Rabu, 18 April 2018

Cerita Silat Mandarin Raja Pedang 4

Cerita Silat Mandarin Raja Pedang 4
baca juga

----
"Tan-twako, mereka mulai mengejar tanpa kuda!” kata Beng San khawatir sekali.
Tan Hok hanya tersenyum. "Jangan kau khawatir, Adik Beng San. Kita kaum Pek-lian-pai sudah biasa
menghadapi musuh banyak. Musuh yang mengejar itu tidak ada seratus dan kita... bersama kau dan kita ada
tiga belas orang. Takut apa?”
Diam-diam Beng San menghitung. Tiga belas orang melawan enam puluh orang lebih. Berarti seorang
melawan lima orang musuh! Bagaimana raksasa ini masih bicara begitu enak? Beng San merasa heran, akan
tetapi juga kagum.
"Aku jangan dihitung, Twako. Melawan satu orang saja belum tentu aku menang, bagai mana harus melawan
lima orang?"
Tan Hok hanya tertawa saja. "Kau lihat saja nanti. Lihat dan pelajarilah cara-cara kaum Pek-lian-pai
mengganyang musuh-musuhnya."
"Srrrt! Srrrt!"
Beberapa buah anak panah meluncur dari belakang. Salah satu anak panah hampir saja mengenai tubuh Tan
Hok, baiknya raksasa muda ini cepat menangkisnya dengan golok. la nampak kaget ketika merasa telapak
tangannya tergetar.
"Teman-teman, cepat! Dan awas, pelepas panah tadi lihai sekali. Kita lari sambil mencari perlindungan.
Cepat!" la menarik tangan Beng San dan mendahului rombongannya.
Mereka sudah hampir sampai di puncak bukit. Tadinya anak panah dari belakang masih gencar menyerang,
akan tetapi karena perjalanan itu berliku-liku, musuh dari belakang tak dapat melepas anak panah secara
ngawur lagi.
Mereka tiba di daerah batu-batu besar yang banyak goanya. Tan Hok segera membawa teman-temannya
memasuki goa besar yang ternyata merupakan terowongan batu dan alangkah herannya hati Beng San ketika
ternyata olehnya bahwa rombongan itu jalannya menuju... kembali turun! Di tengah-tengah terowongan
terdapat lubang-lubang di antara batu dan dari lubang-lubang ini mereka dapat mengintai musuh yang berada
di luar.
"Ahh, benar pasukan itu berhenti, tidak mengejar terus," kata Tan Hok setelah mengintai. "Tentu dipimpin oleh
orang pandai yang berpengalaman. Kita harus memancing mereka sampai di Pek-tiok-kok. Mari, teman-teman,
cepat. Kita menggunakan kecerdikan musuh justru untuk menipu mereka."
Sambil berlari Tan Hok menggandeng tangan Beng San. Mereka memasuki terowongan yang gelap itu, diikuti
teman-temannya. Tidak lama kemudian mereka sampai di tempat terbuka, keluar dari terowongan yang
merupakan goa besar.
"Serbu mereka sambil berteriak-teriak. Jika mereka melawan pura-pura kalah biar mereka mengejar kita," bisik
Tan Hok kepada teman-temannya. "Mungkin di pihak kita akan jatuh korban, akan tetapi ingat, pengorbanan
kita itu tidak ada artinya bila akhirnya kita dapat menghancurkan mereka.”
Semua orang mengangguk menyatakan setuju dan rombongan ini kembali merayap naik karena mereka
sekeluarnya dari terowongan itu ternyata telah berada di sebelah bawah kedudukan musuh. Mereka melihat
barisan musuh memasang kedudukan di lereng, tidak mengejar terus.
dunia-kangouw.blogspot.com
Inilah kecerdikan pimpinan barisan itu, karena kalau tadi mereka terus mengejar, tentu mereka itu akan
menjadi korban hujan Pek-lian-ting (Paku-paku Teratai Putih) yang tentu akan dilakukan oleh rombongan Tan
Hok. Enak saja menyikat mereka dari terowongan, menyerang tanpa dapat diserang kembali dan karena
jalanan sempit pasti musuh akan kacau-balau dan banyak jatuh korban.
Pimpinan tentara Mongol itu agaknya menaruh hati curiga, maka menyuruh pasukannya berhenti dan dia
hanya menyuruh beberapa orang pengintai untuk merayap mendekati daerah berbatu-batu itu untuk
melakukan penyelidikan.
Ketika mendengar bahwa di situ tak ada jejak orang-orang yang mereka kejar, pimpinan barisan itu berkata,
"Kita tunggu saja, pasti mereka itu menggunakan siasat. Kita lihat saja apa siasat mereka. Dengan menanti di
tempat terbuka ini sambil siap siaga, tak mungkin mereka dapat menipu."
Tiba-tiba mereka mendengar suara sorak-sorai dan paku-paku Pek-lian-ting beterbangan menyambar dari
belakang! Kaget sekali barisan itu. Pemimpinnya sendiri pun amat kaget, karena apa pun yang akan dilakukan
oleh rombongan pemberontak Pek-lian-pai yang dikejar tadi sama sekali dia tak pernah menduga bahwa yang
dikejar itu tahu-tahu sudah muncul di belakangnya!
Mereka tak sempat lagi menggunakan panah, maka pemimpin ini berteriak-teriak memberi komando supaya
melawan. Apa lagi ketika dilihatnya bahwa yang muncul hanya belasan orang lawan saja.
"Serbu! Bunuh habis para pemberontak!" teriaknya keras.
Tan Hok dan teman-temannya mengamuk. Dalam sekejap pemuda raksasa ini sedikitnya sudah merobohkan
lima orang dan pertempuran yang berat sebelah ini hanya berjalan seperempat jam. Beng San oleh Tan Hok
disuruh bersembunyi agak jauh agar jangan tertimpa bencana.
Tiba-tiba Tan Hok memberi aba-aba, "Mundur! Lari... musuh terlampau kuat!"
Teman-teman Tan Hok berlari cerai-berai, nampaknya kacau-balau ketakutan. Pemimpin barisan Mongol
tertawa bergelak-gelak.
"Ha-ha-ha-ha-ha, tikus-tikus Pek-lian-pai, mampus kalian semua. Hayo kejar.”
Walau pun kelihatannya kacau-balau, sebenarnya rombongan teman-teman Tan Hok ini melarikan diri secara
teratur. Mereka sengaja lari cerai-berai sehingga pengejaran musuh menjadi kacau pula. Dan apa bila ada
seorang dua orang musuh terpencil, tiba-tiba yang dikejar muncul dari tempat sembunyinya dan merobohkan
satu dua orang musuh dengan Pek-lian-ting. Dan akhirnya, karena memang sudah diatur lebih dulu, semua
orang yang lari kacau-balau dan sebetulnya siasat untuk mengacau musuh, telah berkumpul lagi dan
melarikan diri ke selatan.
Pimpinan barisan marah bukan main melihat betapa anak buahnya sudah dipermainkan. Seorang anggota
Pek-lian-pai yang dapat dirobohkan, segera dia cincang dengan golok besarnya, kemudian dia memberi abaaba
kepada semua barisannya supaya mengejar terus dan membasmi habis rombongan Pek-lian-pai yang
hanya terdiri dari belasan orang itu.
Beng San menyaksikan semua ini dengan kagum. Ketika rombongan ini lari ke selatan, ia ikut lari pula di
samping Tan Hok, dikejar dan dihujani anak panah. Tiga orang temannya roboh pula terkena anak panah.
Mereka tidak mati, hanya terluka parah.
Beng San ingin menolong mereka, tetapi Tan Hok mencegahnya, malah menghampiri tiga orang itu dan
berkata, "Saudara-saudara, teruskan siasat kita!"
Tiga orang itu tersenyum lebar. Dengan muka pucat mereka mengangguk dan dengan tubuh mandi darah
mereka diam-diam mempersiapkan Pek-lian-ting dan golok di tangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil berlari Beng San tak dapat menahan keinginannya untuk menengok ke belakang, melihat ke arah tiga
orang teman yang telah terluka itu. Dua orang terluka dadanya yang tertancap anak panah, sedangkan yang
seorang lagi terluka parah pahanya karena anak panah menancap dan menembus pahanya.
"Adik Beng San, tak usah menengok. Mereka akan tewas sebagai satria sejati, mereka akan gugur sebagai
bunga bangsa, sebagai patriot pahlawan tanah air."
"Apa? Mereka akan mati? Dan kau diamkan saja...?" Beng San tak dapat lagi menahan teriakannya dan dia
sekarang mogok betul-betul, tidak mau lari lagi.
Tan Hok tersenyum dan memberi isyarat kepada teman-temannya supaya lari terus. Dia sendiri berkata, "Kau
mau menyaksikan kegagahan mereka? Baiklah, mari kita mengintai dari sini." Dia membawa Beng San ke
belakang sebuah batu besar dan berlutut di situ, mengintai ke arah tiga orang yang menggeletak tadi.
"Lihat, Adik Beng San. Lihat dan ingatlah selalu kepada kegagahan kaum Pek-lian-pai, patriot-patriot sejati,”
bisik Tan Hok.
Barisan itu sudah tiba di tempat di mana tiga orang anggota Pek-lian pai itu menggeletak. Tiba-tiba tiga orang
itu meloncat bangun dan menyambit dengan Pek-lian-ting. Terdengar pekik kesakitan dan beberapa orang
pengejar terjengkang roboh.
Komandan barisan itu marah sekali. Anak panahnya menyambar dan seorang di antara tiga orang Pek-lian-pai
roboh dengan leher tertembus anak panah. Yang dua mengamuk, dikeroyok dan biar pun mereka berhasil
melukai dua orang lawan, namun mereka sendiri roboh dengan tubuh hancur dihujani senjata para
pengeroyoknya.
Beng San menutupi mukanya, dia merasa ngeri.
"Twako, kenapa mereka tadi tidak dibawa lari saja? Kenapa kau begitu tega membiarkan teman-teman sendiri
mati seperti itu?"
Tan Hok menarik tangan Beng San, diajak berlari pergi menyusul kawan-kawannya yang sudah melarikan diri
terlebih dahulu. Di belakang mereka, serdadu-serdadu itu bersorak dan pengejaran dilanjutkan.
"Kau dengar itu, Beng San? Kematian tiga orang teman kita tadi selain tidak rugi karena mereka dapat
merobohkan beberapa orang musuh, juga merupakan kelanjutan siasat pancingan kita. Karena kita
meninggalkan teman-teman yang terluka, tentu para serdadu mengira bahwa kita ketakutan betul-betul dan
melarikan diri kacau-balau, bukan sedang menjalankan siasat. Dalam siasat perang, pengorbanan tiga orang
teman bukan apa-apa, bahkan kalau perlu, pengorbanan tiga ribu orang pahlawan masih belum terhitung
mahal demi tanah air dan bangsa. Kau dengar? Mereka mengejar terus. Hayo cepat, kita sudah dekat Pektiok-
kok."
Yang disebut Pek-tiok-kok atau Lembah Gunung Bambu Putih itu adalah lembah gunung yang penuh jurangjurang
berbahaya dan di sana-sini terdapat rumpun-rumpun bambu yang berwarna keputihan. Jalan di daerah
ini berbahaya sekali, kadang-kadang sempit sekali, hanya dapat dilalui seorang saja dengan jurang-jurang
dalam di kanan kiri yang juga penuh dengan rumpun bambu-bambu putih. Memang amat indah, akan tetapi
juga amat berbahaya.
Menyambung jalan sempit diapit-apit jurang itu adalah jalan sempit diapit-apit batu karang yang tinggi di kanan
kiri. Tan Hok membawa Beng San lari cepat melalui jalan sempit dan tiap kali terdengar suara-suara suitan di
kanan kiri jalan, suara dari dalam jurang. Itulah suara teman-teman mereka yang sudah lebih dulu sampai di
tempat itu dan memasang barisan pendam!
Tan Hok dan Beng San kemudian mendaki batu karang, menggunakan sehelai tambang besar yang memang
sudah dipasang oleh teman-teman mereka. Di atas batu-batu itu, di kanan kiri, sudah menjaga pula beberapa
orang teman.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena para anggota Pek-lian-pai itu pun sambil berlari membuang senjata golok mereka di sepanjang jalan,
maka barisan pengejar makin bernafsu. Mereka merasa yakin bahwa orang-orang Pek-lian-pai yang mereka
kejar itu sudah ketakutan setengah mati bahkan sudah lelah, buktinya senjata-senjata golok mereka
berserakan di jalan.
Dengan bersemangat mereka memasuki Lembah Gunung Bambu Putih, didahului oleh komandan mereka
yang memegang golok besar. Ketika memasuki lereng ini, barisan itu merupakan iring-iringan panjang sekali,
karena jalan amat sempit.
Setelah semua serdadu masuk lembah gunung, tepat seperti yang sudah diperhitungkan oleh para pejuang
yang berpengalaman itu, tiba-tiba terdengar suara keras dan dari atas batu-batu karang yang mengapit-apit
jalan sempit, menggeludung turun batu-batu besar yang setibanya di jalan itu mengeluarkan suara hiruk-pikuk.
Debu mengebul dan jalan itu tertutup!
"Celaka, kita terjebak! Mundur!" Komandan itu berseru dengan wajah pucat.
Barisan itu menjadi kacau. Takut kalau-kalau mendapat serangan gelap di jalan yang sempit itu, mereka saling
tabrakan lari jatuh bangun untuk kembali melalui jalan sempit. Akan tetapi tiba-tiba di depan tampak asap
bergulung-gulung ke atas dan... rumpun-rumpun bambu di kanan kiri jurang ternyata telah dibakar orang!
Api menjilat tinggi sampai di jalan sempit sehingga tak mungkin lagi orang bisa melaluinya. Kini barisan itu
sudah terkurung, di depan dihalangi oleh batu-batu besar, dan di belakang dihalang-halangi api.
Selagi mereka kebingungan, tiba-tiba menyambar paku-paku Pek-lian-ting, juga batu-batu besar
menggelundung dari atas karang. Teriakan-teriakan kesakitan terdengar, sementara serdadu-serdadu itu mulai
roboh dan keadaan menjadi makin panik.
Komandan mencoba memberi perintah supaya semua bersikap tenang dan menghujani anak panah ke arah
lawan. Akan tetapi karena lawan tidak kelihatan sedangkan mereka berada di tempat terbuka tanpa
perlindungan sama sekali, serdadu-serdadu itu menjadi bingung. Lebih lagi ketika hujan api menyerang
mereka, yaitu kayu-kayu terbakar yang dilemparkan ke arah mereka.
Serumpun bambu yang terbakar dilemparkan dari atas, tepat mengenai tubuh komandan pasukan itu. Dia
berteriak-teriak dan meloncat-loncat ke sana kemari, bajunya terbakar, demikian pula rambut dan jenggotnya.
Akhirnya komandan ini menggelundung ke dalam jurang, disambut api yang berkobar.
Beng San yang mengintai dari atas batu karang merasa kagum bukan main. Benar-benar hebat. Hanya
sembilan orang saja mampu membasmi puluhan musuh. Akan tetapi selain kekagumannya, juga dia merasa
ngeri dan bergidik. Bagaimana sesama manusia dapat melakukan pembunuhan besar-besaran seperti ini?
Beng San cukup tahu bahwa para serdadu Mongol itu mempunyai kebiasaan yang jahat terhadap rakyat,
seperti yang pernah dilihatnya baru-baru ini. Akan tetapi menghadapi perang bunuh-bunuhan seperti itu,
melihat manusia terpanggang oleh anak panah, orang terbakar hidup-hidup, dan melihat orang ketakutan
setengah mati, dia tak kuasa melihat lebih lama lagi dan Beng San membuang muka.
Hanya sebentar saja perang ini terjadi. Siasat gerilya yang dilakukan oleh para anggota Pek-lian-pai benar
hebat dan tak seorang pun di antara serdadu Mongol dapat meloloskan diri dari maut. Di pihak Pek-lian-pai,
hanya tujuh orang termasuk Tan Hok dan Beng San yang masih hidup. Yang lain tewas terkena anak panah,
bahkan ada yang ikut terbakar ketika dia sibuk membakari bambu untuk menjebak musuh. Tan Hok dan
teman-temannya lalu berpencaran meninggalkan tempat itu.
"Kau hendak ke mana, Beng San?" tanya Tan Hok ketika melihat anak ini agak pucat dan nampak berduka.
"Aku hendak pergi ke Hoa-san," jawab Beng San singkat.
"Mari kau ikut saja denganku. Kau akan kumasukkan sebagai anggota Pek-lian-pai..."
"Tidak...! Tidak Aku tidak sudi menjadi pembunuh!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Tan Hok memandang heran, tetapi hanya sebentar saja. la maklum bahwa anak ini tadi merasa ngeri
menyaksikan pembunuhan terhadap musuh-musuh itu. Dia menggandeng tangan Beng San.
"Baiklah, kalau kau belum kuat perasaanmu untuk maju berperang. Mari kuantar kau ke Hoa-san. Setelah apa
yang terjadi di sini, amat berbahaya melakukan perjalanan seorang diri di daerah ini. Kalau kau berjumpa
dengan serdadu, kau akan ditangkap, dipukul dan dipaksa mengaku di mana adanya orang-orang Pek-lian-pai.
Mari kau ikut aku, mengambil jalan rahasia untuk menuju ke Hoa-san."
Beng San menurut saja. Wajahnya yang cemberut dan muram dapat dimengerti oleh Tan Hok. Maka pemuda
raksasa itu di sepanjang jalan lalu menceritakan keadaan dirinya, dan menceritakan keadaan Pek-lian-pai juga.
"Semenjak kecil, oleh guruku aku sudah diikut sertakan berkecimpung dalam perjuangan melawan pemerintah
penjajah Mongol. Guruku yang sudah tidak ada lagi bernama Tan Sam. Dia adalah seorang tokoh terkenal di
Pek-lian-pai. Kau tahu, Beng San, Pek-lian-pai merupakan perkumpulan kaum patriot yang anggotanya
tersebar di seluruh negeri."
Dengan panjang lebar Tan Hok kemudian menceritakan sepak terjang Pek-lian-pai serta kegagahan para
anggotanya yang pantang mundur dan rela mengorbankan nyawa untuk membela bangsa. Beng San yang
telah banyak membaca kitab kuno, sudah banyak pula mendengar tentang riwayat para pahlawan, maka dia
merasa kagum juga dan simpatinya terhadap Pek-lian-pai menjadi besar.
"Betapa pun juga, perang bunuh-membunuh itu menyakitkan hatiku," katanya sebagai komentar. "Jika
membunuh seorang dua orang penjahat masih bisa kuterima. Akan tetapi puluhan orang itu, meski mereka
semua orang-orang Mongol atau kaki tangan pemerintah Mongol, apakah mungkin orang sebegitu banyaknya
itu jahat-jahat semua?"
Tan Hok tertawa lebar. "Di dalam perang, tidak ada istilah jahat ataukah tidak jahat. Tidak ada permusuhan
pribadi. Tentu saja aku sendiri tidak membenci seorang pun serdadu Mongol atas dasar perasaan pribadi
karena mengapa aku membenci seorang yang sama sekali tak kukenal? Tentu saja andai kata mereka tadi itu
bukan serdadu-serdadu Mongol, aku tak akan sudi mengganggu mereka. Akan tetapi di dalam perang, mereka
itu adalah musuh-musuh kita. Musuh rakyat yang harus dibasmi habis. Kalau tidak kita membunuh mereka,
tentulah mereka yang akan membunuh kita."
Seorang anak sekecil Beng San yang belum pernah mendengar mengenai politik negara dan kebangsaan,
mana bisa mengerti akan hal ini? Apa yang pernah dia pelajari hanyalah tentang peri kemanusiaan dan
tentang filsafat-filsafat hidup yang pada umumnya mencela kekerasan dan tidak membenarkan tentang bunuhmembunuh.
Betapa pun juga, semangat Tan Hok saat bercerita membangkitkan rasa suka yang besar dalam hati Beng
San, apa lagi setelah raksasa muda itu menjelaskan tentang penjajahan dan kesengsaraan rakyat karena
diperas oleh kaum penjajah, yaitu bangsa Mongol.
"Sungguh menggemaskan bila kita pikirkan," demikian antara lain Tan Hok menceritakan, “bangsa kita adalah
bangsa yang besar, yang memiliki rakyat banyak sekali. Sebaliknya bangsa Mongol adalah bangsa perantau
yang tidak memiliki tempat tinggal yang tertentu, juga rakyatnya hanya sedikit. Akan tetapi bagaimana bisa
bangsa kita malah dijajah dan diperbudak oleh bangsa Mongol? Padahal kalau rakyat kita semua bangkit dan
melakukan perlawanan, setiap orang Mongol sedikitnya akan berhadapan dengan tiga puluh orang bangsa
kita!"
"Kenapa tidak semua rakyat mau bangkit melakukan perlawanan?" tanya Beng San, mulai terbuka matanya
dan dia pun merasa heran akan kenyataan ini.
Tan Hok menarik napas panjang. "Sayang di antara bangsa kita banyak yang mudah dan rela dipermainkan,
masih banyak orang yang mabuk akan kesenangan diri sendiri tanpa mempedulikan keadaan rakyat jelata
yang sengsara. Orang-orang kita yang pandai malah banyak yang menjadi kaki tangan Mongol, malah banyak
pengkhianat-pengkhianat seperti ini sengaja memusuhi Pek-Lian-pai untuk membantu pemerintah penjajah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Perbuatan keji dan tidak tahu malu ini dilakukan hanya karena mengejar kesenangan duniawi untuk diri pribadi
belaka. Mereka tidak malu menjual bangsa sendiri kepada penjajah. Benar-benar sikap yang memuakkan.”
Tan Hok lalu menceritakan pada Beng San tentang orang-orang dan golongan-golongan yang sengaja
digunakan oieh pemenntah Mongol untuk menentang kaum pemberontak.
"Di antara mereka ini, yang paling menjemukan adalah kaum Ngo-lian-kauw. Ketuanya adalah Kim-thouw
Thian-li. Dia itulah yang sudah membunuh guruku dan aku bersumpah demi tanah air dan keadilan, pada suatu
hari aku pasti akan dapat membunuh siluman betina yang cabul itu!" Teringat akan perbuatan Kim-thouw
Thian-li dahulu yaitu setelah membunuh gurunya, lalu hendak membunuhnya pula, dia menjadi merah
mukanya dan kebenciannya mendalam.
"Aku telah mengumpulkan banyak keterangan tentang Ngo-lian-kauw, juga tentang semua perbuatan Kimthouw
Thian-li yang tak tahu malu. Perempuan cabul itu memang sengaja digunakan oleh pemerintah Mongol
untuk melawan Pek-lian-pai. Dia benar-benar lihai dan jahat sekali, licin bagai belut dan banyak siasatnya."
"Mendengar namanya, Kim-thouw Thian-li (Bidadari Kepala Emas), tentulah dia seorang wanita yang baik.
Sebutannya Thian-li (Bidadari), bagaimana bisa jahat? Pula, seorang wanita saja, apa dayanya terhadap Peklian-
pai yang begitu banyak mempunyai anggota yang terdiri dari orang-orang gagah perkasa?"
Tan Hok tersenyum pahit. "Sebetulnya itu hanyalah nama yang dipilihnya sendiri, bagiku dia lebih patut disebut
iblis betina dari pada bidadari. Tidak dapat dibantah bahwa dia memang cantik jelita. Kim-thouw Thian-li adalah
murid tunggal dari Hek-hwa Kui-bo yang terkenal jahat dan kejam..."
"Ahhh...!"
"Kau sudah mendengar namanya?"
"Sudah... sudah...," jawab Beng San yang tentu saja sudah mengenal baik nenek itu.
"Meski Kim-thouw Thian-li adalah seorang wanita, jangan kau kira bahwa dia tak berdaya terhadap Pek-lianpai.
Dia licik, dan selain jumlah anggota Ngo-lian-kauw cukup banyak, juga di setiap tempat dia dibantu oleh
para pembesar karena ia memiliki tanda kekuasaan dari kaisar sendiri. Sepak terjangnya sangat licin dan
curang. Baru-baru ini dia berusaha keras untuk merusak nama baik Pek-lian-pai dengan perbuatan-perbuatan
jahat yang dia sengaja lakukan sambil meninggalkan tanda-tanda Pek-lian-pai. Tentu saja perbuatannya ini
dimaksudkan untuk merusak nama Pek-lian-pai, agar Pek-lian-pai dijauhi oleh rakyat dan bahkan dia sengaja
hendak mengadu domba Pek-lian-pai dengan partai-partai besar lain. Pendeknya, segala usaha tak tahu malu
dia jalankan untuk melemahkan perjuangan menentang pemerintah Mongol. Malah aku sudah mendapat
keterangan dari penyelidik Pek-lian-pai bahwa dia sudah berhasil dalam usahanya mengacau hubungan baik
antara Kun-lun-pai dan Hoa-san-pai."
Beng San sangat kaget. Dia juga pernah mendengar tentang partai-partai besar di dunia persilatan dari Lotong
Souw Lee, malah sekarang pun dia membawa surat Lo-tong Souw Lee untuk ketua Hoa-san-pai.
"Kenapa pula dia mengganggu Hoa-san-pai dan Kun-lunpai?"
"Sekarang ini di seluruh negeri, para orang gagah bangkit semangatnya untuk melawan penjajah dan banyak
yang menggabungkan diri dengan Pek-lian-pai. Untuk mencegah hal inilah maka Kim-thouw Thian-li berusaha
merusak hubungan antara partai-partai besar supaya bertengkar sendiri, terutama sekali agar mereka
memusuhi Pek-lian-pai. Sayang sekali, seorang pendekar muda dari Kun-lun-pai sudah kena dipikat olehnya,
dijatuhkan oleh kecantikannya."
Tan Hok yang sudah mendengar dari para penyelidik Pek-lian-pai, bahkan sudah melihat dengan mata kepala
sendiri betapa penolongnya, yaitu Kwee Sin, terpikat oleh kecantikan Kim-thouw Thian-li, lalu menceritakan
apa yang dia ketahui. Betapa Kim-thouw Thian-li dengan bantuan orang-orangnya menyamar sebagai orangorang
Pek-lian-pai, kemudian melakukan pelbagai kejahatan, di antaranya membunuh Liem Ta, ayah Liem
Sian Hwa tunangan Kwee Sin.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tentu saja maksudnya untuk mengadu domba antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai," dia menutup ceritanya,
"malah bukan itu saja maksudnya. Ia pun hendak mengadu dombakan kedua partai besar itu dengan Pek-lianpai.
Pernah dia melakukan penyerangan kepada dua saudara, Bun, murid-murid Kun-lun-pai dengan
menyamar sebagai orang-orang dari Pek-lian-pai."
Beng San tertarik sekali. "Alangkah kejam dan jahatnya wanita itu."
"Karena itulah aku dan teman-teman selalu memasang mata mencarinya. Awas dia kalau terjatuh ke dalam
tangan Pek-lian-pai!"
Karena berjalan sambil bercakap-cakap, tidak terasa lagi mereka sudah sampai di lereng Hoa-san. Tan Hok
lalu menyuruh anak itu melanjutkan perjalanannya.
"Kau terus saja mengikuti jalan kecil ini, dan di dekat puncak sana itulah bangunan dari Hoa-san-pai. Mulai dari
sini tidak akan ada yang berani mengganggumu lagi. Aku harus kembali kepada teman-temanku. Adik Beng
San, selamat berpisah dan mudah-mudahan kelak kita akan bertemu kembali."
Beng San memberi hormat. "Tan-twako, siapa tahu kelak aku pun akan dapat membantu perjuanganmu."
Mereka berpisah dan dengan cerita-cerita Tan Hok masih terbayang dalam benaknya, Beng San mendaki
puncak Hoa-san. Akan tetapi segera bayangan ini lenyap ketika dia melihat pemandangan alam yang amat
indah dari puncak Hoa-san itu. Hawa udara pun amat segarnya.
Dia menghirup hawa sebanyaknya dan merasa bahwa dia akan betah tinggal di daerah ini…..
********************
Sudah amat lama kita meninggalkan Kwa Hong, gadis cilik putera tunggal Kwa Tin Siong, bocah mungil yang
lincah gembira itu. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kwa Hong diantar oleh Koai Atong menuju ke
Hoa-san-pai menyusul ayahnya.
Biar pun usia Koai Atong sudah sebaya dengan Kwa Tin Siong, kurang lebih empat puluh tahun, namun orang
ini memang tidak normal jiwanya, dan wataknya kadang-kadang atau sering kali seperti seorang kanak-kanak
sebaya Kwa Hong.
Oleh karena wataknya inilah maka Kwa Hong merasa amat senang melakukan perjalanan bersama seorang
teman yang cocok dan baik lagi lucu. Di samping ini, juga kelihaian Koai Atong merupakan jaminan bagi
keselamatannya.
Seperti juga di partai-partai persilatan besar seperti Kun-lun-pai, Go-bi-pai, Siauw-lim-pai dan lain-lain, juga
puncak Hoa-san ini merupakan pusat Hoa-san-pai yang ditinggali oleh banyak anak murid Hoa-san-pai.
Mereka adalah tosu-tosu yang selain mempelajari ilmu silat sekedarnya, juga terutama sekali mempelajari ilmu
kebatinan yang diturunkan oleh Nabi Locu. Di bawah bimbingan Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai, para tosu ini
rata-rata memiliki kesabaran besar dan bisa menjaga nama baik Hoa-san-pai sebagai orang-orang beribadat.
Kedatangan Kwa Hong menggirangkan para tosu yang menjaga di luar. Mereka ini tentu saja sudah mengenal
baik puteri tunggal Kwa Tin Siong yang sering mengajak anaknya mengunjungi Hoa-san. Akan tetapi para tosu
ini pun terheran-heran melihat orang yang datang bersama Kwa Hong, seorang laki-laki tinggi besar berusia
empat puluh tahun akan tetapi cengar-cengir dan ikut berlari-larian di samping Kwa Hong yang seorang anak
kecil!
"Supek (Uwa Guru) sekalian! Aku datang menyusul ayah. Di mana ayah dan bibi guru?" Datang-datang Kwa
Hong berteriak-teriak kepada para tosu itu.
Tiga orang tua menghampiri Kwa Hong sambil tersenyum, "Ayahmu dan bibi gurumu tidak berada di sini,
belum kembali. Lebih baik segera pergi menghadap kakek gurumu, Hong Hong." Para tosu itu biasa
memanggil Kwa Hong dengan sebutan Hong Hong dan mereka amat menyayang bocah yang mungil dan
selalu gembira ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang, di antara para cucu murid Lian Bu Tojin, hanya Kwa Hong yang paling sering berdiam di puncak itu
karena dia amat dimanja oleh ayahnya dan sering diajak ikut pergi mengembara bersama ayahnya. Kwa Hong
berlari sambil tertawa-tawa hendak memasuki bangunan besar berbentuk kelenteng untuk menghadap
sukong-nya (kakek gurunya).
"Enci Hong, jangan tinggalkan aku! Aku ikut!" Koai Atong juga lari mengejar.
"Hong Hong, kenapa kau bawa-bawa orang tolol ini? Ehh, orang gila, jangan kurang ajar kau. Tidak boleh
masuk!" Tiga orang tosu itu tentu saja hendak melarang Koai Atong yang seenaknya saja hendak memasuki
kelenteng itu. Mereka melangkah maju menghadang dan membentangkan kedua lengan menghalanginya.
"Aku mau ikut Enci Hong... melihat-lihat kelenteng!" Koai Atong membantah dan lari terus.
Tiga orang tosu itu menggerakkan tangan untuk memegangnya. Koai Atong bergerak aneh dan... tahu-tahu dia
telah dapat menyelinap masuk, lolos dari tangkapan tiga orang tosu itu.
Tentu saja tiga orang tosu ini saling pandang dengan mulut melongo. Mereka tidak dapat mengikuti gerakan
Koai Atong, tidak tahu bagaimana orang itu dapat meluputkan diri dari cengkeraman tiga orang dan tahu-tahu
sudah menyelonong masuk. Dari heran mereka menjadi malu dan marah.
"Otak miring, perlahan jalan. Kau tidak boleh masuk!" bentak mereka sambil lari mengejar.
Sekarang mereka mengambil keputusan untuk tidak bersikap lemah lagi, dan kalau perlu orang gila itu harus
dipukul. Akan tetapi ketika mereka maju untuk mencengkeram dan memukul, tanpa menoleh Koai Atong
menggerakkan kedua lengannya ke arah belakang. Sekaligus dia menangkis tangan tiga orang tosu itu dan...
tiga orang tosu itu terjengkang dan roboh!
Hal ini terlihat oleh beberapa orang tosu lain. Mereka menjadi marah dan bersama tiga orang tosu pertama
yang sudah bangun lagi, sekarang ada tujuh orang tosu mengejar Koai Atong dengan marah-marah. Baru
tosu-tosu ini serentak berhenti mengejar ketika mendengar suara halus dari dalam kelenteng.
"Jangan ganggu dia. Biarkan Koai Atong masuk ke dalam!"
Itulah suara Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai. Tentu saja para tosu itu sama sekali tidak berani membantah,
apa lagi sesudah mendengar bahwa orang tua yang seperti berotak miring itu adalah Koai Atong, seorang
kang-ouw yang namanya sudah pernah mereka dengar sebagai seorang yang berilmu tinggi akan tetapi yang
berwatak bagaikan bocah! Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menghela napas ketika Koai
Atong yang mendengar suara Lian Bu Tojin itu kini menoleh kepada mereka, menyeringai dan meleletkan lidah
seperti seorang anak nakal mengejek anak-anak lain!
Satu-satunya orang yang agak ditakuti Kwa Hong adalah Lian Bu Tojin. Kakek gurunya ini orangnya sabar
sekali, bicaranya halus dan tidak pernah bersikap galak. Akan tetapi bagi Kwa Hong, pandang mata kakek
gurunya itu amat tajam dan langsung menjenguk isi hati orang, kadang-kadang berkilat dan membuat hatinya
mengkeret.
Maka sekarang ia berlutut dengan hormat di depan kakek gurunya yang duduk bersila di atas lantai bertilam
kasur tipis. Koai Atong yang memasuki ruangan itu sambil celingukan dan pringas-pringis, setelah melihat
kakek yang berjenggot panjang itu, segera pula turut menjatuhkan diri berlutut di sebelah Kwa Hong.
Lian Bu Tojin mengelus-elus jenggotnya yang panjang, tubuhnya yang tinggi dan kurus itu duduk bersila tegak,
tongkat bambunya yang membuat namanya amat terkenal itu terletak di sebelah kirinya. Bibirnya tersenyum
dan dia mengangguk-angguk senang.
"Bagus, Hong Hong, kau sudah datang. Ehh, Koai Atong, terima kasih atas jerih payahmu mengantar dia ke
sini. Bagaimana dengan gurumu?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Koai Atong mengangkat mukanya memandang. "Suhu... entah di mana sekarang. Teecu mohon Totiang suka
mintakan maaf kepada suhu kalau kelak suhu marah dan menghajar teecu. Tidak mestinya teecu sampai ke
Hoa-san."
Dengan sabar Lian Bu Tojin mengangguk-angguk. "Tentu saja, kau tidak perlu khawatir. Gurumu Giam Kong
Hwesio tak akan marah apa bila dia tahu bahwa kau mengantar cucu muridku ke sini. Kalau kau kembali dan
bertemu padanya, harap kau sampaikan salamku kepadanya."
Koai Atong hanya mengangguk-angguk.
Kwa Hong ingin sekali bertanya tentang ayahnya kepada kakek gurunya itu, akan tetapi di depan kakek itu,
entah mengapa, mulutnya sukar sekali dibuka. Tetapi kakek yang sudah kenyang makan asam garam
penghidupan itu, sekali pandang saja telah dapat menduga apa yang dipikirkan Kwa Hong.
"Hong Hong, ayahmu bersama kedua susiok dan sukouw-mu pergi turun gunung. Kurasa tidak lama lagi,
dalam beberapa hari ini mereka akan datang. Di belakang sana ada tiga orang saudara-saudaramu, anak-anak
dari kedua susiok-mu. Kau pergilah ke sana dan bermain dengan mereka."
Wajah Kwa Hong tiba-tiba berseri gembira. "Enci Bwee di situ?"
Ketika kakek itu mengangguk. Kwa Hong lalu bangkit dan lari ke belakang melalui pintu samping.
Koai Atong yang masih berlutut, memandang ke arah larinya Kwa Hong, kemudian ia berkata. "Totiang,
perkenankan teecu bermain-main di sini selama beberapa hari dengan Enci Hong."
Lian Bu Tojin tersenyum, akan tetapi suaranya tegas ketika berkata. "Atong, kau boleh bermain-main dengan
anak-anak itu di sini selama tiga hari. Tak boleh lebih dari tiga hari. Suhu-mu tentu akan menanti-nanti
kembalimu."
Sambil mengangguk-angguk Koai Atong lalu berlari gembira mengejar Kwa Hong yang pergi menuju ke taman
bunga di belakang kelenteng. Setibanya di taman bunga yang luas dan indah itu, Koai Atong melihat Kwa
Hong sedang bercakap-cakap gembira dengan tiga orang anak lain, yaitu dua orang anak laki-laki yang
tampan dan seorang anak perempuan yang cantik seperti Kwa Hong.
Biar pun Kwa Hong tampak yang paling muda di antara mereka, namun jelas bahwa tiga orang anak-anak lain
itu mengagumi dan menghormatnya, terlihat dari cara mereka itu mendengarkan kata-kata Kwa Hong yang
sedang menyombongkan semua pengalaman dirinya yang hebat-hebat, tentu saja dengan tambahan di sanasini,
agar lebih seram dan menarik.
Seperti kita telah ketahui, tiga orang anak itu bukan lain adalah Thio Ki dan Thio Bwee, putera-puteri Thio Wan
It, dan yang seorang lagi adalah Kui Lok putera tunggal Kui Teng. Tiga orang anak itu masih berada di Hoasan,
mereka menanti orang tua mereka sambil memperdalam ilmu silat di bawah asuhan Lian Bu Tojin sendiri.
Oleh karena Kwa Hong adalah puteri dari orang pertama dari Hoa-san Sie-eng, apa lagi karena memang Kwa
Hong lebih sering dan lebih banyak merantau dari pada mereka, ditambah lagi sifat yang lincah gembira,
membuat tiga orang anak itu amat mengagumi Kwa Hong.
Tiba-tiba Kui Lok menudingkan telunjuknya ke arah seorang yang berlari-lari memasuki taman. "Ehh, dari
mana datangnya orang gila?"
Semua anak menoleh dan melihat seorang laki-laki tinggi besar berlari datang sambil tertawa-tawa. Pakaian
dan sepatu laki-laki tinggi besar ini berkembang-kembang seperti yang biasa dipakai wanita. Tentu saja dia ini
adalah Koai Atong yang sangat gembira melihat taman bunga begitu indah dan di situ terdapat banyak teman
bermain pula.
Kwa Hong tertawa. "Dia bukan orang gila. Dia itulah Koai Atong yang baru saja aku ceritakan tadi. Dia lihai
bukan main, orangnya lucu dan pandai bermain-main. He, Koai Atong, ke sinilah. Banyak teman di sini!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil berloncat-loncatan Koai Atong mempercepat larinya, congklang seperti seekor kuda besar. "Wah, Enci
Hong. Aku senang di sini, banyak bunga indah. Tosu tua itu sudah memberi ijin kepadaku untuk tinggal di sini
selama tiga hari. Hore, kita bisa bermain-main sepuasnya!"
Thio Ki dan Kui Lok memandang Koai Atong dengan kening berkerut, sedangkan Thio Bwee memandang
orang aneh itu dengan perasaan ngeri dan jijik. Bagaimana mereka bisa bermain-main dengan seorang gila
seperti ini?
Tanpa mempedulikan sikap ketiga orang anak yang lain itu, Kwa Hong berkata gembira kepada Koai Atong,
"Eh, Atong, kau berkenalan dulu dengan teman-teman ini yang semua adalah orang-orang sendiri."
Dia lalu menyebut nama ketiga orang anak itu seorang demi seorang. Dengan sepasang matanya yang
berputaran, Koai Atong memandang tiga orang anak itu seorang demi seorang. Thio Bwee sampai melangkah
mundur setindak saking ngerinya.
"Masa orang tua bermain-main dengan anak-anak?" Thio Ki mencela sambil memandang tajam kepada Koai
Atong. Dia tidak percaya kepada orang tinggi besar ini yang menurut pandangannya tentu bukan orang baikbaik.
"Benar, Ki-ko (Kakak Ki). Aku pun tidak sudi bermain-main dengan dia. Ihhh, kakek-kakek mau bermain
dengan anak kecil!" Thio Bwee memperkuat pendapat kakaknya.
Akan tetapi Kui Lok mendadak berkata sambil memandang Kwa Hong, "Kalau Adik Hong sudah menjadi
temannya, mengapa kita tidak? Koai Atong, aku juga suka bermain-main denganmu, sama seperti Adik Hong."
Thio Bwee menoleh kepada Kui Lok. Sepasang matanya seperti berapi. Biasanya anak ini pendiam, akan
tetapi entah mengapa, kini agaknya dia marah sekali kepada Kui Lok.
"Kau memang selalu lain dari pada orang lain. Tidak hanya tangan, juga pikiranmu!"
Wajah Kui Lok menjadi merah mendengar sindiran ini. la maklum bahwa Thio Bwee tadi menyindir tangannya
yang kidal.
Kwa Hong tertawa, sama sekali tidak marah karena temannya dicela. "Dulu pun aku tidak suka, akan tetapi
setelah melihat betapa lihainya Koai Atong, dan betapa dia baik hati dan penurut, aku lalu menjadi suka
padanya. Hemmm, kalian ini bertiga menghadapi tangan kirinya saja tak akan mampu mengalahkannya. Dia
lihai sekali, mungkin tidak kalah oleh ayah kalian."
"Bohong..,..!" seru Thio Bwee marah.
"Aku tidak percaya...!" kata Thio Ki penasaran.
Kui Lok juga terpukul oleh ucapan Kwa Hong itu. la ragu-ragu, mengerutkan kening dan menggeleng-geleng
kepala. "Ahh, agaknya tak mungkin..." akhirnya dia berkata.
"Kalian tidak percaya? Kurasa, dua orang ayah kalian maju bersama masih tidak mampu melawan Koai Atong.
Kalian tahu? Dia pernah menolong ayah dan bibi guru. Hebat sekali. Penjahat-penjahat lihai dia kalahkan
hanya dengan memutar-mutar tangan kirinya seperti ini..."
Dengan lincah dan lucu Kwa Hong lalu memutar-mutar tangan kiri beberapa lama sambil menggigit bibir,
kemudian sambil berseru, "mati...!" tangan kirinya itu mendorong ke depan ke arah batang pohon besar yang
tumbuh di situ. Beberapa helai daun pohon gugur dari tangkainya.
"Ahh, Enci Hong, kurang tenaga... kurang tenaga...! Gerakanmu sudah cukup indah, tapi pukulan itu belum
mengandung tenaga. Lihat begini Iho!"
Koai Atong lalu memutar-mutar tangan kirinya seperti yang dilakukan Kwa Hong barusan, menggerakkan
tangan itu perlahan ke depan, ke arah pohon yang tadi. Hebat sekali akibatnya. Pohon yang jaraknya antara
dunia-kangouw.blogspot.com
dua meter dari tempat dia berdiri, tidak kelihatan goyang akan tetapi tiba-tiba semua daunnya rontok dari atas
seperti hujan. Ketika semua anak memandang, ternyata bahwa pohon itu tiba-tiba menjadi gundul tak berdaun
lagi!
Kwa Hong tersenyum girang dan bangga ketika melihat betapa Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok memandang
dengan muka pucat. Bahkan Kui Lok meleletkan lidahnya saking heran dan kagumnya!
"Nah, bukankah dia hebat dan sangat lucu?, Kalau kalian berbaik kepadanya, kalian juga bisa mempelajari
ilmunya, seperti aku. Kelak kita akan menjadi orang-orang yang lebih lihai dari pada ayah. Bukankah hebat?"
kata pula Kwa Hong.
"Heee, siapa bikin rontok semua daun pohon itu? Celaka, pohon itu akan mati!"
Seruan ini dibarengi munculnya tiga orang tosu dari pintu taman. Ketika tiga orang tosu itu melihat Koai Atong,
mereka makin marah. Mereka ini bukan lain adalah tosu-tosu yang tadi telah dirobohkan Koai Atong.
Seorang di antara mereka, yang matanya juling, melangkah maju dan menudingkan jari telunjuknya ke arah
Koai Atong sambil membentak.
"Orang gila ini berada di sini? Hong Hong, jangan biarkan dia di sini. Tentu dialah yang merusak pohon itu.
Ahh, celaka, Hoa-san-pai kedatangan iblis gila!"
Kwa Hong melihat Koai Atong cengar-cengir dan mengejek ke arah tiga orang tosu itu dengan mulut dan mata
dimain-mainkan, matanya melotot plerak-plerok dan mulutnya kadang-kadang dipencas-penceskan atau
lidahnya dikeluarkan dan diulur ke arah ketiga orang tosu itu.
Sambil menahan ketawanya melihat ‘kenakalan’ Koai Atong, Kwa Hong cepat berkata, "Sam-wi Supek (Uwa
Guru Bertiga) harap jangan marah. Koai Atong sudah mendapat perkenan sukong (kakek guru) untuk bermainmain
di sini selama tiga hari."
Tiga orang tosu itu cemberut dan bersungut-sungut, "Orang gila diperbolehkan mengacau taman, merusak
bunga dan merusak watak anak-anak. Celaka...! Biarlah, pinto (aku) akan berdoa selama tiga hari kepada para
dewa agar supaya dia dikutuk...!" kata tosu bermata juling sambil mengajak teman-temannya pergi.
Setelah menyaksikan ketihaian Koai Atong tadi, di dalam hati tiga orang anak itu timbul keinginan hendak
mempelajari ilmu pukulan tadi.
"Koai Atong, kau memang lihai sekali. Ajarkan ilmu pukulan tadi kepadaku!" kata Kui Lok mendekati.
”Kami pun ingin mempelajarinya," kata Thio Ki dengan sikapnya yang masih angkuh. Thio Bwee diam saja
akan tetapi diam-diam dia mengambil keputusan bahwa kalau semua orang mempelajari, dia pun tak akan
mau ketinggalan.
Melihat betapa anak-anak itu semua sekarang suka kepadanya, Koai Atong menjadi gembira sekali. Memang
dia sudah tua, namun jiwanya memang tidak normal, sifatnya seperti kanak-kanak yang tentu saja merasa
bangga dan suka apa bila anak-anak lain kagum kepadanya.
Ia tertawa-tawa dan berkata, "Mau belajar? Boleh, boleh, akan tetapi tidak mudah. Biarlah kita pergunakan
pohon-pohon di taman ini sebagai lawan dalam latihan. Lihatlah baik-baik bagaimana kedudukannya kedua
kaki, gerakan tangan kiri dan di mana letaknya tangan kanan. Begini."
Koai Atong lalu memberi petunjuk yang diturut oleh tiga orang anak itu. Mula-mula Thio Bwee masih malumalu,
akan tetapi kemudian melihat betapa Kwa Hong juga memberi petunjuk-petunjuk, ia menjadi tertarik dan
ikut-ikut juga.
"Sudah bagus, sudah baik. Kalian cucu-cucu murid Hoa-san-pai memang berbakat," kata Koai Atong senang.
"Sekarang mari coba memukul pohon-pohon itu. Kalian perhatikan baik-baik."
dunia-kangouw.blogspot.com
Koai Atong lalu menghampiri sebatang pohon besar, kemudian dengan sepenuh tenaga dia mendorong
dengan gerakan pukulan Jing-tok-ciang. Akan tetapi pada saat itu, dari belakang pohon berkelebat bayangan
orang dan di situ telah berdiri Lian Bu Tojin, tangan kiri memegang tongkat bambu sedangkan tangan
kanannya diluruskan untuk menyambut dorongan tangan kiri Koai Atong.
"Atong, jangan merusak pohon...," kata tosu tua itu.
Koai Atong yang berwatak kanak-kanak itu pada dasarnya bukan dari kalangan baik-baik, maka setiap kali
dilawan, dia tentu akan menggunakan kepandaiannya untuk mencapai kemenangan. Maka begitu dia merasa
betapa pukulannya Jing-tok-ciang disambut oleh tangan kakek itu, dia mengerahkan tenaga dan melanjutkan
pukulan itu dengan dorongan maut yang penuh hawa Jing-tok-ciang (Racun Hijau).
Kedua tangan itu bertemu dan lengket. Tangan kiri Koai Atong berubah kehijauan. Akan tetapi Lian Bu Tojin
hanya berdiri tersenyum sambil memandang tajam. la maklum akan watak seorang seperti Koai Atong yang
tentu tidak jauh dengan watak guru anak tua ini, teman baiknya, Ban-tok-sim Giam Kong. Dari julukannya saja,
Ban-tok-sim berarti Hati Selaksa Racun. Dapat dibayangkan bagaimana watak guru Koai Atong.
Kwa Hong dan teman-temannya merupakan anak-anak dari para ahli silat Hoa-san-pai. Sebagai anak-anak
yang semenjak kecil kenal akan seluk-beluk persilatan tingkat tinggi, tentu saja mereka tahu apa yang sedang
terjadi antara Koai Atong dan sukong (kakek guru) mereka, yakni adu kepandaian atau lebih tepat adu tenaga
dalam. Mereka semua memandang dengan muka berubah dan mata bersinar-sinar.
Ada dua menit Koai Atong dan ketua Hoa-san-pai itu berdiri tegak sambil meluruskan tangan. Akhirnya Lian Bu
Tojin berkata perlahan.
"Koai Atong, kau sudah maju banyak."
Begitu ucapan ini habis dikeluarkan, tiba-tiba tubuh Koai Atong terdorong ke belakang sampai lima langkah
tanpa dapat dicegahnya lagi. Mukanya menjadi merah sekali dan tiba-tiba Koai Atong mengeluarkan anak
panahnya yang berwarna hijau. Inilah senjatanya yang ampuh dan hebat.
Lian Bu Tojin melihat ini kemudian tertawa. Tentu saja dia tidak bisa menganggap murid temannya ini sebagai
musuh atau lawan yang seimbang.
"Aha, Atong, kau hendak memperlihatkan Ilmu Silat anak panah? Silakan, silakan, biar kau nanti dapat
melapor kepada gurumu bahwa ketua Hoa-san-pai meski pun sudah tua tetapi belum lemah benar..."
Ucapan ini merupakan perkenan bagi Koai Atong yang tadinya masih ragu-ragu untuk menyerang kakek itu.
Mendadak dia berseru keras dan tubuhnya berkelebat ke depan. Sekaligus anak panah di tangannya sudah
melakukan serangan susul-menyusul sampai delapan kali banyaknya.
Anak panah itu berubah menjadi segulung sinar hijau menyambar-nyambar ke arah diri kakek itu. Kwa Hong
dan teman-temannya memandang penuh kekhawatiran. Akan tetapi Lian Bu Tojin dengan tenang
menggerakkan tongkat bambunya.
Terdengar bunyi keras delapan kali ketika anak panah itu selalu terbentur tongkat bambu ke mana pun juga
digerakkan. Memang ilmu pedang Hoa-san-pai luar biasa hebat. Jelas kelihatan oleh Kwa Hong dan temantemannya
bahwa kakek gurunya itu hanya mainkan jurus Tian-mo Po-in (Payung Kilat Sapu Awan) dari Ilmu
Pedang Hoa-san Kiam-hoat. Tapi cara pergerakannya demikian sempurnanya sehingga delapan macam
serangan dari Koai Atong dapat digagalkan!
Kemudian terdengar seruan perlahan dari kakek itu. "Koai Atong, sekarang jagalah jurus dari Hoa-san ini."
Tongkat bambu bergerak perlahan dan... anak panah itu terlepas dari tangan Koai Atong, terlempar ke atas.
Akan tetapi Koai Atong lantas memperlihatkan kelihaiannya. la dapat menggulingkan tubuh melepaskan diri
dari lingkaran tongkat bambu, kemudian tubuhnya melesat ke atas dan tahu-tahu anak panah itu sudah
dipegangnya lagi. la mengeluarkan suara seperti orang menangis kemudian... dia lari tunggang-langgang dan
meninggalkan taman seperti seorang anak kecil nakal melarikan diri karena takut mendapat hukuman.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lian Bu Tojin tertawa, lantas mengerahkan khikang berkata ke arah larinya Koai Atong, "Atong, sampaikan
salamku kepada gurumu Giam Kong!"
Setelah Koai Atong pergi, kakek ini berubah mukanya. Kini keren dan sungguh-sungguh. la menghadapi Kwa
Hong dan teman-temannya, kemudian terdengar kakek ini berkata, suaranya menahan kemarahan.
"Kwa Hong, bagaimana bunyi larangan ke tiga dari Hoa-san-pai?"
Berubah wajah Kwa Hong, agak pucat. Kalau kakek gurunya sudah memanggil namanya dengan penuh, tidak
Hong Hong seperti biasanya, itu bisa diartikan bahwa kakek gurunya benar-benar marah.
Setelah menjura ia pun berkata sambil menundukkan muka, "Larangan ke tiga berbunyi: Setiap orang murid
Hoa-san-pai tidak boleh mempelajari ilmu silat dari luar Hoa-san-pai tanpa seijin gurunya.”
"Hemmm, baik kau masih ingat. Tapi, kenapa kau tadi mempelajari Jing-tok-ciang yang amat keji itu dari Koai
Atong?"
Suara tosu tua itu kedengarannya makin marah, membuat Kwa Hong kaget dan takut sekali. la memang paling
takut kepada kakek gurunya ini. Akan tetapi ia pun merasa heran mengapa orang tua ini marah-marah,
padahal biasanya amat sabar.
"Saya... saya mengaku salah, Sukong. Siap menerima hukuman!"
Anak perempuan ini menjatuhkan diri berlutut di depan kakek gurunya. Tiga orang anak yang lain melihat ini
menjadi ketakutan pula dan mereka pun serta-merta menjatuhkan diri berlutut dan berkata hampir berbareng.
”Teecu juga mengaku salah dan siap menerima hukuman”.
Melihat cucu-cucu muridnya berlutut siap menerima hukuman dan sikap anak-anak yang penuh ketaatan akan
peraturan Hoa-san-pai, sikap yang memang sudah terkenal dari murid-murid Hoa-san-pai, kemarahan ketua
Hoa-san-pai ini mereda.
"Kalian tahu," katanya, suaranya masih keren, "apa hukuman bagi murid yang melanggar larangan ke tiga itu?"
Empat orang anak itu mengangguk.
"Si pelanggar harus membuang ilmu yang dipelajarinya di luar Hoa-san-pai, kalau perlu badannya dirusak
supaya ilmu itu tidak dapat dipergunakan. Baiknya kalian belum pandai mempergunakan Jing-tok-ciang, kalau
sudah pandai, pinto (aku) tidak akan segan-segan mematahkan tangan kiri kalian!"
Jelas tampak betapa empat orang anak itu pucat dan gemetar mendengar ini.
"Hong Hong, kelancanganmu belajar dari Koai Atong masih belum seberapa bahaya jika dibandingkan dengan
perbuatanmu membujuk saudara-saudara seperguruan untuk turut mempelajarinya pula. Perbuatan itu buruk
sekali."
Biar pun ia dimarahi, namun Kwa Hong yang cerdik menjadi lega mendengar cara kakek itu menyebut
namanya. Itu berarti bahwa kakek gurunya tidak marah lagi kepadanya.
"Teecu tidak membujuk, Sukong. Mereka memang suka mempelajari setelah melihat Koai Atong memukul
pohon."
"Betul, Sukong. Teecu yang bersalah, ingin belajar, sama sekali tidak dibujuk oleh Adik Hong," kata Kui Lok
cepat-cepat.
"Teecu juga tidak dibujuk," sambung Thio Ki. Thio Bwee diam saja, hanya melirik ke arah Kui Lok.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sudahlah," kata kakek itu. "Kalian anak-anak harus ingat baik-baik. Sebetulnya bagi aku sendiri yang menjadi
ketua Hoa-san-pai, belajar ilmu silat dari golongan lain bukanlah hal yang amat buruk. Akan tetapi mengapa
diadakan peraturan dan larangan di Hoa-san-pai? Bukan lain untuk menjaga dan mencegah anak-anak murid
Hoa-san-pai menyeleweng mempelajari ilmu yang sesat. Kalau sampai terjadi demikian, apa bila sampai ada
anak murid Hoa-san-pai mempelajari ilmu yang sesat kemudian menyeleweng dan melakukan perbuatan jahat,
bukankah hal itu akan merusak nama baik Hoa-san-pai?"
"Sukong," kata Kwa Hong yang sekarang sudah timbul keberaniannya. "Apakah ilmu silat dari Koai Atong
termasuk ilmu sesat?"
Kakek itu menarik napas panjang dan mengelus jenggotnya. "Sesungguhnya, kalau mau berkata secara jujur,
di dunia ini tak ada ilmu yang sesat. Semua ilmu itu baik, tergantung kepada si pemakai ilmu. Ilmu dapat
menjadi baik kalau dipergunakan untuk kebajikan. Sebaliknya, biar pun ilmu yang amat bersih, apa bila
dipergunakan untuk kejahatan, dapat menjadi ilmu yang kotor dan buruk."
Empat orang anak itu saling pandang tidak mengerti apa yang dimaksudkan oleh sukong mereka.
Kakek ini pun agaknya maklum, karena itu sambil tersenyum dia berkata lagi, "Biarlah aku jelaskan. Misalnya
saja ilmu bun (kesusastraan), siapa bilang bahwa ilmu membaca dan menulis ini bersifat buruk? Akan tetapi
tetap saja baik buruknya tergantung pada pemakai ilmu. Ilmu ini baik apa bila dipergunakan untuk membuat
sajak-sajak indah, menuliskan ilmu-iimu yang tinggi dan sebagainya. Akan tetapi bukankah menjadi ilmu yang
sangat buruk dan jahat apa bila dipergunakan orang untuk membuat surat-surat fitnah, membuat laporanlaporan
palsu, dan lain-lain seperti yang sekarang ini sering kali dilakukan orang?"
Barulah Kwa Hong dan teman-temannya mengerti. Memang pada waktu itu, sebagian besar rakyat tidak
pandai membaca dan menulis. Sepucuk surat fitnah saja cukup untuk mencabut nyawa seorang yang buta
huruf. Apa lagi di kota-kota besar dan terutama di kota raja, kepandaian menulis menjadi senjata yang jauh
lebih ampuh dari pada selaksa pedang dan lebih jahat dan keji dari pada ular-ular berbisa.
"Nah, jelaskah sekarang? Baru ilmu menulis saja sudah begitu jahat, apa lagi ilmu silat. Aku tidak mau bilang
bahwa ilmu yang diajarkan oleh Koai Atong itu jahat, akan tetapi sifat dari Jing-tok-ciang amatlah berbahaya.
Ilmu pukulan itu tidak ada ampunnya, sekali saja dipergunakan, kalau yang menerima kurang kuat, bisa
merenggut nyawa. Kalau tadi aku tak kuat menahan pukulannya, apakah sekarang aku tidak sudah
menggeletak mampus? Ha-ha-ha!"
Kwa Hong dan teman-temannya bergidik dan baru terbuka mata mereka akan perbedaan ilmu silat Hoa-sanpai
dan Ilmu Jing-tok-ciang. Dari kata-kata kakek gurunya itu mereka tahu bahwa sebetulnya ilmu silat milik
Hoa-san-pai tidak usah kalah oleh Jing-tok-ciang, sungguh pun Jing-tok-ciang kelihatan luar biasa dan mukjijat.
"Kalian yang tekun belajar ilmu silat kita sendiri, yang rajin berlatih, kalau ilmu silat kalian sudah mencapai
tingkat setaraf dengan tingkat Koai Atong, kalian takkan kalah olehnya." Kakek ini menarik napas panjang dan
berkata lagi, perlahan seperti pada diri sendiri, "Sayangnya... sampai sekarang tidak ada tulang yang cukup
baik untuk menjadi ahli waris Hoa-san-pai... bahkan yang sebaik Koai Atong saja tak ada..." Setelah berkata
demikian, dengan muka sedih kakek ini meninggalkan taman.
Terbangkit semangat Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok mendengar wejangan-wejangan Lian Bu
Tojin tadi. Sejak saat itu, mereka lalu berlatih dengan giat, setiap saat mereka berempat dapat terlihat berlatih
silat di dalam taman atau di lian-bu-thia (ruang berlatih silat) di bawah petunjuk Lian Bu Tojin sendiri.
Tentu saja dalam beberapa bulan saja mereka mendapatkan kemajuan yang luar biasa. Dengan adanya
teman-teman berlatih, mereka seakan-akan berlomba untuk melebihi temannya dan hal ini pula yang
mempercepat kemajuan mereka.
Akan tetapi, terjadi keganjilan yang menyolok. Hal ini hanya dapat diketahui oleh Kwa Hong dan Thio Bwee.
Anak-anak perempuan tentu saja lebih halus perasaannya dan tahu membedakan sikap anak laki-laki. Baik
Kwa Hong mau pun Thio Bwee dapat melihat bahwa selain berlomba dalam latihan, agaknya antara Thio Ki
dan Kui Lok juga ada lain perlombaan lagi, yaitu berlomba menyenangkan atau merebut perhatian Kwa Hong,
si gadis cilik yang lincah gembira, bermata bintang dan agak galak itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwa Hong menghadapi kenyataan ini dengan bangga dan sikapnya menjadi makin manja, tinggi hati, dan
agaknya mempermainkan dua orang anak laki-laki itu. Sebaliknya, Thio Bwee yang pendiam, hanya sering
nampak murung kalau melihat Kui Lok bermain-main dengan sikap bermuka-muka di depan Kwa Hong,
mencarikan bunga, mernbuat mainan dari rumput dan lain-lain.
Waktu berlalu cepat. Anak-anak itu ditinggal orang tua mereka di puncak Hoa-san-pai sudah ada empat bulan
lebih. Ketika Hoa-san Sie-eng datang ke puncak Hoa-san, semua anak-anak itu merasa gembira, akan tetapi
ternyata bahwa orang tua mereka itu masih belum mau meninggalkan Hoa-san.
Kwa Tin Siong dan tiga orang adik seperguruannya menceritakan kepada Lian Bu Tojin tentang pertemuan
mereka dengan dua orang saudara Bun, malah memberi tahukan pula bahwa Kun-lun Sam-hengte akan
datang ke Hoa-san dalam waktu lima bulan lagi.
Lian Bu Tojin rnengelus jenggot dan menggeleng kepala. "Tidak disangka sama sekali akan terjadi hal yang
begini tidak menyenangkan," katanya. "Selama puluhan tahun ini, hubunganku dengan Pek Gan Siansu ketua
Kun-lun-pai adalah hubungan saudara. Malah kami ingin mempererat hubungan dengan menjodohkan muridmurid
kami. Siapa tahu malah mala petaka timbul karena ini."
Dengan air mata berlinang Sian Hwa berkata, "Ampunkan teecu Suhu. Teecu sudah menimbulkan kedukaan
dalam hati Suhu, akan tetapi... apakah daya teecu? Ayah teecu dibunuh oleh... oleh... keparat itu..."
Lian Bu Tojin mengangkat tangannya. "Kau tidak salah Sian Hwa, kau tidak salah. Malah pinto yang
sesungguhnya merasa berdosa. Pinto yang menjodohkan kau dengan murid Kun-lun-pai, siapa tahu..." Kakek
itu berulang kali menarik napas panjang.
"Persoalan ini tentu akan segera dibikin terang setelah Kun-lun Sam-hengte tiba di sini lima bulan lagi, Suhu.”
Kwa Tin Siong menghibur. "Biarlah lima bulan lagi teecu bersama datang lagi dan berkumpul di sini untuk
menghadapi murid-murid Kun-lunpai."
"Kalian pulanglah, akan tetapi anak-anak itu biarkan di sini saja. Bukankah lima bulan lagi kalian datang? Aku
ingin melihat sendiri kemajuan mereka, terutama membimbing watak mereka. Tin Siong dan kau, Wan It dan
Kui Keng, tentu rela meninggalkan anak-anak kalian di sini untuk lima bulan lagi, bukan?"
"Tentu saja, Suhu. Malah teecu menghaturkan banyak terima kasih bahwa Suhu sendiri berkenan membimbing
mereka," jawab tiga orang murid itu serempak.
"Suheng sekalian, jangan khawatir, aku berada di sini menemani mereka," kata Sian Hwa.
Makin gembira hati mereka, juga Lian Bu Tojin girang sekali mendengar bahwa Sian Hwa yang sudah tidak
ada keluarga lagi itu hendak ikut menanti di Hoa-san selama lima bulan.
Demikianlah, Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng turun dari Hoa-san untuk pulang ke rumah masingmasing
sedangkan Sian Hwa tinggal di Hoa-san bersama murid-murid keponakannya. Gadis yang sedang
menderita tekanan batin ini menghibur hatinya dengan melatih silat kepada keponakan-keponakannya. Sedikit
banyak agak terhiburlah hatinya melihat anak-anak yang gembira dan lincah itu.
Apa-lagi terhadap Kwa Hong, Sian Hwa amat menyayangnya…..
********************
Ketika terjadi perang kecil antara serombongan orang Pek-lian-pai yang dipimpin oleh Tan Hok melawan
pasukan Mongol yang mengakibatkan musnahnya pasukan Mongol di kaki Gunung Hoa-san, beberapa orang
tosu Hoa-san-pai melaporkan hal itu kepada Sian Hwa. Memang gadis ini dianggap orang yang paling pandai
di antara para tosu. Lian Bu Tojin sendiri sedang bersemedhi dan sama sekali tak boleh diganggu, maka
kepada Sian Hwa mereka itu menuturkan tentang perang di kaki gunung.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar kejadian ini, dengan dikawani oleh lima orang tosu kepala yang sudah cukup tinggi
kepandaiannya, Sian Hwa kemudian berlari turun dari puncak. Kepada anak-anak keponakannya ia berpesan
agar supaya jangan meninggalkan taman dan bermain-main di dalam taman saja.
Kedatangan Sian Hwa dan lima orang tosu di tempat pertempuran sudah terlambat. Tan Hok dan temantemannya,
juga termasuk Beng San, sudah lama meninggalkan tempat itu dikejar oleh pasukan Mongol lainnya
yang lebih besar jumlahnya dan seperti yang sudah kita ketahui, akhirnya dipancing untuk mengalami
kehancuran di Pek-tiok-kok.
Liem Sian Hwa hanya mendapatkan tanah yang baru digali dan ditimbun kembali, yaitu tempat di mana mayatmayat
serdadu Mongol dikubur oleh Beng San dan yang kemudian dibantu oleh Tan Hok dan temantemannya.
Melihat adanya sebuah bendera Pek-lian-pai di pohon, timbul kemarahan dalam hati Sian Hwa.
Bagaimana pun juga, sekarang Pek-lian-pai sudah menjadi musuh besarnya. Bukankah ayahnya telah
terbunuh oleh orang Pek-lian-pai dan Kwee Sin? Saking marahnya, ia lalu merenggutkan bendera itu dari
pohon dan merobek-robeknya.
Seorang tosu mendekati dan berkata, "Sumoi, kenapa kau merobek-robek bendera milik Pek-lian-pai itu?
Bukankah itu bendera orang-orang yang melawan pasukan Mongol?"
"Pek-lian-pai perkumpulan orang-orang jahat! Kalau aku melihat mereka tadi di sini, akan kulawan dan
kubasmi semua!” Sian Hwa berseru dengan suara marah. "Suheng sekalian apakah tak ingat bahwa ayahku
terbunuh oleh paku Pek-lian-ting milik Pek-lian-pai? Bagai mana aku tidak akan memusuhinya?"
"Bagus, bagus! Memang Pek-lian-pai jahat sekali, patut dibasmi!” tiba-tiba terdengar suara orang.
Pada saat Sian Hwa menengok, ternyata yang bicara adalah seorang laki-laki muda yang tampan, selalu
tersenyum dan pakaiannya indah sekali. Muka gadis itu seketika menjadi merah karena sinar mata pemuda ini
amat tajam, bersinar-sinar tidak menyembunyikan kekagumannya ketika menatap kepadanya.
Orang muda itu lalu memberi hormat, menjura sambil mengangkat kedua tangan dengan sikap yang halus
sekali sehingga tiada kesempatan bagi Sian Hwa untuk marah.
"Maafkan saya, Nona. Saya Souw Kian Bi dan saya merasa sangat cocok dengan pendapat Nona tadi.
Memang Pek-lian-pai adalah perkumpulan orang-orang jahat.”
Sungguh pun hatinya tidak senang melihat kelancangan orang ini, Liem Sian Hwa tidak mungkin dapat marah
terhadap orang yang bersikap manis dan hormat ini. Terpaksa oleh sopan santun ia balas menjura dan berkata
singkat.
"Saya tidak ada urusan dengan Tuan ini, juga tidak mengenal Tuan. Maafkan bahwa saya tidak sempat
bercakap-cakap lebih lama lagi." Nona ini membalikkan tubuh hendak pergi.
Souw Kian Bi melangkah maju. "Perlahan dulu, Nona. Apa salahnya kalau kita sekarang berkenalan? Apakah
Nona anak murid Hoa-san-pai?"
Lima orang tosu yang mengawani Sian Hwa merasa tidak senang melihat ada seorang muda berani menegur
sumoi mereka. Dianggapnya pemuda itu kurang ajar.
Seorang di antara para tosu itu mencela. "Sumoi-ku tidak ada urusan denganmu, orang muda. Harap jangan
mengganggu lebih jauh."
Sambil berkata demikian, tosu itu menggerakkan tangan bajunya untuk mendorong orang muda itu minggir
karena orang itu menghalangi jalan. Tentu saja dia mengerahkan tenaga untuk memperlihatkan kepandaian
dan sekaligus untuk menakut-nakuti orang muda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang muda itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak, akan tetapi ketika lengan baju tosu itu mengenai
dadanya, bukan pemuda itu yang terdorong, namun tosu tadilah yang terpelanting. Tosu itu berseru kaget dan
menjadi marah.
"Ehh, kau mau main-main?" bentaknya sambil mencengkeram ke arah pundak.
"Suheng, jangan...!" Sian Hwa memperingatkan tosu itu.
Gadis ini melihat bahwa pemuda ini bukan orang sembarangan, terbukti dari gerakan kakinya ketika terdorong
tadi. Namun terlambat, tangan tosu itu terpelanting. Hanya kali ini terpelanting keras sampai terbentur batu dan
mengeluarkan darah.
Empat orang tosu yang lain menjadi marah sekali.
"Keparat, berani kau merobohkan saudara kami?"
Serentak empat orang tosu ini menerjang pemuda tadi dengan pukulan-pukulan tangan. Souw Kian Bi,
pemuda aneh itu, hanya tersenyum saja tanpa menangkis. Dia hanya menundukkan kepala untuk
menghindarkan pukulan yang mengancam mukanya.
Terjadi hal yang aneh sekali. Kepalan tangan empat orang tosu itu dengan jelas kelihatan mengenai tubuh
pemuda itu sampai terdengar suara bak-bik-buk, akan tetapi tosu-tosu itu lalu berteriak kesakitan sambil
memegangi tangan mereka yang tahu-tahu sudah menjadi bengkak-bengkak. Mereka merasa seperti memukul
baja, bukan badan orang!
Sian Hwa tak dapat menahan kesabarannya lagi, di samping merasa heran sekali. Meski pun kepandaian
empat orang suheng-nya belum tinggi benar, namun menerima pukulan dengan badan dari empat orang
sekaligus seperti pemuda itu dan membuat si pemukul sendiri bengkak-bengkak tangannya, benar
membuktikan bahwa pemuda itu berilmu amat tinggi. Tanpa ragu-ragu ia lalu mencabut pedangnya, meloncat
dekat dan membentak.
"Manusia sombong, beraninya kau bermain gila di depanku?" la melintangkan pedang di depan dada, lalu
menantang. "Hayo keluarkan senjatamu, hendak kulihat sampai di mana kelihaianmu!"
Orang muda yang mengaku bernama Souw Kian Bi itu tersenyum dan pandang matanya makin
membayangkan kekaguman.
"Kau hebat, Nona, hebat sekali. Patut menjadi sahabat baikku. Cantik dan gagah perkasa, hemmm..."
Tentu saja muka Sian Hwa menjadi makin merah. Tidak ada wanita di dunia ini yang tidak senang dipuji
seorang laki-laki, terutama sekali dipuji akan kecantikannya. Demikian pula Sian Hwa. Akan tetapi di samping
rasa senangnya ini, terdapat pula perasaan marah karena dianggapnya laki-laki itu kurang ajar.
"Siapa sudi menjadi sahabatmu? Hayo keluarkan senjatamu, kalau tidak, jangan salahkan aku kalau habis
kesabaranku...”
Souw Kian Bi tertawa, dan tampaklah barisan giginya yang putih dan rapi. "Kau hendak main-main dengan
pedang? Oho, bagus sekali. Memang kurang mesra perkenalan kita jika tidak melalui ujung senjata. Nah, aku
sudah siap, kau perlihatkanlah ilmu pedangmu, Nona Manis."
Pemuda itu sekarang sudah memegang sebuah pedang yang amat indah karena gagang pedang itu dihias
dengan banyak batu-batu kumala. Selain indah bentuknya, pedang itu pun nampak amat tajam sampai
berkilauan tertimpa cahaya matahari.
Melihat lawannya sudah bersenjata, tanpa mengeluarkan kata-kata lagi Sian Hwa segera menerjang maju
dengan gerakannya yang amat lincah dan cepat. Sepasang pedang di kedua tangannya mengeluarkan suara
mengaung pada saat dia menghujani Souw Kian Bi dengah serangan-serangan maut. Sepasang pedangnya
itu lenyap berubah menjadi dua gulung sinar yang membungkus tubuhnya, amat luar biasa dipandang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Souw Kian Bi mengeluarkan seruan terkejut menyaksikan kehebatan ilmu pedang gadis itu. Cepat-cepat dia
memutar senjatanya melindungi diri sehingga berkali-kali terdengar suara pedang bertemu pedang. Lima menit
sudah Souw Kian Bi hanya menangkis dan melindungi diri saja, kemudian tiba-tiba dia meloncat ke belakang
sambil berseru.
"Jadi Nona ini Kiam-eng-cu Liem Sian Hwa, orang termuda dari Hoa-san Sie-eng? Pantas begini lihai dan
cantik!" Dia tersenyum-senyum lagi, senyum memikat dengan sinar mata kagum.
Kembali wajah Sian Hwa menjadi merah. "Tak usah banyak cakap, kau telah merobohkan lima orang suhengku.
Kau boleh coba merobohkan aku, baru patut menyombongkan diri!" Kembali gadis ini menubruk maju
sambil mainkan sepasang pedangnya.
Souw Kian Bu segera menangkis lagi sambil tertawa. "Alangkah akan senangnya andai kata aku dapat
merobohkanmu, Nona, merobohkan hatimu terutama sekali. Alangkah senangnya..."
"Keparat kurang ajar!"
Sian Hwa memperhebat serangannya dan kali ini Souw Kian Bi terpaksa mengeluarkan kepandaiannya untuk
melindungi dirinya dari ancaman maut. Gadis itu merasa heran sekali ketika mendapat kenyataan bahwa orang
muda yang mengaku bernama Souw Kian Bi ini ternyata memiliki ilmu pedang yang amat aneh gerakannya,
akan tetapi juga amat lihai.
Semua serangannya dapat ditangkis dengan mudah, malah setiap kali pedangnya beradu dengan pedang
lawannya, dia merasa telapak tangannya tergetar tanda bahwa tenaga dalam pemuda itu juga tidak kalah
olehnya. Diam-diam dia mengeluh dan mencurahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya. la akan merasa malu
sekali kalau sampai kalah oleh pemuda ceriwis ini.
Di lain pihak, Souw Kian Bi juga amat kagum menyaksikan ilmu pedang gadis lawannya. Tidak percuma gadis
ini dijuluki Kiam-eng-cu (Bayangan Pedang) dan menjadi orang termuda dari Hoa-san Sie-eng yang ternama.
Rasa sayangnya terhadap gadis ini yang tadinya timbul karena kecantikan Sian Hwa, kini menjadi bertambahtambah.
Rasa sayang inilah yang membuat Souw Kian Bi tak mau menggunakan kepandaiannya untuk merobohkan
Sian Hwa. Dia sengaja hendak membuat gadis ini roboh sendiri karena lelah dan di samping ini dia pun
hendak memamerkan kepandaiannya agar betul-betul dapat merebut hati gadis cantik dan gagah ini.
Sementara itu, para tosu yang sudah roboh oleh Souw Kian Bi, menjadi makin khawatir menyaksikan betapa
sumoi mereka yang terkenal gagah itu pun belum berhasil pula merobohkan lawan itu dengan sepasang
pedangnya. Diam-diam mereka lalu berunding, kemudian seorang di antara lima tosu itu lari naik ke puncak
untuk melaporkan hal itu kepada Lian Bu Tojin.
Dapat dibayangkan betapa marah dan kagetnya ketua Hoa-san-pai itu. Belum pernah ada anak murid Hoasan-
pai yang berani mengganggunya di waktu dia sedang bersemedhi. Kali ini tosu itu memaksa dia sadar dari
semedhinya dan menceritakan tentang serbuan seorang laki-laki muda yang kurang ajar dan lihai ilmu silatnya.
Walau pun sedang marah, tosu tua itu mengelus jenggotnya dan menahan napas untuk menekan kemarahan
sehingga dia tenang dan sabar kembali.
"Kau bilang dia bernama Souw Kian Bi?"
Kakek ini mengingat-ingat, akan tetapi tidak merasa mempunyai musuh ber-she Souw. Jangan-jangan
sebangsa jai-hwa-cat (penjahat cabul), pikirnya. Ini sangat berbahaya, apa bila sampai Sian Hwa benar-benar
kalah oleh penjahat itu akan celakalah muridnya.
la segera bangkit, menyeret tongkatnya dan berkata, "Antarkan pinto ke sana."
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika Lian Bu Tojin tiba di tempat pertempuran, dia menahan seruan kagetnya. Sian Hwa telah terdesak
hebat. Pedangnya yang kiri sudah terlepas dan kini gadis itu dengan napas tersengal-sengal mempertahankan
diri dari serangan pemuda tampan itu yang selalu tersenyum-senyum sambil mengeluarkan kata-kata
menggoda. Jelas sekali terlihat bahwa kepandaian pemuda itu jauh lebih tinggi, malah dengan amat mudahnya
akan mampu merobohkan Sian Hwa kalau dia mau.
Ketika diam-diam Lian Bu Tojin memperhatikan ilmu pedang yang dimainkan pemuda itu, dia menganggukangguk.
Itulah ilmu pedang utara yang sudah tinggi tingkatnya. Juga gerakan-gerakan pemuda itu menyatakan
bahwa tenaga dalamnya sudah kuat sekali. Pantas saja Sian Hwa terdesak. Andai kata yang melawan pemuda
ini bukan Sian Hwa, melainkan Kwa Tin Siong, mungkin akan seimbang dan lebih ramai.
"Sian Hwa, mundurlah. Orang muda ada urusan boleh dirunding dengan pinto!"
Seruan Lian Bu Tojin ini biar pun perlahan, akan tetapi mengandung tenaga yang amat berpengaruh. Tentu
saja sukar bagi Sian Hwa untuk mundur karena dia sudah dikurung sinar pedang lawannya. Kalau bukan
lawannya yang menghentikan pertandingan ini, dia sendiri sudah tidak berdaya melepaskan diri.
Sambil mengeluarkan suara ketawa bergelak, Souw Kian Bi menggetarkan pedangnya dan….
"Tringgg...!" pedang kanan Sian Hwa terlepas pula, terlempar ke udara.
Lian Bu Tojin menggerakkan tongkatnya dan tahu-tahu pedang yang terbang itu sudah tertempel oleh tongkat
bambunya. Sedangkan Souw Kian Bi melangkah maju mendekati Sian Hwa sambil cengar-cengir dan berkata,
"Nona manis, apakah sekarang kau masih belum mau mengaku kalah padaku? Apakah dengan kepandaianku
ini kau masih tetap menganggap tak pantas kalau aku menjadi sahabat baikmu?"
Sian Hwa merasa malu sekali. Dengan kemarahan yang membuat dadanya seolah-olah akan meledak, dia
kembali menerjang maju, menghantam kepalan tangan kanannya ke dada pemuda itu.
Souw Kian Bi cepat mengelak sambil tertawa dan berkata, "Sayang tanganmu yang halus kalau sampai
mengenai dadaku, Manis."
Sekali lagi dia mengelak pada saat pukulan ke dua datang dan kini sambil mengelak dia mempergunakan
tangan kirinya untuk mencekal pergelangan tangan kanan Sian Hwa. Gerakan ini amat cepatnya dan sekali
melihat saja Lian Bu Tojin tahu bahwa pemuda itu pun mahir sekali akan ilmu tangkap dan ilmu cengkeram
semacam Eng-jiauw-kang. Sian Hwa kaget sekali karena percuma saja ia berusaha melepaskan tangannya.
"Orang muda, jangan kurang ajar. Lepaskan!" Tiba-tiba Lian Bu Tojin melangkah maju untuk mencegah
kekurang-ajaran pemuda itu terhadap muridnya.
Akan tetapi Souw Kian Bi hanya tertawa. Mana dia mau memandang mata kepada kakek tua ini? Sambil
tangan kiri masih memegangi tangan Sian Hwa, pedangnya di tangan kanan bergerak ke arah dada Lian Bu
Tojin dan dia membentak.
"Tosu bau jangan ikut campur. Menggelindinglah kau!"
Tetapi kali ini dia telah salah hitung. Pedangnya yang meluncur ke arah dada tosu tua itu tiba-tiba bertemu
dengan tongkat bambu, pedangnya menggetar-getar dan...
"Krakkk!"
Pedang itu patah menjadi dua. Tubuhnya sendiri menggigil, pegangannya pada tangan Sian Hwa terlepas dan
dia masih terhuyung-huyung ke belakang lima atau enam tindak. Mukanya menjadi pucat sekali.
"Kau... kau siapakah...?” dia memandang kepada kakek tua itu dengan mata terbelalak.
Lian Bu Tojin tak menjawab, hanya berdiri tegak sambil memandang dengan tajam. Souw Kian Bi menggerakgerakkan
biji matanya, memandangi kakek itu dari atas ke bawah. Agaknya jenggot panjang dan tongkat
dunia-kangouw.blogspot.com
bambu itu yang menarik perhatiannya, kemudian membuat dia dapat menduga siapa yang sedang berhadapan
dengannya.
"Ah, kiranya Totiang adalah Lian Tojin sendiri? Pantas saja aku tak dapat melawannya. Kiranya ketua yang
terhormat dari Hoa-san-pai sendiri yang telah turun tangan!" Ucapan ini merupakan sindiran hebat.
Memang sebetulnya amat memalukan bagi Lian Bu Tojin, seorang ciangbunjin (ketua) dari partai besar harus
turun tangan sendiri menghadapi seorang muda seperti Souw Kian Bi! Mau tak mau kedua pipi kakek itu
menjadi merah. Pemuda ini ternyata bukan hanya lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga amat tajam kata-katanya.
"Orang she Souw," katanya sabar, "murid-muridku sedang turun gunung maka tidak ada yang menyambutmu
sehingga terpaksa pinto sendiri menjenguk ke sini. Tak tahu apakah yang menjadi sebabnya maka engkau
mengacau di sini?"
Souw Kian Bi tertawa mengejek. ”Siapa mengacau? Aku lewat di sini, bertemu Nona ini, tertarik dan ingin
bersahabat, apa salahnya? Sudahlah, lain kali dia tetap akan menjadi sahabat baikku..." Setelah berkata
demikian pemuda itu membalikkan tubuhnya dan pergi.
Sian Hwa yang masih marah sekali cepat menyambar pedangnya yang tadi terpukul jatuh, hendak mengejar.
Akan tetapi gurunya mencegahnya.
"Jangan kejar, Sian Hwa. Kulihat orang itu bukan orang sembarangan. Sudah jelas bahwa dia itu dari utara.
Akan tetapi mengapa sengaja datang mengacau Hoa-san-pai? Hemmm, kita harus berhati-hati, makin banyak
saja musuh-musuh rahasia yang hendak memusuhi kita."
Kakek ini lalu mengajak semua muridnya naik ke puncak Hoa-san lagi sambil memesan kepada para muridnya
yang menjadi tosu supaya mulai saat itu melakukan penjagaan yang kuat siang malam, akan tetapi tidak boleh
lancang turun tangan menyerang orang luar.
Kalau di kaki Gunung Hoa-san terjadi hal yang aneh ini, di puncak Hoa-san terjadi pula hal yang ganjil. Pada
waktu Kwa Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok sedang berlatih silat di dalam taman bunga. Antara Thio Ki
dan Kui Lok jelas sekali terjadi perlombaan, bukan hanya untuk kemajuan ilmu silat, akan tetapi terang sekali
keduanya berlomba untuk bersikap manis kepada Kwa Hong.
Keduanya memiliki watak yang hampir sama, yaitu gagah dan tabah, tetapi keduanya juga angkuh sekali.
Mungkin hal ini timbul karena mereka merasa menjadi putera-putera pendekar Hoa-san-pai. Bahkan pada Thio
Bwee yang pendiam juga tampak sifat angkuh ini dan merasa seolah-olah mereka adalah anak-anak orang
gagah yang berbeda dengan anak-anak lain. Hanya Kwa Hong seorang yang wataknya tetap lincah jenaka,
galak akan tetapi tidak angkuh.
Pada saat itu, tiba giliran Kui Lok untuk bersilat pedang disaksikan oleh ketiga orang temannya. Kui Lok benarbenar
memiliki bakat yang amat baik. Selama beberapa bulan ini kepandaiannya sudah meningkat banyak.
Ketika dia bersilat tidak saja gerakan pedangnya mantap dan kuat, akan tetapi juga cepat sekali. Tentu saja dia
bersilat pedang dengan tangan kiri, karena memang dia lebih pandai mempergunakan tangan kirinya dari pada
tangan kanannya. Setelah dia selesai bersilat, Kwa Hong bersorak.
"Bagus sekali Lok-ko (kakak Lok), kepandaianmu benar-benar sudah maju pesat!" dia memuji dengan
sejujurnya.
Thio Bwee juga mengangguk-angguk membenarkan pujian Kwa Hong. Akan tetapi, pujian itu tidak
menyenangkan hati Thio Ki.
”Sayangnya pedang itu dimainkan tangan kiri, jadi tentu saja kurang kuat dan kurang tepat seperti kalau
dimainkan oleh tangan kanan," Thio Ko berkata dengan lagak seakan-akan seorang yang lebih pandai menilai
permainan orang yang lebih rendah tingkatnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ucapan ini diterima oleh Kui Lok dengan muka merah. Dia merasa disindir dan ditegur karena sifat tangannya
yang kidal.
"Walau pun dengan tangan kiri kurasa tidak kalah oleh permainan pedang tangan kanan," jawabnya sambil
menatap wajah Thio Ki penuh tantangan.
"Phuah...!" Thio Ki mengejek, membuang muka.
"Phuah...!" Kui Lok juga mengeluarkan suara mengejek.
Thio Ki naik darah, dirabanya gagang pedang di punggungnya. "Kalau begitu, mari kita buktikan, siapa lebih
pandai, si tangan kanan atau si tangan kidal!"
"Begitu? Baiklah, tapi kau yang menantang, saudara Ki, bukan aku!" Kui Lok menjawab, pedangnya siap
ditangan kiri.
Kwa Hong memperhatikan kejadian ini dengan mata berseri.
"Baik sekali begitu!" ia bersorak. "Gembira sekali kalau diadakan pibu persaudaraan."
Yang dimaksudkan dengan pibu (adu kepandaian silat) adalah pertandingan mengadu kepandaian silat untuk
menentukan siapa kalah siapa menang.
"Dari pada setiap hari kalian bercekcok saja tentang tingkat kepandaian kalian, lebih baik diputuskan dengan
bukti."
Dua orang anak laki-laki itu sekarang sudah berhadapan dengan pedang di tangan. Thio Bwee membelalakkan
matanya yang lebar, penuh kekhawatiran.
"Jangan!" teriaknya memohon. "Bagaimana kalau ada yang terluka? Sukong akan marah sekali."
Kwa Hong tertawa dan melangkah di antara dua orang jago muda itu. "Kalian ini sudah bernafsu untuk saling
serang," godanya, "jangan begitu, ah! Kita ini kan saudara-saudara seperguruan. Masa mau main tusuk
dengan pedang."
"Habis bagaimana untuk menentukan siapa lebih unggul?" tanya Kui Lok.
"Biarkan saja, Hong-moi (adik Hong). Lok-te (adik Lok) ini sombong sekali, tidak mau mengalah terhadap aku
yang lebih tua," kata Thio Ki.
"Mana bisa saudara seperguruan saling hantam? Kalau diketahui sukong, apa kau kira aku tidak ikut
dipersalahkan? Aku tidak mau! Kalau kalian berkelahi, pergilah jauh-jauh dari sini agar aku tidak terbawabawa,"
kata Kwa Hong.
Dua orang anak laki-laki itu saling pandang. Mereka ingin memperlihatkan di depan Kwa Hong bahwa mereka
gagah dan tidak kalah oleh yang lain. Sekarang Kwa Hong tidak mau melihat mereka mengadu kepandaian,
untuk apa mereka lanjutkan? Akan tetapi kalau tidak pergi mencari tempat lain, juga dapat dianggap takut atau
pengecut.
Kwa Hong yang melihat keraguan mereka lalu tertawa. "Sudahlah, simpan pedang kalian. Kalau mau
menentukan siapa yang lebih unggul, mudah saja. Kalian pergunakan ranting yang tidak berbahaya, aku akan
menyediakan tinta. Ujung ranting diberi tinta dan ranting itu dimainkan seperti ujung pedang. Siapa yang lebih
dulu terkena tinta bajunya dialah yang kalah."
Usul ini didukung oleh Thio Bwee yang tentu saja juga tidak menghendaki pertempuran sungguh-sungguh
antara kakaknya dan Kui Lok. Dua orang anak itu pun menyetujui dan masing-masing mencari sebatang
ranting yang lembek. Segera mereka membasahi ujung ranting masing-masing dengan tinta dan mulailah
mereka bertanding, disaksikan oleh Kwa Hong dan Thio Bwee. Kwa Hong bertindak sebagai wasitnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tak-tok-tak-tok…!” bunyi dua batang ranting itu beradu dan kedua orang jago muda itu bergerak cepat untuk
mendahului lawan, mengirim tusukan untuk menodai baju lawannya dengan tinta di ujung ranting.
"He, Ki-ko! Tidak boleh menyerang mata!" Kwa Hong berseru.
Sebagai wasit, ia harus berlaku adil. Menurut perjanjian tadi, masing-masing hanya boleh menyerang baju
untuk memberi tanda dengan tinta.
"Lok-ko, tidak boleh menendang!" Ia kembali berseru.
Mula-mula hanya jarang dia berseru melarang. Akan tetapi kedua orang jago muda itu makin lama menjadi
makin penasaran dan panas karena belum juga dapat mengalahkan lawan.
Makin sering mereka melakukan pelanggaran-pelanggaran dan semakin sering pula Kwa Hong berteriak-teriak
melarang. Malah sekarang Thio Bwee juga turut berteriak-teriak karena khawatir melihat dua orang jago muda
itu mulai menggunakan serangan sungguh-sungguh yang membahayakan lawan. Pertandingan untuk
mengadu kepandaian itu sudah menjadi perkelahian yang sungguh-sungguh.
Kwa Hong menjadi marah dan membanting-banting kakinya. "Kalian curang! Kalian tidak memegang janji.
Sudah, jangan berkelahi lagi!"
Akan tetapi mana dua orang jago muda yang sudah panas perutnya itu mau berhenti? Mereka malah
menyerang lebih hebat. Kwa Hong berteriak-teriak marah.
Tiba-tiba terlihat bayangan orang berkelebat dan tahu-tahu dua orang jago muda itu roboh terguling. Mereka
tak terluka karena tadi hanya terdorong saja ke samping. Dengan heran mereka merayap bangun. Juga Kwa
Hong dan Thio Bwee terheran-heran memandang.
Ternyata Koai Atong sudah berdiri di situ, cengar-cengir dan berkata, "Kalian tidak boleh bikin marah Enci
Hong!"
Lalu dia berpaling kepada Kwa Hong dan berkata, "Enci Hong, aku datang kembali untuk mengajak kau
bermain-main seperti dulu. Hayo ikut aku ke hutan sebelah sana itu, tadi aku melihat seekor kijang muda yang
amat indah. Akan kutangkap binatang itu untukmu." la melangkah maju hendak menggandeng tangan Kwa
Hong.
"Tidak, Koai Atong. Aku tidak mau pergi. Sukong akan marah nanti." Kwa Hong mengelak.
"Tidak marah, biar kalau marah aku yang tanggung jawab." Koai Atong hendak memaksa, sekali tangannya
menyambar dia sudah dapat memegang pergelangan tangan Kwa Hong.
"Tidak, tidak, aku tidak mau...”
Mereka berkutetan. Agaknya Koai Atong tidak mau mempergunakan kekerasan terhadap Kwa Hong yang
disayanginya sebagai sahabat baik itu, maka mereka berkutetan saling tarik. Kalau Koai Atong mau
menggunakan kekerasan, tentu saja dengan mudah dia akan dapat membawa lari Kwa Hong.
Pada saat itu, dari luar taman berjalan masuk seorang anak laki-laki. Jauh di belakang nampak beberapa
orang tosu berlari-lari sambil berteriak-teriak.
"Anak setan, tak boleh masuk ke sana!"
Agaknya anak yang masuk itu tadi dapat meninggalkan para tosu yang sekarang berlari mengejarnya. Anak ini
bukan lain adalah Beng San!
dunia-kangouw.blogspot.com
Seperti sudah diceritakan di bagian depan, Beng San sampai di kaki gunung Hoa-san dan bertemu dengan
Tan Hok beserta teman-temannya, para anggota Pek-lian-pai. Setelah berpisah dari Tan Hok, dia segera
mendaki gunung itu menuju ke puncak.
Beberapa orang tosu melarangnya naik, akan tetapi Beng San berkeras hendak bertemu dengan ketua Hoasan
pai. Ketika dihalangi anak ini lalu berlari menyelinap cepat sampai para tosu itu tertinggal jauh dan
mengejar terus. Akhirnya dia memasuki taman bunga itu.
Melihat betapa seorang gadis cilik ditarik-tarik seorang laki-laki tinggi besar, hati Beng San menjadi penasaran
dan marah sekali. Ia tidak mengenal Kwa Hong, juga tidak mengenal Koai Atong sungguh pun pernah dia
bertemu dengan kedua orang ini.
Dengan langkah lebar dia menghampiri Koai Atong yang masih berkutetan dengan Kwa Hong, memegang
lengan Koai Atong sambil berkata keras.
"Seorang laki-laki dewasa menyeret-nyeret seorang anak perempuan kecil, sungguh tidak patut. Memalukan
sekali!"
Suara Beng San amat nyaring sampai terngiang di telinga. Tidak hanya Koai Atong yang kaget, juga Kwa
Hong, Thio Ki, Thio Bwee, dan Kui Lok sangat terkejut. Mereka menoleh dan memandang.
Tiba-tiba saja Koai Atong melepaskan pegangannya pada lengan Kwa Hong. Tubuhnya menggigil, wajahnya
yang merah berubah pucat sekali, matanya melotot lebar, mulutnya ternganga dan dia pun berdiri seperti
orang terserang demam. Tangan kanannya dengan telunjuk menggigil menuding ke arah Beng San,
sedangkan bibirnya mengeluarkan suara tidak karuan, akan tetapi masih dapat ditangkap oleh anak-anak itu.
"Ssseeeee... sssssetannn... setan...!"
Tiba-tiba dia meloncat jauh dari situ, lalu lari sekerasnya sambil memekik-mekik, "Setan! Dia roh jahat... hidup
lagi... aduhhh setan... ampunkan aku...!" Sebentar saja Koai Atong sudah tidak tampak lagi bayangbayangnya.
Tentu saja Beng San terlongong keheranan. la tidak tahu bahwa dahulu dalam keadaan tidak sadar karena
menelan pil buatan Siok Tin Cii, dia dipukul dan dilukai oleh Koai Atong yang menggunakan Jing-tok-ciang dan
anak tua itu menyangka bahwa dia sudah tewas. Tentu saja sekarang tiba-tiba melihat Beng San dengan
muka merah kehitaman berdiri di depan kakek yang berwatak anak-anak ini membuat Koai Atong ketakutan
setengah mati dan membuat dia lari tunggang-langgang, tak berani lagi kembali ke Hoa-san!
Kwa Hong dan teman-temannya juga terkejut ketika melihat seorang anak laki-laki berdiri di situ. Pakaiannya
compang-camping, kakinya tidak bersepatu, rambutnya kusut dan mukanya merah kehitaman.
Muka Beng San menjadi merah karena dia tadi marah melihat Koai Atong menarik-narik tangan Kwa Hong.
Mukanya merah hitam, sedang matanya tajam seperti mata harimau, benar-benar merupakan seorang anak
yang aneh dan patut kalau dianggap setan.
Akan tetapi Kwa Hong segera mengenal Beng San. Dia melangkah maju, kemudian dia memperhatikan muka
Beng San yang sementara itu telah mulai berubah, lenyap warna merah hitam menjadi putih bersih kembali,
akan tetapi perlahan-lahan lalu berubah pula menjadi kehijauan. Hal ini adalah karena sepasang mata Kwa
Hong sudah mengenalnya, dan ia merasa agak malu berhadapan dengan empat orang anak-anak yang
berpakaian indah-indah dan bersikap gagah ini.
"Ehh, kaukah ini? Kau... bunglon?" Kwa Hong menegur sambil tertawa geli.
Setelah mendengar suara Kwa Hong, baru Beng San teringat bahwa gadis cilik berbaju merah inilah yang
dahulu pernah bercekcok dengannya di dalam hutan. la pun tersenyum dan berkata. "Kiranya kau di sini...
kuntilanak!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kui Lok dan Thio Ki menjadi merah mukanya. Mereka memandang kepada Beng San dengan mata melotot,
marah sekali mereka mendengar betapa anak jembel ini memaki Kwa Hong kuntilanak. Benar-benar kurang
ajar sekali!
Pada saat itu para tosu yang mengejar Beng San, empat orang jumlahnya, sudah tiba di situ dan mereka
berteriak-teriak.
"Penjahat cilik itu jangan sampai terlepas! Di larang masuk ke sini!"
"Aku mau berjumpa dengan Lian Bu Tojin," bantah Beng San.
Akan tetapi Kui Lok dan Thio Ki yang sudah marah sekali, melihat para tosu marah-marah pula kepada anak
jembel itu, menjadi makin berani. Keduanya lalu melangkah maju dan memaki, "Jembel busuk hayo pergi dari
sini!"
Beng San tenang-tenang saja, memandang kepada Kui Lok dan Thio Ki yang berdiri angkuh di depannya. "Aku
tidak mau pergi kalau belum bertemu dengan Lian Bu Tojin."
"Keparat! Kau minta dipukul?" bentak Thio Ki marah.
Beng San tertawa dan menggeleng kepalanya. "Siapa yang minta dipukul? Aku tidak! Aku mau bertemu
dengan Lian Bu Tojin."
"Macammu ini mau bertemu dengan sukong? Sukong terlalu mulia untuk bertemu dengan segala jembel
busuk. Kalau kau tidak lekas minggat dari sini, akan kupukul!" kata Kui Lok galak.
Beng San melengak heran. "Kalian ini cucu murid Lian Bu Tojin? Ahh, kalau begitu aku salah alamat. Orang
bilang Lian Bu Tojin ketua Hoa-san-pai seorang yang mulia hatinya, dan bahwa orang-orang Hoa-san-pai
adalah orang-orang gagah. Kiranya murid kecilnya saja sudah begini galak."
Kui Lok dan Thio Ki adalah keturunan orang-orang gagah, maka ucapan itu merupakan tamparan bagi mereka.
"Kau yang kurang ajar!" bantah Thio Ki membela diri. "Kau berani memaki kuntilanak kepada Hong-moi.
Kurang ajar kau!"
Beng San menoleh kepada Kwa Hong sambil tertawa kecil. "Dia memang kuntilanak. Tanyakan saja
kepadanya, kami berkenalan sebagai bunglon dan kuntilanak. Betul tidak begitu, kuntilanak?"
Kwa Hong membanting kakinya yang kecil. "Bunglon! Kadal monyet kau! Aku bukanlah kuntilanak!”
"Aku juga bukan bunglon, kadal atau monyet!" bantah Beng San marah.
"Tapi mukamu berubah-ubah seperti bunglon, kau masuk selongsong ular seperti kadal, rupamu buruk cengarcengir
seperti monyet!" maki Kwa Hong dengan muka merah saking marahnya.
"Kau pun galak dan mukamu buruk seperti kuntilanak..."
"Plakkk!"
Tangan Kwa Hong melayang dan pipi kiri Beng San telah ditamparnya. Tubuh Beng San terhuyung mundur.
Pada saat itu, Kui Lok dan Thio Ki sudah menubruk maju dan menghujani tubuh Beng San dengan pukulanpukulan
keras. Beng San terhuyung-huyung dan roboh. Anak ini memang selama meninggalkan tempat
persembunyian Lo-tong Souw Lee, selalu mentaati perintah kakek itu dan tidak pernah mau mempergunakan
kepandaiannya. Maka ketika ditampar kemudian dipukuli dia diam saja, ‘menyimpan’ tenaga dalam tubuhnya
dan membiarkan dirinya dipukuli. Ia merasa kulit dada dan mukanya sakit-sakit.
”Aku mau bertemu dengan Lian Bu Tojin, jangan pukul aku..." dia berkata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi dua orang jago muda itu tidak mau memberi ampun lagi kepadanya. Thio Ki memukul lagi ketika
Beng San mencoba untuk berdiri, pukulan keras mengenai leher Beng San membuat anak itu terpelanting
roboh. Kui Lok lalu menubruknya, menduduki dadanya dan memukuli muka Beng San dengan kedua tangan.
Kedua pipi Beng San sampai bengkak-bengkak terkena pukulan ini.
"Hayo, kau minta ampun dan berjanji mau pergi dari sini!" kata Kui Lok terengah-engah, menghentikan
pukulannya.
Beng San hanya menggeleng kepalanya. "Aku mau bertemu dengan Lian Bu..." Tak dapat dia melanjutkan
kata-katanya karena hidungnya dipukul Kui Lok sampai keluar darahnya.
"Lok-te, biar kugantikan engkau!" Thio Ki menarik Kui Lok pergi dan menjambak rambut Beng Sang, menarik
anak ini berdiri lalu memukul ke arah dada.
"Blukkk!"
Tubuh Beng San terlempar sampai dua meter lebih. Thio Ki mengejar, menjambak rambut lagi, mendirikan
Beng San lalu dipukul lagi lebih keras. Pakaian Beng San yang sudah cobak-cabik itu makin rusak, koyakkoyak
di sana-sini.
"Sudah, Ki-ko, Lok-ko, jangan pukul lagi!"
Kwa Hong maju mencegah. Tak tega ia melihat Beng San dipukuli seperti itu. Juga Thio Bwee maju mencegah
kakaknya. Akan tetapi para tosu dengan tertawa lebar memuji-muji kepandaian dua orang kongcu muda itu
dan berkata menganjurkan.
"Pukul terus! Pukul sampai dia mau minta ampun."
"Hayo lekas berlutut minta ampun!” teriak Kui Lok dan Thio Ki berganti-ganti sambil memukul terus.
Sesabar-sabarnya orang, apa lagi seorang anak kecil seperti Beng San, kalau didesak terus seperti itu dan
disiksa, akhirnya tak kuat juga menahan. Sakit pada tubuhnya bukan apa-apa baginya karena dia sudah sering
kali menderita sakit. Akan tetapi sakit pada hatinya yang lebih berat ditanggung. Mukanya yang tadinya
kehijauan sekarang sudah mulai menjadi merah kehitaman, tanda bahwa dia tak dapat lagi menahan
kemarahannya.
Pada waktu itu, Kui Lok memegang tangan kirinya, sedangkan Thio Ki memegang tangan kanannya, keduanya
memukul dari kanan kiri sambil membentak-bentak, memaksa dia berlutut minta ampun. Karena tidak dapat
lagi menahan kemarahannya, tenaga mukjijat dalam tubuh Beng San bekerja, hawa Yang di tubuhnya
membuat mukanya kehitaman itu menolak pukulan-pukulan dari kanan kiri.
Tiba-tiba terdengar pekik kesakitan, Kui Lok sehabis memukul terguling roboh, disusul Thio Ki yang juga roboh
setelah memukul leher Beng San. Kedua orang anak itu roboh dan pingsan dengan mata mendelik dan mulut
berbusa!
Bukan main kagetnya Kwa Hong dan Thio Bwee. Mereka melihat jelas betapa dua orang jago muda itu yang
memukul, kenapa tahu-tahu roboh pingsan dengan mata mendelik? Para tosu juga melihat ini dan mereka
yang percaya akan tahyul menjadi ketakutan.
"Dia benar setan... dia iblis jahat... celaka...!" Para tosu itu cepat mengeluarkan senjata masing-masing dan
siap hendak mengeroyok Beng San.
”Supek sekalian, jangan turun tangan!" Kwa Hong meloncat mencegah. "Biar sukong nanti yang memutuskan
urusan ini."
Para tosu masih bersikap mengancam. Beng San diam-diam mencatat pembelaan Kwa Hong atas dirinya ini di
dalam hatinya. Betapa pun juga, kuntilanak cilik ini tidak jahat, pikirnya. la diam saja, hanya menyusuti darah
yang tadi mengalir dari lubang hidungnya dan membereskan pakaiannya yang koyak-koyak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kebetulan sekali pada waktu itu, Lian Bu Tojin dan Sian Hwa datang memasuki taman. Mereka kaget melihat
ribut-ribut di taman.
Sian Hwa berseru kaget. Ia cepat-cepat memeriksa dua orang anak keponakannya yang pingsan dengan mata
mendelik. Lian Bu Tojin juga memandang heran.
Setelah memeriksa sebentar, kakek ini bertanya dengan suara terheran-heran. "Mereka pingsan karena terluka
hawa pukulan sendiri yang membalik," lalu menoleh kepada Kwa Hong dan Thio Bwee. "Apa yang telah terjadi
di sini?”
Beramai-ramai Kwa Hong bersama para tosu yang tadi menghalangi Beng San masuk menceritakan asal mula
kejadian itu. Bahwa Beng San memaksa naik ke puncak sampai memasuki taman dan betapa Koai Atong yang
hendak membawa pergi Kwa Hong kaget dan lari ketakutan saat melihat kedatangan Beng San. Kemudian
Kwa Hong menceritakan betapa Thio Ki dan Kui Lok marah karena Beng San tidak mau pergi, dan kemudian
dua anak ini memukuli Beng San.
"Bunglon... ehh, anak ini tidak melawan, Sukong. Teecu sudah mencegah kedua suheng memukulinya, tetapi
mereka terus saja memukul. Akhirnya, entah bagaimana, keduanya malah roboh sendiri seperti itu." Setelah
berkata demikian, Kwa Hong menoleh kepada Beng San yang kini berdiri menundukkan mukanya yang sudah
berubah putih kembali, pulih bersih dengan alisnya yang hitam lebat dan matanya yang seperti mata harimau.
Lian Bu Tojin menghampiri kedua orang muridnya. Dengan beberapa kali mengurut pada punggung mereka,
dua orang anak itu waras kembali, bangun dengan muka kemerahan.
Lian Bu Tojin memandang mereka dengan muka keren, membuat dua orang anak itu tunduk ketakutan.
Kemudian Lian Bu Tojin menghampiri Beng San, untuk beberapa menit lamanya dia menatap wajah anak itu
dan amat terheran-heran menyaksikan sinar mata yang luar biasa dari anak jembel yang berdiri di depannya.
"Kau siapakah, anak muda?" Pertanyaan kakek ini halus tetapi berpengaruh, sedangkan pandang matanya
tajam menembus jantung.
Hal ini dirasakan oleh Beng San ketika dia mengangkat muka. Cepat-cepat dia kembali menundukkan
pandang matanya agar jangan sampai kakek itu dapat membaca rahasia hatinya.
"Nama teecu Beng San," jawabnya sederhana.
"Apa nama keturunanmu?"
"Ehh... nama keturunan? Hemmm, she (nama keturunan) teecu (aku) adalah... Huang-ho (Sungai Kuning)."
”Apa?” Lian Bu Tojin mengerutkan keningnya. "Di dunia ini, mana ada orang bernama keturunan Huang-ho?"
"Teecu hanya tahu bahwa teecu terbawa hanyut Sungai Huang-ho, karena itu teecu tidak tahu lagi siapa orang
tua dan siapa pula she, teecu mengambil keputusan untuk memakai nama keturunan Huang-ho saja. Jadi
nama teecu Huang-ho Beng San."
Lian Bu Tojin mengangguk-angguk sambil mengelus-elus jenggot. Diam-diam dia memuji sikap anak ini yang
dari kata-katanya menunjukkan bahwa dia seorang anak yang tahu akan sopan santun.
"Kenapa Koai Atong lari tunggang-langgang melihatmu?"
"Siapa itu Koai Atong, Totiang? Teecu tidak mengenalnya."
"Orang tinggi besar yang tadi lari ketakutan melihatmu. Apakah kau tidak pernah bertemu dengannya?"
Beng San menggelengkan kepalanya. "Teecu tidak merasa pernah bertemu dengan orang tadi."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali Lian Bu Tojin mengelus jenggot, sedangkan Sian Hwa, Kwa Hong dan tiga orang temannya, juga para
tosu yang berada di situ, mendengarkan dengan heran. Bocah ini benar-benar aneh.
”Ketika kau dipukuli oleh kedua orang anak nakal ini, dengan cara bagaimana kau dapat mengembalikan
tenaga dan hawa pukulan mereka? Pernahkah kau belajar silat?"
Kembali Beng San menggelengkan kepala. "Teecu tidak tahu, tidak bisa silat."
Lian Bu Tojin menoleh kepada Kui Lok dan Thio Ki yang berdiri sambil tunduk. Kening kakek ini berkerut.
"Kalian ini anak-anak nakal sungguh tak tahu malu. Mengeroyok dan memukuli seorang anak yang tidak
pandai silat? Apakah hal itu termasuk perbuatan gagah? Sungguh amat memalukan kalian ini. Dan katakanlah,
apa sebabnya kalian tadi roboh pingsan?"
Kui Lok tidak berani menjawab, Thio Ki juga hanya melirik kepadanya. Setelah Lian Bu Tojin membentak dan
mendesak, baru Thio Ki menjawab lirih.
"Tidak tahu, Sukong. Tahu-tahu teecu sudah sadar tadi. Entah apa sebabnya teecu bisa pingsan.”
Sian Hwa merasa kasihan melihat murid-murid keponakannya, maka ia berkata. "Suhu, apakah tidak bisa jadi
karena terlampau marah, mereka tidak mengatur tenaga dan hawa kemarahan lantas menyesak ke dada
sehingga ketika mereka memukul, tenaga pukulan terpental oleh hawa yang menyesak di dada sendiri itu?"
Lian Bu Tojin mengangguk-angguk. "Mungkin begitu. Tapi hal ini termasuk hal yang luar biasa sekali." Ia
menoleh kepada Beng San. "Apakah badanmu sakit-sakit dipukul tadi? Coba kuperiksa, barang kali kau terluka
parah, kalau begitu akan kuobati sampai sembuh."
Tanpa menanti jawaban Lian Bu Tojin menyodorkan tangannya dan meraba pundak Beng San. Anak ini
merasa betapa dari telapak tangan yang halus lunak itu keluar semacam tenaga dahsyat yang menyerang
pundaknya.
la kaget sekali dan hampir saja mengerahkan tenaga. Baiknya dia seorang yang cerdik. Biar pun dia belum
perpengalaman, namun pengertiannya dalam ilmu silat tinggi yang dia pelajari dari Lo-tong Souw Lee sudah
cukup. la mengerti bahwa dirinya diuji, maka segera dia mengumpulkan semangatnya, memaksa diri diam saja
agar hawa di tubuhnya jangan bergerak.
Lian Bu Tojin mendapat kenyataan dari rabaan tangannya pada pundak anak itu bahwa memang anak itu
kosong, tubuhnya tidak memiliki tenaga dalam. Karena itu, lenyaplah kecurigaannya bahwa cucu-cucu
muridnya roboh oleh penggunaan tenaga dalam yang luar biasa. la tertawa sambil melepaskan tangannya.
"Ha, kau tidak apa-apa, tidak terluka. Beng San, sekarang ceritakan, apa kehendakmu datang ke Hoa-san
mencari pinto."
"Teecu datang membawa sepucuk surat dari sahabat lama Totiang. Inilah suratnya."
Beng San menyerahkan surat tulisan Lo-tong Souw Lee dengan mengucapkan kata-kata seperti yang dipesan
oleh kakek itu. Memang kakek tua itu memesan kepadanya agar jangan mengucapkan namanya di depan Lian
Bu Tojin.
Lian Bu Tojin tersenyum dan menerima surat itu. Jantung kakek ketua Hoa-san-pai ini berdetak keras ketika
dia melirik ke arah nama pengirim surat itu. Akan tetapi kekuatan batinnya yang sudah tinggi itu membuat
wajahnya tetap tersenyum, sama sekali tidak memperlihatkan keadaan hatinya. Siapa orangnya tidak akan
berdetak keras jantungnya ketika membaca nama Lo-tong Souw Lee?
Nama besar Souw Lee dikenal oleh semua orang kang-ouw setelah perbuatannya yang menggemparkan,
yaitu setelah dia mencuri sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam yang diperebutkan oleh seluruh orang gagah
di dunia persilatan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebagai seorang ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin sendiri tentu saja merasa malu untuk turut memperebutkan
senjata pusaka lain orang. Apa lagi dengan Souw Lee dia dahulu waktu mudanya pernah menjadi sahabat
yang amat baik.
Dengan tenang Lian Bu Tojin membaca surat itu. Di dalam suratnya itu, Lo-tong Souw Lee minta pertolongan
ketua Hoa-san-pai agar suka melindungi Beng San dari ancaman mara bahaya.
"Anak ini yatim piatu," tulis Lo-tong Souw Lee, "aku amat kasihan dan suka kepadanya. Mungkin akibat kenal
denganku, jiwanya menjadi terancam oleh orang-orang jahat. Harap kau lindungi dia sampai saat aku mati dan
dia terbebas dari ancaman orang yang hendak memaksanya membawa mereka kepadaku."
Lian Bu Tojin mengangguk-angguk. la mengerti akan maksud Lo-tong Souw Lee. Agaknya anak ini dikasihi
kakek itu dan karena anak ini berkenalan dengan Souw Lee, sangat bisa jadi orang-orang kang-ouw akan
menculiknya dan memaksanya menunjukkan di mana tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee.
"Beng San, sudah lamakah kau kenal dengan penulis surat ini?" Lian Bu Tojin bertanya sambil menyimpan
surat itu ke dalam saku jubahnya.
"Belum lama, Totiang, baru beberapa bulan," jawab Beng San sejujurnya.
"Jadi kau tidak tahu tempatnya, ya? Bagus, tentu kau tidak tahu tempatnya," kata ketua Hoa-san-pai ini,
membuat Beng San terheran-heran.
Akan tetapi anak yang cerdik ini segera maklum akan maksud Lian Bu Tojin. Tentu kakek ini memperingatkan
kepadanya supaya dia tidak mengaku tahu tempat sembunyi Lo-tong Souw Lee kepada siapa pun juga. Maka
dia mengangguk dan menundukkan mukanya.
"Apa kau suka belajar silat? Kulihat kau amat berbakat untuk belajar ilmu silat. Kau boleh belajar dari para tosu
murid-murid pinto."
Beng San berpikir. Apa artinya dia mempelajari ilmu silat lain? Ilmu-ilmu yang sudah dia hafalkan pun belum
matang dia latih. Pula, kalau dia belajar ilmu silat Hoa-san-pai, berarti dia menjadi murid Hoa-san-pai dan ada
bahayanya akan diketahui orang rahasianya apa bila dia bergerak dalam bermain silat.
"Teecu lebih senang mempelajari ujar-ujar kuno dan filsafat-filsafat, dalam hal ini mohon petunjuk Totiang."
Lian Bu Tojin menggerak-gerakkan alisnya saking herannya. Di mana di dunia ini ada seorang anak belasan
tahun umurnya ingin mempelajari filsafat kebatinan?
"Pernahkah kau mempelajari kebatinan?" tanyanya.
"Teecu pernah bekerja sebagai kacung di dalam kelenteng besar dan para losuhu yang baik dari kelenteng itu
kadang-kadang mengajar teecu membaca kitab-kltab kuno."
”Bagus kalau begitu. Beng San, mulai sekarang kau kuserahi tugas menjaga kebersihan pondok pinto dan di
waktu senggang kau boleh mempelajari filsafat tentang Agama To."
Beng San menjatuhkan diri berlutut, kemudian menghaturkan terima kasih. Lian Bu Tojin mengangguk-angguk
dan mengajak anak itu masuk pondoknya untuk memberi petunjuk tentang tugas pekerjaannya.
Ketika Beng San bangkit berdiri, dia menoleh ke arah Kwa Hong dan tersenyum ramah. Tidak terlupa olehnya
betapa tadi Kwa Hong membelanya ketika dia dipukuli dua orang jago cilik murid Hoa-san-pai itu. Juga dia
mengerling manis ke arah Thio Bwee yang tadi pun berusaha mencegah Thio Ki.
Akan tetapi dia melihat betapa dua pasang mata jago cilik itu memandang kepadanya penuh kebencian…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Satu bulan sesudah Beng San bekerja di Hoa-san. la bekerja rajin, tidak saja menjaga bersih pondok tempat
kediaman ketua Hoa-san-pai, juga taman bunga menjadi bersih dan terjaga baik setelah Beng San berada di
situ. Satu-satunya hal yang membuat dia sering kali merasa tersiksa adalah sikap Thio Ki dan Kui Lok.
Dua orang anak ini masih saja benci kepadanya, dan setiap kali terdapat kesempatan, pasti kedua orang anak
ini mengejeknya, memaki dan menyebutnya jembel busuk, setan cilik, dan lain-lain. Thio Bwee yang pendiam
tidak pernah berterang menghinanya, akan tetapi pandang mata anak perempuan ini pun selalu dingin dan
selalu menghindarinya, seakan-akan memandang rendah.
Hanya Kwa Hong yang tidak berubah sikapnya. Anak perempuan ini tetap galak, lincah dan suka menggoda
seperti dahulu, akan tetapi sama sekali tidak pernah menghinanya. Hanya kadang-kadang kalau bertemu Kwa
Hong suka menggoda.
”Heiii, bunglon. Coba perlihatkan muka hijau!" Sambil tertawa-tawa, atau kadang-kadang berkata, "Bunglon,
sudah lama aku tak pernah melihat muka hitammu!"
Beng San hanya tertawa saja kalau digoda oleh Kwa Hong, akan tetapi sekarang dia tidak berani lagi memaki
‘kuntilanak’ setelah tahu bahwa anak ini adalah cucu murid terkasih dari Lian Bu Tojin. Terhadap Kui Lok dan
Thio Ki pun Beng San bersikap sabar sekali. Sudah beberapa kali dua orang anak ini sengaja mencari-cari dan
menantangnya, namun Beng San tidak mau melayaninya.
Pada suatu hari menjelang senja, karena pekerjaannya sudah habis, Beng San memasuki taman dengan
maksud untuk beristirahat. la melihat empat orang anak itu sedang giat berlatih silat. Biasanya kalau mereka
berlatih silat, dia hanya melihat dari jauh saja, sama sekali tidak tertarik karena dia tahu bahwa kepandaian
mereka itu sama sekali tidak ada artinya.
Selama beberapa bulan ini setelah latihan-latihan yang dia lakukan semakin matang, dia merasa betapa
mudah dia menguasai hawa dan tenaga di dalam tubuhnya dan sangat mudahnya dia mainkan ilmu-ilmu silat
yang sudah dia pelajari. Terutama sekali Im-yang Sin-kiam-sut dapat dia mainkan dengan mudah dan tepat.
Penggunaan tenaga dalam dapat dia atur sekehendak hatinya. Semua ini adalah hasil dari latihan-latihan
napas dan semedhi seperti yang diajarkan oleh Lo-tong Souw Lee.
Dengan pandang matanya yang sudah tajam berkat tenaga dalamnya, Beng San dapat melihat betapa
gerakan empat orang anak itu amat lemah dasarnya dan sungguh pun ilmu silat mereka indah dipandang,
terutama ilmu pedangnya, akan tetapi dia anggap tidak ada gunanya dalam pertandingan.
Karena dia sudah memasuki taman, Beng San tidak mau keluar lagi dan malah duduk di atas sebuah batu
hitam dekat kolam ikan, menonton mereka yang bersilat. Pada saat itu, Kwa Hong sedang bermain pedang.
Sekali lirik saja gadis cilik ini melihat kedatangan Beng San dan aneh sekali, tiba-tiba saja timbul di dalam
pikirannya untuk bersilat lebih hebat.
la mempercepat gerakannya sehingga tubuhnya yang berpakaian merah itu melayang ke sana ke mari
merupakan bayangan merah, diselingi berkelebatnya pedang yang bergerak menyambar-nyambar. Setelah ia
berhenti bersilat, tiga orang kawannya bertepuk tangan memuji.
Tanpa terasa lagi Beng San juga ikut bertepuk tangan karena dia harus mengakui bahwa permainan Kwa
Hong itu betul-betul indah dipandang. Kwa Hong menoleh ke arah Beng San dan matanya berseri gembira,
akan tetapi Kui Lok dan Thio Ki melirik ke arah kacung itu sambil berjebi mengejek.
"Dia tahu apa tentang ilmu silat?" kata Kui Lok.
"Seperti monyet saja. Orang lain bertepuk dia juga ikut bertepuk," sambung Thio Ki.
“Dia memuji aku, apa salahnya?" Kwa Hong berkata, agak marah. Dua orang anak lelaki itu segera diam dan
tidak mau mencela Beng San lagi.
Sementara itu Thio Bwee sudah meloncat maju dan bersilat pedang pula. Agaknya seperti juga Kwa Hong atau
semua anak perempuan, Thio Bwee pun tak terluput dari sifat ingin dipuji. Pujian yang dia terima dari ketiga
dunia-kangouw.blogspot.com
orang kawannya sudah membosankan hatinya, sekarang terdapat Beng San di situ yang telah memuji Kwa
Hong, tentu saja ia pun ingin memancing pujian.
Diam-diam Beng San memperhatikan. Dalam gerakan-gerakan ilmu pedang Hoa-san-pai itu, ternyata Kwa
Hong jauh lebih mahir, lebih cepat dan lebih ringan gerakannya. Akan tetapi dalam gerakan menyerang, harus
dia akui bahwa Thio Bwee ini lebih kuat, lebih ganas dan lebih berbahaya. Setelah Thio Bwee selesai bermain
pedang, kembali Beng San tanpa ragu-ragu ikut memuji, malah berkata.
"Bagus... bagus...!"
Mendadak terdengar suara pujian lain, "Bagus, bagus Nona-nona kecil yang manis."
Ketika anak-anak itu menengok mereka melihat seorang laki-laki yang berpakaian indah berjalan menghampiri
tempat itu sambil tersenyum-senyum. Lalu, sebelum anak-anak itu dapat menduga apa yang akan terjadi, lakilaki
ini sudah meloncat ke depan dan sekali sambar saja dia sudah menangkap Kwa Hong dan Thio Bwee
dengan kedua tangannya dan mengempit pinggang dua orang anak perempuan itu.
Kwa Hong dan Thio Bwee tentu saja tidak tinggal diam. Mereka berusaha untuk meronta dan memberontak,
namun percuma saja, dalam kempitan yang amat kuat dari laki-laki itu mereka tidak mampu melepaskan diri.
Kui Lok dan Thio Ki sudah dapat mengatasi kekagetan hati mereka. Dengan marah mereka mencabut pedang
dan menerjang maju.
"Penjahat busuk, lepaskan mereka!” bentak dua orang anak ini sambil menyerang dengan pedang.
Laki-laki itu tertawa bergelak. Dua kakinya bergerak cepat melakukan tendangan berantai dan tubuh Kui Lok
dan Thio Ki terlempar, pedang mereka terlepas dan pegangan. Sambil tertawa-tawa orang itu lalu keluar dari
taman dengan langkah yang amat cepat. Dua orang gadis cilik itu tetap meronta-ronta di dalam kempitannya.
Sebentar saja laki-laki itu sudah lenyap dari situ, meninggalkan Kui Lok dan Thio Ki yang meringis dan
mengeluh kesakitan ketika mereka merayap bangun. Beng San sudah tidak kelihatan lagi bayangannya, entah
ke mana perginya anak itu.
Akan tetapi tentu saja Kui Lok dan Thio Ki tidak menaruh perhatian terhadap Beng San, sebaliknya mereka lalu
dengan wajah pucat berlari-lari memasuki pondok Lian Bu Tojin untuk melaporkan tentang penculikan itu.
Dapat dibayangkan betapa kaget hati Lian Bu Tojin, dan terutama sekali Sian Hwa.
”Bagaimana macamnya orang itu?" tanya Lian Bu Tojin, sementara itu Sian Hwa sudah berkelebat keluar
untuk melakukan pengejaran.
“Dia laki-laki, pakaiannya indah...,” kata Thio Ki yang masih gugup dan pucat.
"Masih muda, wajahnya tampan, pesolek dan tersenyum-senyum?"
Ketika Kui Lok dan Thio Ki membenarkan, tahulah Lian Bu Tojin bahwa penculik dua orang muda cucu
muridnya itu bukan lain adalah orang muda yang pernah mengganggu Sian Hwa dan yang mengaku bernama
Souw Kian Bi. Ah, berbahaya kalau dibiarkan Sian Hwa mengejar sendiri, pikirnya.
Kakek ini sudah maklum akan kelihaian orang she Souw itu, maka terpaksa dia lantas bangkit dari tempat
duduknya dan segera melakukan pengejaran sendiri, bukan saja untuk merampas kembali dua orang cucu
muridnya, juga untuk menjaga keselamatan Sian Hwa. Ketika kakek ini turun dari puncak, dia melihat
beberapa orang muridnya, yaitu para tosu yang berjaga, sudah menggeletak karena tertotok orang jalan
darahnya. Ini membuktikan bahwa orang she Souw itu memasuki Hoa-san-pai dengan menggunakan
kekerasan.
Dugaan Lian Bu Tojin memang tidak keliru. Laki-laki yang menculik Kwa Hong dan Thio Bwee itu memang
bukan lain orang adalah orang yang pernah mengganggu Sian Hwa dan mengaku bernama Souw Kian Bi.
Siapakah dia ini?
dunia-kangouw.blogspot.com
Souw Kian Bi bukanlah orang sembarangan. Dia ini sebetulnya seorang putera pangeran bangsa Mongol yang
selain tinggi ilmu silatnya, juga amat nakal. Dengan mempergunakan kekuasaannya sebagai putera pangeran,
ditambah dengan kepandaiannya yang tinggi, anak bangsawan yang menggunakan nama Han, yaitu Souw
Kian Bi ini mengumbar nafsunya.
Dia seorang pemuda hidung belang, terkenal suka mengganggu anak isteri orang lain. Entah berapa
banyaknya keonaran dia sebabkan, dan entah berapa banyak anak-anak dan isteri orang lain dia ganggu.
Akan tetapi siapa berani menentangnya? Andai kata ada yang tidak takut menghadapi kedudukannya,
setidaknya orang akan segan bermusuhan dengan putera pangeran yang tinggi ilmu silatnya ini.
Ayahnya seorang bangsawan Mongol, tentu saja telah mendengar tentang sepak terjang puteranya yang amat
tercela itu. Maka dia lalu memanggil Souw Kian Bi, memaki-makinya habis-habisan, kemudian untuk menjaga
kebersihan nama keluarga, dia memerintahkan Souw Kian Bi untuk ikut bekerja kepada pemerintah. Karena
Souw Kian Bi pandai silat, maka dia lalu diberi tugas untuk membantu pemerintah dalam membasmi
pemberontak-pemberontak, terutama sekali dalam usahanya membasmi Pek-lian-pai.
Inilah sebabnya mengapa Souw Kian Bi sampai tiba di daerah Hoa-san, daerah yang dianggap menjadi tempat
persembunyian sebagian dari para pemberontak Pek-lian-pai. Akan tetapi dasar pemuda bermoral rendah, di
samping menjalankan tugasnya memimpin pasukan besar untuk menumpas pemberontak, Souw Kian Bi tidak
pernah melupakan kesenangannya. Di mana-mana, terutama di desa-desa, dia menggunakan kekuasaannya
untuk menculik wanita-wanita cantik.
Akhirnya, seperti telah dituturkan di bagian depan, dia bertemu dengan Liem Sian Hwa. Kecantikan jago muda
Hoa-san-pai ini membangkitkan semangatnya dan meski pun dia telah diusir oleh Lian Bu Tojin, akan tetapi
hatinya masih penasaran kalau dia belum bisa berkenalan dengan Sian Hwa.
Selain ini, juga rombongannya menaruh curiga terhadap Hoa-san-pai dengan adanya kenyataan bahwa
beberapa pasukan Mongol telah dihancurkan dan tewas di daerah ini. Maka sambil melakukan penyelidikan
akan keadaan Hoa-san-pai, Souw Kian Bi sekalian mencari kesempatan untuk mendapatkan diri Liem Sian
Hwa!
Ketika memasuki taman Hoa-san-pai dan melihat Kwa Hong dan Thio Bwee, timbul pikiran Souw Kian Bi untuk
memancing keluar Sian Hwa. Kalau bukan untuk akal ini, kiranya dia tidak akan mau menculik dua orang
bocah perempuan itu. Souw Kian Bi memang tinggi kepandaiannya, maka biar pun dua orang bocah itu sudah
mempelajari ilmu silat, di dalam kempitan kedua tangannya mereka tidak berdaya.
Di samping ini, Souw Kian Bi masih mampu berjalan dengan cepat sekali, turun dari puncak melalui sebelah
utara. Cepat dia meloncati jurang-jurang, mendaki batu-batu, nampak tubuhnya ringan dan enak saja melalui
jalan yang sukar itu. Ketika sudah jauh dia berlari dan menengok ke belakang, dari jauh dia melihat bayangan
seorang anak kecil melakukan pengejaran.
"Hemmm, sudah kutendang masih berani mengejar?" Souw Kian Bi berpikir penasaran.
la melepaskan Thio Bwee dan cepat menotok jalan darah anak ini sehingga menggeletak tak dapat bergerak
lagi. Tangan kanannya yang kini bebas merogoh saku, mengeluarkan sebuah pelor besi. la menanti sampai
bayangan anak yang mengejar itu agak dekat, lalu menyambit. Jelas sekali sambitannya ini, tepat mengenai
sasaran karena anak itu roboh terguling.
Sambil tertawa-tawa Souw Kian Bi mengempit lagi tubuh Thio Bwee dengan tangan kanannya, lalu kembali
melanjutkan larinya. Siapakah bocah yang dia sambit tadi? Bukan lain adalah Beng San!
Beng San yang pada saat Souw Kian Bi menculik Kwa Hong dan Thio Bwee berada pula di taman, diam-diam
melakukan pengejaran. Biar pun jalan itu sukar sekali, namun bagi Beng San yang sekarang bukan Beng San
dahulu lagi, sudah memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi, bukanlah merupakan jalan yang sukar.
Akan tetapi dia sengaja tidak mau menyusul Kian Bi, hanya mengikuti dari jauh untuk melihat ke mana
dibawanya dua orang anak perempuan itu. Dia memang bermaksud menolong Kwa Hong dan Thio Bwee,
akan tetapi secara diam-diam agar jangan diketahui orang bahwa dia seorang yang memiliki kepandaian.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika Souw Kian Bi menyerang dengan pelor baja yang disambitkan, tentu saja Beng San dapat melihat
dengan jelas datangnya pelor. Dengan mudah tangannya menyambar dan menangkap pelor itu, akan tetapi
dia pura-pura menggulingkan tubuh agar jangan dicurigai lawan.
Benar saja, Kian Bi terpedaya dan mengira dia roboh binasa, tidak memeriksa lebih lanjut. Setelah Kian Bi
melanjutkan larinya, Beng San mengejar lagi, kini berhati-hati sekali agar jangan kelihatan oleh orang yang
dikejarnya.
Kurang lebih dua puluh li jauhnya Kian Bi membawa lari dua orang anak perempuan itu. Akhirnya dia tiba di
sebuah hutan yang berada di kaki Gunung Hoa-san sebelah utara. Dalam hutan ini terdapat perkemahan yang
besar, dan terjaga kuat oleh tentara Mongol. Di tengah-tengah berkibar bendera Mongol yang ditandai oleh
gambar naga hitam. Para penjaga tertawa ketika melihat putera pangeran ini datang menggondol dua orang
bocah perempuan yang mungil-mungil.
"Aduh, Souw-kongcu, kau mendapatkan dua tangkai bunga yang belum mekar? Sayang bunga-bunga masih
kuncup sudah dipetik," demikian komentar seorang kepala jaga.
"Hushhh, diam kau! Kau tahu apa?" Souw Kian Bi membentak, akan tetapi mulutnya tersenyum sambil
menurunkan Kwa Hong dan menotoknya pula. "Nih, kau bawalah dua orang bocah mungil ini ke kamar di
kemahku, jaga baik-baik jangan sampai lari atau ada yang menolongnya. Aku menggunakan mereka untuk
memancing datangnya seseorang yang kunanti-nanti. Awas, penjagaan harus diperkuat di sebelah depan.
Sebelah belakang boleh kalian kosongkan, karena tidak akan mungkin bocah-bocah itu lari melalui jalan
belakang yang penuh dengan rawa."
Setelah menyerahkan dua orang anak itu kepada penjaga yang segera membawa mereka ke tempat yang
dimaksud, Souw Kian Bi memasuki perkemahan terbesar di mana berkumpul beberapa orang panglima dan
tokoh-tokoh penting dalam usaha pembasmian Pek-lian-pai. Sementara itu, hari telah menjadi gelap karena
senja lewat terganti malam. Di dalam kemah terbesar itu dipasangi penerangan yang besar pula, terjaga kuatkuat
oleh belasan orang serdadu di sekelilingnya.
Souw Kian Bi memasuki kemah itu dari depan, langsung menuju ke dalam, di mana terdapat ruangan yang
lebar dan di sini berkumpul lima orang mengelilingi sebuah meja. Hidangan arak dan makanan nampak
mengebul di atas meja, dilayani oleh wanita-wanita cantik.
Ketika Kian Bi masuk, orang-orang itu segera berdiri dari tempat duduk masing-masing, kecuali seorang lakilaki
tinggi besar bermuka hitam berkepala gundul dan berpakaian seperti seorang hwesio. Hwesio tinggi besar
ini tetap acuh tak acuh, malah ketika Kian Bi memasuki ruangan dia segera menyumpit sepotong daging besar
dan dimasukkannya ke dalam mulut, terus dikunyah sambil mengeluarkan suara seperti babi makan.
Di dekat bangkunya bersandar sebuah dayung perahu yang sangat besar, terbuat dari logam hitam kebiruan.
Usia hwesio ini tentu tidak kurang dari lima puluh tahun, mungkin sudah enam puluh, akan tetapi tubuhnya
masih tetap tegap kuat. Kepalanya yang licin belum nampak putih, sepasang matanya lebar bundar seperti
mata kerbau.
Ada pun empat orang yang lainnya adalah panglima-panglima Mongol yang bertugas mengadakan
‘pembersihan’ di daerah ini terhadap para pemberontak, terutama orang-orang Pek-lian-pai.
"Souw-kongcu baru datang?" berkata seorang di antara para panglima. "Silakan duduk. Kebetulan sekali,
sambil makan-makan kami sedang berunding dengan Losuhu untuk mengambil sikap terhadap Hoa-san-pai."
Hwesio tinggi besar itu melirik ke arah Souw Kian Bi, lalu mengeluarkan suara melalui hidung seperti orang
mengejek, kemudian disusul suaranya yang kasar, parau dan keras, "Souw-kongcu selalu pergi mencari
kesenangan dengan perempuan. Kalau berlarut-larut, tugas bisa kacau kesehatan rusak dan menurun. Kau
tersesat, Kongcu."
dunia-kangouw.blogspot.com
Souw Kian Bi tertawa bergelak sambil menghempaskan tubuhnya di atas sebuah kursi yang berhadapan
dengan hwesio itu. Dengan lagak gembira dia menerima sebuah cawan arak yang dihidangkan oleh seorang
nona pelayan manis sambil mencolek pipi pelayan itu, kemudian dia berkata.
"Losuhu, di dalam bersenang saya tidak pernah melupakan tugas. Kali ini saya berhasil membawa dua orang
cucu murid Hoa-san-pai, hal ini perlu untuk memancing datangnya orang-orang Hoa-san-pai dan melihat
bagaimana sikap mereka, baik terhadap kita mau pun Pek-lian-pai." Souw Kian Bi lalu menjelaskan
maksudnya yang merupakan siasat untuk menjauhkan Hoa-san-pai dari para pemberontak itu.
"Bagus sekali, Kongcu!" Seorang komandan berseru girang memuji akal putera pangeran ini.
Juga hwesio itu mengangguk-angguk. Akan tetapi karena otaknya tidak biasa berpikir tentang hal yang ruwetruwet,
dia lalu minum araknya dengan lahap. Siapakah hwesio tua ini? Dia bukan lain adalah Tai-lek-sin Swi
Lek Hosiang, seorang tokoh besar dari timur yang berilmu tinggi.
Seperti juga para tokoh kang-ouw yang besar, misalnya Hek-hwa Kui-bo, Song-bun-kwi dan Siauw-ong-kwi,
juga seperti yang lain, dia ingin mendapatkan Liong-cu Siang-kiam. Begitu turun dari pertapaannya, dia
bertemu dengan anak perempuan yang menangisi mayat Thio Sian, tokoh Pek-lian-pai. Kemudian hwesio ini
yang tertarik oleh bakat baik dalam diri anak perempuan itu, lalu membawa pergi anak itu bersama mayat Thio
Sian.
Anak itu bernama Thio Eng, puteri tunggal Thio Sian yang semenjak saat itu ia jadikan muridnya. Hal ini sudah
dituturkan di bagian depan, yaitu pada waktu kakek hwesio yang membawa lari Thio Eng ini dilihat oleh Kunlun
Sam-hengte.
Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang adalah seorang sakti, akan tetapi dia amat jujur dan mudah sekali dihasut atau
dibujuk orang. Akhirnya dia bertemu dengan putera pangeran yang bernama Souw Kian Bi ini.
Souw Kian Bi yang amat licin dan cerdik segera dapat membujuk Swi Lek Hosiang untuk membantunya.
Memang sebelumnya dia sudah mengenal Swi Lek Hosiang yang dahulu adalah seorang sahabat dari
pamannya, yaitu Lo-tong Souw Lee.
Tentunya para pembaca masih ingat kepada Lo-tong Souw Lee, pencuri pedang Liong-cu Siang-kiam itu.
Memang, Souw Lee bukanlah orang biasa, melainkan dia juga seorang bangsawan Mongol yang sakti dan
yang tak suka melihat kelakuan bangsanya menindas orang-orang Han. Karena itu Souw Lee mencuri
sepasang pedang Liong-cu Siang-kiam dan melarikan diri.
Dalam percakapan ketika keduanya bertemu, Souw Kian Bi dengan cerdik menjanjikan bantuan kepada Tailek-
sin Swi Lek Hosiang untuk mencarikan Souw Lee yang masih terhitung saudara kakeknya, malah memberi
janji bahwa kelak akan memberi kedudukan tinggi kepada Swi Lek Hosiang di depan kaisar. Hwesio yang jujur
tetapi kurang cerdik ini masuk dalam perangkap, apa lagi ketika diceritakan mengenai adanya pemberontakanpemberontakan
yang jahat dan yang mengacau rakyat, hwesio ini serta merta menjanjikan bantuannya.
Demikianlah sebab-sebabnya mengapa orang sakti ini sekarang berada di dekat Kian Bi untuk membantu
pemerintah Mongol menindas para pemberontak. Untuk keperluan ini, Swi Lek Hosiang ikut pergi ke Hoa-san
di mana banyak tentara Mongol sudah menjadi korban gempuran orang-orang Pek-lian-pai. Thio Eng yang
sudah menjadi muridnya dia titipkan pada sebuah kelenteng di kota Tiong Kwan.
"Yang berbahaya adalah Lian Bu Tojin," kata Souw Kian Bi sambil mengerling ke arah hwesio yang masih
lahap makan daging dan arak itu. "Hoa-san Sie-eng sih mudah untuk menghadapinya, Ketua Hoa-san-pai
itulah yang membikin khawatir, dia lihai sekali..."
"Hemmm, berapa sih kuatnya Lian Bu Tojin? Kalau betul tosu bau itu memihak kepada pemberontak dan
hendak mengacau, biar pinceng (aku) lawannya!" Suara Tai-lek-si Swi Lek Hosiang mengguntur.
"Saya bukan kurang percaya akan kepandaian Losuhu, akan tetapi tosu tua itu tak boleh dipandang sebelah
mata. Pedang pusakaku sekali bertemu dengan tongkat bambunya patah menjadi dua. Wah, bukan main
dunia-kangouw.blogspot.com
lihainya dia!" Souw Kian Bi berkata memperlihatkan sikap kekhawatiran besar. Dia cerdik sekali, kata-kata dan
sikapnya ini sengaja membakar hati kakek yang jujur dan polos itu.
"Suruh dia datang! Suruh ketua Hoa-san-pai datang! Pinceng hendak melihat sampai di mana kelihaiannya!"
Suara hwesio itu makin keras.
Tiba-tiba terdengar suara dari luar kemah, "Tai-lek-sin, tak perlu kau berteriak-teriak, pinto (aku) sudah
datang!" Suara ini lirih dan sangat halus, akan tetapi dari dalam terdengar seolah-olah yang bicara berada di
dalam ruangan itu.
"Nah, itu dia Hoa-san-pai ciangbujin (ketua)," Souw Kian Bi berbisik, kini dia benar-benar ketakutan karena
orang sudah bisa berada di luar kemah tanpa diketahui para penjaga, itu saja sudah membuktikan betapa
lihainya orang yang datang ini.
Tak-lek-sin Swi Lek Hosiang menggerakkan tangan kirinya ke depan, ke arah pintu tenda. Angin pukulan
menyambar dan pintu itu terbuka dengan sendirinya. la berkata sambil tertawa.
"Ketua Hoa-san-paikah yang datang? Harap masuk, pintu terbuka lebar-lebar!"
Semua orang memandang ke pintu yang terbuka. Cuaca di luar remang-remang karena pada malam itu hanya
diterangi bintang-bintang. Dengan tenang berjalanlah kakek ketua Hoa-san-pai, Lian Bu Tojin, masuk sambil
bersandar pada tongkatnya.
Di belakangnya bukan hanya Liem Sian Hwa yang mengikutinya, tetapi lengkap dengan Kwa Tin Siong, Thio
Wan It, dan Kui Keng. Ternyata Hoa-san Sie-eng sudah lengkap datang ke situ di belakang guru mereka!
Bagaimana tiga orang murid Hoa-san-pai itu dapat muncul di saat itu?
Hal ini adalah suatu kebetulan belaka. Ketika Liem Sian Hwa dan kemudian Lian Bu Tojin melakukan
pengejaran terhadap penculik Kwa Hong dan Thio Bwee, berlari turun dari puncak, di tengah jalan Sian Hwa
dapat disusul gurunya dan pada saat itulah munculnya Kwa Tin Siong, Thio Wan It, dan Kui Keng yang sedang
menuju ke puncak. Tiga orang ini memang bersama datang untuk memenuhi janji dengan pihak Kun-lun-pai
yang hendak datang di Hoa-san.
Dengan singkat mereka mendengar dari Sian Hwa bahwa Kwa Hong dan Thio Bwee telah diculik orang, maka
cepat-cepat mereka beramai melakukan pengejaran. Demikianlah, sekarang Hoa-san Sie-eng lengkap empat
orang, mengiringkan guru mereka memasuki perkemahan barisan Mongol yang bermarkas di tempat itu.
Melihat Sian Hwa, putera pangeran itu memandang penuh kasih sayang dan tersenyum sambil berkata, "Nona
Sian Hwa, alangkah gembira hatiku bahwa kau sudah sudi datang menjenguk tempat kediamanku..."
Mulut Sian Hwa sudah gatal-gatal hendak memaki, akan tetapi karena gurunya berada di situ pula, dia tidak
berani membuka mulut mendahului suhu-nya, melainkan memandang dengan mata melotot penuh kemarahan.
Ada pun Lian Bu Tojin ketika menyaksikan bahwa Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang berada di situ, segera berkata.
"Siancai (seruan pendeta), kiranya Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang yang menjadi agul-agul di sini. Tidak heran apa
bila manusia she Souw ini lalu berani bersikap kurang ajar dan tidak memandang mata kepada Hoa-san-pai..."
Setelah berkata demikian dia mendekat ke arah hwesio tinggi besar itu dan melanjutkan kata-katanya dengan
suara yang berubah keren, "Tai-lek-sin, kalau kau dan teman-temanmu benar hendak memusuhi Hoa-san-pai,
akulah orangnya yang bertanggung jawab. Kenapa kau membiarkan saja manusia she Souw itu mengganggu
dua orang cucu muridku?"
Tai-lek-sin tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, Lian Bu Tojin tosu tua bangka. Pernahkah kau mendengar Tai-lek-sin
manusia tiada guna seperti aku mengotorkan tangan mencampuri dunia? Hanya karena penjahat-penjahat
merajalela, pemberontak-pemberontak semacam Pek-lian-pai telah mengotori suasana dan mengganggu
rakyat dan pemerintah, terpaksa pinceng harus turun tangan. Hoa-san-pai selamanya memiliki nama bersih,
sayang sekali sekarang bersekongkol dengan Pek-lian-pai, terpaksa pinceng tidak dapat menyalahkan Souwkongcu
mengganggu cucu murid Hoa-san-pai!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Lian Bu Tojin merasa dadanya panas sekali, namun kakek ini masih dapat menyabarkan hati, suaranya tetap
lemah lembut ketika dia berkata.
"Bagus sekali sikapmu, hwesio! Sudah terang-terangan bahwa kau menjadi begundal pemerintah, hal itu
bukanlah urusan pinto. Terserah siapa saja yang akan menjadi penjilat. Akan tetapi tuduhanmu bahwa Hoasan-
pai bersekongkol dengan Pek-lian-pai, sungguh tak berdasar sama sekali. Selamanya Hoa-san-pai tak
pernah sudi bersekongkol dengan siapa saja, apa lagi dengan Pek-lian-pai..."
"Fitnah bohong!" tiba-tiba Sian Hwa tak dapat menahan kemarahannya lagi. "Pek-lian-pai bahkan
memusuhiku, membunuh ayahku..."
"Sian Hwa, diamlah kau," Lian Bu Tojin mencela muridnya yang segera diam dengan muka merah.
"Pinceng tidak tahu urusannya, akan tetapi kalau hendak jelas biarlah Souw-kongcu yang menerangkan."
Hwesio itu kembali menghadapi hidangan di atas meja, makan minum tanpa pedulikan lagi orang-orang lain
yang berada di situ. Para tamu itu kini menghadapi Souw Kian Bi yang berdiri sambil tersenyum tenang.
"Totiang, aku hanya membawa dua orang anak cucu muridmu main-main di tempat kami yang indah ini dan
kalian pihak Hoa-san-pai sudah menyerbu datang dan mengatakan aku jahat. Sebaliknya, Hoa-san-pai
bersekongkol dengan Pek-lian-pai para pemberontak itu, membunuh puluhan bahkan ratusan orang tentara
pemerintah yang bertugas menjaga keamanan. Manakah yang lebih jahat dan keji?"
"Orang she Souw, tutup mulutmu yang busuk sebelum aku memaksa kau menutupnya!" tiba-tiba Thio Wan It
yang terkenal berangasan membentak. "Kami dari Hoa-san-pai tak pernah bersekongkol dengan Pek-lian-pai!"
Souw Kian Bi memandang sambil tersenyum mengejek. "Hemm, untuk menutup mulutku kiranya tidak akan
semudah kau membuka mulut, Sobat. Sekarang dengarlah lebih dulu. Banyak pasukan tentara pemerintah
sudah terjebak dan tewas di kaki Gunung Hoa-san, di sekitar daerah yang dikuasai Hoa-san-pai. Kalau bukan
kalian orang-orang Hoa-san-pai bersekongkol dengan Pek-lian-pai, mana dapat terjadi hal itu?"
"Kau boleh mengoceh dan berkata apa saja, pokoknya kami tak pernah berhubungan dengan Pek-lian-pai.
Pendeknya lekas kau bebaskan puteriku, kalau tidak...," kata Thio Wan It yang merasa khawatir sekali atas
nasib anaknya, Thio Bwee.
"Betul, bebaskan anak-anak kami jangan bersikap pengecut. Urusan boleh diurus, kalau perlu di ujung pedang,
tapi jangan mengganggu anak-anak kecil yang tidak tahu apa-apa!" Baru kali ini Kwa Tin Siong berkata,
suaranya tenang dan mantap, tetapi matanya penuh ancaman.
Akan tetapi Lian Bu Tojin berpikir lain. Sekarang kakek ini mengerti bahwa orang she Souw itu ternyata adalah
seorang yang penting dalam pemerintah Mongol, maka amatlah tidak baik kalau Hoa-san-pai tersangkut dalam
urusan pemberontakan Pek-lian-pai.
Andai kata Pek-lian-pai benar-benar merupakan perkumpulan patriotik yang bersih, tentu saja Hoa-san-pai
akan senang sekali menggabungkan diri. Akan tetapi pada waktu itu dia sendiri masih sangsi terhadap Peklian-
pai yang seolah sedang memusuhi Hoa-san-pai, maka kurang baik kalau Hoa-san-pai dianggap
bersekongkol dengan Perkumpulan Teratai Putih itu.
la kemudian melangkah maju, menghalangi kedua pihak yang sudah panas. Kalau terjadi pertempuran,
agaknya pihaknya akan mengalami kerugian, pikir ketua Hoa-san-pai ini. Dia sendiri mendapat lawan berat,
yaitu Tai-lek-sin yang dia tahu tentu memiliki ilmu yang tak boleh dipandang ringan. Empat orang muridnya
sungguh pun boleh diandalkan, akan tetapi bagaimana kalau mereka itu dikurung dan dikeroyok oleh ratusan
orang tentara Mongol? Apa lagi selain Souw Kian Bi, empat orang komandan dan yang duduk di situ pun
agaknya bukan orang-orang lemah.
"Tai-lek-sin, mengapa kau diam saja? Apakah sengaja kami dipancing datang hendak diajak bertanding?
Ataukah berdamai? Apa maksud kalian memancing kami datang?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aku benar-benar tidak tahu apa-apa. Bicaralah dengan Souw-kongcu," jawab hwesio itu sambil tertawa-tawa.
Biar pun sungkan bicara dengan orang muda pesolek itu, terpaksa ketua Hoa-san-pai menghadapinya.
"Saudara Souw, katakanlah terang-terangan apa yang tersembunyi di balik segala perbuatanmu ini. Sudah
jelas bahwa kau menculik dua orang cucu muridku dengan maksud memancing kami datang. Nah, sekarang
setelah kami datang, apa yang kau kehendaki?"
Souw Kian Bi tetap tersenyum-senyum. "Senang sekali bercakap-cakap dengan Totiang yang lebih sabar dan
luas pandangan," katanya melirik ke arah Hoa-san Sie-eng yang marah-marah. "Ucapan seorang ketua Hoasan-
pai tentu saja kami dapat percaya penuh. Sesungguhnya bagaimanakah, Totiang, apakah tidak ada
persekongkolan jahat antara Hoa-san-pai dan Pek-lian-pai?"
"Tidak ada sama sekali," jawab kakek itu mendongkol.
"Bagus, kalau begitu dugaan kami telah keliru dan dua orang anak itu tentu saja harus dibebaskan sekarang
juga. Akan tetapi, kami tetap akan ragu-ragu apa bila Totiang tidak menyatakan janji lebih dulu. Totiang berjanji
dan kami melepaskan dua orang anak kecil itu dan... beres!"
Lian Bu Tojin mengerutkan alisnya. Bukan main licinnya orang muda ini, pikirnya. Licin, berbahaya dan penuh
tipu muslihat.
"Janji apa yang kau kehendaki dari pinto?"
"Janji bahwa Hoa-san-pai tidak akan bersekongkol dengan Pek-lian-pai untuk memusuhi pemerintah."
Lian Bu Tojin tersenyum. "Baik. Pinto berjanji bahwa Hoa-san-pai tak akan bersekongkol dengan Pek-lian-pai
untuk memusuhi pemerintah."
Souw Kian Bi mengerutkan kening. Mengapa begini mudah ketua ini berjanji? Ia memutar otak dan tiba-tiba dia
berkata lagi, "Dan berjanji bahwa Hoa-san-pai tak akan memusuhi pemerintah."
"Orang muda she Souw, kenapa kau begini cerewet? Hoa-san-pai telah berjanji menuruti permintaanmu,
berjanji tidak akan bersekongkol dengan Pek-lian-pai untuk memusuhi pemerintah. Hanya sekian dan habis.
Kalau kau terlalu mendesak, pinto tak sudi berjanji lagi."
"He, Souw-kongcu. Tosu tua ini sudah berjanji takkan bersekongkol dengan Pek lian-pai, bukankah itu sudah
cukup? Hayo lekas keluarkan dua orang bocah perempuan itu," kata Tai-lek-sin dengan suara keras.
Memang sesungguhnya inilah yang dikehendaki oleh para pimpinan Mongol. Mereka amat khawatir kalaukalau
partai persilatan besar mengadakan kerja sama dengan Pek-lian-pai. Mereka berusaha sekuatnya untuk
memisahkah partai-partai ini dari Pek-lian-pai supaya kedudukan Pek-lian-pai kurang kuat, malah kalau
mungkin memecah-mecah para partai itu agar mereka saling serang sendiri. Kalau sekarang ketua Hoa-sanpai
berjanji takkan bersekongkol dengan Pek-lian-pai, hal ini sudah merupakan sebuah kemenangan bagi
pemerintah.
Souw Kian Bi bukan seorang bodoh, Bukan maksud pemerintah untuk memusuhi setiap partai persilatan, apa
lagi partai sebesar Hoa-san-pai yang kuat. Seorang musuh saja, Pek-lian-pai sudah cukup memusingkan,
jangan sampai ditambah musuh ke dua.
la harus mengorbankan perasaannya sendiri, biar pun dia ingin sekali kalau bisa menukar kedua orang
tawanannya itu dengan nona Sian Hwa yang menggetarkan hatinya, atau setidaknya dia pun akan suka
mendapatkan dua orang nona cilik itu untuk menghibur hatinya. Akan tetapi kepentingan tugasnya harus dia
dahulukan. Apa lagi, kiranya bodoh sekali kalau main-main dengan Hoa-san-pai!
Sambil tertawa dia memberi perintah kepada seorang di antara para komandan pasukan. "Bawalah dua orang
nona cilik itu ke sini."
dunia-kangouw.blogspot.com
Komandan itu pergi dengan cepat, masuk ke perkemahan belakang. Tak lama kemudian dia sudah kembali
dengan muka pucat dan suaranya gugup.
"Celaka, Kongcu. Dua ekor burung itu sudah terbang!"
Souw Kian Bi membanting-banting kaki. "Apa kau bilang?"
Cepat tubuhnya berkelebat dan lari memburu ke tempat ditahannya dua orang anak itu. Yang lain, termasuk
orang-orang Hoa-san-pai, ikut pula mengejar ke belakang.
Ke manakah perginya Kwa Hong dan Thio Bwee? Betulkah dua orang anak perempuan yang sudah ditotok tak
berdaya dan dikurung dalam kamar tahanan itu dapat melarikan diri?
Memang kenyataannya betul demikian. Akan tetapi tentu saja ada orang menolongnya. Penolong ini bukan lain
adalah Beng San yang diam-diam terus mengikuti larinya Souw Kian Bi sampai memasuki perkemahan
pasukan Mongol.
Menggunakan kecepatan dan keringanan tubuhnya, dilindungi pula oleh gelapnya malam, Beng San berhasil
membobol pagar yang mengelilingi perkemahan tanpa dilihat oleh para penjaga. la berhasil pula
mendengarkan pesan Souw Kian Bi kepada para penjaga. Mendengar bahwa bagian belakang perkemahan itu
tidak terjaga kuat, dia pun mendapat pikiran untuk menolong dua orang nona kecil itu melarikan diri melalui
bagian belakang perkemahan.
Dapat dibayangkan betapa herannya hati Kwa Hong dan Thio Bwee ketika mereka berada di dalam kamar
tanpa dapat bergerak itu, tiba-tiba mereka melihat munculnya Beng San! Anak ini memberi tanda agar supaya
Kwa Hong dan Thio Bwee jangan mengeluarkan suara. Alangkah lucunya. Tak usah dilarang sekali pun
memang dua orang nona cilik itu tak dapat bersuara lagi. Lalu Beng San memberi isyarat supaya mereka ikut,
akan tetapi bagaimana mereka bisa ikut kalau mereka tidak mampu bergerak?
Melihat keadaan mereka, Beng San curiga. la sudah mempelajari secara teliti tentang jalan darah ini, dahulu
diajar oleh Lo-tong Souw Lee. Karena keadaan mendesak, tanpa ragu-ragu, dia mendekati Kwa Hong dan
meraba lehernya. Benar saja dugaannya, Kwa Hong telah terkena totokan yang luar biasa.
Beng San mengeluh. Walau pun dia sudah mempelajari tentang jalan darah, namun dia sendiri belum bisa
menotok, apa lagi membebaskan. Ketika itu di luar kemah terdengar suara serdadu-serdadu tertawa.
Beng San gugup dan tanpa berpikir panjang lagi dia lalu menangkap dua orang nona cilik itu dan memanggul
tubuh mereka di atas pundaknya, satu di kanan dan satu di kiri! Dengan beban ini dia menyelinap keluar
melalui jalan belakang. Tanpa ia sadari sendiri, Beng San telah memiliki tenaga yang luar biasa sehingga
memanggul dua orang anak perempuan itu seperti tidak terasa sama sekali olehnya, begitu ringan!
Benar sekali seperti yang diperintahkan oleh Souw Kian Bi tadi, jalan belakang ini sama sekali tidak terjaga.
Mula-mula Beng San merasa girang sekali dan juga heran mengapa serdadu-serdadu itu begitu bodoh. Akan
tetapi baru saja dia lari sejauh satu li, dia kaget sekali karena di depannya terbentang rawa yang amat luas.
la mencari jalan agar jangan melalui rawa, akan tetapi setelah berlari ke sana ke mari, dia tidak dapat
menemukan jalan yang lebih baik. Selain melalui rawa, dia terhadang oleh jurang yang tak mungkin dapat
dilewati saking lebarnya, juga menghadapi dinding karang yang menjulang tinggi. Tanpa membawa beban pun
belum tentu dia akan dapat mendaki dinding karang ini dengan selamat, apa lagi memanggul kedua orang
anak itu. Sungguh berbahaya.
"Celaka...," pikir Beng San.
la menjadi serba salah. Kembali tak mungkin, terus juga bagaimana? Akhirnya ia menjadi nekat. Hati-hati dia
memasuki rawa yang gelap dan mengerikan itu, dengan airnya yang dalam serta bercampur tanah dan rumput.
Hanya suara katak yang memenuhi rawa itu terdengar amat menyeramkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia menjadi lega ketika kakinya menginjak tempat dangkal, hanya selutut dalamnya. Ia melangkah maju, hatihati
sekali karena dasar rawa itu penuh batu licin. Sampai sepuluh langkah lebih dia selamat karena tempat itu
dangkal.
Tiba-tiba dia tergelincir pada batu yang licin. Beng San cepat mengerahkan tenaga dan mengatur
keseimbangan tubuh. Ia selamat tak sampai roboh, akan tetapi dua orang anak perempuan yang dia panggul
menjadi basah dan kotor oleh lumpur. la berjalan terus, maju bermaksud menyeberangi rawa.
Akan tetapi segera dia mendapat kenyataan kenapa para serdadu sengaja tidak menjaga tempat itu. Memang
bukan main sukar dan berbahayanya jalan ini. Segera dia tiba di bagian air yang berlumpur dan air di tempat
ini pun tidak sedangkal tadi, sudah mencapai pinggangnya.
Sukar sekali untuk maju melalui lumpur yang ditumbuhi rumput ini, apa lagi di bawah amat licinnya. Yang
paling mengerikan adalah kalau memikirkan apa isi rawa-rawa itu, binatang mengerikan apa yang berada di
bawah rumput dan di dalam lumpur itu. Akan tetapi Beng San tidak ingat akan ini semua, melainkan
melangkah terus maju dengan tabah.
"Lepaskan aku! Aku bisa beralan sendiri!"
Tiba-tiba Kwa Hong yang dipanggul di pundak kanannya bergerak dan berseru. Juga Thio Bwee di atas
pundak kirinya mulai bergerak-gerak.
"Syukur kalian sudah bisa bergerak lagi," kata Beng San sambil menurunkan Kwa Hong dari pundaknya.
Akan tetapi karena tidak dapat bergerak dan tubuh Kwa Hong masih lemas, ketika dia diturunkan berdiri di
dalam air berlumpur, hampir saja ia terguling roboh kalau tidak cepat-cepat disambar pinggangnya oleh Beng
San. Thio Bwee juga minta turun dan diturunkan dengan hati-hati.
"Beng San, kau hendak membawa kami ke mana?" Kwa Hong bertanya, suaranya agak marah. Tadi dengan
jengkel dan mendongkol bukan main dia hanya dapat melihat tanpa berdaya betapa tubuhnya dirangkul dan
dipanggul oleh bocah ini.
Tentu saja ia sudah marah dan memaki-makinya kalau saja tidak sedang berada dalam keadaan seperti ini.
Malah diam-diam ia merasa bersyukur bahwa Beng San datang untuk menolongnya. Mengapa bukan bibi
gurunya atau kakek gurunya, atau setidaknya kenapa bukan Kui Lok dan Thio Ki?
"Pergi ke mana? Tentu saja pulang ke puncak Hoa-san. Kalau saja kita dapat melewati rawa-rawa yang
berbahaya ini. Heee... hati-hati, Nona Bwee.,...!"
Thio Bwee tergelincir dan lenyap dari permukaan air. Ternyata ia telah menginjak bagian yang amat dalam
sehingga tak dapat dicegah lagi ia tenggelam ke dalam air berlumpur itu!
"Celaka!"
Beng San cepat menubruk maju dan dia pun kena injak tempat yang dalam itu sehingga dia pun lenyap dari
permukaan air.
Kwa Hong menggigil ketakutan dan ingin dia menjerit-jerit kalau saja tidak teringat bahwa dia sedang
melarikan diri dari musuh. la tidak berani sembarangan bergerak, takut jika mengalami nasib seperti Beng San
dan Thio Bwee. Akan tetapi hatinya takut bukan main, gelisah melihat hilangnya dua orang teman itu tanpa
dapat menolongnya sama sekali.
Keadaan amat gelap dan Kwa Hong sudah mulai menangis. Mendadak air di depannya bergerak dan
muncullah kepala Beng San. Anak ini berenang ke tempat dangkal di dekat Kwa Hong sambil menyeret Thio
Bwee yang sudah pingsan. Cepat-cepat Kwa Hong menyusuti muka Thio Bwee yang penuh lumpur itu.
Setelah dipijat-pijat pundaknya dan digoyang-goyang, akhirnya Thio Bwee siuman kembali. Anak ini menangis
dan berkata ketakutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bawa aku ke darat... bawa aku pulang..." la menangis ketakutan.
Selama hidupnya, baru kali ini ia mengalami kejadian yang begini menakutkan. Siapa orangnya yang tidak
takut kalau melihat sekelilingnya hanya air lumpur ditumbuhi rumput, gelap pekat dan di sekeliling situ, tidak
diketahui dengan pasti di mana terdapat lubang-lubang jebakan yang amat dalam?
”Lebih baik kalian kupanggul seperti tadi. Biarlah aku yang mencari jalan keluar dari rawa ini...," berkata Beng
San setelah berhasil membersihkan lumpur dari mulut, hidung serta matanya.
Saking takutnya dan mengharapkan pertolongan, Thio Bwee tanpa ragu-ragu lagi lalu merangkul Beng San
sambil berkata, "Tolonglah, Beng San... tolong keluarkan aku dari tempat neraka ini..."
Dia menurut saja ketika dipanggul oleh Beng San, tidak seperti tadi, sekarang disuruh duduk di atas pundak
kirinya. Thio Bwee agak besar hatinya setelah duduk di pundak itu, duduk sambil merangkul kepala Beng San,
masih menggigil ketakutan.
"Jangan khawatir, Nona Bwee. Memang aku datang untuk menolong kalian," kata Beng San, suaranya dibikin
setenang mungkin, akan tetapi sebetulnya dia sendiri masih sangsi apakah dia akan berhasil menyeberangi
rawa-rawa yang amat berbahaya ini.
"Nona Hong, kau pun sebaiknya duduklah di pundakku yang sebelah ini."
la pikir, lebih baik dua nona muda itu duduk di pundaknya agar jangan sampai tergelincir dan masuk ke dalam
lubang dalam seperti yang dialami Thio Bwee tadi. Kalau terjadi demikian, amat berbahaya. Tadi secara
kebetulan saja di dalam air keruh itu dia dapat menangkap tubuh Thio Bwee, kalau tidak, bukankah nyawa
nona Thio itu akan terancam bahaya maut?
"Apa...?! Tidak sudi aku!" bentak Kwa Hong yang sudah kumat lagi kegalakannya.
Akan tetapi agaknya ia segera teringat bahwa Beng San berusaha menolongnya, maka segera disambungnya
dengan suara yang tidak galak lagi, "Aku bisa jalan sendiri dan pula... memanggul Enci Bwee seorang saja
sudah berat, aku tidak mau memberatkan engkau lagi...”
Di dalam gelap Beng San tersenyum. la tidak marah karena memang dia sudah mulai mengenal watak Kwa
Hong, malah watak semua yang berada di puncak Hoa-san. Biar pun Kwa Hong tidak mau dipanggul, malah
tidak mau digandeng tangannya, namun dia selalu siap menjaga dan melindungi gadis galak ini.
“Baiklah sesukamu, Nona Hong. Sekarang marilah kita maju lagi. Hati-hatilah..." katanya sambil melangkah
perlahan, meraba-raba dengan ujung kakinya sebelum menginjak agar tidak terjeblos ke dalam lubang dalam.
Thio Bwee masih menangis kecil di atas pundaknya sambil memeluk lehernya, amat ketakutan dan kedinginan
karena ia tadi basah kuyup dari kaki sampai kepala.
Langit bersih dari awan. Bintang-bintang penuh bertaburan di langit biru, mendatangkan cahaya yang lumayan
sehingga keadaan tidak segelap tadi. Ketiga orang anak itu dapat melihat ke depan, sungguh pun tidak amat
jauh, akan tetapi cukuplah untuk mengurangi keseraman.
Tiba-tiba Kwa Hong mengeluh. "Aduh kakiku... apa ini gatal-gatal?"
la mengangkat kaki kirinya ke atas sampai melewati permukaan air dan... dalam cuaca yang remang-remang
itu kelihatan seekor lintah menempel pada betis kakinya, mengisap darahnya melalui kain celana yang tipis.
Lintah itu gemuk bulat, agaknya sudah banyak juga darah Kwa Hong diisapnya.
"Hiiii... apa itu...? Hiiiii!" Kwa Hong menggigil saking jijiknya dan ia menubruk Beng San, merangkul lehernya
dengan ketakutan.
Beng San sudah tahu apa adanya binatang itu. "Tenanglah, Nona Hong. Itu adalah lintah, binatang penghisap
darah. Dia sudah penuh darah, kalau sudah kenyang akan terlepas sendiri..."
dunia-kangouw.blogspot.com
Hampir pingsan Kwa Hong oleh kengerian dan kejijikan. "Buanglah... cepat lepaskan dari betisku... huiii..."
"Kalau diambil secara paksa, kulit betismu akan terluka, Nona. Biarkan sebentar."
Tanpa ragu-ragu Beng San memegang kaki Kwa Hong yang diangkat itu, melihat lintah dari dekat. Betul saja
dugaannya, lintah itu segera melepaskan kaki Kwa Hong karena sudah kekenyangan, jatuh ke dalam air dan
lenyap.
Meremang bulu tengkuk Kwa Hong. Ia ketakutan sekali dan tanpa diminta lagi ia segera meloncat ke pundak
Beng San, duduk di atas pundak kanan dan tangannya memegangi leher Beng San.
"Binatang celaka, binatang menjijikkan, terkutuk..." ia memaki-maki, akan tetapi ia masih menggigil ketakutan.
Beng San merangkul kaki dua orang nona itu supaya tidak jatuh dari atas pundaknya, kemudian dia
melangkah maju lagi. Setelah dua orang nona itu duduk di atas pundaknya, dia lebih lancar bergerak maju,
tidak usah menjaga orang lain di sisinya seperti tadi. Air sekarang sudah mencapai dadanya.
Celaka, pikir Beng San. Kalau air itu makin dalam, bagaimana? Tentu saja dia dapat berenang, akan tetapi
bagaimana dengan dua orang nona ini? Dengan berenang sukar kiranya membawa mereka itu.
Ia memutar-mutar otaknya mencari akal untuk menghadapi kemungkinan ini. Begini saja, pikirnya, untuk
sementara kutinggalkan dulu mereka di tempat yang tidak dalam, lalu aku berenang melalui tempat dalam
mencari tempat berpijak lainnya yang dangkal. Kemudian kubawa mereka seorang demi seorang
menyeberangi ke tempat itu. Lalu pergi mencari lagi. Kukira dengan demikian akhirnya kita akan sampai juga
ke seberang.
la berbesar hati dan melanjutkan langkahnya, hati-hati agar jangan sampai tergelincir ke dalam lubang dalam.
”Hong-jiiiii...!"
"Bwe-jiiiii...!"
Suara panggilan ini terdengar keras, bergema sampai ke tengah rawa.
"Ayah memanggilku!" seru Kwa Hong gembira.
"Itu suara ayahku!" Thio Bwee juga berseru.
"Hong-ji! Bwee-ji! Kembalilah ke sini, ayah kalian menanti di sini!" terdengar suara Sian Hwa yang tinggi
nyaring.
"Ah, semua orang sudah menyusul di sana Beng San, hayo kita kembali saja. Ayah dan bibi sudah di sana,
kita sudah aman sekarang," Kwa Hong mendesak.
"Betul, hayo antar aku ke sana, Beng San. Ayah menanti di sana," kata pula Thio Bwee dengan gembira.
Hilanglah kekhawatiran dan ketakutan dua orang anak perempuan itu setelah mereka mendengar suara ayah
mereka.
Beng San ragu-ragu. "Tapi... apakah tidak lebih baik terus saja mendahului dan menanti di rumah ? Jalan
kembali lebih jauh..."
"Ehh, kau berani membantah? Kalau tidak mau antar, biar aku jalan sendiri!" Kwa Hong merosot turun dari
atas pundak Beng San, juga Thio Bwee. Dua orang anak ini mendadak timbul keberaniannya.
Beng San menarik napas panjang. Sebetulnya dia keberatan untuk kembali karena takut kalau-kalau dia akan
mendapat marah. Tetapi dia tidak tega pula kalau harus membiarkan kedua orang nona ini kembali berdua
saja. Bagaimana nanti apa bila Thio Bwee tergelincir seperti tadi? Bagaimana kalau kaki Kwa Hong digigit
dunia-kangouw.blogspot.com
lintah lagi seperti tadi? Jika sampai seberang di antara dua orang nona ini terkena celaka, bukankah tanggung
jawabnya akan lebih besar pula dan lebih berat?
"Baiklah," akhirnya dia berkata. "Mari kita kembali."
Da kemudian menggandeng tangan kedua orang nona cilik itu yang tidak menolak. Sambil bergandengan
tangan, Beng San ditengah-tengah, tiga orang anak itu menyeberang dan kembali ke tempat tadi.
"Ayah...! Tunggulah, kami kembali ke sana...!" Kwa Hong berteriak keras-keras ke arah tepi rawa.
Mendadak mereka melihat lampu penerangan dipasang di tepi rawa itu sehingga semakin mudahlah bagi
mereka karena sekarang tempat yang dituju kelihatan nyata.
Setelah dekat tepi rawa, dengan heran mereka melihat Hoa-san Sie-eng lengkap bersama Lian Bu Tojin.
Tokoh-tokoh Hoa-san ini bersama Souw Kian Bi si penculik, serta seorang hwesio tinggi besar dan beberapa
orang panglima Mongol! Bagaimana mereka bisa rukun seperti itu setelah Souw Kian Bi menculik mereka?
Kwa Hong dan Thio Bwee terheran, akan tetapi juga girang sekali. Setelah tiba di tempat dangkal, mereka
berlari meninggalkan Beng San untuk menjumpai ayah masing-masing. Pakaian mereka, bahkan muka
mereka kotor berlumpur. Apa lagi Beng San!
Ketika anak ini tiba di tempat dangkal, baru dia melihat bahwa lebih dari tujuh ekor lintah menempel di
tubuhnya, di kaki kanan kiri dan di paha dan perut! Ia marah sekali dan andai kata mukanya tidak berlumpur,
tentu muka itu akan kelihatan merah.
la cepat mengerahkan hawa di tubuhnya dan seketika itu lintah-lintah itu bergelimpangan, terlepas dari
tubuhnya dalam keadaan mati! Tak ada seorang pun memperhatikan hal ini karena lintah-lintah yang penuh
lumpur itu pun tidak kentara.
"Keparat, berani kau mengganggu nona-nona tawananku?"
Mendadak Souw Kian Bi meloncat dan sebelum lain orang dapat mencegahnya, putera pangeran ini sudah
menjambak rambut Beng San dan diseretnya ke pinggir rawa sambil dipukulinya sekehendak hatinya.
Beng San marah sekali, akan tetapi ketika merasa betapa pukulan orang itu mengandung hawa panas, dia
cepat-cepat mengerahkan tenaga dalamnya dan menggunakan tenaga Im untuk melawannya. Pada saat itu,
Kwa Hong dan Thio Bwee sudah meloncat dan menerjang Souw Kian Bi sambil berteriak-teriak.
"Jangan pukul Beng San!" bentak Kwa Hong.
"Kau yang jahat menculik kami, dia penolong kami!" bentak Thio Bwee.
Menghadapi serbuan dua orang nona cilik yang hendak membalas dendam ini, Souw Kian Bi tentu saja tidak
takut. Namun dia merasa tidak enak sendiri untuk melayani anak-anak kecil, maka setelah sekali lagi
memukulkan tangannya ke arah dada Beng San, dia lantas meloncat mundur.
"Bleeek!"
Pukulan itu keras sekali, Beng San sampai terpental ke belakang, akan tetapi dia tidak terluka.
"Dia adalah kacung Hoa-san-pai, tidak boleh diganggu orang luar!" tiba-tiba Lian Bu Tojin berkata dengan
suaranya yang berpengaruh.
Mula-mula kakek ini marah sekali kepada Beng San yang dianggapnya lancang sekali. Pertama, lancang
karena berani meninggalkan puncak Hoa-san, ke dua, lancang karena berani mencoba-coba menolong dua
orang cucu muridnya sehingga hal ini mendatangkan malu kepadanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Masa kedua cucu muridnya harus ditolong oleh seorang kacungnya? Padahal di situ ada Hoa-san Sie-eng
lengkap dan ada dia pula. Maka ketika tadi melihat Beng San dipukuli, kakek ini diam saja dengan keputusan
hati akan diobati kelak kalau terluka.
Akan tetapi ketika melihat betapa dua orang cucu muridnya menyerbu, kakek ini baru ingat bahwa betapa pun
juga, Beng San sudah berjasa dan memperlihatkan pribudi yang baik dalam usahanya menolong tanpa
memperhitungkan bahaya untuk diri sendiri yang tiada kepandaian. Maka dia kemudian mengeluarkan katakata
itu untuk mencegah pihak Mongol menyerang Beng San.
Lian Bu Tojin kemudian memberi tanda kepada murid-muridnya untuk pergi meninggalkan tempat itu. Juga
Beng San berjalan di sebelah belakang sambil menundukkan mukanya.
Apa lagi Hoa-san Sie-eng atau dua orang gadis cilik itu, bahkan Lian Bu Tojin sendiri tidak tahu betapa sepergi
mereka, Souw Kian Bi terguling roboh dan muntah-muntah darah, mukanya berubah kehijauan seperti orang
keracunan. Tentu saja keadaan di situ segera menjadi geger.
Swi Lek Hosiang segera memeriksa dan hwesio tua ini terkejut setengah mati. Ternyata bahwa putera
pangeran itu telah menderita luka dalam yang cukup hebat juga. Cepat dia memberi pengobatan dan tak habis
heran bagaimana Souw Kian Bi bisa menderita luka seperti ini.
Setelah putera pangeran itu sembuh tiga hari kemudian, Swi Lek Hosiang lalu minta penjelasan. "Siapakah
yang melukaimu?"
Souw Kian Bi sendiri juga tidak mengerti. "Aku tidak bertempur dengan siapa pun juga. Hanya kupukul dada
anak kotor itu... ahhh, benar dia! Aku sudah merasa aneh sekali mengapa ketika aku memukul dadanya, aku
merasa seakan-akan memukul benda yang lunak sekali dan terasa sakit pada dadaku!"
Tai-lek-sin Swi Lek Hosiang menggeleng-gelengkan kepalanya. "Tidak mungkin. Anak itu kelihatannya tidak
tahu apa-apa, lagi pula dia hanya kacung di Hoa-san-pai, masa bisa memiliki kepandaian yang tinggi seperti
itu? Aneh sekali!"
"Betul, Losuhu. Aku ingat sekarang. Anak itu tentu mempunyai sesuatu yang luar biasa. Siapa tahu kalau-kalau
dia sudah menerima warisan kepandaian dari Lian Bu Tojin. Dia kacungnya, bukan? Siapa tahu diam-diam
kakek tosu bau itu menurunkan ilmunya..."
"Mungkin, akan tetapi tetap saja aneh." Hwesio itu merenung karena dia teringat akan murid angkatnya yang
ditinggalkan di kelenteng.
Muridnya itu biar pun hanya seorang anak perempuan, namun juga memiliki bakat yang luar biasa dalam ilmu
silat. Apakah anak laki-laki kotor itu sedemikian baik bakatnya sehingga sekecil itu sudah menyimpan tenaga
dalam yang mampu menangkis pukulan Souw Kian Bi bahkan melukainya? Agaknya tak mungkin…..
********************
Lima bulan telah lewat sejak Kun-lun Sam-hengte berjanji hendak mengunjungi Hoa-san Sie-eng di puncak
Hoa-san. Kini Hoa-san Sie-eng sudah berkumpul di puncak Gunung Hoa-san, setiap hari menanti kedatangan
tiga orang murid Kun-lun-pai, terutama Kwee Sin, dengan hati tak sabar lagi.
Sesudah melihat Beng San, Kwa Tin Siong segera mengenalinya sebagai bocah aneh yang pernah dia jumpai
dahulu di tengah hutan. la segera memberi tahukan hal ini kepada adik-adik seperguruannya, juga kepada
suhu-nya dan menyatakan kecurigaannya.
"Sekarang ini jamannya sedang kacau-balau, banyak terjadi fitnah dan musuh rahasia di sekeliling kita. Siapa
tahu kalau-kalau anak ini seorang mata-mata yang sengaja dilepas oleh pihak lawan untuk menyelidiki
keadaan kita." Demikian kata-katanya dan adik-adik seperguruannya membenarkan wawasan ini.
Hanya Lian Bu Tojin yang tidak setuju di dalam hatinya karena adanya surat pengenal dari Lo-tong Souw Lee.
Tiba-tiba berpikir sampai di sini, ketika teringat kepada Lo-tong Souw Lee, sekaligus kakek ini teringat pula
dunia-kangouw.blogspot.com
kepada Souw Kian Bi. Dua orang she Souw itu. apakah tidak ada hubungan apa-apa? Souw Kian Bi dihormati
panglima-panglima Mongol, sedangkan dia tahu benar bahwa Lo-tong Souw Lee berasal dari keluarga
bangsawan Mongol pula.
Ahh, jangan-jangan benar kecurigaan muridnya yang tertua, siapa tahu kalau-kalau antara Beng San dan
Souw Kian Bi memang ada permainan sandiwara! Kakek ini mengerutkan keningnya. Besar sekali
kemungkinannya.
Beng San tidak mengerti ilmu silat, akan tetapi kenapa ketika dipukul oleh Souw Kian Bi tidak terluka?
Bukankah itu menandakan bahwa Souw Kian Bi hanya pura-pura memukul saja? Ataukah Beng San yang tahu
akan ilmu silat akan tetapi sengaja berpura-pura tidak tahu?
"Ucapanmu berdasar juga, Tin Siong. Akan tetapi tanpa bukti tak mungkin kita menuduh Beng San yang
bukan-bukan. Dia hanya seorang anak kecil, kita lihat-lihat sajalah. Kalau betul dia kaki tangan orang jahat, dia
bisa berbuat apa terhadap kita," demikian kakek ketua Hoa-san-pai ini berkata.
Selanjutnya kakek ini kemudian memanggil Beng San dan memesan kepada anak itu agar supaya jangan
mencampuri lagi urusan luar dan selalu berada di dalam kelenteng serta melakukan tugas pekerjaannya baikbaik.
Hari yang dinanti-nantikan dengan hati berdebar tiba juga. Pada suatu hari, saat matahari belum naik tinggi
benar….
Seorang tosu berlari-lari melaporkan bahwa Kun-lun Sam-hengte sudah datang mendaki puncak Hoa-san!
Karena urusan yang dihadapi adalah urusan besar dan karena tidak ingin melihat murid-muridnya berlaku
lancang, Lian Bu Tojin sendiri berkenan menerima kedatangan tiga orang jago dari Kun-lun-pai itu.
Liang Bu Tojin dengan diikuti oleh empat orang muridnya melakukan penyambutan di luar tempat
kediamannya, di halaman depan yang bersih dan lapang, halaman yang dikelilingi pohon-pohon besar, amat
sejuk dan enak untuk dijadikan tempat perundingan soal yang amat pelik dan penting itu.
Kun-lun Sam-hengte datang berjalan dengan langkah tegap. Kwee Sin kelihatan tampan akan tetapi mukanya
putih sekali seperti pucat, pedangnya tergantung di pinggang kiri. la berjalan di tengah-tengah diapit oleh Bun
Si Teng dan Bun Si Liong.
Bun Si Teng yang tinggi besar dan gagah itu benar-benar menarik perhatian. Pedangnya di pinggang dan
busurnya terselip di sebelah kanan. Bun Si Liong yang bermuka hitam itu berjalan dengan langkap tegap,
mukanya berseri dan matanya yang bersinar-sinar seperti orang sedang gembira, mukanya lebih menunjukkan
kegembiraan seorang yang sedang pelesir dari pada kesungguhan seorang menghadapi urusan besar.
Sepasang senjatanya, golok dan pedang, tergantung di kanan kiri.
Dari jauh tiga orang gagah itu sudah mengangkat tangan memberi hormat. Mereka agak tercengang, akan
tetapi juga bangga pada saat melihat bahwa ketua Hoa-san-pai sendiri menyambut kedatangan mereka.
Ketika bertemu pandang dengan tunangannya dan melihat sepasang mata tunangannya itu berapi-api tetapi
berlinangan air mata, Kwee Sin merasa hatinya seperti tertusuk. Dia sudah mendengar dari para suheng-nya
bahwa ayah tunangannya itu terbunuh orang dan si nona menyangka bahwa dialah yang membunuhnya.
Kepanasan hatinya ketika menyaksikan tunangannya menangis di dada Kwa Tin Siong dahulu itu menjadi
dingin karena sekarang dia dapat menduga bahwa nona itu sedang berduka hatinya dan dihibur oleh Kwa Tin
Siong. la merasa menyesal sekali telah terburu nafsu. Juga dia diam-diam merasa malu sekali kalau teringat
akan hubungannya dengan Coa Kim Li si cantik jelita.
"Kami bertiga saudara jauh-jauh sengaja datang memenuhi janji kami terhadap Hoa-san Sie-eng. Tidak nyana
bahwa Hoa-san-ciangbunjin (ketua) juga sudah turut menyambut. Sungguh telah membikin lelah pada orang
tua yang terhormat," kata Bun Si Teng mewakili rombongannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kun-lun Sam-hengte kini datang, itulah bagus. Memang murid Pek Gan Siansu terkenal gagah dan takkan
mungkir janji, juga adil dan jujur. Pinto orang tua hanya menjadi saksi saja dalam urusan ini, harap kalian
bertiga berurusan dengan murid-murid pinto secara langsung." Kakek ini lalu melangkah ke pinggir,
membiarkan tiga orang jago Kun-lun itu menghadapi empat orang muridnya.
Kwa Tin Siong mewakili rombongannya melangkah maju. Ia mengangkat tangan memberi hormat. "Kami
merasa lega sekali bahwa ternyata Kun-lun Sam-hengte memenuhi janji dan penjahat Kwee Sin sudah diajak
pula datang ke sini untuk menebus dosa.”
Bun Si Teng tersenyum sedangkan Kwee Sin menjadi makin pucat mukanya.
"Harap Hoa-san It-kiam suka bersabar dan jangan datang-datang sute-ku dijatuhi fitnah yang bukan-bukan.
Sebelumnya aku sendiri sudah memeriksa Sute dan ternyata bahwa semua yang dituduhkan kepada Kweesute
hanyalah fitnah kosong belaka. Kwee-sute tak pernah melakukan pembunuhan terhadap ayah Kiam-engcu
Liem Sian Hwa seperti telah kalian katakan," kata Bun Si Teng, senyumnya mengeras. Kwee Sin
mengangguk-angguk membenarkan ucapan suheng-nya.
"Lidah memang tak bertulang!" tiba-tiba Sian Hwa membentak, dia tidak dapat menahan kemarahannya lagi.
"Tidak ada pencuri yang mengaku, dan menyangkal adalah pekerjaan yang paling mudah. Akan tetapi aku
tidak sudi menjatuhkan fitnah kepada siapa pun juga. Bukti-bukti jelas menunjukkan bahwa ayahku telah
dibunuh secara pengecut oleh pukulan Pek-lek-jiu dan paku Pek-lian-ting, di samping ini masih ada saksi
utama, yaitu almarhum ayahku sendiri!"
Kwee Sin makin pucat mendengar kata-kata dan melihat sikap tunangannya itu.
"Biarlah aku bersumpah disaksikan oleh langit dan bumi, kalau aku membunuh ayahmu, Thian semoga
menghukumku dengan kematian yang mengerikan!" seru Kwee Sin dengan muka pucat dan suara lemah.
Kwa Tin Siong tertawa mengejek. "Urusan pembunuhan sekeji dan sebesar ini mana bisa diselesaikan dengan
segala macam sumpah? Sumoi, agar persoalannya bisa dibicarakan dari awalnya, harap kau ulangi lagi
ceritamu tentang kematian ayahmu."
Dengan lantang Sian Hwa mengisahkan kembali semua yang dialami ayahnya dan dia sendiri, matanya tajam
menantang Kwee Sin yang tunduk dan muka pemuda ini sebentar merah sebentar pucat. Akan tetapi ketika
dia menceritakan bagian ayahnya yang terluka dan meninggalkan kesaksian terakhir bahwa yang
membunuhnya adalah Kwee Sin dan perempuan Pek-lian-pai, Sian Hwa tak dapat menahan air matanya yang
mengucur deras. Setelah selesai menuturkan semua ini, ia menggerakkan tangannya dan….
"Sraaattt!" pedangnya yang sepasang itu sudah tercabut di kedua tangan.
"Ayah terbunuh secara keji. Kalau penasaran ini tidak dibalas, aku Liem Sian Hwa tidak mau hidup lagi di muka
bumi!"
Kwee Sin hanya mengangkat muka dan memandang sedih, tapi sama sekali dia tidak mengeluarkan
pedangnya.
Bun Si Teng melangkah maju dan berkata, suaranya mengandung ejekan. "Bagus! Apa Hoa-san-pai hendak
menghukum orang tanpa memberikan kesempatan membela diri dan tanpa bukti-bukti yang sah dan saksisaksi
yang masih hidup?"
"Sudah terang jahanam Kwee Sin ini pembunuh ayahku, aku harus membalas dendam!" bentak Sian Hwa.
"Enak saja orang bicara! Andai kata Kwee-sute segan untuk melawan, apakah kami akan mendiamkan saja
orang membunuh sute kami tanpa dosa?" Bun Si Teng meraba gagang pedangnya, siap melawan.
Juga Bun Si Liong meraba gagang golok dan pedangnya. Pendeknya, kakak beradik she Bun ini tidak nanti
akan membiarkan sute mereka dibunuh orang begitu saja. Mereka kini datang justru untuk membuktikan
kebersihan diri Kwee Sin, bukan untuk mengantar sute mereka dihukum bunuh!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Manusia Kun-lun sombong! Sudah terang bahwa jahanam she Kwee main gila dengan perempuan jalang dan
telah bersekongkol membunuh ayah Sumoi, masih hendak dibela? Kalau memang begitu, sudah kewajiban
orang-orang gagah untuk membasmi gerombolan orang jahat!" Thio Wan It sudah mengeluarkan pedangnya
dan meloncat maju.
"Keparat, siapa takut kepada Bu-eng-kiam?" bentak Bun Si Liong.
Dengan amarah yang meluap-luap, Sian Hwa sudah berhadapan dengan Bun Si Teng, sedangkan Thio Wan It
sudah saling melotot dengan Bun Si Liong. Pertempuran agaknya tidak akan dapat dicegah lagi.
"Twa-suheng, Ji-suheng... jangan... ah, siauwte yang menjadi gara-gara semua ini..., Ji-wi Suheng, simpanlah
pedangmu..." Kwee Sin bicara dengan suara yang mengandung isak tertahan.
Kwa Tin Siong juga maju menahan dua orang adik seperguruannya yang hendak turun tangan itu. "Ji-sute,
Sumoi, tahan dulu senjata kalian! Tidak semestinya kalau urusan ini harus diakhiri dengan pertempuran tanpa
sebab-sebab yang jelas. Kita berpegang kepada keadilan dan kebenaran, maka seharusnya kita juga memberi
kesempatan kepada Kwee Sin untuk membela diri dan memberi keterangan-keterangan."
Biar pun sedang marah sekali, Thio Wan It dan Liem Sian Hwa terpaksa mundur juga ketika ditahan oleh twasuheng
mereka ini.
"Kwee Sin!" kata Kwa Tin Siong dengan suara keras dan tegas. "Sudah kau dengar baik semua keterangan
sumoi-ku yang menuduhmu sebagai pembunuh ayahnya dan sudah mengadakan persekongkolan dengan
perempuan jahat dari Pek-lian-pai. Lalu bagaimana jawabmu? Kalau memang kau melakukan hal itu,
bagaimana tanggung jawabmu dan apa bila kau tidak melakukan, bagaimana pula keterangan pembelaanmu?
Ingat, sudah jelas bahwa sebelum meninggal dunia, ayah Sumoi terang-terangan menyatakan bahwa kau dan
seorang perempuan yang menyerang dan melukainya.”
Muka Kwee Sin pucat sekali, kedua matanya agak basah dan merah menahan air mata yang hendak
mengucur. Dia maklum bahwa dirinya kena fitnah. Tentu saja dia percaya bahwa Hoa-san Sie-eng takkan mau
memfitnahnya kalau tidak ada dasarnya. Dia tahu bahwa dia sudah difitnah oleh orang-orang yang
memusuhinya, entah siapa orang-orang itu. Bagaimana dia harus menjawab?
"Hoa-san Sie-eng," katanya, tidak berani langsung kepada Sian Hwa, "apa yang harus kukatakan lagi? Aku
sudah bersumpah bahwa aku sama sekali tidak merasa melakukan pembunuhan terhadap ayah Nona Liem
Sian Hwa. Sebagai orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte, aku selamanya tak pernah membohong. Aku
tidak melakukan pembunuhan itu dan kalian percaya atau tidak, terserah. Aku hanya mengharapkan
kebijaksanaan dan keadilan dari Hoa-san-ciangbunjin." la menjura ke arah Lian Bu Tojin yang semenjak tadi
berdiri di pinggiran sambil menundukkan mukanya.
Hoa-san It-kiam Kwa Tin Siong tertawa lirih. "Ha-ha-ha-ha, lagi-lagi Kwee Sin yang dijuluki orang Pek-lek-jiu,
orang termuda dari Kun-lun Sam-hengte yang terkenal gagah perkasa, lari bersembunyi di balik sumpahsumpahnya.
Orang she Kwee, tidak perlu bersumpah keras-keras. Sebaliknya kau menjawab pertanyaanpertanyaanku
agar jelas."
Kwee Sin sebetulnya mendongkol sekali menyaksikan sikap Hoa-san Sie-eng yang amat menghinanya. Akan
tetapi dia tidak ingin melihat persoalan ini menjadi semakin panas, maka dia menjawab tenang.
"Tanyalah, Hoa-san It-kiam, aku akan menjawab."
"Awal mula terjadinya urusan ini, ayah Sumoi, Liem-lopek, melihat kau bersama seorang perempuan muda
cantik berpelesir di Telaga Pok-yang sehingga menimbulkan marahnya. Betulkah pada waktu itu kau memang
berpelesir bersama seorang perempuan cantik dari Pek-lian-pai di Telaga Pok-yang?"
Wajah Kwee Sin menjadi merah sekali, lalu pucat dan merah lagi. la menundukkan muka, menggigit-gigit bibir
dan sampai lama tidak dapat menjawab! Semua mata memandang kepadanya, bahkan Lian Bu Tojin yang
dunia-kangouw.blogspot.com
semenjak tadi tunduk saja, sekarang juga sudah mengerling ke arahnya. Apa lagi Sian Hwa, gadis ini
memandang dengan sepasang mata berapi-api.
Kwee Sin benar-benar merasa bingung. Bagaimana dia harus menjawab? Tidak dapat disangkal lagi bahwa
dahulu dia telah berpelesir di Telaga Pok-yang bersama Coa Kim Li! Dan tentu pada saat itu, celaka sekali
baginya, ayah Liem Sian Hwa melihat dia bersama Coa Kim Li dan pulang sambil marah-marah. Bagaimana
dia harus menjawab?
Untuk berterus terang mengaku bahwa dia memang berpelesir bersama seorang wanita muda cantik, tentu
saja ia amat malu. Akan tetapi juga bukan wataknya untuk berbohong. Oleh karena berada dalam keadaan
yang terjepit inilah Kwee Sin tidak dapat menjawab, hanya menunduk dengan bingung dan malu.
"Kwee Sin, bagaimana jawabanmu? Mengapa kau diam saja?" Kwa Tin Siong bertanya dengan nada
mengejek.
"Kwee-sute jawablah, jangan diam saja!" Bun Si Teng juga menegur sute-nya karena dia amat mendongkol
melihat sikap Kwa Tin Siong.
Setelah berulang kali menarik napas panjang, baru Kwee Sin bisa menjawab, meski tanpa mengangkat
mukanya, "Memang benar aku berada di Telaga Pok-yang pada beberapa bulan yang lalu..."
"Berpelesir bersama seorang perempuan muda cantik anggota Pek-lian-pai,” desak Kwa Tin Siong.
"Bersama seorang teman perempuan..." lanjut Kwee Sin, tetapi segera terpotong.
"Siapa dia? Hayo katakan terus terang, bukankah dia itu yang kau ajak membunuh ayah Sumoi?" Kwa Tin
Siong mendesak lagi, penuh amarah. Kwee Sin diam saja.
"Kwee-sute, mengapa kau diam saja. Siapakah perempuan itu?" Bun Si Teng bertanya, suaranya
mengandung kekecewaan.
"Aku tidak bisa bilang dia itu siapa, sudah kukatakan temanku, cukuplah. Akan tetapi, dia dan aku tidak
bersekongkol membunuh siapa pun juga."
"Hah?!" Kwa Tin Siong sekarang marah sekali, merasa yakin bahwa pemuda ini tentulah pembunuh ayahnya
Sian Hwa. "Kau berpelesir dengan seorang perempuan rendah dari Pek-lian-pai, lalu terlihat oleh calon mertua
yang menjadi marah-marah melihat kelakuan calon mantunya yang hina. Kau merasa khawatir kalau-kalau
namamu akan dinodai oleh perbuatan itu, khawatir kalau-kalau ayah Sumoi mengabarkan kelakukanmu yang
tidak patut, lalu menyusul bersama perempuan rendah itu dan... dan membunuhnya..."
"Tidak!" Kwee Sin berteriak keras. "Tidak sama sekali."
"Kalau tidak, lekas katakan siapa perempuan jalang itu!" Sian Hwa juga berteriak marah, pedangnya sudah
dicabut lagi.
Kwee Sin melangkah mundur tiga langkah, wajahnya pucat sekali. Bun Si Teng dan Bun Si Liong saling
pandang, lalu mereka menghampiri adik seperguruannya. "Sute, urusan ini bukan urusan remeh. Betapa pun
juga kau harus berani mendatangkan wanita itu untuk menjadi saksi bahwa kau tidak melakukan pembunuhan
dan...”
"Apakah Suheng tidak percaya kepadaku?"
"Akulah yang akan melawan orang yang mendakwa kau berbuat jahat, Kwee-sute. Aku selalu percaya penuh
kepadamu, akan tetapi kalau tidak diberi saksi hidup, tentu Hoa-san Sie-eng masih penasaran..."
"Ha-ha-ha-ha, Kun-lun Sam-hengte benar-benar bagus!" Thio Wan It menyindir. "Seorang keedanan
perempuan dan melakukan pembunuhan keji, dan kini kakak-kakaknya hendak membela. Wah, seperti merasa
gagah sendiri saja. Kalau perlu, Hoa-san Sie-eng sanggup membasmi sampai ke akar-akarnya!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bagus sekali! Kami Kun-lun Sam-hengte, biar pun hanya bertiga, takkan mundur setapak biar pun dikeroyok di
sini!" Bun Si Liong juga mengeluarkan kata-kata mengejek.
Kedua pihak lagi-lagi sudah panas, dan apa bila mendapat dorongan sedikit saja pasti akan saling gempur.
"Bagaimana, Kwee Sin? Kalau kau hendak menyangkal, kau harus bisa sebutkan nama perempuan yang
menjadi kekasihmu itu, yang terlihat oleh ayah Sumoi. Kalau kau tetap menyembunyikan namanya, berarti dia
itu betul seorang Pek-lian-pai dan kau bersama dia membunuh ayah Sumoi." Kwa Tin Siong mendesak.
Muka Kwee Sin pucat sekali. Tak mau dia menodai nama Coa Kim Li, seorang gadis yang cantik lagi gagah,
apa lagi yang sudah menjatuhkan hatinya. Di lain sudut, hatinya juga merasa sangat kasihan kepada bekas
tunangannya yang kematian ayah, terbunuh oleh orang-orang yang agaknya sengaja hendak memfitnahnya.
Dan semua ini kesalahannya sendiri. Andai kata dia tidak tergila-gila kepada Coa Kim Li, kiranya takkan terjadi
hal ini.
Sekarang dia tidak saja sudah membikin hancur penghidupan Liem Sian Hwa, juga dia merupakan ancaman
bagi nama baik Coa Kim Li. Lebih dari pada ini malah, sekarang dia menjadi biang keladi pertumpahan darah,
biang keladi permusuhan antara Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Hal terakhir inilah yang lebih hebat dan
menghancurkan hatinya.
"Hoa-san Sie-eng!" akhirnya dia berkata dengan suara keras. "Sekali lagi aku tekankan bahwa aku tidak
membunuh ayah Nona Liem! Tapi kalian tidak percaya dan mendesakku membawa-bawa nama orang yang
tidak berdosa. Suheng sekalian! Kun-lun-pai jangan sampai bermusuhan dengan Hoa-san-pai, dan semua
bahaya permusuhan ini adalah gara-gara tindakan siauwte yang bodoh. Oleh karena itu, biarlah siauwte
menebus dosa. Heee, Hoa-san Sie-eng, kalau kalian tidak percaya kepadaku dan ingin melihat Kwee Sin
mampus, biarlah kalian puas saat ini dan jangan merembet-rembetkan Kun-lun-pai dalam urusan ini!"
Secepat kilat Kwee Sin menggerakkan pedangnya, dibabatkan ke lehernya sendiri!
"Trangg…!"
Pedang itu terlempar, tubuh Kwee Sin lenyap dan sebagai gantinya di situ menggelinding sebuah kepala
orang.
"Siluman betina, jangan lari!" tiba-tiba saja Lian Bu Tojin berseru dan tubuhnya berkelebat lenyap pula.
Kwa Tin Siong dan ketiga orang adik seperguruannya kaget memandang ke arah kepala yang menggelinding
tadi. Alangkah marahnya hati mereka ketika melihat bahwa kepala itu adalah kepala salah seorang tosu Hoasan-
pai yang entah bagaimana sudah dipenggal dan dilemparkan ke tempat itu.
"Keparat jahanam orang-orang Kun-lun!" bentak Kwa Tin Siong. "Orang she Bun berdua, sekarang kalian mau
bilang apa? Sudah nyata Kwee Sin si keparat bersekongkol dengan orang jahat, buktinya dia ditolong dan
bahkan murid Hoa-san-pai dibunuh. Kalian tentu bukan manusia baik-baik dan ikut sekongkol pula!"
Dengan kemarahan meluap-luap Kwa Tin Siong lalu menerjang dua orang saudara Bun itu, dibantu oleh Thio
Wan It, Kui Keng, beserta Liem Sian Hwa. Empat orang saudara Hoa-san Sie-eng ini mengamuk dan
mengeroyok Bun Si Teng dan Bun Si Liong.
Kasihan sekali dua orang saudara Bun ini. Mereka sesungguhnya tidak tahu apa-apa dan tadi pun ketika Kwee
Sin hendak membunuh diri, mereka sudah tak berdaya. Tahu-tahu Kwee Sin lenyap. Cara lenyapnya demikian
ajaib sampai tidak terlihat oleh mereka.
Sudah jelas bahwa Kwee Sin ditolong orang pandai. Akan tetapi siapa penolongnya dan kenapa melemparkan
kepala seorang tosu Hoa-san-pai? Mereka tak dapat membersihkan diri pula. Tentu saja orang Hoa-san-pai
akan menganggap mereka ikut bersekongkol.
dunia-kangouw.blogspot.com
Terpaksa Bun Si Teng dan Bun Si Liong mencabut senjata dan membela diri. Akan tetapi oleh karena
dikeroyok empat orang dan pihak lawan lebih kuat, di samping itu karena memang mereka tidak dapat
berkelahi dengan penuh semangat karena merasa pihak sute-nya bersalah, maka akhirnya Bun Si Teng dan
Bun Si Liong terdesak, dan menderita luka-luka. Namun orang gagah dari Kun-lun-pai ini dengan ilmu silat
mereka yang tinggi masih terus melakukan perlawanan, atau lebih tepat disebut melakukan pembelaan diri
yang gigih dan kuat.
Pada saat itu, Kwa Hong berlari-larian menuju tempat Beng San bekerja. Dengan napas terengah-engah Kwa
Hong menarik tangan Beng San yang sedang menyapu lantai.
"Beng San, marilah lihat. Ayah dan semua orang sedang bertengkar dengan orang-orang dari Kun-lun-pai.
Tentu akan bertempur!"
Kaget sekali hati Beng San. Anak ini sudah mendengar dari Tan Hok tentang usaha jahat yang dilakukan Ngolian
Kauwcu yang berjuluk Kim-thouw Thian-li untuk memecah belah antara Pek-lian-pai, Hoa-san-pai dan
Kun-lun-pai.
"Kenapa mereka bertengkar? Apa sebabnya mereka bertempur?" tanyanya, masih kurang mengacuhkan
karena dipikirnya bahwa hal itu bukanlah urusannya, apa lagi kalau diingat bahwa apa yang dia dapat lakukan
terhadap urusan itu?
"Kabarnya seorang Kun-lun-pai, tunangan bibi Sian, telah membunuh ayah bibi Sian Hwa. Sekarang dia
datang bersama dua orang lagi dan cekcok dengan ayah dan semua paman guru. Juga sukong berada di
sana. Hayo kita lihat!"
"Nona Hong, kau lihatlah sendiri. Aku dilarang oleh sukong-mu keluar dari sini, kalau aku berani keluar tentu
akan mendapat marah pula." Beng San melanjutkan pekerjaannya, tak peduli lagi.
"Beng San, mereka sedang ribut-ribut, mana memperhatikan kau? Marilah kau temani aku keluar menonton."
Beng San menggelengkan kepala dan memandang kepada Kwa Hong, mengagumi sinar mata yang demikian
tajam namun halus dan indah.
"Nona Hong, mengapa kau selalu datang kemudian mengajak aku bercakap-cakap dan bermain-main? Sudah
berapa kali kau dimarahi oleh ayahmu? Lebih baik jika kau seperti anak-anak yang lain, menjauhi aku karena
aku hanyalah seorang kacung dan kau dilarang mendekati aku."
"Apa salahnya? Kalau aku suka bermain-main dan bicara denganmu, siapa melarang? Biar ayah marah, biar
sukong mengamuk, aku tidak takut!" Gadis cilik ini membusungkan dada dan kepalanya tegak, matanya
bersinar-sinar.
Beng San memegang tangan Kwa Hong, terharu sekali. "Nona Hong, kenapa demikian? Amat tidak baik kalau
kau dimarahi ayahmu dan sukong-mu... mengapa kau begini baik terhadapku seorang kacung, seorang jembel
busuk, mengapa sikapmu tidak seperti yang lain yang selalu menghinaku?"
Untuk beberapa saat sepasang mata dara cilik itu menatap wajah Beng San, lalu berkata lirih, "Entahlah... aku
merasa amat berkasihan kepadamu, Beng San..."
Keduanya hanya berpegang tangan dan saling pandang tanpa mengerti apa yang mereka rasakan. Kemudian
timbul kenakalan Kwa Hong yang memecahkan hikmat kesunyian itu sambil tertawa. "Agaknya karena kau
seperti bunglon itulah yang membuat aku suka bermain denganmu, hi-hi-hi..."
"Kuntilanak!" Beng San balas memaki. la mendongkol kalau dimaki bunglon.
Kwa Hong tertawa sambil melepaskan tangannya. Pada saat itu tampak Kui lok, Thio Ki, dan Thio Bwee
berlari-lari. Muka mereka agak pucat.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mereka sudah bertempur!" kata Thio Ki terengah-engah. "Tadi bekas tunangan bibi Sian Hwa itu lenyap
secara aneh, seorang supek yang menjadi tosu dibunuh orang, kepalanya dilempar ke depan sukong. Sukong
mengejar orang jahat. Hebat...”
Tanpa menunggu sampai cerita ini berakhir, Kwa Hong sudah berlari-lari keluar hendak menonton, diikuti oleh
tiga orang anak itu. Para tosu Hoa-san-pai juga kelihatan berlari-lari sambil membawa senjata tajam. Keadaan
Hoa-san-pai kacau-balau.
Setelah ditinggal seorang diri, Beng San termenung. la bisa mendengar suara beradunya senjata tajam, dan
telinganya yang sudah memiliki pendengaran luar biasa itu mendengar angin sambaran senjata yang amat
mengerikan itu.
Dia tahu persoalannya. Mereka sedang berhantam, saling bunuh tanpa mereka sadari bahwa mereka sedang
diadu domba oleh pemerintah Mongol yang menggunakan pihak Ngo-lian-kauw sebagai kaki tangannya. Ahhh,
perlukah orang-orang itu saling membunuh hanya menurutkan nafsu amarah belaka? Saling bunuh karena
fitnah, padahal mereka itu adalah saudara-saudara sebangsa sendiri?
Tidak mungkin aku mendiamkan saja, menonton orang sebangsa saling bunuh, padahal kedua belah pihak
adalah orang-orang gagah yang telah mempunyai nama besar sebagai pendekar-pendekar! Beng San
kemudian melempar sapunya dan berlari cepat ke tempat pertempuran.
la melihat betapa dua orang laki-laki yang melakukan perlawanan dengan gagah berani telah mandi darah dan
terdesak hebat oleh pengeroyokan Kwa Tin Siong, Thio Wan It, Kui Keng, dan Liem Sian Hwa. Di atas tanah
tergeletak kepala seorang tosu Hoa-san-pai. Keadaan benar-benar amat mengerikan.
Mudah Beng San menduga siapa adanya dua orang gagah itu. Mereka tentu orang-orang Kun-lun-pai seperti
yang tadi diceritakan oleh Kwa Hong. Dia melihat Kwa Hong berdiri agak jauh dengan Thio Bwee, agak pucat
dan hanya menonton saja. Akan tetapi Kui Lok dan Thio Ki bertepuk-tepuk dan bersorak kalau dua orang itu
terkena sambaran senjata seorang di antara Hoa-san Sie-eng.
Di dalam hati Beng San timbul rasa penasaran. Kenapa main keroyok? la dapat menilai tingkat enam orang
yang bertempur itu. Apa bila pertempuran dilakukan satu lawan satu, barulah akan seimbang dan ramai. la
melihat pedang di tangan Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa amat berbahaya. Sudah beberapa tempat di
tubuh kedua orang Kun-lun-pai itu luka-luka.
"Hoa-san Sie-eng... jangan lanjutkan pertempuran. Orang-orang Kun-lun tidak bersalah!" tiba-tiba Beng San
tak dapat menahan dirinya lagi, berteriak-teriak dan melompat ke dekat pertempuran.
Semua orang kaget sekali melihat ini, akan tetapi yang bertempur terus saja bertempur. Kui Lok dan Thio Ki
marah sekali melihat sikap Beng San. Mereka berdua ini memang sudah merasa amat iri hati kepada Beng
San ketika mendengar pujian Kwa Hong dan Thio Bwee betapa Beng San dengan ‘gagah berani’ telah
menyusul dan menolong dua orang dara cilik itu ketika diculik orang.
Sekarang mereka melihat Beng San berteriak-teriak, mereka mendapat kesempatan untuk melampiaskan
kemarahan mereka. Dua orang jago cilik ini lalu menerjang maju ke arah Beng San.
"Kacung busuk! Mau apa kau berteriak-teriak? Hayo kembali ke tempat kerjamu!"
Dua orang jago cilik ini lalu memukuli Beng San, diturut oleh beberapa orang tosu yang juga tidak suka kepada
Beng San.
Terjadi keanehan ketika dua orang anak dan beberapa orang tosu ini memukul Beng San. Kui Lok dan Thio Ki
menjerit kesakitan dan tangan kanan mereka patah tulangnya ketika memukul tubuh Beng San. Para tosu
yang memukulnya kurang keras, juga berjingkrak kesakitan karena tangan mereka sudah menjadi merah
bagaikan terbakar dan bengkak-bengkak!
Tanpa mempedulikan mereka semua, Beng San langsung berjalan menuju ke gelanggang pertempuran. Dua
orang saudara Bun itu sudah roboh bermandikan darah dan Beng San menubruk mereka sambil berseru.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mereka tidak bersalah... ahhh, pertumpahan darah terjadi hanya karena fitnah! Alangkah bodohnya, bermata
tetapi seperti buta" Dengan sedih Beng San mengusapi darah yang mengucur keluar dari dada Bun Si Teng
dan Bun Si Liong. "Dua orang pendekar gagah harus melepaskan nyawa hanya karena menurutkan nafsu
belaka, hanya karena fitnah..."
Bun Si Teng dan Bun Si Liong belum tewas, akan tetapi mereka sudah terluka parah dan hanya berkat jiwa
mereka yang gagah perkasa saja yang membuat mereka roboh tanpa mengeluarkan keluhan sakit sedikit pun
juga!
Melihat sikap dan kata-kata Beng San, Kwa Tin Siong kaget dan heran sekali. Apa lagi ketika dia melihat
betapa cucu-cucu murid Hoa-san, yaitu Kui Lok dan Thio Ki menderita patah tulang tangan sedangkan
beberapa orang tosu lagi bengkak-bengkak tangannya.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru