Minggu, 27 Mei 2018

Cersil Si Walet Hitam Lanjutan Teratai Merah

========
baca juga



1
Si Walet Hitam/Ouw Yan Cu (Seri ke 01 – Serial Si Teratai Merah)
Karya : Asmaraman S. Kho Ping Hoo
Sang waktu berlalu amat cepatnya, tanpa terasa oleh siapapun juga. Segala sesuatu ikut berputar, dan hanyut dalam aliran waktu, yang terus bergerak maju tanpa ada kekuasaan yang dapat menghentikannya.
Tak terasa, duapuluh tahun telah lewat dan mari kita menjumpai kembali pasangan-pasangan para pendekar perkasa dengan keluarga mereka itu.
Di lereng Gunung Bong-ke-san terdapat sebuah dusun yang disebut Pek-se-chung atau Dusun Pasir Putih, karena di dusun ini memang terdapat banyak sekali pasir yang keputih-putihan dan mengkilap bagaikan perak apabila tertimpa sinar matahari. Menurut dongengan para penduduk dusun yang telah berusia lanjut, pasir-pasir itu dulu dimuntahkan oleh Gunung Bong-ke-san itu.
Akan tetapi biarpun banyak bagian dusun itu tertutup pasir, namun tanahnya subur sekali karena selain tanah yang baik, juga dari lereng gunung itu keluar mata air Sungai Han-kiang yang memuntahkan airnya ke Sungai Yang-ce-kiang. Oleh karena ini maka biarpun dusun itu hanya ditinggali oleh beberapa puluh keluarga saja, namun nampaknya mereka hidup cukup makmur dari hasil pertanian yang mereka garap secara sederhana.
Di tengah kampung Pek-se-chung, tinggal seorang setengah tua yang gagah perkasa dan disegani oleh semua penduduk kampung sebagai seorang pendekar yang baik budi dan dermawan, dan bahkan semua penduduk kampung itu mengangkat dia sebagai kepala kampung mereka. Pendekar ini adalah Nyo Tiang Pek, seorang tokoh persilatan yan terkenal sekali namanya di dunia kang-ouw, karena dia bukan lain adalah murid terkasih dari Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie yang namanya telah menggemparkan empat penjuru dunia.
Biarpun usianya telah empatpuluh tahun, namun Nyo Tiang Pek masih nampak gagah dan tampan. Tubuhnya tinggi tegap dan tindakan kakinya jelas menunjukkan bahwa dia memiliki kepandaian tinggi dan tenaga yang kuat sekali.
Di samping kegagahannya sendiri, Nyo Tiang Pek juga mempunyai seorang isteri yang bukan orang sembarangan pula, karena isterinya yang bernama Coa Giok Lie ini juga memiliki ilmu silat tinggi, terutama kepandaian gin-kangnya (ilmu meringankan tubuh), karena nyonya Nyo Tiang Pek ini adalah murid Song Cu Ling yang berjuluk Dewi Tanpa Bayangan, seorang tokoh besar dunia kang-ouw yang namanya sudah membuat bulu tengkuk para penjahat berdiri saking ngeri dan takutnya!
Selain pandai ilmu silat biarpun tidak sepandai suaminya, Coa Giok Lie juga ahli dalam hal pekerjaan kerajinan tangan, menabuh yang-kim dan meniup suling! Hal ini tidak mengherankan, karena sesungguhnya Coa Giok Lie ini masih berdarah bangsawan tinggi, yakni dari seorang pangeran!
Nyo Tiang Pek hanya mempunyai seorang anak tunggal, maka tidak mengherankan apabila Lee Ing sangat dimanja ayah-bundanya. Juga bukan hal yang aneh apabila gadis ini berwajah manis karena ayahnya tampan dan ibunya cantik jelita, serta memiliki kepandaian silat yang luar biasa berkat latihan-latihan yang diberikan dengan sungguh hati oleh Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie.
2
Kepandaian Lee Ing dalam hal ilmu pedang demikian maju dan lihai sehingga jangankan ibunya, bahkan ayahnya sendiri di waktu berlatih melawan dia, diam-diam merasa kagum karena sukar baginya untuk mengalahkan puterinya ini! Akan tetapi, sebagai seorang yang bijaksana, Nyo Tiang Pek tidak mau memuji-muji kepandaian Lee Ing, bahkan sering memberi nasihat demikian.
“Ing-ji, kepandaian silat yang kaumiliki ini masih jauh untuk dapat dikatakan sempurna. Ketahuilah bahwa di dunia ini banyak sekali orang-orang pandai yang memiliki kepandaian luar biasa. Dulu ketika ayahmu ini masih muda dan sering merantau, tidak terhitung banyaknya orang pandai yang telah mengalahkan ayahmu, maka sikap yang paling tepat ialah merendahkan diri dan jangan menjadi sombong. Oleh karena kesombongan dan pikiran yang menganggap diri sendiri terpandai hanya akan mendatangkan malapetaka belaka.”
Lee Ing merasa tidak puas mendengar ucapan ayahnya ini. Maklumlah, ia semenjak kecil tinggal di dalam sebuah kampung yang hanya mempunyai penduduk paling banyak seratus orang dan semua pehduduk kampung itu menaruh hormat yang tinggi sekali kepada ayahnya dan menganggap kepandaian Nyo Tiang Pek seakan-akan kepandaian seorang dewa.
Hal ini adalah karena dulu ketika Nyo Tiang Pek belum lama tinggal di situ, seorang diri saja Nyo Tiang Pek dengan dibantu Coa Giok Lie telah memukul hancur sejumlah besar perampok yang hendak mengganggu kampung Pek-se-chung. Kini mendengar bahwa di dunia kang-ouw banyak sekali terdapat orang-orang pandai yang dapat mengalahkan ayahnya, hati dara muda itu merasa tidak puas.
“Ayah,” katanya dengan alis dikerutkan, “kepandaian ayah sudah demikian tinggi dan lihai, mungkinkah di dunia ini ada orang yang dapat mengalahkan ayah? Siapakah orang itu, ayah?”
Nyo Tiang Pek tak dapat menahan geli hatinya dan ia tertawa lebar. “Lee Ing, kau seperti seekor katak di dalam sumur saja.”
“Eh, ayah. Benar-benarkah aku begitu buruk hingga kau anggap aku seperti seekor katak?” tanya Lee Ing dengan mulut cemberut.
Ketawa Nyo Tiang Pek makin lebar, memang kebahagiaan pendekar ini hanya terletak dalam diri puterinya yang tunggal dan sangat dicintanya, dan dara muda ini pandai sekali berjenaka dan membuat ayahnya tertawa geli.
“Bukan begitu maksudku, Lee Ing. Kau begini cantik jelita seperti ibumu, masa aku menyamakan kau seperti katak? Maksudku ialah bahwa pandanganmu sangat sempit dan pengetahuan serta pengalamanmu amat dangkal seperti pandangan seekor katak dalam sumur yang menganggap bahwa sumur itu adalah dunia satu-satunya di mana tidak ada lain mahluk yang lebih kuat dan berkuasa melebihi dia sendiri.
“Ketahuilah, anakku, di antara pendekar silat, tak terhitung banyaknya yang memiliki kepandaian amat lihai. Diantara mereka ialah Ang Lian Lihiap si Teratai Merah yang memiliki ilmu pedang Sian-liong-kiam-sut, seorang pendekar wanita yang menjadi kawan baikku. Sayang sekali kau belum pernah bertemu dengan dia yang sebetulnya menjadi kakak seperguruan ibumu sendiri.
3
“Dan diantara pendekar pria, harus disebut bahwa suami Ang Lian Lihiap yang bernama Lo Cin Han dan berjuluk Hwee-thian Kim-hong (Burung Hong Terbang ke Angkasa) memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi, karena dia adalah murid dari Beng San Siansu, seorang pertapa setengah dewa. Apalagi setelah kedua suami isteri mendapat latihan terakhir dari Beng San Siansu hingga keduanya kini telah mewarisi ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Dewa Terbang) maka kurasa ilmu pedang mereka untuk masa ini sukar sekali dicari tandingannya.”
Diam-diam Lee Ing merasa penasaran sekali, karena ayahnya telah memuji-muji orang lain sedemikian rupa. “Ayah, kau sendiri disebut Kim-jiauw-eng (Garuda Berkuku Emas), mengapa kau puji-puji orang lain setinggi langit? Apakah kau pernah dikalahkan oleh suami isteri yang memiliki kepandaian Kiam-sut itu?”
Nyo Tiang Pek tertawa lagi dan ketika ia teringat akan kedua suami isteri yang dipuji-pujinya itu, terkenanglah ia akan pengalaman-pengalamannya ketika ia masih berkumpul dengan mereka berdua. Pengalaman-pengalamannya di waktu muda.
“Tidak, Ing-ji, aku, tak pernah bertempur melawan mereka, karena sesungguhnya mereka itu adalah kawan-kawan baikku yang boleh dibilang telah menjadi saudara-saudaraku. Bahkan mereka adalah kawan baik ibumu pula dan tentang hal ini boleh kautanyakan kepada ibumu, tentu dia akan bercerita panjang lebar tentang mereka berdua dan yang benar-benar harus dikagumi karena mereka lihai dan berbudi agung sekali.”
Lee Ing masih merasa penasaran. Ia ingin sekali bertemu muka dengan orang-orang yang dipuji ayahnya itu untuk mencoba kepandaian mereka. Akan tetapi ia tidak berani menyatakan pikiran ini, oleh karena biarpun ia dimanja, terhadap ayahnya ia mempunyai hati segan dan takut. Maka untuk mengalihkan percakapan mereka ia berkata.
“Ayah, telah lama aku tidak melatih Gin-san-ciang-hwat. Marilah kau memberi petunjuk kepadaku.”
Mereka memang sedang bercakap-cakap di dalam kebun belakang rumah mereka, maka Nyo Tiang Pek lalu menghampiri sebatang pohon yang tak begitu besar. Ia berdiri kira-kira setombak jauhnya dari pohon itu, lalu berkata.
“Tenagamu dalam mempergunakan Gin-san-ciang (Tangan Bubuk Perak) sudah cukup besar, akan tetapi gerakanmu yang masih canggung. Kaulihatlah baik-baik, untuk dapat mempergunakan Gin-san-ciang dengan tepat, kaki kiri harus ditekuk ke bawah dan kaki kanan diluruskan ke depan, tenaga dikumpulkan ke ujung kepalan, Seranganmu harus dilakukan dengan tipu gerakan, Raja Monyet Memetik Buah, kaulihatlah!”
Setelah berkata demikian, Nyo Tiang Pek, melakukan gerakan, itu dan ketika kedua tangannya terulur dan mendorong ke arah pohon, terdengar suara keras dan batang pohon itu menjadi patah.
Lee Ing lalu mencoba dan menuruti gerakan ayahnya. Beberapa kali ia melakukan gerakan itu, akan tetapi pohon itu hanya terguncang-guncang saja dan tidak dapat menjadi patah.
“Salah, salah! Pukulanmu terlampau keras, akan tetapi tidak tajam. Jangan menggerakkan kedua kepalan dengan berbareng karena tenaga itu akan menjadi terlalu besar dan paling banyak kau hanya
4
akan mendorong lawan dan membuatnya jatuh terguling saja, akan tetapi tidak akan dapat melukainya. Kepalan kanan harus bergerak dulu, lalu dengan cepat dan tepat disusul gerakan lengan kiri sehingga tenaga pukulan itu akan menggunting lawan.” Nyo Tiang Pek memberi petunjuk.
Setelah berkali-kali mencoba akhirnya patahlah batang pohon itu oleh pukulan Gin-san-ciang dari Lee Ing sehingga dara muda itu berjingkrak-jingkrak girang.
“Ayah, apakah Ang Lian Lihiap dapat menahan pukulan kita ini?” tanyanya.
Ayahnya mengerutkan jidat mendengar ini. Anaknya ini walaupun hanya seorang wanita, akan tetapi memiliki bakat yang baik sekali dan berotak cerdas hingga mudah saja mempelajari ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan tetapi, mendengar pertanyaan ini, ia hanya tersenyum dan menjawab,
“Pohon tidaklah sama dengan manusia yang dapat bergerak, dapat berkelit dan dapat menangkis serangan pukulan. Lagi pula, Ang Lian Lihiap adalah seorang pendekar wanita yang, menjadi kawan baik kita, kau tidak mempunyai alasan untuk memukulnya dengan Gin-san-ciang kita!”
Lee Ing juga tersenyum dan memandang wajah ayahnya yang gagah.
“Ayah, mari kita pergi menemui ibu karena aku ingin sekali mendengar ceritanya tentang Ang Lian Lihiap!” Sambil menggandeng tangan ayahnya, Lee Ing menarik tangan orang tua itu dan berlari-lari mencari ibunya yang sedang menyulam di ruang dalam.
“Ibu, ibu…… ceritakanlah tentang pendekar wanita yang ditakuti ayah!”
Coa Giok Lie mengangkat muka memandang. Ternyata nyonya ini masih nampak cantik jelita dan mempunyai gerakan yang lemah gemulai, menunjukkan bahwa ia adalah seorang wanita terpelajar. Bibirnya yang masih merah itu tersenyum manis dan matanya yang jeli berseri.
“Lee Ing, jangan kau nakal! Pendekar wanita yang mana yang ditakuti ayahmu?”
Nyo Tiang Pek juga tertawa. “Selain ibumu, tidak ada pendekar lain yang kutakuti!” katanya jenaka.
Giok Lie mengerling kepada suaminya sambil cemberut sedangkan Lee Ing memandang kedua orang tuanya dengan gembira. Hubungan yang penuh kasih dan bahagia antara, ayah dan ibunya inilah yang memberi dia watak yang jenaka dan gembira pula.
“Ibu, tadi ayah memuji-muji seorang pendekar wanita yang bernama Ang Lian Lihiap. Katanya pendekar wanita itu lebih gagah daripada ayah atau ibu, dan aku tidak percaya!” katanya sambil memegang lengan ibunya dengan sikap manja.
Mendengar nama ini, Giok Lie lalu menunda kain yang sedang disulamnya dan ia memegang tangan anaknya, lalu berkata dengan wajah sungguh-sungguh.
“Ing-ji, kau harus percaya. Dan kau harus memandang tinggi kepada Ang Lian Lihiap, karena sebenarnya dia itu masih twa-ie mu sendiri.” (Twa-ie adalah kakak ibu atau uwa).
5
Kemudian ia menceritakan riwayatnya di waktu masih muda dan diceritakan pula bahwa Ang Lian Lihiap yang bernama Han Lian Hwa adalah sucinya (kakak seperguruan) dan bahkan telah menjadi cicinya sendiri. Ia menceritakan kegagahan-kegagahan Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong hingga Lee Ing mendengarkan dengan hati tertarik sekali.
Diam-diam gadis ini merasa kagum kepada kedua suami isteri pendekar itu dan ingin sekali ia bertemu dengan mereka, terutama sekali untuk membuktikan kegagahan mereka yang dipuji-puji kedua orang tuanya itu.
Setelah selesai bercerita, baik Giok Lie maupun suaminya terkenang dan rindu sekali kepada Ang Lian Lihiap dan suaminya, hingga Giok Lie berkata kepada Tiang Pek.
“Aku merasa rindu sekali kepada mereka itu. Dimanakah sekarang mereka berada dan mengapa tak pernah memberi kabar?” Sambil berkata demikian, karena teringat akan Han Lian Hwa yang dikasihinya, kedua mata Giok Lie yang bagus itu menjadi basah.
Nyo Tiang Pek menghela napas. “Aku sendiripun sangat rindu dan ingin berjumpa dengan Cin Han. Dulu pernah aku mendengar bahwa mereka telah pindah ke Tit-lee. Pada dewasa ini, dengan adanya bahaya penyerbuan tentara di mana-mana terjadi kekacauan maka aku tidak tahu lagi di mana adanya mereka itu.”
Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang memanggil-manggil.
“Chung-cu (pak lurah), celaka, beberapa orang kawan-kawan kita sedang dikejar¬kejar tentara kerajaan!” teriak orang itu setelah Nyo Tiang Pek berlari keluar.
Nyo Tiang Pek dengan tenang bertanya, “Dimanakah mereka itu?”
“Itu di sana di ladang sebelah selatan. Ada tujuh orang berpakaian tentara hendak menangkapi orang-orang muda di dusun kita, dan mereka sekarang sedang berkelahi!”
Nyo Tiang Pek lalu berlari keluar, diikuti oleh Giok Lie dan Lee Ing yang tidak mau ketinggalan. Ketika mereka tiba di tempat itu, benar saja mereka melihat sebelas orang pemuda kampung yang sedang berkelahi melawan tujuh orang yang berpakaian tentara kerajaan. Biarpun pemuda-pemuda itu hanya petani-petani biasa, namun sedikit banyak mereka telah mendapat latihan ilmu membela diri dari Nyo Tiang Pek, maka dengan tongkat, cangkul, dan pisau mereka mempertahankan diri dari serangan tentara yang bersenjata golok dan yang mengerti ilmu silat cukup baik itu.
Akan tetapi, para petani itu terdesak hebat, bahkan seorang di antara mereka telah mendapat luka di pundaknya yang mengalirkan darah dan membasahi pakaiannya. Nyo Tiang Pek marah sekali dan hendak bertindak, akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara kaki kuda mendatangi dan seorang perwira yang cakap dan gagah cepat melompat dari atas kudanya dan tubuhnya melayang ke tempat pertempuran.
Gerakan ini adalah gerak melompat Naga Sakti Menembus Awan yang dilakukan dengan baik sekali hingga Nyo Tiang Pek menjadi kagum juga. Begitu perwira itu menggerakkan kaki tangannya, maka
6
robohlah ketujuh tentara yang mengamuk itu, sedangkan para petani lalu mengundurkan diri dengan takut.
“Kamu ini sungguh orang-orang kurang ajar yang memalukan sekali!”
Perwira itu mendamprat kepada para anak buahnya yang ketika melihat bahwa yang datang adalah perwira yang tinggi kedudukannya, lalu diam tak berani berkutik sedikitpun.
“Bagaimanakah bunyi perintah yang ditugaskan kepada kalian? Kalian harus membujuk dan mencari pemuda-pemuda yang dengan suka rela mau membantu pertahanan kita untuk mengusir musuh dan dilatih menjadi tentara. Bukan sebagai orang-orang tawanan yang ditangkap dengan paksa. Kalian sungguh membikin malu kepadaku, dan awas, kalau lain kali aku melihat kalian melakukan perbuatan yang kejam ini aku takkan memberi ampun lagi. Sekarang, pergilah kembali ke markasmu!”
Bagaikan anjing-anjing kena pukul menyembunyikan ekor di bawah perut, para perajurit itu sambil tundukkan kepala memunguti golok-golok mereka yang tadi terlepas ketika perwira itu mengamuk dan mereka lalu pergi dari situ dengan tindakan kaki lemas.
Perwira muda itu lalu menjura kepada para pemuda yang masih berdiri di situ dan berkata, “Saudara-saudara harap suka memaafkan anak buahku yang kasar. Kalau saudara-saudara tidak suka membantu kerajaan, maka kamipun takkan memaksa.”
Melihat sepak terjang dan mendengar ucapan perwira itu, Nyo Tiang Pek menjadi tertarik sekali dan ia lalu menghampiri perwira itu. Ternyata perwira itu masih muda sekali dan pakaiannya yang indah membuat ia nampak gagah. Sebatang pedang yang gagangnya memakai pita kuning emas tergantung di pinggangnya.
Ketika melihat Nyo Tiang Pek, perwira itu sambil tersenyum lalu menjura memberi hormat yang dibalas dengan sepatutnya oleh Tiang Pek.
“Ciang-kun sungguh gagah dan berbudi. Kalau tidak menjadi halangan, sudilah mampir di pondok kami untuk bercakap-cakap,” kata Tiang Pek.
Perwira itu balas memandang. “Mohon tanya, siapakah lo-peh (paman) ini?” tanyanya dengan sikap hormat.
“Aku adalah Nyo Tiang Pek yang menjadi Chung-cu dari kampung ini dan siapakah nama ciang-kun (panglima) yang mulia?”
“Aku yang muda bernama Lui Tik Kong.”
Pada saat itu Lui Tik Kong melihat Lee Ing dan dadanya berdebar aneh. Niatnya hendak menolak undangan Nyo Tiang Pek segera ia batalkan dan ia berkata lagi. “Nyo Chung-cu sungguh baik hati, dan tentu saja aku tidak berani menolak undanganmu.”
7
Maka perwira muda itu lalu pergi bersama Nyo Tiang Pek ke rumah kepala kampung itu, sedangkan Lee Ing dan ibunya telah pulang terlebih dulu untuk mempersiapkan segala keperluan menyambut seorang tamu.
“Perwira itu cakap dan gagah,” kata Coa Giok Lie di tengah jalan tanpa disengaja.
“Ah, gagah juga gagahnya sendiri, siapa yang peduli akan kegagahan orang lain?”
Tiba-tiba Lie Ing menjawab hingga dengan heran nyonya itu berpaling dan memandang muka anaknya. Kemudian ia tertawa, tapi Lee Ing cemberut dan berkata, “mengapa ayah mengundang segala macam perwira ke rumah kita?
“Hush, jangan kau berkata demikian, Ing-ji. Ayahmu memang suka berkenalan dengan orang-orang gagah dan kaulihat dari gerakan pemuda tadi bahwa ia tentulah murid seorang pandai.”
Akan tetapi Lee Ing makin cemberut ketika ia berkata, “Apakah hebatnya gerakan itu? Ibu atau aku dapat melakukannya dengan lebih baik lagi.”
Ibunya tersenyum. “Jangan kau sombong, nak!”
Mereka lalu menuju ke ruang belakang dan Coa Giok Lie membantu pelayannya dan sibuk menyiapkan hidangan di dapur hingga terpaksa dan mau tidak mau Lee Ing lalu membantu ibunya.
Sementara itu, Nyo Tiang Pek melayani tamunya di ruang depan dan bercakap-cakap dengan tamunya yang muda dalam suasana gembira sekali. Jarang nampak Nyo Tiang Pek segembira itu, oleh karena selama tinggal di kampung jarang ia bertemu dengan orang yang pandai dan banyak pengalaman seperti perwira muda ini.
Selain pandai silat dan banyak pengalamannya ternyata Lui Tik Kong perwira muda itu, pandai pula bicara hingga Nyo Tiang Pek makin merasa suka dan kagum kepadanya. Pemuda ini menceritakan keadaan di kota raja dan bicara tentang keadaan negara serta pertahanannya sebagai seorang ahli perang yang pandai.
01.02. Kerinduan Dua Sahabat
“Suku bangsa Turki makin berani dan kurang ajar,” kata Lui Tik Kong ketika menceritakan keadaan dan bahaya yang mengancam pemerintah Tang, “mereka telah bersekutu dengan banyak suku bangsa, dan kelompok yang tidak mau bersekutu dengan mereka, mereka taklukkan. Kini mereka bahkan telah berani menyerbu dan bergerak masuk ke dalam tembok besar, merampok dan membunuh, bahkan banyak sekali bangsa kita (Han) diculik untuk dijadikan budak. Kabarnya suku-suku bangsa lain sudah ditaklukkan oleh mereka.
“Raja yang kini memimpin mereka adalah Jingar Khan yang selain kejam dan ganas, juga memiliki kepandaian tinggi sekali. Oleh karena inilah, maka kaisar lalu memberi perintah untuk memperkuat barisan kita dan untuk berjaga-jaga sambil menarik sebanyak mungkin barisan sukarela terdiri dari orang-orang gagah untuk mengusir musuh yang makin lama makin kurang ajar itu. Bahkan kini
8
banyak sekali mata-mata musuh yang terdiri orang-orang dari Han yang berkhianat karena pengaruh harta, berkeliaran di seluruh negeri.”
Nyo Tiang Pek merasa terkejut sekali. “Sudah demikian hebatkah keadaannya?”
Lui Tik Kong menghela napas. “Memang kelihatannya tidak terjadi sesuatu, akan tetapi sebenarnya keadaan dewasa ini berbahaya. Terutama oleh karena Jingar Khan cedik sekali. Dengan pengaruh emas dan harta benda, ia menyuruh anak buah dan mata-matanya untuk membujuk orang-orang gagah di kalangan kang-ouw untuk membantunya.”
Pada saat itu hawa udara amat panasnya dan Lui Tik Kong yang mengenakan pakaian perwira yang tebal, merasa panas sekali hingga peluhnya mengucur membasahi mukanya. Melihat keadaan pemuda ini, Nyo Tiang Pek lalu berkata,
“Lui-ciangkun, kalau kau merasa panas, tanggalkanlah baju luarmu yang tebal itu. Di sini kau tak perlu merasa sungkan dan malu.”
Lui Tik Kong adalah seorang perajurit yang jujur dan oleh karena sikap tuan rumah yang peramah ini, ia tidak merasa sungkan lagi. Sambil berkata “maaf”! ia tanggalkan baju luarnya hingga kini hanya mengenakan baju yang berlengan pendek sebatas siku.
Baru saja lengan tangannya yang kuat itu nampak oleh Nyo Tiang Pek, orang tua ini segera berseru kaget sambil memandang ke arah lengan tangan Lui Tik Kong. “Lui-ciangkun, kau terluka hebat!”
Lui Tik Kong terkejut sekali dan membuat gerakan dengan tangannya, akan tetapi tiba-tiba Nyo Tiang Pek sudah berada di depannya dan memegang tangan kanannya.
“Ah, benar! Kau telah terkena pukulan Ang-see-ciang (Tangan Pasir Merah) yang berbahaya sekali. Lihat lenganmu ini!”
Dengan masih heran Lui Tik Kong memandang lengannya sebelah kanan berwarna merah kehitam-hitaman dan ketika ia menyentuh dengan tangan kirinya, hampir ia menjerit karena sakit sekali.
“Kau tadi telah berkelahi dengan siapa?” tanya Nyo Tiang Pek sambil memandang tajam.
Lui Tik Kong mengingat-ingat lalu menghela napas. “Benar, tadi sebelum aku mendengar tentang kekurangajaran anak buahku, aku bertemu dengan dua orang to-kouw (pendeta wanita) di tengah jalan. Oleh karena aku amat terburu-buru, maka kudaku kujalankan cepat sekali sehingga debu mengebul dan mengenai tokouw-tokouw itu. Seorang di antaranya yang berusia kurang lebih empatpuluh tahun, berkata, “Perwira kurang ajar.”
“Tentu saja aku lalu melompat turun dari kudaku untuk melihat siapa orangnya yang memaki, akan tetapi ketika melihat bahwa mereka adalah dua orang to-kouw, aku lalu minta maaf. Tidak tahunya seorang diantaranya yang menegur tadi lalu mengayun tangan hendak menamparku. Aku lalu menangkis dengan lengan kanan dan hanya merasa betapa lenganku lemas sekali. Mereka saling pandang dan pergi sambil tertawa.”
9
Nyo Tiang Pek mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian ia bertanya, “Apakah seorang diantara mereka adalah seorang to-kouw yang sudah berusia limapuluh tahun lebih, bertubuh tinggi kurus dan mempunyai tahi-tahi lalat di ujung hidungnya?”
Lui Tik Kong, memandang heran. “Betul, betul. Bagaimana lopeh dapat mengetahuinya? Dan bagaimana pula lopeh dapat melihat bahwa aku menderita luka?”
“Ah, aku tahu sekarang. Dia itu tentu Hek Li Suthai si Iblis Wanita dari San-tung dan to-kouw yang lebih muda dan yang melukaimu dengan pukulan Ang-see-ciang itu kalau bukan adik seperguruannya tentulah muridnya.”
“Benar dugaanmu, lopeh. To-kouw yang muda itu menyebut guru kepadanya.”
“Sudahlah, sekarang kau jangan banyak bergerak dan duduklah dengan tenang. Aku hendak menyembuhkan lukamu!”
Pada saat itu, Coa Giok Lie dan Lee Ing keluar membawa hidangan untuk tamu mereka. Memang, biarpun keturunan bangsawan, akan tetapi setelah berpuluh tahun tinggal bersama dengan orang-orang kampung yang menuntut penghidupan sederhana, Coa Giok Lie melemparkan semua peraturan-peraturan tentang sopan santun dan yang mengikat kaum wanitanya sehingga membuat mereka itu menjadi serba canggung.
Menurut pendapatnya setelah ia hidup dengan tenteram dan leluasa diantara para petani sederhana, segala peraturan yang mengikat itu hanya menimbulkan pusing saja. Maka ia tidak merasa keberatan untuk menemui tamu laki-laki yang muda itu, bahkan tidak keberatan pula kalau Lee Ing ikut mengeluarkan hidangan.
Kedua ibu dan anak inipun terkejut ketika mendengar tentang luka yang diderita Lui Tik Kong.
“Lee Ing, coba kau ambilkan gin-ciam (jarum perak) di kantong obat dalam kamarku,” Nyo Tiang Pek menyuruh anaknya.
Lee Ing lalu pergi dengan cepat mengambil jarum itu, bahkan tidak lupa sekalian membawa sebungkus obat bubuk putih yang diberikan kepada ayahnya.
Baru terbukalah mata Lui Tik Kong bahwa ia berhadapan dengan keluarga yang mengerti ilmu silat bahkan menurut pandangan mata Nyo Tiang Pek yang sangat tajam sehingga sekelebat saja telah dapat mengetahui bahwa ia terluka menimbulkan dugaan dalam pikirannya bahwa orang tua ini tentulah seorang ahli.
Nyo Tiang Pek adalah seorang ahli Gin-san-ciang atau Tangan Bubuk Perak, maka tentu saja ia tahu akan segala ilmu pukulan tangan yang telah dilatih secara mujijat itu, dan dapat pula menyembuhkannya. Dengan gerakan cepat akan tetapi tepat dan tenang, ia memberi tusukan tiga kali pada lengan tangan Lui Tik Kong di sekeliling luka yang hanya merupakan garis merah itu.
10
Lui Tik Kong merasa sakit. Kemudian, Nyo Tiang Pek menggunakan tenaga pukulan Gin-san-ciang dari tangan kirinya untuk menotok dan menepuk lengan itu dan aneh, dari bekas lubang di kulit lengan yang tadi tertusuk jarum, mengalir keluar darah-darah hitam.
Nyo Tiang Pek mengulangi tepukan dan totokannya sampai darah yang mengalir keluar menjadi merah yang berarti bahwa racun pukulan Ang-see-ciang telah dikeluarkan habis.
Setelah itu barulah ia menggunakan obat bubuk putih itu untuk digosok-gosokkan pada bekas luka tusukan jarum peraknya. Lui Tik Kong merasa betapa lengannya telah sembuh kembali karena rasa sakit dan baal telah lenyap.
Sambil memandang tajam ia bertanya, “Sesungguhnya siapakah Nyo Chung-cu (Pak Lurah Nyo) ini? Dan mengapa diam di dusun yang terpencil ini kau bersembunyi, padahal kau memiliki ilmu kepandaian tinggi?”
Nyo Tiang Pek tersenyum dan memandang wajah yang cakap itu. “Lui-ciangkun, aku adalah orang biasa saja, seorang kepala kampung yang hidup sederhana. Hanya saja, tentang Ang-see-ciang aku mempunyai sedikit pengetahuan. Marilah kita makan hidangan seadanya, maklum di dusun kami tidak dapat menghidangkan makanan lezat.”
Lui Tik Kong makin merasa suka dan kagum. Ia diam-diam menduga bahwa tuan rumahnya tentulah seorang pendekar gagah yang mengasingkan diri. Juga, karena Nyo Tiang Pek memperkenankan bahkan mengajak isteri dan anaknya makan bersama, pemuda she Lui ini mendapat kesempatan baik untuk mengagumi kecantikan Lee Ing yang benar-benar telah membetot semangatnya.
Ketika Nyo Tiang Pek bertanya tentang suhunya, ia memberi tahu bahwa suhunya bernama Kong Sin Ek yang berjuluk Ciu-sian atau Dewa Arak.
Mendengar ini, bukan main girang hatinya Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie. Nyo Tiang Pek demikian gembira sehingga ia berdiri dan menepuk-nepuk bahu Lui Tik Kong sambil berkata,
“Ah……! Tak kusangka sama sekali bahwa kau adalah murid Setan Arak itu! Ha-ha-ha! Ketahuilah, ciang-kun, Kong Sin Ek adalah seorang sahabat baikku dan ketika masih muda kami berdua berjuang bersama. Ah, ah, sungguh tak kusangka! Di manakah adanya suhumu itu? Ah, kalau saja kau beritahu kepadanya bahwa kau telah bertemu dengan Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek, tentu dia akan merasa girang sekali.”
Mendengar bahwa kepala kampung yang berdiri dihadapannya ini adalah si Garuda Kuku Emas, Lui Tik Kong merasa terkejut sekali. Pernah ia mendengar dari suhunya akan pendekar gagah ini, bahkan di dunia kang-ouw, nama Kim-jiauw-eng telah terkenal dan disegani, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Nyo Tiang Pek.
“Teecu bermata buta dan tidak melihat Gunung Thai-san di depan mata. Mohon cianpwe sudi memberi maaf.”
Nyo Tiang Pek mengangkat bangun pemuda itu dan tertawa senang.
11
“Lui-ciangkun, tidak usah memakai segala macam peradatan. Kim-jiauw-eng yang kaudengar namanya itu hanyalah kepala kampung yang hidup sederhana dengan anak isterinya. Biarlah selanjutnya kausebut aku lopeh saja karena, telah lama aku tidak pernah memperlihatkan diri di dunia kang-ouw dan telah hampir lupa olehku sebutan Kim-jiauw-eng itu.”
“Lui-ciangkun, hal yang terpenting belum kaukatakan. Di manakah sekarang adanya sahabat kami Kong Sin Ek itu?” tiba-tiba Coa Giok Lie bertanya dengan suaranya yang halus merdu.
Lui Tik Kong agak terkejut mendengar pertanyaan ini akan tetapi ia dapat menekan perasaan hatinya dan berkata, “Pehbo, hal ini sungguh menyedihkan hati. Suhu telah meninggal dunia kira-kira dua tahun yang lalu.”
Tiba-tiba terdengar mangkok jatuh dan mangkok itu pecah ketika membentur lantai. Kiranya Nyo Tiang Pek merasa demikian kaget dan sedih hingga tak terasa pula ia melempar mangkok yang sedang dipegangnya. Juga Coa Giok Lie tidak dapat menahan air matanya yang mengucur keluar.
Lee Ing yang belum pernah kenal dengan Kong Sin Ek si Dewa Arak hanya memandang dengan heran dan ikut berduka melihat kedua orang tuanya.
Setelah menghela napas berkali-kali, Nyo Tiang Pek bertanya, “Lui-ciangkun, di mana meninggalnya sahabatku itu dan kenapa? Usianya kukira belum melebihi enampuluh tahun.”
“Beliau meninggal di daerah utara karena serangan penyakit jantung,” kata Lui Tik Kong dengan singkat.
Karena kedukaan ini, pembicaraan tidak dapat berjalan lancar dan Lui Tik Kong lalu berpamit untuk kembali ke markasnya yang berada di Le-hu-tin, yakni sebuah perkampungan yang dijadikan markas di daerah pegunungan Bong-ke-san dan di mana Lui Tik Kong menjadi perwira memegang pucuk pimpinan yang bertugas bergerak di daerah pegunungan itu. Ia berjanji hendak mengunjungi lagi keluarga Nyo yang peramah itu.
Seperginya Lui Tik Kong, Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie masih berduka dan akhirnya nyonya itu berkata kepada suaminya,
“Beginilah jadinya kalau kau terlalu malas untuk menghubungi kawan-kawan kita, sehingga sampai mereka matipun kita tidak mengetahuinya! Suamiku, apakah kau tidak teringat akan kebaikan mereka? Terutama kebaikan enci Lian Hwa dan koko Cin Han? Sudah tiba waktunya untuk mencari dan memberi kabar tentang kita kepada mereka itu.”
Nyo Tiang Pek mengangguk-angguk. “Memang benar kata-katamu itu. Akan tetapi keadaan sekarang begini kacau, dan aku tidak tega meninggalkan kau berdua saja dengan Lee Ing.”
“Eh, eh, ayah aneh sekali. Bahaya apakah yang dapat mengancam kita? Ibu dan aku bukanlah anak-anak kecil yang lemah, kami berdua dapat menjaga diri.”
Ucapan yang gagah ini hanya disambut dengan dingin oleh Nyo Tiang Pek yang sedang berduka.
12
“Kau tahu apa! Orang-orang jahat yang lihai dan yang dulu pernah dilukai oleh ayahmu ini, banyak sekali. Mereka ini sewaktu-waktu tentu takkan dapat melupakan sakit hati dan berusaha membalas dendam. Oleh karena inilah maka aku tidak pernah pergi jauh dan lama meninggalkan kalian.”
“Kalau begitu,” kata Giok Lie. “Lebih baik kau membuat surat dan menitipkannya kepada si A-kwi karena kabarnya seringkali pergi ke selatan dan bahkan sampai ke Tit-lee.”
Nyo Tiang Pek menepuk pahanya. “Lagi-lagi kau benar, isteriku. Mengapa aku begitu bodoh dan pelupa? A-kwie adalah seorang pedagang keliling, tentu mudah baginya untuk menjadi utusanku menghubungi Cin Han.”
Dengan setengah berlari Nyo Tiang Pek lalu pergi ke kamarnya untuk menulis surat kepada Cin Han dan Lian Hwa, suami-isteri pendekar yang menjadi kawan baiknya itu. Melihat sikap Nyo Tiang Pek yang agaknya bergembira seperti anak kecil, Giok Lie saling pandang dengan Lee Ing sambil tersenyum geli.
Di pinggir jalan raya sebelah barat di kota Tit-lee, terdapat sebuah rumah gedung yang kuno dan besar. Tidak saja semua penduduk kota Tit-lee, bahkan banyak orang-orang luar kota mengenal baik gedung ini, bukan karena kebagusan gedungnya, akan tetapi karena yang tinggal di gedung ini ialah sepasang suami isteri pendekar besar yang namanya sangat tersohor.
Mereka ini adaiah Hwee-thian Kim-hong Lo Cin Han dan isterinya, yakni Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa. Nama kedua pendekar ini telah dikenal oleh hampir semua tokoh persilatan di dunia kang-ouw, karena di waktu muda, kedua orang ini telah menggemparkan dunia persilatan dengan sepak-terjang mereka yang gagah perkasa, di samping perjuangan Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas, Kong Sin Ek si Dewa Arak, Pek Siong Tosu, Biauw In Suthai dan masih banyak orang gagah lain lagi.
Semenjak Lo Cin Han dan Han Lian Hwa terangkap menjadi sepasang suami isteri yang saling mencinta, mereka menuju ke Kim-ma-san di mana bertapa Beng San Siansu pencipta ilmu-ilmu pedang Hwie-liong-kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Terbang) yang menjadi suhu Lo Cin Han. Dan kedua suami isteri ini menerima latihan lagi, yakni ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut yang berdasar Hwie-liong-kiam-sut dan Sian-liong-kiam-sut digabung menjadi satu. Oleh karena itu, kepandaian mereka meningkat hebat dan setelah dua tahun kemudian mereka turun dari Kim-ma-san, mereka merupakan sepasang pendekar pedang yang tak terlawan.
Di dalam perkawinan mereka, sepasang pendekar pedang ini mendapat seorang putera yang diberi nama Lo Sin. Anak ini cerdik seperti ayahya dan berwatak keras gembira seperti ibunya, hingga ia mewarisi ilmu kepandaian ayah ibunya.
Ketika Lo Sin masih kecil dan baru mulai berlatih gin-kang (ilmu meringankan tubuh), ia mendapat latihan secara istimewa oleh kedua orang tuanya yakni ayah dan ibunya menangkap beberapa ekor burung walet yang dapat terbang dan bergerak cepat sekali. Di dalam sebuah kamar yang tertutup rapat hingga tidak terdapat lubang bagi burung-burung itu untuk meloloskan diri, mereka melatih putera tunggal ini untuk menangkap burung-burung yang gesit sekali itu.
13
Dengan latihan ini, Lo Sin memiliki kecepatan yang melebihi burung walet dan sekali tubuhnya bergerak, maka burung yang hendak terbang itu kalah cepat dan dapat tertangkap dengan mudah, yakni setelah anak itu berlatih sampai dua tahun lebih.
Karena latihan ini, maka Lo Sin menjadi suka sekali kepada burung walet yang berbulu hitam, bermata merah, dan halus sekali bulunya itu hingga ia seringkali bermain-main dengan burung walet hitam. Bahkan saking sukanya kepada burung walet hitam, ia minta kepada ibunya supaya dibuatkan mainan dari kain berupa seekor burung walet hitam.
Ketika ia telah menjadi seorang pemuda dewasa, ikat kepalanya pun dihias dengan seekor burung walet hitam yang terbuat dari sutera hitam dan untuk menyenangkan hati putera yang tercinta itu, Han Lian Hwa membuat mainan itu dengan kedua tangannya sendiri dan menghias mainan itu dengan mata terbuat daripada dua butir mutiara yang cemerlang dan patuknya terbuat daripada emas tulen.
Dengan mengenakan pakaian serba hitam atau kadang-kadang berwarna serba biru dan kepalanya terhias burung walet hitam itu, Lo Sin yang bertubuh tinggi tegap dan berwajah tampan dan gagah itu nampak benar-benar mengagumkan karena gagah sekali.
Lo Cin Han yang memiliki darah perantau, seringkali mengajak puteranya itu merantau untuk menghadapi pengalaman-pengalaman berbahaya dan untuk mendidik puteranya itu mengulurkan tangan memberi pertolongan kepada sesama hidup yang menderita kesukaran sebagaimana layaknya seorang pendekar yang berkepandaian tinggi. Oleh karena ini, nama Lo Sin yang muda dan gagah perwira itu segera menjadi terkenal sekali dan pakaiannya serta hiasan burung walet hitam itu membuat ia diberi julukan Ouw-yan-cu atau si Walet Hitam.
Di samping kepandaiannya dalam hal bersilat, juga pemuda itu mendapat pelajaran membaca dan menulis dari kedua orang tuanya, karena ayahnya adalah seorang terpelajar dan pandai dalam ilmu kesusasteraan. Maka, setelah menjadi dewasa, Lo Sin dapat disebut bun-bu-cwan-chai, yakni seorang pemuda yang memiliki kepandaian bu (kegagahan) dan bun (kesusasteraan).
Akan tetapi ada sebuah hal yang memusingkan kepala Han Lian Hwa dan Lo Cin Han, yakni kekerasan kepala putera mereka itu. Karena pada waktu itu Lo Sin telah berusia sembilanbelas tahun lebih, maka kedua orang tuanya membujuknya untuk suka dicarikan jodoh. Akan tetapi, dengan tegas sekali pemuda itu menolak, bahkan ketika Cin Han mengeluarkan kata-kata keras untuk menegurnya yang dianggap tidak mentaati kehendak orang tua, pemuda itu menjadi marah dan diam-diam lari minggat.
Akan tetapi, belum sampai satu bulan, pemuda itu telah pulang kembali dan berlutut di depan kedua orang tuanya sambil minta ampun. Kedua orang tua yang amat mencinta puteranya itu hanya saling pandang dan menggelengkan kepala, akan tetapi semenjak itu mereka tidak mau membongkar-bongkar lagi urusan kawin.
Telah lama Cin Han dan Lian Hwa terkenang kepada Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie, akan tetapi karena mereka tidak tahu di mana tempat tinggal kedua sahabat baik itu mereka hanya sering membicarakan tentang mereka dengan kenang-kenangan manis. Pertemuan mereka dengan Nyo Tiang Pek dan isterinya terjadi ketika Lo Sin baru berusia empat tahun dan semenjak itu mereka tidak pernah bertemu muka atau mendengar kabar tentang Nyo Tiang Pek.
14
Hanya mereka tahu bahwa Nyo Tiang Pek mempunyai anak perempuan, karena ketika mereka bertemu pada penghabisan kali, anak Nyo Tiang Pek telah berusia dua tahun lebih.
Kalau mereka membicarakan tentang kawan-kawan itu, seringkali Lian Hwa berkata kepada suaminya, “Alangkah baik dan senangnya kalau Sin-ji dapat dijodohkan dengan anak perempuan Nyo-twako.”
Cin Han tertawa. “Memang hal itu baik sekali, akan tetapi bagaimana kalau puteri mereka itu terlahir buruk rupa?”
Lian Hwa menggeleng-gelengkan kepala. “Tidak mungkin! Anak Giok Lie tidak mungkin buruk rupa! Dan tentang kegagahan, kurasa Nyo-twako dan Giok Lie takkan begitu bodoh untuk membiarkan mereka tidak berkepandaian. Pendeknya, kalau aku dapat berbesan dengan mereka, hatiku akan merasa puas sekali.”
“Kau memang benar, akupun akan merasa senang sekali dapat berbesan dengan Nyo-twako yang gagah.”
Akan tetapi, karena mereka tidak pernah menyangka bahwa Nyo Tiang Pek kini tinggal di lereng sebuah bukit yang terasing daripada dunia ramai, tentu saja mereka tidak pernah dapat mendengar sesuatu tentang si Garuda Kuku Emas itu.
02.03. Akal Licik Perwira Tampan
Pada suatu hari, Lian Hwa dan Cin Han duduk di ruang depan dan bercakap-cakap tentang keadaan negara di waktu itu. Mereka membicarakan tentang kekurangajaran suku bangsa Turki yang mengacau di berbagai batas negara dan Cin Han merasa marah sekali mendengar bahwa banyak orang-orang Han telah diculik oleh mereka itu untuk dijadikan pekerja paksa.
“Agaknya kita berdua tidak boleh tinggal diam lebih lama lagi dan harus bertindak membantu usaha pemerintah membasmi bangsat-bangsat itu!” kata Lian Hwa penuh semangat.
Nyonya ini ternyata masih saja berhati keras dan membenci segala kejahatan. Sebenarnya, Lian Hwa dan Cin Han pada hakekatnya tidak begitu suka dengan kaisar dan para pembesar yang pada dewasa itu kurang bijaksana dalam menjalankan pemerintahan. Korupsi dilakukan di segala bidang, sedangkan kehidupan rakyat jelata banyak yang menderita sengsara.
Akan tetapi, mendengar tentang penyerbuan musuh-musuh asing dari luar tembok besar itu, mereka merasa penasaran juga dan timbul niat mereka hendak membasmi musuh itu.
“Kalau kaisar tidak lekas insyaf dan cepat memperkuat barisan pertahanannya, maka keadaan akan menjadi berbahaya sekali,” kata Cin Han. “Memang akupun bermaksud untuk menghajar mereka, sekalian kita mencari kawan lama kita, terutama Nyo-twako dan adik Giok Lie.”
“Harap jiwi maafkan aku apabila kedatanganku ini mengganggu. Benarkah di sini rumah Hwee-thian Kim-hong dan Ang Lian Lihiap?”
15
Terkejutlah Cin Han dan Lian Hwa mendengar julukan mereka disebut oleh orang itu. Serentak mereka berdiri dan dengan hati-hati sekali serta dengan pandangan mata penuh selidik, Cin Han bertanya,
“Siapakah saudara ini dan ada perlu apa mencari mereka?”
“Aku yang rendah bernama Gu Ma Kwi dan biasa disebut A-kwi saja, dan kedatanganku ialah membawa berita dari Garuda Kuku Emas.”
Mendengar ini, bukan main girang rasa hati suami isteri itu. Cin Han hampir saja memeluk orang itu, akan tetapi ia hanya memegang tangan A-kwi dan ditariknya ke dalam.
“Saudara yang baik, masuklah!”
Mereka lalu masuk ke dalam dan A-kwi dihujani pertanyaan oleh Lian Hwa dan Cin Han. Bahkan dari kedua mata Lian Hwa mengeluarkan dua titik air mata karena girang dan terharu. Kemudian ia berteriak-teriak ke arah belakang rumah. “Sin-ji! Sin-ji……! Lekas kau kemari!”
Lo Sin yang sedang duduk di ruang belakang mendengar teriakan ibunya, cepat lari keluar.
“Sin-ji, lihat! Nyo-pekhumu mengirim berita!”
Lo Sin sudah seringkali mendengar tentang Nyo Tiang Pek yang dipuji-puji oleh kedua orang tuanya maka iapun ikut bergirang.
A-kwi memang mendapat pesan dari Nyo Tiang Pek supaya dalam mencari Cin Han dan Lian Hwa, ia menggunakan nama julukan mereka agar kedua kawannya itu akan percaya penuh. Setelah menyampaikan salam dan memberitahukan bahwa keadaan keluarga Nyo dalam selamat, A-kwi lalu mengeluarkan sepucuk surat dari buntalannya.
Cin Han menerima surat itu dengan berdebar girang, kemudian setelah ia membuka surat itu, Lian Hwa tidak mau ketinggalan karena ingin tahunya. Nyonya ini berdiri di belakang suaminya yang duduk di kursi membaca surat itu dan iapun ikut membaca. Bahkan Lo Sin juga ingin sekali ikut membaca, maka ia pun berdiri di sebelah ibunya, mencuri lihat dari balik pundak ibunya.
Surat Nyo Tiang Pek panjang lebar. Pertama-tama ia menceritakan tentang keadaan keluarganya, bahwa ia kini diangkat menjadi lurah dari kampung Pek-se-chung dan bahwa puterinya yang bernama Nyo Lee Ing kini telah dewasa. Kemudian ia menanyakan keselamatan keluarga Lo dan menyatakan kerinduan hatinya dan hati isterinya untuk bertemu muka. Pada akhir surat, tak lupa Nyo Tiang Pek bertanya tentang berita yang diterimanya, yakni mengenai kematian Kong Sin Ek.
Wajah Cin Han dan Lian Hwa tadinya berseri-seri membaca perihal keadaan keluarga Nyo itu, akan tetapi ketika mendengar tentang berita kematian Kong Sin Ek, tiba-tiba mereka menjadi terkejut dan berduka.
16
Juga Lo Sin yang sudah kenal baik kepada Kong Sin Ek si Dewa Arak, berseru, “Kong lopeh meninggal? Ah, tidak mungkin! Bukankah ia tinggal di utara dan keadaannya baik saja?”
Juga Cin Han merasa ragu-ragu dan kurang percaya, demikian Lian Hwa. Karena mereka selalu mengadakan kontak dengan Kong Sin Ek maka andaikata kakek yang gagah itu menderita sakit, sebelum meninggal tentu ia akan memberi kabar. Bahkan dua tahun yang lalu, seorang diri Lo Sin pernah mengunjungi Dewa Arak itu yang berada dalam keadaan sehat.
“Ayah, biarlah besok anak pergi mengunjungi dan menengok orang tua itu,” kata Lo Sin.
Kedua orang tuanya menyetujui dan mereka menjadi agak tenang kembali.
Karena berita dari Nyo Tiang Pek ini benar-benar menggirangkan hati mereka, maka A-kwi lalu mendapat pelayanan yang manis dan ramah, bahkan untuk kehormatan pesuruh ini, Cin Han lalu menyuruh pelayan membeli hidangan-hidangan yang lezat dan arak yang wangi.
Sudah tentu saja A-kwi merasa bersyukur sekali, dan ketika pihak tuan rumah menanyakan perihal si Garuda Kuku Emas, ia menceritakan keadaan mereka dengan sejelas-jelasnya.
“Bagaimana wajah puteri mereka yang bernama Lee Ing?”
A-kwi tersenyum. “Pohon yang baik tentu menghasilkan kembang yang indah,” katanya dengan lidah terlepas karena pengaruh arak wangi yang membuat watak penyair timbul dalam hatinya. “Kalau Nyo-siocia diumpamakan bunga, maka ia adalah bunga mawar yang harum dan indah.”
Lian Hwa tertawa. “Mengapa bunga mawar dan bukan bunga botan? Bunga mawarkan banyak durinya dan berbahaya?”
A-kwi tertawa mendengar kejenakaan nyonya rumah ini. “Memang itulah yang kumaksudkan. Pedangnya merupakan durinya yang berbahaya!”
Mendengar ini Cin Han dan Lian Hwa merasa girang sekali karena mereka dengan mudah dapat menduga bahwa gadis itu selain cantik tentu memiliki kepandaian tinggi dan mahir bermain pedang. Lian Hwa tersenyum-senyum dan menambahkan arak pada cawan tamunya dan diam-diam Cin Han yang melihat sikap isterinya ini maklum bahwa tentu isterinya ini makin tebal niatnya untuk menjodohkan Lo Sin dengan puteri Nyo Tiang Pek.
Mereka berdua ini tidak memperdulikan sama sekali sedikit tambahan di surat Nyo Tiang Pek yang mengabarkan bahwa Hek Li Suthai yang berjuluk San-tung Mo-li atau Iblis Wanita dari San-tung itu kini telah turun gunung bersama seorang muridnya! Baik Lian Hwa maupun Cin Han tahu akan maksud pemberitahuan dari Nyo Tiang Pek ini karena mereka berdua juga mengenal bahwa Hek Li Suthai adalah murid dari Lian Bwee Niang-niang atau yang berjuluk Sin-kun Mo-li (Iblis Perempuan Kepalan Dewa), seorang pertapa wanita yang berada di Gunung Ho-mo-san yang dulu pernah bentrok dengan mereka.
17
Mereka dapat menduga bahwa Hek Li Suthai tentu turun gunung untuk mencari musuh-musuh gurunya dan di antara musuh-musuhnya itu ialah mereka sendiri! Akan tetapi, dengan kepandaian seperti yang mereka miliki, kedua suami isteri yang perkasa ini sedikitpun tidak merasa takut.
Apalagi pada saat itu perasaan mereka telah penuh dengan rasa gembira dan kuatir, gembira karena dapat mendengar berita tentang Nyo Tiang Pek dan kuatir karena memikirkan keadaan Kong Sin Ek.
Pada keesokan harinya, Lo Sin lalu berangkat menuju ke Gunung Pek-ma-san, yakni tempat di mana Kong Sin Ek tinggal selama berpuluh tahun semenjak ia mengundurkan diri dari kalangan kang-ouw.
A-kwi juga berpamit hendak kembali ke kampungnya, dan Lian Hwa setelah mengadakan perundingan dengan suaminya, berkata kepada pedagang keliling itu,
“Saudara Gu Ma Kwi, karena kau telah kenal baik dan tahu akan keadaan Nyo twako maka kuanggap sebagai orang sekeluarga sendiri. Sekarang aku mohon kepadamu untuk menjadi orang perantaraan dalam menyampaikan lamaran kami. Harap kau sudi menyampaikan hormat kami kepada keluarga Nyo serta surat kami ini, dan dengan lisan hendaknya kau suka menyampaikan lamaran kami, yakni untuk menjodohkan putera kami yang telah kau lihat kemarin dengan puteri Nyo twako!”
Wajah A-kwi berseri. “Ah, kehormatan besar sekali yang jiwi jatuhkan kepadaku yang rendah! Tentu saja aku merasa girang sekali karena memang puteramu itu sesuai sekali apabila menjadi pasangan Nyo-siocia yang cantik jelita!”
Suami-isteri itu merasa girang sekali dan mereka selain memberi sepucuk surat yang panjang lebar kepada Nyo Tiang Pek, juga memberi hadiah-hadiah berharga kepada pedagang keliling itu.
Dengan naik seekor kuda yang bagus pemberian Cin Han. Gu Ma Kwi atau A-kwi kembali ke Pek-se-chung dengan cepat untuk menyampaikan warta girang ini. Oleh karena ia menunggang kuda yang dapat berlari cepat dan tidak menunda perjalanannya, maka dalam waktu sepuluh hari ia telah tiba di kaki Gunung Bong-ke-san.
Akan tetapi, tiba-tiba ketika ia tiba di kaki gunung, ia ditawan oleh serombongan tentara kerajaan. Memang pada waktu itu, siapa saja yang dicurigai, lalu ditawan untuk diperiksa. Hal ini terjadi oleh karena banyak mata-mata bangsa Turki yang berkeliaran di mana-mana.
Kebetulan sekali bahwa yang berada di markas tentara adalah perwira muda Lui Tik Kong sendiri. Pemuda ini semenjak mendapat penyerangan gelap dari to-kouw yang melukainya dengan pukulan Ang-see-ciang, menjadi sangat curiga dan melakukan penangkapan-penangkapan serta pemeriksaan keras.
Ketika mendengar bahwa ada seorang laki-laki yang tertawan dan dicurigai, lalu mengadakan pemeriksaan sendiri. Ia memerintahkan kepada anak buahnya agar supaya tawanan itu dibawa menghadap. Dengan tubuh menggigil karena ketakutan A-kwi menghadap Lui-ciangkun.
“Kau orang mana, datang dari mana, hendak ke mana?” tanya Lui Tik Kong sambil memandang tajam.
18
“Hamba bernama Gu Ma Kwi, tinggal di dusun Pek-se-chung di lereng bukit itu dan hamba baru datang dari Tit-lee,” jawabnya dan dengan suara gemetar menceritakannya bahwa dia menjadi utusan Nyo Tiang Pek untuk mengunjungi keluarga Lo di kota itu.
Mendengar bahwa orang ini adalah suruhan Nyo Tiang Pek, legalah hati Lui Tik Kong, akan tetapi ia tidak menyatakan perasaannya itu. Kini timbul perasaan ingin tahu di dalam hatinya dan secara iseng-iseng memeriksa bungkusan yang terbawa di atas kuda A-kwi. Diantara sekalian barang hadiah yang diberikan oleh Lian Hwa dan Cin Han kepada pesuruh itu, terdapat sesampul surat.
Tik Kong merasa tertarik dan setelah memerintahkan supaya A-kwi dibawa mundur, ia membuka dan membaca surat itu. Alangkah terkejutnya ketika membaca bahwa keluarga Lo yang agaknya menjadi sahabat baik Nyo Tiang Pek, telah mengajukan lamaran untuk Nyo Lee Ing, gadis yang menjadi kenangannya itu.
Lui Tik Kong menggigit-gigit bibir dengan perasaan tidak karuan. Diam-diam ia jatuh hati terhadap Nyo Lee Ing, maka tentu saja ia merasa kuatir dan menyesal sekali melihat gadis itu kini dilamar orang.
Sebenarnya perwira muda she Lui ini bukanlah seorang manusia baik-baik, akan tetapi ia amat cerdik dan pandai sekali membawa diri hingga siapa saja yang belum mengenal dasar wataknya yang buruk, tentu akan tertipu oleh gerak-geriknya yang sopan santun dan tutur katanya yang halus oleh karena selain memiliki kepandaian silat yang tinggi, Tik Kong juga telah mempelajari ilmu surat dengan baiknya.
Kini menghadapi persoalan yang membahayakan rencananya untuk mempengaruhi Nyo Tiang Pek dan mendapatkan Nyo Lee Ing, ia putar-putar otak mencari jalan. Akhirnya ia mendapatkan sebuah jalan yang cerdik sekali akan tetapi teramat keji. Ia diam-diam memberi tahu kepada anak buahnya bahwa tawanan itu benar-benar adalah seorang mata-mata Turki dan memerintahkan agar orang itu dibunuh.
Kemudian ia menggunakan kepandaiannya menulis dan segera menyalin surat dari Cin Han untuk Tiang Pek itu. Ia tiru gaya tulisan Cin Han dan tidak merobah model surat, hanya di bagian pelamaran ia tiadakan dan sebaliknya ia tambahkan bahwa putera Lo Cin Han yang bernama Lo Sin telah mempunyai seorang isteri.
Pada keesokan harinya, ia sendiri membawa bungkusan pakaian dan barang-barang A-kwi dan memasukkan kembali surat Cin Han ke dalam bungkusan itu, lalu pergi ke kampung Pek-se-chung di lereng bukit.
Bukan main kagetnya Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie ketika mendengar penuturan perwira muda itu.
“Kemarin sore, anak buahku menolong seorang bernama Gu Ma Kwi yang dikeroyok oleh perampok. Anak-anak buahku dapat menolong barang-barang yang dibawa oleh orang itu, akan tetapi tidak dapat menolong jiwanya karena ia telah menderita luka parah ketika pertolongan tiba. Dia telah tewas dan kami telah mengubur jenazahnya. Oleh karena sebelum mati ia meninggalkan pesan bahwa isi bungkusan ini harus diantar ke sini, maka aku sendiri lalu membawa bungkusan ini untuk dihaturkan kepada lopeh,” kata Tik Kong dengan wajah memperlihatkan kedukaan.
19
“Memang dia adalah utusan kami untuk mengunjungi seorang sahabat baikku di Tit-lee,” kata Tiang Pek dan ia bersama isterinya segera membuka bungkusan itu. Ketika melihat sesampul surat dari Lo Cin Han, mereka merasa girang sekali.
“Isteriku, kita harus memberitahukan hal ini kepada keluarga A-kwi, dan oleh karena kecelakaan yang menimpa diri pedagang yang bernasib buruk itu terjadi pada waktu ia menjadi utusan kita, maka sudah seharusnya kita memberikan semua barang berharga yang agaknya pemberian keluarga Lo kepada keluarga A-kwi, juga kita sendiri harus menjamin kehidupan keluarganya.”
Giok Lie setuju dengan pikiran suaminya ini. Kemudian mereka berdua lalu membaca surat dari Cin Han dengan girang sekali. Melihat surat yang panjang lebar ini, Giok Lie hampir tidak dapat menahan keharuan hatinya. Ia berteriak memanggil puterinya dan ketika Lee Ing muncul dari belakang hingga Tik Kong buru-buru menjura memberi hormat dengan dada berdebar girang, Giok Lie berkata.
“Ing-ji, lihat ini, pamanmu Lo Cin Han mengirim surat!”
Mereka bertiga dengan asyiknya lalu bersama membaca surat dari Cin Han yang sebetulnya ditulis oleh perwira muda yang duduk di depan mereka dan pura-pura tidak tahu apa-apa itu, bahwa keadaan kawan baik mereka itu dalam selamat, bahkan mereka kini telah mengawinkan putera tunggal mereka.
“Sayang kita tidak dapat datang menghadiri perkawinan Lo Sin,” demikian kata Tiang Pek dan diam-diam Giok Lie merasa agak kecewa di dalam hatinya, alangkah baiknya kalau Lo Sin putera Cin Han itu dijodohkan dengan Lee Ing. Ah, mengapa mereka saling berpisah demikian lama dan jauhnya hingga dia tidak mempunyai kesempatan untuk mengusahakan perjodohan puteri mereka?
Lui Tik Kong memang sering berkunjung ke situ dan bercakap-cakap dengan Nyo Tiang Pek dengan gembira. Kini Nyo Tiang Pek tiada hentinya bercakap-cakap tentang Lo Cin Han dan Lian Hwa dan di depan Lui Tik Kong ia memuji-muji kedua kawannya itu, bahkan menceritakan riwayat mereka.
Diam-diam hati Tik Kong bercekat cemas karena tidak disangkanya sama sekali bahwa kemarin malam ia telah merampas dan mengubah surat yang ditulis oleh Hwee-thian Kim-hong dan berani menewaskan utusan Ang Lian Lihiap. Kalau ia tahu, belum tentu ia berani bertindak sejauh itu, akan tetapi sekarang ia tidak dapat mundur lagi.
Ia harus bertindak terus, bahwa ia harus melanjutkan rencananya dengan cepat sebelum Nyo Tiang Pek sempat bertemu dengan suami isteri pendekar itu. Oleh karena pikiran-pikiran ini sangat menekan hatinya, Tik Kong tidak dapat bercakap-cakap dan tak lama kemudian ia minta diri.
Dua hari kemudian, Tik Kong menyuruh seorang perajurit tua yang menjadi orang kepercayaannya untuk menjadi perantara dan meminang Lee Ing. Pinangan ini walaupun amat menyenangkan hati Tiang Pek, akan tetapi pendekar ini tidak mau menerima begitu saja sebelum mendapat persetujuan dari isterinya. Maka ia lalu memanggil isterinya untuk merundingkan soal lamaran ini.
“Lebih baik kita minta kepada Lui-ciangkun supaya bersabar dan jawaban atas pinangannya kita putuskan tiga hari kemudian.”
20
Tiang Pek setuju akan maksud dan kehendak isterinya itu maka ia lalu minta kepada utusan itu agar disampaikan kepada Lui-ciangkun bahwa jawabannya akan diberikan tiga hari kemudian dan minta ia supaya utusan itu suka datang lagi waktu itu.
Setelah perajurit tua itu pergi, Nyo Tiang Pek lalu merundingkan hal peminangan itu dengan isterinya.
“Menurut pandangan dan pikiranku, Lui Tik Kong cukup gagah, tampan dan berbudi. Aku setuju sekali memberikan anak kita kepada pemuda gagah itu.”
Akan tetapi Giok Lie berpendapat lain. “Hal ini terserah saja kepadamu, akan tetapi, aku sendiri tidak begitu suka kepada sikap lemah lembut dari seorang pemuda, oleh karena sikap ini meragukan dan suka menyembunyikan watak aseli dari pemuda itu. Aku lebih suka kalau Ing-ji mendapat jodoh seorang pemuda yang berwatak polos dan jujur seperti kau, tanpa banyak lagak sopan yang dibuat-buat!”
“Ha-ha-ha! Mana di dunia ini ada pemuda lain yang sehebat suamimu ini?” Tiang Pek berkelakar. “Isteriku yang manis, anak kita itu sudah cukup dewasa, usianya sudah tujuhbelas tahun lebih. Lihatlah kepada Cin Han dan Lian Hwa, diam-diam mereka itu sudah mempunyai anak mantu dan mungkin sebentar lagi mereka akan menimang-nimang cucu mereka! Bukankah mereka itu berbahagia sekali? Aku merasa iri hati kepada mereka maka janganlah kita ketinggalan! Kita juga mempunyai anak dan kita juga sudah ingin mempunyai cucu!”
Giok Lie menghela napas. “Sayang sekali tidak dari dulu kita berhubungan dengan mereka. Kalau saja cucu yang akan mereka timang-timang itupun menjadi cucu kita pula, alangkah akan bahagianya!”
Mendengar ucapan ini, untuk sejenak Tiang Pek termenung dan hatinya terpukul. Memang, kalau seperti kata-kata isterinya itu, iapun akan merasa puas dan senang sekali. Ia tidak akan meragukan kegagahan dan kebaikan putera Cin Han. Akan tetapi, putera tunggal Cin Han dan Lian Hwa sudah beristeri, maka tidak perlu hal itu dipikir lebih jauh.
“Isteriku, hal itu tidak perlu dibicarakan lagi, oleh karena menyimpang daripada kenyataan dan hanya akan menjadi mimpi buruk belaka! Kurasa kita tidak keliru memilih apabila kita memberikan anak kita kepada Lui Tik Kong. Ingatlah, ia telah dilukai oleh Hek Li Suthai yang memusuhi kita, dan hal ini saja sudah menjadikan alasan cukup bahwa pemuda itu segolongan dengan kita.”
“Nanti dulu, suamiku. Kau berbicara seakan-akan kau sendiri yang hendak kawin! Sudah lupakah kau kepada pikiran dan pendapat Lee Ing? Dia seoranglah yang harus memutuskan, dan tidak baik kalau kita memaksanya.”
Nyo Tiang Pek tertawa, “Ha, ha, biarpun hatinya setuju, tidak mungkin dia mau mengaku! Coba kau panggil dia kemari.”
02.04. Kekerasan Hati Ayah dan Anak
Ketika itu Lee Ing sedang pergi ke rumah keluarga A-kwi yang berada dalam kedukaan besar berhubung dengan kecelakaan yang menimpa diri A-kwi. Dengan hati sangat terharu dan penuh iba,
21
Lee Ing menghibur mereka, bahkan berjanji bahwa dia akan membasmi perampok-perampok yang telah menjatuhkan tangan kejam terhadap A-kwi.
Ketika mendengar dari seorang tetangga bahwa ibunya mencari, ia lalu segera pulang dan merasa heran melihat bahwa ayah dan ibunya telah menantinya di ruang dalam dan pada wajah mereka nampak kesungguhan seakan-akan sedang menghadapi urusan besar.
“Lee Ing,” kata Giok Lie, karena Nyo Tiang Pek menyerahkan urusan ini ke tangan isterinya untuk menghadapi puteri tunggal mereka. “Tahukah kau, berapa sekarang usiamu?”
Dara jelita itu memandang kepada ibunya dengan mata dilebarkan, lalu ia tertawa manis. “Eh, eh, tiada hujan tiada angin, datang-datang ibu bertanya tentang usiaku. Apakah ibu sendiri telah lupa?”
Giok Lie tertawa pula melihat kejenakaan anaknya, lalu dengan gerakan halus dan penuh sayang ia pegang tangan anaknya.
“Dengarlah baik-baik, anakku, dan jangan bersikap seperti seorang anak kecil. Sekarang kau telah berusia tujuhbelas tahun dan kau tahu, apa artinya itu bagi seorang gadis remaja. Orang hidup tidak akan terlepas daripada kewajiban yang mengikat, yakni tali perjodohan. Belum lama tadi telah datang orang yang maksudnya hendak melamarmu.”
Tiba-tiba wajah gadis itu menjadi pu¬cat dan ia melangkah mundur dua tindak sambil membetot tangannya yang dipegang oleh ibunya. “Apa……? Tidak…… aku tidak mau,” katanya.
Melihat sikap anaknya yang seakan-akan seekor burung murai menghadapi ular yang hendak menyerangnya, Tiang Pek tertawa bergelak.
“Ha-ha! Ing-ji, mengapa begitu penakut? Kawin bukanlah hal yang harus ditakuti. Hal itu merupakan saat yang paling bahagia bagi seorang manusia hidup.”
Lee Ing hanya geleng-geleng kepala sambil tundukkan mukanya yang menjadi merah.
“Ing-ji, terus terang saja kuberitahu padamu bahwa kau dipinang oleh Lui-ciangkun untuk menjadi isterinya. Bagaimana pikiranmu, nak?”
Lee Ing tundukkan kepalanya makin dalam tanpa berani menjawab karena malu.
“Ing-ji, menurut pendapat ayahmu, pemuda itu cukup baik dan cukup gagah. Kau takkan kecewa menjadi isterinya,” kata Tiang Pek dengan suara membujuk.
Tiba-tiba Lee Ing mengangkat mukanya dan memandang wajah ayahnya dengan berani. “Tidak, ayah. Aku tidak mau. Aku tidak mau menjadi isterinya, tidak mau menjadi isteri orang, tidak mau berpisah dari kalian berdua.”
Ucapan yang keras ini merupakan letupan yang mengejutkan Tiang Pek dan mengherankan Giok Lie.
22
“Apa maksudmu? Mengapa kau menolaknya? Kurang apakah dia itu?” tanya Tiang Pek yang juga memiliki watak keras.
“Aku…… aku hanya mau menjadi isteri seorang seperti…… kau, ayah!”
Tiang Pek dan Giok Lie saling pandang dan tiba-tiba keduanya tertawa bergelak¬gelak dengan hati geli. Tiang Pek gunakan jari telunjuknya menuding Giok Lie dan tangan kirinya dikepalkan lalu tinju itu diamang-amangkan kepada isterinya, sedangkan suara ketawanya belum juga lenyap.
“Ah, kau…… tentu kau yang mengajari dia!”
Tapi Giok Lie geleng-geleng kepala dan berkata kepada Lee Ing. “Ing-ji, jangan kau bicara tidak karuan dalam saat seperti ini. Betapapun juga, akhirnya kau terpaksa harus kawin. Kami tidak akan memaksamu menerima pinangan Lui Tik Kong, akan tetapi kalau kau menolak, kau harus menggunakan alasan-alasanmu, jangan asal menolak dengan keras kepala saja!”
“Dia…… dia harus lebih dulu kalahkan aku!” akhirnya Lee ing menjawab.
Tiang Pek merasa penasaran dan tidak senang. Ia maklum bahwa biarpun kepandaian Lui Tik Kong cukup tinggi, akan tetapi agaknya tidak mungkin baginya akan dapat mengalahkan anaknya yang ia tahu sangat lihai, apalagi setelah Lee Ing kini melatih ilmu pukulan Gin-san-ciang. Maka ia anggap ini hanya sebagai alasan anaknya untuk menghina dan memandang rendah Lui Tik Kong belaka.
“Lee Ing!” katanya dengan suara keras. “Jangan kau bersifat sombong dan menganggap diri sendiri paling pandai. Apa kaukira yang terpenting di dunia ini hanya kepandaian silat tinggi? Apa artinya kepandaian tinggi kalau hatinya tidak bersih?
“Kalau kau menolak karena kau dasarkan atas ciri-ciri dan cacad yang ada pada diri Lui-ciangkun, aku masih dapat mempertimbangkannya, akan tetapi kalau hanya berdasar bahwa kau memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari padanya, hal itu menunjukkan betapa sombongnya kau ini! Aku tidak suka mempunyai anak yang bersikap sombong!”
Lee Ing memandang kepada ayahnya dengan wajah mengandung penasaran dan kedua matanya terbelalak, kemudian setelah ayahnya berhenti berkata-kata, ia membalikkan tubuh dan tanpa berkata sesuatu ia berlari masuk ke dalam kamarnya. Terdengar isak tertahan ketika ia berlari tadi.
“Sabarlah, sabarlah!” kata Giok Lie. “Mengapa ayah dan anak sama-sama keras kepala dan bersitegang seperti kerbau terluka? Kita sedang merundingkan hari kemudian anak kita dan mencarikan jalan baik untuk hidupnya mengapa harus ribut-ribut seperti orang-orang memperebutkan warisan?”
Nyo Tiang Pek menghela napas. “Hm, melihat lagak anak kita itu, aku jadi teringat kepada Ang Lian Lihiap. Keras hati dan tidak mau kalah oleh siapapun juga!”
Giok Lie tersenyum. “Tidak aneh, karena memang jarang sekali aku dapat melupakan bayangan Lian Hwa cici dari ingatanku, dan…… aku senang kalau Lee Ing mempunyai persamaan dengan dia. Sudahlah, hal itu kita undurkan dulu saja.”
23
“Bagaimana nanti kalau suruhan Lui-ciangkun datang minta keputusan?”
“Bilang saja terus terang bahwa anak kita belum sanggup mengikat diri dengan perjodohan dan kalau suka bersabar, biarlah dia menanti satu-dua tahun lagi.”
“Hm, agaknya kalau perlu dalam waktu setahun dua tahun itu, Lui-ciangkun harus menerima pelajaran silat yang lebih tinggi untuk dapat mengalahkan Lee Ing,” kata Tiang Pek.
Giok Lie tidak menjawab, hanya lalu pergi ke kamar anaknya untuk menghibur hati Lee Ing.
Lee Ing semenjak kecilnya sangat dimanja, maka sedikit perlakuan keras dari ayahnya itu sangat menyakiti hatinya. Ketika ibunya memasuki kamarnya, gadis itu rebah telungkup di atas pembaringan sambil menahan tangisnya hingga tubuhnya bergoyang-goyang.
“Ing-ji, sudahlah jangan kau marah. Ayahmu bermaksud baik dan sama sekali tak akan memaksamu kalau kau tidak setuju.”
Mendengar kata-kata ibunya, Lee Ing lalu bangun duduk dan berkata sambil mengeringkan air matanya, “Ibu, aku akan mengetok kepala perwira kurang ajar itu!”
Ibunya memandangnya heran. “Eh, eh, apa salahnya Lui-ciangkun maka kau hendak mengetok kepalanya?”
“Mengapa ia berani melamarku?”
“Ing-ji, jangan kau bersikap begitu. Apa salahnya orang meminang? Diterima atau tidak, itu tergantung yang dipinang. Peminang bukan orang jahat yang memaksa, jangan kau persalahkan kepadanya.”
“Bagaimanapun juga, dialah yang menjadi biang keladi hingga ayah marah kepadaku,” kata Lee Ing sambil merengut.
Ibunya tersenyum dan menganggap bahwa anaknya ini terlalu manja dan bahwa kemarahan terhadap Lui Tik Kong ini hanya gertak sambal belaka. Maka ia lalu menghibur hati Lee Ing hingga tak lama kemudian timbul kembali sinar gembira pada wajah dara itu.
Giok Lie sama sekali tidak pernah menyangka bahwa bentakan-bentakan Tiang Pek siang tadi telah menggores dan melukai hati Lee Ing, karena pada dasarnya gadis ini memiliki perasaan halus yang mudah tersinggung. Rasa marahnya kepada Lui Tik Kong juga tidak mudah dihilangkan dengan hiburan demikian saja, maka biarpun di depan ibunya ia memperlihatkan muka gembira, namun di dalam hatinya ia telah mengambil keputusan untuk menyerbu dan memberi hajaran kepada perwira muda itu.
Malam hari itu, bulan memancarkan sinarnya dengan penuh hingga keadaan menjadi terang dan indah. Diantara cahaya bulan sesosok bayangan yang gesit sekali gerakannya berkelebat di bawah pohon-pohon dan berlari cepat sekali.
24
Bayangan ini adalah seorang gadis bertubuh kecil langsing dan berpakaian ringkas. Pedang tergantung di pinggang dan rambutnya yang hitam tebal itu diikat dengan serangkai mutiara putih di atas kepala dan ujungnya berjuntai ke belakang dan bergerak-gerak di punggungnya dengan lucu. Gadis ini adalah Lee Ing yang diam-diam meninggalkan rumahnya dan menuju ke benteng yang menjadi markas tentara kerajaan di bawah pimpinan Lui Tik Kong.
Benteng itu dilingkungi tembok yang tebal dan tinggi, akan tetapi dengan gerakan yang ringan cepat bagaikan seekor burung murai terbang. Lee Ing menggenjot tubuhnya ke atas tembok sambil menghunus pedangnya untuk bersiap sedia. Dara muda ini biarpun telah mewarisi kepandaian yang tinggi, ia belum mempunyai pengalaman apa-apa, hingga ia berlaku sembrono dan tidak hati-hati.
Ketika ia melompat ke atas tembok, tiba-tiba ia melihat bayangan beberapa orang di dalam markas. Ia lalu berjongkok di atas tembok itu sambil memegang pedangnya erat-erat di tangan kanan. Matanya tajam memandang ke arah bayangan orang-orang yang berdiri dan bercakap-cakap di pintu benteng itu.
Mereka ini adalah anggauta-anggauta tentara yang bermalam dan karena tiada sesuatu yang dikerjakan mereka lalu mengobrol di pintu benteng.
Biarpun belum berpengalaman, namun Lee Ing mempunyai kecerdikan dan ketabahan. Pula ia berhati keras hingga tidak suka akan segala hal yang dilakukan dengan sembunyi, maka ia lalu berdiri lagi di atas tembok sambil berteriak nyaring.
“Hai, para penjaga yang doyan mengobrol!”
Lima orang penjaga itu terkejut sekali dan mereka menengok. Untuk sesaat mereka mencari-cari dengan mata mereka karena tidak menyangka bahwa orang yang berseru itu berdiri di atas tembok yang tinggi itu.
Kemudian seorang di antara mereka melihat Lee Ing yang berdiri di atas tembok dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan melintangkan pedang di depan dadanya. Ia lalu berseru sambil menuding dan semua kawannya kini melihat gadis itu. Mereka lalu beramai mencabut senjata dan lari menghampiri ke arah tembok.
“Hai, iblis wanita dari mana dan apa maksudmu maka berani datang ke benteng kami?” tegur mereka.
“Jangan banyak cakap yang tak berguna!” Lee Ing menjawab. “Lekas beritahukan kepada perwira gadungan Lui Tik Kong untuk segera keluar dan naik ke sini, kalau benar-benar ia seorang laki-laki gagah!”
“Eh, bocah galak! Kau turunlah dan kami cukup jantan untuk melayanimu!” berkata seorang di antara kelima penjaga itu yang telah melihat kecantikan Lee Ing di bawah sinar bulan purnama. Kata-katanya ini diucapkan sambil tertawa-tawa, maka bukan main marahnya Lee Ing.
“Bangsat rendah, kalian mencari penyakit sendiri!” Sambil berkata, tubuhnya yang langsing itu menyambar turun dengan cepatnya bagaikan menyambarnya burung rajawali ke arah orang itu.
25
Bukan main kagetnya lima orang penjaga itu. Mereka lalu angkat senjata untuk mengeroyok Lee Ing, akan tetapi tubuh Lee Ing yang menyambar turun dengan gerakan Naga Hitam Terjun ke Laut ini bagaikan kilat menyambar mereka dan tiba-tiba saja mereka berlima merasa betapa pedang gadis itu menyambar tanpa dapat dikelit atau ditangkis lagi.
Untungnya bahwa Lee Ing tidak berhati kejam dan sengaja pegang pedangnya dengan dibalikkan hingga bukan tajam pedang yang membabat, akan tetapi muka pedang yang datar dan licin digunakan untuk menampar. Namun, karena pedang itu terbuat daripada baja keras dan tenaga Lee Ing sangat besar, lima orang penjaga yang kena tampar kepala, tangan, dan pipi mereka itu, berkaok-kaok kesakitan dan lari tunggang-langgang bagaikan orang takut diserang setan.
Lee Ing tertawa geli dan kembali mencelat naik ke atas tembok dan berdiri menanti seperti tadi.
Lima orang penjaga itu cepat berlari ke dalam benteng dan sebentar saja puluhan orang perajurit berlari keluar, mengiringkan seorang perwira muda yang memegang pedang. Perwira muda ini bukan lain adalah Lui Tik Kong sendiri yang mengira bahwa to-kouw yang mengganggunya dulu itu telah datang menyerbu. Maka alangkah heran dan terkejutnya ketika melihat bahwa yang berdiri di tembok dengan sikap tenang dan gagah itu bukan lain ialah Lee Ing, nona cantik jelita yang menjadi gadis impiannya dan yang telah dipinangnya.
Ia segera menjura dari bawah tembok. “Ah, tidak tahunya Nyo-siocia yang malam-malam datang berkunjung. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali. Silakan turun, nona, dan marilah kita bicara dengan baik di ruangan tamu kalau nona mempunyai urusan dengan kami.”
“Cis! Siapa mempunyai urusan dengan kau untuk dibicarakan pada malam hari! Kau telah berlaku lancang sekali, kaukira kau ini orang macam apakah? Kalau memang kau berkepandaian, kau naiklah ke tembok ini!”
Lui Tik Kong masih belum mengerti mengapa nona manis itu datang-datang telah begitu marah, akan tetapi karena ia dihina di depan anak buahnya ia merasa malu sekali.
“Jadi kau hendak bicara di atas tembok ini saja, Nyo-siocia? Baiklah! Agaknya tembok ini belum begitu tinggi untukku!”
Sambil berkata demikian, Lui Tik Kong lalu menggerakkan tubuhnya dan melompat ke atas dengan gerakan Burung Hong Naik Sorga. Gerakannya cukup indah dan ringan hingga anak buahnya bersorak memuji. Akan tetapi Lee Ing tersenyum mengejek.
“Baru memiliki kepandaian sebegitu saja, kau telah anggap cukup untuk berani menghinaku?”
Mereka kini berdiri berhadapan di atas tembok yang lebarnya hanya satu setengah kaki. Kembali Lui Tik Kong menjura dan memainkan senyum manis di bibirnya.
“Maafkan aku, siocia. Sungguh mati aku tidak mengerti maksudmu. Kekurangajaran apakah yang telah kulakukan maka siocia marah-marah kepadaku?”
26
“Apa yang telah kaulakukan siang tadi? Kau telah berani sekali mengutus orang untuk…… untuk melamarku!”
Lui Tik Kong tercengang.
“Eh…… urusan ini…… eh, mengapa nona menjadi marah-marah? Apakah utusanku mengeluarkan kata-kata kurang ajar dan menyinggung hatimu? Nona, aku meminangmu karena…… aku cinta padamu.”
“Bangsat kurang ajar!” Wajah Lee Ing memerah, karena biarpun ucapan Lui Tik Kong itu takkan terdengar oleh para tentara yang berdiri agak jauh di bawah tembok, namun selama hidupnya belum pernah ia mendengar seorang pemuda menyatakan cinta hatinya terhadap dia, maka rasa malu dan jengah membuatnya menjadi marah sekali.
“Apa salahku maka kau marah-marah, nona?” tanya Tik Kong.
“Cabutlah pedangmu dan coba lawanlah pedangku kalau kau memang orang gagah dan jangan banyak cakap!”
Lui Tik Kong merasa penasaran sekali. Ia sendiri memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, maka tentu saja ia tidak akan takut kepada Lee Ing yang belum pernah dilihat kepandaiannya.
Pula, ia dapat meraba maksud gadis ini. Agaknya karena menerima pinangannya, gadis ini sengaja hendak mencoba kepandaiannya. Ia tahu bahwa banyak gadis kang-ouw yang selalu ingin mengukur kepandaian calon suaminya. Maka sambil tersenyum ia lalu mencabut pedangnya.
“Aku hanya taat pada permintaanmu dan bersedia mengiringi kehendakmu, nona,” katanya.
“Hah! siapa mau mengobrol denganmu? Lihat senjata!” Lee Ing lalu mengirim serangan dan ketika Lui Tik Kong menangkis, pemuda ini menjadi pucat karena pedangnya terpental dan hampir saja terlepas dari pegangan!
Kini maklumlah ia bahwa tenaga lweekang dari dara muda ini hebat sekali dan gerakan pedangnya pun demikian cepatnya. Diam-diam ia menjadi jerih, maka segera melepaskan ikat pinggangnya dari kain tebal dan memegang ikat pinggang ini di tangan kiri.
Inilah keistimewaan Lui Tik Kong, ia dapat memainkan pedang di tangan kanan dan ikat pinggang dari kain di tangan kiri. Ikat pinggang ini, walaupun hanya terbuat daripada kain, akan tetapi berbahaya sekali. Kepandaian ini ia dapatkan dari Kong Sin Ek si Dewa arak yang amat terkenal namanya oleh karena senjatanya berupa baju luar yang terbuat dari kain kasar pula!
Setelah mengeluarkan ikat pinggangnya, barulah Lui Tik Kong dapat mengimbangi serangan Lee Ing. Akan tetapi bertempur di atas tembok itu jauh bedanya dengan bertempur di atas tanah, oleh karena mereka tidak dapat bergerak dengan leluasa, sedangkan dalam hal ginkang, pemuda itu masih jauh di bawah Lee Ing tingkatnya! Maka Tik Kong lalu melompat turun sambil berseru.
“Nyo-siocia, di atas tembok kurang leluasa, silakan turun dan kita bermain-main di atas tanah.”
27
“Kaukira aku takut?” kata Lee Ing yang menyambar turun pula dan sebelum kakinya menginjak tanah, pedangnya telah diputar dan menyerang ke arah leher Tik Kong dengan gerak tipu Han-ya-pok-cui atau Burung Gagak Menyambar Air.
Tik Kong cepat mengebut dengan kain di tangan kirinya dan membalas menyerang dengan hebat. Pemuda ini ketika melihat betapa serangan-serangan Lee Ing bukan dilakukan secara main-main, akan tetapi dengan sengit dan bersungguh-sungguh, menjadi terkejut dan penasaran. Iapun menjadi sengit dan menyerang sama hebatnya!
Di dalam hatinya, Lee Ing memuji kepandaian perwira muda ini yang memang cukup tinggi, akan tetapi entah mengapa, ia tidak suka kepada Tik Kong yang bersikap sopan-santun dan lemah lembut itu. Maka sekarang ketika melihat betapa pemuda itu belum juga dapat dikalahkannya, ia merasa malu dan penasaran maka ia lalu menggerakkan pedangnya lebih cepat pula dan mengeluarkan seluruh kepandaiannya.
Pada suatu saat, ketika Lee Ing menyerang dengan sebuah tusukan ke arah dada, Tik Kong mengelak ke samping dan menggerakkan kain di tangan kirinya. Kain ini tiba-tiba menjadi lemas dan membelit pedang gadis itu dengan erat.
Lee Ing terkejut sekali dan sebelum Tik Kong sempat menusuk dengan pedang, baru saja pemuda itu mengangkat tangan kanan untuk mengirim serangan balasan sambil menahan pedang lawan dengan kainnya, tiba-tiba Lee Ing menggerakkan tangan kiri memukul ke depan sambil berseru nyaring. Ternyata bahwa dalam marahnya, gadis ini telah menggunakan pukulan Gin-san-ciang dengan tangan kiri ke arah pundak kanan Tik Kong yang tak menyangka sama sekali.
02.05. Dua Musuh Orang Tua
Hal ini tidak mengherankan oleh karena jarak antara kepalan Lee Ing dan pundaknya masih jauh, maka tanpa mengelak pun kepalan gadis itu takkan sampai ke pundaknya. Tidak tahunya kelihaian pukulan Gin-san-ciang justeru kalau kepalan tangan yang memukul itu tidak mengenai sasaran, oleh karena pukulan ini dikerahkan dengan sinkang istimewa hingga angin pukulan itulah yang menyerang hebat.
Tik Kong tiba-tiba merasa pundaknya sakit sekali dan sambil berteriak keras ia melepaskan pedangnya sambil melompat mundur dan terhuyung-huyung dengan wajah pucat. Lee Ing baru ingat bahwa ia telah kesalahan tangan melukai pemuda itu.
Tadinya ia hanya ingin mengetok kepala pemuda itu untuk memberi malu dan memberi hajaran, tidak ia sangka bahwa Tik Kong benar-benar lihai hingga terpaksa ia menggunakan Gin-san-ciang untuk merobohkannya. Lee Ing maklum bahwa hal ini tentu akan terdengar oleh ayahnya dan ia pasti akan mendapat marah, maka ia lalu melompat ke atas tembok dan menghilang keluar, akan tetapi bahkan terus lari turun gunung.
Sambil berlari ia berpikir. Ke mana ia akan pergi? Mau pulang takut dimarahi ayahnya, tidak pulang, pergi kemanakah? Tiba-tiba ia teringat kepada Ang Lian Lihiap di Tit-lee. Lebih baik ia pergi ke sana
28
untuk melihat keadaan mereka dan untuk mencoba kepandaian suami isteri pendekar yang amat tersohor dan sering dipuji-puji ayahnya itu.
Lee Ing tak perlu kuatir akan biaya perjalanan, oleh karena selain memakai perhiasan daripada emas di dadanya, juga gadis ini mempunyai pengikat rambut dari mutiara putih yang mahal harganya. Ia menjual perhiasannya dan dengan uang hasil penjualan itu ia dapat membiayai penginapan dan makan. Bahkan ia membeli beberapa stel pakaian untuk pengganti dan pakaian itu dibungkusnya merupakan buntalan besar yang diikat pada punggungnya.
Pada masa itu, biarpun pada umumnya kaum wanita jarang keluar pintu, akan tetapi banyak juga wanita-wanita gagah melakukan perjalanan seorang diri atau berkawan, yang umumnya disebut wanita-wanita kang-ouw atau banyak juga pendeta-pendeta wanita yang disebut to-kouw. Akan tetapi, jarang sekali ada wanita kang-ouw yang semuda dan secantik Lee Ing hingga tentu saja ia menimbulkan perhatian dan keheranan di tiap kampung dan kota yang dilewatinya.
Beberapa hari kemudian, ia tiba di sebuah dusun yang hanya terpisah sejauh sehari perjalanan dari Tit-lee, dan oleh karena hari telah mulai gelap ketika ia memasuki dusun itu, ia lalu mencari tempat penginapan. Akan tetapi, di dusun yang kecil dan jarang kedatangan orang luar dusun itu, tentu saja ia tidak berhasil mendapatkan sebuah rumah penginapan.
Akhirnya Lee Ing melihat sebuah kuil pendeta wanita di luar kampung, maka ia segera mengetuk pintu kuil yang tertutup. Seorang nikouw (pendeta wanita yang berkepala gundul) muda menyambutnya dan menanyakan maksud kedatangannya.
Lee Ing mengangkat tangan memberi hormat.
“Aku yang muda mohon diberi kesempatan bermalam untuk malam ini di sini, dan tentu saja aku bersedia mengganti kerugian.”
Nikouw itu tersenyum dan wajahnya yang berkepala gundul itu terbayang kemanisan seorang wanita cantik, hingga Lee Ing dapat menduga bahwa kalau kepala yang gundul itu ada rambutnya yang hitam dan panjang tentu nikouw itu menjadi seorang wanita yang cantik.
“Li-enghiong janganlah berlaku sungkan. Silakan masuk dan pinni kebetulan masih mempunyai sebuah kamar kosong di belakang.”
Lee Ing menghaturkan terima kasih dan setelah menjura kepada meja sembahyang di depan sebuah patung Dewi Kwan Im yang berada di ruang depan, ia lalu mengikuti nikouw itu ke belakang dan ternyata bahwa kamar itu cukup bersih, walaupun sangat sederhana.
Malam itu Lee Ing tidur nyenyak karena sehari penuh ia telah berjalan kaki tanpa berhenti. Sebelum ia jatuh pulas, lapat-lapat ia mendengar suara seorang laki-laki tertawa hingga ia menjadi heran sekali mengapa dalam sebuah kuil wanita terdapat suara laki-laki.
Akan tetapi ia terlampau letih untuk memperhatikan hal ini dan ia menduga bahwa suara itu tentu suara seorang nikouw wanita yang memiliki suara parau dan besar seperti laki-laki. Oleh karena ini, tanpa curiga ia tidur pulas.
29
Akan tetapi, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia bangun dan hendak melanjutkan perjalanannya di kala fajar baru saja menyingsing karena bermaksud supaya bisa, sampai di Tit-lee sebelum gelap, ia melihat bayangan seorang laki-laki berkelebat keluar dari kamar besar tengah kuil.
Lee Ing menjadi marah sekali dan menyangka bahwa laki-laki itu tentu seorang pencuri. Dengan sekali lompatan saja ia telah melampaui laki-laki itu dan mengirim tendangan ke arah lutut orang itu.
Laki-laki ini ternyata seorang yang masih muda dan berwajah tampan juga. Karena tendangan Lee Ing yang cepat mengenai lututnya, ia berteriak kesakitan dan roboh tidak dapat bangun kembali, hanya memegang-megang kakinya sambil mengaduh-aduh dan memanggil.
“Aduh, tolong…… toanio……, tolonglah……!”
Tiba-tiba kamar besar dari mana laki-laki tadi keluar, terbuka pintunya dan seorang wanita yang berpakaian sebagai seorang to-kouw (pendeta wanita pemeluk Agama To) yang rambutnya riap-riapan ke belakang keluar dengan tindakan cepat. Wanita ini berusia tigapuluh tahun lebih akan tetapi wajahnya masih tampak cantik, sedangkan sepasang matanya galak dan genit.
Melihat betapa laki-laki kekasihnya itu dilukai orang, ia menjadi marah dan menuding kepada Lee Ing sambil memaki.
“Perempuan rendah dari manakah berani menghina orang?”
Lee Ing yang tadinya sudah marah karena menyangka bahwa laki-laki itu seorang pencuri, kini menjadi makin marah sekali oleh karena mendapat kenyataan bahwa ternyata laki-laki itu bukan seorang pencuri, akan tetapi seorang buaya darat yang mencemarkan kesucian kuil itu dengan menjadi kekasih seorang to-kouw yang tentunya hanya seorang tamu di kuil itu, karena kuil itu adalah tempat para nikouw pemuja Dewi Kwan Im. Maka sepasang mata dara ini bersinar-sinar karena marahnya.
“Hm, tak kusangka di dunia ini ada seorang to-kouw semacam ini! Kau sendiri perempuan rendah, masih berani memaki orang lain?” katanya.
To-kouw ini bukan lain adalah Bi Mo-li atau Iblis Cantik yang menjadi murid Hek Li Suthai. Bi Mo-li inilah yang dulu pernah melukai Lui Tik Kong dengan Ang-see-ciang. Nama Hek Li Suthai sangat terkenal dan juga nama Bi Mo-li si Iblis Cantik ini tidak kalah tersohornya, maka tentu saja ia menjadi marah mendengar makian Lee Ing.
“Kau harus mampus!” teriaknya dan bagaikan seekor iblis wanita yang mengerikan. Bi Mo-li bergerak dan tubuhnya melayang ke arah Lee Ing dengan tangan kanan diulur serta penuh mengandung tenaga Ang-see-ciang.
Melihat cahaya merah yang bersinar dari tangan itu, Lee Ing terkejut karena ia tahu bahwa ini tentu tangan yang mengandung Ang-see-ciang. Ia lalu kumpulkan napasnya dan keluarkan ilmu dan tenaga Gin-san-ciang yang telah dipelajarinya dengan sempurna.
30
Ketika hawa tenaga Ang-see-ciang menghantam ke arah Lee Ing, maka gadis ini lalu menggerakkan lengannya menangkis. Bi Mo-li menjerit keras dan terpental mundur oleh tenaganya sendiri.
Untung sekali bahwa latihan Gin-san-ciang dari Lee Ing belum begitu lama hingga kekuatannya masih kurang hebat. Kalau Tiang Pek yang melakukan tangkisan ini, mungkin Bi Mo-li akan mendapat luka dalam yang hebat sekali! Namun tangkisan Lee Ing ini cukup membuat ia terpental ke belakang dan jatuh!
Bagaikan kemasukan setan Bi Moli melompat berdiri dan dengan marah sekali ia lalu mencabut pedang dan hud-tim (kebutan pertapa) kemudian langsung menyerang Lee Ing bagaikan kerbau gila mengamuk! Lee Ing berlaku tenang karena maklum banwa to-kouw ini bukanlah lawan yang lunak. Ia menghunus keluar pedangnya dan melayani dengan hati-hati.
Ternyata ilmu kepandaian Bi Mo-li cukup tangguh dan tinggi hingga kalau saja Lee Ing tidak menerima gemblengan yang keras dan sungguh-sungguh dari ayahnya, tentu ia takkan kuat bertahan. Akan tetapi, ilmu pedang Lee Ing yang menjadi warisan dari sukongnya atau kakek gurunya, yakni Kang-lam Taihiap Kam Hong Tie yang pernah disebut sebagai jago nomor satu di darat, benar-benar hebat dan dengan pedangnya itu ia dapat mendesak Bi Mo-li! Sayang bahwa Lee Ing kalah pengalaman bertempur, kalau tidak tentu ia akan berhasil mengalahkan Iblis Wanita Cantik itu dalam waktu pendek.
Pada saat Lee Ing mendesak lawannya, tiba-tiba menyambar hawa dingin dan tahu-tahu pedang Lee Ing telah terampas orang!
Juga Bi Mo-li melompat mundur dan menjura kepada orang yang baru tiba. Ketika Lee Ing memandang, ternyata yang merampas pedang itu adalah seorang to-kouw tua yang berkulit muka putih halus akan tetapi kedua tangan to-kouw itu hitam. Inilah Hek Li Suthai dan kepandaiannya dapat diukur tingginya dengan kenyataan tadi bahwa dalam segebrakan saja ia berhasil merampas pedang Lee Ing!
“Nona, kali ini aku masih memberi ampun kepadamu, karena kau masih muda dan pinni sayang akan kepandaianmu. Kalau kau masih berusia panjang dan lain kali dapat bertemu lagi. Sebelum kau berlutut dan mengangguk delapan kali, kau takkan dapat kuampunkan!” Sambil berkata demikian Hek Li Suthai mengangsurkan kembali pedang Lee Ing.
Gadis ini menerima kembali pedangnya, akan tetapi ia sama sekali tidak merasa takut. Bahkan ia memandang marah sekali hingga mukanya serasa dibakar karena merasa telah dihina orang. Akan tetapi, apa dayanya? Sudah terang bahwa to-kouw tua ini lihai bukan main dan ia bukanlah lawan seimbang maka ia menahan nafsu marahnya dan bertanya.
“Siapakah namamu, agar lain kali aku yang muda takkan lupa lagi.”
To-kouw tua itu tertawa haha-hihi dan suara ketawanya menyeramkan sekali, “Kau benar-benar bernyali besar! Kalau kau sekarang berlutut minta ampun, dengan sekali kebut saja hud-tim ku ini tentu akan menghancurkan batok kepalamu yang bagus. Tapi kau pemberani dan pinni suka kepada orang yang berani. Dengarlah, hai anak cantik. Pinni adalah Hek Li Suthai dari Hoa-mo-san.'“
31
Lee Ing makin mendongkol karena tahu bahwa inilah musuh yang hendak mencari ayahnya. Maka tanpa berkata sesuatu, ia lalu balikkan tubuhnya dan berlari keluar dengan cepat dan dengan hati gemas dan mendongkol.
Belum berapa lama keluar dari pintu, sekarang telah bertemu lawan tangguh dan kena dikalahkan bahkan menerima hinaan. Hampir saja Lee Ing mengalirkan air mata dari kedua matanya karena gemas dan mendongkolnya.
Hari itu juga, menjelang senja hari, ia telah tiba di Tit-lee! Dengan mudah ia dapat mencari gedung keluarga Lo, akan tetapi Lee Ing tidak berani dan malu untuk datang di waktu sore. Ia mengambil keputusan untuk menyelidiki di waktu malam nanti dan kalau mungkin ia hendak mencoba kepandaian Ang Lian Lihiap atau Hwee-thian Kim-hong!
Gadis ini benar berhati tabah dan kekalahannya pagi tadi tidak membuatnya kapok. Setelah mengetahui keadaan gedung keluarga Lo, ia lalu mencari kamar di sebuah rumah penginapan dan menanti datangnya malam dengan hati tidak sabar.
Malam hari itu, biarpun bulan muncul sedikit akan tetapi sinarnya masih cukup terang untuk mengusir kehitaman malam. Lee Ing mengenakan pakaian yang singset dan indah karena ia tidak mau kelihatan kurang rapi. Dengan hati tabah dan gerakan cepat, ia melompati tembok rendah yang mengelilingi gedung keluarga Lo di bagian belakang.
Ia masuk ke dalam kebun di belakang gedung itu dan dengan berani menghampiri gedung dari belakang. Ia merasa heran mengapa gedung itu sunyi sekali, apalagi setelah ia berhasil masuk ke dalam gedung, yakni di bagian belakangnya, ia makin heran karena tak seorangpun pelayan nampak di situ.
Tentu saja ia tidak tahu bahwa pada malam hari itu Han Lian Hwa dan Lo Cin Han, sepasang suami isteri pendekar ini sengaja menyuruh semua pelayan keluar dari gedung itu oleh karena mereka berdua tengah menanti kedatangan tamu-tamu istimewa yang siang tadi telah mengirim kartu nama bergambarkan tangan hitam dan tengkorak. Juga Lo Sin tidak nampak karena pemuda ini belum kembali dari perjalanannya menuju ke tempat kediaman Kong Sin Ek si Dewa Arak.
Lee Ing dengan hati-hati sekali menuju ke ruang tengah, lalu bersembunyi di balik sebuah pintu belakang dan mengintai ke ruang tengah. Ternyata ruang itu luas sekali dan dipasangi lampu teng yang amat terang.
Di sudut terdapat sebuah meja bundar besar dan di belakang meja itu duduk dua orang berdampingan, seorang wanita yang sangat cantik dan seorang laki-laki yang gagah sekali. Mereka berdua duduk tanpa mengeluarkan suara sedikitpun dan mereka memandang ke arah pintu depan yang terbuka lebar, seakan-akan mereka siap menanti datangnya tamu-tamu agung.
Lee Ing melihat bahwa wanita dan laki-laki itu usianya sebaya dengan ayah ibunya, dan melihat kecantikan wanita itu dan kegagahan yang pria, mudah saja baginya untuk menduga bahwa mereka ini tentulah Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa dan Hwee-thian Kim-hong Lo Cin Han. Lee Ing memandang kagum sekali dan seketika itu juga lenyaplah niatnya hendak mencoba kepandaian mereka.
32
Wajah dan sikap kedua orang itu sudah cukup untuk menundukkan wataknya yang keras hati dan ingin mencoba setiap orang. Diam-diam ia memandang dengan penuh segan dan hormat, dadanya berdebar girang, akan tetapi ia tidak berani keluar oleh karena jika ia keluar secara tiba-tiba tentu mereka ini akan menganggapnya kurang ajar.
Tiba-tiba Lee Ing menjadi takut kalau sampai ketahuan kedatangannya. Ia merasa betapa ia telah berlaku lancang sekali, berani datang ke tempat Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong seperti seorang maling.
Bagaimana kalau mereka berdua ini mengetahui bahwa ia adalah puteri Nyo Tiang Pek, sahabat baik mereka? Ah, mereka tentu akan mencelanya dan ia akan membikin malu nama orang tuanya.
Memikir demikian, Lee Ing cepat mengeluarkan sebuah saputangan yang lebar dan menggunakan saputangan lebar ini untuk mengikat rambut kepalanya dan menutup sebagian mukanya sebelah bawah agar jangan sampai terlihat dan dikenal mukanya, kalau sampai terjadi mereka tahu akan kedatangannya.
Akan tetapi, melihat betapa kedua orang itu sama sekali tidak bergerak dan hanya mencurahkan perhatian ke pintu depan, Lee Ing menjadi heran sekali. Ia lalu mengambil keputusan hendak meninggalkan tempat itu secara diam-diam, akan tetapi pada saat itu terdengar suara Cin Han berkata dengan halus kepada isterinya.
“Nah, mereka akhirnya datang juga.”
Lee Ing terkejut dan mengintai kembali ke ruang itu. Tiba-tiba dari pintu depan berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri dua orang to-kouw yang bukan lain adalah Hek Li Suthai dan muridnya, Bi Mo-li yang dijumpainya di kuil pagi tadi.
Lee Ing menjadi tertarik sekali karena ia segera dapat mengerti bahwa to-kouw yang lihai itu sengaja datang mencari musuh-musuhnya dan suami isteri pendekar itu telah siap menanti kedatangannya.
“Selamat malam, Hek Li Suthai,” kata Ang Lian Lihiap kepada tamunya dengan suara yang merdu dan terdengar gagah.
Hek Li Suthai tertawa haha-hihi dan suara ketawa itu bergema memenuhi ruangan itu, Lee Ing terkejut sekali karena suara ketawa ini mengandung getaran yang mendebarkan dadanya. Ia maklum bahwa to-kouw itu hendak memamerkan khikangnya dan sengaja mendemonstrasikan ketawanya itu, maka buru-buru Lee Ing mengatur napasnya untuk menolak getaran itu.
“Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong. Alangkah lamanya pinni menunggu-nunggu datangnya saat pertemuan ini.”
“Hek Li Suthai, sudah sempurna benarkah kini pelajaranmu dari Sin-kun Moli Lan Bwee Niang-niang?” terdengar Cin Han berkata dengan suaranya yang sabar tapi berpengaruh itu.
“Tentu saja, mengapa tidak?” jawab Hek Li Suthai dengan senyum sindir. “Kalian tentu telah maklum akan maksud kedatangan pinni, bukan?”
33
Ang Lian Lihiap bangun berdiri dan Lee Ing melihat bahwa potongan tubuh pendekar wanita itu hampir sama dengan ibunya, akan tetapi sikap Ang Lian Lihiap ini lebih gagah oleh karena ibunya mempunyai sikap lemah lembut dan halus gerak-geriknya.
“Hek Li Suthai, siapa yang tidak ketahui maksudmu yang buruk? Semenjak dulu, gurumu yang selalu mencari permusuhan dan agaknya kini kaulah yang melanjutkan usaha buruk itu. Akan tetapi, ketahuilah bahwa kami selamanya takkan takut menghadapi kalian, oleh karena kami yakin bahwa kami berada di pihak benar. Sekarang kau sudah tiba di sini dan aku sebagai tuan rumah akan menyambutmu sepantasnya. Katakanlah, apa kehendakmu?”
Lee Ing merasa kagum sekali mendengar kata-kata ini dan melihat sikap Ang Lian Lihiap. Benar patut disebut pendekar wanita yang gagah perkasa! Ia memandang dengan dada makin merasa tegang dan tertarik.
“Hm, kau masih sombong dan keras seperti dulu,” kata Hek Li Suthai. Kemudian ia berpaling kepada Bi Mo-li dan berkata. “Kaulawanlah dia!”
Bi Mo-li mencabut keluar pedang dan kebutannya, akan tetapi karena ia maklum bahwa ia berhadapan dengan Ang Lian Lihiap yang tersohor akan kelihaiannya, ia tidak berani berlaku sombong, bahkan lalu menjura dengan hormat dan berkata. “Lihiap, mohon pengajaran sedikit.”
Ang Lian Lihiap tersenyum. “Kau tenangkanlah hatimu dan majulah, aku telah siap.”
Akan tetapi pendekar wanita ini sama sekali tidak mengeluarkan pedangnya yang terkenal, yakni Kong-hwa-kiam, pedang pemberian suaminya ketika mereka masih bertunangan dulu. Bahkan pakaian pendekar wanita ini tidak leluasa sekali karena jubahnya yang berwarna putih itu panjang sekali dan juga lengan bajunya panjang sampai menutupi kedua tangannya.
“Lihiap, harap suka keluarkan senjatamu!” kata Bi Mo-li yang masih berlaku sungkan karena jerih.
Sekali lagi Ang Lian Lihiap tersenyum dan tampak oleh Lee Ing betapa manisnya wajah pendekar wanita itu jika tersenyum. “Gurumu sengaja menyombong dan menyuruh kau maju melawanku, maka kalau aku mempergunakan senjata berarti aku kurang hormat dan tidak suka menerima maksud baiknya itu.”
Kata-kata ini walaupun diucapkan dengan halus, akan tetapi merupakan sindiran tajam kepada Hek Li Suthai.
“Bi-niang (si Cantik), jangan banyak tingkah. Seranglah dia!” kata Hek Li Suthai sambil memandang ke sana ke mari agaknya mencari tempat duduk di ruang yang luas itu.
Cin Han dapat menduga maksud tamunya. Ia lalu menyambar sebuah bangku yang berada di dekatnya, lalu mengayunkan bangku itu ke arah Hek Li Suthai sambil berkata. “Hek Li Suthai, kau duduklah!”
34
Bangku itu berkaki tiga dan dilempar perlahan oleh Cin Han, yakni nampaknya saja perlahan, karena sesungguhnya bangku itu meluncur cepat ke arah to-kouw tua itu dengan ketiga kakinya di depan dan ketiga kaki itu dengan cepat sekali menyerang merupakan totokan berbahaya, karena sekaligus kaki yang segitiga kedudukannya itu menyerang jalan darah di ulu hati dan kedua pundak.
Akan tetapi, dengan tenang sambil berkata, “Terima kasih!” Hek Li Suthai menggunakan sebuah jari telunjuknya menyentil kaki bangku yang menyerangnya itu hingga bangku itu terlempar sambil berputar-putar ke atas, kemudian jatuh ke bawah dan diterima dengan sebelah tangan, lalu diduduki oleh to-kouw itu, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu!
Melihat pertunjukkan yang hebat dari kedua ahli itu, Lee Ing di tempat persembunyiannya menahan napas saking kagumnya!
03.06. Untung ……. Tidak Tertangkap.
Sementara itu, mendengar perintah gurunya, Bi Mo-li lalu bergerak dan menyerang hebat dengan gerakan berbareng, yakni dengan pedang di tangan kanan menyabet leher dan kebutan di tangan kiri menotok iga! Tapi, dengan sedikit gerakan tubuh Ang Lian berhasil menghindarkan diri dari serangan ini.
Bi Mo-li maju menyerang lagi dan kini mengeluarkan seluruh kepandaiannya, dan menggunakan tipu-tipu yang paling dahsyat dalam ilmu silatnya.
Akan tetapi, tiba-tiba sambil berseru nyaring, tubuh Ang Lian Lihiap lenyap dan tahu-tahu berada di belakang Bi Moli. Ang Lian Lihiap menggerakkan kedua tangan menyentuh pundak kanan kiri lawannya dari belakang dan tiba-tiba kedua senjata Bi Moli terlepas dari pegangan dan jatuh di atas lantai.
Bi Mo-li tak kuasa memegang kedua senjatanya lagi karena sentuhan pada kedua pundaknya itu membuat kedua lengannya menjadi kaku dan terasa lumpuh! Segera, ia melompat mundur dengan wajah pucat dan menjura kepada Ang Lian Lihiap sambil berkata.
“Pengajaran lihiap telah kuterima dan terima kasih!” Ia lalu maju dan memungut kedua senjatanya dengan wajah berubah merah.
Hek Li Suthai menjadi merah mukanya karena malu. “Dungu!” ia memaki muridnya. “Mudah saja diperdayakan dengan pertunjukan gin-kang sebegitu saja!”
Muridnya tidak berani membantah dan hanya mundur berdiri di pinggir dengan kepala tunduk.
“Ang Lian Lihiap, keluarkanlah senjatamu dan jatuhkanlah pinni!” katanya sambil melangkah maju dan mengeluarkan siang-kiam (sepasang pedang) yang berkilauan dan kedua pedang ini mengeluarkan sinar yang berlainan. Pedang kiri mengeluarkan cahaya hijau dan pedang kanan mengeluarkan cahaya hitam. Inilah sepasang pedang ular hijau dan hitam yang ampuh!
Tiba-tiba Cin Han tertawa dan berkata kepada isterinya, “Kau beristirahatlah dan biarkan aku mencoba kehebatan Hek Li Suthai!”
35
Ang Lian Lihiap tersenyum dan berkata. “Suamiku ini memang selalu ingin merasai lebih dulu jika ada sesuatu yang baru dan aneh datang kepada kami. Kau hadapi dia baik-baik Hek Li Suthai!” Lalu ia pergi duduk di tempatnya tadi, menonton suaminya yang kini telah maju ke muka menghadapi Hek Li Suthai.
“Pedangmu sungguh hebat,” kata Cin Han dan tangan kanannya bergerak.
Hampir tak dapat diikuti oleh mata Lee Ing gerakan tangan Hwee-thian Kim-hong ini, dan tahu-tahu Cin Han telah mencabut pedangnya yang mengeluarkan cahaya putih berkilauan, karena yang dipegangnya ini adalah Sian-liong-kiam.
“Sian-liong-kiam di tanganmu juga pedang bagus. Mari, kaumajulah!” Kata Hek Li Suthai, akan tetapi sambil berkata demikian ia mendahului lawannya menyerang dengan ganas.
Cin Han maklum akan kelihaian lawannya, maka iapun tidak mau berlaku lambat atau sungkan lagi, dan mengeluarkan kepandaiannya. Ia mainkan pedangnya dalam ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut atau gabungan dari ilmu pedang isterinya seperti yang diciptakan oleh suhunya.
Pertempuran ini bukan main hebatnya hingga Lee Ing merasa pandangan matanya kabur dan kepalanya menjadi pening. Ia melihat betapa gerakan kedua pedang di tangan Hek Li Suthai luar biasa sekali dan amat sukar diduga perubahannya, juga to-kouw tua itu memiliki gin-kang yang tinggi hingga tubuhnya berkelebat ke sana ke mari bagaikan seekor burung garuda menyambar-nyambar dari setiap jurusan.
Akan tetapi, gerakan Cin Han tenang dan bertenaga. Agaknya pendekar itu tak banyak bergerak, berdiri di tengah-tengah dengan kedua kaki tetap dan setiap gerakannya mengeluarkan tenaga besar hingga anginnya sampai terasa oleh Lee Ing di tempat persembunyiannya.
Kalau Hek Li Suthai boleh diumpamakan sebagai seekor garuda sakti yang menyambar-nyambar dari segala jurusan dengan cepat sekali. Cin Han adalah sebagai seekor ular naga sakti yang melingkar di tengah dan menjaga diri dari serangan garuda itu sambil mengebut-gebutkan ekor dan membalas menyerang dengan kepalanya.
Pertarungan yang sengit dan mati-matian ini tak dapat diketahui oleh Lee Ing siapa yang menang dan siapa yang terdesak, hanya dapat dirasai oleh kedua orang yang sedang bertempur itu, dah tentu saja dapat dilihat dan diketahui oleh Ang Lian Lihiap. Setelah bertempur limapuluh jurus, tahulah Hek Li Suthai bahwa ilmu pedang Cin Han benar-benar, merupakan tembok baja yang tidak mungkin ditembus, dan terutama karena tenaga Cin Han yang luar biasa, membuat ia tidak berdaya sama sekali.
Makin lama ia makin merasa dingin karena gerakan pedang Cin Han mendatangkan hawa dingin yang luar biasa dan Lee Ing juga merasa akan serangan hawa dingin ini hingga bibirnya menggigil.
Memang ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut mempunyai dua bagian, yakni bagian menyerang dan mempertahankan. Bagian menyerang disebut gerakan Naga Sakti Mandi di Api dan jika dimainkan, maka gerakan pedang ini mengeluarkan hawa panas akan tetapi kehebatannya juga luar biasa sekali.
36
Sebaliknya bagian kedua adalah gerakan Naga Sakti Mandi di Air dan digunakan untuk bertahan, dan apabila gerakan ini dimainkan, maka keluarlah hawa dingin dari gerakan pedang itu. Inilah kemujijatan Hwie-sian-liong-kiam-sut.
Cin Han memang sengaja mendemonstrasikan bagian mempertahankan diri, yakni Naga Sakti Mandi di Air, maka percuma saja bagi Hek Li Suthai walaupun ia kini telah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian, karena sedikitpun ia tidak dapat menembus benteng pertahanan Cin Han yang luar biasa itu. Akhirnya ia tidak tahan pula, maka ia lalu melompat mundur sambil berkata.
“Cukup! Pinni telah merasakan kelihaian Hwee-thian Kim-hong dan memang kepandaianmu luar biasa. Akan tetapi, oleh karena pinni telah sampai di sini, akan sia-sialah perjalananku apabila belum mencoba kepandaian Ang Lian Lihiap.”
Ang Lian Lihiap mendongkol sekali, sungguhpun bibirnya tersenyum. To-kouw ini perlu diberi pelajaran, pikirnya. Ia lalu berdiri dan menghampiri Hek Li Suthai, menggantikan Cin Han yang sudah mundur dan duduk kembali di bangkunya.
“Hek Li Suthai, kau sungguh tak mengenal kemurahan hati suamiku. Jangan kau menyesal kalau pedangku tak bermata!” Sambil berkata demikian, pendekar wanita itu mencabut pedangnya dari punggung dan kembali terlihat sinar berkelebat ketika pedang Kong-hwa-kiam dicabut!
“Nah, kau bersiaplah dan rasai seranganku!”
Setelah berkata demikian tubuh Ang Lian Lihiap berkelebat dan lenyap terbungkus sinar pedangnya yang dimainkan dalam gerakan Naga Sakti Mandi di Api! Hek Li Suthai terkejut sekali dan iapun memperlihatkan ginkangnya yang tidak rendah, maka kedua wanita yang bertempur itu lenyap dari pandangan mata dan yang tampak hanyalah sinar pedang mereka.
Kalau tadi Lee Ing merasa pening melihat pertempuran antara Hwee-thian Kim-hong dan Hek Li Suthai, kali ini matanya menjadi berkunang dan terpaksa ia meramkan mata beberapa kali agar sinar pedang jangan terlalu menggelapkan pandangannya.
Betapapun tinggi ilmu gin-kang Hek Li Suthai namun menghadapi Ang Lian Lihiap yang sudah mendapat latihan ginkang dari Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan, ia kalah jauh. Apalagi karena Ang Lian Lihiap memainkan Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian menyerang, maka baru bertempur tigapuluh jurus saja, Hek Li Suthai telah merasa bingung sekali. Muka menjadi pucat dan keringat memenuhi kulit tubuhnya karena panasnya hawa yang keluar dari gerakan pedang Ang Lian Lihiap.
Bukan main rasa kagum di hati Lee Ing melihat permainan pedang Ang Lian Lihiap, dan ia terpaksa membuka sapu tangan yang tadi digunakan untuk menutupi mukanya karena iapun merasa panas.
“Sudah puaskah kau, Hek Li Suthai?” tiba-tiba terdengar suara Ang Lian Lihiap yang merdu dan tiba-tiba sebatang pedang di tangan kanan Hek Li Suthai terlempar dan jatuh di atas lantai menerbitkan suara nyaring sedangkan lengan tangan to-kouw itu mengalirkan banyak sekali darah merah oleh karena Kong-hwa-kiam telah digunakan oleh Ang Lian Lihiap untuk menggurat luka di kulit lengan itu dari siku sampai ke pergelangan tangan.
37
Luka yang sengaja dibuat hanya untuk memberi hajaran ini dirasakan lebih perih daripada bacokan pedang pada lehernya, maka dengan muka pucat sekali karena menahan marah. Hek Li Suthai memungut pedangnya tanpa memperdulikan darah yang mengalir dari luka di kulit lengannya dan yang menetes-netes di atas lantai.
“Ang Lian Lihiap, Hwee-thian Kim-hong, terima kasih atas kebaikanmu dan kelak kita tentu bertemu pula!” Ia lalu memberi tanda kepada muridnya dan keduanya lalu melompat dari situ.
Lee Ing juga hendak pergi dari tempat itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar suara Cin Han berkata. “Orang yang bersembunyi di balik pintu, kau keluarlah!”
Kalau pada saat itu ada petir menyambar kepalanya, belum tentu Lee Ing akan merasa sekaget itu. Ia cepat menggunakan saputangannya menutupi mukanya lagi dan melompat pergi secepat mungkin.
“Hai, kau hendak lari ke mana?” terdengar Cin Han membentak, dan Lee Ing dengan takut dan gugup sekali mempercepat larinya, keluar dari gedung itu dan lari ke kebun belakang.
Ketika ia tiba di bawah sebuah lentera yang dipasang di pojok kebun, tiba-tiba ada angin menyambar dari belakang dan tahu-tahu Cin Han telah berdiri di depannya dengan pedang Sian-liong-kiam di tangan. Bukan main terkejutnya Lee Ing, dan dengan gugup ia mengangkat pedangnya membacok.
Juga Cin Han merasa tercengang ketika melihat bahwa orang yang tadi mengintai di balik pintu ternyata adalah seorang gadis muda yang menutupi kepala dan mukanya di bagian bawah dengan saputangan, sedangkan sepasang mata yang bening seperti mata burung Hong itu memandang dengan gugup dan terkejut. Maka ia tidak mau menangkis dengan pedangnya, hanya berkelit ke samping saja, akan tetapi kembali Lee Ing melanjutkan serangannya dengan mengayun pedang dari samping.
Melihat gerakan ini, terkejutlah Cin Han, karena ini adalah ilmu pedang yang bukan sembarangan. Tadi ketika duduk menantikan Hek Li Suthai dengan isterinya, mereka berdua sudah tahu akan kedatangannya Lee Ing, akan tetapi oleh karena menghadapi urusan yang lebih besar, mereka mendiamkan saja tamu yang tak diundang itu. Sama sekali tidak pernah disangkanya bahwa yang datang adalah gadis muda yang berusaha menyembunyikan dirinya.
Akan tetapi pada saat Lee Ing mengayunkan pedang, Cin Han melihat titik merah sebanyak dua buah di pergelangan gadis itu, hingga ia terkesiap.
“Baiklah kalau kau tidak mau memperlihatkan diri, akan tetapi biar kuobati lukamu yang berbahaya itu,” katanya.
Akan tetapi Lee Ing yang merasa malu dan gugup sekali, sudah meloncati tembok pekarangan itu dan berlari keluar. Cin Han mengejar dari belakang sambil berteriak-teriak,
“He, nona muda! Kau telah mendapat luka dengan Ang-jouw-ciam (Jarum Rumput Merah) dan kalau tidak segera diobati dalam tiga hari, jarum itu akan menjalar ke jantung dan kau akan mati.”
38
Mendengar ucapan ini, Lee Ing terkejut sekali, akan tetapi ia tidak berani berhenti. Yang sangat ditakutinya ialah kalau-kalau Cin Han akan tahu bahwa ia adalah puteri Nyo Tiang Pek dan hal ini tentu saja akan membuat ibu dan ayahnya merasa malu sekali.
Ia memegang pedang di tangan kanan dan menggunakan tangan kiri untuk menjaga agar saputangan penutup mukanya jangan sampai terlepas, lalu berpaling sebentar. Ketika melihat bahwa Cin Han masih tetap mengejar dengan pedang di tangan, gadis itu berlari makin cepat lagi.
“Baiklah, baiklah! Aku takkan mengejarmu! Terimalah bungkusan ini, makanlah obat bubuknya dengan air, lalu urut-urutlah dengan keras urat di lengan tanganmu agar jarum itu dapat didesak keluar.”
Kembali Lee Ing berpaling dan ia melihat sebuah benda kecil putih menyambarnya. Ia hendak berkelit, akan tetapi mendengar kata-kata tadi ia ulurkan tangan kiri menyambuti dan benar saja, benda itu adalah bungkusan kertas kecil dan ia melihat bahwa Cin Han tidak mengejar. Lee Ing berlari terus sambil menggenggam bungkusan kertas itu.
Setelah jauh dan tiba di luar kota Tit-lee, ia berhenti sambil terengah-engah. Ia merasa malu sekali akan tetapi hatinya lega karena Cin Han tidak mendesaknya, karena kalau Hwee-thian Kim-hong sengaja hendak menangkapnya, biarpun ia dapat terbang ke langit tentu ia akan dapat dikejar. Ia teringat akan ucapan pendekar itu yang membingungkannya. Ia menderita luka?
Di bawah sinar bulan yang kadang-kadang tertutup mendung hitam tebal, ia memeriksa lengan kanannya dan alangkah terkejutnya ketika ia melihat bahwa di pergelangan tangannya benar-benar terdapat dua bintik merah yang ketika dirabanya terasa sakit.
Ia lalu duduk di bawah sebatang pohon dan mengingat-ingat. Maka teringatlah ia akan ucapan Hek Li Suthai yang berkata bahwa jika usianya panjang maka ia akan dapat bertemu dengan to-kouw itu. Ah, tentu to-kouw siluman itu yang diam-diam melukainya dengan Ang-jouw-ciam ketika to-kouw itu merampas pedangnya di kuil itu dulu.
Ia segera menggulung lengan bajunya dan sambil meraba-raba ia dapat merasa bahwa jarum yang halus dan lihai itu telah menjalar sampai di bawah sikunya. Cepat ia membuka bungkusan obat pemberian Cin Han, dan pada saat itu terdengar petir menyambar-nyambar dan mendung yang hitam bergulung-gulung tadi kini berkumpul menjadi satu. Dengan mengeluarkan suara keras, angin besar datang bertiup dibarengi dengan hujan yang besar-besar.
Lee Ing lalu berteduh di bawah sebatang pohon dan mengambil air hujan dengan sehelai daun. Dicampurnya obat itu dengan air hujan lalu diminumnya sampai habis. Terasa hawa panas memasuki seluruh tubuhnya. Ia lalu duduk menanti redanya hujan di bawah pohon yang gelap itu sambil mengurut-urut lengannya.
Hujan turun makin deras dan kini bahkan datang angin badai yang keras hingga daun-daun pohon yang telah tua tertiup rontok menerbitkan suara berisik. Pakaian dan rambut Lee Ing basah kuyup, akan tetapi biarpun angin meniup kencang dan hawa udara menjadi dingin sekali, berkat obat bubuk pemberian Cin Han yang telah ditelannya, Lee Ing tidak merasakan dingin, bahkan hawa hangat di seluruh tubuhnya menjalar makin keras.
39
Lengan di mana jarum rumput merah itu mengeram telah mulai terasa sakit ketika ia berhasil mengurut jarum itu dan mendorongnya mundur dan kembali ke luka di pergelangan tangannya. Jarum-jarum rumput yang melukainya ada dua buah dan dengan tekanan dua buah jari telunjuk dan jari tengah, perlahan-lahan ia dapat mendorong dua benda itu keluar.
Jidat gadis itu sampai berpeluh karena menahan sakit dan peluhnya bercampuran dengan air hujan turun membasahi mukanya. Akhirnya nampak ujung jarum yang warnanya merah itu tersembul keluar dari lubang kecil di pergelangan tangannya.
Lee Ing merasa girang bercampur gemas dan menggunakan kukunya untuk mencabut keluar jarum-jarum itu. Dengan hati-hati sekali ia membungkus kedua batang jarum rumput merah itu dengan sehelai saputangan dan menyimpannya. Kemudian turunkan kembali lengan bajunya yang tadi digulung ke atas.
Pada saat itu terdengar suara kaki kuda mendatangi dari jauh. Lee Ing cepat bersembunyi di balik batang pohon. Di dalam gelap ia melihat seorang penunggang kuda datang cepat sekali. Dan tiba-tiba dari jurusan lain datang pula dua orang penunggang kuda lain.
Terkejutlah Lee Ing ketika melihat bahwa penunggang kuda yang dua orang ini bukan lain ialah Hek Li Suthai dan muridnya, Bi Mo-li! Hati Lee Ing berdebar, penuh rasa kuatir dan gemas, akan tetapi ia tidak berani memperlihatkan diri dan hanya mengintai di antara daun-daun pohon.
Juga kedua to-kouw itu melihat kedatangan penunggang kuda yang melarikan kudanya cepat sekali itu. Mereka menahan kuda mereka dan menanti di tengah jalan.
Ketika penunggang itu telah datang dekat, Lee Ing melihat bahwa ia adalah seorang pemuda berpakaian hitam yang gagah sekali. Pemuda ini juga merasa heran melihat dua orang to-kouw yang naik kuda dan menghadang di tengah jalan itu maka dari jauh ia memperlambat larinya kuda dan segera menegur,
“Jiwi suthai diharap suka minggir!”
Hek Li Suthai waktu itu sedang marah dan mendongkol sekali karena kekalahan yang dideritanya dari suami isteri pendekar yang baru saja dikunjunginya, maka melihat pemuda ini ia bermaksud hendak mengganggunya untuk melampiaskan rasa mendongkolnya.
Sebaliknya Bi Mo-li ketika melihat wajah pemuda yang tampan sekali dan tubuhnya yang gagah, timbul pula keinginannya untuk mempermainkan. Akan tetapi ketika dua to-kouw itu melihat perhiasan kepala pemuda itu, mereka menjadi terkejut berbareng girang. Hek Li Suthai lalu bertanya.
“Pemuda di depan bukankah Ouw-yan-cu si Walet Hitam dan putera Ang Lian Lihiap?”
Pemuda ini memang benar Lo Sin yang baru saja kembali dari perjalanannya mencari Kong Sin Ek dan telah tertimpa hujan badai di jalan hingga ingin buru-buru sampai ke rumah. Mendengar pertanyaan ini, ia memandang dengan lebih teliti.
40
Ketika melihat sikap kedua to-kouw ini dan melihat bahwa to-kouw yang tua mempunyai tai lalat di ujung hidungnya, hatinya bercekat.
“Apakah siauwte berhadapan dengan Hek Li Suthai?” tanyanya.
“Ha-ha-ha! Kebetulan sekali, agaknya Thian (Tuhan) telah membantu kami hingga kebetulan sekali pinni bertemu dengan kau! Ha-ha! Ouw-yan-cu, bersedialah untuk mati di tangan pinni!” Sambil berkata demikian, to-kouw tua itu meloloskan pedang dan kebutannya, juga Bi Mo-li mencabut pedangnya!
Lee Ing ketika mendengar bahwa pemuda ini adalah putera Ang Lian Lihiap, memandang dengan penuh perhatian dan hatinya tertarik sekali. Jadi inikah putera mereka itu? Kelihatannya memang gagah perkasa! Akan tetapi dapatkah pemuda itu melawan Hek Li Suthai yang lihai?
Diam-diam ia merasa kuatir sekali akan keselamatan pemuda itu, akan tetapi apa dayanya? Kalau ia keluar membantu, itu berarti hanya akan mencari bencana saja, maka ia hanya menonton dan tak terasa lagi keluar dari balik pohon.
Lo Sin maklum bahwa musuh orang tuanya ini tentu takkan memberi ampun, maka iapun cepat mencabut pedang yang tergantung di punggungnya, lalu berkata dengan gagah.
“Hek Li Suthai, kaukira aku yang muda takut kepadamu?”
Hek Li Suthai didahului oleh muridnya oleh karena Bi Mo-li hendak membalas kekalahannya terhadap Ang Lian Lihiap tadi dan ia kira bahwa betapapun juga pemuda ini tak mungkin memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi ia salah duga karena ketika ia memajukan kudanya menyerang, terdengar Ouw-yan-cu berseru keras dan tahu-tahu tubuh pemuda itu telah melayang dari atas kudanya dan siap sedia menghadapi pertempuran mati-matian!
Melihat gerakan pemuda ini, Hek Li Suthai maklum bahwa muridnya bukanlah lawan pemuda itu yang memiliki kegesitan dan gin-kang seperti ibunya, maka to-kouw tua itupun lalu melompat turun diikuti oleh Bi Mo-li.
03.07. Gadis Kehujanan di Bawah Pohon
Sekali lagi Bi Moli menerjang dengan pedangnya, akan tetapi sekali memutar pedang menangkis, Bi Mo-li merasa telapak tangannya sakit sekali dan hampir saja pedangnya terlepas! Ia terkejut dan jerih, lalu mundur membiarkan gurunya menghadapi pemuda yang gagah perkasa itu.
Hek Li Suthai tidak tahu bahwa Lo Sin telah mewarisi kepandaian kedua orang tuanya hingga kepandaian pemuda ini lihai sekali, oleh karena dari ayah dan ibunya ia mendapat gemblengan secara bergantian hingga ia memiliki tenaga besar dan ketenangan ilmu silat ayahnya dan memiliki kelincahan dan gin-kang dari ibunya. Bahkan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut telah ia pelajari dengan sempurna, hingga kalau hendak dibandingkan dengan kepandaian ayah atau ibunya, mungkin ia takkan berada di bawah tingkat mereka.
41
Hal ini tentu saja sama sekali tak pernah disangka oleh Hek Li Suthai, dan setelah ia menyerang dan bentrok dengan pemuda itu, barulah ia mengeluh di dalam hati karena ternyata bahwa gerakan pemuda ini gesit luar biasa dan tenaga lweekangnya amat dahsyat.
Mereka berdua bertempur dengan sengit dan ramainya di dalam hujan badai itu dan perlahan-lahan Lo Sin dapat mendesak lawannya dan mengurung to-kouw tua itu dengan ilmu pedangnya. Diam-diam pemuda ini berpikir bahwa to-kouw ini tentu telah bertemu dengan orang tuanya dan telah dikalahkan, kalau tidak, tentu ia takkan meninggalkan Tit-lee. Kalau orang tuanya melepaskan to-kouw ini tanpa melukainya, maka iapun tidak mau menurunkan tangan jahat.
Setelah berpikir demikian, ia lalu mengeluarkan ilmu pedang Naga Sakti Mandi di Api, yakni ilmu pedang yang tadi telah digunakan oleh Ang Lian Lihiap dan yang membuat Hek Li Suthai merasa pusing dan bingung. Kini menghadapi pemuda yang menjalankan ilmu pedang itu sama baiknya dengan permainan Ang Lian Lihiap, untuk kedua kalinya Hek Li Suthai dibikin pusing dan bingung hingga gerakannya menjadi lemah dan ilmu pedangnya kalang kabut.
Pada saat yang tepat, Lo Sin mengirim tendangan ke arah pergelangan tangan kanan to-kouw itu hingga pedang yang dipegangnya terlempar ke atas tanah. Hek Li Suthai memang tidak mempergunakan sepasang pedangnya, oleh karena tadinya ia memandang ringan kepada Lo Sin.
“Hek Li Suthai, pungutlah pedangmu dan jangan mengganggu aku lebih jauh. Kau mempunyai urusan dengan kedua orang tuaku, kalau kau memang berani, mari ikut aku dan bertemu dengan mereka!” kata Lo Sin sambil melompat ke atas kudanya pula.
Hek Li Suthai tidak menjawab, dan dengan hati panas terbakar ia menyuruh muridnya mengambil pedangnya yang terlempar itu, kemudian tanpa berkata sesuatu ia lalu melompat ke atas kudanya, diturut oleh muridnya dan kedua pendeta wanita itu mengaburkan kuda cepat-cepat dari tempat itu. Hati dan perasaan mereka pada saat itu hanya setan yang tahu!
Lo Sin tertawa bergelak, lalu memajukan kudanya hendak melanjutkan perjalanan pulang. Akan tetapi, tiba-tiba ia melihat Lee Ing yang masih berdiri di bawah pohon. Melihat seorang gadis muda yang cantik berdiri dengan pakaian basah, kuyup di bawah pohon, Lo Sin merasa heran dan menghentikan kudanya lalu maju mendekati.
“Eh, nona kau sedang bekerja apa di situ?” tegurnya karena mengira bahwa gadis itu tentu gadis kampung di dekat situ.
Akan tetapi setelah datang dekat Lo Sin tercengang melihat seorang gadis yang luar biasa cantiknya dengan pakaian yang indah pula, sayang bahwa pakaian dan rambutnya basah kuyup, walaupun hal ini tidak mengurangi kecantikannya.
“Aku…… sedang berteduh dari hujan,” jawab Lee Ing gagap karena tak menyangka akan terlihat dan akan ditanya.
Lo Sin merasa kasihan. “Kalau kau suka, mari kuantar pulang, nona.”
42
Ucapan ini sebenarnya adalah sewajarnya, timbul dari hati yang mengandung iba dan kuatir kalau-kalau gadis itu yang berada seorang diri di situ akan bertemu dengan orang jahat dan akan terserang penyakit karena kehujanan dan kedinginan.
Akan tetapi, bagi Lee Ing ucapan ini terdengar kurang ajar sekali, dan berubahlah pandangannya terhadap Lo Sin. Pemuda ini memang gagah perkasa dan pantas menjadi putera Ang Lian Lihiap, akan tetapi mengapa sikapnya begini ceriwis? Apalagi kalau diingat bahwa dia sudah beristeri!
Marahlah hati Lee Ing dan ia menjawab dengan ketus.
“Apakah kau hendak menggunakan kegagahanmu untuk menghina seorang gadis?”
Melihat kegalakan gadis ini, Lo Sin tersenyum dan ia bahkan melompat turun dari kudanya karena merasa penasaran.
“Eh, eh, mengapa menjadi marah? Kau siapakah, nona?” Kini ia melihat makin jelas wajah gadis itu, biarpun keadaan di situ gelap.
“Perlu apa kau tahu siapa aku? Akupun tidak perduli seujung rambut siapa adanya kau! Pergilah dan jangan mengganggu aku!”
Lo Sin makin merasa penasaran, bahkan agak marah karena melihat sikap permusuhan yang tiada alasan dari gadis itu, Maka tertarik hatinya untuk mengetahui siapa adanya orang ini.
“Nona, aku hanya bermaksud menolongmu. Kau kedinginan dan pakaianmu basah kuyup, mari kuantar pulang agar kau tidak menderita sakit. Pulanglah dan berganti pakaian kering.”
Melihat desakan Lo Sin, makin teballah sangkaan Lee Ing bahwa pemuda ini benar-benar ceriwis dan mata keranjang. Hatinya makin gemas dan marah, bercampur kecewa yang entah disebabkan oleh apa, dia sendiri tidak tahu mengapa tiba-tiba hatinya menjadi tidak karuan dan ingin marah kepada putera Ang Lian Lihiap yang tampan, gagah, dan berkepandaian tinggi ini.
“Keadaanku mempunyai sangkut-paut apakah dengan kau? Biar aku mati kedinginan di sini, kau tak perlu ikut campur!” Setelah berkata demikian, Lee Ing lalu membalikkan tubuh dan berjalan pergi.
Lo Sin tiba-tiba merasa terkejut karena baru sekarang ia melihat sebatang pedang tergantung di pinggang nona itu. Ia hendak mengejar dan belajar kenal karena menyangka bahwa gadis itu tentulah seorang gagah, akan tetapi Lee Ing telah melompat dan berlari cepat sekali di dalam gelap!
Lo Sin menghela napas. Ia merasa sayang sekali tak dapat berkenalan dengan dara jelita itu yang secara aneh sekali telah dapat menarik perhatiannya.
Padahal biasanya ia tidak mengacuhkan gadis cantik, bahkan kalau orang tuanya membicarakan tentang gadis-gadis cantik untuk dipilih sebagai isterinya, ia merasa sebal dan marah. Kini, gadis yang berdiri seorang diri di bawah pohon dan yang muncul secara aneh sekali, telah berhasil menarik hatinya.
43
Ia lalu melompat ke atas kudanya dan berlari pulang. Lian Hwa dan Cin Han, kedua suami isteri pendekar itu menyambutnya dengan girang dan ketika mendengar penuturan Lo Sin tentang Hek Li Suthai, Cin Han menghela napas.
“Hm, to-kouw itu tentu akan melatih diri lebih hebat lagi. Siapa tahu, ia akan bersekutu dengan orang-orang pandai yang berhati jahat untuk mencari permusuhan dengan kita.”
“Biar dia mendatangkan bala bantuan, asal kita berada di pihak benar, mengapa harus takuti dia?” kata Ang Lian Lihiap dengan penuh semangat, hingga Lo Sin memandang kepada ibunya dengan kagum.
“Lo Sin, bagaimana dengan keadaan si Dewa Arak?” Cin Han bertanya setelah Lo Sin mengganti pakaiannya dengan pakaian kering.
Lo Sin lalu menceritakan pengalaman dan perjalanannya. Agar supaya lebih jelas, baiklah kita ikuti sendiri perjalanan Lo Sin ketika mengunjungi Kong Sin Ek si Dewa Arak di Bukit Pek-ma-san di daerah utara.
Ketika menerima surat dari Nyo Tiang Pek yang mengabarkan bahwa Kong Sin Ek telah meninggal dunia karena sesuatu penyakit, hati Lo Sin berkuatir sekali. Ia belum mau mempercayai berita ini dan hatinya yang amat sayang kepada orang tua itu membuat ia tak dapat menahan diri lagi dan atas perkenan orang tuanya, pada keesokan harinya ia lalu berangkat ke utara.
Lo Sin mempunyai seekor kuda yang berbulu putih dan bagus sekali, akan tetapi juga tinggi besar dan kuat hingga dapat berlari cepat tanpa berhenti untuk setengah hari lamanya. Kuda ini adalah pemberian ayahnya dan diberi nama Pek-liong atau Naga Putih.
Lo Sin menunggang kudanya ini dalam perjalanannya menuju ke utara, kalau ia melarikan kudanya terus tanpa ada aral melintang, paling lama tiga hari saja ia sudah bisa sampai di Pek-ma-san tempat tinggal Si Dewa Arak. Akan tetapi, terjadi sebuah peristiwa di tengah jalan yang memperlambat perjalanannya.
Ketika pada keesokan harinya ia tiba di kota Long-men di waktu senja, Lo Sin yang melarikan kudanya cepat sekali, hampir saja bertabrakan, di sebuah tikungan dengan tiga orang penunggang kuda lain.
Pertemuan antara kudanya dan kuda orang yang berada di tengah, terjadi demikian tiba-tiba dan tabrakan hampir tak dapat dihindarkan lagi. Akan tetapi Pek-liong adalah seekor kuda yang tangkas dan kuat. Tiba-tiba saja karena kedutan kendali yang dilakukan oleh lo Sin, kuda itu berdiri di atas kedua kaki belakangnya sambil meringkik keras.
Kuda yang menubruk dari depan tidak mampu menahan kelajuan larinya dan terus menyeruduk ke depan, akan tetapi Lo Sin telah membungkuk dan mengulurkan tangan kanannya dan dengan tangkas dan cepat ia berhasil mendorong dada kuda yang hendak menubruk itu.
Dorongan ini kuat dan hebat sekali hingga kuda yang menubruk itu seakan-akan menabrak palang besi hingga terguling ke kiri. Penumpangnya, seorang laki-laki berusia kurang-lebih empatpuluh tahun, ternyata pun bukan orang sembarangan. Dengan gerak tipu Burung Hong Terbang Melayang,
44
ia dapat melompat turun dari kudanya dan berdiri di atas tanah dengan selamat, akan tetapi wajahnya menjadi pucat, oleh karena kalau ia sampai ikut terbanting di atas kudanya, tentu setidaknya ia akan mendapat luka.
Lo Sin cepat melompat turun dari kudanya dan dengan hormat ia menjura kepada tiga orang itu yang kesemuanya juga sudah melompat turun dari atas kuda.
“Sam-wi twako, harap maafkan padaku yang tidak sengaja telah mengagetkan sam-wi (tuan bertiga).”
Tiga orang itu berpakaian sebagai piauwsu (tukang pengawal barang berharga yang dikirimkan). Orang yang hampir terbanting dari kudanya itu dengan muka merah memandang kepada Lo Sin yang berpakaian seperti anak sekolah.
Lo Sin memang memakai sebuah pakaian yang panjang dan lebar seperti yang biasa dipakai oleh para pelajar. Hanya pakaian pelajar dan pakaian ringkas warna hitam yang disukai dan sering dipakai oleh Lo Sin. Di waktu siang, apabila tak sedang mengurus sesuatu yang memerlukan tenaganya, ia lebih suka berpakaian sebagai seorang siucai (pelajar).
Orang itu menuding dengan marah. “Siucai! Kalau aku tadi sampai terbanting dan mendapat luka, kau harus mengganti dengan jiwamu!”
Lo Sin tersenyum dan menjura kepada orang itu “Twako, harap kau memberi maaf karena aku tidak sengaja.”
Orang itu masih marah dan hendak membuka mulut pula, akan tetapi orang pertama dari ketiga piauwsu itu yang berusia kurang lebih limapuluh tahun dan berwajah sabar, mengangkat tangan dan berkata.
“Sun-te (adik Sun), bersabarlah.” Kemudian ia membalas pemberian hormat Lo Sin dan berkata, “Harap kau sama-sama memaafkan kami, kongcu (tuan muda). Sebetulnya kami juga bersalah karena jalan kecil ini penuh oleh kuda kami yang lari berendeng. Baiknya kau lihai sekali dan gerakanmu It-chiu-pai-san (Dengan Satu tangan Mendorong Bukit) tadi sungguh membuat aku orang tua merasa kagum sekali.”
Lo Sin terkejut. Tidak tahunya piauwsu tua ini bermata tajam dan dapat melihat gerakan tangannya yang mendorong dada kuda itu.
“Lopeh, aku adalah seorang siucai yang lemah, mana aku mengerti tentang segala gerakan mendorong bukit.”
Piauwsu tua itu tersenyum dan ketika melihat perhiasan di kepala Lo Sin yang berupa burung walet hitam, wajahnya menjadi terheran dan jelas kelihatan bahwa ia terkejut. Dengan sangsi ia lalu berkata,
“Kongcu, kalau mataku yang sudah tua ini tidak salah melihat, bukankah kau ini Ouw-yan-cu si Walet Hitam yang termashur?”
45
Lo Sin makin tercengang, akan tetapi ia lalu teringat akan perhiasan di atas kepalanya, maka dengan hati sebal ia lalu mencabut perhiasan itu dan dimasukan ke dalam saku bajunya yang lebar!
Piauwsu tua itu tertawa bergelak lalu menjura dengan hormat sekali.
“Tai-hiap, terhadap kami, kau tak perlu menyembunyikan dirimu yang sebenarnya! Bolehkah bertanya, taihiap hendak pergi kemanakah?”
“Lo-enghiong, tak kusangka bahwa kau memiliki pandangan mata yang luar biasa tajamnya. Memang benar, aku adalah Lo Sin yang disebut orang Ouw-yan-cu, dan aku hendak pergi ke Pek-ma-san mengunjungi seorang sahabat tua.”
“Taihiap bukankah kau hendak mengunjungi si Dewa Arak?”
“Eh, bagaimana lo-enghiong dapat mengetahui? Memang benar, aku hendak menengok orang tua itu. Kenalkah kau kepadanya?”
Piauwsu tua itu menghela napas. “Taihiap, perkenalkanlah kami adalah tiga piauwsu dari Long-men dan aku sendiri adalah ketuanya. Perusahaanku adalah Sam-eng Piauwkiok dan kami bertiga dikenal sebagai Long-men Sam-eng (Tiga Pendekar dari Long-men). Aku kenal baik pada Kong-cianpwe (Orang Tua Gagah she Kong), bukan kenal saja bahkan sehingga kini aku dapat memimpin perusahaanku adalah berkat pertolongan Kong-cianpwe yang berkali-kali.”
“Tiap kali aku mendapat kesukaran di jalan, selalu Kong-cianpwe yang membantuku. Kali inipun kami bertiga mengharapkan bantuannya dan baru saja kami kembali dari Pek-ma-san, akan tetapi celaka, orang tua itu tak dapat membantu.”
Piauwsu tua itu menghela napas dan wajahnya menjadi berduka sekali. “Kali ini, aku Lie Kwan, dan kedua adikku ini, Lie Sun dan Lie Tiong, terpaksa mengerahkan tenaga sendiri untuk menjaga nama piauwkiok kami.”.
Lo Sin terkejut sekali mendengar ini dan ia tidak pedulikan urusan mereka bertiga karena perhatiannya dicurahkan kepada keadaan Kong Sin Ek. “Dia kenapakah? Bagaimana keadaannya?” tanyanya dengan penuh kuatir.
Lie Kwan kembali menghela napas. “Entahlah, taihiap ketika kami datang di sana, kami melihat Kong-cianpwe duduk di dalam guanya sambil bersamadhi. Tubuhnya Kurus kering, pakaiannya tak karuan macamnya, compang-camping wajahnya pucat sekali. Kami bertanya mengapa keadaannya demikian rupa, akan tetapi ia hanya menggelengkan kepala saja.
“Ketika kami menawarkan bantuan untuk memanggil ahli obat, iapun menggelengkan kepala. Akhirnya kami menyatakan tentang kesukaran kami, dan dia membuka matanya dan berkata bahwa menyesal sekali dia tidak dapat menolong kami dan selanjutnya menyuruh kami segera pergi.”
Mendengar ini teringatlah Lo Sin bahwa ketiga piauwsu yang menjadi kenalan baik Kong Sin Ek ini sedang menghadapi kesukaran, maka bertanyalah dia.
46
“Sam-wi kesukaran apakah yang kalian hadapi? Mungkin aku dapat mewakili Kong-lopek untuk menolongmu.”
Biarpun kedua adiknya masih memperlihatkan muka sangsi dan ragu-ragu karena mereka belum percaya akan kelihaian Lo Sin, namun Lie Kwan nampak gembira sekali dan sebelum menceritakan kesukarannya, berkali-kali ia menjura dan mengangguk-anggukkan kepala menyatakan terima kasihnya.
“Apalagi kesukaran yang timbul bagi seorang piauwsu?” akhirnya ia mulai menuturkan dengan singkat. “Seperti biasa, kali inipun barang antaran yang dipercayakan kepada kami telah dirampas orang jahat. Yang mengawal adalah adikku Lie Tiong ini. Akan tetapi kali ini yang merampas bukanlah orang sembarangan, karena dia adalah perampok wanita tunggal yang berjuluk Kim-gan-eng (Garuda Bermata Emas) dan bernama Coa Bwee Hwa.”
Lo Sin mengangguk-angguk. “Sudah lama aku mendengar nama ini, akan tetapi selanjutnya bagaimana?”
“Celakanya bahwa perampok wanita ini bukan sengaja menginginkan harta benda yang kami kirimkan, akan tetapi sengaja mengganggu kami oleh karena seorang sahabatnya, yakni kepala perampok yang bernama Giam Cong pada sebulan yang lalu pernah merampok kami dan dapat kami lukai. Dia sengaja datang hendak membalaskan sakit hati kawannya itu.
“Kami pernah bertemu dengan Kim-gan-eng dan pernah menyaksikan kelihaiannya, maka kami tahu bahwa kami bertiga takkan dapat menangkan dia. Dia tidak mengganggu adikku, hanya memesan bahwa apabila kami menghendaki kembalinya barang-barang itu kami harus datang bertiga mengambilnya sendiri dalam hutan di selatan itu.
“Kami hendak minta pertolongan Kong-cianpwe, akan tetapi karena orang tua itu tak dapat membantu, terpaksa kami memberanikan diri dan pergi sendiri. Maka kalau taihiap sudi mencapaikan diri membantu kami, alangkah girangnya hati kami dan budi ini tentu takkan kami lupakan oleh karena barang berharga itu adalah milik seorang pembesar dan kalau tidak dapat dirampas kembali, akan berarti hancurnya perusahaan kami bahkan kami tentu ditangkap dan dijatuhi hukuman!”
“Kalau begitu, marilah kita berangkat sekarang juga,” kata Lo Sin.
Mereka berempat lalu menuju ke selatan, hingga Lo Sin kembali ke jalan yang dilalui tadi. Setelah melalui kurang lebih tigapuluh lie mereka membelok ke kanan dan memasuki sebuah hutan yang liar.
Ketika tiba di tengah hutan, tiba-tiba mereka menghentikan kuda karena di sebuah tempat terbuka dihadapan mereka telah menanti banyak anggauta perampok. Ini adalah para anak buah perampok Giam Cong yang telah menanti di situ.
Dengan tindakan gagah Lo Sin dan Long-men Sam-eng melompat turun dari kuda lalu menghampiri mereka. Dari sebuah bangunan yang terbuat dari pada kayu hutan, keluarlah seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka hitam dan berusia sedikitnya empatpuluh tahun. Wajahnya buruk dan kejam dan matanya bersinar liar.
47
Inilah kepala perampok Giam Cong yang ditakuti oleh para pelancong dan perantau. Akan tetapi di sebelahnya berjalan seorang gadis berpakaian serba hijau yang berwajah cantik dan manis sekali. Terutama sepasang matanya yang lebar itu bersinar tajam dan lincah sekali.
Usia gadis ini paling banyak sembilanbelas tahun, akan tetapi tindakan kakinya yang gesit itu menunjukkan bahwa ia memiliki ilmu ginkang yang tinggi. Gagang sebatang pedang tersembul di belakang pundak kirinya. Rambutnya yang hitam itu digelung ke atas dan diikat dengan sutera merah hingga wajahnya nampak manis sekali.
Karena berjalan di dekat Giam Cong yang buruk rupa dan bengis, maka mereka ini kelihatannya bagaikan seorang bidadari berdampingan dengan seorang iblis.
Ketika melihat bahwa ketiga piauwsu itu datang bersama seorang pemuda pelajar, gadis baju hijau yang bukan lain adalah Kim-gan-eng Coa Bwee Hwa sendiri, tersenyum mengejek.
“Tiga pendekar dari Long-men datang membawa pengawal seorang pelajar! Apakah dia itu bertugas untuk membuat syair duka untuk kematian atau kekalahanmu?” Kim-gan-eng tertawa dan suara ketawanya merdu sekali, sedangkan ketika ia tertawa, giginya yang berderet rata dan berwarna putih bersih itu berkilauan.
“Mana si tua Kong Sin Ek? Bukankah dia itu pembelamu? Panggillah Kong Sin Ek ke sini agar ia mengenal adanya Kim-gan-eng dan tidak berlaku sewenang-wenang terhadap kami kaum liok-lim (perampok)!”
Lo Sin merasa tercengang dan heran melihat bahwa Kim-gan-eng yang tersohor sebagai perampok tunggal yang berani dan lihai itu ternyata hanya seorang gadis muda yang cantik jelita! Dan alangkah sombongnya gadis ini, pikirnya.
03.08. Penderitaan Si Dewa Arak
Akan tetapi ia diam saja dan menanti ke tiga piauwsu itu menjawab. Lie Kwan melangkah maju dan mengangkat kedua tangan sebagai penghormatan.
“Kim-gan-eng, kami bertiga tak berani mengharapkan bantuan Kong-cianpwe dan saudara kami ini memberanikan diri datang mewakilinya untuk minta kau bermurah hati dan mengembalikan barang-barang yang menjadi tanggung jawab kami.”
Terang sekali bahwa piauwsu tua ini hendak membujuk karena ia merasa jerih terhadap nona muda itu!
Kim-gan-eng tertawa lagi. “Enak saja bicara! Kalian sudah tahu bahwa pekerjaan kaum liok-lim ialah minta uang jalan dari mereka yang lewat di daerahnya. Akan tetapi kalian memperlihatkan kegagahan dan bukannya membantu pamanku Giam Cong ini, bahkan telah berlancang melukainya! Apakah ini namanya mengingat perhubungan baik di dunia kang-ouw? Oleh karena itu, aku sengaja mengambil barang-barangmu untuk dipakai sebagai biaya pengobatan luka pamanku ini. Kalau kalian mempunyai kepandaian, cobalah kalian mengambil kembali barang itu melalui pedangku. Kalau kalian tidak
48
berani, boleh kalian mendatangkan bala bantuan, kedatangan Kong Sin Ek ke sini telah kutunggu-tunggu!”
Bukan main mendongkolnya hati Lo Sin mendengar kesombongan ini. Ia segera bertindak maju menghadapi Kim-gan-eng.
“Nona, dengan alasan apakah maka kau menantang-nantang Kong Sin Ek Dewa Arak? Kesalahan apakah yang telah diperbuat oleh orang tua itu hingga kau menjadi marah kepadanya?”
Kim-gan-eng memandang pemuda yang tampan ini dengan mata tajam. Biarpun ia mengagumi kegagahan dan ketampanan Lo Sin, namun ia memandang rendah kepandaian pemuda pelajar ini.
“Kong Sin Ek terlampau mengandalkan kegagahannya dan belakangan ini dia dan terutama muridnya berlaku sewenang-wenang dan membinasakan banyak kawan dari kalangan liok-lim, seakan-akan dia tidak menghargai sama sekali kami kaum liok-lim. Hendak kulihat, sampai di mana kegagahannya. Kau ini siapa dan mau apa datang ke sini?”
“Kebetulan sekali aku boleh dibilang keponakan Kong Sin Ek dan karena orang tua itu tidak dapat datang sendiri, biarlah aku mewakili dia menerima pengajaranmu.”
Kim-gan-eng tercengang, lalu tersenyum dan berkata, “Eh, eh, agaknya kaupun memiliki sedikit kepandaian. Keluarkanlah senjatamu hendak kulihat.”
Akan tetapi, Giam Cong yang telah sembuh dari lukanya ketika melihat bahwa Kim-gan-eng hendak dilayani oleh seorang pemuda lemah lembut itu, lalu membentak.
“Pemuda kutu busuk yang ingin mampus! Bwee Hwa, biarlah aku memberi hajaran kepadanya!”
Kim-gan-eng tersenyum dan mengundurkan diri membiarkan pamannya menghadapi Lo Sin, karena pikirnya bahwa pemuda ini tak mungkin merupakan lawan yang tangguh.
“Anak muda, majulah kalau kau ingin merasakan bagaimana rasanya pukulan keras!” kata Giam Cong dengan wajah bengis.
Melihat lagak yang galak dari Giam Cong yang buruk rupa itu, Lo Sin tersenyum dan berkata. “Bukankah kau sudah dirobohkan oleh para piauwsu? Mengapa kau masih ada muka dan berani maju pula? Mundurlah, agar jangan sampai kau roboh untuk kedua kalinya!”
Merahlah wajah Giam Cong mendengar sindiran ini. Ia membentak marah. “Cacing buku! Jangan membuka mulut besar. Aku Giam Cong si Tangan Besi biarpun pernah dikalahkan oleh piauwsu-piauwsu pengecut itu akan tetapi mereka bertempur secara keroyokan. Majulah kalian semua seorang demi seorang, jangan main keroyokan dan lehermu akan kupatahkan semua. Apalagi kau ini, anak muda lemah yang tertiup oleh angin saja akan terguling, kutanggung dalam lima jurus, aku akan berhasil mengantar nyawamu menghadap Giam-ong (Malaikat Pencabut Nyawa)!”
49
Terdengar suara ketawa riuh rendah dari para anggauta perampok yang telah mengurung tempat itu dan bersikap sebagai penonton, padahal mereka ini siap sedia untuk menerima komando kepala mereka untuk maju menyerbu dan mengeroyok.
Panas juga hati Lo Sin mendengar kesombongan ini. Ia mengeluarkan perhiasan kepalanya berupa burung walet hitam yang tadi ditanggalkan dan dimasukkan ke dalam sakunya, lalu dikenakan pada pengikat kepalanya bagian depan.
“Eh, eh, kau hendak berkelahi atau hendak bersolek?” Giam Cong mengejek lagi hingga kembali anak buahnya tertawa.
Akan tetapi Lo Sin segera membuka baju luarnya hingga kini nampaklah pakaiannya serba hitam yang ringkas dan gagah. Semua orang termasuk Kim-gan-eng, tercengang melihat ini dan diam-diam ia mulai memperhatikan anak muda yang gagah ini.
“Berkelahi boleh, bersolek pun perlu,” jawab Lo Sin dengan suara memandang rendah sekali, “menghadapi kau saja, perlu apa tergesa-gesa dan ribut-ribut?”
“Keparat sombong. Cabut pedangmu kalau kau memang berani berkelahi!”
“Tak usah, kau maju dan pergunakanlah senjatamu, aku cukup melayanimu dengan tangan kosong saja.”
Giam Cong makin marah karena merasa dihina dan dipandang rendah sekali. “Bocah sombong. Kaukira aku Giam Cong seorang pengecut? Aku tidak sudi menghadapi seorang selemah engkau ini dengan bersenjata sedangkan kau bertangan kosong, dan tidak mau mendapat nama buruk apabila pedangku membikin kau mampus dalam keadaan bertangan kosong. Kulihat kau membawa pedang, hayo cabutlah! Atau kau memang tidak berani?”
“Kau agaknya sudah ingin sekali dirobohkan, “Baiklah, tapi ingat, kau sendiri yang minta aku mencabut pedang dan jangan kaupersalahkan aku kalau dalam dua jurus saja kau akan jatuh bangun!”
Sambil berkata demikian, tangan Lo Sin bergerak dan sebatang pedang yang tajam dan berkilauan telah tercabut dan berada di tangan kanannya. Pemuda ini lalu berdiri dengan kedua kaki terpentang di kanan kiri, tangan kiri bertolak pinggang, dan tangan kanan memegang pedang itu lurus-lurus ke depan ditodongkan ke arah dada Giam Cong.
“Nah, tai-ong (sebutan untuk kepala rampok), dengarlah baik-baik! Aku masih menaruh hati kasihan kepadamu, maka aku hanya akan memegang pedangku seperti ini. Kau boleh maju menyerang dengan senjatamu dan apabila aku sampai merobah kedudukan tangan atau kakiku, anggap saja aku kalah terhadapmu!”
“Pemuda gila yang bosan hidup!” Giam Cong membentak marah, akan tetapi oleh karena pemuda itu sudah mencabut pedangnya dan sudah bersiap, ia merasa sudah cukup memberi waktu kepada pemuda aneh ini maka sambil berseru keras ia lalu menggunakan pedangnya menubruk ke depan dan menyerang ke arah kepala Lo Sin dengan gerak tipu Macan Kelaparan Menubruk Kelinci.
50
Giam Cong memang memiliki tenaga besar dan pedang yang digerakkan untuk menyerang ini mengeluarkan suara dan menyambar dengan cepat sekali.
Akan tetapi Lo Sin tetap tenang dan tidak mengubah kedudukannya sama sekali. Ketika pedang Giam Cong sudah menyambar dekat, si Walet Hitam lalu menggerakkan sedikit pedang di tangannya untuk membentur pedang lawan yang menyambar dekat.
“Trang!” Terdengar suara keras dari kedua pedang yang beradu dan tahu-tahu Giam Cong berteriak kaget oleh karena pedangnya telah terlempar dan terlepas dari pegangannya. Pedang itu terlempar jauh dan jatuhnya menancap di atas tanah.
Semua orang memandang kejadian ini dengan mulut ternganga dan mata terbelalak. Bahkan Giam Cong sendiri tidak mengerti mengapa pedangnya tahu-tahu terlepas dari pegangannya dan bagaimana pemuda itu dapat melakukan hal yang aneh ini. Ia merasa amat penasaran dan kemarahannya memuncak, oleh karena ia menganggap bahwa hal ini kebetulan saja dan barang kali gagang pedangnya yang licin hingga terlepas dari pegangannya.
Ia segera mengambil pedangnya yang menancap di atas tanah itu, lalu maju lagi menyerang, kini dengan lebih hebat karena ia menggunakan gerak tipu Kilat Menyambar di Atas Kepala. Pedangnya berkelebat cepat dan hendak membelah kepala Lo Sin dari atas sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam akan tetapi mengirim pukulan keras ke arah dada Lo Sin.
Semua piauwsu merasa terkejut, oleh karena diserang dengan dua tangan ini, bagaimana pemuda ini dapat menghindarkan diri? Mereka menduga bahwa kali ini pemuda pembelanya itu pasti terpaksa mengubah kedudukan kakinya untuk mengelak dari serangan pukulan.
Akan tetapi mereka ini belum kenal betul kelihaian Lo Sin. Si Walet Hitam tetap tenang saja bahkan bibirnya tersenyum menghadapi serangan ini. Tadi ia bilang bahwa ia akan merobohkan Giam Cong dalam dua jurus, maka kali ini ia harus merobohkan kepala perampok sombong ini.
Ketika pedang Giam Cong menyambar turun, Lo Sin mencokelkan pedangnya ke atas dengan gerakan menggetar yang hanya dilakukan dengan pergelangan tangannya sedangkan lengan yang diluruskan itu sama sekali tidak berubah kedudukannya. Akan tetapi ketika pedangnya membentur dan menangkis pedang Giam Cong yang menyambar turun, pedang kepala rampok itu kini terpental keras sekali dan melayang ke arah daun-daun pohon di atas mereka dan tidak turun kembali. Ternyata pedang itu telah menancap di cabang pohon tersebut.
Sementara itu, ketika kepalan tangan kiri Giam Cong menyambar ke arah dada, Lo Sin tidak mengelak, bahkan lalu mengangkat dadanya dan mengerahkan tenaga lweekang sepenuhnya ke tempat yang akan menerima pukulan.
“Dukk!” kepalan itu menghantam dada dan Giam Cong meringis kesakitan lalu terhuyung ke belakang dan jatuh terduduk sambil mengeluh karena selain tangan kirinya, juga seluruh tubuhnya kesemutan dan sakit-sakit. Ia telah kena pukulannya sendiri yang tenaganya dibentur kembali oleh tenaga lweekang Lo Sin yang tinggi.
51
Lo Sin masih tetap berdiri dan pukulan tadi tak membuat tubuhnya bergerak sedikitpun, bagaikan lalat menyambar batu besar. Kini Lo Sin menundukkan ujung pedangnya menodong ke arah dada Giam Cong, dan pemuda yang gagah perkasa ini masih berdiri seperti tadi. Kaki kanan kiri dipentang sedikit, tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan memegang pedang yang lurus menodong ke depan, sedangkan bibirnya tetap tersenyum.
Melihat kelihaian sehebat itu, semua orang melongo dan tak terdengar suara sedikitpun untuk beberapa lama. Kemudian terdengar tepuk tangan riuh dari para piauwsu yang merasa girang dan bangga.
Sebaliknya Kim-gan-eng segera maju menghampiri Giam Cong yang masih terduduk sambil meringis kesakitan tanpa berani berdiri lagi. Gadis bermata indah itu berpaling memandang kepada Lo Sin dengan pandang mata aneh, heran, dan kagum.
Kim-gan-eng lalu memegang tangan pamannya dan setelah beberapa kali mengurut tangan kiri yang telah bengkak itu dan menotok pundak kiri untuk memulihkan jalan darah pamannya hingga Giam Cong dapat berdiri lagi dan cepat-cepat berdiri di pinggir. Gadis cantik itu lalu maju menghadapi Lo Sin yang kini menyimpan kembali pedang di dalam sarung pedangnya. Melihat cara penyembuhan yang dilakukan oleh Kim-gan-eng, Lo Sin dapat menduga bahwa gadis itupun adalah seorang ahli lweekeh yang tak boleh dipandang ringan.
Sebaliknya, Kim-gan-eng Bwee Hwa juga maklum bahwa anak muda yang kelihatan lemah itu ternyata adalah seorang berkepandaian tinggi sekali dan gadis ini semenjak tadi sudah menduga-duga dengan kagum siapa adanya pemuda yang lihai dan yang memakai hiasan kepala aneh ini.
Tiba-tiba ia terkejut sekali karena teringat akan sesuatu, maka setelah ia maju dan berhadapan dengan Lo Sin, ia bertanya.
“Orang gagah di depan ini apakah bukan Ouw-yan-cu?”
Lo Sin tersenyum dan ia tidak merasa heran bahwa orang telah mengenalinya. “Benar, perhiasan kepalaku ini memang walet hitam,” jawabnya sederhana.
Kim-gan-eng memandang kagum. “Kalau begitu, benar kata suhuku bahwa Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong adalah pendekar-pendekar tua yang gagah. Melihat kepandaian puteranya sedemikian tinggi tentu mereka itu lihai sekali!”
Kini Lo Sin merasa heran juga. Bagaimana gadis ini mengenal nama ayah ibunya? “Li-tai-ong, siapakah suhumu itu yang mengenal nama-nama orang tuaku?”
Kini Kim-gan-eng juga tersenyum dan lenyaplah sikapnya yang bermusuhan tadi.
“Suhuku adalah Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan si Pendekar Aneh Kepalan Delapan! Tentu saja kau tidak mengenal dia, oleh karena suhu memang tidak mempunyai nama tersohor dan besar seperti nama kedua orang tuamu!”
52
Memang sesungguhnya Lo Sin belum pernah mendengar nama Oei Gan ini, maka ia, lalu menyimpangkan pembicaraan mereka kepada urusan yang sedang mereka bereskan.
“Sekarang bagaimana? Apakah kau berkukuh hendak menahan barang-barang yang berada di bawah pertanggungan jawab para piauwsu ini dan tidak hendak mengembalikannya, Li-tai-ong?”
Kim-gan-eng Bwee Hwa memainkan senyum pada bibirnya. “Dengarlah, Ouw-yan-cu! Pertama-tama jangan kau menyebut aku Li-tai-ong oleh karena aku bukanlah kepala perampok dan aku hanya membantu pamanku saja. Aku bukan kepala perampok oleh karena aku tak pernah mempunyai anak buah, maka jangan kau menyebut aku kepala perampok. Tak enak sekali sebutan itu memasuki telingaku.
“Dan kedua, setelah kau bercampur tangan dan mengangkat diri sebagai pembela piauwsu-piauwsu itu, betapapun juga aku Kim-gan-eng takkan mundur setapak. Marilah kita mencoba kepandaian kita dan apabila aku kalah, sudah seharusnya aku mengembalikan barang-barang itu, akan tetapi kalau kau kalah olehku, lain kali kau jangan lancang menjadi pembela orang lain!”
Lo Sin tersenyum dan ia tidak marah oleh karena kata-kata yang dikeluarkan oleh Kim-gan-eng ini biarpun mengandung nada menantang, akan tetapi terdengar halus.
“Baiklah, Kim-gan-eng, kalau kau ingin mengukur tenaga, marilah kita main-main sebentar.”
Kim-gan-eng mencabut pedang dari punggung dengan gerakan cepat dan Lo Sin juga telah menghunus pedangnya pula. Keduanya menjura sebagai penghormatan, lalu berbareng menggerakkan tangan yang memegang pedang.
Dalam benturan pertama, Kim-gan-eng maklum bahwa tenaga lweekang pemuda ini masih setingkat lebih tinggi daripada tenaganya sendiri dan sebaliknya Lo Sin juga kagum oleh karena maklum bahwa gadis ini bukanlah lawan yang ringan. Maka tanpa ragu-ragu dan sungkan-sungkan lagi Lo Sin lalu mengeluarkan ilmu pedangnya yang tangguh dan hebat, yakni Hwie-sian-liong-kiam-sut.
Pedangnya berkelebat dan sebentar saja gundukan sinar pedangnya menyelimuti seluruh tubuhnya dan bagaikan gelombang samudera yang dahsyat bergulung-gulung menyerang ke arah Bwee Hwa! Kim-gan-eng terkejut sekali dan iapun lalu mengeluarkan ilmu pedangnya yang paling berbahaya, yakni ilmu pedang warisan suhunya yang disebut Pat-kwa-hoan-kiam-hoat.
Keduanya bertempur seru dan hebat, akan tetapi sebentar saja Kim-gan-eng harus mengakui keunggulan ilmu pedang ciptaan Beng San Siansu. Ia hanya kuat bertahan sampai limapuluh jurus dan inipun telah membuktikan Pat-kwa-hoan-kiam-hoat bukanlah ilmu pedang sembarangan saja.
Oleh karena ilmu silat dari lain cabang agaknya takkan kuat menahan serangan Hwie-sian-liong-kiam-sut yang dahsyat itu. Setelah bertempur limapuluh jurus Kim-gan-eng merasa pusing sekali dan ujung pedang di tangan Lo Sin agaknya telah mengurung tubuhnya tanpa dapat dielakkan pula.
Para penonton tidak melihat tubuh kedua orang yang bertempur itu oleh karena sinar pedang yaag berkelebatan telah menutup kedua tubuh itu dan tahu-tahu mereka melihat Kim-gan-eng melompat tinggi berjungkir balik beberapa kali di udara dan kemudian turun di tempat yang agak jauh.
53
“Ah, benar-benar nama Walet Hitam bukanlah nama kosong belaka!” katanya menghela napas, kemudian ia berpaling kepada Giam Cong dan berkata. “Giam siok-hu, terpaksa kita harus mengembalikan barang-barang para piauwsu itu dan keponakanmu tak dapat membelamu lebih lama lagi.”
Mendengar suara gadis yang agaknya bersedih itu, Lo Sin lalu berkata dengan suara menghibur.
“Kim-gan-eng, ilmu pedangmu benar-benar hebat dan bukan bohong kalau aku menyatakan bahwa belum pernah aku bertemu dengan ilmu pedang yang lebih tangguh dan lihai daripada ilmu pedangmu. Sampaikanlah hormatku kepada suhumu, karena biarpun aku belum pernah bertemu dengannya, akan tetapi kepandaiannya telah membuat aku merasa kagum sekali!”
“Ouw-yan-cu, kau memang bukanlah bangsa rendah yang suka mengagulkan kepandaian. Terima kasih atas pengajaranmu kali ini, Ouw-yan-cu. Biarlah lain kali aku minta pengajaran lagi.”
Setelah berkata demikian, gadis yang bermata indah itu lalu melompat pergi meninggal¬kan tempat itu.
Setelah keponakannya yang lihai itu pergi meninggalkannya, maka Giam Cong tak berdaya lagi. Tanpa banyak membantah ia lalu mengembalikan barang-barang yang dirampas oleh Kim-gan-eng kepada para piauwsu yang menerimanya sambil mengucapkan banyak terima kasih.
Demikianlah, peristiwa ini membuat para piauwsu dan Giam Cong menjadi baik kembali hubungannya dan mereka mengadakan perjanjian untuk tidak saling mengganggu dan bahkan saling membantu sebagai sahabat.
Dengan hati puas Lo Sin melihat perkembangan ini dan iapun lalu meninggalkan mereka dan mengaburkan kudanya menuju ke Pek-ma-san. Kudanya Pek-liong-ma dengan gembira membalap bagaikan terbang menuju ke utara.
Ketika ia tiba di Pek-ma-san dan menuju ke gua tempat tinggal Kong Sin Ek si Dewa Arak, benar saja sebagaimana penuturan piauwsu, ia melihat tubuh orang tua itu bersila tanpa bergerak bagaikan patung batu. Akan tetapi tubuh itu demikian kurus kering dan pucat seperti mayat, sedangkan pakaiannya compang-camping tidak karuan.
Lo Sin menjadi terharu sekali oleh karena ia memang menyinta orang tua yang menjadi sahabat baik kedua orang tuanya itu. Ia menubruk maju dan memeluk tubuh Kong Sin Ek sambil berseru.
“Kong peh-peh. Kau mengapakah sampai begini rupa?”
Akan tetapi, alangkah terkejutnya tiba-tiba tubuh yang dipeluknya itu roboh dengan lemas ternyata bahwa kakek ini telah pingsan dalam keadaan duduk bersila. Pucatlah wajah Lo Sin yang menyangka bahwa kakek itu telah mati, akan tetapi ketika ia meraba dada kiri si Dewa Arak ia menjadi lega.
Cepat-cepat Lo Sin melakukan pertolongan dan menyadarkan kakek itu dengan pencetan-pencetan pada jalan-jalan darah tertentu. Ketika ia meraba-raba dan mengurut-urut ini, Lo Sin mendapat
54
kenyataan yang membuat dadanya berdebar keras dan air matanya mengucur tanpa terasa lagi. Ternyata oleh sentuhan-sentuhan tangannya bahwa sepasang kaki tangan kakek gagah ini telah lumpuh. Urat-urat besar pada kaki tangannya telah diputuskan orang.
“Kong peh-peh…… bagaimana kau sampai menjadi begini?” beberapa kali Lo Sin mengeluh dan meratap.
Akhirnya Kong Sin Ek membuka kedua matanya. Ketika melihat wajah Lo Sin yang membungkuk di atasnya, kakek ini tersenyum sedih.
“Lo Sin, anakku yang baik. Akhirnya kau datang juga……”
“Kong peh-peh. Katakanlah, siapa yang membuat kau sampai menjadi begini? Akan kupatahkan kaki tangannya! Akan kuputar batang lehernya! Bilanglah, siapa keparat itu?” tanya Lo Sin dengan marah dan sakit hati melihat Kong Sin Ek dianiaya orang sampai begini macam.
“Terima kasih, anakku, sikapmu ini saja sudah cukup untuk membikin aku Kong Sin Ek mati dengan puas. Tak percuma aku berteman dengan Lian Hwa dan Cin Han. Kau seperti puteraku sendiri!”
“Kong peh-peh, kau tahu aku memang menganggap kau sebagai orang tua sendiri. Sekarang katakanlah, siapa orangnya yang membikin kau begini rupa?”
“Dia…… dia adalah…… muridku sendiri!”
Tercengang Lo Sin mendengar pengakuan ini. Sepanjang pengetahuannya, Kong Sin Ek tak pernah mempunyai murid dan kepandaian si Dewa Arak ini hanya pernah diturunkan kepadanya seorang! Bahkan pada dua tahun yang lalu ketika ia berkunjung ke sini, orang tua ini masih tinggal seorang diri di dalam gua dan tidak mempunyai murid.
“Kong peh-peh, siapakah muridmu itu? Dan bagaimana seorang murid dapat berlaku begini terhadap kau?”
Melihat keadaan orang tua itu, Lo Sin lalu berlari ke kudanya dan mengeluarkan sebotol arak yang dibawanya bekal serta sedikit roti kering. Kong Sin Ek menolak roti itu akan tetapi arak yang berada di botol segera ditenggaknya sampai habis! Setelah Dewa Arak ini kemasukan arak sebotol, maka mukanya menjadi agak merah dan keadaannya tidak begitu lemas lagi.
Harus diketahui bahwa selain menderita luka parah yang membuatnya lumpuh, kakek ini telah berpekan-pekan tidak makan atau minum! Kalau lain orang yang menderita seperti ini, ia pasti telah mati kelaparan. Kemudian dengan singkat Kong Sin Ek menuturkan kepada Lo Sin tentang pengalamannya dalam dua tahun yang lalu ini.
Pada dua tahun yang lalu, sepeninggal Lo Sin yang mengunjungi orang tua ini, Kong Sin Ek sering termenung dengan murung memikirkan nasibnya. Ia sudah tua dan lemah, tidak mempunyai murid. Siapakah yang akan mengurusi jenazahnya kalau ia meninggal kelak? Memang benar di situ ada Lo Sin, pemuda yang dicintainya seperti anak sendiri dan yang juga mencintai kepadanya, tetapi pemuda
55
ini telah mempunyai tugas sebagai putera Cin Han dan Lian Hwa sehingga ia tidak berhak untuk menariknya.
Pada suatu hari ketika ia sedang termenung memikirkan nasibnya, tiba-tiba dari bawah bukit berlari seorang pemuda yang dikejar oleh tiga orang hwesio. Pemuda itu lalu berbalik dan melawan dengan pedangnya, akan tetapi ketiga orang hwesio itu ternyata berkepandaian tangguh dan tinggi hingga sebentar saja pemuda itu terkurung rapat dan tak berdaya.
Melihat hal ini, Kong Sin Ek lalu turun tangan membantu dan dengan mudah saja ia memukul mundur ketiga orang hwesio itu.
Pemuda itu berwajah tampan dan sambil berlutut ia menghaturkan terima kasih kepada Kong Sin Ek. Si Dewa Arak suka melihat pemuda tampan ini dan menerimanya sebagai murid.
Oleh karena pemuda ini memang telah memiliki ilmu silat cabang Go-bi-pai yang lumayan, maka selama dua tahun ia mempelajari ilmu silat dari Kong Sin Ek, kepandaiannya sudah maju pesat dan hampir semua kepandaian Kong Sin Ek telah diwariskan kepadanya! Ternyata pemuda ini berotak cerdik sekali dan dapat menerima pelajaran silat dengan cepat.
Kong Sin Ek merasa puas dan ia mencinta sekali kepada pemuda yang selalu tunduk dan taat kepadanya ini. Cita-citanya tercapailah dan ia merasa senang sekali oleh karena kini ia mempunyai seorang murid yang boleh diandalkan.
Akan tetapi, kebagusan di luar itu tidak selamanya mencerminkan keadaan di dalam. Siapakah yang akan menduga bahwa pemuda yang tampan dan selalu menurut serta halus dan sopan tutur katanya itu, mempunyai pikiran jahat dan memelihara setan di dalam hatinya?
Pada suatu hari, dengan marah sekali Kong Sin Ek menerima laporan dari seorang petani bahwa muridnya itu telah mengganggu anak perempuan petani itu hingga anaknya itu saking malu dan sedihnya telah menggantung diri! Berita ini tentu saja diterima oleh Kong Sin Ek bagaikan kilat menyambar di siang hari.
Setelah petani itu pulang dengan menangis sedih, Kong Sin Ek lalu memanggil muridnya dan setelah memaksa muridnya mengaku, Kong Sin Ek lalu memukul muridnya itu sampai bergulingan di atas tanah! Tadinya ia hendak menghabisi nyawanya murid itu, akan tetapi ketika melihat wajah muridnya dan melihat pemuda itu mengeluh dan merintih-rintih, hatinya menjadi tidak tega dan ia mengurungkan niatnya membunuh murid murtad itu. Ia lalu memaki-maki dan memberi peringatan serta ancaman keras, sedangkan muridnya dengan suara memilukan lalu menangis, berlutut di depannya dan memohon ampun disertai janji-janji hendak mengubah adatnya.
Oleh karena marah dan kecewa, hati Kong Sin Ek sedih sekali dan ia lalu menghibur dirinya dengan minum arak sampai mabok dan akhirnya roboh di lantai dalam keadaan tidur pulas bagaikan mati! Dan ketika ia terjaga daripada tidurnya, ia mendapatkan dirinya telah lumpuh dan sepasang kaki tangannya tidak dapat digerakkan lagi.
Ternyata bahwa murid murtad itu telah memutuskan urat kaki tangannya selagi ia berada dalam keadaan tidur dan mabok tak ingat orang. Dan murid yang melakukan pembalasan dendam kepada
56
guru sendiri dan menganiaya gurunya tanpa mengenal kasihan dan secara keji telah lama minggat dari tempat itu!
Mendengar penuturan Kong Sin Ek ini, bukan main marahnya Lo Sin. Ia bangun berdiri sambil mengepalkan kedua tangannya.
“Bangsat rendah, manusia berhati binatang! Kong peh-peh, kauberitahukan di mana adanya bangsat rendah itu! Sekarang juga akan kuseret dia ke sini untuk menerima hukuman!”
Akan tetapi pada saat itu terdengar Kong Sin Ek mengeluh dan tubuh yang telah lumpuh itu terguling. Lo Sin cepat memeluknya dan ternyata bahwa napas kakek gagah itu telah empas-empis menanti datangnya maut.
Lo Sin bingung sekali, tidak tahu harus berbuat apa. Kemudian ia ingat bahwa kakek ini belum memberitahukan nama murid murtad itu, maka ia lalu bertanya keras-keras.
“Kong peh-peh, siapakah nama muridmu itu?”
Bibir Kong Sin Ek bergerak hendak menjawab, akan tetapi agaknya ia telah terlampau lemah sehingga tidak ada suara yang keluar dari bibir itu.
Lo Sin menggoyang-goyangkan tubuh si Dewa Arak dan sekali lagi bertanya sambil mendekatkan mulutnya pada telinga Kong Sin Ek. “Peh-peh, aku mohon padamu, tinggalkan nama muridmu itu kepadaku!”
Sekali lagi bibir Kong Sin Ek bergerak dan Lo Sin mendekatkan telinganya kepada mulut kakek itu. Ia mendengar kakek itu berbisik lemah perlahan sekali.
“Ia…… ia she Lui dan…… ber….. nama.......” Akan tetapi nama itu takkan pernah dapat terdengar dari mulut kakek yang telah membuat dunia kang-ouw tergetar karena kegagahannya itu telah meninggal dunia.
Lo Sin memeluki tubuh Kong Sin Ek dan pemuda ini menangis keras dengan hati berduka terharu. Kemudian ia menggali sebuah lubang di tanah depan gua dan mengubur jenazah Kong Sin Ek. Sebelum meninggalkan tempat itu, ia bersembahyang di depan kuburan si Dewa Arak dan berkata perlahan.
“Kong peh-peh, mengasolah dengan tenang dan tenteram. Aku bersumpah untuk membalaskan sakit hatimu dan percayalah bahwa pada suatu hari aku pasti akan menggunakan pedangku menabas putus leher anjing rendah she Lui itu.”
Kemudian Lo Sin lalu meninggalkan tempat itu dan dengan hati berduka kembali ke kota Tit-lee. Ia diserang hujan badai dan kebetulan sekali bertemu dengan Hek Li Suthai hingga bertempur dan semua ini dilihat oleh Lee Ing yang mengintai di balik pohon. Hal ini sudah diceritakan pada bagian depan cerita ini.
57
Mendengar penuturan Lo Sin tentang keadaan Kong Sin Ek yang menyedihkan itu, Lian Hwa menangis tersedu-sedu sedangkan Cin Han lalu mengertak gigi dan membanting-banting kaki.
“Akan kuhancurkan kepala murid murtad itu,” geram jago tua itu.
“Awas…… awas kau, bangsat she Lui…... akan kucabut keluar hatimu yang kotor itu dari dadamu!” berkata Ang Lian Lihiap setelah ia dapat bicara.
Demikianlah keluarga pendekar ini diliputi kesedihan dan Cin Han bersama isterinya lalu mengatur meja sembahyang untuk memperingati kematian sahabat yang tercinta itu. Dalam beberapa hari selanjutnya, seakan-akan hilang kegembiraan mereka tertutup mendung kedukaan karena kematian Kong Sin Ek yang benar-benar menghancurkan hati mereka itu.
Pada hari keempat Lian Hwa dan Cin Han memanggil putera mereka dan ketika Lo Sin datang menghadap, pemuda ini melihat bahwa sebagian besar kedukaan telah menghilang dari wajah ayah bundanya, akan tetapi tidak seperti biasa, kali itu wajah kedua orang tua itu memperlihatkan sikap bersungguh-sungguh.
“Sin-ji, ayahmu dan aku telah mengambil keputusan untuk mengutusmu pergi menemui peh-pehmu Nyo Tiang Pek di Bong-kee-san. Nyo-pekhu harus diberitahu tentang kematian Kong peh-pehmu.”
Sebelum Lo Sin menjawab, Cin Han berkata. “Juga Nyo-twako harus diberi peringatan bahwa Hek Li Suthai telah berkeliaran di luar dan hendak mencari kita semua untuk membalas dendam. Aku tidak khawatirkan hal ini oleh karena kepandaian Nyo-twako cukup kuat untuk menghadapi seorang lawan seperti Hek Li Suthai, akan tetapi ada baiknya bila berjaga diri.”
Lo Sin merasa gembira dan menerima perintah ini dengan baik. “Memang telah lama aku ingin sekali bertemu dengan Nyo-pekhu, yang ayah berkali-kali memujinya sebagai seorang gagah itu,” katanya.
“Dia memang gagah perkasa,” kata Cin Han, “siapakah yang tidak menjadi kagum mendengar nama Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek, si Garuda Berkuku Emas?”
“Dan isterinya adalah sumoiku sendiri!” kata Ang Lian Lihiap memperingatkan kepada anaknya.
Lo Sin mendengarkan dengan gembira dan makin besar keinginan hatinya untuk cepat-cepat berangkat menemui mereka. Sampai dimanakah kepandaian mereka? Apakah lebih tinggi dari kepandaian ayah ibunya? Demikian ia berpikir, akan tetapi ia tidak berani menanyakan hal ini kepada ayah ibunya.
Diluar tahunya Lo Sin, suami isteri pendekar itu bertukar pandang dan memberi isyarat dengan mata. Dengan pandangan matanya Cin Han menyuruh isterinya yang berbicara, maka Ang Lian Lihiap lalu berkata dengan suara halus kepada Lo Sin.
“Sin-ji, kau tentu sudah cukup maklum betapa inginnya hati ayah ibumu melihat kau mengikat jodoh dengan seorang gadis yang berbudi dan bijaksana.”
58
Lenyap kegembiraan yang tadi membayang di wajah Lo Sin ketika ia mendengar ucapan ibunya itu. Ia mengangkat muka memandang kepada ibunya dengan tajam.
“Sin-ji, sudah kuberitahukan padamu dulu bahwa Nyo-twako yang gagah perkasa itu mempunyai seorang anak perempuan yang tidak hanya cantik jelita, akan tetapi juga gagah sekali.”
Baru saja ibunya bicara sampai di situ, tahulah sudah Lo Sin ke mana tujuan percakapan ini, maka ia segera memotong, “Ibu, bagaimana ibu tahu akan kecantikan dan kegagahan puteri Nyo-pekhu sedangkan ibu atau ayah sendiri belum pernah melihatnya?”
Ang Lian Lihiap adalah seorang wanita cerdik maka tentu saja serangan anaknya ini tidak membuat ia menjadi bingung. Dengan tersenyum ia berkata, “Mudah saja, anakku. Gadis itu adalah puteri Giok Lie, maka tidak dapat tidak ia harus cantik jelita seperti ibunya. Dan iapun anak Nyo-twako, maka sudah sewajarnya kalau ia gagah seperti ayahnya!”
Lo Sin hanya menundukkan kepala dan Lian Hwa mempergunakan kesempatan ini untuk memberi tanda dengan matanya kepada suaminya agar Cin Han suka melanjutkan keterangan ini.
“Sin-ji,” kata Cin Han, “benar kata ibumu. Puteri Nyo-twako tentu cantik, gagah dan berbudi mulia. Maka, kami berdua telah mengambil keputusan untuk menjodohkan kau dengan gadis puteri kawan-kawan baik kita itu!”
Lo Sin memandang dan menatap wajah ayahnya dengan terkejut. Akan tetapi Cin Han melanjutkan kata-katanya dengan suara tetap, seakan-akan hendak menyatakan bahwa ia tidak ingin dibantah oleh anaknya.
“Sin-ji, dengarlah, ketika utusan Nyo-twako datang ke sini, ibumu dan aku telah mengambil keputusan itu, dan kami telah mengirim surat lamaran kepada Nyo-twako!”
“Ayah!”
“Diam, dan dengar kata-kataku, kali ini kau tidak boleh membantah lagi. Apakah kau selamanya akan membujang saja dan membiarkan kedua orang tuamu kecewa hati? Dan selain puteri Nyo-twako, gadis mana lagi di dunia ini yang sesuai untuk menjadi kawan hidupmu?”
“Sin-ji,” terdengar suara ibunya penuh kasih sayang. “Kau harus mengerti bahwa orang tuamu hanya ingin melihat kau hidup berbahagia dan mempunyai rumah tangga sendiri! Maka, kau pergilah mengunjungi Nyo-pekhu mu itu dan sekalian menegaskan isi surat lamaran kita agar segera mendapat keputusan darinya!”
“Ah, ibu, mana bisa ada aturan begitu? Ayah dan ibu sudah mengirim surat lamaran itu, mengapa anak harus pergi ke sana pula? Bukankah hal itu memalukan sekali? Biarlah kita menanti saja surat jawaban mereka itu, ibu!”
Setelah berpikir sejenak, baik Cin Han maupun Lian Hwa menganggap alasan puteranya ini benar juga. Biarlah mereka menanti sabar karena merasa yakin bahwa Nyo Tiang Pek tentu akan segera mengirim balasan atas pinangan mereka dulu itu. Mereka sudah cukup merasa girang melihat bahwa Lo Sin
59
tidak membantah lagi dan agaknya telah menurut kemauan orang tuanya melamar puteri Nyo Tiang Pek.
Setelah berada di dalam kamarnya sendiri, Lo Sin membaringkan tubuhnya di atas ranjang. Ia rebah terlentang dan tiba-tiba bayangan gadis yang pakaiannya basah kuyup di bawah pohon dan yang ditemuinya malam tadi muncul di depan matanya.
Alangkah manisnya gadis itu. Hatinya tertarik sekali. Apakah puteri Nyo Tiang Pek secantik gadis itu? Ah mengapa kedua orang tuanya begitu terburu-buru dan tidak menanti sampai ada seorang gadis yang disetujuinya seperti...... seperti misalnya gadis di seberang jalan itu?
Lo Sin tiba-tiba terkejut sekali mengikuti jalan pikirannya sendiri. Mengapa ia selalu memikirkan gadis yang berwajah pucat, berpakaian basah kuyup dan berlaku sangat ketus dan galak terhadapnya itu? Ia tidak mengerti dan menjadi bingung. Ia tidak berani menceritakan keadaan gadis itu kepada ayah bundanya, khawatir kalau-kalau kedua orang tuanya menyangka yang bukan-bukan, sedangkan siapa adanya gadis itupun ia tidak tahu!
Sementara itu, Nyo Lee Ing setelah bertemu dan melihat sepak terjang Lo Sin yang gagah segera berlari dan menuju pulang. Hatinya merasa tidak karuan rasanya. Ia telah menyaksikan kegagahan Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong dan bahkan telah pula menyaksikan kegagahan putera mereka yang disebut Ouw-yan-cu.
Ia merasa kagum sekali dan juga bergirang bahwa kawan-kawan ayah ibunya ternyata benar gagah perkasa! Ia hendak segera pulang dan menceritakan pengalamannya kepada ayah ibunya yang tentu akan senang sekali mendengar hal ihwal kegagahan keluarga yang menjadi sahabat tercinta itu.
Akan tetapi, tiba-tiba Lee Ing teringat pula bahwa ayahnya hendak memaksa ia kawin dengan perwira muda yang dibencinya itu! Mengingat akan hal ini, Lee Ing lalu berhenti berlari dan menangis di pinggir jalan sambil duduk di bawah sebatang pohon besar. Mengapa nasibnya begini buruk?
Ia tidak suka kepada Lui Tik Kong yang memiliki kepandaian rendah dan yang baru melihat saja sudah menimbulkan rasa benci di dalam hatinya. Ia sendiri tidak tahu mengapa hatinya benci dan tidak suka kepada Lui Tik Kong, walaupun harus diakui bahwa pemuda itu cukup tampan dan gagah.
Ketika Lee Ing sedang menangis, tiba-tiba terdengar suara domba mengembek. Ia mengangkat muka memandang dan melihat dua ekor domba, biang domba dan seekor anaknya yang masih kecil. Anak domba itu berlutut dengan dua kaki depannya dan menyusu dari perut biangnya.
Pemandangan ini menimbulkan keharuan di dalam hati Lee Ing dan ia menjadi teringat kepada ibunya. Terbayang wajah ibunya yang tentu berduka sekali karena ia telah pergi tanpa pamit. Hatinya menjadi sedih dan kasihan kepada ibunya, maka Lee Ing segera berdiri dan cepat melanjutkan larinya menuju pulang.
Nyo Tiang Pek dan isterinya sedang duduk dengan wajah muram dan hati duka memikirkan puterinya yang minggat tanpa pamit itu. Nyo Tiang Pek marah sekali ketika mendengar dari Lui Tik Kong betapa gadisnya malam-malam mendatangi asrama perwira itu dan mengajaknya bertanding hingga perwira itu mendapat luka ringan pada pundaknya oleh pedang Lee Ing.
60
“Ah, anak kita itu terlalu keras kepala dan tinggi hati!” katanya penuh sesal kepada isterinya yang tidak menjawab hanya menangis menyatakan kekhawatirannya.
“Biarlah, biar ia pergi mencari pengalaman. Pahit getir hidup di perantauan tentu akan membuatnya tobat dan segera pulang. Dan jika dia pulang, perjodohannya harus segera dilangsungkan. Hanya perkawinan saja yang agaknya akan dapat membuat ia menjadi jinak dan tidak liar seperti sekarang!” berkata lagi Nyo Tiang Pek dengan marah.
Ketika mereka tengah bermenung memikirkan anak tunggal yang susah diurus itu, tiba-tiba saja Lee Ing mendatangi dari luar, berlari-lari dan sambil menangis lalu memeluk ibunya. Giok Lie pun menangis dan memeluk serta menciumi wajah anaknya yang pucat, tanda bahwa gadis itu telah banyak menderita dalam perjalanan selama perantauan yang hampir setengah bulan lamanya itu.
Kemudian Lee Ing lalu menghampiri ayahnya dan berlutut di depan Nyo Tiang Pek. “Ayah, ampunkan anakmu, ayah......”
Betapapun besar marah di hati Tiang Pek dan betapapun kerasnya hati jago tua ini, ketika melihat anaknya berlutut meminta ampun, hatinya lunak kembali.
“Ing-ji, Ing-ji…… kau telah banyak membikin susah ibumu,” katanya. “Selama ini, ke mana sajakah kau pergi?”
Lee Ing lalu menceritakan pengalamannya, betapa ia pergi ke rumah Ang Lian Lihiap dengan diam-diam dan menyaksikan pertempuran hebat antara suami isteri pendekar itu melawan Hek Li Suthai dan juga menyaksikan kegagahan Lo Sin, putera Ang Lian Lihiap.
Nyo Tiang Pek dan Giok Lie terkejut dan girang, terkejut mendengar halnya Hek Li Suthai, to-kouw yang kejam seperti iblis itu kini telah turun gunung membalaskan sakit hati gurunya, dan mereka girang mendengar bahwa keadaan Ang Lian Lihiap dan suaminya selamat-selamat saja.
“Mengapa kau tidak menghadap dengan berterang kepada mereka? Ah, kau sungguh membuat malu padaku. Baiknya Cin Han memberi obat kepadamu, kalau tidak, luka yang kau derita karena serangan Ang-jouw-ciam dari iblis itu tentu telah menamatkan riwayatmu!” Giok Lie bergidik dan merasa ngeri memikirkan hal ini.
“Ing-ji,” katanya, “sekarang kau harus menurut kata-kata ayahmu dan perjodohanmu dengan Lui-ciangkun harus dilangsungkan segera. Perwira muda itu ternyata sangat baik hati, biarpun ia telah kau lukai pada pundaknya, namun ia tidak merasa sakit hati.”
“Benar, Ing-ji, kau jangan membantah lagi. Percayalah kepada ayahmu yang takkan salah pilih!”
Lee Ing tidak berani membantah, akan tetapi ia berkata, “Aku hanya menyerahkan nasib diriku di tanganmu, ayah. Akan tetapi tentang perkawinan ini, aku minta waktu sebulan lagi.”
Suami isteri itu saling memandang dan akhirnya mereka menyatakan setuju. Bagaimana juga, kesanggupan Lee Ing telah membuat mereka merasa girang sekali.
61
Selama menanti datangnya hari perkawinan, Lee Ing hanya mengeram di dalam kamarnya saja dan tidak mau keluar. Wajahnya murung dan hatinya berduka, akan tetapi di depan kedua orang tuanya ia tidak berani menyatakan ketidaksukaan hatinya. Ia menerima nasib oleh karena ia berpikir bahwa ia harus berbakti dan taat kepada ayah ibunya.
Sementara itu, Tiang Pek lalu membuat surat-surat undangan untuk mewartakan berita baik ini kepada seluruh kenalannya. Ia tidak lupa untuk mengirim surat undangan kepada Lo Cin Han dan Han Lian Hwa di Tit-lee, bahkan menyuruh seorang pengantar istimewa untuk menyampaikan surat itu.
Persiapan dilakukan dan kedua suami isteri itu setiap hari sibuk sekali dan bekerja dengan penuh kegembiraan. Betapa mereka takkan gembira, hari baik puteri tunggal mereka menjelang datang, hari yang mereka impi-impikan, hari yang mereka tunugu-tunggul
Juga di pihak Lui Tik Kong telah membuat persiapan. Anak muda ini tidak lupa mengundang kawan-kawannya untuk menghadiri perayaan hari perkawinannya dengan puteri Nyo Tiang Pek, Garuda Berkuku Emas yang telah amat terkenal namanya.
“Sin-ji, biarpun di luarmu kau tunduk dan tidak membantah kedua orang tuamu, akan tetapi aku tahu apa yang terkandung di dalam hatimu. Anakku, jangan kaukira bahwa ayahmu dan aku tidak tahu akan hal yang kau susahkan. Pada hakekatnya kau tentu tidak setuju dengan lamaran kami terhadap puteri Nyo-twako, bukan?” tanya Lian Hwa kepada puteranya di dalam kamar Lo Sin yang kini jarang sekali keluar.
“Ayah dan ibu terlalu tergesa-gesa,” jawab pemuda itu sambil tundukkan mukanya.
“Lo Sin! Kau kurang percaya kepada pilihan orang tuamu dan hal ini hanya terjadi apabila kau telah mempunyai pilihan sendiri. Oleh karena ini, ayahmu minta padaku supaya bertanya kepadamu. Apakah benar dugaan kami bahwa kau telah mempunyai pilihan hati sendiri dan jika sudah, siapakah gadis itu?” Lian Hwa menatap wajah puteranya dengan pandang mata tajam, seakan-akan hendak menembus hati pemuda itu.
Untuk beberapa lama Lo Sin tidak menjawab. Bagaimana ia harus menjawab? Kalau saja gadis di seberang jalan yang kehujanan itu telah ia ketahui nama dan tempat tinggalnya, tentu ia akan berani berterus terang kepada ibunya ini. Akan tetapi, gadis itu hanya dilihatnya sekejap saja, maka ia malu untuk mengaku bahwa hatinya telah tercuri oleh seorang gadis yang tidak diketahui asal usulnya.
“Tidak, ibu, aku tidak tertarik kepada siapa-siapa. Hanya aku merasa sangsi oleh karena ibu dan ayah menjatuhkan pilihan pada seorang gadis yang belum pernah dilihat sendiri. Bagaimana kalau pilihan ini ternyata keliru?”
Ang Lian Lihiap menghela napas lega. Masih baik kalau puteranya ini tidak menaruh hati kepada gadis lain. Adapun tentang puteri Nyo Tiang Pek, biarpun belum pernah dilihatnya, ia percaya dan yakin akan kegagahan dan kecantikan gadis itu. Maka ia hanya tersenyum dan berkata dengan suara gembira. “Kau percayalah kepada orang tuamu, anakku.”
62
Pada saat itu mereka tiba-tiba mendengar suara Cin Han di ruang depan yang berseru keras, “Kurang ajar!”
Suara ini keras sekali dan mengandung penyesalan hati besar, maka baik Ang Lian Lihiap maupun puteranya menjadi terkejut dan keduanya lalu lari keluar. Di ruang depan mereka melihat Cin Han duduk di sebuah kursi, diam bagaikan patung dan memandang kepada sehelai surat yang masih terpegang di tangannya. Wajah jago tua ini kelihatan marah sekali.
“Han-ko, kau kenapakah?” tanya isterinya.
Cin Han berpaling kepada mereka, kemudian berkata dengan suara gemas kepada Lo Sin yang memandang padanya dengan penuh pertanyaan.
“Dasar kau anak sial!”
“Eh, eh, ada apakah kau marah-marah seperti kebakaran jenggot?” Lian Hwa bertanya sambil berkelakar.
“Lihat dan baca sendiri surat ini!” kata Cin Han sambil memberikan surat yang dipegangnya kepada Lian Hwa.
Ang Lian Lihiap menerima surat yang berwarna merah itu dan membaca cepat. Tiba-tiba mukanya menjadi pucat sekali dan ia berkata marah.
“Sungguh terlalu sekali Nyo-twako! Mengapa ia berubah begini tak tahu adat dan berani menghina kami? Apakah ini bukan satu kekeliruan?”
“Apanya yang keliru?” Cin Han mengulang kata-kata isterinya. “Sudah terang mereka tak pandang mata kepada kita. Tiang Pek…… kau benar-benar menyakiti hatiku!”
Lo Sin mendengar dan melihat ini semua dengan heran dan khawatir. Ibunya lalu memberikan surat kepadanya dan berkata, “Kau bacalah sendiri, dan ayahmu berkata benar ketika memakimu sebagai anak sial!”
Lo Sin terima surat itu dan dengan tangan gemetar penuh kekhawatiran ia membaca surat itu. Sehabis membaca, berbeda dengan kedua orang tuanya, tiba-tiba pemuda itu tertawa bergelak-gelak hingga kedua orang tuanya memandang dengan heran.
“Bagus, bagus! Perjodohan batal dan ini bukan karena penolakanku, ayah! Sudahlah, ayah dan ibu jangan marah-marah seperti itu. Bukan hanya seorang saja puteri yang patut menjadi menantu ayah ibu di dunia ini! Dan bukan Nyo-pekhu saja yang mempunyai anak perempuan! Sekarang anak hendak menyatakan kehendakku yang telah beberapa hari ini kusimpan dan kutahan saja. Aku ingin sekali menunaikan tugas yang telah kujanjikan kepada mendiang Kong peh-peh, yakni pergi mencari keparat she Lui itu!”
Memang dalam saat seperti itu, lebih baik puteranya melakukan sesuatu untuk melupakan urusan memalukan ini, maka baik Cin Han maupun Lian Hwa tidak melarang anaknya. Lo Sin yang sudah
63
bersiap sedia lalu berpamit dan setelah mendapat banyak nasihat dari kedua orang tuanya supaya berhati-hati, ia lalu menaiki kudanya Pek-liong-ma dan mulai melakukan perantauan mencari murid murtad dari mendiang Kong Sin Ek si Dewa Arak.
Sementara itu, Cin Han dan Lian Hwa membicarakan tentang isi surat yang membuat mereka penasaran, marah dan malu itu. Surat ini ternyata adalah surat undangan dari Nyo Tiang Pek yang mewartakan tentang perayaan hari pernikahan puteri tunggalnya yang bernama Nyo Lee Ing dan yang akan diselenggarakan tiga pekan kemudian.
“Yang masih kuherankan, mengapa Nyo-twako tidak menjawab surat lamaran kita?” tanya Lian Hwa dengan ragu-ragu.
“Bukankah undangan ini berarti sebagai jawaban juga? Mungkin Nyo-twako merasa tidak enak hati kalau harus menjawab surat lamaran kita dengan sebuah penolakan, maka ia lalu mengirim surat undangan ini yang tentu saja sudah sangat jelas bagi kita!”
“Tentu saja pada saat Nyo-twako menerima lamaran kita, puterinya telah dipertunangkan dengan orang lain, dan penolakan terhadap lamaran kita adalah hal sewajarnya. Kita tidak boleh marah kepadanya,” kata pula Lian Hwa yang masih belum mau percaya bahwa Nyo Tiang Pek berani menghina mereka.
Cin Han bersungut-sungut. “Apakah kaukira aku juga sudi memaksanya untuk menerima anak kita sebagai mantunya? Bukan penolakannya yang kujengkelkan, akan tetapi caranya menyambut lamaran kita. Kalau saja ia menjawab dengan surat penolakan, sungguhpun puterinya andaikata masih bebas, aku takkan merasa sakit hati atau tidak enak hati. Di mana ada orang melamar dengan paksaan?
“Akan tetapi, mengapa surat lamaran kita tidak diperdulikan dan tahu-tahu ia mengirim surat undangan ini. Bukankah ini amat memandang rendah kepada kita? Apakah yang diandalkan oleh Nyo-twako maka ia menjadi tinggi hati seperti ini?”
“Sudahlah, untuk apa kita pusingkan hal ini? Benar kata Sin-ji tadi. Di dunia masih banyak gadis yang baik dan bukan Nyo-twako saja yang mempunyai anak perempuan! Mungkin hal ini mereka lakukan tanpa disengaja. Kita tak usah datang memenuhi undangan ini dan tinggal diam saja, habis perkara. Kalau kita tidak ingat kepada kebaikan Nyo-twako, kita harus pandang muka adikku Giok Lie dan biarlah kita habiskan perkara sampai di sini.”
Cin Han mengangguk-angguk dan menghela napas. “Baiknya memang Sin-ji sudah tidak setuju dengan lamaran itu hingga hal ini diterima olehnya dengan tenang bahkan merasa lucu. Kalau saja tadinya ia telah menyetujui dan suka kepada puteri Nyo-twako bukankah hal ini akan menyakiti hatinya dan membuat ia marah sekali?”
Demikianlah, kedua suami isteri ini membicarakan persoalan itu dengan hati tidak puas dan perasaan murung. Mereka mengambil keputusan untuk melawan sikap Nyo Tiang Pek ini dengan keangkuhan dan tidak akan menghubungi bekas sahabat baik yang telah menyinggung perasaan mereka itu.
64
Cin Han dan Lian Hwa keliru apabila mereka menyangka bahwa Lo Sin tidak ambil perduli akan sikap Nyo Tiang Pek itu. Ketika tadi ia tertawa setelah membaca surat, memang hatinya bergirang oleh karena ia terbebas daripada paksaan menikah dengan seorang gadis yang belum pernah dilihatnya.
Akan tetapi, disamping kegirangannya, iapun merasa panas hati dan mendongkol akan sikap Nyo Tiang Pek, bukan oleh karena merasa diri sendiri direndahkan, akan tetapi oleh karena merasa bahwa Garuda Kuku Emas itu telah memandang rendah dan berlaku kurang ajar atau kurang menghargai kedua orang tuanya. Inilah yang membuat ia merasa sakit hati. Dianggapnya Nyo Tiang Pek terlalu menghina kedua orang tuanya dan penghinaan macam ini tak layak didiamkan saja!
“Awas, Kim-jiauw-eng! Kalau sudah tiba saatnya kita bertemu, hendak kulihat sampai di mana kegagahanmu yang telah berani berlaku kurang ajar kepada kedua orang tuaku!” katanya di dalam hati. Akan tetapi pada saat itu ia lebih mementingkan tugasnya mencari murid Kong Sin Ek untuk memenuhi sumpahnya membunuh pemuda kejam dan curang itu.
Lo Sin mengaburkan kudanya menuju ke kota Long-men mencari Long-men Sam-eng, yakni ketiga orang tua gagah yang memimpin Sam-eng Piauwkiok di kota itu. Ketiga orang piauwsu tua itu menerima kedatangan Lo Sin yang mereka anggap sebagai tuan penolong dalam menghadapi Kim-gan-eng dulu itu dengan penuh kegirangan dan penghormatan. Mereka mempersilakan Lo Sin duduk dan menghidangkan teh wangi.
“Taihiap, kami telah mendengar tentang meninggalnya Kong lo-enghiong di Pek-ma-san,” kata mereka dengan muka sedih, “dan kami merasa menyesal sekali sungguhpun kami masih merasa heran apakah yang menyebabkan orang tua itu meninggal dalam keadaan demikian sengsara.”
Lo Sin menghela napas dan menindas rasa terharunya ketika teringat kepada kakek yang malang nasibnya itu.
“Karena inilah maka siauwte datang mengganggu sam-wi di sini. Kong peh-peh telah teraniaya orang dan kini siauwte hendak mencari orang itu untuk membalas dendam.”
Terkejut sekali ketiga piauwsu itu mendengar ini. “Siapakah yang menganiaya Kong lo-enghiong?” tanya mereka.
Dengan singkat Lo Sin lalu menceritakan riwayat Kong Sin Ek dan akhirnya ia bertanya, “Barangkali diantara sam-wi ada yang pernah melihat anak muda itu?”
Untuk beberapa lama, ketiga piauwsu itu tak dapat berkata-kata hanya saling memandang dengan muka terkejut dan heran.
“Memang kami telah melihatnya. Ia adalah seorang she Lui bernama Tik Kong, seorang pemuda yang tampan dan sopan santun. Sungguh hampir tak percaya kami bahwa ia dapat berbuat demikian kejam dan jahat.”
Lo Sin girang sekali mendengar ini. “Di mana dia? Tahukah sam-wi di mana adanya orang itu sekarang?”
65
“Kami tidak tahu, taihiap. Pernah dulu kami mendengar bahwa anak muda itu berkeinginan memasuki ujian perwira. Mungkin sekali setelah melakukan perbuatan jahat itu ia lalu melarikan diri dan melanjutkan cita-citanya untuk menjadi seorang perwira tentara kerajaan.”
Keterangan ini biarpun cukup berharga, akan tetapi masih belum dapat menolongnya hingga Lo Sin tetap mencari-cari dengan membuta, tanpa ada tujuan tertentu. Ia lalu meninggalkan Long-men dan merantau sampai jauh ke timur mencari-cari pemuda yang bernama Lui Tik Kong ini.
Banyak markas-markas tentara kerajaan ia masuki, bahkan ia telah bertanya kepada perwira kerajaan barangkali mengenal kepada pemuda itu. Akan tetapi oleh karena ,jumlah perwira banyak sekali dan andaikata pemuda itu benar menjadi perwira, tentu seorang perwira yang masih baru dan belum terkenal, maka tak seorangpun mengenal seorang perwira bernama Lui Tik Kong.
Hal ini tidak mengherankan, oleh karena Lui Tik Kong begitu lulus ujian dan diangkat menjadi perwira, terus ditugaskan di daerah Pegunungan Bong-kee-san hingga perwira-perwira lain jarang ada yang mengenalnya. Memang pada masa itu, banyak sekali diangkat perwira-perwira baru dalam usaha pemerintah untuk memperkuat pertahanan karena perlu menjaga datangnya serangan bangsa Turki yang dipimpin oleh Jengar Khan yang telah menyerang di berbagai tempat di tapal batas kerajaan sebelah utara.
Sampai dua pekan lebih Lo Sin mencari-cari tanpa hasil sedikitpun hingga ia menjadi gemas dan kesal. Akhirnya ia mengambil keputusan untuk mengunjungi kampung Pek-se-chung di lereng Gunung Bong-kee-san itu dan menjumpai Nyo Tiang Pek.
Ia teringat bahwa pernikahan puteri Nyo Tiang Pek akan dilangsungkan sepekan lagi dan ia membuat perhitungan bahwa masih ada waktu baginya untuk datang sebelum perkawinan berlangsung.
Hendak dilihatnya sampai di mana “kehebatan” gadis yang telah dipuji-puji kedua orang tuanya tanpa melihat rupanya lebih dulu dan hendak dilihatnya pula di mana kelihaian Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas yang berani menghina Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong, kedua orang tuanya.
Demikianlah, untuk pertama kalinya kuda Pek-liong-ma dibalapkan cepat sekali ke arah tempat tertentu. Kuda itu memang mempunyai kegemaran membalap, maka begitu penunggangnya memberi tanda supaya ia bergerak secepatnya, ia lalu pentang ke empat kakinya dan tubuhnya meluncur cepat bagaikan sebatang anak panah terlepas dari busurnya.
Tubuh si Walet Hitam yang berpakaian hitam tampak jelas sekali di atas kudanya yang berbulu putih mengkilap, sedangkan perhiasan kepala yang berupa seekor burung walet hitam itu bergoyang-goyang bagaikan hidup dan sepasang mata burung yang terbuat daripada mutiara itu berkilau tertimpa cahaya matahari.
Sungguh gagah sekali pemuda ini di atas kudanya yang gagah pula. Tiap orang yang melihatnya tentu memandang dengan kagum dan penuh perhatian, akan tetapi Lo Sin tidak memperdulikan semua itu dan terus saja membalapkan kudanya. Makin dekat dengan tempat tinggal Nyo Tiang Pek, ia merasa makin panas hatinya.
66
Ketika tiba di kaki bukit Bong-kee-san, Lo Sin melihat banyak orang mendaki bukit itu. Melihat gerakan-gerakan orang-orang yang mendaki bukit, ia dapat menduga bahwa mereka ini adalah orang-orang kang-ouw yang memiliki kepandaian, sungguhpun diantara mereka banyak pula terdapat orang-orang yang tak mengerti ilmu silat.
Tadinya ia merasa heran akan tetapi kemudian ia teringat bahwa mereka ini tentu para tamu yang hendak menghadiri perayaan perkawinan puteri Garuda Berkuku Emas yang tersohor itu.
Makin panaslah hati Lo Sin mengingat hal ini. Dia merantau untuk mencari musuh besar Kong Sin Ek dan membalaskan sakit hati kakek ini, sebaliknya Nyo Tiang Pek yang menurut orang tuanya juga menjadi kawan baik Kong Sin Ek, pada saat ini sedang bergembira dan berpesta pora merayakan hari perkawinan puterinya.
Kalau Lo Sin sedang sadar pikirannya, tentu ia akan mengerti bahwa pikiran yang terkandung di dalam kepalanya ini benar-benar tidak sehat dan tidak adil, akan tetapi pada waktu itu memang ia sedang jengkel dan marah karena usahanya mencari murid murtad itu belum berhasil, ditambah lagi dengan perasaan penasaran dan sakit hati teringat akan perlakuan Nyo Tiang Pek terhadap kedua orang tuanya.
Perasaaan marah memang selalu mendatangkan pertimbangan-pertimbangan tidak sehat dan menyeleweng, oleh karena itulah maka orang-orang bijaksana di jaman purba mengharamkan perasaan atau nafsu itu.
Semua orang yang mendaki Bukit Bong-kee-san memang benar orang-orang yang hendak menghadiri pesta perkawinan puteri Nyo Tiang Pek. Diantara mereka ada pula yang hendak menghadiri tempat Lui-ciangkun yang kini berada dalam markas yang dibangun di lereng pertama dari bukit itu.
Sebagian besar dari mereka ini adalah orang dari kalangan persilatan yang nampak dari sikap mereka dan dari gagang-gagang pedang yang menghias pinggang atau punggung mereka. Ketika kuda Pek-liong-ma meluncur lewat semua mata memandang dan mereka menduga-duga siapa adanya pemuda gagah ini. Mereka hanya menduga bahwa pemuda ini tentulah seorang tamu juga, hanya entah tamu pihak pengantin wanita, entah pihak pengantin pria.
Lui-ciangkun menerima para tamunya yang datang dari segala penjuru oleh karena pemuda inipun mempunyai banyak sekali sahabat, terutama di kalangan liok-lim, oleh karena pemuda yang halus dan tampan ini diluar persangkaan orang, sebelum menjadi murid Kong Sin Ek, telah pernah menjadi seorang perampok tunggal.
Pada saat itu, Lui Tik Kong sedang menerima kedatangan dua orang sahabat baiknya dengan ramah tamah dan gembira. Kedua orang sahabat ini adalah Thio Kun dan Thio Kiat, dua orang kakak beradik yang menjadi bajak di Sungai Yang-ce-kiang dan yang memiliki kepandaian tinggi hingga mereka dijuluki Mo-kiam Heng-te atau Kakak Beradik Pedang Siluman.
Dari julukan ini saja sudah dapat diduga. bahwa mereka adalah ahli pedang yang lihai. Tubuh, kedua orang ini tegap dan kuat, sedangkan muka mereka juga menunjukkan kegagahan, sungguhpun dari kedua pasang mata mereka menyinarkan kebuasan dan kekejaman.
67
Pada saat mereka berkelakar dan bergembira sebagai sahabat-sahabat lama yang baru bertemu setelah lama berpisah, di luar benteng itu terjadi keributan. Ternyata ketika Lo Sin bersama orang-orang lain lewat di depan benteng itu, penjaga-penjaga pintu benteng yang mengira bahwa Lo Sin juga seorang tamu yang hendak mengunjungi perwira ini, segera menghadang untuk menerima dan merawat kuda tamunya.
“Minggir!” seru Lo Sin dengan heran hingga penjaga yang tidak menyangka bahwa kuda putih itu hendak lewat saja, hampir tertubruk kuda kalau ia tidak cepat-cepat melompat ke samping.
“Bangsat!” penjaga itu memaki marah.
Pada saat itu Lo Sin memang sedang dipengaruhi kemarahan dan kejengkelan hingga telinganya perasa sekali. Begitu mendengar suara makian ini, cepat ia menahan kudanya dan memutar kuda itu kembali untuk menghampiri si penjaga yang berdiri bertolak pinggang.
“Kau tadi memaki, siapa?” tanya Lo Sin dengan suara tenang sambil memandang tajam.
“Siapa lagi kalau bukan kau! Kudamu hampir menubrukku!”
Belum juga mulut penjaga itu tertutup setelah mengeluarkan kata-kata ini, ujung cambuk kuda di tangan Lo Sin menyambar dan tepat mengenai pipinya hingga penjaga itu terlempar dan jatuh bergulingan dan berteriak-teriak karena sabetan itu telah membuat beberapa buah giginya copot! Masih baik baginya bahwa Lo Sin tidak mengerahkan tenaganya, kalau demikian halnya, tentu kini ia tak dapat berteriak lagi!
Para penjaga lain menjadi marah sekali dan dengan golok di tangan mereka maju menyerbu.
“Bangsat dari manakah berani mengacau dan mengganggu perayaan yang sedang berlangsung? Apakah kau sudah bosan hidup?”
Akan tetapi dengan tenang Lo Sin lalu menanggalkan jubahnya dan dengan pakaian ringkas ini ia melompat turun dari kudanya. Kini nampak sebatang suling terselip pada ikat pinggangnya dan pedang menempel di punggung. Memang tiap kali melakukan perantauan, Lo Sin tak pernah lupa membawa sulingnya untuk ditiup dan melepaskan kesunyian di waktu ia berada seorang diri di tempat sunyi.
Ia menghadapi para penjaga yang tujuh orang banyaknya itu dengan sikap tenang dan bertolak pinggang.
“Kalian ini perajurit-perajurit penjaga mau apakah? Aku lewat di sini menunggang kudaku dan kawanmu itu secara sembrono menghadang di jalan hingga hampir tertubruk kudaku, akan tetapi mulutnya yang kotor lalu memaki. Aku memberi hajaran pada mulut kotor itu, kalian mau apa?”
“Bangsat, hayo kau menghadap ciang-kun untuk memohon maaf!”
“Ah, memang mulutmu semua kotor dan perlu dihajar!”
68
Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh Lo Sin bergerak dan menyambar-nyambar. Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan sebentar saja ke tujuh orang penjaga itu rebah malang melintang dan menjerit-jerit kesakitan sambil memegang pipi mereka yang kena ditempiling oleh telapak tangan Lo Sin!
“Manusia-manusia sombong! Jangan mengandalkan ciang-kun mu untuk menghina orang!” Bentak Lo Sin dan ia segera berjalan perlahan dan tenang ke arah Pek-liong-ma yang menjauhi mereka ketika terjadi keributan tadi dan kini sedang enak-enak makan rumput.
Semua tamu yang kebetulan baru tiba dan melihat pertengkaran ini, berdiri memandang dengan mata terbelalak, bahkan beberapa orang lalu berlari ke dalam untuk memberi tahu kepada Tik Kong.
Ketika itu Tik Kong sedang minum arak dan bersenda-gurau dengan kedua saudara Thio. Tiba-tiba datang seorang perajurit yang melaporkan bahwa di luar ada seorang pemuda mengamuk dan memukuli para penjaga.
Tik Kong marah sekali, dan demikian juga Thio Kun dan Thio Kiat. Mereka bertiga lalu bertindak cepat keluar untuk melihat siapa adanya orang yang berani mengacau itu.
Pada saat mereka bertiga tiba di luar, Lo Sin telah menghampiri kudanya dan siap menunggang kudanya lagi, akan tetapi tiba-tiba ia mendengar suara yang nyaring sekali membentak dari belakangnya.
“Berhenti dan turun!”
Lo Sin sudah menaikkan kakinya ke atas itu lalu menahan gerakannya. Ia mendongkol sekali oleh karena suara orang yang berseru ini mengandung perintah yang keras, seakan-akan orang ini sudah biasa memerintah.
Ia menurunkan kakinya dan dengan perlahan menengok. Maka mengertilah dia ketika melihat pakaian seorang pemuda tampan yang berdiri sambil bertolak pinggang. Orang ini tentu perwira yang berkuasa di markas itu, maka Lo Sin dengan tindakan perlahan lalu menghampirinya.
“Kau mau apa?” tanyanya sambil mengangkat kedua tangannya bertolak pinggang pula menghadapi perwira muda yang gagah itu.
“Kau orang kurang ajar dari manakah berani sekali mengacau di sini?”
“Anak buahmu yang mengacau, bukan aku! Kau kurang pandai mendidik mereka hingga mereka berani berlaku kurang ajar dan tidak sopan kepada orang lewat, seharusnya kau menegur mereka itu, bukannya menegur aku!” jawab Lo Sin dengan sikap seperti seorang guru mengajar murid.
Melihat kegagahan anak muda baju hitam ini, Lui Tik Kong sudah dapat menduga bahwa anak muda ini tentu memiliki kepandaian tinggi, maka timbul kegembiraannya hendak mencoba. Ia lalu tersenyum sabar dan berkata.
69
“Harap dimaafkan kalau anak buahku yang berlaku kurang hormat. Akan tetapi kaupun lancang sekali turun tangan, agaknya untuk memperlihatkan kepandaian. Mari, marilah, orang gagah, kita main-main sebentar sekedar perkenalan!”
Sambil berkata demikian Lui Tik Kong mengejapkan matanya kepada kedua saudara Thio itu, lalu ia mencabut keluar pedangnya.
Melihat sikap yang tabah dan kata-kata, yang halus dari perwira muda itu, kemarahan Lo Sin agak mereda.
“Kau hendak menguji kepandaian? Boleh, boleh!” Iapun lalu menghunus pedangnya dan bersiap menghadapi perwira itu.
“Lihat pedang!” Tik Kong berseru keras dan maju menyerang dengan lagak sombong oleh karena ia memandang rendah kepada pemuda baju hitam yang tampan ini.
Akan tetapi, ia tidak tahu bahwa Lo Sin telah merasa suka kepadanya hingga pemuda ini tidak mau membuatnya malu dan sengaja menangkis dengan perlahan. Kalau Si Walet Hitam menghendaki, dalam dua-tiga gebrakan saja mungkin Tik Kong akan dapat dirobohkan!
Mereka lalu bertempur dengan ramai dan cepat hingga membuat kagum semua yang menonton. Akan tetapi, tiba-tiba Lo Sin menjadi pucat ketika mengenal bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh perwira ini adalah ilmu pedang Kong Sin Ek! Ia melompat ke belakang dan bertanya.
“Tahan dulu! Bolehkah aku mengetahui she dan nama Ciang-kun yang gagah?”
Lui Tik Kong tidak menyangka apa-apa dan hanya menduga bahwa pemuda baju hitam yang gagah ini merasa kagum kepadanya. Maka sambil tersenyum ia berkata.
“Aku bernama Lui Tik Kong dan siapakah……?”
Belum juga habis ia bicara, Lo Sin sudah melompat maju dan mengulur tangan hendak menangkapnya sambil berseru.
“Keparat rendah! Akhirnya aku dapat juga menangkapmu! Hayo kau ikut menghadap makam Kong Sin Ek untuk mengakui dosa-dosamu!”
Lui Tik Kong cepat mengelak dan menyerang dengan pedangnya “Kau siapakah?” tanyanya.
“Tak perlu kau yang hina mengetahui siapa adanya aku. Aku adalah utusan Kong Sin Ek untuk menabas batang lehermu dan menamatkan riwayatmu yang kotor dan jahat. Pembunuh rendah, manusia tak kenal budi!”
Sambil memaki-maki Lo Sin menyerang lagi dengan pedangnya dan kali ini ia tidak berlaku sungkan lagi hingga dalam segebrakan saja pedangnya telah hampir, menembusi leher Lui Tik Kong. Baiknya perwira ini berlaku cepat dan miringkan tubuhnya hingga ujung pedang Lo Sin hanya menyerempet pundaknya dan mendatangkan luka ringan saja!
70
Melihat kelihaian pemuda baju hitam ini, Tik Kong terkejut sekali, apalagi ketika Lo Sin mengaku sebagai utusan suhunya, ia menjadi ketakutan dan melompat ke belakang.
“Bangsat she Lui, jangan kau lari!” teriak Lo Sin yang segera mengejar dengan pedang di tangan.
Akan tetapi pada saat itu, dari kanan kiri berkelebat dua batang pedang yang berbareng menyerangnya. Kedua pedang ini adalah pedang saudara Thio yang menyerang Lo Sin dalam usaha mereka membela Lui Tik Kong.
“Pengacau jahat, jangan kau kurang ajar!” Bentak Mo-kiam Heng-te sambil menggerakkan pedang mereka.
Lo Sin cepat menangkis dengan pedangnya dan ketika ia melihat tubuh Lui Tik Kong melompat ke atas pagar yang tinggi, cepat tangan kiri Lo Sin mengeluarkan dua batang piauw hitam dan menyambitkannya ke arah tubuh Lui Tik Kong itu. Akan tetapi, gerakan Tik Kong cukup gesit dan telinganya cukup tajam hingga sebelum dua batang piauw menyambar ke arah leher dan punggungnya itu mengenai sasaran, ia telah menjatuhkan dirinya ke belakang tembok hingga terhindar dari bahaya maut.
Melihat lenyapnya tubuh musuh besarnya ke belakang tembok, Lo Sin menjadi marah sekali. Pedangnya diputar cepat dalam gerakan-gerakan terhebat dari Hwie-sian-liong-kiam-sut hingga berubah menjadi sinar pedang berkelebat cepat yang menyambar bagaikan kilat kepada Mo-kiam Heng-te hingga kedua saudara ini terkejut sekali dan melompat mundur. Akan tetapi terlambat, pedang Lo Sin telah diputar sedemikian rupa sehingga mengurung tubuh Thio Kun dan Thio Kiat dan sejurus kemudian kedua saudara itu berteriak kesakitan dan pedang mereka terlepas dari tangan oleh pedang Lo Sin.
Mereka cepat menjatuhkan diri ke belakang dan bergulingan, tetapi sebetulnya gerakan ini sia-sia saja oleh karena memang Lo Sin tidak bermaksud mengejar mereka. Kalau Lo Sin memang menghendaki jiwa mereka, tentu ujung pedangnya tidak hanya menggores di lengan tangan mereka dan mengarah sasaran yang lebih tepat.
Setelah mengalahkan Mo-kiam Heng-te, Lo Sin lalu secepat kilat melayang naik ke atas tembok di mana tubuh Lui Tik Kong menghilang tadi lalu langsung masuk ke dalam markas itu. Ia tidak melihat Tik Kong, akan tetapi sebaliknya melihat banyak sekali anggauta tentara dan para tamu yang berkepandaian menyerbu ke arahnya. Ia putar-putar pedangnya melakukan perlawanan dan sebentar saja banyak pengeroyoknya dibikin terpental senjata mereka dan dirobohkan oleh dorongan tangan kiri atau tendangan kedua kakinya.
Orang-orang yang mengeroyoknya biarpun berjumlah banyak, akan tetapi merasa jerih juga melihat sepak terjang pemuda yang luar biasa lihainya itu. Akan tetapi oleh karena para anggauta tentara itu harus membela komandan mereka, maka mereka berlaku nekad dan terus maju mengeroyok.
Jumlah mereka ratusan orang, maka Lo Sin berpikir apabila ia terus mengamuk, tidak saja ia akan membunuh banyak orang tidak berdosa, bahkan ia akan membuang-buang waktu dan memberi
71
kesempatan kepada Lui Tik Kong untuk kabur. Maka ia lalu mengulur tangannya menangkap seorang perajurit dan melompat keluar tembok secepat kilat.
Sambil mengempit tubuh perajurit itu, Lo Sin berlari ke arah kudanya dan melompat ke atas punggung Pek-liong-ma yang segera berlari cepat sekali ke depan hingga para pengejar tak dapat mengejar terus.
“Kau bilang saja terus terang. Ke mana perginya perwira she Lui itu tadi? Awas, kalau kau membohong, pedangku akan menabas batang lehermu!!” Lo Sin mengancam tawanannya.
Perajurit itu menggigil ketakutan.
“Lui-ciangkun lari ke dusun Pek-se-chung,” katanya dengan suara gemetar.
“Di mana ia bersembunyi?”
“Entahlah, tapi kalau tidak salah tentu di rumah kepala kampung dusun itu mencari perlindungan.”
Setelah mendengar keterangan ini, Lo Sin melemparkan tubuh tawanannya ke atas tanah dan ia terus menghamburkan kudanya menuju ke kampung Pek-se-chung.
Sementara itu hari telah mulai menjadi gelap, akan tetapi kebetulan sekali pada malam itu bulan keluar sepenuhnya hingga keadaan terang dan indah sekali. Lo Sin terus menghamburkan kudanya dengan hati girang dan kecewa. Girang oleh karena tanpa diduga-duga ia telah dapat menemukan Lui Tik Kong, kecewa oleh karena ia tidak berhasil membekuk pemuda keparat itu.
Mudah saja bagi Lo Sin untuk mencari keterangan di mana adanya rumah Chung-cu atau kepala kampung dusun Pek-se-chung. Setiap orang, wanita maupun pria, anak-anak maupun kakek-kakek, tahu belaka di mana rumah gedung kepala kampung itu.
Setelah mendapat tahu, Lo Sin lalu meninggalkan kudanya di sebuah rumah penginapan di dusun itu, dan ia lalu berlari cepat menuju ke rumah kepala kampung, sama sekali tidak mengira bahwa kepala kampung itu adalah Nyo Tiang Pek. Bahkan ia lupa pula akan bunyi surat Nyo Tiang Pek kepada orang tuanya dulu bahwa si Garuda Kuku Emas ini menjadi kepala kampung di Pek-se-chung.
Lui Tik Kong yang ketakutan memang melarikan diri ke Pek-se-chung dan dengan napas terengah-engah ia menghadap calon mertuanya. Kebetulan sekali Lee Ing berada dalam kamarnya dan sedang dirias oleh karena besok pagi akan dirayakan pertemuannya dengan calon suaminya.
Gadis ini semenjak pagi tadi telah menangis saja dengan sedihnya, dan ini dianggap biasa oleh para tamu wanita yang menjenguk ke dalam. Oleh karena ini Lee Ing tidak melihat dan tak tahu akan kedatangan calon suaminya yang menghadap Nyo Tiang Pek di dalam kamarnya dengan wajah pucat.
“Gak-hu (ayah mertua), celaka!” katanya dan Nyo Tiang Pek terkejut sekali melihat pundak calon mantunya mengucurkan darah.
“Eh, eh, apa yang terjadi, Hian-sai?” tanyanya dengan heran.
72
“Celaka, musuh besarku telah mengejarku dan hampir saja aku binasa dalam tangannya.”
“Siapakah dia?” tanya Nyo Tiang Pek dengan penasaran. “Dan mengapa dia hendak membunuhmu?”
“Dia adalah seorang perampok muda yang dulu pernah bentrok denganku ketika ia mencoba merampok dan kuhalang-halangi. Celaka, kepandaiannya sekarang tinggi sekali hingga aku tak kuat melawannya. Harap Gak-hu sudi menolongku!”
Nyo Tiang Pek menjadi marah sekali. “Biarlah kau bersembunyi saja di sini dan kalau ia berani datang, pedangku akan menyambutnya.”
Oleh karena ia harus melayani tamu-tamu yang sudah banyak terdapat di situ, terpaksa biarpun dengan hati tidak enak dan bingung, Nyo Tiang Pek lalu memberi sebuah kamar untuk calon mantunya dan meninggalkan mantunya ini dengan kata-kata hiburan yang membesarkan hati.
Dan pada malam hari itu, bayangan Lo Sin berkelebat cepat di atas genteng rumah keluarga Nyo itu. Karena di bawah sangat ramai dengan suara para tamu, maka gerakan Lo Sin yang ringan ini tidak ada yang mendengar atau mengetahuinya.
Pada saat itu Nyo Tiang Pek sedang sibuk melayani tamu-tamunya sedangkan Giok Lie sebagaimana biasanya kaum wanita, sedang sibuk sekali mengatur barisan dapur untuk keperluan esok hari, maka Lee Ing ditinggal seorang diri dalam kamarnya. Gadis ini merasa panas sekali ditinggal di kamar dan ingin keluar menikmati angin malam.
Oleh karena tak mungkin baginya untuk keluar dari kamar tanpa terlihat oleh para tamu yang memenuhi ruang depan yakni tamu-tamu laki-laki dan ruang belakang pun penuh dengan tamu wanita yang membantu ibunya, maka gadis ini lalu membuka jendela kamarnya dan melompat keluar dari jendela itu ke atas genteng.
Ketika ia tiba di atas genteng, ia melihat bayangan hitam sedang berjongkok di belakang wuwungan. Inilah bayangan Lo Sin yang sedang terheran melihat banyaknya tamu di rumah ini. Akan tetapi pemuda itu tidak mau ambil pusing dan matanya mencari-cari kalau-kalau diantara tamu di ruang depan itu terdapat Lui Tik Kong yang dicari-carinya.
Tiba-tiba ia mendengar suara angin di belakang. Cepat ia melompat dan membalikkan tubuh dan…… ia berhadapan dengan gadis cantik jelita yang berdiri dengan matanya yang lebar terbelalak memandangnya. Kebetulan sekali Lee Ing berdiri menghadapi bulan hingga cahaya bulan menyinari mukanya yang cantik.
Melihat wajah ini, Lo Sin lalu menuding dengan telunjuknya.
“Kau……? Kau……? Eh, nona kembali kita bertemu di tempat yang tak disangka-sangka. Kau siapakah nona, dan ada apa kau bisa berkeliaran sampai ke sini?”
Marahlah Lee Ing mendengar dirinya disebut “berkeliaran” dan dengan muka cemberut ia menjawab, “Aku tak perIu memperkenalkan diriku kepada segala maling!”
73
“Eh, eh, mengapa tiba-tiba kau menyebutku maling? Barangmu yang manakah pernah kucuri?”
“Kalau kau bukan pencuri, mengapa kau mengintai di atas rumah orang lain?”
Gadis ini merasa heran sekali melihat putera Ang Lian Lihiap mengintai di atas rumahnya, diam-diam ia teringat kepada diri sendiri yang dulu pernah juga mengintai seperti maling di rumah keluarga Lo Sin.
“Kau salah sangka, nona. Aku bukan mengintai untuk mencuri, akan tetapi aku mencari bangsat she Lui!”
“Apa? Siapa katamu tadi?”
“Aku mencari Lui Tik Kong, hendak kutabas batang lehernya dan kubawa kepalanya!”
Pucat wajah Lee Ing mendengar ini.
“Mengapa kau mencari dia di sini?”
“Karena kata orang dia berlari ke sini! Eh, nona, kau tahu-tahu muncul di depanku, apakah kau tinggal di rumah ini?” Lo Sin bertanya penuh harapan oleh karena mungkin dari gadis ini ia akan mendapat keterangan tentang Lui Tik Kong.
“Memang aku tinggal di sini dan pemilik rumah ini adalah ayahku!”
Lo Sin terkejut dan air mukanya berseri. “Jadi, benar-benarkah Lui Tik Kong berada di sini?”
Gadis itu menggelengkan kepalanya. “Aku tidak tahu.”
Lo Sin menjadi marah. “Nona, jangan kau main-main dalam hal ini. Aku perlu sekali mengetahui hal ini. Apakah kau mengenal kepada orang she Lui itu?”
“Tentu saja kenal padanya.”
“Dan kau tidak melihat dia datang di sini?? Ingat, nona, jangan kau membelanya.”
Kedua mata dara itu mengeluarkan sinar marah. “Siapa hendak membela dia?”
“Nah, janganlah marah dulu, nona. Dengarlah pemuda perwira yang gagah itu sebenarnya adalah seorang pembunuh kejam dan seorang yang berjiwa rendah! Dia telah membunuh Kong Sin Ek yang menjadi gurunya sendiri dan Kong Sin Ek adalah peh-peh ku. Maka aku harus menangkapnya untuk membalas dendam ini, katakanlah terus terang.”
“Kau jangan mencari di sini, akan sia-sia saja dan kau lekas pergilah! Kalau ayah mengetahui kau datang hendak membunuh Lui Tik Kong, kau akan mendapat celaka!”
74
“Aku tidak takut! Bagaimanapun juga, Lui Tik Kong harus mampus dalam tanganku!” seru Lo Sin dengan geram.
Tiba-tiba terdengar bentakan kasar. “Bangsat perampok kurang ajar! Kau berani bermain gila di sini?”
Dan berbareng dengan bentakan ini, Nyo Tiang Pek dengan pedang di tangan tahu-tahu telah melompat dan menyambar ke arah Lo Sin dengan serangan pedangnya yang lihai! Lo Sin terkejut sekali melihat seorang setengah tua tiba-tiba menyerang dengan gerakan demikian kuat dan cepat, maka ia cepat mengelak samping dan menangkis dengan pedangnya.
“Ayah!” teriak Lee Ing. “Dia...... dia adalah si Walet Hitam…… dan….. dan…… Tik Kong……”
Akan tetapi oleh karena Nyo Tiang Pek telah yakin betul bahwa pemuda ini adalah musuh yang mengejar dan hendak membunuh Tik Kong, ia tidak memperhatikan seruan anaknya, lalu langsung menyerang lagi terlebih hebat pula.
Lo Sin kaget ketika mendengar bahwa orang tua yang gagah ini adalah ayah si nona, maka ia tidak mau melayani lebih lama lagi. Dengan cepat ia melompat turun dan berkata.
“Maaf dan sampai bertemu lagi, nona!”
Akan tetapi, mendengar kata-kata ini yang ditujukan kepada puterinya makin marahlah Nyo Tiang Pek yang mengira bahwa pemuda itu berlaku kurang ajar dan berani berkenalan dengan puterinya, maka secepat kilat ia mengejar turun sambil membentak.
“Bangsat perampok, kau hendak lari ke mana?”
“Ayah……!” Lee Ing berseru lagi sambil melompat turun juga, akan tetapi pada saat itu, di bawah tembok Nyo Tiang Pek sudah menyerang lagi dengan gerak tipu Malaikat Menyambar Nyawa!
Gerakan ini bukan main cepat dan hebatnya hingga Lo Sin makin terkejut saja. Tidak disangkanya bahwa di tempat ini terdapat orang yang begini tinggi ilmu pedangnya! Ia berkelit lagi secepatnya dan belum berani membalas oleh karena ia merasa segan untuk melawan ayah gadis yang menarik hatinya itu.
Sementara itu, Lee Ing berdiri di dekat tembok menyaksikan pertempuran itu dengan tak berdaya dan bingung. Ia tak tahu harus berbuat apa dan hanya memandang dengan hati sedih dan tidak karuan, oleh karena ia masih terpukul oleh kata-kata Lo Sin yang menerangkan bahwa bakal suaminya adalah seorang penjahat rendah dan kejam yang telah menganiaya Kong Sin Ek, si Dewa Arak yang namanya telah seringkali didengar dari ayah ibunya sebagai seorang gagah perkasa dan kawan baik kedua orang itu!
Melihat betapa dua kali serangannya yang paling berbahaya dengan mudah dapat dielakkan oleh pemuda baju hitam itu, diam-diam Nyo Tiang Pek merasa terkejut juga dan mengertilah ia mengapa Lui Tik Kong tidak dapat melawan dan takut kepada pemuda lihai ini. Ia berseru keras dan menyerang lagi dengan sebuah tusukan Kera Putih Memetik Bunga.
75
Serangan ini ditujukan ke arah perut Lo Sin sambil melompat maju dengan kaki kiri melangkah ke depan, kaki kanan terangkat dan bersiap mengirim tendangan susulan, sedangkan tangan kiri diangkat ke belakang tinggi-tinggi untuk mengimbangi tenaga tusukan pedangnya!
Lo Sin terkejut lagi. Inilah sebuah serangan maut yang benar-benar berbahaya oleh karena pemuda ini maklum bahwa serangan ini akan disusul dengan tendangan dan pukulan tangan kiri. Maka tidak ada lain jalan baginya selain mempergunakan kelincahan dan ginkangnya yang tinggi.
Sambil berseru nyaring tiba-tiba tubuh Lo Sin telah melayang ke atas dengan kaki ke atas dan kepala di bawah ia berjungkir balik dan menggunakan pedangnya untuk menangkis pedang lawan dan berbareng gerakannya ini telah mematahkan kehendak lawan yang hendak menyusul dengan sebuah tendangan.
Inilah gerakan Naga Terbang Memutar ekor yang sungguh indah dipandang dan juga lihai sekali. Nyo Tiang Pek makin terheran dan kagum sekali melihat gerakan Naga Terbang Memutar Ekor ini dan sebelum ia dapat menyerang lagi, tahu-tahu tubuh Lo Sin sudah melayang naik ke atas genteng dan menghilang cepat sekali!
Nyo Tiang Pek menghela napas dan berkata, “Sungguh lihai. Sayang ia jahat.” Kemudian orang tua ini memandang kepada gadisnya yang masih berdiri tanpa dapat bergerak di dekat tembok dan ia makin marah ketika melihat betapa dari kedua mata Lee Ing mengalir keluar air mata.
“Sungguh memalukan kau ini! Apa kerjamu di atas genteng dan bercakap-cakap dengan seorang penjahat? Apakah kau kenal padanya? Ah, Ing-ji, kalau para tamu mengetahui hal ini, bukankah kita semua akan mendapat malu? Hayo kau masuk ke kamarmu!”
“Ayah…… dia itu…… pemuda tadi…… adalah Ouw-yan-cu si Walet Hitam. Dia adalah Lo Sin, putera dari Ang Lian Lihiap!”
Pucatlah muka Nyo Tiang Pek mendengar pernyataan yang tak disangka-sangkanya ini.
“Apa katamu??”
“Benar, ayah. Aku tidak membohongimu. Dia adalah putera tunggal dari Lo Siok-hu di Tit-lee. Dan menurut katanya, Tik Kong adalah seorang jahat!”
Tiba-tiba sinar mata Nyo Tiang Pek menjadi tajam dan ia marah sekali.
“Dan kau percaya kepadanya? Anak bodoh! Pemuda itu, biarpun ia anak Cin Han, akan tetapi ia telah tersesat dan menjadi perampok! Lihat saja pakaiannya, lihat saja sepak terjangnya! Ia mengejar-ngejar Tik Kong untuk membunuhnya oleh karena dulu pernah bermusuhan! Kau tahu apa? Biar dia anak Ang Lian Lihiap sekalipun, kalau dia bermaksud jahat dan hendak mencelakakan keluarga kita, aku tak rela dan takkan membiarkan saja!”
“Tapi ayah…… mungkinkah putera Ang Lian Lihiap menjadi orang jahat?”
76
“Hm, siapa tahu? Ang Lian Lihiap di waktu mudanya ganas dan menjagoi di dunia kang-ouw, ia keras hati dan bagaikan seekor naga betina. Tidak heran apabila darahnya yang liar itu menurun kepada puteranya! Kalau ia memang datang dengan maksud baik mengapa dia tidak mau datang pada siang hari menemuiku yang sudah selayaknya mendapat penghormatannya oleh karena aku bagaimanapun juga lebih tua daripada ayah ibunya? Mengapa ia datang malam-malam sebagai seorang penjahat dan sama sekali tidak menghargai aku? Dia kurang ajar dan kelakuannya seperti seorang maling!”
“Tapi, ayah…… aku dulupun masuk ke rumah orang tuanya seperti maling pula!”
“Diam dan jangan sebut-sebut hal itu lagi. Kau telah membuat aku malu setengah mati! Jangan kau membela Walet Hitam si penjahat kurang ajar itu!”
Nyo Tiang Pek marah sekali oleh karena ia merasa terhina oleh kedatangan Lo Sin yang seperti maling dan dadanya panas memikirkan bahwa Lo Sin datang hendak membunuh calon mantunya!
“Betapapun juga, ayah, apakah tidak lebih baik kalau kita selidiki keadaan Tik Kong? Menurut kata Ouw-yan-cu, Tik Kong telah membunuh Kong Sin Ek supek!”
Makin marah Nyo Tiang Pek mendengar ini. “Bohong besar! Si kurang ajar itu sengaja memburukkan nama Tik Kong di depanmu. Mana ada seorang murid membunuh gurunya? Tak mungkin! Apakah kau lebih percaya kepada penjahat itu daripada calon suamimu sendiri?”
“Tapi, ayah……” Lee Ing yang keras kepala hendak membantah lagi, akan tetapi ayahnya memotong.
“Tutup mulut, dan kaumasuklah! Jangan sampai terdengar oleh tamu kita. Atau, apakah kau sengaja hendak membuat cemar dan malu nama keluarga kita?”
Melihat kemarahan ayahnya yang meluap-luap ini, Lee Ing tak berani membantah lagi dan ia lalu melompat ke atas genteng untuk kembali ke dalam kamarnya melalui jendela, dan setibanya di dalam kamar, gadis ini duduk diam bagaikan patung dengan wajah pucat dan nampak air matanya mengalir turun dengan derasnya!
Sementara itu, Nyo Tiang Pek lalu menemui calon mantunya yang bersembunyi di dalam kamar dan menuturkan akan kedatangan Ouw-yan-cu yang telah diusirnya. Kemudian untuk menjaga keselamatan Tik Kong, Nyo Tiang Pek mengusulkan agar supaya calon pengantin ini tidak pergi lagi dari rumah situ dan besok hari melangsungkan pertemuan pengantin langsung saja dari rumahnya. Pada malam itu juga, Tik Kong lalu menyuruh seorang utusan untuk pergi ke bentengnya dan minta kepada semua tamu supaya langsung pergi menghadiri perayaan kawin di rumah kepala kampung Nyo dan sekalian membawa alat-alat keperluan kawin.
Maka sibuklah keadaan di rumah Nyo Tiang Pek dan para pelayan merasa terheran-heran akan adanya perubahan ini, akan tetapi tak seorangpun diantara mereka dan para tamu tak pernah menyangka bahwa telah terjadi hal yang mengejutkan di atas genteng rumah keluarga Nyo pada malam hari itu.
Ketika Nyo Tiang Pek memberitahukan hal itu dengan muka marah kepada Giok Lie, nyonya ini terkejut sekali dan ia segera berlari ke dalam kamar anaknya. Namun Lee Ing sedikitpun tidak mau
77
memberi keterangan apa-apa, oleh karena gadis ini marah sekali terhadap keputusan ayahnya yang dianggap kurang bijaksana.
“Sudahlah, sudahlah! Ibu dan ayah memaksaku kawin dengan siapa juga aku tidak perduli! Biar ayah dan ibu bergirang dengan pilihannya, dan aku menderita dibawah paksaanmu berdua!” kata Lee Ing sambil membanting-banting kaki dengan marah dan sambil menangis bagaikan seorang anak kecil.
Dengan sia-sia Giok Lie menghibur anaknya, kemudian nyonya ini menemui suaminya yang masih marah. “Apakah kita tidak salah melihat? Agaknya memang tidak mungkin anak Lian Hwa cici menjadi seorang penjahat?”
“Apakah kau juga sudah dipengaruhi oleh anak setan itu? Apakah kau lebih percaya kepadanya yang belum kita kenal daripada calon mantu kita?”
Ucapan ini dikeluarkan sambil melototkan matanya kepada Giok Lie hingga nyonya ini yang baru pertama kali melihat suaminya demikian marahnya, lalu mundur sambil menundukkan mukanya dengan bingung dan duka.
Kemarahan Nyo Tiang Pek ini memang dapat dimengerti. Orang tua ini sedang bergirang dan berbahagia sekali menghadapi perkawinan puteri tunggalnya dan ia percaya penuh bahwa Tik Kong adalah calon suami puterinya yang tepat dan bijaksana.
Perkawinan akan dilangsungkan esok hari dan semua tamu dari semua jurusan telah berkumpul, segala-galanya telah siap tinggal menerima kedua pengantin saja. Lalu tiba-tiba datang Lo Sin yang mengacau dan membawa berita buruk dan mengejutkan!
Sudah tentu saja Nyo Tiang Pek menjadi marah sekali karena ia menganggap bahwa Lo Sin sengaja datang mengacaukan dan hendak menghancurkan kebahagiaannya! Apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa Lo Sin adalah putera Cin Han, maka kemenyesalannya memuncak. Ia mengharapkan kedatangan kedua kawan baiknya itu dan saat ini telah dinanti-nantinya dengan hati gembira karena ia memang telah rindu sekali kepada kedua suami isteri kawan baiknya itu. Akan tetapi, apa yang terjadi?
Kedua suami isteri itu tidak datang, bahkan yang datang adalah puteranya yang mengacau! Kalau kedatangan Lo Sin secara baik-baik sebagai tamu, tentu akan disambutnya dengan pelukan mesra, akan tetapi pemuda itu datang malam-malam dengan pedang di tangan dan dengan maksud membunuh calon mantunya!
Memikirkan ini semua, tentu saja Nyo Tiang Pek menjadi bingung, marah dan menyesal. Ia hendak cepat-cepat melangsungkan pernikahan anaknya, lalu kemudian ia hendak segera mencari Cin Han dan mengadukan kekurangajaran Lo Sin itu.
Malam hari itu dilewati oleh keluarga Nyo tanpa dapat memeramkan mata dan dalam keadaan tidak bahagia dan semua ini adalah gara-gara Lo Sin. Maka bertambah bencilah Nyo Tiang Pek kepada pemuda itu.
78
Lo Sin meninggalkan rumah keluarga Nyo dengan penuh keheranan. Ia tidak pergi jauh, bahkan lalu kembali dan bersembunyi di atas sebatang pohon yang tinggi dan besar dan dari situ ia mengintai ke arah genteng dan pintu rumah Nyo Tiang Pek, mengintai dengan penuh perhatian oleh karena ia menanti munculnya Lui Tik Kong dari dalam rumah itu.
Sambil menanti, tak habis ia heran memikirkan kelihaian tuan rumah atau ayah gadis itu. Ia benar-benar merasa heran oleh karena belum pernah ia menghadapi seorang lawan segagah orang tua tadi. Kalau saja ia tidak berlaku cepat, dalam tiga jurus yang berbahaya itu saja pasti ia akan dirobohkan.
Ternyata ia menanti dengan sia-sia. Sampai fajar menyingsing dan matahari mulai muncul, ia tidak melihat bayangan Lui Tik Kong keluar dari rumah gedung itu, hingga Lo Sin merasa benar-benar kesal dan gemas. Kemanakah perginya penjahat itu?
Ia takkan mau berhenti mencari sebelum berhasil membekuk batang leher Lui Tik Kong. Ia mempunyai kecurigaan sepenuhnya bahwa pemuda keparat itu tentu masih bersembunyi di dalam rumah kepala kampung itu. Maka dengan hati-hati ia menghampiri rumah itu dari depan.
Lo Sin merasa heran sekali melihat bahwa rumah itu ternyata terhias indah dan banyak tamu yang bermalam di situ telah nampak duduk-duduk di ruang depan. Siapakah tuan rumah ini? Lo Sin lalu menemui seorang penduduk kampung dan bertanya kepada orang yang sudah tua ini.
“Lopek, mohon tanya, siapakah pemilik rumah ini dan sedang diadakan pesta apakah di situ?”
Kakek petani itu memandang kepada Lo Sin dengan heran. “Bukankah tuan juga hendak bertamu? Rumah itu adalah rumah Nyo-chungcu yang sedang merayakan perkawinan puterinya.”
Tiba-tiba bagaikan baru sadar dari mimpi, Lo Sin teringat akan bunyi surat Nyo Tiang Pek kepada orang tuanya, maka cepat-cepat dan dengan wajah berubah ia bertanya.
“Lopek yang baik, siapakah nama kepala kampung she Nyo ini dan siapa pula nama puterinya, hendak dikawinkan dengan siapa?”
Pertanyaan yang datang bertubi-tubi ini membuat kakek itu tercengang, akan tetapi kemudian ia tersenyum sambil menjawab,
“Pertanyaan-pertanyaanmu ini aneh, Nyo-chungcu bernama Nyo Tiang Pek, seorang pendekar gagah yang berjuluk Kim-jiauw-eng si Garuda Kuku Emas. Sedangkan puterinya yang hendak dikawinkan adalah nona Nyo Lee Ing yang cantik dan yang gagah pula. Calon suami Nyo-siocia juga bukan sembarangan orang. Dia adalah seorang perwira yang cakap dan gagah serta berkedudukan tinggi. Namanya Lui Tik Kong dan……”
“Terima kasih, lopek!” Lo Sin memotong kata-kata ini dengan muka pucat sekali, lalu ia lari dari depan kakek itu yang memandangnya dengan melongo keheranan.
Sambil berlari Lo Sin merasakan betapa jantungnya memukul keras. Ah, jadi orang tua yang gagah perkasa adalah Nyo-pekhu, pikirnya. Pantas saja ia demikian gagah dan ilmu pedangnya demikian tinggi. Dan gadis itu, gadis yang dulu dilihat di dekat rumahnya, yang berdiri kehujanan di tepi jalan,
79
gadis yang menarik hatinya, yang selalu terbayang di depan matanya gadis itu adalah Nyo Lee Ing, puteri Nyo Tiang Pek.
Amboi…… gadis ini adalah gadis pilihan kedua orang tuanya, yang telah dilamar untuk dijodohkan dengannya dan yang telah membuat ia marah kepada ayah ibunya. Kini gadis ini hendak dikawinkan dengan Lui Tik Kong si keparat yang hendak dibunuhnya. Memikirkan semua ini Lo Sin menjadi pening dan debar jantungnya makin mengeras.
Tidak bisa! Tidak bisa! Ia harus menghalangi perkawinan ini, biarpun ia harus berkorban dengan nyawa sekalipun. Puteri Nyo-pekhu tidak boleh menjadi isteri bangsat penjahat pengkhianat itu.
Lo Sin berlari cepat menuju ke rumah Nyo Tiang Pek. Ia marah sekali, marah kepada Lui Tik Kong. Bencinya terhadap pemuda itu meluap dan membuatnya menjadi seperti orang gila.
Ketika ia tiba di depan pintu rumah keluarga Nyo dan melihat betapa para tamu telah duduk dengan wajah gembira, ia tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Sambil menerjang masuk dan menendang roboh meja-meja yang terpasang di situ hingga meja kursi beterbangan ke sana ke mari membuat para tamu terkejut dan geger, ia berteriak-teriak bagaikan orang gila.
“Lui Tik Kong, bangsat hina dina! Keluarlah untuk terima binasa!”
Sebagian besar para tamu itu terdiri dari orang-orang yang mengerti ilmu silat, hingga mereka yang merasa diri berkepandaian dan berkewajiban membela tuan rumah yang mereka hormati, lalu berdiri dengan muka tidak senang. Dua orang muda yang mengerti ilmu silat lalu maju menghalang di depan Lo Sin sambil menuding dan memaki.
“Bangsat gila dari mana berani datang membuat kekacauan?”
Mata Lo Sin menjadi merah melihat adanya orang-orang yang berani menghadang. Ia menubruk sambil berseru.
“Minggir kamu!”
Dua orang tamu muda itu mencoba untuk mengelak dan membalas menyerang akan tetapi tanpa mereka ketahui bagaimana Lo Sin bergerak, tahu-tahu leher mereka telah tertangkap oleh kedua tangan Lo Sin dan sekali pemuda ini menggerakkan kedua tangannya, tubuh mereka terlempar jauh ke kanan kiri dan roboh menimpa tamu-tamu lain!
Empat orang tamu yang menjadi marah maju lagi, akan tetapi dalam dua gebrakan saja, kembali empat orang ini dibikin jatuh tunggang langgang oleh Lo Sin yang sedang marah dan mengamuk.
“Bangsat besar Lui Tik Kong! Hayo keluarlah menebus dosa!” kembali Lo Sin berseru dengan keras bagaikan orang kemasukan setan. Kembali ia menendang-nendang meja kursi di kanan kirinya hingga keadaan menjadi makin kalut.
Memang pada saat itu Lo Sin sudah lupa akan segala-galanya, yang teringat hanyalah malapetaka yang menimpa keluarga Nyo dengan datangnya penjahat she Lui yang entah bagaimana telah berhasil
80
memikat hati mereka hingga hendak diambil mantu, dijodohkan dengan gadis keluarga Nyo yang manis dan menarik hati itu!
Malapetaka yang mengancam ini terlampau berat menekan perasaan Lo Sin yang masih muda, maka hal ini menggelorakan semangat perlawanannya dan menambah rasa bencinya kepada Lui Tik Kong!
“Bangsat she Lui! Benar-benarkah kau begitu pengecut tak berani keluar? Kong peh-peh telah menantimu di pintu akhirat!”
Diantara para tamu yang berkepandaian tinggi, terdapat pula dua orang kakek pendekar yang menjadi kawan baik Nyo Tiang Pek, bahkan juga menjadi kawan baik Kong Sin Ek dan Ang Lian Lihiap serta Cin Han di waktu para pendekar itu masih muda. Mereka ini dulu ketika mudanya tinggal di Tit-lee dan mendapat julukan Sepasang Naga dari Tit-lee.
Mereka adalah dua orang hiap-kek bersaudara yang bernama Ong Su dan Ong Bu. Keduanya merupakan anggauta rombongan Nyo Tiang Pek yang dulu ketika masih muda menyerbu dan menghancurkan perkumpulan jahat Pek-lian-kauw dan boleh dibilang bahwa Ong Su dan Ong Bu ini adalah sahabat-sahabat kekal dari Nyo Tiang Pek, juga sahabat-sahabat baik Cin Han dan Lian Hwa.
Keduanya membuat nama besar di kalangan kang-ouw ketika muda oleh karena permainan tombak mereka memang lihai sekali. Kini kedua kakek ini sengaja datang memenuhi undangan Nyo Tiang Pek, maka mereka hadir di situ pada saat Lo Sin mengamuk.
Ketika Sepasang Naga dari Tit-lee melihat amukan seorang pemuda berpakaian hitam yang sedang marah bagaikan kemasukan iblis mereka menjadi tidak senang. Apalagi setelah Lo Sin menjatuhkan beberapa orang tamu dengan mudahnya, mereka lalu melompat maju sambil membentak keras,
“Pengacau muda tak tahu adat! Jangan berlaku kurang ajar!” Mereka ini lalu maju menyampok tangan ke arah muka Lo Sin.
Si Walet Hitam berkelit ke kiri dari sampokan tangan Ong Su, akan tetapi hampir saja ia terkena pukulan tangan Ong Bu hingga cepat-cepat ia menangkis. Tangkisan ini membuat keduanya terkejut oleh karena Ong Bu merasa betapa lengan tangannya sakit sekali sedangkan Lo Sin juga terhuyung beberapa langkah!
“Minggir, minggir! Aku tidak ingin berkelahi dengan siapa juga! Minggirlah semua! Aku hanya ingin menangkap bangsat Lui Tik Kong!” teriak Lo Sin tanpa memperdulikan kedua kakek yang tangguh itu.
“Bangsat muda, apakah kau ingin mati?”
Sambil berseru demikian, Ong Su lalu maju menyerang lagi dengan pukulan ke dada Lo Sin, akan tetapi kembali Lo Sin menangkis dengan tangannya sambil mengerahkan tenaga hingga Ong Su terpental dengan penuh heran dan terkejut.
Tak disangka sama sekali oleh Sepasang Naga dari Tit-lee ini bahwa anak muda yang mengamuk itu demikian tangguhnya! Memang semenjak pergi dan pindah dari Tit-lee belasan tahun yang lalu,
81
kedua orang kakek ini tak pernah menginjakkan kaki di Tit-lee hingga mereka tidak kenal kepada Lo Sin dan tidak tahu akan keadaan di kota itu.
Namun, sebagai sepasang pendekar tua yang telah membuat nama besar di dunia kang-ouw, mereka merasa malu kalau sampai mundur dan jerih menghadapi seorang pemuda, maka keduanya lalu mengeroyok.
“Jiwi, mundurlah! Aku tidak ingin bertempur melawan kalian!” Lo Sin berseru sambil menendang-nendang meja yang masih malang melintang di situ.
Ia menendang meja kursi hingga beterbangan bukan saja untuk melampiaskan marah dan mendongkolnya, akan tetapi juga untuk mencari tempat yang agak lega oleh karena ia maklum bahwa ia tentu akan menghadapi pengeroyokan sedangkan kedua orang kakek yang mengeroyoknya ini saja sudah berkepandaian begini tinggi!
Ketika Ong Su dan Ong Bu tetap mendesaknya dengan pukulan-pukulan maut. Lo Sin lalu memperlihatkan ketangkasan dan kegesitannya. Dengan ginkang warisan ibunya dan lweekang warisan ayahnya ia dapat mempermainkan kedua orang kakek gagah ini bagaikan seekor kucing mempermainkan dua ekor tikus!
Tubuhnya berkelebat ke sana ke mari dan tiap kali ia mendapat kesempatan untuk melancarkan serangan maut, ia hanya mendorong saja tubuh kakek itu hingga Ong Su dan Ong Bu beberapa kali terdorong sampai menabrak kursi atau meja!
Kedua Naga dari Tit-lee menjadi kagum dan juga marah sekali. Diam-diam mereka teringat kepada Ang Lian Lihiap ketika melihat sepak terjang pemuda ini di dalam hati mereka menduga-duga siapa adanya pemuda baju hitam yang luar biasa lihainya ini.
“Tik Kong, keluarlah kamu!!” lagi-lagi Lo Sin berteriak dan ia lalu mendesak kedua pengeroyoknya dan lari ke dalam dengan maksud hendak mencari ke dalam rumah!
Akan tetapi pada saat itu, dari dalam rumah keluarlah seorang tua gagah perkasa dengan pedang di tangan dan orang tua ini tak lain ialah Nyo Tiang Pek sendiri! Wajah orang tua ini merah karena marah dan matanya menyinarkan cahaya yang seakan-akan hendak membakar tubuh Lo Sin yang segera memandangnya dengan sikap hormat.
“Nyo-pekhu, maafkan aku dan harap kau orang tua suka menyerahkan bangsat she Lui itu kepadaku!” kata Lo Sin dengan sikap menghormat.
“Anak muda, apakah benar kau bernama Lo Sin dan putera dari Lian Hwa dan Cin Han?” tanya Nyo Tiang Pek dengan suara keren dan ia menahan marahnya sedapat mungkin.
“Benar, Nyo-pekhu. Akan tetapi kedatanganku ini atas kehendakku sendiri dan aku harus menangkap dan membinasakan bangsat she Lui itu. Serahkanlah dia kepadaku dan lain waktu aku bersama kedua orang tuaku tentu akan datang menghaturkan maaf atas kelancanganku ini.”
82
Semua orang, terutama Ong Su dan Ong Bu, terkejut mendengar bahwa anak muda ini benar-benar adalah putera Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong yang sangat terkenal.
“Lo Sin! Perbuatanmu kali ini sungguh mencemarkan nama orang tuamu! Kau minta hal yang bukan-bukan. Tidak tahukah kau bahwa Lui Tik Kong adalah calon mantuku dan hari ini kami sedang merayakan perkawinannya dengan puteriku?”
“Inilah celakanya! Perkawinan ini harus dibatalkan! Harus, kataku! Puterimu tidak boleh kawin dengan bangsat pengkhianat rendah itu! Dia itu telah membinasakan Kong Sin Ek pek-hu! Dia itu telah menganiaya Kong peh-peh hingga orang tua itu menemui kematiannya. Dia harus dihukum.”
“Kau bohong dan jangan mengandalkan kegagahan orang tuamu untuk mengacau di sini!” seru Nyo Tiang Pek dengan marah.
“Aku tidak membohong, Nyo-pekhu, dan orang tuaku jangan dibawa-bawa dalam hal ini!” jawab Lo Sin yang menjadi marah dan tidak sabar melihat bahwa orang tua ini tidak mau mengerti dan demikian kukuh.
“Anak muda kurang ajar! Jangan kau hendak berlagak di depan Nyo Tiang Pek!” seru si Garuda Kuku Emas dan secepat kilat ia menyerang dengan pedangnya ke arah dada Lo Sin.
“Nyo-pekhu, aku tidak berani mengangkat senjata terhadap kau orang tua!” seru Lo Sin yang cepat menangkis serangan berbahaya itu. Akan tetapi Nyo Tiang Pek yang sudah menjadi marah sekali oleh karena merasa malu mendengar calon mantunya dihina di depan orang banyak, lalu melancarkan serangan bertubi-tubi dan setiap serangannya adalah gerakan ilmu pedang kelas tinggi yang amat berbahaya dan lihai!
Tentu saja Lo Sin harus curahkan seluruh perhatian dan kepandaiannya untuk menghindarkan diri dari ancaman pedang pendekar tua itu. Sampai duapuluh jurus Nyo Tiang Pek menyerang, akan tetapi berkat kegesitannya yang luar biasa, Lo Sin dapat melesat ke sana ke mari mengelak tanpa berani membalas menyerang!
Nyo Tiang Pek merasa gemas, malu dan juga kagum, lalu mendesak makin keras sambil mengertak gigi karena marahnya. Pedangnya berkelebatan bagaikan seekor harimau mengamuk dan mengurung diri Lo Sin dengan sinar pedangnya.
Akan tetapi Lo Sin yang sudah menerima latihan dan gemblengan dari ibunya dalam ilmu gin-kang hingga kepandaiannya dalam hal ini masih lebih tinggi daripada Nyo Tiang Pek, dapat bergerak lebih cepat lagi hingga tubuhnya lenyap dari pandangan mata, merupakan gulungan sinar hitam yang berkelebatan di antara sinar pedang lawannya.
Semua penonton melongo menyaksikan pertempuran hebat yang berlangsung di tengah-tengah ruang pesta perkawinan ini, sedangkan Ong Bu dan Ong Su yang maklum bahwa Nyo Tiang Pek sukar sekali menundukkan pemuda itu, merasa tidak enak kalau tinggal diam saja.
Mereka tadi memang ragu-ragu ketika mendengar bahwa anak muda adalah putera Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong dan tidak berani segera turun tangan, akan tetapi kini setelah melihat
83
betapa Nyo Tiang Pek betul-betul hendak menjatuhkan anak muda itu, sebagai dua orang tamu, mereka merasa mempunyai kewajiban untuk membantu tuan rumah menghalau seorang pengacau.
Apalagi tuan rumah ini adalah sahabat karib mereka. Cepat sekali kedua jago tua ini lalu mencari tombak dan dengan tombak di tangan mereka lalu menyerbu.
Ilmu silat tangan kosong Sepasang Naga dari Tit-lee memang tidak seberapa tinggi maka mereka tadi dipermainkan oleh Lo Sin, akan tetapi setelah mereka memegang tombak, maka tombak mereka segera terputar mengeluarkan angin dingin dan menambah tebal dan kuatnya sinar pedang Nyo Tiang Pek ketika mereka maju dari kanan kiri mengurung Lo Sin.
Bukan main terkejutnya Lo Sin melihat kehebatan ilmu tombak ke dua saudara Ong yang tua ini. Dengan cepat pemuda ini lalu merobah ilmu pedangnya dan ia lalu menggunakan kepandaiannya dan memainkan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian mempertahankan diri, yakni gerak tipu Naga Sakti Mandi di Air.
Tubuh Lo Sin berdiri di tengah-tengah bagaikan seekor naga sakti melingkar dan pedangnya digerakkan sedemikian rupa sehingga seluruh tubuhnya tertutup oleh sinar pedang dan ketika ia mainkan Ilmu Pedang Naga Sakti Mandi di Air ini, segera terasa hawa yang amat dingin menjalar keluar dari angin gerakan pedangnya.
Nyo Tiang Pek dan kedua saudara Ong menjadi heran dan terkejut sekali. Mereka merasa betapa hawa dingin itu menyerang lengan tangan mereka hingga terasa kesemutan. Dilihatnya bahwa Lo Sin seakan-akan tidak bergerak, akan tetapi pedang di tangan pemuda itu berada di mana-mana dan selalu dapat menangkis dengan tenaga luar biasa pada tiap saat senjata ketiga pengeroyoknya mengancam.
Inilah kemujijatan Hwie-sian-liong-kiam-sut yang jarang diperlihatkan kepada umum hingga biarpun Nyo Tiang Pek dan kedua saudara Ong itu sendiri selamanya belum pernah menyaksikan ilmu pedang yang luar biasa ini. Dengan ilmu pedangnya yang mujijat, Lo Sin dapat menahan serangan ketiga jago tua itu, biarpun ia sama sekali tidak pernah membalas menyerang.
Tiba-tiba dari dalam berkelebat bayangan putih yang gerakannya cepat sekali dan sebatang pedang tipis menyerbu masuk dan berhasil memasuki tembok baja yang dibuat oleh pedang Lo Sin.
Hampir saja pundak Lo Sin terluka oleh pedang ini dan ia menjadi terkejut sekali. Ketika ia memperhatikan, ternyata yang menyerang nya adalah seorang wanita setengah tua yang berwajah cantik dan bergaya lembut.
Wajahnya ini hampir sama dengan wajah Lee Ing dan melihat ilmu gin-kang yang hebat itu Lo Sin dapat menduga bahwa wanita ini tentulah Coa Giok Lie isteri Nyo Tiang Pek, atau sumoi dari ibunya sendiri.
“Ie-ie……! Kau tentu Ie-ie Giok Lie!” Lo Sin berseru dengan terharu.
Memang Ang Lian Lihiap menganggap Giok Lie sebagai adik kandung sendiri maka ia menyuruh anaknya menyebut ie-ie atau bibi kepada nyonya Nyo Tiang Pek itu.
84
Mendengar seruan ini, terdengar isak tangis dari mulut Giok Lie karena hatinya terharu, dan nyonya ini berkata dengan suara halus.
“Lo Sin, janganlah kau melawan pek-humu. Menyerahlah, nak dan mari kita berunding secara baik-baik!”
Lo Sin memikir bahwa ia takkan dapat bertahan terus dengan mempertahankan diri tanpa membalas menyerang, sedangkan untuk menyerang, tidak berani. Apalagi setelah ie-ienya yang berkepandaian tinggi dan memiliki ilmu gin-kang luar biasa itu ikut menyerbu, ia tidak tahu berapa lama pertempuran ini akan berlangsung.
Akhirnya ia tentu akan membalas dan kalau sampai ia kesalahan tangan melukai pek-hunya atau ie-ienya, hal ini tentu akan menimbulkan keributan besar. Setelah memutar otaknya, ia lalu berseru keras.
“Awas pedang!” dan tiba-tiba saja ia merobah ilmu pedangnya dan kini ia mainkan Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian menyerang, yakni gerakan Naga Sakti Mandi di Api. Hawa pedangnya tiba-tiba berubah panas dan gerakannya ganas dan dahsyat sekali.
Terkejut sekali para pengeroyoknya dan untuk sesaat mereka melangkah mundur dengan tercengang. Memang inilah yang dikehendaki oleh Lo Sin. Ia memang hanya ingin menggertak saja agar kepungan itu menjadi terbuka.
Saat itu digunakan olehnya untuk melompat cepat ke dalam rumah. Kecepatannya memang luar biasa dan gerakannya tiada ubahnya seperti seekor burung walet hitam menyambar. Suami isteri Nyo dan kedua saudara Ong terkejut sekali dan Nyo Tiang Pek dengan suara parau lalu berseru.
“Kejar!” Lalu mereka beramai mengejar dengan cepat ke dalam rumah.
Para tamu di luar menjadi geger dan bingung, tak tahu harus berbuat apa. Yang bernyali kecil diam-diam keluar dan tergesa-gesa meninggalkan tempat itu. Yang rakus lalu mempergunakan kesempatan pada saat semua orang tidak ada yang memperhatikannya, menyambar makanan dan memenuhi mulutnya dengan hidangan-hidangan terbaik.
Ketika Lo Sin melompat ke dalam ruang dalam, ternyata keadaan di situ sepi oleh karena semua pelayan laki-laki dan wanita telah lari bersembunyi ketakutan ketika di luar terjadi pertempuran tadi! Lo Sin memandang ke sana ke mari mencari-cari, dan ketika itu melihat seorang pelayan hendak melarikan diri dari pintu belakang.
Ia cepat melayang dan menangkap pundak pelayan itu, ia menempelkan pedangnya di leher orang lalu membentak dengan suara mengancam.
“Di mana adanya calon pengantin laki-laki? Hayo cepat beritahukan padaku!”
“Dia…… dia telah semenjak tadi melarikan diri ke belakang!”
85
Dalam keadaan yang tegang itu, Lo Sin masih teringat kepada Lee Ing, maka ia lalu bertanya lagi.
“Dan di mana nona Lee Ing?”
“Nyo-siocia…… berlari mengejar pengantin laki-laki dengan pedang di tangan!”
Lo Sin lalu mendorong pelayan itu hingga terjengkang, dan saat itu Nyo Tiang Pek dan yang lain-lain telah mendatangi dengan pedang terangkat.
“Bangsat muda she Lo jangan lari!” teriak Nyo Tiang Pek sambil mengirim serangan hebat.
Lo Sin menangkis dengan keras hingga Nyo Tiang Pek merasa telapak tangannya tergetar, kemudian Lo Sin melompat pergi melalui pintu belakang sambil berteriak.
“Nyo-pekhu, lain waktu aku akan datang memohon maaf darimu!”
Ketika Nyo Tiang Pek, Giok Lie dan kedua saudara Ong mengejar ke belakang, mereka tidak melihat lagi bayangan Lo Sin.
Giok Lie segera berlari memasuki kamar Lee Ing, akan tetapi dengan terkejut ia mendapatkan pakaian pengantin telah rusak dan tersobek berhamburan di atas pembaringan, sedangkan gadis itu sendiri telah pergi entah ke mana! Pedang Lee Ing yang biasanya tergantung di dinding juga turut lenyap! Giok Lie menjatuhkan diri di atas pembaringan sambil menangis dan memanggil-manggil nama puterinya!
Nyo Tiang Pek berlari ke kamar di mana Lui Tik Kong bersembunyi akan tetapi ia juga tidak dapat menemukan bayangan calon mantunya ini! Nyo Tiang Pek dan Giok Lie lalu bertanya kepada para pelayan dan ketika semua pelayan melihat bahwa pengacau telah pergi, mereka datang berkerumun dan ramai menceritakan peristiwa yang terjadi di ruang dalam pada saat di luar terjadi pertempuran itu.
Ternyata bahwa pada saat Lo Sin berteriak-teriak memaki-maki nama Lui Tik Kong dan mengamuk di ruang tamu, Lee Ing mendengar juga. Gadis ini dengan hati tidak karuan rasa lalu menjenguk ke luar dan melihat betapa Lo Sin dikeroyok oleh ayah ibunya dan oleh kedua orang tua she Ong. Ia merasa malu sekali oleh karena peristiwa hebat yang terjadi pada saat perkawinannya dirayakan ini tentu akan menjadi buah tutur orang-orang dan memalukan nama keluarganya.
Aneh, ia tidak menjadi marah kepada Lo Sin yang dianggapnya telah menolongnya daripada bahaya dikawin oleh seorang penjahat! Bahkan ia menumpahkan kemarahannya kepada Lui Tik Kong.
Pada saat itu, Tik Kong yang ketakutan dengan wajah pucat sekali keluar pula dari kamarnya dan ketika melihat Lee Ing, ia lalu berkata,
“Niocu, marilah kita melarikan diri!”
“Ah, orang tak tahu malu! Mengapa melarikan diri? Hayo kau keluar dan lawanlah dia kalau kau memang laki-laki gagah!”
86
“Niocu, jangan begitu. Dia…… dia mau membunuhku. Bukankah aku suamimu? Hayo kau pergi ikut aku melarikan diri!”
“Bangsat hina!” Lee Ing berseru sambil memaki-maki dan berlari masuk ke dalam kamarnya sendiri.
Di situ Lee Ing lalu melepaskan baju pengantin dan merobek-robeknya hingga berkeping-keping, kemudian dengan cepat ia mengenakan pakaian ringkas dan mengambil pedangnya terus digantung di pinggang.
Pada saat itu, kembali terdengar suara Lui Tik Kong di luar kamarnya.
“Niocu, isteriku yang manis, marilah kita pergi meninggalkan tempat yang berbahaya itu!”
Bukan main marah dan sebal hati Lee Ing mendengar ini. Ia menendang daun pintu kamarnya dan mencabut pedangnya.
“Tutup mulutmu yang kotor! Siapa sudi menjadi isterimu?”
Bukan main kagetnya Tik Kong melihat bahwa Lee Ing telah berganti pakaian dan bahkan kini berdiri dengan sikap mengancam dan pedang di tangan, maka ia lalu melarikan diri.
“Bangsat jangan kau lari, kau harus membuat pengakuan dulu tentang terbunuhnya Kong Sin Ek!”
Mendengar ini, Lui Tik Kong makin takut oleh karena maklum bahwa rahasianya telah diketahui oleh calon isterinya itu, maka tanpa menoleh lagi ia berlari makin keras meninggalkan tempat itu.
Lee Ing sambil memaki-maki lalu lari mengejar dengan pedang di tangan!
Melihat bahwa Lui Tik Kong telah melarikan diri oleh karena takut kepada Lo Sin dan betapa Lee Ing juga melarikan diri, sedangkan Lo Sin yang menjadi biang keladi kekacauan itu tidak tertangkap, maka saking marah dan malunya Nyo Tiang Pek berseru keras dan roboh pingsan!
Giok Lie menangis dengan sedih, bingung dan juga malu. Akan tetapi nyonya ini yang mempunyai kesabaran lebih besar dan mempunyai kebijaksanaan lalu bertindak tegas.
Dengan segera ia mengangkat tubuh suaminya yang pingsan itu ke dalam kamar, merebahkannya di atas pembaringan dan minta kepada semua orang supaya jangan mengganggu dan semua pelayan lalu diperintahkan pulang meninggalkan rumahnya. Setelah itu, nyonya ini lalu bertindak keluar dan menjura kepada semua tamunya dan dengan hormat berkata,
“Cuwi sekalian yang mulia. Kami merasa sangat menyesal bahwa kami telah mengecewakan cuwi sekalian oleh karena terpaksa kami mengumumkan bahwa perayaan ini dibatalkan. Cuwi maklum bahwa telah terjadi peristiwa yang semua timbul oleh karena kesalahpahaman dan kami harap sudilah kiranya cuwi memandang muka kami untuk tidak menyiarkan berita mengenai peristiwa ini agar jangan sampai ditambah-tambah dan dibesar-besarkan oleh mulut orang-orang yang tak tahu
87
malu dan jail! Namun kami percaya penuh bahwa cuwi tentu bukan tergolong orang-orang yang jail seperti itu.
“Pernikahan puteri kami dibatalkan dan anggaplah bahwa perkawinan ini tidak jadi diadakan. Kami minta maaf sebanyak-banyaknya kepada cuwi sekalian oleh karena suami saya tidak dapat mengantar cuwi keluar dan tidak dapat menghaturkan maaf sendiri oleh karena suami saya menderita sakit dengan tiba-tiba. Sekali lagi maaf dan banyak-banyak terima kasih kami haturkan atas budi kebaikan cuwi sekalian.”
Semua tamu mendengar suara yang diucapkan dengan halus, tetapi nyaring dan mengandung sindiran yang melarang mereka menyiarkan terjadinya peristiwa itu, tidak ada yang berani membuka mulut dan kemudian mereka pergi seorang demi seorang berpamitan dan meninggalkan tempat itu pulang ke tempat masing-masing. Setelah semua orang pergi, Ong Su dan Ong Bu juga berpamitan sebagai orang-orang yang terakhir.
Ketika menghadapi kedua saudara Ong, yang telah menjadi sahabat baiknya itu, tiba-tiba sikap Giok Lie berubah. Tadi ia bersikap gagah dan tidak mau memperlihatkan kelemahannya terhadap para tamu, akan tetapi sekarang menghadapi kedua saudara Ong yang telah dikenalnya sebagai sahabat-sahabat baik, ia tidak dapat menahan lagi jatuhnya air mata dan menangis tersedu-sedu sambil menjatuhkan dirinya di atas sebuah kursi!
Ong Bu dan Ong Su saling memandang sambil menghela napas.
“Sudahlah jangan terlalu bersedih, toanio,” hibur Ong Su, “hal ini harus kau hadapi dengan tabah dan tenang. Lebih baik segera dapat dibereskan.”
“Benar, toanio. Berduka saja tidak ada artinya bahkan akan merusak semangat dan kesehatan sendiri. Sekarang perkenankanlah kami berdua kembali dulu,” berkata Ong Bu.
Giok Lie mengangkat muka dan mengangguk, bibirnya bergerak menyatakan terima kasihnya. Setelah kedua saudara Ong ini pergi, ia lalu kembali ke kamar suaminya dan ternyata Nyo Tiang Pek telah sadar dari pingsannya dan kini duduk di atas pembaringan sambil menghela napas panjang pendek.
Ketika melihat isterinya masuk, ia lalu berkata dengan tetap,
“Isteriku, kita harus segera pergi ke Tit-lee untuk membalas sakit hati ini kepada Cin Han dan Lian Hwa. Kalau kedua orang itu tidak bisa mengajar anak mereka, biarlah kita yang menghajar mereka. Biarlah, betapapun pandai dan lihainya Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong, aku Nyo Tiang Pek kalau disinggung kehormatanku, tidak merasa takut dan hendak mengadu jiwa dengan mereka!”
Giok Lie terkejut, lalu dengan gerakan halus duduk di samping suaminya.
“Suamiku, di mana ketenanganmu yang dulu, dan jangan melakukan sesuatu menuruti nafsu marah yang sedang menggelombang. Siapa tahu kalau cici Lian Hwa dan suaminya tidak tahu menahu dalam hal ini, hingga kalau kita tiba-tiba muncul sambil marah-marah bukankah kita yang keterlaluan? Dalam hal ini kita harus berlaku hati-hati dan berpikir luas.
88
“Memang tindakan Lo Sin itu keterlaluan dan terlalu menghina kita, sama sekali tidak memikirkan akibat yang ditimbulkan oleh pengacauannya itu hingga kita mendapat malu besar. Akan tetapi, bukankah lebih baik kita selidiki secara teliti sebab-sebab yang menjadikan ia bersikap demikian? Dan mengapa pula anak kita sampai lari mengejar Tik Kong sambil membawa pedang? Semua ini terlalu aneh dan membingungkan bagiku, maka lebih baik kita berlaku hati-hati.”
Untuk sejenak Nyo Tiang Pek berdiam saja, tanda bahwa ia sedang berpikir keras. Kemudian ia menghela napas dan berkata.
“Dasar anak kita yang keras kepala! Kita jangan terlalu percaya kepada anak kurang ajar she Lo itu! Memang, kalau kita memikirkan keadaan orang tuanya, kita bisa menjadi lemah. Bukankah kau dan aku sudah tahu sampai habis sikap Tik Kong yang benar-benar jujur dan baik? Sudahlah, kalau kau tidak setuju kita menyerbu ke Tit-lee, sedikitnya aku mau menulis surat tegoran kepada Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong agar mereka mau menyelidiki keadaan putera mereka yang tidak tahu adat itu!”
Giok Lie menghela napas dan ia cukup tahu akan kekerasan hati suaminya. Sedikitnya ia telah berhasil menahan maksud Nyo Tiang Pek yang hendak menyerbu dan mengadu jiwa dengan Ang Lian Lihiap dan suaminya.
Nyo Tiang Pek lalu membuat sepucuk surat kepada Cin Han dan Lian Hwa. Oleh karena ketika menulis surat itu hatinya masih panas dan marah, maka sudah tentu saja suaranya berbunyi keras dan marah pula. Ia lalu menutup surat itu dan menyuruh seorang kampung untuk segera berangkat ke Tit-lee pada hari itu juga untuk mengantar surat itu kepada Lo Cin Han. Ia bahkan memberi seekor kuda kepada pesuruh itu agar dapat segera sampai di Tit-lee.
Oleh karena mendapat pesan dari Nyo Tiang Pek agar cepat-cepat mengantar surat tanpa banyak menunda perjalanan, maka pesuruh itu lalu membalapkan kudanya menuju ke Tit-lee. Sepekan kemudian, dengan pakaian penuh debu dan lelah sekali, pesuruh itu tiba di Tit-lee lalu menyerahkan surat Nyo Tiang Pek kepada Lo Cin Han suami isteri.
Kebetulan sekali pada waktu itu Lian Hwa dan suaminya sedang duduk di ruang depan dan mereka heran melihat datangnya seorang penunggang kuda. Ketika penunggang kuda itu sudah turun dari kudanya dan menanyakan nama mereka, lalu ia mengeluarkan sepucuk surat dan menyerahkannya kepada Cin Han.
“Terima kasih, akan tetapi saya terpaksa tidak dapat menerima kebaikan taihiap, oleh karena saya setelah memberikan surat ini harus segera kembali tanpa menanti balasan,” jawab penunggang kuda itu yang terus menaiki kudanya kembali dan pergi dari situ.
Cin Han dan Lian Hwa saling memandang dan mengangkat pundak karena merasa heran dan tidak mengerti melihat sikap penunggang kuda itu. Keduanya segera ingin sekali mengetahui apakah gerangan isi surat Nyo Tiang Pek. Dibukanya surat itu dan dibaca oleh mereka berdua dengan berbareng.
Alangkah terkejut mereka membaca surat yang keras bunyinya itu sehingga keduanya menjadi merah mukanya dan menahan napas. Bunyi surat itu memang keras sekali.
89
Saudara Lo Cin Han dan Han Lian Hwa!
Kalau sekiranya aku tidak ingat bahwa kalian adalah sahabat-sahabat baikku dan kalau saja isteriku tidak mencegahku, mungkin bukan surat ini yang kini berada di hadapan kalian, akan tetapi aku sendiri dengan pedang di tangan!
Seperti kalian ketahui, kami merayakan hari perkawinan anak kami Lee Ing, dan kalian pun sudah kami undang, sungguhpun kalian tidak mau datang menjenguk. Hal ini bukan apa-apa dan aku takkan merasa menyesal sedikitpun, akan tetapi ketahuilah bahwa pada saat perayaan perkawinan dilakukan, tiba-tiba datang seorang pemuda yang mengacaukan pesta dan mengandalkan kepandaiannya menghina kami sekeluarga!
Tahukah kalian apa yang dilakukan oleh pemuda itu? Ia memaksa hendak membunuh mati calon mantuku! Bahkan ia telah berani menghadapi dan bertempur dengan aku, bahkan telah menyerang pula saudara Ong Bu dan Ong Su, kawan-kawan lama kita itu! Entah apa yang terjadi antara pemuda itu dengan calon mantuku yang bernama Lui Tik Kong, akan tetapi menurut penuturan Tik Kong pemuda itu adalah seorang perampok jahat!
Hal ini aku belum dapat membuktikan kebenarannya. Akan tetapi yang sudah pasti dan terbukti ialah bahwa pemuda itu benar-benar kurang ajar, tidak memandang mata kepada kami dan bahkan menghina kami, membuat kami malu dan mencemarkan nama keluarga kami.
Dengan pengacauannya yang kurang ajar itu perkawinan menjadi batal, calon mantuku melarikan diri, karena takut, bahkan anak perempuanku juga melarikan diri sehingga sekarang belum kembali. Sayang kami tidak dapat membekuk batang leher pemuda pengacau itu!
Dan tahukah kalian siapa orang muda tak tahu adat itu? Dia bukan lain adalah puteramu! Dia adalah Lo Sin, yang mengandalkan kepandaian dan mungkin mengandalkan nama orang tuanya untuk menghina aku, Nyo Tiang Pek.
Kalian tentu mengerti bahwa aku marah dan menyesal kepadamu berdua. Tak dapatkah kalian mengajar adat kepada anakmu itu?
Dengan terjadinya peristiwa yang mencemarkan nama keluarga kami itu, mulai sekarang aku tidak menganggap keluargamu sebagai kawan lagi dan harap kalian menjaga jangan sampai bertemu dengan Nyo Tiang Pek, oleh karena pertemuan itu hanya akan diakhiri dengan pertumpahan darah kita!
Sekian dan harap maklum!
Dari aku,
Nyo Tiang Pek
Dapat dimengerti bahwa bunyi surat itu membuat wajah kedua suami isteri ini merah sampai ke telinga. Mereka heran, bingung, marah dan menyesal sekali. Bahkan tangan Cin Han yang memegang surat itu sampai menggigil.
90
Sampai tiga kali mereka berdua membaca isi surat itu seakan-akan tidak percaya kepada mata sendiri, akan tetapi makin sering dibaca makin memerahkan telinga. Cin Han yang biasanya lebih sabar saja tidak kuat menahan marahnya, apalagi Ang Lian Lihiap yang terkenal keras hati.
“Brakk!!” tiba-tiba meja di depan nyonya ini roboh dan remuk berkeping-keping terkena pukulan tangan Ang Lian Lihiap.
“Nyo Tiang Pek! Kau orang tua tak tahu diri! Makin tua kau tidak makin bijaksana, sebaliknya kau berpemandangan sempit dan berotak gelap! Apakah kau kira aku Ang Lian Lihiap takut kepadamu?”
Muka yang cantik itu merah bagaikan kepiting direbus sedangkan kedua tangannya mengepal tinju. Sepasang matanya bersinar-sinar memandang ke arah jauh tanpa berkedip, seakan-akan pada saat itu Nyo Tiang Pek berdiri di depannya.
“Sabar, sabar, isteriku! Tenanglah kau!”
“Sabar? Kaukata aku masih harus bersabar sedangkan orang seperti si Garuda Kuku Emas itu menghina kita?? Apakah kau belum dapat mengerti atau menduga akan timbulnya peristiwa yang ia sebutkan itu? Sudah jelas bahwa calon mantunya adalah Lui Tik Kong, murid murtad dari Kong-twako yang membunuh dan menganiaya gurunya sendiri, seorang pemuda palsu dan durhaka. Maka ketika Sin-ji mencari-cari dan mendapatkan jejaknya, lalu mengetahui bahwa Tik Kong berada di tempat Nyo-twako dan bahkan akan dipungut mantu, tentu saja Sin-ji merasa marah dan hendak menghalangi perkawinan itu untuk menolong puteri Nyo-twako dan juga untuk membinasakan bangsat she Lui itu.
“Akan tetapi, agaknya mata Nyo Tiang Pek telah menjadi buta, tidak dapat melihat mana yang benar mana yang salah dan bahkan menyangka anak kita itu perampok dan pengacau. Ah, sungguh terlalu! Hendak kulihat sampai di mana kepandaian tua bangka she Nyo itu!” Sambil berkata demikian cepat sekali tangan Han Lian Hwa mencabut pedang yang akhir-akhir ini selalu dipakainya setelah terjadi penyerhuan Hek Li Suthai.
Cin Han terkejut melihat ini. Ia mengangkat kedua tangannya dan berkata. “Eh, eh, kau mencabut-cabut pedang segala ini mau apakah?”
“Hendak kulihat kelihaian orang she Nyo yang telah menghina dan mencaci maki anakku yang berarti ia menghina aku sendiri!”
“Sabar, sabar! Nyo-twako tidak berada di sini, mengapa kau mengamuk tidak karuan dan mencabut pedang? Sadarlah isteriku, kalau dilihat orang dari luar, dikira kau marah-marah dan mencabut pedang hendak menikam aku!”
Cin Han mencoba untuk meredakan kemarahan isterinya dengan berkelakar. Ia telah dapat menekan kemarahannya dan dapat pula berlaku tenang, oleh karena ia yakin bahwa di sini tentu telah terjadi kesalah pahaman.
91
Setelah dihibur-hibur suaminya, Lian Hwa mulai sabar dan memasukkan kembali Kong-hwa-kiam di sarung pedangnya.
“Marilah kita bicarakan dengan kepala dingin!” kata Cin Han sambil menarik tangan isterinya untuk duduk di sampingnya. “Jangan kita meniru-niru Nyo-twako yang tidak dapat menahan marahnya itu. Kita bukanlah anak-anak kecil yang sedikit-sedikit lalu menjadi marah tidak karuan. Kita cukup tahu bahwa Nyo-twako tidak biasanya menghina orang, apalagi kepada kita yang menjadi kawan baiknya.”
“Tidak ingatkah kau akan surat undangan itu?” tiba-tiba Lian Hwa yang masih panas hatinya itu memotong bicaranya. “Semenjak semula pun Nyo-twako telah memandang rendah kepada kita! Kita dengan baik-baik melamar puterinya, akan tetapi ia tidak perduli sama sekali, bahkan menjawabpun tidak! Tahu-tahu ia mengirim surat undangan dan memberitahukan bahwa puterinya hendak dikawinkan dengan orang lain tanpa menyebut-nyebut perihal peminangan kita.
“Bukankah itu sudah cukup menghina? Kita sudah cukup bersabar dan tidak menyatakan penyesalan kita, akan tetapi sekarang ia menulis surat macam ini, memaki-maki anak kita! Kau masih mau bilang bahwa Nyo Tiang Pek tidak biasa menghina orang? Suamiku, kesabaran ada batasnya dan kalau kau memaksa-maksa aku supaya bersabar menghadapi penghinaan yang berkali-kali ini, jantungku bisa meledak!”
Cin Han memegang tangan isterinya dengan mesra dan tersenyum. “Jangan isteriku. Kalau jantungmu meledak, siapa yang akan susah selain suamimu?”
Akan tetapi Lian Hwa menarik tangannya dan cemberut.
“Memang sikap Nyo-twako yang tidak menjawab surat lamaran kita itu sangat keterlaluan dan hal itu perlu penjelasan sejujurnya apabila kita bertemu dengan mereka. Aku akan bertanya kepadanya secara laki-laki dan secara sahabat baik. Adapun peristiwa yang terjadi dengan Sin-ji inipun perlu pula diselidiki lebih jauh. Mungkin Sin-ji yang ketularan adat keras darimu, tidak dapat menahan marah melihat Tik Kong sehingga berlaku kasar di depan Nyo-twako.
“Harus diingat bahwa pengacauan yang dilakukan oleh Sin-ji untuk menangkap Tik Kong itu telah membatalkan perkawinan anak mereka, dan tentu saja mereka menjadi malu sekali! Hal ini harus kita pertimbangkan masak-masak dan baiklah kita menanti sampai Sin-ji datang kembali untuk ditanya bagaimana duduknya peristiwa yang sebenarnya.”
Di dalam, hatinya, Lian Hwa mengakui kebenaran pandangan suaminya ini, maka hatinyapun menjadi agak sabar, akan tetapi mulutnya tetap mengomel.
“Mengapa Sin-ji tidak membiarkan saja? Biarlah, biar Nyo Tiang Pek tahu rasa dan mendapatkan seorang menantu bajingan, besar!”
“Sttt, isteriku, apakah kau tidak kasihan kepada mereka? Apakah kau tidak ingat kepada Giok Lie yang begitu mencintaimu? Ingatlah, surat itu ditulis oleh Nyo-twako, bukan oleh Giok Lie. Mungkin sekali pada saat ini Giok Lie sedang menangis sedih menyesalkan sikap suaminya dan ia sedang terkenang kepadamu.”
92
Mendengar disebutnya nama Giok Lie, tiba-tiba Lian Hwa lalu menjatuhkan mukanya di pundak suaminya dan menangis terisak-isak.
“Giok Lie...... kasihan kau, Giok Lie ,” keluhnya dengan suara perlahan.
“Nah, nah, kau sekarang menangis! Kau mengingatkan daku akan Ang Lian Lihiap, gadis jelita yang bisanya hanya dua macam saja itu, yakni menangis dan marah-marah!” kata Cin Han sambil mengusap-usap rambut isterinya.
Setelah agak reda tangisnya, Lian Hwa lalu berkata kepada Cin Han.
“Kita tidak boleh mendiamkan hal ini begini saja oleh karena rasa tidak enak hati dan permusuhan akan makin mendalam. Lebih baik sekarang juga kita berangkat ke Bong-kee-san mencari Nyo-twako untuk menjelaskan dan membereskan semua perkara ini dengan damai,” katanya dengan suara perlahan.
Cin Han mengangguk. “Demikian pula pendapatku. Biarpun Nyo-twako telah mengeluarkan ancaman, akan tetapi jalan satu-satunya untuk membikin terang perkara yang ruwet ini hanyalah menjumpainya dan bicara dari hati ke hati sebagai sahabat-sahabat lama.”
Tiba-tiba pada saat itu, dari pintu luar berkelebat masuk bayangan orang dengan gesitnya dan terdengar seruan seorang wanita dengan suara nyaring.
“Lian Hwa cici, tolonglah kami!”
Cin Han dan Lian Hwa terkejut sekali dan serentak bangkit dari tempat duduk mereka.
“Mei Ling kau kenapakah?” tanya Han Lian Hwa sambil memandang kepada seorang gadis cantik yang berusia kurang lebih duapuluh lima tahun dan yang segera menubruk dan memeluknya dengan menangis.
Juga Cin Han terkejut sekali. “Mei Ling duduklah dengan tenang dan ceritakan mengapa kau datang-datang menangis dengan sedih.”
Gadis ini adalah seorang dara pendekar yang berilmu silat tinggi. Namanya Song Mei Ling, dan dia ini bukan lain adalah cucu dari Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan yang menjadi guru Han Lian Hwa. Oleh karena Mei Ling juga menjadi murid neneknya, maka Lian Hwa boleh dibilang adalah sucinya (kakak seperguruan).
Song Cu Ling atau Dewi Tanpa Bayangan adalah seorang li-hiapkek yang terkenal sekali di waktu masih hidup. Akan tetapi nasibnya malang dan ia ditinggal mati suami dan puteranya yang meninggalkan sepasang anak kembar, yakni cucunya yang bernama Kong Liang dan Mei Ling, sepasang anak kembar laki perempuan. Oleh karena ayah kedua anak ini telah meninggal, maka Song Cu Ling memberi she Song kepada mereka, dan ia menggunakan seluruh kepandaiannya untuk mendidik kedua anak kembar ini hingga menjadi sepasang hiap-kek yang berkepandaian tinggi.
93
Kakak beradik ini setelah ditinggal mati oleh nenek mereka, lalu hidup sebagai perantau-perantau yang seringkali menolong sesama hidup hingga terkenal sebagai sepasang pendekar budiman. Lian Hwa dan suaminya sudah sering kali minta supaya kedua anak yatim piatu ini tinggal saja bersama mereka, akan tetapi Kong Liang dan Mei Ling tidak mau, bahkan ketika mereka mengunjungi Nyo Tiang Pek Coa Giok Lie yang juga terhitung suci mereka, keluarga Nyo minta mereka di Bong-kee-san, akan tetapi keduanya lebih suka melakukan pengembaraan berdua.
Anehnya sepasang anak kembar ini tidak mau kawin, agaknya mereka ini belum menemukan jodoh yang cocok sehingga pada waktu itu Kong Liang telah berusia duapuluh lima tahun, demikianpun adiknya, dan mereka masih tinggal membujang. Seringkali keduanya datang mengunjungi Lian Hwa untuk beberapa hari, kemudian pergi lagi merantau, bagaikan dua ekor burung yang bebas lepas di udara tidak mempunyai tempat tinggal tertentu.
Oleh karena belum pernah sekali juga melihat Mei Ling datang seorang diri, maka Lian Hwa lalu bertanya,
“Mei Ling, mengapa kau datang seorang diri? Mana Kong Liang?”
Mendengar nama kakaknya disebut, kembali Mei Ling mengalirkan air mata, sehingga Lian Hwa memandang wajah yang cantik itu dengan khawatir.
“Mei Ling, lekas ceritakan apakah yang telah terjadi?”
“Cici Lian Hwa, kami mendapat kecelakaan. Kami telah bertemu dengan si iblis wanita Hek Li Suthai dan muridnya yang bernama Bi Mo-li. Ketika mereka tahu bahwa Liang-ko dan aku adalah murid dan cucu Song Cu Ling, mereka lalu menyerang kami. Akan tetapi kami berdua berhasil memukul mundur mereka. Tidak tersangka sama sekali, pada malam harinya mereka kembali bersama seorang pendeta tua sekali yang kedua lengan tangannya buntung.”
“Bong Cu Sianjin!” kata Lian Hwa dan Cin Han dengan suara berbareng dan kaget sekali.
“Benar, pendeta itu adalah Bong Cu Sianjin yang dulu pernah menjadi ketua Pek-lian-kauw yang dipecahkan oleh cici dan kawan-kawan lain, termasuk pula nenek kami itu. Biarpun kedua lengan tangannya telah buntung, akan tetapi Bong Cu Sianjin ini lihai sekali. Setelah bertempur mati-matian, akhirnya Liang-ko terkena tendang olehnya sehingga mendapat luka parah pada dadanya.”
Lian Hwa dan Cin Han terkejut. “Dan di mana sekarang kakakmu itu berada?” tanya Cin Han penuh hati khawatir.
“Liang-ko kusembunyikan dalam sebuah kelenteng dan dirawat oleh kepala hwesio di kelenteng itu. Setelah Liang-ko kena tendang, aku berhasil menolong dan melarikannya di dalam gelap, sedangkan Bong Cu Sianjin lalu berkata menantang Song Cu Ling, cici dan cihu berdua, Nyo-twako berdua dan semua orang yang pernah menyerbu dan menghancurkan Pek-lian-kauw.”
“Bangsat tua Bong Cu sombong sekali,” Ang Lian Lihiap memaki.
“Apakah ia mengatakan di mana ia menantang kita?” tanya Cin Han yang juga merasa gemas.
94
“Ya, dia mengatakan bahwa dia menanti kita di Bukit Hoa-mo-san.”
“Hm, tentu Lan Bwee Niang-niang masih berada di sana. Agaknya Sin-kun Mo-li (Iblis Perempuan Kepalan Dewa) itu masih belum mengubah sifatnya!” kata Cin Han lagi.
“Marilah kita mengunjungi Kong Liang untuk melihat keadaannya. Kemudian kita pergi ke Hoa-mo-san untuk melihat sampai di mana kelihaian mereka!” kata Ang Lian Lihiap yang tabah dan keras hati.
Cin Han menghela napas. “Belum juga urusan pertama kita bereskan, datang lagi urusan kedua.”
“Biarlah, urusan dengan Nyo-twako kita tunda dulu dan menengok Kong Liang serta membalaskan sakit hatinya lebih penting lagi.”
Inilah sifat Ang Lian Lihiap, selalu mementingkan keperluan orang lain dan membelakangkan keperluan sendiri. Apalagi, pendekar wanita ini memang sayang sekali kepada Kong Liang dan Mei Ling yang ia anggap sebagai adik-adiknya sendiri.
Setelah mengadakan persiapan, Lian Hwa dan Cin Han lalu berangkat bersama Mei Ling hari itu juga, pergi ke kelenteng di mana Mei Ling menyembunyikan Kong Liang untuk diobati dari luka di dalam dadanya.
Memang benar dugaan Cin Han suami isteri dan keterangan Mei Ling. Pertapa buntung yang lihai dan melukai Kong Liang itu adalah seorang pertapa tua yang tinggi ilmu kepandaiannya dan bernama Bong Cu Sianjin.
Bong Cu Sianjin dulu pernah mendirikan perkumpulan rahasia Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih) dan oleh karena perkumpulan ini diperalat oleh kaisar yang hendak mengadu domba dan membasmi para enghiong dan anak buah Pek-lian-kauw banyak yang melakukan kejahatan mengandalkan pengaruh perkumpulan dan kepandaian mereka, maka perkumpulan ini lalu bentrok dengan Ang Lian Lihiap, Hwee-thian Kim-hong dan kawan-kawannya.
Ketika itu suami-isteri ini masih muda, bahkan kawin, mereka berdua bersama Tiang Pek si Garuda Kuku Emas, Kong Sin Ek si Dewa Arak, Ong Su dan Ong Bu Sepasang Naga dari Tit-lee dan dengan bantuan para locianpwe yang luar biasa seperti Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan guru Lian Hwa, Gwat Liang Tojin guru Cin Han, bahkan akhirnya mendapat bantuan dari seorang pertapa sakti setengah dewa yang bernama Beng San Siansu yang akhirnya menjadi guru suami isteri Lo Cin Han dan Han Lian Hwa.
Mereka semua ini naik ke sarang Pek-lian-kauw dan di situ terjadi pertempuran-pertempuran yang luar biasa hebatnya dan yang berakhir dengan runtuhnya Pek-lian-kauw. Di dalam pertempuran hebat ini pulalah Bong Cu Sianjin kehilangan kedua lengan tangannya hingga menjadi buntung. Ia lalu ditolong oleh kakak seperguruannya yang bernama Lan Bwee Niang-niang dan berjuluk Sin-kun Mo-li (Iblis Perempuan Kepalan Dewa) dan yang memiliki ilmu kepandaian lebih tinggi daripada Bong Cu Sianjin.
95
Tentu saja kekalahan-kekalahan hebat ini membuat Bong Cu Sianjin dan Lan Bwee Niang-niang menjadi sakit hati. Bong Cu Sianjin dibawa oleh sucinya ini ke atas puncak Gunung Hoa-mo-san dan di situ ia mendapat rawatan sehingga luka-lukanya sembuh. Biarpun kedua lengannya telah buntung, akan tetapi karena dorongan ingin membalas dendam kepada musuh-musuhnya, Bong Cu Sianjin tiada bosannya melatih diri, bahkan ia melatih kedua kakinya yang menjadi anggauta yang kini amat diandalkan oleh karena ia tidak berlengan lagi.
Ia melatih bermacam-macam ilmu tendangan yang hebat-hebat hingga ilmu kepandaiannya bahkan lebih tinggi daripada dulu sebelum lengannya buntung! Kini tenaga lweekangnyapun makin kuat dan seluruh tenaganya dikumpulkan pada dua kakinya.
Lan Bwee Niang-niang sebetulnya sudah kapok dan bosan mengurus urusan dunia yang selalu mendatangkan kecewa dan duka, maka urusan sakit hati ini tidak terlalu mendalam menggores hatinya. Pertapa yang berkepandaian tinggi ini mengerti bahwa ia telah makin tua dan dalam usianya yang tua ia tidak mau mencari perkara dan bertempur.
Oleh karena itu, ia lalu menerima seorang murid yang berbakat dan ia melatih murid ini menjadi seorang yang lihai sekali. Muridnya ini bukan lain ialah Hek Li Suthai yang berkepandaian tinggi.
Juga Bong Cu Sianjin menerima seorang murid lelaki. Akan tetapi berbeda dengan Hek Li Suthai yang sudah berusia tinggi juga, murid Bong Cu Sianjin ini adalah seorang pemuda yang berusia paling banyak duapuluh enam tahun dan belum kawin.
Pemuda ini bernama Yap Bun Gai dan berasal dari keluarga tani. Oleh karena pemuda ini berbakat baik, maka Bong Cu Sianjin lalu menerimanya sebagai murid dan menurunkan seluruh kepandaiannya. Ketika mula-mula diterima menjadi murid Yap Bun Gai baru berusia limabelas tahun.
Yap Bun Gai ini selain berwajah tampan gagah dan bertubuh tinggi besar, juga ia mempunyai pikiran yang baik dan hati yang jujur. Juga ia amat setia kepada suhunya, oleh karena ia memang kasihan sekali melihat kakek berilmu tinggi yang buntung ini.
Baik Bong Cu Sianjin, maupun Lan Bwee Niang-niang, mendidik kedua orang murid itu dengan sungguh-sungguh dan dengan maksud agar supaya murid-murid ini mewakili mereka membalas sakit hati kepada musuh-musuhnya. Oleh karena kepandaian Hek Li Suthai telah tinggi, maka Lan Bwee Niang-niang lalu menuturkan siapa adanya musuh-musuhnya yang harus dibalas oleh murid ini, bahkan ia lalu memerintahkan muridnya ini untuk turun gunung dan pergi menyelidiki di mana adanya musuh-musuhnya itu.
Sedangkan Bong Cu Sianjin yang memang seorang berpikiran licin dan pintar, biarpun kepandaian Bun Gai tidak lebih rendah daripada Hek Li Suthai, namun kakek buntung ini tidak mau melepaskan Bun Gai pergi lebih dulu. Bong Cu Sianjin hendak mendengar dulu keadaan musuh-musuhnya dari Hek Li Suthai, kalau to-kouw ini sudah kembali. Oleh karena itu ia tidak mau menyuruh muridnya turun gunung untuk kemudian dikalahkan oleh musuh-musuhnya!
Maka Yap Bun Gai belum mengerti tentang sakit hati dan usaha pembalasan dendam dari gurunya ini. Pemuda ini selain mencintai dan kasihan kepada gurunya, juga ia taat dan takut sekali, maka iapun tidak berani banyak bertanya.
96
Beberapa hari yang lalu, Hek Li Suthai dan muridnya yang bernama Bi Mo-li dengan cepat naik ke atas puncak Hoa-mo-san. Sambil menangis Hek Li Suthai menceritakan kepada gurunya bahwa ia bertemu dengan sepasang saudara kembar yang bernama Kong Liang dan Mei Ling di sebuah dusun di kaki bukit Hoa-mo-san ini. Karena ia mendengar bahwa kedua saudara kembar ini adalah adik-adik seperguruan Ang Lian Lihiap, maka ia segera menyerangnya, akan tetapi sungguh celaka, kedua saudara kembar itu terlampau tangguh dan ia tidak kuat melawannya.
Pada saat itu, Lan Bwee Niang-niang tengah duduk bercakap-cakap dengan sutenya, yakni Bong Cu Sianjin. Mendengar kekalahan muridnya, pendeta wanita yang kini sudah banyak sabar ia tersenyum dan berkata.
“Ceng Hwa mengapa kau begitu bersedih hanya oleh karena sebuah kekalahan saja? Ketahuilah bahwa kepandaian manusia memang tidak ada batasnya, siapa yang pandai tentu ada orang lain yang melebihinya. Kau kalah dengan murid-muridnya Song Cu Ling? Jangan kau bersedih, sekarang jangan kau kembali merantau. Kau tinggal saja di sini untuk menerima pelajaran-pelajaran baru. Kutanggung dalam beberapa bulan saja kepandaianmu akan meningkat dan kau takkan dapat dikalahkan oleh murid-murid Song Cu Ling.”
Akan tetapi, Bong Cu Sianjin yang mendengar tentang kekalahan murid keponakannya dan bahwa dua murid Song Cu Ling berada di bawah gunung, segera mengajak Hek Li Suthai untuk melihat sendiri sampai di mana kehebatan murid-murid Song Cu Ling itu! Lan Bwee Niang-niang tak dapat mencegah sutenya, hanya tertawa melihat betapa sutenya itu masih saja berdarah panas!
Demikianlah, ketika Bong Cu Sianjin dengan diantar oleh Hek Li Suthai dan Bi Mo-li turun gunung dan bertemu dengan Kong Liang dan Mei Ling, akhirnya mereka bertempur dan tentu saja Kong Liang dan Mei Ling tidak kuat melawan Bong Cu Sianjin yang berilmu tinggi hingga akhirnya Kong Liang kena ditendang oleh kaki Bong Cu Sianjin yang, lihai dan dahsyat!
Baiknya Mei Ling dapat menolong dan membawa lari kakaknya dan berkat ginkangnya yang tinggi ia dapat menghilang di dalam kegelapan malam hingga mereka berdua tak sampai dibinasakan oleh tangan musuh-musuh mereka itu!
Lee Ing yang mengejar Lui Tik Kong, tak mau melepaskan pemuda yang dibencinya itu. Tik Kong maklum bahwa apabila ia melawan, ia takkan menang menghadapi nona yang gagah perkasa itu, maka ia berlari secepat mungkin, akan tetapi Lee Ing tetap mengejar dan merupakan bayangan yang menakutkan!
Berpuluh lie mereka lalui dan ketika mereka tiba di luar sebuah hutan yang gelap akhirnya Lee Ing dapat menyusul Tik Kong. Sebenarnya ilmu berlari cepat Lee Ing masih lebih tinggi setingkat jika dibandingkan dengan ilmu kepandaian Lui Tik Kong, akan tetapi oleh karena pemuda yang ketakutan itu mempergunakan taktik berlari sambil bersembunyi, maka kadang-kadang Lee Ing dapat ditipunya dan gadis ini terpaksa mencari-cari pemuda yang bersembunyi itu.
Setelah tidak terdapat tempat persembunyian lagi dan tersusul di luar hutan, terpaksa Tik Kong berlaku nekad dan mencabut pedangnya.
97
“Bangsat pengecut Lui Tik Kong! Kau hendak lari ke mana?” bentak Lee Ing sambil menyerang dengan pedangnya.
Tik Kong menangkis dan tanpa berkata-kata ia melakukan perlawanan mati-matian sambil mengerahkan seluruh kepandaiannya! Biarpun kepandaiannya masih kalah jika dibandingkan dengan Lee Ing yang lihai, namun berkat latihan-latihan yang ia terima dari Kong Sin Ek si Dewa Arak, ia dapat juga melakukan pertahanan yang kuat dan untuk beberapa lama ia dapat menghindarkan serangan-serangan maut yang dilancarkan oleh Lee Ing dengan pedangnya.
Sementara itu senja telah mendatang dan karena hutan itu penuh dengan pohon pohon besar, maka keadaan di situ menjadi gelap dan matahari telah tertutup oleh daun-daun pohon. Beberapa kali Tik Kong mencari kesempatan untuk melarikan diri, akan tetapi pedang Lee Ing tidak mengenal kasihan karena hati gadis ini telah menjadi gemas dan marah sekali kepada Lui Tik Kong.
Ia berpikir bahwa kalau pemuda yang dibencinya ini tidak membuat gara-gara melamar dirinya, tentu takkan terjadi peristiwa hebat itu, di mana ayah ibunya sampai berkelahi melawan Lo Sin, putera Ang Lian Lihiap! Dan ia sendiri tak usah menderita malu. Maka sambil mengertak gigi Lee Ing mengirim serangan-serangan paling berbahaya.
Tiba-tiba Tik Kong berteriak kesakitan karena pundak kirinya termakan ujung pedang Lee Ing. Pakaian di pundaknya robek oleh ujung pedang Lee Ing yang langsung melukai kulit pundaknya. Ia merasa betapa pundaknya terasa perih dan sakit, maka tiba-tiba ia lalu membentak.
“Mampus kau!” Bentakan ini dibarengi dengan ayunan tangan kiri dan Lee Ing cepat mengelak oleh karena Tik Kong menyambitnya dengan sebuah batu yang cepat dipungutnya dari bawah kaki. Kesempatan ini digunakan oleh Tik Kong untuk melompat jauh ke dalam hutan dan melarikan diri!
“Anjing rendah, jangan lari!” teriak Lee Ing yang cepat mengejar.
Hutan itu benar-benar gelap dan terdapat banyak tetumbuhan liar. Tik Kong yang sudah merasa bingung lalu melompat dengan nekad ke dalam serumpun alang-alang yang liar dan banyak durinya.
Ia lenyap di balik rumput yang tinggi itu dan dengan nekad terus maju ke dalam. Terpaksa Lee Ing mengambil jalan memutar. Matanya tajam dan mencari-cari.
Di dalam bingungnya, Tik Kong mempergunakan akal. Ia memungut batu karang dan melemparkan ke arah lain. Mendengar suara ini, karena keadaan telah menjadi suram dan gelap, Lee Ing mengejar ke arah jatuhnya batu itu dan Tik Kong melihat akalnya berhasil baik. Diam-diam ia lalu melarikan diri menjauhi gadis yang kosen itu.
Lee Ing merasa gemas sekali. Ia memaki-maki dan memanggil nama Tik Kong menyuruh dia keluar. Akan tetapi, yang menjawabnya hanyalah gema suaranya sendiri.
Akhirnya keadaan menjadi demikian gelapnya hingga terpaksa Lee Ing keluar lagi dari hutan dan melewatkan malam itu di atas sebatang pohon besar di pinggir hutan. Ia mengambil keputusan untuk menanti di situ sampai besok, karena iapun yakin bahwa di dalam hutan gelap itu, tak mungkin Tik
98
Kong akan melanjutkan larinya. Besok aku akan menangkap dan membunuhnya, demikian gadis ini berpikir dengan gemas.
Semalam suntuk Lee Ing duduk di cabang pohon sambil melamun sedih. Ia dapat membayangkan betapa ayahnya tentu marah sekali dan ibunya tentu amat berduka dan tak terasa lagi dari kedua mata gadis ini mengalir air mata.
Peristiwa itu telah merusak nama baik keluarga Nyo. Tentu ayahnya akan merasa marah sekali kepada Lo Sin dan mengambil sikap memusuhi keluarga Lo dan ini hebat sekali.
Hubungan baik antara ayah ibunya dengan Ang Lian Lihiap dan suaminya yang telah menjadi sahabat baik semenjak masih muda, kini menjadi rusak oleh karena dia? Ini semua adalah kesalahan Tik Kong!
Lee Ing bergidik kalau mengingat ucapan Lo Sin yang menceritakan bahwa Tik Kong telah menjadi pembunuh Kong Sin Ek yang menjadi guru pemuda itu sendiri! Dan diam-diam ia merasa beruntung bahwa ia tidak jadi kawin dengan pemuda jahat itu.
Sedikitpun ia tidak meragukan keterangan Lo Sin dan entah bagaimana, ia mempunyai kepercayaan besar sekali kepada Lo Sin. Dan diam-diam Lee Ing menghela napas panjang tanpa ia ketahui sebabnya ketika ia teringat bahwa Lo Sin telah mempunyai isteri!
Pada keesokan harinya pagi-pagi Lee Ing telah melompat turun dari atas pohon, untuk mulai mencari dan mengejar Tik Kong. Sambil mencari-cari dan membawa pedang di tangan gadis ini memaki-maki.
“Tik Kong, bangsat besar! Keluarlah untuk terima binasa!”
Ia masuk makin dalam di hutan yang liar itu dan tiba-tiba ia mendengar suara kaki menginjak daun kering sebelah depan. Bukan main girangnya karena ia merasa pasti bahwa itu tentu Lui Tik Kong yang sedang dicarinya.
Sambil memegang pedangnya erat-erat di tangan kanan, ia lalu berlari ke arah suara itu. Ia melihat seorang sedang duduk membelakanginya sambil makan buah.
“Tik Kong, mampuslah kau sekarang!” bentak Lee Ing sambil melompat lalu menubruk dari belakang, menyerang dengan pedangnya.
Orang itu menengok kaget lalu menggerakkan tubuh berjungkir-balik di udara.
“Eh, eh, apakah kau gila?” teriaknya sambil melempar buah yang dimakannya tadi ke atas tanah.
Lee Ing berdiri sambil memandang heran. Ternyata bahwa orang yang disangkanya Tik Kong adalah seorang gadis yang cantik dan gagah, berpakaian warna hijau. Karena keadaan masih agak gelap, maka tadi ia menyangka bahwa orang ini Tik Kong adanya.
“Perempuan liar dari manakah datang-datang menyerang orang?” kata gadis baju hijau itu sambil memandang dengan sepasang matanya, yang indah dan tajam. “Berani benar kau bermain gila dihadapan Kim-gan-eng!”
99
“Aku tadi salah sangka, harap kau tidak menjadi marah,” kata Lee Ing dengan suara ketus karena hatinya masih panas dan marah. “Kalau kau tadi melihat seorang laki-laki muda lewat di sini, harap kau suka memberitahukan padaku. Aku mencari dia!”
“Siapa melihat laki-laki? Mataku bukan khusus untuk menjaga dan melihat setiap orang laki-laki yang lewat di depanku! Kau gadis yang mengejar laki-laki mengapa tidak membuka mata lebar-lebar dan berlancang tangan menyerangku? Sampai di mana sih kepandaianmu maka kau sesombong ini?” Gadis baju hijau yang bukan lain adalah Kim-gan-eng Coa Bwee Hwa itu berkata dengan penasaran dan mencabut pedangnya.
Lee Ing menjadi marah sekali.
“Bagus! Bangsat lelaki melarikan diri, sekarang muncul bangsat perempuan! Biar kubasmi sekalian!” Sambil berkata demikian, Lee Ing lalu menyerang dengan pedangnya. Biarpun serangan ini hebat, namun Kim-gan-eng dapat mengelak dengan serangan yang tak kalah hebatnya.
Juga Lee Ing mempergunakan ginkangnya dan meloncat tinggi di udara hingga sabetan pedang Kim-gan-eng tak mengenai sasaran. Lee Ing merasa penasaran sekali, dan ketika tubuhnya melayang turun, ia menyerang lagi dengan gerak tipu Garuda Putih Menyambar Ikan. Pedangnya bergerak cepat dan meluncur membabat ke arah lawan, kakinya menendang dengan hebat.
Kim-gan-eng terkejut sekali melihat kelihaian gerakan ini dan sambil berseru keras ia menggulingkan tubuhnya ke bawah untuk menghindari serangan istimewa itu. Setelah berdiri lagi, Kim-gan-eng lalu mengeluarkan ilmu kepandaiannya karena maklum bahwa gadis lawannya ini bukanlah seorang lemah. Ia memainkan ilmu pedang Pat-kwa-hoan-kiam-hoat yang istimewa hingga sinar pedangnya berkeredepan dan bercahaya menyilaukan mata.
Biarpun Lee Ing tercengang juga menyaksikan lihainya ilmu pedang lawan, namun gadis yang berhati tabah ini sama sekali tidak merasa gentar. Ia lalu memutar-mutar pedangnya dan mengerahkan seluruh kepandaian yang ia pelajari dari ayah-ibunya. Dalam hal gin-kang, ia tidak usah takut, karena ia telah memiliki ilmu kepandaian gin-kang dari ibunya yang luar biasa sedangkan ilmu pedang yang dipelajarinya dari ayahnya juga ilmu pedang pilihan yang kuat dan cepat gerakannya.
Kedua orang muda itu bertempur seru dan hebat, seakan-akan dua ekor singa betina berebut kelinci! Dan keduanya merasa kagum karena ternyata bahwa mereka sama kuatnya dan sama tangkasnya!
Kim-gan-eng yang belum pernah bertemu dengan seorang gadis sebaya dengannya yang memiliki ilmu kepandaian yang setingi ini, menjadi tertarik hatinya dan timbul keinginan tahunya untuk mengenal gadis lihai ini, maka ia melompat ke belakang sambil berkata.
“Sobat, tahan dulu!”
Lee Ing yang merasa marah dan penasaran karena tak dapat merobohkan lawan nya, berdiri dengan muka merah dan dada turun naik, lalu membentak.
“Kau mau apa?”
100
Melihat sikap Lee Ing yang masih marah itu, Kim-gan-eng lalu tersenyum dan memasukkan pedangnya ke dalam sarung pedang. Kemudian ia lalu menjura dengan sikap hormat.
“Lihiap, ilmu pedangmu hebat sekali. Bolehkah aku mengetahui siapakah lihiap ini dan murid siapa?”
Lee Ing yang memang berwatak keras menjawab. “Apa perlunya kau hendak mengetahui namaku? Aku tidak kenal padamu dan juga kita tidak mempunyai urusan sesuatu!”
Kembali Kim-gan-eng tersenyum, “Justeru karena kita tidak mempunyai urusan sesuatu, maka tidak seharusnya kita bermusuhan! Tadi aku hanya terkejut karena tiba-tiba kauserang dan kemudian aku hanya ingin sekali mencoba sampai di mana kepandaianmu. Ternyata benar-benar lihai. Sahabat baik, ketahuilah bahwa aku Kim-gan-eng bukanlah seorang jahat. Kalau ada sesuatu yang membikin kau penasaran, aku sanggup membantumu!”
Melihat sikap ini, lenyaplah amarah dari hati Lee Ing. Ia juga tidak suka bermusuhan dengan orang tanpa sebab, maka ia lalu berkata.
“Namaku Nyo Lee Ing dan guruku adalah ayah sendiri yang bernama Nyo Tiang Pek dari Bong-ke-san!”
Wajah Kim-gan-eng berseri mendengar ini “Ah, tidak tahunya kau adalah puteri si Garuda Kuku Emas! Tidak aneh bagiku sekarang mengapa ilmu pedangmu demikian lihai! Telah lama aku mendengar nama besar Nyo Lo-enghiong dan kini melihat ilmu pedangmu, dapat kubayangkan betapa hebatnya kepandaian ayahmu yang terhormat itu!”
Lee Ing merasa senang mendengar ayahnya dipuji-puji. “Akupun merasa pernah mendengar nama Kim-gan-eng yang tersohor, akan tetapi tak pernah kusangka bahwa Kim-gan-eng yang disohorkan sebagai perampok wanita tunggal itu ternyata adalah seorang gadis secantik kau! Dan aku lebih tidak percaya lagi bahwa kau adalah seorang perampok.”
Kim-gan-eng tersenyum. “Adik Lee Ing yang manis. Biarpun usiamu hanya sedikit lebih muda dariku dan kepandaianmu tidak kalah dengan kepandaianku, akan tetapi dalam hal pengalaman hidup, kau kalah jauh.
“Oleh karena itu kau belum dapat membedakan antara perampok budiman dan perampok jahat. Aku bukan sembarang perampok yang merampas harta benda orang hanya karena ingin memiliki benda itu. Ah, untuk apa aku bicara panjang lebar tentang ini! Kau takkan mengerti. Tadi kau memaki-maki orang dan agaknya kau mencari-cari dan mengejarnya. Sebetulnya siapakah lelaki itu dan mengapa kau mengejarnya? Kulihat tadi bayangannya berlari ke arah selatan.”
“Ia adalah seorang penjahat besar, seorang yang berbudi rendah! Ia adalah murid dari Kong peh-peh akan tetapi dengan kejamnya ia membunuh mati gurunya sendiri!”
Wajah Kim-gan-eng berubah merah karena marah. “Seorang murid yang membunuh mati gurunya sendiri sama busuknya dengan seorang anak yang menyakiti hati orang tuanya sendiri! Manusia
101
macam itu memang harus dibasmi! Mari kuantar kau menyusulnya! Aku lebih kenal keadaan hutan ini dan kita ambil jalan yang lebih dekat untuk mencegatnya di luar hutan sebelah selatan!”
Lee Ing merasa girang sekali, lalu ia mengikuti Kim-gan-eng yang berlari cepat di antara pohon-pohon dan tetumbuhan liar. Tak lama kemudian, mereka telah menembus hutan itu dan berada di pinggir hutan sebelah selatan.
Mereka mengintai dan menanti dari balik pohon sambil menuturkan riwayat masing-masing. Keduanya cocok dan saling suka, terutama Lee Ing merasa kagum sekali melihat Kim-gan-eng yang sudah mengalami banyak peristiwa hebat itu.
Kim-gan-eng mengaku bahwa ia adalah murid tunggal dari Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan si Pendekar Aneh Tangan Delapan! Oei Gan ini adalah seorang hiap-kek tua yang telah amat tersohor namanya sebagai seorang yang berkepandaian tinggi dan juga beradat aneh hingga, ia disebut Koai-hiap (Pendekar Aneh). Tempat tinggalnya tak tentu karena Oei Gan adalah seorang pendekar perantau yang bebas lepas seperti seekor burung di udara.
Setelah Kim-gan-eng yang bernama Bwee Hwa tamat mempelajari ilmu silat dari suhunya, maka gadis inipun meniru kebiasaan suhunya dan hidup merantau ke sana ke mari. Kepandaiannya yang tinggi dan wajahnya yang cantik, terutama, sepasang matanya yang indah dan tajam itu membuat ia mendapat julukan Kim-gan-eng atau Garuda Bermata Emas!
Setelah menanti beberapa lama, akhirnya dari dalam hutan keluarlah orang yang mereka tunggu-tunggu, Lui Tik Kong! Perwira muda ini dengan wajah pucat dan pedang di tangan berjalan perlahan karena ia merasa lelah sekali. Ia telah merasa aman karena menyangka bahwa Lee Ing yang mengejar-ngejarnya itu kini tentu masih tertinggal di hutan dan tak mungkin dapat menyusulnya.
Akan tetapi, Lee Ing ketika melihat Tik Kong, tak dapat menahan sabar lagi. Ia melompat keluar dari tempat pengintaian dengan pedang di tangan sambil berteriak.
“Tik Kong manusia bangsat! Kali ini kau tentu mampus dalam tanganku!”
Kalau pada saat itu Tik Kong bertemu dengan seorang iblis mengerikan, belum tentu ia sekaget ketika melihat tiba-tiba Lee Ing muncul di situ! Bagaimana gadis yang tadinya ditinggalkan di dalam hutan itu tiba-tiba dapat berada di luar hutan? Ketika melihat munculnya seorang gadis lain yang kelihatan gagah perkasa, makin terkejutlah hati Tik Kong dan tanpa menoleh lagi ia lalu berlari secepatnya ke jurusan timur bagaikan dikejar setan!
“Bangsat rendah, kau hendak lari ke mana?” Lee Ing mengejar dengan cepat, dan Kim-gan-eng juga ikut mengejar di belakang Lee Ing.
Lui Tik Kong berlari cepat dengan hati penuh khawatir dan takut karena tidak berani menghadapi Lee Ing dan gadis kedua yang dapat diduga tentu berkepandaian tinggi juga itu, mengerahkan seluruh kekuatannya untuk berlari secepat mungkin. Napasnya telah mulai memburu kedua kakinya telah lemas, akan tetapi ia memaksa dirinya dan berpikir bahwa lebih baik mati berlari daripada mati tangan nona yang ganas itu!
102
Pada saat kedua orang gadis itu mulai menyusulnya, tiba-tiba dari depan datang dua orang to-kouw, yang seorang agak muda dan berwajah cantik genit, yang kedua adalah seorang tua dengan roman menyeramkan dan tahi lalatnya di ujung hidung menambah keburukannya. Mereka ini adalah Hek Li Suthai dan Bi Mo-li!
Ketika Lui Tik Kong berlari di dekat mereka, Bi Mo-li mengulur tangan dan berhasil menangkap lengan tangan pemuda itu. Ia memandang dengan matanya yang genit kepada wajah Tik Kong yang tampan, lalu bertanya.
“Kongcu mengapa berlari-lari ketakutan?”
Akan tetapi, tiba-tiba Hek Li Suthai berkata. “Ah kau dikejar-kejar oleh mereka berdua itukah?”
Sementara itu Lee Ing dan Bwee Hwa telah datang dekat dan alangkah terkejut hati Lee Ing ketika melihat kedua to-kouw yang lihai itu.
Hek Li Suthai tertawa terkekeh-kekeh ketika melihat Lee Ing. “Hm, hm! Ternyata kau masih hidup. Lekas berlutut agar aku dapat mengampuni jiwamu!”
Biarpun hatinya gentar menghadapi to-kouw yang lihai itu, namun Lee Ing mana sudi berlutut. Ia bahkan berdiri dengan gagah dan berkata tenang.
“Hek Li Suthai! Jangan kau ikut mencampuri urusan pribadiku! Lepaskan laki-laki itu agar dapat kubunuh mati, karena dia adalah seorang penjahat besar!”
Tiba-tiba Bi Mo-li tertawa genit. “Enak saja kau bicara! Kau memiliki kepandaian apakah maka sembarangan hendak membunuh kongcu ini?”
“Kau hendak membelanya?” Lee Ing bertanya gemas.
Bi Mo-li memandang gurunya karena ia tidak berani bertindak sebelum mendapat berkenan Hek Li Suthai. To-kouw tua buruk rupa ini tersenyum lalu berkata kepada muridnya.
“Bi-nio, kau telah melatih diri, sekarang cobalah lawan dia lagi!”
Bi Mo-li lalu berseru keras dan mencabut keluar hud-tim dan pedangnya. Kemudian ia melompat ke depan Lee Ing dan membentak, “Perempuan rendah, coba kauperlihatkan kebodohanmu!”
Lee Ing ketika melihat betapa Tik Kong dengan licik sekali lalu pergi dan berlari di belakang Hek Li Suthai seakan akan minta perlindungan, menjadi marah sekali. Tanpa berkata sesuatu ia lalu menggerakkan pedangnya menyerang Bi Mo-li dengan sengitnya. Bi Mo-li lalu menggerakkan kebutan dan pedangnya dan setelah menangkis serangan Lee Ing, lalu membalas dengan tak kalah hebatnya.
Memang benar bahwa selama ini Bi Moli telah melatih diri dan menerima pelajaran tambahan dari gurunya, hingga kelihaiannya bertambah. Akan tetapi, oleh karena Lee Ing mengerahkan tenaga dan kepandaiannya dan mainkan kiam-hwat dari ayahnya yang lihai, ia dapat mendesak Iblis Cantik itu
103
dan setelah bertempur beberapa lama, sambil berseru keras pedangnya menyambar dan putuslah hud-tim lawannya. Bulu hud-tim itu terbang berhamburan dan senjata itu kini tinggal gagangnya saja.
Bi Mo-li marah sekali dan mengayun tangan melempar gagang kebutan itu ke arah Lee Ing. Akan tetapi gadis ini mengelak cepat dan gagang hud-tim itu meluncur cepat lewat di atas kepala Lee Ing dan menyambar leher Kim-gan-eng yang masih berdiri menonton sambil bertolak pinggang.
Ketika melihat gagang hud-tim itu menyambar ke arah lehernya, Kim-gan-eng tidak berkelit, hanya mengulur kedua jari tangan kirinya dan menyambut gagang itu dengan jepitan jarinya. Kemudian dengan tersenyum ia melemparkan gagang itu ke atas tanah.
Tidak saja Bi Mo-li menjadi terkejut, akan tetapi Hek Li Suthai sendiri juga memandang tajam kepada Kim-gan-eng. Kemudian Hek Li Suthai lalu menghadapi Lee Ing dan berkata.
“Gadis, ilmu pedangmu mengingatkan aku kepada Nyo Tiang Pek si kepala batu. Kau masih ada hubungan apakah dengan orang she Nyo itu?”
Sebetulnya Lee Ing cukup maklum bahwa apabila ia mengaku sebagai puteri Nyo Tiang Pek, tentu iblis wanita ini takkan mau melepaskannya, akan tetapi mendengar ayahnya dimaki-maki, hatinya telah menjadi panas dan marah sekali. Sambil menuding muka Hek Li Suthai dengan ujung pedangnya, ia membentak.
“To-kouw iblis jangan kau membuka mulut kotor memaki ayahku!”
Tiba-tiba tertawalah Hek Li Suthai hingga suara ketawanya itu berkumandang di seluruh hutan. “Bagus, bagus…… aha, bangsat Nyo Tiang Pek, jangan harap kau akan dapat bertemu dengan puterimu lagi!”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba saja tubuhnya bergerak dan tahu-tahu ia telah menyerang Lee Ing dengan kedua tangannya yang kurus akan tetapi yang mengandung tenaga menyeramkan itu.
Lee Ing berlaku waspada, dan ia cukup maklum akan kelihaian to-kouw tua ini, maka ia lalu mempergunakan gin-kangnya yang cukup mengagumkan untuk mengadakan perlawanan.
Tiba-tiba berkelebat bayangan hijau dan tahu-tahu Kim-gan-eng telah menarik tangan Lee Ing dan menghadapi Hek Li Suthai.
“Tidak baik yang tua menghina yang muda,” katanya hingga Hek Li Suthai menahan serangannya dan memandang tajam.
“Siapakah kau, nona?”
“Aku yang muda adalah Kim-gan-eng Bwee Hwa. Pernah aku mendengar dari suhu tentang kelihaian Hek Li Suthai, akan tetapi tak kusangka bahwa ternyata Hek Li Suthai yang gagah dan tersohor itu mau merendahkan diri dengan menyerang dan menghina yang muda.”
“Siapakah suhumu?”
104
“Suhu adalah Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan!”
Walaupun pada wajahnya tak nampak perubahan sesuatu, namun di dalam hatinya Hek Li Suthai terkejut juga mendengar nama yang cukup terkenal ini.
“Kim-gan-eng, aku dan suhumu tidak mempunyai permusuhan apa-apa, baiknya kau lekas mundur dan jangan ikut mencampuri urusanku dengan nona ini.”
Bwee Hwa maklum bahwa nama suhunya cukup membuat iblis wanita ini sungkan menyerangnya, akan tetapi untuk melindungi Lee Ing ia berkata dengan berani.
“Hek Li Suthai, aku yang muda juga sekali-kali takkan berani mengganggumu, dan kau boleh berbuat sesukamu tanpa aku ambil perduli. Akan tetapi, nona Lee Ing ini adalah sahabat baikku dan siapa saja yang mengganggunya, tentu akan kubela.”
Merahlah wajah Hek Li Suthai mendengar ini. “Sekali lagi Kim-gan-eng, kau mundurlah. Memandang muka suhumu, biarlah aku anggap omonganmu tadi seperti tak pernah kau ucapkan.”
“Tidak bisa, Hek Li Suthai. Tak mungkin aku bertega hati melihat kawan baikku diganggu.”
Sementara itu, ketika mendengar ucapan Kim-gan-eng, Lee Ing berdiri memandang Bwee Hwa dengan heran. Ia merasa kagum, berterima kasih, dan girang sekali. Kawan dalam bahaya dan duka adalah kawan sejati, dulu ayahnya pernah berkata.
Dan kini, biarpun menghadapi seorang lawan yang demikian lihainya, tiba-tiba Kim-gan-eng membelanya dengan berani. Gadis perampok ini benar-benar boleh dijadikan kawan yang sejati, pikirnya. Maka ia lalu berkata kepada Hek Li Suthai.
“Dengarlah, Hek Li Suthai! Akupun tahu bahwa kau menaruh dendam kepada orang tuaku, juga kepada Ang Lian Lihiap, Hwee-thian Kim-hong dan yang lain-lain pula, oleh karena para orang gagah itu dulu pernah menghancurkan kejahatan gurumu. Dan karena kau tidak becus dan tidak berani membalas kepada mereka, orang-orang tua yang gagah perkasa itu, maka hendak menumpahkan kemarahanmu kepada kami orang-orang muda. Akan tetapi, jangan kira kami takut kepadamu. Benar ucapan ciciku Bwee Hwa ini tadi, selama ada dia disampingku, takkan ada orang boleh menggangguku, seperti juga selama aku berada disampingnya, orang tak boleh mengganggunya.”
“Bagus, kalau begitu majulah kalian berdua. Jangan dikira aku orang tua akan menghina yang muda.”
Hek Li Suthai sengaja menantang kepada dua orang gadis itu supaya maju bersama agar kelak apabila guru Kim-gan-eng mendengar bahwa pertempuran dilakukan dengan satu lawan dua, maka ia takkan dianggap keterlaluan, sebaliknya, karena maklum bahwa mereka menghadapi seorang lawan yang tangguh, maka mendengar tantangan ini, Bwee Hwa dan Lee Ing segera saling pandang, lalu menerjang dengan hebat.
105
Hek Li Suthai tersenyum dan menyambut terjangan mereka itu dengan sabetan ujung lengan bajunya yang panjang. Agaknya Hek Li Suthai sangat memandang rendah kedua lawannya karena to-kouw tua ini menghadapi mereka dengan tangan kosong dan tidak mau mengeluarkan senjatanya.
Akan tetapi, segera to-kouw tua yang lihai itu merasa kecele dan ia telah memandang terlalu rendah kepada dua orang lawannya yang muda. Mungkin kalau hanya menghadapi seorang saja, ia masih akan dapat melawan dengan tangan kosong, akan tetapi dua orang gadis itu maju bersama merupakan lawan yang amat tangguh dan berbahaya! Ia tak kuat lagi bertahan maka sambil berseru marah ia lalu mencabut keluar sepasang pedang Ceng-ouw-coa-kiam yang lihai!
Kim-gan-eng Bwee Hwa ketika melihat iblis betina itu mencabut keluar sepasang pedang yang mengeluarkan cahaya hijau dan hitam, segera mendesak keras sambil memainkan ilmu pedang yang luar biasa, yakni Pat-kwa-hoan-kiam-hwat. Juga Lee Ing lalu mengerahkan seluruh kepandaiannya, hingga pedang di tangannya menyambar-nyambar dengan ganasnya.
Ketika Kim-gan-eng dari arah kiri menyerang dengan gerak tipu Pohon Liu tertiup Angin menusuk leher Hek Li Suthai, Lee Ing membarengi gerakan kawannya itu dengan serangan Angin Ribut Memukul Ombak dan menyerang ke arah lambung dan dada lawan dengan gerakan pedang memutar! Kedua serangan yang dilakukan berbareng dan dengan cepat sekali ini benar-benar berbahaya dan orang yang berkepandaian biasa tentu takkan dapat menghindarkan diri.
Akan tetapi, sambil tertawa mengejek, Hek Li Suthai menggunakan pedang di tangan kiri menyampok pedang Kim-gan-eng, sedangkan pedang di tangan kanannya cepat sekali diputar sedemikian rupa hingga ketika menempel pedang Lee Ing, pedang gadis ini telah dapat dibetot dan terlepas dari tangan!
Pedang itu melayang ke atas dan ketika turun, kebetulan sekali jatuh di dekat tempat Lui Tik Kong berdiri. Pemuda itu lalu tersenyum dan mengambil pedang itu, terus di selipkan di ikat pinggangnya.
Lee Ing merasa terkejut dan marah sekali, dan ia terus maju menyerang Hek Li Suthai dengan tangan kosong, mempergunakan ilmunya Gin-san-ciang yang lihai. Ketika angin pukulan Gin-san-ciang ini membuat tangan Hek Li Suthai menggetar, to-kouw tua itu terkejut sekali dan marah.
Ia memutar pedangnya berubah menjadi sinar hitam dan hijau yang mengurung tubuh Kim-gan-eng dan Lee Ing! Ternyata Hek Li Suthai telah mengeluarkan kepandaiannya dan keadaan kedua orang dara muda itu benar-benar berbahaya sekali.
Pada saat jiwa kedua orang gadis itu terancam bahaya maut yang memancar keluar dari ujung kedua pedang, Hek Li Suthai, tiba-tiba berkelebat bayangan hitam dan bagaikan seekor ular, sehelai saputangan panjang telah meluncur dan menahan gerakan pedang Ceng-ouw-coa-kiam di tangan Hek Li Suthai!
“Suhu!” Seru Bwee Hwa dengan girang dan ia segera melompat mundur, diturut oleh Lee Ing.
Ketika Lee Ing memandang, ia melihat bahwa bayangan hitam yang datang dan yang mempergunakan saputangan panjang secara istimewa itu adalah seorang laki-laki yang sudah tua, bertubuh kecil kurus pendek, mukanya buruk dan hidungnya mencuat ke atas.
106
“Ha, ha, Hek Li Suthai! Mengapa main-main dengan orang muda? Kalau kau sudah haus darah, biarlah kita tua sama tua boleh mengukur tenaga!” kata kakek ini yang bukan lain ialah Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan, Pendekar Aneh Tangan Delapan!
Hek Li Suthai memandang tajam. “Apakah pinni berhadapan dengan Pat-chiu Koai-hiap?”
Oei Gan tertawa bergelak sambil memandang ke atas udara. “Benar dugaanmu. Aku si tua bangka Oei Gan selama hidup tak suka mencari perkara, apalagi mencari permusuhan. Juga aku telah memesan kepada murid tunggalku agar jangan mencari permusuhan dengan orang-orang kang-ouw. Hari ini entah kedosaan apa yang dilakukan oleh muridku hingga Hek Li Suthai yang lihai dan berkepandaian tinggi sampai turun tangan memberi pengajaran kepadanya!”
Biarpun kata-kata ini seperti menyesalkan kesalahan murid sendiri, akan tetapi bersifat menegur dan menyindir kepada Hek Li Suthai. Hal ini bukan tidak terasa oleh Hek Li Suthai, karena wajah iblis wanita ini menjadi merah.
“Pat-chiu Koai-hiap! Bukan pinni yang memulai pertempuran dengan muridmu ini! Pinni mempunyai persoalan pribadi dengan gadis puteri Nyo Tiang Pek, akan tetapi muridmu secara lancang lalu membantunya. Apakah pinni harus mendiamkan saja kalau diserang orang?”
Oei Gan lalu berpaling kepada muridnya “Bwee Hwa, benarkah keterangan Hek Li Suthai?”
Kim-gan-eng Bwee Hwa dengan suara lantang berkata, “Memang benar, suhu. Teecu melihat betapa Hek Li Suthai menyerang Lee Ing yang bukan tandingannya. Teecu telah menjadi sahabat baik Lee Ing, maka sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan, melihat seorang kawan baik diserang orang jahat, apakah teecu harus mendiamkannya saja? Mohon petunjuk, suhu!”
Oei Gan tertawa bergelak. “Hek Li Suthai, persoalannya mudah saja dimengerti olehku sekarang. Kau tentu mewakili Lan Bwee Niang-niang untuk membalas dendam kepada Nyo Tiang Pek dan kawan-kawannya. Dan mungkin sekali karena kau tidak sanggup melawan mereka, kau lalu hendak mengganggu anaknya. Muridku hanya membela kawan baik, maka aku pun tidak dapat menyalahkannya. Kau seharusnya mencari Nyo Tiang Pek Si Garuda Berkuku Emas, dan jangan mengganggu anaknya yang masih hijau.”
“Oei Koai-hiap! Apakah kau orang tua juga hendak ikut mencampuri urusanku sendiri?” teriak Hek Li Suthai dengan alis berdiri.
“Hek Li Suthai, siapa sudi mencampuri urusanmu? Aku berada di sini dan oleh karena muridku tidak bersalah, apabila ada orang yang berani mengganggunya, berarti orang itu mengganggu aku sendiri.”
“Dan siapa saja yang mengganggu Lee Ing sahabat baikku ini, berarti ia mengganggu aku sendiri,” kata Kim-gan-eng meniru suara gurunya.
Bukan main marahnya Hek Li Suthai mendengar ini. Ia berseru keras dan tiba-tiba menyerang Pat-chiu Koai-hiap dengan pedang di kedua tangannya.
107
“Bagus! Memang akupun ingin melihat sampai di mana keganasan Hek Li Suthai!” kata Oei Gan yang cepat mengelak sambil mencabut keluar pedangnya yang terselip di punggung.
Kedua ahli silat yang berkepandaian tinggi itu lalu bertempur hebat. Oei Gan mengeluarkan kepandaian ilmu pedangnya Pat-kwa-hoan-kiam-hoat yang hebat, sedangkan Hek Li Suthai mainkan ilmu pedang Ceng-ouw-coa-kiam-hwat yang ganas. Tubuh kedua orang tua ini lenyap terbungkus sinar pedang mereka yang bergerak-gerak seperti naga bercanda di tengah mega.
Sementara itu, ketika melihat bahwa Hek Li Suthai tidak sempat melindungi Tik Kong lagi, Lee Ing lalu melompat dan menyerang pemuda itu dengan tangan kosong, oleh karena pedangnya yang tadi dirampas Hek Li Suthai kini telah berada di tangan pemuda itu. Namun ia tidak menjadi gentar dan serangan tangan kosongnya tak kurang hebat.
Bi Mo-li melompat dan membela Tik Kong, akan tetapi Kim-gan-eng tak mau tinggal diam. Gadis ini lalu menyambut Bi Mo-1i sambil membentak. “Kau juga mau turut campur?”
Makin ramailah pertempuran yang terjadi di luar hutan itu. Biarpun sesungguhnya belum tentu Lee Ing dapat memenangkan Tik Kong dengan bertangan kosong saja, namun oleh karena Tik Kong telah merasa gentar dan takut, pemuda itu tidak mau melayani Lee Ing lebih lama lagi.
Ia melihat betapa Bi Mo-1i kena didesak oleh Kim-gan-eng, sedangkan Hek Li Suthai juga payah menghadapi desakan Pat-chiu Koai-hiap, maka Tik Kong lalu menyerang hebat dengan pedangnya dan ketika Lee Ing melompat ke samping, pemuda ini lalu membalikkan tubuh dan lari secepatnya meninggalkan tempat itu!
“Bangsat rendah, kau hendak lari ke mana?” Lee Ing membentak dan terus mengejar!
Dengan perlahan tapi tentu, Oei Gan dan Bwee Hwa berhasil mendesak kedua orang itu hingga akhirnya Hek Li Suthai berseru.
“Biang keladi pertempuran telah pergi, tak perlu kita bertempur terus!”
Oei Gan tertawa bergelak. “Hek Li Suthai, kau cerdik! Akan tetapi akupun memang tidak ada nafsu untuk mengalahkan kau!! Bwee Hwa, lepaskan lawanmu itu!”
Hek Li Suthai merasa malu sekali oleh karena sesungguhnya memang ia dan muridnya terdesak hebat tadi. Kalau sekiranya ia yang mendesaknya, belum tentu ia mau menghentikan pertempuran ini. Maka dengan wajah merah ia berkata.
“Koai-hiap, lain kali kita bertemu pula!” Lalu ia pergi dengan cepat, diikuti oleh muridnya.
Setelah Hek Li Suthai dan muridnya pergi jauh, barulah Oei Gan menegur muridnya.
“Bwee Hwa, mengapa kau begitu lancang memusuhi mereka? Untung aku datang pada saat yang tepat, kalau aku tidak ada di sini, apakah kau masih bisa mengharapkan untuk hidup?”
108
Bwee Hwa menundukkan kepalanya dan tak dapat menjawab teguran suhunya, kemudian Oei Gan melanjutkan setelah menghela napas panjang.
“Kau tidak tahu, muridku. Diantara Hek Li Suthai dan Nyo Tiang Pek memang terdapat dendam yang besar. Hal ini terjadi ketika aku masih muda, juga ketika itu Nyo Tiang Pek masih seorang pemuda.
“Guru Hek Li Suthai yang bernama Lan Bwee Niang-niang dan susioknya bernama Bong Cu Sianjin dan menjadi ketua dari Pek-lian-kauw, pernah bentrok secara hebat sekali dengan Nyo Tiang Pek dan kawan-kawannya, diantaranya bahkan Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong yang tersohor dan kini menjadi suami isteri itu, ikut pula membantu. Karena Bong Cu Sianjin membela anggauta-anggauta Pek-lian-kauw yang kebanyakan memang jahat, dan Lan Bwee Niang-niang membantu sutenya ini, maka terjadilah pertempuran yang maha hebat di puncak Hong-lai-san antara Bong Cu Sianjin dan kawan-kawannya melawan Nyo Tiang Pek dan kawan-kawannya.
“Pertempuran itu hebat sekali dan aku sebagai orang luar hanya berani mengintai saja dan diam-diam menonton pertempuran maha dahsyat.
“Akhirnya karena pihak Pek-lian-kauw terdapat Lan Bwee Niang-niang yang benar-benar sakti, pihak Nyo Tiang Pek mengalami kekalahan, akan tetapi tiba-tiba datanglah Beng San Siansu, manusia setengah dewa itu yang menjadi suhu dari suami isteri Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong! Dan Lan Bwee Niang-niang dapat ditundukkan sedangkan Bong Cu Sianjin kedua lengannya terpotong!
“Sakit hati inilah yang kemudian menimbulkan permusuhan antara Hek Li Suthai yang hendak membalaskan sakit hati gurunya pada pihak Nyo Tiang Pek dan kawan-kawannya. Ketika aku menyaksikan pertempuran adu jiwa yang mengerikan itu, aku diam-diam merasa beruntung bahwa aku tidak terlibat dalam urusan itu.
“Karena apakah untungnya bermusuh-musuhan dan saling membunuh? Dan kau sekarang telah menyakiti hati Hek Li Suthai, bukankah ini berarti kau menyeret gurumu ke dalam jurang permusuhan pula?”
Kembali Oei Gan menghela napas panjang.
Kim-gan-eng Bwee Hwa merasa penasaran sekali mendengar ucapan gurunya ini. Memang ia amat disayang oleh Oei Gan yang menganggapnya seperti anak sendiri, dan Bwee Hwa telah biasa bersikap manja terhadap gurunya ini, maka ia lalu berkata.
“Akan tetapi, suhu, melihat Lee Ing yang gagah dan yang telah menjadi sahabat baikku itu terancam bahaya maut di tangan Hek Li Suthai, apakah teecu harus berdiam berpeluk tangan saja? Kalau sampai terjadi Lee Ing terbunuh dan teecu diam saja sebagai penonton, bukankah teecu percuma saja mempelajari ilmu kepandaian dari suhu dan tidak patut disebut seorang gagah?”
Oei Gan tersenyum dan berkata halus. “Dalam hal itu aku tidak bisa mempersalahkan kau, Bwee Hwa. Hanya kusesalkan bahwa kau telah menanam bibit permusuhan dengan mereka, sedangkan aku tahu bahwa pihak mereka itu selain jahat, juga lihai sekali.”
Kembali Bwee Hwa berkata dengan semangat bernyala.
109
“Suhu, teecu tidak takut! Menurut cerita suhu sendiri, pihak Nyo Tiang Pek lo-enghiong berada di pihak benar, dan pihak Hek Li Suthai yang jahat, maka apa salahnya kita bermusuh dengan pihak yang jahat? Teecu tidak takut dan teecu rela mengurbankan nyawa demi membela yang benar dan melawan yang jahat!”
“Ha, ha, ha! Kau anak kecil yang keras hati dan sombong! Kepandaianmu seberapa tingginyakah maka kau berani berkata demikian? Sekarang, perkara sudah menjadi begini, dan setiap waktu apabila kau bertemu dengan Hek Li Suthai dan kawan-kawannya, tentu jiwamu terancam bahaya. Maka mulai sekarang kau harus belajar silat lagi yang lebih tinggi untuk menjaga diri. Tidak selamanya gurumu akan dapat datang dalam waktu yang kebetulan dan tepat!”
Bwee Hwa lalu berlutut dan menghaturkan terima kasih dan mulai saat itu, Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan lalu melatih lagi muridnya itu dengan ilmu silat yang lebih tinggi hingga kepandaian gadis ini makin hebat dan maju pesat.
Lee Ing dengan hati panas dan penasaran terus mengejar Lui Tik Kong ke arah timur. Tik Kong mengerahkan tenaganya untuk cepat berlari karena ia maklum bahwa tak jauh dari situ terdapat sebuah benteng tentara dan kalau saja ia bisa masuk ke benteng itu, ia akan selamat bahkan ia akan mendapat banyak pembantu untuk melawan Lee Ing!
Tentu saja Lee Ing tidak mengetahui hal ini dan mengejar terus.
Benar saja, tak lama kemudian nampak tembok putih dan tinggi mengelilingi sebuah benteng di satu dusun yang berada di lereng bukit, hingga ketika melihat tembok ini, Tik Kong lalu berlari makin cepat. Ketika tiba di dekat benteng, Tik Kong berteriak-teriak minta tolong dan dari pintu benteng itu keluarlah belasan orang tentara yang segera memburu ke tempatnya.
“Lekas tangkap perempuan penjahat!” seru Tik Kong dengan napas tersengal-sengal dan karena telah merasa lelah sekali, pemuda ini lalu berlari masuk ke dalam benteng.
Semua perajurit mengenal Tik Kong maka mereka lalu mencegat Lee Ing dengan pedang di tangan.
Melihat hal ini, bukan main marahnya Lee Ing yang segera menyerbu belasan orang perajurit itu dengan tangan kosong. Sekali saja ia berkelebat, ia telah berhasil menendang roboh seorang pengeroyok dan merampas pedangnya. Dan dengan pedang rampasan ini, Lee Ing mengamuk!
Pengeroyoknya terkejut sekali melihat kegagahan ini dan dari benteng itu keluarlah lebih banyak lagi tentara yang mengiringkan Tik Kong dan seorang perwira yang tinggi besar seperti seorang raksasa muda! Perwira ini bernama Can Kok In, dan biarpun usianya masih muda dan mukanya yang lebar itu hanya ditumbuhi kumis kecil sedikit, namun tubuhnya benar-benar menakutkan, tinggi besar dan gemuk.
Can Kok In adalah seorang perwira yang berhati jujur bersuara keras dan besar, sedangkan ilmu silatnya amat tinggi oleh karena dia adalah anak murid Kun-lun¬pai. Mendengar Tik Kong dikejar-kejar oleh penjahat wanita, Can Kok In cepat membawa pedangnya yang besar panjang dan berat, lalu berlari keluar.
110
Ketika melihat betapa Lee Ing mengamuk bagaikan seekor banteng betina mencium darah, Can Kok In lalu berteriak keras seperti guntur, memerintahkan semua anak buahnya mundur, sedangkan ia sendiri lalu melompat maju sambil menuding dengan telunjuknya.
“Penjahat perempuan yang ganas dan kejam! Sekali ini kau berhadapan dengan Can Kok In, jangan kau menjual lagak!”
Melihat perwira yang tinggi besar dan bermata lebar ini Lee Ing lalu menubruk dan mengirim tusukan dengan pedangnya. Can Kok In tertawa bergelak dan menangkis dengan pedangnya yang besar.
Lee Ing terkejut sekali karena sekali menangkis saja, pedangnya hampir terlepas dari pegangan! Ia maklum bahwa perwira raksasa ini bertenaga besar sekali, maka ia lalu berseru keras dan menyerang lebih hebat mempergunakan kelincahan dan ginkangnya. Akan tetapi, lagi-lagi ia menjadi terkejut, oleh karena perwira yang tinggi besar inipun, lalu bergerak cepat hingga sukar dipercaya bahwa tubuh yang kaku dan besar itu dapat bergerak sedemikian lincahnya.
Lui Tik Kong tidak tinggal diam saja lalu maju mengeroyok.
Lee Ing diam-diam mengeluh, oleh karena menghadapi perwira tinggi besar ini saja ia telah merasa kewalahan, apalagi ditambah dengan Tik Kong yang juga memiliki kepandaian. Maka ia lalu putar-putar pedangnya dengan cepat sekali dan tiba-tiba melompat mundur untuk melarikan diri!
Can Kok In tertawa bergelak-gelak.
“Kejar dan tangkap dia!” bentak Lui Tik Kong, akan tetapi Can Kok In berkata.
“Lui-ciangkun untuk apa kita mengejar seorang perempuan? Memalukan sekali. Kalau orang lain melihatnya, bukankah kita akan menjadi bahan ejekan?”
“Tapi ia jahat dan berbahaya sekali. Kalau kali ini kita tidak membasminya, tentu lain kali ia menimbulkan bencana!” kata Lui Tik Kong.
“Kalau ia datang, biarlah, serahkan saja kepadaku untuk menghadapinya. Akan tetapi untuk mengejarnya, ah, aku malu, Lui-ciangkun!”
“Kau ini memang orang aneh, Can-ciangkun.” kata Lui Tik Kong yang terpaksa menahan rasa mendongkolnya. Kemudian ia lalu masuk ke dalam benteng itu bersama Can-ciangkun dan mengambil keputusan untuk istirahat beberapa lama di benteng itu sebelum kembali ke bentengnya sendiri.
Can Kok In berjanji hendak memberi barisan pengawal untuk mengantarnya pulang ke Le-hu-tin, markas Lui Tik Kong di Bong-kee-san. Tik Kong mendapat ganti pakaian sebagai perwira lagi dan nampak gagah. Kembalilah kegagahannya yang dulu, sungguhpun di dalam hatinya ia merasa berkhawatir sekali kalau mengenangkan segala perbuatannya yang menimbulkan akibat hebat itu.
111
Sambil membawa lari pedang rampasannya yang ia gantungkan di pinggang, Lee Ing merasa gemas sekali. Lagi-lagi ia gagal dan lagi-lagi penjahat she Lui itu mendapat pembela yang berkepandaian tinggi!
Akan tetapi Lee Ing telah mengambil keputusan tetap untuk mengejar terus. Ia maklum bahwa selama pemuda itu bersembunyi di dalam benteng yang dilindungi oleh banyak sekali anggauta tentara dan juga oleh perwira raksasa muda yang tangguh itu, ia tidak berdaya sama sekali.
Akan tetapi, tidak mungkin kalau Tik Kong akan bersembunyi selamanya di situ! Lee Ing bersembunyi di sekitar itu dan menanti saatnya Tik Kong keluar dari benteng dan apabila hal ini terjadi, ia akan menyerang!
Lo Sin dengan hati marah sekali setelah mengamuk dan mengacau rumah Nyo Tiang Pek, mengejar dengan menunggang kudanya Pek-liong-ma, akan tetapi oleh karena ia tidak tahu jurusan mana yang diambil oleh Lui Tik Kong ketika melarikan diri, terpaksa ia harus mencari jejak pemuda itu dengan teliti.
Ia turun dari Bong-ke-san dan bertanya-tanya kepada para penduduk dusun di sekitar bukit itu barangkali diantara mereka ada yang melihat ke mana berlarinya perwira muda yang dikejar-kejar oleh seorang gadis.
Biarpun andaikata ada yang melihat Lui Tik Kong dan Lee Ing, namun orang itu tentu takkan berani menceritakannya kepada Lo Sin, maka usaha pemuda itu sia-sia belaka. Kemudian Lo Sin mendapat akal. Ia bertanya kepada serombongan kanak-kanak yang sedang bermain-main dan benar saja, seorang diantara anak-anak yang tidak tahu apa-apa ini, dengan sejujurnya menceritakan bahwa tadi ia melihat Nyo-siocia yang telah amat dikenal itu berlari cepat ke jurusan timur.
Lo Sin menjadi girang sekali dan ia lalu mengaburkan kudanya menuju ke timur.
Namun, ternyata bahwa kudanya mengambil jalan yang berlainan sekali dengan jalan yang ditempuh oleh Tik Kong dan Lee Ing yang berkejaran, hingga hati pemuda itu menjadi penasaran dan kecewa ketika ia tak melihat bayangan dua orang yang dicarinya itu, biarpun ia telah mengejar sehari penuh. Terpaksa pada malam hari itu ia bermalam di sebuah kampung dan pada keesokan harinya, ia melanjutkan perjalanannya mencari-cari Lui Tik Kong dan juga mencari Lee Ing.
Ia merasa berduka kalau memikirkan gadis ini dan juga merasa berdosa. Bukankah ia telah menghancurkan kebahagiaan gadis yang hendak menikah dan gagal oleh karena perbuatannya itu? Dan apabila ia mengenangkan segala peristiwa yang terjadi di rumah Nyo Tiang Pek, diam-diam Lo Sin merasa bergidik!
Alangkah akan marahnya Nyo Tiang Pek, dan Coa Giok Lie! Tentu kedua orang tua itu membenci sekali padanya, yang tentu dianggap pengacau rumah tangga!
Bukan tak mungkin bila Nyo Tiang Pek mengejarnya, atau bahkan mencari orang tuanya untuk mengadukan perbuatannya itu. Lo Sin menghela napas dengan penuh rasa menyesal apabila mengingat akan hal ini.
112
Semenjak kecil ia rindu dan ingin sekali bertemu dengan Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie yang seringkali disebut-sebut ayah ibunya itu. Dan sekarang, begitu bertemu ia bertempur dengan mereka, bahkan membuat mereka marah, mendatangkan nama buruk dan mencemarkan kehormatan dan nama keluarga Nyo!
Akan tetapi, Lo Sin mengangkat dada. Biarlah! Biar aku yang tanggung jawab. Kalau Nyo-pehpeh marah, biar ia marah kepadaku. Aku rela binasa di bawah tangannya daripada Lee Ing menjadi isteri si bangsat Tik Kong!
Dengan ini, Lo Sin merasa terhibur, karena ia berpendapat bahwa ia melakukan sesuatu yang benar, oleh karenanya ia tidak takut menghadapi akibat-akibatnya yang mungkin terjadi.
Lo Sin terus mengaburkan kudanya ke Timur dan pada suatu hari ia bermalam di dusun Ki-ciang yang cukup besar dan ramai. Yang menarik perhatian Lo Sin ialah bahwa di dusun itu kelihatan beberapa orang tentara berkeliaran. Ia memang telah mendengar tentang gerakan suku bangsa Turki yang mencurigakan dan bahwa kini pemerintah telah memperkuat barisan pertahanannya dan bahkan mencari banyak anggauta barisan suka rela, maka ia tidak perdulikan pemandangan yang memang agak ganjil ini, karena jarang terjadi di sebuah dusun nampak anggauta tentara.
Lo Sin berpakaian seperti biasa apabila melakukan perjalanan, yakni baju yang ringkas warna biru kehitam-hitaman dengan ikat pinggang dan topi berwarna kuning emas. Hiasan burung walet hitam di kepalanya menambah kegagahannya dan pedangnya tergantung di pinggang dihias dengan ronce-ronce merah. Sulingnya terselip di punggung.
Melihat sekelebatan saja, orang akan dapat mengetahui bahwa dia adalah seorang pendekar perantau yang memiliki ilmu kepandaian silat. Oleh karena itu, banyak mata memandangnya dengan kagum, karena memang Lo Sin kelihatan gagah dan cakap sekali. Apalagi karena ia menunggang kudanya yang berbulu putih dan tinggi besar itu, hingga kuda dan penunggangnya merupakan pasangan yang sedap dipandang dan menimbulkan kagum.
Ketika Lo Sin melompat turun dari kudanya dan memberikan kuda itu kepada pelayan rumah penginapan, ia tidak tahu bahwa banyak pasang mata memandang kudanya dengan kagum dan iri. Lo Sin lalu memilih sebuah kamar dan setelah makan malam, ia lalu beristirahat.
Malam hari itu menjelang pagi, tiba-tiba Lo Sin dikejutkan oleh suara kudanya meringkik keras. Ia mengenal suara kuda Pek-liong-ma, maka cepat ia membereskan pakaiannya melompat keluar, langsung menuju ke kandang kuda.
Alangkah terkejutnya ketika mendapat kenyataan bahwa kudanya telah lenyap dari tempat itu! Lo Sin cepat melompat ke atas genteng memperhatikan sekeliling tembok itu. Tiba-tiba ia mendengar ringkik kudanya dari jauh, di arah selatan, maka ia lalu cepat melompat turun lagi bagaikan seekor burung walet hitam melayang, lalu berlari mengejar!
Ia merasa marah sekali. Siapakah yang begitu kurang ajar berani mencuri kudanya?
Dengan mengerahkan ilmu berlari cepat, Lo Sin mengejar ke arah suara itu, karena gin-kangnya memang sudah mencapai tingkat tinggi, sebentar saja ia telah hampir menyusul. Ia mendengar suara
113
kaki kuda berlari cepat di sebelah depan, dan diantara kabut tebal ia melihat bayangan orang-orang berkuda dengan cepat sekali meluncur ke depan!
“Pencuri kuda yang hina dina?” Lo Sin menegur dan memaki, “Kalian hendak berlari ke mana?”
Melihat bahwa di belakang mereka terdapat seorang pemuda yang berlari luar biasa cepatnya mengejar, ketiga orang penunggang kuda itu lalu memecut kuda masing-masing dan membalap makin cepat. Lo Sin melihat bahwa kudanya berada di tengah-tengah, ditunggangi oleh seorang yang bertubuh tinggi kurus, sedangkan dua orang lain yang menunggang kuda di kanan kiri berpakaian sebagai pelayan-pelayan pembesar.
“Hai, berhenti!” Lo Sin menegur lagi akan tetapi ketiga orang itu bahkan mempercepat jalannya kuda dan kini mereka menghampiri sebuah benteng yang menghadang di depan!
Kuda Pek-liong-ma yang ditunggangi orang kurus itu maju lebih dulu dan masuk melalui pintu gerbang benteng yang terbuka, sedangkan dua orang yang berpakaian pelayan itu menanti di depan pintu benteng sambil memutar tubuh kuda mereka.
Ketika Lo Sin datang dekat, mereka berdua membentak.
“Kau ini siapakah dan mengapa berani lancang mengejar kami sampai ke benteng kami? Apakah kau tidak tahu bahwa benteng ini adalah markas tentara?”
Lo Sin tercengang dan juga marah sekali. “Tak perduli tempat apa adanya ini, akan tetapi siapakah yang berani mencuri kudaku tadi? Hayo suruhlah dia keluar dan membawa kudaku untuk dikembalikan kepadaku!”
Seorang diantara mereka tersenyum mengejek dan berkata. “Jangan sembarang menuduh orang, kawan. Tahukah kau siapa orang kurus yang kami iringkan tadi? Dia adalah Hwee-ma-ong (Raja Kuda Terbang) yang terkenal kaya dan memiliki banyak sekali kuda baik. Mana dia mau melihat kudamu?”
Lo Sin terkejut dan tercengang. Ia pernah mendengar nama Hwee-ma-ong ini yang bernama Lie Cit Un, seorang hartawan besar yang terkenal sekali karena kepandaiannya yang tinggi, akan tetapi juga terkenal sebagai pemilik kuda-kuda bagus hingga kaisar sendiri sampai memesan kuda dari hartawan ini. Akan tetapi, iapun maklum bahwa Raja Kuda Terbang ini tak segan-segan untuk mencuri kuda baik apabila ia tidak bisa mendapatkannya dengan jalan baik.
“Siapa adanya dia. Hwee-ma-ong si Raja Kuda Terbang, maupun Raja Kuda Setan, ia harus keluar dan mengembalikan kudaku.”
Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam benteng keluarlah banyak sekali anggauta tentara yang segera menerjang keluar dan mengeroyok Lo Sin. Pemuda ini menjadi marah sekali dan ia lalu memutar pedangnya menangkis serangan ini. Terdengar seruan-seruan kaget karena sekali saja ia memutar-mutar pedangnya, beberapa buah golok dan pedang para pengeroyoknya telah terbabat putus.
Tiba-tiba terdengar bentakan keras yang menyuruh semua perajurit mundur dan dari pintu gerbang itu melompat keluar seorang perwira tinggi besar seperti raksasa dengan pedangnya yang besar
114
mengerikan di tangan perwira yang bukan lain orang adalah Can Kok In sendiri ini, lalu membentak sambil memutar-mutar sepasang matanya yang lebar.
“Eh, eh, orang gagah darimanakah datang-datang membikin kacau di bentengku??”
Sebelum Lo Sin dapat menjawab, dari pintu gerbang itu keluar pula seorang tinggi kurus berwajah pucat kuning dan ia kenali orang ini sebagai penunggang kudanya tadi. Maka ia lalu menuding kepada orang itu.
“Kaukah yang bernama Lie Cit Un berjuluk Raja Kuda Terbang dan yang telah mencuri kudaku?”
Lie Cit Un tertawa bergelak sambil mencabut keluar pedangnya.
“Bangsat bermulut lancang. Apa buktinya kau berani menuduh aku sebagai pencuri kudamu?”
Juga Can Kok In merasa heran mendengar ini, lalu berkata. “Jangan sembarangan menuduh. Orang ini adalah Lie-wangwe yang menjadi sahabat baikku dan tak mungkin ia mencuri kuda. Ketahuilah, ia ini adalah seorang pemilik banyak kuda-kuda jempolan, mana ia sudi mencuri kudamu?”
Lo Sin merasa kurang baik untuk berlaku kasar, maka sambil menekan kemarahannya, ia berkata. “Kuda yang kau tunggangi itu adalah kudaku Pek-liong-ma yang kaucuri dari rumah penginapan.”
“Gila!” teriak Si Raja Kuda Terbang. “Kuda itu adalah kudaku sendiri!” lalu ia memberi tanda kepada dua orang pelayannya tadi untuk mengambil kuda itu.
“Coba ambil kuda putihku itu ke sini!”
Dua orang pelayan itu lalu berlari ke dalam dan tak lama kemudian mereka menuntun kuda putih yang Lo Sin kenali bukan lain adalah kudanya sendiri.
“Nah, kau lihatlah, apakah tandanya bahwa kuda ini kudamu?” Si kurus menantang.
Lo Sin tersenyum. “Jangan kau pergunakan akal bangsat. Kuda ini adalah kudaku dan ia tentu menurut segala omonganku. Lihat!” Lo Sin lalu berkata kepada kudanya itu.
“Pek-liong! Kau ke sinilah!”
Akan tetapi aneh, kuda itu hanya menggunakan kaki depannya untuk mencakar-cakar tanah hingga debu mengebul, akan tetapi tidak menurut perintah Lo Sin.
Pemuda ini membelalakkan mata dengan heran sekali. Belum pernah kudanya ini membantah perintahnya. Ia memandang lagi dengan penuh perhatian dan ternyata bahwa kuda ini benar-benar adalah kudanya Pek-liong-ma.
“Pek-liong! Siapa yang mengganggumu? Berlututlah!”
115
Akan tetapi kuda itu tetap berdiam dan menggaruk-garuk tanpa memperdulikan suara perintah Lo Sin.
“Ha-ha-ha!” Lie Cit Un tertawa geli. “Maling kecil, jangan kau memperlihatkan lelucon busuk di sini. Terang bahwa kuda itu tidak menurut perintahmu. Bukti apa lagi yang dapat kauperlihatkan bahwa kuda ini benar-benar kudamu?”
Can Kok In juga memandang marah. “Sobat, kau seorang berpakaian begini indah dan sikapmu gagah. Mengapa kau tidak malu mengaku kuda orang lain sebagai kudamu?”
Lo Sin menjadi pucat dan serba salah. Ia sungguh-sungguh tidak mengerti mengapa Pek-liong-ma kali ini tidak mau mentaati perintahnya. Ia lalu berkata. “Entah apa yang terjadi dengan kudaku ini. Akan tetapi, orang she Lie. Kau berkukuh mengaku bahwa kudaku ini adalah kudamu, apa pula tanda-tandanya?”
“Ha-ha-ha! Kau hendak mempergunakan senjata yang kukeluarkan? Aku tidak sedungu kau, sobat. Lihatlah ini!”
Sambil berkata demikian, ia menunjuk ke arah paha kiri kuda putih itu dan Lo Sin menjadi terkejut dan marah sekali ketika melihat bahwa kulit paha kuda itu terdapat tanda cap huruf “Lie”, tanda yang selalu terdapat pada paha semua kuda milik Lie Cit Un.
Pemuda ini memandang terheran-heran. Bagaimanakah hal ini bisa terjadi? Mengapa kudanya telah mempunyai tanda cap itu dan mengapa pula Pek-liong-ma tidak mau menurut perintahnya? Ia memutar-mutar otak, akan tetapi tidak mendapat jawaban.
Tentu saja ia tidak berdaya menghadapi Lie Cit Un, penggemar dan pemelihara kuda yang telah berpengalaman dan mempunyai banyak sekali akal bulus itu. Kuda Pek-liong-ma dicap olehnya pada saat ia mencurinya dari rumah penginapan itu dan karena ia memang mahir sekali dalam hal menjinakkan kuda, maka ia mempunyai semacam obat yang apabila dimakan oleh seekor kuda, binatang itu menjadi jinak dan penurut. Obat ini pulalah yang membuat Pek-liong-ma lupa akan suara perintah majikannya.
“Bangsat, kau telah menyihir kudaku tiba-tiba Lo Sin berkata sambil menggerakkan pedangnya. Akan tetapi pedang panjang besar di tangan Can Kok In berkelebat dan menangkis pedangnya hingga Lo Sin terkejut karena tenaga perwira raksasa itu benar-benar mengagumkan. Ia hendak mengamuk, akan tetapi, merasa bahwa ia tentu akan dianggap keterlaluan karena sudah nyata bahwa kuda itu ada tanda-tanda memang benar milik orang she Lie.
Tiba-tiba Can Kok In dapat melihat perhiasan burung walet hitam di kepala Lo Sin. Matanya yang sudah lebar itu makin melebar dan ia lalu berkata,
“Hai! Bukankah kau ini si Walet Hitam?”
Ketika Lo Sin mengangguk, Can Kok In melanjutkan. “Aneh. Aku mendengar bahwa Ouw-yan-cu si Walet Hitam adalah seorang gagah perkasa, akan tetapi tidak tahunya ia sekarang datang mengacau
116
bentengku dan hendak merampas kuda orang. Bukankah ini aneh sekali? Atau, barangkali kau ini Ouw-yan-cu palsu?”
Lo Sin menjadi serba salah dan maklum bahwa keadaan makin sulit. Hendak menggunakan kekerasan, selain menghadapi banyak lawan tangguh dan keroyokan ratusan tentara, juga ia merasa betapa pihaknya akan mendapat kesan buruk sekali.
Peristiwa ini tentu akan tersebar luas dan nama Walet Hitam akan menjadi rusak sebagai seorang maling kuda hina dina.
Ia lalu menjura kepada Can Kok In dan berkata.
“Maafkanlah semua kekasaranku tadi. Mungkin aku telah keliru sangka dan mungkin sekali kuda ini memang mempunyai persamaan luar biasa dengan kudaku yang hilang. Nah, selamat tinggal!”
“Ouw-yan-cu, nanti dulu! Telah lama aku mengagumi namamu, maka sudilah kau mampir sebentar agar kita bisa bercakap-cakap sambil minum arak!” teriak Can Kok In.
Akan tetapi, Lo Sin yang merasa amat malu, penasaran dan menyesal itu tentu saja tidak sudi menerima undangan ini. Sambil mengucapkan terima kasih, tubuhnya lalu berkelebat cepat dan meninggalkan tempat itu.
“Sayang……” kata Can Kok In sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang besar, “aku ingin sekali mencoba kepandaiannya.”
Mereka lalu menutup pintu benteng dan kembali ke dalam benteng untuk menjamu tamunya yang baru datang, yakni Lie Cit Un si Raja Kuda Terbang!
Dengan tubuh terasa lemas, Lo Sin meninggalkan benteng itu. Hatinya berduka dan pikirannya kacau balau. Ia amat sayang kepada kudanya dan kini tahu-tahu kuda itu lenyap, atau bukan lenyap melainkan berubah hebat sekali. Ia tidak merasa ragu-ragu lagi bahwa kuda yang berada di dalam benteng itu pasti kudanya Pek-liong-ma, sungguhpun ia sama sekali tidak mengerti mengapa kudanya bisa berubah seperti itu!
Sementara itu, fajar telah berganti pagi dan dengan hati tidak karuan dan pikiran ruwet, Lo Sin berjalan sambil menundukkan kepala. Ia berjalan perlahan dan tiba-tiba ia menahan tindakan kakinya. Ia teringat akan sesuatu dan wajahnya yang tampan itu berseri menyinarkan harapan baru.
Mengapa ia begitu bodoh dan tidak ingat akan hal ini? Ia harus mempergunakan sulingnya!
Semenjak kuda Pek-liong-ma masih muda, binatang itu senang sekali mendengar suara sulingnya, bahkan ia mempunyai semacam lagu yang khusus untuk kuda Pek-liong-ma! Dan setiap kali, ia menyuling dan memainkan lagu Pek-liong-ma itu, kudanya pasti akan datang menyusulnya, di manapun ia berada.
117
Pernah ia dan kedua orang tuanya mencoba dan mengikat kuda itu erat-erat di kandang, lalu ia pergi ke tempat yang cukup jauh lalu menyuling lagu Pek-liong-ma dan kuda itu dengan nekad lalu memberontak, memutuskan tali ikatan dan mengejar ke tempatnya.
Teringat akan hal ini, Lo Sin lalu berdiri di atas sebuah batu besar dan mencabut keluar sulingnya. Ia menenteramkan hatinya dan mengatur pernapasannya agar pikirannya yang ruwet menjadi tenang, karena apabila pikirannya ruwet, ia takkan dapat meniup suling dengan baik.
Kemudian ia menempelkan ujung suling itu pada bibirnya dan ditiupnya perlahan suling itu. Maka terdengarlah bunyi suling yang merdu di pagi hari itu. Burung-burung pagi yang tadinya ramai berkicau di pohon-pohon dekat tempat Lo Sin berdiri, tiba-tiba berhenti bernyanyi seakan-akan mereka ikut menikmati bunyi suling yang ditiup Lo Sin.
Pemuda ini memang pandai sekali bersuling hingga suara sulingnya terdengar melengking nyaring dan terdengar sampai jauh. Ia merasa yakin bahwa suara sulingnya pasti terdengar sampai di dalam benteng di mana Pek-liong-ma berada.
Ia menyuling terus memainkan lagu Pek-liong-ma yang sengaja dimainkan untuk menarik perhatian kudanya. Ia dapat membayangkan bahwa sebagaimana biasanya, kudanya itu tentu akan mengamuk, memutuskan tali pengikatnya dan sebentar lagi berlari mendatangi ke tempat ini, maka wajah Lo Sin berseri girang dan meniup sulingnya makin kuat.
Akan tetapi, sudah habis lagu itu ditiupnya, belum juga ia mendengar kaki kudanya berlari datang. Ia mulai gelisah dan kecewa, dan pada saat ia mengharap-harapkan kedatangan kudanya Pek-liong-ma, tiba-tiba terdengar kaki orang berjalan ke arahnya dari kanan.
Lo Sin mengerling dan tiba-tiba suara sulingnya berhenti. Suara sulingnya yang diharapkan akan datangnya Pek-liong-ma itu, ternyata telah mendatangkan mahluk lain yang sama sekali tak pernah diduganya akan ia lihat di situ. Yang datang ini bukan lain ialah Lee Ing.
Lo Sin berdiri seperti patung, kedua tangan masih memegang suling dan ujung suling masih berada di dekat mulutnya. Ia menengok ke kanan dan tak berani bergerak, seakan-akan takut kalau pandangan ini akan lenyap jika ia menggerakkan tubuhnya. Ia melihat Lee Ing dengan cantik dan gagah sekali datang ke arahnya dengan tindakan kaki tetap dan lenggang menggiurkan.
Alangkah gagahnya gadis ini, alangkah manisnya, alangkah cantik jelita. Tangan kiri Lee Ing berada di gagang pedang yang tergantung di pinggang dan biarpun wajah dara ini nampak agak pucat dan kurang tidur namun kecantikannya tidak berkurang, bahkan nampak sewajarnya. Gadis itu datang menghampiri dengan mata menatap wajah Lo Sin yang bengong bagaikan patung batu itu.
“Kau...... kau……?” akhirnya Lo Sin hanya dapat menegur, tak lebih dari pada itu.
Sedangkan Lee Ing ketika melihat betapa pandang mata pemuda itu memancarkan cahaya aneh seperti dulu ketika mula-mula bertemu di bawah hujan badai, merasa sebal sekali. Ia telah dapat merasakan pandang mata itu dan kembali ia menjadi marah, karena sebagai seorang yang telah beristeri, Lo Sin tidak berhak memandang dia dengan pandang mata seperti itu.
118
Lee Ing lalu menundukkan muka, tak berani menentang pandang mata Lo Sin, lalu katanya sambil cemberut, “Musuh berada di dekat, dan kau enak-enakan meniup suling. Bukankah kau sedang mencari bangsat rendah Lui Tik Kong?”
Mendengar disebutnya nama ini, Lo Sin merasa betapa kepalanya seakan-akan disiram air dingin. Lenyaplah lelah dan lesunya, dan tiba-tiba terlupa sama sekali olehnya akan peristiwa yang menimpa kudanya.
Segera seluruh urat di tubuhnya menegang dan ia siap untuk menerkam Tik Kong. Inilah sifat yang diwarisinya dari ibunya.
“Mana......? Mana penjahat hina dina itu?” tanyanya dengan mata tajam hingga Lee Ing memandang kagum. Sama benar mata pemuda ini dengan mata Ang Lian Lihiap kalau ia sedang marah.
Dengan singkat Lee Ing lalu menuturkan betapa ia mengejar-ngejar Tik Kong sampai di tempat ini dan betapa Lui Tik Kong bersembunyi dan berlindung di dalam benteng itu.
“Apa??” Lo Sin memandang heran dan terkejut. “Di benteng itu??”
Lee Ing merasa heran melihat sikap Lo Sin ini. “Apakah kau takut menghadapi perwira raksasa yang lihai itu? Memang di sana banyak terdapat orang-orang pandai!” katanya menyindir.
Lo Sin menggeleng-geleng kepalanya. “Untuk menangkap bangsat she Lui itu, jangankan baru ada benteng yang melindunginya, biar ia lari ke neraka sekalipun, aku tidak takut untuk mengejarnya.”
“Kau...... kau agaknya sangat benci kepadanya,” kata Lee Ing.
“Apakah kau juga tidak benci padanya?” jawab Lo Sin. “Dia seorang rendah dan jahat, dia telah menganiaya Kong peh-peh. Ini masih belum hebat, akan tetapi, dia…… dia berani sekali hendak menipu ayahmu dan hendak…… mengawini kau!” kata-kata ini terdengar penuh kemarahan.
“Kalau begitu, hayo kita pergi! Mau tunggu apalagi?” kata gadis itu dan Lo Sin lalu selipkan suling di punggungnya dan keduanya lalu berjalan cepat menuju ke benteng.
“Dengar...... Nyo-siocia (nona Nyo)……!”
“Jangan sebut aku siocia. Bukankah kau ini putera Lo-siokhu (paman Lo)?” tegur Lee Ing hingga Lo Sin menjadi ma kin gugup.
“Baiklah, Ing-moi. Biar selanjutnya aku menyebutmu Ing-moi saja. Kau juga tahu bahwa bangsat she Lui itu takut sekali kepadaku maka apabila aku ikut masuk ke dalam benteng tentu ia akan menyembunyikan dirinya dan tidak berani muncul. Kalau ia tidak mau muncul, bagaimana kita bisa mencarinya di dalam benteng yang besar dan yang didiami ratusan tentara itu? Lebih baik kau masuk seorang diri dulu dan aku diam-diam mengikutimu. Kalau dia sudah keluar, barulah aku turun tangan. Setujukah kau?”
119
Lee Ing merasa setuju dan menganggap akal ini amat cerdik. Gadis ini dengan gagahnya lalu menghunus pedang dan menerjang pintu benteng sambil berseru keras.
“Bangsat Tik Kong pengecut besar! Apakah kau benar-benar tidak berani keluar dan sembunyi seperti seekor tikus busuk?”
Beberapa orang penjaga lalu mengurungnya, akan tetapi sambil memutar pedangnya, Lee Ing membuat mereka ini mundur dengan jerih dan gadis ini dengan cepat dan berani sekali melompat masuk ke dalam benteng.
“Bangsat perempuan tak tahu diri! Kau benar-benar datang mencari mampus!” teriak Tik Kong yang telah melompat keluar dengan pedang di tangan.
Sesungguhnya ia maklum bahwa kepandaian pedang gadis ini lihai sekali, namun karena ia berada di dalam benteng di mana terdapat banyak sekali kawan-kawannya, ia tidak merasa takut dan menyerang dengan gagahnya.
Can Kok In juga sudah keluar bersama Lie Cit Un dan mereka juga membawa pedang. Perwira raksasa itu menggeleng-gelengkan kepalanya yang besar.
“Sungguh seorang gadis yang keras hati dan berkepala batu! Alangkah beraninya ia memasuki benteng ini!”
Ia selalu melarang anak buahnya yang hendak mengeroyok Lee Ing dan hanya berdiri sambil menonton pertempuran yang terjadi antara Lee Ing dan Tik Kong. Akan tetapi, dalam kemarahannya, Lee Ing berkelahi dengan nekad dan ia mengerahkan seluruh kepandaiannya hingga baru bertempur kurang lebih tigapuluh jurus saja, Tik Kong sudah terdesak hebat dan ujung pedang Lee Ing menyambar-nyambar mengarah jiwanya.
“Ganas, ganas!” seru Can Kok In yang melompat maju dan menangkis dengan pedangnya yang panjang dan berat.
Tik Kong melompat mudur dengan wajah pucat sedangkan Lee Ing yang melihat betapa perwira tinggi besar itu kembali membantu Tik Kong, lalu mengertak gigi dan melawan dengan nekad. Akan tetapi, kepandaian dan tenaga Can Kok In benar-benar mengagumkan.
Dengan tangkisan yang tepat dan yang dilakukan dengan keras, ia berhasil membuat pedang Lee Ing terlepas dari pegangan. Akan tetapi, perwira raksasa ini hanya tertawa besar dan tidak mau menyerang Lee Ing.
Pada saat itu, dari atas tembok benteng melayang turun bayangan hitam yang berseru. “Can-ciangkun tak baik menghina orang!”
Can Kok In cepat memandang dan ia terkejut sekali melihat bahwa yang datang ini adalah Lo Sin si Walet Hitam yang kemarin datang mengacau hendak merampas kuda.
“Ouw-yan-cu! Apakah kau datang lagi hendak merampas kuda orang?” bentaknya.
120
Lo Sin tertawa geli. “Perwira she Can! Kau hanya besar tubuhmu saja, akan tetapi pikiranmu sempit sekali. Kuda itu adalah kudaku sendiri yang harus kuambil kembali, dan kedatanganku tidak saja hendak memberi hajaran kepada maling kuda yang kaulindungi, akan tetapi juga menawan bangsat rendah Lui Tik Kong yang ternyata kaulindungi pula.”
Sementara itu, melihat kedatangan Lo Sin, Lui Tik Kong menjadi pucat dan hendak melarikan diri, akan tetapi tiba-tiba Lee Ing yang biarpun telah bertangan kosong, melompat dengan cepat sambil menyerangnya dan membentak.
“Bangsat pembunuh hina dina! Jangan kau mencoba hendak lari!”
Terpaksa Lui Tik Kong mengelak dan membalas menyerang dengan pedangnya. Ia dapat menetapkan hatinya oleh karena di saat itu terdapat banyak kawannya yang tentu akan menghalangi Lo Sin menyerangnya, maka ia lalu mainkan pedangnya dengan tetap.
Sedangkan Can Kok In ketika melihat betapa Lee Ing menghadapi Tik Kong dengan tangan kosong saja, merasa lega dan ia tidak perlu menguatirkan keadaan Tik Kong. Ia yakin bahwa menghadapi gadis yang bertangan kosong itu, Tik Kong takkan kalah.
Akan tetapi, tetap saja Tik Kong merasa gugup dan takut. Ia juga kuatir kalau-kalau Lee Ing membongkar rahasianya, dan ia maklum bahwa biarpun seorang perwira, namun Can Kok In adalah seorang jujur dan raksasa muda itu amat mengagumi Kong Sin Ek.
Kalau sampai Can-ciangkun tahu bahwa ia telah menyiksa dan membunuh si Dewa Arak itu, tentu keadaannya akan menjadi berbahaya sekali karena bantuan raksasa itu takkan dapat diharapkan. Maka ia lalu membentak.
“Lee Ing, gadis liar! Tidak baik kita mengacaukan benteng. Kalau kau memang gagah, mari kita bertempur mati-matian di luar benteng!”
“Tik Kong bangsat rendah! Kaukira aku jerih kepadamu? Keluarlah dan kau akan kubinasakan di luar benteng!”
Tik Kong melompat keluar dari pintu gerbang, diikuti oleh Lee Ing dan setelah tiba di luar, Tik Kong terus berlari menjauhi benteng itu.
“He, pengecut, hendak lari ke mana?” seru Lee Ing yang mengejar terus.
Sementar itu, Lo Sin lalu berkata kepada Can Kok In. “Can-ciangkun, sekarang harap kau suka mengembalikan kudaku. Sekarang aku ingat bahwa ketika kuda itu terjatuh, ia mendapat luka di lehernya dan kurasa luka itu sampai sekarang masih ada, tertutup oleh bulunya. Silakan periksa kalau kau tidak percaya.”
Can Kok In memang seorang jujur, maka ia lalu menyuruh orang mengeluarkan kuda itu dan ketika ia sendiri memeriksa kulit leher kuda dan menyingkap bulu-bulu yang halus dan gemuk itu, ternyata benar bahwa di situ terdapat bekas luka.
121
Perwira raksasa ini memandang kepada si Raja Kuda Terbang dengan muka penuh pertanyaan, akan tetapi Lie Cit Un tersenyum mengejek sambil menggerak-gerakkan pedangnya.
“Ouw-yan-cu hanya ngawur saja dan mengatakan hal yang kebetulan atau ia memang sudah tahu sebelumnya hingga mengeluarkan bukti palsu! Sudah jelas bahwa kuda ini kudaku, maka semua desakannya berarti menghinaku! Aku tantang Ouw-yan-cu untuk menentukan hak milik atas kuda ini dengan bertanding pedang!”
“Maling kuda! Tanpa ditantang akupun ingin sekali mengajar adat kepadamu!” bentak Lo Sin sambil mencabut pedangnya.
“Bagus! Lihat pedang!” Lie Cut Un berseru dan menyerang dengan cepat. Ia menggunakan ilmu pedang Pek-ho-kiam-hwat (Ilmu Pedang Burung Ho Putih) dari cabang persilatan Thai-san-pai, gerakannya cukup kuat dan cepat.
Akan tetapi Lo Sin yang merasa marah sekali kepada maling kuda yang curang ini, segera berseru nyaring sekali dan tubuhnya melompat, maka pedangnya terputar cepat menangkis pedang lawan lalu pemuda ini mengeluarkan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut yang hebat!
Lie Cit Un menjadi berkunang-kunang matanya ketika melihat betapa sinar pedang lawannya berkelebatan dan tubuh pemuda itu lenyap dari depannya. Ia mencoba untuk memutar pedangnya dengan gerak tipu Dalam Hujan Membuka Payung, sebuah gerakan mempertahankan diri dari serangan lihai hingga pedangnya terputar merupakan payung yang menjadi perisai dan yang melindungi tubuhnya. Akan tetapi ia tidak kenal akan kelihaian ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut apabila ia mengira bahwa ia akan mudah saja menghadapi ilmu pedang dengan gerakan Dalam Hujan Membuka Payung.
Tiba-tiba pedangnya yang diputar cepat itu berhenti gerakannya seakan-akan menempel pada sesuatu yang kuat sekali dan ternyata bahwa pedangnya telah menempel dengan pedang di tangan Lo Sin, dan betapapun ia membetot dan menarik pedangnya tak dapat terlepas.
Saat itu tangan kiri Lo Sin meluncur ke depan dan dua jari tangan pemuda itu dengan cepatnya menotok jalan darah twi-hai-hiat hingga tubuhnya menjadi kaku dan ia berdiri tak dapat bergerak bagaikan patung dengan pedang masih di tangannya.
“Ha, ha, maling kuda yang jahat. Apakah sekarang kau masih mau merampas kudaku?”
“Lihai sekali!” tiba-tiba Can Kok In berseru keras dan perwira raksasa ini melompat maju dan dengan tangan kiri ia menepuk pundak Lie Cit Un dan dengan tangan kanannya ia menampar ke arah Lo Sin.
Si Walet Hitam melihat datangnya tamparan yang amat kerasnya itu, sengaja tidak berkelit dan bahkan iapun memukulkan tangan kirinya dengan kepalan terbuka untuk menyambut datangnya tamparan tangan Kok In. Dua telapak tangan bertemu hebat sekali dan akibatnya adalah Lie Cit Un yang menderita celaka.
122
Ternyata bahwa Can Kok In yang memiliki tenaga gwakang (tenaga luar) luar biasa besarnya itu, tadinya memandang rendah dan mengira bahwa biarpun ilmu pedangnya membuat ia kagum, akan tetapi tenaga pemuda itu tentu tidak berapa hebat, maka ia membagi tenaganya menjadi dua. Yang sebagian kecil ia gunakan melalui tangan kiri untuk membebaskan Lie Cit Un dari pengaruh totokan Lo Sin, sedangkan sebagian pula yang terbesar ia gunakan untuk menampar Lo Sin.
Akan tetapi, ketika Lo Sin yang mengerahkan tenaga dalamnya menerima pukulan ini dengan tangan hingga dua tenaga raksasa ini bertemu dengan hebat. Can Kok In merasa terkejut dan tenaga pukulannya membalik.
Untuk menjaga agar ia jangan mendapat luka di dalam, perwira raksasa ini menyalurkan tenaga yang kembali itu melalui tangan kirinya masih terpentang dan akibatnya terdengar suara “krek!!” dan patahlah tulang pundak Lie Cit Un karena tekanan tangan kiri Kok In yang berat dan keras.
Si Raja Kuda Terbang yang telah terbebas dari totokan, akan tetapi bahkan menderita tulang patah ini, menjerit kesakitan dan jatuh sambil memegang-megang pundaknya yang sakit sekali.
Can Kok In terkejut dan heran. Tak pernah di sangkanya bahwa Ouw-yan-cu selihai itu hingga tidak saja dapat menghadapi tamparannya, bahkan dapat pula mengembalikan tenaga pukulan itu hingga tanpa disengaja ia telah melukai si Raja Kuda Terbang. Mukanya menjadi merah dan sepasang matanya mengeluarkan cahaya penasaran. Ia lalu mencabut pedangnya yang panjang dan besar, dan membentak.
“Ouw-yan-cu! Kau benar-benar lihai sekali. Biarlah aku mencoba sampai di mana ketajaman pedangmu.”
Akan tetapi Lo Sin yang merasa bahwa ia telah terlalu lama berada di dalam benteng, sedangkan si pencuri telah mendapat bagiannya dan kudanya telah kembali, dan ia ingin sekali melihat bagaimana keadaan Lee Ing dan Tik Kong, maka ia lalu menjura dan berkata.
“Can-ciangkun, tenagamu hebat sekali. Biarlah lain kali saja kita bermain-main lagi!” Ia lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu keluar dari pintu benteng.
Para anggauta tentara hendak mengejar, akan tetapi Can Kok In membentak.
“Jangan bergerak, biar aku sendiri yang mengejar!” Iapun lalu melompat ke atas seekor kuda yang besar dan mengejar keluar.
Lui Tik Kong yang melarikan diri sengaja memancing Lee Ing ke sebuah tempat sunyi di mana terdapat batu-batu karang dan banyak rumput. Setelah berada jauh dari benteng itu, tiba-tiba Lui Tik Kong memutar tubuh dan menyerang.
“Lee Ing perempuan tak tahu diri! Kau menghina suamimu sendiri!”
Marahlah wajah Lee Ing. Ia berkelit ke kiri sambil memaki. “Bangsat rendah bermulut kotor! Siapa sudi menjadi isterimu? Kita belum melangsungkan perkawinan, maka janganlah mulutmu yang sebentar lagi akan kuhancurkan itu menyebut-nyebut tentang suami isteri. Cis, anjing tak tahu malu!”
123
Kebetulan sekali mereka berkelahi tempat di mana kedua orang pelayan si Raja Kuda Terbang berada. Mereka ini sedang mencari rumput gemuk atas perintah majikan mereka untuk diberikan kepada kuda putih hasil curian itu! Melihat dua orang bertempur mati-matian, mereka berdiri diam tak berani bergerak bagaikan patung dan hanya memandang dengan hati berdebar.
Lui Tik Kong menyerang dengan penuh kegemasan dan mainkan pedangnya dengan cepat sekali, akan tetapi Lee Ing biarpun bertangan kosong, berkat gin-kangnya yang sempurna dapat mengelak dengan cepat dan membalas dengan serangan-serangannya. Ia mempergunakan kedua tangannya untuk membalas dengan totokan-totokan maut, bahkan kakinya juga selalu mencari kesempatan untuk mengirim tendangan maut kepada pemuda yang amat dibencinya ini.
Mereka bertempur mati-matian sampai limapuluh jurus lebih dan tiba-tiba Lee Ing teringat akan ilmunya Gin-san-ciang atau Pukulan Bubuk Perak yang lihai. Melihat bahwa dengan tangan kosong ia sukar sekali mendesak Tik Kong, tiba-tiba ketika Tik Kong menusuk dengan gemas dan ia berjongkok hingga ujung pedang lewat di atas kepalanya, dari bawah Lee Ing memukul dengan kedua tangan ke arah dada pemuda itu! Biarpun kedua tangannya tidak menyentuh dada lawan, namun tenaga Gin-san-ciang yang hebat itu telah menghantam dada Tik Kong dengan tepat!
Lui Tik Kong memekik ngeri dan tubuhnya terpental hingga kepalanya terbentur batu dan ia roboh pingsan sambil mengeluarkan darah dari mulutnya!
Dengan gemas dan girang, Lee Ing memungut pedangnya yang tadi dipakai oleh Tik Kong untuk menyerangnya, dan dengan pedang di tangan ia melangkah maju untuk mengirim tusukan maut! Akan tetapi, pada saat itu terdengar suara kaki kuda dan terdengar seruan Lo Sin.
“Ing-moi, tahan!”
Lo Sin cepat melompat turun dan menghampiri gadis itu yang memandangnya heran. Mengapa pemuda ini mencegahnya membunuh pemuda jahat itu?
“Ing-moi, aku hendak membawa bangsat ini ke Pek-ma-san, agar ia suka membuka pengakuan di depan makam Kong-pehpeh!” kata Lo Sin sambil memeriksa luka Tik Kong akibat pukulan Gin-san-ciang dari Lee Ing.
Lo Sin menggeleng-geleng kepala dan berkata.
“Hebat sekali pukulanmu, Ing-moi. Kalau kau sudah melatih pukulan Gin-san-ciang itu dengan matang, kau akan menjadi lihai sekali!”
Keadaan Tik Kong memang payah. Untung baginya bahwa Lee Ing memang belum matang betul latihannya dalam ilmu pukulan ini hingga ia hanya menderita luka dalam yang hebat akan tetapi yang tidak membahayakan keselamatan jiwanya.
Pada saat itu, terdengar suara kaki kuda dan nampak Can Kok In si perwira raksasa itu mendatangi dan melompat turun dari kudanya.
124
“Ouw-yan-cu! Kau telah menyerang dan melukai seorang perwira kerajaan. Sudah menjadi kewajibanku untuk menangkapmu karena kau telah memberontak!” Sambil berkata demiklan, Kok In mencabut pedangnya.
“Can-ciangkun! Aku kenal namamu sebagai seorang perwira yang gagah perkasa dan jujur. Kau tahu bahwa aku dan adikku ini terhadap Lui Tik Kong, terdapat permusuhan yang besar sekali. Aku tidak menyerang dan menangkap seorang perwira kerajaan, akan tetapi aku menangkap seorang penjahat besar bernama Lui Tik Kong. Lihat!”
Kedua tangan Lo Sin bergerak cepat sekali dan tahu-tahu topi perwira dan tanda pangkat di dada baju Lui Tik Kong telah dicabut dan dirobek-robek, lalu dilempar ke atas tanah. “Nah, bukankah dia sekarang Lui Tik Kong penjahat biasa saja dan bukan seorang perwira?”
Can Kok In memutar-mutar sepasang matanya yang bundar dan bulat, kemudian ia mengangguk-angguk. “Aku memang tidak suka mencampuri urusan pribadi orang lain. Akan tetapi, aku masih ingin sekali mengadu ilmu kepandaian dengan putera Ang Lian Lihiap yang tersohor!”
“Kalau kita berdua masih sama-sama hidup, lain kali aku pasti akan mencarimu untuk bermain-main sebentar, Can-ciangkun. Akan tetapi sekarang ini aku dan saudaraku ini mempunyai urusan besar yang penting sekali. Maafkan kami!” setelah berkata demikian, Lo Sin lalu menangkap leher Tik Kong, menaikkan tubuh yang sudah lemas itu ke punggung Pek-Iiong-ma, lalu ia mengajak Lee Ing pergi dari tempat itu.
Can Kok In hanya menggelengkan kepala saja sambil memandang sampai bayangan Lo Sin dan Lee Ing lenyap di sebuah tikungan, kemudian ketika melihat dua orang pelayan si Raja Kuda Terbang yang masih berdiri seperti patung, ia melompat ke depan mereka dengan pedang di tangan.
“Hayo katakan sebetulnya! Kalau kalian membohong, pedangku takkan mengenal ampun! Sebetulnya, kuda putih itu milik siapakah?”
Dengan tubuh gemetar kedua pelayan itu lalu berterus terang, menceritakan bahwa kuda itu benar-benar kepunyaan Lo Sin yang dicuri oleh majikan mereka dari rumah penginapan.
Setelah mendengar ini, Kok In dorong kedua orang pelayan itu sampai terguling-guling, lalu melompat ke atas kudanya dan cepat kembali ke dalam benteng. Dan pada saat itu juga ia mengusir keluar Lie Cit Un dari bentengnya!
Sekarang kita ikuti perjalanan Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong yang mengikuti Mei Ling untuk melihat keadaan Kong Liang yang terluka oleh tendangan Bong Cu Sianjin yang lihai.
Dengan hati penuh kekhawatiran, Ang Lian Lihiap dan suaminya lalu mengajak Song Mei Ling untuk mempercepat perjalanan mereka dengan gadis cantik itu membawa mereka ke sebuah kelenteng yang terletak di luar kota Bun-ciang.
Song Kong Liang rebah di atas balai-balai dan mendapat perawatan kepala hwesio di kuil itu. Ketika melihat kedatangan Lian Hwa dan Cin Han, Kong Liang mencoba untuk bangun dan memberi hormat,
125
akan tetapi Lian Hwa dan suaminya buru-buru mencegahnya dan mereka duduk di dekat pembaringan pemuda itu.
Wajah yang tampan itu nampak pucat sekali, akan tetapi setelah suami isteri pendekar itu memeriksa luka pada dadanya, mereka merasa lega, oleh karena biarpun tendangan itu amat hebat hingga mematahkan sebuah tulang rusuk, namun berkat keuletan dan kekuatan tubuh Kong Liang, maka pemuda ini terhindar dari bahaya maut. Apalagi ia cepat mendapat pertolongan pengobatan dan perawatan dari kepala hwesio yang mengerti tentang ilmu pengobatan, maka sekarang ia telah hampir sembuh, hanya tinggal menanti tersambungnya tulang rusuk yang patah.
“Jangan khawatir, Kong Liang,” kata Ang Lian Lihiap. “Kita pasti akan membalaskan lukamu ini dan memberi hajaran kepada Bong Cu yang ternyata belum mau merobah adatnya yang buruk.”
“Dia lihai sekali, suci,” kata Kong Liang. “Biarpun ia telah buntung kedua lengannya, akan tetapi tendangannya hebat sekali dan sukar dilawan.”
Lian Hwa dan Cin Han tentu saja dapat memaklumi hal ini oleh karena sebelum terbuntung kedua lengannya, memang kepandaian Bong Cu amat hebat dan lihai, bahkan lebih tinggi tingkatnya daripada kepandaian Song Cu Ling nenek kedua anak kembar itu. Dan dulu ketika Cin Han turun tangan dibantu oleh Lian Hwa dan Tiang Pek, barulah mereka bertiga dapat mendesak Bong Cu! Maka kini tidak mengherankan apabila pertapa buntung itu masih dapat mempergunakan kedua kakinya untuk merobohkan Kong Liang!
Beberapa hari kemudian luka di dada Kong Liang telah sembuh sama sekali dan mereka berempat lalu beramai-ramai naik ke Hoa-mo-san untuk mencari Bong Cu Sianjin dan memenuhi tantangannya! Sebenarnya, Cin Han dan Lian Hwa terlalu sembrono dan gegabah berani naik ke bukit ini, karena betapapun juga, harus diketahui bahwa di puncak bukit itu selain ada Bong Cu Sianjin yang lihai, dan ada pula anak murid Bong Cu Sianjin dan anak murid Lan Bwee Niang-niang, juga si pertapa wanita yang amat tinggi ilmu kepandaiannya ini masih berada di situ pula!
Dulu pernah mereka mengalami sendiri betapa hebatnya ilmu kepandaian Lan Bwee Niang-niang dan apabila tidak keburu datang Beng San Siansu maka tentu di pihak mereka tidak ada yang sanggup menghadapi pertapa wanita ini. Akan tetapi, Ang Lian Lihiap memang terkenal tabah dan pemberani sekali. Melihat betapa Kong Liang terluka, hati nyonya ini telah menjadi demikian marahnya hingga ia tidak mengadakan perhitungan lagi dan mendesak kepada suaminya untuk naik ke Hoa-mo-san!
Cin Han juga mengerti akan kelihaian lawan yang berada di puncak Hoa-mo-san, akan tetapi pendekar pedang inipun tidak merasa jerih, oleh karena setelah kini ia memiliki ilmu Hwie-sian-liong-kiam-sut, gabungan ilmu pedangnya dan ilmu pedang Lian Hwa dan kini keduanya pergi bersama, apalagi yang harus ditakuti?
Kalau saja pada waktu itu Bong Cu Sianjin kebetulan berada di puncak bukit, pasti akan terjadi pertempuran yang dahsyat dan hebat sekali. Akan tetapi, kebetulan sekali Bong Cu Sianjin dan Hek Li Suthai serta Bi Mo-li baru kemarin turun gunung untuk mencari tahu tentang musuh-musuh mereka, karena Bong Cu merasa penasaran mendengar betapa berkali-kali Hek Li Suthai mengalami kekalahan dari Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong, bahkan telah dikalahkan pula oleh si Walet Hitam
126
putera Ang Lian Lihiap, kemudian kalah juga menghadapi Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan yang sebetulnya tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan dia.
Ketika Cin Han dan isterinya beserta sepasang muda-mudi kembar itu tiba di kuil Teratai Putih di puncak bukit Hoa-mo-san, kuil itu nampak sunyi. Di depan kuil ini nampak seorang pemuda berusia kurang lebih sebaya dengan Kong Liang, pemuda bertubuh tinggi besar berkulit kehitam-hitaman dan pakaiannya seperti seorang petani sederhana.
Memang ia seorang petani tulen, terbukti dari kecakapannya mengayun cangkul yang pada saat itu dikerjakannya untuk mencangkul tanah di depan kuil. Agaknya pemuda petani itu hendak menanam sayur dan sedang bekerja dengan penuh perhatian hingga ia tidak melihat kedatangan empat orang tamu itu.
Ketika Cin Han dan kawan-kawannya sudah datang dekat, barulah ia mendengar suara mereka dan ia segera menunda pekerjaannya dan menengok. Pada wajahnya yang gagah dan tampan itu nampak sepasang matanya yang memandang heran dan sekali lihat saja Cin Han dapat mengetahui bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berhati polos dan jujur. Ia lalu menjura kepada petani muda itu sambil bertanya.
“Saudara yang baik, dapatkah kau memberitahu kepada kami di mana adanya Lan Bwee Niang-niang dan Bong Cu Sianjin?”
Wajah petani muda itu tiba-tiba berubah dan terang bahwa ia merasa terkejut dan heran. Sepasang matanya yang bersinar terang itu memandang ke arah tamu-tamu itu seorang demi seorang dan secara sopan ia segera mengalihkan pandang matanya ketika ia menatap wajah Mei Ling, hingga diam-diam Lian Hwa merasa suka kepada petani muda yang tahu akan kesopanan ini.
Petani muda ini membalas memberi hormat ketika ia menjawab, “Maaf, siauwte yang muda berlaku lancang menjadi wakil tuan rumah, karena sesungguhnya selain pekerjaan mencangkul dan menanam sayur siauwte tidak tahu apa-apa. Cuwi (saudara sekalian) ini siapakah dan ada kepentingan apa hendak bertemu dengan Niang-niang dan Bong Cu Suhu?”
Cin Han dan kawan-kawannya tercengang mendengar ucapan ini karena ucapan yang penuh kesopanan dan teratur ini menandakan bahwa petani ini bukanlah petani biasa, dan mereka menyangka bahwa pemuda petani ini tentulah murid dari Lan Bwee niang-niang atau Bong Cu Sianjin. Akan tetapi, oleh karena petani muda itu bicara dengan sopan, Cin Han juga menjawab dengan halus pula.
“Tolong beritahu kepada Lan Bwee Niang-niang dan Bong Cu Sianjin bahwa kami berempat, Ang Lian Lihiap, Hwee-thian Kim-hong, dan kedua saudara Song datang hendak bertemu memenuhi tantangan Bong Cu Sianjin yang diucapkan bebeberapa hari yang lalu. Dan saudara ini siapakah?”
Bukan main terkejutnya pemuda itu yang bukan lain adalah Yap Bun Gai, murid dari Bong Cu Sianjin. Ia segera menjura dengan hormat sekali kepada mereka berempat, terutama kepada Cin Han dan Lian Hwa, “Maaf, maaf, siauwte yang rendah berlaku kurang hormat. Tidak tahunya kami kedatangan pendekar-pendekar ternama yang berilmu tinggi. Siauwte yang bodoh bernama Yap Bun Gai, dan Bong Cu Sianjin adalah guruku.”
127
Ci Han dan Lian Hwa merasa heran sekali, karena tak pernah disangkanya bahwa Bong Cu Sianjin mempunyai seorang murid yang begini sopan-santun sikapnya yang mempunyai sepasang mata demikian jujur. Akan tetapi, ketika mendengar bahwa petani muda ini murid Bong Cu Sianjin yang telah melukai kakaknya, Mei Ling tak dapat menahan sabar lagi dan ia melompat maju dan mengirim tamparan pada muka petani muda itu.
Plok!! Tamparan ini tepat mengenai pipi Bun Gai dan karena Mei Ling menampar dengan mempergunakan tenaga lweekang, maka apabila yang kena tangan itu bukan orang yang memiliki kepandaian, tentu tulang rahangnya akan terlepas dan giginya akan copot semua.
Akan tetapi, ketika ditampar pipinya, kulit muka Bun Gai hanya menjadi merah saja dan pemuda ini sedikitpun tidak mengeluh atau memperlihatkan rasa sakit, sungguhpun tamparan itu telah membuat ia merasa perih dan pedas pada pipinya. Hal ini dapat menyatakan betapa tingginya ilmu kepandaian Bun Gai.
Cin Han dan Lian Hwa juga maklum akan hal ini dan hendak mencegah Mei Ling berlaku lancang, akan tetapi, gadis ini ketika melihat betapa tamparannya diterima dengan tersenyum saja oleh Bun Gai, menjadi marah sekali dan kali ini ia mengirim pukulan hebat ke arah ulu hati pemuda tani ini.
“Maaf, aku yang bodoh menjaga diri!” kata Bun Gai dan cepat ia mengelak dari serangan Mei Ling yang berbahaya itu.
Cin Han hendak memisah mereka, akan tetapi tiba-tiba Lian Hwa memegang tangan suaminya dan berbisik. “Biarlah kita lihat sampai di mana kelihaian murid Bong Cu ini!”
Ternyata bahwa ilmu silat Bun Gai benar-benar lihai. Tubuhnya biarpun tidak segesit Mei Ling yang memiliki ginkang sempurna, namun ia ternyata tenang sekali dan dapat menjaga diri dengan amat baiknya. Pertahanannya kokoh kuat dan tenaga lweekangnya cukup tinggi hingga biarpun Mei Ling telah mengeluarkan seluruh kepandaian dan tenaganya, ia tidak dapat mendesak lawannya!
Yang paling mengherankan dan membuat Cin Han dan Lian Hwa melongo karena tidak mengerti adalah sikap pemuda tani murid Bong Cu itu. Bun Gai ternyata sama sekali tidak mau membalas serangan-serangan Mei Ling yang datang bertubi-tubi itu dan hanya menjaga diri dengan kuatnya! Alangkah bedanya sifat pemuda ini dengan suhunya yang kejam.
Tadinya Kong Liang hendak membantu adik perempuannya, akan tetapi ketika melihat betapa pemuda tani itu sama sekali tidak mau membalas dan tidak mau menyerang Mei Ling, terpaksa ia urungkan niatnya karena merasa malu. Terlalu sekali kalau iapun harus turun tangan mengeroyok seorang lawan yang sama sekali tidak mau membalas!
Mei Ling merasa penasaran, malu, dan gemas sekali karena mendapat kenyataan bahwa ia sama sekali tidak berdaya terhadap pertahanan pemuda tani yang kelihatan bodoh itu! Ia malu karena iapun tahu betapa pemuda itu tidak mau membalasnya, dan bahkan kalau menangkis selalu mempergunakan ilmu lweekang hingga lengan tangan pemuda itu menjadi lunak seakan-akan pemuda itu merasa khawatir alau akan mendatangkan rasa sakit pada lengannya yang berkulit halus
128
dan putih bersih itu! Dalam kemarahannya, ia lalu mencabut pedangnya yang berkilau saking tajamnya!
“Mei Ling!” Cin Han menegur akan tetapi lagi-lagi tangan isterinya menyentuh tangannya dan ketika ia menengok, ia heran sekali melihat betapa isterinya memandang dengan wajah berseri dan bibir tersenyum!
“Maaf, maaf!” kata lagi Bun Gai yang terkejut juga melihat kenekatan Mei Ling dan ketika ia merogoh saku bajunya yang lebar, ia telah mengeluarkan sebuah kebutan. Ternyata pemuda ini mempelajari cara suhunya mempergunakan senjata yang istimewa, yakni sebuah kebutan.
Sebetulnya disamping kebutan ini, Bun Gai juga mempelajari permainan tasbeh dari suhunya yang lihai sekali, akan tetapi oleh karena ia entah bagaimana tidak tega untuk menyerang dan tidak senang untuk bermusuh dengan para tamunya yang didengarnya dari orang-orang berilmu tinggi yang amat tersohor, maka ia tidak mau mengeluarkan tasbeh itu dan hanya mempergunakan kebutan untuk menjaga diri.
Mei Ling cukup gagah untuk sudi menyerang orang yang bertangan kosong, maka ia tadi menanti sampai pemuda tani itu menarik keluar kebutannya, kemudian ia membentak. “Lihat pedang!” dan menikam dengan hebat.
Harus diketahui bahwa gadis ini mendapat latihan ginkang dari neneknya, yakni Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan dan mempunyai kepandaian ilmu pedang yang telah ditambah oleh pelajaran dan petunjuk dari Lian Hwa, maka ilmu pedangnya ini amat cepat dan gesit gerakannya! Akan tetapi, ketika Bun Gai mempermainkan kebutan yang mengeluarkan angin menyambar, baik Cin Han maupun Lian Hwa menjadi kagum sekali.
Mereka dapat menaksir bahwa ternyata Bong Cu Sianjin yang telah buntung tangannya itu telah menurunkan ilmu kepandaiannya kepada pemuda tani ini. Mudah mereka duga bahwa Mei Ling bukanlah lawan pemuda ini dan benar saja, setelah bertempur tigapuluh jurus lebih, pedang Mei Ling sama sekali tak berdaya dan bahkan beberapa kali pedang itu telah terlibat oleh ujung kebutan dan tak dapat dilepaskan!
Akan tetapi, tiap kali Mei Ling sudah merasa bingung dan gemas, Bun Gai sengaja melepaskan libatan kebutannya dan kembali Mei Ling menyerang dengan sia-sia, karena tak sebuahpun serangannya berhasil menyentuh ujung baju Bun Gai! Dan seperti juga tadi, Bun Gai sama sekali tidak mau membalas menyerang.
Hal ini membuat Mei Ling penasaran dan mendongkol sekali hingga hampir saja ia menangis!
“Kalau kau memang jantan, kau balaslah!” teriaknya sengit dan dengan isak hingga Lian Hwa dan Cin Han diam-diam geli. Orang sudah mengalah dan tidak mau membalas, akan tetapi gadis itu bahkan minta dibalas!
“Kita tidak bermusuh, mengapa aku harus membalas?” jawab Bun Gai sambil menyampok tusukan gadis itu dengan ujung kebutannya.
129
“Pengecut! Balaslah…… balaslah kalau kau memang laki-laki!” teriak Mei Ling dan kini mengeluarkan dua butir air mata dari matanya. Ia merasa gemas dan sakit hati sekali karena merasa betapa pemuda tani itu mempermainkannya seperti seekor kucing mempermainkan tikus.
Entah mengapa, tiba-tiba Bun Gai mengendurkan gerakan kebutannya dan ketika pedang Mei Ling menusuk ke arah dadanya, pemuda ini hanya mengelak sedikit. Terdengar suara kain robek dan dari pundak pemuda ini mengalir darah! Ternyata bahwa kulit pundaknya telah kena tergores pedang!
Melihat ini, tiba-tiba Mei Ling terkejut sekali dan melompat mundur. Gadis yang tadinya merasa gemas sekali ini, tak pernah menyangka bahwa ia akan melukai lawannya dan tahu-tahu sebuah serangan yang demikian sembarangan saja telah dapat melukai pundak pemuda tani itu. Ia seakan-akan dapat menduga bahwa pemuda itu sengaja memberikan kulit pundaknya tergores pedang.
Bun Gai menjura kepada Mei Ling dan tersenyum sambil berkata. “Nona lihai sekali, aku Yap Bun Gai yang bodoh mengaku kalah.”
Cin Han dengan kagum sekali melangkah maju dan berkata. “Saudara Yap, kepandaianmu benar-benar hebat dan pantas sekali kau menjadi murid Bong Cu Sianjin yang lihai. Kami memang tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan kau, dan apabila memang ada oleh karena kau mempunyai hubungan dengan suhumu, namun sikapmu ini cukup untuk menghapus semua sikap bermusuh yang ada di dalam dada kami. Sekarang tolong kau beritahukan kepada suhumu tentang kedatangan kami.”
“Maaf, terpaksa siauwte tak dapat memberitahukan di mana adanya suhu karena suhu telah pergi turun gunung kemarin bersama dengan suci Hek Li Suthai dan muridnya, entah ke mana tidak memberitahukan kepada siauwte, sedangkan Niang niang yang cuwi cari itu sedang bersamadhi di dalam kuil.”
“Agaknya kau tidak mau mengganggu Lan Bwee Niang-niang. Baiklah biar aku sendiri yang memanggilnya keluar.” Setelah berkata demikian, Lian Hwa lalu mengerahkan tenaga khikang pada suaranya lalu memanggil ke arah kuil itu.
“Lan Bwee Niang-niang!! Aku Ang Lian Lihiap telah datang menghadap! Kalau Niang-niang suka menerima kami, silakan keluar!”
Yap Bun Gai terkejut sekali mendengar suara ini yang mengandung tenaga dalam demikian hebatnya. Untung bahwa pendekar wanita ini tadi tidak turun tangan, kalau turun tangan ia merasa tak sanggup melawannya.
Tiba-tiba berkesiur angin dari dalam kuil dan mendengar suara halus. “Siancai!” Dan tahu-tahu tubuh Lan Bwee Niang-niang telah berada di depan mereka dengan tasbeh di tangan kiri dan kebutan di tangan kanan. Semua orang memandang kagum dan Cin Han serta isterinya maklum bahwa ilmu kepandaian pertapa wanita tua ini hebat sekali.
Cin Han berkata sambil menjura, “Niang-niang, apakah semenjak kita berpisah, Niang-niang selalu dalam keadaan baik?”
130
Pertapa wanita itu tertawa dengan suara ketawanya yang halus dan merdu. “Hwee-thian Kim-hong! Makin tua kau makin gagah dan isterimu juga masih cantik saja. Kau belum berubah dan masih tetap sopan santun seperti dulu, ha, ha!”
“Maaf, Niang-niang,” kata Lian Hwa. “Kami datang memenuhi undangan Bong Cu Sianjin pada beberapa hari yang lalu ketika ia melukai adikku ini dengan tendangannya.”
Lan Bwee Niang-niang memandang kepada Kong Liang, lalu berkata, “Undangan apakah yang kaumaksudkan, Ang Lian Lihiap?”
“Dia menantang kami.”
Lan Bwee Niang-niang menghela napas, “Memang Bong Cu masih berdarah panas. Pinni makin tua makin bernasib buruk hingga masih saja terbawa-bawa dan tersangkut oleh urusan permusuhan yang menjijikkan ini.”
“Hek Li Suthai juga sudah memberi penghormatan dan berkunjung di tempat kami!” kata Ang Lian Lihiap dengan suara tegas karena ia bermaksud bahwa dari pihak Lan Bwee Niang-niang masih ada sikap bermusuhan itu.
Kembali Lan Bwee Niang-niang menarik napas panjang.
“Ya, ya, memang aku tahu dan aku harus mempertanggungjawabkan segala sepak terjang mereka. Akan tetapi, Bong Cu yang mengundang kalian, kebetulan sedang turun gunung. Kalau kalian bertemu dengan dia atau dengan muridku di jalan dan terjadi pertempuran, aku orang tua yang sudah hampir mati tidak mau ambil perduli. Sebaliknya kalau kalian tetap hendak mengadakan pertandingan di atas puncak Hoa-mo-san ini, sekarang akulah yang mengundangmu dan datanglah di sini tiga bulan lagi pada saat bulan sedang purnama!”
Setelah berkata demikian, pendeta wanita yang tua sekali itu lalu menganggukkan kepala tanda memberi salam, lalu berjalan kembali memasuki kuil dengan perlahan.
Cin Han dan Lian Hwa saling memandang, kemudian mereka turun gunung setelah mengucapkan terima kasih kepada Bun Gai.
Pemuda tani ini berkata, “Siauwte juga merasa berduka sekali dengan adanya permusuhan-permusuhan yang tidak sehat ini. Mengapa orang harus bermusuhan? Apakah kita mempelajari sedikit ilmu kepandaian hanya untuk saling melukai dan saling membunuh?”
Sambil berkata demikian, ia melirik ke arah Mei Ling dengan pandangan mata yang jujur sehingga gadis itu menundukkan kepala dengan wajah merah.
Cin Han berkata, “Saudara Yap, kau memang baik sekali dan kamipun akan merasa gembira dan beruntung apabila suhumu memiliki kejujuran dan kemuliaan hati seperti kau! Dalam hal ini, agaknya kau harus menjadi guru dari Bong Cu!”
131
Bun Gai tercengang dan ia memandang kepada empat orang itu sampai keempatnya lenyap di bawah gunung. Pemuda ini berdiri termenung dan bayangan Mei Ling yang manis serta gagah itu terbayang di depan matanya.
Entah mengapa, selama hidupnya baru kali ini ia tertarik dan suka sekali kepada seorang gadis! Ia berdiri termenung lama sekali, kemudian ia mengambil cangkulnya dan mencakul tanah demikian kerasnya seakan-akan ia merasa gemas terhadap sesuatu, sehingga air lumpur memercik ke atas dan mengotori pakaiannya namun tidak dihiraukannya sama sekali!
Setelah berhasil menawan Tik Kong, Lo Sin bersama Lee Ing pergi meninggalkan perwira raksasa Can Kok In, lalu berhenti di sebuah jalan perempatan dan Lo Sin berkata kepada Lee Ing,
“Ing-moi, sekarang kita harus berpisah. Kau harus segera pulang dan menuturkan segala pengalamanmu kepada orang tuamu. Aku hendak mengantar bangsat ini ke Pek-ma-san agar ia mengakui semua perbuatannya di depan makam Kong-pehpeh. Setelah itu, jangan khawatir, aku tentu akan pergi menghadap Nyo-pekhu untuk memohon maaf dan aku akan menerima saja apabila Nyo-pekhu hendak memberi hukuman kepadaku.”
Akan tetapi Lee Ing memandangnya dengan matanya yang indah dan gadis ini menggeleng kepala.
“Ing-moi, jangan begitu. Kau pulanglah. Tidak kasihankah kau kepada ayah-ibumu? Mereka tentu merasa berkhawatir sekali karena kau pergi tanpa pamit. Lebih baik kau pulang sekarang juga agar mereka merasa tenteram dan girang.”
Kembali gadis itu menggeleng kepala, kali ini keras-keras dan sambil menggigit bibirnya.
“Eh, kenapa Ing-moi?” tanya Lo Sin dengan heran sekali.
Pertanyaan yang diucapkan dengan suara halus dan mengandung penuh perhatian ini merupakan dorongan terakhir bagi Lee Ing sehingga gadis ini tidak kuat lagi menahan tangisnya! Ia berdiri dengan tubuh bergoncang-goncang dan kedua tangannya menutupi muka. Dari celah-celah jari tangannya, butiran-butiran air mata menitik turun.
Lo Sin terkejut sekali dan ia mendiamkan saja kudanya yang makan rumput sedangkan Tik Kong masih pingsan dan rebah melintang di atas punggung kuda bagaikan seikat kayu. Pemuda ini merasa kasihan sekali dan ia tidak dapat menahan hatinya melihat gadis ini menangis demikian sedihnya dan tak terasa lagi kedua tangannya lalu terulur ke depan dan memegang kedua pundak gadis itu dengan sentuhan mesra.
“Ing-moi...... jangan menangis, Ing-moi…… ak…… aku tidak tahan melihatmu…...”
Mendengar suara ini dan merasa betapa pundaknya terpegang dengan mesra, entah mengapa, Lee Ing merasa hatinya seperti diremas-remas dan tangisnya makin menghebat lagi. Ia menangis sampai tersedu-sedu dan tubuhnya menjadi lemas dan kakinya menggigil karena perasaan hatinya yang menggelora. Ia merasa berduka sekali walaupun pada saat itu ia sendiri tidak mengerti mengapa ia merasa demikian sengsara dalam hatinya!
132
“Ing-moi...... diamlah, Ing-moi...... tenangkanlah hatimu……” bisik Lo Sin dan ia mendekap kepala itu ke dadanya!
Untuk beberapa lama Lee Ing tidak bergerak dan menangis di atas dada pemuda itu. Ia merasa amat senang, aman dan sentausa dalam dekapan pemuda itu seakan-akan seorang anak kecil dipeluk ibunya.
Tiba-tiba ia tersentak kaget dan merenggutkan kepalanya dari dada Lo Sin. Ia melangkah mundur dua tindak dan ketika melihat pandang mata Lo Sin yang mesra dan penuh perasaan itu, ia membelalakkan mata seperti seekor kelinci melihat ular! Bencinya timbul seketika terhadap pemuda ini.
“Kau…… kau…… orang kurang ajar. Laki-laki tidak sopan……!” Jari telunjuknya menuding ke arah muka Lo Sin dan jari itu gemetar.
Lo Sin terkejut sekali. “Ing-moi...... mengapa kau begitu marah? Apakah salahku terhadapmu?”
“Kau…… kau…… laki-laki kurang ajar! Kau mempergunakan kelemahan hatiku untuk berbuat kurang ajar dan memelukku! Lo Sin, kau seorang suami yang tidak setia! Kau mengkhianati dan mencurangi isterimu!” Gadis ini lalu menutup mukanya dan menangis lagi.
Tentu saja Lo Sin menjadi bengong dan memandang ke arah gadis itu dengan khawatir. Gilakah gadis ini karena kesedihannya? Ia melangkah maju dan mendekati.
“Ing-moi, tenanglah dan sadarlah kau! Aku tidak mengerti apa arti kata-katamu tadi. Suami tidak setia? Mencurangi isteri? Apa...... apa maksudmu?”
“Penipu busuk! Kau masih mau bersandiwara di depanku?” gadis itu memandang dengan mata merah. “Bukankah kau sudah beristeri? Dan kau masih memandang padaku dengan mata seperti itu? Cih, tidak tahu malu!”
Lo Sin merasa seakan-akan ada pedang tajam ditodongkan ke dadanya. Tak terasa lagi ia melangkah mundur dua tindak. Matanya terbelalak menatap wajah Lee Ing.
“Ing-moi, apa maksudmu? Siapakah yang sudah beristeri? Dari siapa kau mendengar berita gila ini? Aku belum pernah beristri! Apa kau mengimpi?”
Kini Lee Ing yang merasa terheran sehingga ia lupa untuk menangis.
“Apa? Kau belum beristeri? Dan…… dan surat orang tuamu dulu……?”
Kini tahulah Lo Sin bahwa tentu terjadi sesuatu yang tidak beres. Ia melangkah maju dan berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Ing-moi, apakah yang kau baca dalam, surat orang tuaku?”
Setelah menelan ludah beberapa kali, gadis ini berkata, “Dulu orang tuamu mengirim surat kepada orang tuaku, malah A-kwi, pesuruh kami itu terbunuh oleh perampok akan tetapi surat orang tuamu itu berhasil ditemukan oleh Tik Kong…… dan......”
133
Tiba-tiba Lee Ing menjadi pucat sekali dan memandang dengan mata terbelalak, ke arah tubuh Tik Kong yang masih menggantung di punggung kuda. Kemudian, tiba-tiba gadis ini tertawa bergelak-gelak dengan keras sehingga Lo Sin harus menangkap tangannya dan membentak.
“Lee Ing! Diamlah! Kau seperti mayat tertawa!”
Lee Ing masih menahan geli hatinya dan dengan air mata masih bercucuran, ia mendekap mukanya lagi dan suara ketawanya masih terdengar.
“Aku tahu...... ha, ha, aku tahu sekarang…… ha, ha…… alangkah bodohnya kita…… ha-ha......”
“Ing-moi, sabarlah dan ceritakan padaku dengan tenang!!”
“Ah, Sin-ko…… kami sekeluarga ternyata telah menjadi korban pengkhianatan dan kejahatan bangsat rendah itu! Dulu kami menyuruh A-kwi untuk memberi surat kepada orang tuamu, kemudian A-kwi pulang sambil membawa surat orang tuamu sebagai balasan. Dan A-kwi terbunuh oleh perampok, yakni menurut cerita bangsat itu, dan surat orang tuamu itu dibawa oleh Tik Kong. Dan…… dan isi surat itu menyatakan bahwa kau…… kau telah beristeri.”
Lo Sin tiba-tiba melepaskan lengan Lee Ing dan ia membanting-banting kaki.
“Keparat busuk! Jahanam besar!! Kalau saja tidak hendak membawanya ke Pek-ma-san, sekarang juga kuhancurkan kepala jahanam ini! Dengarlah, Ing-moi! Kau belum mengetahui semuanya. Di dalam surat orang tuaku sama sekali tidak disebut bahwa aku telah beristeri, bahkan ayah ibuku telah mengajukan...... lamaran padamu! Dapat kaubayangkan betapa menyesal hati ayah dan ibu ketika surat lamaran itu tidak dibalas oleh orang tuamu, bahkan tahu-tahu datang surat undangan bahwa kau…… akan menikah! Memang jahat benar Lui Tik Kong ini, tentu dia yang telah membunuh A-kwi dan telah mengubah isi surat orang tuaku!”
Keduanya diam untuk beberapa lama, memikirkan kecurangan yang jahat dari perwira she Lui itu, yang telah berhasil membuat Nyo Tiang Pek tertipu. Akhirnya dengan wajah kemerah-merahan Lee Ing bertanya.
“Tidak…… tidak salahkah kata-katamu tadi?”
“Kata-kata yang mana?”
“Bahwa…… bahwa keluarga Lo…… melamar aku……?” Ia menundukkan muka dan tidak berani menentang pandang mata Lo Sin yang memandangnya dengan tersenyum.
“Mengapa salah? Agaknya tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagi ayah, terutama bagi ibu, untuk berbesan dengan Nyo-pehpeh dan menjodohkan aku dengan kau!”
Lee Ing mengerling tajam tanpa berani memandang langsung.
“Dan kau sendiri?”
134
“Lebih-lebih aku! Ing-moi…… aku…… aku......” Lo Sin merasa betapa hatinya berdebar, mulutnya kering dan ia tak kuasa menggerakkan bibirnya lebih lanjut.
“Kau…… apakah, Sin-ko? Teruskan kata-katamu!”
“Aku suka kepadamu, Ing-moi,” akhirnya Lo Sin berbisik perlahan.
Lee Ing menundukkan kepala makin dalam hingga dagunya menempel di dada dan wajahnya makin merah sampai ke telinganya.
“Mungkinkah putera Ang Lian Lihiap yang gagah perkasa, putera pendekar besar yang terkenal pandai, suka kepada seorang bodoh, berkepandaian rendah dan bermuka buruk seperti aku?” bisiknya.
Lo Sin melangkah maju dan memegang kedua tangan gadis itu.
“Ing-moi,” bisiknya dengan suara gemetar karena penuh perasaan, “aku tidak perduli kau ini siapa dan puteri siapa, yang terpenting bagiku ialah kau sendiri, pribadimu yang menarik hatiku, semenjak aku melihatmu di dalam hujan badai itu sungguhpun aku belum tahu siapa adanya kau, aku…… aku telah yakin……”
“Teruskan, Sin-ko,” bisik Lee Ing tanpa berani mengangkat muka.
“Aku…… aku telah yakin bahwa kaulah orangnya, bahwa kau seoranglah dan bukan gadis lain, yang patut menjadi pujaanku……”
Mengalirlah air mata di kedua pipi dara itu, karena hatinya merasa terharu, girang, berduka, dan amat berbahagia. Tanpa terasa lagi, jari-jari tangannya membalas pegangan tangan Lo Sin hingga jari-jari tangan sepasang anak muda ini saling menekan dengan erat dan mesra.
Pada saat mereka saling memandang dengan mesra dan penuh rasa cinta kasih, tiba-tiba mereka dikejutkan oleh suara bentakan keras,
“Bangsat muda kurang ajar! Kau mencemarkan nama orang tuamu!” Dan tiba-tiba Nyo Tiang Pek dengan mata liar karena marahnya dan pedang di tangan telah berdiri di dekat mereka. Kemesraan tadi telah membuat Lo Sin dan Lee Ing tidak tahu dan tidak mendengar akan kedatangan orang tua gagah ini!
“Ayah……!” seru Lee Ing dengan wajah pucat dan tubuh menggigil.
“Jangan menyebut ayah kepadaku, anak yang membikin cemar nama orang tua!” katanya dan dua butir air mata mengalir dari kedua mata si Garuda Kuku Emas ini.
Kemudian ia memandang kepada Lo Sin seakan-akan hendak menelan pemuda itu bulat-bulat lalu berseru.
135
“Lo Sin, kau mengandalkan kepandaianmu dan kegagahan orang tuamu untuk menghina dan merendahkan aku! Kau telah melukai calon mantuku, merusak nama baikku dan kini kau menggoda puteriku! Bagus, hari ini kalau bukan kau tentu aku Nyo Tiang Pek yang mati di ujung pedang!” Setelah berkata begitu, ia menerkam maju, melakukan serangan kilat dengan pedangnya ke arah dada pemuda itu.
“Nyo-pehpeh, tahan dulu!” seru Lo Sin dengan terkejut sekali dan cepat mengelak.
“Siapa sudi menjadi peh-pehmu?” seru Nyo Tiang Pek yang menyerang lagi lebih hebat.
“Nyo-pehpeh!” teriak Lo Sin dengan bingung sekali, akan tetapi ia cepat melompat jauh menghindarkan serangan yang hebat dan berbahaya itu. Akan tetapi, Nyo Tiang Pek dengan marah yang meluap-luap mengejar dan menyerangnya lagi.
“Ayah……!” Lee Ing berteriak ngeri sambil menangis.
Akan tetapi, Nyo Tiang Pek yang sudah seperti gila karena marahnya, mendengar teriakan puterinya ini, menjadi makin marah dan terus menyerang makin hebat.
Lo Sin sibuk juga menghadapi serangan ini dengan tangan kosong, dan untuk mencabut pedangnya, ia tidak berani, karena maklum bahwa hal ini bahkan akan menambah kebencian orang tua ini kepadanya. Sambil mengelak cepat ia lalu berseru.
“Nyo-pehpeh, dengarlah keteranganku!”
“Tutup mulut dan cabutlah pedangmu kalau kau memang gagah!” Si Garuda Kuku Emas mendesak terus.
“Ayah……! Aku…… aku cinta padanya…...” kata Lee Ing tanpa disadarinya dengan suara memilukan.
Nyo Tiang Pek tersentak kaget. Tangannya menjadi lemas dan ia berhenti menyerang, memandang kepada puterinya dengan wajah pucat.
“Apa......? Anak durhaka, anak put-hauw (tidak berbakti)! Kau memalukan orang tua! Kau…… kau tergila-gila kepada seorang yang sudah beristeri? Jahanam rendah...... ah, Tiang Pek...... dosa apakah yang telah kaulakukan dulu......?” Pendekar ini menundukkan kepala dengan wajah sedih sekali.
“Nyo-peh-peh, dengarlah...... aku...... belum......”
”Diam kau, diam!! Jangan membuka mulutmu yang busuk dan penuh tipu muslihat! Pergilah kau!” Ia menuding kepada Lee Ing dan membentak marah. “Pergi kau dari padaku. Pergi!!”
“Ayah……!” Lee Ing menjerit lagi.
“Cukup……!” Pergi lekas, kalau tidak, akan terjadi ayah membunuh anaknya!”
136
“Marilah, Ing-moi.” Lo Sin menghampiri gadis itu dan menarik tangannya. “Marilah kita pergi saja dulu. Tak ada jalan lain......”
Sambil terisak-isak Lee Ing menurut saja tangannya ditarik pergi oleh Lo Sin.
Nyo Tiang Pek berdiri tak bergerak, memandang ke bawah seperti patung.
Tiba-tiba terdengar rintihan dan suara lemah, “Gak-hu (ayah mertua)……”
Pendekar tua ini menengok dan pada saat itu, Lui Tik Kong yang sudah siuman kembali lalu mencoba untuk bergerak, akan tetapi karena tubuhnya lemah sekali, ia bahkan terguling dari atas punggung kuda.
“Tik Kong...!” seru Nyo Tiang Pek perlahan dan ia memburu kepada pemuda itu.
Sedangkan Pek-liong-ma ketika merasa betapa beban di punggungnya telah lenyap dan melihat Lo Sin pergi meninggalkan tempat itu, lalu meringkik dan tiba-tiba ia berlari mengejar ke arah majikannya yang telah pergi jauh.
Sementara itu, Lee Ing yang ditarik tangannya oleh Lo Sin, berkali-kali menoleh dan memandang ayahnya dengan muka pucat dan mata penuh air mata. Tiba-tiba ia membetot tangannya hendak berlari kembali kepada ayahnya, akan tetapi Lo Sin memegang lengannya erat-erat dan pemuda ini menghibur.
“Jangan kau ganggu dia, Ing-moi. Ayahmu sedang marah sekali dan kemarahan telah menggelapkan pikirannya. Biarkanlah dulu, kelak kalau ia telah sadar dan dapat melihat duduknya persoalan, tentu dia akan menyesal dan akan mencarimu.”
Karena sedihnya melihat betapa ayahnya tadi memaki-makinya, memandangnya dengan penuh kebencian, bahkan lalu mengusirnya, Lee Ing berseru perlahan dengan hati hancur dan roboh pingsan.
Lo Sin cepat memeluk dan memondong tubuhnya. Pada saat itu, Pek-liong-ma berlari mendatangi dan Lo Sin sambil memondong tubuh Lee Ing lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu secepatnya meninggalkan tempat itu.
Dengan hati marah sekali dan sakit hatinya kepada Lo Sin makin besar, Nyo Tiang Pek menolong Tik Kong, kemudian ia mempergunakan kepandaiannya untuk mengobati luka di dada Tik Kong. Oleh karena luka ini terjadi karena pukulan Gin-san-ciang yang dilakukan oleh Lee Ing, maka tentu saja Nyo Tiang Pek tahu cara pengobatannya.
Telah dua kali dengan sekarang ini Lui Tik Kong terkena pukulan Gin-san-ciang dari Lee Ing, akan tetapi kali ini amat hebat hingga biarpun telah diobati oleh Nyo Tiang Pek, pemuda ini tetap saja harus digendong ketika Nyo Tiang Pek membawanya pulang.
Nyo Tiang Pek membawa perwira muda itu kembali ke Bong-kee-san dan ia disambut oleh isterinya dengan khawatir. Ketika dengan marah sekali Nyo Tiang Pek menceritakan kepada isterinya betapa ia
137
telah mendapatkan Lee Ing dan Lo Sin yang telah melukai Lui Tik Kong dan menceritakan pula betapa telah mengusir Lee Ing karena gadis itu dengan cara tidak tahu malu telah mengaku akan cintanya kepada si Walet Hitam.
Giok Lie menangis tersedu-sedu.
“Mengapa kau sekejam itu......?” tegurnya kepada suaminya. “Kau mengusir anak kita, ke mana aku harus mencarinya......?” ia menangis dengan sedih sekali.
“Biarlah, dia lebih cinta kepada bangsat rendah itu daripada kepada kita! Dia pergi melarikan diri dengan Lo Sin, pemuda liar itu! Kalau aku bertemu lagi dengan mereka, akan kubunuh kedua-duanya! Jahanam benar!!” Nyo Tiang Pek murka sekali dan kedua matanya menjadi merah.
Coa Giok Lie memandang kepada suaminya dan ketika melihat betapa dari ke dua mata suaminya itu turun menitik dua butir air mata dan melihat betapa dibalik kemarahan itu terbayang kedukaan yang maha hebat dan yang membuat mukanya menjadi nampak tua, tiba-tiba ia memeluk suaminya dan menjatuhkan mukanya di dada suami itu sambil menangis tersedu-sedu!
Nyo Tiang Pek mendekap kepala isterinya dan iapun menangis dan menyembunyikan mukanya di rambut isterinya.
“Nasib kita yang buruk, Giok Lie......” bisiknya.
Giok Lie tidak menjawab, hanya menangis terisak-isak, akan tetapi di dalam lubuk hati nyonya ini, terdapat rasa girang dan puas yang aneh sekali, yang merupakan nyala lampu yang menerangi keadaan yang gelap. Perasaan ini timbul ketika ia mendengar bahwa anaknya mencinta Lo Sin, dan bahwa anaknya pergi bersama pemuda putera Lian Hwa itu!
Nyo Tiang Pek merawat luka Tik Kong dengan telaten. Ia merasa kasihan sekali melihat Lui Tik Kong yang bernasib malang. Ia menganggap pemuda ini telah disakitkan hatinya oleh Lee Ing, akan tetapi tak sepatahpun kata penyesalan pernah diucapkan oleh pemuda itu kepadanya.
Tik Kong hanya berkali-kali menghela napas dan kelihatan sedih. Bahkan Giok Lie juga tertipu oleh sikap Tik Kong ini dan nyonya inipun timbul perasaan iba di dalam hatinya kepada pemuda ini.
Setelah sembuh dari lukanya, Nyo Tiang Pek lalu memberi pelajaran silat kepada pemuda itu. Ia menganggap bahwa Tik Kong patut dikasihani dan oleh karena ilmu kepandaian pemuda itu masih belum sempurna hingga berkali-kali ia mengalami kekalahan dan penghinaan, maka Nyo Tiang Pek lalu menurunkan ilmu kepandaian pedang dan juga Gin-san-ciang kepada pemuda ini.
Tik Kong merasa girang sekali dan ia melatih diri dengan giat. Oleh karena ia memang telah mempunyai dasar kepandaian yang cukup, maka ia dapat menerima pelajaran itu dengan mudah dan cepat.
Sebulan kemudian, Lui Tik Kong berpamit karena ia hendak kembali dan mengurus tugasnya sebagai perwira penjaga dan ia menyatakan bahwa ia akan keluar dari pekerjaan itu untuk pergi mencari Lo Sin dan membalas dendamnya.
138
“Baik, kau pergilah, Tik Kong!” kata Nyo Tiang Pek. “Dan mungkin sekali kau masih belum dapat melawan Lo Sin yang berkepandaian tinggi, akan tetapi jangan khawatir, orang yang benar tentu akan menang.”
Nyo Tiang Pek yang merasa kasihan dan terharu melihat keadaan pemuda ini, bahkan lalu memberikan pedangnya Ceng-lun-kiam yang tak pernah terpisah dari tubuhnya itu kepada Tik Kong. Tentu saja Lui Tik Kong merasa girang sekali dan ia pergi turun gunung dan setelah menyerahkan kembali tugasnya sebagai perwira kepada perwira lain, pemuda ini lalu pergi mulai dengan perantauannya untuk membalas dendam kepada Lo Sin.
Padahal sebenarnya ia merasa jerih sekali kepada si Walet Hitam dan ia bukan hendak membalas dendam dengan tangan sendiri, akan tetapi mau mencari kawan-kawan untuk bersekutu dan kemudian baru bersama-sama mencari dan mengeroyok Lo Sin si Walet Hitam yang gagah.
Pada suatu hari, Tik Kong tiba di dalam sebuah dusun yang ramai. Pemuda ini kini telah bebas dari tugas sebagai perwira, telah memiliki kepandaian tinggi karena pelajaran yang diterima dari Nyo Tiang Pek, bahkan kini memiliki pedang Ceng-lun-kiam yang ampuh, maka timbullah kembali nafsu jahatnya.
Ia merasai bahwa ia kini menjadi seorang gagah yang tidak takut kepada siapapun juga. Dan ia merupakan seekor burung alap-alap yang garang dan buas.
Ketika ia sedang lewat di depan sebuah rumah seorang hartawan itu, tiba-tiba ia melihat seorang gadis menjenguk dari jendela loteng rumah itu. Hatinya berdebar karena wajah gadis itu amat cantiknya. Gadis itu ketika melihat bahwa di bawah ada seorang pemuda tampan dan gagah sedang memandangnya, ia lalu cepat menarik kepalanya dari tirai jendela dengan wajah berubah merah.
Pemandangan ini sudah cukup untuk menggelorakan darah di dalam tubuh Lui Tik Kong dan menimbulkan pikiran jahat dalam kepalanya. Ia tidak jadi melanjutkan perjalanannya, bahkan lalu mencari rumah penginapan di dusun itu. Dan pada malam harinya, ketika suasana menjadi sunyi, ia lalu mempergunakan kepandaiannya melompat ke atas genteng dan menuju ke rumah hartawan di mana terdapat gadisnya yang cantik itu.
Ia sama sekali tak pernah menduga bahwa di dalam rumah gedung itu pada malam hari itu sedang menerima tiga orang tamu yang lihai yakni tiga orang tosu dari Kun-lun-san. Seorang diantara tosu ini adalah kakak daripada tuan rumah.
Maka, bukan main terkejutnya ketika baru saja ia mencari-cari di atas genteng, tiba-tiba dari bawah berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu seorang tosu berdiri di depannya sambil membentak.
“Penjahat dari mana berani datang main gila?”
Dalam gugupnya, Tik Kong lalu mencabut Ceng-lun-kiam dan menyerang tosu itu. Karena keadaan pada malam hari itu gelap sekali, maka ia tidak dapat melihat muka orang dengan jelas, demikian pun tosu itu tidak tahu sedang menghadapi siapa. Melihat berkelebatnya pedang yang bersinar hijau itu,
139
tosu ini menjadi terkejut dan cepat-cepat mencabut pedangnya dan menangkis. Akan tetapi begitu pedangnya bertemu dengan Ceng-lun-kiam, pedang itu menjadi patah.
Tik Kong memang berhati kejam sekali. Melihat hasil ketajaman pedangnya ini, ia lalu menusuk dengan serangan maut ke arah dada lawannya. Tosu itu terkejut dan mengelak sambil mengangkat kaki menendang. Tik Kong amat gesit dan dengan mudahnya ia dapat pula mengelak, lalu tiba-tiba ia berseru keras sambil mengayun tangan kirinya ke arah dada musuh.
Inilah pukulan Gin-san-ciang yang baru saja dipelajarinya. Namun, pukulan ini cukup lihai karena tubuh tosu dari Kun-lun-san itu terhuyung, setelah ia mengeluarkan seruan kaget. Dan pada saat tubuhnya terhuyung ke belakang, Tik Kong melangkah maju dan pedang Ceng-lun-kiam lalu menusuk tepat ke dada tosu itu hingga tembus! Si tosu berteriak mengerikan dan mencoba untuk mencengkeram tangan Tik Kong yang memegang pedang.
Tik Kong terkejut sekali karena ia tidak menyangka bahwa dalam keadaan dada tertembus pedang, tosu itu masih sempat menggunakan ilmu Houw-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Harimau). Terpaksa pemuda ini melepaskan pegangannya pada gagang pedang, untuk menghindarkan cengkeraman hebat itu dan tubuh tosu itu lalu jatuh menggelinding ke bawah genteng dengan pedang masih tertancap di dadanya.
Lui Tik Kong merasa menyesal sekali mengapa ia melepaskan pedangnya dan ia lalu cepat melompat turun untuk mengambil pedang itu dari tubuh tosu yang telah tewas itu. Akan tetapi, pada saat itu, dari dalam rumah berkelebat keluar dua orang tosu lain dengan pedang di tangan.
Tik Kong terkejut sekali karena melihat betapa gerakan dua orang tosu ini bahkan lebih hebat dan cepat dari pada gerakan tosu yang ia bunuh tadi, maka tanpa dipikir panjang lagi ia melarikan diri.
Ia mendengar seruan-seruan kaget dan menduga bahwa kedua orang tosu itu tentu mendapatkan kawan mereka yang mati, maka ia lalu melarikan diri lebih cepat lagi menuju ke rumah penginapannya, mengambil barang-barangnya dan malam itu juga ia pergi melarikan diri keluar dari dusun itu. Hatinya menyesal sekali karena baru beberapa hari saja pedang Ceng-lun-kiam pemberian Nyo Tiang Pek itu telah ia bikin hilang.
Sementara itu, kedua orang tosu setelah mencari-cari Tik Kong dengan sia-sia, lalu memeriksa keadaan saudara mereka yang tewas. Ketika melihat luka di dada bekas- pukulan Gin-san-ciang, dan terutama melihat pedang Ceng-lun-kiam, tosu-tosu terkejut sekali.
“Hei! Bukankah ini perbuatan Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas?” teriak Cu Bin Tosu, kakak tuan rumah. Kawannya, Cu Gi Tosu. Mengangguk-angguk sambil mengerutkan kening.
“Tak salah lagi,” katanya, “pukulan Gin-san-ciang dan pedang Ceng-lun-kiam ini adalah bukti-bukti nyata. Hanya aku merasa heran sekali mengapa Nyo Tiang Pek memusuhi kita orang-orang Kun-lun? Hal ini harus kita laporkan segera kepada su-couw!”
Dan pada keesokan harinya, kedua tosu dari Kun-lun-pai ini setelah mengurus jenazah kawannya, segera membawa pedang Ceng-lun-kiam kembali ke Kun-lun-san dan berita itu disambut oleh seluruh
140
pendeta Kun-lun dengan marah! Mereka mengambil keputusan untuk membalas dendam ini kepada Nyo Tiang Pek!
Sementara itu, dengan menyesal sekali Lui Tik Kong melanjutkan perjalanannya. Ia mengunjungi sahabat-sahabatnya yang banyak terdapat di tiap kota besar dan ia bertanya-tanya dan mencari-cari Hek Li Suthai.
Memang Tik Kong mempunyai maksud hendak bersekutu dengan to-kouw yang lihai itu. Akhirnya, ia dapat mencari to-kouw itu dan bertemu dengan Hek Li Suthai dan Bi Mo-li yang menjadi girang sekali karena Setan Cantik ini memang merasa suka kepada Tik Kong, yang muda dan tampan.
Lui Tik Kong merasa berbesar hati oleh karena melihat bahwa Bong Cu Sianjin, pertapa buntung itupun berada bersama Hek Li Suthai. Ia telah mendengar tentang kelihaian kakek buntung ini dan dari Kong Sin Ek dulu seringkali ia mendengar tentang permusuhan yang ada antara kakek buntung ini dengan Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya.
Kalau ia mendekati kakek ini, berarti ia mendapat seorang pembela yang tangguh, bahkan seorang yang menjadi musuh Ang Lian Lihiap, hingga dengan sendirinya Lo Sin juga menjadi musuh mereka.
Ia kini tak perlu merasa takut lagi, bahkan ia pergunakan kepandaiannya untuk menarik dan mengambil hati Bong Cu Sianjin. Dan betul saja, baru saja beberapa hari berkumpul, Bong Cu Sianjin, seperti juga Kong Sin Ek, Nyo Tiang Pek dan yang lain-lain, telah terpikat oleh sikap Tik Kong yang pandai membawa diri dan mengambil hati hingga Bong Cu Sianjin merasa senang sekali dan bahkan melatih pemuda ini dengan berbagai ilmu silat.
Tentu saja Tik Kong merasa girang dan ilmu kepandaiannya makin maju. Dan dengan berterang ia lalu menjadi kekasih Bi Mo-li, hingga hubungan mereka makin erat saja. Hek Li Suthai yang tidak perdulikan sama sekali tentang hal ini, juga menaruh kepercayaan kepada Tik Kong dan menganggap pemuda ini sebagai orang sendiri.
Bong Cu Sianjin dan Hek Li Suthai mempergunakan sebuah kuil kosong dan kuno sebagai tempat tinggal sementara. Dengan pandai, Tik Kong lalu menuturkan perihal permusuhannya dengan Lo Sin, berpura-pura tidak tahu akan permusuhan yang ada antara mereka dengan keluarga Lo.
Tentu saja ketiga kawannya makin suka dan percaya kepadanya, dan mereka lalu bermufakat untuk mencari dan membalas dendam kepada si Walet Hitam.
Pada suatu hari mereka berempat bertemu dengan Kim-gan-eng Coa Bwee Hwa, gadis perantau yang perkasa itu. Kim Gan Eng sedang berjalan seorang diri karena ia hendak mencari Lee Ing, kawan barunya yang menarik hatinya itu.
Ia lalu mendengar bahwa Lee Ing tinggal di Bong-kee-san dengan ayahnya, Nyo Tiang Pek yang tersohor, maka ia lalu mengambil keputusan untuk berangkat ke Bong-kee-san mencari Lee Ing dan sekalian bertemu dengan si Garuda Kuku Emas yang telah lama ia kagumi namanya.
Akan tetapi, ketika lewat di dalam hutan, tak tersangka-sangka ia berhadapan dengan Tik Kong, Hek Li Suthai, Bi Mo-li, dan seorang pendeta buntung.
141
Tentu saja Kim-gan-eng terkejut sekali oleh karena ia maklum bahwa mereka ini adalah, orang-orang jahat musuh Lee Ing yang lihai sekali. Maka ia lalu bermaksud hendak melarikan diri, akan tetapi, Hek Li Suthai melompat dan mencegatnya, sambil tersenyum iblis dan berkata.
“Kim-gan-eng. Gurumu dulu menghinaku dan sekarang kaulah yang harus menebus penghinaan itu!!'
Dalam keadaan terjepit, Bwee Hwa timbul ketabahannya dan ia berlaku nekad, lalu mengeluarkan pedangnya dan membentak.
“To-kouw jahat! Kau takut menghadapi suhuku, dan hendak mendesak aku! Boleh, boleh! Apa kaukira aku, takut kepadamu?” Lalu ia menubruk dan menyerang dengan hebat.
Ilmu kepandaian Bwee Hwa sudah maju pesat sekali setelah perjumpaannya dengan gurunya akhir-akhir ini karena Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan telah melatihnya lagi dengan ilmu-ilmu silat yang tinggi, maka serangannya juga luar biasa berbahayanya. Hek Li Suthai terkejut dan cepat mengeluarkan ilmu sepasang pedangnya yang lihai dan membalas serangan Bwee Hwa dengan tak kalah serunya.
Mereka lalu bertempur ramai dan biarpun Bwee Hwa masih kalah setingkat ilmu kepandaiannya apabila dibandingkan dengan Hek Li Suthai, namun kegesitan dan kenekadannya membuat Hek Li Suthai sukar sekali untuk dapat mengalahkannya.
Melihat hal ini, Lui Tik Kong yang tertarik oleh kecantikan Bwee Hwa, menjadi tidak sabar dan ia lalu melompat maju hendak mengeroyok, akan tetapi Bong Cu Sianjin lalu menegurnya.
“Jangan main keroyokan, memalukan aku saja!” kemudian, kakek buntung ini berseru kepada Hek Li Suthai.
“Ceng Hwa, kau mundurlah dan biarkan aku menangkap gadis ini.”
Mendengar seruan ini, Hek Li Suthai lalu melompat mundur dan tiba-tiba Bwee Hwa melihat berkelebatnya bayangan yang luar biasa gesitnya dan tahu-tahu kakek buntung itu telah berdiri di depannya dengan senyum lebar!
Ia maklum bahwa kakek ini adalah Bong Cu Sianjin yang ternama sekali karena lihai dan jahatnya maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menyerang dengan pedangnya. Betapapun lihainya, masa ia akan kalah oleh kakek yang sudah tidak bertangan ini, pikirnya! Akan tetapi, tiba-tiba ia terkejut sekali oleh karena kaki kiri Bong Cu Sianjin melayang ke atas dan menendang pergelangan tangannya yang memegang pedang! Hampir saja pergelangan tangannya kena tendangan, sedangkan angin tendangan itu saja sudah menggetarkan tangannya!
Ia berlaku hati-hati dan menyerang lagi dengan mengeluarkan ilmu pedangnya yang lihai. Akan tetapi, tanpa pindah dari tempatnya sambil masih tetap tersenyum, lagi-lagi Bong Cu Sianjin menggerakkan kakinya menendang ke arah pergelangan gadis itu.
Dengan perlawanan begini saja, Bwee Hwa sudah tak berdaya oleh karena setiap serangannya selalu dipecahkan oleh tendangan kaki yang benar-benar hebat itu. Selagi ia merasa sibuk, tiba-tiba tubuh
142
Bong Cu Sianjin bergerak maju cepat sekali dan kakinya digerakkan berganti-ganti mengirim tendangan-tendangan kilat!
Tentu saja Bwee Hwa menjadi sibuk sekali, ia mencoba untuk memutar pedangnya membabat kaki yang mengancamnya itu, akan tetapi ketika pedangnya terbentur oleh kaki itu, pedangnya melayang karena terlepas dari pegangannya, dan sebelum ia dapat mengelak, ujung kaki kiri Bong Cu Sianjin telah melayang ke atas dan tahu-tahu ujung kaki itu telah dapat menotok jalan darahnya hingga ia roboh tak dapat bergerak lagi!
Bi Mo-li segera melangkah maju dengan pedang di tangan. Ia bermaksud membunuh Kim-gan-eng, akan tetapi tiba-tiba Hek Li Suthai mencegahnya.
“Bi-niang jangan kau bunuh dia! Pat-chiu Koai-hiap tidak pernah mengganggu kita, hanya menghinaku sedikit. Kitapun harus membalas hinaan itu dan untuk sementara waktu menahan Kim-gan-eng sampai Oei Gan datang menolong muridnya ini!”
Biarpun hatinya merasa gemas karena cemburu melihat betapa Tik Kong selalu menujukan pandang matanya dengan penuh gairah kepada gadis itu, namun Bi Mo-li tidak berani membantah perintah gurunya, maka ia mengeluarkan sabuk suteranya dan mengikat kedua tangan Kim-gan-eng dengan sabuk itu.
Pada saat itu, dari jauh berlari-lari datang dua bayangan yang cepat sekali larinya seakan-akan terbang. Setelah dua orang itu datang dekat, mereka terkejut juga karena yang datang adalah dua orang saudara kembar she Song, yakni Kong Liang dan Mei Ling!
Bagaimana kedua saudara kembar bisa kebetulan datang di tempat itu? Ternyata bahwa setelah mereka berdua bersama suami isteri Cin Han dan Lian Hwa turun dari Hoa-mo-san karena gagal menjumpai dan mencari Bong Cu Sianjin, Lian Hwa dengan sedih menuturkan tentang surat Nyo Tiang Pek. Mendengar hal ini, kedua saudara kembar itu terkejut sekali.
“Jangan khawatir suci, kami berdua akan pergi menemui Nyo-twako dan mendamaikan urusan ini,” kata Kong Liang.
“Benar, cici, ini adalah kewajiban kami berdua. Kesalahpahaman ini harus dibereskan dan diterangkan,” kata Mei Ling.
Maka berangkatlah kedua saudara kembar ini dengan tergesa-gesa karena mereka merasa gelisah sekali menghadapi urusan yang ruwet itu. Dan ketika mereka tiba di hutan, mereka melihat betapa Bong Cu Sianjin, Hek Li Suthai, Bi Mo-li dan seorang pemuda tampan sedang menawan seorang gadis cantik dan gagah. Tentu saja melihat musuh besarnya ini, Kong Liang dan Mei Ling menjadi marah sekali.
“Bagus sekali, Bong Cu. Kami mencarimu di Hoa-mo-san, akan tetapi kau tidak berada di sana. Tidak tahunya kau berada di sini melakukan perbuatan sewenang-wenang.”
143
Melihat Kong Liang, Bong Cu Sianjin tertawa bergelak. “Ha, ha, ha. Kong Liang, kau masih belum mampus? Majulah, anak muda agar kau dapat berkenalan untuk kedua kalinya dengan sepasang sepatuku!”
Kong Liang menjadi marah sekali, akan tetapi Mei Ling yang merasa sakit hati karena kakaknya pernah terluka oleh pendeta buntung ini, mendahuluinya dan menyerang dengan pedangnya sambil berseru.
“Pendeta rendah budi. Lihat pedang!”
Bong Cu Sianjin maklum akan kelihaian Mei Ling, maka ia cepat mengelak dan balas menyerang dengan tendangan kakinya yang lihai.
Sementara itu, ketika melihat Kim-gan-eng rebah di atas tanah dengan tangan dan kaki diikat, dan melihat betapa gadis yang cantik jelita itu memandangnya dengan mata memohon pertolongan, tergeraklah hati Kong Liang. Secepat kilat ia lalu mencabut pedangnya dan menyerang Bi Mo-li yang sedang mengikat kaki Bwee Hwa.
Bi Mo-li terkejut sekali dan melompat jauh karena ia telah mengenal lihainya pemuda ini yang pernah mengalahkan gurunya. Dan ketika Hek Li Suthai melangkah maju hendak menyerang, Kong Liang telah menggerakkan pedangnya dan sekali babat saja putuslah ikatan tangan dan kaki Bwee Hwa.
Melihat bahwa gadis ternyata lemas tak dapat bergerak, Kong Liang maklum bahwa gadis ini tentu terkena totokan, maka ia lalu mencabut keluar saputangannya dan dengan menggunakan kain ini ia mengebut ke arah pundak Bwee Hwa. Seharusnya untuk membebaskan totokan, orang harus mempergunakan ujung jari tangannya, akan tetapi agaknya Kong Liang merasa malu-malu dan sungkan untuk menyentuh pundak Kim-gan-eng dengan jari tangannya, maka sebagai pengganti jari tangan, ia mempergunakan ujung saputangannya, yang digerakkan dengan lweekang.
Perbuatan ini amat mengagumkan hati Bwee Hwa, oleh karena tidak saja memperlihatkan kelihaian Kong Liang, akan tetapi juga menunjukkan bahwa pemuda yang tampan dan gagah itu ternyata berwatak sopan.
Kong Liang menolong Bwee Hwa bukan hanya karena ia merasa kasihan, akan tetapi juga karena terdorong oleh kecerdikannya. Ia telah maklum akan kelihaian Bong Cu Sianjin dan Hek Li Suthai, maka dengan menolong gadis yang kelihatan gagah itu, berarti di pihaknya akan bertambah seorang pembantu lagi.
Memang benar dan tepat dugaannya, karena begitu terbebas dari totokan, Bwee Hwa memandangnya dengan penuh pernyataan terima kasih, kemudian, tanpa berkata apa-apa, Bwee Hwa lalu memungut pedangnya yang tadi terlempar ke atas tanah, lalu membantu Mei Ling mengeroyok Bong Cu Sianjin!
Sementara itu, Hek Li Suthai, Bi Mo-li dan Tik Kong lalu maju mengeroyok Kong Liang! Pertempuran hebat terjadi dan kedua pihak berkelahi mati-matian. Bong Cu Sianjin yang berlengan buntung, biarpun dikeroyok oleh Mei Ling dan Bwee Hwa, namun ia dapat bergerak cepat, bahkan kakinya yang lihai itu dapat mendesak kedua orang gadis itu.
144
Sebaliknya, Kong Liang juga merasa sibuk menghadapi keroyokan ketiga lawannya, terutama Tik Kong dan Hek Li Suthai. Tik Kong telah mendapat kemajuan hebat dalam ilmu silatnya, berkat latihan-latihan yang diterimanya dari Nyo Tiang Pek dan baru-baru ini dari Bong Cu Sianjin, dan desakan-desakannya membuat Kong Liang terheran-heran, karena ia mengenal ilmu pedang Nyo Tiang Pek.
Ia menduga-duga siapa adanya pemuda tampan ini, akan tetapi ketiga orang lawannya tak memberi kesempatan padanya untuk banyak bertanya atau menaruh perhatian kepada Tik Kong seorang saja. Terpaksa ia mempergunakan ginkang yang hebat untuk menghadapi ketiga orang lawan yang amat tangguh ini.
Lebih dari seratus jurus mereka bertempur seru dan di dalam hutan yang sunyi itu hanya terdengar suara senjata mereka berdua pihak. Tiba-tiba terdengar Bong Cu Sianjin tertawa berkakakan dan ketika Kong Liang melihat, ia menjadi terkejut sekali karena untuk kedua kalinya, Bwee Hwa telah roboh terkena tiam-hwat (ilmu totokan) ujung kaki Bong Cu Sianjin yang benar-benar lihai.
Melihat betapa Bwee Hwa telah dirobohkan, Mei Ling menjadi marah sekali, dengan gerak tipu Naga Sakti Mengebut Ekor ia menusuk dengan pedangnya ke arah tenggorokan Bong Cu Sianjin. Kakek buntung yang lihai ini, tiba-tiba berjongkok hingga tusukan pedang gadis lewat di atas kepalanya dan dari bawah Bong Cu lalu menyerampang kedua kaki Mei Ling dengan kaki kirinya.
Sabetan kaki ini cepat dan kuat sekali hingga Mei Ling menjadi terkejut. Gadis ini lalu mempergunakan ginkangnya dan ketika ia mengenjot tubuhnya melayang ke atas hingga ia berhasil menghindarkan diri dari serampangan kaki lawan. Akan tetapi, tak tersangka sama sekali, tubuh Bong Cu Sianjin yang tadi masih berjongkok, tahu-tahu telah melompat ke atas pula dan kaki kanannya bergerak cepat menendang ke arah lambung Mei Ling.
Mei Ling berseru keras dan menggunakan tangan kiri menolak tendangan ini, akan tetapi, kaki kiri kakek buntung itu telah menyusul dan dengan tepat menotok iganya hingga sambil mengeluh Mei Ling lalu roboh tak dapat bergerak lagi. Kembali Bong Cu Sianjin tertawa bergelak.
“Ha, ha, ha! Kita tawan mereka, kita tahan keduanya, biar Ang Lian Lihiap sendiri datang menolong mereka!” kata Bong Cu Sianjin.
Tadinya Kong Liang hendak berlaku nekad dan mengamuk karena melihat betapa kedua orang gadis itu telah dirobohkan dan tertawan, akan tetapi ketika mendengar ucapan ini, ia mendapat pikiran lain. Ia maklum bahwa ia tentu takkan dapat menghadapi semua lawan ini seorang diri saja, terutama Bong Cu Sianjin yang amat kosen itu, maka ia lalu melompat mundur dan melarikan diri, diikuti oleh suara tertawa dari Bong Cu Sianjin yang mengejek!
Kedua orang gadis yang tertotok itu lalu diikat kaki tangannya dan dibawa ke kuil, dimasukkan dalam sebuah kamar dan dijaga. Mereka ini tak berdaya sama sekali.
Untung bagi mereka bahwa yang menawan mereka bukan Tik Kong sendiri. Kalau saja mereka itu terjatuh dalam tangan Tik Kong, maka keadaan mereka berbahaya sekali. Akan tetapi, biarpun Tik Kong merasa girang dan hatinya tergila-gila melihat kecantikan dua orang tawanan ini, namun di situ ada Hek Li Suthai dan Bi Mo-li yang membuat ia tidak berani bermain gila dan tidak berani mengganggu Mei Ling atau Bwee Hwa.
145
Kong Liang dengan hati bingung sekali masih berada di dalam hutan itu. Ia tidak melarikan diri jauh dan dengan hati marah dan berduka melihat dari tempat persembunyiannya betapa adiknya dan gadis gagah itu diikat kaki tangannya dan dibawa ke dalam sebuah kuil tua.
Di dalam hatinya ia sedikit merasa lega oleh karena maklum bahwa keadaan kedua orang gadis itu untuk sementara waktu tidak sangat mengkhawatirkan oleh karena agaknya Bong Cu Sianjin hendak mempergunakan mereka sebagai orang-orang tawanan atau umpan untuk memancing datangnya Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong!
Akan tetapi, sampai berapa lamakah keselamatan kedua gadis itu terjamin? Untuk kembali ke Tit-lee dan mengabarkan hal ini kepada Ang Lian Lihiap dan suaminya, terlalu lama.
Ia tidak tega untuk meninggalkan adiknya dalam tangan orang-orang jahat itu. Akan tetapi, untuk turun tangan menolong, juga sukar baginya oleh karena hal ini takkan berguna, bahkan besar kemungkinan ia sendiri akan roboh! Kalau ia sendiri sampai roboh di tangan Bong Cu Sianjin atau terluka dan tertawan, akan lebih buruk lagi keadaan mereka dan akan lebih tipis harapan untuk menolong.
Maka ia duduk di dalam hutan itu sambil termenung dan berduka. Ia Memutar-mutar otaknya mencari jalan, akan tetapi agaknya tidak ada jalan lain kecuali nekad menyerbu seorang diri atau cepat-cepat pergi ke Tit-lee mengabarkan dan minta pertolongan kepada Ang Lian Lihiap dan suaminya.
Sementara itu, hari telah menjelang senja dan keadaan telah mulai gelap. Kong Liang telah mengambil keputusan tetap, untuk pergi ke Tit-lee, ia tidak tega meninggalkan adiknya lama-lama di tangan musuh-musuh itu. Maka ia mengambil jalan kedua, yakni setelah hari menjadi gelap, ia hendak menyerbu dan mencoba menolong mereka. Lebih baik mati bersama adiknya daripada adiknya terganggu oleh mereka dan ia tidak berdaya menolong.
Pada saat ia masih duduk dengan bengong, tiba-tiba terdengar suara orang menegur, “Song taihiap, mengapa kau duduk di sini seorang diri?”
Kong Liang merasa terkejut dan tak terasa pula ia melompat berdiri sambil mencabut pedangnya. Akan tetapi ketika melihat siapa yang berdiri dihadapannya ia mengurungkan maksud hendak mencabut pedang, dan dimasukkan lagi pedang yang sudah tercabut setengahnya itu.
“Kau di sini?” tanyanya dan memandang kepada wajah Yap Bun Gai dengan tajam.
Ternyata bahwa yang berdiri di depannya itu adalah pemuda petani yang dulu dijumpainya di puncak Hoa-mo-san, yakni pemuda murid Bong Cu Sianjin yang lihai. Biarpun ia tahu bahwa pemuda ini berhati baik, namun betapapun juga pemuda ini adalah murid Bong Cu Sianjin, maka Kong Liang bersikap dingin kepadanya.
“Song taihiap, ada terjadi apakah? Kau pucat dan kelihatan khawatir sekali. Apakah kau telah berkelahi lagi dengan suhu?”
146
Tentu saja Kong Liang merasa malu untuk mengakui betapa ia dan adiknya kembali dikalahkan oleh Bong Cu Sianjin, maka ia lalu menjawab dengan ketus, “Kau boleh ikut bergirang hati. Gurumu yang gagah dan baik itu telah dapat menawan adikku dan seorang gadis lain.”
Tiba-tiba berubah wajah Bun Gai yang tampan dan jujur. “Adikmu tertawan? Ah......” hanya demikian ia berkata dan kemudian ia cepat hendak pergi dari situ, seakan-akan ia tergesa-gesa sekali.
“Hai, kau hendak ke mana?” tegur Kong Liang yang merasa heran juga me-lihat pemuda ini tiba-tiba muncul di situ.
Bun Gai menahan langkah kakinya. “Aku diperintah oleh Niang-niang untuk menemui suhu di kuil dalam hutan ini.”
Kemudian setelah menjura tanpa berkata apa-apa lagi pemuda itu lalu melompat pergi dengan cepat sekali.
Kong Liang menghela napas panjang. Celaka, pikirnya. Kini pihak mereka kedatangan seorang yang tangguh lagi. Ia telah mengetahui kelihaian pemuda tani ini yang dengan mudah dulu telah mempermainkan Mei Ling. Ia tahu bahwa ilmu kepandaian pemuda ini lebih lihai dari Mei Ling dan bahkan mungkin sekali lebih lihai dari kepandaiannya sendiri. Biarpun pemuda itu dulu memperlihatkan sikap baik, namun apabila berhadapan dengan suhunya, terpaksa pemuda itu tentu harus membantu suhunya.
Kong Liang merasa makin khawatir dan harapannya untuk dapat menolong adiknya makin menipis. Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa ia menjadi takut. Bahkan mengambil keputusan nekad untuk mengadu jiwa.
Sementara itu dengan rasa hati tidak keruan, Yap Bun Gai berlari cepat sekali ke kuil di mana Bong Cu dan yang lain-lain berada. Melihat kedatangan muridnya, Bong Cu tertawa lebar dan bertanya.
“Bun Gai, mengapa kau menyusul ke sini? Apakah kau disuruh oleh suci?”
Sambil berlutut di depan suhunya, Bun Gai menjawab, “Betul, suhu. Niang-niang telah memerintahkan kepada teecu untuk menghadap kepada suhu yang telah dicari oleh Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong naik ke Hoa-mo-san.”
Kemudian ia menceritakan semua hal yang terjadi di Hoa-mo-san, akan tetapi ia tidak menceritakan pertempurannya dengan Mei Ling.
Ketika mendengar bahwa Lan Bwe Niang-niang telah mengundang Ang Lian Lihiap untuk datang bersama suaminya ke Hoa-mo-san tiga bulan lagi, Bong Cu Sianjin tertawa bergelak-gelak.
“Bagus, bagus!” katanya. “Suci memang cerdik sekali. Dia telah mengundang datang Ang Lian Lihiap untuk tiga bulan lagi di puncak Hoa-mo-san dan sementara itu, aku dapat mencari kawan-kawan untuk membantuku nanti.”
147
“Dan Niang-niang berpesan supaya suhu dan saudara-saudara lain jangan turun tangan atau mengganggu pihak musuh sebelum tiba waktu itu, oleh karena Niang-niang khawatir kalau-kalau pihak kita akan dianggap tidak memegang teguh perjanjian.” Bun Gai berkata kembali, dan kali ini yang diucapkan adalah kata-kata menurut suara hatinya.
“Tentu, tentu!” kata Bong Cu Sianjin sambil mengangguk-anggukkan kepala. “Kita juga orang-orang gagah yang dapat menghargai nama sendiri. Bun Gai ketahuilah aku menawan dua orang musuh-musuh kita dan karena hendak menjaga nama baiklah maka sehingga saat ini kedua orang musuh itu tidak kubinasakan.”
Kemudian dengan suara sombong sekali Bong Cu Sianjin memamerkan kepada muridnya betapa dengan mudah ia menjatuhkan dan menawan Mei Ling dan Bwee Hwa.
Bun Gai sengaja memperlihatkan muka tidak mengacuhkan sama sekali. Biarpun di dalam dadanya, jantungnya berdebar ketika mendengar betapa Mei Ling, gadis jelita yang secara aneh sekali telah membuat ia serba salah, makan tak sedap tidur tak nyenyak dan wajah gadis itu semenjak pertempuran dulu itu terbayang-bayang di depan matanya bahkan muncul tiap malam di alam mimpinya.
Malam hari itu, Kong Liang datang menyerbu. Ia meloncat ke atas genteng kuil dan tentu saja kedatangannya ini telah diketahui oleh Bong Cu Sianjin dan kawan- kawannya yang segera melompat ke atas untuk menyambutnya.
Tiba-tiba, kuil di sebelah kiri nampak terbakar hingga Bong Cu Sianjin menjadi terkejut sekali. Ia mengira bahwa Kong Liang datang berkawan maka cepat ia memberi perintah.
“Hai, kau Tik Kong dan Bi-niang menjaga di sebelah kiri dan kau Ceng Hwa, kau menjaga di belakang kuil. Biar aku sendiri menghadapi pemuda ini. Bun Gai, kau menjaga di bawah dan awas jangan sampai ada musuh menyerobot ke dalam dan merampas tawanan kita.”
Semua orang melakukan tugas yang diperintahkan oleh kakek buntung itu. Tak seorangpun menyangka bahwa pembakaran di sebelah kiri kuil tadi dilakukan oleh Bun Gai yang telah dapat tahu lebih dulu akan serbuan Kong Liang membarengi aksi pemuda itu dengan membakar kuil.
Kebetulan sekali ia diberi tugas menjaga di bawah, maka ia lalu cepat meruntuhkan pintu kamar tahanan Mei Ling dan Bwee Hwa. Ketika Mei Ling melihat siapa orangnya yang datang dengan pedang di tangan, tiba-tiba wajahnya menjadi merah. Apalagi ketika tanpa banyak cakap Bun Gai lalu menggunakan pedangnya untuk memutuskan semua tali yang mengikat Bwee Hwa kemudian menepuk pundak mereka membebaskan pengaruh totokan, gadis ini berbisik.
“Terima kasih!”
Akan tetapi setelah melepaskan mereka, tiba-tiba Bun Gai berseru nyaring sekali. “Bangsat perempuan rendah! Kalian hendak lari ke mana?” dan ia lalu menyerang Mei Ling dengan pedang di tangan kiri, ia melempar dua batang pedang gadis itu yang tadi telah diambilnya dari ruang dalam di mana pedang kedua orang gadis itu disimpan!
148
Tentu saja Bwee Hwa menjadi kaget dan heran dan menyangka bahwa orang yang menolongnya ini tentu seorang gila! Akan tetapi, sambil menangkis serangan Bun Gai dengan pedang di tangan kanan dan mengusap matanya yang tiba-tiba terasa pedas dan mengalirkan air mata karena terharu, Mei Ling lalu berkata, “Adik Bwee serang dia!”
Biarpun ragu-ragu karena diharuskan menyerang seorang yang telah menolongnya, akan tetapi karena selama dalam tahanan dan bicara serta mengenal Mei Ling sebagai seorang wanita gagah yang lebih tinggi kepandaiannya dari dia sendiri, juga lebih tua usianya, maka Bwee Hwa segera mentaati perintah ini dan mengeroyok Bun Gai!
Bun Gai melawan mereka dengan pedangnya yang diputar hebat sekali dan tiada hentinya pemuda ini berteriak-teriak,
“Penjahat perempuan! Kali ini kalian pasti mampus di tangan Yap Bun Gai!”
Kemudian, dengan suara perlahan sekali ia berbisik kepada Mei Ling. “Lekas melarikan diri ke atas genteng dan pada saat aku mengejar, jangan ragu-ragu kau lukai aku!”
Mendengar ini, dengan terharu sekali Mei Ling mengangguk dan karena ia maklum bahwa di situ terdapat Bong Cu Sianjin, Hek Li Suthai dan lain-lain yang amat lihai, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu berseru. “Adik Bwee mari kita lari!” Mereka lalu melompat keluar dan terus naik ke atas genteng!
“Penjahat-penjahat perempuan, hendak lari ke mana?” Bun Gai mengejar dan juga melompat naik ke atas genteng!
Akan tetapi, baru saja ia naik, Mei Ling sudah mengirim tusukan ke arah dadanya dan ketika melihat betapa pemuda ini sama sekali tidak menangkis, Mei Ling terkejut sekali dan cepat miringkan pedangnya ke atas hingga tidak menusuk ke dada, akan tetapi meleset dan melukai pundak Bun Gai! Darah mengalir dan Bun Gai berteriak keras. “Aduh!” tubuhnya lalu terguling ke bawah!
Pada saat itu, Bong Cu Sianjin sedang mendesak Kong Liang dengan hebat sekali. Mendengar teriak Bun Gai dan melihat betapa tubuh muridnya itu terguling, kakek buntung ini terkejut dan cepat melompat ke bawah. Melihat betapa muridnya jatuh sambil berdiri dan tidak menderita luka berat, ia marah sekali kepada lawan-lawannya dan berseru.
“Kalian lari ke mana?” Ia hendak melompat mengejar, akan tetapi Bun Gai cepat mencegah.
“Suhu biarlah mereka itu lari. Tiga bulan lagi kita membuat pembalasan di Hoa-mo-san!”
Bong Cu Sianjin teringat dan ia menahan kakinya.
Sementara itu Mei Ling cepat berseru kepada Kong Liang. “Koko, lekas lari!”
Kong Liang merasa heran dan girang sekali melihat bahwa adiknya dan Bwee Hwa telah terbebas dari ikatan, maka tanpa membuang waktu lagi ia lalu ikut melarikan diri.
149
Tiba-tiba Hek Li Suthai, Tik Kong, dan Bi Mo-li yang melihat mereka melarikan diri, lalu mengejar. Hek Li Suthai mengayunkan tangannya berkali-kali dan senjata rahasia yang berwarna hitam dan halus sekali bentuknya menyambar ke arah tiga orang itu.
“Awas jarum rahasia!” seru Kong Liang sambil membalikkan tubuh dan memutar-mutarkan pedangnya untuk melindungi kedua orang gadis itu.
Beberapa batang jarum yang dilepas oleh Hek Li Suthai terpukul oleh pedang itu sedangkan Mei Ling dan Bwee Hwa berlari terus, akan tetapi ketika Kong Liang hendak menyusul kedua kawannya, tiba-tiba ia merasa betapa pundak kirinya sakit sekali. Ia tahu bahwa ia telah terkena senjata rahasia lawan, maka ia lalu cepat menyusul adiknya dan berlari cepat.
Malam itu gelap sekali hingga memudahkan ketiga orang muda itu untuk melarikan diri dan sebentar saja Hek Li Suthai dan kawan-kawannya kehilangan bayangan mereka. Dengan gemas sekali Hek Li Suthai dan kawan-kawannya lalu kembali ke kuil.
Ternyata bahwa tadi ketika tidak melihat musuh, Hek Li Suthai, muridnya dan Tik Kong, lalu memadamkan api yang membakar kuil dan setelah api padam, mereka melihat bayangan Kong Liang dan dua orang gadis itu melarikan diri.
Sedangkan Bong Cu Sianjin setelah dicegah oleh Bun Gai untuk mengejar, lalu minta keterangan dari anak muda ini bagaimana tawanan mereka bisa lari.
“Teecu melihat bayangan seorang laki laki tua yang tiba-tiba datang menyerang dan gerakannya demikian cepatnya hingga teecu tidak melihat jelas mukanya. Kemudian orang itu melarikan diri ke dalam kamar tahanan dan teecu melihat bahwa kedua nona yang tertawan itu telah terlepas. Teecu menyerang akan tetapi laki laki tua itu dengan hebat telah menyambut serangan teecu dan ternyata bahwa ilmu kepandaiannya hebat sekali, membuat teecu tidak berdaya. Kemudian orang itu melarikan diri dan melihat bahwa kedua nona itu juga melarikan diri ke atas genteng, teecu lalu mengejar akan tetapi sial teecu karena mendapat luka di pundak akibat kena pedang salah seorang diantara, penjahat-penjahat perempuan itu!”
Di dalam hati Bong Cu merasa heran dan kurang percaya kepada muridnya ini, akan tetapi ia tidak berkata sesuatupun. Ketika Hek Li Suthai mendengar cerita ini, to-kouw tua inipun menyatakan keheranannya.
“Kalau memang musuh yang lihai datang, mengapa dia tidak muncul dan memperlihatkan diri? Siapakah laki-laki lihai itu, apakah barangkali dia Pat-chiu Koai-hiap, guru Kim-gan-eng itu?”
Sambil berkata demikian, Hek Li Suthai memandang tajam kepada Bun Gai, dan ia menaruh hati curiga sekali kepada adik seperguruan ini, akan tetapi oleh karena ia takut menuduh di depan Bong Cu Sianjin, juga oleh karena ia sendiri merasa segan kepada Bun Gai yang diketahui memiliki kepandaian tinggi, maka daripada itu ia juga diam saja.
Pembicaraan mereka itu dilakukan di luar kuil dan dengan suara keras. Tiba-tiba dari tempat gelap terdengar suara orang laki-laki tertawa dan disusul dengan ucapan mengejek.
150
“Bong Cu, aku tidak mempunyai banyak waktu untuk bertemu dengan kau. Nanti saja di Hoa-mo-san kita bertemu!”
Semua orang terkejut dan yang lebih heran lagi adalah Bun Gai. Mereka cepat melompat ke arah suara, akan tetapi karena malam itu gelap sekali, mereka hanya mendengar suara kaki orang cepat berlari, akan tetapi sama sekali tidak melihat orangnya!
Suara ini otomatis melenyapkan keraguan di hati Bong Cu dan Hek Li Suthai dan mereka kini percaya penuh akan keterangan Bun Gai tadi bahwa benar-benar ada seorang laki-laki pihak lawan yang lihai telah datang menolong tawanan-tawanan itu! Sedangkan di dalam hatinya, Bun Gai menduga-duga dengan penuh keheranan. Laki-laki yang diceritakannya tadi hanyalah karangan kosong belaka untuk memperkuat kedudukannya agar jangan sampai menimbulkan curiga, akan tetapi, tiba-tiba saja ada seorang laki-laki datang memperkuat cerita bohongnya!
Baik Bun Gai sendiri, maupun yang lain-lain itu sama sekali tidak tahu bahwa yang datang itu bukan lain ialah Mei Ling. Gadis ini telah berhasil melarikan diri, lalu teringat kepada Bun Gai yang telah menolongnya. Ia merasa terharu sekali, terutama kalau ia teringat betapa untuk menolongnya, pemuda itu tidak ragu-ragu untuk menerima tusukan pedang dengan dadanya!
Pemuda itu rela berkorban jiwa untuk menolong dia! Alangkah mulia hatinya. Ia bergidik kalau teringat betapa Bun Gai tadi sama sekali tidak menangkis tusukannya dan kalau ia tidak lekas-lekas merobah gerakan pedangnya, tentu dada pemuda itu telah tertembus oleh pedangnya!
Dan sekarang pemuda itu tentu berada dalam bahaya karena kalau sampai diketahui oleh gurunya dan lain-lain orang tentang pengkhianatannya, tentu ia akan menderita celaka! Mengingat hal ini, Mei Ling berlari mengucurkan air mata! Dan aku…… aku melarikan dengan selamat, membiarkan dia menderita bencana karena telah menolongku, pikirnya!
Tiba-tiba ia berkata kepada Kong Liang dan Bwee Hwa. “Kalian berangkatlah dulu, aku perlu kembali sebentar!”
Kong Liang dan Bwee Hwa terkejut dan hendak bertanya, akan tetapi Mei Ling sudah melompat dan berlari kembali. Terpaksa mereka lalu menanti di dalam hutan.
Semenjak tadi, sebetulnya Kong Liang telah merasa payah sekali akibat luka di pundaknya yang terkena jarum yang dilepaskan oleh Hek Li Suthai. Akan tetapi oleh karena mereka sedang melarikan diri, dia tidak mau mengganggu kedua orang gadis itu diam-diam ia menahan lukanya dan berlari terus. Sekarang, setelah ia berhenti berlari, luka di pundaknya terasa sakit hingga tak terasa lagi ia menjatuhkan diri sambil mengeluh dan memegangi pundaknya.
Bwee Hwa terkejut dan karena malam itu gelap sekali, ia tidak dapat melihat wajah Kong Liang. “Kau...... kau kenapa......?” tanyanya sambil berjongkok di depan Kong Liang yang duduk menyandarkan tubuh di batang pohon.
“Pundakku...... aku terluka oleh jarum yang dilepaskan oleh Hek Li Suthai...... agaknya mengandung bisa……” jawabnya dengan napas memburu karena ia menahan sakitnya.
151
Bwee Hwa merasa bingung sekali dan hatinya berdebar penuh kekhawatiran. Semenjak Kong Liang dan Mei Ling datang menolong ketika ia tertawan oleh Bong Cu Sianjin tadi, ia merasa kagum dan tertarik sekali kepada Kong Liang yang gagah dan tampan. Dan sekarang pemuda ini terkena jarum beracun, tentu saja ia merasa bingung sekali. Tak terasa pula ia mengulurkan tangan dan meraba pundak orang.
“Di mana……? Di mana yang terkena jarum?” Gerakan ini adalah terdorong oleh rasa khawatir hingga pada saat itu ia tidak ingat akan rasa malu-malu atau kesopanan.
“Yang kiri……” jawab Kong Liang dalam gelap, dan membantu dengan memegang tangan Bwee Hwa yang meraba-raba pundak kanannya lalu membawa tangan yang berkulit halus itu ke atas pundak kirinya.
Bwee Hwa berlutut di dekatnya dan gadis ini dengan cekatan lalu merobek baju Kong Liang di pundak itu, kemudian kedua tangannya meraba-raba. Benar saja, ia meraba sebatang jarum yang halus sekali menancap di pundak pemuda itu.
“Aduh!” Kong Liang berseru dengan suara tertahan ketika jari tangan Bwee Hwa menyentuh jarum.
“Hm, ini dia!” kata Bwee Hwa sambil meraba-raba jarum dan tahulah ia bahwa daging di sekitar jarum yang menancap itu, telah membengkak dan panas sekali.
“Engko Kong Liang, kau diamlah dan jangan bergerak, aku hendak mencabut jarum ini!”
“He, kau telah tahu namaku?” tanya Kong Liang hingga di dalam gelap Bwee Hwa tersenyum.
“Aku tahu namamu dari cici Mei Ling. Sudahlah, kau diam saja aku mencabut jarum ini!” Sambil berkata demikian, Bwee Hwa menggunakan tangan kiri menahan pundak Kong Liang dan dengan jari-jari tangan kanan ia menjepit jarum itu lalu mencabutnya perlahan.
Gadis ini telah mendapat banyak pelajaran dari suhunya tentang segala senjata rahasia, maka dalam melakukan pencabutan jarum ini, ia tidak berani mencabut dengan cepat, khawatir kalau-kalau jarum itu di ujungnya mempunyai kaitan. Banyak terdapat senjata rahasia keji yang dipasangi kaitan seperti pancing hingga kalau dicabut, kaitan itu akan mengait daging bahkan ada kaitan yang sengaja dipasang sedemikian rupa hingga kalau senjata rahasia itu dicabut, maka kaitannya akan tertinggal di dalam daging.
Kong Liang merasa sakit sekali, karena biarpun jarum itu kecil, namun mengandung racun yang membuat ia merasa panas dan perih pada lukanya. Pemuda ini menggigit bibirnya dan akhirnya jarum itu terlepas dari pundaknya. Ketika meraba dengan hati-hati sekali ujung jarum itu Bwee Hwa merasa lega sekali jarum ini tidak dipasangi kaitan.
Rasa sakit membuat tubuh Kong Liang agak menggigil dan Bwee Hwa pun tahu akan hal ini, maka diam-diam ia merasa amat kasihan kepada pemuda ini.
152
“Kau sudah tahu namaku, akan tetapi aku belum mengetahui namamu,” kata Kong Liang hingga lagi-lagi Bwee Hwa tersenyum dalam gelap. Di dalam menderita sakit, ternyata pemuda ini masih teringat akan soal nama tadi. Sungguh lucu.
“Nanti saja soal itu,” jawabnya, “sekarang yang perlu aku harus mengeluarkan bisa dari pundakmu. Kalau tidak, racun jarum ini akan menjalar ke dalam tubuh dan hal ini akan berbahaya sekali.”
Hati Kong Liang berdebar karena baru ia teringat bahwa Hek Li Suthai terkenal sebagai ahli racun. Ia ingat akan penuturan Ang Lian Lihiap tentang kelihaian mereka ini mempergunakan benda-benda berbisa yang berbahaya. Maka ia lalu diam tak bergerak dan merasa khawatir juga.
“Bagaimana kau bisa melakukan hal itu?” tanyanya dengan perlahan karena sesungguhnya debar hatinya bukan hanya karena kekhawatirannya belaka, akan tetapi sebagian besar adalah karena adanya Bwee Hwa yang duduk demikian dekat dengannya hingga ia seakan-akan dapat mendengar detak jantung gadis itu dan dapat merasai hawa panas yang keluar dari pernapasannya.
“Liang-ko, kau diamlah saja dan mudah-mudahan aku akan dapat mengeluarkan racun ini.”
Alangkah merdunya suara ini, dan alangkah mesranya panggilan yang keluar dari mulut gadis ini. Belum pernah Kong Liang merasa sesenang ini. Ia meramkan mata dan tiba-tiba ia berseru kesakitan karena merasa betapa ujung pedang yang tajam ditusukkan perlahan pada daging pundaknya.
“Aduh……”
“Tahankanlah, Liang-ko. Aku perlu membuat jalan keluar bagi darah dan racun.”
Kong Liang menggigit bibirnya dan menahan sakit. Karena keadaan amat gelap, maka ia tidak dapat melihat betapa gadis itu mengeluarkan bungkusan dari kantong bajunya dan menelan tiga butir pel ke dalam mulutnya. Bwee Hwa mengunyah pel ini, kemudian ia mendekatkan mulutnya pada pundak yang terluka itu.
Kong Liang tiba-tiba mencium keharuman rambut Bwee Hwa yang mengusap mukanya dan ia merasa heran sekali, juga kagum dan senang. Tiba-tiba pemuda itu merasa betapa mulut gadis itu ditempelkan di pundaknya dan dari luka yang dibuat oleh ujung pedang tadi, gadis itu lalu menyedot dengan mulutnya.
Kong Liang merasa betapa tubuhnya menggigil dan keringat dingin membasahi dahinya, akan tetapi ia sedikitpun tidak mengeluh. Ia bukan terlalu kuat menahan sakit, akan tetapi karena memang pada saat itu ia tidak dapat mengeluh.
Agaknya, biar lehernya ditusuk pedang, ia takkan merasa sama sekali, karena seluruh perasaannya sedang tergetar oleh haru dan bahagia. Bibir gadis itu yang menempel di pundak dan menyedot keluar darah dan racun, agaknya telah menyedot semangatnya keluar dari tubuh.
Hampir saja ia tidak percaya akan semua ini. Gadis itu telah menggunakan bibirnya yang indah dan lemas untuk menyedot racun dari lukanya. Hebat sekali.
153
Memang, Bwee Hwa tidak melihat jalan lain untuk menolong Kong Liang dari bahaya dan ancaman racun kecuali menyedot keluar bisa itu dari pundak Kong Liang. Dan gadis ini selalu membawa pel anti racun pemberian gurunya, maka ia lalu melakukan perbuatan menolong jiwa pemuda itu tanpa ragu-ragu lagi.
Untung sekali baginya bahwa keadaan di sekitar mereka gelap sekali hingga wajah orang yang berada dekat di depan pun tidak kelihatan jelas. Kalau keadaan di situ terang, tentu ia akan merasa kikuk dan malu sekali.
Kini ia dapat bekerja dengan leluasa tanpa merasa sungkan, apalagi di situ tidak ada orang lain yang melihatnya. Ia perlu menolong pemuda ini, perlu membalas budinya, dan ia melakukannya dengan segala kerelaan hatinya bahkan ia merasa bangga dan bahagia dapat menolong pemuda yang amat baik ini.
Setelah akhirnya menyedot keluar darah yang encer, Bwee Hwa tahu bahwa racun telah dikeluarkan dari tubuh Kong Liang. Tadi ia berkali-kali menyedot dan meludahkan darah kental bercampur racun, dan Kong Liang masih saja duduk bersandar pohon tanpa berani berkutik!
“Nah, racun telah keluar semua,” bisik Bwee Hwa yang cepat mengunakan sapu tangan pembungkus rambutnya untuk membalut pundak itu. Tiba-tiba Kong Liang memegang tangannya dan menggenggam jari-jari tangannya erat-erat.
“Kau…… kau…… siapakah namamu......?”
Kini setelah bahaya yang mengancam pemuda itu telah lenyap, mendengar pertanyaan ini meledaklah suara tertawa Bwee Hwa. Ia cepat-cepat membetot tangannya yang digenggam itu dengan gerakan halus, lalu mengundurkan diri dalam gelap. Ia anggap pemuda ini lucu sekali.
“Namaku Coa Bwee Hwa.”
“Indah sekali namamu…… Bwee Hwa……” bisik Kong Liang.
“Akan tetapi kalau kau sudah tahu benar siapa aku sebetulnya, kau tentu takkan menganggapnya indah lagi,” kata Bwee Hwa sambil menghela napas panjang.
“Mengapa begitu? Aku selamanya akan menganggap kau seorang yang termulia, seorang yang paling baik di atas dunia ini, seorang yang……”
“Sst……” cegah Bwee Hwa, kemudian karena tahu bahwa pemuda itu sudah terbebas daripada bahaya maut. Ia berkelakar. “Agaknya sedikit racun telah menjalar ke dalam kepalamu hingga kau bicara melantur tidak karuan!”
“Tidak, Bwee Hwa…… aku...... aku berhutang budi besar sekali padamu, aku...... suka padamu.”
“Biarpun aku seorang perampok jahat, biarpun aku seorang perempuan ganas?”
154
“Tak mungkin! Siapa yang bilang bahwa kau seorang perempuan jahat dan ganas? Akan kurobek mulutnya!”
“Aku…… aku adalah......”
Sampai lama Kong Liang menanti kelanjutan pengakuan ini, akan tetapi agaknya berat bagi Bwee Hwa untuk mengaku hingga ia tidak melanjutkan kata-katanya.
Tiba-tiba terdengar suara seorang wanita tertawa dan berkata. “Koko, dia adalah Kim-gan-eng yang terkenal gagah perkasa!”
Ternyata yang datang ini adalah Mei Ling dan yang secara main-main melanjutkan kata-kata Bwee Hwa!
Kong Liang merasa terkejut karena ia pernah mendengar nama Kim-gan-eng sebagai perampok wanita tunggal yang disegani. Akan tetapi, pernah ia mendengar dari Ang Lian Lihiap yang menyatakan bahwa biarpun seorang perampok, akan tetapi Kim-gan-eng tidak jahat dan diam-diam pemuda ini menarik napas lega, karena betul gadis ini tidak jahat bahkan berhati mulia.
“Bagus sekali,” katanya dan mengubah suaranya menjadi biasa lagi, “kita telah berkenalan bahkan ditolong oleh seorang pendekar wanita yang terkenal gagah perkasa!”
Mei Ling tertawa lagi dan suara tertawanya membuat Kong Liang dan Bwee Hwa bermerah muka di dalam gelap, karena mereka merasa betapa Mei Ling mentertawakan mereka. Agaknya gadis ini sudah lama berada di situ hingga mencuri dan mendengar percakapan mereka tadi!
“Mei Ling, kau tadi pergi ke mana saja?” Kong Liang menegur dengan suara keras untuk mengalihkan perhatian mereka dan memecahkan keadaan yang membuat nya merasa malu itu.
Mei Ling lalu menuturkan pengalamannya. Terus terang ia mengaku bahwa karena mengkhawatirkan nasib Yap Bun Gai yang telah menolong dia dan Bwee Hwa, maka ia sengaja mengintai dan ketika mendengar percakapan yang terjadi antara Bun Gai dan gurunya, ia lalu membantu dan memperkuat alasan itu dengan menirukan suara laki-laki dari dalam gelap.
Tiba-tiba terdengar Bwee Hwa bertepuk tangan gembira dan berkata, “Bagus, bagus. Pemuda she Yap itu memang gagah dan berbudi, sudah sepantasnya kalau cici Mei Ling pergi membelanya.”
Syukur sekali bahwa Mei Ling berada di dalam gelap, kalau tidak tentu ia akan bermerah muka karena merasa betapa sindiran Bwee Hwa itu tepat mengenai hatinya. Kong Liang merasa tertarik sekali lalu bertanya.
“Akupun telah menduga bahwa tentu pemuda itu yang menolong kalian. Bagaimanakah terjadinya?”
Dengan suara gembira Bwee Hwa lalu menceritakan pengalamannya. Ia sengaja melakukan ini karena ia ingin membalas godaan Mei Ling tadi, maka ia menceritakan semua dengan sejelasnya kepada Kong Liang, betapa Yap Bun Gai melepaskan mereka, menipu gurunya dan bahkan rela dilukai oleh pedang Mei Ling pada pundaknya.
155
Mendengar ini, dengan suara terharu Kong Liang berkata, “Nyata bahwa Yap Bun Gai adalah seorang yang berbudi dan mulia. Telah dua kali ia sengaja menerima tusukan pedang Mei Ling untuk membela dan menolong dia. Ia boleh diumpamakan setangkai bunga teratai yang indah bersih tumbuh di dalam lumpur.”
Kata-katanya ini mendatangkan dua akibat. Pertama, Mei Ling yang ingat akan kebaikan dan pengorbanan Bun Gai dan teringat betapa Bun Gai yang malang itu hidup diantara orang-orang jahat, maka ia merasa terharu sekali hingga ke dua matanya menjadi basah, sedangkan akibat kedua ialah bahwa Bwee Hwa merasa tertarik sekali mendengar ini dan lalu minta kepada Kong Liang untuk menceritakan mengapa Bun Gai sudah dua kali menerima tusukan pedang Mei Ling.
Kong Liang lalu menceritakan pengalaman mereka di atas bukit Hoa-mo-san dan kembali Bwee Hwa memuji kebijaksanaan pemuda she Yap itu.
Biarpun Mei Ling dengan terharu sekali mengalirkan air mata, namun tentu saja kedua orang yang lain itu tidak melihatnya.
“Eh, cici Mei Ling, mengapa kau diam saja? Apakah kau tidak menganggap bahwa pemuda she Yap itu benar-benar mulia sekali hatinya?”
Terdengar jawaban Mei Ling disertai tarikan napas panjang.
“Memang ia seorang yang baik hati.”
“Akan tetapi aku tidak tahu siapakah pemuda, yang berada di antara mereka itu,” kata Kong Liang.
Dan Bwee Hwa lalu menceritakan bahwa pemuda itu adalah Lui Tik Kong yang menjadi musuh Lee Ing, lalu ia menuturkan pengalamannya ketika bertemu dengan Lee Ing yang mengejar-ngejar Tik Kong.
Kong Liang dan Mei Ling mendengarkan penuturan ini dengan hati tertarik dan mereka merasa makin bingung dan ruwet melihat persoalan yang hanya mereka ketahui setengah-setengah itu. Mereka mendengar penuturan Ang Lian Lihiap bahwa Tik Kong adalah murid Kong Sin Ek yang murtad dan bahwa justru pemuda ini dipilih oleh Nyo Tiang Pek untuk dijodohkan dengan Lee Ing puteri tunggal Nyo Tiang Pek dan kemudian Lo Sin datang mengacau hingga kedua pengantin itu melarikan diri dan akibatnya Nyo Tiang Pek menjadi marah sekali kepada Lo Sin bahkan lalu menulis surat kepada Ang Lian Lihiap dan suaminya.
Akan tetapi, mengapa kini Bwee Hwa menceritakan bahwa Lee Ing mengejar-ngejar Tik Kong dan hendak membunuhnya? Mereka diam-diam memuji Lee Ing yang merasa benci kepada calon suami itu karena telah mengerti bahwa Tik Kong telah menganiaya Kong Sin Ek, akan tetapi kemanakah perginya Lee Ing dan ke mana perginya Lo Sin?
Oleh karena melihat bahwa Bwee Hwa telah menjadi seorang kawan yang baik dan boleh dipercaya penuh, maka Kong Liang dan Mei Ling menceritakan hubungan mereka dengan Ang Lian Lihiap dan
156
menceritakan pula bahwa mereka sedang menuju Bong-kee-san untuk menemui Nyo Tiang Pek dan mendamaikan urusan itu.
Ketika malam berganti fajar dan mereka bisa saling melihat wajah masing-masing, tak terasa pula Kong Liang dan Bwee Hwa menjadi malu dan tidak berani saling pandang. Ketika mendengar betapa Bwee Hwa telah menyembuhkan luka Kong Liang, diam-diam Mei Ling merasa bersyukur sekali dan ia telah mengambil keputusan di dalam hati untuk mengusulkan kepada cicinya, yakni Ang Lian Lihiap, untuk menjodohkan kakaknya itu dengan Bwee Hwa.
Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Kong Liang mempunyai maksud yang sama, yakni hendak minta pertolongan Cin Han untuk menjodohkan adiknya dengan pemuda Yap Bun Gai!
Bwee Hwa yang sudah jatuh “jatuh hati” betul-betul kepada Kong Liang dan suka pula kepada Mei Ling, lalu mengajukan permintaan untuk menyertai kedua saudara kembar itu menuju ke Bong-kee-san untuk mencari Nyo Tiang Pek. Tentu saja permintaan ini diterima dengan baik dan dengan girang hati, oleh karena selain gadis ini merupakan teman seperjalanan yang menyenangkan, juga kehadiran gadis ini dihadapan Nyo Tiang Pek perlu sekali karena Bwee Hwa dapat menjadi saksi untuk meyakinkan jago tua ini bahwa ia telah salah pilih dan bahwa Lui Tik Kong memang benar-benar seorang pemuda jahat.
Demikianlah, mereka bertiga lalu berangkat, ke Bong-kee-san untuk menemui Nyo Tiang Pek!
Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong maklum bahwa nanti apabila terjadi pertempuran di puncak Hoa-mo-san keadaan musuh kuat sekali. Apalagi kalau Lian Bwee Niang-niang sendiri turun tangan, maka sukar bagi mereka berdua untuk mendapat kemenangan.
“Kalau saja ada Nyo-twako seperti dulu, tentu keadaan kita lebih kuat,” kata Cin Han.
“Sudahlah jangan mengharapkan bantuan orang,” jawab Lian Hwa, “apakah tanpa bantuan orang she Nyo itu, kita tak dapat berdiri sendiri? Kau, aku dan Sin-ji bertiga cukup untuk menghadapi Lian Bwee Niang-niang dan kawan-kawannya.”
Cin Han menarik napas panjang. “Kau terlampau memandang rendah keadaan lawan. Dan pula, kita tidak tahu bila Sin-ji akan pulang, bahkan sekarangpun kita tidak tahu dia berada di mana.”
“Mengapa kau tidak pergi mencarinya? Carilah dia, kitapun perlu mendengar tentang usahanya menangkap penjahat yang menganiaya Kong-twako.”
Mendengar ucapan isterinya ini darah perantau bergolak pula di dalam hati Cin Han. Ia tertarik sekali untuk pergi mencari puteranya sambil merantau, mengunjungi tempat-tempat indah, menengok sahabat-sahabat lama.
“Isteriku, mengapa kita berdua tidak pergi dan menikmati perjalanan lagi seperti dulu?” katanya gembira.
Untuk sejenak Lian Hwa terpengaruh oleh kegembiraan dan ajakan suaminya itu, akan tetapi ia lalu menggelengkan kepalanya.
157
“Kalau kita berdua pergi, siapa yang menunggu rumah? Pula kalau sewaktu-waktu Sin-ji datang bukankah dia akan mencari-cari kita ke mana-mana? Tidak, suamiku. Sekarang bukan waktunya untuk melancong. Pergilah kau sendiri mencari Sin-ji, sedangkan aku akan menunggu saja di sini, menanti kedatangan Sin-ji dan kedatangan Kong Liang dan Mei Ling dari Bong-kee-san. Aku khawatir kalau-kalau pihak Bong Cu akan datang mengganggu dan kalau kita berdua pergi, siapa yang akan menyambutnya?”
Setelah berpikir-pikir akhirnya Cin Han menyetujui pendapat isterinya dan pada keesokan harinya, dengan membawa buntalan terisi pakaian dan bekal, Hwee-thian Kim-hong berangkat melakukan perjalanannya untuk mencari anaknya.
Pada suatu pagi, dua hari kemudian setelah suaminya pergi, seorang diri Lian Hwa berlatih silat di kebun belakang rumahnya. Ia akan menghadapi pertempuran besar beberapa bulan lagi, maka ia hendak melatih ilmu pedangnya untuk melemaskan tangan dan menyempumakan gerakan-gerakan yang paling sulit dan sukar dari ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut.
Pendekar wanita yang gagah perkasa ini berlatih silat seorang diri dengan gesitnya dan dalam pakaiannya yang berwarna putih itu tubuhnya lenyap berubah menjadi sinar putih yang dikelilingi cahaya berkeredepan dari pedangnya yang bergerak secara luar biasa sekali!
Tiba-tiba terdengar seruan memuji yang diucapkan dengan keras sekali. “Bagus, bagus! Ang Lian Lihiap ternyata hebat sekali ilmu pedangnya!”
Lian Hwa cepat-cepat memasukkan kembali pedangnya ke belakang punggung dan memandang. Ternyata yang datang memasuki kebunnya tanpa permisi adalah seorang perwira muda tinggi besar yang luar biasa gagahnya, seperti seorang raksasa saja!
Lian Hwa memandang kagum karena belum pernah ia melihat seorang pemuda yang sehebat ini tubuhnya, tinggi besar dan kelihatan amat kuat, sedangkan senyum pada wajahnya membayangkan hati yang jujur dan polos. Perwira muda ini tak lain ialah Can Kok In sendiri!
Lian Hwa bertanya dengan heran, “Ciang-kun yang muda ini siapakah dan apakah keperluanmu mengunjungi tempatku ini?”
Dari pertanyaan ini saja dapat diketahui bahwa Lian Hwa sekarang sudah jauh sekali bedanya dengan dulu ketika masih muda. Kalau saja tabiat dan kekerasan hati Lian Hwa masih seperti dulu ketika masa mudanya, tentu ia akan marah sekali melihat ada orang berani masuk ke dalam kebunnya tanpa permisi, akan tetapi sekarang ia memiliki pandangan tajam dan dapat membedakan orang baik atau jahat.
Can Kok In tertawa bergelak karena sesungguhnya ia merasa gembira sekali dapat bertemu dengan pendekar wanita yang telah lama sekali dikagumi namanya itu.
“Aku bernama Can Kok In, anak murid Kun-lun-pai! Aku sengaja datang ke sini hendak mencari Lo Sin, puteramu si Walet Hitam itu. Kebetulan sekali aku pernah bertemu dengan dia, akan tetapi tidak
158
mendapat kesempatan untuk mengukur kepandaiannya. Ang Lian Lihiap, harap kau suka memanggil keluar Lo Sin agar aku dapat mencoba kepandaianhya.”
Mendengar ucapan yang polos dan kasar ini Lian Hwa makin tertarik. Benar-benar seorang yang jujur dan kasar, pikir nya.
“Anak muda, kau ini murid siapakah?”
Can Kok In tertawa lagi. “Guruku adalah Lui Siok Tojin dari Kun-lun-san.”
Lian Hwa terkejut dan merasa girang. Lui Siok Tojin adalah seorang kenalan baik yang dulu bahkan pernah berusaha mendamaikan permusuhan yang timbul antara dia dan pihak Pek-lian-kauw, akan tetapi usahanya ini gagal. Ia maklum bahwa Lui Siok Tojin berilmu tinggi dan lihai sekali, maka ia dapat menduga pula bahwa perwira muda yang seperti raksasa ini tentu lihai juga.
“Ah, tidak tahunya kau adalah murid Lui Siok Tosu yang lihai. Bagaimana, apakah suhumu baik-baik saja?”
“Entahlah, suhu sudah tua dan tinggal di gunung saja sedangkan telah beberapa tahun aku tidak naik ke Kun-lun, Ang Lian Lihiap, harap kau orang tua suka memanggil keluar si Walet Hitam.”
“Can-ciangkun mengapa kau berkeras hendak mengadu kepandaian dengan Lo Sin? Apakah puteraku itu berbuat sesuatu yang salah dan yang menyakitkan hatimu?”
“Tidak, tidak! Puteramu gagah perkasa dan tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan aku, akan tetapi, kami telah berjanji hendak bertemu dan saling menguji kepandaian!”
Ang Lian Lihiap menjadi lega hatinya. “Kalau begitu, sayang sekali, Can-ciangkun. Puteraku itu sampai sekarang belum juga pulang. Sedangkan aku sendiripun sedang menanti-nanti kembalinya.”
Can Kok In kelihatan kecewa sekali. Alis matanya yang tebal dan panjang bergerak-gerak dan sepasang matanya yang bundar besar itu menatap wajah Ang Lian Lihiap, kemudian ia mencabut pedangnya yang panjang dan besar itu dari sarung pedang.
“Kalau begitu, Ang Lian Lihiap, kau wakililah puteramu itu dan mari kita mencoba-coba ilmu kepandaian kita.” Sambil berkata demikian, Can Kok In menggerak-gerakkan pedang besar itu di tangannya hingga berkesiurlah angin pedang bersiutan. Gerakan ini menandakan bahwa pemuda raksasa ini benar-benar memiliki tenaga yang kuat sekali.
Ang Lian Lihiap terkejut dan berkata, “Apakah perlunya itu, Can-ciangkun? Antara kita tidak terdapat permusuhan sesuatu, bahkan antara aku dan suhumu terdapat tali persahabatan yang erat, bagaimana aku dapat bertempur melayanimu? Kalau hal ini terdengar oleh suhumu, bukankah aku akan menjadi malu? Tidak, aku tak dapat melayani kau, anak muda. Kau tunggulah sampai puteraku pulang. Kalian anak-anak muda boleh main-main menguji tenaga, akan tetapi jangan kau mengajak aku berpibu!”
159
Akan tetapi Can Kok In telah datang dari tempat jauh dengan maksud mengukur tenaga. Sudah lama sekali ia kagum mendengar nama Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong, maka setelah kini bertemu dengan pendekar wanita ini, mana ia mau melepaskannya begitu saja tanpa bertanding lebih dulu?
“Ang Lian Lihiap! Kalau anakmu tidak ada, panggilah suamimu keluar, biar dia yang mewakili Walet Hitam! Sudah lama aku mengagumi Hwee-thian Kim-hong dan ingin sekali menyaksikan sampai dimana kehebatannya!”
“Suamiku juga tidak berada di rumah, sedang pergi. Hanya aku sendiri yang berada di sini.”
“Ha, ha, ha! Kalau begitu mau tidak mau kau orang tua harus melayani aku yang sudah datang dari jauh! Bagiku sama saja. Walet Hitam atau si Teratai Merah, maupun si Burung Hong! Marilah, kau cabut pedangmu dan biarkan aku merasakan kelihaianmu sebentar!”
Sambil berkata demikian, Can Kok lalu memasang kuda-kuda dengan kedua kaki bersilang, mengangkat tangan kirinya dengan jari-jari terbuka didorongkan ke depan dan tangan kanan yang memegang pedang panjangnya itu diangkat ke atas kepalanya, siap untuk melancarkan serangan. Inilah gerak pembukaan dari ilmu pedang Kun-lun yang lihai.
Melihat ini, Ang Lian Lihiap menjadi bingung. Ia merasa segan untuk melayani perwira muda yang kasar tapi jujur ini, karena hal ini dapat menimbulkan perasaan tidak enak pada Lui Siok Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang menjadi sahabatnya itu. Maka ia lalu mengangkat kedua lengannya untuk mencegah pemuda itu bertindak jauh dan berkata.
“Jangan, jangan, Can-ciangkun! Aku tidak mau turun tangan terhadap murid sahabatku. Ilmu kepandaianmu tinggi dan kalau kita bertanding, sukar menjaga pukulan yang tak bermata,” kata-kata ini mengandung sindiran bahwa kalau mereka bertanding, besar kemungkinan perwira raksasa itu akan terluka olehnya.
Akan tetapi Can Kok In terlalu polos hatinya untuk dapat menangkap sindiran ini. Ia bahkan tertawa bergelak sambil berkata.
“Eh, apakah Ang Lian Lihiap yang tersohor gagah perkasa itu takut menghadapi Can Kok In?”
Ucapan yang sedikit ini cukup membuat alis Ang Lian Lihiap berdiri karena marah dan penasaran. Ang Lian Lihiap takut? Ah, pendekar wanita ini semenjak mudanya belum pernah mengenal kata-kata takut! Perasaan takut menjadi pantangan besar baginya. Orang boleh berkata apa saja terhadapnya dan ia mungkin dapat menahan kesabarannya, akan tetapi janganlah orang berani mengatakan, bahwa dia takut!
Mendengar ucapan ini, sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat dan ia lalu membentak. “Can Kok In, orang muda kasar! Aku takut kepadamu? Hm, kau belajarlah seratus tahun lagi dan belum tentu aku Ang Lian Lihiap akan merasa takut padamu. Majulah dan perlihatkan kebodohan!”
Can Kok In terkejut sekali melihat perubahan ini. Kalau tadi Ang Lian Lihiap bersikap halus dan lemah-lembut hingga agaknya seperti orang takut, kini pendekar wanita itu berubah menjadi ganas dan
160
menyeramkan. Sinar matanya saja sudah cukup membuat kuncup hati seorang laki-laki gagah, seakan-akan dari kedua mata yang jeli dan tajam itu melayang keluar anak panah yang runcing sekali!
Akan tetapi, ia sudah terlanjur menghunus pedang dan memalukan sekali kalau ia mundur lagi. Dengan cepat ia melangkah maju dan menyerang dalam gerak tipu Raja Ular Menyambar Burung sambil berseru,
“Awas pedang!” Ia heran sekali melihat betapa pendekar wanita itu tidak mau mencabut pedangnya untuk menangkis, maka cepat-cepat Kok In menahan serangannya.
“Eh, eh, mengapa kau tidak jadi menyerang?” tanya Ang Lian Lihiap dengan heran.
“Lihiap, cabutlah pedangmu. Aku bersedia menerima pengajaran darimu!” jawab Kok In dan tiba-tiba Ang Lian Lihiap tersenyum manis. Tak disangkanya bahwa perwira muda yang seperti raksasa dan yang kasar sekali sikapnya ini memiliki sifat gagah dan yang merasa sungkan untuk menyerang seorang yang bertangan kosong!
“Kalau aku yang tua menghadapi yang muda dengan pedang di tangan, bukankah berarti aku terlalu menekan padamu? Maju seranglah dan jangan ragu-ragu. Belum tentu kau akan dapat merobohkan Ang Lian Lihiap yang bertangan kosong!”
Tentu saja Kok In yang berwatak jujur menjadi marah sekali oleh karena ia menganggap bahwa pendekar wanita ini terlalu memandang rendah kepadanya! Ia lalu melangkah maju dan menyerang dengan hebat.
Memang lihai sekali gerakan raksasa muda ini. Tidak saja tenaganya yang besar membuat pedangnya yang berat itu meluncur cepat, sambil mendatangkan angin bersiutan, akan tetapi juga ia memiliki ginkang yang cukup hebat sehingga nampak mengagumkan sekali betapa seorang yang mempunyai tubuh tinggi besar itu dapat bergerak sedemikian lincahnya.
Akan tetapi, tiba-tiba saja tubuh Ang Lian Lihiap lenyap dari depan matanya! Ia hanya melihat berkelebatnya bayangan putih dan tahu-tahu pendekar wanita itu telah lenyap. Kok In maklum bahwa lawannya memiliki ginkang yang jauh lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri, maka ia dapat menduga cepat. Dengan teriakan ganas ia lalu memutar tubuh sambil menyabet dengan pedangnya dan betul saja, Ang Lian Lihiap tadi telah melompat ke belakangnya dan kini cepat mengelak ketika pedang yang panjang dan berat itu menyambar pinggang!
Can Kok In kini berlaku hati-hati dan memainkan pedangnya dengan tenang dan teratur. Ia mengeluarkan seluruh kepandaiannya dan menggunakan jurus ilmu pedang Kun-lun-pai yang paling lihai dan tak terduga gerakannya.
Tubuhnya berputar-putar cepat, dan pedangnya merupakan seekor naga sakti yang bergerak-gerak dan menyambar-nyambar ke arah tubuh lawan. Ujung pedangnya terus menerus mengejar bayangan putih yang berkelebat ke sana ke mari itu.
Diam-diam Ang Lian Lihiap merasa kagum. Tidak memalukan atau mengecewakan raksasa muda ini menjadi murid Lui Siok Tojin yang terkenal memiliki ilmu kepandaian tinggi.
161
Kalau saja ia tidak memiliki ginkang yang telah dilatih sempurna, akan sukarlah baginya untuk dapat menghadapi raksasa muda ini dengan hanya berkelit saja. Ilmu pedang Kun-lun-pai memang terkenal sekali karena kecepatan dan keteguhannya dan melihat gerakan Can Kok In, maka dapat diduga bahwa pemuda tinggi besar ini memang sudah memiliki sedikitnya tujuh bagian dari Kun-lun-kiam-hwat.
Makin lama menghadapi pemuda raksasa ini, makin kagumlah hati Ang Lian Lihiap dan ia makin tidak tega untuk melukai pemuda ini. Ia hanya mempergunakan kecepatannya untuk mengelak dari setiap serangan sehingga karena gerakan Ang Lian Lihiap berputar-putar, di sekeliling tubuh Kok In sehingga memaksa pemuda inipun berputar-putaran, maka lambat-laun Kok In merasa pusing sekali!
Akan tetapi, pemuda raksasa ini agaknya memiliki daya tahan raksasa pula dan hatinya pun keras tidak mudah menyerah. Biarpun napasnya telah tersengal-sengal dan keringat telah mengucur membasahi mukanya yang lebar hingga pandangan matanya berkunang, namun ia tetap menyerang hebat dan tidak mau mengaku kalah.
Akhirnya, ia tidak kuat lagi dan tubuhnya terhuyung-huyung dan berputaran karena peningnya, lalu ia roboh terduduk di atas tanah sambil memejamkan mata. Ketika ia membuka matanya lagi, ia melihat Ang Lian Lihiap berdiri dengan tenang di depannya. Ia tadinya menyangka bahwa pendekar wanita ini tentu akan mentertawakannya, akan tetapi ternyata Ang Lian Lihiap sama sekali tidak mentertawakannya, bahkan pendekar wanita itu berdiri memandang dengan kagum.
Kalau saja Ang Lian Lihiap mentertawakannya, tentu Kok In akan merasa penasaran dan marah, akan tetapi oleh karena pendekar wanita itu sama sekali tidak mengejek atau mentertawakannya, bahkan memandangnya sambil tersenyum kagum, maka ia buru-buru bangun berdiri dan menjura sambil mengangguk-anggukkan kepala berulang-ulang.
“Hebat, hebat! Ang Lian Lihiap memang hebat sekali, dan benarlah kata suhu bahwa di dunia ini tidak ada wanita yang melebihi kegagahan Ang Lian Lihiap! Siauwte Can Kok In yang goblok telah mendapat pengajaran dan mohon maaf sebesarnya atas kelancangan siauwte!”
Setelah berkata demikian, perwira muda yang bertubuh seperti raksasa itu lalu melompat pergi setelah menjura sekali lagi sebagai penghormatan terakhir.
“Can-ciangkun! Sampaikan salamku kepada gurumu!” teriak Ang Lian Lihiap.
“Akan siauwte perhatikan!” terdengar jawaban Can Kok In dari jauh.
Ang Lian Lihiap menggeleng-gelengkan kepalanya. Sungguh seorang pemuda luar biasa, pikirnya. Dan dengan munculnya Can Kok In, pandangannya terhadap para perwira barisan pemerintah yang tadinya rendah, menjadi berubah. Ternyata bahwa di mana-mana terdapat orang pilihan pikirnya.
Setelah menanti sampai tiga hari, akan tetapi belum juga ada berita dari suaminya dan Lo Sin yang dinanti-nanti tidak kunjung pulang, Ang Lian Lihiap menjadi hilang kesabarannya. Ia tidak biasa berada di rumah seorang diri dan kalau Lo Sin pergi saja, ia sudah merasa sunyi walaupun masih ada suaminya yang mencinta dan sering berkelakar.
162
Kini kedua-duanya, kedua orang yang tersayang, pergi meninggalkan rumah, maka ia merasa makin sunyi dan tidak betah. Ia merasa menyesal mengapa ia tidak mau ikut pergi dengan suaminya mencari Lo Sin.
Akhirnya Ang Lian Lihiap tidak dapat menahan lagi. Ia meninggalkan sepucuk surat untuk suami atau puteranya apabila seorang di antara mereka pulang dan memesan kepada pembantu rumah tangganya untuk menjaga rumah dan memberi surat itu kepada anak atau suaminya. Kemudian, Ang Lian Lihiap membawa buntalan pakaian dan menunggang kuda meninggalkan rumahnya, mencari suami dan anaknya!
Kong Liang, Mei Ling dan Bwee Hwa tiba di Bong-kee-san dan dengan cepat mereka bertiga mencari tempat tinggal Nyo Tiang Pek. Kong Liang dan adiknya sudah sering datang ke tempat ini, maka mereka lalu langsung pergi ke rumah kepala kampung Nyo.
Kedatangan mereka disambut oleh Giok Lie dan alangkah girangnya nyonya ini ketika melihat Mei Ling. Datang-datang, Giok Lie lalu menubruk dan memeluk Mei Ling sambil menangis sedih.
“Tenanglah, cici, kami telah tahu semua akan urusanmu dan kami memang sengaja datang untuk mendamaikan urusan ini.”
Dalam tangisnya yang sedih terisak-isak. Giok Lie tak dapat mengeluarkan suara, hanya menggeleng-geleng kepalanya. Bwee Hwa memandang kepada nyonya ini ibu dari Lee Ing yang telah menjadi sahabat baiknya, walaupun baru satu kali bertemu. Diam-diam Bwee Hwa merasa heran dan kagum betapa seorang wanita cantik jelita yang begini lemah lembut dan halus dapat memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa.
Sebelum mereka sempat bercakap-cakap, bahkan Bwee Hwa pun belum diperkenalkan oleh Kong Liang dan adiknya kepada Giok Lie, tiba-tiba Nyo Tiang Pek muncul dari dalam rumah. Bukan main kagetnya Kong Liang dan Mei Ling ketika melihat Nyo Tiang Pek. Kalau bertemu di jalan, tentu mereka tak mengenalnya lagi.
Demikian besar perubahan yang terjadi pada diri pendekar ini. Tubuhnya menjadi kurus pucat dan rambut kepalanya awut-awutan tak terpelihara, bahkan pakaiannyapun kusut dan agaknya sudah beberapa hari tidak diganti. Yang menakutkan adalah sepasang matanya. Kalau dulu mata ini tajam dan berbentuk gagah, kini memandang sayu dan kadang-kadang seperti ada api bernyala-nyala di dalamnya.
“Nyo-twako!” seru Kong Liang sambil memberi hormat.
Juga Mei Ling cepat memberi hormat. “Twako, kau kenapakah? Kau begini kurus dan pucat. Sakitkah kau?”
Ditanya demikian oleh Mei Ling, Nyo Tiang Pek menghela napas dan menggelengkan kepala. “Kalian baik-baik sajakah?” katanya membelokkan pertanyaan Mei Ling, kemudian ketika melihat Bwee Hwa, ia bertanya, “Dan nona ini siapakah?”
163
Mei Ling lalu memperkenalkan Bwee Hwa kepada Nyo Tiang Pek dan isterinya. Kim-gan-eng lalu memberi hormat dengan sopan santun.
“Kalian datang dari mana?” tanya Nyo Tiang Pek dengan acuh tak acuh dan sikap serta suaranya menyatakan bahwa ia tidak gembira menerima orang-orang yang tadinya amat disayanginya itu.
“Nyo-twako, kedatanganku bersama Mei Ling ini tidak lain karena mendengar tentang urusamu dan Lian Hwa Suci. Kami datang untuk mendamaikan urusan ini dan……”
“Cukup!” tiba-tiba Nyo Tiang Pek membentak keras. “Jangan sebut-sebut lagi nama keluarga Lo di depanku. Aku tidak sudi mendengarnya.”
“Nyo-twako!” jerit Mei Ling dan kembali terdengar isak tangis Giok Lie.
“Nyo-twako, kuharap kau sudi bersabar dan mendengarkan bicaraku,” kata pula Kong Liang. “Segala hal bisa diurus dengan baik, apalagi kalau urusan itu terjadi antara kau dan Lo-twako yang sudah demikian lama menjadi sahabat baik, bahkan seperti saudara sendiri. Kesalahan dapat diurus dan diperiksa siapa yang benar siapa yang salah dan……”
“Diam……!!!” Tiba-tiba Nyo Tiang Pek bangkit dari kursinya dan berdiri sambil mendelikkan matanya kepada Kong Liang.
“Nyo-twako!” Mei Ling berseru dengan penasaran sekali.
“Kaupun diam!! Pendeknya, aku melarang siapa saja menyebut nama mereka di depanku dan kalau kau tetap hendak melanggar laranganku, lebih baik kau keluar dari rumah ini!”
Bukan main kagetnya Kong Liang dan Mei Ling. Tak mereka sangka bahwa Nyo Tiang Pek menjadi marah sedemikian rupa dan kebenciannya terhadap Ang Lian Lihiap sekeluarga agaknya telah memuncak.
“Toako, kedatangan kami ini bukannya hendak membela atau memenangkan mereka, akan tetapi hendak mendamaikan urusan.”
“Sudahlah, jangan kau lanjutkan bicaramu!” kata pula Nyo Tiang Pek yang menahan keras bergolaknya api di dalam dadanya. “Kalian ini tahu apa?? Enak saja bicara mau mendamaikan urusan dan tahukah kalian urusan apa yang hendak kau damaikan? Apalagi yang harus didamaikan?
“Si bangsat muda she Lo itu telah membikin malu, menghina dan mencemarkan nama keluargaku! Bahkan bangsat besar itu kemudian memikat hati anakku dan membawanya lari bersama!
“Anakku yang semenjak kecil taat patuh kepada orang tua, yang kudidik dengan susah payah, yang menjadi pengharapanku satu-satunya, telah membelakangi ayahnya dan rela pergi minggat bersama bangsat muda itu! Ya, ya, baru sekarang kalian tahu dan menjadi pucat mendengar ini! Anakku telah melarikan diri dengan pemuda keparat yang menodai nama keluargaku dan apalagi yang harus didamaikan??”
164
“Dengarkan, kalau sampai Lo Sin dan Lee Ing bertemu dengan aku tua bangka yang rendah ini, pasti akan kuhabiskan nyawa keduanya! Ya kalian boleh memberitahukan hal ini kepada Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong yang gagah perkasa, aku tidak takut! Kuulangi lagi, kalau sampai kedua setan itu bertemu dengan aku, akan kuhabiskan nyawa mereka, atau aku sendiri yang akan mampus di tangan mereka!”
Setelah berkata demikian, Nyo Tiang Pek mengepalkan tinjunya dan berdiri dengan dada turun naik dan dari kedua matanya keluar air mata!
Kong Liang dan Mei Ling berdiri saling memandang dengan muka pucat sekali, sedangkan tangisnya Giok Lie makin keras saja hingga Mei Ling lalu memeluknya dan ikut menangis.
Bwee Hwa merasa kedua kakinya gemetar ketika melihat kemarahan hebat ini. Belum pernah ia melihat orang marah sedemikian hebat dan mengingat bahwa orang ini adalah Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas yang kegagahannya telah menggegerkan dunia persilatan ketika ia masih muda, Bwee Hwa menjadi takut dan gentar. Akan tetapi, ia merasa penasaran mendengar betapa ayah yang murka ini menjadi begitu mata gelap dan telah mengeluarkan ancaman untuk membunuh Lee Ing puteri tunggalnya sendiri, maka tanpa terasa pula ia berkata dengan perlahan.
“Lo-cianpwe, Lee Ing tidak bersalah. Pemuda busuk bernama Tik Kong itu......”
“Tutup mulutmu!!”
Tiba-tiba Nyo Tiang Pek yang sudah marah itu merasa seakan-akan api di dalam dadanya ditambah minyak dan sambil membentak ia lalu menepuk kursi yang tadi didudukinya. Kursi itu tidak hancur, akan tetapi keempat kakinya masuk ke dalam lantai sampai habis tak kelihatan pula! Inilah tenaga lweekang yang hebat sekali hingga Bwee Hwa yang kena dibentak menjadi pucat.
“Beritahukan kepada Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong, kalau mereka berdua tidak mencari putera mereka yang jahat dan membawa pula Lee Ing untuk dihadapkan keduanya di depanku, untuk menerima keputusan dan hukumanku, selamanya aku tidak mau berdamai dengan mereka!” Setelah berkata demikian, Nyo Tiang Pek masuk ke dalam rumah dengan marah.
Melihat keadaan ini, tidak ada lain jalan bagi Kong Liang, Mei Ling dan Bwee Hwa, selain meninggalkan tempat itu. Giok Lie memeluk Mei Ling dan menangis sambil berbisik.
“Adikku, dan kau juga Kong Liang, serta kau pula, nona, harap kalian maafkan suamiku. Kasihan dia...... dia menderita kedukaan besar, maaf......”
Melihat keadaan Giok Lie, lenyaplah kemarahan yang tadi mendesak di dada ketiga orang muda karena sikap Nyo Tiang Pek. Mereka tidak dapat menyelami hati Nyo Tiang Pek dan tak dapat merasakan pula penderitaan pendekar tua itu, tetapi mereka terharu melihat sikap Giok Lie yang terang sekali tertekan hebat batinnya itu.
Sambil memeluk Giok Lie, Mei Ling berkata, “Tidak apa, cici, sudah selayaknya kami yang muda-muda menerima marah dari Nyo-twako. Kalau ia sudah menjadi sadar kembali, tentu ia akan menyesal.”
165
“Terima kasih, Mei Ling…… terima kasih……” Mereka bertiga lalu meninggalkan nyonya yang sedang berduka itu.
Setelah ketiga tamunya pergi dengan hati marah Giok Lie berlari masuk ke kamar suaminya, siap untuk menegur sikap suaminya, yang amat tak pantas itu. Akan tetapi, ketika melihat Nyo Tiang Pek duduk di atas pembaringan dengan wajah pucat dan pipi basah air mata, nyonya ini tidak jadi marah. Bahkan lalu menubruk suaminya. Nyo Tiang Pek merangkul isterinya dan air matanya makin deras mengalir keluar.
Giok Lie maklum sepenuhnya akan derita, yang membuat suaminya hancur hatinya. Ia tahu, bahwa suaminya merasa malu, kecewa, menyesal, sedih, tercampur aduk menjadi satu dan semua ini lalu memperkuat kekerasan hatinya, hingga ia berlaku panas dan keras.
Siapa orangnya yang takkan hancur hatinya menghadapi peristiwa yang memalukan itu? Anak sedang dirayakan hari kawinnya tahu-tahu datang kekacauan yang dilakukan oleh Lo Sin dan yang memburukkan nama calon mantu mereka, kemudian bahkan anak dan calon mantu lari berkejaran.
Kemudian, ternyata bahwa calon mantunya itu terpukul hampir mati oleh Lee Ing, sedangkan Lee Ing bahkan membela Lo Sin dan agaknya mencinta pemuda itu hingga keduanya lari bersama.
Sebenarnya, Nyo Tiang Pek bukanlah seorang yang buta atau terlalu bodoh hingga ia membela Tik Kong mati-matian. Akan tetapi, karena tidak melihat bukti-bukti kejahatan Tik Kong dan pula karena pemuda yang pandai mengambil hati itu telah mendatangkan kepercayaan sepenuhnya, maka Nyo Tiang Pek belum tahu bahwa Tik Kong adalah seorang pemuda jahat.
Pula, biarpun ada sedikit keraguan di dalam hatinya, namun ia segera melenyapkan keraguan itu, karena ia telah terlanjur memilih pemuda itu sebagai menantunya, maka ia tidak berani membayangkan kenyataan ngeri bahwa ia telah salah pilih dan memberikan anak tunggal yang disayangnya itu kepada orang jahat.
Pada saat kedua orang suami isteri itu masih terbenam dalam kesedihan, tiba-tiba di luar rumah terdengar suara orang berseru keras.
“Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek! Kau keluarlah menemui pinto!”
Suara ini terdengar keras sekali dari dalam rumah hingga Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie maklum bahwa orang yang datang itu tentu seorang berilmu tinggi, maka keduanya dengan cepat lalu menghapus air mata dan berlari keluar.
Untuk beberapa lamanya Nyo Tiang Pek memandang kepada orang yang berada di luar rumah dan ia tidak kenal siapa adanya pertapa itu. Orang itu adalah seorang tosu tua yang rambutnya telah putih, akan tetapi mukanya masih segar kemerah-merahan.
Tosu ini memegang sebuah tongkat bambu dan berdiri dengan sepasang mata memandang tajam kepadanya. Di belakang tosu ini masih terdapat dua orang tosu lain yang juga sudah tua serta di punggung masing-masing terdapat pedang panjang.
166
“Nyo Tiang Pek, pinto datang hendak merasai pukulanmu Gin-san-ciang seperti yang telah kau jatuhkan kepada murid keponakan pinto itu!” kata tosu ini dengan suara marah.
Nyo Tiang Pek merasa heran sekali. Ia seperti pernah bertemu dan mengenal muka tosu ini akan tetapi ia lupa lagi bila dan di mana. Giok Lie yang memperhatikan pakaian ketiga orang tosu itu, lalu berbisik, “Bukankah mereka itu tosu- tosu dari Kun-lun-san?”
Teringatlah Nyo Tiang Pek. ”Kalau aku tidak salah sangka, yang berdiri di depan adalah Lui Siok Tojin dari Kun-lun-san. Betulkah?”
Tosu itu memang betul Lui Siok Tojin, tokoh Kun-lun-pai yang terkenal dan ia ini bukan lain, ialah guru dari Can Kok In, perwira raksasa muda yang gagah itu! Lui Siok Tojin datang bersama dua orang adik seperguruannya oleh karena ia merasa marah sekali mendengar tentang terbunuhnya seorang tosu yang menjadi murid Kun-lun-san, yakni tosu yang telah terbunuh oleh Lui Tik Kong di dusun hingga pedang Ceng-lun-kiam pemberian Nyo Tiang Pek tertinggal di tubuh tosu yang terbunuh itu.
Dan oleh karena tosu itu terbunuh dengan pukulan Gin-san-ciang dan pedang Ceng-lun-kiam, maka tentu saja semua orang menjatuhkan tuduhan kepada Nyo Tiang Pek.
Biarpun tidak mempunyai hubungan erat dengan Lui Siok Tojin, akan tetapi selamanya Nyo Tiang Pek mengindahkan tokoh ini dan tak pernah terjadi sesuatu di antara mereka, maka sudah tentu saja ia heran sekali mendengar ucapan tosu, itu. Akan tetapi, pada saat itu, hati Nyo Tiang Pek sedang panas urusan puterinya, sedangkan pikirannya pun menjadi gelap, maka kesabarannya pun lenyap, terganti oleh sifat berangasan dan mudah marah.
Rasa malu yang dideritanya karena gagalnya perkawinan, anaknya, membuat ia menganggap bahwa setiap orang memandangnya dengan penuh ejekan dan penghinaan dan kini kedatangan tosu-tosu yang tiba-tiba menuduhnya tidak karuan inipun tentu saja menambah kemarahan hatinya.
“Nyo Tiang Pek, kalau bukan pinto sendiri Lui Siok Tojin yang datang, dari pihak kami Kun-lun-pai siapa lagi yang akan sanggup menghadapimu? Kau terkenal ahli Gin-san-ciang yang lihai dan bertangan maut!”
“Lui Siok Tojin! Aku berhadapan dengan seorang anak kecil atau dengan seorang tua yang telah miring otaknya? Mengapa kau datang-datang menghinaku?”
Lui Siok Tojin marah sekali dan menuding dengan tongkat bambunya.
“Orang she Nyo! Membunuh dan melukai orang tak berdosa dengan kejam adalah perbuatan rendah, akan tetapi mengingkari perbuatan sendiri dan berpura-pura suci bersih adalah perbuatan yang lebih rendah lagi. Kau membunuh seorang murid keponakanku yang tak berdosa, namun masih berpura-pura lagi. Sungguh rendah dan memalukan!”
Bukan main marahnya Nyo Tiang Pek mendengar ini. Sambil berseru ia menggerakkan tubuh dan tahu-tahu tubuhnya telah berkelebat dalam sebuah lompatan indah dan turun di depan tosu itu.
“Lui Siok Tojin! Jangan sembarangan membuka mulut! Apa kaukira aku takut padamu?”
167
“Ha, ha, ha! Anjing kalau terinjak ekornya akan tampak sifat aslinya! Majulah, majulah! Memang pinto ingin sekali mencoba Gin-san-ciangmu yang lihai!”
Dalam keadaan biasa, tentu Nyo Tiang Pek akan mencari tahu persoalannya lebih dahulu sebelum bertindak, akan tetapi dalam keadaannya seperti saat itu, ia tidak perduli akan segala sebab-sebab yang membuat tosu itu datang-datang marah kepadanya. Ia hanya menganggap bahwa orang telah menghinanya dan penghina itu perlu dihajar! Maka dengan berseru marah, Nyo Tiang Pek lalu maju memukul!
Lui Siok Tojin adalah seorang tokoh persilatan yang tinggi ilmu silatnya, maka dengan mudah ia lalu mengelak dan membalas menyerang dengan tongkat bambunya. Tongkat ini biarpun hanya terbuat daripada bambu dan kecil sekali, justeru bentuknya yang kecil dan ringan itu membuat tongkat itu menjadi sebuah senjata penotok yang lihai sekali!
Tongkat itu diputarnya cepat dan sebentar saja tongkat itu telah melakukan serangan bertubi-tubi mengarah jalan darah di tubuh Nyo Tiang Pek! Si Garuda Kuku Emas merasa terkejut dan marah karena tongkat itu benar-benar berbahaya sekali. Dalam pertempuran kurang lebih sepuluh jurus saja hampir ia kena tertotok, maka sambil berseru keras ia lalu memukul dengan ilmu Gin-san-ciangnya yang luar biasa!
Lui Siok Tojin tahu akan kehebatan ilmu pukulan ini, maka cepat ia mengelak, akan tetapi terlambat! Angin pukulan Gin-san-ciang masih menyerempet pundak kanannya hingga ia merasa betapa pundak dan lengannya menjadi kesemutan dan hampir saja tongkat bambunya terlepas!
Pada saat itu, Giok Lie melompat ke dekat suaminya untuk mencegah Nyo Tiang Pek menurunkan tangan kejam. Melihat gerak lompatan nyonya ini, bukan main terkejutnya hati Lui Siok Tojin, oleh karena memang gin-kang dari Giok Lie lihai sekali, bahkan lebih tinggi tingkatnya dari ilmu gin-kang Nyo Tiang Pek sendiri!
Sebetulnya, kalau ia mau, pada saat Lui Siok Tojin terhuyung karena terserempet angin pukulan Gin-san-ciang, mudah saja bagi Nyo Tiang Pek untuk menyusul dengan pukulan maut, akan tetapi betapapun sedang marahnya, ia masih ingat dan tidak mau sembarangan membunuh orang.
Lui Siok Tojin merasa bahwa ia masih belum dapat menandingi Nyo Tiang Pek, apalagi di situ ada isteri pendekar itu yang agaknya memiliki ilmu silat tinggi juga, maka ia lalu menjura dan berkata,
“Orang she Nyo! Tiga bulan lagi pinto minta pengajaran darimu!”
Setelah berkata demikian, tosu itu pergi, diikuti oleh kedua adik seperguruannya yang tidak berani sembarangan bergerak tanpa perintah dari Lui Siok Tojin.
“Lui Siok Tosu, tunggu dulu dan minta penjelasan!” kata Giok Lie.
Akan tetapi, sambil berjalan terus dan hanya menengok dengan kepala, Lui Siok Tojin berkata. “Penjelasan apalagi? Tanya saja kepada suamimu yang gagah!” Lalu ia mempercepat larinya meninggalkan Bong-kee-san!
168
Giok Lie menghela napas panjang dan berkata, “Celaka benar, datang lagi orang mencari permusuhan! Heran sekali, siapakah orangnya yang membunuh anak murid Kun-lun-pai dengan menggunakan Gin-san-ciang?”
Nyo Tiang Peki tidak menjawab, hanya bertindak perlahan memasuki rumah. Pikirnya juga ruwet sekali.
Dulu ketika ia dan Cin Han serta Lian Hwa dengan banyak orang yang gagah lagi menyerbu ke puncak Hoa-mo-san untuk mengadakan pertandingan dengan pihak Pek-lian-kauw, Lui Siok Tojin itupun ikut datang pula, bukannya dengan maksud membantunya atau membantu pihak musuh, akan tetapi hanya berusaha mendamaikan dan mencegah pertempuran, dan ternyata kemudian tidak berhasil.
Dan semenjak itu, ia tidak pernah mengadakan hubungan dengan Kun-lun-pai. Mengapa tosu ini datang-datang menuduhnya membunuh anak murid Kun-lun-pai dengan pukulan Gin-san-ciang?
“Jangan-jangan anak kita yang durhaka itu yang melakukannya,” katanya perlahan.
Giok Lie memandang dengan penasaran. Sinar matanya menyangkal keras dan ia lalu menjawab.
“Tak mungkin! Aku lebih menduga bahwa ini tentu perbuatan Lui Tik Kong!”
Nyo Tiang Pek menggeleng kepalanya. “Biarpun ia mempelajari Gin-san-ciang, namun belum cukup pandai untuk dapat digunakan memukul mati seorang anak murid Kun-lun-pai,” katanya.
“Suamiku, kau terlalu membela Lui Tik Kong,” isterinya mencela.
Nyo Tiang Pek membalas pandangan isterinya. “Dia dimusuhi semua orang tanpa salah dan kita sudah memilihnya sebagai calon mantu, kalau bukan kita yang membela, siapa lagi?”
Giok Lan hanya menghela napas panjang dan sedih karena dia sendiri sebetulnya juga bingung dan ragu-ragu menghadapi persoalan yang menyangkut diri Tik Kong itu.
Ketika Kong Liang dan Mei Ling diikuti oleh Bwee Hwa cepat menuju ke Tit-lee untuk memberitahukan hasil kunjungan mereka di rumah Nyo Tiang Pek itu kepada Ang Lian Lihiap dan suaminya, mereka kebetulan sekali bertemu dengan Ang Lian Lihiap yang hendak mencari suami dan puteranya.
Dengan hati-hati sekali Kong Liang dan Mei Ling lalu menceritakan pengalaman mereka dan di dalam penuturannya ini, seringkali Kong Liang menghibur Ang Lian Lihiap yang mendengar dengan wajah pucat.
“Harap cici suka bersabar,” kata Mei Ling juga dalam usahanya menghibur dan menyabarkan Ang Lian Lihiap, “pada saat itu Nyo-twako benar-benar sedang marah sekali hingga sukar untuk mengajaknya bicara.”
169
Tiba-tiba Ang Lian Lihiap tertawa keras dan agaknya ia mengeluarkan semua hawa amarah melalui suara ketawa ini.
Bwee Hwa memandang dengan kagum semenjak pertemuan tadi. Telah lama sekali ia mendengar nama Ang Lian Lihiap dan kini melihat orangnya, ia merasa kagum sekali. Dari sikap dan sinar matanya saja, sudah dapat diduga dengan mudah bahwa nyonya ini memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali.
“Nyo Tiang Pek, kau memang terlalu dan sesat,” katanya, kemudian sambil memandang kepada Kong Liang dan Mei Ling ia berkata. “Mudah saja ia menuduh Lo Sin melarikan anaknya. Anakku takkan berwatak serendah itu. Nyo Tiang Pek terlalu menghina anakku, apa dia kira hanya dia sendiri yang mempunyai seorang anak perempuan yang cantik dan gagah? Hem, Tiang Pek, Tiang Pek! Seandainya kau berikan juga anak perempuanmu kepadaku untuk dijodohkan dengan Lo Sin, aku takkan sudi menerimanya. Aku sendiri yang melarang Lo Sin mendekati anakmu!”
“Cici mengapa begitu? Lee Ing jangan dibawa-bawa, anak itu tidak bersalah apa apa,” kata Mei Ling. Juga Bwee Hwa tak tahan untuk tidak ikut berkata.
“Toanio, Lee Ing adalah seorang gadis yang baik budi dan gagah.”
Mendengar semua kata-kata ini, Ang Lian Lihiap makin cemberut. “Betapapun baiknya gadis she Nyo itu, ia akan menjadi rusak karena terlalu dibanggakan ayahnya yang sesat. Nyo Tiang Pek telah melemparkan anak sendiri ke langit dan menjajarkan dengan bintang-bintang, sedangkan ia merendahkan derajat anakku sampai serendah tanah lumpur. Apa sih hebatnya gadis she Nyo itu? Lihat saja, aku akan dapat mencarikan jodoh untuk anakku yang seratus kali lebih cantik dari pada gadis she Nyo itu dan seribu kali lebih gagah dan pandai.”
Kong Liang dan Mei Ling melihat betapa Lian Hwa mulai gemas dan marah, tidak berani membuka mulut lagi. Mereka berdua sudah mengenal baik watak Ang Lian Lihiap yang kalau sedang baik dan sabar, mau mengalah terhadap siapapun juga, akan tetapi kalau sedang marah, hatinya yang keras sukar sekali ditundukkan dan ia tidak takut kepada siapapun.
“Eh, nona ini siapakah?” tiba-tiba Lian Hwa bertanya sambil memandang Bwee Hwa setelah marahnya agak reda, seakan akan ia baru melihat gadis itu.
Dengan sikap manis dan penuh hormat, Bwee Hwa memperkenalkan diri dan Mei Ling lalu menceritakan pengalamannya ketika bertemu dengan Bwee Hwa. Mendengar bahwa gadis ini bukan lain ialah Kim-gan-eng yang telah terkenal juga, Ang Lian Lihiap memandang kagum.
Sekali pandang saja, ia merasa suka kepada gadis yang manis dan bersikap gagah ini, dan ia teringat akan masa mudanya. Walaupun ia tidak menjadi perampok akan tetapi ia juga merantau dan malang melintang di dunia kang-ouw, menjatuhkan banyak orang-orang gagah hingga nama Ang Lian Lihiap terkenal sekali.
“Siapakah gurumu, nona?” tanyanya.
“Suhu adalah Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan,” jawab Bwee Hwa.
170
“Pernah aku mendengar nama ini, aku tetapi sayang aku belum mendapat kehormatan untuk bertemu muka dengan dia,” kata Lian Hwa mengingat-ingat.
Melihat betapa cicinya sudah menjadi sabar kembali, Mei Ling lalu mengajak dia pergi menjauhi Kong Liang dan Bwee Hwa, minta agar supaya kakaknya itu beserta Bwee Hwa suka menanti sebentar.
Ang Lian Lihiap merasa heran melihat sikap Mei Ling yang hendak bermain rahasia-rahasiaan ini, akan tetapi sambil tersenyum ia menurut saja ketika Mei Ling menarik tangannya dan mengajaknya ke bawah sebatang pohon yang tak jauh dari situ letaknya.
“Cici, ada satu hal yang amat menggirangkan. Cici sudah melihat Bwee Hwa itu dan bagaimana pendapat cici?”
“Dia cantik dan gagah,” kata Ang Lian Lihiap dengan ragu-ragu karena tiba-tiba ia timbul dugaan bahwa tentu Mei Ling hendak mengusulkan perjodohan antara Kim-gan-eng itu dengan puteranya Lo Sin.
Wajah Mei Ling girang mendengar pujian Lian Hwa ini, maka ia lalu berkata lagi. “Cici bagaimana kalau gadis itu dijodohkan dengan...... engko Kong Liang?”
“Apa…...?” Lian Hwa benar-benar tercengang karena tidak menyangka, kemudian bayangan ragu yang tadi menyelimuti wajahnya, terganti oleh seri gembira. “Kong Liang……”
“Benar, ketahuilah, cici, keduanya sudah saling suka……” kemudian dengan suara bisik yang ramai seperti yang hanya dapat dilakukan oleh dua orang wanita yang sedang membicarakan urusan orang lain sambil berbisik-bisik, Mei Ling menceritakan kepada Lian Hwa tentang pengalaman malam hari itu ketika Kong Liang terluka senjata berbisa dan ditolong oleh Bwee Hwa. Lian Hwa mendengarkan dengan tersenyum-senyum gembira, kemudian ia berkata.
“Baiklah, aku setuju sekali! Biarlah aku akan sekalian mencari-cari di mana adanya Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan, agar aku dapat mengajukan lamaran untuk Kong Liang.”
Mei Ling menjadi girang sekali dan kedua orang wanita cantik ini tertawa-tawa. Dari jauh Kong Liang dan Bwee Hwa melihat keadaan mereka ini, ikut tersenyum gembira dan beberapa kali mereka saling bertukar pandang. Mereka berdua menduga-duga apakah yang sedang dibicarakan oleh Mei Ling dan Ang Lian Lihiap itu hingga perlu menjauhkan diri dan merahasiakannya dari mereka.
Tiba-tiba Bwee Hwa yang cerdik itu dapat menduganya. Apalagi yang perlu dirahasiakan oleh Mei Ling kepada mereka selain perkara perjodohan? Bwee Hwa lalu menundukkan mukanya yang berubah merah dan ia tidak berani lagi menatap pandang mata Kong Liang.
Ang Lian Lihiap dan Mei Ling kembali ke tempat itu dengan muka gembira, dan melihat betapa Bwee Hwa menundukkan mukanya yang kemerah-merahan diam-diam Lian Hwa mengagumi kecerdikan gadis ini yang agaknya telah tahu akan apa yang dirundingkannya dengan Mei Ling tadi. Sebaliknya, Kong Liang memandang mereka dengan penasaran karena ia tidak diikutkan dalam perundingan itu.
171
Lian Hwa lalu menghampiri Bwee Hwa dan memegang tangannya, kemudian tanyanya halus,
“Bwee Hwa, kita telah menjadi sahabat-sahabat baik yang sepaham, maka harap kau suka menjawab pertanyaanku dengan terus terang saja.”
Bwee Hwa tidak berani memandang wajah Lian Hwa, hanya sambil bertunduk ia mengerling dan tersenyum.
“Berapakah usiamu tahun ini?”
Dengan suara hampir tidak terdengar oleh orang lain, Bwee Hwa menjawab, “Duapuluh tahun.”
“Dan dari Mei Ling aku mendengar bahwa kau tidak mempunyai orang tua lagi. Maka kau anggaplah aku sebagai wakil orang tua atau cicimu sendiri. Bwee Hwa, kami semua suka sekali kepadamu dan bagaimana pikiranmu apabila kita mengikat tali perhubungan lebih erat lagi?”
Bwee Hwa adalah seorang gadis yang cerdik dan tentu saja ia telah maklum apa yang dimaksudkan oleh Ang Lian Lihiap yang bicara terus terang ini, akan tetapi, mana ia berani menyatakan perasaan hatinya? Ia menjadi makin malu dan tidak berani bergerak, bahkan dalam kebingungan dan malunya, keringat sampai keluar membasahi dahinya!
Melihat keadaan ini, Kong Liang yang masih belum mengerti, lalu menegur Ang Lian Lihiap. “Suci, sebenarnya apakah artinya semua ini? Kau seakan-akan bicara dengan bahasa rahasia!”
Tiba-tiba Mei Ling memandang kepada kakaknya dengan tertawa geli, hingga Kong Liang menjadi heran dan Lian Hwa juga ikut tertawa.
“Anak bodoh! Lebih baik aku berterus terang saja. Aku mempunyai usul dan pikiran untuk merangkapkan jodoh antara kau dan Bwee Hwa, bagaimana pendapatmu?''
Kong Liang menjadi bengong dan warna merah menjalar di seluruh mukanya. “Ini...... ini…… terserah kepada cici saja……” katanya gagap dan memandang kepada adiknya dengan mata mendelik akan tetapi sinar matanya mengandung pernyataan terima kasih yang besar sekali!
Ang Lian Lihiap tersenyum girang.
“Bwee Hwa seperti juga engkau, Kong Liang telah yatim piatu dan boleh dibilang akulah yang menjadi wakilnya. Bagaimana pendapatmu tentang pinangan ini?”
“Toanio……” jawab Bwee Hwa.
“Jangan menyebut aku toanio, sebutlah saja dengan cici, bukankah kita telah menjadi orang sendiri?”
Bwee Hwa makin jengah dan malu.
172
“Cici……” katanya perlahan sekali, “kau...... kau baik sekali dan terima kasih atas kebaikan kalian ini...... akan tetapi, hal itu…… aku harus bertanya kepada suhu karena suhu adalah seperti orang tuaku sendiri......”
Lian Hwa tersenyum. “Tentu saja, Bwee Hwa. Tentu saja harus mendapat perkenan dari gurumu, akan tetapi hal itu kurasa tak perlu disangsikan lagi. Aku mendengar bahwa Pat-chiu Koai-hiap adalah seorang gagah dan budiman, maka sudah tentu dia ingin sekali melihat muridnya berbahagia. Bagiku yang terpenting adalah perasaan hati kalian berdua, kau dan Kong Liang, orang lain hanyalah ikut bergembira belaka dan ingin melihat kalian hidup berbahagia. Maka, sebelum aku bertemu dengan suhumu, apabila kalian berdua tidak berkeberatan, aku ingin melihat kalian bertukar pedang sebagai tanda persetujuan hati masing-masing!”
Tentu saja Bwee Hwa dan Kong Liang merasa malu dan tidak berani bergerak. Melihat hal ini, Mei Ling menjadi kasihan sekali dan ia lalu menghampiri Kong Liang dan berkata,
“Koko, kalau kau tidak setuju, jangan biarkan aku mengambil pedangmu!” Setelah berkata demikian, gadis ini lalu mengambil pedang dan sarung pedang yang tergantung di pinggang Kong Liang.
Pemuda ini merasa berdebar dan girang dan sama sekali tidak mencegah adiknya mengambil pedang itu!
Kemudian, dengan pedang di tangan, Mei Ling lalu menghampiri Bwee Hwa yang masih berdiri diam sambil menundukkan kepala. Mei Ling lalu memberikan pedang Kong Liang pada gadis itu yang diterima tanpa berani memandang.
“Adikku yang manis, pedangmu harus diberikan kepada dia!” bisik Mei Ling kepadanya dan dengan tangan gemetar Bwee Hwa lalu melepaskan pedangnya dan diberikannya kepada Mei Ling yang segera membawanya kepada Kong Liang. Kedua orang anak muda itu setelah bertukar pedang lalu memakai pedang itu di pinggang masing-masing dan wajah mereka merah sekali.
Setelah itu, Bwee Hwa lalu berkata kepada Ang Lian Lihiap dengan terharu. “Cici yang mulia, sungguh besar sekali budi kalian terhadap aku yang bodoh dan hina. Sekarang aku mohon diri karena aku hendak mencari suhu.”
Lian Hwa mengangguk-anggukkan kepala. “Memang kau harus selekasnya menemui suhumu dan kalau mungkin memberi kabar kepadaku di mana dia berada agar aku dapat pula menjumpainya. Agaknya akan sukar bagiku untuk mencari perantau aneh itu!”
Setelah berpelukan dengan Mei Ling dan bertukar kerling dengan Kong Liang, Bwee Hwa lalu cepat meninggalkan tempat itu untuk pergi mencari Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan.
Setelah Bwee Hwa pergi, baru Kong Liang berani buka mulut.
“Mei Ling, kau benar-benar nakal dan suka menggoda orang!”
“Eh, eh! Bilang saja seperti apa yang dibisikkan hatimu. Jangan bicara lain di mulut lain di hati!” tegur adiknya.
173
“Apa maksudmu?”
“Aku mendengar hatimu berkata ‘Mei Ling terima kasih atas bantuanmu’ akan tetapi mulutmu pura-pura menegur lagi!”
Lian Hwa tertawa dan Kong Liang dengan gemas berkata. “Awas kau! Sekarang juga akan kubuka rahasia hatimu kepada suci!”
Terbelalak mata Mei Ling memandang kakaknya. “Rahasia? Rahasia apa?”
“Apalagi kalau bukan rahasia tentang kau menyamar menjadi laki-laki!”
Mendengar ini, merahlah wajah Mei Ling karena malu.
“Eh, eh, anak-anak. Kalian sedang bicara apakah?” tanya Lian Hwa.
“Cici, jangan percaya padanya. Mulutnya memang usil dan jahat!” kata Mei Ling sambil cemberut.
“Siapa usil dan jahat? Kalau tidak ada Yap Bun Gai yang menolong kau dan Bwee Hwa, apakah kita akan dapat bergirang pada saat ini? Dan kalau tidak ada kau yang menolong pemuda gagah itu, apakah dia tidak akan mendapat celaka?”
Lian Hwa makin tertarik hatinya mendengar nama Yap Bun Gai disebut oleh Kong Liang, maka ia lalu mendesak kepada pemuda itu untuk menceritakan pengalaman mereka.
Kong Liang dengan girang lalu menceritakan tentang kebaikan dan pertolongan Bun Gai, bahkan tentang cara Mei Ling menolong dan membela pemuda itu. Mei Ling mendengarkan ini semua dengan menundukkan mukanya dan kini dialah yang tidak berani berkutik.
Setelah mendengar cerita itu dan melihat betapa Kong Liang memberi isyarat mata ke arah Mei Ling, Lian Hwa lalu memandang kepada gadis itu dan bukan main girang hatinya.
“Baiklah,” katanya, “kalau aku sudah bertemu dengan suamiku, akan kubicarakan hal ini kepadanya. Aku sendiripun setuju kepada pemuda yang baik hati itu, sayangnya dia muncul di tengah-tengah pihak mereka yang jahat!”
“Suci, emas murni tidak takut karat, dan bunga teratai tidak takut kena lumpur!” Kong Liang berkata dalam pembelaannya sehingga diam-diam Mei Ling merasa berterima kasih kepada kakaknya itu yang membela Bun Gai.
“Ya, ya, aku tahu,” jawab Lian Hwa. “Memang tidak ada kebahagiaan yang lebih besar bagiku melainkan melihat kalian berdua mendirikan rumah tangga yang penuh kebahagiaan.” Kata-kata terakhir ini diucapkan dengan suara mengharukan karena pendekar wanita ini teringat akan puteranya.
174
Kemudian kakak beradik itu menyatakan bahwa merekapun hendak membantu mencari Cin Han dan Lo Sin dan oleh karena tidak diketahui di mana adanya kedua orang itu, maka mereka lalu mengambil keputusan untuk mencari sambil berpencar Kong Liang dan Mei Ling mencari ke utara dan Lian Hwa mencari ke timur.
Setelah Lian Hwa pergi, Mei Ling dengan gemas lalu mendekati kakaknya dan hendak dicubitnya sambil berseru. “Kau lancang dan kurang ajar!”
Sambil tertawa-tawa Kong Liang berlari cepat dan kemudian berkata, “Adikku yang baik, mengapa kau tidak bicara seperti hatimu?” Ia membalas menggoda. “Kalau menurut suara hatimu, kau seharusnya berlutut dan menghaturkan terima kasih kepadaku!”
Demikianlah, kedua kakak beradik yang bahagia itu bersendau gurau di sepanjang jalan dalam perantauan mereka mencari jejak Lo Sin atau Cin Han.
Lo Sin melarikan diri dari depan Nyo Tiang Pek yang marah sekali kepadanya, sedangkan Lee Ing mengikutinya sambil menangis terisak-isak. Setelah berlari jauh dan memasuki sebuah hutan pohon siong, Lo Sin berhenti dan Lee Ing lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis tersedu-sedu sambil mengeluh,
“Ayah…… ayah……”
Lo Sin segera memeluk pundak Lee Ing dan berkata perlahan.
“Ing-moi, tenangkanlah hatimu dan jangan bersedih. Ayahmu sedang marah, maka kemarahan telah membuat pikirannya gelap. Biarlah kelak kalau ayahmu sudah sadar, tentu ia akan menjadi baik kembali. Untuk sementara waktu, biarlah kita menjauhkan diri dan jangan kau khawatir, bukankah masih ada aku yang melindungi dan mencintamu?”
Mendengar kata-kata ini, terhibur juga hati Lee Ing dan gadis ini lalu menyandarkan kepalanya di dada kekasihnya. Pada saat itu, terdengar bunyi ringkik kuda dan sebentar juga Pek-liong-ma telah muncul di situ sambil berlari congklang.
“Lihat Pek-liong-ma juga tidak mau berpisah dari kita!” Keduanya lalu bangun berdiri dan memeluk kuda yang menjadi sahabat baik itu.
“Sayang sekali bahwa Tik Kong terlepas lagi dari tangan kita!” kata Lo Sin dengan gemasnya.
Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan masuk ke dalam hutan yang ternyata besar sekali dan di sebelah dalam terdapat banyak pohon-pohon yang mempunyai buah-buahan hingga mereka girang sekali karena di dalam hutan ini mereka tidak usah khawatir kekurangan makanan. Juga banyak sekali binatang-binatang hutan yang dapat diburu dan dimakan dagingnya.
Lo Sin lalu menceritakan tentang semua pengalamannya hingga Lee Ing makin jelas dan mengerti tentang kejahatan Tik Kong. Gadis ini merasa menyesal sekali bahwa ayahnya telah tertipu dan terpikat oleh pemuda jahat itu.
175
“Aku tidak dapat menyalahkan ayahmu,” kata Lo Sin dengan sejujurnya. “Aku sendiri kalau belum mengetahui tentang segala perbuatannya, apabila bertemu muka dengan Tik Kong yang berwajah tampan dan bersikap menarik itu, tentu akan tertipu dan terpikat. Pemuda itu memang pandai membawa diri dan mempunyai muka palsu yang sama sekali tidak mencerminkan keadaan hatinya.”
“Akan tetapi, semenjak pertama kali bertemu aku sudah mempunyai rasa tidak suka dan benci kepadanya,” kata Lee Ing. “Juga aku tahu bahwa ibupun kurang suka kepadanya, hanya sayangnya, ibu selalu menurut kehendak ayah tanpa membantah sedikitpun.”
“Memang sudah seharusnya demikian!” kata Lo Sin.
Lee Ing memandangnya dengan tajam. “Apa katamu? Sudah seharusnya demikian, bagaimana maksudmu?”
“Sudah seharusnya seorang isteri menurut kehendak suaminya.”
Tiba-tiba Lee Ing berdiri lurus, mengedikkan kepalanya dan mendelikkan mata. “Enak saja kau bicara! Apakah perempuan dianggap patung saja yang hanya boleh mengangguk dan menurut segala macam kehendak laki-laki? Apakah segala macam kehendak suami, biarpun tidak pantas dan tidak benar harus diturut saja dan isteri tidak boleh membantah sedikitpun, bagaikan seekor lembu yang dituntun pada hidungnya? Ah, dasar kaupun laki-laki! Dan laki-laki biasanya hendak menang sendiri saja, hendak enak sendiri, hendak diturut segala kehendaknya!”
Lo Sin tersenyum. “Aku tidak hendak menang sendiri saja, Ing-moi, juga tidak hendak enak sendiri atau diturut segala kehendakku. Aku bukan laki-laki seperti itu, Ing-moi!”
Pandangan mata Lee Ing melembut. “Lebih baik kau jangan bersifat seperti itu, karena akupun bukan seorang perempuan yang mau dijadikan boneka yang hanya bisa mengangguk dan berkata. “Baik, tuan besar!”
Tiba-tiba Lo Sin memandang kepada gadis itu dengan mata berseri dan ia tertawa bergelak. “Ing-moi…… ha-ha-ha! Kalau sudah begini, kau sama betul dengan ibuku! Ha-ha-ha! Sama-sama keras hati, liar dan tak mau ditundukkan.”
Merah muka Lee Ing mendengar ini. “Memang ibu jauh lebih baik daripada aku, akan tetapi, ia terlampau lemah dan mengalah!”
“Akan tetapi ibuku sangat mencintai ayahku, biarpun ia tukang membantah. Bahkan tidak jarang setelah bersitegang, ibu menyatakan kesalahannya dan menurut kata-kata ayah!”
“Apa kaukira akupun tahuku hanya membantah dan sekehendakku sendiri saja? Akupun mempunyai pikiran!”
Kembali Lo Sin tertawa, ia merasa gembira sekali melihat watak dan sifat-sifat gadis ini yang benar-benar seperti ibunya. Keras hati, panas, dan bergelora, akan tetapi memiliki kehalusan budi, penuh kegembiraan hidup seperti kuda liar yang indah!
176
“Sin-ko, bagaimana kalau…… kalau orang tuamu tidak setuju dengan hubungan kita?” tiba-tiba Lee Ing bertanya dengan suara sedih. “Ayahku terang tidak menyetujui, biarpun aku berani menanggung bahwa ibu tentu setuju dan kalau orang tuamu juga tidak setuju, bagaimanakah akan jadinya dengan nasib kita?”
Lo Sin tersenyum untuk menghibur hati kekasihnya itu. “Jangan khawatir, Ing-moi. Ayah ibuku memang tadinya bermaksud melamarmu, mengapa mereka tidak setuju? Bahkan terus terang saja, aku sendirilah yang tadinya tidak setuju ketika mereka melamar kau.”
“He?!?” Lee Ing memandang dengan mata terbuka lebar dan mulut cemberut hingga dalam pandangan mata Lo Sin ia nampak makin cantik dan makin manis!
“Memang, aku bahkan menjadi marah,” kata pula Lo Sin sambil tertawa. “Aku tidak suka dijodohkan dengan puteri Nyo peh-peh oleh karena pada waktu itu hatiku telah tercuri oleh seorang gadis!”
“Apa katamu?” Lee Ing makin marah.
“Hatiku telah tercuri oleh gadis yang berdiri di bawah pohon dengan pakaian basah kuyup!”
Lenyaplah sinar kemarahan dari wajah Lee Ing, terganti oleh senyum yang membuat wajahnya kemerah-merahan.
“Sin-ko, kau harus memberi pelajaran ilmu silat padaku,” katanya kemudian dan karena memang Lo Sin menganggap bahwa ilmu kepandaian Lee Ing masih jauh daripada mencukupi untuk menjaga diri, maka ia lalu mulai mengajar silat kepada gadis itu.
Ia mulai mengajarkan gerakan pertama dari ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut dan ia tidak ragu-ragu lagi untuk menurunkan ilmu pedang luar biasa ini kepada Lee Ing biarpun dulu ia telah disumpah oleh orang tuanya bahwa ia tidak boleh menurunkan ilmu pedang itu kecuali kepada isteri atau anaknya kelak! Dengan perbuatan ini, Lo Sin ternyata telah bertekad bulat untuk mengambil Lee Ing sebagai isterinya, biarpun seluruh dunia akan menentangnya!
Ia tidak takut akan ancaman Nyo Tiang Pek dan tidak takut pula kalau-kalau kedua orang tuanya melarang ia berjodoh dengan gadis ini! Memang, kekerasan dan kenekatan hati Lo Sin ini adalah warisan dari Ang Lian Lihiap yang terkenal memiliki hati keras dan keteguhan iman. Kalau telah menghendaki sesuatu, maka segala rintangan akan diterjang dan diberantas!
Berhari-hari mereka hidup di dalam hutan, berlatih silat dan bersendau-gurau. Pek-liong-ma juga senang tinggal di hutan yang banyak mempunyai rumput-rumput hijau yang gemuk untuknya itu. Akan tetapi, biarpun perhubungan kedua anak muda ini mesra sekali, namun mereka selalu menjaga diri dan membatasi hati mereka sehingga tidak mau melanggar batas-batas kesusilaan. Mereka terlampau gagah untuk dapat dikuasai oleh nafsu-nafsu buruk dan rendah.
Mereka tidak tinggal di tempat yang tertentu dalam hutan itu dan setiap hari berpindah tempat mencari tempat yang lebih indah dan menyenangkan. Pada suatu hari mereka tiba di sebelah timur hutan itu tiba-tiba mereka mendengar suara orang bertempur.
177
Ketika Lo Sin dan Lee Ing cepat memburu ke tempat itu, mereka terkejut sekali oleh karena melihat bahwa yang bertempur itu adalah Bwee Hwa si Garuda Mata Emas dan Hek Li Suthai. Kim-gan-eng Bwee Hwa sedang didesak keras sekali oleh kedua pedang Hek Li Suthai hingga keadaan gadis itu dalam bahaya. Pedang yang bersinar hijau dan hitam di kedua tangan to-kouw itu telah mengurung rapat dan Bwee Hwa hanya dapat menangkis dan mengelak sambil mundur dalam keadaan terjepit!
Lo Sin lalu melompat dengan pedang di tangan dan sekali ia bergerak, maka kedua pedang Hek Li Suthai telah ditangkis! Melihat datangnya orang yang membantunya, Bwee Hwa lalu mundur dan alangkah girangnya ketika melihat bahwa yang membantunya adalah Ouw-yan-cu Lo Sin, si Walet Hitam! Dan lebih girang lagi ketika ia melihat Lee Ing berdiri di situ.
Serta merta gadis ini lalu lari menghampiri Lee Ing dan memeluknya sambil menangis! Lee Ing heran sekali melihat gadis ini nampak sedih dan menangis, maka ia lalu balas memeluk dan menghiburnya.
Kemudian keduanya lalu berdiri memandang ke arah Lo Sin yang menghadapi Hek Li Suthai yang menjadi marah sekali karena ternyata olehnya bahwa yang menolong Bwee Hwa adalah putera Ang Lian Lihiap yang sudah dikenal kelihaiannya itu! Dan di bawah pohon, di belakang Hek Li Suthai, berdiri si kakek buntung Bong Cu Sianjin yang lihai!
“Ouw-yan-cu! Bagus sekali kau datang mengantarkan jiwa!” teriak Hek Li Suthai dengan marah sekali dan dengan sikap mengancam, akan tetapi ia tidak berani sembarangan bergerak atau menyerang. Sementara itu ketika mendengar nama ini, Bong Cu Sianjin melangkah maju dengan penuh perhatian.
“Hm, inikah putera Ang Lian Lihiap yang tersohor?” katanya sambil tersenyum memandang rendah.
Bagaimana tiba-tiba saja Hek Li Suthai dan Bong Cu Sianjin bisa berada di situ dan bertempur dengan Kim-gan-eng Bwee Hwa?
Ternyata bahwa setelah mendengar dari Yap Bun Gai akan perjanjian mengadu kepandaian di puncak Hoa-mo-san tiga bulan kemudian, Bong Cu Sianjin lalu mengajak Hek Li Suthai untuk mengunjungi kawan-kawan dan mencari pembantu untuk menghadapi Ang Lian Lihiap dan suaminya yang lihai itu. Juga Lui Tik Kong menyatakan hendak mencari bala bantuan dari orang-orang pandai yang dikenalnya dan Bi Mo-li yang tidak dapat berpisah dari Tik Kong, lalu ikut pergi dengan pemuda itu.
Kebetulan sekali ketika mereka bertemu dengan Bwee Hwa yang sedang berjalan mencari suhunya. Melihat Kim-gan-eng, tanpa banyak cakap lagi Hek Li Suthai lalu menyerangnya dan terpaksa Bwee Hwa melakukan perlawanan sengit. Semenjak mendapat latihan-latihan dari suhunya, memang kepandaian Bwee Hwa telah maju pesat.
Apalagi pertempuran-pertempuran yang pernah dilakukan dengan Hek Li Suthai dan kawan-kawannya membuat ia berlaku hati-hati dan dapat menjaga diri dengan baik hingga walaupun ia selalu didesak hebat, namun sebegitu jauh Hek Li Suthai belum berhasil merobohkannya! Sementara itu, Bong Cu Sianjin tidak mau merendahkan diri untuk ikut menyerbu, betul bahwa Hek Li Suthai seorang diripun akan sanggup merobohkan Kim-gan-eng.
178
Kini mehhat bahwa putera Ang Lian Lihiap datang menolong Bwee Hwa, Bong Cu Sianjin memandang dengan penuh perhatian dan berkata kepada Hek Li Suthai, “Ceng Hwa, seranglah dia dan jangan khawatir, aku melihat dari sini.”
Biarpun sudah maklum akan kelihaian Lo Sin, namun Hek Li Suthai tidak mau menunjukkan rasa takut, maka sambil berseru nyaring ia lalu memutar sepasang pedangnya dan menyerang dengan hebat. Harus diingat bahwa to-kouw ini telah menerima latihan ilmu silat yang lebih tinggi dari Lan Bwee Niang-niang, maka serangannya pun hebat sekali, jauh lebih hebat daripada ketika ia bertempur melawan Lo Sin di hujan badai dulu itu.
Namun Lo Sin menyambut serangannya dengan tenang saja. Pemuda ini mempergunakan pedang pusakanya yang disebut Kim-hong-kiam atau Pedang Burung Hong Emas yang mengeluarkan sinar kuning keemasan lalu memainkan ilmu pedangnya yang luar biasa.
Biarpun sepasang pedang Hek Li Suthai itu menyambar-nyambar merupakan dua buah sinar hijau dan hitam dengan hebat dan garang, namun dengan sebatang pedangnya ia dapat menangkis dengan baik dan kuat hingga tiap kali pedangnya bertemu dengan pedang di tangan Hek Li Suthai, to-kouw itu merasa betapa telapak tangannya tergetar.
Lo Sin kali ini tidak mau memberi hati kepada lawannya dan ia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya bagian menyerang hingga sebatang pedang di tangannya itu berkelebat bagaikan seekor naga sakti mengamuk. Belum juga mereka bertempur tigapuluh jurus. Hek Li Suthai sudah terdesak hebat dan terpaksa mengerahkan segala ilmu kepandaiannya untuk menjaga diri dari desakan ini.
Bong Cu Sianjin merasa kagum sekali melihat kelihaian pemuda itu, maka ia lalu berseru, “Ceng Hwa, kau mundurlah dulu. Biar aku tangkap tikus kecil ini!”
Lega hati Hek Li Suthai mendengar perintah susioknya, karena memang ia telah mengeluarkan peluh dingin pada dahinya menghadapi rangsekan yang membuatnya tidak berdaya itu.
Sementara itu, ketika melihat bahwa kakek buntung itu mengajukan diri dengan tabah dan berani sekali, Lo Sin lalu menyimpan kembali pedangnya.
“Bong Cu Sianjin, kebetulan sekali. Aku telah lama ingin menyaksikan kelihaian kedua kakimu!” katanya dengan tenang dan memasang kuda-kuda untuk menghadapi serangan kaki yang kabarnya lihai sekali itu. Kalau Bong Cu merasa girang dan juga heran melihat keberanian Lo Sin, Lee Ing dan Bwee Hwa sebaliknya merasa khawatir sekali.
“Sin-ko, hati-hatilah, kakinya lihai sekali!” seru Lee Ing memperingatkan Lo Sin agar pemuda ini suka mempergunakan pedang menghadapi kakek buntung itu. Akan tetapi Lo Sin hanya tersenyum danmenjawab,
“Aku tidak tega untuk menghadapinya dengan pedang, Ing-moi.”
Jawaban ini membuat alis Bong Cu Sianjin seakan-akan berdiri karena marahnya. Ia merasa dianggap rendah dan dihina oleh Lo Sin, maka sambil menggeram keras ia lalu melangkah maju dan mengirim serangan dengan tendangan kakinya yang mengeluarkan angin keras.
179
Lo Sin maklum akan kelihaian lawan, maka ia tidak berani berlaku sembrono, bahkan menghadapinya dengan hati-hati sekali. Ia mempergunakan kelincahan dan keringanan tubuhnya untuk berkelit cepat dan membalas dengan serangan kilat yang tidak kalah hebatnya.
Menyaksikan ginkang pemuda ini yang tinggi, diam-diam Bong Cu Sianjin terkejut sekali. Selama berpuluh tahun setelah kedua lengannya buntung, Bong Cu Sianjin setiap hari melatih kedua kakinya hingga kehebatan kedua kaki ini tidak kalah dengan kedua lengan tangannya dulu ketika masih belum buntung. Bahkan kini tenaga kakinya hebat sekali dan ia telah berhasil melatih kakinya sedemikian rupa hingga ujung kakinya dapat digunakan untuk menotok jalan-jalan darah lawan.
Tiap kali ia menendang, bukanlah merupakan tendangan biasa yang hanya mempergunakan tenaga besar belaka, akan tetapi selalu tendangannya itu mengarah urat-urat kematian atau bagian-bagian tubuh yang berbahaya. Juga ia dapat memainkan kedua kakinya sedemikian rupa hingga kakinya dapat menendang dari belakang, depan dan kanan kiri. Bahkan ia dapat melompat tinggi sambil menendang dari udara, atau ia dapat menendang hingga kakinya itu mengarah kepala lawan.
Menghadapi ilmu tendangan yang luar biasa dan yang agaknya tiada keduanya ini, Lo Sin diam-diam merasa terkejut sekali. Bukan kosong belaka kebesaran nama Bong Cu Sianjin dan ilmu tendangannya yang benar-benar membuat Lo Sin terpaksa harus berlaku hati-hati sekali.
Melihat betapa tendangan-tendangannya tak berhasil mengenai lawan yang muda dan tangguh ini, Bong Cu Sianjin menggereng hebat karena penasaran dan marahnya. Ia lalu merubah gerak kakinya dan kini ia melancarkan gerakan tendangan yang dinamai Jian-liong-tiam-jiauw atau Ribuan Naga Mengulur Kuku. Tendangannya dilakukan dengan kedua kaki yang susul menyusul hingga serangan itu datang bagaikan hujan mengarah bagian-bagian berbahaya dari tubuh Lo Sin.
Melihat serangan hebat ini, diam-diam hati Lee Ing berdebar cemas dan ia lalu memegang tangan Bwee Hwa erat-erat. Juga Bwee Hwa merasa khawatir sekali, sungguhpun semenjak tadi tiada habisnya ia mengagumi kepandaian Lo Sin, bukan main hebatnya sepak terjang putera Ang Lian Lihiap ini, pikirnya. Ke dua orang gadis itu memandang dengan mata tanpa berkedip ke arah perkelahian yang hebat itu.
Diserang secara demikian, Lo Sin terkejut sekali. Ia merasa betapa akan sukarnya untuk mengelakkan diri dari serangan kedua kaki yang bertubi-tubi ini, maka ia lalu berseru keras dan tahu-tahu ia telah mempergunakan ginkangnya dan tubuhnya mencelat ke atas. Akan tetapi, bukannya kaget, bahkan Bong Cu Sianjin lalu tertawa girang dan kedua kakinya cepat mengejar dan kini tendangan-tendangan ditujukan ke atas menjaga turunnya tubuh pemuda itu. Agaknya sudah tidak ada jalan lagi bagi Lo Sin untuk menghindarkan diri dari bahaya maut.
Akan tetapi, tidak kecewa Lo Sin mendapat gemblengan sepenuh hati dari kedua orang tuanya dan ia telah menerima pula pelajaran ginkang yang tinggi dari ibunya, yaitu warisan ilmu ginkang dari Song Cu Ling si Dewi Tanpa Bayangan. Melihat datangnya kedua kaki yang menyambar ke arah dirinya, tiba-tiba tubuh Lo Sin berjungkir balik di tengah udara, kaki ke atas dan kedua tangan ke bawah. Ia lalu menyambut ujung kaki lawannya yang menyambar dari bawah itu dan yang didahului oleh angin tendangan keras.
180
Lo Sin mengerahkan lweekangnya dan dengan tangannya ia menotol ujung kaki yang datang menyambar hingga ia terdorong oleh tenaga tendangan itu dan tubuhnya melayang kembali ke atas. Berkali-kali Lo Sin turun dan menotol ujung kaki hingga tubuhnya melayang lagi tanpa menderita luka.
Pemandangan ini sungguh indah dan mentakjubkan hingga Lee Ing dan Bwee Hwa memandang dengan melongo. Juga Hek Li Suthai diam-diam merasa kagum sekali dan memuji dalam hatinya. Rasa penasaran di dalam hatinya karena dikalahkan oleh Lo Sin, kini menjadi menipis oleh karena memang pemuda itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali.
Sementara itu, dari atas, tubuh Lo Sin menyambar-nyambar naik turun sambil meminjam tenaga tendangan lawan hingga seolah-olah ia merupakan seekor burung besar yang menyambar-nyambar turun dan kedua kaki Bong Cu Sianjin merupakan dua ekor ular yang mencoba untuk menggigit burung yang menyambar turun itu.
Dan dari atas, Lo Sin melihat betapa kedua kaki lawannya itu bergerak bagaikan dua batang tongkat besar yang lempeng menyerang ke atas. Tiba-tiba ia mendapat kenyataan hahwa seluruh kaki itu, dari ujung sampai pangkalnya, yang paling lemah adalah bagian sambungan lutut. Maka ia lalu menotol ujung kaki lawan yang menyambar lagi dan mengenjot tubuhnya jauh dari situ lalu turun di atas tanah.
Bong Cu Sianjin memburu sambil berteriak. “Jangan lari!”
“Siapa yang lari?” jawab Lo Sin sambil menyambut serangan lawannya lagi.
Kini Lo Sin sambil membalas dengan serangan pukulan dan tendangan yang semua ditujukan ke arah lutut Bong Cu Sianjin. Memang sukar menghadapi lawan buntung yang tidak diketahui gerak geriknya. Jika menghadapi seorang lawan yang berlengan, kita dapat mengikuti dan menduga gerakan lawan itu dari pundaknya yang bergerak lebih dulu sebelum melakukan serangan, akan tetapi oleh karena Bong Cu Sianjin tidak berlengan dan tidak melakukan serangan dengan tangan, maka pundaknya tidak bergerak hingga Lo Sin tidak dapat menduga cara-cara ia bergerak melakukan serangan.
Kini pemuda itu mendapatkan akal dan memusatkan seluruh serangan pembalasan ke arah lutut lawan hingga Bong Cu Sianjin menjadi sibuk juga. Kini ia tidak dapat mendesak seperti tadi oleh karena serangan-serangan Lo Sin ke arah sambungan lututnya itu berbahaya sekali dan ia harus menjaga sekuatnya agar sambungan lututnya jangan sampai kena terpukul. Dari paha, betis, sampai ke jari kakinya ia tidak takut menghadapi pukulan, akan tetapi sambungan lututnya kalau sampai terpukul dan terlepas sambungannya, berarti ia akan mendapat celaka.
Pertempuran menjadi makin hebat karena keadaan mereka kini seimbang. Kalau saja Lo Sin mempergunakan pedangnya, agaknya Bong Cu Sianjin takkan dapat tahan lama, akan tetapi pemuda itu merasa malu untuk mempergunakan senjata apalagi setelah tadi ia menyatakan bahwa ia tidak tega menghadapi Bong Cu Sianjin dengan senjata. Sedangkan sekarang, biarpun ia telah mengetahui letak kelemahan lawannya, namun oleh karena Bong Cu Sianjin benar-benar kosen, ia tidak berdaya untuk mendesaknya apalagi hendak merobohkannya.
181
Lee Ing dan Bwee Hwa yang melihat betapa Lo Sin tidak terdesak hebat lagi, merasa lega, akan tetapi mereka tetap merasa khawatir dan bingung karena tidak berdaya menolong kawan ini. Tadinya Bwee Hwa hendak maju membantu, akan tetapi Lee Ing menahan tangannya sambil berbisik.
“Sin-ko tidak mau dibantu. Kalau dia sendiri tidak minta dibantu, kita tidak boleh turun tangan.”
Akan tetapi tidak demikian dengan Hek Li Suthai. Melihat betapa kini susioknya tidak dapat mendesak lawan bahkan keadaan mereka berimbang dan saling menyerang dengan hebatnya, ia lalu melompat maju dan berkata.
“Susiok, biar kita bersama menangkap anjing ini.”
Tiba-tiba Lo Sin tertawa bergelak dan merasa bahwa kedatangan Hek Li Suthai itu menguntungkannya. Oleh karena dikeroyok dua dan Hek Li Suthai mempergunakan sepasang pedang hijau hitamnya yang lihai, maka ia tidak malu untuk cepat-cepat menarik keluar pedangnya dan kini ia mengamuk dengan pedang Kim-hong-kiam di tangan.
Kini ia tidak mau berlaku setengah hati lagi dan mengeluarkan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian gerakan menyerang yang paling hebat, yakni Naga Sakti Mandi di Api. Gerakan pedangnya bagaikan bunga api menjilat-jilat atau cahaya kilat menyambar-nyambar, menimbulkan hawa panas yang keluar dari hawa pedang dan ia mengurung kedua lawannya dengan sinar pedangnya yang lihai itu.
Bong Cu Sianjin kini terkejut sekali, demikian Hek Li Suthai. Biarpun keadaannya masih sanggup mempertahankan diri, namun permainan pedang ini benar-benar hebat dan mengerikan. Kalau saja yang menghadapi permainan pedang Lo Sin bukannya Bong Cu Sianjin dan Hek Li Suthai, maka pasti keduanya sudah sedari tadi kena dirobohkan.
Bong Cu Sianjin dan Hek Li Suthai yang berilmu tinggi itu merasa sangat penasaran dan terus mempertahankan diri dengan ulet dan nekad. Akan tetapi setelah bertempur menghadapi ilmu pedang sakti ini sampai seratus jurus, mereka tidak dapat menahan lagi. Keringat telah membasahi seluruh tubuh mereka dan pandangan mata mereka telah berkunang-kunang.
“Ouw-yan-cu! Ibumu telah berjanji hendak bertanding dengan kami di puncak Hoa-mo-san pada bulan ketiga, kalau kau memang berani, datanglah pada waktu yang ditentukan!” kata Bong Cu Sianjin sambil melompat berjumpalitan ke belakang!
Hek Li Suthai juga hendak melompat keluar dari kurungan pedang Lo Sin, akan tetapi tiba-tiba pedang Lo Sin telah bergerak sedemikian cepat sehingga kedua lengan tangannya tergores pedang dan mengeluarkan darah dan kedua pedangnya itu terlepas dari pegangan!
“Ha-ha-ha, Hek Li Suthai! Biarlah kali ini aku memberi kesempatan padamu. Lain kali kubikin buntung kedua lenganmu seperti susiokmu itu!”
“Walet Hitam! Biarlah lain kali aku membalas dendam ini di puncak Hoa-mo-san,” kata Hek Li Suthai sambil menahan marahnya dan memungut pedangnya, sedangkan luka goresan pedang di kedua
182
tangannya mengeluarkan banyak darah ketika ia mengikuti Bong Cu Sianjin melarikan diri situ dengan perasaan marah, malu mendongkol dan penasaran!
Pertemuan dengan Lo Sin ini lebih menguatkan niat Bong Cu Sianjin untuk pergi mencari bala bantuan oleh karena ia maklum bahwa dengan adanya Lo Sin ini, pihak Ang Lian Lihiap menjadi lebih kuat!
Lo Sin lalu menghampiri Bwee Hwa yang menjura kepadanya dan berkata.
“Terima kasih, taihiap. Kalau tidak ada kau dan adik Lee Ing yang membantu, tentu saat ini Kim-gan-eng hanya tinggal namanya saja.”
Ia lalu memeluk Lee Ing dengan terharu sekali dan ketika ia teringat akan nasib Lee Ing dan keadaan orang tua kedua pemuda pemudi ini, tiba-tiba Bwee Hwa menangis sambil mengeluh.
“Lee Ing…… sungguh kasihan sekali kau......”
Lee Ing terkejut sekali. “Eh, eh, enci Bwee mengapa kau ini? Mengapa kau menyusahkan keadaanku? Ada apakah?”
Juga Lo Sin menjadi tidak enak hati dan berkata. “Nona, kau datang dari manakah dan hendak ke mana?”
“Lo-taihiap belum lama ini aku telah bertemu dengan Nyo lo-enghiong dan juga bertemu dengan ibumu.”
Terkejutlah Lee Ing dan Lo Sin mendengar ini.
“Bagaimana keadaan mereka?” mereka berdua bertanya dengan suara hampir berbareng.
Dengan masih menahan tangisnya, Bwee Hwa lalu menceritakan betapa ia ikut dengan Kong Liang dan Mei Ling ke rumah Nyo Tiang Pek dan bahwa pendekar itu masih marah sekali bahkan mengancam hendak membunuh Lo Sin dan Lee Ing apabila mereka dapat bertemu dengan kedua anak muda ini!
Mendengar ancaman ayahnya ini, Lee Ing lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis sambil mengeluh. “Ayah...... ayah…… sekejam itukah hatimu kepadaku…..?”
Bwee Hwa memeluk pundak Lee Ing dan ikut menangis, sedangkan Lo Sin lalu berkata menghibur. “Tenangkanlah hatimu, Ing-moi. Akulah yang akan bertanggung jawab terhadap semua ini. Dan bagaimana dengan ibu, nona? Bagaimana sikap ibu setelah mendengar ucapan Nyo-pehpeh itu?”
“Ibumu marah sekali dan kalau sampai kedua pendekar tua itu bertemu muka, aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi! Ibumu bahkan menyatakan bahwa oleh karena ayah Lee Ing membencimu dan mengancam hendak membunuh, maka ibumu juga tidak rela kalau…… kalau kau berjodoh dengan Lee Ing......”
Mendengar ini, Lee Ing memekik ngeri dan roboh pingsan dalam pelukan Bwee Hwa!
183
“Lee Ing...... Lee Ing…… ah, ampunkan aku, taihiap…… aku telah gila! Lee Ing...... mengapa mulutku begini lancang......?” Bwee Hwa memeluk tubuh Lee Ing dan menangis dengan bingung.
Lo Sin merasa terharu sekali dan ia lalu menggunakan kepandaiannya untuk menotok pundak Lee Ing dan membuat gadis itu siuman kembali. Ketika sadar dari pingsannya dan melihat Lo Sin berlutut di dekatnya, Lee Ing mengeluarkan keluhan dan menubruk pemuda itu, memeluknya lalu menangis terisak-isak.
“Sin-ko...... aku lebih rela mati di tanganmu daripada daripada mati oleh ayah atau oleh ibumu......”
Lo Sin mendekap kepala kekasihnya pada dadanya dan pemuda inipun tidak dapat menahan pula air matanya yang keluar menitik turun ke atas pipinya.
“Jangan begitu, Ing-moi. Mana kegagahanmu? Mana sifatmu yang gembira dan hatimu yang tabah? Tidak pantas kau bersikap begini, Ing-moi. Apakah tiba-tiba kau menjadi seorang gadis yang lemah dan penakut? Di sini masih ada aku, Ing-moi, dan mati-hidup kita akan selalu bersama!”
Ucapan ini membuat Bwee Hwa merasa terharu sekali, akan tetapi bagaikan api yang disiram air, tiba-tiba lenyap pula keraguan dan kehancuran semangat yang tadi mempengaruhi Lee Ing. Ia melepaskan diri dari pelukan dan berkata dengan gagah.
“Terima kasih, Sin-ko. Hampir saja aku tersesat oleh kelemahan sendiri. Kau benar! Biar mereka semua membenci kita. Biar mereka semua mengutuk memusuhi kita. Kita akan hadapi bersama, mati atau hidup!”
Melihat kasih sayang yang demikian besar antara kedua orang muda itu, diam-diam Bwee Hwa merasa kagum dan amat terharu dan mengingatkan ia kepada Kong Liang yang gagah dan tampan. Tak terasa pula tangannya lalu meraba-raba dan mengusap-usap pedang pemberian Kong Liang yang tergantung di pinggangnya.
Lo Sin yang melihat hal ini dan matanya yang tajam lalu mengenal pedang itu. “Hei! Bukankah yang kaubawa itu pedang panjang paman kecil Kong Liang?” teriaknya dengan heran. Juga Lee Ing yang sudah kering pula air matanya itu lalu maju memeriksa.
“Betul, betul, akupun kenal pedang ini! Lihat di gagangnya terukir huruf Kong dan Liang! Cici yang baik, bagaimana pedangnya bisa terjatuh dalam tanganmu?'! tanyanya sambil memandang heran pula.
Dihujani pertanyaan dari kedua muda mudi ini, tiba-tiba wajah Bwee Hwa menjadi merah sekali seperti kepiting direbus.
“Cici…… Lian Hwa menukarkan pedangku dengan…… pedang ini,” katanya sambil menundukkan kepala.
184
Lee Ing yang tadi bersedih, menangis, bahkan sampai jatuh pingsan, kini tertawa dan memeluk dan menciumi Bwee Hwa! Gadis ini girang sekali dan sambil menepuk-nepuk pundak Bwee Hwa ia berkata.
“Ah, bagus sekali, cici! Kau memang cocok menjadi isteri paman kecil Kong Liang! Kiong-hi, kiong-hi (Selamat, selamat)……!”
Juga Lo Sin lalu menjura dan berkata, “Kiong-hi, kiong-hi!”
Mereka bertiga lalu bercakap-cakap dengan girang dan baik Bwee Hwa maupun Lo Sin terpengaruh oleh sikap Lee Ing yang sungguh-sungguh mengherankan, karena gadis ini telah bisa tertawa dan bersendau gurau dengan gembira sekali! Diam-diam Lo Sin merasa kagum karena ia lagi-lagi melihat persamaan yang luar biasa dalam tabiat kekasihnya ini dengan sifat ibunya, Ang Lian Lihiap!
Dan ia merasa bersyukur sekali karena ia sendiri pun tidak suka melihat sifat seorang gadis yang terlampau mudah berputus asa dan berduka.
Kemudian, setelah menyatakan janjinya bahwa iapun akan berusaha membujuk kedua orang tua Lee Ing dan Lo Sin agar mereka suka berdamai, Bwee Hwa lalu melanjutkan perjalanannya mencari suhunya dan meninggalkan kedua anak muda itu.
Setelah Bwee Hwa pergi, Lee Ing dan Lo Sin teringat lagi akan keadaan orang tua masing-masing dan diam-diam mereka merasa khawatir juga. Mereka agaknya mengetahui perasaan masing-masing tanpa mengeluarkan kata-kata dan sampai malam tiba, keduanya tidak banyak bicara.
Hawa malam itu dingin sekali hingga beberapa kali Pek-liong-ma meringkik-ringkik kedinginan. Lee Ing dan Lo Sin lalu mengumpulkan ranting kering dan membuat api unggun. Mereka tadi telah keluar dari hutan itu dan kini berada di luar hutan yang indah dan penuh dengan bunga-bunga.
Malam itu terang sekali biarpun bulan muncul seperempat bagian saja. Udara bersih dan hawa sejuk sekali. Mereka sengaja keluar dari hutan oleh karena di dalam hutan itu banyak nyamuk yang mengganggu mereka.
Setelah api unggun menyala, keduanya lalu duduk di dekat api. Keadaan malam yang dingin dan sunyi itu membuat mereka yang sedang merasa berduka menjadi makin terharu. Betapapun juga mendengar bahwa kedua orang tua mereka bermusuhan, bahkan keduanya tidak menyetujui hubungan mereka itu membuat keduanya tidak dapat banyak bicara dan merasa seakan-akan mereka ditinggalkan berdua saja di dunia yang ramai ini.
Memang, mereka telah bertekad untuk melawan segala rintangan dan telah bersumpah di dalam hati masing-masing untuk saling bersetia dan membela, akan tetapi di malam yang dingin dan sunyi ini mereka tiba-tiba teringat akan kebaikan orang tua mereka.
Terutama sekali Lo Sin. Pemuda ini teringat kepada ayah ibunya dan kalau ia memikirkan cerita Bwee Hwa bahwa ibunya yang marah itu tidak rela membiarkan ia menjadi suami Lee Ing, membuat ia berulang kali menghela napas. Dengan tubuh lemas ia duduk memeluk lutut di dekat api unggun itu.
185
Tiba-tiba sentuhan jari tangan Lee Ing yang halus itu pada pundaknya membuat ia sadar dari lamunan.
“Sin-ko, apakah sekarang kau yang kehilangan ketenangan dan keteguhan hatimu? Aku ada di sini, jangan kau bersedih.”
Mendengar ucapan kekasihnya ini, makin perih rasa hati Lo Sin. Gadis ini demikian cantik jelita, demikian gagah, dan dengan sepenuh hati mencintainya. Gadis manakah lagi yang dapat melebihi Lee Ing? Dan ibunya hendak melarangnya berjodoh dengan gadis ini!
Tiba-tiba Lo Sin menjatuhkan dirinya dan rebah telungkup di atas rumput yang hijau dan lunak. Ia membenamkan muka di dalam pelukan kedua lengan dan menahan kepedihan hatinya.
Melihat keadaan pemuda itu, Lee Ing merasa terharu dan gadis inipun lalu menubruk tubuh Lo Sin dan merebahkan kepalanya pada punggung pemuda itu.
“Sin-ko, kalau kau merasa berat sekali dan tidak sanggup membantah kehendak orang tuamu, biarkanlah aku merantau sampai di mana saja nasib membawaku. Aku tidak sudi kalau harus menikah dengan bangsat Lui Tik Kong itu dan hatiku akan hancur lebur dan mungkin sekali aku takkan dapat tahan untuk hidup lebih lama lagi apabila kau meninggalkan aku. Akan tetapi, daripada aku menghancurkan kebahagiaanmu, lebih baik aku mengundurkan diri!” Dan gadis ini menangis terisak-isak di atas punggung Lo Sin.
Lo Sin mengangkat mukanya dari pelukan lengannya. Tanpa bergerak atau bangkit ia menjawab. “Jangan kau bicara seperti itu, adikku. Apakah kau masih tidak percaya kepadaku? Apapun yang akan terjadi, aku tetap mencintamu dan akan membelamu, dan untuk itu aku telah bertekad menghadapi siapa juga, bahkan menghadapi Nyo-pehpeh atau ibuku sekalipun.”
Mendengar ucapan ini, Lee Ing merasa girang dan terharu. Sambil merebahkan pipinya di punggung Lo Sin, ia berbisik, “Sin-ko, kau baik sekali, Sin-ko......”
Pada saat itu terdengar ringkik Pek-liong-ma dan disusul oleh ringkik kuda lain. Lee Ing dan Lo Sin terkejut. Ketika Lee Ing menengok dan memandang ke belakang, ia berseru.
“Sin-ko, lihat! Ada kuda lain di dekat Pek-liong-ma!” Sambil berkata demikian gadis ini melompat berdiri.
Lo Sin juga bangun dan berdiri, memandang kuda yang berdiri di depan Pek-liong-ma itu dengan heran sekali. Kuda siapakah malam-malam datang di tempat ini?
Ketika mereka berdua berlari mendekati, kuda itu sedang mencakar-cakar tanah dengan kaki depannya hingga seakan-akan mengangguk-angguk dan memberi hormat kepada Pek-liong-ma, tiada ubahnya seseorang memberi salam kepada sahabatnya. Pek-liong-ma meringkik perlahan dan keduanya mengembang kempiskan hidung seakan-akan mencium-cium.
186
Melihat kuda berbulu hitam yang cukup baik itu Lee Ing merasa suka sekali. Kuda itu tiada penunggangnya dan ia masih dipasangi sela dan kendali. Ketika Lee Ing memegang kendalinya ternyata kuda itu jinak sekali, tanda bahwa ia adalah kuda peliharaan yang baik.
Lee Ing dan Lo Sin memandang ke sekeliling, akan tetapi tidak kelihatan ada orang di sekitar tempat itu. Kalau ada orang tentu ia akan dapat melihat api unggun yang mereka nyalakan di tempat ini. Maka keduanya merasa heran sekali mengapa kuda itu tiada penunggangnya dan bisa sampai ke situ sendiri. Kuda itu datangnya dari arah utara, di mana terdapat sebuah hutan cemara yang liar.
Karena tidak melihat ada seorangpun di sekitar tempat itu, Lee Ing lalu menambatkan kendali kuda itu di dekat Pek-liong-ma dan ia bersama Lo Sin lalu kembali ke dekat api unggun.
Lo Sin minta supaya Lee Ing tidur dan beristirahat dan ia yang akan menjaganya, akan tetapi gadis ini tidak dapat tidur. Bagaimana ia dapat tidur dengan pikiran penuh persoalan-persoalan yang menyangkut dirinya dan juga memikirkan keadaan ayah ibunya dan orang tua Lo Sin? Gadis ini bahkan lalu menambahkan kayu bakar pada api unggun itu dan mengajak Lo Sin bercakap-cakap tentang pertempuran yang hendak diadakan di puncak Hoa-ma-san pada bulan tiga.
“Tentu saja kita harus pergi ke sana,” kata pemuda itu dengan suara tegas. “Mereka itu adalah musuh-musuh orang tua kita, maka tidak dapat tidak kita harus membela orang tua kita, betapapun mereka ini marah kepada kita.”
Lee Ing merasa setuju dan mengingat bahwa mereka akan menghadapi lawan-lawan yang amat tangguh, Lee Ing lalu mencabut pedangnya dan berlatih pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut yang ia pelajari dari Lo Sin. Pemuda ini memberi petunjuk-petunjuk dan mereka berlatih dengan rajin.
Lo Sin girang mendapat kenyataan bahwa gadis itu mendapat kemajuan pesat dan ternyata bahwa Lee Ing mempunyai otak yang tajam dan cerdik hingga mudah mengingat bagian-bagian yang sulit dan penting dari ilmu pedang yang luar biasa ini.
Tanpa terasa lagi mereka berlatih silat sampai pagi! Dan setelah mendengar ayam hutan berkeruyuk dan burung-burung pagi berkicau, Lee Ing menghentikan latihannya dengan lelah dan mengantuk sekali sehingga ketika ia merebahkan diri di atas rumput yang kering oleh karena api unggun itu mengusir embun yang mendekat, ia terus saja tidur pulas!
Melihat keadaan Lee Ing ini, Lo Sin tersenyum geli. Ia melepaskan mantelnya dan menyelimuti tubuh gadis itu dengan penuh rasa kasih sayang dan kasihan. Kemudian ia sendiri duduk bersila di dekat api dan bersamadhi untuk melepaskan lelahnya.
Ketika matahari telah naik tinggi, Lee Ing terbangun dari tidurnya. Ia menggeliat dengan enaknya dan melihat bahwa tubuhnya diselimuti mantel oleh Lo Sin. Ketika ia menengok, ia mendapatkan pemuda itu masih duduk bersila tanpa bergerak dan dengan mata terpejam, maka maklumlah ia bahwa pemuda kekasihnya itu sedang beristirahat, akan tetapi dalam keadaan duduk itu biarpun tubuh dan pikiran Lo Sin “tidur”, ia masih sadar dan suara sedikit saja sudah cukup untuk menyadarkan Lo Sin dari samadhinya.
187
Maka ia lalu bangun duduk dengan perlahan dan menggigil, karena biarpun matahari sudah naik tinggi, namun kabut embun masih tebal dan api unggun telah padam sejak lama tadi. Ketika ia menengok ke arah kuda Pek-liong-ma, ternyata bahwa kuda hitam itu masih berdiri di situ dan kedua ekor kuda itu membanting¬banting kaki depannya seakan-akan tidak sabar sekali melihat betapa kedua majikan mereka masih belum berangkat membawa mereka berlari! Mereka telah merasa bosan berdiri dan menanti sampai semalam suntuk.
Biarpun Lee Ing bergerak dengan hati-hati dan perlahan, namun tetap saja Lo Sin dapat mendengarnya dan pemuda ini membuka mata samhil tersenyum dan bertanya. “Kau sudah bangun? Enakkah tidurmu?”
“Ah, aku terlalu sekali, Sin-ko, tidur sepanjang malam dan membiarkan kau berjaga terus sampai siang!”
“Kau baru tidur setelah fajar menyingsing, mana bisa disebut sepanjang malam? Dan kebetulan sekali tadi datang sendiri makanan pagi untuk kita.”
Lee Ing terheran. “Makanan pagi datang sendiri?”
Lo Sin tersenyum dan dengan tangan kirinya ia mengambil seekor kelinci dan memegang pada telinganya tinggi-tinggi ke atas. “Lihat ini, tadi pagi datang dan berkata. Tangkaplah aku untuk sarapan pagi!”
Lee Ing tertawa geli dan tiba-tiba melihat kelinci yang gemuk itu perutnya mulai berkeruyuk lapar. Cepat-cepat ia lalu menguliti kelinci itu, sedangkan Lo Sin lalu membuat api. Sambil bersendau gurau keduanya lalu memanggang daging kelinci yang bergajih itu dan segera tercium bau sedap daging panggang. Keduanya lalu makan dengan sedap dan enaknya.
Melihat keadaan mereka, orang yang melihat mereka malam tadi berduka, tentu akan merasa terheran-heran. Mereka ini memang orang-orang muda berbahagia dan, tak ada kedukaan yang dapat membuat mereka murung sepanjang waktu.
Kuda hitam itu ternyata seekor kuda yang baik dan kuat hingga keduanya merasa girang sekali. Oleh karena sudah biasa dan kenal dengan Pek-liong-ma, maka Lee Ing lalu minta agar Lo Sin yang menunggang kuda hitam itu sedangkan dia sendiri lebih suka menunggangi Pek-liong-ma yang jinak dan menurut serta mengerti segala perintah yang dikeluarkannya.
“Sin-ko, mari kita melanjutkan perjalanan melalui hutan sebelah timur itu, barangkali saja kita akan dapat bertemu dengan pemilik kuda hitam ini. Betapapun juga, tak enak sekali kalau kelak kita bertemu dengan pemiliknya dan dituduh menjadi pencuri kuda!”
Lo Sin setuju dan sehabis makan pagi, mereka lalu naik kuda dan memasuki hutan cemara itu. Akan tetapi, baru saja mereka tiba di luar hutan tiba-tiba dari jurusan timur mendatangi lima orang penunggang kuda yang melarikan kuda mereka cepat sekali. Lo Sin dan Lee Ing menahan kuda masing-masing dan menanti kedatangan mereka.
188
Ketika kelima orang penunggang kuda itu sudah datang dekat, maka ternyata oleh Lee Ing dan Lo Sin bahwa mereka ini adalah serombongan pemburu yang bertubuh tinggi besar dan kuat. Mereka ini membawa senjata-senjata lengkap. Busur dan anak panah tergantung di punggung, pedang di pinggang kiri, di pinggang kanan tergantung tali-tali yang kuat sedangkan tangan mereka memegang tombak panjang yang tajam dan runcing. Ketika mereka melihat kuda yang ditunggangi oleh Lo Sin, segera mereka membentak nyaring.
“Itu kuda Bu-ko!”
Seorang diantara mereka yang tertua lalu menuding dengan tombaknya kepada Lo Sin dan berseru. “Hai! Maling kuda, berani sekali kau mencuri kuda kawan kami! Hayo lekas turun dan serahkan kembali kuda itu kepada kami, baru kami mau memberi ampun.”
Kalau Lo Sin masih bersikap tenang menghadapi tuduhan ini, Lee Ing sebaliknya menjadi marah sekali dan ia lalu majukan Pek-liong-ma kehadapan pemburu itu dan balas membentak.
“Orang hutan yang kasar! Jagalah sedikit lidahmu dan jangan sembarangan kau memaki orang! Kaukira kami takut kepada orang-orang hutan seperti kalian ini?”
Pemburu-pemburu itu memang orang-orang kasar yang tidak biasa memakai banyak peradatan. Kini melihat sikap Lee Ing dan mendengar makian gadis manis ini, mereka menjadi marah. Pemimpin pemburu itu lalu maju dan membentak,
“Gadis kurang ajar! Kau tidak tahu sedang berhadapan dengan siapa? Biar aku bikin kau terpelanting dari kudamu, baru kau tahu rasa!” Sambil berkata demikian, ia majukan kudanya dan cepat memutar balik tombaknya dan menggunakan gagang tombak untuk mendorong Lee Ing jatuh dari kudanya!
Tentu saja kemarahan Lee Ing meluap. Ia membiarkan gagang tombak itu meluncur sampai dekat, dan tiba-tiba ia miringkan tubuh di atas kudanya dan cepat menangkap gagang tombak itu lalu menyendalnya keras-keras!
Pemburu itu adalah seorang yang hanya mengandalkan tenaga besar saja. Kini ia mempergunakan tenaga dan karena dorongannya mengenai tempat kosong dan kemudian ditarik dengan tiba-tiba dan keras oleh Lee Ing, tidak ampun lagi ia terbawa oleh tarikan itu dan tubuhnya melayang dari atas kuda!
Lee Ing mentertawakan. “Pemburu kasar! Kaulihat siapakah yang terpelanting dari kuda?”
Empat orang pemburu lainnya menjadi marah sekali dan dengan tombak terangkat mereka menghampiri Lee Ing, seakan-akan mereka sedang menyerang seekor harimau betina. Akan tetapi, dengan tenang Lee Ing mencabut pedangnya dan menanti serangan mereka, sementara Lo Sin hanya memandang saja dengan siap sedia membantu Lee Ing apabila gadis berada dalam bahaya. Melihat gerakan empat orang itu, Lo Sin tidak mengkhawatirkan keadaan Lee Ing.
Tiba-tiba sambil berseru keras, empat orang itu majukan kuda dan berbareng menusuk dengan tombaknya, hendak menyate tubuh Lee Ing dengan empat batang tombak mereka! Lee Ing berseru
189
keras dan menggerakkan pedangnya yang diputar sedemikian rupa hingga dengan mengeluarkan suara keras, tahu-tahu keempat tombak itu telah terpotong kepalanya.
Dan selagi keempat orang pemburu itu merasa terkejut sekali, tahu-tahu mereka merasa tubuh mereka diangkat dari kuda dan dibanting ke atas tanah. Ternyata bahwa yang melakukan hal ini adalah Lo Sin dan sambil menarik tubuh pemburu-pemburu itu dan membantingnya ke atas tanah ia berseru.
“Orang-orang kasar berhati kejam!”
Tentu saja hal ini membuat semua pemburu itu merasa terkejut dan ketakutan. Mereka maklum bahwa mereka sedang menghadapi dua orang pandai, maka segera mereka berlutut minta ampun, bahkan kepala pemburu yang menyangka bahwa Lo Sin dan Lee Ing adalah perampok-perampok besar, lalu berkata. “Tai-ong, mohon jiwi ampunkan jiwa kami yang tidak berharga!”
Melihat sikap mereka yang kini ketakutan itu, Lo Sin tersenyum dengan hati merasa geli. Ia lalu berkata, “Kalian bangkitlah! Kami bukan perampok-perampok seperti yang kalian kira, juga bukan maling kuda. Lain kali, hendaknya kalian bisa berlaku lebih sabar dan sebelum kalian bertindak dengan kekerasan, selidikilah dulu duduknya persoalan! Kami sama sekali tidak mencuri kuda hitam ini. Malam tadi ketika kami berada di padang rumput, tiba-tiba kuda ini datang dari arah hutan cemara ini. Oleh karena inilah maka kami berdua sengaja hendak memasuki hutan untuk mencari pemilik kuda hitam. Tidak tahunya kalian datang-datang memaki dan menyerang.”
Mendengar ini, tidak saja mereka merasa menyesal dan minta maaf, akan tetapi mereka juga terkejut sekali. “Taihiap tadi bilang bahwa kuda ini datang dari hutan cemara?” sambil berkata demikian, pemimpin pemburu itu memandang ke arah hutan cemara dengan mata terbelalak dan muka pucat.
“Kalau tidak salah, karena kuda ini memang lari dari jurusan ini.”
“Celaka, jangan-jangan Bu-ko menjadi korban Hek-koai-coa!”
Mendengar ucapan ini, kawan-kawannya juga menjadi pucat dan sikap mereka ketakutan.
“Siapakah Hek-koai-coa ini?” tanya Lee Ing. “Agaknya kalian takut sekali kepadanya. Apakah ia seorang penjahat besar?”
“Bukan, lihiap, Hek-koai-coa bukan nama julukan orang, akan tetapi benar-benar seekor siluman ular hitam yang dahsyat!”
Terkejutlah Lee Ing dan Lo Sin mendengar keterangan ini. “Di mana adanya ular itu?” tanya Lo Sin.
“Di dalam hutan inilah!” jawab kepala pemburu.
“Hayo kalian antar kami ke tempat ular jahat itu!”
190
Karena maklum bahwa Lo Sin dan Lee Ing memiliki kepandaian tinggi, maka dengan girang para pemburu itu lalu mengantar kedua orang muda itu memasuki hutan cemara. Di sepanjang jalan kepala pemburu itu menuturkan tentang ular yang ditakutinya itu.
Menurut penuturannya, ular itu adalah seekor ular bersisik hitam yang besar dan yang telah banyak makan orang, hingga tidak saja merupakan gangguan bagi para pemburu bahkan ular itu apabila telah lama tidak makan orang, berani menyerang kampung-kampung yang berdekatan dengan hutan! Telah berulang kali para pemburu dan orang-orang kampung berusaha mengusir atau membunuhnya, akan tetapi, usaha ini bukannya berhasil, malahan setiap kali mereka menyerbu, selalu jatuh korban di pihak mereka!
“Ular itu benar-benar jahat dan lihai,” katanya kepada Lo Sin dan Lee Ing, “sisiknya demikian keras hingga ia tidak dapat dilukai dengan senjata tajam!”
Masih banyak lagi kata-kata yang menyeramkan diucapkan oleh pemimpin pemburu itu. Untung saja bahwa Lee Ing dan Lo Sin memang memiliki hati yang luar biasa tabahnya, hingga kalau tidak, tentu sebelum bertemu dengan ular itu, mereka telah merasa takut dan ngeri!
Tiba-tiba dari arah depan terdengar suara “Kaaak...... kaaak...... kaaak……!” Suara ini nyaring sekali hingga bergema di seluruh hutan.
“Nah, itu dia!” bisik kepala pemburu dengan wajah pucat dan ketika Lee Ing memandang kepada mereka yang telah menahan kuda, ternyata bahwa ke lima orang pemburu yang tinggi besar itu telah menggigil seluruh tubuhnya! Lo Sin dan Lee Ing lalu majukan kuda masing-masing dan menghampiri arah suara yang keras dan yang bunyinya seperti suara burung gagak itu.
Ketika mereka tiba di tikungan sebelah depan, maka terlihatlah oleh mereka Hek-koai-coa yang diceritakan oleh pemburu-pemburu tadi. Ular itu memang besar sekali dan panjangnya tidak kurang dari empat tombak. Kulitnya bersisik hitam dan mengkilat karena cahaya mata hari.
Pada saat itu, ular hitam yang besar itu sedang berjemur di atas cabang pohon cemara yang tinggi. Tubuhnya membelit cabang itu dan kepalanya tergantung ke bawah, bergerak-gerak ke kanan kiri sambil mengeluarkan bunyi berkakak itu.
Setelah melihat ular itu, Lo Sin dan Lee Ing tahu bahwa ular itu adalah ular biasa, hanya memang besar sekali dan nampaknya liar dan ganas. Ketika binatang itu melihat dua orang muda menghampiri tempatnya, kepalanya berhenti bergerak dan ia memandang kepada mereka tanpa bergerak dan dari mulutnya keluar lagi teriakan-teriakan dahsyat itu.
Kuda hitam yang ditunggangi Lo Sin meronta-ronta dan hendak kabur, akan tetapi Lo Sin cepat melompat turun dan menambatkan kuda itu erat-erat pada sebatang pohon cemara. Pek-liong-ma meringkik-ringkik marah, akan tetapi kuda yang telah dilatih menghadapi segala macam bahaya ini tidak nampak takut bahkan marah sekali seakan-akan hendak melawan suara jahat yang datang dari atas pohon itu.
191
Lee Ing merasa agak ngeri melihat ular yang besar dan panjang itu, akan tetapi hatinya juga gembira menghadapi pertempuran ini. Gadis ini dengan sikap garang lalu melompat turun dari atas kudanya pula dan sambil berdiri di dekat Lo Sin, ia mencabut pedangnya dan berteriak ke atas.
“He, siluman ular hitam! Lekaslah kau turun untuk menerima kematian!”
Ular itu berada di tempat yang tinggi sekali dan melihat sikap kedua orang yang agaknya tidak takut sama sekali kepadanya itu, ia menjadi ragu-ragu dan tetap diam tanpa bergerak sambil memandang dengan sepasang matanya yang merah. Hanya lidahnya yang runcing dan merah itu saja yang bergerak keluar masuk dari mulutnya.
Pek-liong-ma berlari ke dekat kuda hitam dan kuda ini tetap meringkik-ringkik sambil mencakar-cakar tanah dengan kedua kaki depannya. Lo Sin tetap tenang saja dan ia tersenyum melihat lagak Lee Ing, karena ia maklum bahwa betapapun juga, gadis ini merasa ngeri dan jijik.
Ketika melihat betapa ular itu diam saja tidak bergerak, Lee Ing menjadi marah. Ia memungut sebuah batu kerikil dan dilemparkannya batu itu ke arah kepala ular yang menggantung ke bawah. Lemparannya tepat sekali, akan tetapi tiba-tiba kepala ular itu mengelak ke samping hingga batu yang hendak membentur kepalanya itu mengenai tempat kosong. Kemudian ia mendesis dan dari mulutnya keluar uap hitam.
“Awas, Lee Ing, ular itu beracun dan lihai juga! Ia mulai marah!” kata Lo Sin.
“Aku tidak takut padanya!” jawab Lee Ing, biarpun ia merasa betapa bulu tengkuknya berdiri. Ia mengambil sebuah batu kecil lagi dan melontarkan sepenuh tenaga ke arah kepala ular itu.
Kali ini ular itu tidak mengelak, bahkan ia lalu membuka mulutnya yang lebar dan cepat sekali ia menggigit batu itu yang terus ditelannya. Melihat hal ini, bukan main terkejutnya Lee Ing dan baru ia percaya bahwa ular itu memang lihai.
Sementara itu, binatang yang merasa betapa dirinya diganggu itu, menjadi marah juga dan mulai turun dari cabang pohon itu. Turunnya aneh sekali bukannya merayap melalui batang pohon seperti ular lain, akan tetapi ia menggantung diri makin ke bawah hingga kepalanya mencapai cabang pohon yang lebih rendah.
Kemudian ia menggigit cabang itu dan melepaskan tubuhnya yang masih melingkar di atas dan demikianlah, cabang demi cabang ia turuni dengan cepat sekali hingga akhirnya ia tiba di atas tanah dengan mengeluarkan suara berdebuk keras dan tanah mengebulkan debu, menandakan bahwa tubuhnya itu berat sekali.
Setelah ular itu tiba di atas tanah di depan mereka, barulah tampak nyata bahwa ia memang besar dan panjang sekali. Melihat ini, Lee Ing lalu melompat ke belakang tubuh Lo Sin.
Lo Sin yang maklum bahwa ular ini berbahaya sekali, lalu mencabut pedangnya dan berdiri dengan tenang akan tetapi waspada. Tiba-tiba ular itu mendesis lagi dan uap hitam menyambar ke arah Lo Sin. Pemuda ini cepat melompat jauh ke samping sambil membetot tangan Lee Ing.
192
“Ing-moi, biarkan aku yang menghadapi ular siluman ini. Menyingkirlah!”
Lee Ing memang sudah merasa ngeri, maka ia lalu menurut dan berlari ke bawah sekelompok pohon siong yang besar di sebelah kanan. Lo Sin lalu menghadapi ular itu dengan pedang Kim-hong-kiam di tangan. Ular itu mendesis-desis lagi lalu tiba-tiba kepalanya meluncur ke depan dengan mulut terbuka lebar, menyerang ke arah leher Lo Sin!
Pemuda ini mengelak ke samping lalu mengirim bacokan dengan pedangnya, tepat di leher ular itu, akan tetapi alangkah kagetnya ketika pedangnya itu meleset seakan-akan membacok sesuatu yang amat licin dan keras! Ia terkejut sekali dan cepat menyingkir.
Akan tetapi, ular itu memang liar dan ganas, ketika merasa betapa lehernya diserang, ia sengaja tidak mau berkelit akan tetapi membarengi dengan sabetan ekornya! Sabetan ini bukan main kerasnya, dan agaknya akan celakalah Lo Sin kalau kena tersabet!
Namun pemuda ini lebih gesit lagi. Dengan mudah ia melompat tinggi dan dari atas ia melihat betapa leher ular yang dibacoknya tadi mengeluarkan lendir yang berminyak hingga tentu saja kulit yang keras itu menjadi licin! Ketika ular itu menyerang, Lo Sin hanya bergerak ke sana ke mari menghindarkan diri dari terkaman mulut ular dan dari semburan hawa beracun.
Ia memandang dengan penuh perhatian dan akhirnya melihat betapa sisik ular itu bertumpuk-tumpuk ke belakang hingga kalau diserang dengan sabetan biasa takkan dapat terluka. Ia lalu menyerang lagi dan kini ia meneruskan pedangnya dari arah belakang dan benar saja, serangannya berhasil baik!
Ujung pedangnya ambles ke bawah sisik dan melukai kulit ular itu. Ular hitam menjadi marah sekali dan kesakitan, tubuhnya lalu melingkar dan cepat sekali kepala dan ekornya menyerang dari dua jurusan!
Lo Sin berlaku waspada. Ia melompat ke atas menghindarkan dua serangan itu dan ketika ular itu meluncurkan kepalanya ke atas untuk menggigit kakinya, pemuda ini berjumpalitan di tengah udara dan menusukkan pedangnya pada mulut ular yang ternganga itu!
Pedang Kim-hong-kiam amblas sampai di leher ular itu dan menembus leher! Uap hitam yang berbau amis sekali menyambar, akan tetapi Lo Sin dengan cepat telah menarik kembali pedangnya dan melompat jauh hingga terhindar dari semburan hawa berbisa.
Ular itu berkelojotan dan menggeliat-geliat menyemburkan uap bisa hingga tanah di sekitarnya penuh dengan bisa hitam yang amat berbahaya. Makin lama gerakannya makin lemah dan untuk mengakhiri penderitaan binatang itu, Lo Sin melompat lagi dari belakang ular itu dan menggerakkan pedangnya ke arah leher binatang itu. Kini sekali menabas saja putuslah leher ular itu!
Melihat bahwa ular itu telah binasa. Lo Sin lalu menggosok-gosokkan pedangnya pada kulit ular untuk menghilangkan bekas darah yang mungkin berbisa, kemudian ia melompat untuk menghampiri Lee Ing yang masih berdiri di bawah pohon siong dengan pedang di tangan, siap menghadapi kalau-kalau ada kawan-kawan ular itu datang! Hatinya tadi ngeri dan cemas sekali melihat betapa ular itu benar-benar lihai dan ia takut kalau-kalau kekasihnya akan terkena bisa ular.
193
Akan tetapi pada saat Lo Sin berlari menghampiri Lee Ing dari atas pohon tiba-tiba melayang turun bayangan hitam dan gerakan yang amat cepat dan gesit ini membuat Lo Sin tercengang juga. Ternyata bahwa yang berdiri di hadapannya adalah seorang yang kurus kering dan pendek hingga tubuhnya kelihatan kecil dan kate.
Laki-laki ini usianya sebaya dengan ayah Lo Sin, dan rambutnya masih hitam. Jenggotnya tebal dan panjang, sedangkan rambutnya diikatkan ke atas dengan sebuah selampai putih, ikat pinggangnya juga putih. Akan tetapi seluruh pakaiannya berwarna hitam, hingga sama benar dengan warna pakaian Lo Sin.
Selagi Lo Sin memandang heran, dan juga Lee Ing yang berada agak jauh dari situ memandang heran pula, tiba-tiba laki-laki setengah tua itu mengangkat kedua tangan dan menjura sambil berkata.
“Benar-benar gagah perkasa si Walet Hitam!”
Lo Sin terkejut sekali ketika merasa bahwa dari kedua kepalan tangan yang diangkat menghormatnya itu menyambar angin yang kuat dan dingin, memukul ke arah mukanya! Dengan heran dan terkejut Lo Sin mengangkat tangan kiri ke depan dan melangkahkan kaki kiri ke belakang.
Gerakan tangan kirinya dapat menangkis angin pukulan yang lihai itu. Ia lalu memasukkan kembali pedang yang masih dipegangnya ke dalam sarung pedang, lalu ia bertanya kepada laki-laki kecil yang datang-datang menyerangnya dengan pukulan gelap dan keji itu.
“Sahabat siapa dan datang dari manakah maka memberi penghormatan demikian besarnya kepada siauwte yang muda?”
Sementara itu, Lee Ing yang juga sudah menyimpan pedangnya, lalu melompat menghampiri dan berdiri di dekat Lo Sin, memandang kepada laki-laki kecil yang aneh ini. Ia tidak tahu bahwa tadi Lo Sin telah mendapat serangan gelap dari kedua kepalan laki-laki ini.
Laki-laki itu tertawa bergelak dan suara ketawanya berbeda benar dengan tubuhnya yang kecil. Siapakah laki-laki yang aneh ini?
Laki-laki ini adalah seorang begal tunggal yang amat terkenal di sepanjang Sungai Huang-ho sebelah barat, oleh karena ilmu silatnya yang tinggi dan lihai. Sebenarnya laki-laki ini masih terhitung adik seperguruan Bong Cu Sianjin sendiri oleh karena dia ini adalah murid tunggal dari Kheng To Siansu. Sedangkan Kheng To Siansu adalah adik seperguruan dari guru Bong Cu dan Lan Bwee Niang-niang, yang bernama Kheng Kong Siansu.
Semenjak mudanya, Kheng To Sianjin merantau ke dunia barat dan lama sekali tinggal di India. Setelah kembali ke daratan Tiongkok dan merantau di Go-bi-san, ia lalu mengambil seorang murid yang bertubuh kecil ini dan yang bernama Khu Mo In.
Setelah suhunya meninggal dunia, Khu Mo In lalu menjadi seorang berandal dan merajalela di sepanjang Sungai Huang-ho sebelah barat hingga ia dijuluki orang Hek-siauw-mo atau Setan Kecil Hitam karena selain tubuhnya kecil dan pendek, iapun paling suka mengenakan pakaian hitam!
194
Karena sudah lama ingin sekali bertemu dengan saudara-saudara seperguruan, maka pada suatu hari Hek-siauw-mo Khu Mo In merantau ke timur dan hendak mencari Lan Bwee Niang-niang dan Bong Cu Sianjin di puncak Hoa-mo-san, tetapi di jalan ia bertemu dengan Bong Cu Sianjin yang telah buntung kedua tangannya dan yang kebetulan sekali memang sedang mencari kawan-kawan untuk menghadapi Ang Lian Lihiap pada bulan ketiga nanti.
Pertemuan ini menggirangkan hati kedua pihak dan ketika mendengar bahwa Bong Cu Sianjin telah menjadi buntung dalam pertempuran melawan Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya. Khu Mo In lalu menjadi marah dan ingin membalas dendam.
Bong Cu Sianjin maklum akan kelihaian sutenya ini, maka ia sengaja mengobrol dan membikin panas hati adik seperguruan ini yang berjanji hendak membantu pada bulan ketiga nanti di puncak Hoa-mo-san! Bong Cu Sianjin juga menceritakan tentang kelihaian putera Ang Lian Lihiap dan menceritakan bagaimana macam dan pakaian pemuda itu.
Karena masih ada dua bulan lagi sampai tiba waktu perjanjian pertempuran di Hoa-mo-san, maka Khu Mo In lalu melanjutkan perantauannya dan menunda kepergiannya ke Hoa-mo-san sampai bulan ketiga. Ia lalu merantau dan menikmati pemandangan alam di timur yang jauh bedanya dengan di bagian barat ini.
Akhirnya pada hari itu, kebetulan sekali ia melihat pertempuran antara Lo Sin dan seekor ular hitam yang ganas. Ia lalu melompat ke atas pohon dan diam-diam menonton pertempuran itu. Ketika memperhatikan pakaian dan bentuk badan Lo Sin, teringatlah ia akan cerita Bong Cu Sianjin tentang putera Ang Lian Lihiap yang berjuluk Ouw-yan-cu, maka ketika Lo Sin sudah berhasil membinasakan ular hitam itu, ia sengaja mencegat pemuda ini dan menyerangnya dengan kepalan yang diangkat sebagai pemberian hormat.
Khu Mo In terkejut dan kagum juga melihat betapa dengan tangan kirinya pemuda itu dapat menolak serangannya. Kini mendengar Lo Sin dengan hormat bertanya tentang namanya, ia tertawa bergelak hingga mengejutkan Lee Ing yang segera menghampiri Lo Sin.
“Kau ingin tahu namaku? Nanti dulu sobat, bukankah kau ini yang berjuluk Ouw-yan-cu si Walet Hitam? Dan siapa pulakah gadis gagah ini?”
Lo Sin merasa mendongkol juga melihat sikap yang amat sombong dan memandang rendah ini. Akan tetapi karena maklum bahwa ia sedang berhadapan dengan orang yang berkepandaian tinggi, maka ia menjawab juga sambil menekan kemarahannya.
“Memang benar. Siauwte bernama Lo Sin dan dijuluki orang Ouw-yan-cu, sedangkan nona ini adalah Nyo-siocia.”
Khu Mo In sudah mendengar dari Bong Cu Sianjin bahwa diantara musuh-musuhnya terdapat pula Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas, maka kini mendengar bahwa nona ini she Nyo, ia lalu bertanya lagi. “Apa bukan puteri Garuda Kuku Emas Nyo Tiang Pek?”
Kembali Lo Sin dan Lee Ing memandang heran. Bagaimana orang yang sama sekali tak mereka kenal ini dapat menduga tepat dan mengetahui nama mereka dan nama Nyo Tiang Pek?
195
“Sahabat, kau ternyata bermata awas. Dugaanmu memang betul, karena nona ini adalah puteri Nyo Tiang Pek.”
“Dan kau tentu putera Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong?” tanya Khu Mo In lagi.
“Sekali lagi benar,” jawab Lo Sin. “Dan siapakah kau yang agaknya mengenal baik orang tua kami itu?”
“Ha, ha, ha! Apa gunanya kalian ketahui? Kuberitahukan juga kalian takkan mengenalku, jangankan kalian, bahkan orang-orang tuamu pun takkan mengenalku, karena aku datang dari tempat jauh! Dengarlah, aku bernama Khu Mo In dan di barat orang mengenalku dengan nama poyokan Hek-siauw-mo!”
Tiba-tiba Lee Ing tertawa geli mendengar ini hingga Lo Sin dan Khu Mo In ini memandangnya dengan heran.
“Mengapa kau tertawa?” tanya Khu Mo In penasaran.
“Karena lucu!” jawab Lee Ing sambil menahan suara ketawanya.
“Apanya yang lucu?”
“Nama julukanmu itu! Hek-siauw-mo atau Setan Kecil Hitam, sungguh cocok sekali dengan orangnya!”
Khu Mo In menjadi marah sekali.
“Nona kecil, jangan kau main-main, biarpun namaku kecil, akan tetapi telah tak terhitung banyaknya orang gagah yang bernama besar kujatuhkan dengan kedua lenganku ini!”
Mendengar orang itu menyebut kedua lengannya, maka Lo Sin teringat lagi akan serangan orang itu tadi.
“Hek-siauw-mo, mengapa kau tadi datang-datang menyerang dengan pukulan gelap?” tanyanya.
“Aku mendengar dari Bong Cu suheng bahwa dua bulan lagi akan diadakan pibu di atas Hoa-mo-san. Kabarnya kau juga akan datang ke sana, maka sebelum pibu itu diadakan, ingin sekali aku melihat sampai di mana kelihaian calon lawan-lawanku. Kalau kepandaiannya masih rendah, untuk apa aku harus bersusah payah naik ke Hoa-mo-san? Melelahkan dan menjemukan saja!”
Lo Sin maklum bahwa orang ini biarpun agaknya berkepandaian tinggi namun mempunyai watak yang sombong sekali dan memandang rendah orang lain, maka diam-diam ia merasa mendongkol sekali.
“Hek-siauw-mo, kalau kau hendak membantu Bong Cu Sianjin, lebih baik kau pulang dulu dan belajar lagi barang sepuluh tahun, agar kau tidak akan mendapat kekecewaan dan malu besar di puncak Hoa-mo-san.”
196
Lo Sin sengaja mengeluarkan ucapan yang merendahkan ini untuk memanaskan hati Setan Hitam itu. Benar saja, walaupun mulut Khu Mo In masih tersenyum, namun kulit mukanya berubah merah dan sepasang matanya berkilat.
“Ha, ha, Walet Hitam, baru saja dapat mengalahkan seekor ular yang tidak ada artinya, kau sudah berani berlaku sombong di depanku?” Sambil berkata demikian Khu Mo In melangkah maju dan mengirim pukulan dengan tangan kirinya.
Lo Sin telah bersiap-sedia, maka ia lalu miringkan tubuh dan menggunakan tangan kanan untuk menyampok pergi pukulan itu. Ketika tangannya bertemu dengan lengan tangan Khu Mo In, maka maklumlah Lo Sin bahwa lawannya adalah seorang ahli lweekeh yang memiliki ilmu lweekang yang tangguh sekali, maka diam-diam ia menjadi terkejut dan bergerak dengan hati-hati sekali.
Khu Mo In tertawa menghina dan menyerang lagi lebih cepat. Angin pukulannya menyambar-nyambar hingga Lee Ing yang berada di situ menjadi terkejut dan cepat menyingkir agak jauh. Lo Sin maklum bahwa dalam hal lweekang, mungkin lawan ini lebih tangguh darinya, maka ia tidak mau mencoba-coba, karena menghadapi seorang lawan yang mempunyai tenaga lweekang yang seimbang atau bahkan lebih tangguh, adalah berbahaya sekali untuk mengandalkan tenaga itu untuk mengadu jiwa.
Ia lalu mempergunakan kegesitannya yang berdasarkan ginkang yang tinggi, dalam hal ginkang atau ilmu meringankan tubuh, ternyata ia masih menang setingkat. Tubuh Lo Sin berkelebat pergi datang hingga merupakan burung walet hitam yang menyambar-nyambar dari segala jurusan. Ia tidak berlaku sungkan lagi dan membalas setiap serangan Khu Mo In dengan gerak tipu yang hebat.
Kini terkejutlah Khu Mo In. Ketika untuk pertama kalinya Lo Sin menangkis, ia tahu bahwa dalam hal tenaga, ia tak usah merasa kalah, maka ia masih memandang rendah sekali dan bertempur sambil tertawa mengejek. Akan tetapi setelah Lo Sin mengeluarkan ginkangnya yang luar biasa, benar-benar Khu Mo In menjadi heran dan kagum. Belum pernah ia bertemu dengan seorang lawan yang memiliki ginkang yang demikian sempurna.
Di daerah barat selama ia menjelajah dan malang-melintang di daerah Sungai Hoang-ho, belum pernah ia dikalahkan dalam hal ginkang. Tak pernah disangkanya bahwa di daerah timur ia akan bertemu dengan seorang lawan muda yang berhasil membuat ia menjadi bingung karena cepatnya gerakannya.
Ia lalu mengeluarkan ilmu kepandaiannya yang diandalkan, yakni ilmu gerakan Gajah Putih Mengamuk semacam ilmu silat Tionghoa yang telah dikombinasikan dengan ilmu gumul dari India. Ia menggunakan kedua tangannya untuk menyerang dengan tenaga lweekang sepenuhnya hingga kedua tangan itu dapat diumpamakan dua buah gading yang amat kuat dan tajam, sedangkan tiap kali ia memukul, selalu pukulan itu diakhiri dengan cengkeraman tangan yang seolah-olah merupakan belalai gajah dan celakalah lawan yang dapat tertangkap oleh tangan yang kuat ini.
Serangan-serangan berbahaya ini masih ditambah lagi dengan tendangan kedua kaki yang tidak kalah berbahayanya dan lihainya daripada kedua tangannya. Benar-benar ilmu silat ini merupakan serangan yang amat berbahaya karena datangnya serangan bertubi-tubi yang kesemuanya disertai tenaga raksasa hingga tak memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas menyerang.
197
Selama ia mengembara di barat, apabila ia menghadapi lawan tangguh dan mengeluarkan ilmu silat ini, belum pernah ada lawan yang kuat menghadapinya lebih lama daripada duapuluh jurus.
Akan tetapi ia sekarang menghadapi putera tunggal dari Ang Lian Lihiap pendekar wanita gagah perkasa yang memiliki ilmu kepandaian ginkang tinggi sekali, dan putera tunggal dari Hwee-thian Kim-hong, seorang tokoh besar yang memiliki kepandaian ilmu pedang tertinggi di kalangan persilatan. Lo Sin maklum akan berbahayanya serangan-serangan lawannya ini, bahkan Lee Ing yang berdiri di bawah pohon, terkejut sekali melihat gerakan Setan Kecil Hitam yang luar biasa dahsyatnya itu. Hingga ia diam-diam mengaku bahwa kalau ia yang menghadapi serangan seperti itu, tentu ia takkan sanggup bertahan lebih lama kecuali mempergunakan ginkang untuk melompat jauh.
Akan tetapi Lo Sin merasa malu kalau harus melompat pergi seakan-akan gentar menghadapi ilmu silat lawan ini. Ia berlaku hati-hati sekali dan mempergunakan ginkangnya untuk melompat ke kanan kiri dan tangan kakinya tiada hentinya bergerak mengimbangi gerakan lawan untuk menyampok pergi tiap pukulan dan tendangan yang datang.
Ia maklum bahwa karena tenaga orang ini besar sekali, maka perbuatannya ini amat berbahaya. Akan tetapi Lo Sin mengandung suatu maksud, ia pikir bahwa Khu Mo In ini kelak akan merupakan lawan yang tangguh di puncak Hoa-mo-san, maka dalam kesempatan ini, ia hendak mencoba dengan mengalami serangan dari ilmu silatnya yang terlihai agar kelak kalau menghadapinya di puncak Hoa-mo-san, ia takkan mudah dikejutkan oleh ilmu-ilmu silat itu!
Setelah bertempur limapuluh jurus lebih dan belum dapat juga merobohkan lawan, sebaliknya pemuda itu dengan tenangnya mengelak, dari semua serangan dan memandang semua gerakannya dengan penuh perhatian, tiba-tiba Khu Mo In menjadi sadar dan dapat menangkap maksud Lo Sin, maka ia segera menghentikan serangannya dan melompat mundur.
“Hebat! Benar-benar kau gagah sekali, Ouw-yan-cu!”
“Mengapa tidak kau lanjutkan seranganmu, Hek-siauw-mo?” Lo Sin sengaja tersenyum mengejek.
“Ia memang licik!” tiba-tiba Lee Ing berseru dari bawah pohon. “Kalau diteruskan, pasti ia akan kalah maka lebih baik ia mundur teratur daripada roboh tersungkur!”
Merah muka Khu Mo In mendengar sindiran-sindiran itu. Inilah yang dikehendaki oleh Lo Sin agar ia dapat mengukur kepandaian orang ini.
“Ouw-yan-cu, aku mendengar bahwa kau adalah ahli pedang yang lihai, nah, sekarang cobalah kaulawan pedangku!”
Lo Sin dan Lee Ing merasa heran karena si kate kecil itu tidak kelihatan membawa pedang. Akan tetapi Khu Mo In berseru keras dan mencabut sesuatu dari dalam bajunya dan ketika ia menggerakkan tangan kanannya, benda yang digenggamnya itu barulah menjadi sebatang pedang yang amat tipis yang berkilau saking tajamnya!
198
Ini adalah semacam pedang yang sukar didapat. Pedang ini demikian tipisnya hingga dapat digulung dan disimpan di dalam kantung baju! Baja yang tak dapat patah dan mudah digulung menunjukkan logam yang masih murni dan baik, maka Lo Sin maklum bahwa pedang tipis itu tentulah berbahaya sekali.
“Nah, kaucobalah menahan serangan pedangku!” teriak Khu Mo In yang segera maju menyerang. Lo Sin memperhatikan gerakan pedang dan ia menjadi kagum. Oleh karena tipisnya, maka ketika digerakkan dan sengaja digetarkan dengan tenaga lweekang, pedang itu seakan-akan berubah menjadi lima atau enam batang, yang menyerang dengan berbareng dan sukar sekali dilihat manakah pedang yang asli dan mana yang hanya bayangan saja! Ia lalu mengangkat Kim-hong-kiam ke atas dan menangkis dan tiba-tiba ia berseru kaget karena hampir saja ia mendapat celaka.
Ternyata ketika bertemu, pedang yang tipis itu dapat melengkung dan ujungnya langsung menusuk ke arah lengan tangan yang memegang pedangnya! Baiknya Lo Sin berlaku hati-hati hingga ia masih dapat melihat berkelebatnya ujung pedang yang tiba-tiba melipat dan menyerang tangannya itu dan keburu menarik pedang dan tangannya.
Dan ia merasa bersyukur dan lega bahwa dalam gebrakan pertama Khu Mo In telah memperlihatkan kelihaian pedangnya ini hingga selanjutnya ia dapat berlaku hati- hati, karena kalau sedang dalam pertempuran mati-matian, akal ini mungkin sekali akan dapat berhasil baik dan lengan tangannya akan terluka!
Pedang di tangan Khu Mo In ini ringan sekali dan karenanya maka gerakannya juga luar biasa cepatnya hingga ketika si kate kecil itu memutar-mutarnya dengan cepat dalam penyerangannya, maka yang nampak hanyalah sinar pedangnya yang berwarna putih bergulung-gulung bagaikan asap! Biarpun dengan tenaga lweekangnya yang besar Khu Mo In dapat mengeluarkan tenaganya hingga pedang yang lemas itu dapat menjadi kaku dan dapat dipergunakan untuk mengirim serangan menusuk, akan tetapi Khu Mo In maklum bahwa ia menghadapi lawan yang juga memiliki tenaga yang tidak lemah, maka ia tidak mau menyerang dengan tusukan, akan tetapi selalu menggunakan pedangnya untuk membabat dan pedang yang tajam pada kedua mukanya itu menyambar-nyambar ganas sekali.
Lo Sin tidak berani berlaku sembrono dan ia lalu mengeluarkan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian mempertahankan diri, yakni gerakan Naga Sakti Mandi di Air. Gerakan ini sempurna sekali dan terkenal merupakan benteng baja yang tak mudah ditembus, akan tetapi menghadapi ilmu pedang yang aneh dari Khu Mo In, ia harus berlaku hati-hati sekali. Ia sengaja belum mau membalas karena memang ia hendak mengukur sampai di mana kelihaian lawan!
Bukan main kagumnya Khu Mo In menyaksikan kepandaian istimewa dari si Walet Hitam ini, maka ia lalu berseru keras dan tiba-tiba ia menambahi serangan pedangnya dengan pukulan-pukulan tangan kiri yang berdasarkan tenaga lweekang dan khikang! Kepalan kirinya tak usah mengenai tubuh lawan, karena anginnya saja cukup melukai lawan yang tangguh!
Lee Ing yang berdiri menonton pertempuran, menjadi terkejut sekali karena melihat bahwa gerakan ilmu pukulan tangan kiri ini hampir sama dengan gerakan pukulan Gin-san-ciang! Maka tak terasa pula ia berseru.
199
“Sin-ko, hati-hatilah terhadap tangan kirinya!”
Sebetulnya tak perlu lagi Lo Sin diperingatkan, karena pemuda yang memang berlaku hati-hati sekali ini telah maklum akan kehebatan serangan lawan, maka tiba-tiba gerakan pedangnya dirobah dan kini ia memainkan ilmu pedang bagian menyerang, yakni gerakan Naga Sakti Mandi di Api! Sinar pedangnya berkelebat hebat sekali dan angin pedangnya mendatangkan hawa panas!
Angin pedang yang luar biasa ini otomatis dapat menolak serangan pukulan tangan kiri Khu Mo In hingga si kate kecil ini merasa terkejut luar biasa! Tak terasa lagi ia berseru memuji dan kini dialah yang menjadi pihak terserang karena menghadapi Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian menyerang ini, ia sama sekali tidak diberi kesempatan untuk menyerang lagi! Pedang Lo Sin bagaikan telah berubah menjadi seekor naga sakti yang menyambar-nyambar dan menyemburkan hawa panas dari mulutnya!
Namun Khu Mo In benar-benar lihai sekali. Biarpun terdesak hebat namun ia tetap dapat mempertahankan dirinya dengan memutar pedang tipisnya itu yang merupakan tembok baja yang teguh dan kuat. Juga tenaga lweekangnya yang amat tinggi itu merupakan pertahanan yang sukar ditembus oleh Lo Sin. Menyaksikan kehebatan ini, diam-diam Lo Sin merasa kagum sekali karena ia maklum bahwa lawan ini memiliki ilmu kepandaian yang masih lebih tinggi dari ilmu kepandaian Bong Cu Sianjin tingkatnya!
Khu Mo In maklum bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya ia akan kalah juga, maka ia memikir lebih baik mengundurkan diri untuk lebih giat melatih diri mengadakan persiapan menghadapi musuh tangguh ini di puncak Hoa-mo-san kelak! Maka ia lalu melompat mundur sambil berseru.
“Cukup Ouw-yan-cu! Kepandaianmu cukup memenuhi syarat dan mendatangkan kegembiraanku untuk kelak ikut bertanding di puncak Hoa-mo-san!”
Melihat betapa si kate kecil itu kuat menghadapi serangan Lo Sin sampai hampir seratus jurus, maka Lee Ing menjadi kagum sekali dan gadis ini tidak berani mengejeknya lagi.
Lo Sin hanya tersenyum saja dan tidak menjawab kata-kata Khu Mo In yang cepat melompat pergi meninggalkan tempat itu.
Lima orang pemburu yang tadi menyaksikan bagaimana Lo Sin dengan gagahnya membunuh ular siluman, menjadi girang sekali dan beramai datang melihat bangkai ular. Akan tetapi ketika Lo Sin diserang oleh seorang kate kecil, mereka merasa terkejut sekali. Apalagi ketika melihat betapa dua orang itu bertempur sedemikian hebatnya hingga bagi mata mereka yang nampak hanyalah gulungan sinar pedang yang luar biasa, maka mereka hanya berdiri berkumpul dan menonton dari tempat jauh.
Kini melihat bahwa orang kate lihai itu telah pergi, beramai-ramai mereka menghampiri Lo Sin dan menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda itu.
Lo Sin cepat-cepat menyuruh mereka itu bangun.
“Taihiap yang gagah perkasa sungguh membuat kami merasa kagum sekali dan berterima kasih. Ular jahat ini sekarang telah terbunuh hingga kami dapat berburu di hutan ini tanpa khawatir lagi dan dengan terbunuhnya siluman itu, berarti sakit hati kawan kami telah terbalas pula.”
200
Lo Sin tersenyum dan mengucapkan kata-kata merendahkan diri. Kemudian ketika ia mengajak Lee Ing melanjutkan perjalanan dan hendak mengembalikan kuda hitam itu kepada para pemburu, mereka menolak keras dan berkata dengan suara memohon.
“Taihiap, biarlah kuda ini ji-wi pakai saja, karena pemiliknya telah tewas oleh ular siluman.”
“Jangan begitu, kawan-kawan. Kami berdua melakukan pertolongan bukan untuk mengharapkan hadiah dan kami melakukan dengan hati tulus ikhlas dan sukarela, karena memang sudah menjadi kewajiban setiap manusia untuk menolong sesama hidup di dunia ini.”
Mendengar ucapan itu, kelima orang pemburu itu menjadi terharu sekali, bahkan pemimpin pemburu itu sampai mengalirkan air mata ketika ia berkata.
“Taihiap, ucapanmu tadi hanya menambah kagum dan tunduk kepada kami orang-orang bodoh dan kasar. Ji-wi telah menolong kami, bahkan menolong seluruh penduduk di sekitar tempat ini. Ji-wi sudah pula membalaskan sakit hati kawan kami dan sakit hati banyak kurban yang telah menjadi mangsa siluman ular. Kami berlima tidak dapat membalas apa-apa untuk menyatakan terima kasih kami, maka biarlah kuda mendiang kawan kami itu yang mewakili kami dan membantu sedikit kepada ji-wi di dalam perjalanan. Anggaplah kuda ini sebagai kami sendiri yang ingin sekali membalas budi!”
Lo Sin dan Lee Ing terharu juga mendengar pernyataan orang-orang kasar tapi jujur dan polos hatinya ini. Terpaksa mereka menerima kuda hitam itu dan menyatakan terima kasih. Kemudian mereka berdua lalu melanjutkn perjalanan menuju ke utara.
Suku bangsa Turki setelah menyerbu dan menaklukkan suku bangsa Yujan lalu bergerak menembus tembok besar dan menduduki beberapa puluh dusun dan kota di sebelah dalam tembok besar. Rakyat pedalaman Tiongkok melakukan perlawanan hebat, akan tetapi oleh karena tentara negeri terlambat datangnya, maka rakyat dapat dipukul mundur oleh para pemberontak dan pengacau itu. Banyak bangsa Han dibunuh, diculik dan harta benda mereka habis dirampok oleh suku bangsa Turki.
Pemimpin para pemberontak ini bernama Jingar Khan yang selain pandai mengatur barisan dan pandai sekali menunggang kuda, juga memiliki ilmu kepandaian silat Mongol yang amat tinggi. Selain ini, Jingar Khan juga mempunyai banyak anak buah yang berkepandaian tinggi.
Dengan mudahnya, Jingar Khan memimpin barisannya menembus tembok besar dan menjajah makin dalam. Beberapa kelompok pasukan negeri yang bertugas menjaga di utara, telah dihancurkannya dengan mudah. Ribuan rakyat berbondong-bondong mengungsi ke selatan, melarikan diri dari serbuan pengacau yang ganas dan kejam itu.
Setelah para pengacau sudah maju jauh, barulah kaisar mengerahkan pasukan negeri untuk mengusir musuh. Usaha pemerintah ini mendapat bantuan sepenuhnya dari para patriot yang gagah berani. Orang-orang gagah dari seluruh pelosok, tanpa diminta, telah datang dan membantu dengan suka rela untuk melawan para pemberontak yang merusak dan mencelakakan rakyat.
Ketika Lo Sin dan Lee Ing yang merantau menuju ke utara mendengar tentang kekejaman pengacau-pengacau suku bangsa Turki itu, keduanya tidak mau tinggal diam dan cepat melarikan kuda menuju
201
ke Lok-sin-chung di mana pemberontak sedang mengamuk dan sedang terjadi pertempuran terus-menerus antara mereka dan tentara negeri.
Pada waktu itu, Lok-sin-chung menjadi pusat pertempuran dan kedua pihak mengerahkan seluruh tenaga mereka di tempat ini. Agaknya perebutan daerah inilah yang akan menentukan menang atau kalahnya pihak pemberontak.
Jingar Khan sendiri bahkan datang pula di daerah itu untuk memimpin sendiri pasukannya! Semua perwiranya juga berkumpul di tempat itu untuk memperkuat pasukan Turki.
Sedangkan di pihak tentara negeri, yang memimpin adalah seorang panglima besar yang datang dari kota raja, seorang ahli perang bernama Kwee Ong. Kwee-ciangkun ini selain pandai ilmu perang, juga bertenaga besar dan ilmu silatnya cukup tinggi.
Oleh karena Kwee-ciangkun bersikap baik dan ramah terhadap para eng-hiong (orang-orang gagah) yang datang membantu dengan sukarela, maka para eng-hiong itu amat menghargainya dan tunduk akan perintahnya. Kwee-ciangkun lalu membagi-bagi tenaga orang-orang gagah ini untuk diperbantukan pada tiap pasukan negeri, membantu pekerjaan kepala pasukan.
Pertempuran telah berjalan dua pekan lebih, kadang-kadang bertempur seru, kadang-kadang berhenti dan saling menjaga. Berkat bantuan para orang gagah, maka selama diadakan pertempuran, tentara negeri berhasil memukul mundur pihak pengacau.
Kedatangan Lo Sin dan Lee Ing disambut oleh Kwee-ciangkun dengan gembira dan girang sekali. Panglima tua ini telah mendengar akan kegagahan si Walet Hitam, maka tentu saja ia menerima bantuan Lo Sin dan Lee Ing dengan senang. Setelah bercakap-cakap dengan ramah-tamah, Lo Sin dan Lee Ing lalu mengundurkan diri dari depan pembesar itu untuk melihat-lihat keadaan dan berkenalan dengan kawan-kawan dan perwira lain.
Ketika mereka sedang berjalan keluar dari markas besar Kwee-ciangkun, tiba-tiba terdengar suara keras memanggil, “Ouw-yan-cu!”
Lo Sin dan Lee Ing cepat menengok dan mereka melihat seorang perwira yang gagah perkasa dan bertubuh tinggi besar seperti raksasa sedang memandang mereka dengan wajah berseri.
“Can Kok In ciang-kun!” seru Lo Sin dengan gembira pula.
Dengan tindakan kaki lebar Kok In si perwira raksasa itu sambil tersenyum-senyum lalu menghampiri Lo Sin dan Lee Ing dan memberi hormat dengan gagah cara militer!
“Bagus sekali kau datang juga, Ouw-yan-cu!” kata Kok In. “Dengan adanya bantuanmu di sini, sebentar saja pengacau-pengacau itu akan kita pukul hancur. Dan terutama sekali, yang lebih baik lagi, dengan adanya kau di sini, aku tidak usah pergi mencari-carimu lagi.”
“Ada perlu apakah kau mencari-cariku, Can-ciangkun?”
202
Kok In tertawa. “Aku sudah bertemu dengan ibumu dan sudah menerima kehormatan dari pendekar wanita itu, benar-benar ibumu luar biasa lihainya! Akan tetapi dengan kau aku masih belum mendapat kesempatan mengukur tenaga!”
Lo Sin tersenyum juga, dan berpikir bahwa perwira raksasa ini benar-benar jujur dan kasar. “Kalau tugas kita telah selesai dengan baik, tiada salahnya kita main-main sebentar, Can-ciangkun,” jawabnya singkat.
Ketika Lo Sin dan Lee Ing melanjutkan perjalanannya melihat-lihat keadaan, tak terduga sama sekali, mereka bertemu dengan Kong Liang dan Mei Ling di tempat itu! Ternyata bahwa kedua saudara kembar ini dalam perantauan mereka mencari Lo Sin atau Cin Han, telah mendengar pula tentang pemberontakan para pengacau dan semangat kegagahan mereka membuat keduanya segera pergi ke situ untuk membantu usaha mengusir para pengacau.
Telah empat hari kedua saudara ini berada di situ dan mereka berjasa banyak dalam pertempuran-pertempuran karena kegagahan mereka membuat setiap lawan yang menghadapi mereka roboh tak berdaya atau lari tunggang-langgang!
Ketika dua saudara kembar ini melihat Lo Sin dan Lee Ing, bukan main girangnya hati mereka. Kong Liang melompat dan memeluk pundak Lo Sin, sedangkan Mei Ling dan Lee Ing lalu saling menubruk dan saling peluk sambil bertangis-tangisan! Mei Ling merasa terharu sekali ketika melihat Lee Ing menangis terisak-isak di dadanya, dan diam-diam Mei Ling dan Kong Liang mengakui bahwa Lee Ing dan Lo Sin tepat sekali kalau dijodohkan.
Banyak sekali hal yang mereka bicarakan, akan tetapi sebagian besar peristiwa yang mereka alami telah mereka ketahui. Ketika Mei Ling dan Kong Liang mendengar tentang kecurangan Tik Kong dan tentang pemalsuan surat Ang Lian Lihiap hingga menimbulkan kesalah-pahaman dan persoalan yang ruwet itu, Kong Liang dan Mei Ling merasa gemas dan marah sekali!
“Kalau penjahat busuk itu terjatuh ke tanganku, pasti aku takkan memberi ampun padanya!” kata Kong Liang sambil mengepal tinju.
Baik Kong Liang maupun Mei Ling, tidak meragukan lagi akan hubungan cinta kasih yang terjalin di hati Lo Sin dan Lee Ing, dan hal ini mudah sekali dilihat dari sikap dan pandang mata kedua anak muda itu. Diam-diam mereka merasa girang sekali dan berjanji kepada diri sendiri bahwa mereka akan membantu sedapat mungkin untuk membela kedua orang ini dihadapan orang tua masing-masing.
Selain Mei Ling dan Kong Liang ternyata di situ masih terdapat beberapa orang gagah lain yang menjadi pembantu suka rela. Diantara mereka itu, ada juga yang dikenal oleh Lo Sin, dan yang boleh dianggap berkepandaian tinggi di antara mereka San-tung Siang-hiap (Sepasang Pendekar dari San-tung) bernama Lim Pok dan Lim Cauw, seorang pendeta tosu bernama Souw Hong Kiat berjuluk Houw-san Lojin (Orang Tua dari Houw-san), dan masih ada beberapa orang lagi.
Pada senja hari itu, kembali terjadi pertempuran hebat yang dimulai dari sebelah barat Lok-sin-chung. Agaknya Jingar Khan mengerahkan tenaga barisannya karena yang datang menyerbu adalah pasukan yang besar jumlahnya dan yang dipimpin para perwira yang gagah perkasa!
203
Lo Sin dan Lee Ing tidak mau ketinggalan. Bersama pendekar-pendekar lain, mereka maju menyerbu. Pedang mereka bergerak dengan ganas dan mengamuk hebat mendatangkan kerugian besar di pihak musuh. Setelah senja terganti malam yang gelap, pertempuran ditunda dan pihak pemberontak mengundurkan diri dengan menderita banyak kerugian.
Semenjak serangan pada senja hari itu, selama tiga hari tidak ada pertempuran, hanya bentrokan-bentrokan kecil di sana-sini tidak berarti. Agaknya pihak pemberontak mulai ragu-ragu karena maklum bahwa pihak tentara negeri, mendapat bantuan-bantuan orang-orang gagah dan kedudukannya kuat sekali.
Pada hari ketiga, pagi-pagi sekali, seorang suku bangsa Turki yang menunggang kuda besar dan gagah, memasuki Lok-sin-chung. Karena ia memegang bendera tanda utusan, maka tak ada yang mau mengganggunya. Orang ini lalu dibawa menghadap kepada panglima Kwee, dikawal oleh beberapa orang perwira dengan pedang terhunus di tangan, menjaga kalau kalau utusan musuh ini melakukan serangan gelap.
Utusan itu hanya menyerahkan sesampul surat kepada Kwee-ciangkun dan tanpa menanti jawaban, ia lalu pergi lagi ke tempat pasukannya sendiri.
Setelah membaca surat yang dikirim oleh Jingar Khan ini Kwee-ciangkun lalu memanggil semua eng-hiong yang membantu dengan suka rela hingga mereka merasa heran sekali. Belum pernah Kwee-ciangkun berlaku begini sungguh-sungguh dan mengumpulkan mereka untuk merundingkan sesuatu yang agaknya penting sekali.
Setelah semua orang gagah berkumpul, Kwee-ciangkun mengeluarkan surat dari Jingar Khan dan berkata dengan suaranya yang tenang dan besar.
“Cuwi Eng-hiong sekalian! Kami telah menerima sebuah surat dari Jingar Khan yang maksudnya merupakan tantangan bertempur antara saudara sekalian melawan jago-jago dari bangsa Turki. Menurut isi surat Jingar Khan, ia menuduh kita berlaku curang dengan mengajukan orang-orang yang berkepandaian untuk menghadapi anak buah tentara yang tak pandai bersilat.
“Oleh karena itu, agar dapat diambil ketentuan siapa di antara mereka dan kita yang lebih pandai, besok pagi-pagi di sebelah barat hutan di luar dusun ini, ia menantang kita untuk melakukan pertempuran antara jago-jago kita dan jago-jago mereka, pertempuran seorang lawan seorang dan bukan keroyokan! Bagaimana pendapat saudara sekalian, terserah!”
Houw-san Lojin menjawab dengan suaranya yang tenang sekali. “Oleh karena Kwee-ciangkun yang menjadi pemimpin di sini, maka menurut pendapat pinto, segala keputusan terserah di tangan Ciang-kun.”
“Memang betul! Pendapat Souw Suhu ini,” kata Kwee-ciangkun, “akan tetapi harus diingat bahwa tantangan dari Jingar Khan ini semata-mata ditujukan kepada Cuwi sekalian. Adapun tugasku sebagai panglima hanyalah memimpin barisanku menghadapi barisan pemberontak, sedangkan tantangan musuh sekarang ini bukanlah merupakan perang antara barisan, akan tetapi lebih merupakan urusan
204
pribadi yang terpisah daripada urusan perang. Maka diterima atau tidaknya tantangan ini, tak lain saya hanya menyerahkan kepada Cuwi sendiri.”
“Kwee-ciangkun,” tiba-tiba Lo Sin berkata, “maafkan pendapatku yang bodoh karena sesungguhnya aku kurang paham tentang siasat peperangan. Akan tetapi, tantangan Jingar Khan ini sedikitnya mendatangkan curiga dalam hatiku. Apakah ini bukan merupakan siasat memancing harimau keluar dari gua? Bagaimana kalau dia sengaja memancing para eng-hiong keluar dari Lok-sin-chung dan kemudian ia melakukan serangan besar di sini pada saat kami sedang bertempur menghadapi jago-jago mereka?”
Mendengar uraian ini, semua orang menganggukkan kepala menyatakan setuju, sedangkan Kwee-ciangkun sendiri memandang kepada Lo Sin dengan kagum.
“Pandangan taihiap ini menunjukkan bahwa kau tidak saja lihai dalam ilmu silat, akan tetapi juga memiliki pandangan luas. Sesungguhnya, akupun telah mempunyai dugaan seperti itu. Akan tetapi, menurut pendapatku, lebih baik kita penuhi tantangannya itu.
“Pertama kalau kita menolak, mereka tentu mempunyai alasan untuk menghina kita dan menganggap kita tidak berani menghadapi jago-jago mereka.
“Kedua, untuk menantang Cuwi sekalian, tentu saja Jingar Khan akan mengajukan jago-jagonya, hingga biarpun kami di sini cuwi tinggalkan, akan tetapi sebaiknya pihak mereka juga ditinggalkan jago-jago mereka yang harus menghadapi cuwi.
Selain daripada itu, kami juga masih mempunyai perwira-perwira yang cukup boleh diandalkan.”
Para eng-hiong itu kembali menyatakan setuju karena mereka maklum bahwa diantara para perwira memang banyak terdapat ahli-ahli silat tinggi, seperti Can Kok In dan beberapa orang perwira lain lagi. Memang mereka juga merasa malu dan rendah kalau sampai tantangan pibu dari Jingar Khan itu ditolak. Maka setelah menyatakan persetujuan bulat untuk memenuhi tantangan itu, mereka lalu memilih pemimpin rombongan yang hendak menghadapi jago-jago dari pihak Turki.
Banyak orang memilih Lo Sin atau Kong Liang yang berkepandaian tinggi, akan tetapi kedua orang muda ini berkeras memilih Souw Hong Kiat, yakni Houw-san Lojin yang tertua diantara mereka dan yang lebih banyak memiliki pengalaman.
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rombongan orang gagah itu di bawah pimpinan Houw-san Lojin, berangkat menuju ke tempat yang ditentukan untuk mengadu kepandaian dengan pihak musuh. Mereka ini dikawal oleh sepasukan tentara untuk menambah kegagahan dan bendera-bendera beraneka warna yang dipegang oleh para anggauta tentara dan yang ditulisi dengan huruf¬huruf besar.
“Orang-orang gagah pembasmi pemberontak”
itu berkibar-kibar dengan megahnya! Rombongan orang gagah itu terdiri dari Houw-san Lojin, Kong Liang, Mei Ling, Lo Sin, Lee Ing, San-tung Siang-hiap, dan orang gagah lain, semuanya berjumlah sebelas orang.
205
Ketika mereka tiba di tempat terbuka dekat hutan yang ditentukan itu, benar saja, di situ telah menanti rombongan musuh dengan gagahnya. Di depan sekali kelihatan Jingar Khan sendiri, duduk di atas punggung kuda dengan sikap dan pakaian perang yang gagah.
Pemimpin pemberontak ini berusia kurang lebih empatpuluh tahun, bertubuh tinggi kurus dan bersikap gagah sekali. Sepasang matanya yang kebiru-biruan itu mengeluarkan sinar tajam. Di kanan kirinya, berdiri dengan kedua kaki terpentang ke kanan kiri dan senjata golok dan lain-lain di pinggang, terdapat belasan orang yang melihat sikap mereka dapat diduga bahwa mereka inilah jago-jago mereka itu!
Juga di belakang mereka berdiri pasukan tentara Turki yang membawa bendera dan diantara bendera-bendera itu ada yang ditulisi
“Jago-jago pilihan dari Barisan Langit!”
Mereka ini memang menyebut barisan sendiri sebagai barisan langit!
Setelah rombongan Houw-san Lojin tiba di depan mereka, Jingar Khan menyapa para eng-hiong itu dengan sinar matanya, kemudian ia bertanya dalam bahasa Han yang cukup lancar. “Siapa pemimpin kalian?”
Houw-san Lojin melangkah maju dan menjawab tenang. “Pintolah yang menerima kehormatan menjadi ketua kawan-kawan ini!”
Sekali lagi mata Jingar Khan menyapu ke arah para eng-hiong yang berdiri dengan gagahnya dihadapannya itu. Agak lama ia menatap wajah Kong Liang, Mei Ling, Lo Sin dan Lee Ing. Terutama sekali ia memandang Lo Sin dengan penuh perhatian.
Agaknya ia telah mendapat keterangan tentang semua pendekar yang berdiri dihadapannya dan telah mendengar pula tentang sepak terjang keempat anak muda itu. Kemudian ia kelihatan girang dan puas, lalu ia berkata lagi kepada Houw-san Lojin.
“Oleh karena kami melihat bahwa Kwee-ciangkun sendiri tidak hadir, maka sudah sepatutnya kalau kami mengundurkan diri pula dan mengangkat seorang wakil untuk mengepalai rombongan jago ini!”
Jingar Khan lalu menunjuk seorang bangsa Turki yang bertubuh gemuk sekali hingga tubuhnya nampak bulat. “Kaulah yang kuangkat menjadi pemimpin!” Orang itu lalu menjatuhkan diri berlutut dengan penuh hormat.
Setelah itu, Jingar Khan menarik kendali kudanya dan mengundurkan diri. Berdebarlah hati para eng-hiong, karena timbul dugaan macam-macam pada pikiran mereka. Jingar Khan itu jelas kelihatan amat cerdik dan berbahaya sekali, maka mereka tak dapat menduga apa yang dilakukan oleh pemimpin pemberontak itu.
Pemimpin jago-jago Turki yang dipilih Jingar Khan ini adalah seorang yang berwatak sombong sekali. Ia adalah seorang bangsa Turki barat yang bernama Hwa Yung dan menjadi seorang diantara tiga
206
orang jago terbesar dalam barisan Turki. Dua orang gagah lain ialah Thai-yong dan Kinaka. Yang lain-lain adalah jago-jago yang ilmu kepandaiannya cukup tinggi, akan tetapi masih berada di bawah tingkat mereka.
“Pendeta tua!” katanya kepada Houw-san Lojin, “karena pertandingan ini dilakukan seorang lawan seorang dan di pihakmu ada sebelas orang, maka akupun akan mengeluarkan sebelas orang jagoku. Kita hitung saja, apabila di dalam sebelas kali pertempuran ini pihakku yang menang lebih banyak, maka pihakmu dianggap kalah dan demikian sebaliknya. Tidak boleh diadakan pengeroyokan atau bermain curang, dan seorang jago hanya boleh maju satu kali saja!”
“Baiklah, sobat,” kata Houw-san Lojin dengan tenang. “Majukanlah jagomu yang pertama!”
Harus diketahui bahwa dalam pertandingan ini, pihak Turki telah mendapat keuntungan besar, yakni mereka telah tahu siapa yang tangguh diantara para jago jago Han karena mereka telah memperhatikan dan mencatat sepak terjang para jago-jago ini, sedangkan di pihak Houw-san Lojin, tidak ada yang mengenal atau tahu akan tingkat kepandaian mereka itu.
Hwa Yung si gemuk itu lalu mengajukan seorang jagonya yang bertubuh tinggi sekali tetapi kurus hingga seperti rangka hidup. Houw-san Lojin lalu mengajukan seorang pendekar yang bernama Tan Kong. Keduanya lalu bertempur dengan tangan kesong dan ternyata bahwa pihak lawan memiliki ilmu berkelahi dari ilmu silat Mongol, yakni yang mengutamakan gerakan membanting dan mencengkeram.
Sebenarnya untuk menghadapi ilmu silat seperti ini, orang harus menjaga diri dan berusaha jangan berkelahi secara dekat, akan tetapi mempergunakan kecepatan dan kegesitan untuk menyerang dan menjauhkan diri agar jangan sampai tertangkap. Akan tetapi, Tan Kong terlalu memandang rendah lawannya oleh karena baru beberapa jurus saja ia telah berhasil memukul pundak lawan ini hingga roboh terguling-guling.
Akan tetapi, ternyata bahwa tubuh si tinggi kurus itu kuat sekali. Begitu jatuh, ia terus melompat dan berseru keras lalu menubruk dan menyerang secara membabi buta.
Tan Kong menangkis dengan lengannya dan inilah kesalahannya. Lengan kanannya kena ditangkap dan sebelum ia dapat menarik lengan itu, lawannya telah menggunakan gerakan cepat dan tak terduga, begitu tubuhnya memutar dan membungkuk sambil menarik lengan Tan Kong, tidak ampun lagi Tan Kong kena terbanting keras sekali hingga tidak dapat bangun lagi!
Sorak sorai riuh rendah terdengar pecah di atas para tentara Turki yang berdiri menonton di satu pihak, sedangkan di pihak tentara Han terdengar keluhan-keluhan kecewa.
Biarpun mendapat kekalahan dalam pertandingan pertama, namun hal ini menjadi pengalaman baik bagi para eng-hiong yang lainnya. Kini mereka sedikitnya telah mengetahui di mana letak kelihaian ilmu silat para lawan mereka. Jago kedua maju dan Houw-san Lojin juga mengajukan jago kedua.
Mereka berdua kini mempergunakan senjata golok dan bertempur dengan hebat! Akan tetapi, setelah bertempur tigapuluh jurus lebih, kembali jago pihak Han kena terbacok pundaknya dan roboh
207
mandi darah. Terdengar lagi sorakan hebat dan wajah Hwa Yung berseri-seri gembira, sebaliknya pihak Houw-san Lojin nampak terkejut sekali.
“Mengapa Totiang mengajukan kawan-kawan yang paling lemah lebih dulu?” bisik Lo Sin menegur Houw-san Lojin. “Kekalahan-kekalahan melemahkan semangat kawan-kawan lain.”
Akan tetapi Houw-san Lojin hanya tersenyum. “Baru dua kali kalah, tidak apa.”
Ketika jago ketiga dari pihak lawan maju, kembali Houw-san Lojin mengajukan jago ketiga, akan tetapi kali ini ia menyuruh Lim Pok, seorang diantara San-tung Siang-kiap untuk menghadapi lawan. Lim Pok yang sudah merasa gatal tangan itu merasa gembira sekali dan ia segera melompat maju. Akan tetapi, baru sepuluh jurus saja, dengan mudah Lim Pok telah berhasil merobohkan lawannya dengan sebuah tendangan kilat! Lim Pok bersungut-sungut dan ia merasa tidak puas sekali.
“Curang, curang!” teriaknya sambil menuding ke arah Hwa Yung yang berdiri dengan senyum mengejek. “Kau mengajukan seekor cacing tanah untuk melawanku!”
“Seorang sekali sudah cukup!” kata Hwa Yung memperingatkan hingga Lim Pok makin marah dan hendak maju menyerang Hwa Yung, akan tetapi Houw-san Lojin membentaknya hingga terpaksa ia melompat mundur dengan mendongkol sekali.
Memang, orang yang menjadi lawannya tadi berkepandaian biasa saja dan jauh lebih rendah daripada dua orang yang maju lebih dulu. Pihak Houw-san Lojin maklum pula akan kelicikan ini dan mereka tahu bahwa Hwa Yung sengaja memutarbalikkan kedudukan jago-jagonya untuk mencari kemenangan!
Untuk menghemat tenaga yang boleh diandalkan, maka Houw-san Lojin mengajukan jago-jago yang lebih rendah tingkat kepandaiannya dan ternyata kedua jagonya yang lain telah dikalahkan pula! Bahkan seorang diantara jagonya telah terpukul binasa! Keadaan mereka kini menjadi empat satu untuk kemenangan pihak Turki Tentara Turki bersorak girang sekali karena dua kali lagi saja mendapat kemenangan berarti bahwa pihak mereka akan menang!
Pertandingan kelima dimulai dan Houw-san Lojin kini mengajukan Mei Ling sebagai jagonya! Di pihak nampak ada keributan karena agaknya para jago itu berebut untuk diperbolehkan menghadapi nona yang cantik manis ini, akan tetapi mereka terpaksa tunduk terhadap keputusan Hwa Yung yang mengajukan seorang jagonya yang lihai, yakni adik seperguruannya sendiri bernama Thai Yong, seorang laki-laki pendek berusia tigapuluh tahun lebih dan sikapnya yang tenang dan pendiam itu membuat Mei Ling tidak berani memandang rendah kepadanya.
Mei Ling tak mau berlaku sungkan lagi, maka setelah meloncat maju ia lalu mencabut pedangnya yang tajam. Tadinya Thai Yong bermaksud hendak berkelahi dengan tangan kosong dan mengandalkan ilmunya yang lihai, yakni semacam Houw-jiauw-kang atau Ilmu Cengkeraman Harimau yang ganas, akan tetapi melihat bahwa gadis itu mencabut pedang, ia yang telah mendengar akan kelihaian Mei Ling, lalu mengambil senjatanya, yakni sebatang tombak yang besar dan berat.
Mei Ling lalu maju dan mendahului menyerang yang dapat ditangkis dengan baik oleh tombak Thai Yong. Keduanya lalu bertempur seru. Akan tetapi, ilmu ginkang Mei Ling ternyata jauh lebih tinggi
208
daripada lawannya hingga sebentar saja tubuh gadis ini dengan lincahnya menyambar bagaikan seekor kupu-kupu berterbangan mengitari bunga.
Thai Yong terkejut sekali dan mencoba untuk memutar-mutar tombaknya menjaga diri, akan tetapi ternyata Mei Ling terlalu gesit baginya. Setelah menyerang bertubi-tubi dengan gerakan cepat dan lincah hingga Thai Yong merasa bingung dan pening, akhirnya ujung pedang Mei Ling berhasil membabat lengan Thai Yong hingga lengan kanan lawannya ini terbabat putus dan dengan teriakan mengerikan Thai Yong roboh mandi darah dan pingsan!
Sorak-sorai terdengar di pihak tentara Han dan tubuh Thai Yong bersama potongan lengan tangannya lalu diangkat oleh kawan-kawannya.
Kekalahan ini membuat keadaan menjadi empat dua dan Hwa Yung menjadi marah sekali. Di pihaknya tinggal dua orang lagi yang boleh diandalkan, yakni dia sendiri dan Kinaka. Karena di pihaknya telah mendapat kemenangan empat kali, maka ia mengharapkan untuk mendapat dua buah kemenangan lagi, yakni dia sendiri dan Kinaka, maka ia mulai memutar otak.
Lima pertandingan lagi harus diadakan dan ketika pihak Han keluar Lee Ing sebagai jago, ia lalu mengeluarkan Kinaka. Ia menganggap kepandaian Lee Ing tentu takkan lebih tinggi dari kepandaian Mei Ling, maka oleh karena ia percaya akan ketangguhan Kinaka, ia sengaja menggunakan saat ini untuk memperoleh sebuah kemenangan lagi.
Lee Ing mencabut pedangnya dan ketika Kinaka mengeluarkan senjatanya. Lo Sin diam-diam merasa khawatir sekali. Kinaka yang bertubuh tinggi besar itu ternyata bersenjata cambuk panjang dan besar, dan cambuk itu penuh dipasangi duri-duri yang kehitam-hitaman, agaknya mengandung racun.
Lo Sin merasa menyesal sekali mengapa justeru Lee Ing yang harus menghadapi lawan tangguh ini dan dengan hati berdebar ia memandang ke arah kekasihnya. Akan tetapi, Lee Ing nampak tenang-tenang saja. dan memegang pedang yang dilintangkan di dadanya dengan sikap gagah!
Setelah memandang lawannya dengan mata tajam, Kinaka lalu berseru keras, memutar-mutar cambuk yang mengerikan itu di atas kepala, lalu menerjang maju! Lee Ing menggunakan kegesitan tubuhnya untuk mengelak dan balas menyerang. tiba-tiba saja pedang gadis itu berkelebat dengan hebatnya karena ia telah mempergunakan Hwie-sian-liong-kiam-sut yang belum lama dipelajarinya dari Lo Sin!
Melihat permainan pedang ini, Kong Liang dan Mei Ling terkejut sekali dan mereka lalu memandang kepada Lo Sin, akan tetapi pemuda ini hanya tersenyum saja dan memperhatikan permainan kekasihnya dengan penuh harapan. Ia melihat betapa Kinaka dapat dibikin bingung oleh gerakan pedang Lee Ing yang selain cepat dan ganas, juga mengandung hawa panas, walaupun tidak sehebat permainan Lo Sin karena gadis itu belum paham benar.
Lo Sin merasa khawatir melihat betapa daya serang Lee Ing masih jauh daripada sempurna, hingga Kinaka dapat bertahan dengan baiknya bahkan mengirim serangan balasan yang berbahaya. Tidak usah terkena pukulan cambuk dengan hebat, baru sebuah duri cambuk saja apabila mengenai tubuh Lee Ing, maka gadis itu pasti akan kalah karena pengaruh racun!
209
Kinaka agaknya juga dapat menduga bahwa ilmu pedang gadis ini walaupun luar biasa sekali, namun gadis itu belum matang benar permainannya, maka dengan sabar ia hanya memutar cambuknya untuk membela diri, menanti sampai gadis itu menghabiskan permainannya sehingga menjadi bingung sendiri. Oleh karena ini, maka berpuluh jurus lebih telah lewat tanpa ada yang kalah, dan benar saja, Lee Ing mulai merasa bingung karena ternyata bahwa ilmu pedang yang diandalkannya itu ternyata tidak mampu mengalahkan lawannya yang tangguh ini!
Ia lalu merobah gerakan pedangnya dan kini mainkan ilmu pedang warisan ayahnya yang juga hebat sekali karena ia telah melatih ilmu ini dengan baiknya! Namun, Kinaka benar-benar lihai. Ia kini tidak hanya menangkis saja, akan tetapi mulai menyerang dengan hebat bagaikan seekor harimau liar mengamuk!
Lee Ing mulai terdesak mundur oleh hebatnya sambaran cambuk itu dan keadaannya benar-benar berbahaya.
“Air!” tiba-tiba Lo Sin berseru dan mendengar ini, Lee Ing lalu mengubah lagi permainan pedangnya dan kini kembali ia menggunakan ilmu pedang Hwie-sian-liong-kiam-sut bagian membela diri, yakni Naga Sakti Mandi di Air! Benar saja, setelah mainkan ilmu pedang ini, ia dapat menahan serangan cambuk lawan dan biarpun masih terdesak hebat, namun ia tidak usah mempertahankan diri sambil mundur!
Kinaka yang tadinya telah merasa girang karena yakin bahwa pasti akan dapat segera merobohkan lawannya, tiba-tiba merasa seperti menghadapi benteng baja yang kuat ketika gadis itu merobah gerakan pedangnya!
Biarpun untuk sementara waktu Lee Ing terlepas dari bahaya, namun sampai berapa lama ia dapat bertahan? Keringatnya mulai mengucur dan gerakan pedangnya menjadi lemah.
Lo Sin merasa khawatir sekali dan ia mengasah otak bagaimana untuk menolong kekasihnya itu. Ia tidak berani dan tidak mau berlaku curang dengan turun tangan membantu, akan tetapi melihat keadaan Lee Ing yang terkurung hebat oleh duri-duri cambuk yang berbahaya itu, ia merasa gelisah sekali. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu dan cepat ia berseru lagi.
“Gin-san-ciang!”
Lee Ing memang sedang berpikir untuk membalas serangan lawan dengan Gin-san-ciang, maka mendengar anjuran kekasihnya ini ia merasa girang sekali. Ia sengaja memperlambat permainan pedangnya. Sejak tadi ia tahu bahwa apabila pedangnya sampai terlibat oleh cambuk lawan, maka pedang itu akan kena dirampas dan ia selalu menjaga dengan hati-hati sekali agar pedangnya jangan sampai terlibat cambuk.
Akan tetapi, setelah teringat akan Gin-san-ciang, yakni kepandaiannya memukul dengan ilmu itu, ia sengaja memperlambat gerakan pedangnya hingga Kinaka yang menyangka bahwa ia telah lelah, dengan cepat lalu membuat gerakan cepat dan tahu-tahu ujung cambuknya telah melilit pedang Lee Ing bagaikan ular!
210
Lee Ing sengaja membetot dengan keras dan untuk sesaat mereka saling betot. Tiba-tiba Lee Ing melepaskan gagang pedang dari tangan kanannya dan dengan bentakan nyaring sekali ia merendahkan diri dan memukul dengan tangan kirinya dan mengerahkan seluruh tenaga Gin-san-ciang yang telah dipelajarinya!
Berbareng dengan terbetotnya pedang Lee Ing dan bentakan gadis itu, Kinaka memekik keras sekali dan tubuhnya terlempar jauh lalu roboh dan bergulingan hingga duri-duri itu menusuk seluruh tubuhnya! Ia masih memekik ngeri untuk beberapa kali, kemudian ia rebah tak berkutik dan nyawanya telah melayang meninggalkan badannya! Pukulan Gin-san-ciang yang tepat mengenai dadanya itu sebetulnya tidak sampai membinasakan karena tubuhnya telah memiliki kekebalan, akan tetapi tusukan banyak duri berbisa dari cambuknya yang membuat ia tewas seketika.
Lee Ing cepat menjemput pedangnya dan menghampiri Lo Sin dengan wajah pucat. Dengan girang Lo Sin memegang tangan kekasihnya yang memandangnya dengan penuh perasaan terima kasih.
Hwa Yung marah sekali melihat bahwa kawannya yang diandalkan telah roboh binasa. Kemudian berturut-turut jagonya roboh oleh Kong Liang dan Lim Ciauw hingga keadaan menjadi empat lima untuk kekalahannya! Ia menjadi tidak sabar lagi dan meloncat maju!
Majunya ini disambut oleh Lo Sin sendiri, akan tetapi berbareng dengan majunya pemimpin rombongan jago Turki itu, tiba-tiba seluruh tentara Turki yang tadinya hanya berdiri menonton, lalu menyerbu hebat! Inilah kecurangan Jingar Khan yang sengaja memancing lawan untuk kemudian dikeroyok! Jumlah tentara Turki jauh lebih besar daripada jumlah tentara pengawal rombongan itu.
“Pengecut yang curang!” Lim Pok dan Lim Ciauw membentak dan pertempuran hebat terjadi dengan ramainya.
Lo Sin mencabut pedang dan mendesak Hwa Yung dengan hebat sekali. Si gemuk itu hanya dapat bertahan selama tigapuluh jurus saja, dan akhirnya ia roboh dengan paha tertusuk pedang! Lo Sin lalu mengamuk membantu kawan-kawannya yang dikepung dan dikeroyok. Tubuh lawan bergelimpangan terkena senjata para eng-hiong itu, tiba-tiba Lo Sin teringat, lalu berteriak.
“Hayo kita kembali! Kembali ke Lok-sin-chung!”
Kawan-kawannya mengerti maksudnya dan setelah mengamuk hebat sehingga para pengeroyok mundur dengan jerih, mereka lalu melarikan diri kembali ke Lok-sin-chung dan benar saja. Dari jauh mereka sudah mendengar suara perang yang sedang berlangsung dengan hebatnya!
Kalau saja mereka tidak lekas kembali, entah bagaimana dengan nasib Lok-sin-chung! Akan tetapi ketika mereka ikut menyerbu, mereka melihat bahwa selain para perwira yang melawan dengan gagah berani di bawah pimpinan Kwee-ciangkun dan Can Kok In yang mengamuk bagaikan seorang raksasa keluar dari gua, di situ terdapat seorang gagah luar biasa yang mengamuk lebih hebat lagi daripada si raksasa itu.
Ketika mereka melihat, ternyata bahwa yang mengamuk itu adalah seorang pemuda yang tampan, bertubuh tegap dan berpakaian petani. Ilmu silatnya benar-benar lihai sekali dan dengan kedua
211
tangannya ia menangkap-nangkapi lawan dan melempar-lemparkan ke kanan kiri seperti melempar ayam saja!
“Yap Bun Gai!” teriak Mei Ling dan Kong Liang hampir berbareng.
Mendengar namanya disebut orang, Bun Gai berpaling dan mukanya tiba-tiba berubah merah dan kedua matanya bersinar dan berseri ketika ia melihat Mei Ling.
“Song-siocia!” katanya perlahan.
Karena girangnya, Mei Ling tanpa disadarinya lalu berlari menuju ke dekat pemuda itu dan segera membantunya melawan musuh! Kong Liang tersenyum dan bersama Lo Sin dan Lee Ing ia juga segera menyerbu musuh hingga sebentar saja pihak lawan menjadi kacau balau karena datangnya bantuan yang hebat dan lihai di pihak lawan ini!
Setengah hari pertempuran berlangsung dan akhirnya tentara Turki dapat dihancurkan dan dipukul mundur. Jingar Khan melarikan diri beserta sisa anak buahnya, meninggalkan banyak sekali tentara yang tewas.
Dengan gembira dan terharu semua orang mengerumuni Can Kok In, perwira raksasa yang dalam amukannya telah terkena anak panah yang menyambar tepat pada ulu hatinya! Raksasa ini rebah tak berdaya akan tetapi biarpun ia belum tewas, tak sepatahpun keluar keluhan dari mulutnya. Ketika ia melihat Lo Sin berlutut di dekatnya, ia memandang dan tersenyum dengan bibirnya yang mengalirkan darah.
“Ouw-yan-cu…… sayang…… kita belum mengukur tenaga……” kemudian tewaslah perwira yang gagah berani ini, meninggalkan kesan yang mendalam dan mengharukan di hati Lo Sin.
Kwee-ciangkun menghaturkan terima kasih dengan kata-kata yang mengharukan kepada semua eng-hiong yang telah membantu pemerintah untuk mengusir para pengacau dan semua orang gagah itu lalu pulang ke tempat masing-masing.
Lo Sin, Lee Ing, Kong Liang, Mei Ling dan Bun Gai berdiri di luar kampung Lok-sin-chung. Lo Sin berkata kepada mereka.
“Kalau tidak salah, tak lama lagi kita harus naik ke Hoa-mo-san untuk menghadapi Bong Cu dan kawan-kawannya yang jahat! Kita harus bersiap sedia.”
Tiba-tiba Mei Ling menjadi pucat dan Kong Liang juga kelihatan tidak enak sekali. Sedangkan Yap Bun Gai yang mendengar ini, buru-buru berkata dengan muka merah. “Maaf, maaf, terpaksa siauwte yang rendah harus pulang lebih dulu. Song-siocia, terima kasih atas pertolonganmu dulu itu. Takkan terlupa olehku!” Pemuda ini lalu menjura dan membalikkan tubuh terus lari dengan cepat.
Mei Ling melangkah maju dengan kedua tangan digerakkan ke depan seakan-akan hendak menahan pemuda itu, akan tetapi niat ini diurungkan dan ia lalu bertindak perlahan menjauhi kawan-kawannya dan duduk di bawah sebatang pohon, nampaknya sedih sekali.
212
Lo Sin merasa heran sekali karena ia belum diperkenalkan dengan Yap Bun Gai yang disangkanya kawan Kong Liang dan Mei Ling.
“Lo Sin, kau tidak tahu. Pemuda itu adalah murid Bong Cu Sianjin!”
Bukan main terkejut dan herannya Lo Sin mendengar ini dan ketika Kong Liang menuturkan semua pengalaman dan kebaikan hati pemuda pihak musuh itu serta menyindirkan keadaan Yap Bun Gai serta hubungannya dengan Mei Ling.
Lo Sin merasa menyesal sekali. Ingin ia memukul mulut sendiri karena tanpa disengaja ia telah menyinggung hati Bun Gai dan membuat Mei Ling berduka. Akan tetapi, apakah yang hendak dikatakan?
Pada saat itu, dari jauh nampak bayangan dua orang yang datang dengan cepat sekali dan ketika mereka itu sudah tiba dekat, semua orang merasa terkejut dan girang karena yang datang ini bukan lain ialah Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong!
“Ayah……! Ibu……!” Lo Sin berseru girang dan segera menyambut mereka.
“Sin-ji! Bagus sekali perbuatanmu! Kau mencemarkan nama baik, orang tuamu!”
Mendengar ucapan ibunya ini, Lo Sin sudah maklum bahwa yang dimaksudkan tentulah perhubungannya dengan Lee Ing, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu membalikkan diri, berlari ke arah Lee Ing lalu memegang tangan gadis itu. Kemudian ia menarik tangan Lee Ing dan diajak berlari menghampiri Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong yang berdiri dengan marah.
Setelah berhadapan dengan kedua orang tuanya dengan Lee Ing di sebelahnya sambil bergandengan tangan, Lo Sin lalu berkata dengan suara nyaring dan tetap.
“Ibu…… ayah...... anak berdua telah bersumpah lebih baik mati daripada berpisah. Kalau ayah dan ibu hendak berkeras, bunuhlah kami berdua, lebih baik mati bersama daripada hidup berpisah!” lalu Lo Sin menjatuhkan diri berlutut, juga Lee Ing lalu berlutut sambil menangis.
“Sin-ji, kau dianggap pengacau rumah tangga orang, dituduh seorang laki-laki mata keranjang yang memikat anak gadis orang! Tidak malukah kau? Nyo Tiang Pek telah menghina kita sesuka hatinya, dan kau masih merendahkan diri dengan membawa lari anak gadisnya? Di manakah harga dirimu? Apakah tidak ada lain gadis selain anak perempuan Nyo Tiang Pek?” Dalam marah dan keangkuhannya Ang Lian Lihiap lupa diri dan memarahi anaknya.
Mendengar ucapan ini, pucatlah wajah Lee Ing dan ia merasa seakan-akan mukanya kena tampar! Dengan isak tangis mengharukan gadis ini tiba-tiba melompat berdiri dan berlari cepat meninggalkan tempat itu sambil menangis!
Lo Sin terkejut sekali dan iapun melompat dan mengejar sambil berseru memanggil-manggil, “Ing-moi…… Ing-moi…… !” Akan tetapi Lee Ing terus berlari cepat tanpa menoleh lagi. Lo Sin juga terus mengejar secepatnya sambil memanggil¬manggil. Ia tidak perdulikan suara ibunya yang memanggil namanya.
213
Ang Lian Lihiap marah sekali dan hendak mengejar, akan tetapi tiba-tiba suaminya memegang tangannya. “Sabarlah dan jangan kau hancurkan hati kedua anak muda yang bernasib malang itu.”
Mei Ling dan Kong Liang juga menyabarkan hati Ang Lian Lihiap, bahkan Mei Ling lalu berkata, “Cici, biarpun Nyo twako memang benar terlampau keras hati dan terburu nafsu, akan tetapi kau tidak tahu, sebetulnya Nyo-twako telah kena tipu yang curang sekali!”
Mei Ling lalu menuturkan tentang surat dari Cin Han untuk Tiang Pek yang dipalsukan oleh Tik Kong sebagaimana yang ia dengar dari Lee Ing dan Lo Sin. Pucatlah wajah Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong mendengar penuturan ini karena mereka amat marah kepada Lui Tik Kong. Kedua sinar mata mereka seakan-akan mengeluarkan cahaya berapi.
“Pantas, pantas! Pantas sekali Nyo-twako tidak menjawab lamaran kita,” kata Cin Han. “Bangsat rendah itu telah berlaku keji sekali!”
“Kasihan Lee Ing……” kata Ang Lian Lihiap sambil menghela napas dan ia merasa betapa malang nasib anak gadis yang baru saja menerima tikaman batin dari ucapannya terhadap Lo Sin itu dan diam-diam Ang Lian Lihiap merasa menyesal.
“Bagaimanapun juga kita harus pergi menjumpai Nyo-twako untuk merundingkan persoalan ini. Ia harus diinsyafkan akan tipu daya curang dari pemuda keparat itu.”
Demikianlah, Cin Han dan Lian Hwa, dengan diikuti oleh Mei Ling dan Kong Liang, segera menuju ke Bong-kee-san untuk mencari Nyo Tiang Pek.
Sementara itu, dengan hati hancur dan perasaan terluka, Lee Ing melarikan diri secepatnya. Ketika ia mendengar betapa suara panggilan Lo Sin makin dekat mengejarnya, gadis ini tiba-tiba lalu menghunus pedangnya dan menggerakkan pedang itu untuk ditabaskan ke arah leher sendiri. Lo Sin melihat gerakan ini akan tetapi oleh karena jarak antara dia dan Lee Ing masih jauh, ia tidak berdaya, hanya memekik ngeri.
“Ing-moi……!!”
Tiba-tiba bayangan seorang laki-laki yang cepat sekali gerakannya melompat turun dari atas pohon dan tahu-tahu pedang di tangan Lee Ing telah terampas. Bayangan itu adalah Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan, pendekar aneh guru Kim-gan-eng Bwee Hwa yang datang tepat pada waktunya itu.
Lo Sin tidak sempat menghaturkan terima kasih kepada orang tua itu, akan tetapi ia lalu menubruk Lee Ing sambil menangis dan berkata.
“Ing-moi…… Ing-moi…… kau ampunkanlah ibuku, aku…… aku takkan dapat hidup lebih lama lagi kalau kau mengambil keputusan pendek. Ing-moi, tidak kasihankah kau kepadaku??” Lee Ing menjatuhkan kepala di pundak Lo Sin dan menangis tersedu-sedu.
Terdengar elahan napas Pat-chiu Koai-hiap. “Hmm, terbuktilah ucapan orang-orang tua bahwa cinta kasih orang muda lebih banyak mendatangkan air mata daripada senyum. Anak-anak muda,
214
berlakulah gagah sebagaimana layaknya pendekar yang memiliki kepandaian. Apakah terhadap derita hidup yang demikian kecilnya saja kalian sudah tunduk dan menerima kalah? Tidak ada urusan di dunia ini yang tidak dapat dibereskan!”
Lee Ing dan Lo Sin mengangkat muka dan ketika melihat orang tua itu, Lee Ing lalu menjura dan memberi hormat. Ia mengenali guru Bwee Hwa ini.
“Terima kasih atas nasihatmu yang berharga, lo-enghiong,” katanya menahan isak. “Dan terima kasih atas pertolonganmu tadi.” Kemudian ia berkata kepada Lo Sin. “Sin-ko, ini adalah Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan, suhu dari cici Bwee Hwa.”
Lo Sin lalu memberi hormat dan juga mengucapkan terima kasih karena kalau tidak orang tua ini yang bertindak cepat, entah bagaimana dengan nasib Lee Ing, gadis yang keras hati itu.
Setelah mendengar penuturan kedua anak muda itu, Oei Gan lalu menyatakan hendak menyusul Ang Lian Lihiap untuk membantu meredakan ketegangan ini dan sekalian membicarakan tentang ikatan jodoh antara muridnya, Bwee Hwa, dengan Kong Liang. Ia memberi banyak nasihat kepada Lo Sin dan terutama Lee Ing dan minta supaya kedua anak muda itu bersikap tenang dan jangan putus harapan, karena ia yakin bahwa sebagai pendekar-pendekar gagah, akhirnya orang-orang tua itu tentu akan dapat bertindak bijaksana.
Setelah itu mereka berpisah, Oei Gan menyusul Ang Lian Lihiap dan rombongannya, sedangkan Lo Sin dan Lee Ing melanjutkan perantauan mereka sambil menanti sikap kedua orang tua mereka.
Dengan cepat dan tergesa-gesa Ang Lian Lihiap dan rombongannya menuju ke Bong-kee-san dan kedua saudara kembar she Song itu menjadi penunjuk jalan. Ketika mereka tiba di Bong-kee-san, Cin Han berkata.
“Lebih baik kau pergi lebih dulu mendapati Giok Lie, karena kurasa lebih mudah bicara dengan Giok Lie daripada dengan Nyo-twako. Dan dalam hal ini aku percaya bahwa kau lebih pandai bicara daripada aku. Biar aku menanti di sini apabila keadaan sudah beres, barulah aku menyusulmu.”
Ang Lian Lihiap menggoda suaminya. “Eh, eh, takutkah kau?”
Cin Han mengangguk. “Memang, memang aku takut kalau-kalau Nyo-twako dan aku akan sama-sama naik darah hingga kita tidak dapat menahan nafsu lagi. Kau dan Giok Lie lain lagi, karena kalian seakan-akan saudara sendiri sehingga akan lebih mudah merundingkan sesuatu.”
Terpaksa Lian Hwa lalu meninggalkan suaminya yang menanti di luar kampung, lalu bersama Mei Ling dan Kong Liang, ia menghampiri rumah Giok Lie. Ketika mereka tiba di tanah tinggi sehingga rumah Nyo Tiang Pek sudah kelihatan dari atas, tiba-tiba mereka melihat seorang wanita yang diikuti oleh dua orang pelayan, laki-laki dan perempuan, sedang berdiri di depan pintu rumah.
Tiba-tiba pelayan laki-laki itu menuding ke arah Lian Hwa dan kedua saudara kembar itu, agaknya pelayan itu mengenal dua saudara kembar yang memang tidak asing lagi bagi mereka. Giok Lie menengok dan ketika ia melihat siapa yang datang bersama Kong Liang dan Mei Ling, ia berseru girang sekali dan buru-buru menyambut, diikuti kedua orang pelayannya!
215
Ang Lian Lihiap tersenyum dan sambil menengok kepada Mei Ling yang berjalan di belakangnya, ia berkata, “Lihatlah, Giok Lie begitu lemah-lembut ramah tamah, bagaimana aku bisa menaruh perasaan permusuhan dengan orang seperti dia itu?”
Setelah berkata demikian, Ang Lian Lihiap lalu melompat dan berlari turun. Dari jauh kedua orang wanita ini sudah saling mengulurkan kedua tangan dengan mata mengalirkan air mata!
Kemudian mereka saling menubruk, saling merangkul dan mencium muka masing-masing sambil menangis. Terutama sekali Giok Lie. Wanita ini menangis terisak-isak di pundak Lian Hwa.
“Cici…… kau ampunkanlah aku…… kau ampunkanlah suamiku……”
“Tidak begitu, Giok Lie, akulah yang datang mintakan ampun untuk puteraku yang kurang ajar!” jawab Lian Hwa dan dengan saling mengucapkan kata-kata ini, lenyaplah segala rasa tidak enak hati yang masih ada di antara mereka.
“Di mana suamimu? Aku ingin sekali bicara dengan secara hati terbuka agar jangan sampai ada salah paham terjadi antara kita!” kemudian Lian Hwa berkata setelah agak reda perasaan terharu karena pertemuan ini.
Mendengar ini, Giok Lie makin sedih tangisnya. “Cici…… dia…… tidak mau pulang dan tinggal saja di dalam gua......”
Lian Hwa terkejut. Lalu ia bertanya tentang hal itu.
Giok Lie menarik tangan Lian Hwa dan mengajak Kong Liang serta Mei Ling masuk ke dalam rumah. Setelah semua orang duduk, dengan sedih Giok Lie menceritakan pengalamannya.
Ternyata beberapa hari kemudian semenjak Nyo Tiang Pek didatangi oleh Lui Siok Tojin dan dua orang kawannya yang datang-datang menuduhnya membunuh seorang anak murid Kun-lun-san dengan pukulan Gin-san-ciang sehingga akhirnya ia dan Lui Siok Tojin bertempur dan berhasil mengalahkan tosu itu, pada waktu pagi datanglah seorang tosu tua bersama Lui Siok Tojin menemuinya.
Nyo Tiang Pek terkejut melihat tosu tua ini, karena tosu ini adalah ketua dari Kun-lun-pai yang bernama Liong In Tosu dan menjadi paman guru Lui Siok Tojin, maka ilmu kepandaiannya tentu amat tinggi sekali. Akan tetapi Nyo Tiang Pek tidak merasa takut dan setelah menjura dan memberi hormat, ia lalu berkata,
“Selamat datang di tempatku yang buruk ini, ji-wi totiang. Apakah kedatangan ji-wi ini hendak memberi hajaran kepadaku yang jahat dan suka membunuh orang?”
Liong In Tosu tersenyum mendengar sindiran ini dan ia berkata dengan sabar. “Nyo-taihiap, bersabarlah sedikit. Pinto minta maaf atas kelancangan Lui Siok kemarin dulu itu, karena sesungguhnya, pinto sendiripun kurang percaya bahwa Nyo-taihiap menjadi pembunuh yang bersikap
216
pengecut dan yang tidak berani mempertanggung jawabkan perbuatannya. Akan tetapi, sungguh terjadi hal yang aneh, taihiap. Kenalkah kau kepada pedang ini?”
Sambil berkata demikian Liong In Tosu mengeluarkan sebatang pedang dan ketika Nyo Tiang Pek memandang, ia kaget sekali karena pedang itu adalah Ceng-lun-kiam, pedang yang dulu ia berikan kepada Tik Kong!
“Pedang ini adalah pedangku, totiang, akan tetapi telah kuberikan kepada orang lain.”
“Nah, apa kataku?” tiba-tiba Liong In Tosu menegur Lui Siok Tojin. “Sekarang tidak salah lagi. Ketahuilah, Nyo-taihiap, anak murid kami itu tidak saja terluka oleh pukulan Gin-san-ciang, akan tetapi juga terbunuh oleh pedang ini yang menancap dan tertinggal di dadanya. Siapakah orangnya yang kauberi pedang ini?”
Pucatlah wajah Nyo Tiang Pek mendengar ini. Jadi Tik Kong lah pembunuhnya? Dengan suara lemah ia menjawab. “Pedang itu kuberikan kepada seorang pemuda bernama Lui Tik Kong.”
“Muridmukah?” tanya Liong In Tosu sambil memandang tajam.
“Bukan, aku tidak pernah punya murid selain anakku sendiri. Dia bukan muridku sungguhpun aku pernah memberi pelajaran sedikit kepandaian kepadanya,” jawab Nyo Tiang Pek singkat, karena ia tidak bisa menceritakan bahwa pemuda itu adalah “calon mantunya”.
“Jadi kalau kami mencari lalu menangkap pemuda yang bernama Lui Tik Kong ini, kau tidak akan tersinggung, Nyo-taihiap?”
Untuk beberapa lama Nyo Tiang Pek tidak dapat menjawab, hanya berdiam sambil menggigit-gigit bibirnya. Bagaimana ia bisa membela orang yang berdosa? Akhirnya ia menjawab dengan tegas.
“Kalau memang dia telah melakukan pembunuhan, bagaimana aku bisa mencampuri urusan ini? Carilah dan selidikilah sesuka hatimu.”
Biarpun ia menganggap urusan ini seperti bukan urusannya sendiri, namun hati Nyo Tiang Pek terasa perih dan hancur. Ia telah keliru memilih orang, telah salah, menjatuhkan kepercayaannya kepada orang.
Lui Tik Kong yang dianggap emas murni itu, tidak tahunya hanya tembaga tak berharga! Lalu pikirannya melayang kembali memikirkan peristiwa yang sudah lalu. Bagaimana kalau dia yang bersalah dalam semua urusan itu?
Setelah Liong In Tosu dan Lui Siok Tojin meninggalkannya, Nyo Tiang Pek lalu meninggalkan rumah dan bertapa di dalam sebuah gua. Isterinya datang membujuk-bujuknya, akan tetapi tetap saja Nyo Tiang Pek hanya menundukkan kepala dengan kelihatan sedih sekali dan tidak mau keluar!
Semua ini diceritakan oleh Giok Lie kepada Ang Lian Lihiap sambil menangis hingga Lian Hwa menjadi terharu sekali.
217
“Memang suamimu salah sangka dan terburu nafsu, akan tetapi, semua ini adalah gara-gara pemuda keparat Lui Tik Kong itu! Kau masih belum tahu semua Giok Lie, belum tahu betapa jahatnya pemuda itu.”
Kemudian, dengan panjang lebar Lian Hwa menceritakan betapa dulu ketika pesuruh yang bernama A-kwie itu datang, mereka mengirim surat ke Bong-kee-san yang maksudnya melamar Lee Ing, dan betapa Tik Kong telah membunuh A-kwie dan memalsu surat itu, bahkan menulis bahwa Lo Sin telah kawin!
Setelah Ang Lian Lihiap selesai menuturkan semua itu, Giok Lie memandang dengan wajah pucat dan bibir gemetar.
“Aduh…… kalau begitu, benar puteramu itu, cici! Aduh, kasihan anakku…… Ing-ji…… Ing-ji……”
“Tidak hanya anakmu, Giok Lie, akan tetapi puteraku pun menderita karena perbuatan biadab dari Tik Kong ini,” kata Lian Hwa dan ia lalu menceritakan pula betapa ia tadinya marah sekali mendengar segala laporan tentang kemarahan Nyo Tiang Pek dan bahwa ia telah memarahi puteranya hingga kembali kedua anak muda itu melarikan diri.
Ketika Giok Lie mendengar dari Lian Hwa betapa Lo Sin dan Lee Ing menyatakan lebih baik mati daripada hidup saling berpisah, wanita ini lalu memeluk Lian Hwa sambil menangis, bukan karena sedih, akan tetapi karena terharu dan juga girang! Memang semenjak dulu ia bercita-cita untuk menjodohkan anaknya dengan anak Lian Hwa, dan ternyata sekarang bahwa kedua anak itu saling mencinta!
“Kalau begitu, biarlah aku sekarang pergi menemui Nyo-twako!” kata Lian Hwa. “Di mana guanya?”
“Di sebelah timur itu, di bukit yang berbatu-batu,” kata Giok Lie, kemudian disambungnya dengan khawatir. “Akan tetapi cici……”
“Ada apa?” tanya Lian Hwa.
“Dia...... dia sedang marah sekali. Harap kau suka bersabar dan ampunkanlah dia, cici……” kata nyonya itu sambil menyusuti air matanya.
Lian Hwa menepuk-nepuk pundak Giok Lie dan berkata. “Jangan khawatir, adikku. Sekarang aku sudah tahu bahwa Nyo-twako marah karena tertipu!”
Kemudian Ang Lian Lihiap lalu cepat pergi menuju ke bukit itu, dikejar oleh Kong Liang dan Mei Ling, sedangkan Giok Lie hanya duduk saja menangis.
Ketika tiba di bukit yang penuh batu-batu besar dan hitam itu, senja telah berganti malam akan tetapi keadaan tidak sangat gelap oleh karena bulan menyinarkan cahayanya dan langit nampak bersih. Lian Hwa mencari-cari dan akhirnya ia melihat sebuah gua yang hitam dan besar serta melihat pula bayangan orang duduk di dalam gua itu.
“Nyo-twako!” ia memanggil sambil menghampiri gua itu.
218
Bayangan di dalam gua bergerak dan tiba-tiba terdengar seruan marah dari dalam gua itu.
“Kau?? Kau berani datang hendak menghinaku?” dan tiba-tiba bayangan itu melompat keluar dengan pedang di tangan.
Ang Lian Lihiap terkejut melihat wajah Nyo Tiang Pek yang pucat dan yang memperlihatkan kemarahan besar itu.
“Nyo-twako, aku datang bukan hendak bertempur, akan tetapi hendak merundingkan perkara yang timbul di antara kita dengan kepala dingin. Simpanlah pedangmu dan marilah kita bicarakan dengan tenang.”
“Bohong! Kau tentu datang hendak membalas puteramu dan hendak membela bangsat muda itu! Kau seorang ibu yang tidak dapat mengajar anak, membiarkan anakmu menghina aku!”
“Diam! Jangan kau menuruti hati marah dan yang bukan-bukan, Nyo-twako!” jawab Ang Lian Lihiap yang memang berdarah panas dan tidak tahan mendengar kata-kata keras.
“Ha-ha-ha! Kau bisa bilang bahwa aku menuruti hati dan bicara tidak karuan? Coba kau dengarkan anakmu dulu memaki-maki dan mencemarkan nama baik keluargaku dimuka umum. Coba kau bayangkan betapa dia merusak dan menghalangi perkawinan anakku, bahkan dia berani melarikan anakku di depan mataku sendiri, berani melawanku mengandalkan kepandaiannya! Kaukira aku takut padamu? Tidak, Ang Lian Lihiap, betapapun gagahnya kau, akan tetapi untuk membela nama baikku, aku bersedia mati di ujung pedangmu. Cabutlah pedangmu kalau kau benar-benar seorang gagah!”
Sambil berkata demikian, Nyo Tiang Pek melintangkan pedangnya di depan dada dengan sikap menantang sekali.
“Nyo-twako, kau tersesat!” Sambil berkata demikian, Lian Hwa mencabut pedangnya, akan tetapi bukan untuk menyerang, hanya pedang itu diletakkan di atas batu besar. “Lihat, aku menyimpan pedangku, karena bukan maksudku hendak berkelahi dengan kau yang picik dan dangkal pandangan ini! Kalau memang kau telah berubah pikiran dan menjadi gila, kau seranglah aku. Aku hendak merampas pedangmu yang jahat itu dengan tangan kosong!”
Sambil berkata demikian, Lian Hwa melompat ke arah Nyo Tiang Pek dengan kedua tangan terulur ke depan, siap hendak merampas pedang dari tangan si Garuda Kuku Emas.
“Ang Lian Lihiap, mundur kau! Hmm, kupenggal batang lehermu nanti!” Akan tetapi kata-kata ini hanya merupakan ancaman belaka, oleh karena nyatanya, Nyo Tiang Pek mengelak dari serangan Lian Hwa ini dan melompat ke atas batu lain.
Lian Hwa tidak menjadi jerih karena ancaman ini bahkan melompat dan mengejar!
“Awas, sekarang benar-benar aku akan menyerangmu!” kata Nyo Tiang Pek sambil mengangkat pedangnya ke atas dengan lagak mengancam, akan tetapi dari sebuah batu besar Lian Hwa melompat
219
lagi dengan gerakan Naga Putih Menyambar Awan. Tubuhnya yang gesit itu melompat dan menerkam ke arah Nyo Tiang Pek!
Pada saat itu, Cin Han muncul dari balik batu karang. Ia menjadi terkejut sekali ketika melihat betapa Ang Lian Lihiap mengejar-ngejar Nyo Tiang Pek untuk merampas pedang, sedangkan Nyo Tiang Pek yang memegang pedang itu hanya mengelak dan berpindah-pindah tempat, seakan-akan merasa jerih menghadapi Lian Hwa dan sama sekali tidak mau menyerang dengan pedangnya.
“Tahan!” kata Cin Han sambil mengangkat kedua tangannya ke atas. “Sudah gilakah kalian ini? Tua bangka masih mau main kejar-kejaran seperti kanak-kanak! Nyo-twako, kaudengarlah keterangan kami dulu, kalau kau sudah mendengarkan, barulah terserah kepadamu mau berbuat apa! Kalau kau memang tidak berubah dan masih seperti Kim-jiauw-eng yang kukenal sebagai seorang pendekar yang gagah dan menjunjung tinggi pribudi dan kebenaran, simpanlah pedangmu dan dengarkan keterangan kami. Kalau kau sudah mendengarkan keterangan kami, maka terserah kepadamu sendiri, hendak mengajak bertempur sampai seratus hari seratus malam akan kami layani!”
Mendengar dan melihat Cin Han dengan sikapnya yang gagah ini, tiba-tiba hati Nyo Tiang Pek menjadi lemas. Tadi memang ia sudah merasa bingung sekali melihat kenekadan Lian Hwa yang mengejar dan hendak merampas pedangnya. Tentu saja ia tidak mau menyerang Lian Hwa yang bertangan kosong itu dengan pedangnya.
Dan kini datang lagi Cin Han yang mengeluarkan kata-kata yang amat mengesan dalam hatinya. Ia lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas batu besar dan menancapkan pedangnya di atas tanah, kemudian sambil menutup mukanya dengan kedua tangan, ia berkata.
“Bicaralah, bicaralah! Mudah-mudah bicaramu bukan omong kosong belaka dan jangan coba-coba menipuku!”
Ternyata bahwa hati dan pikiran Nyo Tiang Pek memang amat terganggu dan tergoncang oleh kekhawatiran bahwa ia betul-betul telah tertipu oleh Tik Kong sebagaimana yang ia takutkan.
Pada saat itu terdengar suara kaki mendatangi dan Kong Liang bersama Mei Ling datang memburu ke tempat itu dengan hati penuh kekhawatiran akan tetapi menjadi lega ketika melihat bahwa tidak terjadi sesuatu yang mengerikan antara Nyo Tiang Pek dan Lian Hwa.
“Kalau aku yang bicara, mungkin kau takkan percaya,” kata Cin Han dengan suara getir, “Kong Liang dan Mei Ling datang, biarlah mereka ini menceritakan segala yang mereka dengar dari anakku dan anakmu!”
Tanpa diminta lagi Kong Liang dan Mei Ling serta merta menceritakan duduknya perkara. Mereka menuturkan betapa isi surat Cin Han yang dibawa oleh A-kwie adalah surat lamaran untuk diri Lee Ing, kemudian betapa A-kwie telah dibunuh oleh Tik Kong yang sengaja mengubah bunyi surat.
Kemudian menceritakan juga betapa Lo Sin yang mengunjungi mendiang Kong Sin Ek mendengar bahwa Tik Kong lah yang menganiaya Kong Sin Ek hingga kakek itu menjadi lumpuh dan binasa, kemudian mereka menceritakan pula betapa Tik Kong telah bersekutu dengan Hek Li Su-thai dan Bong Cu Sianjin, bahkan pernah menawan Lee Ing yang kemudian ditolong oleh Pat-chiu Koai-hiap
220
Oei Gan, dan untuk kedua kalinya menawan Mei Ling dan Kim-gan-eng yang kemudian ditolong oleh Kong Liang dan Yap Bun Gai.
Pendeknya mereka menuturkan semua kejahatan Tik Kong dan bagaimana pemuda itu telah menipu Nyo Tiang Pek dengan curang dan jahat sekali!
Nyo Tiang Pek tadinya mendengarkan dengan kedua tangan menutupi mukanya, akan tetapi lambat-laun ia makin tertarik. Kedua tangannya diturunkan, kedua matanya terbelalak, wajahnya pucat dan tubuhnya menggigil.
Saking tertariknya ia lalu bangun berdiri dan memandang ke arah mulut Mei Ling dan Kong Liang yang bercerita bergantian. Wajahnya makin pucat dan perlahan-lahan air mata mengalir keluar dari kedua matanya yang terbelalak lebar.
Setelah kedua anak muda itu selesai bercerita, Nyo Tiang Pek memandangi mereka seperti seorang mayat hidup memandang dan tiba-tiba mengangkat kedua tangannya ke atas dan berseru keras dengan suara yang menyeramkan.
“Benarkah ini……? Benarkah……? Benarkah......?”
Ketika keempat orang yang berada di depannya itu mengangguk ia lalu menutup mukanya dengan kedua tangan, dan ketika ia menurunkan tangannya mukanya menjadi basah oleh air mata! Kemudian, tiba-tiba bagaikan gila Nyo Tiang Pek berseru.
“Tiang Pek…… kau…… kau…… kau harus mampus!” dan dengan kedua tangannya Nyo Tiang Pek memukuli kepalanya sendiri, menjambak-jambak rambutnya memukuli mukanya sambil tiada hentinya berbisik, “Kau harus mampus…… Nyo Tiang Pek…… kau harus mampus!”
Terkejutlah semua orang melihat hal ini dan ketika mereka hendak maju mencegah, Nyo Tiang Pek melompat tinggi dan lari memukuli kepalanya dan berteriak-teriak. “Nyo Tiang Pek…… kau harus mampus…… Lee Ing…… Lee Ing…… ayahmu harus mampus……!”
Darah mengalir dari muka dan kepala Nyo Tiang Pek karena pukulannya sendiri.
Pada saat itu, dari depan berkelebat bayangan Giok Lie dan ketika ia melihat keadaan suaminya ini, ia lalu menubruk sambil memekik keras. Ketika Nyo Tiang Pek merasa betapa isterinya memeluknya dengan keras, ia menangis tersedu-sedu dan ketika Giok Lie memegangi kedua tangannya yang telah berlumuran darahnya sendiri itu, ia mencoba untuk membenturkan kepalanya pada batu di dekatnya.
“Koko, jadi kau tetap hendak bunuh diri? Baiklah, aku isterimu akan mendahuluimu!” Sambil berkata demikian, Giok Lie mencabut pedangnya dan menusukkan pedang itu ke arah dadanya! Melihat hal ini, secepat kilat Tiang Pek menyampok tangan isterinya hingga pedang itu terlempar jauh.
“Giok Lie…… isteriku…… ampunkanlah aku……” setelah berkata demikian Tiang Pek menjerit keras dan roboh pingsan di atas rumput!
221
Giok Lie memeluki tubuh suaminya dan ketika melihat muka dan kepala yang sudah tidak karuan macamnya karena berlumur darah itu, ia menangis tersedu-sedu dan mendekap kepala suaminya pada dadanya. Bulan agaknya tidak kuat pula menahan rasa terharu menyaksikan keadaan mereka ini, maka ia lalu bersembunyi di balik awan putih.
Lian Hwa dan Mei Ling dengan air mata bercucuran lalu menolong Giok Lie dan menuntun nyonya yang sudah lemas dan hampir tidak kuat berjalan itu untuk kembali ke rumah, sedangkan Cin Han lalu memondong tubuh Nyo Tiang Pek. Beramai-ramai mereka kembali ke rumah Nyo Tiang Pek dan Cin Han lalu merebahkan tubuh kawannya ini di atas pembaringan.
Sampai dua hari lamanya Tiang Pek berteriak-teriak memanggil nama Lee Ing dengan keluh-kesah, dan kadang-kadang ia membentak-bentak nama Tik Kong dengan suara mengandung ancaman hebat. Tubuhnya panas sekali dan dia tidak mengenal siapa-siapa kecuali isterinya.
Pada hari ketiga, maka lenyaplah panasnya dan keadaannya kembali seperti biasa. Ia teringat akan semua yang terjadi dan ketika ia melihat Cin Han dan Lian Hwa memasuki kamarnya, ia lalu bangun duduk dan memegang tangan Cin Han dan Lian Hwa dengan jari-jari gemetar.
“Cin Han…… Lian Hwa…… aku menyesal sekali…… biarlah…… aku berlutut minta ampun kepada kalian……”
Benar-benar Nyo Tiang Pek hendak menjatuhkan dirinya berlutut di depan Lian Hwa dan Cin Han hingga Lian Hwa buru-buru melompat ke belakang dan membalikkan tubuh, sedangkan Cin Han lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Nyo Tiang Pek dan memeluk sahabatnya yang menangis sedih ini. Tak terasa pula Cin Han pun mengalirkan air mata dari kedua matanya. Kemudian ia memaksa diri tersenyum dan berkata.
“Nyo-twako! Apa-apaan semua ini? Bertahun-tahun kita tidak bertemu dan setelah kini bertemu, seharusnya kita bergembira, apa artinya segala air mata yang keluar dari mata kita? Ah, kalau dilihat orang lain, bukankah menimbulkan malu saja. Hwee-thian Kim-hong dan Kim-jiauw-eng bertangis-tangisan! Sungguh lucu! Ingatkah kau ketika dulu kita bersama menghajar penjahat-penjahat Pek-lian-kauw? Bukankah waktu itu air mata adalah pantangan besar bagi kita? Marilah, Nyo-twako, kita kembali seperti dulu lagi!”
Nyo Tiang Pek lalu bangun dan memeluk tubuh Cin Han. “Cin Han…… Cin Han…… kau jauh lebih gagah perkasa daripadaku...... aku...... aku harus malu kepadamu.”
“Ah! apa gunanya semua kata-kata ini, Nyo-twako? Kita menghadapi persoalan yang sama, soal anak. Tahukah kau betapa mereka itu ketika bertemu dengan aku dan Lian Hwa lalu keduanya berlutut dan menyatakan saling cinta dan bahwa mereka berdua lebih suka dibunuh daripada harus diceraikan? Coba saja pikir! Anak-anak kita begitu keras hati dan kepala batu, bukankah mereka itu pantas sekali menjadi anak kita? Mereka saling mencintai seperti kau dan Giok Lie atau seperti aku dan Lian Hwa dan dalam hal kekerasan dan kenekatan hati, agaknya Lee Ing tidak kalah dengan kau dan Lo Sin tidak kalah dengan ibunya!”
Sinar kegembiraan mulai memancar dari kedua mata Nyo Tiang Pek dan kedua pipinya yang pucat itu mulai menjadi agak merah. Dengan hati penuh kegemasan ia lalu menceritakan betapa Tik Kong tidak
222
saja melakukan kejahatan itu semua, bahkan telah mencemarkan namanya dalam pandangan golongan Kun-lun-pai.
“Aku harus membunuh anak setan itu dengan kedua tanganku sendiri!” katanya dengan hati gemas.
“Tidak, Nyo-twako. Tangankulah yang akan menghabisi nyawanya sebagai pembalasan dendam dari Kong-twako!” kata Lian Hwa dengan tak kurang gemasnya.
Demikianlah, dengan mendapat hiburan-hiburan dari Cin Han, Lian Hwa, Mei Ling dan Kong Liang, berangsur-angsur kesehatan Nyo Tiang Pek pulih kembali. Ketika Lian Hwa menceritakan tentang tantangan Lan Bwee Niang-niang untuk mengadakan pi-bu di puncak Hoa-mo-san, Nyo Tiang Pek menyambutnya dengan gembira.
“Biarlah! Biarlah sekali lagi kita naik ke puncak Hoa-mo-san dan membasmi orang-orang jahat itu. Karena keparat Tik Kong sudah bersekutu dengan Bong Cu, tentu ia berada di sana pula!”
“Memang, hatikupun kurang tetap dan tenang apabila aku harus naik ke sana tanpa kau kawani, Nyo-twako,” kata Cin Han.
“Sayang kita tidak tahu puteramu itu berada di mana. Kepandaiannya lihai sekali sehingga dulupun aku merasa kagum dan suka, sayangnya dulu aku menganggap ia telah menjadi suami lain orang!” Mengingat akan kebodohannya sendiri, Nyo Tiang Pek menghela napas.
“Aku mempunyai keyakinan besar bahwa Lo Sin dan Lee Ing pada waktunya akan datang juga di puncak Hoa-mo-san, oleh karena mereka sudah mendengar pula tentang perjanjian pertandingan itu. Aku percaya bahwa mereka tidak akan tinggal diam dan membiarkan saja kita melawan musuh tanpa membantu,” kata Mei Ling.
“Mudah-mudahan saja akan demikian jadinya,” kata Cin Han.
Ketika mereka sedang bercakap-cakap, datanglah pelayan yang memberi tahu bahwa di luar datang seorang tamu yang bersikap aneh dan datang hendak bertemu dengan Nyo Tiang Pek dan Lo Cin Han bersama isteri.
Semua orang cepat memburu keluar dan mereka melihat seorang laki-laki tua yang berwajah buruk dan hidungnya menjungat ke atas.
Cin Han mewakili semua orang yang melangkah maju lalu menjura dengan hormat. “Sahabat dari manakah dan ada keperluan apa datang mencari kami?”
Orang itu tertawa terkekeh-kekeh dengan muka berseri, lalu katanya, “Ah, ah, Hwee-thian Kim-hong masih tetap gagah seperti waktu mudanya! Memang, pertemuan kita dulu hanya sebentar saja maka tidak aneh apabila kau sudah lupa padaku!”
Cin Han mengingat-ingat dan kemudian melihat muka yang aneh dan buruk itu teringatlah ia akan peristiwa ia memusuhi perkumpulan Kwi-coa-pai (Perkumpulan Ular Setan). Ia dulu ketika sedang menyelidiki rumah perkumpulan rahasia itu, melihat betapa seorang laki-laki muda dengan gerakan
223
cepat dan gagah telah membunuh mati ular setan, yakni seekor ular berbisa yang jahat dan yang dijadikan lambang perkumpulan itu, dengan sehelai saputangan!
Maka sambil tersenyum, ia lalu berkata sambil menjura lagi. “Ah, tidak tahunya kau adalah Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan! Tidak salahkah dugaanku ini?”
Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan tertawa girang dan balas menjura. “Betul, betul! Bukan main besar hatiku bahwa ini hari aku dapat bertemu dengan tokoh-tokoh tinggi yang namanya telah menggemparkan dunia. Hwee-thian Kim-hong, Ang Lian Lihiap, dan Kim-jiauw-eng! Siapakah yang belum mendengar nama-nama ini?”
Kemudian ia memandang kepada Mei Ling dan Kong Liang yang berdiri di dekat Giok Lie. “Entah yang manakah yang bernama Song Kong Liang?”
Kong Liang terkejut dan maju memberi hormat kepada kakek aneh itu.
Melihat pemuda yang tampan dan bersikap gagah itu, Oei Gan kembali tertawa bergelak-gelak. “Pantas, pantas kau memang gagah dan cocok menjadi suami Bwee Hwa. Ha-ha-ha! Eh, Hwee-thian Kim-hong, terus terang saja, kedatanganku ini hendak membicarakan urusan penukaran pedang muridku dengan pemuda ini yang katanya telah diatur oleh Ang Lian Lihiap!”
Lian Hwa tertawa girang dan berkata. “Pat-chiu Koai-hiap, marilah kau masuk ke dalam dan kita bicara dengan sepantasnya. Tak enak rasanya merundingkan soal perjodohan sambil berdiri di luar saja!”
Nyo Tiang Pek juga timbul kegembiraannya dan berkata, “Ah, aku memang tuan rumah yang bodoh dan canggung. Mari, mari, Koai-hiap, kita bicara di dalam sambil minum arak!”
“Arak wangi? Bagus, sudah beberapa hari aku menderita haus!” kata Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan sambil melangkah maju dengan tindakan lebar.
Semua orang lalu masuk ke dalam rumah dan mengambil tempat duduk mengelilingi meja. Giok Lie segera mengeluarkan hidangan seadanya dan mereka lalu merundingkan soal perjodohan antara Kong Liang dan Bwee Hwa.
Ketika Pat-chiu Koai-hiap minta penetapan hari pertemuan kedua pengantin, Kong Liang menjawab dengan hormat. “Mohon dimaafkan sebanyaknya, Oei Koaihiap, siauwte masih mempunyai urusan yang penting sekali dan yang harus segera diselesaikan. Setelah itu, barulah siauwte dapat menentukan hari pernikahan itu.”
Oei Gan memandang heran. “Urusan apakah?”
Maka Kong Liang lalu menceritakan tentang perjanjian hendak mengadakan pertandingan di puncak Hoa-mo-san dengan pihak Bong Cu Sianjin, dan dalam kesempatan ini, Cin Han lalu berkata kepada Oei Gan.
224
“Mengingat bahwa kita orang sendiri, maka besar harapan kami bahwa Koai-hiap akan suka membantu.”
“Hmm...... memang telah kuketahui keburukan adat Bong Cu Sianjin, bahkan aku pernah melepaskan Nyo-siocia dan muridku dari ancaman Hek Li Su-thai. Baiklah, tentu saja aku akan membantu karena memang sudah lama sekali tulang-tulangku yang tua ini ingin merasai beberapa gebukan yang berarti dari lawan-lawan tangguh. Setelah berhasil menghancurkan kejahatan di puncak Hoa-mo-san, baru membicarakan urusan hari perkawinan. Bagus, bagus!”
Demikianlah, dengan gembira mereka bercakap-cakap sambil makan minum dan pertemuan ini banyak memulihkan kegembiraan hati Nyo Tiang Pek. Penuturan Oei Gan lebih membuka kedua matanya akan kejahatan dan kecurangan Lui Tik Kong, pemuda yang disangkanya baik-baik itu.
Sebelum hari menjadi gelap Oei Gan berpamit dan pergi meninggalkan Bong-kee-san. Adapun Ang Lian Lihiap berdua suaminya dan kedua saudara kembar Kong Liang dan Mei Ling, bermalam di rumah Nyo Tiang Pek sampai sepekan lebih, dan setiap hari mereka bercakap-cakap gembira karena memang mereka telah merasa rindu sekali.
Seakan-akan tidak akan habisnya percakapan mereka, terutama sekali Giok Lie dan Lian Hwa yang merasa berbahagia sekali mendengar kenyataan betapa anak mereka saling mencinta demikian mesranya sehingga rela berkorban nyawa.
Lo Sin dan Lee Ing setelah mendapatkan lagi kuda mereka, lalu melanjutkan perantauan. Mereka tadinya melarikan diri dari hadapan Ang Lian Lihiap yang sedang marah dan ketika Lee Ing dan Lo Sin telah pergi jauh, teringatlah mereka kepada kedua ekor kuda yang masih ditinggalkan di Lok-sin-chung, maka pada malam harinya mereka lalu kembali ke kampung itu untuk mengambil kuda mereka.
Setelah menjelajah berbagai kota dan desa, akhirnya kedua anak muda itu tiba di sebuah kota yang bernama Hai-kun. Keadaan kota ini ramai dan makmur. Lee Ing lalu minta kepada Lo Sin untuk berhenti di kota itu dan mereka segera mencari kamar dalam sebuah rumah penginapan.
Para pelayan hotel menyambut mereka dengan penuh hormat, karena dari pakaian dan sikap kedua orang muda ini, mereka tahu bahwa keduanya adalah orang-orang gagah yang melakukan perjalanan. Dan oleh karena pelayan mengira bahwa mereka adalah suami-isteri, maka katanya dengan hormat.
“Ji-wi ingin menempati kamar besar, sedang, atau kecil?”
“Sediakan dua buah kamar yang sedang saja,” kata Lee Ing.
Pelayan itu memandang heran. “Dua...... Toanio, kami ada sebuah kamar yang besar, bersih dan lengkap.”
Lee Ing memandangnya tajam dan tak senang. “Sediakan dua kamar, dengarkah kau? Dua, kataku!” Sambil berkata demikian, Lee Ing mengangkat tangan kanannya. Ia memperlihatkan dua buah jarinya.
225
Maka mengertilah pelayan itu bahwa ia telah salah kira dan bahwa kedua orang ini bukanlah suami-isteri. Ia lalu tersenyum dan menjura dengan sikap hormat. Baiklah, baiklah, siocia.”
Sebutannya terhadap Lee Ing juga berubah sehingga gadis ini diam-diam tertawa geli. Juga Lo Sin tersenyum melihat hal ini.
Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, mereka duduk di ruang depan memandang taman bunga yang diatur indah menarik di depan rumah penginapan itu. Lo Sin lalu memesan kepada pelayan agar supaya membelikan makanan dan mengantarkan ke ruang depan.
Keadaan yang bersih dan hawa yang nyaman di tempat itu membuat keduanya merasa senang. Mereka melupakan hal-¬hal yang lalu dan bercakap-cakap tentang kota-kota dan tempat-tempat indah yang pernah mereka kunjungi, menceritakan pengalaman masing-masing.
Pada saat mereka bercakap-cakap, dari luar hotel itu datang masuk lima orang yang berpakaian seperti pegawai negeri.
Kelima orang itu ketika diberi tahu bahwa orang yang mereka cari adalah kedua anak muda itu, menjadi girang dan buru-buru mereka menghampiri Lo Sin dan Lee Ing. Melihat kedatangan mereka ini, Lo Sin dan Lee Ing lalu bangkit berdiri dengan pandang mata heran.
“Maaf ji-wi eng-hiong,” kata seorang di antara ke lima pegawai negeri itu. “Kami adalah pesuruh-pesuruh dari Ong-taijin untuk menyampaikan surat undangan ini. kepada ji-wi.”
Dengan heran sekali Lo Sin menerima dan membaca surat undangan itu yang isinya meminta dengan hormat dan sangat supaya kedua pendekar perantau yang kebetulan bermalam di hotel itu sudi datang mengunjunginya!
“Siapakah Ong-taijin ini?” tanya Lo Sin kepada mereka.
“Ong-taijin adalah ti-hu dari kota ini,” jawab pesuruh itu.
Karena bunyi surat itu amat sopan dan baik, maka Lo Sin dan Lee Ing merasa tidak enak untuk menolaknya, maka mereka lalu berangkat mengikuti ke lima orang pesuruh itu yang juga bersikap amat hormat kepada mereka.
Memang, Ong-taijin adalah ti-hu dari kota Hai-kun, seorang setengah tua yang terpelajar, bersikap halus dan ramah tamah. Dia adalah seorang berpangkat yang baik hati dan disuka oleh penduduk Hai-kun karena selain terkenal ramah tamah, juga adil. Memang Ong-taijin bukan seorang pembesar yang menindas rakyat dan bukan pula seorang pegawai yang suka korup, karena ia memang telah kaya sebelum menjabat pangkat ini.
Telah beberapa pekan ini, kota Hai-kun menderita gangguan, perampok-perampok yang lihai. Perampok ini hampir tiap malam mengirim beberapa orang anggautanya yang lihai untuk mengganggu kota dan selain melakukan pencurian yang amat berani, juga mereka tidak segan-segan untuk mengganggu anak bini orang!
226
Ong-tihu telah mengerahkan segenap kekuatan dan penjagaan untuk mengusir dan melawan perampok-perampok ini, akan tetapi ternyata bahwa para perampok ini memiliki ilmu silat tinggi, terutama sekali kepalanya yang telah membunuh banyak penjaga keamanan kota itu dengan golok besarnya.
Oleh karena inilah maka penduduk Hai-kun tidak berdaya dan terpaksa mereka mengalah. Sehingga para perampok itu dengan leluasa dan enaknya tiap malam datang mengambil barang berharga dari rumah-rumah di kota Hai-kun. Dan yang lebih menggemaskan lagi, tiga hari dimuka sebelum mendatangi sebuah rumah untuk merampok, para penjahat itu telah memberi tanda lebih dulu, yakni dengan lukisan sebatang golok besar di tembok rumah tersebut!
Tidak seorangpun melihat siapa yang melukiskan golok besar ini, karena perbuatan ini dilakukan sendiri oleh kepala rampok itu yang amat lihai. Kepala rampok ini memilih rumah mana yang harus didatangi dan pada tiga hari kemudian, anak buahnya yang akan datang dan merampok!
Tiga hari yang lalu, tembok rumah Ong-tihu sendiri menjadi kurban dan di situ terdapat lukisan golok besar yang mengerikan! Ong-tihu menjadi bingung, karena ia tidak mengkhawatirkan tentang harta bendanya yang hendak dirampok, akan tetapi mengkhawatiran keselamatan rumah tangganya karena ia maklum akan kekurangajaran para perampok itu, sedangkan di dalam rumahnya terdapat anak, gadisnya bernama Ong Lan Im yang cantik jelita dan tersohor menjadi kembang kota Hai-kun.
Ong-tihu lalu memerintahkan kepada semua pembantunya untuk mencari pembantu dan pertolongan orang-orang gagah. Maka ketika Lo Sin dan Lee Ing yang bersikap gagah itu bermalam di hotel, pembantunya dapat melihat mereka dan segera memberi laporan kepada Ong-tihu yang cepat-cepat membuat surat undangan itu. Tadinya dia sendiri hendak datang menjemput, akan tetapi ia khawatir kalau-kalau ada mata-mata perampok yang melihat hal ini.
Ketika Lo Sin dan Lee Ing memasuki halaman rumah gedung yang indah dan besar itu, mereka disambut oleh Ong-tihu sendiri. Melihat keadaan Lo Sin dan Lee Ing yang selain tampan dan cantik juga kelihatan gagah sekali, maka dengan girang Ong-tihu lalu maju menjura, kemudian ia memegang tangan Lo Sin dan dengan ramah tamah dan sopan-santun ia mempersilakan keduanya masuk ke ruang dalam.
Setelah tiba di ruang dalam, isteri Ong-tihu juga keluar menyambut Lee Ing dan dalam hal keramah-tamahan, wanita ini tidak kalah dengan suaminya sehingga Lee Ing tidak merasa malu-malu lagi.
“Ji-wi tentu heran sekali melihat betapa aku yang tidak kenal dengan kalian datang-datang mengirim surat undangan itu. Besar sekali rasa terima kasih kami bahwa ji-wi sudi memenuhi undangan ini,” kata Ong-tihu.
“Memang kami berdua merasa terkejut dan heran, taijin.”
“Sebetulnya, tidak lain kami mohon pertolongan ji-wi karena sesungguhnya keluarga kami, sedang dalam bahaya besar.”
Lo Sin dan Lee Ing makin terkejut, dan segera bertanya bahaya apakah yang mengancam keselamatan keluarga ti-hu itu.
227
Setelah menghela napas berulang-ulang, ti-hu itu lalu menceritakan betapa di Hai-kun timbul kekacauan yang diperbuat oleh serombongan perampok yang lihai dan bahwa kini rumahnya telah dijadikan calon korban.
“Aku tidak takut kalau mereka hanya mengambil hartaku, karena bagiku hal ini tidak amat penting. Akan tetapi aku khawatir kalau-kalau mereka itu akan mengganggu jiwa keluargaku.”
Kemudian dengan panjang-lebar Ong-tihu menceritakan seluruh peristiwa yang menyedihkan, betapa para perampok yang kurang ajar itu suka mengganggu anak-bini orang, bahkan telah banyak penjaga ditewaskan oleh kepala perampok.
“Siapakah nama kepala perampok itu, taijin?” tanya Lee Ing dengan penasaran sekali.
“Kami tidak tahu siapa namanya, hanya karena ia menggunakan senjata golok besar dan selalu menggambarkan golok besar di tembok rumah calon korban, maka kami menyebutnya Toa-to-ong (Raja Golok Besar). Bukan saja keluargaku yang akan berterima kasih sekali apabila ji-wi sudi menolong, bahkan seluruh penduduk Hai-kun akan berterima kasih kepada ji-wi,” kata pula Ong-tihu dengan suara memohon.
Semenjak tadi, Lee Ing dan Lo Sin telah menjadi marah sekali kepada penjahat-penjahat itu, maka tentu saja mereka menyanggupi dengan sepenuh hati.
“Jangan khawatir, taijin. Karena malam ini penjahat-penjahat itu akan datang ke sini, biarlah kami berdua akan menangkapnya,” kata Lee Ing dengan suara gagah.
“Benar kata adikku ini, taijin. Aku tangung bahwa malam ini semua penjahat yang berani datang, akan roboh di tangan kami!” kata Lo Sin pula.
Mendengar ini, Ong-tihu dan Ong-hujin tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut hingga kedua anak muda itu menjadi terkejut sekali dan buru-buru mengangkat bangun mereka.
“Ah, urusan sekecil ini janganlah terlalu menyusahkan hatimu, taijin,” kata Lo Sin.
Dengan girang sekali Ong-tihu mengeluarkan hidangan dan menjamu kedua orang tamunya.
“Mohon tanya siapakah nama ji-wi yang mulia?” tanya pembesar itu.
“Siauwte bernama Lo Sin dan ini adalah adikku Lee Ing. Kami berdua semenjak kecil sudah bertemu dengan orang-orang jahat, maka sudah seharusnya pula kalau kali ini kami mencoba untuk mengusir penjahat yang mengganggu kota ini.”
Melihat sikap dan ketenangan tamunya yang biarpun masih muda akan tetapi kelihatan gagah ini, kedua suami isteri Ong itu merasa girang dan lupalah mereka akan ancaman penjahat yang malam hari itu hendak datang.
228
Lo Sin dan Lee Ing berjanji bahwa mereka tidak akan kembali ke hotel dan malam itu akan berdiam di gedung Ong-tihu. Pembesar bahkan lalu memerintahkan anak buahnya untuk menyiapkan kamar dan untuk mengambil buntalan pakaian dan dua ekor kuda Lee Ing dan Lo Sin yang masih berada di hotel!
Di dalam percakapan mereka yang menggembirakan tuan rumah karena baik Lo Sin maupun Lee Ing memang pandai bergaul dan pandai membawa diri, tiba-tiba Ong-tihu melihat suling bambu yang terselip di punggung Lo Sin.
“Taihiap, agaknya kaupun suka sekali akan kesenian!” katanya sambil menunjuk suling di punggung Lo Sin. “Alangkah akan senangnya kami kalau taihiap sudi meniup suling itu barang selagu untuk kami.”
Merahlah wajah Lo Sin mendengar permintaan ini. “Ah, taijin, janganlah kau membikin malu kepada siauwte saja. Kepandaian siauwte meniup suling tidak ada artinya sama sekali dan hanya dapat meniupkan beberapa nada sumbang saja.”
Lee Ing yang sudah minum beberapa cawan arak wangi sehingga timbul kegembiraannya, ingin sekali membanggakan kepandaian main suling dari kekasihnya itu, maka katanya. “Sin-ko, mengapa kau malu-malu? Benar, Ong-hujin, kakakku ini pandai sekali meniup suling! Sin-ko, janganlah mengecewakan hati tuan rumah dan aku sendiripun sudah lama sekali ingin mendengar tiupan sulingmu!”
Melihat sikap Lee Ing yang manja, Lo Sin tidak tega untuk mengecewakan hatinya dan merusak kegembiraannya, maka ia lalu mencabut sulingnya dan berkata kepada Ong-tihu. “Mohon taijin dan hujin tidak mentertawakan tiupan suling kampungan ini!” Kemudian ia menempelkan ujung suling di bibirnya dan mulai meniup suling itu.
Mula-mula ia hanya meniup nada untuk membiasakan bibirnya yang telah lama tidak meniup suling, kemudian ia mulai memainkan lagu yang terkenal, yakni lagu Gembala dan Dewi, sebuah lagu rakyat yang digubah di jaman Dinasti Han barat pada masa Kaisar Bu Tee berkuasa. Lagu ini memang indah dan merdu serta disukai oleh kalangan rakyat baik tingkatan rendah maupun tingkat tinggi.
Suami isteri Ong mendengar suara suling ini saling memandang dan kemudian mendengarkan dengan amat kagum dan terharu karena tiupan suling ini benar-benar indah dan dilakukan penuh perasaan sehingga mereka berdua merasa seakan-akan menjadi muda kembali dan terbayanglah segala pengalaman di waktu muda yang penuh madu bahagia! Juga Lee Ing memandang wajah Lo Sin dengan mesra dan kagum, seakan-akan ia menggantungkan diri pada bibir pemuda yang meniup suling itu dan perasaannya ikut dibawa melayang oleh suara suling!
Tiba-tiba terdengar suara lain yang juga amat merdu sekali. Suara ini datangnya dari dalam rumah dan ternyata adalah suara yang-kim (semacam kecapi) yang dimainkan dengan indah pula. Yang-kim ini dimainkan dengan lagu yang sama, mengiringi alunan suara suling hingga merupakan paduan suara yang amat menakjubkan karena merdu dan indahnya.
Lo Sin mendengar juga suara ini dan tiupan sulingnya makin merdu dan penuh perasaan. Ong-tihu dan isterinya, juga Lee Ing, makin tertarik dan kagum. Setelah Lo Sin selesai meniup lagu itu dan melepaskan suling dari bibirnya, ia berkata kagum.
229
“Bagus betul suara yang-kim itu!”
Akan tetapi, Ong-tihu berdiri dan menjura kepada Lo Sin. “Apakah artinya suara yang-kim itu jika dibandingkan dengan kehebatan tiupan sulingmu? Taihiap, kau benar-benar ahli meniup suling. Hebat dan indah sekali!”
Juga Ong-hujin mengucapkan pujian.
“Ong-hujin, siapakah yang memainkan yang-kim seindah itu?” tanya Lee Ing kepada tuan rumah.
“Dia adalah anakku yang bodoh,” jawab Ong-hujin mendahului suaminya. “Lan Im adalah anak bodoh yang bisanya hanya memainkan yang-kim.”
“Ah, puterimu pandai sekali, hujin. Mengapa tidak disuruh dia keluar dan berkenalan dengan aku?” kata Lee Ing.
Ong-hujin lalu masuk ke dalam dan tak lama kemudian ia keluar pula bersama seorang gadis yang usianya sebaya dengan Lee Ing dan yang memiliki kecantikan luar biasa! Pantas saja ia disebut bunga kota Hai-kun! Lee Ing memandang kagum dan segera menyambutnya dengan pegangan tangan mesra.
Juga Lo Sin memandang dengan kagum karena gadis ini benar-benar cantik jelita dan lemah-lembut. Gerakannya demikian halus dan sikapnya malu-malu sehingga gadis ini sama sekali tidak berani memandang ke arah Lo Sin dan hanya menundukkan kepala saja ketika diperkenalkan.
“Ong-siocia, kau benar-benar pandai main yang-kim dan kau cantik jelita seperti bidadari!” Lee Ing memuji dengan terus terang dan memandang kagum.
“Lihiap, dibandingkan dengan engkau, aku tidak lebih hanya seekor kelinci dan kau seekor harimau!” jawab Lan Im dengan suaranya yang lemah-lembut dan perlahan.
Pada saat mereka bercakap-cakap gembira, tiba-tiba Lo Sin mengangkat tangannya dan Lee Ing juga mendengar suara kaki di atas genteng! Biarpun tuan rumah dan anak isterinya tidak dapat mendengar suara kaki ini, namun mereka menjadi pucat karena dari wajah kedua orang tamunya, mereka maklum bahwa tentu terjadi sesuatu.
Tiba-tiba terdengar suara di atas genteng.
“Ha-ha-ha, bagus sekali, Ong-tihu! Puterimu memang cantik jelita dan pandai! Pantas betul menjadi isteri tai-ong (panggilan untuk kepala rampok). Dengarlah, Ong-tihu, kami diperintah untuk memberitahukan kepadamu bahwa besok pagi-pagi sekali, kau harus mengantarkan puterimu itu ke rimba sebelah selatan. Tidak boleh dikawal, hanya cukup naik tandu dipikul oleh dua orang saja.
“Kalau kau penuhi permintaannya ini, maka selanjutnya kami tidak akan berani mengganggu Hai-kun karena kota ini dianggap sebagai kota sendiri. Akan tetapi kalau kau menolak, kami akan mengambil puterimu dengan paksa dan kota ini akan dihancurkan!”
230
Bukan main terkejutnya Ong-tihu mendengar ini. Dengan tubuh menggigil ia berkata. “Orang gagah yang berada di atas! Mengapa Tai-ong menghendaki demikian? Kalau kalian mau ambil harta bendaku, ambillah, akan tetapi janganlah kalian mengganggu keluargaku.”
“Bodoh! Siapa yang hendak mengganggu? Puterimu bahkan akan mendapat kehormatan besar menjadi isteri Tai-ong! Nah, besok sebelum matahari naik tinggi, kami tunggu kedatangan puterimu dan awas jangan sampai terlambat!”
Terdengar kaki orang meninggalkan genteng dan Lee Ing cepat bergerak hendak melompat dan mengejar, akan tetapi tiba-tiba tangan Lo Sin memegang pundaknya.
“Sin-ko, mengapa kau menahanku? Biar aku seret mereka ke sini!” seru Lee Ing marah, akan tetapi Lo Sin menggelengkan kepala.
Juga Ong-tihu dan nyonya serta puterinya yang telah ketakutan itu merasa heran mengapa kedua orang tamunya yang dianggapnya gagah itu tidak bergerak membela mereka.
“Aduh, celaka…… bagaimana baiknya ini?” Ong-tihu mengeluh sedangkan Ong-hujin beserta puterinya menangis sedih.
“Ong-taijin, jangan kau bersusah hati, siauwte telah mempunyai sebuah rencana yang baik sekali,” kata Lo Sin.
Semua orang memandangnya penuh harapan.
“Begini rencanaku,” kata pula Lo Sin sambil memandang Lee Ing. “Besok kita antarkan Ong-siocia ke rimba dan tepat sebagaimana yang mereka kehendaki.”
“Apa???” Ong-tihu dan nyonya berseru marah sedangkan Lee Ing memandang heran.
“Sabar,” kata Lo Sin tersenyum. “Siauwte belum habis bicara. Yang akan pergi bukanlah Ong-siocia akan tetapi adikku ini. Biarlah adikku menggantikan Ong-siocia dan duduk di atas tandu, sedangkan aku sendiri akan menjadi seorang pemikul tandunya!”
Maka mengertilah mereka. Lee Ing tersenyum dan berkata. “Sin-ko, apakah kau begitu tega hati untuk mengurbankan adikmu ini kepada kepala rampok?”
Ia sebenarnya hanya berkelakar dan menggoda Lo Sin, akan tetapi hal ini tidak diketahui oleh Ong-siocia. Gadis ini lalu berkata dengan suara tetap sambil menggoyang-goyangkan kedua tangannya.
“Tidak, tidak! Lihiap tidak boleh dikorbankan hanya untuk kepentingan dan keselamatanku!”
Lee Ing tersenyum dan Lo Sin berkata. “Siocia, jangan kauperdulikan adikku yang nakal ini! Kami tidak bersombong, akan tetapi kalau kami kehendaki, mudah saja untuk menangkap kedua penjahat yang berada di atas genteng tadi.”
“Dua……?” kata Ong-tihu yang tidak tahu dan mengira bahwa yang datang hanya seorang saja.
231
“Ya, mereka tadi datang berdua. Akan tetapi, kalau kami menangkap mereka, maka kami tidak dapat menangkap kepalanya. Oleh karena itu, lebih baik besok kami berdua mendatangi sarang mereka dan sekalian membasmi kepala berikut ekornya!”
Malam hari itu, Lee Ing dan Lo Sin bersiap-siap, sedangkan seluruh keluarga Ong tidak dapat tidur karena betapapun juga, mereka masih mengkhawatirkan keselamatan kedua orang muda itu dan bagaimana kalau seandainya usaha mereka gagal? Bukankah berarti bahwa dua orang itu akan mengantar kematian belaka, dan selanjutnya keadaan keluarga Ong beserta semua penduduk kota akan terancam bencana yang lebih hebat?
Pada keesokan harinya, Lee Ing naik sebuah tandu yang tertutup dengan tirai hijau. Ong-tihu menyuruh seorang pegawainya yang bertubuh kuat untuk memikul tandu itu, berdua dengan Lo Sin. Pagi-pagi benar mereka berangkat ke hutan yang dimaksudkan.
Kedatangan mereka ini disambut oleh rombongan perampok dan mereka lalu membawa Lo Sin dan kawan-kawannya ke dalam hutan. Seorang laki-laki berusia kurang lebih empatpuluh tahun yang mukanya penuh cambang bauk, menyambut mereka sambil tertawa bekakakan.
Inilah Giam Sui, kepala rampok yang mendapat julukan Toa-to-ong si Raja Golok Besar! Sebatang golok tergantung di pinggangnya dan ia nampak gagah serta garang dengan pakaiannya yang terlalu mewah bagi seorang perampok.
“Bagus, bagus! Pengantinku sudah datang!” katanya dengan suara girang. Sambil berkata demikian, perampok ini melangkah maju hendak menyingkap tirai, akan tetapi Lo Sin lalu maju di depannya dan berkata.
“Apakah aku berhadapan dengan Toa-to-ong sendiri?”
Terbelalak mata raja perampok itu memandang anak muda pemikul tandu yang berani ini.
“Siapa lagi yang patut dijuluki Toa-to-ong selain aku?” bentaknya dan hendak melangkah maju lagi.
“Maaf, tai-ongya!” kata Lo Sin sambil tersenyum. “Sudah menjadi kebiasaan kita bahwa seorang mempelai laki-iaki menjemput calon isterinya dengan emas kawin! Kalau kau belum memberi emas kawin, kau tidak berhak membuka tirai tandu ini!”
Giam Sui tertawa bergelak. “Ha-haha! Jadi kau mewakili Ong-tihu? Bagus, bagus! Coba sebutkan, berapakah banyaknya mas kawin yang dimintanya?”
“Hanya satu saja!” jawab Lo Sin.
Kepala perampok itu terheran. “Satu apa? Benda apakah yang dimintanya?”
“Hanya sebuah saja, yakni sebuah kepala!”
“Sebuah kepala? Ha-ha-ha! Kepala babi, kepala lembu, atau kepala apa?” tanyanya tanpa curiga.
232
“Bukan, tai-ong, yang diminta adalah kepalamu!” jawab Lo Sin.
Merahlah muka perampok itu mendengar ucapan. ini. “Keparat, kau sudah ingin mampus barangkali!” Sambil berkata demikian, ia melompat maju sambil memukul keras ke arah dada Lo Sin dan tangan kirinya menarik tirai tandu.
Lo Sin berkelit cepat dan tiba-tiba dari dalam tandu itu melompat keluar seorang gadis cantik yang membentak keras.
“Kepala perampok busuk! Serahkan dulu kepalamu!”
Sambil berkata demikian, Lee Ing mencabut pedangnya dan menyerang hebat! Serangan ini dilakukan dengan hati gemas dan pedangnya menyambar ke arah leher Giam Sui. Kepala rampok itu cepat mengelak, akan tetapi gerakan Lee Ing demikian cepatnya sehingga sebagian rambutnya kena terbabat putus!
Bukan main terkejutnya kepala perampok ini karena tidak mengira bahwa mempelai perempuan ini demikian gagahnya. Ia lalu mencabut golok besarnya lalu menyerang Lee Ing dengan gerakan yang mendatangkan angin saking kerasnya.
Giam Sui ini adalah anak murid Bu-tong-san yang murtad dan tersesat. Ilmu kepandaian goloknya lihai sekali dan jarang ia menemui tandingannya. Akan tetapi sekarang ia berhadapan dengan Lee Ing, puteri Nyo Tiang Pek yang tersohor, maka begitu Lee Ing memainkan pedangnya dengan gerakan gin-kangnya yang tinggi dan cepat, segera ia terdesak hebat.
Melihat betapa kepandaian kepala perampok itu tidak akan membahayakan keadaan Lee Ing, maka Lo Sin tidak membantu. Para anak buah perampok melihat betapa mempelai perempuan berani menyerang kepala mereka dan melihat betapa pemikul tandu itu berani pula menghina, lalu serentak maju mengurung.
Melihat keadaan yang mengkhawatirkan ini, kawan Lo Sin yang tadi memikul tandu menjadi ketakutan, akan tetapi Lo Sin segera melangkah maju dan berkata.
“Kalian mundur! Hayo mundur!” Sambil berkata demikian, ia menggerakkan kedua tangannya dan siapa yang dekat segera terdorong sampai menubruk kawan-kawannya dan jatuh tunggang langgang.
Melihat kekuatan yang luar biasa ini, para kawanan perampok menjadi terkejut dan marah. Mereka lalu mencabut senjata dan maju mengeroyok. Lo Sin berseru keras dan ketika tubuhnya berkelebat, maka terdengar pekik di sana-sini dan tubuh para anggauta perampok roboh bergelimpangan.
Golok-golok besar kecil terlempar ke udara dan para perampok yang kena dirobohkan itu tidak dapat bangun pula, melainkan melolong-lolong sambil memijit-mijit tangan kaki mereka yang terkena pukulan atau tendangan Lo Sin. Keadaan menjadi kacau balau dan para perampok dengan jerih lalu mengundurkan diri dari pemuda yang gagah itu.
233
Sementara itu, ketika Lee Ing memainkan Hwie-sian-liong-kiam-sut yang ia pelajari dari Lo Sin, tak kuatlah Giam Sui bertahan lebih lama lagi. Ia terdesak hebat dan gerakan goloknya menjadi kacau-balau.
Lee Ing tidak mau memberi hati, dan ketika gerakan golok lawan agak terlambat, cepat sekali pedangnya menyambar dan sambil berseru keras kepala rampok itu roboh dengan lengan tangan terbabat putus. Ia roboh pingsan dan goloknya terbang entah ke mana.
Bukan maih terkejutnya para perampok melihat hal ini dan mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan pemuda pemudi pendekar itu, minta diampuni jiwa mereka.
“Kalian ini laki-laki yang masih muda dan kuat, mengapa mengambil jalan sesat? Mulai sekarang, robahlah jalan hidupmu dan jadilah orang baik-baik. Jangan kalian berani mengganggu penduduk kota dan desa lagi. Kalau lain hari kalian sampai melakukan kejahatan lagi dan bertemu dengan kami, jangan mengharap kalian akan mendapat ampun!” kata Lo Sin dengan sikap mengancam.
Setelah memberi ancaman kepada sisa-sisa penjahat, Lo Sin lalu mengajak Lee Ing dan pemikul tandu itu untuk kembali ke Hai-kun, dan di sepanjang jalan tiada hentinya pemikul tandu itu menuturkan sepak-terjang sepasang pendekar itu hingga para penduduk merasa girang sekali, dan mereka mengikuti Lo Sin dan Lee Ing sampai di gedung Ong-tihu.
Pembesar ini menyambut mereka dengan segala kehormatan dan ketika ia mendengar penuturan pemikul tandu tentang kehebatan sepak-terjang Lo Sin dan Lee Ing, saking terharunya Ong-tihu sambil menangis memeluk Lo Sin. Juga Ong-hujin dan Lan Im memeluki Lee Ing sambil menangis karena girang. Terutama Lan Im merasa kagum melihat Lee Ing dan gadis ini memandang Lo Sin dengan penuh perasaan terima kasih dan kagum.
Ketika Lo Sin membalas memandang mata gadis cantik itu, terkejutlah dia karena sinar mata gadis itu mengandung penuh pernyataan hati yang hanya dapat dimengerti oleh dia yang terpandang.
Dengan hati kurang enak, Lo Sin lalu berpamit kepada kedua orang tua itu untuk kembali ke hotel karena besok pagi akan melanjutkan perjalanan. Ong-tihu terkejut mendengar ini.
“Taihiap, mengapa begitu? Kau dan adikmu harus tinggal dulu beberapa hari di sini agar memberi kesempatan kepada kami untuk menyatakan terima kasih kami!” Demikian juga Ong-hujin mencegah dan menahan mereka.
“Ong-taijin,” kata Lo Sin, “pekerjaan yang kami lakukan itu semata-mata hanyalah tugas kewajiban kami sebagai orang-orang yang memiliki sedikit kepandaian dan sama sekali tidak perlu dibalas dengan terima kasih. Setiap orang mempuyai tugas di bidang masing-masing dan kalau kami dihujani terima kasih dan pembalasan budi, hal itu hanya akan menodai tugas kami.”
Ong-tihu merasa kagum mendengar ini dan sebetulnya iapun bukan semata hendak membalas dan menyatakan terima kasih, akan tetapi diam-diam mempunyai maksud lain! Ia melihat betapa pemuda ini selain tampan dan sopan-santun, juga gagah perkasa dan kalau saja ia dapat mengambil mantu pemuda ini, ia tidak akan merasa penasaran selama hidupnya!
234
“Taihiap, kata-katamu memang benar dan sebetulnya akupun tidak berhak menahan ji-wi di sini. Akan tetapi, bagaimana kalau anak buah perampok itu datang melakukan pembalasan kepada kami? Siapa yang akan membela kami apabila ji-wi sudah pergi meninggalkan kota ini? Setidaknya, tinggallah di sini barang tiga hari lagi, agar hati kami dan semua penduduk Hai-kun menjadi tenang dan tenteram.”
“Sin-ko, permintaan Ong-taijin ini pantas dan kurasa tiada buruknya kalau kita tinggal dua atau tiga hari lagi di sini,” kata Lee Ing sehingga terpaksa Lo Sin menghela napas dan tidak dapat menolak lagi! Keluarga Ong menjadi girang sekali, bahkan Lan Im memeluk Lee Ing dengan girang dan menarik gadis itu untuk bermalam di kamarnya bersama dia!
Sikap keluarga Ong amat baiknya sehingga diam-diam Lo Sin dan Lee Ing merasa girang dan berterima kasih, dan mereka merasa kerasan tinggal di rumah gedung yang besar dan indah itu. Lan Im menjadi kawan baik mereka dan tidak jarang gadis ini bersama Lo Sin dan Lee Ing bercakap-cakap di dalam taman, bahkan kadang-kadang Lan Im bermain yang-kim mengiringi suara suling Lo Sin!
Pada suatu senja, ketika mereka bertiga berada di dalam taman, Lo Sin mainkan suling dan Lan Im mainkan yang-kim, tiba-tiba datang Ong-hujin yang mengajak pergi Lee Ing karena ada sesuatu yang penting hendak dibicarakan. Lo Sin yang merasa sungkan dan malu berada berdua saja dengan Lan Im yang sinar matanya menyatakan perasaan hatinya yang mesra, lalu mengundurkan diri ke dalam kamarnya.
Ketika tidak lama kemudian Lee Ing keluar dari gedung dan menuju ke taman, ia mendapatkan Lan Im duduk seorang diri sambil melamun. Mereka bercakap-cakap sebentar dan kemudian Lee Ing dengan muka merah dan mata berapi-api lalu mencari Lo Sin di dalam kamarnya.
Ia menjenguk ke dalam dan melihat Lo Sin yang berpakaian seperti seorang pelajar sedang duduk membaca buku yang banyak terdapat di gedung itu.
“Hm, memang kau pantas betul tinggal di gedung ini. Biarlah, aku besok pergi seorang diri. Selamat tinggal!” kata Lee Ing.
Lo Sin terkejut sehingga buku yang dipegangnya jatuh dari tangannya.
“Ing-moi!” katanya, tetapi Lee Ing pergi dengan cepat. Ia lalu melompat dan mengejar Lee Ing yang sudah masuk ke dalam kamar sendiri.
“Ing-moi, tunggu dulu!” katanya, akan tetapi dengan muka merengut dan marah sekali, Lee Ing berdiri membelakanginya.
“Eh, eh, Ing-moi! Apakah yang telah terjadi? Tiada hujan tiada angin kau mengamuk dan marah-marah!”
Akan tetapi Lee Ing tidak menjawab, tangan kanan menggerakkan ujung jari mengusap sebutir air mata yang menitik turun di atas pipinya dan tangan kiri dikepal untuk menyatakan kegemasannya.
235
“Ing-moi, ibuku juga seringkali marah-marah tidak karuan, akan tetapi selalu ia mengatakan segala urusan dengan terang-terangan hingga apa saja dapat diurus dengan baik. Kalau kau diam saja, bagaimana aku bisa tahu apa yang mengganggu pikiranmu?”
Lee Ing cepat membalikkan tubuh dan memandang wajah Lo Sin dengan mulut yang masih cemberut. Pemuda itu nampak cakap sekali dalam pakaian pelajar hingga sebagian besar nafsu marah di hati Lee Ing melenyap!
Kemudian, ia menuturkan bahwa tadi ia dipanggil oleh Ong-hujin yang menyatakan bahwa keluarga Ong itu bermaksud mengambil Lo Sin menjadi mantunya dan dijodohkan dengan Lan Im. Hal ini saja sudah membuat Lee Ing merasa tidak enak hati, akan tetapi ketika ia menuju ke taman dan bertemu dengan Lan Im gadis cantik itu tanpa malu-malu mengatakan bahwa ia mencintai Lo Sin!
Lan Im menganggap bahwa Lee Ing adalah adik Lo Sin, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menyatakan perasaan hatinya ini! Tentu saja Lee Ing tidak dapat marah-marah kepada gadis yang tidak tahu apa-apa itu, dan semua kemendongkolan dan kemarahannya ditumpahkan kepada Lo Sin seorang!
Pemuda ini terkejut sekali mendengar penuturan Lee Ing, kemudian ia menghela napas. “Ing-moi, ingatkah kau mengapa aku kemarin dulu mengatakan keberatan untuk tinggal di sini? Aku telah dapat menduga hal ini dari sinar mata Ong-siocia.”
“Bukankah senang sekali dicintai oleh seorang seperti Lan Im? Cantik jelita, pandai main yang-kim, kaya raya, mau apalagi? Sin-ko, kau terima sajalah pinangan mereka dan biar aku merantau seorang diri!”
Lo Sin tersenyum. Ia maklum bahwa hati Lee Ing, berkata lain, maka ia lalu memegang kedua tangan gadis itu dan berkata. “Ing-moi, tidak ada wanita di dunia ini yang melebihi kau! Kita minggat saja malam ini agar jangan sampai menghadapi kesulitan terlebih jauh!”
Dan pada keesokan harinya, ketika pelayan datang hendak menyediakan air dan makan pagi, ternyata kedua orang muda itu telah pergi dari situ dan hanya meninggalkan sepotong kertas yang ditulisi dengan dua huruf berbunyi:
“Terima kasih!”
Tentu saja hal ini membuat keluarga Ong menjadi kecewa sekali, terutama nona Lan Im.
Kurang lebih dua bulan kemudian, pada suatu pagi yang cerah, delapan orang dengan ilmu berjalan cepat mendaki Bukit Hoa-mo-san. Mereka ini bersikap gagah sekali dan kalau orang mengenal mereka, maka ia tentu takkan merasa heran mengapa orang-orang ini nampak demikian gagah dan ilmu lari cepat mereka demikian tinggi sehingga melalui jalan yang demikian sukar, berbatu-batu, di sana-sini menghalang batu karang dan banyak jurang-jurang yang dalam akan tetapi mereka berlari bagaikan berjalan di atas jalan rata yang enak saja!
Yang berjalan terdepan adalah sepasang suami isteri berusia kurang lebih empatpuluh tahun. Yang wanita berpakaian serba putih, akan tetapi pada rambutnya yang masih nampak gemuk dan indah halus itu terhias setangkai bunga teratai merah, pedang yang gagangnya dironce benang emas
236
nampak tergantung pada punggungnya, langkahnya tetap dan kuat akan tetapi ringan sekali, sepasang matanya membayangkan keberanian dan kegembiraan yang luar biasa.
Inilah Ang Lian Lihiap Han Lian Hwa, si Teratai Merah yang namanya amat terkenal di kalangan kang-ouw, dihormati kawan disegani lawan! Di sisinya berjalan suaminya yang masih nampak cakap dan gagah, dengan kumis dan jenggot teratur rapi dan terawat, tubuhnya tegap berisi dan sinar matanya tajam tapi bibirnya membayangkan kelembutan hati. Juga pada punggungnya tersembul gagang pedang. Laki-laki gagah perkasa ini adalah Hwee-thian Kim-hong Lo Cin Han si Burung Hong Terbang yang kegagahannya bahkan mengatasi isterinya sendiri!
Di belakang mereka nampak sepasang suami isteri lain yang usianya sebaya, juga nampak gagah perkasa. Yang wanita sungguhpun telah berusia hampir empatpuluh tahun, akan tetapi sikapnya masih lemah-lembut dan tubuhnya langsing sekali, dengan kulit mukanya yang putih halus dan sikapnya yang agung itu orang akan mengira bahwa ia baru berusia duapuluh tahun ke atas.
Akan tetapi langkah kakinya mengagumkan orang karena ginkangnya ternyata telah amat tinggi sehingga rumput yang diinjaknya seakan-akan tidak rebah! Pada pinggangnya sebelah kiri tergantung sebatang pedang pendek dengan ronce-ronce hijau.
Inilah Coa Giok Lie yang masih sumoi (adik seperguruan) dari Ang Lian Lihiap. Di sebelahnya berjalan suaminya, yakni Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek si Garuda Kuku Emas, tokoh persilatan yang menggemparkan kalangan kang-ouw belasan tahun yang lalu! Sungguhpun Nyo Tiang Pek nampaknya lebih tua dari Lo Cin Han raut mukanya seakan-akan dibayangi kedukaan, namun pendekar ini masih nampak gagah perkasa.
Di belakang dua pasang suami isteri yang lihai ini, masih nampak empat orang lain yang tidak kalah gagahnya. Mereka ini adalah Song Kong Liang yang cakap dan Song Mei Ling adiknya yang cantik jelita itu, sepasang saudara yang berkepandaian tinggi, cucu dan murid pendekar wanita tua Song Cu Ling! Nampak juga Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan si Pendekar Aneh Tangan Delapan yang bermuka lucu dan aneh itu, bersama muridnya yang cantik manis, yakni Kim-gan-eng si Garuda Bermata Emas!
Kalau ada orang yang mengenal mereka dan melihat mereka mendaki Bukit Hoa-mo-san, tentu orang itu akan berdiri bengong saking kagumnya melihat betapa orang-orang gagah itu mendaki bukit dengan demikian cepat dan mudahnya.
Delapan orang pendekar tua muda ini mendaki Hoa-mo-san untuk memenuhi perjanjian Ang Lian Lihiap dengan Lan Bwee Niang-niang yang hendak mengadakan pertandingan pi-bu (adu kepandaian) di puncak Hoa-mo-san seperti yang pernah terjadi pada duapuluh tahun yang lalu!
Ketika rombongan orang gagah ini tiba di puncak Bukit Hoa-mo-san, dari jauh mereka melihat sebuah pertempuran hebat sedang berlangsung di depan kuil tempat tinggal Lan Bwee Niang-niang. Seorang pemuda dan seorang dara sedang dikeroyok hebat oleh empat orang.
Melihat gerakan pedang pemuda itu, tanpa ragu-ragu lagi Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong berseru berbareng.
“Sin-ji……!”
237
Juga Kim-jiauw-eng Nyo Tiang Pek dan Coa Giok Lie berseru terkejut dan girang.
“Lee Ing……!!”
Mereka berempat melompat ke depan dan berlari cepat ke arah tempat itu sehingga sebentar saja mereka telah mendahului kawan-kawan lain.
Memang yang sedang bertempur itu adalah Lo Sin yang dikeroyok dua oleh Bong Cu Sianjin dan Hek Li Su-thai. Dan dara yang dikeroyok dua pula adalah Lee Ing yang bertempur menghadapi Lui Tik Kong dan Bi Mo-li murid Hek Li Su-thai yang cantik dan cabul.
Bagaimanakah mereka berdua ini dapat sampai di puncak Bukit Hoa-mo-san dan bertempur dengan hebat melawan Bong Cu Sianjin dan kawan-kawannya? Marilah kita mengikuti sebentar pengalaman-pengalaman Lee Ing dan Lo Sin yang membawa mereka sampai ke tempat itu.
Sebagaimana telah diketahui, setelah hampir saja dipungut mantu oleh keluarga Ong yang baik hati, Lo Sin dan Lee Ing “melarikan diri” dari gedung itu dan melanjutkan perjalanan mereka. Tujuan perjalanan mereka hanya satu, yakni mencari dan menemukan Lui Tik Kong.
Mereka mendengar dari orang-orang kang-ouw betapa terdapat permusuhan antara orang-orang Kun-lun-pai dengan Nyo Tiang Pek yang dituduh membunuh seorang murid Kun-lun-pai dengan pedang Ceng-lun-kiam. Bukan main terkejutnya hati Lee Ing mendengar ini, akan tetapi Lo Sin menghiburnya.
“Aku tidak percaya bahwa ayahmu melakukan perbuatan ini. Karena, menurut cerita orang-orang kang-ouw, pembunuhan itu dilakukan di tengah malam dan ayahmu tidak menampakkan diri, hanya meninggalkan pedang yang masih menancap di dada murid Kun-lun-pai itu. Biarpun aku belum mengenal betul keadaan ayahmu, akan tetapi melihat kau saja, aku yakin bahwa ayahmu takkan berlaku pengecut seperti itu. Pasti bukan dia pembunuhnya.”
“Akupun merasa sangsi,” kata Lee Ing. “Tidak biasanya ayah demikian kejam untuk membunuh orang dengan serampangan saja. Pula, untuk menghadapi seorang anak murid Kun-lun-pai, agaknya tidak perlu ayah harus mencabut Ceng-lun-kiam. Dan andaikata benar telah dicabutnya, tidak mungkin pula ayah akan meninggalkan pedang pusaka itu di dada orang yang dibunuhnya, dan seperti pendapatmu tadi, lebih tidak mungkin kalau ayah harus melarikan diri hanya karena peristiwa itu saja!”
“Ini tentu perbuatan Tik Kong!” tiba-tiba Lo Sin berkata dengan suara tetap. “Ayahmu telah kena terjebak oleh kelicinan dan kepalsuan pemuda keparat itu. Kalau bukan Tik Kong, siapa lagi yang dapat menerima atau mengambil pedang Ceng-lun-kiam dari ayahmu?”
Tiba-tiba Lee Ing yang berdiri di dekatnya menepuk bahu pemuda itu dengan keras sehingga Lo Sin melompat kaget dan merasa pundaknya pedas.
“Eh, eh, apa kau tiba-tiba menjadi mabuk?” tanyanya dengan mata terbelalak.
238
“Maaf, koko. Saking gemasku sampai aku lupa bahwa yang kutepuk bukan si buaya Tik Kong, akan tetapi kau!” jawab Lee Ing sambil tersenyum sehingga Lo Sin juga tertawa bergelak karena geli.
“Lain kali lihat-lihat dulu kalau mau turun tangan kalau kau menggunakan Gin-san-ciang, apakah kau tidak kecewa melihat aku mati karena pukulanmu? Sebetulnya apakah yang mengganggu pikiranmu tadi sehingga tiada hujan tiada angin kau menjadi gemas?”
“Ucapanmu tadi yang membuat aku merasa gemas sekali kepada pemuda she Lui yang palsu itu. Memang benar sekarang aku yakin bahwa pembunuhan itu pasti dilakukan olehnya. Celaka, ayah telah kena ditipu sehingga pedang Ceng-lun-kiam diberikan kepadanya……” Lee Ing menarik napas panjang dengan sedih.
“Jangankan baru pedangnya, bahkan puteri tunggalnyapun akan diberikan,” kata Lo Sin. “Ing-moi, tidak perlu kau bersedih. Ayahmu melakukan kesalahan-kesalahan bukan karena dorongan watak jahat, akan tetapi oleh karena ayahmu masih merasa yakin bahwa Tik Kong adalah seorang pemuda baik-baik yang berada di pihak benar. Coba saja kau bayangkan, menurut dugaan ayahmu, aku adalah seorang suami yang curang dan tidak setia, seorang hidung belang yang sengaja memikatmu dan membawa kau kabur. Bukankah itu perbuatan yang amat hina? Tentu saja ayahmu marah sekali kepadaku atau kepadamu. Sudahlah, sekarang yang paling penting kita harus berusaha untuk menemukan pemuda jahat itu, baru semua perhitungan dapat dibayar lunas dan segala kesalahpahaman di pihak ayahmu akan menjadi terang.”
Di sepanjang jalan, Lo Sin pandai sekali menghibur hati Lee Ing sehingga gadis itu timbul kembali sifatnya yang periang dan jenaka.
Pada suatu hari mereka tiba di kota Man-sang-koan, dan ketika sedang berjalan di dalam kota, tiba-tiba mereka melihat Tik Kong. Lee Ing menjadi marah sekali dan hendak segera menerjang, akan tetapi Lo Sin menarik lengannya dan mengajaknya bersembunyi.
“Sabar dulu, Ing-moi!” bisik Lo Sin. “Kulihat hwesio yang berjalan bersama dia, kalau tidak salah adalah Ciang Ham Hosiang dari Go-bi-pai. Apakah kehendak bangsat itu mendekati ketua Go-bi-pai ini?”
Memang benar, yang berjalan bersama Tik Kong adalah seorang wanita yang berwajah cantik dan bermata genit, yakni Bi Mo-li murid Hek Li Su-thai, dan seorang hwesio gemuk pendek yang bermata tajam. Mereka berjalan dan keluar dari kota itu, terus diikuti dari jauh oleh Lo Sin dan Lee Ing.
Tiba-tiba Lo Sin dan Lee Ing makin terheran ketika melihat bahwa dari lain jurusan terdapat dua orang tosu tua lain, yang juga sedang mengikuti rombongan Tik Kong itu. Dan ketika Tik Kong dan kawan-kawannya tiba di sebuah kelenting tua di luar kota Man-sang-koan dan hendak masuk, tiba-tiba dua orang tosu itu melompat dengan gerakan yang mengagumkan hati Lo Sin dan Lee Ing.
“Lui Tik Kong pembunuh keji, kau menyerahlah kepada kami untuk dibawa ke Kun-lun-san!” Teriak seorang diantara mereka yang segera menyerang dengan gerakan cepat hendak menyambar tangan Tik Kong.
239
Lui Tik Kong terkejut sekali dan segera mengelak sambil melompat ke samping, akan tetapi tosu dari Kun-lun-pai itu dengan luar biasa cepatnya telah melanjutkan serangannya dengan cengkeraman Eng-jiauw-kang ke arah pundaknya.
Hwesio pendek gemuk tadi lalu berseru. “Omitohud!” dan sekali ia menggerakkan ujung lengan bajunya mengebut, maka ia berhasil menangkis cengkeraman ke arah pundak Tik Kong itu sehingga pemuda itu terlepas dari bahaya.
“Bukankah sahabat ini Ciang Ham Hosiang dari Go-bi-pai?” tanya tosu penyerang tadi dengan penasaran. “Jangan kau ikut campur urusan kami!” katanya pula tidak senang.
Ciang Ham Hosiang tawa bergelak. “Ha-ha-ha, toyu (sahabat) tahanlah nafsumu. Pinceng (aku) paling suka mencampuri urusan penasaran. Kalau toyu hendak mencelakakan orang, terpaksa pinceng turun tangan.”
Tosu itu menjadi marah sekali dan segera menyerang dengan kepalannya yang ditangkis oleh Ciang Ham Hosiang sehingga mereka saling serang dengan hebat, sedangkan tosu yang seorang lagi lalu menyerang Tik Kong. Serangan ini hebat sekali datangnya sehingga Tik Kong dan Bi Mo-li terkejut. Mereka maklum bahwa orang-orang Kun-lun-pai ini tentu takkan mau mengampuni Tik Kong, maka mereka berdua lalu mengeroyok tosu itu yang segera mencabut pedang dan mendesak dengan hebatnya.
Lo Sin yang melihat betapa Tik Kong berada dalam bahaya, merasa khawatir kalau-kalau pemuda itu terbunuh oleh tosu itu, karena ia ingin menangkap musuh besarnya itu hidup-hidup untuk dipaksa membuat pengakuan atas segala dosa-dosanya agar ia dapat menyakinkan kepada Nyo Tiang Pek akan perbuatan-perbuatan rendah dari pemuda itu. Maka ia lalu melompat keluar dan pedangnya menahan pedang tosu itu.
“Tahan dulu, totiang! Bangsat muda ini adalah orang tangkapanku!”
Tosu itu menjadi marah sekali karena menyangka bahwa seperti juga hwesio dari Go-bi-pai itu, pemuda inipun bermain-main dan menghalanginya membalas dendam kepada Tik Kong, maka tanpa banyak cakap lagi ia lalu menyerang Lo Sin dengan pedangnya!
Sementara itu, Tik Kong yang melihat kedatangan Lo Sin, merasa seakan-akan semangatnya terbang meninggalkan raganya, maka ia segera memberi tanda kepada Bi Mo-li dan kabur dari tempat itu secepatnya! Lee Ing juga mengejar ke tempat itu dan melihat Lo Sin bertempur melawan tosu itu, ia menjadi marah dan berkata. “Harimau-harimau berkelahi memperebutkan kelinci, tak tahunya kelinci diam-diam telah lari pergi!”
Teringatlah semua orang kepada Tik Kong dan ketika mereka memandang, pemuda itu ternyata telah pergi entah ke mana.
Kini mereka saling pandang dan Ciang Ham Hosiang lalu menegur dengan senyum melebar. “Eh, eh, tidak tahunya Ouw-yan-cu yang terbang ke sini!”
Lo Sin menjura dengan hormat. “Apakah Ciang Ham Lo-suhu banyak baik?”
240
Kedua orang tosu itu memandang kepada Lo Sin dengan kagum, “Ah, kiranya inikah yang disebut si Walet Hitam? Telah lama pinto mendengar namamu yang besar, akan tetapi mengapa sicu datang-datang menempur kami?” tanya seorang di antara yang bertempur melawan Lo Sin tadi.
“Sesungguhnya bukan siauwte membela bangsat itu, karena siauwte memang justru mencari-carinya untuk menawannya, maka siauwte khawatir kalau-kalau orang lain mendahului siauwte. Siauwte dapat menduga bahwa ji-wi totiang (bapak pendeta berdua) tentu hendak menangkapnya karena peristiwa pembunuhan seorang anak murid Kun-lun-pai yang menggunakan pedang Nyo lo-enghiong itu?”
Kedua orang tosu yang menjadi tokoh-tokoh dari Kun-lun-pai itu mengangguk. “Dan mengapa pula sicu mencari dan hendak menangkapnya?”
Lo Sin lalu menuturkan semua kejahatan Tik Kong, semenjak pemuda itu membunuh Kong Sin Ek sampai tentang kejahatan Tik Kong menipu Nyo Tiang Pek sehingga terjadi salah paham yang besar dan mengacaukan, pula tentang kejahatan Tik Kong yang hendak mencelakakan banyak orang gagah.
Kedua orang tosu itu menarik napas.
“Kalau begitu, kau lebih berhak menangkapnya. Kami serahkan saja kepadamu sicu, dan kalau sudah berhasil harap memberi kabar. Kami takkan merasa puas sebelum mendengar tentang terhukumnya penjahat itu!” Kemudian kedua orang tosu itu menghadapi Ciang Ham Hosiang yang mendengarkan semua percakapan ini dengan mata terbelalak dan muka berubah merah.
“Ciang Ham Hosiang, kalau pinto berdua boleh bertanya, mengapa pula lo-suhu sampai suka membantu seorang yang demikian jahatnya?”
Hwesio itu menjadi bingung dan tidak tahu harus menjawab bagaimana. Ia merasa malu sekali dan akhirnya menjawab juga setelah menarik napas panjang beberapa kali.
“Ah, tidak kusangka bahwa pemuda yang begitu tampan dan sopan bisa sejahat itu! Ia mengarang cerita bohong, menjelek-jelekkan nama Ang Lian Lihiap dan Hwee-thian Kim-hong dan mengajukan permohonan agar supaya pinceng membantunya dalam pi-bu yang hendak diadakan di puncak Hoa-mo-san!”
Setelah berkata demikian, Ciang Ham Hosiang berkali-kali minta maaf kepada kedua tosu dan juga kepada Lo Sin. Mereka lalu berpisahan dan Lo Sin bersama Lee Ing lalu cepat melakukan pengejaran.
Ternyata bahwa Tik Kong dan Bi Mo-li terus melarikan diri dengan cepat, dan akhirnya mereka sampai di Hoa-mo-san. Akan tetapi Lo Sin dan Lee Ing mengejar terus dan biarpun maklum bahwa kedua orang itu berada dalam sarang mereka sendiri, namun Lo Sin dan Lee Ing tidak menjadi gentar dan terus mengejar ke atas!
Kebetulan sekali, Bong Cu Sianjin dan Hek Li Su-thai juga sudah kembali ke puncak Hoa-mo-san, mempersiapkan diri untuk pi-bu, maka alangkah marah mereka ketika mendengar dari Bi Mo-li dan Tik Kong betapa kedua orang yang dulu memisahkan diri dari mereka untuk mencari bantuan di
241
jurusan itu, dikejar-kejar oleh Lo Sin dan Lee Ing. Mereka berdua dengan diikuti oleh Tik Kong dan Bi Mo-li lalu keluar dan menyambut kedatangan Lo Sin dan Lee Ing dengan senjata di tangan. Maka terjadilah pertempuran hebat. Lo Sin yang lihai dikeroyok dua oleh Bong Cu Sianjin dan Hek Li Su-thai, sedangkan Lee Ing dengan gagah berani menghadapi Tik Kong dan Bi Mo-li.
Pada saat Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya tiba di situ, dari dalam kuil itupun keluarlah Hek-siauw-mo Khu Mo In dan Lan Bwee Niang-niang. Baik Lo Sin dan Lee Ing maupun Bong Cu Sianjin, Hek Li Su-thai dan Tik Kong, menahan senjata masing-masing dan melompat mundur.
Lan Bwee Niang-niang merangkapkan kedua tangan dan melangkah maju.
Sementara itu Lee Ing berlari dan menubruk ibunya dengan suara tangisnya yang mengharukan, Ialu berlutut di depan ayahnya. Lo Sin juga berlari dan berlutut di depan ayah ibunya yang mengangkatnya bangun dengan kata-kata menghibur.
Sebaliknya Nyo Tiang Pek lalu memeluk puterinya dan berbisik, “Anakku, kau maafkanlah ayahmu yang gelap pikiran.”
“Ayah......” Lee Ing membalas bisikan ayahnya sambil memandang dengan air mata mengucur dan mulut tersenyum.
“Hwee-thian Kim-hong dan Ang Lian Lihiap, dan juga kau Kim-jiauw-eng! Selamat datang di tempatku yang buruk ini. Apakah benar bahwa kalian ini masih berdarah panas dan hendak memamerkan kepandaian di tempat pinni?” kata Lan Bwee Niang-niang setelah menjura memberi hormat.
“Lan Bwee Niang-niang, harap diingat bahwa bukan kami yang menantang,” kata Lian Hwa.
“Dan bukan kami pula yang selalu mencari permusuhan!” kata Cin Han.
“Ha, ha, juga bukan pihak kami yang selalu melakukan kejahatan!” Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan ikut bicara.
“Hem, agaknya Pat-chiu Koai-hiap juga ingin menjual kepandaian di sini,” kata Lan Bwee Niang-niang dengan suara dingin. “Sebetulnya saja, untuk apakah kita bersama harus saling bermusuhan? Pinni telah lama mencuci tangan dan tidak menghiraukan urusan dunia, akan tetapi hari ini kalian sengaja datang untuk mengadu tenaga dengan pinni yang sudah amat tua dan yang tinggal menanti maut datang mencabut nyawa pinni saja. Apakah kalian tak dapat menghormati orang yang sudah tua?”
“Lan Bwee Niang-niang,” kata Nyo Tiang Pek, “kami bukan sekali-kali mencari permusuhan. Adalah anak muridmu yang selalu mencari kami dan menimbulkan kerusuhan. Apakah kau tidak tahu bahwa Hek Li Su-thai dan Bong Cu Sianjin selalu mencari-cari kami dan mengganggu anak-anak kami? Apakah kau tidak tahu bahwa murid-murid dan adikmu itu bahkan telah membela seorang bangsat serendah-rendahnya yang bernama Lui Tik Kong? Kalau memang hendak mencuci tangan dari segala urusan dunia, kauserahkan pemuda bangsat itu kepadaku, dan aku akan pergi dari sini tanpa mengganggumu lagi!”
242
Setelah berkata demikian, Nyo Tiang Pek menunjukkan pandangan matanya kepada Lui Tik Kong dan pandangan matanya ini mengeluarkan cahaya kemarahan sedemikian hebat sehingga semua orang merasa ngeri karena mata pendekar tua itu membayangkan ancaman maut yang hebat, mengandung perasaan benci dan marah yang sudah melewati takaran.
Lan Bwee Niang-niang juga terkejut melihat pandangan mata ini, maka sambil mengerling ke arah Tik Kong, ia berkata,
“Kim-jiauw-eng, pinni tidak mengenal pada dia ini dan hanya tahu bahwa dia adalah kawan-kawan Bong Cu dan Ceng Hwa yang hendak memperkuat pihak kami. Tidak tahu kesalahan apakah yang telah dilakukannya?”
“Kesalahan apa? Hm, entah kebiadaban apa saja yang telah dilakukan oleh manusia itu! Yang kuketahui saja sudah banyak.
“Pertama ia telah membujuk Kong Sin Ek si Dewa Arak hingga ia dapat dijadikan muridnya dan kemudian ia menganiaya gurunya sendiri itu hingga binasa! Kedua ia telah membunuh seorang pesuruhku hanya untuk merampas surat Ang Lian Lihiap dan kemudian mengubah isi surat.
“Ketiga ia telah menipuku dan memikat dengan jalan curang hingga selain ia dapat menipuku yang menganggapnya sebagai seorang pemuda baik-baik, juga ia telah berhasil mengadu-domba aku dengan Ang Lian Lihiap. Keempat ia telah bersekutu dengan orang-orang jahat dan pernah mencoba menawan puteriku dan bahkan hendak menawan Kim-gan-eng dan Mei Ling dengan pertolongan Bong Cu! Hal-hal ini saja sudah cukup untuk menjadi alasan bagiku untuk menjatuhkan hukuman mati empat kali kepadanya!”
Mendengar semua ini, Lan Bwee Niang-niang tak terasa pula lalu berpaling ke arah Tik Kong dan bertanya dengan suara keren.
“Benarkah semua tuduhan ini?”
Tik Kong tidak berani menjawab hanya menundukkan kepalanya.
“Benarkah?” tanya lagi Lan Bwee Niang-niang.
Tiba-tiba Bong Cu Sianjin tertawa bergelak. “Ha, ha, ha, ha! Nyo Tiang Pek berlaku pengecut dan hanya berani mendesak anak muda yang tidak mau dijadikan mantunya! Ha, ha!”
Terdengar seruan keras sekali dan tahu-tahu Nyo Tiang Pek telah melompat maju ke arah Tik Kong dan mengirim pukulan Gin-san-ciang yang luar biasa.
“Mampuslah kau jahanam!” teriaknya.
Tik Kong terkejut dan tak kuasa mengelak. Bong Cu Sianjin mencoba untuk menangkis dengan sebuah tendangan kilat, akan tetapi dengan tangan kanannya Nyo Tiang Pek menyampok tendangan itu ke samping dan tangan kirinya masih melanjutkan serangannya ke arah Tik Kong.
243
Pemuda ini mencoba untuk menahan dengan kedua tangannya, akan tetapi ia menjerit keras dan terlempar sampai empat kaki lebih ke belakang lalu roboh dengan mulut mengalirkan darah merah! Pemuda itu berkelojotan beberapa kali. kemudian mengeluh dan nyawanya melayang ke neraka!
Melihat kematian Tik Kong, tiba-tiba Bi Mo-li menjerit dan ia menerjang kepada Nyo Tiang Pek dari belakang! Hek Li Su-thai hendak menghalangi muridnya akan tetapi Bi Mo-li yang sudah menjadi mata gelap itu, tidak memperdulikan cegahan gurunya, lalu menusuk punggung Nyo Tiang Pek dengan pedang sedangkan kebutannya menyambar ke arah leher pendekar itu!
Nyo Tiang Pek hanya membuat dua gerakan, yakni memutar kakinya sehingga tubuhnya ikut memutar dan mengerahkan kedua tangan ke depan sambil berseru. “Pergilah!”
Ternyata ia telah mempergunakan Gin-san-ciang yang hebat sehingga tidak saja pedang dan kebutan Bi Mo-li terlepas dari pegangan, bahkan tubuh wanita itupun terpental dan jatuh bergulingan dalam keadaan pingsan! Akan tetapi Nyo Tiang Pek hanya mempergunakan tenaga untuk melemparkannya saja dan tidak melukainya, karena kalau ia bermaksud kejam tentu wanita itupun telah mati seperti halnya Tik Kong!
“Tiang Pek manusia kejam!” teriak Bong Cu Sianjin dengan marah sekali dan hendak menyerang, sedangkan Nyo Tiang Pek telah bersiap sedia dan menantang, “Bong Cu si buntung! Kau kenal arti kejam? Ha, ha, kau majulah!”
Akan tetapi Lan Bwee Niang-niang mencegah Bong Cu dan berkata.
“Sute, jangan! Kematian Tik Kong adalah sudah wajar karena dia telah melakukan banyak dosa. Dia bukan anak murid kita, untuk apa kita pusingkan kepala untuknya? Marilah kita mengadakan pembicaraan dengan kepala dingin.” Kemudian ia berkata kepada Ang Lian Lihiap.
“Ang Lian Lihiap, pinni tidak suka kalau terjadi pertumpahan darah seperti dulu. Kematian pemuda ini biarlah kuanggap bukan urusanku dan kalian boleh membawa pergi mayatnya! Akan tetapi, jangan kalian anggap bahwa pinni jerih untuk mengadu tenaga. Sekarang begini saja, biarlah sekali lagi diadakan pi-bu yang berdasarkan mengadu kepandaian semata. Tiap orang di pihakku maju satu kali, demikianpun pihakmu! Dan orang-orang yang kepandaiannya masih rendah janganlah ikut-ikut maju mencari celaka! Bagaimana pendapatmu tentang usulku ini?”
Ang Lian Lihiap tersenyum. “Kami selalu siap sedia mengiringi kehendakmu.”
Dari pihak Lan Bwee Niang-niang lalu melompat maju Hek Li Su-thai yang sudah marah sekali melihat kematian Tik Kong. Nyo Tiang Pek yang dipandang dengan mata benci oleh Hek Li Su-thai sudah bersiap menghadapinya akan tetapi Lan Bwee Niang-niang berkata, “Kim-jiauw-eng telah turun tangan membinasakan seorang lawan, masih belum puaskah?”
Pendeta wanita ini masih melihat api kebencian bersinar di dalam mata Nyo Tiang Pek dan melihat pula sinar mata yang timbul dari dendam hebat di mata muridnya, maka ia sengaja mencegah Nyo Tiang Pek turun tangan karena ia ragu-ragu apakah muridnya itu akan kuat menghadapi si Garuda Kuku Emas yang lihai.
244
Tiba-tiba terdengar suara tertawa terkekeh-kekeh dan Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan melompat maju menghadapi Hek Li Su-thai. “Biarlah kita main-main lagi sebentar untuk menyambung permainan kita dulu yang tidak dilanjutkan,” katanya.
Hek Li Su-thai maklum akan kelihaian Oei Gan, maka dia lalu mencabut keluar sepasang pedangnya yang bercahaya hitam dan hijau. Oei Gan tertawa geli dan berkata, “Hek Li Su-thai, biarlah aku merasai ketajaman kedua pedangmu!” Sambil berkata demikian, Oei Gan dengan tangan kosong menghadapi Hek Li Su-thai dengan sikap memandang rendah sekali.
Hek Li Su-thai marah dan segera berseru sambil menyerang hebat. Oei Gan memperlihatkan ketangkasannya dan pendekar tua yang berpakaian sederhana ini lalu mempergunakan ujung lengan bajunya untuk dipergunakan sebagai senjata. Sampokan ujung lengan bajunya ini lihai sekali karena tiap kali pedang di tangan Hek Li Su-thai kena disampok, maka Hek Li Su-thai merasa betapa telapak tangannya tergetar hebat.
Pertempuran berjalan ramai sekali dan akhirnya dengan ujung lengan bajunya Oei Gan berhasil membelit sebuah pedang di tangan kanan Hek Li Su-thai. Hek Li Su-thai mencoba untuk membetot pedangnya akan tetapi ternyata pedangnya seakan-akan lengket dengan ujung baju Oei Gan. Hek Li Su-thai lalu menusuk dengan pedang kirinya ke arah perut lawan hingga Oei Gan berseru.
“Kejam!” lalu ia menggunakan tangan kirinya secepat kilat mengetuk pergelangan tangan Hek Li Su-thai hingga terdengar suara “krek!” dan Hek Li Su-thai menjerit keras terus terhuyung ke belakang dengan muka pucat karena menahan rasa sakit. Ternyata bahwa tulang lengannya telah patah oleh ketukan hebat itu.
Bong Cu Sianjin marah sekali dan setelah melompat ke depan ia lalu berseru, “Ang Lian Lihiap majulah dan mari kita menentukan kepandaian siapa yang lebih tinggi!”
Ang Lian Lihiap lalu menggerakkan tubuhnya dan tahu-tahu ia telah berdiri di depan Bong Cu Sianjin sambil tersenyum.
“Cabutlah pedangmu!” seru Bong Cu Sianjin marah.
“Bong Cu! Untuk melayani lawan bertangan kosong saja aku tak sudi mempergunakan pedang, apalagi melayani kau, mana aku ada muka untuk melayanimu dengan pedang di tangan?”
Bong Cu Sianjin marah sekali karena dulu, duapuluh tahun yang lalu, ketika ia masih belum buntung dan masih mainkan senjatanya yang lihai, setelah mengeroyok dengan Nyo Tiang Pek dan Cin Han, barulah Ang Lian Lihiap dapat mendesaknya. Maka kini biarpun ia tak berlengan lagi, ia menganggap bahwa apabila pendekar wanita ini bertangan kosong, ia takkan kalah. Sambil berseru nyaring ia lalu menerjang dengan tendangan kakinya yang dahsyat.
Ang Lian Lihiap berlaku hati-hati sekali karena ia maklum akan kehebatan lawan. Ia mempergunakan kelincahan tubuhnya dan seperti ketika Lo Sin menghadapi Bong Cu dulu dengan gin-kangnya yang tinggi ia dapat mempermainkan lawannya. Ia berkelit ke sana ke mari dan kadang-kadang mengirim serangan yang tak kalah hebatnya, hingga Bong Cu Sianjin merasa terkejut sekali karena tak disangkanya bahwa pendekar wanita ini kepandaiannya telah maju demikian hebatnya sehingga
245
jangankan sekarang, biarpun andaikata ia tidak buntung, belum tentu ia dapat menangkan pendekar wanita itu.
Setelah bertempur dengan hebat sekali lebih dari limapuluh jurus, tiba-tiba Ang Lian Lihiap berseru keras dan tubuhnya berkelebat sedemikian cepatnya sehingga tahu-tahu tubuhnya telah berada di belakang lawan! Ketika Bong Cu Sianjin cepat membalikkan tubuh, tahu-tahu Ang Lian Lihiap telah melompat pula ke sebelah kanannya.
Ketika Bong Cu mengirim tendangan menyamping Ang Lian Lihiap lalu memperlihatkan ketangkasannya. Ia hanya sedikit miringkan tubuh dan ketika kaki itu menyambar, secepat kilat ia mendorong kaki itu ke atas dan mengirim tendangan balasan ke arah lutut Bong Cu Sianjin yang sebelah lagi!
Bong Cu terkejut dan mengerahkan lweekangnya. Ia berhasil menahan tendangan Ang Lian Lihiap sehingga tidak sampai terluka, akan tetapi kerasnya tendangan ini membuat tubuhnya terpental dan jatuh bergulingan beberapa kali! Dengan wajah merah Bong Cu Sianjin berdiri dan hendak maju menyerang lagi, akan tetapi Lan Bwee Niang-niang mencegahnya. “Kau sudah kalah, Bong Cu!” katanya.
“Bagus, bagus! Kepandaian Ang Lian Lihiap lihai sekali!” tiba-tiba Hek-siauw-mo Khu Mo In, saudara seperguruan Bong Cu Sianjin berkata dan melompat ke depan. “Biarlah aku ikut bermain-main untuk melatih kaki tangan!”
Cin Han dan Lian Hwa maklum akan kelihaian orang ini, maka ketika Kong Liang hendak melompat maju Cin Han mencegahnya dan berkata. “Kong Liang, orang gagah ini bukanlah lawanmu! Biarkan aku menghadapinya!”
Hek-siauw-mo Khu Mo In adalah seprang ahli lweekeh yang berkepandaian cukup tinggi, maka andaikata Kong Liang yang maju, dalam beberapa puluh jurus saja, tentu Kong Liang akan dapat dirobohkannya. Maka kini dalam menghadapi Cin Han, ia tidak berlaku sungkan lagi karena iapun telah mendengar dari Bong Cu bahwa kepandaian Hwee-thian Kim-hong ini luar biasa tangguhnya!
Ia mendengar pula bahwa kehebatan Cin Han terletak dalam ilmu pedangnya Hwie-sian-liong-kiam-sut, maka telah direncanakan lebih dulu untuk menghadapi Cin Han atau Lian Hwa dengan tangan kosong hingga mereka ini tiada kesempatan lagi untuk mempergunakan ilmu pedang.
Khu Mo In lalu menyerang dengan pukulan-pukulan berat karena semua tenaga pukulannya adalah tenaga khikang yang tinggi. Anginnya saja ketika menyambar pakaian Cin Han membuat pakaian itu berkibar bagaikan tertiup angin maka dapat diduga kehebatannya kalau pukulan itu mengenai tubuh. Akan tetapi Cin Han bukanlah seorang lemah dan ia sudah mempunyai pengalaman bertempur puluhan tahun hingga ia dapat menghadapi lawan ini dengan tabah dan tenang.
Ternyata bahwa kepandaian mereka berimbang, sama tangguh dan kuat! Hanya Cin Han yang telah memperdalam ilmu gin-kangnya dari isterinya, dalam hal kecepatan tubuh masih menang sedikit. Hal ini merupakan keuntungan baginya dan ia yang mengerti akan hal ini tidak mau menyia-nyiakan keuntungan ini dan menyerang dengan secepat kilat.
246
Seratus jurus lebih telah lewat dan ke duanya masih dalam keadaan berimbang. Pada saat pukulan Khu Mo In melayang ke arah pundak kanannya, Cin Han lalu cepat membalas dengan pukulan Garuda Sakti Menyambar Hati memukul ke dada lawan!
Dan pukulan Cin Han datang lebih cepat hingga ketika keduanya terkena pukulan, Cin Han hanya terhuyung mundur dengan napas berat dan muka pucat, akan tetapi Khu Mo In terpelanting ke belakang dan roboh. Sampai beberapa lama baru ia dapat merayap bangun dengan muka pucat dan luka di dalam dada, ia lalu menjura kepada Cin Han dan berkata,
“Hwee-thian Kim-hong sungguh gagah! Aku mengaku kalah!” Cin Han juga membalas dengan menjura memuji lawannya.
Melihat betapa pihaknya telah kalah, Bong Cu Sianjin marah sekali dan ia segera berseru. “Hai, Bun Gai! Kau di manakah.......?”
Memang semenjak tadi ia tidak melihat pemuda muridnya yang diandalkannya itu. Harus diketahui bahwa Yap Bun Gai telah mewarisi seluruh kepandaian suhunya dan karena ia masih muda dan kuat, maka boleh dibilang ia malah lebih lihai daripada Bong Cu Sianjin sendiri!
Setelah sekali Bong Cu Sianjin memanggil dengan suara berteriak, terdengar suara Bun Gai menjawab dan tak lama kemudian datanglah pemuda itu, dengan pakaian masih berlumuran lumpur dan di pundaknya terpanggul sebatang cangkul. Ternyata bahwa pemuda ini agaknya baru pulang dari bekerja di sawah.
“Bun Gai, muridku. Kita kedatangan tamu-tamu agung, kau majulah mengadakan penyambutan!” kata Bong Cu Sianjin kepada muridnya.
Pemuda itu melempar cangkulnya dan menghadapi Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya dengan muka sedih dan memandang penuh keraguan.
“Nah, muridku telah maju, siapa dari pihakmu yang hendak melayani?” teriak Bong Cu Sianjin kepada Ang Lian Lihiap.
Tiba-tiba Mei Ling tanpa berkata sesuatu lalu melompat maju di depan Bun Gai sambil memandang tajam dan bertanya, “Kau…… kau benar-benar mengajukan diri?”
Kedua mata Bun Gai memandang dengan sayu dan mukanya pucat ketika ia mengeraskan hati menjawab. “Kebaktian murid terhadap guru.”
“Baik, akulah lawanmu!” teriak Mei Ling dengan isak tertahan dan gadis ini lalu mencabut pedang dan menyerang hebat.
“Mei Ling……!” Kong Liang juga berseru untuk mencegah adiknya, akan tetapi Mei Ling tidak memperdulikan itu semua dan menyerang terus dengan ganas.
Bun Gai tidak mau melawan dan seperti dulu, ia hanya mengelak saja. Dia terus diserang dan didesak oleh pedang Mei Ling akan tetapi Bun Gai benar-benar hebat kepandaiannya. Biarpun ginkang Mei
247
Ling sudah tinggi, namun serangan-serangannya yang berbahaya itu dapat dihindarkan Bun Gai dengan mudah. Sampai seratus jurus lebih Mei Ling mendesak.
“Bun Gai, balaslah……!” teriak Bong Cu Sianjin dengan gemas melihat keadaan muridnya. Ia tadinya telah merasa girang oleh karena kali ini pihaknya pasti akan menang. Tidak tahunya, muridnya ini sama sekali tidak mau membalas.
Mendengar perintah gurunya, Bun Gai berkelahi sambil menjawab. “Suhu, teecu tidak dapat melukainya.”
“Bodoh! Serang dia, itukan lawanmu!”
“Tak mungkin, suhu. Teecu...... tidak mau melukainya.”
Tiba-tiba terdengar Bong Cu menggeram keras. “Bangsat besar! Kau...... kau…… mencinta musuh?”
Bun Gai tidak menjawab dan Bong Cu Sianjin lalu melompat dan mengirim tendangan kepada muridnya itu. Pemuda itu terpental dan jatuh berguliran, akan tetapi sedikitpun tidak menderita luka. Ia bahkan menjatuhkan diri berlutut.
“Bangsat tak kenal budi! Jadi kau cinta kepada nona pihak musuh ini? Hm, tahulah aku sekarang, kau seorang rendah tidak setia.”
“Susiok, dulupun aku pernah memberi tahu padamu. Yang menolong dan melepaskan kedua nona tawanan itu tentulah bangsat ini!” kata Hek Li Su-thai.
“Bangsat betul!” kembali Bong Cu memaki dan mengangkat kakinya mengirim tendangan lagi ke arah tubuh Bun Gai yang sedang berlutut. Pemuda itu mengerahkan lweekangnya dan menutup jalan darah sehingga ketika tendangan tiba dan mengenai tubuhnya, maka tubuhnya hanya terpental sampai bergulingan, akan tetapi tidak menderita luka berat.
Bong Cu Sianjin memburu dan hendak mengirim tendangan lagi, kini ditujukan ke arah lambung muridnya, akan tetapi pada saat itu, Mei Ling maju menerjang Bong Cu sambil berseru. “Jangan kau bunuh dia!”
Bong Cu makin marah dan menendang ke arah Mei Ling, akan tetapi tiba-tiba Bun Gai melompat dan menggunakan tangan kanan menangkis tendangan ini hingga Bong Cu terhuyung ke belakang. “Kau…… kau membela dia dan berani melawan aku?” teriaknya.
“Suhu, tak seorangpun boleh mengganggu dia!”
Bong Cu Sianjin marah sekali dan hendak menyerang lagi, akan tetapi Lan Bwee Niang-niang lalu mencegah dari berkata. “Sute, jangan kau turun tangan terhadap murid sendiri! Muridmu ini berbakat baik, juga memiliki pribudi tinggi. Kalau kau menuruti nasihatku, Bong Cu, kaurangkaplah jodoh muridmu dengan nona ini karena pinni lihat keduanya memang sudah berjodoh. Lebih baik permusuhan ini diakhiri dengan persahabatan dan kekeluargaan.”
248
“Aku harus bunuh dia!” Bong Cu berkeras dan melompat maju lagi untuk menyerang Bun Gai dan Mei Ling. Akan tetapi Lan Bwee Niang-niang bergerak cepat dan tahu-tahu ia telah menghadang di depan sutenya.
“Jangan, sute! Pinni yang melarang kau berbuat demikian!”
“Kau, suci……? Kau juga memusuhiku?” Kedua mata Bong Cu Sianjin terbelalak dan terputar-putar karena marah dan kecewanya. Kemudian ia menerkam dan menyerang Lan Bwee Niang-niang dengan tendangan kilat!
Lan Bwee Niang-niang mengebutkan lengan bajunya dan ketika ujung lengan baju itu menyampok kaki Bong Cu yang menendang, tubuh pendeta buntung itu terlempar jauh! Dapat diukur betapa hebat dan tingginya kepandaian pendeta ini sehingga Ang Lian Lihiap dan kawan-kawannya yang melihat ini menjadi kagum sekali.
Sebaliknya Bong Cu yang merasa tak mungkin dapat memenangkan sucinya, karena kecewa dan menyesal, lalu berteriak-teriak seperti orang gila, kemudian ia lari dan melempar dirinya ke dalam jurang yang curam!
Lan Bwee Niang-niang menghela napas. “Biarlah pinni yang banyak dosa dan yang sudah tua ini melakukan perbuatan terakhir yang baik. Bun Gai, bagaimana kalau sekarang juga pinni melamar nona ini untukmu?”
Bun Gai berlutut di depan Lan Bwee Riang-niang dan menjawab perlahan. “Teecu hanya menurut perintah Niang-niang.”
Lan Bwee Niang-niang lalu berkata kepada Ang Lian Lihiap, “Ang Lian Lihiap sekalian, dengan tewasnya adikku Bong Cu, maka pinni menyatakan bahwa semua pertikaian yang pernah ada dianggap habis dan jangan sampai terulang lagi. Pinni akan mendidik anak muridku agar menjadi orang-orang baik. Cuwi telah menyaksikan sendiri peristiwa tadi, maka dengan jalan ini pinni sekalian hendak mengajukan usul agar supaya Bun Gai dijodohkan dengan nona yang gagah ini. Bagaimana pikiran cuwi?”
Ang Lian Lihiap menjura dan tersenyum. “Niang-niang, memang semenjak dulu aku telah mempunyai niat untuk menjodohkan mereka, maka dengan adanya pinangan resmi dari Niang-niang, tentu saja kami menyatakan syukur dan terima kasih.”
“Bagus, bagus. Mulai sekarang takkan ada permusuhan yang menjemukan lagi,” kata Hwee-thian Kim-hong yang kemudian berkata kepada Nyo Tiang Pek. “Dan kesempatan inipun kugunakan untuk mengulangi lamaranku terhadap puterimu, Nyo-twako! Aku meminang Lee Ing untuk Lo Sin!”
Tiang Pek tertawa bergelak dan berkata. “Bangsat rendah Tik Kong telah mampus di tanganku hingga hatiku puas sekali. Soal pinanganmu itu, semenjak dulupun tentu aku terima dengan senang kalau tidak ada kecurangan yang dilakukan Tik Kong. Baiklah pinangan itu kuterima dan terima kasih kepada kau suami isteri yang berbudi!”
249
Ang Lian Lihiap tersenyum girang. “Akupun masih hendak melakukan sebuah hal yang baik lagi. Semua orang telah menjadi perantara yang beruntung, maka sekarang aku tujukan kepada Pat-chiu Koai-hiap Oei Gan untuk meresmikan ikatan jodoh antara adikku Kong Liang dengan muridnya Bwee Hwa!”
“Mereka telah bertukar pedang, masih kurang resmi apa lagi?” kata Oei Gan sambil tertawa.
Semua orang bergembira, hanya keenam anak muda yang bersangkutan tak berani memperlihatkan kegembiraan mereka, dan hanya terdiam dengan kepala tunduk dan muka merah!
Beberapa bulan kemudian, di rumah Ang Lian Lihiap, dilangsungkan upacara pernikahan tiga pasang mempelai itu dengan perayaan yang cukup meriah dan bergembira ria. Ratusan orang tamu dari berbagai tempat datang untuk memberi selamat kepada tiga pasang mempelai yang bahagia itu dan dengan pesta pernikahan yang meriah itu berakhirlah sudah cerita “Ouw-yan-cu” ini yang sesungguhnya merupakan rangkaian cerita Ang Lian Liehiap dan Si Walet Hitam.
TAMAT
alysa, http://indozone.net/literatures/literature/1574
29 April jam 6:31am


Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru