Kamis, 19 April 2018

Pendekar Buta 1 Lanjutan Rajawali Emas

----
PUNCAK LAO-SAN tampak menjulang tinggi di antara pegunungan di Propinsi Shantung yang kecil-kecil,
biar pun sebenarnya Lao-san hanya 1100 meter tingginya. Pemandangan alam dari puncak ini amat
indahnya. Memandang ke sebelah timur tampak Laut Kuning yang luas, ke sebelah utara Selat Pohai, ke
sebelah barat Pegunungan Shantung dengan puncak Thai-san tampak gagah menjulang tinggi, kemudian
pada sebelah selatan tampak sawah ladang dan perkampungan yang subur.
Hari masih pagi benar, namun sepagi itu sudah ada seorang manusia duduk di atas batu gunung di puncak
Lao-san. Angin dari Laut Kuning membuat hawa gunung menjadi makin dingin sejuk, memecahkan kulit
muka dan menusuk-nusuk tulang. Akan tetapi orang yang duduk di atas batu itu seakan-akan tidak
merasakan ini semua. Tentu orang akan mengira dia sudah membeku atau membatu, kalau saja mulutnya
tidak terdengar bersajak dengan suara nyaring, jelas dan bersemangat.
Wahai kasih, aku di sini!
Di puncak Lao-san menjulang tinggi
Menjadi raja sunyi di angkasa raya,
Naga-naga awan muncul dari laut di bawah kaki
Terbang melayang menuju kemari
Bersujud di sekelilingku meniupkan angin sejuk,
Kasih, aku menanti kehadiranmu
Memberi cahaya dan kehangatan pada jiwa ragaku
Wahai kasih, aku di sini!
Agaknya orang ini merasa sangat gembira dengan sajak yang dikarangnya sambil duduk itu. Diulangnya
sajak ini, malah kemudian dinyanyikannya dengan suara nyaring. Tangan kanannya memukul-mukulkan
tongkat pada batu dan menimbulkan bunyi ‘tok-tak-tok-tak’ berirama, mengiringi suara nyanyiannya.
Suaranya yang nyaring bergema di puncak, terbawa angin dan kadang-kadang terdengar bergetar penuh
perasaan, terutama di bagian ‘...kasih, aku di sini....’
Kadang-kadang tangan kirinya meraba-raba ke atas tanah di mana terdapat dua macam bungkusan.
Agaknya dia khawatir kalau-kalau angin yang keras akan menerbangkan dua bungkusan pakaian dan obatobatan
itu. Melihat cara ia tadi meraba-raba, mudah diduga bahwa orang ini adalah seorang buta. Memang
sebenarnyalah. Dia seorang buta. Masih muda benar, baru dua puluh tahun lebih, takkan lewat dari dua
puluh lima tahun umurnya.
Sesungguhnya wajahnya sangat tampan. Kulit mukanya putih bersih dengan dahi lebar, daun telinga
panjang, hidung mancung dan mulut yang manis bentuknya. Alisnya yang hitam dan berbentuk golok
melindungi sepasang mata yang selalu dipejamkan, mata yang sudah tiada bijinya sehingga kelihatan
pelupuknya mencekung, mendatangkan keharuan bagi yang melihatnya.
Rambutnya yang hitam digelung ke atas serta dibungkus kain kepala hijau. Pakaiannya amat sederhana,
baju berlengan panjang dan lebar berwarna kuning kemerahan, celana berwarna kuning dan meski pun
pakaian ini terbuat dari bahan yang kasar, namun amat bersih.
"Wahai kasih, aku di sini...!" Pemuda buta ini bangkit berdiri dan mengembangkan kedua lengannya,
seakan-akan hendak menyambut atau memeluk kedatangan kekasihnya. Tapi kekasihnya itu tidak ada,
yang ada hanya sinar matahari pagi yang mulai menyembul ke luar dari permukaan Laut Kuning.
"Kekasihku... matahariku... dengan kehadiranmu di sampingku… aku sanggup bertahan seribu tahun
lagi..."
Si buta ini tersenyum-senyum dan wajah itu menjadi semakin tampan, akan tetapi juga makin
mengharukan. Ia benar-benar kelihatan gembira sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah ‘menyambut kekasihnya’ yang agaknya sinar matahari itulah, si buta lalu duduk kembali, membuka
bungkusan pakaiannya, mengeluarkan sepotong roti kering dan dia mulai sarapan dengan enaknya.
Agaknya dia tidak tahu bahwa sudah sejak tadi, kurang lebih seratus meter di sebelah belakangnya, berdiri
seorang laki-laki tinggi besar bermuka hitam.
Laki-laki ini usianya empat puluhan, berkumis panjang tanpa jenggot, pakaiannya serba hitam dan gerakgeriknya
kasar. Di pinggangnya tergantung sebatang golok telanjang dan di punggungnya sebuah
bungkusan kain kuning. Setelah memperhatikan beberapa lama kepada si buta dan melihat si buta mulai
sarapan pagi, laki-laki tinggi besar ini mengomel.
"Sialan! Sekali mendapat mangsa, seorang buta gila!"
Dia terbatuk beberapa kali. Angin sejuk itu agaknya sangat mengganggu pernapasannya. Akan tetapi dia
tidak menghentikan langkahnya mendekati si buta yang sedang makan. Setelah tiba di belakang si buta
dalam jarak satu meter, dia berhenti dan membentak.
''He, buta gila! Apa isi kedua bungkusanmu itu?''
Orang muda buta itu memutar diri, masih duduk dan cepat-cepat menjawab dengan suara ramah.
"Wah, ada teman! Bagus, mari silakan duduk, sahabat. Rotiku masih banyak, mari kita sarapan bersama."
Tangannya meraba-raba, mengeluarkan sepotong besar roti kering dari bungkusannya itu dan dengan
wajah tersenyum serta pelupuk mata cekung itu bergerak pula, kemudian dia mengangsurkan roti itu
kepada si muka hitam.
Si muka hitam dengan geram menggerakkan kaki dan roti di tangan si buta itu terlempar jauh,
menggelinding dan lenyap ke dalam jurang.
"Siapa sudi roti busukmu?"
Orang muda buta itu menyeringai, tapi menghela napas panjang dan suaranya tetap halus pada saat dia
berkata, "Sahabat, kiranya kau tidak lapar. Heran sekali ada orang menolak makan di saat cahaya
kehidupan mulai menerangi bumi. Semua makhluk sibuk mencari makan, jangan-jangan kau sakit..."
"Cerewet! Berikan bungkusan pakaianmu kepadaku!" bentak si muka hitam.
"Oooh, jadi pakaiankah yang kau butuhkan?" si buta mengangguk-angguk dan tangannya diulur ke depan,
meraba ujung baju si muka hitam. "Hemmm, pakaianmu masih baik tapi amat kotor. Boleh, boleh, biarlah
kuberi satu stel kepadamu, aku masih mempunyai tiga stel di dalam bungkusan ini..."
"Buta gila, serahkan semua pakaianmu kepadaku!" dengus si muka hitam yang disusul oleh suara batukbatuk.
"Semua milikmu harus kau serahkan kepadaku kalau kau ingin tetap hidup."
Si buta menggeleng-gelengkan kepalanya dan menarik napas panjang. ''Aihh, kiranya kau benar-benar
sakit! Dua macam penyakit sedang mencengkerammu, sahabat. Yang satu adalah penyakit akibat luka
dalam di tubuhmu, di dalam tubuhmu sudah kemasukan hawa beracun yang menimbulkan rasa gatal pada
kerongkonganmu dan sewaktu-waktu, apa lagi kalau kau marah-marah seperti sekarang ini, timbul rasa
sesak di dalam dada sebelah kanan. Penyakit pertama ini tidak hebat, paling-paling merenggut nyawa dari
tubuh, akan tetapi penyakitmu yang ke dua lebih payah lagi karena merupakan penyakit jiwa yang
membuat kau tidak pernah menaruh kasihan kepada orang lain, membuat kau kejam dan suka
mempergunakan kekerasan untuk mengganggu orang lain."
"Tutup mulutmu dan serahkan bungkusan-bungkusan itu!" Si muka hitam bergerak maju dan menyambar
bungkusan pakaian. Akan tetapi dia tidak berhasil merampas bungkusan obat yang dipeluk erat-erat oleh si
buta.
"Ambillah...! Ambillah bungkusan pakaianku. Aku tidak gila pakaian seperti engkau. Tapi bungkusan obat
ini sama sekali tak boleh kau ambil, aku sendiri tidak membutuhkan, akan tetapi orang-orang lain yang
sakit akan membutuhkannya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia sudah berdiri sekarang, bungkusan obat itu dia sampirkan di pundak, tongkat dipegang di tangan kiri. Si
muka hitam ragu-ragu, tidak jadi merampas bungkusan obat, tetapi juga tidak segera pergi dari situ. Dia
memandang tajam, lalu bertanya dengan suara kasar,
"Heh, buta, bagaimana kau bisa tahu bahwa aku menderita luka dalam?"
Orang muda buta itu tersenyum lebar. Deretan giginya yang sehat kuat mengkilap terkena cahaya matahari
pagi, putih seperti deretan mutiara.
"Aku si buta ini tukang obat, kau tahu? Tentu saja aku dapat mengetahui keadaanmu karena kau terbatukbatuk
tadi. Sahabat, maukah kau kuobati?"
Si muka hitam melengak, memandang penuh selidik. Mana dia bisa percaya? Baru saja dia merampas
pakaian orang ini, mungkinkah dia mau mengobatinya?
"Tidak sudi! Kau kira aku begitu bodoh?" jawabnya sambil tertawa mengejek. "Kau hanya pura-pura
hendak mengobati, padahal kau tentu akan memberi racun untuk membunuhku, membalas dendam karena
pakaianmu kurampas. Ha-ha-ha, jangan kau kira aku tolol. Aku adalah Hek-twa-to (Si Hitam Bergolok
Besar), mana bisa kau akali begitu saja? Bukan aku yang akan mati karena kau racuni, melainkan kau
yang akan mampus di tanganku. Kau tahu aku terluka, pasti kau anak buah si tua bangka Bhe jahanam!"
Setelah berkata begitu si muka hitam melangkah maju dan tangan kanannya menghantam ke arah orang
muda buta itu.
Hebat pukulannya, keras sekali sampai mendatangkan sambaran angin! Agaknya dengan sekali pukulan
ini si muka hitam yang berjuluk Hek-twa-to itu bermaksud untuk membikin remuk kepala si buta.
Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba lengan kanannya terbentur dengan sesuatu yang keras dan
membuat tangannya lumpuh, kemudian dia merasa dadanya bagai diraba orang, membuat napasnya
sesak dan dia terhuyung-huyung mundur. Dia terheran-heran melihat si buta itu masih berdiri dan
tersenyum-senyum seperti tadi. Sama sekali ia tak melihat si buta ini tadi bergerak. Akan tetapi siapakah
tadi yang menangkis pukulannya dan siapa pula yang meraba-raba ke arah dadanya?
Ia merasa jeri, mengira bahwa tentu ada orang sakti membantu si buta ini, atau jangan-jangan si tua
bangka Bhe sendiri yang berada di sini? Punggungnya terasa dingin dan seram. Cepat dicabutnya golok
besarnya.
Betapa pun juga kalau benar-benar orang she Bhe itu muncul, dia hendak melawan mati-matian. Dengan
garang goloknya dia gerak-gerakkan ke kanan kiri sampai terlihat cahaya kilat menyambar-nyambar ketika
golok itu tertimpa sinar matahari.
Mendadak si buta tertawa dan berkata. "Sahabat tinggi besar, untung kau bahwa luka dalam di tubuhmu
sudah lenyap sekarang..."
Dan orang buta itu membalikkan tubuh, duduk di atas batu tadi dan tidak mempedulikan pemegang golok
yang masih menggerak-gerakkan goloknya.
Hek-twa-to makin curiga. Jelas bahwa tidak ada orang lain di situ. Selihai-lihainya si tua Bhe, kalau dia
berada di situ tentu akan nampak olehnya. Habis siapa yang melawannya tadi? Si buta inikah? Tak
mungkin!
Perlahan-lahan dia menghampiri. Sekali bacok akan mampuslah si buta. Sudah banyak dia membunuh
orang, baik bersebab mau pun tidak. Saat itu dia sedang mengkal hati, dikalahkan orang dan terluka hebat.
Si buta ini tahu dia terluka, memalukan saja, maka harus dibunuh.
Goloknya bergerak cepat ke leher orang. Dia seakan melihat ada kilat dari angkasa yang menyambarnyambar
dua kali, merasa betapa tangan kanannya tergetar, lalu ada tenaga aneh mendorongnya ke
belakang sampai lima tindak. Wajahnya pucat sekali. Golok itu tinggal gagangnya saja dan di bawah
kakinya kelihatan dua buah potongan golok!
Ada pun si buta tadi masih saja duduk di atas batu sambil memegangi tongkat yang kini dipukul-pukulkan
ke atas batu sambil bernyanyi,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Wahai kasih, aku di sini..."
Hek-twa-to menggigil, lalu membuang gagang goloknya dan larilah dia menuruni puncak, tidak lupa
membawa serta bungkusan pakaian yang dirampasnya tadi. Dia melarikan diri seperti dikejar iblis gunung!
Dari jauh dia masih mendengar suara si buta bernyanyi-nyanyi. Suara nyanyian ini amat menyeramkan
baginya, seolah-olah mengejarnya, membuat dia memperhebat tenaganya untuk lari…..
********************
Hari telah siang ketika serombongan orang tergesa-gesa mendaki puncak Lao-san. Lima belas orang ini
adalah laki-laki semua, rata-rata bertubuh tegap kuat dengan gerak-gerik yang kasar. Melihat cara mereka
mendaki puncak yang amat sukar dilalui itu secara cepat dan cekatan, bisa diduga bahwa mereka adalah
orang-orang yang telah biasa melakukan perjalanan di gunung-gunung serta memiliki tubuh yang kuat.
Apa lagi melihat betapa setiap orang membawa senjata tajam, tergantung di punggung atau di pinggang.
Yang berjalan paling depan adalah si muka hitam tinggi besar yang pagi hari tadi bertemu dengan orang
muda buta di puncak itu, ialah Hek-twa-to, Si Golok Besar Muka Hitam. Setelah tiba di puncak, di mana si
buta tadi duduk bernyanyi, hiruk-pikuklah suara mereka.
"Mana dia si buta itu, Twako?" bertubi-tubi pertanyaan ini menyerang Hek-twa-to yang menjadi sibuk juga.
Bisa celaka dia kalau tidak dapat menemukan orang muda buta tadi.
Seperti telah kita ketahui, Hek-twa-to ini tadi lari tunggang langgang ketakutan setelah dua kali menyerang
si buta dia roboh secara aneh. Dengan napas terengah-engah dia masuk hutan di pegunungan sebelah
barat di mana kawan-kawannya berada, kemudian dengan hati masih merasa seram dia menceritakan
semua pengalamannya.
Hek-twa-to ialah seorang di antara anak buah atau anggota perkumpulan Hui-houw-pang (Perkumpulan
Harimau Terbang), yaitu satu perkumpulan golongan hitam (penjahat) yang anggotanya terdiri dari para
perampok-perampok di Shantung. Hui-houw-pang berpusat di Pegunungan Shantung dan dikepalai oleh
seorang bernama Lauw Teng yang berusia lima puluh tahun, bertubuh gemuk pendek dan bermuka
kuning.
Pada waktu itu, Hui-houw-pang sedang berada dalam kedukaan karena baru saja mereka kalah berperang
melawan musuh lama mereka, yaitu orang-orang dari Kiang-liong-pang (Perkumpulan Naga Sungai).
Banyak di antara mereka yang terluka, bahkan Hui-houw Pangcu Lauw Teng sendiri juga terluka hebat.
Dalam usahanya untuk membalas dendam, Lauw Teng mendatangkan beberapa orang sahabatnya yang
pada waktu itu sudah berkumpul di situ. Ketika mendengar penuturan Hek-twa-to, Lauw Teng sangat
tertarik, terlebih lagi melihat gerak-gerik Hek-twa-to yang berbeda dengan tadi sebelum bertemu dengan
orang buta aneh itu.
"Buka bajumu!" Lauw Teng memerintah.
Hek-twa-to tidak mengerti apa maksud perintah ini, namun dia tidak berani membantah dan ia pun
membuka bajunya. Lauw Teng mendekati, meraba dada anak buahnya ini dan mengeluarkan seruan
tertahan.
"Kau benar manusia tolol!" tiba-tiba dia berseru. "Lukamu sudah disembuhkan orang dan kau menganggap
dia anak buah musuh. Dia itu seorang ahli pengobatan yang pandai. Kerbau goblok kau! Hayo lekas bawa
beberapa orang kawan, cari dia dan suruh ke sini. Siapa tahu dia dapat mengobati kita semua!"
Hek-twa-to kaget dan juga girang ketika dia mendapat kenyataan bahwa memang betul lukanya di dalam
tubuh akibat pukulan beracun dari pihak lawan sudah sembuh. Bintik merah di dadanya telah lenyap dan
tidak ada rasa nyeri sedikit pun juga. Biar pun dia amat terheran-heran bagaimana dan kapan orang
mengobatinya namun dia tidak berani banyak bicara lagi, maklum akan watak ketuanya yang amat keras.
Dia pun khawatir takkan dapat mencari orang buta itu. Karena inilah, maka dia menjadi sibuk dan bingung
ketika dia dan kawan-kawannya tiba di puncak Lao-san dia tak melihat orang muda buta yang tadi.
"Tak mungkin dia bisa pergi jauh," katanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hatinya berdebar penuh kekhawatiran karena dia pun tahu bahwa kalau dia tidak dapat membawa si buta
itu ke depan ketuanya, dia tentu akan menerima hukuman yang hebat.
"Seorang buta mana bisa turun dari puncak dengan cepat? Tanpa dibantu tongkatnya dia takkan mampu
melangkahkan kaki." Ucapan ini dikeluarkan dengan suara tenang karena dia percaya bahwa orang buta
itu pasti belum pergi jauh.
"Hek-twako, jangan pandang rendah orang aneh itu. Apa bila dia bisa naik ke puncak ini tentu juga mampu
turun," kata seorang kawannya. Hek-twa-to menjadi pucat mendengar ini.
"Celaka, hayo kita cepat mencarinya. Kita berpencar ke empat penjuru. Aku akan naik ke pohon besar itu
untuk melihat dari atas."
Dengan cepat dia kemudian lari menghampiri pohon dan sekali mengenjot kedua kakinya, tubuhnya
melayang naik ke atas pohon. Hebat juga kepandaian si muka hitam ini. Pantas saja pagi tadi dia lari
ketakutan ketika dua kali menyerang si buta, dia sendiri yang kalah tanpa dapat tahu siapa yang telah
mengalahkannya.
Siapa yang tidak akan merasa seram? Kepandaiannya cukup tinggi. Apa lagi menghadapi seorang
pemuda buta, belum tentu dia akan kalah dalam pertempuran. Akan tetapi pagi tadi dia merasa seakanakan
melawan iblis yang melindungi si buta!
"Heeeii, itu dia di sana. Ha-ha-ha, apa kataku? Dia tidak kan bisa pergi jauh!" tiba-tiba Hek-twa-to berseru
kegirangan sambil meloncat turun dari cabang pohon.
Kawan-kawannya yang sudah mulai berpencar mencari ke empat penjuru, mendengar teriakan ini ikut
menjadi girang. Mereka juga mengharapkan si tabib buta itu akan dapat menyembuhkan ketua mereka dan
dua puluh lebih teman-teman lain yang juga terluka hebat.
Setelah Hek-twa-to turun, lima belas orang ini berlari-lari cepat menuruni puncak, dipimpin oleh Hek-twa-to.
Betul saja, tak lama kemudian mereka melihat orang muda buta itu.
Dengan tongkatnya meraba-raba dan memukul-mukul ke tanah di depan kakinya, orang buta ini berjalan
perlahan-lahan. Buntalan obat tergantung di punggungnya dan dari jauh sudah terdengar suaranya
bernyanyi-nyanyi!
Siapakah sebetulnya orang muda tampan yang buta ini? Dia bukan orang sembarangan. Namanya Kwa
Kun Hong, putera tunggal dari ketua Hoa-san-pai yang bernama Kwa Tin Siong dan berjuluk Hoa-san Itkiam
(Si Pedang Tunggal dari Hoa-san), seorang pendekar gagah perkasa. Ibunya juga seorang tokoh
Hoa-san-pai yang kosen berjuluk Kiam-eng-cu (Si Bayangan Pedang).
Akan tetapi orang muda buta yang sakti ini sama sekali bukan murid ayah bundanya sendiri. Secara
kebetulan dia mewarisi Ilmu Silat Rajawali Emas (Kim-tiauw-kun), malah akhir-akhir ini dia menerima pula
Ilmu Silat Im-yang Sin-hoat dari Si Raja Pedang Tan Beng San ketua dari Thai-san-pai.
Karena inilah, maka biar pun usianya baru dua puluh lima tahun, dia telah mewarisi ilmu kesaktian yang
luar biasa. Kwa Kun Hong bukan buta semenjak lahir. Baru saja tiga tahun dia menjadi buta.
Dia buta karena secara nekat sudah mencokel ke luar kedua biji matanya sendiri, karena penyesalan
hatinya karena kekasihnya, puteri ketua Thai-san-pai, telah membunuh diri. Gadis itu telah ditunangkan
dengan putera ketua Kun-lun-pai dan telah membunuh diri di depannya akibat putus asa dalam cinta
kasihnya dengan Kwa Kun Hong. (Baca cerita Rajawali Emas)
Semenjak hatinya patah dalam cinta kasih dan dua biji matanya dia korbankan, pemuda ini lalu merantau,
ke mana saja kedua kakinya membawanya. Dahulu dia telah mewarisi ilmu pengobatan dari kitab-kitab
milik Toat-beng Yok-mo (Setan Obat Pencabut Nyawa), maka kini dalam perantauannya ia menjadi
seorang tabib buta yang selalu siap menolong orang-orang sakit.
Tentu saja karena kebutaannya, biar pun dia memiliki kepandaian tinggi, dia tidak dapat melakukan
perjalanan cepat. Hanya dapat maju karena bantuan tongkatnya dan kakinya membawanya dari dusun ke
dusun, dari kota ke kota dan dari gunung ke gunung.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia sengaja tidak pernah mau bertanya kepada orang lain tentang tempat yang akan dia datangi karena
memang dia tidak mempunyai tujuan tertentu. Sesudah tiba pada suatu tempat, barulah dia akan bertanya
dan adalah hal yang mendatangkan kegirangan juga mengetahui sebuah tempat yang sama sekali tak
pernah diduga sebelumnya.
Pada sore hari kemarin dia mendaki ke puncak Lao-san yang pernah dia dengar tentang keindahannya.
Semalam suntuk dia berdiam di puncak ini dan meski pun dia sudah tidak dapat mempergunakan kedua
matanya lagi untuk menikmati tamasya alam indah, namun dengan perasaannya dia dapat menikmati
hawa sejuk dan kehangatan matahari terbit, dengan hidungnya dia dapat menikmati keharuman bungabunga
dan tetumbuhan yang sedap, dengan telinganya dia dapat menikmati suara merdu dari kicau burung
di antara desir angin yang berdendang dan bergurau dengan daun-daun pohon. Ketika dia duduk
bersanjak di puncak Lao-san, khayalnya menciptakan tamasya alam yang agaknya jauh lebih indah dari
pada kenyataan yang tak dapat dilihatnya lagi itu.
Kwa Kun Hong memang seorang pemuda yang luar biasa. Ilmu silatnya tinggi sekali, ilmu pengobatannya
juga tinggi dan selain kedua ilmu ini, dia pun sangat pandai dalam hal kesusasteraan, pandai bersajak,
bernyanyi, dan tulisan tangannya amat indah. Kalau saja sepasang matanya tidak buta lagi, dia pun
merupakan seorang ahli dalam hal ilmu sihir yang pernah dia pelajari dari paman gurunya, yaitu Sin-eng-cu
(Garuda Sakti) Lui Bok! Tentu saja biar pun ilmu sihir yang berdasarkan hawa murni dan kekuatan batin ini
masih terdapat di tubuhnya, namun dia tidak dapat lagi mempergunakannya karena penggunaan ilmu ini
harus melalui pandangan mata! Peristiwa aneh yang dialami Hek-twa-to, sama sekali bukanlah perbuatan
iblis atau orang sakti yang melindungi Kun Hong.
Pemuda buta ini sendiri yang menggunakan kesaktian ilmu silatnya untuk mengalahkan Hek-twa-to dan
sekaligus untuk menyembuhkan dari pada luka dalam yang mengancam keselamatan nyawanya. Dari
peristiwa ini saja dapat dibayangkan betapa hebat pemuda ini.
Tidak saja hebat ilmu kepandaiannya, yang lebih hebat lagi adalah pribudinya. Hek-twa-to sudah
memakinya, menghinanya, bahkan sudah menyerangnya dengan niat membunuh. Akan tetapi Kun Hong
masih berhati lapang, tidak hanya memaafkan ini semua, malah telah mengobatinya dengan beberapa
totokan pada jalan darah di dada sehingga orang kasar itu menjadi sembuh!
Pada saat rombongan lima belas orang anggota Hui-houw-pang itu lari mengejarnya, Kun Hong tengah
berjalan perlahan-lahan menuruni puncak sambil berdendang dengan sajak ciptaannya sendiri yang
memuji-muji tentang keindahan alam, tentang burung-burung, bunga, kupu-kupu dan anak sungai.
Tiba-tiba dia memiringkan kepala tanpa menghentikan nyanyiannya. Telinganya yang kini menggantikan
pekerjaan kedua matanya dalam banyak hal, telah dapat menangkap derap kaki orang-orang yang
mengejarnya dari belakang. Karena penggunaan telinga sebagai pengganti mata inilah yang menyebabkan
dia mempunyai kebiasaan agak memiringkan kepalanya ketika telinganya memperhatikan sesuatu.
Dia terus berjalan, terus saja menyanyi tanpa menghiraukan orang-orang yang semakin mendekat dari
belakang itu.
"Hee, tuan muda yang buta, berhenti dulu!" Hek-twa-to berteriak, kini dia menggunakan sebutan tuan
muda, tidak berani lagi memaki-maki karena dia merasa amat berterima kasih kepada pemuda buta ini.
Kun Hong segera menghentikan langkahnya dan membalikkan tubuh perlahan, mulutnya tersenyum lebar
akan tetapi kedua telinga tetap waspada mendengarkan dan mengikuti segala gerak-gerik di sekitarnya.
Tentu saja dia mengenal suara perampok kasar yang dia jumpai pagi tadi, akan tetapi dia pura-pura tidak
mengenalnya dan bertanya,
"Saudara siapa dan apa maksud saudara mengejar aku si buta ini?"
Dia tahu bahwa orang kasar itu kini menjura kepadanya, membungkuk-bungkuk beberapa kali sebagai
tanda penghormatan. Gerakan tubuh ini saja tidak dapat terlepas dari pada pendengarannya yang amat
tajam melebihi orang biasa yang tidak buta. Hal ini sangat menggembirakan dan melegakan hatinya karena
dia dapat menduga bahwa kedatangan belasan orang ini kiranya tidak mengandung niat jahat.
"Tuan muda, saya Hek-twa-to datang untuk minta maaf atas kelancangan saya pagi tadi dan untuk
mengembalikan bungkusan pakaianmu."
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah itu makin berseri, senyuman makin melebar ketika dia mengulurkan tangan untuk menyambut
bungkusan.
"Ahhh, terima kasih, twako. Sebetulnya aku tidak begitu membutuhkan pakaian ini, akan tetapi kalau kau
tidak memerlukan, baik kuterima untuk pengganti kalau yang kupakai ini sudah kotor. Berada padaku atau
padamu sama saja, pakaian gunanya untuk dipakai, siapa pun yang memakainya tidak menjadi soal.
Terima kasih." Dia lalu menggantungkan buntalan pakaian itu di pundaknya.
Hek-twa-to menjura lagi. "Juga saya menghaturkan terima kasih atas pertolongan sinshe (sebutan untuk
tabib) yang telah menyembuhkan luka di dalam dadaku."
Kun Hong tertawa. "Tidak perlu berterima kasih. Yang menyembuhkan adalah kau sendiri, Twako. Pada
waktu kau menggunakan tenaga menghantam ke depan tadi, hawa pukulan yang tertahan oleh jalan darah
yang buntu merupakan kekuatan yang hebat. Aku hanya membantu membuka jalan darah itu sehingga
hawa itu dapat menerobos dan sekaligus menghalau hawa beracun yang mengeram di tubuhmu. Sama
sekali tidak perlu berterima kasih."
Hek-twa-to terkejut. Kiranya si buta ini yang menyentuh dadanya. Kenapa dia sama sekali tidak
melihatnya? Setelah saling pandang penuh keheranan dengan kawan-kawannya, dia lalu menjura lagi dan
berkata,
"Sekarang kami minta dengan hormat supaya Sinshe suka ikut dengan kami ke tempat tinggal kami di
sebelah barat bukit ini..."
"Sayang, tidak bisa..." Kun Hong memotong, "aku adalah seorang manusia bebas, tidak mau terikat oleh
segala budi. Terima kasih, Twako, biarlah aku melanjutkan perjalananku seenaknya dan harap kau dan
teman-temanmu kembali saja."
Salah seorang kawan Hek-twa-to yang paling kasar wataknya di antara para perampok itu menjadi marah
dan berteriak, "Kita gusur saja tabib buta yang sombong ini!"
Kun Hong tersenyum sabar, maklum bahwa dia berhadapan dengan orang-orang kasar yang berwatak keji.
"Aku adalah seorang buta lagi miskin tidak memiliki apa-apa, juga aku akan mengalah kalau kalian
menghendaki barang-barangku kecuali bungkusan obat dan tongkat ini. Akan tetapi jangan harap aku akan
suka menuruti paksaan orang, sungguh pun paksaan untuk menjamuku dengan hidangan-hidangan
mahal."
"Tong-te, kau tutup mulutmu!" bentak Hek-twa-to kepada kawannya yang kasar tadi, lalu dia menghadapi
Kun Hong lagi. "Siauw-sinshe, harap kau maafkan temanku yang lancang mulut ini. Sesungguhnya kami
mengharap kau suka ikut dengan kami karena kami perlu pertolonganmu untuk mengobati ketua kami dan
dua puluh orang lebih teman-teman kami yang menderita luka-luka berat. Harap kau suka menolong kami
seperti kau telah lakukan kepadaku tadi. Jangan khawatir, untuk biaya pengobatan ini, berapa pun juga kau
minta, ketua kami sudah pasti akan memenuhinya."
Kening di muka yang tampan itu agak berkerut. Kun Hong maklum bahwa orang-orang ini bukan orangorang
baik, tentu ketuanya juga bukan orang baik. Agaknya golongan hitam pengacau rakyat. Sebetulnya
kalau mengingat keadaan mereka, tidak patut ditolong. Akan tetapi dia dapat membayangkan betapa
sengsaranya mereka yang menderita sakit itu dan hatinya yang penuh welas asih tidak kuasa menahan
hasratnya hendak menolong.
"Hemmm, begitukah? Kalau kalian mengundangku untuk menolong orang-orang sakit, lain lagi halnya.
Tidak usah bicara tentang upah, apa bila aku berhasil dapat mengurangi rasa nyeri yang mereka derita,
sudah cukup bagus untukku. Mari kita berangkat."
Rombongan itu lantas berangkat turun bukit. Akan tetapi meski tongkatnya telah dituntun oleh Hek-twa-to,
seorang buta seperti Kun Hong tentu saja tidak mampu berjalan cepat. Rombongan itu tidak sabar dan
ketika Hek-twa-to mengusulkan untuk menggendong tabib buta itu, Kun Hong tidak menolak. Maka
digendonglah pemuda itu oleh Hek-twa-to yang kuat dan rombongan ini berlari-lari turun bukit dengan
cepat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hati Kun Hong makin merasa curiga. Di atas gendongan, dia dapat mengira-ngira tingkat kepandaian
mereka. Ilmu lari cepat mereka lumayan, tanda bahwa mereka ini, terutama Hek-twa-to, memiliki
kepandaian silat.
Ketua mereka tentu seorang kosen. Kalau sampai ketua mereka terluka, juga dua puluh orang lebih anak
buahnya, alangkah tangguhnya musuh mereka itu. Dan mengingat sikap mereka yang jahat, agaknya yang
menyebabkan mereka menderita luka-luka itu tentulah seorang pendekar. Berkali-kali dia menarik napas
panjang di atas gendongan Hek-twa-to.
Pendekar itu merobohkan dan melukai orang-orang karena tugasnya sebagai pendekar yang membasmi
kejahatan. Akan tetapi dia pergi akan menyembuhkan mereka, juga hal ini karena tugasnya sebagai
seorang ahli pengobatan yang tidak boleh memilih penderita, baik dia kaya atau miskin, jahat atau tidak.
Ketika ketua Hui-houw-pang dan para tamunya yang terdiri dari jagoan-jagoan di dunia kang-ouw dan bulim
itu melihat bahwa tabib buta itu ternyata hanyalah seorang laki-laki yang masih sangat muda, mereka
terbelalak keheranan, saling pandang dan ragu-ragu. Para tamu yang hadir di sana adalah undanganundangan
Lauw Teng, terkenal sebagai tokoh-tokoh kang-ouw. Malah di antaranya terdapat seorang tosu
bermuka bopeng (burik) yang mempunyai sinar mata tajam berkilat dan pada punggungnya tergantung
sepasang pedang tipis.
Mereka ini banyak mengenal orang pandai, malah pernah mendengar tentang setan obat Toat-beng Yokmo,
juga sudah banyak melihat tabib-tabib pandai. Namun belum pernah mereka melihat seorang ahli
pengobatan yang masih begini muda. Tidak mengherankan apa bila mereka lalu memperdengarkan suara
mencemooh dan memandang rendah.
Ketua Hui-houw-pang kecewa bukan main. Diam-diam dia marah kepada Hek-twa-to yang dianggapnya
telah membohong dan menipu dirinya. Untuk menutupi kekecewaannya, dia kemudian bertanya dengan
nada suara keras memandang rendah.
"Heh, orang muda buta. Apakah betul kau yang telah menyembuhkan Hek-twa-to seorang anggotaku?"
Kun Hong tidak tahu siapa yang tadi bicara dengannya, akan tetapi terang bahwa dia ini adalah ketua yang
dimaksudkan oleh Hek-twa-to tadi, entah ketua apa. Dia tersenyum dan menjawab, "Dia yang
menyembuhkan dirinya sendiri, aku hanya membantu."
Kata-katanya halus, akan tetapi sama sekali tidak merendahkan diri atau menghormat. Ketua Hui-houwpang
yang biasanya disembah-sembah oleh anak buahnya yang pandai menjilat, ditakuti semua orang,
mendongkol juga melihat dan mendengar sikap orang buta ini.
"Orang buta, jangan kau main-main di sini. Apakah benar kau pandai mengobati orang sakit dan terluka?"
"Tak ada orang pandai di dunia ini, sahabat. Yang pandai hanya Tuhan. Aku hanya diberi pengertian
tentang pengobatan, pengertian kecil tak berarti. Kalau Tuhan menghendaki, tentu akan menyembuhkan
orang sakit."
"Dengar, orang muda. Kami dua puluh orang lebih sedang menderita luka-luka. Kalau kau bisa
menyembuhkan kami, berapa saja upah yang kau minta, akan kubayar. Akan tetapi jika ternyata kau tidak
mampu menyembuhkan kami, hemm, jangan tanya akan dosamu, kau tentu akan kubunuh mampus
karena kau sudah mengetahui keadaan kami. Apakah kau sanggup?"
Diam-diam Kun Hong mendongkol sekali. Tidak salah dugaannya tadi bahwa ketua ini tentulah orang yang
berwatak keji pula. Namun sesuai dengan wataknya yang sabar dan bijaksana, wajahnya tetap tersenyum.
"Aku selalu siap mengobati orang sakit. Sembuh atau tidaknya terserah ke dalam tangan Tuhan. Jika bisa
sembuh, aku tak menentukan upahnya, terserah kepada penderita sakit. Kalau tidak dapat sembuh, itu
sudah nasibnya, kenapa kau hendak membunuhku? Bukan kau yang memberi kehidupan pada tubuhku,
lantas bagaimana kau dapat bicara tentang mengambilnya, sahabat?"
Tiba-tiba terdengar suara ketawa melengking tinggi yang disusul suara halus, "Lauw-sicu, omongan bocah
ini ada isinya, kau berhati-hatilah!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kun Hong tercengang, kiranya di tempat itu terdapat orang pandai, pikirnya. Pembicara ini adalah seorang
kakek berusia lima puluhan, memiliki lweekang yang kuat dan pandang mata yang tajam. Semua ini dapat
dia mengerti dari pendengarannya, tentu saja dia tidak tahu bahwa kakek yang bicara itu adalah seorang
tosu yang bermuka burik, seorang di antara para tamu undangan.
Kun Hong agak miringkan kepalanya. Dia dapat mendengar betapa tuan rumah bersama kakek yang
bicara tadi kini menggerak-gerakkan tangan dan jari, agaknya saling memberi isyarat agar apa yang
mereka kehendaki tidak terdengar olehnya.
"Sinshe muda," kata Lauw Teng dengan suara agak berubah, tidak segalak tadi, "biarlah kuanggap saja
kau memang pandai mengobati. Nah, kau mulailah mengobati salah satu anak buahku yang menderita
luka di dalam tubuhnya,"
Setelah berkata demikian, Lauw Teng lalu berteriak, "He, A Sam, kau yang paling berat lukamu, kau
merangkaklah ke sini biar diobati oleh Siauw-sinshe ini!"
Kun Hong terheran. Sejak tadi sesudah bercakap-cakap dengan ketua ini, dia tahu atau dapat menduga,
bahwa ketua ini menderita luka yang amat parah di dalam tubuhnya yang perlu segera diobati. Kenapa
ketua ini sekarang menyuruh dia mengobati seorang anak buahnya lebih dulu? Apakah ketua ini sengaja
mengalah terhadap anak buahnya? Tidak mungkin, orang yang berhati keji selalu mementingkan diri
sendiri. Ataukah masih belum percaya kepadanya maka menyuruh anak buahnya maju untuk mencobacoba?
Tapi Kun Hong tidak pedulikan ini semua. Dia lalu duduk di atas bangku yang disediakan untuknya dan
menurunkan buntalan obat. Dia tahu bahwa dari depan berjalan seseorang dengan langkah perlahan,
kemudian orang ini jongkok di depannya sambil mengeluarkan suara rintihan dan berkata lemah.
"Siauw-sinshe, tolonglah saya... tak kuat lagi saya... sampai merangkak pun hampir tidak kuat. Aku terkena
pukulan beracun kakek Bhe jahanam..."
Semenjak kecil Kun Hong sudah memiliki kecerdikan yang luar biasa. Begitu mendengar kata-kata ini,
segeralah terbuka semua rahasia yang tidak dapat dilihatnya. Kiranya ketua she Lauw tadi bersama kakek
itu bersekongkol untuk mempermainkan dan menguji dia.
Orang ini hanya pura-pura menderita luka pukulan, disuruh datang minta tolong sehingga mereka itu akan
segera tahu tentang kepandaiannya mengobati. Hemmm, mereka tidak percaya dan hendak
mempermainkan aku, pikir Kun Hong. Baiklah, aku akan melayani sandiwara kalian.
Sambil membungkuk Kun Hong meraba nadi tangan dan dada di dekat leher A Sam itu, mengerutkan
keningnya lalu berkata, "Aihhh, kau benar-benar sedang menderita penyakit berbahaya sekali! Biang batuk
sudah berkumpul di pintu paru-paru. Sekarang memang belum terasa olehmu, akan tetapi begitu tertawa,
akan meledaklah batukmu dan sukar ditolong lagi. Kau sama sekali tidak terluka oleh pukulan orang she
Bhe atau orang she Ma, melainkan karena terlalu banyak keluar malam sehingga masuk angin jahat!"
Tentu saja sambil berkata demikian, jari-jari tangan Kun Hong yang dapat bergerak secara luar biasa dan
secepat kilat itu telah menekan beberapa jalan darah tertentu di dada dan leher.
Mendengar keterangan ini, meledaklah suara ketawa para perampok itu, termasuk juga ketuanya, Lauw
Teng serta para tamu undangan. Hanya tosu burik itu saja yang tidak tertawa, melainkan memandang
dengan mata tajam. Lauw Teng tidak marah karena biar pun keterangan Kun Hong itu sangat lucu, namun
orang ini dapat mengetahui bahwa A Sam tidak terluka oleh pukulan beracun.
Lucunya, A Sam adalah seorang yang sehat dan tidak pernah batuk, biar pun memang suka keluar malam
akan tetapi lucu kiranya kalau seorang gemblengan seperti A Sam itu mudah saja masuk angin! A Sam
juga tertawa terpingkal-pingkal.
Akan tetapi, tiba-tiba semua orang yang tadi tertawa geli itu menghentikan suara ketawa mereka. Kini
hanya terdengar sebuah suara saja, yaitu suara orang berbatuk-batuk amat hebatnya. Maka tidak aneh
apa bila semua orang kini memandang terheran-heran karena yang batuk secara hebat itu bukan lain
adalah A Sam!
Tadinya A Sam sendiri mengira bahwa batuknya ini adalah secara kebetulan saja. Akan tetapi dia mulai
menjadi khawatir dan gugup setelah batuknya itu tidak juga mau berhenti, malah semakin hebat sampai dia
dunia-kangouw.blogspot.com
tak dapat menahannya lagi. Di dalam leher dan dadanya serasa dikitik-kitik, mendatangkan rasa gatal-gatal
dan geli.
Tak tertahankan lagi A Sam terbatuk-batuk sambil memegangi perut dan dada, badannya membungkukbungkuk
dan akhirnya dia sampai jatuh bergulingan. Penderitaannya bukan main hebatnya.
Tadinya orang-orang mengira bahwa A Sam yang suka berkelakar itu memang sengaja mempermainkan si
tabib buta. Akan tetapi karena A Sam tak juga berhenti batuk, mereka mulai khawatir, lalu mendekat dan
dengan mata terbelalak melihat bahwa A Sam sampai mendelik-delik matanya karena terbatuk-batuk terus.
"Aduh... uh-uh-uh... aduh... tolonglah...uh-uh-uh, Siauw-sinshe ...uk-uh-uh..." Sukar sekali A Sam
mengeluarkan kata-kata ini karena batuk membuat napasnya sesak dan suaranya hampir hilang.
"Hemmm, sudah kukatakan tadi, kau tidak boleh tertawa. Siapa kira kau masih tertawa terbahak-bahak
sehingga ledakan batukmu tidak tertahankan lagi. Kalau didiamkan saja, kau akan terus terbatuk-batuk
sampai jantungmu pecah dan aku akan mendiamkan saja, A Sam, kecuali bila kau suka berterus terang
mengapa kau tadi pura-pura terluka parah."
"Ampun... uh-uh, ampun Sinshe... uh-uh-uh, saya disuruh mencoba, uh-uh, main-main... ampun..."
Lauw Teng melangkah maju. "Siauw-sinshe, harap kau suka mengobatinya. Terus terang saja, tadi kami
meragukan kepandaianmu maka sengaja hendak mengujimu. Maafkanlah."
Kun Hong memang bukan seorang pendendam. Tentu saja dia memaafkan mereka yang tadi hendak
main-main kepadanya. Bahkan perbuatannya terhadap A Sam ini pun hanya untuk main-main belaka. Dia
segera maju mendekat, beberapa kali dia membetot urat-urat di leher serta di bawah pangkal lengan.
Sebentar saja berhentilah A Sam berbatuk-batuk, peluhnya keluar semua dan dia segera terduduk saking
lelahnya.
"Siauw-sinshe, sekarang kuharap kau suka mengobati semua orangku, juga mengobati lukaku sendiri.
Ketahuilah bahwa aku adalah Hui-houw Pangcu (ketua Hui-houw-pang) Lauw Teng. Tentu kau sudah
mendengar tentang Hui-houw-pang, bukan?”
Ketua ini mengira bahwa tentu sinshe buta yang masih muda ini akan terkejut sekali bila mengetahui
bahwa dia sedang berada di dalam markas Hui-houw-pang yang sudah amat terkenal di seluruh Propinsi
Shantung. Akan tetapi dia terheran dan juga kecewa ketika orang muda buta itu menggeleng kepalanya
dan berkata tak acuh.
"Aku baru saja datang di daerah pegunungan ini, Lauw-pangcu, maka aku tidak mengenal perkumpulanmu.
Akan kucoba mengobati kalian. Suruh orang-orangmu yang menderita luka sama dengan Hek-twa-to, yang
ada bintik merahnya pada tubuh mereka, maju dan berjejer di depanku."
Ada delapan orang yang menderita luka persis seperti Hek-twa-to. Lima belas orang lain menderita luka
senjata yang parah dan luka-luka itu membengkak dan keracunan. Ketika mengetahui bahwa belasan
orang ini terluka oleh macam-macam senjata, Kun Hong pun dapat menduga tentu telah terjadi
pertempuran hebat antara orang-orang Hui-houw-pang ini melawan rombongan lain yang agaknya
dikepalai oleh seorang she Bhe yang sudah melukai delapan orang itu dan tentunya seorang yang
berkepandaian tinggi juga.
Cepat dia menuliskan resep obat untuk orang-orang yang terluka. Tulisannya cepat dan tidak
mempedulikan seruan-seruan heran dari semua orang yang melihat betapa seorang buta dapat menulis
secepat dan seindah itu. Untuk luka-luka yang dapat dia obati dengan obat-obatan yang tersedia dalam
buntalannya, segera dia obati.
Akan tetapi ketika Kun Hong memeriksa tubuh Lauw Teng, diam-diam dia terkejut sekali. Dengan rabaan
tangannya dia mendapat kenyataan bahwa ketua ini memiliki tubuh yang kuat dan lweekang yang tinggi.
Namun ternyata dia terkena pukulan beracun yang amat keji.
Pukulan yang mengenai pundak itu busuk menghitam sedangkan tulang pundaknya telah remuk-remuk.
Hebat bukan main penderitaan ketua ini, akan tetapi dia tadi masih dapat menahannya, membuktikan
bahwa Lauw Teng adalah seorang yang amat kuat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Kun Hong mengeluh. Agaknya dugaannya bahwa orang yang merobohkan orang-orang ini
tentulah seorang pendekar kiranya tidak betul. Seorang pendekar gagah tidak mungkin memiliki ilmu
pukulan yang begini keji, atau andai kata memiliki juga, tidak akan sudi mempergunakan. Kalau begini
keadaannya, agaknya pihak yang menjadi lawan Hui-houw-pang ini pun bukan golongan baik-baik!
Kun Hong menarik napas panjang, menyesalkan dirinya yang kini tanpa disengaja telah memasuki dunia
golongan hitam. Akan tetapi dia tetap berusaha menolong Lauw Teng, menggunakan sebatang jarum
perak untuk mengoperasi luka itu, lalu mengurut beberapa jalan darah dan menempelkan obat luka
buatannya sendiri yang amat manjur. Kemudian dia menulis sebuah resep obat untuk ketua Hui-houwpang
ini.
Begitu dia selesai mengobati Lauw Teng dan ketua ini mengucapkan terima kasihnya, tiba-tiba terdengar
suara keras dan tahu-tahu ada hawa menyambar ke arah Kun Hong. Pemuda buta ini maklum bahwa ada
orang menyerangnya, maka dia cepat menjatuhkan jarumnya ke bawah dan membungkuk untuk
memungut jarum itu. Hal ini dia lakukan untuk mengelak dengan gerakan seperti tidak disengaja.
Akan tetapi kiranya serangan itu bukan untuk memukulnya, melainkan untuk menangkap pergelangan
tangannya. Kun Hong tersenyum dan membiarkan saja pergelangan tangan kanannya dicengkeram orang.
Dia pura-pura kaget dan berseru,
"Ehh, siapa memegang lenganku? Kau mau apa?"
"Orang muda, lekas katakan, apa hubunganmu dengan Toat-beng Yok-mo?” Penanya ini adalah kakek
bersuara halus melengking tadi.
"Orang tua, beginikah caranya orang bertanya? Apa harus mencengkeram lengan orang yang ditanya?
Pakaianmu seperti pendeta, kenapa sikapmu kasar seperti penjahat?"
Tosu tua itu cepat melepaskan cengkeraman tangannya, mukanya yang bopeng menjadi merah sekali dan
dia melangkah mundur tiga langkah. Heran sekali dia bagaimana orang buta ini dapat mengenal
pakaiannya? Tentu saja dia tidak tahu bahwa pendengaran Kun Hong yang luar biasa dapat
menggambarkan bentuk pakaian!
"Siauw-sinshe, tamuku yang terhormat ini adalah Ban Kwan Tojin yang berdiam di Kuil Pek-kiok-si (Kuil
Seruni Putih). Beliau seorang tokoh pantai timur yang terkenal, harap kau suka menjawab pertanyaannya."
Kun Hong menjura ke arah Ban Kwan Tojin. "Maaf, kiranya seorang tosu. Ban Kwan Tojin tadi bertanya
tentang Toat-beng Yok-mo? Dia terhitung guruku karena aku mendapatkan ilmu pengobatan ini dari kitabkitabnya."
Tidak hanya Ban Kwan Tojin yang berseru kaget, bahkan Lauw Teng dan anak buahnya menjadi kaget
sekali, juga girang. Siapa yang tidak mengenal nama mendiang Toat-beng Yok-mo yang bukan saja
terkenal sebagai setan obat, akan tetapi juga sebagai seorang sakti yang luar biasa? Di samping
kekagetan, keheranan dan kegirangan ini, kembali timbul keraguan dan rasa tak percaya. Apa lagi Ban
Kwan Tojin yang tahu betul bahwa belum pernah Toat-beng Yok-mo memiliki seorang murid buta.
"Siauw-sinshe, bolehkah pinto mengetahui namamu yang terhormat?" dia bertanya, kini suaranya
menghormat karena bagaimana pun juga, pemuda buta ini sudah membuktikan kepandaiannya tentang
ilmu pengobatan.
"Namaku Kwa Kun Hong, Totiang."
"Hemm, serasa belum pernah mendengar nama ini..."
"Tentu saja belum, apa sih artinya nama seorang tabib buta?" Kun Hong tersenyum polos.
"Kwa-sinshe, kalau kau betul murid Toat-beng Yok-mo, tahukah kau di mana sekarang gurumu itu
berada?"
Pertanyaan dari tosu ini terdengar oleh Kun Hong sebagai pancingan, kata-kata penuh nafsu menyelidiki.
"Dia sudah meninggal dunia, tiga tahun yang lalu," jawabnya bersahaja.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ahh, jadi kau tahu bahwa tiga tahun yang lalu dia tewas dalam pertempuran di puncak Thai-san, pada
saat Thai-san-pai didirikan? Dan kau diam saja tidak berusaha membalas dendam? Tahukah kau siapa
yang membunuhnya, Sinshe?"
Pertanyaan yang bertubi-tubi dari tosu itu hanya diterima dengan senyum saja. Sudah tentu saja dia tahu
bagaimana tewasnya Toat-beng Yok-mo karena kakek iblis itu tewas ketika bertanding melawan dia
sendiri. Kakek berhati iblis yang amat jahat itu tewas akibat bertindak curang kepadanya dalam
pertempuran itu dan boleh dibilang tewasnya adalah karena perbuatannya sendiri.
"Tentu saja aku tahu siapa yang membunuhya. Yang membunuhnya adalah dia sendiri, ya... dia
membunuh diri sendiri."
Hati Kun Hong mulai tidak enak. Jangan-jangan tosu ini tiga tahun yang lalu hadir pula di Thai-san dan
melihat betapa Toat-beng Yok-mo tewas pada waktu berhadapan dengan dia sebelum dia buta dan
sekarang tosu ini sengaja memancing-mancing.
"Totiang, kalau tiga tahun yang lalu kau sendiri juga turut hadir di sana, mengapa mesti bertanya-tanya?"
jawabnya pendek.
Tosu itu tertawa. "Ha-ha-ha, kalau pinto hadir tidak nanti bertanya lagi. Sayangnya pinto tidak hadir ketika
itu, hanya mendengar berita dari kawan-kawan bahwa gurumu itu telah tewas dalam pertempuran. Kau
yang menjadi muridnya tentu tahu lebih jelas bukan?"
"Sudah kujelaskan bahwa dia mati karena perbuatannya sendiri."
"Jadi kau tidak ada niat untuk mencari musuh-musuh gurumu itu dan membalas dendam? Hemmm, murid
yang baik kau itu, Kwa-sinshe." Ban Kwan Tojin mengejek.
"Toat-beng Yok-mo terkenal jahat. Biar pun dia guruku, akan tetapi hanya guru dalam ilmu pengobatan
saja. Dia boleh bermusuhan dengan orang lain, akan tetapi aku tidak berniat bermusuhan. Kepandaianku
menyembuhkan orang sakit supaya sehat, bukan menjadikan orang sehat supaya sakit. Sudahlah, Lauwpangcu,
sesudah selesai tugasku di sini, aku mohon diri hendak melanjutkan perjalananku."
Dia menjura ke depan ke kanan kiri, lalu membereskan buntalan obatnya dan bersiap-siap untuk pergi.
Ketika mengerjakan semua ini, juga ketika tadi melakukan pengobatan, Kun Hong tak lupa menyelipkan
tongkatnya di punggung. Bagi orang buta seperti dia, tongkat merupakan pengganti mata dalam melakukan
perjalanan, terlebih lagi apa bila tongkat itu seperti tongkatnya, yaitu tongkat yang berisi pedang pusaka
Ang-hong-kiam, tongkat yang sengaja dibuat oleh kakek sakti Song-bun-kwi (Setan Berkabung) untuknya
(baca cerita Rajawali Emas).
Pada saat itu terdengar suara seorang wanita, "Ayah...!"
Lauw Teng menengok. Keningnya berkerut pada saat dia melihat anaknya, seorang gadis berusia dua
puluh tahun, gadis yang berdandan secara mewah, muncul di pintu samping.
Gadis ini perawakannya tinggi besar, cukup manis serta gerak-geriknya kasar dan genit. Pakaiannya serba
indah dan mewah. Di punggungnya tergantung sebatang pedang yang gagangnya terhias ronce-ronce
merah, berkibar di dekat rambutnya yang disanggul tinggi dan dihias kupu-kupu emas bertabur mutiara.
"Swat-ji, ada keperluan apa kau datang ke sini?" tegur Lauw Teng marah.
Seharusnya anaknya itu berdiam bersama ibunya serta keluarga Hiu-houw-pang di dalam perkampungan.
Biar pun dia menjadi kepala para perampok, akan tetapi dia tidak senang melihat anak perempuannya
bergaul dengan para perampok yang kasar dan sudah biasa mengeluarkan ucapan-ucapan kotor dan tak
sopan.
Memang beginilah watak orang seperti Lauw Teng. Biar pun dia sendiri sudah biasa tidak menghormati
kaum wanita, namun dia tidak suka melihat wanita-wanita keluarganya tidak dihormati orang!
Dengan lagak genit sambil tersenyum-senyum dan melirik-lirik gadis itu menjawab, "Ayah, kau dan semua
orang sibuk berobat, kabarnya ada tabib pandai di sini, mengapa tidak menyuruh tabib itu datang ke
dunia-kangouw.blogspot.com
kampung? Ibu menderita batuk, bibi masuk angin dan aku sendiri sering merasa dingin kalau malam.
Suruh dia ke kampung Ayah."
Mendengar ucapan terakhir ini di sana-sini sudah terdengar suara orang terkekeh-kekeh, akan tetapi
segera berhenti ketika Lauw Teng dengan mata tajam menengok ke arah suara orang-orang tertawa itu.
"Huh, dasar perempuan, baru sakit batuk dan masuk angin sedikit saja sudah ribut-ribut. Pulanglah, biar
nanti kumintakan obat kepada siauw-sinshe."
Akan tetapi ketika dia menengok lagi, dia melihat anaknya itu berdiri di dekat Kun Hong, memandang
bengong kepada pemuda buta yang sedang membereskan buntalannya.
"Swat-ji, lekas pulang!" tegur ayahnya.
Swat-ji, gadis itu, seperti baru sadar, menengok kepada ayahnya dan berkata, "Ayah, dia inikah tabibnya?
Masih muda benar dan... dan agaknya dia... dia buta, Ayah."
Mendengar gadis itu bicara dekat di depannya Kun Hong merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia segera
bangkit berdiri, menjura dan berkata sambil tersenyum ramah. "Bukan agaknya lagi, Nona, memang aku
seorang buta."
Sejenak Swat-ji berdiri bengong memandang wajah Kun Hong. Belum pernah ia melihat seorang pemuda
setampan ini, apa lagi ketika tersenyum, benar-benar membuat Swat-ji seperti kena pesona. Mata yang
buta itu bahkan menambah rasa kasihan yang sangat mendalam.
"Swat-ji, pulang kataku!" Lauw Teng membentak marah.
"Ayah, kulihat kau dan para paman sudah sembuh. Tentu sinshe buta ini yang menolong kalian. Setelah
ditolong, kenapa tidak berterima kasih? Sepatutnya kita membawanya ke kampung, kemudian
menjamunya dengan pesta tanda terima kasih. Ayah, kalau sekarang kau membiarkan penolongmu pergi
begitu saja, bukankah Hui-houw-pang akan ditertawai orang dan dianggap tak kenal budi?"
"Ha-ha-ha, tepat sekali ucapan Nona! Lauw-sicu, benar-benar pinto tidak pernah mengira bahwa kau
mempunyai seorang anak perempuan yang begini cantik lahir batinnya. Pinto benar-benar kagum dan
terpaksa pinto berpihak kepada puterimu, Lauw-sicu."
Mendapat bantuan omongan tosu itu, Swat-ji tersenyum dan melirik. Kun Hong diam-diam merasa muak
mendengar ucapan tosu itu, apa lagi dia dapat menangkap getaran dalam suara itu dan bisa menduga
bahwa tosu ini biar pun tua tentulah seorang mata keranjang. Nona bernama Swat-ji itu tentu seorang
gadis yang cantik dan dia dapat tahu pula bahwa gadis itu berwatak genit.
Cepat-cepat Kun Hong menjura. "Tidak usah... tidak usah, aku tidak dapat tinggal lama, Nona. Malah tadi
aku sudah berpamit pada ayahmu, aku harus segera pergi melanjutkan perjalananku."
"Ahh, mana bisa begitu? Sinshe, kau harus menerima pernyataan terima kasih kami dulu, terutama dari
aku sendiri yang sangat berterima kasih karena kau sudah menyembuhkan ayah. Mari, mari kuantar kau,
Sinshe. Biar kutuntun tongkatmu.”
Pada saat Kun Hong berdiri bingung menghadapi desakan gadis yang ‘nekat’ ini, tiba-tiba semua orang
terkejut melihat datangnya seorang di antara mereka yang berlari-lari dalam keadaan luka parah.
"Musuh... musuh... telah menyerbu...!" katanya dan dia pun roboh terguling.
Keadaan menjadi panik, semua orang berlari-lari untuk melakukan persiapan menyambut serbuan musuh.
Lauw Teng tidak pedulikan anaknya lagi, dia sibuk memberi perintah dan mengatur para anak buahnya
yang berjumlah enam puluh orang lebih itu untuk melakukan penjagaan di sana-sini. Hanya tosu itu yang
kelihatan tenang-tenang saja.
"Lauw-sicu, jangan gugup. Biarlah kita menanti kedatangan mereka di sini, hendak pinto lihat apakah orang
she Bhe itu mempunyai tiga kepala dan enam lengan?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, tiba-tiba saja Kun Hong merasa betapa telapak tangan yang halus sudah memegang
tangannya dan terdengar bisikan gadis itu, "Sinshe, mari kita bersembunyi ke sudut sana sambil menonton.
Biarlah nanti kuceritakan kepadamu jalannya pertandingan, sebentar lagi akan terjadi pertempuran hebat."
Sedianya Kun Hong akan menolak dan pergi. Akan tetapi karena dia amat tertarik ingin mengetahui
apakah sebenarnya yang telah terjadi dan siapa pula musuh Hui-houw-pang ini, pula ia ingin seberapa bisa
mencegah terjadinya pertempuran dan bunuh-membunuh, maka dia diam saja dan menurut ketika gadis itu
menuntunnya pergi dari situ. Malah dia berharap untuk mendapatkan keterangan dari gadis ini tentang
sebab-sebab permusuhan.
Oleh karena semua orang tengah sibuk mengatur penjagaan, Swat-ji mengajak Kun Hong duduk di atas
bangku panjang yang tersembunyi di sudut ruangan muka. Gadis itu masih tetap menggandeng tangan
Kun Hong dan baru setelah mereka duduk di atas bangku, Kun Hong menarik tangannya dan bertanya,
"Nona, ada apakah ribut-ribut ini? Siapakah yang menyerbu dan mengapa sampai terjadi permusuhan?"
Gadis itu tertawa merdu dan genit. "Ah, biasa saja berebutan mangsa! Akan tetapi kali ini yang
diperebutkan adalah suatu barang yang amat berharga sehingga ayah membelanya secara mati-matian.
Mereka yang datang menyerbu adalah orang-orang Kiang-liong-pang (Perkumpulan Naga Sungai)."
"Kiang-liong-pang? Perkumpulan seperti apa itu dan perkumpulan ayahmu yang bernama Hui-houw-pang
ini pun perkumpulan apakah sebetulnya?"
"Ihh, kiranya kau tidak tahu apa-apa! Hui-houw-pang amat terkenal di Propinsi Shantung, setidaknya tidak
kalah terkenal dengan Kiang-liong-pang. Semua perampok di wilayah ini tunduk kepada Hui-houw-pang,
dan ayah merupakan penarik pajak jalan yang paling adil di dunia ini."
"Apa itu pekerjaan penarik pajak jalan? Kau maksudkan perampok?"
"Sebaliknya dari perampok! Anggota-anggota kami menjaga jalan-jalan sunyi di gunung dan hutan, dan
sama sekali tidak merampok rombongan pedagang atau pelancong yang lewat, karena itu mereka harus
memberi pajak jalan kepada kami. Bukankah itu adil? Jika mereka memberi pajak jalan, mereka tidak akan
diganggu."
Kun Hong mengangguk-angguk, namun dalam hati dia mencela. Apa bedanya pemerasan dengan
perampokan?
"Sedangkan Kiang-liong-pang adalah perkumpulan para bajak air atau bajak sungai yang menguasai
semua bajak di Yang-ce dan Huang-ho sampai ke muara. Memang sering kali terjadi perebutan kekuasaan
antara darat dan sungai ini. Orang-orang Kiang-liong-pang memang betul-betul kurang ajar. Belum lama ini
kami terpaksa menyita rombongan bekas pembesar yang mengundurkan diri karena pembesar sombong
itu tidak mau membayar pajak jalan. Pertempuran terjadi dan kami berhasil melukai pembesar itu dan
membunuh orang-orangnya. Akan tetapi, tiba-tiba muncul orang-orang Kiang-liong-pang yang segera turun
tangan pula, menyatakan bahwa pembesar itu sedang menawar sebuah perahu dan karenanya menjadi
mangsa mereka. Terjadi perang lebih hebat lagi memperebutkan harta pusaka yang ternyata sangat
banyak. Banyak orang kami luka-luka termasuk ayah yang kau obati tadi. Akan tetapi barang-barang
pusaka yang paling berharga dapat kami bawa pulang, di antaranya sebuah mahkota emas penuh permata
yang tidak ternilai harganya, mahkota yang dibawa oleh bekas pembesar itu dari istana. Kabarnya itu
adalah bekas mahkota yang dipakai oleh permaisuri kaisar di jaman Kerajaan Tang dahulu."
Muak rasa hati Kun Hong setelah mendengar penuturan ini. Tidak salah dugaannya yang mengecewakan
hatinya tadi bahwa baik perkumpulan Hui-houw-pang mau pun lawannya, yaitu Kiang-liong-pang,
merupakan perkumpulan golongan hitam. Kiranya mereka adalah perampok-perampok yang sekarang
sedang bertengkar dengan para bajak!
"Sebenarnya, biar pun saling bersaingan, bila hanya untuk urusan harta benda biasa saja tak mungkin
kedua pihak sampai bertempur," gadis itu melanjutkan penuturannya. "Akan tetapi untuk mahkota ini kami
tidak mau mengalah begitu saja."
"Apakah karena terlalu berharga?" Kun Hong tertarik.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bukan, tetapi karena mahkota itu dapat menjadi jalan agar kami dapat mendekati kaisar baru, mengambil
hatinya dan memperoleh kedudukan tinggi di dalam kerajaan. Kabarnya kaisar muda yang baru ini amat
mudah diambil hatinya."
"Kaisar baru? Kaisar muda? Apa maksudmu?!" Kun Hong menahan gelora hatinya ketika mendengar katakata
ini.
"Iihhh, kau benar-benar buta!" Gadis itu tertawa.
"Memang aku buta, siapa pernah membantah?" Kun Hong terpaksa melayani kelakar ini agar si gadis suka
melanjutkan ceritanya yang mulai menarik hatinya.
Dengan lagak genit Swat-ji mencubit lengan Kun Hong. "Kau memang buta, akan tetapi kau tampan dan
pandai... ehhh, aku suka padamu, kau lucu..."
Tentu saja Kun Hong tidak mau melayani kegenitan gadis itu, akan tetapi dia pun tidak mencelanya, dia
hanya berkata halus. "Nona, aku ingin sekali mendengar penjelasanmu tentang kaisar baru tadi."
"Kau benar-benar belum mendengarnya? Kaisar tua telah meninggal tiga bulan yang lalu, dan sekarang di
kota raja terjadi keributan dalam menentukan siapa yang akan menjadi penggantinya. Akan tetapi sudah
tentu calon kaisar adalah Pangeran Kian Bun Ti, cucu kaisar yang tercinta, sebagai anak dari pangeran
sulung yang telah tiada. Nah, kau tahu sekarang dan tentang mahkota itu, sebetulnya sudah dilarikan oleh
bekas pembesar dari kota raja yang agaknya menggunakan saat kota raja ribut-ribut, kemudian lari
membawa mahkota kuno yang tak ternilai harganya itu. Sekarang mahkota itu berada di tangan kami, dan
tentu akan dapat membawa ayah ke hadapan kaisar untuk menerima anugerah dan kedudukan.”
Diam-diam Kun Hong kaget juga. Selama tiga tahun ini dia merantau dan tidak pernah memperhatikan
persoalan dunia. Kiranya Kaisar Thai-cu, yaitu pendiri dari Kerajaan Beng, seorang pahlawan yang sejak
dahulu sering dipuji-puji ayahnya, sekarang telah meninggal dunia dan singgasana kerajaan agaknya
dijadikan bahan perebutan oleh para pangeran.
Mengingat bahwa Pangeran Kian Bun Ti dicalonkan menjadi kaisar, diam-diam Kun Hong menarik napas
panjang. Dia sudah pernah bertemu dengan pangeran ini, dan dia sudah mengenal watak yang kurang
baik dari pangeran itu yang dahulu tidak segan-segan untuk mencoba memaksa kedua orang
keponakannya, yaitu Thio Hui Cu dan Kui Li Eng, untuk menjadi selir-selirnya! (baca cerita Rajawali Emas)
Tiba-tiba dia sadar dari lamunannya ketika kembali lengannya dicubit dan suara gadis itu terkekeh, "Hi-hik,
kenapa kau termenung setelah mendengar tentang kaisar? Apakah kau ingin menjadi kaisar? Hi-hi-hi,
alangkah lucu dan bagusnya, kaisar buta! Sinshe yang baik, kau tak usah melamun menjadi kaisar, biarlah
kau menjadi tabib kami saja di sini, malam nanti kau boleh memijati tubuhku yang lelah. Tentu kau pandai
memijat, bukan?" Gadis itu menggeser duduknya, merapatkan tubuhnya yang hangat itu kepada Kun
Hong.
Kun Hong tidak mempedulikan hal ini karena pikirannya sedang bekerja keras. Telinganya sudah dapat
menangkap derap kaki orang banyak menuju ke tempat itu. Berdebar dia bila ingat betapa sebentar lagi
akan terjadi pertempuran, bunuh-membunuh di depan matanya yang buta.
"Nona, sebentar lagi musuh-musuhmu menyerbu. Melihat betapa ayahmu dan para anak buahnya terluka,
tentu musuh itu amat kuat. Apakah kau tidak takut?"
"Ihh, mengapa harus takut? Dengan pedangku aku mampu menjaga diri. Malah aku ingin mencobai
kelihaian jahanam tua she Bhe itu dengan pedangku!"
"Tapi... mereka datang untuk mahkota itu. Bagaimana kalau mereka menyerbu ke rumah ayahmu dan
merampas mahkota? Kupikir, mahkota itu harus disembunyikan dulu..."
"Ahhh, ternyata kau pintar!" Tangan yang halus itu mengusap dagu Kun Hong, membuat pemuda buta ini
merasa dingin di belakang punggungnya. "Tapi ayah dan aku lebih pintar. Mahkota itu tak pernah terpisah
dari tubuhku," kata-kata ini dibisikkan di dekat telinga Kun Hong sehingga pemuda buta ini dapat merasa
betapa napas Swat-ji panas-panas meniup pipinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cepat laksana kilat Kun Hong menggerakkan tangannya dan pada detik lain tahulah dia bahwa mahkota
yang dimaksudkan itu berada dalam buntalan yang digendong oleh gadis ini.
Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan nyaring dan Kun Hong mendengar suara kaki beberapa orang
yang mempergunakan ilmu meringankan tubuh memasuki ruangan depan tempat Swat-ji berbisik, "Mereka
sudah datang, Bhe Ham Ko sendiri yang memimpin..."
Gadis ini pun tak berani main-main lagi sekarang. Ia mengalihkan perhatiannya dari tabib buta yang
menarik hatinya itu kepada para musuh yang kini sudah berada di situ. Yang kelihatan berada di luar
halaman saja sedikitnya ada dua puluh orang Kiang-liong-pang.
Ada pun yang telah meloncat memasuki pekarangan adalah seorang tua tinggi kurus yang memegang
sebatang dayung kuningan. Swat-ji pun menduga bahwa tentu inilah orangnya yang bernama Bhe Ham
Ko, ketua dari Kiang-liong-pang yang telah melukai ayahnya.
Di samping kakek ini berdiri lima orang laki-laki tinggi besar yang dilihat dari pakaiannya tentulah tokohtokoh
dalam perkumpulan bajak itu. Di belakang mereka, berdiri acuh tak acuh, tampak seorang lelaki
tinggi besar bermuka hitam, berusia empat puluh tahun lebih.
Berbeda dengan Bhe Ham Ko dan lima orang pembantunya yang berdiri dengan senjata di tangan, laki-laki
bermuka hitam ini membiarkan ruyung bajanya tergantung di pinggang dan tidak memperlihatkan muka
yang serius, bahkan menengok ke sana ke mari seperti seorang pelancong melihat-lihat pemandangan
indah.
"Hui-houw Pangcu Lauw Teng, kami dari dewan pengurus Kiang-liong-pang telah datang mengunjungimu.
Keluarlah supaya kita dapat merundingkan perkara sampai beres!" kakek she Bhe itu mengeluarkan
suaranya. "Kami pun sudah membawakan obat dan ahli untuk menyembuhkan luka-luka para sahabat dari
Hui-houw-pang!"
Jelas terdengar dalam suara ini bahwa ketua Kiang-liong-pang ini mengandung ancaman dan bujukan.
Membujuk untuk berbaik di samping mengingatkan pula bahwa pertempuran hanya akan mendatangkan
kerusakan dan kerugian pada pihak Hui-houw-pang!
"Kiang-liong Pangcu Bhe Ham Ko, luka-luka yang kecil dan tiada artinya itu tak perlu lagi dibicarakan. Kami
sudah siap menanti kedatanganmu!" Muncullah Lauw Teng diiringi tujuh orang pembantunya dengan
langkah gagah dan senjata siap di tangan kanan!
Berubah wajah Bhe Ham Ko melihat bekas lawannya itu terlihat sehat benar, malah para pembantunya
yang tadinya terkena pukulannya yang mengandung hawa beracun kini juga sudah muncul dalam keadaan
sehat! Akan tetapi keheranannya lenyap ketika dia melirik dan melihat seorang tosu berjalan keluar dari
samping. Sambil mengelus jenggotnya yang tipis, dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kiranya Lauw-pangcu telah mendapat bantuan orang pandai. Pantas saja tidak lagi
membutuhkan obat-obatan dari kami. Ataukah kini engkau hendak mempelajari kitab To-tek-keng bersama
anak buahmu? Memang pantas jika gedung ini diubah menjadi kuil." Inilah ucapan menghina dan
menyindir karena di pihak Hui-houw-pang terdapat seorang tosu tua.
Merah sekujur wajah Lauw Teng, juga dia menjadi heran sekali. Biasanya, seperti yang dia ketahui, ketua
Kiang-liong-pang ini adalah seorang yang amat berhati-hati dan bukan seorang kasar yang sembrono.
Mengapa hari ini menjadi begini sombong, berani sekali menghinanya dan malah berani mengejek Ban
Kwan Tojin? Tentu ada sebabnya, pikirnya dan saat dia melihat sikap acuh tak acuh dari orang tinggi besar
muka hitam di belakang rombongan ketua Kiang-liong-pang itu, dapatlah dia menduga bahwa tentu orang
itu yang dijadikan andalan.
"Bhe-pangcu, tak perlu banyak bicara lagi kiranya. Kita sudah lama tahu apa maksudmu datang
mengunjungiku pada saat ini, lengkap dengan anak buah dan senjata. Nah, lekas keluarkan isi hatimu.
Bagi kami, tetap kami tidak akan suka mengalah, oleh karena kami merasa bahwa pembesar she Tan itu
merupakan mangsa kami di daratan. Barang-barang bekalnya yang terampas oleh kami menjadi hak kami
dan tak seekor setan pun boleh mengambilnya begitu saja dari tangan kami!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Bhe Ham Ko tertawa menyeringai dan menggerak-gerakkan dayungnya. "Aku tahu akan kekerasan hati
Lauw-pangcu, tahu pula bahwa benda pusaka itu kau kukuhi bukan karena harganya, akan tetapi
dikarenakan pentingnya guna membuka pintu kota raja. Bukankah begitu?"
Kembali wajah Lauw Teng menjadi merah. "Apa pun yang akan kulakukan dengan benda hakku itu, bukan
menjadi urusanmu, Bhe-pangcu. Dan kiranya... tiap orang berhak untuk mencari kemajuan dalam
hidupnya..." Dia merasa segan dan sungkan untuk bicara terus terang dengan hasratnya mencari
kedudukan di kota raja.
"Jadi kau tetap berkukuh hendak memiliki mahkota pusaka kerajaan itu?!" Bhe Ham Ko membentak.
"Memang! Dan kami akan mempertahankannya dengan senjata kami!" jawab Lauw Teng berani.
Hati Ketua Hui-houw-pang ini tentu saja menjadi besar sebab dia mengandalkan bantuan Ban Kwan Tojin
beserta tiga orang gagah lainnya yang menjadi tamu undangannya, yang sekarang pun sudah memasuki
pekarangan dan berdiri dengan sikap gagah di dekat Ban Kwan Tojin.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring. "Tua bangka she Bhe jangan menjual lagak di sini!" Bayangan
merah berkelebat dan ternyata Swat-ji sudah melompat ke depan rombongan lawan dengan pedang di
tangan, sikapnya gagah.
"Swat-ji...!" Lauw Teng menegur kaget, bukan akibat melihat puterinya hendak menentang lawan, tetapi
kaget karena tidak melihat buntalan di pungung Swat-ji, buntalan mahkota yang sengaja dia suruh bawa
anak gadisnya yang dia tahu mempunyai ilmu pedang yang cukup tinggi. Dalam hal ilmu silat, puteri ini
tidak kalah lihai dari padanya sendiri.
"Ayah, biarkan aku mengusir anjjng tua ini supaya jangan banyak menjual lagak di sini." Gadis yang galak
ini segera menggerakkan pedangnya menyerang Bhe Ham Ko.
Ketua Kiang-liong-pang tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, bapaknya harimau liar anaknya pun sama juga.
Biarlah aku orang tua menjinakkan macan betina liar ini!"
Dengan tenang orang she Bhe ini menggerakkan dayungnya menangkis, tetapi diam-diam dia
mengerahkan tenaga lweekang-nya untuk membuat pedang gadis itu terlempar hanya dengan sekali
tangkis.
Swat-ji bukan seorang bodoh. Tentu saja ia sudah mendengar tentang tenaga lweekang yang tangguh dari
kakek ini, karena itu dengan gerakan pergelangan tangannya ia cepat menyelewengkan pedangnya
menghindarkan benturan senjata lawan, lantas dari samping pedangnya dengan cepat mengirim tusukan
miring ke arah lambung.
"Aiiih, tidak jelek...!" Bhe Ham Ko berseru.
Dia cepat-cepat melompat mundur sambil mengelebatkan dayungnya yang menyambar dari atas ke arah
kepala Swat-ji. Tetapi gadis itu dengan gerakan yang lincah dapat pula mengelak sambil meneruskan
dengan serangan berantai. Gerakannya memang cepat dan agaknya dengan kecepatan ini ia hendak
mencapai kemenangan. Pedangnya kemudian menyambar-nyambar dan sama sekali dia tidak memberi
kesempatan kepada lawannya untuk membentur senjatanya.
"Bagus! Lauw-pangcu, kepandaian anakmu bagus juga!" Bhe Ham Ko berseru dan kakek ini pun terpaksa
memutar dayungnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya dari pada hujan tusukan dan bacokan.
Dengan menggunakan ketajaman pendengarannya Kun Hong dapat menduga bahwa biar pun Swat-ji
mempunyai gerakan yang amat cepat, namun ia takkan menang menghadapi lawannya yang mempunyaii
gerakan antep, bertenaga, dan tenang itu. Dia mengerutkan keningnya. Pertandingan besar-besaran dan
mati-matian tentu takkan dapat dicegah lagi.
Sebetulnya dia boleh tidak usah ambil peduli karena kedua pihak yang akan bertanding bunuh-membunuh
adalah golongan hitam atau orang-orang yang mempunyai pekerjaan merampok dan membunuh. Mereka
adalah orang-orang jahat. Akan tetapi, pemuda buta ini merasa tidak tega untuk membiarkan sesama
manusia saling membunuh, hanya untuk memperebutkan sebuah benda mati yang oleh Swat-ji dititipkan
padanya dan kini berada di buntalan pakaiannya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Alangkah bodohnya manusia. Untuk mencari harta atau kedudukan, rela mengorbankan nyawa, malah
tega untuk membunuh sesama manusia. Kun Hong berpikir keras, mencari akal untuk mencegah
permusuhan antara kedua golongan itu.
Akan tetapi, baru saja dia bangkit berdiri untuk mencegah menghebatnya perkelahian, mendadak saja di
sana-sini terdengar seruan heran dan marah. Sesosok bayangan hitam berkelebat dan tahu-tahu dayung di
tangan Bhe Ham Ko sudah terpental ke belakang, sedangkan Swat-ji terhuyung-huyung.
Ketika mereka memandang, di sana sudah berdiri seorang gadis cantik jelita yang masih amat muda.
Gadis ini berpakaian serba hitam yang ringkas dan sikapnya gagah. Kedua matanya yang jeli memandang
ke kanan dan kiri. Alisnya yang hitam panjang itu berkerut, terbayang kekerasan hati dan keangkuhan dari
mulut yang kecil dengan bibir merah segar itu.
Dengan hanya sekali gerakan saja dapat mengundurkan Bhe Ham Ko dan Swat-ji, dapat dibayangkan
bahwa gadis jelita ini mempunyai ilmu kepandaian yang hebat. Swat-ji yang terhuyung-huyung itu amat
marah, tapi sebelum ia sempat mengembalikan keseimbangan tubuhnya, bagai seekor burung walet gadis
baju hitam itu bergerak, tubuhnya menyambar dan tahu-tahu Swat-ji merasa dirinya diangkat ke atas.
Kiranya tengkuk Swat-ji telah dicengkeram oleh gadis itu. Betapa pun dia berusaha untuk melepaskan diri,
ia tidak mampu bergerak, bahkan pedang yang masih dipegangnya itu tak dapat pula ia gerakkan seakanakan
seluruh tubuhnya menjadi lumpuh!
"Kaum kotor dari Hui-houw-pang dan Kiang-liong-pang, dengarlah! Nonamu datang hari ini untuk
mengambil mahkota pusaka. Kalian tak boleh ribut-ribut lagi dan harus mengalah kepada nonamu!"
Sikap yang sangat sombong ini menimbulkan kemarahan, juga kegelian. Apa lagi Lauw Teng yang melihat
anaknya ditangkap seperti itu, kemarahannya memuncak dan dia pun lalu membentak,
"Gadis liar dari mana datang mengacau? Kau siapa berani membuka mulut besar di sini?"
Gadis muda itu tersenyum mengejek. Manis sekali ia kalau tersenyum sehingga banyak di antara para
anak buah kedua pihak itu terpesona melihat cahaya gigi gemerlapan di balik bibir yang merah dan
berbentuk indah itu.
"Kau ketua dari Hui-houw-pang, tak perlu banyak cakap. Aku tahu bahwa mahkota berada di tanganmu,
lekas serahkan kepada nonamu, kalau tidak, akan kubanting hancur anak perempuanmu yang tak tahu
malu ini!"
Hemmm, kiranya bocah ini hendak memaksaku dengan menangkap anakku, pikir Lauw Teng yang segera
menjawab dengan tersenyum mengejek. "Boleh kau banting anak tiada guna itu, mana bisa aku
memberikan mahkota pusaka kepadamu? Gadis liar, lebih baik lekas mengaku kau siapa dan siapa
menyuruhmu datang mencampuri urusan kami?"
Gadis pakaian hitam itu nampak sangat kecewa, lalu melemparkan tubuh Swat-ji sambil mengomel, "Gadis
sialan, sampai ayah sendiri tidak sayang kepadamu!"
Swat-ji terlempar dan jatuh bergulingan, akan tetapi ia cepat melompat lagi dengan mata berapi-api dan
muka merah sekali. Jika saja ia tak ingat bahwa tingkat kepandaian gadis baju hitam itu jauh lebih tinggi
darinya, tentu akan diserangnya mati-matian, bukan main marahnya pada saat itu.
"Pangcu dari Hui-houw-pang, juga kalian orang-orang Kiang-liong-pang. Kalian mau tahu siapa nonamu
ini? Dunia kang-ouw menyebutku Bi-yan-cu (Si Walet Jelita). Nama asliku tak perlu kuberi tahu, karena
kalian kurang berharga untuk mengenalnya. Ayahku adalah Sin-kiam-eng Tan Beng Kui."
Pada waktu nona muda itu memperkenalkan julukannya, para penjahat itu saling pandang sambil
tersenyum-senyum karena memang nama itu tidak terkenal. Akan tetapi ketika gadis itu menyebut nama
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui sebagai ayahnya, berubah wajah mereka. Bahkan kedua pangcu itu dan para
tamu undangan nampak kaget sekali.
Sin-kiam-eng Tan Beng Kui memang jarang muncul di dunia Kang-ouw, namun namanya dikenal sebagai
seorang tokoh besar yang berilmu tinggi, yang sekarang hidup sebagai seorang ‘raja kecil’ di pantai Laut
dunia-kangouw.blogspot.com
Pohai, di lembah muara Sungai Kuning. Oleh karena kepandaiannya yang tinggi tak seorang pun bajak laut
atau perampok berani mengganggu perkampungan raja kecil ini. Sekarang tahu-tahu ada gadis jelita yang
datang mengaku sebagai puterinya dan bermaksud merampas mahkota pusaka yang sedang diperebutkan
oleh golongan itu.
Swat-ji yang masih merasa penasaran, ketika mendengar ini segera tahu bahwa gadis yang dibencinya itu
tentulah akan dimusuhi oleh kedua pihak, maka keberaniannya timbul kembali. Baginya yang belum
banyak merantau, ia tidak mengenal siapa itu Sin-kiam-eng (Pendekar Pedang Sakti) Tan Beng Kui.
"Budak liar jangan menjual lagak di sini!" Swat-ji memaki dan segera menyerbu dengan pedangnya, dari
belakang langsung menyerang gadis yang berjuluk Bi-yan-cu itu.
Si Walet Jelita, gadis yang cantik itu, mengeluarkan suara mengejek dan ketika tubuhnya bergerak dengan
luar biasa indahnya, ternyata ia telah dapat mengelak tanpa mengubah kedudukan kakinya dan selagi
pedang lawannya menyambar lewat, tangan kirinya segera mendorong.
Tanpa dapat tertahankan lagi tubuh Swat-ji terdorong ke depan, apa lagi dari belakang ditambah pula
dengan sebuah tendangan ke tubuh belakang.
“Plokk!”
Tubuh Swat-ji terperosok ke depan, pedangnya mencelat dan hidungnya yang mencium tanah dengan
keras itu mengeluarkan darah.
"Tangkap gadis liar ini!" terdengar Hui-houw Pangcu Lauw Teng memberi aba-aba.
"Bunuh saja dia!" terdengar ketua Kiang-liong-pang berseru.
Dua pihak yang tadinya bermusuhan, untuk sementara melupakan permusuhan mereka dan tanpa
berunding sudah bersekutu untuk mengalahkan gadis berbahaya itu.
Dengan pendengarannya yang sangat tajam Kun Hong dapat mengikuti semua peristiwa itu. Hatinya
berdebar ketika dia mendengar pengakuan gadis yang baru datang itu. Nama Tan Beng Kui tentu saja
dikenalnya baik sungguh pun belum pernah dia bertemu muka dengan orangnya.
Dia sudah banyak mendengar dari ayah bundanya tentang Tan Beng Kui karena orang ini dulu juga
seorang pejuang gagah, murid pertama dari Raja Pedang Cia Hui Gan. Bukan itu saja, malah Tan Beng
Kui ini adalah kakak kandung dari Tan Beng San yang sekarang menjadi ketua Thai-san-pai.
Kun Hong amat kagum dan takluk kepada Tan Beng San, orang yang amat dia hormati karena
kegagahannya. Apa lagi jika dia ingat bahwa Tan Beng San merupakan ayah dari mendiang kekasihnya,
Tan Cui Bi. Malah boleh dibilang dia adalah murid langsung dari Tan Beng San Si Raja Pedang itu, yang
ketika dia baru menjadi buta, telah membisikkan rahasia dari Ilmu Sakti Im-yang Sin-kun-hoat (Baca cerita
Raja Pedang dan Rajawali Emas).
Sekarang gadis yang mengaku berjuluk Bi-yan-cu Si Walet Jelita ini, yang bukan lain adalah keponakan
dari Tan Beng San, berada di sini dan terancam bahaya pengeroyokan dua pihak yang tadinya
bertentangan. Angin gerakan gadis itu tadi membuktikan bahwa ia berkepandaian tinggi, tentu telah
mewarisi Ilmu Silat Sian-li Kun-hoat dari ayahnya. Akan tetapi menghadapi pengeroyokan demikian
banyaknya orang, tentu berbahaya juga.
Seorang gadis yang menurut suaranya takkan lebih dari delapan belas tahun usianya itu mana boleh mati
dikeroyok, juga amat tidak baik jika mengamuk dan menjadi pembunuh puluhan orang manusia. Dia harus
segera turun tangan, demikian Kun Hong mengambil keputusan.
Sudah terdengar olehnya suara senjata beradu disusul pekik kesakitan banyak orang. Ah, jelas bahwa
gadis lihai itu tentu sudah mengamuk, pikirnya. Cepat Kun Hong melompat berdiri, tongkatnya siap di
tangan kanan dan tangan kirinya mengeluarkan mahkota itu, diangkatnya tinggi-tinggi lalu dia berseru
nyaring,
"Heeii, kalian semua berhentilah bertempur dan lihat apa yang berada di tanganku ini!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Oleh karena ketika berseru ini Kun Hong mengerahkan sedikit tenaga khikang dari dalam perutnya, tentu
saja suaranya amat nyaring dan mengatasi semua kegaduhan. Mendadak semua pertempuran berhenti
ketika mereka melihat benda emas mengkilap yang terhias permata berkilauan berada di tangan kiri
pemuda buta itu.
"Mahkota pusaka...!" terdengar teriakan di sana-sini.
"Kalian bertempur untuk memperebutkan benda ini, bukan? Benar-benar kalian tidak tahu malu. Benda ini
bukanlah milik kalian, terang bahwa benda ini dirampok dari tangan seorang pembesar. Sungguh tak baik
kalian. Rakyat sudah cukup penderitaannya, kalian orang-orang kuat dan memiliki kepandaian, mengapa
justru mempergunakan kekuatan itu untuk menambah kekacauan dan memperberat penderitaan rakyat?
Sekarang benda ini sudah berada di tanganku, hendak kukembalikan kepada yang berhak. Siapa saja
tidak boleh merampas benda ini dan kalian tidak perlu saling bermusuhan lagi!"
Semua orang itu berdiri melongo. Siapa yang tidak akan terheran-heran menyaksikan aksi orang buta itu?
Dan akhirnya meledaklah suara ketawa saking geli di samping marah dan mendongkol.
Yang paling marah dan mendongkol adalah Lauw Teng. Ia amat marah kepada puterinya. Benda itu dia
suruh simpan atau bawa puterinya agar tidak diketahui orang, siapa duga oleh puterinya dititipkan kepada
sinshe buta ini.
"Kwa-sinshe, apakah... apakah kau sudah gila?!" bentaknya marah.
Yang lebih dulu bergerak adalah Swat-ji. Gadis ini kaget dan takut sekali akan kemarahan ayahnya ketika
melihat orang buta itu begitu saja memperlihatkan mahkota kepada semua orang. Ia cepat meloncat ke
depan dengan hidung masih berdarah, menyambar dengan tangannya untuk merampas mahkota itu dari
tangan Kun Hong.
"Sinshe, kau kembalikan titipanku!" katanya.
Akan tetapi aneh sekali, sambarannya tidak mengenai sasaran sehingga tubuhnya malah terhuyunghuyung
ke depan.
Ia membalik dan dengan suara merayu ia membujuk, "Sinshe yang baik, kau kembalikan benda itu
kepadaku."
"Nona Lauw mahkota ini bukan milikmu, menyesal sekali tidak dapat kuberikan kepada siapa pun juga."
Swat-ji marah dan menyerbu untuk merampas mahkota, namun tiba-tiba ia terjungkal dan untuk kedua
kalinya ia mencium tanah. Hidung yang tadinya berdarah, kini malah berubah menjadi bengkak.
"Aduh..." ia pun mengeluh, "kau... keterlaluan... kau kejam. Tadi kau begitu baik... sinshe, bukankah malam
nanti kau mau memijati badanku? Mengapa sekarang kau merampas mahkota?"
Kembali beberapa orang tertawa mendengar ini dan muka Kun Hong yang berkulit putih itu menjadi
kemerahan. "Nona, harap jangan keluarkan omongan bukan-bukan! Sebagai seorang gadis seharusnya
kau tidak bertingkah seperti ini..."
Tapi pada saat itu Lauw Teng sudah menerjang maju, tangan kanan menghantam dada Kun Hong
sedangkan tangan kiri berusaha merampas mahkota sambil berseru.
"Sinshe buta, kiranya kau hendak mengacau!"
Seperti halnya Swat-ji, pukulan ini tidak mengenai sasaran, juga mahkota tidak terampas, sebaliknya entah
kenapa dan cara bagaimana, tahu-tahu tubuh ketua Hui-houw-pang itu terjungkal ke bawah! Inilah hebat!
Ketua Hui-houw-pang ini terkenal seorang yang cukup kosen, berkepandaian tinggi. Bagaimana ketika
menyerang sinshe muda buta itu seperti tersandung batu kakinya dan terjungkal begitu mudah?
Orang-orang tidak ada yang dapat mengikuti gerakan Kun Hong dan bagi mereka pemuda buta itu seakanakan
tidak bergerak apa-apa kecuali mengangkat mahkota itu tinggi-tinggi seperti takut dirampas! Hanya
beberapa orang saja yang menjadi tertegun dan berubah air mukanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka ini adalah Lauw Teng sendiri, ketua Kiang-liong-pang, Bhe Ham Ko, tosu dan Kwan Tojin, laki-laki
tinggi besar muka hitam, beberapa orang tamu undangan Lauw Teng, dan juga, nona baju hitam yang baru
datang. Mereka itulah yang sempat melihat betapa ketua Hui-houw-pang tadi dirobohkan oleh gerakan
tangan yang perlahan dan hampir tak kelihatan dari sinshe buta itu!
Keadaan menjadi gempar dan kini segala kemarahan dan perhatian ditumpahkan semua kepada si buta!
Semua orang lupa akan urusan yang tadi, lupa akan pertengkaran antara Hui-houw-pang dan Kiang-liongpang,
lupa pula akan si nona baju hitam yang tadinya hendak mereka keroyok.
Sekarang mahkota berada di tangan sinshe buta, tentu saja dia inilah yang kini menjadi sasaran. Dan hal
ini tepat seperti yang dikehendaki oleh Kun Hong.
Setelah menyaksikan betapa dengan aneh Lauw Teng roboh sendiri pada waktu hendak merampas
mahkota, orang-orang tidak berani bertindak sembrono. Mereka memandang orang buta itu dengan heran
dan ragu-ragu apa yang harus mereka lakukan. Kun Hong juga berdiri tak bergerak, siap untuk membela
diri dari setiap serangan.
Seorang anggota Kiang-liong-pang maju perlahan. Tangan kanannya memegang sebuah ruyung besi yang
berat. Semenjak tadi dia mengincar Kun Hong dan dia tak percaya kalau tidak mampu menjatuhkan si buta
ini. Apa sih sukarnya mengalahkan orang buta? Sekali pukul beres. Agaknya si buta ini pandai silat,
pikirnya, maka harus digunakan akal.
Dengan amat hati-hati dia melangkah terus maju sampai dekat sekali dengan Kun Hong, dalam jarak satu
meter. Pemuda itu tetap tidak, bergerak seakan-akan tidak tahu bahwa dia, didekati lawan dari depan yang
kini sudah menggeletar seluruh urat di tubuhnya untuk menghantamnya.
Tanpa mengeluarkan kata-kata, orang itu sekarang mengangkat ruyungnya tinggi-tinggi, menghimpun
tenaga lalu…
"Wheerrrrr!" ruyungnya menimpa ke arah kepala Kun Hong yang agaknya akan pecah berantakan tertimpa
ruyung besi yang berat itu.
Seperti tadi pula, tanpa menggeser kakinya Kun Hong memiringkan kepala dan sekali jari tangannya
bergerak, lawan itu jatuh tersungkur, mengaduh-aduh kesakitan karena ujung ruyungnya sudah mencium
kepalanya sendiri sampai benjol sebesar telur angsa.
Seorang anak buah Hui-houw-pang dari belakang Kun Hong berindap-indap menghampiri dengan tombak
runcing di tangan. Setelah dekat tiba-tiba dia menusuk. Tombak menusuk angin, terdengar suara keras,
tombak patah menjadi tiga dan tubuh orang itu terlempar ke belakang.
Sekarang barulah semua orang tahu atau menduga bahwa si buta itu kiranya bukanlah seorang
sembarangan, melainkan seorang yang mempunyai kepandaian luar biasa! Akan tetapi karena dialah yang
kini memegang mahkota yang amat diinginkan itu, semua orang kini mulai mendekat dengan sikap
mengancam.
Dengan kepala dimiringkan Kun Hong dapat mendengar betapa orang-orang itu mendekat dan
mengepungnya, malah yang mengurungnya kini bukanlah orang-orang biasa seperti yang tadi telah
menyerangnya. Agaknya tokoh-tokoh penting dari dua pihak mulai hendak turun tangan secara
mengeroyoknya, juga dari sebelah kirinya dia tahu bahwa gadis yang berjuluk Bi-yan-cu itu pun hendak ikut
pula menyerbu dan merampas mahkota. Kun Hong memegang tongkatnya erat-erat di tangan kanannya.
Dia tidak usah menanti lama. Segera didengarnya angin menyambar, angin senjata yang menyerang dari
kanan-kiri, depan dan belakang. Cepat dia menggerakkan tongkatnya.
"Cring-cring-cring!" terdengar suara berulang-ulang disusul dengan suara gaduh dan jerit kesakitan.
Orang-orang yang belum ikut menyerbu memandang dengan mata terbelalak keheranan. Mereka tadi
melihat orang-orang pilihan dari kedua pihak menyerbu dan hanya tampak kilat berkelebatan, tapi... tahutahu
banyak pedang, golok dan tombak beterbangan dalam keadaan patah menjadi dua sedangkan lima
orang sekaligus roboh bergulingan, menjerit jerit karena tangan atau lengan mereka berdarah, luka
tergores benda tajam! Hebatnya, ketika mereka melihat lagi ke arah sasaran, si buta itu masih berdiri
seperti biasa, dengan tangan kiri memegang mahkota tinggi dan tangan kanan membawa tongkat!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Minggir...!" Bentakan ini keluar dari mulut ketua Kiang-liong-pang dan kakek ini dengan dayungnya
menerjang hebat.
Lauw Teng yang tidak ingin melihat ketua pihak saingan ini dapat merampas mahkota, cepat mencabut
golok besarnya dan hampir berbarengan turut pula menyerbu ke depan. Gerakannya ini diikuti oleh Ban
Kwan Tojin yang sudah mencabut sepasang pedangnya karena tosu ini yang berpemandangan tajam
sudah mengetahui bahwa pemuda buta ini bukan orang sembarangan dan memiliki kepandaian yang
hebat. Apa lagi kalau diingat keterangan pemuda ini yang mengaku sebagai murid Toat-beng Yok-mo,
tentu saja patut miliki ilmu silat yang luar biasa.
Sementara itu, gadis baju hitam berjuluk Bi-yan-cu, semenjak tadi menahan senjatanya. Ia seorang gadis
yang mewarisi ilmu kepandaian tinggi, pandang matanya awas dan tajam. Melihat gerak-gerik si buta ini,
jantungnya berdebar.
Segera ia dapat mengenal dasar-dasar gerakan yang aneh dan luar biasa, dasar ilmu silat yang sakti. Oleh
karena itu, meski pun ia ikut mendekat, namun ia tidak berani sembrono melakukan penyerangan. Ia masih
belum tahu apa kehendak orang buta yang aneh itu, tidak tahu apakah dia itu kawan atau lawan dan apa
pula yang hendak dilakukan dengan perampasan mahkota itu.
Akan tetapi melihat si buta menentang dua perkumpulan penjahat sekaligus, di dalam hati gadis itu sudah
menganggap Kun Hong sebagai kawan. Karena itu ia bersikap waspada, pedang di tangan untuk siap
membantu kalau-kalau pemuda buta itu terancam bahaya pengeroyokan puluhan orang banyaknya itu.
Dalam waktu hampir bersamaan pelbagai senjata yang digerakkan oleh tangan-tangan terlatih itu
menyambar ke arah tubuh Kun Hong. Yang terdahulu sekali adalah dayung di tangan Bhe Ham Ko yang
menyambar ke arah kepalanya, mengeluarkan suara mengiung saking kerasnya. Dayung ini menyambar
dari kanan ke kiri. Lalu disusul berkelebatnya golok besar di tangan Lauw Teng. Sambaran golok ini
mengarah ke leher, juga cepat dan bertenaga hingga mengeluarkan suara mendesing. Kemudian
sepasang pedang di tangan Ban Kwan Tojin pembantu Lauw Teng itu meluncur datang, yang kiri menusuk
lambung yang kanan menyerampang kaki. Gerakan ini dilakukan oleh tosu itu dengan menekuk lutut, cepat
dan berbahaya sekali datangnya pedang, hampir tak dapat diikuti pandangan mata.
Diam-diam gadis jelita baju hitam mengeluarkan keringat dingin. Ia harus mengaku bahwa tiga orang ini
bukanlah merupakan lawan yang lunak. Andai kata ia sendiri yang diserang secara berbareng seperti itu,
hanya dengan meloncat jauh mengandalkan ginkang (ilmu meringankan tubuh) saja agaknya akan dapat
menyelamatkan dirinya.
Akan tetapi orang buta itu tak kelihatan bergerak sama sekali, masih berdiri tegak dengan tangan kiri yang
memegang mahkota diangkat tinggi, ada pun tangan kanan memegangi tongkat melintang di depan dada.
Tetapi tiba-tiba kelihatan sinar merah berkilat menyambar-nyambar, merupakan gulungan sinar merah
yang menyilaukan mata, disusul suara nyaring berdencingnya senjata tajam saling bertemu dan... tiga
orang pengeroyok ini berseru kaget dan masing-masing melompat mundur sampai tiga meter lebih.
Ketika semua orang yang tadi menjadi silau matanya oleh sinar merah yang bergulung-gulung itu kini dapat
memandang penuh perhatian, mereka melihat bahwa Bhe Ham Ko bengong memandang dayungnya yang
sudah patah menjadi dua potongan kecil di kedua tangannya.
Lauw Teng melongo menatap tangan kanannya yang hanya memegangi gagang golok sedangkan Ban
Kwan Tojin merah mukanya karena pedangnya yang kanan terbang entah ke mana sedangkan yang kiri
sudah semplok (patah) ujungnya!
Apa bila semua orang memandang kepada pemuda buta itu, ternyata si buta ini masih saja berdiri seperti
tadi dengan tangan kiri tinggi-tinggi di atas kepala memegang mahkota emas sedangkan tangan kanan
masih memegang tongkat melintang!
Apakah pemuda buta ini main sihir? Demikian para anak buah dua perkumpulan penjahat itu bertanyatanya
dan merasa bingung, juga kaget, heran dan gentar.
Akan tetapi tentu saja dugaan ini tidak betul dan para pengeroyok tadi, juga si gadis baju hitam tahu belaka
betapa secara hebat pemuda buta itu tadi menggerakkan tongkatnya yang butut dan tampaklah sinar
merah bergulung-gulung yang menangkis dan merusak semua senjata itu. Mereka dibuat begitu heran
dunia-kangouw.blogspot.com
akan kehebatan tongkat itu yang demikian ampuhnya sehingga bisa mematahkan senjata-senjata tajam
dan berat. Bukankah tongkat itu hanya tongkat kayu belaka?
Tentu saja tidak demikian keadaan yang sesungguhnya. Walau pun hanya tongkat kayu, akan tetapi
sebelah dalamnya berisi pedang Ang-hong-kiam, pedang pusaka yang ampuh sekali. Apa lagi digerakkan
oleh tangan yang memiliki tenaga dan kepandaian sakti seperti Kun Hong, sudah tentu para kepala
penjahat itu bukanlah tandingannya!
Kun Hong tersenyum kemudian berkata, "Mahkota sudah berada di tanganku, dan akan kukembalikan
kepada yang berhak. Kalian tidak usah saling bermusuhan, apa lagi sampai bunuh-membunuh. Lebih tidak
baik lagi apa bila kalian meneruskan pekerjaan kalian yang hina dan kotor ini, pasti kelak tidak akan
membawa kalian kepada keselamatan hidup. Sudahlah, aku akan pergi..."
Setelah berkata demikian, dengan langkah perlahan-lahan pemuda buta itu berjalan maju. Tongkatnya
yang dipakai meraba-raba ke depan mendahului kedua kakinya. Oleh karena dia buta, tentu saja dia tidak
tahu bahwa dia telah salah mengambil jurusan sehingga dia bukan hendak meninggalkan tempat itu,
melainkan dia malah menuju ke arah kelompok pohon-pohon besar yang memenuhi hutan kecil di lereng
bukit.
Kun Hong agak bingung ketika tongkatnya bertemu dengan batang-batang pohon. Dia lalu meraba-raba
dan berjalan di antara pohon-pohon. Ketika dia melangkah maju, dia tidak melihat bahwa di atasnya ada
sebuah cabang pohon yang tergantung rendah. Tahu-tahu kepalanya tertumbuk kepada batang pohon ini.
Kagetnya bukan main karena jika yang memukul kepala itu adalah serangan lawan, tentu dia dapat
mendengar angin pukulannya. Cepat dia miringkan kepala, akan tetapi tak dapat dia mencegah keluarnya
‘telur kecil’ menyendul di dahinya yang mencium batang pohon tadi!
Semua orang yang berada di situ saling pandang dan tanpa terasa lagi muka tiga orang tokoh yang
keheranan tadi berubah menjadi merah sekali. Orang buta macam begitu saja tak mampu mereka
robohkan! Bahkan hanya dalam satu kali gebrakan saja mereka telah kehilangan senjata! Padahal si buta
itu mencari jalan pun tidak becus!
"Serang dia!" Hampir berbareng Lauw Teng dan Bhe Ham Ko berseru.
Ributlah para anak buah bajak dan rampok berlarian maju, menghujani tubuh Kun Hong dengan serbuan
senjata mereka. Akan tetapi kini Kun Hong tidak mau memberi hati lagi. Dia tadi turun tangan dengan
maksud untuk mencegah mereka saling bunuh dan sengaja dia menimpakan rasa permusuhan mereka
kepada dirinya karena dia yakin bahwa dia mampu menjaga diri sendiri.
Melihat dirinya dikepung dan diserbu, dia cepat menggerakkan tongkatnya ke arah suara senjata yang
menyerangnya. Sinar merah bergulung-gulung dan segera terdengar suara senjata beradu bertubi-tubi,
disusul pekik kesakitan dan tampaklah senjata-senjata para pengeroyok itu beterbangan seperti daun-daun
kering rontok tertiup angin.
Kali ini Kun Hong sengaja menujukan tongkatnya kepada tangan-tangan yang memegang senjata
sehingga dalam sekejap mata saja belasan pengeroyok sudah terluka tangannya, luka berdarah yang
meski pun tidak membahayakan keselamatan mereka, namun cukup parah sehingga membuat mereka tak
berdaya dan tak dapat mengeroyok pula.
Serbuan gelombang ke dua juga mengakibatkan belasan orang pengeroyok lain mundur dan memegangi
tangan yang terluka, malah kali ini tidak ketinggalan tangan Lauw Teng, Bhe Ham Ko dan tosu Ban Kwan
Tojin juga terluka!
Melihat kehebatan pemuda buta ini, para pengeroyok menjadi gentar juga, apa lagi ketika Kun Hong yang
kini berdiri tegak menghadapi mereka itu berkata, suaranya nyaring dan penuh pengaruh,
"Jangan kira bahwa aku tidak mampu mengubah luka pada tangan dengan tebasan pada leher atau
tusukan pada ulu hati. Hemmm, orang-orang sesat, apakah kalian masih ingin merampas mahkota ini yang
bukan menjadi hak milik kalian? Sadarlah bahwa perbuatan busuk tak akan pernah mendatangkan
kebahagiaan dan keselamatan!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua orang kini memandang betapa si buta itu melanjutkan perjalanannya, hati-hati sekali berjalan
didahului rabaan tongkatnya, malah sekarang agak membungkuk-bungkuk karena takut kalau-kalau
kepalanya bertumbukan dengan dahan pohon yang rendah lagi.
"Sinshe buta, berhenti kau!" tiba-tiba saja orang tinggi besar muka hitam yang tadi datang bersama Bhe
Ham Ko melompat ke depan dan menghadang di depan Kun Hong.
Mendengar desir angin lompatan ini, Kun Hong maklum bahwa orang yang baru datang menyusulnya ini
mempunyai kepandaian yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan tiga orang pengeroyoknya tadi.
"Sahabat siapakah dan ada keperluan apa menahanku?"
"Kau tinggalkan mahkota itu dan aku masih akan mengampuni perbuatanmu mengacau di sini dan
menghina kakak iparku, Kiang-liong Pangcu!"
"Hemm, kau siapakah berani bicara sesombong ini?" Kun Hong bertanya.
"Bukalah telingamu baik-baik. Tuan besarmu ini adalah Tiat-jiu (Si Tangan Besi) Souw Ki, seorang di
antara tujuh pengawal kaisar. Mahkota itu adalah benda pusaka dari dalam istana yang dicuri kemudian
dibawa lari oleh bekas pembesar Tan Hok yang berhenti dan mengundurkan diri. Siapa yang merampas
mahkota ini berarti dialah pencurinya dan patut dihukum sebagai pengkhianat atau pemberontak. Nah, kau
serahkan benda itu padaku!"
Pihak Hui-houw-pang terkejut bukan main mendengar pengakuan orang tinggi besar ini. Mereka, terutama
Lauw Teng, lalu memandang penuh perhatian.
Kun Hong sendiri juga terkejut. Tak disangkanya bahwa dia akan bertemu kembali dengan seorang di
antara tujuh pengawal Pangeran Mahkota Kian Bun Ti yang sekarang sudah menjadi calon kaisar karena
kematian kaisar tua sehingga dengan sendirinya tujuh orang pengawalnya itu akan naik pangkat menjadi
pengawal kaisar pula. Setelah mendengar namanya, baru Kun Hong mengenal kembali suara orang ini.
Agaknya Tiat-jiu Souw Ki sendiri lupa kepadanya dan tidak mengenalnya. Hal ini tidak aneh pula karena
dia sudah menjadi buta dan di puncak Thai-san tiga tahun yang lalu, ketika Tiat-jiu Souw Ki dan keenam
orang temannya datang pula mengacau, Kun Hong belum buta (baca Rajawali Emas).
Lebih besar lagi keheranan dan kekagetannya ketika dia mendengar dari mulut pengawal itu bahwa
pembesar yang sudah dirampok, yang katanya telah mengambil dan melarikan mahkota ini dari istana,
bukan lain adalah Tan-taijin yang merupakan kakak angkat dari Tan Beng San!
"Tidak boleh orang merampas dari tanganku," kata Kun Hong tenang dan suaranya keras. "Kalau kalian
tadinya merampas benda ini dari pembesar she Tan itu, maka aku harus mengembalikan kepadanya juga."
"Keparat, berani kau melawan pengawal kaisar?!" Tiat-jiu Souw Ki membentak.
Tanpa menanti jawaban Kun Hong dia sudah mengirim pukulan dengan tangan kanannya yang disertai
hawa pukulan dan tenaga dalam yang membuat kepalannya itu sekeras besi. Memang Souw Ki ini pada
waktu mudanya melatih tangannya dengan bubuk besi sehingga sekarang dia memiliki Ilmu Tiat-see-ciang
(Pukulan Pasir Besi) yang membuat kepalannya keras bagai besi dan karena ini pula dia mendapat julukan
Tiat-jiu (Si Tangan Besi).
Sambaran pukulan tangan ini sudah cukup untuk diketahui Kun Hong mengenai keahlian lawan. Akan
tetapi dia tak gentar, malah mengempit tongkatnya dan menggunakan tangan dan memapaki pukulan itu
dengan dorongan telapak tangannya.
"Dukkk!"
Kepalan yang besar dan keras itu bertemu dengan telapak tangan Kun Hong yang putih dan halus
bagaikan tangan wanita. Akibatnya luar biasa sekali.
Souw Ki merasa betapa kepalannya bagai bertemu dengan kapas, seolah-olah tenaganya tenggelam ke
dalam air dan sebelum dia sempat menarik tangannya, dari telapak tangan itu timbul hawa panas yang
dunia-kangouw.blogspot.com
membakar tangannya. Tubuhnya menggigil, dia jatuh berlutut dan lengan tangannya serasa lumpuh.
Kagetnya bukan main dan cepat-cepat dia menarik tangannya sambil mengerahkan tenaga.
Kun Hong melepaskan tangan lawannya. Betapa kaget hati Souw Ki saat melihat kepalan tangannya
membengkak dan mulailah terasa nyeri menusuk-nusuk. Dia segera melompat mundur dan menyeringai
kesakitan.
"Tanganmu tidak apa-apa, besok akan lenyap rasa nyerinya," kata Kun Hong. "Salahmu sendiri
menggunakan tenaga beracun dan kini hawa pukulan sudah menyerang tanganmu sendiri." Setelah
berkata demikian, Kun Hong melanjutkan langkahnya.
Tak seorang pun akan mencoba untuk menyerang lagi sekarang, setelah melihat betapa semua serangan
dapat dipatahkan sekali gebrak saja oleh pemuda buta. Melihat si buta itu berjalan dengan tongkat di
depan, kelihatannya begitu lemah, begitu tak berdaya, akan tetapi hampir seratus orang banyaknya itu
tidak dapat menghalanginya membawa pergi mahkota itu, benar-benar amat mengherankan! Orang-orang
itu hanya mengikutinya dari jauh tak seorang pun mengeluarkan suara.
Diam-diam gadis jelita baju hitam itu pun mengikuti dari jauh. Ia makin kagum kepada Kun Hong, dan dia
juga dapat melihat sikap para penjahat itu yang agaknya tidak akan mau mengalah begitu saja.
Siapakah pemuda buta ini? Lihai bukan main! Dari mana datangnya dan apa maksud sebenarnya
membawa pergi mahkota kuno? Demikian bermacam pikiran mengaduk di hati Bi-yan-cu. Sengaja gadis ini
menyelinap di antara pepohonan dan menghilang dari pandangan mata orang banyak, lalu diam-diam ia
mengikuti semua kejadian atas diri Kun Hong.
Setelah Kun Hong menembus hutan kecil penuh pepohonan itu, barulah si gadis jelita itu terkejut sekali
dan maklum apa yang diharapkan oleh para penjahat itu. Kiranya, tanpa diketahuinya, orang buta itu salah
jalan. Dia menuju ke sebuah tebing yang buntu karena berujung jurang yang amat curam dan luas, tak
mungkin dilalui manusia!
Tanpa diketahuinya, si buta itu berjalan perlahan-lahan, tongkatnya meraba-raba menuju ke pinggir jurang.
Ada pun di belakangnya, hampir seratus orang dari kedua perkumpulan penjahat itu mengikutinya, siap
sedia dengan senjata di tangan, bahkan ada yang sudah mementang busur!
Melihat betapa orang buta itu menghadapi bahaya maut yang hebat, Bi-yan-cu ingin berteriak memberi
peringatan. Akan tetapi ia menahan hatinya. Mengapa ia harus berbuat demikian? Ia tidak mempunyai
hubungan apa-apa dengan si buta, kecuali bahwa mahkota itu kini berada pada si buta dan harus ia
rampas. Si buta itu boleh mampus di tangan penjahat-penjahat ini, apa sangkut pautnya dengannya?
Pula, orang buta itu masih muda dan tampan sekali, kalau ia seorang gadis tanpa alasan membelanya,
bukankah orang akan menyangka yang bukan-bukan terhadap dirinya? Apa lagi kalau diingat betapa si
buta tadi demikian dekat dan baik dengan gadis pesolek genit anak Lauw Teng, dapat diduga bahwa orang
buta itu pun bukan orang baik-baik biar pun kepandaiannya benar-benar amat lihai.
Biarlah mereka saling gempur, dan ia mencari kesempatan baik merampas mahkota itu. Inilah siasat
membiarkan anjing-anjing merebutkan daging sambil menunggu kesempatan untuk menyambar daging itu!
Ketika akhirnya tongkatnya meraba tempat kosong, Kun Hong juga merasa kaget sekali. Diraba-rabanya
sekali lagi ke depan, kanan kiri sama saja. Sudah jelas bahwa tongkatnya memang meraba tempat kosong.
Dia berjongkok, mencoba untuk mengukur dalamnya ‘lobang’ di depannya itu, siapa tahu hanya sungai
kecil. Tapi, biar pun dia sudah mengulur lengan dan tongkatnya, masih juga belum menyentuh dasarnya.
Dan dia tidak mendengar suara air sungai.
Dia lalu mundur dan melangkah dua tindak ke belakang, keningnya berkerut. Telinganya mendengar suara
burung jauh di bawah ketika dia berjongkok tadi. Tahulah dia sekarang bahwa di depannya adalah jurang
yang sangat curam, bahwa di ‘bawah’ sana itu adalah kaki gunung, dusun-dusun dan pohon-pohon di
mana burung-burung beterbangan!
"Kwa-sinshe, kau masih tidak mau menyerahkan mahkota itu?!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba saja dia mendengar suara bentakan di belakangnya, suara Lauw Teng, juga dia mendengar
langkah kaki puluhan orang banyaknya, bergerak berindap-indap ke arahnya dari belakang, kanan dan kiri.
Dia maklum bahwa dirinya sudah terkurung dari kanan kiri belakang oleh para lawannya, sedangkan dari
depan dihalangi jurang yang tidak mungkin dilalui. Dia membalik, tersenyum dan menjawab,
"Pangcu, kalau mahkota ini terjatuh ke tanganmu, tentu orang-orang Kiang-liong-pang tak akan diam begitu
saja dan akan merampasnya dari tanganmu, sebaliknya kalau kuberikan kepada ketua Kiang-liong-pang,
tentu kau dan semua anak buahmu juga tidak akan mau menerima begitu saja. Karena itu, biarlah tetap di
tanganku dan kalian tidak usah saling bermusuhan." Kun Hong melangkah maju, ingin segera menjauhi
pinggir jurang karena hal ini amat berbahaya baginya.
Akan tetapi atas dorongan ketua kedua perkumpulan, para bajak dan perampok segera menyerbu,
didahului melayangnya puluhan batang anak-anak panah ke arah Kun Hong! Pemuda buta itu cepat
memutar tongkatnya dan anak-anak panah itu runtuh semua, ada yang melejit dan meluncur kembali
menyerang tuannya sendiri.
Meski Kun Hong dihujani anak panah, akan tetapi tak sebuah pun dapat menyentuhnya. Tongkat yang dia
gerakkan merupakan perisai yang sangat tangguh, juga gerakannya mengandung hawa sakti yang amat
kuat sehingga anginnya saja cukup untuk mengusir pergi anak panah yang mendekatinya.
Akan tetapi puluhan orang itu terus mendesak maju, kini menggunakan toya, tombak dan senjata-senjata
panjang lainnya. Kun Hong menangkis, mematahkan banyak tombak dan toya, merobohkan banyak
pengeroyoknya dengan melukai mereka tanpa membahayakan keselamatan nyawa.
Karena menghadapi pengeroyokan berat, dia terpaksa harus bergerak ke sana ke mari, mulai menendang
untuk membantu tongkatnya. Dia tak gentar menghadapi pengeroyokan orang-orang yang baginya bukan
merupakan lawan yang tangguh itu... akan tetapi karena para penjahat itu mengeroyoknya sambil
berteriak, hal ini sangat membingungkan Kun Hong.
Harus diketahui bahwa pemuda buta ini dalam setiap pertempuran hanya mengandalkan telinganya.
Sekarang orang-orang itu mengeluarkan teriakan-teriakan gaduh, tentu saja pendengarannya menjadi
kacau-balau sehingga dia tidak dapat menangkap desir angin sambaran senjata lagi. Dalam keadaan
begini terpaksa Kun Hong hanya mainkan tongkat melindungi dirinya saja, dan terpaksa dia menggunakan
kakinya untuk menendang dan merobohkan lawan, sebab untuk merobohkan lawan dengan tongkatnya,
dia juga khawatir kalau-kalau akan menewaskannya.
Mendadak di antara para pengeroyok itu ada yang mengeluarkan tambang panjang, yang dipegang
melintang serta dipasang di depan Kun Hong yang masih sibuk menghadapi pengeroyokan. Secara tibatiba
tambang lalu ditarik dan digunakan untuk membetot kaki orang buta itu.
Kun Hong kaget dan cepat melompat ke sana ke mari. Akan tetapi celakalah dia kalau sampai jatuh karena
libatan tambang. Orang-orang yang mengeroyoknya bersorak dan pengeroyokan menjadi semakin ketat.
"Manusia-manusia curang!"
Bi-yan-cu tak dapat menahan kemarahannya lagi dan sesosok bayangan hitam berkelebat didahului sinar
pedang yang amat menyilaukan mata. Pekik kesakitan segera terdengar susul-menyusul, dan beberapa
orang penjahat roboh oleh pedang si gadis yang ampuh.
"Hee... jangan...!" Kun Hong berteriak mendengar jeritan-jeritan itu, akan tetapi pada saat itu dia lupa dan
melompat agak jauh.
Celaka baginya, dia justru melompat ke arah jurang, tepat di tepinya. Kakinya terpeleset dan tanpa dapat
dicegah lagi tubuhnya terguling masuk ke dalam jurang. Para bajak dan perampok bersorak-sorai dan
mereka kini membalik untuk mengeroyok gadis jelita baju hitam yang mengamuk seperti seekor naga
betina.
Sebetulnya, ketua dari dua perkumpulan penjahat itu tidak ada nafsu untuk mengeroyok Bi-yan-cu, karena
selain mereka tidak suka bermusuhan dengan puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui si raja kecil dari pantai
Po-hai, juga mahkota kuno yang diperebutkan berada di tangan si buta yang kini sudah terjungkal ke dalam
jurang. Perlu apa ribut-ribut dengan gadis liar itu?
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, keadaannya lain sekarang. Bukan mereka yang sengaja mengeroyok, adalah Bi-yan-cu yang
sengaja mengamuk! Entah bagaimana, melihat betapa pemuda buta itu dikeroyok sampai terjungkal ke
dalam jurang, gadis ini menjadi marah sekali dan lantas mengamuk seperti ayam betina diganggu anaknya.
Karena amukan gadis ini merobohkan banyak anak buah bajak dan perampok, dua orang ketua itu
bersama para pembantunya menjadi marah. Mereka lalu berbareng menyerbu, maka dikeroyoklah Bi-yancu
oleh banyak orang kosen.
Ilmu pedang gadis itu benar-benar hebat, tepat seperti yang diduga oleh Kun Hong tadi. Gerakannya lincah
dan lemas, seperti gadis sedang menari-nari dengan indahnya, namun setiap gerakan pedang pasti
mematahkan senjata lawan atau melukainya.
Betapa pun juga, menghadapi pengeroyokan Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Bhe Ham Ko, lima orang tamu
undangan termasuk Tiat-jiu Souw Ki yang tingkat kepandaiannya sudah tinggi juga, gadis ini mulai
terdesak. Ilmu pedangnya yang sakti, yaitu Ilmu Pedang Sian-li Kiam-sut (Ilmu Pedang Bidadari)
sementara ini memang mampu menyelamatkan dirinya. Gerakannya masih tetap lincah dan indah, akan
tetapi lewat seratus jurus, ia mulai lelah.
"Ha-ha-ha-ha, gadis liar, apakah engkau masih hendak mengamuk lagi? Hemmm, melihat muka ayahmu,
asal kau melepaskan pedang dan berlutut minta maaf, biarlah kulepaskan kau!" kata Lauw Teng yang
bagaimana pun juga masih merasa khawatir kalau-kalau dia menimbulkan bibit permusuhan dengan raja
kecil pantai Po-hai yang amat terkenal itu.
"Lebih baik mampus dari pada minta maaf kepada penjahat-penjahat keji macam kalian!" Bi-yan-cu berseru
sambil memutar pedangnya dengan cepat sehingga pedang itu berubah menjadi gundukan sinar
kemilauan. Gadis itu bahkan memaki. "Manusia-manusia curang, kalau memang gagah jangan main
keroyokan!"
Sekali gulungan sinar pedang itu menyambar ke kiri, salah seorang pengeroyok menjerit akibat pundaknya
terbabat pedang. Baiknya ia masih sempat melempar diri ke belakang sehingga hanya kulit dan bagian
daging pundaknya saja yang sapat oleh pedang. Namun cukup mendatangkan rasa perih dan nyeri bukan
main sehingga ia pun melompat mundur sambil merintih-rintih.
Lagi terdengar jeritan keras ketika pedang Bi-yan-cu yang dikelebatkan ke belakangnya berhasil merobek
kulit dan daging paha seorang pengeroyok lainnya, malah dalam detik berikutnya pedang itu sudah
menusuk ke arah leher Bhe Ham Ko dengan kecepatan kilat. Orang she Bhe ini berseru kaget dan tak
kuasa untuk menangkis atau mengelak lagi, dia sudah meramkan mata menanti datangnya maut.
"Tranggg!"
Ruyung di tangan Tiat-jiu Souw Ki menangkis pedang yang akan merenggut nyawa kakak isterinya itu.
Ujung ruyungnya terbabat putus, akan tetapi tubuh gadis itu sendiri terhuyung mundur, tangannya terasa
sakit.
Bi-yan-cu maklum bahwa tenaga lweekang dari Si Tangan Besi itu benar-benar amat kuat. Sebelum dia
berhasil mengambil kedudukannya, kembali dia sudah diserang gencar oleh senjata-senjata lawan secara
bertubi-tubi. Sekali putar saja pedangnya dapat menangkis semua senjata, sedangkan ruyung yang sudah
menghantam pinggangnya telah ia tangkis dengan sebuah tendangan keras menggunakan tumit kakinya.
Pada saat itu pula, golok dan pedang lawan yang lain sudah menggempurnya. Bi-yan-cu menggoyang
pedangnya, tapi agaknya para pengeroyoknya yang terdiri dari orang-orang pandai ini sudah bersepakat
untuk mengalahkannya. Dari kanan kiri datang golok dan pedang yang menjepit pedangnya.
Bi-yan-cu kaget, mengerahkan tenaga untuk menarik pulang pedangnya. Akan tetapi pada saat itu,
sebatang pedang lain menyerampang kakinya. Cepat ia meloncat ke atas dan tak dapat dicegah lagi ia
harus menerima hantaman dayung yang datang dari arah kanan, menggunakan pangkal lengan kanannya.
"Bukkk!"
Hantaman itu membuat tubuhnya tergetar, tangan kanannya lumpuh kaku dan terpaksa ia melepaskan
pedangnya untuk dapat meloncat ke atas, lalu membalik ke belakang dan keluar dari kepungan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hayo berlutut minta ampun kalau tidak mau mampus!" sekali lagi Hui-houw Pangcu Lauw Teng
membentaknya.
Gadis itu berdiri dengan tegak, matanya berapi-api, kepalanya dikedikkan dan mulutnya tersenyum
mengejek. Ia adalah puteri seorang gagah perkasa dan semenjak kecil sudah digembleng tentang
kegagahan. Mati bukanlah apa-apa bagi Bi-yan-cu.
Sambil mengeluarkan pekik nyaring gadis ini malah menerjang maju lagi dengan tangan kosong,
menggunakan kepalan tangan dan tendangan kaki! Para pengeroyoknya yang sudah menjadi marah itu
menyambutnya dengan hujan bacokan.
"Cring-cring-cring...!"
Sinar merah berkelebat dan senjata-senjata para pengeroyok itu berpelantingan. Semua orang mundur
penuh keheranan dan ... kiranya si buta sudah berada di situ. Si buta inilah yang tadi menangkis semua
senjata itu, menolong nyawa Bi-yan-cu. Dan tangan kiri yang diangkat tinggi-tinggi itu masih memegang
mahkota yang diperebutkan!
Pada waktu Kun Hong menginjak pinggir jurang yang mengakibatkan dia terperosok dan terguling ke
dalam jurang, pemuda ini tidak kehilangan akal. Dengan menahan napas dia mengerahkan seluruh
kekuatan ginkang-nya, memutar tongkatnya menusuk-nusuk ke kiri dan kanan. Akhirnya usahanya
berhasil.
Sebelum terlalu dalam dia terjatuh, ujung tongkat yang ditusukkan telah menancap pada dinding jurang
yang merupakan tanah keras. Dia bergantungan di situ. Mahkota itu dia selipkan dalam buntalan di
punggungnya, kemudian tangan kirinya meraba-raba. Begitu mendapat pegangan, yaitu batu yang
menonjol pada dinding itu, dia mencabut pedang, menggunakan tangan kiri menarik tubuh ke atas dan
menancapkan pedangnya di sebelah atas.
Demikianlah, meski lambat akhirnya dia berhasil merambat ke atas kembali dan meloncat ke luar dari
jurang yang merupakan mulut maut yang akan menelannya. Dan tepat sekali dia masih keburu
menyelamatkan Bi-yan-cu dari bahaya maut di tangan para penjahat.
Melihat munculnya si buta ini, Lauw Teng dan kawan-kawannya menjadi amat kaget dan khawatir sekali.
Akan tetapi Tiat-jiu Souw Ki yang berpikiran cepat dan cerdik itu segera berkata, "Tawan dulu gadis liar ini!"
Dia mendahului menubruk ke arah Bi-yan-cu, disusul kawan-kawannya.
Gadis itu tadinya merasa amat heran, kaget dan juga girang melihat Kun Hong, sekarang dengan cepat dia
berusaha untuk melawan. Akan tetapi karena lengan kanannya terasa kaku dan lumpuh, sia-sia saja dia
melawan dan akhirnya dapatlah dia diringkus dan diikat kaki tangannya.
"Sinshe buta, jangan bergerak atau... gadis ini akan kami bunuh lebih dulu!" teriak Tiat-jiu Souw Ki dengan
suara nyaring sambil menempelkan ruyungnya pada kepala Bi-yan-cu.
Lemas seluruh tubuh Kun Hong mendengar ini. Karena matanya sudah buta, ilmu silatnya hanya bisa dia
pergunakan untuk menjaga diri, yaitu dia dapat menghadapi tiap serangan dan sekalian merobohkan
lawannya. Akan tetapi untuk menyerang orang, sungguh sukar baginya, apa lagi untuk menolong gadis
yang dikeroyok itu.
Dengan mengandalkan pendengarannya terhadap angin pukulan senjata, tadi dia masih dapat
menggerakkan tongkat untuk menghalau semua senjata itu. Sekarang tak mungkin dia secara mengawur
dapat mengamuk. Pula, bukan maksudnya untuk menyerang orang kalau dia sendiri tidak diganggu. Maka
sejenak dia menjadi bingung, tak tahu dengan cara bagaimana dia dapat menolong puteri dari Sin-kiameng
Tan Beng Kui.
"Sudahlah," akhirnya ia pun berkata dengan suara rendah. "Kalian menghendaki mahkota butut ini? Nah,
kalian boleh menerimanya asal gadis itu dibebaskan."
Lauw Teng, Ban Kwan Tojin, Souw Ki, dan Bhe Ham Ko saling memandang. Lalu Tiat-jiu Souw Ki mewakili
mereka semua bersuara,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sinshe buta, kami baru mau membebaskan gadis ini kalau kau suka menyerah menjadi tawanan kami dan
menyerahkan mahkota itu."
Kun Hong mengerutkan kening. Tentu saja sangat berbahaya baginya kalau dia sampai menyerah dan
menjadi tawanan orang-orang yang kejam ini. Besar kemungkinan ia akan dibunuh mati. Sebaliknya, jika
tidak menyerah dan mengamuk, sungguh pun dia mampu mengalahkan mereka, namun gadis puteri Tan
Beng Kui itu pun terancam keselamatan nyawanya.
Gadis yang menurut suaranya baru belasan tahun usianya itu benar-benar amat sayang kalau harus mati,
apa lagi ia adalah puteri Tan Beng Kui, atau lebih tepat lagi, ia apa lagi kemenakan Tan Beng San Taihiap!
Berbeda dengan dia, hanya seorang buta yang tidak berharga, baik jiwa mau pun raganya. Mati baginya
hanya berarti mempercepat persatuan kembali dengan mendiang Tan Cui Bi, kekasihnya, matahari
hidupnya!
"Baiklah, aku menyerah. Lekas kalian bebaskan gadis itu!" katanya sambil menarik napas panjang.
"Ha-ha-ha, pengemis buta! Jangan dikira kami begitu bodoh. Kau harus menyerah untuk dibelenggu kedua
tanganmu!" Bhe Ham Ko tertawa mengejek.
Kun Hong tersenyum masam, menahan kemarahannya, lalu ia mengulurkan kedua lengan disejajarkan ke
depan. "Boleh, kalian belenggulah."
Seorang anak buah Kiang-liong-pang yang diberi isyarat oleh ketuanya lalu melangkah maju, membawa
tambang kulit kerbau yang kuat sekali.
"Jangan mau menyerah! Kau akan dibunuh oleh penjahat-penjahat jahanam ini!" tiba-tiba Bi-yan-cu
berseru nyaring.
Kun Hong menggelengkan kepala. "Lebih baik aku yang dibunuh. Apa sih artinya orang buta seperti aku?
Hayo, kalian belenggulah aku, tapi lepaskan dulu gadis itu!"
"Kau harus dibelanggu lebih dulu!" Kata Bhe Ham Ko. Tentu saja dia tidak menghendaki si buta ini
kemudian tidak memegang janjinya setelah si gadis dibebaskan.
"Hah, kalian tidak percaya kepadaku. Hemmm, sebaliknya bagaimana aku dapat percaya kepada kalian?"
"Jangan mau diperdayai!" kembali gadis itu mencela dengan suaranya yang nyaring. "Jika mereka berani
menggangguku, ayah tentu akan datang dan menghancurkan jiwa anjing mereka, tidak seekor pun akan
diampuni!"
Kun Hong tidak membantah ketika anak buah bajak itu membelenggu kedua pergelangan tangannya
dengan tali kulit yang amat kuat itu. Juga mahkota itu diambil dari buntalannya dan diserahkan orang
kepada Souw Ki yang lalu tertawa bergelak.
"Lepaskan gadis liar itu," kata Souw Ki. "Jangan sampai dunia kang-ouw mengatakan kita tidak memegang
janji. Nona, katakan pada ayahmu bahwa bukan sekali-kali kami hendak memusuhinya, akan tetapi karena
kau sendiri yang memusuhi kami, maka terpaksa kami bertindak. Kau harus tahu bahwa aku adalah
pengawal kaisar. Karena benda ini adalah milik istana, sudah menjadi kewajibanku untuk mengambilnya
kembali."
Nona itu dibebaskan. Ia meloncat berdiri akan tetapi terhuyung-huyung. Kakinya terasa kaku dan tangan
kanannya tak dapat digerakkan, agaknya ada tulang yang patah. Ia pergi menjemput pedangnya yang
menggeletak di atas tanah, memegangnya dengan tangan kiri, dipegangnya erat-erat sambil menggigit
bibir.
Ingin dia mengamuk dan membunuh semua penjahat ini untuk merampas mahkota dan menolong si buta,
akan tetapi dia tidak begitu bodoh dan tahu-pula bahwa usahanya ini akan sia-sia dan hanya akan
mengorbankan nyawa dengan sia-sia belaka. Andai kata belum terluka lengan kanannya tentu ia tak akan
menyerah mentah-mentah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia berdiri seperti patung melihat betapa ujung belenggu yang masih panjang ditarik orang dan si buta itu
diseret seperti orang menuntun kerbau saja. Beberapa kali kaki Kun Hong tersandung batu dan terhuyunghuyung
akan jatuh, ditertawai oleh anak buah bajak dan rampok.
Tanpa menggunakan tongkatnya untuk meraba jalan di depan kakinya, tentu saja dia tak dapat berjalan
dengan baik, tak dapat melihat adanya batu-batu yang menghalang kedua kakinya, apa lagi diseret-seret
seperti itu. Tongkat itu masih dipegangnya, akan tetapi tak dapat digunakan karena kedua tangannya harus
diangkat agak tinggi ketika diseret.
"Kenapa... kenapa kau lakukan ini...?" gadis itu berteriak, menahan isak.
Kun Hong mendengar ini, biar pun teriakan itu sebenarnya hanya nyaring di dalam hati gadis itu, yang
keluar dari bibirnya hanya keluhan perlahan. Ia menengok dan tersenyum, berkata, "Nona, mengingat
pamanmu, Tan Beng San taihiap, aku rela melakukan ini..."
Sementara itu, kesibukan nampak pada para pimpinan kedua perkumpulan yang tadinya saling
bermusuhan tapi sekarang telah berbaik kembali.
"Souw-ciangkun, dalam merampas kembali mahkota ini dari tangan bekas pembesar Tan, kami pun
mempunyai jasa, harap jangan lupakan ini!" terdengar Lauw Teng berkata.
Tiat-jiu Souw Ki tertawa. "Jangan khawatir, Lauw-pangcu. Aku akan membawa kembali mahkota ini ke kota
raja dan di hadapan sri baginda kaisar pasti akan kulaporkan tentang jasa Hui-houw-pang dan Kiang-liongpang.
Tunggu saja, tak lama lagi kalian semua akan memperoleh anugerah dari kaisar."
Para anak buah bajak dan rampok bersorak gembira. Souw Ki lalu memilih sepuluh orang dari Hui-houwpang
dan sepuluh orang lagi dari Kiang-liong-pang untuk mengawalnya ke kota raja. Malah Ban Kwan Tojin
yang hendak berpesiar ke kota raja pun turut menyertai rombongan ini. Hui-houw-pang yang merasa
berterima kasih bahwa adik ipar dari bekas musuhnya ini ternyata tidak memusuhinya cepat menyediakan
dua puluh dua ekor kuda yang kuat-kuat untuk rombongan itu.
Berangkatlah dua puluh dua orang itu naik kuda. Anak buah yang kudanya jalan paling belakang
memegang ujung tali belenggu tangan Kun Hong. Begitu kuda bergerak, tubuh Kun Hong tersentak ke
depan.
Terpaksa pemuda buta ini lari pontang-panting, meloncat-loncat agar jangan tersandung batu, dengan
kedua tangan diacungkan ke depan. Dia terhuyung-huyung ke depan dan agaknya penglihatan ini amat
lucu bagi kedua golongan hitam, buktinya mereka tertawa bergelak-gelak dengan geli.
Bi-yan-cu menyelinap pergi di antara pepohonan, tangan kiri yang menggenggam gagang pedang
diusapkan ke depan muka untuk menghapus air mata yang berderai jatuh ke atas kedua pipinya…..
********************
Tiat-jiu Souw Ki memang seorang yang amat cerdik. Ketika mendengar bahwa pemuda buta ini pandai ilmu
pengobatan, timbul niat hatinya untuk memaksa pemuda itu ikut ke kota raja agar dapat dipergunakan
kepandaiannya itu. Tentang kepandaiannya ilmu silat yang demikian hebatnya, ah, tak usah dikhawatirkan
karena betapa pun pandainya orang buta tentu mudah ditipu.
Meski kuda-kuda itu berlari tidak terlalu cepat, tapi keadaan Kun Hong yang diseret-seret cukup sengsara.
Berkali-kali dia terperosok ke dalam lubang di tanah, atau tersandung batu sehingga tubuhnya terjungkal
ke depan dan terseret oleh kuda.
Baiknya pemuda ini memang memiliki ginkang yang tinggi dan tubuhnya sudah memiliki hawa murni yang
membuat kulitnya kebal. Biar pun tampaknya dia tersiksa sedemikian hebatnya, namun sesungguhnya dia
tidak sampai menderita nyeri dan tidak terluka sama sekali.
Tadi memang dia menyerahkan diri untuk menggantikan gadis itu, dan dia juga sengaja menurut saja
diseret-seret sampai beberapa jam lamanya untuk memberi kesempatan kepada gadis itu pergi
menjauhkan diri. Selain itu, juga lebih mudah baginya untuk turun gunung dengan cara ‘membonceng’
seperti ini dari pada harus mencari jalan sendiri di tempat yang asing baginya. Memang cocok sekali
dunia-kangouw.blogspot.com
harapannya, dia diseret turun gunung dan hari telah menjelang senja pada saat rombongan itu memasuki
sebuah dusun di kaki gunung.
Bukan hal aneh pada masa itu bahwa rakyat amat takut terhadap setiap rombongan orang yang
bersenjata, baik rombongan ini merupakan pasukan tentara pemerintah atau bukan. Ini terjadi akibat
tekanan-tekanan dan gangguan yang selalu dilakukan oleh rombongan-rombongan macam itu untuk
menyenangkan diri sendiri tiap kali mereka melewati sebuah dusun. Merampas makanan tanpa membayar,
memaksa penduduk membawakan beban, merampas kaum wanita dan sebagainya.
Oleh karena itu, ketika pada sore hari itu rombongan Tiat-jiu Souw Ki memasuki dusun di kaki gunung ini,
semua penduduknya sudah pada lari menyembunyikan diri, rumah-rumah sebagian besar ditutup pintunya.
Rombongan itu lalu berhenti di tengah-tengah dusun, di depan sederetan rumah-rumah gubuk kecil terbuat
dari pada bambu, rumah orang-orang miskin.
Juga rumah-rumah ini biar pun tidak ditutup pintunya, kelihatan sunyi tiada penghuninya. Memang perlu
apa rumah-rumah ini ditutup pintunya kalau di dalamnya tiada sesuatu apa pun yang cukup berharga untuk
dicuri orang?
Tiat-jiu Souw Ki yang merasa lapar dan haus, yang merasa lelah setelah tadi mengalami pertempuran,
ingin beristirahat dan bermalam di kampung ini. Melihat kesunyian tempat itu, dia mengerutkan kening dan
mengomel.
"Sungguh tidak sopan penduduk dusun ini!"
Ban Kwan Tojin lalu menjawab. "Memang sebagian besar dusun-dusun seperti ini selalu dikosongkan
kalau ada rombongan orang-orang asing lewat, Ciangkun. Karena itu, kalau pemerintah yang baru
sekarang ini benar-benar sudah lengkap, harus segera diusahakan adanya pejabat-pejabat kecil di tiap
dusun sehingga segala sesuatu mengenai penghuni dusun-dusun dapat diatur sebaiknya."
Tiat-jiu melirik ke arah tosu itu dan diam-diam dia dapat menjeguk isi hati tosu ini yang seperti juga orangorang
lain ternyata memiliki ambisi untuk menjadi orang berpangkat. Dia sedang hendak memerintahkan
orang-orangnya untuk mencari tempat penginapan yang baik baginya, tentu saja bukan rumah penginapan
umum karena di dusun sekecil itu mana ada losmen?
Yang dia maksudkan adalah rumah terbaik, tak peduli tempat tinggal siapa pun, untuk dia mengaso malam
itu. Akan tetapi tiba-tiba dari sebuah di antara rumah-rumah gubuk itu keluarlah seorang anak laki-laki kecil.
Usianya paling banyak lima tahun, tubuhnya kurus kering dan setengah telanjang.
Anak ini keluar setengah berlari, akan tetapi tiba-tiba terhenyak di depan pintunya ketika dia melihat begitu
banyak kuda-kuda besar ditunggangi orang sedang berkumpul di depan rumahnya. Kedua matanya yang
bening itu berseri gembira dan mulutnya segera berseru,
"Kuda bagus... kuda bagus...!"
"...A Wan... A Wan..." tiba-tiba terdengar suara wanita memanggil dari dalam gubuk itu, suaranya yang
terdengar gemetar ketakutan.
Akan tetapi anak kecil itu berjalan tertatih-tatih menonton kuda sampai dia tiba di bagian paling belakang
rombongan itu. Sejenak dia tertegun memandang kepada Kun Hong.
Pemuda buta ini berdiri dalam keadaan terbelenggu kedua tangannya, ujung tambang belenggu dipegang
si penunggang kuda. Pakaian si buta itu robek-robek semua di bagian punggung, di bagian lain sudah
kotor oleh debu, juga mukanya berkeringat penuh debu, membuat muka itu kotor dan hitam.
Akan tetapi orang buta ini mulutnya tersenyum karena sesungguhnya Kun Hong girang juga pada saat
mendapat kenyataan bahwa dia telah dapat ‘membonceng’ rombongan itu sampai ke sebuah dusun. Kalau
dia sendiri yang turun dari puncak tanpa penunjuk jalan, kiranya dia akan tersesat dan entah sampai kapan
baru dapat bertemu dengan dusun atau orang.
"Kasihan paman buta... lepaskan... lepas...!" Anak itu berteriak-teriak sambil mendekati Kun Hong.
"Anak baik...!" Kun Hong berkata halus, suara anak itu menggetarkan jantungnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Anak haram, minggat!" seorang di antara para pengiring Souw Ki membentak dan…
"Tar! tar!" cambuknya menyambar ke tubuh anak itu.
Anak itu menjerit dan berlari mundur sambil menangis. Dari dalam gubuk berlari ke luar seorang wanita
yang serta merta menubruk anaknya, lalu bersama anak itu ia berlutut.
"Ampun, Tai-ya... ampunkan kami..." Wanita itu terus memohon sambil dia mengangguk-anggukkan
kepalanya sampai menyentuh tanah. Wajahnya pucat dan ketika ia melirik ke arah Kun Hong, melihat
orang buta ini dibelenggu serta pakaiannya rompang-ramping dan mukanya kotor penuh debu, dia menjadi
semakin ngeri dan ketakutan sampai tubuhnya menggigil!
Kun Hong tidak tahu mengapa si kejam itu tiba-tiba menahan cambuknya. Lalu terdengar orang-orang itu
tertawa kecil, malah si pemegang cambuk lalu berkata perlahan, "Aiihh, cantik..."
Kemudian terdengar suara Tiat-jiu Souw Ki, "Suruh dia melayaniku nanti!"
Si pemegang cambuk mengajukan kudanya. Ia mendekati wanita yang berlutut bersama anaknya yang
masih terisak-isak itu dan berkata dengan suaranya yang parau.
"He, manis, kau dengar sendiri ucapan Souw-ciangkun tadi. Sebentar malam kau diajak minum arak manis,
ha-ha-ha! Hayo kau ikut sekarang juga."
"Tidak...," perempuan itu menangis.
"Apa katamu? Setan! Berani kau menolak?"
"Ampun, Tai-jin... hamba... hamba tidak bisa..."
"Tar! Tar!" Cambuk berbunyi mengerikan di udara, di atas kepala wanita itu.
"Anakmu berbuat kurang ajar, ciangkun masih mengampuni malah hendak mengajak kau minum arak,
tetapi kau benar-benar kurang terima. Agaknya kau hendak melihat anakmu dibanting mampus dulu baru
menurut!" Cambuk itu menyambar ke arah bocah tadi dan tahu-tahu telah melibat tubuhnya terus
dihentakkan ke atas.
Berbareng dengan jerit mengerikan dari ibu muda itu, terdengar suara menggereng hebat. Sesosok
bayangan menyambar ke arah si pemegang cambuk dan pada detik lainnya si pemegang cambuk itu telah
terbanting jatuh dari kudanya dan anak kecil itu telah berada dalam pondongan Kun Hong!
Kiranya pendekar buta yang sakti ini tidak dapat menahan lagi hatinya mendengar semua peristiwa yang
tak dapat dilihatnya itu. Karena maklum bahwa ibu dan anak itu terancam bahaya hebat, sekali renggut
saja belenggu yang mengikat pergelangan tangannya putus semua dan sekali mengenjot tubuh dia telah
menerjang si pemegang cambuk yang kejam, mendorongnya jatuh sambil merampas bocah tadi. Kini
dengan tangan kiri memondong A Wan dan tangan kanannya memegang tongkat erat-erat, Kun Hong
menggeser kakinya mendekati si wanita yang masih berlutut dan menangis.
"Tiat-jiu Souw Ki, kau sejak dahulu tak pernah mengubah watakmu yang jahat!" Kun Hong memaki, berdiri
dengan tegak dan gagah. "Kau dan enam orang kawanmu benar-benar merupakan tujuh pengawal yang
amat jahat. Dahulu Pangeran Kian Bun Ti yang hendak menggangu keponakan-keponakanku, sekarang
kau dan para anak buahmu ternyata juga bukan manusia baik-baik. Hemmm, kalau tidak lekas-lekas
membawa orang-orangmu ini pergi meninggalkan dusun ini jangan bilang aku keterlaluan kalau aku
membikin kalian semua tidak dapat lagi meninggalkan tempat ini!" Sambil berkata demikian Kun Hong
membuat gerakan melintangkan tongkatnya di depan dada, gerakan yang sudah dikenal baik oleh Souw Ki
dan teman-temannya ketika Kun Hong mengamuk dikeroyok tadi.
Souw Ki terkejut dan pucat wajahnya. Dia memandang penuh perhatian, serasa pernah melihat orang
muda yang bersikap begini tabah dan berani, malah yang sekarang berani sekali menyebut-nyebut nama
kaisar baru begitu saja.
"Kau... kau siapakah? Siapa namamu...?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Namaku Kun Hong. Apa kau hendak laporkan kepada Kian Bun Ti yang sekarang telah menjadi kaisar?
Boleh, dia sudah mengenal baik nama ini, bahkan dia pernah makan minum semeja dengan aku!"
Bukan main kaget dan herannya Tiat-jiu Souw Ki. Teringatlah ia sekarang. Tapi pemuda ini dahulu adalah
seorang pemuda pelajar yang lemah, sungguh pun tak dapat disangkal memiliki keberanian yang sukar
dicari bandingnya.
Di dalam cerita Rajawali Emas memang telah dituturkan betapa Kun Hong dan dua orang keponakan
perempuan, yaitu Kui Eng dan Thio Hui Cu, diundang kemudian dijamu oleh Pangeran Mahkota Kian Bun
Ti. Pada waktu itu, pengeran muda mata keranjang ini jatuh hati kepada dua orang nona Hoa-san-pai ini
dan hendak mengganggunya, malah mereka telah ditawan. Kemudian dua orang nona itu dirampas oleh
Song-bun-kwi, sedangkan Kun Hong dapat menyelamatkan diri mempergunakan ilmu sihirnya.
"Kau... kau anak Hoa-san-pai... putera ketua Hoa-san-pai...?" Dia bertanya gagap.
Kun Hong tersenyum, kemudian dia menarik napas panjang. "Cukup kau ketahui namaku, siapa menyebutnyebut
Hoa-san-pai segala? Hayo pergi!"
Tiat-jiu Souw Ki sudah maklum akan kehebatan kepandaian Kun Hong. Tadi pada waktu dikeroyok puluhan
orang saja pemuda ini dapat membuat semua orang tak berdaya, apa lagi sekarang dia hanya berkawan
sebanyak dua puluh orang lebih. Selain itu, sekarang mahkota sudah berada di tangannya dan kalau
membawa tawanan macam pemuda buta ini, tentu hanya akan menimbulkan kesulitan saja di tengah jalan.
Ada pun tentang wanita itu, ahhh, dia hanya iseng-iseng saja, tidak ada harganya untuk diperebutkan.
"Pergi...!" Dia memberi aba-aba kepada para pengikutnya, lalu mengeprak kudanya.
Penunggang kuda yang tadi menyeret-nyeret Kun Hong dengan wajah pucat juga segera membalapkan
kudanya pergi dari situ. Akan tetapi seorang perampok yang mendongkol hatinya dan masih memandang
rendah pada seorang buta seperti Kun Hong, mengejek,
"Ho-ho, kiranya si buta juga mata keranjang! Kau hendak memiliki sendiri si manis ini, heh? Hati-hati,
manis, kau tuntun si buta ini baik-baik, ha-ha-ha!"
Kun Hong cepat menggerakkan tangannya. Sebagian tambang yang tadi membelenggu tangannya dan
masih menempel pada pergelangan tangannya menyambar ke arah muka penjahat itu. Terdengar suara
keras dan si mulut kotor itu berteriak-teriak kesakitan.
"Aduhh... aduh... mulutku... gigiku rontok semua... aduh...!" Dan dia pun membalapkan kudanya mengejar
kawan-kawannya sambil mengaduh-aduh.
Kun Hong masih berdiri tanpa bergerak. Kedua kakinya terpentang, tangan kanan masih memegang
tongkat melintang di depan dadanya, sama sekali tak bergerak seperti patung sampai suara derap kaki
kuda tak terdengar lagi oleh telinganya.
Pemuda buta ini merasa betapa dada dan mukanya panas sekali, bukan main marahnya mendengar
ucapan kotor penjahat tadi. Dia menahan napas dan menekan perasaannya sampai perlahan-lahan hawa
panas di dalam dadanya menurun dan akhirnya kembali dan timbul pulalah senyum yang jarang
meninggalkan bibirnya itu. Matanya yang berlubang itu tadi agak terbuka pelupuknya ketika dia marah, kini
tertutup lagi pelupuknya dan kulit di antara kedua matanya agak berkerut.
"In-kong (tuan penolong)... terima kasih atas budi In-kong yang sudah menyelamatkan nyawa kami ibu dan
anak...," dengan suara tergetar penuh keharuan wanita itu berlutut di depannya dan menyentuh kakinya
yang tertutup sepatu rusak-rusak dan penuh debu.
Kun Hong kaget mendengar suara ini. Cepat-cepat dia menarik kakinya, lalu melangkah mundur dua
tindak. Dia mendengar suara seorang wanita yang masih amat muda, suara wanita berusia dua puluh
tahun lebih. Akan tetapi wanita ini adalah seorang ibu, seorang ibu muda.
"Jangan berlutut... jangan berlebihan, yang bisa menyelamatkan nyawa manusia hanyalah Tuhan Yang
Maha Kuasa. Sebab itu bangkitlah, Twaso (kakak), aku tak berani menerima penghormatan seperti ini."
dunia-kangouw.blogspot.com
Wanita itu bangkit sambil menahan isaknya yang masih menyesakkan kerongkongannya.
"Ibu, orang-orang nakal itu sudah pergi?" anak kecil itu bertanya, keberaniannya timbul pula setelah orangorang
berkuda itu pergi tidak tampak lagi.
"Sudah, A Wan, mereka sudah pergi. Lain kali kau jangan nakal, jangan keluar sendiri. Kau anak bandel,
ibu sudah melarang tetapi kau nekat saja. Untung ada paman ini yang menolong kita..."
"Ibu, paman buta ini jagoan, ya? Orang-orang nakal itu takut!" Anak itu lalu tertawa-tawa senang dan
menghampiri Kun Hong sambil meraba tangannya. "Paman buta, kenapa kau tadi diikat?"
Kun Hong tersenyum, membungkuk kemudian memondong anak itu dengan penuh kasih sayang. "Anak
baik, kau sudah dapat membedakan orang jahat dan tidak, itu bagus. Kelak kau tidak boleh menjadi orang
seperti mereka itu, ya!"
"Tidak!" jawab anak itu keras sambil merangkul leher Kun Hong. "Aku kelak ingin menjadi seperti Paman
yang jagoan. Tapi... Paman buta..."
"Hush, A Wan, jangan lancang mulutmu!" bentak ibunya. "In-kong, mari silakan singgah di dalam gubukku,
biar kita bicara di dalam."
"Tak usahlah, Twaso, terima kasih. Aku harus melanjutkan perjalananku."
Kun Hong mencegah. Dia dapat menduga bahwa ibu dan anak ini tentu keluarga miskin, terbukti dari
pakaian anak itu yang kasar dan ada tambalannya, tidak bersepatu pula. Dia tidak mau mengganggu orang
yang memang keadaannya sudah amat kekurangan itu.
"Jangan, In-kong. Kau harus singgah dulu. Pakaianmu robek-robek semua, lagi kotor. Aku mempunyai
sestel pakaian, boleh kau pakai dan pakaianmu itu akan kucuci, kujahit. Dan... dan... kau harus makan
dulu..."
Suara itu tergetar penuh keharuan dan belas kasihan. Melihat orang buta itu menggerak-gerakkan tangan
seperti hendak menolak, wanita itu cepat-cepat melanjutkan, suaranya penuh permohonan,
"In-kong, tak boleh kau menolak. Kau telah menyelamatkan nyawa kami ibu dan anak, kau telah menanam
budi sebesar gunung sedalam lautan, aku... aku tak dapat membalasnya. Biarlah aku menjahitkan dan
mencuci pakaianmu serta memberi hidangan sekedarnya... untuk menyatakan terima kasihku. Kalau kau
menolak dan pergi begitu saja... ah, In-kong, selama hidup aku akan merasa menyesal kepada diri sendiri.
A Wan, kau ajak pamanmu masuk ke dalam!"
Anak itu dengan suara merdu berkata, "Paman buta, marilah kita masuk. Ibu tadi masak bubur dan ubi
merah..."
"A Wan..." Dengan suara perih ibu itu mencegah anaknya membuka rahasia kemiskinan mereka.
Kun Hong merasa hatinya tertusuk. Dipeluknya anak itu dan dia berkata sambil tertawa, "Anak baik, biarlah
kubikin lega hatimu dan hati ibumu. Kalian manusia-manusia baik..."
"Paman buta, mari kutuntun kau masuk." Anak itu lalu melorot turun dan menggandeng tangan Kun Hong.
Ibunya memandang dengan senyum lega menghias wajahnya karena tadinya dia sudah merasa bingung
apakah dia yang harus menuntun tamunya itu memasuki rumah. Tentu saja dia tidak tahu bahwa dengan
mudah tamunya ini akan dapat memasuki rumah tanpa dituntun, asalkan dia berjalan terlebih dahulu
karena tamunya itu dapat mengikutinya dari pendengarannya yang tajam, yang dapat mendengar tindakan
kakinya.
Sambil tersenyum Kun Hong membiarkan dirinya dituntun oleh anak itu memasuki rumah yang berlantai
tanah. Baru saja melangkahi ambang pintu, anak itu sudah berhenti. Hal itu berarti bahwa rumah itu benarbenar
amat kecilnya.
"Mari silakan duduk, In-kong. Maaf, tidak ada apa-apa, hanya ada tikar rombeng..."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali Kun Hong menangkap getaran suara yang menusuk hatinya.
"Sini, Paman, sini duduklah..." Anak itu pun mempersilakannya.
Kun Hong maju dua langkah dan ternyata di situ terbentang sehelai tikar di atas tanah! Dia lalu duduk
bersila di atas tikar dan ketika tangannya meraba ternyata tikar itu rombeng dan di bawah tikar ditilami
rumput kering. Kerut di antara kedua mata yang buta itu makin mendalam. Alangkah miskinnya keluarga
ini.
"Silakan duduk dulu, In-kong. Aku hendak mengambil pakaian untukmu."
Kun Hong cepat menggoyang-goyang tangannya ke atas. "Tidak usah, Twaso, tidak usah. Kalau ada
pakaian, biarlah dipakai oleh A Wan ini... aku... aku tak perlu berganti pakaian."
Ibu muda itu mengeluarkan suara seperti orang tertawa kecil. "Pakaian yang kusimpan itu adalah pakaian
orang tua, mana bisa dipakai A Wan? Tunggulah sebentar."
"Itu pakaian ayah, Paman. Kau boleh pakai!" anak itu berkata.
Hati Kun Hong tidak karuan rasanya. Terang bahwa keluarga ini miskin, mungkin pakaian itu merupakan
satu-satunya yang menjadi simpanan ayah anak ini, bagaimana boleh dia pakai? Ah, dia mendapat akal.
Perempuan ini mempunyai perasaan yang halus, terdorong oleh budinya yang baik. Tidak boleh dia
mengecewakan hatinya. Biarlah dia berganti pakaian dan membiarkan wanita itu mencuci kemudian
menambal pakaiannya sendiri yang robek-robek. Setelah itu dia boleh memakai lagi pakaiannya sendiri
kemudian mengembalikan pakaian yang dipakai untuk sementara itu. Dengan demikian, tanpa merugikan
keluarga ini banyak-banyak, dia dapat memuaskan hati nyonya rumah.
Gemersik pakaian menandakan bahwa wanita itu sudah datang lagi.
"Marilah kau berganti dengan pakaian ini, In-kong, dan biarkan pakaianmu yang kotor dan robek-robek itu
di sini, sebentar akan kucuci dan kujahit. Aku permisi hendak menyiapkan makanan. A Wan, kau temani
pamanmu. Baik-baik jangan nakal, ya!"
"Tapi... tapi..." Kun Hong berusaha membantah.
"Harap In-kong jangan menolak, biar pun pakaian tua dan hidangan sederhana, kuharap In-kong sudi
menerima tanda terima kasihku yang mendalam..." Suara itu mengandung permohonan yang mutlak dan
tak dapat dia bantah lagi.
"Tapi badanku kotor semua... aku harus membersihkan badan dulu... begini kotor mana boleh memakai
pakaian bersih dan makan?"
Mendengar ini, ibu muda itu tertawa. Kun Hong tertarik sekali mendengar suara ketawa ini. Merdu dan
sopan. Hanya orang dengan hati putih bersih dan jiwa murni yang dapat tertawa seperti itu. Anak itu pun
turut tertawa karena menganggap ucapan Kun Hong ini sebagai kelakar yang lucu.
Memang sikap dan gerak-gerik seorang buta kadang-kadang nampak amat lucu, lucu dan mengharukan
hati. Mendengar ibu dan anak itu tertawa-tawa geli, mau tak mau Kun Hong tertawa pula sehingga di dalam
rumah gubuk yang sepi miskin itu sekali ini penuh tawa menggembirakan, seperti cahaya matahari
menyinari tempat gelap.
"A Wan, kau antarkan pamanmu ini ke anak sungai di belakang dusun!" kata wanita itu sambil pergi ke
belakang dengan suara ketawanya masih terdengar.
"Hayo, Paman buta!" Bocah itu menggandeng tangan Kun Hong dan pergilah keduanya ke luar dari
pondok, menuju ke anak sungai.
Ketika ke luar dari pondok dan berjalan ke anak sungai, Kun Hong mendengar bahwa di depan pondok
berkumpul banyak orang, malah di tengah perjalanan dia mendengar pula orang-orang berjalan.
"Siapa mereka, A Wan?" tanya Kun Hong.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Paman-paman dan bibi-bibi tetangga penduduk dusun, Paman," jawab anak itu dengan singkat. Agaknya
anak ini mempunyai rasa tidak senang terhadap penduduk dusun dan anehnya, tak ada seorang pun di
antara mereka yang menegur anak ini!
Setelah mandi di sungai kecil yang airnya jernih dan segar itu, Kun Hong segera berganti pakaian bersih
dan dia malah mencuci pakaiannya sendiri, dibantu oleh A Wan. Ternyata pakaian bersih yang terbuat dari
pada kain kasar itu, pas betul dengan tubuhnya. Agaknya ayah anak ini sama perawakannya dengan dia.
Dalam perjalanan pulang, mereka juga bertemu dengan orang-orang dusun. Terasa amat aneh bagi
pendengaran Kun Hong, orang-orang yang tengah bercakap-cakap mendadak menghentikan percakapan
mereka di kala Kun Hong dan A Wan lewat.
Ketika mereka sampai di dekat pondok, tiba-tiba Kun Hong berkata kepada A Wan, "Kau diam saja, A Wan,
dan jangan mengeluarkan suara."
Dia lalu bersama anak itu mendekati rumah dan terdengarlah suara ibu anak itu, suaranya marah
bercampur isak tertahan.
"...peduli apa kau dengan urusan pribadiku? Baju suamiku kuberikan kepada siapa pun juga, ada sangkut
pautnya apakah denganmu? Kau... kau selalu mengganggu... saudara misan yang durhaka!"
"Huh, dasar perempuan tak tahu malu! Semua orang memandangmu dengan hina, hanya aku yang masih
mau mempedulikan. Semua ini karena aku masih ingat bahwa di antara kita masih ada hubungan keluarga,
tahukah kau? Apa bila tidak ada aku, apakah kau dan anakmu tidak sudah kelaparan dan menjadi jembel
pengemis? Awas kau, semua ini akan kulaporkan kepada Song-wangwe (hartawan Song)!" Terdengar
suara laki-laki memaki.
"Pergi...! Pergi...! Aku tidak sudi mendengar ocehanmu lagi...!" Wanita itu berseru marah.
"Ibu...! Apakah paman Tiu mengganggumu lagi?" A Wan tidak dapat menahan suaranya dan merenggut
tangannya lalu lari membuka pintu belakang.
"A Wan, kau sudah pulang?" Ibunya menegur.
Kun Hong mendengar betapa kaki seorang laki-laki dengan tergesa meninggalkan tempat itu kemudian dia
mendengar tindakan kaki ibu A Wan dan anak itu sendiri menyambutnya. Langkah kaki ibu anak itu secara
tiba-tiba terhenti dan tidak terdengar suaranya bergerak sedikit pun juga, sedangkan A Wan berlari
menghampirinya dan memegang tangannya lagi.
Memang ibu A Wan terkejut dan memandang ke wajah Kun Hong dengan mata terbuka lebar. Setelah
wajah pemuda buta itu tercuci bersih. alangkah jauh bedanya dengan tadi. Kalau tidak datang bersama
anaknya dan tidak mengenakan pakaian yang sudah sangat dikenalnya, tentu ia akan pangling. Wajah si
buta itu berkulit putih halus, wajah yang amat tampan, wajah seorang kongcu (tuan muda)!
Kemudian ia melihat pakaian yang sudah dicuci, maka serunya penuh penyesalan, "Aiihh, In-kong, kenapa
dicuci sendiri pakaiannya? Ah, mana bisa bersih? Berikan kepadaku, biar sebentar kucuci lagi supaya
bersih. Syukur, kulihat pakaian itu pas benar dengan badan In-kong."
"Terima kasih... terima kasih... aku menyusahkan saja," berkata Kun Hong dan dia tidak membantah ketika
cucian itu diambil orang dari tangannya.
Kun Hong memuji bahwa ibu muda ini benar-benar seorang yang baik. Mengenal budi, peramah, dan amat
pandai menyimpan penderitaan hati. Dia berpura-pura tidak tahu akan persoalan yang baru saja ia dengar
tadi, dan telah mengambil keputusan bahwa ia akan segera pergi meninggalkan tempat itu setelah
pakaiannya sendiri kering.
Tidak lama kemudian nyonya rumah itu datang mengantar sebuah mangkok terisi bubur hampir penuh.
Dengan ujung-ujung jarinya Kun Hong dapat mengetahui bahwa mangkok itu terbuat dari pada tanah
lempung dan sepasang sumpit dari bambu. Sungguh alat-alat makan yang paling sederhana dan murah
yang dapat dipergunakan manusia.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Waduh, enak, Paman buta. Buburnya pakai ubi merah! Hi-hik, kau tahu? Ubi merah ini kucuri dari kebun
paman Lui.”
"A Wan!" ibunya menegurnya.
"Paman, ibu selalu bilang bahwa mencuri adalah perbuatan yang jahat. Aku tidak pernah mencuri. Tetapi
paman Lui ubinya begitu banyak dan aku... aku dan ibu sudah lama tak makan ubi merah."
Hampir saja Kun Hong tersedak karena keharuan membuat hawa dari dalam dada naik ke
kerongkongannya. "Ibu betul, A Wan, mencuri adalah perbuatan yang jahat. Lebih baik kau minta saja
kepada pemilik ubi..."
"Minta? Uhh, pernah aku minta, tapi bukan mendapat ubi melainkan mendapat cambukan pada pantatku.
Tak sudi lagi aku minta. Tapi aku pun tidak akan mencuri lagi karena ibu marah-marah," kata anak itu
dengan suara manja.
Bubur yang mereka makan itu sangat encer, terlalu banyak airnya dan ini pun sekali lagi membuktikan
alangkah miskinnya keluarga itu. Sesudah selesai makan, selesai sebelum kenyang, nyonya rumah
menyingkirkan mangkok-mangkok itu dan menyapu tikar dengan kebutan.
Senja sudah lewat. Ibu dan anak itu menyalakan sebuah pelita kecil, dipasang pada sudut pondok. A Wan
duduk di pangkuan Kun Hong dan agaknya anak ini masih menderita oleh peristiwa sore tadi.
Punggungnya yang kena sambaran cambuk diurut-urut oleh Kun Hong dan sebentar saja anak itu tidur di
pangkuannya.
"Dia sudah tidur, Twaso. Di mana tempat tidurnya?" tanya Kun Hong perlahan.
Sampai lama barulah terdengar jawaban lirih. "...di sini juga... disini juga…”
Kun Hong menghela napas panjang. Tangannya mengelus-elus muka anak itu, meraba dahinya, alisnya,
mata, hidung, mulut dan dagu. Muka yang tampan, hidungnya mancung mulutnya kecil.
"In-kong, memang kami tidak mempunyai apa-apa. Dalam rumah ini kosong, hanya ada tikar inilah...
tempat kami duduk, makan dan tidur..."
"Maaf, Twaso, sejak tadi aku belum mendengar twako (kakak) pulang. Ke manakah dia?"
Kembali sampai lama tiada jawaban, kemudian jawaban itu bercampur isak tertahan, "Dia sudah... sudah
tidak ada..."
"Tidak ada? Ke mana?" Kun Hong tidak menduga buruk.
"...sudah meninggal dunia... tiga bulan yang lalu..."
"Ahhh...!" Kerut di antara kedua mata yang buta itu mendalam.
Ah, sekarang tahulah Kun Hong akan sikap para penghuni dusun itu. Kiranya ibu muda ini seorang janda
muda. Dia tahu apa artinya menjadi janda di masa itu. Janda muda lagi. Betapa sukarnya hidup bagi
seorang janda yang miskin.
Penghinaan akan menimpa dari segenap penjuru, penghinaan lahir batin. Semua mata wanita akan
mengincarnya, penuh rasa cemburu. Setiap gerak dapat menimbulkan fitnah. Sedang mata pria akan
memandangnya secara lain lagi, pandangan yang penuh nafsu mempermainkan.
Seorang janda bagaikan sebuah biduk kehilangan layar dan kemudi, terombang-ambing di tengah
samudera hidup dan menjadi permainan gelombang. Janda tua tentu saja lain lagi, yang pertama
mengandalkan hartanya, yang belakangan mengandalkan anak-anaknya.
Kembali jari-jari tangan Kun Hong meraba-raba muka A Wan. "Twaso, apakah wajah A Wan ini sama
dengan wajahmu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Lama tak menjawab. Kun Hong tidak dapat melihat betapa wajah tanpa bedak yang amat manis itu
menunduk dan kedua pipi yang sehat itu memerah.
"Orang-orang bilang dia mirip dengan aku."
Hemmm, tak salah dugaanku, pikir Kun Hong. Janda muda lagi cantik. Makin berbahaya kalau begini.
"Dan kau tentu belum ada dua puluh lima tahun usiamu," katanya pula.
"...baru dua puluh tiga umurku.”
Kun Hong merebahkan tubuh A Wan di atas tikar, lalu dia sendiri bangkit berlutut dan berkata, "Twaso,
maaf. Tolong ambilkan pakaianku tadi, aku akan berganti pakaian dan aku harus pergi sekarang juga."
"...kenapa...? In-kong, kenapa kau hendak pergi sekarang? Bajumu masih belum kering benar, dan sedang
kutambal punggungnya..."
Kun Hong menggelengkan kepala, mengulurkan kedua tangan untuk minta pakaian dan bangkit berdiri.
"Aku harus pergi. Twaso, kau janda masih baru, kau berwajah cantik dan umurmu baru dua puluh tiga
tahun..."
Wanita itu mengeluarkan jerit lirih dan sambil menangis ia pun menubruk kedua kaki Kun Hong! Tentu saja
Kun Hong menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
"In-kong... engkau juga begitu...? Ahh, kalau begitu... lekas kau pukulkan saja tongkatmu itu kepadaku...
kau bunuh saja aku, In-kong ... apa artinya hidup kalau semua orang... juga kau yang kumuliakan...
memandang serendah itu kepadaku...? Kau bunuhlah aku... kau bunuhlah…"
Karena tangis ini, A Wan menjadi terbangun dan begitu melihat ibunya menangis sambil merangkul kedua
kaki Kun Hong yang berdiri bagaikan patung, serta merta anak itu ikut menangis sambil merangkul ibunya.
"Ibu... ibu."
"In-kong... kau bunuhlah kami... biar terbebas kami dari pada penderitaan ini..."
Hancur perasaan hati Kun Hong mendengar ibu dan anak itu menangis sambil memeluki kedua kakinya.
"Kau salah sangka... kau salah mengerti...," katanya sambil duduk kembali. "Aku sama sekali tidak pernah
memandang rendah atau menyangka yang bukan-bukan terhadapmu, Twaso..."
"In-kong..." wanita itu tersedu-sedu dan sejenak menangis dengan muka di atas dada Kun Hong.
Pemuda buta itu membiarkannya saja, maklum betapa hancur hati wanita itu, malah dia menepuk-nepuk
bahunya dengan menghibur sambil mengusap-usap rambut A Wan yang menangis di atas pangkuannya.
"Tenanglah, duduklah Twaso, dan mari kita bicara baik-baik."
Agaknya baru wanita itu sadar akan keadaan dirinya yang menangis sambil bersandar di dada tamunya.
"...ohhh... maafkan aku, In-kong..."
Ia cepat-cepat mundur dan duduk menekuk lutut, membendung air mata yang bercucuran dengan ujung
lengan bajunya. A Wan diraihnya dan anak ini menidurkan kepala di atas pangkuan ibunya sekarang.
"Twaso, agaknya kau tadi salah sudah duga. Aku hendak pergi sekali-kali bukan karena memandang
rendah kepadamu, sama sekali tidak. Malah sebaliknya. Aku sangat kagum kepadamu dan
menghormatimu, karena itu aku hendak pergi agar jangan sampai nama baikmu dirusak orang akibat
kehadiranku di sini malam ini. Lebih baik aku tidur di pinggir jalan dari pada tidur menginap di sini dengan
akibat merusak namamu, Twaso!"
"Tidak ada bedanya, In-kong, sebelum kau datang, namaku sudah dirusak orang setiap hari. Peduli apa
dengan omongan orang asalkan kita betul-betul bersih? Dalam beberapa bulan saja aku sudah kebal
terhadap fitnah-fitnah dan omongan-omongan kotor mereka, In-kong. Kalau mereka hendak melakukan
dunia-kangouw.blogspot.com
fitnah dengan kehadiranmu malam ini di sini, biarlah mereka lakukan. Aku tidak peduli karena aku yakin
bahwa kau yang kuhormati dan kumuliakan mengetahui akan kebersihanku."
Kun Hong menarik napas panjang, semakin kagum. Wanita ini biar pun miskin dan janda yang tak berdaya,
ternyata seorang yang berpendirian.
"Twaso, maafkan kata-kataku, akan tetapi kupikir... akan lebih baik kiranya bagimu dan bagi anakmu kalau
kau... menikah lagi."
"In-kong, siapakah di dunia ini mau secara jujur menikah dengan seorang janda miskin yang mempunyai
seorang anak? Kecuali laki-laki mata keranjang yang hanya bermaksud mempermainkan saja. Semua lakilaki
di sekitar tempat ini memandangku seperti itu, tentu banyak yang mau memeliharaku, akan tetapi...
mereka hanya ingin mempermainkan saja, In-kong. Aku tidak sudi... apa lagi Song-wangwe, aku tidak sudi.
Biarlah, dia boleh suruh tukang-tukang pukulnya memaksaku."
Kun Hong harus mengakui kebenaran kata-kata ini. Memang banyak laki-laki di dunia ini yang wataknya
seperti itu. Menganggap wanita hanya sebagai barang mainan, menarik hanya karena kecantikannya, suka
menikah dengan janda muda yang cantik hanya untuk dipermainkan belaka. Sudah tentu tidak semua lakilaki
berwatak demikian karena segala sesuatu di dunia ini tentu ada pengecualiannya, akan tetapi seperti
itulah sifat dan watak sebagian besar laki-laki.
"Susah kalau begitu. Twaso, apakah kau tidak mempunyai keluarga?"
"Ada seorang pamanku yang tinggal jauh di kota Cin-an, akan tetapi aku tidak tahu betul di mana
rumahnya. Satu-satunya orang yang tahu adalah saudara misanku yang jahat, si Tiu keparat yang
membantu cepatnya maut merenggut nyawa suamiku dan yang selalu membujuk-bujukku untuk menuruti
kehendak hartawan Song!" Suara wanita itu terdengar marah ketika menyebut-nyebut nama Tiu dan Song.
"Orang yang datang tadi? Hemmm, sebetulnya, mengapa suamimu mati di waktu masih muda? Dan apa
maksud Tiu dan Song, Twaso?"
Dengan suara menyedihkan janda muda itu lalu bercerita…..
Tadinya dia hidup bahagia bersama suaminya, seorang petani muda she Yo. Walau pun keadaannya tidak
dapat dikata berlebihan, namun dengan sebidang sawah milik mereka, dapatlah mereka menutupi
kebutuhan hidup sederhana, bertiga dengan putera mereka, si kecil Yo Wan.
Mereka sebenarnya adalah suami isteri pendatang baru dari lain dusun di daerah banjir. Mereka
merupakan korban-korban yang lari mengungsi dan akhirnya menetap di dusun itu setelah menukar
seluruh barang-barang mereka dengan sebidang tanah.
Akan tetapi, mala petaka mulai mengintai mereka ketika di dusun itu datang pula Lao Tiu, saudara misan
Yo Kui, petani muda itu. Lao Tiu ini orangnya licik, curang dan kerjanya hanya berjudi dan sangat terkenal
sebagai seorang buaya petualang. Akhirnya si Lao Tiu ini menjadi kaki tangan tuan tanah kaya raya yang
menguasai sebagian besar tanah di sekitar tempat itu dan yang pengaruh dan kekuasaannya dikenal
hingga di dusun-dusun sekitarnya.
Tuan tanah hartawan ini adalah Song-wangwe (hartawan she Song). Dia seorang laki-laki setengah tua
yang mata keranjang dan terkenal tak akan dapat tidur nyenyak sebelum mendapatkan wanita yang
dirindukan, baik wanita itu isteri orang lain atau bukan.
Karena kelicikan dan tipu muslihat Lao Tiu ini, akhirnya Yo Kui masuk perangkap si tuan tanah. Mula-mula
dia diberi hutang untuk membeli bibit padi dan kerbau, dan karena Yo Kui seorang buta huruf, maka dia
tidak tahu bahwa tuan tanah dan Lao Tiu yang ‘berbudi’ itu membuat surat perjanjian jual beli kemudian
menyuruh dia menanda-tangani dengan cap jempol.
Dengan ditandainya surat perjanjian yang tidak diketahui isinya itu, Yo Kui berarti sudah menjual tanahnya,
atau lebih tepat, menukar tanahnya hanya dengan kerbau seekor dan bibit padi sekarung! Semenjak itu,
mulailah Lao Tiu mengerjakan lidahnya yang berbisa. Malah dengan berani mati dia membujuk Yo Kui
supaya ‘menyerahkan’ isteri yang cantik manis itu menjadi ‘penghibur’ tuan tanah Song, dan merelakan
setiap kali hartawan itu membutuhkannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja Yo Kui menjadi marah luar biasa dan serta merta menghajar Lao Tiu saudara misannya itu
sampai jatuh bangun. Akan tetapi pada beberapa hari berikutnya, lima orang tukang pukul tuan tanah itu
datang kepada Yo Kui dan menagih pembayaran sewa tanah.
Yo Kui memaki-maki, bilang bahwa dia mengerjakan sawahnya sendiri, mengapa harus bayar sewa? Kalau
si hartawan menghendaki kembalinya kerbau dan bibit, boleh diambil kembali kerbaunya, ada pun bibitnya
akan dikembalikan kelak kalau sudah panen. Terjadi keributan dan Yo Kui disiksa oleh lima orang tukang
pukul itu. Pemuda tani ini jatuh sakit, muntah-muntah darah.
Namun dia masih belum mau menyerah. Setelah penyakitnya agak sembuh, dia pergi ke kota melapor
kepada pembesar setempat tentang perbuatan hartawan Song dengan kaki tangannya. Apakah yang
terjadi? Mudah diduga!
Di dalam negara yang masih kacau seperti Tiongkok pada masa itu, jarang ada pembesar yang betul-betul
memperhatikan kepentingan rakyat, terlebih lagi kepentingan rakyat kecil. Hukum diinjak-injak, peri
kemanusiaan lenyap dari lubuk hati manusia, bahkan agaknya orang lupa kepada Tuhan, mengumbar
nafsu sejadi-jadinya, mengandalkan setan yang di waktu itu merubah diri dalam tumpukan harta dan
tingginya kedudukan dan pangkat. Yang berharta dan berpangkat, merekalah yang berkuasa, dialah yang
menang, akhirnya siapa yang menang, dialah yang benar!
Oleh karena inilah maka tidak mengherankan bila pembesar yang dilaporinya itu segera turun tangan
melakukan tindakan, periksa sana dan periksa sini, lalu keluarlah keputusan ‘pengadilan’, bahwa tanah itu
telah menjadi milik Song-wangwe dengan sah, bahwa Yo Kui harus membayar lunas uang sewa tanah dan
mengembalikan tanah itu, dan bahwa Yo Kui harus membayar biaya pengaduannya kepada pembesar itu!
Melihat dan mendengar keputusan pengadilan macam ini, kontan saja Yo Kui jatuh sakit! Memang dia
sudah mendapat luka di dalam tubuhnya karena pengeroyokan para tukang pukul, ditambah lagi tekanan
batin hebat membuat dia tak dapat turun dari pembaringan.
Isterinya menjadi gelisah sekali. Kerbau dan alat pertanian terpaksa dijual, sebagian untuk membayar apa
yang sudah diputuskan oleh pembesar itu, sebagian lagi untuk pembeli obat dan makan.
Akan tetapi penyakit yang diderita Yo Kui makin payah. Dia sakit sampai berbulan-bulan dan sesudah
semua barang yang ada di dalam rumah dijual oleh isterinya untuk obat dan makan, akhirnya dia... mati
meninggalkan isterinya yang masih muda dan anaknya yang masih kecil!
"Demikianlah, In-kong..." janda muda itu mengakhiri cerita sambil menghapus air matanya yang bercucuran
deras. "Penderitaanku tidak hanya sampai di situ saja... setelah suamiku meninggal, lalu bermunculan
setan-setan berupa orang-orang lelaki mata keranjang yang seakan-akan bersaingan dan berebutan untuk
membujuk diriku menjadi... isteri muda atau piaraan. Terutama sekali si jahat Lao Tiu itu, yang setiap hari
membujuk-bujukku supaya menyerah kepada hartawan Song..."
Kun Hong menahan kemarahan yang seakan-akan hendak meledakkan dadanya setelah mendengar
penuturan janda muda ini.
"…akan tetapi… aku bukanlah wanita rendah seperti yang mereka inginkan...," janda itu melanjutkan,
masih terisak, "bagiku, lebih baik aku mati dari pada menuruti kehendak mesum mereka, In-kong... jika saja
aku tidak melihat A Wan... ah... agaknya telah lama aku menyusul suamiku..."
Dia menangis lagi, sekarang lebih menyedihkan, sambil mendekap kepala puteranya di pangkuan.
"Besarkan hatimu, Twaso, dan percayalah bahwa Thian Maha Adil selalu akan menolong manusia yang
sengsara. Kau tidurlah sekarang dan besok masih ada waktu untuk kita mencari jalan sebaiknya. Hanya
satu hal ingin kuketahui. Pamanmu yang tinggal di Cin-an itu, andai kata kau dan anakmu datang
kepadanya, apakah kiranya dia mau menerima kalian?"
"Dia orang baik, In-kong, dia adik mendiang ibuku, agaknya dia pasti mau menerima kami, biar aku bekerja
sebagai bujang tidak mengapa..."
Percakapan terhenti dan janda muda itu biar pun berkali-kali diminta oleh Kun Hong agar supaya mengaso,
tetap saja duduk di dekat lampu untuk menyelesaikan pekerjaannya menambal dan menjahit pakaian Kun
dunia-kangouw.blogspot.com
Hong. Beberapa kali ia menengok dan memandang ke arah tuan penolongnya, ternyata si buta itu duduk
bersila tak bergerak seperti patung.
"Inkong... kau tidurlah..."
"Biarlah, Twaso, aku biasa tidur sambil duduk. Kau mengasolah, kurasa sudah hampir tengah malam
sekarang."
"Aku hendak menyelesaikan ini dulu...," jawab janda muda itu.
Akan tetapi setelah selesai menambal pakaian itu, ia duduk termenung sambil menatap wajah yang tidak
dapat balas memandangnya itu. Hatinya penuh ketrenyuhan, iba hatinya melihat wajah tampan yang
berkerut di antara kedua matanya itu.
Aduh kasihan, muda belia yang malang, pikir janda muda ini. Apa bedanya bagi dia siang dan malam? Ah,
mengapa aku tadi menyuruh dia tidur? Bukankah selamanya dia seperti orang tidur kedua matanya?
Jantungnya serasa diiris-iris kalau ia menatap kedua pelupuk mata yang tertutup rata itu, mulut yang
mengarah senyum namun membayangkan bekas penderitaan batin yang hebat. Muda belia buta yang
malang...!
Memang aneh! Janda muda yang sebetulnya juga amat menderita batin dalam hidupnya itu, kini duduk
termenung memandang ke arah pemuda buta itu dengan hati penuh belas kasihan.
Hawa malam mulai dingin. Janda itu menyelimutkan sehelai karung tipis di atas tubuh puteranya, lalu
menengok ke arah Kun Hong yang masih saja duduk seperti patung. Dia memperhatikan pernapasan Kun
Hong yang rata dan panjang. Benarkah si buta ini bisa tidur sambil duduk? Orang aneh. Muda belia yang
malang dan aneh.
"In-kong...?" Ia berbisik untuk meyakinkan apakah dia benar-benar tidur.
Ingin dia menawarkan selimut, selimutnya sendiri, juga sehelai karung tipis. Akan tetapi Kun Hong tidak
bergerak, tidak menjawab. Ah, dia sudah tidur, tak boleh diganggu. Janda muda itu meniup padam api
penerangan, kemudian merebahkan diri di dekat anaknya, mendekap anaknya, meringkuk seperti udang di
atas tikar rombeng yang dingin.
Kun Hong tidak tidur. Dia tengah bersemedhi. Dia mendengar suara janda itu tadi, akan tetapi sengaja
tidak menjawab. Hatinya baru lega pada waktu janda itu memadamkan api penerangan yang baginya tiada
bedanya itu, karena hal itu berarti si janda akan tidur dan dia dapat bersemedhi dengan bebas.
Ayam telah berkokok menyambut datangnya fajar ketika Kun Hong sadar dari tidurnya. Dia segera
menggosok-gosokkan jari tangan kepada jalan darah di sekeliling kepalanya untuk menyegarkan perasaan.
Pernapasan ibu beserta anak yang tidur di hadapannya itu membuktikan bahwa mereka masih pulas. Kun
Hong tersenyum merasakan perbedaan keadaan mereka berdua itu antara hari kemarin dan sekarang ini.
Duka mau pun suka sebetulnya hanya bersifat sementara saja, seperti halnya hidup ini sendiri. Kedukaan
yang betapa pun besarnya akan lenyap di kala tidur, seperti halnya ibu dan anak pada saat itu, tentu sama
sekali lupa akan segala penderitaan hidup, lupa akan segala ancaman-ancaman bahaya, lupa bahwa
mereka hidup serba kekurangan, malah kalau dikaji (dipikirkan masak-masak) benar, dalam keadan
sepulas mereka itu, apa sih bedanya hidup kaya atau miskin, apa bedanya tidur di ranjang berkasur atau di
atas tikar rombeng?
Kun Hong merasa badannya sangat segar. Kokok ayam jantan saling sahut menyegarkan perasaan serta
membangkitkan semangatnya. Malam tadi sudah diambilnya keputusan. Dia harus menolong ibu dan anak
ini dan dia harus memberi hajaran kepada orang-orang jahat yang menindas penghidupan orang-orang
miskin di dusun itu.
Mendadak Kun Hong memiringkan kepalanya. Dia mendengar derap banyak kaki orang menuju ke rumah
gubuk ini! Mencurigakan juga kalau sepagi itu ada serombongan orang laki-laki mendatangi tempat itu,
bahkan dari suara langkah kaki yang tergesa-gesa dan berat itu dapat diduga bahwa orang-orang itu
sedang marah!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Perempuan tidak tahu malu! Kau benar-benar membikin kotor dusun kami!" terdengar bentakan suara lakilaki
yang segera dikenal oleh Kun Hong sebagai suara Lao Tiu yang kemarin sore diusir oleh janda muda
itu.
"Dung! Dung-dung!" Pintu gubuk itu digedor-gedor dari luar.
Janda muda itu dan anaknya terkejut lalu bangun. A Wan segera menangis ketakutan. Janda muda itu pun
ketakutan, akan tetapi amatlah terharu hati Kun Hong ketika janda itu berbisik.
"Celaka, In-kong..., mereka tentu akan mencelakakan kau dengan fitnah..."
Benar-benar seorang yang berpribudi, pikir Kun Hong. Terang orang-orang itu beralamat tidak baik bagi si
janda itu sendiri, namun yang dikhawatirkan oleh janda itu adalah diri tamunya, bukan dirinya sendiri!
"Tenanglah, Twaso... tenang dan jangan takut. Orang yang benar akan dilindungi Thian. Nanti kalau aku
berdiri dan keluar, kau gendonglah A Wan dan kau harus selalu ikut di belakangku, jangan terlalu jauh. Kau
percayalah kepadaku, tak seorang pun akan berani mengganggu kau atau A Wan."
"Dung-dung-brakk!" Pintu itu hampir roboh oleh pukulan-pukulan dari luar.
"Sundal! Perempuan hina! Keluarlah bersama pacarmu, laki-laki hina si jembel buta itu... kalau tidak rumah
ini akan kurobohkan!" teriakan Lao Tiu kembali terdengar. "Dipelihara Song-wangwe tidak mau, sekarang
malah memasukkan jembel buta, benar-benar seperti anjing menolak roti mencari tai!"
"Kreeeeettttt...!" Pintu dibuka oleh Kun Hong dari dalam.
Semua mata mereka yang merubung di depan pintu pondok itu memandang. Si buta itu berdiri tegak di
ambang pintu, tongkatnya melintang di depan dada, wajahnya tenang dan mulutnya tersenyum, akan tetapi
kerut merut di antara kedua matanya makin dalam. Di belakangnya tampak janda itu berdiri sambil
memondong anaknya, jelas bahwa janda itu amat ketakutan, rambutnya awut-awutan dan mukanya pucat.
"Wah, tak tahu malu... tak tahu malu... berjinah dengan jembel buta... kawan-kawan, hayo hajar mampus si
buta, seret perempuan hina ini ke depan kaki Song-wangwe!"
Sementara itu tanpa mempedulikan Lao Tiu mencak-mencak, Kun Hong berbisik kepada janda tadi
menanyakan siapa mereka itu.
Janda itu berbisik menjawab, "Lao Tiu dan lima orang tukang pukul Song-wangwe..."
Panas rasa seluruh tubuh Kun Hong. Apa lagi setelah Lao Tiu memberi aba-aba kepada lima orang
kawannya untuk turun tangan dan kelima orang itu bergerak menyerbu. Kun Hong tak dapat menahan
sabar lagi.
Keenam orang itu, yaitu Lao Tiu dan lima orang tukang pukul, hanya melihat bayangan berkelebat, sinar
hitam menyambar-nyambar ke sekitar diri mereka dan tahu-tahu mereka mengalami rasa sakit yang hebat.
Seorang demi seorang menjerit, roboh bergulingan di atas tanah bagai cacing yang terkena abu panas,
mengaduh-aduh kesakitan tanpa dapat mengerti sebetulnya bagian mana dari tubuh mereka yang terasa
nyeri.
Sungguh aneh dan lucu mereka itu, kadang-kadang menekan perut, lalu kepala, pundak, dada dan lain-lain
bagai orang dikeroyok oleh ribuan ekor semut. Ada pun Lao Tiu sendiri tahu-tahu sudah dicengkeram
tengkuknya oleh tangan yang sangat kuat. Dia berusaha memberontak, namun tengkuknya serasa hendak
hancur dan panas seperti terbakar.
"Aduhh... a... a... aduhhh... lepaskan..." dia menjerit-jerit seperti seekor babi disembelih, mukanya
menengadah dan tidak dapat ditundukkan.
Dia masih belum dapat melihat siapa orangnya yang mencengkeram tengkuknya karena dia tidak mampu
menggerakkan lehernya, hanya matanya melirik ke sana ke mari penuh rasa takut karena kini dia dapat
menduga bahwa yang mencekik tengkuknya pasti si buta itu, juga yang merobohkan lima orang kawan
yang dia andalkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, para penduduk dusun yang tadi beramai-ramai mengikuti rombongan ini dan hendak
menonton, memandang dengan mata terbelalak, malah rumah-rumah gubuk itu sekarang terbuka semua
pintunya dan berbondong-bondong penghuninya keluar untuk menonton ramai-ramai di waktu fajar ini.
"Manusia berhati iblis! Manusia bermulut kotor!" Berkali-kali Kun Hong berkata perlahan, lalu memaksa Lao
Tiu untuk membungkuk, terus membungkuk sampai akhirnya mukanya menyentuh tanah.
Beberapa kali Kun Hong menggosok-gosok muka itu dengan mulut di depan pada tanah, memukulmukulkannya
perlahan. Lao Tiu hanya bisa bersuara ah-ah-uh-uh saja dan pada waktu Kun Hong
mengangkat dia kembali, mukanya penuh tanah dan mulutnya berdarah, beberapa buah giginya copot!
"Mulutmu harus dirobek biar lebih mudah kau buka lebar-lebar mencaci maki orang!" kata pula Kun Hong
yang masih diracuni kemarahan itu. Tongkatnya digerakkan ke arah mulut Lao Tiu.
"In-kong, jangan... kasihan dia...," janda itu berseru penuh kengerian.
Kun Hong makin gemas. Tongkatnya tidak jadi merobek mulut, melainkan menampar pipi kanan kiri
sehingga kedua pipi itu menggembung.
"Manusia keparat! Dengarlah kau? Dia yang kau caci maki, kau hina, kau fitnah, kau bikin sengsara
hidupnya, dia malah mintakan ampun untukmu! Ah, kalau kau masih ada sedikit saja sifat manusia, tidak
malukah engkau? Manusia keji, ahhh, alangkah inginku merobek mulutmu dari telinga kiri sampai ke
telinga kanan!"
"Am... Am... ampun... ampun..." dengan seluruh tubuh yang menggigil ketakutan Lao Tiu meratap.
Kun Hong menengok ke kanan kiri, mengetahui bahwa orang-orang dusun itu berkumpul semua di situ,
menonton.
"Dengar kalian semua, sahabat-sahabat penghuni dusun ini! Kalian adalah orang-orang bernyali kecil yang
karena sifat pengecut kalian itu memang sudah patut untuk dijadikan orang-orang yang tertindas! Kalian
tahu betapa jahatnya manusia-manusia macam ini dan gembongnya yang merupakan diri hartawan dan
tuan tanah Song, akan tetapi kalian tidak menaruh kasihan kepada Yo-twaso yang tertindas ini, bahkan
turut menghinanya hanya untuk menyenangkan hati Song-wangwe dan kaki tangannya! Hemmm, hari ini
kebetulan aku lewat di sini dan mendengar urusan penasaran ini, harap kalian jadikan contoh agar di lain
waktu kalian dapat bersatu padu melawan penindas yang membuat sengsara hidup kalian!"
Kun Hong menjambak rambut Lao Tiu dan didorongnya orang itu untuk berjalan. "Hayo antar aku ke rumah
majikanmu!"
Kepada para penduduk yang berdiri terpaku keheranan itu Kun Hong berkata, "Kubiarkan lima orang
tukang pukul ini menderita sebentar di sini, biarlah mereka merasakan betapa sakitnya orang disiksa
sambil memberi kesempatan kepada mereka untuk mengingat dan mengenangkan roh dari mendiang Yo
Kui. Sahabat-sahabat semua tunggu saja di sini, jangan ikut aku ke rumah Song-wangwe. Aku hanya titip
Yo-twaso dan anaknya!"
Setelah berkata demikian, dia mendorong tubuh Lao Tiu yang karena ketakutan kemudian
mengantarkannya ke rumah gedung keluarga Song yang sangat megah dan besar. Di depan pintu gerbang
gedung itu, Kun Hong memaksa Lao Tiu untuk minta menghadap Song-wangwe karena urusan yang
sangat penting.
Lao Tiu sudah mati kutunya, tidak berani membantah dan minta kepada penjaga untuk menyampaikan
kepada Song-wangwe bahwa dia minta bertemu untuk urusan ‘si janda Yo’! Kiranya kalau bukan urusan ini
yang diajukan oleh Lao Tiu, hartawan mata keranjang itu belum tentu mau turun dari tempat tidurnya yang
hangat.
Sambil mengomel panjang pendek kenapa si Lao Tiu begitu kurang ajar membangunkan dirinya sepagi itu,
Song-wangwe keluar juga karena memang sudah amat lama si bandot tua ini merindukan isteri Yo Kui
yang cantik manis, yang seperti bandot mengilar ingin mendapatkan daun muda yang segar kehijauan.
Akan tetapi kemarahannya lenyap seketika, terganti harapan dan kegembiraan ketika dia melihat Lao Tiu di
tempat yang agak gelap itu datang bersama seorang lainnya. Keadaan masih remang-remang dan mata
dunia-kangouw.blogspot.com
tuanya sudah agak lamur, karena itu hartawan mata keranjang ini menyangka bahwa Lao Tiu datang
bersama si janda cantik!
"Aiih, Lao Tiu, kau pagi-pagi sudah memaksa aku meninggalkan ranjangku yang empuk. Ehh, kau datang
dengan janda manis yang kurindukan? He-heh-heh, mari masuk, manis, kebetulan sekali."
Tiba-tiba kata-kata yang ramah itu terhenti, terganti seruan kaget yang hanya berbunyi "eh-eh, ah-ah, ohoh"
saja karena seperti halnya Lao Tiu tadi, tengkuknya sudah dicekik oleh Kun Hong yang bergerak cepat
menyerbunya. Kun Hong menyeret Song-wangwe dan Lao Tiu dengan kedua tangannya.
Beberapa orang penjaga datang memburu dan memaki, "Penjahat kurang ajar, apakah kau sudah gila?
Lepaskan Song-wangwe!”
Akan tetapi kata-kata makian ini hanya sampai di situ saja karena si pemakinya bersama seorang
kawannya yang lain sudah terlempar sejauh tiga meter lebih oleh tendangan kaki Kun Hong. Penjagapenjaga
lain datang dengan senjata di tangan.
"Mundur semua!" Kun Hong membentak. "Kalau tidak, lebih dulu akan kupatahkan leher majikanmu. Aku
tidak akan membunuhnya, hanya akan membereskan urusan penasaran janda Yo!" Setelah mengancam
demikian, Kun Hong kemudian mendorong terus kedua orang tawanannya itu kembali ke tempat tinggal
janda Yo Kui.
Para penjaga menjadi bingung dan tentu saja tidak berani turun tangan untuk menjaga keselamatan
majikan mereka. Penjaga-penjaga itu berkumpul dan hanya berani mengikuti di belakang Kun Hong, sambil
berunding bagaimana caranya harus menyerang si buta yang menawan majikan mereka.
"Jangan serang... uh-uhh... jangan serang... goblok...!" Song-wangwe berkali-kali berteriak mencegah kaki
tangannya karena dia betul-betul ketakutan dan sama sekali tidak dapat berkutik dalam cengkeraman yang
amat kuat dan menyakitkan leher itu.
Para penduduk dusun berseru keheranan, penuh kekagetan dan kekaguman pada waktu mereka melihat si
buta itu datang lagi, kini sambil menyeret Lao Tiu dan Song-wangwe sedangkan di belakangnya berjalan
banyak penjaga yang tak berani bergerak menyerang sehingga dipandang sepintas lalu seakan-akan
mereka ini malah menjadi anak buah Kun Hong si buta!
Setibanya di depan pondok janda Yo, Kun Hong melemparkan tubuh Lao Tiu ke bawah. Lao Tiu
bergulingan saling tindih dengan lima orang tukang pukul yang masih terdengar merintih-rintih seperti ikan
dilempar ke darat.
Lao Tiu terlampau takut dan terlampau sakit-sakit mukanya, sehingga dia pun tak mampu bangkit lagi.
Kedua pipinya membengkak besar membiru, matanya merah, mukanya kotor dan mulutnya berdarah,
bibirnya bengkak-bengkak tebal, giginya banyak yang copot.
"Song-wangwe, apakah kau tahu apa sebabnya aku menawanmu dan menyeretmu ke tempat ini?" tanya
Kun Hong, suaranya tegas berwibawa.
Hartawan itu diam saja. Maka Kun Hong memperkeras cengkeramannya dan membentak, "Hayo jawab!"
"Tidak... ti... tidak tahu...," suaranya gemetar tubuhnya menggigil.
"Hayo lekas kau ceritakan tentang urusanmu dengan mendiang Yo Kui dan juga tentang kehendakmu yang
kotor terhadap nyonya janda Yo. Tentang Lao Tiu yang kau suruh membujuk-bujuk, tentang penipuanmu
menggunakan surat perjanjian tanah, tentang cara kotormu menyogok pembesar yang melakukan
pengadilan, tentang lima orangmu yang mengeroyok dan memukul mendiang Yo Kui. Hayo cepat
ceritakan, kalau ada yang kau lewatkan satu saja... hemmm, aku benar-benar akan mematahkan batang
lehermu yang lapuk ini!"
Karena nyawanya benar-benar terancam maut di tangan kuat pemuda buta itu, dengan suara yang
tersendat-sendat si tua Song terpaksa menceritakan semua tipu muslihatnya terhadap mendiang Yo Kui,
dan betapa dengan bantuan tukang pukulnya dan Lao Tiu, dia berusaha keras untuk menarik diri janda Yo
menjadi kekasihnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kata-katanya yang terputus-putus ini didengar oleh semua orang tanpa ada yang berani mengeluarkan
suara, hanya terdengar isak tangis nyonya janda muda itu yang merasa terharu dan juga bangga karena
sekali ini selain ia dapat membalas sakit hati, membuat roh suaminya tidak penasaran, juga sekaligus ia
dapat mencuci bersih namanya di depan umum.
Sebetulnya, hal ini bukanlah rahasia bagi para penduduk dusun itu, karena mereka semua sudah tahu
macam apa adanya tuan tanah Song dengan sekalian kaki tangannya. Akan tetapi baru kali ini mereka
mendengar hal ini dibongkar dan diceritakan oleh si tuan tanah sendiri. Benar-benar hal yang amat luar
biasa!
Setelah selesai membuat pengakuan, dengan suara serak tuan tanah itu meratap-ratap, "...ampunkan
saya, Taihiap (pendekar besar), ampunkanlah saya... saya berjanji... tidak berani lagi..."
Gatal-gatal tangan para penjaga dan kaki tangan tuan tanah itu, akan tetapi mereka tak berdaya dan tidak
berani bergerak karena maklum bahwa si buta itu tak boleh dipandang ringan. Buktinya, lima orang tukang
pukul yang pandai silat itu pun sekarang masih saja merintih-rintih dan tak dapat bangun. Pula, kalau
mereka hendak mengeroyok, tentu tuan tanah itu akan terbunuh lebih dulu.
"Mudah saja mengampunkan orang macam kamu, tapi bagaimana dengan orang-orang yang sudah mati
karena perbuatanmu? Bagaimana dengan wanita-wanita yang sudah kau hina?" Kun Hong membentak.
"Ampun... ampun..."
"Hayo kau suruh seorang di antara kaki tanganmu untuk mengambil lima ratus tail perak untuk mengganti
kerugian nyonya Yo, sediakan sebuah gerobak berikut kudanya. Cepat! Hanya itu yang akan menjadi
pengganti nyawamu."
Tanpa ayal lagi tuan tanah itu menyuruh seorang kepercayaannya yang berdiri melongo di tempat itu untuk
segera memenuhi permintaan Kun Hong ini.
Para penduduk ramai membicarakan hal ini, ada yang terheran-heran, ada yang kagum, juga ada yang iri
hati terhadap nyonya janda yang sekarang berdiri dengan muka pucat dan bingung, terlalu terkejut
menghadapi semua kejadian yang sekaligus mengubah jalan hidupnya ini.
Dengan berdiri tegak Kun Hong menanti sampai pesuruh tuan tanah itu datang kembali membawa sebuah
gerobak berikut kudanya yang cukup baik, terisi lima ratus tail perak! Semua penduduk memandang
dengan melongo. Selama hidupnya belum pernah mereka melihat uang perak sebanyak itu, jangankan
melihat, mimpi pun belum pernah!
"Twaso, gerobak dan uang ini milikmu. Dengan gerobak ini kau dan anakmu bisa mencari pamanmu ke
Cin-an dan uang ini dapat kau pakai sebagai modal hidup.”
"...ahh... terlalu... terlalu banyak untuk apa...?" Janda itu berkata gagap.
Kun Hong tersenyum. "Untuk apa, terserah kepadamu karena uang ini milikmu yang sah!"
Janda itu memandang ke kanan kiri. Dia melihat betapa para penduduk memandangnya dengan mata
terbelalak, dengan wajah mereka yang kurus-kurus serta pakaian mereka yang tambal-tambalan.
Mendadak janda muda itu sambil memondong anaknya berlari ke arah gerobak, melihat lima kantong uang
perak bertumpuk di situ, lalu berpaling kepada seorang dusun yang sudah tua.
"Chi-lopek (uwak Chi), kau turunkan tiga karung dan kau bagi-bagikan rata kepada semua saudara
penduduk dusun kita."
Hampir saja semua orang tidak dapat percaya apa yang mereka dengar ini, kemudian setelah janda itu
mengulang perkataannya, serentak terdengar mereka bersorak sorai lalu memuji-muji nyonya Yo. Malah
beberapa orang wanita berlari menghampiri, memeluknya, menciuminya sambil menangis. Yang lelaki
pada tertawa lebar, wajah yang kurus-kurus itu berseri-seri, timbul harapan baru dengan adanya tambahan
bantuan uang yang tidak sedikit itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kun Hong mengangguk-angguk, diam-diam dia kagum sekali dan benar-benar dia puas telah menolong
seorang yang memiliki pribudi setinggi nyonya janda itu. Biar pun seorang dusun, ternyata wanita ini benarbenar
seorang bidadari, pikirnya dan terbayanglah wajah Cui Bi di depan mukanya.
Setelah selesai tiga karung diturunkan, Kun Hong lalu melepaskan tuan tanah, dengan jari
tangannya dia menotok punggung dan pangkal paha. Tuan tanah itu berteriak dan roboh, dari mulutnya
keluar darah.
"Kau tidak akan mati," kata Kun Hong, "akan tetapi ingat, jika sekali lagi kau melakukan gangguan kepada
orang-orang yang tak bersalah, aku akan datang kembali dan membikin perhitungan yang lebih hebat
denganmu. Pulanglah!"
Tuan tanah itu merangkak bangun, segera dituntun dan diangkat oleh orang-orangnya. Dia tidak tahu
bahwa semenjak saat itu dia takkan dapat lagi melakukan perbuatan hina, tidak akan dapat mengganggu
wanita lagi karena dengan kepandaiannya, Kun Hong telah membuatnya menjadi seorang laki-laki lemah.
Kemudian Kun Hong menyembuhkan lima orang tukang pukul tadi, akan tetapi mereka ini pun mendapat
bagian. Dengan memijat urat darah terpenting Kun Hong membuat mereka berlima itu kehilangan tenaga
pada kedua lengannya, sehingga selanjutnya mereka tidak akan dapat menjadi tukang pukul lagi!
"Oleh karena kau masih saudara misan Yo-twaso, kau kuampuni. Akan tetapi kau harus mengantar Yotwaso
ke Cin-an sampai dia bertemu dengan pamannya. Awas, jangan kau main-main karena sekali kau
menyeleweng, nyawamu tak akan tertolong lagi," kata Kun Hong kepada Lao Tiu sambil cepat-cepat dia
menyentuh jalan darah di dadanya.
Lao Tiu merintih, merasa betapa jantungnya berdetak keras dan ada rasa nyeri dan perih di dekat
lehernya.
"Kau terancam maut oleh luka di dadamu," berkata Kun Hong, "dan obatnya hanya akan dimengerti oleh
Yo-twaso. Kalau kau sudah mengantarkan dia dengan selamat sampai di Cin-an dan bertemu dengan
pamannya, barulah dia akan memberi tahu kepadamu cara pengobatannya sampai kau sembuh. Nah,
dengan jaminan ini, sekali kau menyeleweng, kau akan mampus dan tubuhmu akan menjadi busuk
sebelum nyawamu melayang."
Kun Hong sengaja mengeluarkan ancaman ini, padahal yang tadi dia lakukan itu hanyalah totokan biasa
saja dan sama sekali tidak ada bahayanya, dalam waktu sebulan rasa tak enak itu akan hilang sendiri.
Akan tetapi dia perlu mengancam dan menakut-nakuti orang berwatak buruk seperti Lao Tiu.
"Yo-twaso, mari kita masuk pondok. Akan kuberi tahu rahasia pengobatan dia itu dan aku akan menukar
pakaianku."
Dengan tongkat meraba-raba ke depan Kun Hong memasuki pondok Nyonya Janda Yo sambil
menggandeng tangan A Wan yang lari mengikuti. Sampai di dalam pondok, janda muda ini tak dapat
menahan lagi hatinya yang penuh perasaan haru, girang, dan bahagia. Sambil terisak menangis wanita ini
menubruk Kun Hong dan merangkulnya, menangis tersedu-sedu.
"In-kong... ahhh, In-kong... kau sudah menyelamatkan hidupku... menyelamatkan nama baikku… In-kong,
budimu setinggi gunung... dan... kau seorang buta...! Ah, betapa inginku membalas budimu... In-kong,
andai kata dapat, aku rela untuk memberikan dua mataku untukmu!"
Dengan penuh perasaan nyonya muda itu menarik leher Kun Hong dan tanpa malu-malu karena perasaan
terima kasih yang meluap-luap ia lalu menciumi kedua mata yang buta itu!
"Twaso, jangan...!" Suara Kun Hong tersedak karena dia sedang menahan perasaannya. Kedua tangannya
memegang pundak wanita itu, didorong menjauh.
Sejenak wanita itu menatap wajahnya, melihat betapa mata yang buta itu bergerak-gerak, celah-celah
belahan pelupuk itu membasah, hidung yang mancung itu kembang-kemping, bibirnya bergerak-gerak
gemetar.
"In-kong...!" wanita itu lalu menjatuhkan dirinya, kini memeluk kedua kaki Kun Hong dan menciumi
sepatunya yang kotor, membasahi dengan air mata dan menggosok-gosoknya dengan rambut.
dunia-kangouw.blogspot.com
"In-kong, selama hidupku takkan dapat aku bertemu dengan manusia seperti In-kong... apa artinya
menempuh hidup baru di Cin-an kalau aku tak akan dapat bertemu dengan orang sepertimu lagi? In-kong,
biarkan aku membalas budimu dengan menghambakan diriku... biarkan aku menjadi bujangmu. A Wan
juga... biarkan kami berdua merawatmu, biarkan aku menuntunmu..."
"Yo-twaso, diam...!" Kun Hong mengeluarkan suara bentakan dan dengan sekali tarik dia membuat wanita
itu berdiri. "Kau wanita baik-baik, kau seorang suci dan mulia hatimu. Thian pasti akan memberkatimu.
Hayo kita keluar, kau harus berangkat sekarang juga. Mana pakaianku?"
Dengan masih terisak wanita itu berkata sedih, "Tidak akan kukembalikan, Inkong. Kalau tidak dapat
berkumpul dengan orangnya, biarlah pakaiannya menjadi kenang-kenangan. Kuganti dengan pakaian
suamiku pula... yang juga pergi meninggalkan kami berdua..." ia terisak lagi.
Kun Hong maklum bahwa paling berat adalah mempertahankan nafsu hati, oleh karena itu dia tidak mau
banyak ribut tentang pakaian, segera dia menuntun tangan A Wan keluar dari pintu diikuti oleh janda itu.
Sambil terisak janda itu minta diri dari semua tetangganya, lalu ia naik gerobak bersama A Wan. Lao Tiu
sudah duduk di depan, orang ini sekarang taat benar.
"Aku akan mengantar sampai keluar dusun," kata Kun Hong dan berangkatlah mereka.
Gerobak ditarik kuda berjalan perlahan meninggalkan kampung. Di belakang gerobak Kun Hong berjalan
sambil memegang tongkat. Di belakangnya, orang-orang dusun mengantar sampai ke pinggir dusun,
melambaikan tangan kepada A Wan dan ibunya.
Setelah gerobak meninggalkan dusun itu sejauh sepuluh li dan sampai di jalan simpang empat, Kun Hong
berkata, "Lao Tiu, berhenti dulu."
Gerobak berhenti dan dia berkata kepada janda Yo, "Yo-twaso, nah, sampai di sini kita berpisah. Selamat
jalan dan semoga kau bahagia. A Wan, kau jaga ibumu baik-baik, ya? Sudah, Lao Tiu, sekarang kau
balapkan kudamu."
"Nanti dulu...!" Nyonya janda itu melompat begitu saja turun dari gerobak, lalu berlarian menghampiri Kun
Hong dan berlutut di depannya. "Sekali lagi, In-kong... bolehkan aku dan A Wan menghambakan diri
padamu. Biar kami ikut ke mana kau pergi..." Suaranya penuh permohonan.
"Bodoh, kau orang baik. Aku seorang buta, seorang pengemis..."
"Tidak apa, aku masih bermata. Mataku sama dengan matamu, dan aku... aku sanggup bekerja untukmu...
andai kata harus mengemis sekali pun... aku yang akan mengemis, In-kong..."
"Cukup semua ini! Twaso, jangan lemah, ingatlah anakmu. Aku berjanji, kelak akan kucari kau dan A Wan
di Cin-an."
"Betulkah?" Terdengar suara mengandung harapan. "In-kong, hingga kini belum kuketahui namamu yang
mulia."
Kun Hong tersenyum pahit, "Apa artinya nama? Kenalilah aku sebagai si buta... dan ehh, jangan lupa..." Ia
mendekatkan mukanya sambil mengangkat janda itu bangun berdiri.
"...si Lao Tiu tidak kuapa-apakan, kelak bilang saja obatnya minum abu hio, sehari satu sendok sampai
sebulan. Nah, selamat jalan!"
Kun Hong yang tak ingin wanita itu menunda-nunda perjalanannya, tiba-tiba mengangkat tubuh wanita itu
dan... melontarkannya ke depan. Janda itu menjerit lirih, lalu tubuhnya melayang dan... jatuh dalam
keadaan duduk tepat di atas gerobak, di dekat A Wan yang tertawa-tawa melihat ibunya ‘terbang’ tadi.
Gerobak dijalankan cepat. Kun Hong masih terus berdiri tegak sampai lama menghadap ke arah gerobak.
Sudah lama gerobak itu menikung dan penumpangnya tidak melihatnya lagi, namun telinganya masih
dapat mendengar derap kaki kuda yang makin menjauh. Dia menarik napas panjang, lega hatinya karena
tadi ia benar-benar gelisah saat menghadapi bujukan dan permohonan janda muda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Berbahaya...!" pikirnya.
Dia masih terharu kalau mengenangkan janda muda dan puteranya itu. Akan tetapi dia segera mengusir
perasaan ini dan melanjutkan perjalanannya sambil bernyanyi.
"Wahai kasih, aku di sini...! Menyongsong sinarmu yang hangat..."
Kata-kata di dalam nyanyian Kun Hong selalu berbeda, disesuaikan dengan keadaan dan perasaannya
pada saat itu, namun selalu didahului dan diakhiri dengan kata-kata "wahai kasih, aku di sini...!"
Hal ini adalah karena dalam setiap nyanyian yang dibuatnya, pikirannya selalu melayang dan terkenang
kepada Cui Bi, kekasihnya yang telah tiada. Baginya, sinar matahari, kicau burung, desir angin, dendang
air sungai, harum bunga dan rumput, semua itu merupakan pengganti diri Ciu Bi!
Sebetulnya pada saat itu dia merasa lapar sekali. Akan tetapi setelah berjalan setengah hari lebih belum
juga dia bertemu orang atau dusun, maka terpaksa dia menahan lapar dan bernyanyi-nyanyi.
"Wahai kasih aku di sini...! Dalam perjalanan nan sunyi..."
Tiba-tiba Kun Hong miringkan kepalanya seperti tak disengaja, akan tetapi sebetulnya dia mengelak
sambaran sebuah benda yang menyambar kepalanya dari atas.
“Plokk!”
Benda itu jatuh ke tanah dan pecah. Kiranya yang menyambarnya tadi adalah sebutir buah apel masak,
dari atas pohon di pinggir jalan. Tak mungkin buah masak jatuh seperti itu cepatnya, pasti disambitkan
orang, pikir Kun Hong. Dia menghentikan langkahnya dan dengan telinga memperhatikan ke atas pohon.
"Perutku memang sangat lapar dan wangi buah masak itu sedap benar. Kuminta belas kasihan sahabat
yang bermata untuk memberi beberapa butir kepadaku," akhirnya dia berkata sambil mendongak ke atas.
"Hi-hi-hik-hik!" terdengar suara seorang wanita, suara ketawa merdu yang membuat Kun Hong
mengerutkan keningnya. Serasa pernah dia mendengar suara ketawa ini.
Kemudian tubuh orang itu dengan ringannya melayang dari atas pohon, turun di depannya tanpa
mengeluarkan banyak suara gaduh. Ternyata ginkang (ilmu meringankan tubuh) orang ini tinggi juga.
Kembali ada benda-benda melayang ke arah Kun Hong. Pemuda buta ini menggunakan kedua tangannya
menangkap dan ternyata buah-buah yang masak serta harum baunya berada di tangannya. Dia tersenyum
girang, lalu makan buah yang manis dan sedap itu.
Dengan mulut penuh daging buah dia pun berkata. "Terima kasih... terima kasih..." sambil membungkukbungkuk
ke depan, ke arah pemberi buah.
"Siapa sih yang kau rindukan sepanjang jalan itu? Ingin benar aku tahu, apakah si genit puteri Hui-hou
Pangcu ataukah si janda muda tak tahu malu?"
Kun Hong merasa tersedak, cepat batuk-batuk untuk mencegah makanan memasuki jalan pernapasannya.
Kiranya wanita ini adalah Bi-yan-cu, gadis lincah yang mengaku puteri Sin-kiam-eng Tan Beng Kui!
"Ehh, kiranya kau... Bi-yan-cu, Nona? Ahh, sambitanmu tadi membikin kaget orang saja..."
Sungguh sama sekali di luar dugaannya, ucapannya ini membuat gadis itu tiba-tiba saja menjadi marah!
Gadis ini membanting-banting kakinya dan berkata dengan suara penuh kejengkelan.
"Kalau lengan kananku yang terkutuk ini tidak begini nyeri, tak mungkin sambitanku tidak mengenai kepala
seorang buta! Aku tidak biasa menyambit dengan tangan kiri!"
Kun Hong tersenyum, diam-diam merasa aneh dengan watak gadis ini, akan tetapi dia tak menjawab,
melainkan menghabiskan dua butir buah dengan lahap dan enaknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kesunyian kembali membangkitkan amarah gadis itu, ini terbukti dengan suaranya yang nyaring merdu dan
penuh kejengkelan, "Ihhh, orang macam apa kau ini, tidak menjawab omongan orang hanya makan saja,
tidak ingat dari siapa kau menerima buah itu!"
"Aku sudah bilang terima kasih tadi," jawab Kun Hong tenang, memasukkan sisa terakhir buah itu ke dalam
mulut.
"Siapa butuh terima kasihmu? Yang kubutuhkan sekarang jawabanmu."
"Jawaban apa?"
"Siapa yang kau rindukan di sepanjang jalan, si genit puteri Hui-houw Pangcu ataukah si janda muda?"
"Bagaimana kau tahu tentang janda itu?"
"Cih, kau kira aku buta? Tentu saja aku tahu, hemm, siapa tidak melihat kau bermalam di rumahnya,
menolongnya mati-matian dan siapa pula yang tidak melihat adegan sandiwara mesra di perempatan jalan
tadi pagi? Hi-hi-hik, semua ditinggalkan, akan tetapi kemudian nyanyi-nyanyi seorang diri di jalan penuh
rindu. Lucu benar kau!" Suara gadis itu penuh ejekan dan muka Kun Hong menjadi merah.
Namun dia tersenyum dan diam-diam dia heran sekali karena benar-benar sukar untuk dapat menyelami
hati dan watak seorang gadis seperti ini. Dia tidak merasa sakit hati mendengar gadis itu bicara tentang
buta, karena dari suaranya dia maklum bahwa gadis itu tidak sengaja hendak menghina atau menyakiti
hatinya.
"Aku tidak merindukan siapa-siapa, tidak merasa berduka."
"Habis, siapa itu kasih?" Lalu dengan suara keras menggemaskan ia meniru suara Kun Hong bernyanyi
tadi, "Wahai kasih, aku di sini...!"
Kun Hong hanya tersenyum. "Kau benar-benar hebat, bisa tahu segalanya. Masih begini muda, pandai
menyelidiki keadaan orang lain. Hai, adik nakal, mengapa kau semenjak kemarin terus mengikuti aku?"
"Ih, ngawur! Dua kali ngawur! Pertama-tama, bagaimana kau berani memanggil aku adik, padahal aku jauh
lebih tua dari padamu."
"Tak mungkin! Usiamu belum ada dua puluh tahun!"
"Ihhh, ngawurnya! Kau tidak bisa melihat aku, mana tahu aku tua atau muda? Umurku sudah dua kali
umurmu, tahu?"
Kun Hong tertawa. Walau pun menyinggung-nyinggung kebutaannya, namun jelas bahwa dara remaja ini
bukan bermaksud menyakiti hati, melainkan bermaksud mempermainkan dirinya. Hal ini dapat dia tangkap
jelas pada suara gadis itu. Hemm, seorang dara remaja yang biasa dimanjakan, keras hati, keras kepala,
keras segala-galanya. Tapi belum tentu jahat, buktinya pernah turun tangan menolongnya ketika dia
dikeroyok.
"Kau bocah nakal! Biar pun mataku buta tak dapat melihatmu, aku berani bertaruh potong kepala bahwa
usiamu belum ada dua puluh tahun dan bahwa kau seorang dara lincah yang nakal, cantik jelita, dan
manja!"
"Idihhh, ngawur lagi. Bagaimana kau bisa katakan aku cantik jelita? Dasar laki-laki mata keranjang kau...
ehh, tak bermata mana bisa mata keranjang? Kau... kau hidung belang, buktinya setiap bertemu wanita
lantas memuji dan main gila seperti yang kau lakukan dengan puteri Hui-hou Pangcu dan janda muda."
"Bohong! Fitnah belaka itu!"
"Bohong apa? Fitnah apa? Hayo kau sangkal, bukankah puteri Lauw-pangcu yang genit itu minta kau
memijatinya waktu malam? Hi-hik, meski pun matamu buta, apakah jari-jari tanganmu juga buta? Dan
janda itu, kau bermalam di gubuknya, kau menolongnya, kau... sudahlah, kau menjemukan!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kun Hong semakin geli. Anak ini benar-benar manja. Bilang menjemukan tetapi malah mengajak dia
bercakap-cakap dan tidak mau pergi dari situ.
"Yah, sudahlah. Aku ngawur, tapi baru satu kali. Yang ke dua kalinya lagi ngawur dalam hal apa?"
"Kau bilang aku mengikutimu semenjak kemarin. Cih, siapa sudi mengikutimu? Apa ingin menontonmu?
Kalau orang gila, masih boleh dan menarik ditonton, tapi orang buta, apa sih menariknya untuk ditonton?
Paling-paling hanya menimbulkan kasihan di hati..."
"Wah, kau berkasihan kepadaku, Bibi tua? Aku yang muda menghaturkan terima kasih atas belas
kasihanmu itu dan..."
"Gila! Kau buta gelap! Kau ngawur, kau menghina, ya? Panggil bibi tua, setan...!"
Mendengar gadis itu mencak-mencak saat disebut bibi tua, Kun Hong tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha-ha!"
"Setan alas, masih tertawa lagi! Kau minta dihajar barang kali."
"Ampun, Bibi tua. Keponakanmu ini takkan berani nakal lagi. Kau tadi bilang bahwa kau dua kali lebih tua
dari padaku, bukankah sudah sepatutnya kalau aku menyebutmu bibi tua? Kenapa marah-marah seperti
kebakaran jenggot?"
"Gila lagi. Aku mana berjenggot?"
Kun Hong tertawa makin geli mendengar ini dan gadis itu pun tertawa kini.
"Betul juga kau, aku yang salah. Sudah, jangan sebut aku bibi tua lagi, bisa menangis aku!"
"Nona yang lucu, coba kau katakan, kalau kau tidak mengikuti aku, biar pun sebenarnya aku tidak tahu dan
tidak menduga, habis bagaimana kau bisa tahu mengenai janda dan segala yang kualami itu?"
"Aku mengikuti rombongan itu untuk mengambil ini." Lupa akan kebutaan Kun Hong, gadis itu
mengeluarkan sebuah barang dari dalam buntalannya, dan benda itu adalah... mahkota yang tadinya
sudah dirampas oleh Tiat-jiu Souw Ki.
Biar pun Kun Hong tak dapat melihatnya, namun dia mendengar angin gerakan gadis itu yang
mengeluarkan sesuatu dari buntalan, dia dapat menduga benda apa itu. Kun Hong terkejut juga, karena hal
ini benar-benar tak pernah disangkanya.
"Hah, kau sudah merampasnya kembali?"
"Tentu saja! Setelah kau main gila dengan janda itu, aku lalu mengejar mereka dan apa artinya mereka
bagiku?" Suaranya bernada sombong. "Kemarin aku kalah karena mereka mengeroyokku, puluhan,
bahkan ratusan orang banyaknya! Dan sebenarnya kemarin itu pun aku tidak akan kalah kalau saja..."
"Kalau apa?" Kun Hong tersenyum, diam-diam geli hatinya.
Gadis ini benar-benar lincah dan lucu dan bagaikan penambah cahaya matahari mendatangkan perasaan
gembira, menularkan kepadanya silat gembira dan tiba-tiba saja Kun Hong kehilangan watak pendiamnya
dan jadi bersendau-gurau dengan gadis ini!
"Kalau saja aku tidak muak oleh bau keringat mereka!"
"Bau keringat? Ho-ho-ho, kok aneh amat!"
"Aneh apanya? Ratusan orang laki-laki kasar tak pernah mandi mengeroyokku, keringat mereka
bercucuran, baunya melebihi biang cuka dan membuat aku sesak bernapas. Mau muntah rasanya, mana
mungkin bertempur dengan baik?"
Kun Hong tak dapat menahan kegelian hatinya dan tertawalah dia terbahak-bahak, tidak tahu bahwa gadis
itu sedang memandangnya dengan cemberut karena merasa ditertawai. Selama tiga tahun ini agaknya
dunia-kangouw.blogspot.com
baru kali ini dia dapat tertawa seenak ini. Tapi ketika dia teringat akan kekejaman gadis ini merobohkan
lawan-lawannya tiba-tiba saja ketawanya terhenti, keningnya berkerut ketika dia bertanya,
"Dan kau bunuh mereka semua dua puluh satu orang itu?"
"Hemmm, lenganku yang terkutuk inilah yang menjadi penghalang! Aku hanya sanggup merampas
mahkota, merobohkan tosu bau dan anjing kaisar dengan melukai mereka. Sayang lenganku begini sakit,
kalau tidak, hemmmm... mereka semua akan menjadi setan tanpa kepala!"
"Kau ganas sekali." Suara Kun Hong dingin.
"Apa, ganas? Mereka itu orang-orang jahat, membunuhi orang-orang tak berdaya dan tak berdosa,
merekalah yang ganas. Aku membasmi orang-orang jahat kau sebut ganas? Kalau kau membiarkan
mereka melakukan kejahatan, maka kaulah yang ganas!"
Kun Hong merasa kalah berdebat. Pengetahuan gadis ini masih dangkal sekali, mana tahu tentang perkara
yang menyinggung hal pelik ini?
"Sudahlah, sekarang katakan, sesudah kau berhasil merampas mahkota, kau kemudian mengikuti aku dan
bahkan menyusul, apa kehendakmu?"
"Wah, banyak sekali! Dengar baik-baik. Kau sudah menghinaku tiga kali dan kau hutang penjelasan
kepadaku sebanyak dua kali."
"Waduh, berat kalau begitu perkaranya. Hemmm, coba kau sebutkan satu-satu apa yang kau maksudkan
semua itu."
"Pertama, kau tadinya menolongku, itu tanda kau suka kepadaku, tapi ternyata mau main gila, memijati
tubuh perempuan genit itu, ini penghinaan nomor satu. Penghinaan nomor dua, di depan mataku kau
berani pula main gila dengan janda itu. Penghinaan nomor tiga, kau pura-pura berkorban untukku, menukar
aku yang tertawan dengan dirimu sendiri, kiranya kau hanya main-main dan tidak sungguh-sungguh
berkorban, lalu melepaskan diri dengan mudah!"
Kembali Kun Hong tertawa. Bocah ini lucu bukan main. Dia tadi sudah khawatir bahwa dia menghina
orang, tidak tahunya urusan begitu dianggap penghinaan!
"Wah-wah, berat! Lalu hutang penjelasan itu bagaimana?"
"Pertama, kau harus jelaskan kepadaku mengapa kau menolongku. Ke dua kalinya, apa maksudmu
menyebut-nyebut nama Tan Beng San dan apa hubunganmu dengan manusia itu!"
Ucapan terakhir ini mengejutkan hati Kun Hong. Tapi dia bersabar lalu menjawab,
"Kujawab satu demi satu. Ketiga penghinaan itu hanya dugaanmu belaka. Aku tidak main gila pada siapa
pun juga. Tidak pernah memijati puteri Lauw-pangcu biar pun dia secara tak tahu malu menyebutnyebutnya.
Juga tidak main gila dengan janda itu, kau harus tahu bahwa dia seorang yang berhati putih
bersih dan bermartabat tinggi. Ke tiga kalinya, aku memang menggantikan kau karena tak ingin melihat kau
celaka di tangan mereka. Nah, sekarang tentang penjelasan. Tentu saja aku menolongmu, andai kata
bukan kau yang terancam bahaya, aku pun pasti akan menolong siapa saja yang menghadapi bahaya
maut. Tentang diri Tan Beng San taihiap, dia itu jelas adalah pamanmu kalau memang betul kau adalah
puterinya Sin-kiam-eng Tan Beng Kui. Sedangkan hubunganku dengan beliau, beliau adalah... guruku.
Nah puas?"
"Tidak puas... tidak puas... omongan orang lelaki mana bisa dipercaya?" Gadis itu diam sejenak,
memandang tajam kemudian tiba-tiba ia meloncat ke atas dan…
"Srattt" pedangnya sudah dicabutnya.
"Tapi aku puas! Aku benar-benar puas!" katanya lagi, kini nada suaranya gembira sekali.
Kun Hong sampai menjadi bingung dan terpaksa harus memasang telinga baik-baik untuk dapat
menangkap getaran suara itu dan untuk menyelami isi hati gadis yang aneh ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kau tidak puas dan kau puas? Bagaimana ini?"
"Aku tidak puas karena kata-katamu tidak dapat dipercaya. Siapa berani tanggung bahwa kau tidak
bohong? Tetapi aku puas karena kau ternyata murid Tan Beng San. Hemmm, dengan gurunya belum juga
aku dapat kesempatan mengadu kepandaian, sekarang bisa mencoba muridnya juga sudah cukup
memuaskan. Orang buta, bersiaplah menghadapi pedangku!"
Bukan main mendongkolnya hati Kun Hong. Gadis manja ini benar-benar keterlaluan. Salah orang tuanya
yang terlalu memanjakannya sehingga gadis ini mempunyai watak yang takabur dan tinggi hati, merasa diri
paling pintar dan paling lihai. Dia segera bangkit perlahan dan dengan senyum tanpa meninggalkan
bibirnya dia berkata,
"Ah, kiranya kau membenci dan memusuhi pamanmu sendiri. Adik kecil, kau menantang aku? Apa kau
lupa bahwa aku hanya seorang buta yang tak dapat melihat? Masa seorang buta ditantang bertempur?"
"Kau benar buta, apa bedanya? Biar pun buta, kau lebih pandai dari pada yang tidak buta, siapa tidak tahu
hal ini? Sebaliknya, aku pun terluka pada tangan kananku, gerakanku menjadi kaku, rasanya sakit sekali.
Jadi keadaan kita sudah seimbang, tidak boleh kau bilang aku menggunakan kebutaanmu untuk mencari
kemenangan. Hayo, siap!"
Diam-diam ingin juga hati Kun Hong untuk menguji sampai di mana kepandaian gadis ini yang begini besar
hati dan besar kepala. Dia sudah tahu akan kelihaian Ilmu Pedang Sian-li Kiam-hoat, bahkan dahulu sudah
pernah melihatnya sebelum dia buta. Bukankah kekasihnya dahulu juga telah mewarisi ilmu pedang itu?
Teringat akan kekasihnya ini makin besar keinginan hatinya untuk menghadapi gadis ini memainkan Ilmu
Pedang Sian-li Kiam-hoat. Dia lalu melintangkan tongkatnya di depan dada dan berkata tenang.
"Aku sudah siap."
Akan tetapi gadis itu tidak segera mulai, tetapi berkata dulu dengan nada suara angkuh. "Aku sudah dapat
menduga bahwa di dalam tongkatmu itu tersembunyi senjata yang amat ampuh, maka jangan nanti
katakan aku menyerang lawan yang hanya bertongkat. Nah, awas pedangku!"
Kun Hong tersenyum. Betapa pun juga, gadis ini selain mempunyai keangkuhan, juga jujur dan ada sifat
‘satria’ dalam hatinya.
Mendengar desir angin serangannya, Kun Hong cepat menggerakkan tongkat menangkis. Dia sengaja
tidak mau menggunakan mata pedang Ang-hong-kiam karena khawatir kalau merusak pedang lawan itu.
Dari samping dia menangkis, meminjam tenaga lawan karena maksudnya hanya hendak menguji tenaga.
Dalam gebrakan pertama ini dia sudah tahu bahwa gadis ini mengandalkan kepandaian pada
kegesitannya. Ginkang atau ilmunya meringankan tubuh memang sudah boleh juga, hanya kalah setingkat
bila dibandingkan dengan Cui Bi, mendiang kekasihnya. Akan tetapi tenaga lweekang-nya ternyata masih
jauh dari pada cukup.
Dia segera melayani semua serangan gadis itu dengan tenang, mengimbangi tenaga dan kecepatannya.
Hatinya amat gembira saat mendapat kenyataan bahwa Sian-li Kiam-hoat yang dimainkan gadis ini adalah
ilmu pedang yang tulen.
Gerakan-gerakannya begitu halus dan lemas. Keindahannya bisa dia rasakan dari desiran anginnya. Di
dalam khayalnya Kun Hong seolah-olah melihat kekasihnya sendiri bergerak menari pedang.
Hatinya terharu bukan main dan dalam kegembiraannya dia sampai lupa bahwa dia tadi hendak menguji
gadis itu. Dia selalu mengimbangi gadis itu, tidak memberi kesempatan kepada gadis itu untuk bisa
melukai tubuhnya, akan tetapi juga dia tidak mau mengambil kesempatan untuk merobohkannya.
Dua ratus jurus telah lewat dan tiba-tiba gadis itu menghentikan gerakannya, malah lalu tidak mau
menyerang lagi. Kun Hong juga berhenti bersilat, berdiri tegak dengan muka pucat karena baru sekarang
dia teringat bahwa dia sama sekali tidak sedang menari-nari dengan kekasihnya. Dia mendengar penuh
perhatian dan alangkah kagetnya pada waktu mendengar gadis itu yang kini sudah duduk di atas tanah
terisak menangis!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia pun cepat-cepat berjongkok. Permainan pedang gadis itu yang sama benar dengan mendiang Cui Bi
sehingga mendatangkan rasa simpati besar dan di dalam hatinya timbul rasa sayang kepada dara lincah
ini.
"Nona, kau... kenapa kau menangis? Kau tidak terluka, juga tidak kalah..."
"...tidak kalah...! Memang tidak kalah... hu-hu... tapi juga tidak menang... u-hu-huu...!"
Tangisnya makin menjadi sehingga Kun Hong menjadi bingung sekali. Beberapa kali dia mengulur tangan
hendak menghibur, tetapi ditariknya kembali. Jantungnya serasa copot dan seluruh tubuhnya serasa lemas
mendengar tangis ini. Aneh bin ajaib, mengapa tangis gadis ini sama dengan tangis Cui Bi? Isaknya sama,
suara sedu-sedannya juga senada.
"Jangan... jangan menangis, Nona... biarlah aku mengaku kalah kalau kau menghendaki begitu."
"Siapa sudi berlaku serendah itu? Hah, kalah sih bukan soal!" tiba-tiba saja tangisnya menghilang dan
suaranya kembali nyaring. Benar-benar gadis yang aneh sehingga Kun Hong mendengarkan sambil
terlongong. "Akan tetapi, hati siapa yang tidak mendongkol? Sampai hampir copot rasanya lengan kananku
yang terkutuk ini, sampai sakit bukan main dan kupaksa-paksakan tadi, akan tetapi tetap saja aku tidak
mampu mengalahkan kau seorang yang buta! Baru kau muridnya yang buta saja begini hebat, apa lagi
gurunya yang tidak buta. Ahhh, aku berdebat dengan ayah, aku tidak menerima kata-kata ayah bahwa aku
tidak akan mungkin dapat mengalahkan dia. Dan ternyata aku kalah bertaruh. Hu-hu-huu...!" Dia menangis
lagi tersedu-sedu seperti anak kecil minta permen ditolak.
"Tan Beng San taihiap adalah seorang pendekar besar, Nona dan kau harusnya bangga karena dia itu
pamanmu. Dia tak mungkin mau memusuhimu, selain lihai dan sakti, juga dia memiliki hati emas,
pribudinya luhur dan dia seorang satria sejati."
Tiba-tiba tangis itu terhenti dan suaranya marah lagi. "Kalau hatiku berbulu, ya? Pribudiku rendah dan aku
bukan bandingannya sama sekali. Hatinya emas tetapi hatiku tembaga. Begitukah? Pantas saja kau tidak
peduli kepada orang rendah ini, biar tubuh hampir kaku karena... lengan terkutuk ini... aduh!"
Baru sekarang gadis itu mengeluh dengan suara rintihan lirih. Kun Hong terkejut. Dia dapat menduga tadi
bahwa lengan kanan gadis ini terluka, gerakannya pun kaku, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa gadis
ini masih kuat memainkan pedangnya sebegitu lama, tentu lukanya tidak hebat. Sekarang dari suara gadis
ini dia terkejut karena ada tanda-tanda bahwa gadis itu terserang demam panas akibat lukanya.
"Berikan lenganmu, biar kuperiksa!" katanya.
Dan sebelum gadis itu sempat menjawab atau pun menolak, dia sudah dapat menangkap pergelangan
tangannya dan meneliti detik darahnya. Setelah memeriksa beberapa menit, tiba-tiba muka Kun Hong
menjadi merah sekali, melepaskan tangan itu dan berseru,
"Celaka...! Mana mungkin? Ahh...!" dan dia duduk termenung, beberapa kali menggeleng kepala.
"Bagaimana? Ada apa?" Gadis itu lenyap keangkuhannya dan memandang dengan wajah penuh
kegelisahan. "Jangan bilang tanganku tak dapat sembuh dan harus dipotong."
"Bukan demikian, tapi cara pengobatannya yang sukar kulakukan..."
"Sukar bagaimana? Hayo katakan!" Gadis itu tak sabar lagi.
"Harus memperbaiki jalan darah yan-goat-hiat, mana mungkin...?"
Jalan darah itu letaknya di bawah ketiak, bagaimana dia dapat meraba bagian tubuh ini?
"Mengapa tidak mungkin? Aneh benar kau ini, apa kau kira aku tidak mempunyai jalan darah yan-goathiat?
Bukankah ini di sini?"
Gadis itu menggunakan tangan kiri meraba sebelah bawah pangkal lengannya, tapi dia segera menjerit
perlahan, "... aduuuhhh...!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nah, apa kataku, tentu sakit, Nona. Kau terkena pukulan pada pangkal lenganmu. Berkat hawa murni dan
lweekang dalam tubuh, kau dapat menahannya, tidak ada tulang yang patah dan kau masih dapat
melakukan pertempuran merampas mahkota, itu benar-benar hebat. Akan tetapi tanpa kau ketahui, jalan
darah itu menjadi buntu oleh gumpalan darah matang dan dapat menimbulkan keracunan."
"Wah, perlu apa kau berpidato? Aku tidak ingin menjadi tabib, juga tidak mau belajar mengobati. Lebih baik
kau lekas mengobatinya."
"...bagaimana mungkin...?"
"Aih-aiihh, bagaimana sih orang ini? Mengapa harus pakai bagaimana mungkin segala? Pendeknya, kau
becus tidak mengobatinya?"
"Tentu saja bisa..."
"Nah, sudah jangan banyak rewel, lekas obati!" Suara nona itu kehabisan sabar.
"...ya tetapi... tapi... cara mengobatinya tidak hanya dapat dengan totokan biasa, Nona. Harus diurut dan
dihancurkan darah yang berkumpul di situ agar terbawa mengalir dan..."
"Aduh-aduuuuuhh, cerewetnya. Kalau harus diurut ya urutlah, kenapa sih ceriwis amat?"
"Tapi... kau tahu sendiri yan-goat-hiat terdapat di... ketiak..."
"Aduh kemaki (sombong) kau, ya? Kalau di ketiak kenapa? Apa kau kira ketiakku terlalu kotor? Cih,
ketiakmu lebih kotor, dekil, tidak pernah kau gosok kalau mandi!" Nona itu suaranya marah sekali.
Kun Hong menarik napas panjang, tanpa disadarinya lagi dia menggaruk-garuk belakang telinganya,
benar-benar kewalahan dan terdesak. Celaka, susahnya bicara dengan gadis liar ini, pikirnya. Gadis jujur,
agaknya tidak tahu apa-apa dan masih bersih betul pikirannya akan perhubungan antara pria dan wanita,
dan hal ini mungkin terpengaruh oleh cara hidupnya sebagai seorang gadis perantau.
"Ehhh, malah termenung, garuk-garuk kepala segala lagi! Hee, orang buta, apakah kau memang tidak sudi
menolongku?"
"...bukan sekali-kali, Aku suka menolongmu, Nona, suka sekali. Tapi..."
"...tapi apa lagi?"
"Ehh, maaf... bagian yang diobati itu harus... harus... tidak tertutup..."
Hening sejenak. Walau pun wataknya polos, agaknya kalau harus memperlihatkan ketiak tanpa ditutup
baju, membuat muka gadis itu menjadi merah sekali dan bingung. Dengan kening berkerut ia memandang
Kun Hong penuh selidik.
Apakah dia sengaja hendak mempermainkan aku, pikirnya. Apakah dia seorang yang kurang ajar? Akan
tetapi tiba-tiba ia teringat bahwa orang di depannya ini adalah seorang buta.
"He, orang aneh. Apakah matamu betul-betul buta?"
Melengak Kun Hong mendengar pertanyaan ini. Ia tidak bermaksud menghina, suaranya jujur dan
pertanyaan itu sungguh-sungguh.
"Tentu saja, masa ada buta pura-pura?"
"Sama sekali tak dapat melihat? Sedikit pun tak dapat melihat?"
Kun Hong tersinggung juga, dia menghela napas dan menjawab, "Bagiku, malam dan siang sama
gelapnya..."
dunia-kangouw.blogspot.com
Namun gadis itu sama sekali tidak terpengaruh oleh suara menyedihkan ini, tidak menjadi terharu malah
segera berkata, "Kalau begitu, apa salahnya kubuka baju bagian yang diobati? Hayo lekas kau kerjakan.
Nih, sudah kubuka!"
Berdebar juga jantung Kun Hong, tapi segera dia menindas perasaannya karena dia harus mengakui
bahwa sifat gadis ini benar-benar masih amat kekanak-kanakan, gadis kasar, jujur, dan di dalam pikirannya
masih bersih dari pada hal yang bukan-bukan. Oleh karena itu dia pun lalu menangkap lengan kanan gadis
itu, terus jari-jarinya bergerak ke atas. Lengan yang kecil bulat, berisi, dengan kulit yang halus seperti
sutera.
"...aduh...!" jerit gadis itu ketika ototnya di bawah pangkal lengan terpegang.
"Hemmm... ternyata bahkan lebih hebat dari pada yang kuduga. Kalau terus kuurut, kau akan banyak
menderita kesakitan, Nona. Biarlah kubantu dengan tenaga lweekang agar kumpulan darah itu agak
membuyar karena panas. Maaf, kendurkan tenagamu sebentar."
Kun Hong kemudian membuka tangannya dan menempelkan telapak tangannya di bawah pangkal lengan
atau di ketiak kanan gadis itu. Dari tubuhnya dia mengerahkan tenaga sakti, disalurkan melalui tangan dan
gadis itu dengan penuh kekaguman memandang ketika merasa betapa hawa panas sekali keluar dari
telapak tangan si buta menjalar ke dalam tubuhnya melalui ketiak. Mendadak dia menggigil karena hawa
panas itu berubah menjadi dingin sekali sampai membuat ia menggigil.
"Wah... gila..." bibir Kun Hong berbisik dan gadis itu merasa betapa hawa itu berubah panas kembali.
"Apa yang gila? Siapa?" tak tertahan ia bertanya mendengar bisikan tadi.
Akan tetapi ia tidak marah melihat wajah Kun Hong berkeringat. Ia tahu bahwa pemuda itu sedang
mengerahkan lweekang, maka tak menjawab juga tidak mengapa. Tentu saja ia tak pernah menduga
bahwa Kun Hong tadi memaki dirinya sendiri.
Ketika Kun Hong menyalurkan tenaga lweekang tadi, pikirannya melayang dan sentuhan tangannya
dengan kulit halus hangat itu mendatangkan perasaan yang bukan-bukan dan yang mengacaukan
pengerahan tenaga saktinya sehingga akibatnya gadis itu menggigil kedinginan. Dia memaki diri sendiri,
mengusir semua perasaan, mengumpulkan panca indera dan mengerahkan tenaga.
Sepuluh menit kemudian dia melepaskan tangannya, lalu mulailah dia mengurut otot dan jalan darah yang
terluka. Mula-mula gadis itu merintih perlahan karena memang masih terasa sakit. Akan tetapi lambat laun
setelah darah mengental itu cair dan mengalir, rasa nyeri berubah nikmat. Akhirnya tiba-tiba dia tertawa
cekikikan dan tubuhnya menggeliat-geliat.
Kun Hong terheran dan bertanya, "Kenapa, Nona...?"
"Aiiihhh... hi-hik, geli amat... jari-jarimu menggelitik..."
Cepat-cepat Kun Hong menarik tangannya dan wajahnya kembali menjadi panas. Merah sekali wajahnya,
sampai ke telinga-telinganya.
"Kalau, sudah merasa geli, itu berarti sudah sembuh, Nona."
Diam-diam dia juga merasa geli hatinya karena memang sikap nona ini benar-benar lucu, jujur dan
kekanak-kanakan. Tanpa disadarinya timbullah rasa sayang kepada nona ini.
Gadis itu mengenakan kembali bajunya, bangkit berdiri dan menggerak-gerakkan lengan kanannya,
memukul beberapa jurus. Akhirnya ia berseru girang, "Bagus! Tidak terasa sakit lagi, sembuh sama sekali.
Kakak buta, aku adikmu yang bodoh sekarang merasa takluk betul. Kau hebat!"
Gadis itu memegang tangan Kun Hong dan menari-nari berputaran. Sambil tertawa Kun Hong terpaksa
mengikutinya dan mengomel,
"Aih, kau benar-benar seorang adik yang nakal sekali. Perut masih lapar kau suruh aku putar-putar begini,
bisa pusing tujuh keliling aku!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Waah, kakak buta yang baik, kau lapar? Tunggu sebentar di sini, ya? Duduklah di bawah pohon, nah di
sini..." katanya sambil menuntun Kun Hong ke bawah pohon, menyuruhnya duduk di atas akar pohon yang
menonjol ke luar dari tanah. "Aku takkan lama dan kau akan kenyang nanti."
Sebelum Kun Hong sempat mencegahnya, gadis itu sudah melesat cepat sekali dan tidak terdengar lagi
suaranya. Belum ada setengah jam gadis itu pergi, ia sudah kembali lagi sambil tertawa-tawa girang dan
kedua tangannya penuh barang-barang.
Sepanci nasi putih, semangkok besar masakan ang-sio-hi, semangkok besar pula cah udang dan
semangkok lagi panggang daging ayam. Semua masakan dan nasinya masih panas mengepulkan asap
sedap. Mangkok-mangkok berisi masakan ini semua dia kempit dan bawa sedapat mungkin, malah
tangannya masih menggenggam sebuah guci arak, mangkok kosong dan sumpit!
"Hi-hi-hi, dasar untung kita bagus, Kakak buta! Nah, tolong nih, terima dulu guci arak dan mangkokmangkok
kosong. Awas, turunkan dahulu di atas tanah, masih banyak nih. Wah, lenganku panas semua,
itu sih, ang-sio-hi-nya miring mangkoknya ketika kubawa lari, kuahnya tumpah sedikit ke lenganku!" Ributribut
gadis itu bicara sedangkan Kun Hong terheran-heran dari mana gadis itu memperoleh masakan
sebanyak itu.
"Kan di sini tidak ada restoran besar. Dari mana kau memperoleh masakan mahal ini! Wah, araknya pun
bukan arak sembarangan nih, arak wangi dan sudah disimpan lama lagi. Eh, sumpitnya ini begini halus,
apakah bukan dari gading? Dari mana kau mendapat semua ini?" Kun Hong meraba sana meraba sini,
kagum dan heran.
"Sudahlah, Kakakku yang baik. Kita makan dulu, sikat habis ini semua baru nanti bicara. Kalau sampai
dingin masakan-masakan ini sebelum masuk ke dalam perut kita, kan sayang! Hayo makan, nih araknya
untukmu sudah kusediakan!"
Dengan cekatan dan terampil gadis itu melayani Kun Hong makan. Ia sendiri pun makan, akan tetapi tiada
hentinya ia menggunakan sumpitnya untuk menjapitkan daging pilihan untuk Kun Hong, berkali-kali pula
mendesak supaya pemuda itu menambah lagi nasi dan araknya.
Gembira sekali mereka, apa lagi Kun Hong. Masakan-masakan itu sungguh lezat, nasi pun putih dan
pulen, araknya juga tulen. Kegembiraan dan kelezatan masakan membuat mereka gembul dan menambah
nafsu makan sehingga sebentar saja, sampai seperempat jam, masakan dan arak benar-benar telah
disikat habis oleh keduanya!
Agaknya setelah kemasukan arak, gadis itu menjadi lebih gembira lagi, suara ketawanya bebas lepas,
sikapnya terbuka. Kun Hong merasa lebih senang lagi dan rasa sayangnya bertambah.
Seorang keponakannya, yaitu Kui Li Eng, juga lincah jenaka, akan tetapi masih kalah oleh gadis ini yang
benar-benar masih bersih pikirannya. Sayangnya, agaknya anak ini terlalu dimanja dan agaknya sejak kecil
dipenuhi segala kehendaknya sehingga sekarang pun ia selalu ingin kehendaknya dipenuhi, menjadi orang
yang sifatnya ‘ingin menang sendiri’. Akan tetapi makin lama makin kelihatan bahwa pada dasarnya anak
perempuan ini tidak mempunyai watak yang ingin menang sendiri, malah sangat jujur dan cukup
mempunyai pertimbangan yang adil.
Kun Hong duduk bersandar batang pohon, terengah kekenyangan. Gadis itu duduk pula di atas tanah, di
depannya. Sampai lama gadis itu menatap wajah Kun Hong, melihat betapa Kun Hong meraba-raba
dengan tangan ketika hendak beralih duduk ke atas akar yang lebih rata, meraba-raba pula batang pohon
yang hendak disandarinya, kelihatan begitu tak berdaya.
"Kakak buta, kau adalah seorang ahli dalam hal pengobatan. Mengapa matamu sendiri sampai bisa
menjadi buta? Apakah sebabnya matamu buta?" Kali ini gadis itu berbicara tanpa nada kekanak-kanakan
atau bergurau, suaranya bersungguh-sungguh.
Kun Hong terkejut mendengar pertanyaan ini, menghela napas dan menjawab, "Karena salahku sendiri..."
"Hemm, apakah ada yang membikin buta? Katakanlah siapa orangnya, adikmu ini pasti akan mencarinya
dan membalas membutakan matanya!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kun Hong menggeleng kepala. Dia takkan merasa tersinggung kalau diejek orang tentang kebutaannya,
tetapi dia merasa sedih kalau orang mengingatkan dia akan sebab-sebab kebutaan itu karena hal itu sama
saja dengan memaksa dia mengenangkan Cui Bi.
"Aku sendiri yang membutakan kedua mataku."
Gadis itu meloncat ke atas, kaget sekali. "Aku tidak percaya! Masa ada orang yang mau membutakan
matanya sendiri, kecuali orang gila!"
"Memang aku gila, gila pada waktu itu." Kun Hong menangkap tangan gadis itu untuk mencegahnya bicara
soal ini lebih lanjut. "Adik yang baik, sudahlah, jangan kita bicara soal sebab-sebab kebutaan mataku,
maukah kau?"
Baru kali ini Kun Hong merasa betapa gadis itu terdiam dalam keharuan, akan tetapi hanya sebentar
karena segera terdengar lagi suaranya yang nyaring dan gembira. "Kakak buta, sebetulnya kau siapakah?
Siapa namamu dan di mana tempat tinggalmu?"
Kun Hong timbul kembali senyumnya. Sikap yang amat cepat dan mudah berubah dari gadis ini benarbenar
menggembirakan serta mudah menular. Terhadap seorang gadis seperti ini tak perlu dia
menyembunyikan diri.
"Namaku Kwa Kun Hong, Nona. Ada pun tempat tinggalku, heemm... untuk saat ini yah di sini inilah! Dan
kau sendiri, siapa namamu? Apakah cukup hanya Bi-yan-cu saja?"
"Kwa Kun Hong... nama yang bagus. Eh, Kwa-twako (Kakak Kwa), bagaimana kau bisa mengenal nama
ayahku dan bagaimana kau bisa tahu pula bahwa ayahku adalah kakak Tan Beng San ketua Thai-sanpai?"
"Tentu saja aku tahu. Aku memiliki hubungan baik dengan keluarga Thai-san-pai, bahkan pernah
menerima pelajaran ilmu dari Tan Beng San taihiap. Aku tahu pula bahwa ayahmu selain kakaknya, juga
menjadi suheng dari isteri beliau. Bukankah ayahmu adalah murid pertama dari mendiang Raja Pedang
Cia Hui Gan?"
"Wah, kiranya pengetahuanmu luas, Twako. Aku mendengar tentang pertempuran hebat pada pembukaan
Thai-san-pai tiga tahun yang lalu di puncak Thai-san, apakah kau hadir juga?"
Berdebar rasa jantung Kun Hong. Teringat dia akan semua pengalamannya di puncak itu, tentang Cui Bi
apa lagi. Dia termenung sejenak. Bagaimana dia tidak akan tahu tentang hal itu? Dia sendiri berada di
sana, malah dia mengambil bagian terpenting (baca Rajawali Emas).
"Aku tahu... aku juga hadir di sana..." Dia cepat menambah untuk menghilangkan curiga gadis itu. "Aku
bersama ayah ibuku..." Akan tetapi dia segera teringat bahwa tidak perlu dia menyebut-nyebut ayah
bundanya.
"Twako, siapa ayahmu? Tentu tokoh hebat..."
Sudah terlanjur bicara, Kun Hong tidak dapat mundur lagi. "Ayahku adalah Kwa Tin Siong, ketua Hoa-sanpai."
Gadis itu segera kembali meloncat ke atas. "Walah! Kiranya putera Hoa-san Ciangbunjin (ketua Hoa-sanpai)!
Maaf... maaf, ya, Twako? Kiranya kau seorang besar, keturunan jagoan, putera seorang ketua Hoasan-
pai yang terkenal!"
"Hushh, jangan melebih-lebihkan, malah kuminta jangan lagi kau menyebut-nyebut nama keturunanku. Aku
sudah menjadi seorang buta, miskin dan hidup sebatang-kara, aku tidak suka nama keturunanku dibawabawa.
Kau jangan menyebutku Kwa-twako lagi."
"Habis harus menyebut apa? Namamu Kwa Kun Hong... hemm, baiknya kusebut Hong-ko (kakak Hong)
saja. Bagus, kan?"
Kembali jantung Kun Hong berdebar. Mendiang Cui Bi kekasihnya dahulu juga menyebut dia Hong-ko, dan
suara gadis ini begitu mirip suara Cui Bi, seakan Cui Bi belum mati dan kini berada di sampingnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sesukamulah," dia mengusir kenangan yang mengganggu hatinya itu, "tetapi kau sendiri belum
memperkenalkan namamu."
Gadis itu tertawa gembira. "Hong-ko, namaku buruk sekali. Aku lebih suka kalau dipanggil Bi-yan-cu..."
Nada suaranya manja.
Kun Hong juga tersenyum lebar. "Apa kulitmu hitam?"
"Siapa bilang hitam? Kulitku putih kuning, malah ayah bilang kalau kulitku amat bagus dan sehat, tidak
seperti kulit gadis-gadis kota dan puteri-puteri istana yang pucat-pucat seperti kekurangan darah. Lihat
lenganku ini... ehh, kau mana bisa lihat! Mengapa kau mengira kulitku hitam, Hong-ko?"
Biar pun matanya tak dapat melihat, Kun Hong dapat membayangkan betapa gadis itu memandangnya
dengan bibir mungil yang cemberut.
"Aku ingat bahwa burung walet (yan-cu) bulunya hitam, dan sepanjang ingatanku, tidak ada burung walet
yang cantik. Maka julukanmu Bi-yan-cu (Walet Cantik Jelita) amat tidak cocok kalau kulitmu tidak sehitam
bulu burung walet. Nah, kurasa betapa pun buruknya namamu, tidak akan seburuk julukanmu."
"Wah, kau pandai mencela, Hong-ko. Awas, lain kali kuminta kau mencari julukan baru untukku. Namaku
sebetulnya adalah Tan Loan Ki. Nah buruk sekali, bukan? Seperti nama laki-laki."
"Tidak buruk. Nama Loan Ki manis benar, juga julukanmu itu sebenarnya sudah tepat, mengingat bahwa
kau mempunyai gerakan yang lincah dan cepat bagaikan burung walet. Siauw-moi (adik kecil), mulai
sekarang aku akan menyebutmu Ki-moi (adik Ki), boleh kan?"
Tiba-tiba mereka berhenti bicara karena terdengar seruan orang dari jauh.
"Betina liar itu tentu tak akan lari jauh!" terdengar suara seorang wanita yang serak.
"Hemm, kalau ia dapat kutangkap, akan kujadikan bakso. Anak kurang ajar itu!" Sambung seorang laki-laki
yang suaranya besar.
Kun Hong mengerutkan keningnya. Otaknya yang cerdas cepat menghubungkan sebutan ‘betina liar’ tadi
dengan Loan Ki.
"Ki-moi, kau tertawa mengejek! Siapa mereka dan mengapa marah-marah?"
"Dasar pelit!" Gadis itu mengomel. "Baru kehilangan nasi dan masakan begitu saja sudah mencak-mencak
seperti merak kehilangan ekor."
"Wah, jadi yang kita makan tadi..." Kun Hong berseru kaget.
"Heh-heh, barang curian tentu. Habis dari mana kalau tidak mencuri?" enak saja jawaban gadis ini. "Kau
menyesal, Hong-ko? Nah, kau muntahkanlah kembali." Ia lalu tertawa-tawa menggoda.
"Jangan main-main, Ki-moi. Kurasa dua orang yang datang ini bukan bermaksud baik dan mereka
mempunyai kepandaian yang tak boleh kau pandang ringan begitu saja!"
Baru saja Kun Hong mengeluarkan kata-kata ini, kedua orang itu sudah tiba di situ dan terdengar bentakan
yang perempuan. "Nah, ini dia si bocah liar bersama seorang buta!"
Yang laki-laki membentak, "Gadis kurang ajar, kembalikan makanan dan arak tadi..." dia lalu berseru kaget
melihat mangkok-mangkok dan guci arak yang sudah kosong, "Wah, celaka si keparat, sudah disikat
habis!"
Karena tidak dapat melihat, Kun Hong hanya dapat menaksir keadaan dua orang yang datang itu dengan
pendengarannya. Laki-laki itu paling sedikit berusia empat puluh tahun dan si wanita sukar diduga karena
suaranya serak dan kasar, akan tetapi tentu tidak lebih muda dari pada yang laki-laki. Gerakan kaki si
wanita itu ringan membayangkan ginkang yang tinggi sedangkan derap kaki yang laki-laki mengandung
tenaga lweekang membuat tanah di sekitarnya seperti tergetar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Loan Ki yang dapat melihat kedua orang itu mendapatkan kesan yang lebih mengagetkannya.
Wanita itu berpakaian serba hitam dengan tambalan kain lebar berwarna putih ditalikan di leher
menggantung ke bawah. Mukanya penuh bopeng (burik), rambutnya masih hitam serta disisir rapi.
Matanya besar sebelah dengan pandangan galak.
Tangan kanannya memegang sebuah senjata besi yang agak aneh bentuknya, bergagang dua dan
ujungnya runcing. Kiranya senjata itu adalah sebuah penjepit arang yang biasa dipergunakan di dapur
untuk mengambil arang. Tangan kirinya memegang sebuah kipas dapur yang lebar dan bergagang besi
pula. Memang aneh kedua alat dapur ini karena ukurannya selain lebih besar dari pada biasa, juga terbuat
dari besi yang kelihatan kokoh kuat mengerikan.
Ada pun laki-laki itu juga berpakaian serba hitam, memakai ikat kepala kuning. Matanya sangat lebar
seakan-akan hendak meloncat ke luar dari tempatnya. Tubuhnya tinggi besar dan mukanya hitam, kedua
lengan tangannya yang tak berbaju penuh bulu hitam. Tangan kanannya memegang sebuah pisau
pemotong babi yang lebar, yang seukuran golok tapi bentuknya persegi, dan mengkilap sekali saking
tajamnya.
Loan Ki adalah seorang anak perempuan yang semenjak kecilnya hidup di dunia kangouw dan sudah
banyak bertemu dengan orang-orang aneh. Karena itu munculnya dua orang ini tidak mengagetkannya,
juga suara mereka tidak membuat ia gentar, bahkan ia tertawa ketika berdiri dan menyambut mereka
dengan suara mengejek.
"Kalian ini dua orang kasar datang-datang marah tidak karuan lalu membuka mulut dan menyemburkan
kata-kata kotor, sebetulnya hendak mencari siapakah?"
Akan tetapi dua orang itu tidak menjawab. Mereka saling pandang dan memandang ke arah mangkokmangkok
kosong, lalu membanting-banting kaki, memaki-maki,
"Keparat, anjing-anjing kelaparan! Sudah dihabiskannya semua, celaka. Toanio (nyonya) akan memukuli
kepalaku sampai bengkak-bengkak karena arak seperti itu sudah habis dari simpanan. Aduh, celaka dua
anjing kelaparan!"
Laki-laki muka hitam itu berteriak-teriak, matanya makin melotot ketika dia memandang ke arah Loan Ki.
"Dan aku... ahhh, aku yang kasihan... dari mana aku harus mendapatkan ikan emas itu setelah ang-sio-hi
tinggal tulang-tulang ikan saja? Mampuslah aku kalau siocia memaksa aku menyelam di telaga untuk
memperoleh ikan baru... celakanya, siocia tidak akan mau sudah kalau belum kudapatkan ikan yang
serupa dengan yang tadi."
Setelah puas memaki-maki, wanita itu menudingkan penjepit arangnya ke muka Loan Ki. "Hayo mengaku,
kau gadis busuk. Tentu kau telah mencuri makanan dari dapurku, malah menotok roboh dua orang
pembantuku!"
"Dan kau yang mencuri guci penuh arak simpanan dari pembantuku!" bentak laki-laki itu sambil
mengacung-acungkan golok pemotong babinya.
Loan Ki tersenyum manis. "Betul aku, Uwak dan Empek yang baik. Tapi ketahuilah bahwa tadi perutku dan
perut si dia ini lapar sekali. Aku sedang mencari pengisi perut kami yang kosong, hidungku tertarik oleh bau
sedap dan gurih, lalu melihat masakan-masakan itu tak dapat aku menahan keinginan hatiku lagi. Maafkan
saya, Uwak dan Empek, kelak kalau kalian kelaparan dan kebetulan berada di dekat rumahku, kalian boleh
balas mencuri tiga kali lipat banyaknya. Aku berjanji tidak akan marah kalau kalian menyikat habis
masakan-masakanku dari dapur rumahku. Nah, bukankah sudah adil janjiku ini?"
"Adil matamu...!" nenek itu memaki.
"Adil mukamu... yang jelita!" kakek itu pun memaki.
Kun Hong menggeleng-gelengkan kepala. Dua orang ini adalah orang-orang aneh, tetapi Loan Ki telah
mengeluarkan janji yang sungguh-sungguh tak masuk di akal dan seenak perutnya sendiri. Mana mungkin
dunia-kangouw.blogspot.com
pencuri di ‘bayar’ dengan janji kalau kelak dua orang itu kelaparan boleh balas mencuri pula di dapur
rumahnya? Tidak masuk di akal dan alasan anak-anak.
Maka dia pun lalu bangkit berdiri, menjura dengan hormat kepada dua orang itu sambil berkata, "Jiwi
Locianpwe harap sudi memaafkan kami berdua yang muda. Sesungguhnya, tadi siauwte yang kelaparan
dan siauwte minta adik siauwte ini agar mengemis makanan. Siapa kira dia tak berani mengemis malah
mencuri. Untuk hal ini, siauwte mohon sudilah kiranya jiwi Locianpwe memaafkan kami berdua."
Dua orang itu saling pandang, wajah mereka berseri. Selama hidup baru kali ini semenjak menjadi pekerja
dapur mereka menerima kata-kata yang terdengar enak sekali memasuki telinga mereka. Mereka
memandang Kun Hong dan mengangguk-anggukkan kepala.
"Orang muda baik, biarlah kalau memang kau kelaparan. Paling-paling aku akan dimaki oleh toanio," kata
kakek itu dengan suara sabar sekali.
"Pemuda buta yang tampan, kau amat sopan. Ikan itu dapat kucarikan gantinya dengan menjala, juga
daging babi dan ayam masih banyak. Siocia pun bisa kubujuk. Dua orang locianpwe harus bersikap sabar,
bukan begitu, Sun-laote?" kata si nenek dan kakek itu pun mengangguk-angguk membenarkan.
"Hong-ko, mereka ini hanyalah seorang koki masak dan seorang tukang jagal, kenapa kau sebut-sebut
mereka locianpwe segala? Wah, kepala mereka bisa menjadi semakin besar dan kulit muka mereka makin
tebal!" tiba-tiba Loan Ki mencela Kun Hong yang menjadi kaget sekali melihat cara temannya ini ‘merusak’
suasana yang sudah begitu baik.
Celaka, pikirnya, benar-benar bocah setan, tidak mengerti siasat damai yang dia lakukan. Benar saja
kekhawatirannya. Dua orang itu mengeluarkan seruan marah, memaki-maki lagi dan wanita itu menerjang
maju, menyerang Loan Ki dengan penjepit arangnya.
Loan Ki tertawa mengejek, menghindarkan serangan ini dengan menggeliatkan tubuhnya ke belakang dan
tiba-tiba ia merasa ada angin menyambar ke arah mukanya. Kaget juga gadis ini, karena ternyata susulan
serangan kipas ini amat cepatnya.
Ia menjejakkan kakinya ke atas tanah, tubuhnya mencelat ke belakang dan terhindar dari hantaman kipas.
Pada lain saat dia telah menghadapi wanita galak itu dengan pedang di tangan dan senyum simpul
menghias bibir.
Kun Hong sangat tidak senang melihat perkembangannya menjadi pertempuran. Namun karena dari
gerakan-gerakan nenek itu dia maklum bahwa kepandaian Loan Ki masih jauh lebih tinggi, maka dia
mendiamkannya saja, hanya berkata halus,
"Ki-moi, setelah mencuri, jangan kau membunuh atau melukai orang! Jika kau melanggar aku tidak mau
bicara lagi denganmu!"
Loan Ki hanya tertawa lirih dan sebentar saja nenek itu menjadi bingung dan berkunang-kunang matanya.
Gerakan gadis ini benar-benar lincah sehingga baginya seakan-akan gadis itu mempunyai lima buah
bayangan yang mengeroyoknya dari segala penjuru! Ilmu serangannya menjadi kacau balau. Dengan
nekat dan ngawur dia menyerang membabi buta, menepak-nepak dengan kipas dapurnya seperti orang
berusaha menepuk lalat yang terlalu gesit.
"Sun-laote, kau bantu aku menangkap bocah liar ini!" Akhirnya nenek itu berteriak minta bantuan kepada
temannya.
Agaknya kakek itu ragu-ragu, lalu mengomel, "Heran benar, masa Hek-kui-nio (Iblis Betina Hitam) tidak
dapat menangkap seorang gadis cilik?" Kemudian dia menoleh kepada Kun Hong. "Orang muda, bukan
aku Ban-gu-thouw (Selaksa Kepala Kerbau) dari golongan cianpwe hendak menghina yang muda, tetapi
sahabatmu gadis liar itu agaknya terlalu lincah untuk Hek-kui-nio. Terpaksa aku harus menangkapnya!"
Akan tetapi pada saat itu terdengar Hek-kui-nio berteriak kesakitan dan dia berjingkrak-jingkrak dengan
kaki kanannya karena kakinya yang kiri kena digajul (ditendang dengan ujung sepatu) oleh Loan Ki
sehingga bukan main nyerinya, ngilu sampai menusuk-nusuk tulang sumsum!
dunia-kangouw.blogspot.com
Laki-laki tinggi besar yang berjuluk Ban-gu-thouw itu dengan marah lalu memutar-mutar golok pemotong
babinya, atau mungkin juga pemotong kerbau sesuai dengan julukannya. Angin menderu dan diam-diam
Kun Hong menjadi terkejut dan khawatir. Jelas terdengar olehnya betapa Ban-gu-thouw ini mempunyai
tenaga dahsyat yang tidak boleh dipandang ringan.
Biar pun dia maklum bahwa ilmu silat pedang yang dimiliki Loan Ki jauh lebih hebat dan mempunyai dasar
yang tinggi tingkatnya, namun menghadapi seorang lawan kasar yang bertenaga besar dan memegang
senjata yang agaknya amat berat itu, tetap merupakan bahaya bagi Loan Ki.
"Locianpwe, jangan memperhebat permusuhan!" Kun Hong berseru.
Tubuhnya tiba-tiba melesat ke arah si tinggi besar itu, kedua tangannya bergerak dengan jari-jari tangan
terbuka dan... pada lain saat Kun Hong sudah berhasil merampas golok pemotong kerbau itu!
Ban-gu-thouw berteriak keras saking kagetnya. Cepat-cepat dia membalikkan tubuhnya dan memandang
dengan mata terbelalak. "Heeei, kalau begitu kau tidak buta!"
"Siauwte memang seorang buta," jawab Kun Hong.
"Kalau buta bagaimana dapat merampas golokku?"
Tanpa menjawab Kun Hong mengangsurkan golok itu kepada pemiliknya. Ban-Gu-Thouw menerima
kembali goloknya dan wajahnya merah sekali karena pada waktu itu Loan Ki tertawa haha-hihi.
Dia menjadi marah dan berkata, "Orang muda buta, kenapa kau merampas golokku?"
"Kuharap Locianpwe tidak melanjutkan pertempuran yang tidak ada gunanya. Makanan itu sudah masuk
perutku, dan aku sudah sanggup untuk minta maaf."
"Enak saja kau bicara! Kami berdua yang akan menerima hukuman dari toanio dan siocia, namun karena
omonganmu tadi enak didengar, kami akan melupakannya saja dan siap menerima hukuman. Siapa tahu
sahabatmu si harimau betina itu suka menghina orang dan sekarang kau malah merampas golokku. Bangu-
thouw dan Hek-kui-nio tidak bisa menerima hinaan orang!"
Kun Hong cepat menjura. "Harap sekali lagi kalian orang-orang tua sudi memaafkan kami orang-orang
muda. Jika perlu, biarlah kami menghadap majikan kalian untuk minta maaf. Kurasa majikan kalian akan
menghabiskan urusan makanan yang tak berarti ini."
Dua orang itu saling pandang, lalu tertawa terbahak-bahak, membuat Kun Hong yang tak dapat melihat itu
terheran-heran. Malah nenek yang sekarang sudah tidak nyeri lagi kaki kirinya itu tertawa tak kalah
kerasnya oleh temannya. Kemudian Ban-gu-thouw berkata,
"Ha-ha, bagus sekali. Kalian mau menghadap toanio atau siocia? Ha-ha-ha, orang muda, sungguhsungguh
lucu bila mana ada orang berani begini tenangnya menyatakan hendak menghadap majikan kami
setelah berani mencuri makanan. Tetapi agaknya kalian hendak mengandalkan kepandaian kalian, dan
kau ini orang buta agaknya juga berkepandaian. Sebelum kau menghadap majikan kami, biar kucoba lebih
dahulu. Bisakah kau merampas golokku sekali lagi? Awas serangan!"
Dengan gerakan kuat sekali Ban-gu-thouw membacok ke arah kepala Kun Hong. Pemuda ini dengan
tenang miringkan kepala, jari tangannya meluncur ke arah pergelangan tangan disusul cengkeraman ke
arah gagang golok dan... sebelum Ban-gu-thouw tahu mengapa tiba-tiba tangannya menjadi gringgingen
(kesemutan), goloknya sudah pindah ke tangan orang buta itu! Tanpa berkata apa-apa kembali Kun Hong
mengangsurkan golok kepada pemiliknya.
"Hek-cici, dia ini siluman, lebih baik kita pulang dan siap-siap menerima hukuman!" kata Ban-gu-thouw
sambil menyambar goloknya dan berlari pergi diikuti temannya.
Loan Ki mengikuti mereka dengan suara ketawanya yang nyaring sampai mereka tidak kelihatan lagi
punggung mereka.
"Hi-hi-hik alangkah lucunya dua orang badut itu!" Loan Ki berkata sambil duduk di depan Kun Hong yang
sudah duduk pula di atas akar pohon.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Apanya yang lucu?! Ki-moi, kau benar-benar keterlaluan. Sudah mencuri, memperolok mereka yang tentu
akan menerima hukuman dari majikan mereka. Hanya aku amat heran, siapakah majikan yang mempunyai
koki dan jagal seperti mereka itu? Kepandaian mereka itu tidak patut dimiliki seorang koki dan jagal biasa.
Tentu majikan itu luar biasa pula dan bukan orang sembarangan. Sudah sepatutnya kita datang ke sana
minta maaf."
Loan Ki cemberut. "Aku tidak sudi minta maaf! Apa lagi kepada toanio dan siocia yang mereka sebut-sebut
tadi. Huh, lebih baik kupergunakan pedangku untuk memberi hajaran kepada mereka."
Kun Hong menghela napas. "Sudahlah, kalau begitu kita tidak usah pergi ke sana. Tapi tidak baik pula kita
tinggal bersama-sama di sini. Kalau mereka datang lagi tentu hanya akan menimbulkan keributan belaka.
Ki-moi, aku sungguh merasa beruntung sekali dapat berkenalan denganmu. Adik yang baik, selanjutnya
kau berhati-hatilah dalam melakukan perjalanan, akan lebih baik kalau kau segera pulang dan jangan
merantau seorang diri. Seorang dara remaja seperti kau ini lebih aman apa bila berada di rumah orang
tuamu sendiri. Jauhkan permusuhan, jangan terlalu menurut nafsu hati. Nah, Ki-moi kita berpisah di sini.
Mudah-mudahan pada lain waktu ada kesempatan bagi kita untuk saling bertemu kembali."
Kun Hong tidak tahu betapa gadis itu memandangnya dengan mata terbelalak bagaikan orang kaget.
Agaknya dia sama sekali tidak ingat bahwa pertemuan itu akan berakhir dengan perpisahan. Tiba-tiba ia
memegang tangan Kun Hong dan ditariknya pemuda buta itu berdiri.
"Hong-ko, hayo berangkat!" ajaknya.
"Ehh, ke mana? Jalan kita bersimpang di sini."
"Iihh, siapa bilang? Kita mengejar mereka, mengunjungi majikan dua orang badut tadi."
"Heh?!" Kun Hong melengak heran, "Kau bilang tadi tidak sudi ke sana, tidak sudi minta maaf!"
"Sekarang aku ingin sekali ke sana! Ingin aku melihat si muka hitam kepala kerbau itu dipukuli kepalanya
oleh toanio sampai bengkak-bengkak dan melihat si nenek setan itu menyelam di air sampai perutnya
kembung, hi-hi-hik!"
Kun Hong hanya dapat menarik napas panjang karena gadis itu sudah menariknya dan mengajak lari.
Sebetulnya dia tidak ingin pergi berdua lebih lama lagi dengan gadis yang merupakan penggoda batinnya
ini, akan tetapi dia pun tidak tega membiarkan gadis itu pergi seorang diri menemui majikan yang aneh dan
mencurigakan itu. Dia tahu dengan pasti bahwa sekali sudah menyatakan keinginan hatinya, tidak ada
lautan api yang dapat menghalangi gadis kepala batu ini.
Perumahan itu ternyata luas sekali, terdiri dari sembilan buah bangunan gedung besar dan tinggi
bertingkat. Dari jauh saja sudah kelihatan catnya yang beraneka warna. Dan hebatnya, perumahan itu
dikelilingi oleh air sehingga merupakan pulau kecil di tengah danau yang besar dan luas.
Memang demikian halnya. Tadinya, di dalam hutan itu terdapat sebuah danau besar dan di tengah danau
terdapat pulaunya. Sudah hampir tiga puluh tahun yang lalu danau itu dijadikan perumahan. Memang
janggal kelihatannya di tempat sunyi itu, jauh dari kota, terdapat rumah-rumah gedung di tengah danau.
Penduduk dusun-dusun yang paling dekat terletak dua puluh li dari danau itu, mengenal tempat itu dengan
nama Ching-coa-ouw (Danau Ular Hijau) dan pulau itu pun disebut Ching-coa-to (Pulau Ular Hijau). Mereka
ini tidak tahu betul siapa penghuni perumahan mentereng itu, hanya tahu betul bahwa majikan daerah Ular
Hijau ini mempunyai banyak pelayan yang galak-galak, aneh-aneh, dan rata-rata memiliki kepandaian
tinggi sehingga sekitar sepuluh li di sekeliling danau itu yang disebut ‘Daerah Ular Hijau’ seakan-akan
berada di bawah kekuasaan majikan Ular Hijau.
Orang mencari kayu kering sekali pun tak akan berani mencari nafkahnya dalam daerah Ular Hijau!
Memang terdapat sebuah jalan besar yang cukup rata menuju ke danau itu dan jalan ini merupakan jalan
umum, akan tetapi setibanya di danau kecil itu, mereka akan mendapatkan jalan buntu.
Para pedagang sayur-sayuran serta kebutuhan sehari-hari lainnya banyak mendapatkan untung kalau
menjual dagangan mereka di tempat itu. Akan tetapi tak ada seorang pun di antara mereka pernah
berurusan sendiri dengan majikan Ular Hijau karena segala urusan tentu dibereskan oleh para pelayan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Para pelayan inilah yang kemudian menyeberang ke pulau dengan perahu-perahu yang memang banyak
dimiliki oleh majikan Ular Hijau.
Ada desas-desus di antara penduduk dusun di sekitarnya, desas-desus yang merupakan dongeng bahwa
majikan Ular Hijau bukanlah manusia biasa, melainkan seorang dewi dan seorang puteri yang secantik
bidadari dan yang pandai ‘berlari di atas air’ dan pandai ‘terbang’! Sudah tentu saja hal ini merupakan
dongeng dari mulut ke mulut karena kalau ditanya sungguh-sungguh, tak ada seorang pun yang pernah
menyaksikan dengan mata sendiri.
"Hong-ko, keadaan mereka benar-benar aneh," di tengah jalan Loan Ki bercerita sambil menuntun Kun
Hong. "Aku mendengar dari orang-orang dusun bahwa daerah Ching-coa itu merupakan daerah terlarang.
Entah orang-orang macam apa yang menguasai daerah ini. Dari jauh kulihat rumah-rumah gedung di atas
pulau kecil di tengah danau, sunyinya bukan main."
"Kalau begitu, bagaimana kau dapat pergi ke gedung itu?"
"Aku tidak pergi ke sana. Tadinya aku hendak mencari makanan, siapa kira tempat ini sepi sekali, tak
kulihat sebuah dusun. Akhirnya aku bertemu dengan pedagang sayur yang hendak mengantarkan sayuran
kepada Ching-coa-to, maka aku ikut dengan dia. Sampai di pinggir telaga, pedagang itu berurusan dengan
pelayan tempat itu. Kebetulan sekali datang gerobak yang membawa masakan-masakan lezat itu, juga
arak. Aku minta beli, tapi malah dimaki-maki. Aku hilang sabar, lalu menotok roboh empat orang pelayan
dan merampas makanan dan arak.”
"Kau memang nakal."
"Kalau perut lapar orang jadi nekat, Hong-ko. Keadaan mereka benar-benar aneh dan mencurigakan. Kita
tak mungkin dapat secara berterang mengunjungi mereka."
"Habis bagaimana?"
"Aku ada akal. Kulihat tadi ada sekumpulan perahu bercat hijau diikat di pinggir telaga. Kurasa perahuperahu
itu pun milik majikan Ching-coa-to. Kita pergunakan saja perahu itu, kita menyeberang dan melihat
keadaan di sana."
"Sesukamulah, asal kau jangan menimbulkan onar," jawab Kun Hong yang juga mulai tertarik oleh
penuturan tentang keadaan penuh rahasia itu.
Betul saja seperti diceritakan oleh Loan Ki tadi, jalan itu sunyi sekali dan sampai mereka tiba di pinggir
telaga, keadaan tetap sunyi tak tampak seorang pun manusia. Dari tempat itu kelihatan tembok perumahan
di atas pulau, tetapi juga tidak kelihatan ada manusia di sekitar telaga.
Hari sudah menjelang senja, matahari yang kemerahan membayangkan cahayanya di atas air telaga yang
berkeriput seperti sutera biru kemerahan. Akan tetapi Loan Ki tidak memperhatikan keindahan alam di
senja hari ini, sedangkan Kun Hong yang suka akan keindahan alam tidak dapat melihatnya. Gadis itu
sedang mencari-cari dengan matanya dan akhirnya dia menarik Kun Hong ke dalam hutan kecil di sebelah
kiri jalan, kemudian menyelinap di antara pohon-pohon.
"Hong-ko, aku melihat ada perahu di pinggir sana. Hayo lekas kita pergunakan perahu itu sebelum
pemiliknya datang melihat kita."
"Huh, kau hendak mencuri lagi?"
"Ih, bukan mencuri, hanya pinjam sebentar untuk kita pakai menyeberang. Hatimu benar-benar terlalu suci,
Hong-ko!" Loan Ki mengomel dan Kun Hong terpaksa tersenyum.
"Baiklah. Kalau tidak dituruti kehendakmu, aku takut kau menangis."
Loan Ki tertawa dan menarik tangan Kun Hong. Sambil bergandengan tangan mereka lari ke arah perahu
kecil yang sedang terapung-apung di pinggir telaga, tersembunyi di antara pepohonan yang tumbuh
menjulang ke pinggir telaga.
dunia-kangouw.blogspot.com
Perahu itu kecil mungil, bentuknya amat ramping dan ujungnya meruncing, terikat pada sebatang tonggak
kayu yang sengaja dipasang di situ. Di dalam perahu terdapat sebatang dayung yang gagangnya terukir
indah merupakan gambar ular melingkar pada dayung itu dan terdapat ukiran huruf ‘CHING-COA’ (ULAR
HIJAU).
"Wah, perahu ini pun milik Ching-coa-to, Hong-ko. Mari naik."
Kun Hong dituntun melangkah dan masuk ke dalam perahu, terus duduk. Dara itu pun masuk setelah
melepaskan tali dan mendayung. Perahu kecil meluncur cepat ke tengah telaga.
"Perahu kecil tetapi bagus!" Kun Hong memuji. "Imbangannya tepat, kayunya kuat dan ringan, luncurannya
laju. Ditambah tenaga dalammu yang kuat, ahh... terasa nikmat betul berperahu seperti ini. Hemmm...
sayang tidak ada arak..."
Loan Ki tertawa. "Dasar pelamun dan pemalas. Sungguh tak pantas seorang lelaki duduk enak-enak
membiarkan seorang wanita mendayung perahu."
"Eh, mana dayungnya. Tapi aku tidak tanggung perahu ini akan meluncur ke mana. Kalau kembali ke
daratan sana jangan salahkan aku yang tak bermata!"
"Tidak usah, Hong-ko. Aku hanya berkelakar, masa sungguh-sungguh? Apa sih sukarnya berdayung
begini, aku memang ahli dayung, semenjak kecil sudah biasa aku berlayar, malah di samudera besar
bersama ayah."
Memang hawa di tengah telaga nyaman sekali. Angin bertiup perlahan-lahan membawa keharuman aneka
macam bunga yang tumbuh di tepi telaga dan di pulau, hawanya sejuk dan sunyi. Suara air terkena dayung
berirama amat menyedapkan pendengaran.
Suasana ini menimbulkan kegembiraan di dalam hati Kun Hong, dan otomatis pikirannya merangkai
sebuah sajak yang segera dia senandungkan perlahan mempergunakan suara dayung menimpa air
sebagai irama pengiring nyanyian.
Biduk kecil meluncur laju
menentang hembusan angin lalu
membawa harum seribu kembang
tambah nyaman ayunan gelombang
membikin si buta ingin bertembang
wahai kasih aku di sini!
Tiba-tiba suara dayung menimpa air terhenti, biduk berhenti melaju dan Loan Ki bertanya kaku, "Yang
mana kasihmu itu, Hong-ko? Kau terkenang kepada si janda muda?"
Kun Hong tertawa. "Jangan membawa-bawa janda itu ke sini, semoga ia sudah berjumpa dengan
pamannya dan hidup berbahagia bersama anaknya. Dunianya dan duniaku jauh berpisahan, Ki-moi."
Agaknya senang hati gadis itu mendengar jawaban ini, buktinya dia tidak lagi bertanya tentang kekasih Kun
Hong, sebaliknya malah terdengar ia memuji.
"Kau pandai benar bersajak dan bertembang, Hong-ko. Kata-katamu muluk, lagunya pun sedap didengar,
dan suaramu empuk benar."
Kun Hong tertawa lepas. "Kau lebih pandai lagi memuji orang, sebentar lagi bisa-bisa aku membubung
tinggi ke awang-awang karena pujianmu. Heee, Ki-moi, sudah lama sekali perahu melaju, kenapa belum
juga sampai di pulau? Kalau pulau itu tadi dapat kau lihat dari darat tentu tidak sejauh ini!"
"Aku sengaja memutar, Hong-ko. Masa aku begitu bodoh mendarat di pulau itu dari arah depan? Ingat,
kunjungan kita ini bukan kunjungan terundang. Aku akan mengitari pulau, mencari tempat yang tepat untuk
mendarat sehingga mereka yang di pulau tidak melihat kedatangan kita."
Kun Hong mengerutkan keningnya, "Sebetulnya aku tak suka bila mengunjungi tempat orang dengan
sembunyi seperti pencuri saja. Adik Loan Ki, apakah tidak lebih baik kalau kita secara berterang
dunia-kangouw.blogspot.com
mengunjungi mereka untuk menyatakan penyesalan dan permintaan maaf kita? Mungkin majikan pulau itu
akan menghabiskan urusan kecil itu dan bersikap manis."
"Hemm, agaknya kau telah membayangkan siocia cantik jelita dan manis menyambutmu dengan senyum
di bibir dan bintang di manik mata, ya? Dasar kau ini..."
"Bukan begitu, Ki-moi. Tapi kan lebih baik menjadi tamu terhormat dari pada tamu tak diundang?"
"Apa kau lupa bahwa kita sudah memakai perahu mereka tanpa ijin? Mana ada orang datang minta maaf
dengan jalan mencuri perahu pula? Jangan-jangan begitu berjumpa kita akan dicaci maki. Tidak, aku tidak
ingin bertemu dengan mereka, baik toanio atau siocia itu, baik si iblis betina tua mau pun si iblis betina
muda. Aku hanya ingin sekali menyaksikan betapa lucunya koki dan jagal tadi menerima hukuman mereka,
hi-hi-hik!"
"Kau memang nakal, Ki-moi... heeeiii, bukan main harumnya...!"
Loan Ki tiba-tiba memegang lengan Kun Hong, kemudian terdengar gadis ini berseru lirih, "Aduuhhh,
hebat...! Bukan main...! Majikan pulau ini benar-benar telah menjadikan pulau ini sebagai taman surga...!"
"Ada apa, Ki-moi? Kau melihat apa?" Penuh gairah Kun Hong bertanya, kepalanya agak dimiringkan,
hidungnya kembang kempis, kerut-merut antara kedua matanya yang buta. Telinga serta hidung, dua alat
pengganti mata untuk mengetahui apakah sebenarnya di depan sana, sekarang dikerahkan.
"Taman yang amat indah, penuh kembang beraneka warna, menara-menara merah dan kuning, patung
ukir-ukiran di sana-sini, kolam-kolam dengan air berwarna, buah-buahan tergantung rendah... ah, entah
apa lagi di sana, sudah agak gelap, Hong-ko... wah, kulihat banyak kijang, ada kelinci... monyet-monyet di
pohon... burung-burung beterbangan, juga merak... aduh indahnya..."
Wajah Kun Hong berseri gembira, kerut-merut di antara matanya tampak semakin jelas, senyumnya
membayangkan kepahitan.
Agaknya Loan Ki menoleh dan menatap wajahnya. Gadis ini kembali memegang lengan Kun Hong dan kini
suaranya telah kehilangan kegembiraan. "Ah, sebetulnya hanya taman biasa, Hong-ko. Masih tidak
menang dengan taman ayahku. Tetapi, merupakan tempat pendaratan yang baik bagi kita."
Loan Ki mendayung perahunya ke pinggir. Tiba-tiba ia berseru kaget dan perahu berhenti melaju.
"Ada apa, Ki-moi?"
Dara itu menyumpah perlahan. "Gila benar! Banyak sekali teratai liar di sini, sambung-menyambung dan
tebal. Perahu kita tak dapat lewat, celaka. Biar kucari jalan dari sana. Sebelah sana itu agaknya kelihatan
bersih dari gangguan tanaman-tanaman ini."
Ia mendayung kembali perahunya mundur untuk melepaskan diri dari taman teratai di air ini. Agak lama ia
mendayung mencari air bersih untuk meminggirkan perahunya. Akhirnya dapat juga ia minggir.
"Kita mendarat, Hong-ko."
Gadis itu memegang ujung tambang, lalu menggandeng tangan Kun Hong. Keduanya melompat ke darat
dan Loan Ki mengikatkan tambang kepada sebatang pohon di pinggir telaga.
"Lho, di mana kita ini...?" Tiba-tiba dia mengeluh. Suaranya terdengar begitu kaget dan heran sehingga
Kun Hong cepat memegang tangannya.
"Ada apa lagi, Ki-moi?"
"Aneh, Hong-ko. Benar-benar aku bingung dan tak mengerti. Ke mana lenyapnya taman surga tadi? Baru
saja masih ada, aku tahu betul, malah perahu kudaratkan di pinggir taman, tampak jelas dari perahu tadi.
Tapi setelah kita mendarat, kenapa kita di tempat yang buruk, liar merupakan hutan gelap begini?"
"Barang kali hutan ini merupakan bagian dari pada taman tadi, Ki-moi. Mari kita cari ke depan. Anehnya,
ganda harum tadi juga lenyap dan sekarang... hemmm, baunya amat tidak enak, Ki-moi."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Benar, Hong-ko. Aku pun merasa muak dan ingin muntah. Bau apa sih ini?" Pegangan tangan Kun Hong
pada lengan gadis itu tiba-tiba menjadi lebih erat.
"Ki-moi, mari kita kembali saja. Kalau aku tidak salah duga, ini bau... amisnya ular-ular beracun! Agaknya
pulau ini banyak rahasianya dan merupakan tempat amat berbahaya bagi seorang luar."
"Tidak, Hong-ko. Aku tidak takut! Aku malah makin ingin sekali menyelidiki tempat aneh ini berikut
penghuni-penghuninya. Hayo kita maju, Hong-ko."
Dengan berhati-hati kedua orang muda itu berjalan maju. Belum ada sepuluh langkah mereka memasuki
hutan liar itu, tiba-tiba Kun Hong menggerakkan tongkatnya ke kiri, cepat seperti kilat menyambar.
Loan Ki amat kaget dan menengok ke kiri dan... ia menahan jeritnya melihat seekor ular sebesar lengan
tangan telah hancur kepalanya, berkelojotan dan menggeliat-geliat di atas tanah. Ular itu kulitnya berwarna
hijau mengkilap, seluruh tubuhnya mengeluarkan lendir berminyak ketika dia berkelojotan itu. Bau amis
makin memuakkan.
Dalam kengeriannya, Loan Ki diam-diam makin kagum dan heran sekali pada pemuda buta ini. Bagaimana
seorang buta malah dapat lebih ‘awas’ dari pada dia yang selain berkepandaian tinggi, juga memiliki
sepasang mata yang tajam?
"Ki-moi, daerah ini berbahaya sekali. Apakah warna kulit ular itu?"
"Hijau..." jawab Loan Ki, suaranya masih gemetar sedikit karena tegang. Dia maklum betapa berbahayanya
ular itu, ular berbisa yang amat jahat.
"Hemm, ching-coa (ular hijau)... agaknya penghuni asli pulau ini... Ki-moi, kau keluarkan pedangmu,
bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Aku khawatir kalau-kalau kita dikurung musuh."
Mendadak dari arah belakang mereka terdengar suara yang sayup sampai dibawa angin, "Haaiiiii! Anakanak
nakal, jangan tergesa-gesa mendarat...!"
Kun Hong dan Loan Ki terkejut, cepat membalikkan tubuh. Kun Hong memasang telinga memperhatikan
tapi tidak mendengar suara apa-apa.
"Apa yang kau lihat, Ki-moi? Siapa yang datang dari telaga?" bisiknya.
Loan Ki membelalakkan mata memandang. Cuaca sudah mulai gelap, akan tetapi ia bisa melihat
datangnya sebuah perahu besar berlayar kuning dengan cepat menuju pantai. Ia kaget sekali dan mengira
bahwa suara tadi ditujukan kepada mereka. Mungkinkah dari jarak yang begitu jauh orang di dalam perahu
itu mampu melihat mereka? Ia menarik tangan Kun Hong, diajak menyelinap bersembunyi di balik rumpun
pohon kembang.
"Ki-moi, apakah ada perahu datang?"
Sekali lagi Loan Ki heran dan kagum. Jalan pikiran Kun Hong benar-benar tajam dan cerdik walau pun
pemuda ini tidak dapat melihat lagi. Memang sesungguhnya Kun Hong cerdik. Kalau ada orang atau apa
saja berada di darat di sekitar tempat itu yang terlihat oleh Loan Ki, tentu akan dapat ditangkap oleh telinga
atau hidungnya. Terang bahwa Loan Ki melihat sesuatu, dan karena tidak mendengar apa-apa, maka
dapat dia menduga bahwa suara orang tadi tentulah datang dari perahu.
"Perahu besar...," kata Loan Ki, "berlayar kuning... ada lima orang lelaki berpakaian hijau di atas perahu,
memegang tongkat... eh, seperti suling. Perahu sudah minggir, Hong-ko... kulihat benda-benda panjang
kecil meloncat ke air, ke darat, seperti ranting-ranting kayu panjang... heiii, benda-benda itu bergerak...
ohh, Hong-ko. Ular! Ular-ular besar dan kecil, banyak sekali, puluhan... ahhh, ratusan mungkin juga ribuan.
Dan lima orang itu berjalan di belakang mereka. Apa itu...? Ahh, mereka... mereka agaknya menggembala
ular-ular itu!"
Kun Hong miringkan kepala, hidungnya mengembang-kempis. "Ki-moi, kau lihat baik-baik. Apakah di
antara mereka terdapat seorang tua bongkok yang bercacat, telinga kiri dan lengan kiri buntung, mata kiri
buta, dan mulutnya lebar seperti robek?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak ada, Hong-ko. Tapi... tapi ular-ular itu menuju ke sini, Hong-ko. Celaka, mari kita lari menjauhi
mereka!" Loan Ki memegang tangan kiri Kun Hong dan menariknya lari dari situ, memasuki hutan. Tangan
gadis itu agak dingin, tanda bahwa ia merasa ngeri sekali.
Siapa tidak akan merasa ngeri kalau melihat ular-ular yang sangat banyak itu bergerak-gerak maju seperti
mengejar, dengan baunya yang amis bukan main? Apa lagi tak lama kemudian terdengar seorang di
antara lima ‘penggembala ular’ itu berteriak keras.
"Heeiii, seekor peliharaan kita mati dengan kepala hancur di sini! Wah, ini tentu perbuatan orang. Hayo kita
cari!"
"Jangan-jangan perahu kecil tadi yang membawa orang asing datang ke sini," kata suara lain.
"Ular ini baru saja bertemu musuh, tubuhnya masih berkelojotan. Tentu pembunuhnya belum pergi jauh.
Hayo kejar, pergunakan anak-anak kita!" kata suara pertama bernada memimpin. Lalu terdengar suara
suling yang ditiup secara aneh sekali.
Mendengar ini, Kun Hong berkata perlahan. "Hemm, kiranya benar ular-ular terpelihara. Jangan-jangan dia
di belakang ini semua."
"Dia siapa, Hong-ko?"
Kun Hong memegang lengan gadis itu dan berkata, suaranya sungguh-sungguh, "Ki-moi, kalau benar
dugaanku, kita benar-benar sudah berada di tempat yang amat berbahaya. Terang bahwa suling itu
bersuara untuk memberi aba-aba kepada ular-ular itu untuk mengejar kita. Heii, awas!"
Tiba-tiba Kun Hong menggerakkan tongkatnya ke kanan dua kali dan ketika Loan Ki menoleh... kiranya
ada dua ekor ular sebesar paha sudah putus lehernya. Darahnya menyembur-nyembur dan tubuh ular
yang empat lima meter panjangnya itu berkelojotan, saling belit! Dengan hati penuh ketegangan, Loan Ki
lalu menarik tangan Kun Hong dan mengajak pemuda itu lari lebih cepat lagi.
"Wah, suara suling itu malah memberi perintah kepada semua ular yang berada di tempat ini," kata Kun
Hong. "Hati-hati, Ki-moi!"
Benar saja dugaan Kun Hong, karena beberapa kali mereka diserang ular-ular besar kecil. Loan Ki
menggunakan pedangnya membunuh beberapa ekor ular yang rnenghadang di depan, juga Kun Hong
selalu menggunakan tongkatnya untuk membunuh ular-ular yang hendak mengganggu. Mereka tidak
pernah berhenti, terus berlari ke depan dan akhirnya mereka keluar dari hutan itu.
Jalan mulai memburuk, penuh batu karang dan kiranya di situ terdapat pegunungan batu karang yang
sukar dilalui. Karena tidak mengenal jalan kedua orang itu terpaksa maju terus dan sementara itu, cuaca
sudah mulai gelap, senja telah lewat terganti datangnya malam.
Suara ular-ular yang mendesis-desis serta para penggembala yang tadi berteriak-teriak sudah tak
terdengar lagi. Dua orang itu mendaki gunung kecil.
"Kita harus cepat mencari tempat sembunyi yang aman," kata Loan Ki. "Dengan adanya ular-ular itu, tak
mungkin kita bergerak di waktu malam gelap."
Kun Hong menghela napas. Jalan itu benar sukar dan andai kata dia tidak dituntun oleh Loan Ki, tentu
akan amat lambat dia dapat maju mencari jalan.
"Siapa kira, karena kau ingin melihat tontonan lucu, akhirnya menjadi tidak lucu. Kita menjadi buronan di
pulau orang. Baiknya besok kita segera kembali saja ke daratan sana."
"Hong-ko, bukankah pengalaman kita tadi cukup hebat, menegangkan dan lucu? Mungkin besok kita
bertemu dengan pengalaman yang lebih lucu dan hebat lagi, siapa tahu? Sementara ini, kita masih
selamat. Nah, itu di depan kulihat banyak lubang-lubang besar di dinding karang, tentu ada gua yang dapat
kita pakai tempat bersembunyi."
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka mempercepat pendakian yang sukar itu. Baiknya Loan Ki memiliki ginkang yang cukup tinggi
sehingga Kun Hong bisa mengikutinya dengan baik, tanpa mengkhawatirkan keadaan temannya itu.
Akhirnya mereka pun tiba di dekat dinding karang yang banyak berlubang dan merupakan goa-goa besar,
jalannya menjadi rata.
Tiba-tiba terdengar bentakan dari depan, "Siapa berani masuk Ching-coa-to tanpa ijin? Benar-benar sudah
bosan hidup!"
Dan muncullah seorang laki-laki pendek yang bersenjata ruyung baja. Tanpa banyak cakap lagi laki-laki itu
segera menerjang maju sambil mengerahkan ruyungnya. Loan Ki marah dan dengan pedang di tangan ia
memapaki. Ketika ruyung menyambar ke arah kepalanya, gadis itu meliukkan tubuh ke kiri tanpa menunda
terjangannya.
Sambil miring ke kiri pedangnya menyambar secepat kilat. Orang itu berteriak kaget, akan tetapi masih
sempat membuang diri ke kiri sambil membabatkan ruyungnya. Dia terhindar dari bahaya, akan tetapi
keringat dingin membasahi dahinya. Tak dia sangka bahwa gadis remaja itu demikian hebat ilmu
pedangnya.
Gerakan Loan Ki yang dalam sekali gebrakan saja sudah hampir bisa merobohkan lawan, membuat
lawannya ragu-ragu untuk menyerang lagi. Dia lalu bersuit keras dan terdengar suitan-suitan dari beberapa
penjuru.
Loan Ki terkejut, maklum bahwa mereka berdua telah terkepung. Akan tetapi Kun Hong lebih cepat lagi.
Sekali bergerak pemuda buta itu sudah melompat ke arah si pendek.
Dalam keadaan remang-remang itu si pemegang ruyung tak tahu bahwa yang melompati dirinya adalah
seorang buta. Dia amat kaget dan menghantamkan ruyungnya, akan tetapi tiba-tiba saja dia jatuh lemas
dan ruyungnya terlempar entah ke mana. Tanpa dia ketahui bagaimana caranya, dia sudah roboh tertotok
dan lemas tidak mampu bergerak mau pun bersuara lagi!
"Ki-moi, lekas, cari tempat sembunyi...!" kata Kun Hong yang tak menghendaki terjadinya pertempuran di
tempat itu. Dia benar-benar merasa tidak enak sekali sudah mengganggu tempat orang dan menimbulkan
keonaran.
Loan Ki adalah seorang dara remaja yang tidak pernah mengenal artinya takut setiap kali menghadapi
lawan dalam pertempuran, maka sekarang pun meski dia tahu telah dikurung musuh, dia tidak merasa
gentar sedikit pun. Akan tetapi karena dia sudah mulai mengenal watak temannya yang buta dan aneh, kini
dia maklum pula bahwa Kun Hong tidak suka menghadapi pertempuran dengan orang-orang yang
sebetulnya memang tidak memiliki urusan apa-apa dengan mereka berdua.
Maka ia lalu menggandeng tangan Kun Hong, diajak lari kembali menuruni puncak. Akan tetapi tiba-tiba ia
bergidik karena terdengar suara mendesis-desis dan dari bawah puncak merayap ular-ular tadi bersama
penggembala-penggembalanya yang bersuit-suit. Lawan manusia biasa Loan Ki takkan undur, akan tetapi
menghadapi ular-ular itu ia benar-benar merasa jijik dan ngeri.
Ia cepat mengajak Kun Hong naik ke puncak lagi dan sekarang di depan mereka sudah muncul dua orang
laki-laki yang memegang golok. Tanpa banyak tanya dua orang laki-laki itu segera menerjang mereka
karena baru saja mereka melihat seorang kawan mereka rebah tak bergerak dan mereka kira sudah tewas.
Juga kali ini Kun Hong yang cepat bergerak. Bagaikan seekor burung rajawali sakti dia pun melayang ke
arah kedua orang itu. Dua buah golok berkelebat menyambar ke arah tubuhnya, akan tetapi golok-golok itu
segera terlempar jauh dan dua orang itu memekik lemah terus roboh tak berkutik!
"Kau hebat, Hong-ko...!" Loan Ki memuji dengan kagum sekali.
Ia sendiri sudah mewarisi Ilmu Silat Sian-li-kun-hoat yang terkenal sangat indah gerakan-gerakannya, akan
tetapi menyaksikan gerakan Kun Hong tadi ia sungguh merasa kagum sekali. Akan tetapi yang dipujinya
sama sekali tidak mempedulikan, malah membentak,
"Hayo lekas cari tempat sembunyi, Ki-moi!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Loan Ki kembali menarik tangan Kun Hong dan berlari ke arah dinding batu karang. Dari sebelah kanan
dan kiri terdengar bentakan-bentakan orang, juga dari belakang. Gadis itu melihat banyak lubang-lubang
pada dinding itu, lalu menarik Kun Hong masuk ke dalam sebuah lubang yang cukup besar untuk dimasuki
orang sambil merangkak.
Karena didorong oleh Loan Ki, Kun Hong masuk lebih dahulu, merangkak seperti seekor tikus memasuki
lubangnya, kemudian disusul oleh Loan Ki. Lubang itu kurang lebih lima meter dalamnya, terus masuk ke
dalam, kemudian menukik ke bawah. Kun Hong berhenti merangkak ketika tangan dan kakinya meraba
lubang yang menukik ke bawah.
"Terus, Hong-ko... terus. Mereka juga sudah sampai ke sini...," bisik Loan Ki di belakang pemuda buta itu.
"Tak dapat terus, lubangnya menukik ke bawah...," jawab Kun Hong.
"...kau mepetlah, Hong-ko, biarkan aku lewat dan memeriksa di depan..."
Karena merasa bahwa dia adalah seorang buta, dia lupa bahwa di dalam keadaan gelap pekat seperti itu
sebetulnya dia tidak lebih buta dari pada Loan Ki sendiri. Kun Hong lalu berbaring mepet untuk memberi
jalan kepada gadis itu yang hendak melewatinya.
Lubang itu tidak besar. Oleh karena itu, ketika Loan Ki merayap melewatinya, dua orang itu berhimpitan di
dalam lubang. Kun Hong merasa tak enak sekali, jengah dan berdebar hatinya. Baiknya mereka berdua
adalah orang-orang yang sudah mempunyai kepandaian tinggi sehingga dengan Ilmu Sia-kut-kang (ilmu
Melemaskan Tulang) mereka pun berhasil bersimpang di lubang yang sempit itu.
Loan Ki agaknya juga merasakan apa yang dirasai oleh Kun Hong, buktinya gadis yang biasanya jenaka
gembira itu kali ini tidak membuka suara kecuali "ah-uh" seperti orang kepanasan. Dengan hati-hati gadis
itu merangkak ke depan sampai tiba di tempat yang menukik ke bawah.
"Agak lebar di bawah, Hong-ko. Seperti sumur..."
"Memang, karena kita tidak tahu bagaimana dasarnya, tak mungkin turun ke bawah..."
Pada saat itu dari luar lubang terdengar suara mendesis-desis, lalu disusul suara seorang laki-laki yang
parau, "Anak-anak, hayo masuk ke kandang, jangan berkeliaran lagi, besok kalian harus membantu
mencari dua orang musuh itu."
Disusul lagi suara yang lebih tinggi, "Heran, ke mana larinya dua orang tadi? Mereka itu manusia atau
setan? He, Lao Siong, apakah sudah dilaporkan kepada toanio?"
"Tentu sudah." Lalu mereka bercakap-cakap, akan tetapi sambil menjauhi mulut lubang sehingga Kun
Hong dan Loan Ki tidak dapat mendengar lagi apa yang mereka bicarakan.
Akan tetapi betapa kaget hati dua orang itu ketika terdengar suara mendesis-desis dari arah belakang
disusul bau yang amat amis. Kiranya lubang pada dinding batu itu adalah sarang-sarang ular atau dijadikan
‘kandang’ untuk ular-ular itu!
"Celaka, ular-ular itu justru masuk ke sini...!" Kun Hong yang berada di belakang berkata perlahan. Dia
cukup tabah dan tenang, akan tetapi dalam keadaan seperti itu, tentu saja dia merasa ngeri juga.
"Lekas, Hong-ko, di belakangmu ada batu yang kuseret masuk tadi. Kau pergunakan itu untuk menutup
lubang yang paling sempit dan... hei, aduh, waahh... bungkusanku jatuh ke dalam sumur, Hong-ko."
Kun Hong mendengar suara barang berat jatuh. Dengan pendengarannya yang tajam dia mendapat
kenyataan yang menggembirakan hatinya. Lubang itu ternyata dasarnya tidak keras, juga tidak begitu
dalam. Hal ini tentu saja dapat dia ketahui ketika buntalan pakaian dan mahkota yang dibawa gadis itu
terjatuh ke bawah.
Akan tetapi pada saat itu dia sibuk mendorong batu besar untuk menutupi lubang. Tentu saja tidak bisa
tertutup rapat, akan tetapi lumayan untuk menahan membanjirnya ular-ular itu ke dalam. Setelah itu dia
segera berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ki-moi, mari kita masuk saja ke dalam sumur itu. Tempatnya tidak dalam dan dasarnya mungkin tanah
yang tidak keras."
"Bagaimana kau bisa tahu?" bisik Loan Ki meragu.
"Buntalanmu tadi melayang ke bawah tidak terlalu lama, juga suaranya ketika menimpa dasar sumur
menyatakan bahwa dasar itu tidak keras. Tetapi tunggu, biarkan aku yang melompat masuk lebih dulu. Kau
mepetlah!"
Seperti tadi, kedua orang itu kembali berhimpitan untuk dapat bertukar tempat, kini Kun Hong yang di
depan dan gadis itu di belakangnya. Akan tetapi karena perasaan mereka terlampau tegang, mereka tidak
merasakan lagi kecanggungan seperti tadi.
"Ki-moi, membaliklah ke belakang dan siap dengan pedangmu kalau-kalau ada ular yang menerobos
masuk. Aku akan meluncur ke bawah dulu!"
Loan Ki mendengar desir suara perlahan lalu disusul suara Kun Hong dari bawah, "Ki-moi, lekas kau turun.
Tidak begitu dalam di sini dan aku akan membantumu, jangan takut!"
Loan Ki merangkak mundur. Saat kakinya menyentuh bibir sumur, hatinya berdebar juga. Siapa orangnya
yang takkan merasa ngeri bila harus masuk ke dalam sumur yang begitu gelap? Akan tetapi adanya Kun
Hong di dalam sumur itu membesarkan hatinya dan tanpa ragu-ragu lagi ia melorot turun sambil
mengerahkan ginkang-nya saat tubuhnya melayang ke bawah.
Dia memegang pedangnya tinggi-tinggi dan kedua kakinya sudah siap untuk menyentuh tanah di dasar
sumur. Akan tetapi tiba-tiba ada dua buah lengan yang kuat dan cekatan menerima tubuhnya, kemudian
menurunkannya ke atas tanah. Kembali dia kagum akan kehebatan Kun Hong.
"Hong-ko, ternyata sumur ini dalam juga, sedikitnya tiga kali tinggi orang. Bagaimana kita akan dapat
keluar dari sini?" Loan Ki dalam gelap meraba ke sana ke mari dan hatinya menjadi kecut ketika mendapat
kenyataan bahwa sumur ini pun tidak lebar, hanya cukup untuk mereka berdua berdiri. Tak mungkin
meloncat ke luar dari tempat sesempit ini.
"Jangan khawatir, aku akan dapat merayap naik," kata Kun Hong tenang. "Ini buntalanmu, baru kuingat
bahwa kau membawa mahkota kuno itu. Ahh, jangan-jangan rusak mahkota itu ketika jatuh."
Loan Ki menerima buntalan itu dan mengikatnya di punggung. Untuk melakukan ini saja beberapa kali
tangan serta sikunya menyentuh dada Kun Hong, begitu sempitnya tempat itu. Hawanya juga panas bukan
main.
Sumur itu dindingnya adalah batu karang, hanya dasarnya saja tanah lunak. Karena tidak ada hawa, atau
kalau ada pun amat sedikit masuk dari lubang yang kini hampir tertutup rapat oleh batu tadi, di situ amat
panasnya. Apa lagi hawa yang masuk telah membawa bau amis dari ular-ular yang memenuhi lubang di
sebelah luar, maka pernapasan mereka sesak dan sebentar saja Loan Ki menjadi pusing.
Makin lama hawa makin panas. Loan Ki dan Kun Hong biar pun memiliki hawa murni dan lweekang yang
kuat, tetap saja menderita hebat dan tubuh mereka telah penuh keringat. Pakaian mereka sudah basah
semua.
"Aduh... Hong-ko, napasku sesak, aku muak... tidak kuat bertahan. Kita harus keluar dari neraka ini..."
keluh Loan Ki.
Kun Hong bingung. "Bagaimana mungkin, Ki-moi? Kalau kita naik, tentu akan bertemu ular-ular itu di dalam
lubang jalan ke luar. Menghadapi ular-ular itu memang masih dapat kita tanggulangi, akan tetapi kau dalam
kegelapan... ahh, dan siapa tahu orang-orang itu masih menjaga di luar. Kau harus dapat bertahan,
mungkin besok pagi-pagi mereka dan ular-ular itu akan ke luar dari lubang dan kita dapat menerobos ke
luar kalau memang tak ada jalan lain. Setidaknya kalau cuaca terang, kau bisa melihat. Bergerak di malam
hari, kita sama-sama buta, tentu payah."
"Tapi... aduh, panas dan sesak, Hong-ko..." Gadis itu betul-betul payah dan sekarang dia menyandarkan
kepalanya yang terasa pusing berputar-putar itu kepada tubuh Kun Hong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dahi gadis itu ternyata sudah basah semua oleh keringat dan tubuhnya panas luar biasa. Diam-diam Kun
Hong terkejut. Kiranya lweekang gadis ini belum begitu tinggi tingkatnya dan terang tidak akan dapat
menahan. Dia lalu berusaha untuk berkelakar.
"Wah, kita basah oleh keringat, Ki-moi. Celakanya, keringatku tentu berbau tak enak dan kuingat kau paling
tidak kuat apa bila mencium bau keringat, seperti ketika kau dikeroyok tempo hari. Jangan-jangan
keringatku yang membuat kau muak dan pusing."
Kun Hong sengaja berkelakar untuk membangkitkan kegembiraan dan kejenakaan gadis ini sehingga
berkurang penderitaan itu. Akan tetapi dia gagal karena dengan lemah Loan Ki menjawab, "Tidak,
keringatmu tidak bau, Hongko... tapi ular-ular itu... ah, ngeri aku..." dan gadis itu tiba-tiba saja menangis!
"Lho, kenapa menangis? Adik Loan Ki, jangan bilang bahwa kau takut...!"
"...tidak! Aku tidak takut... tapi kalau ular-ular itu masuk ke sini, kita akan dimakan habis... ihhh, dan semua
ini kesalahanku yang membawamu ke sini."
Kun Hong mendekap kepala di dadanya sambil mengelus-elus rambut yang halus basah itu dengan sikap
menghibur, malah dia memaksa diri tertawa. "Ahh, kau aneh-aneh saja. Ular-ular itu tidak akan berani
menjatuhkan diri ke dalam lubang, juga tidak akan dapat merayap turun. Andai kata ada yang berani, sekali
kau pukul juga akan remuk kepalanya. Takut apa? Tentang datang ke sini... ehhh, aku sendiri pun ingin
melihat badut-badut itu dihukum!"
Meski pun lemah dan kepalanya pusing, bangkit juga kegembiraan Loan Ki mendengar ini dan ia berbisik,
"...kau ingin... melihat?"
"Aha, sampai lupa aku bahwa aku sudah buta. Bukan melihat dengan mataku, tetapi aku kan dapat
meminjam matamu. Kau yang melihat dan kau ceritakan kepadaku, bukankah sama saja...?"
Loan Ki dapat juga tertawa. "...Hong-ko, kau... baik sekali..."
Tiba-tiba terdengar suara mendesis-desis di atas. Loan Ki merenggutkan kepalanya dan tubuhnya
menegang.
"Celaka... mereka turun... ular-ular itu...," katanya dengan suara mengandung kengerian.
Bau amis semakin menghebat, hawa panas pun tak dapat tertahankan lagi oleh Loan Ki. Ia melepaskan
buntalan pakaian dan mahkota yang membikin tubuhnya lebih panas lagi. Buntalan itu ia lemparkan begitu
saja di atas tanah dan ia bersiap-siap untuk menghadapi perjuangan mati hidup melawan ular-ular itu.
Buntalan itu jatuh dan menggelinding di atas tanah, ikatannya terbuka dan tiba-tiba saja keadaan yang
sangat gelap pekat itu berubah. Ada cahaya yang membuat kegelapan itu berubah remang-remang.
"Hong-ko! Aku dapat melihat! Ehh, sekarang tidak segelap tadi... heeiii, Hong-ko, kiranya mahkota itu yang
mengeluarkan cahaya!" Suara Loan Ki bersemangat kembali, ia segera membungkuk, mengambil mahkota
itu dan berseru, "Betul, Hong-ko, ada tiga butir batu permata di bagian depan mahkota ini yang
mengeluarkan cahaya. Nah, begini baru enak hatiku, bisa melihat kalau ada ular menyerangku!" Suara
gadis itu mulai gembira.
Kun Hong dengan pendengarannya dapat menangkap hal yang lebih menggembirakan hatinya lagi. Dia
tahu sekarang bahwa kelemahan dan kepusingan gadis itu tadi sebagian besar adalah pengaruh dari rasa
ngeri di dalam kegelapan sehingga mengakibatkan gadis itu pusing. Selain ini, dengan girang dia
mendengar betapa suara mendesis-desis di atas tadi tiba-tiba saja lenyap dan bau amis tidak begitu hebat
lagi, tanda bahwa ular-ular itu takut kepada batu-batu permata yang mengeluarkan cahaya.
Dia dahulu pernah mendengar dongeng kakek Song-bun-kwi di puncak Thai-san bahwa di dunia ini
memang banyak terdapat benda-benda mukjijat dan aneh, di antaranya batu-batu mutiara yang disebut Yabeng-
cu. Mutiara Ya-beng-cu ini mengeluarkan cahaya di tempat gelap dan selain itu, juga ditakuti oleh
sebagian besar binatang-binatang buas.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Wah, agaknya Thian Yang Maha Kuasa sengaja menolong kita, Ki-moi. Kalau aku tidak salah, batu
permata di mahkota itu adalah mutiara-mutiara Ya-beng-cu dan aku pernah mendengar bahwa binatangbinatang
takut pada sinarnya. Sekarang kau bersiaplah, kita harus keluar dari tempat ini!”
"Keluar?" Loan Ki kaget. "Bukankah amat berbahaya katamu tadi, Hong-ko? Menghadapi ular-ular itu
dalam terowongan sempit, belum lagi para penjaga pulau ini..."
Kun Hong menggelengkan kepalanya. "Sekarang tidak perlu lagi, adikku. Tadi yang paling
mengkhawatirkan hatiku adalah kalau melawan ular-ular itu, ular-ular berbisa yang sangat jahat, apa lagi
kita harus menghadapi mereka dalam terowongan yang sempit. Akan tetapi sekarang, dengan Ya-beng-cu
ada pada kita, ular-ular itu pasti takkan berani mengganggu kita. Kita keluar dan tentang para penjaga,
yahhh, terpaksa kita menghadapi mereka. Kita jelaskan maksud kedatangan kita yang tidak mengandung
niat buruk, kalau mereka tidak mau menerimanya, kita robohkan mereka dan melarikan diri!"
Loan Ki mengangguk-angguk, namun ketika melihat ke sekelilingnya adalah dinding batu yang licin, dia
mengerutkan kening. "Hong-ko, bagaimana kita bisa naik? Meloncat begitu saja? Mungkin aku sanggup
meloncat ke atas dan menangkap pinggiran sumur ini, akan tetapi, bagaimana kalau ada ular-ular di sana?
Pula resikonya terlalu besar kalau sampai tidak berhasil menangkap pinggiran sumur, apa lagi kalau pada
waktu meloncat kepalaku tertumbuk batu karang yang menonjol."
"Tak usah meloncat. Kau bawa buntalanmu, pakai mahkota itu di kepalamu."
Gadis itu terdiam, agaknya heran. Namun diambilnya buntalan pakaian dan diikatkan ke pundak. Tiba-tiba
ia tertawa, tawa jenaka seperti yang sudah-sudah sehingga Kun Hong ikut tersenyum gembira. Agaknya di
dunia ini amat sukar mencari orang yang takkan turut tersenyum mendengar suara yang mengandung
kesegaran watak itu.
"Hi-hi-hik, Hong-ko... mahkota ini benar-benar pas dengan kepalaku. Menurut dongeng, permaisuri
Kerajaan Tang yang memakai mahkota ini adalah seorang puteri cantik jelita yang terkenal dengan julukan
Puteri Harum karena tubuhnya memiliki keharuman seribu bunga. Kiranya kepalanya hanya seukuran
dengan kepalaku... hi-hi-hik...!"
Mendengar kegembiraan gadis itu yang berarti bahwa semangatnya sudah kembali, Kun Hong menjadi
girang sekali. Perjalanan ke luar dari tempat itu, bahkan keluar dari Pulau Ching-coa-to, bukanlah hal yang
mudah dan mungkin akan menghadapi bahaya-bahaya dan rintangan. Karena itu timbulnya semangat
gadis ini kembali merupakan hal yang amat penting. Mengingat ini, dia segera terjun ke dalam
kegembiraan itu dan berkata,
"Apa anehnya persamaan kepala itu, Ki-moi? Memang cocok dongeng itu, kalau kepala permaisuri
Kerajaan Tang itu seperti kepalamu, maka sudah semestinya dia cantik jelita dan mempunyai ukuran
kepala yang tepat."
"Ehh, Hong-ko kau mana bisa melihat kepalaku?"
"Melihat sih tidak, akan tetapi tadi... ehh, meraba saja sudah cukup jelas bagiku..."
Loan Ki teringat betapa dalam gelap tadi ia menangis dan bersandar di dada Kun Hong, malah kepalanya
telah dielus-elus oleh pemuda buta itu. Hal ini mendebarkan jantungnya sungguh pun ia tidak mengerti
mengapa dadanya berhal seperti itu, berdenyar-denyar.
"Tapi, Hong-ko, mana kau tahu aku... cantik jelita?"
Kun Hong tertawa, geli juga dia mendengar ucapan kekanak-kanakan ini. "Apa susahnya? Mendengar
suaramu saja sudah cukup bagiku."
Hening sejenak, lalu gadis itu berkata perlahan, "Orang bilang aku cantik, tapi belum tentu secantik puteri
pemakai mahkota ini. Lagi pula, dia terkenal sebagai Puteri Harum, mana aku bisa sama? Ihhh, tadi
keringatku tentu membasahi bajumu, Hong-ko..."
"Aku pun berkeringat sampai basah semua pakaianku, Ki-moi, dan tentang keharuman itu, hemmm...
kurasa keringatmu pun... sedap..." Kun Hong setengah berbohong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mana ada keringat sedap di dunia ini? Akan tetapi memang baginya, keringat Loan Ki tidak berbau tak
enak. Dia sengaja melebih-lebihkan dan mengatakan sedap hanya untuk menambah kegembiraan hati
gadis kekanak-kanakan ini agar semangatnya tak menurun.
Gadis itu tidak berkata apa-apa, malah suara ketawanya terhenti dan ia diam saja sampai agak lama
setelah ucapan Kun Hong terakhir ini. Kun Hong heran, miringkan kepala dan bertanya,
"Ki-moi, kenapa kau diam saja?" Ia mengulur tangan ke depan, menyentuh tangan gadis itu dan
memegangnya.
Akan tetapi Loan Ki cepat merenggutnya terlepas dan terdengar suaranya agak gemetar. "Buntalan
pakaian sudah kubawa, mahkota sudah kupakai. Bagaimana kita akan naik?"
Sama sekali Kun Hong tak pernah menduga di dalam hatinya bahwa ucapan-ucapan yang bersifat kelakar
baginya itu ternyata mendatangkan kesan luar biasa bagi Loan Ki, sangat dalam membekas di hatinya.
"Kau duduklah di pundak kananku, siapkan pedangmu menghalau perintang di atas. Aku akan merayap
naik." Kun Hong segera berjongkok untuk memudahkan Loan Ki duduk di pundaknya.
Akan tetapi gadis itu tidak segera duduk. Dengan mata terbelalak penuh kagum gadis itu memandang Kun
Hong. Ia tahu bahwa agaknya si buta ini hendak mempergunakan Ilmu Pek-houw Yu-chong yang
mengandalkan ginkang dan lweekang yang amat tinggi hingga membuat orang dapat merayap seperti
seekor cecak pada dinding yang terjal. Kalau si buta ini sudah dapat melakukan ilmu ini, berarti bahwa
tingkat kepandaian si buta ini jauh melampauinya, malah jauh lebih lihai dari pada ayahnya sendiri, Sinkiam-
eng!
Di samping kekaguman ini, juga jantungnya berdebar-debar mengingat bahwa ia harus duduk di atas
pundak orang, suatu perasaan yang belum pernah ia rasai sebelumnya dan hal ini tanpa ia sadari
disebabkan oleh kelakar pujian tadi.
Ia pun maklum mengapa pemuda buta itu menyuruh ia duduk di atas pundaknya. Memang hanya itulah
jalan satu-satunya yang paling baik. Dengan duduk di pundak, selain ia dapat ikut ‘membonceng’ naik, juga
ia bertugas sebagai mata pemuda itu, dengan mahkota di atas kepala itu sebagai pengganti obor
penerangan. Memang begini lebih aman dari pada si buta itu harus merayap naik seorang diri, sungguh
pun harus diakui bahwa untuk dapat mempergunakan Ilmu Pek-houw Yu-chong dengan diboncengi
pundaknya, benar-benar merupakan hal yang luar biasa sekali.
"Hayo, lekas kau duduk, tunggu apa lagi?" Kun Hong bertanya heran ketika belum juga Loan Ki duduk di
pundaknya.
Tanpa berkata apa-apa gadis itu lalu duduk di atas pundak kanan Kun Hong yang segera bangkit berdiri.
"Hati-hati jangan banyak bergerak, tapi awas melihat rintangan di atas."
Mulailah Kun Hong merayap ke atas. Memang hebat tenaga dalam pemuda buta ini. Dengan punggungnya
menempel dinding, ia menggunakan tangan kanan dan kedua kaki untuk merayap naik. Dua kakinya
bergantian mendorong dinding sebelah depan, tangan kanannya mencari pegangan batu menonjol untuk
menarik tubuhnya ke atas, sedangkan punggungnya digunakan sebagai alat penahan tubuhnya supaya
tidak kembali merosot ke bawah! Tangan kiri yang memegangi tongkat tetap siap siaga menjaga
datangnya bahaya serangan.
Loan Ki kagum sekali. Sedikit demi sedikit mereka naik sehingga akhirnya sampai juga ke pinggiran sumur.
Dengan girang Loan Ki melihat bahwa di sana tidak ada ular. Dia lalu meloncat ke luar, dan menarik
tangan Kun Hong untuk membantu pemuda ini ke luar pula, bantuan yang sebetulnya tidak perlu bagi
pemuda lihai itu.
"Tidak ada ular di sini...," bisik Loan Ki. "Entah ke mana mereka pergi."
"Agaknya ular-ular itu takut kepada cahaya mutiara Ya-beng-cu, Ki-moi. Bagus sekali, dan dengan
mahkota ini kita akan ke luar tanpa khawatir diganggu ular-ular berbisa itu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kalau begitu mari kita ke luar sekarang juga, Hong-ko. Kita mencari tempat istirahat lain, tadi kita telah
tersesat memasuki tempat ini."
Mereka lalu merangkak ke luar, Loan Ki yang mengenakan mahkota merangkak di depan. Batu penutup
lubang disingkirkan dan benar saja, tidak ada ular yang berani menghadang mereka. Agaknya ular-ular itu
menjadi ketakutan melihat cahaya mutiara itu dan mereka pergi meninggalkan lubang.
Setelah tiba di luar, Loan Ki meloncat turun, diikuti oleh Kun Hong. Girang hati mereka mendapat
kenyataan bahwa di situ sunyi sekali, tak nampak seorang pun manusia. Dan lebih girang lagi hati Loan Ki
melihat adanya bulan yang cukup terang di angkasa. Begitu menginjak tanah dan berada di udara terbuka,
kedua orang muda ini merasa nyaman sekali sehingga berkali-kali mereka menarik napas panjang,
menyedot hawa seperti orang kehausan mendapat minum air segar!
"Hong-ko, bulan bersinar, aku dapat melihat jalan. Lebih baik kita tinggalkan daerah ini."
Kun Hong tak membantah dan demikianlah, di bawah sinar bulan yang tiga perempat itu kedua orang
muda ini dengan hati lapang meninggalkan tempat yang penuh pengalaman mengerikan tadi. Mereka
langsung menuruni puncak yang penuh batu karang.
“Kurasa tak baik kita berkeliaran di malam hari, apa lagi tempat ini agaknya mengandung banyak rahasia.
Lebih baik kita mengaso malam ini dan besok pagi kita berusaha keluar dan kembali ke daratan.”
"Mana ada tempat bermalam yang baik di tempat ular ini, Hong-ko?"
"Paling baik di atas pohon besar, bahaya satu-satunya hanyalah ular. Akan tetapi dengan adanya mahkota
pusaka itu, kita tak usah khawatir."
Demikianlah, dua orang muda itu meloncat ke atas pohon besar, memilih cabang besar yang enak diduduki
dan beristirahat melewatkan malam. Kun Hong duduk bersila di atas cabang pohon, tak bergerak seperti
patung.
Tahu bahwa orang muda yang sakti itu sekarang duduk bersemedhi, Loan Ki tidak mau mengganggunya,
hanya memandang bayangan orang buta itu dengan penuh kekaguman. Berkali-kali ia mendengar bisikan
hatinya sendiri, "...sayang matanya buta... sayang dia buta... sayang..."
Ia merasa jengkel akan bisikan perasaan ini karena ia benar-benar tak mengerti mengapa ia merasa
sayang akan kebutaan Kun Hong.
"Orang seperti dia tidak seharusnya dikasihani," dia menghibur diri, "walau pun buta, dia melebihi sepuluh
orang pendekar melek (dapat melihat)..."
Akhirnya ia tertidur juga di atas cabang pohon. Seorang ahli silat tinggi seperti Loan Ki memang tidak perlu
khawatir akan terjatuh di waktu tidur, karena ia sudah terlatih akan kebiasaan ini dan sudah banyak ia
merantau dan sering kali tidur di dalam hutan seorang diri…..
********************
"Hong-ko... bangun, Hong-ko... tuh di sana aku melihat air telaga!" pagi-pagi sekali Loan Ki sudah
berteriak-teriak membangunkan Kun Hong yang sebetulnya memang telah sadar atau terjaga dari pada
tidur dan semedhinya.
Beberapa ekor burung sampai kaget oleh teriakan Loan Ki. Mereka beterbangan sambil berbunyi keras.
Gadis itu tertawa geli menyaksikan tingkah burung-burung itu, akan tetapi Kun Hong sebaliknya geli
mendengar suara Loan Ki.
"Bagus, kalau begitu kita tinggal menuju ke sana, mencari perahu untuk menyeberang." jawab Kun Hong
sambil meluncur turun dari batang pohon itu.
Loan Ki juga meloncat turun, lalu tertawa. "Wah, kelihatan sekarang betapa kotor pakaian kita, Hong-ko.
Penuh tanah lempung!"
"Tidak apa, pakaian kotor dapat dicuci, Ki-moi."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, malu kalau bertemu orang. Aku hendak menukar pakaian dulu, Hong-ko. Kan padaku ada bekal
pakaian bersih. Wah, di mana ya bisa bertukar pakaian?"
Gadis itu berjalan ke sana ke mari, agaknya mencari gerombolan tanaman yang dapat ia pergunakan untuk
sembunyi dan bertukar pakaian.
"Hong-ko," terdengar suaranya dari depan agak jauh, "kau menghadaplah ke sana dulu, membelakangi
aku!"
Hampir-hampir tidak dapat Kun Hong menahan ketawanya. Dia tersenyum lebar sambil mengacungkan
tangannya seperti hendak menampar kepala temannya itu. "Bocah nakal, apakah aku kurang buta
sehingga kau suruh menghadap ke lain jurusan? Andai kata kau bertukar pakaian di depan mataku, aku
pun tidak dapat melihatmu, Ki-moi." Akan tetapi tetap saja dia memutar tubuhnya menghadap ke lain
jurusan.
Setelah selesai berpakaian, Loan Ki menghampiri Kun Hong dan berkata, "Hong-ko, kau selalu mengajak
aku untuk kembali ke daratan, seakan-akan kau takut berada di pulau ini. Bahkan kau kemarin menyebut
apakah aku melihat seorang kakek yang buntung lengan dan telinga kiri, mata kiri buta, siapakah orang
itu?"
"Sebetulnya orang itu sudah mati, Ki-moi. Yang kumaksudkan itu adalah seorang tokoh jahat bernama
Siauw-coa-ong Giam Kin. Karena kemarin aku mendengar suara suling dan berkumpulnya ular-ular itu, aku
jadi teringat kepada tokoh ini yang juga seorang ahli memelihara ular."
"Kau aneh, Hong-ko. Kalau dia sudah mati, kenapa kau takut?"
"Aku hanya terheran-heran mendengar ada ular-ular yang digembalakan orang, Ki-moi, dan aku dapat
menduga bahwa pemilik-pemilik pulau ini pasti adalah orang-orang pandai seperti Giam Kin itu. Kalau kita
berdua membikin onar di sini, alangkah tidak baiknya. Inilah sebabnya maka aku mengusulkan agar kita
kembali saja dan jangan menimbulkan keonaran di tempat orang."
"Baiklah, malam tadi pun aku sudah merasa menyesal datang ke pulau iblis ini. Mari kita pergi ke pantai
telaga yang kulihat dari atas pohon tadi, Hong-ko."
Loan Ki menggandeng tangan Kun Hong dan mengajak pemuda itu berlari cepat ke arah pantai telaga
yang dia lihat tadi, yaitu ke sebelah timur, dari arah mana cahaya matahari memerah membakar angkasa
raya. Mahkota yang semalam telah menyelamatkan mereka itu kini telah aman berada dalam buntalan
pakaian yang tergantung di punggung Loan Ki lagi.
Biar pun yang seorang adalah orang buta, namun mereka lari cepat sekali. Memang inilah cara satusatunya
untuk mengajak Kun Hong berlari cepat, yaitu dengan menggandeng tangannya. Tanpa dituntun,
biar pun pemuda itu memiliki kesaktian, tak mungkin dia akan dapat berlari cepat, tentu akan menabraknabrak.
"He, Ki-moi, kenapa belum juga sampai dan kenapa kau bawa aku menikung-nikung tidak karuan begini?"
Loan Ki berhenti, lalu menghela napas panjang. "Pulau ini benar-benar aneh, Hong-ko. Pulau iblis!
Terdapat jalan yang rata, akan tetapi heran sekali, mengikuti jalan ini agaknya akan membawa kita
terputar-putar tidak karuan. Kulihat seakan-akan keadaan tempat di mana kita berdiri ini serupa benar
dengan tempat di mana kita berangkat tadi..." Ia berseru kaget, lari ke depan meninggalkan Kun Hong, lalu
kembali lagi sambil berkata, "Wahh, benar-benar ini tempat yang tadi, Hong-ko! Tuh, di situ ada
gerombolan pohon kembang di mana aku bertukar pakaian tadi, pengikat rambutku yang terjatuh di sana
masih ada."
Kun Hong mengangguk-anggukkan kepala, kulit di antara kedua matanya berkerut.
"Kurasa pemilik pulau ini adalah seorang ahli dalam alat-alat rahasia dan sengaja sudah mengatur
pulaunya penuh rahasia agar menyukarkan orang asing memasukinya, seperti keadaan di Thai-san. Kimoi,
coba kau lihat dari atas pohon tadi, pantai berada di jurusan manakah?"
"Di timur karena kulihat cahaya matahari di sana pula."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nah, kalau begitu, sekarang kita harus langsung menuju ke timur, jangan menggunakan jalan yang
sengaja dibuat untuk menyesatkan kita. Kita ambil jalan liar saja, kalau perlu menerabas hutan, asal terus
ke timur. Pasti akan sampai di pantai itu."
Akan tetapi hal itu ternyata lebih mudah diucapkan dari pada dilakukan. Jalan menuju ke timur ini ternyata
harus melalui hutan-hutan liar yang penuh alang-alang, melalui rawa dan malah melalui hutan kecil penuh
duri. Jalannya menanjak dan pada akhirnya mereka tiba di tebing yang curam. Ketika Loan Ki menjenguk
ke bawah, memang tampak air telaga di bawah sana, namun dalamnya dari tebing itu tidak kurang dari
seratus meter!
Loan Ki melepaskan tangan Kun Hong, berjalan ke sana ke mari mencari jalan untuk menuruni tebing
curam itu.
"Wah, sampai di sini buntu, Hong-ko. Biar kucari jalan untuk turun. Tuh, di bawah sudah kelihatan
telaganya, dan jauh ke depan itu menyeberangi telaga akan sampai di darat kembali. Agaknya jalan
menurun di alang-alang itu... heeii, aduhhh... Hong-ko... tolong...!"
Kun Hong terkejut sekali, cepat dia bergerak maju dengan didahului tongkatnya, ke arah suara Loan Ki. Dia
mendengar banyak sekali batu-batu menggelinding dan lenyaplah suara Loan Ki.
Kagetnya bukan kepalang ketika dia tiba di tempat dari mana suara gadis itu terdengar, tongkatnya meraba
tempat kosong! Kiranya dia berdiri di tepi tebing yang entah berapa dalamnya dan tongkatnya yang meraba
gugusan batu yang pecah, agaknya Loan Ki yang tadi berdiri di situ sudah terperosok dan jatuh ke bawah
bersama pecahan tanah beserta batu-batu.
Kun Hong mengerahkan khikang-nya dan berteriak ke bawah, "Ki-moi...!"
Hanya gema suaranya yang menjawab.
"Loan Ki...!"
Kembali suaranya yang menjawab.
"Celaka... apa yang terjadi dengan dia?" Kun Hong bingung dan menyesal sekali.
Selama dia buta, baru kali ini dia menyesal akan kebutaan matanya sehingga dia tidak dapat melihat apa
yang terjadi dengan gadis itu dan tak dapat menolongnya. Dia segera mengambil sebuah batu kecil dan
melepaskannya ke bawah. Kepalanya dimiringkan dan bibirnya berkemak-kemik menghitung waktu.
Tujuh belas kali dia menghitung, baru batu itu menyentuh air! Kun Hong bergidik. Tidak mungkin dia
mengikuti gadis itu terjun ke bawah. Hal ini berarti kematian baginya.
Akan tetapi dia masih mempunyai harapan yang menghibur hatinya. Bukankah Loan Ki pernah bilang
bahwa gadis itu pandai berenang? Kalau dasar di bawah tebing itu adalah air, belum tentu gadis itu tewas.
Akan tetapi, kalau selamat, kenapa dia tidak menjawab panggilannya?
Kembali pemuda buta ini menjenguk ke depan dan memanggil. Suaranya nyaring sekali dan bergema,
mengejutkan burung-burung yang sedang beterbangan di sekeliling tempat itu. Beberapa kali dia
memanggil namun tak pernah terjawab kecuali oleh gema suaranya sendiri.
Kun Hong menjadi sedih sekali, pelupuk matanya gemetar, kulit di antara kedua matanya berkerut dalam,
wajahnya agak pucat. Lalu dia meraba-raba dengan tongkatnya mencari jalan turun. Dia hendak menuruni
tebing itu dan mencari Loan Ki di bawah sana.
Akhirnya dapat juga dia turun melalui celah-celah batu karang. Sukar sekali perjalanan menurun ini,
merayap seperti seekor monyet, hanya berpegang pada batu-batu karang yang menonjol. Kadang-kadang
Kun Hong yang meraba sana meraba sini kehabisan batu pegangan, maka terpaksa ia menggunakan
tongkatnya yang ditancapkan kepada dinding karang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah, sambil meraba-raba dia merayap turun terus, tidak tahu ke mana akhirnya dia akan sampai.
Dia tahu bahwa jalan yang ditempuhnya ini membelok ke sana ke mari karena memang sering kali dia
bertemu dengan jalan buntu yang mengharuskan dia mencari jalan memutar.
Dia merasa heran sekali karena ternyata dia tidak sampai di pinggir telaga, malah tiba-tiba alat
penggandanya mencium keharuman bunga-bunga yang beraneka warna dan kakinya menginjak tanah
berumput yang halus. Ketika dia meraba dengan tangannya, kiranya dia sudah sampai di tengah-tengah
rumput yang segar gemuk dan di sana-sini semerbak harum bunga.
"Heran sekali seakan-akan aku berada di dalam taman bunga yang sangat luas penuh bermacam-macam
bunga...," pikirnya dan teringatlah dia akan seruan Loan Ki pada saat kedatangan mereka di tempat itu.
Gadis itu telah melihat sebuah taman bunga yang indah. Inikah taman bunga itu?
Angin semilir sejuk dan pendengarannya yang tajam menangkap suara orang bercakap-cakap, suara
wanita yang halus terbawa angin. Kun Hong girang sekali, mengira bahwa tentu Loan Ki yang sedang
bercakap-cakap itu. Tetapi dia tidak berani berlaku sembrono memanggil gadis itu karena dia belum tahu
dengan siapa gadis itu bercakap-cakap dan dalam keadaan bagaimana.
Dengan hati-hati dia bergerak maju ke arah suara. Setelah agak dekat dan mulai dapat mendengar jelas,
dia menyelinap di balik sebuah pohon buah yang besar, bersembunyi dan mendengarkan penuh perhatian.
Besar kekecewaan hatinya ketika mendengar bahwa yang bercakap-cakap itu sama sekali bukanlah Loan
Ki seperti yang diharapkannya, akan tetapi suara wanita-wanita yang lain, suara wanita yang dingin dan
tajam mendatangkan perasaan ngeri kepadanya karena dari suara ini dia dapat menilai orang yang
mempunyai watak yang aneh dan dapat kejam melebihi iblis sendiri.
Akan tetapi suara ke dua membuat dia berdebar dan kagum. Suara ini halus lunak, merdu dan kiranya
hanya patut dimiliki oleh bidadari, bukan wanita biasa. Suara pertama adalah suara seorang wanita yang
sukar ditaksir usianya, akan tetapi takkan kurang dari empat puluhan. Ada pun suara ‘bidadari’ itu adalah
suara seorang gadis remaja.
Bukan main suara itu, bagaikan nyanyian dewi malam, mengelus-elus perasaan hatinya sungguh pun dia
menangkap getaran-getaran aneh pula dalam suara merdu merayu ini. Getaran yang mengandung sesuatu
yang rahasia dan yang menyembunyikan watak dari pada si pemilik suara.
"Hui Kauw, cukup sudah semua alasanmu itu!" terdengar suara dingin dengan nada kesal. "Jodohmu
adalah Pangeran Souw Bu Lai dan kau tidak boleh membantah lagi. Kau tahu, setelah sekarang kaisar
muda yang tak becus menduduki tahta, pangeran itu mempunyai banyak harapan menjadi kaisar lalu
membangun lagi Kerajaan Goan, dan kau mempunyai harapan menjadi permaisuri kaisar! Orang apa itu si
pemuda she Bun? Huh, hanya anak ketua Kun-lun-pai, biar tampan dan gagah, tetapi hanya orang biasa.
Mana boleh anakku tergila-gila kepada orang macam itu?"
"Ibu, aku tidak tergila-gila... aku hanya bertemu satu kali dengan Bun-enghiong, aku hanya bilang bahwa
dia seorang pendekar perkasa. Bukan karena dia aku tidak sudi menjadi calon jodoh Pangeran Mongol itu,
melainkan karena... karena aku tidak suka menikah. Aku lebih senang tinggal di sini..."
"Huh, alasan kosong. Siapa yang tidak tahu hati muda? Melihat wajah tampan dan watak pendekar lalu
jatuh hati, hemmm. Sudahlah, tak mau aku berpanjang debat, aku harus menyambut para tamu kita yang
akan membicarakan soal membantu usaha Pangeran Souw Bu Lai. Dan kau harus tahu, dalam hal
kegagahan, kiraku orang she Bun itu takkan dapat menandingi Pangeran Souw."
"Ibu..."
Kun Hong mendengar betapa wanita bersuara dingin itu berkelebat pergi dan terkejutlah dia ketika
menangkap desir angin yang amat cepat ketika wanita ini pergi. Wah, kiranya si suara dingin ini memiliki
kepandaian yang hebat. Ginkang-nya terang tidak di sebelah bawah kepandaian Loan Ki!
Selain dua orang wanita yang bercakap-cakap ini, Kun Hong tahu bahwa di situ terdapat sedikitnya tiga
orang wanita lain yang lemah lembut gerakan-gerakannya, mungkin para dayang-dayang yang melayani
nona bersuara bidadari ini. Diam-diam Kun Hong merasa terharu dan juga tercengang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tak mungkin salah lagi, yang disebut-sebut sebagai pemuda she Bun dalam percakapan tadi, tentu bukan
lain adalah Bun Wan, putera dari ketua Kun-lun-pai! Bun Wan, bekas tunangan kekasihnya, mendiang Cui
Bi.
Hatinya berdebar dan telinganya serasa mengiang-ngiang. Sungguh suatu hal yang amat kebetulan sekali,
urusan yang sangat cocok dengan pengalamannya dahulu. Seperti juga Cui Bi yang mencintanya dan
sudah ditunangkan dengan Bun Wan, juga si suara bidadari ini hendak dipaksa ibunya untuk berjodoh
dengan seorang Pangeran Mongol, padahal si bidadari ini agaknya condong hatinya kepada Bun Wan!
Benar-benar hal yang terbalik. (baca Rajawali Emas)
Kalau dulu, Bun Wan merupakan tunangan yang tidak dipilih dan tidak disukai oleh calon jodohnya,
sekarang rupanya dia malah terbalik memegang peranan sebagai orang yang menjadi penyebab
terhalangnya perjodohan orang lain! Bun Wan kini memegang peranan yang dipegangnya dahulu, peranan
yang berakhir dengan pengorbanan kedua matanya untuk mengimbangi pengorbanan Cui Bi yang
menyerahkan nyawanya! (dalam cerita Rajawali Emas)
Dia memperhatikan terus. Beberapa kali terdengar si bidadari itu menarik napas panjang. Dasar suara
bidadari. Tarikan napas panjangnya saja terdengar begitu halus seolah-olah helaan napas itu menambah
keharuman bunga-bunga di taman!
Perasaan Kun Hong menggetar, penuh iba kasihan. Teringat dia akan Cui Bi. Serupa benar nasib dara
bidadari ini dengan mendiang Cui Bi.
Apakah ia akan mengalami nasib seperti Cui Bi pula? Gagal dalam berkasih asmara, dan berakhir
mengorbankan nyawa? Tidak! Tidak boleh! Peristiwa mengenaskan itu tak boleh terulang lagi. Apa pula
terhadap diri seorang dara yang bersuara bidadari ini. Dia akan berusaha menghalau bahaya itu.
Langkah-langkah kecil dan ringan terdengar, disusul suara bening. "Siocia, ini minuman susu madu yang
kau pesan, dan ini pengganti sapu tangan sutera..."
"A Man, kau letakkan saja di atas meja itu, lalu kau pergilah bersama semua temanmu dan tinggalkan aku
di sini..."
"Tapi Siocia (nona), toanio (nyonya besar) akan marah jika saya dan teman-teman tidak menjaga dan
melayani Nona di sini..."
"A Man, aku bukan anak kecil lagi yang harus dijaga setiap waktu. Sekarang aku mau berlatih pedang,
apakah kau bermaksud hendak mencuri lihat?"
"Ahh... mana berani... mana berani, Nona."
"Nah, lebih baik kau cepat-cepat pergi keluar dari taman ini. Lebih berguna kalau kau dan teman-temanmu
ikut mencari dua orang asing yang katanya sudah memasuki pulau dan membunuh banyak ular. Apa bila
bertemu dengan mereka yang tentu saja lihai, kau dan teman-temanmu dapat mencoba semua kepandaian
kalian. Apakah percuma saja kalian selama ini dilatih ilmu silat? Hayo, keluarlah dari sini, lekas!"
Terdengar para pelayan itu pergi sambil tertawa-tawa. Ternyata ada lima orang pelayan wanita dan
agaknya yang bernama A Man itu adalah pelayan kepala atau yang paling disayang oleh nona bidadari
yang bernama Hui Kauw ini.
Kun Hong mendengarkan semua itu dengan kagum. Makin indah suara nona ini ketika bercakap-cakap
dengan para pelayan. Malah ucapan paling akhir itu mengandung senda gurau yang halus. Alangkah jauh
bedanya dengan Loan Ki atau Cui Bi.
Loan Ki dan mendiang Cui Bi, adalah gadis-gadis yang lincah jenaka, gembira dan bebas, andai kata
kembang adalah kembang mawar hutan yang tak lekang oleh panas, tak lapuk oleh hujan tidak takut akan
angin ribut dan selalu berseri namun siap melukai siapa pun yang ingin merabanya dengan duri-duri
meruncing.
Ada pun dara bersuara bidadari ini, yang tadi oleh ibunya disebut Hui Kauw, merupakan seorang dara yang
lemah lembut, halus gerak-geriknya, halus pula tutur sapanya, seperti setangkai bunga seruni yang indah
jelita, kecantikannya menenteramkan hati, suaranya bagai musik surga mengamankan jiwa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kemudian Kun Hong mendengar desir angin permainan pedang. Pada mulanya angin sambaran itu
lambat-lambat dan juga perlahan saja, tanda bahwa pemainnya belum mahir benar dan tenaganya kecil.
Kun Hong mengerutkan keningnya.
Gadis bersuara bidadari ini kalau dalam hal ilmu pedang jauh di bawah tingkat Loan Ki, apa lagi tingkat Cui
Bi. Akan tetapi hawa pukulan pedangnya betul-betul aneh merupakan garis lingkaran-lingkaran. Permainan
pedang dengan cara membentuk lingkaran-lingkaran seperti itu memang banyak dalam kalangan ilmu
pedang tinggi, akan tetapi lingkaran ini biasanya terus menjurus ke arah lingkaran lainnya yang sejalan
atau berubah menjadi tusukan, bacokan miring, bacokan lurus dan lain cara penyerangan lagi.
Anehnya, gerakan pedang dara bersuara bidadari ini lingkarannya berubah-ubah menjadi lingkaran yang
bertentangan, kadang-kadang berputar dari kanan, kadang kala dari kiri. Cara bermain pedang seperti ini,
mana bisa digunakan untuk bertempur, pikir Kun Hong heran.
Tiba-tiba Kun Hong miringkan kepalanya dan wajahnya sampai berkerut-merut karena dia mencurahkan
seluruh perhatiannya menggunakan pendengarannya yang mengikuti desir angin pedang. Makin lama
mukanya berubah makin merah ketika dia mengikuti terus permainan pedang itu. Gerakan yang tadinya
membayangkan kecanggungan, kekakuan dan kelemahan itu lambat laun berubah, bagaikan gelombang
samudera yang sedang pasang, tidak kentara perubahannya makin lama semakin sigap, semakin licin,
makin kuat. Lingkaran-lingkaran membesar, meluas, dan masih saja mengandung pertentangan, yaitu
lingkaran-lingkaran yang membalik gerakannya.
Kun Hong menjadi bingung dan malu kepada diri sendiri. Kiranya dia tadi salah duga dan baru kali ini
pendengarannya menipunya, baru kali ini pendengarannya kalah ‘awas’ oleh sepasang mata. Kiranya dara
bersuara bidadari ini memiliki ilmu pedang yang benar-benar luar biasa dan juga tinggi sekali tingkatnya,
malah kini dia dapat mendengar betapa tenaga lweekang yang terkandung dalam gerakan-gerakan itu
amat dalam, sukar diukur dan ilmu pedang itu sendiri memiliki gerakan lingkaran yang penuh rahasia!
"Siuuuttt... cratt!"
Sebatang pedang menancap pada batang pohon di depan Kun Hong, batang pohon yang menutupi dan
menyembunyikan tubuh pemuda buta ini. Kun Hong kaget sekali. Apakah nona itu melihatnya dan sengaja
menakut-nakutinya dengan melemparkan pedang pada batang pohon itu?
Dia bersikap waspada, akan tetapi tidak bergerak ke luar dari tempat sembunyinya. Dia merasa malu sekali
dan sedang memutar otaknya bagaimana dia akan menjawab nanti apa bila ditanya tentang kehadirannya
di taman orang dan ‘mengintai’ dengan telinganya tanpa ijin pemilik taman.
Langkah kaki yang ringan dan lesu mendekati pohon. Hidung Kun Hong kembang-kempis. Keharuman
yang sedap dan aneh mengalir memasuki lubang hidungnya, bau yang luar biasa harumnya seperti...
seperti apakah gerangan?
Tiada bunga yang seharum ini, harum yang tidak memuakkan, tidak keras, seperti harum bunga mawar?
Tidak, lain lagi. Seperti harum minyak wangi dan dupa? Juga bukan, biar pun memiliki daya penenteram
rasa seperti keharuman dupa. Apakah bau cendana? Juga bukan, cendana terlalu wangi sehingga
memusingkan kepala.
Mendadak wajah Kun Hong tersenyum berseri. Inikah bau sedap seperti bau anak kecil? Ya, pernah dalam
perantauannya dia dimintai tolong orang supaya mengobati anak-anak dan seperti inilah anak bayi itu
baunya. Sedap dan mengamankan hati!
Kun Hong berdebar hatinya. Nona ini amat dekat dengannya, hanya terpisah oleh batang pohon.
Pernapasannya saja dapat terdengar jelas olehnya, napas yang panjang-panjang dan halus sungguh pun
desir napas itu menyatakan bahwa orangnya sedang mengalami kelelahan. Tidak aneh setelah bermain
pedang mempergunakan tenaga lweekang seperti itu.
Nona itu mencabut pedang yang tadi dilontarkan dan menancap pada pohon. Dari suara cabutan ini
dengan kagum sekali Kun Hong mendapat kenyataan bahwa pedang itu telah menancap setengahnya
lebih ke dalam batang pohon, hal yang sekali lagi membuktikan akan hebatnya tenaga lweekang nona ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan langkah gontai, seperti langkah orang yang baru sembuh dari pada penyakit yang lama diderita,
lemas dan lesu, dengan kaki diseret nona itu meninggalkan pohon, kembali ke tempat tadi. Lalu terdengar
oleh Kun Hong betapa dara itu duduk menggerak-gerakkan tangan, agaknya menyusut peluh dengan sapu
tangan sutera yang ia dengar tadi di antar datang oleh A Man, Setelah itu gadis itu minum lambat-lambat,
dengan teguk-teguk kecil, agaknya susu madu tadi.
Tak terasa lagi Kun Hong menelan ludah dan tiba-tiba saja terasa betapa lapar perutnya dan haus
kerongkongannya. Sejak kemarin sore dia tidak makan atau minum lagi, yaitu sesudah menyikat habis
makanan dan minuman hasil curian Loan Ki.
Loan Ki juga tentunya lapar dan haus seperti aku pula pikirnya. Ahh, di mana Loan Ki? Seakan-akan baru
sadar dari pada sebuah mimpi indah, Kun Hong teringat akan Loan Ki dan hatinya terbuka, penuh
kekhawatiran. Masih hidupkah Loan Ki? Dan di mana ia?
"Benar-benar aku tiada guna..." Kun Hong memaki diri sendiri. "Loan Ki terjerumus dan hilang, belum tahu
mati atau masih hidup dan... dan aku...aku terlongong saja di sini mau apa?"
Hampir marah Kun Hong terhadap dirinya sendiri. Baru sekarang dia merasa betapa dia sudah seperti
tergila-gila kepada nona bersuara bidadari itu. Mukanya ditengadahkan ke arah angkasa, bibirnya
bergerak-gerak dalam bisikan.
"Cui Bi... kau tentu suka memaafkan aku... nona yang di depan ini memang terlalu luar biasa..."
Setelah berbisik seperti itu, dia sudah hendak menggerakkan kaki sambil mengerahkan ginkang-nya agar
dapat pergi dari tempat itu tanpa terdengar orang. Akan tetapi baru saja kakinya diangkat sambil dia
membalikkan tubuh hendak pergi, kaki itu berhenti seperti tertahan oleh suara senandung di belakangnya.
Suara bidadari itu bersenandung?
Biar pun hanya bersenandung, tidak bernyanyi nyaring, tetapi suara itu bagi pendengaran Kun Hong
sedemikian merdunya. Dia menahan napas dan miringkan kepala untuk dapat menangkap kata-kata
nyanyian dalam senandung itu.
Daun labu belum layu
anak sungai masih berlagu
kutunggu, tuanku.
Air sungai melimpah ruah
kuda betina menjerit resah
kutunggu, kekasihku.
Bahtera menanti kita
mengantar ke pantai kita
kutunggu, sahabatku!
Lemas kedua lutut Kun Hong. Tanpa terasa pula dia berlutut lalu duduk bersimpuh di atas tanah. Kulit
mukanya tergetar-getar, bergerak-gerak, apa lagi di sekitar dua lubang bekas mata yang tertutup kelopak
(pelupuk mata).
Bukan main suara itu! Tadi baru mendengar suara itu bicara saja dia sudah kagum bukan main, suara yang
dapat menggetarkan dan menyinggung tali halus hatinya. Kini suara itu bersenandung, bukan main! Dada
Kun Hong serasa hendak meledak oleh nikmat yang didatangkan oleh senandung itu.
Dia sendiri adalah seorang ahli sastera, seorang penggemar bacaan, baik filsafat mau pun sanjak-sanjak
kuno. Dan kata-kata nyanyian yang keluar bagaikan tetesan-tetesan embun mutiara di ujung daun hijau di
waktu subuh itu, dia pun pernah membacanya.
Sanjak lama, amat kuno akan tetapi masih saja mempunyai makna yang membayangkan keadaan hati
seseorang. Jelas, kini dara bersuara bidadari ini sedang dirundung malang, dibuai sedih oleh kesepian,
dimabuk khayal lamunan. Mungkinkah ini ada hubungannya dengan percakapan tentang jodoh dengan
ibunya tadi?
Masih terngiang jelas di telinga Kun Hong suara yang nikmat tadi. Dia masih juga duduk bersimpuh ketika
dia mendengar betapa nona itu pergi meninggalkan tempat itu dengan langkah-langkah gontai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah langkah itu tak terdengar lagi dan keadaan di situ benar-benar sunyi tiada orang, Kun Hong
melangkah ke luar dari tempat sembunyinya. Bagaikan didorong oleh tangan tak tampak, atau ditarik oleh
besi sembrani, kedua kakinya melangkah ke arah tempat di mana dara tadi bernyanyi.
Tongkatnya tertumbuk pada sebuah meja batu yang dikelilingi tiga buah bangku batu yang halus dan
dingin. Bau harum yang tadi masih mengambang di udara di sekitar tempat itu, kini lebih terasa. Kun Hong
meraba bangku dingin halus, lalu duduk menghadapi meja, termenung.
Tanpa disengaja tangannya yang meraba meja menyentuh sesuatu yang halus di atas meja. Sapu tangan
sutera! Agak basah dan hangat. Air mata? Keringat? Seperti dalam mimpi Kun Hong meremas sapu
tangan sutera itu, lalu mengendurkan tangannya, hatinya merasa khawatir kalau-kalau remasannya akan
merusakkan benda halus lemas berbau harum itu. Kemudian, dengan tangan gemetar sapu tangan itu dia
dekatkan ke mukanya, bau harum mengeras, tapi dia menahan tangannya. Wajah Cui Bi terbayang dan
muka Kun Hong menjadi merah sekali.
"Maaf, Cui Bi... dia… dia terlalu luar biasa..." setelah berkata demikian ia membenamkan mukanya ke
dalam sapu tangan itu.
Ganda harum semerbak sapu tangan sutera itu membuat Kun Hong mabuk kemudian tenggelam di alam
lamunan. Wajah Cui Bi terbayang, maka keras dia mendekap sapu tangan itu pada mukanya, seakan-akan
yang didekap dan dibelainya itu adalah wajah Cui Bi kekasihnya. Terluaplah segenap rindu birahi yang
selama bertahun-tahun dia kekang, dia bendung, dia tahan.
"Cui Bi... Bi-moi... dewi pujaan... di mana kau...?" Kun Hong mengeluh, menciumi sapu tangan dan
beberapa butir air mata menetes dari sepasang mata yang tak berbiji lagi itu.
Sedih perih membuat dia merasa nelangsa sekali ketika sadar bahwa kekasih yang amat dirindukannya itu
telah tiada dan tak tertahankan lagi Kun Hong menitikkan air mata yang membasahi sapu tangan sutera
berganda harum itu.
Betapa pun kuat batin Kun Hong, dia tetap seorang manusia biasa. Sekali waktu tentu akan tunduk dan
kalah oleh arus perasaannya yang mencengkeram hati, mencengkam pikiran. Apa lagi perasaan rindu
dendam bagi seorang muda amatlah berat dilawan.
Kun Hong pemuda gemblengan itu, yang biar pun sudah buta namun masih mempunyai kegagahan dan
kesaktian yang melebihi orang-orang melek, kini bagaikan dilolosi seluruh otot di tubuhnya, lemas dan
berlutut menciumi sapu tangan sambil menitikkan air mata seperti lakunya seorang wanita berhati lemah!
Saking hebat dia dipengaruhi perasaan sendiri, dia menjadi lengah dan pendengarannya tidak dapat
menangkap suara halus dari langkah kaki yang mendekati tempat itu, bahkan yang kini datang
menghampiri dirinya. Langkah halus dan ringan dari sepasang kaki yang bersepatu merah, dan yang
menghampirinya dari belakang.
"Pencuri busuk, berani kau memasuki tamanku? Hayo berlutut di depan nonamu!" Suara ini nyaring dan
merdu, namun mengandung getaran galak dan tinggi hati.
Kun Hong terkejut setengah mati, seakan-akan disendal dari dunia lamunannya. Dengan gugup dia
mencengkeram sapu tangan itu dan membalikkan tubuhnya dengan siap siaga karena ia mendengar suara
pedang dicabut oleh wanita yang memakinya ini. Tongkatnya dipegang erat karena biar pun dari suaranya
dia dapat mengenal seorang gadis remaja yang amat galak, akan tetapi gadis ini dapat datang tanpa dia
ketahui, tanda bahwa ilmu kepandaiannya juga tinggi, maka dia harus siap menghadapi bahaya
serangannya.
Akan tetapi gadis itu mengeluarkan seruan tertahan pada saat melihat bahwa orang yang dibentaknya itu
kiranya hanya seorang buta. Ia mendengus penuh ejekan lalu menyimpan kembali pedangnya.
"Hah, kiranya hanya seorang jembel buta! Sungguh tidak punya guna para penjaga itu. Orang macam ini
dikatakan menimbulkan onar? Hee, jembel buta, apakah kau bersama seorang gadis yang datang ke pulau
kami secara menggelap? Hayo berlutut dan jawab baik-baik kalau tidak ingin nonamu turun tangan sendiri
memberi hajaran kepadamu!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Mengkal sekali rasa hati Kun Hong mendengar suara seorang dara muda begini galak memaki-maki dan
menghinanya, akan tetapi dia tetap tersenyum sabar, bangkit berdiri dan menjura.
"Maaf, Nona. Aku seorang buta yang tidak mengenal jalan tanpa disengaja telah tersesat sampai di sini,
harap Nona sudi memberi maaf."
"Maaf? Enak saja bicara! Orang luar yang berani memasuki pulauku ini tak boleh keluar dalam keadaan
hidup lagi. Kau jembel buta berani masuk ke sini dan seperti orang mabuk menangis menciumi sapu
tangan. Hemmm, kiranya kau selain buta juga gila. Kau terlalu kotor untuk mampus di tanganku. Heeiii, A
Man...!" Suara memanggil ini amat nyaring, mengandung tenaga khikang yang kuat sekali sehingga diamdiam
Kun Hong kagum.
Kiranya gadis galak ini mempunyai kepandaian yang hebat juga, terang tidak di sebelah bawah tingkat
Loan Ki! Dia makin terheran-heran mendapat kenyataan bahwa di pulau ini terdapat dua orang gadis yang
suaranya jauh berbeda seperti bumi dan langit, namun yang keduanya memiliki kepandaian tinggi dalam
ilmu silat!
Suara seruan seperti itu tadi tentu dapat mencapai jarak yang jauh. Benar saja, tak lama kemudian
terdengar suara orang menjawab berulang-ulang dan terdengar bunyi langkah-langkah kaki berlari-larian
ke tempat itu, langkah-langkah ringan beberapa orang wanita. Kiranya pelayan-pelayan tadi, lima orang
banyaknya dengan A Man di depan, telah lari datang mendengar panggilan itu.
"Ah, kiranya Siocia telah berada di sini...," terdengar gadis pelayan yang bernama A Man berkata.
Dengan pendengarannya yang tajam Kun Hong dapat menangkap betapa dalam ucapan gadis pelayan ini
terkandung rasa takut dan tunduk, berbeda dengan ketika gadis pelayan ini tadi bicara terhadap dara
bersuara bidadari.
"A Man! Apa saja kerjamu dan para pelayan ini di sini? Sampai dalam taman kemasukan jembel buta gila
kalian tidak ada yang tahu! Hemm, benar-benar kalian ini masing-masing patut dihukum sepuluh kali
cambukan."
"Ampun, Siocia... hamba berlima tadi disuruh pergi oleh nona Hui Kauw... dan pada waktu hamba pergi, di
sini ada nona Hui Kauw sedang berlatih silat, tidak ada... jembel ini... eh, itu adalah sapu tangan nona Hui
Kauw! He pengemis buta, kau telah mencuri sapu tangan nona Hui Kauw?"
Tiba-tiba nona yang galak itu tertawa, dan suara ketawanya ini merdu sekali sungguh pun bagi Kun Hong
tetap saja mengandung sifat yang liar dan kejam.
"Wah, kiranya enci Hui Kauw malah memberi sedekah sapu tangannya kepada pengemis buta ini? Hi-hik,
A Man, kau lihat, biar pun buta dan pakaiannya kotor, pengemis ini masih muda dan wajahnya tampan
juga, ya? Dan enci Hui Kauw memberikan sapu tangannya kepada pengemis ini. Pemberian sedekah yang
aneh, hi-hi-hik!"
Merah wajah Kun Hong, apa lagi ketika mendengar betapa kelima orang pelayan itu pun sama-sama turut
tertawa mengejek. Timbul kemarahan dalam hatinya karena dia merasa betapa gadis galak ini bersama
pelayan-pelayan penjilat itu menghina dan mentertawai Hui Kauw, dara bersuara bidadari itu. Dengan
suara kereng Kun Hong berkata,
"Kalian jangan lancang mulut! Nona itu tidak memberi hadiah sapu tangan padaku. Sapu tangan ini
kutemukan di sini, tertinggal oleh nona itu tanpa disengaja. Alangkah jahatnya kalian menyangka yang
bukan-bukan dan menjatuhkan fitnah keji kepada seorang gadis yang putih bersih!"
"Heee! Kau membela enci Hui Kauw? Bagus, bagus... memang cocok kau dan ia. A Man, hayo kau dan
teman-temanmu mewakili aku memberi hajaran kepada pengemis buta ini, pukul sampai dia minta-minta
ampun dan suka mengaku bahwa dia adalah pacar dari enci Hui Kauw!"
Kun Hong mendengar suara langkah seorang di antara para pelayan itu maju dan disusul bentakan suara
pelayan ini yang tinggi melengking, "Pengemis buta, hayo kau berlutut mentaati perintah siocia!"
Kun Hong menggeleng kepala, bersandar kepada tongkatnya dan menggumam, "Kalian jahat... aku tidak
sudi mencemarkan nama seorang yang tak berdosa..."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Keparat, hayo lekas berlutut!" Sambaran angin sebuah tongkat mengarah kaki Kun Hong. Pemuda buta itu
tidak mengelak.
"Krakk!" tongkat patah menjadi tiga potong.
Pelayan wanita itu menjerit kesakitan, kemudian meloncat mundur dengan muka pucat. Tongkatnya patah
sedangkan telapak tangannya merah-merah dan terasa sakit.
Nona galak itu mendengus mengejek. A Man berteriak marah, "Jembel busuk, kau tidak mau berlutut?
Kuhancurkan kepalamu!"
Kini pelayan kepala ini yang mengayunkan sebatang tongkat ke arah kepala Kun Hong. Kali ini Kun Hong
hanya menggerakkan kepalanya ke samping dan sambaran tongkat itu tidak mengenai sasaran. A Man
semakin marah, sampai lima kali tongkatnya menyambar kepala, namun selalu memukul angin!
Kembali nona galak itu mendengus, lalu disusul suaranya penuh kemarahan, "A Man, kau memalukan
sekali. Kau yang memiliki dua buah mata tidak mampu mengalahkan seorang yang tak bermata? Percuma
saja kau memiliki dua buah mata yang melirik ke sana-sini. Kalau ibu mendengar tentang hal ini, hemmm,
kurasa kedua biji matamu akan dicokel ke luar!"
"...ampun, Siocia... biarlah kuhajar pengemis busuk ini."
"Nah, keluarkan ngo-coa-tin (barisan lima ular)," berkata pula si nona galak dengan nada memerintah.
"Agaknya jembel buta ini berani masuk mengandalkan kepandaian, hemmm, dia harus mampus."
"Srattttt!" Lima batang pedang tercabut dari sarungnya hampir berbarengan.
Kemudian Kun Hong mendengar langkah-langkah kaki lima orang mengurungnya, gerak langkah yang
teratur sekali dan langkah-langkah itu tidak pernah berhenti, terus mengitari dirinya, malah di antara derap
langkah ini terdengar suara mendesis.
Kun Hong mengerutkan keningnya. Ia dapat menduga bahwa lima orang pelayan wanita ini mengurungnya
dengan pedang di tangan kanan dan agaknya seekor ular di tangan kiri. Dugaannya ini memang benar.
Setiap orang pelayan memegang sebatang pedang dan di tangan kiri mereka terdapat seekor ular hijau
yang mendesis-desis sedang lidahnya yang kehijauan itu menjilat-jilat ke luar.
Lima batang pedang menyambar cepat dari lima jurusan dan merupakan lima macam serangan yang
berbeda-beda. Ada yang menusuk, membacok, membabat, dan lain-lain. Kun Hong terhuyung-huyung lima
kali, akan tetapi semua serangan itu mengenai angin belaka.
Akan tetapi pedang itu secara berantai susul-menyusul mengirim serangan cepat, malah kini diselingi
serangan dengan ular di tangan kiri yang menyambar ke depan dan gigi-gigi meruncing mengandung bisa
itu menggigit-gigit mencari korban! Sementara itu, mereka masih terus melangkah berputar-putar di
sekeliling Kun Hong.
Diam-diam pemuda buta ini merasa kagum. Barisan lima orang wanita ini benar-benar kuat dan seorang
ahli silat yang belum memiliki kesaktian, kiranya akan roboh binasa biar pun agaknya mampu membalas
dan merobohkan dua tiga orang pengeroyok. Gerakan mereka amat teratur dan otomatis sehingga mereka
akan merupakan satu orang dengan lima batang pedang dan lima ekor ular!
Kun Hong tahu bahwa terhadap serbuan pedang-pedang itu, dengan mudah dia akan bisa menghindarkan
diri, akan tetapi menghadapi lima ekor ular hidup itu amatlah sukar. Ular tidak dapat disamakan dengan
pedang, karena ular adalah makhluk hidup yang memiliki gerakan sendiri dan sama sekali tidak menurut
cara ilmu silat.
Tentu saja dia tidak mau terancam bahaya. Begitu serangan lima orang pengeroyoknya makin menghebat,
dia berseru panjang, tubuhnya lenyap terganti segulungan sinar merah dan... lima orang pengeroyoknya itu
riuh rendah menjerit dan berloncatan mundur sambil terbelalak memandang kedua tangan mereka. Yang
kanan memegang gagang pedang, yang kiri memegang ekor ular berdarah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ternyata pedang-pedang dan kepala-kepala ular sudah putus dan menggeletak di atas tanah di depan kaki
mereka!
"Aha, kiranya ada kepandaian juga si buta gila ini. Pantas saja begitu berani memasuki Ching-coa-to.
Minggirlah kalian budak-budak tak berguna, biar kuhabiskan nyawa si buta sombong ini. Lihat bagaimana
pedangku menembus jantungnya.”
Kun Hong hanya mendengar suara halus, disusul tiupan angin ke arah hatinya. Dia kaget sekali dan cepat
mengelak selangkah ke kiri. Cara gadis ini mencabut pedang saja sudah membuktikan bahwa gadis galak
ini benar-benar amat lihai, malah serangan pertamanya juga luar biasa cepatnya, hampir sukar ditangkap
angin sambarannya.
Kun Hong tidak berani memandang rendah dan dia bersiap mempergunakan tongkatnya yang berisi
pedang Ang-hong-kiam. Seperti juga menjadi penyakit watak para ahli silat lainnya, Kun Hong ingin pula
mengetahui sampai di mana kepandaian gadis ini dan ilmu silat apakah yang dimainkannya. Oleh karena
ini maka dia bersikap mempertahankan diri, terhuyung-huyung ke sana ke mari dalam langkah-langkah
ajaib untuk menghindarkan diri dari sambaran pedang lawan yang amat lihai dan cepat.
Dia makin kagum. Gerakan-gerakan gadis ini halus dan lemas, mungkin kelihatan indah pula seperti Ilmu
Silat Bidadari yang dimiliki Cui Bi dan juga Loan Ki. Tetapi sebenarnya terdapat perbedaan yang amat jauh
karena ilmu pedang yang dimainkan gadis galak ini mengandung unsur-unsur gerakan penyerangan
seekor ular yang sangat ganas dan liar. Gerakan berlenggang-lenggok, menggeliat geliat, menyerang
secara tiba-tiba dan kadang kala berdiam diri seperti ular melingkar, benar-benar merupakan sifat-sifat
seekor ular.
Memang dugaan Kun Hong ini tidak keliru. Gadis itu sesungguhnya mempunyai ilmu silat yang berasal dari
ciptaan Si Raja Ular Giam Kin! Ilmu pedangnya sangat ganas, keji dan juga curang sekali sehingga belum
pernah dia mengalami kegagalan dalam pertempuran. Akan tetapi kali ini dia bertemu gurunya!
Seperti yang kita ketahui, di samping ilmu kesaktian yang dia terima dari Raja Pedang Tan Beng San, yaitu
Ilmu Silat Im-yang-sin-hoat, pada dasarnya Kun Hong mempunyai ilmu silat yang pertama kali dilatihnya,
yaitu Kim-tiauw-kun (Ilmu Silat Rajawali Emas). Tentu saja gerakan-gerakan seekor burung rajawali jauh
lebih hebat, bahkan mampu mengatasi gerakan seekor ular karena dalam kenyataannya juga selalu seekor
ular menjadi ‘mati kutunya’ kalau bertemu dengan seekor burung rajawali.
Kalau Kun Hong menghendaki, kiranya tidak sulit baginya untuk mengalahkan gadis galak ini. Diam-diam
dia pun girang karena mendapat kenyataan bahwa biar pun gadis ini juga amat lihai, malah lebih lihai dari
pada Loan Ki, namun kiranya tidak selihai gadis bersuara bidadari. Dia girang karena dia menyukai gadis
bidadari itu.
Dia mengerti bahwa kalau dia mengalahkan gadis sombong dan galak ini, sudah tentu gadis ini akan
menjadi makin sakit hati. Padahal dia adalah seorang tamu tak diundang. Dan apa bila dia membikin malu
dan sakit hati, tentu seluruh isi pulau, termasuk gadis bersuara bidadari akan marah dan memusuhinya.
Apa lagi kalau mendengar dari kata-kata gadis ini tadi, agaknya gadis ini masih keluarga dengan gadis
yang bernama Hui Kauw, buktinya selain gadis galak itu menyebut ‘enci’, juga gadis ini menyebut ibu
kepada nyonya yang oleh para pelayan dipanggil toanio. Hui Kauw juga menyebut ibu kepada nyonya itu,
apakah kalau begitu gadis ini masih adik dari Hui Kauw? Sangat boleh jadi. Akan tetapi jika betul adiknya,
kenapa mengeluarkan fitnah keji dan malah agaknya gadis ini membenci Hui Kauw?
"Nona, sudahlah. Aku datang ke sini bukan mencari permusuhan, semata-mata karena salah jalan...," Kun
Hong mencoba untuk membujuk lawannya.
"Pengemis buta banyak cerewet! Lekas berlutut minta ampun dan mengaku bahwa kau adalah pacar enci
Hui Kauw atau... kau mampus di ujung pedangku!" Gadis itu berseru karena ia merasa berada di atas
angin.
Memang semenjak tadi Kun Hong hanya mengelak, malah jarang menangkis, tak pernah balas menyerang
sama sekali sehingga menurut pikirannya, juga dalam pandangan lima orang pelayan tadi, pemuda buta itu
repot menyelamatkan diri dan tidak mampu balas menyerang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Keji...! Dara remaja berwatak keji...!" Kun Hong berseru marah dan tiba-tiba sinar pedang merah
bergulung-gulung menyelimuti diri gadis galak itu.
Hawa dingin menyambar-nyambar dan terdengar gadis itu beberapa kali menjerit karena merasa betapa
hawa pedang dingin menyambar di dekat leher, kepala, dada dan muka, seakan-akan pedang yang tajam
mengancam untuk mengulitinya! Ia heran, kaget, takut, dan merasa seram.
Barulah ia mengaku dalam hati bahwa orang buta ini kiranya mempunyai kesaktian yang begini hebatnya.
Dia berusaha mempertahankan diri, namun karena tangannya gemetar, gerakannya lemah dan akhirnya
dia menyerah saja sambil berloncatan karena ngeri dan takut.
Pada saat itu terdengar suara halus, "Hui Siang moi-moi (adik), kau bertempur dengan siapa dan kenapa
bertempur?"
Begitu mendengar suara ini, tiba-tiba Kun Hong melompat jauh ke belakang, cepat-cepat menghentikan
gerakannya.
Gadis galak bernama Hui Siang itu kini berdiri dengan muka pucat, badan gemetar dan keringat dingin
membasahi tubuhnya. Ngeri hatinya jika membayangkan keadaannya tadi dan ia pun memandang kepada
si buta dengan terbelalak. Karena jelas baginya sekarang bahwa orang buta ini benar-benar lihai luar
biasa, ia tidak berani lagi bersikap seperti tadi.
"Enci Hui Kauw... jembel buta inilah yang dikabarkan mengacau di pulau kita bersama seorang temannya
yang entah ke mana. Dia amat kurang ajar, tadi mengaku bahwa dia adalah pacarmu, malah dia sudah
memperlihatkan sehelai sapu tangan sutera, katanya pemberianmu. Tentu saja aku menjadi marah dan
lantas menyerangnya, tetapi kiranya dia lihai... pantas dia begitu kurang ajar."
Berubah wajah Kun Hong, berdebar hatinya dan dia menekan perasaannya yang hendak terbakar oleh
nafsu amarah. Gadis cilik ini benar-benar luar biasa jahatnya, amat pandai memutar balikkan fakta dan
melakukan fitnah keji ke kanan kiri tanpa mengenal malu lagi. Sebelum dia membuka mulut, terdengar
suara A Man.
"Betul, nona Hui Kauw, apa yang diucapkan oleh siocia tadi. Si jembel buta ini kurang ajar sekali, menghina
Nona dan kalau tidak salah, sapu tangan Nona masih berada di saku bajunya..." Suara A Man ini disusul
suara empat orang pelayan lain yang membetulkan omongan ini.
Makin mendidih darah di dalam dada Kun Hong, Hemmm, kiranya para pelayan ini amat menjilat-jilat nona
muda yang bernama Hui Siang. Dan mereka ini merupakan sekutu yang diam-diam memusuhi Hui Kauw,
si gadis bersuara bidadari. Diam-diam dia merasa amat kasihan kepada nona bidadari yang suaranya
sudah menggores kulit dada menembus kalbunya itu.
Tiba-tiba terdengar olehnya desir angin lembut dan tercium ganda harum semerbak yang amat dikenalnya.
Diam-diam dia kagum. Nona bidadari itu sekali menggerakkan tubuh telah berada di depannya!
Dia mendengar sambaran tangan diayun ke arah mukanya. Otaknya bekerja cepat. Tentu nona yang
bernama Hui Kauw ini marah dan merasa terhina, maka kini mengayun tangan menamparnya. Hal yang
wajar. Dia hanya mengerahkan tenaga menjaga tulang muka karena maklum akan kelihaian nona bidadari
ini. Sengaja dia tidak menjaga kulit.
"Plakk!"
Kun Hong merasa pipi kirinya panas-panas, telinganya mendengar bunyi mengiang, lalu bibirnya merasa
sesuatu yang asin, tentu darah yang keluar dari luka di belakang pipi dan mengalir keluar dari mulutnya,
merembet ke pinggir bibir. Dia tersenyum, sama sekali tak merasa sakit hati atau marah karena dia yakin
benar bahwa nona itu memukulnya karena merasa terhina. Penghinaan yang paling berat dan paling besar
bagi seorang gadis.
Kun Hong mendengar betapa gadis itu melangkah mundur empat langkah, lalu terdengar suaranya marah
dan menyesal, namun bagi Kun Hong tetap saja mengandung getaran halus yang mencerminkan budi
luhur.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Orang buta, Thian (Tuhan) sudah menciptakan kau menjadi buta. Bukankah itu cukup untuk mengingatkan
kau bahwa orang tidak boleh berbuat dosa? Masih kurang beratkah hukuman yang jatuh kepada dirimu itu
sehingga kau tidak segan-segan untuk menambah dosa-dosamu dengan mengucapkan penghinaan
terhadap diriku? Apa salahku kepadamu dan mengapa pula kau yang baru sekali ini berjumpa denganku
datang-datang melakukan fitnah keji? Kau memiliki kepandaian, biar buta tentu bukan seorang bodoh,
jawablah!"
Tiba-tiba saja Kun Hong tertawa, tertawa bergelak-gelak saking senangnya. Ucapan nona bidadari itu
betul-betul membuka hatinya untuk menjadi gembira karena dia merasa amat berbahagia dapat bertemu
dengan orang seperti nona bidadari ini. Dugaannya tak salah, tidak keliru pula dia menjadi seperti tergilagila.
Memang sesungguhnya nona ini seorang bidadari yang menjelma di permukaan bumi.
Bukan main indah dan bersihnya ucapan itu. Kun Hong mendongak ke atas dan tertawa terbahak-bahak,
hal yang baru kali ini dia rasakan dan lakukan semenjak dia menjadi buta. Kemudian dia ingat bahwa
mungkin sekali sikapnya ini menambah perih hati nona bidadari itu, maka dia segera menahan diri
menghentikan tawanya, lalu menjura ke depan mengangkat kedua tangan ke arah dada sebagai
penghormatan seorang terpelajar, lalu katanya,
"Nona, maafkan kelakuanku tadi, Ucapanmu benar-benar menggugah kegembiraan hatiku dan
menyadarkanku bahwa di dunia ternyata masih ada seorang yang bijaksana seperti Nona. Tamparanmu
kuterima dengan senang hati, Nona, karena sesungguhnya, fitnah keji itu jauh lebih menyakitkan hatimu
dari pada rasa nyeri pada mukaku. Kemarahanmu tidak berlebihan, malah andai kata betul fitnah keji tadi,
aku rela dan patut dihukum mati." Kun Hong lalu tersenyum dan menyambung, "Tentu Nona tahu akan
pendapat para arif bijaksana jaman dahulu bahwa khianat dan fitnah hanya datang dari orang-orang yang
dekat. Aku sama sekali tidak mengenal Nona, bagaimana dapat melakukan fitnah?"
Agaknya ucapan ini berpengaruh besar, mengingatkan Hui Kauw akan kelancangannya menjatuhkan
marah terhadap seorang asing tanpa menyelidik terlebih dahulu. Dia segera berkata kepada nona galak
tadi, suaranya mengandung sesalan besar.
"Adik Hui Siang, kulihat sahabat buta ini bicara keluar dari hati tulus, bagaimana mungkin dia
mengeluarkan fitnah keji seperti yang kau nyatakan tadi?"
"Enci Hui Kauw, kau malah membela dia? Uhh, benar-benar aneh apa bila kau malah membenarkan dia
menyalahkan aku. Itu buktinya, dia membawa sapu tanganmu, dari mana dia dapatkan itu?" Kata-kata ini
mengandung sindiran tajam, seakan-akan gadis cilik yang galak itu berbalik menyerang Hui Kauw dengan
tuduhan yang bukan-bukan.
Wajah Hui Kauw merah, akan tetapi dengan tenang dia menjawab, "Tadi aku berlatih seorang diri di sini
dan sapu tangan itu kugunakan untuk menghapus keringat, kemudian aku pergi dan sapu tangan itu
tertinggal di sini. Boleh jadi dia lalu datang dan menemukan sapu tanganku di atas meja, apanya yang
aneh dalam hal ini?"
"Tentu saja aneh. Aneh sekali! Bukankah aneh kalau kukatakan kepadamu bahwa tadi aku melihat dia
menciumi sapu tanganmu sambil menangis? Hi-hik, bukankah amat aneh kelakuannya itu, Enci yang baik?
Dia mengaku pacarmu, dan melihat sapu tangan itu... diciuminya... hemmm, hampir tadi aku percaya akan
pengakuannya."
"Bohong! Bocah bermulut keji, kau bohong mengeluarkan ucapan fitnah kepada enci-mu sendiri. Kiranya
kau perlu dihajar oleh orang tuamu!" Kun Hong berteriak marah.
"Jembel buta, berani kau kurang ajar kepadaku?" Hui Siang menyerbu, lantas memukul kepala Kun Hong.
Akan tetapi hanya dengan gerakan mudah saja Kun Hong membuat pukulan itu mengenai angin. Beberapa
kali Hui Siang memukul, namun tak pernah mengenai sasaran.
"Hui Siang, jangan sembarangan menerjang orang tanpa diketahui dosanya lebih dahulu. Aku sudah
lancang tangan tadi, jangan kau memperbesar keonaran!" kata Hui Kauw yang melihat penuh kekagetan
betapa gerakan pemuda buta itu aneh dan luar biasa sekali.
Diam-diam ia pun terheran-heran mengapa tadi ketika ia yang menampar, sekali tampar saja mengenai
pipi si buta dan malah sampai ada darah mengalir dari bibir orang buta itu. Tetapi sekarang Hui Siang yang
dunia-kangouw.blogspot.com
menyerang dengan sungguh-sungguh, dengan pukulan yang akan dapat menewaskan orang itu, dengan
amat mudahnya dielakkan oleh si buta!
Hui Siang membanting-banting kakinya dengan gemas dan mendongkol. "Lagi-lagi kau membelanya, enci
Hui Kauw. Bagus! Hal ini harus kulaporkan kepada ibu, biar ibu datang mengadili perkara ini dan
membunuh mampus jembel buta busuk yang kurang ajar ini. A Man, hayo semua ikut aku melapor kepada
ibu, kalian berlima menjadi saksi!"
Maka pergilah gadis galak itu diikuti oleh lima orang pelayan yang terhadap gadis ini amat penurut dan
takut, malah sikap mereka amat menjilat-jilat. Kun Hong mendengar langkah mereka cepat-cepat pergi
meninggalkan tempat itu, dan dia hanya menundukkan kepala, gelisah memikirkan nona bidadari yang
masih berdiri di depannya tanpa bergerak seperti patung.
Hening sejenak. Nona itu tidak bergerak, juga tidak bicara, demikian pula dengan Kun Hong. Terdengar
oleh pemuda ini betapa nona itu beberapa kali menarik napas panjang, tetapi dia sama sekali tidak tahu
betapa nona itu menatap wajahnya dan memandangnya penuh perhatian dan penuh selidik, mulai dari
kepala sampai ke pakaiannya yang kotor berlumpur serta sepatunya yang sudah bolong-bolong.
Helaan napas panjang itu terdengar menusuk perasaan Kun Hong. Seakan-akan nona ini berduka dan
kedukaan itu timbul karena dia, karena perbuatannya tanpa dia sadari tadi. Mengapa dia tadi begitu bodoh
sehingga tidak mendengar kedatangan Hui Siang, gadis galak itu? Kenapa dia begitu lemah, menurutkan
getaran hati sehingga dia berlaku seperti orang gila, menangis dan menciumi sapu tangan seorang nona
yang asing baginya?
Dengan hati berdebar dia merogoh saku, mengeluarkan sapu tangan sutera yang harum itu, lalu
melangkah setindak ke depan dan dengan tangan gemetar dia mengangsurkan sapu tangan itu kepada
pemiliknya sambil berkata lirih,
"Ini sapu tanganmu, Nona... maafkan aku... telah menimbulkan hal tidak enak bagimu..."
Hui Kauw menerima sapu tangan itu tanpa berkata apa-apa, menyimpannya dan kembali dia menghela
napas. Kemudian terdengar dia berkata, lirih dan seperti bicara kepada diri sendiri, "Malang tak boleh
ditolak, mujur tak boleh diraih. Hidup memang derita, banyak duka dari pada suka, sepanjang hidup pahit
dan hampa, manis suka hanya sekejap mata.”
Kun Hong tetap tunduk. Kerut merut di antara matanya amat dalam, membuat ia nampak lebih tua. Hatinya
seperti ditusuk-tusuk jarum rasanya. Dia seakan-akan dapat merasakan derita batin yang ditanggung nona
muda ini.
Semuda itu, sedemikian nelangsanya. Ingin dia menghibur, ingin dia menyanjung, namun tak kuasa
membuka mulut. Untuk menghalau tindihan berat pada perasaannya, Kun Hong mengeluarkan suara
keluhan dibarengi helaan napas berat dan panjang.
Agaknya suara ini menyadarkan Hui Kauw. "Sahabat buta, pulau ini adalah tempat yang terlarang bagi
orang luar untuk masuk tanpa seijin ibu. Kenapa kau masuk ke sini dan membuat keributan? Apa
kehendakmu sebetulnya?"
Kun Hong dapat menangkap perasaan di balik kata-kata ini yang merupakan teguran dan penyesalan
karena perbuatan itu hanya akan menimbulkan kesulitan bagi dirinya sendiri. Nona yang bersuara dan
berwatak bidadari ini tidak menaruh sesal bahwa perbuatannya itu akan menjerumuskan si nona dalam
kesulitan. Kembali dia menarik napas dan menjadi makin kagum.
"Sesungguhnya, tiada seujung rambut pun maksud hatiku membuat keonaran, Nona. Aku dan nona Loan
Ki berani mengunjungi pulau ini dengan maksud untuk minta maaf kepada penghuni Pulau Ching-coa-to ini
atas kelancangan dan kenakalan nona Loan Ki yang telah merampas makanan dan minuman. Siapa kira
perbuatan ini malah akan berakibat panjang..."
Dengan singkat dia lalu menuturkan tentang kenakalan Loan Ki mencuri makanan, juga penyerangan koki
dan jagal, lalu keputusan mereka untuk datang ke pulau minta maaf. Memang inilah sebetulnya isi hatinya
dan tentu saja dia tidak menceritakan maksud hati si nakal Loan Ki yang ingin melihat nenek koki itu
ditenggelamkan ke dalam air dan si jagal dipukuli kepalanya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar penuturan ini, Hui Kauw tersenyum, lalu menghela napas.
"Alangkah senangnya dapat hidup bebas merdeka seperti nona cilik itu! Juga alangkah gembiranya sekali
waktu dapat menurutkan dorongan darah muda yang selalu penuh oleh petualangan, dapat meliar dan
melakukan yang tidak berlebihan. Apamukah nona Loan Ki itu?"
"Bukan apa-apa, hanya bertemu di perjalanan. Kami baru sehari dua berkenalan, dan dia adalah seorang
gadis berjiwa pendekar."
"Ahh, baru bertemu sudah menaruh belas kasihan bagi seorang buta, suka mencarikan makanan walau
pun dengan jalan merampas. Ia seorang anak yang liar dan nakal, akan tetapi berdasarkan pribudi yang
mengandung welas asih. Ia tentu bukan orang jahat."
Kembali Kun Hong menjadi kagum mendengar ini. Bukan main! Suaranya sehalus suara bidadari, ucapanucapannya
bijaksana laksana seorang ahli filsafat. Rasa kekagumannya membuat dia lancang berkata,
"Kau bijaksana dan berbudi mulia, Nona. Alangkah jauh bedanya dengan adikmu, seperti bumi dan
langit..."
Hui Kauw tersenyum, ini dapat dirasai oleh Kun Hong, akan tetapi dia tidak dapat melihat betapa senyum
itu adalah senyum yang pahit. "Tentu saja jauh bedanya seperti bumi dan langit. Adikku Hui Siang adalah
seorang dara yang luar biasa cantik jelitanya, sedangkan aku... aku seorang buruk rupa..."
"Nona, meski pun aku seorang buta, kau tidak mungkin dapat mengelabui aku. Kau seribu kali lebih cantik
jelita dari pada adikmu..." Kembali ucapan ini terlontar keluar dari bibirnya tanpa pengendalian, akan tetapi
setelah sadar Kun Hong tidak menyesal karena memang ingin dia memuji nona ini.
"Pandangan seorang buta... ah, andai kata kedua matamu bisa melihat, mungkin berbeda ucapanmu...
ahhh, alangkah besar inginku melihat engkau tidak buta untuk sebentar saja sehingga aku dapat
mendengarkan pendapatmu lagi..." Nona itu menarik napas panjang lagi dan kali ini Kun Hong
mendengarkan penyesalan dan kekecewaan yang besar.
"Sahabat buta, siapakah namamu?"
"Aku Kwa Kun Hong, nama yang tidak ada artinya bagi seorang seperti Nona."
"Hemmm, kau pandai merendah. Kulihat tadi ilmu kepandaianmu amat tinggi, aku sendiri belum tentu
dapat melawanmu. Heran aku bagaimana seorang seperti kau ini bisa buta... dan adikku tadi bilang bahwa
ia melihat kau... eh, menangis dan menciumi sapu tanganku. Betulkah itu?"
Jantung Kun Hong berdebar. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak akan keberatan untuk berbohong
kalau saja itu tidak akan merugikan siapa pun juga. Akan tetapi kalau kali ini dia membohong, berarti dia
seolah-olah melontarkan fitnah kepada Hui Siang gadis galak itu. Dengan muka berubah merah dia
mengangguk tanpa menjawab. Hening lagi sejenak.
"Kalau begitu... ucapan adikku tadi benar semua, bahwa... bahwa kau mengatakan aku ini pacarmu?"
"Tidak...! Sungguh mati dan demi Tuhan tidak! Memang aku tadi lupa diri... dengarkanlah baik-baik Nona.
Tadi aku telah berada di sini ketika kau bercakap-cakap dengan ibumu, aku mendengarnya semua. Aku
mendengar pula kau berlatih ilmu pedang, dan aku juga mendengar kau bersajak. Aku kagum sekali, aku
kasihan kepadamu. Lalu kau pergi... dan seperti dalam mimpi aku melangkah ke sini, menemukan sapu
tangan itu di atas meja... dan aku... ahhh, mungkin aku sudah gila... aku teringat akan seorang yang telah
tiada di dunia ini, aku terharu... dan mungkin aku menangis sambil menciumi sapu tangan itu. Kau maafkan
aku, Nona, dan semoga Thian menghukumku kalau aku mengandung maksud tidak senonoh terhadap
dirimu, maafkan aku."
Hening lagi sejenak. "Lagi-lagi korban hidup, dalam hal ini agaknya... asmara yang telah menyeretmu. Kau
seorang terpelajar pandai yang berilmu tinggi, sampai menjadi begini tentu akibat penderitaan batin.
Hemmm, saudara Kwa, silahkan duduk."
"Terima kasih, Nona. Tak berani aku mengganggu lebih lama lagi dan kalau kau suka aku mohon
pertolonganmu supaya sahabatku Loan Ki itu dapat terbebas dari pada bahaya. Aku masih belum tahu
bagaimana keadaan dan nasibnya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itu terdengar suara gaduh dan banyak orang memasuki taman itu. Kun Hong memiringkan
kepala dan tahulah dia bahwa orang-orang yang memasuki taman kali ini bukanlah para pelayan,
melainkan orang-orang yang memiliki ilmu silat tinggi.
Tiba-tiba terdengar suara nyaring yang membuat Kun Hong menjadi kaget, girang dan juga heran karena
suara itu adalah suara Loan Ki yang datang-datang menegurnya,
"Heii, Hong-ko! Benarkah kata orang bahwa kau berpacaran dengan nona muka hitam ini? Kau benarbenar
mata keranjang tapi kali ini kau salah pilih!"
Terdengar suara ketawa geli menyambut teguran Loan Ki kini. Agaknya yang membuat orang tertawa
adalah sebutan mata keranjang, sebutan yang lucu dan aneh bagi seorang yang tidak bermata!
Akan tetapi Kun Hong sama sekali tidak memperhatikan atau mempedulikan ini karena hatinya diliputi
keheranan bagaimana Loan Ki bisa datang bersama-sama orang-orang itu dan siapa adanya mereka?
Tentu saja dia sama sekali tidak tahu bahwa kedatangan Loan Ki tidak sewajarnya karena gadis ini kedua
tangannya ditelikung ke belakang dan diikat dengan sehelai tali panjang yang dipegangi ujungnya oleh
seorang laki-laki tinggi besar muka hitam yang tertawa-tawa.
Pembaca tentu heran pula bagaimana Loan Ki si dara lincah itu bisa tiba-tiba muncul dan menjadi
tawanan? Baiklah kita mengikuti pengalamannya dan sebelum itu lebih baik kita berkenalan terlebih dahulu
dengan penghuni Pulau Ching-coa-to dan para tamunya yang sekarang menggiring Loan Ki memasuki
taman.
Pemilik Ching-coa-to adalah seorang wanita setengah tua yang terkenal dengan sebutan Ching-toanio.
Nama ini hanya sebutan saja, mungkin sengaja ia pakai untuk disesuaikan dengan nama pulaunya dan
memang nyonya ini selalu berpakaian hijau (ching).
Biar pun usianya sudah hampir lima puluh tahun, namun jelas kelihatan bahwa dahulunya Ching-toanio
adalah seorang wanita yang cantik manis. Memang demikianlah, dulu ketika ia masih bernama Liu Bwee
Lan, wajahnya cantik, bentuk tubuhnya menarik serta ilmu silatnya juga tinggi.
Sayang bahwa anak yang cantik dan sangat cerdik ini semenjak kecilnya tidak mendapat pendidikan yang
baik karena memang dia hidup di lingkungan keluarga penjahat. Ayah bundanya merupakan perampok
yang terkenal dan semenjak kecil sudah tertanam bibit kejahatan dalam batin Liu Bwee Lan.
Dua puluh tahun yang lalu, ketika dia berusia dua puluh tahun lebih dan sudah menjadi seorang nona
dewasa yang cantik dan garang, Liu Bwee Lan lalu berdikari dan menjadi perampok tunggal. Pada suatu
hari, seorang diri dia melakukan perampokan di kota raja, suatu perbuatan yang hanya dapat dilakukan
oleh seorang penjahat yang berkepandaian tinggi karena sangatlah berbahaya melakukan perampokan di
kota raja di mana banyak terdapat jagoan-jagoan pandai.
Liu Bwee Lan ini dengan nekat dapat merampok rumah gedung keluarga hartawan. Malah karena amat
tertarik melihat seorang anak kecil berusia kurang lebih satu tahun, dia lalu membawa atau menculik bayi
ini pula!
Akan tetapi hampir saja ia celaka ketika beberapa orang penjaga keamanan kota yang berilmu tinggi
mengejar dan mengepungnya. Baiknya pada saat itu muncul seorang tokoh kang-ouw yang namanya amat
terkenal, seorang tokoh muda yang berwajah tampan dan berwatak seperti iblis. Tokoh muda ini bukan lain
adalah Siauw-coa-ong Giam Kin! (baca Raja Pedang dan Rajawali Emas).
Karena dasar kedua orang muda ini memang sama, keduanya adalah golongan hitam, pertemuan yang
didahului dengan pertolongan Giam Kin yang menyelamatkan dirinya, disambung dengan jalinan cinta
kasih dan terjadilah hubungan gelap antara kedua orang ini. Giam Kin amat mencinta Liu Bwee Lan dan
begitu pula sebaliknya.
Meski Liu Bwee Lan sadar setelah terlambat bahwa ia hanya dijadikan barang permainan tokoh itu, namun
ia dengan cerdik mengeduk keuntungan sebanyaknya dari hubungannya dengan Giam Kin. Ia minta diberi
pelajaran silat dan mengeduk semua kepandaian suami tak sah ini, malah mewarisi pula ilmu memelihara
dan menguasai ular-ular berbisa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam kemanjaannya karena Giam Kin sedang tergila-gila padanya, Liu Bwee Lan malah berhasil dengan
permintaannya yang gila-gilaan, yaitu dia minta dibuatkan tempat tinggal dengan memiliki sebuah pulau
yang penuh rahasia dan penuh pula dengan ular-ular hijau berbisa!
Demikianlah, sampai Giam Kin menjadi seorang yang cacat, kemudian tewas di puncak Thai-san, Liu
Bwee Lan akhirnya menjadi pemilik Pulau Ching-coa-to. Semenjak menjadi pemilik pulau itu, wanita ini
berganti nama menjadi Ching-toanio. (baca Rajawali Emas)
Hubungannya Liu Bwee Lan dengan Giam Kin menghasilkan seorang anak perempuan. Dengan demikian
ia mempunyai dua orang anak perempuan, yang pertama adalah anak yang ia culik dari rumah keluarga
hartawan di kota raja dan yang ia beri nama Hui Kauw, sedangkan anaknya sendiri ia beri nama Hui Siang.
Untuk nama keturunan, ia memakai she Giam untuk kedua anaknya itu.
Orang berwatak seperti Ching-toanio ini tentu saja kasih sayangnya yang sesungguhnya hanya terjatuh
pada anak kandungnya, Hui Siang. Ada pun kasih sayangnya kepada Hui Kauw hanya pulasan atau palsu
belaka dan seberapa dapat dia akan mempergunakan anak pungut ini demi keuntungan diri sendiri.
Malah ketika Hui Kauw baru belasan tahun usianya dan Giam Kin belum tewas, ia selalu dikejar-kejar dan
diancam oleh kekejian Giam Kin yang hendak menjadikan anak pungut yang amat cantik jelita ini menjadi
korban keganasannya. Baiknya ada Ching-toanio yang karena cemburu, selalu menghalangi maksud ini.
Malah kemudian karena dorongan iri hati terhadap kecantikan anak pungut yang melebihi anak sendiri,
atau mungkin juga karena cemburu melihat suami tidak sah itu tergila-gila, Ching-toanio melakukan
perbuatan yang amat keji, yaitu malam-malam ia menggunakan bedak berbisa melabur muka Hui Kauw
yang sudah dipulaskan dengan obat tidur. Dapat dibayangkan betapa hancur hati gadis cilik itu ketika pada
keesokan harinya, pada waktu bangun tidur, ia merasa mukanya sakit-sakit, gatal-gatal dan perih dan
kemudian setelah sembuh, muka yang semula putih kemerahan dan halus seperti sutera itu telah berubah
menjadi hitam seperti pantat kuali!
Dalam hal ilmu silat, Ching-toanio menurunkan kepandaiannya kepada dua orang anak perempuan itu
tanpa ada perbedaan, karena memang ia ingin melihat Hui Kauw menjadi pandai pula agar dapat
dipergunakan tenaganya. Dan memang tidak aneh bila Hui Kauw menjadi lebih maju dalam segala macam
kepandaian jika dibandingkan dengan Hui Siang karena otaknya memang lebih cerdik.
Karena tekunnya Ching-toanio mengajar, kepandaian dua orang gadis itu selisihnya tidak banyak dengan
si ibu sendiri. Akan tetapi, tentu saja di luar dugaan Hui Siang dan ibunya bahwa secara rahasia, Hui Kauw
telah mempelajari ilmu silat sakti yang ia dapat baca dari sebuah kitab kuno, kitab yang dia temukan di
antara kitab-kitab hasil rampasan ibunya dahulu ketika menjadi perampok ganas.
Ibunya sendiri tidak suka akan bacaan, malah tidak mempelajari kesusasteraan sampai mendalam.
Berbeda dengan Hui Kauw yang mempelajari dengan amat tekun, malah pada waktu kecil ia merengekrengek
minta kepada ibunya untuk mendatangkan guru sastera yang pandai dan hal ini pun dipenuhi oleh
ibunya yang memaksa datang seorang guru sastera terkenal untuk melatih sastera kepada Hui Kauw.
Inilah keuntungan Hui Kauw dan agaknya karena gadis ini pun merasa betapa ia dibedakan, diam-diam ia
merahasiakan ilmu silat sakti yang ia pelajari secara diam-diam dari kitab kuno itu.
Demikianlah sedikit keterangan tentang keadaan para penghuni pulau Ching-coa-to, yaitu Ching-toanio dan
dua orang gadisnya. Tentu saja di samping tiga orang majikan ini, di situ terdapat banyak pembantu dan
pelayan, karena Ching-toanio memiliki harta benda yang amat banyak, simpanan dari hasil rampokan
dahulu ditambah pemberian Giam Kin ketika masih tergila-gila kepadanya.
Sekarang kita ikuti pengalaman Loan Ki. Seperti telah kita ketahui di bagian depan, gadis lincah ini
terjerumus ke dalam jurang pada saat ia sedang mencari jalan menuruni lembah curam dan pinggir jurang
yang diinjaknya longsor.
Tanah longsor ini bukan merupakan hal kebetulan. Memang semua tempat di dalam pulau itu sudah
dipasangi alat-alat jebakan dan rahasia sehingga tempat ini merupakan daerah yang sukar dan berbahaya
bagi orang-orang luar yang berniat akan mengganggu. Tempat ini merupakan hasil dari pada pemikiran
orang-orang luar biasa, yaitu Giam Kin sendiri, Ching-toanio serta dibantu oleh orang-orang pandai seperti
guru Giam Kin yang berjuluk Siauw-ong-kwi, Pak-thian Lo-cu dan lain-lain.
dunia-kangouw.blogspot.com
Loan Ki menjerit minta tolong ketika tiba-tiba tanah yang diinjaknya runtuh dan tubuhnya melayang amat
cepat ke bawah. Ia berusaha menggunakan ginkang-nya untuk mengatur tubuh dan tangannya meraih ke
sana ke mari, namun percuma. Batu atau tanaman yang dapat dicengkeramnya terlepas dari dinding
karang sehingga tubuhnya terus melayang ke bawah dengan amat cepatnya!
"Byurrr!" Air muncrat tinggi ketika tubuh gadis itu menimpa permukaan air yang membiru saking dalamnya.
Untuk sedetik Loan Ki gelagapan, kepalanya masih merasa pening karena kejatuhannya dari tempat
sedemikian tingginya ditambah kengerian hati karena tidak mengira bahwa di bawahnya adalah air. Andai
kata ia tahu bahwa ia akan terjatuh ke dalam air, kiranya ia takkan gelisah tadi ketika jatuh. Air merupakan
tempat ia berkecimpung semenjak kecil.
Ayahnya tinggal di pantai dan laut adalah tempat ia bermain, ombak merupakan kawan ia bermain-main.
Begitu tubuhnya tenggelam saking kerasnya ia jatuh dan ia menutup mulut serta hidungnya, kesadaran
segera kembali ke dalam pikiran Loan Ki. Cepat tangan dan kakinya bergerak secara otomatis dan
tubuhnya yang ramping itu meluncur naik seperti seekor ikan hiu.
Akan tetapi begitu kepalanya muncul di permukaan air, Loan Ki melihat ada enam orang laki-laki di tepi air,
dipimpin oleh seorang nenek yang ia kenal sebagai koki yang kemarin menyerangnya! Nenek itu tadinya
memandang dengan mata terbelalak, agaknya terkejut dan heran luar biasa betapa ada seorang manusia
jatuh dari angkasa, akan tetapi segera tersenyum lebar ketika mengenal muka Loan Ki.
Ia menudingkan telunjuknya dan berteriak kepada orang-orang yang berada di situ, "Nah, itu dia iblis betina
yang kita cari-cari! Heh-heh-heh, mencari ganti ikan untuk siocia, kini mendapat ganti begini besarnya.
Heh-heh, lucu... lucu... tangkap ia dan sebelum diseret ke depan toanio, biar ia merasakan beberapa
pukulan tanganku di tubuh belakangnya biar kapok anak setan ini!"
Loan Ki melihat enam orang laki-laki seperti berlomba melempar diri ke dalam air, sinar mata mereka
kurang ajar. Agaknya perintah itu sangat menyenangkan hati mereka dan setelah tiba di air, mereka
berenang cepat-cepat ke arahnya sambil tertawa-tawa. Tadi Loan Ki sengaja beraksi seperti tidak pandai
berenang, malah sekarang ia sengaja seperti orang ketakutan dan tenggelam perlahan-lahan.
"Heiii, tunggu, aku akan menolongmu, Nona manis!" teriak seorang lelaki yang berenang cepat sekali.
"Sam-ko, biarkan aku yang pondong dia!" orang ke dua memburu sambil tertawa-tawa.
"Hayo, kita berlomba, siapa yang dapat menjamahnya lebih dahulu dialah yang berhak mendapat upah,
memondongnya ke tepi!" kata orang yang ke tiga dan ramailah mereka berlomba dan mulai menyelam.
Akan tetapi sama sekali tidak pernah mereka membayangkan bahwa kali ini benar-benar mereka akan
menghadapi seorang ‘iblis air’. Begitu mereka menyelam dan meluncur ke sana ke mari untuk menangkap
gadis yang ‘tenggelam’ tadi, tiba-tiba saja di depan mata mereka meluncur bayangan seperti ikan hiu,
demikian cepatnya bayangan ini meluncur lewat.
Kagetlah mereka, mengira bahwa ada ikan besar yang sangat berbahaya. Mereka mulai hendak timbul
kembali ke permukaan air, menjauhi bahaya pada waktu ‘ikan besar’ itu menyerang mereka.
Jika saja peristiwa itu terjadi di darat, tentu akan terdengar ribut-ribut mereka mengaduh-aduh. Akan tetapi
karena terjadinya di dalam air, hanya si nenek koki itu saja yang melihat betapa permukaan air
bergelombang seakan-akan di bawahnya terjadi pergumulan hebat.
Tak lama kemudian, tampaklah kepala enam orang pembantunya tersembul ke luar, lalu berenang ke
pinggir secepat mungkin sambil berteriak-teriak kesakitan. Nenek itu sibuk membantu mereka, menyeret
mereka yang datang lebih dulu ke darat karena mereka sendiri agaknya sudah tidak kuat untuk naik
sendiri.
Bukan main keheranan nenek itu ketika melihat betapa setiap orang pembantunya tentu patah tulang
lengan, pundak, atau kakinya dan bermacam-macam ikan menggigit mereka. Ada yang digigit udang besar
telinganya, ada yang pantatnya dicapit kepiting besar yang masih bergantungan, ada yang pahanya
ditusuk ikan cucut, malah seorang di antara mereka hidungnya masih dicapit seekor udang yang
macamnya menakutkan!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Eh-ehh-ehhh, kalian ini kenapakah? Kenapa begini...?"
"Celaka... anak iblis itu... agaknya ia anak siluman telaga... ikan-ikan mengeroyok kami... waduh, celaka...!"
seorang di antara mereka menyumpah-nyumpah sambil melepaskan kepiting yang mencapit pantatnya lalu
dibanting sampai hancur berkeping-keping.
Nenek itu marah-marah kepada para pembantunya, memaki-maki mereka penakut, tolol, goblok dan lainlain,
lalu menyumpah-nyumpah. Pada saat itu, tanpa di ketahui, di tepi telaga muncul kepala Loan Ki dan
tangan gadis itu bergerak cepat sekali. Sebuah benda melayang dan tepat sekali menghantam muka
nenek itu.
Merasa ada sesuatu memasuki mulutnya yang sedang memaki, nenek itu cepat menutup mulut
menggunakan gigi menggigit. Bau amis memuakkannya dan cepat ia membetot ke luar benda yang lunaklunak
alot dari dalam mulutnya. Apakah benda itu? Kiranya seekor haisom (lintah laut) yang masih hidup,
sebesar lengan tangan, menggeliat-geliat kehitam-hitaman. Nenek itu mengeluarkan keluhan panjang dan
terguling roboh, pingsan saking ngeri dari jijiknya!
Sudah tentu saja semua itu adalah perbuatan Loan Ki dan sekarang gadis yang nakal ini telah mendarat
agak jauh dari tempat itu. Pakaiannya basah kuyup, tetapi dia selamat, tidak terluka dan buntalan pakaian
berikut mahkota kuno itu masih berada padanya.
Sambil memeras pakaian serta rambutnya, dia mengenangkan semua kejadian tadi dan tertawa-tawa
seorang diri dengan hati puas. Kalau saja ia tidak ingat kepada Kun Hong sahabat baru buta yang anti
pembunuhan, agaknya tadi ia akan membunuh semua orang itu. Entah bagaimana, ketika mempermainkan
enam orang laki-laki di dalam air tadi, ia teringat kepada Kun Hong dan tidak berani melakukan
pembunuhan, takut kalau kelak ditegur oleh pemuda buta itu!
Hatinya girang bukan main karena sekarang dia sudah sampai di tepi telaga. Kalau ada perahu, ia akan
dapat menyeberang ke darat. Tetapi, bagaimana ia dapat meninggalkan Kun Hong begitu saja? Orang
buta itu datang ke pulau ini atas desakannya dan sekarang ia tidak tahu di mana adanya Kun Hong. Aku
harus mencari dia dan mengajaknya ke luar dari tempat berbahaya ini, pikirnya!
Ia mendongak memandang tebing yang tinggi, akan tetapi tak melihat bayangan pemuda buta itu. Di
depannya adalah sebuah hutan yang penuh dengan pohon-pohon buah. Amat girang hatinya melihat
beberapa pohon penuh dengan buah yang sudah matang. Segera ia meloncat memetik buah lalu makan
sekenyangnya sambil duduk di atas cabang pohon yang tinggi.
Tiba-tiba telinganya mendengar suara terbawa angin. Cepat ia menengok dan dilihatnya dua orang laki-laki
berjalan sambil bercakap-cakap. Mereka berjalan di belakang seorang wanita berpakaian pelayan yang
agaknya menjadi petunjuk jalan.
Seorang di antara mereka adalah seorang kakek tinggi besar yang berpakaian pendeta berwarna kuning
dan kepalanya gundul, membawa sebatang tongkat hwesio yang berat. Orang ke dua adalah seorang lakilaki
berusia tiga puluhan tahun, bertubuh kekar tinggi besar bermuka kehitaman bermata lebar. Pakaiannya
mewah sekali dan di pinggangnya tergantung sebatang pedang panjang dengan sarung pedang terukir
indah. Gerak-gerik dua orang ini jelas membayangkan kekuatan besar dan berkepandaian tinggi.
Akan tetapi Loan Ki tidak gentar. Malah gadis ini menjadi girang sekali. Ia maklum bahwa pulau ini
mengandung banyak rahasia, sulit baginya untuk dapat mencari Kun Hong. Akan tetapi dengan adanya
tiga orang di depan itu, ia akan dapat mengikuti mereka memasuki pulau tanpa khawatir akan terjebak
dalam perangkap.
Cepat ia merosot turun, hati-hati dan tidak menimbulkan suara karena ia pun tahu bahwa dua orang lakilaki
itu sama sekali tidak boleh dipandang ringan, lalu menyelinap di antara pepohonan mengikuti ketiga
orang itu dengan hati-hati. Karena ia tidak berani mengikuti dari jarak dekat, ia tak dapat mendengar jelas
apa isi percakapan dua orang itu.
Dengan melalui jalan yang berbelit-belit dan yang tidak mungkin akan dapat ditemukan sendiri oleh Loan
Ki, orang-orang itu akhirnya memasuki sebuah bangunan kecil yang bentuknya mungil dan bercat merah
seluruhnya. Pelayan yang menjadi petunjuk jalan itu dengan senyum ramah mempersilakan dua orang ini
memasuki bangunan itu dan mereka bertiga menghilang di balik pintu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Loan Ki menanti sampai beberapa lama. Setelah mendapat kenyataan bahwa keadaan di situ sunyi dan
tidak ada orang yang keluar dari rumah itu, tidak ada pula tampak penjaga, ia lalu berindap-indap
mendekati bangunan, mengambil jalan memutar dan akhirnya ia bisa bersembunyi di balik jendela dan
dapat mengintai serta mendengarkan percakapan di dalam.
Kiranya bangunan itu hanya mempunyai sebuah ruangan saja yang bentuknya bundar, ruangan yang
bersih dihias kembang-kembang yang hidup dan sengaja ditanam di sana. Sedikitnya ada lima belas kursi
yang terukir indah dipasang mengitari sebuah meja yang besar serta berukir dan pula, disulami sutera tebal
berwarna kuning emas. Pada dinding ruangan itu terhias lukisan-lukisan kuno yang amat mahal dan indah
serta tulisan-tulisan bermacam gaya, kesemuanya membayangkan kemewahan tempat kediaman orang
kaya.
Akan tetapi semua kemewahan itu sama sekali tidak menarik perhatian Loan Ki. Tempat tinggal ayahnya
pun tak kalah mewahnya dengan tempat ini. Yang menarik perhatiannya adalah orang-orang yang duduk di
situ. Ia melihat betapa di samping dua laki-laki yang baru datang ini, di situ sudah duduk empat orang.
Seorang di antaranya adalah laki-laki berusia empat puluh tahunan. Tubuhnya kecil kurus seperti cecak
kering, kumisnya seperti kumis tikus dan kopiahnya menunjukkan bahwa dia adalah seorang Bangsa
Mancu.
Yang tiga orang adalah wanita-wanita yang berpakaian serba merah berkembang dengan perawakan yang
ramping menarik. Kulitnya kehitaman namun manis, berusia kurang lebih tiga puluh tahun. Dari senyum
dan lirikan mata mereka pada saat menyambut kedatangan dua orang ini, mudah diduga bahwa mereka
adalah golongan orang-orang ‘besar’ dalam arti kata berpengaruh di dunia kang-ouw sehingga sikap
mereka tidak malu-malu, malah membayangkan sifat sombong.
Berbeda dengan sikap tiga orang wanita yang dengan tenang tersenyum-senyum duduk di tempatnya ini,
si kurus berkumis tikus cepat-cepat bangkit berdiri serta membungkuk menyambut kedatangan hwesio tua
dan pemuda tinggi besar tadi.
"Selamat datang... selamat datang... Tai-hoatsu (guru besar) dan Pangeran Sublai!" Dia menjura dengan
sikap menghormat.
"Oho, kiranya saudara Bouw Si Ma sudah hadir pula di sini. Bagus!" hwesio itu tertawa bergelak dan
dinding ruangan seakan-akan tergetar oleh suara ketawanya.
Laki-laki tinggi besar muka hitam itu rnemandang tajam, membalas penghormatan Bouw Si Ma sambil
berkata, suaranya tenang dan sikapnya dingin, "Saudara Bouw Si Ma, aku adalah Souw Bu Lai, harap kau
orang tua tidak berkelakar tentang pangeran segala."
Bouw Si Ma tersenyum lebar, mengangguk-angguk lalu berkata, "Orang sendiri... orang sendiri... di antara
orang sendiri, mana perlu sungkan-sungkan? Mari kuperkenalkan..."
Akan tetapi hwesio tua itu segera memotong dengan gerakan tangan yang menyatakan ketidak sabaran
hatinya.
"Bouw-sicu, pinceng (aku) datang ke sini atas undangan majikan Ching-coa-to. Mengapa sekarang Chingtoanio
tidak kelihatan mata hidungnya malah mengajukan orang-orang lain untuk menyambut pinceng?
Apa artinya penghormatan seperti ini?"
Jelas bahwa biar pun dia seorang pendeta, namun sikapnya sombong sekali dan dia tidak memandang
sebelah mata kepada orang lain. Terang terhadap Bouw Si Ma tidak, juga terhadap tiga orang wanita baju
merah berkembang itu pun tidak. Sebagai seorang tokoh besar yang diundang oleh Ching-toanio untuk
membicarakan urusan rahasia yang sangat besar, agaknya dia merasa kecewa sekali tahu-tahu kini di
tempat itu dia bertemu dengan orang-orang asing.
Kalau Ching-toanio membawa-bawa orang seperti Bouw Si Ma masih mending karena dia mengetahui
orang macam apa adanya Si Mancu murid Pak-thian Lo-cu ini. Akan tetapi tiga orang wanita ini, yang
sikapnya sombong dan juga mudah diduga bahwa mereka itu orang-orang undangan atau tamu, benarbenar
membuat hwesio itu merasa tak senang hatinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga orang wanita itu tersenyum lebar dan saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang
mempunyai tahi lalat di ujung hidungnya, orang yang tertua, berkata,
“Taisu tentulah Ka Chong Hoatsu dan tuan muda itu tentu Pangeran Souw Bu Lai seperti tadi telah diberi
tahukan kepada kami oleh Bouw Si Ma-enghiong. Jiwi adalah orang-orang besar dan ternama, mana bisa
disamakan dengan kami ketiga enci adik yang tidak ada kepandaian, juga tidak ada kedudukan? Akan
tetapi, betapa rendah pun, kami adalah undangan dari Ching-toanio, maka berhak berada di sini. Kurasa
yang tidak berhak hadir adalah yang tidak diundang, bukankah begitu anggapanmu, Taisu? Hemm, dia
itulah yang tidak diundang, maka wajib disingkirkan."
Loan Ki kaget bukan main ketika tiba-tiba ada angin berbunyi sampai berciutan di dalam ruangan itu. Ia
tadinya menyangka bahwa yang dimaksudkan dengan ‘tamu tak diundang’ oleh wanita itu tentulah ia dan
ia sudah siap menghadapi serangan. Akan tetapi serangan yang dilakukan oleh wanita itu benar-benar
membuat sepasang matanya terbelalak heran dan hatinya berdebar-debar.
Ia tidak tahu pukulan apakah itu, yang dilihatnya hanya lengan tangan wanita itu bergerak ke depan
dengan telunjuk menuding, kemudian terdengar angin kecil kuat menyambar ke depan, mengeluarkan
bunyi mengerikan. Loan Ki lega hatinya ketika mendapat kenyataan bahwa bukan dia yang diserang,
melainkan seekor cecak yang tadinya merayap di atas jendela.
Ketika ia memandang lebih teliti ke arah cecak itu, ia bergidik. Cecak itu masih berada di tempat semula,
akan tetapi sudah tidak bergerak lagi dan dua titik darah menetes dari perutnya!
"Omitohud...! Bukankah itu ilmu yang disebut Hui-seng Kiam-sut (Ilmu Pedang Bintang Terbang)?"
Kemudian hwesio tua itu berpaling kepada Souw Bu Lai, pangeran yang sudah menjadi muridnya sambil
berkata, "Ilmu pedang ini datangnya dari seorang hoan-ceng (pendeta asing) di Thian-tiok (India). Ilmu
pedang yang dicampur dengan Hoatsut (ilmu sihir), amat berbahaya dan jika tingkatnya sudah tinggi, hawa
pukulannya sudah dapat dipakai untuk merobohkan lawan tanpa perlu menggunakan pedang sekali pun.
Melihat toanio ini dapat menggunakan hawa pukulan tanpa pedang, sungguh-sungguh mengagumkan dan
sudah sepantasnya kalau mereka bertiga juga turut diundang oleh Ching-toanio. Aha, siapa kira orangorang
muda kini mendapat kemajuan begini hebat? Pinceng orang tua benar-benar sudah pikun, tidak
sadar bahwa dunia ini semakin lama tentu akan dikuasai oleh yang muda-muda... ha-ha-ha-ha!"
Melihat perubahan sikap ini, Bouw Si Ma girang sekali. Dia lalu berkata sambil tersenyum, "Benar pendapat
Taisu. Sam-wi Lihiap ini bukan lain adalah Ang Hwa Sam-cimoi (Tiga Enci Adik Bunga Merah)."
"Benarkah? Oho, pinceng girang sekali. Pernah mendengar bahwa Ang Hwa Sam-cimoi adalah sumoi
(adik seperguruan) dari Hek-hwa Kui-bo yang pinceng kenal baik. Sayang Hek-hwa Kui-bo telah terbang
terlampau tinggi sehingga tersandung puncak Thai-san dan roboh."
Orang tertua dari Ang Hwa Sam-cimoi mengerutkan keningnya. "Suatu saat kami bertiga yang bodoh
hendak berusaha menggugurkan puncak Thai-san yang sudah merobohkan mendiang Hek-hwa suci
(kakak seperguruan)."
Ka Chong Hoatsu, hwesio itu, hanya terbahak-bahak lalu bersama muridnya mengambil tempat duduk. Di
luar jendela, Loan Ki memandang serta mendengar semua ini dengan hati berdebar.
Setelah mereka duduk, dia memandang penuh perhatian pada enam orang itu yang mulai minum-minum,
dengan dilayani oleh pelayan-pelayan yang muda-muda dan cantik-cantik serta berpakaian sutera seragam
berwarna indah. Dia tahu bahwa di dalam ruangan itu terdapat orang-orang lihai dan makin khawatirlah dia
karena sekarang makin sulit baginya untuk dapat mencari Kun Hong dan bersama pemuda buta itu pergi
meninggalkan pulau berbahaya ini.
Kekhawatiran Loan Ki memang beralasan sekali. Enam orang itu memang merupakan tokoh-tokoh besar
yang sangat tinggi ilmu kepandaiannya. Bouw Si Ma orang Mancu itu bukanlah orang sembarangan karena
dia adalah murid dari tokoh nomor satu di utara, yaitu Pak-thian Lo-cu yang juga menemui kematiannya di
puncak Thai-san (baca Rajawali Emas).
Seperti Ang Hwa Sam-cimoi yang mendendam atas kematian suci mereka, juga Bouw Si Ma ini menaruh
dendam terhadap Thai-san-pai atas kematian gurunya. Sebagai murid Pak-thian Lo-cu, tentu saja dia
mengenal Giam Kin yang menjadi murid Siauw-ong-kwi karena Siauw-ong-kwi adalah sute (adik
dunia-kangouw.blogspot.com
seperguruan) Pak-thian Lo-cu sehingga antara Bouw Si Ma dan Giam Kin terhitung saudara seperguruan
pula.
Sebagai saudara tingkat tua di dalam perguruan, tentu saja Bouw Si Ma mengenal pula Ching-toanio dan
sering kali mengunjungi pulau ini, apa lagi semenjak Giam Kin tewas di puncak Thai-san. Dalam banyak
hal terdapat persesuaian faham antara Bouw Si Ma dan Ching-toanio. Mereka sama-sama menaruh
dendam terhadap Thai-san-pai, dan keduanya adalah orang-orang yang memiliki ambisi yang tinggi maka
sering kali mereka mengincar kedudukan di kota raja semenjak terjadinya kerusuhan dan perebutan
kekuasaan setelah kaisar pertama dari Ahala Beng meninggal dunia.
Tiga orang wanita itu, Ang Hwa Sam-cimoi, juga merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian
luar biasa. Mereka ini tergolong tokoh-tokoh dari ilmu golongan hitam dan selama belasan tahun mereka
merantau ke See-thian (dunia barat) sehingga mereka tidak tahu akan nasib suci mereka yaitu Hek-hwa
Kui-bo yang tewas pula di Thai-san.
Kini ketiga orang enci adik ini pulang dari See-thian dengan kulit agak kehitaman. Akan tetapi selain
mereka pelajari ilmu kepandaian yang hebat, seperti juga halnya Hek-hwa Kui-bo, tiga orang wanita yang
usianya sudah mendekati lima puluhan tahun ini masih nampak cantik manis dan muda-muda tidak lebih
dari tiga puluh tahun!
Setelah merantau ke See-thian dan bertemu dengan guru mereka, yaitu seorang pendeta di Thian-tiok
yang bertapa di Pegunungan Himalaya, kini kepandaian Ang Hwa Sam-cimoi meningkat hebat sehingga
melampaui tingkat kepandaian Hek-hwa Kui-bo sendiri. Mereka she Ngo dan nama mereka adalah Kui
Ciau, Kui Biau, dan Kui Sian.
Bouw Si Ma yang mewakili Ching-toa-nio dalam hal mencari orang pandai untuk sekutu, dengan amat
cerdiknya segera menggandeng tiga orang enci adik ini. Apa lagi mengingat bahwa mereka bertiga juga
memiliki dendam yang sama di Thai-san atas kematian kakak seperguruan mereka.
Tentang kelihaian tiga orang wanita ini, tadi baru saja didemonstrasikan ilmu pukulan yang amat hebat.
Ilmu ini merupakan inti dari pada Ilmu Pedang Hwa-seng Kiam-sut, yang telah sedemikian tinggi tingkatnya
sehingga dengan kekuatan Hoatsut, hawa pukulannya saja sudah sama bahayanya dengan sambaran
pedang.
Orang berusia tiga puluhan tahun yang disebut pangeran itu sebetulnya memang masih keturunan
Pangeran Mongol. Di dalam cerita Raja Pedang terdapat seorang Pangeran Mongol bernama Souw Kian
Bu yang tampan dan cabul, mengandalkan kekuasaan dan kepandaian melakukan pelbagai kejahatan.
Pangeran Mongol yang kini berada di ruangan itu adalah seorang keturunan dari Pangeran Souw Kian Bu
ini.
Ia bernama Sublai dalam Bahasa Mongol, dan dalam dunia kang-ouw dia menggunakan nama Han dan
disebut Souw Bu Lai. Kepandaiannya juga tinggi, malah lebih tinggi kalau dibandingkan dengan orangorang
Mongol kebanyakan, karena gurunya merupakan tokoh Mongol nomor satu.
Sebagai orang yang bercita-cita tinggi untuk memulihkan kembali kekuasaan bangsanya atas daratan
Tiongkok, Souw Bu Lai tekun mempelajari segala ilmu silat sehingga dia sekarang menjadi seorang yang
luas pengalamannya dalam ilmu silat, pandai memainkan delapan belas macam senjata, pandai pula
menunggang kuda melepaskan anak panah dan senjata-senjata rahasia, sedangkan tenaganya pun besar.
Pendeta tinggi besar itulah guru Souw Bu Lai, berjuluk Ka Chong Hoatsu, yaitu seorang pendeta Buddha
yang pernah merantau ke Thian-tiok dan malah pernah menerima hadiah tongkat kependetaannya di Tibet.
Sayang seribu kali sayang bahwa Ka Chong Hoatsu yang puluhan tahun mempelajari ilmu dan agama,
ternyata mengandung cita-cita duniawi yang membikin kotor semua usaha.
Dulu dia bercita-cita menjadi orang yang tertinggi kedudukannya di samping kaisar melalui keagamaan.
Sekarang melihat betapa Kerajaan Mongol sudah jatuh, dia lalu bercita-cita untuk membangunnya kembali
bersama Pangeran Souw Bu Lai yang menjadi muridnya.
Sering kali dia bermimpi betapa akan tinggi kedudukannya di dunia ini kalau muridnya itu menjadi kaisar.
Tentu dia akan menjadi guru besar negara dan mempunyai kekuasaan yang malah melebihi kaisar sendiri!
dunia-kangouw.blogspot.com
Pendeta ini mempunyai kepandaian yang hebat, kiranya tidak akan kalah tinggi dari pada tingkat si empat
besar yang dulu ditonjolkan di dunia kangouw, yaitu Song-bun-kwi Kwee Lun si tokoh barat, Tai-lek-sin Swi
Lek Hosiang si tokoh timur, Siauw-ong-kwi si tokoh utara, dan Hek-hwa Kui-bo si tokoh selatan. Tongkat
pendeta di tangannya itulah yang merupakan senjata utamanya, ampuhnya bukan kepalang, sukar
ditandingi karena selain terbuat dari pada baja pilihan di Himalaya, juga amat berat tapi kalau dia yang
mainkan seakan-akan bulu ringannya, maka dapat bergerak cepat sekali!
Pokoknya, enam orang yang tengah berkumpul di pulau Ching-coa-to itu telah mempunyai kepentingan
bersama, termasuk Ching-toanio sendiri, yaitu berusaha membalas dendam kepada Thai-san-pai dan
usaha untuk membangun kembali Kerajaan Mongol yang sudah runtuh.
Setelah beberapa lama enam orang itu makan minum di ruangan itu sambil menunggu datangnya Chingtoanio
yang sudah diberi tahu oleh salah seorang pelayan, muncullah Ching-toanio dari pintu depan. Begitu
masuk wanita berpakaian hijau ini segera menjura dengan hormat sekali sambil berkata,
"Harap cu-wi (anda sekalian) sudi memaafkan atas kelambatanku menyambut cu-wi. Ada sedikit gangguan
di pulau ini. Dua orang yang belum diketahui betul maksudnya sudah mencuri masuk dan membikin kacau
anak buahku. Mereka adalah seorang laki-laki dan seorang gadis muda, dan aku amat khawatir kalaukalau
mereka itu adalah mata-mata pihak musuh yang menaruh curiga kepada kita."
Mendengar ucapan nyonya rumah ini, otomatis keenam orang itu mengerling ke sana ke mari dengan
pandang mata penuh selidik.
"He-he-he, gadis cilik berpakaian basah?" tiba-tiba Ka Chong Hoatsu berkata.
"Iblis betina berambut kusut?" kata pula Ngo Kui Biau sambil tersenyum mengejek.
Sebelum yang lainnya tahu apa yang mereka maksudkan itu, tiba-tiba Ka Chong Hoatsu mendorongkan
tangan kanan ke arah jendela diikuti gerakan Ngo Kui Biau yang mencelat ke arah jendela pula.
"Brakkkkk!"
Angin dorongan tangan hwesio itu membuat daun jendela menjadi pecah dan di lain saat Ngo Kui Biau
sudah meloncat masuk kembali sambil melemparkan tubuh seorang gadis yang pakaiannya basah dan
rambutnya kusut, bukan lain orang adalah Loan Ki!
Gadis ini berjungkir balik dengan gerakan indah sehingga tubuhnya tidak terbanting di atas lantai, lalu
berdiri tegak memandang penuh ketabahan, sungguh pun kedua matanya masih terbalalak lebar saking
heran dan kagetnya. Tadi ia mendengar pula ucapan dua orang itu dan tiba-tiba ada angin besar
menyambar ke arah jendela.
Cepat ia merendahkan diri untuk mengelak, akan tetapi angin pukulan itu membuat daun jendela pecah
dan tiba-tiba saja ada berkelebat bayangan merah menyambarnya. Loan Ki berusaha mengelak, akan
tetapi gerakan bayangan itu bukan main cepatnya sehingga tahu-tahu tengkuknya telah ditangkap
kemudian ia merasa tubuhnya melayang ke dalam ruangan! Dari dua kejadian itu saja sudah dapat
dibayangkan betapa lihainya orang-orang di dalam ruangan itu.
Loan Ki maklum bahwa tak mungkin ia dapat menang menghadapi tujuh orang kosen ini. Akan tetapi dia
tidak memperlihatkan muka takut, malah tersenyum-senyum kecil dengan mata bermain, menatap wajah
mereka seorang demi seorang dengan nakal.
"Bocah liar, siapa yang suruh kau memata-matai pulau kami?!" Ching-toanio menghardik, suaranya penuh
ancaman.
Loan Ki mengerling kepada nyonya baju hijau itu dan tersenyum. "Aku bukan mata-mata. Aku sengaja
datang ke Ching-coa-to untuk bertemu dengan pemiliknya, tidak punya niat buruk. Yang mana di antara
kalian pemilik pulau ini?"
Pertanyaan itu dia ajukan dengan suara ringan dan wajar, membuat Ka Chong Hoatsu terkekeh kagum.
Bukan main bocah ini, pikir pendeta itu, masuk ke sarang harimau goa naga masih saja begitu tenang dan
berani. Dari sikap ini saja dia dapat menduga bahwa tentu gadis ini puteri seorang tokoh besar atau
setidaknya murid orang pandai.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Akulah pemilik pulau ini. Kau mau apa?!" Ching-toanio membentak.
"Wah, tentu kau yang disebut toanio. Kau cantik, Toanio, tetapi galak. Pantas saja semua orang-orangmu
takut setengah mampus kepadamu. Dengar, Toanio. Aku datang bersama seorang temanku perlu bertemu
denganmu untuk minta maaf karena kelaparan aku telah merampas makanan dan minuman dari tangan
orang-orangmu. Nah, sudah kulaksanakan desakan temanku yang buta itu. Ada pun aku sendiri ingin
sekali melihat kau memaksa kokimu menyelam untuk mencari ikan yang kurampas dan melihat kau
memukuli kepala jagalmu. Hi-hik!"
Tiga orang laki-laki yang berada di sana tersenyum, bahkan Ka Chong Hoatsu tertawa bergelak. Akan
tetapi Ang Hwa Sam-cimoi yang merasa bahwa kedatangan gadis lincah dan cantik ini telah menyuramkan
‘sinar’ mereka, memandang acuh tak acuh, sedangkan Ching-toanio marah sekali.
"Budak! Kau berani kurang ajar di hadapan nyonya besarmu, apakah kau sudah bosan hidup?" teriak
Ching-toanio.
Bagaikan seekor harimau nyonya ini menerjang maju, menggunakan kedua tangan untuk mencengkeram
muka dan memukul ulu hati. Serangan ini hebat bukan main, langsung mendatangkan sambaran angin
yang dari jauh sudah terasa oleh Loan Ki.
Hampir saja Loan Ki tak dapat menghindarkan diri bila ia tidak cepat-cepat menggunakan gerakan Bidadari
Turun ke Bumi, suatu gerakan yang amat sulit dari ilmu silat keturunan Sian-li-kun-hoat. Tubuhnya
mencelat seperti dilemparkan ke atas, lalu menukik ke bawah sambil mengembangkan kedua lengannya.
Gerakan yang cepat ini menyelamatkannya, akan tetapi angin pukulan yang dilontarkan nyonya itu tetap
saja menyerempet buntalan pakaian yang berada pada punggungnya.
“Brettt!”
Terdengar suara dan buntalan pakaian itu terlepas dari punggung, jatuh ke atas tanah, terbuka dan
tampaklah pakaian gadis itu dan sebuah mahkota indah. Akan tetapi dengan amat cepatnya pula Loan Ki
sudah menyambar bungkusan itu dan menutupkan kainnya kembali.
"Oho! Bukankah itu mahkota yang dikabarkan hilang dibawa kabur oleh pembesar she Tan?" terdengar
suara parau dari Souw Bu Lai.
Sebagai seorang keturunan pangeran dia pernah melihat mahkota ini di gudang pusaka kerajaan, maka
sekali melihat dia telah mengenalnya, apa lagi karena hilangnya mahkota kuno itu sudah terdengar oleh
dunia kang-ouw.
Akan tetapi gurunya, Ka Chong Hoatsu, lebih terheran-heran ketika melihat cara Loan Ki bergerak
menyelamatkan diri dari terjangan Ching-toanio tadi. Maka, ketika dia melihat Ching-toanio yang merasa
penasaran hendak menyerang pula, pendeta ini cepat berseru, "Toanio, tahan dulu!"
Tentu saja nyonya itu tidak melanjutkan serangannya dan memandang heran dengan alis berkerut.
Ka Chong Hoatsu melangkah setindak maju dan bertanya kepada Loan Ki, "Nona cilik, bukankah
gerakanmu tadi jurus dari Sian-li Kun-hoat (Ilmu Silat Bidadari)?"
"Hemmm, bagus jika kau mengenal jurusku yang lihai, hwesio tua! Maka lebih baik kau menyuruh nyonya
galak ini mundur dan biarkan aku pergi dengan aman sebelum kalian berkenalan dengan ilmu pedangku
Sian-li Kiam-sut dan kemudian menyesal pun sudah terlambat!"
Loan Ki sengaja membuka mulut besar karena ia maklum bahwa betapa pun juga ia tak akan mampu
melawan. Baru seorang nyonya galak itu saja sudah begitu hebat, apa lagi yang lain-lain dan terutama
hwesio tua ini yang sekali lihat sudah mengenai jurusnya. Dari pada terhina kemudian kalah, lebih baik
menghina dan memandang rendah dahulu, jadi menang angin, demikian pikir dara lincah yang berhati baja
ini.
"Aha, bagus!" Ka Chong Hoatsu berseru. "Kalau begitu, kau masih ada hubungan apakah dengan
mendiang Raja Pedang Cia Hui Gan?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Dara itu makin angkuh. Sambil mengangkat dada dan mengedikkan kepala serta meraba gagang
pedangnya, ia memandang mereka seorang demi seorang dengan pandang mata seakan-akan berkata,
"Huh, kalian ini orang-orang tingkatan rendah mana bisa disamakan dengan aku?"
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru