Jumat, 20 April 2018

Cerita Silat Dewasa Darah Pendekar 5

-------
"Pasukan pemerintah yang kuat kini hanya tinggal yang dipimpin oleh Jenderal Beng Tian, demikian
dalam persembunyiannya Liu Pang ber-pikir. "Dan Beng-goanswe itu kini sibuk menge-rahkan tenaga
untuk membendung gerakan Chu Siang Yu. Dan pergolakan di timur dan selatan tidak akan ada yang
dapat mencegah lagi. Siapa lagi yang dapat menyelamatkan negara dari tangan pasukan asing dan
penjual-penjual negara itu ?"
Dengan pikiran ini, bulatlah tekad di hati Liu Pang untuk menyelamatkan negara, apapun akibat-nya.
Dia akan mengerahkan seluruh kekuatannya untuk menduduki daerah, membasmi pasukan asing,
menghancurkan pula kekuatan-kekuatan yang ber-sekongkol dengan pasukan asing dan hendak
mem-berontak. Mulai saat itu, berobahlah pendirian Liu Pang. Kalau tadinya dia masih merasa segan
dan takut-takut untuk menentang kaisar karena di dasar hatinya terdapat kesetiaan terhadap pemerintah,
kini perasaan itu semakin menipis, bahkan lenyap karena dia mulai menimpakan kesalahan
kepada kaisar yang dianggapnya tidak cakap meng-atur pemerintahan sehingga negara terancam
baha-ya. Dia sudah mengambil keputusan untuk me-lanjutkan gerakannya, memperbesar
pasukannya dan memperluas daerah kekuasaannya untuk me-nyaingi Chu Siang Yu. Mula-mula Liu
Pang me-mang didorong oleh jiwa patriot, akan tetapi kini mulai bercampur dengan ambisi.
Kemenangan dan sukses adalah hal-hal yang amat berbahaya bagi kita manusia pada umumnya.
Dalam keadaan berjuang, yang ada hubungannya dengan perjuangan berdasarkan kepatriotan, memang
cita-citanya nampak bersih dan murni, yakni membebaskan tanah air dari bangsa dari keadaan
yang buruk, membela rakyat tertindas dan segala slogan yang baik-baik lagi. Dalam keadaan berjuang,
biasanya lubuk hati masih murni dan per-juangan dilakukan dengan setia dan jujur, bersih dari
pada mementingkan diri sendiri, penuh kese-tiakawanan dan pengorbanan diri dengan rela. Akan
tetapi, setelah perjuangan selesai dan keme-nangan dicapai, setelah memperoleh kemuliaan yang
berupa bergelimangnya harta kekayaan dan menjulangnya nama kehormatan, maka akan ter-jadilah
pembahan dalam batin kita pada umumnya.
Di dalam perjuangan, yang dituju adalah kepen-tingan bangsa dan kepentingan pribadi sudah tenggelam
ke dalam kepentingan bangsa sehingga ke-jujuran dan kesetiaan terhadap kawan amat terasa.
Akan tetapi, setelah memperoleh kemuliaan, yang dipentingkan tentu saja adalah kemuliaannya sendiri
dan setiap orang yang berani menggoyahkan kedudukannya, dengan dalih apapun, dengan dalih
kepentingan bangsa sekalipun, akan ditentang mati-matian. Hal ini sudah terjadi berulang kali, tercatat
dalam sejarah semua bangsa di dunia. Di kala melakukan perjuangan mengejar kemenangan, semua
orang tentu bersatu padu, akan tetapi sete-lah perjuangan berhasil dan kemenangan dicapai, semua
orang saling berebut, memperebutkan hasil dari pada kemenangan itu. Yang berhasil memper-oleh
kemuliaan akan mempertahankannya mati-matian, sebaliknya yang tidak kebagian akan ber-usaha
untuk mengganggu dan memperebutkan ke-dudukan. Tentu saja kita menutupi segala keingin-an itu
dengan berbagai macam dalih yang muluk-muluk, dan biasanya selalu nama rakyat dipergu-nakan
untuk menutupi keinginan pribadi yang bersumber kepada pementingan diri sendiri. Ñama rakyat
hanya dicatut saja, diperalat untuk mencapai apa yang dikejarnya dan kalau yang dicapai sudah
dapat, rakyatpun dilupakan.
Setelah berpikir sejepak, Liu Pang cepat me-ninggalkan tempat itu dan cepat mengejar pasukan.
Bouw-ciangkun yang kembali, ke benteng mereka sendiri. Dia telah mempunyai rencana yang
dianggapnya tepat untuk melancarkan pe-nyerbuan pasukannya besok pagi.
Gui-ciangkun mengadakan rapat darurat dengan para perwira pembantunya malam itu juga. Dia juga
sudah mendengar akan kemunculan Jen-deral Lai dan tahulah dia bahwa Bouw-ciangkun tentu
mengadukannya kepada Jenderal Lai. Meng-ingat bahwa tiga orang perwira tinggi lainnya, di kota
Lok-yang telah menjadi antek kepala daerah yang bersekongkol dengan pasukan asing, maka dia
dunia-kangouw.blogspot.com
tentu akan kalah suara dan Jenderal Lai tentu akan lebih percaya keterangan mereka. Besok pagi dia
tentu akan ditangkap dan pasukannya dianggap pemberontak.
"Tidak sudi aku menyerah!" Demikian dia mengambil keputusan di depan para pembantunya sambil
menggebrak meja.
"Akan tetapi, ciangkun," seorang pembantunya menyatakan kebingungan hatinya, "apakah dengan
demikian berarti bahwa kita akan melakukan pem-berontakan terhadap pemerintah secara terbuka ?"
"Tidak, kita tidak memberontak melawan pe-merintah, melainkan memberontak terhadap penguasa
di Lok-yang yang sudah bersekutu dengan orang asing ! Kita tidak sudi terseret menjadi ma-nusia
pengkhianat penjual negara kepada kekuasa-an asing!"
Tiba-tiba terdengar suara gaduh dan daun pintu ruangan itu terbuka dari luar. Muncul seo-rang lakilaki
gagah perkasa berpakaian sederha-na, berusia tigapuluh enam tahun yang bertubuh jangkung
dan mukanya kurus akan tetapi sepa-sang matanya seperti mata harimau, mencorong penuh wibawa.
Dari luar berlompatan para pengawal yang nampak terkejut dan gelisah. Kepala pengawal berkata,
"Maaf, ciangkun. Dia menyelinap masuk dengan cepat sehingga kami terlambat "
Akan tetapi Gui-ciangkun mengangkat tangan memberi isyarat agar para pengawal jangan sembarangari
bergerak. Dia sudah melihat bahwa orang yang datang secara aneh ini mengempit tubuh
yang gendut, tubuh Bouw-ciangkun yang kelihatan le-mas tertotok!
Liu Pang memandang kepada Gui-ciangkun dengan sinar mata penuh selidik. "Gui-ciangkun,
benarkah kata-katamu tadi bahwa engkau tidak akan menyerah kepada para pengkhianat itu ? Baguslah
kalau begitu! Ketahuilah bahwa aku Liu Pang!"
Mendengar pengakuan ini, semua orang terkejut dan Gui-ciangkun sendiri memandang terbelalak "Liu
bengcu?"
"Benar. Pasukanku telah mengepung kota ini. Bersiaplah Gui-ciangkun dengan semua pasukan-mu
dan temui aku pada besok pagi di luar benteng kota. Sebagai bukti bahwa aku ingin bekerja sama
dengjan pasukanmu, ini kubawakan si pengkhianat Bouw kepadamu. Terserah mau kauapakan dia
Nah, selamat tinggal. Pikirkan baik-baik usulku, tidak banyak waktu lagi!" Dan Liu Pang melem-parkan
tubuh gendut itu ke atas lantai, kemudian sekali berkelebat tubuhnya meloncat keluar ruang-an itu dan
sebentar saja lenyap dalam kegelapan malam. Sebelum kembali ke pasukannya, Liu Pang
menggunakan kepandaiannya untuk melakukan penyelidikan dan mengelilingi semua penjuru kota,
memeriksa keadaan benteng penjagaan kota itu untuk mengetahui bagian mana yang kuat dan mana
yang agak lemah.
Pada waktu itu, fajar telah mulai menyingsing. Langit di timur nampak kemerahan tanda bahwa sang
matahari sudah akan menampakkan kehadir-annya di belahan bumi ini. Liu Pang sudah selesai
dengan penyelidikannya ketika tiba-tiba terdengar sorak-sorai gemuruh di luar benteng kota.
Gembiralah hati pendekar ini. Pasukan para pendekar telah tiba, tepat pada waktunya, sesuai dengan
yang telah direncanakan. Cepat dia melompat keluar tembok kota dan menggabungkan diri dengan
pasukannya. Pasukan para pendekar itu bersorak gembira melihat sosok tubuh yang me-layang turun
itu, setelah mengenal bahwa itu ada-lah tubuh pimpinan mereka yang mereka cinta dan kagumi.
Setelah tiba kembali di antara pasukannya, Liu Pang lalu memimpin sendiri barisannya, dipecahpecah
dan dibagi-bagi tugas pengepungan kota Lok-yang. Dengan tombak panjang di tangan,
pemimpin ini dengan gagahnya memimpin sendiri pasukan yang berada di depan pintu gerbang. Pek
Lian, Hek-coa Ouw Kui Lam dan para pembantu yang lain masing-masing mendapat bagian tugas
memimpin pasukan-pasukan yang mengepung kota itu.
Tentu saja di dalam kota Lok-yang terjadi kegemparan dan kepanikan. Apalagi setelah men-dengar
bahwa pintu gerbang telah ditutup semua dan bahwa kota itu telah dikepung oleh barisan
"pemberontak" Liu Pang ! Para penduduk yang tidak sempat lari mengungsi itu kini bersembunyi di
dalam rumah masing-masing, bergerombol dan saling berpelukan. Suami-suami menghibur iste-rinya,
ibu-ibu merangkul anak-anaknya dan ber-usaha agar si kecil tidak sampai menangis membuat gaduh.
Pria-pria muda dengan lagak gagah tapi hati takut berjaga di depan pintu kamar keluarga masingmasing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Jenderal Lai cepat memanggil empat orang perwira yang menjadi komandan-komandan pa-sukan
penjaga kota Lok-yang. Akan tetapi, kea-daan menjadi geger ketika Bouw-ciangkun tak dapat
ditemukan di dalam bentengnya, sedangkan Gui-ciangkun tidak mau menghadap! Seperti telah kita
ketahui, dengan kepandaiannya yang tinggi, malam tadi Liu Pang berhasil menyelundup ke benteng
Bouw-ciangkun, menculik perwira gendut ini dan membawanya ke benteng Gui-ciangkun. Terpaksa
Jenderal Lai menunjuk seo-rang perwira lain untuk menggantikan kedudukan Bouw-ciangkun dan
memimpin pasukan. Akan tetapi, dia tidak dapat berbuat apapun terhadap Gui-ciangkun. Benteng
Gui-ciangkun masih di-jaga ketat dan jembatan gantung masih juga belum diturunkan. Jelaslah bahwa
Gui-ciangkun dan pasukannya hendak memberontak. Akan tetapi, untuk menggempur dan
menghukumnya tidak ada waktu. Yang penting kini ialah menghadapi pem-berontak Liu Pang yang
sudah mengepung kota.
Terdengar bunyi terompet dan tambur di luar pintu gerbang, dan Liu Pang menantang perang dengan
suara lantang karena teriakannya disertai tenaga khikang yang kuat.
Selagi Jenderal Lai sibuk mengatur pasukan untuk melakukan penjagaan mempertahankan ben-teng
kota, tiba-tiba nampak bayangan orang meloncat turun dari tembok benteng. Segera terde-ngar
bentakan dan teriakan dari atas benteng dan beberapa batang anak panah meluncur ke arah orang
itu. Akan tetapi orang itu yang berpakaian perwira, berlari dengan cepat dan beberapa batang anak
panah yang mengenai baju perangnya meleset dan tidak melukainya.
"Cepat sambut orang itu dengan baik!" Liu Pang berseru dan beberapa orang lalu menyambut perwira
itu dan membawanya menghadap Liu Pang. Perwira itu melepas topinya dan memberi hormat sambil
berlutut di depan Liu Pang.
"Saya membawa salam hormat dari Gui-ciang-kun untuk disampaikan kepada Liu-bengcu ! kata
perwira itu agak terengah-engah karena tadi dia harus mengerahkan tenaganya. "Gui-ciangkun
memberitahukan bahwa dia telah mengambil ke-putusan untuk bergabung dengan pasukan Liubengcu,
dan sekarang sudah siap untuk mengha-dapi gempuran Jenderal Lai yang menganggapnya
sebagai pemberontak."
"Bagus! Kalau begitu, kita akan menyerang sekarang ! Jangan beri kesempatan kepada Jenderal Lai
untuk menyerbu benteng Gui-ciangkun !"
Liu Pang lalu memberi isyarat kepada semua pembantunya dan pasukannya mulai bergerak. Da-ri
dalam benteng itu, keluarlah tiga orang perwira menunggang kuda. Munculnya musuh ini segera
disambut oleh Pek Lian, Hek-coa Ouw Kui Lam, dan seorang rekan lagi. Seperti biasa yang dilakukan
orang pada jaman itu, setiap peperangan se-lalu dimulai dengan pertempuran antara jagoanjagoan
mereka. Kedua pihak bertanding dengan jujur dan gagah sedangkan pasukan masing-masing
hanya memberi semangat dengan sorakan-sorakan dan teriakan-teriakan. Terjadilah pertempuran
antara tiga orang jagoan dari Lok-yang melawan Pek Lian, Ouw Kui Lam, dan seorang pendekar lain.
Tentu saja dalam perkelahian perorangan seperti ini, ilmu silat jauh lebih penting dan ber-guna dari
pada ilmu perang. Belum sampai dua puluh jurus saja, tiga orang perwira jagoan dari Lok-yang itupun
roboh dan tewas, disambut so-rak-sorai dari para anak buah pasukan Liu Pang. Dan karena Liu Pang
tidak ingin membiarkan pa-sukan Gui-ciangkun mengalami kehancuran di dalam benteng, dia tidak
menanti sampai ada jago-an lain keluar dari benteng musuh, terus saja dia memberi aba-aba dan
pasukannya bergerak maju sambil menghujankan anak panah ke arah benteng. Dari benteng musuh
datang pula anak panah berhamburan menyambut pasukan yang maju.
Terjadilah pertempuran yang dahsyat. Biarpun pasukan penjaga kota Lok-yang cukup banyak dan
kuat, bahkan diam-diam dibantu pula oleh pa-sukan asing tanpa diketahui oleh Jenderal Lai sendiri,
namun karena kini pasukan yang dipimpin oleh Gui-ciangkun juga membantu melakukan pengacauan
dari dalam, akhirnya, menjelang te-ngah hari, pintu gerbang besar dapat dibobolkan dan Liu Pang
memimpin pasukannya menyerbu ke dalam kota.
Gegerlah kini keadaan dalam kota. Pertem-puran terjadi di mana-mana di seluruh kota. Rak-yat
menjadi panik dan berlari-larian menyelamat-kan diri. Kebakaran-kebakaran terjadi di sana-sini
membuat keadaan menjadi semakin kacau dan membuat orang-orang menjadi semakin panik. Suara
gaduh dan hiruk-pikuk memenuhi udara, kadang-kadang terdengar pekik kesakitan dan ra-ungan
orang menghadapi maut. Pertempuran yang kacau-balau dan tidak teratur sama sekalipun ter-jadilah
dunia-kangouw.blogspot.com
di mana-mana. Pertempuran antar ke-lompok dan antar perorangan terjadi di jalan-jalan, di loronglorong,
di halaman rumah orang. Ke-bakaran makin menjalar luas.
Liu Pang sendiri bersama limapuluh orang pengawal yang selalu membantu dan melindungi-nya,
menerjang ke arah gedung gubernuran untuk menduduki gedung yang menjadi pusat pemerintah-an
di daerah itu. Akan tetapi usahanya ini tidak-lah mudah karena selalu dirintangi oleh pasukan musuh
yang agaknya hendak mempertahankan ge-dung, itu dengan mati-matian. Apa lagi, jalan be-sar
menuju ke gedung kepala daerah itu penuh dengan rakyat tua muda yang berlarian mengungsi dan
menyelamatkan diri, sehingga mereka ini menghambat majunya Liu Pang yang selalu me-larang anak
buahnya mengganggu rakyat.
Dengan menunggang seekor kuda putih yang besar, Liu Pang terus menghajar musuh dengan
gagahnya. Dia sudah berhati-hati sekali agar ja-ngan sampai salah tangan melukai rakyat yang
berlari-larian mengungsi, akan tetapi karena sua-sana begitu kacau, tanpa disengaja kudanya melanggar
tubuh seorang laki-laki berpakaian pela-yan yang setengah tua. Pelayan tua itu diiringkan
oleh beberapa orang pelayan lain dan dia jatuh tunggang langgang ketika terlanggar oleh kuda putih
besar itu.
Liu Pang terkejut sekali dan sesuai dengan wataknya yang gagah dan selalu memperhatikan orang
kecil, diapun cepat melompat turun dari atas kudanya dan membantu orang tua itu untuk ba-ngun.
Dengan ramah Liu Pang minta maaf dan sekalian bertanya kepada kakek itu di mana letak-nya
gedung sang gubernur.
"Tak jauh lagi, di sana . . . . . . ."kakek itu menunjuk ke arah barat. Kemudian, tertatih-tatih orang itu
melanjutkan perjalanannya mengungsi dipapah para pelayan pengikut yang lain.
Liu Pang tidak memperhatikan lagi rombongan pelayan itu dan melanjutkan penyerbuannya ke arah
gedung kepala daerah seperti yang ditunjukkan oleh pelayan tua tadi. Dan sekarang terjadi hal yang
mengherankan. Perlawanan pasukan musuh tidaklah seketat tadi, bahkan kini mereka dapat maju
sampai ke gedung gubernuran tanpa banyak halangan! Cepat Liu Pang memimpin pasukannya
menyerbu ke dalam gedung, dan ter-nyata gedung itu sudah kosong. Seniua penghuni-nya agaknya
telah kabur. Bahkan para pelayan dan pengawalnya juga tidak ada lagi, gardu-gardu penjaga
kosong. Para perwira pasukan asing yang katanya mondok di gedung itupun tidak nampak
bayangannya. Sungguh aneh, bagaimana mereka mampu meloloskan diri dari gedung di kota yang
sudah dikepung dan diserbu itu ? Apakah mereka mungkin melarikan diri dengan menyamar, lalu
menjadi satu dengan rakyat yang berlari-larian dan mengungsi berbondong.-bondong itu ? Ti-ba-tiba
dia teringat akan rombongan pelayan yang tadi ditabrak kudanya. Ah, kini dia teringat. Muka pelayan
tua itu. Tidak pantas sebagai pelayan, mukanya terlalu putih dan gerakannya terlalu ha-lus. Dan
pelayan tua itu diiringkan banyak sekali pelayan-yang membawa banyak buntalan pula. Ah, betapa
bodohnya !
"Tolol sekali aku! Orang itu tentu gubernur dan para pengawalnya !" Cepat Liu Pang keluar dari
gedung dan melarikan kudanya, pergi menyu-sul. Akan tetapi, ke manapun dia mencarinya, dia tidak
berhasil menemukan rombongan gubernur yang mengungsi itu. Pintu gerbang terbuka lebar dan
padat oleh para penghuni yang mengungsi keluar kota.
Menjelang senja, pertempuran berakhir. Sisa pasukan penjaga kota melarikan diri dan kota Lok-yang
diduduki oleh Liu Pang. Tentu saja pasukan Liu Pang menjadi gembira dan besar hati oleh kemenangan
gemilang ini. Jenderal Lai juga melari-kan diri, dan banyak perwira yang tewas. Guiciangkun
diterima sebagai pembantu Liu Pang dan pasukannya bergabung dengan induk pasukan
besar dari pendekar itu yang kini menjadi semakin besar.
Pesta kemenangan dirayakan ! Dalam keadaan seperti itu, para perajurit makan minum sampai
mabok dan mereka itu sama sekali lupa akan te-man-temannya yang gugur dalam pertempuran itu.
Yang teringat hanyalah bahwa mereka masih hidup dan menang !
Di dalam pesta ini, Liu Pang lalu mulai meng-atur pasukannya. Dia berpikir bahwa kalau pa-sukannya
yang semakin besar itu dibiarkan kacau tanpa peraturan, akhirnya dia sendiri yang tidak akan mampu
mengendalikan. Kini sudah tiba saatnya pasukannya harus merupakan bala tentara yang teratur,
dengan pembantu-pembantunya dijadikan perwira-perwira sesuai dengan kepandaian, jasa dan
kedudukan masing-masing seperti dalam ketentaraan. Untuk menyusun peraturan-peraturan ini,
tenaga Gui-ciangkun sangat ber-guna dan bersama Gui-ciangkun, Liu Pang mulai menyusun
dunia-kangouw.blogspot.com
pasukannya dan pembantunya. Di da-lam benteng itu mereka telah menyita banyak se-kali pakaian
dan kini para pembantu dibagi-bagi pakaian sesuai dengan kedudukan dan pangkat mereka yang
ditentukan oleh Liu Pang. Suasana pesta menjadi gembira sekali.
Karena mereka itu sebagian besar, yaitu para pembantu utama, terdiri dari pendekar-pendekar yang
ahli ilmu silat, maka pesta ini tak dapat di-hindarkan lagi lalu diramaikan dengan pertunjukan ilmu silat
yang sekaligus menjadi arena pibu (mengadu kepandaian silat) secara persahabatan. Pibu diadakan
karena Liu Pang ingin mengenal kepandaian para pembantu baru dan ingin me-milih pembantupembantu
baru yang pandai.
Ho Pek Lian mewakili gurunya untuk bertin-dak sebagai penguji. Beberapa orang pimpinan pasukan
maju, akan tetapi tidak ada seorangpun yang dapat mengalahkan Pek Lian. Bahkan bekas guru
pertamanya sendiri, Ouw Kui Lam seorang di antara Huang-ho Su-hiap, tidak mampu menandinginya.
Ilmu kepandaian Pek Lian memang su-dah cukup tinggi. Bukan saja dara ini telah me-warisi
ilmu-ilmu dari empat pendekar Huang-ho Su-hiap dan kemudian dilatih ilmu pedang oleh Liu Pang
sendiri, akan tetapi juga gadis ini selama ini telah digembleng oleh pengalaman-pengalam-an yang
hebat, bertemu orang-orang pandai dan menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh keturunan
orang-orang sakti. Setelah melihat bahwa tidak ada lagi yang berani maju melawan-nya, Pek Lian
hendak mundur dan mengaso. Akan tetapi tiba-tiba muncullah seorang pemuda yang berwajah
tampan sekali, seorang pemuda yang keluar dari kelompok perajurit rendahan. Pakaian-nya amat
sederhana, dari bahan yang murah, akan tetapi nampaknya rapi dan bersih. Pemuda ini agaknya
tidak mau mempergunakan kesempatan dalam kemenangan itu untuk melucuti pakaian lawan dan
memakainya, melainkan tetap menge-nakan pakaian biasa seorang petani.
"Harap nona sudi memberi petunjuk kepada-ku," katanya sederhana.
Pek Lian mengerutkan alisnya dan memandang heran. Di antara para pengikut pibu tadi, semua
terdiri dari para pimpinan pasukan, tidak ada se-orangpun perajurit biasa yang berani maju. Pemuda
ini jelas hanya seorang perajurit biasa saja. Hal ini sudah mengherankan, pula, ia merasa seperti pernah
melihat wajah tampan ini, akan tetapi ia lupa lagi kapan dan di mana. Bagaimanapun juga, pibu
itu diadakan secara terbuka dan tanpa batas, maka siapapun juga yang maju haruslah dilayani.
Maka iapun tersenyum ramah dan melangkah kembali ke depan, ke tenglah ruangan indah itu, karena
pertemuan pesta itu dilakukan di ruangan luas dari gedung gubernur yang lantainya marmar licin dan
bersih. "Baiklah, silahkan maju," katanya sambil memasang kuda-kuda.
"Maafkan !" Pemuda itu lalu membuka serang-an. Gerakannya biasa saja, seenaknya dan seperti
tidak bertenaga. Akan tetapi, ketika Pek Lian mengelak dan mulai membalas, diam-diam dara itu
terkejut. Serangannya dapat dipatahkan dengan amat mudahnya oleh pemuda perajurit rendahan ini!
Tentu saja ia merasa penasaran dan mulailah ia memberi "isi" kepada serangan berikutnya. Akan
tetapi sama saja, berturut-turut ia menyerang dan semua serangannya kandas tanpa hasil! Bahkan
pemuda itupun membalas dengan serangan-se-rangan yang tidak kalah cepatnya. Ramai sekali
perkelahian pibu itu sampai semua orang meman-dang dengan mata terbelalak. Terdengar pujianpujian
di sana-sini dan semua orang merasa ke-celik. Tak ada seorangpun mengira bahwa pemuda
sederhana itu ternyata memiliki ilmu silat yang cukup lihai sehingga mampu menandingi Pek Lian
sampai belasan jurus. Makin lama, makin kagum dan heranlah mereka karena yang belasan jurus itu
akhirnya menjadi sampai puluhan jurus dan men-dekati seratus jurus akan tetapi pemuda itu belum
juga terdesak, apa lagi kalah ! Ternyata permainan silat mereka nampak seimbang. Bahkan diamdiam
Liu Pang yang memandang dengan penuh perhati-an juga dapat menduga bahwa pemuda itu
tentu memiliki tenaga sinkang yang kuat dan bahwa pemuda itu sengaja mengalah terhadap Pek Lian
dan tidak mengerahkan seluruh tenaganya. Seorang pemuda yang berkepandaian tinggi, pikirnya kagum.
Sementara itu, si pemuda tampan agaknya me-rasa sudah cukup menguji kepandaian dan dia
sengaja memperlambat elakannya ketika tamparan tangan kiri Pek Lian menyambar ke arah
kepalanya sehingga biarpun kepalanya tidak sampai terkena pukulan, akan tetapi bahu kanannya
tertampar dan diapun terhuyung ke belakang. Cepat dia menjura kepada Pek Lian.
"Banyak terima kasih atas petunjuk nona!" Lalu diapun kembali ke tempat duduknya disam-but soraksorai
para perajurit yang merasa kagum kepada rekan mereka yang muda namun lihai ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi sebelum pemuda itu tiba di tempat duduknya, nampak bayangan berkelebat dan ter-nyata
Liu Pang telah berdiri di depannya dan pemimpin ini tersenyum.
"Aku merasa sangat kagum atas kepandaianmu, saudara muda. Tidak kusangka bahwa di antara
rekan-rekan yang membantuku, terdapat seorang pendekar muda yang amat lihai. Nah, terimalah
rasa kagumku dengan secawan arak!" Liu Pang yang sudah membawa secawan arak itu lalu memberikan
cawan penuh arak itu kepada si pemuda. Melihat betapa pemimpin besar ini menghormatinya
dengan secawan arak, wajah si pemuda men-jadi merah seketika karena girang, bangga dan juga
terharu dan maluy Dan kenyataan bahwa Liu Pang dapat berkelebat cepat membawa secawan penuh
arak tanpa tumpah, membuktikan betapa lihainya pemimpin ini.
"Terima kasih, sungguh merupakan kehormatan besar sekali bagi saya," pemuda itu menjawab dan
menerima cawan arak itu. Akan tetapi, begitu ta-ngannya menyentuh cawan, dia terkejut bukan main
karena terasa hawa panas dan tenaga kuat mendorongnya dari tangan Liu Pang! Tahulah dia bahwa
pemimpin ini memang sengaja hendak mengujinya dengan tenaga sinkang. Pemuda itu tersenyum
dan diapun melanjutkan gerakannya menerima cawan arak. Terjadi pertemuan dua tenaga sinkang
dan akibatnya, cawan arak itu pin-dah ke tangan si pemuda akan tetapi keduanya tergetar dan
mundur! Liu Pang mundur sampai tiga langkah sedangkan si pemuda mundur sampai empat langkah,
akan tetapi arak itu sedikitpun ti-dak tumpah dari cawannya.
Liu Pang memandang kaget dan juga kagum. Tahulah dia bahwa pemuda ini benar-benar lihai bukan
main, jauh lebih lihai dibandingkan dengan
Pek Lian, bahkan dalam hal tenaga sinkang juga hampir dapat mengimbanginya!
"Maaf, siapakah guru saudara ? Bolehkah saya mengenal namanya yang mulia ?" tanya Liu Pang,
sikapnya bukan sebagai pemimpin terhadap ba-wahan, melainkan sebagai seorang pendekar yang
bertemu kawan baru yang sama lihainya.
"Harap Liu-bengcu sudi memaafkan saya. Sesungguhnya, saya terseret oleh kegembiraan pesta
kemenangan ini sehingga lupa diri dan tadi lancang memasuki pibu. Bukan lain hanya untuk ikut
bergembira. Akan tetapi saya hanyalah seo-rang perajurit pejuang, dan tentang asal-usul saya, harap
bengcu sudi memberi kelonggaran dan ke-bebasan kepada saya untuk sementara ini tidak
menceritakannya."
Ucapan itu dikeluarkan dengan nada sedih dan juga dengan sikap sopan, maka biarpun hatinya
merasa penasaran sekali, Liu Pang tidak menjadi marah. Sementara itu, Pek Lian memandang tajam,
mengingat-ingat di mana kiranya ia pernah ber-temu dengan pemuda ini, namun ia tetap tidak mampu
mengingatnya.
Liu Pang merasa sangat terkesan hatinya oleh pemuda tampan itu. Maka pemuda itu langsung saja
diangkat menjadi pembantu dekatnya, sebagai pengawal pribadi karena selain suka, diapun ingin
benar mengetahui asal-usul pemuda aneh yang amat lihai ini. Dia menghadiahkan pakaian per wira
karena pemuda itu diangkatnya sebagai ko-mandan pengawal, dan diberi hadiah sebatang pedang
rampasan yang amat baik. Karena gembira dan didorong oleh kawan-kawannya, pemuda itu
mengenakan pakaian perwira itu dan dia kelihatan semakin tampan dan gagah. Kini dia mendapat
kehormatan untuk duduk di kursi para pembantu dekat Liu Pang dan pesta dilanjutkan dengan pe-nuh
kegembiraan sampai pagi.
Kita tinggalkan dulu mereka yang sedang me-rayakan pesta kemenangan di dalam kota Lok-yang
yang baru mereka duduki itu dan mari kita meng-ikuti perjalanan Chu Seng Kun, Chu Bwee Hong,
Kwa Siok Eng, dan A-hai.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, empat orang muda ini meninggalkan Pek Lian dan pasukan
Liu Pang yang sedang menyusun kekuatan itu dan mereka berangkat menuju ke kota raja.
Mereka berempat itu tidak tahu bahwa gerak-gerik mereka semenjak meninggalkan pasukan Liu Pang
telah diperhatikan orang. Mereka baru tahu akan bahaya setelah pada hari ke dua, ketika me-reka
memasuki sebuah hutan yang sunyi, tiba-tiba terdengar suara nyaring dan muncullah tidak ku-rang
dari tigapuluh orang dari balik pohon dan semak-semak, dan mereka berempat sudah dike-pung !
dunia-kangouw.blogspot.com
Para pengepung itu rata-rata memiliki ilmu silat yang tinggi, dan biarpun mereka itu berpakaian
preman, namun gerakan mereka yang teratur itu membayangkan bahwa mereka adalah anggautaanggauta
pasukan yang terpimpin rapi. Dan me-mang tidak keliru karena mereka adalah pasukan
pemerintah yang pilihan dan menyamar sebagai orang biasa. Pasukan seperti ini bertugas menggempur
para pemberontak secara diam-diam dan kini mereka telah mengepung empat orang yang
mereka tahu adalah anggauta-angauta pemberon-tak yang baru saja meninggalkan pasukan Liu Pang
dan agaknya akan bertugas sebagai mata-mata.
"Pemberontak-pemberontak hina, menyerahlah sebelum, kami menggunakan kekerasan!" bentak
seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi ku-rus. Mereka ini adalah pasukan khusus di bawah
kekuasaan Jenderal Lai, merupakan pasukan pilihan.
'Siapa pemberontak ?" A-hai balas memben-tak. "Jangan menuduh orang sembarangan dan tentang
hina itu, kiranya kalianlah yang hina kare-na menuduh orang dengan fitnah keji !"
Akan tetapi jawaban A-hai itu tidak diperduli-kan dan tigapuluh orang itu sudah menyerbu untuk
menangkap mereka. Agaknya, melihat bahwa di antara empat orang itu terdapat dua orang dara yang
begitu cantik-cantik dan manis-manis, me-reka itu berlumba untuk menangkap Bwee Hong dan Siok
Eng sehingga Seng Kun dan A-hai tidak ada yang menyerang!
Bagaikan serombongan srigala menyerang dua ekor domba mereka menubruk ke arah Bwee Hong
dan Siok Eng, dengan tangan terulur panjang, jari-jari tangan terbuka hendak mencengkeram daging
lunak kulit mulus itu. Akan tetapi, segera terde-ngar teriakan-teriakan mereka ketika dua orang gadis
itu menyambut serangan mereka dengan tamparan dan tendangan yang membuat sedikitnya ada
lima orang terjungkal!
Tentu saja teman-temannya terkejut sekali dan pemimpin mereka yang tinggi kurus itu lalu mengeluarkan
aba-aba, "Serang dan bunuh mereka ! Hati-hati, mereka ini lihai, gunakan senjata I"
Dan kini mereka menyerbu dengan senjata pe-dang atau golok! Mengamuklah Seng Kun, Bwee
Hong, dan Siok Eng, sedangkan A-hai hanya ber-diri bengong saja sambil berkali-kali mencoba untuk
melerai dengan kata-kata dan nasihat-na-sihat ! Masih untung bagi A-hai bahwa Seng Kun selalu
menjaganya sehingga tidak ada seorangpun pengeroyok dapat mendekatinya. Dan tiga orang yang
mengamuk itu adalah orang-orang muda keturunan orang-orang sakti yang telah memiliki ilmu
kepandaian hebat, maka biarpun kepungan itu ketat, sampai puluhan jurus lewat, tiga orang muda itu
masih belum dapat mereka lukai, apa lagi mereka merobohkan. Bagaimanapun juga, Seng
Kun maklum bahwa mereka terancam bahaya. Ka-lau tidak ada A-hai di situ, mereka bertiga tentu
dapat melarikan diri.
Tiba-tiba tercium bau asap hio yang keras dan lima orang pengeroyok roboh dengan mata men-delik
dan dari lubang pori-pori di tubuh mereka nampak bintik-bintik darah ! Itulah pukulan sakti dari Taibong-
pai dan melihat ini, Seng Kun berseru, "Nona Kwa, jangan bunuh orang !!"
Dia merasa ngeri membayangkan betapa dara yang amat cantik dan sikapnya juga halus ini dapat
membunuh orang secara demikian kejinya, walau pun dia tahu bahwa memang gadis itu adalah puteri
ketua Tai-bong-pai yang tentu saja mewarisi ilmu-ilmu yang sakti dan keji dari Tai-bong-pai.
"Tidak, taihiap, bukan aku "
Bau asap hio semakin keras dan kembali ada lima orang pengeroyok yang roboh dan mati mendelik
seperti lima orang pertama. Melihat ini, para pengeroyok terkejut sekali dan pemimpin mereka
agaknya sudah mendengar akan ilmu ke-saktian ini. Dia berteriak ketakutan, "Iblis-iblis
Tai-bong-pai datang! Lari!" Dan larilah mereka tunggang-langgang, meninggalkan mayat sepuluh
orang kawan mereka itu. Terdengar suara ketawa halus dan muncullah seorang nenek berusia
limapuluh tahun lebih yang cantik, berpakaian serba putih sederhana.
"Ibu !" Kwa Siok Eng cepat merangkul
wanita itu yang ternyata adalah Kwa-hujin (nyo-nya Kwa) isteri ketua Tai-bong-pai.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Anak nakal, baru sekarang engkau pulang? Ah, kiranya engkau bersama dengan kedua orang
penolong kita dan penyelamat nyawamu ? Bu-kongcu, Bu-siocia, selamat bertemu !" Nyonya itu
menyapa halus kepada Seng Kun dan Bwee Hong. Dua orang muda yang kini shenya sudah berganti
menjadi Chu itu tidak membantah dan cepat maju memberi hormat kepada nyonya yang lihai itu.
"Bibi datang menyelamatkan kami, terima ka-sih," kata Seng Kun dan Bwee Hong juga memberi
hormat.
"Ilmu bibi sungguh sadis sekali! Membunuh orang begitu mudah dan mengerikan! Aih, sung-guh
merupakan ilmu siluman !" A-hai berkata sambil bergidik ngeri.
Nyonya Kwa mengerutkan alisnya dan perlahan-lahan menoleh ke arah A-hai, kedua tangannya
menegang. Ada orang berani mencela seperti itu, berarti harus mati! Kwa Siok Eng dapat melihat
sikap ibunya ini, maka ia mempererat rangkulannya dan berbisik, bisikan halus yang hanya terdengar
oleh ibunya saja, "Ibu, dia seorang sa habat baik, hanya otaknya agak miring. Harap ibu maafkan "
Nyonya itu terbelalak lalu menarik napas pan-jang. Heran ia mengapa puterinya dan dua orang
penolong itu mau saja bersahabat dengan seorang gila! Akan tetapi iapun tidak mau lagi memperdulikan
pemuda itu dan ia segera menegur puteri-nya, "Sampai begitu lama engkau tidak pulang, juga
kakakmu pergi tanpa memberi tahu. Engkau hendak pergi ke manakah bersama kedua orang
penolong ini?"
"In-kong hendak ke kota raja dan aku ikut ke sana, kemudian dia hendak mengantar aku pulang, ibu,"
jawab Siok Eng.
"Hemm, negara sedang kalut, suasana sedang kacau dan berbahaya begini, lebih baik engkau ikut
bersamaku lekas pulang. Ayahmu sudah ma-rah-marah terus.”
"Tapi, ibu "
Seng Kun merasa tidak enak. "Nona Kwa, se-baiknya kalau nona ikut ibu nona pulang lebih dulu."
"Tapi tapi bukankah in-kong mau singgah di tempat kami?" Nada suara gadis itu kecewa bukan
main.
"Baiklah, setelah urusanku selesai, aku akan menyediakan waktu untuk berkunjung."
Wajah yang manis itu berseri. "Harap in-kong jangan melanggar janji. Aku sudah menjelaskan jalan
menuju ke Tai-bong-pai. Aku akan menan ti-nanti siang malam, in-kong, jangan lupa"
"Baiklah."
Mereka lalu berpisah. Gadis Tai-bong-pai itu dan ibunya lalu berangkat, diantar oleh belasan orang
Tai-bong-pai yang muncul seperti setan saja, tanpa suara, tanpa mengatakan sesuatu dan gerakan
mereka mengerikan dan penuh rahasia.
A-hai bergidik. "Ihh ! Tak sangka bahwa nona Kwa punya ibu seperti iblis ! Dan para pengikutnya itu.
Baunya dupa lagi. Ih, seperti sekumpulan arwah-arwah saja."
Seng Kun tersenyum. "Sudahlah, saudara A-hai, mari kita lanjutkan perjalanan kita."
"Nanti dulu ! Apakah sepuluh mayat itu dibi-arkan begitu saja ? Kita harus mengubur mereka lebih
dulu !"
Diam-diam Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dengan kagum. Biarpun gila, sinting atau tolol,
pemuda ini sungguh masih memiliki budi yang luhur. "Jangan sentuh mereka itu, saudara A-hai.
Tubuh mereka telah keracunan dan me-nyentuh mereka saja dapat membuat kita kehi-langan nyawa.
Nanti tentu teman-temannya akan datang dan mengurus mayat mereka ini. Mari kita pergi sebelum
teman-teman mereka ini datang dan mengganggu kita lagi."
A-hai terpaksa ikut pergi sambil menggeleng-geleng kepala-"Ilmu setan, dunia kejam dan gila, semua
manusia kejam dan gila !" Dia mengomel terus seolah-olah dia lupa bahwa dia juga manusia dan
berada di dunia yang sama.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini mengertilah Seng Kun bahwa perjalanan menuju ke kota raja itu bukan merupakan perjalan-an
yang aman. Banyak halangan di sepanjang ja-lan, terutama sekali mereka harus dapat menghin-dari
pertemuan dengan pasukan kepala daerah yang bersekongkol dengan pasukan asing, dan jangan
sampai diketahui oleh mata-mata mereka yang agaknya telah disebar di mana-mana. Ketika me-reka
melanjutkan perjalanan, nampak jelas penga-ruh dan akibat dari perang. Dusun-dusun sepi
ditinggalkan penghuninya yang pergi mengungsi jauh ke selatan. Bahkan kota-kota kecil yang tadinya
ramai kini nampak sunyi karena para pe-dagang tidak berani berdagang. Sawah ladang tidak
terpelihara, ditinggalkan begitu saja oleh para petani yang pergi mengungsi. Semenjak jaman da-hulu
sebelum sejarah sampai jaman kapanpun, selama manusia belum sadar, perang masih akan selalu
timbul. Perang merupakan puncak kebuda-yaan merusak dari manusia. Perang adalah keji dan
kejam, apapun yang menjadi dalih dan alasannya bagi yang membela dan mempertahankannya.
Perang merupakan puncak adanya konflik lahir yang timbul dari kebencian, dan sebab adanya konflik
lahir sesungguhnya didasari oleh adanya konflik batin dalam diri sendiri, diri setiap orang manusia.
Karena itu, selama konflik batin dalam diri kita masing-masing belum musnah, jangan harap konflik
lahir akan berhenti dan jangan mengharap pula karenanya perang akan lenyap dari permukaan bumi.
Karena tidak ingin bertemu dengan pasukan-kepada kaisar, kalau ada, ataupun pasukan para
penguasa setempat yang bersekongkol dengan pa sukan asing, maka Seng Kun mengajak adik dan
temannya itu untuk mengambil jalan liar, masuk keluar hutan, kadang-kadang melewati lorong-lo-rong
kecil bahkan jalan-jalan setapak. Seng Kun ingin sekali segera sampai di kota raja di mana dia akan
cepat menghadap kaisar dan menceritakan segala-galanya agar jangan sampai kesalahpahaman
antara beberapa kekuatan itu terpecah-belah dan mengakibatkan perang saudara yang menghancurkan.
Karena diapun maklum bahwa apa bila pasu-kan yang mendukung Liu Pang itu bentrok dengan
pasukan penguasa daerah dibantu oleh pasukan pemerintah pusat, hal itu tentu akan berarti kehancuran.
Di daerah barat dan utara saja pasukan pe-merintah sudah sibuk menghadapi pemberontakan
Chu Siang Yu yang semakin kuat. Kalau Liu Pang dan pasukannya dapat berbaik kembali dengan pemerintah
pusat dan dipercaya untuk menumpas pasukan asing dan mereka yang bersekongkol,
mungkin pemerintah dapat diselamatkan.
Pada suatu siang ketika mereka keluar dari sebuah hutan besar, dari jauh nampak berbondongbondong
pengungsi berlari-lari hendak menyelamatkan diri ke dalam hutan besar. Melihat ini, Seng
Kun segera menghampiri mereka dan men-cari keterangan apa yang telah dan sedang terjadi.
"Pasukan setempat bersama pasukan dari kota raja sedang mengadakan pembersihan besar-besaran.
Para pendekar dan siapa saja yang bisa silat ditangkapi. Orang yang menyimpan senjatapun,
senjata pusaka keturunan nenek moyang, juga di-tangkap dan mereka semua dituduh sebagai anak
buah Liu-bengcu," demikian seorang di antara para pengungsi memberi keterangan.
Seng Kun mengerutkan alisnya. Apa yang di-khawatirkannya telah terbukti. Agaknya pemerin-tah
pusat telah terkena hasutan para penguasa se-tempat dan memusuhi Liu Pang.
"Siapakah panglima yang memimpin pasukan dari kota raja itu, lopek ?" tanyanya.
"Orang-orang menyebutnya Lai-goanswe."
Mendengar ini, Seng Kun cepat mengajak Bwee Hong dan A-hai menyingkir. "Lai-goanswe ada-lah
tangan kanan Jenderal Beng Tian. Celaka, kita benar terlambat. Kelihatannya pemerintah pusat
sudah termakan hasutan para penguasa daerah yang memutarbalikkan fakta sehingga kini pasu-kan
Liu-bengcu benar-benar dianggap sebagai pemberontak. Kaisar kini malah membantu para penguasa
yang sesungguhnya hendak berkhianat dan bersekongkol dengan pasukan asing untuk menentang
Liu-bengcu"
"Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang ?" tanya adiknya.
"Aku harus cepat dapat menemui Lai-goanswe sendirian. Akan kuperingatkan dia tentang persekongkolan
antara para penguasa setempat dengan para pasukan asing itu," kata Seng Kim dengan
tegas. Kemudian dia menoleh kepada A-hai yang sejak tadi hanya mendengarkan dengan sikap
orang yang tidak mengerti.
"Saudara A-hai, sungguh aku merasa menyesal sekali mengingat akan kepentinganmu. Karena
keadaan yang serba kacau ini, maka maksud kami berdua untuk berusaha mengobati penyakitmu
dunia-kangouw.blogspot.com
yang sering bingung itu menjadi terlantar. Pada-hal, sekarang ini kami harus sering kali terjun ke
dalam tempat-tempat berbahaya dan keselamatan kami sendiri terancam dalam usaha kami menjernihkan
suasana. Apakah tidak lebih baik kalau saudara mencari tempat yang aman dulu untuk
bersembunyi, dan besok kalau sudah aman, kalau urusan kami sudah selesai, kami pasti akan men
carimu "
"Ehhh ??" A-hai kelihatan terkejut dan tiba-tiba saja, sepasang mata yang tadinya nampak
ketololan itu kini berkilat tajam, lalu meredup kembali ketika matanya bentrok dengan pandang mata
Bwee Hong. Seng Kun menjadi gelisah juga. Jangan-jangan si sinting ini kambuh. Bisa berabe kalau
begitu.
"Tidak ! Kalau kalian berdua memperbolehkan, aku akan tetap mengikuti kalian, ke manapun kalian
pergi. Bersama kalian, aku merasa kuat dan mempunyai harapan. Selama ini aku hidup dalam
kegelapan. Aku tidak tahu harus berbuat apa dan akan ke mana. Siapa adanya aku ini sebenarnya,
akupun tidak tahu" Suara pemuda itu mengandung duka, pandang matanya menatap wajah Bwee
Hong dengan penuh permohonan. Bwee Hong merasa kasihan sekali dan iapun menarik napas
panjang. "Koko, biarlah dia ikut bersama kita," katanya lirih.
Seng Kun juga menghela napas panjang dan sesungguhnya, tanpa diminta adiknyapun dia me-rasa
tidak tega untuk meninggalkan A-hai begitu saja, terutama sekali karena memang hatinya sudah amat
tertarik untuk berusaha menyembuhkan pe-muda yang luar biasa ini. "Baiklah kalau begitu, baik buruk
dan suka dukanya kita hadapi bertiga"
A-hai girang bukan main, wajahnya yang tampan gagah itu berseri dan matanya berkilat. Sejenak
lenyaplah sinar ketololan dari pandang mata nya.
"Terima kasih, terima kasih, hatiku girang sekali, kalian baik sekali!"
Karena khawatir kalau-kalau pemuda itu akan menari-nari sehingga menarik perhatian banyak orang,
Seng Kun lalu mengajak Bwee Hong dan A-hai melanjutkan perjalanan. Para pengungsi me-mandang
heran dan juga khawatir melihat tiga orang muda itu menuju ke arah yang baru saja mereka
tinggalkan. Sungguh bodoh bepergian ke tempat yang tidak aman itu, pikir mereka, apa lagi kalau
mengajak seorang gadis yang demikian can-tiknya. Mencari penyakit saja !
Tiga orang muda itu melanjutkan perjalanan. Ketika mereka tiba di luar sebuah dusun di kaki bukit, tak
nampak seorangpun. Agaknya semua orang telah pergi mengungsi. Akan tetapi ketika mereka
mendekati pintu dusun, terdengar suara hiruk-pikuk orang-orang berkelahi. Cepat mere-ka
menghampiri dan ternyata ada belasan orang laki-laki yang pakaiannya seperti para ahli silat sedang
dikepung dan dikeroyok oleh hampir lima-puluh orang perajurit. Para pendekar terdesak hebat dan
melihat keadaan ini, tanpa ragu-ragu lagi Seng Kun dan Bwee Hong lalu turun tangan membantu para
pendekar. A-hai hanya menonton saja dari jauh. Masuknya kakak beradik yang amat lihai ini segera
merobah keadaan. Pengeroyokan para perajurit kacau-balau dan para pendekar itu dapat melawan
dengan baik.
"Kita lari ! Kembali ke atas!" teriak seorang di antara mereka. Dengan bantuan yang amat kuat dari
Seng Kun dan Bwee Hong, belasan orang itu akhirnya dapat lolos dari kepungan dan melarikan diri ke
arah bukit. Seng Kun sudah menarik tangan A -hai dan bersama adiknya, diapun terpaksa melarikan
diri bersama belasan orang itu karena me-reka menjadi buruan para perajurit. Akan tetapi, melihat
kelihaian Seng Kun dan Bwee Hong, para perajurit itu tidak berani mengejar terlalu dekat, hanya
membayangi dari jauh saja.
Ketika belasan orang pendekar itu bersama Seng Kun, Bwee Hong, dan A-hai tiba di puncak bukit,
ternyata di situ terdapat puluhan orang pendekar. Jumlah mereka seluruhnya ada limapuluh orang
dan mereka ini adalah pendekar-pendekar daerah itu yang bergabung menjadi suatu kelompok untuk
menentang pasukan pemerintah yang mereka tahu diselewengkan oleh pemimpin mereka untuk melawan
pemerintah dan bersekongkol dengan orang-orang Mongol. Para pendekar ini dipimpin oleh
seorang muda yang gagah perkasa, seorang pemuda yang pakaiannya serba putih dan di
punggungnya nampak sepasang pedang. Usia pemuda ini kurang lebih tigapuluh tahun, tubuhnya
tinggi besar dan sikapnya jujur terbuka. Pemuda ini sebenarnya bukan pendekar daerah itu,
melainkan seorang pendekar pendatang yang kebetulan merantau di tempat itu dan karena dia
memiliki kepandaian tinggi, maka oleh para pendekar diapun diangkat menjadi pimpinan. Dia
bernama Kwan Hok dan tentu saja dia lihai karena pemuda ini adalah seo-rang di antara murid-murid
dunia-kangouw.blogspot.com
Yap-lojin ketua Thian kiam-pang ! Kwan Hok ini masih adik kandung dari mendiang Kwan Tek, murid
ke dua dari ketua Thian-kiam-pang yang telah tewas di tangan kaki tangan Raja Kelelawar.
Sebagai pimpinan kelompok pendekar itu, sete-lah menerima laporan dari teman-temannya, Kwau
Hok menyambut Seng Kun, Bwee Hong, dan A-hai dengan hormat dan ramah. "Terima kasih atas
bantuan sam-wi yang gagah," katanya. "Sehingga teman-teman kami dapat lolos dari kepungan pasukan."
A-hai cepat mengangkat tangannya dan meng-goyangnya berkali-kali di atas. "Tidak, aku tidak masuk
hitungan, karena aku hanya nonton saja !"
Kwan Hok memandang heran, akan tetapi ka-rena pemuda tampan yang menyangkal bantuannya itu
datang sebagai kawan dari Seng Kun dan Bwee Hong, dia tetap saja bersikap ramah dan hormat.
Mereka lalu berkenalan dan Seng Kun bersama adiknya dan A-hai menerima jamuan para pende-kar
itu dengan gembira, Setelah selesai makan minum, Seng Kun lalu minta diri. "Kami bertiga hanya
kebetulan saja lewat di sini. Kami tidak dapat berdiam terlalu lama di. sini dan kami akan melanjutkan
perjalanan sekarang juga."
Kwan Hok dan teman-temannya nampak ke-cewa. Bantuan dua orang yang demikian lihai itu amat
menguntungkan bagi perjuangan mereka. "Ah, mengapa sam-wi tergesa-gesa? Sam-wi adalah tiga
orang gagah, kalau tidak pada saat seperti sekarang ini menyumbangkan tenaga demi nusa dan
bangsa, lalu kapan lagi ? Marilah sam-wi ikut bersama kami, bersama berjuang demi nusa bangsa!"
"Saudara yang gagah, kalian ini agaknya hanya berse-nang-senang saja, tidak manguasai keadaan di
daerah-daerah. Para penguasa daerah berkhianat dan bersekutu dengan orang-orang asing, mempersiapkan
pemberontakan atau ingin berdiri sen-diri di daerah masing-masing. Rakyat terancam
perang saudara yang besar, ban dalam kemelut ini, muncul seorang bengcu yang memimpin para
pendekar di seluruh negeri untuk mengatasi kea-daan. Maka kamipun berniat untuk menggabung-kan
diri dengan pasukan besar pemimpin rakyat itu," jawab Kwan Hok.
"Kaumaksudkan L.iu-bengcu ?" tanya A-hai. Pemuda ini dapat mengingat orang-orang yang baru
dikenalnya dalam keadaan waras, walaupun dia lupa sama sekali akan masa lalunya.
"Ah, jadi sam-wi sudah mengenal Liu-bengcu?" tanya Kwan Hok girang dan semua pendekar memandang
lebih hormat lagi kepada tiga orang tamu mereka itu.
"Tentu saja kami mengenal baik karena kami pun baru saja berpisah dari pasukan Liu-bengcu," kata
Seng Kun sejujurnya.
Pada saat itu terdengar bunyi terompet dan seorang pendekar tergopoh masuk melaporkan bah-wa
bukit itu telah dikepung oleh pasukan yang besar jumlahnya-Sedikitnya ada limaratus orang pasukan
mengepung bukit itu !
Mendengar laporan ini, Kwan Hok segera me-lakukan pemeriksaan, diikuti pula oleh tiga orang
tamunya. Bukit itu merupakan tempat pertahanan yang amat baik. Tidak ada jalan naik ke puncak
kecuali melalui lorong yang sempit dan terjal. Pun-cak bukit itu dikelilingi jurang yang tidak mungkin
dapat dicapai kecuali melalui lorong itu. Sebuah lorong terjal sempit yang kanan kirinya diapit te-bing.
Hanya seekor kuda atau paling banyak tiga orang dapat melalui lorong ini secara bersama. Dan tentu
saja mudah bagi para pendekar untuk meng-halang serbuan dari luar, yaitu dengan jalan men-jaga
lorong ini dari atas kedua tebing. Dengan anak panah atau bahkan dengan melemparkan ba-tu-batu
saja, tak mungkin musuh dapat menyerbu masuk. Sebelum melewati lorong yang panjangnya ada
limapuluh meter itu mereka tentu sudah tertim-bun batu dari atas.
Dari atas tebing itu, Kwan Hok dan teman-te-mannya dapat melihat pasukan yang mengepung bukit.
Dia lalu mengatur penjagaan. Batu-batu dan anak panah dipersiapkan dan para pendekar siap untuk
menghujankan anak panah atau batu-batuan ke bawah apa bila ada perajurit berani mencoba untuk
melalui lorong. Setelah mengatur penjagaan dan memerintahkan teman-teman untuk berjaga secara
bergilir, Kwan Hok mengajak tiga orang tamunya turun ke bawah tebing dan dia lalu mengumpulkan
sisa teman-temannya yang tidak sedang tugas berjaga untuk mengadakan ra-pat. Rapat diadakan di
tempat terbuka, di lapangan puncak itu, di depan pondok-pondok kecil mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seng Kun, Bwee Hong, dan A-hai yang oto-matis telah diterima sebagai segolongan atau bah-kan
kawan seperjuangjan, juga ikut menghadiri ra-pat itu. Bahkan dengan jujur Kwan Hok minta nasihat
mereka karena menganggap bahwa mereka yang sudah mengenal Liu-bengcu ini tentu se-dikit
banyak dapat membantunya mengatur siasat.
"Kita berkekuatan limapuluh tiga orang," Kwan Hok berkata, lebih banyak ditujukan kepada tiga orang
tamunya dari pada kawan-kawannya wa-laupun mereka semua berkumpul dan mendengar-kan.
"Sedangkan menurut taksiranku, jumlah pa-sukan yang mengepung bukit ini ada enamratus orang.
Kita harus mencari siasat yang baik untuk dapat meloloskan diri dari kepungan yang berba-haya ini"
"Kulihat tempat ini amat baik untuk bertahan. Betapapun kuatnya dan besarnya jumlah pasukan
musuh, kalau jalan masuk hanya melalui satu lorong sempit itu, sampai bagaimanapun mereka tidak
mungkin dapat menyerbu naik ke puncak. Akan tetapi, kalau mereka terus mengepung, kitapun tidak
dapat keluar dan kita dapat menjadi kehausan atau kelaparan !" kata Bwee Hong.
"Pendapat nona memang benar sekali. Karena baiknya tempat pertahanan ini, maka kami sengaja
memilihnya sebagai markas kami. Tentang mi-numan, tidak perlu kita khawatir karena di bela-kang
puncak terdapat sumber air. Akan tetapi mengenai makanan, kami hanya mempunyai per-sediaan
untuk dua tiga hari saja."
"Bagaimana kalau kita mengajak damai saja? Aku sudah bosan dengan perang dan bunuh-membunuh
ini!" Tiba-tiba A-hai berkata dan semua orang memandang dengan mata terbelalak. Akan tetapi
agaknya Kwan Hok sudah dapat menduga bahwa tamu yang satu ini memang aneh sekali wataknya.
Dan sebagai murid Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang, tentu saja diapun tidak mera-sa heran karena di
dunia kang-ouw, di antara orang-orang sakti, banyak memang yang berwatak aneh-aneh.
"Yang memulai dengan kekerasan adalah me-reka, mengajak mereka berdamai sama dengan
mengajak srigala-srigala kelaparan untuk berda-mai," kata Kwan Hok.
"Bagaimana kalau kita serbu saja keluar malam ini ? Biar kita akan jatuh banyak korban, akan te-tapi
kitapun dapat membunuh mereka sebanyak-nya dan tentu ada sebagian dari kita yang dapat lolos !"
kata seorang pendekar penuh semangat.
"Musuh terlalu kuat, perbandingannya satu lawan sepuluh. Itu hanya akan menjadi bunuh diri yang
sia-sia belaka," kata Kwan Hok tidak setu-ju. Kemudian dia teringat sesuatu dan menarik napas
panjang penuh penyesalan. "Sayang, kalau suteku berada di sini, tentu dia akan dapat men-cari akal.
Dia cerdik sekali dan selalu mempunyai akal yang baik."
"Siapakah sutemu itu ?" tanya Seng Kun.
"Dia putera guruku sendiri."
"Dan siapakah gurumu ?"
"Guruku adalah ketua Thian-kiam-pang "
"Ahh !!" seru Bwee Hong dan Seng Kun hampir berbareng dan dara itu melanjutkan, "Ki-ranya
saudara adalah murid dari Yap-pangcu ? Sungguh pertemuan yang menggembirakan sekali"
"Nona mengenal suhu?"
"Bukan hanya mengenal lagi, akan tetapi beliau pernah menyelamatkan aku di lautan, bahkan kami
pernah bersama-sama mengalami hal-hal yang mengerikan di Ban-kwi-to !" jawab Bwee Hong. Tentu
saja Kwan Hok merasa semakin girang dan semakin dekat dengan tiga orang tamunya setelah dia
mendengar bahwa tiga orang tamunya ini ber-sahabat baik dengan gurunya.
"Sebaiknya kita mencari siasat. Mari kita tinjau keadaan puncak, siapa tahu ada jalan baik bagi kita
untuk lolos," kata Seng Kun.
"Baiklah, akupun ingin memeriksa lagi perse-diaan pangan kita," jawab Kwan Hok. Lalu ber-sama tiga
orang tamunya, Kwan Hok pergi ke be-lakang puncak, menyuruh kawan-kawannya tetap melakukan
penjagaan secara bergilir dan jangan sembarangan bergerak sebelum menerima petun-juknya,
dunia-kangouw.blogspot.com
kecuali para penjaga lorong di atas kedua tebing yang sudah mendapat perintah untuk turun tangan
mencegah apa bila ada pihak musuh yang berani mencoba untuk memasuki lorong.
Mereka berempat lalu menuju ke belakang pun-cak. Setelah melakukan pemeriksaan sendiri, Seng
Kun dan Bwee Hong terpaksa membenarkan pen-dapat Kwan Hok bahwa tidak ada jalan lain bagi
para pendekar untuk meloloskan diri. Hanya ada dua pilihan, yaitu menyerbu keluar lewat lorong dan
melawan mati-matian, atau bertahan di situ sampai mereka tidak kuat lagi karena kelaparan !
"Hemm, agaknya sekarang banyaknya persedia-an pangan menjadi soal terpenting!" kata Seng Kun.
"Demikian pula perhitunganku," jawab Kwan Hok. "Mari kita memeriksa persediaan pangan itu. Kami
sembunyikan di dalam sebuah gua di bawah tanah agar aman dan tidak sampai terbakar apa bila
musuh menggunakan panah api untuk mem-bakar markas kami."
Di belakang puncak itu terdapat sebuah gua yang tertutup oleh batu besar sekali. Dibutuhkan tenaga
sepuluh orang untuk memindahkan batu itu. Akan tetapi, mereka bertiga, dibantu oleh A-hai yang
tanpa disadarinya sendiri memiliki tenaga melebihi sepuluh orang, berhasil mendorong batu itu ke
pinggir. Hal ini amat mengagumkan hati Kwan Hok dan dia makin merasa yakin bahwa tiga orang
tamunya itu, termasuk pemuda ketolol-to-lolan, adalah orang-orang muda yang berilmu tinggi. Setelah
batu besar itu tergeser, nampaklah sebuah mulut gua yang besarnya hanya cukup di-masuki dua
orang. Akan tetapi ketika mereka su-dah masuk, nampak jalan menurun dan ternyata gua itu
menembus ke bawah tanah, di mana ter-dapat sebuah ruangan yang luas juga, dapat me-muat
seratus orang lebih! Yang amat menyenang-kan, di sudut kiri gua itu terdapat lubang-lubang besar
dari mana hawa dapat keluar masuk, dan lubang-lubang ini berada di lambung tebing se-hingga tidak
dapat dicapai oleh orang luar, juga tidak nampak dari puncak karena terhalang tebing. Hanya burungburung
sajalah kiranya yang dapat memasuki gua bawah tanah itu dari lubang-lu-bang yang
merupakan jendela-jendela buatan alam itu. Bersama hawa, masuk pula sinar matahari yang
membuat gua itu cukup terang.
Tepat seperti yang diperhitungkan oleh Kwan Hok, persediaan gandum dan sayur kering hanya cukup
untuk dua tiga hari saja, atau paling lama lima hari kalau dihemat sekali. Akan tetapi Seng Kun tidak
memperhatikan persediaan itu, melain-kan termenung dan termangu-mangu sehingga Bwee Hong
menegurnya.
"Koko, ada apakah ?"
"Aku ada akal !" Tiba-tiba Seng Kun berkata dan wajahnya berseri.
"Ah, bagus sekali. Akal yang bagaimana ?" ta-nya Kwan Hok.
"Gua ini cukup luas untuk menjadi tempat per-sembunyian kita semua, dan hawa udaranyapun cukup.
Kita biarkan musuh mengira kita kelaparan dan kita masuk ke dalam guha ini, lalu menutupnya
dengan batu. Di depan batu dan di atasnya kita tumpuki kayu-kayu bakar yang banyak sekali, kemudian
kita bakar dan kita meninggalkan pakaian atas kita di antara kayu-kayu bakar itu sehingga
menimbulkan dugaan bahwa para pendekar, karena kelaparan dan tidak mampu melawan lagi, telah
membunuh diri. Bukankah hal itu patut dilakukan oleh para pendekar yang tidak sudi ditawan dan
lebih baik mati membakar diri beramal-ramai se-telah tiada tenaga lagi untuk melawan ?"
Kwan Hok terbelalak. Akal yang aneh sekali, akan tetapi setelah dipikir-pikir, merupakan siasat yang
baik juga. Memang andaikata mereka semua kelaparan dan tiada tenaga untuk melawan, apakah
mereka akan membiarkan menjadi orang-orang tawanan ? Masuk di akal pula siasat membunuh diri
beramai-ramai dengan membakar diri itu.
"Akan tetapi untuk melakukan pembakaran ka-yu-kayu itu harus ada seorang yang tinggal di luar
gua!" kata Bwee Hong.
"Benar!" sambung Kwan Hok. "Bagaimana hal itu dapat dilakukan dan siapa yang akan tinggal di
luar?"
"Memang kenyataannya begitu. Harus ada se-orang yang berani berkorban demi keselamatan kawankawannya,
dan tinggal di luar untuk mem-bakar kayu-kayu itu dan untuk memberi keterang-an kepada
musuh kabur dia ditawan bahwa para pendekar telah membunuh diri semua," jawab Seng Kun.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kurasa ini jauh lebih baik dari pada bertahan sampai kelaparan atau membunuh diri dengan jalan
menyerbu dengan nekat melalui lo-rong. Hanya ada dua kemungkinan, yaitu kalau musuh percaya,
tentu mereka meninggalkan tem-pat ini dan kita selamat. Andaikata musuh tidak percaya dan berhasil
menemukan guha itu, masih belum terlambat bagi kita untuk menyerbu keluar dan melawan matimatian,
membuka jalan darah berusaha lolos."
"Bagus sekali!" Kwan Hok kini memandang dengan wajah berseri gembira. "Tentang orang yang mau
mengorbankan diri dan tinggal di luar, kurasa banyak yang mau melakukannya, bahkan aku sendiripun,
tidak ragu-ragu untuk melakukannya. Mari kita jumpai kawan-kawan dan merunding-kan akal
baik ini !"
Dari fihak pasukan pemerintah daerah, bukan tidak ada usaha untuk menyerbu naik ke puncak bukit.
Akan tetapi karena jalan naik hanya mela-lui lorong, setelah beberapa kali mereka mencoba untuk
menyerbu dan selalu disambut hujan anak panah dan batu yang menewaskan beberapa orang
perajurit, mereka tidak lagi berahi mencoba.
"Biarkan mereka mampus sendiri kelaparan di sana!" kata pemimpin mereka dengan marah. Pemimpin
mereka itu adalah seorang laki-laki ber-usia tiga puluh tahun, berwajah tampan namun dingin
dan matanya menyeramkan, berpakaian ser-ba putih dan rambutnya riap-riapan, tangannya
memegang senjatanya yang luar biasa, yaitu sebu-ah cangkul panjang melengkung, seperti cangkul
para penggali kuburan. Dia ini bukan lain adalah Kwa Sun Tek yang berjuluk Song-bun-kwi (Setan
Berkabung), putera dari ketua Tai-bong-pai itu. Seperti telah kita ketahui, Kwa Sun Tek ini telah
mengabdikan dirinya kepada pemberontak Chu
Siang Yu untuk mengadakan persekutuan dengan para penguasa di daerah timur dan selatan, untuk
mengacau pemerintah dan membagi-bagi kekuatan pemerintah sehingga pergerakan Chu Siang Yu
dari barat dapat dilakukan lebih lancar lagi. Dan se-perti kita ketahui, usaha Kwa Sun Tek itu berhasil
baik. Dia dapat bersekongkol dengan para pengu-asa daerah dan para pasukan asing, lalu
mengguna-kan siasat mengadu domba antara pasukan peme-rintah yang setia kepada kaisar dengan
pasukan-pasukan Liu Pang, tentu saja dengan tujuan agar kekuatan pemerintah berkurang dan juga
untuk menghantam Liu Pang yang dianggap sebagai saingan.
Melihat betapa pasukan pemerintah daerah ti-dak mampu menyergap ke puncak bukit, bahkan ada
belasan orang luka-luka atau tewas tertimpa batu dan terkena anak panah, Kwa Sun Tek men-jadi
marah sekali. Dia menasihatkan komandan pasukan untuk memperketat kepungan dan tidak
membiarkan para pendekar di puncak itu lolos. Setiap hari dia sendiri mencoba penjagaan musuh
dengan memasuki lorong dan setiap kali ada batu-batu dan anak panah turun, dia dengan mudah
dapat menyelamatkan diri.
Akan tetapi pada hari ke tiga, ketika Kwa Sun Tek berjalan memasuki lorong, hanya ada bebe-rapa
buah batu kecil dan anak panah yang luncurannya lemah menyerangnya. Melihat ini, giranglah
hatinya.
"Mereka telah lemah kelaparan ! Mari kita me-nyerbu ke atas!" teriaknya dan benar saja, ketika
mereka menyerbu dan memasuki lorong sempit itu, tidak ada serangan terlalu hebat, bahkan lalu
tidak ada serangan sama sekali dari kedua tebing. Akan tetapi, lorong itu terlalu sempit sehingga
membu-tuhkan banyak waktu bagi semua perajurit untuk dapat lewat.
Sementara itu, para pendekar telah berkumpul di depan gua yang batunya telah digeser dan di mana
telah tersedia tumpukan kayu yang banyak sekali. Mereka kini berebut, memperebutkan tugas untuk
tinggal sendirian di luar gua! Melihat ini, Kwan Hok lalu melangkah maju. "Kalian semua masuklah ke
gua dan aku sendiri yang akan tinggal di sini!" Ketika semua orang mengajukan keberat-an, pendekar
muda ini membentak, "Ini sebuah perintah ! Aku yang akan berjaga di sini membakar kayu ini dan
kalian harus cepat masuk. Tanggalkan baju atas kalian!"
Para pendekar itu menanggalkan baju atas mereka dan memandang kepada Kwan Hok dengan muka
pucat, bahkan ada yang matanya basah kare-na melihat betapa pemimpin mereka hendak mengorbankan
diri demi keselamatan mereka. Seng Kun dan Bwee Hong memandang dengan terharu.
Betapa gagahnya murid Yap-lojin ini! Begitu beraninya mengorbankan diri demi teman-teman-nya,
demi perjuangan membela nusa bangsa! Terlepas dari baik buruknya alasan perjuangan, namun
sikap ini saja, yang sudah melenyapkan ke-pentingan diri pribadi, sungguh amat mengagum-kan,
gagah perkasa dan patriotik !
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak ! Tidak boleh ini dilakukan !" Tiba-tiba A-hai maju dan berkata lantang. Seng Kun dan Bwee
Hong memandang terbelalak. Mereka sudah tahu bahwa pemuda ini aneh, dan di balik kegilaannya
tersembunyi suatu watak yang amat luar biasa dan mereka tidak dapat menduga lebih dahulu apa
yang akan dikatakan atau dilakukan oleh pemuda ini.
"Apa maksudmu, saudara A-hai ?" Seng Kun bertanya.
"Tidak pantas kalau seorang di antara kalian harus tinggal di luar dan mengorbankan diri! Tidak ada
seorangpun di antara kalian yang pantas untuk mengorbankan diri dan tinggal di luar untuk membakar
tumpukan kayu ini!"
"Eh ?" Kwan Hok terbelalak heran. "Akan teta-pi, siasat ini harus dilakukan dan sekarang pasukan
pemerintah telah mulai menyerbu naik. Harus ada seorang yang melakukannya dan bagaimana saudara
mengatakan bahwa tidak ada yang pantas melakukannya ?"
"Satu-satunya orang yang patut melakukan tu-gas itu hanyalah aku!"
"A-hai !" Bwee Hong berseru.
"Saudara A-hai, engkau tidak boleh"
Seng Kun juga berkata setengah berteriak. A-hai tersenyum, bukan senyum tolol lagi sekali ini. Dia
mengangkat dadanya yang memang bidang dan kokoh itu. "Mengapa tidak boleh ?
Bahaya maut tidak hanya mengancam kelompok pejuang ini, melainkan kalian juga, terutama sekali
nona Bwee Hong! Dan kalian semua masih belum tentu selamat, kalau gua itu ketahuan kalian akan
membutuhkan semua tenaga untuk melawan dan menyelamatkan diri. Tenaga setiap orang amatlah
penting, kecuali tenagaku. Aku tidak bisa berkelahi dan bahkan hanya akan mengganggu kalian saja
yang harus melindungiku. Nah, biarlah aku memanfaatkan tenaga tak berharga ini untuk membakar
kayu dan memberi keterangan bahwa para pejuang telah membakar diri karena tidak mau terta wan.
Dan barangkali siapa tahu, belum tentu mereka membunuh orang seperti aku !"
Seng Kun memandang terbelalak penuh kagum. Dia tahu bahwa di balik penyakit yang membuat Ahai
kadang-kadang menjadi linglung dan be-ringas itu terdapat watak pendekar yang amat he-bat,
yang tidak berkejap mata sedikitpun dalam menghadapi maut untuk membela dan menyela-matkan
orang lain !
"A-hai, jangan !" Bwee Hong berkata lagi.
Seng Kun merangkul A-hai dan menepuk-nepuk pundaknya.
"Tapi dia benar ! Dia benar sekali dan kita ha-rus menurut sarannya itu!" katanya dengan ter-haru.
Seorang pendekar datang berlarian, mengabar-kan bahwa kini hampir semua perajurit musuh sudah
melalui lorong sempit.
"Masuklah kalian semua. Nona Bwee Hong, masuklah cepat!" kata A-hai dan sinar matanya tajam
berseri ketika dia menatap wajah Bwee Hong. Nona itu membalas pandang matanya dan tak terasa
lagi matanya menjadi panas. Karena tahu bahwa air matanya hampir runtuh, Bwee Hong mengeluh
lalu membalik dan melompat masuk ke dalam gua, diikuti oleh para pendekar yang sudah menanggalkan
baju atas mereka dan menumpuk serta melemparkan baju-baju itu di atas tumpukan kayu.
Barulah setelah semua orang masuk, batu besar itu digeser dari dalam dan dibantu dari luar oleh
dorongan kedua tangan A-hai! Tidak ada seo-rangpun yang berani menyangka bahwa tanpa bantuan
orang lainpun, kalau A-hai dapat meng-gunakan sinkangnya, batu itu akan dapat digeser-nya
sendirian dengan amat mudah. Kinipun, dalam keadaan "penuh semangat", sebagian tenaga sinkangnya
timbul dan tanpa banyak kesukaran batu besar itu kini telah menutupi lubang gua yang dari
luar hanya kecil saja itu. A-hai lalu menggunakan api membakar kayu yang bertumpuk di depan dan di
atas gua. Karena tumpukan kayu itu kering se-kali, sebentar saja api berkobar besar dan A-hai
terpaksa harus menjauhkan diri karena tidak tahan oleh panasnya api.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pasukan yang menyerbu ke puncak bukit itu terkejut melihat api besar bernyala di puncak. Kwa Sun
Tek cepat berlari ke depan dan ketika melewati pondok-pondok darurat, dia menendangi semua pintu
hanya untuk melihat bahwa semua pondok itu kosong! Dia merasa penasaran dan bersama anak
buah pasukan dia lari ke atas. Di sana, di puncak itu, agak menurun sedikit di be-lakang puncak,
mereka melihat kobaran api yang bernyala besar dan agak jauh dari situ nampak se-orang laki-laki
berdiri bengong memandang ke arah api seperti orang melamun.
Tentu saja Kwa Sun Tek menjadi curiga dan cepat dia meloncat ke arah A-hai yang berdiri dengan
bengong, tidak dibuat-buat karena dia seperti melihat hal-hal aneh di dalam api yang bernyala-nyala
itu. Nyala api seolah-olah mem-bentuk wajah-wajah yang sekelebatan saja dan mengingatkan dia
akan wajah seorang yang amat dekat dengan hatinya. Wajah Bwee Hong? Atau Pek Lian? Atau
wajah ibunya, adiknya ataukah kakaknya? Dia tidak tahu dengan pasti, hanya merasa yakin bahwa
yang diingatnya dan dilihatnya sekelebatan dalam api itu adalah wajah seo-rang wanita.
Ketika Kwa Sun Tek melakukan serangan de-ngan pukulan dahsyat ke arah A-hai, pemuda ini sama
sekali tidak sadar, juga tidak mengelak atau-pun menangkis. Melihat sikap orang yang diserang-nya
itu jelas tidak memiliki kepandaian silat, Kwa Sun Tek terkejut dan heran. Bukankah kabarnya yang
berkumpul di puncak bukit ini adalah para pendekar ? Karena berita itulah maka dia diper-bantukan
untuk menghancurkan gerombolan pen-dekar itu. Dan orang ini sama sekali tidak pandai silat. Diapun
merobah pukulannya, diganti dengan cengkeraman dan ketika tangannya mencengkeram lengan Ahai,
juga tidak ada sedikitpun tenaga perlawanan maka Kwa Sun Tek mengendurkan
cengkeramannya. Biarpun sudah dikendurkan, tetap saja A-hai berteriak.
"Aduhhh !" Lalu dia memandang kepada orang yang memegangi lengannya itu, juga melihat
datangnya banyak perajurit. "Hei, apa salahku ? Kenapa aku ditangkap ?"
"Hayo katakan, siapa engkau ?" Kwa Sun Tek membentak. "Jangan bohong atau kubunuh kau!" Dia
merasa curiga sekali melihat sikap ketolol-tololan dari pemuda itu.
"Aku ? Aku A-hai, tukang nyalakan api," jawab A-hai seenaknya, sedikitpun tidak bermak-sud
membohong.
"Jawab yang betul!" bentak seorang anggauta Tai-bong-pai sambil menampar.
"Plakk !" Pipi A-hai kena tampar keras sekali, sampai pemuda itu merasa pening dan pipinya merah
membengkak.
"Hei, kenapa kau pukul-pukul anak orang tan-pa dosa ? Sudah kujawab benar bahwa aku tukang
nyalakan api! Apakah kau tidak melihat aku se-dang menyalakan api sekarang ? Pegang saja sen-diri
dengan tanganmu, api atau bukan yang kunya-lakan itu !"
"Tolol! Apa itu tukang nyalakan api ? Tukang masak ?" bentak Kwa Sun Tek yang mencegah anak
buahnya untuk memukul lagi.
"Tukang masak ? Ya, ya, aku tukang nyalakan api dan tukang masak, masak daging orang!" A-hai
menjawab sambil tersenyum-senyum, lupa lagi akan tamparan tadi karena dia teringat bahwa dia
harus mengatakan bahwa para pendekar telah membakar diri. Bukankah itu sama saja dengan
memasak daging orang ?
Tentu saja Kwa Sun Tek semakin heran dan juga marah. "Tolol, bicara yang betul! Tukang masak
daging orang bagaimana yang kaumaksud-kan ? Hayo katakan, di mana adanya para pende-kar ?"
A-hai menunjuk ke arah api yang berkobar kobar. "Mereka telah membakar diri, semua! Me-reka tidak
sudi menyerah dan mereka membunuh diri dengan membakar dirinya." Kata-kata ini sudah dihafalkan
sejak tadi oleh A-hai.
Tentu saja Kwa Sun Tek tidak mau percaya. "Cari di seluruh puncak !" perintahnya dan dia sendiripun
ikut mencari sambil terus memegangi lengan A-hai. Akan tetapi, dicari sampai ke ma-napun tidak
nampak bayangan seorangpun pende-kar. Tak mungkin mereka dapat lolos. Bukit itu te-lah dikepung.
Benarkah cerita si tolol ini? Kwa Sun Tek lalu menyuruh pasukan membongkar api yang bernyalanyala
itu. Tidak mudah melaksanakan ini karena api sedang berkobar amat besarnya me-makan kayu
yang bertumpuk tumpuk. Dan di antara timbunan abu dan kayu yang menjadi arang, mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
menemukan pakaian-pakaian yang terbakar. Maka mereka mulai percaya bahwa para pendekar telah
membunuh diri, memilih bakar diri dari pa-da menyerah.
"Kita bakar juga orang ini!" kata seorang ko-mandan sambil menyeret A-hai. Akan tetapi Kwa Sun Tek
melarangnya. Kwa Sun Tek bukan orang bodoh. Dia tidak menemukan bekas abu tulang manusia di
antara puing itu. Hanya si tolol inilah satu-satunya orang yang tinggal, dan dia yakin bahwa si tolol ini
tentu merupakan satu-satunya orang pula yang mengetahui ke mana perginya semua pendekar itu
dan bagaimana caranya dapat lolos. Akan tetapi, Kwa Sun Tek juga bukan orang bodoh dan dia dapat
melihat benar-benar bahwa pemuda itu berada dalam keadaan tidak wajar, mengalami guncangan
jiwa yang hebat dan keto-lolannya itu bukanlah pura-pura atau dibuat-buat. Maka, tidak ada lain jalan
baginya kecuali membi-arkan A-hai ditawan oleh pasukan dan dibawa ke kota di daerah itu di sebelah
utara Sungai Ku-ning.
Setelah para pendekar mengetahui bahwa pa-sukan telah meninggalkan bukit itu, mereka keluar
dengan hati-hati dan pertama-tama yang keluar adalah Seng Kun dan Bwee Hong. Kakak beradik ini
keluar dengan jantung berdebar penuh kege-lisahan dan kekhawatiran. Mereka membayangkan akan
melihat mayat A-hai terkapar di situ, dibu-nuh oleh pasukan pemerintah. Akan tetapi, tak seorangpun
mayat mereka temukan di sekitar pu-ing-puing bekas yang dibakar. Mereka terus men-cari-cari akan
tetapi tidak dapat menemukan jejak A-hai. Timbul harapan baru di dalam hati kakak beradik ini. Wajah
mereka tidak sepucat tadi, bahkan Bwee Hong mulai berseri.
Jilid XXI
"TENTU dia ditawan," kata Seng Kun.
"Benar, mari kita kejar pasukan itu, koko. Kita harus dapat menolong dan membebaskan A-hai," kata
Bwee Hong. Kakaknya mengangguk dan mereka berdua segera berpamit dari pasukan para
pendekar itu untuk pergi menyusul pasukan dan menyelamatkan A-hai.
"Kami merasa menyesal sekali bahwa demi un-tuk menyelamatkan kami, sahabatmu terpaksa ha-rus
menjadi korban dan ditawan," kata Kwan Hok. "Bagi kami, saudara A-hai adalah seorang pahla-wan
dan sungguh kecewa sekali hati kami bahwa ji-wi tidak dapat terus menemani kami untuk ber-juang
bersama."
"Kami mempunyai urusan sendiri, saudara Kwa. Dan ke mana sekarang pasukanmu ini akan pergi?"
"Kami hendak menggabungkan diri dengan pa-sukan Liu-bengcu yang kabarnya telah berhasil
menduduki Lok-yang."
Merekapun berpisah. Seng Kun dan Bwee Hong menggunakan ilmu berlari cepat, mengejar pasukan
yang jejaknya mudah diikuti. Menjelang senja, me-reka dapat menyusul pasukan itu dan legalah hati
mereka ketika mereka melihat A-hai dalam kea-daan selamat dan sehat benar saja menjadi tawanan
pasukan itu. Pasukan memasuki pintu gerbang ko-ta dan dibawa masuk ke dalam benteng tanpa kakak
beradik ini mampu berbuat sesuatu. Mereka tidak berani nekat menyerbu karena hal itu selain
membahayakan diri mereka, juga membahayakan keselamatan A-hai sendiri. Mereka hendak menyusup
ke dalam kota, melakukan penyelidikan dan berusaha merampas kembali A-hai dari benteng.
Ketika mereka tiba di pintu gerbang, muncul sepasukan perajurit berkuda yang mengiringkan seorang
perwira tinggi yang pakaiannya gemerlapan mewah. Itulah Lai-goanswe, jenderal pembantu Jenderal
Beng Tian. Seperti diketahui, jenderal ini bertugas di daerah timur dan sudah beberapa kali dia
mengalami kegagalan dalam menghadapi ge-rakan Liu Pang dan pasukannya.
"Itulah orang yang kita cari!" Seng Kun ber-bisik kepada adiknya. "Mari kita menemuinya !"
Seng Kun dan Bwee Hong lalu meloncat ke depan, menghadang pasukan itu dan Seng Kun
mengangkat tangannya ke atas sambil berseni, "Ka-mi mohon bicara dengan Lai -goanswe "!
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada waktu itu, negara sedang kacau-balau, pertempuran terjadi di mana-mana, maka tentu saja
perbuatan Seng Kun ini menimbulkan kecuri-gaan. Juga Lai-goanswe yang maklum akan banyaknya
mata-mata pihak pemberontak, me-ngerutkan alisnya dan memerintahkan para penga-walnya untuk
menangkap pemuda dan dara yang berani menghadang perjalanannya itu.
Belasan orang pengawal lalu mengepung dan hendak menangkap Seng Kun dan Bwee Hong dengan
kekerasan. Akan tetapi, dua orang kakak ber-adik ini tentu saja tidak sudi membiarkan diri
ditangkap. Kaki tangan mereka bergerak dan be-lasan orang pengawal itu terpelanting ke kanan kiri.
Diam-diam Jenderal Lai terkejut dan makin yakinlah dia bahwa tentu dua orang ini merupakan
pendekar-pendekar yang memberontak pula.
"Siapkan pasukan panah!" perintahnya dan sepasukan yang memegang busur telah datang dan siap
untuk menyerang dua orang kakak beradik itu. Melihat ini, Seng Kun merasa khawatir kalau-kalau
perkelahian menjadi semakin berlarut. Dia tidak takut, akan tetapi dia tahu bahwa bukan inilah
caranya untuk mendekati jenderal itu.
"Tahan dulu !" bentaknya sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya terdengar amat lantang
berwibawa. "Harap Lai-goanswe tidak salah menilai orang! Ketahuilah bahwa saya adalah
utusan pribadi dari sri baginda kaisar. Inilah buk-tinya!" Dan Seng Kun cepat mengeluarkan sehelai
bendera yang ada tanda kebesaran kaisar. Itulah sebuah leng-ki (bendera utusan kaisar) yang dikenal
baik oleh Jenderal Lai. Dia menjadi ragu-ragu, akan tetapi cepat memerintahkan pasukan panah
mundur dan memberi perintah kepada para pengawalnya untuk menggiring dua orang muda itu ke
markas yang berada di dalam kota.
Legalah hati Seng Kun dan dia bersama adik-nya berjalan di antara pasukan itu, kembali ke dalam
kota karena Jenderal Lai agaknya akan me-meriksa dan bicara dengan mereka. Lai-goanswe sendiri
tetap naik kuda dan alisnya berkerut. Se-lama beberapa bulan ini, Jenderal Lai mengalami kegagalankegagalan
yang membuatnya merasa amat penasaran, juga malu.
Ketika rombongan ini tiba di pintu gerbang ben-teng yang terjaga ketat, muncullah seorang perwira
muda yang gagah. Dia ini Kwa Sun Tek yang telah berganti pakaian sebagai perwira, karena memang
putera ketua Tai-bong-pai yang banyak berjasa ini bersama hampir limapuluh orang anak buahnya
telah diangkat menjadi perwira dan pasukan isti-mewa oleh gubernur dan diperbantukan dalam
benteng itu. Hal ini adalah siasat sang gubernur agar pemerintah pusat tidak tahu akan persekongkolannya
dengan berbagai pihak untuk memper-kuat kedudukan. Ketika Kwa Sun Tek melihat Seng
Kun dan Bwee Hong, dia terkejut sekali, mengenal mereka berdua dan membentak,
"Pemberontak-pemberontak mereka ini!" Dan langsung saja dia menyerang dengan pukulan dahsyat
ke arah Seng Kun. Tentu saja pemuda inipun tidak tinggal diam dan cepat menangkis, dan ka-rena
dia sudah maklum akan kelihaian kakak dari Kwa Siok Eng ini, maka diapun menangkis sambil
mengerahkan tenaga sinkangnya.
"Dessss!" Pertemuan dua tenaga sinkang yang amat dahsyat itu membuat keduanya tergetar
mundur, akan tetapi ternyata Kwa Sun Tek terdorong sampai tiga langkah lebih jauh, dibandingkan
dengan Seng Kun. Hal ini membuat dia penasaran dan dia sudah siap melakukan se-rangan dengan
pukulan yang lebih ampuh. Akan tetapi, Jenderal Lai yang kembali karena mende-ngar suara ributribut,
membentaknya.
"Hentikan perkelahian itu !"
Tentu saja Kwa Sun Tek tidak berani memban-tah, hanya berkata, "Harap paduka ketahui bahwa
mereka ini adalah anggauta-anggauta pasukan pemberontak!"
"Kami bukan pemberontak dan hal ini tentu telah goanswe ketahui dari leng-ki yang kami perlihatkan
tadi," kata Seng Kun. Hati jenderal itu menjadi bimbang, dan akhirnya dia memerin-tahkan Seng Kun
dan Bwee Hong dibawa ke dalam kantornya, juga dia memerintahkan perwira muda itu ikut pula.
Setelah dihadapkan kepada Jenderal Lai di dalam kantornya yang terjaga ketat oleh para pe-ngawal,
Seng Kun lalu menceritakan segala per-soalan yang diketahuinya. Bahkan dia menceritakan pula
pengalamannya ketika dia berada bersama pasukan Liu Pang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kami diutus oleh sri baginda kaisar untuk me-nyelidiki dan mencari Menteri Ho yang diculik orang.
Akan tetapi kami terlambat dan Menteri Ho telah terbunuh. Pasukan Liu-bengcu juga gagal
menyelamatkannya. Hal ini membuat para pen-dekar penasaran. Hendaknya goanswe ketahui bahwa
para pendekar itu sama sekali tidak ber-maksud memberontak terhadap pemerintah, mela-inkan
terhadap penguasa-penguasa daerah yang bersekongkol dengan orang-orang asing. Agaknya, para
penguasa daerah itu berhasil mengadu dom-ba antara pasukan para pendekar dan pasukan
pemerintah. Kami sengaja hendak menemui goanswe sebagai perwira tinggi yang memegang
komando atas semua pasukan pemerintah di daerah timur dan selatan, untuk menjelaskan duduknya
persoalan. Kalau goanswe mau melakukan pen-dekatan dengan Liu-bengcu, kami yakin semua
pertempuran ini dapat dihentikan dan bersama-sama Liu-bengcu, goanswe dapat membersihkan
negara dari para pemberontak aseli yang berse-kongkol dengan pasukan asing."
"Semua itu bohong belaka, Lai-goanswe !" Tiba-tiba Kwa Sun Tek mencela dengan suara lantang.
"Hamba sendiri yang melihat betapa dua orang ini ikut pula memberontak dan membantu pasukan Liu
Pang menentang pasukan pemerintah. Banyak saksinya akan kenyataan ini dan harap paduka tidak
sampai terkena bujukannya yang be-racun. Liu Pang sudah jelas merupakan pembe-rontak, bahkan
kini telah merampas dan mendu-duki Lok-yang, bagaimana mungkin paduka di-minta untuk bersekutu
dengan pemberontak itu ?"
Jenderal Lai menjadi bimbang. Keterangan Seng Kun tadi berkesan di hatinya karena diapun menaruh
kecurigaan kepada para penguasa daerah yang suka berhubungan dengan pasukan asing. Akan
tetapi bantahan perwira muda itupun amat meya-kinkan.
"Bagaimana keteranganmu tentang dirampas dan didudukinya Lok-yang oleh Liu Pang?" ta-nyanya
kepada Seng Kun.
Tentu saja pemuda ini menjadi bingung. Dia sendiri tidak tahu, hanya mendengar saja bahwa Liubengcu
telah menduduki Lok-yang. "Tentu ada hal-hal yang memaksanya melakukan itu, goanswe.
Mungkin penguasa di Lok-yang juga bersekutu dengan pasukan asing !"
Jenderal Lai menggebrak meja. "Tahan ucap-anmu ! Aku sendiri yang ikut mempertahankan kota itu
dari serbuan pemberontak Liu, dan kau berani bilang aku bersekutu dengan orang asing ?"
"Bukan Lai-goanswe, akan tetapi para pe-nguasa setempat."
"Harap paduka jangan percaya, semua omong-annya itu beracun ! " Kwa Sun Tek berkata lagi.
Bwee Hong yang sejak tadi diam saja menjadi marah. "Engkaulah yang beracun! Siapa tidak tahu
akan hal itu ? Kami adalah utusan sri bagin-da kaisar dan untuk ini kakakku mempunyai ben-dera
tanda utusan kaisar. Pula, ayah kami adalah seorang yang berkedudukan tinggi di istana, mana
mungkin kami yang berada di luar lalu membantu pemberontak ?"
Seng Kun memandang adiknya, akan tetapi ucapan itu telah dikeluarkan dan hal ini amat menarik
perhatian Jenderal Lai. "Siapakah ayah-mu yang berada di istana, nona ?"
Karena adiknya sudah terlanjur bicara, Seng Kun lalu berkata, "Saya bernama Chu Seng Kun dan
adik saya ini Chu Bwee Hong. Ayah kami adalah kepala kuil istana Thian-to-tang."
"Ahhh ! Bu Hong Sengjin?" Jenderal itu bertanya dan hatinya kecut. Bu Hong Sengjin, biarpun
hanya seorang pendeta yang mengurus kuil istana Thian-to-tang, adalah paman dari kaisar dan tentu
saja mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar. Kalau kedua orang ini adalah benar puteraputerinya,
tentu saja dia tidak boleh sembarangan mencelakakan mereka, apa lagi mereka ini masih
utusan kaisar yang membawa leng-ki!
"Sudahlah, untuk sementara ini kalian terpaksa kami tahan di sini. Aku akan mencari keterangan
tentang kalian ke istana, untuk menyatakan apakah benar-benar kalian adalah utusan sri ba-ginda
kaisar."
"Akan tetapi, kami mempunyai tugas penting dan kami harus cepat-cepat kembali ke istana untuk
melapor kepada sri baginda !" Seng Kun membantah.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Jangan membantah ! Di kota raja dan istana sendiri sekarang ini sedang kalut " Tiba-tiba sang
jenderal menghentikan kata-katanya dan merasa kelepasan bicara.
"Apa apakah yang terjadi di istana?" Seng Kun cepat bertanya.
Akan tetapi, jenderal itu bangkit dan mening-galkan ruangan dan berkata kepada Kwa Sun Tek,
"Tahan mereka itu, jangan sampai terlepas. Akan tetapi kalau aku membutuhkan, mereka itu harus
ada di tempat!"
Seng Kun dan Bwee Hong tidak dapat berbuat sesuatu dan tentu saja mereka tidak berani mela-wan
ketika digiring memasuki kamar tahanan di markas itu. Diam-diam. Kwa Sun Tek menjadi girang
sekali. Musuh-musuhnya ini yang telah banyak mengganggu dan menggagalkan rencana-nya
sekarang terjatuh ke dalam tangannya. Dia berpikir-pikir, apa yang akan dilakukan terhadap dua
orang itu, terutama sekali terhadap Bwee Hong yang cantik jelita. Dengan wajah berseri dan sepasang
mata mengerling tajam ke arah Bwee Hong,
Kwa Sun Tek sendiri memimpin para pengawal yang menggiring dua orang kakak beradik itu menuju
ke kamar tahanan.
Diam-diam Seng Kun dan Bwee Hong merasa khawatir. Mereka berdua yakin akan ketegasan Laigoanswe
sebagai panglima perang, akan teta-pi tentu saja mereka tidak dapat percaya kepada putera
Tai-bong-pai yang berhati curang dan palsu ini.
Selagi rombongan pengawal itu mengantar Seng Kun dan Bwee Hong ke kamar tahanan mereka,
tiba-tiba muncul seorang perwira yang segera menemui Kwa Sun Tek dan berkata dengan suara
serius, "Taihiap ...... eh, ciangkun! Engkau di-panggil menghadap oleh Jenderal Lai, sekarang juga.
Ada urusan penting sekali!"
Kwa Sun Tek ragu-ragu dan kecewa, akan tetapi tentu saja dia tidak berani membantah. "Bawa
mereka ini ke penjara bawah tanah bersa-ma si gila itu. Awas, jangan ganggu mereka dan jangan
sampai mereka lolos. Kalian bertanggung jawab!"
Setelah berkata demikian, pergilah pemuda Tai-bong-pai itu bersama perwira yang diutus oleh Laigoanswe.
Sementara itu, Chu Seng Kun merasa curiga sekali melihat bahwa perwira yang memanggil
pemuda Tai-bong-pai itu dikenalnya sebagai seorang di antara perwira-perwira yang berada di Bankwi-
to, yaitu perwira yang bersekongkol dengan pasukan asing, jelaslah bahwa persekutuan itu
telah menjalar sampai ke kota be-sar, bahkan di tempat ini, di dekat kota raja, seo-lah-olah di depan
hidung kaisar sendiri, perse-kongkolan itu berjalan lancar. Sungguh keadaan sudah teramat gawat.
Akan tetapi dia tidak ber-daya sebelum Lai-goanwse memperoleh keterang-an dari kaisar sendiri
tentang kedudukannya se-bagai utusan kaisar.
Kamar tahanan di bawah tanah itu melalui lorong bawah tanah yang diterangi oleh lampu-lampu,
biarpun waktu itu siang hari. Dan di da-lam sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat, me-reka
didorong masuk. Di dalamnya mereka melihat A-hai! Pemuda ini duduk bersila dan kelihatan
teainenung. Akan tetapi begitu melihat mereka berdua, A-hai mlenjadi girang sekali.
"Ah, aku sudah khawatir sekali akan keadaan kalian!" teriaknya. "Syukurlah kita dapat berte-mu
kembali dalam keadaan sehat!"
"Ya, akan tetapi bertemu dalam kamar tahanan yang kokoh kuat!" Seng Kun menambahkan.
"Tidak apa !" A-hai berkata gembira. "Yang penting adalah selamat dan sehat. Apa artinya bertemu di
istana yang indah kalau dalam keadaan tidak sehat dan tidak selamat ? Betul tidak, nona Hong ?”
Bwee Hong terpaksa tersenyum. Biarpun ucapan itu terdengar kekanak-kanakan, namun harus diakui
bahwa memang tepat dan tak dapat dibantah. Ia mengangguk membenarkan sehingga A-hai menjadi
semakin gembira.
Akan tetapi Seng Kun tidak banyak melayani pemuda sinting itu dan dia sudah mulai memeriksa
keadaan kamar tahanan itu. Sebuah kamar tahanan yang kokoh kuat memang. Dindingnya dari batu
yang sebelah dalamnya dilapisi baja. Juga pintu itu amat kuatnya sehingga ketika Seng Kun mencoba
untuk mendorongnya, sedikitpun tidak bergo-yang. Bwee Hong juga memeriksa seluruh dindunia-
kangouw.blogspot.com
ding, mencari jalan keluar. Mereka maklum bahwa selama mereka masih dalam kamar tahanan, bahaya
selalu mengancam karena mereka tahu bahwa mereka terjatuh ke dalam tangan komplotan itu,
dan Lai-goanswe sendiri tidak tahu adanya komplotan itu. Karena Seng Kun sudah mem-bongkar
rahasia, tentu komplotan itu, di bawah pimpinan pemuda Tai-bong-pai, tidak akan membiarkan
mereka lolos dengan selamat. Maka, mereka harus dapat keluar dari tempat ini, sebe-lum terlambat.
Kalau kakak beradik itu sibuk memeriksa se-luruh dinding dan mencari kemungkinan lolos, A-hai
masih enak-enak duduk saja di atas lantai dan kini tangannya mengetuk-ngetuk lantai. Agaknya dia
juga merasa kesal didiamkan saja oleh dua orang kawannya itu.
"Tuk-tuk-tuk-tuk !" Tangannya, yang di luar kesadarannya sendiri memiliki tenaga mu-jijat
itu, mengetuk-ngetuk lantai menggunakan sepotong batu kecil yang ditemukannya di tempat tahanan
itu. Kini dia memindahkan batu itu dari tangan ka-nan ke tangan kiri dan mengetuk-ngetuknya kembali
ke atas lantai di sebelah kirinya.
"Tuk-tuk-tung-tung-tung-tunggg !"
Tiba-tiba Seng Kun meloncat, mendekat. "Sau-dara A-hai, coba kaupukul lagi lantai sebelah
kananmu."
A-hai memandang heran dan menurut. "Tuk-tuk-tukk!"
"Sekarang sebelah kirimu." Kembali A-hai menurut.
"Tung-tung-tunggg!" Jelas sekali terdengar perbedaan bunyi.
Seng Kun berjongkok dan menggunakan jari tangannya mengetuk-ngetuk bagian kiri A-hai itu, di atas
lantai batu. "Tung-tung-tunggg .,.,.!"
Melihat ini, Bwee Hong juga ikut berjongkok dan mengetuk-ngetuk lantai di sana-sini dan ternyata
yang terdengar bunyi "tung-tung" hanya di sekitar sebelah kiri A-hai.
"Ah, ada lubang di bawah sini!" bisik Bwee Hong. Kakaknya mengangguk dan mengerutkan alisnya.
"Agaknya ini merupakan satu-satunya harapan kita. Saudara A-hai dan kau juga Bwee Hong,
berdirilah di depan terali pintu dan beri isyarat kalau ada penjaga datang. Aku akan berusaha
membongkar lantai ini."
Tanpa berkata sesuatu, Bwee Hong dan A-hai lalu berdiri di pintu, di mana terdapat jeruji baja yang
kuat. Tidak nampak adanya penjaga di de-pan pintu itu. Para penjaga berkumpul agak jauh dari situ
walaupun mereka tidak pernah lengah dan selalu memandang ke arah kamar tahanan. Melihat ini,
Bwee Hong lalu memberi isyarat de-ngan tangannya.
Seng Kun lalu mengerahkan seluruh tenaganya, disalurkan kepada kedua lengannya dan setelah
merasa cukup kuat, dia lalu menggunakan kedua tangannya menghantam lantai itu.
"Brakkkkk !" Lantai itu pecah dan ambrol dan ternyata di bawahnya memang berlubang.
Bagaimanapun juga suara itu menarik perhatian para penjaga. Mereka berlarian mendatangi tem-pat
itu. Melihat ini, Bwee Hong cepat menarik tangan A-hai dan bersama Seng Kun mereka lalu menutupi
lubang itu dengan tubuh mereka yang sengaja direbahkan miring di atas lantai. Seng Kun dan Bwee
Hong pura-pura memijiti tubuh A-hai yang setengah dipaksa untuk rebah menelung-kup di atas
lubang.
"Kenapa ? Apa yang terjadi ?" tanya komandan penjaga melihat mereka yang berada di dalam kamar
tahanan itu.
"Teman karni ini pening dan terjatuh. Tapi tidak apa-apa, sebentar lagi tentu dia sembuh. Memang dia
mempunyai penyakit ayan yang ka-dang-kadang kumat!" kata Seng Kun. Diam-diam A-hai mengomel
dikatakan bahwa dia mem-punyai penyakit ayan. Para penjaga tertawa lalu pergi lagi setelah melihat
bahwa memang tidak terjadi apa-apa di kamar itu, tidak terdapat tan-da-tanda bahwa tiga orang
tawanan itu akan melarikan diri.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kita tunggu sampai gelap," bisik Seng Kun.
Mereka tetap rebah-rebahan menutupi lubang dan setelah kamar itu menjadi gelap karena me-mang
tidak diberi penerangan, barulah Seng Kun memeriksa lubang. Lubang itu cukup besar untuk dapat
dimasuki dan ketika dia memasuki lubang, ternyata di sebelah bawah terdapat sebuah lorong seperti
yang pernah mereka lihat lorong-lorong di bawah tanah dari Kepulauan Ban-kwi-to. Maka mereka
bertigapun cepat maju ke depan dengan hati-hati karena keadaan di dalamnya gelap sama sekali.
Setelah berjalan beberapa la-manya, mereka tiba di jalan buntu. Di depan mereka menghadang
dinding batu yang keras.
"Celaka, terowongan ini merupakan jalan bun-tu !" kata Seng Kun, mengeluh karena kalau mereka
ketahuan dan para penjaga mengejar, tentu mereka akan tertawan kembali. Di terowongan yang
sempit itu tidak mungkin mereka melakukan perlawanan.
"Lihat, bagian ini tanahnya lunak dan bercam-pur pasir. Bagaimana kalau kita membuat jalan dari
sini?" Bwee Hong berseru.
Seng Kun setuju dan mereka bertiga lalu mulai menggali. Dan memang benar, tanah itu mudah digali,
apa lagi oleh sepasang tangan kakak ber-adik yang kuat itu. Tak lama kemudian mereka melihat batu
landasan atau fondamen bangunan rumah.
"Wah, kita sampai di bawah rumah orang!"
Dengan jari tangannya yang kuat, Seng Kun lalu membuat lubang di lantai rumah yang berada di atas
mereka. Segera terdengar suara orang-orang bercakap-cakap melalui lubang kecil itu dan mereka
terkejut. Seng Kun dan adiknya segera mengenal suara pemuda Tai-bong-pai yang menawan
mereka! Mereka bertiga mendengarkan dengan jantung berdebar tegang. Kiranya di atas mereka
merupakan sebuah ruangan di mana Kwa Sun Tek sedang mengadakan rapat dengan bebe-rapa
orang sekutunya, di antaranya terdapat kepala daerah Lok-yang, juga Malisang, kepala Suku Mongol
yang bersekutu dengan para pemberontak.
"Boleh jadi pasukan pemerintah sudah tidak begitu kuat karena mereka harus menentang gerakan
Chu Siang Yu dari barat, akan tetapi kita harus memperhitungkan kekuatan Liu Pang," de-mikian
kepala daerah Lok-yang bicara. "Daerah-ku telah dikuasainya. Untung aku masih dapat lolos dengan
menyamar sebagai pelayan. Padahal, pasukan penjaga kota dan dibantu oleh pasukan koksu sudah
cukup kuat, namun kami kalah, dan kehilangan banyak perajurit."
"Kami juga kehilangan banyak anak buah," kata orang Mongol itu dengan suara kaku. "Kami tidak
mengira bahwa Liu Pang dapat bergerak sedemi-kian cepatnya, dan terutama sekali yang membikin
kami gagal adalah kenyataan bahwa dalam pasukan tuan terdapat pengkhianatnya, yaitu Guiciangkun
dan pasukannya." Koksu atau kepala Suku Mongol itu terdengar kecewa dan penasaran.
"Akan tetapi sekarang, hal itu tidak perlu terulang kembali. Pasukan-pasukan kami telah berdatangan
di se-panjang pantai. Tak lama lagi mereka akan dapat berkumpul untuk membantu kita semua."
Mendengar percakapan ini, diam-diam Seng Kun mengerutkan alisnya dan hatinya khawatir sekali.
"Celaka," pikirnya. "Keselamatan, negara sungguh terancam. Pasukan asing dalam jumlah banyak
telah mendarat. Sedangkan bangsa sendiri malah saling bermusuhan karena saling mempere-butkan
kedudukan. Pasukan Chu Siang Yu yang kuat itu memberontak. Para gubernur juga mem-berontak
dengan diam-diam. Pemerintah pusat menghadapi begitu banyak ancaman pemberon-takan.
Agaknya negara sudah berada di ambang kehancuran."
Tak lama kemudian, rapat di atas itupun bubar dan keadaan menjadi sepi. Seng Kun mengintai dari
lubang kecil yang dibuat jarinya tadi. Memang ruangan itu sudah kosong sama sekali. Mereka lalu
membongkar lantai dan keluar dari lorong bawah tanah itu. Ternyata mereka berada di da-lam
ruangan yang menjadi bagian dari gedung gubernuran. Hari masih larut malam dan mereka-pun cepat
menyelinap keluar ruangan itu, ber-sembunyi di dalam gelap. Seng Kun menjadi pe-mimpin dan dua
orang kawannya mengikuti dari belakang. Mereka hendak mencari jalan untuk keluar dari gedung itu.
Akan tetapi, baru saja mereka tiba di samping gedung, mereka mendengar suara ribut-ribut dan
melihat banyak sekali perajurit membawa obor. Di antara mereka terdapat Kwa Sun Tek yang
berteriak-teriak marah, "Mereka takkan dapat pergi jauh ! Sudah pasti masih berada di dalam gedung.
Hayo kepung gedung dan jangan sampai membiarkan seorangpun lolos !"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Celaka, kita telah ketahuan!" bisik Seng Kun dan diapun mengajak Bwee Hong dan A-hai untuk
mundur kembali memasuki gedung ! Seng Kun berpikir cepat dan. tak lama kemudian dia sudah terus
masuk ke dalam gedung menyuruh A-hai
dan Bwee Hong bersembunyi dan segera menang-kap seorang pelayan yang agaknya terkejut mendengar
ribut-ribut di luar gedung.
"Cepat bawa kami ke dalam kamar gubernur!" Seng Kun mengancam sambil mencengkeram teng-kuk
pelayan itu. Cengkeramannya membuat pela-yan itu merasa kesakitan dan tanpa banyak cakap lagi
diapun, mengangguk-angguk dan pergilah mereka bertiga mengikuti pelayan ke kamar sang
gubernur. Dengan kepandaiannya, Seng Kun men-dorong pintu terbuka setelah Bwee Hong melumpuhkan
dua orang pengawal jaga di luar pintu, kemudian, sebelum sang gubernur yang baru saja
bangun karena kaget itu sempat berteriak Seng Kun telah menangkapnya dan mengancam.
"Kalau sayang nyawa, jangan banyak bergerak dan jangan mengeluarkan suara!"
"Ampun jangan bunuh "
"Keluarkan kereta, selundupkan kami keluar dari kota ini. Kalau kami selamat, engkaupun hi-dup !"
hardik Seng Kun dengan suara lirih akan tetapi penuh ancaman.
"Baik... baik!"
Di bawah ancaman Seng Kun dan Bwee Hong, akhirnya pembesar itu mengenakan pakaian kebesaran
lalu membawa mereka ke tempat kereta, membangunkan kusir kereta dan tak lama kemu-dian,
keretapun bergerak keluar dari halaman samping gedung. Beberapa orang perajurit melihat dengan
heran, bahkan ada seorang perwira yang berseru kepada kusir kereta, bertanya. Gu-bernur, di bawah
ancaman Seng Kun, menyingkap tirai jendela kereta dan berkata bahwa dia ingin memeriksa dan
melihat sendiri keluar gedung, mencari tahu tentang kerusuhan-kerusuhan yang terjadi di kota.
Beberapa pasukan pengawal siap hendak mengiringkan kereta, akan tetapi gu-bernur itu menolak
dan memerintahkan mereka menjaga gedung baik-baik.
Setelah berhasil keluar dari pintu gerbang ge-dung itu, Seng Kun lalu menotok kusir kereta dan dia
sendiri lalu duduk menggantikan tempat kusir. "Saudara A-hai, engkau duduklah di sampingku
sebagai pembantu," katanya.
Si gubernur gendut duduk berdua saja dengan Bwee Hong dan hal ini agaknya melegakan hati-nya.
Disangkanya bahwa dara secantik itu tentu tidak kejam dan tidak begitu kuat, maka dia sudah mulai
melihat ke kanan kiri untuk mencari kesem-patan menyelamatkan diri. Melihat ini, Bwee Hong berkata,
"Kalau engkau melakukan yang bukan-bukan, aku akan menghancurkan kepalamu seperti ini!" Dan
Bwee Hong menggunakan tangannya meremas lengan kursi dalam kereta yang terbuat dari kayu
keras. Lengan kursi itu hancur ketika dicengkeram-nya. Melihat ini seketika muka si gubernur menjadi
pucat dan diapun tidak lagi berani berkutik, maklum bahwa gadis cantik jelita inipun lihai bu-kan
main dan agaknya tidak kalah kejam diban-dingkan dengan orang yang kini menggantikan kusirnya.
Maka diapun pasrah saja dengan muka pucat, hati berdebar dan tubuh menggigil.
Kereta berhasil melalui pintu gerbang kota de-ngan selamat. Para perwira dan pasukan penjaga,
biarpun terheran-heran, tidak berani mengganggu melihat sang gubernur duduk di dalam kereta dengan
santai bersama seorang wanita muda yang cantik. Mereka mengira bahwa sang gubernur
sedang mencari angin bersama seorang selirnya yang terkasih dan tidak ingin diganggu, maka tidak
ada pasukan pengawalnya dan hanya ditemani oleh kusir dan pembantunya.
Akan tetapi, tidak semua pasukan setolol itu. Ada beberapa orang perwira yang merasa curiga sekali.
Tidak seperti biasa seorang gubernur melakukan perjalanan malam seperti itu, tanpa kawalan dan
keluar dari kota. Mereka lalu mempersiapkan pa-sukan dan diam-diam membayangi kereta itu dari
jauh.
Ketika kereta melalui pintu, tiba-tiba saja perwira-perwira dan pasukannya itu menghadang di depan
kereta. "Tahan dulu !" bentak seorang di antara para perwira. "Harap taijin maafkan ke-lancangan
kami, akan tetapi dalam keadaan yang gawat ini kami harus bertindak hati-hati dan kami ingin merasa
yakin bahwa taijin dalam keadaan selamat."
dunia-kangouw.blogspot.com
Bwee Hong mencengkeram tengkuk pembesar itu yang menjadi semakin ketakutan. "Hayo kata-kan
bahwa engkau selamat dan suruh mereka semua minggir!" desis dara itu kepada sang gubernur.
Akan tetapi, gubernur itu menjadi demikian takut-nya sehingga sukar baginya untuk mengeluarkan
suara.
"Selamat aku selamat sebaiknya kalian pergilah"
Melihat sikap gugup ketakutan dan mendengar suara yarig menggigil dan tersendat-sendat itu, tentu
saja para perwira menjadi semakin curiga. "Kepung ! Tangkap penjahat !"
"Heh, mereka adalah tawanan-tawanan yang meloloskan diri itu!"
Tentu saja keadaan menjadi geger dan para perajurit lari mendatangi dan kereta itu dikepung. Seng
Kun dan Bwee Hong sudah melompat turun dan mereka berdua mengamuk. Biarpun dikepung dan
dikeroyok banyak perajurit, kalau mereka menghendaki, dua orang kakak beradik ini agaknya akan
mudah untuk melarikan diri. Akan tetapi mereka teringat akan A-hai yang masih saja du-duk di tempat
kusir dan memandang perkelahian itu dengan bingung. Banyak perajurit sudah ro-boh terkena
tamparan dan tendangan kakak ber-adik yang tangguh itu.
"Saudara Seng Kun! Nona Hong, kalian larilah saja dan jangan hiraukan aku !" Berkali-kali A-hai minta
mereka melarikan diri. Dia tahu bahwa ka-kak beradik itu tidak mau lari karena hendak me-lindungi
dia. Hal ini membuat hatinya terasa amat tidak enak. Dia sendiri tidak mampu melawan. Apa lagi
melawan, bahkan melihat mereka berdua di-keroyok saja hatinya sudah menjadi gelisah sekali.
Bwee Hong mengerutkan alisnya. Harus ada akal untuk menyelamatkan A-hai, dan satu-satu-nya akal
hanyalah membuat pemuda itu menga-muk ! Kalau ia dan kakaknya harus membawa A-hai dari situ
sambil melawan pengeroyokan, sungguh tidak mungkin. Selain A-hai tidak akan mau, juga kalau
muncul lawan berat seperti putera Tai-bong-pai, akan berbahaya sekali. Akan teta-pi bagaimana ia
harus berbuat untuk dapat mem-buat A-hai kumat dan timbul kelihaiannya ?
Seorang pengeroyok menyerang Bwee Hong dari samping dengan tusukan tombaknya. Bwee Hong
menangkap tombak itu dan tiba-tiba men-jerit, lalu roboh bersama penusuknya, mandi darah! Melihat
ini, Seng Kun terkejut bukan main. Ham-pir dia tidak percaya bahwa adiknya akan roboh sedemikian
mudahnya, diserang oleh seorang pe-rajurit biasa dengan tombak. Tubuhnya meloncat dan meluncur
bagaikan halilintar menyambar dan para pengeroyok adiknya terpelanting ke kanan kiri. Dengan
muka pucat dia melihat adiknya menggeletak berlumuran darah.
"Hong-moi" teriaknya. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bunyi derap kaki kuda dan se-pasukan
perajurit datang dipimpin oleh Kwa Sun Tek yang lihai. Bahkan kepala Suku Mongol yang tinggi besar
itupun datang bersama pemuda Tai-bong-pai itu !
Celaka, pikir Seng Kun. Matilah mereka seka-rang. Adiknya yang merupakan pembantu amat lihainya,
telah menggeletak dan agaknya terluka cukup parah. Dia seorang diri mana mampu ber-tahan ? Apa
lagi kalau harus melindungi adiknya yang terluka dan A-hai yang masih duduk di atas kereta.
Melihat datangnya pasukan bantuan yang kuat, kini para perajurit sudah mulai maju lagi menge-royok
Seng Kun yang terpaksa harus melindungi tubuh adiknya. Pada saat itu, tiba-tiba saja ter-dengar
teriakan yang amat dahsyat dan memekak-kan telinga, lengkingan yang seperti bukan keluar dari
mulut manusia, disusul berkelebatnya sesosok tubuh manusia yang melayang turun dari atas kereta.
Tubuh itu melayang ke arah Bwee Hong yang masih rebah miring mandi darah, lalu dengan mata
beringas dia menggunakan tangan kiri me-nyambar tubuh Bwee Hong dan memanggul di atas
pundaknya. Orang ini bukan lain adalah A-hai yang telah "kumat" gilanya ketika melihat Bwee
Hong roboh mandi darah. Kini, dengan tubuh Bwee Hong dipanggul di atas pundaknya, dia memandang
ke depan dengan sikap beringas menge-rikan, sepasang matanya mencorong dan mengandung
penuh nafsu membunuh.
Melihat ini, tentu saja beberapa orang perajurit mengepung dan menyerangnya. Akan tetapi, sam-bil
mengeluarkan suara mendengus pendek, A-hai menggerakkan tangan kanannya dengan cepat dan
terdengarlah jerit-jerit mengerikan dan lima orang perajurit telah roboh dengan tubuh kaku dan mata
mendelik, mati! Tidak ada setetespun darah ke-luar, tidak ada sedikitpun luka nampak di tubuh
mereka. Tentu saja hal ini menimbulkan kegem-paran dan para perajurit menjadi ngeri ketakutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bahkan Seng Kun sendiripun yang melihat jelas akibat gerakan tangan A-hai itu, diam-diam merasa
serem dan ngeri. Ilmu apakah yang diper-gunakan A-hai sehingga akibatnya sedemikian hebatnya ?
Melihat kelihaian dua orang pemuda yang mengamuk itu, majulah Kwa Sun Tek yang diban-tu oleh
Malisang, raksasa Mongol kepala suku yang menjadi sekutu pemberontak itu. Dia menubruk ke arah
A-hai yang memanggul gadis pingsan itu, menggunakan kedua lengannya yang panjang dan besar itu
untuk mencengkeram ke depan se-perti gerakan seekor biruang menerkam. Akan tetapi, A-hai
kembali mendengus pendek dan tangan kanannya menyambut dengan dorongan.
"Bresss.." Pertemuan dua tenaga besar seolah-olah menggetarkan udara dan akibatnya, raksasa
Mongol itu terjengkang dan terbanting jatuh, lalu bergulingan dan meloncat bangun kem-bali. Matanya
terbelalak saking kagetnya dan hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada seo-rang pemuda yang
menggunakan sebelah tangan saja untuk menyambut tubrukannya yang mengan-dung tenaga amat
besar itu. A-hai sendiri tergetar karena besarnya tenaga lawan, akan tetapi dia hanya melangkah
mundur sebanyak empat langkah saja. Melihat kehebatan pemuda ini, Malisang maju lagi dan kini dia
dibantu oleh beberapa orang perwira pengawalnya yang sudah mencabut pe-dang, Namun, A-hai
menyambut pengeroyokan tujuh orang itu dengan sebelah tangan kanan saja dan hebatnya, pemuda
yang biasanya lemah dan bodoh itu kini tiba-tiba saja berobah menjadi se-orang yang selain gagah
perkasa, juga cerdik dan lengan kanannya itu kebal senjata, bahkan jari-jari tangannya dapat
dipergunakan untuk menangkis senjata tajam lawan tanpa terluka sedikitpun! Se-pak terjangnya
menggiriskan sehingga Malisang minta bantuan lebih banyak temannya lagi.
Sementara itu, Seng Kun juga sudah bertan-ding melawan Kwa Sun Tek, tokoh muda Tai-bong-pai.
Mula-mula mereka berdua berkelahi dengan tangan kosong, akan tetapi melihat betapa pemuda
jangkung tampan itu memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, terlalu kuat baginya, Kwa Sun Tek lalu
mempergunakan senjatanya yang aneh, yaitu sebatang cangkul penggali kuburan. Terjadilah
perkelahian yang amat seru, akan tetapi karena Kwa Sun Tek juga dibantu oleh banyak orang, Seng
Kun mulai terdesak pula. Juga A-hai terdesak karena pemuda ini selalu harus melin-dungi sambaran
senjata yang mengancam tubuh Bwee Hong yang dipanggulnya.
Seng Kun menggeser kedudukannya agar men-dekati A-hai dan dia berseru, "Saudara A-hai, mari
kita melarikan diri!"
Berkali-kali dia mendesak, akan tetapi A-hai sama sekali tidak memperdulikannya, bahkan ke-tika
Seng Kun terlalu mendekatinya, pemuda sin-ting ini menggunakan tangannya untuk menyam-pok
sehingga Seng Kun terhuyung! Kiranya se-telah kumat, A-hai sama sekali tidak mengenal-nya lagi!
Maka terpaksa Seng Kun menjauh lagi dan melanjutkan amukannya. Diam-diam dia me-ngeluh. Tidak
mungkin bagi mereka berdua, be-tapapun lihainya A-hai, akan dapat bertahan menghadapi
pengeroyokan sedemikian banyaknya anak buah pasukan.
Tentu saja semua ini dilihat jelas oleh Bwee Hong yang dipondong oleh A-hai. Dara ini tadi memang
hanya pura-pura saja membiarkan dirinya seolah-olah terkena serangan senjata lawan. Pa-dahal,
darah yang menodai pakaiannya itu bukan-lah darahnya sendiri, melainkan darah lawannya. Ia
berhasil mengelabuhi A-hai dan berhasil pula membikin pemuda itu kumat sintingnya. Akan te-tapi
sungguh celaka, kini A-hai mengamuk dan tidak mau melarikan diri seperti yang dianjurkan berkalikali
oleh kakaknya. Iapun tahu bahwa betapapun lihainya A-hai, tidak mungkin dapat bertahan kalau
terus-menerus menghadapi penge-royokan ratusan, bahkan ribuan orang perajurit. Maka,
diangkatnya kepalanya mendekati telinga pemuda sinting itu dan iapun berbisik, "A-hai, lihatlah,
kakakku sudah terdesak. Mari kita pergi dari sini !"
"Hemmm? Pergi?" A-hai menunduk dan memandang wajah dara itu. Matanya yang buas itu membuat
Bwee Hong sendiri menjadi ngeri.
"Koko, mari kita lari! A-hai, hayo loncati tembok di sana itu!" Bwee Hong berseru sambil menekannekan
pundak A-hai.
Seng Kun girang sekali melihat bahwa adiknya ternyata selamat dan kini kakak ini baru mengerti
bahwa robohnya Bwee Hong tadi ternyata hanya-lah siasat untuk "membangkitkan" A-hai.
"Baik, mari kita pergi!" katanya sambil mero-bohkan dua orang perajurit dan pemuda inipun
mempergunakan ginkangnya yang amat hebat untuk melayang ke arah tembok bagaikan seekor
burung terbang saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Hayo kita pergi, A-hai !" kata pula Bwee Hong.
"Pergi ? Baik, ibu !" Dan A-hai lalu meloncat dengan kecepatan yang membuat Bwee Hong terkejut
dan ngeri. Akan tetapi, lebih terkejut dan heran lagi hatinya ketika tadi ia mendengar A-hai
menyebutnya "ibu" !
"Kejar!"
"Tangkap !"
"Bunuh !!"
Teriakan-teriakan itu menggerakkan para pe-rajurit untuk mengejar, akan tetapi begitu A-hai
menggerakkan tangan ke belakang dan empat orang roboh terpelanting dan tewas, mereka menjadi
jerih dan akhirnya mereka bertiga dapat lolos dari pe-ngejaran para perajurit. Tentu saja Kwa Sun Tek
menjadi marah dan khawatir. Tawanan-tawanan itu diserahkan kepadanya dan menjadi tanggung
jawabnya, raaka tentu saja sama sekali tidak boleh lolos ! Dia mengerahkan pasukannya, dibantu oleh
Malisang, melakukan pengejaran secepatnya.
Ketika pasukan itu tiba di pintu gerbang, baru saja pintu gerbang dibuka, terdengar derap kaki kuda
dan muncullah Jenderal Lai diikuti oleh pa-sukan pengawalnya. Melihat jenderal ini, tentu saja Kwa
Sun Tek terkejut dan cepat memberi hormat bersama para pembantunya.
Jenderal Lai mengerutkan alisnya dan meman-dang tajam. "Ada kejadian apa lagi ini ? Kenapa
sampai terdengar dipukulnya tanda bahaya segala?"
Tentu saja Kwa Sun Tek merasa canggung dan gugup. Akan tetapi dia tidak mungkin dapat menyembunyikan
kenyataan, maka dengan hati-hati dia lalu bercerita bahwa tiga orang tawanan itu
memberontak dan melarikan diri dengan jalan kekerasan. "Kami sedang berusaha mengejar mere-ka,
Lai-ciangkun."
Jenderal Lai terkejut sekali mendengar ini. Dia marah. "Hemm, mengapa engkau begini ceroboh dan
membiarkan tawanan penting lolos ?"
"Kami tentu akan dapat menangkap mereka kembali!" kata Malisang melihat kemarahan jen-deral itu.
Jenderal Lai menengok dan melihat rak-sasa rambut putih itu dia membentak, "Siapa pula orang ini ?"
Kwa Sun Tek sudah terkejut sekali mendengar Malisang ikut bicara tadi, dan kini dengan gugup dia
menjawab. "Dia adalah seorang pengawal pribadi saya, goanswe!"
"Hayo kejar dan tangkap mereka kembali!" Akhirnya sang jenderal memberi perintah sambil memutar
kudanya memasuki kota kembali. Kwa Sun Tek bersama Malisang lalu mengerahkan pa-sukan dan
melakukan pengejaran keluar kota.
Chu Seng Kun diam-diam merasa kagum bu-kan main kepada A-hai. Biarpun pemuda sinting yang
sedang kumat itu memanggul tubuh Bwee Hong, akan tetapi dia dapat berlari dengan kece-atan yang
luar biasa. Seng Kun sendiri adalah keturunan dari Tabib Sakti Tanpa Bayangan yang sudah terkenal
memiliki ginkang nomor satu di dunia persilatan. Akan tetapi sekali ini dia harus mengakui bahwa
ginkang atau ilmu meringankan tubuh dari pemuda sinting itu tidak kalah olehnya. Bahkan dia harus
mengerahkan semua tenaganya untuk dapat mengimbangi kecepatan lari A-hai.
Mereka keluar masuk hutan dan naik turun bukit-bukit. Setelah mereka tiba di tepi sebuah sungai
yang jernih airnya, Bwee Hong berbisik kepada A-hai, "A-hai, berhenti! Turunkan aku di sini !"
Memang aneh sekali. Dalam keadaan kumat, pemuda ini tidak mau perduli, bahkan tidak me-ngenal
semua orang. Akan tetapi seperti ketika berhadapan dengan Pek Lian, kini dia amat patuh kepada
Bwee Hong. Biarpun tadinya beringas dan buas, mendengar suara Bwee Hong, dia menjadi lemah
dan penurut sekali. Dan suasana yang te-nang di tempat itu agaknya cepat memulihkannya kembali
dari kambuhnya. Dia menurunkan Bwee Hong, lalu dia duduk di atas sebongkah batu besar,
termenung sejenak, memandang ke kanan kiri se-perti orang terheran-heran atau seperti baru saja
bangun dari mimpi buruk, kemudian dia menutupi mukanya dengan kedua telapak tangannya sambil
mengeluh panjang pendek, "Aduh, kepalaku! Kepalaku !"
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan perasaan iba Bwee Hong mendekatinya, lalu memegang pundaknya dengan sikap halus.
"Kepalamu kenapa, A-hai? Bagaimana rasanya?"
"Aduhh pening, pusing sekali. Ahhhh" Dan tiba-tiba saja A-hai terkulai dan tentu jatuh terguling dari
atas batu kalau tidak cepat-cepat dipegang oleh Bwee Hong. Pemuda itu sudah roboh pingsan!
"A-hai ! A-hai! Engkau kena pakah, A-hai?" Bwee Hong yang merangkulnya itu mengguncangguncangnya,
hatinya penuh dengan perasaan iba. Wajah A-hai yang tadinya kemerahan dengan mata
beringas itu kini perlahan-lahan berobah menjadi pucat.
"Tenanglah, Hong-moi, biarkan dia terlentang di atas rumput. Dia sedang mengalami perobahan
seperti biasa, setelah tadi mengalami guncangan batin yang hebat dan yang membuatnya kumat.
Bagaimanapun juga, siasatmu itu bagus sekali dan telah menyelamatkan kita."
"Ah, itu merupakan jalan satu-satunya, yaitu membuat dia kumat. Sebetulnya, kalau tidak ter-paksa,
aku tidak tega melihat dia kumat seperti itu, dan engkau tahu, koko, ketika kumat tadi, dia menyebut
aku ibu!"
Seng Kun memandang wajah pemuda yang kini rebah terlentang dengan muka pucat itu dan meraba-
raba dagunya yang masih halus belum di-tumbuhi jenggot. "Hemm, tentu ada rahasia di balik itu
semua, rahasia yang menyangkut ibunya. Agaknya dahulu terjadi peristiwa hebat sekali yang
membuat batinnya terguncang secara luar biasa."
"Kita sudah melihat dia beberapa kali kumat dan agaknya dia kumat karena guncangan batin,
terutama sekali apa bila dia melihat darah. Adik Pek Lian juga menceritakan demikian. Aku ham-pir
merasa pasti bahwa masa lalunya yang telah dilupakannya itu apa bila dia dalam keadaan biasa,
tentulah sangat serem dan mengerikan. Tentu masa lalunya itu penuh dengan peristiwa yangberlepotan
darah dan pembunuhan. Dan peristi-wa itu sangat melukai hatinya sehingga sampai
sekarangpun mempengaruhi batinnya. Kurasa, apa bila dia sedang kumat, dia justeru sedang hidup
kembali dalam masa lalu yang terlupakan itu, dia menjadi buas dan penuh dengan hawa nafsu membunuh
! Bagaimana pendapatmu, koko ?"
Seng Kun mengangguk-angguk. "Cocok dengan pendapatku. Pemuda ini sekarang mempunyai dua
dunia, yaitu dunia yang terlupakan itu dan yang dimasukinya sewajarnya ? Koko, untuk masa ini, ilmu
pengobatanmu mungkin yang nomor satu di dunia setelah ayah eh, kakek kita meninggal dunia
Coba berilah keterangan mengenai penyakit yang diderita A-hai, aku ingin sekali mendengarnya."
Seng Kun menarik napas panjang dan menatap wajah A-hai yang masih pingsan seperti orang tidur
nyenyak itu. "Hemm, terus terang saja, adik-ku. Aku sendiri belum dapat memastikan penya-bit apa
yang dideritanya, hanya dapat meraba raba dan mengira-ngira saja. Akan tetapi setelah melihat
keadaannya dan mendengar cerita menge-nai dirinya, aku merasa yakin bahwa dia menga-lami
gangguan pada jalinan syaraf otaknya. Ada gangguan yang membuat otaknya terganggu se-hingga
terjadi kelainan. Telah terjadi sesuatu yang mengguncangkan dan mendatangkan luka pada susunan
otaknya sehingga merusak daya ker-janya, membuat dia kehilangan ingatannya saat dia kecil sampai
beberapa saat yang lalu. Di da-lam buku kakek, aku pernah membaca tentang gangguan yang dapat
mengakibatkan kerusakan daya kerja otak. Benturan kepala yang keras dapat mengakibatkan
kerusakan. Keracunan racun-racun tertentu dapat juga merusak syaraf otak dan meng-akibatkan
ketidaknormalan. Juga peristiwa-peris-tiwa yang amat hebat dapat mengguncangkan ba-tin
sedemikian hebatnya sehingga mengakibatkan pula kelainan pada susunan otak dan mendatang-kan
kegilaan. Ada pula penyakit yang merupakan penyakit keturunan, penyakit gila keturunan yang
kadang-kadang muncul kadang-kadang tidak, seperti keadaan A-hai ini. Akan tetapi aku me-lihat
gejala-gejala berbeda dari pada diri A-hai dengan penyakit gila keturunan, karena A-hai hanya
kambuh kalau batinnya terguncang oleh kengerian saja. Sayang kita tidak mengenal asal-usul dan
masa lalunya. Kalau kita mengetahuinya, tentu akan lebih mudah untuk mengenal jenis pe-nyakitnya
dan tentu saja lebih mudah pula untuk mencoba memberi pengobatannya."
"Habis, bagaimana baiknya, koko ? Aku ingin sekali melihat dia sembuh. Dia sudah berbuat banyak
terhadap kita, dia sudah melepas budi besar walaupun tidak disengajanya."
"Itulah, kita harus menyelidiki dengan cermat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Belum tentu yang menimpa dirinya itu merupakan suatu penyakit. Mungkin akibat guncangan batin
yang hebat. Atau dapat juga jalinan syaraf rusak karena peredaran darah yang kacau. Keracunan
darah melalui luka dapat saja merusak syaraf otak. Kita harus menyelidiki "
"Lalu bagaimana caranya ? Bagaimana kita bisa membuka rahasia penyakitnya P"
Seng Kun mengerutkan alisnya dan mengguna-kan pikirannya. Sebelum adiknya mengajukan pertanyaan-
pertanyaan itu mengenai diri A-hai, hal ini sudah sering kali direnungkannya. Tidak, dia ingin
mengobati A-hai bukan karena merasa ber-hutang budi. Andaikata A-hai tidak pernah mele-pas budi
sekalipun, tetap saja dia ingin mengobati-nya. Yang mendorongnya adalah wataknya sebagai ahli
pengobatan. Setiap orang ahli pengobatan yang benar-benar mencintai keahliannya, tentu akan
merasa ditantang apa bila menghadapi seo-rang yang menderita penyakit berat dan aneh. Makin
berat dan makin aneh penyakitnya, makin besarlah gairahnya untuk memeranginya, untuk melawan
dan menundukkan penyakit itu. Dia merasa ditantang oleh seorang lawan yang mena-rik !
"Satu-satunya jalan ialah mengetahui sebabnya mengenai dunia masa lalunya itu. Siapakah dia
sebenarnya, bagaimana asal-usulnya dan apa yang terjadi dengan dia pada saat-saat terakhir masa
lalunya itu ? Dan siapa keluarganya, dari mana asalnya ? Kalau kita mengetahui asal-usul-nya, kita
dapat mengajaknya ke tempat itu. Tem-pat-tempat yang sudah sangat dikenalnya, kam-pung halaman
di mana dia tumbuh di waktu masa kanak-kanak, akan membantu dia untuk cepat menemukan
dirinya kembali. Akan tetapi dalam keadaan sekarang, tak mungkin hal itu terjadi. Dia sendiripun
sudah lupa akan asal-usulnya, bagai-mana kita akan dapat menyelidikinya ? Hanya ada satu jalan,
akan tetapi ......" Seng Kun tidak me-lanjutkan.
"Tetapi bagaimana, koko ?" tanya adiknya tak sabar.
"Engkau tahu, untuk dapat memperoleh keterangan yang paling mudah mengenai masa lalunya, tentu
saja pada saat-saat dia kumat. Karena dalam keadaan normal dia lupa sama sekali mengenai dirinya.
Dan pada saat dia kumat tentu dia tahu akan keadaan dirinya di masa lalu, hanya dia berbahaya
sekali. Ilmu kepandaian silat kita sama sekali bukan apa-apa dibandingkan dengan dia. Dan
perasaannya amat halus. Sekali dia tersinggung, kita akan dengan amat mudah saja tewas di
tangannya."
Bwee Hong mengangguk-angguk. Iapun sudah mengenal kehebatan A-hai kalau sedang kumat. "Lalu
bagaimana baiknya ? Apakah kita akan diam saja melihat penderitaannya yang hebat itu ?" tanyanya
sedih dan matanya menjadi basah ketika ia memandang ke wajah pemuda yang masih ping-san itu.
Melihat kesedihan adiknya, Seng Kun menjadi kasihan dan dia menyentuh tangan adiknya. "Hongmoi,
sebenarnya aku telah memikirkan suatu jalan, akan tetapi aku tidak berani mengatakannya karena
aku amat mengkhawatirkan resikonya."
"Katakanlah, jalan apa itu ? Kalau perlu, kita harus berani menempuh resikonya."
"Begini, adikku. Sebuas-buasnya binatang, pada dasarnya masih memiliki kasih sayang, apa lagi
manusia. Seluruh mahluk di permukaan bumi ini, dari binatang yang paling buas dan tak ber-akal
budi, sampai kepada manusia, semua tunduk oleh rasa kasih sayang ini. Aku melihat betapa A-hai,
dalam keadaannya yang paling buas selagi kumat, masih juga mempunyai kelemahan dan tun-duk
terhadap perasaan suci itu. Dia mempunyai tanggapan tersendiri kepadamu. Ingatkah engkau
sewaktu dia berlutut di depanmu ketika dia ku-mat di pulau terlarang itu ? Dan tadi ? Dia begitu buas
dan mengerikan, akan tetapi terhadap engkau dia seperti seorang anak kecil yang lemah dan taat.
Maka, menurut dugaanku, hanya engkaulah seorang di dunia ini yang dapat mendekati hatinya
sewaktu dia kumat. Dengan senjata kasih sayang yang ada pada dirinya itu, engkau akan dapat
menundukkannya di waktu dia kumat dan menjadi buas. Akan tetapi bagaimanapun juga, engkau
adalah adikku. Aku tidak berani mengambil resiko yang terlalu besar. Sekali saja salah jalan, nyawamu
bisa melayang. Sewaktu dia kumat, akupun tidak mampu melindungi dirimu lagi. Dan lebih sukar
lagi, saat kumatnya itu demikian singkat sehingga tidak banyak waktu lagi untuk melakukan
penyelidikan"
Pada saat itu terdengar suara keluhan dan A-hai nampak menggeliat bangun.
"Koko, dia telah siumam"
dunia-kangouw.blogspot.com
A-hai bangkit duduk dan memandang ke ka-nan kiri dengan bingung. Melihat Bwee Hong dan Seng
Kun berada di situ, diapun bertanya heran, "Eh, apa yang telah terjadi ? Di mana pengero-yokpengeroyok
itu, di mana pula kereta kita ? Kita berada di manakah ?"
"Engkau pingsan dan kita bawa ke sini,"
kata Seng Kun membohong agar pemuda itu tidak banyak berpikir dan menjadi bingung.
A-hai masih bengong dan nampak termenung. Seolah-olah dia hendak mengingat sesuatu dan dia
merasa seperti mimpi, mimpi aneh. Mereka lalu melanjutkan perjalanan dan bermalam di sebuah
pondok tua yang tiada penghuninya lagi, di luar sebuah dusun kecil. Mereka membuat api unggun dan
Bwee Hong menangkap tiga ekor ayam hutan kemudian mereka makan daging ayam hutan panggang.
Setelah itu, mereka membuat api unggun dan sambil duduk mengelilingi api unggun mereka
ber-cakap-cakap.
"A-hai, sebenarnya, di manakah tempat ting-galmu, maksudku kampung halamanmu ?" Bwee Hong
bertanya, memancing dan mencoba kalau-kalau pemuda itu dapat mengingatnya.
A-hai menundukkan mukanya. "Entahlah, aku tidak ingat sama sekali. Nona tentu Sudah tahu bahwa
aku sudah lupa sama sekali tentang diriku, lupa siapa aku ini, siapa orang tuaku. Bagaimana aku tahu
di mana kampung halamanku ?"
"Akan tetapi engkau tentu masih ingat akan tempat-tempat yang kaukunjungi untuk yang pertama kali
dan yang terakhir kali, bukan ?"
"Tentu saja," jawab A-hai sambil tersenyum sedih. "Tempat yang terakhir adalah di sini, bu-kan ?" Dia
menepuk tanah di mana dia duduk dekat api unggun.
"Dan yang pertama kali kaukunjungi ? Yang masih kauingat pada pertama kalinya sesudah waktu
yang terlupakan olehmu itu, di manakah itu ?"
A-hai mengerutkan alisnya, seperti hendak menggali dalam benaknya ingatan-ingatan lama. Sampai
berkeringat wajahnya. Seng Kun memper-hatikan dan diam saja. Dia menyerahkan hal itu kepada
adiknya saja, akan tetapi dengan cermat dia memperhatikan wajah A-hai. Wajah itu kini berkeringat,
seolah-olah pekerjaan mengingat-ingat merupakan pekerjaan yang amat berat dan melelahkan
baginya.
"Sapi kuda kerbau domba ...... ah, pendeknya banyak ternak dan aku menggem balanya, di padang
rumput , benar, di padang rumput yang segar dan hijau."
"Padang rumput ? Menggembala ternak ?" Bwee Hong bertanya sambil saling pandang dengan kakaknya
"Benar, tempat itulah yang bisa kuingat, sampai kini. Lebih lama dari waktu itu aku tidak ingat lagi."
"Jadi saat engkau menjadi penggembala itulah saat terakhir yang dapat kauingat dan se-belum
saat itu engkau lupa?"
"Benar. Menjadi penggembala di padang rum-put itulah bagiku menjadi permulaan dari hidupku
sampai sekarang. Aneh, bukan ?" A-hai tersenyum getir.
Tiba-tiba Seng Kun meloncat bangun, diikuti oleh Bwee Hong, sedangkan A-hai tetap duduk saja,
tidak tahu bahwa kakak beradik itu telah mendengar suara orang datang ke tempat itu. Ba-rulah A-hai
memandang dengan kaget ketika melihat munculnya dua orang yang bukan lain, adalah Kwa Sun Tek
dan Malisang, diikuti oleh para perwira anak buah mereka. Kiranya setelah men-dapat teguran keras
dari Jenderal Lai, pemuda Tai-bong-pai ini mati-matian mencari jejak buronan mereka dan akhirnya
dapat menemukan tiga orang muda itu di situ. Biarpun Kwa Sun Tek sendiri merasa gentar melihat Ahai
yang masih enak-enak duduk di dekat api unggun, namun dia mengandalkan pasukannya dan
bertekad untuk menangkap kembali tiga orang itu.
Seng Kun dan Bwee Hong maklum bahwa menghadapi mereka ini tidak ada gunanya untuk banyak
cakap lagi, maka kakak beradik ini segera menerjang ke depan. Seng Kun menyerang Kwa Sun Tek
dunia-kangouw.blogspot.com
sedangkan Bwee Hong menandingi Mali-sang. Akan tetapi, beberapa belas orang perwira pengawal
ikut mengeroyok sehingga keadaan kedua orang kakak beradik ini sebentar saja terdesak hebat.
Celakanya, A-hai berada dalam keadaan normal sehingga seperti biasa, pemuda ini hanya
memandang dengan bingung saja.
Selagi dua orang kakak beradik itu terdesak hebat, tiba-tiba terdengar suara orang melengking
nyaring dan panjang dan nampak pula dua gulung sinar putih berkelebatan menyilaukan mata, disusul
patahnya senjata-senjata para pengeroyok dan robohnya beberapa orang di antara mereka. Muncullah
seorang pemuda gagah tampan berpakaian putih-putih yang mengamuk dengan sepasang
pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat.
"Yap-twako!.!" Bwee Hong berseru girang sekali ketika mengenal pemuda ini.
Kiranya yang datang adalah Yap Kiong Lee, pemuda lihai dari Thian-kiam-pang itu. Permain-an
pedangnya hebat bukan main dan ketika pemu-da itu akhirnya terjun ke dalam perkelahian membantu
Seng Kun dan Bwee Hong, pemuda Tai-bong-pai dan pembantunya si raksasa Mongol itupun
merasa kewalahan. Tiga orang pendekar ini mengamuk dan akhirnya para pengeroyok itu terpaksa
mundur. Kiong Lee lalu mengajak mereka melarikan diri. Seng Kun cepat menyambar lengan A-hai
dan diajaknya pemuda itu lari. Mereka menghilang di dalam kegelapan malam dan karena Kwa Sun
Tek merasa jerih terhadap pemuda yang memegang sepasang pedang, pengejaran yang
dilakukannya amat terlambat dan hanya seperti orang membayangi dari jauh saja.
Empat orang muda itu berlari terus dan setelah malam terganti pagi, baru mereka berhenti di tepi jalan
gunung. A-hai terengah-engah dan meng-omel panjang pendek. "Orang-orang tak berperikemanusiaan
itu ! Mengejar-ngejar dan hendak membunuh, membikin orang menjadi hidup tak aman
saja!" Dia menyusuti keringatnya dengan ujung lengan bajunya.
Seng Kun dan Bwee Hong menjura kepada Yap Kiong Lee. "Kami menghaturkan terima kasih atas
pertolongan Yap-twako sehingga kami dapat lolos dengan selamat."
"Ah, di antara kita, masih perlukah bersikap sungkan ?" jawab Yap Kiong Lee dengan seder-hana.
"Sungguh kemunculan Yap-twako selalu seperti seorang dewa penyelamat saja," kata Bwee Hong.
"Ketika aku terancam gelombang lautan, engkau muncul dan menyelamatkan aku, dan sekarang,
selagi kami dikurung dan didesak, engkau muncul pula menolong kami. Yap-twako, bagaimana engkau
bisa muncul di tempat ini ?"
Pendekar berpakaian putih itu menarik napas panjang. "Orang yang benar selalu dilindungi Thian.
Tentu kalian adalah orang-orang yang benar maka setiap kali terancam bahaya, ada saja yang
kebetulan datang membantu. Aku diutus oleh suhu lagi. Urusan apa lagi kalau bukan urusan siauwsute
yang nakal itu ? Dia telah kabur lagi dan sekali ini dia mengajak Ngo-sute Kwan Hok."
"Kwan Hok ?" Seng Kun berseru. "Ah, adikmu yang ke lima itu sekarang menjadi pemimpin para
pendekar yang melawan pemerintah daerah yang memberontak. Kami bersama dia kemarin dulu dan
kalau tidak salah dia dan kawan-kawannya akan menggabungkan diri dengan pasukan Liu-beng-cu."
"Apakah kalian tidak melihat siauw-sute Yap. Kim ?" tanya Yap Kiong Lee yang menjadi kaget dan
juga gembira mendengar keterangan itu.
"Tidak, kami tidak melihatnya."
"Aih, di mana lagi si bengal itu?" Kiong Lee termenung kesal. Ngo-sutenya telah diketahui kabarnya,
akan tetapi ternyata Ngo-sutenya itu berpisah dari Yap Kim. Gurunya memesan kepada-nya agar
menemukan sutenya itu. Negara sedang dalam keadaan ricuh, di mana-mana terjadi per-tempuran.
Kepandaian Yap Kim memang sudah cukup tinggi, akan tetapi wataknya yang aneh itu bisa
mencelakakan dirinya sendiri. Seperti peris-tiwa beberapa waktu yang lalu, sutenya itu gu-lung-gulung
dengan seorang dari Ban-kwi-to, yaitu Si Kelabang Hijau. Padahal semua orang di dunia kang-ouw
tahu belaka betapa jahatnya iblis-iblis Kepulauan Ban-kwi-to itu.
"Ngo-sutemu itupun tidak tahu ke mana per-ginya siauw-sutemu," kata Bwee Hong.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Biarlah, aku akan menemui Ngo-sute dulu, baru kami akan mencarinya. Kalian bertiga hendak pergi
ke manakah ?" tanya Kiong Lee.
"Kami hendak ke kota raja, menghadap sri baginda kaisar," kata Seng Kun singkat. Karena dia
percaya penuh kepada tokoh Thian-kiam-pang ini, maka diapun menceritakan bahwa dia diutus kaisar
untuk mencari Menteri Ho dan kini dia hendak melaporkan hasil penyelidikannya. "Bah-kan aku akan
bentangkan semua peristiwa yang aneh-aneh di daerah, tentang bersihnya perjuangan Liu-bengcu
dan palsunya para pejabat daerah yang bersekongkol dengan orang-orang asing dan mereka inilah
yang sebenarnya hendak membe-rontak."
"Ah, kalian terlambat!" kata Yap Kiong Lee.
"Apa maksudmu ?" tanya Seng Kun terkejut.
"Kaisar tidak berada di istana. Sudah sebulan lebih sri baginda tidak berada di istana." Pemuda
perkasa itu nampak ragu-ragu, menoleh ke kanan kiri, kemudian berkata dengan suara berbisik,
"Sebaiknya jangan memasuki istana dalam saat-saat ini. Berbahaya sekali. Sri baginda kaisar tidak
ada di istana, dan yang berkuasa adalah Perdana Menteri Li Su. Orang ini luar biasa palsu, kejam dan
liciknya. Beberapa hari yang lalu dia mengi-rimkan putera mahkota ke utara, ke tempat Jen-deral
Beng Tian memimpin pasukan yang ber-tempur melawan pemberontak."
Chu Seng Kun terkejut dan merasa heran. "Putera mahkota dikirim ke medan pertempuran ? Untuk
apa ?"
"Perdana Menteri Li Su mengirimkannya dengan dalih agar putera mahkota dapat menambah pengalaman
dan membantu Panglima Beng Tian. Akan tetapi, semua orang juga tahu bahwa dia hanya
ingin menyingkirkan putera mahkota sehingga dalam istana yang sedang kosong itu dia boleh
berkuasa sebebasnya tanpa pengganggu atau sa-ingan. Semua orang tidak berani menentang karena
sebagai perdana menteri, kalau sri baginda tidak ada, dialah yang paling berkuasa."
"Ah, tidak kusangka keadaan di istana sekacau itu !" kata Seng Kun penasaran.
Yap Kiong Lee menarik napas panjang. "Mudah dilihat bahwa negeri kita ini terancam malapetaka,
sebentar lagi tentu akan porak-poranda. Di luar istana keadaan begini kacau, penuh dengan pemberontakan
dan pejabat-pejabat daerah ingin berkuasa sendiri, orang-orang jahat mempergunakan
kesempatan untuk mencari keuntungan seba-nyaknya, di mana-mana terjadi perebutan keku-asaan.
Sedangkan di dalam istana sendiri sudah mulai nampak kericuhan. Semua orang yang tidak
disukainya, disingkirkannya dengan kekuasaannya, diganti kedudukan mereka dengan antek-anteknya.
Karena kekuasaan mutlak berada di tangan-nya, para menteri yang setia kepada kerajaan tidak
ada yang berani menentangnya."
"Apakah di istana tidak ada keluarga kerajaan yang dapat mempengaruhinya ?" tanya Bwee Hong.
"Tidak ada! Subo sendiri, yang masih sanak dekat, bibi dari sri baginda kaisar, sama sekali ti-dak
pernah mencampuri pemerintahan. Putera mahkota yang tahu akan urusan pemerintahan dikirim ke
garis depan pertempuran. Sedangkan putera-putera sri baginda yang lain masih kecil, sedangkan
puteri-puterinya tentu tak banyak dapat berdaya. Memang sebenarnya ada seorang pange-ran lagi
yang sudah dewasa, yaitu adik tiri putera mahkota. Akan tetapi dia jarang berada di istana. Tabiatnya
sangat jahat dan nakal. Sejak kecil sri baginda sendiri tidak menyukainya. Bahkan sri baginda selalu
dengan halus mengusahakan agar putera yang satu ini jangan berada di dalam istana."
"Eh, aku belum mendengar tentang hal ini!" kata Seng Kun heran. "Bagaimanakah dia sebagai
pangeran dianggap nakal dan tidak disukai oleh sri baginda yang menjadi ayahnya sendiri ?"
Entahlah, entah rahasia apa yang ada di balik kelahiran pangeran ini sebagai putera kaisar. Yang
jelas, dia nakal sekali, sejak kecil tidak me-nurut dan selalu membawa kemauan sendiri. Ka-barnya
sejak kecil dia suka mempelajari ilmu silat, dan melakukan hal-hal yang memalukan. Setelah besar
dia bergaul dengan orang-orang jahat, dan kalau di istana, kerjanya hanya mengganggu selir-selir
ayahnya dan mencuri benda-benda berharga dan pusaka-pusaka istana."
"Ihhh !" Bwee Hong berseru tak senang.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sri baginda kaisar tahu akan keadaan putera-nya yang lihai ilmu silatnya, maka sering diberi tugas
membasmi penjahat atau memadamkan pem-berontakan. Malah ketika terjadi pembantaian para
sasterawan yang menentang pembakaran ki-tab-kitab, karena takut kalau kalau para sastera-wan
dilindungi oleh para pendekar, sri baginda juga mengutus puteranya ini untuk mengepalai pasukan
dan melaksanakan pembantaian itu."
"Apakah dia lihai sekali ?" tanya Seng Kun, tertarik.
"Aku sendiri belum pernah bertemu dengannya, apa lagi bertanding. Dia putera kaisar, siapa be-rani
menentangnya ? Akan tetapi kabar angin mengatakan bahwa dia memang lihai bukan main,
mempelajari banyak macam ilmu silat, baik dari golongan putih maupun dari golongan hitam."
"Kalau dia begitu lihai, apa dia tidak dapat mempengaruhi perdana menteri ?" tanya Seng Kun.
Yap Kiong Lee tersenyum pahit dan menarik napas panjang. "Perdana Menteri Li Su orangnya cerdik
dan licik sekali. Pangeran itu kini memang berada di istana, akan tetapi dia dininabobokkan oleh
Perdana Menteri Li Su, setiap hari berpesta pora, bahkan dengan bantuan perdana menteri, wanita
manapun di istana, baik masih gadis mau-pun isteri pembesar lain, dapat saja diambilnya dan menjadi
permainannya. Nah, bukankah keadaan-nya amat berbahaya di istana ? Seolah-olah di sana
berkumpul binatang-binatang buas yang se-dang merajalela."
Seng Kun masih merasa penasaran. "Yap-twako, bukankah Menteri Kang dan para menteri lain yang
jujur, yang tadinya dipecat, kini telah bekerja kem-bali, kecuali Menteri Ho ? Bukankah mereka itu
merupakan sekumpulan menteri yang takkan ting-gal diam saja kalau Perdana Menteri Li Su bertindak
sewenang-wenang di istana ?"
Kiong Lee menghela napas. "Agaknya engkau belum tahu akan perkembangan selanjutnya setelah
para menteri yang jujur ditarik kembali. Keadaan di istana sudah berkembang sedemikian buruknya
sehingga setelah para menteri yang jujur itu kem-bali, kekuasaan pemerintahan menjadi terpecahbelah.
Mereka selalu bermusuhan, akan tetapi ka-rena fihak Perdana Menteri Li Su dan antek-anteknya
masih jerih terhadap wibawa sri baginda kaisar yang didukung oleh Jenderal Beng Tian sehingga
mereka tidak berani bersikap sewenang-wenang. Akan tetapi, kini Panglima Beng Tian sendiri repot
mengurus pemadaman pemberontakan di utara dan barat, sedangkan sri baginda juga pergi, maka
tentu saja keadaan menjadi berobah sama sekali."
"Ah, begitukah ?" Bwee Hong mengeluh.
Ia tahu bahwa ayahnya sendiri, ayah kandungnya, biarpun masih terhitung paman dari sri baginda
kaisar, namun kini ayahnya hanya menjadi seorang pendeta, kepala kuil yang tidak mempunyai kekuasaan,
maka tentu saja tidak berani menentang perdana menteri. "Bagaimana baiknya sekarang,
koko ?"
"Kalau keadaannya seperti itu, kita harus ber-hati-hati. Kita tetap ke kota raja, akan tetapi kita harus
masuk pada malam hari. Kita melihat-lihat dulu suasana di sana. Yap-twako, terima kasih atas semua
keteranganmu yang amat berharga ini. Dan kalau engkau hendak mencari ngo-sutemu itu, sebaiknya
kalau engkau pergi ke bukit di mana kami saling berpisah. Kalau tidak ada, berarti dia sudah pergi
membawa kawan-kawannya bergabung dengan pasukan besar Liu-bengcu."
Yap Kiong Lee menggeleng kepala "Suteku itu benar-benar gegabah sekali. Ini tentu akibat
kebengalan siauw-sute. Ibu kandung siauw-sute adalah seorang wanita bangsawan istana, dia sendiri
masih berdarah keluarga kerajaan, masih sau-dara misan dengan sri baginda kaisar, akan tetapi
sekarang dia malah bergabung dengan musuh ke-rajaan. Bukankah itu luar biasa sekali ?"
"Mengapa dunia begini kacau ?" Tiba-tiba A-hai yang sejak tadi termenung saja mendengar-kan, kini
membuka mulut. "Orang-orang kaya saling memperebutkan harta, orang-orang berpang-kat saling
memperebutkan kedudukan, orang-orang berilmu saling bersaing mengadu kepintaran se-hingga
dunia menjadi tidak aman dan kacau! Alangkah bahagianya menjadi orang yang tidak memiliki apaapa,
tidak berpangkat apa-apa dan tidak punya ilmu apa-apa kalau begitu !"
Tiga orang pendekar itu termangu mendengar ucapan seorang yang dianggap sinting ini karena
ucapan itu begitu tepat seperti ujung pedang me-nusuk jantung, membuat mereka tak mampu menjawab
karena memang seperti itulah keadaannya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kita tinggalkan dulu mereka yang saling ber-pisah, yaitu Kiong Lee pergi mencari sute-sutenya dan
Seng Kun bersama Bwee Hong dan A-hai pergi menuju ke kota raja. Mari kita melihat kea-daan Liu
Pang dan muridnya, H o Pek Lian.
Seperti telah kita ketahui, Liu Pang dengan pasukannya yang dibantu oleh banyak petani dan rakyat
jelata, telah berhasil menduduki kota Lok-yang. Lia Pang tidak tinggal diam di kota itu, melainkan
setelah memberi waktu cukup bagi pasukannya untuk beristirahat dan setiap hari mengadakan
latihan-latihan untuk memperkuat barisannya, diapun menggerakkan pasukan itu ke utara.
Pasukannya bergerak menyeberangi Sungai Huang-ho dan berkemah di lembah utara sungai besar
itu, bermaksud untuk mulai menyerang memasuki Propinsi Shan-si.
Propinsi Shan-si merupakan propinsi yang lu-as dan jalan menuju ke kota raja yang berada di sebelah
barat, yaitu di Propinsi Shen-si. Lok-yang merupakan ibu kota ke dua setelah kota raja Tiang-an.
Sebenarnya, untuk menuju ke Tiang-an dari Lok-yang tidak perlu menyeberangi Sungai Huang-ho,
akan tetapi ini merupakan siasat dari Liu Pang. Dia ingin menyerbu dari utara dengan jalan
menggunakan Sungai Wei-ho yang menjadi cabang Sungai Huang-ho. Kebetulan Sungai Wei-ho
mengalir di tepi kota Tiang-an. Sebagian pula dia kerahkan melalui darat sehingga kota raja akan
dapat terkepung dari berbagai jurusan.
Untuk keperluan ini, dia sengaja memecah pasukannya yang jumlahnya mencapai belasan ribu itu
menjadi beberapa kelompok. Setiap kelompok dipimpin orang-orang kepercayaannya, termasuk pula
pemuda tampan yang baru saja menjadi pengawal pribadinya. Pemuda ini memimpin seribu orang
perajurit pilihan yang kesemuanya diambil dari para pendekar silat. Tugas pasukan ini adalah
mengawal dan membantu Liu Pang dalam gelanggang pertempuran. Di dalam pasukan ini terdapat
pula Pek Lian.
Setelah membagi-bagi barisannya, Liu. Pang memberi mereka waktu untuk beristirahat dan menyusun
kekuatan. Diapun ingin melakukan pe-nyelidikan terlebih dahulu dan untuk tugas ini, dia
sendiri yang pergi bersama Pek Lian dan pengawal pribadinya yang baru. Karena pengawal baru ini
selalu merahasiakan riwayat dan asal-usulnya, maka Liu Pang memberi dia julukan Bu Beng II an
(Pahlawan Tanpa Nama) dan menyebutnya Bu Beng (Tanpa Nama) saja; Pemberian nama ini
diterima dengan gembira oleh si pemuda tampan.
Berangkatlah mereka bertiga, Liu Pang, Pek Lian dan Bu Beng dengan penyamaran sebagai petanipetani
biasa. Mereka segera melakukan perjalanan menuju ke kota Sian-cung yang letaknya di
perbatasan antara Shan-si dan Shen-si, di lembah Sungai Huang-ho. Di sepanjang perjalanan,
mereka melihat suasana yang menyedihkan. Kampung-kampung dan dusun-dusun sunyi dan rusak,
ditinggalkan penghuninya karena perang. Kalau toh ada penghuni-penghuni kampung karena mereka
tidak ada tempat lain untuk mengungsi, keadaan mereka amat menyedihkan. Diganggu oleh
perampok-perampok, hasil sawah ladang merekapun kadang-kadang dihabiskan pasukan atau
perampok-perampok. Tubuh mereka kurus kering dan banyak yang menderita busung lapar! Pasukan
pemerintah daerah yang kalah perang dan mundur, melalui dusun-dusun ini dan mereka itu tiada
ubahnya perampok-perampok liar, bahkan lebih ganas karena mereka itu agaknya hendak
membalaskan kekalahan mereka kepada para petani dusun. Liu Pang adalah pemimpin para petani,
pikir mereka, oleh karena itu, mereka melampias-kan dendam kepada para petani dusun.
Ketika malam tiba, mereka bertiga terpaksa bermalam di sebuah dusun yang hampir kosong-kosong.
Rumah-rumah rusak ditinggalkan peng-huninya, dan kalau ada beberapa orang yang ma-sih tinggal di
rumahnya, pintu-pintu rumah itu tak pernah dibuka. Liu Pang mengajak pengawal dan muridnya untuk
mendiami sebuah ramah ko-song. Mereka membawa perbekalan dan setelah memasang beberapa
batang lilin, mereka makan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal. Un-tuk menghalau nyamuk
dan dingin, mereka mem-buat api unggun.
Liu Pang dan Pek Lian sudah duduk untuk beristirahat. Mereka melihat Bu Beng Han berdiri
termenung di ambang pintu. Pemuda itu meman-dang keluar, ke arah kegelapan dan nampak termangu-
mangu. Liu Pang berbisik kepada mu-ridnya.
"Nona Ho, kau carilah air di belakang dan bu-atlah minuman teh sekedar pengusir rasa haus. Aku
ingin bercakap-cakap dengan Bu Beng. Nampaknya ada sesuatu yang dirisaukannya." Liu Pang lalu
bangkit dan menghampiri Bu Beng Han. Pek Lian sendiri lalu keluar dari dalam pondok itu melalui
pintu belakang untuk mencari air.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan cerdik Liu Pang mengajaknya duduk di luar pondok, di atas akar-akar pohon yang me-nonjol
di permukaan tanah. Mula-mula Liu Pang mengajaknya bicara tentang gerakan mereka, ten-tang
dusun-dusun yang ditinggalkan para peng-huninya, tentang para pembesar daerah yang bersekongkol
dengan pasukan asing. Semua itu dila-yani oleh Bu Beng dengan penuh semangat. Akan
tetapi ketika Liu Pang membelokkan percakapan ke arah dirinya, pemuda itu terdiam.
"Bu Beng, aku melihat engkau sebagai seorang pendekar gagah perkasa, juga seorang patriot yang
sejati. Di antara kita yang seperjuangan ini kira-nya sudah tidak ada rahasia lagi. Akan tetapi
mengapa engkau tetap merahasiakan dirimu ? Bu-kan berarti aku tidak percaya kepadamu, akan tetapi
kalau engkau berterus terang dan aku menge-tahui asal-usulmu, betapa baiknya hal itu dan betapa
leganya hatiku. Apa lagi kalau saja aku da-pat membantumu mengatasi kerisauan yang mengganggu
hatimu, aku akan senang sekali."
Pemuda itu menjura dan menarik napas pan-jang. "Maafkan saya, bengcu. Akan tetapi, belum
saatnya bagi saya untuk menceritakan keadaan keluarga saya. Terus terang saja, saya datang dari
keluarga yang tidak berbahagia sama sekali, biar-pun ayah dan ibu saya sangat mencinta saya. Mereka
mendidik ilmu silat secara amat keras kepada saya sehingga saya hampir-hampir tidak ada waktu
untuk bermain-main dan beristirahat. Kadang-kadang saya merasa bosan sendiri dan ingin lari saja.
Akan tetapi, kakak saya selalu menasihati saya dengan lemah-lembut dan penuh kasih sa-yang.
Bagaimanapun juga, setelah dewasa, hati saya memberontak dan larilah saya meninggalkan
mereka."
Liu-bengcu mengangguk-angguk. "Ah, begi-tukah ? Akan tetapi, kepandaian silatmu demikian tinggi,
tentu engkau datang dari keluarga yang luar biasa. Tingkat kepandaian kakak dan orang tuamu tentu
tinggi bukan main !"
Bu Beng Han tersenyum pahit. "Bengcu sung-guh terlalu memuji. Kepandaian kami sekeluarga tidak
sedemikian hebat. Memang, apa bila diban-dingkan dengan kakak serta ayah, kepandaian saya
mungkin hanya separahnya saja. Soalnya, sebagian besar ilmu silat yang saya pelajari, kakak
sayalah yang melatih dan membimbingnya."
"Ahh?" Liu Pang berseru kagum. "Kalau begitu, tentu kakakmu itu lihai sekali!"
"Kakakku itu " Tiba-tiba Bu Beng menghentikan kata-katanya dan berbisik," saya mendengar
gerakan orang dari jauh, harap bengcu bersembunyi dan beri tahu nona Ho 1"
Liu Pang juga sudah mendengarnya dan sekali bergerak dia sudah melompat ke dalam pondok dan
memadamkan lilin. Akan tetapi Pek Lian tidak nampak, agaknya belum kembali mencari air. Ke-tika
dia mendengar gerakan orang-orang di depan pondok, cepat dia mengintai dan terkejutlah pen-dekar
ini melihat bahwa Bu Beng kini telah berdiri berhadapan dengan dua orang yang berpakaian perwira.
Liu Pang mengenal mereka. Pemuda Tai-bong-pai yang amat lihai dan pemimpin pasukan asing yang
bertubuh raksasa dan berambut putih itu. Dua orang lawan yang lihai bukan main.
"Engkau tentu mata-mata, lebih baik menye-rah !" bentak pemuda Tai-bong-pai itu.
"Boleh kaucoba menangkapku !" Bu Beng meng-ejek. Kwa Sun Tek marah sekali dan diapun sudah
menubruk dengan kecepatan kilat.
"Wuuuttt !" Dengan langkah ringan Bu
Beng Han mengelak dan tubrukan itu hanya me-ngenai angin kosong belaka. Marahlah Kwa Sun Tek.
Dia merasa dipermainkan dan kini dia me-nyerang lagi, bukan untuk menangkap melainkan untuk
memukul. Padahal, pukulan pemuda Tai-bong-pai ini amat dahsyat dan jarang ada orang mampu
bertahan kalau terkena pukulannya yang selain amat kuat juga mengandung hawa beracun itu.
Melihat pukulan yang demikian ampuhnya, Bu Beng Han mengerahkan tenaganya menangkis.
"Desss !" Dua tenaga raksasa bertemu dan
akibatnya Bu Beng Han terjengkang dan untung dia memiliki kegesitan sehingga dia mampu berjungkir
balik sebelum tubuhnya terbanting. Akan tetapi Kwa Sun Tek juga terdorong mundur tiga
langkah. Tahulah pemuda Tai-bong-pai itu bahwa orang yang disangkanya mata-mata ini ternyata
dunia-kangouw.blogspot.com
memiliki kepandaian tinggi. Dia mengerti bahwa anak buah pasukan Liu Pang memang ba-nyak yang
lihai.
"Bagus, engkau jelas mata-mata !" bentaknya dan kini dia menyerang dengan sungguh-sungguh,
menggunakan pukulan mujijat yaitu Ilmu Pukulan Penghisap Darah! Bu Beng Han melawan dengan
pengerahan tenaga dan kepandaiannya, akan tetapi setelah lewat tigapuluh jurus, dia merasa lengannya
sakit-sakit dan ternyata ada sedikit butiran-butiran darah keluar dari kulit kedua lengannya.
"Ih, ilmu setan!" teriaknya dan diapun cepat mempergunakan kegesitannya menghindarkan beradunya
lengannya dengan lengan lawan. Kwa Sun Tek tertawa bergelak dan mendesak terus.
"Hemm. buang-buang waktu saja !" kata Ma-lisang melihat betapa Kwa Sun Tek seperti hendak
mempermainkan lawan dan memamerkan kepandaian, kemudian raksasa inipun menerjang maju
membantu Kwa Sun Tek! Tentu saja Bu Beng Han menjadi semakin repot. Menghadapi pemuda Taibong-
pai itu seorang diri saja dia sudah ke-walahan, apa lagi kini dikeroyok.
Melihat ini Liu Pang meloncat keluar dan me-nyerang Malisang dengan pukulan-pukulan maut.
Raksasa ini terkejut dan menangkis dan merekapun sudah berkelahi dengan mati-matian. Keadaan
mereka payah. Bu Beng Han terdesak hebat dan Liu Pang ternyata tidak mampu mendesak lawannya
yang bertenaga gajah itu. Dia telak dapat mempergunakan pedangnya karena dalam penyamaran
sebagai petani, dia harus meninggalkan pedang. Padahal, Liu Pang adalah seorang pende-kar
pedang yang kelihaiannya menurun separuh lebih tanpa pedang.
"Kita harus lari !" teriak Liu Pang kepada pem-bantunya.
Akan tetapi pada saat itu Malisang berseru, "Ha-ha, engkau adalah Liu Pang, si pemberontak ! Ha-haha,
Kwa-taihiap, kita untung besar, dapat kakap tanpa pengawal di sini !"
Mendengar ini, Kwa Sun Tek memandang cer-mat dan diapun terkejut, juga girang ketika me-ngenal
petani itu. "Benar, tahan dia Malisang, jangan sampai lolos !"
"Bu Beng, lari melalui pintu belakang!" teriak pula Liu Pang dan diapun sudah melompat ke
belakang, memasuki rumah kosong itu. Bu Beng mengelak dari sebuah pukulan maut, juga melon-cat
ke dalam rumah. Akan tetapi dua orang lawan mereka juga meloncat mengejar dan demikian cepatnya
gerakan Kwa Sun Tek sehingga sebelum Bu Beng Han sempat mengelak, punggungnya telah
kena tamparan tangan Kwa Sun Tek.
"Plakkk ! !" Tubuh pemuda itu terkapar ke tengah ruangan, hampir menabrak tiang rumah itu.
Jilid XXII
LIU-TWAKO, cepat lari!" Tiba-tiba dia berteriak. Bagi para anggauta pasukan Liu Pang, pemimpin ini
hanya memiliki dua sebutan, yaitu bengcu (ketua / pemimpin) atau twako (ka-kak). Setelah berteriak
demikian, biarpun dia ter-luka dalam, Bu Beng Han mengumpulkan seluruh tenaganya dan dia
meloncat menghantam tiang rumah itu.
"Braakkkkkk !" Tiang patah dan atap rumah itu runtuh, menimbulkan suara hiruk-pikuk.
Namun, perbuatan Bu Beng Han yang nekat itu ternyata berhasil. Karena takut tertimpa atap yang
ambruk, tentu saja Kwa Sun Tek dan Mali-sang berloncatan pergi menyelamatkan diri dan
kesempatan ini dipergunakan oleh Liu Pang dan Bu Beng Han untuk melarikan diri ke dalam kegelapan
malam. Tentu saja Kwa Sun Tek dan Malisang tidak mau tinggal diam dan mereka melakukan
pengejaran sambil mengerahkan anak buahnya. Akan tetapi dua orang pendekar itu su-dah
menghilang ke dalam sebuah hutan yang gelap di luar dusun itu. Melakukan pengejaran terhadap
dunia-kangouw.blogspot.com
orang-orang yang memiliki ilmu silat selihai Liu-bengcu dan pemuda tampan itu berarti mengun-dang
bahaya maut kalau hal itu dilakukan di dalam hutan yang amat gelap, maka terpaksa Kwa Sun Tek
hanya melakukan pencarian dengan hati-hati nekali, tidak tergesa-gesa sehingga dia dan ka-wankawannya
tertinggal jauh dan kehilangan jejak buruannya.
Pada keesokan harinya, Liu Pang sudah keluar dari dalam hutan itu, menggandeng lengan Bu Beng
Han yang menderita luka cukup parah aki-bat pukulan yang dilontarkan oleh tokoh Tai-bong-pai itu.
"Gila, dia memiliki pukulan-pukulan iblis !" Bu Beng Han mengomel.
"Tentu saja, dia adalah seorang tokoh Tai-bong-pai. Untung engkau masih dapat bertahan terhadap
pukulan mautnya, Bu Beng."
"Liu-twako, di manakah nona Ho ?" Bu Beng Han bertanya dengan khawatir.
"Entahlah. Malam tadi ia pergi mencari air. Akan tetapi ia cukup cerdik dan berpengalaman, tentu ia
dapat menjauhkan diri dari pasukan mu-suh itu. Nanti saja kita mencarinya. Sekarang yang terpenting
kita harus dapat menyelamatkan diri karena engkau terluka. Ssstt, ada pasukan datang !" Liu Pang
menarik lengan pemuda itu dan mereka menyusup ke dalam semak-semak di balik pohon besar,
bersembunji sambil mengintai.
Baru lega dan giranglah hati kedua orang ini ketika melihat bahwa yang datang bukanlah pasu-kan
musuh, melainkan sepasukan orang gagah yang dipimpin oleh seorang pria gagah perkasa yang
bersenjatakan sepasang pedang. Liu Pang masih berhati-hati karena belum mengenal mereka, akan
tetapi begitu melihat pria bersenjata sepasang pedang itu, Bu Beng Han segera keluar dari tempat
persembunyiannya dengan wajah berseri-
"Ngo-suheng !" serunya girang.
Pria berpedang sepasang itu menoleh dan ter-kejut, akan tetapi wajahnya berseri dan diapun
meloncat mendekati.
"Kim-sute! Kau di sini?" Alisnya berkerut ketika dia melihat wajah sutenya. "Eh,
Kim-sute, engkau kenapakah ? Terluka ?"
Bu Beng Han yang ternyata adalah Yap Kim putera Yap-lojin ketua Thian-kiam-pang itu mengangguk
lemah. "Aku terluka oleh pukulan iblis dari seorang tokoh Tai-bong-pai."
Sementara itu, Liu Pang juga keluar dari tempat sembunyinya. Yap Kim segera memperkenalkan ngosuhengnya
kepada pemimpin itu. "Liu-twako, ini adalah suheng saya yang ke lima bernama Kwan
Hok. Ngo-suheng, inilah Liu-twako, pemimpin para pendekar yang terkenal itu."
Tentu saja Kwan Hok girang bukan main, juga bangga dapat bertemu dan berkenalan dengan orang
yang selama ini amat dikaguminya sebagai seorang gagak perkasa yang berjiwa pahlawan itu,
"Hemm, apakah sekarang engkau masih saja hendak menyembunyikan keadaanmu dariku ?" tanya
Liu Pang kepada Yap Kim setelah dia mem-balas penghormatan Kwan Hok dan kawan-kawan-nya.
Yap Kim menghela napas panjang. Kini meli-hat betapa ngo-suhengnya malah menjadi pemim-pin
sepasukan pendekar, dia merasa tidak perlu lagi menyembunyikan keadaan dirinya. "Terus te-rang
saja, Liu-twako, ayahku adalah ketua Thian-kiam-pang."
"Ah, kiranya putera Yap-lojin yang lihai itu !" Liu Pang berseru girang sekali. Kini orang-orang Thiankiam-
pang membantu perjuangannya, sungguh membesarkan hati sekali.
Apa lagi ketika mendengar pengakuan Kwan Hok bahwa para pendekar yang dipimpin murid Thiankiam-
pang ini memang sedang mencarinya untuk menggabungkan diri, hati Liu-bengcu men-jadi
girang sekali. Akan tetapi, pada waktu itu, Yap Kim terluka cukup parah, maka terpaksa me-reka lalu
pergi ke tebing-tebing Sungai Huang-ho yang terjal untuk menyembunyikan diri. Sampai malam tiba,
fihak musuh yang melakukan pengejaran belum nampak dan mereka mengaso di te-bing sungai. Yap
Kim mengobati dirinya dengan bersamadhi, menghimpun hawa murni dan suheng-nya bercakapdunia-
kangouw.blogspot.com
cakap dengan Liu Pang. Ternyata banyak hal penting dapat diceritakan oleh Kwan Hok kepada
pemimpin ini, mengenai kedudukan pasukan musuh.
"Di dalam kota Sian-cung itu terdapat pasukan pilihan dari kota raja yang dipimpin oleh Jenderal Lai.
Akan tetapi, antara pasukan Jenderal Lai dari kota raja dan pasukan-pasukan kepala daerah terdapat
rasa tidak akur dan saling mencurigai. Dan hendaknya Liu-bengcu ketahui bahwa di dalam pasukan
kepala daerah itu terdapat dua orang per-wiranya yang memiliki kepandaian seperti iblis." Demikian
antara lain Kwan Hok bercerita.
"Tidak salah ! Kami malah sudah bertemu dan bentrok dengan dua orang itu. Yang melukai su-temu
justeru adalah seorang di antara mereka, ya-itu tokoh Tai-bong-pai, sedangkan yang seorang lagi
bertubuh raksasa. Aku merasa curiga dan menduga bahwa dia itu tentulah orang asing yang
bersekongkol dengan pasukan daerah. Dua orang itulah bersama pasukannya yang mengejar-ngejar
kami berdua, padahal muridku sendiri masih belum
ketahuan ke mana perginya "
Tiba-tiba terdengar sorak sorai dan muncullah Kwa Sun Tek dan Malisang, diikuti oleh pasukan-nya
yang terdiri dari duapuluh orang pilihan yang
menjadi anak buah Malisang. Ternyata mereka ini telah mengurung tempat itu dan kini melakukan
penyerbuan serentak.
Tentu saja Kwan Hok dan kawan-kawannya segera melakukan perlawanan. Liu Pang dan Kwan Hok
segera bergerak maju mengeroyok Malisang yang lihai itu, bahkan Yap Kim biarpun sudah terluka,
masih membantu suhengnya untuk menge-royok kakek raksasa itu. Biarpun dikeroyok oleh tiga
orang, Malisang mengamuk dan sepak terjang-nya memang menggiriskan. Pukulan-pukulannya
seperti halilintar menyambar, dan lebih berbahaya lagi adalah cengkeraman kedua tangannya yang
besar dengan lengan yang panjang itu. Sekali ter-kena cengkeraman itu, jangan harap dapat terlepas!
Sementara itu, Kwa Sun Tek mengamuk dan kasihanlah para pendekar yang mengeroyoknya,
menjadi korban dari pukulan iblisnya. Banyak pendekar terkapar dengan kulit tubuh berbintik-bintik
darahnya sendiri, dan bau hio menyengat hidung. Bau ini keluar dari keringat Kwa Sun Tek dan dalam
keadaan seperti itu, tokoh Tai-bong-pai ini berada dalam puncak keganasannya. Agak-nya, para
pendekar itu tentu akan tewas semua di tangan Kwa Sun Tek kalau saja pada saat itu tidak muncul
sesosok bayangan yang meluncur dengan cepat. Begitu tiba, dua orang anak buah Kwa Sun Tek
terjungkal dan kini bayangan itu menerjang Kwa Sun Tek, sedangkan bayangan kedua yang bertubuh
ramping juga sudah menerjang, Mali-sang, membantu Liu Pang dan kawan-kawannya.
"Ngo-sute ! Siauw-sute !" Bayangan
pertama berseru girang ketika mengenal dua orang adik sepergmuan itu. Kiranya dia adalah Yap
Kiong Lee yang gagah perkasa, murid utama dari ketua Thian-kiam-pang dan merupakan tokoh muda
yang paling lihai dari perguruan itu. Ada-pun orang ke dua yang datang adalah Ho Pek Lian yang
dengan bantuannya membuat Malisang agak repot juga karena dikeroyok empat. Sementara itu, anak
buah Kwa Sun Tek digempur oleh para pendekar sehingga terjadilah pertempuran yang amat seru di
lembah sungai yang bertebing tinggi itu.
Yang paling seru dan hebat adalah perkelahian antara Song-bun-kwi (Iblis Berkabung) Kwa Sun Tek
melawan Yap Kiong Lee. Keduanya adalah keturunan datuk-datuk persilatan yang amat hebat
kepandaiannya. Kwa Sun Tek sebagai putera ke-tua Tai-bong-pai tellah mewarisi ilmu-ilmu kesaktian
peninggalan dari datuk Cui-beng Kui-ong pendiri Tai-bong-pai dan dia telah mengua-sai ilmu-ilmu
Pukulan Sakti Penghisap Darah, Ilmu Pukulan Mayat Hidup dan memiliki pula te-naga sakti Asap Hio
yang membuat keringatnya berbau dupa harum.
Akan tetapi lawannya, Yap Kiong Lee, meru-pakan ahli waris dari datuk Sin-kun Bu-tek datuk
pendekar dari utara itu. Selain telah mewarisi ilmu kesaktian Thian-hui Khong-ciang (Tangan Kosong
Api Langit) dan Hong-i Sin-kun (Silat Sakti Angin Puyuh), juga pemuda ini adalah ahli ilmu pedang
pasangan dari Thian-kiam-pang! Kini, karena bertemu lawan tangguh, keduanya menge-luarkan ilmuilmu
simpanan mereka dan terjadilah perkelahian dahsyat dan mengerikan. Beberapa orang pendekar
dunia-kangouw.blogspot.com
yang mencoba memasuki gelang-gang perkelahian mereka, cepat mundur dan ada yang terjengkang
dengan darah berbintik-bintik merembes keluar melalui pori-pori kulit lengan mereka ! Juga fihak anak
buah Kwa Sun Tek yang berani mendekat, tersambar hawa pukulan Api Langit dan merekapun
terkapar dengan muka go-song terbakar!
Hawa pukulan yang keluar dari kedua tangan Yap Kiong Lee memang hebat. Mengeluarkan ha-wa
panas dan seperti meledak-ledak, menggetar-kan keadaan sekelilingnya. Setiap kali lengannya
bertemu dengan lengan Kwa Sun Tek, keduanya tergetar hebat dan keduanya terpental. Ternyata
tenaga mereka seimbang dan mereka saling serang, saling desak dengan mati-matian.
Koksu atau pemimpin suku liar Mongol itu, si raksasa Malisang, kini harus memeras keringat
menghadapi pengeroyokan empat orang setelah Pek Lian maju. Melihat betapa Yap Kim yang terluka
parah maju, tadi Liu Pang diam saja karena memang lawannya amat tangguh. Akan tetapi melihat
ada Pek Lian yang datang membantu, Liu Pang berseru agar Yap Kim mundur karena perkelahian
amat membahayakan dirinya. Akan tetapi, pemuda ini amat pemberani dan berhati baja, maka
biarpun diteriaki agar mundur, tetap saja dia melanjutkan pengeroyokannya. Repotlah Malisang oleh
penge-royokan empat orang ini. Terutama sekali pedang dari Kwan Hok dan Liu Pang amat
merepotkan dirinya. Kwan Hok telah membagi pedangnya, menyerahkan sebatang dari sepasang
pedangnya kepada pemimpin ini.
Sementara itu, pertempuran yang terjadi antara para pendekar melawan pasukan pengawal Kwa Sun
Tek juga makin memuncak. Ramai dan seru-Akan tetapi, makin lama makin nampak bahwa pa-ra
pendekar dapat mendesak musuh. Banyak anak buah pasukan musuh roboh dan terbunuh. Perkelahian
antara Yap Kiong Lee dan Kwa Sun Tek juga sudah mencapai puncaknya dan sedikit demi
sedikit Kiong Lee mulai dapat mendesak lawannya. Kwa Sun Tek melawan dengan gigih dan
keduanya sudah mengerahkan seluruh tenaga dan mengelu-arkan semua ilmu simpanan mereka.
"Hiaaaatttt !" Suara lengkingan nyaring keluar dari tenggorokan Kiong Lee ketika pemuda ini
menangkis pukulan lawan sambil membarengi melontarkan sebuah tendangan kilat dengan kaki
kirinya.
"Desss !" Kaki itu tepat menghantam pinggang dan tubuh Kwa Sun Tek terlempar ke belakang,
menghantam sebatang pohon dengan amat kerasnya. Pohon itu tumbang seketika ! Akan tetapi,
dengan cekatan Kwa Sun Tek dapat meloncat bangun, tubuhnya bergoyang-goyang dan dari hidung
serta mulutnya keluarlah darah segar. Dia telah terluka cukup parah oleh tendangan kilat tadi.
Akan tetapi Kiong Lee merasa betapa kaki ki-rinya nyeri sekali. Cepat dia mengeluarkan sebu-tir pel
yang segera ditelannya, kemudian memerik-sa kakinya. Ternyata sepatunya ada tanda-tanda darah
dan ketika dia membukanya, nampaklah da-rah merembes keluar dari pori-pori kakinya sam-pai
sebatas mata kaki kirinya. Kiong Lee merasa ngeri juga. Lawannya benar-benar memiliki ilmu yang
menyeramkan.
Pada saat itu, terdengar sorak-sorai dari keja-uhan. Seorang pendekar datang berlari-lari dan berkata
kepada Liu Pang yang masih mendesak si raksasa Malisang, "Liu-bengcu, pasukan, pe-merintah di
bawah pimpinan Jenderal Lai datang !"
Tentu saja para pendekar terkejut dan kecewa mendengar ini. Mereka sudah hampir berhasil
menguasai keadaan dan mengalahkan musuh, akan tetapi sekarang datang barisan yang dipimpin
oleh Jenderal Lai. Tentu saja mereka tidak berani menghadapi ancaman pasukan besar itu. Liu Pang
lalu menganjurkan para pendekar untuk melarikan diri. Malisang dan Kwa Sun Tek tidak berani mengejar,
karena selain anak buah mereka banyak yang sudah tewas, juga keadaan Kwa Sun Tek yang
sudah terluka parah itu tidak memungkinkan pe-muda ini untuk bertanding lagi.
Liu Pang lalu mengajak semua orang untuk melarikan diri kembali ke perkemahan pasukannya, di
lembah Huang-ho. Mereka disambut oleh pa-sukan pendekar dan Liu Pang lalu memperkenalkan Yap
Kiong Lee dan Kwan Hok, dua orang murid Thian-Idam-pang itu, kepada para pembantunya. Semua
orang menjadi kagum terhadap Kiong Lee ketika mendengar betapa pemuda perkasa ini mampu
menandingi bahkan mengalahkan tokoh Tai-bong-pai yang memiliki ilmu penghisap darah yang
mengerikan itu.
Kiong Lee segera mengobati Yap Kim, ditung-gui oleh Kwan Hok. Dia menegur Yap Kim dengan
halus. Seperti biasa, Yap Kim diam saja dan hama menunduk, merasa bahwa dia memang bersalah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi ketika kakak angkat yang juga menja-di kakak seperguruan yang membimbingnya dalam
ilmu silat itu mengajaknya pulang, dia menolak keras. "Tidak, twako. Aku tidak mau pulang ke rumah
yang sunyi membosankan itu. Aku tidak mau bertemu dengan ayah yang selalu mengasing-kan diri di
tempat samadhinya. Aku tidak mau bertemu dengan ibu yang selalu berdiam di istana membantu
kaisar lalim itu. Ibu selalu bersahabat dengan pembesar-pembesar lalim penindas rak-yat. Aku ingin
bersama kawan-kawan berjuang di antara rakyat. Kalau twako memaksa aku pu-lang, lebih baik
engkau bunuh sajalah aku !"
Mendengar ucapan sutenya ini, Kiong Lee ter-mangu-mangu. Di dalam hatinya dia harus meng-akui
bahwa apa yang diucapkan oleh adiknya itu memang benar. Gurunya seperti sudah mengasing-kan
diri dari dunia ramai, kerjanya hanya bersa-madhi saja di dalam kamarnya. Sedangkan subo-nya
bahkan telah memisahkan diri dari suhunya, subonya begitu ambisius untuk menjadi tokoh istana. Dia
dapat mengerti bagaimana perasaan Yap Kim sebagai putera tunggal dari ayah dan ibu yang saling
berpisah dan saling bertolak belakang itu. Dia sendiripun, yang hanya menjadi murid utama dan
putera angkat, kadang-kadang juga merasakan kepahitan kenyataan ini.
Sementara itu, di bagian belakang perkemahan pusat, Liu Pang juga bercakap-cakap dengan
muridnya. Dia ingin sekali tahu apa yang telah terjadi dengan muridnya yang tiba-tiba menghi-lang
kemudian secara mendadak muncul pula ber-sama Yap Kiong Lee.
"Suhu, kita semua harus berterima kasih kepa-da Yap-twako. Tanpa ada dia yang turun tangan,
agaknya kita semua sukar untuk menyelamatkan diri. Aku sendiripun tentu akan celaka kalau tidak
ada dia yang menolong."
Dara itu lalu menceritakan pengalamannya malam itu. Seperti kita ketahui, ia disuruh oleh Liu Pang
untuk mencari air dan membuat minuman teh. Ketika ia pergi ke belakang rumah, ke sebuah sumur
yang agak jauh terpencil di tempat sunyi dan selagi ia hendak menimba air tiba-tiba ia dikejutkan oleh
bayangan orang berkelebat. Ia mengangkat muka dan kiranya di situ telah mun-cul seorang laki-laki
bertubuh kecil pendek, ber-pakaian mewah dan tangannya memegang sebatang cambuk. Biarpun
cuaca hanya diterangi oleh bulan sepotong, namun Pek Lian segera mengenal orang itu. Dia
mengenal laki-laki bertubuh pendek kecil bermata sipit yang duduk di pagar sumur itu. Si cebol itupun
memandang tajam lalu tersenyum menyeringai.
"Hi-hi-hik, kita bertemu lagi, nona manis! Ternyata dunia ini tidak begitu luas lagi, hi-hi-hik! Di
manakah kawan-kawanmu yang cantik-cantik itu ?" Suaranya juga kecil mencicit seperti suara tikus.
Pek Lian bergidik dan teringat akan barisan tikus di lorong-lorong bawah tanah. Bagaimana-kah iblis
ini bisa sampai di tempat ini ? Iblis ini adalah putera Te-tok-ci Si Tikus Beracun, iblis muda yang
berjuluk Siauw-thian-ci. Apakah orang-orang Ban-kwi-to telah keluar dari sarang mereka semua ?
Tentu saja Pek Lian tidak sudi menyerah be-gitu saja dan tanpa menjawab sedikitpun, ia sudah
menyerang dengan pedangnya- Siauw-thian-ci tertawa dan menghadapi gadis itu dengan menggunakan
cambuknya. Terjadilah perkelahian yang sengit. Sebenarnya, ilmu silat dari si katai ini
tidaklah berapa tinggi. Orang-orang Ban-kwi-to memang tidak memiliki ilmu kepandaian yang ter-lalu
hebat. Mereka hanya mengandalkan penggu-naan racun saja, maka Siauw-thian-ci, biarpun menjadi
putera dari orang pertama Ban-kwi-to, juga hanya memiliki ilmu silat yang seimbang saja
dibandingkan dengan Pek Lian. Biarpun gerakan cambuknya aneh dan buas, namun menghadapi
pedang dara itu, dia tidak mampu mendesaknya. Setelah perkelahian itu berlangsung puluhan jurus
dan belum juga dia mampu menundukkan Pek Lian, Siauw-thian-ci menjadi penasaran dan ma-rah
sekali.
"Bocah bandel, engkau belum juga mau me-nyerah ?" bentaknya dan tiba-tiba cambuknya meledak
ketika dia menyerang. Pek Lian mengelak dan balas menusuk, akan tetapi dia terkejut sekali melihat
sinar hitam meluncur keluar dari dalam cambuk itu! Ternyata musuh mempergunakan senjata rahasia
yang agaknya dipasang di dalam cambuk dan kini ada beberapa batang jarum hitam menyambar ke
arah leher dan dadanya. Terpaksa ia menarik kembali pedangnya dan memutar senjata itu,
menyampok runtuh semua jarum yang menyambar ke arahnya. Pada saat itu, tangan kiri Siauw-thianci
mengebutkan sehelai saputangan lebar berwarna hitam dan ada debu hijau me-nyambar ke depan.
Pek Lian terkejut dan melon-cat ke belakang, akan tetapi hidungnya sudah mencium bau yang amis
memuakkan. Tak tertahan-kan lagi ia muntah-muntah karena perutnya mual dan pada saat ia muntahdunia-
kangouw.blogspot.com
muntah itu, ujung cam-buk Siauw-thian-ci mematuk pergelangan tangan-nya. Seketika Pek Lian
merasakan lengannya lumpuh dan pedangnya terlepas, dan di lain saat, cambuk panjang itu seperti
seekor ular telah mem-belit tubuhnya. Ia sudah terbelenggu dan tidak mampu bergerak ketika Siauwthian-
ci meno-toknya sambil tertawa-tawa.
Pek Lian tak mampu bergerak lagi ketika ia dipondong dan dilarikan dari sumur itu. Kiranya tak jauh
dari situ terdapat seekor kuda dan tubuh-nya lalu ditelungkupkan di atas punggung kuda. Si cebol
sudah meloncat ke atas punggung kuda dan melarikan binatang itu.
Pek Lian tidak tahu dibawa ke mana ia, akan tetapi akhirnya ia melihat bahwa ia dibawa masuk ke
dalam pintu gerbang sebuah kota. Agaknya para perajurit yang berjaga di situ sudah mengenal
Siauw-thian-ci karena pintu gerbang dibuka dan para perajurit tertawa-tawa fnelihat si cebol ini datang
membawa tangkapan seorang dara cantik.
Sambil tertelungkup melintang di atas punggung kuda, Pek Lian mendengar suara para penjaga itu.
"Hemm, dia sudah mendapatkan seorang gadis cantik lagi. Hampir setiap malam dia selalu men-cari
pengganti baru!"
"Husssh, jangan keras-keras bicara. Jangan-ja-ngan engkau nanti hanya tinggal tulang-tulang saja
digerogoti tikus-tikusnya yang mengerikan. Hiih, kemarin itu untung ada Kwa-taihiap yang mencegahnya,
kalau tidak tentu akupun sudah habis di-makan tikus-tikusnya."
Mendengar percakapan itu, Pek Liari merasa ngeri. Kiranya manusia tikus ini telah bersekutu dengan
tokoh Tai-bong-pai dan pasukan asing. Ia tidak mampu bergerak, akan tetapi matanya dapat
mengerling dan ia melihat bahwa si cebol itu menghentikan kudanya di depan sebuah rumah
penginapan. Malam sudah larut dan suasananya sunyi sekali. Penginapan itupun sudah tutup daun
pintunya dan Pek Lian merasa ngeri ketika ia dipondong turun dari kuda, kemudian si katai itu
mengetuk daun pintu. Ketika daun pintu terbuka, ternyata di ruangan depan masih terang-bende-rang.
Di sudut ruangan itu nampak sepasang laki-laki dan wanita setengah tua sedang asyik bermain catur.
Tentu saja Pek Lian terkejut sekali ketika mengenal mereka itu. Suami isteri cabul dari Ban-kwi-to, Imkan
Siang-mo !
Bouw Mo-ko, kakek berusia enampuluh tahun lebih yang kecil kurus itu tanpa menoleh agaknya
sudah tahu akan kedatangan Siauw-thian-ci, dan dia menegur, "Engkau baru datang ? Mana pa-manpaman
dan bibi-bibimu yang lain ?"
Si Tikus Muda itu melihat paman dan bibi gurunya, menjadi gembira, "Ah, kiranya paman guru dan
bibi guru sudah datang lebih dulu ! Aku belum melihat yang lain-lain."
Diam-diam Pek Lian mengeluh. Ternyata fihak pemberontak agaknya memperoleh bantuan banyak
golongan sesat termasuk tokoh-tokoh Ban-kwi-to ini. Sungguh merupakan lawan berat dan Liubengcu
harus cepat diberi tahu akan hal ini. Akan tetapi bagaimana mungkin ia meloloskan diri dari
tangan iblis-iblis ini ?
Setelah dia menjalankan biji caturnya dan me-nanti isterinya mendapat giliran, Bouw Mo-ko menoleh,
memandang kepada murid keponakan-nya. Pada saat itulah dia baru melihat gadis yang dipanggul
oleh Siauw-thian-ci dan seketika dia bangkit berdiri.
"Heiii ! Itu adalah gadis tawananku tempo hari yang lolos. Bagus engkau sudah dapat menangkapkannya
untukku, ha-ha. Berikan kepada-ku !" Diapun lalu melangkah maju dan mengulur
tangan hendak mencengkeram Pek Lian yang tidak mampu bergerak karena tertotok itu dan merampasnya
dari panggilan Siauw-thian-ci. Akan tetapi si cebol itu meloncat ke belakang, mengelak dan
memandang marah.
"Susiok, ia ini milikku ! Aku yang menangkap-nya dan siapapun juga tidak boleh merampasnya!"
Matanya mendelik dan tangan kanannya sudah siap dengan senjata cambuknya, sikapnya
mengancam seperti seekor anjing hendak direbut tulang yang sudah berada di depan mulutnya.
"Apa ? Kau berani melawan dan tidak mentaati susiokmu ? Gadis ini milikku, dan engkau hanya
membantuku menangkapnya kembali. Berikan!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tidak !"
"Engkau sungguh tidak mau memberikannya kepadaku ?" "Tidak !"
"Bocah keparat, engkau pantas dihajar!" Bouw Mo-ko menubruk ke depan, tangan kiri meraih ke arah
tubuh Pek Lian sedangkan tangan kanan-nya menghantam dengan tangan terbuka ke arah kepala
murid keponakannya. Siauw-thian-ci maklum akan kelihaian susioknya ini, akan tetapi dia tidak takut.
Dia meloncat mundur, melempar tubuh Pek Lian yang tak mampu bergerak itu ke sudut ruangan dan
cambuknya diputar cepat, mele-dak-ledak membalas serangan paman gurunya. Paman dan murid
keponakan itu segera terlibat dalam perkelahian sengit mati-matian ! Demiki-anlah watak orang-orang
dari golongan sesat.
Untuk memperebutkan sesuatu, mereka tidak se-gan-segan untuk saling serang, kalau perlu saling
bunuh. Dan anehnya, Hoan Mo-li, nenek gendut galak yang tadi bermain catur bersama suaminya,
agaknya tidak perduli atau tidak tahu akan per-kelahian itu dan masih enak-enak saja mengerutkan
alis memutar otak untuk mengajukan langkah biji caturnya yang tadi terdesak.
Orang-orang golongan sesat memang selalu mendambakan kebebasan dalam kehidupan mereka.
Akan tetapi, terdapat dua macam kebebasan dalam sikap. Kaum sesat ini bersikap bebas semau gue,
bebas yang liar dan bebas yang didasari untuk senang dan menang sendiri. Kebebasan macam ini
bukanlah kebebasan namanya karena kebebasan seperti ini merupakan semacam ikatan atau
beleng-gu yang kuat dari nafsu ingin senang sendiri. Yang dinamakan kebebasan hidup bukan
sekedar bebas dari pengaruh pendapat orang lain. Kebebasan adalah kebebasan yang wajar, bebas
dari si aku yang selalu ingin mengejar kesenangan dan men-capai kemenangan sendiri. Sungguhpun
bebas dan tidak terikat oleh apapun, namun tetap saja ada suatu tertib diri yang tidak kaku, yang
bukan tim-bul dari ingin menyenangkan atau ingin disenang-kan, ingin menghormat atau dihormat,
tertib diri ini tidak mengandung pamrih, melainkan timbul dari hati yang disinari cinta kasih sehingga
batin yang demikian itu tidak akan melakukan sesuatu yang merugikan atau menyusahkan orang lain!
Perkelahian antara dua orang tokoh Ban-kwi-to itu hebat bukan main. Ilmu silat mereka me-mang
tidaklah amat tinggi, akan tetapi mereka itu mempergunakkan racun! Dan sekali orang Ban-kwi-to
mempergunakan senjata racun, mereka tidak berlaku kepalang tanggung.
Rumah penginapan itu menjadi geger. Para ta-mu yang tadinya sudah mengaso dalam kamar,
mendengar suara ribut-ribut itu ada yang keluar. Akan tetapi sungguh celaka bagi mereka yang kamarnya
berdekatan dengan ruangan itu, karena di antara para tamu itu ada yang terkena jarum atau
pasir beracun yang dikeluarkan oleh dua orang itu. Mereka yang terkena senjata rahasia beracun ini,
langsung roboh dan mendelik dengan nyawa putus! Apa lagi melihat bermacam binatang kecil seperti
kelabang, kalajengking, bahkan beberapa ekor lebah beracun beterbangan, para tamu men-jadi panik
dan melarikan diri.
Setelah keadaan menjadi semakin ricuh, agaknya barulah Hoan Mo-li menaruh perhatian. Inipun
karena ia sudah selesai melangkahkan biji caturnya. "Heii, suami tolol, kini giliranmu menggerakkan
biji catur!" teriaknya dan ketika ia menoleh dan melihat suaminya berkelahi melawan Siauw-thian-ci, ia
mengerutkan alisnya. "Siauw-thian-ci, tikus kecil keparat. Hentikan ribut-ribut ini dan biarkan suamiku
melanjutkan permainan caturnya denganku ! Suami tolol, kalau engkau tidak cepat melanjutkan
permainan, kupatahkan hidungmu !"
Akan tetapi, dua orang yang sedang "gembira" saling serang amat asyiknya itu, mana mau mendengarkan
ucapan si nenek galak ? Mereka masih terus saling serang dan mengobral senjata-senjata
dan binatang-binatang berbisa mereka seolah-olah hendak memamerkan kehebatan masing-masing.
Hoan Mo-li menjadi kesal rupanya dan iapun me-noleh ke arah Pek Lian yang masih rebah miring di
sudut setelah tadi dilemparkan oleh Siauw-thian-ci. Maka bangkitlah Hoan Mo-li dari tempat duduknya,
sekali loncat ia sudah mendekati Pek Lian.
"Hi-hik, si genit ini kiranya yang menjadi ga-ra-gara sampai paman dan keponakan saling han-tam
sendiri. Dasar kaum laki-laki, mata keranjang dan tidak boleh melihat perempuan cantik. Dari pada
sekeluarga berkelahi karena perempuan, le-bih baik perempuan genit ini kubunuh saja !" Ia
mengangkat tangan dan Pek Lian sudah menanti saat kematiannya di tangan wanita gendut itu. Akan
tetapi Hoan Mo-li menahan tangannya, dan menatap wajah Pek Lian yang manis itu sambil tertawa ha
ha-hi-hi.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Wajah begini cantik, pipi begini halus, tentu saja laki-laki mata keranjang ingin mencium dan
membelainya. Coba hendak kulihat apakah mereka masih akan memperebutkan dirimu kalau mukamu
kubikin rusak dan menjadi buruk. Hi-hi-hik !" Wanita itu terkekeh-kekeh seolah-olah ia memperoleh
pikiran yang amat menyenangkah dan lucu. Dikeluarkannya sebuah botol kecil berisi cairan
kuning. Pada saat itu, Pek Lian sudah berhasil membebaskan diri dari pengaruh totokan dan ja-lan
darahnya sudah pulih kembali, membuat ia mampu bergerak. Pada saat wanita gendut itu membuka
tutup botol dan menuangkan cairan ku-ning ke arah wajahnya, Pek Lian cepat menggu-lingkan
tubuhnya sehingga beberapa tetes cairan kuning yang tadinya dimaksudkan untuk menge-nai
mukanya kini menetes ke atas lantai. Terde-ngar bunyi desis dan nampak asap mengepul, dan
permukaan lantai itu menjadi berlubang-lubang seperti terbakar! Pek Lian bergidik ngeri. Kalau cairan
kuning itu tadi mengenai mukanya, tentu kulit mukanya yang dimakan cairan itu dan mu-kanya akan
berlubang-lubang dan menjadi muka setan yang amat menjijikkan ! Sementara itu, Hoan Ma-li
terkekeh girang melihat gadis itu bergu-lingan dengan muka ngeri ketakutan. Dikejarnya gadis itu
sambil mengacung-acungkan botol yang isinya masih setengahnya lebih. Melihat orang ter-siksa
merupakan kesenangan tersendiri bagi nenek ini. Melihat orang ketakutan karena ancaman sik-saan
amat menggembirakan hatinya. Agaknya se-perti itulah setan-setan penjaga neraka kalau menyiksa
orang berdosa, seperti digambarkan dalam dongeng-dongeng lama.
Tanpa kita sadari, sifat atau perasaan sadis se-perti ini, yaitu merasa gembira melihat mahluk atau
orang lain ketakutan atau tersiksa atau men-derita, agaknya menjadi semacam penyakit yang
menghinggapi diri kita masing-masing. Kalau kita mau mengamati dengan jujur, akan nampaklah
penyakit itu melekat di batin kita. Kitapun selalu merasa senang atau gembira melihat mahluk atau
orang lain tersiksa, terutama sekali kalau ada ke-bencian dalam hati kita terhadap mahluk atau orang
lain itu, kebencian yang timbul dari perasaan dirugikan. Kalau kita mau membuka mata melihat
dengan jujur, bukankah ada rasa gembira dalam hati melihat mahluk-mahluk yang merugikan kita
seperti nyamuk, kutu busuk dan sebagainya kita bunuh perlahan-lahan, kita siksa sebagai pelampiasan
dari pada dendam karena kita diganggu ? Bukankah ada rasa gembira atau girang dalam hati
kita, di luar kesadaran kita, kalau kita mendengar bahwa orang yang kita benci, atau bangsa yang kebetulan
sedang kita musuhi, menderita malapetaka ? Bukankah hati kita bersorak gembira kalau kita
melihat atau mendengar orang yang tidak kita su-kai, penjahat-penjahat dalam film atau cerita misalnya,
menerima hukuman dan siksaan yang amat sadis ? Bukankah kadang-kadang datang
keingin-an atau harapan dalam batin kita melihat orang yang kita benci mengalami penderitaan
seberat-beratnya ?
Hoan Mo-li terus mengejar Pek Lian. Kalau ia mau, dari jauhpun dapat saja ia melemparkan botol itu
agar isinya tumpah mengenai muka Pek Lian. Akan tetapi ia tidak akan puas kalau hanya demikian. Ia
ingin melihat jelas ketika tetesan ca-iran kuning beracun itu mengenai muka yang cantik itu dan
menggerogoti kulitnya, ingin melihat gadis itu menggeliat-geliat seperti cacing terkena panas, maka
iapun terus mengejar. Akhirnya, ia dapat menangkap Pek Lian. Dengan tangan kirinya ia menjambak
rambut gadis itu, memaksa muka yang pucat dengan mata terbelalak ngeri itu terlentang dan ia sudah
siap menuangkan isi botol sambil ter-kekeh-kekeh.
"Wuuuuutttt plakkk!" Botol kecil itu
terlempar dan mengenai dinding, isinya tumpah semua, menyebabkan dinding dan lantai mengeluarkan
asap dan berlubang-lubang. Kiranya pada saat yang amat berbahaya bagi Pek Lian itu, nampak
sesosok bayangan putih berkelebat memasuki ruangan dan pemuda ini cepat menendang ke
arah tangan Hoan Mo-li yang memegang botol sehing-ga botolnya terlempar. Pek Lian cepat menggulingkan
tubuhnya, akan tetapi karena ia tadi amat ketakutan, tubuhnya menjadi lemas dan ia hampir
pingsan.
Pemuda itu adalah Yap Kiong Lee. Kebetulan sekali pemuda yang sedang mencari-cari sutenya
inipun bermalam di tempat penginapan itu, akan tetapi dia bersembunyi saja di kamarnya dan di-amdiam
melakukan penyelidikan ketika dia me-lihat betapa suami isteri cabul dari Ban-kwi-to itu berada
di situ. Ketika terjadi keributan, diapun keluar dan terkejutlah dia melihat Pek Lian ter-ancam bahaya.
Maka diselamatkannya Pek Lian dari ancaman mengerikan itu. Melihat Pek Lian masih terbelenggu
kedua tangannya dan nampak lemas, Kiong Lee cepat menyambar tubuhnya dan dipanggulnya tubuh
dara itu di pundak kirinya.
Sementara itu, Hoan Mo-li tadi terkejut seka-li. Lengannya seperti patah rasanya dan racun di botol itu
sudah terbuang sia-sia. Marahlah wa-nita ini dan iapun mengeluarkan teriakan seperti seekor
dunia-kangouw.blogspot.com
serigala, dan iapun menyerbu dan menye-rang Kiong Lee dengan ganas, dengan kedua ta-ngan
membentuk cakar. Akan tetapi dengan tenang saja Kiong Lee mengelak dan ketika kaki kirinya
menyambar, Hoan Mo-li nyaris terkena tendangan. Barulah wanita itu terkejut dan maklum bahwa ia
menghadapi musuh berbahaya. Ia mempertahankan diri dari amukan tiga orang itu. Sebetulnya, tingkat
kepandaian Kiong Lee sudah jauh lebih tinggi dari pada mereka dan biarpun pemuda perkasa ini
memanggul tubuh Pek Lian, dia tidak akan kewalahan menghadapi pengeroyokan mereka ber-tiga.
Akan tetapi, musuh-musuhnya adalah iblis-iblis yang licik dan mempergunakan senjata rahasia dan
racun-racun berbahaya. Terpaksa Kiong Lee harus mengerahkan tenaga dan memainkan pe-dangnya
untuk menangkis dan menolak semua ra-cun.
Melihat orang-orang yang hendak menonton, Kiong Lee menyuruh mereka menyingkir dan men-jauhi
ruangan itu. Akan tetapi tetap saja ada be-berapa orang yang terhuyung dan roboh karena ruangan
itu kini penuh dengjan asap dan hawa yang berbau memuakkan dan mengandung racun-racun ganas.
Biarpun Kiong Lee amat lihai, bau memu-akkan dan mengandung hawa beracun itu membuat dia
repot dan kepalanya terasa pusing. Dia meli-hat bahwa Pek Lian juga sudah pingsan karena bau
keras itu. Maka diapun lalu memutar pedangnya membuat tiga orang lawan mundur dan dia melon-cat
keluar ruangan itu, terus melarikan diri. Tiga orang Ban-kwi-to yang merasa penasaran melakukan
pengejaran, akan tetapi dalam hal ilmu me-ringankan tubuh dan berlari cepat, mereka bertiga itu
masih belum mampu menandingi Kiong Lee sehingga belum juga dapat menyusul pemuda ini yang
menyelinap di antara rumah-rumah orang. Terjadi kejar-kejaran dan tiga orang tokoh Ban-kwi-to itu
berteriak-teriak di sepanjang jalan bahwa ada mata-mata musuh, anak buah Liu Pang, memasuki
kota. Teriakan-teriakan ini menimbul-kan kegempalan dan banyak perajurit mulai berke-liaran ikut
mencari di seluruh kota itu.
Di antara banyak perajurit yang berkeliaran dan ubek-ubekan mencari ke semua penjuru kota itu,
terdapat dua orang berpakaian perwira yang ikut pula mencari-cari. Mereka ini bukan lain adalah
Kiong Lee dan Pek Lian ! Setelah Pek Lian siuman dari pingsannya, mereka berdua lalu menawan
dua orang perwira, melucuti pakaian mereka dan me-notok lalu membelenggu dan menyumpal mulut
mereka, dan mengenakan pakaian seragam perwira itu. Dengan penyamaran ini, Kiong Lee dan Pek
Lian bebas berkeliaran tanpa ada yang menaruh curiga.
Kiong Lee dan Pek Lian akhirnya tiba di pintu gerbang sebelah selatan. Dengan sikap gagah Kiong
Lee menghampiri para penjaga pintu gerbang dan memerintahkan agar dia dan Pek Lian dibukakan
pintu karena mereka berdua hendak keluar dari pintu gerbang itu.
"Ada mata-mata berkeliaran di dalam kota. Kami harus menutup pintu gerbang dan tidak membiarkan
seorangpun keluar. Demikian perin-tah atasan !" bantah komandan jaga.
"Siapa yang tak tahu akan perintah itu ?" ben-tak Kiong Lee. "Kamipun sudah mendengarnya. Akan
tetapi, kami mempunyai dugaan keras bah-wa para penjahat mata-mata itu sudah mening-galkan kota
dan kami ingin melakukan pengejaran. Kalau kalian mencegah kami dan sampai mata-ma-ta itu jauh
meninggalkan kota, kami akan mela-porkan hal ini kepada atasan !"
Mendengar ancaman Kiong Lee ini, para pen-jaga pintu gerbang menjadi bingung. Akhir-akhir ini
memang banyak pasukan datang dan mereka tidak mengenal semua perwira yang baru tiba. Pin-tu
gerbang lalu dibuka perlahan-lahan dan kedua orang pendekar itu segera cepat menyelinap keluar
dan berlari cepat. Pada saat itu, serombongan pa-sukan juga mendatangi pintu gerbang. Jenderal Lai
yang memimpin pasukan itu untuk ikut men-cari, menjadi marah melihat pintu gerbang dibuka.
"Hei, siapa berani lancang membuka pintu ger-bang ? Bukankah sudah kami perintahkan agar semua
pintu gerbang ditutup dan tak seorangpun boleh lolos keluar ?" bentaknya. Dengan muka pucat
komandan jaga lalu menghadap dan membe-ri hormat kepada panglima itu.
"Harap paduka maafkan. Kami membuka pin-tu hanya untuk membiarkan dua orang perwira keluar
karena mereka hendak mengejar mata-mata yang melarikan diri,"
Panglima itu melotot dan marah sekali. "Tolol kamu ! Merekalah mata-mata itu !" Dan diapun
menyuruh pasukan melakukan pengejaran keluar kota. Akan tetapi sudah terlambat. Dua orang buronan
itu sudah menghilang di dalam gelap dan mereka semua tidak tahu ke arah mana harus mengejar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Yap Kiong Lee dan Ho Pek Lian merasa lega setelah dapat lolos dan mereka berdua segera membuang
pakaian perwira yang dipakai di luar pakai-an mereka sendiri itu. Pek Lian mengucap terima
kasih atas pertolongan Kiong Lee.
"Berkali-kali Yap-twako menolongku, sungguh budimu besar sekali."
"Sudahlah, nona. Lebih baik kauceritakan ba-gaimana engkau sampai tertawan oleh iblis dari Pulau
Selaksa Setan itu."
Pek Lian lalu bercerita tentang semua penga-lamannya. "Aku sedang melakukan penyelidikan tentang
keadaan fihak musuh, bersama guruku,
Liu-bengcu, dan bersama Bu Beng ah, sekarang aku ingat! Setelah bertemu dengan iblis-iblis Bankwi-
to dan bertemu denganmu, baru aku ingat. Benar, dia adalah sutemu yang nakal itu, Yap Kim
putera ketua Thian-kiam-pang !" Pek Lian berseru gembira. Tadinya memang ia me-rasa sudah
mengenal wajah Bu Beng Han, akan tetapi ia lupa lagi kapan dan di mana. Sekarang tiba-tiba saja ia
teringat bahwa ia pernah berte-mu dengan pemuda itu di Ban-kwi-to, ketika pemuda itu bersamasama
dengan Thian-te Tok-ong atau Ceng-yang-kang Si Kelabang Hijau, orang ke lima. dari iblis-iblis
Ban-kwi-to, berada di kepulauan itu !
Tentu saja Kiong Lee gembira sekali mendengar bahwa sutenya yang dicari-carinya itu sudah ber-ada
bersama para pendekar, bahkan membantu Liu Pang! Dia mendengarkan penuturan gadis itu yang
bukan hanya menceritakan kemunculan Yap Kim yang aneh dan yang kini hanya dikenal seba-gai Bu
Beng Han. Mereka berdua lalu melanjutkan perjalanan ke dusun sunyi itu dan seperti telah kita
ketahui, kedatangan Kiong Lee dan Pek Lian ini amat tepat saatnya karena Liu Pang dan Yap Kim
sedang terancam bahaya maut dan akhirnya Kiong Lee dapat menyelamatkan mereka dan kembali ke
markas pasukan para pendekar di Lembah Huang-ho.
"Demikianlah, suhu. Untung sekali aku berte-mu dengan Yap-twako sehingga kita semua dapat
terbebas dari pada bahaya maut." Pek Lian meng-akhiri ceritanya.
Liu Pang mengerutkan alisnya. "Wah kalau benar pemuda Tai-bong-pai itu bersahabat dengan
para iblis Ban-kwi-to hemm, berat juga bagi
kita. Agaknya kini para pengkhianat itu selain bersekongkol dengan pasukan asing, juga tidak segansegan
memperalat orangworang dunia hitam."
"Akan tetapi, tidak semua orang Tai-bongrpai jahat, suhu. Aku mengenal beberapa orang di an-tara
mereka, bahkan adik perempuan dari Kwa Sun Tek itupun merupakan seorang gadis yang biarpun
wataknya aneh, namun menghargai kega-gahan dan sama sekali tidak jahat"
Liu Pang menghela napas panjang. "Tidak aneh, di dalam keadaan negara sedang kacau-balau, tentu
bermunculan kaum penjahat untuk mengeduk keuntungan sebesar-besarnya, dengan cara dan
jalan apapun."
Malam itu juga, Liu Pang mengadakan musya-warah dengan para pembantunya, yaitu para pim-pinan
pasukan pendekar yang sudah menggabung-kan diri dengan pasukan induk yang dipimpinnya.
Di dalam musyawarah itu hadir pula Yap Kiong Lee. Akhirnya pendekar ini, murid utama dan juga
putera angkat ketua Thian-kiam-pang ini terpaksa mengalah terhadap sute atau adik ang-katnya yang
amat disayangnya itu-. Dia terpaksa ikut pula berunding dan membantu gerakan yang dipimpin oleh
Liu Pang, yang telah menarik per-hatian Yap Kim dan bahkan telah dibantu oleh pendekar muda ini
yang merasa bersimpati.
Setelah menceritakan keadaan pasukan mereka yang mulai kuat karena datangnya banyak bantuan
dari rakyat petani dan juga banyaknya perajurit ke-rajaan yang menyeberang dan membantu, Liubeng-
cu berkata lantang, "Di hadapan kita terdapat dua kekuatan yang biarpun berdiri sendiri-sendiri,
namun pada waktu ini mereka bergabung menjadi satu untuk menghadapi kita. Yang satu adalah
pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jenderal Lai, sedangkan kekuatan ke dua adalah pasukan
dunia-kangouw.blogspot.com
pembesar daerah yang bersekongkol dengan pasu-kan asing. Kita harus mencari akal agar keduanya
itu terpisah sehingga kedudukan mereka tidaklah begitu kuat dan memudahkan kita untuk maju terus."
Semua orang yang menghadiri rapat itu me-ngerutkan alis dan berpikir. Tiba-tiba seorang di antara
mereka, yang berpakaian perwira tinggi bangkit berdiri-Dia ini adalah Siong-ciangkun, seorang bekas
komandan tentara kerajaan yang sudah menyeberang membantu gerakan Liu Pang, seorang ahli
perang yang usianya sudah hampir enampuluh tahun.
"Memang benar sekali pendapat Liu-twako bahwa kita harus mencari akal yang baik untuk
menceraikan mereka. Akan tetapi sebelum kita mencari akal, sebaiknya kita mempelajari dahulu
keadaan kekuatan seluruh bala tentara kerajaan pada saat ini. Setelah itu baru saya akan mengemukakan
akal saya."
Liu Pang mengangguk-angguk. "Siong-ciang-kun tentu lebih mengetahui keadaan bala tentara
kerajaan pada umumnya, silahkan ciangkun meng-gambarkan agar kita semua mengetahuinya."
"Seperti kita ketahui, Jenderal Lai adalah pembantu utama Panglima Besar Beng Tian. Jenderal Lai
ditugaskan untuk menghentikan gerakan pasukan kita agar tidak menjalar ke kota raja. Jenderal Beng
Tian sendiri bersama induk pasukannya yang terbesar sedang dikerahkan ke barat, membendung
gerakan pasukan Chu Siang Yu yang semakin kuat itu. Saya mendengar bahwa kaisar kini mengutus
pangeran mahkota untuk memimpin tentara cadangan dari kota raja untuk membantunya
" Bekas perwira kerajaan itu berhenti sebentar dan dengan pandang matanya menyapu para
hadirin yang duduk memperhatikannya. Yap Kiong Lee yang selalu dekat dengan istana di kota raja
menarik napas panjang. Tentu saja dia tahu akan semua itu, bahkan tahu lebih mendalam keadaan
di istana dari pada bekas perwira itu. Melihat sikap ini, Siong-ciangkun bertanya kepadanya,
"Bukankah demikian, Yap-taihiap ?"
Yap Kiong Lee mengangguk. "Memang benar apa yang dikatakan oleh Siong-ciangkun. Akan tetapi
sesungguhnya bukan kaisar yang mengutus pangeran mahkota membawa pasukan ke garis depan
peperangan, melainkan Perdana Menteri Li Su. Harap saudara sekalian ketahui bahwa keadaan di
istana kota raja sungguh berobah. Penuh rahahasia dan semua orang berada dalam ketegangan dan
kebingungan. Kaisar tidak pernah kelihatan, bahkan semua orang berani menduga bahwa kaisar tidak
berada di istana, tidak berada di kota raja lagi. Entah di mana, tidak ada yang tahu atau dapat
menduga. Bahkan subo sendiri yang menjadi pengawal pribadi kaisar, juga tidak tahu ! Yang diketahui
hanyalah bahwa kaisar telah melimpahkan kekuasaannya kepada Perdana Menteri Li Su untuk
urusan kenegaraan dan kepada thaikam kepala, yaitu Chao Kao untuk urusan dalam istana, lalu
kaisar menghilang !" .
Semua orang terheran-heran mendengar ini, hampir tidak percaya. Akan tetapi karena pemuda itu
baru saja datang dari kota raja dan mereka tahu bahwa subo dari pendekar itu adalah Siang Houw
Nio-nio, bibi dan juga pengawal pribadi kaisar, maka mereka menaruh kepercayaan dan menanti
pemuda itu melanjutkan ceritanya. Liu Pang juga merasa tertarik sekali. Dia menganggap betapa
pentingnya berita itu, maka diapun mendesak, minta agar pemuda itu suka melanjutkan cerita-nya.
Yap Kiong Lee menghela napas panjang. "Se-telah Perdana Menteri Li Su berkuasa di kota raja,
bergandeng tangan dengan Chao-thaikam, maka mulailah kemelut menggelapkan kota raja. Wakil
Perdana Menteri Kang dan para menteri setia yang tadinya sudah diangkat kembali oleh kaisar, satu
demi satu disingkirkan."
"Ahhh ! " Para pendekar mengepal tinju mereka dengan muka merah dan semua merasa penasaran
dan marah.
"Penyingkiran mereka dilakukan secara halus dan dirahasiakan, maka tidak sampai tersiar ke luar
kota raja." Murid utama Thian-kiam-pang itu melanjutkan. "Semua orang yang masih setia
menjatuhkan harapan mereka kepada putera mah-kota, akan tetapi pada suatu hari, pangeran itu
dikirim ke garis depan. Saya dapat mengerti bah-wa semua ini tentulah akal muslihat Li Su dan Chao
Kao itu, yang kini sebagai kedok, mengang-kat putera kaisar ke dua yang berwatak jelek itu sebagai
pengganti putera mahkota, dan menjadi boneka di tangan mereka. Kini yang berkuasa ada-lah
dunia-kangouw.blogspot.com
panglima-panglima dan menteri-menteri yang menjadi kaki tangan kedua orang lalim itu. Hanya
Jenderal Beng Tian, Jenderal Lai, putera mahkota sendiri dan orang-orang seperti mereka itulah yang
benar-benar setia dan merupakan patriot-patriot yang mengabdi kepada kerajaan. Oleh ka-rena itu
saya sungguh mengharapkan kebijaksanaan Liu-bengcu clan saudara sekalian untuk kelak
memikirkan nasib mereka itu, yang saya tahu ada-lah orang-orang yang menjunjung kegagahan dan
kesetiaan."
Liu Pang mengangguk-angguk. "Terima kasih atas semua keterangan yang amat penting itu, Yapsicu.
Keadaan itu makin mendorong kita untuk segera turun tangan menghancurkan mereka yang
jahat itu. Nah, Siong-ciangkun, harap suka menjelaskan bagaimana rencana siasatmu itu ?"
"Untuk dapat memisahkan dua kekuatan yang bergabung itu, kita harus memecah barisan kita
menjadi tiga bagian. Sebagian kecil melewati mar-kas Jenderal Lai dan bersikap seolah-olah menghindarkan
diri tidak menghendaki bentrokan, lang-sung; saja ke depan dan menyerang atau
menduduki kota kecil di depan. Ini untuk mengejutkan pasukan Jenderal Lai agar dia segera
melakukan pengejaran."
"Maksudmu menggunakan siasat memancing harimau meninggalkan sarang ?"
"Benar, Liu-twako. Kalau pasukan kerajaan itu sudah meninggalkan benteng melakukan pengejar-an,
kita menggunakan tiga perlima bagian pasu-kan untuk menghadangnya agar pasukan itu tidak dapat
kembali ke markas, kita memotong jalan. Sementara itu. yang seperlima bagian lagi kita pergunakan
untuk menggempur benteng dan menyerang pasukan pejabat daerah yang bersekong-kol dengan
orang-orang asing itu."
Mereka lalu ramai membicarakan dan mengatur siasat seperti yang diusulkan oleh Siong-ciangkun.
Kekuatan pertama yang bertugas memancing ha-rimau keluar dari sarang hanya merupakan seperlima
bagian dari pasukan, dipimpin oleh Hek-coa Ouw Kui Lam dan para pendekar lain. Bagian ke dua
merupakan pasukan inti yang besarnya tiga perlima bagian, dipimpin oleh tiga orang murid Thiankiam-
pang sendiri, dikepalai oleh Yap Kim dan dibantu oleh Yap Kiong Lee dan Kwan Hok murid ke
lima Thian-kiam-pang dan diperkuat oleh Siong-ciangkun sebagai penasihat. Adapun bagian ke tiga,
yaitu hanya seperlima bagian, di-pimpin sendiri oleh Liu Pang dan dibantu oleh Pek Lian. Pasukan
inilah yang bertugas untuk menduduki dan menyerbu benteng yang dikosong-kan oleh Jenderal Lai
nanti, untuk menghancurkan pasukan daerah yang dibantu oleh orang-orang asing itu, musuh utama
dari pasukan para pende-kar.
Setelah siasat diatur dan rencana sudah matang, pasukan dibagi-bagi. Sesuai dengan rencana, pasukan
pertama berangkatlah, menghindarkan mar-kas besar Jenderal Lai, lalu menuju ke kota kecil di
depan. Sementara itu, diam-diam pasukan be-sar yang dipimpin oleh tiga saudara seperguruan
Thian-kiam-pang juga meninggalkan sarang dan mencari posisi yang baik untuk nanti melakukan
pemotongan atau penghadangan terhadap pasukan Jenderal Lai.
Liu Pang sendiri dibantu oleh Ho Pek Lian, bersama pasukannya menyelinap dan mendekati benteng
musuh dengan hati-hati pada malam hari itu juga. Mereka bersembunyi di tepi sebuah su-ngai kecil
yang airnya jernih, menanti saat baik sampai pasukan besar Jenderal Lai meninggalkan benteng.
Mereka harus menanti dengan sabar, mungkin sehari, dua hari atau tiga hari sampai Jen-deral Lai
melakukan pengejaran dengan pasukan-nya terhadap pasukan para pendekar yang me-nyerang kota
kecil di depan.
Pada keesokan harinya setelah matahari terbe-nam, barulah Liu Pang menerima kabar bahwa
gerakan pertama dari pasukan pertama telah ber-hasil mengepung kota kecil di depan, dalam gerakan
memancing harimau meninggalkan sarang. Kota kecil itu diserbu dan pasukan para pendekar sengaja
membiarkan kepala daerah dan para penga-walnya lolos, agar mereka dapat mengabarkan kepada
Jenderal Lai dan mengharapkan bantuan jen-deral ini.
Seperti yang telah direncanakan, ternyata ha-silnya memang tepat. Jenderal Lai yang mende-ngar
bahwa pasukan para pendekar menduduki kota kecil di depan, menjadi geram. "Kurang ajar sekali Liu
Pang itu! Dia dan pasukannya takut menghadapi pasukanku dan sengaja mengambil jalan memutar
untuk bergerak ke arah kota raja. Hemm, hal ini tak boleh dibiarkan saja!" Diapun lalu memerintahkan
para perwiranya untuk mem-persiapkan pasukan mereka. Berangkatlah pasukan kerajaan yang besar
dengan megah, menuju ke kota kecil untuk merampas kembali kota itu, mengha-langi pasukan Liu
Pang menuju ke kota raja dan menghajar mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar pelaporan tentang gerakan Jenderal Lai ini yang telah masuk perangkap sesuai dengan
siasatnya, Liu Pang merasa girang sekali. Cepat diapun mempersiapkan pasukannya untuk menyerbu
ke benteng yang telah ditinggalkan pasukan kerajaan itu. Akan tetapi, tiba-tiba terjadilah hal yang
sama sekali tidak mereka sangka-sangka. Terjadilah kegemparan ketika sebagian besar dari para
anak buah pasukan pendekar itu mengeluh, memegangi perut mereka yang terasa sakit sekali!
Mereka semua telah keracunan! Hanya sebagian kecil saja yang tidak keracunan dan mereka ini tentu
saja sibuk dan bingung menolong teman-teman yang mengaduh-aduh tak berdaya itu.
Liu Pang dan Pek Lian sendiri segera merasa-kan betapa perut mereka mulas dan nyeri. Terke-jutlah
mereka dan maklumlah Liu Pang bahwa mereka semua telah keracunan. Untunglah bahwa dia dan
muridnya memiliki sinkang yang kuat dan daya tahan lebih tangguh, dan pula agaknya malah mereka
tidak begitu banyak terkena racun seperti anak buah mereka. Setelah mengadakan pemerik-saan dan
melihat betapa terdapat banyak ikan yang mabok dan mati di dalam sungai kecil, tahulah Liu Pang
bahwa air sungai itulah yang mengandung racun. Tahulah dia bahwa fihak musuh amatlah cerdiknya
dan agaknya fihak musuh sudah tahu akan tempat persembunyian mereka itu dan men-campuri air
sungai dengan racun.
"Ini tentu perbuatan iblis Tai-bong-pai itu !" Pek Lian teringat dan gurunya mengangguk.
Liu Pang dan para pembantunya segera mem-bagi-bagi obat penawar. Untunglah bahwa racun yang
telah larut dengan air sungai itu hanya ter-batas kekuatannya, hanya membuat mabok dan sakit perut
saja, tidak sampai mematikan walaupun cukup membuat mereka tak berdaya dan lemas badan.
Selagi mereka sibuk mengobati diri, men-jelang tengah malam itu terdengarlah sorak-sorai dan
datanglah pasukan kepala daerah yang tinggal di benteng itu, dibantu oleh pasukan asing, menyerang
para pendekar yang sedang dilanda sakit perut dan keracunan. Pasukan ini dipimpin sendiri oleh
Song-bun-kwi Kwa Sun Tek dan Malisang raksasa Mongol yang lihai itu dan terjadilah pem-bantaian
terhadap pasukan para pendekar. Untung malam itu gelap sehingga para pendekar yang melawan
mati-matian itu dapat melarikan diri cerai-berai memasuki hutan-hutan gelap mencari
selamat sendiri-sendiri. Pasukan para pendekar ini, dalam keadan masih dilanda sakit perut, dapat
dikatakan hancur total walaupun banyak juga di antara mereka yang berhasil selamat. Liu Pang
sendiri bersama muridnya, dengan pedang di tangan mengamuk. Namun, menghadapi Kwa Sun Tek
dan Malisang, guru dan murid inipun tidak kuat bertahan dan akhirnya mereka berdua terpaksa
menyelamatkan diri berlindung pada kegelapan malam dan kekacauan yang terjadi di tepi sungai kecil
itu.
Dengan dilindungi oleh belasan orang penga-walnya yang terdiri dari pendekar-pendekar yang
memiliki ilmu silat cukup tinggi, Liu Pang dan Pek Lian melarikan diri, dikejar oleh pemuda Tai-bongpai
dan raksasa Mongol.
"Ha-ha-ha, Kwa-taihiap, engkau pimpin saja pasukan kita hancurkan semua pemberontak ini,
habiskan mereka. Berikan orang she Liu itu ke-padaku kata Malisang dan dengan dua losin pengawal
diapun melakukan pengejaran terhadap Liu Pang dan teman-temannya.
Pengejaran itu akhirnya berhasil dan Liu Pang bersama muridnya, dilindungi oleh sebelas orang
pengawal, dikepung ketika mereka keluar dari da-lam hutan. Perkelahian seru terjadi secara keroyokan.
Maklum betapa lihainya Malisang, Liu Pang sendiri maju menghadapinya, sedangkan Pek Lian
membantu para pengawal menandingi para pengawai musuh yang jumlahnya dua kali lipat lebih
banyak itu.
Biarpun Liu Pang terkenal dengan ilmu pe-dangnya yang lihai, namun pada saat itu dia mengalami
pukulan lahir batin. Batinnya tertekan menyaksikan betapa pasukannya dipukul cerai-berai oleh
musuh, betapa siasatnya telah digagal-kan fihak musuh bahkan dia kena ditipu sehingga pasukannya
menderita kerugian besar. Lahirnya, diapun telah minum air beracun yang biarpun ti-dak
membahayakan keselamatan nyawanya, na-mun cukup membuat tubuhnya lemas dan tenaga-nya
berkurang. Karena itu, kecepatannyapun ba-nyak berkurang sehingga beberapa kali dia terke-na
hantaman tangan Milasang yang amat kuat itu. Melihat keadaan gurunya, Pek Lian cepat mener-jang
maju membantu mengeroyok Malisang yang tertawa-tawa girang karena raksasa ini sudah memastikan
bahwa malam itu dia tentu akan berha-sil membekuk pemberontak besar Liu Pang ini, baik
dalam keadaan hidup maupun mati.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Suhu, mari kita pergi!" Tiba-tiba Pek Lian menusukkan pedangnya ke arah dada Malisang. Ketika
raksasa ini menggerakkan tangan untuk mencengkeram ke depan, kedua tangannya berani
menghadapi senjata tajam karena kebal dan kuat, Pek Lian menarik kembali pedangnya, menggandeng
tangan gurunya dan mengajak gurunya yang
sudah terkena beberapa kali pukulan keras itu un-tuk bersama-sama meloncat ke dalam sungai.
"Byuurrr !" Keduanya ditelan air yang
gelap dan dengan pengerahan seluruh tenaganya, sambil menggigit pedangnya, Pek Lian membantu
gurunya untuk menyeberangi sungai, sedangkan para pengawalnya menahan Malisang dan kawankawannya
yang hendak melakukan pengejaran. Dalam usaha ini, beberapa orang pendekar yang
menolong dan melindungi guru dan murid itu ro-boh dan tewas, lainnya terpaksa melarikan diri karena
kekuatan fihak musuh jauh lebih besar.
Pasukan yang dipimpin oleh Liu Pang itu be-nar-benar mengalami hantaman yang tidak kepa-lang
tanggung. Ratusan orang pendekar tewas dalam penyerbuan ini dan lainnya kembali meng-alami
nasib seperti yang pernah berkali-kali me-reka alami, yaitu cerai-berai melarikan diri men-cari
keselamatan masing-masing untuk kelak menyusun kembali kekuatan mereka. Bagaimana-pun juga,
mereka itu tidak pernah kehilangan se-mangat perlawanan, sesuai dengan watak mereka sebagai
pendekar yang hanya memiliki satu tujuan, yaitu menentang kekuasaan lalim.
Sejarah berulang tenis. Golongan yang mena-makan dirinya penentang kejaliman, yang menganggap
diri mereka sebagai pembela rakyat jelata, atau penegak keadilan yang berjuang dengan semangat
bernyala-nyala, rela berkorban apa saja yang dimilikinya, bahkan rela berkorban nyawa,
selalu bangkit menentang golongan yang pada sa-at itu berkuasa dan yang dianggap sebagai golongan
yang lalim, golongan penindas dan golongan yang jahat. Fihak penentang kekuasaan yang ada
selalu menganggap diri mereka sebagai golongan yang baik menentang golongan yang jahat! Dan
sebaliknya, fihak yang pada saat itu berkuasa, tentu saja menganggap fihak yang menentang itu
sebagai perusuh-perusuh, pengacau-pengacau dan peru-sak-perusak ketenteraman, sebagai
pemberontak-pemberontak yang hanya bergerak demi satu am-bisi, yakni merebut kekuasaan. Fihak
yang berku-asa tentu saja menganggap golongan penentang itu sebagai yang jahat, yang hendak
menyengsara-kan kehidupan rakyat dengan adanya kekacauan dan pengrusakan. Jadi, kedua fihak
itu selalu men-dasarkan "perjuangan" mereka demi kebaikan rakyat, demi kebaikan dan demi
menentang keja-hatan dan kebusukan !
Hal ini berulang ribuan kali dalam sejarah, di dalam negeri manapun juga. Selalu nama rakyat
dipergunakan untuk perjuangan mereka, juga rak-yat ditarik sana-sini untuk dijadikan sekutu, un-tuk
memperkuat landasan mereka. Dan bagaima-na kalau sampai golongan yang menentang kekua-saan
yang ada itu mencapai kemenangan, berhasil menggulingkan kekuasaan yang ada dan fihak penentang
ini kemudian menggantikan kedudukan dan menjadi yang berkuasa ? Sejarahpun berulang
kembali! Cepat atau lambat muncullah lagi go-longan-golongan yang menentangnya, golongan yang
sekali lagi mempergunakan nama rakyat dan kebenaran dan keadilan untuk menentang kekuasa-an
baru itu, untuk menumbangkannya, untuk me-rebut kekuasaan !
Pengulangan sejarah pertentangan antara yang berkuasa dan yang menentang ini selalu mengakibatkan
satu hal, yaitu kerusuhan, kekacauan, dan tentu saja rakyat jelata yang menanggung akibatnya
! Rakyat bagaikan pohon-pohon kecil dilanda badai peperangan, daun-daunnya rontok, kembang-
kembangnya gugur, bahkan batang-batang-nya tumbang dan mati. Rakyat mengalami ketakutan,
penderitaan, korban kekerasan-kekerasan yang mengerikan. Padahal, semua gerakan yang
dinamakan perjuangan itu selalu memakai nama demi rakyat! Memang sungguh menyedihkan,
namun ini merupakan kenyataan yang dapat dilihat oleh kita semua di dunia ini.
Mengapa harus demikian ? Kalau semua go-longan itu benar-benar berjuang demi rakyat je-lata
seperti yang selalu didengang-dengungkan, bukankah tujuan mereka semua itu sama, yakni demi
kesejahteraan, demi kemakmuran rakyat ? Apakah kemakmuran rakyat dapat dicapai dengan perang,
dengan bunuh-bunuhan, dengan keka-cauan-kekacauan, dengan perebutan kekuasaan yang pada
hakekatnya hanyalah menjadi pamrih dan ambisi beberapa orang yang gila kekuasaan belaka ?
Mengapa semua golongan itu tidak mem-buang senjata saja, menggantikan dengan alat-alat
pembangunan, memimpin rakyat, mendidik, meng-ajak rakyat untuk benar-benar membangun lahir
dunia-kangouw.blogspot.com
batinnya menuju kepada kemakmuran dan kesejah-teraan hidup, yang penuh damai, penuh ketenteraman,
jauh dari permusuhan atau kebencian, jauh dari kekacauan ?
Sungguh menyedihkan ! Yang jelas, rakyat ha-nya menjadi korban nafsu kemurkaan beberapa gelintir
orang saja yang mabok akan kekuasaan. Orang-orang gila yang selalu mengejar kekuasaan,
yang tidak segan-segan melakukan apapun juga demi mencapai ambisi, bahkan kalau perlu menggunakan
nama rakyat, kalau perlu mengorbankan rakyat, asal tujuan nafsunya tercapai dan dia akhirnya
duduk di puncak kekuasaan bersama teman-temannya ? Dan mereka selalu menaburi cara mencapai
tujuan yang amat busuk ini dengan bunga rampai, dengan slogan-slogan yang muluk-muluk,
demi rakyat, demi keadilan dan kebenaran, bahkan mereka tidak segan-segan untuk sekali waktu
mengatakan Demi Tuhan! Ya ampun, semoga rakyat di seluruh dunia akan terbuka matanya dan tidak
terbuai oleh taburan bunga rampai yang ha-rum dan muluk-muluk itu, dan semoga rakyat dapat
melihat bahwa di balik semua itu tersembunyi bangkai membusuk dari nafsu mengejar keku-asaan,
kemuliaan dan kesenangan sehingga rakyat tidak sudi lagi dicekoki racun terbalut gula !
Dalam keadaan lelah lahir batin, Liu Pang akhirnya dapat membebaskan diri dari pengejaran musuhmusuhnya.
Dia dan muridnya berhasil menyeberangi sungai dan melanjutkan pelarian mereka
menjelang subuh itu, tertatih-tatih dan dalam keadaan lemas. Mereka terpaksa berhenti di sebuah
kuburan yang sunyi di pagi hari itu, ka-rena Liu Pang harus beristirahat dan merawat lu-ka-lukanya.
"Suhu, tempat ini sunyi dan sebaiknya kita berhenti di sini untuk merawat luka suhu yang perlu
beristirahat sebelum kita melanjutkan per-jalanan," kata Pek Lian dan Liu Pang mengangguk lesu.
Karena pukulan-pukulan yang dideritanya dari raksasa Mongol itu cukup hebat, selama sehari itu Liu
Pang bersila, menghimpun tenaga dan ha-wa murni sambil menelan beberapa macam obat. Pada
senja harinya, barulah dia dapat memulihkan tenaganya dan luka-luka yang dideritanya men-jadi
sembuh atau setidaknya tidak mendatangkan rasa nyeri lagi. Sehari itu, Pek Lian merawat dan
menjaga gurunya, memasakkan air dan mencari makan sekedarnya.
Malam itu bulan sepotong muncul di antara awan tipis. Guru dan murid yang merasa berduka atas
kekalahan mereka itu duduk menghadapi ma-kan malam yang hanya terdiri dari daging ayam hutan
panggang sambil bercakap-cakap.
"'Suhu, sungguh tidak kusangka bahwa fihak musuh sedemikian lihai dan cerdiknya. Juga ba-nyak
orang lihai di antara mereka."
Gurunya mengangguk-angguk dani menghela napas panjang. "Di sana ada tokoh Tai-bong-pai yang
jahat sekali dan amat lihai, hampir saja ra-cun-racunnya membunuh kita sepasukan ! Dan raksasa
Mongol itupun amat lihai, tenaganya kuat dan tubuhnya kebal. Sungguh tidak kusangka, rencana kita
dapat gagal, padahal sudah kita susun baik-baik. Kita malah yang menjadi sasaran se-rangan
mereka. Orang-orang yang bergabung da-lam benteng itu kiranya bukan orang-orang sem-barangan."
"Agaknya demikianlah, suhu. Di sana berkumpul pembesar-pembesar daerah dan perwira-perwira
yang banyak pengalaman, bahkan dibantu oleh pasukan asing yang tentu saja dipimpin oleh orangorang
pandai di samping tokoh-tokoh kaum sesat yang lihai."
Tiba-tiba Liu Pang memberi isyarat kepada muridnya agar diam. Hidung mereka kembangkempis
dan jantung mereka berdebar tegang ketika tiba-tiba mereka mencium bau asap dupa wangi yang
semerbak menusuk hidung! Di tempat se-perti itu, di kuburan tua yang sepi tercium bau dupa.
Sungguh menyeramkan!
Guru dan murid itu segera memandang ke ka-nan kiri dengan sikap yang waspada dan seluruh urat
syaraf mereka menegang dalam kesiapsiagaan. Mereka memandang ke arah gundukan-gundukan
tanah kuburan yang tersebar di tempat luas itu. Akan tetapi, tempat itu benar-benar sunyi, tak nampak
ada seorangpun manusia, bahkan tidak ada sesuatupun yang nampak bergerak. Kadang-kadang,
selapis awan tipis menyembunyikan bulan yang si-narnya memang lemah itu, membuat suasana
men-jadi semakin menyeramkan. Akan tetapi, hidung mereka masih menangkap bau dupa terbakar
wa-laupun mereka tidak melihat adanya asap. Kadang-kadang bau itu sedemikian kerasnya seolaholah
dupa yang terbakar itu berada amat dekat de-ngan mereka. Pek Lian gemetar dan bulu tengkukdunia-
kangouw.blogspot.com
nya berdiri. Ia sudah mengenal bau ini dan oto-matis ketika ada bau keras datang dari arah belakangnya,
ia menoleh cepat.
"Hiiihhh !" Ia menjerat tertahan dan tangannya menangkap lengan suhunya.
"Ada apa ?" bisik gurunya kaget sambil menoleh tanpa melihat sesuatu yang mencurigakan.
"Di sana tadi.. ah, ke mana perginya?"
"Sttt, tenanglah. Apa yang kaulihat ?" gurunya berbisik dan bersikap waspada.
"Tadi tadi kulihat di sana, di belakang gundukan tanah itu, seorang laki-laki dan seorang wanita
melihat ke sini. Pakaian dan wajah mereka putih pucat seperti mayat. Tapi sekarang menghilang"
"Hemm, aku tidak melihat ada orang. Tenang-kan hatimu, nona Ho," kata Liu Pang yang setiap kali
teringat bahwa Pek Lian adalah puteri Men-teri Ho selalu menyebutnya nona walaupun gadis itu
adalah muridnya.
Tiba-tiba mereka terkejut sekali ketika mendengar suara orang tertawa. "Ha-ha-ha-ha !
Pemberontak Liu Pang, mana mungkin engkau lo-los dari tanganku ?" Tiba-tiba muncullah raksasa
Mongol Malisang bersama belasan orang pemban-tunya yang telah mengepung tempat itu dengan
senjata di tangan dan dengan sikap mengancam se-kali !
Karena tidak melihat jalan lain untuk melarikan diri, Liu Pang dan Pek Lian segera menghunus
pedang dan merekapun mengamuk. Liu Pang di-serang oleh Malisang yang dibantu oleh dua orang
perwira Mongol lainnya sedangkan anak buah la-innya mengeroyok Pek Lian. Terjadilah perkelahian
seru dan mati-matian di tanah kuburan itu, per-kelahian dalam cuaca remang-remang yang hanya
diterangi oleh bulan kecil sepotong. Tentu saja guru dan murid itu segera terdesak dan terhimpit,
berada dalam keadaan gawat dan berbahaya sekali karena mereka berdua itu jauh kalah kuat.
Terpaksa guru dan murid itu kini saling melin-dungi dengan berdiri beradu punggung dengan pe-dang
melintang di depan dada. Malisang tertawa bergelak melihat keadaan kedua orang buruannya yang
sudah tersudut ini. "Ha-ha-ha, Liu Pang, engkau seperti seekor tikus yang sudah terjepit di pojok.
Lebih baik menyerah saja untuk kubeleng-gu dari pada harus kuseret sebagai mayat."
Dengan muka merah dan mata terbelalak Liu Pang melintangkan pedangnya di depan dada. "Mati
dalam pertempuran merupakan kehormatan bagi seorang pejuang. Kalau ada kemampuan, majulah
dan tak perlu banyak cerewet lagi!"' ben-taknya menantang. Malisang mengeluarkan ben-takan
nyaring memberi aba-aba kepada anak bu-ahnya untuk mendesak dan menyerang guru dan murid
yang sudah tersudut itu.
"Trang-trang-tranggg !!" Tiba-tiba
nampak sinar berkelebatan dan beberapa buah golok dan pedang yang dipergunakan anak buah
pasukan Mongol untuk menyerang guru dan murid itu terlempar dan patah-patah, jatuh berhamburan
sedangkan mereka sendiri terhuyung mundur sam-bil memegangi tangan mereka yang terasa panas.
Melihat ini, Malisang terkejut sekali dan cepat memandang. Kiranya di situ telah muncul dua
orang, seorang laki-laki dan seorang wanita sete-ngah tua yang bermuka pucat-pucat dan berpakaian
putih-putih dengan gerakan dingin menye-ramkan seperti mayat-mayat hidup ! Melihat me-reka,
Pek Lian juga kaget sekali, mengenal bahwa itulah muka dua orang yang tadi dilihatnya mun-cul di
balik gundukan tanah kuburan lalu menghi-lang seperti setan.
Nenek itu menghampiri Pek Lian lalu berkata, "Nona Ho, selamat bertemu kembali !"
Terkejut dan heranlah Pek Lian mendengar teguran ini. Ia memandang penuh perhatian dan di bawah
sinar bulan yang suram, wajah nenek itu nampak masih membayangkan kecantikan akan tetapi wajah
itu amat pucat sehingga mengerikan. Akan tetapi ia segera mengenal wajah itu, apa lagi setelah
hidungnya mencium bau dupa wangi kelu-ar dari tubuh nenek itu.
"Bibi Kwa!" Pek Lian berseru girang karena kini iapun ingat bahwa nenek ini adalah ibu dari Kwa Siok
Eng, atau nyonya ketua Tai-bong-pai yang lihai itu ! Sementara itu, Liu Pang juga sudah dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
menduga siapa adanya kakek dan ne-nek itu karena dia pernah mendengar cerita mu-ridnya. Diapun
memandang dengan mata terbela-lak. Sebagai seorang pendekar pedang, tentu saja dia pernah
mendengar nama Tai-bong-pai, per-kumpulan manusia iblis yang mengerikan, bahkan diapun sudah
tahu bahwa pemuda lihai yang membantu para pengkhianat adalah tokoh muda Tai-bong-pai pula.
Kalau yang muncul ini suami isteri ketua Tai-bong-pai, berarti mereka ini adalah ayah ibu pemuda
Kwa Sun Tek, dan tentu dia akan celaka!
Akan tetapi, nenek itu kini menudingkan telun-juknya kepada muka Malisang dan dengan suara dingin
nenek itu berkata, "Orang asing. Pergilah engkau dari sini, bawa anak buahmu dan jangan engkau
berani mengganggu nona ini kalau engkau masih ingin hidup lebih lama lagi!"
Malisang adalah seorang kepala suku yang li-hai dan bertubuh kuat, tidak pernah merasa takut
terhadap lawan yang bagaimanapun juga. Kini melihat munculnya sepasang kakek dan nenek yang
telah menentangnya itu, tentu saja dia menjadi marah sekali. Apa lagi ketika mendengar ucapan
nenek itu yang amat memandang rendah kepada-nya, dia segera mengeluarkan suara menggeleng
seperti seekor biruang dan diapun menubruk ke depan dengan kedua lengannya yang panjang itu
menyerang dari kanan kiri dan kedua tangannya dengan jari-jari terbuka mencengkeram.
"Duk! Duk!"
Tubuh Malisang terdorong mundur oleh tang-kisan yang dilakukan oleh kakek itu yang mewakili
isterinya. Malisang terkejut sekali, akan tetapi kakek itu juga mengeluarkan seruan marah ketika
merasa betapa kedua lengannya tergetar hebat bertemu dengan lengan raksasa Mongol yang bertenaga
raksasa itu. Malisang segera menyerang la-gi, mengerahkan kekuatan dan kekebalannya.
Akan tetapi, kini yang dilawannya adalah ketua Tai-bong-pai, seorang tokoh yang memiliki ilmu mujijat.
Baru Kwa Sun Tek saja, tokoh muda Tai-bong-pai itu, sudah amat lihai. Apa lagi kakek ini adalah
ayahnya, ketua Tai-bong-pai yang ten-tu saja telah menguasai ilmu-ilmu siluman dari Tai-bong-pai
dengan sempurna. Baru belasan jurus saja, Malisang telah terdorong beberapa kali dan akhirnya
roboh terguling dengan darah me-rembes keluar dari tubuhnya bercampur keringat-nya. Dia telah
terkena ilmu ampuh Tai-bong-pai, yaitu Pukulan Penghisap Darah! Semua anak bu-ahnya
memandang dengan mata terbelalak, bahkan Liu Pang sendiri sampai bergidik.
Sementara itu, Kwa Eng Ki, ketua Tai-bong-pai, bersikap sesuai dengan sikap seorang ketua yang
berwibawa dan menghargai kedudukannya. Melihat lawannya roboh dan menjadi korban ilmu-nya, dia
lalu mengeluarkan dua buah pel merah dan dilemparkannya dua butir pel itu ke arah Ma-lisang sambil
berkata, "Di antara kita tidak ada permusuhan, jangan sampai engkau mati oleh pu-kulanku. Minumlah
dua butir pel penawar itu!"
Malisang merasa malu sekali. Akan tetapi dia-pun maklum bahwa kalau tidak memperoleh obat
penawar, nyawanya terancam bahaya maut, maka diapun melupakan kerendahan diri dan mengambil
dua butir pel itu dan terus saja ditelannya. Seketika darah yang merembes keluar dari pori-pori kulit
tubuhnya berhenti dan hatinyapun lega. Karena dia merasa malu dan tahu bahwa melawan tiada
gunanya lagi, diapun lalu pergi dari tempat itu, diiringkan oleh anak buahnya, tanpa mengelu-arkan
kata-kata lagi.
Tentu saja Liu Pang dan Pek Lian merasa lega melihat raksasa Mongol itu dan anak buahnya telah
dapat diusir pergi dari situ walaupun diam-diam Liu Pang masih meragukan apa yang akan dilakukan
selanjutnya oleh suami isteri iblis Tai-bong-pai yang menyeramkan itu.
"Nona Ho, apakah engkau melihat puteri kami yang nakal itu ? Kami khawatir sekali, ia pergi tanpa
pamit, padahal ia belum sembuh benar"
Karena Pek Lian sendiri juga merasa ngeri menyaksikan sepasang suami isteri yang seperti ma-yat
hidup itu dan tidak mengenal betul bagaimana sesungguhnya watak mereka, iapun tidak banyak
bicara dan hanya menjawab, "Saya sendiri tidak tahu, bibi." Pek Lian masih meragukan keadaan
suami isteri ini. Keadaan mereka penuh rahasia. Memang harus diakuinya bahwa Kwa Siok Eng
adalah seorang gadis yang baik sekali, akan tetapi bukankah kakak gadis itu kini bahkan bersekongkol
dengan para pasukan asing dan juga menjadi kaki tangan pemberontak yang bersekutu dengan
pejabat-pejabat daerah ? Sukar diduga keadaan orang-orang Tai-bong-pai, maka ia merasa lebih
aman kalau tidak mendekati dan bergaul dengan mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sudahlah, mari kita mencari di tempat lain," kata nenek itu kepada suaminya dan sekali berke-lebat,
dua orang itu lenyap dari situ seperti menghi-lang saja. Hanya bau dupa harum yang lapat-lapat
masih dapat tercium oleh Liu Pang dan muridnya. Mereka berdua bergidik ngeri. Sungguh, banyak
terdapat orang-orang lihai yang aneh di dunia ini dan agaknya, dalam keadaan negara dilanda kekacauan,
tokoh-tokoh dari dunia hitam, yang amat lihai dan aneh-aneh pada bermunculan keluar da-ri
sarang mereka.
Setelah suami isteri itu pergi, barulah Pek Lian teringat akan putera mereka yang kini bersekutu
dengan pasukan asing dan ia merasa menyesal mengapa hal itu tidak dibicarakannya dengan mereka
tadi. Setidaknya ia telah mengenal dan men-dapatkan kesan baik dari ibu Siok Eng dan siapa
tahu ketua Tai-bong-pai itu tidak mengetahui akan perbuatan kakak gadis itu dan akan menentangnya.
Karena maklum bahwa agaknya fihak musuh tidak akan melepaskan mereka begitu saja, Liu Pang
lalu mengajak muridnya untuk melanjutkan perjalanan meninggalkan tempat itu, mengambil jalan
memutar melalui tempat-tempat gelap untuk mencari dan menggabungkan diri dengan pa-sukan lain
yang dipimpin oleh para tokoh Thian-kiam-pang. Mereka mengambil jalan di lembah bukit yang terjal
dan sunyi, dengan hati-hati me-reka melalui jurang-jurang dan tanah yang penuh dengan dindingdinding
karang dan gua-gua. Setelah matahari menyingsing, mereka beristirahat sambil bersembunyi
di dalam sebuah guha di mana mereka bersila untuk memulihkan tenaga.
Setelah merasa yakin bahwa daerah itu sunyi dan tidak nampak gerakan manusia, mereka melanjutkan
perjalanan. Menjelang malam, mereka tiba di tepi sebuah sungai.
"Hati-hati ada asap di depan itu, tentu ada orangnya di sana," kata Liu Pang. Mereka lalu menyelinap
dan dengan bantuan kegelapan malam, guru dan murid ini mendekati tempat itu.
Kini mereka dapat melihat dengan jelas dari tempat sembunyi mereka. Di depan sebuah gua kecil
nampak seorang laki-laki yang berpakaian indah pesolek, duduk menghadapi sebuah api ung-gun.
Laki-laki ini memanggang daging kelinci yang sudah mulai matang dan mengeluarkan bau sedap,
sedangkan di dekatnya duduk seorang ga-dis yang menundukkan mukanya dan gadis itu termenung
menatap ke dalam api unggun seperti orang yang sedang bersedihDi tempat persembunyian mereka
yang aman dan cukup jauh dari tempat orang yang mereka intai, Pek Lian menyentuh tangan gurunya
dan berbisik, "Suhu, dia adalah si jahat Jai-hwa Toat-beng-kwi yang tersohor itu."
Liu Pang mengangguk dan memandang penuh perhatian. Laki-laki tampan pesolek itu kini menyodorkan
sepotong daging kelinci kepada si gadis yang bermuka pucat dan sedih. "Nih, makanlah,
agar engkau tidak nampak lesu begitu."
Gadis itu memandang dengan mata kosong dan agaknya takut untuk menolak. Diterimanya po-tongan
daging panggang itu dan gadis itupun ma-kan karena memang perutnya amat lapar. Jai-hwa Toatbeng-
kwi tersenyum dan diapun makan potongan daging yang lain.
"Nah, begitu bagus. Kalau engkau mentaati semua perintahku, tentu engkau akan senang." Keduanya
makan daging panggang dan minum dari sebuah guci besar yang agaknya terisi arak karena tercium
bau arak ketika laki-laki itu meminumnya. Gadis itupun terpaksa minum arak walaupun ia kelihatan
tersedak dan tidak biasa. Kini pria itu menyalakan ujung himcwe emasnya dan tercium-lah bau asap
tembakau.
"'Aku sudah banyak mendengar tentang jaha-nam itu," bisik Liu Pang. "Gadis itu tentu seorang
korbannya. Akan tetapi kita tidak usah mengusik-nya. Penjahat seperti dia banyak muslihatnya. Jangan-
jangan urusan kita malah menjadi berantak-an. Kaum sesat seperti mereka itu kini bersatu di
bawah Si Raja Kelelawar, sangiat berbahaya kalau mencari perkara dengan mereka. Dia sendiri sih
tidak perlu ditakuti, akan tetapi kalau kawan-ka-wannya muncul, berbahaya juga. Mari kita menghindar
saja."
Akan tetapi sebelum guru dan murid itu sem-pat pergi, tiba-tiba terdengar siulan nyaring yang menuju
ke tempat itu. Terpaksa mereka menyeli-nap dan bersembunyi lagi sambil mengintai.
Sesosok bayangan hitam berkelebat datang dan ternyata ia adalah seorang wanita yang berwajah
cantik dan bertubuh ramping. Usianya kurang dari tigapuluh tahun dan gerakannya cepat sekali, dan
kini setelah berdiri di dekat api unggun, mata-nya yang jeli mengerling ke arah si Jai-hwa Toat-bengdunia-
kangouw.blogspot.com
kwi, lalu kerling mata itu menyambar ke arah si gadis yang bermuka sedih dan wanita ini tersenyum
mengejek, bibirnya yang merah berjebi.
"Pek-pi Siauw-kwi Si Maling Cantik !"
Pek Lian berbisik dengan kaget ketika mengenal wanita ini. Akan tetapi, ternyata bukan wanita
penjahat ini saja yang muncul karena berturut-turut muncul pula orang-orang yang di dunia kang-ouw
sudah terkenal sebagai tokoh-tokoh kaum sesat. Ada sembilan orang banyaknya dan kini Jai-hwa
Toat-beng-kwi bangkit berdiri dan mengomel.
"Wah, sampai penat-penat badanku menanti kalian. Nah, inilah surat dari Ong-ya ! Siauw-kwi, bacalah
keras-keras agar semua orang mendengarnya !" kata jai-hwa Toat-beng-kwi sambil melemparkan
segulung kertas ke arah Si Maling Cantik. Kertas gulungan itu menyambar cepat dan ditangkap oleh
Pek-pi Siauw-kwi yang segera membuka gulungannya dan terdengarlah suaranya yang lembut
namun nyaring itu.
"Sekalian rakyatku yang malang-melintang di rimba raya dan sungai telaga, dengarlah baik-baik !
Saat ini negara sedang dalam keadaan kalut. Pem-berontakan terjadi di mana-mana. Negara berada
dalam bahaya keruntuhan. Dari arah barat dan timur para pemberontak sedikit demi sedikit menduduki
daerah-daerah. Kini tinggal beberapa daerah saja di sekitar kota raja yang masih tersisa. Nah,
sekaranglah saat kejayaan yang aku janjikan kepada kalian itu tiba. Berkumpullah kalian se-mua ke
kota raja. Akan kuberikan tugas-tugas penting. Kita akan bersuka ria dan kejayaan ber-ada di tangan
kita!"
Mendengar bunyi surat yang dibacakan oleh Pek-pi Siauw-kwi, semua orang menyambut gembira.
"Hidup Tuanku Raja Kelelawar! Hidup Ong-ya!" Kalau saja mereka semua belum me-nyaksikan
sendiri kehebatan orang yang kini men-jadi pemimpin mereka itu, tentu para tokoh sesat ini tidak akan
mudah begitu saja mempercayai jan-ji yang dikeluarkan sedemikian mudahnya. Berge-rak di kota raja
! Sungguh merupakan perbuatan nekat dan biasanya hal ini akan dianggap seperti orang mencari
mati saja. Akan tetapi kaum sesat itu kini sudah percaya sepenuhnya kepada Raja Kelelawar dan
apapun yang diperintahkannya akan mereka taati tanpa banyak ragu lagi.
Sambil bersorak-sorak, para tokoh sesat itu meninggalkan tempat itu, dan Jai-hwa Toat beng-kwi
sendiri lalu menarik tangan gadis korbannya, kemudian memondongnya dan penjahat cabul itu-pun
berkelebat pergi.
Liu Pang dan Pek Lian masih bersembunyi. Biarpun para tokoh sesat itu sudah lama pergi, mereka
masih saja bersembunyi di tempat tadi. Bulan sepotong tertutup awan, malam amat gelap dan kini api
unggun itu telah padam. Di dalam kegelapan ini sukar diketahui apakah benar-benar tempat itu telah
bersih dari orang-orang jahat itu. Hanya dengan ketajaman pendengaran saja Liu Pang meneliti
keadaan di tempat itu dan mereka mengambil keputusan untuk menanti dulu sebelum meninggalkan
tempat persembunyian mereka.
"Hemm, keadaan menjadi semakin gawat," bisik Liu Pang kepada muridnya. "Golongan sesat yang
dipimpin Raja Kelelawar itu ternyata sudah terjun pula dalam pergolakan negara, bahkan me-reka itu
langsung bergerak ke kota raja. Ini benar-benar merupakan hal yang amat gawat. Jenderal Beng Tian
dan putera mahkota sudah tidak berada di kota raja dan kini keadaan akan menjadi sema-kin kalut.
Kiranya di istana yang dapat diandalkan kini hanyalah pasukan pengawal istana saja. Sedangkan
barisan kita sendui kini masih tertahan di daerah ini. Untuk mencapai kota raja masih melalui jalan
yang panjang dan sukar. Bagaimana-pun juga, kita harus cepat dapat mencapai kota raja, jangan
sampai didahului oleh pasukan yang dipimpin oleh Chu Siang Yu. Apa lagi kalau istana sampai
dikuasai oleh iblis-iblis pimpinan Raja
Kelelawar, ahh jangan sampai terjadi hal itu!
Kita harus cepat mencari pasukan kita."
Jilid XXIII
dunia-kangouw.blogspot.com
TIBA-TIBA Liu Pang memegang tangan mu-ridnya dan menyuruhnya jangan bergerak. Bulan
sepotong telah terlepas dari cengkeraman awan dan di dalam cuaca yang suram-muram itu nampak
bayangan yang berkelebat halus namun cepat sekali. Tahu-tahu, seperti setan saja di tempat itu, tak
jauh dari tempat persembunyian mereka, nampak dua orang kakek berjenggot putih panjang. Mereka
adalah dua orang kakek yang mengenakan jubah panjang berwarna coklat dan di bagian dada jubah
itu nampak jelas lukisan na-ga terbuat dari pada benang kuning emas.
Liu Pang dan Pek Lian tidak berani bergerak. Dari gerak-gerik kedua orang kakek itu, guru dan murid
ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang yang memiliki kesaktian dan sedikit saja
mereka mengeluarkan suara tentu akan terde-ngar oleh dua orang kakek itu.
Seorang di antara mereka, yang lebih muda, menuding ke arah bekas api unggun dan terdengar
suaranya lirih, "Lihat, suheng. Iblis-iblis itu ten-tu baru saja berkumpul di sini. Sungguh mengherankan,
mereka itu biasanya bergerak sendiri-sen-diri, kalau sampai mereka dapat berkumpul, tentu
telah terjadi hal yang amat luar biasa."
"Benar, memang telah terjadi hal yang luar bia-sa," kata temannya. "Munculnya seorang pelindung
seperti Raja Kelelawar memberi kesempatan ke-pada mereka untuk tumbuh, keadaan mereka seperti
harimau tumbuh sayap. Mereka merajalela mengganggu rakyat yang sudah cukup menderita
sengsara akibat peperangan-peperangan itu. Me-reka itu menjadi semakin berani dan ganas karena
mereka tahu bahwa dalam keadaan seperti sekarang ini, tidak ada kekuatan yang berani menghalangi
mereka. Pasukan pemerintah sedang sibuk me-nanggulangi para pemberontak. Musuh bebuyutan
mereka, yaitu para pendekar, bahkan kini sibuk melawan pemerintah."
"Para iblis itu mengganas di kota raja sekalipun, takkan ada yang menghalangi. Bukankah ini sudah
keterlaluan sekali ? Bagaimana jadinya dengan ne-gara ini nanti ?"
"Sayang, kita sedang melaksanakan tugas yang diberikan oleh suhu. Kalau tidak, sudah kuhancurkan
orang-orang itu tadi!" Orang yang lebih muda mengepal tinju dengan sikap marah.
"Sabarlah, sute. Nanti kalau tugas kita selesai kita cari orang-orang itu. Hayo kita pergi, benteng itu
tidak jauh lagi dari sini."
Mereka berkelebat dan lenyap dari tempat itu. Gerakan para iblis sesat tadi memang sudah hebat dan
menunjukkan betapa mereka itu rata-rata berkepandaian tinggi. Akan tetapi, tingkat kepan-daian dua
orang ini bahkan melebihi mereka itu dan melihat betapa mereka berkelebat lenyap, Liu Pang
menghela napas panjang.
"Kedua orang itu lihai bukan main. Gerakan mereka sedikitpun tidak meninggalkan suara. Entah dari
golongan manakah mereka itu ? Agaknya me-reka tidak menyukai golongan Chu Siang Yu mau-pun
golongan kita. Dan mereka amat membenci anak buah Raja Kelelawar. Mereka juga tidak su-ka
kepada golongan yang mengkhianati pemerin-tah. Hemm, sungguh aneh, mereka itu dari golong-an
mana dan berpihak kepada siapakah ?"
"Suhu, aku mengenal jubah mereka. Mereka itu masih seperguruan dengan kakak beradik Chu Seng
Kun dan Chu Bwee Hong. Kalau tidak salah, orangj-orang tadi masih terhitung susiok kakak ber-adik
itu. Guru orang-orang tadi adalah murid ke dua dari mendiang Tabib Sakti Tanpa Bayangan. Aku
bahkan pernah berjumpa dengan guru mereka itu, yaitu di tempat kediaman murid keturunan Sin-kun
Bu-tek, yaitu ketua Thian-kiam-pang. Agaknya di antara kedua orang tua itu terdapat persahabatan
yang erat. Kalau mengingat bahwa isteri ketua Thian-kiam-pang adalah keluarga kai-sar, maka kurasa
kedua orang itupun tentu termasuk pengikut kaisar."
Liu Pang mengangguk-angguk. "Dan mereka hendak pergi ke benteng, apa sebenarnya tugas yang
mereka terima dari guru mereka itu ?"
Mereka melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali dan setelah lewat tengah malam, tibalah mereka
di suatu padang rumput Kini bintang berta-buran di langit bersih sehingga cahaya cukup menerangi
keadaan sekeliling.
"Suhu, lihat di sana itu ! Apakah itu?" Pek
dunia-kangouw.blogspot.com
Lian menunjuk jauh ke depan. Guru dan murid itu memandang dan jauh di depan nampak pemandangan
yang amat menarik. Seolah-olah ribuan bintang di langit itu bergerak turun dan berbaris di
atas bumi, merupakan barisan panjang berkelap-kelip.
"Hemm , itu sudah pasti sebuah barisan pasukan yang cukup besar, begitu panjang. Sedikitnya tentu
ada limaribu orang, dan ada iring-iringan kereta lagi, hemim entah pasukan mana yang bergerak pada
malam hari ini?"
Mereka lalu cepat menyelinap di antara pohon-pohon dan mendekati, kemudian bersembunyi di balik
pohon-pohon besar dan lebat. Kini bunyi derap kaki dan ringkik kuda, juga bunyi roda kere-ta sudah
terdengar oleh mereka, diseling berkerin-cingnya senjata para anak buah pasukan.
Dugaan Liu-bengcu yang berpengalaman itu memang tepat. Yang sedang bergerak itu adalah
sepasukan besar yang bersenjata lengkap. Mereka berdua tidak berani terlalu mendekatkan diri, dan
hanya mengintai dari balik batang-batang pohon besar yang berada di lereng bukit itu. Pada saat itu
terdengar derap kaki kuda mendekat dan nam-paklah beberapa orang perajufit pengawal mengiringkan
dua orang raksasa. Pek Lian terkejut sekali mengenal bahwa raksasa pertama adalah
Malisang, kepala suku Bangsa Mongol yang bersekongkol de-ngan pasukan daerah itu. Kiranya orang
Mongol ini sudah sembuh kembali setelah terluka oleh pu-kulan mujijat ketua Tai-bong,-pai dan kini
sudah berada di sini, agaknya memimpin pasukan besar yang melakukan gerakan di waktu malam itu.
Akan tetapi, gadis ini lebih kaget lagi ketika mengenal raksasa ke dua yang lebih besar lagi tubuhnya
dari pada si tokoh Mongol. Dan iapun menjadi gentar ketika mengenal bahwa raksasa ini ternyata
adalah Tiat-siang-kwi (Setan Gajah Besi), tokoh ke dua dari para iblis Ban-kwi-to itu ! Tentu saja guru
dan murid itu tak berani banyak berkutik ketika melihat betapa dua orang raksasa bersama pengawalnya
itu kini berhenti di dekat pohon-pohon tempat mereka bersembunyi!
"Ha-ha !" Raksasa Ban-kwi-to itu tertawa bergelak ketika mereka itu memandang ke arah pasukan
yang lewat di bawah. "Kalau kota raja sedang kalut, dengan barisanmu yang kuat ini, lang-sung
menyerang kota raja terus menduduki istana-nya, apakah sukarnya ?"
"Ho-ho, saudara Tiat-siang-kwi mudah saja bicara ! Keadaan istana dan kota raja memang ka-lut,
akan tetapi bukan itulah yang selama ini me-musingkan kami, melainkan si petani Liu Pang itu-lah !
Kalau pasukannya sudah kami hancurkan, barulah kita berkesempatan menyerbu kota raja."
"Hemm, aku tidak tahu tentang siasat perang. Akan tetapi engkau tahu bahwa kami mau mem-bantu
karena pasukanmu hendak menyerbu istana di kota raja," kata pula si raksasa dengan suaranya yang
lantang.
"Tentu saja, tentu saja. Jangan khawatir, kalau kita sudah menyerbu istana, tentu kami akan mem-beri
kesempatan seluasnya kepada engkau dan saudara-saudaramu untuk berpesta-pora sepuas-nya di
istana. Ha-ha-ha !"
"Huhh !" Tiba-tiba raksasa dari Bankwi-to itu mendengus dan berdesah seperti seekor kerbau. Dia
celingukan ke kanan kiri, ke belakang dan hidungnya terdengar mendengus-dengus. "Aku mencium
bau daging wanita muda! Ada wanita muda di sekitar tempat ini!"
Tentu saja Pek Lian terkejut setengah mati mendengar ini. Raksasa pemakan daging manusia ini
benar-benar memiliki penciuman yang tajam seperti srigala saja. Akan tetapi Malisang tertawa.
"Saudara Tiat-siang-kwi benar-benar memiliki penciuman yang hebat. Memang ada wanita-wa-nita di
dalam barisan itu. Di dalam kereta itu terdapat para wanita keluarga gubernur yang ikut mengungsi
dan kita kawal!"
"Bukan, bukan mereka! Wanita ini berada di sini, di sekitar tempat ini!" kata raksasa itu dan dengan
langkah lebar dia lalu menghampiri pohon besar di mana Liu Pang dan muridnya bersembu-nyi.
Ketika itu, guru dan murid ini bersembunyi di atas pohon besar itu, di antara dahan-dahan dan daundaun
pohon yang lebat. Tentu saja melihat raksasa itu menghampiri pohon, Pek Lian bergidik dan
jantungnya seperti akan pecah rasanya karena berdegup kencang penuh ketegangan. Liu Pang
sendiri sudah bersiap-siap untuk meloncat turun dan kalau perlu mengadu nyawa melindungi muridnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, ketika tiba di bawah pohon besar itu, Tiat-siang-kwi bukan menengok ke atas, me-lainkan
membungkuk ke bawah dan tangannya menyambar ke arah sehelai ikat pinggang yang berkembang
merah. "Inilah wanita itu !"
katanya sambil memandang ikat pinggang itu yang ternyata sebagian tertanam dalam tanah. Malisang
menghampiri dan memandang heran.
"Eh, ini tanah galian baru !" katanya dan dia-pun membantu raksasa itu menarik ikat pinggang yang
sebagian besar tertanam itu. Tanah terbuka dan keluarlah sesosok tubuh wanita yang sudah menjadi
mayat! Dari atas, Liu Pang dan Pek Lian memandang dengan hati ngeri dan mengenal bahwa itulah
gadis yang mereka lihat bersama Jai-hwa Toat-beng-kwi itu ! Kiranya gadis korban penjahat cabul itu
telah dibunuh dan mayatnya dikubur secara sembarangan di bawah pohon itu.
"Heii ! Mayat siapakah itu ?" Terdengar seruan orang dan seorang pria muda yang rambutnya riapriapan
tahu-tahu muncul di situ.
Dia adalah Kwa Sun Tek, tokoh muda Tai-bong-pai itu.
"Entahlah, kami temukan ia terkubur di sini," jawab Malisang. Kwa Sun Tek berjongkok meme-riksa.
"Hemm, bukan mayat orang yang kami cari," katanya sambil bangkit berdiri lagi.
"Kwa-sicu, apa maksudmu ?" tanya Malisang yang merasa heran melihat sikap pemuda ini seper-ti
orang marah-marah dan mencari-cari sesuatu.
"Sungguh kurang ajar sekali!" Kwa Sun Tek mengomel. "Para penjahat itu sungguh tidak memandang
sebelah mata kepada kita! Berani meng-ganggu barisan kita yang besar. Seorang dayang
gubernur telah diculik, berikut beberapa buah perhiasan yang dibawa oleh keluarga gubernur.
Bukankah itu perbuatan yang lancang dan menan-tang sekali ? Seorang di antara mereka, kalau tidak
salah yang berjuluk Pek-pi Siauw-kwi, terkena pukulanku, akan tetapi ia gesit sekali dan dapat
melarikan diri. Malam amat gelap dan mereka lari ke dalam hutan, bagaimana aku dapat menge-jar
mereka ?"
"Aih, sudahlah, mengapa urusan kecil begitu harus dibesarkan. Urusan besar kita bisa kapiran. Hayo
kita berangkat, perjalanan malam ini harus mencapai tempat tujuan sebelum matahari terbit."
Merekapun lalu pergi meninggalkan bawah pohon besar itu.
Dari atas pohon, Liu Pang dan Pek Lian me-nyaksikan iring-iringan yang besar dan ternyata bahwa
pasukan itu terdiri dari pasukan pejabat daerah bersama pasukan asing. Mereka agaknya
meninggalkan benteng karena takut akan serbuan pasukan Liu Pang. Pada akhir barisan itu nampak
kereta-kereta, di antaranya gerobak suami isteri Ban-kwi-to yang sudah amat dikenal oleh Pek Lian
itu.
Melihat ini, Liu Pang berpikir. "Wah, sungguh gawat. Ternyata para gubernur daerah itu bukan hanya
bersekongkol dengan orang-orang asing, akan tetapi juga dibantu oleh kaum sesat."
Setelah barisan itu lewat dan suasana di situ menjadi sunyi lagi, Liu Pang dan muridnya turun dari
batang pohon besar itu. Sejenak keduanya berdiri memandang kepada mayat gadis yang masih
menggeletak di bawah pohon. Liu Pang me-narik napas panjang.
"Gadis yang malang…"
"Dan biarpun sudah menjadi mayat, ia masih berjasa dan menyelamatkan kita, suhu," kata Pek Lian.
Mereka lalu menggali lubang dan mengubur mayat gadis itu.
Setelah itu, keduanya lalu dengan hati-hati melanjutkan perjalanan. Semua pengalaman yang dialami
oleh Liu Pang bersama muridnya dalam perjalanan ini, sungguh amat berharga baginya. Tanpa
disengaja dia telah memperoleh banyak ke-terangan mengenai keadaan musuh-musuhnya se-hingga
dari semua pengalaman ini dapat dipergu-nakannya untuk menyusun siasatnya kelak ketika dia
memimpin pasukannya sampai berhasil.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sudah terlalu lama kita meninggalkan Seng Kun dan Bwee Hong, kakak beradik yang melakukan
perjalanan ke kota raja dan diikuti oleh A-hai itu. Makin mendekati kota raja, kakak beradik ini me-lihat
betapa keadaan semakin kacau dan kekalutan amat terasa. Memang arus para pengungsi berku-rang
akan tetapi ketegangan terasa di mana-mana. Kota-kota menjadi sunyi, dusun-dusun diliputi
ketegangan dan ketakutan. Para penjahat berpes-ta-pora, melakukan aksi di mana saja, terutama
sekali di sekitar kota raja. Para penjahat ini tahu bahwa para perajurit sedang sibuk bertempur
menghadapi pemberontak. Kekuatan petugas kea-manan hanya lemah dan sedikit saja, bahkan para
petugas keamanan sendiri ikut-ikutan bersikap sewenang-wenang karena tidak diawasi oleh atas-an
mereka yang sibuk sendiri. Para penjahat yang memiliki kepandaian seperti menjadi raja-raja ke-cil
atau penguasa-penguasa yang menguasai kota-kota besar. Biasanya, selain para petugas keamanan,
juga para pendekar menentang mereka ini. Akan tetapi kini para pendekar banyak yang meninggalkan
rumah dan bergabung dengan pasukan pendekar menentang pemerintah dan menentang
para pengacau. Keadaan sungguh kalut dan hu-kum rimbapun berlakulah. Siapa kuat dia menang.
Para hartawan dan para pejabat, orang-orang terkemuka dan mampu, menggaji barisan tukang pukul
untuk menjaga keselamatan keluarga mereka, atau setidaknya mereka ini mendekati para penja-hat,
menyogok sana-sini agar keluarga mereka ti-dak diganggu. Segala macam perbuatan kejipun
terjadilah di malam hari. Penindasan, perampokan, perkosaan dan kerusuhan karena persainganpun
terjadi hampir setiap hari. Keadaannya amat me-nyedihkan.
Seng Kun dan Bwee Hong melihat semua ini. A-hai juga melihatnya, akan tetapi pemuda yang
linglung ini seperti tidak mengacuhkannya atau tidak menyadari keadaan. Sebaliknya, kakak ber-adik
yang berjiwa pendekar itu merasa berduka se-kali. Mereka prihatin menyaksikan keadaan ini, melihat
bahwa bagaimanapun juga, akhirnya yang paling menderita adalah rakyat jelata yang miskin dan
lemah. Rakyat yang tidak mempunyai pelin-dung dan tidak kuasa melindungi diri sendiri inilah yang
ditindas, diinjak-injak, disiksa, dibunuh, di-perkosa hak-haknya, sedikitpun tidak ada kemam-puan
untuk membalas dan biasanya hanya mena-ngis saja.
Pada suatu pagi yang cerah, tiga orang muda ini memasuki sebuah kota kecil yang terletak di sebelah
tenggara kota raja. Sebuah jalan raya yang cukup besar terbentang di depan, memasuki pintu
gerbang utara untuk menuju ke arah kota raja. Kota kecil ini biasanya cukup ramai akan tetapi
sekarang di balik keramaian itu terasa adanya ke-tegangan dan rasa takut membayang dalam pandang
mata setiap orang yang masih melanjutkan usahanya berdagang.
Baru sampai di pintu gerbang saja, tiga orang muda itu sudah melihat hal yang amat mengheran-kan.
Mereka melihat betapa setiap orang yang le-wat di situ menghampiri sebuah sudut di pintu gerbang.
Di situ berdiri sebuah guci besar, tinggi-nya ada satu meter dan mulut guci itu lebar, lalu menyempit
di bagian leher. Setiap orang yang menghampiri guci itu lalu memasukkan uang ke dalam mulut guci.
Di belakang guci itu duduk ber-sila seorang laki-laki yang bertubuh kekar dan berjenggot lebat. Di
sekitar tempat itu terdapat enam orang laki-laki yang rata-rata berwajah se-rem dan bersikap galak.
Mereka inilah yang meng-amati setiap ada orang memasukkan uang ke da-lam guci, dan orang-orang
yang memasukkan uang itupun dengan sengaja memperlihatkan jumlah uang yang dimasukkannya,
seolah-olah hendak memperlihatkan bahwa mereka telah memasukkan jumlah uang yang
secukupnya. Dari sikap mereka yang menghampiri guci, dapat terlihat bayangan rasa gentar dan takut
terhadap orang-orang yang menjaga guci itu.
Tentu saja tiga orang muda itu merasa heran bukan main. Mula-mula mereka tidak tahu apa artinya
guci yang dimasuki uang oleh mereka yang lewat di pintu gerbang itu. Maka Seng Kun dan Bwee
Hong juga meragu dan berdiri memandang ketika ada seorang nenek datang menghampiri guci itu
dengan mulut kemak-kemik dan muka pucat, mata terbelalak membayangkan rasa takut. Nenek itu
berusia hampir enampuluh tahun, memikul ke-ranjang sayuran yang kosong. Melihat pakaiannya,
tentu ia seorang nenek dusun yang baru saja pu-lang dari kota menjual hasil ladangnya berapa sayur-
sayuran. Dengan tangan gemetar, nenek itu mengambil sepotong uang logam dan hendak
memasukkannya ke dalam mulut guci. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras dan nenek itu
terkejut, tangannya menggigil dan mukanya pucat memandang kepada laki-laki tinggi besar yang
membentaknya tadi.
"Nenek mau mampus ! Berani engkau menghina kami dengan memberi uang kecil yang tiada
harganya itu?" Seorang di antara enam laki-laki ga-lak itu membentak dan menghampiri dengan sikap
mengancam.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ampun saya saya tidak punya uang" nenek itu berkata dengan suara gemetar dan merangkapkan
kedua tangan, memberi soja berka-li-kali.
"Nenek pelit! Siapa tidak tahu bahwa engkau pagi tadi lewat membawa sayuran sepikul ? Hayo cepat
beri lima kali itu !"
"Akan tetapi ah cucu saya sakit panas ....... uang penjualan sayur nanti untuk membeli obat"
"Alasan ! Biar cucumu mampus ! Cepat beri-kan uang itu !"
"Tidak tidak nanti bagaimana cucu ku "
"Plak !" Laki-laki kasar itu menggerakkan ta-ngan menampar dan nenek itu terkena tamparan pada
pipinya, membuatnya terpelanting.
"Nenek pelit bosan hidup!" Laki-laki kasar yartg marah itu melangkah lebar dan hendak melanjutkan
serangannya dengan sebuah tendangan.
"Manusia berhati kejam seperti binatang!" Ti-ba-tiba nampak bayangan berkelebat dan Bwee Hong
sudah berada di situ, menyambar tubuh ne-nek itu sehingga terluput dari tendangan. Dengan sikap
halus Bwee Hong mengajak nenek itu ber-diri di tepi jalan, membersihkan baju nenek itu dan
menyerahkan beberapa mata uang perak sambil berkata, "Nenek, pakailah uang ini untuk membeli
obat cucumu dan cepatlah pergi meninggalkan tempat ini."
Nenek itu menerima uang perak dengan mata basah. Ia mengenal mata uang itu dan cepat pergi
terbongkok-bongkok. Sementara itu, laki-laki tinggi besar tadi memandang kepada Bwee Hong
dengan muka merah. Dia hendak marah, akan te-tapi begitu melihat wajah yang cantik jelita itu,
kemarahannya lenyap seperti awan tipis ditiup angin. Sebaliknya, dia malah tersenyum lebar dan
matanya terbelalak menatap wajah yang luar biasa manisnya itu.
"Ah, kiranya ada bidadari dari kahyangan yang datang membagi berkah! Nona manis, kalau nona
yang mintakan, tukang-tukang pukul yang pandai ilmu silat. Melihat nona cantik itu menggerakkan tangan
menamparnya, si tinggi besar itu tertawa dan menggerakkan tangan untuk meraih dan hendak
menangkap tangan kiri Bwee Hong yang menam-par. Akan tetapi, tiba tiba ada bayangan menyambar
dari bawah dan tahu-tahu kaki kanan Bwee Hong sudah mendahului tangan kirinya, menen-dang
tinggi ke atas dan menyambar ke arah muka pria itu dengan kecepatan kilat.
"Plakkk !" Laki-laki itu mengaduh, terpelanting dan meraba pipinya yang tiba tiba saja membeng-kak,
dan darah segar mengalir dari bibirnya karena beberapa buah giginya telah rontok terkena tendangan
kaki Bwee Hong. Kiranya nona ini telak sudi menyentuh muka orang dengan tangan dan
tangan kirinya tadi hanya merupakan gerakan me-mancing belaka sedangkan yang sungguh-sungguh
menyerang adalah kakinya.
Lima orang temannya terkejut dan juga mulai marah melihat kawan mereka mengalami penghi-naan
seperti itu. Mengertilah mereka bahwa nona cantik ini ternyata pandai ilmu silat. Bagaimana-pun juga,
mereka masih memandang rendah. Bo-leh jadi nona ini pandai dan berhasil menendang muka kawan
mereka, akan tetapi menghadapi me-reka semua, tentu nona ini, tidak akan mampu ber-buat banyak.
Kemarahan mereka membuat mereka mengambil keputusan untuk menangkap dan mem-balas
dendam dengan menghina dara ini.
"Perempuan tak tahu diuntung ! Kita tangkap dan kita permainkan ia sepuas kita!" kata seorang di
antara mereka yang berkumis tebal dan bertu-buh gendut pendek. Lima orang itu dengan kedua
tangan mencengkeram seperti lima ekor harimau hendak memperebutkan seekor domba, lalu menubruk
ke depan dari semua jurusan.
Akan tetapi, lima orang itu yang kini dibantu oleh orang pertama yang giginya rontok tadi, se-kali ini
benar-benar kecelik. Telah berbulan-bulan lamanya mereka ini, dikepalai oleh orang tinggi besar yang
masih duduk bersila, bersikap sewe-nang-wenang di kota kecil itu, merajalela seperti raja-raja kecil
memeras rakyat dan melakukan apa saja seenak perut mereka sendiri, tanpa ada yang dapat
menentang mereka. Kini, mereka kecelik dan benar-benar bertemu batunya. Mereka hanya meli-hat
tubuh nona yang langsing itu lenyap lalu nam-pak bayangan berkelebatan dan bagaikan terbang saja
Bwee Hong berloncatan ke sana-sini, mem-bagi-bagi tendangan dengan kedua kakinya, su-suldunia-
kangouw.blogspot.com
menyusul dan ganti-berganti. Terdengar sua-ra kaki bertemu dengan dagu, dengan dada, dengan
perut, disusul teriakan kesakitan dan enam orang itu sama sekali tidak mampu menghindarkan diri
dari kaki Bwee Hong dan merekapun terpelanting jatuh bangun dan mengaduh-aduh. Ada yang perutnya
mendadak menjadi mulas, ada yang dada-nya sesak sukar bernapas, ada yang patah tulang
dan ada pula yang mulutnya berdarah giginya ron-tok ! Hebat memang sepak terjang Bwee Hong
dengan kecepatannya yang membuat semua lawan-nya roboh tanpa mereka ketahui apa yang sebenarnya
menyambar dirinya dan membuat mereka roboh tadi.
Tiba-tiba terdengar suara geraman hebat se-perti seekor srigala marah dan tahu-tahu laki-laki tinggi
besar yang tadi duduk bersila di belakang guci uang, melompat ke atas dan dengan kedua lengan
bersilang membentuk cakar harimau, orang itu sudah menubruk ke arah Bwee Hong. Jelaslah bahwa
dari gerakannya, orang ini jauh lebih lihai dari pada enam orang temannya tadi dan memang
sesungguhnya dia adalah kepala dari gerombolan penjahat itu yang tentu saja memiliki ilmu silat yang
lebih lihai. Ilmu silatnya adalah ilmu silat harimau dan dengan loncatan itu, dia sudah me-nerkam ke
arah Bwee Hong, mencengkeram ke arah kepala dan dada gadis itu. Akan tetapi Bwee Hong sudah
siap sedia menghadapi serangan ini maka begitu terkaman itu tiba, ia sudah dapat mengelak dengan
amat cepatnya dan membalas dengan tendangan ke arah perut orang tinggi be-sar itu.
"Dukk!" Orang itu menangkis dengan lengan-nya dan dari tangkisan ini tahulah Bwee Hong bahwa
lawannya hanya memiliki tenaga kasar saja. Sebaliknya orang itu, begitu menangkis, tangannya
sudah mencengkeram hendak menangkap kaki yang menendang. Akan tetapi, tangan Bwee Hong sudah
menyambar ke depan dan tangan kirinya yang membentuk paruh burung sudah menyambar ke
arah mata lawan. Kagetlah laki-laki itu karena gerakan gadis itu sedemikian cepatnya sehingga
hampir saja dia tidak mampu menghindarkan diri-nya lagi. Hanya dengan membuang dirinya ke belakang
dia dapat mengelak, akan tetapi Bwee Hong telah menyusulkan tendangan berantainya yang
amat lihai itu-Lawannya berusaha mengelak dan menangkis, hanya empat kali berhasil dan tendangan
susulan yang ke lima kalinya tanpa dapat dice-gah lagi telah mengenai lambungnya.
"Dukk augghhh !" Tubuh yang tinggi besar itupun terpelanting dan si tinggi besar itu tak
mampu bangun lagi karena roboh pingsan. Menyaksikan betapa kepala mereka yang amat mereka
andalkan itu ternyata roboh pula oleh ga-dis cantik itu, enam orang kasar tadi menjadi ter-belalak dan
muka mereka berobah pucat sekali.
Sementara itu, A-hai sejak tadi nonton saja dan diapun tahu apa artinya guci uang itu. Agaknya,
pemuda inipun menjadi penasaran sekali? "Memaksa orang memberikan uangnya, sama saja dengan
perampokan di siang hari, di tempat ramai pula. Sungguh keterlaluan!" Sambil berkata demikian,
A-hai lalu mengangkat guci uang itu, menuangkan isinya sehingga banyak uang berhamburan
keluar dari guci. Tumpukan uang itu lalu ditendang dan disebar-sebarkannya. Tentu saja
menjadi rebutan orang-orang yang banyak lalu-lalang, di tempat itu. Enam orang kasar itu tidak berani
banyak bergerak, bahkan diam-diam me-reka lalu menggotong pimpinan mereka dan meng-ambil
langkah seribu melarikan diri dari tempat itu. Mereka merasa takut sekali. Baru gadis itu saja sudah
membuat mereka tidak mampu mela-wan, apa lagi kalau dua orang pemuda yang datang bersama
dara itu juga turun tangan. Bisa celaka mereka, mungkin akan mati semua mereka. Maka merekapun
segera menghmbil langkah aman dan melarikan diri.
Tiga orang muda itu lalu memasuki kota kecil dan melihat-lihat keadaan. Berita tentang diha-jarnya
para pencoleng oleh gadis cantik yang da-tang bersama dua orang muda itu segera tersiar dan ramai
dibicarakan orang. Banyak orang diam-diam bersyukur bahwa dalam keadaan kalut seperti itu masih
ada pendekar yang suka turun tangan membasmi kejahatan. Peristiwa itu mendatangkan secercah
sinar harapan dalam hati mereka yang ta-dinya sudah menjadi muram dan tak acuh karena kekalutan
yang melanda kehidupan mereka selama ini.
Tiga orang muda itu melihat bahwa biarpun di dalam kota kecil itu masih terdapat orang-orang
berpakaian seragam, yaitu para penjaga keamanan kota, namun sikap mereka itu tak acuh walaupun
masih jelas nampak keangkuhan dan ketinggian hati mereka.
Sore hari itu, setelah memperoleh kamar pengi-napan, Bwee Hong, Seng Kun dan A-hai keluar dan
memasuki sebuah restoran. Ternyata, biar da-lam keadaan kalut, restoran itu menyediakan ma-kanan
yang cukup lengjkap sehingga Bwee Hong merasa gembira ketika memesan masakan kesayangannya.
Seperti juga para pengusaha lainnya, restoran yang cukup besar itupun memelihara belasan
orang tukang pukul yang berjaga di dalam ruangan dan juga di depan pintu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga orang muda itu sedang enak-enaknya makan masakan yang mereka pesan ketika terde-ngar
suara ribut-ribut di luar pintu. Karena me-reka itu kebetulan memperoleh tempat duduk di dekat pintu,
maka mereka dapat melihat bahwa yang ribut-ribut itu adalah percekcokan antara seorang pengemis
tua dengan para tukang pukul penjaga atau pelindung keamanan restoran itu. Percekcokan mulut'
yang kemudian diteruskan menjadi perkelahian. Dan ternyata pengemis tua itu lihai bukan main.
Pengemis jembel yang mengempit tongkat hitam itu hanya menggunakan sebelah tangan kirinya saja,
akan tetapi belasan orang tukang pukul yang mengeroyoknya terpe-lanting ke kanan kiri, jatuh
bangun dan dihajar kalang-kabut. Akhirnya, semua tukang pukul su-dah roboh terguling dan tidak
berani melawan lagi. Pengemis tua yang bertubuh pendek kecil akan tetapi perutnya buncit itu lalu
mengeluarkan sebuah kantong butut, dilemparkannya kantong itu. ke arah meja kasir yang berada di
dekat pintu.
"Penuhi kantongku itu !" bentaknya dan mata-nya yang kemerahan itu melotot. Melihat ini Bwee Hong
memandang kepada kakaknya, sinar matanya minta pertimbangan. Seng Kun berbisik.
"Jangan ikut campur. Lihat di sudut itu. Di sana ada empat orang petugas keamanan kota, pakaiannya
seperti perwira, akan tetapi mereka itu pura-pura tidak melihat keributan ini. Mengapa kita
harus campur tangan ?"
Majikan restoran itu yang duduk di meja keu-angan, terpaksa memenuhi kantong butut itu de-ngan
uang, kemudian menyerahkannya kepada si pengemis dengan sikap takut-takut. Pengemis itu
menerima kantong, isi kantongnya lalu dituangkan ke dalam kantong besar yang diikat di punggungnya.
Kemudian, kantong butut kosong itu dilem-parkannya ke atas meja yang dihadapi Bwee Hong,
Seng Kun dan A-hai.
"Nona tadi telah mengabaikan biaya yang menjadi kewajiban semua orang yang lewat di pintu
gerbang, sekarang harus nona penuhi kantong itu dengan uang, baru aku mau menghabiskan perkara
itu!"
A-hai memandang dengan mata terbelalak ketakutan. Dia sudah melihat betapa lihainya pe ngemis
tua itu. Akan tetapi, Bwee Hong sudah menjadi marah dan iapun meloncat bangun dari kursinya,
bertolak pinggang di luar pintu restoran menghadapi pengemis itu sambil tersenyum meng-ejek.
"Huh, kukira engkau adalah jembel tua yang hanya mencari derma, kiranya engkau jembel bu-suk
yang menjadi sekutu para pencoleng itu. Me-muakkan sekali I"
Pengemis tua itu membelalakkan matanya yang merah dan diapun memutar tongkat yang tadi ke-tika
dia dikeroyok selalu dikempitnya saja tanpa pernah dipergunakan itu. Baru dengan sebelah tangan
kosong saja dia sudah mampu merobohkan belasan orang tukang pukul. Dapat dibayangkan betapa
lihainya kalau mempergunakan tongkatnya itu sebagai senjata. Akan tetapi, pengemis yang sudah tua
itu agaknya tahu malu dan merasa sung-kan kalau dia sebagai seorang tokoh besar harus
menandingi seorang gadis cantik yang begitu mu-da. Maka matanya yang merah mengerling ke arah
A-hai dan Seng Kun, lalu mulutnya mengomel.
"Tak tahu malu ada dua orang, lelaki membiar-kan teman wanitanya yang maju. Kalau kalian bu-kan
pengecut, majulah dan jangan berlindung di belakang wanita!"
Biarpun dia sendiri tidak sadar bahwa dia me-miliki kepandaian tinggi, akan tetapi A-hai sama sekali
bukan seorang pengecut. Dia bangkit ber-diri dan menudingkan telunjuknya ke arah muka pengemis
itu. "Eh, kakek pengemis jangan engkau bicara seenaknya saja, ya! Aku bukan tukang berkelahi
seperti engkau, akan tetapi jangan bilang kalau aku pengecut!"
Bwee Hong cepat berkata, "A-hai, sudahlah, jangan ikut campur. Yang menghajar para penco-leng di
pintu gerbang adalah aku, maka kini aku-lah yang akan mempertanggungjawabkan perbuat-an itu
terhadap datuknya pencoleng ini!" Ia lalu melangkah maju dan mengejek, "Jembel-busuk, kalau
engkau takut melawan aku, pergilah dengan cepat dan jangan banyak cerewet lagi !"
"Perempuan rendah !" Pengemis itu marah dan tongkatnya meluncur bagaikan kilat menusuk ke arah
leher Bwee Hong. Akan tetapi terkejutlah dia ketika melihat tubuh gadis di depannya itu tiba-tiba
lenyap dan tahu-tahu dari samping gadis itu telah membalas serangannya dengan sebuah ten-dangan
kilat yang nyaris mengenai lambungnya. Kakek itu cepat meloncat ke depan sambil menge-lebatkan
tongkatnya menangkis, akan tetapi Bwee
dunia-kangouw.blogspot.com
Hong sudah menarik kembali kakinya. Terjadilah perkelahian yang seru dan cepat sekali. Gerakan
pengemis itu ternyata amat gesit, akan tetapi meng-hadapi Bwee Hong dia masih kalah jauh dalam
hal kecepatan. Perkelahian dalam tempo yang amat cepat ini membuat mereka yang melihatnya
menjadi silau dan kabur pandangannya. Seng Kun memandang sejenak penuh perhatian lalu diapun
melanjutkan makan minum dengan sikap tenang. A-hai yang juga nonton dengan gelisah, melihat
betapa Seng Kun tidak mengacuhkan adiknya yang sedang berkelahi itu, menegur,
"Engkau ini bagaimana sih ? Adikmu berkela-hi melawan pengemis yang demikian lihainya dan
engkau enak-enak makan minum saja !"
Seng Kun mengangkat muka memandang wa-jah yang tampan gagah itu sambil tersenyum. "Ha-bis
harus bagaimana aku ?"
"Bantulah, atau hentikanlah perkelahian itu !"
"Tidak apa, ia tidak akan kalah."
"Bagaimana engkau tahu " A-hai menengok lagi dan dia terbelalak melihat betapa tahu-tahu
pengemis tua itu telah terpelanting jauh, entah terkena pukulan atau tendangan Bwee Hong yang
berdiri bertolak pinggang dengan sikap menantang.
"Bawa kantong busukmu dan enyahlah !" kata Bwee Hong sambil melemparkan kantong kosong yang
tadi oleh si pengemis dilemparkan ke atas meja.
Pengemis itu memungut kantong itu, lalu bang-kit berdiri dan memandang ke arah Bwee Hong, Seng
Kun dan A-hai. Matanya yang sudah merah itu menjadi lebih merah lagi ketika dia berkata, "Kalian
mempunyai perhitungan dengan kami, orang-orang rimba hijau dan sungai telaga. Hati-hatilah kalian!"
Setelah jembel tua itu pergi, Bwee Hong dan dua orang pemuda itu melanjutkan makan minum, tidak
memperdulikan pandang mata orang-orang yang ditujukan ke arah mereka dengan kagum. Setelah
kenyang dan membayar harga makanan, merekapun kembali ke kamar hotel mereka.
Malam itu, Seng Kun dan Bwee Hong bersikap waspada, tidak seperti A-hai yang sudah tidur soresore.
Kakak beradik ini maklum bahwa pe-ristiwa sore dan pagi hari tadi tentu masih akan
berkelanjutan. Mereka maklum bahwa para pen-jahat yang agaknya menguasai kota kecil itu, se-telah
mendapat hajaran, tentu akan berusaha membalas dendam dan mendatangkan jagoan-jago-an
mereka yang lebih lihai. Oleh karena itu, Seng Kun meninggalkan kamarnya di mana dia tinggal
bersama A-hai dan bercakap-cakap sambil ber-jaga dengan adiknya di ruangan depan adiknya.
Dan apa yang mereka khawatirkan dan nanti-nantikan itu memang sungguh terjadi. Menjelang
tengah malam, ketika mereka sudah bosan menanti dan hendak tidur, tiba-tiba mereka dikejutkan
oleh suara harimau mengaum. Keduanya masih duduk dengan tenang akan tetapi dengan jantung
berdebar dan urat syaraf menegang ketika daun pintu terbuka dengan mudahnya dari luar, seolaholah
didobrak oleh tenaga raksasa dan muncullah seorang kakek tinggi besar yang mengenakan jubah
kulit harimau. Kakek itu usianya tentu sudah limapuluh tahun lebih, akan tetapi tubuhnya ma-sih
nampak tegap dan membayangkan tenaga besar, rambutnya yang dibungkus kain hitam itu masih
nampak hitam lebat, dengan cambang bauk mem-buat wajahnya nampak menyeramkan. Jubahnya
dari kulit harimau tutul dan sepasang matanya bersinar-sinar galak. Berturut-turut muncul pula enam
orang laki-laki yang kesemuanya bersikap kasar dan bertubuh tegap.
Seng Kun bangkit berdiri dan menghadapi mereka. Bwee Hong juga sudah bangkit dan men-dampingi
kakaknya. Sejenak mereka saling beradu pandang dan tiba-tiba kakek tinggi besar itu ter-tawa. Suara
ketawanya menyeramkan karena di-seling gerengan-gerengan seperti auman harimau. Dia adalah
seorang tokoh besar di dunia penjahat, seorang di antara Sam-ok (Si Tiga Jahat) dan dia-lah yang kini
menjadi seorang di antara, pemban-tu-pembantu dan kepercayaan Raja Kelelawar. Orang ini adalah
San-hek-houw Si Harimau Gunung. Para pencoleng yang siang tadi dihajar oleh Bwee Hong, juga si
pengemis lihai, adalah anak buahnya. Ketika mendengar pelaporan betapa anak buahnya, juga si
pengemis lihai yang diserahi tugas mengamati dan memimpin para anak buah yang beroperasi di kota
kecil itu, dihajar oleh seorang gadis cantik, tentu saja San-hek-houw menjadi marah dan penasaran
sekali. Maka, malam itu, dengan diiringkan oleh beberapa orang pemban-tunya, dia mendatangi
rumah penginapan di mana gadis dan dua orang muda itu berada. Pemilik ru-mah penginapan dan
dunia-kangouw.blogspot.com
para penjaganya sudah sejak tadi menyembunyikan diri begitu mendengar suara auman harimau itu,
yang mereka kenal sebagai tanda kemunculan "raja" penjahat yang mengua-sai kota itu.
Ketika datang sendiri dan melihat bahwa yang dianggapnya musuh berbahaya itu hanyalah seo-orang
gadis muda yang cantik bersama seorang pemuda tampan yang kelihatannya lemah, San-hek-houw
tak dapat menahan ketawanya. Tentu saja dia memandang rendah kepada anak-anak ini.
"Ha-ha-ha, benarkah bahwa kalian bocah-bocah ini yang siang dan sore tadi mengacau di kota ini ?"
tanyanya, suaranya menggetar dan pa-rau menyeramkan.
Seng Kun yang dapat menduga bahwa orang ini tentu merupakan tokoh besar penjahat dan
merupakan lawan tangguh, sudah mendahului adiknya, melangkah maju dan berkata dengan suara
halus, "Sobat, sesungguhnya bukan kami yang mengacau, melainkan teman-temanmu itu, dan
kami hanya membela orang yang tertindas saja."
"Ha-ha-ha, orang muda, aku mendengar bah-wa yang memukul anak buahku adalah seorang gadis
cantik. Ia itukah orangnya ?" San-hek-houw menudingkan telunjuknya ke arah Bwee Hong.
Bwee Hong sudah sejak tadi menjadi marah. Ia tidak sesabar kakaknya dan kini mendengar
pertanyaan itu, iapun menjawab lantang, "Benar ! Akulah yang menghajar pencoleng-pencoleng busuk
itu. Habis, engkau mau apa °"
"Bagus ! Engkau harus menyerahkan diri un-tuk kutangkap dan menerima hukuman!" kata San-hekhouw.
"Hemrn, andaikata aku mau iuga, pedangku ini yang tidak membolehkan aku menyerah kepada
segala macam penjahat kejam !" kata Bwee Hong sambil menghunus pedangnya.
"Ha-ha-ha, engkau kuda betina liar yang cantik, memang patut untuk ditundukkan dulu sebelum
dijinakkan ! Ha-ha-ha!" Kakek tinggi besar itu menggerakkan tangannya dan ada angin menyambar
dahsyat ketika lengannya yang pan-jang mencuat dan mencengkeram ke arah dada Bwee Hong.
"Dukkk!" Seng Kun menangkis dari samping.
Harimau Gunung terkejut ketika merasa betapa tangkisan pemuda itu membuat lengannya terge-tar.
Tahulah dia bahwa pemuda ini ternyata ber-isi juga, maka diapun mengeluarkan suara auman yang
menggetarkan seluruh bangunan rumah pe-nginapan itu, kemudian diapun menyerang Seng Kun
dengan kalang-kabut. Sepak terjangnya me-mang kasar sekali, dan mengandung kebuasan, apa lagi
serangannya itu disertai gerengan-gerengan seperti harimau. Dan meruanglah, tokoh hitam ini
mempunyai pembawaan seperti harimau. Biasa-nya, kemunculannya selalu ditemani oleh sepasang
harimau kumbang, akan tetapi sekali ini, dalam tugasnya mengacau dan menuju ke kota raja, dia
terpaksa meninggalkan sepasang binatang peliha-raan itu di dalam kandang. Dan ilmu silatnya ju-ga
merupakan ilmu silat yang gerakan-gerakan-nya didasari gerakan binatang harimau yang bu-as.
Kedua tangannya membentuk cakar harimau, yang disebut Houw-jiauw-kang dan dengan ca-karnya
ini dia mampu merobek-robek tubuh orang, bahkan cengkeramannya dapat menghan-curkan batu
karang saking kuatnya.
Seng Kun terkejut bukan main menyaksikan kehebatan lawan ini. Beberapa kali dia terhuyung ketika
mengadu tenaga dan beberapa kali nyaris kulit dagingnya terkena cengkeraman dan menja-di korban
Ilmu Houw-jiauw-kang ! Terpaksa Seng Kun lalu menghunus pedangnya dan melin-dungi dirinya
dengan putaran pedangnya. Melihat ini, San-hek-houw tertawa bergelak dan melo-loskan sebatang
rantai yang ujungnya bertongak jangkar terbuat dari pada baja yang selain kuat juga berat sekali!
Terjadilah perkelahian yang lebih seru lagi di dalam ruangan yang cukup luas itu. Enam orang laki-laki
pengikut San-hek-houw hanya menonton sambil mengepung ruangan itu dengan sikap mereka yang
congkak.
Diam-diam Seng Kun mengeluh. Ternyata lawannya ini benar-benar amat tangguh, bukan sembarang
tokoh sesat, melainkan seorang datuk yang lihai bukan main. Pedangnya selalu terpen-tal ketika
bertemu dengan senjata lawan yang be-rat dan segera dia terdesak oleh gerakan senjata lawan yang
berat dan panjang itu. Melihat kea-daan kakaknya, Bwee Hong meloncat maju dan membantu. Enam
orang teman San-hek-houw hendak bergerak mencegah, akan tetapi San-hek-houw tertawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha, biarlah ia maju untuk mengha-ngatkan suasana, ha-ha !"
Karena pemimpin mereka membolehkan, maka enam orang itupun tidak berani bergerak dan membiarkan
gadis itu mengeroyok San-hek-houw yang ternyata memang tangguh itu. Bagaimanapun juga,
setelah Bwee Hong maju dan kakak beradik itu mengandalkan ginkang mereka yang luar biasa, Sanhek-
houw mulai kewalahan dan terpaksa selalu memutar senjatanya melindungi diri. Dia tidak
mampu mengimbangi kecepatan gerakan kakak beradik itu, walaupun dia menang kuat dan juga
senjatanya lebih menguntungkan, lebih pan-jang, berat dan juga mudah digerakkan karena merupakan
rantai yang lemas.
Melihat ini, tanpa diperintah lagi, enam orang itupun menghunus senjata mereka, ada yang menggunakan
golok, ada yang menggunakan tombak atau pedang, menyerbu dan membantu San-hekhouw.
Tentu saja kini kakak beradik itu yang ber-balik terkepung dan terdesak hebat! Melihat ini,
Bwee Hong menjadi khawatir sekali. Ia tahu bah-wa kalau ia dan kakaknya kalah, tentu kakaknya
akan dibunuh dan ia sendiri ah, ngeri ia memikirkan
nasibnya kalau sampai terjatuh ke tangan orang-orang kejam, ini. Pada saat itu, ia melihat Ahai
muncul dari pintu dengan wajah masih memperlihatkan bekas tidur dan kini A-hai ber-diri
terbelalak dan nampak khawatir sekali. Berka-li-kali A-hai mengangkat tangan ke atas seperti hendak
mencegah atau melerai perkelahian itu.
Melihat munculnya A-'hai, Bwee Hong tahu bahwa hanya pemuda sinting itulah yang akan mampu
menyelamatkan ia dan kakaknya. Dan sa-tu-satunya jalan hanyalah merangsangnya, meng-guncang
batinnya agar dia kumat, seperti yang pernah dilakukannya. Itulah satu-satunya jalan dan jalan lain
tidak ada lagi. Ia maklum bahwa para penjahat ini tidak akan membiarkan ia dan Seng Kun lolos
dengan selamat. Andaikata mereka berdua mempergunakan ginkang untuk melarikan diri sekalipun,
lalu bagaimana dengan A-hai ? Tentu pemuda itu akan dibantai oleh para penjahat dan tak mungkin
ia membiarkan hal ini terjadi. Dan untuk akal seperti ini memang ia sudah membuat persiapan
sebelumnya. Ketika ia melakukan per-jalanan bersama A-hai, ia maklum bahwa ada dua hal terdapat
pada diri pemuda sinting ini, yang satu amat merugikan akan tetapi yang lain amat menguntungkan.
Yang merugikan adalah bahwa pe-muda ini dalam keadaan sadar merupakan seorang pemuda yang
bodoh dan lemah, tidak tahu apa-apa. Akan tetapi yang menguntungkan adalah bah-wa pemuda ini
dapat "dibikin" menjadi lihai. Maka iapun sudah mempersiapkan diri untuk sewaktu-waktu, dalam
keadaan darurat seperti sekarang ini, mempergunakan akal dan siasat untuk memba-ngunkan
pemuda itu, untuk membuatnya menjadi kumat gilanya dan juga lihainya !
Pada saat itu, Seng Kun sudah kewalahan be-nar-benar dan tiba-tiba, sapuan senjata rantai yang
berat itu menyerempet kakinya dan tubuh Seng Kun terjungkal! Kinilah saatnya, pikir Bwee Hong,
sebelum terlambat. Maka iapun melolos sebatang pisau belati, lalu menjerit dan mengha-dap kepada
A-hai, pisau belatinya bergerak seo-lah-olah menikam perut sendiri, tangannya mencengkeram ke
perutnya dan iapun roboh, dari pe-rutnya bercucuran darah merah membasahi lantai dan pakaiannya.
Sepasang mata A-hai terbelalak, mukanya se-ketika menjadi pucat. Kemudian dia mendelik,
dari mulutnya keluar teriakan parau, "Ibuuu !!"
Dan tubuhnya mencelat ke depan. Diapun berlutut dan menubruk tubuh Bwee Hong, dirangkulnya
dan diciumnya gadis itu. Tentu saja Bwee Hong merasa tubuhnya panas dingin ketika ia merasa
betapa wajahnya diciumi oleh pemuda itu, ciuman seorang anak yang menangisi ibunya dengan air
mata bercucuran. Kaki tangannnya menjadi dingin dan tubuhnya menggigil. Hal ini membuat A-hai
menjadi semakin khawatir.
Wajah pemuda yang biasanya membayangkan ketololan dan tadi nampak ketakutan itu kini ber-ubah
sama sekali. Kini wajah itu membayangkan kedukaan, kemarahan dan menyeramkan, penuh nafsu
membunuh. Matanya berkilat liar dan Bwee Hong yang terbelalak kengerian itu ketika meman-dang
penuh perhatian, tiba-tiba melihat sebuah tonjolan berwarna biru sebanyak tiga buah di pe-lipis kiri Ahai.
Tonjolan yang tiga bintik itu letaknya berbentuk segi tiga dan setiap tonjolan sebesar ujung
sumpit. Padahal biasanya, seingat Bwee Hong, tidak pernah terdapat tonjolan seperti itu di pelipis Ahai.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini A-hai yang melihat bahwa nona yang di-sebut ibunya itu masih hidup, merebahkan Bwee Hong
dengan lembut ke atas tanah, kemudian se-kali menggerakkan tubuh, dia sudah meloncat dan
membalik, menghadapi San-hek-houw. Hari-mau Gunung Hitam ini memandang kepada A-hai, juga
terheran akan tetapi tentu saja dia tidak me-mandang sebelah mata kepada pemuda yang tidak waras
ini. Melihat A-hai berdiri tegak mengha-dapinya dengan sinar mata yang buas mengerikan, hati tokoh
hitam ini merasa tidak senang.
"Mampuslah !" bentaknya dan diapun menu-bruk dengan kedua tangannya setelah tadi me-nyimpan
kembali senjata rantainya yang diang-gapnya tidak perlu dipergunakannya lagi. Dia merasa yakin
bahwa sekali hantam dia akan mampu merobohkan dan menewaskan pemuda ini, baru kemudian dia
akan melanjutkan serangannya terhadap kakak beradik itu.
"Dukkk! !"
San-hek-houw terpelanting dan terbanting ke atas lantai. Dia mengeluarkan suara gerengan sambil
bergulingan. Selain kesakitan, dia juga ka-get setengah mati. Tak disangkanya bahwa pemu-da yang
seperti gila itu memiliki tenaga sedemikian dahsyatnya. Dia tadi merasa seperti membentur gunung
baja! Melihat ini, enam orang teman San-hek-houw menjadi marah dan merekapun menye-rang maju
dengan serentak.
Dari mulut A-hai keluar lengkingan yang me-ngerikan dan tubuh pemuda ini menerjang bagai-kan
badai, menyambut enam orang itu. Segera terdengar pekik-pekik kesakitan dan enam orang itu sudah
dicengkeramnya, ada yang dibanting, ada yang dilontarkan, seperti orang mencabuti dan membuang
rumput saja. Dalam waktu beberapa gebrakan saja, enam orang itu sudah malang melin-tang, roboh
tak mampu bangkit kembali!
San-hek-houw marah bukan main. Kembali gerengannya menggetarkan ruangan itu dan dia-pun
meloncat keluar dari ruangan. Dianggapnya tempat itu kurang luas, apa lagi setelah ada enam tubuh
teman-temannya malang melintang. Dia keluar dari rumah penginapan dan menanti di kebun
samping. A-hai mengejar dan setelah tiba di situ, dia disambut serangan yang buas oleh San-hekhouw
yang kini sudah melolos rantainya. A-hai menyambutnya dan terjadilah perkelahian yang amat
seru dan hebat, juga liar dan buas. Me-reka sama buasnya, akan tetapi Seng Kun dan Bwee Hong
yang mengikuti pula jalannya perke-lahian, melihat betapa San-hek-houw terdesak hebat oleh
gerakan silat A-hai yang aneh. Ran-tai yang menyambar-nyambar itu selalu dapat die-lakkan atau
ditangkis oleh A-hai, seolah-olah gerak-annya otomatis mengikuti gerakan lawan dan ba-lasan
serangan A-hai yang kelihatannya kacau-balau itu sesungguhnya pada dasarnya mengandung
gerakan ilmu silat yang aneh dan tinggi.
"Wuuuuttt plakk !" Tiba-tiba ujung rantai yang dipasangi jangkar baja itu dapat ditangkap oleh
A-hai. San-hek-houw menggerakkan tangannya yang memegang gagang rantai dan rantai itu seperti
hidup melingkari kepala dan menjerat leher pemuda itu. Tentu saja Seng Kun dan Bwee Hong terkejut
bukan main dan siap menolong karena melihat A-hai terancam bahaya tercekik lehernya. Akan tetapi,
rantai yang menjerat leher A-hai itu tidak mampu mencekik leher yang nampak berotot dan kuat itu.
bahkan kini A-hai secara tiba-tiba mengangkat kakinya menendang, suatu gerakan yang tidak
disangka-sangka oleh San-hek-houw yang menduga bahwa pemuda itu tentu menjadi panik dan
berusaha melepaskan rantai yang menjirat leher.
"Desss !" Tendangan yang amat keras itu membuat tubuh San-hek-houw yang tinggi be-sar
terlempar dan rantainya terlepas, tertinggal ke tangan A-hai dan sebagian masih melingkari le-her
pemuda itu.
"Huhh !" A-hai membuang rantai itu dan de-ngan langkah lebar menghampiri San-hek-houw yang kini
sudah bangkit berdiri. Akan tetapi, baru saja dia berdiri, A-hai sudah menyerangnya de-ngan
tamparan-tamparan dan pukulan-pukulan bertubi-tubi, kelihatannya semua serangan itu kacau, akan
tetapi justeru cara yang kacau itulah yang membuat lawan bingung dan tanpa dapat dicegah lagi,
San-hek-houw yang masih merasa pening karena terbanting tadi, terkena sebuah pu-kulan tangan
kiri, tepat pada dadanya.
"Desss !" Terdengar datuk kaum sesat itu mengeluh dan kembali tubuhnya terjengkang dan sekali ini
bahkan terguling-guling, baru berhenti ketika tubuhnya tertabrak pohon. Dia kembali me-ngeluh,
menggoyang-goyangkan kepalanya karena dia melihat bintang-bintang bertaburan dan me-nari-nari,
dari mulutnya mengalir darah segar. A-hai masih melangkah lebar mengejarnya. Me-lihat betapa pada
dunia-kangouw.blogspot.com
wajah A-hai nampak sinar be-ringas dan penuh nafsu membunuh, Seng Kun yang tidak ingin melihat
A-hai menjadi pembunuh kejam terhadap lawan yang sudah kalah itu, lalu meloncat dekat dan tanpa
dipikir lagi dia berte-riak melarang.
"Saudara A-hai, jangan bunuh orang !"
Akan tetapi, pada saat itu, A-hai sudah tidak ingat apa-apa lagi, yang ada hanya perasaan duka
bercampur kemarahan yang membuat dia beringas dan ingin menghajar siapapun juga yang menghalanginya.
Kini melihat Seng Kun berani mengha-dangnya, diapun menganggap pemuda ini musuhnya.
Dia mengeluarkan suara gerengan hebat dan segera menerjang ke arah Seng Kun.
Seng Kun terkejut, namun dia juga mengerti bahwa hal itu dilakukan oleh A-hai dalam keada-an tidak
sadar. Cepat dia menangkis karena untuk mengelak amat berbahaya. Dia tadi sudah meli-hat
perkelahian antara A-hai dan San-hek-houw dan melihat betapa setiap kali pukulannya dielak-kan
lawan, pukulan itu masih dilanjutkan dengan aneh dan terus mengejar lawan. Lebih aman me-nangkis
dari pada mengelak.
"Dukkk !" Hebat bukan main tenaga yang mendorong pukulan A-hai itu sehingga begitu menangkis,
seketika tubuh Seng Kun terdorong, terjengkang dan pantatnya terbanting keras di atas tanah ! Akan
tetapi A-hai menyusulkan pukulan yang mengandung hawa pukulan amat hebatnya ke arah Seng Kun
yang rebah di atas tanah.
"Blaaarrr !" Debu dan tanah berhamburan. Pukulan itu tidak mengenai tubuh Seng Kun yang
sudah bergulingan dan wajah pemuda ini mlenjadi pucat. Kalau pukulan yang mengandung tenaga
sinkang amat kuat tadi mengenai tubuhnya, belum tentu dia akan sanggup bertahan. "Jangan !!"
Tiba-tiba Bwee Hong menjerit dan jeritan yang melengking tinggi ini mengejutkan A-hai. Sementara
itu, San-hek-houw mempergunakan kesempatan ini untuk lari meninggalkan tempat berbahaya itu.
Mendengar jeritan itu, A-hai termangu-mangu, lalu menoleh dan meninggalkan Seng Kun, kini
menghadapi Bwee Hong. Mukanya merah padam seperti dibakar, seluruh darah di tubuhnya seolaholah
berkumpul di kepalanya. Tiga bintik tonjolan biru itu makin jelas nampak di pelipisnya. Matanya
inengeluarkan sinar berkilat-kilat, liar menakutkan, membuat Bwee Hong yang sebenarnya memiliki
ketabahan besar dan bukan seorang penakut, kini berdiri bengong dengan kedua kaki gemetar,
menggigil ketakutan! Ngeri hatinya membayangkan bahwa pemuda yang dihadapinya ini adalah
orang yang gila, bukan gila biasa, melainkan gila yang amat berbahaya karena memiliki ilmu yang
amat mengerikan. Kini A-hai berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, dan kedua lengannya
digerak-gerakkan secara aneh, ke depan, ke atas, ke samping, bukan seperti orang bersilat, akan
tetapi hebatnya, gerakan kedua lengan itu mengeluarkan hawja yang kuat sehingga terdengar bunyi
"wuuuuttt ...wuuuttt ... wuuuttt!"
Melihat ini, dari tempat dia rebah, Seng Kun cepat mengirim suara dari jauh, menggunakan Il-mu
Coan-im-jip-bit sehingga bisikannya hanya dapat ditangkap oleh adiknya itu, "Hong-moi, tenanglah.
Engkau senyumlah, cepat. Jangan pa-nik karena diapun akan menjadi panik. Pasrah sa-ja, jangan
kelihatan takut, bujuk dia dengan kata-kata manis. Senyumlah dan dia akan menurut se-gala katakatamu,
percayalah !"
Tentu saja hal ini jauh lebih mudah dikatakan dari pada dilakukan. Dalam keadaan hatinya ke-cut,
berdebar cemas dan takut, bagaimana orang disuruh senyum ? Bagaimanapun juga, Bwee Hong
segera mentaati perintah kakaknya dan diapun ter-senyum manis. Mula-mula senyumnya merupa-kan
senyum kecut, senyum dipaksakan. Akan te-tapi, ketika ia melihat betapa sinar mata yang bu-as dari
A-hai itu seketika agak melunak dan ge-rak-gerik kedua lengan itu lebih lambat dan ra-gu-ragu, kini
Bwee Hong benar-benar tersenyum, senyum lega yang membuat senyumnya nampak benar-benar
manis sekali, dengan lesung pipit di pipi kirinya.
"A-hai, tenanglah, A-hai, tidak ada apa-apa yang perlu dibuat gelisah atau marah lagi. Aku
Bwee Hong ingatkah engkau ? Aku Bwee
Hong dan dia itu kakakku, Seng Kun koko !"
Dengan suara yang halus merdu dan ramah, de-ngan pandang mata yang lunak dan halus, dengan
senyum menghias bibir, Bwee Hong membujuk.
dunia-kangouw.blogspot.com
A-hai sejenak memandang wajah gadis itu de-ngan bingung, akan tetapi lambat-laun pandang
matanya yang tadinya buas itu menjadi makin lem-but, lalu dia tertegun dan berdiri seperti patung,
kedua tangan kini tergantung di kanan kiri tubuh-nya. Mukanya ditundukkan dan sepasang matanya
dipejamkan.
Seng Kun melihat ini semua dengan penuh per-hatian. Ketika dia melihat betapa wajah A-hai itu kini
merah padam, tiba-tiba dia teringat akan soal pengobatan dan diapun seperti memperoleh petunjuk.
"Hong-moi, dia mengalami serangan darah yang membanjir ke kepala. Lihat, mukanya begitu merah
sebaliknya kedua tangannya putih pucat seperti kehilangan darah. Tekanan darahnya keli-hatan
sangat kuat dan semua mengalir ke arah ke-palanya. Ini sangat berbahaya bagi jiwanya. Ka-lau dia
tidak lekas-lekas jatuh pingsan seperti biasanya, darah itu akan mengalir semakin kuat dan hal ini
akan dapat memecahkan dinding-din-ding pembuluh darahnya dan mengalir keluar me-lalui mata,
hidung, telinga dan merusak otak-otak-nya. Dia akan tewas dalam keadaan yang menge-rikan !"
Wajah Bwee Hong seketika pucat mendengar ini dan diapun pernah membaca tentang ini dan
sekarang ia teringat, maka kekhawatirannya me-muncak. "Koko, apa yang harus kita lakukan ?"
"Cepat, engkau harus bertindak. Dekati dia, tetap bujuk dengan halus. Lihat, urat-uratnya sudah
mengembung, sebentar lagi dapat pecah ! Si-apkan sebatang jarum emas. Hati-hati, jangan sampai
dia melihatnya. Berusahalah menusuk-nya di jalan darah balik tengkuk. Tapi ingat! Jangan sampai dia
tahu dan curiga. Begitu diatahu, dia tentu akan mengira engkau menyerangnya dan kalau dia
menyerangmu, aku sendiri belum tentu dapat menyelamatkanmu ! Cepat, Hong moi, tapi hati-hati"
Biarpun Seng Kun bersikap setenang mungkin, tetap saja suaranya terdengar gugup dan agak
gemetar. Hal ini tentu saja membuat Bwee Hong menjadi semakin gelisah dan ngeri. Amatlah
menegangkan saat itu bagi Bwee Hong dan Seng Kun. A-hai berada di ambang kematian, kalau tidak
tertolong, sebentar lagi akan tewas secara mengerikan sekali, akan tetapi hal ini sedikitpun tidak
disadari sendiri olehnya. Sedangkan kakak beradik ahli pengobatan itu ingin sekali menyelamatkan
nyawanya, akan tetapi merekapun tahu bahwa sedikit saja mereka salah gerak atau diterima salah
oleh A-hai dan menimbulkan kecurigaan pemuda yang dilanda penyakit hilang ingatan itu, mereka
akan mati konyol karena mereka berdua tidak akan mampu menandingi kelihaiannya.
Yang paling tegang adalah perasaan Bwee Hong karena ialah yang harus bertindak. Di ta-ngannyalah
terletak keselamatan nyawa A-hai, ju-ga keselamatan mereka berdua sendiri. Ia harus dapat bertindak
cepat dan tepat tanpa keraguan. Maka iapun melangkah maju mendekati A-hai yang masih berdiri
seperti patung itu. Tadi keti-ka ia hendak melangkah maju, melihat A-hai me-mejamkan kedua
matanya, diam-diam ia telah mengeluarkan sebatang jarum emas yang kini di-genggamnya. Begitu ia
melangkah maju, A-hai membuka kedua matanya dan kembali Bwee Hong merasa ngeri. Sepasang
mata pemuda itu, walau-pun tidak beringas dan liar seperti tadi, akan teta-pi masih nampak merah
penuh darah dan mena-kutkan sekali.
"A-hai, ingatlah, aku Bwee Hong sahabat baikmu. Ingat ? Aku bukan musuhmu, aku tidak akan
mengganggumu . . . . . . . . " Ia melangkah maju sampai dekat sekali dan tiba-tiba A-hai memandang
dengan matanya yang merah, bibirnya ber-bisik-bisik aneh, penuh keraguan.
"Hong-moi ah, Hong-moi !" Suaranya seperti orang merintih atau hendak menangis dan tibatiba
saja kedua lengannya merangkul Bwee Hong. Tentu saja dara ini menjadi kaget dan juga heran.
Bagaimana A-hai yang berada dalam keadaan lupa ingatan ini sekarang menyebutnya Hong-moi,
seolah-olah teringat akan namanya ? Dan pelukan yang mesra itu membuat ia gelagapan dan
bingung. Akan tetapi pada saat itu, terdengar bisikan kakaknya melalui Ilmu Coan-im-jip-bit.
"Hayo cepat, tusukkan jarum itu selagi dia lengah. Cepat, antara dua jari di belakang telinga kirinya.
Cepat, jangan sampai terlambat dan pem buluhnya pecah" Suara Seng Kun terdengar penuh
kekhawatiran.
Teringatlah Bwee Hong akan tugasnya lagi. ta-pun pura-pura balas merangkul leher pemuda itu dan
setelah meraba-raba, cepat ia menusuk-kan jarum emas itu di tempat yang tepat.
"Aduhhh ;!" A-hai mengaduh lirih dan rangkulannya mengendur. Bwee Hong yang takut kalaukalau
pemuda itu mengamuk, cepat mele-paskan dirinya dengan hati was-was. Akan tetapi ternyata
A-hai tidak mengamuk dan masih ber-diri seperti patung. Akan tetapi kini matanya yang tadinya
dunia-kangouw.blogspot.com
merah dan liar itu meredup. Perla-han-lahan muka yang merah padam menjadi pu-tih dan bagianbagian
tubuhnya yang lain kem-bali menjadi merah. Tiga buah tonjolan biru di pelipisnya itupun
perlahan-lahan mengempis dan menghilang. Kemarahan dan keadaan yang tadi membayang di
wajahnyapun mulai surut dan per-lahan-lahan hilang. Sejenak dia menunduk, ka-dang-kadang kedua
matanya dipejamkan, dan kadang-kadang tubuhnya menggigil sedikit. Akhirnya, keadaannya menjadi
tenang, agaknya perobahan yang amat hebat pada dirinya telah berlangsung dengan selamat dan
baik.
Tak lama kemudian, A-hai mengangkat mukanya. Wajahnya sudah seperti biasa, wajah yang lembut
dan jujur. "Aduh tubuhku dingin se kali " dan diapun agak menggigil.
Bwee Hong menjadi gembira bukan main. Ingin rasanya ia bersorak kegirangan melihat pemuda itu
telah dapat diselamatkan dan tidak tera-sa lagi kedua matanya menjadi basah saking ter-haru dan
lega rasa hatinya. Ia melangkah dekat dan kini A-hai memandangnya dengan wajah membayangkan
keheranan. "Siapakah engkau, nona ?" Tentu saja Bwee Hong menjadi terkejut bukan main,
langkahnya terhenti dan ia menatap wajah A-hai dengan bengong, tak tahu apa yang harus
dikatakannya. Pada saat itu, kembali terdengar bisikan kakaknya.
"Awas, dia belum sembuh sama sekali seperti yang kaukira. Dia masih tetap dalam keadaan ku-mat
dan masih berpijak di masa lalunya yang hi-lang itu. Dia tidak mengenal siapa engkau akan tetapi dia
tidak berbahaya lagi, meskipun ilmunya selalu siap untuk dipergunakan. Jarum yang kau-tusukkan
tadi hanya membuat darah yang berkum-pul di kepalanya dapat menyebar lagi ke seluruh tubuh.
Sebentar lagi kalau tekanan darahnya su-dah normal, dia akan kembali menjadi kawan kita yang
lemah dan ketololan itu. Nah, lihat, matanya kini menjadi sayu dan sebentar lagi dia akan men-dusin,
seperti orang baru bangkit dari tidur. Nah, sekarang inilah tiba saatnya seperti yang kita bica-rakan
dahulu. Saat-saat dia seperti inilah kita harus dapat mengetahui masa lalunya. Saat seper-ti inilah di
mana dia berada dalam keadaan kumat akan tetapi mudah diajak bicara. Sekarang cobalah,
tanyakan siapa dirinya. Cepat sebelum dia kembali lagi dalam keadaannya yang lupa ingatan."
Bwee Hong memberanikan diri dan dara inipun menjura ke arah A-hai seperti orang yang baru saling
jumpa. Pemuda itupun berdiri memandang-nya dengan terheran-heran.
"Saudara, bolehkah aku mengenal namamu ?" tanya Bwee Hong dengan suara lembut dan sikap
menghormat.
"Apa ? Nama? Namaku namaku Thian Hai !"
"Saudara dari perguruan manakah ?" Bwee Hong bertanya lagi, jantungnya berdebar tegang karena
ia mulai dapat menyingkap tabir rahasia yang menyelimuti diri pemuda aneh ini.
"Aku aku dari ooohhh "Tiba-tiba A-hai terjerembab ke depan. Tentu saja Bwee Hong cepat
menyambutnya dengan kedua lengan karena kalau tidak tentu pemuda itu akan terpelanting.
A-hai nampak bingung, lalu mengangkat mu ka memandang. "Ahh " Dan diapun cepat melepaskan
dirinya. "Nona Hong, mana penjahat tadi ? Sudah pergikah dia ?" Suaranya kembali seperti suara Ahai
yang tolol!
Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan mereka merasa gemas dan mendongkol sekali.
Penjahat berbahaya itu lari tunggang-langgang karena dihajar A-hai, dan kini pemuda itu bertanya di
mana adanya penjahat itu. Bagaimanapun juga, mereka telah dapat sedikit lebih maju dalam
mengungkap tabir rahasia pemuda itu, yalah bah-wa nama pemuda yang mereka kenal sebagai A-hai
itu adalah Thian Hai. Apa she-nya dan dari mana asalnya belum mereka ketahui.
Malam, itu juga Seng Kun mengajak A-hai dan Bwee Hong untuk meninggalkan rumah penginap-an
dan melanjutkan perjalanan karena dia khawa-tir kalau-kalau San-hek-houw datang' lagi mem-bawa
teman-teman yang lebih banyak dan lebih kuat.
Untung malam itu ada bulan menerangi perja-lanan mereka. Di tengah perjalanan, Bwee Hong
memuji kakaknya. "Kun-koko, engkau benar-be-nar pantas menjadi ahli waris sucouw kita Bu-eng Sinyok-
ong. Semua keteranganmu tentang pe-nyakit yang diderita oleh saudara Thian Hai ini cocok
semua. Kini tinggal mencari dan melaksana-kan cara-cara pengobatannya saja."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Thian Hai ? Siapa yang bernama Thian Hai ? Akukah ?" A-hai bertanya heran. "Kalau begitu, kalian
telah menemukan rahasiaku dan tahu siapa sebenarnya aku ?"
"Sabarlah, saudara A-hai. Kami sedang mela-kukan penyelidikan dan mudah-mudahan kami dapat
membantumu untuk menemukan kembali dirimu."
"Kalian sahabat-sahabat baik , sahabat-sahabat baik " kata A-hai dengan suara terharu dan juga
kecewa karena mereka itu ternyata belum dapat menemukan rahasianya. Mereka berhenti di puncak
sebuah bukit dan A-hai menjauhkan diri, berdiri memandang ke depan, ke bawah di mana terhampar
pemandangan yang remang-remang karena sinar bulan tidak mungkin dapat memberi penerangan
yang jelas.
"Kun-ko, ketika dia tadi kumat, aku melihat ada tiga buah tonjolan biru di pelipis kirinya. Akan tetapi
sekarang tidak tampak lagi. Apakah itu ?" tanya Bwee Hong. Mereka duduk di atas batu-batu gunung
untuk beristirahat.
Mendengar ini, Seng Kun nampak kaget. "Tiga tonjolan biru di pelipis ? Benarkah itu ? Coba kita
periksa. Saudara A-hai, maukah engkau datang ke sini sebentar ?"
A-hai yang sedang berdiri melamun itu, ter-kejut dan menoleh, lalu menghampiri mereka. "Di bawah
sana ada dusun. Ah, perutku lapar benar. Kalau saja kita dapat segera ke sana, aku akan me-mesan
ayam panggang!"
Bwee Hong tertawa juga mendengar ucapan ini. "Akupun sudah lapar. Nanti kita lanjutkan perjalanan,
akan tetapi di dusun mana ada ayam panggang ?"
"Saudara A-hai, aku hendak memeriksa peli-pismu sebentar, bolehkah ?"
"Pelipisku ? Ada apa dengan pelipisku ? Tapi, tentu saja boleh !"
Kakak beradik itu lalu memeriksa pelipis kiri A-hai. Kulit pelipis itu kini nampak bersih saja, tidak ada
tanda apa-apa. Akan tetapi ketika Seng Kun meraba bagian itu, lapat-lapat dia merasa seperti ada
tiga buah benda kecil bulat di bawah kulit.
"Hemmm” ahli obat muda itu bergumam sambil meraba-raba. "Seperti gumpalan daging mengeras
karena memar. Atau kalau tidak, tentu darah yang menggumpal karena terlanggar benda keras, atau
eh, ini, satu di antara tiga tonjolan ini persis melintang di pembuluh darah otak de pan"
"Mungkinkah benda itu yang menyebabkan pe-nyakitnya ?" tanya si adik serius.
"Entahlah, mungkin juga. Aku belum bisa me-mastikan, harus memeriksanya dengan teliti lebih dulu.
Penyakit yang berdekatan dengan otak amat-lah berbahaya kalau keliru pengobatannya." Ka-kak
beradik itu lalu termenung, nampak murung. Melihat ini A-hai menjadi tidak sabar.
"Aih, kenapa susah-susah memikirkan penya-kitku ? Lihat, sinar matahari pagi sudah mulai nampak di
sana. Lebih baik kita turun dan men-cari dusun untuk sarapan !"
Kakak beradik itu tersenyum dan menyatakan setuju. "Perutku sudah lapar, biar aku jalan dulu,
akan kucarikan warung nasi untuk kita!" Dan A-hai lalu berjalan cepat menuruni puncak bukit itu.
"Saudara A-hai, hati-hatilah, masih gelap dan jalannya licin !" Bwee Hong memperingatkan dan
bersama kakaknya ia mengejar. Akan tetapi, sung-guh amat mengherankan hati dua orang muda ahli
ginkang ini ketika mereka tidak melihat A-hai lagi, tidak mampu menyusul pemuda itu. Jalan menurun
itu memang agak sukar dan licin, apa lagi karena mereka belum mengenal jalan itu, dan cu-aca masih
gelap sehingga mereka harus melang-kah hati-hati agar jangan sampai terpeleset ma-suk jurang.
Padahal, A-hai yang berada dalam keadaan biasa itu tidak mempunyai kepandaian apa-apa,
jangankan berlari cepat. Akan tetapi ba-gaimana kini A-hai dapat meninggalkan mereka ? Satusatunya
kemungkinan adalah bahwa pemu-da itu telah mengenal baik tempat dan jalan ini. Akan
tetapi mana mungkin ? Andaikata A-hai pernah mengenalnya pula, tentu sekarang dia telah
melupakan jalan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Matahari telah muncul ketika kakak beradik itu menuruni bukit dan mereka terpaksa berhenti karena
ada sebuah sungai menghalang perjalanan mereka. Tidak nampak sebuahpun perahu di tem-pat
sunyi itu, juga tidak ada jembatan penyebe-rang.
"Eh, ke mana dia ?" Bwee Hong memandang ke kanan kiri.
"Saudara A-hai !" Seng Kun berteriak.
"Di mana engkau ?"
Tidak ada jawaban. Tiba-tiba Bwee Hong yang meloncat ke atas batu dan memandang ke seberang
sungai berseru, "Heiiii, itu dia! Di se-berang sungai!"
Seng Kun memandang dan benar saja. Mereka melihat tubuh A-hai di seberang sungai. Pemuda itu
sedang melenggang dengan santainya, menu-ju ke sebuah dusun yang dapat dilihat dari sebe-rang
sini.
Seng Kun lalu mengerahkan khikangnya dan berteriak memanggil, "Saudara A-hai!!! Tung-gu dulu ! Di
mana kita harus menyeberang ? Apa-kah memakai perahu ? Di mana ??"
"Jangan-jangan dia tadi berenang," Bwee Hong berkata dan ia merasa ogah kalau harus be-renang
menyeberangi sungai itu yang walaupun tidak berapa lebar, akan tetapi airnya berlumpur dan
kelihatan dalam.
Teriakan yang menggema karena didorong te-naga khikang itu terdengar oleh A-hai di sebe-rang
sana. Dia menoleh, kemudian menggerakkan bahu dan dengan sikap ketololan diapun berjalan
kembali ke tepi sungai lalu dia menghilang di ba-lik semak-semak di tepi sungai seberang sana.
Sampai lama dia tidak muncul-muncul.
"Eh, eh, ke mana dia ? Kenapa malah ber-sembunyi ? Dia menghilang di balik semak-semak.
Apakah dia buang air besar ?" Bwee Hong meng-omel. "Atau ketiduran ?"
"Ha-ha, jangan bergurau !" keduanya lalu mendekati tepi sungai dan melcngak-longok ke seberang,
mencari-cari bayangan A-hai yang belum juga nampak.
Tiba-tiba kakak beradik itu cepat mengggerak-kan tubuh membalik ketika mendengar langkah ka-ki
orang dan mereka memandang dengan mata ter-belalak ketika melihat bahwa yang datang melangkah
itu bukan lain adalah A-hai!
"Ehhh ! Ohhh ! Bagaimana engkau
tadi menyeberang ? Kami tidak melihatmu "
"Hemm, engkau tentu lewat di sebuah tero-wongan, bukan ?" Seng Kun yang cerdik menduga.
A-hai makin bingung, dan sikapnya semakin ke-tololan ketika dia melihat dua orang yang biasanya
cerdik itu kini nampak kebingungan. "Benar .. ,
aku memang lewat di bawah air sungai. Kenapa ka-lian heran ? Memang itulah satu-satunya jalan untuk
menyeberang !"
Akan tetapi ucapan itu membuat Seng Kun dan Bwee Hong saling pandang dan menjadi semakin
terheran-heran. Apakah A-hai ini sudah benar-benar menjadi gila sekarang, pikir mereka. Tentu saja
mereka tidak percaya begitu saja.
"Jangan main-main, saudara A-hai. Katakanlah bagaimana kita dapat menyeberangi sungai ini," kata
Bwee Hong.
A-hai mengerutkan alisnya dan menjadi pena-saran. "Kalian tidak percaya ? Marilah ikut aku !"
katanya dan dengan lagak kasar karena penasaran dia menggandeng tangan kedua orang itu dan ditariknya
menuju ke balik pohon-pohon lalu nam-paklah bahwa di balik semak-semak belukar ter-dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
sebuah jalan terowongan yang melewati da-sar sungai. Agak gelap di situ sehingga Bwee Hong dan
Seng Kun saling berpegangan tangan. Akan tetapi A-hai melangkah seenaknya saja sambil
menggandeng tangan Seng Kun dan sebentar saja dia sudah membawa kakak beradik itu menyeberang
dan mereka muncul di belakang semak-semak di tepi seberang sana.
Tentu saja Seng Kun dan Bwee Hong merasa heran sekali. Jelaslah bahwa jalan penyeberangan ini
bukan jalan umum karena tempatnya tersem-bunyi dan di mulut terowongan ditumbuhi semak belukar
yang liar sehingga menutupi jalan itu.
Seng Kun memandang wajah A-hai dengan penuh perhatian, juga gadis itu memandang kepa-danya
penuh selidik. "Saudara A-hai, bagaimana-kah engkau bisa mengetahui adanya jalan tero-wongan
menyeberangi sungai ini ?"
"Mengetahui?" A-hai menjawab dan tertegun bingung.
Aku aku tidak mengetahui. Aku tadi berjalan sambil membayangkan panggang ayam yang
kupesan nanti di warung dusun. Aku ingin makan sekenyangnya, uangku masih cukup.
Aku tidak memikirkan jalan yang kulalui dan tahu-tahu aku masuk terowongan itu dan sampai di seberang.
Kenapa sih ? Bukankah terowongan itu memang jalan satu-satunya untuk menyeberang ?
Apakah aku telah salah jalan ?"
Ditanya demikian, kakak beradik itu saling pan-dang dan menjadi bingung sendiri bagaimana harus
menjawab. "Sudahlah," kata Seng Kun kepada adik-nya. "Mari kita cepat pergi ke dusun di depan untuk
mencari sarapan."
"Dusun itu berada di sana ! Mari!" kata A-hai dan kembali kakak beradik itu saling pandang de-ngan
heran, akan tetapi tidak berkata sesuatu me-lainkan mengikuti A-hai yang melangkah tegap menuju
ke suatu arah tertentu. Tak lama kemudian mereka memasuki sebuah dusun dan biarpun tidak
mengeluarkan sebuah katapun, namun ada pero-bahan terjadi pada wajah A-hai yang tampan. Wajah
itu berseri gembira dan diapun membawa dua orang sahabatnya menuju ke sebuah warung.
Dusun itu tidak begitu besar. Rumah-rumah-nya berjajar sampai di tepi sungai. Agaknya me-mang
hanya sebuah dusun nelayan. Beberapa bu-ah perahu berjajar di tepi seberang ini dan ada ja-ringjaring
yang sedang dijemur. Beberapa orang nelayan wanita tampak sibuk bekerja. Ada yang menjahit
jaring yang robek, ada yang sedang men-jemur ikan-ikan hasil tangkapan mereka di halaman rumah
masing-masing. Bau amis ikan me-rangsang hidung. Sebuah dusun nelayan seder-hana.
Ketika mereka sedang berjalan, tiba-tiba di ujung jalan itu muncul seorang pendek bertopi lebar keluar
dari sebuah kedai minuman. Dia ber-gegas menuju ke sebuah gerobak pembawa barang yang berdiri
di depan sebuah gardu. Cepat Seng Kun menarik tangan adiknya dan A-hai untuk me-nyelinap ke
belakang sebuah rumah. Melihat ini, A-hai bertanya, "Ada apakah ?"
"Ssttt !" Seng Kun memberi tanda dengan
telunjuk ditempelkan di bibir, tanda bahwa dia minta kedua orang itu tidak banyak mengeluarkan
suara. Kemudian dia mengajak mereka menyeli-nap dan mengambil jalan memutar mencapai warung
yang dimaksudkan oleh A-hai untuk dikun-jungi tadi. Di sini mereka duduk di tempat ter-lindung,
akan tetapi dengan bebas mereka dapat melihat ke arah jalan raya di depan.
"Koko, ada apakah ? Engkau melihat sesuatu yang mencurigakan ?" Bwee Hong bertanya ke-pada
kakaknya.
"Kalian melihat orang yang keluar dari kedai minuman di ujung jalan sana tadi ?" dia balas ber-tanya.
"Ya, tapi kenapa ?" Bwee Hong mendesak. "Apakah engkau tidak mengenalnya ? Biarpun dia
menyamar seperti itu, aku masih ingat cara dia berjalan dan juga perawakannya. Akupun belum yakin
benar, akan tetapi sebaiknya kita berhati-ha-ti. Nah, dia akan lewat di depan sini, mari kita
perhatikan."
Tak lama kemudian, lewatlah di depan warung itu sebuah gerobak kecil ditutup rapat dan dihela oleh
seekor kuda yang dikusiri oleh seorang laki-laki bertubuh pendek tegap yang berpakaian se-derhana,
dunia-kangouw.blogspot.com
mukanya ditutup caping lebar sehingga yang nampak hanyalah dagunya. Ketika gerobak itu lewat,
terciumlah bau yang amis agak busuk, amat memuakkan seperti bau bangkai atau bau ikan asin yang
belum jadi.
Bwiee Hong menggeleng kepala ketika gerobak itu sudah lewat. "Siapa dia ? Aku tidak mengenalnya.
Bukankah dia hanya seorang pedagang ikan asin yang datang ke dusun ini untuk berbelanja ikan
asin?"
A-hai juga menggeleng kepala. "Aku tidak me-ngenal dia!"
Seng Kun menghela napas panjang. "Aku ter-ingat akan seorang yang perawakannya persis orang
itu, seorang yang kepandaian silatnya amat tinggi. Gayanya ketika tadi berjalan sama seperti orang
itu, ialah Pek-lui-kong Tong Ciak, jagoan Soa-hu-pai, komandan pengawal istana yang li-hai itu !
Betapa lihai dia. Pernah aku berkenalan dengan pukulannya yang ampuh. Akan tetapi, aku juga
belum yakin bahwa orang tadi adalah Tongciangkun yang sesungguhnya. Perlu apa dia me-nyamar
seperti itu ? Dan kenapa pula dia berada di sini ? Padahal, keadaan di istana sendiri sedang dalam
kemelut ?"
Mereka menduga-duga akan tetapi tidak me-nemukan jawaban yang masuk akal sehingga akhir-nya
Seng Kun terpaksa membuang sangkaannya dan membenarkan pendapat Bwee Hong dan A-hai
bahwa orang tadi hanyalah seorang pedagang ikan asin yang kebetulan memiliki bentuk tubuh yang
serupa dengan Pek-lui-kong Tong Ciak. Mem-bayangkan kemungkinan ini, Seng Kun menterta-wakan
kekhawatirannya sendiri.
Pada saat itu, pemilik warung kecil itu mende-kati mereka dengan wajah berseri karena sepagi itu
sudah ada tamu datang ke warungnya. Wa-rungnya hanyalah sebuah kedai makan yang se-derhana
dan pagi itu hanya menyediakan bubur, nasi, sedikit sayur kemarin dan ikan asin. Ketika dia
menanyakan pesanan mereka, tiba-tiba saja dengan cepat A-hai berkata, "Aku minta ayam panggang
satu!"
Mendengar pesanan yang tak masuk akal meli-hat warung itu hanya sederhana sekali, Bwee Hong
dan Seng Kun memandang kepada A-hai dan hen-dak menegurnya. Akan tetapi pada saat itu, pemilik
warung memandang kepada A-hai dan kelihat-an terkejut sekali.
"Kongcu!" Dia berseru. "Aih, saya benar-benar linglung, tidak mengenali kongcu. Habis, kongcu
berpakaian seperti ini sih! Di mana nona kecil ? Tentu sekarang sudah besar, ya? Sudah empat tahun
lebih kongcu tidak singgah di sini. Ya, sejak Gu-lojin meninggal dunia."
Bwee Hong dan Seng Kun terkejut dan meman-dang heran, akan tetapi yang lebih heran dan bingung
lagi adalah A-hai sendiri. Dia memandang dengan alis berkerut, akan tetapi sedikitpun dia tidak
mengenal orang itu. Jantungnya berdebar ke-ras dan dengan hati tegang dia bangkit berdiri, tangannya
menyambar baju pemilik warung itu dan
dengan gemetar dia berseru, "Engkau engkau
mengenal siapa aku ? Ah, cepat katakan! Siapa-kah aku ini ? Siapa pula nona kecil yang kautanyakan
itu ?"
Si pemilik warung menjadi pucat dan ketakut-an. Apa lagi karena cengkeraman tangan A-hai pada
bajunya demikian keras dan pemuda yang tegap itu kelihatan melotot dari memandang kepa-danya
dengan mata berapi-api. "Ahhh, kongcu eh, aku aku mungkin yang salah lihat!
”Mungkin"
Beberapa orang yang duduk di dalam warung dan sedang makan bubur, menjadi terkejut melihat
adegan itu dan wajah mereka membayangkan rasa hati yang tidak senang. Melihat ini, Seng Kun
cepat melerai.
Sabarlah, saudara A-hai, jangan membuat onar di sini. Kita adalah orang asing di tempat ini.
Tenangkah dan mari bicara baik-baik." A-hai terpaksa melepaskan cengkeramannya dan dengan
wajah agak pucat diapun duduk kembali. Bwee Hong lalu memesan makanan nasi, sayur dan ikan
asin.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tenanglah, saudara A-hai," Seng Kun berbi-sik. "Sabar saja, nanti setelah makanan dihidang-kan,
dengan halus kita menanyakan hal itu kepa-danya."
Tiga orang tamu pertama telah meninggalkan warung dan kesempatan ini dipergunakan oleh Seng
Kun. Ketika pemilik warung datang meng-hidangkan pesanan mereka, dengan suara halus Seng Kun
bertanya, "Paman, tolong ceritakan ba-gaimana engkau sampai mengenal teman kami ini?"
Kakek pemilik warung itu nampak gugup. Dia menggeleng kepala, memandang kepada A-hai sejenak,
lalu menggeleng kepala lagi. "Tidak, saya tidak mengenalnya. Maaf, saya tadi telah salah lihat, maaf"
"Sungguh, paman, kami tidak apa-apa. Kami hanya ingin tahu siapa yang paman sebut kongcu tadi.
Kami tidak bermaksud buruk, paman." Bwee Hong ikut membujuk dengan suara yang halus. Melihat
sikap gadis ini, hati si pemilik warung agak berani dan kalau tadi dia tidak berani bicara adalah karena
sikap A-hai yang kasar. Maka dia-pun berceritalah.
"Saya memang mengenal seorang kongcu yang wajahnya mirip sekali dengan tuan ini. Saya tidak
tahu nama lengkapnya, kami hanya menyebut dia Souw-kongcu saja. Juga kami tidak mengenal
nama lengkap dari Gu-lojin yang sering dikunjungi oleh Souw-kongcu. Dia selalu singgah di warung
kami ini apa bila mengunjungi Gu-lojin yang berdiam di tengah hutan itu. Dan Souw-kongcu itu kalau
singgah ke sini tentu selalu memesan ayam
panggang! Sebenarnya kami tidak menjualnya, akan tetapi khusus untuk dia, saya tentu menyembelihkan
ayam kami sendiri. Dan dia ini eh, maksud saya beliau itu sering pula mengajak pute rinya
yang mungil ehh!"
Jilid XXIV
TUKANG warung itu menghentikan cerita-nya karena terkejut melihat betapa tiga orang
pendengarnya itu tersentak. A-hai terkejut sekali karena merasa ada sesuatu menyentuh pe-rasaan
hatinya ketika pemilik warung itu menye-but tentang seorang gadis kecil. Mungkinkah aku sudah
mempunyai anak, pikirnya dengan keras. Sementara itu, Bwee Hong merasa kaget dan se-perti ada
sesuatu yang hilang ketika mendengar bahwa yang disebut kongcu itu telah mempunyai seorang
puteri. Dengan wajah agak berobah pu-cat ia memandang kepada A-hai yang nampak termangumangu
dan seperti orang yang berusa-ha mengingat-ingat sesuatu dengan sia-sia. Seng Kun sendiri
termangu-mangu dan penuh dugaan, akan tetapi jelas bahwa dia merasa sangat tertarik.
Tiba-tiba A-hai menggebrak meja dan mena ngis tersedu-sedu, menelungkupkan mukanya di atas
meja. "A-hai ...... engkau manu sia gila! Siapakah sebenarnya diriku ini?"
Kakak beradik itu merasa terharu sekali dan dari kanan kiri mereka merangkul pundak A-hai.
"Saudara A-hai, harap jangan khawatir. Kami akan membantumu menyelidiki segala sesuatu tentang
dirimu. Tenanglah, siapa tahu kita akan da-pat membuka tabir rahasiamu di tempat ini."
Setelah dibujuk oleh kakak beradik itu, A-hai berhenti menangis, mengusap air matanya dengan
kedua kepalan tangannya dan diapun tersenyum masam, "Terima kasih, kalian sungguh amat baik
kepadaku"
Seng Kun lalu berkata kepada pemilik warung itu, suaranya membujuk, "Paman, kami bertiga
sungguh tidak ingin menyusahkan paman dan kami tidak mempunyai niat buruk. Akan tetapi, terus
terang saja kami merasa amat tertarik akan cerita paman tentang kongcu itu, dan juga tentang Gulojin.
Kami tentu akan mtemberi imbalan jasa ke-padamu kalau engkau suka menceritakan sejujurnya
dunia-kangouw.blogspot.com
kepada kami tentang kongcu itu, dan tentang Gu-lojin. Ceritakanlah, paman, apakah kongcu itu sering
membawa teman kalau dia sedang mem-beli makanan di sini?"
Pemilik warung itu menggeleng kepala. "Souw-kongcu tidak pernah membawa teman maupun
pengawal. Dia sakti bukan main. Lihat, saya mempunyai pedang eh, golok besar peninggalan Souwkongcu."
Pemilik warung itu berlari ke dalam dan tak lama kemudian dia sudah kem-bali lagi sambil
membawa sebuah golok yang tebal dan besar, kelihatan berat sekali dan golok itu di-bawanya
dengan kedua tangannya. Seng Kun ber-tiga segera melihat dan memeriksa golok itu. Go-lok itu
tebalnya hampir dua senti, dan di bagian tengah somplak seperti terkena pukulan benda ke-ras.
Ketika Bwee Hong memeriksa lebih teliti, ia terkejut sekali. Gadis itu melihat betapa di tem-pat yang
somplak dari golok itu terdapat tiga buah lubang dan susunan lubang itu persis seperti tiga buah
tonjolan yang terdapat di pelipis kiri A-hai, yaitu berbentuk segi tiga !
"Tolong kauceritakan tentang golok ini, pa-man." Seng Kun membujuk pemilik warung itu.
"Golok besar ini milik seorang bajak sungai yang mampir di dusun ini, dan kebetulan dia me-masuki
warung saya. Pada saat itu, kebetulan pu-la Souw-kongcu sedang berada di sini menikmati eh, ayam
panggangnya." Dia melirik ke arah A-hai dengan takut-takut, dan pada saat itu A-hai juga sedang
menghadapi pesanannya tadi, yaitu panggang ayam ! "Bajak sungai membuat onar di sini. Souwkongcu
menjadi marah dan mereka berkelahi. Akan tetapi baru segebrakan saja, bajak itu tewas !
Golok besarnya yang dipakai menang-kis jari-jari tangan Souw-kongcu somplak dan jari-jari itu tetap
mengenai pelipis bajak sungai sehingga roboh dan tewas seketika."
Tiga orang itu mendengarkan dengan penuh takjub. Bwee Hong saling berpandangan dengan
kakaknya. "Jari tangan ? Jadi ini bekas jari ta-ngan ?" Ia menunjuk ke arah lubang-lubang pada golok
itu dan melirik ke arah pelipis A-hai. Ke-duanya mulai mengerti sekarang. Mereka berdua melihat
betapa susunan bekas jari tangan pada go-lok itu sama benar dengan susunan tiga tonjolan pada
pelipis A-hai. Dan bekas-bekas jari itu tentu merupakan semacam ilmu menotok yang amat ampuh
dan kuat. Entah ilmu totok apa dan dari perguruan mana mereka tidak mengenalnya dan tidak dapat
menduganya. Akan tetapi mereka merasa yakin bahwa antara A-hai dan perguruan itu tentu ada
hubungannya yang dekat, entah se-bagai kawan ataukah sebagai lawan.
Seng Kun mengerutkan alisnya. Dia sejak tadi mengingat-ingat, perguruan mana yang memiliki ilmu
menotok tiga jari yang bekasnya merupakan bentuk segi tiga seperti itu, akan tetapi dia tidak ingat,
atau juga mungkin belum pernah mende-ngarnya. Tiba-tiba dia bangkit berdiri. Mereka sudah selesai
makan karena tadi mereka bicara sambil makan. "Paman, tolong kautunjukkan di mana rumah Gulojin
itu."
"Benar, paman. Bantulah kami. Kalau tidak ada yang menjaga, tutup sebentar warungmu ini dan kami
akan memberi kerugian kepadamu," sam-bung Bwee Hong dengan sikap manis.
Kakek pemilik warung itu mempunyai seorang pembantu, maka setelah memesan kepada pembantunya,
diapun lalu mengantar tiga orang tamunya pergi ke hutan tak jauh dari dusun itu. "Biarlah saya
mengantar sam-wi, bukan karena upahnya melainkan mengingat bahwa mendiang Gu-lojin adalah
seorang yang amat baik, sedangkan Souw-kongcu amat ramah dan dermawan. Rumah mendiang
Gu-lojin itu tidak jauh dari sini, beliau tinggal seorang diri dan kesukaannya adalah me-lukis. Marilah!"
Memang benar keterangan kakek itu. Hutan itu tidak jauh letaknya dari dusun dan di tengah hutan itu
terdapat sebuah rumah yang sudah rusak kare-na tidak terawat. Gentengnya banyak yang pecah dan
bocor. Pintunya sudah miring hampir roboh dan dinding rumah itupun banyak yang pecah ka-rena
diterjang akar-akar pohon yang menutupi rumah itu.
Seng Kun dan adiknya yang sejak tadi diam-diam memperhatikan A-hai, melihat sesuatu yang aneh
pada diri orang muda ini. Begitu memasuki hutan, A-hai berjalan seperti dengan sendirinya menuju ke
rumah itu dan setiba di situ, seperti orang gila A-hai lari ke sana-sini mengitari ru-mah, seperti orang
yang sedang mencari-cari se-suatu. Seng Kun menyentuh lengan adiknya dan memberi isyarat agar
membiarkan saja apapun yang akan dilakukan oleh A-hai.
A-hai memasuki rumah itu dan tak lama ke-mudian diapun keluar dari kamar belakang dan tangannya
membawa sebuah boneka dari batu giok yang amat indah. Ukiran pada boneka itu amat halus dan
ternyata boneka itu adalah patung se-orang puteri bangsawan istana dengan rambut di-sanggul tinggi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cantik bukan main boneka itu dan kakak beradik itu diam-diam amat mengaguminya karena boneka
itu terbuat dari pada batu giok hijau yang jernih warnanya.
Tanpa berkata-kata, A-hai memberikan boneka itu kepada Bwee Hong yang menerimanya dan
memeriksanya bersama Seng Kun. "Koko, boneka giok ini merupakan benda yang tak ternilai harga
nya. Eh ada tulisan di bawah alas kakinya.
Coba lihat, ukiran tulisannya kecil-kecil namun jelas."
"Bagaimana bunyinya ?" tanya Seng Kun.
"Hadiah ulang tahun untuk puteriku Lian Cu." Bwee Hong membaca.
Tiba-tiba A-hai kembali lari ke sana-sini mencari sesuatu. Dia berhenti di depan sebuah batu nisan
yang hampir terpendam di bawah ta-nah. Melihat pemuda itu mengamati batu nisan seperti orang
linglung, si pemilik warung mendekatinya.
"Ini adalah makam aduhhh!"
Belum habis.
dini, harus dilaku-kan dengan sabar," kata Bwee Hong dengan ha-lus. A-hai melepaskan si pemilik
warung dan dia-pun duduk di atas tanah, di depan tanah kuburan itu dan menutupi mukanya.
"Saudara Seng Kun, nona Hong, cepatlah kalian beri tahu padaku akan asal-usulku. Siapakah sebenarnya
aku ini ? Siapakah bocah perempuan ke-cil itu ? Jangan-jangan ia benar-benar anakku.
Lihat boneka itu, aku seperti telah mengenalnya baik-baik. Benarkah aku adalah Souw-kongcu itu,
seperti yang dikatakan oleh pemilik warung ini ? Aihh, kenapa Gu-lojin ini juga sudah mati sehingga
kita tidak dapat bertanya kepadanya "
A-hai kelihatan amat berduka memandang ke arah batu nisan.
Melihat keadaan A-hai dan mendengar ratap-annya, hati Bwee Hong tergerak dan tanpa disadarinya
lagi iapun menghampiri orang muda itu, duduk di dekatnya dan membujuknya. Bwee Hong merasa
iba hati melihat A-hai, biarpun ia merasa betapa di dalam hatinya terdapat suatu kegetiran. Hatinya
tergores setelah ia menduga bahwa besar kemungkinan A-hai adalah Souw-kongcu yang telah
mempunyai seorang puteri. Di luar kesadar-annya sendiri, dara yang cantik jelita ini telah ja-tuh hati
kepada A-hai!
"Saudara A-hai, janganlah terlalu berduka.
Percayalah, aku akan membantumu untuk menyelidiki rahasia tentang dirimu, percayalah " kata gadis
itu dengan suara halus dan menggetar penuh perasaan. A-hai yang sedang hanyut da-lam kedukaan,
begitu ada uluran tangan, tanpa sa-dar diapun menangkap tangan yang kecil mungil itu dan
menggenggamnya dengan erat. Gerakan ini membuat Bwee Hong hampir tak dapat mena-han air
matanya dan sejenak ia membiarkan ta-ngannya digenggam pemuda itu sebelum dengan halus ia
menariknya dan iapun duduk berdekatan dengan A-hai.
Melihat keadaan mereka ini, diam-diam Seng Kun menjadi prihatin dan serba salah. "Apakah ini tanda
bahwa adikku jatuh cinta kepadanya?
Aih, kalau begitu, sungguh kasihan sekali Hong-moi"
Ketika kakak beradik itu mengajak A-hai kem-bali ke dusun karena matahari telah condong ke barat,
A-hai menolak keras. "Tidak, aku akan tinggal di sini dan bermalam di sini. Biarpun aku sendiri tidak
ingat dan tidak tahu, akan tetapi aku merasa bahwa aku dekat sekali dengan tempat ini. Kalian berdua
pulanglah ke dusun dan biarkan aku sendiri malam ini tidur di sini," katanya ber-keras.
Akan tetapi kakak beradik itu, terutama sekali Bwee Hong, tidak tega membiarkan A-hai tinggal di situ
seorang diri. Mereka khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu menimpa diri pemuda yang masih
kehilangan ingatannya itu. Maka mereka lalu me-nyuruh si pemilik warung pulang ke dusun terle-bih
dahulu dan mereka hendak menemani A-hai bermalam di rumah tua itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seng Kun dan Bwee Hong membiarkan A-hai yang masih duduk termenung di depan batu nisan
kuburan. Mereka lalu memasuki rumah, member-sihkan ruangan yang tidak bocor untuk dipakai
beristirahat malam nanti.
"Bagaimana pendapatmu tentang A-hai, Hong-moi ?" tanya Seng Kun ketika mereka sedang sibuk
bekeria membersihkan ruangan itu.
"Koko, agaknya kita telah sampai pada ujung dari tabir rahas;a kehidupan masa lalunya. Aku yakin
bahwa tidak lama lagi kita akan dapat mem-beri tahu kepadanya siapa sebenarnya dia. Penye-lidikan
itu dapat kita mulai dari tempat ini, yang kita temukan secara kebetulan sekali."
"Maksudmu ?" Seng Kun menegas.
"Engkau tentu ingat betapa secara tidak senga-ja dia menemukan terowongan di bawah sungai itu,
kemudian ketika dia memesan ayam panggang dan ketika dia menemukan boneka giok tadi ? Pada
saat-saat itu dia hanya dibimbing oleh nalurinya saja. Dia tidak mempergunakan akal dan pikiran,
tidak mempergunakan otak. Mungkin kalau pada saat dia hendak menyeberangi sungai dia tidak
membayangkan ayam panggang, dia akan kebi-ngungan dan tidak tahu bagaimana harus menyeberang.
Karena dia melamunkan ayam panggang, maka nalurinya yang menuntunnya pergi ke tempat
terowongan itu. Seperti halnya kalau kita pu-lang ke rumah sendiri, kita tidak usah harus ber-pikir
lagi ke mana kita akan berbelok. Gerakan ka-ki kita seperti terjadi dengan sendirinya."
"Engkau benar," Seng Kun mengangguk. "Dan itu berarti bahwa tempat-tempat ini sudah sa-ngat
dikenalnya dahulu. Tempat dan suasana itu-lah yang menlbuat dia tiba-tiba menginginkan ayam
panggang pada saat perutnya terasa lapar, secara otomatis dia menginginkan ayam panggang yang
dipesannya di warung itu, dan otomatis pu-la merabawa kakinya menuju ke terowongan. Dan karena
dia mengenal baik tempat ini pula maka nalurinya menuntunnya menemukan boneka dan batu nisan."
"Koko, itu berarti bahwa A-hai adalah
Souw-kongcu itu, bukan ? Souw-kongcu yang sudah punya isteri dan anak ?" Dalam pertanyaan ini
terkandung suara yang getir.
Seng Kun dapat merasakan rial ini, akan tetapi diapun terpaksa mengangguk membenarkan. "Ku-rasa
demikian. Kini kita tinggal melanjutkan pe-nyelidikan kita. Siapakah Souw-kongcu itu ? To-koh dari
mana ?"
"Hemm, menurut penuturan pemilik warung, tentu dia itu seorang pendekar yang lihai sekali dan
bekas tangannya masih nampak pada golok itu."
"Akan tetapi kalau benar dia itu Souw-kongcu yang lihai itu, kenapa justeru pelipisnya sendiri terluka
oleh totokan tiga jari yang hebat itu ? A-dikku, kita harus menyelidiki lebih teliti sebelum mengambil
kesimpulan. Belum tentu dia itu Souw-kongcu yang pandai menotok tiga jari da-lam bentuk segi tiga.
Mungkin A-hai ini kakak atau adiknya, atau sanak keluarganya yang mem-punyai wajah mirip
sehingga penjaga warung itu mengenalnya."
Mendengar ucapan ini, tentu saja timbul lagi harapan di dalam hati Bwee Hong dan wajahnya nampak
berseri. Hal ini tidak terlepas dari penga-matan Seng Kun dan kakak ini menarik napas panjang.
Benar-benar ia sudah jatuh cinta, pikir-nya.
Pada saat itu A-hai melangkah masuk dan membantu mereka membersihkan ruangan itu. Setelah
selesai, mereka duduk di atas lantai yang sudah bersih. "Saudara A-hai, tempat ini sepi dan tenang.
Bagaimana kalau kami mulai memeriksa penyakirmu ?" kata Seng Kun.
A-hai mengangguk. "Silahkan."
Seng Kun, dibantu oleh adiknya, lalu mulai melakukan pemeriksaan. Mula-mula dia meme-riksa
mata, lalu lidah dan tenggorokan, dan de-ngan amat teliti dia memeriksa denyut nadi kedua
pergelangan tangan A-hai. Di dalam pengobatan tradisionil Tiongkok, pemeriksaan lewat denyut nadi
merupakan bagian yang terpenting. Seorang yang sudah ahli benar, dapat merasakan gejala-gejala
macam penyakit lewat denyut urat nadi itu. Setelah melakukan pemeriksaan dengan teliti, ma-kin
dunia-kangouw.blogspot.com
yakinlah hati kakak dan adik itu bahwa sum-ber penyakit yang menghilangkan ingatan A-hai terletak
pada kekacauan jalan darah di kepala ! Maka Seng Kun lalu langsung memeriksa pelipis kiri.
Seng Kun meraba-raba pelipis itu, kemudian menggunakan jarum perak menoreh kulit di sekitar
benjolan-benjolan itu. Darah menetes dan dia memperhatikan tetesan darah yang keluar, kemu-dian
menyuruh Bwee Hong memeriksa darah itu dengan seksama. Akhirnya, setelah memeriksa dengan
teliti, Seng Kun menarik napas panjang.
"Saudara A-hai, benjolan-benjolan di pelipis-mu ini adalah akibat terkena ilmu totok urat yang amat
hebat. Melihat bekas dan akibat totokan ini, aku mempunyai dugaan bahwa ilmu itu adalah se-macam
Sam-ci Tiam-hwe-louw (Ilmu Totok Tiga Jari) yang luar biasa ampuhnya dan yang me-mang khusus
untuk menotok urat-urat kematian. Akan tetapi entah karena ilmu kepandaian si pe-notok itu yang
belum sempurna ataukah karena il-mu kepandaianmu yang lebih unggul dari padanya, akibat dari
totokan itu tidak sampai menewaskan-mu, melainkan hanya mengakibatkan memar di urat jalan
darah yang tertotok. Memar itu menye-babkan darah matang menyumbat hiat-to (jalan darah) yang
menuju ke otak tidak mendapatkan aliran darah yang wajar seperti biasanya. Tentu saja hal ini
membuat otak tidak dapat bekerja de-ngan baik. Masih untung bahwa totokan itu hanya
mengakibatkan tersumbatnya jalan darah menuju ke bagian otak yang depan saja sehingga engkau
masih mampu berpikir walaupun sebagian lagi te-lah tidak bekerja sehingga engkau tidak ingat akan
masa lalumu. Kalau totokan itu mengakibatkan tersumbatnya jalan darah ke semua bagian dari otak,
engkau akan hidup seperti seorang bayi yang tidak pernah mengetahui apa-apa !"
Mendengar keterangan terperinci ini, Bwee Hong merasa bulu tengkuknya meremang.
"Akan tetapi, koko. Kenapa pada waktu ku-mat, dia memperoleh kembali ingatan-ingatannya
walaupun hanya sebagian saja ?"
Kakaknya mengangguk-angguk. "Mudah di-perkirakan, Hong-moi. Engkau pernah mengata-kan
bahwa manusia mempunyai naluri. Nah, aku yakin bahwa ada suatu peristiwa yang sangat berpengaruh
atas naluri saudara A-hai pernah terjadi di masa lalunya. Kita tidak tahu persis apa adanya
peristiwa itu, akan tetapi mudah diperkirakan bah-wa peristiwa itu ada hubungannya dengan darah
manusia. Maka apa bila dia melihat genangan da-rah, otomatis terjadilah guncangan hebat pada batinnya.
Nah, akibat guncangan batin yang hebat inilah maka jantungnya bekerja beberapa kali le-bih
keras dari biasanya. Dan karena jantung be-kerja keras, tentu saja tekanan aliran darah menja-di
sedemikian kuatnya sehingga darah dapat juga sedikit menembus sumbatan itu dan dapat menga-lir
ke otak yang kering itu, biarpun hanya dengan sukar sekali. Dengan demikian, untuk saat-saat itu otak
yang membeku dapat bekerja kembali wa-laupun belum sempurna benar. Dan setelah pe-ngaruh
guncangan itu habis, maka berhenti pula aliran darah itu. Engkau tadi melihat, ketika aku menusukkan
jarum di bagian atas dan bawah ben-jolkan, aliran darahnya berbeda-beda, ada yang tetesannya
cukup deras ada pula yang sama sekali tidak keluar ?"
Bwee Hong mengangguk-angguk kagum se-dangkan A-hai hanya mendengarkan dengan be-ngong
saja.
"Kun-ko, engkau sungguh hebat. Keteranganmu dapat menjelaskan persoalannya. Lalu menga-pa
apa bila saudara A-hai sedang kumat dia me-lupakan semua orang ? Termasuk juga kita ?"
Seng Kun tersenyum. "Aku sudah memperhati-kan hal itu. Lihatlah satu tonjolan ini tidak berada di
dalam urat, akan tetapi mengenai bagian di luar urat. Inilah yang menyelamatkan saudara A-hai,
selamat dari kelumpuhan total dari otaknya. Akan tetapi tonjolan ini justeru terletak dalam kumpulan
otot-otot pelipis dan rahang. Dengan demikian, apa bila otot-otot itu mengejang karena saudara A-hai
sedang marah, tonjolan itu malah mende-sak dan menghimpit urat di dekatnya dengan oto-matis.
Dengan demikian, maka bagian yang nor-mal dari otak itulah yang justeru tidak kebagian darah
karena himpitan itu. Mengertikah engkau?"
Bwee Hong mengangguk. "Akan tetapi, lalu bagaimanakah agar supaya aliran darah ke otak itu dapat
terbuka kembali semuanya sehingga otak dapat bekerja kembali dengan wajar ?"
"Inilah yang harus kita kerjakan, yaitu berusaha menghilangkan sumbatan-sumbatan itu. Akan tetapi
hal ini tidaklah mudah. Darah yang me-ngental itu sudah sedemikian kerasnya sehingga aku khawatir
kekuatan obat saia tidak akan mam-pu mencairkannya kembali. Padahal kalau kita
menghilangkannya dengan pembedahan, berarti kita akan merusak pembuluh darah dan ini
dunia-kangouw.blogspot.com
berbahaya sekali. Satu-satunya cara ialah membuat lubang darurat di bagian darah yang mengental
itu. Akan tetapi cara seperti itu bukan merupakan pengobatan yang sekaligus dapat menyembuhkan.
Setiap setahun sekali, harus dibuat lagi lubang baru karena lubang yang lama itu lambat-laun akan
tertutup lagi oleh darah. Dan itu berarti saudara A-hai ini akan selalu tergantung kepada kita yang
harus membuatkan lubang darurat baru setiap tahun. Nah, sekarang terserah kepada saudara A-hai
sendiri."
"Saudara Seng Kun dan nona Hong ! Lakukan-lah sesuka hati kalian terhadap diriku. Aku me-nyerah
sepenuhnya kepada kalian. Pokoknya aku bisa tahu siapa sebenarnya aku ini !"
Seng Kun mengangguk girang. Sebagai seorang ahli pengpbatan, tentu saja menghadapi seorang
dengan gangguan penyakit seperti A-hai ini dia merasa ditantang dan dia akan merasa berbahagia
sekali kalau dapat menanggulangi dan mengalah-kan penyakit itu. Dan kalau A-hai bersikap pa-srah,
maka hal itu sudah merupakan bantuan yang amat besar artinya bagi pengobatannya.
"Baiklah kalau begitu. Akan tetapi sebelum membuat lubang pada bagian darah kental yang
menyumbat jalan darah itu, lebih dahulu aku akan membedah dan mengambil gumpalan darah yang
berada di luar jalan darah, yang menghalang di kumpulan otot pelipis itu. Hal ini untuk mencegah agar
otak yang normal tidak tertutup lagi ja-lan darahnya sewaktu engkau marah atau dalam keadaan
kumat. Nah, Hong-moi, siapkan alat-nya dan mari kita bekerja !"
A-hai disuruh rebah miring ke kanan sehingga pelipis kirinya berada di atas. Dengan dibantu adiknya,
Seng Kun duduk bersila di dekatnya, de-ngan teliti mengamati ketika Bwee Hong memper-gunakan
jarum-jarumnya untuk menusuk bebera-pa jalan darah di tengkuk dan pundak. Tusuk-an-tusukan ini
untuk menghilangkan rasa perih dan nyeri ketika pembedahan dilakukan. Kemudi-an mulailah Seng
Kun mengerjakan pisaunya yang tajam. Karena pembedahan itu hanya kecil dan sederhana saja,
hanya harus dilakukan dengan amat teliti dan hati-hati agar jangan sampai me-rusak jaringan darah,
tak lama kemudian gumpal-an darah kental itu dapat dikeluarkan. A-hai ti-dak merasa sakit, dan baru
setelah luka itu dijahit dan diobati, kemudian jarum-jarum yang menu-suk beberapa bagian badan itu
diambil, dia merasa betapa pelipisnya agak perih.
"Nah, saudara A-hai, mulai saat ini, biarpun engkau sedang kumat, engkau akan tetap mengenal
siapa saja yang pernah kaukenal, termasuk kami," kata Seng Kun.
"Terima kasih, sungguh kalian selain pandai, juga amat berbudi," A-hai berkata dengan terha-ru.
Sementara itu, malampun tiba. Ruangan itu mulai gelap. Bwee Hong menyalakan lilin mem-buat
penerangan. Kemudian mereka bertiga ma-kan roti kering yang dibawa sebagai bekal oleh ga-dis itu.
Ketika Bwee Hong melihat betapa A-hai mengunyah roti itu dengan kaku, iapun tertawa.
"Saudara A-hai, untuk beberapa hari jahitan di pelipismu itu akan sedikit mengganggu apa bila engkau
sedang makan."
"Ah, tidak apa. Yang penting kini sebagian pe-nyakit lupaku sudah hilang. Saudara Seng Kun,
kapankah lubang di pembuluh darah itu akan di-buat ? Aku sudah tidak sabar lagi menanti."
"Hemm, saudara A-hai, jangan tergesa-gesa. Pembuatan lubang itu tidak boleh sembarangan. Harus
dilakukan sedikit demi sedikit, setiap kali mau tidur malam. Kalau dibuat secara mendadak, besar
bahayanya darah yang mengalir ke dalam otak terlalu banyak dan tiba-tiba itu akan men-datangkan
guncangan. Jalan darah yang tersumbat itu seakan-akan air dibendung. Kalau bendungan itu dibuka
secara tiba-tiba dan sekaligus, tentu akan terjadi banjir yang akan merusak saluran. De-mikian pula
dengan jalan darah itu, yang semula tersumbat sampai sekian lama, kalau dibuka seka-ligus, ada
bahayanya darah yang membanjir itu selain merusak jalan darah, juga dapat menimbul-kan
guncangan pada otak. Kesembuhan itu harus terjadi setahap demi setahap dan memerlukan kesabaran."
"Wah, kalau begitu, berapa kalikah aku harus mengalami tusukan jarummu untuk membuat lubang
itu?"
"Tidak terlalu banyak, kukira tidak lebih dari sepuluh kali tusukan atau sepuluh hari saja. Tidak terlalu
lama, bukan ?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kalau begitu, kuharap engkau suka mulai se-karang juga, lebih cepat lebih baik bagiku.
"Akan tetapi baru saja engkau mengalami pem bedahan " Bwee Hong mencela.
"Tidak mengapa ! Aku sudah tidak merasakan nyeri lagi, nona."
"Baiklah kalau begitu, saudara A-hai. Nah, engkau rebahlah lagi seperti tadi. Akan tetapi se-kali ini,
sehabis penusukan pertama, engkau harus tidur dan banyak istirahat, tidak boleh banyak ber-gerak."
A-hai mengangguk dan dengmi penuh sema-ngat diapun merebahkan diri. Seng Kun menotok jalan
darah di kedua pundak dan punggung se-dangkan Bwee Hong lalu menusukkan jarum-ja-rumnya di
sekitar pelipis. A-hai segera tertidur pulas oleh totokan-totokan dan tusukan jarum-jarum itu. Dengan
hati-hati Seng Kun lalu mem-persiapkan jarumnya. Lebih dulu dia duduk me-lakukan siulian dan
mengheningkan pikiran, kemu-dian mengumpulkan hawa murni disalurkan di kedua lengannya.
Barulah dia berani melakukan pe-nusukan itu. Kedua tangannya bergerak mantap, jari-jari tangannya
tidak gemetar dan sepasang matanya memandang tajam, setiap gerakan dila-kukan dengan tepat.
Dia tahu betapa berbahaya-nya pekerjaan yang dilakukannya itu. Sedikit saja meleset atau salah, ada
bahaya nyawa A-hai akan melayang! Dia harus dapat menancapkan jarum-nya mengenai sasaran,
yaitu gumpalan darah itu, jangan sampai merusak pembuluh darah dan ja-ngan sampai mengenai
jalan darah lain walaupun yang kecil sekali. Beberapa kali tusukannya masih belum menghasilkan
apa-apa. Darah masih be lum menetes keluar. Dia mulai berkeringat, bah-kan Bwee Hong yang
melayaninya juga mengelu-arkan peluh dingin karena dara inipun tahu akan besarnya bahaya yang
mengancam nyawa A-hai.
Akhirnya, pada tusukan yang kesekian kalinya ketika jarum dicabut, nampak darah hitam sedikit
mengalir keluar. Kakak beradik itu merasa sangat puas. Seng Kun menyudahi pekerjaannya.
"Untuk yang pertama kali cukuplah, biar dia tidur nyenyak. Mari kita keluar mencari hawa se-gar," kata
Seng Kun sambil menyeka keringat yang memenuhi dahi dan lehernya.
"Baiklah, koko. Engkau keluarlah lebih dulu. Aku akan membersihkan alat-alat pengobatan ki-ta dan
menyimpannya. Nanti aku akan menyusul-mu keluar."
Seng Kun mengangguk dan melangkah keluar. Dia tahu bahwa adiknya itu masih belum tega meninggalkan
A-hai seorang diri setelah menjalani pengobatan sangat berbahaya itu. Di luar hawa-nya
sangat sejuk. Bulan sepotong yang melayang di antara awan-awan nampak indah sekali. Tanpa
disadarinya, Seng Kun melangkah perlahan-lahan menuju ke makam Gu-lojin yang berada tidak jauh
dari rumah tua itu.
Akan tetapi ketika dia sudah tiba di dekat ma-kam, mendadak dia menahan langkah kakinya dan
matanya terbelalak. Di batu nisan itu nampak se-orang laki-laki duduk bersandar, matanya melo-tot
dan lidahnya terjulur keluar. Jelaslah bahwa orang itu sudah mati ! Cepat Seng Kun mendekati dan
memeriksanya. Kiranya orang itu adalah ka-kek penjaga warung, dan baru saja mati. Badan-nya
masih hangat dan ketika Seng Kun memeriksa lehernya, dia mengumpat, "Sungguh kejam pembunuh
itu ! Seperti iblis ! Orang ini mati karena diinjak lehernya. Bekas sepatu kaki penginjak itu masih
nampak nyata."
Tiba-tiba Seng Kun meloncat bangkit berdiri dan siap siaga ketika dia mendengar suara ketawa parau
dan lantang di dekatnya. Dia cepat meno-leh, akan tetapi tidak nampak bayangan orang. Dia
mengerutkan alisnya. Tidak mungkin ada iblis ter-tawa. Tentu suara orang dan dia hampir yakin
bahwa suara ketawa itu adalah suara si pembunuh kejam yang mentertawakannya. Dia merasa penasaran
dan marah. Orang sekejam itu pasti bukan orang baik-baik dan harus dilawannya. Maka diapun
mencari ke arah suara ketawa yang kini terde-ngar lagi dari arah sungai. Akhirnya, di tepi sungai
itu, nampak seorang laki-laki pendek gemuk du-duk di atas batu, kakinya direndam di air dan mukanya
menengadah memandang bulan. Laki-laki ini usianya hampir limapuluh tahun, tubuhnya
pendek gemuk dengan perut yang gendut, tangan kirinya memegang sebatang tongkat besar berbentuk
alu, yaitu alat penumbuk padi, berwarna pu-tih. Itulah senjata yang berat dan keras, terbuat dari
pada baja putih.
Melihat orang ini, hati Seng Kun terkejut. Dia mengenal senjata itu dan dia tahu bahwa dia
berhadapan dengan orang ke dua dari Sam-ok, kawan dari San-hek-houw. Inilah Sin-go Mo Kai Ci, Si
dunia-kangouw.blogspot.com
Buaya Sakti yang menjadi raja di antara bajak-bajak sungai, seorang di antara pembantu-pem-bantu
Raja Kelelawar.
Selagi Seng Kun merasa ragu karena dia belum tahu benar apakah datuk sesat ini yang membunuh
kakek pemilik warung, tiba-tiba si gendut pendek itu menoleh kepadanya dan bertanya, "Engkau
mencari pembunuh tukang wjarung ?"
Tentu saja Seng Kun kaget dan mengangguk karena pertanyaan itu langsung mengenai perasaan
hatinya yang sedang bertanya-tanya. Si gendut pendek itu tertawa. Di bawah sinar bulan, perut
gendutnya bergerak-gerak naik turun dan karena kini dia sudah bangkit berdiri, dia kelihatan sekali
pendeknya.
"Ha-ha-ha-ha, dan engkau akan menemani-nya di sana!" Tiba-tiba saja tubuh yang gendut pendek itu
meloncat. Demikian cepat gerakannya, sama sekali tidak pantas melihat tubuhnya yang gendut itu
dan didahului oleh gulungan sinar pu-tih dari senjatanya, datuk sesat ini telah menyerang Seng Kun.
Hebat sekali serangannya itu, mengan-dung tenaga yang kuat sehingga terdengar suara angin
bersiutan menyambar-nyambar. Seng Kun maklum akan kelihaian lawan, maka diapun me-lawan
sambil mengerahkan tenaganya dan karena dia bertangan kosong, maka dia mengandalkan
ginkangnya yang hebat untuk menghindarkan diri dari ancaman senjata alu baja yang berat itu. Biarpun
gerakannya amat cepat, namun ternyata Si Buaya Sakti itu lihai bukan main, bahkan dibandingkan
dengan San-hek-houw, dia tidak kalah lihai. Serangannya juga bersifat liar dan bahkan dia
lebih ulet. Karena bertangan kosong, terpaksa Seng Kun beberapa kali menerima hantaman alu
dengan tangkisan lengannya yang membuat dia beberapa kali terpelanting. Lewat tigapuluh jurus
lebih, Seng Kun terdesak.
Tiba-tiba terdengar jeritan suara wanita dari dalam rumah tua. Tentu saja hati Seng Kun terkejut dan
penuh kekhawatiran. Adiknya berada di dalam rumah tua itu dan yang mengeluarkan jeritan itu
tentulah adiknya. Saking kaget dan khawatirnya, dia menoleh dan kesempatan ini di-pergunakan oleh
Sin-go Mo Kai Ci untuk men-cengkeram pundak Seng Kun dan pemuda itu seke-tika merasa
tubuhnya lumpuh tidak mampu berge-rak lagi.
"Ha-ha-ha, engkau mendengar jeritan gadis itu? Heh-heh, San-hek-houw tentu sedang
memperkosanya. Heh-heh-heh !"
Seng Kun terbelalak dan roboh pingsan men-dengar kata-kata keji itu. Si Buaya Sakti tidak perduli,
bahkan kelihatan gembira sekali. Dia me-nyeret tubuh Seng Kun ke arah rumah tua sambil berteriakteriak.
"Heii, bangsat tua ! Sudah selesaikah engkau? Nih, bocah itu telah kuhajar setengah mampus.
Kurang ajar engkau! Katamu, ilmu kepandaian-nya bukan main hebatnya. Tidak tahunya cuma
sebegitu saja!"
Akan tetapi, tidak ada jawaban dari dalam ru-mah. Si Buaya Sakti melemparkan tubuh Seng Kun ke
dekat mayat pemilik warung, lalu dia du-duk di atas batu nisan, mulutnya memaki-maki dan
menyumpah-nyumpah dengan suaranya yang tinggi melengking seperti suara wanita.
"Hayo, cepatlah! Bandot tua yang tidak tahu diri! Sudah mau masuk lobang kubur masih gemar main
perempuan!" Akan tetapi tidak ada suara sedikitpun dari dalam rumah itu, tidak ada sedikitpun
jawaban terhadap kata-kata dan ma-kiannya. Hal ini membuat Si Buaya Sakti menjadi semakin uringuringan
dan akhirnya dia merasa penasaran. Bagaimanapun juga, rekannya itu tidak akan berani
menghinanya dengan membiarkan dia berteriak-teriak sendirian saja sejak tadi, seperti orang gila.
Dia lalu bangkit berdiri, meludah ke tanah, kemudian menyeringai dan berjalanlah dia menu-ju ke
rumah tua itu. Sambil tersenyum-senyum nakal dia menghampirri jendela dan dengan lagak seorang
bocah nakal diapun lalu mengintai ke da-lam sambil cengar-cengir. Akan tetapi, matanya terbelalak
dan liar mencari-cari. Kamar itu ko-song ! Tidak nampak ada gerakan orang di situ.
Tubuh yang gendut itu dengan ringannya me-layang masuk ruangan itu melalui jendela. Di atas lantai
nampak seorang pemuda terlentang dalam keadaan tidur pulas. Di sudut ruangan itu ter-dapat
pakaian si gadis berserakan. Akan tetapi ga-dis itu sendiri tidak berada di situ. Juga San-hek-houw
tidak nampak bayangannya. Ke manakah mereka pergi ? Si Buaya Sakti mengepal tinju,
dunia-kangouw.blogspot.com
mengamang-amangkan tinjunya ke atas lalu mem-banting-banting kakinya yang besar dan pendek itu
ke atas lantai sampai rumah itu tergetar.
"Bedebah ! Keparat ! Bangsat hina ! Benar-benar kurang ajar! Teman disuruh berkelahi, sedangkan
dia sendiri enak-enak pergi dengan pe-rempuan, bersenang-senang tanpa memperdulikan teman.
Tanpa pamit lagi. Keparat, kuhajar eng-kau nanti!" Si Buaya Sakti menjadi marah bukan main,
tubuhnya meloncat keluar lagi dan dengan beberapa kali loncatan saja dia sudah tiba di depan nisan.
Karena dia sedang marah, dia lalu meng-hampiri tubuh Seng Kun yang terkapar di atas ta-nah ketika
dia melemparkannya tadi dan dengan buas dia lalu menginjak sambil mengerahkan tena-ganya ke
arah dadanya.
"Krekk! Krekkk! !"
Si Buaya Sakti terkejut bukan main. Korban yang diinjaknya itu lalu disepaknya dan diapun
meludahinya. Daun-daun dan ranting-ranting berhamburan dari "tubuh" yang diinjaknya tadi.
"Gila! Anjing babi keparat jahanam laknat! Siapa berani mempermainkan Si Buaya Sakti ? Siapa yang
bosan hidup di dunia ini dan berani main-main dengan aku ? Akan kulumatkan ke-palamu,
kuhancurkan dadamu !" Alu baja itu di-amang-amangkannya dan matanya melotot, men-cari-cari ke
segenap penjuru. Kiranya yang diin-jak dadanya tadi hanyalah pakaian yang diisi de-ngan daun-daun
dan ranting-ranting kecil.
"Aku berada di sini !" Suara itu halus dan ter-dengar perlahan dari atas sebatang pohon tua yang
tinggi.
Si Buaya Sakti terkejut dan memandang ke atas. Kiranya di atas sebuah dahan panjang yang ting-gi,
duduklah seorang kakek bersama dua orang pe-muda, seorang di antara dua pemuda itu adalah
Seng Kun, pemuda yang tadi dirobohkannya. Kini tiga orang itu melayang turun dengan gerakan yang
amat ringan seperti daun-daun kering yang rontok dari dahannya.
Setelah dapat memandang jelas wajah kakek itu, Si Buaya Sakti semakin kaget. Dia mengenal wajah
kakek sederhana yang memegang tongkat ini. Beberapa tahun yang lalu, kakek tua renta yang
sederhana dan kelihatan lemah ini pernah bertanding ginkang dengan Raja Kelelawar dan bahkan
mengalahkan rajanya itu! Tentu saja dia terkejut dan gentar. Dia tahu bahwa kakek ini lihai bukan
main. Apa lagi di situ masih ada pula dua orang pemuda yang juga bukan merupakan lawan yang
lunak. Akan tetapi, dia adalah Si Bu-aya Sakti, pembantu utama dari Raja Kelelawar, dia seorang
datuk kaum sesat yang terkenal seba-gai rajanya kaum bajak sungai. Orang seperti dia tentu saja
pantang untuk memperlihatkan takut. Sambil mengeluarkan suara gerengan keras diapun memutar
alu bajanya dan menyerang ke depan.
"Tranggg!" Bunga api berpijar ketika sebatang pedang menangkis alu baja itu. Kiranya yang
menangkis dengan pedang adalah pemuda ke dua yang datang bersama kakek itu. Dia adalah Kwee
Tiong Li, pemuda yang pernah menjadi murid pemberontak Chu Siang Yu, dan pernah menjadi ketua
Lembah Yangj-ce. Seperti telah diceritakan di bagian depan, pemuda ini bertemu dengan kakek Kam
Song Ki yang menjadi murid ke tiga dari mendiang Bu-eng Sin-yok-ong. Setelah diselamatkan oleh
kakek itu. Kwee Tiong Li yang berjodoh untuk menjadi murid kakek itu lalu ikut bersama kakek itu
mempelajari ilmu silat, sehingga dia yang memang tadinya sudah lihai memperoleh kemaiuan yang
pesat sekali. Pemuda yang mukanya agak kemerahan ini mempergunakan pedangnya. Dan setelah
mereka berdua saling serang selama limapuluh jurus, harus diakui oleh Si Buaya Sakti bahwa ilmu
pedang pemuda ini hebat bukan main, dan kalau dilanjutkan, tentu dia akan celaka.
Apa lagi kalau Seng Kun dan kakek lihai itu maju. Maka, tanpa malu-malu lagi, dia lalu meloncat ke
belakang untuk melarikan diri. Kwee Tiong Li tidak mengejarnya, akan tetapi ujung pedangnya sempat
menyerempet bahu kiri Si Buaya Sakti sehingga bajunya robek dan berdarah.
Sementara itu, ketika Kwee Tiong Li sedang bertanding melawan Si Buaya Sakti, Seng Kun menengok
ke arah rumah tua. Dia maklum bahwa dengan adanya si kakek sakti, tidak perlu dikhawatirkan
pemuda itu akan kalah melawan Si Buaya Sakti. Maka diapun meninggalkan tempat itu dan
mencari adiknya ke rumah tua. Dengan hati ber-debar tegang, Seng Kun memasuki rumah itu, langsung
menuju ke dalam ruangan di mana tadi dia meninggalkan A-hai dalam keadaan tidur pulas dan
dijaga oleh Bwee Hong. Akan tetapi, dia ha-nya melihat A-hai yang masih rebah dan tertidur pulas,
dunia-kangouw.blogspot.com
sedangkan adiknya sudah tidak nampak lagi. Yang ada hanyalah pakaian adiknya yang berse-rakan
di sudut ruangan. Tentu saja hatinya menja-di pilu dan gelisah. Ke manakah perginya Bwee Hong ?
Apa yang telah terjadi dengan adiknya?
Ketika dia keluar lagi dari rumah itu, perkela-hian antara Kwee Tiong Li dan Si Buaya Sakti su-dah
berakhir dan penjahat itu sudah kabur entah ke mana. Seng Kun lalu menghampiri kedua orang yang
tadi telah menolongnya. Tadi ketika dia di-lempar dalam keadaan pingsan oleh Si Buaya Sakti di
dekat mayat pemilik warung, dia telah ditolong dan dibawa naik ke atas pohon oleh seorang ka-kek.
Kemudian seorang pemuda yang datang ber-sama kakek itu mempergunakan daun dan ranting yang
dibungkus pakaian untuk menggantikan tu-buhnya. Dengan beberapa kali totokan, diapun sadar dan
bebas dari totokan Si Buaya Sakti, dan dengan isyarat, kakek dan pemuda itu menyuruh dia berdiam
diri dan mereka menanti sampai Si
Buaya Sakti muncul dengan marah-marah dari dalam rumah tua.
"Ji-wi telah menyelamatkan nyawa saya, untuk itu saya menghaturkan banyak terima kasih. Akan
tetapi saya telah kehilangan adik perempuan saya yang saya tinggalkan di dalam rumah tua itu. Saya
khawatir kalau adik saya menjadi korban kejahatan kaum sesat itu. Mohon bantuan ji-wi untuk menyelamatkan
adik saya."
Kakek Kam Song Ki merangkapkan kedua tangan di depan dada lalu menancapkan tongkatnya ke
atas tanah. "Siancai, negara sedang dalam kekacauan dan semua penjahat merajalela, seolah-olah
semua iblis telah keluar dari neraka untuk mendatangkan onar di permukaan bumi. Kami ba-ru datang
dan kebetulan saja danat menyelamat-kanmu, orang muda. Kami tidak tahu ke mana perginya adikmu
itu."
'Tadi adik perempuan saya berada di dalam rumah tua. Di tempat ini hanya terdapat sebuah dusun.
Kalau ada yang menculiknya, tentu ke du-sun itulah dibawanya. Saya akan mencari ke sa-na !" kata
Seng Kun.
"Biarlah kami ikut bersamamu dan sedapat mungkin membantumu," kata pemuda itu. Mereka tidak
sempat berkenalan karena Seng Kun sedang berada dalam keadaan gelisah sekali memikirkan
keselamatan adiknya. Kalau benar adiknya dise-rang oleh San-hek-houw, tentu adiknya kalah dan
kalau sampai adiknya diculik oleh datuk itu, celakalah!
Merekapun mulai mencari-cari jejak. Karena malam itu hanya diterangi bulan sepotong, maka
sukarlah mencari jejak orang dan akhirnya mereka menuju ke dusun dengan mengambil jalan
setapak. Dengan teliti Seng Kun berjalan di depan dan di tengah perjalanan ini dia membungkuk dan
meng-ambil sepotong sepatu wanita yang dikenalnya se-bagai sepatu Bwee Hong. Tentu saja hatinya
men-jadi semakin gelisah dan dia mempercepat langkah. Hatinya tegang karena jejak itu telah
ditemukan berupa sepatu adiknya. Tentu adiknya telah dilari-kan penjahat menuju ke dusun itu.
Dusun itu sepi sekali. Semua rumah telah me-nutup pintunya rapat-rapat dan di depan rumah-rumah
itu tidak dipasangi lampu. Seng Kun men-jadi tidak sabar dan mulailah dia memanggil-manggil nama
adiknya. Suaranya bergema di du-sun itu, namun tidak terdengar jawaban. Kemudi-an dia mulai
memanggil nama San-hek-houw dengan nada suara marah.
"San-hek-houw, iblis busuk ! Keluarlah kalau jantan dan mari kita bertanding sampai seorang di antara
kita tewas! Jangan menjadi pengecut hina yang melarikan seorang wanita!" Namun teriakanteriakannya
inipun tidak ada jawaban. Seng Kun mulai gelisah sekali dan keringat dingin membasahi
bajunya. Dia tidak dapat menduga di rumah yang mana iblis itu bersembunyi. Memeriksa ru-mah itu
satu demi satu akan memakan waktu dan dia harus cepat-cepat menyelamatkan adiknya. Saking
jengkelnya dia mengancam.
"Kubakar semua rumah di sini apa bila engkau tetap sembunyi! !"
Kakek Kam Song Ki menyentuh pundaknya. "Tenanglah, tidak perlu membakar rumah pendu-duk
yang tidak bersalah. Kemarahan hanya akan menyeret kita kepada tindakan yang sesat." Sete-lah
berkata demikian, kakek itu lalu mengerahkan khikangnya ke arah rumah para penduduk dan berteriak,
suaranya gemuruh menggetarkan daun-daun pintu dan-jendela rumah-rumah itu.
"Saudara-saudara penghuni dusun ini semua!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kami tahu jumlah kalian tidak banyak. Keluarlah kalian semua. Semuanya, tidak boleh ada yang
tinggal di dalam ! Yang tidak mau keluar, rumah nya akan kami bakar. Cepat ! !"
Mendengar seruan yang menggelegar ini, para penghuni ramah dusun itu terkejut dan ketakutan.
Satu demi satu merekapun keluarlah dari ramah mereka, menggendong anak-anak yang masih ke-cil
dan menuntun kakek-kakek dan nenek-nenek yang sudah hampir tidak kuat berjalan. Kepala du-sun
itu sendiri, setelah hilang kagetnya dan meli-hat bahwa tiga orang yang minta mereka semua keluar
itu hanyalah seorang kakek dan dua orang pemuda yang nampaknya bukan orang jahat, lalu
menghampiri mereka.
"Ada urusan apakah maka sam-wi minta kami semua keluar?" tanya kepala dusun.
"Kami mencari seorang kakek iblis yang mela-rikan seorang wanita. Mungkin dia bersembunyi di
sebuah di antara rumah-rumah dusun ini," ka-ta Seng Kun tak sabar.
Kepala dusun lalu menanyai semua orang akan tetapi mereka semua menjawab bahwa tidak ada
kakek iblis bersembunyi di rumah mereka.
"Sam-wi mendengar sendiri. Warga dusun kami tidak tahu tentang kakek itu, harap sam-wi mencari
saja ke lain tempat," kata kepala dusun dengan bangga karena semua anak buahnya ter-nyata tidak
ada yang melakukan kesalahan.
"Akan tetapi kenapa kalian semua tidak mau membuka pintu seperti ketakutan ketika melihat
kedatangan kami?" Seng Kun bertanya penasaran.
"Soalnya sore tadi terjadi kerusuhan di warung makan itu. Dua orang penjahat memaksa pemilik
warung untuk menunjukkan di mana rumah Gu-lojin."
Pada saat itu terdengar rintihan orang. Kakek Kam dan dua orang pendekar muda itu cepat me-loncat
dan mendekat. Ternyata seorang nelayan muda tergolek berlumuran darah di tepi sungai. Tubuh
bawahnya masih terbenam ke air, nampaknya dengan susah payah dia baru saja berenang ke tempat
itu.
Kepala dusun yang sudah mengejar ke situ se-gera mengenai nelayan muda ini dan menegur, menanyainya.
Akan tetapi nelayan itu hanya menge-luh dan tidak mampu bicara, napasnya memburu.
Melihat ini, kakek Kam Song Ki lalu menghampiri dan menggunakan dua buah jari tangannya untuk
mengobati nelayan muda itu. Melihat betapa ka-kek itu menekuk telunjuk dan jari tengah, lalu
menggunakan dua jari yang ditekuk itu untuk menjepit urat di bagian tengkuk dan pundak, Seng Kun
memandang heran. Itulah ilmu pengobatan dari perguruannya, yaitu cubitan pada otot yang disebut
"ning"!
Sebentar saja nelayan itu sadar dan dapat bi cara.
"Jahat-jahat perahuku dirampas aku dipukul ahhh" Dan nelayan itu meringis seperti orang menangis.
Setelah dibu-juk, akhirnya nelayan muda itu menceritakan be-tapa tadi, ketika dia mendayung
perahunya hen-dak pulang, dengan membawa muatan ikan hasil tangkapan yang cukup banyak,
dengan hati gem-bira, dia dipanggil oleh dua orang yang berdiri di tepi sungai. Karena mengira bahwa
dua orang itu hendak menumpang perahunya dan hatinya sedang bergembira, diapun minggir.
Sungguh ti-dak disangkanya bahwa dua orang itu jahat sekali. Keranjang ikannya yang penuh itu
mereka tendang keluar sehingga tumpah ke dalam air, kemudian nelayan itu yang hendak melawan,
dipukul sam-pai tercebur ke dalam sungai dan perahunya di-rampas!
Sungguh mereka jahat " dia menangis.
"Ikan-ikanku dibuang, perahuku dirampas dan aku dipukuli"
"Bagaimana macamnya kedua orang itu?" Seng Kun bertanya.
"Yang seorang pendek gendut membawa tongkat besar putih, seorang lagi tinggi besar"
"Tak salah lagi. Merekalah itu!" Seng Kun berseru marah. "Tahukah engkau ke mana mereka pergi?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Nelayan muda itu menggeleng kepala, akan tetapi karena agaknya dia mengharapkan orang akan
mencari dan menghajar kedua penjahat itu dan mendapatkan perahunya, dia berkata, "Ketika aku
minggir, mula-mula mereka bertanya kepadaku di mana letaknya dusun Kim-le mungkin me reka ke
sana"
"Mari kita susul ke sana!" kata Seng Kun tak sabar lagi. Dibantu oleh dua orang penolongnya, tak
lama kemudian Seng Kun menyewa sebuah pe-rahu dan melakukan pengejaran ke arah dusun Kimle.
Seng Kun sendiri bersama Tiong Li membantu si nelayan mendayung dan biarpun pe-rahu sudah
meluncur cepat, tetap saja Seng Kun menganggapnya terlalu lambat dan dia kelihatan gelisah bukan
main. Melihat itu, kakek itu meng-hibur.
"Orang muda, sabarlah. Serahkan saja kesemua-nya kepada Thian. Di samping usaha menyelamatkan
adikmu, berdoalah saja agar adikmu itu sela-mat. Dengan membiarkan hati gelisah, hal itu akan
mengeruhkan pikiran dan hanya akan mem-buat tindakanmu menjadi kacau tanpa perhitungan lagi.
Jangan membiarkan pikiranmu membayang-kan hal-hal buruk menimpa diri adikmu, hal itu hanya
akan mengundang datangnya kegelisahan yang tiada gunanya."
Seng Kun tersadar dan dia menjadi lebih te-nang. Baru sekarang dia teringat betapa tidak pantasnya
sikapnya selama ini. Dua orang ini te-lah menyelamatkannya dari tangan Si Buaya Sakti, juga kini
bahkan membantunya mencari adiknya. Akan tetapi dia sama sekali belum tahu siapa ada-nya
mereka dan tidak pernah menanyakannya!
"Harap ji-wi sudi memaafkan saya yang bersikap tak mengenal budi. Karena gelisah memikirkan adik
saya, maka saya belum sempat memperkenalkan diri. Harap ji-wi ketahui bahwa saya bernama Seng
Kun, she Bu, dan adik saya itu adalah Bu Bwee Hong. Mohon tanya, siapa-kah nama locianpwe yang
mulia dan juga saudara yang gagah perkasa ini?"
Kakek itu terbelalak memandang wajah Seng Kun, "Engkau she Bu? Dan ginkangmu tadi ketika
berlari hemm, orang muda, nama keturunanmu itu mengingatkan aku akan seorang yang bernama
Bu Cian "
Kini Seng Kun yang menjadi terkejut mende-ngar disebutnya nama itu karena nama itu adalah nama
ayah dari ayah angkatnya atau juga paman kakeknya. Bu Kek Siang! "Apakah yang locian-pwe
maksudkan itu adalah mendiang kakek Bu Cian, si datuk utara?"
"Ha-ha-ha, benar, dia menjadi datuk ahli sin kang dan ahli obat di utara"
"Locianpwe, beliau itu adalah kakek buyut saya, juga kakek guru "
"Ehh? Engkau anak siapakah?" Kakek Kam Song Ki terbelalak lagi. "Apakah engkau mengenal Bu
Kek Siang?"
"Mendiang Bu Kek Siang adalah ayah angkat saya juga guru saya, juga paman kakek saya"
"Ayah angkat, juga guru, juga paman kakek? Bagaimana ini? Dan sudah mendiang?" kakek itu
bertanya secara bertubi-tubi.
"Benar, locianpwe. Ayah angkat saya Bu Kek Siang dan isterinya, telah meninggal dunia. Sejak kecil
kami berdua, saya dan adik Bwee Hong, dira-wat dan dididik oleh beliau, diaku anak sendiri. Di waktu
beliau hendak meninggal dunia, barulah beliau memberi tahu bahwa kami berdua sebenar-nya she
Chu dan terhitung cucu keponakan beliau karena mendiang ibu kami adalah keponakan be-liau."
"She Chu ?" Tiba-tiba Kwee Tiong Li bertanya.
“Saudara Seng Kun, kalau boleh aku bertanya, siapakah nama ayah kandungmu yang she Chu itu?"
Tentu saja Tiong Li bertanya de-mikian karena pada waktu itu, she Chu hanya di-miliki oleh keluarga
dekat dari kaisar saja, seperti juga gurunya yang pertama, yaitu pemberontak Chu Siang Yu yang
masih keturunan Jenderal Chu yang terkenal berdarah keluarga kaisar pula.
Sebenarnya Seng Kun tidak suka memperke-nalkan ayah kandungnya karena dia tidak ingin diketahui
bahwa dia masih berdarah bangsawan istana. Akan tetapi mengingat bahwa dua orang itu adalah
dunia-kangouw.blogspot.com
penolongnya, maka terpaksa dia meng-aku juga, "Ayah kandungku bernama Chu Sin, akan tetapi
sekarang telah berganti nama menjadi Bu Hong Tojin."
"Aihhh ! Sungguh luar biasa! Pangeran
Chu Sin yang kini menjadi kepala kuil di istana? Kiranya engkau masih sanak keluarga atau sedarah
dengan bengcu (pemimpin) Chu Siang Yu!" teriak Tiong Li gembira.
"Siancai! Dan akupun sudah mendengar akan kehebatan Pangeran Chu Sin yang menentang istana.
Ah, anak baik, tidak tahukah engkau de-ngan siapa engkau berhadapan? Bu Kek Siang itu adalah
muridku, murid keponakan. Ayahnya, men diang Bu Cian adalah twa-suhengku."
Seng Kun memandang terbelalak, kemudian menjatuhkan diri berlutut. "Teecu sudah merasa heran
ketika susiok-couw tadi menyadarkan nelayan dengan cubitan "ning" dari perguruan teecu.
Kiranya susiok-couw adalah kalau teecu tidak salah, kakek Kam Song Ki yang mulia!"
"Ha-ha-ha, kiranya orang sendiri malah. Dan engkau tahu, dia ini, Kwee Tiong Li, adalah mu-ridku dan
tadinya menjadi murid dan pembantu utama dari pemberontak Chu Siang Yu yang masih sanakmu
juga. Ha-ha, dunia ini sungguh tidak berapa luas!"
Tentu saja Seng Kun merasa girang dan kakek itupun kini makin bersemangat untuk mencari dan
menolong Bwee Hong yang ternyata adalah cucu muridnya sendiri. Perahu didayung lebih cepat lagi
untuk menuju ke dusun Kini-le, di mana me-reka harapkan akan dapat menyusul dua orang iblis yang
melarikan Bwee Hong itu.
Setelah menguburkan mayat wanita yang te-lah menyelamatkan mereka, Liu Pang dan Pek Lian lalu
melanjutkan perjalanan mereka dengan hati-hati. Mereka tidak ingin bertemu dengan musuh yang kini
dibantu oleh para datuk sesat. Agar dapat melakukan perjalanan yang aman dan tersembunyi,
mereka menyeberangi padang rumput. yang luas dan setelah fajar menyingsing tiba-lah mereka di
sebuah lembah bukit. Tiba-tiba, di pagi hari itu, mereka mendengar suara terom-pet bersahutsahutan.
Tentu ada perkemahan tentara, pikir Liu Pang yang tidak asing dengan suara terompet
seperti itu. Mereka berdua lalu mendaki puncak bukit dan meneliti ke bawah. Si nar matahari pagi
memandikan bagian bawah bu-kit menjadi keemasan dan indah sekali. Akan te-tapi sinar mata kedua
orang itu sama sekali tidak dapat merasakan keindahannya karena pandang mata mereka sibuk
mencari-cari dan akhirnya mereka menemukan apa yang dicari oleh pandang mata mereka. Ratusan
buah, bahkan ribuan ke-mah bertebaran di balik bukit. Liu Pang memin-cingkan mata dan berseru
gembira, "Ah, itu ada-lah pasukan kita !"
Tentu saja Pek Lian juga merasa gembira se-kali. Dari bendera yang berkibar di puncak tenda iapun
dapat mengenal tanda-tanda dari pasukan mereka sendiri. Mereka lalu cepat menuruni bu-kit dan
berlari-lari menuju ke perkemahan itu.
Ketika mereka tiba di luar hutan kecil yang se-olah-olah menjadi pintu gerbang perkemahan itu, tibatiba
puluhan batang anak panah menyambar seperti hujan ke arah mereka. Guru dan murid ini cepat
mengelak dan mencabut pedang untuk me-lindungi tubuh dari sambaran anak panah. Lalu
bermunculan belasan orang bersenjata yang segera mengeroyok guru dan murid itu. Liu Pang dari
Pek Lian tidak sempat menerangkan siapa keadaan mereka, dan mereka berduapun tahu bahwa para
pengeroyok yang terdiri dari pasukan peronda ini adalah perajurit-perajurit baru yang menggabung
selagi mereka berdua pergi sehingga tidak menge-nal mereka.
"Berhenti!" Tiba-tiba terdengar bentakan menggeledek dan muncullah seorang perwira muda yang
berwajah tampan dan gagah. Para pengero-yok terkejut, membuka jalan dan memberi hormat kepada
pemuda itu. Di belakang pemuda tampan ini berjalan seorang pemuda lain yang berpakaian serba
putih sederhana.
"Liu-bengcu ! Nona Ho !" Pemuda tampan itu berseru. Dia Yap Kim, putera Yap-lojin, pe-muda yang
bengal itu. Kemudian dia tertawa ber-gelak. "Ha-ha-ha, harap bengcu maafkan, me-reka ini adalah
bekas pasukan pemerintah yang dibawa oleh Gui-ciangkun yang bergabung de-ngan kita."
dunia-kangouw.blogspot.com
Liu Pang mengangguk-angguk dan tersenyum. "Pantas, mereka sangat tangkas !"
Para perajurit terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa dua orang yang mereka keroyok tadi
bukan lain adalah Liu-bengcu, pemimpin be-sar mereka, dan nona Ho yang namanya sudah a-mat
terkenal di antara para anggauta pejuang pen-dekar itu ! Mereka segera minta maaf, dan dengan
besar hati Liu Pang berkata, "Mengapa minta ma-af? Tindakan kalian tadi sungguh mengagumkan
dan memang demikianlah seharusnya sikap pasu-kan peronda. Kalau kalian tidak menyerang kami,
mungkin aku malah akan menegur kalian !" Pasu-kan itu tentu saja merasa girang karena setelah
menyerang pemimpin besar itu, mereka tidak men-dapat marah, malah menerima pujian!
Kedatangan Liu Pang dan Pek Lian disambut dengan amat gembira oleh para pimpinan pasukan.
Mereka sudah merasa khawatir sekali akan lenyap-nya pemimpin besar itu. Dan kini tahu-tahu muncul
bersama Pek Lian yang dalam keadaan sela-mat pula. Mereka semua berkumpul dan memberi
laporan kepada pemimpin besar mereka. Ternyata gerakan mereka seperti yang sudah mereka
renca-nakan ketika menghadapi pasukan besar Lai-goanswe itu berhasil dengan baik sesuai dengan
siasat mereka. Kota kecil berhasil diduduki dan pasukan besar Jenderal Lai dihadang oleh pasukan
inti dari Liu Pang yang dipimpin oleh para pende-kar Thian-kiam-pang. Pasukan Lai-goanswe dapat
dipukul kocar-kacir, sebagian melarikan diri, dan sebagian malah menakluk dan kini menggabung
dengan para pemberontak.
"Bagus !" Liu Pang merasa girang sekali. Bi-arpun dia sendiri nyaris menjadi korban akan teta-pi
ternyata gerakan pasukannya berhasil dan hal inilah yang terpenting baginya.
Sekarang di manakah adanya Lai-goanswe?" tanyanya dengan girang.
Yap Kim menghela napas panjang. "Itulah, twako!" keluhnya. Semua pimpinan pasukan para
pendekar itu kadang-kadang menyebut twako kepada Liu Pang. "Itulah sebabnya mengapa para
peronda tadi langsung menyerang twako dan nona Ho tanpa bertanya lagi. Malam tadi muncul dua
orang sakti yang memliebaskan Lai-goanswe. Aku dan kakakku Kiong Lee melakukan pengejaran,
akan tetapi terpaksa kami melepaskan mereka. Aku sendiri tidak dapat melawan mereka dan kakakku
sungkan untuk melawan mereka"
"Maafkan saya, Liu-bengcu. Mereka adalah sahabat-sahabat kami sendiri. Antara perguruan kami dan
perguruan mereka terjalin persahabatan yang erat. Guru saya dan ketua mereka adalah sa-habat
lama." Kiong Lee menyambung penuturan adiknya dan sikapnya menjadi sungkan sekali. "Heran,
siapakah mereka?" Liu Pang bertanya. "Mereka adalah dua orang berjubah coklat dari Liong-ipang."
Mendengar bahwa dua orang penculik tawanan itu adalah orang-orang Perkumpulan Jubah
Naga, Liu Pang dan Pek Lian saling pandang. "Ah, mereka !" Liu Pang dan muridnya telah
melihat kedua orang itu ketika mereka mengintai perte-muan para tokoh kaum sesat dan mendengar
bah-wa kedua orang itu hendak pergi ke benteng. Kiranya mereka itu pergi ke perkemahan ini dan
menculik tawanan yang cukup penting! Lai-goan-swe adalah tangan kanan Jenderal Beng Tian. Jadi,
membebaskan Panglima Lai itukah tugas yang mereka dapat dari guru mereka seperti yang telah
didengarnya bersama Pek Lian ketika dua orang berjubah naga itu saling bercakap-cakap? Atau-kah
suatu tugas yang lain lagi?
Akan tetapi urusan itu segera dikesampingkan dan Liu Pang lalu mengajak para pembantunya
berunding. Para pimpinan itu berniat untuk meng-gempur kota di sebelah depan, akan tetapi Liu Pang
menentang keinginan mereka. "Jangan ke-rahkan semua tenaga ke sana. Biarlah sepasukan kecil
saja mengacau di situ. Kita perlu mengge-rakkan seluruh kekuatan kita menuju ke kota raja. jangan
sampai kita kedahuluan oleh pasukan pem-berontak Chu Siang Yu." Liu Pang lalu mencerita-kan
pengalamannya ketika dia melihat para tokoh sesat yang kini dipergunakan pula oleh para pemberontak.
Maka diaturlah siasat mereka dan pembagian kerja. Hek-coa Ouw Kui Lam, satu-satunya di antara
Huang-ho Su-hiap yang masih hidup, ju-ga pernah menjadi guru Pek Lian, menerima tugas memimpin
seribu orang pasukan untuk menggem-pur dan mengacau kota di sebelah depan. Hal ini juga amat
penting untuk menutupi gerakan mereka yang sebenarnya, yaitu gerakan ke utara, menuju kota raja.
Pasukan mereka amat besar kini, setelah banyak petani dan pasukan-pasukan pemerintah yang
kalah datang menggabungkan diri. Sampai laksaan orang. Pasukan besar ini terpaksa harus dibagidunia-
kangouw.blogspot.com
bagi menjadi beberapa kelompok. Kelom-pok terkuat berada di depan dan dipimpin oleh Liu Pang
sendiri, dibantu oleh para pendekar Thian-kiam-pang. Ho Pek Lian memimpin pasukan per-bekalan,
dibantu oleh para pendekar yang lain dan di belakang sekali terdapat sebuah pasukan lain yang
menjadi penjaga bagian belakang agar ja-ngan sampai terjadi pembokongan dari pihak mu-suh. Yap
Kiong Lee, pendekar yang dianggap pa-ling lihai di antara mereka semua, bertugas seba-gai
penghubung antar pasukan-pasukan itu.
Pagi-pagi sekali, pasukan-pasukan inipun bergerak setelah pasukan yang dipimpin Hek-coa Ouw Kui
Lam mulai melakukan penyerangan ke-pada kota di depan. Sehari penuh pasukan-pasu-kan itu
bergerak dan di waktu matahari terbenam tibalah mereka di suatu lembah yang dikelilingi bukit-bukit.
Mereka lalu berkemah dan Liu Pang sendiri menempati sebuah bekas pesanggrahan yang terdapat di
tempat itu. Kota besar Pao-keng yang menjadi kota benteng penting untuk kota raja, terletak hanya
belasan li di sebelah depan, di balik bukit. Setelah mereka berhasil menguasai kota Pao-keng, maka
mereka akan berhadapan dengan benteng kota raja sendiri! Maka, Liu Pang lalu memilih tempat ini
sebagai pusat atau benteng in-duk.
Malam itu amatlah sunyi. Pasukan yang sudah sehari penuh melakukan perialanan yang cukup
melelahkan memanfaatkan waktu itu untuk beristi-rahat. Akan tetapi mereka tidak lepas dari kewaspadaan.
Setiap kemah diiaga dengan ketat dan bergilir. Liu Pang sendiri bersama Yap Kiong Lee
nampak meronda mengelilingi perkemahah. Hal ini membesarkan semangat para perajurit dan seti-ap
peronda yang bertemu dengan pemimpin besar ini tentu memberi hormat dengan tegapnya.
Di perkemahan para pemimpin terjadi kete-gangan sedikit ketika nampak seorang pejuang atau
pendekar ditegur oleh peronda karena me-masuki daerah penjagaan mereka. Orang itu ber-tubuh
gendut agak pendek, kepalanya yang botak gundul ditutupi sebuah kopyah warna hitam. Su-kar
ditaksir usianya karena malam itu gelap, akan tetapi dari sinar api unggun di luar kemah dapat
diketahui bahwa dia bukanlah muda lagi.
"Siapa engkau berani memasuki tempat ini tanpa ijin !" bentak peronda dan enam orang pen-jaga
sudah menghampirinya.
"Hemm, apakah kalian tidak melihat bendera pengenalku ini?" Orang itu mengacungkan sebu-ah
bendera kecil, tanda bahwa dia adalah seorang utusan dari pasukan perbekalan yang dipimpin oleh
nona Ho Pek Lian. "Aku diutus untuk meng-hadap Panglima Yap Kim."
"Engkau juga anggauta barisan kita, tentu engkau sudah tahu akan peraturannya! Untuk menghadap
Panglima Yap Kim, harus menanti dan kami akan membuat laporan dulu. Bukannya berindap-indap
seperti maling begitu!" kepala jaga membentak marah. Mendengar ini, sepasang mata itu melotot dan
mukanya berobah gelap mengerikan. Kemudian orang pendek gendut itu tersenyum menyeringai, lalu
menggerakkan kedua tangan ke de pan seperti orang menghormat. "Aku salah
aku salah maafkanlah!" Setelah berkata demikian, diapun membalikkan tubuhnya dan pergi.
Akan tetapi, pada saat itu, terjadilah kegem-paran di antara para penjaga. Seorang demi seo-rang
menjerit dan roboh, tubuh mereka kejang-kejang dan mata mereka mendelik, mulut berbuih dan kulit
tubuh mereka, terutama di bagian muka nampak kehijauan. Tentu saja jeritan-jeritan me-reka menarik
perhatian. Semua orang keluar dan dapat dibayangkan betapa kaget hati mereka ke-tika melihat
enam orang penjaga itu tewas tak la-ma kemudian, tewas dalam keadaan mengerikan karena muka
mereka berobah hijau. Tentu saja suasana menjadi gempar dan orang-orang mulai mencari-cari
orang pendek gendut tadi.
Sementara itu, si pendek gendut memperguna-kan kesempatan selagi keadaan kacau untuk
menyelinap mendekati perkemahan terbesar. Dengan gerakan yang amat gesit dia berhasil
menyelinap masuk. Akan tetapi ketika dia tiba di sebuah ru-angan, mendadak muncul Pek Lian yang
juga su-dah mendengar akan adanya keributan itu. Si gendut tidak sempat bersembunyi lagi dan
perjum-paan itu tidak dapat dihindarkan.
"Kau ! Si Kelabang Hijau! Awas !
Siapppp , ada pengacau di sini!" Pek Lian berteriak-teriak setelah mengenal si pendek gendut
itu yang bukan lain adalah Thian-te Tok-ong atau Ceng-ya-kang, Si Kelabang Hijau yang merupakan
tokoh ke lima dari Tujuh Iblis Ban-kwi-to! Pek Lian tahu bahwa dalam hal ilmu silat, memang
dunia-kangouw.blogspot.com
tokoh ini tidak sangat lihai, akan tetapi Raja Racun ini sungguh amat berbahaya dengan racunracunnya.
Ketika banyak penjaga menyerbu ke situ, Pek Lian cepat berseru, "Awias, dia membawa racun-racun
berbahaya. Jangan dekati dia!"
Akan tetapi banyak di antara para penjaga yang marah-marah karena mendengar bahwa orang ini
sudah membunuh enam orang penjaga, tidak perduli dan mereka sudah menerjang dengan senjata
mereka. Akan tetapi, iblis gendut itu me-niupkan sesuatu ke arah mereka dan orang-orang itupun
berjatuhan dan kejang-kejang keracunan !
"Iblis busuk !" Pek Lian membentak dan me-nyerang dengan pedangnya. Ia berhati-hati maka ketika
si gendut meniupkan racun ke arahnya, Pek Lian dapat meloncat ke samping, mengelak sambil
menggerakkan pedangnya menyerang dari samping. Karena ilmu pedang nona Ho Pek Lian cukup
berbahaya, tokoh ke tujuh Pulau Ban-kwi-to itupun tidak berani lengah dan cepat dia meng-elak
mundur. Pek Lian merasa sukar untuk da-pat menangkap atau merobohkan tokoh ini. Per-tama,
bagaimanapun juga, tingkat kepandaiannya sudah kalah, apa lagi ditambah dengan kehebatan kakek
itu dalam menggunakan racun, membuat ia tidak berani terlalu mendekatinya. Tiba-tiba ter-dengar
bentakan nyaring dan muncullah Yap Kim.
"Engkau !" bentak Yap Kim melihat bekas sahabatnya itu. "Keparat, apakah engkau mau membiusku
lagi?"
Melihat pemuda tampan ini, wajah yang me-nyeramkan itu berseri, akan tetapi agaknya ben-takan
Yap Kim membuat alisnya berkerut dan ha-tinya tertusuk. "Aih, adikku yang baik, janganlah berkata
kasar begitu. Telah lama aku mencarimu, mari engkau ikut pergi bersamaku." Suaranya ha-lus dan
penuh bujukan. Pada saat itu, Liu Pang dan para pendekar lain sudah pula berada di situ dan Yap
Kim yang sudah marah sekali, kini me-nubruk maju dan menyerang dengan pedangnya. Sepasang
pedangnya berkelebatan menjadi dua gulung sinar dan pemuda itu telah mainkan sepasang
pedangnya dengan Ilmu Pedang Langit yang amat ampuh dari perguruannya.
Menghadapi serangan Yap Kim, Si Kelabang Hijau terdesak. Dia merasa sayang kepada Yap Kim,
maka masih merasa ragu-ragu untuk men-celakai pemuda itu. Melihat lawan terdesak, de-ngan
kemunculan Yap Kim, hati Pek Lian menjadi besar dan dengan penuh semangat, gadis inipun maju
membantu Yap Kim. Pemuda ini terkejut se-kali dan cepat mencegah.
"Nona, jangan dekat "
Akan tetapi terlambat sudah. Nampak asap mengepul dan Pek Lian mengeluh. Tahu-tahu tubuhnya
sudah disambar oleh Si Kelabang Hijau. Dalam keadaan pingsan, nona itu berada dalam kekuasaan
si gendut pendek yang mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala.
"Ha-ha, majulah kalian dan nona ini akan ku-bunuh lebih dulu !"
Melihat ini, Yap Kim menjadi pucat dan tidak berani bergerak. Suasana menjadi tegang. "Tahan,
jangan menyerangnya !" Tiba-tiba Liu Pang mem-bentak keras melarang para penjaga yang marah
dan hendak menyerang orang itu.
"Ha-ha, itu baru baik. Nah, Kim-te, ayo eng-kau ikut bersamaku, kalau tidak, nona ini akan ku-bunuh
di depanmu !"
Yap Kim ragu-ragu. Liu Pang juga menjadi tak berdaya dan serba salah. Tiba-tiba Yap Kim
mendengar bisikan suara kakaknya, mengiang di dekat telinganya, "Kim-sute, turuti kemauannya dan
bawalah dia lewat mayat-mayat di luar itu. Aku akan menolong."
Singkat saja pesan itu akan tetapi Yap Kim mengerti sudah. Sambil tersenyum pahit seperti orang
yang tidak berdaya lagi diapun menyimpan sepasang pedangnya. "Tidak ada pilihan lain ba-giku
kecuali menuruti kehendakmu, Tok-ong. A-kan tetapi, awas, kalau engkau mengganggu nona itu aku
bersumpah untuk membunuhmu!" Dia sengaja bersikap keras agar lawan tidak curiga akan adanya
siasat kakaknya, dan juga untuk mem-beri kesempatan kepada kakaknya melakukan sia-sat yang
belum dia ketahui bagaimana itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Heh-heh, baiklah, adikku yang ganteng. Ma-ri, engkau membuka jalan, aku tidak mau kalau ada
kecurangan."
Yap Kim lalu melangkah keluar, memperlihat-kan sikap ragu-ragu dan bingung. Seperti taripa
disengaja, dia berjalan melalui mayat-mayat para penjaga yang tadi roboh dan tewas menjadi korban
keganasan racun Si Kelabang Hijau. Ratusan pe-rajurit berbaris di kanan kiri, siap dengan senjata
mereka. Akan tetapi Liu Pang selalu menahan me-reka agar jangan turun tangan. Semua orang bergerak
memberi jalan ketika Yap Kim dan Si Kela-bang Hijau yang masih memondong tubuh Pek Lian
yang pingsan itu lewat. Diam-diam tokoh ke lima Ban-kwi-to itu bergidik juga ketika me-lewati barisan
perajurit yang semua memandang kepadanya penuh kebencian itu.
Yap Kim kini melalui depan pos penjagaan di mana terdapat mayat-mayat malang melintang, yaitu
mayat para penjaga yang tadi dibunuh oleh Si Kelabang Hijau. Tokoh sesat ini, sambil me-mondong
tubuh Pek Lian, mengikuti langkah-langkah Yap Kim, melangkahi mayat-mayat itu sambil menyeringai
dan memandang ke arah para perajurit -ang berdiri di kanan kiri.
"Heh-heh, kaliaa lihat mereka ini! Jangan memaksa aku membunuh lagi. Begitu ada yang bergerak
melawanku, aku akan membuang racun-racun yang akan membunuh seluruh pasukan yang berada di
sini. Yang tidak langsung mati akan tersiksa, tubuhnya akan ditumbuhi jamur-jamur menular yang
tidak dapat diobati dan nyerinya bukan main, heh-heh-heh. Dan dia akan mati per lahan-lahan
aduhhh!!"
Ketika sambil mengejek tadi Si Kelabang Hi-jau melangkahi sesosok mayat lainnya, tiba-tiba "mayat"
itu menggerakkan tangan dan iblis itu-pun terjungkal dan tubuhnya lemas karena terto-tok, sedangkan
tubuh Pek Lian sudah pindah ke tangan "mayat" itu yang bukan lain adalah Yap Kiong Lee! Kiranya
pendekar ini merebahkan diri di antara mayat-mayat itu dan ketika Yap Kim mengenal suhengnya
yang rebah miring, segera dia tahu siasat apa yang dijalankan kakaknya itu, ma-ka diapun lalu
melangkahi tubuh kakaknya.
Melihat iblis itu terjungkal dan Pek Lian sudah diselamatkan, para perajurit bersorak dan mereka
itu langsung saja menggerakkan senjata untuk melumatkan tubuh iblis itu. Tiba-tiba, membuat semua
orang terkejut sekali, terdengar suara me lengking tinggi disusul bentakan,
"Tahan! Jangan serang dia!!!"
Tentu saja semua orang, termasuk Yap Kim dan Liu Pang yang sudah mengejar ke situ, terkejut dan
heran mendengar bahwa Yap Kiong Lee yang membentak melarang semua orang membunuh Si
Kelabang Hijau.
"Suheng, iblis ini layak mampus !" Yap
Kim sendiri sampai menegur suhengnya atau ka-kak angkatnya itu.
Akan tetapi Kiong Lee tidak menjawab, mela-inkan melangkah mendekati Si Kelabang Hijau sehingga
timbul dugaan di hati semua orang bahwa pemuda ini hendak membunuh iblis itu dengan ta-ngannya
sendiri maka mencegah orang lain mem-bunuhnya. Akan tetapi Kiong Lee hanya memben-tak, "Iblis
keji, hayo serahkan obat penawar ra-cunmu untuk nona Ho !"
Barulah semua orang tahu dan Liu Pang cepat memandang ke arah wajah Pek Lian yang berada di
pondongan pemuda murid pertama dari Thian kiam-pang itu. Kiranya wajah itu pucat kehijauan
seperti wajah mayat! Terkejutlah dia dan seperti juga Yap Kim, kini dia mengerti mengapa tadi Kiong
Lee melarang iblis itu dibunuh. Tentu ka-rena satu-satunya orang yang dapat menolong nyawa Pek
Lian hanya ibhs itu sendiri!
Dugaan Liu Pang dan Yap Kim memang tepat. Begitu merampas tubuh Pek Lian dari tangan Si
Kelabang Hijau, Kiong Lee merasa sesuatu yang tidak wajar pada diri gadis itu. Cepat dia meme-riksa
dan tahulah dia bahwa iblis itu telah mera-cuni Pek Lian ! Sungguh licik dan keji sekali iblis itu, lebih
dahulu menciptakan perisai atau sema-cam sandera agar dia tidak sampai dicelakai lawan. Maka
Kiong Lee lalu melarang iblis itu diserang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Si Kelabang Hijau tak mampu bergerak. Hebat sekali totokan jago muda Thian-kiam-pang itu. Akan
tetapi dia masih mampu menggerakkan ma-ta dan mulutnya untuk bicara.
"Heh-heh-heh, satu nyawa ditukar satu nya-wa, itu sudah adil namanya. Bunuhlah aku, dan aku akan
pergi berdua bersama nona manis itu ke alam baka. Betapa menggembirakan! Mungkin dia akan
menjadi pelayanku di sana, tidak ada yang melindunginya seperti di sini, heh-heh-heh !"
Tentu saja Kiong Lee dan semua orang marah sekali. Kalau mungkin, mereka tentu takkan se-gan
untuk mencincang hancur tubuh ibhs itu. A-kan tetapi Kiong Lee menahan kemarahannya.
"Keluarkanlah obat penawarnya dan kami akan membebaskanmu."
"Heh-heh, bagaimana aku dapat memperca-yaimu?"
"Iblis busuk! Aku adalah seorang pendekar, bukan seorang penjahat macam engkau!" Kiong Lee
membentak. Pemuda yang pendiam ini marah juga mendengar kata-kata yang menghina itu.
"Uhhh, siapa percaya ucapan pendekar?"
Kiong Lee sadar bahwa iblis ini sengaja mem-bakar hatinya, maka diapun menjadi tenang kem-bali.
Menghadapi iblis Ban-kwi-to harus tenang dan tidak boleh menuruti perasaan marah.
"Lalu apa kehendakmu? Nona Ho terancam maut, akan tetapi engkaupun tak mungkin dapat terlepas
dari ancaman maut."
"Hanya ada satu orang yang kupercaya janji-nya, dia adalah Liu-bengcu. Biarkan dia yang berjanji
bertukar nyawa, dan aku akan percaya."
Liu Pang melangkah maju. Menghadapi orang jahat seperti itu, yang amat keji, haruslah tegas.
"Baiklah, aku berjanji akan membebaskanmu ka-lau engkau memberikan obat penawar racun untuk
nona Ho Pek Lian."
"Bagus ! Nah, bebaskan aku."
Terpaksa Kiong Lee membebaskan totokannya dan siap untuk menghantam kalau-kalau iblis itu
melakukan kecurangan. Akan tetapi, setelah kini tidak ada sandera di tangannya, Si Kelabang Hijau
juga tidak terlalu bodoh untuk menggunakan keke-rasan. Sambil menyeringai dia mengeluarkan
sebungkus obat seperti gajih, lalu mengoleskan obat itu pada leher Pek Lian di mana terdapat luka
ke-cil berwarna hijau gelap bekas tusukan jarumnya. "Minumkan pel ini padanya," katanya menyerahkan
tiga butir obat pel berwarna merah kepada Kiong Lee.
Dengan bantuan Yap Kim, Kiong Lee lalu me-maksakan tiga butir pel itu memasuki perut Pek Lian.
Tak lama kemudian, gadis itu mengeluh dan membuka matanya, warna hijau pada kulit muka-nyapun
meluntur dan akhirnya hilang. Begitu sa-dar dan melihat Si Kelabang Hijau, Pek Lian men-cabut
pedangnya yang tadi terlepas dan sudah di-sarungkan kembali oleh Yap Kim. Akan tetapi Liu Pang
meipegang lengannya, kemudian pemim-pin ini memberi perintah kepada para pembantu-nya.
"Biarkan dia pergi!"
Semua orang mengepal tinju dan menggigit gigi saking gemasnya melihat betapa iblis itu dibi-arkan
pergi. Iblis itu telah membunuh banyak pe-rajurit dan sekarang terpaksa dibiarkan pergi be-gitu saja!
Sebaliknya, sambil menyeringai dan ter-tawa ha-ha-hi-hi Si Kelabang Hijau yang mera-sa kecewa
sekali karena tidak berhasil membawa pergi Yap Kim, bahkan mengalami kekalahan, me-mandang
kepada mereka semua dan berkata meng-ancam, "Awas kalian semua! Beberapa hari lagi akan
kuhancurkan kalian dengan pasukan kami yang tidak kalah banyaknya dengan pasukan ka-lian !"
Diapun pergi tanpa diganggu karena tidak ada yang berani melanggar janji sang pemimpin.
Setelah iblis itu pergi, Liu Pang memerintahkan agar mayat para perajurit diurus baik-baik dan agar
penjagaan dilakukan lebih ketat lagi. Kemu-dian dia mengajak semua pembantunya masuk ke-mah
dan berunding.
Liu Pang mengerutkan alisnya, nampak khawa-tir. "Ancaman iblis tadi bukanlah gertak sambal belaka.
Aku sudah melihat sendiri betapa para iblis Ban-kwi-to telah bersekutu dengan pem be-rontak dan
dunia-kangouw.blogspot.com
pasukan asing. Hanya belum kita keta-hui berapa besarnya kekuatan mereka dan di mana mereka
bersarang. Untuk mengetahui keadaan me-reka ini amatlah penting, maka biarlah besok aku akan
pergi lagi bersama nona Ho untuk melakukan penyelidikan."
Para pembantunya menyatakan tidak setuju dan kekhawatiran mereka kalau kembali pemimpin mereka
akan pergi sendiri melakukan penyelidikan. Akan tetapi pemimpin besar itu membantah. "Penyelidikan
ini merupakan suatu tindakan perju-angan yang amat penting, maka harus aku sendiri yang
pergi. Sementara itu, sebagai wakil yang menggantikan aku memimpin barisan kita, kuse-rahkan
kepada saudara muda Yap Kim."
Semua pemimpin menyambut gemibira karena mereka sudah mengenal kegagahan pemuda ini. Akan
tetapi Yap Kim sendiri menjadi gugup dan wajahnya berobah, tangannya digoyang-goyang menolak.
"Aih, Liu-twako, mana saya berani me-nerima tugas yang demikian amat pentingnya?
Saya... saya masih terlalu muda, saya tidak berani menerimanya "
"Saya kira, kedudukan wakil bengcu itu dapat diserahkan kepada saudara Yap Kiong Lee yang
memiliki kepandaian paling tinggi di antara kita,
dan dibantu oleh saudara Yap Kim" kata Pek Lian.
"Aih, mana aku berani menerimanya?" Yap Kiong Lee juga menolel a Kim yang menerimanya karena
diapun telah menjadi seorang di antara para pejuang, bahkan sudah mengenakan pakaian seragam
perwira. Bi-arlah saya membantu dari belakang saja, sebagai orang luar yang menaruh perasaan
kagum terhadap perjuangan ini. Akan tetapi, kalau saya harus langsung memimpin pasukan melawan
kaisar, sungguh sama artinya dengan saya menentang su-hu dan subo yang melindungi kaisar."
Akhirnya Yap Kim menerima pula kedudukan wakil bengcu itu dan pada keesokan harinya pagi-pagi
buta, Liu Pang dan Pek Lian berangkat melakukan perjalanan mereka untuk menyelidiki keadaan
musuh.
Liu Pang menyamar sebagai seorang dusun pencari kayu sedangkan Pek Lian juga mengena-kan
pakaian sederhana seorang gadis dusun de-ngan bertopi lebar dan kulit mukanya yang pu-tih mulus
itu dilumuri warna kecoklatan sehingga kecantikannya tidak lagi menyolok. Sambil me-mikul kayu
kering, berangkatlah Liu Pang bersa-ma muridnya yang dalam penyamaran itu diaku sebagai
anaknya.
"Suhu, kita menuju ke manakah?" tanya Pek Lilan setelah mereka keluar dari dalam hutan yang
menjadi pintu masuk benteng mereka itu.
"Pasukan musuh itu hanya berselisih setengah malam saja dengan barisan kita, dan mereka juga
menuju ke arah barat laut. Tentu mereka menuju ke kota raja. Kita harus berjalan menuju ke barat,
tentu akan bertemu dengan barisan mereka."
Mereka melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Akan tetapi setelah lewat setengah hari dan
matahari sudah naik tinggi di atas kepala mereka, belum juga mereka bertemu dengan barisan musuh.
Mereka melihat suasana panik dan kacau su-dah melanda kota-kota dan dusun-dusun yang
mereka lalui. Berita tentang kemungkinan pecah-nya perang sudah sampai di daerah dekat kota ra-ja
dan banyak penduduk yang merasa resah dan siap-siap mengemasi barang agar memudahkan
mereka kalau sewaktu-waktu harus lari mengung-si.
Karena merasa lapar dan perlu beristirahat, Liu Pang dan Pek Lian lalu memasuki sebuah kedai
makan di sebuah kota kecil. Baru saja mereka ma-kan, datang empat orang laki-laki berpakaian
pemburu dan wajah serta tubuh mereka nampak lesu dan lelah. Pemilik kedai makanan menyam-but
mereka yang agaknya sudah menjadi langga-nan lama.
dunia-kangouw.blogspot.com
JILID XXV
"MANA hasil buruan kalian? Apakah sudah habis terjual semua? Aih, agaknya kalian lupa untuk
menyisihkan daging kijang untukku !" katanya ramah.
Seorang di antara mereka yang pipinya codet bekas terluka kuku harimau, mengeluh dan men-jawab,
"Ah, A-kiu, engkau tidak tahu betapa si-alnya kami! Sebetulnya kami telah memperoleh hasil buruan
yang lumayan juga. Akan tetapi ke-marin sore kami bertemu dengan pasukan tentara yang banyak
sekali dan mereka itu dikawlal orang-orang yang memiliki ilmu seperti iblis. Hasil buru-an kami
dirampas semua, bahkan nyaris kami dibu-nuh kalau kami tidak cepat-cepat melarikan diri."
"Tapi tapi kalian adalah orang-orang ga gah " Pemilik warung itu merasa penasaran.
"Hemm, apa daya kami melawan pasukan be-sar? Apa lagi mereka dikawal oleh orang-orang kangouw
yang menyeramkan. Bayangkan saja, seorang di antara mereka yang seperti raksasa ma-kan
seekor anak harimau hidup-hidup !"
"Hidup-hidup?" Mata pemilik warung terbe-lalak.
"Ya, induk harimau kami robohkan dan tewas, anaknya masih hidup kami tangkap. Ketika diram pas
oleh mereka raksasa itu langsung menerkam anak harimau dan tanpa membunuhnya lebih dulu,
tanpa memanggang dagingnya, begitu saja leher anak harimau itu digigit dan darahnya dihisap."
"Hiiihhh!" Pemilik kedai itu bergidik dan nampak ketakutan, lalu mengundurkan diri untuk
mempersiapkan hidangan bagi empat orang lang-ganannya. Tentu saja Liu Pang dan Pek Lian yang
mendengarkan semua itu merasa tertarik dan juga girang. Besar kemungkinan yang diceritakan mereka
itu adalah pasukan musuh yang mereka se-dang kejar dan cari.
"Ah, keamanan terancam oleh perang"
Liu Pang mendekati mereka dan berkata. "Kami orang-orang dusun sungguh merasa bingung harus
mengungsi ke mana. Kalau boleh saya bertanya, di manakah saudara sekalian bertemu dengan pasukan
itu?" Dengan gaya bahasa dusun, Liu Pang dapat mengelabuhi empat orang pemburu itu yang
agaknya masih merasa tegang sehingga mereka suka sekali menceritakan pengalaman hebat yang
baru saja mereka temui itu. Dengan pancingan-pancingan yang tidak kentara, akhirnya Liu Pang
dapat mengumpulkan keterangan bahwa pasukan itu adalah pasukan besar yang mengawal iringiringan
kereta para pembesar beserta keluarganya, dan bahwa di antara para pemimpinnya terdapat
orang-orang kang-ouw yang menyeramkan. Dari keterangan mereka, Liu Pang dapat mengetahui
bahwa semua tokoh Ban-kwi-to telah lengkap bersama pasukan musuh itu.
Dengan aksi seolah-olah ketakutan dan hen-dak cepat pulang untuk mempersiapkan keluarga-nya
mengungsi, Liu Pang mengajak Pek Lian me-ninggalkan kedai dan kota kecil itu.
"Wah, sungguh berbahaya ! Semua tokoh Ban-kwi-to agaknya sudah lengkap berkumpul dan
membantu pasukan musuh. Belum lagi tokoh-to-koh sesat yang lain dan belum kita ketahui. Mari kita
cepat menyusul dan menyelidiki keadaan me-reka."
Akan tetapi, ketika mereka tiba di tepi kota, mereka melihat dua orang laki-laki tua berjubah coklat
sedang berjalan dengan cepat. Melihat me-reka, Liu Pang berbisik kepada muridnya, "Lihat, orangorang
Liong-i-pang itu lagi! Mau apa mereka? Dan di mana Lai-goanswe yang mereka culik?"
Guru dan murid ini cepat membayangi mereka yang berjalan cepat keluar kota. Baiknya mereka
mengjambil jalan di sepanjang jalan umum yang cukup ramai sehingga perbuatan guru dan murid itu
tidak menarik perhatian. Pek Lian yang pernah bentrok dengan kedua orang kakek Liong-i-parig itu,
membenamkan topinya lebih dalam untuk me-nyembunyikan mukanya.
Dua orang berjubah naga itu menuju ke sebuah kedai arak yang berdiri terpencil sendirian di se-buah
tikungan jalan. Di sinilah para pedagang, pe-rantau, dan mereka yang kebetulan lewat di jalan raya
ini, melepaskan lelah dan makan minum. Me-lihat warung arak ini, Pek Lian terkejut. "Suhu, teecu
pernah melihat tempat ini." Ia lalu mence-ritakan betapa ia pernah bersama Seng Kun dan Bwee
dunia-kangouw.blogspot.com
Hong dalam perjalanan mencari ayahnya dahulu itu, sampai di warung ini. Di sinilah ia berjumpa
dengan A-hai yang menjadi tukang pengantar arak dan kusir gerobak arak. Di tempat ini pula muncul
tokoh-tokoh sesat anak buah Raja Kelelawar, yaitu San-hek-houw dan Si Buaya Sakti yang kemudian
menawan Seng Kun dan A-hai.
Liu Pang berbisik kepada muridnya agar ber-hati-hati. Setelah dia meneliti penyamaran murid-nya
dan merasa yakin bahwa penyamaran itu cu-kup sempurna, mereka berdua lalu memasuki wa-rung
itu pula, memilih tempat di sudut sebelah dalam. Matahari mulai condong ke barat dan wa-jah mereka
tertutup bayangan dinding, akan tetapi dari tempat itu mereka dapat melihat dua orang Liong -i-pang
itu dengan jelas
Dua orang Liong-i-pang itu duduk di kursi agak luar dan tak lama kemudian, selagi mereka berdua
minum, datanglah seorang pemuda yang memakai jubah hijau. Pemuda itu disambut oleh kedua
orang Liong-i-pang, duduk semeja dan mengeluarkan sehelai surat untuk diserahkan ke-pada dua
orang itu.
Tiba-tiba nampak, bayangan orang berkelebat cepat dan tahu-tahu seorang wanita cantik telah
menerjang ke arah kakek jubah coklat yang tinggi besar dan yang sedang membaca surat. Penyerangan
itu dibarengi bantuan dua orang lain yang juga menyerang si pemegang surat sedangkan wanita
cantik itu memukul tangan yang memegang surat untuk merampas surat itu. Hebat dan cepat
sekali gerakan wanita cantik itu bersama dua orang kawannya, akan tetapi kakek jubah naga itu lebih
hebat lagi. Dia memang terkejut diserang tiba-tiba, akan tetapi sambil membentak keras, kedua
tangannya bergerak dan tubuhnya bangkit berdiri. Sekaligus dia menangkis dan akibatnya, wanita
cantik itu bersama dua orang kawannya terdorong sampai terjengkang dan terhuyung! Akan tetapi,
surat yang dipegang oleh kakek jubah naga itu ter-lepas dan terdorong oleh angin pukulan mereka
yang berkelahi, surat itu terbang ke dekat meja di mana Liu Pang dan Pek Lian duduk.
Dua orang kakek Liong-i-pang itu memang lihai bukan main. Padahal, dengan kaget sekali
Pek Lian mengenal bahwa wanita cantik itu adalah Pek-pi Siauw-kwi Si Maling Cantik, tokoh sesat
yang amat lihai itu! Dan empat orang temannya juga kesemuanya memiliki gerakan yang lihai tan-da
bahwa mereka bukan orang-orang sembarang-an. Namun, mereka berlima itu kewalahan menghadapi
dua orang kakek Liong-i-pang. Bahkan, kakek Liong-i-pang yang tinggi besar, yang di-kenal
oleh Pek Lian sebagai Bhong Kim Cu yang pernah menyerbu ke rumah keluarga Bu Kek Siang,
dengan tendangannya membuat Maling Cantik kembali terhuyung. Ketika itu, Maling Can-tik hendak
menubruk surat yang terlepas tadi, akan tetapi ia terhuyung oleh tendangan dan kakek Bhong Kim Cu
kini telah menyambar kembali su-rat yang tadi terlepas dan memasukkannya ke da-lam saku
jubahnya.
Melihat betapa ia dan kawan-kawannya ke-walahan, Si Maling Cantik lalu mengeluarkan sua-ra tinggi
melengking, lalu bersama empat orang kawannya iapun meloncat keluar warung melari-kan diri. Dua
orang kakek jubah coklat tidak me-ngejar, melainkan cepat membayar harga minum-an dan
meninggalkan tempat itu pula.
Tinggal Liu Pang dan Pek Lian yang masih duduk di situ. Warung itu sudah sepi karena per-kelahian
tadi membuat semiua tamu lari cerai-be-rai ketakutan. "Tadi aku sempat membaca bebera-pa huruf di
surat itu. Sayang aku tidak dapat merampasnya. Aku membaca beberapa huruf yang penting, yaitu
kata-kata "kaisar", "pemberontak-an", dan "Pesanggrahan Hutan Cemara". Huruf-huruf itu dapat
memberi petunjuk. Tentu ada hu-bungannya dengan kaisar, juga dengan pemberon-takan."
"Dan apa artinya Pesanggrahan Hutan Cemara itu, suhu?" Pek Lian bertanya.
"Aku sedang memikirkan itu ah, sekarang aku ingat., Tak jauh dari sini, di puncak bukit ter-dapat
sebuah hutan cemara dan memang di situ terdapat sebuah pesanggrahan milik kaisar yang
diergunakan untuk beristirahat di waktu berburu di hutan-hutan liar di balik bukit. Tentu ada apa-apa di
sana. Mari kita ke sana !"
Mereka lalu membayar harga minuman dan me-ninggalkan pemilik kedai yang mengomel panjang
pendek karena perkelahian itu amat merugikannya. Banyak tamu yang lari tanpa lebih dulu membayar
harga makanan dan minuman, juga ada bebe-rapa buah bangku dan meja yang rusak, belum la-gi
perabot-perabot makan yang pecah-pecah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hutan cemara itu memang merupakan tempat indah dan tidak mengherankan apa bila kaisar memerintahkan
pembangunan sebuah pesanggrahan di tempat ini. Hutan itu cukup luas dan di tengahtengah
hutan, dikurung pohon-pohon cemara, ter-dapat sebuah danau. Pesanggrahan yang merupakan
bangunan indah itu berdiri di tepi danau, agak ke tengah sehingga sebagian besar bangunan itu
dikelilingi danau. Air danau yang jernih meman-tulkan bayangan pesanggrahan, mendatangkan pemandangan
yang amat indah.
Liu Pang dan Pek Lian tiba di hutan itu men-jelang tengah malam. Dengan hati-hati sekali mereka
memasuki hutan. Ketika mereka menye-linap di antara pohon-pohon cemara memasuki hutan hendak
menuju ke bangunan pesanggrahan di tepi danau, tiba-tiba mereka mendengar suara orang berkelahi
dan dengan berindap-indap me-rekapun menuju ke arah suara itu.
Setelah mereka dapat mendekati tempat per-kelahian itu, di bawah sinar bulan mereka dapat
mengenal tiga orang yang sedang berkelahi itu. Kiranya pemuda Tai-bong-pai, yaitu Song-bun-kwi
Kwa Sun Tek, putera ketua Tai—bong-pai yang lihai dan yang bersekongkol dengan orang-orang
asing dan para pembesar yang mengkhianati pemerintah, kini sedang bertanding dikeroyok dua oleh
orang-orang berjubah biru dan rambutnya riap-riapan. Di situ berdiri pula empat orang ber-jubah hijau
menonton perkelahian.
Kini nampak betapa Kwa Sun Tek Si Setan Berkabung itu mengeluarkan ilmu silatnya yang aneh,
yaitu Ilmu Silat Pukulan Mayat Hidup dan seorang di antara kedua pengeroyoknya yang me-nangkis
pukulan itu, terjengkang! Seperti lengan mayat yang kaku, Kwa Sun Tek mencengkeram ke depan, ke
arah orang ke dua yang mengeroyoknya sambil membalikkan tubuh. Orang inipun me-nangkis
dengan tangan kirinya.
"Plakk!" Dan tubuh orang inipun terpelanting. Akan tetapi, kedua orang jubah biru itupun lihai sekali.
Mereka sudah mampu berloncatan bangun kembali dan dibantu oleh empat orang kawan me-reka
yang berjubah hijau, mereka maju lagi. Kwa Sun Tek dikeroyok enam orang yang lihai. Namun,
pemuda tampan berwajah dingin menyeramkan se-perti wajah mayat ini tidak gentar dan gerakangerakannya
yang aneh membuat enam orang pe-ngeroyoknya bahkan kewalahan. Akan tetapi, seorang
di antara dua kakek berjubah biru kini me-ngeluarkan suitan-suitan nyaring, agaknya untuk
memanggil teman-temannya.
Melihat ini, Kwa Sun Tek terkejut sekali. Ta-dinya dia sedang melakukan penyelidikan ke dae-rah
yang akan dilewati barisannya. Tak disangka-nya di situ bertemu dengan orang-orang Liong-i-pang
yang lihai dan agaknya banyak anggauta Liong-i-pang berada di situ. Untung dia hanya bertemu yang
berjubah hijau dan biru saja, yang tingkatnya masih belum tinggi. Kalau berjumpa dengan yang
tingkatnya lebih tinggi, tentu dia ce-laka. Berpikir demikian, Kwu Sun Tek berkelebat pergi melarikan
diri dari tempat itu.
Liu Pang yang mengintai merasa bimbang. Ingin dia membayangi pemuda Tai-bong-pai itu, akan
tetapi diapun ingin sekali menyelidiki apa yang dilakukan oleh perkumpulan Liong-i-pang maka
mereka berkumpul di tempat ini. Dia meng-ambil keputusan untuk menyelidiki tempat itu. A-pa lagi,
pemuda Tai-bong-pai itu lihai sekali. Kalau dia bersama muridnya melakukan pengejar-an dan
membayanginya, hal itu amatlah berbaha-ya. Dia harus menyelidiki barisan itu dengan cara yang
lebih aman dan bersembunyi.
Setelah Kwa Sun Tek pergi, seorang di antara dua kakek berjubah biru itu berkata kepada te-mantemannya,
"Orang itu lihai sekali. Seorang yang berkepandaian tinggi telah menemukan tem-pat ini.
Mungkin dia tadi seorang di antara kaki tangan Perdana Menteri Li Su dan sekutunya. Si-apa tahu
kalau orang tadi diutus untuk mencari Tong-taihiap. Kita harus cepat memberi laporan ke dalam.
Hayo!"
Enam orang itu lalu memasuki hutan. Liu Pang memberi tanda kepada muridnya dan merekapun
cepat membayangi. Bulan kadang-kadang tertu-tup awan sehingga memudahkan guru dan murid ini
melakukan pengintaian tanpa diketahui enam orang itu. Akan tetapi, ketika enam orang itu me masuki
bangunan pesanggrahan, Liu Pang tidak berani mengambil jalan dari pintu depan. Dia mengajak
muridnya untuk mengambil jalan dari belakang, melalui air danau dan mereka berenang di antara
pohon-pohon teratai yang rimbun. Karena permukaan air itu cukup gelap, dengan agak menjauh dari
gurunya, Pek Lian berani berenang dengan telanjang bulat, membawa pakaiannya di atas kepala.
Juga Liu Pang yang berenang lebih dahulu, melepaskan pakaiannya. Setelah tiba di bagian belakang
dunia-kangouw.blogspot.com
bangunan, barulah mereka menge-nakan pakaian mereka. Mereka bergantung pada tiang-tiang
bangunan dan menanti dengan hati-hati sekali. Dalam keadaan seperti ini, Pek Lian termenung.
Banyak sudah yang aneh-aneh dialaminya se-menjak ayahnya ditawan, semenjak di istana terjadi
kekacauan. Kini hidupnya sebatangkara dan sete-lah kini berdekatan dengan gurunya, baru terasa
olehnya bahwa di dalam diri gurunya ini dia me-nemukan pengganti segala-galanya. Pengganti orang
tua, juga pengganti guru-gurunya yang ke-banyakan telah gugur dalam perjuangan, penggan-ti
sahabat-sahabatnya yang kini berpisah darinya. Kalau dia teringat kepada A-hai, jantungnya ma-sih
berdebar keras. Entah bagaimana, di. dalam hatinya terdapat suatu perasaan yang aneh terha-dap
pemuda yang aneh itu. Akan tetapi, iapun ha-rus mengakui bahwa gurunya ini juga mendapat-kan
tempat yang istimewa dalam hatinya! Liu Pang yang usianya belum ada empatpuluh tahun mi juga
hidup sendirian. Isterinya gugur dalam perjuangan pula dan belum mempunyai anak. Dan iapun dapat
merasakan sesuatu yang aneh dalam pandangan Liu Pang terhadap dirinya, walaupun ia tidak berani
memastikan apakah gurunya itu ja-tuh cinta kepadanya, seperti juga ia sendiri tidak tahu apakah ia
mencinta A-hai, ataukah mencinta Liu Pang, bahkan ia tidak tahu pasti apakah ada orang yang
dicintanya !
Tiba-tiba gurunya memberi isyarat. Mereka ta-di duduk di tiang melintang di permukaan air. Ada suara
di sebelah kiri dan suhunya kini sudah me-manjat tiang bangunan yang terendam air. Iapun mengikuti
jejak gurunya, memanjat tiang ke dua. Setelah tiba di atas, kini mereka dapat mengintai ke dalam,
juga suara mereka yang sedang berca-kap-cakap di dalam itu terdengar cukup jelas. Mereka berdua
mengenal suara Tong Ciak yang berjuluk Pek-lui-kong itu. Si pendek cebol yang amat lihai dan
menjadi jagoan istana itu. Liu Pang dan Pek lian mengintai dan Pek Lian merasa jantungnya seperti
hendak copot saking kagetnya. Pek-lui-kong Tong Ciak yang lihai itu ternyata sedang bercakap-cakap
dengan seorang kakek be-rambut putih yang amat dikenalnya dan kakek ini bahkan lebih sakti
dibandingkan dengan Tong Ciak. Kakek itu berpakaian serba putih sederhana dan dia bukan lain
adalah Yap Cu Kiat atau Yap-lojin, ketua Thian-kiam-pang, ayah kandung Yap Kim dan ayah angkat
Yap Kiong Lee ! Untunglah bahwa air danau itu mengeluarkan bunyi. Riak air itulah yang
menyelamatkan guru dan murid itu sehingga kemunculan mereka tidak didengar oleh dua orang sakti
yang berada di dalam pesanggrah-an. Si Malaikat Halilintar Tong Ciak tidak mema-kai pakaian
seragam, melainkan memakai pakaian biasa dan sebuah topi caping lebar. Kiranya dia sedang
menyamar. Sikapnya amat menghormat terhadap Yap-lojin dan suaranya seperti orang melapor
kepada atasannya ketika dia berkata,
"Locianpwe, ternyata bahwa kaisar telah benar-benar dibunuh oleh mereka. Persekutuan pengkhianat
itu telah menyewa orang-orang dari golong-an hitam untuk menjatuhkan sri baginda kaisar.
Kaisar telah dibunuh oleh mereka di pantai timur. Rencana ini sebenarnya telah diketahui Sang Puteri
Siang Houw Nio-nio, dan beliau telah meng-utus saya ke tempat itu. Namun, kedatangan saya
terlambat. Kaisar telah mereka bunuh dan saya hanya mampu merebut dan melarikan jenazah sri
baginda saja."
Yap-lojin mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Kelemahan sri baginda sendirilah yang
menciptakan munculnya pengkhianat-peng-khianat." Sementara itu, Liu Pang merasakan tu-buhnya
menggigil. Kaisar telah dibunuh oleh pa-ra pengkhianat itu! Betapapun juga, dia masih mempunyai
perasaan setia kepada kaisar dan men-dengar nasib kaisar itu, tanpa disadarinya, kedua matanya
menjadi basah. Kaisar dibunuh orang dan jenazahnya sampai dibuat rebutan!
16
"Saya berhasil menyembunyikan jenazah itu dan membawanya sampai ke sini, locianpwe. Sung-guh
bukan sebuah pekerjaan yang mudah! Peng-khianat-pengkhianat itu mengerahkan tokoh-to-koh sesat
untuk merebut kembali jenazah kaisar. San-hek-houw dan Si Buaya Sakti yang lihai itu selalu
membayangi saya. Mereka ingin merebut jenazah karena mereka membutuhkannya untuk menjadi
bukti kematian sri baginda. Tanpa adanya bukti jenazah tak mungkin mereka dapat mengang-kat
kaisar baru menurut pilihan mereka. Demikian sukarnya saya melarikan jenazah sri baginda se hingga
terpaksa saya sembunyikan ke dalam pedati ikan asin."
Yap-lojin mengangguk-angguk. "Sungguh bu-ruk sekali nasib sri baginda. Akan tetapi engkau
bertindak benar, demi tugasmu. Perdana Menteri Li Su dan kawan-kawannya memang berusaha
mati-matian untuk merebut kekuasaan. Mereka telah berhasil menyingkirkan pangeran mahkota.
Bahkan Jenderal Beng Tian juga mereka singkir-kan bersama sang pangeran, juga para pembesar
dunia-kangouw.blogspot.com
yang jujur. Mereka sudah mencalonkan pula pa-ngeran pilihan mereka sendiri untuk diangkat menjadi
kaisar, tentu saja pangeran yang dapat menja-di boneka mereka. Mereka ingin menggantikan
kaisar secepat mungkin sebelum pangeran mahkota dan Jenderal Beng Tian kembali dari perang di
perbatasan."
Liu Pang termangu-mangui mendengarkan itu semua. Kaisar telah dibunuh. Keadaan di istana dalam
kemelut. Pangeran mahkota disingkirkan. Mereka saling memperebutkan kekuasaan, tanpa
mengetahui banwa kini pasukan-pasukan pembe-rontak dari daerah bersama pasukan asing sudah
mendekati kota raja dan siap menyerbu dan me-nguasai kota raja!
Kemudian terdengar suara kakek itu, halus penuh keharuan, "Tong-ciangkun, setelah sri baginda
kaisar wafat, perlukah beliau disiksa lagi dengan membiarkan jenazahnya membusuk? Apakah tidak
lebih baik kalau kita membakar saja jenazah itu?" '
"Saya sudah memikirkan hal itu, akan tetapi sungguh sayang bahwa hal itu tidak mungkin da-pat kita
lakukan, locianpwe. Para sesepuh dan yang berwenang di istana tidak akan dapat meng-angkat
kaisar baru kalau kaisar lama belum wafat dan sebagai buktinya tentu harus ada jenazah be-liau.
Kalau kita bakar jenazah itu, nanti apa bila putera mahkota pulang, tentu akan terdapat kesu-karan
dalam mengangkatnya sebagai kaisar baru. Bukti berupa abu tentu kurang meyakinkan, apa lagi
kalau diingat bahwa terdapat banyak pihak yang menghendaki diangkatnya pangeran yang ja-hat itu!"
"Benar pula apa yang kaukatakan, Tong-ciang-kun."
''Selain itu, sri baginda kaisar sendiri selama hi-dupnya sangat mendambakan agar hidupnya langgeng.
Beliau pergi ke mana-mana, kadang-ka-dang sendirian saja, hanya karena ingin mencari ilmu
hidup abadi. Beliau pernah berkata kepada saya bahwa beliau tidak menginginkan badannya rusak
sampai akhir jaman."
Yap-lojin mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. "Akupun sudah mendengar akan hal itu.
Beliau terlalu dipengaruhi oleh pelajaran Agama To, akan tetapi secara keliru sehingga be-liau
menghendaki hal yang aneh-aneh. Itulah se-babnya beliau suka mengembara seorang diri, ke
tempat-tempat sepi, ke gunung-gunung tanpa pengawal sehingga kesukaan beliau itu kini dimanfaatkan
oleh pengkhianat Li Su untuk mengha-dang dan membunuhnya."
"Masih untung saya berhasil mengamankan je-nazahnya sehingga niat busuk mereka itu gagal."
Pada saat itu terdengar bunyi langkah orang dan muncullah enam orang murid Liong-i-pang di
ambang pintu. Ketika dua orang berjubah co-klat itu memandang ke dalam ruangan dan melihat Yaplojin,
mereka terkejut sekali dan seperti orang bingung.
"Ahhh maaf kami ...........kami tidak tahu bahwa Yap-locianpwe berada di sini"
kata Bhong Kim Cu dengan gugup sambil membe-ri hormat, diturut oleh para sutenya pula yang
kesemuanya memandang dengan alis berkerut tanda bahwa hati mereka tidak senang.
"Hemm, Bhong Kim Cu, apa artinya kemuncul-anmu yang tiba-tiba ini bersama saudara-saudaramu,
dan apa artinya sikapmu yang gugup ini?" Yap-lojin yang mengenal baik murid-murid sa-habatnya itu
menegur.
Bhong Kim Cu menjawab dengan hati-hati, "Yap-locianpwe, kami berenam menerima tugas dari suhu
agar turut melindungi jenazah sri bagin-da kaisar. Suhu mendengar desas-desus bahwa Raja
Kelelawar sendiri akan keluar membantu-anak buahnya mencari dan merampas jenazah itu."
"Hemm, begitukah? Dan di mana adanya su-humu sekarang?"
"Suhu juga sedang berkeliling untuk mencari Raja Kelelawar dan menghadapinya!"
"Bhong Kim Cu, apa lagi yang hendak kausam-paikan kepadaku? Bicaralah!" tanya pula Yap-lojin
melihat betapa pandang mata tokoh Liong-i-pang itu masih membayangkan keraguan dan
kebingungan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bhong Kim Cu cepat menjura dengan hormat. "Saya sendiri merasa bingung dan hanya karena
perintah suhu maka saya berani menyampaikan hal ini kepada locianpwe. Saya dan sute ini
menerima tugas untuk menyelamatkan Jenderal Lai dari ta-wanan kaum pemberontak Liu Pang dan
keti-ka kami melaksanakan tugas itu, kami melihat hal yang amat mengejutkan hati, yaitu bahwa kedua
putera locianpwe, saudara Yap Kiong Lee dan Yap Kim, berada bersama para pemberontak itu,
bahkan mereka telah membantu pasukan pembe-rontak Liu Pang."
"Hemm !" Wajah kakek itu berobah merah dan juga berduka, sedangkan si cebol Tong Ciak tidak
berani mengangkat mata memandang, maklum betapa terpukulnya hati ketua Thian-kiam-pang itu
ketika mendengar berita ini. Dia sendiri tidak merasa heran karena mendengar betapa para pendekar
banyak yang membantu gerakan Liu Pang. Dan para murid Thian-kiam-pang memang sejak dahulu
menganggap diri mereka sebagai pendekar. Sejenak suasana menjadi sunyi, seolah-olah mereka
semua tenggelam dalam lamunan masing-masing.
Kembali terdengar langkah-langkah kaki dan kini muncul dua orang gadis cantik yang segera
menjatuhkan diri berlutut di depan Yap-lojin. Melihat dua orang gadis ini, hampir saja Pek Lian berseru
memanggil. Mereka adalah Pek In dan Ang In, dua orang murid dan juga pengawal pribadi Siang
Houw Nio-nio yang sudah dikenal-nya dengan baik itu. Akan tetapi teringat bahwa ia sedang
mengintai bersama gurunya, Liu Pang, yang merupakan pemimpin pergerakan para pen-dekar, tentu
saja ia menahan diri dan sama sekali tidak berani mengeluarkan suara.
"Suhu, teecu berdua diutus oleh subo untuk menjemput suhu. Ini surat dari subo yang harus teecu
haturkan kepada suhu." Pek In mengeluar-kan sepucuk surat yang diberikannya kepada Yap-lojin.
Dengan sikap tenang, walaupun hatinya masih terpukul oleh berita tentang kedua orang putera-nya
tadi, Yap-lojin menerima dan membuka surat dari isterinya yang lalu dibacanya itu. Isi surat itu
menyatakan bahwa pasukan yang dipimpin oleh Jenderal Beng Tian dan putera mahkota, menga-lami
gempuran-gempuran musuh dari luar dan ki-ni mengundurkan diri sudah mendekati kota raja. Juga
barisan pemberontak Chu Siang Yu yang makin kuat itu makin mendekati kota raja. Karena itu Yaplojin
diminta datang oleh bekas isterinya itu untuk berunding dan membantunya ikut me-mikirkan
keadaan kota raja yang semakin gawat.
Sejenak Yap-lojin termangu-mangu, lalu menarik napas panjang, terdengar dia mengeluh duka.
"Ahhh, agaknya Thian telah menentukan semuanya, agaknya saat-saat terakhir dari Dinasti Cin Si
Hongte sudah berada di ambang pintu"
Kalau orang lain yang berani mengeluarkan ucapan seperti ini tentu akan dianggap pemberon-tak
dan mungkin ditangkap, akan tetapi karena yang mengucapkan adalah Yap-lojin dan semua orang
tahu bahwa kakek ini benar-benar berdu-ka, maka mereka semua kelihatan prihatin dan su-asana
menjadi sunyi. Hati siapa yang tidak akan menjadi prihatin memikirkan keadaan kerajaan di saat itu?
Kaisar telah tewas dalam keadaan amat menyedihkan. Semua pejabat yang setia, seperti Jenderal
Beng Tian, putera mahkota, Siang Houw Nio-nio, Tong Ciak, dan juga mereka yang ber-pihak
kerajaan menentang para pemberontak se-perti Yap-lojin dan Liong-i-pang, agaknya kini tidak akan
dapat berbuat apapun untuk menyela-matkan istana dan kerajaan. Mereka harus meng-hadapi dua
pemberontakan yang kuat, yaitu pem-berontakan barisan Chu Siang Yu dan juga barisan Liu Pang.
Padahal di dalam tubuh pemerintah sendiri muncul sekelompok musuh dalam selimut di bawjah
pimpinan Perdana Menteri Li Su, pange-ran ke dua, dan kepala thaikam Chao Kao. Peng-khianatpengkhianat
ini bahkan tidak segan-se-gan untuk menarik golongan hitam untuk memban-tu mereka.
"Yap-locianpwe," kata Bhong Kim Cu si jubah coklat, "pada saat ini, barisan besar Liu Pang juga
sudah tiba di daerah kota raja. Negara kita benar-benar terjepit, sedangkan para pejabat di istana
yang gila kekuasaan hanya saling memperebutkan kekuasaan."
Yap-lojin menghela napas dan si pendek Tong Ciak mengerutkan alisnya sambil mengepal tinju! Yaplojin
lalu bangkit dan berkata kepada jagoan cebol itu, "Sayang aku tidak dapat ikut menjaga jenazah
sri baginda. Aku harus kembali ke kota
raja sekarang juga." Yap-lojin lalu pergi dikawal oleh dua orang gadis cantik. Mereka pergi dengan
cepat.
Bhong Kim Cu lalu berkata kepada Tong Ciak, "Tong-ciangkun, tadi dua orang sute berjubah biru dan
empat orang sute berjubah hijau telah memergoki seorang mata-mata yang sangat lihai. Sayang
dunia-kangouw.blogspot.com
bahwa mereka tidak berhasil membekuknya. Aku khawatir bahwa tempat ini sudah dike tahui pihak
musuh"
Tiba-tiba dia menghentikan bicaranya karena Tong Ciak sudah meloncat keluar, diikuti oleh pa-ra
murid Liong-i-pang. Sementara itu, Liu Pang yang tadinya mendengar semua percakapan yang amat
penting, tiba-tiba dikejutkan oleh suara air bergelombang. Dia bersama Pek Lian cepat me-rosot dan
bersembunyi di bawah bangunan yang gelap. Kiranya yang muncul adalah Si Buaya Sak-ti, Sin-go Mo
Kai Ci bersama belasan orang anak buahnya yang semua mengambil jalan air. Mereka tadi
mendekati bangunan itu dengan jalan menye-lam dan barisan katak ini sekarang bermunculan lalu
berloncatan ke atas bangunan dengan sigapnya. Tak lama kemudian, bangunan itu dibakar dan terjadilah
pertempuran antara para penyerbu dan Tong Ciak yang dibantu oleh murid-murid Liong-ipang.
Terdengar auman-auman harimau dan muncullah San-hek-houw bersama anak buahnya, juga
Si Maling Cantik, si jai-hwa-cat Jai-hwa Toat-beng-kwi, dan yang lain-lain.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru