pay….... dan aku yang tua ini, disebut Sianli Ku-koay mewakili pangcu Hwa-ie-kay-pang……” “Ooo, jadi Niocu ini adalah wakil ketua Hwa-ie-kay-pang yang lihai.......” Hok Sun mengangguk-angguk, menenggak arak wangi. “Akan tetapi bolehkan aku tahu, apakah itu Hwa-ie-kay-pang?”
  • 502
  • “Ha ha ha, Cong-su ini mungkin baru terjun ke dunia kang-ouw sehingga belum mengenal akan pergerakan Hwa-ie-kay-pang?” si Gadis cantik yang duduk di sebelah kiri Sianli Ku-koay bertanya, suaranya lantang dan merdu. Biauw Eng menjadi melotot memandang gadis cantik itu. Ingin sekali ia menggebrak meja dan memaki, akan tetapi Hok Sun, telah mendahuluinya membuka suara. “Kami memang masih hijau nona, maafkanlah!” Si gadis tersenyum manis. “Kau belum mendengar Hwa-ie-kay-pang?” “Baru kali ini aku mendengarnya dan bertemu dengan para locianpwee Hwa-ie-kay-pang yang gagah!” “Hmm, tokoh-tokoh Hwa-ie-kay-pang di gedung sebelah kanan ini, Cong-su. Hwa-ie-kay-pang mempunyai dua sayap, sayap pertama adalah kami inilah Niocu, Jie-lokay dan beberapa bidadari dari Sian-li-pay sedangkan sayap kiri adalah....... orang-orang gila yang sudah miring otaknya dan tidak waras, akan tetapi mereka lihai, pimpinan sepasang iblis gila yang disebut Jing-tok-siang-lomo, sedangkan sayap tengah adalah Hwa-ie-kay-pang dipimpin oleh pangcu Hwa-ie-kay-pang sendiri....... O ya, kalian berdua siapa namamu?” “Aku Lim Hok Sun, dan ini kawanku Sie Biauw Eng.......”
  • 503
  • “Ooo, saudara Hok Sun dan Nona Biauw Eng,” si gadis yang di sebelah kiri tersenyum. “Namaku Hwa, dan dia itu yang di sebelah kanan Niocu bernama Nio Nio, akan tetapi kami berdua dijuluki Lam-hay-nio-nio… Hemm, ya, terus terang saja karena kami tertarik akan kepandaian kalian yang amat hebat, maka kami mengeluarkan tangan untuk mengikat persahabatan dengan kalian. Ketahuilah bahwa Hwa-ie-kay-pang ini, luas sekali pergerakannya, baik dalam gerakan politik dan sosial dan keamanan kami menyelenggarakan banyak kegiatan…...” “O ya?” “Seperti misalnya,” menyambung Nio Nio yang duduk di sebelah kanan si Nenek, pandangannya berkilat mengeluarkan kerling tajam ke arah Hok Sun: “Pernah kalian mendengar tentang bencana alam misalnya, wabah penyakit dan kelaparan di sepanjang sungai Sin-kiang dan banjir besar di Tiongkok selatan?” Hok Sun tertarik sekali. “Justru tadinya kami hendak ke Wu-nian dan melihat saudara-saudara yang kabarnya menderita kelaparan dan banyak yang terserang penyakit. Hemm, siapa sangka kami bertemu dengan tiga bajak laut yang menamakan dirinya Sam-hauw-huang-ho… dan....... eh, akhirnya kami sampai disini.” “Kau berada di Wu-nian, Sun-tayhiap….. di gedung Hwa-ie-kay-pang ini…….” Sianli Ku-koay menyelak sambil meneguk arak wangi. Pandangan matanya menatap kagum ke arah pemuda di depannya itu.
  • 504
  • Hok Sun dan Biauw Eng terkejut bukan main, hampir berbareng mereka berseru: “Apa.......?? Aku berada di Wu-nian……?” “He he he, kalian mungkin tidak menyadari ini…… karena Jie-lokay membawamu pada malam hari.….. iya kan? Akh, mengapa kalian terkejut, bukankah kalian hendak ke sini....... melihat-lihat saudara yang terancam bahaya kelaparan dan penyakit. “Besok kalau ji-wie enghiong ingin melihat-lihat, boleh…... Kebetulan sekali Hwa-ie-kay-pang mendirikan sebuah panitia khusus menanggulangi korban kelaparan dan bencana banjir. Oleh karena itu….. kalau kalian tergerak untuk membantu tugas mulia ini, kami sangat mengharapkan pertolongan ji-wie untuk membantu pergerakan kami, tentu ji-wie setuju bukan?” “Tentu saja aku setuju!” berkata Hok Sun. Biauw Eng menoleh: “Sun-ko, kita harus selidiki dulu……. mengapa kau mengambil keputusan secepat itu….. tidak! Aku tidak ingin bergabung dengan Hwa-ie-kay-pang…….!” “Eng-moay, jangan berkata begitu. Ingat bukankah rencana kita juga hendak membantu pergerakan panitia penolong korban kelaparan dan bencana alam, mengapa kita menolak?” “Aku masih sangsi Sun-koko!” “Ha ha ha…... memang benar Nona Biauw Eng sebelum menyelidiki jangan dulu mengambil keputusan. Sun-tayhiap, sekarang kau mengasolah…... Besok pagi-pagi boleh kau ikut serta dengan panitia penanggulangan korban bahaya kelaparan
  • 505
  • yang akan bertugas akan membagi-bagikan sumbangan dan bahan makanan kepada penduduk di sepanjang sungai Sin-kiang. Begitukan seharusnya, Nona Biauw Eng?” Sianli Ku-koay tersenyum manis kepada Biauw Eng, akan tetapi pandangannya berkilat tajam dan pada akhirnya mengeluarkan senyum mengejek. “Niocu....... kami bersedia membantu pergerakan Hwa-ie-kay-pang, apalagi dalam tugas mulia menolong sesama manusia, tentu saja kami setuju....... akan tetapi bagaimana dengan kawan kami yang satunya yang juga tertawan oleh seorang anggota Hwa-ie-kay-pang?” “Tidak usah kuatir Sun-tayhiap….. tentu saja iapun akan diperlakukan secara baik-baik oleh orang-orang kami, besok pagi-pagi tentu kau akan bertemu dengan dia…..,” menyahut si gadis yang duduk di sebelah kiri Sianli Ku-koay. Tersenyum memikat kepada Hok Sun. Diam-diam panas hati Biauw Eng. Gadis-gadis di sini sungguh berani dan genit, pikirnya memaki! Akan tetapi ia diam saja. Menahan kemengkalan hatinya terhadap orang-orang yang memuakkan baginya ini, Biauw Eng tidak banyak bicara lagi. Ia mendengarkan saja si Nenek mengobrol ke barat dan ke timur menceritakan pergerakan Hwa-ie-kay-pang yang dipuji-pujikannya itu. Sementara Hok Sun hanya mengangguk-anggukkan kepalanya saja mendengarkan cerita si nenek yang menurut anggapannya memang amat menarik dan hebat!
  • 506
  • Betapa tidak? Kalau Hwa-ie-kay-pang adalah perkumpulan yang luas dan banyak hubungan dengan tokoh-tokoh di dunia kang-ouw dan merupakan perkumpulan sosial yang suka menolong rakyat dengan mendirikan panitia korban banjir dan panitia korban kelaparan yang mengancam penduduk di sepanjang sungai Sin-kiang dan Tiongkok selatan, tentu saja ia bersedia dengan senang hati membantu perkumpulan ini! Apa lagi setelah didengarnya bahwa temannya yang tadi siang baru dikenalnya itu, katanya diperlakukan secara baik-baik oleh orang-orang Hwa-ie-kay-pang di gedung yang agak terpisah. Lega hati Hok Sun! Lain lagi dengan Biauw Eng, gadis ini bertambah mendongkol akan kegenitan gadis-gadis di Hwa-ie-kay-pang sayap kanan. Apa lagi, setelah gadis-gadis kerudung hitam membuka kerudungnya. Alangkah cantik dan manis. Entah mengapa hati Sie Biauw Eng menjadi panas dan tidak senang apalagi kepada si nenek waktu mempersilahkan mereka istirahat, pernah nenek itu berkata, “Sun-tayhiap, silahkan istirahat di kamar yang telah disediakan…….” Begitu dara-dara cantik mengantarkan mereka ke kamar, Hok Sun berkata kepada gadis yang mengantar, “Nona, kami minta dua kamar saja, satu untukku dan yang lainnya untuk temanku ini…….!” “Maaf tayhiap, Niocu hanya memberikan sebuah kamar untuk kalian berdua….. silahkan masuk…..”
  • 507
  • “Tidak…… tak sudi aku, kalau si nenek nggak menyediakan tempat untukku, biarlah aku tidak sudi bermalam di tempat ini…. biar aku mencari rumah penginapan….” sahut Bianw Eng mendongkol. Pandangan matanya melongok ke dalam kamar, sebuah tempat tidur yang sudah terhias rapih dan indah, bersepray putih bersih, dari dalam kamar terhendus olehnya hio wangi yang menebarkan harum semerbak, harum yang merangsang hidung. Hok Sun juga heran sekali melihat kamar yang begini indah dan wangi seperti kamar pengantin saja layaknya. “Betul kata temanku ini, nona….. biarlah kalau kau tidak berkeberatan, kami minta kamar yang terpisah…..” berkata Hok Sun. “Ooo, maksud kalian tidurnya dipisahkan, begitu?” Hok Sun mengangguk. Si gadis tertawa genit, mengerling memikat kepada Hok Sun: “Menyesal sekali tayhiap, Niocu hanya menyediakan kamar ini untuk kalian…... kami tak berani bertindak lancang!” “Hemm, beginikah kalian menyambut seorang tamu? Kalau keberatan menyediakan kamar, mengapa mengundang kami. Sun-ko muak aku melihat tata cara di Hwa-ie-kay-pang yang gila ini, mari kita pergi…..!” Biauw Eng yang berwatak keras hati itu membalikkan tubuhnya dan berjalan cepat. Akan tetapi sekali mengenjotkan tubuh, seorang gadis Hwa-ie-kay-pang sudah berdiri di depan Biauw Eng.
  • 508
  • “Lihiap……. harap tidak pergi…..” katanya. Biauw Eng mencabut pedangnya. “Kau mau apa?” Hok Sun cepat menghampiri gadis temannya yang sudah mencabut pedang ini dan berkata: “Eng-moay, tahan!” Pada saat itu mendatangi Sianli Ku-koay. “A Hwa, sudah kau sediakan tempat untuk tamu kita….. eh mengapa kalian?” si Nenek Sianli Ku-koay bertanya. “Niocu, gadis binal ini nggak mau bermalam di kamar itu, minta dipisahkan kamarnya.......” A Hwa melapor. Sianli Ku-koay menatap Biauw Eng tajam kemudian ia tersenyum. “Nona Biauw Eng, maafkan kami….. kalau kau hendak tidur lain kamar biar kusuruh orangku untuk menyediakan kamar lain untukmu.” Akan tetapi Biauw Eng tidak menyahut. Merengutkan mukanya sambil memasukkan pedangnya kembali ke sarung. “Tayhiap, maafkan kekeliruanku....... kukira kalian ini sudah menjadi suami isteri, hemm, nggak tahunya masih pacaran saja ya? Maaf, maaf……..”
  • 509
  • Merah muka Hok Sun dan Biauw Eng mendengar perkataan si nenek ini, apa lagi kerling itu menyambar genit memberi arti, bertambah panas hati Biauw Eng. Ingin sekali menurut hatinya gadis itu menerjang maju, mengamuki gadis-gadis genit di Hwa-ie-kay-pang ini, akan tetapi....... ia menahan kemarahan yang hendak meledak itu dan berjalan mengikuti si Nenek ke kamar lain yang khusus disediakan untuknya! Akan tetapi, betapa terkejutnya Biauw Eng ketika begitu memasuki kamar yang terhendus hio wangi yang menyesakkan hidungnya, tiba-tiba dirasakannya kepalanya pening bukan main, dan ia menggeletak pingsan, di atas sprey putih bersih yang berkasur empuk itu. Bersamaan dengan itu terdengar suara tertawa genit dari gadis Sian-li-pay, menyingkap paha Biauw Eng dan menusukan jarum yang berwarna hitam pada paha itu…… Di kamar lain, terjadi kejadian yang sama. Begitu tidak lama Hok Sun memasuki kamar yang mengeluarkan bau harum dari hio wangi. Tiba-tiba dirasakannya kepalanya pening dan terasa amat ngantuk pada kelopak matanya, rasa ingin tidur yang hebat membuat pemuda itu merebahkan dirinya di pembaringan dan tidak tahu lagi apa yang terjadi pada dirinya! <> Bagaimana dengan Nyuk In? Benarkah ia diperlakukan baik-baik seperti kata Sianli Ku-koay kepada Hok Sun dan Biauw Eng. Tentu saja kedua orang muda itu tidak mengetahui apa yang terjadi pada diri Nyuk In di gedung sebelah kiri, gedung ini agak jauh terpisah dari gedung-gedung yang lain. Dihuni oleh sepasang iblis
  • 510
  • gila yang terkenal dengan julukan Jing-tok-siang-lomo, A Thiong dan A Mey. Kedua Iblis yang berkepandaian lihai ini ternyata dapat ditawan oleh pangcu Hwa-ie-kay-pang dan karena pengaruh racun hitam yang ditusukkan ke paha ke dua iblis ini melalui sebuah tusukan jarum, keruan saja sepasang Iblis jadi bertambah hilang ingatannya dan menjadi penurut yang taat atas perintah ketua Hwa-ie-kay-pang. Orang-orang Hwa-ie-kay-pang membangun gedung di sebelah kiri dan menculik pemuda-pemuda laki-laki gagah untuk diracuni otaknya sehingga merusak ingatan mereka menjadi gila seperti sepasang Iblis Gila Jin-tok-siang-lomo ini! Tak heran begitu Nyuk In, dibawa ke gedung yang semuanya terdiri dari orang-orang gila ini, ia menjadi barang permainan laki-laki kasar gila, anak buah Jin-tok-siang-lomo, akan tetapi gadis itu sudah sadar, meskipun sudah terluka dan tubuhnya masih terasa lemah, ia masih gesit dan dapat menghindarkan diri dari sergapan dan tangkapan-tangkapan kasar dari anak buah Sepasang Iblis gila Jin-tok-siang-lomo. Untungnya, kakek pengemis Hwa-ie-kay-pang ini memesan kepada Nenek dan kakek gila untuk tidak mengganggunya, sehingga begitu si nenek A Mey dan si Kakek A Thiong muncul, tak berani lagi orang-orang gila itu mengganggu Nyuk In....... Nyuk In dimasukkan ke dalam kerangkeng.
  • 511
  • Sementara anak buah Jing-tok-siang-lomo menari-nari seperti monyet yang mengagumi barang permainan yang menarik dan aneh! Melihat orang-orang ini bertingkah kegila-gilaan, diam-diam Nyuk In merasa kasihan sekali kepada orang-orang gila ini, anehnya meskipun mereka tertawa-tertawa girang, akan tetapi dari pelupuk matanya mengalir air mata yang menetes-netes dan sinar mata mereka nampaknya kuyu dan penuh penderitaan. Sementara orang-orang gila itu menari-nari di luar kerangkeng, Nyuk In meramkan matanya. Bersemedi untuk menyembuhkan racun hijau yang menjalar pada kakinya. Mengerahkan tenaga sin-kang dan mencari kesempatan untuk keluar dari dunia orang gila ini! ◄Y► 14 Beberapa tahun yang lalu daerah Tiongkok selatan terserang bencana alam yang cukup hebat. Musim kemarau amat panjang, untuk berbulan-bulan tak setetespun air yang membasahi bumi, sehingga sungai-sungai besar mengalami kekeringan dan membawa bibit-bibit penyakit menular yang menjangkiti penduduk. Sawah-sawah pada kering merekah dan retak-retak karena panas yang membakarnya dan semua sumur menjadi kering. Karena sungai-sungaipun menjadi kering dan ikan-ikan yang mati hingga penderitaan rakyat bukan main hebatnya. Semua tanaman
  • 512
  • mengering dan layu, sawah-sawah menjadi tandus dan merupakan lautan tanah gersang yang tak dapat ditumbuhi tetanaman lagi. Rakyat kecil, terutama golongan kaum tani menjerit-jerit mengharapkan datangnya hujan. Akan tetapi sampai berbulan-bulan itu hujan belum juga turun. Udara bukan main panasnya. Rakyat di daerah selatan menjerit-jerit karena persediaan bahan makanan semakin menipis, terutama sekali kesengsaraan ini terasa benar bagi rakyat kecil, rakyat yang tak mampu untuk menampung gandum, sedangkan hari demi hari terasa benar bahaya kelaparan mengancam penduduk. Terutama rakyat pinggiran, para petani dan orang-orang miskin yang tak mampu lagi untuk membeli beras yang bukan saja sukar didapat, melainkan seandainya ada, harganya pun mencekek leher. Tak terjangkau oleh rakyat kecil! Bibir-bibir manusia mengering dan bibir merekah pecah-pecah. Mata menjadi merah karena terlalu banyak menangis dan karena hawa terlampau panas seperti dibakar. Hewan ternak banyak yang mati kepanasan dan kehausan. Tubuh-tubuh manusia dan hewan menjadi kurus kering kekurangan makan, hari demi hari berjatuhan korban-korban yang mati kelaparan! Doa-doa dinaikkan dari bibir-bibir yang kering merekah, dari jiwa yang haus dan lapar. Penduduk dusun bersembahyang siang malam memohon datangnya hujan. Dan pada saat yang amat genting, hujanpun datanglah. Jutaan manusia menyambut datangnya hujan pertama ini, mereka berlari lari ke halaman rumahnya menengadah kelangit
  • 513
  • mengucapkan syukur kepada Tuhan. Menadahi kedua tangan menghirup air hujan yang membawa harapan bagi jiwa-jiwa yang lapar dan berdahaga. Para petani mulai berseri-seri wajahnya menampakkan harapan-harapan di dada sambil menyeret cangkul dan arit kembali ke sawah, menggiring kerbau-kerbau mereka yang nampak sudah kurus kering dan lemah, akan tetapi binatang-binatang inipun seakan-akan merasa suka cita yang besar untuk turut gembira berjalan sambil mengibas-ngibaskan ekornya dan menguak panjang! Menjejak-jejakkan kakinya pada tanah yang mulai berair dan berlumpur! Akan tetapi. Ya, ampun…...! Hujan tak juga mau berhenti. Berhari-hari hujan turun tak henti-hentinya, bertambah lebat. Mengamuk, dan menyeret apa saja yang tergenang dalam banjir. Rumah-rumah pondok para petani habis disapu angin hujan yang semakin menggila. Air sungai Sin-kiang meluap, membanjir ke sawah-sawah, memasuki rumah-rumah pondok, menenggelamkan segala apa yang dapat diseret hanyut. Tak perduli ia itu manusia ataupun binatang, ataupun pondok-pondok, semuanya dihanyutkan! Mayat manusia mengapung dimana-mana, tersangkut pada tempat-tempat yang amat tinggi, menggeletak di dalam gubuk-gubuk yang tidak terseret banjir……. Amukan alam yang memperlihatkan kekuasaannya ini terasa sekali oleh penduduk sekitar kota Wu-nian, dusun-dusun di sekitar
  • 514
  • itu, terancam bahaya kelaparan yang mau tidak mau menarik perhatian pemerintah pusat. Mendengar laporan ini, Hong-siang (kaisar) mengirimkan sumbangan-sumbangan berupa uang dan bahan makanan. Para hartawan yang berhati dermawan mengirimkan sumbangan-sumbangan mereka melalui kota Wu-nian. Akan tetapi, sayang seribu kali sayang, alamat yang kirim dari orang-orang dermawan di kotaraja tidak menuju sasaran yang tepat! Sumbangan itu nyasar ke alamat yang lain, masuk kantong panitia-panitia yang berkedok sebagai panitia korban banjir, semakin menipis, semakin tersangkut sumbangan itu dan baru sebagian kecil itu, sampai ke dusun-dusun, itupun tidak dapat berbuat banyak! Apa lagi belum lama berselang ini, beberapa bulan yang lalu muncul perkumpulan pengemis baju kembang yang menamakan dirinya perkumpulan Hwa-ie-kay-pang. Mendirikan gedung yang besar dan megah. Perkumpulan inilah yang menampung sumbangan-sumbangan yang datang dari kotaraja! Dan perkumpulan Hwa-ie-kay-pang inilah yang menjadi panitia Korban Banjir, mengerahkan para pengemis meminta sumbangan kepada penduduk kota. Dan tak lama kemudian muncul lagi gadis-gadis kerudung hitam dari Sian-li-pay yang katanya mendukung Hwa-ie-kay-pang ini. Sudah barang tentu kota Wu-nian menjadi ramai dan pusat kegiatan budaya dan sosial!
  • 515
  • Bantuan pemerintah berupa sumbangan-sumbangan korban banjir terus mengalir dan belum lama ini, dikabarkan Kaisar mengirim limaribu tail emas untuk korban banjir! Hem, suatu perbuatan yang mulia dan patut dipuji. Manusia-manusia di luar daerah korban banjir menarik napas lega, mengharapkan bahwa saudara-saudaranya di daerah bencana banjir itu dapat ditanggulangi! Pada suatu hari, tatkala matahari sudah naik tinggi dan menyinarkan cahayanya di atas kepala, di luar pintu gerbang kota berjalan dua orang muda memasuki pintu gerbang Wu-nian, akan tetapi sampai di pintu gerbang itu, mereka dihadang oleh dua orang kakek pengemis yang berpakaian tambal-tambalan dan warna bajunya berkembang-kembang, sepasang kaki mereka telanjang dan tidak memakai sepatu. Dengan membongkokkan diri kedua pengemis itu mengangsurkan kaleng yang bertulisan: “Sumbangan Untuk Korban Banjir!” Keruan saja membaca tulisan ini, tergerak hati kedua orang muda itu dan mereka merogoh saku dan mengeluarkan dua tail perak, mencepluskan ke dalam kaleng yang diberi lubang kecil di atasnya. Akan tetapi alangkah heran hati ke dua orang muda itu, ketika setelah seorang ngemis berkata dengan nada yang kasar dan tertawa mengejek: “Ha! Masa menyumbang hanya dua tail perak, apakah artinya?” Kedua orang muda itu, yang tak lain adalah Kong Hwat dan Ho Siang berpandangan, tiba-tiba Ho Siang tersenyum dan merogoh lagi sakunya mengeluarkan setail perak, dimasukkan lagi ke dalam kaleng sumbangan.
  • 516
  • “Orang muda, kau rupanya bukan penduduk kota Wu-nian ya? Hemm, kalau ingin masuk....... tambahlah kaleng sumbang ini dengan limapuluh tail emas lagi….. he he he!” berkata kakek pengemis baju kembang yang tinggi kurus, dan rambutnya yang masih hitam itu riap-riapan ke pundak tidak tersisir rapih, kedua kakinya juga telanjang hingga ia nampak seperti seorang pengemis jembel. Sambil menimang-nimang uang satu tail itu si kakek mengekeh, mengepalkan tangannya yang memegang uang logam satu tail itu dan begitu tangan si kakek pengemis dibuka, nampak uang logam itu sudah hancur berkeping-keping menjadi lima potong. “Ee he he he, tambahi lagilah lima tail lagi…….!!” Melihat cara kakek ini meminta sumbangan dengan cara yang tidak sedap ini, Kong Hwat menjadi marah dan menyindir ketus: “Orang menyumbang harus berdasarkan hati rela dan suka, sama sekali tidak diharuskan menentukan besarnya sumbangan biar menyumbang sedikit asal memberinya dengan senang hati dan ikhlas, seharusnya diterima dengan baik! Mana ada aturan minta sumbangan dengan secara paksa?” Si kakek pengemis yang bertubuh kurus itu menjadi marah dan balas membentak: “Orang muda, jangan kau berkata lancang ya! Apakah kau tidak mengenal Hwa-ie-kay-pang?” Kong Hwat menggelengkan kepala. Tertawa lebar. “Aku tidak mengenal dengan segala macam pengemis, yang kutahu seorang pengemis hanya meminta dan memohon dengan
  • 517
  • cara halus, sehingga menggerakan hati orang untuk menaruh belas kasihan kepadanya dan memberi sedikit uang. Kau ini pengemis macam apa, pakaianmu belentang belentong, lagakmu seperti perampok……. menyesal aku telah mengeluarkan uang dua tail itu.” “Orang muda, karena kau orang baru bukan penduduk kota ini, aku mengampunimu asalkan kau berlutut dan menyembah padaku tiga kali, hayo berlutut!” Si kakek pengemis baju kembang yang bertubuh kurus itu menggerakan tangannya menekan pundak Kong Hwat. Akan tetapi alangkah herannya dia ketika merasa tangannya membentur benda yang lunak seperti kapas, tiba-tiba entah bagaimana caranya tahu-tahu tubuhnya menjadi kaku seperti patung. Berdiam setengah membongkok dalam keadaan tangan kanan melonjor ke depan yang tadi menekan pundak Kong Hwat. Melihat temannya sudah tertotok menjadi kaku seperti patung hidup, pengemis yang satunya, yang bertubuh pendek kate menjadi marah dan tahulah ia bahwa dua orang muda ini tentu mempunyai kepandaian silat, maka tanpa sungkan-sungkan lagi pengemis pendek itu sudah menerjang maju menggerakan tongkatnya yang tadi dipakainya untuk menunjang tubuhnya yang pendek itu. Serangan kakek ini kuat dan lihay, akan tetapi begitu Kong Hwat bergerak yang kedua kali, seperti temannya tadi, pengemis pendek inipun telah tertotok dalam keadaan seperti orang menyerang, cepat pemuda itu membawa kedua orang itu ke depan pintu
  • 518
  • gerbang kota dan ditaruh di kanan kiri pintu gerbang seperti sebuah patung. Keruan saja melihat kejadian ini, penduduk kota yang menonton menjadi heran dan terkejut. Akan tetapi diam-diam mereka senang juga melihat ke dua pengemis yang sombong dan suka memaksa orang meminta sumbangan itu kini dipermainkan oleh ke dua orang muda yang tak mereka kenal! Setelah merobohkan kedua orang pengemis baju kembang itu dan meletakkan ke duanya di depan pintu gerbang kota, Ho Siang bertanya kepada seorang penduduk kota yang tengah memandangnya kagum. “Lopek…. numpang tanya ya…… ke dua orang pengemis itu siapakah dan apakah mereka itu ditugaskan oleh panitia korban banjir untuk meminta sumbangan?” “Tayhiap, kagum sekali hati kami melihat kalian berdua yang masih begini muda akan tetapi berkepandaian hebat. Ketahuilah bahwa kedua kakek pengemis itu adalah anggota Hwa-ie-kay-pang yang terkenal di kota ini. Semua sumbangan-sumbangan korban banjir ditampung oleh perkumpulan ini. “Sekarang, hanya Hwa-ie-kay-pang yang berhak meminta sumbangan untuk korbar banjir....... akan tetapi.......” Kakek itu berhenti bercerita dan dengan pelan ia berbisik: “Orang-orang Hwa-ie-kay-pang tidak adil tayhiap, mereka sering meminta sumbangan dengan paksa dan menentukan jumlah sumbangan yang besar.”
  • 519
  • “Ooo…..” Ho Siang dan Kong Hwat saling berpandangan. “Terimakasih lopek,” Ho Siang dan Kong Hwat menjura kepada orang tua yang memberi keterangan, lantas keduanya dengan cepat memasuki kota Wu-nian dan tak lama kemudian tampak Ho Siang dan Kong Hwat sudah memasuki sebuah rumah makan yang cukup besar dan terkenal! Akan tetapi, kembali kedua orang muda itu dibuat heran karena begitu mereka masuk, nampak dua orang gadis kerudung hitam menghampiri dan menyodorkan kaleng sumbangan untuk korban banjir. “Kongcu, mohon sumbangan,” suara gadis dari balik kerudung sutera hitam itu terdengar merdu dan nyaring. Kong Hwat menoleh, dan apabila pandangan mereka terbentur kepada muka yang tertutup sutera hitam, baik Ho Siang maupun Kong Hwat menjadi terheran. Teringat mereka akan gadis-gadis yang pernah ditemuinya di Pulau Bidadari, hemm, apakah gadis-gadis inipun dari Sian-li-pay? “Kongcu….. sumbanglah sekedarnya,” gadis kerudung hitam itu berkata lagi. Kong Hwat mengeluarkan uang satu tail, diceploskan ke dalam kaleng sumbangan. “Kongcu…... tambahilah, masa setail?” “Loh, kau kan tadi minta sumbangan untuk sekedarnya, mengapa dikasih setail enggak mau. Orang menyumbang menurut
  • 520
  • keikhlasan hati dan kekuatan kantong. Kau kira aku hartawan yang banyak duit, sudah setail saja!” “Kongcu, paling sedikit orang harus menyumbang limapuluh tail. Kalau nggak gablek duit mengapa kau sok cukong menyumbang-nyumbang segala, huu, lagaknya saja…… keren, kantongnya kempes!” Gadis kerudung itu menggerutu dan keluar lagi dari rumah makan. Merah muka Kong Hwat dikatai sok cukong oleh si gadis, kalau saja tidak buru-buru Ho Siang mencegah, tentu ia akan mendamprat gadis itu lagi. “Hwat lote, gadis tadi berkerudung hitam….. apakah ia juga anak buah Sian-li-pay?” “Mungkin juga twako, menurut sepanjang pendengaranku gadis-gadis Sian-li-pay itu selalu tertutup mukanya....... ahh, mungkinkah Sian-li-pay beroperasi hingga sampai ke tempat ini?” Ho Siang tak menyahut. Seorang pelayan mendatangi sambil memberikan daftar makanan yang tersedia. Diterima oleh Ho Siang dan memesan beberapa macam masakan. “Hwat lote, kau bilang mengenai sumbangan Kaisar itu....... kau titipkan kepada panitia korban banjir manakah?” “O ya, justru sekarang kepingin kuselidiki. Pernah beberapa hari yang lalu kuberitahu kepada salah seorang panitia, akan tetapi, bukan Hwa-ie-kay-pang itu…….”
  • 521
  • “Panitia yang mana?” “Panitia tempo hari itu dipimpin oleh Wu-nian-sam-eng (Tiga Pendekar Wu-nian) akan tetapi heran……! Mengapa sekarang Hwa-ie-kay-pang yang menguasainya? Twako, nanti kita ke jalan Naga, aku masih ingat rumah panitia itu.” Seorang pelayan membawakan masakan yang tadi dipesan. “Boleh, setelah kita makan. Kita jalan-jalan sebentar. Hwa-ie-kay-pang harus kita selidiki. O ya, Hwat-lote kau hendak menemui Wu-nian-sam-eng itu?” “Ya, aku harus menanyakan tentang sumbangan Kaisar tempo hari kutitipkan padanya. Mari kita makan cepat-cepat, nanti kita ke jalan Naga…..,” sambil berkata demikian Kong Hwat makan tanpa berkata-kata lagi. Ho Siang juga meraih mangkok dan mengisi sedikit nasi dan menyendok masakan Tung-wang yang terkenal itu. Asap seakan membaur sedap melaparkan isi perutnya yang sejak sedari pagi ini belum menerima makanan apa-apa. Kong Hwat banyak sekali makan. Memang pemuda itu paling banyak makan, apalagi menghadapi masakan yang lezat ini. Rasanya baru kali ini ia merasakannya masakan yang benar-benar lezat. Tentu saja baginya selama mengikuti suhunya, Koay Lojin, ia hanya selalu tiap hari dihadapkan dengan masakan-masakan
  • 522
  • sederhana, dan ikan-ikan laut melulu hasil suhunya memancing. Jarang sekali suhunya membawa dia makan di rumah makan, biasanya ia makan hanya dengan ikan hasil tangkapan atau paling-paling dengan sayur-sayuran yang dimasak suhunya dengan amat sederhana sekali. Sebentar itu pula pemuda itu sudah menghabiskan tiga mangkok nasi putih dan sayur cap-cay yang amat lezat bagi lidahnya itu! Melihat temannya makan dengan gembul dan bernafsu, Ho Siang tertawa lebar sambil manawari makanan, “Hwat Lote, biar kupesan masakan lagi!” Kong Hwat menggeleng-gelengkan kepala dan menghabisi makanan di mangkuk yang dipegang seraya katanya, “Wa, wa, wa, cukup twako, jangan ditambah lagi, bisa meleduk perutku kekenyangan makan!” “Tak apa lote, kalau kau masih lapar pesan saja?” “Sudah, sudah kenyang perutku. Perutku sampai membuncit begini....... he he he he, memang enak sekali ya makan di restoran.” Kong Hwat menepuk perutnya yang buncit kekenyangan makan. Ho Siang berdiri, berjalan menuju tempat pembayaran makanan dan mengeluarkan uang. Sekembalinya, Kong Hwat sudah menanti di depan sambil memegangi perutnya yang terasa mulas. “Eh, kenapa kau pegangi perutmu?” datang-datang Ho Siang bertanya sambil tertawa menggoda: “Kekenyangan makan?”
  • 523
  • “Wah, saking banyaknya aku gado ikan tung-kwang, sehingga perutku sakit dan…. ssstt, rasanya kepingin buang air besar.......” Kong Hwat meringis, menahan pada perutnya yang terasa mulas. Kalau memang perlu dibuang, buanglah!” “Akan tetapi dimana?” Tentu saja di We Ce, hayo....... kau permisi kepada rumah makan itu…… jangan-jangan nanti kau berak di jalan….. berabe!” “Kau tunggu, ya!” Kong Hwat setengah berlari masuk ke dalam rumah makan. Ho Siang menunggu di luar sambil melihat-lihat orang-orang berlalu di jalan. Amat ramai sekali siang hari itu, orang-orang yang lalu-lalang di depan rumah makan ini. Tiba-tiba, serombongan orang-orang berkuda lewat di depan rumah makan dan Ho Siang melihat perajurit kerajaan berjalan berbaris dengan amat rapih, sedangkan barisan di depan. Orang-orang yang di pinggir jalan berhenti memandang barisan perajurit dari kotaraja. Nampak penunggang kuda yang di tengah adalah seorang jenderal setengah tua dengan diapit oleh dua orang wanita tua dan seorang hwesio tua muka hitam dengan jubah berwarna kuning. Inilah rombongan Bong Bong Sianjin atau yang terkenal dengan sebutan Bong-goanswe dan Hok Losu, bersama Nenek Kepalan Dewa Tanpa Tandingan yang terkenal dari Sian-li-pay, sedangkan
  • 524
  • nenek yang satu lagi adalah Sianli Ku-koay yang menjemput datangnya tamu-tamu agung yang mereka hormati. Nampak di antara rombongan itu seorang lelaki tua berusia empatpuluh tahun, akan tetapi nampak sudah amat tua lagi dengan tubuhnya yang kurus kering seperti tinggal tulang terbungkus kulit. Orang inilah Pay-cu Hek-lian-pay yang bernama Hek-sin-tung Pay-cu Teng Kiat. Berjalan dengan pandangan menghina menyapu orang-orang yang terdiri di pinggir jalan memandang rombongan yang lewat ini. Dan di belakang barisan berkuda, nampak gerobak barang yang didorong oleh perajurit-perajurit kerajaan. Hadir juga disitu, Oey Goan si Cambuk sakti yang mengepalai barisannya! Melihat rombongan yang terdiri dari tokoh-tokoh yang sebagian besar memang sudah dikenalnya, tertarik sekali hati Ho Siang dan diam-diam ia membututi rombongan itu. Sebelumnya ia meninggalkan sepucuk surat untuk Kong Hwat yang sedang buang air, dan dititipkan kepada pelayan rumah makan. Akan tetapi betapa terkejut hati Ho Siang. Begitu rombongan dari Kotaraja itu masuk ke sebuah gedung yang dan bercat merah, nampak tiga komplek bangunan yang besar-besar itu. Tiba-tiba pintu gerbang yang bertulisan, Hwa-ie-kay-pang itu tertutup tidak diperbolehkan seorangpun yang diijinkan masuk. Dengan hati penuh bertambah curiga Ho Siang kembali ke rumah
  • 525
  • makan yang tadi dan bertanya kepada seorang pelayan yang dititipkan surat untuk Kong Hwat. “Lopek, apakah temanku itu sudah pergi?” “Sudah sejak tadi. Surat kongcu sudah saya berikan kepadanya. Katanya ia hendak ke jalan naga…….” “Di mana letaknya jalan naga itu, lopek?” “Itu…...!” si pelayan menunjuk ke samping kiri, “Tiga belokan dari sana itu, kongcu akan menemukan jalan Naga, wah……. jalan naga itu panjang sekali kongcu….. eh, hendak mencari siapakah kau di sana?” “Temanku itu katanya hendak menemui Wu-nian-sam-eng, kenalkah kau kepada tiga orang pendekar dari Wu-nian itu?” “Wu-nian-sam-eng, tentu saja semua orang kenal kepada mereka. Tiga orang gagah yang tadinya menjadi panitia Korban banjir....... akan tetapi....... kabarnya, tiga orang gagah itu juga dapat diperalat oleh Hwa-ie-kay-pang....... kongcu, sekarang yang berkuasa di sini adalah Hwa-ie-kay-pang……” kakek pelayan itu berkata setengah berbisik. Ia hendak berkata lagi, akan tetapi didengarnya pemilik rumah makan itu memanggilnya dengan panggilan keras dan nyaring: “A Sammm…...! Banyak tamu, mengapa kau mengobrol? Hayo layani tamu, angkat mangkuk-mangkuk itu, bawa ke belakang, kembali membawa arak Hang-ciu dan daging dendeng sapi....... cepat!”
  • 526
  • “Baik loya....... baik……!” si pelayan menyahut takut dan menoleh kepada Ho Siang, “Kongcu, maafkan....... saja banyak kerja!” “Terimakasih lopek!” Ho Siang keluar dari rumah makan itu. Ia berjalan menuju ke jalan Naga. Akan tetapi tak didapati Kong Hwat di jalan itu. Sedangkan Wu-nian-sam-eng, tidak berada di tempat itu, mungkin di gedung Hwa-ie-kay-pang! Ho Siang berdiri di depan pintu gerbang gedung Hwa-ie-kay-pang. Ingin sekali ia menerobos masuk, akan tetapi ia tahu bahwa kalau terlihat oleh anggota-anggota Hwa-ie-kay-pang akan tindakannya ini, tentu ia akan dicurigai. Maka jalan satu-satunya, menanti datangnya malam. Pada waktu malam ia akan leluasa bergerak. Berpikir demikian, ia meninggalkan gedung Hwa-ie-kay-pang yang kelihatannya angker dan megah itu! Ia berjalan-jalan di sepanjang jalan di Kota Wu-nian sambil bertanya-tanya kepada penduduk. Akan tetapi ia menjadi kecewa, karena tidak banyak penduduk yang mau bercerita banyak tentang Hwa-ie-kay-pang itu! Hanya mereka mengatakan bahwa, sejak Hwa-ie-kay-pang berdiri di Wu-nian segala kekuasaan pemerintah pusat yang tadinya dikuasai oleh wali kota Wu-nian, kini beralih dipegang oleh Hwa-ie-kay-pang. Segala sumbangan untuk korban banjir harus melalui
  • 527
  • partai itu. Seorangpun tidak diperkenankan mendirikan panitia korban banjir! Dan pada malam yang gelap dan dingin dengan gerakan cepat dan gesit, Ho Siang dapat meliwati penjagaan dan melompat ke atas tembok mempergunakan kegelapannya malam sehingga ia dapat masuk ke komplek gedung Hwa-ie-kay-pang tanpa terlihat oleh siapapun juga. Ternyata di dalam tiga gedung komplek Hwa-ie-kay-pang dijaga dengan ketat oleh kakek pengemis baju kembang. Akan tetapi, dengan gerakan gesit pemuda itu berhasil meloncat ke sebuah gedung sebelah kiri yang terdekat dengan tembok komplek Hwa-ie-kay-pang. Melihat suasana di dalam gedung itu agak gelap dan sepi, dan melihat komplek gedung yang di tengah amat terang dan terdengar suara orang bercakap-cakap segera dengan kepandaiannya yang tinggi, Ho Siang berhasil mengintai ke dalam. Di ruang tengah ia melihat Bong Bong Sianjin yang berpakaian jenderal sedang bercakap-cakap dengan dua orang nenek yang kelihatannya sangat angkuh dan agung sedang duduk di atas kursi kebesarannya. Kedua orang nenek itu adalah Sianli Ku-koay, dan Bu-tek Sianli Pay-cu dari Sian-li-pay, dan di meja bunder itu duduk pula seorang hweshio tua bermuka hitam yang pernah ia kenal dan rasai kelihayannya waktu di hutan tempo hari bersama Nyuk In. Hweshio itu adalah Hok Losu, yang dulu pernah mengalahkannya. Dan beberapa tokoh-tokoh sakti lain yang belum dikenalnya.
  • 528
  • Terkejut sekali Ho Siang melihat tokoh-tokoh yang nampaknya tengah mengadakan perundingan. Dan yang membuat dadanya berdebar tegang dan heran adalah seorang gadis, gadis yang amat dikenalnya. Di tengah-tengah ruangan itu Nyuk In nampak tengah tertotok tak berdaya. Seluruh urat saraf pemuda itu, menegang dan ia mengintai dengan hati-hati dan waspada. “Pay-cu....... si Nenek Sianli Ku-koay berkata, “Bocah inikah yang pernah datang ke pulau dan membuat kacau?” Bu-tek Sianli menatap gadis yang tertunduk itu. Ia menoleh kepada seorang dara Sian-li-pay yang duduk di sebelahnya. “Ang Hwa, benarkah gadis ini yang menolong pemuda lengan buntung?” Gadis yang dipanggil Ang Hwa ini menatap tajam ke arah gadis yang tertunduk, tangannya menjambak rambut Nyuk In dan mengawasi wajah itu, “Tak salah lagi, dia inilah Sianli Pay-cu……. teecu kenal betul dengan wanita ini yang telah menolong pemuda buntung....... akan tetapi…..,” Ang Hwa menoleh kepada Sianli Ku-koay dan berkata: “Pay-cu, apakah hanya orang ini yang dapat kalian tawan?” “Ya, ia itulah…… Sebenarnya ada dua orang muda lagi, akan tetapi mereka itu adalah orang-orang dari Kotaraja. Bong-goanswe....... kau kenal dengan mereka?” Sianli Ku-koay menunjuk ke arah kedua orang muda yang berdiri mematung
  • 529
  • seperti orang yang hilang semangat. Melihat seorang gadis cantik yang dikenal sebagai puteri Sie-tayjin, tentu saja Bong Bong Sianjin dapat mengenalnya. “Eh, bukankah gadis itu adalah puteri Sie Tek Peng tayjin?” Jenderal itu bertanya heran. “Betul Bong-goanswe, akan tetapi gadis itu keras kepala dan terpaksa kutaklukan dia….. ia kini dalam perintahku seperti sepasang orang gila yang lihai itu!” “Aii, kau memang hebat……. Sianli!” “Pay-cu Bu-tek Sianli Yang Mulia, sekarang bocah binal yang pernah mengacau Sian-li-pay kami serahkan kepadamu, menanti keputusan Yang Mulia,” Sianli Ku-koay berkata hormat. Bu-tek Sianli mengetuk tongkat bidadari tiga kali di tanah dan dengan suara yang berwibawa, ia berkata dengan lantang, “Hukuman apalagi kalau bukan hukuman mati, Ang Hwa....... bunuh gadis binal itu sekarang juga!” Gadis Sian-li-pay yang bernama Ang Hwa maju ke depan dan berlutut di depan Bu-tek Sianli. “Teecu melaksanakan perintah!” “Nah, kau laksanakanlah hukuman itu…..” sambil berkata demikian si Nenek Bu-tek Sianli menggerakan tangan kirinya.
  • 530
  • Sebuah benda berkeredep menyambar Ang Hwa, akan tetapi dengan cekatan gadis itu menggerakan tangannya dan beberapa detik kemudian sebuah pisau tajam telah berada di tangannya. Dengan gerakan yang lemah gemulai gadis Sian-li-pay itu maju ke depan mendekati Nyuk In. “Berlutut kau!” bentak Ang Hwa nyaring. Akan tetapi mana Nyuk In sudi berlutut. Ia malah melototkan matanya menatap tajam ke arah gadis yang memegang pisau yang berkilat-kilat saking tajamnya tersentuh cahaya lilin. Diam-diam gadis Sian-li-pay ini terkejut melihat tatapan mata gadis yang mencorong tajam. Akan tetapi dengan senyum mengejek sambil menudingkan pisau belati, gadis Sian-li-pay yang bernama Ang Hwa itu berkata sombong, “Bocah perempuan gila, ajalmu sudah di depan mata, hayo berlutut!” Pisau belati di tangan Ang Hwa berkelebat, hampir saja menggores muka Nyuk In. “Tahan!” terdengar seruan dari Bong Bong Sianjin. “Ada apa Bong-goanswe?” Bu-tek Sianli berkata heran. Menatap tajam jenderal yang telah berlutut di depannya. “Pay-cu…… harap kau memberi pertimbangan kepada gadis itu. Dia adalah murid suhengku Bu-beng Sianjin, mohon kau memberi pengampunan kepadanya.......”
  • 531
  • “Ha! Goanswe....... apakah karena kau takut kepada suhengmu si Bu-beng itu?” Bu-tek Sianli bertanya. “Bukan hamba takut Pay-cu, hanya….. kalau bisa, kita jangan mencari permusuhan dengan suhengku itu……” “Alaaa…… aku tidak perduli kepadanya, Bu-beng Sianjin juga harus mampus di tanganku. Goanswe jangan kuatir urusan si pertapa dari Thang-la, biar aku yang membereskan....... kau mundurlah!” “Pay-cu…….!” “Mundur!!” Aneh sekali, mendengar suaranya Bu-tek Sianli yang berwibawa ini, Bong Bong Sianjin seperti anjing kena gebuk, dengan membungkuk-bungkuk hormat dia mundur dan kembali ke tempat duduknya. Hok Losu menyambut dengan tertawa lebar, “Bong-goanswe tidak perlu kuatir, seandainya Bu-beng Sianjin tidak senang, biarlah tanganku yang mengetok kepalanya! Ha… ha…” “Ang Hwa, lekas lakukan hukuman!!” Nenek Bu-tek Sianli membentak. Ia ingin segera melihat gadis itu mati dengan tusukan belati dan menerima jantung gadis itu. Seperti biasanya, ia paling senang melihat para hukuman mati berkelojotan dengan jantung dan hati yang tercabut keluar dan
  • 532
  • kelak jantung dan hati itu disimpannya untuk obat kuat. Inilah kekejaman Nenek Bu-tek Sianli! Ang Hwa maju ke depan, ia menyambar rambut gadis itu dan mengangkat kepala, memandang wajah Nyuk In. Sedikitpun gadis itu tidak berkedip melihat hukuman sudah di depan mata, malah dengan beraninya menatap tajam kepada Ang Hwa. Kalau saja Nyuk In tidak dalam keadaan tertotok, tentu gadis perkasa ini akan ngamuk seperti banteng luka, akan tetapi sayang sekali ia tak berdaya, totokan Sianli Ku-koay membuat seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga, hanya dengan ketabahan dan kepasrahan hati ia menyerahkan dirinya kepada orang-orang berhati iblis ini! Ang Hwa menarik rambut gadis tawanan yang tak berdaya itu menatap ke arah leher yang jenjang dan tiba-tiba sambil menjerit keras pisau belatinya berkelebat. Amat cepat sekali gerakan Ang Hwa ini, para pengemis baju kembang yang menonton penyembelian yang hebat ini menarik napas, waktu sinar perak berkelebat dan mengharap jatuhnya sebuah kepala manusia yang sudah penggal. Akan tetapi, jauh di luar dugaan mereka bahkan Pay-cu Sian-li-pay berdiri saking herannya melihat bahwa yang jatuh menggelinding bukannya kepala tawanan, melainkan kepala Ang Hwa itulah yang menggelundung jatuh tanpa dapat bersambat lagi, darah merah memercik membasahi lantai. Pada saat yang tegang itu terdengar bentakan keras, dengan dibarengi melayang sesosok tubuh. “Bu-tek Sianli, Nenek gila…..
  • 533
  • sungguh perbuatan gila dan kejam, aku datang untuk mengambil kepalamu!” Tahu-tahu tubuh Ho Siang sudah berdiri di samping Nyuk In dan sekali tangan pemuda itu bergerak, Nyuk In telah terbebas dari totokan dan mengerahkan hawa sin-kang. Tadi ketika melihat Ang Hwa yang dengan cara keji hendak memenggal leher gadis kekasihnya ini, dengan marah sekali Ho Siang menggerakan tangannya dan mengirim pukulan menampar ke arah belati yang menyambar leher Nyuk In. Karena saking cepatnya gerakan belati dan hawa pukulan dari atas yang menyambar pisau belati di tangan Ang Hwa, entah bagaimana telah membalik dan menyambar lehernya sendiri! Dalam kekagetan itu Ang Hwa tak dapat menjerit lagi karena lehernya sendiri telah putus tersambar pisau di tangannya! Bu-tek Sianli, Hok Losu dan Bong Bong Sianjin terkejut sekali melihat pemuda baju putih yang tahu-tahu telah berada di situ. Nenek Bu-tek Sianli ini cepat menggerakan tongkatnya dan mencelat turun dari kursi kehormatan diikuti oleh kedua orang pembantunya. “Bagus, kau datang mencari mampus!?” serunya dan baru saja Ho Siang menginjak lantai, tongkat dan ujung jubah si hwesio muka hitam menyambar dari kanan kiri. Akan tetapi Ho Siang sudah mencelat menjauhi Nyuk In, memberi kesempatan kepada gadis untuk memulihkan tenaganya. Tentu saja melihat kedatangan Ho Siang yang tiba-tiba ini, girang hati Nyuk In, bagaikan ada semangat yang mengalir ke segenap
  • 534
  • tubuhnya ia segera mengerahkan sin-kang dan sebentar saja tenaganya sudah pulih kembali dan ia melirik ke arah Hok Sun dan Biauw Eng yang seperti orang kehilangan ingatan ini. Dengan gerakan cepat ia mencelat dan menyambar kedua orang muda itu dan menotoknya, mengepit Biauw Eng dan Hok Sun. Dan sekali menggerakan tubuhnya, gadis itu sudah melompati orang Hwa-ie-kay-pang yang memburu kepadanya. “Siang-koko, aku harus cepat pergi dari tempat ini dan menyelamatkan kedua orang temanku ini, jaga dirimu koko!” Nyuk In berteriak nyaring kepada Ho Siang. Sambil menangkis jubah hwesio tua yang lihay ini pemuda itu sempat melirik, “Jangan kuatir In-moay pergilah…… aku segera menyusul!” Nyuk In menggerakan tubuhnya, mencelat ke atas wuwungan genteng yang tertinggi. Akan tetapi, baru saja kakinya menginjak genteng, terdengar hentakan keras: “Gadis liar, jangan lari kau!” Ternyata di tempat itu telah dikurung oleh gadis-gadis Sian-li-pay dan para pengemis Hwa-ie-kay-pang. Terkejut sekali gadis ini, menghadapi lawan yang begini banyak telah mencelat ke atas mengurungnya, tidak gampang-gampang ia dapat meloloskan diri. Berpikir demikian Nyuk In mengeluarkan kipas hitam dan pitnya. Menangkis serangan tongkat yang menyambar kepalanya. Dengan cepat ia meletakkan tubuh Hok Sun dan Biauw Eng di atas wuwungan. Dan menerjang lawan-lawannya dengan sengit. Sekali kipas dan pit bergerak, dua orang kakek pengemis baju kembang terpental ke belakang dan bergulingan jatuh dari atas genting.
  • 535
  • “Bocah liar, kau tidak akan lolos dari Hwa-ie-kay-pang!” Dua orang gadis Sian-li-pay menerjang maju, menggerakan pedangnya, sinar pedang berkeredep di udara, sebentar itu pula, repotlah Nyuk In menghadapi lawan-lawan yang banyak ini dan begitu muncul Sianli Ku-koay, ia jadi terdesak hebat. Akan tetapi dengan beraninya ia terus menerjang dan memainkan ilmu kipas dan pit dengan luar biasa! Pengemis-pengemis Hwa-ie-kay-pang ini menjadi terkejut dan kagum melihat permainan kipas si gadis yang mengeluarkan tenaga dahsyat laksana angin puyuh menyambarnya. Pada saat itu berkelebat tiga sosok bayangan manusia dan seorang di antaranya membentak keras: “Orang-orang Hwa-ie-kay-pang terlalu dan tak dapat dipercaya, menindas rakyat dan merusak aparat negara. Hari ini kalian harus mampus!” Bentakan itu disusul berkelebatnya sebuah tongkat kecil dan terdengar suara jeritan ngeri ketika tangan seorang gadis Sian-li-pay terserempet tongkat yang mengeluarkan cahaya kemerahan dan sekali tongkat itu menarik, terdengar lagi seruan kaget dari ketua Hek-lian-pay yang tergores pundaknya oleh sebuah benda tajam yang menyembul dari dalam tongkatnya. Gerakan pemuda yang bukan lain adalah Kong Hwat, disusul oleh berkelebat sinar panjang melengkung dari seorang pemuda cebol dan pukulan tangan kiri dari seorang gadis jelita. Seperti kita ketahui, pemuda itu adalah Sin Thong dan Siauw Yang yang pernah kita kenal.
  • 536
  • Ke dua anak muda ini, memang sengaja mendapat tugas oleh si Raja obat Yok-ong Lo Ban Theng untuk mengunjungi Wu-nian dan menyumbangkan bahan obat-obatan kepada panitia korban banjir di kota ini, akan tetapi siapa sangka, begitu Sin Thong dan Siauw Yan meninjau langsung daerah korban banjir, alangkah terkejutnya hati mereka melihat kehidupan rakyat di luar kota Wu-nian, terutama di dusun-dusun yang terserang banjir, demikian sengsara dan melarat. Jerit tangis terdengar di mana-mana, dan keluh kesah menjulang setinggi langit, membawa rasa kecewa dan seakan-akan manusia yang tengah sekarat hendak mati kelaparan ini menuduh bahwa Tuhan tidak adil, Tuhan tidak mendengar jerit tangis mereka....... Tuhan begitu kejam membiarkan hujan turun terus tak henti-hentinya….. ah, entah berapa banyak mulut dan hati yang menuduh bahwa Tuhan telah menutup telinga dan tidak mendengar jerit tangis mereka! Sin Thong dan Siauw Yang berjalan di dusun-dusun yang tengah meratap oleh tangis dan keluhan-keluhan, hati mereka bagai diiris-iris waktu melihat pemandangan-pemandangan yang sangat menyayat hati. Uang mereka bawa tidak berarti bagi kesengsaraan penduduk, lapar mereka tidak dapat dilenyapkan dengan uang. Mereka perlu gandum, mereka perlu air dan makan, bukan memerlukan uang! Seandainya Sin Thong dan Siauw Yang memberikan uang, untuk apakah uang? Di dusun-dusun tidak ada orang yang menjual gandum dan bahan makanan, di dusun-dusun tidak memerlukan
  • 537
  • uang, akan tetapi gandum, ya gandum, bahan makanan buat pengisi perut yang lapar! Sin Thong dan Siauw Yang menyesal, mengapa mereka tidak datang ke sini dengan membawa gandum dan bahan makanan? Mengapa? Alangkah marahnya kedua orang muda ini, ketika mendengar keterangan dari seorang penduduk bahwa sejak berdirinya partai Hwa-ie-kay-pang di Wu-nian, jarang sekali bala bantuan bahan makanan yang datang, malahan bantuan dari pemerintah pusat “nyangkut” ke gedung Hwa-ie-kay-pang itu dan tidak dapat berlangsung sampai ke dusun-dusun yang tengah terancam bahaya kelaparan itu! Marah sekali hati Sin Thong dan Siauw Yang, demikianlah pada malam itu mereka menyerbu gedung Hwa-ie-kay-pang dan kebetulan sekali, begitu mereka mencelat ke atas genteng, dilihatnya seorang gadis cantik dikeroyok oleh pengemis-pengemis baju kembang dan gadis-gadis kerudung hitam langsung mereka menyerbu dan bertempur dengan amat serunya. Kini empat orang muda yang gagah dan berkepandaian lihai diserbu oleh anggota-anggota Hwa-ie-kay-pang dan Hek-lian-pay dan Sian-li-pay, hebat sekali pertandingan yang berlangsung di atas genteng Hwa-ie-kay-pang ini! Sementara itu di dalam gedung tengah, terjadi pertempuran yang tidak kalah seru oleh pertempuran di atas genteng. Ho Siang dikeroyok oleh banyak orang gagah Hek-lian-pay dan Hwa-ie-kay-pang, serta beberapa gadis Sian-li-pay. Dikeroyok oleh banyak
  • 538
  • orang yang berkepandaian cukup tinggi ini Ho Siang tidak mau membuang banyak waktu lagi, ia mainkan sulingnya di tangan kanan dan mengeluarkan suara mengaung yang bergetar oleh suara sabetan suling yang amat luar biasa ini. Sebentar itu pula tiga orang kakek pengemis baju kembang dan dua orang kakek Hek-lian-pay sudah tertotok jatuh, tak kuasa untuk bangun lagi. Bu-tek Sianli, Hok Losu, Bong Bong Sianjin mendesak hebat pemuda itu dengan senjata tongkat dan pedang di tangan, akan tetapi Ho Siang kali ini benar-benar mencurahkan seluruh kepandaiannya yang pernah ia pelajari di Anapurna dari gurunya Nakayarvia. Tingkat kepandaian pemuda ini telah menguasai pelajaran dari pertapa sakti Nakayarvia itu. Suling hitam di tangan pemuda itu merupakan senjata yang amat berbahaya bukan saja lihay dalam menotok lawan, akan tetapi mengeluarkan suara mengaung yang aneh dan seakan-akan menggetarkan jantung lawan yang tidak seberapa tinggi kepandaiannya. Inilah pengerahan sin-kang yang luar biasa, ditambah lagi dengan gerakan-gerakan kilat yang pernah ia pelajari dari suhunya yaitu gerak tipu Sin-tiauw-siu-po (Rajawali sakti sambut mustika) yakni sebuah jurus dari ilmu silat ciptaan Nakayarvia sendiri Sin-tauw-sin-na (Ilmu Silat Rajawali Sakti). Dengan mempergunakan jurus ini, ia merangsek si Nenek sakti Bu-tek Sianli yang amat ia benci melihat hampir saja kekasihnya, Nyuk In menjadi korban kekejian Nenek ini, maka dalam sekejap mata sebelum si Nenek Sian-li-pay tahu apa yang telah terjadi, tongkat
  • 539
  • bidadarinya telah kena dirampas oleh tangan kiri Ho Siang. Pemuda sakti ini tidak berhenti sampai disini, dan pada saat kedua kakinya sudah menginjak lantai, tangan kanannya bergerak melakukan pukulan Sin-tiauw-siu-po, menghantam ke arah tongkat yang memukul dari kanannya! “Kraakk!!” Terdengar tongkat itu patah disusul oleh jeritan kaget dari pada Bu-tek Sianli sambil meloncat ke belakang. Mukanya merah dan berkerut dalam. Ia memandang ke arah tongkat Bidadari kehormatannya yang sudah hancur. Merasa dirinya diinjak-injak oleh pemuda ini, dengan menggereng marah Pay-cu Sian-li-pay ini melancarkan serangan dahsyat. Hok Losu, hwesio tua muka hitam itu mencelat ke dekat Bu-tek Sianli dan kemudian berkata: “Pay-cu, biar pinceng yang menangkap bocah berandalan ini!!” Setelah berkata demikian, tangan hwesio tua itu mendorong ke muka. tubuhnya agak miring dan mulutnya membentak: “Orang muda, menyerahlah!” Sambil menangkis datangnya serangan tongkat dari salah seorang pengemis baju kembang, Ho Siang berseru kepada hwesio tua ini, “Ha....... ha, hwesio tua bangka jangan banyak tingkah! Kalau kau gagah dan memang sanggup, tangkaplah aku! Jangan bermulut besar!” “Bangsat!! Kalau begitu biarlah tangan pinceng memberi hukuman…..!” Bentakan ini disusul oleh sebuah tamparan ujung
  • 540
  • jubah ke arah dada Ho Siang, akan tetapi tamparan dilakukan sedemikian rupa, sehingga kalau pemuda ini menangkis, ia akan membabat suling sekuat tenaga. Inilah gerak tipu Tian-hud-kiat-ciang (Mengulur Jubah Memotong Tangan) sebuah tipu sabetan jubah dari partai Siauw-lim-pay yang lihay. Namun siasat ini terhadap Ho Siang tidak mempan sama sekali karena pemuda ini sudah tahu akan maksud lawan, sungguhpun ia tidak mengerti akan kebutan jubah yang mendatangkan angin besar itu. Akan tetapi alangkah kagetnya hati Hok Losu ketika tiba-tiba pemuda itu miringkan tubuh, lalu menyusul dengan serangan balasan yang serupa yakni membalas tamparan ujung jubah dengan tangkisan suling hitamnya. Ujung jubah Hok Losu, membentur suling hitam di tangan pemuda itu. Akan tetapi alangkah herannya hwesio itu merasa tamparan jubahnya itu seakan-akan amblas ke dalam air dan meleset menampar dada si pemuda, dalam kagetnya dan rasa penasaran itu, hwesio ini berteriak keras dan dua tangannya berputar di atas kepala. Inilah gerak pukulan Menyembah Budha Memangku Raga, angin dingin berpusing. Sementara dari arah kiri menyambar pula hawa pukulan yang panas yang datangnya dari Bu-tek Sianli yang sudah menyerbu dengan pukulan Sin-kun-bu-tek yang terkenal kedahsyatannya itu, sedangkan tongkat hitam ketua Hek-lian-pay menyambar dahsyat ke arah kepala pemuda itu, dibarengi lagi serangan tusukan pedang yang mematikan dari Bong Bong Sianjin yang mengarah lambung lawan!
  • 541
  • Ho Siang menjadi kaget setengah mati! Serangan yang mendadak dari tokoh-tokoh sakti kaum sesat itu tak mungkin lagi untuk dihindarkan semuanya. Dengan pekikan dahsyat ia memutar sulingnya, menggerakan jurus Dewi Kwan-im Membuka Payung, sedangkan tangan kirinya menolak datangnya hawa pukulan dari Hok Losu dan Bu-tek Sianli. Sementara sulingnya berkelebat cepat memutar, melindungi tubuh dari serangan senjata-senjata lawan yang bergerak dengan serentak. “Desss!” Tubuh Ho Siang terpental akibat pukulan yang luar biasa hebatnya dari Bu-tek Sianli dan Hok Losu, tulang pundaknya terhantam pukulan tongkat dari pengemis baju kembang yang tak keburu ia tangkis dengan sulingnya. Amat kerasnya hawa pukulan dari dua orang sakti itu, membuat Ho Siang memuntahkan darah segar tiga kali. Wajahnya menjadi pucat seperti kertas. Dadanya terasa nyeri bukan main, cepat ia berdiri dan terhuyung-huyung, “He he he, pemuda brandal......., sekarang kau harus mampus!” Sebuah pukulan lagi dari Bu-tek Sianli menerjang dahsyat. Saking kerasnya suara angin berciutan dan belum lagi tangan Bu-tek Sianli menyentuh tubuh pemuda itu, tubuh Ho Siang terlempar keras dan muntahkan darah lagi. “Singg!” Suara pedang terdengar tertarik dari tangan Bu-tek Sianli. Inilah pedang simpanan yang jarang sekali ia pergunakan. Pedang Toat-beng-kiam!
  • 542
  • “Mampuslah kau, binatang!” Saking marahnya Nenek dari Sian-li-pay ini menerjang dengan pedang terhunus dan tubuhnya melayang ke arah dada Ho Siang. “Trangg!” bunga api berpijar terang oleh cahaya dua buah logam yang beradu dengan amat kerasnya. Bu-tek Sianli terhuyung-huyung mundur. Matanya membelalak memandang seorang kakek yang tahu-tahu bersila di depan Ho Siang. Kakek ini sudah amat tua sekali, berusia hampir delapanpuluh tahun. Rambutnya sudah putih semua, berpakaian amat sederhana terbuat dari bahan kain yang kasar. Dan kedua kakinya buntung sebatas dengkul! “Heng San........?” suara Bu-tek Sianli tergetar memandang kakek yang kedua, kakinya buntung. Ia memandang dengan tak berkedip, seakan-akan tidak percaya akan penglihatan matanya. “Wi Nio.......Wiwi........ kau........!” orang tua kaki buntung itu berkata gagap, pandangan matanya menatap Bu-tek Sianli dengan tatapan sayu. “Heng San....... mengapa kau mencampuri urusanku?” “Wi....... wi......., kesadaran adalah jalan menuju kekalahan, tak sadar adalah jalan ke arah kematian. Mereka yang tak sadar tak akan mati........ Wiwi........ aku mengajak kembali ke gunung, mencari penerangan abadi dan hidup sebagaimana yang mesti kita wajib hidup, akan tetapi betapa sesatnya kalau kita hidup ini hanya untuk merusak........ Sadarlah Wiwi bahwa perbuatanmu untuk
  • 543
  • menguasai daratan Tiongkok hanyalah angan-angan belaka, biarlah kau menguasai dirimu sendiri.......barulah itu bijaksana.” “Wah, filosof apa ini........ Pay-cu siapakah orang ini?” Hok Losu bertanya dengan pandangan heran dan terkejut. Ia sendiri tadi tak mengerti bagaimana caranya orang ini menolong pemuda itu dari terjangan pedang yang amat dahsyat dari Bu-tek Sianli? “Heng San, pergilah....... antara aku dan kau tak ada hubungan apa-apa bukan? Mengapa kau datang ke tempat ini.......?” nada suara Bu-tek Sianli mulai tak senang. Akan tetapi ia merasa segan juga kepada kakek kaki buntung ini. “Wiwi....... sadarlah bahwa engkau telah memilih jalan yang sesat, engkau menutup hati dan menulikan telinga bagi rakyat di luar kota Wu-nian yang tengah menjerit-jerit kelaparan dan ratap tangis sepanjang hari. Engkau....... ahhh, Wiwi....... kembalilah kepadaku....... ingin aku berbicara banyak kepadamu.......” “Heng San! Kau berbicara macam apa? Sudah kukatakan bahwa aku dan engkau tidak ada hubungan apa-apa. Cihh! Masih saja seperti dulu, lemah dan....... ah sudahlah........ pergilah kau!” “Aku akan pergi....... setelah bersamamu........” suara kakek buntung ini terdengar sayu. Ho Siang yang terluka dalam di dadanya merasa heran mendengar adegan antara si Nenek dan si Kakek buntung. Siapakah kakek ini?
  • 544
  • Kakek sakti yang telah menolongnya dengan cara yang luar biasa, dan ia merasa benar, setelah dadanya seperti ada yang menepuk tadi, terasa dadanya tidak sesak seperti tadi dan setelah mengerahkan hawa murni di dada, ia merasa segar kembali. Diam-diam ia mendengar terus, pura-pura masih dalam keadaan terluka. Apabila melihat kedua kaki si kakek yang buntung sebatas pundak, hibalah rasa hatinya. “Heng San....... apakah kau tidak tahu diri masih menaruh harapan kepadaku, sungguh lucu, setelah kita menjadi kakek-kakek dan nenek engkau masih saja bersikap romantis....... hik hik, Heng San apakah tahu....... bahwa sesungguhnya aku tidak menaruh cinta secuilpun terhadapmu?” “Aku sudah melupakan itu, Wiwi……!” “Nah, kalau kau sudah lupakan aku. Mengapa kau mencampuri urusanku. Heng San, perlukah kau....... sebelum kepalanku ini naik darah dan membunuhmu!” “Mengapa ada gelak tawa? mana dapat orang bergembira, sedangkan dunia ini penuh siksa dan noda, kenapa kau tak cari pelita, wahai engkau yang terselubung kegelapan!” “Bangsat pendeta gila, sinting gendeng, kata-kata apa pula yang kau keluarkan menghina Pay-cu? Lebih baik mampus!” Serangkum angin besar menyambar dari dua telapak tangan Hok
  • 545
  • Losu yang merasa terkena sindir oleh kata-kata yang diucapkan oleh kakek buntung ini. Ingin sekali dengan sekali hantam kakek buntung ini mampus dan agar hatinya menjadi lega dan tidak merdengar lagi kata-kata yang sesungguhnya amat memuakkan bagi pandangannya. Memang aneh benar, Hok Losu pada hal adalah seorang hwesio agama Budha, akan tetapi karena memang hwesio muka hitam ini adalah hwesio sesat, tentu saja, mendengar ayat-ayat suci dari Kitab Dharmapala yang sesungguhnya ia hapal di luar kepala yang botak itu, merupakan tamparan bagi mukanya. Maka tanpa menghiraukan Pay-cu Sian-li-pay ia sudah bergerak memukul kepala si kakek dengan pukulan yang amat dahsyat! Akan tetapi aneh, seakan-akan tak dapat dipercaya oleh penglihatan mata. Karena gelombang angin pukulan Hok Losu menyambar dada si kakek kaki buntung, tahu-tahu tubuh Hok Losu tergetar hebat dan cepat-cepat ia bersemedi mengerahkan hawa sin-kang. Terasa dadanya bergetar hebat. Wajahnya yang hitam menjadi pucat membelalak memandang kakek buntung itu! “Barang siapa yang ingin mengenakan jubah kuning tanpa lebih dulu membersihkan diri dari kotoran bathin, yang tak mengerti kenyataan dan tak mengendalikan dirinya, maka tak layaklah dia memakai jubah kuning itu, tetapi barang siapa yang membuang kekotoran bathin, menjalani segala kebajikan, disiplin terhadap diri sendiri serta berbuat kebenaran, maka sesungguhnyalah ia layak menggunakan jubah kuning!”
  • 546
  • “Heng San, terlalu! Kalau kau tidak mau pergi, terpaksa kedua tanganku ini yang akan mencabut nyawamu.” “Omitohud, mudah-mudahan Thian memberi jalan terang kepada Wiwi, biarlah aku akan pergi, dan membiarkan pemuda belakangku ini keluar bersamaku....... aku tak mampu berjalan lagi.” “Mana bisa, Heng San! Pemuda itu adalah tawananku, dan tidak boleh kau membawa dia.......!” Bu-tek Sianli membantah. “Aku bukan hendak membawanya, Wiwi, hanya aku hendak meminta tolong kepada orang muda ini untuk menggendongku, supaya aku bisa keluar dari tempatmu ini……” kakek Heng San menoleh kepada Ho Siang: “Orang muda, mau kau menggendongku, menolongku keluar dari neraka ini?” Ho Siang menjura, “Tentu saja saya bersedia loocianpwe.” “Nah, Wiwi....... biarkan aku pergi…..!” bagaikan kapas tubuh kakek buntung itu mencelat ke punggung Ho Siang dan memegangi leher pemuda itu: “Cepat, selagi masih ada kesempatan!” Mendengar bisikan si kakek buntung ini, Ho Siang mencelat ke atas dan keluar menerobos dari balik daun jendela yang terbuka. Bong Bong Siangjin dan Hok Losu dan ketua Hek-lian-pay hendak mengejar akan tetapi dengan penuh wibawa Bu-tek Sianli memerintah: “Jangan ganggu dia!” “Pay-cu....... pemuda itu, ia harus ditahan!” Hok Losu membentak.
  • 547
  • “Hwesio tolol, pemuda itu sudah berada dalam tangan Sin-kun-bu-tek Lim Heng San, apakah kalian mampu merampasnya?” “Sin-kun-bu-tek??” “Ya, dia itu Sin-kun-bu-tek. Hemm! Biar kedua kakinya sudah lumpuh, akan tetapi ia masih lihay. Sayang….. Kenapa waktu itu aku tidak membuntungi lengannya sekalian!” Bu-tek Sianli berkata seakan-akan pada dirinya sendiri. Walaupun demikian, ia masih merasa takut dan gentar terhadap kakek kaki buntung yang pernah menjadi kekasihnya. Terkejut dan heran bukan main Ho Siang merasakan tubuh si kakek dalam gendongannya ini ringan sekali bagaikan kapas. Bertambah heran hatinya begitu sampai di atas genting, dilihatnya banyak anak buah Hek-lian-pay, Hwa-ie-kay-pang dan Sian-li-pay pada menggeletak dalam keadaan tertotok seperti orang pingsan. Pandangan mata pemuda itu mencari-cari Nyuk In yang telah mendahuluinya keluar. Akan tetapi ia tidak melihat tubuh Nyuk In menggeletak di sana. Ia menarik napas lega waktu si kakek Heng San berkata: “Temanmu itu sudah lolos dan tengah menantimu di pinggir kota.......” Bagaimanakah dengan Nyuk In, Kong Hwat, Sin Thong dan Siauw Yang yang dikeroyok di atas genteng oleh orang-orang Hwa-ie-kay-pang yang cukup berkepandaian tinggi itu? Untuk mengikuti pengalaman ke empat orang muda ini, baik kita mundur kembali ke belakang sebentar, seperti yang telah diceritakan pada bagian depan, Nyuk In yang berusaha untuk
  • 548
  • menolong Biauw Eng dan Hok Sun ternyata setelah sampai di atas genteng itu dihadang oleh banyak orang pengemis-pengemis Hwa-ie-kay-pang dan beberapa tokoh Hek-lian-pay dan gadis-gadis Sian-li-pay yang berkepandaian tinggi! Pada Nyuk In tengah terdesak itu, muncul Sin-thong, beserta Siauw Yang dan tak lama kemudian disusul oleh berkelebatnya bayangan Kong Hwat yang memainkan jurus-jurus Fu-niu-san-tung-hoat (ilmu tongkat gunung Fu-niu) yang lihai itu. Ke tiga orang muda ini mengamuk, merangsek memecahkan pengeroyokan terhadap seorang gadis. Pedang Samurai Sin Thong berkelebat-kelebat dengan amat kuatnya, dengan diiringi bentakan-bentakan jurus-jurus karate dimainkan dengan tangan kirinya, sedangkan Siauw Yang tak kalah hebatnya pula, ia mainkan ilmu pedangnya dengan merangsek tiga orang gadis Sian-li-pay mendesaknya. Melihat bahwa tiga orang muda ini datang membantunya, Nyuk In girang sekali hatinya. Apalagi melihat Sin Thong dan Siauw In yang pernah ia kenal sewaktu mengunjungi pesta ulang tahun Lo Ban Theng dengan mainkan jurus kipas hitamnya menerjang lima orang Hwa-ie-kay-pang dengan hebat lagi. Akan tetapi diam-diam gadis ini mengeluh, karena semakin lama semakin penuh tempat itu dikurung oleh orang-orang Hwa-ie-kay-pang. Apalagi setelah di situ muncul pemuda pemudi yang kelihatannya berotak miring yang sambil tertawa seperti orang gila mulai maju mengeroyok.
  • 549
  • Terkejut bukan main gadis perkasa ini, apalagi ditambah dengan munculnya sepasang kakek nenek yang dikenal dengan julukan Jing-tok-siang-lomo (Iblis Tua Racun Hijau), maka lama kelamaan Nyuk In menjadi kewalahan juga dan terdesak oleh sambaran-sambaran pukulan yang ganas dari Jing-tok-siang-lomo, A Mey dan A Thiong. Di lain pihak, Kong Hwat juga mulai terdesak oleh munculnya nenek Sianli Ku-koay yang telah mencelat ke atas dan diikuti oleh seorang perwira bercambuk hitam Oey Goan dan beberapa perajurit pilihan yang mengepungnya. Ia benar-benar menjadi terdesak hebat, berkali-kali tongkatnya beradu dengan tongkat Sianli Ku-koay, ia terhuyung-huyung dan kuda-kudanya tergempur. Tiba-tiba telinganya mendengar pekik kesakitan dan begitu ia menoleh alangkah kagetnya hati pemuda itu melihat gadis cantik yang datang membantunya telah terpental ke belakang oleh pukulan tongkat kakek pengemis baju kembang yang menggerakan tongkatnya menotok dada kiri si gadis. Siauw Yang terhuyung ke belakang dan dari bibirnya mengeluarkan darah. Kong Hwat menggerakan tongkatnya hendak menolong gadis itu, akan tetapi sebuah sinar perak panjang berkeredep dan tahu-tahu Sin Thong sudah menyambar tubuh Siauw Yang dan menggerakan pedang samurainya mengirim sabetan ke arah tongkat lawan dan mencelat ke belakang. “Siauw Yang....... tidak apa-apa kau?” Sin Thong bertanya dengan nada kuatir menyusut darah yang mengalir dari cela-cela mulut gadis itu. Wajah Siauw Yang menjadi pucat.
  • 550
  • Lima orang perajurit kerajaan menerjang maju, dipimpin oleh Oey Goan sambil membentak keras mengirim serangan cambuk. Sin Thong menjadi marah sekali, waktu cambuk itu meluncur ia mengangkat pedangnya membabat, pedang itu terbelit cambuk akan tetapi dengan gerakan amat cepat dan diiringi bentakan keras tangan kiri pemuda cebol itu melakukan pukulan karate dengan telapak tangan kiri dimiringkan, dibarengi dengan tendangan-tendangan yang meluncur dengan dahsyat mendupak dada Oey Goan. “Dess! Siiiing!” tubuh kepala perwira itu terpental ke belakang, pedang samurai pemuda cebol itu terlempar oleh tarikan cambuk yang amat kuat, cepat tubuh Sin Thong berkelebat dan menyambar pedang samurai yang masih melayang di udara, kemudian dengan gerakan yang luar biasa cepatnya dari udara, tubuhnya meluncur ke bawah dengan pedang menusuk ke dada Oey Goan yang terjengkang tadi. Amat cepatnya gerakan ini, perwira itu tak dapat lagi berkelit, pedang samurai Sin Thong menamblas dada Oey Goan, terdengar teriakan ngeri. Darah merah muncrat ke atas bagaikan air pancuran. Dua orang perwira berseru marah: “Pemuda cebol, berani kau membunuh pemimpin kami, mampuslah!” Golok dan pedang menyambar berkeredep dengan cepatnya. Akan tetapi, sungguh luar biasa pemuda ini, begitu ia menjongkokan tubuhnya pedang samurai berkelebat ke belakang.
  • 551
  • Terdengar jeritan ngeri. Dua perwira sudah kehilangan lengannya, terbabat putus oleh ketajaman pedang samurai Sin Thong yang menggunakan jurus aneh tadi! Sin Thong memandang kepada Siauw Yang dengan girang dan wajahnya berseri. Ia mainkan pedangnya lagi, mendekati Siauw Yang untuk melindungi gadis pujaan hatinya yang telah terluka di dada sebelah dalam. Akan tetapi pada saat itu, dari bawah datang pula rombongan kakek-kakek pengemis Hwa-ie-kay-pang dan di depan sekali nampak seorang pendeta Lhama yang berkepala gundul lari mencelat bagaikan terbang cepatnya. Pendeta Lhama ini, langsung saja menyerang Sin Thong dan sebagian pengemis Hwa-ie-kay-pang mengurung tempat dengan ketat…... Ketika pendeta Lhama berada di depan Sin Thong, pemuda cebol ini melihat bahwa Lhama ini bertubuh tinggi sekali dan bermata biru, sedangkan jubahnya yang lebar itu berwarna kuning. Pendeta Lhama ini memegang sebuah tongkat panjang yang ujungnya dipasangi kaitan besi yang berkilau karena tajamnya. Lhama ini berdiri sambil bertolak pinggang: “Berani benar kau mengacau Hwa-ie-kay-pang? Apakah kalian ini sudah bosan hidup, sehingga ingin mencari mati memasuki sarang harimau dan lubang naga?” Sin Thong menjura: “Tidak tahu siapakah Losuhu yang mulia ini?”
  • 552
  • “Tentu saja kalian yang masih hijau mana mengenal aku, hayo kalian menyerah! Kalau tidak kematian akan menjemput kalian. Pek Pek Hoatsu akan mencabut nyawa kalian....... ha ha ha!” “Setan, tidak tahunya kau adalah Pek Pek Hoatsu, pendeta gadungan bangsat, biarlah aku, Go Sin Thong mengadu nyawa denganmu.” Bentakan Sin Thong ini disertai sabetan pedang samurai dengan amat kuatnya. Akan tetapi alangkah heran dan terkejutnya ketika begitu pedangnya membabat pinggang lawan, tahu-tahu tongkat panjang pendeta Lhama itu sudah menempel di pedang itu dan tak dapat ditarik kembali. Begitu pendeta Lhama itu menggerakan ujung jubahnya, tahu-tahu tubuh Sin Thong telah terpental oleh pukulan jubah kuning yang lihay pada pundak Sin Thong. “Haa…. haa, anak muda pada nggak tahu diri….. Masih begini muda sudah berani memasuki sarang naga dan harimau hee… hee. Eh! Hay Tok, coba kau lawan pemuda cebol itu!!” Pendeta Lhama itu berkata kepada seorang muridnya yang bernama Hay Tok. Anak muda ini dari Tibet bertubuh tinggi besar, kekar dan kedua tangannya berbulu, kepalanya besar dan matanya lebar berwarna biru. Dengan sikap sombong pemuda Hay Tok ini mengeluarkan cambuk hitamnya. “Biar teecu memberi hukuman seratus cambuk kepadanya haa…. haa!” Terdengar suara cambuk melecut di udara.
  • 553
  • Pada saat itu, entah dari mana datangnya tahu-tahu disitu telah berdiri seorang kakek yang kedua kakinya buntung sebatas dengkul, dan entah dengan cara bagaimana tahu-tahu cambuk Hay Tok sudah terlepas sebelum mengenai tubuh pemuda cebol itu. “Kosongkanlah perahumu, duhai Bikhsu, bila telah dikosongkan ia akan laju dengan pesatnya. Setelah memutuskan nafsu dan kebencian barulah akan mencapai kebebasan…… Pek Pek Hoatsu, kembalilah ke puncak….. Ikutilah delapan jalan utama.” Melihat kakek buntung tahu-tahu telah berdiri di atas wuwungan menggunakan dengkulnya sebagai telapak kaki, sehingga tubuhnya kelihatan pendek seperti anak kecil dan entah dengan cara bagaimana tahu-tahu telah merampas cambuk Hay Tok, Pek Pek Hoatsu yang tidak mengenal kakek buntung menjadi marah dan membentak keras: “Orang tua, siapa kau?” “Biarlah orang menghindari marah, biarlah ia melepaskan kesombongan. Biarlah ia memutuskan segala ikatan-ikatan duniawi: Tiada penderitaan yang menimpah orang yang terikat oleh NAMA dan RUPA, yang tak mengakui sesuatu benda sebagai miliknya…….!” “Ha ha ha, orang tua gila…... engkau berkata apa pula itu. Engkau ini pendeta bukan, hwesio bukan........ seenaknya saja menguraikan ayat-ayat dari kitab Dharmapada. Untuk ini saja aku harus memberi hukuman kepada manusia yang begitu
  • 554
  • serampangan berbicara tentang ayat-ayat suci. Hemm, orang tua buntung, sesungguhnya siapakah kau?” “Aku, ya aku, siapapun aku tiada seorang manusia yang mengenali diriku, jangan kau orang lain, sedangkan aku sendiri, tak mengenal siapakah sesungguhnya aku!” “Ayaa, kau ini benar-benar sudah sinting! Dirimu sendiri saja sudah tidak kau kenali, apalagi kalau bukan kau telah menjadi gila, ha ha ha, orang tua! Hanya orang gilalah yang sudah tidak dapat mengenal dirinya sendiri.” “Suhu, mengapa meladeni si Buntung ini, sikat saja muak teecu mendengarkan omongannya yang tidak keruan itu!” Hay Tok menjadi marah melihat suhunya mau meladeni orang kakek buntung ini. Kalau saja ia tidak ingat bahwa kakek ini demikian sakti tentu ia akan menggebrak kakek ini dan memukul sekali mati! Kakek kaki buntung itu menoleh kepada Sin Thong dan Siauw Yang dan berkata, “Kalian pergilah, teman-temanmu sudah menanti kalian di pinggir kota!” Bagaikan orang yang baru sadar, Sin Thong dan Siauw Yang memandang ke sekeliling dan apa yang mereka lihat, semua para pengemis Hwa-ie-kay-pang dan gadis-gadis Sian-li-pay menggeletak di atas genteng dalam keadaan seperti orang tidur nyenyak. Juga nampak di tempat itu, Sianli Ku-koay dan Hek-sin-tung pangcu dalam keadaan seperti orang tertotok, tak dapat menggerakan tubuhnya. Berdiri dalam posisi seperti orang hendak
  • 555
  • menyerang, sedangkan anak buah Hek-sin-tung pangcu menggeletak di genteng malang melintang. Sesungguhnya apakah yang terjadi? Waktu Nyuk In, Kong Hwat dikeroyok oleh banyak orang-orang Hwa-ie-kay-pang dan telah terdesak hebat, tiba-tiba entah bagaimana caranya tahu-tahu para penyerang yang terdiri dari orang-orang Hwa-ie-kay-pang, Hek-lian-pay dan Sian-li-pay menjadi seperti orang kehilangan semangat dan satu persatu melepaskan senjatanya dan terhuyung-huyung ke belakang roboh dalam keadaan pingsan. Tentu saja menjadi kejadian yang aneh ini, Sianli Ku-koay menjadi marah bukan main dan ia terus merangsek Nyuk In, mengirimkan serangan-serangan dahsyat yang mematikan. Akan tetapi belum lagi lawannya itu menangkis tongkatnya, tahu-tahu serangkum angin lembut menyambar di belakangnya. Keruan saja Nenek ini menjadi marah, mengira ada orang yang membokongnya dan sekali tangannya bergerak mendorong, terdengar suara keras. Atap genting wuwungan menjadi hancur berantakan dan bersama dengan gerakannya itu, tahu-tahu sebuah benda kecil menyambar dan tepat menyentuh pundaknya, tak sempat lagi Nenek itu berkelit tahu-tahu tubuhnya menjadi lemas dan roboh! Nyuk In menjadi keheranan melihat kejadian ini. Terdengar suara lembut, seakan-akan berbisik di dekat telinganya, amat pelan suara itu, akan tetapi jelas terdengar olehnya.
  • 556
  • “Nona, cepat lari....... Bawa kedua temanmu yang telah terbius oleh racun ketua Hwa-ie-kay-pang dan yang telah kehilangan ingatannya, jangan perdulikan lagi mereka yang masih bertempur, cepatlah..... Lari ke pinggir kota, di sana ada kelenteng tua, biar aku menolong pemuda murid Nakayarvia, jangan terlambat, selagi masih ada kesempatan….. cepat!” Tahulah Nyuk In bahwa diam-diam ada orang yang telah menolongnya maka dengan gerakan yang gesit ia menyambar tubuh Hok Sun dan Biauw Eng dan berlari meninggalkan gedung Hwa-ie-kay-pang itu. Demikianlah, tak lama bayangan Nyuk In berkelebat lenyap, sesosok tubuh telah mencelat ke arah pertempuran di sebelah kanan dan seperti yang telah dituturkan pada bagian depan kakek buntung ini berhasil menolong Kong Hwat dari tangan Pek Pek Hoatsu dan muridnya! Melihat bahwa kakek buntung ini tentu seorang sakti, tanpa membuang waktu lagi Sin Thong menarik tangan Siauw Yang, “Mari kita pergi!” Sin Thong dan Siauw Yang berkelebat. Terdengar suara Pek Pek Hoatsu mengguntur dahsyat: “Anak muda, jangan lari!” Tubuh pendeta Lhama itu mencelat mengejar kedua orang muda yang berkelebat hilang ditelan gelap, akan tetapi begitu tangan kiri kakek buntung terangkat, bagaikan ada tenaga yang amat dahsyat yang telah menahan Pek Pek Hoatsu, membuat pendeta Lhama ini
  • 557
  • menahan tubuhnya dan menoleh, “Orang tua gila, apakah kau bosan hidup?” “Pek Pek Hoatsu, kau ini seorang pendeta. Masakan tidak mengerti akan mati dan hidup? Siapakah orangnya yang dapat menentukan hidup matinya seseorang? Ibarat kematian itu seperti seorang pencuri yang datang dengan tiba-tiba, entah siang, entah malam, entah besok, entah lusa, he! Mengapa kau bisa menentukan aku sudah bosan hidup? Seandainya aku bosan hidup, tapi kalau nyawa ini masih beta tinggal di tubuhku yang tua ini, siapapun tiada yang dapat menentukan kematianku!” “Keparat, aku yang akan menentukan kematianmu. Hari ini kau harus mampus!” Sambil membentak keras Pek Pek Hoatsu menggerakan tongkat panjang, menyabet kepala si kakek buntung itu. “Wuuut,” tongkat itu melesat di atas kepala si kakek buntung. Begitu tangan kiri kakek itu bergerak mendorong, tahu-tahu tubuh Pek Pek Hoat-su yang tinggi besar itu sudah terpental dalam keadaan tertotok oleh angin pukulan yang dahsyat yang menyambar dari tangan kiri. Keruan saja pendeta Lhama itu bergulingan, tubuhnya bergedebuk jatuh di tanah. Sementara itu Hay Tok menjadi marah bukan main, dengan sekali berkelebat tubuhnya melayang mengirim pukulan maut ke arah dada si kakek kaki buntung. Nampak kakek itu hanya meramkan mata dan membiarkan dadanya terhantam pukulan si kakek.
  • 558
  • “Desss, weeert!” Hebat sekali pukulan yang berat dari tangan kanan Hay Tok yang penuh bulu itu. Akan tetapi, bukan si kakek kaki buntung itu yang terpental, melainkan tubuh Hay Tok itulah yang roboh di depan si kakek, seperti orang berlutut tak bergerak lagi dalam keadaan tertotok. Hening sekali suasana di atas genteng itu. Tubuh si kakek kaki buntung berkelebat dan langsung memasuki sebuah gedung besar bercat merah dan secara kebetulan sekali kedatangannya ini menolong Ho Siang yang tengah terancam di tangan Bu-tek Sianli dan tokoh-tokoh kaum hitam yang lihai itu! Dan Ho Siang berhasil keluar dari gedung sambil memondong tubuh si kakek kaki buntung dan berkelebat lenyap dari balik gedung tinggi yang gelap oleh sinar bulan yang tersembunyi di balik segumpalan awan hitam! Angin dingin menerjang. Malam semakin panjang! ◄Y► 14 Sin Thong menarik tangan Siauw Yang dan berlari cepat keluar dari gedung Hwa-ie-kay-pang dan terus ia berkelebat ke arah pintu gerbang kota dan tiba di sebuah kelenteng tua. Nampak sebuah lilin menyala menerangi ruang dalam dengan samar-samar. Cepat mereka itu masuk ke dalam.
  • 559
  • Betullah seperti apa yang dikatakan oleh kakek kaki buntung bahwa di dalam kelenteng itu telah menanti Nyuk In, yang tengah mencoba mengobati Biauw Eng dan Hok Sun yang telah hilang ingatannya dan kelihatan seperti orang bodoh itu. Melihat kedua orang muda yang masuk, Nyuk In mengenal dua orang yang menolongnya tadi, segera ia mengangkat tangannya dan menjura: “Terima kasih atas pertolongan kalian, mari silahkan masuk!” “Jangan kau berterima kasih kepada kami Nona, yang menolong kita adalah kakek kaki buntung yang aneh itu…….” “Ooo, dia!” Nyuk In yang sesungguhnya tidak melihat penolongnya tadi hanya mengangguk-angguk saja. Teringat ia akan suara yang pernah didengarnya. Mungkin suara yang lembut yang didengarnya itu adalah suara kakek kaki buntung? “Mana kakek kaki buntung yang menolong kita tadi?” “Dia masih di sana, kami hanya disuruh cepat-cepat pergi dan berkumpul di sini,” sahut Siauw Yang. Begitu melihat wajah gadis itu nampak pucat dan nampak noda darah pada bajunya, segera Nyuk In berkata kaget, “Kau terluka......... mari kuperiksa lukamu, Nona!” “Tidak seberapa, luka ringan saja. Aku sudah telan obat dan tidak berbahaya, terima kasih!” Siauw Yang menjura.
  • 560
  • Tentu saja Nyuk In tidak tahu bahwa Siauw Yang adalah puteri Yok-ong Lo Ban Theng, si raja obat. Sudah barang tentu sedikit-sedikitnya puterinya ini dapat mengerti hal pengobatan. Begitu Nyuk In teringat. “Nona, temanku ini bernama Lo Siauw Yang, puteri Yok-ong Lo Ban Theng dan…... aku, Go Sin Thong murid sin-she Kwa…. dan.......” Nyuk In tersenyum. Teringat ia sekarang kepada dua orang muda ini. Pernah belum lama ini ia mengunjungi pesta ulang tahun Yok-ong Lo Ban Theng. Tentu saja ia jadi mengenal Siauw Yang dan Sin Thong. “Oo, kalian adalah Siauw Yang siocia dan Sin Thong tayhiap, maafkan aku agak lupa. Oya, namaku Cung Nyuk In, dan mereka itu adalah Sie Biauw Eng dan Lim Hok Sun, dari Kotaraja.......” kata Nyuk In sambil menunjuk ke arah Biauw Eng dan Hok Sun yang memandang mereka dengan pandangan bodoh seperti orang kehilangan semangat. Sekali lihat saja, tahulah Siauw Yang, bahwa kedua orang muda ini mendapat serangan pada syarafnya. Dengan terheran ia memandang kepada Nyuk In, “Mereka ini tertawan oleh Hwa-ie-kay-pang. Tadinya aku juga tertawan oleh mereka, akan tetapi untung aku belum sempat diracuni oleh orang-orang Hwa-ie-kay-pang yang kejam itu, sayang....... Siang koko belum datang, kalau ada tentu Biauw Eng dan Hok Sun dapat disembuhkan…..!”
  • 561
  • “Siang-koko....... siapa?” Sin Thong bertanya. “Dia temanku. Namanya Ho Siang, murid Nakayarvia…….” “Oo, pemuda tinggi kurus yang bersenjata suling hitam itu?” hampir berbareng Sin Thong dan Siauw Yang bertanya. “Ya betul, dia itulah!” “Nyuk In cici........ dimana Ho Siang, apakah ia hendak kemari?” tanya Sin Thong. “Entahlah, Saudara Sin Thong, waktu aku keluar dari gedung Hwa-ie-kay-pang itu Siang-koko masih bertempur dikeroyok oleh Bu-tek Sianli dan orang-orangnya, entah bagaimana nasib Siang-koko…...?” Nyuk In berkata perlahan. Nada suaranya penuh cemas dan kuatir. Kalau saja tidak bermaksud menolong kedua temannya, Biauw Eng dan Hok Sun yang kelihatannya amat menguatirkan ini, tentu Nyuk In akan membantu Ho Siang mengamuk melawan orang-orang Hwa-ie-kay-pang! “Mudah-mudahan pemuda itu dapat meloloskan diri……!” “Tentu, ia akan dapat....... eh… siapa itu?” Siauw Yang menunjuk ke pintu. Sesosok tubuh berkelebat masuk dan kalau saja di situ tidak ada Sin Thong dan Siauw Yang, ingin sekali Nyuk In memeluk orang yang datang itu. Akan tetapi dengan girang ia berseru: “Siang koko!”
  • 562
  • Ternyata yang datang adalah Ho Siang dan si kakek kaki buntung yang menolongnya. Ho Siang meletakkan tubuh kakek di atas sebuah bangku dan ia berlutut. “Terima kasih atas pertolongan locianpwe pada kami!” “Bangunlah orang muda....... tak perlu kau berlutut seperti itu kepadaku, aku bukan dewa yang harus disembah, aku hanya seorang tua tuna tetra....... eh, dua orang muda itu....... hem.......” si kakek kaki buntung menoleh kepada Biauw Eng dan Hok Sun yang memandangnya seperti orang bodoh. “Ke marilah kalian!” suara kakek itu berwibawa, bergetar aneh. Dan bagaikan sebuah robot yang dikendalikan oleh tenaga lain dua orang itu, Hok Sun dan Biauw Eng maju melangkah menghampiri si kakek. Sinar mata si kakek kaki buntung menatap tajam kepada Hok Sun dan Biauw Eng dan akhirnya orang tua itu berkata perlahan, “Sungguh keji dan ganas!” “Locianpwe....... kedua saudara itu…. tentu keracunan dan sikapnya tidak wajar.......” Nyuk In berkata sambil mengawasi Biauw Eng dan Hok Sun. “Mereka terserang racun ular hijau, hemm, berbahaya sekali kalau dibiarkan, akan menjalar mengganggu otak dan tentu akan gila akibatnya!” Kakek kaki buntung menoleh kepada Ho Siang: “Orang muda, kau murid Nakayarvia dapatkah kau menolong dua orang muda yang terkena racun ular hijau?”
  • 563
  • Bertanya begini, si kakek kaki buntung teringat kepada Nakayarvia, pendeta India mahir dalam pengobatan penyakit-penyakit yang terserang oleh segala macam racun ular! Waktu ia melawat ke India, pernah sekali kakek buntung yang pada puluhan tahun yang lalu berjuluk Sin-kun-bu-tek ini, dan pernah ditolong oleh Nakayarvia, waktu ia terkena gigitan ular cobra yang berbisa. Dan, tentu saja kalau gurunya mahir dalam segala macam racun, masakan muridnya tidak? pikir kakek buntung ini. Ho Siang memandang mata Biauw Eng. Sekilas saja dapat mengetahui bahwa dua orang muda ini telah keracunan bisa ular hijau yang luar biasa itu, maka dengan sikap hormat ia berkata kepada si kakek buntung: “Teecu yang bodoh, akan mencobanya……!” “Nah, lakukanlah itu….. eh, siapa namamu?” “Teecu bernama Ho Siang, she Khu!” sahut Ho Siang. Si kakek buntung mengangguk-anggukan kepalanya. Ia lantas meramkan mata dan tak lama kemudian telah tenggelam dalam siulannya. Ho Siang tak mau mengganggu, ia lantas menghampiri Biauw Eng dan Hok Sun. Sekali tangannya bergerak tahu-tahu tubuh Hok Sun dan Biauw Eng telah tertotok dan roboh. “In-moay, bawa pemuda itu ke ruang dalam dan baringkan di situ,” berkata Ho Siang, Siauw Yang dan Sin Thong mengikuti ke ruang dalam.
  • 564
  • “Yang-moay, kau bantulah Siang-toako, sedikitnya kau mengerti pengobatan. Biar aku tunggu di sini!” Siauw Yang tak berkata apa-apa, ia mengikuti Nyuk In ke dalam. Tak lama kemudian, baru saja ke tiga orang muda itu masuk ke ruang dalam, Kong Hwat mendatangi, “Maaf saudara, apakah saudara Ho Siang sudah sampai ke tempat ini?” datang-datang Kong Hwat bertanya kepada pemuda cebol. Sin Thong membalas menjura dengan sikap hormat. “Siang-twako sedang mengobati dua orang teman di ruang dalam, sahabat ini siapakah?” “Saja Kong Hwat, syukur kalian telah dapat lolos dari gedung neraka Hwa-ie-kay-pang itu…….” Begitu Kong Hwat menoleh kepada kakek kaki buntung yang sedang bersiulan, ingin ia berbicara akan tetapi Sin Thong mencegahnya. “Sttt, jangan ganggu dia!!” Melihat kedua kaki kakek ini sudah buntung sebatas dengkul dan nampak pada wajah yang tua itu penuh dengan keriput dan menampakkan garis-garis penderitaan bathin yang amat hebat, rambutnya sudah putih semua, kakek itu tengah tenggelam dalam siulannya. Tubuhnya tak bergerak seperti patung, hanya pernapasannya itulah yang kelihatan naik turun amat lambat. Melihat kakek ini, sangat iba hati Kong Hwat! Ia tak mengganggu kakek kaki buntung itu dan sampai hampir menjelang pagi, ia mengobrol dengan Sin Thong. Ternyata
  • 565
  • pemuda cebol ini doyan sekali bercerita. Sehingga tanpa mereka sadari, hari hampir menyelang pagi. Kokok ayam hutan terdengar bersahutan menyambut datangnya pagi hari. Sinar matahari angkat sayapnya memancar hangat mengusir kegelapan malam dan memberi isyarat kepada manusia di bumi bahwa tugas di depan sedang menanti!!! Bersamaan dengan keluarnya Ho Siang, Nyuk In, Siauw Yang, Biauw Eng dan Hok Sun yang sudah mulai sadar, kakek kaki buntung itupun membuka matanya dan pandangannya menyapu tubuh ke tujuh orang muda yang sedang berlutut. Apabila pandangannya itu menatap Biauw Eng dan Hok Sun, ia menarik napas lega, suaranya perlahan sekali, “Syukurlah kalian selamat!” “Locianpwee........ Terima kasih atas pertolonganmu itu.” “Syukur kau sudah sembuh, hemm! Nona apakah kau ini puteri Sie Tayjin dari Kotaraja??” tanya kakek itu memandang ke arah Sie Biauw Eng. “Betul locianpwee, saja adalah puteri Sie Tayjin!” “Bagus!!” kata si kakek kaki buntung memejamkan matanya. “Kalian adalah orang muda yang telah bersatu dan berkenalan satu sama lain….. dan tanpa kalian sadari, kalian telah saling tolong menolong....... Itulah baik sekali, karena barang siapa yang tidak ada perhatian kepada sesamanya tidak hanya mengalami banyak kesukaran-kesukaran dalam kehidupannya sendiri, akan tetapi juga akan mendatangkan kesukaran-kesukaran dalam
  • 566
  • kehidupannya sendiri dan lingkungannya. Benarlah seperti orang-orang tua mengatakan, “Bersikaplah ramah tamah, lupakan diri sendiri, ingatlah kepada orang lain…… dan perhatikan orang lain....... berbahagialah barang siapa yang mengikuti hukum ini!” Ho Siang menjura dan berkata: “Maaf….. Locianpwee….. kalau tidak salah, ucapan locianpwee tadi adalah ujar-ujar dari Nabi Kong Cu....... akan tetapi, apa maksudnya LUPAKAN DIRI SENDIRI, karena menurut pendapat saya yang bodoh, malah sebaliknya. Karena kita dikurniai oleh Thian tubuh yang sehat, sempurna dan sebagaimana adanya, maka kita berhak untuk memperhatikan keadaan diri sendiri, menjaganya, melindungi, memberi makan, agar tubuh ini merupakan sebuah pesawat untuk kelangsungan hidup kita, dan memberikan hal-hal yang berguna untuk kita dan sesama manusia. “Coba bayangkan, kalau kita tidak memperhatikan diri kita, membiarkan tubuh ini kotor dan rusak, akhirnya bersarang berbagai macam penyakit, dan mana dapat diharapkan untuk menjadi sebuah pesawat yang berguna?” “Betul katamu anak muda, memang harus memperhatikan diri kita, secara jasmani....... akan tetapi berapa banyak kah manusia yang memperhatikan dirinya secara rohani? Dus, karena terlalu cenderungnya manusia kita ini memperhatikan diri hanya dari segi jasmani, sehingga si kita. “Aku ini menonjol. Aku inilah yang menguasai jasmani, menyelimuti hati, dan tanpa kita sadari, si aku ini menjadi raja kesombongan,
  • 567
  • mengingini kemuliaan tertinggi, tamak dan ingin diperhatikan orang lain dan selalu berkata: LIHATLAH AKU INI! padahal ia itu tidak tahu, hai manusia siapakah engkau ini? Dalam keadaan apakah engkau kini? Dan dalam berapa lamakah engkau bertahan hidup menumpang di dunia ini….. Ooo, apabila hari Tuhan itu datang, kuasakah engkau menepuk dada sendiri berkata: “LIHATLAH AKU!” Ho Siang, Nyuk In, Siauw Yang, Sin Thong dan yang lainnya, tidak berani menentang pandangan si kakek buntung dan mereka tertunduk, tenggelam dalam alunan filsafat yang dikeluarkan oleh kakek ini. Sebetulnya ingin sekali Ho Siang membuka mulut, akan tetapi didengarnya si kakek sudah mulai berkata lagi, “Benarlah ucapan Sang Budha yang mengatakan demikian. Duhai Brahmana, putuskanlah aliran itu (kecendrungan melihat diri sendiri, kerahkanlah tenagamu, enyahkanlah nafsu-nafsu, setelah mengetahui ketidak kekalan semua unsur-unsur yang berbentuk (unsur-unsur) kehidupan, engkau akan mengenal yang tak diciptakan, Duhai Brahmana!” Suasana di dalam kalenteng tua itu hening sekali, suara kokok ayam hutan yang bersahut-sahutan menyambut datangnya pagi amat keras sekali terdengar. Sementara matahari merangkak ke atas menyebarkan cahayanya yang berkilat kemilau laksana tebaran emas mutiara. “Mohon petunjukmu....... bagi kami yang dangkal pengetahuan ini….. locianpwee,” terdengar suara Ho Siang. Pemuda ini kagum sekali akan kakek kaki buntung yang luas pandangannya.
  • 568
  • “Tiada seorang yang tidak berpengetahuan, Thian memberikan kita otak untuk berpikir, dan segala keadaan adalah hasil dari pada yang kita telah pikirkan. Berdasarkan atas pikiran kita dan dibentuk oleh pikiran kita, kalian tentu sudah mendengar bukan? “Rakyat kecil di sepanjang sungai Sin-kiang menjerit-jerit menahan lapar. Bencana banjir di Tiongkok selatan belum lagi dapat ditanggulangi oleh Pemerintah Pusat. “Kini muncul lagi bahaya kelaparan di dusun-dusun sepanjang sungai Sin-kiang. Ratusan ribu manusia sudah mati kelaparan, jutaan manusia yang telah kehilangan tempat berteduh dan kehilangan harta miliknya akibat banjir besar di Tiongkok Selatan yang menghanyutkan banyak rumah penduduk dan menenggelamkan ribuan manusia yang tak keburu menyelamatkan diri! “Bisul penyakit di negara kita yang telah kalut, ditambah lagi kini dengan bermunculannya manusia berhati iblis yang secara diam-diam telah mengerahkan kekuatannya untuk menggempur pemerintah. “Gerakan ini sangat mengancam daratan Tiongkok, karena pengkhianat-pengkhianat bermunculan di sana sini. Pasukan Mongol yang dipimpin oleh Khu Bilay Khan sedang memasang mata untuk melihat keruntuhan ini dan siap menduduki pemerintahan……” “Jadi, apakah yang harus kami lakukan locianpwe…... siapakah pengkhianat bangsa itu, biar teecu yang menghancurkan kepalanya….!” kata Kong Hwat yang tergerak sekali mendengar cerita si kakek kaki buntung yang biarpun kelihatannya seperti
  • 569
  • orang tanpadaksa, akan tetapi bagaikan mempunyai seribu mata dan seribu telinga. “Aku tahu mereka, akan tetapi tak boleh aku membuka rahasia ini di depan kalian. Aku tak ingin berkhianat, dan tak ingin pula mencampuri diri melibatkan dengan urusan politik, akan tetapi....... kalian patut mengetahui ini, karena kepada kalianlah tergantung harapan untuk masa datang bagi kalangan pemerintahan Tiongkok....... O ya, orang muda murid Nakayarvia, aku lupa namamu, siapa?” “Saja Ho Siang, she Khu!” “Ho Siang, karena aku mengenal baik dengan gurumu si Nakayarvia itu, maka biarlah aku mewakili gurumu mengutus engkau untuk menyelidiki keadaan yang genting ini di Kotaraja. Kau carilah seorang pembesar yang bernama Tan Su Ko, atau lebih dikenal dengan sebutan Tan-tayjin. Nah, kau hubungilah orang itu! Engkau akan mendapat berita banyak dari padanya. “Setelah itu…… oh ya, tentu tayjin akan mengatur semua ini kepadamu, dan kalian orang muda yang lain, hati-hatihlah terhadap pergerakan Kay-pang dan awasilah Pay-cu Sian-li-pay........ Nah, sampai di sini pesanku! Jadilah kalian orang-orang muda yang berjiwa patriot dan mengabdi kepada kepentingan sesama manusia dan bangsa selamat tinggal!” Sesudah berkata demikian, amat cepat sekali gerakan kakek itu sehingga tanpa dapat dilihat lagi, tahu-tahu kakek kaki buntung itu sudah tidak berada di tempat lagi.
  • 570
  • Sementara matahari sudah naik tinggi, menerangi ruangan di dalam kelenteng tua yang penuh dengan kabang-kabang dan tak terurus lagi! ◄Y► 15 Sudah terlalu lama kita meninggalkan Song Cie Lay yang berada di puncak gunung Hong-san di bawah gemblengan tosu sakti Seng Thian Taysu. Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, Song Cie Lay inilah murid Swie It Tianglo, satu-satunya murid mendiang Swie It Tianglo yang masih belum meninggalkan puncak Tiang-pek-san dan bertemu dengan supeknya Seng Thian Taysu, diterima sebagai murid selama hampir empat tahun! Selama hampir empat tahun lamanya itu, Cie Lay digembleng oleh tosu sakti Seng Thian Taysu dengan ilmu silat ciptaannya yang bernama Hong-san-cap-jie-liong-sin-kun-hoat (Duabelas pukulan naga sakti dari gunung Hong-san). Berkat ketekunan dan bakat yang luar biasa, selama hampir empat tahun itu, Cie Lay sudah dapat menguasai ilmu silat yang diturunkan suhunya dengan baik, malah lebih kuat dan cepat dari yang dimainkan oleh gurunya ini. Girang bukan main Seng Thian Taysu melihat bakat yang luar biasa yang tertanam dalam diri muridnya ini, sehingga dengan penuh ketekunan dan kasih sayang yang besar, tosu ini melatih muridnya dengan luar biasa, sehingga empat tahun lewat dengan cepatnya. Cie Lay telah menjadi seorang pemuda berusia duapuluh dua tahun, tubuhnya jangkung dan wajahnya tampan.
  • 571
  • Dalam waktu empat tahun ini, kepandaian Cie Lay sudah meningkat tinggi. Bakatnya yang luar biasa ini, membuat dalam waktu yang singkat kepandaian suhunya habis sudah dikuras dan dipindahkan ke dalam tubuh pemuda tampan ini. Cie Lay benar-benar telah menjadi seorang pemuda yang matang, matang lahir dan bathin, karena disamping suhunya ini menurunkan ilmu silat tinggi, tak lupa pula tosu Hong-san ini menggembleng Cie Lay dengan ilmu kebathinan untuk sebagai pegangan dalam diri pemuda itu! Pada suatu pagi, matahari baru saja mengintip dari balik punggung bukit. Dan menyebar sinarnya yang merah keemasan dan bersinar cerah. Seng Thian Taysu, yang nampak sudah kelihatan tua sekali duduk di depan muridnya, di halaman pondok sederhana yang banyak ditumbuhi oleh tetanaman yang masih basah diselimuti embun pagi. “Cie Lay.......” demikian Seng Thian Taysu berkata kepada muridnya. Suara amat pelan dan tergetar. Mendengar suara ini, pemuda itu sampai mengangkat kepalanya dan memandang suhunya yang menatapnya dengan lembut. “Sudah empat tahun kau berada di Hong-san, selama itu tidak sia-sia usahaku menggembleng engkau guna menjadi seorang perkasa. Kepandaianmu kini sudah cukup tinggi, tinggal saja mencari pengalaman di dunia kang-ouw, ketahuilah bahwa pada jaman ini banyak sekali tokoh-tokoh sakti yang bermunculan.
  • 572
  • Akan tetapi sayangnya, kemunculan tokoh-tokoh ini membawa kesengsaraan bagi rakyat belaka, merusak aparat negara dan sengaja dengan diam-diam menjadi musuh dalam selimut untuk menggulingkan pemerintahan. Tokoh-tokoh sakti itu adalah Bu-tek Sianli, Pay-cu Sian-li-pay, Thay-lek-hui-mo, Hok Losu, hwesio Siauw-lim yang tersesat dan yang berkepandaian tinggi dan banyak lagi tokoh-tokoh yang sudah menggabungkan diri dengan Sian-li-pay yang terkenal itu, oleh karena itu, Cie Lay hari ini kuperkenankan kau untuk turun gunung, mencari pengalaman dan….. ahh mudah-mudahan engkau tidak menemui jalan sesat.......” “Suhu, mohon petunjukmu. Setelah teecu turun gunung, apakah yang teecu harus perbuat?” “Engkau masih mempunyai empat saudara seperguruan dari mendiang Swie It Tianglo, oleh karena itu, carilah mereka, gabungkan diri dengan mereka....... dan….. soal pembalasan dendam kepada tiga orang pembunuh gurumu mendiang Swie It Tianglo, terserah kepadamu saja, akan tetapi ingatlah Cie Lay, jikalau pembunuhan itu dapat dihindari, janganlah membunuh. Ingat soal kematian bukanlah urusan kita! Tak boleh kita menghakimi seseorang dengan mengambil nyawa, tak baik muridku!” “Terimakasih atas petunjuk suhu…… bilakah teecu turun gunung?” suara Cie Lay terdengar bergetar.
  • 573
  • Memang sudah lama sekali ia merindukan untuk turun dari Hong-san ini dan mencari saudara-saudara seperguruannya yang tercerai berai. Hari ini ia akan turun gunung. “Sekarang juga Cie Lay!” “Suhu…….!” “Pergilah Cie Lay, ini Hong-san-kiam kuberikan kepadamu…... Selamat jalan Cie Lay!” “Suhu!” Cie Lay menjatuhkan diri berlutut. Untuk beberapa lama ia berdiam diri di bawah lutut suhunya, sementara kepalanya diusap halus oleh kakek itu. Demikianlah, bagaikan burung yang lepas dari sangkarnya, Song Cie Lay menuruni lereng gunung Hong-san yang terkenal tinggi dan berbahaya. Pemuda itu mulai perjalanannya yang amat sukar dan amat berbahaya. Makin jauh Cie Lay menuruni lereng gunung itu, semakin tebal embun yang menyelimutinya dan hawa dingin menyerang dengan hebat sehingga ia menggigil kedinginan. Terpaksa Cie Lay menunda perjalanannya, kedua kakinya menginjak ujung karang, melepaskan pandangannya jauh ke bawah. Disini ia mengerahkan sin-kangnya sehingga tubuhnya tiba-tiba menjadi hangat sekali seakan-akan ia bukan sedang berdiri di dalam selimutan embun, melainkan diselimuti oleh cahaya terik panas matahari. Memang lwekang pemuda ini sudah hebat sekali.
  • 574
  • Tak lama kemudian dari atas kepalanya mengepul uap putih dan tubuhnya menjadi berpeluh. Setelah mengusir hawa dingin yang membuat tulang-tulangnya menjadi kaku kedinginan, ia lalu melanjutkan perjalanannya. Perjalanan ini memerlukan tenaga gin-kang untuk menjaga jangan sampai jatuh dari jurang yang penuh dengan batu-batu runcing laksana mata pedang yang menonjol. Akhirnya setelah mengalami daerah dingin di sebelah utara pegunungan Hong-san yang terkenal dengan puncaknya yang berselimut salju itu, dan sesudah ia berhenti sampai tiga kali mengerahkan hawa sin-kang di tubuhnya untuk mengusir rasa dingin, seperti es, ia telah keluar dari daerah puncak dan berada di tempat yang terang. Pemandangan dari situ amat indah, juga menakutkan sekali. Kalau tadi ia melihat ke bawah, ia hanya melihat halimun yang gelap putih, sekarang, apabila ia menundukkan kepala memandang ke bawah ia melihat alam yang amat luas di bawah kakinya. Lereng gunung itu masih amat curam, jauh di sebelah selatan kelihatan berpetak-petak rumah pondok penduduk, dan sawah ladang yang terbentang luas. Di depannya nampak pohon-pohon yang kelihatan dari situ amat pendek dan kecil, akan tetapi indah sekali. Apabila ia menengadah ke atas, nampak warna warni indah dari pelangi dibentuk oleh kemilau sinar matahari yang menembus embun mendatangkan warna yang indah dan menakjubkan!
  • 575
  • Setelah sampai di daerah ini, Cie Lay berlari dengan gesit dan cepat, mempergunakan gin-kangnya mencelat dari atas batu karang ke atas batu karang yang lain, laksana walet hitam yang beterbangan mengelilingi bunga. Hawa dingin tidak terasa lagi seperti di atas itu, cahaya matahari mulai menghangati tubuhnya. Akhirnya, setelah dua jam ia menuruni puncak Hong-san yang penuh dengan jurang-jurang terjal itu, sampailah ia di sebuah tanah datar dan ketika ia mendongak ke atas, terlihatlah olehnya bahwa yang dituruninya tadi adalah dinding jurang gunung yang tinggi menjulang ke atas dan puncaknya, di mana suhunya, Seng Thian Taysu berada, lenyap ditelan awan putih. Akan tetapi daerah yang didatangi ini aneh dan asing baginya. Di depannya terdapat gunung kecil dan di ujung sekali menjulang tinggi sebuah gunung yang seakan-akan hendak menyaingi Hong-san yang besar. Cie Lay tidak tahu bahwa itulah puncak gunung Tai-hang-san yang masih termasuk daerah pegunungan Lu-liang-san. Karena hendak menjumpai manusia agar ia tahu sampai dimana ia kini berada, Cie Lay tidak membuang waktu lagi dan cepat melanjutkan perjalanan. Sebetulnya, pemuda ini tersesat jalan. Seharusnya ia mengambil jurusan selatan melintasi sebuah anak sungai Ce-kiang yang terkenal di lereng gunung Hong-san dan menuju ke arah tenggara kota Peng An, akan tetapi sebaliknya malah, karena Cie Lay tidak mengenal jalan ia mengambil jurusan ke arah utara, jurusan yang nampak liar dan tak pernah didatangi manusia.
  • 576
  • Jalan satu-satunya adalah jalan menurun, dimana di bawahnya itu terdapat sebuah jurang yang amat dalam dan sayup-sayup oleh pandangan mata yang terlatih, ia melihat sebuah tanah datar dan pondok sederhana. Karena hanya dengan cara demikian baru ia dapat keluar dari daerah liar ini, maka Cie Lay menuruni jurang yang tertutup kabut itu dengan menggunakan ilmu cecak merayap di atas dinding dan perlahan-lahan tubuhnya yang melengket pada dinding jurang itu, turun sambil mengerahkan gin-kang dan lweekang! Untung sekali matahari sudah naik agak tinggi, sehingga kabut di dasar jurang itu membuyar tersentuh sinarnya. Ketika Cie Lay sampai di bawah tanah yang amat lembut dan berpasir itu, ia berhasil lari cepat dan mencari dengan pandangan matanya kalau-kalau di dekat situ nampak perkampungan. Tiba-tiba ia melihat dua sosok manusia sedang bertempur dengan amat serunya, amat cepat sehingga bagi mata yang tak terlatih, akan sukarlah baginya untuk mengikuti jalannya pertempuran. Hanya nampak bayangan merah dan putih berkelebat-kelebat dengan amat cepatnya, sebentar-sebentar terdengar saara senjata beradu memercikan kembang api di udara. Cie Lay terkejut bukan main, ia dapat melihat jelas jalannya pertempuran itu. Dapat melihat siapa yang tengah bertempur dengan amat serunya itu. Seorang wanita muda, cantik, berpakaian kembang-kembang merah, rambutnya yang panjang terurai sebatas pundak, nampak demikian gesit sekali menerjang seorang pemuda baju putih,
  • 577
  • kedua-duanya bersenjata sebuah pedang pendek yang melengkung, berkilau-kilau cahaya kebiruan dan untuk sejenak Cie Lay hanya bengong memandang kedua orang muda yang bertempur mati-matian itu. Dua orang muda itu, amat dikenalnya, Liok Kong In dan Lie Bwe Hwa. Seperti yang telah dituturkan di bagian depan, Kong In dan Bwe Hwa, masing-masing telah mempelajari sebuah kitab peninggalan dari ke dua orang kakek sakti yang bernama Hek-pek-hwa-moko yang telah meninggal dunia. Bwe Hwa mempelajari kitab peninggalan Pek-moko, dan mempelajari ilmu silat yang bernama Pek-hwa-kiam-sut (ilmu pedang bunga putih) yang ditulis oleh Pek-moko. Dan Kong In, diajak pula oleh Hek-moko ke puncak sebuah gunung dan diberi sebuah kitab pedang yang bernama Hek-hwa-kiam-sut, kitab pedang yang sesungguhnya bersumber menjadi satu dengan Pek-hwa-kiam-sut, karena dua orang Iblis Hitam dan Putih ini adalah saudara seperguruan dan bersumber dari satu ilmu pedang Hek-pek-hwa-kiam-sut! Akan tetapi semenjak mereka masing-masing mempunyai sepasang pedang Iblis, maka terjadilah pertempuran-pertempuran dan akhirnya ke dua itu mati di tangan saudara sendiri! Tiga tahun sudah Bwe Hwa dan Kong In mempelajari ilmu kitah pedang yang dahsyat itu. Seperti janji mereka pada mendiang suhunya masing-masing, yaitu untuk mengadu kepandaian pedang, maka pada waktu yang tepat, Kong In menuruni puncak
  • 578
  • gunung dan langsung ke lembah Tai-hang-san bertemu dengan sumoaynya, Bwe Hwa! “Bagus, suheng! Rupanya kau menepati janji suhumu si Hitam itu, hemm, mari kita coba....... siapa di antara kita yang paling unggul sebagai murid Hek-pek-hwa-moko!” datang-datang Bwe Hwa menyambut dengan tarikan pedang Iblis Putih dan serangkum cahaya berkilau-kilauan oleh sinar perak kebiruan yang memancar dari logam pedang pendek itu! Kong In terkejut sekali. Sesungguhnya ia tidak bermaksud untuk bertempur dengan menggunakan pedang, oleh karena itu dengan melangkahkan kakinya maju selangkah, ia berkata, “Hwa-moay, mendiang suhu memesan untuk menguji saja, siapa di antara kita yang terlihai dan tak perlu menggunakan pedang!” Bwe Hwa tersenyum. Amat manis sekali senyum gadis itu. Untuk sejenak Kong In menjadi terpesona oleh senyum Bwe Hwa. Kenangan di puncak Tiang-pek-san membayang di ruang matanya. Betapapun sesungguhnya ia mencintai gadis ini, senyum gadis itu, masih seperti dulu masih mampu untuk mengoyak-ngoyak ruang hatinya, masih membuat darah di dada pemuda itu berdebar-debar. Bagaikan orang yang terkena hikmat pemuda itu memandang sayu ke arah si gadis. Hatinya menjerit-jerit waktu Bwe Hwa menggerak-gerakan pedang Iblis hitamnya! “Suheng Kong In, mengapa kau melongo saja? Cabut pedangmu dan mari kita bertempur!”
  • 579
  • “Sumoay, bukan bagini caranya kita mengadu kepandaian, tak baik menggunakan pedang! Mari kita bertempur dengan tangan kosong saja. bagaimana?” Aneh mendengar suara perkataan Kong In seperti itu, Bwe Hwa menjadi marah dan merasa tak puas. Apalagi waktu dilihatnya pedang di tangannya memancar cahaya aneh, serasa dadanya mendenyar penuh dengan hawa membunuh. Tangannya bergetar kuat oleh hawa mujijat yang mengalir ke segenap pembuluh darahnya! “Kong In Suheng, tak perlu banyak membuang waktu. Sambut seranganku!” Bwe Hwa melompat maju menerjang Kong In dengan pedang pendek yang mengeluarkan cahaya aneh itu. Terkejut sekali hati pemuda itu merasa tenaga yang mujijat mendorong tubuhnya dan hampir saja iganya tersambar pedang sumoaynya kalau tidak cepat-cepat ia melompat ke samping dan mencabut pedangnya pula. Sinar hitam memanjang berkilat merupakan bayangan maut di tangan Kong In. Rasa gentar yang tadi menyelusuri hatinya lenyap sudah setelah ia memegang pedang Hek-hwa-kiam (pedang bunga hitam). “Bagus, mari kita mengukur kepandaian…… lihat pedang!” bentakan nyaring Bwe Hwa merupakan kilat putih menyambar kepala Kong In. Dengan gerak kilat Kong In menangkis pedang lawan dan mengirim pukulan ke depan. “Dess, tranggg!” bunga api hitam dan putih memercik di udara. Keduanya terhuyung ke belakang Masing-masing melihat ke arah
  • 580
  • pedangnya, lega hati mereka melihat pedangnya tidak cacad, malah sinar hitam dan putih itu memancar menyerupai hawa panas membara. Di dalam dada Kong In dan Bwe Hwa tersembunyi rasa tak puas. Mereka saling menerjang lagi. “Suheng, tak dapat kau menangkan kepandaianku, menyerahlah kau dan berlutut di depan suhu, menyatakan kau sudah kalah olehku!” Dari balik gumpalan sinar pedang terdengar suara nyaring Bwe Hwa mengejek. Kong In menjadi panas hati, “Sumoay, jangan tekebur, engkaulah yang harus kukalahkan dan menyatakan kekalahanmu di depan suhu Hek-moko, dan berlutut di depanku!” “Ha ha ha suheng, tak mungkin kau kalahkan aku, tak mungkin....... suhu Pek-moko lebih lihai dari Hek-moko!” “Sumoay, jangan tekebur, pedangku ini akan memenggal lehermu…….!” “Pedangku ini akan menghirup darahmu……. hik hik hik!” “Ganas kau!” Kong In membentak marah karena serangan gadis sumoaynya ini benar-benar dahsyat dan cepat. Kalau tadi pedang putih itu sampai menemui sasaran, tentu lehernya akan putus terpenggal pedang di tangan sumoaynya. Bertambah penasaran Kong In dan ia menggerakan pedang hitamnya dengan gerakan istimewa dari ilmu pedang Hek-hwa-
  • 581
  • kiam-sut ciptaan Hek-moko. Terdengar bunyi keras dan pedangnya berhasil menempel pedang putih Bwe Hwa, akan tetapi sebelum ia membetot, secara aneh sekali pedang itu telah terlepas kembali dan ternyata Bwe Hwa telah dapat membebaskan pedangnya dengan amat mudah dari tenaga tempelan yang luar biasa itu. Di lain saat pedang itu telah menjadi sinar putih memanjang dan menyerang ke arah pundak untuk membikin putus tulang pundak! Melihat keganasan sumoaynya itu, Kong In menjadi marah dan penasaran, hawa membunuh sudah membayang dalam diri masing-masing. Kong In menggerakan pedangnya memutar dengan jurus yang luar biasa, suara berciutan menyambar di atas kepala si gadis, akan tetapi dengan memiringkan kepalanya, pedang hitam itu lewat di samping Bwe Hwa, kemudian Bwe Hwa melakukan serangan balasan yang tidak kalah hebatnya. Tiba-tiba terdengar bentakan keras. “It-suheng, Hwa sumoay! Kalian sudah gila, berhenti!” yang membentak adalah Cie Lay dan sekali kakinya menotol tanah, tubuhnya melayang dan menerjang Kong In dan Bwe Hwa dengan pedang Hong-san-kiam yang diputar di atas kepala. Tiga buah sinar pedang berkeredep dan bunga api memercik di udara. Ke tiga orang muda itu terpental ke belakang oleh dorongan tangan kiri Cie Lay dan pedangnya membentur dua pedang yang luar biasa lihainya itu.
  • 582
  • Cie Lay terhuyung-huyung ke belakang. Begitu pedangnya menjadi somplak oleh benturan kedua pedang hitam dan putih tadi, Cie Lay menjadi terkejut dan memandang kepada dua orang muda di depannya itu bergantian. Tak mengerti! “Cie Lay....... kau?” Kong In menegur. “Jie-suheng……!” “It-suheng dan Bwe Hwa sumoay, kalian ini....... mengapa bertempur?” Cie Lay bertanya sambil menyarungkan pedangnya menghampiri suheng dan sumoaynya. Pada saat itu, dari kejauhan mendatangi seorang pemuda dan seorang gadis jelita. Orang muda itu nampak kelihatan girang sekali, berseru. “Kong In suheng, Cie Lay…… Bwe Hwa sumoay!” Ketika orang muda itu menoleh dan alangkah terkejut dan herannya mereka melihat Tiang Le berjalan bersama seorang wanita muda jelita, kelihatannya lembut dan manis! Apabila Bwe Hwa memandang ke arah lengan pemuda yang buntung sebelah kanannya itu berubah wajah Bwe Hwa dan entah mengapa hatinya terasa tidak enak benar. Hati itu merasa bersalah! Dan hati itu, hmm, panas bukan main melihat Tiang Le didampingi oleh wanita cantik jelita. Seperti telah kita kenal, wanita muda ini adalah Cia Pei Pei! Tiga tahun sudah Tiang Le mempelajari ilmu kitab yang didapat dari Pei Pei dan alangkah girang hatinya merasa bahwa jurus-jurus dalam kitab itu amat sejalan dengan kemampuannya. Seakan-
  • 583
  • akan dengan kebuntungan lengan kanannya itulah justru merupakan syarat utama untuk bisa melatih ilmu silat yang tertera dari kitab kuno yang bernama ilmu silat tangan buntung, gerak tangan kilat dan duapuluh satu langkah-langkah sakti! Demikianlah tiga tahun sudah Tiang Le melatih diri dan pada suatu hari, pemuda itu mengajak Pei Pei untuk mengembara mencari tiga orang musuh-musuhnya, mencari saudara-saudara seperguruan yang telah lenyap! Dan secara kebetulan sekali mereka bertemu dengan tiga orang muda ini. Tiang Le girang sekali hatinya. Ia menjurah dan memperkenalkan Pei Pei kepada saudara seperguruannya ini. “Senang sekali saya bertemu dengan sam-wi kalian bertiga yang gagah dan saudara seperguruan dari Tiang Le koko.......!” Pei Pei menjura dengan hormat. Senyum manis itu menyorotinya segar di wajah si gadis. Ke tiga orang muda itu membalas hormat. Kong In dan Cie Lay menganggukkan kepala. Akan tetapi, tiba-tiba Bwe Hwa menarik keluar pedang Pek-hwa-kiam dan langsung membentak kepada Kong In: “Suheng….. mari kita lanjutkan pertempuran tadi, seorang di antara kita belum ada yang kalah, kita harus membuat penentuan!” Kata-kata ini ditutup olah gerakan sinar pedang putih di tangan Bwe Hwa. Amat cepat sekali gerakan menusuk yang bertubi-tubi itu sehingga mau tidak mau Kong In telah mencelat dan mencabut
  • 584
  • pedangnya dan membentak keras: “Sumoay, kau keras kepala! Hari ini kau harus tunduk kepadaku!” Pedang hitam itu menyambar. Tiang Le cepat mencelat ke tengah-tengah arena pertempuran dan mengangkat tangannya mencegah: “Suheng, sumoay....... jangan bertempur, berhenti!” Akan tetapi mana kedua orang muda ini mau berhenti malahan bertambah dahsyat lagi mereka bertempur. Tiang Le menjadi terkejut sekali melihat kedua pedang yang mengeluarkan cahaya menyeramkan itu. Cahaya aneh yang membuat si pemain pedang berhasrat untuk saling membinasakan lawan. Inilah kehebatan Sepasang Pedang Iblis Hek-pek-kiam di tangan ke dua orang muda itu! Tiang Le memandang ke arah Cie Lay. “Entahlah, kutemui mereka tadi juga sedang bertempur!” “Biar kuhadapi mereka,” berkata demikian Tiang Le telah mengeluarkan pedang pusaka buntung. “Sute, hati-hatilah….. sepasang pedang itu amat luar biasa, Cie Lay memperingati dan ia sendiri bersiap sedia untuk memisahkan pula.” “It-suheng dan Bwe Hwa, harap berhenti!” Tiang Le memperingati kedua orang yang sedang bertempur dengan amat seru dan hebat luar biasa.
  • 585
  • Kilatan pedang hitam dan putih berkeredep menyambar lawan masing-masing, di antara gundukan dua buah pedang yang amat cepat itu,terdengar hampir berbareng Kong In dan Bwe Hwa! “Tiang Le, jangan turut campur kau! Biar kami menyelesaikan urusan masing-masing!” “Kalau kalian tidak berhenti, aku turun tangan suheng!” Tiang Le berseru lagi. “Ha! Tiang Le, sudah buntung lenganmu, jangan menyia-nyiakan nyawamu....... lebih baik kau pergilah cari Sian Hwa-moay, dia amat mencintaimu….. akan tetapi……” Kong In tak melanjutkan kata-katanya karena pedang putih di tangan Bwe Hwa menyambar dengan ganas sekali. Terpaksa ia menangkis. Dua sinar pedang saling bertemu dan bunga api berpijar. Ke dua melompat mundur untuk melihat pedang masing-masing. Mereka merasa lega melihat pedang masing-masing tidak menjadi rusak oleh benturan yang keras tadi, tanda bahwa pedang mereka sama-sama hebat! Dalam detik-detik selanjutnya dua orang kakak adik seperguruan itu sudah saling serang lagi dengan sengit dan ganas. Sepasang Pedang Iblis Hek-pek-hwa-kiam bergulung-gulung merupakan sinar berwarna hitam dan putih, amat indah dipandang dan mendebarkan hati karena tegangnya. Cie Lay dan Tiang Le tahu bahwa permainan kedua orang saudara seperguruannya ini, meskipun dilihat indah, akan tetapi
  • 586
  • bersembunyi tangan-tangan maut yang setiap waktu dapat mencabut nyawa seorang di antara ke dua pemainnya. Tahu bahwa mereka tidak dapat lagi dipisahkan hanya dengan kata-kata, Tiang Le berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah menerjang ke tengah-tengah dua orang saudara seperguruan yang tengah bertempur. Tanpa memberi kesempatan lagi, ia lalu menyerang membabat dari kanan dan kiri! Sinar pedang berkilat menyambar, amat cepat sekali gerakan Tiang Le ini, dan begitu pedangnya beradu dengan kedua pedang lawan dengan gerak kilat, tahu-tahu pedang buntungnya sudah masuk ke dalam sarung di pinggang dan bagaikan ada sebuah guntur menyambar dengan amat dahsyatnya, tahu-tahu, begitu tangan kiri Tiang Le mendorong ke kanan dan kiri, baik Bwe Hwa mau pun Kong In sudah terpental ke belakang! Tentu saja Kong In dan Bwe Hwa menjadi terkejut sekali. Dan mereka tak mengerti bagaimana mereka masing-masing sampai bisa terpental ke belakang, tadi begitu ia merasa ada angin lembut menyambarnya, Bwe Hwa dan Kong In membabat dengan pedangnya masing-masing dan mendorong ke arah lawan, akan tetapi sangat tidak diduga karena begitu pukulan mereka saling bertumbuk, tahu-tahu sebuah gelombang dahsyat telah menggempur kuda-kuda mereka! “It-suheng, Bwe Hwa sumoay, apakah kalian ini sudah gila? Mengapa bertempur seperti itu? Kalau kalian haus akan pertempuran tingkat tinggi, mengapa tidak mencari musuh-musuh mendiang suhu dan membalas sakit hati ini? Suheng dan sumoay,
  • 587
  • sadarlah, hentikan kegilaan kalian, mari kita mencari musuh-musuh suhu! Kita berlumba, siapa paling dulu yang dapat membalas sakit hati suhu!” “Tiang Le, sombong kau! Aku bukan anak kecil lagi seperti dulu! Aku kini adalah murid mendiang Hek-moko. Berani kau menghadapi pedang iblisku?” Kong In menantang. Panas sekali hatinya kepada pemuda lengan buntung ini. Memang sejak ia tahu Bwe Hwa mencintai Tiang Le, entah mengapa hati pemuda ini tidak senang terhadap Tiang Le. Apalagi kini, sekali bergebrak saja ia sudah tergempur kuda-kudanya. Tak boleh jadi. Masa Tiang Le dapat mengalahkanku? Di lain pihak, Bwe Hwa juga merasa tak puas dan penasaran kepada Tiang Le. Ia betul-betul menjadi panas hati dan tak senang, begitu melihat Tiang Le berjalan dengan gadis lemah itu. Seandainya, gadis itu Sian Hwa, mungkin ia takkan semarah ini. Akan tetapi gadis lemah lembut itu bukan Sian Hwa, hemm, apakah pemuda suhengnya ini bermain gila lagi dengan perempuan lain dan tidak menghiraukan Sian Hwa sumoay?! Saking panasnya hatinya yang mendidih itu. Tanpa berkata apa-apa lagi, gadis itu sudah menerjang Tiang Le dengan pedangnya, dibarengi dengan gerakan Kong In yang telah menggempur dengan dahsyat sekali. Cepat Tiang Le mencelat ke atas menghindarkan datangnya sepasang pedang yang mengeluarkan hawa yang aneh itu dan telah menarik pedang buntungnya dan membalas menangkis
  • 588
  • pedang Kong In dan Bwe Hwa. Bunga api memercik di udara, akan tetapi pedang mereka masing-masing tidak rusak karenanya, tanda bahwa pedang mereka berimbang dalam kekuatannya! Pedang di tangan kiri Tiang Le adalah sebatang pedang pusaka buntung yang pada puluhan tahun telah menggemparkan dunia persilatan, biarpun pedang ini agak pendek dari ukuran pedang yang lain, namun terbuat dari pada baja putih yang kuat sekali. Besi biasa dapat putus dengan mudah oleh sabetan pedang Tiang Le, di lain pihak pedang di tangan Kong In dan Bwe Hwa adalah sepasang pedang iblis yang luar biasa! Hebat sekali desakan pedang iblis dari tangan Kong In dan Bwe Hwa. Bagaikan kilat putih yang menyambar-nyambar pedang di tangan Bwe Hwa membuat gerakan yang menusuk, sedangkan pedang hitam di tangan Kong In berkelebat cepat menyambar leher Tiang Le. Amat cepat sekali gerakan dua pedang yang luar biasa ini. Akan tetapi, Tiang Le bukanlah pemuda yang tiga tahun yang lalu, kini pemuda lengan buntung ini telah mewarisi ilmu silat luar biasa yang sukar untuk dicari keduanya. Menghadapi keganasan silat dari kedua orang saudara seperguruannya ini, Tiang Le terkejut dan membentak keras. Ia mengumpulkan tenaganya pada tangan kiri, menanti datangnya pedang lawan sampai dekat, kemudian sekali gus ia mencelat ke atas dengan dua macam gerakan. Pedang buntungnya, dengan gerakan yang cepat sukar diikuti oleh pandangan mata telah terselip di pinggangnya dan bagaikan kilat
  • 589
  • menyambar tangan kirinya mendorong ke arah depan dan belakang dengan pukulan gerak tangan kilat yang luas. “Dess!” dua pukulan yang luar biasa itu membuat tubuh Kong In dan Bwe Hwa terhuyung-huyung ke belakang. Akan tetapi sungguh di luar dugaan dari Tiang Le, karena dengan kecepatan yang luar biasa bagaikan komando, serentak Kong In dan Bwe Hwa sudah menerjang kembali dengan kilatan pedang yang sukar diikuti oleh pandangan mata. Cie Lay yang menyaksikan pertempuran ini, berkelebat ke tengah-tengah pertempuran dan cepat menangkis pedang Bwe Hwa yang menyambar bagian pundak Tiang Le. Akan tetapi begitu tangan kiri Bwe Hwa dan Kong In bergerak memutar, tahu-tahu tubuh Cie Lay terlempar jauh dan Tiang Le sendiri terhuyung dan cepat melompat ke belakang lalu berdiri dengan muka pucat. Darah mengucur keluar dari ke dua pundak Tiang Le yang terserempet pedang hitam Kong In! “Koko.......” Pei Pei berlari menghampiri Tiang Le. “Aku tak apa-apa Pei-moay. Sungguh lihay suheng dan sumoay, ganas, ahh....... dan luar biasa pedang setan itu!” Tiang Le menekan pundaknya yang bercucuran darah. Pei Pei cepat merobek kain bajunya dan membalut pundak Tiang Le. Tentu saja tadi karena Tiang Le tidak menduga-duga akan serangan mendadak dari kedua orang seperguruannya ini, saking cepatnya gerakan pedang lawan dengan jurus yang amat aneh dan dahsyat, tak keburu Tiang Le menghindarkan sabetan pedang Kong In. Hampir saja ia berteriak waktu pedang hitam itu benar-
  • 590
  • benar hendak memenggal lehernya. Hebat! Entah apakah Kong In dan Bwe Hwa ini sudah gila hendak membunuhnya? Di lain pihak, dengan napas yang agak memburu, Bwe Hwa berdiri tegak dengan pedang dilintangkan di depan dada. Gadis berusia duapuluh tahun ini kelihatan gagah sekali, matanya memandang Tiang Le dengan berapi, dadanya memburu melihat sikap Pei Pei yang demikian mesra membalut luka di pundak Tiang Le. Ingin sekali saat itu ia menerjang gadis itu dan menusukkan pedangnya ini di dada gadis yang membuat dadanya menjadi panas bagai kawah api yang hendak meletus, wajahnya sebentar merah, sebentar putih, pucat bagaikan kertas. Dadanya berombak turun naik. apabila, pandangannya itu terbentur ke arah lengan kanan Tiang Le yang sudah buntung sebatas pundak, terasa matanya menjadi panas pandangannya menjadi nanar oleh genangan air mata yang hendak pecah! Tiang Le memandang Bwe Hwa, dua pasang mata yang saling membentur itu meledakkan bendungan air mata si gadis yang tadi ditahan-tahan hendak meluas. Bwe Hwa menubruk Tiang Le dan menangis, membenamkan kepalanya di dada pemuda itu. “Tiang Le koko........ kau... ampunkan..... aku... tanganmu....... aduh....... koko....... kau....... buntungilah tanganku ini......... aku... aku....... telah membuatmu menderita....... aku jahat......... aku berdosa...... koko, biarlah aku membalas penderitaanmu ini...... aku berdosa...... malah tadi hampir saja aku membunuhmu...... ya, Tuhan....... biarlah aku menerima hukuman....... Tiang Le koko jangan kau marah kepadaku........ biar aku membuntungi tangan
  • 591
  • ini.......” dengan gerakan yang amat cepat Bwe Hwa menggerakan tangan kanannya dan...... “Srattt!” darah merah menyembur dari tangan kiri gadis itu membasahi dada Tiang Le. Bagaikan disentak ular berbisa, Tiang Le mendorong tubuh Bwe Hwa. “Bwe Hwa...... kau...... kenapa kau lakukan itu......?” Sambil menahan nyeri pada lengan kirinya, Bwe Hwa memandang Tiang Le dengan tatapan sayu. Beberapa butir air mata meloncat jatuh di atas sepasang pipi yang memucat. “Tiang Le koko....... kini legalah hatiku, aku........ aku...... aku.... ahhh,” Bwe Hwa menggigit bibirnya. Butir-butir air mata membasahi pipinya. Pandangan Bwe Hwa semakin redup, seperti lampu yang kehabisan minyak. Ia memegangi lengannya yang penuh darah. Tiang Le menghampiri Bwe Hwa menotok jalan darah yang mengucur deras itu. “Sumoay Bwe Hwa...... kenapa kau jadi begini sumoay...... kenapa kau lakukan...... itu....... ahh, sumoay....... aku tidak menaruh dendam sedikitpun kepadamu aku tidak memarahimu sumoay......” “Tiang Le koko......!” “Sumoay.......”
  • 592
  • Baru saja Tiang Le hendak merangkul gadis itu. Tiba-tiba serangkum hawa dingin menyambar di belakangnya. Cepat Tiang Le menggeser kakinya dan menoleh ke belakang, “It-suheng Kong In........” “Bagus Tiang Le. Sesudah kau menghancurkan hati Sian Hwa yang mencintaimu mati-matian, kini kau bermain gila dengan perempuan lain dan melupakan sumoay Sian Hwa. Sekarang, karena kau, Bwe Hwa kehilangan lengannya, keparat! Aku harus mengadu nyawa denganmu!” “Singg!” pedang Hek-hwa-kiam tercabut di tangan Kong In dan tanpa mengatakan apa-apa lagi dengan nada penuh amarah ia menerjang Tiang Le dengan gerakan Hek-hwa-kiam-sut yang aneh dan kuat. Terkejut sekali Tiang Le, dengan cepat pula mencabut pedang buntungnya dan mencelat ke samping menangkis pedang lawan. “It-suheng........ hentikan!” “Tidak! Kau harus mampus di tanganku! Kau binatang, laki-laki jay-hoa-cat........ jahanam!” Suara Kong In menggeledek dibarengi dengan kilatan pedang hitam menyambar Tiang Le. Akan tetapi belum lagi Tiang Le menggerakan tubuhnya menghindari serangan Kong In, sebuah sinar putih berkeredep memanjang dan tahu-tahu pedang Kong In sudah tertangkis oleh pedang putih Bwe Hwa. “It-suheng, tak boleh kau menyerang Tiang Le!”
  • 593
  • “Sumoay....... kau....... kau masih mencintai Tiang Le, si buntung ini?” Kong In bertanya, sementara hatinya serasa diiris. Tangannya yang memegang pedang agak tergetar. “Suheng....... kau tahu yang membuntungi lengan Tiang Le adalah aku......., karena aku tak puas Tiang Le lebih tinggi kepandaian silatnya dari padaku....... karena....... aku........ aku mencintainya....... dan....... membencinya. Sepatutnya lenganku ini buntung untuk Tiang Le........ dan kau, suheng....... kau tidak berhak mencampuri urusanku. Andaikata sekarang inipun aku masih mencintai Tiang Le, kau mau apa?” Pucat wajah Kong In, serentetan kata-kata Bwe Hwa membuat kedua kakinya menggigil. Dari dulupun ia sudah dapat menduga bahwa sumoaynya ini telah menaruh hati kepada Tiang Le, akan tetapi....... setelah Tiang Le kehilangan lengan, dan dicintai pula oleh Sian Hwa, masih jugakah gadis itu mencintai Tiang Le? Untuk beberapa lama Kong In tak dapat berkata apa-apa. Dilihatnya Bwe Hwa terhuyung-huyung. Dilihatnya Tiang Le menyanggah tubuh Bwe Hwa, dilihatnya si gadis pingsan dalam dekapan Tiang Le. Setan! Aku harus mengadu nyawa dengan pemuda jay-hwa-cat ini, pikir Kong In dengan dada yang serasa hendak meledak. Pedangnya ditarik ke atas. Melihat suhengnya hendak bertempur lagi dengan cepat Cie I.ay memegang lengan Kong In dan berkata perlahan: “It-suheng....... sudahlah, jangan menuruti nafsu hati....... ingatlah kita masih bersaudara, tak baik saling tempur dengan sesama saudara
  • 594
  • seperguruan. Urusan kita masih banyak suheng, kita belum memenuhi kewajiban untuk membalas sakit hati mendiang suhu!” Kong In menoleh ke arah Cie Lay dan berkata: “Sute, aku harus musnahkan dulu si buntung ini. Kau tahu, gara-gara Tiang Le semuanya jadi berantakan!” “Lupakan itu suheng.......!!” “Apa?? Cie Lay, apakah kau telah melupakan Sian Hwa?? Bukankah engkau mencintai Sian Hwa??” Cie Lay tertunduk. “Sayang gara-gara Tiang Le semuanya jadi kacau. Dia merayu Sian Hwa, sehingga engkau bertepuk sebelah tangan, kini dia hendak bermain gila dengan Bwe Hwa, keparat! Aku harus membuat perhitungan dengan si buntung itu, sute lepas!!” Tangan Kong In mengibas. “It-suheng.......!” Akan tetapi dengan gerakan yang cepat dan kuat Kong In telah mendorong Cie Lay dan telah menotoknya. Dengan menggeram keras ia membentak: “Tiang Le, kau harus mampus di tangan ku!” Dengan bernafsunya Kong In menerjang dengan pedang terhunus. Cepat Tiang Le meloncat ke kanan menghindarkan suara samberan pedang yang amat cepatnya mengarah iganya. Melihat
  • 595
  • kelakuan It-suhengnya yang bernafsu hendak membunuhnya ini, Tiang Le tersenyum sinis dan mengejek: “It-suheng, dari dulu kau belum juga berubah, watakmu berangasan dan sombong, hemm, apa kau kira aku takut kepadamu?” “Tiang Le, sekarang kau sudah kehilangan lengan. Apakah kau masih mampu berbuat sombong seperti di puncak dulu?” Tiang Le menggelengkan kepala. “Kong In, hanya orang yang bodohlah yang suka menyombongkan dirinya. Soal kepandaian, tak ada yang dapat membuat diriku sombong, apalagi setelah lenganku ini buntung........ akan tetapi Thian sungguh adil dengan tanganku ini, yang hanya satu-satunya apa kau kira aku takut menghadapimu?” “Bagus, kalau begitu. Terima ini!” Pedang hitam berkelebat waktu tubuh Kong In mencelat tinggi dan turun sambil menyerang dari atas ke arah kepala Tiang Le. Kagum sekali Tiang Le menyaksikan gin-kang yang tinggi dari Kong In, dengan gerakan yang cukup gesit pula, ia mencelat tinggi dan menangkis pedang lawan. Benturan ke dua pedang di udara membuat ke duanya melayang-layang mundur. Dan bunga api memercik di udara. Setelah menginjak tanah Kong In merasa penasaran dan marah, dengan bentakan yang keras dia menerjang lagi. Tiang Le menangkis dan membalas menyerang. Sebentar saja keduanya sudah bertempur dengan amat serunya.
  • 596
  • Pei Pei memandang ke arah pertempuran yang sedang berlangsung dengan dada berdebar tegang. Ia tidak dapat melihat jelas yang mana tubuh Tiang Le dan yang mana tubuh Kong In karena mereka bertempur dangan amat serunya, hanya nampak segumpalan bayangan pedang yang berkelebatan saling menyambar. Kedua-duanya sama mempunyai ilmu silat tingkat tinggi. Tentu saja kalau Tiang Le menghendaki dari tadi pun ia sudah dapat merobohkan it-suheng nya ini. Akan tetapi dasar Tiang Le mempunyai watak yang selalu mengalah, sehingga tak mau ia dengan cepat mengalahkan suhengnya. Meskipun di dalam hati ia merasa amat kagum dan terkejut melihat ilmu silat yang demikian kuat dan ganas, yang dimainkan dengan sebuah pedang hitam yang mengeluarkan cahaya aneh! Untung saja ia mempunyai pedang pusaka buntung, pedang yang ratusan tahun yang lalu, dikenal sebagai pedang pusaka ampuh yang bernama Liong-cu-kiam (Pedang Naga Mustika) yang telah buntung. Dengan pedang inilah Tiang Le mainkan jurus ilmu silat Tok-pik-kiam-hoat yang lihai! Bagaikan orang yang baru tenggelam dari mimpi yang amat buruk, Bwe Hwa sadar dari pingsannya. Begitu ia membuka mata, dilihatnya Tiang Le dan Kong In tengah bertempur dengan mati-matian. Nampak Tiang Le agak terdesak dan mundur-mundur menghindarkan serangan pedang maut dari Kong In. Tentu saja karena Tiang Le banyak mengalah, akhirnya lama kelamaan ia
  • 597
  • terdesak oleh rangsekan jurus-jurus aneh dari Kong In yang sangat bernafsu untuk membunuhnya! Sambil menahan rasa nyeri yang amat hebat pada luka di tangan kirinya, Bwe Hwa merangkak hendak bangun. Terasa sebuah tangan yang amat lembut menyentuh pundaknya. “Cici, kau jangan banyak bergerak, darahmu masih keluar terus.......!” Bwe Hwa menoleh, dilibatnya Pei Pei sedang merangkul pundaknya menahan ia berdiri. Luka di lengan kirinya sudah dibalut oleh robekan baju Pei Pei. “Kau.......?” Bwe Hwa memandang gadis yang lemah lembut itu, “Cici…….” “Kau yang membalut lukaku ini?' tanya Bwe Hwa melirik ke arah lengan kirinya. Pei Pei mengangguk. Tiba-tiba matanya menggenang embun yang berkilat di kelopak mata si gadis. Setitik air mata turun melintasi pipi. “Siapa namamu?” “Cia Pei Pei……” sahut Pei Pei. “Kau mencintai Tiang Le?”
  • 598
  • Gugur bendungan air mata si gadis. Pei Pei menggigit bibirnya, sementara lintasan air bening terasa di bibir. Hidungnya yang mancung berkembang kempis. Matanya semakin basah. “Pei Pei…… jawablah pertanyaanku, benarkah kau mencintai suhengku Tiang Le?” Bwe Hwa bertanya lagi. Matanya memandang serangan wajah Pei Pei yang telah basah oleh air mata yang membanjir. “Cici……! Aku……” Pei Pei tak kuasa untuk menjawab, dia tahu bahwa wanita yang telah buntung lengannya ini telah menyatakan cintanya kepada Tiang Le. Malah nampaknya begitu setia dan bertekat untuk memiliki Tiang Le, sedangkan dia, tak patut ia mendampingi Tiang Le. Tak boleh ia merebut kekasih orang. Ia harus mengalah dan…… teramat sukar sekali gadis itu untuk menjawab pertanyaan Bwe Hwa. “Pei Pei…… aku tahu kau cinta pada Tiang Le bukan? Katakanlah….. aku tidak marah kepadamu, memang engkau berhak memiliki Tiang Le, dia lebih sesuai denganmu sedangkan aku....... ahhh,” sambil mengeluh dengan suara isak yang tertahan, Bwe Hwa menekankan tangan kanannya dan sekali ia menggerak tahu-tahu pedang putihnya sudah menyambar ke arah Tiang Le dan Kong In. Amat cepat sekali gerakan gadis ini, sehingga baik Tiang Le maupun Kong In mencelat mundur, akan tetapi begitu melihat yang membantu adalah Bwe Hwa, bertambah kalap lagi Kong In menyerang Tiang Le.
  • 599
  • Pedang pendek Bwe Hwa berkelebat lagi menangkis pedang Kong In. “Suheng…… jangan kau menyerang Tiang Le!” “Apa? Kau hendak membela si buntung ini?” Wajah Bwe Hwa semakin pucat karena banyak darah yang dari lukanya. Akan tetapi dengan bibir memucat ia masih juga tersenyum. “Suheng, jangan harap kau dapat mengganggu seujung rambutpun kepada Tiang Le. Kalau kau membunuh dia, langkahilah dahulu mayatku!” Bwe Hwa membentak. Pucat wajah Kong In. Tiang Le menjadi bingung. “Sumoay, kau minggirlah, lukamu…….” “Koko....... aku akan melindungimu sampai aku mati, tak seorangpun boleh mengganggumu!!” “Jangan begitu Bwe Hwa, aku masih sanggup menandingi Kong In,” bantah Tiang Le. “Koko, kau mundurlah, jangan kau bikin cemas hati Pei Pei, dia amat mencintaimu koko…… Biar aku hadapi Kong In!”
  • 600
  • Kata-kata Bwe Hwa disambut oleh ketawa keras Kong In: “Haaa....... haa, Bwe Hwa moay, kau sudah tergila-gila sama Tiang Le, kau hendak membelanya? Baik mari kita lanjutkan pertandingan kita, siapa di antara kita yang unggul, haa....... haa.” “Kong In, kau menghinaku bangsat, hari ini kau harus mampus di tanganku!” saking marahnya, Bwe Hwa bagaikan harimau luka dia menubruk maju, pedangnya menyambar membabat leher Kong In. Akan tapi sambil tertawa keras Kong In dengan mudah mengelak dan tangan kirinya mendorong tubuh Bwe Hwa. Segera Bwe Hwa miringkan tubuhnya dan balas menyerang dengan pedangnya. Kong In terus tertawa. Menghindari tusukan pedang Bwe Hwa. Suara ketawanya seperti orang hendak menangis, air matanya bercucuran selagi dia tertawa. Kasihan sekali pemuda ini. Sesungguhnya biarpun Kong In berwatak kasar dan berangasan, akan tetapi mendengar perkataan Bwe Hwa yang amat menusuk-nusuk hatinya tadi, membuat ia melampiaskan kekecewaan hatinya itu dengan tertawa. Akan tetapi, ia tak menyadari bahwa perbuatannya itu di luar dari sadarnya. Ia terus tertawa-tawa, sementara hatinya menangis. Bwe Hwa yang merasa ditertawai oleh Kong In menjadi panas dan pedangnya berkelebat mengirim serangan bertubi-tubi. Hanya Tiang Le yang dapat menyelami perasaan itu suhengnya! Ia tahu sekali, betapa kecewa hati suhengnya, karena dengan terang-
  • 601
  • terangan Bwe Hwa menyatakan cintanya kepadanya, melindunginya, malah bersedia mati untuknya! Ah, Bwe Hwa....... mengapa kau mencintaiku mengapa? Mengapa kau tidak membalas kasih sayang it-suheng? Pikiran Tiang Le kalut sekali. Cemas melihat Kong In masih tertawa-tawa seperti orang gila. Sementara Bwe Hwa semakin bernafsu untuk merobohkan Kong In! Pada saat itu itu, entah dari mana datangnya, terdengar bentakan keras dan sesosok tubuh berkelebat menyambar tubuh Kong In dan Bwe Hwa yang tengah bertempur. Terdengar suara pedang beradu dan beberapa detik kemudian, Kong In dan Bwe Hwa mencelat mundur. Ke duanya memandang ke arah tubuh yang sudah berlumuran darah, seorang gadis berkerudung hitam telah menggeletak di tanah sambil memegangi dadanya yang rupanya terkena tusukan pedang Bwe Hwa dan Kong In! “Suci....... suheng....... me....... mengapa kalian bertempur….. aduhh....... Ti....... Tiang Le…… kokooo.......!” “Sian Hwa……!” Tiang Le dan Kong In berseru hampir berbareng, memburu ke arah gadis kerudung hitam itu. Dengan gerakan cepat tangan kiri Tiang Le membuka kerudung hitam si gadis. “Kau....... kau....... kau Sian Hwa?” Tiang Le dan Kong In terperanjat melihat sebuah wajah yang hitam gesang seperti pantat kuali. Wajah itu penuh dilumuri air mata yang berjatuhan bertitik-titik. Wajah itu memang wajah Sian Hwa!
  • 602
  • “Kokooo....... aku... aa... mengapa.... su... ci dan su... heng bertempur....... aduh…..!” Sian Hwa menekan dadanya yang berlumuran oleh darah. Pandangannya menatap saja ke arah Tiang Le, Kong In dan Bwe Hwa. Tak tahan lagi Bwe Hwa melihat keadaan Sian Hwa seperti ini, ia maju menubruk dan menangis: “Sian Hwa, kau…… kau. Kau…… ampuni........ aku...... aku telah membunuhmu....... Sian Hwa!” “Suci....... kau ja.......jangan bertempur la....... lagi, su........ suheng jangan kau membenci suci……. aahhg.......” “Sian Hwa moay....... aku bersalah kepadamu…….. kau ampuni aku, aku berdosa kepadamu, Hwa-moay, kau bunuhlah aku……. kau bunuhlah aku!” Kong In menangis, merenggut-renggut rambut kepalanya. Ia merasa menyesal bukan main, pedangnya ini telah menusuk dada Sian Hwa!” “Aku harus mampus, aku harus mampus!” “Suheng! Kau gila, diamlah....... suheng, kasihan Sian Hwa,” Tiang Le berkata membentak Kong In. Sementara Cie Lay yang sudah dibebaskan dari totokan Tiang Le memandang Sian Hwa dengan air mata yang bercucuran. “Sian Hwa moay…….” Cie Lay memanggil. Sian Hwa menoleh kepada Cie Lay. Wajah si gadis yang bermuka hitam itu semakin pucat. “Cie Lay su…… suheng!”
  • 603
  • Cie Lay berjongkok. Mengelus kening hitam Sian Hwa. Setitik air mata Cie Lay berjatuhan di atas kepala si gadis. “Sumoay mengapa kau jadi begini…… mengapa sumoay?” Sian Hwa menggelengkan kepala. Sementara napasnya semakin lemah. “Mukaku…… terkena pukulan Jing-tok-ciang….. ahhh su….. suheng…… Tiang Le…… aaaduhhh!” “Sumoay…… kau hendak mengatakan apa katakanlah……!” pandangan mata Tiang Le basah, dia mengusap pipi Sian Hwa. Sian Hwa mengangkat tangan Tiang Le yang mengusap dan ditekankan ke arah dada yang terluka: “Kokooo…… aaaa… ku…… cin….. cinta padamu……!” “Sian Hwa……!” “Kokooo....... iinnniii…. aduuuuh........ Bawalah surat....... iniii....... kkkaasih…… Hong-siang (kaisar),” dengan gerakan yang amat lemah Sian Hwa mengeluarkan sepucuk surat bersampul kuning. Ia memandang Tiang Le, lama…… lama sekali gadis itu menatap wajah Tiang Le. Akhirnya tak kuat lagi ia menahan penderitaan yang menusuk-nusuk tengah merenggut nyawanya. Pada pandangan yang terakhir, dengan gerakan yang amat lemah tangan Sian Hwa mengangkat tangan Tiang Le, menciumnya dan tangan itu terkulai bersamaan dengan perginya arwah Sian Hwa ke alam lain.
  • 604
  • “Sian Hwa……!!” “Hwa-moay........ Hwa-moay…..” Cie Lay menjerit dan menubruk Sian Hwa sambil menangis. Tubuh Sian Hwa diguncang-guncang oleh pemuda itu. Sian Hwa....... mengapa kau tinggalkan aku, mengapa..... ahh, Sian Hwa! Mengapa kau tidak berbicara banyak kepadaku…… mengapa, mengapa?” Tiang Le mengelus pundak suhengnya. “Suheng........ sudahlah….. Sian Hwa sudah pergi... lihat, suheng dan kalian sumoay dan It-suheng, Sian Hwa diakhir ayatnya memberikan surat ini. Ia berjiwa patriot, ia pahlawan bangsa. Surat ini adalah surat pengkhianatan Jenderal Bong kepada pemerintah, surat perjanjian kepada tentara Mongol untuk menghancurkan negara Song. Surat ini, menentukan mati hidupnya rakyat Tiongkok! Entah dari mana Sian Hwa mendapatkan surat ini…… “ “Tiang Le…... aku telah dibutakan oleh nafsu, kau maafkanlah aku yang hampir saja hendak membunuhmu....... benar. Sian Hwa adalah satu-satunya murid mendiang suhu yang telah mengorbankan nyawanya untuk bangsa dan negara. Tiang Le kau teruskanlah surat itu kepada Hong-siang, biar aku akan mencari musuh-musuh suhu dan mari kita berlomba siapa paling dulu yang berhasil membasmi musuh-musuh mendiang suhu!” Kong In berkata dengan suara keras. Ia memandang ke arah jenazah Sian Hwa. “Mari kita makamkan Sian Hwa....... tanpa menanti saudara-saudaranya yang lain, Kong In segera menggerakkan pedangnya
  • 605
  • dan menggali tanah, dibantu oleh Tiang Le dan Cie Lay. Sedangkan Pei Pei melepaskan jubah baju luarnya dan menutupi kepala Sian Hwa. Demikianlah dengan amat sederhana sekali, selesailah sudah penguburan jenazah Sian Hwa. Tiang Le, Kong In, Cie Lay, Bwe Hwa dan Pei Pei memberi penghormatan yang terakhir kepada Sian Hwa. Untuk tanda pada kuburan Sian Hwa, Cie Lay meletakkan batu gunung di depan gundukan tanah itu dan menulisnya dengan guratan tangannya: “Disinilah tempat yang abadi dan tenteram bagi sumoay Liem Sian Hwa.......” ◄Y► 16 Tiga orang laki-laki dengan gerakan kaki seakan-akan terbang berloncatan di antara batu-batu gunung yang besar dan terjal. Yang seorang adalah Hok Losu yang bertubuh tinggi kurus dan bermuka hitam. Orang kedua dan ketiga adalah seorang jenderal tinggi tegap yang telah kita kenal sebagai Bong-goanswe (Jenderal Bong) atau lebih tepatnya kita katakan ia itulah Bong Bong Sianjin, seorang pertapa sesat yang menuju jalan hek-to (jalan hitam), sedangkan yang seorang lagi adalah seorang tokoh Kong-thong-pay yang bernama Leng Ek Cu. Bayangan ke tiga orang laki-laki itu disusul kemudian berkelebatnya bayangan lain yang amat gesit dan lincah
  • 606
  • mengurung lembah Tai-hang-san. Dibarengi kemudian munculnya banyak perwira kerajaan Mongol dan Song yang berbaris dengan amat rapinya menaiki puncak Tai-hang-san bagai semut yang hendak menuju ke sarang. Sebuah anak panah berapi menyambar ke atas. Diiringi oleh sorak-sorak perwira kerajaan yang telah mengangkat senjata menyambut perwira-perwira Mongol dan tak lama kemudian terdengar suara senjata beradu, suasana perang dinyatakan oleh tiupan terompet dari kanan dan kiri puncak! Perwira Song melawan dengan sengit dan berbagai senjata berkelebat menyambut lawan-lawan dari kanan dan kiri yang berpakaian seperti perwira Mongol. Hebat sekali pertempuran ini, tubuh-tubuh manusia menggeletak dari pihak Song dan Mongol, lebih-lebih lagi ketika munculnya barisan pengemis baju kembang yang menyerbu bangsanya sendiri dengan amat ganas dan keji, sehingga barisan Song menjadi kacau dan mulai bergerak mundur. Sepasukan perwira Mongol merapat lagi dan terus mendesak perwira Song dengan hebat dan bersemangat, apa lagi setelah munculnya pengemis-pengemis baju kembang yang lihai dan sakti. Sebentar saja perwira Song telah banyak yang mandi darah dan mati disabet oleh kemplangan-kemplangan tongkat Hwa-ie-kay-pang yang lihai itu dan kemudian disambut oleh tusukan dan bacokan-bacokan golok dari perwira Mongol. Suara pedang dan golok menyambar, darah merah muncrat dari dada dan pundak perwira Song yang tak berdaya. Teriakan semangat dari tentara Mongol membuat hati kecut bagi perwira-
  • 607
  • perwira Song yang lainnya, akan tetapi di antara perwira Song yang mulai kalut itu nampak sesosok tubuh berkelebat dengan amat ganasnya merangsak musuh, mulutnya berteriak-teriak memberi semangat kepada temannya. “Maju terus, hancurkan penjajahan Mongol, pertahankan pemerintah Song!” Perwira itu sudah tua, berpakaian perwira dengan pedang di tangan ia mengamuk dengan dahsyatnya, merangsek tentara Mongol yang merapat itu. Mulutnya tak henti-henti mengeluarkan bentakan nyaring yang menyaingi suara dentingan senjata beradu. Orang tua gagah yang berpakaian jenderal itu adalah Gubernur Ie Yen, orang tua gagah yang berjiwa patriotik ini maju terus sambil mengelebatkan pedangnya mendesak musuh. Apabila pedang itu berkelebat, nampak sinar perak merenggut nyawa musuh dan tanpa ampun lagi kepala tentara Mongol menggelinding tersambar pedang gubenur Ie Yen, hebat sekali sepak terjang gubernur ini, membuat tentara Song yang tadinya kehilangan semangat kini mulai maju kembali sambil berteriak, “Ganyang orang Mongol penjajah jahanam, pertahankan kejayaan Negara Song! “Sikat terus perwira-perwira Mongol keparat!” Teriakan-teriakan perwira ini disambut oleh datangnya serombongan tentara kerajaan berkuda. Berbareng dengan itu muncul berkelebat beberapa sosok tubuh yang terus saja
  • 608
  • mengamuk, mengelebatkan pedangnya dan dua orang perwira Mongol menjerit keras waktu pedang itu menyambar lengan berteriak kesakitan melepaskan senjatanya. “Bagus, Sin Tek Sicu, mari kita hancurkan musuh-musuh kita ini!” seru gubernur Ie Yen dengan girang sambil mengelebatkan pedangnya ke sana ke mari bagai harimau terluka mencari mangsa. Sementara Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek menoleh kepada gubernur itu dan berkata, “Ciangkun, jangan kuatir pasukan Kim-coa-pay sudah menyerbu di sebelah selatan dan sebentar lagi akan mendesak ke mari!” “Haa haa haa, baik sekali sicu, mari kita mencari pengkhianat-pengkhianat bangsa itu. Hendak kupenggal kepala jenderal Bong jahanam!” ia berkata demikian saking sengitnya gubernur Ie Yen, sehingga pedangnya berkelebat ganas dan tubuh perwira Mongol yang tak kuasa untuk menangkis atau berkelit, sudah tersambar pedang Ie Yen dan terdengar jeritannya menyayat hati. Kini dengan munculnya barisan dari Kotaraja, tentara Mongol mulai kacau dan terdesak mundur. Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek tak memberi ampun kepada perwira-perwira musuh ini, sepasang pedangnya berkelebat ganas dan lihai! Sebentar saja lima orang perwira Mongol terjungkal ke belakang oleh terjangan pedang Sin Tek yang bertubi-tubi ganas dan lihai, memang orang tua ini paling benci akan segala penjajah. Karena mendengar, tentara Mongol menyerbu dan hendak menghancurkan pemerintahan Song, segera saja ia mengerahkan
  • 609
  • anak buahnya dan sebentar saja mereka sudah mendesak musuh dengan amat sengit dan bernafsu! Pada saat itu, tiga bayangan berkelebat dengan amat cepatnya, terdengar bentakan keras dari seorang hwesio muka hitam: “Sin Tek, berlutut kau untuk menerima hukuman!” “Ha ha ha, hwesio murtad, penghianat bangsa. Kau kira aku manusia apa sudah berlutut dihadapanmu. Engkau yang sudah bersekutu dengan bangsa Mongol, hari ini, Aku, Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek akan menyabung nyawa denganmu, hwesio keparat!” “Bocah nggak tahu diri, kalau begitu biarlah tangan pinceng yang akan mencabut nyawamu! Sambutlah!” jubah Hok Losu bergerak cepat. Angin pukulan yang amat dahsyat menyambar Sin Tek dengan kekuatan yang luar biasa. Tahu bahwa hwesio muka hitam ini tidak boleh dipandang ringan, cepat Sin Tek menggeser kakinya dan berkelit dari serangan pukulan jubah Hok Losu, akan tetapi entah bagaimana caranya, tahu-tahu pundaknya telah ditepuk orang dan tahu-tahu tubuhnya telah lumpuh dan pedangnya terlepas. Belum lagi hilang rasa kagetnya pangcu Kim-coa-pay ini, sebuah pukulan kedua Hok Losu menyambar kepala Sin Tek. Tentu saja dalam keadaan yang sudah tertotok ini, bagi Sin Tek tak ada jalan lain untuk menghindarkan diri, cepat ia mengangkat tangan menangkis.
  • 610
  • “Krakkk!” tubuh pangcu Kim-coa-pay terlempar jauh seperti layangan putus. Tulang tangannya yang tadi diangkat menangkis hancur disambar angin pukulan jubah hwesio muka hitam. Sin Tek meringis menahan rasa nyeri yang amat hebat menusuk tangannya. Ia mempelototkan hwesio berjubah muka hitam itu dan membentak kalang kabut: “Hwesio jahanam, hwesio curang....... keparat!” “Bangsat besar! Berani kau memaki pinceng?” Dalam kemarahannya yang meluap-luap ini, Hok Losu tak dapat mengendalikan rasa marah yang meledak, dengan amat cepat tongkat hitamnya meluncur cepat ke arah kepala Sin Tek. “Krakk,” kepala Pat-jiu-koay-hiap Sin Tek pecah dan isi kepalanya hancur berarakan ketika tongkat Hok Losu melayang dan menghantam kepalanya. Hok Losu yang berhati keras dan telengas tak dapat menahan kemarahannya lagi. Melihat Pat-jiu-koay-hiap telah mati di tangan hwesio muka hitam yang ganas itu, gubernur Ie Yen membentak marah, “Hwesio muka hitam, sungguh keji sekali perbuatanmu…… keji melebihi iblis, hmm, tak patut kau memakai jubah kuning. Pura-pura suci, padahal hatimu penuh dengan iblis-iblis jahanam!” “Ie Yen, lancang mulutmu…… berani kau menghina pinceng. Kurobek mulutmu, bangsat!” “Ah, ini yang disebut seorang hwesio? Pantas mukamu hitam menjijikan tidak tahunya hatimu kotor dan bercabang. Hwesio tua, mengapa sebagai seorang hwesio kau ini demikian jahat?”
  • 611
  • “Jangan banyak bacot, mampus kau!” Bentakan yang mengguntur ini dibarengi dengan serangan tongkat hitam yang cepat luar biasa. Tentu saja Ie Yen tidak sudi kepalanya hancur seperti Sin Tek tadi, cepat ia berkelit ke samping dan membabatkan pedangnya membentur tongkat Hok Losu, akan tetapi alangkah herannya dia, karena begitu pedangnya membentur tongkat hitam itu, ia berseru kaget begitu terasa pedangnya melekat kuat menjadi satu dengan tongkat hitam itu. Segera ia mengerahkan lweekangnya menarik. Akan tetapi sambil tertawa-tawa menyeramkan jubah Hok Losu menyambar lagi. “Duuk!” Tubuh Ie Yen terpental setombak lebih, dari mulutnya keluar darah merah. Namun gubernur Ie Yen ini benar-benar hebat. Tanpa memperlihatkan rasa sakit ia menggerakkan pedangnya lagi menerjang si hwesio dengan tusukan dari atas. Terdengar suara keras dan tubuh Ie Yen terlempar diiringi jeritan mengerikan waktu tongkat hwasio itu menggeprak kepala lawan. Ie Yen roboh dengan kepala pecah. Melihat gubernur Ie Yen dan Pay-cu Kim-coa-pay sudah gugur, pasukan Song menjadi keder hatinya. Mereka berusaha untuk melarikan diri, akan tetapi begitu jubah si hwesio bergerak, lima perwira Song terjungkal dan roboh dengan dada hangus terkena pukulan jarak jauhnya Hok Losu. Teriakan penuh semangat dari perwira-perwira Mongol bergema di sana sini menyambut kehebatan hwesio muka hitam yang membantunya. Dengan semangat mereka mendesak terus perwira
  • 612
  • kerajaan yang berkuda. Hebat dan seru sekali perkelahian di tempat ini. Ada duaratus lebih mayat bergelimpangan dari pihak Mongol dan Song. Hok Losu amat ganas sekali melempar-lempar tentara Song dengan kebutan ujung jubahnya. Setiap perwira kerajaan yang terkena tamparan angin pukulan ini pasti terjungkal dan mati. Sementara suasana perang masih berjalan dengan amat serunya. Pada saat itu, entah darimana datangnya tahu-tahu sesosok tubuh kurus kering telah berdiri di depan Hok Losu. Hwesio itu sudah kelihatan tua sekali, usianya hampir delapanpuluh tahun, tubuhnya kurus kering bagai tinggal kulit membungkus tulang, kepalanya yang gundul kelimis seperti tengkorak saking kurusnya, jenggot yang putih berjuntai ke bawah. Sepasang mata menatap Hok Losu dengan tatapan lembut dan penuh kasih sayang. “Omitohud, Hok sute, menjauhkan diri dari segala kejahatan menyempurnakan segala perbuatan baik, menyucikan pikiran....... itulah ajaran semua Budha....... Setelah merasakan nikmatnya kesucian dan nikmatnya ketenangan seorang terbebas dari ketakutan dan belenggu dosa, sambil mereguk kebahagiaan hidup di dalam Dharma! Hok sute, sudah baik-baik kau bertapa di Siauw-lim....... mengapa menuruti nafsu hati dan tergoda oleh gemerlapan dunia?” “Suheng....... harap kau tidak mencampuri urusanku, kali ini biarkanlah aku mencari jalan sendiri....... jangan kau menghalangiku suheng….” suara Hok Losu nampak keder dan
  • 613
  • takut melihat hwesio tua di hadapannya. Hwesio tua itu tak lain adalah ketua Siauw-lim-pay Thian Thian Losu.” “Hok sute, sudah lama aku mencarimu. Senang sekali hari ini pinceng bertemu denganmu, Marilah kembali ke kuil, mencari jalan terang, menjauhkan segala kericuhan dunia ini. Mari kita memperdalam mengalahkan si Aku yang selalu menunggangi hidup ke arah jalan yang tak baik. Sute, ikutlah denganku…….” “Tidak suheng. Kau pulanglah dulu. Kelak aku akan menyusul ke Siauw-lim-sie. Sekarang biarlah aku mencari jalanku sendiri. Percayalah suheng, setelah itu aku akan kembali ke Siauw-lim-sie menemui kau orang tua!” “Omitohud….. Hok Sute, mengapa setelah melakukan jalan sesat baru hendak bertobat.... sekarang inilah masanya untuk bertobat dan menyucikan diri, jangan tunggu esok atau nanti. Sute…. ikut pinceng selama masih ada kesempatan untuk bertobat, bertobatlah….. “Hok Sute, di antara segala jalan. Delapan jalan utamalah yang paling baik di antara segala kebenaran, empat. Kenyataan Mulialah yang paling baik, di antara segala kebajikan, kebebasan dari ikatan adalah yang paling baik. Di antara manusia orang yang memiliki pandangan teranglah yang paling baik. Inilah jalannya, tiadalah satupun jalan lainnya yang menuju ke arah pemurnian pandangan terang. Kau ikutilah jalan ini. Jalan ini untuk mololoskan diri dari Mara (Penggoda nafsu).......” “Aku mengerti suheng……!”
  • 614
  • “Bagus sute, sekarang kau ikuti pinceng. “Tidak! Nanti saja aku menemuimu di Siauw-lim-sie, kau tinggalkanlah aku!” berkata demikian Hok Losu sudah mencelat ke depan menghantam kepala seorang perwira Song yang bertempur dengan tentara Mongol. Angin berciutan. Akan tetapi begitu Thian Thian Losu mengangkat tangannya, tahu-tahu tubuh Hok Losu terlempar ke belakang dan pukulannya tadi meleset menghantam batu gunung sehingga menimbulkan suara hiruk pikuk. “Suheng kau....... kau…!” “Sute, selama masih ada kesempatan untuk mencari jalan terang, marilah kita berlindung kepada Budha.......” Akan tetapi Hok Losu telah menjadi marah sekali. “Suheng....... pergilah, sebelum aku panas hati dan membunuhmu!” Kali ini ucapan Hok Losu terdengar kasar dan mengandung ancaman. Tongkatnya bergetar-getar. Siap hendak digerakkan! “Sute menurut hawa nafsu, sama saja membiarkan penyakit yang lambat laun akan membawamu ke arah kematian. Sabarlah sute, ingatlah ajaran-ajaran Sang Budha!” “Ahh....... jemu aku. Sudah, kau pergilah, minggat!” Tongkat Hok Losu bergerak dengan amat cepatnya. Angin keras menyambar ke arah dada Thian Thian Losu.
  • 615
  • Nampak hwesio tua itu tidak mengelak atau menangkis, membiarkan dadanya terhantam pukulan tongkat yang akan meremukkan dadanya. Baju hwesio tua itu bergetar-getar. Akan tetapi, bukan si ketua hwesio Siauw-lim-pay itu yang roboh, melainkan Hok Losu itulah yang terhuyung-huyung mundur dan dari mulutnya keluar darah segar. “Sute….. ahh kau terlalu……” suara Thian Thian Losu perlahan, tetapi merupakan api yang membara di dada Hok Losu dengan menggereng keras, hwesio muka hitam itu menerjang maju mencengkram kepala Thian Thian Losu. “Omitohud…… sute….. kau mencari jalan kematian saja,” berkata demikian tongkat butut si hwesio Thian Thian Losu terangkat ke atas. Menangkis terjangan tangan kiri Hok Losu yang telah menggunakan jurus Menyembah Budha Mematikan Raga yang ia tahu terkenal akan kedahsyatannya ini. Begitu tongkatnya terangkat terdengar jeritan kematian dari Hok Losu. Tubuh hwesio muka hitam itu menggigil. Dan tak lama kemudian roboh dalam keadaan sudah tak bernyawa. Terdengar hwesio itu menarik napas panjang, menghampiri mayat Hok Losu dan berkata pelan: “Hok Sute, mengapa kau keras kepala? Mengapa jalan kematian yang kau pilih....... ya, Tuhan semoga engkau mengampuni hambamu!” Suara Hok Losu terdengar seperti orang berdoa, dan sekali tangannya bergerak menyambar Hok Losu, tahu-tahu ketua Siauw-lim-pay yang sakti itu sudah lenyap dari pandangan mata!
  • 616
  • Hanya sayup-sayup dari kejauhan sana terdengar suara Thian Thian Losu seperti orang yang sedang mengeluh, “Perang........ engkau hanya membawa pengorbanan dan pembinasaan yang merusak isi dunia....... banyak jalan yang menuju kepada kehidupan, akan tetapi sedikit sekali manusia yang menuju ke sana!” Peperangan semakin berkobar. Mayat manusia bergelimpangan di antara genangan darah yang mulai membasahi bumi. Suara hiruk pikuk terdengar di sana sini diringi dengan bentakan dan suara senjata beradu. Di lembah Tai-hang-san banyak sudah perwira Song yang berjatuhan, tak jauh dari situ banyak juga tentara Mongol yang roboh dalam keadaan tak bernyawa lagi. Korban telah berjatuhan di kedua belah pihak. Di antara mayat yang bergelimpangan, empat sosok manusia mengamuk bagaikan harimau luka. Tiang Le dengan pedang buntungnya mendesak dua orang lawan yang mengeroyoknya. Kedua orang itu adalah Sianli Ku-koay dan seorang pengemis tua yang kita kenal sebagai pangcu Hwa-ie-kay-pang sekutu dari Sian-li-pay yang bergabung dengan tentara Mongol. Hebat sekali pertarungan ini. Akan tetapi Tiang Le benar-benar luar biasa, walaupun hanya berlengan satu ia masih sanggup mendesak nenek sakti Sianli Ku-koay dan melancarkan serangan maut dari jurus-jurus ilmu pedang Tok-pit-kiam-hoat yang hebat. Menghadapi serangan-serangan yang sangat dahsyat ini, Nenek Sianli Ku-koay menjadi terkejut dan gentar. Gerakan-gerakan
  • 617
  • Tiang Le sukar diikuti dan diduga, kadang-kadang dengan amat cepatnya laksana kilat tangan kiri Tiang Le menyelipkan pedang dan berganti dengan pukulan Sian-tian-jiu yang mendatangkan angin panas bergelombang membuat tongkat Sianli Ku-koay terpental oleh pukulan tangan kiri yang luar biasa itu. Di lain pihak, juga pangcu Hwa-ie-kay-pang yang berbaju kembang-kembang dan bertubuh kurus kering dan bongkok itu mulai sibuk memainkan ilmu tongkatnya menghadapi pemuda lengan buntung yang amat lihay ini, maka ia mencurahkan perhatiannya dan berlaku waspada terhadap pedang buntung yang bagaikan geledek siap memenggal lehernya! Pedang buntung yang ampuh dan dahsyat ini merupakan bagian yang penting bagi Tiang Le dan membuat kedua orang yang mengeroyoknya menjadi gentar. Beberapa kali tongkat dan pedang itu berbentur, terdengar seruan Sianli Ku-koay kaget dan terkejut melihat tongkatnya sudah putus terbabat pedang buntung yang ampuh ini, maka ia tak berani beradu tongkat dengan pedang lagi malah membuat pertahanan dengan memutarkan tongkatnya melindungi tubuhnya! Akan tetapi Tiang Le yang sudah mengenal akan Sianli Ku-koay yang pernah menyerbu Tiang-pek-pay dan membunuh suhunya membuat ia mainkan jurus-jurus Tok-pik-kiam-sut (ilmu silat tangan buntung) dengan cepat luar biasa. Waktu tongkat Sianli Ku-koay menyambar lewat lehernya, ia menangkis dengan pedangnya dan membuat gerakan menempel, akan tetapi begitu cepat gerakan ini membuat Sianli ku-koay berteriak kaget merasa hawa dingin telah
  • 618
  • menyentuh lambungnya, cepat ia menangkis dengan mendorong tangan kiri membalas memukul. “Dess!” Tubuh Nenek Sianli Ku-koay bergetar. Terhuyung-huyung, ke belakang dan roboh dalam keadaan dada hangus tersambar pukulan gerak tangan kilat Tiang Le yang luar biasa itu. Melihat salah seorang musuh besarnya telah mati, Tiang Le mencelat tinggi menghindarkan serangan tongkat pangcu Hwa-ie-kay-pang dan telah berdiri di atas batu gunung yang tinggi, menengadah ke atas: “Suhu....... terimalah kematian Sianli Ku-koay....... tenangkanlah hatimu!” Sehabis berkata demikian, cepat Tiang Le mencelat turun dan membentak kepada ketua Hwa-ie-kay-pang, “Lokay! Karena engkau tidak ada permusuhan apa-apa denganku, maka aku tidak membunuhmu, nah minggatlah!” “Anjing buntung, bangsat! Kaaa kira aku takut kepadamu? Terimalah ini tongkat hitam,” ketua Hwa-ie-kay-pang menyambar dahsyat mengeluarkan suara angin menderu. Akan tetapi Tiang Le yang tak mau lagi membuang waktu, telah melakukan jurus Tok-pik-kun-hoat dan Sien-tian-jiu berbareng. Terdengar jeritan keras karena tubuh ketua pengemis baju kembang sudah terlempar jauh dan tak dapat bangun lagi karena tulang pundaknya patah terhantam pukulan tangan kiri Tiang Le yang dahsyat! Dan sekali menggerakkan tubuh, tahu-tahu lima orang anggota pengemis baju kembang terjungkal oleh dorongan tangan kiri
  • 619
  • Tiang Le dan tidak dapat bangun lagi. Hebat sekali Tiang Le ini. Melihat Cie Lay dikeroyok oleh banyak orang-orang Hek-lian-pay dan nampak terdesak, Tiang Le segera mencelat dan menggerakkan tangan kirinya menggunakan jurus gerak tangan kilat. Dua orang kakek Hek-lian-pay yang tak keburu menangkis terpental dengan tulang pundak patah-patah oleh sambaran tangan kiri Tiang Le. Melihat kehebatan pemuda lengan buntung ini, yang pernah dikenalnya, keruan saja ketua Hek-lian-pay yang bernama Hek-sin-tung Pay-cu Teng Kiat, menjadi marah dan membentak: “Bagus! Anjing buntung, kau belum mati juga he? Biarlah tuanmu hari ini mengirim kau ke neraka!” “Ha ha ha Pay-cu, siapa bilang aku sudah mampus? Kalianlah yang goblok mudah saja kukelabui dengan pura-pura mati, akan tetapi penglihatan matamu buta tidak melihat aku sudah mati apa belum. Pay-cu karena Thian memberikan nyawa rangkap kepadaku, maka hari ini aku hendak mencabut nyawamu dan mengirim kau ke neraka! “Keparat, engkaulah yang harus kumampusin dan mengirim kau ke neraka!” bentakan ketua Hek-lian-pay ini, diiringi gerakan tongkat sakti yang luar biasa kuatnya. Tiang Le cepat menggeser kakinya berkelit ke kiri dan menggerakkan tangannya memukul ke depan. Dua tenaga dahsyat membuat ketua Hek-lian-pay meloncat mundur dan tergetar kuda-kudanya.
  • 620
  • Ia mengawasi pemuda lengan buntung itu dengan heran. Bagaimana boleh jadi dalam segebrakan itu ia telah dibuat tergempur kuda-kudanya. Tiga tahun yang lalu ia kenal benar dengan ilmu pedang pemuda ini, bagaimana sekarang pemuda lengan buntung ini demikian lihai. Tak masuk diakal. Dengan rasa penasaran yang hebat ia menerjang maju lagi, menggerakkan tongkatnya dengan sabetan yang kuat dan mengeluarkan suara angin berdesing keras. Akan tetapi begitu Tiang Le menundukkan kepalanya dan menggerakkan tangan kiri mencelat ke atas, tahu-tahu tubuh Hek-sin-tung Teng Kiat telah terlempar roboh dengan dada terluka. Teng Kiat memandang terbelalak kepada Tiang Le. Ia berusaha hendak bangun dan terhuyung-huyung beberapa tindak ke belakang. Akan tetapi, terasa kepalanya menjadi pening dan ia telah roboh tak ingatkan diri lagi! Sementara itu Bwe Hwa dan Kong In mengamuk hebat bukan main seakan-akan keduanya saling berlumba untuk menjatuhkan musuh. Sepasang pedang iblis yang bernama Hek-pek-hwa-siang-kiam (sepasang pedang bunga hitam putih) berkelebat bagaikan guntur menyambar dari angkasa. Setiap kali tangan kanan Bwe Hwa dan Kong In bergerak tentu dua-tiga orang perwira Mongol telah terpental dalam keadaan tubuh sudah mandi darah. Ganas sekali perbuatan gadis ini, sedang Pek-hwa-kiam di tangan kanannya yang tak pernah memberi ampun kepada lawan, meskipun kini gadis itu bersilat dengan tangan kanan saja, akan tetapi hebatnya, luar biasa!
  • 621
  • Menghadapi Jing-tok-siang-lomo, A Thiong, A Mey, dan dibantu oleh tokoh Kong-thong-pay Leng Ek Cu, pedang kilatan putih Bwe Hwa menyambar dahsyat, diseling berkelebat sinar hitam memanjang luar biasa merupakan guntur memecah bumi membuat Leng Ek Cu menjadi keder hatinya. Dan bersilat dengan mundur-mundur. Akan tetapi Bwe Hwa yang tidak memberi ampun lagi kepada lawannya, dia sudah menggunakan jurus Pek-hwa-kiam-sut yang terlihai dan dalam detik selanjutnya pedangnya sudah menerobos masuk menyentuh iga tokoh Kong-thong-pay dan sekali pedang Pek-hwa-kiamnya ditarik ke atas, terdengar pekik mengerikan Leng Ek Cu, tubuhnya roboh ke tanah dengan mandi darah. Matanya mendelik memandang Bwe Hwa seperti melihat setan saja, kemudian mata itu tertutup rapat, tak bergerak lagi, mati!! Pada saat yang bersamaan pedang hitam Kong In juga sudah berhasil menyerbu ke dua orang kakek dan nenek gila, pedangnya berkelebat bagaikan maut hendak men cabut nyawa! Dahsyat sekali gerakan yang aneh ini. Dengan bernafsu sekali Kong In menggerakkan pedangnya menusuk, membarengi pukulan tangan kiri yang luar biasa. “Desss....... ceepp…..!” Pukulan tangan kiri Kong In dibarengi oleh berkelebatnya sinar hitam menabas leher. Darah merah muncrat dari leher itu dan tubuh Jing-tok-siang-lomo A Thiong mati, pada saat itu juga dengan kepala terpisah dari tubuhnya!! Si nenek A Mey menggereng keras, meraung bagaikan harimau kehilangan anaknya, menggerakkan tangan kanannya memukul ke
  • 622
  • depan menggunakan Jing-tok-ciang yang ganas dan keji. Sambil tertawa mengejek Kong In menyambut dengan tangan kirinya dan mengerahkan tenaga sepenuhnya. Inilah kesalahan Kong In, begitu tangannya beradu dengan tangan si nenek Amey yang penuh dengan hawa Jing-tok, segera dia menjerit dan lompat ke belakang. Begitu dilihatnya tangannya sudah hangus, ia jadi marah dengan menggunakan Hek-hwa-kiam-sut ia menyerang. Sinar hitam berkelebat, amat cepat gerakan ini. Jing-tok-siang-moli A Mey menangkis serangan pedang hitam dengan kebutan jubahnya. “Breeet!” Jubah itu robek dan sebuah pukulan tangan kiri Kong In menyusul dengan menggunakan hawa Hek-in-kang yang pernah ia pelajari di Tiang-pek-san dari mendiang suhunya Swie It Tianglo. Amat cepat sekali tangan kiri Kong In menyambar lambung si nenek. “Desss!” Tubuh si nenek Jing-tok-siang-moli A Mey terlempar jauh dan tidak dapat bangun lagi. Kong In yang berwatak berangasan mencelat ke atas, menusukkan pedangnya ke dada si nenek, akan tetapi selagi tubuhnya masih di udara dan siap hendak menusukkan pedangnya ke dada si nenek, tahu-tahu serangkum angin pukulan yang kuat membuat tubuhnya terlempar ke belakang dua tombak jauhnya, “Keparat, siapakah kau?” Kong In bertanya.
  • 623
  • “Ha ha ha, anak muda, kepandaianmu cukup hebat dan lumayan. Pantas untuk melayani aku yang tua. namaku Bong Bong Sianjin. Pernah kau mendengarnya?” “Bong Bong Sianjin?” Kong In dan Bwe Hwa serentak berkata membelalakan matanya memandang ke arah seorang tua berpakaian jenderal. Bong-goanswe atau yang kita kenal sebagai Bong Bong Sianjin! “Ha ha ha, anak muda, mendengar namaku saja kalian sudah pucat ketakutan…… hayo berlutut kau!” Dengan sombongnya Bong Bong Sianjin, bertolak pinggang, tersenyum mengejek ke arah Kong In dan Bwe Hwa! “Bagus! Kau binatang Bong Bong Sianjin, hari ini aku Lie Bwe Hwa, murid mendiang Swie It Tianglo hendak mencabut nyawamu!” bentak Bwe Hwa mengelebatkan pedangnya di depan dada. Kasihan gadis ini, wajahnya semakin pucat. Banyak tenaga yang keluar membuat luka di lengan kirinya bertambah parah, rasa nyeri yang menyerang ke ulu hati dan jantung tak dirasanya lagi oleh Bwe Hwa. Benar-benar hebat gadis ini. “Bangsat tua Bong Bong Sianjin, kebetulan hari ini adalah hari kematianmu. Aku Liok Kong In, akan menyabung nyawa denganmu!” Kata-kata Kong In disambut oleh suara ketawa keras dari Bong Bong Sianjin, “Bagus, hari ini Bong Bong Sianjin membasmi murid-murid Swie It Tianglo sampai keakar-akarnya!”
  • 624
  • “Singgg!” suara pedang terdengar ditarik oleh Bong Bong Sianjin. Kong In mengeluarkan bentakan keras dan pedang hitamnya meluncur ke arah dada Bong Bong Sianjin. Sambil tertawa mengejek Bong Bong Sianjin mengelebatkan pedangnya menangkis pedang lawan. Suara pedang terdengar beradu bunga api memercik. Pada saat itu serangkum hawa pukulan dari tangan kiri Kong In menyambar ke arah Bong Bong Sianjin dibarengi dengan sabetan pedang Pek-hwa-kiam dengan gerakan yang luar biasa sekali, suara pedang berdesing panjang. Kaget sekali Bong Bong Sianjin, cepat ia menggerakkan pedangnya menahan sabetan pedang Bwe Hwa dan menggunakan tangan kiri pula mendorong pukulan tangan kiri Kong In. Akan tetapi begitu tangannya terangkat, sebuah pukulan yang kuat membuat ia terhuyung-huyung. Segera Bong Bong Sianjin mencelat ke samping dan menoleh, dilihatnya seorang pemuda lengan buntung berdiri sambil tersenyum mengejek: “Jahanam She Bong, hari ini adalah hari kematianmu. Hayo kau berlutut meminta ampun kepada mendiang suhu Swie It Tianglo!” bentak Tiang Le. Sementara Kong In dan Bwe Hwa sudah menerjang lagi, menggerakkan pedangnya menusuk dada Bong Bong Sianjin yang cepat menghindarkan diri dengan berkelit ke samping, akan tetapi begitu tangan kiri Tiang Le bergerak menggunakan jurus Sian-tian-jiu atau tangan kilat, tahu-tahu tubuh tinggi besar dari Bong Bong Sianjin sudah terpental dua tombak jauhnya dan pada ketika itulah
  • 625
  • hampir terbang Kong In dan Bwe Hwa melayang menerkam Bong Bong Sianjin dengan gerakan menusuk dan amat cepat sekali gerakan ini, karena dadanya terasa sakit dan lumpuh oleh pukulan gerak tangan kilat Tiang Le tak keburu Bong Bong Sianjin menghindarkan diri. Sepasang pedang Iblis Hek-pek hwa-siang-kiam meluncur dengan amat cepatnya seakan-akan pedang di tangan Bwe Hwa dan pedang di tangan Kong In saling mendahului menusuk ke arah dada itu. Terdengar jeritan kematian dari Bong Bong Sianjin tatkala dalam detik itu juga sepasang pedang hitam dan putih sudah terbenam di dada Bong Bong Sianjin yang terus berkelojotan dan mati! Akan tetapi bersamaan dengan matinya Bong Bong Sianjin, pada saat itu muncul beratus-ratus anak buah Hwa-ie-kay-pang dan Sian-li-pay telah mengurung tempat itu. Akan tetapi yang membuat Tiang Le kaget setengah mati adalah Cia Pei Pei itu yang telah berada di depan Bu-tek Sianli dengan telah dihadapkan di depan pedang Bu-tek Sianli! Terdengar suara Nenek itu mengakak keras. “Ha ha ha, orang muda buntung....... menyerahlah kalian untuk kami tawan ke Sian-li-pay!” “Bangsat Bu-tek Sianli, aku harus mengadu nyawa denganmu!” “Ha ha ha, orang muda, berani melawanku? He he, he setindak saja engkau menggerakkan kakimu, niscaya kekasihmu ini akan kehilangan kepalanya oleh pedangku!”
  • 626
  • “Bangsat tua! Lepaskan Pei Pei!” “Ha ha ha, menyerah dulu, baru kulepaskan gadis ini!” Kong In dan Bwe Hwa menjadi marah sekali. Dengan gerakan yang tak diduga Bwe Hwa sudah mencelat ke arah Bu-tek Sianli dan menggerakkan pedangnya ke arah leher, pada saat si nenek Bu-tek Sianli menggerakkan pedangnya menangkis pedang Bwe Hwa, sebuah bayangan berkelebat dan tahu-tahu Pei Pei telah berada di tangan Tiang Le di atas sebuah puncak batu karang yang amat tinggi. Akan tetapi nenek Bu-tek Sianli yang menjadi marah bukan main kepada gadis ini menggerakkan tangannya menggunakan jurus maut kepalan dewa tanpa tandingan. Tangan si nenek bergerak memukul, akan tetapi Bwe Hwa yang sudah menjadi nekat ini menggerakkan pula pedangnya membabat pukulan tangan si nenek. “Trakkk, desss!” Tubuh Bwe Hwa terlempar ke samping. Gadis itu meringis menahan rasa nyeri pada dadanya dan beberapa saat kemudian ia telah roboh sambil muntahkan darah segar. Hebat sekali pukulan Bu-tek Sianli tadi. Pukulan itu ialah menyerang jantung Bwe Hwa dan ia terluka dalam. Akan tetapi, sebaliknya, Bu-tek Sianli sendiri terkejut bukan main melihat kehebatan gadis ini. Kalau orang biasa yang terkena pukulannya tentu akan hancur berantakan isi dada itu dan mati seketika, akan tetapi gadis ini sungguh luar biasa!
  • 627
  • Lima orang kakek pengemis baju kembang mencelat ke depan dan membentak keras: “Bocah gila, berani kau bermain-main dengan Pay-cu?” “Bangsat, aku harus mengadu nyawa dengan kalian!” Bentak Bwe Hwa diiringi dengan berkelebat tubuhnya dan sebentar saja ia sudah merangsek kakek pengemis baju kembang! Tiang Le memandang pertempuran yang masih berlangsung dari atas puncak batu karang itu. Ia menoleh kepada Pei Pei, “Pei-moay, berani kau berdiri di sini sementara aku menggasak tikus-tikus Sian-li-pay itu?” Pei Pei tersenyum manis. Memandang ke bawah. Ngeri bukan main kalau ia terjatuh dari tempat yang amat tinggi ini, akan tetapi dalam senyumnya itu ia berkata kepada Tiang Le: “Koko, mengapa tidak berani, lekaslah bantu cici Bwe Hwa……. hati-hati kau koko!” Tiang Le menyentuh bahu si gadis dan sekali tubuhnya berkelebat turun, tahu-tahu dua orang pengemis baju kembang sudah terjungkal oleh gerak tangan kilat Tiang Le. Bu-tek Sianli menjadi marah bukan main kepada pemuda lengan buntung yang telah turun membantu ini, segera dia memberi isyarat dengan tangannya maka terjunlah lima belas gadis Sian-li-pay yang berkepandaian tinggi itu! Sebetulnya, ingin sekali Tiang Le mengeluarkan pedang buntungnya akan tetapi, melihat bahwa yang mengeroyoknya adalah gadis Sian-li-pay yang masih begini muda dan cantik tak tega Tiang Le untuk membunuh. Ia memainkan jurus ilmu silat tangan buntung dan mengikuti jurus duapuluh satu langkah-
  • 628
  • langkah ajaib, maka bagaikan bayangan saja tubuh Tiang Le berkelebat ke sana ke mari, mengirim totokan kepada para pengeroyoknya. Hebat sekali sepak terjang Tiang Le ini begitu tubuhnya berkelebat dua orang pengeroyoknya roboh dalam keadaan sudah tertotok! Di lain pihak, Cie Lay menghadapi ratusan tentara Mongol yang mengeroyoknya. Sudah berpuluh-puluh orang ia robohkan akan tetapi, semakin banyak saja tentara Mongol ini mengurung tempat itu. Apalagi kini setelah munculnya seorang tinggi besar berpakaian jenderal tentara Mongol yang berkepandaian tinggi dan kelihatannya pandai mengatur barisan gerilya ini. Diam-diam Cie Lay mulai terdesak dan saking banyaknya musuh-musuh tentara Mongol yang mengeroyoknya, akhirnya lama kelamaan Cie Lay menjadi lemah bukan main. Gerakan pedang Hong-san-kiam menjadi lemah dan pada suatu saat, seorang tentara Mongol, dengan jaring di tangan sudah dapat meringkuk Cie Lay dan menotok pemuda itu. Terdengar orang tinggi besar berpakaian Jenderal Mongol itu berkata-kata kepada anak buahnya dengan bahasa asing yang tak dimengerti oleh Cie Lay, orang itu kemudian mengangguk-angguk saja dan tanpa berkata apa-apa lagi Cie Lay sudah dibelenggu pada kakinya. Kemudian, dibawanya ia menuruni bukit. Terkejut sekali pemuda Hong-san ini, begitu mendengar bahwa yang menawannya adalah Panglima Ku Bilay Khan sendiri yang bertubuh tinggi tegap dan gagah.
  • 629
  • Pantas saja kepandaiannya demikian lihai! Apabila mendengar dari laporan anak buah tentara Mongol yang mengatakan bahwa pasukan Mongol sudah menyerbu Kotaraja, betapa terkejutnya Cie Lay, segera ia memutar otaknya. Ia sendiri sudah tak berdaya ditawan oleh tentara Mongol maka pada suatu kesempatan, waktu rombongan tentara Mongol yang menawannya berhenti di lereng bukit, segera tangan pemuda ini menulis di batu karang: “Pergilah! Kotaraja terancam!” Sementara itu, Bwe Hwa dan Kong In mengamuk hebat. Pedang iblis Hek-pek-hwa-siang-kiam berkelebat ke sana ke mari laksana kilat menyambar. Banyak sudah tubuh si kakek pengemis baju kembang yang telah roboh oleh keganasan pedang di tangan Bwe Hwa dan Kong In, akan tetapi, karena Kong In sudah terluka oleh pukulan si nenek A Mey yang mempergunakan hawa Jing-tok-ciang, maka dengan amat cepatnya hawa racun ular hijau itu menjalar ke jantungnya! Gerakannya semakin lemah, semakin kacau, akhirnya ia tak tahan lagi, kepalanya menjadi pening. Pada saat itulah sebuah tongkat di tangan salah seorang anggota Hwa-ie-kay-pang berhasil menggebuk pundaknya. Keruan saja tubuh Kong In terjungkal dan sebuah pedang lagi dari salah seorang perwira Mongol berkelebat menyambar. “Ceppp!” Pedang itu terbenam di dada Kong In menembus sampai ke belakang. Akan tetapi dengan gerakan yang amat kuat tahu-tahu tangannya bergerak dan pedang Hek-hwa-kiam meluncur dengan amat
  • 630
  • cepatnya. Tiga orang perwira Mongol dan kakek pengemis baju kembang menjerit keras, begitu pedang Hek-hwa-kiam bagaikan terbang menancap jadi satu di dada ke empat orang lawannya. Kong In tertawa puas melihat hasilnya. Akan tetapi ia sendiri menjadi terkulai lemah dan napasnya putus oleh tusukan pedang yang menembus dadanya itu. “Suheng.......” Bwe Hwa, berseru. Ia menggerakkan pedangnya dengan kuat dan ganas. Akan tetapi begitu Bu-tek Sianli menyambar dan menggerakkan pukulan, tubuh Bwe Hwa terlempar jauh dan jatuh di dekat kaki Tiang Le yang sedang mengamuk dikeroyok oleh kakek pengemis Hwa-ie-kay-pang dan gadis-gadis Sian-li-pay. Melihat jatuhnya tubuh Bwe Hwa di dekat kaki pemuda lengan buntung, keruan saja seorang pengemis baju kembang menggeprak kepala si gadis. Akan tetapi Tiang Le dengan cepat menggerakkan tangannya dan terdengar suara keras waktu pukulan Tiang Le menghantam lambung si kakek pengemis baju kembang!! “Dess!” Tubuh kakek itu terlempar dan tidak dapat bangun lagi, sementara Tiang Le cepat menyambar tubuh Bwe Hwa yang terkulai lemah. Meletakkan tubuh si gadis di atas punggungnya, dan dengan gerak tangan kilat ia memutar lengan kirinya. Lima orang gadis Sian-li-pay yang menerkamnya terpental dan seorang kakek pengemis baju kembang muntah darah dihantam pukulan Tiang Le. Pemuda lengan buntung ini mengamuk hebat, tangannya bergerak-gerak laksana badai yang menyapu, sebentar
  • 631
  • saja limapuluh anak buah Hwa-ie-kay-pang sudah roboh tak dapat bangun lagi. Pada saat itu terdengar suitan keras. Tiba-tiba saja gadis Sian-li-pay yang tadi mengeroyoknya sudah hilang bagaikan ditelan bumi, sedangkan dari kejauhan terdengar seruan Bu-tek Sianli, “Tiang Le, kalau kau gagah dan mempunyai nyali, datanglah ke pulau Bidadari untuk menyelamatkan kekasihmu ini. Jikalau dalam waktu dua hari ini engkau tidak datang, jangan harap kekasihmu dapat hidup pula!!” Suara itu terdengar amat jauh sekali. Cepat Tiang Le melirik ke atas batu karang dimana Pei Pei tadi menunggu, akan tetapi dia menjadi terkejut begitu dilihatnya Pei Pei sudah tidak ada lagi di sana. Tahulah ia, Pei Pei telah ditawan oleh Bu-tek Sianli yang licik dan curang itu dan mengundangnya ke Sian-li-pay!! Suasana menjadi sunyi dan mati setelah rombongan Sian-li-pay pergi. Beratus-ratus mayat manusia menggeletak di sana sini membasahi lembah Tai-hang-san. Serombongan burung gagak menggoak panjang terbang di atas. Sementara langit di atas menjadi suram, seakan-akan yang di atas itu tidak tega melihat pemandangan di bumi yang mengenaskan hati!! Tiang Le cepat berkelebat lenyap dari tempat itu!! Sementara, dari belahan awan hitam sebuah guntur menggelegar memecah isi bumi. Dinding-dinding gunung bergetar oleh suara guntur yang menggelegar mengejutkan. Dan awan hitam merunduk dan menyebarkan air mata yang bertambah deras
  • 632
  • membasahi bumi, tersedu keras angin bertiup menggoyangkan pepohonan dan daun-daun. Sebentar kemudian hujanpun bertambah deras dan suasana semakin hitam, sehitam jelaga! ◄Y► 17 Sebuah kilat menyambar berkeredep menerangi pondok di dalam Tiang Le meletakan tubuh Bwe Hwa pada sebilah dipan kayu dan manotok jalan darah Tay-hi-hiat di dekat leher Bwe Hwa. Gadis itu mengerang perlahan. Ia sadar dari pingsannya. Pertama-tama dilihatnya, seorang lelaki lengan buntung berdiri didekatnya. Bibir Bwe Hwa bergerak perlahan, “Kokoo!” “Hwa-moay....... kau terluka dalam yang cukup parah, istirahatlah....... sebentar hujan akan reda, aku akan membawamu mencari seorang sin-she di kaki gunung….. kuatkanlah hatimu....... Hwa-moay.......” Tiang Le berkata pelan. Tangannya membetulkan balutan pada lengan gadis yang sudah penuh dengan darah. Ia napas panjang. Hatinya menjadi terharu melihat Bwe Hwa seperti ini, tanpa ia sadari tangannya mengusap pipi si gadis dengan sentuhan-sentuhan mesra. Untuk beberapa saat Bwe Hwa meramkan matanya. Mata yang penuh dengan linangan air mata itu perlahan-lahan membanjiri meleleh di kedua pipinya.
  • 633
  • “Hwa-moay....... jangan kau menangis….. jangan kau membikin hatiku, sedih. Kau harus sembuh Hwa-moay, harus, biarlah aku akan membawamu kepada sin-she....... Sayang aku tidak mengerti pengobatan untuk mengobati lukamu....... kau....... kau kuatkanlah hatimu Bwe Hwa!” Suara Tiang Le tenggelam dalam isaknya. Pada waktu pandangannya terbentur lengan kiri si gadis yang telah buntung, Tiang Le tak kuasa menahan keharuan hatinya. Ia memandang ke depan membuang muka untuk menjatuhkan beberapa butir air mata yang hendak meloncat riuh. Pemuda itu mengerutkan keningnya dan pandangannya semakin basah. Di luar pondok hujan masih turun merinai. Kenangan pada Sian Hwa di padang rumput dalam hujan yang menggila seperti ini membayang di ruang matanya. Teringat akan Sian Hwa yang telah meninggal dunia karena tusukan pedang Kong In dan Bwe Hwa, hati Tiang Le serasa diiris-iris. Sungguh malang sekali nasib sumoaynya Sian Hwa. Ia mengorbankan nyawanya untuk melerai pertempuran yang terjadi antara Kong In dan Bwe Hwa. Dan sekarang Bwe Hwa menderita seperti ini, tak kuasa ia memandang kepada Bwe Hwa. Hatinya teramat kasihan. Gadis itu telah membuntungi lengannya. Sesungguhnya ia tidak menaruh marah atau dendam akan tetapi mengapa gadis itu membuntungi lengan kirinya sendiri. Bwe Hwa, mengapa kau lakukan mengapa? Ahh, Bwe Hwa hati Tiang Le menjerit tak keruan rasa. “Tiang Le kokooo....” suara yang lemah terdengar memanggil namanya.
  • 634
  • Tiang Le menggerakkan kepalanya. Memandang Bwe Hwa. Dilihatnya wajah gadis itu semakin memucat. Bibirnya digigit menahan rasa nyeri yang amat lebat di dalam dadanya. Sementara air mata si gadis berderai-derai memandang Tiang Le dengan tatapan yang penuh cinta kasih. “Kokooo.......” bibir si gadis bergerak lagi memanggil. Tiang Le mengangkat tangan kirinya mengusap pipi Bwe Hwa dengan usapan halus, semakin berderai air mata si gadis merasakan sentuhan tangan pemuda itu pada pipinya. Ia menggigit bibir lagi menahan rasa nyeri dan pilu memandang ke arah lengan kanan yang buntung itu. Tiba-tiba Bwe Hwa bangun dan menciumi lengan buntung Tiang Le sambil menangis mengguguk: “Tiang Le kokoo....... aku....... aku… berdosa kepadamu....... aku membuntungi lenganmu… aduuuh kokoo…… kau……. kau kasihan sekali, lenganmu…... kokoo....... biarlah aku membuntungi lenganku yang satu ini....... kokoo kau… ampunilah aku....... jangan kau marah padaku…” suara Bwe Hwa terputus putus. Tiba-tiba gadis itu menjerit lirih dan mendekapkan tangan kanannya pada dada yang terasa sakit bukan main. Darah segar menyembur dari mulutnya, bibir gadis itu digigit keras-keras sampai mengeluarkan darah, sementara wajahnya semakin pucat seperti mayat. Tiang Le cepat menyusut darah merah yang membasahi dada Bwe Hwa. Dan menotok dada itu menghentikan keluarnya darah. Pandangan Bwe Hwa semakin sayu dan redup, bibirnya bergetar
  • 635
  • mengucapkan kata-kata yang tak terucapkan oleh lidah yang tiba-tiba menjadi kelu dan sukar untuk bernapas. Mulut gadis itu terbuka. Tiang Le terkejut sekali melihat keadaan gadis ini. Cepat ia menyalurkan hawa lweekang di pundak Bwe Hwa dan berkata pelan: “Cepat kau salurkan hawa murni di perutmu dan salurkan ke dada. Hati-hati jangan sampai menyerang pernapasanmu……” Bwe Hwa tidak menyahut. Ia merasakan hawa hangat menyentuh pundaknya. Tiba-tiba segumpalan darah hitam keluar dari mulutnya. “Kokoooo….!” Bwe Hwa menjerit. Ia merasa sakit yang membuat semua uratnya perih dan kepalanya pening, lalu jatuh terkulai di pangkuan Tiang Le. “Bwe Hwa…..!!” Tiang Le memeluk gadis itu. Tak memperdulikan lagi darah hitam yang telah menodai bajunya, tubuh Bwe Hwa didekapnya, sementara Tiang Le menjerit keras, “Bwe Hwa…... Hwa-moay jangan kau mati… jangan kau mati Bwe Hwa....... duh….! Bagaimana ini, ya Tuhan, tolonglah Bwe Hwa….... bagaimana ini…... Bwe Hwa?” Tiang Le menjadi panik. Ia memang tak mengenal ilmu pengobatan, dan tidak tahu bagaimana caranya mengobati luka dalam dan begitu dilihatnya keadaan gadis, sumoaynya ini sangat mencemaskan hatinya dan membuat pikirannya menjadi kalut dan
  • 636
  • tidak tahu apa yang mesti ia perbuat. Ia tak tahan melihat kepergian Bwe Hwa ke alam lain dalam keadaan mengenaskan hati seperti ini. Saking tegangnya urat syaraf Tiang Le dan tak tahu apa yang mesti ia perbuat tiba-tiba ia merasakan seluruh alam ini menjadi gelap dan tertutup kelam kabut. Di alam sadarnya ia melihat Bwe Hwa melayang tinggi. Amat tinggi sekali gadis itu terbang dan Tiang Le tak kuasa menjangkau tangan gadis itu yang menggapai-gapai kepadanya. Memanggil namanya, menjerit meminta tolong padanya. Akan tetapi iapun hanya membalas dengan teriakan kuat dan menjerit memanggil-manggil nama si gadis, “Bwe Hwa… Bwe Hwa jangan kau pergi….. jangan kau tinggalkan aku....... aku akan menyusulmu, aku akan menyusulmu….. tunggulah Bwe Hwa!” Tiang Le merasakan sebuah geledek menyambar di atas kepalanya. Seluruh alam menjadi putih, matanya menjadi silau oleh keputihan yang seperti salju, ia merasa sebuah tangan menghempasnya kuat-kuat dan jatuh ke bumi membuat kepalanya demikian sakit dan nyeri. Jeritan panjang menyebut nama Bwe Hwa menghantar ia ke alam sadar di dalam pondok. Pertama-tama dilihatnya, hujan masih meriak di luar pondok. Kabut di luar melayang-layang disiram gerimis dan kekelaman menjelang sore hari. Sebuah kilat menyambar, berkeredep menerangi ruangan di dalam pondok kecil.
  • 637
  • Sesosok tubuh bersila di depan seorang gadis yang telah duduk meramkan matanya. Perlahan-lahan muka gadis itu menjadi merah. Sebuah tangan manusia terlekat di pundak si gadis. Orang tua itu terdengar menghela napas panjang: “Bukalah matamu…… Bwe Hwa, lihatlah alam sekeliling ini demikian indahnya, kuatkanlah hatimu. Berbahagialah orang yang tabah hati menghadapi segala kesakitan. Hanya sabar dan ketabahan hati dan pasrah kepada Ilahi, ia itulah obat yang maha mujarab untuk menghilangkan segala sakit dan penyakit. “Tubuh ini adalah ciptaan Yang Maha Kuasa, ia pula yang menentukan mati dan hidupnya seseorang. Bangunlah Bwe Hwa, belum waktunya Thian memanggilmu....... Kuatkanlah bathinmu, lupakanlah tubuh jasmanimu jangan hiraukan sakit di tubuhmu. Berkatalah pada dirimu: “AKU PASTI SEMBUH, KARENA AKU AKAN HIDUP!” Bwe Hwa membuka matanya. Menjatuhkan diri kepada orang tua di hadapannya dan berlutut sambil menangis: “Locianpwe, terima kasih untuk nasihatmu. Dada saya tidak terasa sakit lagi, tubuh saya serasa enteng dan ringan. Kakek, aku berhutang budi kepadamu....... memang aku harus sembuh, aku harus hidup!” Bwe Hwa menangis mengguguk dihadapan si kakek. Kakek itu sudah nampak tua sekali. Ia bersila dihadapan si gadis. Kedua kakinya sudah buntung, wajahnya dengan keriput dan semua rambutnya putih, berjenggot putih pula, berpakaian dengan kain putih sederhana terbuat dari kain yang kasar akan tetapi nampak bersih, akan tetapi mempunyai pandangan yang sejuk dan
  • 638
  • membawa ketenangan dan kedamaian bagi siapa saja yang menatap mata tua itu! Tiang Le bagaikan orang baru sadar dari mimpi yang amat buruk memandang kepada kakek buntung yang membelakanginya, akan tetapi alangkah heran dan girang hatinya melihat Bwe Hwa sudah dapat duduk di depan kakek itu. Cepat Tiang Le berlutut dihadapan kakek itu, di samping Bwe Hwa. “Locianpwe... hamba yang rendah, hamba yang tidak bisa berbuat apa-apa terhadap sumoay hamba yang terluka berat ini, sekarang menghaturkan banyak terima kasih kepada kau orang tua yang telah menolong Bwe Hwa sumoay……..” “Namamu Sung Tiang Le, bukan? Sudah kusaksikan sepak terjangmu kemarin siang itu waktu menghadapi orang-orang Bu-tek Sianli, kepandaianmu hebat bukan main, mengingat aku kepada sucouw Sui-kek Siansu. Eh, Tiang Le, dari mana kau dapat mainkan ilmu silat Tok-pik-kiam-hoat, Sian-tian-jiu dan langkah-langkah ajaib itu?” si kakek kaki buntung bertanya dengan pandangan yang penuh diliputi oleh kesabaran dan ketenangan bathin. “Locianpwee saja yang bodoh........ pernah mempelajari dari sebuah kitab kuno yang dapat saja ketemui dari nona Cia Pei Pei........ kalau boleh saja tahu, siapakah locianpwee ini?” Si kakek kaki buntung menarik napas panjang. Ia meraba jenggotnya yang putih panjang sebatas dada, suaranya pelan dan lembut menyejukkan.
  • 639
  • “Siapa aku, sebetulnya hanya sebuah nama yang kosong saja, orang muda! Nama manusia akan segera lenyap dan dilupakan orang, apabila tubuh ini akan masuk ke dalam kubur. Untuk apa aku perkenalkan kepadamu? Akan tetapi karena kau telah mewarisi kitab peninggalan sucouw Sui-kek Siansu, maka baiklah kuperkenalkan diriku yang tak berarti ini. “Dulu namaku Lim Heng San, kemudian orang-orang menyuluki Sin-kun-bu-tek, akan tetapi aku sudah tidak memakai nama itu lagi. Pernah pada puluhan tahun yang lalu, aku diberi sedikit pelajaran ilmu silat tangan kosong dari kakek tua renta Sui-kek Siansu, manusia setengah dewa, yang kabarnya telah meninggal, akan tetapi sering kali ia muncul bagaikan malaikat turun ke bumi. “Dua kali saja aku pernah bertemu dengan Sui-kek Siansu itu pada puluhan tahun yang lalu, pernah aku mendengar akan kitab silat tangan buntung yang ditulisnya. Orang muda beruntung sekali kau berjodoh mendapatkan kitab itu!” “Locianpwe, aku yang bodoh mohon petunjukmu!” Si kakek kaki huntung meramkan matanya. Menghela napas panjang dan melirik ke arah Bwe Hwa yang ketika itu tengah menundukkan kepalanya. Bibir kakek itu bergerak perlahan seperti orang membaca doa, tidak terdengar kata-kata yang terucapkan oleh si kakek, akan tetapi anehnya, bibir yang bergerak itu merupakan bisikan perlahan kepada Tiang Le dan tidak terdengar oleh Bwe Hwa: “Tiang Le, ketahuilah olehmu bahwa sumoaymu ini mengalami luka dalam yang sangat parah. Menyesal sekali aku hanya dapat
  • 640
  • menolongnya pada batas yang tertentu. Gadis itu telah mengalami tekanan batin dan guncangan jantung yang cukup hebat. “Ia menderita sakit jantung dan kanker dada yang pada saat itu belum ada obatnya. Apabila jantungnya bergoyang, apabila ia mengalami shock dalam hidupnya ia pasti akan muntah darah lagi. Kau kasihanilah dia, kau hiburlah, dan senangkanlah hatinya, karena ia hanya bertahan hidup hanya dalam beberapa bulan lagi saja. Tiang Le, jangan bikin ia bersedih hati........ “Hemm, kalau tidak salah bagi penglihatan mataku yang sudah tua ini, ia sangat mencintaimu....... Mudah-mudahan, ia tidak akan mengalami kekecewaan dalam hatinya. Nah, itulah pesanku! Jangan kau katakan apa-apa kepadanya tentang ini. “Tiang Le, surat dari seorang gadis kerudung hitam sumoaymu yang telah meninggal itu sudah berada di tanganku, biar nanti kuteruskan kepada Kaisar. Nah! Hanya itu pesanku dan…….” Kakek itu tidak meneruskan kata-katanya, ia memandang Tiang Le melihat lengan kanan yang telah buntung sebatas pundak, senyum kakek itu menghias pada bibirnya yang tua. “Beruntung sekali kau mempunyai lengan buntung, karena itu adalah syarat utama bagi pelajaran ilmu silat tangan buntung yang telah kau kuasai dengan baik……!” akan tetapi si kakek menggerakkan tangannya. “Ke marilah Tiang Le, biar aku akan memberikan sedikit tenaga tuaku ini bagi kau orang muda yang sangat memerlukan lweekang tinggi. Dekatlah ke sini Tiang Le!”
  • 641
  • Tiang Le segera menggeser ke depan. Terasa kedua tangan si kakek menyentuh pundaknya di kanan dan di kiri. Dan terdengar suara si kakek berkata pelan: “Tiang Le aku akan memindahkan sebagian tenaga lweekangku ini untukmu. Pusatkan hawa tan-tian di dalam tubuhmu dan salurkan hawa Yang-kang dan Im-kang yang akan kukirim berganti-ganti dari kedua tanganku ini. Nah, terimalah!” Tiang Le menuruti pesan si kakek. Ia mengerahkan hawa murni di pusar dan menahan napas, menerima tenaga panas yang membanjir ke tubuhnya melalui pundak sebelah kiri, bagaikan aliran listrik tubuh Tiang Le bergetar. Hawa panas mendesak dengan amat kuatnya, hampir saja Tiang Le mencelat ketika merasakan seluruh tubuhnya menjadi panas seperti dibakar. Akan tetapi karena ia menaruh kepercayaan penuh kepada si kakek kaki buntung yang pada puluhan tahun yang lalu terkenal dengan julukan Sin-kun-bu-tek Lim Heng San, ia memasrahkan dan membiarkan tubuhnya menjadi merah seperti udang direbus. Wajahnya merah membara. Keringat sudah membasahi tubuhnya. Dan begitu tangan kiri kanan si kakek terangkat, tahu-tahu bagaikan segumpalan es yang menyentuh pundak kanannya tiba-tiba tubuh Tiang Le menggigil kedinginan. Hawa panas yang tadi terasa memanggang dirinya, kini berganti dengan hawa dingin yang luar biasa.
  • 642
  • Cepat Tiang Le mengatur pernapasannya dan mengerahkan tenaga sin-kang membantu jalannya hawa im-kang yang membanjir tubuhnya. Saking dinginnya sampai Tiang Le mengkerotkan giginya yang berbunyi gemeretuk dan wajahnya menjadi biru dan seluruh rambut di kepalanya menjadi berdiri kaku laksana kawat berduri! Bwe Hwa yang melihat pemindahan tenaga sin-kang yang luar biasa ini menjadi heran dan terkejut. Akan tetapi diam-diam ia menjadi girang bukan main melihat wajah Tiang Le bertambah segar dan merah kembali. Ia menatap wajah pemuda itu dengan pandangan sayu dan penuh cinta kasih. Tidak lama kemudian, ada sekitar dua jam, kakek kaki buntung itu menarik ke dua tangannya dari pundak Tiang Le dan berkata, “Tenaga sin-kang di tubuhmu bertambah berlipat ganda. Oleh karena itu, kuharapkan gerak tangan kilat yang pernah kau pelajari boleh menjadi bagian ilmu silat yang maha sakti, akan tetapi ingatlah Tiang Le, janganlah sembarangan engkau menjatuhi tangan maut kepada lawanmu. Perhatikanlah ini jikalau engkau menuruti nafsu hati, percayalah engkau akan menemui segala penderitaan dalam hidupmu.” Dalam keadaan tubuh yang masih terasa lemah sekali, akan tetapi terasa ringan dan enteng, Tiang Le berlutut, “Terima kasih atas budi baik dan petunjuk Locianpwe!”
  • 643
  • “Nah, Tiang Le, oleh karena tiada ada apa-apa lagi yang dapat kuberikan kepadamu, maka aku bermohon diri dan ingatlah pesanku tadi…… untuk sumoaymu, selamat tinggal!” Sekali tubuh si kakek buntung itu berkelebat. Tahu-tahu telah lenyap dari hadapan Tiang Le dan Bwe Hwa. Diam-diam mereka menjadi terkejut bukan main akan kehebatan kakek kaki buntung yang pada puluhan tahun yang lalu pernah menggemparkan dunia persilatan dengan ilmu silat tangan kosongnya yang bernama kepalan dewa tanpa tandingan! Hebat! “Sumoay syukur kau telah sembuh....... O ya, masih sakitkah dadamu?” tanya Tiang Le begitu menengok kepada Bwe Hwa yang memandangnya sambil tersenyum dan mengangguk. “Kakek kaki buntung itu yang menolongku, koko, ia hebat entah dengan cara apa ia menyembuhkan lukaku di dada. Hanya begitu kusadar, aku mendengar bisikan-bisikan perlahan yang amat mengejutkan isi hati dan menghilangkan rasa nyeri yang tadinya menyerang dadaku. “O ya, koko, aku kuatir sekali....... kenapa kau tertidur begitu lama? Sampai seharian itu kau tidur menggeletak di situ, tadinya ingin kubanguni engkau akan tetapi, kakek kaki buntung itu mencegahnya.” O ya, teringatlah kini Tiang Le. Ia memang tidak sadar diri lama, akan tetapi mengapa mimpinya itu amat menakutkan? Ia bermimpi melihat Bwe Hwa naik ke langit sambil menggapai-gapaikan tangannya. Ia menjerit memanggil Bwe Hwa. Rasanya dalam mimpi yang amat buruk itu, ia takut sekali kehilangan Bwe Hwa. Entah mengapa?
  • 644
  • “Koko.......?” Tiang Le menoleh, namanya disebut begitu mesra oleh Bwe Hwa dan gadis itu tersenyum sambil berkata manja: “Koko....... aku pasti sembuh, jika badan ini mengatasi nyawa....... aku akan sembuh dan ingin hidup…... koko Tiang Le jangan kau tinggalkan aku lagi ya?” Air mata si gadis berlinang-linang menatap pemuda di depannya. Tiba-tiba ia menjatuhkan kepalanya dan menangis di dada Tiang Le. “Koko....... aku….. aku tak ingin mati koko....... aku tak ingin berpisah denganmu.......” suara Bwe Hwa terdengar terisak. Tiang Le mengusap rambut di kepala si gadis. Membelainya dengan mesra dan penuh perasaan. Pandangannya menatap keluar pondok, di luar memang sudah gelap. Embun menurun dari puncak. Sementara suara air hujan masih mengericak turun dari atas atap pondok, angin dingin sangat dingin berhembus menerpa ke dua orang muda di dalam pondok itu. Api unggun yang rupanya telah dinyalahi oleh si kakek kaki buntung masih bernyala bergoyang-goyang lidah api itu ditampar angin yang berhembus dari luar. Pada saat si gadis menangis di dadanya, Tiang Le teringat kepada perkataan si kakek yang tadi didengarnya. “Kau kasihanilah dia, hiburlah dia dan senangkanlah hatinya....... karena ia hanya bertahan hidup, hanya untuk beberapa bulan saja, Tiang Le. Jangan bikin ia bersedih hati……!”
  • 645
  • Bagaikan diiris-iris hati Tiang Le, ia mendekapkan tangan kirinya menyentuh pundak si gadis. Bertambah keras tangis Bwe Hwa merasakan kasih sayang usapan tangan kiri pemuda itu. Ia menangis mengguncang-guncangkan bahunya. “Tiang Le……. koko....... alangkah bahagia hatiku....... akhirnya....... aku….. aku mendapatkan hatimu…… kau mencintaiku juga…… aku….. ahh…… koko……!” “Hwa moay…… jangan menangis….. jangan bersedih hati. Aku kini berada di sampingmu….. mengapa kau bersedih? Hwa-moay, kau tidak boleh menangis, tidak boleh bersedih…... mengertikah kau?” Bwe Hwa mengangkat wajahnya. Sebuah pandangan yang redup membuat dada Tiang Le berdebar-debar. Tak tahan. Setitik air mata Tiang Le meloncat jatuh menimpah wajah si gadis. “Koko……. kau menangis?” “Hwa-moay……. aku menangis karena bahagia…… kau….. aku……” “Koko mengapa kau bahagia ini, karena akukah?” Tiang Le mengangkat dagu si gadis. Mengecup bibirnya lembut. “Hwa-moay aku…… aku bahagia karenamu! Aku….. entah mengapa aku sangat menyayangimu Bwe Hwa, nah, sekarang kau tidak boleh bersedih. Ingat, kalau kau menangis, aku pasti akan menangis!”
  • 646
  • Bwe Hwa mengusap matanya dengan tangan kanannya. Sebuah senyuman menghias di atas sepasang mata yang berlinang air mata yang hendak meruntuh, akan tetapi apabila anak sungai kecil itu melintas di pipi si gadis, tangan kiri Tiang Le menyentuh lembut dan berkata: “Kau tidak boleh bersedih, Bwe Hwa……!” Aneh sekali, suara Tiang Le begitu tergetar. Apabila ia teringat akan perkataan si kakek kaki buntung. Hatinya merenyuh pilu dan ingin ia menghibur gadis ini, memeluknya, mengatakan cinta kepadanya. Oo, Tiang Le…… hatimu begitu lemah, begitu tak tega melihat ambang kematian yang hendak menjemput Bwe Hwa! Tiang Le mengangkat lagi dagu si gadis. Menundukkan wajahnya dan mengecup dalam bibir si gadis yang menyedotnya dengan panjang dan penuh gairah cinta. Sebuah petir menyambar berkeredep merupakan lidah api yang menerangi atap pondok itu. Api unggun bergoyang-goyang disapu terpaan angin malam. Suara binatang gunung meningkahi datangnya malam hari yang gelap. Udara bertambah dingin, apabila embun bertambah tebal berkeliaran dan menyelimuti ruang di dalam pondok. Udara bertambah dingin. Akan tetapi sepasang manusia. Antara seorang pria dan wanita muda cantik. Bertambah ketat tenggelam dalam pelukan-pelukan yang menimbulkan gairah dan rangsangan keinginan untuk memiliki satu sama lain.
  • 647
  • Mereka tenggelam dalam impian yang begitu amat indah dan mengesankan. Akhirnya, apabila sebuah guntur menggelegar bagaikan hendak membelah bumi dan kilat menerangi alam ini, dua sosok tubuh roboh dalam keadaan lemas dan tiada daya dan keinginan lagi. Hujan gerimis turun di antara kekelaman malam. Bwe Hwa dan Tiang Le terlena di dalam pondok dalam keadaan letih lunglai. Tangan kanan Bwe Hwa mengusap dada Tiang Le yang hanya tertutup oleh gelapnya malam. Sebuah senyum si gadis menyungging kepuasan rasa hati yang tenggelam dalam alam bahagia yang begitu mengasyikkan dan penuh khayalan-khayalan tinggi jauh pada awang-awang di atas. Sementara telinga Tiang Le menggema jeritan-jeritan si gadis yang tadi didengarnya amat menusuk-nusuk perasaan hatinya. Sebuah jeritan Bwe Hwa yang dipersembahkan kepadanya sebagai lambang cinta kasih yang hanya terjalin pada kesunyian-kesunyian lembah Tay-hang-san yang sunyi membisu! Akan tetapi, apabila kesadaran itu datang pada pagi-pagi harinya, Tiang Le melonjak dari tidurnya ketika dirasakannya badannya begitu malas dan cepat ia menyambar pakaiannya yang berserakan di dalam pondok dan sekali menggerakkan tubuhnya, di luar pondok itu ia cepat-cepat berpakaian. Wajahnya menjadi merah seperti dibakar. Telinganya menjadi panas. Matanya menjadi pedas melihat pemandangan-pemandangan barusan yang membuat ia bergidik melihat tubuh
  • 648
  • yang begitu polos dan menyeramkan tak berbalut sehelai benangpun! Teringatlah ia akan pengalaman-pengalamannya semalam dengan Bwe Hwa, “Gila! Apa yang pernah kulakukan terhadap gadis itu. Ya, Tuhan! Sudah gilakah aku? Betul aku sudah gila! Tiang Le kau sudah gila.......!” Da1am keadaan hati yang tidak keruan ini, pemuda itu membentur-benturkan kepalanya dengan batu gunung dan nampak darah merah melele dari kepala Tiang Le yang pecah oleh hantaman pada batu gunung yang keras itu. Hatinya menyesal bukan main. Ia menjambak rambutnya. Membenturkan kepalanya. Pada ketika itulah sebuah jeritan lirih mengiringi berkelebat tubuh Bwe Hwa yang terus memeluk Tiang Le. “Koko…… kau....... kau....... kenapa kau jadi begini…… koko.......?” Dengan pandangan mata merah, pemuda buntung itu menoleh kepada Bwe Hwa dan melepaskan rengutan pada pelukan si gadis. “Bwe Hwa....... apa….. apa yang telah kulakukan kepadamu, apa yang terjadi sesungguhnya....... Ya Tuhan, Bwe Hwa kau bunuhlah aku….. bunuhlah aku!” Tangan kiri Tiang Le menampar kepalanya. Darah merah membanjir dari kepala itu. Bwe Hwa menubruk pemuda itu dan menangis. “Koko....... kenapa kau jadi begini?”
  • 649
  • “Bwe Hwa! Kau katakanlah…… aku…… aku........ ahh mengapa aku jadi begini, Bwe Hwa....... aku telah….. telah me….. me....... ahh sebaiknya aku mampus!” “Koko…… mengapa kau. Kau menyesal atas perbuatan kita semalam? Ya, kau tentu menyesal koko....... ka....... rena….. koko….. katakanlah mengapa kau menyesal, mengapa?” Tiang Le memandang Bwe Hwa. Bwe Hwa mencucurkan air mata. Bwe Hwa menangis dengan amat sedihnya. Bahunya bergoyang-goyang menahan isak tangis. Hidungnya berkembang kempis dan pipi itu telah menjadi basah, memandang Tiang Le. Pada ketika itu, terngiang sebuah kata-kata dari kakek kaki buntung yang semalam didengarnya: “…….kau hiburlah dia, senangkan hatinya, jangan membikin ia bersedih hati, kasihanilah dia, karena ia hanya bertahan hidup hanya untuk beberapa bulan saja. Tiang Le ketahuilah olehmu bahwa sumoay ini mengalami luka dalam yang amat parah, ia menderita sakit jantung dan kanker dada yang sampai saat ini belum ada obatnya. Apabila jantung bergoyang dan mengalami shok dalam hidupnya, ia akan muntahkan darah lagi……” “Bwe Hwa…….!” “Kokooooo…..!”
  • 650
  • Tiang Le menubruk gadis itu dan merangkulnya dan berkata dengan suara yang tertahan-tahan: “Hwa-moay….. aku…… telah berdosa kepadamu….. aku….. membuat engkau…….” Jari telunjuk Bwe Hwa menekan mulut si pemuda. “Tidak koko….. aku tidak menyesal. Malahan aku merasa bahagia sekali koko…… Tiang Le koko aku sudah menganggap kau sebagai suamiku…..” “Bwe Hwa…..!” “Menyesal kau?” Tiang Le menggigit bibirnya. Bwe Hwa mengusap kepalanya yang berdarah bekas ia benturkan tadi itu. Kedua pasang mata saling menatap dan saling berpandangan. Ketika hati Tiang Le merenyuh. Perih sekali dan terharu melihat keadaan Bwe Hwa. Apakah dia teringat akan nasib si gadis. Ia ingin sekali memeluknya, menghiburnya dan mengusap butir butir air mata itu. Akan tetapi apabila teringat akan perbuatan semalam, suatu perbuatan yang semestinya tak boleh ia lakukan. Memalukan! Ingin sekali saat itu bumi yang dipijaknya amblas dan menguburnya hidup-hidup! Tak tahan ia mengingat itu! Akan tetapi, ia tak tega membuat Bwe Hwa bersedih. Tak mau membuat gadis itu cepat-cepat menuju ke jalan kematian. Bwe Hwa tak boleh mati!
  • 651
  • ◄Y► Sementara itu peperangan terjadi di mana-mana. Pasukan pasukan Mongol berkeliaran di daratan Tionggoan (pedalaman Tiongkok). Dan mereka bergerak ke arah Kotaraja dengan teriakan-teriakan menggemuruh. Sambil berjalan itu mereka melakukan perampokan dan perkosaan-perkosaan dan membakari rumah-rumah penduduk, serta membunuhi banyak lelaki lelaki bangsa Han dan menculik perempuan-perempuan cantik. Kerusakan-kerusakan terjadi dimana-mana. Jeritan-jeritan kematian dari aniaya pasukan Mongol penjajah menjulang setinggi langit. Suasana perang terjadi di mana-mana. Orang-orang gagah dan yang berjiwa patriot telah menggabungkan diri merupakan kelompok-kelompok kaum pejuang melawan tentara Mongol dengan penuh gigih dan bertekad mempertaruhkan nyawa. Pintu gerbang kotaraja selalu tertutup dan dijaga oleh pasukan-pasukan tentara Song dengan ketat. Barisan panah dan api bersiap jaga di atas tembok kota apabila sewaktu-waktu pasukan penjajah menerobos masuk. Suasana di dalam kotaraja begitu tegang dan mendebarkan hati. Di mana-mana pasukan Song mengadakan penjagaan dengan ketat dan teratur secara bergilir. Karena tentara Mongol sudah hampir mendekati tapal batas kotaraja, maka hubungan kotaraja untuk sementara waktu terputus dari dunia luar. Bangsa Han tidak diperbolehkan keluar dari kotaraja kecuali pasukan-pasukan Song yang hendak dikirim untuk
  • 652
  • menghancurkan tentara Mongol dan membantu perjuangan para orang gagah di luar kotaraja. Jauh di luar kotaraja, di sekitar padang rumput yang amat subur terdapat sebuah telaga, di tempat inilah pasukan Mongol yang dipimpin oleh Khu Bilay Khan, menjadikan markas besar untuk sementara, sambil menunggu bala bantuan dari tokoh-tokoh dunia barat. Di sini terdapat telaga yang banyak airnya, dan di tempat ini terdapat tempat yang amat subur pula, sedangkan daerah itu sebagian besar terdiri dari padang pasir yang gundul. Selain itu, dari telaga dapat pula melakukan perjalanan air sampai ke sungai Kuning dan ke sebelah tenggara kotaraja, sehingga tempat inilah yang tengah direncanakan oleh Khu Bilay Khan untuk menggempur kotaraja!!! Akan tetapi, tentu saja Khu Bilay Khan takkan menjadi orang besar kalau tidak mempunyai siasat kepemimpinan yang amat cerdik. Di luar saja kelihatan markas itu merupakan markas besar, namun pada hakekatnya, markas besarnya di pecah-pecah dan berada di mana-mana. Khu Bilay Khan yang licik ini dengan secara diam-diam bersekutu dengan seorang jenderal kepercayaan dari Kotaraja yang bernama Bong Bang Sianjin dan atas siasatnya, Khu Bilay Khan menantang tentara Song untuk mengadakan pertempuran di pegunungan Tai-hang-san. Tentu saja kaisar menerima tantangan ini, dan dengan segera ia mengerahkan perajurit-perajurit pilihan Kotaraja dalam pimpinan Bong Bong Sianjin atau dikenal di Kotaraja dengan sebutan Bong-goanswe (jenderal Bong).
  • 653
  • Justru pengerahan secara besar-besaran menggempur tentara Mongol di pegunungan Tai-hang-san inilah yang membuat pertahanan di Kotaraja menjadi lumpuh dan lemah, karena begitu pasukan pilihan meninggalkan Kotaraja atas pimpinan jenderal Bong, masuklah tentara Mongol dengan teriakan-teriakan bergemuru menyerbu Kotaraja! Kaisar menjadi terkejut sekali! Ia menjadi tertipu oleh jenderal Bong yang telah membujuknya untuk membawa pasukan pilihan ke Tai-hang-san! Sedangkan Kotaraja menjadi lemah dan lumpuh! Banjir darah terjadi di Kotaraja. Tentara Mongol dengan ganasnya memasuki Kotaraja. Perang tanding yang tidak sesuai pada saat ini berjalan dengan amat cepatnya. Darah merah dari pasukan Song yang tidak mempunyai kekuatan lagi membasahi jalan Kotaraja. Pasukan-pasukan tentara Mongol yang dipimpin oleh Khu Bilay Khan mengadakan penyembelihan secara besar-besaran terhadap laki-laki bangsa Han. Wanita menjerit, menangisi suaminya yang telah mati dipenggal oleh golok bangsa Mongol yang tak memberi ampun kepada bangsa Han ini. Kaisar Song Cu Ling kedapatan telah membunuh diri akibat kebodohannya sendiri yang mudah saja tertipu oleh Jenderal Bong yang berkhianat kepada bangsanya. Dengan darahnya sendiri kaisar itu menulis di atas tembok singgasana kerajaan yang berbunyi demikian: “Mati karena kebodohan!”
  • 654
  • Selagi peperangan berkecamuk dengan hebatnya, dan selagi jeritan-jeritan manusia dengan panik dan ngeri membubung tinggi di atas Kotaraja yang telah banjir darah. Dua sosok tubuh manusia berkelebat dengan amat cepatnya menggerakkan pedangnya membabati tentara Mongol yang sudah banyak mengalahkan tentara Song yang hanya tinggal beberapa puluh orang saja. Dua sosok manusia itu bergerak dengan amat cepat sekali. Setiap kali pedang mereka bergerak, kepala tentara Mongol akan roboh meninggalkan badan. Kedua orang muda itu adalah Sin Thong dan Siauw Yang yang telah tiba di Kotaraja dan mengamuk dengan amat dahsyat. Sin Thong mainkan pedang samurainya bagaikan malaikat pencabut nyawa. Siauw Yang yang sudah gemas sekali akan bangsa Mongol penjajah menggerakkan pedangnya, dengan luar biasa, membabati leher bangsa Mongol seperti orang membabati rumput saja. Kedatangan kedua orang muda yang mempunyai sepak terjang seperti maut, membuat pasukan Song yang tinggal beberapa orang saja bangkit semangatnya. Dengan gigih ia menggerakkan senjatanya merangsek mengeluarkan teriakan-teriakan bersemangat! Di lain bagian, di sebelah utara Kotaraja, pasukan-pasukan Mongol menjadi kocar kacir karena munculnya banyak orang gagah yang sudah menyerbu Kotaraja dan menempur kerajaan Mongol. Di antara peperangan yang sedang berlangsung itu nampak Ho Siang dan Nyuk In mengamuk, hebat luar biasa!
  • 655
  • Biauw Eng dan Hok Sun yang sudah sampai ke tempat itu menyerbu ke dalam kota dan begitu mendapati ayah Biauw Eng sudah mati beserta keluarganya oleh pembunuhan-pembunuhan bangsa Mongol yang kejam ini, sambil menangis Biauw Eng mengamuk bagaikan singa betina kehilangan anak. Sementara Hok Sun yang dijuluki harimau terbang, menggetarkan pasukan Mongol! Akan tetapi pasukan Mongol yang terdiri dari ribuan orang itu, tak dapat mereka hancurkan. Apalagi setelah mereka mendengar bahwa kaisar sudah membunuh diri karena penyesalan atas kebodohan sendiri. Maka Biauw Eng dan Hok Sun yang masing-masing memondong tubuh ke dua orang tua Biauw Eng berkelebat ke sana ke mari membuka jalan darah untuk ke luar dari kepungan tentara Mongol yang demikian ketat. Memang sejak dulupun pasukan Mongol ini terkenal sebagai laki-laki gagah yang pantang menyerah, oleh sebab itu, begitu ke dua orang ini bergerak dan tiga-empat orang roboh mandi darah, datang lagi sepuluh orang dan begitu seterusnya akhirnya, kedua orang ini mulai lemah, gerakan-gerakan mereka mulai kacau. Hok Sun kuatir sekali melihat keadaan Biauw Eng ini, ia bersilat mendekati gadis itu. Sayang sekali mereka ini bersilat dengan tidak leluasa karena memondong tubuh ke dua orang tua Biauw Eng. Sebuah sambaran golok tentara Mongol menyerempet di pundak Hok Sun, pemuda itu menjerit keras dan membabatkan pedangnya menghantam perwira Mongol itu. Terdengar jeritan mengerikan waktu pedang di tangan Hok Sun amblas di dada seorang perwira Mongol.
  • 656
  • Darah merah menyembur dari dada yang tertanam pedang itu. Hok Sun menggerak tangan kirinya mendorong ke samping waktu didengarnya sambaran senjata berkelebat di atas kepalanya dengan sedikit menggeser kakinya pemuda itu sudah meluputkan diri dari sambaran tombak perwira Mongol dan begitu tangan kirinya mendorong, tubuh perwira itu terjengkang ke belakang oleh dorongan angin pukulan Hok Sun yang lihai. Akan tetapi pemuda itu juga menjerit menahan rasa sakit yang hebat dan pundaknya yang tadi terserempet golok. Sesosok bayangan berkelebat di tempat itu dan lima perwira Mongol terjungkal oleh terjangan sebatang tongkat kecil dari Kong Hwat yang sudah sampai ke tempat itu dan melihat kedua temannya sudah mandi darah, segera ia berseru: “Hok Sun twako, lekas lari!” “Kong Hwat lote…….!” panggil Hok Sun girang melihat datangnya murid Koay-lojin yang perkasa. Datangnya pemuda itu, pengepungan menjadi dua bagian. Cepat Hok Sun berseru kepada Biauw Eng yang sudah kelihatan lemah sekali. “Eng-moay…… buka jalan darah. Cepat!” Seru Hok Sun mengelebatkan pedangnya membuka jalan dan tiga orang perwira yang mengeroyoknya terjungkal dengan dada terserempet pedang. Dengan gerakan yang ringan, tangan kiri Hok Sun menyambar tangan kiri Biauw Eng bagaikan terbang keduanya mencelat lewat kepala para pengeroyok. Seorang perwira bangsa Mongol segera menyambitkan pisau terbangnya dan begitu Hok Sun
  • 657
  • mengebutkan lengan bajunya, pisau itu melayang kembali kepada si penyambit dengan luncuran yang cepat, menghantam lengan kiri si penyambit. Perwira yang kena senjata makan tuan itu menjerit kesakitan memegangi lengannya! Hok Sun dan Biauw Eng sudah melompat jauh dan hilang di balik tikungan jalan. Sementara Kong Hwat mainkan ilmu tongkat Fu-niu-san-tung-hoat dengan cepat dan tubuhnya berkelebat-kelebat laksana bayangan maut yang siap hendak merenggut nyawa lawan yang kurang waspada. Akan tetapi bagaimanapun hebatnya Kong Hwat dikeroyok oleh banyak perwira Mongol yang tak habis-habisnya ini lama kelamaan tubuhnya menjadi lelah juga, gerakan-gerakannya mulai lemah! Pada saat itu, berkelebat dua sosok bayangan. Sepuluh perwira kerajaan terjungkal tak dapat bangun lagi. Ternyata Ho Siang dan Nyuk In sudah sampai ke tempat itu dan berseru kepada Kong Hwat: “Kotaraja sudah direbut oleh musuh, kaisar membunuh diri. Tak guna kita bertempur mati-matian. Sebaiknya lekas lari dan ke pulau Bidadari! Seorang pemuda lengan buntung sedang mengamuk mengobrak-abrik Sian-li-pay! Hwat-te lekas kau lari! Kita ke sana menolong pemuda lengan buntung!” Sambil mengelebatkan tongkatnya menotok, Kong Hwat menoleh kepada Ho Siang. “Baik twako, mari kita pergi! Eh, bagaimana dengan Sin Thong dan Siauw Yang?”
  • 658
  • “Mereka sudah berangkat.......” “Baik, sekarang kita pergi.......! Sambil berkata demikian, sekali tubuh Kong Hwat mengenjot tubuhnya, pemuda itu sudah melayang dan berlari cepat disusul kemudian oleh bayangan Ho Siang dan Nyuk In yang gesit seperti walet terbang. Perwira-perwira Mongol berteriak-teriak mengejar. Akan tetapi begitu ke tiga orang muda yang lihay itu menggunakan ilmu lari di atas rumput, tahu-tahu mereka telah kehilangan bayangan ke tiga orang muda itu. Sorakan-sorakan kemenangan menggema di Kotaraja. Bendera kerajaan Mongol dipancangkan di luar tembok kota. Perwira-perwira Mongol merayakan hari kemenangan ini dengan pesta pora merampoki rumah-rumah bangsawan dan membunuh laki-laki bangsa Han yang melawan. Beberapa orang yang dicurigai memberontak, dijejerkan di tepi jalan dan diikat. Kemudian dua orang algojo mengelebatkan goloknya yang besar memenggal kepala mereka! Gadis-gadis cantik menangis penuh ketakutan dalam cengkraman tangan-tangan yang kasar, mulut-mulut yang penuh nafsu mencekeram bibir cantik si gadis. Sebentar kemudian, dengan biadab pemerkosaan dan penculikan berlangsung di muka umum dengan tiada yang berani menentang lagi. Siapa iang berani melawan? Mencari mati!
  • 659
  • Itulah perang, jeritan ketakutan membumbung setinggi langit. Kematian-kematian oleh karena aniaya dan fitnah berlangsung yang dilakukan orang-orang yang hendak mencari muka untuk mengambil hati Kaisar baru, gadis-gadis cantik menjadi persembahan yang menggirangkan kaisar baru yang ditunjuk oleh pemimpin besar Khu Bilay Khan. Pemimpin ini kemudian kembali ke Mongol, membawa barisannya dan mencari tanah jajahan lain! Kelak kemudian pemimpin ini terkenal oleh karena ia adalah cucu dari Raja Besar di Mongol yang bernama Jenghis Khan, orang besar yang pernah menggemparkan dunia! Hari itu kerajaan Song mengalami kehancuran. Kerajaan Mongol menguasai kembali daratan Tiongkok. ◄Y► 18 Tiang Le memegang bahu Bwe Hwa dan katanya pelan: “Hwa-moay, kau jangan kuatir, aku pasti akan kembali, nantikanlah aku di lembah Tai-hang-san ini, jangan kau cemas Bwe Hwa.......!!” Bwe Hwa memandang pemuda di depannya ini dengan tatapan basah. “Bagaimana aku tidak cemas koko, kau hendak pergi ke pulau Bidadari hanya seorang diri, aaah kokoo....... biarlah aku ikut denganmu. Setidak-tidaknya aku dapat membantumu menghadapi
  • 660
  • lawan-lawan yang hendak mencelakakanmu, biarlah aku ikut koko!” Tiang Le mengecup kening si gadis. Dengan tangan kirinya ia mengusap pipi si gadis yang berlinang air bening dan memandang mata yang berkaca-kaca itu dengan pandangan mesra. “Tidak Hwa-moay, justru kalau kau ikut denganku, kau akan menjadi beban bagiku dan aku…... aku kuatir akan keselamatan, kesehatanmu yang belum pulih benar. Kau nantikanlah aku disini, di tempat ini baik sekali untukmu beristirahat……. ku pergi takkan lama Hwa-moay, andaikata aku selamat, dan dapat menolong Pei Pei, pasti aku akan ke mari.” Gugur bendungan air mata Bwe Hwa. Tak dapat berkata-kata lagi ia menjatuhkan kepalanya di dada Tiang Le. Menangis sedih! “Kokoo........ kalau... kau tidak kembali….. bagaimana?” Tiang Le mencoba untuk tersenyum, walau hatinya menangis. “Apa boleh buat Hwa-moay…..., tentu saja kalau aku tidak kembali itu tandanya aku tak dapat meloloskan diri dari Sian-li-pay dan mungkin juga tidak mampu menolong Pei Pei. Ahh, Hwa-moay....... jangan kita memikirkan sampai ke situ. Percayalah kalau Thian melindungi, pasti aku selamat. Kau berdoalah……!” Bwe Hwa memeluk Tiang Le erat-erat. “Kalau begitu....... aku akan ikut denganmu koko, biarlah mati hidupmu, aku akan mendampingimu... koko, aku... aku bersedia
  • 661
  • mempertaruhkan nyawa ini untukmu. Bawalah aku koko…….!!” Bwe Hwa menangis lagi. Tiang Le memejamkan matanya. Ia merasa terharu sekali akan atas kecintaan gadis ini. Dipeluknya Bwe Hwa dengan penuh perasaan. Bwe Hwa membalas pelukan Tiang Le dengan penuh perasaan cinta di dada. Keduanya kini saling berpandangan di antara kabut yang membiru menyelimuti mereka. Dada Tiang Le berdebar-debar keras sekali. Ingin sekali ia melepaskan pelukan ini, akan tetapi entah mengapa? Sejak si kakek kaki buntung memberitahukan akan penyakit gadis ini, yang hanya bertahan hidup dalam waktu yang amat pendek, tak tega ia melukai hati gadis ini. Tak mau ia menyakiti hati Bwe Hwa. Tak kuasa ia untuk menolak cinta kasih Bwe Hwa, maka bagaikan orang yang bermimpi, iapun berkata: “Aku cinta padamu Hwa-moay……..” “Tiang Le koko…” hanya rintihan itu yang keluar dari bibir Bwe Hwa yang menantang untuk sedia menerima kecupan Tiang Le. Dan Tiang Le memang mengecup bibir yang menantang itu. Mengecupnya dengan lembut dan hati yang berkasihan. Degupan dada si gadis yang berdetak-detak menyentuh jantungnya di dalam dada, membuat seakan-akan napas Tiang Le berhenti. Degup yang menyentuh jantungnya bagaikan irama kematian yang kelak akan merenggut nyawa Bwe Hwa entah dalam beberapa saat lagi!
  • 662
  • Pilu rasa hati Tiang Le. Mereka berpelukan di depan pondok lama sekali. Sementara angin gunung menerpa dengan kesejukan yang membahagiakan. Apabila Tiang Le ingat akan Pei Pei yang kini sedang ditawan dalam tangan Bu-tek Sianli, Tiang Le mendorong tubuh si gadis dan berkata: “Hwa-moay… sekarang aku harus pergi….. tak boleh aku membuang banyak waktu lagi, kau nantikan saja aku di sini…….” “Koko……!!!.” Tiang Le mengangkat dagu si gadis dan berkata: “Tidak percayakah kau kepadaku, Hwa-moay?” “Koko, setelah…… setelah kau bertemu dengan Pei Pei dan dapat menyelamatkan gadis itu, sungguhkah kau tidak meninggalkan aku…… sungguhkah kau akan kembali ke sini?” “Haa…. haa Hwa-moay, kau ini ada-ada saja. Sudah tentu kalau aku berhasil menolong Pei Pei, pasti aku kembali ke tempat ini!!” “Koko……!!” Bwe Hwa memandang Tiang Le. Amat redup sekali pandangannya itu, bergetarkan irama kasih. Membuat Tiang Le jadi terharu. “Koko kau…… kau, apakah kau cinta pada gadis itu?” “Siapa?”
  • 663
  • “Cia Pei Pei…….” “Hemm!!” Tiang Le hanya menarik napas panjang. Kemudian ia mengangkat wajah si gadis. Bwe Hwa lalu menatap pemuda itu. “Aku tidak marah, seandainya iya, iyaaa bukan?” Tiang Le tidak menyahut, ia hanya mengecup bibir yang berkata dengan penuh getaran hati tadi. Kecupan itu merupakan perpisahan bagi Tiang Le dan Bwe Hwa. Bwe Hwa memandang kepergian si pemuda dengan tatapan nanar oleh air mata yang berlinang, apabila bayangan Tiang Le hendak lenyap ke balik tikungan batu yang ada di bukit itu, Bwe Hwa melambaikan tangannya dan mengirim suara jarak jauh, “Tiang Le koko....... apabila dalam tiga hari kau tidak kembali, aku pasti akan menyusulmu ke pulau Bidadari!!!” Tiang Le yang mendengar suara dari kejauhan itu, setitik air mata meleleh di pipinya, cepat-cepat dihapusnya dengan ujung jari tangan kirinya. Dan bagaikan terbang pemuda lengan buntung itu berlari cepat menuju pulau Bidadari. Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan dirinya Pei Pei!! Mudah-mudahan Pei Pei dapat kutolong!!
  • 664
  • Tiang Le tidak banyak membuang waktu, dia segera berjalan cepat menuju pulau Bidadari. Waktu yang amat pendek membuat Tiang Le berlari cepat dengan tak berhenti-henti walaupun kegelapan malam telah menutupi jalan. Akan tetapi dengan kepandaian gin-kangnya dan ketajaman matanya ia terus saja menerobos malam yang kelam. Dari seorang nelayan, ia membeli sebuah perahu kecil untuk menyeberangi laut Po-hay dan mencari pulau Bidadari!! Untunglah pada tengah malam itu di tengah lautan bulan bersinar terang, sehingga Tiang Le dapat mengarahkan tujuan perahunya ke sebuah pulau yang letaknya terasing dari pada pulau-pulau lainnya. Bulan di atas terang benderang. Sebuah perahu merapat di sebuah pulau. Akan tetapi baru saja pemuda lengan buntung itu hendak menginjakkan kakinya di pantai, serangkum angin pukulan menyambar belakangnya. Cepat Tiang Le menggeser kakinya dan mencelat ke atas. Kiranya disitu telah berdiri dara-dara Sian-li-pay mengurungnya. “Orang muda, siapakah kau? Apakah kau pendekar lengan buntung yang diundang oleh Pay-cu Bu-tek Sianli?” Salah seorang dari dara jelita yang berambut panjang menegur. Sikapnya galak sekali. Kalau dulu wajah gadis-gadis ini berkerudung hitam. Sekarang, tidak lagi. Nampak gadis-gadis itu demikian cantik jelita. Akan tetapi sikapnya ketus dan galak.
  • 665
  • Melihat bahwa yang menyambutnya hanya Iima orang dara-dara jelita ini, Tiang Le tersenyum dan berkata, “Betul nona, aku yang rendah memenuhi undangan Bu-tek Sianli, akan tetapi kalian ini kenapa datang-datang menyerangku, beginikah sambutan orang-orang Sian-li-pay?” “Ooo, kiranya kau adalah pendekar lengan buntung yang disebut-sebut oleh Pay-cu? Hm hanya beginikah pemuda tangan buntung yang disohorkan oleh Pay-cu? Eh buntung sebelum kau menginjak daerah Sian-li-pay hayo hadapi pedangku!” Tiang Le tertawa keras dan berkata: “Nona cantik, aku masih banyak urusan penting dengan ketuamu, tak boleh berlambat-lambat. Biarlah aku ke dalam!” “Enak saja kau, hadapi dulu kami! Suci, mari kita serbu, kita lihat sampai di mana sih kepandaiannya. Eh buntung lihat pedang!” Sambil berseru demikian salah seorang dari ke lima dara Sian-li-pay itu sudah menyerang Tiang Le dengan tusukan maut yang bergetar. Akan tetapi menghadapi gerakan ini, walaupun dahsyat akan tetapi dengan mudah sekali Tiang Le berkelit dan membalas dengan dorongan gerak tangan kilat ke arah lawan. “Dess!” “Aiiihhh……” si gadis mencelat kaget, cepat ia berpok-sai tiga kali dan dari udara itu mengirimkan serangan menusuk ke arah kepala Tiang Le.
  • 666
  • Kagum sekali Tiang Le melihat gin-kang yang tinggi dari gadis ini, cepat ia berkelit ke samping dan pada ketika itulah empat dara Sian-li-pay yang lain sudah menerjang maju dengan pedang di tangan. Dan sebentar saja Tiang Le sudah di keroyok oleh lima dara dari Sian-li-pay. Tentu saja karena Tiang Le tidak ingin melayani si gadis lebih lama lagi, begitu tangannya bergebrak terdengar jeritan kaget dari gadis Sian-li-pay melihat pedang mereka telah terlepas dari pegangan dan mereka terlempar dengan tidak terluka, kagum sekali dara-dara Sian-li-pay menyaksikan gerakan yang luar biasa tadi. Akan tetapi mereka menjadi penasaran. Masa dalam beberapa gebrakan saja mereka telah dipecundang sedemikian rupa, maka dengan mengeluarkan teriakan nyaring, mereka sudah menyerbu mengirimkan pukulan ke arah Tiang Le. Tiang Le menjadi kheki bukan main menghadapi gadis-gadis Sian-li-pay yang bandel ini, maka dengan gerakan cepat, tahu-tahu ke lima gadis Sian-li-pay itu sudah terpental lagi dalam keadaan tertotok. Pada saat itu, sepasukan tentara Mongol mendatangi dengan senjata telanjang di tangan. Dan salah seorang yang bertubuh tinggi besar, dan berlengan penuh bulu membentak dengan suara keras: “Orang muda, menyerahlah untuk menghadapi Pay-cu Bu-tek Sianli dan lepaskan senjata!” Akan tetapi Tiang Le yang telah dapat mengenali orang-orang Mongol yang kasar ini menjadi marah: “Orang liar, tutup mulutmu yang kotor dan lebih baik panggil si nenek Bu-tek Sianli. Jangan ia
  • 667
  • bersembunyi di belakang kalian yang tak punya guna ini, panggil dia!” Pada waktu itu, nama Bu-tek Sianli sudah amat disegani oleh banyak tentara Mongol, terlebih lagi pada waktu-waktu ini mereka itu adalah undangan dari Bu-tek Sianli yang bersekutu dengan kerajaan Mongol, tentu saja nama Pay-cu Sian-li-pay dimaki oleh pemuda buntung itu dengan sebutan Nenek dengan nada yang mengancam, mereka menjadi marah dan membentak keras, “Manusia kurang ajar! Kau sudah berani datang ke pulau Bidadari ini tanpa ijin dan datang-datang kau bersikap kurang ajar. Apakah kau mempunyai nyawa rangkap begini tak takut mampus?” “Ha ha ha, orang Mongol kasar dan goblok. Buka telingamu lebar-lebar, aku adalah Sung Tiang Le, memenuhi janji atas undangan Bu-tek Sianli. Hayo kau sampaikan bahwa tuan besarmu sudah tiba dan menyambutku dengan baik-baik!” Para tentara Mongol mulai mengurung dan mereka telah menggerak-gerakan senjatanya. Sikap mereka mengancam sekali. Ada hampir seratus tentara Mongol berteriak-teriak menyuruh menyerah. Namun Tiang Le tertawa bergelak dan berkata penuh sindiran, “Ha ha, ini sajakah manusia-manusia Mongol yang hanya beraninya main keroyokkan saja? Inikah anak buah Khu Bilay Khan yang kesohor itu? Hemm, tidak tahunya hanya ulat-ulat berbisa yang tidak punya guna!”
  • 668
  • Tentu saja orang-orang Mongol ini menjadi marah sekali dan serentak mereka menyerbu. Tentu saja Tiang Le yang sudah siap dengan pedang buntungnya di tangan menyambut kedatangan mereka. Begitu orang bergebrak mengirimkan bacokan ke arah Tiang Le, begitu pula tangan kiri pemuda buntung itu bergerak cepat, kelima orang itu sudah terlempar roboh dengan tubuh mandi darah. “Mundur kalian! Kalau tidak, aku Sung Tiang Le putera bangsa Han akan menghancurkan kalian!” Suara Tiang Le menggema menyakitkan anak telinga. Tiga orang perwira yang tak kuat oleh bentakan Tiang Le tadi menjerit roboh dan pingsan. Inilah sebagian pengerahan sin-kang yang dikirimkan melalui suara oleh pemuda lengan buntung itu! Luar biasa, akan tetapi mana tentara Mongol ini mau mundur, malahan mereka bergerak mengurung pemuda lebih rapat. Marahlah Tiang Le melihat kebandelan orang-orang kasar ini, pedang pusaka buntung bagaikan sebilah pisau menghadapi agar-agar yang sekali sentuh saja sudah buntung senjata mereka. Setiap kali pedang buntung ini bertemu dengan senjata lawan, pasti senjata lawan itu terbabat putus dan orang itu sendiri menjerit ngeri dan perutnya tersobek oleh sabetan pedang buntung Tiang Le yang menggunakan jurus-jurus Tok-pik-kiam-hoat. Sebentar saja duapuluh lima perwira Mongol sudah mandi darah oleh sabetan pedang Tiang Le, pemuda ini menganggap bahwa perwira-perwira Mongol ini adalah bangsa yang suka menjajah dan kejam, maka pedang pemuda itu tidak memberi ampun lagi
  • 669
  • kepadanya. Setiap gerakan pedang, diiringi pekik kematian dari lawannya! Pedang pusaka buntung bermandikan darah! Tiang Le benar-benar telengas dan kadang-kadang apabila pedangnya itu terselip di pingang, bagaikan geledek tangan kiri pemuda itu menyambar merupakan maut yang mencabut nyawa. Hebat sepak terjang Tiang Le! Baiknya baru ada limapuluh perwira yang tewas ketika tiba-tiba terdengar bentakan keras menahan semua perwira yang bertempur. Bentakan ini demikian berpengaruh, karena semua orang Mongol melompat mundur dan berlutut! Sepasukan tentara berkuda bergerak dari depan. Seorang penunggang kuda tentara Mongol bertubuh tinggi besar dan tegap dengan pakaian perang yang lengkap berkata dengan suara yang besar dan serak, “Orang muda buntung, Pay-cu Sian-li-pay mempersilahkan engkau masuk ke ruang dalam!” Hanya itu yang dikatakan orang itu, kemudian pasukan kuda itu telah membedal kudanya kembali ke dalam, diikuti pula oleh gerakan-gerakan dari para perwira Mongol sambil menggotong tubuh kawan yang mati dan yang terluka. Di pinggir pantai itu Tiang Le berdiri. Tak ada satupun manusia di tempat itu. Suara ombak memecah pantai bergemuruh meningkahi kesepian malam. Bulan di atas terang benderang.
  • 670
  • Sehingga memudahkan pemuda itu memasuki pulau Bidadari. Dari pendengaran-pendengaran telinganya yang tajam tahulah ia bahwa tempat itu sudah dikurung oleh banyak orang yang belum mau menampakkan dirinya. Tahulah Tiang Le bahwa Nenek Bu-tek Sianli sudah mengerahkan orang-orangnya mengawasi dirinya. “Hem, apapun yang akan terjadi, ia harus menyelamatkan Pei Pei! Awaslah kau Bu-tek Sianli, seujung rambut saja kau mengganggu Pei Pei, aku akan mengamuk dan menghancurkan pulau ini!” Tiang Le berjalan perlahan. Tiba-tiba dia menghentikan langkahnya. Ia mendengar suara kuda yang banyak sekali. Ketika ia memperhatikan derap kaki kuda itu datangnya dari belakang, kanan dan kiri dan dari depan. Agaknya ia sudah dikurung oleh barisan berkuda yang banyak sekali jumlahnya. Tiang Le berdiri tegak di depan barisan berkuda yang mengurungnya. Menanti reaksi dari orang-orang Mongol ini. “Hm, beginikah sambutan Bu-tek Sianli?” “Orang muda buntung, menyerahlah! Kau sudah terkurung dan nyawamu berada di tangan kami,” itulah suara perwira Mongol tinggi besar! Suara yang kuat dan besar yang bergema di sekitar tempat itu, amat menyeramkan. Mendengar kata-kata ini Tiang Le maklum bahwa ia sudah masuk perangkap di pulau ini. Ternyata Bu-tek Sianli sengaja mengundangnya masuk perangkap. Hmm! Ini hanya dengan barisan berkuda, belum lagi yang lain-lain di belakang!
  • 671
  • Tiang Le menyapu ratusan perwira Mongol berkuda. Nampaknya orang-orang Mongol ini lebih kuat dan terlatih. Aku harus berhati-hati, pikir Tiang Le meraba gagang pedangnya. “Menyerahlah, sebelum kami bertindak kekerasan kepadamu orang muda buntung, sayangilah jiwa yang masih muda begini kalau binasa,” berkata salah seorang Mongol tinggi kurus seperti tengkorak hidup, berpakaian perwira gagah. Orang itu berkata dalam bahasa Han yang kaku! “Kalian ini, suku bangsa Mongol, mengapa berada disini? Apa hubungannya dengan Bu-tek Sianli dan kalian ini siapa?” tanya Tiang Le menyapu orang-orang berkuda dengan pandangan tajam. Terdengar orang Mongol yang tinggi besar itu tertawa mengakak mementangkan mulutnya yang besar, “Ha ha ha ha, tidak kenalkah dengan kami? Kami inilah barisan pendam tentara Mongol yang terkenal, sudah lama kami mendapat julukan barisan maut, mau kenal dengarku….. ha ha ha, aku bangsa Mongol, namaku Ouw Yang Gembol, dan yang kurus kering adalah adik misan dari Khu Bilay Khan bernama Themu Khan, dan….. sudahlah lebih baik kau menyerah orang muda, sebelum jiwanya melayang…... kasihan kau masih begini muda, ha ha ha!” “Bangsat, Ouw Yang Gembol, ternyata kau seekor kadal hitam yang harus mampus. Biarpun kau dan orang-orangmu sudah mengurungku, kau dapat berbuat apakah?”
  • 672
  • Baru saja Tiang Le berkata demikian, cepat seperti kilat dia sudah menggerakkan tangan kirinya memukul ke arah Ouw Yang Gembol, orang Mongol yang tinggi besar itu. Angin pukulan menyambar, akan tetapi Ouw Yang Gembol yang memandang enteng kepada pemuda ini, hanya menggerakkan tangan pula mendorong ke depan. Dua tenaga yang tak kelihatan bertemu di udara. “Desss!” Bagaikan layangan putus tubuh yang tinggi besar dari Ouw Yang Gembol terpental dari punggung kuda. Dan berdebuk di tanah dengan mengeluarkan suara keras. Ouw Yang Gembol meringis merasa pantatnya sakit bukan main terhantam batu yang menghantam pantatnya, masih untung Tiang Le belum mau menjatuhkan tangan maut kepadanya. Hanya membuat terpental saja! “Bangsat buntung, kau menghinaku....... lihat ini!” Dengan wajah merah karena malu kepada anak buahnya Ouw Yang Gembol sudah menarik goloknya yang besar dan berkilat-kilat saking tajamnya. Lantas saja golok itu melayang menyambar leher Tiang Le. “Singg!” Suara golok mendesing membabat angin waktu Tiang Le miringkan tubuhnya ke kiri dan begitu tangan kirinya bergebrak, untuk yang ke dua kali pukulan Tiang Le yang dahsyat telah membuat lambung Ouw Yang Gembol terhantam pukulan yang kuat itu. Tubuh besar Ouw Yang Gembol melayang dan waktu ia berusaha bangkit, ia terhuyung-huyung dan muntahkan darah segar!
  • 673
  • “Keparat! Berani kau melukai kepala barisan Maut? Mampuslah kau!” bentak Themu Khan menggerakkan sepasang kaitan yang panjang menggaet leher Tiang Le, tetapi begitu Tiang Le membalik menghantam ke depan. “Duukk!” Tubuh Themu Khan terlempar jauh, akan tetapi ia sudah dapat berdiri kembali dan memegangi dadanya yang terasa sakit. Ia memberi aba-aba kepada anak buahnya, dan ia sendiri menyerbu lagi dengan kaitan di tangan! “Tangkap hidup-hidup anjing buntung ini, serahkah kepada Bu-tek Sianli Pay-cu,” kata Themu Khan dalam bahasa Mongol yang tak dimengerti oleh Tiang Le. Terjadilah pengeroyokan besar-besaran atas diri Tiang Le, akan tetapi pemuda itu hebat luar biasa. Tenaga sin-kangnya bertambah berlipat ganda sejak kakek kaki buntung yang berjuluk Sin-kun-bu-tek memindahkan tenaga lweekang kepadanya. Setiap kali tangan kiri pemuda itu bergerak terdengar jerit mengerikan dari anak buahnya Ouw Yang Gembol yang tersambar angin pukulan yang luar biasa. Gerakan-gerakan Tiang Le ini amat cepat sekali dan tak terduga oleh lawan. Sedangkan tubuhnya mencelat ke sana ke mari membagi-bagi pukulan ke arah lawan. Dan sebentar saja, duapuluh lebih anak buah Ouw Yang Gembol sudah roboh dengan tak dapat bangun kembali!! Ouw Yang Gembol dan Temu Khan menjadi marah sekali, sambil memberikan aba-aba memberi semangat kepada anak buahnya ia merangsek pemuda buntung yang amat lihay itu. Goloknya berkelebat mengeluarkan suara berdesing saking kuatnya tenaga
  • 674
  • Ouw Yang Gembol, sedangkan Temu Khan mainkan ilmu kaitannya mengeluarkan suara menciut-ciut seperti cambuk dan kadang-kadang mengait kepala lawan. Berbahaya sekali kalau kepalanya Tiang Le sampai terkait, bisa kehilangan kepala dia, karena ujung kaitan ini diberi mata pancing yang besar sembilan buah, amat ganas sekali menyambar-nyambar. Tiang Le mengeluarkan pedang buntungnya, dan baru beberapa gebrakan saja, lima orang perwira Mongol menjerit roboh dengan tubuh mandi darah. Tiang Le merasa kewalahan juga. Pengeroyok-pengeroyoknya amat banyak dan berkepandaian amat tinggi. Biarpun dengan pedang buntungnya ia banyak sudah merobohkan lawan, akan tetapi jumlah lawan terlalu banyak dan lagi melawan dengan nekat. Sedangkan mereka ini adalah tentara Mongol yang telah banyak pengalaman. Dan sering kali menghadapi pertempuran. Apalagi Ouw Yang Gembol dan Themu Khan dua orang Mongol ini bukannya lawan yang boleh dipandang ringan. “Kalau begini terus, aku akan mati kelelahan....... musuh terlampau banyak, ini hanya baru orang-orang Mongol saja, belum lagi kekuatan Bu-tek Sianli dan orang-orangnya. Berbahaya!” pikir Tiang Le. Tiba-tiba ia teringat akan ilmu penyerangan yang dikirim melalui suara, maka dengan gerakan cepat Tiang Le meloncat ke atas tembok benteng Sian-li-pay dan menjerit keras. Hebat sekali suara yang dikeluarkan oleh tenaga sin-kang yang tinggi. Suara ini merupakan sebuah jeritan maut yang tiba-tiba saja membuat
  • 675
  • banyak perwira Mongol roboh sambil mendekapkan telapak tangannya pada ke dua telinga. Sedangkan Ouw Yang Gembol dan Themu Khan cepat-cepat mengerahkan sin-kang di dada dan bersiulan di tanah. Melihat lawannya sudah menjadi panik cepat Tiang Le melompat ke punggung kuda yang telah kehilangan penunggangnya. Dan sekali menggerakkan kakinya sudah membedal kudanya masuk ke dalam pulau! Suara ringkikan kuda menghantarkan teriakkan marah dari Ouw Yang Gembol dan Themu Khan. Dari belakang orang-orang Mongol mengejarnya sambil berteriak-teriak. Ratusan batang anak panah menghujani Tiang Le yang membalapkan kudanya. Akan tetapi dengan mudahnya Tiang Le dapat mengibaskan tangan kirinya memukul runtuh semua anak panah, akan tetapi beberapa batang anak panah menyambar kudanya dan tak dapat mengelak, tak lama kemudian kudanya roboh binasa dengan tubuh belakang penuh anak panah menancap, dalam-dalam! “Keparat, kubasmi kalian!” bentak Tiang Le marah. Dan begitu pasukan berkuda telah menyusulnya dengan teriakan keras tubuhnya mencelat dan sekali tangannya bergerak lima orang penunggang kuda roboh dengan dada robek oleh pedang buntung di tangan kiri. Sebentar saja, Tiang Le memainkan ilmu silat Tok-pik-kun-hoat dan Tok-pik-kiam-hoat, tubuh Tiang Le mencelat ke sana ke mari mengirimkan tebasan-tebasan ke arah
  • 676
  • orang-orang Mongol yang tak dapat mengelak lagi, darah menyembur dari dada dan leher. Kasihan sekali orang-orang Mongol ini, mereka merupakan sekumpulan nyamuk yang bertemu dengan api lilin. Begitu pedang buntung Tiang Le bergerak, dua-tiga orang roboh mandi darah, dan apabila tangan kiri Tiang Le menggunakan jurus-jurus ilmu silat tangan buntung dan gerakan tangan kilat, maka banyak perwira Mongol yang terpental dengan dada hangus dan kepala pecah terhantam pukulan yang dahsyat ini. Mendengar teriakan-teriakan Ouw Yang Gembol yang memberi aba-aba kepada anak buahnya, Tiang Le menjadi sengit sekali. Pedang buntungnya sekarang terarah mendesak panglima Ouw Yang Gembol dan Themu Khan yang dianggapnya sebagai biang keladi pengeroyokan ini, maka segera ia mendesak dan pedangnya bagaikan bintang melayang meluncur mengarah dada Ouw Yang Gembol Panglima Mongol yang cepat menangkis. Akan tetapi tangkisan ini membuat goloknya menjadi buntung menjadi tiga bagian, dan sekali Tiang Le menggerakkan pedang buntung ke atas dengan jurus Mengukir Naga Menyeret Awan, tahu-tahu pedang buntung bergerak ke bawah dan alangkah cepatnya gerakan itu sehingga tanpa ampun lagi paha Ouw Yang Gembol terkupas oleh sabetan pedang buntung. Panglima Mongol itu menjerit keras memegangi pahanya yang terasa nyeri luar biasa. Darah mengucur deras dari paha yang terluka itu. Sementara Temu Khan menjadi marah, kaitannya menyabet pundak Tiang Le.
  • 677
  • “Wuuuttt, ngekkk, desss!” Tubuh Temu Khan terlempar sejauh tiga tombak. Ia muntahkan darah hitam dan tiba-tiba matanya melotot mendelik memandang Tiang Le dan mampus! “Brreeettt, brreeettt, dessss!” Tiga orang perwira Mongol robek dadanya oleh pedang buntung yang berlumuran darah. Dan seorangnya lagi terjengkang ke belakang tersambar gerak tangan kilat Tiang Le. Dadanya hangus dan hitam. Dahsyat sekali pukulan tangan kiri Tiang Le. Waktu itu hampir fajar menyingsing. Keadaan masih remang-remang dan suram. Cahaya matahari naik dari ujung laut, menyebarkan sinarnya tipis berlawanan dengan cahaya bulan yang sudah lemah, nampaknya di udara keabu-abuan, yang menimbulkan bayang-bayang yang menyeramkan. Di dalam kesuraman ini, berkelebat beberapa bayangan manusia dan begitu sampai di dekat pantai, mereka berhenti. Bu-tek Sianli terkejut melihat banyak sekali mayat tentara Mongol yang berserakan. Pandangannya menyapu ke arah Tiang Le yang tengah menatapnya dengan senyum mengejek: “Bu-tek Sianli, begini caramu menerima tamu?” tanya Tiang Le menunjuk ke arah banyak mayat tentara Mongol bergelimpangan di tanah berpasir. “Ha ha ha, sungguh gagah dan berani. Tiang Le kau sudah berada di tempat ini. Masih berpikir kau untuk dapat keluar dari pulau bidadari? Lihat siapakah orang-orang ini!
  • 678
  • “Ia itulah pemimpin besar Khu Bilay Khan yang telah menaklukan kerajaan Song! Dan locianpwe ini, adalah Pek Pek Hoatsu dari Barat, dan ini, adalah Guru Besar Nakayarinta dari puncak Anapurna di Himalaya, dan yang di sebelah sana itu Te-thian Lomo, Thay-lek-hui-mo dan di atasmu, adalah ribuan tentara Mongol dan barisan Sian-li-pay. Hwa-ie-kay-pang dan Hek-lian-pay!” Terkejutlah Tiang Le. Ia melirik ke arah tokoh-tokoh yang ditunjuk oleh Bu-tek Sianli, yang paling mengejutkan sekali hatinya adalah kakek Nakayarinta, kakek itu sudah amat tua sekali usianya, ada seratus tahun. Rambutnya sudah putih panjang, berjenggot putih pula, akan tetapi mempunyai wajah yang hitam, dan telinganya lebar diberi anting-anting besar. Tangannya yang hitam berbulu demikian kurus, dan memakai gelang-gelang pula, memakai jubah kuning seperti seorang pertapa. Begitu pandangan Tiang Le terbentur oleh pandangan si kakek, terkejutlah ia melihat mata yang, mencorong seperti mata harimau! Sedangkan Khu Bi lay Khan, adalah seorang tinggi besar akan tetapi mempunyai sepasang mata yang berwibawa dan membayangkan kecerdikan yang luar biasa! Tahulah Tiang Le, ia sudah masuk perangkap di tempat ini. Akan tetapi ia tidak gentar. Walaupun sekeliling pulau ini sudah dijaga oleh ribuan tentara Mongol dan barisan Sian-li-pay dan Hek-lian-pay!
  • 679
  • Sama sekali ia tidak takut. Matanya menyapu barisan Bu-tek Sianli dan katanya, “Bu-tek Sianli, tak perlu banyak cingcong, serahkan Pei Pei kepadaku!” Tiang Le melangkah. Tangan kirinya bergerak meraba pedang. Bu-tek Sianli tersenyum mengejek. “Boleh, akan kuserahkan dia kepadamu. Akan tetapi, engkau harus menyerah kepadaku dan masuk ke dalam sekutuku!” “Bangsat rendah kau kira aku manusia macam apa menggabungkan diri dengan segala penjajah. Tidak! Bu-tek Sianli, hayo serahkan Pei Pei. Awas kau! Seujung rambut saja kau mengganggunya, nyawamu akan melayang!” Nenek Bu-tek Sianli tertawa keras: “Ha ha ha, bocah gendeng, gila! Apa kau sudah miring otak tidak melihat kematian di depan mata. Ketahuilah olehmu, Tiang Le. Jikalau kau tidak mau menyerah kepadaku jangan harapkan kau dapat keluar dari pulau ini dalam keadaan hidup! “Bagus! Itukah siasatmu mengundangku ke pulau ini? Karena kau takut menghadapiku di lembah Tai-hang-san?” “Bocah sombong siapa yang takut kepadamu. Bangsat, rasakanlah!” Tubuh si nenek Bu-tek Sianli berjongkok, kedua tangannya memukul ke depan. Angin pukulan menyambar kuat ke arah Tiang Le. Akan tetapi sambil tersenyum mengejek, pemuda lengan buntung ini mengangkat tangan kirinya dan membalas mendorong.
  • 680
  • “Dess!” Tubuh nenek Bu-tek Sianli bergoyang-goyang dengan amat keras sekali. Sementara sambil tersenyum mengejek Tiang Le berkata: “Begitukah maksudmu mengundangku?” Dengan tangan kirinya pemuda itu menarik pedang buntungnya. Sinar matahari pagi membentur sinar pedang yang berkilauan. Untuk beberapa saat kakek pertapa Nakayarinta membelalakkan matanya. Bibirnya yang penuh kerisut berbisik. “Liong-cu-kiam!” “Pedang Pusaka buntung.......” “Ha ha ha. mata kalian awas juga. Memang inilah Pedang pusaka buntung yang dulunya bernama Liong-cu-kiam atau Pedang Mustika Naga! Bu-tek Sianli, lekas kau keluarkan Pei Pei, kalau tidak, hemm, terpaksa aku yang muda menggunakan pedang ini untuk menabas batang lehermu!” “Bangsat kau kira aku takut denganmu, mampus kau!” tangan kanan Bu-tek Sianli bergerak hendak menampar. Akan tetapi Thay-lek-hui-mo yang tertarik akan kehebatan pedang pada puluhan tahun pernah menggemparkan dunia persilatan berkata kepada Bu-tek Sianli: “Pay-cu, biarlah pinceng yang menangkap bocah ini!” Bu-tek Sianli mundur dan membiarkan Thay-lek-hui-mo maju menghadapi Tiang Le. Memang Nenek ini semenjak pertama ia
  • 681
  • bertempur di Tai-hang-san yang telah mengetahui kelihayan pemuda ini menjadi gentar. Apalagi tadi, hampir saja ia terjengkang kalau ia tidak hati-hati bertemu pukulan dengan tangan kiri pemuda itu. Heran, mengapa dalam waktu beberapa hari saja tenaga Tiang Le sudah jauh meningkat? Thay-lek-hui-mo menghampiri Tiang Le, tanpa memberi komentar apa-apa jubah hwesio itu bergerak ke depan. Inilah pukulan jarak jauh yang dikebutkan oleh ujung jubah. Angin besar berpusing menimbulkan hawa panas. Akan tetapi Tiang Le dengan gerakan tangan kilat sudah menerjang maju dan dalam beberapa gebrakan saja, tangan kirinya sudah mendorong si hwesio itu dan tanpa ampun lagi tubuh Thay-lek-Hui-mo sudah roboh terjungkal. Hebat sekali gebrakan ini. Muka Thay-lek-hui-mo menjadi merah saking malunya. Masakan ia yang sudah tersohor hanya dalam beberapa gebrakan saja sudah terpental oleh anak kemarin sore ini, terlalu! Sambil menggereng keras dan membentak, “Keparat! Rasakanlah pukulanku,” sebuah kepalan tangan Tay-lek Hui-mo yang berbulu itu berpusing di atas kepala. Kemudian bagaikan harimau terbang tubuh Thay-lek-hui-mo yang tinggi besar itu sudah menerjang Tiang Le. Cepat Tiang Le mengegos ke kiri dan balas memukul ke samping dikelit oleh lawannya. Hawa panas segera lewat di sampingnya. Tahulah dia bahwa Thay-lek-hui-mo ini menyerangnya dengan tenaga Yang, maka
  • 682
  • iapun menggetarkan tangannya mengeluarkan tenaga sin-kang hawa dingin dari tangan kirinya. “Wuut, deeess…… weeertt!!” Hebat sekali gerakan Tiang Le ini, dalam segebrakan ia sudah dapat memukul dengan tiga macam serangan. Karuan saja Thay-lek-hui-mo menjadi repot dan berkelit ke kanan, akan tetapi siapa sangka begitu tangannya bertemu dengan Tiang Le, tubuhnya bagaikan direndam dalam air yang amat dingin. Seketika wajahnya pucat membiru, jalan darahnya seakan-akan berhenti. Inilah pengerahan sin-kang hawa dingin yang disalurkan dari tangan kiri Tiang Le. Sungguh luar biasa! Merasa dadanya sakit Thay-lek-hui-mo segera menjatuhkan diri dan bergulingan menjauhi lawannya, ia terus bersemedi menyalurkan hawa yang-kang mengusir hawa im-kang yang membanjir ke dalam tubuhnya. Untung saja Thay-lek-hui-mo mempunyai sin-kang yang cukup tinggi, biarpun dadanya terasa sakit dan nyeri, akan tetapi lukanya tidak begitu membahayakan. Baru saja Tiang Le hendak meloncat mundur. Tiba-tiba sebuah angin pukulan dengan cepat menyambar dari belakang. Cepat Tiang Le mencelat ke atas dan begitu dilihatnya, kiranya kakek tua renta Nakayarinta sambil terkekeh-kekeh sudah melancarkan serangannya! Sedangkan Bu-tek Sianli, Te-thian Lomo sudah menerjang maju mengeroyok. Marah sekali hati pemuda buntung dikeroyok secara begini.
  • 683
  • “Bu-tek Sianli, kalau kau tidak menyerahkan Pei Pei kepadaku, niscaya pulau bidadari ini kubumi hanguskan! Hayo serahkan Pei Pei, dimana dia sekarang?” “Ha ha ha Tiang Le, jangan banyak bacot, kalau Pei Pei mu sudah kubikin mampus, kau mau apa?” “Bangsat jahanam, kalau begitu mampuslah kau!” Tangan kanan Bu-tek Sianli sudah mengeluarkan pedang tipis. Inilah pek-liong-pokiam yang jarang sekali digunakan oleh nenek Bu-tek Sianli. Dengan pedang di tangan, nenek itu merangsek Tiang Le, cepat Tiang Le berkelit dan alangkah terkejutnya dia merasakan angin pukulan yang demikian dahsyat dari kakek Nakayarinta telah menyambar pundaknya. Cepat Tiang Le mengerahkan sin-kang ke pundak menerima pukulan yang tak dapat dielakan lagi saking cepatnya. “Desss!” tubuh Tiang Le terlempar lima tombak. Disambut oleh tusukan pedang Bu-tek Sianli. Akan tetapi Tiang Le yang selalu waspada meletakkan pedangnya dan menggunakan gerakan tangan kilat memukul ke arah si nenek. Bu-tek Sianli menjerit keras. Darah merah menyembur dari mulut si nenek. Tiang Le mencelat bangun dan membentak: “Bu-tek Sianli, hayo serahkan Pei Pei!” “Orang muda buntung, perlahan!” Sambaran jubah Nakayarinta menahan gerakan Tiang Le.
  • 684
  • Akan tetapi, pemuda ini saking sengitnya menggunakan jurus gerak tangan kilat dan mainkan langkah ajaib menghindarkan serangan si kakek tua renta. Ia mengangkat tangan kirinya dan mengelebatkan pedang buntung.......” “Brettt!” “Hayaaa....... lihay!” Nakayarinta terbelalak, dilihatnya jubahnya sudah robek. Cepat ia meloncat mundur waktu didengarnya angin pukulan menyambar pundaknya. “Desss!” Bukan tubuh si kakek Nakayarinta yang hancur berantakan akan tetapi kepala seorang perwira Mongol yang berada di belakang si kakek itu yang pecah terhantam pukulan Tiang Le. “Ganasss, luar biasa!” berkali-kali Nakayarinta memuji. Selama ia malang melintang di daratan Tiongkok dan India baru kali ini ia bertemu tanding. Bertemu tanding dengan seorang pemuda lengan buntung. Kini melihat Te-thian Lomo sudah menyerangnya, Tiang Le mengerahkan pukulan-pukulannya kepada pendeta sesat ini. Orang inilah pembunuh suhu, aku harus membuat perhitungan dengannya, pikir Tiang Le menghantam dada Te-thian Lomo. Akan tetapi menyaksikan pukulan tangan kiri Tiang Le yang amat dahsyat tak berani ia menerima dengan pukulan pula, maka ia mencelat ke samping dan mundurkan diri. Sementara itu Bu-tek Sianli dan Khu Bilay Khan memberi aba-aba, ratusan tentara Mongol sudah menyerbu, dibarengi berkelebat
  • 685
  • bayangan gesit dari gerakan-gerakan dara Sian-li-pay yang sudah menyerbu pula. “Ha ha ha, Tiang Le, menyerahlah engkau....... percuma melawanpun engkau takkan lolos dari pulau ini! Engkau sudah terkepung....... di antara keroyokan banyak tentara Mongol,” terdengar suara ejekan Bu-tek Sianli. Tiang Le menjadi gemas dan memutar pedangnya dan segera berubah menjadi segulungan sinar kuning yang menyelimuti tubuhnya. Lima orang tentara Mongol robek perutnya terhantam kelebatan sinar pedang buntung pemuda perkasa ini. Hebat sekaIi sepak terjang pemuda buntung ini. Karena begitu pedang buntungnya berkelebat, dua-tiga orang lawannya terjungkal dengan dada robek dan banjir darah memenuhi tempat itu. Pedang buntung di tangan pemuda itu bertetes-tetes darah merah, sepak terjang Tiang Le yang ganas dan tak memberi ampun kepada lawannya ini membuat gentar hati para pengeroyoknya. Akan tetapi, tentu saja menghadapi lawan yang demikian banyak itu, Tiang Le menjadi sibuk bukan main, apalagi menghadapi keroyokan dari dara-dara Sian-li-pay yang perkasa, ditambah dengan bermunculannya banyak orang-orang tua Hwa-ie-kay-pang membuat lama kelamaan ia menjadi lelah bukan main! Hatinya menjadi gemas sekali kepada Nenek Bu-tek Sianli yang licik ini, berkali-kali ia mendengar suara nenek itu memberi aba-aba kepada barisan tentara yang sudah merapat mengeroyoknya. Maka dengan sambil bertempur Tiang Le mencari Nenek itu. Dan
  • 686
  • tokoh-tokoh lainnya yang bersembunyi di antara kerumunan banyak para pengeroyoknya, “Hujani ia dengan panah!” tiba-tiba terdengar suara yang berat dan berwibawa. Itulah suara Khu Bilay Khan, suara datangnya seperti dari atas langit karena tidak tahu dari mana suara itu. Tiang Le sambil bertempur mencari orang-orang yang memberi aba-aba untuk mengeroyoknya. Tiba-tiba mendengar aba-aba dari pemimpin besar Khu Bilay Khan yang berwibawa itu, para tentara Mongol meloncat mundur ke belakang dan sebagai gantinya muncul barisan panah yang terlatih. Tiang Le terkejut sekali. Celaka! keluhnya. Kalau tadi dikeroyok oleh puluhan tentara Mongol dengan senjata tangan, ia dapat menghindari datangnya senjata lawan akan tetapi, betapa terkejutnya ia karena dari kelilingnya bermunculan barisan panah yang siap ditarik dari busurnya. “Serang!!!” Ratusan anak panah terlepas dari busurnya. Suara jepretan mendesing keras mengiringi luncuran ratusan anak panah menyambar ke seluruh bagian tubuh pemuda buntung ini. Tiang Le memekik keras dan memutarkan pedang buntungnya sedemikian rupa sehingga semua anak panah yang menyambarnya menjadi runtuh oleh pedang buntung di tangan Tiang Le. Akan sambaran anak panah terus beruntun. Tiada berhentinya sambung menyambung. Memang Khu Bilay Khan ini cerdik sekali, ia menghujani pemuda buntung itu dengan serangan yang beruntun dan bertubi-tubi, tentu
  • 687
  • saja Tiang Le memutarkan terus pedangnya seperti tadi. Tubuhnya terbungkus oleh sinar pedang buntung. Cepat sekali gerakan pemuda ini sehingga ratusan batang anak panah menjadi runtuh dan terpotong dua. Sementara saking sengitnya Tiang Le, ia memekik keras: “Bu-tek Sianli, manusia jahanam! Begini pengecutkah engkau mengeroyokku macam ini…….?” Akan tetapi jawabannya hanya diganda tertawa mengejek dan tiba-tiba dari kanan kiri mengalir minyak yang disiramkan oleh orang-orang Mongol. Sebentar itu pula api berkobar mengelilingi. Tiang Le terkejut setengah mati. Pedangnya berkelebat ke arah seorang perwira Mongol yang menyulutkan api ke air yang berminyak. Saking marahnya pemuda itu berkelebat sekaligus memenggal leher ketiga tentara Mongol yang lain. Jeritan mengerikan terdengar dan orang itu berkelojotan mati dengan tubuh roboh masuk ke dalam api yang berkobar. Api sudah mengelilinginya menjulang tinggi. Semakin berkobar api yang membakar minyak di tanah menjalar ke arah Tiang Le. Sementara kakinya sudah menggenang minyak yang sengaja disiram oleh orang-orang Mongol. Panas api membuat seluruh tubuh Tiang Le mulai berpeluh, sementara dari luar ratusan panah menyambar dengan beruntun. Kepala Tiang Le menjadi pening, gerakan pedangnya tidak sehebat tadi. Tiga buah anak panah sudah menancap di dada dan punggung.
  • 688
  • Tiang Le menggigit bibirnya menahan rasa nyeri dan hawa panas yang menyerang hebat. Dan terus mempertahankan dirinya dari sambaran anak-anak panah yang dilepaskan dari luar. Api berkobar mendekati mengurung pemuda itu. Tak ada jalan lain bagi Tiang Le untuk keluar dari kurungan api yang demikian dahsyat mengamuk membakar minyak tanah. Sebuah pohon besar roboh terbakar dan hampir saja menimpa pemuda lengan buntung yang perkasa ini. Saking marah dan bencinya Tiang Le mengkertakan giginya, pedang buntungnya tergenggam erat, menggeletar-geletar! Akan tetapi, pada saat yang berbahaya bagi keselamatannya dari kepungan api, tiba-tiba dari atas gedung terdengar teriakan nyaring dari seorang gadis, “Tiang Le....... jangan takut aku membantumu!” Teriakan gadis itu diringi menyambarnya sebuah ang-kin (sabuk sutera merah) yang dengan amat cepatnya bagaikan ular hidup sudah melilit tubuh pemuda itu. “Haiiitt…… naik!” Gadis itu menyentak sabuknya. Tubuh Tiang Le melayang ke atas melampaui kobaran api yang mengganas. Tubuh itu jatuh berdiri di depan seorang gadis jelita. “Kauuuu…….?” Si gadis tersenyum. Sebuah senyuman bangga dan bahagia mengiringi menitiknya sebutir air mata yang meloncat dari kelopak matanya yang jelita.
  • 689
  • Gadis itu adalah Bwe Lan, gadis yang pernah dikenalnya. Gadis yang dengan secara blak-blakan (terang-terangan) telah menyatakan cintanya kepadanya. Tiang Le tak sempat lagi berkata kepada gadis itu, karena sesosok tubuh mencelat ke atas dan mengirimkan pukulan kepalan dewa tanpa tandingan ke arah si gadis. Bwe Lan mengelak ke kiri, Tiang Le meloncat ke depan si gadis, melindungi. “Murid murtad! Kau harus mampus!” Nenek Bu-tek Sianli menggerakkan tangannya lagi memukul, akan tetapi dengan tubuh agak terhuyung. Tiang Le menangkis pukulan itu. Dua tangan bertemu di udara. “Desss!!” Amat kuat sekali pukulannya nenek ini, membuat tubuh Tiang Le yang memang sudah sangat letih sekali terpental sejauh dua tombak! Akan tetapi dengan terhuyung-huyung ia telah berdiri. Memandang si Nenek Bu-tek Sianli dengan pandangan mengancam. “Bu-tek Sianli, manusia curang!! Sekarang kau harus mampus!” Bentak Tiang Le diiringi dengan pukulan geledek dari tangan kirinya. Belum lagi nenek itu menangkis, muncul Nakayarinta tertawa mengakak, ”Haa....... haaa pemuda buntung yang hebat, biar aku mencoba tangannya!!” Tangan kanan si kakek Nakayarinta terangkat. Untuk beberapa saat ke duanya saling menempelkan tangan. Akan tetapi begitu si kakek Nakayarinta menggoyangkan tangannya, tahu-tahu bagaikan ada tenaga yang amat kuat mendorongnya, tubuh Tiang Le terjengkang dengan muntahkan darah segar.
  • 690
  • Bwe Lan memburu Tiang Le. “Tiang Le……!!” Seru gadis itu dengan kuatir dan kaget melihat segumpal darah hitam keluar dari mulutnya. Hebat sekali Nakayarinta itu, sekali pukul saja, ia sudah muntahkan darah!! Dengan tangan kirinya Tiang Le mengusap bibirnya. Pada saat itu Tiang Le Sudah amat lelah sekali. Dan darah yang mengucur dari dada dan punggung oleh anak panah yang menancap, membuat dia kehabisan tenaga, dan lemas. “Tiang Le…... kita harus lari…… tempat ini sudah terkepung!” Bwe Lam memegang lengan kiri Tiang Le yang memegang pedang dengan erat. “Bu-tek Sianli, hayo kau serahkan Pei Pei, kalau tidak aku akan mengadu nyawa denganmu,” suara Tiang Le mengguntur saking marahnya. “Ha ha ha! Sudah mau mampus masih banyak tingkah, Tiang Le kau akan bertemu dengan kekasihmu si Pei Pei itu setelah kau masuk neraka. Ha ha ha!” “Keparat! Jadi kau membunuh Pei Pei?” Mata Tiang Le terbelalak memandang si nenek Bu-tek Sianli. Pedangnya bergetar hebat. Ia menekan tangan kirinya ke arah dada. Beberapa kali ia muntahkan darah segar. Bwe Lan merasa cemas sekali melihat keadaan pemuda lengan buntung ini. Cepat sekali gadis itu memapah tubuh Tiang Le yang hendak roboh saking lemasnya.
  • 691
  • “Tiang Le…..!” “Ha ha ha, Bwe Lan, murid murtad. Boleh kau cintai, dia si buntung tiada guna ini, sebentar lagi ia akan mampus!” “Bu-tek Sianli… kau…., kau si manusia keji, aku akan mengadu nyawa denganmu!” Bwe Lan membentak marah. “He he he...... kau juga akan mati Bwe Lan….. tapi sebelum kau mampus kau akan menyaksikan kematian kekasihmu ini....... akan kubeset kulitnya, kukeluarkan jantungnya, hi hi hi!” Pada saat itu berkelebat banyak bayangan. Tahu-tahu di tempat itu sudah berdiri Ho Siang dan Nyuk In, Kong Hwat, Siauw Yang, dan Sin Thong. Tanpa berkata apa-apa ke lima orang muda yang gagah perkasa ini sudah menyerbu nenek Bu-tek Sianli. Ho Siang menghadapi Thay-lek-hui-mo, suhengnya dikeroyok oleh Te-thian Lomo, Siauw Yang dan Sin Thong disambut oleh serombongan pasukan Mongol yang dipimpin oleh Ku Bilay Khan sendiri. Sedangkan Nyuk In mendampingi Ho Siang melawan Thay-lek-hui-mo dan Pek Pek Hoatsu! Terjadilah pertempuran yang luar biasa. Sementara datangnya ke lima orang muda yang berkepandaian lihai ini, Bwe Lan menarik tangan Tiang Le dan melompat untuk melarikan diri. Tentu saja melihat pemuda buntung itu melarikan diri, Bu-tek Sianli mengerahkan orang-orangnya mengejar!
  • 692
  • “He-he-he! Mau kemana kau lari Tiang Le.” Suara Nenek Bu-tek Sianli bergema di tempat itu. Sementara beberapa barisan tentara Mongol mengadakan pengejaran pula! Bwe Lan menarik tangan Tiang Le berlari cepat meninggalkan gedung Sian-li-pay yang berbahaya ini. Ia kuatir sekali akan keselamatan pemuda lengan buntung yang amat dicintai ini. Maka ia mengajak Tiang Le berlari memutar arah, karena jalan menuju ke pantai sudah dikurung oleh banyak perwira Mongol. Sudah barang tentu, karena Bwe Lan adalah murid Sian-li-pay, maka ia banyak mengenal jalan-jalan di daerah itu! Akan tetapi Bu-tek Sianli yang sudah dibuat penasaran dan marah terus mengejar kedua orang muda yang melarikan diri! Sementara itu, Kong Hwat memainkan gerak ilmu tongkat Fu-niu-san yang hebat luar biasa, meskipun tongkat itu hanya terbuat dari ranting kering yang kecil, akan tetapi setelah berada di tangan pemuda murid Koay Lojin ini, tongkat kecil itu berubah seperti ular yang berbisa dan sekali pagut saja akan dapat merobohkan lawan! Namun, sekali Kong Hwat menghadapi keroyokan dari orang-orang Mongol yang amat banyak meskipun orang-orang Mongol ini hanya terdiri dari perwira-perwira kasar, akan tetapi karena saking banyaknya, Kong Hwat menjadi kewalahan juga, ia harus mengerahkan tenaganya memainkan tongkatnya dengan sungguh-sungguh! Pada saat itu, berkelebat sesosok tubuh diiringi suara nyaring yang berkata kepada Kong Hwat yang tengah terkepung.
  • 693
  • “Kong Hwat, cepat lari dan……. jangan melawan tentara Mongol. Negara kita sudah dikuasai musuh, percuma melawan! Lekas lari…….!” Orang yang baru datang itu adalah Han Soan Li yang terus saja menggerakkan sabuk suteranya membuka jalan bagi Kong Hwat. Girang sekali hati pemuda itu begitu munculnya Han Soan Li, entah mengapa dadanya berdenyar keras. Semangatnya menaik seratus derajat. Sambil menggerakkan tongkatnya menotok seorang lawan, Kong Hwat menoleh dan menyahut: “Nona! Bagaimana aku harus lari....... kalau kau mati-matian melawan tentara Mongol keparat ini? Tidak biar kita berjuang bersama!” seru Kong Hwat. “Tolol! Siapa yang mau meladeni tikus-tikus Mongol ini, mencari mampus saja, hayo kita mencari jalan keluar!” Demikianlah atas bantuan gadis perkasa Han Soan Li, Kong Hwat dapat terlepas dari kepungan tentara Mongol yang banyak ini. Dengan berlari-lari pesat keduanya menuju ke pantai. Tidak ada perahu di sana. Akan tetapi Soan Li melempar sebuah papan. “Kau bisa jalan di air hayo lekas melompat!” berkata Soan Li melempar papan itu ke laut. Melihat kecerdikan gadis ini. Kong Hwat menjadi girang dan tubuhnya melesat ke tengah laut dan meluncur di atas sebilah papan. “Bagaimana denganmu Li-moay?” tanya Kong Hwat tanpa terasa lagi ia memanggil gadis itu dengan sebutan mesra. Merah wajah si gadis saking malu dan jengah. Akan tetapi tanpa banyak cakap,
  • 694
  • Soan Li sudah menggerakkan tubuhnya melesat ke tengah laut. Tangan gadis itu terulur, cepat Kong Hwat menyambut. “Aku akan berdiri di kedua lenganmu. Kedangkanlah!” Seru si gadis dan begitu Kong Hwat mengedangkan kedua tangannya, tubuh Soan Li mencelat ke atas dan hinggap berdiri kedua lengan Kong Hwat. Girang sekali Kong Hwat melihat akan si gadis. Terutama sekali, hemm, entah mengapa Kong Hwat suatu perasaan yang membuat hati Kong Hwat berdenyar-denyar penuh kebahagiaan. Demikianlah dengan berdiri di atas kedua lengan Kong Hwat, gadis itu meluncur ke tengah laut, meninggalkan pulau Bidadari! <> Pada saat itu dari tengah laut meluncur seekor burung rajawali menuju ke pulau. Pekiknya yang panjang terdengar bergetar dari bawah. Seorang kakek bersimpuh di atas punggung rajawali raksasa memandang ke bawah mengawasi pertempuran yang tengah terjadi. Dan apabila kakek itu melihat seorang tinggi besar dan kelihatannya berwibawa, burung rajawali itu menukik turun dan menyambar mengelepakkan sayapnya memukul lima orang Mongol yang keruan saja menjadi terkejut dan tubuhnya terjungkal jauh. Hebat sekali pukulan sayap rajawali ini, sekali gebrak lima orang Mongol terjungkal tanpa dapat bangun lagi! Khu Bilay Khan memerintahkan orang-orangnya untuk mundur.
  • 695
  • “Kakek tua, siapakah kau??” tanya pemimpin ini, selamanya ia berlaku hati-hati terhadap orang yang baru datang. Ia melihat ada seorang kakek tua, kedua kakinya sudah buntung, berambut putih dan berjenggot putih pula duduk di atas punggung rajawali emas dan memandang dengan tajam. “Engkaukah panglima besar Mongol yang bernama Khu Bilay Khan??” Si kakek buntung bertanya sambil menatap panglima ini dengan tajam. “Benar kakek tua. Aku Khu Bilay Khan panglima Mongol, ada apakah?” Kakek kaki buntung itu merogo sakunya, mengeluarkan sebuah surat yang bertulisan tinta emas dan bersimbul kerajaan Mongol. “Kau kenal tulisan surat ini?” Tanya kakek kaki buntung keren, memperlihatkan surat yang tentu saja amat dikenal. Itulah tulisan Kaisar Mongol, pamannya. “Dari mana kau dapat surat itu?” “Ciangkun!! Kau bodoh dan goblok, sebagai pemimpin besar telah kena dikelabui dan diperalat oleh Pay-cu Sian-li-pay, Bu-tek Sianli. Nah, kau bacalah tulisan ini!” sambil berkata demikian si kakek buntung melemparkan surat yang ditulis oleh Kaisar untuknya. Merah wajah Khu Bilay Khan membaca teguran dari pamannya. Hampir saja ia tidak percaya akan bunyi tulisan itu. Gila! Benar-benar goblok aku ini, benarkah Bu-tek Sianli merencanakan untuk
  • 696
  • menguasai Tiongkok dan dengan licin telah memperalat tentara Mongol? Memang demikianlah adanya. Bu-tek Sianli mempunyai rencana untuk menghancurkan kerajaan Song dengan meminjam kekuatan tentara Mongol, kini baru saja panglima Khu Bilay Khan itu diperalat mengerahkan tentara Mongol hanya untuk menangkap seorang pemuda lengan buntung? Gila! Dengan marah sekali Khu Bilay Khan memerintahkan anak buahnya untuk menghentikan pertempuran. Dan menarik kembali pasukannya kembali ke Kotaraja ibu kota yang sudah ditaklukan! Sementara itu, Tiang Le berlari dengan amat payah sekali. Luka di dada dan punggungnya cukup mengeluarkan darah banyak. Berkali-kali ia jatuh terjungkal, untung saja di samping ada Bwe Lan yang bersedia mendampinginya mati-matian. Akan tetapi saking paniknya kedua orang muda itu, sehingga Bwe Lan salah memilih jalan. Ia menemui jalan buntu. Di ujung sana itu, terbentang lautan Po-hay yang luas. Ia telah berdiri di atas tebing batu karang yang amat curam. Bwe Lan terkejut bukan main. Sementara maki-makian Bu-tek Sianli mengguntur di belakangnya. Dan disitu telah muncul Bu-tek Sianli dan serombongan dara Sian-li-pay. Mereka sudah mengurung Bwe Lan dan Tiang Le dengan sikap mengancam. “Tiang Le, kau sudah tak berdaya, hayo berlutut di depanku dan menyatakan takluk!” si nenek Bu-tek Sianli memerintah.
  • 697
  • Akan tetapi mana Tiang Le mau berlutut. Dengan marah ia sudah mencabut pedang buntung. Dan berkata keras, “Bu-tek Sianli, Nenek curang, jahanam! Hari ini, aku Tiang Le mengadu nyawa denganmu!” “Koko….. biarlah aku mendampingimu….. biar kita mati bersama…” bisik Bwe Lan menyentuh lengan kiri Tiang Le! Bangkit semangat Tiang Le, “Kalian….., memang bosan hidup, apa boleh buat, biarlah kalian mampus!” Bu-tek Sianli memberi aba-aba dan seratus gadis Sian-li-pay menyerbu Tiang Le. Kalau tadinya pemuda lengan buntung ini merasa segan untuk melukai gadis-gadis cantik ini, akan tetapi, karena tiada jalan lain, ia mainkan pedang buntungnya dengan jurus Tok-pik-kiam-hoat! Luar biasa sekali sepak terjang Tiang Le, biarpun ia sudah terluka berat di dadanya, namun gerakannya masih gesit dan pedangnya masih mantap dan kuat! Melihat Tiang Le sudah dikeroyok, Bwe Lan mengeluarkan sabuk suteranya dan mainkan ilmu cambuknya. Akan tetapi, si nenek Bu-tek Sianli menggereng marah kepada bekas muridnya. Tanpa memberi peringatan dengan terlebih dahulu kedua tangan si nenek bergerak ke depan membokong Bwe Lan, keruan saja merasa angin pukulan yang amat dahsyat menyambar dari belakangnya. Bwe Lan mengibaskan sabuknya menangkis, akan tetapi dengan beruntun menyambar lagi pukulan tangan kiri si nenek. Terdengar
  • 698
  • jeritan Bwe Lan waktu merasa tubuhnya terlempar dan melayang jauh, terguling dari tebing yang amat curam. Mendengar ini Tiang Le menjadi terkejut sekali. Begitu ia melirik, tubuh Bwe Lan sudah melayang-layang jatuh dan di bawah tebing bergelombang ombak laut mengeluarkan suara berdebur keras. “Bwe Lannnn........!” “Tiang Leeee…….!” Kemudian suara gadis itu lenyap. Sudah disambut oleh suara gemuruh ombak di bawah yang memecah karang. “Bangsat Bu-tek Sianli, manusia jahanam! Kau harus mampus!” Tiang Le menjadi nekat. Ia menjadi marah sekali melihat Bwe Lan sudah terjungkal masuk jurang dari tebing yang amat tinggi ini masuk ke dalam laut Po-hay. Maka serangannya penuh dengan kemarahan dan dahsyat. Bu-tek Sianli terpaksa menangkis dengan pedang tipisnya dan terdengar suara nyaring ketika pedang di tangan Tiang Le buntung terbabat pedang tipis Pek-liong-pokiam. Akan tetapi Tiang Le yang gagah perkasa ini tidak menjadi gentar. Dengan pedang yang semakin pendek ini ia masih lihai sekali dan mendesak makin hebat! “Bu-tek Sianli, katakanlah bahwa kau benar-benar sudah membunuh Pei Pei?” Tiang Le bertanya.
  • 699
  • Ia masih teringat akan keselamatan gadis itu. Entah mengapa apabila ia teringat Pei Pei, ia menjadi bersemangat dan tenaganya berlipat ganda. Akan tetapi, mana Bu-tek Sianli mau menyahut, ia malah merangsek Tiang Le dan mengerahkan pengemis baju kembang-kembang dan dara-dara Sian-li-pay untuk mengeroyoknya! Sedangkan ia sendiri, karena merasa Tiang Le ini tak dapat ditaklukan, ia berkelebat lenyap di antara banyak gadis-gadis Sian-li-pay yang mengurung Tiang Le! Sambil mengeluarkan suara keras, Tiang Le menggerakkan pedangnya. Pedang buntung itu bergerak cepat dan tiga orang pengemis baju kembang yang mengeroyoknya terjungkal dengan dada menyemburkan darah! Hebat sekali sepak terjang pemuda lengan buntung ini. Tiga anak panah yang menancap di dada dan punggung bergerak-gerak waktu Tiang Le mencelat ke sana ke mari. Semakin cepat ia bergerak, semakin pening dirasakan kepalanya. Tak tahu lagi ia, berapa banyak sudah korban yang jatuh! Karena pemuda itu setengah sadar dan gerakannya sudah tidak lagi terarah, tubuhnya menjadi limbung, ia terhuyung-huyung. Pedangnya yang sudah bermandikan darah berkelebat terus, walau pada saat itu tidak ada lagi manusia didekatnya. Semua pengemis baju kembang sudah menggeletak di tanah mandi darah. Gadis-gadis Sian-li-pay sudah mati dan menggeletak malang melintang.
  • 700
  • Di tempat itu, di atas tebing yang amat tinggi keadaan amat menyeramkan dan sunyi senyap. Deburan ombak memecah batu karang di bawah sana itu, meningkahi kesenyapan yang menghantui tempat ini! Perlahan-lahan gerakan Tiang Le menjadi lemah. Tubuhnya yang penuh darah merah terhuyung-huyung. Dan hampir saja dia terjungkal ke belakang kalau saja tidak ada seorang yang menubruknya sambil menangis. Suara gadis. “Kookooooo…….!!!” Pei Pei memeluk tubuh pemuda itu, Tiang Le membuka matanya. Bibirnya bergetar perlahan: “Pei Pei…… Pei-moay….. kau…..” “Koko aku selamat…… aduuhh….. kokoo!” Pei Pei menjerit ngeri melihat tubuh Tiang Le sudah bermandikan darah merah. Tiga buah lubang yang menembus oleh anak panah masih menancap di dada dan punggungnya. Gadis itu menangis, memeluk Tiang Le hendak mencabut anak panah yang menancap di dada itu, akan tetapi Tiang Le menjerit menahan nyeri yang amat hebat. Pei Pei menangis. Ia tidak sangka keadaan Tiang Le sampai menjadi begini. Ia sendiri sebetulnya diperlakukan baik-baik oleh Bu-tek Sianli dan malah diberi kebebasan berada di pulau ini. Bu-
  • 701
  • tek Sianli mengatakan bahwa ia akan mengundang Tiang Le, siapa sangka justru, nenek sakti yang licik itu mencelakakan Tiang Le! Angin kering berhembus dari arah pantai. Suasana menjadi sunyi senyap. Pei Pei memapah tubuh Tiang Le berjalan perlahan-lahan. Sementara seluruh tubuh Tiang Le penuh dengan noda-noda darah dan terasa amat lemas sekali. Tiga buah anak panah masih menancap di dada dan punggungnya mengeluarkan darah yang sudah mengering Sementara deburan suara ombak menjerit-jerit menggelepar menghantam dinding batu karang yang kokoh kuat, tak terobohkan. Dan air laut memercik tinggi, merupakan pancuran yang mental dari cela-cela batu karang. T A M A T

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru