Kamis, 19 April 2018

Rajawali Emas 3 Khopinghoo

-----
baca juga
Kun Hong dibawa terbang jauh sekali oleh rajawali emas. Semenjak pergi meninggalkan Lu-liang-san
burung ajaib ini tidak mau kembali lagi dan selama itu ia terbang dan tinggal di tempatnya yang lama, yaitu
di puncak sebuah bukit yang tak pernah didatangi manusia.
Kadang-kadang ia meninggalkan tempatnya ini. Tidak seperti dulu ketika masih dipelihara oleh Kwa Hong,
sekarang ia bebas lepas dan bisa pergi ke mana saja ia suka. Kebetulan sekali ia bertemu dengan Kun
Hong.
Binatang ini memang amat mengenal budi orang. Sekali saja orang sudah melepas budi kepadanya, ia
tentu akan membalasnya dengan penuh kesetiaan. Akan tetapi sebaliknya, kalau ia disakiti, ia pun akan
membenci yang menyakitinya.
Tanpa disengaja Kun Hong sudah memberi katak putih yang segera dikenal dan ditelan oleh burung ajaib
ini, dan karena itu selamatlah ia dari racun hebat yang melukai kakinya. Pertolongan ini membuat dia
sangat suka dan setia kepada Kun Hong dan sekarang dia hendak membawa pemuda itu terbang ke
tempat tinggalnya, di puncak sebuah bukit yang pada jaman dahulu dikenal sebagai Bukit Kepala Naga.
Puncak ini disebut Kepala Naga karena bentuknya dilihat dari barat memang menyerupai bentuk kepala
naga.
Kun Hong tidak tahu ke mana ia sedang dibawa oleh burung itu. Anehnya, pada waktu tengah hari dan
malam, burung itu selalu berhenti di sebuah hutan dan tanpa diminta lagi lalu mencarikan buah-buahan
yang segar dan enak untuk pemuda itu. Tentu saja Kun Hong girang sekali mendapatkan kawan yang baik.
Apa lagi selamanya dia tidak pernah turun gunung, sekarang begitu turun gunung ia mengalami hal-hal
yang amat aneh.
Biar pun ayahnya adalah Kwa Tin Siong dan juga menjadi ayah Kwa Hong, namun Kun Hong belum
pernah diceritakah mengenai kakak perempuannya lain ibu itu, maka ia pun tak pernah mendengar tentang
adanya rajawali emas. Para tosu Hoa-san-pai yang sudah dipesan keras oleh Kwa Tin Siong, tidak ada
yang pernah bercerita tentang peristiwa yang mencemarkan nama baik Ketua Hoa-san-pai itu. Andai kata
ia pernah mendengar tentang Kwa Hong yang datang menyerbu ke Hoa-san-pai naik rajawali emas,
kiranya pemuda ini akan dapat mengenal burung itu.
Setelah lewat lima hari, tibalah burung rajawali emas itu ke puncak gunung Kepala Naga. Ia menukik ke
bawah dan Kun Hong pun merangkul leher burung, mencengkeram kalung mutiara itu sambil meramkan
matanya. Ia merasa ngeri sekali melihat betapa dia dibawa burung itu meluncur turun, seakan-akan hendak
ditumbukkan kepada jurang-jurang dan batu-batu yang menanti di bawah, jurang-jurang yang menganga
laksana mulut harimau dan batu-batu meruncing seperti ujung pedang dan golok.
Setelah burung itu hinggap di atas tanah barulah ia berani membuka sepasang matanya. Alangkah
herannya pada saat ia melihat bahwa burung rajawali itu telah berdiri di depan sebuah goa yang bentuknya
seperti mulut naga.
Goa batu itu amat lebar dan dalam, letaknya di depan jurang yang sangat terjal sehingga kalau bukan
burung yang pandai terbang, manusia biasa kiranya tidak mungkin sanggup mendatangi tempat ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemandangan alam dari tempat itu, dari depan goa itu, alangkah indahnya, seakan-akan dunia terletak di
bawah kaki goa.
Kun Hong segera melompat turun dari punggung rajawali. Ia mendekati goa, akan tetapi tidak berani
masuk karena ia merasa seakan-akan sedang berdiri di depan tempat tinggal seseorang sehingga ia tidak
berani masuk begitu saja tanpa perkenan si pemilik tempat tinggal! Namun tiba-tiba burung itu
mengeluarkan suara perlahan dan dari belakangnya burung itu pelan-pelan mendorong punggungnya,
seakan-akan hendak menyuruh pemuda itu memasuki goa.
Melihat letak goa itu yang demikian sulit untuk didatangi manusia, Kun Hon lalu menduga bahwa goa itu
tidak mungkin didiami oleh manusia, dan karena itu dia lalu memasukinya. Ia terheran-heran melihat
bahwa di dalam goa itu terbagi menjadi tiga, yaitu bagian depan dan di sebelah dalam terdapat dua buah
ruangan tertutup. Pintunya juga merupakan pintu batu, akan tetapi bentuknya jelas adalah buatan manusia!
Dengan hati berdebar-debar ia mendorong pintu batu di sebelah kiri. Akan tetapi betapa pun ia
mengerahkan tenaga, pintu batu itu bergerak sedikit pun tidak! Tiba-tiba terdengar burung itu bersuara di
belakangnya, lalu dengan sayap kanannya burung itu mendorong perlahan dan... pintu batu itu terbuka!
"Tiauw-ko, kau benar-benar kuat sekali!" Kun Hong memuji dan makin berdebar hatinya ketika ia
melangkah masuk.
"Locianpwe (sebutan untuk orang tua yang pandai) atau arwahnya yang mulia, harap sudi mengampuni
kelancanganku ini," katanya dengan bisikan perlahan.
Mulailah ia merasa seram karena di dalam kamar batu ini ia melihat ada sebuah meja sembahyang!
Tempat lilin yang amat kuno terletak di kanan kiri ujung meja dan di atas dua tempat lilin ini masih
tertancap dua batang lliin merah. Lilin-lilin itu tak menyala, akan tetapi sisa-sisa lilin yang meleleh bekas
terbakar masih kelihatan seakan-akan baru saja dipadamkan. Ketika Kun Hong mendekati, tampak nyata
olehnya bahwa lilin sudah lama sekali tidak dinyalakan orang, buktinya di atasnya terdapat banyak sarang
laba-laba. Di tengah-tengah meja kelihatan sebuah kitab yang tebal dan sudah tua sekali.
Ketika melihat sebuah kitab kuno, bukan main girangnya hati Kun Hong. Ingin segera dia menyambar kitab
itu untuk dibacanya, akan tetapi karena sejak kecil ia dijejali pelajaran dan tata-susila, ia tidak berani
melakukan hal itu.
Karena keinginannya melihat buku itu amat keras, ia segera menjatuhkan dirinya berlutut di depan meja
sembahyang lalu berkata keras-keras,
"Locianpwe pemilik kitab di atas meja, harap sudi memberi perkenan kepada teecu untuk mengambilnya
dan membaca isinya." Berkali-kali ia mengucapkan kata-kata ini sambil membentur-benturkan jidatnya
pada lantai untuk memberi hormat kepada pemilik kitab yang tidak diketahuinya siapa dan yang ia tidak
tahu masih hidup ataukah sudah mati itu.
Ketika sedang berlutut dan mengangguk-anggukkan kepalanya di atas lantai depan meja sembahyang itu,
matanya melihat ukiran-ukiran huruf kecil-kecil di bawah meja. Ukiran huruf-huruf itu sedemikian kecilnya
sehingga apa bila orang tidak mengangguk-anggukkan kepala sampai jidatnya menyentuh lantai kiranya
takkan dapat melihatnya.
Tidak akan ada huruf-huruf yang terlewat begitu saja oleh sepasang mata Kun Hong yang selalu haus akan
bacaan, apa lagi kalau huruf-huruf itu berada di tempat yang begitu aneh dan goresan huruf-huruf itu amat
indahnya. Ia segera membacanya,
Dapat masuk berarti jodoh. Dapat membaca berarti tahu sopan santun dan murid yang baik. Untuk
mengambil kitab singkirkan dahulu anak-anak panah di bawah meja. Setelah hafal kitab baru ambil pedang
di kamar semedhi.
Beberapa kali Kun Hong membaca tulisan kecil-kecil itu dan ia merasa seakan-akan surat itu ditujukan
kepadanya! Setelah jelas akan pesan di dalam surat berukir yang aneh itu, ia lalu melongok ke bawah
meja.
Dan betul saja, di bawah meja itu tersembunyi tiga batang anak panah yang dipasangi per sehingga kalau
ada orang mengambil kitab di atas meja itu, per akan menggerakkan tiga batang anak panah tadi yang
dunia-kangouw.blogspot.com
tentu akan tertendang dan menyerang orang yang berdiri di depan meja. Karena anak-anak panah itu akan
menyerang dari bawah meja, kiranya tak mungkin orang akan dapat menghindarkan penyerangan gelap
yang amat dekat ini.
Kun Hong bergidik. Dia cepat-cepat mengulur tangan mengambil tiga batang anak panah itu. Tercium bau
yang harum dan di ujung tiga batang anak panah itu berwarna hijau. Pemuda ini dapat menduga bahwa
ujung anak panah itu tentu diberi racun yang amat berbahaya.
Dengan jijik ia lalu menaruh ketiga batang anak panah itu di atas meja, lalu ia memberi hormat lagi sambil
berkata, "Terima kasih atas kepercayaan dan petunjuk Locianpwe."
Ia lalu mengulurkan tangan mengambil kitab kuno itu dari tengah meja dan pada saat itu terdengarlah
jepretan per di bawah meja. Biar pun sudah dapat menduga akan hal ini dan sudah yakin bahwa anak
panah itu sudah ia singkirkan, namun kaget jugalah Kun Hong mendengar jepretan ini.
Dilihatnya bahwa di bawah kitab tadilah yang menghubungkan per-per itu sehingga apa bila kitab diambil
per-per itu bekerja di bawah meja. Ah, kalau tadi ia berlaku lancang dan langsung saja mengambil kitab itu,
sudah dapat dipastikan bahwa berbareng pada saat terdengar suara menjepret, ia akan roboh telentang
dengan tiga anak panah tertancap di perutnya! Dengan kitab di tangan, Kun Hong cepat-cepat memberi
hormat lalu keluar dari kamar itu.
Setibanya di ruangan depan, ternyata rajawali emas telah menantinya dan burung ini telah memperoleh
banyak sekali buah-buahan, malah di antaranya terdapat seekor kelinci yang sudah mati.
"Aduh, kau mendapatkan kelinci gemuk? Sayang, Tiauw-ko, bagaimana kita akan dapat memakannya?"
Burung itu lalu mendorong Kun Hong ke pojok ruangan di mana terdapat sebuah batu halus rata berbentuk
meja. Di situ bertumpuk rumput-rumput kering dan dengan paruhnya burung luar biasa ini mengambil
sedikit rumput kering, di taruhnya di atas meja. Kemudian ia menggerakkan kepalanya, paruhnya yang
runcing dan keras seperti baja itu memukul pinggir meja dan... bunga api berpijar.
Kun Hong girang sekali dan pemuda yang cerdik ini segera dapat menangkap maksud si burung. Ia cepatcepat
mengambil rumput kering lagi dan menaruh dekat pinggiran meja. Beberapa kali burung itu memukul
batu itu dengan paruhnya hingga akhirnya bunga api menyentuh rumput kering dan terbakarlah rumput itu.
Dengan cara demikian Kun Hong dapat membuat api unggun dan dapat memanggang daging kelinci.
Setelah makan dan perutnya kenyang, pemuda itu mulai membuka-buka lembaran kitab kuno tadi. Pada
lembar pertama terdapat tulisan dengan huruf-huruf besar yang berbunyi: SALINAN IM YANG BU TEK CIN
KENG.
Karena tidak tahu apa artinya Im-yang Bu-tek Cin-keng, Kun Hong membuka lembaran ke dua dan segera
ia amat tertarik membaca tulisan yang bersifat keluhan dan penjelasan. Tulisan itu berbunyi demikian,
‘Telah bertumpuk dosa-dosaku. Ratusan orang sudah kubunuh dengan anggapan bahwa itu adalah
perbuatan baik karena yang kubunuh adalah orang-orang yang kuanggap jahat, Anggapan yang sesat! Aku
tidak mampu memberi kehidupan, lalu bagaimana aku berhak mengakhiri kehidupan? Aku sangat berdosa!
Mengandalkan kepandaian untuk membunuh sesama manusia, betapa pun jahat si manusia itu, bukanlah
perbuatan baik, melainkan perbuatan jahat pula.’
Sampai di sini Kun Hong menarik napas panjang, lalu mengangguk-angguk. Betul sekali Locianpwe ini,
soal mati dan hidup manusia bukanlah urusan manusia, melainkan Yang Maha Kuasa. Membunuh orang
lain, bukankah itu namanya melancangi dan mendahului Tuhan? Sayang, agaknya Locianpwe ini baru
sadar setelah dia melakukan pembunuhan ratusan kali. Ia membaca terus tulisan yang merupakan
permulaan isi kitab itu.
‘Im-yang Bu-tek Cin-keng adalah kitab yang mengandung pelajaran ilmu silat sakti, tiada duanya di dunia
ini. Orang macam aku mana dapat menyalinnya? Pengertianku terbatas dan salinanku tentu banyak yang
menyeleweng. Karena itu aku hanya menyalin apa yang kuketahui saja dan kucampur dengan gerakangerakan
burungku rajawali emas. Karena itu maka ilmu di dalam kitab ini kuberi nama Kim-tiauw-kun (Ilmu
Silat Rajawali Emas). Muridku yang membaca kitab ini harus bersumpah dalam hatinya bahwa ke satu dia
tidak boleh membunuh sesama manusia dengan alasan apa pun juga. Ke dua dia tidak boleh
dunia-kangouw.blogspot.com
mempergunakan ilmu ini untuk menyerang orang. Ke tiga ilmu Kim-tiauw-kun ini hanya untuk membela diri
dari serangan orang, serta hanya terbatas untuk mengalahkan lawan saja.’
Kun Hong makin tertarik. "Bagus," pikirnya. "Inilah ilmu yang baik sekali. Aku sendiri paling benci melihat
pembunuhan antara sesama manusia. Kalau aku dapat mempelajari ilmu ini, kiranya aku akan mampu
mencegah orang-orang berkepandaian main hakim sendiri membunuhi orang sesuka hati. Kalau ada orang
jahat, aku dapat gunakan kepandaian ini untuk mengalahkannya dan menangkapnya untuk diserahkan
kepada yang berwajib agar dijatuhi hukuman. Bagus sekali! Locianpwe, teecu bersumpah akan memenuhi
semua syarat itu."
Semenjak saat itu, dengan tekun Kun Hong membaca kitab yang berisi pelajaran ilmu silat sakti itu. Sama
sekali ia tidak pernah menduga bahwa secara tak sengaja atau sadar ia telah mewarisi ilmu silat yang
bukan main hebatnya, yang hanya setaraf dengan Im-yang Sin-hoat karena dari satu sumber. Ia tidak tahu
pula siapa gurunya, siapa penulis kitab itu yang hanya menandainya dengan tiga buah huruf berbunyi ‘BU
BENG CU’ yang artinya ‘TIADA NAMA’!
Di samping membaca kitab Kim-tiauw-kun ini, tidak lupa Kun Hong yang dengan girang mendapat
kenyataan bahwa tiga buah kitab milik Yok-mo masih berada di saku jubahnya, membaca pula tiga buah
kitab pengobatan itu. Pengetahuannya tentang perjalanan darah yang secara lengkap tertulis dalam kitab
Yok-mo, memperlancar pengertiannya terhadap isi kitab Kim-tiauw-kun.
Kun Hong memang memiliki kecerdasan luar biasa. Dalam waktu setahun lebih saja ia sudah mampu
membaca habis empat buah kitab itu, tidak hanya membaca habis, malah sudah dapat menghafalnya di
luar kepala! Tentu saja, ilmu silat tidak dapat disamakan dengan ilmu pengobatan yang cukup dihafal,
melainkan harus dilatih dalam praktek.
Oleh karena di dalam kitab Kim-tiauw-kun itu terdapat peringatan bahwa si murid harus betul-betul
menyempurnakan latihan gerakan kaki, maka Kun Hong juga melatih dirinya dalam gerakan ini, dalam
langkah-langkah ajaib yang kadang-kadang membuat kepalanya pening dan mau muntah-muntah.
Baiknya kalau ia sedang bergerak seperti itu, burung rajawali sambil mengeluarkan suara girang tentu
mendekatinya lalu bergerak-gerak persis seperti langkah-langkah di dalam pelajaran itu, sengaja memberi
contoh kepadanya! Bukan main girangnya hati Kun Hong dan mulai saat itu ia selalu berlatih bersama
burung rajawali emas.
Orang yang menamakan dirinya Bu Beng Cu dan yang menyalin ilmu silat itu, sebenarnya adalah orang
sakti yang menyembunyikan dirinya di tempat ini karena merasa menyesal sekali akan pembunuhanpembunuhan
terhadap orang-orang jahat yang sudah banyak ia lakukan. Bu Beng Cu ini telah mewarisi
sebagian dari ilmu silat yang terdapat dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Setelah tua dan menyesali perbuatannya, Bu Beng Cu membawa burung peliharaannya ke puncak
Gunung Kepala Naga ini, menyembunyikan diri dan menuliskan sari dan pokok dari semua ilmu yang dia
miliki. Bu Beng Cu terus tinggal di tempat itu sampai kemudian ia meninggal dunia dengan hanya ditemani
burungnya yang setia.
Tentu saja setelah majikannya meninggal, burung itu merasa kesepian dan akhirnya ia terbang dari tempat
itu sampai ia berjumpa dengan Kwa Hong dan dipelihara oleh Kwa Hong. Betapa pun juga, burung ini
mempunyai perasaan atau naluri yang tajam.
Agaknya ia maklum bahwa Kwa Hong dan kemudian puteranya Sin Lee bukanlah orang yang memiliki budi
luhur, maka tidak ia bawa mengunjungi goa di puncak Gunung Kepala Naga itu. Barulah setelah ia bertemu
dengan Kun Hong, segera perasaan atau nalurinya menyatakan kepadanya bahwa pemuda inilah yang
paling tepat untuk dihadapkan kepada peninggalan majikan tuanya.
Waktu satu setengah tahun bukanlah waktu lama untuk orang yang belajar. Akan tetapi, satu setengah
tahun di dalam goa di puncak gunung yang tak pernah dikunjungi manusia, benar-benar membuat Kun
Hong berubah menjadi manusia lain! Ilmu langkah ajaib itu ia sudah hafal benar sehingga dalam latihanlatihan,
biar pun burung rajawali itu menyerang dirinya dengan hebat, namun tak pernah dapat menyentuh
ujung bajunya.
Tidak hanya dalam ilmu silat, akan tetapi juga dalam pengertiannya tentang pengobatan, membuat ia
seakan-akan terbuka mata batinnya akan diri manusia. Dari pelajaran ini ia seakan-akan lebih mengenal
dunia-kangouw.blogspot.com
dirinya sendiri, lebih mengenal manusia pada umumnya, tidak hanya lahiriah, akan tetapi mendalam
sampai ke jalan darahnya, sampai kepada alat-alat terkecil dalam tubuh. Semua pengertian baru ini ia
gabungkan dengan pelajaran yang banyak ia dapatkan dahulu tentang kebatinan, tentang kehidupan,
sehingga pemuda yang baru berusia dua puluh tahun ini sekarang memiliki pandangan yang amat tajam
tentang diri manusia.
Setelah hafal benar akan isi kitab Kim-tiauw-kun, barulah Kun Hong berani menghampiri pintu kamar ke
dua di dalam goa itu. Seperti pintu pertama, pintu ke dua ini pun terbuat dari batu yang tebal dan berat.
Akan tetapi, alangkah jauh bedanya dengan satu setengah tahun yang lalu, dengan sekali dorong saja Kun
Hong dapat membuka daun pintu yang tebal itu!
Sama sekali ia tidak menjadi girang atau bangga dengan hal ini, karena sesungguhnya ia sudah tidak ingat
lagi betapa dahulu tanpa bantuan rajawali emas, tidak mungkin ia dapat membuka pintu ini. Semua ini
adalah hasil latihannya dalam semedhi dan pernapasan, sesuai dengan petunjuk dalam kitab Kim-tiauwkun
itu.
Tenaga dalamnya telah bangkit dan bergerak tanpa ia sadari. Hawa sakti dalam tubuh telah ada di dalam
diri tiap manusia, hanya saja hawa ini seakan-akan tertidur karena semenjak kecil sampai mati tua,
sebagian besar manusia di dunia ini kerjanya hanya mengumbar hawa nafsunya belaka.
Kun Hong yang sudah mengangkat sebelah kaki untuk melangkah memasuki kamar ke dua itu, mendadak
menahan kakinya karena mendengar burung rajawali yang berdiri di belakangnya mengeluarkan suara
aneh sekali. Seakan-akan burung itu bersusah hati dan menangis. Ketika ia menengok ke belakang,
burung itu menggeleng-gelengkan kepala beberapa kali lalu mencoba untuk menggigit baju Kun Hong dan
menariknya mundur.
"Jangan Tiauw-ko. Bagaimana pun juga aku harus memasuki kamar ini, sesuai dengan petunjuk
Locianpwe bahwa setelah aku hafal akan isi kitab, aku boleh masuk ke sana dan mengambil pedang.
Bukan sekali-kali karena aku ingin sekali memiliki pedang, ah, bukan, Tiauw-ko. Bagiku, sebatang pedang
apalah artinya? Untuk apa pula? Akan tetapi karena Locianpwe sudah memesan, mana aku berani
membangkang?"
Sesudah berkata demikian dan menghindarkan diri dari gigitan patuk burung itu, dengan tabah Kun Hong
melangkah memasuki kamar yang agak gelap itu. Begitu masuk ia pun tertegun dan memandang dengan
mata terbelalak ke depan.
Di ujung kamar itu terdapat sebuah kursi batu dan di atas kursi batu ini duduk sebuah... kerangka manusia!
Tengkorak manusia ini masih utuh dan sepasang lubang bekas mata itu seolah-olah tengah memandang
padanya. Tangan kanan kerangka ini mencengkeram sebatang pedang yang bersinar kemerahan.
Dari kaget Kun Hong berbalik menjadi terharu. Inikah kiranya Bu Beng Cu, gurunya yang meninggalkan
kitab itu? Tanpa ragu-ragu lagi Kun Hong melangkah maju lagi, kemudian menjatuhkan dirinya berlutut di
depan kerangka itu.
"Locianpwe, alangkah buruknya nasibmu, sampai meninggal pun tidak ada orang yang menguburmu..."
Ia terpaksa menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba lantai yang diinjaknya bergoyang-goyang keras.
Cepat ia meloncat bangun dan tiba-tiba dari sebelah kanannya menyambar anak panah! Kun Hong cepat
menggeser kakinya, menarik tubuh untuk menghindarkan diri dari ancaman maut itu. Akan tetapi terdengar
lagi suara…
"Ser-ser-ser!" dan banyak anak panah menyambarnya dari empat jurusan, sementara itu lantai masih
bergoyang-goyang.
Kun Hong maklum bahwa keadaannya berbahaya sekali. Ia segera memusatkan pikiran dan kedua kakinya
cepat bergerak-gerak dalam langkah ajaib, tubuhnya bergerak-gerak dalam Ilmu Silat Kim-tiauw-kun.
Sedikitnya ada lima puluh batang anak panah yang terus menerus menyambar, akan tetapi setelah
pemuda ini melakukan gerak langkah ajaib, semua penyerangan itu sama sekali tak dapat menyentuhnya.
Setelah anak panah habis menyambar, lantai berhenti sendiri dan yang terlihat hanyalah puluhan batang
anak panah
berserakan di atas lantai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kun Hong tidak mengerti apa maksudnya penyerangan itu, siapa yang menyerang dan mengapa lantai
bergoyang-goyang, Akan tetapi karena ia memasuki kamar ini atas pesan Locianpwe untuk mengambil
pedang, ia melangkah maju terus dengan hati-hati sekali.
Dengan halus ia menarik pedang itu dari dalam tangan kerangka itu. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika
tiba-tiba kerangka yang tadinya duduk itu menjadi runtuh dan terlepaslah tulang-tulang rangka itu
berjatuhan ke atas lantai pula. Tengkoraknya pun menggelinding sampai ke tengah kamar.
Di antara tulang-tulang ini, melayang sehelai kain kuning yang ternyata ada tulisannya begini:
APA BILA KAU TERLUKA ATAU MATI, MAKA KAU TIDAK PATUT MENJADI PEWARIS KIM-TIAUWKUN.
Setelah membawa tulisan itu, tersenyumlah Kun Hong. Kiranya semua itu merupakan ujian baginya.
Locianpwe Bu Beng Cu yang aneh dan sakti ini telah mengatur sebelum tiba ajalnya, membuat semua alat
rahasia itu agar setelah ia mati, ia masih dapat menguji calon muridnya, baik menguji pribudinya seperti
yang ada di bawah meja sembahyang, juga menguji kepandaiannya setelah mempelajari ilmu silat itu.
Benar-benar seorang manusia yang hebat. Pantas saja burung rajawali tadi seakan-akan hendak
mencegahnya memasuki kamar, agaknya burung itu sudah tahu akan bahaya ujian ini dan hendak
mencegahnya memasuki kamar itu.
Sebagai seorang yang mempunyai pribudi luhur, tidak tegalah hati Kun Hong melihat kerangka orang sakti
itu berserakan di dalam kamar. Ia lalu mengumpulkan kerangka itu dan dengan khidmat dibawanya
kerangka itu keluar, kemudian digalinya lubang di ruang depan menggunakan pedang itu dan dikuburnya
kerangka tadi. Selama dia melakukan semua ini, burung rajawali emas mengeluarkan suara keluhan
seperti orang berkabung dan menangis!
Kun Hong lalu berkata kepada burung itu, "Tiauw-ko, sekarang sudah tiba waktunya aku harus pergi dari
tempat ini. Kitab ini kutinggalkan di tempat semula karena aku sudah membaca semua isinya. Ada pun
pedang yang indah ini, karena telah diberikan kepadaku oleh mendiang Locianpwe, akan kubawa dan
kuserahkan kepada Ayah yang amat suka akan pedang-pedang pusaka."
Pemuda itu mengembalikan kitab Kim-tiauw-kun di atas meja sembahyang, sedangkan tiga buah kitab lain
milik Yok-mo ia kantongi kembali karena ia hendak mengembalikan kitab itu kepada pemiliknya. Pedang
indah itu ia masukkan ke dalam sarung pedang yang sederhana dan yang ia temukan juga di kamar ke
dua, lalu ia ikat di pinggang, ditutupi jubahnya. Pakaian pemuda ini sudah lapuk dan berlubang di sana-sini,
maklum sudah setahun setengah ia tidak pernah berganti pakaian.
Kim-tiauw agaknya maklum bahwa pemuda itu hendak pergi. Ia kelihatan berduka, akan tetapi karena tak
dapat bicara, ia hanya mengeluarkan suara mencicit seperti burung kecil.
"Nah, Tiauw-ko, tolonglah kau antarkan aku turun dari puncak ini," kata Kun Hong setelah untuk
penghabisan kali ia memberi hormat kepada kuburan kerangka Bu Beng Cu.
Burung itu lalu mendekam di hadapan Kun Hong. Pemuda ini segera meloncat ke atas punggungnya dan
sekali lagi pemuda ini mengalami ‘terbang’ di angkasa.
Ia masih merasa ngeri seperti dulu. Akan tetapi entah bagaimana, setelah satu setengah tahun ia melatih
diri di goa itu, ia merasa hatinya lebih tenang dan tabah. Dengan gembira ia sekali lagi menyaksikan
pemandangan alam yang amat luar biasa dilihat dari angkasa, dari atas punggung burung raksasa itu.
Akan tetapi, pengalaman hebat ini tak lama ia rasakan sebab burung itu segera melayang turun ke bawah
kaki gunung, kemudian hinggap di atas tanah. Ia mengeluarkan suara melengking yang tidak diketahui
artinya oleh Kun Hong. Akan tetapi pemuda ini segera meloncat turun.
"Tiauw-ko, kenapa hanya sampai di sini? Kalau bisa, tolong kau antarkan aku kembali ke Hoa-san."
Burung itu kembali mengeluarkan suara melengking tinggi, lalu burung itu mengangguk di depan Kun Hong
tiga kali, setelah itu ia pentang kedua sayapnya dan... terbang naik lagi ke puncak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ahh, jadi dia tidak mau ikut dan hendak kembali ke sana? Baiklah, aku harus melanjutkan perjalanan ini
dengan jalan kaki."
Kun Hong tidak menjadi kecewa, malah ia merasa berterima kasih sekali kepada burung itu. Sebetulnya
kalau boleh ia tidak ingin berpisah dari sahabatnya yang baik itu.
"Kim-tiauw-ko, terima kasih atas semua kebaikanmu!" ia berteriak ke arah burung yang sudah terbang
meninggi.
Ia kaget dan terheran sendiri ketika suaranya itu mendatangkan gema di empat penjuru, amat nyaring
teriakannya. Semuanya ini adalah berkat kemajuannya dalam latihan-latihan sehingga tanpa disadarinya,
ia telah memiliki tenaga khikang yang tinggi.
Setelah burung itu lenyap, baru Kun Hong melanjutkan perjalanannya. Ia tidak mengenal jalan, maka ia
berjalan ke mana saja yang ia rasa senang dengan harapan untuk tiba di sebuah dusun, berjumpa orang
dan menanyakan jalan ke Hoa-san.
Memang tadinya ia merasa tidak senang bila mengenang akan pembunuhan di Hoa-san dan tidak ada
keinginan kembali. Akan tetapi betapa pun juga dia merasa rindu kepada orang tuanya dan ingin bertemu
dengan mereka untuk menceritakan pengalamannya yang hebat bukan main…..
********************
Semenjak dunia berkembang, sudah menjadi kenyataan bahwa di dalam hidup menderita sengsara,
manusia akan mencari Tuhan karena sudah kehabisan akal dan tidak berdaya untuk memperbaiki
hidupnya yang penuh derita itu. Berpalinglah manusia yang menderita sengsara, mencari-cari Kekuasaan
Tertinggi yang tadinya terlupa olehnya di kala ia tidak berada dalam penderitaan hidup.
Sebaliknya, di kala menikmati hidup penuh kesenangan dan kecukupan, manusia sama sekali lupa akan
Tuhannya, lupa bahwa segala kesenangan yang dapat ia rasakan pada hakekatnya adalah rahmat dari
Tuhan. Dalam mabuk kesenangan manusia jadi sombong, mabuk kemenangan dan kemuliaan duniawi,
merasa seakan-akan semua hasil gemilang itu adalah hasil kepandaiannya sendiri.
Manusia yang sedang ditimpa kesengsaraan sering kali mencari kesalahan sendiri yang menyebabkan ia
menderita, sering mengakui kesalahannya dan bertobat, berjanji takkan mengulangi perbuatannya yang
sesat. Sebaliknya, di dalam mabuk kemuliaan, manusia hanya bisa menyalahkan orang lain mengira
bahwa dirinya sendiri yang benar dan karena kebenarannya itulah maka ia dapat hidup dalam kemuliaan.
Alangkah bodohnya manusia, alangkah pelupa dan mudahnya mabuk oleh kesenangan duniawi! Lupa
sudah bahwa segala apa yang dipisah-pisahkan manusia dan diberi istilah kesenangan atau kesengsaraan
itu adalah sesuatu yang sifatnya sementara belaka. Baik kesenangan dan kesengsaraan yang sebetulnya
bukanlah merupakan sifat dari sesuatu keadaan, melainkan lebih merupakan pendapat menurut selera
seorang, takkan abadi dan tidak merupakan hal yang sementara terasa, malahan umurnya amat pendek,
sependek umur manusia di dunia ini.
Baik mereka yang mabuk kemenangan pada waktu usahanya berhasil gemilang, mau pun mereka yang
putus asa dan nelangsa di waktu mengalami derita kekalahan, mereka ini adalah manusia-manusia yang
bodoh dan mau membiarkan dirinya diombang-ambingkan dan dipermainkan oleh perasaannya sendiri.
Bahagialah orang yang selalu berpegang kepada kebenaran, yang selalu waspada akan langkah hidupnya
sendiri supaya tidak menyeleweng dari kebenaran, dan dalam pada itu selalu mendasarkan segala sesuatu
yang menimpa dirinya, baik itu menyenangkan badan mau pun sebaliknya, sebagai kehendak dari pada
Tuhan seru sekalian alam, Tuhan yang menentukan segalanya, yang tak dapat diubah oleh kekuasaan
mana pun juga di dunia ini.
Apa bila kita adakan perbandingan, maka mereka yang tertimpa kesengsaraan hidup dan membuat
mereka berpaling mencari Tuhannya, jauh lebih bahagia dari pada mereka yang hidup bergelimang dalam
kemewahan dan membuat mereka lupa akan Tuhannya.
Demikian pula dengan Kaisar dan para pembesar Kerajaan Beng. Pada mulanya, dalam perjuangan
mereka mengusir penjajahan Mongol dari tanah air, mereka berpegang pada kebenaran jiwa, mereka
penuh dengan sifat patriotisme, sepak terjang dalam perjuangan hanya didasarkan untuk membebaskan
dunia-kangouw.blogspot.com
rakyat dari belenggu penjajahan. Dalam keadaan seperti itu mereka yakin sepenuhnya akan kebenaran
mereka, dan yakin bahwa manusia dalam kebenaran sepak terjang hidupnya selalu akan diridhoi oleh
Tuhan Yang Maha Kuasa.
Namun, sungguh menyedihkan. Setelah usaha perjuangan mereka berhasil, terjadilah hal yang agaknya
merupakan penyakit turunan bagi seluruh manusia. Terjadilah perebutan kemuliaan! Lebih menyedihkan
lagi, setelah mereka yang berhasil dalam perebutan ini menduduki tempat tinggi dan mengenyam
kemuliaan, mereka lalu mabuk!
Banyak di antara pembesar, malah sampai Kaisar sendiri, yang dulunya terkenal sebagai pejuang-pejuang
patriotik, setelah mendapatkan kemuliaan dan kebesaran, lalu lupa akan kebenaran. Mereka dirangsang
oleh nafsu-nafsu mereka sendiri.
Ada yang tamak akan harta benda, kerjanya hanya mengumpulkan harta dengan jalan yang tidak halal,
melakukan korupsi besar-besaran tanpa menghiraukan sedikit pun nasib rakyat jelata yang dahulunya
mereka bela dengan perjuangan mati-matian. Ada yang menurutkan nafsu binatang saja, tanpa mengenal
malu mengumpulkan wanita-wanita muda dan cantik untuk mereka jadikan alat pengumbar nafsu.
Banyaklah macamnya maksiat yang dilakukan oleh orang-orang mabuk kemulian duniawi ini.
Akibat dari semua ini, pemerintah yang dipimpin oleh bangsa sendiri tetap saja tidak dapat mengangkat
rakyat jelata dari kemiskinan dan kesengsaraan hidup. Tetap saja rakyat yang dijadikan sapi perah, diperas
keringat dan darahnya oleh pemimpin-pemimpin kecil.
Di lain pihak pemimpin-pemimpin kecil ini diperas oleh atasan mereka, dan si atasan ini diperas lagi oleh
atasannya yang lebih tinggi kedudukannya. Sogok dan fitnah merajalela dan kebenaran yang berlaku
bukanlah kebenaran sejati karena siapa yang memiliki uang, dialah yang menang.
Semenjak penjajah Mongol terusir dan Ciu Goan Ciang menjadi kaisar, rakyat tetap saja masih menderita.
Penyerbuan-penyerbuan yang dilakukan oleh bangsa Mongol dari utara, pemberontakan-pemberontakan
dari suku-suku bangsa kecil di barat dan utara, gangguan bajak-bajak laut bangsa Jepang, menambah
beban hidup rakyat yang sudah menderita.
Seperti tercatat dalam sejarah, di mana pun tidak atau belum ada kemakmuran dalam kehidupan rakyat
jelata, di situ tentulah muncul rasa penasaran, dan kembali yang kuat merajalela dan pada umumnya lalu
berlakulah hukum rimba, siapa kuat dia yang menang. Orang-orang jahat bermunculan, mengganas
sewenang-wenang karena para pembesar dan alat-alat pemerintah hanya mengurus isi kantongnya
sendiri.
Karena banyaknya orang-orang jahat, maka di sana-sini muncullah kelompok-kelompok atau gerombolangerombolan
yang mempunyai wilayah sendiri-sendiri. Dan hal ini tentu saja mengakibatkan permusuhan
dan persaingan di antara golongan ini.
Syukurlah bahwa masih banyak terdapat orang-orang gagah yang tidak sudi ikut-ikutan memperebutkan
kedudukan dan kemuliaan untuk diri sendiri. Banyak di antara para bekas pejuang yang masih terbuka
mata batinnya, dapat melihat betapa tersesatnya mereka yang mabuk kemuliaan itu.
Mereka orang-orang gagah sejati ini tetap hidup di antara rakyat jelata, tidak segan-segan untuk mencari
nafkah dengan pekerjaan kasar, bahkan cukup banyak yang hidup hanya mengandalkan belas kasihan
orang! Makin lama semakin banyaklah orang-orang yang hidupnya seperti pengemis. Sudah tentu saja
sebagian besar di antara mereka ini adalah orang-orang malas.
Karena makin lama jumlahnya semakin banyak, mulailah orang jahat mengincar mereka yang dianggap
sebagai golongan tersendiri yang bukan tidak kuat. Maka dimasukinyalah kelompok ini dan didirikan
perkumpulan-perkumpulan pengemis!
Celakanya, kaipang (perkumpulan pengemis) ini dibentuk atas prakarsa orang-orang yang memang jahat
sehingga pendirian ini sama sekali bukan diadakan untuk usaha perbaikan nasib orang-orang gelandangan
itu, sama sekali bukan. Memang, ada juga manfaatnya bagi keadaan hidup para pengemis ini, namun
dengan cara yang tiada bedanya dengan penjahat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan adanya perkumpulan-perkumpulan ini, para pengemis lalu diharuskan mentaati peraturan
perkumpulan. Hasil mengemis harus dikumpulkan dan tak boleh dipakai sendiri, sebaliknya soal makan
mereka dijamin oleh perkumpulan.
Melihat para pengemis yang bergabung ini, tidak ada yang berani menolak permintaan mereka, karena hal
ini bisa mengakibatkan si penolak itu celaka, dianiaya dan dirampok hartanya! Jadi tegasnya, cara para
pengemis dari kaipang-kaipang itu bekerja hanya tampaknya saja mengulurkan tangan minta sedekah,
akan tetapi pada hakekatnya sama dengan perampok yang datang mengacungkan golok!
Pada mulanya memang penduduk setiap kota dan para pembesar dan petugas berusaha membasmi
kaipang-kaipang ini. Akan tetapi, karena para pengemis itu sudah bercampur dengan para penjahat yang
merasa lebih aman bersembunyi di antara kaum jembel itu, usaha ini sia-sia belaka. Apa lagi setelah
organisasi pengemis itu makin meluas sehingga di setiap tempat ada cabangnya, kemudian para pengurus
pengemis terdiri dari ahli-ahli silat yang berkepandaian tinggi, petugas-petugas keamanan menjadi tak
berdaya.
Seperti dikatakan tadi, syukur bahwa tidak semua manusia di dunia ini berpikiran cupat dan berwatak
remeh. Orang-orang gagah yang melihat adanya gejala-gejala tak baik ini, yang berarti akan menambahi
beban rakyat jelata karena pemerasan oleh para perampok berpakaian pengemis ini, segera turun tangan.
Ada yang secara langsung menggunakan kekerasan menentang para kaipang ini. Tetapi akhirnya mereka
itu dikeroyok dan kalah, malah ada yang tewas. Ada yang menentang secara diam-diam, menunggu saat
baik, kemudian mereka ini malah memasuki kaipang-kaipang itu, menjadi anggota dengan maksud
membelokkan kejahatan para pengemis ke arah kebaikan.
Demikianlah, jangan dikira bahwa semua anggota kaipang itu jahat karena di dalamnya juga banyak
terdapat orang-orang gagah yang senantiasa menanti kesempatan baik untuk menggulingkan kedudukan
ketua masing-masing sehingga jika pimpinan sudah jatuh ke dalam tangan orang-orang yang tidak jahat
ini, sudah tentu perkumpulan itu akan dibawa ke jalan benar.
Karena hal ini terjadi selama penjajah jatuh, jadi dua puluh tahunan, maka sekarang telah banyaklah
perkumpulan pengemis yang dipimpin oleh ketua-ketua yang baik sehingga perkumpulan ini betul-betul
menjadi perkumpulan untuk memperbaiki nasib para anggota. Di dalam kaipang yang bersih ini diadakan
latihan-latihan semacam sekolah, di mana para anggotanya diajar untuk memiliki sesuatu kepandaian
tertentu, misalnya pertukangan dan lain-lain. Sesudah itu mereka itu diharuskan mencari pekerjaan
sebagai sumber nafkah dan setelah mendapatkan pekerjaan sudah tentu mereka ini tak diperbolehkan
mengemis lagi dan tidak lagi menjadi anggota biar pun masih ada hubungan persaudaraan.
Nah, demikianlah keadaan di waktu itu. Di satu pihak kaipang-kaipang yang dipimpin oleh orang-orang
jahat masih mengganas, di lain pihak ada pula kaipang-kaipang yang bersih sehingga kemudian
terkenallah sebutan Pek-kaipang (Perkumpulan Pengemis Putih) dan Hek-kaipang (Perkumpulan
Pengemis Hitam). Sudah tentu Pek-kaipang adalah golongan yang baik sedangkan Hek-kaipang golongan
yang jahat. Karena ada dua golongan yang berlainan sifatnya, tidak dapat dicegah lagi adanya persaingan
dan permusuhan di antara dua golongan ini sehingga sering kali terjadi pertempuran-pertempuran dan
pertumpahan-pertumpahan darah.
Di antara Pek-kaipang, perkumpulan pengemis Hwa-i Kaipang (Perkumpulan Pengemis Baju Kembang)
adalah yang paling terkenal dan kuat. Perkumpulan pengemis ini memiliki anak buah paling banyak dan
karena ketuanya seorang yang memiliki kepandaian tinggi dan pengurusnya juga mendapat latihan ilmu
silat tinggi, maka banyak kaipang lain yang tunduk kepada Hwa-i Kaipang.
Pusat perkumpulan ini di kaki Gunung Ta-pie-san, sebelah barat kota raja Nanking. Ada pun ketuanya
adalah seorang kakek gagah perkasa yang usianya sudah tinggi sekali tapi memiliki kepandaian yang amat
hebat. Kakek pengemis ini tidak pernah memperkenalkan namanya dan hanya mengaku berjuluk Hwa-i
Lokai (Pengemis Tua Berbaju Kembang).
Sesudah para pengemis berkali-kali ditolong oleh kakek yang berkepandaian tinggi ini, maka ia lalu
diangkat menjadi ketua dan perkumpulan yang dipimpinnya lalu diberi nama Hwa-i Kaipang. Semua
anggota Hwa-i Kaipang selalu memakai baju berkembang, biar pun sudah lapuk atau penuh tambalan!
Pada suatu hari terjadilah berita yang menggemparkan ‘dunia pengemis’ itu. Pengemis mana yang tidak
akan terkejut mendengar berita bahwa Ketua Hwa-i Kaipang hendak mengundurkan diri dan di pusat
dunia-kangouw.blogspot.com
perkumpulan itu hendak diadakan pemilihan pengurus baru? Hal itu menjadi bahan percakapan yang
ramai, tidak saja di antara para pengemis, bahkan boleh dibilang juga di antara para orang gagah di dunia
kang-ouw karena sebagai perkumpulan besar, Hwa-i Kaipang mengundang para orang gagah untuk
menjadi saksi dalam pemilihan ketua baru ini.
Menjelang datangnya hari pemilihan ketua, keadaan di sekitar kaki Gunung Ta-pie-san menjadi ramai
sekali. Banyak tokoh-tokoh perkumpulan pengemis dari daerah lain datang dengan pakaian mereka yang
beraneka ragam dan beraneka macam.
Kalau melihat banyak pengemis dari berbagai aliran berkumpul di tempat yang luas itu, benar-benar
mereka itu seperti bukan pengemis-pengemis, melainkan anak buah dari pasukan-pasukan! Biar pun
pakaian mereka tambal-tambalan, ada pula yang sudah lapuk, namun warnanya seragam. Ada yang serba
hitam, ada yang serba merah, ada yang putih, hijau, biru dan banyak lagi macam warnanya. Para anggota
Hwa-i Kaipang tentu saja berbaju kembang semua!
Mereka yang sudah datang bertanya-tanya mengapa Hwa-i Lokai hendak mengundurkan diri dan mencari
penggantinya. Akan tetapi tak seorang pun dapat menjawab pertanyaan ini, bahkan para anggota Hwa-i
Kaipang sendiri tak ada yang dapat memberi keterangan.
Hwa-i Kaipang atau Perkumpulan Pengemis Baju Kembang pada waktu itu sudah merupakan perkumpulan
yang besar, mungkin terbesar di antara perkumpulan pengemis yang ada di daerah itu. Malah dapat
dikatakan bahwa perkumpulan ini paling makmur, mempunyai rumah pertemuan yang besar dengan
perabot-perabot rumah yang lengkap, memiliki ruangan tempat para pengemis cilik belajar sesuatu
pekerjaan dan lain-lain. Hal ini adalah karena sepak terjang perkumpulan ini yang betul-betul merupakan
perkumpulan sosial hendak memberi bimbingan kepada kaum gelandangan itu supaya bisa hidup lebih
baik dan terangkat nasibnya, telah menarik hati banyak dermawan yang banyak memberi sumbangansumbangan
kepada Hwa-i Kaipang.
Tidak hanya dalam soal usaha memperbaiki nasib para pengemis. Juga dalam organisasi sendiri, makin
lama perkumpulan ini menjadi makin kuat. Makin banyak saja pemuda yang tinggi ilmu silatnya dan ini
boleh dibilang semua telah menjadi murid Hwa-i Lokai.
Tentu saja para pengurus ini tadinya memang sudah memiliki kepandaian dari berbagai macam aliran.
Akan tetapi sesudah mereka menggabungkan diri di Hwa-i Kaipang, dan menyaksikan sendiri betapa
tingginya ilmu silat ketuanya, mereka kemudian minta diberi pelajaran ilmu silat.
Ketua Hwa-i Kaipang ini selalu suka menurunkan kepandaiannya dan ia mengajarkan beberapa ilmu
pukulan yang ia sesuaikan dengan watak dan keadaan jasmani si murid. Makin lama makin banyaklah
anggota Hwa-i Kaipang yang mendapatkan kemajuan hebat dalam kepandaian ilmu silat mereka. Bahkan
kemudian hampir tidak ada seorang pun anggota pengurus yang tidak berilmu tinggi.
Hwa-i Lokai sendiri maklum bahwa di antara perkumpulan pengemis yang amat banyak itu, tidak jarang
merupakan perkumpulan pengemis palsu yang sesungguhnya lebih patut disebut perkumpulan penjahat.
Juga ia tahu betapa perkumpulan-perkumpulan jahat ini mengandalkan kekerasan, tidak hanya melakukan
pemerasan terhadap penduduk, juga kadang-kadang berani menindas perkumpulan lain yang lebih lemah.
Karena itu, kakek ini melihat betapa penting bagi perkumpulan yang dipegangnya untuk memperkuat diri
dengan pengurus-pengurus yang pandai ilmu silat. Hal ini pulalah yang membuat ia mulai mengadakan
susunan dalam pengurusnya, membagi-bagi tugas sesuai dengan kemampuan dan kepandaian mereka.
Untuk membedakan tingkat kepandaian ilmu silat, dia mengadakan ujian lalu memberi tanda tingkat
kepada para muridnya itu. Tanda tingkat ini merupakan tali ikat pinggang berwarna putih dari serat biasa.
Makin banyak tali ini yang mengikat pinggang seorang pengemis Hwa-i Kaipang, makin tinggilah tingkat
ilmu silatnya.
Di antara para pengurus dan pembantu ketua itu, rata-rata hanya memiliki empat helai ikat pinggang.
Jumlahnya ada dua puluh orang lebih. Yang mempunyai lebih dari empat helai amat jarang. Yang paling
tinggi tingkatnya di antara mereka hanya tiga orang. Mereka ini telah mempunyai tujuh helai tali putih yang
mengikat pinggang mereka.
Tiga orang inilah yang dalam segala hal mewakili Hwa-i Lokai dan mereka boleh dibilang sudah memegang
seluruh urusan perkumpulan itu sebagai wakil ketua. Mereka adalah Coa-lokai, Beng-lokai, dan Sun-lokai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lokai artinya ‘pengemis tua’ akan tetapi sebutan ini dalam perkumpulan itu berarti menghormat, karena
yang berhak menyebut diri lokai hanyalah ketua mereka dan tiga orang tangan kanan inilah!
Jadi panggilan lokai ini seakan-akan merupakan panggilan penghormatan seperti lajimnya sebutan ‘yang
mulia’ dan ‘paduka’! Memang dalam perkumpulan yang aneh ini banyak terdapat aturan dan hal-hal aneh
pula.
Sudah bisa dibayangkan bahwa jika Hwa-i Lokai mengundurkan diri, calon penggantinya tentulah seorang
di antara tiga kakek ini. Hal ini tidak hanya menjadi pendapat para anggota, malah juga pendapat orangorang
luar dan juga demikianlah kata hati tiga orang itu sendiri.
Oleh karena itu, diam-diam seperti ada persaingan di antara mereka dan secara diam-diam pula tiga orang
pembantu ini mendekati para anggota dan sedapat mungkin menarik sebanyak-banyaknya sahabat agar
mendukungnya dalam ‘pemilihan umum’ itu nanti. Sudah bukan hal aneh lagi apa bila mereka ini
menjanjikan hal-hal yang muluk-muluk kepada para anggota yang suka memilihnya.
Pagi hari pada waktu pemilihan, para anggota sudah berkumpul di pekarangan yang amat luas di depan
rumah pertemuan Hwa-i Kaipang. Pengemis-pengemis berpakaian baju kembang yang tidak kurang dari
seratus orang jumlahnya duduk di belakang ketua dan para pengurus mereka.
Ada pun para tamu merupakan kelompok-kelompok yang duduk di atas tanah juga, menghadap tuan
rumah. Ada kelompok pengemis berpakaian hijau, merah, hitam, putih dan lain-lain yang dipimpin oleh
ketua atau wakil masing-masing. Uniknya, pertemuan ini sama sekali tidak dilengkapi kursi, bangku atau
pun meja dan semua yang hadir duduk begitu saja di atas tanah, ada yang bersila, ada yang berjongkok.
Hwa-i Lokai tampak duduk bersila sambil meramkan mata. Dia adalah seorang kakek yang usianya sudah
delapan puluh tahun lebih, bertubuh tinggi kurus. Rambutnya yang panjang tidak terawat, pakaiannya
berkembang sederhana, terdapat tiga tambalan di pundak dan dada. Pinggangnya diikat dengan tali putih
terbuat dari sutera. Di pinggang kiri tergantung sebuah guci arak dari perak dan ia tidak kelihatan
membawa senjata.
Di sebelah kanannya duduklah tiga orang pembantunya yang terkenal, yaitu Coa-lokai yang bertubuh tinggi
besar bermata lebar dan gerak-geriknya kasar. Beng-lokai orangnya gemuk pendek berkulit kuning dan
bermata sipit, tersenyum-senyum gembira. Sun-lokai orangnya kecil agak bongkok, matanya tajam
bergerak ke sana ke mari.
Tiga orang pembantu ini semuanya memakai baju berkembang dengan ikat pinggang tali putih tujuh helai
yang membelit pinggang. Berbeda dengan Sang Ketua, ketiga orang ini masing-masing memanggul
sebatang pedang di punggungnya.
Para pembantu lain yang lebih rendah tingkatnya, yaitu yang bertali pinggang enam ada dua orang, yang
bertali pinggang lima ada tujuh orang dan sebelas orang bertali pinggang empat duduk di sebelah kiri ketua
ini dengan sikap menghormat.
Keadaan di situ cukup ramai. Walau pun semua orang sudah duduk di atas tanah tanpa seorang pun
kelihatan berdiri, namun mereka saling bicara perlahan, ada yang berbisik-bisik sehingga tempat itu
menjadi berisik juga.
Akhirnya Hwa-i Lokai membuka kedua matanya, memandang ke kanan kiri kemudian ia mengangkat
tangan kanannya ke atas. Siraplah suara berisik. Semua orang memandang kakek ini dengan penuh
perhatian.
"Para tamu sekalian dan saudara-saudaraku anggota Hwa-i Kaipang yang tercinta. Tidak kepada seorang
pun pernah kuberi tahu, bahkan para pembantuku juga tidak, mengapa secara mendadak aku hendak
meninggalkan Hwa-i Kaipang dan menyerahkan pimpinan kepada seorang saudara. Sekarang, untuk
menghilangkan dugaan yang bukan-bukan, terus terang saja aku jelaskan bahwa aku mempunyai seorang
musuh pribadi..."
Kembali keadaan menjadi sangat berisik, terutama di kalangan anggota Hwa-i Kaipang yang banyak
mengeluarkan suara marah. Kalau ada musuh, kenapa harus meninggalkan kedudukan? Apakah takut?
Hwa-i Kaipang sangat kuat, siapa yang berani mengganggu ketuanya?
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali Hwa-i Lokai mengangkat tangannya, memberi isyarat agar semua orang jangan berisik. "Urusan
ini merupakan urusan pribadiku, dan hari ini adalah hari janji kami berdua untuk membuat perhitungan
terakhir. Aku tidak suka membawa-bawa perkumpulan dalam urusan pribadi, juga aku tak mau menyeret
musuh pribadiku menjadi musuh perkumpulan. Biarlah hal ini akan kuselesaikan sendiri sebagai urusan
pribadi yang tak boleh orang lain mencampurinya. Nah, sekarang hatiku telah lega sebab saudara semua
telah mendengar penjelasanku. Sekarang, marilah kita semua memilih seorang ketua baru yang tepat,
yang kiranya akan dapat memimpin saudara-saudara sekalian lebih baik dari pada yang telah kulakukan."
Kembali para anggota Hwa-i Kaipang menjadi berisik karena mereka saling berbisik dan banyak terdengar
suara-suara tidak setuju. Malah tiba-tiba terdengar suara yang nyaring dari Coa-lokai, yang bicara dengan
sepasang mata lebar membelalak.
"Saya tidak setuju dengan uraian Lokai! Selama saya membantu Lokai, tak pernah satu kali pun saya raguragu
dan membangkang terhadap perintah, akan tetapi kali ini terpaksa saya tidak setuju! Lokai tidak saja
menjadi ketua, bahkan merupakan pendiri dari Hwa-i Kaipang. Oleh karena itu segala urusan Hwa-i
Kaipang adalah urusan Lokai, sebaliknya urusan Lokai berarti juga urusan semua anggota Hwa-i Kaipang!
Dulu kita semua sudah bersumpah, susah sama dipikul, senang sama dinikmati. Mana ada peraturan
sekarang Lokai hendak meninggalkan kita hanya karena ada urusan pribadi? Apa bila ada musuh Lokai,
katakan saja siapa dan di mana, saya Coa-lokai tak akan mundur untuk mewakili Lokai, walau pun
nyawaku yang tidak berharga ini akan melayang karenanya!" Setelah berkata demikian, pengemis tinggi
besar yang usianya belum ada lima puluh itu meloncat berdiri, tegak siap sedia dengan mata memandang
ke sana ke mari seolah-olah hendak mencari musuh pribadi ketuanya.
Hwa-i Lokai menarik napas panjang dan menggelengkan kepala. "Coa-lokai, terima kasih atas
kesetiaanmu ini. Akan tetapi urusan ini benar-benar adalah urusan pribadiku dan kali ini terpaksa aku harus
menebus sifatku yang pengecut, yang sudah kupertahankan hingga belasan tahun lamanya. Ya... aku
sudah bersikap pengecut sehingga belasan tahun aku menyembunyikan nama dan paling akhir aku
menggunakan nama Hwa-i Lokai. Dahulu... hemmm, sekarang sudah tiba saatnya aku meninggalkan sikap
pengecut dan membuka rahasiaku sendiri, dahulu aku bernama Sin-chio (Tombak Sakti) The Kok."
Semua pengemis dan yang hadir di situ, terutama kaum tuanya tercengang mendengar nama ini. Belasan
tahun yang lalu nama Sin-chio The Kok amat terkenal sebagai seorang perampok tunggal yang memiliki
kepandaian tinggi.
Kabarnya ilmu tombaknya belum pernah terkalahkan sehingga dia dijuluki orang Sin-chio (Tombak Sakti).
Setelah mendengar siapa adanya Hwa-i Lokai, semua orang menjadi berisik.
Ada yang merasa kecewa bahwa Hwa-i Kaipang ternyata dipimpin oleh seorang bekas perampok, akan
tetapi ada suara yang membantah dengan pernyataan bahwa biar pun seorang perampok, tapi nama The
Kok tetap bersih sebagai perampok budiman yang tak sembarang merampok orang. Yang selalu menjadi
sasaran dan korbannya adalah para pembesar jahat dan hartawan-hartawan kikir, malah kabarnya hasil
rampokannya selalu ia bagi-bagikan kepada rakyat yang miskin.
Hwa-i Lokai atau Sin-chio The Kok mengangkat tangannya dan suara berisik segera sirap. "Nah, sekarang
saudara sekalian tahu siapa saya dan saya sendiri merasa tidak pantas menjadi Ketua Hwa-i Kaipang.
Bukan karena saya bekas perampok, akan tetapi terutama sekali karena saya seorang pengecut yang
karena takut menghadapi musuh lalu bersembunyi di balik nama palsu. Sekarang musuh besarku telah
mengetahui dan hendak menuntut balas, karena inilah aku akan meninggalkan Hwa-i Kaipang untuk
membereskan perhitungan dengan dia dan sebelum aku pergi, aku ingin melihat bahwa perkumpulan kita
mendapatkan seorang ketua baru yang tepat."
Beng-lokai yang gemuk pendek segera berdiri dan dengan senyuman yang tidak pernah meninggalkan
bibirnya ia berkata, "Memang tepat sekali apa yang dikatakan oleh Pangcu (Ketua). Harap Pangcu segera
tetapkan saja calon-calon pengganti Pangcu agar supaya pemilihan dapat dilakukan segera."
"Siapa lagi yang kucalonkan kecuali kalian bertiga pembantu-pembantuku? Kalian bertiga adalah caloncalon
ketua dan pemilihannya siapa di antara kalian bertiga terserah kepada para anggota," jawab Ketua
itu.
"Saya tidak setuju...!" Coa-lokai kembali berkata dengan suaranya yang nyaring. "Setelah kita ketahui
bahwa ketua kita adalah Sin-chio The Kok, seharusnya kita bangga memiliki seorang ketua yang gagah
perkasa dan terkenal sebagai seorang yang budiman. Biar pun sekarang Lokai menghadapi urusan itu tapi
dunia-kangouw.blogspot.com
saya percaya Lokai akan bisa mengatasinya dengan baik. Setelah itu, bukankah Lokai dapat kembali
memimpin perkumpulan kita?"
"Heh, Coa-lokai banyak cerewet!" Terdengar suara yang parau seperti kaleng dipukul dan pembicara ini
adalah Sun-lokai yang sudah berdiri dan memandang tajam. "Apakah kau hendak membangkang terhadap
perintah Pangcu? Lupakah kau apa hukumannya kalau seorang anggota membangkang terhadap
perintah?"
Pengemis tinggi besar itu membalikkan tubuhnya dan menatap wajah Sun-lokai dengan mata berapi-api.
"Ho-ho, Sun-lokai, tak usah kau mengingatkan. Aku sendiri tahu bahwa tugasku meneliti dan menghukum
para anggota yang menyeleweng, tentu aku maklum akan aturan-aturan di perkumpulan kita. Kalau ketua
kita memerintah kepadaku untuk melaksanakan sebuah tugas, walau pun harus mempertaruhkah nyawa,
aku tidak akan mundur. Akan tetapi sekarang ini lain lagi. Pangcu kita hendak pergi meninggalkan kita dan
menunjuk seorang di antara kita untuk menjadi ketua. Aku tidak setuju sama sekali untuk memilih ketua
baru selama Lokai masih hidup! Sun-lokai, agaknya kau sudah terlalu mengilar untuk memperoleh kursi
ketua?"
Sepasang mata dari pengemis bongkok ini bersinar dan bercahaya. "Hemm, Pangcu tadi mencalonkan kita
bertiga, bukan hanya aku. Kau sendiri pun, kalau mampu membuktikan bahwa kau lebih gagah dan pandai
dari aku dan Beng-lokai, kau boleh menjadi ketua."
"Aku tidak sudi selama Lokai masih ada, aku tidak sudi menjadi ketua dan juga tidak sudi membiarkan
seorang di antara kalian menjadi Ketua Hwa-i Kaipang. Apa lagi seorang seperti kau!" Coa-lokai
menudingkan telunjuknya ke muka Sun-lokai sehingga pengemis bongkok ini menjadi marah sekali.
"Berani kau menghinaku di depan banyak orang?"
"Aku tidak menghina, melainkan bicara sejujurnya. Kau tahu aku suka berterus terang dan aku pun terus
terang saja menyatakan bahwa aku tidak suka melihat dan mendengar kau berhubungan erat dengan
golongan merah dan hijau."
"Kau keparat, kau menuduh yang bukan-bukan. Apakah kau mau mengajak berkelahi?" Sun-lokai sudah
tak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Berkelahi atau apa saja masa aku takut?" Coa-lokai juga marah.
Dua orang ini sudah saling berhadapan dan saling mendekat, siap hendak menggunakan kekerasan.
"Coa-lokai, Sun-lokai, sudahlah. Tak perlu ribut-ribut!" Hwa-i Lokai berseru untuk melerai mereka.
"Biarlah, Lokai, biar kuberi hajaran kepada si Bongkok ini!" Coa-lokai berkata keras.
"Pengemis busuk, kaulah yang akan mampus di tanganku!" Sun-lokai yang tidak pandai bicara itu
mendengus.
Ada pun para anggota Hwa-i Kaipang yang berada di situ memang sudah terpecah-pecah dalam pemilihan
ketua, ada yang pro Coa-lokai, dan ada yang pro Sun-lokai. Melihat dua orang jagoan mereka itu sudah
saling berhadapan, mereka menjadi tegang dan terdengar seruan-seruan kedua pihak untuk memberi
semangat kepada jagoan mereka.
Keadaan menjadi berisik bukan main sehingga suara Hwa-i Lokai yang hendak mencegah pertarungan itu
tidak terdengar nyata. Dua orang pengemis tua itu sekarang sudah saling serang.
Mula-mula Sun-lokai yang membuka serangan. Dia adalah seorang ahli Cu-see-ciang, yaitu kedua
tangannya telah digembleng dan diperkeras dengan latihan mencacah pasir panas. Ia bersilat dengan
kedua tangan terbuka, dengan jari-jari lurus dan ibu jari ditekuk ke dalam sehingga kedua tangannya itu
seakan-akan sepasang golok yang diserangkan dengan bacokan atau tusukan maut.
Di lain pihak, Coa-lokai ialah seorang ahli gwakang, tenaganya seperti gajah, gerakannya tenang. Kalau
sambaran tangan Sun-lokai bagaikan sambaran golok yang tajam, adalah sambaran kepalan tangan Coalokai
yang besar itu seperti sambaran toya baja yang amat keras dan berat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Keduanya adalah ahli-ahli silat yang kemudian mendapat latihan dari Hwa-I Lokai, maka biar pun mereka
memiliki keistimewaan masing-masing, boleh dibilang tingkat mereka kini seimbang. Para pengemis yang
menonton pertempuran ini menjadi tegang dan gembira, dari sana sini terdengar seruan-seruan memihak.
Hwa-i Lokai menjadi bingung. Tentu saja mudah baginya untuk datang memisah, namun apa gunanya?
Sekali mereka menanam bibit kebencian satu kepada yang lain, hal itu tak akan mudah dipadamkan.
Biarlah mereka menentukan siapa yang lebih kuat, bahkan ini merupakan saringan pula untuk memilih
seorang ketua baru. Ia hanya berdiri dengan dua lengan di belakang tubuh, akan tetapi siap setiap saat
apa bila seorang di antara kedua pembantunya itu terancam bahaya maut, tentu ia akan turun tangan
mencegah.
Ketika dua orang itu sedang saling gempur dengan ramainya, tiba-tiba dari jauh terdengar orang berteriakteriak,
nyaring menusuk telinga semua orang.
“Heiii... dua orang pengemis tua saling tempur memperebutkan apa sih?"
Karena suara ini hebat dan nyaring, maka semua orang menengok, bahkan Coa-lokai dan Sun-lokai juga
otomatis berhenti untuk melihat siapa orangnya yang berteriak sedemikian nyaringnya itu. Dari jauh tampak
dua orang berjalan menuju ke tempat itu.
Yang di depan adalah seorang pemuda tampan yang pakaiannya sama lapuknya dengan pakaiannya para
pengemis, sungguh pun potongan pakaian itu seperti pakaian seorang pemuda terpelajar. Pemuda inilah
yang berteriak sambil melambai-lambaikan tangannya tidak keruan seperti orang gendeng.
Ada pun orang yang berjalan di sampingnya, agak di belakang, adalah seorang kakek tua sekali,
terbongkok-bongkok jalannya. Pakaiannya juga compang-camping, dengan tangan memegang tongkat
yang diperlukannya untuk membantu ia berjalan.
Siapakah dua orang ini? Pemuda itu bukan lain orang adalah Kwa Kun Hong! Seperti kita ketahui, pemuda
ini telah turun dari puncak Bukit Kepala Naga, kenapa dia bisa berada di sini dan datang bersama seorang
kakek pengemis tua renta itu? Baiklah kita mengikuti perjalanannya sebentar sejak pemuda ini
meninggalkan Bukit Kepala Naga dan sampai ke tempat ini, yaitu di kaki Pegunungan Ta-pie-san, pusat
dari perkumpulan Hwa-i Kaipang.
Telah dituturkan pada bagian depan betapa Kun Hong meninggalkan Bukit Kepala Naga dengan maksud
mencari dusun untuk bertanya kepada orang ke mana arah perjalanan menuju ke Hoa-san. Memang tidak
lama kemudian ia bertemu dengan penduduk dusun, akan tetapi penduduk dusun yang jarang
meninggalkan kampung halaman itu, mana ada yang tahu tentang Hoa-san?
Keterangan yang didapat oleh Kun Hong sama sekali tidak mendekatkan dirinya dengan tempat tinggalnya,
malah membuat ia tersesat semakin jauh dari Hoa-san. Akhirnya ia mendengar bahwa ia sudah tiba di
daerah kota raja selatan (Nanking).
Ia tertegun ketika mendengar dari orang yang mengetahui bahwa ia salah jalan dan malah menjauhi Hoasan.
Akan tetapi sebaliknya ia gembira ketika mendengar bahwa ia sudah berada di kota raja.
Setelah ia berada di tempat yang dekat dengan kota raja, apa salahnya untuk sekalian melihat-lihat
keadaan kota raja? Sudah lama ia mendengar tentang kota raja yang hanya dapat ia lihat dalam alam
mimpi saja. Sekarang, tanpa disengaja ia mendekati kota raja, sudah tentu ia tidak akan melewatkan
kesempatan sebaik ini.
Ketika Kun Hong melanjutkan perjalanannya menuju ke kota raja, ia melalui Pegunungan Ta-pie-san.
Setelah turun naik lereng bukit, dia merasa lelah dan beristirahat di bawah sebatang pohon besar yang
tumbuh di lereng gunung.
Pemandangan indah, hawa amat nyaman. Kun Hong lalu menuruni jurang kecil di mana terdapat air terjun
yang kecil akan tetapi amat jernih airnya. Dengan sedap dan segar ia minum air itu, lalu mencuci muka,
tangan, dan kakinya.
Setelah merasa tubuhnya segar lagi, perutnya menggeliat minta isi. Kun Hong kembali ke bawah pohon
dan mengeluarkan bekalnya roti kering yang ia terima dari seorang hwesio sebuah kelenteng tua yang
amat baik hati, di mana ia semalam menginap.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terpaksa ia menunda tangannya yang sudah mengantar roti kering ke mulutnya, ia kaget dan terheranheran
kenapa di tempat sesunyi itu terdengar suara orang. Orang itu bicara dengan keras suaranya
terbawa angin, sayup-sayup sampai tak dapat ia tangkap artinya.
Akan tetapi mengapa tidak pernah ada suara lain yang menjawabnya? Biasanya orang bercakap-cakap
tentu sedikitnya membutuhkan dua orang. Suara itu makin jelas dan kini tertangkap oleh telinga Kun Hong,
suara orang mencari sesuatu!
"Ahhh, di manakah dia? Haaa, boleh jadi inilah! Ya betul, inilah agaknya yang kucari-cari puluhan tahun
sampai sampai saat ini. Tak mungkin salah lagi..., akan tetapi betulkah ini dia? Jangan-jangan aku salah
duga dan akan kecele lagi..."
Tergerak hati Kun Hong. Suara itu agak menggetar, dan bisa diduga pembicaranya tentu seorang yang
sudah tua. Ia menyimpan kembali roti keringnya, lalu berdiri dan berjalan menuju arah suara tadi.
Setelah ia melalui sebuah gundukan batu karang, tampaklah olehnya seorang kakek yang berpakaian
compang-camping. Kakek ini berdiri dengan tongkat tertekan tangan sehingga seakan-akan tongkat itulah
yang membantu ia berdiri. Tangan kirinya ditaruh melintang di kening untuk melindungi kedua mata tuanya
dari sinar matahari, dan menoleh kian ke mari memandangi tamasya alam di bawah gunung. Ataukah
sedang mencari sesuatu?
Segera timbul welas dalam hati Kun Hong melihat kakek yang amat tua ini. Tubuhnya kurus, tinggal kulit
dan tulang. Pakaiannya sudah tak patut disebut pakaian lagi, hanya robekan-robekan kain menutupi tubuh
di sana sini. Sepatunya sudah bolong sehingga tampak beberapa buah jari kaki tersembul keluar dari
pinggir sepatu.
Aduh kasihan, pikir Kun Hong. Sudah begini tua mengapa pergi susah payah ke gunung yang tidak mudah
dilalui jalannya? Begitu kurus, tentu sudah berhari-hari tidak makan.
"Kakek yang baik, kau sudah begini tua dan lemah mengapa sampai di tempat seperti ini? Kau sedang
mencari apakah, Kek?" tanyanya sambil maju mendekat.
"Ya, aku memang mencari sesuatu," jawab kakek itu tanpa menoleh kepada Si Penanya.
"Mencari apakah yang hilang? Di mana hilangnya? Biarlah kubantu kau mencarinya," kata Kun Hong
dengan ramah dan dengan suara mengandung hiburan yang membesarkan hati.
"Heh... tidak ada yang hilang... tapi sudah puluhan tahun aku mencarinya..."
Tiba-tiba ia menoleh dan terkejutlah Kun Hong ketika bertemu pandang dengan sepasang mata yang luar
biasa tajamnya seakan-akan menembus sampai ke dalam dadanya. Tak kuat Kun Hong menatap
sepasang mata yang hebat itu, maka terpaksa ia menundukkan pandang matanya.
"Kau bilang hendak bantu aku mencarinya? Huh, betulkah itu? Aku yang sudah puluhan tahun mencari
belum juga bertemu. Tapi... hemmm, mungkin sekali ini aku akan dapat bertemu dengannya!" Kata-kata ini
penuh semangat dan kakek itu berdongak memandang ke atas.
Otomatis Kun Hong juga mendongakkan kepalanya, akan tetapi di atas sana tidak ada apa-apa, kecuali
mega-mega putih berarak di angkasa. Celaka, pikirnya, kasihan benar kakek ini, agaknya dia sudah miring
otaknya! Kun Hong menggeleng-geleng kepalanya, lalu memegang tangan kakek itu, menuntunnya
perlahan menuju ke bawah pohon.
"Kakek yang baik, marilah kita beristirahat di tempat yang teduh di sana, aku mempunyai beberapa potong
roti kering, marilah kita makan bersama," bujuknya.
Kakek itu sejenak memandang kepadanya dengan heran tapi menurut saja ketika dituntun ke bawah
pohon. Malah ia segera ikut Kun Hong duduk di bawah pohon itu dan menerima pemberian roti kering dari
Kun Hong yang dimakannya lambat-lambat.
"Orang muda, jarang ada orang semacam kau ini di jaman yang sulit ini... hemm, senang juga bertemu
dengan orang macam kau di tempat sunyi."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kun Hong memadang penuh perhatian dan sekarang ia merasa yakin bahwa tak mungkin kakek ini miring
otaknya. Mungkin hanya karena berwatak aneh saja maka dia kelihatan seperti orang yang tidak waras
pikirannya.
"Aku pun merasa gembira sekali dapat berjumpa dengan kau di sini, kakek yang baik. Sebetulnya,
siapakah yang kau cari itu? Benda atau manusia? Aku akan merasa girang kalau kau segera dapat
bertemu dengannya, Kek."
Kakek itu tiba-tiba tampak gembira dan wajahnya berseri-seri. "Ya, betul sekali, pasti aku akan dapat
bertemu dengannya setelah aku membunuh manusia she The itu!"
Ia nampak bersemangat dan gembira sekali, tak melihat betapa muka Kun Hong sekilas menjadi pucat dan
kembali menjadi merah.
"Waaahhh... jangan, Kek. Tidak boleh kau membunuh orang biar dia itu she The atau she apa pun!"
Kini kakek itu menatap tajam wajah Kun Hong, agaknya marah. Roti kering yang baru dimakan separuh itu
lalu dilemparkannya ke atas tanah.
"Siapa bilang tidak boleh? Dia itu musuh besarku, dia sudah membunuh muridku yang tercinta. Belasan
tahun aku mengejar-ngejarnya, mencari-carinya dan akhirnya aku tahu bahwa dia sudah berganti nama...
ha-ha-ha... berganti nama menjadi Hwa-i Lokai ketua perkumpulan Hwa-i Kaipang. Ha-ha-ha, manusia she
The, ke mana pun kau bersembunyi, pasti kau akan terpegang olehku."
"Kau salah, Kek. Bagaimana pun juga, tidak boleh membunuh orang. Berdosa sekali perbuatan itu, dan
manusia takkan terlepas dari hukum karma, kecuali kalau dengan budi kebaikan dia melepaskan diri dari
hukum karma masa yang lalu, barulah dia itu seorang manusia yang bebas dan mulia."
"Uahhh, kau anak kecil tahu apa? Aku hendak membunuh orang she The itu sekali-kali bukan hanya
karena dia telah membunuh muridku. Aku akan membunuhnya karena aku ingin mencari kebahagiaan, kau
tahu? Tidak pernah aku dapat menemukan kebahagiaan. Seluruh dunia kujelajahi, perbuatan apa pun
kulakukan, semedhi, bertapa, menyiksa diri, tapi kebahagiaan belum pernah dapat kumiliki. Orang bilang
harta benda mendatangkan kebahagiaan? Phuah! Itu omong kosongnya seorang kepala angin. Kau lihat
ini? Emas murni. Bahhh, jemu aku melihatnya karena mengingatkan aku akan manusia kepala angin yang
menyatakan bahwa kebahagiaan dapat dicapai kalau orang mempunyai harta benda sebanyaknya!"
Setelah berkata demikian kakek itu mengeluarkan sebongkah emas murni yang berkilauan, lalu ia
melempar emas murni itu jauh ke dalam jurang yang tak mungkin dapat didatangi manusia!
Kun Hong mendengarkan dengan tenang dan sabar, kemudian mengangguk-angguk. Dia tidak heran
melihat orang membuang sebongkah emas yang berharga itu.
"Kau betul, Kek. Memang kebahagiaan tidak dapat dimiliki melalui emas itu."
"Bagus, kau sependapat. Jika kau menyayangkan emas tadi, kau pun akan kulempar ke dalam jurang itu!"
Kakek aneh itu berkata lagi. "Ada pula orang tolol bilang bahwa kalau mempunyai kesaktian sehingga tak
terkalahkan orang lain, barulah memiliki kebahagiaan. Uhhh, si goblok. Apa artinya kepandaian tinggi?
Hemm, apakah ini yang dianggap dapat membahagiakan manusia?"
Kakek itu menoleh ke kiri, lalu tangan kirinya meremas dan batu hitam itu bagaikan tanah lempung saja
dalam tangannya, sekali remas hancur lebur!
"Apakah ini yang dapat mendatangkan kebahagiaan? Celaka, si manusia sombong. Bila penyakit datang,
usia lanjut menggerayang, kematian menjangkit, bisa apakah dia dengan ilmu saktinya? Ha-ha-ha, pikiran
katak dalam tempurung!"
Diam-diam Kun Hong terkejut. Dia sama sekali tak mengira bahwa kakek yang ia anggap hampir mati
kelaparan ini ternyata adalah seorang yang memiliki kepandaian sedemikian hebatnya.
Sekali remas saja batu hitam tadi hancur lebur. Wah, hampir ia tidak percaya kalau tidak melihat sendiri.
Akan tetapi ia lebih tertarik oleh filsafat yang terkandung dalam ucapan Si Kakek itu, maka ia lalu
mengangguk-angguk kembali dan membenarkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kembali kau benar, Kek. Kebahagiaan memang tidak terletak pada ilmu kepandaian atau kesaktian."
"Juga tidak dalam kedudukan dan pangkat kemuliaan dan harta?"
"Betul, tidak dalam kedudukan dan pangkat"
"He-he-he, kau pintar juga, orang muda. Kaisar-kaisar di jaman dahulu kurang begaimana hebatnya?
Kedudukannya setinggi langit, dianggap putera Tuhan, pangkatnya nomor satu di dunia, mulia dan
dihormat semua orang, kekayaannya berlimpah, tapi mana ada kaisar yang tak pernah bermusuh-musuhan
dan selalu terancam keselamatannya, tidak pernah marah-marah dan jengkel? Mana ada kaisar yang telah
memiliki kebahagiaan di samping segala yang dimilikinya itu?"
"Mungkin kau betul, kakek yang baik. Mungkin mereka yang berlimpahan dengan harta dan kemuliaan
dunia, malah tidak memiliki kebahagiaan. Akan tetapi agaknya kau sendiri pun sedang mencari
kebahagiaan. Mengapa kau tadi katakan bahwa kau akan bahagia kalau kau sudah dapat membunuh
seorang she The? Bagaimana ini? Harap kau jelaskan, Kek, agar hatiku tidak mengandung penasaran.”
"Heh-heh-heh, baik… baik, biarlah kujelaskan. Puluhan tahun aku mencari tapi tidak dapat menemukan
kebahagiaan. Selain itu, aku pun selalu mencari musuh besarku, yaitu The Kok yang telah membunuh
muridku. Kini aku sudah mendapatkan tempat persembunyian The Kok. Nah, timbullah pikiran dalam
otakku bahwa agaknya yang menjadi penghalang kebahagiaanku adalah karena aku belum berhasil
membalaskan sakit hatiku. Kalau aku telah berhasil membunuh manusia she The itu, sudah pasti aku akan
dapat menemukan kebahagiaan. Ha-ha-ha, orang muda yang baik, yang pintar, bukankah betul
pendapatku ini?"
Kun Hong mengerutkan keningnya, menarik napas panjang kemudian menggeleng-geleng kepalanya.
"Sayang sekali, Kek. Terpaksa aku tidak dapat membenarkan pendapatmu itu. Menurut perkiraanku, apa
bila kau sudah berhasil membunuh orang she The yang kau maksudkan itu, kau malah makin jauh dari
kebahagiaan yang kau cari. Hal ini aku merasa yakin sekali, seyakin kenyataan bahwa kau berhadapan
dengan aku pada saat ini."
Di waktu bicara, Kun Hong mengerutkan kening, matanya menatap tajam dan suaranya begitu sungguhsungguh.
Pada mulanya kakek itu melengak heran, lalu mukanya merah dan ia menjadi marah sekali.
"Hati-hati kalau bicara orang muda. Jangan-jangan kau malah akan kubunuh lebih dulu, sebelum
membunuh The Kok."
"Apa boleh buat jika kau bermaksud begitu, Kek, Akan tetapi kalau demikian makin tebal keyakinanku
bahwa kau selama hidupmu tak akan dapat menemui kebahagiaan."
"Keparat, kau kurang ajar sekali. Akan tetapi... hemmm, kau juga aneh dan bukan main beraninya. Heiii,
orang muda yang bernyali naga bermulut wanita, apa alasanmu bahwa orang membunuh orang, akan
menjauhkannya dari kebahagiaan?"
"Aku yakin akan hal ini, Kek. Apa lagi setelah aku membaca tulisan yang ditinggalkan oleh suhu-ku, betapa
dia merana dan menderita hebat sekali karena sudah terlampau banyak membunuh orang, meski yang
dibunuhnya itu menurut anggapannya adalah orang-orang jahat belaka. Kau hendak membunuh The Kok,
katakanlah bahwa menurut anggapanmu, dia telah membunuh muridmu dan dia itu jahat. Akan tetapi
apakah demikian pula dengan anggapan sahabat-sahabatnya, sanak keluarganya, gurunya, muridnya,
orang tua serta anak-anaknya? Ketika muridmu dibunuhnya, kau menjadi sakit hati. Kalau kau sekarang
membunuhnya, apakah kau kira mereka-mereka yang dekat dengan dia tidak akan sakit hati? Kau tentu
akan dicari-cari oleh mereka, musuh-musuhmu akan makin banyak dan hidupmu tidak tenteram lagi! Kalau
sudah begitu, mana bisa kau bilang bahwa kau sudah menemui kebahagiaan?"
Kakek itu tertegun, memandang aneh, matanya agak dipejamkan, tampak memutar otak. Tiba-tiba ia
membelalakkan matanya memandang tajam dan bertanya, "Orang muda, kau murid siapakah? Siapa itu
gurumu yang meninggalkan pesan penyesalannya akibat sudah banyak membunuh orang?"
"Aku sendiri belum pernah bertemu dengan suhu-ku, hanya membaca dari kitabnya dan peninggalan
tulisan-tulisannya. Dia menuliskan namanya sebagai Bu Beng Cu, aku hanya sempat bertemu dengan
burung rajawali emas, agaknya binatang peliharaannya."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dia...?! Bu Beng Cu...? Kau muridnya?!" Kakek itu terkejut sekali dan kedua tangannya memegang
pundak Kun Hong.
Pemuda ini merasa betapa pundaknya seakan-akan ditindih gunung, merasa seakan-akan tulangtulangnya
remuk dan patah-patah. Ia cepat mengempos semangat dan hawa murni mengalir dari pusarnya
menuju ke pundak sehingga penderitaannya berkurang banyak.
"Heh, kau bilang muridnya? Bohong kau! Sedikit kepandaianmu ini mana membolehkan kau mengaku
sebagai muridnya? Dia itu suheng-ku (kakak seperguruan), kau tahu? Kalau benar kau sudah mewarisi
tulisan-tulisan peninggalannya, harap kau jelaskan bagaimana bunyi tulisan-tulisan itu!"
Kun Hong mendongkol sekali, akan tetapi ia menyabarkan hatinya. Ia tahu bahwa kini ia berhadapan
dengan orang sakti yang berwatak aneh dan kiranya soal membunuh orang bukanlah soal baru bagi kakek
ini. Akan tetapi ia tidak takut dan malah ia mengambil keputusan untuk sedapat mungkin menyadarkan
kakek itu agar tidak sampai membunuh orang!
"Percaya atau tidak terserah. Aku masih hafal akan tulisan peninggalan Locianpwe itu, begini: ‘Telah
bertumpuk dosaku. Ratusan orang telah kubunuh dengan anggapan bahwa itu adalah perbuatan baik
karena yang kubunuh adalah orang-orang yang kuanggap jahat. Anggapan yang sesat! Aku tidak mampu
memberi kehidupan, lalu bagaimana aku berhak mengakhiri kehidupan? Aku sangat berdosa!
Mengandalkan kepandaian untuk membunuh sesama manusia, betapa pun jahat si manusia itu, bukanlah
perbuatan baik, melainkan perbuatan jahat pula’. Nah, begitulah tulisan peninggalan Locianpwe Bu Beng
Cu, Kek."
Kakek itu terlongong kembali, lalu tiba-tiba ia berkata, "Keluarkan pedangmu itu, hendak kulhat apakah
benar pedang suheng-ku!"
Kun Hong kaget sekali. Bagaimana kakek ini bisa tahu akan pedangnya yang selalu dia sembunyikan di
balik jubahnya itu? Ia tidak membantah, lalu mengeluarkan pedangnya yang selama dalam perjalanan
selalu dia sembunyikan itu. Kakek itu menerima pedang, menghunusnya dan tiba-tiba ia menangis terisakisak!
"Ahh... Ang-hong-kiam... Ang-hong-kiam... ahh, Twa-suheng... jadi kau benar-benar telah mati lebih dulu
dan... meninggalkan pesan melalui mulut bocah ini..."
"Agaknya betul dugaanmu itu, Locianpwe," berkata Kun Hong yang sekarang menyebut ‘locianpwe’ karena
tahu bahwa kakek ini sebetulnya adalah seorang berilmu tinggi yang wataknya aneh sekali. "Kiranya
Locianpwe Bu Beng Cu sengaja meninggalkan pesan itu untukmu. Kau lihat sendiri, sesudah membunuh
ratusan orang, Locianpwe Bu Beng Cu merasa berdosa dan menyesal, karena itu apa bila kau tadi
menyatakan bahwa dengan membunuh si orang The Kok lalu kau akan menemukan kebahagiaan,
alangkah jauhnya menyeleweng dari kebenaran!"
Sepasang mata kakek itu tidak mengucurkan air mata lagi, sekarang memandang kepada Kun Hong penuh
kebingungan, tangannya gemetar ketika mengembalikan pedang. Kun Hong menerima pedangnya dan
menyimpannya kembali.
"Kau betul... orang muda yang aneh, kau benar sekali. Ahh... selamanya suheng-ku itu memang
bijaksana... agaknya kau pun mewarisi kebijaksanaannya... memang aku bodoh, Suheng sudah kakekkakek
ketika aku masih menjelang dewasa. Orang muda yang baik, kau sebagai wakil Suheng, lekas kau
katakan kepadaku ke mana aku harus mencari kebahagiaan!"
Kun Hong kaget sekali. Dia seorang pemuda yang masih hijau, pengetahuannya tentang filsafat kehidupan
hanya diperolehnya dari membaca kitab-kitab kuno yang ia selaraskan dengan suara hati nuraninya
sendiri. Bagaimana dia bisa menerangkan pada kakek yang hendak mencari kebahagiaan ini? Akan tetapi
dia bertekad untuk mencegah kakek ini melakukan pembunuhan, maka ia akan mencobanya.
"Locianpwe, aku mau bicara tentang kebahagiaan kalau kau suka berjanji bahwa kau tak akan membunuh
orang bernama The Kok itu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Baik... baik... setelah mendengar pesan Suheng, kini aku sendiri ngeri untuk membunuh orang. Aku
berjanji mulai sekarang aku takkan mau membunuh orang lagi. Tapi kau harus segera memberi tahukan
kepadaku ke mana aku harus mencari kebahagiaan."
Lega hati Kun Hong. Betapa pun juga, kakek ini adalah seorang cianpwe, tidak mungkin mau menarik
kembali janjinya atau melanggarnya. Dengan demikian berarti dia telah bisa membatalkan niat orang untuk
membunuh. Tentang pendapatnya mengenai kebahagiaan, adalah menurut jalan pikirannya, sesuai pula
dengan hati nuraninya yang disesuaikan dengan ilmu kebatinan yang ia baca dari kitab-kitab filsafat kuno.
"Menurut pendapatku, Locianpwe. Kebahagiaan hidup itu tidak dapat dikejar, karena bagai mana pun
orang mengejar-ngejarnya, takkan mungkin dia dapat menemukannya. Bahagia tak dapat dicari-cari..."
"Apa kau kata? Kebahagiaan tak dapat dikejar, tak dapat dicari, kalau begitu kebahagiaan itu tidak ada?
Jangan kau main-main!"
Berkerut kening Kun Hong, tanda bahwa dia sedang berpikir keras untuk mencari cara menjelaskan
tentang persoalan sulit yang mengandung filsafat hidup itu.
"Locianpwe, bukan maksudku mengatakan bahwa kebahagiaan itu sebenarnya tidak ada. Kebahagiaan itu
memang ada. Akan tetapi janganlah keliru menafsirkan apa sebetulnya kebahagiaan itu. Banyak sekali
orang tertipu oleh kesenangan dan menganggap bahwa kesenangan itulah kebahagiaan. Yang dapat
dikejar dan dapat dicari adalah kesenangan, bukan kebahagiaan. Ada pun kesenangan itu bukan lain
adalah pemuasan nafsu jasmani dan nafsu perasaan. Kesenangan duniawi adalah pemuasan kehendak
yang terdorong oleh nafsu semata. Contohnya keinginan Locianpwe tadi hendak membunuh The Kok, tak
lain adalah karena dorongan kehendak memuaskan nafsu dendam dan andai kata hal itu terjadi, kiranya
akan dapat merasakan kesenangan karena nafsu dendam itu dipuaskan. Akan tetapi orang lupa bahwa
kesenangan mempunyai saudara kembar yang bernama kesusahan. Di mana kesenangan berada, di sana
akan muncul pula saudara kembarnya, yaitu kesusahan. Kalau orang mencari kesenangan, memang dia
akan mendapatkannya, namun sifat kesenangan hanyalah sementara saja. Rasa senang akan segera
lenyap dan kalau sudah begitu, muncullah kesusahan dan ia akan kecewa karena segera ternyata bahwa
kesenangan yang dicari-carinya itu setelah didapatkannya ternyata tidaklah begitu menyenangkan, apa lagi
membahagiakan. Siapa mencari dia akan kecewa, karena yang dicarinya itu hanyalah kehendak dari
nafsunya, bukanlah kebutuhan jiwanya."
Sampai berkeringat kening pemuda itu karena pengerahan otaknya yang diperas untuk menerangkan hal
yang amat gawat ini. Akan tetapi hasilnya hebat sekali. Muka kakek itu mula-mula membayangkan
keharuan, lalu matanya membelalak dan akhirnya wajahnya berseri-seri.
"Aduh, kau hebat..., kau orang muda luar biasa... teruskanlah, teruskanlah uraianmu yang menarik ini. Kau
barusan bicara tentang kesenangan dunia, sekarang bagaimana dengan kebahagiaan yang ajaib itu?
Selama ini aku sendiri telah tertipu dan mengacau-balaukan kesenangan dengan kebahagiaan. Orang
muda yang hebat, apakah kebahagiaan itu dan mengapa tidak boleh dikejar dan dicari?"
"Locianpwe, maafkan kalau aku yang muda dan bodoh ini lancang berani bicara tentang hal yang pelik ini."
"Tidak apa, tidak apa, teruskanlah..."
"Lebih dulu aku akan mengulangi sajak yang pernah kubaca, hasil karya seorang pujangga kuno yang tidak
diketahui namanya, begini sajak itu:
Kebahagiaan seperti bayangan,
serasa tergenggam di jari, tanpa bekas kau lari
tak dikejar mendekati, dikejar kau menjauhi
memang kau bayanganku, tak pernah berpisah dariku
bagaimana orang dapat mengejar bayangan sendiri…?”
Kun Hong berhenti sejenak dan menarik napas panjang, kemudian melanjutkan kembali, "Demikianlah,
Locianpwe. Kebahagiaan adalah keadaan, memang ada, yaitu sudah ada di dalam diri setiap makhluk.
Setiap yang mengejarnya akan tersesat jauh karena memang tak dapat dan tak semestinya dikejar.
Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang sudah sadar akan keadaan hidupnya, yang sadar
bahwa ada yang menghidupkannya. Kebahagiaan adalah keadaan jiwa seseorang yang tenang tenteram
damai dan tahu bahwa segala sesuatu yang menimpa dirinya adalah kehendak Tuhan. Oleh karena itu ia
dapat menerima dengan hati ikhlas, tak dapat kecewa, tak dapat berduka, adanya hanya puas dan dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
menikmati kekuasaan Tuhan yang sudah dilimpahkan atas dirinya, baik kekuasaan yang mendatangkan
rasa tidak enak atau pun yang sebaliknya bagi badan dan pikiran. Hanya manusia yang sadar akan
kekuasaan Tuhan, dapat menerima segala yang terjadi atas dirinya dengan penuh penyerahan, dengan
tunduk dan taat serta menganggap segala peristiwa, baik yang dianggap menyenangkan atau
menyusahkan oleh badan dan pikiran serta perasaannya, sebagai berkah Tuhan. Manusia seperti itulah
yang berhasil menemukan kebahagiaan yang sebetulnya memang sudah berada dalam dirinya. Karena
menghadapi keadaan yang bagaimana pun juga, dia akan tetap tenang, tenteram dan menerima dengan
hati tulus ikhlas, dan kepercayaannya akan kekuasaan Tuhan takkan tergoyahkan. Nah, hanya sekian saja
pendapatku, Locianpwe, sekali lagi maaf kalau kau anggap tidak cocok dengan pendapat Locianpwe."
Kakek itu merangkul Kun Hong. "Ahh, anak yang baik... kau telah membuka mataku yang buta! Kau benar
sekali... anak yang baik, coba kau terangkan, bila ada orang membunuh muridku, mengapa aku tidak boleh
membunuhnya juga sebagai hukumannya?"
"Menurut pendapatku, pendirian itu keliru, Locianpwe. Locianpwe sendiri mengakui bahwa membunuh
murid Locianpwe adalah suatu perbuatan jahat, dan sudah menjadi anggapan umum bahwa membunuh
sesama manusia adalah perbuatan jahat. Kalau kita sudah tahu bahwa membunuh itu jahat, mengapa
justru untuk menghadapi kejahatan membunuh kita pun harus berlaku jahat dan membunuh pula? Kalau
sudah terjadi bunuh-membunuh, bagaimana kita dapat membedakan mana yang jahat mana yang baik,
mana yang benar mana yang salah? Memang sudah menjadi kewajiban kita untuk menegakkan keadilan
dan kebenaran, dan untuk itu manusia sudah mengadakan hukum bagi yang jahat. Kalau ada yang
melakukan pembunuhan, tangkaplah dan hadapkan kepada yang berwajib yang berhak mengurus tentang
hukuman bagi si jahat dengan mengadakan pengadilan ciptaan manusia. Akan tetapi menghukumnya
sendiri dengan jalan membunuh? Ahh, Locianpwe, hendak kutanyakan kepada Locianpwe, apa
perbedaannya dalam soal kejahatan antara pembunuhan yang dilakukan The Kok terhadap murid
Locianpwe dengan pembunuhan yang akan dilakukan oleh Locianpwe terhadap The Kok?"
Kakek itu merenung sejenak. "Bedanya, karena kalau aku membunuhnya, aku memiliki alasan untuk
membalaskan sakit hati muridku."
"Ah, Locianpwe, setiap orang manusia di dunia ini sudah pasti mempunyai alasan untuk perbuatannya. Ada
akibat pasti bersebab. Apakah kiranya orang yang bernama The Kok itu ketika membunuh murid
Locianpwe juga tidak mempunyai alasan? Kiraku pasti ada alasannya. Betapa pun juga, dia bersalah besar
ketika membunuh muridmu dan bagiku, dia telah melakukan perbuatan jahat. Jika Locianpwe
membunuhnya pula, apa pun alasan yang Locianpwe ajukan, perbuatan membunuh itu tak bisa tidak juga
termasuk perbuatan jahat. Dan kebahagiaan tak mungkin dicapai dengan melalui perbuatan jahat. Di
samping penyerahan akan kekuasaan Tuhan, juga setiap tindakan dalam hidup haruslah menjauhi
kejahatan dan memupuk kebaikan sebanyak mungkin. Inilah yang disebut menyesuaikan diri dengan sifatsifat
alam. Adakah alam pernah menuntun sesuatu demi kesenangannya sendiri? Tidak pernah, alam dan
segala isinya selalu memberi kebaikan kepada siapa saja tanpa pernah meminta dan menuntut. Tuhan
Maha Pengasih dan Penyayang, tiada yang dikecualikan, berkah-Nya melimpah-limpah seperti aliran
Sungai Kuning yang tak pernah kering, akan tetapi, pernahkah Tuhan menuntut dan minta sesuatu dari
kita? Alam adalah cermin kecil dari sifat Maha Pengasih dan Penyayang itu. Coba lihatlah pohon berbuah
itu, Locianpwe. Tanpa diminta ia siap memberikan segala-galanya, batangnya, daunnya, bunganya,
buahnya kepada siapa saja yang membutuhkan. Ia memberikan dengan segala keikhlasan tanpa diminta,
segala kenikmatan kepada yang mampu menikmatinya. Akan tetapi, pernahkah pohon itu minta sesuatu,
menuntut sesuatu dari siapa pun juga? Ah, alangkah akan indahnya dunia ini kalau manusia dapat
memetik pelajaran dari sikap pohon buah itu, di mana manusia hanya mengenal pemupukan kebaikan dari
sifat alam tanpa menuntut kesenangan bagi diri sendiri."
"Ahhh... kau betul, Anakku... kau betul sekali... ha-ha-ha-ha, Lui Bok, kau dijuluki orang Sin-eng-cu (Garuda
Sakti), akan tetapi kau goblok dan patut berguru kepada bocah ini!" Ia menepuk-nepuk kepalanya sendiri
dan kelihatan girang sekali. "Ehhh orang muda, kau masih murid keponakanku sendiri, tapi aku patut
menjadi muridmu. Siapakah namamu?"
"Aku bernama Kwa Kun Hong, Locianpwe. Aku banyak mengharapkan banyak petunjuk dari Locianpwe."
"Heran sekali... kau menjadi pewaris kitab peninggalan suheng-ku, tetapi mengapa kau tidak memiliki
kepandaian silat sebaliknya malah menjadi ahli filsafat? Kun Hong, coba kau bersilat dari pelajaran dalam
kitab yang kau hafal itu, hendak kulihat."
dunia-kangouw.blogspot.com
Merah muka Kun Hong. "Ah, sesungguhnya Locianpwe, aku hanya menghafal saja akan tetapi aku tidak
dapat bersilat."
"Hee...?! Habis untuk apa kau menghafal kitab itu?"
"Menurut pendapatku, ilmu silat yang diwariskan dalam kitab Suhu hanya untuk menjaga diri agar jangan
sampai dicelakakan orang. Akan tetapi kalau hendak dipergunakan untuk memukul orang... ahh, aku tidak
sudi melakukannya, Locianpwe."
Kembali kakek itu melengak, lalu mengangguk-angguk. Tiba-tiba dia berseru, "Aku akan menyerangmu
dan kalau kau terkena pukulanku, mungkin kau akan mati!"
Cepat sekali, tidak sesuai dengan tubuhnya yang kelihatan lemah itu, kakek ini lalu maju memukul dengan
pukulan kilat. Serangan ini dilakukan dengan cepat serta mengandung tenaga yang amat dahsyat.
Kun Hong kaget bukan main. Otomatis kedua kakinya melangkah dengan langkah ajaib yang ia pelajari
dari kitab. Kedua lengannya bergerak-gerak sebagai imbangan tubuhnya dan... pukulan itu tidak mengenai
tubuhnya.
Kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan menyerang terus, makin lama makin cepat dan keras. Kun Hong
terpaksa terus melangkah ke sana ke mari, langkah-langkahnya ganjil dan kacau, namun sampai sepuluh
jurus kakek itu hanya memukul angin belaka.
Tiba-tiba kakek itu berhenti dan bertepuk tangan.
"Bagus... bagus sekali! Inilah agaknya Kim-tiauw-kun yang dahulu hendak diciptakan oleh Suheng
berdasarkan Im-yang bu-tek-cin-keng! Hebat... hebat!"
Ia merangkul lagi Kun Hong diajak duduk bawah pohon.
"Mana roti keringmu tadi? Keluarkan aku lapar sekali!"
Girang hati Kun Hong. Memang masih ada ia menyimpan roti kering dalam buntalannya. Kemudian ia
mengeluarkan roti-roti kering itu dan memberikan kepada kakek aneh yang menyebut namanya Sin-eng-cu
Lui Bok ini.
"Silakan makan, Locianpwe, tapi hanya roti kering yang keras dan tengik."
"Heh-heh-heh, jangan kau merendah, Kun Hong. Rotimu begini empuk, harum, masih hangat dan di
dalamnya diberi cacahan daging yang begini gurih, kau katakan roti kering tengik? Ha-ha-ha benar-benar
kau merendah. Bukan main sedapnya roti ini!"
Tiba-tiba Kun Hong terbelalak matanya. Mimpikah dia? Roti kering yang tadinya keras dan memang agak
tengik yang dipegangnya, sekarang kenapa sudah berubah sama sekali? Roti itu menjadi roti yang besar
dan empuk, benar-benar masih hangat dan berbau harum malah ketika ia melihat bagian yang sudah ia
gigit, tampak cacahan daging matang yang benar-benar gurih!
"Ehh..., ini... ini... bagaimanakah ini? Kenapa bisa begini, Locianpwe...?" tanyanya gagap saking herannya.
"Ha-ha-ha! Biar pun kesenangan bukan termasuk kebahagiaan sejati, namun kesenangan pun anugerah
Tuhan dan kita berhak menikmatinya, bukan? Nah, marilah kita menikmati roti yang enak ini!"
"Memang benar, Locianpwe. Tapi... tapi... bagaimana ini...? Mengapa roti keringku bisa berubah?"
"Tidak usah tanya-tanya, nanti kuberi penjelasan. Makan dulu." Keduanya lalu makan dan Kun Hong harus
mengakui bahwa selama ini belum pernah ia makan roti seenak itu.
"Wah, habis makan roti tidak ada minuman. Kalau saja ada arak baik di sini, alangkah sedapnya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat kakek itu agaknya kesereten, Kun Hong menjadi kasihan dan segera dia berlari mencari air mancur
dan menyendok air menggunakan daun yang lebar. Dibawanya air itu ke bawah pohon. (Bhs.
Jawa=makanan mengganjal di kerongkongan)
"Heh-heh-heh, kau betul-betul hebat. Orang ingin minum arak kau datang membawa arak wangi dalam
cawan perak. Ha-ha-ha!"
"Ahh, Locianpwe, hanya air biasa dalam daun, mana ada arak?"
Kun Hong tertawa dan memandang daun di tangannya yang penuh air. Tetapi tiba-tiba ia berteriak kaget
dan heran karena yang berada di tangannya adalah benar-benar arak di dalam cawan perak yang indah.
"Ehhh, bagaimana pula ini...?! Locianpwe, apakah aku sudah gila? Ataukah aku sedang mimpi...?!"
teriaknya terkejut.
"Ha-ha-ha, minumlah, nikmatilah kesenangan untuk lidah dan mulut kita. Nanti akan aku ceritakan," kata
kakek itu sambil menenggak arak dalam cawannya.
Terpaksa Kun Hong juga minum araknya dan ternyata, betul seperti dikatakan kakek itu, arak di dalam
cawannya amat harum dan enak.
"Kau lihat baik-baik, yang di dalam tanganmu itu hanya daun biasa."
Kun Hong melihat dan... betul saja, cawan yang kosong tadi sudah berubah pula menjadi daun yang tadi,
tanpa ia ketahui.
"Ini... kau main sulap, Locianpwe," katanya tertawa.
"Kau sudah menggirangkan hatiku, Kun Hong. Maka aku harus membikin senang sedikit hatimu.
Ketahuilah, yang kuperlihatkan tadi adalah ilmu yang disebut menguasai pikiran orang lain (semacam
hypnotisme). Memang amat berbahaya kalau memiliki ilmu ini dan sebagian orang yang tidak mengerti
akan menganggapnya sebagai hoat-sut (ilmu sihir) yang jahat, semacam ilmu hitam. Akan tetapi anggapan
itu keliru. Ilmu kepandaian tidak ada yang jahat. Hitam atau putihnya, jahat atau pun baiknya, tergantung
dari pemilik ilmu itu sendiri. Hoat-sut (menguasai pikiran orang) ini kalau dimiliki oleh orang yang berjiwa
bersih, tentu akan banyak mendatangkan kebaikan seperti yang baru saja kuperlihatkan. Bukankah makan
roti kering dan minum air tawar tidak begitu sedap? Dan bukankah akan menambah kenikmatan kalau
ingatanmu kukuasai sehingga kau menganggapnya sebagai roti enak dan arak wangi? Nah, untuk segala
petunjukmu tadi tentang kebahagiaan, aku harus membalas. Kau adalah ahli membaca kitab, nah, ilmu ini
terdapat dalam kitab ini. Kau baca dan pelajarilah, tentu kelak berguna untukmu. Ilmu yang kuperlihatkan
tadi baru sepersepuluhnya saja dari isi kitab ini."
Kakek itu lalu mengeluarkan sebuah kitab yang sudah lapuk dan Kun Hong menerimanya dengan
pernyataan terima kasih. Tentu saja ia girang bukan main mendapat hadiah kitab istimewa itu.
"Sekarang marilah kau ikut denganku, Kun Hong. Ikutlah dengan aku pergi ke kaki gunung ini untuk
menjumpai The Kok yang sekarang menjadi Ketua Hwa-I Kaipang."’
Kun Hong terkejut dan memandang. "Locianpwe, kau tidak..."
Kakek itu tertawa dan menggelengkan kepalanya. "Jangan kuatir. Sudah lenyap semua nafsuku untuk
membunuh orang. Aku harus menemuinya. Ha-ha-ha! Kau benar. Dia telah membunuh muridku, biarlah
kesadarannya sendiri yang akan menghukumnya." Kakek itu lalu berdiri dan mengajak Kun Hong turun
gunung.
Demikianlah kisah pertemuan antara Kun Hong dengan Sin-eng-cu Lui Bok seperti telah diceritakan di
bagian depan.
Kun Hong dan Sin-eng-cu Lui Bok telah tiba di tempat para pengemis Hwa-i Kaipang. Dari jauh Kun Hong
melihat ribut-ribut di antara pengemis yang memenuhi pekarangan depan rumah perkumpulan itu. Ia
mendapat keterangan dari pengemis yang dijumpainya bahwa dua orang pembantu ketua sedang ribut
hendak bertempur dalam perebutan kedudukan ketua.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kun Hong merasa kuatir sekali. Dari jauh dia segera berteriak-teriak, "Heeiii..., berhenti... dua orang
pengemis tua saling pukul memperebutkan apa sih?"
Semua pengemis dan para tamu yang hadir di tempat pertemuan itu terkejut dan segera menengok.
Bahkan dua orang pembantu ketua yang sedang bertempur itu pun langsung menghentikan perkelahian
mereka dan menengok karena suara teriakan itu benar-benar nyaring dan mengejutkan semua orang.
Sementara itu, Kun Hong sudah mendahului Sin-eng-cu Lui Bok, memasuki gelanggang pertempuran
menghadapi Coa-lokai dan Sun-lokai yang memandangnya dengan heran.
"Ji-wi Lo-enghiong, mengapa saling hantam sendiri ? Aku mendengar bahwa Ji-wi hendak memperebutkan
kedudukan Ketua Hwa-i Kaipang. Kalau tak salah Hwa-i Kaipang adalah perkumpulan pengemis, mengapa
yang hendak menjadi ketuanya malah harus memakai kekerasan? Apakah hendak menjadi ketua
perkumpulan tukang pukul? Benar-benar salah sekali."
Coa-lokai memandang dengan mata terbelalak marah. "Kau ini bocah kurang ajar datang dari mana dan
apa urusanmu dengan kami?"
Beng-lokai pengemis tua gemuk pendek yang semenjak tadi hanya diam saja melihat dua orang temannya
saling serang, sekarang berdiri dan dengan marah membentak, "Bocah tak tahu adat! Kau ini datangdatang
mengacau, kau disuruh kaipang dari manakah?"
Diserang dengan bentakan-bentakan ini, Kun Hong tenang saja. Akan tetapi sebelum dia menjawab, kakek
pengemis tua yang berdiri di situ, Hwa-i Lokai, berseru keras. "Bagus sekali, Sin-eng-cu Lui Bok! Kau
akhirnya datang juga mencariku. Akan tetapi, kuharap kau tidak membawa Hwa-i Kaipang ke dalam urusan
pribadi kita berdua. Kau tunggulah aku menyelesaikan dulu pemilihan ketua baru, setelah itu aku siap
untuk mati di tanganmu!"
Semua mata sekarang menengok dan memandang ke arah kakek yang memasuki tempat itu yang bukan
lain adalah Sin-eng-cu Lui Bok.
"He-he-heh, Sin-chio The Kok. Tak nyana orang gagah seperti engkau ternyata wataknya pengecut, berani
berbuat tidak berani bertanggung jawab dan kasihan sekali melihat kau melarikan diri dan bersembunyi
sampai belasan tahun." Kakek ini sampai terkekeh-kekeh menertawakan.
Muka Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lokai menjadi merah sekali. Ia merasa malu dikatakan pengecut di
depan begitu banyak orang dan namanya tentu akan menjadi buah tertawaan di dunia kang-ouw. Maka
cepat ia menjawab dengan suara keras,
"Heii, Sin-eng-cu Liu Bok, dengarlah baik-baik. Memang perbuatanku melarikan diri dan bersembunyi
darimu itu adalah perbuatan pengecut, akan tetapi adalah sebab-sebabnya. Secara kebetulan aku
bermusuhan dengan muridmu pada waktu aku merampok seorang pembesar korup dan muridmu itu
membela pembesar tadi, Terjadi pertempuran antara kami dan dalam pertempuran itu ia tewas di ujung
tombakku. Celakanya, setelah ia tewas, barulah aku mendengar bahwa dia adalah murid Sin-eng-cu Lui
Bok. Hatiku menyesal bukan main. Telah puluhan tahun aku kagum dan menjunjung tinggi nama pendekar
besar Sin-eng-cu Lui Bok, tapi sekarang aku telah membunuh muridnya. Aku menyesal dan ada dua hal
yang menyebabkan aku melarikan dan menyembunyikan diri. Pertama, karena aku maklum bahwa aku
takkan menang, ke dua dan ini sebetulnya yang terberat bagiku, aku tidak mungkin dapat bertanding
sebagai musuh dengan pendekar yang sejak lama kukagumi dan kujunjung tinggi sebagai seorang
pendekar budiman. Sin-eng-cu, hal itulah yang menyebabkan aku menebalkan muka melarikan diri dan
bersembunyi. Akan tetapi hukum karma tak dapat dihindarkan manusia. Agaknya Thian yang menuntunmu
sampai ke sini sehingga kau dapat menantang padaku dan agaknya memang Tuhan hendak menghabisi
nyawaku sekarang juga. Hanya permintaanku, biarkanlah aku menyelesaikan lebih dulu pemilihan ketua
Hwa-i Kaipang, setelah itu terserah kepadamu, aku tidak takut mati karena aku memang sudah cukup tua,
Sin-eng-cu."
Lega hati Sin-chio The Kok setelah dia mengeluarkan isi hatinya yang juga didengar oleh semua orang itu.
Akan tetapi Sin-eng-cu Lui Bok hanya tertawa-tawa saja. Diam-diam hati kakek ini pun girang bahwa dia
sebelumnya bertemu dengan Kun Hong. Kalau sampai dia membunuh orang yang segagah ini memang
sayang sekali. Apa lagi ia pun maklum bahwa muridnya memang telah membela orang yang dikenal
dunia-kangouw.blogspot.com
sebagai seorang pembesar korup dan sering bertindak sewenang-wenang, sungguh pun pembesar itu
adalah paman muridnya.
Akan tetapi Coa-lokai yang sangat setia terhadap Hwa-i Lokai, ketika mendengar bahwa kakek tua renta
yang kelihatan kurus kering itu merupakan musuh besar ketuanya, segera membentak marah, "Kau tua
bangka berani menghina pangcu kami! Rasakan tanganku!" Coa-lokai menerjang dan langsung
menyerang.
"Coa-lokai, jangan...!" Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lokai mencegah, akan tetapi terlambat sudah.
Coa-lokai sudah menyerang dengan hebat, bahkan mempergunakan pedangnya. Semua orang melihat
betapa pedang di tangan Coa-lokai itu menyambar ganas. Semua orang juga melihat betapa kakek yang
diserangnya itu sama sekali tidak bergerak. Akan tetapi entah bagaimana, tahu-tahu terdengar pedang
berkerontangan di atas lantai dan tubuh Coa-lokai terlempar ke belakang. Padahal kakek itu hanya
mengangkat sedikit tongkatnya yang butut! Ketika dilihat ternyata Coa-lokai yang merintih-rintih itu sudah
patah tulang lengannya!
Sin-chio The Kok terkejut sekali. Bukan main hebatnya kepandaian Sin-eng-cu Lui Bok ini. Ia cepat
menjura dan berkata, "Pembantuku telah tak tahu diri menyerangmu, akulah yang mintakan maaf. Harap
Sin-eng-cu suka bersabar menanti hingga aku selesai mengadakan pemilihan ketua."
Sin-eng-cu Lui Bok tertawa dan hanya berkata, "Silakan..., silakan..."
Kun Hong melangkah maju dan menjura kepada Ketua Hwa-i Kaipang itu.
"Tak tahunya Locianpwe ini yang bernama Sin-chio The Kok dan kini menjadi Ketua Hwa-i Kaipang.
Pangcu, aku kebetulan datang bersama Susiok Sin-eng-cu sesudah mendengar bahwa di sini hendak
diadakan pemilihan ketua yang baru. Kenapa kau membiarkan saja orang-orangmu berebutan kedudukan
ketua? Kalau kau sendiri yang menjadi ketuanya, perlu apa diganti lagi? Kulihat kau seorang yang berjiwa
gagah, kenapa hendak mundur? Kalau perkumpulan yang bertujuan memperbaiki nasib orang-orang
jembel yang sengsara ini terjatuh ke dalam tangan ketua tukang berkelahi, bukankah akan celaka?"
"Ha, betul sekali omonganmu, Siauw-kongcu!" Tiba-tiba Coa-lokai yang sudah berdiri lagi dengan tangan
dibalut berkata keras. "Memang Pangcu tidak perlu diganti lagi!"
"Pangcu, apa bila terpaksa dilakukan penggantian ketua, kurasa satu-satunya orang yang patut
menggantimu adalah orang tua tinggi besar ini," Kun Hong menudingkan telunjuknya ke arah Coa-lokai.
"Dia jujur dan setia sekali kepadamu."
Memang biar pun masih muda, pandangan mata Kun Hong amat mendalam dan sekali melihat saja dia
sudah tahu bahwa Coa-lokai adalah seorang yang setia dan jujur, sama sekali tak memiliki pamrih untuk
memperebutkan kedudukan, terbukti dari pembelaannya kepada ketuanya dan menyerang Sin-eng-cu tadi,
juga dari kata-katanya barusan.
Diam-diam Hwa-i Lokai kagum memandang Kun Hong. Bocah ini benar-benar luar biasa dan ucapannya
seperti orang yang sudah matang pengalamannya saja. Kalau bocah ini menyebut susiok (paman guru)
kepada Sin-eng-cu, tentulah ia memiliki kepandaian hebat pula.
Pada saat itu, Sun-lokai dan Beng-lokai sudah siap mendekati Kun Hong. Sun-lokai lalu berseru marah,
"Untuk apa mendengarkan omongan bocah gila itu? Usir saja dia dari sini, dia hendak mengacaukan
pemilihan ketua!"
"Betul, Pangcu. Bocah ini mencampuri urusan kita. He, bocah tak tahu aturan, lebih baik kau tutup mulutmu
dan pergi dari sini. Kalau tidak, mulutmu akan kuhancurkan dengan kepalanku!"
"Ji-wi Lokai jangan kurang ajar terhadap tamu!" Hwa-i Lokai cepat mencegah karena dia merasa tidak enak
sekali terhadap Sin-eng-cu.
Kun Hong tersenyum dan Sin-eng-cu hanya tersenyum-senyum juga. "Pangcu, apakah dua orang ini juga
pembantu-pembantumu? Alangkah jauh bedanya dengan Coa-lokai."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ehhh, orang muda, kau tadi datang-datang melawan kami bertempur untuk menentukan kemenangan.
Ada hak apakah kau hendak mencampuri urusan Hwa-i Kaipang?" bentak Sun-lokai.
Kini Kun Hong berbicara dengan muka sungguh-sungguh, "Lokai, aku mendengar bahwa perkumpulan ini
adalah perkumpulan Hwa-i Kaipang dan perkumpulan pengemis tentulah bertujuan untuk menolong para
pengemis serta memperbaiki nasib mereka. Akan tetapi kenapa untuk menentukan seorang ketua harus
memilih yang pandai ilmu silat dan kalian tadi saling gempur sendiri? Apakah Hwa-i Kaipang hendak
dijadikan perkumpulan tukang pukul?"
"Kau mengaku sebagai keponakan Sin-eng-cu, tetapi omongan apa yang kau keluarkan ini?" Sun-lokai
membentak, makin marah, "Kalau ketua kita seorang yang lemah, mana bisa memimpin Hwa-i Kaipang?"
"Ah, salah sama sekali!" Kun Hong berseru penasaran, "Apakah hanya seorang tukang pukul saja yang
dapat memimpin? Memimpin dengan cara kekerasan dan kekuatan sama sekali tidak baik."
Kini Beng-lokai juga mendekati Kun Hong. "Kau anak kecil bicara besar! Kalau seorang pemimpin tidak
mempunyai ilmu silat tinggi dan menggunakan kekerasan, mana bisa para anggota dipimpin dan mana
mereka bisa menaati ketuanya?"
Kun Hong mengalihkan pandangnya kepada pengemis tua gemuk pendek ini.
"Inilah sebabnya kenapa aku katakan salah. Memimpin dengan kekerasan mengandalkan kepandaian silat
memang bisa membikin anggotanya taat, akan tetapi hanya taat karena terpaksa! Bukan taat yang timbul
dari hati yang sejujurnya, melainkan taat untuk menjilat. Seharusnya kalian mempunyai seorang ketua
yang bijaksana, yang betul-betul mampu mengatur sehingga di antara para pengemis tidak saling gempur,
dapat menuntun mereka ke arah kejujuran, kesetiaan dan jalan benar sehingga mereka dapat menemukan
kembali lapangan pekerjaan yang terhormat."
Tiba-tiba terdengar suara ketawa yang membuat semua orang menengok karena yang tertawa terkekehkekeh
ini adalah Sin-eng-cu Lui Bok yang kini semua orang di situ tahu bahwa kakek ini adalah musuh
besar Ketua Hwa-i Kaipang.
"He-he-heh, Sin-chio The Kok, kalau benar-benar sayang kepada perkumpulanmu, kalau kau ingin melihat
perkumpulanmu menjadi maju dan sempurna, kau angkatlah Kwa Kun Hong ini menjadi ketua
menggantikanmu!"
Merah muka Ketua Hwa-i Kaipang itu dan ia pun memandang tajam. "Sin-eng-cu, apakah selain datang
hendak mengambil nyawaku kau pun bermaksud merampas kedudukan kaipang untuk murid
keponakanmu?" Pertanyaan ini terdengar keras dan pedas sehingga para anggota Hwa-i Kaipang juga
menjadi berisik.
"Ho-ho-ho, setelah berkumpul dengan orang-orang jahat kau makin tersesat, Sin-chio The Kok. Memang
tadinya pada saat aku mengabarkan kedatanganku kepadamu, sudah bulat dalam hatiku untuk
membunuhmu, membalaskan muridku yang kau bunuh dahulu. Akan tetapi ketahuilah, setelah bertemu
dengan murid keponakanku yang hebat ini, sekaligus dia bisa mengusir niatku itu dari otakku! Kini aku
tidak ingin membunuhmu lagi, The Kok. Ha-ha-ha, benar dia ini, kau sudah cukup tersiksa akibat
perbuatanmu sendiri. Walau pun dia ini murid keponakanku, tetapi dalam hal kebijaksanaan aku boleh
berguru kepadanya. Karena itu, apa bila dia yang menjadi ketua, aku tanggung Hwa-i Kaipang akan
menjadi perkumpulan yang besar dan maju, dan anak buahmu ini sebentar saja akan berubah menjadi
manusia-manusia benar. Berbeda kalau kau atau pengemis-pengemis bangkotan ini yang menjadi ketua,
para pengemis diajar silat, kelak dari pengemis berubah menjadi perampok. Heh-heh-heh!"
Kaget bukan main hati The Kok mendengar ini. Ada perasaan lega, girang, terharu dan juga malu. Ia lalu
menoleh dan memandang kepada Kun Hong yang masih berdiri tegak dengan sikap tenang sekali. Jadi
bocah yang sikapnya aneh ini malah telah menolong nyawanya dari ancaman Sin-eng-cu!
Ia tadinya sudah maklum bahwa ia pasti akan tewas di tangan Sin-eng-cu karena dalam hal ilmu silat, ia
jauh di bawah tingkat kakek itu. Sekarang Sin-eng-cu malah mengusulkan supaya pemuda yang bernama
Kwa Kun Hong ini menjadi ketua Hwa-i Kaipang.
"Sin-eng-cu, kau mengaku dia sebagai murid keponakanmu, sebetulnya pemuda ini murid siapakah?"
tanyanya agak meragu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek kurus itu tertawa lagi, "Ha-ha-ha-ha, jangan bicara tentang ilmu silat dengan Kun Hong, karena
mungkin dia tidak akan mampu dan suka membunuh seekor kucing pun. Akan tetapi dia ini murid suhengku,
gurunya adalah mendiang Bu Beng Cu."
Tidak ada yang mengenal Bu Beng Cu, juga Sin-chio The Kok tak pernah mendengarnya. Akan tetapi jika
pemuda ini adalah murid suheng dari Sin-eng-cu, sudah dapat dipastikan kepandaiannya tinggi juga.
Persoalan Ketua Hwa-i Kaipang bukanlah hal yang remeh, untuk memilih ketua harus dipilih orang yang
betul-betul tepat. Bagaimana ia bisa menerima seorang pemuda yang sama sekali belum dia ketahui
keadaannya ini untuk memimpin anggota Hwa-i Kaipang yang ratusan orang jumlahnya?
Selagi ia ragu-ragu, Beng-lokai dan Sun-lokai sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi. Beng-lokai
berkata kepada Kun Hong, "Bocah ini mau menjadi ketua kami? Boleh saja, asalkan dia mampu
mengalahkan aku, ha-ha-ha!"
"Juga dia harus bisa merobohkan aku, baru berhak menjadi ketua!" kata Sun-lokai sambil menggeser kaki
mendekati.
Melihat ini, tiba-tiba saja Sin-chio The Kok mendapatkan pikiran amat bagus. Dua orang pembantunya ini
memang tepat untuk menguji kepandaian pemuda itu. Maka ia berkata kepada Sin-eng-cu, "Kalau pemuda
ini berani menghadapi Beng-lokai dan Sun-lokai serta mengalahkan mereka, aku menerimanya menjadi
ketua Hwa-i Kaipang menggantikan aku. Memang betul bahwa untuk membimbing para anggota tak perlu
dipergunakan ilmu silat, akan tetapi tanpa mempunyai kepandaian tinggi, mana mampu menjaga
keamanan perkumpulan dan mana bisa menghalau segala orang-orang jahat?"
"Orang muda, kau sudah mendengar sendiri. Ketua kami sudah mengijinkan kami berdua menghadapimu.
Hayo kau robohkanlah kami!" berkata Beng-lokai dengan sikap mengejek dan terdengarlah suara tertawa
para pengemis pengikut kedua orang pembantu ini.
Kun Hong mengerutkan alisnya dan menggelengkan kepala. "Aku tidak pernah berkelahi dan aku pun tidak
mau berkelahi. Aku bukanlah tukang pukul!"
Ucapan ini kembali memancing datangnya tertawaan di kalangan anggota Hwa-i Kaipang. Perkumpulan ini
mengutamakan ilmu silat serta kegagahan, bahkan semua anggotanya mempelajari ilmu silat. Bagaimana
sekarang hendak mengangkat seorang pemuda lemah seperti itu sebagai ketua?
Kun Hong tidak peduli akan suara tertawa dan ejekan yang dilontarkan kepadanya, akan tetapi Sin-eng-cu
menjadi merah mukanya.
"Ehhh, Kun Hong, kau memalukan aku saja. Apakah kau takut menghadapi dua orang pengemis busuk
ini?"
Sepasang mata Kun Hong berkilat. Dia adalah keturunan seorang pendekar besar, ibunya pun seorang
pendekar wanita, darah kesatria mengalir di tubuhnya dan bagi keluarganya, kata-kata takut tidak terdapat
dalam kamus.
"Aku tidak pernah takut kepada siapa pun juga. Aku hanya takut kalau-kalau aku akan menyimpang dari
kebenaran." Jawaban Kun Hong ini adalah ucapan kuno yang pernah ia baca dalam kitab-kitabnya.
"Ha-ha-ha, bocah sombong, kalau kau tidak takut, hayo lawan kami berdua!" Beng-lokai berkata lagi.
Karena maklum bahwa Kun Hong tidak mungkin mau menyerang orang, Sin-eng-cu lalu berkata kepada
dua orang pembantu ketua itu, "Heh, dua orang jembel busuk, terhadap dua orang badut seperti kalian
yang jauh lebih rendah tingkatnya, murid keponakanku mana mau turun tangan? Jangan kalian hanya
petentang-petenteng menjual lagak, kalau ada kepandaian, hayo kalian boleh menyerang.”
Sun-lokai orangnya cerdik. Kalau kakek ini mencampuri dan turun tangan tentu mereka akan kalah. Tadi
sudah terbukti betapa hebatnya kepandaian kakek ini ketika merobohkan Coa-lokai. Malah Hwa-i Lokai
sendiri kelihatan takut kepada kakek ini. Ia lalu tertawa dan berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sin-eng-cu Lui Bok adalah seorang Locianpwe yang tingkatannya lebih tinggi dari kami yang bodoh. Kalau
Locianpwe maju membantu bocah ini nanti, meski kami pasti akan kalah akan tetapi bukan kami yang akan
menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw."
Sin-eng-cu memandang dengan mata melotot. "Monyet kau! Kalau aku memang punya kehendak
merobohkan manusia-manusia monyet semacam kau, perlu apa aku banyak cerewet lagi? Kalian boleh
serang dia, biar pun dia sampai terpukul mampus oleh kalian, aku tidak akan membantunya. Dengar janjiku
ini!"
Lega dan girang hati Sun-lokai mendengar ini. Ia sudah berhasll membakar hati kakek itu dan sekarang ia
dan Beng-lokai tidak usah takut akan turun tangannya kakek yang lihai itu. Mereka berdua saling memberi
isyarat dengan pandang mata, lalu berbareng mereka menyerang Kun Hong sambil berkata, "Bocah
sombong, awas, kalau sakit atau mati kau jangan persalahkan kami!"
Selama hidupnya Kun Hong belum pernah berkelahi. Kini menghadapi dua orang yang tiba-tiba
menyerangnya dengan pukulan-pukulan hebat, ia menjadi amat kaget dan gugup. Akan tetapi hanya
dengan beberapa langkah saja ia sudah dapat menghindarkan diri dari penyerangan dua orang itu.
Dalam pandangannya, serangan dua orang ini amat lambat dan mudah dikelit. Rajawali Emas kalau
sedang melatihnya jauh lebih gesit dan berbahaya. Oleh karena itu, dengan tenang-tenang dan mudah Kun
Hong berhasil mengelakkan semua serangan yang datang bertubi-tubi dari dua orang pengemis lihai tadi.
Bagi semua orang, kecuali Sin-eng-cu Lui Bok, gerakan-gerakan Kun Hong tidak karuan dan kacau-balau,
kelihatan seperti orang ketakutan dan beberapa kali terhuyung-huyung hendak roboh. Kadang-kadang dia
berjongkok, berdiri, berlari kecil, malah kadang-kadang merangkak. Namun semua serangan selalu
mengenai tempat kosong, bahkan menyentuh ujung bajunya pun tidak dapat.
Semakin lama para pengemis yang menonton menjadi semakin tegang dan kemudian bersorak-sorak
karena perkelahian yang tidak seimbang itu memang amat lucu. Kun Hong seperti seekor tikus yang
dikejar dan diperebutkan dua ekor kucing, ditubruk sini nyelinap sana, diterkam sana mengelak ke sini. Tak
seorang pun menganggap bahwa pemuda itu pandai ilmu silat karena gerakan-gerakan yang kacau balau
dan tidak teratur itu mana bisa disebut ilmu silat?
Bagi mereka, dianggapnya bahwa Kun Hong ketakutan dan kebingungan dan bahwa dua orang lokai itu
memang sengaja tidak mau melukainya atau hendak mempermainkannya terlebih dulu. Tak seorang pun
tahu bahwa diam-diam dua kakek pengemis itu kaget dan heran bukan main, tengkuk mereka terasa dingin
dan bulunya pada berdiri.
Hampir mereka itu tak dapat mempercayai kalau tidak mereka hadapi sendiri. Siapa tidak merasa seram
jika telah mengeluarkan seluruh kepandaian untuk memukul roboh pemuda lemah ini, akan tetapi tak
pernah mengenai sasaran?
Padahal tampaknya baik pukulan-pukulan dan tendangan-tendangan sudah tepat. Namun heran sekali,
begitu tiba pada sasaran, mendadak yang dijadikan sasaran telah berpindah tempat. Maka setelah lewat
lima puluh jurus, kedua orang pengemis ini menjadi pucat dan penuh keringat.
Selain Sin-eng-cu yang diam-diam mengagumi Kim-tiauw-kun ciptaan suheng-nya, juga Sin-chio The Kok
memandang dengan mata terbelalak. Ia pun bingung dan merasa heran, apa lagi kalau melihat gerakan
Kun Hong begitu kacau-balau seperti orang mabuk. Akan tetapi karena memang tingkat kepandaian The
Kok sudah amat tinggi, makin lama makin teranglah baginya bahwa gerakan atau langkah-langkah kaki
Kun Hong itu meski terlihat kacau, sebenarnya adalah langkah-langkah ajaib yang luar biasa sekali.
Begitu ia memperhatikan langkah-langkah itu, terasa matanya berkunang dan kepalanya pening. Ia terkejut
dan cepat-cepat mengumpulkan lweekang untuk menahan kepusingan. Ia mengerahkan tenaga untuk
memperhatikan terus, namun akhirnya ia harus mengalah, harus mengalihkah perhatiannya. Langkah itu
demikian ajaibnya dan luar biasa sehingga kalau ia paksakan, mungkin akan membuat ia jatuh pingsan!
Ketua Hwa-i Kaipang ini maklum bahwa pemuda aneh itu benar-benar telah mewarisi ilmu yang ajaib dan
tahu bahwa kedua orang pembantunya tentu akan menderita celaka kalau dilanjutkan, maka ia bermaksud
menghentikan pertempuran itu. Akan tetapi sebelum ia sempat membuka mulut, tiba-tiba berkelebat
bayangan orang yang gesit sekali dibarengi bentakan halus.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dua orang tua bangka tak tahu malu, berani kalian menghina pamanku?"
Gerakan bayangan ini gesit sekali, berbareng menyambar pula sinar hitam dan tahu-tahu Beng-lokai dan
Sun-lokai terhuyung-huyung ke belakang!
Ketika semua orang memperhatikan, bayangan itu adalah seorang gadis yang cantik dan gagah, yang
memegang sehelai sabuk hitam yang tadi ia pergunakan untuk menyerang dua orang itu sehingga mereka
terhuyung-huyung ke belakang. Pada saat berikutnya, kembali berkelebat bayangan orang dan seorang
gadis lain yang juga cantik manis sudah berdiri di situ dengan sikap gagah.
Beng-lokai dan Sun-lokai kaget sekali, akan tetapi mereka menjadi marah saat mendapat kenyataan
bahwa yang menyerang mereka tadi hanyalah seorang gadis muda. Berbareng mereka mencabut pedang
dan siap menerjang dua orang gadis itu.
Gadis yang memegang sutera hitam itu tersenyum mengejek, sedangkan gadis kedua juga mendadak
menggerakkan tangan dan tahu-tahu sebatang pedang tipis tajam sudah berada di tangannya.
"Hi-hik, kalian ini dua ekor keledai tua apakah sudah bosan hidup? Cu-cici (Kakak Cu), mari kita basmi dua
ekor keledai yang sudah berani kurang ajar terhadap Paman Hong ini!"
Kun Hong segera mengenal gadis pertama, seorang gadis lincah jenaka dan cantik yang bermata seperti
bintang pagi. Teringatlah ia ketika ia dahulu dikerek oleh gadis ini ke atas pohon mempergunakan sabuk
sutera hitam itu.
"Ehh... ehhh... kau... anak nakal... jangan berkelahi!" katanya mencegah.
Sementara itu, Hwa-i Lokai juga mernbentak kedua orang pembantunya, "Beng-lokai dan Sun-lokai, harap
kalian mundur dan simpan senjata!"
Suaranya berpengaruh dan tegas sehingga dua orang pembantunya yang masih merasa penasaran itu
tidak berani membantah lagi. Dengan muka keruh mereka segera mundur.
Sementara itu, Kun Hong memandang kepada gadis-gadis itu, memandang heran dan keningnya berkerut.
Ia mengenal gadis pertama yang dalam anggapannya adalah gadis yang berwatak nakal dan jahat, suka
berkelahi dan kejam. Ia merasa kuatir kalau-kalau kedatangan gadis ini lagi-lagi akan mendatangkan
bencana, bunuh membunuh di antara sesama manusia seperti yang ia saksikan di Hoa-san dahulu itu.
Akan tetapi ia juga heran mengapa gadis itu tadi menyebutnya sebagai pamannya!
"Eh, Nona yang nakal, bagaimana kau sampai tersesat ke tempat ini dan sejak kapan aku menjadi
pamanmu?" tegurnya dengan suara galak.
Gadis itu yang bukan lain adalah Kui Li Eng, berseri mukanya, matanya bercahaya jenaka dan ia tidak
menjawab, melainkan menoleh kepada gadis ke dua yang bukan lain adalah Thio Hui Cu.
"Cu-cici, benar tidak ceritaku? Paman Hong ini orangnya lucu, aneh dan keberaniannya membuat aku
terheran-heran. Seorang yang tidak memiliki kepandaian silat, tetapi berani merantau sampai ke sini.
Malah baru saja kita lihat tadi dia dikejar-kejar dua ekor keledai, akan tetapi sedikit pun tidak takut.
Agaknya di samping kelucuan dan keanehannya, dia pun memiliki nyawa rangkap."
Hui Cu yang alim dan pendiam menyembunyikan senyumnya, hanya sekilas saja berani menatap wajah
Kun Hong, lalu mengalihkan pandangnya.
"Hee, jangan kau memperolok aku! Kau belum menjawab pertanyaanku. Sejak kapan dan berdasarkan apa
kau mengaku sebagai keponakanku?"
Senyum Li Eng melebar, membuat wajahnya yang jelita itu makin manis dan ramah. Akan tetapi di balik
keramahan dan kejenakaannya tersembunyi pula sifat nakal yang terpancar keluar dari sepasang matanya.
"Paman Hong yang tercinta..."
"Hush...!" Merah muka Kun Hong. "Bicara yang benar, jangan berolok-olok!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau memang pamanku sejak aku dilahirkan dan berdasarkan kenyataan bahwa ayahmu adalah kakek
guruku. Kau anaknya, kalau bukan pamanku habis apaku? Bukan hanya aku, malah Cici Hui Cu ini pun
keponakanmu, karena dia adalah anak tunggal dari Supek (Uwa Guru) Thio Ki."
Kun Hong sampai meloncat-loncat saking kaget, heran, dan bingungnya. "Apa kau bilang? Mana bisa Suko
(kakak Seperguruan) Thian Beng Tosu mempunyai anak?"
Li Eng terkikik sambil menutupi mulutnya. "Tentu saja yang beranak bukan Supek, akan tetapi isterinya, hihi-
hik."
Hui Cu tidak dapat menahan geli hatinya, ditutupnya mulutnya yang kecil dengan tangan kanan. "Ihh, Engmoi,
jangan bicara tidak karuan."
Juga muka Kun Hong tampak bodoh, matanya terbelalak lebar. Ia sungguh-sungguh tidak mengerti.
Memang banyak hal yang tidak ia mengerti, di antaranya adalah tentang riwayat suko-nya itu, tidak tahu
sama sekali bahwa suko-nya yang dahulu bernama Thio Ki itu pernah punya isteri.
"Jangan kau main-main! Apakah sepeninggalku dari Hoa-san Suko telah menikah?"
Kembali Li Eng menoleh kepada Hui Cu. "Kau lihat, Cici. Alangkah lucunya. Di samping lucu, aneh dan
berani, juga ininya... kurang sekali." Ia menunjuk ke arah dahinya yang halus untuk menyindirkan tentang
kebodohan Kun Hong.
"Paman Hong, nanti kalau kau sudah pulang, kau akan mendengar sendiri semuanya. Pendeknya, Cici Cu
ini adalah anak tunggal dari Supek Thian Beng Tosu."
Bukan main girangnya hati Kun Hong. Dia memang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan di samping
pengetahuannya yang mendalam tentang ilmu kebatinan dan filsafat yang membuatnya kadang-kadang
bicara seperti seorang kakek-kakek. Mendengar ini, saking girangnya ia melompat ke depan memegang
pundak Hui Cu. Dipandangnya muka nona itu dan berkatalah dia kegirangan.
"Aduh senangnya...! Aku memiliki keponakan dan tahu-tahu sudah begini besar, begini... ehhh, cantik dan
manisnya. Kau bernama Hui Cu? Tentu namamu Hui Cu... tapi kenapa kau tidak mirip Suko? Ahh…, tentu
mirip ibumu."
Memang watak Kun Hong aneh bukan main. Dalam keadaan seperti itu, orang-orang pasti akan
menganggap ia gendeng atau setidaknya kurang ajar, padahal semua itu timbul dari lubuk hatinya yang
benar-benar menjadi girang bukan main.
Karuan saja Hui Cu yang alim, pendiam dan pemalu menjadi merah mukanya. Dia hanya tersenyum
sedikit, memandang sekilas kemudian tunduk dengan telinga merah, apa lagi ditertawakan oleh Li Eng dan
malah terdengar pula suara ketawa dari banyak pengemis yang hadir di situ.
"Iihh, Paman Hong. Kau membuat aku mengiri. Aku bisa marah, lho! Bukan hanya Enci Cu keponakanmu,
aku pun keponakanmu, apa kau lupa?"
Kun Hong melepaskan pegangannya pada kedua pundak Hui Cu, lalu memandang Li Eng, keningnya
berkerut. "Dia ini puteri Suko, tentu saja seperti keponakanku sendiri. Tapi kau ini, kau bocah nakal, kau
anak siapa berani mengaku sebagai keponakanku?"
Li Eng cemberut. "Sudahlah, kalau kau tidak mau mengakui ayah bundaku, sudahlah...! Memang orang
macam aku mana patut menjadi keponakanmu?"
Hui Cu merangkul Li Eng. "Adik Eng, jangan ngambek. Ehh, Paman Hong, sesungguhnya Eng-moi adalah
keponakanmu karena dia adalah puteri tunggal dari Bibi Thio Bwee dan Paman Kui Lok yang sekarang
sudah berkumpul di Hoa-san-pai."
"Begitukah?" Kun Hong sampai berteriak keras saking girangnya.
Kun Hong lalu menyambar tangan Li Eng, ditariknya dan seperti gila ia menari-nari sambil menggandeng
tangan gadis itu mengelilingi lapangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bagus, kau puteri mereka? Ha-ha-ha, mereka jadinya masih hidup dan sudah kembali ke Hoa-san-pai?
Aduh senangnya!"
"Hush... apa-apaan kau ini, Paman Hong?" Li Eng menjadi malu juga karena dia dipaksa menari-nari tidak
karuan, "Dilihat banyak orang, apa tidak malu? Hayo kita pergi dari sini, kembali ke Hoa-san. Sukong
mengharap-harap kembalimu."
Kun Hong melepaskan gandengannya. "Memang tadinya aku pun hendak kembali, apa lagi sekarang
setelah semuanya berada di sana."
Kun Hong lalu menoleh kepada Sin-eng-cu Lui Bok yang sejak tadi hanya melihat dan mendengarkan
sambil tersenyum-senyum gembira. Terhadap kakek ini Kun Hong segera menjura dan berkata, "Susiok,
perkenankan teecu pergi, karena teecu harus kembali ke Hoa-san."
Sin-eng-cu Lui Bok tersenyum dan berkata, "Pulanglah, Kun Hong dan berbahagialah kau. Aku pun akan
mencapai kebahagiaan di puncak Bukit Kepala Naga, mendekati mendiang Suheng yang bijaksana."
Setelah berkata demikian, Sin-eng-cu Lui Bok lalu berjalan membungkuk-bungkuk sambil memutar-mutar
tongkatnya. Biar pun kelihatannya jalan seenaknya, namun sebentar saja ia sudah lenyap dari pandangan
mata.
Kun Hong lalu berpaling kepada Hwa-i Lokai dan menjura. "Pangcu, harap maafkan kalau kedatanganku ini
mengganggu urusanmu. Sesudah Susiok pergi, urusan antara dia dan Pangcu sudah habis, perkara
pemilihan ketua terserah kepadamu."
Ia menoleh kepada Li Eng dan Hui Cu, lalu berkata gembira, "Hayo, anak-anak! Hui Cu dan... ehhh, kau
yang nakal siapa namamu?"
Dua orang gadis itu menutupi mulut dengan geli melihat sikap Kun Hong yang lucu dan tolol ini. "Paman
Hong, namaku Kui Li Eng, jangan lupa lagi!"
"Hayo kita pergi dari sini!" kata lagi Kun Hong.
Akan tetapi Hwa-i Lokai segera melangkah maju dan menjura sambil berkata, "Nanti dulu, Siauw-sicu. Aku
atas nama Hwa-i Kaipang menerima usul Locianpwe Lui Bok tadi untuk menyerahkan Hwa-i Kaipang ke
dalam bimbinganmu. Aku mengangkat kau sebagai ketua baru dari Hwa-i Kaipang!"
Sin-chio The Kok atau Hwa-i Lokai adalah orang yang amat luas pandangannya. Memang ia bercita-cita
membuat perkumpulan Hwa-i Kaipang menjadi perkumpulan yang kuat dan sekarang ia melihat ke
sempatan yang amat baik untuk memperkuat perkumpulannya itu.
Pemuda ini terang adalah seorang luar biasa. Sungguh pun kelihatannya tidak memiliki kepandaian ilmu
silat, namun memiliki pribudi tinggi dan pengetahuan luas. Apa lagi yang mengusulkan supaya pemuda ini
diangkat menjadi ketua adalah seorang tokoh besar, yaitu Sin-eng-cu Lui Bok yang ternyata masih susiok
pemuda ini.
Sekarang, melihat sepak terjang dua orang gadis itu, jelas bahwa pemuda ini selain murid keponakan Sineng-
cu Lui Bok, kiranya masih mempunyai hubungan erat dengan pihak Hoa-san-pai. Jika Hwa-i Kaipang
dapat mengangkat pemuda ini menjadi ketua, bukankah berarti bersekutu dengan Sin-eng-cu dan Hoasan-
pai sehingga menjadi amat kuat?
Di lain pihak, Kun Hong gelagapan dan bingung setengah mati mendengar ucapan kakek itu. Dia
mengangkat tangan dan menggerak-gerakkan tangannya tanda menolak. "Tidak bisa... tidak bisa, Pangcu.
Aku yang bodoh mana bisa menjadi Ketua Hwa-i Kaipang?"’
Pada saat itu terdengar suara Coa-lokai yang keras dan kasar, "Saudara-saudara para anggota Hwa-i
Kaipang yang masih setia kepada Hwa-i Lokai, hayo kita lekas berlutut memberi hormat kepada pangcu
yang baru!"
Pengemis tinggi besar itu segera menjatuhkan diri berlutut di depan Kun Hong. Tampak di belakangnya
banyak sekali para pengemis ikut berlutut. Hanya beberapa orang pengemis yang berpihak kepada Bengdunia-
kangouw.blogspot.com
lokai dan Sun-lokai tidak mau berlutut, hanya memandang kepada dua orang pemimpin mereka yang
berdiri dengan muka merah.
Kun Hong menjadi semakin gugup, apa lagi ketika melihat Hwa-i Lokai sendiri menjura kemudian
mengangguk-angguk berkali-kali. Ketika ia memandang kepada Coa-lokai yang memelopori para anggota
itu, dia melihat wajah pengemis tua ini berpeluh, dan kelihatan jelas ia menderita rasa sakit yang hebat,
sedangkan lengan pergelangan membengkak. Teringatlah ia betapa dalam membela ketuanya, pengemis
ini tadi terluka oleh Sin-eng-cu Lui Bok.
Ia segera memberi isyarat dengan tangannya, berkata, "Lokai, kau ke sinilah!"
Dengan sikap hormat dan juga terheran-heran, Coa-lokai bangkit dan menghampiri Kun Hong. Pemuda ini
tanpa ragu-ragu lagi lalu memegang lengan kanan Coa-lokai. Beberapa kali memijat saja tahulah Kun
Hong bahwa tulang lengan itu tidak patah, tetapi terlepas sambungannya. Memang sejak membaca kitab
pelajaran ilmu pengobatan dari Toat-beng Yokmo, pengetahuan Kun Hong tentang luka dalam dari segala
macam penyakit menjadi luar biasa sekali.
"Untung Susiok tadi masih menaruh kasihan kepadamu," katanya perlahan. "Lain kali kau jangan
memandang rendah orang seperti dia, Lokai."
Ia memijat sana menotok sini dan sebentar saja sambungan tulang pergelangan itu telah baik kembali dan
lengan itu mengempis lagi. "Masukkan tanganmu yang ini ke dalam saku dan jangan digerak-gerakkan
selama sehari semalam. Tentu akan sembuh kembali."
Tidak hanya Coa-lokai yang kegirangan dan terheran-heran, namun semua orang di situ terheran-heran,
termasuk Li Eng dan Hui Cu.
"Terima kasih atas pertolongan Pangcu," kata Coa-lokai sambil melangkah mundur.
"Aku bukan ketuamu, ketuamu adalah Hwa-i Lokai itulah," kata Kun Hong.
"Tidak, kaulah Pangcu kami yang baru, Siauw-sicu. Dan inilah tanda ketua, harap kau sudi menerimanya
dariku."
Hwa-i Lokai kemudian mengeluarkan sebatang tongkat kecil yang berlukiskan kembang-kembang indah,
diangsurkan pada Kun Hong. Tentu saja Kun Hong tidak mau menerima tongkat itu.
"Jangan, Pangcu. Aku tak berani menerimanya. Kau tetaplah menjadi Pangcu atau pilihlah di antara
pembantumu. Aku akan pulang ke Hoa-san."
Berkerut kening Hwa-i Lokai dan wajah kakek ini menjadi pucat. "Sicu, ada satu peraturan yang kami
pegang keras, yaitu apa bila kami dihina, kami harus mempertahankan nyawa untuk menebus hinaan.
Penolakanmu terhadap pemilihan ketua merupakan penghinaan bagi kami. Akan tetapi, oleh karena kau
adalah seorang mulia dan budiman yang sudah menolong nyawaku dari ancaman mati di tangan Sin-engcu,
bagaimana aku bisa berbuat dosa terhadapmu? Karena itu, apa bila kau tetap menolak untuk
menerima tawaran kami menjadi Pangcu dari Hwa-i Kaipang, aku tua bangka ini akan membunuh diri di
depan kakimu untuk menebus penghinaan ini. Selanjutnya tentang Hwa-i Kaipang kuserahkan kepadamu!"
Setelah berkata demikian, kakek itu lalu mencabut pedangnya, siap untuk melakukan pembunuhan diri.
"Heiii, jangan...!" Kun Hong cepat maju dan memegang lengan Ketua itu yang memegang pedang,
"Sabarlah, Pangcu... wah, bagaimana ini baiknya? Kau tidak boleh membunuh diri!"
"Kalau Sicu menolak, terpaksa aku membunuh diri menebus penghinaan."
Kun Hong memutar otaknya dan pemuda yang cerdik ini sudah mendapat jalan.
"Baiklah... baiklah, kau simpan dulu pedangmu."
Dengan muka girang Hwa-i Lokai menyimpan pedangnya dan memberikan tongkat kecil itu. Terpaksa Kun
Hong menerimanya dan para pengemis anggota Hwa-i Kaipang lantas bersorak girang, kecuali mereka
yang tidak setuju.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Begini Hwa-i Lokai. Sesudah aku menjadi ketua, tentu semua anggota Hwa-i Kaipang, termasuk kau
sendiri, akan taat dan menurut perintahku, bukan?"
"Tentu saja, walau pun disuruh menyerbu ke dalam lautan api, kami akan taat terhadap perintah pangcu"
kata Hwa-i Lokai penuh semangat.
"Nah, bagus! Sekarang perintahku yang pertama. Aku mengangkat kau menjadi Ji-pangcu (ketua ke dua)
yang mewakili aku memimpin Hwa-i Kaipang jika aku tidak berada di sini. Kau boleh memilih pembantu
sendiri dan selama aku tidak berada di sini, kaulah yang menjadi wakilku dengan kuasa sepenuhnya.
Sekarang aku mempunyai keperluan penting sekali, harus kembali ke Hoa-san, maka kaulah yang menjadi
wakilku untuk sementara."
Semua orang tahu belaka bahwa ini merupakan akal pemuda itu, akan tetapi karena ini merupakan
perintah, tentu saja tidak ada yang berani membantah.
"Tentu saja Lokai taat terhadap perintah Pangcu, akan tetapi harap saja Pangcu tidak menganggap ini
sebagai main-main dan jangan berbuat tega terhadap Hwa-i Kaipang," kata kakek itu.
Li Eng adalah seorang gadis yang banyak pengertiannya tentang dunia kang-ouw, maka ia segera berkata
kepada Hwa-i Lokai, "Lokai, harap kau maklumi keadaan Pamanku ini. Ketahuilah, dia adalah putera
tunggal dari Ketua Hoa-san-pai, sebelum menerima ijin dari ayahnya, mana dia berani berdiam di sini
menjadi ketua Hwa-i Kaipang?"
Hwa-i Lokai nampak terkejut. Memang sama sekali ia tidak menduga bahwa pemuda ini adalah putera
Ketua Hoa-san-pai! Akan tetapi Kun Hong sudah menerima tongkat dan sudah menjadi Ketua Hwa-i
Kaipang, maka diam-diam ia menjadi makin girang.
"Ah, kiranya Pangcu kita yang baru adalah putera Hoa-san-pai Ciang-bunjin! Tentu saja perintah Pangcu
kami taati dan kami harap saja setelah tiba di Hoa-san dengan selamat, lain kali Pangcu memerlukan
membuang waktu untuk menengok keadaan kami."
Kun Hong girang. Ia menganggap bahwa akalnya berhasil. Hanya namanya saja menjadi ketua, apa
salahnya? Ia mengangguk-angguk dan tersenyum.
Akan tetapi dengan marah Beng-lokai dan Sun-lokai melompat maju. Beng-lokai bersama Sun-lokai ini
tadinya masih tidak berani banyak tingkah ketika Sin-eng-cu Lui Bok masih berada di situ karena maklum
akan kelihaian kakek itu. Akan tetapi sekarang setelah kakek itu pergi, mereka tidak takut lagi, lebih-lebih
karena memang mereka ini mempunyai pendukung-pendukung di belakang mereka.
"Tidak adil sekali keputusan ini!" seru Sun-lokai.
"Aku tidak setuju kalau ketua baru dipilih orang luar!" seru Beng-lokai.
"Kalau Pangcu hendak mengundurkan diri, seharusnya yang menjadi calon adalah kami bertiga lokai, dan
di antara kami bertiga dipilih yang paling cakap untuk menjadi ketua baru. Kenapa sekarang memilih
seorang bocah luar yang masih ingusan? Aku tidak setuju akan keputusan ini!" kata pula Sun-lokai.
"Betul sekali ucapan Sun-lokai. aku pun tidak mau terima. Apa bila bocah tolol ini dapat memecahkan
dadaku, baru aku mau mengakui dia sebagai Ketua Hwa-i Kaipang! Ehh, bocah sombong, hayo maju dan
lawanlah aku!" Beng-lokai menantang.
"Hayo, perlihatkan kegagahanmu, kalau kau memang laki-laki!" tantang pula Sun-lokai.
Dua orang kakek itu sudah mencabut pedang masing-masing.
"Aku tidak bisa berkelahi, juga tidak mau berkelahi, Ji-wi Lokai harap sabar dan mundur karena mulai
sekarang Ji-wi kuanggap bukan pengurus Hwa-i Kaipang lagi. Aku tidak mau melihat pengurus atau
anggota Hwa-i Kaipang yang suka berkelahi dan kelihatan sekali hasratnya untuk memperebutkan pangkat
dan kedudukan. Ji-wi akan memberikan contoh yang buruk kepada para anggota. Harap Ji-wi mundur."
Bukan main marahnya Beng-lokai. Terang-terangan mereka dipecat!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau... kau...!" Beng-lokai hendak memaki akan tetapi saking marahnya tak ada sepatah kata pun keluar
dari mulutnya, sedangkan Sun-lokai maju dengan sikap mengancam.
Hwa-i Lokai lalu membentak, "Beng-lokai dan Sun-lokai, kalian sudah mendengar perintah Pangcu. Mulai
saat ini kalian bukan lagi pembantu pengurus dan juga dikeluarkan dari keanggotaan. Lepaskan tali-tali
putih dari pinggang kalian."
Muka dua orang pengemis itu menjadi pucat saking marahnya. Tanpa berkata sesuatu mereka
melepaskan tujuh helai ikat pinggang putih dari pinggang masing-masing, lalu dengan suara lantang
mereka berkata kepada Kun Hong,
"Kami sekarang sebagai orang luar menantang kepada ketua baru dari Hwa-i Kaipang untuk mengadu
kepandaian. Kalau tidak berani, maka ketua baru dari Hwa-i Kaipang hanyalah seorang pengecut hina..."
Yang mengeluarkan kata-kata ini adalah Beng-lokai dan terpaksa ia berhenti bicara karena tiba-tiba Hui Cu
sudah berdiri di depannya dengan pedang di tangan.
"Keparat bermulut kotor!" gadis ini membentak dengan suara nyaring dan mata berapi-api, "Manusia tak
tahu diri, pamanku sengaja mengalah padamu akan tetapi malah membuat kepalamu membesar dan
mulutmu jadi melebar. Siapa sih yang takut terhadap manusia macammu? Biar ada sepuluh orang macam
kau, majulah semua dan tidak usah Paman Hong menggerakkan tangan, biar yang sepuluh itu dilawan
oleh aku seorang!"
"Hi-hi-hik!" Li Eng mengeluarkan suara ketawa ditahan. "Biasanya Enci Cu pendiam dan penyabar,
sekarang mendadak pintar memaki dan mudah marah!"
Kun Hong yang kuatir kalau-kalau keponakannya mencari gara-gara, segera maju dan berkata kepada Hui
Cu, "Hui Cu, jangan kau sembarangan membunuh orang. Aku larang kau membunuh orang!"
Hui Cu mengerling sekilas ke arah Kun Hong sambil menjawab, "Paman Hong, yang begini ini
sesungguhnya tidak patut disebut orang dan kalau tidak dibunuh hanya akan mengotori dunia. Akan tetapi
karena kau melarang, baiklah, aku takkan membunuhnya, cukup membikin dia bertobat."
Tentu saja Beng-lokai menjadi semakin marah. Orang berbicara seenaknya saja tentang dirinya, seakanakan
dia ini seekor tikus saja. Dan yang bicara hanya seorang gadis muda yang lebih patut disebut kanakkanak.
Ia mengeluarkan suara menggereng,
"Ketua baru benar-benar pengecut! Tidak berani maju sendiri mengandalkan wanita..."
"Plakk!"
Entah bagaimana, tahu-tahu tangan kiri Hui Cu sudah menampar pipi kanan Beng-lokai, membuat kakek
ini sempoyongan. Dia lalu meraba pipinya yang telah menjadi bengkak. Matanya melotot, mukanya merah
dan napasnya memberat, tanda bahwa kemarahannya telah amat memuncak. Saking marahnya ia sampai
tak memperhitungkan bahwa dengan gerakannya tadi Hui Cu sudah memperlihatkan kelihaiannya.
"Hi-hi-hik, Enci Cu. Kalau kau nanti tidak mencuci tanganmu dengan air panas, aku tidak mau menyentuh
tangan kirimu yang berbau keledai!" Li Eng berkata dan terdengarlah suara ketawa di sana-sini, terutama
dari pihak para anggota yang tidak suka terhadap Beng-lokai. Memang Li Eng seorang gadis yang
berwatak nakal dan pandai bicara.
Beng-lokai yang sudah tak dapat menahan kemarahannya lagi itu, sudah menerjang Hui Cu dengan
serangan pedangnya. Hui Cu cepat meloncat ke tengah pelataran dan kakek itu mengejarnya. Di sinilah
Hui Cu memperlihatkan kepandaiannya. Dengan gerakan yang amat indah ia mainkan pedangnya
sehingga Kun Hong yang melihat menjadi melongo.
Sebagai putera pendekar, tentu saja dia sering kali melihat orang bermain pedang, akan tetapi belum
pernah ia melihat permainan pedang yang begini indahnya, bagaikan orang menari saja.
Beng-lokai juga bermain pedang, akan tetapi dibandingkan dengan permainan Hui Cu, permainan
pedangnya jelek sekali sehingga mereka merupakan pasangan penari pedang yang tidak seimbang.
Hampir lupa Kun Hong bahwa dua orang itu sama sekali bukannya sedang menari, melainkan sedang
saling serang dan bahwa dua pedang yang berkelebat itu sebetulnya sedang mengarah nyawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang indah gerakan pedang Hui Cu. Hal ini tidak aneh kalau diingat bahwa ibunya, Lee Giok, adalah
murid dari Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan dan biar pun ia belum mewarisi keseluruhan ilmu Pedang Sian-li
Kiam-sut yang hebat dan indah, sedikit banyak ia telah mewarisi gayanya yang indah seperti orang menari.
Dan tentu saja Lee Giok menurunkan seluruh ilmu pedang dan kepandaiannya kepada puterinya ini.
Begitu bergerak, Li Eng yang jauh lebih tinggi tingkat ilmu pedangnya itu maklum bahwa Hui Cu tak akan
kalah. Karena itu ia pun lalu menghampiri Sun-lokai dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung
pengemis yang agak bongkok itu.
"Apa kau juga ingin menantang pamanku? Kalau betul, kau boleh keluarkan pedangmu dan menyerangku.
Aku akan melayanimu dengan sabuk suteraku ini. Berani tidak kau?"
Kata-katanya bernada mengejek sekali sehingga pengemis tua yang bongkok itu menjadi marah. Biar pun
tua dan bongkok, Sun-lokai memiliki watak mata keranjang. Menghadapi seorang gadis muda yang cantik
jelita seperti Li Eng, belum apa-apa hati kakek ini sudah berdebar tidak karuan.
"Li Eng, kau pun tidak boleh membunuh orang!" Dengan hati kecut dan penuh kekuatiran Kun Hong
membentak ke arah Li Eng.
Dia sudah tahu akan kenakalan dan keganasan gadis itu. Karena itu ia benar-benar kuatir kalau-kalau
‘keponakan’ ini akan menimbulkan kekacauan dan membunuh orang.
Li Eng membalikkan tubuhnya dan membungkuk ke arah Kun Hong dengan lagak seperti seorang hamba
terhadap rajanya sambil berkata, "Hamba akan mentaati perintah Paduka Paman Raja!"
Akan tetapi Kun Hong tidak dapat menerima kelakar ini, malah membelalakkan matanya dan berseru
kaget, "Li Eng, awas belakangmu!"
Pada saat Li Eng membelakanginya, Sun-lokai telah menerjang maju sambil menusukkan pedangnya ke
punggung gadis itu. Menyaksikan ini, Hwa-i Lokai amat kaget sampai tanpa sadar dia membentak marah.
Juga semua orang kaget sekali dan mengira bahwa tusukan yang cepat dan hebat ini pasti akan
menewaskan Li Eng.
Tapi orang yang dikuatirkan enak saja. Tanpa menoleh Li Eng menggerakkan tangannya dan seperti ada
mata tajam di belakang tubuhnya, sabuk sutera hitam di tangannya lantas menyambar ke belakang dan
menangkis tusukan pedang itu.
Para pengemis bersorak gembira menyaksikan kehebatan gadis lincah ini. Apa lagi ketika Li Eng dengan
gerakan yang amat lincahnya telah berputar dan kini sabuk sutera hitam itu berkelebat, mengeluarkan
bunyi bergeletar seperti cambuk dan bertubi-tubi menyerang ke semua bagian tubuh yang berbahaya dari
Sun-lokai!
Pertempuran terbagi menjadi dua bagian. Akan tetapi baik Beng-lokai mau pun Sun-lokai berada di pihak
yang terdesak hebat. Beng-lokai juga amat payah menghadapi permainan pedang Hui Cu yang indah
namun mempunyai daya serang yang amat ganas itu. Yang paling celaka adalah Sun-lokai karena sejak Li
Eng menghadapinya, ia sama sekali tidak dapat balas menyerang, akan tetapi harus menangkis dan
mengelak karena kedua ujung sabuk hitam itu bagaikan ular-ular hidup menyambar-nyambar cepat sekali.
Akhirnya sabuk itu membelit jari-jari tangan kanannya dan sekali renggut pedangnya lalu terlepas dari
tangannya, jatuh ke atas tanah. Tak berhenti sampai di situ saja, ujung-ujung sabuk itu terus memecutinya
ke muka, leher, dan dadanya.
Sun-lokai berteriak-teriak kesakitan dan berloncatan sambil mundur, akan tetapi sabuk itu mengejarnya
terus. Bahkan pada saat ia membalikkan tubuh hendak keluar dari lapangan pertempuran, ujung sabuk itu
mengeluarkan bunyi…
"Tar-tar-tar!" melecuti pantatnya, membuat ia berjingkrak-jingkrak kesakitan!
Dan pada saat itu pun Beng-lokai terluka lengan kanannya sehingga pedangnya terlempar pula.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Li Eng, Hui Cu, sudah cukup, mundurlah!" Kun Hong membentak, kuatir kalau-kalau dua orang gadis itu
akan turun tangan terus dan membunuh orang.
Sambil tertawa-tawa Li Eng menarik kembali sabuknya dan Hui Cu juga tidak menyerang terus, tetapi
membiarkan lawannya mundur dengan muka merah padam kemalu-maluan. Terdengar seruan-seruan
memuji dari para pengemis dan tahulah mereka bahwa kedua orang gadis keponakan ‘ketua baru’ itu
benar-benar lihai sekaii, apa lagi gadis lincah yang bersenjata sabuk hitam.
"Hwa-i Lok-kai mengandalkan tenaga dari luar menghina anak buah sendiri, benar-benar bagus!" terdengar
beberapa suara orang. Ternyata yang mengeluarkan suara ini adalah para pemimpin perkumpulan
pengemis baju hijau dan baju merah. "Saudara-saudara, kita golongan pengemis harus diketuai oleh
pengemis pula, mana bisa dipimpin oleh seorang sastrawan muda jembel? Yang tidak puas dengan
pimpinan Hwa-i Kaipang, boleh datang ke tempat kami. Pintu kami terbuka lebar-lebar untuk saudara
sekalian!"
Hwa-i Lokai tidak menjawab, hanya memandang dengan mata tajam ke arah rombongan tamu yang
berangsur-angsur bergerak meninggalkan tempat itu tanpa pamit lagi. Yang membikin hatinya panas dan
kecewa adalah pada saat ia melihat Beng-lokai, diikuti oleh banyak pengemis Hwa-i Kaipang, pergi pula
meninggalkan tempat itu untuk menggabung kepada perkumpuan-perkumpulan lain.
"Hwa-i Lokai harap jangan berduka," berkata Kun Hong yang dapat melihat keadaan hati orang dan dapat
menduga pula apa sebabnya. "Dua orang lokai itu memang mempunyai hati yang bengkok terhadap Hwa-i
Kaipang. Karena mereka tidak memiliki harapan untuk menjadi ketua di sini, mereka pergi ke perkumpulan
lain. Biarlah, orang-orang yang tidak setia kepada perkumpulan sendiri, berarti mempunyai watak yang
tidak jujur dan lebih baik kalau perkumpulan ini dijauhi dari orang-orang semacam itu. Sekarang aku minta
diri, Lokai, karena aku harus pulang ke Hoa-san."
Hwa-i Lokai dan Coa-lokai membujuk agar Kun Hong dan dua orang gadis itu suka tinggal di situ beberapa
hari lagi, akan tetapi Kun Hong tetap menolaknya. Akhirnya Hwa-i Lokai terpaksa melepaskan mereka
pergi setelah memberi bekal roti kering, potongan perak dan tiga ekor kuda yang bagus kepada ketua baru
bersama dua orang keponakannya itu.
Baru saja tiga orang muda itu sampai di luar dusun menunggangi kuda mereka, tiba-tiba Kun Hong
memberi tanda isyarat untuk berhenti. Hui Cu dan Li Eng cepat menahan kuda masing-masing.
"Hui Cu, Li Eng, mari kita turun. Aku tidak suka menunggang kuda," kata Kun Hong.
Dua orang gadis itu saling pandang dengan heran. Li Eng tentu saja segera membantah. "Paman Hong ini
bagaimana sih? Perjalanan kita sangat jauh, dengan menunggang kuda saja belum tentu bisa sampai tiga
empat bulan. Sudah ada kuda pada kita, bagaimana sekarang hendak turun lagi?"
"Kau anak kecil tahu apa?" Kun Hong membentak. "Tiga ekor kuda ini harganya tentu tidak murah. Hwa-i
Kaipang lebih membutuhkan kuda-kuda ini dari pada kita. Kita masih muda, mempunyai sepasang kaki dan
mampu berjalan, kalau perlu bisa lari. Kuda ini kita kembalikan saja."
"Ahh, Susiok (Paman Guru) aneh sekali... orang sudah memberikan kepada kita, kenapa hendak
dikembalikan? Kalau memang tidak suka, kenapa tadi tidak ditolak saja?" lagi-lagi Li Eng membantah
dengan bibir semberut.
Akan tetapi Kun Hong tidak mempedulikan protes gadis lincah itu dan kebetulan sekali dari depan tampak
seorang pengemis baju kembang lewat di jalan itu. Kun Hong segera memanggilnya dan pengemis ini
segera datang dengan membungkuk-bungkuk memberi hormat karena dia pun mengenal ketua baru ini
bersama dua orang keponakannya yang lihai.
"Pangcu hendak memerintah apakah?" tanyanya.
"Lokai, kau tuntunlah tiga ekor kuda ini dan kembalikan kepada Hwa-i Lokai, katakan saja kepadanya
bahwa kami bertiga hendak melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki saja. Nah, cepat bawalah."
Sejenak pengemis itu terlongong akan tetapi ia tidak berani membantah, lalu dituntunnya tiga ekor kuda itu
kembali ke tempat semula, yaitu di kaki Pegunungan Ta-pie-san. Ada pun Kun Hong mengajak dua orang
keponakannya melanjutkan perjalanan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Li Eng, kau jangan cemberut saja. Kau memang rewel sekali, tidak seperti Hui Cu yang pendiam dan
manis," kata Kun Hong.
Semakin meruncing bibir Li Eng. "Kau memang tidak tahu disayang orang! Aku rewel dan cerewet bukan
untuk diriku sendiri. Bagi aku dan Cici Hui Cu, jalan kaki apa sukarnya? Kami memiliki ilmu berlari cepat
dan kiranya tidak akan kalah cepat dengan larinya kuda. Akan tetapi bagaimana dengan kau, Paman
Hong? Kau tentu tidak kuat berjalan jauh, lagi pula jalanmu sangat pelan. Perjalanan kita masih jauh sekali,
kalau menuruti kau berjalan seperti siput, sampai bertahun-tahun kita tak akan bisa pulang ke Hoa-san!"
Kun Hong tersenyum menggoda. "Biar sampai sepuluh tahun, jika melakukan perjalanan bersama kalian
berdua aku tak akan menjadi bosan."
"Iihhh, dasar...," Li Eng melerok.
Hui Cu yang semenjak tadi diam saja, sekarang berkata kepada Kun Hong tanpa berani memandang
wajah pemuda itu, "Paman agaknya masih belum tahu bahwa kita tidak akan menuju ke Hoa-san karena
kami berdua memang diberi tugas oleh Sukong untuk pergi ke Thai-san."
"Heee...?! Ke Thai-san? Bukankah Thai-san itu tempat tinggal pendekar sakti Tan Beng San Taihiap yang
dipuji-puji oleh Ayah dan katanya menjadi Raja Pedang?" Kun Hong bertanya dengan tercengang.
"Kalau dia raja, kau pun raja, Paman Hong," kata Li Eng yang sudah gembira kembali dari kecewanya
akibat kehilangan kuda. "Cuma bedanya, kalau Tan Beng San Taihiap itu Raja Pedang, kau adalah raja
pengemis!"
Senang hati Kun Hong melihat gadis lincah itu tidak marah lagi karena kehilangan kuda. "Bagus, bagus,
kau pun hanya menjadi keponakan raja pengemis, Li Eng. Nah, jangan main-main lagi, lekas ceritakan
betulkah kita akan ke Thai-san dan ada keperluan apakah Ayah menyuruh kalian ke sana?"
Li Eng menjura dengan tubuh membungkuk dalam. "Baiklah, Paman Raja. Hamba tidak berani main-main
lagi. Hamba berdua diperintah pergi ke Thai-san untuk melihat apakah benar Sang Puteri dari Raja Pedang
betul-betul cantik jelita dan gagah perkasa seperti yang disohorkan orang dan kalau betul begitu, hamba
berdua disuruh... ehh, melamarnya untuk Paduka Paman Raja."
"Iihh, Adik Eng! Terlalu sekali kau mempermainkan Susiok!" Hui Cu menegur.
Li Eng tersenyum lebar dan memandang pada Kun Hong sambil berkata, "Apa salahnya, Cu-cici? Kalau
bukan pamannya yang baik, yang sabar, yang budiman dan bijaksana, masa aku berani menggoda dan
main-main. Betul tidak, Susiok?" pandang matanya dan senyumnya menjadi amat manja sehingga tak
mungkin orang dapat marah kepada gadis remaja yang menggemaskan dan lucu ini.
Untuk sejenak Kun Hong melongo memandang tingkah Li Eng yang amat menarik hatinya ini. Kemudian ia
menarik napas panjang dan berkata, "Sudahlah, memang sejak dahulu Li Eng suka menggoda orang. Hui
Cu, coba kau ceritakan dengan jelas apa maksud kalian ke Thai-san."
Sambil berjalan perlahan Hui Cu bercerita, "Sukong mendapat kabar bahwa Tan-taihiap di Thai-san akan
meresmikan pendirian Thai-san-pai sebagai perkumpulan persilatan baru di dunia kang-ouw. Peresmian ini
disertai pesta dan banyak tokoh-tokoh di dunia kang-ouw diundang. Sukong sendiri tidak bisa pergi, maka
mengutus kami berdua pergi ke Thai-san dan menyampaikan selamat serta barang sumbangan. Karena
waktunya masih lama, kami berdua sengaja mengambil jalan ini dengan maksud melihat-lihat di kota raja
lebih dulu. Siapa kira di sini bertemu dengan Susiok."
"Dicari-cari setengah mampus ke mana-mana tidak bisa bertemu, sampai Sukong menjadi berkuatir sekali.
Hampir dua tahun Susiok pergi tak berbekas, kami pun sudah beberapa kali mencari ke segala penjuru
dunia tanpa hasil. Eh, sekarang tahu-tahu nongol di sini!" Li Eng berkata sambii menggeleng-geleng
kepalanya. "Siapa tidak menjadi gemas?"
Kun Hong kelihatan gembira bukan main. "Bagus, bagus!" dia bertepuk tangan. "Aku pun hendak ikut ke
Thai-san. Dan kebetulan sekali, aku juga memang ingin melihat-lihat kota raja, sekarang ada kalian berdua
menjadi teman, wah, senang sekali!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tapi kita tidak boleh terlalu lama di kota raja, Susiok. Jangan sampai kita terlambat tiba di Thai-san," kata
Hui Cu mengingatkan. Gadis ini jarang bicara, namun kalau sudah bicara selalu serius, tidak pernah mainmain
seperti Li Eng yang jenaka.
Kun Hong mengerutkan keningnya. "Berapa jauhnya sih Thai-san dari sini?"
"Kalau jalan kaki biasa sedikitnya satu bulan baru sampai," jawab Hui Cu.
"Kalau kami berlari cepat, seminggu juga sampai," sambung Li Eng. "Tapi Paman Hong mana bisa lari
cepat?"
"Ah, ternyata begitu dekat? Sehari juga sampai bila naik kim-tiauw...," tiba-tiba Kun Hong menghentikan
ucapannya karena teringat bahwa ia telah bicara terlanjur. Saking kagetnya ia menutupi mulut dengan
tangan sendiri.
Dua orang gadis itu memandang heran, bahkan Li Eng tidak main-main lagi, melainkan memandang tajam
penuh selidik. "Apa maksudmu, Susiok? Kau bilang tadi menunggang kim-tiauw? Apakah kau bertemu
dengan rajawali emas?" tanya Hui Cu, mukanya berubah.
Li Eng memegang tangan Kun Hong. "Paman Hong, di mana kau melihat rajawali emas? Di mana? Lekas
beri tahukan, di mana ada burung itu, tentu ada dia!"
Kun Hong menyesal sekali mengapa ia membuka rahasianya. Akan tetapi karena sudah terlanjur, apa
boleh buat. "Pantas kalian terheran-heran, Memang di dunia ini tidak ada keduanya burung rajawali
seindah itu, dengan bulunya berkilauan kuning keemasan dan sepasang matanya seperti kumala. Kalian
tahu, malah burung rajawali emas itu memakai kalung mutiara yang indah!"
"Di mana dia? Di mana...?" Dua orang gadis itu bertanya mendesak, nampaknya mereka tidak sabar lagi.
Hal ini tidak mengherankan karena keduanya memang telah mendengar tentang Kwa Hong dan rajawali
emasnya dan mereka menganggap Kwa Hong sebagai musuh besar yang telah menghina dan
menyusahkan kedua orang tua mereka.
"Ahh, kalian ini anak-anak perempuan. Baru mendengar tentang mutiara indah saja sudah begini ribut. Apa
kalian kira akan bisa dengan mudah saja mengambil kalung mutiara itu? Rajawali emas itu hebat sekali,
bahkan Toat-beng Yok-mo saja tidak mampu menandingi dia."
Kembali dua orang gadis itu saling pandang, nampak terheran. "Paman Hong, apakah kau bertemu pula
dengan Toat-beng Yok-mo? Dan setelah bertemu dengan rajawali emas, tentu kau telah bertemu pula
dengan... iblis betina itu?" tanya Hui Cu, suaranya sungguh-sungguh.
"Iblis apa? Aku tidak pernah bertemu dengan iblis, iblis betina mau pun iblis jantan," jawab Kun Hong,
heran mendengar pertanyaan Hui Cu ini.
"Hong-susiok, ceritakan semua pengalamanmu itu, juga ceritakan tentang pertemuanmu dengan burung
rajawali emas, aku ingin sekali mendengarnya," kata pula Li Eng sambil menggandeng tangan kanan
pemuda itu.
"Kalian ingin mendengar? Baik, Hui Cu, ke sinilah dekat-dekat!" Ia menggunakan tangan kiri untuk
menggandeng tangan Hui Cu sehingga mereka bertiga berjalan perlahan sambil bergandengan tangan.
Kun Hong merasa gembira sekali dan dianggapnya bahwa dua orang keponakannya ini benar-benar
menyenangkan dan amat manis budi. Dahulu dia pernah benci dan gemas terhadap kenakalan Li Eng,
akan tetapi setelah berdekatan, mana bisa orang membenci dara remaja itu?
"Ketika dahulu aku meninggalkan Hoa-san, aku sudah mengambil keputusan tidak akan kembali lagi ke
sana karena aku benci sekali melihat bunuh-bunuhan yang terjadi di sana. Sekarang pun aku benci melihat
pembunuhan. Apa bila kalian membunuh orang, aku pun akan membenci kalian. Di tengah perjalanan itu
aku bertemu dengan Toat-beng Yok-mo yang terluka hebat, bahkan hampir mati."
"Hi-hik, dia boleh mampus karena racun tongkatnya sendiri dan terluka di dua tempat oleh ayah ibumu,"
kata Li Eng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mengkal hati Kun Hong diingatkan bahwa ayah bundanya sudah melukai, malah banyak membunuh orang.
"Keadaannya amat menderita dan ia minta tolong padaku untuk mengantarkannya pulang ke lembah
Sungai Huai. Karena merasa kasihan, aku lalu memenuhi permintaannya dan menggendongnya sepanjang
jalan berpekan-pekan lamanya."
Li Eng tertawa. "Ayah ibunya yang melukai, akan tetapi anaknya yang menolong, malah menggendongnya
sepanjang jalan, benar-benar lucu. Masih untung kau tidak dibunuhnya, Paman Hong. Hebat sekali, iblis
macam Toat-beng Yok-mo ditolong, malah digendong-gendong!"
Akan tetapi Hui Cu diam saja dan... diam-diam gadis ini merasa terharu dan kagum sekali akan pribadi
pemuda yang menjadi paman gurunya ini. "Lalu bagaimana kau bisa bertemu dengan rajawali emas,
Paman Hong?" tanyanya untuk menghentikan komentar Li Eng.
"Setelah kami tiba di dekat tempat tujuan, dalam sebuah hutan Toat-beng Yok-mo minta diturunkan dan
ternyata ia sembuh kembali dan kuat."
"Hi-hik, memang ia sebetulnya tidak usah digendong. Tentu saja ia kuat karena memang ia hanya
menggunakanmu sebagai perisai dan kau tentu akan dibunuhnya di tempat itu," kata pula Li Eng.
"Ehh, bagaimana kau bisa tahu?" Kun Hong terheran-heran.
"Hanya orang tolol saja yang tidak tahu!" jawab Li Eng. "Namanya saja sudah Toat-beng Yok-mo tukang
mencabut nyawa. Dia terluka dan harus pergi jauh dari Hoa-san. Paman adalah putera Ketua Hoa-san-pai,
tentu saja dapat dia jadikan perisai yang sangat baik. Hemm, lagi-lagi harus kukatakan bahwa untung
sekali Paman tidak sampai dibunuhnya."
"Ehh, Adik Eng. Apakah kau berani mengatakan bahwa Susiok adalah seorang tolol?" Hui Cu menegur.
Li Eng pura-pura tidak mendengar jelas. "Berani mengatakan Susiok apa?"
"Bahwa Susiok adalah seorang tolol?" Hui Cu menjelaskan.
"Hi-hi-hik, kau mendengar sendiri, Paman Hong. Dua kali Cici Hui Cu memakimu sebagai orang tolol,
bukan aku, lho!"
"Heee, kau memutar balikkan omongan!" Hui Cu memprotes.
Akan tetapi Li Eng hanya tertawa-tawa saja. Kun Hong yang dipermainkan ini sama sekali tidak merasa
dirinya dipermainkan, hanya tersenyum saja.
"Kalau saja pada saat itu tidak muncul rajawali emas, kiranya aku pun akan dibunuh oleh Toat-beng Yokmo
seperti yang dikatakan oleh Li Eng tadi," dia melanjutkan ceritanya, "Entah dari mana datangnya,
seekor burung rajawali emas yang besar dan hebat sekali menyambar turun dan menerkam seekor kelinci.
Melihat burung itu, Toat-beng Yok-mo kemudian menyerangnya dan berusaha menangkapnya, akan tetapi
berkali-kali Toat-beng Yok-mo roboh oleh burung itu, bahkan akhirnya kakek itu roboh pingsan oleh
hantaman sayap burung."
Dua orang gadis remaja itu saling pandang, malah Li Eng menjulurkan lidahnya yang kecil merah itu keluar
dari mulutnya tanda kagum dan terkejut. Kalau orang seperti Toat-beng Yok-mo dapat dikalahkan
sedemikian mudahnya, alangkah lihainya burung itu. Apa lagi pemiliknya!
"Rajawali emas itu lalu menyambarku dan membawaku terbang jauh sekali, ke puncak sebuah gunung
yang tidak kuketahui namanya. Di sana, di dalam sebuah goa, aku hidup bersama burung itu sampai satu
setengah tahun lamanya."
Li Eng memandang tajam dan tidak mau main-main lagi. "Paman Hong, apakah kau tidak bertemu dengan
pemilik burung, dengan iblis wanita itu?"
"Aku tidak tahu apa yang kau maksudkan, Li Eng. Aku tidak melihat seorang pun manusia hidup di sana.
Kemudian setelah aku mengenal burung itu baik-baik dan ia dapat mengerti kata-kataku, setelah satu
setengah tahun, aku lalu menyuruh dia mengantarkan aku turun karena aku tidak sanggup turun sendiri
dunia-kangouw.blogspot.com
dari tempat yang curam dan berbahaya itu. Nah, setelah sampai di bawah gunung, burung itu terbang
kembali ke puncak dan aku hendak kembali ke Hoa-san. Celakanya, aku sesat jaian dan sampai ke sini.
Karena sudah dekat kota raja, aku bermaksud melihat-lihat kota raja lebih dulu. Di sini aku bertemu dengan
Sin-eng-cu Lui Bok yang mengakui aku sebagai murid keponakannya, lalu aku terlibat dalam urusan Hwa-i
Kaipang sampai kalian berdua muncul."
Kun Hong sengaja tidak mau bercerita tentang kitab-kitab yang ia baca. Malah sekarang pun masih ada
empat buah kitab yang ia bawa dalam saku bajunya, yaitu tiga buah kitab milik Toat-beng Yok-mo dan
sebuah kitab pelajaran hoat-sut dari Sin-eng-cu Lui Bok.
Demikianlah, tiga orang muda itu lalu melakukan perjalanan dengan penuh kegembiraan, terutama sekali
yang membuat mereka selalu bergembira adalah sifat Li Eng yang amat jenaka dan lincah.
Sementara itu, dengan amat tekunnya Kun Hong menggunakan setiap kesempatan waktu untuk membalikbalik
lembaran kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok dan makin banyak ia membaca, makin tertariklah
hatinya. Secara diam-diam dia mulai berlatih diri mempelajari ilmu yang amat aneh dan ajaib, yang erat
hubungannya dengan ilmu batin karena ilmu ini hanya dapat dilakukan dengan pengerahan tenaga murni
dan hawa sakti dalam tubuh.
Dengan petunjuk-petunjuk yang berada dalam kitab ini, makin teranglah bagi Kun Hong tentang rahasia
semedhi dan mengatur pernapasan, serta memperkuat daya sakti dalam tubuhnya. Semua ini ia latih di
luar sepengetahuan dua orang gadis remaja itu yang selalu yakin bahwa paman mereka adalah seorang
pemuda yang tampan, berwatak halus dan berbudi, namun buta ilmu silat…..
********************
Semenjak pemberontak-pernberontak dibasmi belasan tahun yang lalu, keadaan di kota raja aman dan
tenteram. Namun hal ini hanya berjalan beberapa tahun saja karena kini timbullah persaingan baru yang
lebih ganas. Persaingan antara putera-putera Kaisar, juga termasuk keluarganya yang tentu saja
merindukan kursi singgasana untuk menggantikan Kaisar yang sudah tua. Para pangeran itu mulai saling
bermusuhan dalam usaha mereka menarik hati Kaisar agar mereka dijadikan calon pengganti Kaisar.
Demikian hebat persaingan ini yang kadang-kadang tidak dilakukan secara diam-diam melainkan secara
terbuka, sehingga masing-masing mempunyai jagoan-jagoan sendiri. Persaingan mencapai puncaknya
ketika putera mahkota, yaitu putera sulung dari Kaisar, akhirnya tewas menjadi korban persaingan itu. Tak
seorang pun tahu siapa pembunuhnya dan dengan apa dibunuhnya. Namun ahli silat tinggi maklum bahwa
putera mahkota ini dibunuh oleh seorang ahli silat yang memiliki kepandaian luar biasa.
Seperti juga halnya dengan kaisar-kaisar lain atau hampir semua pemimpin dan pembesar yang
menduduki kemuliaan serta memegang kekuasaan, Kaisar Tai-tsu juga mempunyai banyak isteri sehingga
anaknya pun banyak pula. Hal ini membingungkan hatinya sebab dia harus memilih salah seorang
pangeran untuk dijadikan putera mahkota setelah putera sulungnya meninggal dunia.
Dia maklum akan persaingan serta permusuhan di antara putera-puteranya, selir-selirnya dan keluarganya.
Oleh karena Kaisar pun dapat menduga bahwa putera sulungnya itu terbunuh orang, maka ia lalu
menjatuhkan pilihannya pada anak dari putera sulungnya itu yang bernama Hui Ti atau Kian Bun Ti untuk
menjadi pengganti putera mahkota. Hui Ti atau Kian Bun Ti ini adalah cucu Kaisar.
Pada waktu itu Kian Bun Ti ini telah menjadi seorang pemuda yang tampan dan cerdik bukan main. Ia
maklum akan bahayanya kedudukannya, maklum bahwa banyak paman pangeran lain merasa iri hati akan
kedudukannya. Maka dengan sangat pandainya Kian Bun Ti mendekati Kaisar, berhasil menguasai hati
dan kasih sayang kakeknya ini.
Adalah atas bujukan pemuda cerdik inilah maka seorang pamannya yang dianggap paling berbahaya, yaitu
Pangeran Yung Lo yang jujur dan keras, oleh Kaisar dihalau dari kota raja, diberi tugas pertahanan di
utara, di kota raja lama, Peking.
Memang pada waktu itu tiada hentinya bangsa Mongol, Mancu, dan lain-lain suku bangsa dari utara selalu
berusaha menyerang Kerajaan Beng yang baru ini. Pangeran Yung Lo tentu saja mentaati perintah dan
berangkatlah dia ke utara menjalankan tugas berat ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Biar pun telah berhasil menghalau saingannya yang paling berbahaya, namun Kian Bun Ti masih belum
lega karena ia maklum bahwa yang melihat kepadanya dengan mata penuh dengki masih banyak sekali.
Maka ia pun lalu mengumpulkan orang-orang pandai untuk menjaga dirinya, bahkan dia sendiri
mempelajari ilmu silat.
Di samping kesukaannya mendekati ahli-ahli silat dan para jagoan, Pangeran yang masih muda ini pun
terkenal sebagai seorang yang tidak boleh melihat wanita cantik. Entah berapa banyak wanita-wanita
cantik dan muda, jatuh hati dan menjadi korbannya, tertarik oleh ketampanannya atau kedudukannya mau
pun harta bendanya. Memang wanita mana yang takkan tertarik oleh seorang pemuda yang tampan,
cerdik, malah seorang pangeran calon kaisar pula?
Di dalam usahanya menguasai keadaan dunia kang-ouw, Pangeran ini tidak segan-segan untuk
mempergunakan perkumpulan-perkumpulan seperti Hek-kaipang (Pengemis Hitam) dari mana ia bisa
mendapatkan sumber berita mengenai gerakan orang-orang kang-ouw sehingga ia dapat tahu siapa yang
menjadi jagoan-jagoan baru dari para saingannya.
Pangeran Kian Bun Ti menjadi tertarik sekali ketika ia menerima laporan dari beberapa anggota
perkumpulan pengemis yang menjadi kaki tangan dan penyelidiknya tentang dua orang gadis cantik jelita
anak murid Hoa-san-pai yang menggegerkan pertemuan Hwa-i Kaipang. Pangeran ini tidak hanya tertarik
oleh kecantikan dua orang dara remaja itu, melainkan terutama sekali tertarik oleh cerita tentang
kehebatan ilmu silat mereka.
Diam-diam ia mempunyai maksud hati yang baik sekali, maksud hati yang jadi perpaduan antara seleranya
terhadap dara ayu dan kebutuhannya akan pengawal yang lihai. Cepat ia memanggil beberapa orang
kepercayaannya dan membagi-bagi perintah…..
********************
Sementara itu, Kun Hong dan dua orang dara remaja telah memasuki kota raja dengan gembira. Tiga
orang muda yang semenjak kecilnya bertempat tinggal di pegunungan yang sunyi ini sekarang berjalan
perlahan di atas jalan raya, dengan mata terbelalak dan mulut tiada henti mengeluarkan seruan-seruan
kagum dan memuji ketika mereka menyaksikan gedung-gedung terukir indah dl sepanjang jalan.
Apa lagi Li Eng yang amat lincah itu, ia sangat bergembira dan berlarian ke kanan kiri mendekati setiap
penglihatan yang baru dan asing baginya. Setiap ada bangunan indah dan besar ia berdiri terlongong di
depannya, dan benda-benda yang diperdagangkan di sepanjang jalan dalam toko-toko pun tak lepas dari
perhatiannya.
Hui Cu yang lebih pendiam dan alim hanya merupakan. pengikut saja. Biar pun gadis ini juga amat kagum
dan terheran-heran, namun ia dapat menekan perasaannya dan hanya tampak bibirnya yang kecil mungil
mengulum senyum serta sepasang matanya bersinar-sinar menambah indah wajah yang berseri itu.
Pada waktu itu, orang-orang wanita berada di atas jalan raya bukanlah hal aneh. Banyak wanita berjalan di
atas jalan raya, akan tetapi semua itu adalah wanita-wanita pekerja kasar dan pedagang kecil, pendeknya
wanita yang agak tua atau yang agak buruk rupa. Puteri-puteri bangsawan yang cantik-cantik hanya
menampakkan diri di atas jalan raya dalam kendaraan tertutup.
Memang ada kalanya tampak pula berjalan-jalan wanita-wanita kang-ouw atau anak-anak penjual obat
keliling yang memperlihatkan ilmu silat pasaran, namun hal ini jarang terjadi. Oleh karena itu, ketika dua
orang dara remaja ini memasuki kota raja, di sepanjang jalan mereka lantas menjadi tontonan orang,
terutama laki-laki muda dan tua yang tidak hanya mengagumi kecantikan dua orang gadis itu, akan tetapi
terutama sekali mengagumi sikap mereka berdua yang begitu bebas.
Dua orang gadis ini mudah saja menimbulkan dugaan bahwa mereka adalah gadis-gadis kang-ouw yang
berkepandaian silat, terbukti dari pedang yang tergantung di pinggang mereka. Mudah juga diduga bahwa
mereka berdua tentulah memiliki ilmu silat yang lihai, karena kalau tidak demikian, bagaimana dua orang
gadis remaja yang begitu cantik jelita bisa melakukan perjalanan dengan aman dan selamat sampai ke
kota raja?
Kecantikan mereka yang luar biasa itu tentu akan menjadi sebab kemalangan mereka, tentu mereka telah
ditahan dan diambil oleh orang-orang jahat. Karena dugaan inilah maka walau pun banyak mata laki-laki
dunia-kangouw.blogspot.com
melotot dan mulut tersenyum-senyum, sejauh itu belum ada yang berani sembrono mengeluarkan katakata
teguran atau godaan.
Kun Hong membuat banyak orang heran. Pemuda ini pakaiannya seperti seorang siucai, seorang
terpelajar, akan tetapi pakaian itu sudah lapuk sehingga menimbulkan dugaan bahwa dia tentulah seorang
pelajar yang tidak lulus ujian dan jatuh miskin seperti banyak terdapat pada masa itu.
Yang mengherankan orang, mengapa seorang siucai miskin seperti ini berjalan bersama dua orang dara
remaja kang-ouw? Biasanya gadis-gadis kang-ouw yang cantik seperti ini tentu melakukan perjalanan
dengan laki-laki yang hebat pula, yang luar biasa, aneh, atau yang gagah perkasa. Kenapa sekarang
pengiringnya hanya seorang siucai jembel yang hanya tersenyum-senyum, berjalan perlahan seperti
kehabisan tenaga?
Lebih-lebih herannya orang-orang yang berada dekat dengan mereka ketika mendengar Li Eng dengan
lincah menyebut siucai muda itu ‘paman’. Heran sekali, usianya sepantar mengapa disebut paman?
Bila dua orang dara itu mengagumi keindahan ukir-ukiran, bangunan, benda-benda aneh yang
diperdagangkan orang, apa lagi melihat sutera-sutera beraneka warna yang halus dan mahal, adalah Kun
Hong kembang-kempis hidungnya serta berkeruyukan perutnya karena mencium bau masakan yang gurih
dan sedap keluar dari banyak rumah makan di sepanjang jalan.
Wangi sedap dari masakan daging, bawang dan bumbu-bumbu lain menusuk hidungnya, membuat semua
yang dilihat Li Eng dan Hui Cu tidak seindah mangkok berisi masakan yang mengebul panas-panas di atas
meja! Akan tetapi pemuda ini menekan seleranya, maklum bahwa tak mungkin ia dapat membeli masakanmasakan
yang mahal itu.
Jika Li Eng tidak ada perhatian lain kecuali terhadap barang-barang indah dan bangunan-bangunan megah
yang tak pernah dilihatnya itu, adalah Hui Cu yang pendiam dan selalu tanpa diketahui orang lain
memperhatikan pamannya, segera dapat menduga bahwa pamannya itu merasa lapar dan ingin makan.
Hui Cu lalu menyentuh tangan Li Eng dan berbisik di dekat telinganya. Li Eng tersenyum, menoleh kepada
Kun Hong yang tidak tahu apa yang dibicarakan antara dua orang gadis itu.
"Paman Hong, apakah kau lapar dan ingin makan?" tiba-tiba saja Li Eng yang tak pernah menaruh hati
sungkan-sungkan itu bertanya.
"Apa...? Betul... ehh, tidak apa..." Kun Hong gagap karena pertanyaan yang tiba-tiba itu memang cocok
sekali dengan pikirannya.
Li Eng segera menyambar tangannya dan digandeng menuju ke sebuah rumah makan. "Kalau lapar
mengapa diam saja? Di sini banyak rumah makan, boleh kita pilih masakan yang enak!"
"Hush, jangan main-main." Kun Hong menahan. "Aku tidak punya uang, mana berani masuk rumah
makan?"
“Untuk apa uang? Kita tak usah beli, bisa minta," kata lagi Li Eng.
"Ihh, memalukan!" Kun Hong mencela.
Li Eng tertawa ditahan. "Hi-hi-hi-hik, kau lihat, Enci Hui Cu! Tidakkah aneh bukan main paman kita ini?
Paman Hong, kau ini seorang kai-ong (raja pengemis) kenapa harus malu minta-minta?"
Digoda begini oleh Li Eng, gemas juga hati Kun Hong. "Sudah, jangan terlalu menggoda orang kau, bocah
nakal. Kujewer telingamu nanti!"
Li Eng hanya tertawa manja dan Hui Cu pun berkata, "Susiok, harap jangan kuatir, kami membawa bekal
uang dan andai kata kurang, aku masih mempunyai gelang emas, dapat kita jual." Berbeda dengan Li Eng,
suara nona ini sungguh-sungguh dan sama sekali tidak bermain-main.
"Nah, punya keponakan yang begini mencintai seperti Enci Cu, kau takut apa, Susiok?" Lagi-lagi Li Eng
menggoda dan kali ini ia benar-benar menerima cubitan, bukan dari Kun Hong, melainkan dari Hui Cu
sehingga ia menjerit mengaduh-aduh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah Kun Hong sama merahnya dengan wajah Hui Cu. Dia merasa tidak enak sekali dengan godaan Li
Eng itu, maka ia segera berkata dengan lagak seorang tua, "Sudahlah, di tengah jalan jangan berguraugurau.
Tidak patut dilihat orang!" Kemudian ditambahnya, "Kalau memang kalian membawa uang, mari kita
makan di rumah makan itu."
Tiga orang muda ini lalu memasuki rumah makan yang besar dan mewah, juga kelihatan menarik sekali
karena pintu, jendela dan meja bangkunya dicat merah dan kuning. Melihat ketiga orang muda ini
memasuki rumah makan, pelayan kepala menyambutnya sendiri, terbungkuk-bungkuk menyambut dengan
seluruh muka bulat itu tersenyum lebar.
"Silakan... silakan Sam-wi (Tuan Bertiga) masuk. Selamat datang dan silakan. Sam-wi tak akan kecewa
memasuki rumah makan kami yang tersohor di seluruh negeri!"
Apa bila Li Eng dan Hui Cu menerima sambutan yang amat menghormat ini dengan anggukan kepala
angkuh, adalah Kun Hong yang menjadi sibuk membalas penghormatan orang. Ia melihat pelayan kepala
ini orangnya gemuk, pakaiannya bersih dan rapi sekali, maka ketika ia melirik ke arah pakaiannya sendiri,
ia pun menjadi malu dan sungkan. Pakaiannya lapuk dan kotor seperti pakaian jembel, bagaimana dia
merasa enak hati menerima sambutan penghormatan sedemikian dari pengurus rumah makan ini?
Setelah ketiganya memilih sebuah meja di sudut dan mengambil tempat duduk, pelayan kepala ini seperti
seekor burung kakatua nerocos terus, "Sam-wi hendak menikmati apa? Arak wangi dari selatan, arak buah
dari Tung-to, atau arak ketan dari pantai? Kami ada masakan-masakan istimewa, khusus untuk Sam-wi.
Daging naga di tim, jantung hati burung sorga goreng setengah matang, kepala burung Hong dipanggang
bumbu merah, kaki gajah masak sayur, buntut singa masak jamur, atau masih banyak macamnya.”
Tiga orang itu segera saling pandang. Li Eng dan Hui Cu hanya tersenyum-senyum untuk menutupi
perasaan malu karena semua nama masakan itu merupakan nama asing dan baru bagi mereka. Akan
tetapi tanpa menyembunyikan keheranannya, Kun Hong terus mendengarkan dengan mata terbelalak dan
mulut melongo.
Tidak main-mainkah pelayan ini? Bagaimana orang bisa memasak daging naga, jantung burung sorga,
burung Hong, gajah, singa dan lain-lain itu? Dia sampai menjadi bingung dan tidak sanggup memilih.
Bagaimana ia harus memilih antara masakan yang memang selama hidupnya baru kali ini ia dengar
namanya itu?
"Kalau Sam-wi sukar memilih, biarlah kami sediakan semua yang ada agar Sam-wi dapat makan
seenaknya."
Pelayan kepala itu kemudian mengundurkan diri dan tak lama kemudian berdatanganlah pelayan-pelayan,
ada yang membawa arak, juga ada yang mengantarkan mangkok dan cawan, ada pula yang mulai
mengeluarkan masakan-masakan panas.
Para tamu lain yang berada di situ memandang heran. Bagi orang kota ini, tidaklah aneh apa bila ada
orang memborong masakan-masakan mahal. Akan tetapi kecantikan serta kebebasan dua orang dara
remaja itu ditambah keadaan Kun Hong yang seperti jembel, benar-benar mendatangkan keheranan.
"Aku rela menghabiskan semua uang bekalku untuk dapat makan daging naga, burung Hong dan lain-lain
binatang aneh itu," bisik Li Eng.
Hui Cu mengangguk. "Selama hidupku baru kali ini aku menjumpai masakan yang aneh. Untuk merasai
daging naga aku pun rela mengorbankan gelangku."
Hanya Kun Hong yang bengong terlongong, setengah tidak percaya akan masakan yang aneh-aneh itu.
Tidak lama kemudian masakan yang berbau lezat dan sedap gurih telah tersedia di atas meja. Dengan
selera besar tiga orang muda yang memang sudah lapar sekali ini mulai makan.
Li Eng menggunakan sumpit menjumputi daging dari tiap masakan untuk dicoba rasanya. Ia terkikik lalu
berkata, "Kurang ajar pelayan itu. Yang begini disebut daging naga ditim? Aku pernah makan daging ular
kembang. Dan ini? Burung sorga apa? Ini kan hati burung dara? Dan kepala burung Hong? Setan, ini
hanya kepala ayam biasa. Kaki gajah? Hi-hik, kaki babi dan buntut singa ini tentulah buntut kambing!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Hui Cu juga tertawa kecil. “Tidak salah kata-katamu, Adik Eng. Akan tetapi harus diakui bahwa masakan ini
bumbunya lengkap dan enak sekali."
Kun Hong juga tak sungkan-sungkan menggasak makanan-makanan lezat itu. Mendengar percakapan dua
orang dara itu ia memberi komentar, "Memang penggantian nama-nama itu hanya siasat untuk menarik
perhatian tamu, apa lagi yang datang dari luar kota raja."
"Tetapi dia kurang ajar, berani menipu kita," kata Li Eng. "Awas, orang itu patut dipukul kepalanya. Kita tak
usah bayar!"
"Hush, omongan apa yang kau keluarkan itu, Li Eng?" Kun Hong membentak. "Jangan kau mencari garagara.
Apa tidak malu sudah makan malah membayar pukulan? Tidak boleh kau begitu!"
Li Eng bersungut-sungut.
"Biarlah gelangku ini untuk membayar," kata Hui Cu.
"Tentu aku akan bayar, tapi juga akan kumaki karena dia telah menipu kita," kata pula Li Eng yang segera
memberi isyarat kepada pelayan kepala yang memandang dari jauh.
Dengan terbungkuk-bungkuk pelayan kepala ini datang menghampiri. Mukanya berseri dan mulutnya
segera berkata, "Tidakkah Sam-wi puas dengan masakan kami?"
"He, muka babi! Kau anggap aku ini orang apa? Berani kau mempermainkan kami dan membohong?
Daging ular kau katakan daging naga, burung dara kau katakan burung sorga dan ayam biasa kau sebut
burung Hong. Mana ada kaki gajah? Kaki babi! Kau benar-benar muka babi berani mempermainkan kami,
apakah kau sudah bosan hidup?"
Muka yang tadinya berseri-seri itu mendadak berubah pucat. Ia cepat menjatuhkan diri berlutut di depan
tiga orang muda itu dan suaranya yang gemetar sukar sekali ditangkap maksudnya. Namun Li Eng dapat
mendengar bahwa orang itu minta-minta ampun dan mohon supaya jangan dilaporkan kepada Thaicu
(Pangeran).
Kun Hong dan dua orang gadis itu terheran-heran. Jelas bahwa pelayan kepala ini bukan takut kepada
mereka, tetapi takut kalau-kalau mereka melaporkannya kepada Thaicu.
"Mana siauwte berani menghina tamu-tamu dari Thaicu? Memang nama masakan itu begitu...," demikian
antara lain kata-kata Si Pelayan Gemuk ini.
"Hemm, kau menyebut-nyebut Thaicu segala? Siapa itu?" akhirnya Kun Hong bertanya karena ia dapat
menduga bahwa tentu terjadi kesalah pahaman.
Pada saat itu pula, dari luar masuklah dua orang yang berpakaian indah dan penutup kepalanya
menandakan bahwa mereka adalah orang-orang berpangkat. Semua pelayan segera memberi hormat
kepada dua orang yang datang ini dan ketika mereka berdua berhadapan dengan Kun Hong, Li Eng, dan
Hui Cu yang juga memandang dengan penuh perhatian, dua orang ini membungkuk-bungkuk dengan sikap
menghormat.
"Sam-wi yang terhormat dipersilakan datang ke Istana Kembang di mana Putera Mahkota sudah menanti.
Kendaraan tamu siap menanti di luar."
Karuan saja Kun Hong beserta dua orang dara itu terlongong heran dan tidak mengerti. "Apakah yang
kalian maksudkan?" tanya Kun Hong. "Kami tidak mempunyai hubungan dan janji-janji dengan siapa pun
juga, tidak mengenal putera mahkota..."
Dua orang tua itu membungkuk lagi. “Thaicu amat tertarik kepada Sam-wi dan mulai saat beliau
mendengar tentang Sam-wi, beliau menganggap Sam-wi sebagai tamu."
Li Eng segera berkata kepada Kun Hong. "Paman Hong, lebih baik kita lekas pergi dari tempat ini, di sini
banyak yang aneh-aneh dan membingungkan." Ia lalu mengeluarkan uang bekalnya dan bertanya kepada
pelayan kepala, "Lekas hitung, berapa kami harus bayar makanan palsu ini."
dunia-kangouw.blogspot.com
Pelayan ini buru-buru menggerakkan tangannya menolak. "Ah, bagaimana Siocia (Nona) hendak
membayar? Semua sudah terbayar lunas, malah berikut persennya, semua sudah beres oleh Thaicu."
Tiga orang muda itu kembali melengak. Lagi-lagi orang menyebut Thaicu. Kenapa putera mahkota begitu
memperhatikan mereka? Sejak kapankah mereka kenal dengan putera mahkota?
"Li Eng, putera mahkota telah berlaku baik kepada kita, tidak seharusnya kita menolak kebaikan orang. Dia
menghendaki kita datang ke Istana Kembang, bukankah kau tadi menyatakan keinginanmu untuk dapat
kesempatan melihat keadaan istana dari dalam? Nah, kesempatan ini sekarang tiba, kenapa kita tidak
menerimanya?"
"Pendapat yang bijaksana sekali!" seorang di antara dua pembesar itu berkata girang. "Marilah, Kongcu
dan Ji-wi Siocia (Nona Berdua), mari menggunakan kendaraan yang sudah menanti di luar rumah makan."
Kun Hong mengajak dua orang keponakannya keluar dan benar saja, sebuah kereta yang amat indah
dengan dua ekor kuda sudah menunggu di depan. Seorang di antara dua pembesar itu membukakan
pintunya dan mempersilakan tiga orang ‘tamu agung’ itu memasuki kereta.
Tanpa ragu-ragu lagi Kun Hong naik, diikuti oleh dua orang gadis yang masih ragu-ragu dan hanya
terpaksa menurut karena didahului oleh paman mereka. Andai kata tidak ada Kun Hong di situ, sudah pasti
Li Eng dan Hui Cu tidak akan sudi menerima undangan orang.
Sesudah mereka semua duduk di dalam kereta, salah seorang ‘pembesar’ itu segera mengambil tempat
kusir dan orang ke dua di belakang. Kiranya mereka itu adalah kusir kereta dan keneknya!
Merah muka Kun Hong kalau teringat betapa tadi di dalam rumah makan ia mengira bahwa mereka adalah
dua orang ‘pembesar’ dari istana. Kiranya hanya kusir bersama keneknya! Malu ia kalau melirik kearah
pakaiannya sendiri yang patut membuat ia disebut orang jembel.
Di dalam kereta yang serba indah dan bersih itu, ketiga orang muda ini duduk saling berpandangan dan
sampai lama tidak membuka mulut. Betapa pun tenangnya, hati Kun Hong berdebar-debar juga kalau
mengingat bahwa dia akan berhadapan dengan putera mahkota! Apa lagi dua orang gadis itu yang tampak
gelisah sekali.
"Paman Hong," akhirnya Li Eng berkata dengan suara berbisik, "Mengapa kau menerima undangan ini?
Jangan-jangan orang bermaksud buruk dan jahat terhadap kita..."
"Jangan curiga yang bukan-bukan, Li Eng. Tempat ini adalah kota raja dan sudah tentu saja Kaisar
sekeluarganya adalah tuan rumah. Kalau putera mahkota mengundang kita, berarti kita sebagai tamu
diundang tuan rumah dan kehormatan besar ini sekali-kali tidak baik kalau kita tolak. Pula, apa buruknya
kalau kita mendapat kesempatan bertemu dan bercakap-cakap dengan putera mahkota, dan
berkesempatan pula melihat-lihat keadaan kota dari dalam Istana Kembang? Ah, kelak tentu kalian akan
bercerita banyak di rumah tentang pengalaman ini."
Li Eng dan Hui Cu tidak berkata-kata lagi, terbenam dalam lamunan masing-masing.
Memang bagi Li Eng dan Hui Cu perjalanan ini menegangkan hati sekali, tetapi mereka berdua juga
merasa bahwa perjalanan ini amat berbahaya dan mencurigakan. Persamaan pendapat ini hanya mereka
utarakan dengan pertukaran pandang mata. Hanya Kun Hong yang duduk enak-enakan, nampaknya ayem
dan tenang saja, malah sepasang matanya yang tajam itu bersinar-sinar gembira.
Istana Kembang berada di lingkungan istana yang paling pinggir, termasuk pinggir kota yang sunyi. Di
sekitar istana itu penuh hutan-hutan yang ditanami banyak pohon-pohon yang indah, pohon-pohon buah
dan pohon-pohon kembang. Sekeliling istana merupakan taman bunga yang besar dan luas, di mana
ditanam segala macam bunga. Di sana-sini terdapat empang ikan yang selain menjadi tempat peliharaan
ikan-ikan emas yang indah-indah, juga menjadi tempat tumbuhnya bunga teratai yang berwarna-warni.
Kereta berhenti di depan gedung yang tidak begitu besar, akan tetapi bentuknya mungil dan seluruh bagian
bangunan ini penuh dengan hasil-hasil seni ukir dan seni lukis. Begitu turun dari kereta, ketiga orang muda
yang berasal dari pegunungan ini berdiri ternganga. Istana dan keindahan sekitarnya bagi mereka begitu
aneh dan begitu indah yang biasanya hanya dapat mereka bayangkan dalam alam mimpi saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
Beberapa orang pelayan yang pakaiannya juga seperti pembesar-pembesar cepat-cepat datang
menyambut, "Sudah sejak tadi putera mahkota menanti kedatangan Sam-wi yang terhormat. Sam-wi (Tuan
Bertiga) dipersilakan langsung menuju ke ruangan istirahat di mana Thaicu sudah menanti," begitulah kata
mereka.
Seperti dalam mimpi tiga orang muda itu mengikuti para pelayan menuju ke pintu depan istana. Begitu
memasuki pintu ini, tiga orang muda itu tiada habisnya mengagumi segala keindahan yang terdapat di situ.
Lukisan-lukisan kuno, ukir-ukiran yang menghiasi ruangan dalam, perabot-perabot yang terbuat dari kayu
harum, sutera-sutera yang berkilauan, batu-batu kemala dalam bentuk hiasan-hiasan, permadani halus
yang menghias dinding dan lantai. Bukan main!
Li Eng yang biasanya bebas dan tidak mau tunduk itu kini merasa dirinya kecil sehingga tanpa ia sadari
lagi berpegang erat-erat pada lengan kanan Kun Hong. Malah Hui Cu yang biasanya agak pemalu dan
juga masih sungkan-sungkan bersikap terlalu intim terhadap pamannya, kini pun tanpa ia sadari lagi
menggandeng tangan kiri Kun Hong.
Sungguh sikap tiga orang muda ini seperti tiga ekor kelinci memasuki goa macan! Hanya Kun Hong yang
biar pun tampak kagum sekali, masih dapat bersikap tenang, sedikit pun tidak ada perasaan takut seperti
yang terdapat dalam pikiran dua orang dara remaja itu. Di setiap lorong atau ruangan baru, berganti
pelayan yang bertugas mengantar mereka.
Istana itu dari luar tampaknya kecil mungil, akan tetapi setelah dimasuki ternyata luas dan ruangan istirahat
yang dimaksudkan itu ternyata jauh juga dari pintu depan. Kiranya ruang itu ada di sebelah belakang,
merupakan ruangan terbuka dengan atap berbentuk payung besar, tanpa dinding sehingga kelihatannya
seperti dikelilingi oleh kembang-kembang. Di empernya terdapat empang ikan yang lebar dan di tengahtengahnya
terdapat air mancur yang keluar dari mulut seekor naga batu. Benar-benar ruangan istirahat ini
sangat indah dan berhawa sejuk, tepat menjadi tempat beristirahat menghilangkan lelah.
Seorang lelaki muda duduk menghadapi empang, kelihatannya sedang melamun. Usianya sebaya Kun
Hong, wajahnya tampan dan pakaiannya indah sekali, terbuat dari sutera dan berlukiskan burung Hong.
Topinya juga aneh dan bersulamkan gambar naga, akan tetapi agaknya pemuda itu sedang kurang
gembira sehingga rambut hitamnya yang keluar dari bawah topi didiamkannya saja.
"Yang Mulia, tiga orang tamu yang dinanti-nantikan sudah datang menghadap!" seorang pelayan melapor
sambil menjatuhkan diri berlutut.
Pelayan lain sebelum berlutut berbisik kepada Kun Hong bertiga, "Harap Sam-wi berlutut memberi hormat."
Akan tetapi Kun Hong, apa lagi Li Eng juga Hui Cu, tidak mengerti akan bisikan ini, dan hanya memberi
hormat seperti biasanya mereka memberi hormat kepada orang lain yang sebaya usianya, yaitu dengan
membungkuk dan mengangkat kedua tangan ke dada. Orang muda itu cepat bangkit dari duduknya dan
gerakannya cepat sekali sehingga Hui Cu dan Li Eng segera dapat menduga bahwa orang itu tentu
mempunyai kepandaian ilmu silat yang lumayan juga.
Setelah berhadapan, ternyata bahwa laki-laki muda itu lebih berwajah gagah dari pada tampan. Terutama
sepasang matanya membuat orang tidak berani menentang pandang matanya lama-lama, penuh wibawa
dan gerak-geriknya agung. Hal ini mungkin sudah ia biasakan untuk disesuaikan dengan kedudukannya,
putera mahkota! Inilah dia Kian Bun Ti, putera mahkota yang sebetulnya adalah cucu dari Kaisar, putera
dari mendiang Putera Mahkota atau putera sulung dari Kaisar.
Berdebar keras hati Li Eng dan Hui Cu ketika melihat betapa sepasang mata yang agak lebar itu
memandang kepada mereka penuh perhatian, lalu terpancar sinar kagum dari mata itu sebelum mulutnya
tersenyum dan suaranya terdengar ramah,
"Ahhh, Taihiap yang menjadi Sin-kai Pangcu (Ketua Perkumpulan pengemis baru) serta kedua Lihiap
(Pendekar Wanita)! Girang sekali hatiku karena Sam-wi suka datang untuk bercakap-cakap!"
Ia melangkah maju dan pandang matanya bergantian menelan wajah Li Eng dan Hui Cu. Kemudian dia
menoleh kepada pelayan dan berkata dengan suara yang jauh berbeda, yaitu suara memerintah yang
berpengaruh dan angker.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sediakan arak Sian-ciu (Arak Dewa) dan daging kering, kemudian enyahlah dari sini, beri tahu para
cianpwe supaya menunggu dan tidak boleh menghadap sebelum dipanggil!"
Pelayan-pelayan itu sambil merangkak mengundurkan diri dan tak lama kemudian mereka datang
membawa hidangan yang diminta, lalu mengundurkan diri lagi.
Pangeran Kian Bun Ti dengan ramah lalu mempersilakan tiga orang muda itu mengambil tempat duduk di
dekat empang. Sikapnya yang ramah serta budi bahasanya yang manis mengusir rasa sungkan dari tiga
orang itu. Malah Li Eng dengan cepat menguasai kembali kelincahan dan kebebasannya.
"Aduh, indahnya ikan-ikan ini... Enci Cu, kau lihatlah yang di sudut itu... yang di sana itu... hi-hi-hi, seperti
ada jenggotnya!" Ia menarik tangan Hui Cu dan menuding-nuding dengan telunjuknya yang kecil runcing.
Pangeran Kian Bun Ti memandang kagum kepada dua orang gadis itu, terutama kepada Li Eng. Ia
mendengar bahwa dua orang gadis itu mempunyai kepandaian ilmu silat yang hebat.
Tadi begitu bertemu, ia sudah heran bukan main karena sama sekali di luar dugaannya bahwa dua orang
wanita kang-ouw yang menjadi ‘jagoan’ ternyata adalah dua orang dara remaja yang begini manis cantik
jelita dengan bentuk tubuh yang tidak kalah oleh puteri-puteri istana. Apa lagi sekarang, melihat mereka
tertawa-tawa senang melihat ikan-ikan dengan sikap bebas dan sewajarnya, jauh bedanya dengan sikap
puteri-puteri istana atau selir-selirnya, benar-benar menggugah rasa sayang di hati Pangeran ini.
Akan tetapi diam-diam ia pun meragukan dan sangsi, apakah benar-benar dua orang dara remaja jelita ini
memiliki kepandaian ilmu silat yang tinggi? Rasa-rasanya tidak mungkin kalau melihat kehalusan sifat
mereka dan usia mereka yang masih amat muda.
Pangeran mahkota ini lalu mengalihkan perhatiannya kepada Kun Hong. Seorang pemuda sederhana yang
halus budi dan bersikap sopan, begitu penilaiannya. Akan tetapi ketika Pangeran ini mengajak tamunya
bicara tentang ketata negaraan, ia amat kecewa karena ternyata bahwa pemuda aneh yang baru saja
dipilih sebagai ketua baru dari perkumpulan Hwa-i Kaipang yang baru itu, ternyata sama sekali buta politik
kenegaraan. Kata-katanya penuh mengandung inti dari filsafat dan kebatinan sebagai penuntun manusia
ke arah kebajikan.
Hemm, orang muda yang berbakat menjadi pendeta, pikirnya kecewa. Orang seperti ini sama sekali tiada
gunanya bagiku, demikian Pangeran Mahkota itu berkata kepada dirinya sendiri. Perhatiannya kemudian
diarahkan kembali kepada Li Eng dan Hui Cu yang masih mengagumi keindahan kembang-kembang, ikanikan
dan arca serta ukiran indah yang menghias taman.
"Pangcu, apakah kedua orang Lihiap itu benar-benar keponakanmu? Kau masih begini muda, tidak akan
jauh selisihnya usiamu dengan mereka, bagaimana bisa menjadi paman mereka?" akhirnya Pangeran itu
bertanya kepada Kun Hong.
Pemuda ini sebetulnya merasa kurang enak mendapat sebutan pangcu itu. Akan tetapi karena memang
kenyataannya ia telah menerima kedudukan ketua Hwa-i Kaipang, maka ia pun tidak dapat membantah.
Mendengar pertanyaan ini, Kun Hong tersenyum. "Sebenarnya bukan keponakan dalam hubungan
keluarga, Pangeran, melainkan dalam hubungan perguruan. Ayah saya adalah supek (uwa guru) dari ayah
ibu mereka, oleh karena itulah maka saya terhitung sebagai paman guru mereka."
Pangeran Mahkota itu mengangguk-angguk. "Kalau begitu, Pangcu sebagai putera Ketua Hoa-san-pai dan
sebagai paman dari kedua orang lihiap ini, tentu memiliki ilmu silat yang tinggi sekali."
Li Eng dan Hui Cu yang kini sudah duduk kembali di dekat Kun Hong, menahan senyum mereka
mendengar ucapan ini.
Kun Hong sendiri menjadi merah mukanya ketika ia menjawab, "Ah, saya seorang yang bodoh, mana tahu
akan ilmu silat? Ayah dan Ibu pun melarang saya untuk belajar ilmu silat semenjak kecil. Berbeda dengan
kedua orang keponakanku ini, sedikit-sedikit mereka mengerti ilmu silat, Pangeran."
Pangeran Kian Bun Ti memandang pada dua orang dara itu. Li Eng menentang pandang mata itu dengan
sinar mata yang terbuka dan berani, sebaliknya Hui Cu hanya membalas tenang-tenang kemudian
menundukkan pandang matanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Alangkah senangnya memiliki kepandaian siiat tinggi seperti Ji-wi Siocia ini dan alangkah akan merasa
aman di hati kalau mempunyai teman seperti Ji-wi Lihiap," demikian kata Pangeran itu penuh kekaguman
dan sepasang matanya memancarkan cahaya ganjil.
Akan tetapi Li Eng masih terlalu muda dan tidak ada pengalaman sehingga pandang mata seperti ini
dianggapnya bukan apa-apa. Hui Cu lebih tajam dan perasa sehingga gadis ini berdebar-debar dan tidak
berani lagi menentang pandang mata Pangeran muda itu.
"Ah, Pangeran terlalu memuji!" Li Eng malah berani membantah. "Sedikit ilmu silat seperti yang kami miliki
ini apakah artinya dibandingkan dengan keadaan Pangeran? Tinggal di tempat begini indah, terjaga oleh
pasukan penjaga yang sangat kuat, setan pun tidak ada yang berani mengganggu!"
"Ha-ha-ha-ha, Nona pintar sekali bicara!" Pangeran itu gelak terbahak. "Kau sama sekali tidak tahu betapa
kedudukan seorang pangeran tidaklah seenak yang orang kira. Bahaya selalu mengancam dari kanan kiri,
nyawa pun selalu dalam bahaya. Sebab itulah tadi aku mengatakan betapa akan senang dan amannya jika
dapat selalu berteman dengan Nona berdua yang pandai ilmu silat dan yang tentu akan dapat menghalau
setiap orang jahat yang datang hendak mengambil nyawaku!"
Kun Hong mengerutkan keningnya. Di dalam hatinya ia tidak senang mendengar ucapan yang
mengandung maksud hati seorang pria terhadap wanita ini. Akan tetapi ia tidak mau sembarangan
mengeluarkan ketidak senangannya, apa lagi karena Li Eng dan Hui Cu agaknya sama sekali tidak dapat
menangkap maksud sebenarnya yang bersembunyi di balik pujian-pujian Pangeran itu.
Pada saat itu mendadak terdengar bentakan keras, "Hendak kami lihat siapa akan dapat membelamu,
Pangeran! Kematianmu sudah di depan mata, siaplah!"
Dan tahu-tahu dua orang laki-laki setengah tua dengan gerakan ringan dan cepat sekali telah datang
melayang ke tempat itu, masing-masing tangan mereka memegang sebatang pedang dan langsung
mereka itu menerjang Pangeran Kian Bun Ti.
"Celaka...!" Pangeran itu menjadi pucat dan ketakutan.
"Bangsat hina jangan menjual lagak!"
Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Li Eng sudah melompat ke depan, diikuti oleh Hui Cu yang juga
telah mencabut pedangnya. Terdengar suara nyaring ketika dua pasang pedang itu bertemu di udara dan
dua orang laki-kaki itu berteriak kaget sambil melangkah mundur satu tindak.
"Li Eng, Hui Cu, jangan membunuh orang!" Kun Hong dalam kagetnya berteriak kepada dua orang
keponakannya itu.
Sementara itu, dua orang itu sudah menerjang maju, sekarang sasaran mereka bukanlah Pangeran Kian
Bun Ti yang sudah lari bersembunyi di belakang pilar. Penyerang yang seorang, bertubuh pendek
berkepala besar, dilayani oleh Hui Cu karena Li Eng sudah mendahuluinya menerjang orang ke dua yang
kurus kering berusia lima puluh tahun lebih.
Li Eng bermata tajam. Begitu melihat gerakan dua orang ini ketika menyerang Pangeran tadi segera dapat
tahu bahwa orang ke dua yang kurus kering inilah yang terlihai di antara keduanya. Maka, ia mendahului
Hui Cu memapaki orang ini.
Memang tidak salah dugaan Li Eng. Orang kurus kering itu selain lihai dan cepat ilmu pedangnya, juga
memiliki tenaga lweekang yang tinggi sehingga pedang di tangannya itu tergetar-getar mengeluarkan hawa
pukulan yang dahsyat.
Pedangnya berkelebat seperti burung elang menyambar-nyambar menjadi gulungan sinar putih. Tangan
kirinya tak hanya digunakan untuk mengimbangi gerakan pedang di tangan kanan, bahkan kadang-kadang
masih membantu serangan pedang dengan melancarkan pukulan-pukulan dengan telapak tangan yang
mengandung tenaga dalam yang berhawa panas! Pendeknya, orang ini adalah ahli silat kelas tinggi yang
hanya dapat digolongkan dengan tingkat para busu pengawal pribadi kaisar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Namun kali ini ia ketemu batunya dalam menghadapi Li Eng. Dengan jurus-jurus gerakan Tian-mo Po-in
(Payung Kilat Menyapu Awan) dari Hoa-san-pai gadis ini dapat memapaki gulungan sinar pedang
lawannya sehingga gulungan sinar pedang itu menjadi buyar dan kacau. Ada pun pukulan-pukulan lawan
dengan tangan kirinya itu dapat ia elakkan dengan mengandalkan kegesitannya.
"Ehh, mengapa gerakan Tian-mo Po-in begini hebat?" tiba-tiba laki-laki itu berseru keras. "Jurus ini adalah
jurus Hoa-san Kiam-hoat yang paling hebat, tapi kenapa begini aneh? Ayaaa!" Dia berseru makin kaget
ketika pedang gadis itu hampir saja menusuk lehernya kalau ia tidak lekas-lekas membuang diri ke
belakang.
Aneh sekali sikap lawan ini, pikir Li Eng. Agaknya orang ini mengenal baik ilmu pedang Hoa-san-pai, akan
tetapi mengapa berkata keras-keras seperti hendak memberi tahukan kepada seseorang? Dengan gemas
Li Eng lalu merubah ilmu pedangnya dan menyerang dengan dahsyat. Kembali orang itu berteriak keras
sambil memutar-mutar pedang untuk menjaga diri.
"Ehh, Hoa-san Kiam-hoat mengapa begini ganas? Kau campur dengan ilmu pedang dari manakah? Kau
murid siapa?"
Panas juga perut Li Eng ketika mendengar betapa orang ini agaknya mengenal baik ilmu pedangnya.
Sambil mengirim tusukan bertubi-tubi ia berseru, "Orang macam kau perlu apa bicara tentang ilmu silat
Hoa-san-pai? Kalau memang gagah, kau hadapi ini!"
Tiba-tiba sinar hitam berkelebat dari tangan kiri Li Eng. Ternyata dia sudah mengeluarkan sabuk sutera
hitamnya dan kini pedang dan sutera hitam itu menyambar-nyambar dahsyat sekali, mengurung lawan itu
dari segala penjuru!
Orang itu lagi-lagi mengeluarkan seruan kaget, masih mencoba untuk menyebutkan satu per satu semua
jurus yang dimainkan Li Eng. Akan tetapi akhirnya ia tak dapat membuka mulut lagi karena sibuk
menghadapi serangan yang membuat dia harus memeras tenaga dan kepandaian untuk melindungi
tubuhnya.
Sementara itu, lawan yang menghadapi Hui Cu juga ikut berteriak-teriak, "Bocah ini ilmu pedangnya Hoasan
Kiam-hoat tidak berapa tinggi, akan tetapi ilmu pedang apa ini yang begini indah?"
"Tidak usah banyak mulut, terimalah ini!" Hui Cu membentak dan menyerang lebih hebat lagi.
Akan tetapi orang itu ternyata memiliki kepandaian yang tinggi juga sehingga ia mampu menangkis dan
membalas. Malah ia masih terus berkata keras-keras, "Eh, mengingatkan aku akan ilmu pedang dari Butek
Kiam-ong! He, bocah, kau pernah apa dengan Bu-tek Kiam-ong Cia Hui Gan?"
Ketika nama guru ibunya itu disebut, Hui Cu kaget juga. Akan tetapi tanpa menjawab ia menyerang terus
bertubi-tubi dengan ilmu pedangnya yang amat indah.
"Hebat... hebat...!" Orang itu lagi-lagi memuji dan terpaksa berlaku lebih hati-hati karena menghadapi dara
remaja yang lihai ini ia maklum tak boleh bersikap sembrono.
Ada pun Kun Hong yang bangun berdiri dan menonton dari pojok, maklum bahwa Li Eng dengan mudah
akan mampu mengalahkan lawannya, sedangkan kepandaian Hui Cu juga seimbang dengan lawan yang
seorang lagi. Tanpa dia sadari, Kun Hong sudah memiliki pengertian mendalam mengenai ilmu silat dan
terutama sekali Hoa-san Kiam-hoat yang pernah dibacanya sampai tamat.
Ia juga melihat betapa gerakan-gerakan Li Eng amat berbeda dengan ilmu yang pernah dibacanya, lebih
ganas dan juga aneh. Sedangkan ilmu pedang yang dimainkan oleh Hui Cu adalah Hoa-san Kiam-hoat
yang bercampur dengan ilmu pedang yang indah gerakan-gerakannya. Betapa pun juga, melihat gerakan
kaki gadis ini ia terheran-heran karena ia merasa pernah mengenal gerakan-gerakan ini.
Tiada hentinya pemuda ini berseru penuh kekuatiran, "Li Eng! Hui Cu! Hati-hati jangan kalian membunuh
orang!"
Ia sama sekali tak menguatirkan keselamatan dua orang keponakannya itu karena di luar kesadarannya ia
telah dapat mengikuti pertandingan itu dan melakukan penilaian. Akan tetapi ia amat kuatir kalau-kalau
kedua orang keponakannya itu melakukan pembunuhan, perbuatan yang amat dibenci-nya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pangeran Kian Bun Ti dengan mata berseri-seri memperhatikan dua orang gadis yang amat lihai itu, akan
tetapi keningnya berkerut sebentar ketika dia menyaksikan sikap Kun Hong. Pikirnya, "Orang muda itu
cerdik luar biasa, aneh dan baik budinya, tentu jujur dan setia. Akan tetapi sayang, hatinya lemah. Mana
bisa aku memakai orang seperti ini?"
Biar pun wataknya jenaka dan nakal, namun entah bagaimana, Li Eng amat taat kepada pamannya atau
lebih tepat lagi, dia tidak mau membikin marah atau susah kepada Kun Hong. Kalau menurut wataknya,
orang yang jahat datang menyerang Pangeran ini patut ia bunuh kedua-duanya.
Akan tetapi mendengar suara Kun Hong dan mengingat akan watak yang amat aneh dari pamannya ini, dia
lalu memperhebat permainan sabuk suteranya sedangkan pedangnya hanya dipakainya untuk menangkis
atau mengancam saja. Akhirnya lawannya tidak dapat menahan lagi.
“Tar-tar-tar!” terdengar bunyi nyaring bertubi-tubi.
Orang itu memekik kesakitan, pedangnya terlepas dari tangannya dan ia meloncat tinggi kemudian
berjungkir-balik ke belakang. Muka, lengan dan lehernya penuh luka-luka bekas cambukan sabuk sutera
sedangkan beberapa bagian bajunya pecah-pecah.
"Si-te, lari!" teriaknya kepada temannya.
Akan tetapi temannya pun amat bingung karena sedang didesak hebat oleh Hui Cu. Biar pun ia mampu
mempertahankan diri, namun ia sama sekali tidak dapat mendesak gadis yang ilmu pedangnya indah dan
lihai itu.
"Enci Cu, kata Paman tidak boleh dia dibunuh. Biarkan aku membagi hadiah kepadanya!" kata Li Eng
sambil tertawa-tawa tanpa mengejar lawannya yang sudah kalah. Sebaliknya sabuk suteranya menyambar
dan kini yang dijadikan bulan-bulanan adalah lawan Hui Cu.
"Tar-tar-tar!"
Orang ini pun menjerit dan pedangnya terlepas, muka dan badannya babak-belur dimakan cambuk.
Karena Hui Cu tidak menyerangnya lagi dan gadis nakal itu hanya menggunakan sabuk sutera untuk
menghajarnya, ia lalu melompat jauh mengikuti temannya yang sudah lari terlebih dulu, meloncat pagar
taman dan menghilang.
"Hebat! Bagus sekali...!” Pangeran Kian Bun Ti bertepuk tangan memuji sambil keluar dari belakang pilar,
terus menghampiri Li Eng dan Hui Cu yang masih memegang pedang di tangan. Ia mengangguk-angguk
dan berkata dengan wajah berseri,
"Nona berdua telah menyelamatkan nyawaku, entah dengan cara apa aku bisa membalas budi kalian!"
Dua orang dara remaja itu hanya tersenyum. Wajah mereka juga berseri girang. Mereka tidak saja telah
menolong tuan rumah yang amat ramah, akan tetapi lebih dari itu, telah menolong Pangeran, Pangeran
Mahkota lagi!
Akan tetapi Kun Hong mengerutkan keningnya! Perasaannya yang halus dan tajam dapat menangkap
nada tersembunyi di dalam kata-kata itu tadi. Segera dia maju dan menjura kepada Pangeran Kian Bun Ti
sambil berkata, "Harap Pangeran jangan berkata demikian. Sudah semestinya bila dua orang keponakan
saya membela Pangeran dari penyerangan orang-orang jahat tadi. Dua orang keponakan saya tidak
menanam budi dan Paduka tidak perlu berterima kasih."
Pangeran Kian Bun Ti menatap pandang mata pemuda ini dan untuk sejenak keduanya berpandangan,
seakan-akan hendak menjenguk isi hati masing-masing dan seperti orang ‘mengukur tenaga’. Pangeran itu
hendak marah, dadanya sudah panas, akan tetapi dia menekan perasaannya lalu bertepuk tangan tiga kali.
Sambil tersenyum ia berkata,
"Kegagahan dua orang Nona ini yang amat hebat, sepatutnya dihormati dengan pesta dan perkenalan
dengan para pembantuku."
dunia-kangouw.blogspot.com
Selagi tiga orang muda itu terheran-heran dan tidak mengerti, dari pintu dalam tiba-tiba bermunculan
beberapa orang, setelah berkumpul semua ternyata mereka berjumlah tujuh orang. Ada yang berpakaian
seperti pendeta, ada yang bertubuh gagah tinggi besar, ada pula yang lemah-lembut, akan tetapi semua
orang ini segera memberi hormat kepada Pangeran Mahkota dengan cara masing-masing. Melihat bahwa
semua membawa senjata di pinggang atau di punggung, dapat diduga bahwa tujuh orang ini tentulah
orang-orang yang pandai ilmu silat.
Pangeran Kian Bun Ti memperkenalkan tujuh orang pembantunya itu dan menyebut nama mereka, akan
tetapi Kun Hong dan dua orang keponakannya tidak memperhatikan biar pun mereka menjura dengan
hormat. Hati dua orang dara itu mulai tidak senang karena pandang mata tujuh orang ini mengandung
sikap kurang ajar.
"Ha-ha-ha, kalian lihatlah. Dua orang Nona inilah baru patut disebut pendekar wanita yang gagah perkasa
dan cantik jelita! Pernahkah kalian melihat dua orang dara remaja sehebat ini? Dengan tangkas dan
mudahnya mereka berdua berhasil mengusir dua orang jagoan lari tunggang-langgang!"
Seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka hitam dan tadi dikenalkan sebagai Souw Ki
berjuluk Tiat-jiu Busu (Jagoan Tangan Besi), tersenyum pada waktu dia berkata, "Pilihan Paduka tepat
sekali, Pangeran. Hamba menghaturkan selamat!"
"Ha-ha-ha! Benar-benar menggirangkan hati, Pangeran. Dengan adanya dua orang siuli (puteri-puteri
istana) segagah ini, pinto dan teman-teman tidak akan begitu kuatir lagi apa bila tidak sedang berada dekat
Paduka!"
Orang yang tertawa-tawa ini adalah seorang berpakaian pendeta tosu berambut panjang yang tadi
diperkenalkan dengan nama Thian It Tosu. Ia mengelus-elus jenggotnya yang panjang pula sambil
memandang kepada Li Eng dan Hui Cu dengan mata berkedip-kedip seperti seorang yang mengajak
bermain mata.
Bukan main sebalnya hati dua orang dara itu melihat kakek ini beraksi seperti monyet mencium terasi.
Sebelum Li Eng dan Hui Cu mengerluarkan suara untuk mengatakan kesebalan hati mereka, tiba-tiba
terdengar suara berisik dan dari pintu yang menembus ke dalam gedung mungil itu berlari-larian keluar
lima orang wanita muda yang cantik-cantik.
Wanita-wanita ini masih muda, usianya tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun dan pakaian mereka
benar-benar membuat Li Eng dan Hui Cu memandang bengong. Pakaian mereka itu mencolok sekali,
terbuat dari sutera halus tipis sehingga samar-samar tampak pakaian dalam mereka yang berwarna-warni.
Selain tipis membayang, juga amat ketat menempel pada tubuh mereka.
Mereka ini rata-rata cantik jelita, ditambah dengan hiasan dan riasan pada muka dengan warna penghitam
dan pemerah. Lima orang wanita muda ini semua memegang sebatang pedang terhunus yang mengkilap
saking tajamnya! Munculnya lima orang wanita cantik berlenggang genit ini langsung membuat tujuh orang
tokoh jagoan itu tersenyum-senyum dan melirik-lirik.
Sementara itu, Pangeran Kian Bun Ti segera menegur, juga sambil tersenyum, "Eh-ehh, kalian ini Lima
Macan Cantik datang-datang membawa pedang telanjang mau apakah?"
Seorang yang agaknya tertua di antara mereka berlima, menjawab dengan sikap manja dan genit kepada
Pangeran Mahkota itu, "Hamba berlima mendengar bahwa Paduka telah menerima dua orang baru yang
dibanggakan berkepandaian tinggi. Karena selama ini kami berlima yang menjadi selir-selir pengawal,
maka dengan diterimanya selir pengawal baru, kami ingin sekali mengukur kepandaian mereka." Setelah
berkata demikian, dia dan empat orang temannya menoleh serta memandang kepada Li Eng dan Hui Cu
dengan pandang mata tajam dan marah.
Pangeran Mahkota itu tertawa bergelak, juga tujuh orang pembantunya tertawa. Mereka baru mengerti
bahwa Lima Macan Cantik ini ternyata menjadi cemburu dan iri hati setelah mendengar perihal dua orang
pendekar wanita tu.
"Ha-ha-ha, meski pun kalian cukup lihai, tak mungkin kalian dapat menangkan dua orang Nona perkasa
ini."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kata-kata ini bagi lima orang wanita itu merupakan ijin, maka cepat mereka bergerak menghadapi Li Eng
dan Hui Cu yang berdiri berdampingan dan yang memandang serta mendengar semua ini dengan kening
berkerut. Ketika lima orang wanita yang indah-indah pakaiannya itu menghampiri mereka, keduanya juga
balas memandang tajam dan penuh selidik. Mereka berdua harus mengakui bahwa lima orang ini benarbenar
cantik dan bergaya lembut tapi angkuh seperti lagak puteri-puteri bangsawan.
Setelah berdiri sejajar di depan dua orang gadis ini dengan pedang melintang di depan dada, yang tertua
lantas menudingkan telunjuk tangan kiri kepada mereka berdua sambil membentak, "Dua bocah dari
gunung, kalian mengandalkan apa berani memikat perhatian Pangeran? Coba kalian hadapi pedang kami!"
Li Eng dan Hui Cu saling pandang. Gilakah perempuan ini? Siapa yang memikat perhatian Pangeran?
Sementara itu, Kun Hong sudah melangkah maju dan menjura ke depan lima orang wanita itu.
"Ngo-wi Toanio (Nyonya Besar Berlima), harap sudi bersabar dan tidak salah duga. Dua orang
keponakanku ini sama sekali tidak hendak memikat perhatian siapa-siapa dan kami percaya penuh bahwa
Ngo-wi tentu paling cantik dan paling pandai. Dua keponakanku ini tidak berani melawan Ngo-wi..."
Li Eng dan Hui Cu tidak senang sekali mendengar kata-kata paman mereka yang amat merendah ini. Akan
tetapi lima orang wanita-wanita itu jelas kelihatan bangga dan juga girang.
Akan tetapi, untuk menyatakan bahwa mereka berlima bukanlah wanita-wanita yang boleh dipermainkan,
wanita yang tertua segera menudingkan ujung pedangnya ke arah Kun Hong sambil membentak,
"Kau ini siucai jembel tidak tahu aturan! Apa kau kira kami berlima ini adalah perempuan-perempuan
sembarangan yang boleh diajak bicara oleh segala macam laki-laki seperti kau? Untuk dosamu ini
seharusnya kupenggal kepalamu, tapi karena Pangeran terkenal sebagai seorang besar yang budiman dan
pengampun, biarlah kupotong telingamu yang kiri agar kau tahu bahwa kami tidak boleh dibuat main-main!"
Setelah berkata demikian, pedang ditangannya berkelebat ke arah telinga kiri Kun Hong.
Pemuda ini di dalam hatinya terkejut sekali akan sikap yang berlebihan dari wanita-wanita ini. Terpaksa dia
melangkah mundur terhuyung-huyung menurutkan gerak langkah ajaib. Wanita itu makin penasaran
karena sabetannya luput. Cepat ia melangkah maju lagi dan kembali mengayunkan pedangnya ke arah
telinga kiri Kun Hong. Pemuda ini tetap saja terhuyung-huyung ke belakang, tetapi sabetan-sabetan
pedang itu tak pernah mengenai telinganya.
"Toanio, telinga adalah alat untuk mendengar, mana boleh dipotong?" berkata Kun Hong, suaranya tetap
tenang-tenang saja.
Dan inilah yang lucu karena suaranya demikian tenang, akan tetapi ia terhuyung-huyung dan kelihatan
gerak-geriknya seperti kebingungan. Memang, bagi yang tidak tahu, gerak langkah ajaib dari Kim-tiauwkun
memang lebih mirip gerakan orang yang ketakutan atau kebingungan. Maka tertawalah tujuh orang
jagoan yang berdiri di situ.
Mendengar suara ketawa ini, wanita itu salah duga, mengira bahwa dialah yang sedang ditertawai, maka
naiklah darahnya. Kini pedangnya tak hanya ditujukan untuk memotong telinga Kun Hong, malah
digunakan untuk menyerang membabi-buta untuk merobohkan pemuda itu. Kelihatannya makin repotlah
Kun Hong, terjengkang-jengkang dan terhuyung-huyung, namun tak pernah tersentuh pedang yang
menyambar-nyambar itu.
"Tranggg!"
Wanita itu memekik kaget dan melompat ke belakang, tangannya terasa gemetar dan sakit. Kiranya Hui Cu
sudah berdiri menghadapinya dengan pedang di tangan dan dengan sikap marah.
"Perempuan tak tahu malu! Berani kau menghina pamanku yang tak bersalah apa-apa?"
Wanita itu hanya sebentar saja kaget, lalu ia tersenyum sambil menoleh kepada empat orang temannya.
"Adik-adik, lihat baik-baik. Perempuan ini mengakui keparat itu sebagai pamannya, Hi-hi-hi, siapa orangnya
dapat dibohongi begitu saja? Orang muda itu usianya tidaklah tua, sebaya dengannya, juga biar pun
jembel dan kotor, mukanya tidaklah buruk bagi seorang laki-laki. Hemm… hemm, bocah gunung, bilang
saja dia itu kekasihmu, kami akan percaya sepenuhnya, jangan bilang pamanmu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tutup mulutmu yang kotor!" Hui Cu yang memang tak pandai bicara itu memaki, matanya yang bening
berkilat bercahaya akan tetapi kedua pipinya merah karena jengah.
"Adik-adik, mari kita beramai menghajar bocah gunung ini!" wanita itu berseru dan berlima mereka siap
menerjang Hui Cu dengan pedang mereka. Gerakan mereka cukup kuat dan pasangan kuda-kuda mereka
ternyata serupa, tanda bahwa mereka adalah sealiran.
"Bagus, kalian sudah bosan hidup!" Hui Cu menggetarkan pedang di tangannya.
Akan tetapi tiba-tiba di belakangnya Kun Hong membentak, "Hui Cu, tahan! Mundurlah dan simpan
pedangmu. Li Eng, kaulah yang maju menghadapi kelima orang nyonya besar ini, akan tetapi ingat, jangan
sekali-kali membunuh orang!"
Hui Cu kecewa, akan tetapi dia tidak berani membantah kehendak pamannya. Dengan mata berkilat ia
menarik kembali pedangnya, menyimpannya dan melangkah mundur. Li Eng sambil tersenyum-senyum
kini menggantikannya maju. Gadis lincah jenaka ini sudah tahu apa maksud pamannya menyuruh dia
menggantikan Hui Cu.
Memang sesungguhnya melihat Hui Cu yang sudah marah sekali itu, Kun Hong menjadi sangat kuatir
kalau-kalau Hui Cu salah tangan membunuh orang. Apa lagi dalam sebuah pertempuran yang ramai,
sukarlah untuk mengalahkan lawan tanpa membunuh. Berbeda dengan Li Eng yang ia tahu memiliki
kepandaian jauh lebih tinggi dari Hui Cu. Apa lagi Li Eng memiliki senjata istimewa, yaitu sabuk sutera
yang lemas, maka lebih mudahlah bagi Li Eng untuk mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya.
Anehnya, melihat pertempuran yang akan pecah ini, baik Pangeran Kian Bun Ti mau pun tujuh orang
jagoannya sama sekali tidak mencampurinya. Malah mereka berdiri menonton dengan wajah berseri,
seakan-akan yang terjadi di depan mereka adalah sebuah adegan sandiwara yang menyenangkan dan
menarik.
Hal ini saja menimbulkan kerut di kening Kun Hong dan pemuda ini mengambil keputusan bahwa kalau Li
Eng sudah berhasil mengalahkan lima orang wanita galak itu, ia segera akan minta pamit kemudian
mengajak dua orang keponakannya meninggalkan tempat ini. Malah harus cepat-cepat meninggalkan kota
raja dengan segalanya yang serba aneh.
Li Eng yang dapat menangkap maksud hati pamannya, dengan gerakan tenang sekali lalu meloloskan
sabuk suteranya yang hitam panjang dan menggulungnya di tangan kanan. Dengan senyum dikulum dan
mata berseri dia memandang kepada lima orang puteri di depannya itu, menatap seorang demi seorang,
kemudian berkata dengan suaranya yang nyaring dan mengandung ejekan,
"Eh, lima orang nenek siluman betina, sungguh kau tak tahu diri. Kalau tidak paman kami yang menaruh
kasihan, bukankah sekarang kalian berlima sudah rebah menjadi bangkai di bawah pedang enci-ku?"
Li Eng memang berani bersikap demikian karena ia sudah tahu pasti bahwa lima orang ini bukanlah lawan
Hui Cu, apa lagi lawan dia. Dari gerakan orang pertama ketika menyerang Kun Hong tadi saja tahulah dia
bahwa lima orang wanita ini hanya lagaknya saja hebat, pada hakekatnya tidak memiliki kepandaian
berarti.
Dimaki sebagai nenek apa lagi siluman betina, karuan saja lima orang selir Pangeran itu menjadi marah
bukan main. Tanpa banyak cakap lagi mereka berlima segera menerjang maju sambil menggerakkan
pedang menyerang Li Eng.
Li Eng tak mau berlaku sungkan lagi. Kedua tangannya bergerak, sinar hitam berkelebat.
“Tar-tar-tar-tar!” terdengarlah bunyi nyaring berulang kali.
Lima orang pengeroyoknya itu selama hidupnya belum pernah mengalami pertempuran seperti ini. Mereka
merasa seakan-akan ada petir menyambar-nyambar di atas kepala dan berturut-turut lima batang pedang
melayang jauh terlepas dari pegangan lima orang wanita itu.
Li Eng menggerakkan sabuk suteranya yang menyambar-nyambar dari atas ke bawah mengeluarkan bunyi
melecuti muka dan tubuh kelima orang pengeroyoknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tar-tar-tar-tar-tar!"
Lima orang wanita itu menjerit-jerit, perih dan sakit kulit mereka yang terkena cambukan. Lalu, sambil
menutupi muka dengan tangan, mereka lari meninggalkan tempat itu kembali ke dalam. Amat lucu melihat
mereka lari sambil dikejar sabuk sutera yang masih sempat mencambuki tubuh belakang mereka,
membuat mereka memindahkan tangan dari muka ke tubuh belakang yang sakit semua akibat dihajar
cambuk!
"Cukup, Li Eng!" Kun Hong berteriak dan Li Eng menyimpan kembali sabuknya, lalu dia berdiri di dekat
pemuda ini.
"Harap Paduka memaafkan keponakanku." Kun Hong menjura. "Dan perkenankan kami bertiga mohon diri,
kami hendak melanjutkan perjalanan."
Pangeran Kian Bun Ti menggerak-gerakkan tangan, lalu tertawa, "Ah, Saudara Kun Hong apakah marah
karena peristiwa tadi? Mereka berlima hanyalah selir-selirku yang bodoh, yang merasa diri sendiri pintar.
Kalau mereka tadi bersikap kurang ajar, biarlah sekarang juga kusuruh masukkan ke dalam penjara."
Mendengar ini terkejutlah Kun Hong. "Ah, tidak... tidak... mereka tidak apa-apa, Pangeran. Tak usah
dihukum..."
"Baik, dan untuk menebus kelancangan mereka, biarlah mulai sekarang mereka berlima menjadi pelayan
dua orang keponakanmu ini."
Pucatlah muka Kun Hong sedangkan Hui Cu dan Li Eng saling pandang, masih belum mengerti apa
sebetulnya maksud hati dan kehendak Pangeran yang tampan dan selalu tersenyum-senyum itu.
Lagi-lagi Kun Hong menjura dan bicara seperti orang yang belum mengerti akan maksud pangeran itu,
"Banyak terima kasih atas anugerah Paduka kepada dua orang keponakan saya, juga terima kasih atas
penyambutan dan kehormatan besar yang kami bertiga telah terima dari Paduka. Akan tetapi terpaksa
kami bertiga mohon diri, Pangeran. Perjalanan kami masih jauh dan harus kami lanjutkan sekarang juga."
"Perjalanan itu boleh dibatalkan atau ditunda!" Suara Pangeran itu sekarang terdengar sungguh-sungguh
dan ketus. "Saudara Kun Hong, mulai saat ini aku mengangkat Li Eng sebagai selir pertama dan Hui Cu
sebagai selir ke dua dan kedudukan mereka merangkap sebagai selir pengawal pribadiku!"
Baru sekaranglah dua orang dara remaja itu tahu akan maksud hati Pangeran itu. Muka mereka otomatis
menjadi merah bagai udang direbus, mata mereka berkilat saking marah dan jengah. Keduanya tanpa
terasa telah meraba gagang pedang.
Dengan dahi berkerut-kerut saking gelisah dan bingungnya, Kun Hong pun berulang-ulang menjura kepada
Pangeran Mahkota itu, lalu bertanya,
"Pangeran, sejak jaman nenek moyang kita dahulu, bangsa kita selalu memegang teguh peraturan dan
kesopanan. Dua orang keponakanku ini masih mempunyai orang tua, maka kiranya untuk urusan ini
sebaiknya kalau Paduka berurusan dengan ayah bunda mereka seperti lazimnya. Sekarang, karena kami
bertiga masih mempunyai tugas yang penting sedangkan perjalanan masih sangat jauh, perkenankanlah
kami untuk mengundurkan diri dan keluar dari sini."
"Ha-ha-ha, Saudara Kun Hong benar-benar mengagumkan, hafal akan segala pelajaran filsafat dan ujarujar
kuno. Aku sama sekali tidak melanggar peraturan, karena bukankah kau adalah paman dari mereka?
Dalam hal ini, seorang paman boleh menjadi wakil dan pengganti orang tua. Oleh karena itulah, di
hadapanmu aku mengajukan pinangan untuk menjadikan dua orang nona ini sebagai selir-selirku yang
terkasih. Ada pun kau sendiri, sesuai dengan bakat serta kepintaranmu, kuangkat menjadi pembesar yang
mengurus perpustakaan istana!"
Tujuh orang jagoan itu mengeluarkan seruan kagum dan mereka segera menjura kepada Kun Hong sambil
bersuara saling tunjang,
"Kionghi, kionghi (selamat)! Begini muda sudah menerima anugerah pangkat yang tinggi. Juga kionghi
kepada dua orang Lihiap ini!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Kun Hong cepat mengangkat kedua tangannya dan menggoyang-goyangnya tanda bahwa ia
menolak kesemuanya itu. Juga Li Eng dan Hui Cu sudah hampir tak dapat menahan kemarahan mereka.
Mereka merasa terhina sekali oleh sikap Pangeran ini yang begitu mau menang sendiri, mengambil orang
sebagai selirnya tanpa bertanya dulu, baik kepada yang bersangkutan mau pun kepada orang tuanya.
Apakah dikiranya mereka itu seperti lima orang wanita tadi, dan dianggap sebagai perempuan murahan
belaka?
"Terpaksa saya tidak dapat menerima semua itu, Pangeran. Pertama, saya yang muda mana berani
mewakili orang tua mereka? Apa lagi dalam soal perjodohan. Sama sekali saya tidak berani! Ke dua, saya
merasa amat bodoh dan tidak terpelajar, bagaimana saya berani menerima kedudukan dari Paduka?
Tidak, meski pun saya berterima kasih sekali, akan tetapi terpaksa saya menolak dan harapan saya hanya
perkenan Paduka agar kami bertiga dapat pergi dari sini."
Merah wajah Pangeran Mahkota Kian Bun Ti. Selama hidup baru kali ini ia menghadapi orang-orang yang
tidak lekas-lekas berlutut menghaturkan terima kasih setelah dia beri anugerah seperti itu. Wanita mana
yang tidak ingin, bahkan saling berebut untuk menjadi selir terkasih dari Pangeran Kian Bun Ti yang
terkenal muda, tampan, halus budi, dan calon kaisar? Laki-laki mana yang tidak ingin menjadi pembesar
dan kedudukannya diberi sendiri oleh Pangeran Mahkota?
Akan tetapi, pandang matanya tidak buta, pendengarannya tidak tuli. Kali ini benar-benar dua orang dara
muda, yang hendak diambil menjadi selirnya itu malah berdiri dengan muka marah sedangkan orang yang
hendak diangkatnya menjadi pembesar perpustakaan malah terang-terangan menampik pula! Saking
heran, marah dan kecewanya, Pangeran ini hanya berdiri dengan muka merah dan mata terbelalak.
Seorang di antara tujuh jagoan pengawal Pangeran itu melompat maju. Orang ini usianya sudah lewat lima
puluh tahun, mukanya merah dan matanya jelas membayangkan bahwa ia adalah seorang yang pemarah
dan sombong. Dia inilah yang terkenal dengan julukan Sin-toa-to (Golok Besar Sakti) bernama Liong Ki
Nam. Di daerah Selatan namanya sudah amat terkenal dan ilmu goloknya memang hebat, boleh dibilang
belum pernah ia menemui tandingan.
Watak orang ini memang paling berangasan dari teman-temannya, maka melihat sikap tiga orang muda
dan mendengar jawaban Kun Hong tadi, ia segera memaki,
"Bocah! Kau diberi hati tetapi makin melonjak. Pangeran telah berlaku amat baik hati dan menghormat, kau
malah makin besar kepala. Kau berani membantah perintah Pangeran, berarti memberontak! Apakah kau
sudah bosan hidup?"
Sementara itu, Pangeran Kian Bun Ti nampak kesal, lalu ia berkata kepada tujuh orang jagoannya, "Harap
para busu membereskan ini, aku menanti kabar."
Tanpa menoleh lagi kepada Kun Hong atau kepada dua orang dara remaja itu, Pangeran ini membalikkan
tubuh dan dengan langkah yang membayangkan keagungan seorang calon kaisar, Pangeran ini memasuki
rumah gedung.
Setelah Pangeran itu pergi, tosu rambut panjang, Thian It Tosu, mendekati Kun Hong dan berkata dengan
suara halus, "Orang muda, harap kau pikirkan baik-baik dan janganlah membawa kemauan sendiri yang
tidak wajar. Ingatlah, semua orang muda, bahkan yang tua-tua sekali pun, di seluruh negeri akan mengiri
bila melihat peruntunganmu yang amat bagus ini. Kau diangkat menjadi pembesar dalam istana dan dua
orang keponakanmu ini dapat merebut hati Pangeran Mahkota. Siapa tahu kelak kalau Pangeran sudah
menjadi kaisar, dua orang keponakanmu itu akan tetap menjadi kekasih, tentu kau akan diangkat menjadi
menteri!"
Kun Hong tersenyum lemah dan menggerakkan kepala. "Tidak bisa, Totiang. Sama sekali aku tidak
bermaksud membantah Pangeran, apa lagi memberontak. Akan tetapi sungguh-sungguh aku tidak dapat
menerima jabatan itu karena aku memang tidak suka menjadi pembesar. Ada pun tentang persoalan jodoh,
kedua orang keponakanku ini mempunyai orang tua-orang tua, bagaimana aku berani melancangi
mereka?"
"Eh, bocah goblok. Kau masih berkepala batu?" Sin-toa-to Liong Ki Nam membentak lagi dengan mata
melotot. "Tidak usah banyak cerewet, pilih mana. Kau dan dua orang nona ini menurut dan menerima
kemuliaan ataukah kalian ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara, mungkin dihukum penggal kepala!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja Kun Hong tidak takut mendengar ancaman maut ini. Baginya, di dunia ini tidak ada sesuatu apa
pun yang bisa menimbulkan takut dalam hatinya asalkan ia yakin akan kebenarannya. Dan dalam hal ini ia
sama sekali tidak merasa telah melakukan sesuatu kesalahan.
Ia menarik napas panjang dan berkata, "Belum pernah aku mendengar tentang pinangan dan pemberian
anugerah yang bersifat paksaan. Baru saja dua orang keponakanku telah menolong pangeran dari bahaya
maut akibat penyerangan dua orang jahat, akan tetapi sekarang dua orang keponakanku hendak dipaksa
untuk menjadi selir dengan ancaman hukuman penjara kalau tidak mau menurut. Benar-benar di tempat
yang mewah ini tidak dikenal lagi kebenaran dan keadilan!"
Tujuh orang jagoan itu tertawa, agaknya geli mendengar ucapan ini. Malah Thian It Tosu lalu berkata,
"Orang muda, kau benar-benar seperti katak di dalam tempurung, berlagak pintar akan tetapi bodoh. Kau
tidak tahu sampai di mana kekuasaan Pangeran Mahkota. Beliau adalah calon kaisar, tahukah kau? Mana
bisa orang jahat sembarangan hendak menyerang dan membunuh beliau? Kau kira kedua keponakanmu
tadi sudah menolong Pangeran dari penyerangan orang jahat? Ha-ha-ha! Sebenarnya hanya karena
Pangeran yang suka melihat dua orang gadis ini ingin menguji sampai di mana tinggi kepandaian kedua
Nona ini."
Tosu itu bertepuk tangan dan dari luar berlari datang dua orang yang lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan tujuh orang jagoan itu. Ketika Kun Hong dan dua orang keponakannya memandang, mereka ini
terkejut sekali karena mengenal bahwa kedua orang yang baru datang ini bukan lain adalah... dua orang
‘penjahat’ yang tadi menyerang Pangeran dan dihajar oleh Li Eng dan Hui Cu.
Kun Hong bengong. Tahulah dia sekarang bahwa kiranya Pangeran hanya ingin menguji kepandaian dua
orang keponakannya. Selagi ia kebingungan mengingat urusan sulit yang dihadapinya, terdengar Li Eng
membentak keras dan mencabut pedangnya.
"Aturan dari mana semua ini? Biar Pangeran sekali pun, tidak boleh memaksa orang lain sesuka hatinya.
Kami tidak sudi menuruti kehendak Pangeran, habis kalian ini mau apa?" Dengan gagah gadis ini berdiri
tegak dengan pedang di tangan kanan dan sabuk sutera di tangan kiri, memasang kuda-kuda dan
perbuatannya ini segera diturut oleh Hui Cu.
"Li Eng, jangan...!" Kun Hong mencegah.
"Paman Hong, betapa pun baik dan sabarnya hati orang, tidak mungkin bisa memenuhi kehendakmu, mau
dan diperhina oleh orang lain. Kita menolak paksaan mereka dan kalau mereka hendak menggunakan
kekerasan, boleh kita lihat. Orang-orang dari Hoa-san-pai bukanlah sebangsa pengecut yang takut mati
demi membela kebenaran!" Suara Lie Eng penuh semangat dan baru kali ini terhadap Kun Hong ia bicara
sungguh-sungguh, walau pun dengan nada keras dan menentang.
"Kalian tidak boleh membunuh orang!" kata pula Kun Hong ketika melihat dua orang dara remaja itu sudah
siap dengan pedang mereka dan tujuh orang jagoan itu pun tampaknya sudah siap untuk turun tangan.
"Kalau orang lain hendak mencelakakan kita, masa kita harus diam saja? Kalau orang lain hendak
membunuh kita, masa kita harus mandah saja?" kata pula Li Eng penasaran.
"Lebih baik dibunuh dari pada membunuh!" Kun Hong tetap membantah.
Sementara itu, ketujuh orang jagoan itu saling pandang. Mereka ini rata-rata memandang rendah terhadap
Li Eng dan Hui Cu. Harus diketahui bahwa tujuh orang ini merupakan tokoh-tokoh besar yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Mereka bukanlah jago-jago biasa macam dua orang yang tadi pura-pura menyerang
Pangeran, melainkan tokoh-tokoh yang benar-benar termasuk ahli silat kelas tinggi.
Tiat-jiu Souw Ki yang bermuka hitam dan tinggi besar adalah seorang bajak tungal yang dahulu namanya
bahkan lebih tenar dari pada nama Ho-hai Sam-ong, tiga raja bajak di Huang-ho itu. Sesuai dengan nama
julukannya, Tiat-jiu berarti Kepalan Besi, tenaga luar dari tubuhnya hebat sekali, kepalan tangannya juga
sekeras besi sehingga orang kata sekali pukul ia mampu membikin remuk kepala seekor harimau. Di
samping kedahsyatan pukulan tangannya ini, ia pun seorang ahli bermain silat ruyung dengan ruyung
bajanya yang besar dan berat.
Thian It Tosu adalah seorang tosu yang tingkatnya di perkumpulan Ngo-lian-kauw sudah tinggi, boleh
dibilang ia merupakan tangan kanan dari Ketua Ngo-lian Kauwcu Kim-thouw Thian-li. Thian-It Tosu ini
dunia-kangouw.blogspot.com
selain ilmu silatnya tinggi, tenaga dalam di tubuhnya amat kuat, juga sebagai seorang tosu ia mahir ilmu
sihir dari Ngo-lian-kauw.
Semenjak dulu perkumpulan Ngo-lian-kauw ini memang selalu mencari kesempatan baik untuk menempel
pihak yang menang, merupakan perkumpulan yang bersifat plin-plan. Sekarang, melihat betapa Pangeran
Kian Bun Ti merupakan satu-satunya orang terkuat untuk menjadi calon pengganti Kaisar, perkumpulan ini
tidak menyia-nyiakan kesempatan, lalu menempel Pangeran ini. Sebagai tokoh besar Ngo-lian-kauw,
bahkan Thian It Tosu sendiri masuk menjadi pengawal Pangeran Kian Bun Ti. (baca cerita Raja Pedang)
Orang ke tiga dan ke empat dari tujuh jagoan istana ini adalah sepasang saudara kembar dari Ho-pak. Dua
orang yang usianya empat puluh lima tahun ini mempunyai muka yang sama bentuknya sehingga orang
luar akan sukar untuk membedakan mereka kalau saja muka mereka tidak berbeda warnanya.
Bu Sek yang lebih tua bermuka kuning, sedangkan Bu Tai yang ke dua bermuka merah. Mereka berdua ini
terkenal dengan sebutan Ho-pak Siang-sai (Sepasang Singa Ho-pak). Ilmu pedang mereka amat terkenal
sebagai ilmu pedang warisan dari keluarga Bu yang sudah turun-temurun menjadi panglima perang.
Apa lagi kalau sepasang saudara kembar ini maju bersama, ilmu pedang mereka menjadi ilmu pedang
pasangan yang amat sukar dilawan. Sebagai saudara kembar, mereka tidak hanya memiliki persamaan
dalam segala gerak-gerik, juga mereka mempunyai hubungan rasa yang sangat erat sehingga permainan
ilmu pedang mereka dapat digabung menjadi satu seolah-olah hanya seorang saja yang mainkan dua buah
pedang.
Orang kelima adalah seorang kakek yang memegang sebuah tongkat bengkok, tongkat hitam yang terbuat
dari kayu yang aneh dan kelihatan seperti sebatang tongkat pengemis. Kakek ini pendiam sekali dan
kelihatan selalu seperti orang yang kurang semangat dan mengantuk, sama sekali tidak patut kalau disebut
seorang jagoan. Usianya sudah enam puluh lima tahun lebih.
Akan tetapi jangan dikira bahwa dia itu kurang bersemangat atau lemah. Apa bila orang mendengar
namanya, apa lagi orang-orang kang-ouw, tentu akan terkejut setengah mati karena dia ini bukan lain
adalah Bhong Lo-koai yang terkenal disebut Koai-tung (Tongkat Gila). Ilmu tongkatnya, untuk bagian
tenggara tidak ada yang dapat menandingi!
Orang keenam adalah orang yang paling berangasan dan sombong, yaitu si ahli golok Sin-toa-to Liong Ki
Nam. Usianya sudah lima puluh tahun akan tetapi ia terkenal pemarah dan bertenaga amat besar. Juga dia
ini mempunyai ilmu golok tunggal yang tidak dikenal asal-usulnya.
Dahulunya Sin-toa-to Liong Ki Nam ini adalah seorang guru silat bayaran. Akan tetapi ternyata ia hanya
memeras uang dari orang-orang kaya dan tidak pernah menurunkan ilmunya yang terkenal, yaitu ilmu
goloknya. Ia hanya menurunkan ilmu silat pasaran saja sehingga tak pernah ia mempunyai murid yang
berarti.
Betapa pun juga, tak ada orang berani mengganggu murid-muridnya itu, karena biar pun Si Murid ini tidak
memiliki kepandaian berarti, sebaliknya Liong Ki Nam ini benar-benar seorang yang tangguh dan kosen,
sukar dikalahkan. Akhirnya dia ditarik oleh Pangeran Kian Bun Ti dan dijadikan pengawal.
Orang ke tujuh adalah orang yang paling kuat, usianya sudah enam puluh tahun lebih dan dialah yang
paling aneh di antara tujuh jagoan ini. Orangnya tinggi kurus, sudah tua tapi pakaiannya selalu serba
merah!
Melihat mukanya yang terus menerus tersenyum-senyum dan kalau bicara lucu, orang lain tak akan
menyangka bahwa dia seorang tokoh yang dihormati di istana. Kiranya lebih patut kalau ia dianggap orang
yang miring otaknya. Namun kalau ada yang mendengar namanya, yaitu Ang-moko (Setan Merah), orang
lalu akan bergidik mengingat kekejaman kakek kurus ini yang bisa membunuh orang sambil tersenyum
seperti orang menyembelih ayam saja!
Jangan dikira bahwa Ang-moko ini tidak lihai dan kalah oleh enam orang yang lain itu. Biar pun tidak
pernah kelihatan membawa senjata namun ilmu kepandaiannya ternyata malah paling tinggi di antara
mereka yang berada di situ. Dalam hal kekejaman dan ketenaran namanya dia hanyalah di bawah tokohtokoh
besar seperti Song-bun-kwi, Siauw-ong-kwi, Swi Lek Hosiang dan Hek-hwa Kui-bo, yaitu empat
besar di dunia persilatan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah kedaan tujuh orang pengawal atau pembantu Pangeran Kian Bun Ti, maka juga tidaklah
terlalu mengherankan apa bila mereka ini sebagai tokoh tua memandang rendah kepada Li Eng dan Hui
Cu yang masih belum ada nama. Kemenangan dua orang dara ini atas diri dua orang yang tadi pura-pura
menyerang Pangeran, tidaklah berkesan apa-apa pada mereka karena tingkat kepandaian dua orang ini
pun hanya patut menjadi murid mereka.
Mendengar ucapan Li Eng dan melihat pula sikap dua orang gadis yang menantang itu, Sin-toa-to Liong Ki
Nam yang berangasan itu tak dapat menahannya lagi. Ia melangkah maju dan membentak, "Bocah cilik,
kalian sombong sekali! Lebih baik lekas kau berlutut dan mentaati perintah Pangeran, jangan sampai
membuat guru besarmu ini marah dan kehabisan kesabaran, lalu turun tangan kepadamu.”
Li Eng adalah seorang yang juga memiliki kekerasan hati. Dengan mata berkilat ia lantas memandang
Liong Ki Nam, lalu mengeluarkan dengus mengejek dan berkata, "Keledai sombong! Keluarkan golok
babimu itu, kutanggung dalam beberapa jurus kau akan minta ampun kepadaku!"
Berdiri alis Liong Ki Nam. "Keparat, gadis liar! Kau tidak tahu siapa aku? Akulah Sin-toa-to Liong Ki Nam!
Bila sudah kucabut, golok saktiku ini harus membikin melayang jiwa orang, dan kau berani menyebutnya
golok babi?"
"Hi-hi-hik, mungkin untuk menyembelih babi juga masih kurang tajam. Entah kalau untuk memotong leher
ayam. Ehh, manusia sombong, tentu sudah banyak jiwa ayam kau bikin melayang dengan golokmu itu, ya?
Asal jangan ayam tetangga masih boleh juga," Li Eng melampiaskan kemarahannya dengan cara
mengejek dan menghina.
"Setan perempuan!"
Tampak sinar berkelebat disusul gulungan sinar yang menyambar ke arah Li Eng. Kiranya dengan amat
cepat Si Golok Sakti ini sudah mencabut senjatanya dan membacok ke arah Li Eng. Memang gerakannya
hebat dan luar biasa cepatnya, namun kini ia menghadapi Li Eng, dara perkasa yang sudah mewarisi ilmu
sakti dari Im-kan-kok (Lembah Akhirat).
"Trangg! Tar-tar!"
Bunga api berpijar. Terpaksa Si Golok Sakti ini meloncat ke belakang untuk menghindari serangan ujung
sabuk sutera hitam itu.
Sebaliknya diam-diam Li Eng terkejut sekali karena telapak tangannya terasa menggetar ketika ujung
sabuk suteranya menangkis golok lawan tadi. Ia pun maklum bahwa lawan ini benar-benar tak boleh dibuat
main-main. Akan tetapi ia masih mengejek, "Hi-hik, kenapa mundur? Takutkah?"
Di pihak Sin-toa-to Liong Ki Nam yang sudah banyak pengalaman, ia pun terkejut karena mendapat
kenyataan bahwa dara remaja ini benar-benar lihai, tidak saja dapat menangkis serangan goloknya,
bahkan mampu membalas dengan serangan sabuk sutera hitam yang aneh itu. Namun tentu saja ia tidak
takut. Ia mengeluarkan suara menggereng pada saat mendengar ejekan ini, lalu ia membentak,
"Siluman betina, kau tunggu golokku menamatkan riwayatmu!" Goloknya lalu diputar-putar di atas
kepalanya, berubah menjadi gulungan sinar mengerikan yang mengeluarkan suara mendesing-desing.
Tiba-tiba tampak sebatang sinar hitam berkelebat memasuki gulungan sinar putih itu dan tahu-tahu
terdengar Liong Ki Nam berseru tertahan disusul loncatannya ke belakang dan ia berjungkir-balik lalu
memandang kepada Bhong Lo-koai yang sudah berdiri di depannya bersandarkan tongkat hitam, matanya
penuh pertanyaan dan teguran mengapa temannya ini tadi menahannya.
"Liong-kauwsu, sudah sering kali aku memberi tahu bahwa amatlah tidak baik menurutkan nafsu amarah
karena membuat orang lupa diri. Kau pun tadi tak mampu mengendalikan kemarahan sampai kau lupa
bahwa yang hendak kau serang itu adalah siuli-siuli pilihan Pangeran. Andai kata kau dapat membunuh
mereka, apakah yang akan dikatakan kelak oleh Pangeran?"
Muka yang merah dari Liong Ki Nam tiba-tiba berubah pucat dan ingatlah ia bahwa tadi ia sudah
menurutkan nafsu dan sama sekali tidak ingat bahwa hampir saja dia mencelakai dirinya sendiri. Memang,
sudah jelas bahwa Pangeran tergila-gila kepada dua orang gadis manis ini dan Pangeran menyerahkan
persoalan ini, yaitu agar supaya dua orang gadis ini dapat menjadi selir-selir terkasih.
dunia-kangouw.blogspot.com
Apa bila sampai dia salah tangan membunuh mereka, bukankah ia akan mendapat marah dari Pangeran?
Bukan tak mungkin karena sudah mengecewakan dan menyusahkan hati Pangeran, lehernya sendiri akan
terpenggal tanpa ia sanggup mempertahankannya lagi. Karena ini ia cepat mundur, menyimpan goloknya
dan tidak berani berkata apa-apa lagi.
Sementara itu Bhong Lo-koai sudah melangkah maju. Tongkatnya yang hitam dan buruk itu bergerak
perlahan ke arah Li Eng dan Hui Cu.
Dua orang gadis ini adalah ahli-ahli silat tinggi. Mereka tidak dapat ditipu dengan gerakan yang tampaknya
lemah dan lembut ini, segera keduanya mengangkat pedang menangkis. Dua batang pedang di tangan
gadis itu bertemu dengan tongkat dan... tanpa sedikit pun mengeluarkan suara dua batang pedang itu
menempel pada tongkat, tak dapat dilepaskan lagi seperti dua batang jarum menempel pada besi sembrani
yang amat kuat.
"Nona berdua, lebih baik menyerah saja. Tiada gunanya memberontak terhadap perintah Pangeran, kalian
akan berdosa besar," kata kakek aneh itu, matanya yang sipit itu makin meram.
Diam-diam kakek ini mengerahkan seluruh tenaga lweekang-nya, karena selain ia harus menempel
pedang dua orang gadis itu, juga ia berusaha menarik dan merampasnya. Tapi alangkah terkejutnya ketika
dia menghadapi perlawanan tenaga lweekang yang juga tidak lemah, apa lagi dari pihak Li Eng.
Demikianlah, walau pun tampaknya tiga orang ini tidak bergerak dengan senjata mereka yang saling
tempel, sebetulnya mereka sedang mengadu hawa sakti dalam tubuh untuk mencapai kemenangan.
Suasana hening mencekam karena tiga orang itu diam tiada yang bergerak.
Li Eng tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Orang-orang ini menganggap dia orang apakah maka
mereka berani main gila? Dengan seruan nyaring dan merdu tangan kirinya bergerak dan sinar hitam
menyambar ke leher Bhong Lo-koai. Cepat sekali sambaran ini dan dengan jitu mengarah jalan darah yang
amat berbahaya bagi keselamatan kakek itu.
Bhong Lo-koai mengeluarkan seruan tertahan saking kaget dan marahnya. Tiba-tiba saja tongkatnya
melepaskan tempelannya pada dua batang pedang, lalu bergerak menangkis sabuk sutera itu. Ia
mengalami kekagetan hebat namun berhasil menyelamatkan diri.
Ada pun Li Eng terkejut ketika merasa betapa sabuk suteranya terbetot dan lengannya kesemutan ketika
tongkat itu menangkisnya. Malah Hui Cu terhuyung sedikit pada waktu pedangnya terlepas dari tempelan
tongkat. Ini saja sudah membuktikan bahwa tenaga lweekang dari kakek ini luar biasa.
Sekarang maklumlah Li Eng dan Hui Cu bahwa mereka berdua menghadapi lawan-lawan tangguh. Baru
dua orang itu saja, Sin-toa-to Liong Ki Nam dan terutama kakek ini, Bhong Lo-koai, memiliki kepandaian
yang tinggi, malah Li Eng dapat menduga bahwa tingkat dua orang ini lebih tinggi dari tingkat Hui Cu, dan
agaknya kakek aneh ini bukan merupakan lawan ringan baginya. Apa lagi kalau tujuh orang itu semuanya
maju, siapa tahu di antara mereka malah ada yang lebih lihai dari Bhong Lo-koai.
Akan tetapi urusan ini menyangkut kehormatan mereka, tidak mungkin mereka menyerah menjadi selir
Pangeran! Walau pun mereka harus mempertaruhkan nyawa, mereka akan melawan sekuat tenaga.
Dengan mata berkilat-kilat Li Eng dan Hui Cu cepat memasang kuda-kuda dan Lie Eng berteriak marah,
"Anjing-anjing penjilat! Majulah kalian, majulah semua. Jangan harap kami akan menyerah sebelum leher
kami putus!"
Ang-moko, yaitu seorang di antara para jagoan, yang tertua dan yang sejak tadi hanya tersenyum saja, kini
berkata, "Kalau kalian tidak berhasil menawan dua ekor kuda betina liar ini, tidak saja Pangeran akan
marah kepada kalian, juga nama kalian akan menjadi rusak. Masa tua bangka-tua bangka seperti kalian ini
tidak mampu menangkap dua ekor kuda betina yang muda ini? Heh-heh-heh, memalukan sekali!"
"He, Ang-moko kakek tua! Kau hanya membuka mulut saja tapi tidak mau turun tangan. Habis apa kerjamu
di sini?" teriak Souw Ki kasar.
Ang-moko tertawa lagi terpingkal-pingkal. "Aku suka mengurus pekerjaan besar, bukan segala macam
usaha menangkap kuda betina yang liar. Kau lebih patut untuk pekerjaan macam ini."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sudahlah, untuk apa melayani kegilaan Ang-moko?" kata Sin-toa-to Liong Ki Nam. "Kita beramai tangkap
dan tawan dua orang gadis ini, tangkap hidup-hidup jangan sampai lolos atau terluka." Enam orang itu
memasang kuda-kuda, ada pun Ang-moko hanya menonton sambil tertawa-tawa.
"Paman Hong, kalau nanti aku mati di sini, tolong sampaikan kepada Ayah dan Ibu bahwa anaknya mati
sebagai seorang gagah!" berkata Li Eng tanpa mengalihkan perhatiannya kepada para jagoan yang sudah
siap hendak menerjangnya itu.
"Sampaikan hormatku kepada ayah ibuku, Hong susiok," kata Hui Cu, berbeda dengan Li Eng suaranya
agak terharu dan sungguh-sungguh.
Kun Hong menjadi gelisah sekali, seperti diremas rasa hatinya. Dia tak kuasa mencegah pertempuran yang
pasti akan berlangsung hebat ini, karena ia maklum bahwa dua orang keponakannya itu sudah tentu lebih
baik berjuang sampai mati dari pada menyerah untuk menjadi selir Pangeran mata keranjang itu.
Akan tetapi tidak benar ini, pikirnya. Melawan pemerintah, sama pula memberontak. Biar pun tidak salah,
dunia akan mengecapnya sebagai pemberontak dan pengkhianat dan hal ini juga akan menyeret nama
baik seluruh keluarga. Tidak boleh ia membiarkan dua orang keponakannya itu melakukan dosa seperti ini.
Dikumpulkannya tenaga batinnya yang gelisah, dipusatkan hawa sakti di tubuhnya, semua ditarik ke pusat
pandangan mata kemudian dia membentak, "Li Eng dan Hui Cu! Simpan pedangmu dan jangan melawan."
Ketika ia berteriak demikian itu, para jagoan sudah mulai bergerak maju mengeroyok Li Eng dan Hui Cu.
Suara beradunya senjata sudah terdengar bertubi-tubi dan tubuh kedua orang gadis itu sudah lenyap
terbungkus gulungan sinar pedang mereka sendiri. Namun begitu teriakan ini terdengar, dua orang gadis
itu melompat ke dekat Kun Hong seperti ditarik oleh tenaga gaib.
"Baiklah, Paman Hong," kata keduanya seperti dari satu mulut. Berbareng pula keduanya menyimpan
pedang dan berdiri tegak menghadapi para jagoan itu yang saling pandang dan merasa terheran-heran.
Hanya dua orang gadis itu saja yang merasakan betapa hebat dan ampuhnya pengaruh suara Kun Hong
tadi, suara yang tak mungkin terbantah oleh mereka, suara yang harus mereka turut dan taati karena
seakan-akan adalah suara dari hati mereka sendiri yang melumpuhkan seluruh daya kemauan.
Kun Hong sendiri sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan yang menggelisahkan dan tegang tadi, ia
sudah menggunakan tenaga batin dari ilmu hoat-sut yang ia baca dari kitab pemberian Sin-eng-cu Lui Bok
sehingga ia telah ‘menyihir’ dua orang keponakannya sendiri sampai dua orang dara itu menuruti perintah
tanpa syarat lagi!
"Ha-ha-ha-ha, bagus sekali! Kiranya tidak keliru Pangeran memilih kau sebagai pengurus perpustakaan.
Agaknya kau tidak sebodoh yang kami kira," kata Thian It Tosu. "Memang jauh lebih baik menyerah
kemudian hidup penuh kemuliaan di sini dibandingkan melawan kekuasaan Pangeran karena akan
membuang nyawa sia-sia belaka."
"Kami bertiga menyerah untuk ditawan, bukannya menyerah untuk menerima kedudukan," jawab Kun
Hong dengan suara dingin.
Kembali tujuh orang itu saling pandang, lalu Thian It Tosu mengangkat pundak.
"Kalian orang-orang aneh, tapi urusan kami sudah selesai, biarlah selanjutnya Tan-taijin yang akan
mengurus kalian. Serahkan senjata!"
Li Eng dan Hui Cu tidak melawan ketika pedang mereka dan sabuk sutera Li Eng dilucuti, sedangkan
pedang di pinggang Kun Hong tidak ada yang menganggap karena memang tidak ada yang tahu.
Siapakah orangnya dapat menduga bahwa pemuda yang lemah ini membawa-bawa pedang?
Mereka ditahan dalam tempat terpisah dan sebelum berpisah, Kun Hong berkata kepada dua orang gadis
itu, "Jangan kalian kuatir, aku akan berdaya upaya untuk menginsyafkan Pangeran agar kita dibebaskan
kembali. Kita tidak berdosa. Jangan kalian menggunakan kekerasan. Percayalah, orang yang benar pasti
dilindungi Tuhan Yang Maha Adil."
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi alangkah kaget hati Kun Hong ketika tiba-tiba Ang-moko dan Bhong Lo-koai bergerak ke depan
menggerakkan tangan menyerang dua orang gadis itu. Karena Li Eng dan Hui Cu sama sekali tidak
mengira akan datangnya serangan mendadak ini, mereka tak dapat mengelak dan roboh lemas dalam
keadaan tertotok.
Kiranya dua orang jagoan tua ini telah saling memberi tanda-tanda. Karena mereka tidak ingin melihat dua
orang gadis yang kosen ini akan menimbulkan kerewelan lagi, keduanya lalu turun tangan menotok jalan
darah mereka.
"He, apa yang kalian lakukan ini?" Kun Hong berteriak-teriak. "Akan kulaporkan ini, kalian akan dihukum!
Kami sudah menyerah, kenapa kalian masih tetap merobohkan dua orang keponakanku? Jahat sekali
kalian..."
Akan tetapi tujuh orang itu tidak mempedulikannya lagi, malah ia segera diseret ke lain jurusan sedangkan
dua orang gadis yang sudah lemas tidak berdaya lagi itu dibawa ke tempat lain. Percuma saja Kun Hong
berteriak-teriak sampai suaranya serak.
Ia dilempar ke dalam sebuah kamar kosong yang berjendela kecil beruji besi. Hanya ada sebuah bangku
panjang dan sebuah meja kecil di kamar ini, selebihnya kosong. Dengan hati risau Kun Hong melempar diri
ke atas bangku dan dengan gelisah memikirkan nasib kedua orang keponakannya.
Pembesar yang oleh Kaisar dikuasakan untuk mengatur semua urusan yang timbul dan terjadi di
lingkungan istana, adalah Tan-taijin. Tan-taijin ini orang yang berwatak jujur dan setia, orangnya tinggi
besar seperti raksasa dan mempunyai wibawa besar.
Kiranya para pembaca masih ingat akan tokoh dalam cerita ini yang bernama Tan Hok, pemimpin kaum
Pek-lian-pai yang berjasa amat besar terhadap perjuangan. Malah dalam pergolakan belasan tahun yang
lalu saat para bekas pejuang saling berebutan kedudukan malah ada yang memberontak kepada Kaisar,
kembali Tan Hok memperlihatkan jasanya dan menolong Kaisar dari serbuan kaum petualang yang hendak
merebut kekuasaan.
Akhirnya, Tan Hok yang tubuhnya tinggi besar dan gagah ini diangkat oleh Kaisar menjadi pengawal
pribadinya. Kemudian malah diberi pangkat untuk mengurus segala persoalan yang terjadi di lingkungan
istana.
Karena ini maka Tan Hok yang sekarang disebut Tan-taijin ini mempunyai pengaruh yang amat besar.
Semua kata-katanya dipercaya oleh Kaisar dan sebagai seorang jujur dan keras hati, ia ditakuti dan
disegani oleh seluruh kerabat istana.
Seperti telah kita ketahui dalam bagian depan dari cerita ini, antara Tan Hok dan Tan Beng San terdapat
pertalian persahabatan yang sangat erat, malah pendekar sakti Tan Beng San menganggap raksasa ini
sebagai kakak angkatnya. Oleh karena inilah maka semenjak Tan Beng San bersama isterinya, Cia Li Cu,
tinggal di Thai-san, kedua orang gagah ini sering kali mengadakan hubungan.
Tan-taijin sering kali pergi mengunjungi Thai-san, malah sudah beberapa kali Tan Beng San sekeluarganya
berkunjung ke kota raja dan bermalam di gedung Tan-taijin. Karena Tan-taijin sendiri yang menikah
dengan seorang gadis kota raja tidak memiliki keturunan, maka sering kali puteri tunggal Tan Beng San
tinggal di situ sampai berbulan-bulan.
Malah atas anjurannya, juga karena terlalu disayang oleh ayah bundanya, puteri tunggal ini mempelajari
segala kerajinan tangan wanita di kota raja sehingga selain mewarisi ilmu silat sakti dari ayah ibunya, gadis
ini pun memiliki kepandaian puteri-puteri istana seperti sastra, menyulam, bermain musik, bermain catur
dan lain-lain.
Urusan Kun Hong dan dua orang keponakannya pun otomatis terjatuh ke dalam tangan Tan-taijin, karena
urusan itu merupakan urusan dalam. Para jagoan sudah maklum akan kelihaian Tan-taijin dalam
menyelesaikan urusan yang sulit-sulit, maka sesudah mereka menjebloskan Kun Hong ke dalam penjara di
dalam istana dan memasukkan dua orang gadis itu ke dalam kamar para selir Pangeran, mereka kemudian
melaporkannya kepada Tan-taijin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mula-mula Tan-taijin mengomel pada saat mendengar bahwa secara mendadak Pangeran Mahkota
mengangkat seorang pemuda menjadi pengurus perpustakaan serta dua orang gadis begitu saja menjadi
selir. Watak orang muda omelnya, segala serba tergesa-gesa menurutkan nafsu hati.
Tetapi dia segera tertarik sekali mendengar bahwa ‘pemuda kepala batu’ yang menolak anugerah besar ini
ternyata adalah seorang dari Hoa-san-pai, demikian pula dua orang gadis yang katanya menolak pula
anugerah Pangeran. Tadinya ia pun hampir tak dapat percaya kalau ada dua orang gadis muda yang
menolak diangkat sebagai selir Pangeran Mahkota, akan tetapi setelah ia mendengar bahwa dua orang
dara remaja itu adalah orang-orang Hoa-san-pai, ketidak percayaannya berubah dan ia tertarik sekali.
Ia cukup mengenal watak pendekar-pendekar wanita yang tak boleh disamakan dengan wanita-wanita
biasa. Kalau yang menolak anugerah tertinggi itu adalah para pendekar wanita dari Hoa-san-pai, hal itu
bukanlah hal yang aneh. Dia harus dapat mengurus hal ini, mengatasinya dan mencari jalan
pemecahannya yang baik.
Karena ia mendengar bahwa pemuda yang diangkat menjadi pengurus perpustakaan itu adalah paman
dari kedua gadis tadi, maka ia segera memberi perintah agar supaya pemuda bandel itu malam itu juga
diantar ke gedungnya, akan ditemui dan diperiksa. Diam-diam ia menduga-duga siapakah pemuda ini dan
putera siapa karena ia mengenal semua tokoh Hoa-san-pai.
Sebagai seorang tawanan, biar pun orang-orang tahu bahwa dia seorang laki-laki yang lemah, dua tangan
Kun Hong dibelenggu ketika orang membawanya untuk menghadap Tan-taijin di ruangan tengah. Pada
waktu itu hari sudah gelap dan di ruangan itu dipasangi lampu yang amat terang.
Tan-taijin sendiri duduk menghadapi meja besar dalam pakaian kebesarannya karena ia sedang
memeriksa seorang tahanan. Pembesar ini amat gagah dalam pakaiannya yang mentereng seperti Kwan
Kong saja. Sunguh-sungguh berwibawa! Setiap orang pesakitan tentu akan tunduk dan takut kalau
diperiksa oleh seorang seperti Tan-taijin ini.
Melihat seorang pemuda kurus dan tampaknya lemah digiring masuk, Tan-taijin langsung merasa kecewa.
Tak patut pemuda ini menjadi murid Hoa-san-pai. Tadinya ia menduga akan bertemu dengan seorang
pemuda yang gagah perkasa, seorang kesatria keturunan pendekar besar. Akan tetapi pemuda itu
mempunyai keistimewaan pada matanya, yang mengingatkan Tan-taijin kepada sahabat dan saudara yang
tercinta, pendekar besar Tan Beng San Si Raja Pedang!
Banyak persamaan antara mata kedua orang itu, pikirnya, begitu tajam, begitu cemerlang dan berani
menentang segalanya. Setelah pemuda itu berlutut di depan meja, Tan-taijin memberi isyarat kepada dua
orang pengawal untuk meninggalkan ruangan itu.
Ia ingin bicara empat mata dengan pemuda ini, ingin melakukan pemeriksaan mendalam tanpa disaksikan
orang lain. Sejenak ia melihat kepala yang menunduk itu, lalu terdengar suaranya yang besar, tetap dan
nyaring,
"Orang muda, kau berdirilah!"
Kun Hong bangkit berdiri dan mereka berpandangan. Sejenak sinar mata mereka saling mengukur, saling
menentang, kemudian meragu dan masing-masing seperti sadar bahwa mereka berhadapan dengan
seorang lawan yang tidak mudah menyerah kalah.
"Orang muda, siapakah namamu, dari mana asalmu dan mengapa kau sampai ke kota raja sehingga
menjadi seorang tahanan. Ceritakanlah semua dari awal sejelasnya, siapa tahu dari pengakuanmu itu aku
akan dapat membebaskanmu."
Suara Tan-taijin jelas, lambat, keras dan sekata demi sekata berkesan di dalam hati Kun Hong. Akan
tetapi, saat pemuda ini tadi melihat pakaian yang indah mentereng, ruangan yang angker serta sikap yang
agung dari pembesar yang memeriksanya, diam-diam dia mengeluh dan tidak dapat banyak
mengharapkan keadilan.
Mendengar pertanyaan yang sekaligus dapat mencakup seluruh persoalan yang harus ia ceritakan itu, Kun
Hong menjawab singkat tanpa mengangkat mukanya yang menunduk memandang lantai.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nama saya Kwa Kun Hong dan berasal dari Hoa-san, tidak sengaja sampai ke kota raja karena bersama
dua orang keponakanku hanya hendak melihat-lihat saja. Tapi kebetulan terdengar oleh Pangeran dan
kami menerima undangan. Siapa tahu, Pangeran hendak memaksa dua keponakan saya untuk menjadi
selirnya sedangkan saya menjadi pengurus perpustakaan. Kami tidak mau dan ditahan.”
Melihat sikap pemuda yang tenang-tenang dan sama sekali tak merasa takut ini, Tan-taijin diam-diam
kagum juga. Apa lagi mendengar nama keturunan pemuda ini Kwa. Pernah apakah dengan Kwa Tin
Siong?
Pada saat itu, pintu sebelah dalam terbuka dan muncullah seorang pemuda yang tampan sekali, dengan
sepasang mata bersinar-sinar bagai bintang. Kun Hong sejenak terbelalak kagum, akan tetapi segera
timbul ketidak senangannya karena ia melihat bahwa pemuda yang tampan itu ternyata hanya pemuda
pesolek yang terlalu halus gerak-geriknya.
Sebaliknya pemuda tampan itu seakan-akan tak melihat kehadiran Kun Hong yang berdiri dengan kedua
tangan terbelenggu, langsung berkata kepada Tan-taijin.
"Pek-hu (uwa), kau tolonglah... aku mendengar ada dua orang gadis muda jelita berasal dari Hoa-san-pai
sedang ditahan dan hendak dipaksa menjadi selir oleh Pangeran!"
Tan-taijin dengan gerak matanya memberi isyarat bahwa di situ ada orang lain. Pemuda itu mencari dan
melihat Kun Hong, maka ia segera melanjutkan, "Pangeran sudah terlalu banyak selir-selirnya. Yang sudah
punya banyak ingin tambah terus, dan aku yang belum punya seorang pun tidak kebagian!"
Semakin muak perasaan Kun Hong terhadap pemuda tampan itu, maka ia memandang dengan mata
melotot, terang-terangan ia menyatakan kemarahannya.
Pemuda itu balas memandang, mengerutkan alisnya kemudian bertanya, "Ahh, kiranya aku mengganggu
Pek-hu. Bajingan apakah yang Pek-hu periksa malam-malam begini? Apakah dia tukang colong ayam
istana? Ataukah tukang copet? Jangan-jangan dia maling kuda, kabarnya banyak kuda hilang secara aneh
dari kandang istana. Tapi dia tidak patut menjadi pencuri kuda, pantasnya menjadi maling ayam!" Jelas
bahwa pemuda ini sedang sengaja menghina Kun Hong yang melotot marah itu.
Begitu pemuda tampan itu muncul wajah Tan-taijin yang tadinya bersungguh-sungguh berubah terang
berseri. Ia segera menggerakkan tangannya dan berkata, "Kau duduklah, Tan-ji (Anak Tan) dan justru dua
gadis yang kau bicarakan itu ada hubungannya dengan orang ini. Kau duduk dan dengarlah."
Pemuda itu duduk tak jauh dari meja, duduk di atas bangku dan menumpangkan paha kiri di atas paha
kanannya, dengan sikap angkuh memandang Kun Hong yang menjadi makin gemas. Tiba-tiba pemuda itu
tampak terkejut, turun dari bangku, menghampiri Kun Hong dan begitu tangannya bergerak ia telah
mengambil pedang di balik baju Kun Hong.
"Ih, dia menyembunyikan pedang, Pek-hu!" katanya memperlihatkan pedang itu.
Diam-diam Kun Hong terkejut dan kecewa. Tadinya ia sudah merasa girang bahwa tidak ada orang
menaruh curiga padanya. Kiranya pemuda ini dapat melihat pedangnya, malah kini pedang itu
dirampasnya.
Kening pembesar itu berkerut. "Hemmm, menurut laporan kau adalah seorang pemuda sastrawan yang
lemah. Mengapa kau menyembunyikan pedang?"
Sekarang marahlah Kun Hong. Ia menentang pandang mata pembesar itu dan menjawab, "Pedang tetap
pedang, benda yang tak berdosa. Tergantung tangan yang memegangnya. Pedang itu adalah pemberian
orang suci kepadaku, mengapa takkan kubawa? Tapi sama sekali bukan untuk... membunuh orang atau
untuk beraksi seperti dia itu!"
Matanya memandang pemuda yang kini sudah mencabut pedang itu dari sarungnya dan memegang serta
memandanginya seperti seorang ahli!
"Hemmm, sebuah po-kiam (pedang pusaka) yang baik. Eh, dari mana dia mencuri pusaka ini?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda tampan itu menoleh dan pandang matanya tajam penuh selidik, mengiris jantung, bukan karena
keindahannya namun karena penghinaannya yang bagi Kun Hong terasa amat perih. Saking marahnya
Kun Hong sampai tak dapat mengeluarkan suara.
Dia sendiri merasa heran mengapa terhadap pemuda pesolek yang terlalu tampan ini ia mudah sekali
tersinggung dan marah, padahal menghadapi segala sesuatu biasanya ia tenang dan sabar saja. Pada
saat bertemu pandang, sengaja ia membuang muka seperti orang melihat binatang yang menjijikkan.
Sementara itu, Tan-taijin tidak begitu heran melihat Kun Hong menyembunyikan pedang di balik jubahnya.
Sebagai seorang murid Hoa-san-pai sudah tentu saja soal membawa pedang bukan merupakan soal yang
aneh lagi. Yang aneh hanya karena pemuda ini tak pandai ilmu silat, mengapa membawa pedang segala?
"Kwa Kun Hong," berkata pula pembesar itu dengan suara kereng, "Pangeran Mahkota begitu baik
kepadamu, belum kenal telah diundang, diadakan pesta, kemudian malah kau diberi anugerah pangkat.
Mengapa kau menolaknya? Penolakanmu itu berarti kau tidak kenal budi, berarti kau tidak taat dan tidak
menghormat kepada putera Kaisar. Padahal aku mendengar laporan bahwa kau menerima ketika diangkat
menjadi ketua perkumpulan pengemis, kenapa sekarang kau malah menolak ketika diberi kedudukan
betul-betul oleh Pangeran Mahkota. Bukankah itu menunjukkan bahwa kau tidak setia kepada junjungan
dan punya hati memberontak?"
"Eh-ehh, orang macam ini jadi raja pengemis?" lagi-lagi terdengar suara pemuda tampan itu yang
membuat kedua telinga Kun Hong serasa dibakar.
Kun Hong mengangkat muka, berdiri tegak dan suaranya menggeledek ketika menjawab pembesar itu,
jawaban yang diselimuti oleh kemarahannya yang bangkit karena sikap dan kata-kata Si Pemuda Tampan
tadi.
"Taijin, saya ingin bicara terus terang, kalau menyinggung harap Taijin suka maafkan atau mau hukum,
terserah. Setelah melihat keadaan di dalam istana-istana kerajaan, melihat kerajaan, melihat pembesarpembesar
istana, selaksa kali saya lebih suka menjadi ketua pengemis jembel dari pada menjadi pembesar
di istana! Menjadi ketua pengemis paling tidak masih mengingat akan nasib para pengemis, meski tampak
hina namun merupakan pekerjaan yang mulia. Akan tetapi sebaliknya, orang-orang yang menyebut dirinya
sendiri pembesar, yang hidup bergelimang dengan kemewahan, kemuliaan, dan kesenangan, apakah jasa
mereka terhadap rakyat jelata? Pembesar-pembesar seperti Taijin ini, yang sangat banyak jumlahnya di
kota raja, pernahkah memikirkan nasib si kecil? Pernahkah mimpi bahwa kalau Taijin sedang tidur nyenyak
di dalam gedung istana indah, ratusan ribu rakyat di gunung-gunung kedinginan karena dinding gubuk
bobrok dan atap daun bocor? Kalau Taijin sedang makan masakan kota raja yang enak dan lezat, ingatkah
akan ratusan ribu rakyat yang mengerang kelaparan, bahkan ada yang mati karena perutnya kosong?
Kalau setiap pagi dan sore berganti pakaian-pakaian indah dan mempersolek diri seperti Tuan Muda ini,
pernahkah ingat akan ratusan ribu rakyat yang telanjang dan harus kedinginan? Padahal..." Sampai di sini
Kun Hong menarik napas panjang, kemudian dia menyambung lebih bersemangat lagi,
"padahal kalau tidak ada rakyat, takkan ada raja, takkan ada pembesar seperti Taijin ini, tak akan ada
istana-istana indah ini. Hemmm, sudah banyak kubaca tentang orang-orang yang menyebut diri sendiri
pemimpin dan pembesar seperti Taijin dan sebangsanya. Di waktu perang? Ahh, ada rakyat yang maju! Di
waktu banjir? Musim kering panjang? Ada rakyat yang menanggulangi. Tetapi kalau sudah mabuk
penghidupan mewah dan enak, segera rakyat dilupakan!"
Saking kaget, heran dan kagumnya, wajah Tan-taijin berubah-ubah dan wajah pemuda tampan itu kini
menjadi merah sekali. Melihat wajah pembesar itu, Kun Hong menjadi semakin bersemangat.
"Ah, Taijin terheran? Ha-ha, aku berani bertaruh bahwa orang seperti Taijin ini tak pernah keluar dari kota
raja, setiap hari hanya mencium wangi masakan sedap, melihat wanita cantik dan memakai pakaian indah.
Cobalah Taijin tengok ke dusun-dusun, dan juga ke gunung-gunung, ke pinggir-pinggir laut, tengoklah
kehidupan rakyat kecil di sana. Mungkin mata Taijin akan terbuka dan tidak berani lagi menari-nari di atas
kemelaratan rakyat, berlaku sewenang-wenang, menangkap orang-orang tak berdosa, merampas gadisgadis
begitu saja..."
"Tutup mulutmu! Kau tak tahu dengan siapa kau bicara!"
Tiba-tiba pemuda tampan itu melompat maju dan…
dunia-kangouw.blogspot.com
"Plak! Plak!" kedua pipi Kun Hong ditamparnya kanan kiri.
Mata pemuda tampan itu berapi-api, marah sekali ia rupanya.
"Jangan, Tan-ji...! Mundurlah! Bagaimana pun juga, dia bicara tentang kenyataan, tentang kebenaran dan
keadilan!"
"Tapi ia kurang ajar, Pek-hu. Ahh, muak perutku melihatnya!" Pemuda tampan itu dengan marah lalu
meninggalkan ruangan.
Tan-taijin lalu bangkit dari bangkunya dan maju melepaskan belenggu tangan Kun Hong. Pemuda ini tidak
merasa girang atau heran, hanya mengangkat kedua tangan mengusap kedua pipinya yang masih ada
tanda lima jari merah bekas ditampar tadi. Panas tamparan tadi, tapi lebih panas lagi hatinya.
"Huh, laki-laki macam apa dia? Pesolek dan galak, seperti banci saja!" gerutu Kun Hong dengan hati
mengkal.
Tan-taijin tersenyum ketika berkata, "Kau maafkanlah dia, dia itu masih seperti anak kecil saja. Kwa-sicu,
semua omonganmu tadi memang tepat, akan tetapi kau hanya tahu ekor tak melihat kepalanya, tahu satu
tidak tahu dua. Kau mengaku dari Hoa-san dan she Kwa, sebetulnya kau masih ada hubungan apakah
dengan Ketua Hoa-san-pai, Kwa Tin Siong Taihiap?"
"Saya... anaknya..." jawab Kun Hong agak gagap, sama sekali dia tidak mengira bahwa agaknya pembesar
ini mengenal ayahnya.
"Ha-ha-ha-ha, sudah kuduga!" kata Tan-taijin girang, kemudian ia mengelus jenggot dan menarik napas
panjang. "Kau bersemangat seperti ayahmu. Hemm, tapi sebagai putera Ketua Hoa-san-pai, bagaimana
kau tidak pandai ilmu silat? Tapi, hal itu bukan urusanku. Sekarang tentang dua orang gadis itu, kau bilang
mereka itu adalah keponakanmu. Kalau begitu..." Pembesar itu mengingat-ingat, "apakah mereka itu
keturunan dari Saudara Thio Ki ataukah Saudara Kui Lok!"
Makin heranlah Kun Hong. Kiranya pembesar ini banyak mengenal keluarga Hoa-san-pai!
"Dugaan Taijin tidak keliru, Li Eng adalah puteri Paman Kui Lok, sedangkan Hui Cu ialah puteri Paman
Thio Ki," katanya cepat dan kini mulai memperhatikan wajah yang tampan dan gagah dari pembesar
bertubuh raksasa itu.
Bukan main kagetnya hati Tan-taijin. "Ahh, aku harus cepat membebaskan mereka! Kwa Kun Hong,
ketahuilah, aku adalah sahabat baik dari ayahmu beserta semua orang-orang Hoa-san-pai, bahkan
sahabat seperjuangan. Sekarang terpaksa kau berdiam dulu dalam kamar tahanan, aku perlu pergi ke
Istana Kembang membebaskan dua orang gadis itu."
Kun Hong merasa girang sekali, tetapi sebelum ia sempat menyatakan terima kasihnya, pembesar itu
menepuk tangan dan masuklah beberapa orang pengawal.
"Antarkan kembali pemuda ini ke dalam kamar tahanan, akan tetapi jangan dibelenggu dan perlakukan
sebagai tamuku!"
Para pengawal itu memberi hormat dan dengan halus Kun Hong digandeng pergi dari ruangan itu. Dengan
sudut matanya Kun Hong berusaha mencari pemuda tampan yang tadi menampar pipinya, akan tetapi
tidak terlihat dan diam-diam ia berjanji kelak akan membalas tamparan ini. Baru kali ini bisa timbul dendam
di hati Kun Hong, suatu hal yang baginya sendiri teramat aneh.
Tergesa-gesa Tan-taijin malam hari itu juga pergi menuju ke Istana Kembang dengan maksud
membebaskan Li Eng dan Hui Cu dari tahanan. Ia kuatir sekali kalau-kalau kedatangannya terlambat.
Kalau sampai dua orang gadis itu diganggu oleh Pangeran, hal ini akan mempunyai akibat yang hebat
sekali.
Mereka adalah putera-puteri tokoh Hoa-san-pai, kalau terjadi hal ini berarti Pangeran telah menodai nama
baik Hoa-san-pai. Tidak saja pihak Hoa-san-pai takkan dapat menerima hal itu, malah dunia kang-ouw
akan geger karenanya, terutama sekali saudara angkatnya, Si Raja Pedang Tan Beng San yang memiliki
hubungan erat dengan Hoa-san-pai, tentu akan menyesal bukan main.
dunia-kangouw.blogspot.com
Paling perlu ia membebaskan dua orang gadis itu dahulu, baru pada keesokan harinya ia boleh bicara
dengan Pangeran Mahkota. Jika ia menceritakan keadaan yang sebenarnya dan tentang jasa-jasa Hoasan-
pai, kiranya Pangeran Mahkota takkan menyesal dengan dibebaskannya dua orang gadis itu. Andai
kata Pangeran tetap menyesal, ia masih dapat menggunakan pengaruh Kaisar untuk meredakannya atau
kalau perlu, demi kepentingan ini, ia rela mengundurkan diri, kembali ke dusun.
Kata-kata Kun Hong tadi membangkitkan semangatnya, membuat ia terkenang akan keadaan dahulu dan
diam-diam ia harus mengaku bahwa selama bertahun-tahun ia hidup di istana, memang hampir terlupa
olehnya bahwa rakyat hingga sekarang masih banyak yang menderita!
Akan tetapi, setibanya ia di Istana Kembang, ternyata kedatangannya telah terlambat! Bukan terjadi seperti
yang ia kuatirkan. Pangeran Mahkota tidak sempat mengganggu dua orang gadis itu karena belum datang
malam itu, masih di istana. Akan tetapi terjadi lain hal yang hebat, yaitu, dua orang gadis itu telah berhasil
melarikan diri.
Seluruh penghuni Istana Kembang itu, dua orang selir Pangeran yang bertugas membujuk dua orang gadis
itu, empat orang pelayan wanita yang bertugas melayani, dan lima orang prajurit pengawal yang tinggi juga
kepandaiannya, semua telah tewas! Dua orang gadis Hoa-san-pai itu lenyap dan sebelas orang manusia
terbunuh. Istana Kembang yang indah, yang biasanya menjadi tempat peristirahatan Pangeran, sekarang
malah menjadi tempat menyeramkan dengan darah berceceran dan mayat bergelimpangan!
Tan-taijin kaget sekali, membanting-banting kedua kaki. Ia menyesal mengapa Pangeran begitu gegabah,
bermain kasar terhadap murid-murid Hoa-san-pai. Juga dia menyesal sekali mengapa dua orang gadis itu
setelah berhasil melarikan diri, berlaku begini ganas dan kejam? Cepat ia melakukan pemeriksaan dan
sebentar saja para jagoan dari istana berdatangan ketika mendengar peristiwa hebat itu. Sebetulnya
apakah yang telah terjadi?
Seperti telah kita ketahui, karena sama sekali tidak menyangka akan diserang dan juga karena memang
kepandaian Ang-moko dan Bhong Lo-koai amat tinggi, Li Eng dan Hui Cu secara tiba-tiba tertotok roboh
dan mereka ini sama sekali tidak melawan ketika dibawa ke dalam Istana Kembang dan ditahan di dalam
sebuah kamar yang indah dan mewah.
Sebelum meninggalkan dua orang gadis tawanan ini kepada dua orang selir Pangeran yang diserahi tugas
untuk membujuk secara halus, lebih dahulu Bhong Lo-koai mengikat tangan nona itu agar kalau nanti
kembali dari totokan, takkan mengamuk. Kemudian para jagoan meninggalkan Istana Kembang untuk
memberi laporan kepada Pangeran yang tadi pulang terlebih dulu.
Pada malam hari itu juga, selagi Tan-taijin memeriksa Kun Hong dan Pangeran Mahkota dengan girang
mendengarkan laporan para jagoannya bahwa kedua orang dara remaja yang dirindukannya itu sudah
tertawan, terjadilah hal yang hebat di Istana Kembang itu.
Sesosok bayangan berjalan lambat memasuki pekarangan istana itu. Orang ini sudah tua, tubuhnya tinggi
besar dan kokoh kekar, jalannya sempoyongan sedang tenggorokannya mengeluarkan suara meringikringik
atau merintih-rintih bagaikan orang sedang menangis. Akan tetapi mulutnya terdengar menggerutu,
"Anak murid Hoa-san-pai? Ha, anak murid Hoa-san-pai..."
Lima orang prajurit pengawal yang bertugas menjaga Istana Kembang pada malam itu, terheran-heran
ketika melihat datangnya seorang kakek berpakaian putih di situ. Mereka mengira bahwa tentulah kakek ini
seorang pengemis gila, karena itu salah seorang dari mereka segera membentak,
"Hee! Kakek gila, keluar kau!"
Akan tetapi kakek berpakaian putih ini seperti tidak mendengar bentakan itu. Dia terus melanjutkan
perjalanannya melewati pekarangan menuju ke pintu depan.
Tentu saja lima orang pengawal itu menjadi marah dan juga amat curiga. Dengan gerakan cepat mereka
melompat dan tahu-tahu mereka sudah berdiri menghadang di depan kakek itu.
"He, Kakek! Apa kehendakmu dan siapa kau?" tegur seorang di antara mereka dengan sikap mengancam.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu tetap tidak mengacuhkan mereka, memandang pun tidak, hanya menggumam, "Anak murid Hoasan-
pai..."
Lima orang itu semakin curiga, malah mereka sudah meraba gagang golok dan pedang. Jangan-jangan
orang ini adalah teman gadis-gadis yang ditahan dan hendak merampas mereka, pikir mereka.
"Siapa kau?! Jangan main-main di sini, orang gila. Lekas keluar atau kau akan merasakan tajamnya
golokku!" seorang di antara mereka berseru sambil mencabut goloknya. Empat orang yang lain juga sudah
mencabut senjata masing-masing.
Akan tetapi kakek itu agaknya benar-benar gila. Rengek tangis di tenggorokannya masih terdengar terus
dan bibirnya tiada henti-hentinya berkata, "Serahkan padaku anak murid Hoa-san-pai..."
Sementara itu kedua kakinya masih terus melangkah ke arah pintu, agaknya dia hendak memaksa
memasuki istana itu.
"Orang gila sudah bosan hidup!" teriak para pengawal marah.
Berbareng mereka menggerakkan senjata, ada yang menusuk paha, ada yang membacok pundak,
pendeknya mereka hendak merobohkan orang tua itu tanpa membunuhnya. Akan tetapi semua bacokan
itu hanya mengenai angin belaka, padahal kakek itu kelihatannya tidak mengelak sama sekali!
Para pengawal itu terkejut bukan main dan mereka sadar bahwa orang gila ini bukanlah orang
sembarangan. Namun kesadaran mereka terlambat karena dengan sekali renggut saja kakek itu sudah
mencabut sebatang pohon bunga di depan istana. Pohon sebesar paha orang itu tercabut berikut akarakarnya,
kemudian tanpa banyak cakap lagi ia pun menghajar lima orang pengawal dengan pohon ini!
Kelima orang pengawal itu mencoba sedapat mungkin untuk menangkis atau mengelak, meloncat ke sana
ke mari, namun sia-sia belaka. Tidak sampai lima menit mereka semua telah roboh dengan kepala pecah
dan tulang-tulang patah tanpa nyawa lagi!
Setelah merobohkan lima orang ini, kakek gila tadi melemparkan batang pohon itu secara sembarangan,
lalu berjalan terus dengan langkah lebar menuju pintu. Pintu itu terpalang dari depan, tapi sekali dorong
daun pintu yang tebal itu terbuka, palangnya patah-patah. Sambil mengomel panjang pendek dan rengek
tangisnya masih terdengar jelas, kakek ini melangkah masuk.
Dua orang pelayan wanita muncul dengan kaget dari dalam. Mereka menjerit ngeri ketika melihat seorang
kakek aneh berjalan masuk dan daun pintu telah roboh dan pecah.
Kakek itu agaknya marah mendengar jeritan mereka. Tangannya cepat bergerak ke arah mereka dan
pelayan itu roboh terjungkal, mati tanpa dapat bersambat lagi. Lalu kakek ini melangkah terus.
"Anak murid Hoa-san-pai, mana anak murid Hoa-san-pai?" demikian terdengar ia bicara perlahan. Semua
pintu kamar dibukanya dan ia mencari terus sampai ke kamar di sebelah belakang.
Pada waktu itu, dengan lagak genit dan centil sekali dua orang selir Pangeran sedang membujuk Li Eng
dan Hui Cu yang terbelenggu di atas pembaringan. Mereka membujuk terus agar supaya dua orang gadis
itu menurut saja menjadi selir Pangeran, malah tanpa malu-malu lagi dua orang wanita yang sudah tidak
lagi mengenal kesusilaan ini mulai menceritakan hal-hal yang tak patut didengar telinga sopan, memujimuji
Pangeran yang muda dan tampan itu dan betapa senangnya menjadi selirnya.
Mula-mula Li Eng dan Hui Cu memaki-maki, akan tetapi lama-lama mereka lelah sendiri dan meramkan
mata, sama sekali tidak mau melihat atau mendengar lagi. Kalau saja tangan mereka tidak terbelenggu,
pasti sekali pukul mereka merobohkan dua orang yang tak tahu malu ini. Sementara itu, dua orang pelayan
wanita juga berada di dalam kamar untuk melayani dua orang selir tadi.
Tiba-tiba pintu kamar itu terdorong dari luar, dan setelah terbuka masuklah Si Kakek tadi. Dua orang selir
Pangeran itu bukanlah wanita-wanita lemah, segera mereka melompat dan menyambar pedang masingmasing.
"Siapa kau...?" Belum habis gema suara ini, dua orang selir itu telah terlempar dan kepala mereka
terbentur tembok hingga pecah dan tewaslah mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam terkejut sekali hati Li Eng dan Hui Cu melihat betapa dengan gerakan kedua tangannya, kakek
ini melakukan pukulan jarak jauh yang dapat membinasakan dua orang selir itu. Ada pun dua orang
pelayan yang menjadi ketakutan segera menjerit-jerit. Akan tetapi dua kali tendangan menamatkan hidup
mereka.
Sekaligus kakek ini telah membunuh empat orang di dalam kamar itu, dua orang lagi di luar kamar dan lima
orang di luar rumah. Kemudian ia menghampiri Li Eng dan Hui Cu, memandang sejenak lalu terdengar ia
berkata,
"Anak murid Hoa-san-pai...?"
Li Eng dari Hui Cu tidak tahu siapakah kakek ini dan apa gerangan maksudnya dengan perbuatannya yang
mengerikan itu, tidak tahu pula apa maksudnya bertanya tentang anak murid Hoa-san-pai. Akan tetapi
karena dapat menduga bahwa kakek itu tentulah seorang tokoh luar biasa di dunia kang-ouw dan tentu
mengenal baik Hoa-san-pai, Li Eng yang lebih tabah itu menjawab,
"Benar, Locianpwe, kami berdua adalah murid Hoa-san-pai..."
Tiba-tiba kakek itu menggerakkan kedua tangan dan pada lain saat tubuh Li Eng dan Hui Cu telah
dipanggulnya di kanan kiri atas pundaknya, kemudian bagaikan terbang ia berlari keluar dari istana yang
penghuninya telah dibunuhnya semua itu!
Ketika kota raja geger dan pintu pintu gerbang kota raja sudah ditutup dan dijaga keras, kakek ini telah
lama meninggalkan kota raja dengan memanggul dua tubuh gadis itu. Ia berlari terus secepat angin
menembus gelap malam dan menjelang tengah malam tibalah ia di sebuah hutan, langsung memasuki
hutan itu dan menuju ke sebuah kelenteng kuno yang sudah kosong.
Ia masuk di ruangan belakang kelenteng itu yang ternyata bersih. Melihat betapa di dalam gelap ia dapat
bergerak leluasa, dapat diduga bahwa ia sudah hafal akan tempat ini. Sambil merengek-rengek terus dia
melepaskan dua tubuh dara itu ke atas lantai secara kasar, mulutnya tiada hentinya berbisik, "Anak murid
Hoa-san-pai... hemmm, anak murid Hoa-san-pai..."
Li Eng dan Hui Cu sudah terbebas dari totokan dan kini mereka berusaha melepaskan belenggu yang
mengikat kedua tangan mereka. Tentu saja mereka dapat menggerakkan kaki dan andai kata menghadapi
seorang biasa saja, dengan kaki mereka dua orang dara perkasa ini sanggup merobohkannya. Akan tetapi
kini mereka menghadapi seorang kakek aneh yang sakti, tentu saja mereka tak berani berlaku sembrono
menyerang dengan kaki saja!
Mereka mendapat kenyataan bahwa lantai itu licin dan bersih, dan mereka menduga-duga apa yang akan
dilakukan oleh kakek itu terhadap diri mereka. Tiba-tiba terdengar bunyi benda-benda nyaring dan
terjadilah api. Tak lama kemudian ruangan itu menjadi terang oleh sebatang lilin yang dipasang oleh kakek
itu di atas sebuah meja sembahyang yang sudah butut.
Ngeri juga hati dua orang gadis itu melihat wajah kakek yang tua dan menyeramkan tadi tersinar cahaya
lilin. Kakek itu kini tertawa terkekeh-kekeh sambil memandang mereka.
"Heh-heh-heh-heh! Anak-anak murid Hoa-san-pai! Muda-muda dan cantik, tetapi semua anak murid Hoasan-
pai genit-genit, cabul dan tidak tahu malu!"
"Kakek tua bangka gila!" Li Eng tak dapat menahan kemarahannya mendengar kata-kata yang sangat
menghina nama baik Hoa-san-pai ini. "Mulutmu kotor, kau manusia ataukah iblis? Kami orang-orang Hoasan-
pai selalu memegang tinggi kesopanan dan juga pribudi kebijaksanaan, jangan sembarangan kau
menuduh!"
Kakek itu tertegun kaget mendengar suara ini dan melihat sikap Li Eng yang berani. Akan tetapi hanya
sebentar karena ia terkekeh kembali.
"Heh-heh-heh! Sama saja semua. Kelihatannya memang sopan-sopan, lagaknya seperti pendekarpendekar,
akan tetapi begitu dekat laki-laki lalu menjadi cabul. Mempunyai anak di luar pernikahan, coba
bilang, apakah itu tidak cabul dan tak tahu malu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Keparat! Tua bangka! Lepaskan belenggu ini dan mari kita bertanding untuk membela pendirian kita. Kau
akan mampus di tanganku untuk menebus ucapanmu yang menghina Hoa-san-pai!" kata pula Li Eng.
"Heh-heh-heh, hendak kulihat kau akan mampu berbuat apa nanti. Tetapi nanti, sekarang kau harus
mengalami penghinaan lebih dahulu. Semua wanita-wanita Hoa-san-pai harus mengalami penghinaan,
sesuai dengan watak Hoa-san-pai yang hinal" Ucapan ini disusul gerakan tangannya menyambar ke arah
tubuh Li Eng.
"Brettt!"
Baju yang menempel di bagian atas tubuh Li Eng hancur berkeping-keping, kemudian bertaburan seperti
daun-daun kering tertiup angin.
Li Eng menjerit dan cepat menggunakan kaki menggulingkan tubuh sehingga yang hancur hanya pakaian
bagian pundak dan leher saja, namun cukup banyak sehingga membuat tubuh bagian atasnya setengah
telanjang. Mula-mula ia memaki-maki marah, akan tetapi makiannya berubah menjadi jerit mengerikan
ketika dia melihat kakek itu mendekatinya dengan muka seperti iblis dan dari pandang matanya jelas
tampak nafsu untuk menghina, untuk membikin malu dan merendahkan dua orang gadis itu.
Sementara itu, Hui Cu sudah bangkit berdiri dan memandang dengan muka pucat. Gadis ini belum
diganggu, mungkin karena semenjak tadi ia diam saja, tidak seperti Li Eng yang memaki-maki sehingga
agaknya kemarahan kakek aneh itu ditumpahkan kepada Li Eng semua.
Melihat kakek itu seperti gila, Li Eng menjadi nekat. Ia maklum bahwa akan sia-sia saja membujuk kakek
ini agar tidak melakukan hal-hal yang tidak patut. Pada waktu kakek itu bergerak maju hendak
mencengkeramnya, secepat kilat Li Eng mengangkat kaki kanan menendang. Tendangannya amat hebat
dan cepat, yang diarah adalah pusar tempat yang paling berbahaya.
Tapi sambil terkekeh-kekeh kakek itu menangkis ke bawah dengan tangan kiri, sedangkan tangan
kanannya menjangkau ke depan. Li Eng segera membuang dirinya ke belakang, bergulingan untuk
menghindarkan diri dari serangan kakek itu.
"Heh-heh-heh, anak murid Hoa-san-pai, kau hendak lari ke mana?" katanya sambil terus mengejar.
Pada saat itu pula, dari belakangnya menyambar angin tendangan Hui Cu yang tak bisa berdiam diri saja
melihat Li Eng terancam. Tetapi tubuh Hui Cu malah terpental dan gadis ini roboh terguling ketika tangan
yang amat kuat menangkis kakinya.
"Enci Cu, lari...!"
Tiba-tiba lilin di atas meja padam. Ternyata Li Eng sudah mempergunakan kesempatan ketika Hui Cu
menyerang kakek itu tadi untuk melompat ke dekat meja dan meniup padam lilin di atas meja, kemudian ia
berteriak mengajak Hui Cu lari.
Hui Cu maklum bahwa usaha itu tidak banyak harapannya, tapi itulah jalan satu-satunya, yakni mencoba
untuk melarikan diri ke dalam hutan yang lebat itu. Ia pun lalu meloncat berdiri dan secepat kilat ia lari
menerobos pintu, keluar kelenteng.
Dua orang gadis itu lari tersaruk-saruk dan jatuh bangun di dalam kegelapan. Akan tetapi akhirnya mereka
sampai juga di luar kelenteng dan ternyata keadaan di situ tidak segelap di dalam karena bulan sudah
muncul.
Namun, alangkah mendongkol, gelisah dan kecewanya mereka ketika mereka tiba di luar kelenteng, kakek
gila tadi sudah berada di situ pula, berdiri tegak sambil terkekeh-kekeh mengejek. Entah kapan kakek itu
keluar, dan hal ini saja menambah bukti betapa saktinya kakek aneh yang seperti orang gila ini.
"Locianpwe, harap kau jangan menganggu kami," Hui Cu yang sejak tadi diam saja kini mendadak
mengeluarkan suara, menurutkan pikirannya yang mendapatkan sebuah akal. "Kami sedang dalam
perjalanan menuju Thai-san untuk memberi hormat kepada paman kami Raja Pedang Tan Beng San.
Harap kau orang tua memandang muka Paman Tan Beng San dan suka membebaskan kami berdua!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Hui Cu mendapatkan akal ini untuk membawa-bawa nama Tan Beng San yang tentu saja dikenal oleh
semua tokoh persilatan, agar kakek itu menjadi sungkan dan mundur. Siapa kira, mendengar kata-kata ini
kakek itu menjadi makin menggila.
Ia membanting-banting kakinya dan berteriak, "Tan Beng San si keparat jahanam? Mana dia, biar
kuhancurkan kepalanya seperti ini!" Ia menghantam ke kiri dan sebatang pohon sebesar paha orang
segera tumbang dengan sekali pukul.
Kemudian dia terkekeh-kekeh lebih menyeramkan. "Jadi kau keponakan Tan Beng San? He-he-heh
kebetulan sekali, kau harus merasakan bagaimana dihina dan disakiti orang!" Kalau tadi ia menumpahkan
kemarahannya kepada Li Eng yang memaki-makinya kini ia mulai menubruk ke arah Hui Cu.
Gadis ini terkejut dan mengelak ke kiri. Akan tetapi karena kedua tangannya terbelenggu, ia pun
terhuyung-huyung sehingga cengkeraman kakek itu mengenai tali rambutnya dan membuat rambutnya
terlepas, terurai ke atas pundaknya. Sambil terkekeh-kekeh kakek itu menubruk lagi, namun kini Li Eng
maju menolong Hui Cu, mengirim tendangan berantai dari belakang.
Betapa pun lihainya gadis ini, tetapi dengan kedua tangan yang terbelenggu ke belakang, keseimbangan
tubuhnya sukar diatur, maka tendangan berantai yang mestinya cepat dan dahsyat itu menjadi kurang daya
serangan. Apa lagi yang diserang adalah seorang kakek yang sakti. Dengan sedikit miringkan tubuhnya
dan membabat dengan tangan kiri, tubuh Li Eng kena dibikin terpelanting dan untuk sekian kalinya gadis ini
rebah mencium tanah!
Kakek itu kini melangkah perlahan mendekati Hui Cu yang sudah berdiri dengan tubuh gemetar saking
lelah dan gelisahnya. Dia sudah mengambil keputusan nekat, kalau tidak dapat menghindarkan diri dari
kakek gila ini, ia akan menyerang dengan kepalanya untuk membunuh atau terbunuh!
Pada saat yang amat berbahaya bagi Hui Cu ini, tiba-tiba saja berkelebat bayangan hitam disusul bentakan
keras. "Kakek jahat, pergilah!"
Bayangan itu menyambar ke arah kakek itu.
"Dukkk!"
Dua tangan bertemu dan keduanya sama-sama terhuyung ke belakang, disusul seruan kaget bayangan itu
dan seruan heran Si Kakek tadi. Agaknya pertemuan dua tangan itu membuat mereka kaget bukan main
karena ternyata bahwa lawan amatlah tangguh.
Dengan gerakan yang luar biasa cepat bayangan itu kembali menyambar. Tangan kirinya menghantam,
akan tetapi segera disusul tangan kanan yang memukul sedangkan tangan kiri ditarik pulang.
"Plak! Plak!"
Kembali keduanya terhuyung hampir roboh karena telah saling bertukar pukulan. Pukulan bayangan itu
tepat mengenai sasaran, tapi pada saat yang sama Si Kakek berhasil pula memukulnya!
Di samping kekagetannya, bayangan itu marah sekali. Terdengar ia mengeluarkan bunyi melengking
keras, lalu tubuhnya berkelebat menyerang kakek itu dengan dahsyat sekali. Kakek itu pun tidak tinggal
diam. Dia menggereng dan menyambut serangan ini, malah kemudian kakek ini mengeluarkan suara
melengking juga seperti orang menangis.
Dua lengkingan aneh bercampur menjadi satu dan Hui Cu pun cepat-cepat mengerahkan lweekang-nya
untuk menahan guncangan pada jantungnya. Demikian pula Li Eng segera maklum bahwa dua orang itu
adalah ahli-ahli Iweekeh yang amat tinggi kepandaiannya.
Tiba-tiba terdengar bunyi melengking dari jauh, lengking meninggi seperti tangisan, persis lengking yang
keluar dari tenggorokan kakek itu.
"Ha, anak baik, lekas datang!" kakek itu berseru girang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bayangan yang melawan kakek itu tampak gelisah, kemudian menyerang dahsyat lagi. Serangan yang
amat aneh, kedua lengan memukul, tubuh menerjang seperti terbang dan kedua kakinya menendang di
udara.
Kakek itu berteriak keras dan menghadapi terjangan ini dengan keempat kaki tangannya pula. Akibatnya
kakek ini terguling karena ia telah terkena sebuah pukulan dan sebuah tendangan, tetapi sebaliknya
bayangan itu pun terhuyung karena pukulan keras Si Kakek. Namun bayangan itu tidak memberi
kesempatan lagi, cepat ia menyambar Hui Cu pada pinggangnya dan membawa pergi gadis ini seperti
burung terbang cepatnya.
Kakek itu yang agaknya maklum pula akan kelihaian lawan yang berhasil menculik atau merampas
seorang tawanannya. Ia tidak mengejar, sebaliknya, ia lalu menangkap Li Eng dan menyeret gadis ini
kembali ke dalam kelenteng.
Setelah melempar gadis itu ke atas lantai, ia menyalakan lilin yang tadi padam. Kemudian ia berbalik
memandang Li Eng yang sudah bangkit berdiri kembali, sikapnya mengancam dan berkata dengan suara
parau,
"Kau anak murid Hoa-san-pai, sekarang kau akan merasai penghinaan yang sebesarnya, setelah itu kau
mampus!" Ia melangkah mendekat.
Li Eng melejit dan hendak lari, namun sekali sambar tangan gadis itu telah dipegangnya. Li Eng
mengangkat kaki menendang, namun tidak mengenai sasaran. Gadis ini tak dapat melepaskan diri lagi,
menjerit dan meronta.
"Kongkong (Kakek), apa yang kau lakukan ini?" tiba-tiba terdengar suara nyaring sekali dan tahu-tahu
seorang pemuda gagah telah berdiri di dalam kamar itu.
Kakek itu melepaskan tubuh Li Eng yang menjadi lemas dan terpelanting saking lelah dan ngerinya tadi,
kemudian kakek itu tertawa dan berkata,
"Aku pun muak dan sebal karena terpaksa harus melakukan perbuatan ini. Kalau saja dia bukan anak
murid Hoa-san-pai, tentu sekali pukul sudah kubikin remuk kepalanya, habis perkara. Tapi dia anak murid
Hoa-san-pai. Ha-ha-ha, Kong Bu, kau tahu apa artinya itu. Anak murid Hoa-san-pai, terutama yang
perempuan, semua merupakan orang-orang hina. Pembunuh ibumu! Uh-uh, satu demi satu harus dibasmi,
dihina lebih dahulu baru dibelek dadanya dan dikeluarkan jantungnya."
Pemuda itu melangkah maju, memandang kepada Li Eng lebih tajam penuh perhatian, kemudian ia
mendengus penuh kebencian. "Hemmm, Kongkong, seperti dia inikah anak murid Hoa-san-pai pembunuh
mendiang ibuku?"
"Ya ya, seperti ini. Cantik menarik, muda belia, lihai ilmu silatnya, tapi berhati palsu dan berwatak hina.
Kong Bu, kau sudah datang, kebetulan sekali. Kuserahkan dia kepadamu, lakukanlah sesukamu terhadap
dia, kau boleh hina dia, boleh permainkan dia, kemudian bunuhlah. Aku akan mengejar yang seorang lagi,
yang tadi dirampas orang lain. Nah, aku pergi... heh-heh, kebetulan kau datang, aku... aku muak dan sebal
kalau harus menyentuh wanita... aku sudah tua." Sekali berkelebat kakek itu sudah meluncur lewat dan
lenyap.
"Kongkong, di mana kita dapat bertemu kembali?"
Dari jauh terdengar jawaban sayup-sayup, "...di Thai-san..."
Siapakah kakek aneh dan sakti ini? Siapa pula pemuda yang menjadi cucunya bernama Kong Bu ini?
Kiranya pembaca telah dapat menduga siapa adanya kakek itu. Dia bukan lain adalah Song-bun-kwi Kwee
Lun Si Setan Berkabung, tokoh nomor satu di dunia barat, seorang sakti yang berwatak aneh bukan main
dan kadang-kadang dapat bersikap kejam melebihi iblis.
Ada pun pemuda gagah dan tampan bernama Kong Bu itu bukan lain adalah anak dari Kwee Bi Goat dan
Tan Beng San. Seperti telah diceritakan di bagian depan dari cerita ini, bayi itu dibawa lari Song-bun-kwi
dan dipeliharanya baik-baik, diajarkan ilmu silat hingga menjadi seorang pemuda yang tinggi ilmu silatnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja mudah diketahui sebabnya, kenapa Song-bun-kwi bersikap demikian kejamnya terhadap Li Eng
dan Hui Cu. Secara kebetulan sekali Song-bun-kwi sedang berada di kota raja dan ia mendengar dari para
pengemis bahwa ada dua orang gadis anak-anak murid Hoa-san-pai diundang oleh Pangeran Mahkota.
Di dalam hati Song-bun-kwi, semenjak ia kematian anaknya, timbul dendam yang hebat terhadap Hoa-sanpai.
Bukankah Kwa Hong yang menyebabkan kematian anaknya itu anak murid Hoa-san-pai? Oleh karena
inilah, begltu mendengar tentang dua orang gadis anak murid Hoa-san-pai di kota raja, ia menggunakan
kesempatan ini untuk menawan dua orang gadis itu untuk dihina dan dibunuhnya sebagai pembalasan
dendamnya terhadap Hoa-san-pai!
Memang jalan pikiran seorang seperti Song-bun-kwi amat aneh dan kadang-kadang lebih ganas dari iblis
sendiri.
Kong Bu semenjak kecil hidup bersama Song-bun-kwi, tentu saja ia pun memiliki watak aneh seperti
kakeknya. Namun pada dasarnya ia tidak mempunyai watak kejam seperti Song-bun-kwi, malah agak
pendiam seperti ibunya, keras hati pula.
Semenjak kecil pemuda ini dijejali rasa dendam oleh kakeknya. Diceritakan bahwa ibunya yang tercinta
mati karena kekejian anak murid Hoa-san-pai. Diceritai pula bahwa ayahnya bernama Tan Beng San telah
meninggalkan ibunya, karena tergoda oleh siluman cantik murid Hoa-san-pai, sehingga ibunya ‘makan hati’
dan meninggal dunia. Ditanamkan bibit kebencian dan dendam sejak kecil sehingga pemuda ini mau tidak
mau membenci apa pun yang ‘berbau’ Hoa-san-pai, malah selalu ditekan oleh kongkong-nya, bahwa kelak
ia harus dapat membalaskan sakit hati ibunya dengan jalan membunuh ayahnya yang telah berdosa
terhadap ibunya!
Demikianlah, kini Kong Bu dihadapkan dengan seorang gadis dari Hoa-san-pai. Di bawah penerangan api
lilin, dia menatap wajah Li Eng yang kini perlahan-lahan bangkit berdiri dan balas memandangnya.
Bukan main cantik jelitanya gadis ini. Pakaian sebelah atas yang koyak-koyak sebagian itu menambah
hebatnya daya tarik sehingga Kong Bu tak kuat memandang lebih lama lagi. Kong Bu membuang muka
dan merasa betapa bulu tengkuknya berdiri, meremang dan terasa dingin pada tulang punggungnya.
Cantik jelita, muda belia, lihai ilmu silatnya, tapi berhati palsu dan berwatak hina. Itulah kata-kata kakeknya
yang berkumandang dalam telinganya dan kembali Kong Bu bergidik. Sifat siluman betina adalah
merupakan iblis di dalam tubuh seorang wanita cantik.
Banyak sudah ia melihat wanita cantik, terutama kalau ia diajak kakeknya menyusup ke dalam istana untuk
sekedar melihat-lihat atau mencuri makanan. Akan tetapi harus diakui bahwa belum pernah selama
hidupnya ia berhadapan atau melihat seorang gadis seperti ini!
Dan kakeknya sudah menahan gadis ini, sekarang memberikannya kepada dia. Dia boleh berbuat sesuka
hatinya terhadap gadis ini, lalu membunuhnya. Dia boleh menghinanya, mempermainkannya, hemm,
apakah maksud kakeknya?
Sungguh pun pikiran Kong Bu tidak sampai ke situ, namun perasaannya membuat dia dapat menduga,
penghinaan apakah yang paling hebat bagi seorang gadis. Melihat baju yang koyak-koyak itu, yang
memperlihatkan sebagian dari kulit yang halus, jantungnya berdebar tidak karuan membuat ia membuang
muka dan tidak berani lagi memandang kulit di balik baju yang koyak itu.
Di lain pihak, Li Eng merasa agak lega karena ia telah terlepas dari ancaman yang lebih mengerikan dari
pada maut di tangan kakek gila tadi. Malah kini ia mendapatkan harapan untuk terlepas pula dari tangan
pemuda ini. Tak mungkin pemuda ini selihai kakek tadi.
Kalau saja ada kesempatan bagiku, pikir Li Eng dan pandang matanya mengukur-ukur sementara kedua
kakinya menegang, siap mengirim tendangan yang mematikan. Tetapi bagaimana kalau tendangannya tak
berhasil? Li Eng ragu-ragu.
Kalau saja dua tanganku bebas. Ataukah lebih baik ia merayu pemuda ini dan membujuk dia agar suka
membuka belenggunya? Kalau sudah bebas kedua tangannya, kiranya tak akan sukar membunuhnya!
Tapi pikiran ini membuat mukanya menjadi merah dan jantungnya berdebar. Sampai mati sekali pun tak
mungkin ia dapat melakukan pekerjaan itu, membujuk rayu seorang lelaki! Ia teringat kepada pamannya,
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwa Kun Hong. Biar pun lemah, pamannya itu cerdik. Apa yang akan dilakukan pamannya dalam keadaan
begini? Apakah dia masih terus hendak mengalah saja?
Ahh, bagaimana nasib pamannya? Bagaimana pula nasib Hui Cu yang tadi dilarikan oleh seorang laki-laki
yang luar biasa pula? Aku harus bebas dulu, baru dapat menolong Enci Cu dan Paman Hong, pikirnya.
Tiba-tiba Li Eng berseru keras dan kaki kanannya melayang menendang pusar pemuda yang sedang
berdiri bengong, Li Eng menahan seruannya ketika kakinya bertemu dengan benda yang keras sekali,
tetapi tubuh Kong Bu terlempar seperti tertiup angin, terbanting pada dinding dan terpelanting jatuh. Akan
tetapi seperti karet saja, dia sudah berdiri lagi dan memandang kepada Li Eng dengan alis terangkat. Ia
tidak apa-apa.
Celaka, Li Eng mengeluh dalam batin, kiranya pemuda ini tidak kalah lihainya dari kakek tadi.
Tendangannya tepat sekali, akan tetapi pemuda itu hanya terlempar, luka sedikit pun tidak, malah
kelihatannya tidak merasa sakit.
Kini pemuda itu berjalan lambat-lambat menghampiri, dengan mata memandang tajam dan alisnya yang
tebal itu bergerak-gerak.
"Kenapa kau menendangku? Benar-benar berhati curang, kenapa kau menendangku?"
Li Eng tertegun. Biar pun sama lihai, pemuda itu agaknya tidak seliar kakek tadi, sungguh pun sama pula
anehnya. Pertanyaan yang aneh pula, bagaimana ia bisa menjawab?
"Hemmm," katanya dengan nada mengejek dan mengumpulkan semangat supaya jangan kelihatan rasa
takut dan gelisahnya, "kenapa aku menendangmu? Jawab dulu, mengapa kau menawanku?"
Kening pemuda itu semakin berkerut. "Karena kau anak murid Hoa-san-pai, yang cantik, muda belia, lihai,
tapi berhati palsu dan berwatak hina. Orang yang membikin celaka ibuku adalah anak murid Hoa-san-pai
seperti kau. Karena itu sekarang kau harus mati setelah mengalami siksaan dan hinaan lebih dulu."
Terbelalak mata Li Eng. Ancaman penghinaan lebih hebat dari maut baginya. Biar pun ia sendiri belum
mengerti benar penghinaan apa yang dimaksudkan, akan tetapi seperti juga keadaan pemuda itu sendiri,
gadis ini dengan perasaannya dapat menduga-duga yang membuat ia ketakutan dan ngeri setengah mati.
"Kau... kau adalah pengecut besar!" tiba-tlba saja Li Eng berteriak dalam kengerian dan kebingungannya.
Makiannya ini ternyata tepat mengenai sasaran, memukul kelemahan pemuda itu.
Mendengar makian pengecut, Kong Bu meloncat dengan kedua tangan dikepal keras dan matanya
seakan-akan hendak membakar diri Li Eng. Ia akan menerima dan masih dapat menahan dimaki apa saja,
akan tetapi makian pengecut merupakan pantangan baginya. Dalam anggapannya, tidak ada sifat yang
lebih rendah dari sifat pengecut!
"Apa kau bilang tadi? Pengecut? Aku... pengecut?" Suaranya gemetar saking marahnya. "Buktikan... setan
kau, hayo buktikan kalau aku... pengecut!"
Li Eng yang cerdik itu menahan gejolak hatinya yang girang karena akalnya berhasil. Ia sengaja
menjebirkan bibirnya dengan lagak mengejek dan menghina.
"Seorang laki-laki yang mengganggap diri sendiri gagah, beraninya berlagak hanya kalau menghadapi
lawan wanita yang dibelenggu kedua tangannya. Huh! Andai kata aku tidak terbelenggu, kiranya kau sudah
lari jatuh bangun ketakutan. Apa lagi namanya kalau bukan pengecut paling rendah?"
Kong Bu tidak sanggup menahan kemarahannya lagi. Ia mengeluarkan suara melengking tinggi yang
membuat Li Eng amat kaget dan seram. Tiba-tiba pemuda ini mendekatinya, menggerakkan kedua tangan
dan... belenggu yang mengikat Li Eng lantas putus menjadi beberapa potong!
"Nah, putus sudah! Kau tidak terbelenggu lagi. Hayo, kau mau apa sekarang? Setan betina, tarik kembali
makianmu pengecut tadi. Setan, kau menghinaku, ya? Hayo, cepat tarik kembali kata-kata pengecut tadi!"
Saking girangnya karena telah bebas, Li Eng untuk sejenak tidak dapat menjawab, hanya menggosokgosok
pergelangan dua tangannya yang masih kaku-kaku untuk memulihkan jalan darahnya. Matanya
dunia-kangouw.blogspot.com
bersinar-sinar, mulutnya tersenyum manis, serta timbul kembali keberaniannya dan kepercayaan kepada
diri sendiri.
"Sudah bebas kedua tanganku! Ehh, kau belum juga lari jatuh bangun?"
"Tidak sudi! Mengapa harus lari? Aku bukan pengecut! Hayo cepat katakan, aku bukan pengecut!" teriak
Kong Bu makin marah.
Li Eng memandang dengan senyum ejekan yang amat menyakitkan hati pemuda itu.
"Apa? Kau tidak mau lari? Larilah, aku tidak akan mengejarmu sebagai upahmu sudah membebaskan
tanganku dari belenggu."
"Tidak sudi!"
"Ah, kalau begitu ternyata kau sudah bosan hidup. Terpaksa kedua tanganku mengantar nyawamu ke
neraka!"
Li Eng cepat sekali menerjang maju dengan kedua tangannya memukul, susul-menyusul ke arah pelipis
dan lambung. Kong Bu yang marah sekali cepat menangkis kedua pukulan itu dan balas menyerang
dengan sama keras dan dahsyatnya.
Tadinya Li Eng memandang rendah dan mengejek, sedangkan Kong Bu juga memandang rendah dan
marah-marah. Akan tetapi makin lama mereka bertempur, makin lenyaplah perasaan merendahkan lawan,
lenyap pula rasa mengejek dan marah, terganti oleh rasa keheranan besar dan sedikit kekaguman.
Ternyata bahwa keduanya sama tangguhnya, atau hanya sedikit selisihnya!
Kong Bu sama sekali tidak pernah menyangka bahwa gadis ini sedemikian hebat ilmu silatnya, memiliki
gerakan yang cepat bukan main bagaikan burung walet saja sehingga kadang-kadang matanya berkunang.
Di lain pihak, meski pun maklum bahwa pemuda itu bukan orang lemah, namun sama sekali di luar
sangkaan Li Eng bahwa ternyata pemuda itu memiliki ilmu silat yang aneh, yang dapat mengimbangi Hoasan
Kun-hoat, dan malah memiliki tenaga dahsyat sehingga lengannya sakit-sakit dan panas tiap kali
mereka harus beradu tangan.
Mulailah ia merasa menyesal mengapa ia tidak bersenjata. Dengan pedang di tangan, kiranya ia takkan
terdesak seperti ini. Mulailah nona yang cerdik ini mencari akal.
Pada saat terdapat kesempatan baik, Li Eng berseru keras dan kedua kakinya bergerak dengan Ilmu
Tendangan Soan-hong-tui (Tendangan Angin Puyuh), yaitu yang merupakan tendangan berantai dengan
dua kaki seperti kitiran angin. Yang dijadikan sasaran adalah pusar lawan.
Menghadapi tendangan berantai yang amat berbahaya ini, Kong Bu berseru keras dan melompat mundur.
Kesempatan inilah yang dipergunakan oleh Li Eng untuk melompat ke dekat meja dan menendang meja itu
sehingga terbalik. Seketika keadaan menjadi gelap pekat karena lilin di atas meja itu terlempar dan apinya
padam.
Inilah yang dihendaki oleh Li Eng. Ia mempunyai pendengaran tajam dan lweekang yang sudah tinggi,
maka ia hendak mengandalkan dua kelebihan ini untuk melawan Kong Bu di dalam gelap!
Akan tetapi, sekali lagi ia kecele. Pemuda ini berseru keras, "Kau hendak lari ke mana?"
Dan dari angin gerakannya tahulah Li Eng bahwa pemuda itu menerjang ke arahnya seakan-akan memiliki
mata yang dapat menembus kegelapan. Terpaksa ia mengerahkan ketajaman pendengarannya untuk
menghadapi serbuan dalam gelap ini.
Kembali mereka bertempur, kini di dalam gelap dan ternyata malah makin seru dari tadi. Karena keadaan
gelap sama sekali, kedua orang muda yang berilmu tinggi itu bertempur hanya mengandalkan ketajaman
pendengaran dan kegesitan gerakan saja.
Makin lama makin terasa oleh Kong Bu akan kelihaian dara itu dan diam-diam ia merasa heran bagaimana
kakeknya mampu menangkap gadis selihai ini dengan mudah. Apa lagi berdua dengan gadis lain yang
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak ia ketahui sampai di mana tinggi kepandaiannya. Kalau dilihat keadaannya sekarang agaknya biar
pun kakeknya sendiri, belum tentu dapat mengalahkan gadis ini dengan mudah.
Dengan penasaran sekali Kong Bu menggereng dan mengeluarkan ilmu yang paling ia andalkan, yaitu
Yang-sin-hoat. Ilmu ini adalah inti sari ilmu Yang-sin Kiam-sut yang dulu didapatkan oleh Song-bun-kwi dan
telah diturunkan kepada pemuda ini.
Yang-sin-hoat mengandalkan tenaga kasar dan ketika pemuda ini mainkan Yang-sin-hoat, Li Eng menjadi
kewalahan. Sebagai seorang wanita, oleh kedua orang tuanya Li Eng dilatih dengan ilmu-ilmu yang
berdasarkan kehalusan, disesuaikan dengan keadaan tubuh dan sifat wanita.
Maka ketika tadi lawannya menggunakan lweekang, ia masih sanggup melayani dengan baik. Sekarang,
begitu lawannya berkelahi secara kasar dan keras, di mana pertemuan tenaga mungkin dapat
mematahkan tulang dan melecetkan kulit, Li Eng menjadi sibuk sekali. Ia mencari kesempatan dan begitu
terdapat lowongan gadis ini melompat keluar dari kamar terus lari keluar dari kelenteng.
"He, kau hendak lari ke mana?"
Kong Bu mengejar dengan lompatan keras sekali sehingga sekaligus ia dapat menyusul Li Eng. Dengan
lompatan yang amat cepat ini ia telah menubruk tubuh Li Eng dari belakang. Segera ia menggunakan
kedua lengan untuk menangkapnya dan dua orang itu terguling roboh di luar kelenteng, bergumul di atas
tanah.
Namun Li Eng kalah tenaga, juga ia disikap dari belakang dengan mendadak, maka ia tidak berdaya dan
Kong Bu berhasil menotok punggungnya, membuat gadis itu lemas tak dapat menggerakkan kaki
tangannya lagi. Li Eng hanya dapat memandang dengan mata bersinar marah.
Kong Bu melepaskan Li Eng dan bangkit berdiri, mengatur napas. Ia terengah-engah dan lelah, juga
tubuhnya sakit di sana-sini. Harus diakui bahwa baru kali inilah ia betul-betul berkelahi melawan seorang
yang amat tangguh. Sekali lagi ia memandang ke arah di mana Li Eng rebah miring tak bergerak, di bawah
sinar bulan nampak seperti seorang gadis sedang tidur saja, ataukah seekor harimau betina sedang
mendekam?
"Gadis liar!" gerutunya sambil mengelus lehernya yang mengeluarkan darah, terluka oleh kuku-kuku
tangan Li Eng ketika bergumul tadi.
Kong Bu kemudian lari mengambil tali pengikat tangan Li Eng, lalu keluar lagi dan setelah menyambungnyambung
tali yang kuat itu. Dia membelenggu lagi kedua tangan Li Eng. Setelah itu ia membebaskan
totokannya dan membentak,
"Hayo bangun berdiri!"
Begitu terbebas dari totokan, dengan kemarahan meluap-luap Li Eng meloncat bangun dan langsung
kedua kakinya yang bebas itu mengirim tendangan berantai!
Kong Bu kaget sekali dan dengan gugup ia mengelak ke sana ke mari karena tendangan-tendangan itu
betul-betul mengarah bagian-bagian tubuh yang berbahaya dan mematikan. Akhirnya ia dapat menyambar
kaki kiri Li Eng dan sekali dorong tubuh Li Eng roboh lagi.
"Gadis liar!" lagi-lagi ia memaki.
Li Eng sudah meloncat bangun lagi, berdiri tegak, kepala dikedikkan, mata berapi-api, gigi digeget,
kemarahan memenuhi dadanya.
"Hayo jalan, ikut denganku!" kata Kong Bu lagi.
"Tidak sudi! Mau bunuh boleh bunuh!" balas Li Eng, tak kalah ketus.
"Kepala batu!" Kong Bu memaki lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendadak, sebelum Li Eng sempat menduga apa yang akan dilakukannya, pemuda ini menubruk ke
depan, langsung menangkap dua kaki gadis itu dan mengangkat tubuhnya, terus dipanggul di atas
pundaknya.
Li Eng meronta-ronta, menendang-nendang, akan tetapi karena kedua tangannya diikat dan kedua kakinya
dipeluk keras-keras oleh pemuda yang besar sekali tenaganya itu, ia tak berhasil melepaskan dirinya. Akan
tetapi, dengan menggerak-gerakkan tubuh bagian atasnya, mulutnya berhasil mendekati pundak dan
dengan gemas dia menggigit pundak pemuda itu.
"Aduh... perempuan liar!"
Kong Bu terpaksa melepaskan tubuh Li Eng yang terpelanting ke atas tanah. Pemuda ini memegangi dan
mengusap-usap pundaknya yang luka berdarah dan bajunya yang robek tertembus gigi yang kecil-kecil
putih akan tetapi kuat bukan main itu. Pundaknya sakit sekali, perih dan panas.
Dengan marah ia maju lagi, mengangkat tangan hendak memukul pecah kepala Li Eng. Akan tetapi entah
bagaimana, pada saat bertemu pandang dengan sepasang mata yang berapi-api dan penuh keberanian
itu, kepalannya berubah menjadi totokan dan kembali Li Eng telah tertotok jalan darahnya, lemas dan tak
dapat bergerak lagi.
"Hemmm, perempuan liar. Anak murid Hoa-san-pai, cantik jelita, muda belia, lihai namun berhati palsu dan
berwatak hina. Kau harus disiksa dulu sebelum dibiarkan mati. Keparat, rasakan kau nanti!" Ia lalu
mengangkat tubuh Li Eng yang sekarang tidak mampu meronta lagi itu, lalu memanggulnya.
Tiba-tiba ia berseru, "Ihhhh!" dan melepaskan tubuh Li Eng yang untuk kesekian kalinya lagi-lagi terbanting
di atas tanah.
Apa yang membuat pemuda itu berseru kegelian dan melepaskan tubuh gadis itu? Li Eng sendiri tidak
mengerti.
Sebetulnya adalah karena ketika memanggul, kebetulan sekali sebagian pundak Li Eng yang tidak tertutup
bajunya yang sudah koyak-koyak itu menumpang pada pundak dan leher Kong Bu, tepat di bagian baju
yang robek oleh gigitan Li Eng tadi. Sentuhan kulit halus hangat pada kulit leher dan pundaknya itulah yang
membuat Kong Bu kaget dan geli. Tubuhnya serasa dimasuki aliran listrik yang membuat ia menggigil dan
seketika membanting tubuh Li Eng ke atas tanah.
Pemuda itu kini berdiri dengan leher terasa tebal dan tengkuknya berdiri semua. Akan tetapi mukanya
terasa panas dan jantungnya berdebar keras. Perlahan-lahan dilepasnya baju luarnya, lalu diselimutkan
pada tubuh atas Li Eng. Setelah melihat bahwa pundak gadis itu yang telanjang telah tertutup rapat,
barulah ia membungkuk dan memanggul gadis itu kembali, dibawa lari secepatnya dari tempat itu,
memasuki hutan.
Sementara itu, tanpa terasa selama dua orang ini ribut-ribut tadi, malam terganti fajar dan ketika Kong Bu
memanggul Li Eng berlari-lari, ayam hutan sudah mulai berkokok. Namun pemuda itu berlari terus, menuju
ke arah tertentu.
Pemuda itu tidak berkata apa-apa, juga Li Eng tidak mengeluarkan suara sungguh pun kemarahan gadis
itu membuat kedua matanya meneteskan air mata. Ia tidak takut, hanya marah dan penasaran mengapa ia
tidak mampu mengalahkan laki-laki gila ini.
Tiba-tiba terdengar suitan saling bersahutan di dalam hutan itu. Pada saat itu cuaca mulai remang-remang
karena dalam hutan penuh embun yang dingin menyusupi tulang-tulang. Tak lama kemudian suara suitan
makin sering dan makin keras.
Pada saat tiba di dalam hutan yang penuh pohon-pohon besar, mendadak belasan orang berlompatan dari
balik batang pohon sehingga Kong Bu terkurung oleh enam belas orang laki-laki yang tinggi besar,
bercambang bauk dan membawa senjata tajam. Melihat sikap mereka yang kasar, mudah diduga mereka
tentulah sebangsa perampok.
Kong Bu sedikit pun tidak menjadi gugup. Ia menurunkan tubuh Li Eng setelah lebih dulu membebaskan
totokannya pada punggung gadis itu. Tadinya saking marah dan lelahnya, Li Eng hampir pulas dalam
panggulan pemuda itu. Sekarang ia terkejut dan sadar ketika merasa tubuhnya terguling di atas tanah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cepat Li Eng menggerakkan kaki dan girang mendapat kenyataan bahwa dia tidak lemas tertotok lagi,
maka ia meloncat berdiri. Ia terheran-heran melihat belasan orang laki-laki kasar itu berdiri di situ dengan
menyerigai dan sikap mengancam.
“Ada keperluan apa kalian menghadang perjalananku?” Kong Bu membentak dan alisnya yang tebal
menghitam itu berkerut tanda kesal hati menghadapi gangguan ini.
Salah seorang di antara mereka yang tubuhnya paling tinggi melangkah maju dan tertawa bergelak sambil
memandang ke arah Li Eng yang berdiri dengan dua tangan terbelenggu.
“Ha-ha-ha, kiranya saudara seorang ahli pemetik bunga! Wah, kawan-kawan, kita kecele kali ini!”
Belasan orang laki-laki itu mengeluarkan suara kecewa, akan tetapi ada pula beberapa orang yang ketawatawa
dan memuji-muji kecantikan Li Eng.
“Sebetulnya kalian ini mau apakah?” Kong Bu membentak lagi.
Hati Kong Bu tak senang mendengar pujian-pujian tentang kecantikan Li Eng. Dia lebih tidak senang lagi
melihat sikap mereka yang ceriwis terhadap gadis tawanannya.
“Hai, saudara muda, karena kita sealiran, kami tidak akan mengganggu. Kau boleh pergi melanjutkan
perjalananmu, akan tetapi kau tinggalkan bunga ini untuk kami, hitung-hitung tanda mata dan tanda
persahabatan kita,” berkata pula pemimpin gerombolan itu sambil memandang kepada Li Eng dengan
mata berminyak.
“Apa maksudmu? Bunga apa yang kau minta?” Kong Bu yang masih belum mengerti itu membentak lagi.
“Aih… aihh… kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!” Seorang perampok lainnya berolok-olok,
“Tentu saja perempuan ini yang ditinggal…” Baru saja sampai sini ia bicara, mendadak tubuhnya terlempar
jauh, lalu terbanting ke atas tanah dan tidak dapat bangun kembali!
Bukan main marahnya para perampok ketika melihat orang muda yang mereka sangka lemah itu sekali
tangkap sanggup melemparkan kawan tadi. Apa lagi kepalanya, dengan marah berteriak, “Kawan-kawan,
bunuh anjing jantan ini, biar aku tangkap yang betina!”
Terjadilah pengeroyokan hebat. Akan tetapi, alangkah kaget hati para pengeroyok itu saat pemuda itu
menggerakkan kaki tangan, empat orang perampok langsung roboh kemudian mengaduh-aduh. Lebihlebih
kekagetan mereka ketika melihat pemimpin mereka begitu mendekati gadis yang terbelenggu itu tibatiba
saja dadanya tertendang oleh gadis itu dan roboh sambil muntahkan darah segar.
Tidak berhenti sampai di situ saja. Gadis yang terbelenggu ini menggerak-gerakkan kedua kakinya dan
sebentar saja empat orang perampok roboh pula tak dapat bangun kembali. Juga Kong Bu yang sudah
marah menghajar para perampok itu. Sebentar saja beberapa orang roboh lagi.
Mereka bagaikan rombongan laron mengeroyok api lilin. Setelah lebih setengah jumlah mereka yang
roboh, yang lain lalu melarikan diri menyelinap di antara gerombolan pohon.
Kong Bu tidak memperdulikan mereka, kemudian memandang kepada Li Eng. Sejenak ia bengong
terlongong, menatap wajah gadis itu yang juga memandang kepadanya dengan mata terbelalak. Aduh
hebatnya mata itu, demikian kesan pertama dihati Kong Bu.
Malam tadi dia tidak dapat melihat wajah Li Eng dengan terang, tidak sejelas sekarang. Wajah yang luar
biasa dan terutama matanya, seperti sepasang bintang pagi. Tetapi ia teringat kembali akan kenyataan
bahwa gadis ini adalah anak murid Hoa-san-pai, maka kemarahannya timbul pula. Apa lagi bila teringat
betapa dengan susah payah malam tadi ia mengalahkan gadis ini, malah masih perih dan panas
pundaknya yang digigit.
Sebaliknya, Li Eng juga tercengang ketika menyaksikan wajah yang tampan dan ganteng, yang sama
sekali jauh berlainan dengan wajah kakek malam tadi. Pemuda ini betul-betul gagah. Mukanya lebar bulat,
matanya jeli, alisnya hitam tebal, mulutnya membayangkan kekerasan hati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi kalau dia teringat akan perlakuan pemuda ini kepadanya, hatinya marah dan mendongkol
bukan main. Dan dia telah dipanggul setengah malaman oleh pemuda ini!
Tiba-tiba saja Li Eng merasa mukanya panas dan ia berkata ketus. “Aku tidak sudi kau… pondong lagi!”
Kedua pipi Kong Bu langsung berubah merah. Dengan ketus pula dia menjawab, “Siapa yang sudi
memondongmu? Kalau kau tidak rewel dan mau jalan sendiri, aku pun tak sudi memanggulmu!”
Sejenak keduanya diam, saling pandang penuh kemarahan. Kong Bu marah mengapa gadis ini begini
kasar dan galak. Andai kata sikapnya halus dan penurut, agaknya ia tak akan tega memperlakukannya
seperti tadi.
Li Eng marah mengapa pemuda itu bersikap sombong dan memandang rendah padanya. Andai kata tidak
demikian sikap pemuda itu, tentu dia akan menerangkan bahwa mereka mempunyai musuh yang sama,
yaitu Kwa Hong. Dia merasa yakin bahwa yang membuat pemuda ini dan kakeknya membenci anak murid
Hoa-san-pai terutama yang perempuan, tentulah Kwa Hong.
“Kau hendak memaksaku pergi ke mana?”
“Akan kau lihat sendiri nanti!”
“Akan kau apakan aku?”
“Hemm, kau akan lihat sendiri!”
“Iblis kau! Kalau hendak bunuh padaku, bunuhlah. Siapa takut mampus?”
“Terlalu enak kalau kau dibunuh begitu saja. Kata kakek, semua anak murid Hoa-san-pai terutama yang
perempuan adalah siluman-siluman jahat, harus disiksa dan dipermainkan dulu sebelum dibunuh.”
“Kakekmu gila!”
“Mungkin, tetapi tidak palsu dan hina seperti murid Hoa-san-pai yang menggoda ayahku dan membunuh
ibuku!”
“Ahhh, kau juga gila!”
Kong Bu memandang dengan mata berapi, kemudian ia balas memaki, “Kaulah seorang gadis gila!”
“Kau hanya bisa meniru-niru!”
“Tidak, kau memang gila. Gadis normal tentu akan menangis dan minta ampun, tidak seperti kau yang
begini nekat menantang maut.”
“Aku tidak takut!”
“Ha, ingin aku melihat nanti apakah betul-betul kau tidak mengenal takut.”
“Mau kau apakan aku?”
Kong Bu tersenyum dan karena ia ingin melihat gadis ini membayangkan ketakutan pada wajah yang
cantik dan selalu menantang penuh keberanian itu, ia berkata, “Aku hendak melepaskan kau di tempat
yang penuh dengan anjing-anjing hutan, biar kau dikeroyok oleh anjing hutan!”
Akan tetapi keinginan hatinya tidak terpenuhi, malah gadis itu menjebikan bibirnya yang merah sambil
mengejek, “Phuhh, siapa mau percaya omong kosongmu? Anjing kaki dua seperti kau saja aku tidak takut,
apa lagi segala macam anjing hutan!”
Kong Bu kalah bicara, kemudian berkata marah, “Sudah jangan cerewet! Hayo jalan, ikut denganku!”
“Tidak sudi!” Li Eng berjebi lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kepala batu!” Kong Bu menerjang maju, disambut tendangan oleh Li Eng.
Untuk kesekian kalinya dua orang ini saling serang. Li Eng berusaha merobohkan dengan tendangantendangannya
yang amat dahsyat, sedangkan Kong Bu berusaha merobohkan gadis itu untuk dapat
dipanggulnya seperti malam tadi.
Tentu saja dengan kedua tangan terbelenggu dan tubuh lemas dan lelah, Li Eng tak dapat melakukan
perlawanan berarti. Akhirnya dia kena diringkus kedua kakinya, diangkat dan dipanggul oleh Kong Bu yang
lalu berlari cepat.
Li Eng memaki-maki, meronta-ronta dan mencoba untuk menggigit lagi, namun Kong Bu tidak pedulikan
semua itu dan lari secepatnya menuju ke tengah hutan. Akhirnya Kong Bu berhenti di sebuah lereng dan
berkata,
“Nah, kau lihat ke bawah!”
Li Eng yang masih dipanggul itu melirik ke bawah. Di depannya terdapat sebuah lembah yang curam dan
di dalam lembah itu tampaklah puluhan ekor anjing yang berkeliaran. Mereka nampak buas. Begitu melihat
dua orang di atas lereng, mereka menggonggong dan menyalak dengan muka ganas.
Ngeri juga hati Li Eng, akan tetapi ia mengeraskan hati dan berkata, “Aku tidak takut!”
Kong Bu mengeluarkan suara ketawa getir, hatinya kecewa kenapa gadis ini belum juga menyerah kalah
dan mengaku takut. Dengan mendongkol ia menurunkan Li Eng, menotok jalan darahnya hingga gadis itu
lemas kaki tangannya. Kemudian dengan menggunakan sebuah pedang dia memutuskan tali belenggu
kedua tangan Li Eng.
“Aku tak sudi membunuhmu dengan kedua tangan sendiri, karena aku bukan pembunuh murahan. Aku pun
tak sudi menghina dan mempermainkanmu seperti yang dimaksudkan kakek, karena aku bukanlah
seorang manusia rendah dan hina. Akan tetapi karena kau seorang anak murid Hoa-san-pai, untuk
membalas sakit hati mendiang ibuku, kau akan ku lempar ke dalam jurang lembah itu. Kau boleh melawan
anjing-anjing itu, bila kau menang dan dapat naik kembali dengan selamat, aku tak akan mengganggumu.”
Tanpa memberi kesempatan kepada gadis yang pandai itu untuk menjawab, Kong Bu menggerakkan
kedua tanggannya, yang kanan menotok punggung membebaskan aliran jalan darah, yang kiri mendorong
tubuh gadis itu ke dalam lembah yang curam itu.
Tanpa dapat menahan diri lagi tubuh Li Eng terdorong ke bawah. Tubuhnya melayang ke tempat yang
dalamnya lima enam meter itu. Segera ia mampu menguasai diri dan cepat mengatur keseimbangan
tubuhnya, lalu berjungkir balik dan dapat turun ke dasar lembah dalam keadaan berdiri.
Suara hiruk pikuk binatang-binatang itu menyambut kedatangannya. Puluhan ekor anjing yang bermata
merah dengan lidah terjulur keluar segera mengurungnya, menggonggong dan memperlihatkan gigi dan
taring yang runcing mengerikan.
Gadis itu menyedot napas dalam-dalam, mengumpulkan semangat dan tenaga, mengusir rasa jijik dan
takut, kemudian ia mendahului anjing-anjing itu, menendang dan memukul. Makin berisiklah keadaan di
lembah itu. Ada anjing yang terpukul mati seketika, hanya dapat berkelojotan sebentar, ada yang berkuikkuik,
ada pula yang meraung-raung.
Anjing-anjing yang lain semua mengonggong dan menyalak marah. Mereka ini kemudian menyergap dan
mengeroyok Li Eng. Akan tetapi dengan gagahnya gadis ini mengamuk. Tangan dan kakinya bergerakgerak
menghindar ke sana ke mari sambil memukul serta menendang, lalu meloncat untuk mengelak.
Di atas tebing lereng itu, Kong Bu berdiri tegak menonton. Mula-mula mulutnya tersenyum mengejek dan
matanya membayangkan kekerasan hatinya. Tetapi ketika ia menyaksikan sepak terjang Li Eng,
senyumnya menghilang dan matanya berubah membayangkan rasa kekaguman yang besar.
Bukan main gadis ini pikirnya. Belum pernah selama hidupnya dia melihat seorang gadis demikian gagah
beraninya. Jangankan melihat, malah mimpi pun belum pernah. Sukarlah, malah tak mungkin kiranya,
membayangkan seorang dara seperti ini hebatnya! Dadanya berdebar dan kini ia memandang penuh
perhatian.
dunia-kangouw.blogspot.com
Betapa pun gagah dan lihainya Li Eng, gadis itu semalam suntuk tidak tidur, lagi pula tubuhnya amat lelah
dan berkali-kali ia harus mengerahkan tenaga menghadapi Kong Bu. Kini dikeroyok puluhan ekor anjing
yang liar itu, perlahan-lahan ia mulai kehabisan tenaga dan berkuranglah kegesitannya.
Sudah dua belas ekor anjing menggeletak jadi bangkai oleh pukulan dan tendangannya, namun yang
mengeroyoknya masih berpuluh-puluh! Pukulannya kini mulai kurang keras, gerakannya juga sudah lemah
dan limbung. Namun sedikit pun juga semangatnya tidak pernah berkurang, dan tidak sedikit pun juga ia
nampak takut atau bingung.
Tiba-tiba lima ekor anjing menyerangnya dengan serentak, menubruk dari kanan kiri dan depan. Li Eng
melompat mundur untuk menghindarkan diri. Akan tetapi malang baginya, kebetulan sekali di sebelah
belakang ada seekor anjing pula sehingga kakinya terhalang dan ia terjengkang ke belakang. Serempak
lebih dari sepuluh ekor anjing menubruknya dengan moncong terbuka lebar!
Wajah Kong Bu menjadi pucat seketika. Akan tetapi dia kagum bukan main ketika gadis itu dengan
kegesitan luar biasa telah menggulingkan tubuhnya cepat-cepat ke kiri terus melompat berdiri. Namun ia
tak dapat menghindar serangan seekor anjing dari sebelah belakang yang menubruk kakinya dan
menggigit betisnya. Kain celana pada bagian betis robek berikut kulit betisnya.
Li Eng menjerit tertahan, membalikkan tubuh dan sekali tangan kanannya menghantam maka pecahlah
kepala anjing itu! Demikian hebat amarahnya sehingga seketika timbul kembali tenaganya, namun kini ia
merasa kakinya yang tergigit tadi kaku dan sakit-sakit.
Sekilas ia mengerling ke atas dan melihat pemuda itu masih berdiri tegak. Kemarahannya bangkit, sampai
mati ia tidak akan memperlihatkan rasa takut dan takkan mau menyerah, biar pemuda gila itu terbuka
matanya bahwa dia adalah seorang dara berdarah pendekar sejati.
Ia melawan terus, memukul menendang, tapi pandang matanya mulai berkunang-kunang, tubuhnya
terhuyung-huyung dan kepalanya pening. Ia masih dapat melihat berkelebatnya sosok bayangan orang
diikuti sinar pedang yang membabati anjing-anjing yang sedang mengeroyoknya, kemudian Li Eng
mengeluh dan roboh pingsan!
Dalam keadaan setengah sadar Li Eng merasa seolah-olah dunia di sekelilingnya sedang terbakar. Warna
merah dan kuning menyelubungi dirinya, dan suara gonggongan anjing terngiang-ngiang di telinganya.
Kemudian ia juga melihat kepala-kepala banyak anjing liar dengan moncong terbuka hendak menggigitnya.
Ia merasa ngeri sekali, kemudian kepala-kepala anjing ini menyuram, terganti kepala seorang pemuda
yang gagah dan ganteng.
“Kenapa kau begini benci kepadaku…?” Li Eng berbisik, hatinya sakit sekali.
“Diamlah…” ia tiba-tiba mendengar suara perlahan, “biar kuhisap keluar racun anjing itu. Siapa tahu anjing
tadi gila…” Lalu ia merasa amat sakit pada betis kaki kirinya.
Li Eng membuka mata. Ternyata ia sedang rebah terlungkup di bawah sebatang pohon, beralaskan rumput
hijau yang sangat sedap dan segar. Ia menggerakkan lehernya dan melihat… pemuda ‘gila’ itu duduk di
dekatnya, mengangkat kaki kirinya dan… menyedot betisnya yang terasa panas dan sakit.
“Kurang ajar! Kau! Lepaskan kakiku, lepaskan!” Li eng berteriak keras sekali. Meremang seluruh bulu di
badannya ketika mendapat kenyataan kakinya telah telanjang sampai ke lutut dan betapa betisnya di ‘cium’
oleh mulut pemuda itu.
Kong Bu, pemuda itu, menunda pekerjaannya, menoleh dengan kening berkerut.
“Rewel benar kau!” bentaknya. “Kalau anjing yang menggigit betismu tadi gila, sebentar lagi kau yang
menjadi gila, tahukah kau? Aku sedang berusaha untuk menyedot keluar racun dari luka di betismu,
mengapa kau banyak cerewet?”
Li Eng terkejut, takut, dan juga heran. Alangkah ngerinya kalau betul ucapan itu, dan dia menjadi gila!
Akan tetapi benar-benar amat mengherankan kenapa pemuda ini menolong dirinya keluar dari lembah,
malah sekarang hendak mengobatinya?
dunia-kangouw.blogspot.com
“Biarkan aku duduk menyandar pohon, tak enak terlungkup begini…” akhirnya ia berkata.
“Sesukamulah, tapi kalau terlalu lama penyedotan racun tertunda, aku tidak tanggung lagi kalau kau
menjadi gila, lebih gila dari pada anjing yang menggigitmu.”
Li Eng menarik kakinya dan duduk, menyandarkan diri di batang pohon itu. Ia melonjorkan kakinya yang
agak parah bekas gigitan anjing. Rasa ngeri menyelinap dalam hatinya.
“Apakah… apakah… anjing yang menggigitku tadi benar-benar gila?” tanyanya perlahan, tanpa
memandang pemuda itu.
“Mudah-mudahan tidak, tapi siapa tahu. Anjing-anjing hutan itu liar, hampir semua seperti gila,” jawab
pemuda itu. “Cara pengobatan satu-satunya harus menyedot racun keluar dari luka itu.”
Setelah berkata demikian, tanpa minta izin lagi ia kemudian mengulangi usahanya tadi, membungkukkan
badan, mendekatkan mulut kepada kaki Li Eng yang sudah diangkatnya, lalu ia menempelkan mulutnya
pada luka itu dan menghisapnya.
Li Eng meramkan kedua matanya, mukanya merah padam. Celaka, ia telah menerima penghinaan yang
hebat dan terus-menerus dari pemuda ini. Ia sudah dikalahkan dalam pertempuran, itu penghinaan
pertama, kemudian ia dimaki-maki, itu penghinaan kedua, lalu ia dipanggul sebagai tawanan, penghinaan
ke tiga. Kemudian ia dilempar ke dalam lembah anjing hutan, itu penghinaan ke empat dan sekarang ini,
penghinaan ke lima, yang paling hebat!
Pemuda itu secara kurang ajar sekali telah menyentuh betis kakinya, memegangnya, dan tidak itu saja,
malah… di cucupnya betis kakinya dengan mulut. Inilah penghinaan yang tak dapat diampuni lagi.
Ia membuka kedua matanya. Melihat pemuda itu membungkuk dengan penuh perhatian dan pengerahan
tenaga Iweekang menyedot luka untuk mengeluarkan racun, tiba-tiba Li Eng menggerakan tangan
kanannya, dipukulkan ke arah tengkuk Kong Bu dengan jari-jari terbuka.
“Bukkk!”
Tanpa dapat bersambat lagi pemuda itu roboh terguling dalam keadaan pingsan! Pukulan Li Eng hebat
sekali dan tidak dapat ditangkis oleh pemuda itu yang sama sekali tidak pernah menyangka dirinya akan
diserang ini.
Li Eng meloncat bangun, meringis karena betis kaki kirinya terasa perih sekali, namun ditahannya. Cepat ia
menotok punggung Kong Bu untuk mencegah pemuda itu bergerak bila siuman nanti, kemudian ia mencari
akar pohon dan dengan akar ini ia membelenggu tangan Kong Bu ke belakang. Setelah ini ia
membebaskan pemuda itu dari pada totokan dan dengan merobek sedikit tali pinggang yang panjang ia
membalut luka betisnya.
Tidak lama kemudian Kong Bu siuman dari pingsannya. Ia cepat meloncat berdiri, akan tetapi sebuah
tendangan membuat dia terjungkal lagi. Ia rebah miring dan mengangkat kepala memandang kepada gadis
yang berdiri sambil tersenyum mengejek dengan amat manisnya itu. Lenyap kebingungan dan keheranan
Kong Bu. Mengertilah ia kini kenapa ia tadi pingsan dan kenapa pula kedua tangannya terbelenggu.
“Mengapa…?” Kong Bu menahan kembali pertanyaannya kerena dari senyum dan sinar mata itu ia sudah
mendapat jawaban sejelasnya.
“Hi-hi-hik, ada ubi ada talas, ada budi ada balas!” kata Li Eng, suaranya bening karena kini dia telah bebas
dan malah sudah pulih kembali kejenakaannya dan keriangannya.
Berbeda dengan sikap Kong Bu yang hanya memandang dengan penuh kagum. Entah bagaimana, setelah
Li Eng tidak galak dan pemarah seperti pada saat menjadi tawanan, setelah gadis itu mendapatkan
kembali sifat pribadinya yang lucu jenaka, dalam pandang matanya gadis itu berubah menjadi sangat
manis dan jelita.
"Kau boleh bunuh aku. Memang aku patut dibunuh karena kebodohanku, bisa saja diakali oleh seorang
gadis liar macam kau. Hemmm, betul Kakek, gadis Hoa-san-pai mana boleh dipercaya? Aku kurang hatihati.
Bunuhlah."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Enak saja dibunuh! Pemuda sombong dan gila seperti kau harus mengalami siksaan dan penghinaan
lebih dulu sebelum dibunuh!"
Kong Bu tak dapat berkata apa-apa lagi karena ia maklum bahwa gadis ini tentu akan terus meniru katakatanya,
ketika masih menjadi tawanannya.
"Sudahlah, kau boleh lempar aku ke lembah itu biar dikeroyok anjing gila," katanya.
Li Eng menjebirkan bibirnya, luar biasa manisnya dalam pandangan Kong Bu.
"Huh, kau mau akali aku, ya? Biar digigit kakimu lalu biar aku menolongmu?"
"Habis, apa yang hendak kau lakukan dengan diriku?"
Li Eng meloncat bangun. "Hayo, bangun berdiri, dan ikut aku!"
Kini tiba giliran Kong Bu untuk mempermainkan gadis itu, seperti ia dipermainkan ketika menawannya.
"Aku tidak sudi!" jawabnya. Baru kali ini pemuda itu memperlihatkan senyumnya, senyum mengejek dan
menggoda.
Wajah yang tampan itu kelihatan berseri terang ketika tersenyum, lenyap sama sekali bayangan watak
keras dan aneh. Li Eng menggigit bibir dan membanting kaki.
"Kau tidak mau turut perintahku?"
Kong Bu menggeleng kepala. "Aku tidak sudi ikut kau, hendak kulihat kau mau apa?"
Celaka, pikir Li Eng dan wajahnya tiba-tiba menjadi merah sekali ketika pandang matanya bertemu dengan
mata pemuda itu. Dari sinar mata pemuda itu ia dapat membaca pikiran orang. Kiranya pemuda itu hendak
melihat apakah dia juga akan memanggulnya!
"Awas, aku pun bisa menggigit pundakmu!" Kong Bu sengaja mengejek gadis itu sambil tersenyum.
Li Eng semakin merah mukanya. Dasar setan alas, sudah menjadi tawanan masih bisa mempermainkan
dirinya. Ia lupa betapa ketika ia sendiri menjadi tawanan, ia pun tiada sudahnya mengejek dan memaki
pemuda itu.
"Kau kira aku akan sudi memanggulmu? Cih, tak punya malu!"
Li Eng lalu menggunakan akar yang panjang dan kuat, diikatkan pada pinggang pemuda itu dan... ia
menyeret pemuda itu pergi dari situ! Kong Bu adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Diseret
seperti itu ia masih enak-enak saja telentang dengan mata merem-melek, kelihatan keenakan sekali.
"Kau akan membawaku ke mana?" beberapa kali ia mengajukan pertanyaan ini.
Karena pertanyaan itu diulang-ulang, akhirnya Li Eng dengan gemas menjawab, "Aku bukan seorang gila
seperti engkau dan kakekmu. Karena kau menghina dan memusuhi Hoa-san-pai, aku akan membawamu
sebagai tawanan ke Hoa-san-pai, biar Supek yang akan memberi keputusan apakah kau harus dilempar ke
jurang ataukah digantung pada pohon pek!"
"Ha-ha-ha-ha, bocah sombong, jangan kau hendak membodohi aku," kata Kong Bu yang masih diseretseret.
"Hoa-san-pai bukan di sebelah sana letaknya, kau mengambil arah yang bertentangan."
"Huh, aku bukan pembohong seperti kau. Aku mempunyai urusan ke Thai-san lebih dulu, mungkin di Thaisan
kau sudah bisa mendapat pengadilan dari Paman Tan Beng San."
Pemuda itu nampak terkejut sekali. "Ke... ke Thai-san...?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sudahlah, jangan banyak cerewet! Pendeknya kau sekarang menjadi tawananku. Kalau kakekmu atau
teman-temanmu tidak melepaskan Enci Hui Cu yang tertawan, kau pun tak akan kulepaskan. Apa bila
kalian mengganggu Enci Hui Cu, awas kau, takkan kuampuni lagi!"
Kali ini Kong Bu betul-betul kelihatan gelisah. Ia tidak tahu siapakah itu Hui Cu dan siapa pula yang
menawan gadis itu. Menurut kakeknya, seorang gadis lain dirampas orang dan kakeknya tengah mengejar
orang itu. Karena itu ia pun diam saja dan membiarkan dirinya diseret-seret sepanjang jalan…..
********************
Kita tinggalkan dulu Li Eng dan Kong Bu, dua orang muda yang sama-sama berwatak aneh dan berhati
keras, yang bersitegang di sepanjang jalan, saling mengejek dan saling menawan. Marilah kita mengikuti
kisah Hui Cu yang pada malam hari itu dirampas oleh seorang tak dikenal, sesosok bayangan yang amat
lihai sehingga dapat merampas gadis ini dari tangan Kakek Song-bun-kwi yang sakti.
Bayangan lihai yang sanggup menggempur Song-bun-kwi kemudian merampas Hui Cu itu ternyata ialah
seorang pemuda tampan yang bibirnya selalu tersenyum-senyum, matanya lebar dan tajam
pandangannya, hidungnya mancung dan membayangkan kejujuran dan kekerasan hati. Tubuhnya tinggi
semampai, gerak-geriknya gagah membayangkan tenaga yang kuat. Siapakah dia? Kita sudah
mengenalnya. Dia ini bukan lain adalah Tan Sin Lee, putera dari Kwa Hong!
Seperti sudah kita ketahui, Sin Lee turun dari puncak Lu-liang-san, turun gunung untuk melaksanakan
tugas yang sudah diberikan kepadanya oleh ibunya. Ia disuruh mencari musuh-musuh ibunya, disuruh
membunuh mereka itu dan disuruh pula menangkap dan menyeret Tan Beng San ke Lu-liang-san, ke
depan kaki ibunya. Di dalam hatinya Sin Lee tidak dapat menerima tugas membunuh-bunuhi orang yang
tidak bermusuhan dengannya itu, akan tetapi ia sudah berjanji untuk memenuhi permintaan ibunya dan
menyeret Tang Beng San ke Lu-liang-san.
Dalam perjalanannya, orang muda ini tertarik pula untuk melihat keadaan kota raja selatan yang tersohor
indah dan ramai. Dan kebetulan sekali pada malam hari itu dia melihat seorang kakek tinggi besar berlari
secepat terbang sambil mengempit tubuh dua orang wanita muda. Kakek ini adalah Song-bun-kwi yang
berhasil merampas Hui Cu dan Li Eng dari dalam Istana Kembang.
Diam-diam Sin Lee menjadi penasaran dan mengikuti dari belakang. Ia kaget sekali ketika melihat betapa
larinya kakek itu cepat sekali, tanda bahwa kakek itu memiliki kepandaian tinggi. Ia tidak berani gegabah
turun tangan karena selain maklum bahwa kakek itu tentu seorang berilmu tinggi, juga dia tidak tahu
urusan mereka, tidak tahu siapa salah siapa benar. Karena itulah maka ia terus secara diam-diam
mengikuti dari jauh dan mengintai ketika kakek itu masuk ke dalam kelenteng.
Ketika ia mendengar kata-kata kakek itu bahwa dua orang gadis ini adalah anak murid Hoa-san-pai, Sin
Lee semakin kaget dan menaruh perhatian. Kata ibunya, kongkong-nya, kakeknya adalah ketua dari Hoasan-
pai! Jadi dua orang gadis ini adalah anak murid dari kakeknya! Kagum dia ketika menyaksikan
keberanian dua orang gadis itu menghadapi kakek ini yang ia tidak tahu siapa adanya.
Keheranan Sin Lee makin meningkat ketika ia melihat dua orang itu nekat melarikan diri keluar dari
kelenteng dikejar oleh kakek itu dan mendengar ucapan Hui Cu yang hendak membujuk kakek itu agar
jangan mengganggu mereka karena mereka adalah keponakan-keponakan dari Tan Beng San dan hendak
pergi ke Thai-san!
Mendengar ini, Sin Lee mendapat pikiran baik sekali. Ia harus menolong dua orang gadis itu karena
mereka adalah anak murid Hoa-san-pai, berarti anak murid kakeknya pula, dan selain itu, mereka itu bisa
menjadi perantara agar ia dapat naik ke Thai-san tanpa banyak rintangan, mencari Tan Beng San dan
menangkapnya!
Inilah sebabnya maka tanpa ragu-ragu lagi Sin Lee menyerang kakek itu dan alangkah heran serta
kagetnya ketika ia mendapat kenyataan bahwa kakek itu ternyata mempunyai kepandaian yang hebat
sekali. Ia menjadi gembira dan sekiranya ia tidak memiliki maksud menolong dua orang gadis itu, ingin dia
menguji kepandaiannya dan melawan kakek itu sampai puas.
Akan tetapi keinginannya ini buyar ketika ia mendengar suara melengking dari jauh dan segera tahu bahwa
kakek ini mempunyai pembantu yang sama lihainya, maka cepat ia menyambar Hui Cu dan dibawa lari dari
dunia-kangouw.blogspot.com
tempat itu. Dari pada tidak menolong sama sekali, lumayan juga dapat menolong seorang di antara kedua
murid Hoa-san-pai itu.
Hui Cu merasa sangat kaget ketika tahu-tahu ia dibawa lari seperti terbang oleh seorang laki-laki yang
tidak ia lihat mukanya karena keadaan gelap. Ia tidak tahu apakah orang ini lawan ataukah kawan, akan
tetapi dalam pondongan orang ini ia sama sekali tidak dapat bergerak.
Sin Lee berlari terus cepat-cepat karena ia tidak ingin kakek itu bersama pembantunya mengejarnya. Andai
kata ia tidak hendak menolong orang, tentu saja ia tidak takut. Akan tetapi dengan adanya gadis yang
ditolongnya ini, tentu takkan leluasa ia bergerak dan akhirnya gadis ini pun akan tertawan pula.
Sampai malam terganti pagi Sin Lee masih terus berlari keluar hutan. Pada waktu Hui Cu mendapat
kesempatan memandang wajah pemondongnya di antara kesuraman cuaca fajar, gadis ini melihat wajah
seorang pemuda yang gagah dan tampan. Hatinya berdebar penuh kekuatiran, terutama sekali kalau dia
teringat akan nasib Li Eng di tangan kakek yang menyeramkan itu.
"Kau siapakah? Kawan ataukah lawan? Ke mana kau membawaku pergi?" Dia tak dapat menguasai
hatinya, akhirnya Hui Cu lalu bertanya.
Sin Lee juga kaget sekali. Ia tadi berlari sambil termenung memikirkan apa yang telah ia lakukan. Selama
hidupnya baru sekali ini ia memondong wanita. Jangankan memondong, biasanya bercakap-cakap atau
berdekatan pun belum pernah! Benar-benar pengalaman yang membikin ia bingung dan mendebarkan
jantungnya.
Ia sampai kaget mendengar suara halus di pinggir kepalanya itu yang menyeret ia kembali kepada
kesadarannya. Segera dia berhenti berlari, kemudian menurunkan gadis itu dari pondongannya, dan
akhirnya memandang dengan muka merah. Dadanya makin berdebar tak karuan saat ia menatap wajah
yang cantik manis, penuh ketenangan dan keberanian. Apa lagi sesudah dia bertemu pandang dengan
sepasang mata bening yang memandang kepadanya penuh selidik, seakan-akan sinar mata gadis itu
mampu menembus dada dan menjenguk isi hatinya.
"Ehh... maaf... aku bukanlah kawan bukan pula lawan. Tapi... aku harus menyelamatkan Nona dari tangan
kakek iblis itu," katanya agak gugup.
Hui Cu cepat mengangkat kedua tangannya memberi hormat. "Banyak terima kasih atas pertolongan
Saudara, akan tetapi... ahh, mengapa Saudara kepalang tanggung menolong kami? Apa artinya aku dapat
bebas kalau adikku masih di sana? Sekali lagi terima kasih dan selamat tinggal." Hui Cu lalu membalikkan
tubuhnya dan lari kembali ke arah hutan.
"Ehh, Nona... mau ke manakah kau?"
"Ke mana lagi kalau tidak kembali ke sana? Aku harus menolong adikku!" jawab Hui Cu tanpa mengurangi
kecepatannya berlari.
Pemuda itu melompat dan cepat mengejarnya. Mereka kini lari berendeng.
"Apa kau gila? Kakek itu lihai sekali, kau akan ditawannya kembali."
"Jangankan ditawan, biar harus berkorban nyawa, aku rela untuk menolong adikku. Kami berdua berangkat
bersama, harus pulang bersama atau mati bersama."
Sinar mata pemuda itu membayangkan kekaguman besar. "Kau hebat sekali, Nona. Inilah namanya setia
kawan. Dan ilmu lari cepatmu pun boleh juga."
Senang hati Hui Cu dipuji oleh pemuda penolongnya yang ia tahu kepandaiannya sangat tinggi itu. "Ahh,
mana bisa dibandingkan dengan kau?"
Ia melirik, justru Sin Lee pun mengerling. Dua pasang mata bertemu dalam kerlingan, dua buah mulut
tersenyum dan sekaligus dua muka para remaja itu menjadi merah, jantung mereka berdetak liar. Mereka
berlari terus tanpa mengeluarkan kata-kata lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ehh, ke arah mana jalannya? Aku bingung, tidak ingat lagi..." kata Hui Cu. Malam tadi ia dipondong, tentu
saja tidak tahu jalan.
Pemuda itu tersenyum lalu berkata singkat, "Kau ikutilah aku!" kemudian ia membelok dan memasuki
hutan.
Sin Lee sengaja tidak mau mengambil jalan semalam karena ia masih kuatir kalau-kalau bertemu dengan
para pengejarnya. Ia kuatir kalau-kalau gadis yang luar biasa ini akan tertawan lagi oleh lawan-lawan yang
amat sakti itu. Akan tetapi ia mengambil jalan yang terdekat menuju ke tengah hutan di mana terdapat
kelenteng tua itu.
Ketika kelenteng itu sudah tampak, Sin Lee menahan Hui Cu. "Nona, kau bersembunyilah di sini. Biar aku
yang pergi menyelidiki ke sana dan kalau ada kesempatan, akan kucoba untuk merampas adikmu itu."
Hui Cu maklum bahwa kepandaiannya masih jauh untuk dapat membantu penolongnya ini melawan kakek
yang sakti itu. Maka, ia mengangguk dan memandang kepada Sin Lee dengan mesra, penuh pernyataan
syukur dan terima kasih.
Jantung pemuda ini serasa berloncatan ketika ia melihat pandang mata itu. Dengan hati senang sekali
mulailah ia menyelinap dan menyusup ke dalam semak-semak, berloncatan di antara pohon-pohon
mendekati kelenteng.
Dari jauh Hui Cu memandang dengan kagum karena gerakan Sin Lee memang luar biasa sekali gesitnya.
Kadang kala pemuda itu melayang ke atas pohon seperti seekor burung garuda saja sikapnya.
Tak lama kemudian, Sin Lee sudah kembali ke depan Hui Cu. Wajah pemuda ini kelihatan kecewa dan
suaranya membayangkan kekecewaan pula ketika ia berkata, "Nona, aku tak melihat seorang pun di
antara mereka di sana. Kelenteng itu kosong sama sekali."
Wajah Hui Cu seketika menjadi pucat. Dengan isak tertahan gadis ini melompat dan lari menuju kelenteng
itu, diikuti dari belakang oleh Sin Lee. Hui Cu langsung menyerbu ke dalam kelenteng, mencari ke depan,
ke belakang sambil terus memanggil-manggil nama Li Eng. Namun sia-sia belaka, di sana sunyi tidak
terdapat orang yang dicarinya, bahkan bekasnya pun tidak nampak.
"Eng-moi... aduh Eng-moi... bagaimana nasibmu...?"
Hui Cu menjatuhkan diri terduduk di atas lantai dan menutupi muka. Ia tidak menangis keras-keras, akan
tetapi dari pundaknya yang bergoyang-goyang dan dari celah-celah jari tangan yang membasah tahulah
Sin Lee bahwa gadis ini menangis sedih sekali. Akhirnya Hui Cu dapat menguasai perasaannya dan ia
bangun berdiri, mengeringkan air mata yang membasahi pipinya, lalu memandang kepada Sin Lee dengan
sedih dan berkata sambil membanting kaki,
"Celaka sekali, kemana aku harus mencari Eng-moi? Ahh, kalau dia sampai kena celaka, bagaimana aku
harus bicara dengan Paman dan Bibi?"
Sin Lee mengerutkan keningnya tanda bahwa ia pun ikut berpikir keras. Ia mengandung maksud hati
hendak mempergunakan anak murid Hoa-san-pai yang mengaku sebagai keponakan Tan Beng San ini
untuk memaksa musuh besar ibunya itu supaya memenuhi permintaannya, yaitu pergi menghadap ibunya
di Lu-liang-san.
Diam-diam ia tadinya hendak menjadikan gadis ini sebagai tawanannya untuk memaksa Tan Beng San.
Akan tetapi satelah ia melihat wajah Hui Cu dan melihat keadaan gadis ini, entah bagaimana timbul
perasaan kasihan dalam hatinya.
"Nona, menyesal sekali malam tadi aku tidak mampu menolong adikmu. Jadi dia itu anak pamanmu?
Hemm, agaknya dia dibawa pergi oleh kakek siluman itu. Kalau saja kau bisa beri tahukan kepadaku siapa
adanya kakek iblis itu, kiranya aku suka untuk membantumu mengejarnya dan merampas kembali adik
misanmu. Siapakah kakek itu?"
"Aku sendiri tidak tahu." Hui Cu menarik napas panjang, bingung sekali tampaknya. "Ah... benar-benar
nasib kami buruk. Paman Hong masih belum kuketahui bagaimana nasibnya di tangan Pangeran jahat itu,
sekarang Adik Eng terculik oleh kakek iblis pula..."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Paman Hong siapakah?"
Karena Sin Lee dianggapnya satu-satunya orang yang pada saat itu boleh ia ajak bicara, dengan singkat
Hui Cu lalu menceritakan pengalamannya, yaitu semenjak ia dan Li Eng turun dari Hoa-san dengan tujuan
pergi ke Thai-san menghadiri pesta upacara pendirian partai Thai-san-pai, mewakili Hoa-san-pai.
Kemudian di tengah jalan mereka bertemu dengan Kwa Kun Hong, paman seperguruan mereka dan
bersama melanjutkan perjalanan dengan singgah ke kota raja. Diceritakannya pula tentang undangan
Pangeran Kian Bun Ti yang menyebabkan mereka ditahan karena menolak pemberian anugerah.
"Aku dan Adik Eng dipisahkan dari Paman Hong. Kemudian pada malam hari itu kakek iblis merampas
kami dari tempat tahanan di Istana Kembang, lalu kakek itu membawa kami ke kelenteng ini, sampai
akhirnya kau datang menolongku."
Sin Lee tertarik sekali, terutama mendengar tentang maksud gadis ini pergi ke Thai-san untuk memberi
selamat kepada Tan Beng San. Ingin ia bertanya lebih jelas tentang ini, akan tetapi Sin Lee adalah orang
yang cerdik. Ia tak mau mengutarakan rahasia hatinya dan ia berkata heran,
"Aneh sekali kakek iblis itu. Mengapa dia begitu benci kepada kau dan adik misanmu, Nona? Apakah di
antara dia dan kalian ada permusuhan?"
Hui Cu menggeleng kepalanya. Akan tetapi entah bagaimana, ia menaruh kepercayaan besar kepada
pemuda yang telah menolongnya ini, maka ia berkata secara terus terang, "Melihat sikap dan mendengar
bicaranya, dia amat membenci Hoa-san-pai, apa lagi anak murid Hoa-san-pai yang wanita. Agaknya kakek
itu mengandung sakit hati yang sangat hebat terhadap seorang wanita anak murid Hoa-san-pai." Dia
mengangguk-angguk untuk meyakinkan dugaannya.
Jantung Sin Lee berdebar-debar. "Siapakah anak murid wanita Hoa-san-pai yang dapat membuat sakit hati
seorang kakek begitu lihai?"
"Aku sendiri pun tidak tahu, akan tetapi aku dapat menduga... hemmm, tidak bisa lain, kalau ada tokoh
kang-ouw seperti kakek itu bisa sakit hati terhadap seorang murid wanita Hoa-san-pai, tentulah... dia, siapa
lagi?"
"Dia... dia siapakah, Nona? Atau... barangkali sebagai orang luar aku tidak berhak untuk mengetahui?"
Mendengar suara pemuda itu mengandung kekecewaan, hati Hui Cu menjadi tak enak. Tidak apa diberi
tahu, pikirnya.
"Menurut dugaanku, murid wanita dari Hoa-san-pai yang sangat banyak musuhnya adalah bibi guruku
sendiri, namanya Hong, she Kwa, entah di mana dia sekarang..."
Sin Lee menjadi pucat sekali mukanya. Dia cepat-cepat membungkuk sambil pura-pura membersihkan
sepatunya yang penuh lumpur. Pada waktu ia mengangkat lagi tubuhnya, mukanya menjadi merah sekali.
"Apakah... apakah bibi gurumu itu... dahulunya amat jahat maka banyak musuhnya?" dia bertanya,
suaranya biasa akan tetapi perlahan sekali.
"Banyak orang bilang begitu, tetapi ibuku tidak! Kata Ibu, Bibi Kwa Hong itulah yang telah menyelamatkan
nyawa Ibu dan aku ketika dalam kandungannya, dan kata Ibu, Bibi Kwa Hong jadi berubah perangainya
karena patah hati, entah apa maksudnya Ibu tidak mau menceritakan kepadaku."
Sunyi sesaat, dan suara Sin Lee semakin perlahan ketika dia bertanya, sambil lalu saja, "Jadi kau tidak
membencinya?"
"Ahh, tidak...! Malah aku kasihan kepada Bibi Kwa Hong dan ingin sekali aku bertemu dengannya. Kata
Ibu, Bibi Kwa Hong orangnya lincah gembira seperti Adik Eng dan cantik sekali."
Gadis itu tidak tahu bahwa ucapannya ini membuat hati Sin Lee girang bukan main! Mana dia tahu bahwa
orang yang dibicarakan itu, yaitu Kwa Hong, adalah ibu dari pemuda yang sekarang berada di depannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nona, percayalah, aku Sin Lee akan berusaha menemukan kembali adik misanmu Nona Li Eng itu dan
aku... aku sekarang dapat menduga siapa adanya kakek iblis itu. Hemmm, kalau saja aku tahu sebelumnya
bahwa dia adalah iblis itu, takkan mungkin kutinggalkan dia sebelum berhasil membunuhnya. Kiranya ia
benar-benar jahat sekali."
"Kau... kau tahu siapa kakek itu?"
"Aku dapat menduga, kalau tidak salah dialah yang berjuluk Song-bun-kwi."
"Ahh, dia...?" Wajah Hui Cu menjadi pucat. "Pernah Ibu bercerita kepadaku tentang dia... dia tokoh besar
puluhan tahun yang lalu. Benarkah dia itu Song-bun-kwi?"
"Kiraku tidak keliru dugaanku. Nona, bolehkah aku mengetahui namamu?"
Pandang mata Hui Cu menunduk. Pemuda ini benar-benar amat baik, sopan dan ramah, tapi juga agak
aneh sikapnya. "Aku Hui Cu, she Thio. Kau sendiri she apakah?"
"Aku she Tiauw, Tiauw Sin Lee." Ia sengaja menggunakan she (nama keturunan) Tiauw yang berarti
rajawali karena setelah gadis ini tahu soal ibunya, ia tidak berani memakai she Kwa atau she Tan agar
gadis ini tidak mencurigainya.
"Sekarang apa yang hendak kau lakukan, Nona? Apakah kau akan melanjutkan kembali perjalananmu ke
Thai-san?"
Hui Cu menggelengkan kepala. "Mana bisa aku pergi ke sana kalau Paman Hong masih ditahan di kota
raja? Aku harus berusaha membebaskan Paman Hong dari tahanan."
"Di dalam ceritamu tadi kau bilang bahwa pamanmu Kwa Kun Hong itu adalah putera tunggal Ketua Hoasan-
pai, Kakek gurumu. Tentu ia lihai sekali, lalu bagaimana ia bisa tertawan?"
Hui Cu menarik napas panjang. "Kau tidak tahu tentang Paman Hong. Dia itu orang aneh sekali. Biar pun
dia itu putera Ketua Hoa-san-pai, namun sedikit pun ia tidak pandai ilmu silat, malah tidak pernah belajar
ilmu silat. Ia adalah ahli dalam ilmu kesusastraan, akan tetapi keberaniannya luar biasa melebihi jago silat
yang mana pun juga."
Lalu ia menceritakan betapa Kun Hong berani menolak anugerah Pangeran, bahkan juga menceritakan
betapa pamannya yang tidak pandai ilmu silat itu menggegerkan pemilihan ketua Hwa-i Kaipang dan
akhirnya malah diangkat menjadi ketua perkumpulan pengemis yang berpengaruh itu!
Sin Lee mendengarkan dengan penuh keheranan dan kekaguman. "Hebat pamanmu itu, ingin sekali aku
berjumpa dan bercakap-cakap dengan dia. Marilah kita tolong dia keluar dari tahanan, Nona. Akan tetapi
karena kau sudah banyak dikenal, tentu kemunculanmu di kota raja akan mendatangkan keributan dan
kesukaran, maka kurasa lebih baik kau bersembunyi di luar tembok kota dan biarlah aku seorang diri pergi
menyelidiki keadaan pamanmu itu. Kalau mungkin aku akan turun tangan, kalau sekiranya sukar, kita
berdua bisa bergerak malam nanti.”
Hui Cu girang sekali. "Saudara Tiauw, kau benar-benar telah melepas budi amat banyak kepadaku. Kau
baik hati sekali dan ilmu silatmu amat lihai. Tidak tahu kau ini murid siapa dan dari golongan manakah?"
Sin Lee tersenyum. "Tak usah merasa sungkan, Nona. Sudah semestinya manusia saling menolong dalam
kesukaran dan sudah menjadi kewajibanku untuk menentang yang jahat membela yang tertindas. Ada pun
ilmu silatku yang masih dangkal ini kupelajari dari ibuku sendiri, bukan dari golongan mana pun juga. Harap
kau jangan memuji terlalu tinggi."
Demikianlah, keduanya kemudian meninggalkan kelenteng itu menuju ke kota raja. Inilah sebabnya Songbun-
kwi tidak dapat mengejar mereka karena kakek itu tentu saja sama sekali tak pernah mengira bahwa
dua orang itu malah kembali ke kelenteng mengambil jalan lain kemudian malah pergi kota raja!
Ditemani Sin Lee yang gagah perkasa sopan terhadap dirinya, Hui Cu menjadi besar hati dan ia hampir
merasa yakin bahwa kalau pemuda ini mau membantunya, pasti pamannya akan dapat dibebaskannya
dan agaknya soal Li Eng juga akan dapat dibereskan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itu Hui Cu sedang diliputi kekuatiran hebat, kuatir memikirkan nasib Kun Hong. Oleh karena
inilah maka ia tidak dapat merasa terlalu sungkan berduaan dengan Sin Lee, pemuda kenalan barunya itu.
Andai kata dia tidak sedang menghadapi dua perkara yang menggerogoti hatinya ini, kiranya ia akan
merasa sungkan dan malu untuk mengadakan perjalanan berdua saja dengan seorang pemuda asing.
Setibanya di luar tembok kota raja, Hui Cu lalu bersembunyi di suatu tempat dan Sin Lee
meninggalkannya, masuk seorang diri ke kota raja. Segera dia mencari keterangan dan kabar untuk
mengetahui di mana ditahannya pemuda Hoa-san-pai yang bernama Kwa Kun Hong itu. Tetapi keterangan
yang ia dapatkan membuat ia terkejut dan juga bingung.
Keterangan apakah yang ia dapat? Tidak hanya dari satu dua orang. Malah ia sengaja menangkap
seorang pengawal istana dan di tempat tersembunyi ia mengancam pengawal itu untuk mengaku dan
memberi keterangan mengenai Kwa Kun Hong. Dan keterangan pengawal ini sama dengan keterangan
yang ia dapat di luaran, yaitu bahwa pemuda dari Hoa-san-pai yang telah ditahan karena berani
membangkang terhadap perintah Pangeran Mahkota itu sudah ditolong oleh... setan dan lenyap tak
berbekas!
"Hanya setan yang dapat menolong dia secara itu," demikian keterangan yang ia dapat. "Pemuda itu tahutahu
lenyap dari dalam kamar tahanan dan sebagai gantinya Pangeran Mahkota sendiri yang berada di
sana, yang marah-marah kepada penjaga minta segera dibebaskan. Setelah para penjaga membuka pintu,
Pangeran Mahkota keluar kemudian memerintahkan semua penjaga masuk dalam kamar tahanan lalu
dikunci dari luar. Nah, bukankah itu aneh? Padahal Pangeran Mahkota berada di dalam istananya, tidak
pernah keluar, apa lagi ke kamar tahanan. Masa pemuda itu dapat berubah menjadi Pangeran? Hanya
setan yang dapat menolongnya seperti itu."
Hui Cu juga bengong terlongong mendengar cerita Sin Lee atas hasil penyelidikannya ini. "Heran sekali,
mana bisa terjadi begitu? Paman Hong memang sangat aneh dan berani, akan tetapi ia sama sekali tidak
mempunyai kepandaian silat. Siapa gerangan yang telah menolongnya? Apa bila memang ada seorang
sakti yang menolongnya, mengapa caranya seaneh itu?"
Sin Lee tersenyum. "Berita ini tidak bohong, aku malah mendapatkan keterangan ini dari seorang pengawal
istana yang kutangkap. Setan atau pun bukan, sudah terang pamanmu telah ditolong dan sudah tidak
ditahan lagi. Sekarang, apa kehendakmu, Nona?"
"Semua ini aneh sekali. Adik Eng berada di tangan seorang sakti, juga Paman Hong kalau dibawa oleh
penolongnya, berarti dia berada di tangan orang yang sakti dan aneh. Kupikir lebih baik aku pergi ke Thaisan
menjumpai Paman Tan Beng San yang oleh ayah ibuku dianggap orang terpandai di dunia ini. Kalau
tidak Paman Tan Beng San yang menolong, siapa lagi?"
Ucapan gadis ini menimbulkan perasaan campur aduk di hati Sin Lee. Ia girang karena memang itulah
kehendaknya, dapat pergi ke Thai-san bersama gadis ini yang hendak ia pergunakan sebagai alat untuk
memaksa agar Tan Beng San mau menghadap ibunya. Akan tetapi ia juga tak senang mendengar betapa
gadis ini memuji Tan Beng San musuh besar ibunya itu sebagai ‘orang terpandai di dunia’. Huh, ingin dia
membuktikan sendiri sampai di mana kelihaian Tan Beng San itu.
"Baiklah kalau begitu, Nona Thio. Mari kuantar kau ke Thai-san."
Merah wajah Hui Cu. Kalau begini sudah keterlaluan, pikirnya. "Ah, Saudara Tiauw, mana aku berani
membikin kau repot? Budimu sudah terlalu besar bagiku, tak usah kau tambah lagi dengan mengantar aku
ke Thai-san. Kau membikin aku menjadi malu saja."
Sin Lee tersenyum, diam-diam ia makin kagum akan sikap gadis ini. Sederhana, tenang, tabah, dan
bicaranya sungguh-sungguh tanpa dibuat-buat serta memiliki pandangan jauh.
"Nona, sama sekali bukan begitu. Mana bisa kau merepotkan aku kalau aku sendiri pun juga hendak pergi
ke sana? Aku memang hendak mengunjungi Thai-san, hendak melihat upacara serta hendak bertemu
dengan Bu-tek Kiam-ong Tan Beng San yang namanya bahkan lebih tinggi dari pada puncak Gunung Thaisan
itu." Dalam kata-kata terakhir ini terkandung ejekan.
"Betulkah begitu?" Hui Cu berkata girang, "Kalau memang begitu, tentu saja aku... senang sekali dapat
melakukan perjalanan bersama denganmu, Saudara Tiauw."
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Lee menjura dan tersenyum "Syukur sekali kau sudi, Nona, inilah jawaban yang amat kuharapkan."
Demikianlah, dua orang muda itu melakukan perjalanan bersama menuju ke Thai-san. Mula-mula Hui Cu
memang merasa agak tidak enak dan likat harus melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang
bukan kerabatnya. Akan tetapi berkat sikap Sin Lee yang sopan dan memang pemuda ini wataknya riang
gembira, akhirnya lenyap ketidak enakan hati gadis itu dan mereka bergaul seperti sahabat-sahabat
lama…..
********************
Sekarang kita perlu menyelidiki mengenai keadaan Kun Hong. Betulkah pemuda ini sudah ditolong setan
atau ditolong seorang sakti? Seperti telah kita ketahui, Kun Hong diperiksa oleh Tan-taijin yang dahulu
adalah sahabat baik tokoh-tokoh Hoa-san-pai dan karenanya merasa suka dan simpati kepada putera
Ketua Hoa-san-pai ini.
Oleh karena Tan-taijin ingin sekali menolong dua orang gadis murid Hoa-san-pai itu dari cengkeraman
Pangeran Mahkota, maka dia menyuruh para pengawal menahan kembali Kun Hong dalam penjara
dengan pesan agar Kun Hong diperlakukan sebagai tamu. Tapi betapa pun juga, para pengawal yang tidak
mau mengambil resiko terlalu besar tentu saja tidak membiarkan Kun Hong bebas. Pemuda ini tidak
dibelenggu, akan tetapi dimasukkan kamar tahanan yang terkunci dari luar dan pemuda ini kelihatan dari
luar melalui sebuah jendela yang dipalangi ruji-ruji besi.
Setelah dimasukkan lagi ke dalam kamar tahanan. Kun Hong merenung. Celaka, pikirnya, sama sekali ia
tidak sangka akan begini berlarut-larut urusan itu. Ia memikirkan nasib dua orang keponakannya.
Bagaimana andai kata pangeran mata keranjang itu menggunakan kekuasaannya dan melakukan
paksaan?
Ahhh, dialah yang harus bertanggung jawab atas keselamatan dua orang keponakannya. Bukankah
mereka itu hanya dua orang gadis muda dan bukankah dia menjadi pamannya?
Celaka, semua adalah salahku. Seandainya mereka tidak bertemu dengan aku, kiranya mereka takkan
mengalami nasib seperti sekarang ini. Ah, bagaimana pun juga aku harus menolong mereka, menolong
mereka bebas dari cengkeraman Pangeran Mahkota. Harus! Aku harus menolong mereka. Tapi,
bagaimana caranya?
Ketika seorang pengawal membuka pintu kamarnya membawa satu baki penuh dengan hidangan yang
lezat, teringatlah Kun Hong peristiwa dengan Sin-eng-cu Lui Bok yang dahulu menyihirnya sehingga roti
kering berubah menjadi roti lunak dan air tawar berubah menjadi arak! Mengapa tidak ia coba kepandaian
ini?
Sudah lama ia mempelajari ilmu menguasai semangat yang kitabnya ia terima dari kakek sakti itu. Belum
pernah ia mencobanya, akan tetapi sekarang menghadapi mala petaka yang mengancam kedua orang
keponakannya, terpaksa harus dia coba dalam usahanya menolong mereka.
"Orang muda, silakan makan. Masih baik nasibmu bahwa Tan-taijin memerintahkan agar supaya kau
diperlakukan dengan baik, kalau tidak, hemm... jangan harap bisa mendapat hidangan seperti ini," kata
pengawal itu yang merasa mendongkol juga.
Biasanya, apa bila ada seorang tahanan, ia dan teman-temannya mendapat kesempatan untuk memeras
tahanan itu sehingga keluarga si tahanan mengeluarkan ‘uang arak’ agar si tahanan diperlakukan baikbaik.
Tapi terhadap Kun Hong mereka tidak bisa memeras karena takut kepada Tan-taijin.
Kun Hong tiba-tiba bangkit berdiri dari bangkunya dan membentak sambil memandang tajam, "Heii,
pengawal! Terhadap aku, Pangeran Mahkota, kau berani bersikap kurang ajar? Apa kau minta dihukum
mati?"
Pengawal itu kaget, memandang dan... matanya terbelalak dan mulutnya ternganga. Yang berdiri di
depannya bukanlah pemuda itu tadi, tapi Pangeran Mahkota yang memandang marah. Cepat-cepat ia
menjatuhkan diri berlutut.
"Ini... ahhh, bagaimana... hamba mohon beribu ampun..." katanya gagap dengan seluruh tubuh menggigil
ketakutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Gembira sekali hati Kun Hong ketika melihat percobaan ilmunya itu berhasil. Ia sudah berhasil menguasai
semangat dan pikiran pengawal ini dengan pengaruh ilmunya.
"Lekas panggil semua pengawal ke sini. Cepat!" bentaknya.
Pengawal itu mengangguk-angguk lalu merangkak mundur, keluar dari kamar tahanan itu dan berlari-lari
memanggil teman-temannya.
Sementara itu Kun Hong mengerahkan seluruh kekuatan ilmunya untuk dapat menguasai belasan orang
pengawal yang memasuki kamar tahanan itu. Mereka semua menjatuhkan diri berlutut di dalam kamar itu,
seperti pengawal tadi mereka mohon ampun!
"Karena orang muda itu tak bersalah, aku telah membebaskannya. Kalian ceroboh benar, sampai tidak
melihat masukku dan keluarnya orang muda itu. Hemm! kalian semua harus dihukum," bentaknya.
Belasan orang itu cepat-cepat mengangguk-angguk minta ampun. Takut bukan main hati mereka karena
Pangeran Mahkota terkenal bengis terhadap para pengawal.
“Sementara kalian tinggal di kamar ini, jangan keluar. Berikan kuncinya!"
Pengawal yang mengantar makanan tadi cepat merangkak maju dan menyerahkan kunci kamar itu. Kun
Hong segera menyambarnya, terus berjalan keluar dengan tenangnya dan mengunci pintu kamar tahanan
itu dari luar. Kemudian, seperti orang berjalan keluar dari rumahnya sendiri, dia keluar dari rumah tahanan
itu tanpa ada yang merintanginya karena semua pengawal sudah ia keram dalam kamar tahanan.
Ia berjalan terus di jalan besar, bercampur dengan orang banyak dan pergi menuju ke Istana Kembang.
Akan tetapi alangkah susah hatinya ketika ia mendengar peristiwa hebat yang menjadi buah bibir
penduduk kota raja, yaitu tentang seorang kakek yang menyerbu Istana Kembang, membunuhi para
pengawal dan seisi istana, dan menculik pergi dua orang keponakannya.
Ia bingung dan tidak tahu siapakah kakek itu, penolongkah atau penjahatkah? Bila dilihat bahwa dua orang
keponakannya dibebaskan dari istana, berarti menolong, akan tetapi kalau diingat bahwa kakek itu sangat
kejam, membunuhi semua pengawal dan pelayan, benar-benar mengerikan sekali, seperti bukan
perbuatan manusia.
Ke mana aku harus mencari mereka? Ke mana gerangan kakek iblis itu membawa pergi Li Eng dan Hui
Cu? Benar-benar gelisah hati Kun Hong memikirkan nasib kedua orang keponakannya itu dan menyesallah
ia mengapa ia mengajak mereka menerima undangan Pangeran Mahkota. Alangkah gembira tadinya
mereka bertiga melakukan perjalanan, dan sekarang, gara-gara pangeran mata keranjang, mereka
berpisah dan ia tidak tahu harus menyusul ke mana.
Ke mana lagi jika tidak ke Thai-san, pikirnya. Li Eng dan Hui Cu bermaksud hendak pergi ke Thai-san.
Bukan tidak mungkin sesudah ditolong oleh kakek itu, mereka melanjutkan perjalanan ke Thai-san.
Hanya satu hal yang membuat ia ragu-ragu. Kalau dua orang gadis itu selamat, mengapa mereka tidak
berusaha menolongnya? Ia merasa yakin bahwa dua orang keponakannya itu pasti tidak akan
meninggalkannya begitu saja.
Tak ada lain jalan lagi bagiku, pikirnya, selain melanjutkan perjalanan ke Thai-san. Syukur kalau di sana
aku dapat bertemu dengan mereka, bila tidak, aku akan minta pertolongan Paman Tan Beng San untuk
mempergunakan kekuatannya sebagai seorang tokoh besar dunia persilatan, untuk mencari dan menolong
Li Eng dan Li Cu.
Setelah mendapat keterangan tentang jurusan jalan menuju ke Thai-san, Kun Hong tidak mau membuang
waktu lagi, langsung ia melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Thai-san. Sekarang ia melakukan
perjalanan seorang diri, maka ia melakukan perjalanan cepat. Keindahan pemandangan di sepanjang jalan
tidak terasa indah lagi karena hatinya terganggu oleh persoalan hilangnya Li Eng serta Hui Cu yang masih
belum dia ketahui nasibnya.
Tanpa ia sadari, Kun Hong sekarang telah mempunyai tubuh yang amat kuat dan dapat melakukan
perjalanan dengan cepat. Hatinya risau kalau ia teringat akan pengalaman-pengalamannya di kota raja.
dunia-kangouw.blogspot.com
Menguatirkan keadaan Li Eng dan Hui Cu, juga kecewa dan mendongkol sekali kalau ia teringat tentang
pedang Ang-hong-kiam yang dirampas oleh pemuda pesolek yang kurang ajar di rumah Tan-taijin itu.
Kalau saja dia tidak ingin cepat-cepat ke Thai-san untuk mencari kalau-kalau dua orang keponakannya
selamat berada di sana, tentu lebih dulu ia akan mencari pemuda tampan yang menampar pipinya itu di
rumah Tan-taijin untuk ia minta kembali pedangnya. Biarlah, sepulangnya dari Thai-san, kalau semua
urusan ini sudah beres, dia pasti akan mencari pemuda itu di rumah Tan-taijin dan dengan baik ia akan
minta kembali pedangnya. Kalau tidak diberikan, terpaksa ia akan menggunakan kekerasan.
Pedang itu adalah pemberian dari gurunya Bu Beng Cu. Meski sebenarnya ia tidak suka membawa-bawa
apa lagi menggunakan pedang, ia tahu bahwa pedang itu benda pusaka dan akan ia berikan kepada
ayahnya.
Ketika ia mulai memasuki sebuah hutan yang besar dan penuh ditumbuhi pohon-pohon raksasa, tiba-tiba
dari jauh ia melihat tiga bayangan orang berlari cepat sekali. Semenjak mengalami hal-hal yang pahit di
kota raja, Kun Hong menjadi sangat hati-hati.
Cepat ia menyelinap ke belakang sebatang pohon besar dan mengintai. Tiga orang itu makin dekat dan
berdebarlah hati Kun Hong ketika mengenal mereka sebagai tiga orang di antara tujuh jagoan istana
pengawal Pangeran Mahkota!
Ia mengingat-ingat tujuh orang jagoan yang pernah diperkenalkan kepadanya dan tahu bahwa yang
sekarang berlari cepat memasuki hutan itu adalah Tiat-jiu Souw Ki Si Tangan Besi yang bertubuh tinggi
besar dan bermuka hitam bersama sepasang saudara kembar Ho-pak Siang-sai (Sepasang Singa dari Hopak).
Setelah mereka lewat, Kun Hong diam-diam mengikuti mereka dari belakang, menyelinap di antara
pepohonan. Mereka itu adalah kaki tangan Pangeran Mahkota, sangat boleh jadi kedatangannya ini ada
hubungannya dengan dua orang keponakannya.
Heran hati Kun Hong ketika ia mengikuti tiga orang itu sampai di tengah hutan ia melihat sebuah sungai
besar dan di pinggir sungai itu di antara pohon-pohon tampak bangunan tembok. Kiranya di tempat
terpencil ini terdapat bangunan yang sangat berbeda dengan dusun-dusun biasa, pikirnya. Ia mengikuti
terus. Ketika tiga orang itu berhenti di depan sebuah jembatan, ia pun berhenti, bersembunyi dan
mengintai.
Ternyata bahwa bangunan-bangunan yang besar-besar berjumlah lima, terkurung pagar tembok yang
tinggi dan di sekeliling pagar tembok itu terdapat anak sungai yang agaknya menjadi cabang sungai besar
yang mengalir di sebelah utara dusun ini. Jalan dari darat menuju ke dalam dusun itu hanya dihubungkan
dengan jembatan kecil itu, jembatan yang bentuknya seperti bunga teratai, terbuat dari kayu berukir indah
dan di atas jembatan ini terdapat belasan orang penjaga yang berpakaian seperti pendeta Agama To.
Kun Hong memperhatikan dan menduga-duga. Apakah dusun itu merupakan sekumpulan kuil besar dari
para tosu. Namun, biasanya tosu-tosu kuil pegangannya hanya kitab-kitab, tasbeh dan paling-paling kipas
atau kebutan, kenapa belasan orang tosu yang menjaga di jembatan itu tubuhnya tegap-tegap dan semua
membawa senjata pedang atau golok?
Tiga orang pengawal Pangeran itu berdiri di mulut jembatan dan agaknya mereka tidak diperkenankan
masuk. Kun Hong bisa mendengar suara Tiat-jiu Souw Ki yang parau dan keras,
"Heii, para tosu Ngo-lian-kauw! Kalian menganggap kami orang apakah? Bukalah mata dan telingamu
baik-baik, aku adalah Tiat-jiu Souw Ki dan dua orang temanku lni adalah Ho-pak Siang-sai! Kami mana
bisa bicarakan urusan dengan kalian? Hayo lekas kalian beri tahukan kepada Ngo-lian Kauwcu (Ketua
Perkumpulan Agama Lima Teratai), bahwa kami bertiga adalah utusan-utusan Pangeran Mahkota, perlu
bertemu dan bicara dengan Toat-beng Yok-mo!"
Jelas sekali kelihatan para tosu itu kaget dan gentar, juga Kun Hong ketika mendengar disebutnya nama
Yok-mo, menjadi kaget dan heran. Apakah kakek itu berada di tempat ini?
"Ahh, kiranya para busu istana utusan Pangeran Mahkota yang datang. Harap Sam-wi (Tuan Bertiga) sudi
menanti sebentar, kami hendak melaporkan kepada Kauwcu (Ketua Agama) tentang maksud kedatangan
Sam-wi,” kata para tosu itu dengan sikap berubah hormat sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiat-jiu Souw Ki dan dua orang temannya kelihatan tidak puas dan uring-uringan, akan tetapi karena
mengindahkan nama besar dari Ngo-lian-kauw, mereka menanti di ujung jembatan dengan tidak sabar.
Tak lama kemudian terdengar bunyi seruling ditiup orang, banyak sekali sehingga suaranya amat nyaring
dan meriah.
Dari pintu di ujung jembatan sebelah dalam itu muncullah pasukan terdiri dari dua puluh orang wanita yang
berpakaian lima warna dan di kepala masing-masing anggota pasukan terhias bunga-bunga teratai. Ratarata
para wanita ini cantik dan usianya takkan lebih dari tiga puluh tahun. Setiap anggota pasukan
memegang pedang telanjang yang melintang di depan dada, nampak gagah dan berpengaruh sekali.
Di tengah pasukan ini berjalan seorang wanita tua. Umurnya tidak akan kurang dari lima puluh tahun, akan
tetapi mukanya yang memang sudah cantik itu masih dibedaki dan diberi merah-merah. Pakaiannya
mewah sekali, di punggungnya tergantung pedang dan pinggangnya diikat dengan sehelai sabuk merah.
Inilah Ketua Ngo-lian-kauw, Ngo-lian Kauwcu yang berjulukan Kim-thouw Thian-li (Dewi Kepala Emas)
yang sangat terkenal di dunia kang-ouw. Di sebelahnya berjalan seorang kakek bongkok yang umurnya
sudah tua sekali. Mulutnya yang selalu melongo itu sudah ompong semua sedangkan matanya besar
sebelah. Kakek ini memegang sebuah tongkat hitam yang bengkak-bengkok. Inilah dia Toat-beng Yok-mo
yang beberapa tahun terakhir ini mempunyai hubungan erat dengan Ketua Ngo-lian-kauw.
"Sungguh merupakan penghormatan besar sekali tempat kami yang buruk ini mendapat kunjungan Sam-wi
Busu dari istana. Entah ada urusan apakah sampai Pangeran Mahkota mengutus Sam-wi datang ke sini?"
terdengar Kim-thouw Thian-li bertanya, suaranya jelas menyatakan kebanggaan hatinya.
Tiga orang jagoan istana itu cukup mengenal siapa wanita di depan mereka itu. Bukan tergolong tokoh
baik, malah dahulu terkenal sebagai pembela Kaisar Mongol dan dalam pemberontakan para pembesar
belasan tahun yang lampau wanita ini pun turut campur. Pendeknya dalam perkara yang buruk-buruk
sudah terlalu sering wanita ini mengotorkan tangannya. Oleh karena itu dengan suara keras dan angkuh
Souw Ki berkata,
"Kami bertiga memang utusan Pangeran Mahkota, akan tetapi Pangeran Mahkota sama sekali tidak
mempunyai urusan apa-apa dengan Ngo-lian-kauw dan tidak mengutus kami pergi ke sini, melainkan
mengutus kami menyelidiki seorang kakek yang telah mengacau di Istana Kembang."
Kim-thouw Thian-li merasa juga akan keangkuhan pengawal istana itu yang agaknya tak memandang mata
kepada Ngo-lian-kauw, maka mukanya menjadi merah dan ia bertanya dengan nada mengejek, "Jika
memang tidak ada urusan dengan Ngo-lian-kauw, kenapa Sam-wi Busu mencapaikan diri datang ke sini?
Urusan di istana sudah tentu saja kami tidak bisa membantumu."
Tiat-jiauw Souw Ki adalah seorang bekas bajak. Wataknya keras dan kasar, tidak takut kepada siapa pun
juga karena ia mengandalkan kedudukan dan teman-temannya. "Kami pun tak membutuhkan bantuan
Ngo-lian-kauw. Akan tetapi kakek yang berani mengacau Istana Kembang, yang kami ketahui hanya
seorang saja yang tinggal di Ngo-lian-kauw. Eh Toat-beng Yok-mo, mengaku sajalah, bukankah kau yang
main-main di Istana Kembang? Kalau betul, kau menyerahlah kami tangkap, dan kembalikan dua orang
gadis yang kau culik."
Mata Yok-mo yang besar sebelah itu menjadi semakin besar sebelah, yang besar jadi melotot dan yang
kecil sampai meram, mulutnya mengeluarkan bunyi, "he-he-heh" tiada hentinya.
Bu Sek, yang pertama dari Ho-pak Sian-sai, berkata tak sabar, "Seorang laki-laki harus berani
mempertanggung jawabkan semua perbuatannya. Sudah berani mengacau Istana Kembang, masa takut
mengakui?"
Mendadak Yok-mo tertawa bergelak, "He-heh-heh, lucunya! Di sini pun tidak kekurangan gadis-gadis yang
cantik manis, mengapa harus menculik ke istana? Harap kalian jangan main-main dengan seorang tua
seperti aku!"
Souw Ki saling pandang dengan sepasang saudara kembar itu, lalu Si Tangan Besi berkata, "Bagaimana
kami dapat meyakininya bahwa kau tidak melakukan perbuatan itu, Toat-beng Yok-mo?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Heh-heh-heh, urusan menculik tentu ada buktinya. Kalian bertiga boleh mencari, apakah benar dua orang
gadis itu berada di sini, heh-heh-heh!"
Sebetulnya Yok-mo sudah marah sekali dan kalau menurutkan perasaan hatinya, ingin ia turun tangan
memberi hajaran terhadap ketiga orang ini. Akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah utusan Pangeran
Mahkota, tentu saja ia tidak berani bertindak sembrono, maklum akan hebatnya pengaruh pangeran itu
yang tentu akan membuat hidupnya tidak aman lagi kalau ia sampai mengadakan permusuhan.
"Baiklah, kami akan melakukan penggeledahan di Ngo-lian-kauw. Kalau betul-betul tidak terdapat dua
orang gadis yang kami cari, untuk sementara kami akan mencabut tuduhan kami."
Setelah berkata demikian Souw Ki mengajak dua orang temannya untuk menyeberangi jembatan itu. Akan
tetapi tiba-tiba Kim-thouw Thian-li memberi tanda dan pasukan wanita yang mengawalnya tadi bergerak
memenuhi jembatan, menghadang tiga orang busu ini.
"Hemmm, apa pula artinya ini?" Souw Ki membentak sambil menoleh kepada Kim-thouw Thian-li.
Wanita ini tertawa, masih genit suara ketawanya dan masih terbayang kecantikan wajah nenek yang sudah
tua ini.
"Tiat-jiu Souw Ki dan Ho-pak Sian-sai! Sudah lama aku mendengar nama besar kalian sebagai tiga di
antara tujuh orang jagoan istana yang amat terkenal. Sebaliknya kiraku kalian bertiga juga sudah
mendengar nama Ngo-lian-kauw yang selamanya tidak akan mengijinkan orang luar masuk tanpa
persetujuanku. Andai kalian membawa surat perintah Pangeran Mahkota, sudah tentu kami sebagai rakyat
tidak akan berani membangkang, karena bukan maksud kami akan rnemberontak terhadap pemerintah.
Akan tetapi, kalian datang tanpa surat perintah, siapa tahu kalau kalian hanya mengandalkan kepandaian
sendiri dan nama Pangeran untuk menghina kami? Bicara tentang kepandaian, kaiian mengandalkan
apakah hendak melanggar larangan Ngo-lian-kauw?"
Tiat-jiu Souw Ki merupakan seorang tokoh yang terkenal dengan kekuatannya sehingga tangannya
dianggap sebagai tangan besi. Juga permainan senjata ruyung bajanya amat terkenal, senjata yang sesuai
dengan tenaganya yang besar. Mendengar ejekan Ketua Ngo-lian-kauw ini, mukanya yang hitam menjadi
semakin gelap. Dia menghampiri sebuah singa-singaan batu di sebelah kiri jembatan, lalu berkata,
"Singa-singaan batu ini mengandalkan kekerasannya, akan tetapi aku ini mengandalkan apakah? Tak lain
mengandalkan tanganku ini!" Tangan kanannya lalu bergerak memukul perlahan dan kepala singa batu itu
remuk berhamburan.
Souw Ki tertawa bergelak, "Ha-ha, hanya kelihatannya saja keras singa batu ini, kiranya begini lunak!"
"Saudara Souw, setelah kami berdua datang, sepasang singa batu ini memang tidak berhak berdiri lagi.
Tetapi mengapa kau hanya melenyapkan kepalanya?" kata Bu Sek, seorang di antara Ho-pak Siang-sai
yang bermuka kuning dan karenanya memiliki julukan Ui-bin-sai (Singa Muka Kuning).
Adiknya, Bu Tai yang berjuluk Ang-bin-sai (Singa Muka Merah) juga tertawa dan berkata, "Sungguh tak
enak melihat Souw-twako menghancurkan singa-singa batu. Bagi yang tidak tahu dikiranya Souw-twako
menghina kami!"
Dua orang saudara kembar itu menggerakkan tubuhnya, tiba-tiba tampak sinar pedang berkelebat, sebuah
ke sebelah kiri jembatan, satu lagi ke sebelah kanannya dan tahu-tahu terdengar suara keras. Singa batu
yang sudah pecah kepalanya tadi tahu-tahu terguling roboh, sedangkan yang berada di sebelah kanan
jembatan juga roboh terbabat pedang. Gerakan pedang sepasang saudara kembar ini cepat sekali dan
hanya kelihatan sinar pedangnya saja, dapat diduga bahwa ilmu pedang mereka memang hebat.
"Bagus, bagus! Tiga orang busu dari Pangeran Mahkota benar-benar hebat dan gagah, sudah menang
melawan dua ekor singa batu, heh-heh-heh!" Toat-beng Yok-mo tertawa, setengah mengejek.
Akan tetapi Kim-thouw Thian-li menjadi merah mukanya saking menahan marah. Kalau bukan utusan
Pangeran yang melakukan perusakan terhadap hiasan jembatannya, tentu ia sudah langsung turun tangan
sendiri memberi hajaran.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Yok-mo, kalau kami belum menggeledah ke dalam, bagaimana kami bisa merasa yakin bahwa kau tidak
bersalah?" Souw Ki berkata nyaring, namun Kakek Setan Obat itu hanya tertawa ha-ha he-he saja.
"Souw-busu, Toat-beng Yok-mo hanya tamuku saja dan yang bertanggung jawab tentang tempat ini adalah
aku. Ketahuilah bahwa tidak sembarang orang boleh memasuki tempat kami, kecuali orang yang dianggap
cukup berharga dan gagah. Andai kata Sam-wi Busu sanggup melewati barisan Ngo-lian-tin kami yang ada
tiga lapisan, biarlah kami anggap Sam-wi cukup berharga dan gagah untuk memasuki tempat kami."
Kim-thouw Thian-li memberi isyarat dengan tangannya dan para pengawalnya tadi segera bergerak.
Lima belas orang di antara para pengawalnya dengan pedang di tangan lalu berpencaran menjadi tiga
kelompok, masing-masing terdiri dari lima orang, sekelompok menjaga dekat kepala jembatan, sekelompok
kanan kiri. Mereka berdiri berjajar, sekelompok lima orang.
Souw Ki saling pandang dengan dua orang saudara kembar itu, lalu tertawa. "Kim-thouw Thian-li, kau
benar-benar memandang rendah kepada kami. Jika kami tidak menunjukkan kepandaian, tentu kau tidak
mengenal kelihaian kami!" kata Souw Ki sambil mengeluarkan ruyung bajanya yang berat.
"Bu-Siang-te, hayo kita gempur Ngo-lian-tin ini, tidak perlu kita sungkan-sungkan lagi!"
Bu Sek dan Bu Tai juga mencabut pedang mereka, kemudian masing-masing melompat menghadapi
sekelompok Ngo-lian-tin.
Ngo-lian-tin (Barisan Lima Teratai) ini merupakan ciptaan Kim-touw thian-li sendiri, sebuah barisan terdiri
dari lima orang wanita yang semua gerak-geriknya diatur berdasarkan pada Ngo-heng-tin. Lima orang
wanita yang cukup tinggi ilmu pedangnya dilatih untuk bergerak saling bantu dengan cara yang amat
berbahaya bagi lawan.
Tiga orang busu ini cepat menggerakkan senjata mereka dan masing-masing menyerbu satu kelompok
Ngo-lian-tin. Ruyung baja di tangan Souw Ki mengeluarkan angin ketika ia memutarnya dan menerjang
lima orang wanita cantik yang cepat menggunakan pedang untuk menghadapinya dalam bentuk Ngo-liantin
itu.
Kaget juga jagoan istana ini ketika seorang anggota Ngo-lian-tin yang diserangnya sama sekali tidak
mengelak, hanya mengangkat pedang menangkis. Akan tetapi empat batang pedang lainnya membarengi
gerakannya, dari empat jurusan menyerang empat bagian berbahaya dari tubuhnya.
Terpaksa dia menarik kembali senjatanya dan menangkis serangan-serangan itu dengan memutar ruyung
sekuat tenaga. Empat orang wanita itu mengeluarkan seruan tertahan karena hampir saja pedang mereka
terlempar dari tangan, begitu hebat tenaga Si Tangan Besi ini.
Souw Ki kini maklum bahwa jika ia menyerang seorang lawan, yang empat tentu akan membarengi
serangannya sehingga dasar Ngo-lian-tin ini adalah mengorbankan seorang anggota untuk mengalahkan
lawan. Tentu saja ia tidak mau dan ia segera mengerahkan tenaganya memutar ruyungnya, mengambil
keuntungan dari tenaganya yang besar untuk mengadu senjata dengan lima batang pedang itu. Usahanya
itu berhasil baik karena lima orang wanita yang menjadi lawannya terdesak mundur sampai ke tengah
jembatan!
Juga sepasang saudara kembar she Bu itu ternyata memiliki ilmu pedang yang hebat dan cepat hingga
kelompok Ngo-lian-tin yang mengeroyok mereka tak dapat mengimbanginya. Terdengar jerit susulmenyusul
ketika beberapa orang wanita anggota Ngo-lian-tin terluka oleh pedang mereka, lantas disusul
Souw Ki yang berhasil pula menendang dua orang pengeroyoknya masuk ke dalam anak sungai! Benarbenar
tingkat kepandaian para busu yang menjadi tangan kanan Pangeran Mahkota ini tak boleh
dipandang rendah.
Sampai pucat muka Kim-thouw Thian-li saking malu dan marahnya. Akan tetapi apa yang dapat ia
lakukan? Tadi ia sudah berjanji bahwa kalau tiga orang itu dapat mengalahkan Ngo-lian-tin, mereka
diperbolehkan masuk ke dalam untuk melakukan penggeledahan. Sebagai Ketua Ngo-lian-kauw tentu saja
ia tidak suka menjilat ludah sendiri. Ia memberi isyarat dengan tepukan tangan dan sisa barisan Ngo-liantin
itu yang tahu bahwa mereka tidak akan dapat menang, cepat mengundurkan diri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Souw Ki tertawa bergelak dan bersama kedua Saudara Bu ia lalu menyeberangi jembatan memasuki lima
bangunan berbentuk bunga teratai itu. Mereka melakukan penggeledahan, memasuki semua kamar dan
ruangan, tetapi tentu saja mereka tidak bisa mendapatkan dua orang gadis pilihan Pangeran yang terculik
pada malam itu, karena memang bukan Yok-mo penculiknya.
Tiga orang itu menjadi kecewa sekali oleh karena tadinya mereka menduga keras bahwa satu-satunya
kakek yang selihai itu, yang berani mengacau Istana Kembang, siapa lagi kalau bukan kakek ini? Apa lagi
kalau dipikir bahwa Yok-mo menjadi ‘teman baik’ Ketua Ngo-lian-kauw yang dahulu pernah memusuhi
Kaisar.
Sementara itu, Kun Hong yang sedang bersembunyi sambil mengintai, melihat betapa jagoan-jagoan
istana itu mencurigai Yok-mo, diam-diam juga ikut menjadi curiga. Ia cukup mengenal Yok-mo yang
berwatak palsu, bukan tidak mungkin kakek ini yang menculik Li Eng dan Hui Cu! Maka ia menanti hasil
penyelidikan tiga orang jagoan itu dengan hati berdebar. Ia pun ikut kecewa ketika tiga orang itu keluar
dengan tangan kosong dan wajah muram.
Yok-mo terkekeh-kekeh mentertawakan, lalu berkata, "Heh-heh-heh, apakah kalian sudah menemukan dua
orang gadis itu?"
Souw Ki semakin marah ketika ditertawakan. "Kakek jahat! Siapa tahu kalau kau sudah menyembunyikan
dua orang gadis itu di tempat lain?"
"Heh-heh, andai kata memang benar kusembunyikan, kewajibanmulah untuk mencari dan
menemukannya."
Souw Ki dan kedua orang Saudara Bu marah, akan tetapi karena tak ada bukti, mereka tidak dapat berbuat
apa-apa. Mereka sudah hendak pergi, akan tetapi Kim-thouw Thian-li tiba-tiba menggerakkan kakinya dan
tahu-tahu tubuhnya melayang ke depan tiga orang itu, menghadang mereka.
Mulut Ketua Ngo-lian-kauw ini tersenyum mengejek, "Hemmm, kalian sewenang-wenang datang merusak
hiasan jembatan, lalu memasuki tempat tinggal kami dengan fitnah jahat. Setelah semua itu, apakah kalian
hendak pergi begitu saja?"
"Kim-thouw Thian-li, sesudah Ngo-lian-tin yang kau ajukan itu sanggup kami hancurkan, apakah kau masih
belum puas juga?" Souw Ki mengejek sambil melintangkan ruyungnya di depan dada.
"Justru karena Sam-wi Busu telah memecahkan Ngo-lian-tin, aku yang bodoh ingin sekali berkenalan
dengan kelihaian Sam-wi. Tak sekali-kali Ngo-lian-kauw hendak memandang rendah kepada Pangeran
Mahkota, akan tetapi ini adalah urusan mengenai pribadi kita, tidak tahu apakah Sam-wi Busu sudi
memberi petunjuk?" Biar pun kata-kata ini sifatnya halus, namun jelas mengandung tantangan.
Orang seperti Tiat-jiu Souw Ki yang semenjak mudanya mengumbar nafsu berkelahi, tak mau mengalah
dan selalu menganggap diri sendiri paling jagoan, mana bisa menghadapi tantangan tanpa melayaninya?
Ia tertawa bergelak lalu berkata,
"Kim-thow Thian-li! Telah lama aku mendengar namamu yang amat tenar. Tentu saja aku pun ingin sekali
merasai kelihaianmu dan urusan di antara kita ini tiada sangkut-pautnya dengan Pangeran. Setelah kami
bertindak sebagai utusan, sekarang kami akan bertindak atas nama diri pribadi kami sendiri. Kalau kau ada
kepandaian, boleh memberi petunjuk!"
Kim-thouw Thian-li mendengus lalu tangannya bergerak, tahu-tahu tangan kanan sudah memegang
pedang dan tangan kiri memegang sehelai sabuk berwarna merah.
"Tiat-jiu Souw Ki, ingin sekali aku berkenalan dengan ruyung bajamu yang ganas!" Sambil berkata
demikian, pedangnya berubah menjadi sinar ketika bergerak menusuk ke arah dada Souw Ki.
Orang tinggi besar ini tidak berani memandang remeh karena ia pun sudah mendengar bahwa Ketua Ngolian-
kauw ini adalah seorang wanita yang ganas dan dahsyat sekali sepak terjangnya. Cepat ia menggeser
kakinya ke kiri sambil menyabetkan ruyungnya ke arah sinar pedang untuk menangkis.
Akan tetapi, Kim-thouw Thian-li telah menahan pedangnya dan sebagai gantinya, tangan kiri wanita itu
bergerak dan sinar merah melayang-layang menotok ke arah ulu hati Souw Ki. Jangan dipandang rendah
dunia-kangouw.blogspot.com
sabuk merah di tangan kiri Kim-thouw Thian-li ini. Biar pun hanya sehelai kain halus, namun, di tangan
wanita ini berubah menjadi senjata yang amat ampuh, yang ujungnya mampu merobek jalan darah lawan
dan karena lemasnya maka lebih berbahaya dan sukar dilawan oleh sebatang pedang!
Souw Ki mengeluarkan seruan panjang. Ruyungnya lantas diputar menjadi benteng baja melindungi dirinya
sehingga totokan ujung sabuk sutera ini pun dapat ditangkisnya.
Akan tetapi Kim-thouw Thian-li kembali mengeluarkan suara mendengus penuh ejekan, lalu pedangnya
bergerak menjadi gulungan sinar memanjang, menyambar-nyambar tubuh Souw Ki dari pelbagai jurusan
sehingga jagoan istana ini menjadi kaget dan sibuk sekali.
Kim-thouw Thian-li adalah murid tersayang dari tokoh besar Hek-hwa Kui-bo Si Iblis Betina, malah ilmu
pedang Im-sin Kiam sut yang luar biasa hebatnya itu sebagian telah diajarkan kepada Kim-thouw Thian-li.
Biar pun hanya sebagian saja Im-sin Kiam-sut yang dimiliki oleh Ketua Ngo-lian-kauw ini, namun cukup
untuk menghadapi lawan yang sakti.
Souw Ki boleh mengagulkan dirinya sebagai jagoan yang bertangan besi dan bersenjata ruyung yang
dahsyat, namun menghadapi Kim-thouw Thian-li dia repot sekali. Andai kata Ketua Ngo-lian-kouw ini hanya
bermain pedang saja, ia pun sudah repot dan takkan dapat melawan wanita itu dengan ruyungnya, apa lagi
sekarang Kim-thouw Thian-li membantu permainan pedangnya dengan sabuk merahnya, membuat jagoan
yang galak itu menjadi makin kewalahan.
Untung sekali baginya bahwa Kim-thouw Thian-li masih jeri untuk mencelakai orangnya Pangeran
Mahkota. Andai kata tidak, sekali saja Ketua Ngo-lian-kauw ini mengeluarkan senjata-senjatanya yang
paling ampuh, yaitu senjata rahasia yang mengandung racun berbahaya, kiranya dalam waktu tak lama
Souw Ki tentu akan roboh.
Sepasang saudara Bu yang tadinya hanya menonton pertandingan ini, pada saat melihat bahwa teman
mereka terdesak hebat dan sekarang hanya main mundur dan berputaran untuk menyelamatkan diri dari
serangan lawan yang amat gencar itu, kini menjadi marah. Selama ini, tujuh orang jagoan istana pengawal
Pangeran Mahkota adalah jagoan-jagoan yang ditakuti, yang sudah dianggap sebagai sekelompok jagoan
tanpa tanding. Apa bila sekarang seorang di antara mereka dijatuhkan lawan, berarti nama tujuh orang
jagoan ini akan tercemar.
Oleh karena itu, keduanya saling bertukar pandang, kemudian sepasang saudara kembar ini
menggerakkan pedang dan Bu Sek membentak, "Kim-thouw Thian-li, jangan menjual lagak di depan kami!"
Ilmu pedang dari sepasang saudara Bu ini adalah ilmu pedang keturunan yang bersumber pada ilmu
pedang Go-bi Kiam-hoat dari Go-bi-pai. Karena mereka adalah dua saudara kembar, maka dalam
permainan pasangan ini mereka seakan-akan merupakan pasangan yang sangat cocok, laksana dua
orang satu perasaan saja sehingga kalau maju bersama mereka kelihatan amat hebat.
Tadi saja mereka masing-masing bisa memecahkan Ngo-lian-tin, ini berarti bahwa tingkat mereka bukanlah
tingkat jago silat sembarangan. Kini mereka maju bersama mengeroyok Kim-thouw Thian-li, sekali serang
merupakan gulungan sepasang sinar pedang yang amat kuat.
Ketua Ngo-lian-kauw itu diam-diam amat terkejut. Ia cepat menahan desakannya terhadap Souw Ki untuk
menghadapi dua orang lawan barunya ini. Cepat dan kuat gerakan dua pedang dari saudara kembar itu,
maka terpaksa Kim-thouw Thian-li harus mengeluarkan Im-sin Kiam-sut lagi untuk menghadapinya. Wanita
tua Ketua Ngo-lian-kauw ini sungguh hebat sekali, biar pun dikeroyok tiga ia masih dapat mengimbangi
permainan lawannya.
Kun Hong yang menonton di balik batang pohon, merasa gembira juga karena sekarang ia dapat
menonton dengan penuh pengertian. Ia dapat mengikuti semua permainan itu, bahkan dia dapat menduga
bahwa kalau pertandingan ini dilanjutkan, Kim-thouw Thian-li akan kalah, biar pun mungkin wanita ini akan
dapat melukai seorang di antara tiga orang pengeroyoknya. Ia ingin melerai mereka, akan tetapi dia pun
merasa bahwa pertandingan itu bukanlah urusannya dan ia tidak mempunyai kepentingan sama sekali.
Agaknya penilaian Kun Hong ini sama persisi dengan penilaian Yok-mo. Setan Obat ini pun maklum bahwa
setelah dua saudara Bu itu ikut memasuki gelanggang pertempuran, Kim-thouw Thian-li tentu takkan kuat
menahan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja kalau ia membantu Ketua Ngo-lian-kauw itu, takkan sulit bagi mereka berdua untuk
mengalahkan tiga orang busu ini. Akan tetapi mengingat bahwa mereka merupakan utusan-utusan
Pangeran Mahkota, amatlah berbahaya untuk bermusuhan dengan ketiga orang ini.
Maka ia segera meloncat ke tengah lapangan, tongkat hitamnya bergerak dan mulutnya berseru, "Cukup...
cukup...! Untuk apa bertempur terus?"
“Trang! Trang!”
Terdengar bunyi beradunya senjata. Baik ruyung baja di tangan Souw Ki mau pun pedang dl tangan kedua
orang saudara Bu itu terpental ke belakang saat terbentur tongkat hitam. Tiga orang busu ini kaget dan
melompat ke belakang, diam-diam mengakui kelihaian Si Setan Obat.
"Sam-wi Busu, setelah Sam-wi mendapat kenyataan bahwa aku bukan pengacau Istana Kembang, harap
laporkan kepada Pangeran dan jangan melanjutkan pertempuran yang tak ada artinya ini. Kauwcu (Ketua),
harap kau mengalah."
Kim-thouw Thian-li tersenyum dan mendengus lalu mengejek, "Ah, sekarang aku merasa sendiri betapa
lihainya Sam-wi Busu!"
Wajah ketiga orang jagoan itu menjadi merah. Mereka merasa disindir karena tadi jelas bahwa mereka
bertiga tidak mampu mengalahkan Ketua Ngo-lian-kauw yang lihai itu, apa lagi Yok-mo yang sekali
menggerakkan tongkat telah mampu membuat senjata mereka terpental.
Mereka maklum bahwa Ketua Ngo-lian-kauw dan Yok-mo itu telah berlaku dan bersikap mengalah karena
takut akan nama Pangeran Mahkota, maka mereka pun tidak bodoh untuk tidak tahu diri dan mencari
perkara. Kedatangan mereka untuk menyelidik tentang kakek yang mengacau Istana Kembang, setelah
sekarang tidak terdapat bukti, kiranya tak perlu mengacau di situ lebih lama lagi.
"Kauwcu sungguh lihai," berkata Souw Ki, "dan Yok-mo, karena tidak ada bukti terpaksa sementara ini
kami mencabut dakwaan kami. Selamat tinggal!"
Setelah berkata demikian, tiga orang busu itu kemudian meninggalkan tempat itu dengan mengangkat
dada. Betapa pun juga mereka belum kalah, dan andai kata mereka datang bertujuh, biar pun di situ ada
Yok-mo, tanggung mereka takkan mendapat malu dan akan dapat mengalahkan pihak Ngo-lian-kauw.
Setelah tiga orang itu pergi, Yok-mo dan Kim-thouw Thian-li tertawa. Kim-thouw Thian-li lalu
memerintahkan para pengawalnya untuk kembali ke dalam benteng Ngo-lian-kauw.
Akan tetapi Yok-mo tiba-tiba berkata, "Nanti dulu, ada tamu yang sejak tadi bersembunyi, harus kita
sambut dulu." Dia lalu memandang ke arah tempat sembunyi Kun Hong dan berseru keras, "Sahabat tak
perlu bersembunyi lagi, kalau ada perlu, keluarlah!"
Kun Hong kaget sekali dan diam-diam memuji ketajaman mata Yok-mo. Tentu tadi dalam keasyikannya
menonton pertempuran dia kurang hati-hati dan sempat memperlihatkan diri dari balik batang pohon
sehingga terlihat oleh kakek itu. Ia berjalan keluar dan berkata,
"Toat-beng Yok-mo, aku memang datang hendak menemui engkau untuk mengembalikan kitab-kitabmu!"
Ia segera berjalan menghampiri dan mengambil tiga buah kitab dari dalam kantong bajunya yang selama
ini ia simpan dan ia pelajari.
Sejenak Toat-beng Yok-mo memandang heran. Akan tetapi begitu melihat tiga buah kitab di tangan
pemuda itu, ia segera teringat dan berseru girang dan heran, "Kau... kau masih hidup...?"
Tentu saja ia sekarang ingat akan pemuda yang telah menggendongnya ketika ia terluka dari Bukit Hoasan,
pemuda yang ia kira mati digondol burung rajawali emas yang lihai itu. Ia bukan girang karena
pemuda itu masih hidup, tetapi girang karena tiga buah kitabnya yang ia sangka sudah lenyap itu kini
ternyata masih utuh. Cepat dia menyambar tiga buah kitab itu dan segera disusulnya pertanyaan,
"Dan manakah katak putih dalam tabung itu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ahhh, menyesal sekali, Yok-mo, katak itu sudah ditelan habis oleh Kim-thiauw-ko (Kakak Rajawali Emas)."
Lalu pemuda ini segera balas bertanya, "Yok-mo, aku tadi mendengar mengenai urusan para busu mencari
dua orang gadis. Gadis-gadis itu adalah dua orang keponakanku. Betulkah kau tidak melihat mereka, Yokmo?"
Pada saat itu, sebelum Yok-mo menjawab, terdengarlah suara, "Bagus sekali, Toat-beng Yok-mo, kau
telah menipu kami!"
Dan muncullah Souw Ki, dua orang saudara kembar Bu, dan seorang tosu. Tosu ini bukan lain adalah
Thian It Tosu tokoh Ngo-lian-kauw, tangan kanan Kim-thouw Thian-li.
Seperti kita ketahui, Thian It Tosu menggabungkan diri dan menjadi seorang di antara tujuh jagoan istana.
Inilah sebabnya mengapa Kim-thouw Thian-li berlaku mengalah dan tadi tidak suka bermusuhan dengan
Souw Ki bertiga, tetapi juga ini yang menyebabkan ia merasa penasaran melihat sikap Souw Ki yang
sombong dan tidak mengindahkannya.
Pada saat Souw Ki bertiga kembali ke istana, di tengah jalan bertemulah mereka dengan teman mereka,
Thian It Tosu. Tiga orang ini berterus terang tentang kecurigaan mereka terhadap Toat-beng Yok-mo dan
menceritakan pula peristiwa di Ngo-lian-kauw tadi. Thian It Tosu mencela mereka dan merasa menyesal
telah terjadi peristiwa itu.
"Marilah kita kembali ke sana, kalau tidak begitu, sungguh pinto akan merasa tidak enak sekali terhadap
Kauwcu."
Souw Ki dan dua orang saudara kembar itu menurut, maka keempat orang ini segera kembali ke situ dan
kebetulan sekali mereka melihat Kun Hong bercakap-cakap dengan Toat-beng Yok-mo, Tentu saja Souw
Ki menjadi marah dan mengeluarkan bentakan tadi.
Mereka mengenal Kun Hong sebagai pemuda yang lenyap secara aneh dari tahanan. Sekarang ternyata
pemuda ini bercakap-cakap dengan Yok-mo, siapa lagi kalau bukan Setan Obat yang menolongnya keluar
dari tahanan?
Juga Thian It Tosu menjadi curiga. Tosu ini memang diam-diam merasa iri hati dan tidak suka melihat
hubungan antara Yok-mo dengan ketuanya. Sebelum Yok-mo datang, dialah orang yang paling ‘dekat’
dengan Kim-thouw Thian-li dan setelah ia menjadi pengawal Pangeran lalu mendengar kedatangan Yokmo
tentu saja ia menjadi iri hati dan cemburu.
"Toat-beng Yok-mo, kau tadi bilang tidak tahu menahu mengenai pengacauan di Istana Kembang, namun
ternyata kau mengenal baik orang muda ini. Hemmm, andai kata benar bukan kau yang mengacau di
Istana Kembang, tapi sudah dapat dipastikan bahwa yang menolong pemuda ini keluar dari tahanan
adalah kau!" kata Souw Ki dengan suara marah.
"Toat-beng Yok-mo, dengan perbuatanmu menentang Pangeran Mahkota ini, jangan kau menyeret-nyeret
nama baik Ngo-lian-kauw. Seorang lelaki harus berani mempertanggung jawabkan perbuatannya sendiri!"
berkata Thian It Tosu sambil melirik ke arah Kim-thouw Thian-li yang masih berdiri di jembatan.
Melihat empat orang jagoan istana ini bersikap hendak menyerangnya, Toat-beng Yok-mo hanya terkekeh
lalu berkata, "Tidak kusangkal bahwa aku mengenal pemuda ini, habis kalian mau apakah? Heh-heh-heh!"
"Yok-mo, kami harus menangkap kau dan pemuda ini!" seru Souw Ki.
Sementara itu, pada saat Kun Hong melihat datangnya empat orang pengawal istana ini, mukanya segera
menjadi pucat. Celaka, pikirnya, tentu aku akan ditangkap lagi. Ketika mendengar kata-kata Souw Ki yang
terakhir, tanpa pikir panjang lagi Kun Hong segera membalikkan tubuh dan lari dari situ!
"Hee, hendak lari ke mana kau?!"
Souw Ki melompat dan ruyungnya digunakan untuk menyerampang kaki Kun Hong dari belakang. Ia
memang gemas kepada pemuda ini dan ingin memberi hajaran. Akan tetapi alangkah herannya ketika
sudah yakin hatinya akan dapat mematahkan dua kaki pemuda itu, ternyata ruyungnya hanya mengenai
angin karena kaki pemuda itu bergeser ke arah yang berlawanan dan secara aneh sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ternyata dalam keadaan berbahaya itu Kun Hong sudah mempergunakan langkah dari Ilmu Silat Kimtiauw-
kun sehingga dengan mudah ia dapat menghindarkan kedua kakinya dari sambaran ruyung. Setelah
terhindar dari serangan ruyung itu, segera kaki Kun Hong melanjutkan langkahnya melarikan diri.
Melihat pemuda itu hendak lari, sepasang saudara kembar Bu dan Thian It Tosu juga lari mengejar. Kun
Hong lalu terkurung oleh empat orang busu. Sejenak pemuda ini bingung, lalu dia mengambil keputusan
untuk mempergunakan ilmu yang telah dipelajarinya, yaitu Kim-tiauw-kun untuk melakukan perlawanan.
Kalau tidak terpaksa sekali, pemuda ini tidak suka mempergunakan ilmu ini untuk bertanding dengan orang
lain.
Akan tetapi pada saat itu terdengar suara parau yang disusul dengan suara melengking yang menusuk
telinga dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek tinggi besar yang berpakaian serba putih.
Melihat kakek ini, Toat-beng Yok-mo serta Kim-thouw Thian-li segera menghampiri, lalu memberi hormat
dan menegur, "Kiranya Locianpwe Song-bun-kwi yang datang, silakan... silakan."
Empat orang pengawal itu tentu saja pernah mendengar nama besar Song-bun-kwi, maka serantak
mereka menegok. Thian It Tosu yang juga sudah pernah melihat kakek ini, cepat memberi hormat kepada
Song-bun-kwi, akan tetapi kakek itu menerimanya acuh tak acuh.
Souw Ki dan dua orang saudara kembar, walau pun mereka pernah mendengar nama Song-bun-kwi, akan
tetapi belum pernah bertemu muka. Mereka adalah pengawal istana kepercayaan Pangeran Mahkota,
maka tentu saja sikap mereka angkuh dan terhadap Song-bun-kwi mereka tak memandang sebelah mata!
Setelah memandang sejenak, Souw Ki dan dua orang saudara itu lalu mengurung Kun Hong lagi.
"Yok-mo, siapakah tiga manusia ini?" Song-bun-kwi bertanya.
Diam-diam kakek ini merasa heran sekali karena tadi ia melihat geseran kaki Kun Hong yang dalam
pandangannya merupakan ilmu langkah yang ajaib sekali.
Yok-mo tertawa, "Heh-heh-heh, mereka adalah pengawal-pengawal istana yang datang dengan fitnah
bahwa aku telah mengacau Istana Kembang, kemudian mengira lagi bahwa aku telah mengeluarkan
pemuda itu dari dalam tahanan. Lucu sekali!"
"Ah, kiranya anjing-anjing istana. Hei, dengarlah kalian. Yang mengacau Istana Kembang, menculik dua
orang gadis adalah aku. Kalian mau apa?"
Bukan main kagetnya Souw Ki dan teman-temannya, juga Thian It Tosu. Kalau Thian It Tosu merasa kaget
dan gelisah, adalah Souw Ki dan kedua saudara Bu kaget berbareng girang.
"Aha, dicari susah payah tidak ketemu, sekarang datang sendiri menyerahkan diri. Bagus! Kakek, dosamu
sudah terlalu besar, kau menyerahlah saja dari pada rusak badanmu oleh ruyungku!" Souw Ki menggertak
dan serta merta bersama teman-temannya lupa akan Kun Hong, meninggalkan pemuda itu dan
menghampiri Song-bun-kwi.
Song-bun-kwi tertawa bergelak dan ia melengking tinggi ketika melihat sambaran ruyung Souw Ki. Hebat
dan dahsyat sekali sambaran ruyung baja itu dan sekiranya mengenai kepala kakek ini, kiranya akan
pecah berhamburan karena ruyung baja ini di tangan Souw Ki sanggup menghancurkan batu karang yang
keras. Karena maklum bahwa kakek ini sakti, di samping hantaman ruyungnya ke arah kepala, tangan kiri
Souw Ki juga mengirim pukulan ke arah dada.
Hebat sekali Song-bun-kwi. Diserang seganas itu, kakek ini berdiri tak bergerak, dalam arti kata mengelak,
seakan-akan dia tidak melihat datangnya dua serangan dahsyat itu. Setelah ruyung tinggal satu dim lagi
dari keningnya barulah kakek ini membabat senjata lawan itu dari bawah dengan tangan kiri dimiringkan,
sedangkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka menerima pukulan tangan kiri Souw Ki.
"Souw-busu, jangan...!" Thian It Tosu coba untuk mencegah temannya yang sembrono menyerang Songbun-
kwi, namun terlambat.
Terdengar suara keras. Ruyung baja itu terpental dari tangan Souw Ki, melayang jauh, dan disusul jeritan
Souw Ki ketika kepalan tangan kirinya kena dicengkeram oleh tangan kanan kakek itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil tertawa bergelak-gelak Song-bun-kwi mendorong tubuh Souw Ki yang melayang seperti daun
kering tertiup angin dan jatuh ke dalam air di dekat jembatan. Thian It Tosu cepat meloncat dan menolong
Souw Ki keluar dari air, namun jagoan ini terpaksa harus digotong karena tulang tangan kirinya remuk dan
mukanya biru serta matanya mendelik! Baiknya, Song-bun-kwi tidak menghendaki nyawa Souw Ki maka
jagoan yang galak ini tidak sampai mati.
"Song-bun-kwi, iblis tua, lihat pedang!"
Sepasang saudara kembar she Bu itu marah sekali melihat teman mereka dirobohkan demikian mudahnya
oleh kakek ini. Pedang mereka berkelebat dan mengurung diri kakek itu dengan ganas. Mereka bekerja
sama baik sekali dan dalam gebrakan pertama Bu Sek menikam sedangkan Bu Tai melindungi kakaknya
dari samping dengan memutar-mutar pedangnya, bersiap menanti kesempatan untuk menyerang apa bila
serangan kakaknya gagal.
Song-bun-kwi mengeluarkan lengking tinggi tanda bahwa dia sudah marah sekali. Tentu saja sama sekali
ia tidak gentar menghadapi serangan pedang ini. Dengan mengebutkan lengan bajunya arah pedang itu
meleset sedangkan tangan Bu Sek serasa hendak robek kulitnya. Malah Bu Tai yang memutar pedangnya,
terhuyung mundur dua langkah karena sambaran angin kebutan ujung lengan baju itu.
Thian It Tosu yang melihat betapa dua orang saudara kembar itu sudah maju bertempur mengeroyok
Song-bun-kwi, segera meloncat pula ke depan sambil berkata, "Locianpwe Song-bun-kwi, terpaksa pinto
kini berlaku kurang ajar karena kau sudah berani menghina utusan-utusan Pangeran Mahkota!"
Tosu ini mencabut pedangnya dan menerjang ke depan, pedangnya membabat ke arah pinggang Songbun-
kwi yang cepat mengelak sambil tertawa mengejek. Dikeroyok tiga orang jagoan istana yang lihai ini,
Song-bun-kwi enak saja melayaninya dengan tangan kosong. Serangan senjata tiga orang lawannya itu
apa bila tidak dilegos, tentu ditangkis dengan ujung lengan bajunya, kadang-kadang malah dengan tangan
yang dimiringkan!
Kim-thouw Thian-li dan Toat-beng Yok-mo saling pandang. Wanita Ketua Ngo-lian-kauw itu merasa serba
salah. Akan tetapi setelah melihat Thian It Tosu terjun dalam lapangan pertempuran, ia segera dapat
memilih pihak mana yang harus dibantu.
Memihak Song-bun-kwi tidak ada keuntungannya sama sekali, sebaliknya kalau dia tidak membantu
utusan-utusan Pangeran Mahkota, tentu akan menjadi bahaya bagi berdirinya Ngo-lian-kauw. Ia pun cepat
melolos pedang dan sabuk merahnya, tubuhnya ringan ketika meloncat ke depan dan suaranya halus
membentak,
"Song-bun-kwi, melawan utusan-utusan Pangeran Mahkota berarti memberontak dan aku harus
menghalangimu!" Pedangnya menyambar-nyambar diikuti sinar merah sabuknya.
"Ha-ha-ha, Kim-thouw Thian-li, semenjak kapan kau menjadi anjing Pangeran? Baik, baik, bagus, majulah
hendak kulihat apakah kau sudah mempelajari Im-sin Kiam-sut dengan baik!"
Marahlah Kim-thouw Thian-li dan benar saja ia lalu mengeluarkan ilmu pedangnya yang hebat, Im-sin
Kiam-sut! Sementara itu, Toat-beng Yok-mo setelah mengantongi tiga buah kitabnya lalu maju pula dengan
tongkatnya.
"Song-bun-kwi, kau semakin tua semakin jahat, suka membikin kacau saja! Perbuatanmu mengacau Istana
Kembang sudah membuat namaku rusak, orang mengira akulah yang melakukannya. Kau harus mencuci
namaku!" Tongkatnya melayang dan sekali bergerak telah mengirim lima totokan ke arah tubuh kakek itu.
"Ha-ha-ha, maju semua, hayo majulah!" Song-bun-kwi berteriak.
Tiba-tiba dia mengeluarkan lengking tinggi memanjang dan tahu-tahu kedua saudara Bu telah menjerit
kaget akibat pedang mereka terpental dan tangan mereka sampai berdarah sedangkan Thian It Tosu
terjengkang ke belakang keserempet ujung lengan baju.
Song-bun-kwi tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat ke dekat Kun Hong, "Hayo kau ikut aku!"
Tangan Kun Hong sudah dicekalnya kemudian pemuda ini dibawanya lari seperti terbang cepatnya! Biar
pun ganas dan tidak takut terhadap siapa pun juga, Song-bun-kwi masih cukup cerdik untuk menanam
dunia-kangouw.blogspot.com
permusuhan dengan Ngo-lian-kauw. Maka ia lalu pergi saja setelah memperlihatkan kelihaiannya. Dia
membawa pergi Kun Hong, karena tadi melihat gerakan pemuda itu yang aneh sekali ketika mengelak dari
serangan Souw Ki.
"Heii, kakek tua, hendak kau bawa ke mana aku?" Kun Hong berteriak-teriak sepanjang jalan, akan tetapi
kakek itu membisu saja dan menarik tangannya yang dicekal erat.
"Kakek tua, kalau kau ada urusan denganku, mari kita bicara baik-baik, kenapa kau lari seperti orang
dikejar setan? Apakah kau takut kalau mereka itu mengejarmu?"
Kalau saja Kun Hong mengeluarkan ucapan lain, agaknya kakek aneh ini tidak akan mempedulikannya dan
lari terus. Akan tetapi sekali Kun Hong mengucapkan sangkaan takut, kakek itu tiba-tiba berhenti dan
memandang marah,
"Aku takut kepada mereka? Ehh, bocah, kau tidak tahu siapa aku!"
"Tentu saja aku tahu. Kau adalah seorang tokoh di Min-san bernama Kwee Lun berjuluk Song-bun-kwi,"
jawab Kun Hong.
Kakek tua itu nampak tercengang. Di Ngo-lian-kauw tadi, orang-orang hanya menyebut julukannya,
bagaimana bocah ini bisa kenal namanya yang jarang disebut-sebut dunia kang-ouw?
"Bocah, kau siapakah dan bagaimana kau bisa kenal namaku?"
"Locianpwe, namaku Kwa Kun Hong dan aku telah banyak mendengar tentang Locianpwe dari Ayah."
"Siapa ayahmu? Lekas katakan!"
"Ayah adalah Kwa Tin Siong Ketua Hoa-san-pai."
Tiba-tiba kakek itu mendelikkan matanya. "Kau anak Kwa Tin Siong? Kau adik siluman betina? Ha-ha-hehheh,
bagus sekali! Tak kusangka untungku sebaik ini. Ha-ha, Bi Goat anakku, lihat betapa adik musuhmu
ini akan kuhancurkan kepalanya dan kucabut keluar jantungnya!" Dengan buas ia lalu maju menerkam Kun
Hong.
Pemuda ini terkejut setengah mati karena penyerangan yang sama sekali tidak pernah disangkanya itu.
Disangkanya tadi bahwa dengan mengenalkan nama ayahnya sebagai seorang tokoh kang-ouw juga,
kakek ini tak akan mengganggunya lagi, siapa tahu justru nama ayahnya membuat kakek ini marah sekali.
Akan tetapi yang kaget sekali ternyata malah Song-bun-kwi sendiri ketika tubrukannya mengenai angin dan
tubuh pemuda itu sudah melejit seperti seekor belut dengan geseran kaki yang ajaib. Tanpa menghentikan
gerakannya Song-bun-kwi melempar tubuh ke kiri mengejar, sekarang tangan kanannya mencengkeram ke
arah kepala dan tangan kirinya menyambar lambung dengan gerak tipu yang ampuh dan tidak mungkin
dapat ditangkis atau dihindarkan oleh orang yang diserangnya. Angin yang panas hawanya mendahului
serangan ini.
Sekarang Song-bun-kwi mengeluarkan suara gerengan keras saking marah dan herannya karena kembali
penyerangannya tadi hanya mengenai angin belaka, jangankan mengenai tubuh Si Pemuda, menyentuh
ujung bajunya pun tidak. Kemarahan dan penasarannya memuncak. Kakek ini lantas menyerang lagi
dengan segenap tenaga dan kepandaiannya, memukul-mukul dan menendang-nendang sambil terus
mengeluarkan suara melengking.
Kun Hong mengerahkan tenaga dan hawa sakti di dalam tubuhnya untuk menahan isi dadanya yang
mendadak tergetar-getar karena suara lengkingan itu. Untuk menghadapi serangan-serangan Song-bunkwi,
dia terpaksa mengeluarkan langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun. Namun belum pernah ia balas
menyerang karena memang tidak ada niat di hatinya untuk menyerang orang yang sama sekali tak
dikenalnya dan tidak mempunyai urusan dengannya ini.
"Locianpwe, kenapa kau menyerangku? Apa salahku?" berkali-kali ia bertanya.
Akan tetapi hal ini bahkan merupakan minyak yang disiramkan kepada api kemarahan Song-bun-kwi
karena masih dapatnya pemuda itu mengajukan pertanyaan berarti bahwa semua serangannya itu
dunia-kangouw.blogspot.com
dipandang rendah saja. Kalau saja ia tidak ingat bahwa lawannya seorang pemuda, tentu telah ia cabut
pedangnya.
Song-bun-kwi adalah seorang tokoh sakti. Biar pun sampai belasan jurus ia belum mampu memukul roboh
Kun Hong, namun sebenarnya dia cukup membuat pemuda itu bingung sekali. Hanya karena gerakangerakannya
yang aneh serta langkah-langkah yang ajaib maka sebegitu lama pemuda ini masih dapat
menyelamatkan diri.

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru