Rabu, 18 Oktober 2017

Cerita Silat Mandarin Pendekar Sakti 4

Cerita Silat Mandarin Pendekar Sakti 4 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Mandarin Pendekar Sakti 4 
kumpulan cerita silat cersil online
-
Pak-lo-sian Siangkoan Hai hanya bisa memaki-maki gemas, akan tetapi Kun-lun Ngo-eng sudah pergi
meninggalkan tempat itu. Suara tertawa mereka makin lama makin menjauh. Siangkoan Hai memukulmukulkan
tongkatnya di sekitarnya, akan tetapi yang nampak hanya bunga api berpijar. Dia benar-benar
tidak berdaya lagi! Dewa Utara yang gagah perkasa itu kini seperti seekor naga yang terkurung dan tidak
berdaya keluar.
Kun Beng dan Swi Kiat masih mengamuk di halaman depan dan kini para murid Kun-lun Ngo-eng yang
berpakain mewah itu telah dibikin kocar-kacir.
“Suheng, jangan berlaku kejam kepada mereka. Kulihat mereka ini seperti orang-orang mabuk.” Berkali-kali
Kun Beng memperingatkan suheng-nya.
Kalau sudah marah, Swi Kiat tidak peduli lagi kepada orang lain dan tidak kenal kasihan. Di sana-sini
nampak tubuh para murid itu bergelimpangan, mengerang kesakitan karena pukulan dan tendangan dua
orang muda itu.
Tiba-tiba muncul lima orang aneh yang tadi bertempur dengan Siangkoan Hai. Melihat mereka, Kun Beng
dan Swi Kiat menjadi pucat, karena munculnya lima orang ini berarti bahwa suhu mereka tentu telah
mengalami bencana.
“Di mana Suhu-ku?” seru Swi Kiat sambil melompat ke tempat mereka.
Pek-eng Sianjin tertawa bergelak, dan Ui-eng Suthai menghampiri Swi Kiat, memandang tajam dengan
mata kagum.
“Kau benar-benar gagah, orang muda,” katanya.
Ada pun Jeng-eng Mo-li juga melompat ke depan Kun Beng, mengulurkan tangan untuk meraba pipi
pemuda itu. Kun Beng mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan pipinya telah disentuh oleh wanita
berpakaian hijau ini.
“Kau tampan sekali,” kata Jeng-eng Mo-li.
Melihat sikap mereka, Kun Beng tak dapat menahan sabar lagi dan mencabut tombaknya yang tadi sudah
disimpan. Apa lagi Swi Kiat. Dengan muka merah dan dada berombak, pemuda cilik ini mengeluarkan
kipasnya dan serentak menyerang Ui-eng Suthai yang berada di depannya. Juga Kun Beng segera
mengerjakan tombaknya untuk menyerang Jeng-eng Mo-li sambil mengerahkan seluruh tenaga dan
kepandaiannya.
“Bagus, pemuda yang tampan dan gagah, memiliki kepandaian yang berisi juga!” berkata Ui-eng Suthai
sambil mengelak dari serangan Swi Kiat.
“Benar, Suci (Kakak Seperguruan). Pemuda yang ini pun ilmu tombaknya tidak tercela. Benar-benar
pemuda yang menawan hati!” Jeng-eng Mo-li berkata sambil terus tertawa ha-ha-hi-hi dan menghadapi
Kun Beng dengan tangan kosong.
Memang, kepandaian Swi Kiat dan Kun Beng sudah tinggi dan boleh dibilang luar biasa kalau
dibandingkan dengan pemuda-pemuda yang sebaya dengan mereka. Akan tetapi kini mereka menghadapi
dua orang tokoh kang-ouw yang selain memiliki kepandaian tinggi, juga sudah matang pengalamannya.
Beberapa jurus kemudian, setelah menghindarkan diri dari serangan dua orang pemuda itu tanpa
membalas sedikit pun, Ui-eng Suthai lalu mencabut keluar sehelai sapu tangan kuning dari saku bajunya
dan sekali ia mengebutkan sapu tangan itu ke arah muka Swi Kiat, pemuda ini mencium bau yang amat
wangi dan yang membuatnya lemas dan pening. Tak tertahankan lagi dia terhuyung-huyung dan roboh
pingsan di dalam pelukan Ui-eng Suthai!
Hampir berbareng, Jeng-eng Mo-li juga mengebutkan sapu tangannya yang berwarna hijau dan juga Kun
Beng roboh pingsan dalam pelukannya. Sambil tertawa-tawa dengan pipi menjadi merah, kedua orang
wanita cabul ini lalu memondong tubuh korban mereka dan membawanya lari ke dalam, diikuti pandangan
dunia-kangouw.blogspot.com
mata tiga orang saudara seperguruan mereka yang tersenyum-senyum geli. Demikianlah perangai Kun-lun
Ngo-eng yang bejat moralnya!
Tertawannya Pak-lo-sian Siangkoan Hai, menimbulkan kemarahan besar pada Kun-lun Sam-lojin. Mereka
menganggap bahwa kini Kun-lun Ngo-eng berlaku keterlaluan sekali. Kun-lun Sam-lojin mengenal Pak-losian
sebagai tokoh besar di dunia kang-ouw, dan jika sekarang orang tua itu sampai mendapat celaka di
Kun-lun-san, bukankah itu membuat buruk nama Kun-lun-pai?
“Mereka sudah terlalu berani. Apa bila didiamkan saja, akhirnya kita jugalah yang akan mendapatkan nama
buruk. Kejahatan merajalela di depan mata, apakah kita harus diam saja?” berkata Seng Giok Siansu,
orang termuda dari Kun-lun Sam-lojin. Memang orang termuda dari Kun-lun Sam-lojin ini beradat paling
keras di antara saudara-saudaranya.
“Habis apakah yang harus kita lakukan? Twa-suheng Seng Thian Siansu melarang kita mencampuri
urusan mereka dan mencari permusuhan. Apa bila kita turun tangan, tentu twa-suheng marah sekali,” kata
Seng Te Siansu hati-hati.
“Memang sukar,” kata Seng Jin Siasu, “menurutkan twa-suheng dan tinggal peluk tangan saja, hati dan
pribadi tidak mengijinkan. Jika menyerbu Kun-lun Ngo-eng dan melanggar larangan twa-suheng, berarti
pembangkangan terhadap saudara tua. Akan tetapi, kurasa lebih baik kita melanggar larangan dari pada
melanggar peri kemanusiaan dan kewajiban sebagai orang-orang yang menjunjung tinggi peri kebajikan!
Sekarang twa-suheng lagi bersiulian (bersemedhi) dan tidak mungkin diganggu. Bagaimana kalau diamdiam
kita pergi ke sana dan mengusir orang-orang jahat sambil menolong Pak-lo-sian? Kalau kelak twasuheng
marah, biarlah kita beramai mohon maaf dan memberi alasan yang tepat.”
Akhirnya dua orang saudaranya menyetujui, dan berangkatlah mereka bertiga menyerbu bangunan besar
tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Terjadi pertempuran amat hebat antara Kun-lun Ngo-eng dan Kun-lun
Sam-lojin. Akan tetapi, ternyata bahwa ilmu pedang dari Kun-lun Ngo-eng lihai sekali dan jumlah mereka
juga lebih besar.
Dalam pertempuran mati-matian, Seng Giok Siansu, orang ketiga dari Kun-lun Sam-lojin akhirnya roboh
lantas tewas oleh jarum dari Ui-eng Suthai yang disebut Toat-beng-ciam (Jarum Pencabut Nyawa). Ada
pun dua orang tokoh Kun-lun-pai yang lain, yaitu Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, terluka dan dapat
ditawan!
Sesudah terjadi peristiwa yang hebat ini, barulah Seng Thian Siansu keluar dari tempat pertapaannya dan
turun gunung. Dia memaksa diri biar pun tubuhnya sudah tua serta lemah, dan berniat hendak mengadu
nyawa dengan Kun-lun Ngo-eng. Agaknya, biar pun kepandaiannya lihai, kakek yang sudah amat tua ini
akan menghadapi bencana di depan bangunan tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng. Baiknya di tengah jalan
dia bertemu dengan Ang-bin Sin-kai dan Kwan Cu!
Mendengar penuturan kakek tua renta itu, Ang-bin Sin-kai menjadi marah sekali.
“Locianpwe, mereka itu sungguh-sungguh jahat dan layak sekali dibasmi. Kiranya tidak perlu Locianpwe
sendiri yang mengotorkan tangan, biar teecu mewakili Locianpwe untuk membereskan persoalan ini,
menolong Pak-lo-sian serta sute-sute dari Locianpwe,” kata Ang-bin Sin-kai.
“Terima kasih, Ang-bin Sin-kai, terima kasih. Apa bila bukan engkau yang mengajukan penawaran
membantu, agaknya aku takkan percaya dan terpaksa turun tangan sendiri, meski tenagaku sudah lemah.
Akan tetapi aku pecaya penuh padamu dan kau wakililah aku. Kelak sebelum mati mungkin sekali aku
akan dapat meninggalkan sesuatu bagimu.”
Ang-bin Sin-kai tersenyum, lalu menoleh kepada Kwan Cu. “Kwan Cu, kau mendengar sudah bahwa
Locianpwe hendak memberi hadiah sesuatu. Kelak kalau ada kesempatan, kau wakililah gurumu menerima
hadiah itu.”
Sesudah itu, Ang-bin Sin-kai memberi hormat kepada Seng Thian Siansu, lalu mengajak muridnya cepatcepat
menuju ke tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng…..
********************
Pada saat siuman kembali, Kun Beng mendapatkan dirinya sedang rebah di atas sebuah pembaringan
dunia-kangouw.blogspot.com
yang ditilami dengan kain sutera hijau. Pembaringan itu indah sekali dan bantalnya disulam benang emas,
berbau harum sekali. Kamar itu pun sangat indahnya, dihiasi dengan dinding yang dipenuhi gambargambar
pemandangan dan bunga, dengan perabot-perabot yang serba mahal dan indah seperti kamar
seorang puteri bangsawan.
Semua ini masih belum mengherankan hati Kun Beng yang masih merasa pening. Akan tetapi ketika
mendengar suara ketawa merdu di dekatnya dan dia menengok, serentak dia melompat turun dari
pembaringan kemudian berdiri di atas lantai. Ternyata bahwa di dekatnya tadi duduk Jeng-eng Mo-li yang
tertawa-tawa manis kepadanya.
Perempuan ini sekarang tak kelihatan galak lagi, melainkan telah berhias dengan bedak dan gincu tebal.
Lagaknya tersenyum-senyum dengan mata melirik-lirik itu benar-benar membuat Kun Beng merasa bulu
tengkuknya berdiri dan muak sekali. Pemuda yang baru menjelang dewasa ini masih belum paham akan
segala kemesuman perempuan cabul seperti Jeng-eng Mo-li, akan tetapi dia telah dapat merasakan dan
mengerti akan sikap perempuan itu dan karenanya dia merasa muak sekali.
Seketika itu juga teringatlah dia akan semua peristiwa yang terjadi dan tahulah dia bahwa dia telah
tertawan dan dibawa ke kamar perempuan rendah ini. Wajahnya menjadi merah sekali saking jengah dan
marahnya.
“Anak yang baik, kau telah berada disini. Berlakulah manis kepadaku dan kau akan hidup sebagai seorang
pangeran di tempat ini,” kata Jeng-eng Mo-li dengan suara dibuat-buat agar terdengar menarik merdu.
“Siluman jahat!” Kun Beng membentak.
Pemuda ini hendak melompat keluar dari kamar itu. Akan tetapi, baru saja tiba di pintu, lengan kanannya
telah ditangkap oleh Jeng-eng Mo-li dan perempuan itu menariknya kembali ke dalam kamar.
“Kalau kau keluar, kau akan menjumpai maut. Di luar menanti kematian dan di dalam kamar kau akan
hidup penuh kesenangan,” kata Jeng-eng Mo-li dengan suara bernada membujuk.
“Anjing hina-dina, lebih baik aku mati!” seru Kun Beng dan kali ini pemuda ini mengayun tangan kanan
memukul ke arah kepala Jeng-eng Mo-li!
Akan tetapi, dengan mudah saja Jeng-eng Mo-li miringkan kepala mengelak dari pukulan ini. Bahkan sekali
menggerakkan tangan, dia telah bisa menangkap pergelangan tangan Kun Beng dan sebelum pemuda itu
sempat bergerak, lengan kedua sudah ditangkap pula sehingga Kun Beng sama sekali tidak berdaya lagi!
“Bodoh, kau menurutlah saja. Aku sangat sayang kepadamu karena kau lain dari pada pemuda-pemuda
yang lemah itu. Kalau kau mau berlaku manis dan tidak membandel, kau akan kujadikan pangeran di
antara mereka semua dan kau tidak usah diberi minum arak pembius. Kau lihat, orang-orang muda yang
berada di sini dipaksa dengan minum obat sehingga mereka seperti boneka hidup. Aku tidak suka akan
boneka-boneka hidup, aku ingin seorang kekasih yang betul-betul suka kepadaku. Nah, berlakulah manis,
kau tentu akan hidup bahagia di sini.”
Namun, sebagai jawaban atas bujukan ini, kaki Kun Beng bergerak-gerak cepat sekali dan tahu-tahu dia
telah mengirim tendangan yang amat kuat dan berbahaya sekali bagi keselamatan Jeng-eng Mo-li! Karena
Jeng-eng Mo-li sedang memegangi kedua tangan Kun Beng dengan dua tangannya sendiri, maka
tendangan yang tiba-tiba dan datangnya dari jarak dekat ini tak dapat ditangkis.
Terpaksa dia melepaskan pegangannya dan melompat mundur. Namun Kun Beng yang sudah menjadi
marah dan benci sekali kepada perempuan ini, cepat menyambar meja di depannya dan dengan meja di
tangan, dia menyerang Jeng-eng Mo-li dengan hebatnya!
“Bocah tak kenal budi!” Jeng-eng Mo-li membentak keras karena dia pun merasa jengkel sekali
menghadapi pemuda yang nekat ini.
Dengan sebuah bangku di tangan, dia menangkis serangan Kun Beng dan terdengarlah suara keras ketika
meja dan bangku beradu. Patah-patah kaki meja yang dipegang Kun Beng dan pemuda ini sendiri
terlempar oleh benturan pukulan ini. Namun Kun Beng tidak takut dan dia melangkah maju lagi dengan
kedua tangan terkepal, siap untuk menyerang dan melawan mati-matian.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau saja Kun Beng tidak memiliki wajah yang tampan dan yang menarik hati Jeng-eng Mo-li, tentu
perempuan ini telah menggunakan kepandaian untuk membunuhnya. Meski Jeng-eng Mo-li merasa amat
tersinggung dan juga kecewa, akan tetapi ia masih sayang kepada pemuda ini. Maka, ketika Kun Beng
menyerbu lagi, cepat ia mengebutkan sapu tangan hijaunya dan robohlah Kun Beng untuk kedua kalinya!
Sama halnya dengan Kun Beng, di kamar lain Swi Kiat sedang digoda dan dibujuk oleh Ui-eng Suthai.
Pemuda yang berangasan ini memaki-maki dan memberontak sehingga terpaksa Ui-eng Suthai
menotoknya dan memberinya minum semacam arak yang sudah dicampur dengan bisa yang amat luar
biasa.
Bisa ini seketika itu juga membuat lumpuh semangat dan menutup semua pikiran hingga Swi Kiat seakanakan
menjadi boneka hidup yang hanya mempunyai satu maksud, yakni menurut serta mentaati segala
kehendak dan perintah yang dikeluarkan Ui-eng Suthai! Namun sebelum Swi Kiat berada dalam keadaan
lumpuh itu, satu pikiran terkandung di dalam otaknya, yakni pikiran membenci perempuan karena dia
merasa muak dan benci kepada semua lagak dan kelakuan Ui-eng Suthai.
Ada pun Pak-lo-sian Siangkoan Hai orang aneh yang wataknya juga luar biasa sekali itu, setelah mendapat
kenyataan bahwa dia tidak dapat keluar dari sumur kering, bukannya menjadi gelisah atau bingung.
Sehabis memaki-maki Kun-lun Ngo-eng dengan kata-kata kotor, bahkan dia lalu bernyanyi-nyanyi dengan
suara keras sehingga gemanya keluar dari sumur dan terdengar sampai jauh dari bangunan besar itu!
Akan tetapi, tidak lama kemudian suaranya tidak terdengar lagi, agaknya orang tua ini telah tidur pulas.
Betulkah Siangkoan Hai dapat tidur dalam keadaan seperti itu?
Sama sekali tidak! Kakek yang aneh ini ketika bergerak-gerak dan meraba-raba di dalam sumur kering,
tiba-tiba tangannya menyentuh tulang-tulang manusia. Ketika dia meraba terus, ternyata bahwa tulangtulang
itu masih utuh, bahkan ada pula tengkoraknya. Dan di tangan rangka manusia ini, dia mendapatkan
selembar benda terbuat dari pada kulit.
Siangkoan Hai mengambil benda itu, kemudian disimpannya pada saku bajunya, hendak diselidikinya apa
bila dia dapat keluar dari kurungan itu. Ia percaya penuh bahwa tentu suara nyanyiannya yang keras dapat
terdengar oleh orang-orang gagah yang berada di Kun-lun-san, maka setelah menyimpan benda itu,
kembali dia bernyanyi-nyanyi keras.
Kakek ini tidak merasa khawatir karena menghadapi kepandaian Kun-lun Ngo-eng, dia tak usah takut.
Mereka berlima tidak dapat mengganggunya walau pun dia telah tertawan di dalam sumur.
Ada pun soal makan, Pak-lo-sian Siangkoan Hai ini adalah seorang yang aneh. Pernah dia tidak makan
sampai sebulan lamanya dan sekali dia ‘membuka puasanya’ dia dapat menghabiskan belasan kati daging
dan beberapa guci arak besar! Selama dia sanggup mempertahankan diri, tentu akan datang orang gagah
menolongnya, pikir kakek ini.
Tidak seperti Ui-eng Suthai yang sudah tidak sabar lagi dan terus saja memberi minum arak pembius
kepada Swi Kiat, Jeng-eng Mo-li masih merasa sayang kepada Kun Beng. Bila pemuda ini siuman,
beberapa kali dia membujuk dengan kasar dan halus, kemudian membuat pemuda ini pingsan kembali
dengan kebutan sapu tangan hijaunya. Namun, Kun Beng berjiwa gagah dan bersemangat pendekar,
mana dia sudi menuruti kehendak perempuan cabul yang berjiwa kotor itu?
“Kau benar-benar bandel dan agaknya kau lebih suka menjadi seekor anjing hidup!” kata Jeng-eng Mo-li
marah dan jengkel sekali.
Ia keluar dari kamar dan tak lama kemudian ia datang kembali diikuti oleh seorang gadis muda yang cantik
dan seorang pemuda yang tampan, akan tetapi wajah dua orang muda ini pucat dan sinar matanya lenyap
seakan-akan tidak bercahaya lagi.
Melihat mereka ini, Kun Beng bergidik karena kini dia pun maklum bahwa yang dianggap murid-murid Kunlun
Ngo-eng, tidak tahunya hanyalah orang-orang muda yang berada di bawah pengaruh obat pembius
sehingga mereka ini lebih tepat disebut boneka-boneka hidup!
Jeng-eng Mo-li berkata kepada Kun Beng,
“Anak bodoh, kau lihat ini. Sukakah kau menjadi seperti mereka?” Kemudian wanita jahat itu menoleh
kepada sepasang pemuda-pemudi yang berdiri seperti patung di situ, sambil memandang tajam dan
dunia-kangouw.blogspot.com
membentak keras,
“Kalian berdua sekarang menjadi anjing. Hayo merayap di atas empat kakimu!”
Sesudah mendengar ucapan ini, dua orang muda itu segera berlutut dan merangkak-rangkak memutari
kamar itu bagaikan dua ekor anjing jantan dan betina! Sambil tertawa genit Jeng-eng Mo-li kemudian
mengambil dua potong kue dari atas meja yang tadinya dipergunakan untuk membujuk dan menjamu Kun
Beng, melemparkan dua potong kue itu di atas lantai dan berkata lagi,
“Makan kue itu seperti anjing makan, pergunakan mulutmu!” Dan benar saja, dua orang muda itu lalu
makan kue itu seperti dua ekor anjing saja!
“Keluar dari sini!” Jeng-eng Mo-li membentak dan berlarilah keluar dua orang muda itu seperti anjing-anjing
dipukul!
Menyaksikan pertunjukan yang hebat ini, Kun Beng menjadi pucat sekali dan segera mukanya berubah
merah.
“Perempuan iblis, kau harus mampus!” Sambil berkata demikian, pemuda ini melompat dan menerkam
Jeng-eng Mo-li, hendak mencekik leher perempuan jahat ini.
Akan tetapi memang kepandaiannya kalah jauh, beberapa gebrakan saja dia telah kena ditotok jalan
darahnya dan tak dapat berkutik lagi. Jeng-eng Mo-li kini sudah marah sekali dan habis kesabarannya.
“Kalau kau tidak mau menurut kepadaku, baik! Kau akan menjadi boneka hidup!”
Setelah berkata demikian, dia lalu mengambil sebotol arak berwarna hitam dan ketika dia membuka tutup
botol itu, bau yang keras sekali memenuhi kamar. Dia menghampiri Kun Beng yang sudah di atas
pembaringan tak dapat bergerak lagi dan hendak menuangkan isi botol ke dalam mulut pemuda itu. Akan
tetapi tiba-tiba terdengar bentakan keras dari luar kamar.
“Perempuan iblis!”
Dan menyambarlah angin pukulan yang demikian kerasnya sehingga ketika Jeng-eng Mo-li mengelak,
botol di tangannya itu terpukul oleh angin pukulan dan terlepas dari pegangan! Botol itu jatuh pecah di atas
lantai, dan bau yang keras itu makin menghebat.
Jeng-eng Mo-li terkejut sekali karena suara itu adalah suara Pak-lo-sian Siangkoan Hai! Dia cepat
melompat keluar kamar dari pintu rahasia. Pak-lo-sian Siangkoan Hai tidak mempedulikannya, sebaliknya
lebih dulu membebaskan muridnya dari pengaruh totokan, kemudian dia mengajak Kun Beng melompat
keluar.
Bagaimanakah Pak-lo-sian dapat keluar dari sumur kering dan dapat menolong Kun Beng pada saat yang
amat tepat? Mudah diduga bahwa ini tentulah hasil usaha Ang-bin Sin-kai, akan tetapi sesungguhnya
bukan hasil kerja kakek sakti ini, melainkan muridnya yang menolong Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, dengan cepat sekali Ang-bin Sin-kai dan muridnya berlari
cepat menuju ke tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng atau Lima Garuda dari Kun-lun-san itu. Tak seperti
Siangkoan Hai yang menantang dari depan, Ang-bin Sin-kai mengambil jalan dari atas! Dia sudah dapat
menduga bahwa orang seperti Pak-lo-sian itu kalau sampai kalah, tentu di situ terdapat tempat-tempat
rahasia dan jebakan-jebakan.
Dia memegang tangan Kwan Cu dan mengajak muridnya melayang naik ke atas pagar tembok yang tinggi.
Kemudian, dengan menggenjotkan sebelah kaki ke atas tembok, dia dapat melompat terus genteng
dengan gerakan sedemikian ringannya sehingga sedikit pun tidak terdengar oleh orang-orang yang berada
di bawah.
Dalam percakapan dengan Seng Thian Siansu, Ang-bin Sin-kai sudah mendengar bahwa di dalam
bangunan itu, orang-orang yang berbahaya hanyalah Kun-lun Ngo-eng saja, sedangkan para ‘muridmuridnya’
tidak memiliki kepandaian berarti.
“Kwan Cu, kau lihat baik-baik. Pada saat aku sudah di keroyok oleh lima orang Kun-lun Ngo-eng itu, kau
dunia-kangouw.blogspot.com
baru boleh turun dan segera cari orang-orang yang perlu ditolong,” kata pengemis sakti itu kepada
muridnya.
Kemudian, guru dan murid ini sampai di tengah-tengah bangunan itu di mana terdapat sebuah ruangan di
bawahnya. Mereka melihat tiga orang laki-laki tua dan seorang wanita setengah tua yang cantik dan genit
duduk menghadapi meja dan sedang makan minum dengan senangnya.
Mereka ini adalah Pek-eng Sianjin, Ang-eng Sianjin, dan Hek-eng Sianjin sedangkan yang perempuan
adalah Ui-eng Suthai. Ada pun Jeng-eng Mo-li tidak kelihatan karena wanita busuk ini sedang membujuk
dan mengancam Kun Beng di dalam kamarnya sendiri!
Mereka ini dilayani oleh anak-anak muda laki-laki dan perempuan yang bergerak seperti patung hidup.
Kwan Cu terkejut sekali ketika melihat Swi Kiat berada di antara para anak muda yang melayani empat
orang tokoh jahat itu. Seperti anak-anak muda yang lain, Swi Kiat juga berwajah pucat dan pandang
matanya tak bersinar.
Tadinya Ang-bin Sin-kai hendak menunggu sampai lima tokoh jahat itu berkumpul semua supaya dia dapat
menyerang mereka dan memberi kesempatan kepada muridnya untuk menolong Pak-lo-sian, muridmuridnya,
dan lain orang yang ditawan di situ. Akan tetapi saat kakek pengemis ini menyaksikan keadaan
orang-orang muda itu, seketika mukanya menjadi merah padam dan alisnya berdiri. Kemarahannya
memuncak, karena kakek ini mengerti apakah yang menimpa pada diri anak-anak muda itu!
Pada saat Ang-bin Sin-kai yang sudah marah sekali itu hendak turun tangan, tiba-tiba berkelebat bayangan
yang gesit sekali dan juga amat ringannya, kemudian disusul oleh suara orang menyuling lagu kuno yang
indah!
“Hang-hong-siauw Yok-ong datang...,” Ang-bin Sin-kai berkata perlahan pada muridnya. Kemudian dia
berkata kepada bayangan yang datang itu.
“Yok-ong (Raja Obat), kebetulan sekali kau datang. Banyak pekerjaan mulia untukmu!” Setelah berkata
demikian, dengan hati girang dan besar, Ang-bin Sin-kai melompat turun dan segera melayang ke atas
meja di tengah ruangan itu.
Ketika tadi mendengar suara suling dari Hang-hong-siauw Yok-ong, empat orang tokoh Kun-lun Ngo-eng
itu terkejut sekali dan masing-masing melompat bangun dari tempat duduknya, apa lagi ketika mereka
mendengar suara Ang-bin Sin-kai yang belum mereka kenal.
Tentu saja mereka amat kaget ketika mendengar suara orang di atas ruangan. Bagai mana ada orang bisa
berada di atas genteng tanpa mereka dengar sama sekali suara kakinya? Padahal mereka rata-rata
memiliki pendengaran yang amat tajam!
Oleh karena itu, dapat dibayangkan alangkah hebat kekagetan mereka ketika tiba-tiba bertiup angin
kencang dibarengi berkelebatnya bayangan manusia dan tahu-tahu di atas meja yang mereka hadapi tadi,
kini telah berdiri seorang kakek pengemis yang rambut dan jenggotnya panjang dan pakaiannya tidak
karuan macamnya. Ketika dari atas, kakek ini melayang ke atas meja dan kini berdiri di atas dua buah
mangkok sayur, memandangi masakan-masakan di atas meja sambil tersenyum-senyum lalu berkata
mengejek,
“Masakan busuk... aku tidak doyan...!”
Pek-eng Sianjin tahu bahwa tempat tinggalnya kedatangan orang pandai yang tentu telah mengetahui akan
semua peristiwa yang belum lama terjadi. Memang dia sudah merasa tidak enak sekali dengan
tertawannya Pak-lo-sian dan juga Kun-lun Sam-lojin, dan tentu saja dia dapat menduga bahwa kedatangan
kakek pengemis ini tentu ada hubungannya dengan orang-orang kang-ouw yang tertawan itu.
Maka dia lalu memberi tanda rahasia kepada tiga orang saudaranya dan serentak empat orang ini
mengepung serta menyerang tubuh Ang-bin Sin-kai yang masih berdiri di atas meja dengan kedua kaki di
atas mangkok. Yang diserang hanya menggerakkan kedua kakinya dengan sangat tenang dan
melayanglah empat buah mangkok berisi sayuran ke arah empat penyerangnya!
Ketika Pek-eng Sianjin dan ketiga orang saudaranya melihat mangkok melayang ke arah mereka, cepat
mereka memukul dengan pedang dan alangkah kaget hati mereka ketika telapak tangan mereka terasa
dunia-kangouw.blogspot.com
sakit dan panas walau pun mangkok-mangkok itu berhasil dipukul pecah.
Mereka mendesak maju dan mengurung meja. Tetapi dengan mangkok-mangkok di atas meja, Ang-bin
Sin-kai melayani mereka dengan cara menendangi mangkok-mangkok itu ke arah empat pengeroyoknya.
Sementara itu, Hang-hong-siauw Yok-ong juga melayang turun, akan tetapi raja obat ini sama sekali tidak
ikut bertempur. Bahkan dia tertawa geli melihat cara Ang-bin Sin-kai melayani keempat orang lawannya.
Untuk beberapa lamanya Hang-hong-siauw Yok-ong menonton sambil tertawa-tawa.
Kemudian dia menotok roboh semua orang muda yang tadi melayani Pek-eng Sianjin dan saudarasaudaranya.
Tubuh para orang muda itu oleh Yok-ong dikumpulkan di sudut ruangan yang lebar itu,
dibaringkan saja berjajar di atas lantai, lalu dia mencari-cari lagi anak-anak muda lainnya yang memang
banyak terculik oleh lima orang jahat itu.
Setelah melihat suhu-nya dikeroyok oleh empat orang lawan di dalam ruangan itu, Kwan Cu lalu melompat
turun ke bagian belakang. Tugasnya ialah menolong orang-orang yang tertawan di situ, akan tetapi di
manakah tempat untuk menyimpan para tawanan?
Ketika dia tengah mencari, tiba-tiba dia mendengar suara orang bernyanyi. Ia mengenal suara Pak-lo-sian
Siangkoan Hai, maka cepat-cepat dia menghampiri tempat dari mana suara itu datang, yakni dari dalam
sebuah sumur yang amat dalam dan gelap.
“Pak-lo-sian Locianpwe...!” Kwan Cu memanggil dari atas sumur.
Suara nyanyian itu berhenti dan tak lama kemudian terdengar suara tertawa.
“Ha-ha-ha, bocah gundul. Bukankah kau murid Ang-bin Sin-kai? Lekas kau cari tambang yang panjang dan
masukkan ujungnya ke dalam sumur. Ujung yang lain kau ikatkan saja kepada tiang agar aku dapat naik!”
“Baik, Locianpwe, tunggulah sebentar.”
Kwan Cu lalu berlari-lari ke belakang untuk mencari tambang yang cukup panjang. Dia bertemu dengan
beberapa ‘murid’ Kun-lun Ngo-eng yang segera menyerangnya. Akan tetapi, sebetulnya para murid ini
hanya mengerti ilmu silat kembangan saja dan mereka itu bertempur bagai orang-orang yang digerakkan
oleh mesin, maka sebentar saja Kwan Cu sudah dapat meloloskan diri dari kepungan.
Anak gundul yang cerdik ini dapat melihat sikap mereka yang aneh, maka dia menjadi curiga dan tidak
mau memukul atau merobohkan mereka, hanya menangkis saja yang membuat mereka terpental mundur.
Akhirnya Kwan Cu dapat menemukan tambang yang panjang dan cepat dia membawa tambang itu ke
tempat di mana terdapat sumur tadi.
“Locianpwe, tangkap tambang!” serunya ke dalam sumur sambil mengulur tambang itu ke dalam sumur
yang amat gelap itu.
Kwan Cu tidak mengikatkan ujung tambang pada tiang, kan tetapi memeganginya dan membelit-belitkan
pada dua tangannya. Tak lama kemudian tambang itu bergerak-gerak dan dengan cepatnya tubuh Pak-losian
Siangkoan Hai merayap naik melalui tambang bagaikan seekor kera saja.
Ketika tiba di atas dan melihat betapa tambang itu dipegangi oleh Kwan Cu, Pak-lo-sian tertawa memuji.
Akan tetapi Kwan Cu berkata,
“Cepat, Locianpwe, teecu mendengar suara Kun Beng memaki-maki di kamar belakang sebelah kiri.
Agaknya dia dalam bahaya!”
Memang pada waktu mencari tambang tadi, Kwan Cu mendengar suara Kun Beng yang sedang memakimaki
Jeng-eng Mo-li. Bocah gundul ini tidak berani menolong karena dia dapat menduga bahwa orang
kelima dari Kun-lun Ngo-eng sangat boleh jadi berada di kamar itu dan dia maklum bahwa kepandaiannya
sendiri masih jauh untuk menghadapi lawan tangguh.
Mendengar ini, Pak-lo-sian Siangkoan Hai segera melompat dan lenyap dari situ. Seperti sudah dituturkan
di bagian depan, dengan tepat sekali Pak-lo-sian Siangkoan Hai dapat menyelamatkan Kun Beng dari
bahaya terkena obat bius yang amat berbahaya. Ada pun Jeng-eng Mo-li setelah berlari keluar dan melihat
dunia-kangouw.blogspot.com
empat orang saudaranya mengeroyok Ang-bin Sin-kai namun kelihatan amat terdesak, segera membantu.
“Ha-ha-ha! Kini lengkap Kun-lun Ngo-mo (Lima Iblis Kun-lun-san)! Bagus, bagus!” Sambil berkata
demikian, Ang-bin Sin-kai menggerakkan kakinya.
Terdengar teriakan kaget dan tubuh Ui-eng Suthai terlempar ke arah Yok-ong yang kini berada di sudut,
menjaga orang-orang muda yang semua telah ditotoknya dan sekarang dibaringkan berjajar di atas lantai,
belasan orang jumlahnya.
Sambil meniup sulingnya, Yok-ong semenjak tadi menonton pertandingan antara Ang-bin Sin-kai dikeroyok
lima orang. Nampaknya dia gembira sekali dan sulingnya ditiup keras, menyanyikan lagu perang sehingga
sesuai sekali dengan jalannya pertempuran. Karena inilah maka Ang-bin Sin-kai merasa mendongkol
sekali dan sengaja menendang seorang lawannya ke arah Yok-ong.
Melihat tubuh wanita jahat itu melayang ke arahnya, Yok-ong tidak menghentikan suara sulingnya. Dia
hanya mengangkat kaki kirinya dan sekali mendupak, tubuh Ui-eng Suthai telah dikirim kembali ke tengah
medan pertempuran!
Pak-lo-sian Siangkoan Hai sebelum membawa Kun Beng ke tempat itu, terlebih dahulu menolong dan
membebaskan Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu, dua orang tokoh Kun-lun-pai yang ditawan di dalam
sebuah kamar besi. Kemudian beramai-ramai mereka menuju ke ruang tengah di mana terjadi
pertempuran antara Ang-bin Sin-kai dikeroyok lima.
Pak-lo-sian marah sekali ketika mendengar dari Kun Beng mengenai kejahatan Kun-lun Ngo-eng. Apa lagi
ketika tiba di ruang itu dia melihat muridnya yang pertama, Swi Kiat, rebah bersama orang-orang muda lain
dengan muka pucat.
“Harus kubikin mampus kelima Kun-lun Ngo-eng!” katanya penuh geram.
Ang-bin Sin-kai yang sedang mempermainkan lima orang lawannya kebetulan sekali bisa melihat betapa
Pak-lo-sian Siangkoan Hai masuk melalui sebuah pintu, diikuti oleh Kun Beng dan dua orang kakek Kunlun-
pai. Kakek pengemis ini segera berkata,
“Hee, Pak-lo-sian, mari kau ikut main-main!” serunya dan kembali seorang pengeroyok, kini Hek-eng
Sianjin, terlempar tubuhnya terkena dorongannya.
Tubuh Hek-eng Sianjin berputar-putar di tengah udara dan melayang menuju ke tempat Pak-lo-sian
Siangkoan Hai berdiri. Kakek sakti dari utara yang telah merasa amat gemas dan marah kepada lima orang
jahat itu, mengulur tangan kanannya. Sekali sambar dia sudah dapat menangkap leher Hek-eng Sianjin.
“Mampuslah kau!” serunya dan tubuh itu dia lemparkan ke arah dinding.
Terdengar suara keras ketika kepala Hek-eng Sianjin pecah beradu dengan dinding batu yang keras itu.
Tubuhnya menggeletak di bawah tembok dan darah mengalir membasahi lantai.
Yok-ong menghentikan tiupan sulingnya dan berkata memuji,
“Memang begitulah seharusnya menghukum orang jahat. Kalau tidak dihabiskan jiwanya, iblis yang
mengeram di dalam tubuhnya tak akan mau pergi!”
Namun baru saja dia menutup mulutnya, Ang-bin Sin-kai telah menangkap lengan Ui-eng Suthai yang
ternyata masih dapat mengeroyok juga sesudah tadi digunakan sebagai bal oleh Yok-ong dan Ang-bin Sinkai,
kemudian sambil membetot dia melemparkan tubuh Ui-eng Suthai ke arah Yok-ong!
“Ini bagianmu!” seru Ang-bin Sin-kai lantang.
“Eh, eh, ehh, aku tidak biasa menghancurkan kepala orang!” kata Yok-ong gugup karena tidak tersangka
bahwa dia harus menewaskan seorang di antara Kun-lun Ngo-eng.
Dia seorang Raja Obat, kesukaannya menyembuhkan orang sakit dan mencegah orang tercengkeram dan
dibawa oleh Giam-lo-ong (Raja Maut). Bagaimana ia bisa membunuh orang? Maka setelah tubuh Ui-eng
Suthai itu melayang ke dekatnya, dia lalu mendorong kembali sehingga tubuh wanita itu terpental ke arah
dunia-kangouw.blogspot.com
Pak-lo-sian Siangkoan Hai!
Pak-lo-sian Siangkoan Hai dapat menduga bahwa muridnya, yaitu Swi Kiat, pasti menjadi korban
perempuan ini karena perempuan kedua Kun-lun Ngo-eng, yakni Jeng-eng Mo-li, dilihatnya tadi menggoda
Kun Beng. Maka marahnya tidak dapat dikendalikan lagi dan melihat perempuan ini, dia pun mengangkat
kaki kanannya menendang ke arah lambung Ui-eng Suthai.
Wanita ini menjerit ngeri. Tubuhnya terlempar ke arah dinding, terbentur keras dan roboh di atas tubuh
Hek-eng Sianjin dalam keadaan tidak bernyawa pula. Yang membunuhnya adalah tendangan tadi karena
Pak-lo-sian tak mau berlaku kepalang tanggung dan telah mengerahkan seluruh tenaga dalam
tendangannya. Karena itu, mana Ui-eng Suthai kuat menahan tendangan itu?
Sesudah menewaskan dua orang jahat itu, Pak-lo-sian Siangkoan Hai menjadi semakin buas. Dia memang
paling benci kepada orang-orang jahat, apa lagi setelah dia melihat keadaan orang-orang muda itu,
terutama sekali keadaan muridnya yang disayanginya.
Sambil mengeluarkan seruan keras dia melompat maju dan menyerang tiga orang lain yang masih
dipermainkan oleh Ang-bin Sin-kai. Bagaimana tiga orang itu dapat bertahan menghadapi serangannya?
Sedangkan hanya menghadapi Ang-bin Sin-kai seorang saja mereka sudah menjadi sibuk dan terdesak
hebat. Kini Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang kepandaiannya setingkat dengan Ang-bin Sin-kai ikut pula
menyerbu, tentu saja mereka tak dapat mempertahankan diri lagi.
Jeng-eng Mo-li yang mula-mula menjadi korban dari kipas hitam di tangan Pak-lo-sian. Kipas ini
menyambar bagaikan seekor burung gagak liar, dan meski pun Jeng-eng Mo-li berusaha sedapat mungkin
untuk menangkis dengan pedangnya, namun sia-sia belaka. Pedangnya patah menjadi dua dan kepalanya
terkena totokan gagang kipas.
Terdengar jerit mengerikan dan tubuh Jeng-eng Mo-li roboh kemudian ketika Pak-lo-sian menendangnya,
tubuh itu terlempar ke sudut ruangan, bertumpuk dengan tubuh Ui-eng Suthai dan Hek-eng Sianjin!
Pek-eng Sianjin menjadi pucat ketakutan dan dia mencoba untuk terus bertahan. Ilmu pedangnya memang
paling kuat di antara saudara-saudaranya, maka dia masih mampu mempertahankan diri.
Akan tetapi Ang-eng Sianjin tak dapat menangkis lagi. Ketika Pak-lo-sian Siangkoan Hai menggunakan
kipasnya untuk menyerang, dia berusaha melompat pergi, namun kipas itu seperti ada matanya dan hidup.
Dengan kecepatan luar biasa kipas itu mengikutinya dan tahu-tahu belakang lehernya terkena pukulan.
Terdengar suara keras dan patahlah tulang leher Ang-eng Sianjin sehingga ia pun roboh tak bernyawa lagi.
Pak-lo-sian menendangnya pula hingga mayatnya bertumpuk dengan mayat saudara-saudaranya.
Habislah keberanian Pek-eng Sianjin sesudah melihat empat orang adik seperguruannya tewas dalam
keadaan amat mengerikan itu. Timbul kegetiran hatinya dan dalam keadaan ketakutan, dia lalu berlutut dan
melempar pedangnya.
“Pinto (aku) Pek-eng Sianjin mohon ampun dan minta hidup,” Pek-eng Sianjin berkata dengan bibir
gemetar.
Mendengar ini, Yok-ong lalu mengeluarkan suara ejekan dari hidungnya. Tokoh besar ini merasa jemu dan
muak melihat sikap pengecut dari Pek-eng Sianjin ini, karena itu dia lantas membalikkan tubuh dan
menghampiri para anak muda yang masih rebah tertotok olehnya. Dia kini mulai memeriksa keadaan
mereka dan mempersiapkan obat-obat untuk menolong orang-orang muda yang sudah menjadi boneka
hidup akibat obat pembius dari Kun-lun Ngo-eng.
“Dia harus mampus!” seru Seng Te Siansu dan Seng Jin Siansu yang merasa sakit hati mengingat akan
kematian adik seperguruan mereka, yakni Seng Giok Siansu.
Sedangkan Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan wajah beringas sudah mendekati Pek-eng Sianjin. Tanpa
banyak cakap lagi dia mengangkat kipasnya untuk menotok kepala ketua Kun-lun Ngo-eng itu agar
nyawanya menyusul adik-adiknya memasuki pintu neraka.
Akan tetapi Ang-bin Sin-kai berseru, “Pak-lo-sian, tahan!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pak-lo-sian Siangkoan Hai menoleh kepada kakek pengemis itu. Kedua matanya merah dan masih
menyinarkan kemarahan besar.
“Mengapa kau menahanku, Ang-bin Sin-kai? Apakah tidak sepatutnya anjing macam ini dilenyapkan dari
muka bumi?”
“Nanti dulu, Pak-lo-sian. Aku akan merasa menyesal sekali kalau kau sampai membunuh seorang yang
sudah menyerah. Pembunuhan macam itu tidak patut dilakukan oleh orang gagah.” Kemudian pengemis
sakti ini bertanya kepada Pek-eng Sianjin.
“Berdasarkan apakah kau mohon ampun dan minta hidup? Apakah kau sudah bertobat dan tidak akan
melakukan kejahatan lagi?”
“Pinto sudah bertobat dan berjanji akan hidup melalui jalan benar,” jawab Pek-eng Sianjin dengan suara
sungguh-sungguh karena timbul harapan akan mendapat ampun.
“Bohong!” bentak Pak-lo-sian Siangkoan Hai sambil mengangkat lagi kipasnya, “Ucapan manusia
semacam ini tidak boleh dipercaya, karena mulutnya, seperti juga pikiran dan hatinya, telah dikuasai oleh
iblis. Dia harus mati!”
“Benar sekali, dia harus mati!” berkata pula Seng Te Siansu dan Seng Ji Siansu, setuju dengan pendapat
Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Ang-bin Sin-kai mengangkat tangan dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ingatlah ujar-ujar guru besar Khong Hu Cu dalam kitab Lun Gi bahwa kejahatan barulah disebut kejahatan
sesungguhnya apa bila orangnya tidak berusaha untuk mengubah atau memperbaiki kejahatan dan semua
kesalahannya itu! Pek-eng Sianjin telah berjanji akan mengubah cara hidupnya dan melakukan kebaikan
untuk menebus dosa-dosanya, maka dia berhak hidup.”
“Ang-bin Sin-kai, kau gegabah sekali! Beranikah kau menanggung bahwa dia kelak tidak akan berbuat
kejahatan? Bila kelak dia berbuat jahat, bukankah itu sama halnya dengan kau sendiri yang berbuat
kejahatan?” bentak Pak-lo-sian marah.
Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak, “Pak-lo-sian, aku adalah seorang laki-laki sejati, sekali bicara tidak akan
kutelan kembali! Tentu saja aku berani bertanggung jawab, akan tetapi apakah kepalamu yang putih itu
sudah sedemikian bodoh?” Kakek itu tidak melanjutkan keterangannya, melainkan berkata kepada Pekeng
Sianjin,
“Kau tadi berjanji akan mengubah jalan hidupmu dan melakukan kebaikan, apakah kau berani
bersumpah?”
Pek-eng Sianjin mengangguk.
“Nah, kalau begitu bersumpahlah, biar kami menjadi saksi.”
“Jika aku, Pek-eng Sianjin, tidak bertobat dan kembali melakukan kejahatan, biarlah aku dan semua
keturunan atau anak muridku binasa oleh orang-orang gagah!”
Baru saja Pek-eng Sianjin menutup mulutnya, Ang-bin Sin-kai tertawa bergelak kemudian berkata,
“Nah, kau pergilah!”
Sambil berkata demikian, kedua tangan Ang-bin Sin-kai bergerak cepat dan tahu-tahu jari tangan kirinya
menotok punggung, ada pun jari tangan kanan memencet pinggang ketua Kun-lun Ngo-eng itu.
Pek-eng Sianjin menjerit kesakitan dan tubuhnya bergulingan di atas lantai. Sesudah dia dapat
mengumpulkan tenaga dan napas, sambil meringis menahan rasa sakit di seluruh tubuhnya, dia pun
bangkit berdiri. Ternyata bahwa tubuhnya sudah menjadi bongkok dan kedua tangan kakinya tak mungkin
dapat digunakan untuk memukul orang lagi! Dia telah kehilangan dasar-dasar tenaganya dan menjadi
orang biasa yang bertubuh lemah!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, Ang-bin Sin-kai, kau benar-benar lihai dan cerdik luar biasa!” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai.
Dia tahu bahwa Pek-eng Sianjin tak dapat berlaku jahat lagi. Meski pun ingin melakukan kejahatannya,
namun tenaganya sudah habis dan dia tidak merupakan orang berbahaya lagi. Juga kedua orang tosu dari
Kun-lun-pai, mengangguk-angguk memuji dan merasa lega melihat hajaran yang diberikan kepada Pekeng
Sianjin.
“Hemmm, dia tidak mungkin dapat diobati lagi dan selama hidupnya akan tinggal menjadi orang bercacad,”
kata Yok-ong sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Sementara itu, sambil meringis menahan kesakitan Pek-eng Sianjin memandang kepada Ang-bin Sin-kai
dan berkata penuh dendam.
“Ang-bin Sin-kai, ternyata kau kejam sekali dan tidak percaya terhadap sumpahku. Kau sudah membuat
aku menderita selama hidupku. Baik, kau tunggu saja, kelak tentu akan ada orang yang membalaskan
sakit hatiku ini, apa bila tidak kepadamu, tentulah kepada murid-muridmu!” Sesudah berkata demikian,
Pek-eng Sianjin segera berjalan terpincang-pincang pergi dari tempat itu.
Terdengar Pak-lo-sian Siangkoan Hai tertawa bergelak.
“Pengemis bangkotan, kau mencari penyakit! Kalau tadi kau membiarkan dia kubunuh, tentu dia sudah
menjadi setan dan tak akan bisa mengeluarkan ancaman lagi. Sekarang kau harus berhati-hati, karena kau
menambah adanya seorang yang berbahaya.”
“Biarlah,” jawab Ang-bin Sin-kai tenang, “kalau dia memenuhi ancamannya, tak bisa lain berarti dia
melanggar sumpahnya sendiri.”
Semua orang lalu mencurahkan perhatiannya kepada Yok-ong yang mulai mengeluarkan kepandaiannya
untuk mengobati para orang muda yang masih tergeletak di tempat itu. Seorang demi seorang diurutnya di
bagian belakang kepala, lalu diberi minum sebutir pil putih yang sudah dicairkan dengan arak obat.
Setiap anak muda yang mengalami pengobatan ini lantas muntah-muntah dan keluarlah arak hitam yang
membuat mereka seperti boneka hidup. Kemudian sadarlah mereka dan setelah dibebaskan dari totokan,
ramailah di situ karena mereka mulai menangis sedih!
Juga Swi Kiat mengalami pengobatan. Karena pemuda ini sudah mempunyai dasar yang kuat dan sudah
berlatih lweekang secara mendalam, sebentar saja kesehatannya sudah pulih kembali. Dia memandang
kepada suhu-nya, kemudian berlutut dan walau pun tidak terdengar menangis, namun mukanya menjadi
merah dan dari kedua matanya melompat keluar dua titik air mata.
“Swi Kiat, tak usah kau memikirkan hal yang sudah lewat. Memang pengalaman pahit ini membuat kau
kehilangan dasar kekuatan di dalam tubuhmu, akan tetapi kalau kau tetap giat berlatih, kau akan
mendapatkan kembali tenagamu,” gurunya berkata dengan suara mengandung keharuan.
“Teecu bersumpah takkan mendekati wanita selama hidup teecu!” suara ini terdengar keras dan
mengandung kebencian besar terhadap wanita, yang ditimbulkan oleh Ui-eng Suthai.
Setelah semua orang menerima tiga butir pil putih dari Yok-ong, lalu kedua orang tokoh Kun-lun-pai diberi
tugas untuk mengurus semua anak muda dan mengantarkan mereka kembali ke rumah dan dusun masingmasing.
Setelah pengobatan itu beres semua, barulah Ang-bin Sin-kai teringat kepada muridnya. “Ehh, mana Kwan
Cu?” tanyanya sambil memandang ke sana-sini dan baru dia merasa khawatir karena ternyata bahwa
semenjak tadi tidak kelihatan Kwan Cu di tempat itu.
“Muridmu yang gundul itu?” kata Pak-lo-sian Siangkoan Hai. “Tadi dia menolongku keluar dari sumur.”
Tak hanya Ang-bin Sin-kai yang merasa khawatir, bahkan Pak-lo-sian Saingkoan Hai dan juga Hang-houwsiauw
Yok-ong turut mengkhawatirkan keadaan anak itu. Jangan-jangan anak itu mengalami bencana yang
tidak mereka ketahui. Beramai-ramai mereka segera pergi ke tempat di mana tadi Kwan Cu menolong Paklo-
sian Siangkoan Hai.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kwan Cu...!” Ang-bin Sin-kai berteriak nyaring sekali sambil mengerahkan khikang-nya sehingga suaranya
dapat terdengar dari tempat jauh di sekitar tampat itu.
Tidak lama kemudian, setelah gema panggilan itu lenyap, tiba-tiba terdengarlah jawaban Kwan Cu.
“Teecu berada di sini, Suhu!”
Pak-lo-sian Siangkoan Hai yang diikuti oleh Swi Kiat dan Kun Beng lalu Ang-bin Sin-kai dan Hang-houwsiauw
Yok-ong, saling pandang dengan heran karena suara Kwan Cu itu tidak dapat ditentukan dari mana
datangnya.
“Ehh, Kwan Cu, kau di manakah?” kembali Ang-bin Sin-kai bertanya.
“Teecu di sini, Suhu. Di bawah sini, tunggulah sebentar, teecu akan segera keluar!”
Baru semua orang tahu bahwa Kwan Cu sedang berada di dalam sumur di mana tadinya Pak-lo-sian
Siangkoan Hai terkurung! Oleh karena dia berada di bawah, maka suaranya terdengar bergema ke atas
dan tidak dapat ditentukan dari mana datangnya.
“Ha-ha-ha-ha-ha! Ang-bin Sin-kai, muridmu itu benar-benar lucu dan aneh! Mengapa dia memasuki neraka
ini? Ha-ha-ha, benar-benar anak ajaib, tapi di samping kebodohannya harus kupuji ketabahan hatinya.
Agaknya dia turun mempergunakan tambang yang tadi dipakai untuk menolongku,” berkata Pak-lo-sian
sambil menunjuk ke arah tambang yang ujungnya diikatkan pada tiang dan ujung yang lain menjulur masuk
ke dalam sumur kecil yang gelap sekali itu. Semua orang kini memandang ke arah sumur, menanti
munculnya Kwan Cu bocah gundul yang aneh itu.
Memang betul, Kwan Cu telah memasuki sumur itu. Bocah ini selain mempunyai pikiran yang aneh-aneh,
juga sangat tabah dan cerdik. Dia tahu bahwa suhu-nya pasti sanggup menghadapi para pengeroyoknya,
apa lagi tadi dia melihat ada Yok-ong yang sekarang ditambah pula dengan Pak-lo-sian. Dia tidak khawatir
kalau orang-orang tua itu tak akan dapat menolong semua korban Kun-lun Ngo-eng.
Karena itu, ketika dia melihat sumur kecil yang gelap itu, timbul keinginan hatinya hendak memeriksa di
bawah! Tadi dia mendengar Pak-lo-sian bernyanyi-nyanyi di bawah sumur, tentu di sana tempatnya enak,
maka dia merasa penasaran kalau belum melihat apakah sebetulnya yang ada di dalam sumur itu.
Sebelum memasuki sumur, lebih dahulu dia mengambil alat pembuat api yang terletak di atas meja dalam
ruang yang berdekatan. Kemudian, setelah mengikatkan ujung tambang pada tiang dan membawa alat
pembuat api itu, dia lalu merayap turun melalui tambang.
Ketika kakinya menyentuh dasar sumur, mula-mula yang terinjak olehnya adalah benda keras. Ia
melepaskan tambang dan segera meraba-raba benda itu yang ternyata adalah tulang-tulang manusia! Dari
rabaan ini Kwan Cu bisa menduga bahwa benda itu tentulah tulang-tulang, namun dia tidak mengira bahwa
tulang-tulang yang diinjaknya tadi adalah tulang rangka manusia.
Dengan tenang dia lalu menyalakan alat pembuat api dan membakar lilin yang memang sengaja
dibawanya dari atas. Matanya menjadi silau karena tempat yang gelap pekat itu tiba-tiba menjadi terang.
Pertama-tama yang ditemui penglihatannya ialah tulang-tulang itu dan biar pun dia memiliki ketabahan luar
biasa, dia merasa seram juga saat mendapat kenyataan bahwa yang diraba-rabanya tadi kiranya adalah
tulang belulang manusia yang masih utuh semua, lengkap dengan kepalanya.
Di bawah penerangan lilin, Kwan Cu memeriksa rangka itu dan dia mendapat kenyataan bahwa kepala
rangka itu telah pecah! Dia lalu memeriksa keadaan di sekitarnya.
Tempat itu lebarnya kira-kira tujuh kaki dan ketika dia memeriksa ke sana ke mari, dia melihat benda putih
di sudut kiri. Sesudah diambilnya, ternyata bahwa benda itu adalah sebuah kitab yang sudah tidak ada
sampulnya lagi. Berdebar hati anak ini, karena setiap melihat kitab, dia teringat akan kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng yang tengah dicari-carinya. Dia meleletkan lilin di atas tanah yang lembab, lalu duduk dan
membuka-buka kitab itu.
Hampir saja dia berseru kegirangan karena melihat huruf-huruf yang tertulis di kitab itu ternyata adalah
huruf-huruf kuno yang sama dengan huruf-huruf di dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng yang palsu, yang
dulu diperebutkan oleh lima orang tokoh besar! Segera anak ini membaca kitab itu. Kegembiraannya
dunia-kangouw.blogspot.com
bertambah ketika dia mendapat kenyataan bahwa inilah kitab sejarah peninggalan Gui-siucai yang telah
dicuri orang dari goa tempat tinggal mendiang Gu-siucai itu!
Mendapatkan kitab ini, segera dia hendak naik kembali sambil membawa kitab itu. Akan tetapi tiba-tiba dia
teringat bahwa Pak-lo-sian Siangkoan Hai tadi pun berada di tempat ini! Dan sampul kitab itu sudah
lenyap, siapa tahu kalau-kalau Pak-lo-sian Siangkoan Hai juga melihat kitab ini? Berbahaya sekali kalau
terjadi hal seperti itu, karena kalau dia tiba di atas membawa kitab itu, tentu Pak-lo-sian Siangkoan Hai
tidak akan tinggal diam dan tentu akan berusaha merampasnya!
Ia teringat betapa tokoh-tokoh besar yang lain seperti Kiu-bwe Coa-li juga mencari kitab ini, maka akan
besarlah bahayanya kalau dia membawa kitab itu. Ia tidak memerlukan membaca seluruh isi kitab sejarah
ini, hanya perlu mengetahui tentang rahasia Im-yang Bu-tek Cin-keng dan tempat kitab itu. Pikirannya
bekerja cepat dan ia segera mengambil keputusan untuk membaca bagian itu saja di tempat tersembunyi
ini.
Ia cepat membuka-buka kitab itu dan matanya bergerak-gerak mencari tulisan mengenai Im-yang Bu-tek
Cin-keng. Akhirnya usahanya berhasil karena di tengah-tengah buku, di halaman ke dua puluh empat, dia
menemukan tulisan mengenai kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng! Setelah pandang matanya berlari-lari
membaca bagian ini, lalu dia membaca berulang-ulang bagian yang terpenting, yang berbunyi seperti
berikut:
‘Kitab ini terkutuk dan menjadi alat perusak dunia kalau terjatuh ke dalam tangan orang jahat. Sebaliknya
menjadi kitab suci yang akan membangun kebajikan apa bila terjatuh ke dalam seorang manusia berbudi.
Tertulis oleh manusia dewa dan ketika pada saat terakhir terjatuh ke dalam tangan Liu Pang (kelak menjadi
Kaisar Kao Tsu) dan khawatir kalau-kalau kitab rahasia ini terjatuh ke dalam tangan orang jahat, Liu Pang
kemudian menyembunyikannya ke dalam tempat rahasia di atas pulau kosong.
Ketika menyembunyikan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia menuju ke kota di mulut Sungai Yalu, lalu naik
perahu yang dibawa oleh air sungai itu ke laut. Dari sini menuju ke kanan, melalui pulau-pulau besar dan di
antara pulau-pulau itu terdapat sebuah pulau kecil yang bentuknya bulat, ditumbuhi oleh pohon-pohon
berdaun putih. Di sinilah kitab itu disimpan. Dia yang berjodoh tentu akan mendapat tuntunan tangan Thian
Yang Maha Kuasa untuk mendapatkan kitab ini.’
Hanya bagian itulah yang dibaca berkali-kali oleh Kwan Cu, terutama sekali dia berusaha mengingat-ingat
keterangan tentang disimpannya kitab itu. Hatinya berdebar girang dan dia terkejut sekali ketika
mendengar suara gurunya memanggilnya. Dia cepat menjawab dan karena khawatir akan ditemukannya
kitab itu oleh orang lain, dia lalu membakar kitab itu dengan lilinnya!
Orang-orang yang menunggu di atas sumur, tiba-tiba melihat asap keluar dari sumur itu. Tentu saja semua
orang menjadi heran dan terutama Ang-bin Sin-kai merasa khawatir sekali.
“Ehh, Kwan Cu! Apa yang terjadi? Ada kebakaran di dalam?” tanyanya hilang sabar.
“Teecu sekarang juga keluar, Suhu,” jawab Kwan Cu dari dalam.
Setelah melihat betapa kitab itu terbakar habis, anak ini kemudian merayap naik melalui tambang. Begitu
dia muncul di permukaan sumur, Kun Beng lantas tertawa bergelak, dan orang-orang lain juga tersenyum
geli. Ternyata bahwa muka Kwan Cu tanpa disadarinya sudah menjadi hitam penuh angus. Hal ini terjadi
karena kitab itu agak basah dan ketika dibakar, maka menimbulkan asap hitam yang menghanguskan
mukanya!
“Ehh, Kwan Cu, apa kau berubah menjadi setan bumi?” tanya Ang-bin Sin-kai berkelakar karena melihat
muridnya yang terkasih ini.
Sebaliknya, Pak-lo-sian Siangkoan Hai memandang penuh kecurigaan kepada Kwan Cu. Kakek ini maklum
bahwa di dalam kepala yang gundul itu terdapat hal-hal rahasia yang banyak sekali dan yang di antaranya
ingin dia ketahui, apa lagi yang berkenaan dengan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!
“Kwan Cu, apakah yang kau bakar di dalam sumur tadi?” tanyanya penuh kecurigaan.
“Di dalam gelap sekali, Locianpwe, maka teecu membakar kayu-kayu kering dan lain-lain yang berada di
sana yang dapat di bakar.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kau menemukan apa di sana?” tanya pula Pak-lo-sian Siangkoan Hai dengan pandang mata tajam.
“Sama seperti yang telah ditemukan Locianpwe tentunya,” jawab Kwan Cu cerdik. “Apa lagi yang bisa
teecu ketemukan di dalam sana selain yang telah dilihat oleh Locianpwe?” Jawaban ini menyimpang.
Ang-bin Sin-kai tahu akan hal ini, juga Pak-lo-sian dapat menduga bahwa tentulah ada ‘apa-apanya’ yang
disembunyikan oleh bocah gundul ini.
Ang-bin Sin-kai tertawa dan berkata kepada Kwan Cu. “Kwan Cu, sudahlah jangan kau layani obrolan Paklo-
sian, tentu tak akan ada habisnya. Mari kita pergi.” Sambil berkata demikian, Ang-bin Sin-kai melompat
keluar, diikuti oleh Kwan Cu.
Sesudah tiba di luar, Ang-bin Sin-kai bertanya dengan sungguh-sungguh, “Kwan Cu, kau menyembunyikan
sesuatu dari Pak-lo-sian. Apakah itu?”
“Suhu, sebetulnya teecu telah menemukan kitab sejarah dari Gui-siucai di dalam sumur itu! Dan teecu
telah membakarnya menjadi abu.”
Saking terkejut dan herannya, Ang-bin Sin-kai menahan larinya dan berdiri memandang muridnya.
“Kau bakar...?”
Kwan Cu tersenyum. “Tentu saja setelah teecu membaca tentang kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!”
Berubahlah wajah Ang-bin Sin-kai dan dia nampak agak gelisah.
“Kau tunggu di sini, jangan pergi sebelum aku kembali!”
Belum juga Kwan Cu sempat bertanya, Ang-bin Sin-kai telah melompat dan lenyap dari hadapan muridnya
ini. Dia cepat berlari kembali ke rumah besar tempat tinggal Kun-lun Ngo-eng dan mengintai di atas
ruangan di mana tadi Pak-lo-sian Siangkoan Hai berada. Ia bergerak hati-hati sekali karena maklum bahwa
jika Pak-lo-sian berada di situ, banyak sekali kemungkinan kakek sakti dari utara itu akan tetap saja
mendengar kedatangannya.
Akan tetapi, ternyata dugaannya tidak salah. Ia tidak melihat Pak-lo-sian Siangkoan Hai di sana. Dua orang
tokoh Kun-lun-pai sedang mengatur untuk mengantar para pemuda dan pemudi, sedangkan Hang-houwsiauw
Yok-ong tidak nampak di situ lagi. Yang ada hanyalah Swi Kiat dan Kun Beng yang berdiri dekat
sumur dan melihat ke dalam sumur itu. Tidak salah lagi, tentu Pak-lo-sian Siangkoan Hai sedang
menyelidiki di dalam sumur karena merasa curiga kepada Kwan Cu!
Memang tepat sekali dugaan ini. Tadi sesudah Ang-bin Sin-kai pergi bersama Kwan Cu, Pak-lo-sian
mengambil sampul buku dari sakunya dan ketika melihat bahwa sampul itu bertuliskan huruf-huruf besar
‘BUKU SEJARAH KUNO’, dia cepat pergi ke dalam sumur dan memeriksa sambil membawa lilin!
Ang-bin Sin-kai cepat-cepat kembali ke tempat di mana dia meninggalkan muridnya tadi. Dia mendapatkan
Kwan Cu tengah duduk di bawah pohon dan menyuling!
“Ehhh, dari mana kau mendapat suling itu?” tanya Ang-bin Sin-kai dengan hati berdebar karena dia
mengenal suling bercahaya hijau itu adalah suling Hang-houw-siauw Yok-ong!
“Dari Yok-ong Locianpwe,” jawab Kwan Cu. Lalu dia menceritakan bahwa tadi Yok-ong lewat di situ dan
memberikan suling itu kepadanya sambil berkata,
“Kau anak baik. Di antara semua murid-murid tokoh besar, agaknya hanya kau yang ada harapan. Kau
simpan suling ini dan mudah-mudahan kelak kita dapat bertemu pula.”
Ang-bin Sin-kai menarik napas lega. Ternyata Raja Obat itu mempunyai pandangan mata yang sangat
tajam, pikirnya. Hanya Raja Obat itu saja yang dapat melihat bahan baik dalam diri Kwan Cu yang diejek
dan dihina oleh lain-lain tokoh besar.
“Kwan Cu, ternyata dugaanku benar. Pak-lo-sian sedang memeriksa di dalam sumur dan kalau dia melihat
dunia-kangouw.blogspot.com
abu kitab yang kau bakar, tentu dia akan berusaha menyusul kita dan akan menggunakan kekerasan.
Hayo kita cepat-cepat pergi, aku segan untuk berurusan dengan kakek yang berkepala keras itu!”
Karena ingin menghindar dari kejaran Pak-lo-sian, Ang-bin Sin-kai segera menggendong Kwan Cu, dibawa
pergi ke puncak sebuah gunung yang berada di sebelah timur puncak Kun-lun-san, sebuah puncak gunung
yang liar, penuh hutan belukar dan jarang sekali didatangi manusia.
“Perjalanan yang kau hadapi penuh bahaya, muridku. Tidak saja kau harus melakukan perjalanan jauh,
akan tetapi juga kau akan menghadapi tokoh-tokoh besar yang selalu tidak mau tinggal diam sebelum
mereka dapat merampas kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng. Oleh karena itu, sementara kita tinggal dulu di
tempat sunyi ini dan kau harus berlatih giat untuk mempertinggi kepandaianmu. Mulai hari ini, kita takkan
turun gunung sebelum kau menguras habis kepandaian yang kumiliki.”
Demikianlah, mulai hari itu Ang-bin Sin-kai mengerahkan seluruh perhatian serta tenaga untuk mendidik
dan menggembleng Kwan Cu. Sebaliknya Kwan Cu juga berlatih dengan giat sekali. Tak pernah terlihat
anak ini menganggur, meski suhu-nya sedang beristirahat, dia selalu melatih diri dengan ilmu-ilmu silat
yang baru dia pelajari dari suhu-nya.
Bertahun-tahun Kwan Cu dan suhu-nya seolah-olah terasing dari dunia luar dan hidup di tengah-tengah
hutan, di puncak sebuah bukit yang sangat tinggi. Mereka hanya makan buah-buahan dan kadang-kadang
binatang hutan yang mereka tangkap. Di waktu makan masakan sederhana itu dan mendengar gurunya
mengeluh panjang pendek oleh karena gurunya itu sudah sangat rindu akan arak dan masakan enak,
Kwan Cu menjadi terharu sekali.
“Suhu, sungguh teecu tidak mengerti mengapa suhu sampai menyiksa diri hanya untuk melatih ilmu
kepada teecu. Ahh, budi yang begini besar, dan apakah teecu akan dapat membalasnya?”
Mendengar ucapan ini, lenyaplah keluh kesah dari bibir Ang-bin Sin-kai dan dia berseri.
“Kwan Cu, pembalasaan yang kuharapkan hanya kalau kau kelak dapat menjadi seorang gagah yang
menjunjung tinggi peri kebajikan, bisa berbuat banyak terhadap orang-orang lain. Akan tetapi, kau tak
mungkin dapat menjadi seorang gagah tanpa tandingan kalau kau tidak dapat menemukan Im-yang Bu-tek
Cin-keng! Kepandaianku belum cukup untuk menjagoi di seluruh dunia dan tetap saja kalau kau hanya
menerima latihan dari aku, kau sewaktu-waktu akan bertemu dengan orang jahat yang lebih pandai dari
padamu! Oleh karena itu, pelajaran yang kau terima dariku ini anggaplah sebagai bekal bagimu untuk
mencari kitab itu. Aku sendiri sudah terlalu tua untuk ikut mencarinya, kau akan mencari sendiri, muridku,
dan karenanya, aku mana bisa rela membiarkan kau pergi menempuh perjalanan sukar itu sebelum
memiliki kepandaian yang boleh diandalkan?”
Mendengar ini makin kuatlah hati Kwan Cu dan semakin giatlah dia. Dia menjadi terharu sekali ketika
gurunya pada suatu hari pergi turun gunung seorang diri dan ketika kembali membawa beberapa stel
pakaian baru untuknya! Suhu-nya sendiri tidak pernah berganti pakaian, kecuali kalau pakaian yang
menempel pada tubuhnya itu sudah benar-benar hancur.
Atas kehendak gurunya yang ingin melihat dia berpakaian pantas, sekarang Kwan Cu memakai pakaian
yang cukup baik dan sepatu yang baru pula, pemberian suhu-nya yang amat mengasihinya.
Beberapa tahun kemudian, kepandaian Kwan Cu sudah cukup tinggi. Dia sudah berusia lima belas tahun,
akan tetapi setiap kali gurunya menyuruh dia menggunduli kepalanya! Ia kelihatan seperti seorang hwesio
kecil yang bertubuh sedang dan padat, penuh berisi tenaga yang luar biasa. Wajahnya yang tampan
menjadi makin halus dan kemerahan, berkat dari hawa gunung yang sejuk dan latihan-latihan silat yang
tiada henti-hentinya.
Kembali beberapa bulan yang telah lewat. Pada suatu hari Kwan Cu berlatih seorang diri. Hari masih pagi
sekali dan suhu-nya masih belum bangun dari tidurnya di dalam sebuah goa. Akhir-akhir ini, suhu-nya
nampak malas dan bangunnya pun apa bila matahari telah naik tinggi. Tubuh suhu-nya nampak makin
kurus dan kakek ini beberapa kali mengeluh dan menyatakan bahwa dia telah menjadi amat tua.
“Aku sudah sangat tua, Kwan Cu, tiada nafsu lagi untuk melakukan sesuatu. Keinginanku satu-satunya
hanya bertemu sekali lagi dengan adikku Lu Pin yang tercinta,” demikianlah berkali-kali kakek pengemis
yang sakti ini mengeluh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pagi hari itu Kwan Cu melatih ilmu silat Sin-ci Tin-san (Jari Sakti Menggetarkan Gunung), yaitu ilmu silat
paling lihai yang pernah dia pelajari dari gurunya. Ilmu silat ini dilakukan dengan menggunakan jari-jari
tangan, merupakan ilmu tiam-hoat (menotok) yang luar biasa lihainya yang merupakan ilmu pukulan
dengan jari tangan yang luar biasa kuatnya.
Sudah berbulan-bulan dia terus melatih ilmu silat ini, akan tetapi hasilnya masih kurang memuaskan
hatinya. Pada pagi hari ini, sesudah pada malam tadi mendapat wejangan dari gurunya yang
membentangkan semua kouw-koat (teori silat) dari pada ilmu pukulan Sin-ci Tin-san ini, dia melatih diri
sebaiknya. Yang dijadikan sasaran adalah pohon-pohon kecil yang tumbuh di situ.
Pada saat bersilat dengan ilmu silat Sin-ci Tin-san, dia kelihatan lincah sekali. Tubuhnya mencelat ke sana
kemari serta kedua tangannya terbuka dengan dua jari tangan, yakni telunjuk dan jari tengah, ditusukkan
ke sana ke mari dan sepasang kakinya melakukan langkah-langkah yang amat teratur.
Kemudian mulailah dia menyerang pohon-pohon yang besarnya sama dengan tubuhnya sendiri. Dan
bukan main hebatnya kepandaian anak muda yang usianya baru lima belas tahun ini. Tiap kali jari
tangannya baik yang kanan mau pun yang kiri, menusuk ke batang sebuah pohon, terdengar suara
berderak kemudian pohon itu patah dan tumbang berikut semua daunnya!
Kalau ada orang lain yang melihat hal ini, tentu menjadi kagum sekali. Akan tetapi aneh, wajah Kwan Cu
kelihatan tidak puas, bahkan kecewa. Mulutnya berkali-kali berkata,
“Tidak baik, tidak baik! Gwakang-ku lebih besar keluarnya dari pada tenaga lweekang!”
Kembali dengan tangan kirinya dia menusuk sebatang pohon yang langsung patah dan tumbang.
“Kau terlalu terburu nafsu, Kwan Cu. Nafsumu itu yang memperbesar tenaga gwakang sehingga tidak
seimbang dengan tenaga dalam!” terdengar orang bicara dan ketika Kwan Cu menengok, ternyata bahwa
suhu-nya sudah berdiri di belakangnya.
Kwan Cu berlutut. “Suhu, mohon petunjuk dari suhu yang mulia.”
Ang-bin Sin-kai tersenyum. “Dalam menghadapi segala macam hal, terutama sekali saat menghadapi
perlawanan dari musuh yang tangguh, pantangan yang paling utama adalah timbulnya nafsu yang
menguasai diri sendiri. Dalam keadaan seperti itu, kau harus dapat menguasai dirimu seluruhnya, dari
semua urat-urat besar sampai urat-urat saraf, pikiran dan hati. Kau harus dapat mengatur semua panca
inderamu, dan sadar serta tak sadar harus waspada betul-betul. Kekuatan yang tenaganya tampak seperti
pukulanmu kepada pohon itu, hanya boleh digunakan untuk menakut-nakuti anak kecil atau membikin
gentar lawan yang bodoh. Akan tetapi sama sekali tidak ada gunanya kalau kau menghadapi lawan yang
tangguh. Ingatlah, segala yang tenang, tidak bergerak dan diam itulah yang betul-betul kuat.”
“Mohon suhu memberi penjelasan mengenai Sin-ci Tin-san, karena sesungguhnya teecu belum dapat
melakukannya dengan baik.”
Ang-bin Sin-kai menghampiri sebatang pohon dan dia menggunakan satu jarinya untuk menusuk pohon itu
seperti yang dilakukan oleh Kwan Cu tadi. Pohon itu tidak bergerak sedikit pun juga, bahkan tiada sehelai
pun daun yang rontok. Akan tetapi ketika Ang-bin Sin-kai menggunakan telapak tangan mendorongnya
perlahan, ternyata bahwa pukulan atau lebih tepat tusukan jarinya tadi telah membuat hancur batang
pohon di balik kulitnya dan sekali dorong perlahan saja pohon itu lantas tumbang ke tanah!
“Dalam pukulan Sin-ci Tin-san, kau harus mengerahkan tenaga lweekang. Akan tetapi, kau harus tenang
dan jangan sampai pikiran dan hati dikuasai nafsu, tenaga lweekang itu akan berubah menjadi tenaga
gwakang yang kasar.”
Demikianlah, Kwan Cu digembleng terus oleh suhu-nya sehingga setahun kemudian dia telah memiliki
tenaga lweekang yang kuat sekali, ginkang yang memungkinkan dia berlari seperti terbang, serta ilmu silat
yang lihai. Suling yang didapatnya dari Yok-ong ternyata merupakan senjata yang amat ampuh. Suling ini
terbuat dari pada baja hijau dan kuatnya bukan main.
Ang-bin Sin-kai melatih ilmu pedang tunggalnya yang membuat dia dapat menjagoi dunia kang-ouw
puluhan tahun yang lalu, yakni ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat (Ilmu Pedang Memecah dan Membuka).
Ilmu pedang ini dilatih oleh Kwan Cu menggunakan sulingnya dan ternyata cocok sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Selain pandai memainkan suling sebagai pedang, juga pemuda ini pandai sekali meniup lagu-lagu merdu
dari sulingnya, juga kepandaian ini dia dapat dari Ang-bin Sin-kai yang tahu akan teori meniup suling
sungguh pun ia sendiri kurang berbakat. Sebaliknya Kwan Cu amat berbakat dan dia dapat meniup banyak
lagu-lagu yang dikenal oleh gurunya.
Dua tahun kemudian, setelah berusia delapan belas tahun, Kwan Cu di panggil gurunya.
“Muridku, kini kiranya sudah cukup kepandaianmu untuk kau pakai sebagai bekal dalam perjalanmu
mencari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Kau pergilah menuruti petunjuk yang kau baca dalam kitab sejarah.
Berhati-hatilah, muridku, aku hanya memberi bekal doa restu kepadamu. Kuharap saja kelak kalau kau
sudah mendapatkan ilmu silat yang paling lihai dari Im-yang Bu-tek Cin-keng, aku masih belum mati
sehingga aku dapat menyaksikan kelihaianmu. Nah, pergilah, Kwan Cu.”
Kwan Cu yang berlutut di depan suhu-nya merasa sangat berat untuk berpisah dan pergi meninggalkan
suhu-nya yang kini nampak tua sekali.
“Semenjak dahulu memang teecu bercita-cita mencari kitab itu. Akan tetapi suhu sudah amat tua dan
siapakah yang akan melayani suhu kalau teecu pergi?” katanya ragu-ragu.
“Kwan Cu, apakah kau akan memanjakan gurumu seperti memanjakan seorang kakek tua renta yang
kekanak-kanakan? Aku masih kuat dan aku tak membutuhkan pelayanan orang lain.”
“Akan tetapi... kalau teecu rindu kepada suhu dan hendak bertemu, ke manakah teecu harus mencari
suhu?”
“Aku akan ke kota raja mencari Lu Pin adikku, setelah itu, aku tak akan jauh dari tempat kau mencari kitab
itu, Kwan Cu karena aku hendak tinggal di pantai Laut Po-hai!”
Setelah mendapat wejangan dan nasehat-nasehat yang kiranya cukup berharga untuk dia bawa sebagai
bekal menempuh hidup dan perjalanan seorang diri, akhirnya Kwan Cu lalu mulai turun gunung dan mulai
dengan perjalanannya yang amat jauh, yakni ke pantai sebelah timur dari Tiongkok.
Ia melakukan perjalanan cepat melalui propinsi-propinsi Cing-hai, Kang-su, Shen-si, lalu mengikuti
sepanjang tapal batas Mongolia, terus menuju Timur…..
********************
Baru sekarang Kwan Cu merasa alangkah sunyinya hidup seorang diri dan melakukan perjalanan tak
berteman. Dia rindu kepada suhu-nya yang baginya merupakan penganti ayah bundanya. Namun hati
Kwan Cu memang kuat dan keras, sebentar saja dia telah melenyapkan rasa sunyi itu dan memaksa hati
bergembira.
Suling pemberian Yok-ong yang kini menjadi senjatanya, juga merupakan kawan yang paling setia. Setiap
kali dia beristirahat di mana saja, dia selalu meniup sulingnya. Suara sulingnya inilah yang menghibur
hatinya, biar pun dia berada di dalam hutan yang sunyi, apa bila dia meniup suling maka lenyaplah rasa
sunyi dalam hati.
Perjalanan yang dilakukan oleh pemuda ini bukanlah perjalanan dekat, paling sedikit ada empat ribu kilo
meter! Terlebih pula perjalanan ini banyak melalui gunung-gunung serta hutan-hutan liar yang sukar dilalui.
Akan tetapi Kwan Cu sekarang sudah merupakan seorang pemuda yang berkepandaian tinggi sehingga
perjalanan yang sukar itu dapat dilakukan dengan cepatnya. Ginkang-nya telah terlampau tinggi untuk
dapat dihalangi oleh jurang-jurang lebar atau pun jalan-jalan yang menanjak.
Semenjak turun gunung, dia tak lagi mencukur rambutnya sehingga kini dia benar-benar merupakan
pemuda yang gagah dan tampan luar biasa, dengan sepasang mata bersinar tajam namun jujur dan
bibirnya selalu tersenyum membayangkan hati yang lapang dan tabah. Dia mengikat rambutnya dengan
sapu tangan agar rambut itu tidak turun menutupi mukanya.
Kurang lebih setengah tahun dia melakukan perjalanan, meski kadang-kadang berhenti untuk menikmati
pemandangan alam di beberapa gunung yang aneh atau mengagumi bangunan-bangunan indah di kotadunia-
kangouw.blogspot.com
kota besar. Ia melakukan perjalanan cepat dan selalu berusaha menghindarkan diri dari setiap bentrokan
sesuai dengan nasehat suhu-nya.
Memang beberapa kali ia pernah dihadang oleh para perampok yang hendak merampas pakaiannya, akan
tetapi Kwan Cu tidak mau melayani para perampok itu dan setiap kali dia hanya membuat para perampok
berdiri bengong seperti patung karena pemuda yang hendak dijadikan korbannya itu tiba-tiba saja tertawa
dan berkelebat melenyapkan diri dari depan mata mereka!
Lebih enam bulan kemudian dia tiba di perbatasan utara dari propinsi Ho-pei. Di tempat ini dia teringat
akan pengalaman-pengalamannya ketika dia dan Gui-siucai ditawan oleh panglima An Lu Shan.
Keadaan di sekitar daerah ini sekarang sudah sangat berubah, tidak seperti dahulu lagi. Kwan Cu merasa
heran betapa daerah ini sekarang amat ramai, penuh oleh tentara yang bermacam-macam pakaiannya dan
bermacam-macam pula kebangsaannya. Dia melihat tentara-tentara dari suku bangsa Hui, Daur dan juga
Mongol. Mereka semua berpakaian perang dan bersenjata lengkap, berbaris ke sana kemari seolah-olah
tengah menantikan datangnya perang besar!
Di setiap tanah lapang dia meyaksikan barisan-barisan besar berbaris rapi dan berlatih perang-perangan.
Kwan Cu menjadi semakin kagum dan heran karena setiap anggota tentara mampu mainkan senjata
mereka dengan gerakan ilmu silat yang tinggi. Biar pun hanya beberapa jurus saja mereka itu mainkan
senjata masing-masing, tombak, golok atau pedang, namun gerakan ini terang sekali adalah gerakan ilmu
silat yang diajarkan oleh seorang ahli silat tinggi!
Tentu saja pemuda yang sama sekali gelap terhadap keadaan dalam negeri dan tentang situasi
pemerintahan ini, tidak mengerti bahwa pada waktu itu, Panglima An Lu Shan sedang mengerahkan
seluruh tenaga suku-suku bangsa yang berada di Tiongkok Timur laut, untuk membentuk sebuah barisan
yang besar sekali dengan maksud menyerang ke selatan dan merampas kedudukan kaisar! An Lu Shan
mulai dengan persiapannya untuk memberontak.
Yang paling mengherankan hati Kwan Cu adalah keadaan di dalam dusun dan kota di daerah itu. Tak
pernah dia bertemu dengan laki-laki berpakaian preman. Semua laki-laki berpakaian tentara dan menjadi
anggota tentara. Hanya anak-anak dan wanita saja yang berpakaian biasa.
Sebaliknya, semua orang memandang padanya dengan mata yang terheran-heran pula karena
sesungguhnya Kwan Cu merupakan satu-satunya laki-laki dewasa di tempat itu yang berpakaian preman.
Akan tetapi hal ini tidak lama, karena tiba-tiba datang seorang komandan pasukan yang dengan langkah
lebar menghampiri Kwan Cu.
“He, orang muda! Kau masih enak-enakan saja di sini? Hayo ikut aku mendaftarkan diri agar segera masuk
tempat latihan!” sambil berkata demikian, komandan itu memegang pergelangan tangan Kwan Cu eraterat.
Kalau dia menghendaki, dengan mudah Kwan Cu akan mampu melepaskan tangannya. Akan tetapi dia
tidak mau menimbulkan keributan, maka sambil tersenyum ia berkata,
“Sobat, apakah maksudmu? Aku tak mengerti sama sekali. Ketahuilah bahwa aku adalah seorang
perantau yang datang dari jauh dan tidak tahu peraturan di sini. Harap kau suka menjelaskan.”
“Setiap orang laki-laki di daerah ini harus menjadi tentara, hanya ini saja dan tidak ada penjelasan lain!”
“Mengapa harus? Aku bukan orang sini dan aku tidak mau menjadi tentara,” kata Kwan Cu.
Sementara itu mendengar suara ribut-ribut, di tempat itu telah berkumpul banyak tentara dan tahu-tahu
Kwan Cu sudah dikurung!
“Anak muda, sudahlah jangan banyak rewel. Ketahuilah bahwa setiap orang yang tidak mau menjadi
tentara dan membela tanah air dianggap pengkhianat dan akan menjadi penghuni goa maut!”
Kwan Cu menjadi penasaran sekali, akan tetapi tetap saja dia masih lebih merasa heran dari pada marah.
“Apakah goa maut itu? Dan mengapa pula ada cara memaksa orang menjadi tentara? Sungguh mati aku
tak mengerti sama sekali!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Komandan itu tertawa, “Oya, aku lupa bahwa kau bukan orang sini. Kau mau melihat goa maut? Mari, mari
ikut!” sambil berkata demikian komandan itu tertawa-tawa dan menarik lengan Kwan Cu diikuti oleh para
anggota yang juga tertawa-tawa geli.
Masih saja Kwan Cu bersabar dan dia membiarkan dirinya ditarik bagaikan kerbau oleh komandan itu yang
membawanya pergi keluar kota. Dusun itu berada di lereng bukit dan jalannya naik turun melalui hutanhutan.
Di pinggir sebuah hutan di luar kota, Kwan Cu dibawa ke sebuah bukit kecil dan dari jauh sudah
kelihatan sebuah goa yang merupakan terowongan besar dan di sebelah dalamnya tampak anak tangga.
Di depan goa itu dijaga oleh seorang tentara berbangsa Mongol yang bertubuh tinggi besar bagaikan
raksasa, memegang sebatang tombak yang besar dan panjang lagi berat.
Komandan yang menarik tangan Kwan Cu lalu berbicara dalam bahasa Monggol kepada penjaga itu yang
tertawa bergelak-gelak, membuka mulutnya dan lebar dan cambangnya yang menjuntai ke bawah itu ikut
bergerak-gerak lucu.
“Nah, inilah goa maut. Siapa pun juga yang menjadi pengkhianat dimasukkan ke dalam goa ini lalu
dijerumuskan ke dalam sumur maut dan didiamkan sampai mati di situ. Nah, sekarang pilihlah.”
Dari dalam goa itu lapat-lapat terdengar suara rintihan dan tangisan sehingga terbangkit semangat Kwan
Cu untuk menolong mereka itu. Akan tetapi, dia teringat bahwa dia kini sedang berurusan dengan tentara
pemerintah dan dia tidak mau menimbulkan keributan hebat. Maka dia lalu mengangguk dan berkata,
“Aku menurut saja.”
Terdengar suara gelak ketawa. Komandan itu bersama para tentara yang mengikutinya lalu beramai-ramai
menghantar Kwan Cu kembali ke dusun untuk mendaftarkan pemuda itu sebagai calon tentara.
Akan tetapi baru saja mereka keluar dari hutan dan turun dari bukit di mana terdapat goa maut itu, tiba-tiba
mereka ribut-ribut kemudian sibuk mencari-cari seperti seorang wanita kehilangan gelangnya. Tanpa
diketahui oleh seorang pun, tiba-tiba saja pemuda yang tadi berada di tengah-tengah mereka telah lenyap!
“Ehh, di mana dia?”
“Aneh sekali, tak mungkin dia melarikan diri!”
“Aku tadi masih melihat dia berjalan sambil tersenyum-senyum.”
“Dia bisa menghilang, tentu dia siluman!”
Ramailah orang-orang itu bicara sambil mencari-cari Kwan Cu, namun pemuda itu tidak kelihatan lagi
bayangannya.
Sebenarnya, dengan kepandaiannya, Kwan Cu tadi mempergunakan kesempatan selagi orang tidak
memeganginya, dia melompat ke atas dan dengan bantuan cabang pohon di atasnya, ia lalu melarikan diri
dengan cepat dan ringan sekali sehingga tak menimbulkan suara apa pun. Dia ingin sekali menyelidiki
keadaan goa maut itu dan hendak berusaha menolong orang-orang yang mengeluarkan suara rintihan dan
tangisan tadi.
Kalau tentara negeri menghukum orang bersalah atau orang jahat, tentu dia takkan mau campur tangan.
Akan tetapi tadi pun ia akan dimasukkan ke dalam goa itu hanya karena dia menolak menjadi tentara.
Kalau memang demikian, tentu banyak sudah orang-orang yang dimasukkan ke dalam goa maut itu tanpa
dosa! Jika begini keadaannya, dia harus menolong mereka itu.
Sesudah senja datang, Kwan Cu menyembunyikan diri di balik rumpun alang-alang dan mengintai ke arah
goa itu. Dia hendak bertindak tanpa menimbulkan keributan. Dilihatnya penjaga raksasa yang tadi masih
saja berdiri laksana patung di depan goa, memegangi tombaknya sehingga nampaknya angker dan
menakutkan.
Kwan Cu tidak mau segera turun tangan. Dia akan menanti sampai malam tiba, karena dengan begitu akan
lebih mudah baginya membawa orang-orang yang dihukum di dalam goa itu melarikan diri. Ketika dia
masih menunggu sambil mengintai di belakang rumpun alang-alang, tiba-tiba dari jauh datang
dunia-kangouw.blogspot.com
serombongan orang ke tempat itu.
Alangkah kagetnya hati Kwan Cu ketika dia melihat bahwa yang datang dengan langkah cepat itu ternyata
adalah seorang hwesio bertubuh gendut bulat berjubah hitam, bermisai panjang, berkulit hitam dan di
tangan kiri memegang tasbih sedangkan tangan kanannya memegang tongkat Liong-thouw-tung. Kwan Cu
masih mengenal hwesio ini yang bukan lain adalah Hek-i Hui-mo Thian Seng Hwesio, tokoh barat yang
sangat lihai dan jahat, hwesio yang sudah merampas kitab palsu Im-yang Bu-tek Cin-keng dan bahkan
yang dia duga telah mencuri pula kitab Gui-Siucai yang kemudian dia ketemukan berada di dalam sumur
kering di atas Kun-lun-san!
Di sebelah hwesio ini berjalan pula dua orang panglima dan mereka ini bukan lain adalah An Lu Shan
sendiri dan adiknya, An Lu Kui! Berdebar hati Kwan Cu melihat ketiga orang ini. Baiknya dia berlaku sabar,
karena kalau tadi dia turun tangan dan harus berhadapan dengan mereka ini, tentu berbahaya sekali!
Kepada An Lu Shan dan An Lu Kui, dia tidak usah merasa jeri, akan tetapi Hek-I Hui-mo merupakan
seorang tokoh besar yang tingkat kepandaiannya sudah menandingi tingkat gurunya!
Dia melihat penjaga yang laksana raksasa itu memberi hormat melihat kedatangan tiga orang itu,
kemudian An Lu Shan serta kedua orang kawannya memasuki goa dan lenyap ditelan kegelapan. Lalu
terdengarlah suara An Lu Shan dari dalam goa, seakan-akan dia berkata-kata di depan banyak orang.
Kwan Cu mengerahkan tenaga pendengarannya. Lapat-lapat dia mendengar An Lu Shan membujuk
orang-orang yang ditahan di dalam goa itu untuk menyerah dan menurut serta membantu perjuangannya!
Kwan Cu tidak mengerti akan maksud semua kata-kata itu. Dia hanya tahu bahwa semua orang yang
ditahan itu tentulah orang-orang yang tidak mau tunduk dan kini An Lu Shan hendak membujuk mereka,
disertai ancaman bahwa kalau mereka tidak mau menurut, pada besok pagi goa itu akan ditutup untuk
selamanya!
Kwan Cu tidak berani bergerak dari tempat sembunyinya. Tak lama kemudian, tiga orang tokoh besar itu
lalu keluar lagi dari goa dan pergi dengan cepat, setelah memberi pesan kepada penjaga supaya berhatihati.
Malam tiba dan langit hanya diterangi oleh cahaya bulan bintang. Tidak lama kemudian datang pula
serombongan penjaga terdiri dari lima orang yang mengawani raksasa itu. Kwan Cu bersiap untuk
bergerak dan melakukan usahanya menolong para tawanan.
Ketika para penjaga itu sedang bercakap-cakap, mendadak terdengar suara suling yang merdu. Mereka
terkejut sekali. Bagaimana di dalam hutan ini bisa terdengar suara suling begitu dekat?
Seorang di antara mereka bangkit berdiri dan menghampiri suara itu. Akan tetapi tiba-tiba dia roboh tak
berkutik lagi, terkena totokan jari tangan Kwan Cu yang lihai.
Penjaga-penjaga yang lain setelah lama menanti kawan mereka tidak juga kembali, mulai gelisah dan
memanggil-manggil. Penjaga yang tinggi besar itu tertawa lalu berkata dalam bahasa Han yang kaku.
“Barang kali peniup suling itu adalah seorang wanita cantik dan si A-sam tentu sedang bersenang-senang
dengan dia!”
Dua orang penjaga lalu pergi menyusul kawannya. Akan tetapi setelah sampai di sebuah tikungan mereka
ini juga roboh tak berkutik ketika tangan Kwan Cu menyambar.
Tiga orang penjaga lain menjadi gelisah karena sekarang ada dua orang kawannya lagi yang sudah lama
pergi tetapi tidak muncul kembali.
“Ahh, tentu ada apa-apa!” kata seorang di antara mereka. “Lebih baik kita memberi tanda rahasia agar
kawan-kawan yang lain datang ke sini. Hatiku tidak enak…”
Akan tetapi sebelum dia dapat melepaskan tanda, tiba-tiba dari atas pohon menyambar turun bayangan
orang. Sinar hijau menyambar-nyambar dalam cahaya bulan, kemudian terdengar teriakan susul menyusul
saat tiga orang penjaga termasuk si penjaga raksasa itu roboh tertotok oleh suling di tangan Kwan Cu.
Pemuda ini segera mengambil obor yang tadi terpasang di depan pintu goa dan berlari masuk. Ternyata
dunia-kangouw.blogspot.com
bahwa goa itu dalamnya sangat luas dan panjang, merupakan sebuah terowongan yang amat gelap. Di
sepanjang terowongan itu terpasang anak tangga dan ketika Kwan Cu berjalan kurang lebih sepuluh
tombak jauhnya, anak tangga itu berhenti dan di depannya nampak sebuah lubang.
Hmm, agaknya lubang inilah yang disebut sumur maut oleh komandan yang mengancam dirinya siang tadi,
pikir Kwan Cu. Dengan obornya dia mencoba untuk melihat ke bawah, akan tetapi sia-sia karena sinar obor
tak dapat menerangi sinar obor di bawah.
Terdengar suara-suara orang di bawah dan Kwan Cu cepat bertanya,
“Saudara-saudara yang tertawan di bawah, aku datang untuk menolong!”
Sejenak suara orang-orang di bawah itu berhenti, kemudian terdengar jawaban.
“Bagaimana caranya kau dapat menolong kami?” Inilah suara laki-laki yang mengandung semangat
kegagahan.
“Berapa banyak kawanmu?” tanya Kwan Cu.
“Kini yang masih hidup ada empat puluh satu orang, yang sudah menjadi mayat belasan orang dan yang
sudah hampir mati dua puluh orang lebih!”
Kwan Cu bergidik dan bulu tengkuknya berdiri. Sejak dari tadi dia pun telah mencium bau yang tidak enak,
tidak tahunya di dalam sumur itu telah banyak orang yang sudah mati.
“Berapa dalamnya sumur ini?” tanyanya pula.
“Kurang lebih lima tombak!”
Kwan Cu berpikir sebentar. Kalau hanya lima tombak, dia sanggup melompat dari dalam sumur itu ke atas
sambil menggendong tubuh seorang.
“Dasarnya tanah keras atau lembek?”
“Tanah keras atau basah. Bagaimana kau hendak menolong kami?”
“Kalian minggirlah semua, biar ruang di bawah pada bagian tengah kosong, aku hendak melompat turun!”
kata Kwan Cu.
Kemudian pemuda ini segera menancapkan obor di pinggir sumur dan setelah mengatur pernapasannya
serta menyelipkan suling pada pinggangnya, Kwan Cu lalu melompat ke dalam sumur, tepat di tengahtengah
dan berseru,
“Awas, aku datang!”
Kedua kakinya menginjak tanah padas yang basah dan di dalam gelap, hanya diterangi sedikit sekali oleh
cahaya obor yang ada di atas sumur, dia melihat bayangan-bayangan orang yang di dalam gelap nampak
hitam menakutkan.
“Taihiap, kau sungguh gagah. Akan tetapi, setelah kau dapat melompat masuk ke tempat ini, bagaimana
selanjutnya kau dapat menolong kami?” tanya suara yang tadi berbicara ketika Kwan Cu masih berada di
atas.
Orang ini tubuhnya tinggi kurus, tetapi wajahnya tak dapat terlihat jelas. Hanya suaranya mengandung
kegagahan dan Kwan Cu dapat menduga bahwa orang ini tentulah seorang gagah di dunia kang-ouw yang
menjadi korban dari An Lu Shan.
“Aku dapat menggendong kalian seorang demi seorang dan melompat keluar dari sumur ini,” jawabnya
sederhana.
Terdengar seruan kagum dan tidak percaya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Taihiap, dapatkah kau melompat setinggi ini sambil menggendong seorang pula?” tanya orang yang tinggi
itu.
“Akan kucoba!” kata Kwan Cu.
“Dan para penjaga, di manakah mereka?”
“Sudahlah, kalau kita hanya mengobrol saja, aku khawatirkan penjaga-penjaga lain akan datang dan
rencana kita gagal,” kata Kwan Cu habis sabarnya.
“Taihiap, biarlah kau keluarkan aku terlebih dahulu. Dengan menggunakan ikat pinggang yang disambungsambung,
dapat aku membantu mereka keluar dari sini.”
Pikiran ini baik juga. Kwan Cu kemudian menyambar tubuh orang yang jangkung itu dan melompat dengan
kuat dan cepat sekali. Ia mengerahkan ginkang-nya dan tanpa banyak susah dia dapat mencapai pinggiran
sumur.
Ketika orang yang ternyata seorang laki-laki setengah tua itu melihat bahwa orang yang menolongnya
hanya seorang pemuda berusia belasan tahun, dia menjadi bengong dan merasa kagum sekali. Akan
tetapi dia maklum bahwa sekarang bukan waktunya untuk banyak melakukan peradatan. Dengan cepat dia
menyambung-nyambung ikat pinggang yang memang sudah lama dia kumpulkan dengan maksud kalau
dia berhasil keluar dari sumur, dia akan menolong kawan-kawannya.
Sekarang pertolongan mengeluarkan para korban dilakukan dengan dua jalan. Kwan Cu masih tetap naik
turun untuk mengangkat seorang demi seorang, terutama yang sudah lemah dan tak kuat merayap melalui
tambang buatan. Selain itu ada pula yang merayap melalui ikat pinggang yang disambung-sambung dan
yang kini dilepaskan ke bawah oleh orang tinggi kurus itu.
Akhirnya, setelah bekerja mati-matian, lima puluh enam orang yang masih kuat dan yang sudah lemah
dapat dikeluarkan semua dari sumur itu.
“Mari cepat keluar dari goa ini!” Kwan Cu mengajak tanpa mempedulikan ucapan terima kasih dari semua
orang itu.
Mereka ini ternyata adalah orang-orang lelaki yang masih kuat dan muda-muda. Tidak salah lagi, sebagian
besar di antara mereka tentulah orang-orang yang tak mau dipaksa menjadi tentara oleh An Lu Shan. Yang
paling menarik, semua orang ini adalah semua orang Han asli. Mengapa mereka tidak mau menjadi tentara
pemerintah sendiri? Hal ini benar-benar membingungkan hati Kwan Cu, namun dia tidak mengambil
pusing.
Semua orang mengikuti Kwan Cu keluar dari goa itu. Yang lemah sekali digendong oleh yang kuat
sehingga sebentar saja mereka sudah dapat melarikan diri jauh dari goa, lalu bersembunyi di dalam hutan.
“Nah, sekarang aku akan pergi dan selanjutnya harap kalian mencari jalan sendiri,” kata Kwan Cu.
Orang yang tinggi kurus tadi melangkah maju dan menjura.
“Taihiap benar-benar hebat sekali. Entah bagaimana kami dapat membalas budi Taihiap. Tentang kawankawanku
ini, biarlah aku yang akan memimpin mereka meloloskan diri ke selatan. Aku tahu jalan yang
aman. Akan tetapi, agar kami dapat selalu mengingat-ingat, siapakah Taihiap ini dan murid siapakah?”
“Aku bernama Kwan Cu dan selebihnya tak perlu kuceritakan. Hanya bila kalian hendak berterima kasih,
ingatlah bahwa aku adalah murid Ang-bin Sin-kai!”
Sesudah berkata demikian, Kwan Cu segera melompat pergi dan lenyap dari pandangan mata orang-orang
itu…..
********************
Jika sekiranya Kwan Cu mendengar bahwa An Lu Shan sedang mempersiapkan barisan besar untuk
memberontak terhadap pemerintah di selatan, agaknya pemuda ini tentulah akan berusaha untuk
menghalangi pengkhianatan ini. Akan tetapi, pemuda ini tidak mau terlalu lama tinggal di situ setelah dia
dunia-kangouw.blogspot.com
melihat bahwa Hek-i Hui-mo berada di tempat itu. Dia ingin mempercepat usahanya mencari kitab Im-yang
Bu-tek Cin-keng dan tidak mau bentrok dengan lawan-lawan berat sehingga mengacaukan usahanya.
Pemuda ini melakukan perjalanan cepat sekali dan tiada hentinya. Dia hanya beristirahat untuk makan dan
tidur sebentar saja. Dia berusaha sedapat mungkin agar tidak bertemu dengan orang lain, atau lebih tepat
lagi supaya jangan sampai ada urusan yang akhirnya menghambat perjalanannya. Dua pekan kemudian,
setelah bertanya-tanya kepada orang di mana letak sungai Yalu, tibalah dia di kota Ang-tung, kota yang
berada di tepi Sungai Yalu, yakni di bagian sungai itu memuntahkan airnya di Laut Kuning.
Kota Ang-tung sangat besar dan ramai, karena kota ini merupakan pusat perdagangan yang
menghubungkan pedalaman Tiongkok dengan para pedagang dari Korea. Banyak sekali perahu nelayan
dan pedagang berada di pinggir sungai dan pemandangan di situ amat indahnya.
Akan tetapi ketika Kwan Cu mencari perahu nelayan untuk di sewanya, tak seorang pun sanggup
menyewakan perahunya, biar pun dengan bayaran tinggi.
“Laut di selatan tidak aman, kongcu,” kata seorang nelayan tua. “selain sekarang muncul ikan-ikan buas
yang besar dan sering kali mengganggu perahu nelayan, juga bajak-bajak laut sekarang banyak sekali.
Kami semua adalah tukang-tukang perahu yang hanya bisa membawa barang-barang dagangan dengan
berlayar di tepi pantai, atau kalau mencari ikan juga, tidak terlalu jauh dari pantai. Bila kongcu
menghendaki menyewa perahu untuk digunakan memasuki laut bebas, kiranya akan bisa kongcu dapatkan
di perkampungan nelayan Kim-le-pang.”
“Di mana letaknya perkampungan Kim-le-pang itu, lopek?” tanya Kwan Cu dengan hati girang.
“Tidak jauh, kurang lebih lima belas li di sebelah timur kota ini.”
Tanpa membuang banyak waktu lagi Kwan Cu cepat-cepat menuju ke timur dan mencari perkampungan
Kim-le-pang yang diceritakan oleh nelayan tua itu. Benar saja, di pantai laut dekat dusun itu banyak sekali
terdapat perahu-perahu kecil dan para nelayan sedang bekerja sibuk. Ada yang menjemur ikan-ikan kering,
ada pula yang menjemur jala-jala yang rusak. Ada pula yang menjahit layar atau membetulkan perahu
yang bocor. Mereka ini nampak miskin dan sederhana, akan tetapi sebagian besar bertubuh tegap dan
kuat, dengan kulit yang kehitaman karena setiap hari terbakar oleh matahari.
Ketika Kwan Cu menghampiri para nelayan ini, mereka tidak mengacuhkan dirinya, sama sekali tidak
kelihatan tertarik atau ingin menawarkan perahu mereka. Kwan Cu pun dapat menduga bahwa nelayannelayan
ini tinggi hati dan angkuh.
Memang mereka ini adalah sekelompok peranakan suku bangsa Han. Mereka berdarah Hui dan Han, dan
merupakan suku bangsa yang hidupnya mengandalkan penghasilan dari laut. Mereka adalah pelaut-pelaut
tulen yang lebih leluasa hidup di atas perahu dari pada di darat.
Melihat sikap mereka yang acuh tak acuh, Kwan Cu merasa tak enak hati. Akan tetapi oleh karena dia
memang amat membutuhkan perahu untuk disewa, dia lalu menghampiri mereka dan menjura sambil
bertanya,
“Saudara-saudara, harap maafkan kalau aku mengganggu kalian.”
Seorang kakek bermata sipit yang mulutnya menggigit huncwe kecil panjang, berpaling kepadanya dan
tanpa melepaskan huncwe-nya dia berkata,
“Kalau tidak mengganggu, tak perlu meminta maaf. Kalau memang hendak mengganggu, mengapa pakai
minta maaf segala?”
Merah muka Kwan Cu mendengar ucapan yang jujur dan kasar ini. Dia dapat menduga bahwa dia sedang
berhadapan dengan orang-orang sederhana, jujur, dan keras hati.
“Lopek, sebetulnya aku bukan bermaksud hendak mengganggu. Akan tetapi siapa tahu kalau
kedatanganku ini saja sudah merupakan gangguan bagimu.”
Sekarang kakek bermata sipit itu menghentikan pekerjaannya menambal layar. Sambil mencabut huncwenya
dia menghadapi Kwan Cu dan memandangnya dari atas terus ke bawah, lalu bertanya,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kau mau apakah?”
“Aku mencari perahu yang disewakan.”
“Dengan orangnya?”
“Kalau mungkin, lebih baik lagi.”
“Ke mana?”
Kwan Cu merasa tidak enak dengan percakapan yang singkat-singkat ini, akan tetapi apa boleh buat,
orang ini agaknya lebih suka bicara singkat.
“Hendak menyeberangi laut, mencari pulau-pulau di dekat pantai.”
“Tak mungkin! Tidak ada perahu yang disewakan!” jawab kakek itu sambil menancapkan huncwe pada
mulutnya lagi.
“Lopek, aku pun tidak hendak menyewa perahumu jika kau tidak menyewakannya. Akan tetapi aku akan
menyewa perahu siapa saja yang suka menyewakan kepadaku,” Kwan Cu berkata agak keras karena dia
merasa mendongkol sekali.
Pemuda ini kemudian memandang ke sekelilingnya dan berteriak, “He, saudara-saudara. Siapa yang suka
menyewakan perahunya kepadaku untuk menyeberangi laut mencari pulau? Aku berani membayar berapa
saja yang dimintanya!”
Mendengar pemuda ini berteriak-teriak, para nelayan lalu berlari-lari mendatangi. Mereka sebentar saja
mengurung Kwan Cu dan sambil melepaskan huncwe-nya, berkata kakek itu kepada orang banyak,
“Dengarkan orang gila ini! Dia hendak menyewa perahu untuk menyeberangi laut dan mencari pulau.
Agaknya dia telah bosan hidup. Ha-ha-ha!” Ramailah suara para nelayan ketawa mengikuti kakek itu.
“Dengar!” Kwan Cu membentak! “Kalau kalian begitu pengecut dan takut, biarlah aku menyewa perahunya
saja. Tidak usah aku diantar oleh penakut-penakut macam kalian. Biarlah aku menyewa perahu saja,
berikan padaku perahu yang baik dan kuat dan aku akan membayar mahal!”
“Kau akan membayar dengan apa?”
“Dengan emas. Lihat, aku mempunyai sekantong emas!”
Kwan Cu lalu memperlihatkan sekantong emas yang dia dapat ‘ambil’ dari rumah gedung seorang
bangsawan kaya raya ketika dia tiba di kota besar. Memang, pemuda ini yang tahu bahwa dia harus
memiliki emas untuk menyewa perahu, sudah mencuri sekantong uang emas dari hartawan itu pada
malam hari!
“Hah, apa artinya emas? Tidak bisa mengenyangkan perut!” kata kakek itu dan semua nelayan
mengangguk menyatakan setuju. “Mengacaukan saja!”
Kwan Cu tertegun dan penasaran. “Habis, apa yang kau kehendaki sebagai pembayaran sewa perahu?”
“Anak muda, apa pun pembayaran yang kau janjikan, di dusun kami tak ada orang yang begitu gila untuk
memberikan perahunya padamu, karena bila perahu diberikan padamu, berarti perahu itu akan lenyap
tenggelam di laut bersamamu!”
Kwan Cu mendongkol sekali, “Tak kusangka orang-orang yang kelihatan kuat dan gagah seperti kalian ini,
hatinya kecil dan penakut. Pula selain penakut, tidak ramah dan tidak mau menolong orang. Hemmm,
kecewa sekali aku datang ke tempat ini.”
Setelah berkata demikian, Kwan Cu hendak pergi dari situ, di dalam hatinya mengambil keputusan untuk
mencuri saja sebuah perahu dan meninggalkan uang emasnya sebagai pembayaran!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, tiba-tiba saja terdengar seorang pemuda nelayan berkata kepada kakek itu. “Lo-pek-pek,
kenapa tidak kau suruh saja dia menyewa perahu nenek gila?” mendengar ucapan ini, semua orang
ketawa.
“Cocok sekali! Memang pantas kalau pemuda yang nekat dan bosan hidup ini berlayar dengan nenek gila
atau puteranya yang berotak miring!” Terdengar suara di antara gelak ketawa.
Kwan Cu terheran-heran. Orang-orang ini tadinya sangat pendiam dan berwajah keras, akan tetapi setelah
disebutnya nama nenek gila ini semua orang tertawa geli! Ia tertarik sekali dan menahan tindakan kakinya.
“Di manakah adanya si nenek gila itu? Apakah dia benar-benar mempunyai perahu dan sekiranya dia mau
menyewakan perahunya, biar pun gila akan kucoba mendatangi.”
Kakek nelayan itu menggelengkan kepalanya. “Anak muda, biar pun urusanmu tidak ada sangkut pautnya
dengan kami dan kenekatanmu juga tidak merugikan kami, akan tetapi melihat sikapmu yang halus ini aku
merasa kasihan juga. Memang di sini ada seorang nenek gila dan puteranya yang setengah gila pula. Akan
tetapi, mereka ini berbahaya sekali dan terasing hidupnya. Apa bila kau coba-coba mendekati mereka, aku
khawatir kalau-kalau kau akan mati sebelum menyeberangi laut.”
Hati Kwan Cu semakin tertarik.
“Biarlah, di mana mereka tinggal? Akan kucoba menghubungi mereka.”
Kakek itu mengangkat pundaknya. “Benar kata mendiang ayah dulu bahwa orang-orang selatan memang
aneh sekali wataknya. Kau mau tahu? Pergilah ke pantai sebelah barat kampung ini dan di sana kau akan
melihat sebuah pondok menyendiri di pantai yang ada hutannya. Di sanalah mereka tinggal.”
“Terima kasih, Lopek. Selamat tinggal!”
Sesudah mengucap demikian, Kwan Cu menggunakan kepandaiannya meloncat pergi. Bengonglah semua
nelayan ketika melihat betapa dengan sekali berkelebat saja pemuda itu telah meloncat amat jauhnya dan
sebentar pula lenyap dari pandangan mata!
Kwan Cu melanjutkan perjalanannya dengan amat cepat, menuju ke hutan pinggir pantai seperti yang
ditunjukkan oleh kakek nelayan itu. Benar saja, dia melihat sebuah pondok kecil yang berbentuk segi
empat di pinggir hutan, dekat pantai. Keadaan di situ sangat sunyi karena di sekitar tempat itu tidak ada
rumah lain. Juga di pekarangan yang kotor dari rumah itu tidak kelihatan seorang pun manusia. Keadaan
benar-benar sunyi sekali.
Kwan Cu menghampiri pondok itu dan keadaan di situ nampak menyeramkan. Tidak ada perabot rumah di
situ, hanya ada dua buah batu karang yang besar di dalam rumah. Di antara batu karang ini, terdapat pula
batu yang licin dan lebih besar, agaknya itulah kursi dan meja dari tuan rumah.
Kwan Cu dapat melihat semua ini karena rumah itu tidak ada daun pintunya. Demikian pula jendelanya di
kanan kiri rumah tidak ada daun jendelanya, tinggal terbuka saja pintu dan jendelanya.
Sampai lama Kwan Cu menanti, akan tetapi sudah jelas bahwa di dalam rumah itu tidak ada orangnya. Ia
mencari-cari di depan dan belakang rumah, akan tetapi tidak kelihatan bayangan orang. Bahkan di pantai
juga tidak kelihatan ada perahu.
Namun jelas ada tanda-tanda bahwa tempat itu memang ditinggali orang, karena di sana sini terdapat
bekas-bekas orang, seperti tapak-tapak kaki, mangkok-mangkok pecah, dan pecahan-pacahan jala,
bahkan ada berserakan tulang-tulang ikan di sana-sini. Juga ada tempat api di sudut dalam rumah itu.
Kwan Cu sampai merasa kesal menanti di luar rumah. Kemudian karena melihat di dalam rumah itu ada
hiasan-hiasan dinding berupa gambar-gambar dan tulisan-tulisan sajak, dia memberanikan diri memasuki
ambang pintu. Alangkah tertariknya ketika dia melihat lukisan-lukisan yang cukup indah, dan sajak-sajak
tulisan dari pujangga ternama.
Hanya orang yang mengerti kesusastraan dengan baik saja yang mau menggantungkan lukisan dan sajaksajak
seindah itu, pikirnya. Makin tertarik dia kepada penghuni rumah yang dikatakan gila oleh para
nelayan itu. Siapakah mereka ini dan bagaimana mereka nanti menyambutnya?
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, menanti-nanti kedatangan penghuni rumah ini merupakan ujian berat bagi Kwan Cu karena
setelah ditunggu-tunggu sampai menjelang senja, penghuninya belum juga kelihatan kembali! Apakah
mereka sudah meninggalkan rumah ini dan tidak akan kembali lagi? Ataukah barang kali para nelayan itu
mempermainkannya?
Akan tetapi tidak mungkin, karena tanda-tanda bahwa rumah ini masih ditinggali orang, ternyata dari
adanya hiasan-hiasan dinding itu. Kalau mereka pergi takkan kembali lagi tentu lukisan-lukisan itu mereka
bawa. Maka dia mengambil keputusan untuk menunggu terus, dan kalau perlu dia akan bermalam di situ
sampai besok pagi.
Senja telah berganti malam dan bulan sepotong muncul di langit timur. Kwan Cu berdiri di depan jendela
dan termenung, mengharapkan kedatangan tuan rumah. Mendadak dia melihat sesuatu yang sangat
menarik perhatiannya.
Di bagian depan jendela itu ada semacam tumbuh-tumbuhan yang tadinya tidak menarik perhatiannya.
Tetumbuhan ini batangnya hitam dan daun-daunnya tidak berapa banyak, berbentuk lonjong bundar serta
tulang-tulang daunnya kelihatan jelas sekali, kehitaman membayang pada daun yang putih itu. Tidak ada
yang aneh pada tetumbuhan ini, juga tidak kelihatan bunga atau buahnya. Akan tetapi yang amat menarik
perhatian Kwan Cu, adalah kejadian yang bukan main anehnya.
Tadinya daun-daun itu tidak bergerak sama sekali karena memang tidak ada angin yang dapat meniup
daun-daun itu. Angin dari laut tertahan oleh bangunan rumah sehingga daun-daun itu terlindungi dari pada
hembusan angin. Akan tetapi, ketika malam tiba dan beberapa ekor jangkerik datang, kemudian jangkerikjangkerik
itu menempel pada daun, mereka lalu jatuh ke bawah dan mati!
Kwan Cu terheran-heran dan membungkuk untuk melihat lebih jelas keadaan jangkerik-jangkerik itu, dan
apa yang dilihatnya? Jangkerik-jangkerik itu telah hangus badannya!
Kwan Cu berdiri seperti patung, terkejut dan terheran-heran. Ia berlaku hati-hati dan tidak berani menjamah
daun-daun itu, sungguh pun hatinya ingin sekali karena dia ingin tahu mengapa jangkerik-jangkerik itu bisa
mati hangus begitu tersentuh pada daun-daun itu.
Oleh karena itu, ketika ada beberapa ekor jangkerik terbang, dia lalu menyambar dengan tangannya dan
menangkap tiga ekor jangkerik. Setelah itu, dia melemparkan jangkerik-jangkerik itu satu persatu sehingga
menempel pada pohon dan akibatnya... benar-benar hebat! Binatang-binatang kecil itu lalu jatuh dan mati
hangus pula!
“Hebat,” pikir Kwan Cu, “daun mukjijat apakah ini?”
Akan tetapi pada saat itu, dari atas tanah merayap tiga ekor ulat berwarna hijau. Ulat-ulat itu besarnya
sama dengan ibu jari tangan manusia dan dengan gerakan yang lucu dan menggelikan ulat-ulat itu
merayap ke batang pohon kecil yang berdaun mukjijat itu. Kwan Cu menduga bahwa tiga ekor ulat yang
berjalan beriring-iringan ini tentu akan mengalami nasib serupa dengan para jengkerik, akan tetapi aneh.
Kali ini ulat-ulat itu merayap dengan amat aman dan selamat, bahkan ketiga-tiganya lalu memilih daun
yang segar dan digerogoti dengan rakusnya! Memang betul bahwa begitu ada ulat yang menempel pada
sehelai daun, semua daun pohon itu serentak bergoyang-goyang dan bangkit seperti tadi. Tapi ulat-ulat itu
tidak jatuh, bahkan seolah merasa enak diayun-ayun oleh daun yang dimakannya dan menambah
kelezatan makannya. Sebentar saja masing-masing ulat telah menghabiskan sehelai daun!
“Luar biasa sekali!” pikir Kwan Cu, “ada daun yang aneh, kini muncul ulat-ulat yang hebat pula!”
Dia menjadi sangat gembira dan lupa akan segalanya, lupa bahwa telah amat lama dia menunggu di situ.
Perhatiannya tertuju sepenuhnya pada ulat-ulat yang kini sudah mulai menggerogoti lain daun yang segar.
Tiba-tiba saja terdengar suara melengking yang tinggi sekali sehingga menyakitkan anak telinga. Kwan Cu
melihat sinar-sinar kecil menyambar ke arah pohon tadi dan alangkah kagetnya ketika melihat betapa ulatulat
itu telah tertancap pada daun. Pada tubuh setiap ulat tertancap sebatang jarum putih yang halus sekali
dan ada kepalanya merupakan titik bulat. Ulat-ulat itu tertancap dan tertusuk seperti disate, kini tidak dapat
melepaskan diri dari daun itu, hanya menggeliat-geliat!
dunia-kangouw.blogspot.com
Bukan main heran dan kagetnya hati Kwan Cu. Orang yang dapat melepaskan jarum dari jarak jauh dan
mengenai ulat-ulat itu dengan demikian tepatnya, tentulah seorang yang memiliki kepandaian luar biasa
tingginya dalam ilmu melepas am-gi (senjata-gelap)! Dan hanya orang yang lihai sekali ilmu silatnya saja
yang dapat melakukan hal itu.
Kwan Cu tertarik bukan main dan mengulur tangannya hendak mencabut jarum itu untuk diperiksanya.
Akan tetapi tiba-tiba terdengar bunyi melengking mengerikan dan tahu-tahu menyambarlah angin yang
dahsyat dari luar jendela.
Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja di depan jendela muncul bayangan seorang nenek berpakaian
putih dan berwajah pucat seperti mayat dan yang mengulurkan tangan kanannya yang berbentuk bagaikan
cakar burung! Nenek itu sambil mengeluarkan suara lengkingan tinggi mencakar ke arah dada Kwan Cu.
Pemuda ini terkejut sekali dan cepat melompat mundur dengan muka pucat. Serangan tadi betul-betul
berbahaya! Melihat cara nenek ini menyerang, agaknya nenek ini adalah seorang ahli ilmu silat Eng-jiauwkang
(Ilmu silat Cengkeraman Garuda). Cengkeraman itu tidak saja dapat merobek kulit daging bahkan
akan dapat menghancurkan batu karang yang keras!
“Suthai, harap maafkan teecu,” kata Kwan Cu cepat-cepat, “teecu telah berlaku lancang berani memasuki
rumah Suthai.” Melihat cara nenek itu berpakaian, dia mengira bahwa nenek itu tentulah seorang pertapa,
maka dia menyebut suthai.
“Apakah kau mau mencuri daun-daun Liong-cu-hio (Daun mustika naga) ini?” nenek itu bertanya.
Sepasang matanya berputar-putar dan mulutnya menyeringai. Suaranya tinggi dan kecil seperti suling
ditiup.
“Tidak, tidak, Suthai. Teecu mana berani mencuri daun-daun mukjijat itu? Bahkan untuk menyentuh pun
teecu tidak berani, setelah melihat betapa daun-daun itu dapat membuat hangus tubuh binatang-binatang
jangkerik.”
Nenek itu tertawa dengan suara menyeramkan. “Hi-hi-hi! Kau telah melihatnya, bukan? Hi-hi-hi, kau
mengetahui kelihaiannya? Kalau kau menyentuh daunnya, tanganmu akan menjadi hangus, hi-hi-hi!”
Kemudian nenek itu memandang kepada ulat-ulat yang masih tertancap oleh jarum-jarumnya. “Ha, ulat-ulat
yang menjemukan. Hanya binatang ini saja yang sanggup makan Liong-cu-hio dengan enaknya. Akan
kubasmi semua ulat ini!”
Dia mencabuti jarum-jarumnya dan melepaskan ulat-ulat itu dari jarum-jarum, kemudian memasukkan tiga
ekor ular itu ke dalam mulutnya yang ompong! Dengan enaknya dia mengunyah tubuh ulat-ulat yang
kehijauan itu dan ada air yang kehijauan mengalir pada pinggir bibirnya terus ke dagu.
Kwan Cu bergidik menyaksikan kejadian yang amat mengerikan hati ini. Tak terasa pula dia menelan ludah
melihat betapa nenek itu makan ulat hidup demikian enaknya, bukan sekali-kali karena dia ingin dan timbul
seleranya. Dia ingin muntah dan terpaksa menelan ludah untuk menahan keinginannya itu.
“Kau ingin makan ulat ini?” tanya nenek itu kepada Kwan Cu.
Pemuda itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. “Tidak, tidak, terima kasih banyak, Suthai.
Tadi teecu sudah makan di dusun Kim-le-pang.”
Nenek itu kembali memandangnya dengan mata yang aneh.
“Kau nelayan?”
“Bukan, Suthai. Teecu adalah seorang perantau yang sengaja datang ke tempat ini untuk berusaha
menyewa sebuah perahu.”
“Mau menyewa perahu mengapa datang ke sini? Apakah kau belum mendengar bahwa siapa yang
memasuki rumahku ini harus mati?”
Setelah berkata demikian, dengan gerakan yang sangat gesit, nenek itu melompat dari jendela, memasuki
rumah itu dan langsung menyerang Kwan Cu! Serangannya ini tak salah lagi adalah Eng-jiauw-kang
seperti yang pernah Kwan Cu pelajari dari suhu-nya. Maka dengan cepat dia melompat mundur sambil
dunia-kangouw.blogspot.com
mengelak.
“Suthai, maafkan teecu. Teecu datang tidak dengan maksud buruk. Harap suka maafkan kelancangan
teecu.”
“Hi-hi-hi, kau dapat mengelak dari seranganku? Hendak kulihat sampai berapa lama kau dapat bertahan!”
Setelah berkata demikian, nenek itu terus mendesak dengan serangan-serangannya yang lihai.
Terpaksa Kwan Cu melayaninya dan pemuda ini pun lantas mengeluarkan ilmu silatnya untuk
mengimbangi serangan nenek itu. Kalau dia hanya mempertahankan diri, banyak bahayanya dia akan
terluka. Kedua tangan nenek itu sungguh berbahaya sekali, kukunya panjang dan tangannya amat
kuatnya, tanda bahwa tenaga lweekang nenek itu sudah tinggi.
“Hi-hi-hi, kau mampu melawanku, benar-benar mengagumkan! Ehh, ilmu silatmu hampir sama dengan Paibun
Tui-pek-to!”
Kwan Cu terkejut. Memang dalam menghadapi serangan nenek itu, dia tadi bermain ilmu silat Pai-bun Tuipek-
to yang mempunyai daya tahan kuat sekali. Bagaimana nenek aneh ini dapat mengenal ilmu silatnya?
“Memang teecu mainkan Pai-bun Tui-pek-to, Suthai. Teecu belajar dari Ang-bin Sin-kai guruku!”
Ucapan ini sengaja dia keluarkan dengan harapan kalau-kalau nenek itu telah mengenal suhu-nya dan
dapat menghentikan serangannya. Akan tetapi, tiba-tiba nenek itu malah menyerang makin hebat lagi.
“Bagus, hendak kulihat sampai di mana kepandaian murid Ang-bin Sin-kai si pengemis jembel!”
Menghadapi serangan Eng-jiauw-kang yang dilakukan dengan gerakan lincah dan cepat sekali, Kwan Cu
menjadi kewalahan dan terpaksa dia mengeluarkan sulingnya. Kini dia mainkan ilmu pedang Hun-kai Kiamhoat
dengan sulingnya, juga dia membalas dengan serangan yang hebat sekali.
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras dan muncullah seorang pemuda tinggi besar dari pintu yang tidak
berdaun itu. Pemuda ini membawa sebatang dayung yang panjang dan lebar.
“Ibu, siapakah sahabat yang gagah perkasa ini?” tanya pemuda itu sambil memukulkan dayungnya pada
tanah sehingga tergetarlah rumah itu.
Kwan Cu terkejut sekali. Pemuda ini memiliki tenaga gwakang yang demikian besarnya, kalau dia ikut
maju, dia akan menghadapi dua orang lawan yang sama sekali tak boleh dipandang ringan!
Akan tetapi, tiba-tiba nenek yang aneh itu tertawa berkikikan dan justru menghentikan serangannya.
“Kong Hoat, inilah pemuda yang ada harapan,” katanya kepada pemuda yang ternyata adalah puteranya
dan bernama Kong Hoat itu. “Dia inilah murid Ang-bin Sin-kai, jago tua yang amat kukagumi.”
Kwan Cu cepat menoleh. Dia melihat seorang pemuda tinggi besar yang berwajah gagah sekali. Usianya
hanya lebih dua tahun dari padanya, akan tetapi mempunyai potongan tubuh yang lebih besar darinya. Dia
kagum sekali melihat pemuda ini yang tertawa-tawa seperti orang yang selalu gembira.
Dengan amat hormat, Kwan Cu menjura kepada pemuda itu dan kepada nenek yang tadi menyerangnya.
“Aku yang bodoh bernama Lu Kwan Cu, murid dari Ang-bin Sin-kai. Harap dimaafkan apa bila tanpa
mendapat ijin, aku berani memasuki rumah ini. Kedatanganku sebetulnya atas petunjuk para nelayan di
dusun Kim-le-pang, karena aku mencari sewaan sebuah perahu. Besar harapanku akan mendapat
pertolongan dari Ji-wi yang mulia.”
“Kau mencari perahu, sahabat? Untuk dipakai ke manakah?” Kong Hoat bertanya sambil memandang
tajam. Suara pemuda ini besar dan parau dan pandangan matanya sangat jujur.
Kwan Cu merasa tidak enak kalau berbohong, akan tetapi dia pun tidak mungkin dapat menceritakan
rahasia dan cita-citanya.
“Sebenarnya aku bermaksud untuk menyeberangi laut dan akan melakukan perantauan ke pulau-pulau
dunia-kangouw.blogspot.com
yang berada di tengah laut. Aku mendengar dari guruku bahwa beberapa pulau itu mengandung rahasiarahasia
yang menarik hati, dan sebagai seorang pemuda, aku amat tertarik dan ingin sekali menyaksikan
dengan mata sendiri.”
Kong Hoat melemparkan dayungnya ke sudut kemudian pergi duduk di atas sebuah batu karang yang
berada di dalam rumah.
“Aneh, aneh sekali! Apakah kau tahu bahwa pulau-pulau itu didiami oleh makluk-makhluk aneh yang amat
berbahaya? Jangankan kau seorang diri yang masih muda, ibuku sendiri pun tidak berani pergi ke pulaupulau
itu.”
“Siapa yang pergi ke pulau-pulau itu, sama halnya dengan mencari kematiannya sendiri. Hi-hi-hi, murid
Ang-bin Sin-kai, kau benar-benar lucu dan aneh, bahkan lebih aneh dari pada Ang-bin Sin-kai sendiri. Kau
mati sih tidak apa, akan tetapi sayang sekali karena kau masih muda dan juga tampan serta gagah.
Batalkan saja kehendakmu itu.”
Mendengar ucapan ini, Kwan Cu maklum bahwa nenek itu sama sekali tidak gila, apa lagi puteranya, walau
pun pakaian puteranya itu tidak karuan dan amat bersahaja, yakni celana pendek sebatas lutut dan baju
yang hanya sebatas siku saja lengannya.
“Terima kasih atas nasehatmu, Suthai dan kau juga, saudara. Tapi, justru keanehan dan bahaya itulah
yang menarik hatiku untuk mengunjunginya. Apa bila sekiranya Ji-wi tidak berani mengantarku, aku akan
meminjam perahu Ji-wi saja atau menyewanya, dan aku akan mendayungnya seorang diri ke tempat itu.”
Kong Hoat bangkit berdiri dan membanting-banting kedua kakinya di atas tanah. Kembali terasa tanah
bergoyang-goyang saking kerasnya tenaga bantingan kaki pemuda tinggi besar ini.
“Itulah, itulah! Sudah berkali-kali aku rindu akan perantauan yang banyak bahayanya, akan tetapi ibu...”
“Kong Hoat! Siapa yang melarang kau pergi? Pergilah kalau kau memang sudah tega meninggalkan ibumu
mati kesunyian.”
Kong Hoat tertawa dan aneh sekali! Biar pun mulutnya tertawa, namun kedua matanya mengeluarkan air
mata bercucuran! Kwan Cu berdiri bengong melihat keanehan ini. Jika tidak gila, mengapa dia tertawa
sambil mengucurkan air mata?
“Ibu, kau lucu sekali. Kau melepaskan anakmu, akan tetapi mengikat dua kakiku dengan omongan itu. Aku
mana bisa meninggalkan ibu? Biar mati aku tidak mau meninggalkan ibu tercinta!”
Dan sekarang nenek itulah yang menangis terisak-isak, lalu menghampiri puteranya yang segera di
peluknya.
“Kong Hoat, Kong Hoat, kau puteraku yang paling baik…”
Terharu hati Kwan Cu menyaksikan cinta kasih seorang ibu dan bakti seorang putera terhadap ibunya.
“Saudara Kwan Cu, apa bila kau nekat hendak melakukan perjalanan berbahaya itu, kau pakailah
perahuku.”
“Aku akan meyewanya, di sini aku membawa sekantong uang emas untuk menyewa perahu itu…”
Tiba-tiba saja nenek itu melompat dan menyerangnya dengan cengkeraman tangannya. Kwan Cu cepat
mengelak dan Kong Hoat berseru,
“Ibu jangan…!”
Ibunya menarik kembali seranganya dan pemuda tinggi besar itu berkata kepada Kwan Cu, “Saudara, kau
menghina kami! Baiknya aku ingat bahwa kau bermaksud baik, kalau tidak tentu aku akan membantu ibuku
membunuhmu karena kau sudah menghina kami orang-orang miskin.”
“Maaf, maaf, aku tidak bermaksud menghina...” kata Kwan Cu kaget sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kami tahu, dan karena itu sudahlah, jangan kita bicara lagi tentang sewa perahu. Aku memberikan perahu
kami padamu dan habis perkara! Besok pagi-pagi sekali, kau boleh berangkat dan malam ini biarlah kita
bercakap-cakap sambil menunggu datangnya fajar. Berangkat pada waktu fajar menyingsing baik sekali,
angin tenang dan tidak ada ombak. Aku pun baru saja kembali dari mencari ikan dan mari kita makan ikan
yang kudapat dari laut.”
Kwan Cu tidak berani banyak omong lagi, khawatir kalau-kalau kesalahan bicara lagi. Kong Hoat lalu
berlari keluar dan tak lama kemudian dia kembali membawa seekor ikan yang sebesar paha.
Ikan ini aneh sekali, badannya seperti ikan biasa yang bersisik besar-besar warna merah, akan tetapi
kepalanya bulat dan kedua matanya berhimpitan di atas sedangkan mulutnya berada di bawah. Kepala
ikan ini seperti kepala kucing, akan tetapi warnanya aneh dan mengingatkan orang akan muka atau kepala
seekor binatang suci Kilin.
“Ha, Kong Hoat, anak baik. Jadi kau berhasil menangkapnya?”
“Sesudah berjuang mati-matian dari pagi sampai malam, ibu,” jawab Kong Hoat sambil tertawa bergelak
dan kembali dari kedua matanya bercucuran air mata!
Kwan Cu menjadi bengong. ”Ehh, saudara Kong Hoat, maafkan aku. Apakah kau mau artikan bahwa
sudah sehari semalam kau berlayar mencari ikan hanya untuk menangkap seekor ikan aneh ini?”
Kong Hoat dan ibunya saling pandang, kemudian tertawa bergelak-gelak dan kelihatan geli sekali.
“Saudara Kwan Cu, nasibmu memang baik maka datang-datang kau mendapat suguhan ikan ini.
Ketahuilah, di seluruh laut kuning barangkali ikan seperti ini hanya ada beberapa puluh ekor saja. Dia
disebutnya ikan Kilin dan selain sukar didapatkan, juga amat sukar ditangkap. Hampir aku mati kehabisan
napas dalam air ketika aku berusaha menangkap ikan ini, padahal dia telah terkena tusukan tombakku.”
“Mengapa kau mati-matian menangkapnya? Apakah karena dagingnya enak sekali?”
Kembali ibu dan anak itu tertawa bergelak, “Ahh, orang kota hanya memikirkan tentang kelezatan
makanan, sama sekali tidak memikirkan khasiatnya.”
Mendengar ini merahlah wajah Kwan Cu
“Maafkan aku yang bodoh ini,” kata Kwan Cu. “Sesungguhnya bukan karena aku terlalu temaha akan
makanan enak, hanya karena aku sama sekali belum mengerti ikan. Harap Ji-wi (kalian berdua) sudi
memberi penjelasan tentang ikan Kilin ini dan segala keanehan ikan ini.”
Setelah tertawa geli tanpa bermaksud menghina tamunya, pemuda tinggi besar itu lalu berkata,
“Saudara Kwan Cu, ketahuilah bahwa ikan Kilin ini terdapat di sekitar Laut Po-hai terus ke timur. Akan
tetapi, jarang sekali ikan Kilin mau berenang hingga ke pinggir pantai dan merupakan hal yang sangat
langka bagi seorang nelayan untuk mendapatkan ikan ini. Oleh karena itu ketika beberapa lama yang lalu
aku melihat seekor ikan Kilin berenang di pinggir perahu, aku terkejut dan tidak pernah dapat tidur nyenyak
sebelum aku berhasil menangkapnya.”
“Kalau begitu memang ikan yang aneh dan sukar sekali didapat,” kata Kwan Cu sambil tersenyum melihat
sikap pemuda nelayan itu yang bercerita dengan gaya lucu. ”Akan tetapi, apakah khasiat dari daging ikan
ini?”
Pemuda yang bernama Kong Hoat itu menengok kepada ibunya dan bertanya, ”Bolehkah aku
menceritakannya ibu?”
Nenek yang berwajah mengerikan itu mengangguk. “Tentu saja boleh. Ia adalah seorang pemuda gagah
yang berbakat baik dan sebagai murid Ang-bin sin-kai, dia bahkan berhak merasakan daging ikan Kilin.
Kau berceritalah sementara aku mengurus ikan ini.”
Setelah berkata demikian, nenek itu lalu mengangkat ikan tadi, dibawanya ke dapur. Ada pun Kong Hoat
tertawa-tawa, lalu berkata kepada Kwan Cu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Saudara yang baik, maafkan kalau tadi aku ragu-ragu karena aku harus minta ijin dari ibuku lebih dulu
sebelum membuka rahasia tentang ikan itu.”
“Tidak apa, saudara Kong Hoat. Aku bahkan kagum sekali melihat sikapmu pada ibumu, sebagai sikap
seorang hauw-ji(anak berbakti) tulen!”
“Mendiang susiok (paman guru),” kata Kong Hoat tanpa memperdulikan pujian Kwan Cu, “merupakan
seorang ahli dalam ilmu berenang dan menyelam. Dan dari susiok inilah aku mendengar bahwa untuk bisa
menjadi ahli dalam air, maka obat yang paling baik adalah ikan Kilin. Dagingnya dapat menguatkan tubuh
dan kalau lemaknya dimakan, membuat kulit kita tahan akan tekanan air dingin dan gigitan air garam.
Tulang-tulang siripnya jika dikeringkan kemudian dijadikan bubuk, dapat menjadi obat yang amat mujarab
bagi kita sehingga tulang-tulang kaki dan tangan kita menjadi amat kuat untuk memukul air dalam
berenang. Lemaknya dapat dijadikan minyak dan apa bila kita menggunakan minyak ini untuk membasahi
kulit, maka tubuh kita akan menjadi licin sehingga memudahkan kita bergerak di dalam air. Yang hebat
adalah paru-parunya, karena paru-paru ini merupakan obat sehingga kita akan kuat bertahan lama-lama di
dalam air tanpa kehabisan napas.”
Akan tetapi Kwan Cu tidak tertarik oleh semua hal ini. Memang dia tidak tertarik akan kepandaian di dalam
air. Sebagai seorang yang biasa merantau di darat, tentu saja dia tidak begitu tertarik seperti Kong Hoat
yang memang semenjak kecil selalu bermain-main di dekat air.
Betapa pun juga, ketika daging ikan Kilin disuguhkan, Kwan Cu makan beberapa potong dan merasa
betapa daging itu mendatangkan hawa hangat di dalam perut dan dadanya. Tahulah dia bahwa memang
daging ikan ini mengandung khasiat yang sangat baik bagi peredaran darahnya, sehingga dia menjadi
girang dan menghaturkan terima kasihnya.
Kini mereka bercakap-cakap bertiga. Dalam percakapan ini Kwan Cu tahu bahwa wanita tua itu adalah
seorang tokoh kang-ouw yang sangat terkenal dan yang namanya pernah disebut-sebut oleh suhu-nya,
yakni yang disebut-sebut Liok-te Mo-li (Iblis Wanita Bumi). Ada pun Kong Hoat adalah putera tunggalnya
yang dididik ilmu silat olehnya semenjak kecil sehingga pemuda itu pun memiliki kepandaian yang tinggi.
“Saudara Kwan Cu, sungguh amat mengherankan hati kami. Engkau yang masih begini muda mempunyai
keinginan mengarungi samudra, berkelana dengan perahu di daerah yang terkenal amat berbahaya ini,
sebenarnya kau mencari apakah?” tanya Kong Hoat.
Kwan Cu tersenyum.
Dia merasa tidak enak untuk membohong kepada orang-orang yang jujur dan baik ini, akan tetapi untuk
berkata terus terang bahwa dia mencari kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng, dia pun tidak berani. Suhu-nya
sudah memesan kepadanya dengan sungguh-sungguh agar dia jangan sekali-kali menceritakan kepada
siapa pun juga tentang kitab itu. Maka dia berkata,
“Saudara yang baik, sebagai seorang pemuda aku hanya ingin meluaskan pengetahuan saja, hendak
melihat apakah yang terdapat di sebelah sana samudera yang luas ini.”
Kong Hoat memandang kepadanya dengan kagum dan dari pandangan mata ini tahulah Kwan Cu bahwa
sebetulnya pemuda itu ingin pergi seperti dia. Tak terasa pula fajar telah menyingsing dan Kwan Cu segera
berdiri lalu berpamit kepada tuan rumah.
“Nanti dulu, kau boleh mempergunakan dayung simpananku yang paling baik,” kata Kong Hoat yang
segera berlari ke belakang. Tak lama kemudian dia kembali sambil membawa sebatang dayung berwarna
hitam yang panjang dan berat.
“Dayung ini masih jauh lebih baik dari pada lima batang dayung biasa.” kata Kong Hoat gembira, “Kau
seorang pemuda gagah perkasa, maka sangat cocok memegang dayung ini, saudara Kwan Cu.”
Kwan Cu menerima dayung itu dan ternyata bahwa dayung itu terbuat dari baja hitam yang kuat sekali.
Selain dapat digunakan sebagai dayung, juga dapat digunakan sebagai senjata yang boleh diandalkan.
“Terima kasih saudara Kong Hoat. Kau baik sekali dan mudah-mudahan saja aku akan mendapat
kesempatan membalas budimu yang baik ini,” kata Kwan Cu girang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kong Hoat lalu memberikan perahunya kepada Kwan Cu, bahkan membantu Kwan Cu mengangkat perahu
itu ke tepi pantai dan menurunkannya di air. Matahari baru nampak sinarnya yang kemerahan pada
permukaan laut, akan tetapi raja siang itu sendiri belum memperlihatkan dirinya yang agung.
“Ingat, saudara Kwan Cu, dalam bulan ini angin bertiup dari selatan menuju ke utara dan ombak yang
paling dahsyat terdapat di mulut Laut Po-hai. Bagian barat tidak berbahaya akan tetapi kalau kau
memasuki Laut Po-hai, hati-hati jangan kau membiarkan perahumu mendekati kepulauan yang berada di
sebelah utara dekat mulut Sungai Yalu, karena di situ terdapat pulau-pulau aneh yang amat berbahaya.
Selain itu, terdapat pula batu-batu karang yang sukar dilalui perahu. Itu semua masih belum hebat, karena
sebelum tiba di daerah berbahaya itu, kau akan berhadapan dengan ikan-ikan hiu yang sangat liar dan
ganas.”
“Terima kasih atas segala nasehatmu, saudara Kong Hoat, akan kuingat baik-baik semua nasehat itu,”
jawab Kwan Cu.
Tiba-tiba nenek tua Liok-te Mo-li datang berlari-larian. Tangannya membawa bungkusan kuning dan ia
berkata kepada Kwan Cu, “Kau seorang pemuda yang berani, dan sebagai tamuku, sudah semestinya jika
aku memberi sedikit bekal. Nah, kau terimalah beberapa helai daun Liong-cu-hio (Daun Mustika Naga) ini
sebagai bekal di tengah pelayaranmu yang berbahaya itu.” Sambil berkata demikian, nenek itu
memberikan bungkusan kuning kepada Kwan Cu.
Kwan Cu menerimanya sambil menghaturkan terima kasih. Akan tetapi ketika dia teringat akan nama daun
itu sebagai daun ajaib, yang membunuh jangkerik-jangkerik malam tadi, dia menjadi ngeri.
“Maaf, Suthai, biar pun teecu berterima kasih sekali, akan tetapi tolonglah menerangkan kepada teecu
yang bodoh tentang khasiat daun-daun ini untuk teecu. Terus terang saja teecu masih merasa ngeri apa
bila melihat kelihaian daun ini. Sekarang Suthai memberi bekal ini, bagaimanakah teecu harus
mempergunakannya?”
Liok-te Mo-li tertawa berkikikan. ” Memang, siapa orangnya yang tak akan merasa ngeri? Memegang saja
tanganmu akan menjadi hangus! Akan tetapi ada pula daya penolaknya, anak muda, sebelum kau
memegang daun-daun ini, kau basahi kedua tanganmu dengan air laut lebih dulu. Air garam itu mempunyai
daya untuk menolak racun yang keluar dari daun-daun itu. Pada waktu kau menghadapi bahaya dari ikanikan
buas, kau lemparkan saja daun-daun ini ke dalam air dan karena air laut menutupi racun daun, tentu
ikan-ikan itu tidak mengetahui akan bahayanya daun-daun ini sehingga mereka akan menelannya mentahmentah.
Dan jika mereka kemasukan daun-daun ini di dalam perutnya, ha-ha-ha, kau akan melihat pesta
yang hebat akan tetapi terhindar dari ancaman ikan-ikan itu. Nah, selamat kau akan berlayar, anak muda.
Kelak apa bila bertemu dengan gurumu, katakan bahwa Liok-te Mo-li masih hidup dan mengharapkan
dapat bertemu dengan dia.” Sambil tertawa-tawa nenek itu lau berlari pergi meninggalkan Kwan Cu dan
Kong Hoat.
“Selamat saudara Kwan Cu. Ternyata ibuku amat suka kepadamu, kalau tidak demikian tidak mungkin kau
akan diberi daun Liong-cu-hio itu. Kau tahu, dia amat sayang kepada daun-daun aneh itu dan agaknya dia
akan rela mengorbankan nyawanya untuk menjaga daun-daun itu. Sekarang atas kehendak sendiri dia
memberi daun-daun kepadamu, itu pertanda bahwa kita memang berjodoh. Harap kau berhasil dengan
usahamu, saudaraku yang baik.”
Kwan Cu terkejut dan memandang dengan mata mengandung penuh pertanyaan kepada pemuda tinggi
besar itu. Kong Hoat tertawa bergelak dan kembali sepasang matanya mengucurkan air mata!
“Jangan heran, kawanku. Kami bukanlah orang jahat dan juga orang-orang terlalu bodoh. Ibu dan aku
sudah dapat menduga bahwa kau tentu mencari sesuatu atau setidaknya mengandung maksud tertentu
sehingga kau berani berlayar menuju ke pulau-pulau aneh itu. Kalau tidak demikian, sungguh hanya
seorang yang miring otaknya yang mau pergi berlayar ke sana tanpa tujuan tertentu. Dan kami tahu betul
bahwa kau tidak berotak miring, bahkan cerdik sekali.”
“Akan tetapi, alasan itu tidak cukup untuk membuat kalian menduga bahwa aku pergi dengan tujuan
sesuatu,” Kwan Cu membantah.
“Sahabat baik, kau kira kami orang-orang yang tidak bertelinga? Sudah biasa bahwa di tempat-tempat
yang aneh dan berbahaya terdapat pula barang-barang yang berbahaya dan aneh. Mustika yang paling
baik adalah mustika naga. Gigi yang terbaik adalah gigi harimau, sedangkan tanduk yang paling kuat
dunia-kangouw.blogspot.com
adalah tanduk di mulut gajah. Kami sudah mendengar bahwa di pulau-pulau yang amat aneh dan
berbahaya itu terdapat barang-barang aneh dan amat berharga. Aku sendiri kalau tidak ditahan oleh ibuku,
sudah lama menyelidiki keadaan pulau-pulau aneh itu.”
Ketika mengeluarkan kata-kata ini, Kong Hoat nampak kecewa sekali. Akan tetapi dia cepat-cepat
menyambungnya, ”Apa pun juga yang kupikirkan, memang ibu lebih benar. Kepandaianku belum cukup
tinggi untuk dapat kugunakan menyelidiki pulau-pulau yang berbahaya itu, berbeda dengan kau, saudara
Kwan Cu. Ilmu kepandaianmu amat tinggi, bahkan lebih tinggi dari pada kepandaian ibu sendiri, maka
hanya kaulah yang kiranya akan dapat mendatangi pulau itu dengan berhasil.”
“Kau terlalu memujiku, saudara Kong Hoat. Akan tetapi biarlah pujianmu itu kuangggap sebagai doamu
dan terima kasih banyak atas keramahanmu dan juga sampaikan terima kasihku kepada ibumu, mudahmudahan
kita akan dapat bertemu kembali kelak.”
Setelah berkata demikian, Kwan Cu mulai mendayung perahunya ke tengah, dipandang oleh Kong Hoat
yang berdiri bagaikan raksasa muda, dengan kedua kakinya dipentang lebar dan kedua tangannya di
pinggang. Pemuda ini merasa iri hati dan ingin sekali dia dapat mengggantikan Kwan Cu berlayar menuju
pulau-pulau yang penuh rahasia itu.
Dayung pemberian Kong Hoat memang baik sekali. Dayung ini panjang dan berat, ada pun ujungnya lebar
serta cekung sehingga sekali saja mendayung, perahu bergerak maju dengan pesat. Kwan Cu merasa
gembira sekali dan setelah beberapa kali menggerakkan dayungnya, perahunya meluncur bagaikan anak
panah terlepas dari busurnya.
Pemandangan indah sekali. Permukaan air tenang laksana kaca, diam tak bergerak dan berkilauan,
berwarna hijau kemerahan karena sinar matahari yang merah terbayang di permukaan air. Air yang
diterjang oleh kepala perahunya memecah menjadi dua seperti sutera digunting. Tenaga dayungnya
demikian kuat sehingga air pecah oleh perahunya tanpa mengeluarkan suara. Perahunya meluncur cepat
tanpa bergoyang, nyaman dan enak sekali.
Kehidupan di laut nampak mati. Tiada seekor pun burung laut terbang di atas air, tiada seekor pun ikan
nampak bergerak pada permukaan laut. Benar-benar hening dan sunyi menimbulkan suasana yang
menyeramkan, seakan-akan laut itu berubah menjadi alam maut yang tiada ujungnya.
Namun Kwan Cu tidak merasa takut. Biar pun dia tidak pernah berlayar dan tidak pernah berada di laut,
hatinya hanya berdebar penuh ketegangan. Dia teringat bahwa dulu dia dianggap sebagai ‘anak laut’ oleh
Ang-bin Sin-kai dan Jeng-kin-jiu Kak Thong Taisu, dua kakek yang menemukan dia terlempar oleh ombak
samudra.
Agaknya kenangan inilah yang membuat Kwan Cu selalu berdebar aneh apa bila dia teringat akan laut.
Kini setelah dia mendapatkan dirinya terapung di atas laut seorang diri di dalam perahunya, dia merasa
seakan-akan dia sudah kembali ke alam asalnya dari mana dia datang!
Sesudah matahari mulai nampak di permukaan laut, berupa bola besar berwarna merah yang bernyalanyala,
mulailah tampak kehidupan. Air yang tadinya ‘tidur’ mulai bergerak sedikit dan di kanan kiri
perahunya mulai terlihat air itu berkeriput, mulai terdengar suara mencicit dari burung-burung laut yang
berterbangan di atas air, menyambar-nyambar ke air mencari mangsa pengisi perut. Mulai terdengar air
berkecipak kalau ada ikan yang mulai ‘mandi’ cahaya matahari di permukaan air. Mulai kelihatan
kehidupan di dalam air melalui sinar matahari, karena kini makin banyaklah kelihatan ikan berenang ke
sana ke mari seperti kesibukan orang-orang yang bangun dari tidur dan mulai dengan pekerjaan masingmasing.
Melihat semua ini, Kwan Cu tertarik sekali dan dia menghela napas berulang-ulang. Dia pun teringat akan
ajaran-ajaran dari Gui Tin atau Gui-siucai yang sudah meninggal dunia. Gurunya itu dahulu sering kali
mengajarkannya mengenai filsafat hidup, tentang ujar-ujar para cerdik pandai di jaman dahulu.
Alam itu kekal abadi
karena hidup bukan untuk diri pribadi.
Ucapan di atas itu dari Nabi Lo Cu dan kini Kwan Cu menyaksikan betapa hebatnya dan besarnya alam
dunia. Hidup dekat dengan masyarakat, yakni dengan sesama manusia, ucapan ini takkan ada artinya atau
setidaknya takkan kelihatan isi atau inti sarinya. Ini dikarenakan manusia memang hidup penuh nafsu dan
dunia-kangouw.blogspot.com
selalu melakukan sesuatu dengan tujuan demi kepentingan diri pribadi. Mementingkan diri pribadi inilah
sumber dari pada segala mala petaka yang terjadi di antara manusia.
Kini, setelah berada seorang diri di atas lautan, mata Kwan Cu terbuka dan dia melihat serta mengakui
kebesaran alam yang kekal abadi, melihat pula apa maksud kata-kata pujangga atau Nabi Lo Cu tentang
alam yang hidup bukan untuk kepentingan diri pribadi.
Lihat saja matahari itu. Dia muncul dan tenggelam sesuai dengan tugasnya yang sudah ditentukan oleh
Yang Maha Kuasa. Ia melakukan tugasnya, semata-mata untuk memberi atau menjadi berguna bagi tiap
makhluk yang membutuhkannya, sedikit pun tak pernah meminta, itulah sang matahari.
Lihatlah lautan bebas, pusat kehidupan, tidak saja pusat kehidupan berjuta macam ikan dan benda hidup
lainnya, juga pusat kehidupan manusia dan makluk di darat. Dari laut datangnya zat kehidupan, karena dari
lautlah datangnya air di darat. Akan tetapi, seperti matahari sifatnya, laut pun tidak pernah meminta, hanya
memberi sifat alam yang suci.
Alam memberi, memberi dan memberi, tak pernah meminta. Segala sesuatu di alam ini dapat
dipergunakan oleh manusia, bahkan sesudah manusia mati, bumi masih memberi tempat untuk
menyelimuti jenazahnya!
Kwan Cu tersenyum melihat burung beterbangan di angkasa dan ikan-ikan berenang di dalam air dengan
bebas dan senangnya. Mengapa justru burung diberi sayap sehingga pandai terbang di angkasa
sedangkan ikan diberi kesanggupan untuk hidup di dalam air? Alangkah besar perbedaan antara dua jenis
binatang ini dan mereka ini keduanya adalah makluk hidup!
Alangkah besar kekuasaan Thian, alangkah indahnya alam beserta isinya, alangkah gaib dan penuh
rahasia mukjijat yang luar biasa hebatnya. Semua ini adalah pekerjaan Thian. Dan dia, seorang manusia,
seorang makluk jenis lain pula, kini menjadi saksi atas segala keindahan itu.
Sambil menikmati kehebatan pembukaan kebesaran alam di depan matanya, Kwan Cu melanjutkan
gerakan dayungnya, menuju ke arah kelompok pulau terdekat yang nampak dari sana sebagai bayangbayang
membiru. Hatinya penuh diliputi kesegaran semangat dan kegembiraan. Dorongan aneh membuat
dia demikian girangnya sehingga pemuda ini sambil mendayung perahunya lalu bernyanyi!
Menjelang tengah hari belum juga perahunya tiba di kelompok pulau yang semenjak pagi tadi sudah
kelihatan. Kwan Cu terheran-heran. Pulau-pulau itu tidak juga berubah.
Apakah perahunya tidak bergerak maju? Tidak mungkin, pikirnya. Memang karena di seluruh penjuru
perahu hanya kelihatan air belaka, nampaknya perahu itu tidak bergerak. Akan tetapi kalau dilihat air yang
terpecah oleh kepala perahunya, jelas kelihatan bahwa perahunya bergerak dengan pesat ke depan.
Inilah keanehan pertama yang dialami oleh Kwan Cu. Sebetulnya kelompok pulau-pulau itu masih amat
jauh. Hanya sinar matahari yang menipunya sehingga kelihatannya amat dekat kelompok pulau itu.
Ia merasa penasaran dan mengerahkan tenaganya, mendayung lebih cepat lagi ke arah kelompok pulau
itu. Ia memang tidak tahu di mana letaknya pulau yang dijadikan tempat penyimpanan kitab rahasia Imyang
Bu-tek Cin-keng. Di dalam kitab sejarah peninggalan Gui-suicai hanya ditulis bahwa kitab rahasia itu
disimpan di dalam sebuah pulau kosong, kecil dan berbentuk bundar yang ditumbuhi pohon-pohon
berdaun putih, yang terdapat di antara pulau-pulau besar di lautan ini. Akan tetapi, Kwan Cu mengambil
keputusan untuk mengunjungi semua pulau yang berada di situ dan akhirnya tentu dia akan dapat mencari
pulau kecil bundar yang ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih itu.
Akan tetapi sesudah matahari condong ke barat, terjadi keanehan kedua. Apa bila tadi kelompok pulaupulau
itu tak pernah juga kelihatan semakin mendekat biar pun dia telah mendayung perahunya secara
cepat sekali selama setengah hari, kini tiba-tiba kelompok pulau itu bahkan menghilang dari pandangan
mata!
Kwan Cu menghentikan gerakan dayungnya kemudian memandang ke sekeliling dengan bingung. Tidak
salah lagi tadi kelompok pulau itu berada di depan, mengapa kini tiba-tiba lenyap? Sebenarnya hal ini juga
akibat permainan matahari yang membuat kepulauan itu seakan lenyap ditelan uap putih yang membubung
naik dari laut sehingga pandang mata pemuda itu tak dapat menembusnya dan membuat kelompok
kepulauan itu tidak terlihat olehnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwan Cu teringat akan kata-kata Kong Hoat tentang keanehan lautan ini, karena itu dia pun tersenyum dan
berkata, “Memang aneh sekali. Tetapi biarlah, aku harus melanjutkan dan mengambil jurusan yang
berlawanan dengan matahari, sebab siapa tahu kalau-kalau kepulauan tadi akan mucul pula setelah puas
menggodaku.”
Pemuda yang tabah ini lalu mendayung terus dan mulai berpeluh karena matahari telah membakar
kulitnya. Tiba-tiba terdengar suara yang aneh dan gemuruh yang mengerikan dari arah kiri.
Kwan Cu yang tak biasa berlayar, tidak tahu suara apakah itu. Ia menghentikan gerakan dayungnya, akan
tetapi setelah dia memandang ke sekelilingnya dia tak melihat sesuatu, hanya nampak awan-awan hitam di
arah selatan dan timur. Kembali terdengar suara itu, kini lebih hebat lagi dan Kwan Cu merasa seakanakan
suara itu timbul dari dasar laut.
“Hebat! Suara apakah itu? Suara Hai-liong-ong (Naga Raja Laut) ataukah suara makhluk lain yang hebat?
Hemm, benar-benar luar biasa hebat alam ini, besar dan berkuasa!”
Dia merasa dirinya amat kecil tak berarti dan lambat-laun timbul juga kengerian di dalam hatinya,
sesungguh pun tidak boleh dibilang bahwa Kwan Cu merasa takut. Namun, dia merasa lebih tenang andai
kata Ang-bin Sin-kai gurunya berada di situ bersamanya pada saat itu.
Dia teringat akan suhu-nya dan diam-diam dia tertawa dengan hati penuh kasih sayang terhadap suhu-nya
itu. Suhu-nya seorang manusia aneh yang kuat dan hebat bagaikan lautan ini. Kembali terdengar suara
gemuruh dan kini suara ini terdengar begitu hebat sehingga Kwan Cu tidak tahan untuk tidak menengok ke
belakang.
Mendadak anak muda ini memandang dengan mata terbelalak ke arah kiri. Dari tengah lautan yang tidak
bertepi itu dia melihat sesuatu yang tinggi dan panjang sedang datang bergulung kepadanya. Sesuatau
yang nampak belang-belang putih hitam, seperti seekor naga.
“Hai-liong-ong…,” kata suara hatinya penuh kengerian.
Memang hebat sekali penglihatan pada waktu itu. Dari arah kiri benda itu datang, makin lama makin
panjang dan besar, dan meski pun benda itu masih jauh, telah datang angin bertiup keras, membuat air di
depan perahu bergelombang.
Gelombang makin besar dan tiba-tiba Kwan Cu merasa terkejut sekali karena berbareng dengan suara
gemuruh laksana derap kaki ribuan ekor kuda di samping suara lengking tinggi panjang seperti suara
ribuan batang suling yang ditiup secara aneh seperti kalau Yok-ong meniup suling, perahunya terangkat
tinggi-tinggi dan permukaan laut, tiba-tiba naik tinggi sekali, lalu turun lagi seperti kalau di daratan terjadi
gempa bumi yang hebat. Dan kini benda panjang seperti naga itu telah datang dekat, membawa bunyi
gemuruh dan tahulah Kwan Cu dengan hati tidak karuan rasanya bahwa yang disangka naga itu
sebenarnya adalah gelombang laut hebat!
“Celaka…!” serunya dan dia mencoba untuk menahan keseimbangan perahunya dengan dayung.
Akan tetapi, di dalam tangan samudra yang besar kuat dan hebat tenaganya itu, tenaga Kwan Cu hanya
merupakan tenaga seekor semut bagi seorang raksasa. Perahu berikut Kwan Cu yang masih memegang
dayung lantas terputar-putar, membuat kepala pemuda itu menjadi pening sekali.
Namun dia masih dapat berlaku tenang dan cepat Kwan Cu melemparkan dayungnya ke dalam perahu.
Dengan kedua tangan dia memegangi pinggir perahu karena satu-satunya harapan baginya adalah
perahunya itu. Walau pun perahunya akan terbalik, tetap saja perahu kayu itu takkan tenggelam dan
akhirnya tentu akan terapung juga. Kalau dia tidak terlepas dari perahu, dia masih ada harapan untuk
menyelamatkan dirinya.
Tiba-tiba saja, sebuah gelombang atau lebih tepat disebut anak gelombang yang nakal menerjang perahu
dan melontarkannya ke atas bagikan seorang anak kecil melontarkan sebutir batu kerikil saja. Perahu
terlempar ke atas. Dayungnya terlempar keluar dan oleh karena dayung itu terbuat dari baja, maka benda
ini jatuh lebih dulu, ditelan gelombang dan agaknya akan menjadi tontonan bagi penghuni laut.
Sedangkan Kwan Cu yang turut terlempar ke atas, hampir saja direnggutkan keluar dari perahu pula.
dunia-kangouw.blogspot.com
Baiknya dia berlaku gesit dan cepat, kedua tangannya memeluk perahu sekuat tenaga dan agaknya hanya
maut saja yang kuasa merenggutnya terlepas dari perahu itu! Mati hidup aku harus bersama perahuku ini,
pikirnya nekat.
Perahu bersama Kwan Cu terhempas kembali ke dalam air, disambut oleh gelombang, diputar-putarkan,
dipermainkan, dikocok ke sana ke mari dengan sangat hebatnya. Kwan Cu masih memeluk perahu,
kadang-kadang ia berada di atas perahu, kadang-kadang dia berada di bawah perahu dan hanya dapat
menahan napas lalu berusaha membalikkan tubuhnya sehingga berhasil di atas perahu, kadang-kadang
dia dan perahunya lenyap ditelan gelombang dan timbul pula di tempat lain.
Siksaan ini dibarengi dengan bunyi-bunyian yang luar biasa dan yang membuat pemuda itu merasa
seakan-akan dia telah berada di dasar neraka. Satu keanehan terjadi. Ketika dia dipermainkan oleh
gelombang menderu, tiba-tiba saja dia teringat akan sesuatu dan seakan-akan terbayang dalam
ingatannya suatu pengalaman yang hampir sama dengan pengalaman yang sedang dia alami sekarang ini.
Tiba-tiba saja teringatlah ia betapa ia pernah menjadi permainan gelombang dan ombak seperti ini, teringat
pula betapa orang-orang sekapal telah tenggelam ditelan gelombang, betapa kapal itu karam dan
membawa pula dua orang yang kini terbayang jelas di depan matanya.
“Ayah…! Ibu…!” tiba-tiba Kwan Cu memekik keras.
Sekarang terbayanglah seorang laki-laki dan seorang wanita dan baru sekarang dia tahu bahwa wajahwajah
ini adalah wajah-wajah ayah bundanya yang tewas dalam amukan gelombang! Tahulah dia
sekarang mengapa dia ditemukan oleh Ang-bin Sin-kai bersama Jeng-kin-jiu dan dianggap sebagai ‘anak
laut’. Ayah bundanya dulu tewas di lautan dan kini agaknya dia sendiri pun akan mengalami nasib yang
sama.
“Ayah...! Ibu...! Tolonglah anakmu…,” ia berbisik.
Kemudian timbul marahnya kepada gelombang dan laut. “Kakek laut kau tidak mungkin dapat
menewaskan aku!” pekiknya nyaring sambil memeluk perahu itu erat-erat.
Sebagai jawaban, sebuah gelombang yang besar kemudian mengangkat perahunya dan melemparkan
perahu itu ke atas jauh dari situ. Kwan Cu ikut terlempar, akan tetapi kini terbangun semangatnya untuk
melawan gelombang yang dulu telah menewaskan kedua orang tuanya, timbul semangatnya untuk
berjuang menghadapi kekuatan alam ini, untuk hidup.
“Kakek gelombang, setelah membunuh orang tuaku, tak mungkin kau bisa membunuhku pula. Orang tuaku
akan mencegahmu!” teriaknya berkali-kali.
Kwan Cu bagaikan gila. Biar pun dia diterima oleh gelombang lain, lalu dilemparkan dan diterima kembali
seperti sebuah bal dalam sebuah permainan serombongan anak-anak nakal, dia tetap bersemangat,
bahkan kini dia tidak merasa takut sedikit pun juga. Rasa takutnya berubah menjadi kegembiraan!
“Kakek laut, mari kita bermain-main!” serunya berkali-kali. “Marilah kita berkelahi sebagai laki-laki kalau kau
memang jantan!”
Demikianlah, biar pun sedang dipermainkan oleh gelombang laut dan taufan menghebat, sedikit pun Kwan
Cu tidak merasa takut, sebaliknya dia menantang dan merasa gembira. Hal inilah yang sesungguhnya
menolong nyawanya.
Orang-orang yang menghadapi maut, jika dia dapat berlaku tenang dan tidak putus asa, akalnya akan
bertambah dan dia tidak menjadi gugup. Demikian pula dengan Kwan Cu. Kegembiraan dan semangatnya
membuat ia tahan menderita, malah tenaganya menjadi besar dan kini dia mulai mempergunakan kaki
tangannya untuk memukul dan mendorong ombak, mencari jalan bagi perahunya agar meluncur ke tempat
yang aman.
Memang, kalau diperhatikan di antara gelombang yang menghebat itu, terdapat air yang tenang yakni air
yang berada di antara dorongan dua gelombang yang membalik. Kwan Cu berjuang mati-matian dengan
hati gembira, sambil menantang-nantang gelombang dan akhirnya dia berhasil mendorong perahunya ke
tempat yang agak aman, yakni yang gelombangnya tak begitu besar. Akhirnya ia berhasil membalikkan
perahunya dan duduk di dalam perahu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang betul di situ masih ada ombak menyerang. Akan tetapi dengan dua tangannya di pinggir perahu
menekan-nekan dan mendorong-dorong air, Kwan Cu dapat mencegah perahunya berputaran dan dapat
beristirahat sejenak setelah menjadi permainan ombak yang membuat tenaganya habis dan tubuhnya lelah
sekali.
Ia tidak tahu bahwa gelombang tadi telah membawa perahunya ke tengah laut dan telah membawa dia
jauh sekali dari tempat di mana dia bertemu dengan taufan. Juga Kwan Cu tidak merasa lagi bahwa dia
tadi telah berhadapan dengan maut dalam waktu yang amat lama.
Seperti datangnya, tiba-tiba saja taufan berhenti, laut tenang sekali. Kwan Cu tidak tahu bahwa gelombang
tadi sebetulnya hanya ‘lewat’ saja dan kini taufan yang mengamuk itu masih mengamuk hebat di tempat
lain. Setelah air laut menjadi tenang, tenang pula hati Kwan Cu dan barulah pemuda ini tahu bahwa
amukan taufan tadi begitu lama sehingga waktu itu telah menjelang senja!
Hal ini bisa dia duga dari keadaan matahari yang telah tenggelam di barat, meninggalkan sinar melayu dan
di timur sudah nampak bulan pudar seperti wajah seorang dara jelita yang sedang sakit dan sangat pucat.
Langit bersih sekali, laut tenang dan benar-benar mengherankan.
Tiba-tiba Kwan Cu menjadi muak dan tak tahan pula dia muntah-muntah di luar perahu. Tadi di waktu di
ombang-ambingkan oleh gelombang, dia merasa gembira, kini setelah keadaan menjadi tenang, dia
bahkan merasa tidak enak dan mual sekali. Akan tetapi, tidak banyak yang dimuntahkan karena semenjak
malam tadi, semenjak makan daging ikan Kilin bersama Kong Hoat dan ibunya, dia tidak makan apa-apa
lagi.
Perutnya mulai berkeruyuk minta isi. Akan tetapi di tengah laut itu, dari mana dia bisa mendapatkan
makan? Dia teringat akan daun Liong-cu-hio pemberian Liok-te Mo-li. Tak terasa tangannya meraba
punggung dan dia girang sekali ketika mendapat kenyataan bahwa bungkusan pakaiannya masih terikat
pada punggung dan bahwa bungkusan daun mukjijat itu pun masih berada di situ, sungguh pun
kesemuanya itu basah kuyup seperti tubuh dan pakaiannya yang dipakainya.
Tiba-tiba, bagai sebuah layar hitam dibuka yang tadinya menyembunyikan sesuatu yang dirahasiakan, dia
melihat bayangan sebuah pulau yang penuh dengan pepohonan tinggi besar. Ia menjadi girang bukan
main. Di sanalah terdapat makanan, pikirnya.
Dengan penuh semangat Kwan Cu kemudian mempergunakan kedua tangannya untuk digerakkan seperti
dayung. Perahu pun meluncur ke depan, menuju pulau itu, dan Kwan Cu makin terheran-heran.
Ketika tadi untuk pertama kalinya dia melihat pulau itu, pohon-pohon yang telah kelihatan amat besar dan
karenanya dia mengira bahwa pulau itu tentulah sudah amat dekat. Akan tetapi, meski pun perahunya jelas
mendekati pulau dan daratan semakin nampak nyata, ternyata bahwa pulau itu masih jauh dan kini pohonpohon
sudah kelihatan begitu besar sampai-sampai Kwan Cu beberapa kali menggosok kedua matanya.
“Apakah aku sedang bermimpi? Ataukah mataku yang sudah tak beres lagi? Kalau tidak bermimpi dan
mataku tidak rusak, tentu otakku yang sudah menjadi berubah dan tidak waras lagi!”
Tidak mengherankan apa bila Kwan Cu berkata demikian, karena apa yang dilihatnya memang sukar untuk
dapat diterima oleh akal sehat. Setelah perahunya makin dekat, dia melihat daratan yang luar biasa
luasnya dan yang paling hebat adalah pepohonan yang dari jauh sudah nampak besar-besar tadi.
Kini setelah dekat, pohon-pohon itu ternyata luar biasa besarnya dan biar pun Kwan Cu sudah banyak
merantau dengan suhu-nya serta sudah sering kali memasuki hutan-hutan besar liar di mana tumbuh
pohon-pohon besar yang sudah ratusan tahun usianya, tetapi selama hidupnya belum pernah dia
menyaksikan pohon-pohon sebesar yang tumbuh di pulau itu! Makin dekat, makin heranlah dia karena
nampak kehijauan yang tinggi seperti alang-alang!
Pulau setan apakah yang berada di hadapanku itu? Akan tetapi tidak dapat lama dia mengagumi dan
mengherankan pemandangan di atas pulau yang ternyata luas sekali itu, karena cuaca telah menjadi gelap
dan kini yang nampak hanyalah pohon-pohon raksasa yang kelihatan tinggi besar dan hitam menyeramkan
dengan latar belakang langit yang pucat.
Kwan Cu sudah lelah sekali, bukan karena kehabisan tenaga karena pemuda yang telah mendapat
dunia-kangouw.blogspot.com
gemblengan hebat dari Ang-bin Sin-kai ini sanggup mengatur pernapasannya sehingga tenaganya telah
kembali pulih lagi. Akan tetapi, perutnya yang lapar dan perih itulah yang membuat tubuhnya lemas dan
letih. Kalau saja dia tadi tidak muntah-muntah, agaknya dia tidak akan merasa begitu letih. Sudah sering
kali dia berpuasa, tiga hari tiga malam tidak makan saja baginya belum apa-apa.
Cuaca makin gelap dan hanya dengan bayangan pohon-pohon besar sebagai petunjuk, Kwan Cu terus
mengayuh perahunya dengan kedua tangannya ke darat. Namun air laut yang berkeriput itu tidak dapat
menerima sinar bulan dengan baik sehingga nampak air menghitam, hanya berkilau di sana-sini.
Mendadak perahu Kwan Cu tertahan oleh sesuatu yang berat. Kwan Cu mendorong air supaya perahunya
menyingkir dari penghalang itu. Dia mengira bahwa perahunya tentu terhalang oleh batu karang yang tidak
dapat dilihatnya dalam kegelapan itu. Akan tetapi langkah kagetnya ketika tiba-tiba ‘batu karang’ itu
bergerak-gerak!
Karena tertarik hatinya, Kwan Cu mengulur tangannya untuk mendorong ‘batu karang’ yang dapat
bergerak-gerak itu. Hampir dia berteriak ketika jari-jarinya menjamah benda yang lunak, seperti... seperti
tubuh seorang makhluk.
“Tentu ikan yang terdampar ke pantai,” pikirnya menetapkan hatinya yang berdebar.
“Ooleihaaaaiii…!!” terdengar ‘batu karang’ atau ‘ikan’ itu berteriak keras sekali.
Kwan Cu tersentak kaget sehingga hampir saja dia terjungkal ke dalam air. Ia kemarin malam sudah
merasa sangat heran menyaksikan ikan Kilin yang ditangkap oleh Kong Hoat, karena selamanya dia belum
pernah melihat ikan seaneh itu. Akan tetapi sekarang, mendengar seekor ikan besar dapat mengeluarkan
suara ‘ooleihaaaiii...!’ dengan suara mirip seperti manusia, benar-benar membuat dia merasa ragu-ragu
apakah benar-benar dia belum menjadi gila!
Dengan hati-hati sekali dia kembali mendekatkan tangannya ke depan. Kini menghadapi sesuatu yang
begini aneh, dia untuk sementara lupa kepada pulau itu dan belum ingin mendarat sebelum menyelidiki
terlebih dahulu sebetulnya ikan macam apakah yang bisa mengeluarkan suara seperti itu.
‘Hayalieee…!”
Kwan Cu menarik kembali tangannya yang seperti dipagut ular dan tiba-tiba merasa bulu tengkuknya
berdiri satu demi satu. Bukan main! Di dunia ini tidak mungkin ada ikan bisa mengeluarkan suara seperti
itu.
Akan tetapi rasa keingin tahuannya melebihi rasa ngerinya. Ia mendorong air sehingga perahunya maju
dan kini dia mempergunakan kedua tangannya untuk menangkap ke depan. Dia berlaku hati-hati sekali
dan menggerak-gerakkan kedua tangannya dengan sikap siap sedia, kalau-kalau ‘ikan’ itu akan
menggigitnya tentu dia akan cepat memukul.
Akan tetapi, keheranannya memuncak ketika kedua tangannya dengan tepat sekali kena memegang dua
buah telinga manusia yang besar sekali. Saking terkejutnya, Kwan Cu tidak melepaskan kedua buah
telinga itu, sebaliknya dia memandang ke depan dengan mata terbelalak sambil mengerahkan seluruh
tenaga pandangan matanya.
Kebetulan sekali cahaya bulan agak terang. Ia mula-mula melihat sepasang mata lebar yang mengkilap.
Kemudian, kelihatanlah olehnya sebuah kepala manusia yang besarnya empat atau lima kali kepala
manusia biasa! Kepala ini gundul dan sedikit rambut kepala diikat. Kulit muka dan kepalanya hitam sekali,
dan inilah yang membuat kepala ini tidak kelihatan di dalam gelap!
“Seorang manusia!” pikir Kwan Cu dengan girang.
Di tempat yang aneh seperti itu, pertemuan dengan seorang manusia, bagaimana pun anehnya manusia
itu, tentu amat menggirangkan hatinya. Untuk sesaat dia lupa bahwa manusia berkulit hitam ini mempunyai
kepala yang luar biasa sekali besarnya.
“Saudara siapakah? Dan kenapa malam-malam berada di laut? Apakah saudara sedang mandi? Maafkan
jika perahuku menganggumu.” Demikianlah pemuda itu bicara dengan gembira sambil melepaskan
pegangan kedua tangannya pada telinga orang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebaliknya, muka yang besar itu memandang kepada Kwan Cu dengan mata terbelalak lebar dan
mulutnya yang berbibir lebar itu mengeluarkan kata-kata yang sama sekali asing bagi telinga Kwan Cu.
Ketika kepala ini bicara, kadang-kadang nampak deretan gigi yang besar dan putih berkilat dari balik bibir
tebal.
Mendengar ucapan orang itu, teringatlah Kwan Cu bahwa orang ini tentulah seorang dari suku bangsa
yang tidak mengerti bahasa Han dan mempunyai bahasa daerah sendiri. Karena itu dia hanya
menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata, “Maaf, aku tidak mengerti bahasamu dan kau agaknya
juga tidak mengerti pula apa maksud kata-kataku. Maafkan aku tidak mengganggu lebih lama, karena aku
hendak mendarat.”
Sambil berkata demikian, Kwan Cu mempergunakan jari telunjuknya untuk menuding ke arah darat.
Sesudah itu, pemuda ini kemudian menggunakan tangan untuk mendayung perahunya ke pinggir.
Akan tetapi tiba-tiba saja, orang yang terbenam di air sampai lehernya itu menggerakkan leher dan tahutahu
sepasang lengan yang amat besar dan panjang timbul di permukaan air dan diletakkan di atas perahu
Kwan Cu. Sepasang lengan yang hitam serta besar dan panjang itu mempunyai tenaga yang amat kuat
sehingga ketika menindih perahu, perahu kecil itu tertindih hampir tenggelam!
Kwan Cu terkejut sekali, bukan oleh tenaga tindihan ini, akan tetapi karena besar dan panjangnya lengan
yang berotot besar itu. Barulah dia teringat akan besarnya kepala di permukaan air. Sampai lama dia
melihat kepala dan lengan orang hitam itu dan dengan bulu tengkuk berdiri dia membayangkan alangkah
tingginya orang ini. Seorang raksasa yang belum pernah didengarnya dalam buku dongeng, apa lagi
dilihatnya!
Kemudian dia melihat bahwa pergelangan kedua tangan itu terbelenggu oleh rantai baja yang kuat. Ketika
mendengar suara orang itu, tahulah dia bahwa orang itu minta tolong kepadanya agar suka membuka
belenggu itu.
Teringatlah Kwan Cu akan sebuah dongeng yang dibacanya dari buku kuno, dongeng yang terjadi di tanah
barat. Dalam dongeng itu diceritakan betapa seorang anak laki-laki membebaskan seorang jin dari
belenggu, akan tetapi setelah dibebaskan, jin itu bahkan hendak memakan anak itu.
Dongeng itu singkatnya begini:
Seorang bocah nelayan menjala ikan di laut. Yang tersangkut di dalam jalanya bukannya ikan-ikan besar,
namun sebuah pundi-pundi yang tertutup mulutnya. Karena ingin tahu apa isinya, dibukanya sumbat mulut
pundi-pundi itu. Apa isinya? Bukan emas permata atau harta benda, melainkan asap hijau yang bergulung
ke atas kemudian membentuk ujud yang mengerikan, yakni seorang jin raksasa.
Kemudian jin raksasa itu hendak menjadikan anak itu sebagai mangsanya. Tapi anak itu mendapat akal.
Dia berpura-pura heran dan tak percaya bahwasannya seorang raksasa begitu besar dapat masuk ke
dalam pundi-pundi yang demikian kecilnya. Dikatakannya kalau raksasa itu sanggup membuktikan bahwa
benar-benar dia dapat masuk ke dalam pundi-pundi, baru dia mau percaya bahwa raksasa itu seorang jin
dan dia mau dimakan tanpa perlawanan.
Jin raksasa itu tertawa bergelak dan berubah menjadi asap, lalu kembali masuk ke dalam pundi-pundi itu.
Anak itu cepat mengambil sumbat, lantas menutup pundi-pundi kembali seperti tadi sehingga jin itu tidak
dapat keluar, kemudian dibuangnya pundi-pundi itu ke dalam laut kembali!
Kwan Cu teringat akan dongeng itu. Raksasa yang terbenam di dalam laut ini apakah seorang jin pula?
Kalau nanti raksasa ini hendak memakannya, tidak ada akal baginya untuk menyelamatkan diri.
Akan tetapi aku bukan anak penakut, pikirnya. Kalau dia bermaksud jahat, aku sanggup melawannya.
Orang tinggi besar yang bertenaga kuat seperti dia ini, belum tentu memiliki kecerdikan. Bukankah dia
begitu bodoh sehingga setelah kedua tangannya dibelenggu, dia mandah tinggal di dalam air dan tidak
bisa keluar dengan jalan kaki di darat?
Ia bodoh sekali dan patut dikasihani. Sebagai manusia terhadap manusia lain, aku harus menolongnya.
Bukankah dia juga seorang manusia? Dengan berpikir demikian, Kwan Cu mulai berusaha untuk membuka
belenggu tangan raksasa itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika mulai berusaha membuka belenggu, Kwan Cu melihat betapa bibir yang tebal itu tersenyum ramah.
Agaknya orang hitam besar ini amat gembira melihat Kwan Cu sudah mengerti akan kehendaknya dan
mau melepaskannya dari pada belenggu.
Akan tetapi, dalam usahanya mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya bergoyang-goyang sehingga
tenaga Kwan Cu menjadi buyar. Dua kakinya harus memiliki landasan yang kuat dan keras. Tanpa banyak
pikir lagi dia lalu melompat turun dari perahu ke air.
Akan tetapi, segera pemuda ini gelagapan dan kena minum banyak air! Kwan Cu cepat mengerakkan
tangan menangkap pinggir perahunya dan cepat mengayun tubuhnya naik kembali ke dalam perahu. Ia
menyumpah-nyumpah, memaki-maki diri sendiri.
“Bodoh! Tolol! Mengapa aku lupa bahwa raksasa ini bertubuh tinggi sekali? Dia boleh jadi tak tenggelam ke
air, hanya sampai ke lehernya, akan tetapi bagiku tentu terlalu dalam.”
Hampir saja dia tenggelam di dalam air yang ternyata masih amat dalam itu! Kwan Cu memutar otaknya.
Rantai besi yang mengikat tangan raksasa itu cukup kuat. Ia percaya akan dapat mematahkannya kalau
saja dia mendapat landasan kaki yang kuat. Dari atas perahu amat sukar, sebab jika terlampau banyak dia
mengerahkan tenaga, perahu yang diinjaknya itu bergoyang dan meluncur pergi.
“Mari kita mendarat!” katanya berulang-ulang kepada kepala itu sambil menuding ke arah pantai. “Di sana
akan kulepaskan belenggumu. Kau akan bisa berjalan ke sana?”
Akan tetapi raksasa itu hanya mengeleng-gelengkan kepalanya sambil memperlihatkan sepasang
lengannya yang terbelenggu, seakan-akan dia hendak berkata bahwa dengan kedua tangan terbelenggu,
tak mungkin dia berjalan ke darat. Alangkah gobloknya, Kwan Cu menyumpah-nyumpah dengan gemas.
Akhirnya dia mendapat akal. Raksasa itu berdiri di dalam air dengan teguh dan kokohnya seperti batu
karang. Kenapa dia tidak menggunakan tubuh raksasa ini sebagai landasan kakinya? Setelah berpikir
demikian, dia melompat dari dalam perahu, menubruk ke arah raksasa itu dan bergantung pada pundak
yang lebar itu, kedua kakinya hanya sampai di perut!
Cepat-cepat Kwan Cu menginjakkan kedua kakinya pada pinggang raksasa itu tanpa mempedulikan protes
dari si raksasa dan sekarang kedua tangannya dapat bekerja baik. Ketika dia mengerahkan tenaga
beberapa lamanya, akhirnya terlepaslah belenggu itu!
“Yoleihi, yoleihi!” raksasa itu berkata keras berkali-kali dan kelak tahulah Kwan Cu bahwa raksasa itu
bermaksud menyatakan terima kasih kepadanya. Setelah itu, raksasa hitam itu lalu berenang ke tepi pantai
dengan gerakan kedua lengannya yang kuat.
“Tolol, dia begitu tinggi, mengapa tidak mau berjalan kaki saja ke pantai ketika tangannya terbelenggu tadi,
sebaliknya menanti tangannya bebas untuk dapat berenang ke darat? Tolol sekali orang itu.” Sambil
bersungut-sungut ini, Kwan Cu mendayung perahunya ke darat.
Setelah dia sampai di daratan, barulah dia melihat kenyataan yang membuat pemuda ini menghentikan
makiannya terhadap si raksasa, sebaliknya dia tiada hentinya memaki diri sendiri sebagai orang bodoh dan
tolol dengan hati geli.
Setibanya di darat, ternyata bahwa raksasa itu sibuk menggunakan sepasang tangannya yang kuat untuk
melepaskan belenggu yang mengikat pergelangan kedua kakinya. Itulah sebabnya mengapa tadi dia
berdiri saja di laut dan tidak berdaya sama sekali. Untuk berjalan ke darat, kedua kakinya terikat, untuk
berenang, sepasang lengannya pun masih terbelenggu!
Ketika Kwan Cu mendarat dan menarik perahunya ke pantai, raksasa itu masih sibuk menarik-narik
belenggu yang mengikat kakinya. Melihat ini, Kwan Cu lalu mendekati dan menggunakan tangannya
membantu. Sekali renggut saja, terlepaslah belenggu itu.
“Yoleihi, yoleihi…! Dasa alihee teelu…,” kata raksasa itu dengan pandang mata kagum sekali. Dia
menyatakan terima kasih dan kagum akan kekuatan Kwan Cu yang dengan sekali renggut telah berhasil
mematahkan kakinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Kwan Cu tidak memperhatikan kata-kata raksasa ini karena dia memang tidak mengerti artinya
sama sekali. Sebaliknya dia kini mengagumi apa yang dilihatnya di dalam cahaya bulan.
Pertama-tama dia kagum sekali melihat raksasa hitam yang sekarang sudah berdiri di hadapannya dengan
kedua kaki terpentang. Biar pun dia telah dapat menduganya, tetapi dia tetap merasa terkejut melihat tubuh
raksasa ini kurang lebih dua setengah atau tiga kali manusia biasa dengan lengan berbulu serta otot-otot
memenuhi tubuh yang bidang dan kuat sekali.
Rambutnya hanya sedikit, diikat di tengah-tengah kepala ada pun pakaian yang menutup tubuh hanyalah
sehelai cawat dan ikat pingang, terbuat dari pada kain yang tebal. Selain bentuk tubuhnya yang besar dan
tinggi, selebihnya tidak ada yang luar biasa, melainkan sama saja dengan orang biasa.
Raksasa itu memandang ramah kepada Kwan Cu, kemudian ia mengulur tangannya dan memegang
tangan pemuda ini. Kwan Cu terkejut dan teringat akan dongeng tentang jin, akan tetapi dia tidak takut lagi.
Di darat dia tak usah takuti raksasa ini dan dia lalu teringat bahwa raksasa itu terbelenggu di tengah laut
tentu ada sebabnya. Atau lebih tepat, tentu ada orang lain yang melakukan hal itu.
Dengan demikian besar sekali kemungkinan bahwa di pulau yang aneh ini tentu terdapat makhluk lain yang
jahat, karena hanya orang jahat saja yang mau melakukan siksaan terhadap raksasa ini dengan
membelenggu kaki tangannya kemudian membiarkan dia terbenam di dalam laut. Dari pada bertemu dan
dimusuhi oleh orang-orang jahat itu, lebih baik dia ikut dengan raksasa yang tersenyum ramah kepadanya
ini.
Maka berjalanlah Kwan Cu sambil digandeng tangannya oleh raksasa itu. Di sepanjang jalan, tiada
hentinya Kwan Cu mengagumi segala sesuatu yang serba besar di pulau itu. Dari pohon-pohonnya, semua
tanamannya, sampai rumput dan batu, bahkan katak yang dilihatnya berlompatan di dalam hutan, serba
besar, kurang lebih tiga kali ukuran biasa!
Yang mengherankan hatinya, walau pun tubuhnya besar, akan tetapi suara raksasa ini tidak lebih keras
dari pada suara manusia biasa, sungguh pun lebih besar dan parau. Ada pun raksasa itu tidak kalah
herannya dari pada Kwan Cu sendiri. Dia memandang kepada ‘orang kecil’ ini dan sering tertawa bergelak
dengan nada geli, membuat Kwan Cu menjadi mendongkol juga.
“Kau mentertawakan aku, sebaliknya kau pun akan menjadi tontonan yang menggelikan jika kau tiba di
duniaku. Kau dan aku mana lebih tahu tentang kebaikan dan keburukan? Yang besar mencela terlalu kecil,
yang kecil bilang terlalu besar, memang demikian sifat manusia, tak dapat menerima kekuasaan alam yang
serba gaib.”
Biar pun Kwan Cu berfilsafat dengan seribu kata-kata, mana raksasa itu dapat mengerti? Sebaliknya,
ketawanya makin terbahak-bahak, seakan-akan kata-kata dan bahasa Kwan Cu amat aneh dan
menggelikan, seperti suara burung hantu yang aneh sekali.
Akan tetapi, ketika melihat betapa Kwan Cu tidak tertinggal oleh langkahnya yang lebar, raksasa itu makin
terheran. Langkah raksasa itu sedikitnya tiga kali lebar langkah orang biasa, akan tetapi karena Kwan Cu
mempergunakan ilmu lari cepat, dia sama sekali tidak tertinggal.
Raksasa itu penasaran, melepaskan tangan Kwan Cu dan berjalan lebih cepat, namun tetap saja Kwan Cu
dapat berjalan di sebelahnya tanpa sukar sedikit pun juga. Raksasa itu mulai berlari, namun sambil tertawa
geli Kwan Cu tetap dapat menyusulnya, bahkan kalau dia mau dengan mudah Kwan Cu dapat
meninggalkannya!
Akhirnya tibalah mereka di sebuah dusun yang berada di tengah pulau. Dari jauh sudah kelihatan api
penerangan dan terdengar oleh Kwan Cu suara tangis orang riuh rendah seperti sebuah dusun yang
sedang dirundung kemalangan hebat.
Raksasa itu tertawa geli dan berkata-kata kepada Kwan Cu, akan tetapi tentu saja Kwan Cu tidak mengerti
sama sekali. Diam-diam Kwan Cu menjadi girang sekali bahwa di tempat itu terdapat dusun dan orangorang,
juga wanita-wanita seperti yang dapat dia dengar suara tangisnya. Kalau begitu tentulah ada
sekelompok suku bangsa tinggal di tempat ini dan hal ini menjadi hiburan baginya karena selain dapat
bertemu dengan sesama manusia, dia tentu akan mudah mendapat makan dan siapa tahu kalau-kalau
mereka akan dapat memberi petunjuk di mana adanya pulau berpohon putih yang tengah dicari-carinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dusun itu mempunyai banyak pondok-pondok kayu yang besar-besar dan kokoh kuat. Modelnya
sederhana saja namun pembuatannya cukup kuat dan baik, tidak berbeda jauh dengan rumah-rumah
model pesisir timur Tiongkok. Tetapi pada malam hari itu, agaknya sebagian besar dari rumah-rumah itu
ditinggalkan oleh penghuninya dan ternyata mereka berkumpul di dalam sebuah rumah yang amat besar
dan berada di tengah-tengah dusun itu.
Melihat bangunan induk ini, Kwan Cu menjadi bengong. Bukan main besar serta kokoh kuatnya bangunan
ini, tiada ubahnya istana kaisar sendiri, hanya bedanya bangunan ini seluruhnya terbuat dari pada kayu
yang besar-besar. Juga lampu-lampu gantung yang digunakan sebagai penerangan pada setiap rumah di
dusun itu terbuat dari pada kayu.
Sebagai pengganti kaca dipergunakan semacam kulit ikan yang tipis dan dapat ditembusi oleh sinar api.
Nyala api lampu tetap terang, karena ternyata bahwa orang-orang ini pun mempergunakan minyak untuk
lampu-lampu ini!
Raksasa itu membawa Kwan Cu langsung ke sebuah ruangan lebar di mana berkumpul semua orang lakilaki
dan perempuan yang kesemuanya adalah raksasa bertubuh tinggi besar. Mereka duduk bersimpuh,
ada pula yang berlutut menghadapi sebuah meja besar di mana dipasang lilin seperti orang melakukan
semacam sembahyangan.
Ketika raksasa itu muncul di bawah penerangan lampu besar, semua orang menengok dan terjadilah
sesuatu yang mengherankan hati Kwan Cu. Pemuda ini melihat para orang laki-laki serentak mundur,
bahkan ada yang melarikan diri, ada pula yang menjatuhkan diri berlutut kepada raksasa hitam yang baru
datang. Orang-orang wanita menjadi pucat dan menjerit-jerit ketakutan bagai melihat setan! Terdengarlah
pekik-pekik ketakutan dan suara orang kalang kabut.
Raksasa itu mengangkat kedua tangannya dan berkata-kata dengan suara yang sangat berpengaruh
seakan-akan sedang menghibur. Sesudah dia selesai berkata-kata, semua orang lantas berlutut di
hadapannya.
Dari rombongan wanita, mendadak berlari keluar seorang gadis raksasa yang bertubuh tinggi ramping dan
berwajah halus. Dia boleh dibilang cantik, biar pun kulitnya kelihatan kehitaman dan tubuhnya juga tinggi
besar. Namun jika dibandingkan dengan yang lain, ia termasuk kecil dan masih muda sekali. Sambil
menangis, gadis raksasa ini menubruk raksasa itu dan keduanya lalu berpelukan.
Kini semua orang yang berada di situ nampak girang. Timbul senyuman di wajah mereka yang rata-rata
membayangkan kejujuran.
Tiba-tiba saja seorang wanita menjerit sambil menunjukkan telunjuknya ke arah Kwan Cu. Keadaan
menjadi geger setelah semua orang melihat pemuda kecil kate ini. Agaknya baru sekarang mereka melihat
Kwan Cu dan terdengar suara-suara diiringi suara ketawa geli. Kaum perempuan tertawa terkekeh dan
orang-orang lelaki tertawa terbahak-bahak sambil menunjuk ke arah Kwan Cu.
Kwan Cu menjadi mendongkol sekali. Ia membanting-banting kedua kakinya dan dalam kegemasannya dia
pun lupa akan perutnya yang lapar. “Sudahlah, sudahlah, aku bukan badut! Kalau kalian tidak suka melihat
aku, aku pun tidak sudi berada disini terlalu lama.”
Sambil berkata demikian, Kwan Cu hendak pergi dari situ. Dia tidak sudi dijadikan bahan tertawaan oleh
semua orang itu hanya karena dia bertubuh normal! Akan tetapi raksasa hitam yang agaknya jadi kepala
mereka itu, mengulur tangan mencegah dia keluar, lalu raksasa ini mengangkat tangannya memberi tanda
kepada semua orang supaya berhenti tertawa dan bicara panjang lebar.
Agaknya dia kini menceritakan pengalamannya dan menceritakan betapa Kwan Cu telah menolongnya.
Hal ini dapat diduga ketika semua orang kini memandang ke arah Kwan Cu dengan kagum sekali.
Dan tiba-tiba gadis raksasa yang tadi memeluk raksasa hitam itu, berlari mendekati Kwan Cu,
mempergunakan kedua lengannya yang berkulit hitam halus dan panjang itu untuk memeluk Kwan Cu
kemudian... mencium hidungnya!
Hampir saja Kwan Cu berlari keluar saking malu dan jengahnya. Ia memberontak dengan halus,
melepaskan diri dari pelukan gadis raksasa itu dan berdiri dengan muka merah sampai telinganya! Ia
melihat semua orang tertawa-tawa. Kini orang-orang wanita yang berpakaian cukup sopan, yakni dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
semacam kain berkembang tebal di selimutkan dari pundak menutup leher sampai ke lutut, datang
mengerumuninya.
Dia sudah merasa ngeri dan khawatir kalau-kalau semua wanita ini akan memeluk dan menciuminya.
Tetapi dia merasa lega sekali ketika ternyata mereka hanya mendekatinya, meraba-raba tangan dan
kakinya, bahkan ada yang melepaskan kalung dan gelang dari emas tulen kemudian memberikan
perhiasan itu padanya sebagai tanda kagum! Sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya, Kwan Cu
menolak semua hadiah itu dengan halus.
Raksasa hitam yang ternyata adalah raja suku bangsa ini lalu memberi perintah dan bubarlah semua
orang. Mereka sibuk bekerja dan pada malam hari itu juga di ruangan ini diadakan pesta untuk
menghormati raja dan Kwan Cu!
Pemuda ini mendapat kenyataan bahwa tidak semua raksasa berkulit hitam arang seperti kepalanya. Ada
juga yang agak putih walau pun bagi bangsa Han masih termasuk hitam, bahkan wanita-wanitanya ratarata
mempunyai kulit yang hitam-hitam manis.
Meja sembahyang yang tadi dipasang di tengah ruangan, kini dibawa pergi dan sebagai gantinya dipasang
meja besar yang mewah. Ketika orang sibuk menghias meja ini, Kwan Cu melompat dari tempat duduknya
karena dia melihat di antara kain-kain berwarna yang digunakan untuk menghias meja makan yang
panjang dan lebar itu, terdapat sajak-sajak yang tulisannya sama dengan tulisan yang dipergunakan dalam
kitab sejarah Gui-siucai atau dalam kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng.
Ia segera membaca sajak kuno itu dan cepat berpaling kepada raksasa hitam yang juga memandangnya
dengan heran. Pada waktu Kwan Cu menunjuk kepada sajak-sajak itu seakan-akan bertanya, raja para
raksasa itu lalu membaca sajak-sajak tadi, akan tetapi dengan bahasa yang sama sekali asing bagi Kwan
Cu.
Kwan Cu kemudian membaca sajak itu keras-keras dan kini giliran raja raksasa itu untuk memandangnya
dengan bingung. Kwan Cu mendapat akal baik, lalu dia menggunakan jari tangannya untuk mengguratgurat
meja yang halus. Sambil mengerahkan lweekang-nya dia dapat menulis beberapa huruf dari tulisan
kuno itu yang berbunyi.
‘Apakah kau dapat membaca tulisanku ini?’
Raja raksasa terkejut sekali nampaknya, lalu berteriak keras. Semua orang yang sedang sibuk
membereskan tempat itu, pada lari mendatangi dan mereka semua, laki-laki dan perempuan dapat
membaca tulisan tangan Kwan Cu di atas meja itu.
Tampak mereka bersorak-sorak girang dan raja itu lalu memberi perintah. Salah seorang di antara mereka
berlari mengambil alat tulis berupa pisau runcing beserta lembaran kulit pohon yang di dalamnya putih dan
halus. Dengan pisau itu, memang amat mudah dan enak untuk menuliskan huruf di sebelah dalam lebaran
kulit pohon.
‘Tentu saja kami dapat membaca tulisanmu. Agaknya tulisan kita sama, hanya saja suara bacaannya yang
bikin berbeda.’ Raja itu menulis dan bukan main girangnya hati Kwan Cu.
Pesta dimulai dan daging panggang yang dihidangkan membuat hati Kwan Cu berdebar girang, membuat
dia mengilar akan tetapi baru melihat saja dia sudah merasa kenyang! Daging-daging yang dihidangkan di
hadapannya begitu besar dan berbau sedap.
Kini dia dapat ‘bercakap-cakap’ dengan rakyat hitam itu melalui tulisan huruf kuno, dan dia mendapat
penjelasan dan penuturan yang amat menarik hati seperti berikut.
Kalau dia yang membacanya, nama raja raksasa itu adalah Lakayong, dan raja ini adalah seorang duda
dengan puterinya bernama Liyani, yakni gadis raksasa yang tadi menangis sambil memeluknya, atau juga
gadis yang telah memeluk dan mencium Kwan Cu setelah mendengar bahwa pemuda ini telah menolong
ayahnya!
Suku bangsa raksasa itu menurut mereka disebut bangsa Kuyu, keturunan dari bangsa raksasa yang
sudah disangka lenyap dari daratan Tiongkok. Mereka sudah hidup sampai beberapa keturunan di atas
pulau besar yang kosong itu. Lakayong diangkat sebagai raja oleh karena dia mempunyai tenaga paling
dunia-kangouw.blogspot.com
besar dan menurut tradisi mereka, sesudah diadakan pertandingan dan Lakayong tak dapat dikalahkan,
maka dia diangkat menjadi raja. Jago-jago lain dijadikan pembantu-pembantunya.
Di antara para pembantunya terdapat dua orang raksasa lainnya yang dalam kepandaian bertempur dan
kehebatan tenaga, hanya kalah sedikit saja oleh Lakayong. Dua orang ini bernama Wisang dan Kasang
dan oleh Lakayong kemudian diangkat menjadi pembantu-pembantunya yang paling berkuasa.
Akan tetapi telah lama dua orang ini merasa iri kepada Lakayong, dan diam-diam mereka mengandung
maksud untuk merebut kedudukan. Apa lagi ketika dua orang itu bergantian mengajukan pinangan
terhadap Liyani ditolak oleh gadis itu, mereka makin menaruh hati dendam.
Bangsa Kuyu mempunyai kebiasaan yang aneh dan yang sudah menjadi tradisi mereka. Yakni tiap kali
bulan muncul, mulai bulan timbul tiga perempat sampai bulat, setiap raja selalu mandi di laut seorang diri,
katanya untuk menerima berkah dari Dewa bulan demi kebahagiaan bangsanya.
Pada malam hari kemarin, seperti biasa, Raja Lakayong mandi di laut untuk memenuhi peraturan tradisi
dan minta bekah bagi rakyatnya. Akan tetapi tiba-tiba dia diserang oleh kedua orang pembantunya, yaitu
Wisang dan Kasang. Kalau saja mereka bertempur di darat, agaknya biar pun dikeroyok dua, Raja
Lakayong tidak akan kalah.
Akan tetapi pertempuran di air amat melelahkan. Dia sudah mulai tua ada pun lawannya masih muda dan
pandai berenang. Akhirnya dia kalah, dibelenggu kaki tangannya dan dilemparkan ke laut agar mati
tenggelam atau dimakan ikan liar.
Kemudian Wisang dan Kasang berlari ke darat, lalu memberi tahu kepada semua orang bahwa ketika
sedang mandi di laut, Raja Lakayong telah diserang ikan besar dan bahkan mereka berdua telah berusaha
untuk menolong akan tetapi tak berhasil, dan sebaliknya menderita luka-luka. Padahal luka-luka mereka itu
adalah karena pukulan Raja Lakayong yang melawan secara hebat sebelum dia dikalahkan!
Semua orang menjadi berduka, terutama sekali Layani dan upacara sembahyang segera dilakukan sampai
sehari semalam. Ada pun kedua orang itu, Wisang dan Kasang, tidak kelihatan lagi. Hal ini karena mereka
masih sangat percaya akan takhyul dan mereka beranggapan bahwa sebelum sehari semalam, arwah
orang yang mati masih berkeliaran untuk menuntut balas pada musuh-musuhnya!
Karena itu, selama sehari semalam mereka tidak berani keluar dan terus bersembunyi di dalam sebuah
goa yang gelap agar supaya arwah dari Raja Lakayong tak dapat mencari mereka! Ini pula sebabnya
ketika raja Lakayong mendadak muncul pada malam hari itu, kedua penghianat itu tidak kelihatan di situ.
Demikianlah penuturan Raja Lakayong pada Kwan Cu.
‘Baiknya Dewa Air masih melindungiku,’ Raja Lakayong menutur selanjutnya, ‘sehingga ombak
membawaku ke tempat yang dangkal dan dalam keadaan yang setengah mati aku dapat berdiri di dalam
air yang tiba sebatas leher. Aku berdiri kuat-kuat agar tidak terguling, karena sekali aku terguling, tentu aku
akan mati. Kebetulan sekali kau datang, sahabat baik, dan aku pun lalu tertolong.’
‘Di mana adanya dua orang yang jahat itu? Aku ingin sekali memukul kepala mereka!’ tulis Kwan Cu
dengan gemas.
Lakayong tertawa bergelak.
‘Kamu mengagumkan sekali, saudara kecil yang gagah,’ tulisnya. ‘Akan tetapi kau tidak tahu kalau Wisang
dan Kasang amat kuat dan tangkas. Di seluruh dusun ini, hanya aku yang mampu menandingi mereka, itu
pun tak mudah aku lakukan. Mereka kuat sekali, apa daya orang kecil seperti kau?’
Pada saat kedua orang itu bercakap-cakap dalam bentuk tulisan, maka semua tulisan itu dibaca semua
orang ganti berganti dan yang mendapat kesempatan pertama tentu saja Liyani yang memandang kepada
Kwan Cu dengan kagum sekali.
‘Kau kecil dan lemah, akan tetapi kau gagah perkasa. Aku suka kepadamu,’ tulis gadis itu dengan tulisan
tangannya yang halus.
Kwan Cu merasa mendongkol juga karena raja Lakayong agaknya memandang rendah kepadanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
‘Biar pun aku kecil, aku berani menghadapi keroyokan mereka berdua!’ tulisnya.
Sesudah semua orang membacanya, tentu saja tulisan ini menimbulkan kegemparan besar. Seorang lakilaki
tinggi besar dan kelihatan kuat dan kasar sekali menudingkan telunjuknya kepada Kwan Cu dan
berkata-kata dengan keras.
‘Dia bilang apa?’ Kwan Cu menulis.
Akan tetapi Raja Lakayong menggelengkan kepalanya, seolah-olah merasa segan untuk ‘menerjemahkan’
kata-kata itu. Kwan Cu merasa penasaran dan menunjukkan kata-kata pertanyaannya itu kepada Liyani.
Gadis ini segera menuliskan jawabannya tanpa peduli kepada ayahnya yang tampaknya melarangnya.
‘Dia seorang kuat, dan berkata bahwa bangsa kami selalu jujur dan tidak mau membual. Seorang laki-laki
yang berani mengeluarkan ucapan membual harus berani membuktikan omongannya itu pula.’
Membaca jawaban itu, Kwan Cu melompat berdiri. Semua orang itu tidak bisa mengikuti gerakannya yang
cepat seperti burung terbang. Tahu-tahu semua orang melihat pemuda kecil itu sudah berdiri di depan
raksasa muda yang menegurnya tadi dan sedang bertolak pinggang seperti menantang.
Raksasa muda itu tertawa sambil mendorong dada Kwan Cu, agaknya hendak menyuruh Kwan Cu agar
duduk kembali. Dorongan itu sedikitnya ada delapan ratus kati beratnya, menyambar ke arah dada Kwan
Cu seperti gajah menyeruduk.
Tetapi dengan sedikit saja miringkan tubuh, Kwan Cu sudah dapat mengelak. Secepat kilat, dari samping
dia menekan siku yang mendorong dan membarengi menggunakan kaki untuk menendang belakang lutut
raksasa itu. Terdengar raksasa itu berteriak dan tak dapat bertahan lagi ia lantas jatuh tersungkur dengan
hidung lebih dulu!
Orang-orang tertegun melihat hal ini, bahkan Raja Lakayong sendiri seperti orang yang tidak percaya
dengan apa yang dilihatnya, sebaliknya Liyani bertepuk tangan memujinya.
Raksasa itu bangun kembali dengan penasaran, dari hidungnya yang panjang mengalir darah. Setelah
memandang dengan mata yang terbelalak, dia lalu maju menyerang, kini dengan kedua tangan dipentang
lebar dan kemudian memukul kepala Kwan Cu dari kiri dan kanan.
Serangan itu dahsyat sekali. Akan tetapi bagi Kwan Cu gerakan orang ini amat lambat, mudah saja
baginya untuk melangkah mundur sehingga kembali serangan itu mengenai angin kosong. Raksasa itu
terheran-heran ketika kedua tangannya memukul angin, maka dengan bernafsu ia menubruk lagi, kini
dengan tubuh membungkuk seperti seekor lembu jantan hendak menyeruduk.
Kwan Cu berpikir, bahwa kalau dia belum memperlihatkan kelihaiannya, tentu dia akan dipandang rendah
oleh orang-orang ini. Karena itu dia menanti kesempatan baik. Ketika lawannya menyeruduk, menyerang
dengan kedua tangan dan kepala, dia bergerak cepat sekali, melompat dengan ringan sekali melalui atas
kepala lawannya!
Semua orang tertegun, akan tetapi raksasa muda itu kebingungan karena tiba-tiba saja ia kehilangan
lawannya.
“Bocah cilik, jangan lari kau sembunyi!” teriaknya dengan bahasa yang tidak di mengerti oleh Kwan Cu.
Akan tetapi orang yang berada di situ mengerti dan menjadi geli sekali karena Kwan Cu yang disangka
bersembunyi itu sebenarnya telah berada di belakang raksasa muda itu!
Kwan Cu tidak mau membuang-buang waktu lagi. Dengan gerakan yang cepat sekali dia menggunakan jari
tangannya untuk menotok kaki bagian belakang lutut. Dia melihat urat besar dan seketika itu juga raksasa
itu jatuh berlutut. Kwan Cu menyerang terus, kini menotok punggungnya dan aneh sekali bagi semua orang
dan raja Lakayong karena dengan tiba-tiba raksasa muda itu terguling jatuh dan menangis keras!
Semua orang menjadi gempar dan raksasa itu dikerubung serta ditanyai, akan tetapi ia tidak menjawab
melainkan tetap bergulingan dan menangis karena ia telah ditotok jalan darahnya yang membuat semua
badan menjadi sakit dan air matanya mengucur keluar tanpa dapat dicegah lagi. Ternyata Kwan Cu telah
menggunakan Ilmu Silat Sin-ci Tin-san (Satu Jari Merobohkan Gunung)!
dunia-kangouw.blogspot.com
Liyani segera menghampiri Kwan Cu. Pemuda ini takut kalau akan dicium lagi maka dia berlaku waspada,
siap mengelak kalau-kalau akan dipeluk lagi. Tapi Liyani menghampiri dirinya dengan membawa tulisannya
yang ketika ia baca berbunyi,
‘Kau apakan dia?’
Kwan Cu tersenyum dan membalasnya dengan tulisan.
‘Tidak apa-apa, hanya memberi pelajaran kepadanya. Kau minta agar dia menarik lagi kata-kata yang
memandang rendah kepadaku dan aku akan menyembuhkannya!’
Sambil tersenyum gembira gadis itu berlari-lari ke arah raksasa yang masih menangis bergulingan
bagaikan anak kecil itu, dan menyampaikan pesan Kwan Cu. Raksasa itu berkaok-kaok yang
diterjemahkan oleh Liyani.
‘Dia sudah kapok dan minta ampun.’
Kwan Cu merasa kasihan. Ia segera menghampiri pemuda raksasa itu, lalu menepuk dan mengurut
punggungnya! Lenyaplah rasa sakit. Raksasa itu membungkuk kepada Kwan Cu, kemudian beranjak pergi
dari situ dengan malu.
Kwan Cu duduk lagi di dekat Raja Lakayong yang memandangnya sambil mengurutkan kening, lalu
menulis,
‘Kau mempergunakan ilmu hoat-sut (ilmu sihir). Aku tidak suka akan ilmu curangmu itu, lebih baik
mengandalkan tenaga dan berkelahi dengan jujur.’
Kwan Cu dapat memaklumi jalan pikiran raksasa sederhana dan jujur ini. Maka dia lalu menulis dengan
panjang lebar.
‘Tidak ada kecurangan caraku dalam bertempur, aku lebih menggunakan otak dari pada tenaga. Kalau aku
disuruh bertempur menghadapi dia yang jauh lebih besar, apakah itu jujur dan adil namanya? Sama saja
dengan seekor kelinci disuruh menghadapi harimau! Tenagaku jauh lebih kecil, oleh karena itu aku harus
menggunakan akal. Aku tadi juga menggunakan pukulan, akan tetapi pukulan dengan tenaga sekecilnya
yang aku tujukan pada bagian yang menyakitkan.’
‘Tubuhnya kuat, tak mungkin dengan tenaga kecil dapat menimbulkan rasa sakit,’ bantah Lakayong.
‘Kau keliru,’ jawab Kwan Cu. ‘di bawah kulit tersembunyi bagian-bagian yang lemah. Bila kau tidak
percaya, coba kau gunakan salah satu jari tanganmu mengetok bagian lututmu ini sendiri.’ Sambil berkata
demikian Kwan Cu meraba sambungan lutut raksasa itu.
Sambil tersenyum Raja Lakayong mengetokkan jarinya pada bagian itu. Dia pun berseru kesakitan sambil
secara otomatis kakinya bergerak ke depan seperti orang menendang karena uratnya yang amat perasa
telah tersentuh. Dengan rasa terheran-heran raksasa itu mengetuknya berkali-kali hingga akhirnya Kwan
Cu melarangnya karena hal itu dapat berbahaya sekali.
‘Jika kau menggunakan pukulan menghantam lawan, mungkin dia tak akan roboh. Akan tetapi jika kau
memukul agak ke bawah hingga mengenai sambungan lututnya, pasti ia akan roboh. Apakah akal ini dapat
dikatakan curang?’
Lakayong kagum sekali. Lalu ia minta penjelasan lebih lanjut.
‘Mungkin aku akan menghadapi salah satu di antara kedua orang penghianat itu. Mereka masih muda dan
kuat, sedangkan aku sudah tua. Aku kalah tenaga sehingga aku perlu mengetahui rahasia tubuh ini,’
katanya.
Kwan Cu segera memberi penjelasan sambil memberi contoh, yaitu lebih tepat memukul sambungan siku
dari pada mengenai lengan, lebih baik memukul sambungan pundak dari pada mengenai dada, dan
memberi petunjuk bagian berbahaya yaitu leher, ulu hati, lambung dan lain-lain. Raja Lakayong menjadi
girang sekali dan hampir sampai pagi ia menerima petunjuk dari Kwan Cu.
dunia-kangouw.blogspot.com
‘Di mana adanya dua orang jahat itu?’ tanyanya.
‘Mereka bersembunyi, akan tetapi tidak ada orang yang akan sembunyi terus-menerus, mereka tidak
berani meninggalkan pulau dan besok pasti akan menghadap juga.’
‘Apa yang akan kau lakukan terhadap mereka?’
‘Kau akan melihat sendiri besok,’ Lakayong menjawab sambil tertawa. ‘Yang sudah pasti, mereka akan
menghadapi keputusan yang jujur, sesuai dengan kebiasaan kami.’
Ada pun Liyani yang suka sekali kepada Kwan Cu, tiada bosannya mengajarkan bahasa mereka kepada
Kwan Cu. Dengan bantuan tulisan mereka yang dimengerti oleh Kwan Cu, dibantu pula oleh otaknya yang
cerdik, sebentar saja Kwan Cu sudah dapat mengerti beberapa ucapan terpenting dalam percakapan
sehari-hari. Maka mulailah dia bercakap secara langsung dengan Liyani dan Lakayong sehingga mereka
menjadi gembira sekali.
Melihat suling yang ada di buntalan Kwan Cu, Liyani bertanya benda apakah gerangan yang aneh itu.
Kwan Cu tersenyum lalu meniup sulingnya. Berserabutan orang-orang yang tadinya sudah pulang ke
pondok masing-masing untuk melihat apakah yang dapat berbunyi demikian aneh dan merdu.
Ada pun Liyani saking gembiranya lalu menari di hadapan Kwan Cu. Sebuah tarian yang menurut Kwan Cu
amat melanggar kesusilaan karena gadis itu menari dengan pinggang bergerak, semacam tari perut!
Atas kehendak Raja Lakayong, pertemuan yang menggembirakan itu dibubarkan untuk memberi
kesempatan pada tamunya untuk mengaso. Kwan Cu mendapat kamar yang bersih di dalam gedung besar
itu, berdekatan dengan kamar Raja Lakayong dan kamar puterinya.
Sebentar saja Lakayong telah tidur mendengkur. Juga Kwan Cu yang merasa amat lelah, tidur
melenyapkan keletihannya setelah makan kenyang dan merasa tubuhnya enak dan segar. Terlebih dahulu
ia mengganti pakaiannya yang basah kuyup dengan pakaian yang sudah dia panggang di dekat api
unggun sehingga menjadi kering.
Pada keesokan harinya dia bangun dari tidurnya karena suara ketawa terkekeh-kekeh di dalam kamarnya.
Ia membuka matanya dan cepat meloncat turun dari pembaringan kayu ketika melihat yang tertawa-tawa
itu adalah Liyani yang sudah memasuki kamarnya.
Gadis itu telah membuka buntalannya dan sedang melihat-lihat pakaiannya. Celana dan bajunya dipegang
gadis itu sambil tertawa-tawa, bagai seorang gadis remaja memegang dan merasa geli melihat pakaian
anak kecil! Memang, celana sutra dari pemuda itu ketika dipegang tergantung oleh tangan Liyani hanya
kelihatan seperti celana anak kecil saja!
Ketika melihat Liyani mulai membuka bungkusan kuning yang berisi daun Liong-cu-hio, Kwan Cu melompat
dan merampas bungkusan itu.
“Jangan sentuh ini!” katanya dalam bahasa Kuyu yang kaku.
Mata yang bening itu terbelalak lebar. Setelah melihat gadis itu pada pagi hari, Kwan Cu harus mengakui
bahwa Liyani memiliki kecantikan yang khas dari bangsanya. Kulitnya yang kehitaman itu tidak
membosankan dan bibirnya yang tebal itu nampak penuh dan manis.
“Kenapa tak boleh?” tanyanya heran, kejujurannya membuat ia tak merasa tersinggung.
“Karena benda yang terbungkus kain ini sangat berbahaya, sekali tanganmu menyentuh benda itu, maka
tanganmu akan menjadi hangus.”
Liyani menjadi terkejut sekali dan melangkah mundur.
“Kau orang aneh, barang-barangmu juga aneh. Akan tetapi aku... aku suka kepadamu, suka sekali
padamu.” Setelah berkata begitu gadis itu keluar dari kamar, meninggalkan Kwan Cu yang berdiri dengan
muka merah sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda ini baru berumur enam belas tahun dan selama hidupnya belum pernah berpikir tentang cinta
kasih antara laki-laki dan wanita. Tadinya mengira bahwa rasa suka yang dinyatakan berkali-kali oleh gadis
raksasa itu adalah rasa suka yang terdapat dalam hati orang bersahabat, namun melihat sinar mata gadis
itu yang aneh sekali, membuat dia merasa jengah dan tidak enak hati!
Wanita-wanita pelayan datang membawa air pencuci muka, air minum serta makanan, menyediakan
semua itu sambil tertawa-tawa seolah-olah menghadapi sesuatu yang lucu.
Kwan Cu mendongkol sekali dan berpikir bahwa dia tidak betah bila terlalu lama tinggal di pulau raksasa ini
karena dia maklum bahwa tubuhnya yang jauh lebih kecil dari pada penduduk di sana akan membuat dia
kelihatan sebagai makhluk yang sangat aneh dan menggelikan. Ia tidak suka menjadi bahan ketawaan.
Namun, minuman yang disediakan amat enak, menghangatkan perutnya sedangkan makanan itu lezat
sekali, semacam kue yang manis.
Tak lama kemudian datanglah Raja Lakayong yang nampak sehat dan gembira sekali.
“Saudara kecil yang baik, apakah kau enak tidur?” tanyanya.
Kwan Cu mengucapkan terima kasihnya dalam bahasa Kuyu yang kaku.
“Saudara Kwan Cu, mari kau ikut aku melihat bagaimana kami mengadakan pengadilan,” kata Lakayong
sambil mengandeng tangan Kwan Cu.
Ketika mereka tiba di luar, ternyata Raja itu tidak datang seorang diri, melainkan bersama tujuh orang lakilaki
yang bertubuh tinggi besar dan nampaknya kuat sekali. Mereka ini adalah pembantu-pembantu dari
Lakayong.
Kwan Cu berjalan bersama Lakayong menuju ke sebelah barat di mana terdapat sebuah telaga yang
berbentuk bundar dan nampaknya dalam sekali. Air telaga yang kebiruan itu kelihatan tenang, akan tetapi
kadang-kadang nampak berombak dan sekali-kali muncul kepala seekor binatang yang membuat Kwan Cu
terheran-heran dan merasa ngeri.
Kepala binatang yang muncul di permukaan air telaga itu amat menyeramkan bentuknya seperti seekor
singa, liar dan buas, akan tetapi kepala itu besar sekali dan tubuhnya agak panjang karena ekornya yang
berambut merah berada jauh di belakangnya. Apakah ini yang disebut naga? Ataukah singa air?
Lakayong mengajak Kwan Cu duduk di dekat telaga, di atas batu-batu hitam yang licin dan agaknya sudah
sering kali diduduki oleh Raja ini. Para pembantu yang tujuh orang itu duduk di sebelah kiri.
“Sudah siapkan mereka?” tanya Lakayong pada orang-orangnya.
“Mereka sedang menuju ke sini,” jawab pembantunya dengan hormat.
Betul saja, tidak lama kemudian nampak dua raksasa muda yang bertubuh kuat sekali. Mereka berjalan
berdampingan bagai dua ekor gajah muda menuju ke tempat itu. Setiba mereka di depan Lakayong, dua
orang itu lalu berbungkuk dengan hormat.
“Kalian sudah mendengar keputusanku!” kata Lakayong dengan kata dingin. “Karena di antara kalian
berdua tiada yang mengaku merencanakan pengkhianatan itu, kalian harus mendapatkan kemenangan
dalam pertandingan di atas batu jamur. Yang kalah menjadi mangsa singa telaga, yang menang akan
berhadapan dengan aku sendiri!”
“Kami mengerti!” jawab dua orang itu dengan gagah dan mata mereka memandang ke arah Kwan Cu
penuh kebencian sehingga pemuda ini menjadi kaget.
Tujuh orang pembantu segera menyediakan sebuah perahu besar, kemudian dua orang raksasa muda itu
menunggang perahu menuju tengah-tengah telaga. Kwan Cu melihat bahwa di tengah telaga itu terdapat
sebuah batu karang yang bentuknya aneh seperti jamur besar. Tahulah dia bahwa kedua raksasa muda itu
harus bertanding di atas batu karang itu.
“Apakah mereka yang bernama Wisang dan Kasang?” tanyanya kepada Lakayong.
dunia-kangouw.blogspot.com
Raja raksasa itu mengangguk dengan tersenyum.
“Benar, merekalah para pengkhianat itu. Sayang sekali, sebenarnya mereka merupakan dua orang muda
yang paling cakap yang gagah di antara suku bangsa kami.”
“Masih lebih baik mempunyai pembantu kurang cakap akan tetapi jujur dari pada memiliki pembantu cakap
akan tetapi khianat,” kata Kwan Cu.
“Kau betul sekali, saudaraku, cocok sekali dengan pendirianku. Oleh karena itulah maka aku menjatuhkan
hukuman itu kepada mereka.
Diam-diam Kwan Cu mengagumi kesederhanaan dan kejujuran orang-orang ini. Mana ada hukuman
seperti itu, yang menjadi pesakitan sama sekali tidak di tangkap, dibiarkan bebas begitu saja. Namun tetap
saja mereka datang menyerah! Dan alangkah anehnya hukuman itu. Keduanya disuruh bertanding dan
yang menang akan diberi kesempatan bertanding dengan raja Lakayong!
“Bagaimana kalau dalam pertandingan kedua nanti kau kalah?” tanya Kwan Cu.
“Aku akan kalah? Tidak mungkin. Apa lagi sesudah mendapat petunjuk darimu tentang bagian-bagian
tubuh yang lemah, meski pun dikeroyok dua oleh mereka, aku akan dapat merobohkan mereka,” kata
Lakayong sambil ketawa gembira.
“Akan tetapi, andai kata kau tetap kalah?” Kwan Cu mendesak.
“Kalau aku kalah? Tidak bisa lain tentu pemenangnya akan menjadi Raja dan menikah dengan Liyani.”
Kwan Cu tertegun. Alangkah sederhananya peraturan itu dan menunjukkan bahwa raja raksasa ini sama
sekali tidak berlaku sewenang-wenang. Jika dia mau, bukankah dengan mudah dia bisa saja menyuruh
tangkap dan bunuh kedua pengkhianat itu? Akan tetapi, mendengar bahwa Liyani akan diperistri oleh
seorang pemenang, hati Kwan Cu menjadi penasaran.
“Bukankah Liyani sudah menolak pinangan mereka?”
“Karena Liyani puteriku maka dia berhak menolak pinangan siapa saja yang dia tidak suka. Akan tetapi, ia
tak akan boleh menolak pinangan seorang raja.”
Percakapan berhenti dan kini dua orang raksasa muda itu sudah tiba di batu karang yang disebut batu
jamur. Dengan otot-otot kaki tangan menggembung mereka lalu merayap naik ke atas batu karang itu.
Tidak sembarang orang dapat merayap seperti itu karena batu karang itu bentuknya seperti jamur dan
terjal.
Selain sukar, juga amat berbahaya karena Kwan Cu melihat betapa singa-singa telaga sudah siap sedia
menunggu dengan mulut memperlihatkan gigi-gigi tajam di sekitar batu jamur itu! Sekali saja kaki
terpeleset dan jatuh ke air, tak akan ada pertolongan lagi.
Setelah kedua orang itu, Wisang dan Kasang, berhasil naik ke atas, mereka lalu berdiri berhadapan seperti
dua orang jago berlagak. Siap untuk mulai pertandingan. Penduduk dusun itu semua datang untuk
menyaksikan pertandingan ini, dan dari gerak dan suara mereka Kwan Cu dapat menduga bahwa para
penonton itu saling bertaruh untuk jago masing-masing.
Matahari telah tinggi dan kini semua orang laki-laki perempuan telah berkumpul di pinggir telaga termasuk
Liyani yang mengambil tempat duduk di samping Kwan Cu. Ada pun raja Lakayong duduk di sebelah
kanan pemuda itu. Raja ini kelihatan gembira sekali.
Pertandingan di atas batu jamur jarang sekali diadakan. Semenjak dulu, sudah beberapa keturunan, batu
jamur itu hanya dipergunakan untuk pertandingan bagi calon-calon raja. Akan tetapi dalam pertandingan
calon raja, di sekeliling batu itu terdapat perahu-perahu besar sehingga kalau ada yang kalah dan jatuh ke
bawah, dia tidak akan dimakan singa telaga karena dapat melompat ke perahu.
Berbeda dengan pertandingan sekarang ini, karena pertandingan sekarang ini bersifat hukuman, maka
setelah dua orang ini naik, Lakayong memberi perintah supaya perahu besar yang membawa dua orang
raksasa muda tadi ke batu jamur, disingkirkan! Dengan demikian berarti bahwa siapa yang kalah akan
dunia-kangouw.blogspot.com
terkubur di dalam perut singa telaga!
Kemudian Lakayong lalu memberi isyarat dengan mengangkat tangan dan mulailah kedua orang raksasa
itu bertanding! Kwan Cu memandang dengan penuh perhatian. Ia tidak tahu bahwa dua orang raksasa
muda yang sedang bertanding menanam kebencian hebat kepadanya.
Sebelum dua orang raksasa itu tadi menghadap raja, pada malam harinya mereka telah mendengar dari
raksasa yang dikalahkan oleh Kwan Cu tentang semua kejadian. Mereka tahu bahwa yang menolong raja
adalah pemuda itu, sehingga boleh dibilang bahwa yang mendatangkan mala petaka dan yang
menggagalkan rencana mereka adalah Kwan Cu. Apa lagi ketika mereka mendengar bahwa biar pun kecil,
pemuda asing itu mempunyai kepandaian bertempur yang mengherankan, dua orang raksasa muda itu
menjadi makin benci dan iri hati.
Pertempuran yang terjadi di atas batu jamur itu ramai sekali. Keduanya sama kuat dan sama tangguh.
Pukul-memukul, tendang-menendang dan dorong-mendorong, berusaha sekuat tenaga agar lawannya
terlempar jatuh dari atas batu jamur.
Memang amat mengerikan dan menegangkan nampaknya. Permukaan batu yang rata itu tidak seberapa
lebar dan sekali sudah terlempar atau tergelincir ke bawah berarti maut menjadi bagiannya!
Kwan Cu melihat betapa dua orang raksasa muda itu lebih banyak menggunakan tenaga dari pada otak.
Mereka memiliki kekuatan, dan tubuh yang terlindung oleh otot-otot tebal itu menjadi kebal. Pukulan dan
tendangan lawan seperti tidak terasa dan dorongan tak cukup kuat untuk dapat merobohkan tubuh yang
kokoh kuat itu.
Diam-diam Kwan Cu menjadi geli menyaksikan cara mereka bertempur itu. Seperti dua orang anak-anak
yang bergulat saja. Apa bila dia yang maju, dia percaya bahwa dalam beberapa gebrakan saja dia akan
dapat mengalahkan mereka.
Para penonton bersorak-sorak, menyoraki jago masing-masing. Kadang-kadang Wisang tertindih, ada
kalanya Kasang terdesak, akan tetapi keduanya sama kuatnya sehingga pertandingan makin lama makin
seru dan mengerikan. Liyani tertawa-tawa gembira dan gadis ini nampaknya senang sekali menyaksikan
pertandingan antara kedua raksasa itu. Raja Lakayong memandang penuh perhatian dan berkali-kali
menganggukkan kepala sambil berkata perlahan kepada Kwan Cu.
“Kau betul, saudaraku. Mereka tidak mempergunakan otak dan mereka hanya memukul atau menendang
bagian-bagian anggota badan yang mudah untuk dijadikan sasaran saja. Kalau mereka itu menyerang ke
arah anggota tubuh lawan yang lemah seperti yang kau ajarkan kepadaku, tentu pertandingan akan selesai
dengan cepat. Ahhh, aku girang sekali karena sekarang terbuka mataku bagaimana harus mengalahkan
mereka tanpa menghabiskan tenaga!”
Akan tetapi pemuda itu tak segembira Lakayong, bahkan Kwan Cu memandang ke arah pertempuran
dengan kening berkerut. Matanya yang tajam itu dapat melihat hal-hal yang aneh dalam pertempuran itu.
Banyak sekali kesempatan-kesempatan dan lowongan baik sekali dilewatkan begitu saja oleh Wisang dan
Kasang. Kesempatan yang cukup untuk mereka pergunakan dalam merobohkan lawan.
Benar-benarkah mereka begitu bodoh dan buta? Tak mungkin! Hanya ada satu jawaban untuk
memecahkan pertanyaan ini, yaitu bahwa dua orang itu tidak berkelahi sesungguh hati!
“Mereka hanya main-main saja!” katanya penuh curiga. “Mereka tidak berkelahi dengan sesungguhnya!”
Lakayong tertawa dengan bergelak. ”Kau lucu sekali, sahabatku. Orang sedang berkelahi mati-matian dan
maut sewaktu-waktu dapat merengut nyawanya dan kau bilang bahwa mereka itu hanya main-main saja?
Ha-ha-ha!”
“Jangan kau menertawakan aku, Raja Lakayong, tapi aku berani bertaruh bahwa sampai matahari
tenggelam tak seorang pun di antara mereka yang akan kalah.”
Akan tetapi Lakayong tak percaya dan demikianlah, pertempuran terus dilakukan dengan hebatnya. Orangorang
wanita sudah menjadi bosan karena benar saja, setelah senja tiba, belum juga ada yang kalah dan
menang. Seorang demi seorang mereka lalu pergi, bahkan Liyani juga pergi dari situ karena mereka ini
harus melakukan tugas pekerjaan mereka. Bahkan banyak pula penonton laki-laki yang turut pergi. Yang
dunia-kangouw.blogspot.com
masih tinggal di sini adalah hanya Raja Lakayong, Kwan Cu dan tujuh orang pembantu saja.
Tidak lama kemudian pelayan-pelayan datang membawa makanan dan minuman untuk Raja, Kwan Cu
dan tujuh orang pembantu itu dan mereka makan di pinggir telaga sambil menonton pertempuran yang
masih saja berjalan ramai itu. Akhirnya matahari terbenam dan sebagai penggantinya, bulan bertahta di
angkasa raya.
Raja Lakayong maju. Dia menepuk-nepuk pundak Kwan Cu, lalu merangkul pemuda itu dengan tangan
kirinya sambil berkata,
“Dugaanmu tidak meleset, saudara kecil. Benar saja sampai bulan muncul, belum ada yang kalah. Mereka
berdua sama berani dan sama kuat. Sayang sekali mereka harus dihukum.”
Kwan Cu tidak menjawab. Dia tahu bahwa percuma saja apa bila dia hendak berkukuh menyatakan bahwa
dua orang itu tidak bertempur sesungguhnya. Ia tahu bahwa Raja ini terlalu jujur sehingga tidak mengerti
tentang kepalsuan dan pura-pura, maka tidak dapat pula membedakan pertempuran pura-pura dan
pertempuran sesungguhnya.
“Pertempuran terpaksa ditunda sampai besok pagi, dewa bulan tidak suka menyaksikan manusia
berkelahi,” kata Lakayong yang memberi isyarat dengan tangannya.
Pembantu-pembantunya mendayung perahu besar dan kedua raksasa yang bertempur itu lalu
diperintahkan supaya menghentikan dan menunda pertandingan itu untuk diulang kembali besok pagi.
Dua orang raksasa itu kelihatan letih sekali. Tubuh mereka yang tinggi besar itu penuh peluh sampai
berkilauan dan kelihatan lemas. Mereka segera dibawa ke pinggir telaga dan Lakayong berkata,
“Besok pertandingan kalian dimulai lagi pada waktu matahari muncul. Sekarang kalian boleh beristirahat.”
Raja ini lalu memberi perintah supaya kedua orang jago ini dihidangi makanan yang lezat kemudian dia
mengajak Kwan Cu kembali ke dusun.
Dugaan bahwa Wisang dan Kasang bertanding dengan pura-pura adalah tepat, karena memang kedua
orang raksasa muda ini sengaja bertempur dengan main-main, tidak bermaksud saling mengalahkan.
Berbeda dengan kawan-kawannya, dua orang raksasa ini agak lebih cerdik.
Mereka maklum bahwa kalau seorang di antara mereka menang dan harus menghadapi Lakayong, tetap
saja si pemenang itu akan kalah oleh sang Raja yang sangat kuat itu. Karena inilah mereka berunding dan
mendapat akal. Mereka takkan saling mengalahkan sehingga mereka akan dapat menghadapi Lakayong
berdua!
Sementara itu di dalam rumah Raja Lakayong, Kwan Cu bercakap-cakap dengan Raja itu dikawani oleh
Liyani.
“Mereka benar-benar mengagumkan, kuat sekali,” kata Raja Lakayong.
Kwan Cu merasa tidak ada gunanya untuk membantah dan sejak tadi dia memutar otak untuk
memecahkan masah itu. Dia juga merasa ngeri kalau membayangkan betapa dua orang raksasa muda
yang kuat itu akhirnya akan menjadi mangsa singa telaga.
“Raja Lakayong, kau bilang sayang sekali kalau sampai kedua orang itu tewas, bukan? Mengapa tidak
mengampuni dan menggunakan tenaga mereka sebagai pembantu yang cakap?”
“Mengampuni tidak mungkin. Sudah menjadi kebiasaan kami menghukum orang-orang bersalah.”
”Bukan mengampuni sama sekali. Maksudku jangan menyuruh mereka bertanding di batu jamur itu, agar
kita dapat menyaksikan dari dekat. Mereka harus diberi keinsyafan bahwa kau jauh lebih kuat dari mereka
dan kita harus mencari akal untuk menundukkan mereka.”
“Bagaimana maksudmu, saudaraku yang baik?” tanya Lakayong.
“Begini,” jawab Kwan Cu yang sudah merencanakan sebuah akal yang baik. “Besok pagi suruhlah mereka
bertanding di tempat yang terbuka dan kita menyaksikan dari dekat. Yang menang biarlah kulawan sebagai
dunia-kangouw.blogspot.com
gantimu. Aku akan memberi hajaran kepadanya sampai dia tunduk betul. Atau boleh juga kau turun tangan
memberi hajaran. Apa bila mereka sudah yakin betul bahwa mereka tiada harapan untuk menangkan kau,
kurasa mereka tidak begitu bodoh dan nekat untuk memberontak.”
Lakayong mengangguk-angguk menyatakan persetujuannya. Memang dia sendiri adalah seorang yang
berhati penuh kasih sayang terhadap rakyatnya, maka tentu saja dia akan merasa lebih girang kalau saja
dapat menyelamatkan nyawa kedua orang raksasa muda itu, sungguh pun kedua raksasa itu sudah pernah
berusaha untuk menbunuhnya.
Rakyatnya membutuhkan orang-orang kuat seperti Wisang dan Kasang dan dia akan lebih suka
mempunyai mantu di antara kedua raksasa muda itu dari pada pemuda yang lain di antara semua
penghuni pulau itu.
“Baiklah, besok akan kucoba rencanamu itu.” Kemudian mereka berpaling kepada Liyani sambil bertanya,
“Liyani, dulu kau menolak pinangan kedua orang muda itu. Sebetulnya siapakah yang paling baik di antara
mereka berdua? Menurut pandanganmu, siapa di antara Wisang dan Kasang? Bagaimana dengan
Wisang?”
Biar pun pertanyaan seperti ini yang dilakukan oleh ayahnya di depan orang lain tentu akan membikin malu
kepada seorang gadis biasa, akan tetapi Liyani tidak merasa malu, bahkan tersenyum manis, lalu
menjebirkan bibirnya dan mengejek. “Wisang? Dia orang kasar, aku tidak suka kepadanya.”
“Kalau Kasang bagaimana?” mendesak ayahnya.
“Dia cukup halus dan baik, akan tetapi…” berkata demikian, Liyani mengerling kepada Kwan Cu, membuat
hati pemuda cilik ini menjadi berdebar bingung.
“Akan tetapi kenapa?” Lakayong mendesak pula.
“Dia pernah kalah oleh Ayah. Aku hanya mau menjadi isteri seorang yang lebih kuat dan pandai dari pada
kau, Ayah,” katanya dengan sikap manja. Kembali gadis ini tersenyum dan mengerling kepada Kwan Cu.
Celaka dua belas, pikir Kwan Cu. Benar-benar gadis berkepala batu yang pikirannya aneh. Mana bisa
Kasang menangkan Lakayong? Semua pemuda di pulau itu tak dapat menangkan Lakayong dan sekarang
gadis ini bersikap manis kepadanya karena biar pun dia seorang bertubuh kecil, tapi dia telah
memperlihatkan kepandaian dan agaknya gadis raksasa ini mengharapkan bahwa dia akan dapat
mengalahkan ayahnya!
Ada pun Lakayong sesudah mendengar jawaban puterinya itu, lalu tertawa bergelak dan berkata,
“Anak bodoh! Agaknya kau tak akan dapat menikah sebelum aku menjadi orang tua dan lemah!”
Liyani tidak menjawab, lalu tak lama kemudian dia meninggalkan ayahnya dan Kwan Cu, berjalan pergi ke
kamarnya sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara merdu.
“Ia seorang anak baik, seorang gadis yang menjadi kembang di antara rakyatku semua,” berkata Lakayong
memuji puterinya. “Sayang dia keras kepala. Kalau dia menjadi isteri Kasang, tentu dia akan mempunyai
seorang putera yang gagah perkasa.”
“Biarlah besok kita menundukkan lebih dulu dua orang muda itu dan barulah aku mencari akal agar supaya
puterimu itu suka menerima tunangan Kasang,” kata Kwan Cu.
Lakayong memandang dengan muka kagum dan bersyukur. “Agaknya dewa-dewa sudah mengirim kau
datang untuk menolong kami, saudara kecil. Walau pun semua akal dan caramu belum dijalankan, aku
percaya bahwa kau yang telah memperlihatkan kesaktian akan berhasil. Aku berterima kasih kepadamu.”
“Tidak apa, Raja Lakayong. Sebaliknya aku pun telah kau terima sebagai tamu dengan sikap yang ramahtamah.
Ini saja membuat aku bersyukur sekali. Kau beserta rakyatmu adalah orang-orang jujur, satu sifat
yang paling kukagumi di antara sifat-sifat yang baik, maka aku bersedia untuk membantu kalian.”
“Kalau saja aku dapat melakukan sesuatu untuk membalas budimu, aku akan merasa girang sekali,
saudara Kwan Cu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hampir saja Kwan Cu membuka rahasianya tentang pulau kecil di mana tersimpan kitab Im-yang Bu-tek
Cin-keng yang dicarinya, akan tetapi pemuda ini masih sempat menahan lidahnya.
“Memang ada sesuatu yang hendak kutanyakan kepadamu dan mengharap kalau-kalau kau dapat
membantuku, akan tetapi biarlah hal itu kutunda dahulu dan akan kuceritakan kalau urusanmu ini sudah
beres,” jawabnya.
Kemudian mereka mengaso…..
********************
Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Kwan Cu sudah bangun dari tidurnya. Seperti kemarin, dia
melihat Liyani sudah berada di kamarnya. Dia merasa menyesal mengapa kamar-kamar besar di rumah ini
semuanya tidak ada pintunya, kalau ada akan ditutupnya rapat-rapat supaya jangan ada orang masuk
begitu saja. Melihat seorang gadis berada di kamarnya, meski pun gadis itu seorang gadis raksasa
membuat Kwan Cu merasa jengah dan kikuk sekali.
“Nona Liyani, kau sudah berada di sini?” tanya Kwan Cu dengan kikuk sekali.
Biasanya dia menyebut tanpa nona segala, akan tetapi pagi hari ini karena merasa malu dan jengah
mendapatkan gadis itu di dalam kamarnya, maka tanpa terasa dia menyebut ‘Nona’. Padahal di dalam
bahasa Kuyu tidak terdapat sebutan Nona, akan tetapi dalam gugupnya dia meyebut ‘siocia’ yang berarti
Nona.
“Eh, saudara Kwan Cu, apakah artinya siocia?” tanya Liyani sambil memandang dengan matanya yang
lebar bening.
“Ohh, ya, aku lupa. Itu bahasaku, digunakan untuk menyebut seorang gadis yang belum menikah,”
jawabnya.
Liyani mengangguk-angguk sambil tersenyum. “Lucu sekali kedengarannya. Semua hal yang ada padamu
lucu dan menyenangkan. Melihat cara kau tidur pun kelihatan lucu dan menyenangkan.”
Kwan Cu terheran. “Lucu? Bagaimana sih tidurku?” tanyanya ingin tahu.
“Kau tidur begitu anteng seperti… seperti seorang wanita.”
“Seperti wanita? Apa maksudmu?”
“Atau seperti seorang anak kecil. Kau tidur berbeda dengan laki-laki dewasa di sini. Kau sama sekali tidak
mendengkur, bahkan napasmu demikian halus. Seperti anak-anak.”
“Hemm...” Kwan Cu merasakan kemendongkolannya yang sudah sering kali dia rasakan semenjak dia
datang di situ dan merasa dirinya menjadi bahan tertawaan.
“Memang... aku masih anak-anak, anak kecil yang tak ada sifat jantan,” katanya dengan sebal.
Ia lalu melompat turun dari pembaringan yang terlalu panjang dan terlalu lebar untuknya itu. Dia berdiri dan
terpaksa mendongak untuk memandang wajah gadis itu karena kalau mereka berdua berdiri berhadapan,
tinggi tubuhnya hanya sampai pada pinggang gadis itu, bahkan lebih rendah lagi!
Liyani dapat merasakan suara kecewa dan mendongkol dalam kata-kata Kwan Cu, maka sambil tersenyum
dia membungkuk dan meraba kedua pundak pemuda ini.
“Tidak, saudara yang baik. Kau sama sekali tidak seperti anak kecil. Meski pun kau kecil sekali, akan tetapi
gagah dan mengagumkan, bahkan ayah berkata bahwa agaknya kau masih keturunan dewa.”
“Gila!” kata Kwan Cu makin gemas.
“Aku pun tidak percaya,” kata Liyani tertawa, “Kau manusia biasa, hanya dari bangsa yang bertubuh kecil.
Akan tetapi kau memang gagah dan baik, aku suka sekali padamu. Ehh, saudaraku yang baik. Menurut
dunia-kangouw.blogspot.com
perkiraanmu, siapakah yang akan menang di antara Wisang dan Kasang?”
“Kau mengharapkan siapa yang menang?” tanya Kwan Cu.
Liyani cemberut dan Kwan Cu menjadi geli. Lenyap kemendongkolannya yang tadi. Lucu sekali melihat
gadis tinggi besar seperti itu masih bersikap manja seperti seorang anak kecil atau seorang gadis manja.
“Belum menjawab pertanyaanku, kau sudah balas bertanya. Jawablah dulu.”
Kwan Cu menjawab terus terang. “Walau pun hari ini mereka bertanding seharian penuh, kurasa takkan
ada yang akan kalah atau yang menang. Kedua orang itu agaknya hanya bertanding pura-pura belaka.
Karena kemarin mereka bertempur di tempat yang agak jauh, maka tidak kentara. Sekarang mereka akan
bertanding di lapangan terbuka, tentu akan kelihatan kalau mereka masih berpura-pura.”
“Menurut pandanganmu... siapakah yang lebih baik di antara kedua orang itu?”
Diam-diam Kwan Cu merasa geli dalam hatinya. Gadis ini sedang melakukan pemilihan dan
kepercayaannya kepadanya begitu besar sehingga minta nasehat dan pertimbangan darinya dalam hal
memilih jodoh!
“Hemm... Bagaimanakah aku mampu mengatakan hal itu? Aku belum kenal mereka dan menurut keadaan
luarnya, memang mereka itu sama muda, sama tangkas serta sama kuat. Sukarlah mengatakan yang
mana lebih baik.” Kwan Cu berkata terus terang, tetapi dengan hati-hati.
“Wisang orangnya kasar. Pernah dia mengejar dan hendak memaksaku supaya berlaku manis
kepadanya,” kata gadis itu cemberut.
“Kalau begitu agaknya Kasang lebih menarik hatimu,” kata Kwan Cu memancing.
“Memang dia lebih baik dari pada Wisang, akan tetapi sekarang dia pun kelihatan kasar bagiku.”
“Apakah ada orang lain yang lebih baik dan halus dari padanya?” Kwan Cu memancing karena siapa tahu
kalau-kalau ada pemuda lain yang lebih menarik hati gadis aneh ini.
“Semua pemuda di dusun ini kasar-kasar belaka, bila tidur mendengkur seperti binatang, sikapnya kasar
menyakitkan hati, tidak ada yang halus menyenangkan seperti engkau!” gadis itu menarik napas panjang.
Kwan Cu sangat terkejut dan merasa khawatir sekali. Celaka, bagaimanakah pendirian gadis aneh ini?
“Aku kelihatan halus karena aku kecil sekali. Lihat, aku tidak setinggi pinggangmu.”
Liyani menarik napas panjang, nampak kecewa sekali. “Itulah! Kalau kau memilikii tubuh sebesar kami, tak
akan susah payah aku memilih calon jodohku.”
Berdebar hati Kwan Cu. Benar-benar gila gadis ini, pikirnya dan dia mulai merasa takut berada berdua saja
dengan gadis ini.
“Akan tetapi walau pun kecil kau baik sekali, saudara Kwan Cu. Aku suka kepadamu.” Sambil berkata
demikian dengan jari-jari tangannya, gadis itu menyentuh bahu Kwan Cu.
Pemuda ini sudah kebingungan, baiknya pada saat itu datang pelayan yang membawa air pencuci muka
dan makanan pagi.
“Baginda menanti di kebun belakang dan orang-orang telah berkumpul untuk meyaksikan pertandingan,”
kata pelayan itu.
Setelah pelayan itu keluar, Kwan Cu mencuci muka. Ia merasa lega sekali ditinggal pergi Liyani, seakanakan
terlepas dari mulut harimau! Dengan cepat dia makan, kemudian dia pun pergi menuju ke belakang
rumah di mana terdapat sebuah kebun yang besar sekali.
Benar saja, di sana sudah berkumpul banyak orang. Liyani duduk di dekat ayahnya dan ketika Kwan Cu
datang, gadis itu memegang tanganya dan menarik duduk di dekatnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Wisang dan Kasang sudah berdiri berhadapan. Ketika mereka melihat betapa Kwan Cu duduk di dekat
Liyani, mereka memandang dengan mata penuh kebencian. Pemuda cilik ini benar-benar memanaskan
perut mereka. Pertama-tama pemuda cilik itulah yang telah menggagalkan rencana mereka membunuh
Lakayong, dan sekarang agaknya pemuda itu hendak merebut hati Liyani.
Akan tetapi mereka tidak dapat terus memandang Kwan Cu, karena Raja Lakayong telah memberi aba-aba
sehingga kedua pemuda itu segera mulai pertandingan dengan hebat. Otot-otot tubuh mereka bergerakgerak
dan keduanya saling serang bagaikan dua ekor harimau bertarung.
Akan tetapi, belum lama mereka bertanding, tahulah Kwan Cu bahwa benar-benar kedua orang ini sedang
main gila dan tidak bertempur sesungguhnya. Raksasa-raksasa bodoh yang menonton di situ, termasuk
juga raja Lakayong dan puterinya, betul-betul memang kena diakali.
Kwan Cu menjadi gemas bukan main. Selagi dia berpikir-pikir dan mencari tahu apakah gerangan maksud
kedua orang raksasa muda ini dengan perkelahian secara pura-pura itu, tiba-tiba kedua orang yang
bertarung berhenti.
Wisang menjura kepada Lakayong dan berkata,
“Aku dan Kasang mempunyai kekuatan dan kepandaian yang sama, tidak mungkin ada yang kalah atau
menang. Karena itu, sudah sepatutnya kalau kami berdua menghadapi raja bersama. Kalau kami kalah,
biarlah kami mati di bawah pukulan tangan raja!”
Kini tahulah Kwan Cu akan maksud mereka. Jadi mereka sudah bermufakat untuk tidak merobohkan
lawannya supaya mereka dapat menghadapi Raja yang kuat itu bersama! Dalam kemarahannya Kwan Cu
segera melompat ke tengah lapangan kemudian berkata dengan suara kaku,
“Kalian ini orang-orang curang dan jahat! Apa kalian aku tidak tahu bahwa kalian sengaja tak mau
menjatuhkan lawan? Kalian tidak sungguh-sungguh bertempur, sengaja hendak mengeroyok Raja yang
sudah tua!”
Wajah Wisang serta Kasang menjadi pucat dan saling memandang, kemudian mereka menghadapi Kwan
Cu dengan mata mendelik.
“Saudara Kwan Cu, kalau mereka ingin menghadapi aku, biarlah. Akan kulawan mereka berdua. Orangorang
ini memang perlu dihajar!” kata Raja Lakayong dengan gagah dan dia sudah berdiri dengan
tegapnya.
Memang tubuh Raja ini luar biasa sekali, masih sekepala lebih tinggi dari pada dua orang raksasa muda
itu, bahkan otot-ototnya lebih besar dan nampaknya kuat sekali. Semua orang menyatakan pujian kepada
mereka yang gagah ini.
Akan tetapi Kwan Cu tetap merasa khawatir. Dua orang raksasa muda ini dapat menipu mereka, ini
menandakan bahwa mereka ini lebih cerdik dari orang-orang itu. Siapa tahu kalau-kalau mereka itu sudah
mempunyai akal untuk menjatuhkan raja yang meski pun nampak kuat namun jauh lebih tua itu.
“Tidak! Tidak patut dua orang muda mengeroyok orang yang jauh lebih tua.”
Wisang menjadi marah sekali. Ia membanting kaki tangannya dan tergetarlah tanah yang diinjaknya saking
kuatnya tenaga kakinya ini.
“Jahanam kecil, cacing busuk yang mau mampus! Kau siapa maka berani mencampuri urusan bangsa
kami? Kau berani membuka mulut, apakah kau berani pula menghadapi kami secara laki-laki yang memiliki
keberanian dan kekuatan, tidak seperti perempuan yang hanya bisa mempergunakan mulutnya?”
Panas dada Kwan Cu mendengar hinaan ini. Ia menjura kepda Raja Lakayong sambil berkata,
“Raja Lakayong saudaraku yang baik, perkenankanlah aku untuk menghadapi mereka ini dan memberi
hajaran kepada mereka sebagai wakilmu.” Tanpa menanti jawaban, Kwan Cu lalu menghadapi dua orang
raksasa itu sambil berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalian majulah dan aku akan menghadapi kalian berkelahi dengan sesungguhnya, tidak berpura-pura
seperti tadi!”
Wisang tertawa bergelak. Suaranya keras dan parau hingga menggetarkan anak telinga.
“Huaa-ha-ha-ha! Kau anak kecil kupencet dengan ibu jariku saja pasti akan gepeng! Kau menantang kami
berdua?”
“Manusia sombong, pantas saja puteri Liyani tak suka padamu, kau kasar dan sombong. Jangankan baru
kalian berdua, biar pun kau mampu mengubah dirimu menjadi sepuluh, aku tak akan mundur setapak pun!”
“Setan kecil, kau sudah bosan hidup!” teriak Wisang.
Dia segera menggerakkan kepalan tangannya yang besarnya laksana kepala Kwan Cu itu, menonjok ke
arah kepala pemuda kecil ini. Akan tetapi Kwan Cu cepat mengelak dan sekali dia melompat sambil
mengerakkan kaki, kaki kanannya lalu menyambar ke perut Wisang yang besar.
“Ngekkkk!”
Tubuh Wisang yang besar itu terpental ke belakang dan dia jatuh terduduk sambil kedua tangannya
memegangi perut.
“Aduh… aduh… bangsat kecil... Aduuuh...!” Ia mengaduh-aduh karena tiba-tiba perutnya merasa mulas
sekali.
Semua orang yang menonton, termasuk juga Raja Lakayong sendiri, menjadi melongo dan memandang
terheran-heran, tak dapat mengeluarkan ucapan saking herannya.
“Bagus, bagus! Bukankah dia hebat sekali, Ayah?” terdengar Liyani bersorak sorai sambil bertepuk tangan.
Suara ini menyembuhkan rasa sakit di perut Wisang. Raksasa muda ini segera bangkit berdiri lagi dan
kedua matanya seolah-olah mengeluarkan sinar berapi. Giginya berkerot dan kemarahannya memuncak.
Ia lantas memandang kepada Kwan Cu sedemikian rupa sehingga Kwan Cu merasa seakan-akan dia
hendak ditelan bulat-bulat oleh raksasa itu.
“Majulah, majulah kalian berdua, dan akan kuberi pelajaran bagaimana caranya berkelahi dengan sunguhsunguh,”
kata Kwan Cu mengejek.
Sambil menggereng keras, Wisang cepat menubruk maju, diikuti oleh Kasang yang juga merasa
penasaran melihat Kwan Cu mengejek mereka. Akan tetapi, bagaikan seekor burung walet cepatnya,
Kwan Cu mengelak dan sekali tubuhnya berkelebat, dia terlepas dari ancaman tubrukan dua orang raksasa
itu.
Beberapa kali Wisang dan Kasang menubruk. Di dalam kegemasannya, mereka hendak menangkap dan
meremas tubuh yang mungil itu. Akan tetapi, dengan sengaja Kwan Cu mengeluarkan kepandaiannya.
Dengan mengandalkan ginkang-nya yang sudah tinggi, ia mudah saja mengelak dari semua tubrukan yang
dilakukan dengan kuat sekali namun baginya amat lambat itu.
Setelah menubruk berkali-kali hanya mengenai angin saja dan mendengar betapa Liyani menyoraki dan
menertawai mereka, dan juga para penonton mulai mengeluarkan seruan pujian, panaslah hati Wisang dan
Kasang. Kedua jago raksasa ini maklum bahwa lawan yang kecil itu gesit sekali sukar untuk ditangkap,
maka mereka merubah siasat mereka.
Kini mereka tidak lagi menubruk, melainkan menendang dan memukul. Maksud mereka, sekali saja
pukulan atau tendangan mengenai tubuh yang kecil itu, tentu pemuda kecil itu akan terlempar jauh dengan
tulang remuk!
Akan tetapi betapa pun besar tenaga mereka, gerakan mereka amat lamban dan mereka bertempur hanya
mengunakan tenaga tanpa mempergunakan otak. Mana bisa mengenai tubuh Kwan Cu yang sudah
menerima latihan ginkang dari Ang-bin Sin-kai?
Menghadapi semua serangan itu, Kwan Cu bersilat dengan ilmu silat Pai-bun Tui-pek-to (Mengatur Pintu
dunia-kangouw.blogspot.com
Menolak Ratusan Golok). Gerakannya amat lincah dan gesit, dilakukan sambil tertawa-tawa mengejek.
Pemuda ini mengatur kedudukan dirinya sedemikian rupa sehingga dia berada di tengah-tengah dan kedua
lawannya berada di kanan kirinya atau kadang-kadang di depan dan belakangnya.
Dia sengaja tidak segera merobohkan mereka. Kalau dia mau, banyak sekali lowongan untuk memukul
roboh dua orang raksasa itu. Akan tetapi Kwan Cu tidak mau melakukan hal ini. Ia memang hendak
menghajar kedua orang itu agar tunduk betul-betul dan kelak tidak akan menimbulkan keributan lagi
menggangu Raja Lakayong yang baik.
Dia mengelak sambil kadang-kadang mengirim pukulan ke arah perut, dagu atau dada, cukup keras
sehingga membuat dua orang raksasa itu mengaduh-aduh akan tetapi tidak cukup keras untuk
merobohkan mereka.
Bahkan dalam kegembiraannya timbullah kenakalan pada Kwan Cu. Beberapa kali dia melompat tingi dan
menggunakan jari tangan untuk menjewer telinga yang lebar, menarik hidung yang besar atau mencubit
pipi yang lebar sambil tertawa-tawa.
Dipermainkan secara begini dan mendengar suara tertawa Liyani makin geli, ditambah pula surak sorai
para penonton dan suara ketawa Raja Lakayong yang merasa kagum, heran dan juga geli, dua orang
raksasa muda ini seakan-akan menjadi gila dibuatnya.
“Iblis kecil, akan kuhancurkan kepalamu!” kata Wisang geram.
Bahkan Kasang yang tidak segalak Wisang, sekarang sudah menjadi marah sekali dan membentak,
“Setan cilik, aku patahkan batang lehermu!”
“Ha-ha-ha-ha! Mau pecahkan kepala dan batang leher?” kata Kwan Cu menghadapi dua orang raksasa
yang berada di kanan kirinya sambil tertawa mengejek. ”Ini kepalaku, ini leherku. Pecahkanlah,
patahkanlah kalau bisa. Ha-ha-haaa!”
Wisang lalu menyergap maju dengan tangan kanan memukul. Kasang menubruk dengan tangan kanan
mencengkeram. Kwan Cu diam saja berdiri seenaknya, seakan-akan tidak melihat adanya bahaya yang
mengancam dari kanan kiri!
Liyani menjerit ngeri dan semua menahan napas karena serangan itu sudah dekat sekali. Agaknya tiada
jalan keluar bagi Kwan Cu dan alangkah ngerinya apa bila pukulan dan cekikan kedua orang muda itu
betul-betul mengenai kepala dan leher pemuda yang kecil itu!
Akan tetapi, ketika dua orang raksasa itu sudah dekat sekali tangannya pada tubuhnya, tiba-tiba saja Kwan
Cu tertawa geli dan tubuhnya berkelebat lenyap dari situ. Dia sudah mempergunakan gerakan yang
disebut Tui-teng Kui-cauw (Melompat Mundur Pulang ke Sarang), yakni sebuah cabang dari gerakan Yancu
Kui-cauw (Burung Walet Pulang ke Sarang).
Kegesitan tubuhnya seperti burung walet saja. Ketika tubuhnya tiba-tiba saja lenyap dari tengah-tengah,
kedua orang raksasa itu tiada ampun lagi saling gebuk dengan serunya. Kepalan tangan Wisang
menghantam kepala Kasang, sedangkan tangan kanan Kasang kena mencengkeram jidat Wisang.
“Blukk! Blekk!”
Terdengar suara keras, disusul oleh jeritan mereka.
“Celaka!”
“Aduhh…!”
Keduanya terhuyung-hunyung ke belakang, memegangi kepala dan jidat yang terpukul oleh tangan
masing-masing.
Liyani tertawa terpingkal-pingkal sampai memegangi perut saking gelinya. Lakayong juga tertawa terbahakbahak
dan di antara para penonton lebih ramai lagi, sampai-sampai ada yang tertawa demikian gelinya
sehingga dia terjungkal dari batu yang didudukinya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dapat dibayangkan betapa marahnya Wisang dan Kasang. Setelah kepala mereka yang terasa pening
berputar-putar itu sembuh, mereka memandang Kwan Cu.
“Nah, begitulah caranya orang berkelahi benar-benar. Tidak seperti tadi hanya pura-pura dan main-main
saja,” Kwan Cu mengejek.
Tanpa berkata apa-apa dua orang muda raksasa itu lalu menyerang kembali, kini makin ganas dan marah.
Justru inilah yang dikehendaki Kwan Cu. Makin marah mereka, makin mudahlah baginya untuk
mempermainkan mereka dan makin sering pula kedua orang itu saling pukul dan saling tendang.
Bahkan satu kali Kwan Cu berlaku berani luar biasa. Dia membiarkan dirinya terpegang oleh Wisang!
Semuanya menahan napas dan kembali terdengar Liyani menjerit cemas, bahkan terdengar Lakayong
berteriak, ”Jangan bunuh dia!”
Akan tetapi tentu saja Wisang yang menjadi marah sekali tidak mau mendegar larangan ini dan dia
bergerak hendak mencekik leher Kwan Cu! Melihat kesempatan ini, Kasang juga menubruk maju dan ikut
memegang Kwan Cu. Pendeknya, kalau dilihat begitu saja agaknya Kwan Cu sudah tidak ada harapan
untuk terlepas lagi.
Akan tetapi, sebenarnya memang pemuda ini sengaja membiarkan dirinya terpegang. Begitu merasa
bahwa kedua raksasa itu sudah memeganginya, dia cepat bergerak dan kedua kakinya menendang ke
atas dengan tubuh terjungkir balik, kaki kirinya menendang ke arah mata wisang dan kaki kanan ke arah
mata Kasang!
Dua orang raksasa itu memekik kesakitan dan mata kanan mereka sudah menjadi biru, sakitnya bukan
main! Untuk sedetik pegangan mereka mengendur sebab sebelah tangan mereka otomatis meraba mata
yang terluka. Kesempatan ini dipergunakan oleh Kwan Cu untuk memberontak dan melepaskan diri, terus
melompat pergi.
Kini dengan mata terpejam, saking sakit dan marahnya, kedua orang muda raksasa itu menubruk maju dan
dengan sendirinya saat dua tangan mereka mencengkeram, mereka saling cekik dan saling cengkeram,
mencari lawan sambil mencengkeram dan memukul sekenanya. Maka benar-benar berkelahilah mereka
satu dengan yang lain dan terdengar mereka teraduh-aduh.
Kwan Cu menganggap bahwa permainannya sudah cukup. Ia melompat ke atas, berdiri dengan kaki kiri di
pundak Wisang dan kaki kanan di pundak Kasang menjambak rambut ke dua raksasa itu sambil
mengerahkan tenaga, menarik rambut itu mengadukan kepala mereka satu kepada yang lain.
“Dukkkkkkkk!”
Dua buah kepala yang besar sekali itu saling tumbuk, disusul oleh jerit mereka.
“Aduuuuuuuh…!”
Ketika Kwan Cu melompat turun, tubuh kedua orang raksasa itu terputar lalu roboh tak bergerak lagi.
Mereka jatuh pingsan dan di kepala mereka ini tumbuh benjol yang besar dan biru!
Ramailah sorak sorai para penonton. Liyani memandang ke arah Kwan Cu dengan sinar mata yang
menakutkan hati Kwan Cu. Raja Lakayong cepat menghampiri Kwan Cu dan tiba-tiba raja ini berkata,
“Saudara Kwan Cu, cobalah kita bermain-main sebentar!” sambil berkata demikian raja ini bergerak
memukul ke arah Kwan Cu.
Pemuda ini terkejut luar biasa. Pukulan raja ini mendatangkan angin keras tanda bahwa tenaganya besar
sekali. Ia mengelak dan melompat mundur sambil berseru,
“Eh, ehh, ehhh, raja Lakayong saudaraku, mengapa kau menyerbuku?”
“Aku amat kagum melihat kegagahanmu. Puaskanlah hatiku, saudaraku, aku ingin sekali mencoba
kepandaianmu sendiri,” kata Lakayong sambil menyerang terus dengan cepat. Gerakan raja ini jauh lebih
kuat dan cepat dari pada gerakan kedua orang raksasa muda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwan Cu dapat memaklumi isi hati Raja ini. Sebagai orang yang menghargai kepandaian dan kegagahan,
melihat seorang gagah lain, tentu saja Raja ini menjadi gatal tangan dan belum merasa puas jika belum
menguji kepandaiannya oleh tangan sendiri. Pendeknya, kini Raja ini ingin mencoba kepandaiannya atau
yang lajimnya di negerinya disebut pibu (mengadu kepandaian)! Maka Kwan Cu segera melayaninya
dengan hati-hati sekali.
Ia menjadi girang ketika mendapat kenyataan bahwa Raja ini telah mentaati pelajarannya dan sekarang
semua pukulan serta tendangannya ditujukan ke arah bagian tubuh yang berbahaya. Kalau Raja ini yang
tadi menghadapi Wisang dan Kasang, ada kemungkinan kedua orang raksasa muda itu akan tewas dalam
pertempuran. Pukulan Raja ini keras sekali dan kepala raksasa muda itu agaknya akan pecah jika terkena
pukulan dahsyat ini.
Namun, semua gerakan pukulan Lakayong tiada bedanya gerakan Wisang dan Kasang, sama sekali
dilakukan secara ngawur, hanya mengandalkan tenaga saja, sama sekali tak menuruti teori ilmu berkelahi
yang baik. Oleh karena itu, kalau dia mau, Kwan Cu dapat merobohkannya dengan mudah saja.
Akan tetapi dia tidak tega untuk melakukan hal ini, karena kalau mengalahkan Lakayong dengan mudah,
sedikitnya akan turunlah penghargaan rakyat kepada Raja mereka ini. Ia lalu sengaja membiarkan dirinya
terdesak dan sesudah pertempuran berjalan agak lama, cepat sekali dia menggunakan ilmu silat Sin-ci Tinsan,
menotok jalan darah thian-hu-hiat dari lawan.
Tiba-tiba Lakayong merasa betapa tubuhnya lemas tidak berdaya sama sekali sehingga dia roboh
perlahan. Kwan Cu cepat menyusuli dengan totokan lain dan pulih kembalilah kesehatan Raja itu.
Untuk sesaat, Lakayong hanya dapat duduk dengan mata terbelalak heran. Kemudian ia mengangkat
kedua tangan, berdiri dan memeluk Kwan Cu sambil berkata jelas,
“Saudara Kwan Cu hebat sekali. Aku dapat dikalahkan dengan mudah!”
Para penonton terheran-heran, lalu bersorak memuji Kwan Cu.
“Hidup calon raja kita!” mereka bersorak-sorak.
Liyani berlari menghampiri Kwan Cu dan tanpa terduga-duga, gadis ini berlutut sehingga tingginya sama
dengan Kwan Cu, lalu memeluk dan menciumnya seperti dulu! Kwan Cu cepat memberontak melepaskan
diri dengan muka pucat. Ia tadi merasa kaget setengah mati karena orang-orang itu menyorakinya sebagai
calon raja. Ia lebih kaget bukan main ketika Liyani menciuminya dan kekagetannya menjadi-jadi ketika
mendadak Liyani yang memegang tangannya berkata keras,
“Dia inilah calon jodohku!”
Mau rasanya Kwan Cu melarikan diri dari tempat itu. Semua kejadian ini membuat dirinya menjadi bingung
setengah mati. Ia lalu berkata kepada semua orang.
“Tidak, tidak! Aku bukanlah calon raja dan calon jodoh Liyani. Jodohnya adalah Kasang karena Kasang
lebih kuat dari pada Raja !”
Semua orang terdiam dan melongo. Juga Liyani dan Lakayong. Akan tetapi Kwan Cu berkata, “Aku tidak
mungkin menjadi calon raja karena aku harus pergi dari sini. Dan aku tak bisa jadi calon jodoh Liyani
karena aku... aku orang kecil, tidak sesuai untuk menjadi jodohnya.”
“Itu bukan alasan!” Liyani membantah. “Hanya dengan alasan yang jujur dari bangsaku aku mau menerima
penolakan ini!”
“Alasan jujur yang bagaimanakah?”
“Pertama, kalau kau mau menyatakan bahwa kau membenciku, aku tidak keberatan kau menolakku. Ke
dua, hanya kalau kau sudah mempunyai calon jodoh atau bahkan sudah mempunyai jodoh perempuan
lain, baru aku mau mencari lain jodoh.”
Kwan Cu menjadi makin bingung dan ia menggaruk-garuk bagian belakang telinganya. Ia berada dalam
dunia-kangouw.blogspot.com
keadaan yang teramat sulit. Untuk menyatakan bahwa ia membenci Liyani, selain hal itu tak sesuai dengan
hatinya yang sama sekali tidak membenci gadis raksasa ini, juga amat berbahaya karena tentu semua
orang di sana akan memusuhinya.
Untuk mengaku bahwa dia sudah punya calon jodoh atau isteri, tidak mungkin pula. Akan tetapi, alasan
kedua ini sebetulnya lebih ringan dan lebih aman. Setelah berpikir-pikir dia menjawab tanpa ragu-ragu,
“Aku tidak membencimu, Liyani. Dan aku memang belum punya jodoh. Akan tetapi aku sudah mempunyai
calon jodoh, seorang gadis di negeriku.”
Tiba-tiba Liyani menangis! Kwan Cu menjadi bingung sekali.
“Jangan berduka, Liyani. Kita tidak cocok menjadi jodoh, namun aku sudah mempunyai calon jodoh yang
besarnya sama denganmu. Jodohmu adalah pemuda tinggi besar yang gagah seperti Kasang.”
“Calon jodohmu itu... Apakah kau suka kepadanya?” tanya Liyani sambil menyusuti air matanya.
“Tentu saja, aku… suka sekali padanya,” jawab Kwan Cu menelan ludah.
“Dan dia… apakah dia suka padamu?”
“Tentang itu… barang kali dia suka, belum kutanyakan.”
“Cantikkah dia?”
“Cantik sekali, yaitu menurut pandangan mataku.”
“Siapa namanya?”
Tak disangkanya bahwa Liyani begitu nekat dan terus bertanya dengan teliti. Bagaimana harus
dijawabnya? Ia tadi membohong dan kini dia tidak dapat menjawab.
“Siapa namanya?” Liyani mendesak.
“Namanya… apa perlunya kusebut-sebutkan namanya? Kau tak akan mengenalnya.”
“Kalau begitu kau bohong!”
Kwan Cu terkejut. Pikirannya diputar-putar dan terbayanglah wajah Bun Sui Ceng murid Kiu-bwe Coa-li.
Agaknya gadis cilik itu saja yang patut menjadi jodohnya.
“Namanya Bun Sui Ceng!” akhirnya dia berkata dan mukanya berubah menjadi merah sekali ketika dia
berkata demikian.
Kembali Liyani menangis makin keras. “Sekarang tak ada lagi orang yang patut menjadi jodohku, hanya
kau yang bisa mengalahkan ayah!”
“Siapa bilang? Kasang bisa mengalahkan ayahmu,” kata Kwan Cu yang mendapat siasat baik sekali.
Pada waktu itu Kasang beserta Wisang sudah siuman kembali dan turut mendengarkan percakapan itu.
Mendengar betapa Kasang dipuji-puji oleh Kwan Cu dan bahkan hendak dijodohkan dengan Liyani,
Wisang menggereng keras dan tiba-tiba menyerang Kasang! Serangan itu hebat sekali dan dilakukan
selagi Kasang tidak bersiap, maka jika pukulan yang ditujukan ke arah kepala itu mengenai sasaran, amat
berbahayalah bagi Kasang.
Kwan Cu yang melihat hal ini, cepat-cepat melompat dan sebelum pukulan Wisang itu mengenai Kasang,
tubuh Wisang terpental ke belakang dan dia roboh tak dapat bangun kembali. Tulang pundaknya sudah
patah dan biar pun Kwan Cu merasa kasihan, namun pukulannya tadi memang dia sengaja. Dia juga tidak
mau mengobati atau menyambung tulang pundak itu, karena bila Wisang tidak dibikin cacat, kelak tentu dia
akan mengacau lagi. Kini Wisang biar pun akan sembuh, tenaga tangan kanannya akan lenyap dan dia
tidak berbahaya lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ada pun Lakayong yang mendengar omongan Kwan Cu, menjadi heran dan bertanya, “Saudara Kwan Cu,
betul-betulkah Kasang dapat mengalahkan aku?”
“Tentu saja, akan tetapi tidak sekarang, boleh dicoba besok pagi. Dia sekarang menjadi muridku dan dia
akan kuberi pelajaran sehari ini.”
Sesudah Kwan Cu mendapat kesempatan bertemu dengan Lakayong seorang diri saja, ia lalu
menceritakan siasatnya. Dalam pertempuran tadi, dia mendapat kenyataan bahwa sifat-sifat Kasang
memang lebih baik dari pada Wisang dan rencana pembunuhan raja itu pun tentu Wisang yang
mengaturnya.
“Liyani suka kepada Kasang, maka harap besok kau suka mengalah pada Kasang agar puterimu suka
menerima pinangannya. Kau melakukan ini demi kebahagiaan puterimu, apakah kau tidak suka?” tanya
Kwan Cu.
Mengertilah Lakayong dan dia mengangguk-angguk. Kwan Cu sebetulnya tidak memberi pelajaran apaapa
kepada Kasang, hanya nasehat-nasehat agar supaya pemuda ini tidak mengacau lagi dan agar besok
menghadapi Lakayong, dia tahu bahwa raja itu sengaja mengalah. Kasang berterima kasih sekali dan
mengaku bahwa dia memang telah kena bujukan Wisang yang jahat.
Demikianlah, atas rencana Kwan Cu yang sudah disetujui dan dibantu pelaksanaannya oleh raja Lakayong
dan Kasang, pada keesokan harinya, bertempat di kebun itu, hanya disaksikan oleh Liyani seorang saja,
dilakukan pertandingan antara Lakayong melawan Kasang. Dalam pertandingan yang kelihatan hebat ini
namun yang sesungguhnya hanya main-main belaka, akhirnya Raja Lakayong kena ditubruk dan ditangkap
oleh sepasang lengan Kasang yang kuat. Lakayong mencoba untuk melepaskan diri, akan tetapi tidak
dapat dan akhirnya mengaku kalah sambil berkata,
“Ah, setelah menjadi murid saudara Kwan Cu kau benar-benar hebat sekali, Kasang. Aku menerima kalah!”
Kasang segera menjatuhkan diri berlutut di depan rajanya dengan wajah berseri. “Mohon ampun
sebanyaknya atas segala kedosaanku,” katanya. “Dalam kesempatan ini untuk kedua kalinya kuulangi
pinanganku terhadap Liyani.”
Lakayong berpaling kepada puterinya.
“Liyani, kau sudah mendengar sendiri pinangan Kasang yang gagah perkasa. Nah, seperti biasa,
keputusannya terserah kepadamu.”
Terdengar sedu sedan di leher gadis itu. ”Terserah pada ayah saja, aku hanya menurut.”
“Bagus! Kasang, calon menantuku, kami menerima pinanganmu!” kata Raja itu gembira sekali.
Liyani memandang ke arah Kwan Cu, lalu menangis dan berlari pergi.
Kwan Cu menghaturkan selamat kepada Kasang dan Lakayong, dan kedua orang itu sebaliknya tiada
hentinya mengucapkan terima kasih mereka, karena dengan akal dan siasat Kwan Cu belaka maka gadis
yang keras kepala itu dapat ditundukkan.
“Sekarang aku mohon diri hendak melanjutkan pelayaranku,” kata Kwan Cu.
Lakayong mengerutkan keningnya. “Kalau mungkin, kami tidak ingin berpisah denganmu lagi, saudaraku
yang baik. Akan tetapi kalau kami memaksa, itu tidak adil namanya. Kau hendak pergi ke manakah?”
“Aku hanya ingin berkelana saja dan aku mendengar adanya sebuah pulau kecil bundar yang ditumbuhi
oleh pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian tentang pulau itu dan di mana letaknya?”
Lakayong dan Kasang memandang dengan mata terbelalak lebar.
“Apa?!” seru Raja raksasa itu. ”Kau hendak mencari pulau bayangan?”
Kwan Cu memandang heran. ”Pulau bayangan? Apa maksudmu? Aku hanya mendengar bahwa pulau itu
kecil, berbentuk bundar dan ditumbuhi oleh pohon-pohon berdaun putih. Tahukah kalian akan pulau itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, yang kau maksudkan ini tentu Pulau Bayangan! Saudaraku yang baik harap kau batalkan saja
niatmu itu. Kami sudah sering kali berperahu di sekitar kepulauan ini dan sering kali mendadak melihat
pulau yang kau maksudkan itu. Akan tetapi apa bila kami mendekatinya, tiba-tiba dia menghilang! Pulau itu
sangat aneh dan jauh sehingga kami mengambil kesimpulan bahwa pulau itu tentu bukanlah berada di
sekitar sini, melainkan berada di seberang laut jalan maut.”
“Di manakah laut jalan maut itu? Aku akan mencari ke sana.”
Kasang mengeluarkan seruan kaget, dan Lakayong menjadi pucat.
“Jangan, saudara Kwan Cu. Jangan sekali-kali kau melintasi batas laut itu. Sudah banyak saudara-saudara
kami yang tewas di sana. Laut itu adalah batas yang tidak boleh dilalui manusia, sebab di sana banyak
terdapat keajaiban yang merupakan tangan maut. Siapa pun juga tidak mungkin dapat melalui batas itu.
Lebih baik kau mengunjungi pulau-pulau kosong yang banyak terdapat di sekitar sini.”
“Tidak, Raja yang baik. Aku akan mencobanya, betapa pun besar bahaya yang akan aku hadapi.”
Lakayong menarik napas panjang. “Kau orang aneh, mungkin juga kau akan berhasil menjelajahi pulau itu.
Akan tetapi hati-hatilah, memang benar-benar berbahaya sekali di daerah itu. Aku sendiri pernah
mencobanya, namun terpaksa aku kembali setelah tiba di batas laut itu. Bukan main ganasnya. Letaknya di
sebelah timur pulau kami ini, tepat dari mana matahari muncul.”
“Terima kasih dan selamat tinggal, Raja Lakayong, dan kau juga, saudara Kasang. Yang baik-baiklah kau
menjaga Liyani.” Setelah berkata demikian Kwan Cu lalu pergi ke pantai mencari perahunya, diikuti oleh
Lakayong dan Kasang.
Ketika penduduk mendengar tentang kepergian Kwan Cu, berbondong-bondong mereka mengantar
sampai ke pantai. Akan tetapi di antara sekian banyaknya orang, tak nampak bayangan Liyani.
Kwan Cu menurunkan perahunya di air dan dia sudah menerima dua buah dayung yang baik dari Raja
Lakayong sebagai pengganti dayungnya ketika perahunya diserang oleh taufan beberapa hari yang lalu.
Orang-orang di pantai melambaikan tangan, malah Raja Lakayong menghapuskan dua butir air mata yang
menitik turun ke atas pipinya. Semua orang terharu, terutama sekali Lakayong dan Kasang yang sudah
merasa betapa besar jasa pemuda kecil itu bagi mereka.
“Selamat tinggal, saudara-saudaraku yang baik. Kita yieee... (selamat tinggal)...” berkata Kwan Cu sambil
mendayung perahunya ke timur. Karena dia mempergunakan tenaga lweekang, maka sebentar saja dia
sudah meninggalkan pulau besar yang mendatangkan pengalaman-pengalaman aneh kepadanya itu.
Tiba-tiba terdengan seruan suara nyaring.
“Saudara Kwan Cu…!”
Kwan Cu menoleh dan alangkah herannya ketika dia melihat sebuah perahu layar besar yang dikendarai
oleh... Liyani!
“Ehh, kau Liyani. Hendak pergi ke manakah kau?” tanyanya heran.
“Aku sengaja menantimu di sini, aku hendak pergi bersamamu!”
Baiknya Kwan Cu masih ingat bahwa dia berada di dalam perahu, kalau tidak tentu dia akan melompat ke
belakang dan berjungkal ke dalam air saking kagetnya.
“Ikut pergi bersamaku?! Kau gil... ehh, apa maksudmu?”
“Kau telah menipuku! Apa kau kira aku tak tahu bahwa dalam pertandingan antara ayah dan Kasang, ayah
sengaja berlaku mengalah dan semua itu adalah rencanamu belaka? Kau menghendaki dan memaksa aku
menerima Kasang sebagai jodohku, mengapa?”
Kwan Cu menelan ludah. Hebat benar gadis ini, pikirnya. Ia mendekatkan perahunya ke perahu besar
Liyani, mengikatkan tali di kepala perahu gadis itu, lalu melompat masuk ke dalam perahu besar, berdiri
dunia-kangouw.blogspot.com
menghadapi gadis raksasa itu.
“Dengarlah baik-baik, Liyani. Tuduhanmu tadi kuterima dan aku minta maaf. Memang aku sengaja
melakukan hal itu. Ketahuilah, kau tak mungkin ikut dengan aku sebab kita tidak sesuai, dan di negeriku
kau hanya akan menjadi tontonan dan buah tertawaan seperti ketika aku berada di pulaumu, bahkan kau
akan mengalami gangguan-gangguan yang tak mengenakkan hati. Aku memang ingin melihat kau menjadi
isteri Kasang, karena dia pemuda baik dan cocok menjadi jodohmu. Apa lagi, ayahmu pun menghendaki
demikian. Ada pun aku... sudah kukatakan bahwa aku mempunyai calon jodohku sendiri.”
“Bun Sui Ceng...?”
Kwan Cu tertegun. Nama gadis murid Kiu-bwe Coa-li itu malah masih teringat oleh Liyani! Apa boleh buat,
ia mengangguk membenarkan.
“Kau tidak bohong?”
Kwan Cu menggelengkan kepala.
“Berani kau bersumpah?”
Kwan Cu melongo.
“Bersumpah? Bersumpah bagaimana?”
“Bersumpah bahwa kau benar-benar suka kepada gadis yang bernama Bun Sui Ceng itu, bahwa kau
benar-benar menghendaki dia menjadi jodohmu.”
Kwan Cu menjadi bingung sekali. Dia mencoba untuk membayangkan wajah Sui Ceng yang manis dan
tergeraklah hatinya. Mengapa tidak? Sui Ceng merupakan gadis yang memang disukanya, tidak saja gadis
itu memang baik terhadapnya, bahkan ibu gadis itu, yakni Pek-cilan Thio Loan Eng, adalah manusia
pertama yang berlaku baik kepadanya.
“Aku bersumpah bahwa aku suka kepada Bun Sui Ceng dan bahwa aku menghendaki ia menjadi jodohku,“
kata Kwan Cu dan ketika dia mengucapkan kata-kata ini, dia berlaku sungguh-sungguh.
Liyani menangis. Lalu gadis ini berdiri dengan muka menengadah ke langit serta kedua tangannya
dipentang lebar.
“Dengarlah, dewa awan, dewa matahari dan dewa laut. Kalian telah menjadi saksi atas sumpah saudara
Kwan Cu! Apa bila kelak dia melanggar sumpahnya, biarlah kalian yang menghukumnya dan biarlah
saudara Kwan Cu selama hidupnya tidak akan mendapatkan jodoh!”
Suara gadis ini sedemikian menyeramkan sehingga Kwan Cu merasa bulu tengkuknya berdiri.
“Kau terimalah ini sebagai tanda mata dariku. Selama hidup aku tak akan melupakanmu, saudara Kwan
Cu.”
Biar pun bagi Liyani tusuk konde itu kecil saja, namun bagi Kwan Cu merupakan benda sebesar pisau
belati. Ia menerimanya dan berkata dengan terharu,
“Terima kasih, Liyani. Aku pun tak akan melupakanmu, takkan melupakan kau, ayahmu, dan semua orang
yang berada di atas pulaumu.”
Setelah berkata demikian, Kwan Cu melompat kembali ke dalam perahunya, melepaskan ikatan dan
mendayung perahunya, terus ke arah timur. Ketika dia menengok, dia melihat Liyani masih berdiri di
perahunya sambil memandang ke arahnya. Dilihat dari jauh, Liyani tidak kelihatan besar lagi, melainkan
nampak sebagai dara biasa yang bertumbuh tinggi semampai, berpinggang ramping dan bentuk tubuh
yang indah.
Kwan Cu melambaikan tangan dan dibalas oleh Liyani. Pemuda ini lalu menghela napas panjang,
kemudian mendayung cepat perahunya tanpa menoleh lagi…..
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Kwan Cu terus mendayung perahunya dengan cepat menuju ke timur. Matahari sudah naik tinggi melewati
kepalanya. Dia melihat pulau-pulau yang gundul di sebelah kiri, akan tetapi dia tidak mau mendarat. Ingin
dia segera tiba di daerah laut maut yang diceritakan oleh Lakayong.
Akan tetapi, dia melihat laut yang amat tenang dan yang agaknya tidak ada batasnya itu. Kalau dia melihat
ke timur, yang nampak hanyalah air belaka dan jauh di sebelah timur air laut bertemu dengan kaki langit
sehingga sukar dibedakan di mana batasnya, karena warna laut dan langit hampir sama.
Malam tiba dan baiknya bulan purnama muncul berseri. Kwan Cu terus saja mendayung dan akhirnya
karena lelah, menjelang tengah malam setelah bulan purnama naik tinggi, dia tidur pulas di dalam perahu,
membiarkan perahunya itu berdiam tak bergerak di atas air yang tenang.
Untung baginya bahwa tadi orang-orang di pulau raksasa memberi bekal kue manis yang besar sekali
kepadanya, sebesar dua kepalanya, sehingga dia tak menderita kelaparan. Untuk minumnya, dia pun
sudah membawa bekal seguci minuman yang rasanya wangi dan tawar, tidak seperti arak namun dapat
menghangatkan perut.
Kwan Cu tertidur sampai lama sekali. Ia baru sadar ketika perahunya bergoyang-goyang. Saat dia
membuka matanya ternyata bulan purnama sudah lenyap dan sebagai gantinya, matahari mengintip di kaki
langit sebelah timur, memancarkan cahaya kemerahan yang menimbulkan pemandangan indah sekali.
Akan tetapi Kwan Cu tak mungkin dapat menikmati keindahan alam itu karena ketika dia melihat ke bawah,
yaitu ke pinggiran perahunya untuk mengetahui mengapa perahunya bergoyang-goyang, dia menjadi
terkejut bukan main. Pada sekeliling perahunya kelihatan banyak sekali ikan-ikan besar, sebesar
perahunya, berenang ke sana ke mari dan setiap kali tubuh ikan melanggar perahunya, perahu itu
bergoyang-goyang!
“Celaka…” pikir Kwan Cu.
Ikan itu banyak sekali dan kalau dia mengunakan dayung memukul dan mengusir, tentu ikan itu akan
marah. Bila sampai ikan-ikan itu menyerbu perahunya, akan celakalah dia. Juga tidak mungkin untuk
mendayung perahu karena dayungnya tentu akan melanggar tubuh ikan yang terdekat. Keadaannya
seperti seekor domba yang dikurung oleh puluhan ekor harimau yang siap menerkam setiap saat.
“Celaka, bagaimana baiknya sekarang?”
Kwan Cu diam saja sambil duduk di dalam perahunya. Dia memegang dayung siap akan memukul ikan
yang akan menyerbu perahunya. Akan tetapi ikan-ikan itu hanya berenang ke sana ke mari, kadang kala
sengaja menyenggol perahu hingga perahu itu bergoyang-goyang hampir terbalik.
“Kurang ajar, mereka sengaja mempermainkan aku,” pikir Kwan Cu.
Dia teringat akan daun Liong-cu-hio yang berada di dalam bungkusan kainnya. Ia teringat ketika Liok-te
Mo-li, nenek yang aneh itu memberi bekal daun-daun ini kepadanya, nenek itu berkata bahwa apa bila dia
diserang dan diancam oleh ikan-ikan buas maka dia dapat menggunakan daun-daun itu untuk
menyelamatkan diri.
Dengan perlahan dia membuka bungkusannya, membasahi kedua tangannya dengan air laut, lalu
mengambil dua helai daun itu. Ia merasa heran sekali karena daun-daun itu sama sekali tidak mengering,
masih segar seperti ketika habis dipetik.
“Mudah-mudahan Liok-te Mo-li tidak berbohong,” pikir Kwan Cu.
Dia melemparkan sehelai daun ke kanan dan sehelai pula ke kiri sambil mengerahkan tenaga. Daun-daun
itu meluncur dan jatuh di air. Setelah tiba di air dan terapung, kedua daun itu bergerak-gerak bagaikan
benda hidup. Kwan Cu tidak heran melihat ini, karena dulu pun sudah pernah melihat betapa daun-daun itu
bergerak-gerak tiap kali tersentuh sesuatu.
Ia memandang penuh perhatian dan harapan. Maka terjadilah sesuatu yang amat hebat. Seekor ikan yang
berada paling dekat dengan daun itu, tadinya tidak mengacuhkannya sama sekali, akan tetapi begitu daun
dunia-kangouw.blogspot.com
itu bergerak-gerak dia cepat menyambar kemudian menelannya. Akan tetapi, begitu daun itu tertelan
olehnya, seketika itu juga tubuhnya terapung dalam keadaan mati! Perutnya yang putih itu nampak
tersembul di permukaan air.
Sudah menjadi kebiasaan liar dari ikan-ikan itu, apa bila melihat seekor ikan lainnya mati, mereka segera
menyerbu untuk makan dagingnya. Akan tetapi, tiap kali ikan menggigit segumpal daging dari ikan yang
mati itu, ikan ini pun terapung dalam keadaan mati pula! Namun ikan-ikan itu bodoh sekali dan yang lainlain
serentak berpesta, menyerbu yang sudah mati sehingga sebentar saja air penuh dengan bangkai ikan.
Kwan Cu bergerak memandang ke belakangnya. Di sebelah kiri perahu dia meyaksikan pemandangan
yang sama. Di sana pun ikan-ikan berpesta pora, yang hidup menyerbu yang mati untuk terkena racun
daun Liong-cu-hio sehingga menjadi bangkai pula tanpa dapat menggelepar lagi.
“Hebat…!” Kwan Cu berseru dengan hati ngeri.
Ia bergidik melihat betapa bangkai ikan makin banyak saja terapung di permukaan laut. Agaknya semua
ikan di tempat itu akan mati terkena racun yang jahat. Kini tahulah dia akan arti ucapan Liok-te Mo-li bahwa
ia akan menyaksikan ‘pesta’ yang menggembirakan kalau melemparkan daun itu ke laut.
Kwan Cu segera mendayung perahunya cepat-cepat, pergi dari tempat itu. Dia merasa ngeri, juga merasa
malu kepada diri sendiri. Ia anggap perbuatannya tadi rendah dan pengecut. Kalau dia tahu bahwa akibat
daun itu akan demikian hebat, tentu dia akan mencari jalan lain untuk menyelamatkan diri dari keadaannya
yang terancam tadi.
“Aku tak akan mempergunakan daun-daun iblis ini lagi,” pikirnya. “Terlalu keji!”
Dengan cepat dia lalu mendayung perahunya ke arah matahari yang mulai nampak di permukaan laut
sebelah timur. Ia mendayung perahunya cepat sekali, namun belum juga kelihatan adanya pulau di
sebelah sana, bahkan dia tidak melihat adanya lautan yang disebut jalan maut itu.
Apakah ikan-ikan itu yang dianggap berbahaya oleh Lakayong? Tidak mungkin, pikirnya. Sungguh pun
ikan-ikan tadi baginya besar sekali dan membahayakan perahunya, namun bagi Lakayong dengan
perahunya yang besar, ikan-ikan itu hanya merupakan ikan-ikan kecil saja yang tak mengancam
keselamatan perahu raksasa itu.
Sehari penuh dia mendayung dan pada malam harinya dia tertidur lagi di dalam perahu, membiarkan
perahunya terapung di atas air yang masih tenang.
Pada keesokkan harinya, dia mendengar suara mendesis-desis seperti mendengar ada ribuan ekor ular
menyerang dirinya. Kwan Cu terbangun dari tidurnya dan melihat bahwa matahari sudah naik agak tinggi
dari permukaan laut sebelah timur. Dia memandang ke kanan kiri dengan heran tidak tahu apakah yang
menimbulkan suara mendesis itu.
Tiba-tiba saja dia melihat awan atau uap hitam yang bergerak mendatang dari arah utara menuju ke
tempat di mana perahu berada. Makin lama uap itu makin besar dan sebagian uap menutupi matahari
sehingga pandangan mata pemuda itu menjadi gelap. Kemudian dia melihat sesuatu yang mengejutkan
hatinya. Beberapa ekor burung laut beterbangan ketakutan dan di antaranya ada yang terbang menerjang
uap itu, kemudian jatuh dalam keadaan hangus!
Bukan main kagetnya Kwan Cu. Suara mendesis-desis makin keras dan ternyata bahwa suara itu keluar
dari asap atau uap hitam ini. Uap ini melayang di atas permukaan laut hanya kurang lebih dua kaki di atas
air, seolah-olah ada hawa air laut yang menahannya. Ketika uap hitam itu telah dekat dengan perahunya,
Kwan Cu menggerakkan dayungnya menyentuh uap. Dayung itu segera menjadi hangus ujungnya!
Pemuda ini kaget setelah mati dan cepat dia menjerembab di dalam perahu, bertiarap sehingga tubuhnya
menempel pada perahu dengan telungkup. Kemudian semua menjadi gelap karena uap itu sudah
melayang di atas perahunya. Kwan Cu mengatur napas dan mengerahkan lweekang-nya untuk melawan
hawa panas ini.
Suara mendesis-desis itu membisingkan telinganya hingga membuat kepalanya pening. Pada akhirnya
suara mendesis itu menjauh, tidak lama kemudian suara itu lenyap, hawa panas pun lenyap.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwan Cu baru berani membuka mata dan menggerakkan leher menengok ke atas. Udara bersih dan
ternyata bahwa uap hitam yang mengerikan itu sudah lewat. Baiknya uap itu tadi melayang agak tinggi dari
permukaan laut, kalau lebih rendah tentu perahunya akan hangus, tentu saja berikut tubuhnya pula.
Sesudah yakin bahwa tidak ada bahaya lagi, Kwan Cu duduk dan pada saat itu juga dia dapat merasakan
getaran yang luar biasa hebat pada perahu yang didudukinya. Kiranya perahu ini sudah terkunci oleh
gerakan air yang luar biasa kuatnya dan Kwan Cu melihat sesuatu yang amat ganjil. Air laut yang dimasuki
oleh perahunya itu bergerak mengalir dengan kekuatan yang dahsyat sekali.
“Inilah agaknya batas yang disebut jalan maut itu,” pikir Kwan Cu dengan hati berdebar.
Akan tetapi ketabahan dan ketenangannya tidak lenyap. Dengan kedua tangannya Kwan Cu mencoba
sedapat mungkin untuk menahan perahunya supaya tidak terbalik. Dengan memukul dan menekan ke
kanan kiri perahu, dia berhasil menjaga keseimbangan berat perahunya yang dibawa hanyut cepat sekali
oleh aliran air itu. Memang sangat aneh. Di laut yang kelihatan begitu tenang, bagaimana ada semacam
sungai membanjir?
Entah ke mana perahunya dihanyutkan, Kwan Cu tidak ingat lagi. Ia terus bekerja keras menjaga supaya
perahunya tidak terbalik dan perahunya meluncur bukan main cepatnya, jauh lebih cepat dari pada kalau
dia mempergunakan tenaga. Hal ini dapat dia rasai pada sambaran angin dari depan. Juga pada waktu
ada air yang terkena pukulan dayungnya memercik ke atas mengenai lengan dan mukanya, dia merasa
betapa air itu dingin sekali seperti salju!
Sampai matahari tenggelam, masih saja perahunya terbawa hanyut dengan kecepatan yang makin lama
makin pesat. Dia melihat pulau-pulau kecil di kanan kiri, agak jauh, dan penglihatan ini menambah
kenyataan betapa cepatnya air mengalir itu sedang membawa perahunya. Akan tetapi, alangkah herannya
ketika dia melihat bahwa ‘sungai’ yang tidak kelihatan ini agaknya memutari pulau-pulau itu.
Tak lama kemudian, malam pun tiba. Sinar bulan tak cukup terang sehingga pulau-pulau kecil itu pun
lenyap tak dapat terlihat lagi.
Semalam itu dia masih terus bekerja. Dia tak berani mengurangi tenaganya karena sekali saja dia
melepaskan dayung, perahunya mungkin akan terbalik dan kalau hal ini terjadi, maka akan berbahayalah
keadaannya. Tubuhnya sudah terasa letih sekali, bukan hanya karena pengerahan tenaga sehari semalam
tanpa ada hentinya, juga karena dia tidak mendapatkan kesempatan untuk mengisi perut sama sekali.
“Celakalah kali ini,” pikir Kwan Cu. “Kalau terus menerus begini, sampai berapa lama aku dapat bertahan?”
Menghadapi keadaan yang berbahaya ini, Kwan Cu lalu teringat akan nasehat Lakayong. Benar juga
rakasasa itu. Daerah inilah yang disebut daerah maut atau jalan maut, karena memang luar biasa
berbahayanya. Baru perjumpaan dengan uap berbisa tadi saja sudah amat berbahaya, dan sekarang
terdapat aliran air yang begini dahsyat.
Menjelang pagi, tenaga Kwan Cu sudah mulai lemas. Hampir-hampir dia tidak sanggup menahan lagi.
Akan tetapi, tiba-tiba perahunya tidak begitu laju lagi dibawa hanyut, tanda bahwa tenaga aliran sungai
yang tidak kelihatan itu mengecil. Ketika dia memandang ke depan dalam suasana pagi yang masih suram,
dia tahu mengapa terjadi hal itu. Kiranya di depan membentang panjang pulau-pulau kecil yang hitam, dan
tentu aliran itu tertahan oleh pulau-pulau itu sehingga tenaganya buyar dan perahunya terlepas dari
pegangan aliran itu.
Dengan mengerahkan sisa tenaganya, Kwan Cu mendayung perahu ke kiri dan akhirnya dia sama sekali
berhasil melepaskan perahu dari pada aliran air yang mulai melemah itu. Ia membiarkan perahunya
terapung dan ketika dia memandang ke kanan, kini tampaklah aliran sungai itu, agak kekuning-kuningan di
antara air laut yang biru, yakni air laut yang tenang dan diam.
Kwan Cu mengeleng-geleng kepala. Benar-benar suatu yang aneh sekali. Dari manakah timbulnya air
kuning itu yang begitu saja muncul di tengah laut? Apakah sumber air itu muncul dari dasar laut? Ahh,
alangkah hebat, berkuasa, dan aneh adanya alam ini, yang bagi tangan Thian hanya merupakan
permainan kecil belaka.
Hal yang pertama-tama dilakukan oleh Kwan Cu adalah minum cairan manis yang masih ada sisanya,
kemudian dia makan sisa kuenya yang mulai mengeras dan terasa kurang enak. Tangannya gemetar,
dunia-kangouw.blogspot.com
tanda bahwa urat-uratnya sudah sangat letih.
Sementara itu, matahari mulai naik tinggi dan pulau-pulau yang masih menahan aliran air kuning dan yang
menyelamatkannya itu mulai kelihatan. Hati pemuda ini berdebar-debar. Apakah pulau bundar kecil yang
dicarinya itu berada di antara kumpulan pulau itu? Siapa tahu kalau-kalau memang Im-yang Bu-tek Cinkeng
benar-benar berada di atas sebuah di antara pulau-pulau itu, pikirnya penuh harapan.
Ia mulai mendayung perahunya mendekati pulau-pulau itu, hendak mulai menyelidik dan mencari-cari
apakah di sana terdapat pulau yang di tumbuhi pohon-pohon berdaun putih. Akan tetapi dia merasa
tangannya lelah, tidak kuat lagi untuk mendayung lama-lama.
“Aku harus beristirahat dulu, harus tidur. Akan tetapi amat berbahaya jika tidur di dalam perahu, janganjangan
perahuku akan hanyut pula ketika aku sedang tidur.” Mengigat ini, hatinya menjadi ngeri dan Kwan
Cu mengerahkan sisa tenaga untuk mendayung perahu itu ke arah sebuah pulau terdekat agar dia dapat
tidur di darat.
Pulau itu kecil saja, akan tetapi ternyata merupakan sebuah pulau yang subur, dengan pohon-pohon kecil
kehijauan. Kwan Cu tidak ada tenaga lagi untuk menyelidiki keadaan pulau itu, karena tubuhnya sudah
amat letih. Setelah dia menyeret perahu ke darat, dia lalu menjatuhkan diri di atas rumput dan sebentar
saja pulaslah dia…..
********************
Kwan Cu yang sedang tidur pulas itu tidak tahu bahwa menjelang tengah hari, sebuah perahu yang kecil
sekali mendarat di pesisir itu dan dari perahu itu melompat keluar dua orang gadis yang gesit sekali
gerakannya. Dua orang gadis muda ini cantik-cantik sekali, pakaiannya terbuat dari pada sejenis sutera
halus yang mencetak bentuk tubuh dengan ketat. Rambut mereka diikat ke belakang, rambut yang hitam
dan bergoyang-goyang di belakang punggung.
Dua orang gadis cantik ini berlari-lari, akan tetapi mendadak memandang ke arah perahu Kwan Cu dengan
mata terbelalak. Kulit muka mereka yang kemerah-merahan dan halus itu, tiba-tiba menjadi pucat sekali
dan keduanya berdiri terpaku pada tanah yang mereka injak, seakan-akan telah berubah menjadi dua
patung batu yang indah.
Mereka kemudian berbicara perlahan sambil mencabut pedang dari belakang punggung, siap menghadapi
segala macam bahaya. Gerakan mereka lincah dan cepat bukan main, sehingga ketika mencabut pedang
itu pun hampir tak dapat diikuti oleh pandangan mata saking cepatnya. Kemudian mereka berlompatlompatan
ke arah perahu yang tadi ditarik ke darat oleh Kwan Cu.
Setelah mereka tiba di dekat perahu, barulah dapat dimengerti mengapa mereka menjadi begitu kaget dan
kelihatan takut. Ternyata bahwa tubuh kedua orang gadis itu kecil sekali setelah berada di dekat Kwan Cu
yang kelihatan besar bukan main. Dua orang gadis itu kelihatan seperti anak-anak berusia lima enam
tahun, padahal melihat bentuk tubuh dan wajah mereka, tentu mereka telah berusia sedikitnya tujuh belas
tahun!
“Perahu raksasa!” kata seorang di antara mereka yang mempunyai tanda hitam seperti titik pada pipi
kanannya, tanda yang menambah kemanisan wajahnya.
Gadis ke dua memandang ke kanan kiri, dan tiba-tiba saja dia menjerit perlahan sambil menudingkan
telunjuknya ke arah tubuh Kwan Cu yang masih saja tidur pulas di bawah sebatang pohon kecil. Gadis
dengan tahi lalat pada pipinya menengok sambil melompat seperti seekor burung walet membalikkan
tubuh, dan ia pun mengeluarkan jerit tertahan. Bagi mereka, tubuh Kwan Cu kelihatan besar sekali, seperti
seorang raksasa!
Keduanya berbicara perlahan dan dengan gerakan cepat akan tetapi ringan sekali, dua orang gadis itu
berlari-lari menghampiri Kwan Cu dengan pedang siap di tangan. Walau pun tubuh mereka kecil, akan
tetapi mereka mempunyai ketabahan besar, karena kini mereka sama sekali tidak melarikan diri ketakutan,
bahkan berani menghampiri ‘raksasa’ itu.
Hal ini tidak mengherankan kalau kita mengetahui siapa adanya kedua orang gadis itu. Mereka ini adalah
dua orang puteri raja yang sudah meninggal dunia dari suku bangsa katai yang hidup di sebuah di antara
pulau-pulau di daerah itu, dan kedua orang gadis ini sekarang dianggap sebagai pemimpin mereka, karena
dunia-kangouw.blogspot.com
di antara mereka, dua orang gadis ini dianggap sebagai orang-orang yang mempunyai kepandaian paling
tinggi. Ini dapat dibuktikan dari gerakan mereka yang benar-benar ringan dan cepat sekali, seakan-akan
mereka mempunyai sepasang sayap seperti burung yang gesit sekali.
Pada saat mereka tiba di dekat Kwan Cu yang masih tidur pulas saking lelahnya, gadis bertahi lalat pada
pipinya mencabut keluar sehelai sapu tanggan merah dari balik baju di dadanya, sedangkan gadis ke dua
lalu menurunkan tali temali yang seperti sebuah jala ikan dari punggungnya.
Meski pun dia sedang tidur pulas, kalau sekiranya yang datang mendekatinya itu adalah orang-orang
biasa, agaknya Kwan Cu masih mampu mendengar juga karena telinganya sudah terlatih baik. Akan tetapi
yang datang adalah dua orang gadis yang memiliki ilmu meringankan tubuh luar biasa sehingga daun-daun
kering yang mereka injak pun tidak menimbulkan suara apa-apa. Hal ini bukan karena hanya ilmu mereka
sudah tinggi, akan tetapi juga karena mereka memakai sepatu yang bahannya lemas dan empuk sekali.
Gadis bertahi lalat pada pipinya itu dengan gerakan cepat lalu meloncat ke dekat kepala Kwan Cu yang
kelihatan besar sekali. Sekali ia mengerakkan tangan, sapu tangan merah itu melayang dan menyambar
muka Kwan Cu.
Pemuda ini merasa bahwa ada sesuatu yang halus menutupi mukanya. Dia cepat-cepat membuka
matanya, akan tetapi dari sapu tangan merah ini keluar keharuman luar biasa yang membuat dia tidak
kuasa membuka mata saking mengantuknya dan dalam sekejap saja dia telah tertidur pulas kembali!
Gadis kedua yang berwajah gembira, cepat bergerak, melemparkan jalanya menyelimuti tubuh Kwan Cu.
Dengan gerakan cekatan dia lalu membelit tubuh Kwan Cu dengan jala itu dan dibantu oleh gadis pertama
lalu mengikat sana sini sehingga sebentar saja tubuh Kwan Cu sudah terbungkus jala itu dan kelihatan
bagaikan seekor ikan besar masuk ke dalam jala yang kuat!
“Pergilah kau memanggil kawan-kawan untuk membawa raksasa ini pulang,” kata gadis bertahi lalat
kepada adiknya.
Gadis ke dua sambil tertawa-tawa gembira lalu meloncat dengan cepat dan berlari-lari ke arah perahunya
dan berlayar pergi. Ada pun gadis pertama lalu duduk di dekat Kwan Cu, memeriksa bungkusan besar milik
Kwan Cu yang tadi oleh pemuda itu diletakkan tidak jauh dari tubuhnya.
Gadis ini segera membuka bungkusan itu dengan wajah tertarik. Wajahnya yang cantik kemerah-merahan,
rambutnya bergerak ke kanan dan kiri ketika dengan susah payah dia membuka bungkusan yang berat itu.
Akhirnya ia dapat membuka bungkusan dan setiap lembar pakaian Kwan Cu diperhatikannya secara baikbaik,
oleh karena bahan pakaian itu sangat asing dan kasar baginya.
Ketika melihat bungkusan kuning, ia pun membukanya. Bungkusan itu adalah bungkusan daun Liong-cuhio
yang berbahaya! Akan tetapi ketika membuka bungkusan itu, gadis itu segera melompat kaget sambil
mengeluarkan suara keras.
Dicabutnya sapu tangan merah yang tadi yang berhasil menidurkan Kwan Cu, lalu kedua tangannya
digosok-gosokkan kepada sapu tangan itu. Setelah menyimpan kembali sapu tangannya, ia duduk dan
memegang daun-daun itu!
Sungguh mengherankan! Daun yang mampu menghanguskan setiap tangan orang yang menyentuhnya,
kini ketika berada di tangan gadis ini ternyata tidak mendatangkan akibat apa pun. Ternyata sapu tangan
merah itu mengandung obat penawar yang luar biasa sekali.
Gadis itu belum pernah melihat Liong-cu-hio, akan tetapi penciumannya amat tajam. Dari baunya saja dia
dapat mengenali racun yang berbahaya dari daun itu. Sesudah puas memeriksa daun itu, dia lalu
membungkusnya kembali.
Kemudian matanya memandang ke arah suling pemberian Hang-houw-siauw Yok-ong yang selalu dibawa
oleh Kwan Cu. Ketika berada di dalam tangan gadis itu, suling ini seolah merupakan sebatang suling yang
terbuat dari pada bambu besar untuk bangunan.
Gadis itu tertawa berkikikan seorang diri, kelihatan geli sekali melihat suling sebesar itu. Ia mengangkat
suling ini dan mencoba untuk membunyikannya. Akan tetapi oleh karena tangannya terlalu pendek
sehingga tak dapat mencapai lubang-lubang pada suling, saat dia meniup, suling itu hanya mengeluarkan
dunia-kangouw.blogspot.com
bunyi satu nada saja.
Pada saat gadis itu membungkus kembali semua barang-barang Kwan Cu dari pantai datang berlarian
banyak orang. Ternyata bahwa gadis ke dua tadi sudah datang lagi dan kini ia dikawani oleh dua puluh
orang gadis-gadis dan wanita-wanita muda yang rata-rata memiliki kecantikan yang menarik hati. Akan
tetapi mereka ini pun kecil-kecil seperti dua gadis tadi.
Segera keadaan di situ menjadi ramai ketika semua wanita itu mengagumi Kwan Cu dan memandangnya
sambil terheran-heran. Mereka kemudian bekerja sama, menyeret tubuh Kwan Cu ke pantai dan dengan
susah payah karena tubuh Kwan Cu berat sekali, mereka menaikkan Kwan Cu ke dalam perahu pemuda
itu, kemudian beramai-ramai mendorong perahu ke laut. Kepala perahu itu diikat dengan tambang yang
tersedia di perahu Kwan Cu, diikatkan pada sepuluh buah perahu-perahu kecil milik mereka. Kemudian
mereka mendayung perahu-perahu itu dan menarik perahu Kwan Cu pergi dari pulau itu.
Orang-orang pendek ini tinggal di sebuah pulau yang berbukit, tak jauh dari pulau kosong di mana Kwan
Cu ditawan. Mereka mendarat dan menyeret Kwan Cu ke darat, terus menariknya ke dusun mereka yang
penuh dengan rumah-rumah kecil.
Kwan Cu dibiarkan berbaring di atas tanah. Pada saat itu, Kwan Cu siuman kembali dari keadaan setengah
mabuk akibat pengaruh sapu tangan merah tadi. Dia menggerakkan kaki tangannya dan merasa betapa
tubuhnya terikat oleh tali-tali yang kuat. Ketika dia memandang, ternyata dia berada di dalam sebuah jala
yang aneh.
Kwan Cu terkejut dan terheran-heran. Mimpikah aku? Demikianlah dia berpikir. Tiba-tiba dia mendengar
suara di dekat mukanya dan ketika dia memandang ke depan, hampir saja dia berteriak saking kaget dan
herannya. Dia melihat dua orang gadis kecil sekali yang cantik menarik.
Gadis pertama yang manis dengan tahi lalat di pipinya melakukan gerakan seperti orang bersilat, bersiap
sedia untuk menyerangnya, juga gadis ke dua yang cantik bersiap-siap. Kemudian dia melihat gadis
pertama mencabut keluar sehelai sapu tangan merah dari balik bajunya, maka terciumlah bahu yang amat
harum.
Teringatlah Kwan Cu bahwa ketika dia hendak bangun, dia pun mencium bau ini, maka dia dapat menduga
bahwa sapu tangan itulah yang tadi telah membuat dia pingsan. Dia menggunakan kecerdikannya dan
tidak jadi meronta untuk melepaskan diri. Ia diam saja sambil memandang penuh perhatian.
Benar saja, pada saat melihat bahwa raksasa yang tertawan itu tidak memberontak, dua orang gadis itu
tidak jadi menyerang, hanya memandang penuh kewaspadaan. Kwan Cu menggerakkan matanya
memandang ke depan dan dia langsung merasa terheran-heran. Dia dirubung oleh banyak orang, akan
tetapi anehnya, semua orang kecil yang berada di situ adalah wanita-wanita belaka!
“Mimpikah aku? Setelah bertemu dengan raksasa-raksasa apakah sekarang aku sudah berubah pula
seperti raksasa dan orang-orang wanita ini sebetulnya orang biasa? Atau sudah gilakah aku?” demikian
Kwan Cu berpikir dengan bingung.
Memang, kalau di bandingkan, keadaannya kini terbalik sama sekali dengan keadaannya beberapa hari
yang lalu. Lakayong memiliki tubuh yang tiga kali lebih besar tubuhnya dan sekarang, dia menjadi tiga kali
lebih besar dari pada wanita-wanita ini.
“Kalian siapakah? Dan kenapa aku ditawan?” ia mencoba bertanya dengan suara halus agar tidak
menimbulkan rasa takut pada orang-orang wanita itu.
Akan tetapi ketika gadis cantik bertahi lalat di pipinya itu menjawabnya, Kwan Cu menjadi bingung bukan
main karena dia tak mengerti sedikit pun juga akan maksud kata-katanya. Suara gadis itu merdu dan halus,
akan tetapi ucapannya bagi telinga Kwan Cu hanya terdengar tidak karuan seperti berikut.
“Karika yiyi kaduka nana...”
Celaka, sekarang kembali aku bertemu dengan orang-orang aneh, pikir Kwan Cu. Bentuk tubuh yang kecil
itu, bahasa yang aneh itu, tidak sangat mengherankan Kwan Cu karena sesudah bertemu dengan
Lakayong dan rakyatnya, dia tahu bahwa di dunia ini terdapat manusia-manusia yang aneh. Yang sangat
mengherankan hatinya adalah bahwa semua orang katai yang berada di situ hanya wanita-wanita belaka!
dunia-kangouw.blogspot.com
Apakah ini dunia wanita?
Kwan Cu teringat akan pengalamannya ketika bertemu dengan Lakayong dan rakyatnya. Bahasa yang
dipergunakan oleh Lakayong juga jauh berbeda dengan bahasanya sendiri. Jangankan yang digunakan
oleh bangsa raksasa itu, bahkan yang digunakan di daratan Tiongkok sendiri ada puluhan atau ratusan
macam!
Akan tetapi, walau pun ucapannya berlainan namun tulisannya semua sama! Inilah yang memudahkan
seseorang di Tiongkok untuk melakukan hubungan dengan orang-orang di daerah lain. Saat berada di
pulau raksasa, dia dapat berhubungan dengan menggunakan tulisan kuno. Siapa tahu kalau orang-orang
kecil ini pun dapat membaca tulisannya.
Sesudah berpikir demikian, Kwan Cu lalu mengeluarkan telunjuknya dari jala, diikuti oleh pandang mata
para wanita itu. Kwan Cu lalu menuliskan tulisan huruf kuno seperti yang dipergunakan oleh Lakayong.
Wanita-wanita kecil itu menghampirinya dan melihat corat-coretnya, namun mereka tidak mengerti artinya.
Kwan Cu lalu menghapus coretan pada tanah itu dan kini dia mencoret tanah dengan tulisan yang lebih
muda usianya dari pada tulisan yang dipergunakan oleh Lakayong.
‘Dapat membaca ini?’ tanya dalam tulisan itu.
Usahanya berhasil! Wanita-wanita itu lantas saling pandang, kemudian gadis bertahi lalat menganggukanggukkan
kepalanya dan mencoret tanah di dekat tulisan Kwan Cu.
‘Aku dapat membaca tulisanmu, kau siapakah dan datang dari mana?’
Bukan main girangnya hati Kwan Cu ketika dia membaca tulisan halus dan kecil itu, akan tetapi yang dapat
dibacanya dengan jelas.
‘Biarkan aku duduk dan lepaskan dulu jala ini, aku akan bercerita,’ tulisnya karena amat sukarlah menulis
sambil berbaring miring seperti itu. Ia tidak mau melepaskan diri dengan kekerasan, karena khawatir kalaukalau
akan dicurigai.
Gadis yang menjadi pemimpin itu berunding dengan adiknya dan dengan wanita-wanita lain. Kemudian
mereka lalu mendekati dan dari luar mereka mengikat dua tangan Kwan Cu di belakang tubuh, juga
mengikat kedua kaki pemuda itu erat-erat!
Kwan Cu merasa geli sekali dan tangan-tangan yang halus serta kecil itu bergerak amat cepat, jari-jari
yang kecil seakan-akan mengitik-itiknya, akan tetapi dia menahan tawanya dan menenangkan diri. Dia
dapat menduga bahwa wanita-wanita ini tak percaya padanya dan akan membelenggunya lebih dulu
sebelum melepaskannya dari jala itu.
Dugaannya sangat tepat. Setelah dua kaki tangannya dibelenggu, jala itu lalu dibuka. Ia dibolehkan bangun
dan duduk bersandar pada batu karang yang bentuknya seperti pilar. Di sini ia di ikat lagi, tali yang panjang
dibelit-belitkan pada lengan dan dadanya, terus di ikatkan pada batu karang itu.
Yang lebih hebat, gadis kedua yang lincah itu sekali melompat telah berdiri pada pundak kirinya, membawa
sehelai tali yang lalu dikalungkan dua kali pada lehernya! Walau pun hanya longar saja, lehernya tetap
diikat pada pilar itu. Satu akal yang cerdik sekali!
Kwan Cu duduk bersila sambil bersandar pada tiang batu karang. Dia mencoba dengan urat-urat
tangannya untuk mengetahui sampai di mana kekuatan tali yang mengikatnya. Ia mendapat kenyataan
bahwa jika dia mau, mudah saja baginya untuk merenggut putus tali itu.
Gadis bertahi lalat pada pipinya itu lalu mengunakan telunjuknya menuliskan huruf-huruf di atas tanah di
depan Kwan Cu.
‘Aku bernama Malita dan ini adikku Malika. Kami berdua yang mengepalai bangsa kami di pulau ini. Kau
menjadi tawanan kami dan jangan mencoba untuk memberontak, sebab biar pun tubuhmu besar tetapi
kalau kami mau, dengan mudah kami akan membunuhmu dengan senjata-senjata kami yang berbisa. Kau
seorang laki-laki dan pada saat ini, kami benci dan tidak percaya terhadap semua laki-laki. Akan tetapi kau
datang dari bangsa raksasa, kau siapakah dan mengapa kau datang ke daerah kami?’
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwan Cu membaca tulisan itu dan tersenyum. Nama-nama yang aneh akan tetapi cukup manis, pikirnya.
Akan tetapi pernyataan bahwa mereka ini membenci laki-laki, membuat Kwan Cu menjadi heran sekali.
Ia ingin menjawab pertanyaan-pertanyaan gadis itu, akan tetapi kedua tangannya diikat di belakang
tubuhnya, bagaimana dia dapat menulis? Tentu saja dia mampu melepaskan tangannya, akan tetapi hal ini
tentu akan membikin mereka takut serta curiga. Maka, dia menjawab dengan mulutnya.
“Bagaimana aku dapat menulis jawabannya jika kedua tanganku terikat?” sambil berkata demikian, ia
melirik ke arah tali yang mengikat dadanya.
Malita dan Malika bicara, agaknya mereka berunding kemudian Malita menulis lagi.
‘Wajahmu tampan dan gagah, kau berbeda dengan laki-laki bangsa kami. Agaknya kau bukan orang jahat.
Akan tetapi kau tetap laki-laki dan kami sudah tak percaya lagi pada semua makhluk jantan. Maka, kami
akan melepaskan tangan kananmu agar kau dapat menulis, akan tetapi awas, sekali saja kau
memberontak, kau akan binasa!’
Kwan Cu tersenyum ramah dan mengangguk-anggukan kepalanya. Malita lalu mencabut pisau dan
memutuskan ikatan tangan kanan Kwan Cu. Sesudah tali itu putus dan Kwan Cu membebaskan
tangannya, Malita cepat mencabut pedang dengan tangan kanan ada pun tangan kirinya mengeluarkan
sapu tangan merahnya.
Kwan Cu bergidik. Ia lebih takut kepada sapu tangan yang harum itu dari pada pedang di tangan Malita.
Juga Malika mencabut pedangnya dan melompat berdiri. Wanita-wanita yang berdiri agak jauh dari tempat
itu pun juga bersiap sedia, semua mencabut pedang dan bersikap seperti sekumpulan orang bersiap untuk
bertempur.
Melihat cara mereka mencabut pedang dan bergerak, Kwan Cu menjadi kagum karena mereka itu terang
sekali memiliki kepandaian silat yang tinggi! Orang-orang ini kecil dan lemah, akan tetapi sebaliknya dari
pada rakyat Lakayong yang bertenaga besar namun lamban, mereka ini agaknya amat cekatan dan cerdik.
Kwan Cu lalu mulai menulis di atas tanah. ‘Aku seorang perantau yang bernama Kwan Cu. Aku tiba di
daerah ini tanpa sengaja dan aku tidak bermaksud buruk. Biar pun aku seorang laki-laki, akan tetapi aku
tidak pernah menggangu orang, apa lagi orang wanita. Kalian percayalah kepadaku.’
Kedua orang gadis itu saling pandang dan kini beberapa orang wanita datang pula untuk ikut membaca
tulisan Kwan Cu. Mereka bicara dengan ribut dan melihat sikap mereka, Kwan Cu dapat menduga bahwa
mereka ini sebagian besar tak percaya akan tulisannya tadi.
‘Kami sudah cukup sering tertipu oleh laki-laki yang manis mulut tetapi berhati palsu,’ tulis Malita. ‘Karena
itu, kau tentu akan maklum bahwa kami tidak dapat sembarangan saja percaya kepadamu. Apa yang kau
cari di tempat ini?’
‘Aku mencari sebuah pulau kecil yang bundar dan ditumbuhi pohon-pohon berdaun putih. Harap kalian
melepaskan aku dan aku tidak akan mengganggu kalian, akan kulanjutkan perantauanku. Bahkan kalau
ada sesuatu yang dapat kulakukan untuk kalian, aku akan membantu kalian karena aku adalah seorang
sahabat.’
Kembali orang-orang wanita itu ribut-ribut ketika membaca tulisan ini. Mereka agaknya masih ragu-ragu
untuk mempercayai kata-kata ini. Tiba-tiba saja terdengar ribut-ribut dan Kwan Cu menjadi terheran-heran
melihat seorang laki-laki kecil berlari-lari, dikejar oleh banyak wanita. Laki-laki itu memegang tongkat besar
dan beberapa orang pengejarnya telah kena dihajar roboh.
Malita marah sekali dan dengan pedang di tangan dia melompat dengan gerakan yang menurut
pandangan Kwan Cu hampir menyerupai gerakan Ouw-liong Coan-tah (Naga Hitam Tembuskan Menara),
semacam gerakan melompat dari ilmu silat tinggi!
Akan tetapi sebelum Malita dapat menyusul laki-laki yang sudah pergi jauh itu, Kwan Cu sudah
mendahuluinya. Pemuda ini mempergunakan tangan kanannya yang bebas untuk mencengkeram
segenggam tanah yang langsung dilemparkan ke arah laki-laki kecil yang melarikan diri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lelaki itu berteriak, lalu roboh dan pingsan, terpukul oleh segenggam tanah yang baginya merupakan
segumpal tanah yang besar! Orang-orang wanita segera memburu ke tempat itu dan sebentar saja laki-laki
itu digiring pergi dalam keadaan terbelenggu erat-erat.
Malita kembali menghampiri Kwan Cu. Sikapnya agak berubah tak segalak tadi, ada pun senyumnya
menghias wajahnya yang cantik. Juga para wanita lainnya kini memandang Kwan Cu dengan sikap manis.
‘Kenapa kau merobohkan orang jahat itu?’ tanya Malita dengan tulisannya.
‘Sudah kukatakan bahwa aku tidak bermaksud buruk. Aku melihat dia seorang laki-laki yang begitu kejam
karena merobohkan beberapa orang wanita, maka aku turun tangan,’ jawab Kwan Cu.
‘Kau pandai sekali melempar am-gi (senjata rahasia), agaknya kau memiliki kepandaian. Apakah kau
benar-benar berniat baik dan tidak memusuhi kami?’
‘Aku selalu berada di fihak benar, dan aku bersumpah takkan menggangu wanita. Kalau aku berniat buruk,
apa kalian kira aku tak akan dapat melepaskan ikatan ini? Katakanlah kepadaku bahwa kalian percaya
kepadaku dan kalian akan melihat bahwa aku sanggup melepaskan ikatan ini.’
Malita sangat terkejut, akan tetapi ia tersenyum dan menulis,
‘Kau raksasa yang aneh, gagah dan berwatak halus. Mengherankan sekali. Aku percaya kepadamu.’
Setelah membaca ini, Kwan Cu tertawa girang. Sekali dia mengerahkan lweekang-nya, terdengar suara
keras dan semua ikatannya putus!
Malita, Malika dan semua wanita masih sangsi. Mereka berdiri menjauhi Kwan Cu, siap dengan pedang di
tangan!
Kwan Cu tersenyum, berdiri dan menggeliat, diawasi oleh semua wanita-wanita kecil itu dengan
pandangan mata kagum. Kemudian Kwan Cu duduk kembali sambil menulis di tanah.
‘Nah, marilah kita bicara dengan baik. Kalian ini benar-benar aneh sekali. Mengapa aku hanya melihat
wanita saja dan satu-satunya lelaki yang kulihat adalah yang tadi menjadi tawananmu? Kenapa pula kalian
membenci laki-laki dan bukankah kalian ini pun adalah puteri-puteri dari seorang ayah laki-laki pula?’
Membaca tulisan ini, kembali semua wanita ribut-ribut, bahkan ada yang mengucurkan air mata dan
menangis. Sungguh mengharukan sekali. Kwan Cu menjadi makin terheran. Akan tetapi Malita menerima
sebuah gulungan kertas berikut alat tulis, segera menulis panjang lebar untuk menceritakan keadaan
bangsanya kepada pemuda raksasa itu.
Semenjak beberapa keturunan, bangsa katai ini merupakan bangsa yang keadaannya terbalik dengan
banga-bangsa manusia lainnya. Yang berkuasa adalah wanitanya. Hal ini adalah karena dahulu muncul
seorang wanita sakti yang memiliki kepandaian tinggi. Wanita ini membenci laki-laki dan dia hanya mau
menurunkan kepandaiannya kepada murid-murid wanita, dengan menyuruh murid-murid itu bersumpah
bahwa kepandaian mereka tidak boleh diturunkan kepada laki-laki.
Demikianlah, maka para wanitanya rata-rata memiliki kepandaian silat yang tinggi dan biar pun dalam
tenaga mereka kalah oleh laki-laki, namun apa bila berkelahi, selalu para wanita yang menang. Juga para
penjaga keamanan dan para prajurit terdiri dari wanita. Sebaliknya, laki-laki hanya bertugas di sawah dan
laki-laki pula yang bertugas mencari makanan.
Mereka selalu memilih pimpinan mereka atas dasar pemilihan umum, dan biasanya yang dicalonkan
sebagai pemimpin tentulah wanita. Akan tetapi, meski jarang terjadi, pernah pula seorang laki-laki
dicalonkan untuk menjadi pemimpin, di mana tentu saja jika sudah memenuhi syarat-syarat yang berat dan
ditentukan oleh bangsa wanita ini. Dalam hal ini, bukan kepandaian silat saja yang menjadi syarat utama,
akan tetapi juga pengetahuan yang luas dan kecerdikan yang lebih dari pada orang lain.
Raja atau kepala terakhir yang dipilih adalah ayah dari Malita dan Malika, seorang yang sudah banyak
pengalaman karena sudah pernah merantau jauh keluar pulau. Di bawah pimpinan ayah ke dua orang
gadis ini, rakyat orang katai hidup makmur, karena memang pemimpin ini pandai sekali, ditambah oleh
bantuan dua orang puterinya yang memiliki kepandaian silat istimewa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Malita dan Malika adalah murid-murid terpandai dari ahli waris ilmu silat yang diturunkan oleh nenek sakti,
dan setelah guru kedua orang gadis ini meninggal dunia, boleh dibilang yang memiliki kepandaian tertinggi
di pulau ini adalah Malita dan Malika.
Setelah raja itu meninggal dunia, otomatis yang ditunjuk menjadi ratu adalah Malita. Akan tetapi, setelah
ayah Malita menjadi raja, timbul pemberontakan di dalam hati orang-orang lelaki yang dipimpin oleh enam
orang laki-laki yang menjadi pembantu raja. Mereka inilah yang mula-mula mencetuskan permintaan
bahwa sudah sepatutnya bila laki-laki menjadi raja dan laki-laki pula yang berkuasa!
Malita dan Malika marah sekali dan terjadilah pertempuran hebat antara laki-laki yang dipimpin oleh enam
orang pemberontak itu melawan Malita dan Malika yang memimpin barisan wanita. Celakanya, sebagian
besar orang-orang lelaki, baik yang sudah menjadi suami mau pun yang belum menikah, terkena bujukan
enam orang ini sehingga ikut pula memberontak.
Akan tetapi, semua laki-laki itu hanya mengandalkan tenaga yang lebih besar, namun dalam hal
mempermainkan senjata, mereka kalah jauh. Hanya enam orang itu saja yang mampu melakukan
perlawanan hebat karena secara diam-diam sudah mempelajari ilmu silat.
Akhirnya, banyak laki-laki menjadi korban dalam peperangan itu dan banyak pula yang tertawan. Namun,
keenam orang laki-laki itu dapat melarikan diri ke sebuah pulau kosong yang mempunyai goa-goa di batubatu
karang. Enam orang laki-laki itu bersembunyi di dalam goa diikuti tiga puluh orang lebih laki-laki yang
masih setia kepada mereka.
Sudah beberapa kali Malita serta Malika berusaha memimpin barisan para wanita untuk mengalahkan,
menawan atau bahkan membunuh para pemberontak itu, namun alangkah terkejutnya ketika dia melihat
bahwa tidak saja pertahanan mereka sangat kuat dengan adanya goa-goa yang panjang dan gelap, juga
tambah hari kepandaian mereka tambah hebat.
Apa lagi enam orang laki-laki itu dipimpin oleh seorang yang bernama Kahano, seorang laki-laki berjenggot
yang merupakan kepala juga guru dari mereka, kepandaian mereka dalam beberapa hari ini menjadi amat
hebat, seolah-olah mereka menemukan guru yang pandai!
Tadinya, hanya Malita dan Malika berdua saja dengan mudah bisa mendesak dan hampir mengalahkan
enam orang laki-laki pemimpin pemberontak itu. Namun beberapa pekan kemudian ketika mereka
mencoba untuk menyerang para pemberontak, keenam orang laki-laki itu maju dan menghadapi Malita dan
adiknya. Dan bukan main lihainya enam orang ini terutama sekali Kahano!
Mereka bersenjata pedang pendek dan permainan pedang ini mempunyai bentuk dan gaya baru yang luar
biasa sekali. Hampir-hampir saja Malita dan Malika kalah! Namun akhirnya, karena anak buah Kahano
yang lain-lain agaknya baru saja mempelajari ilmu silat, Malita dapat memukul mundur semua laki-laki itu.
Namun mereka segera berlari-lari dan masuk ke dalam goa, sehingga kembali gerakan Malita gagal. Untuk
menyerbu ke dalam goa amat berbahaya sekali karena Kahano dan anak buahnya menghujankan anak
panah dari dalam goa!
‘Nah, hal inilah yang menggelisahkan hati kami, saudara Kwan Cu.’ Tulis Malita akhirnya sesudah
menceritakan semua hal yang terjadi di pulau itu dengan tulisan-tulisan yang kecil-kecil. ‘Oleh karena itulah
kami amat bercuriga dan membenci kaum laki-laki yang ternyata telah memberontak dan berhati palsu.
Laki-laki yang kau robohkan tadi adalah seorang di antara para tawanan kami yang mencoba melarikan
diri. Kami benar-benar gelisah sekali. Kepandaian Kahano maju demikian cepatnya sehingga lihai sekali,
kalau semua laki-laki yang ikut dengan dia mendapat latihan dan memiliki kepandaian seperti dia, tentu
kami akan kalah!’
Kwan Cu tersenyum, lalu dia pun minta kertas dan menuliskan banyak kata-kata di situ.
‘Saudara Malita, Malika dan semua wanita yang berada di sini, maafkan apa bila aku menyatakan sesuatu
yang mungkin akan terasa janggal untuk kalian. Di duniaku, fihak laki-lakilah yang berkuasa dan fihak lakilaki
yang mengatur seluruhnya.’
Para wanita ribut-ribut sesudah membaca ini dan hampir saja mereka menyerang Kwan Cu kalau saja tidak
dicegah oleh Malita.
dunia-kangouw.blogspot.com
‘Kaum laki-laki memang mau menang sendiri saja!’ Malita menulis dengan coretan cepat, mengandung
kemendongkolan hati. ‘Mendiang ibuku dulu pernah bercerita bahwa dulu pernah kaum laki-laki kami
memegang kekuasaan dan bagaimana keadaan nasib kami kaum wanita? Kaum lelaki enak-enak saja,
tetapi kami wanita yang bekerja keras. Bukan itu saja, kami diperlakukan bagai barang permainan, mudah
ditukar dan diperjual belikan. Laki-laki mempunyai isteri berapa saja sesuka hatinya! Bahkan raja di kala itu
memiliki isteri lebih dari tiga puluh orang! Apa begitu pula keadaan di duniamu?’
Diam-diam Kwan Cu harus mengakui bahwa di dunianya memang hampir demikianlah keadaannya.
Memang banyak orang lelaki, tidak semua dan ada kecualinya tentu, yang menganggap wanita sebagai
barang permainan dan memandang rendah sekali kepada kaum wanita. Bahkan dia pun telah mendengar
tentang kaisar dan para pembesar yang mempunyai selir tidak hanya tiga puluh orang wanita, bahkan lebih
banyak lagi. Ia harus berlaku cerdik untuk dapat membereskan persoalan pertempuran antara kaum lakilaki
dan kaum wanita dari bangsa katai ini.
Kwan Cu lalu menulis lagi.
‘Sama sekali tidak begitu. Kaum laki-laki di negaraku selalu memperlakukan baik sekali terhadap wanita.
Tak ada seorang pun laki-laki mau mengganggu wanita, menikah hanya dengan seorang isteri saja, hidup
damai dan rukun, bekerja sama demi kebahagiaan suami isteri dan anak-anaknya. Laki-laki bertenaga
lebih besar dan karenanya pekerjaan-pekerjaan berat yang memerlukan tenaga harus dilakukan oleh kaum
lelaki, sebaliknya pekerjaan halus dan kerajinan tangan dilakukan oleh pihak wanita.’
Mendengar ini, para wanita saling pandang dan di antaranya ada yang mengucurkan air mata saking
terharu hatinya.
‘Alangkah bahagianya hidup kami kalau keadaan kami bisa seperti yang kau ceritakan itu,’ Malita menulis.
‘Akan tetapi sayang, kaum laki laki bangsa kami lain lagi, dan itulah sebabnya maka dahulu kaum
wanitanya memberontak dan mempelajari ilmu kepandaian supaya dapat menguasai laki-laki sehingga
kami dapat mencegah perlakuan sewenang-wenang.’
‘Kenapa tak bisa diatur begitu? Kalian harus berusaha dan aku akan membantu kalian sehingga di pulau ini
akan tercapai keadaan makmur dan damai seperti yang aku ceritakan tadi.’
Wanita-wanita itu nampak girang dan wajah mereka berseri-seri. Diam-diam Kwan Cu harus mengakui
bahwa wanita-wanita cilik ini rata rata memiliki wajah yang amat cantik menarik, terutama sekali Malita dan
Malika, yang kecantikannya tidak kalah oleh wanita wanita di kota raja di negaranya.
‘Akan tetapi, biar pun kami amat berterima kasih kepadamu, kami sangsi apakah kita akan dapat
mengalahkan Kahano yang sudah tua itu. Dia mempunyai niat yang sangat buruk. Pertama-tama dia
menghendaki agar aku dan adikku Malika menjadi isterinya dan dia pun mau menjadi raja di sini!’ ketika
menuliskan hal ini, muka Malita menjadi merah saking marah dan jengahnya. ‘Dan yang amat
mengkhawatirkan, kepandaiannya makin lama semakin maju pesat sekali setelah dia berada di pulau kecil
itu. Agaknya di pulau pohon putih itu dia mendapatkan seorang guru yang pandai.’
Mendengar ini, berdebarlah hati Kwan Cu. ‘Pulau pohon putih? Di manakah itu?’
‘Itulah pulau yang kini menjadi tempat tinggal mereka. Pulau itu ditumbuhi pohon-pohon putih, dan di sana
terdapat banyak sekali goa-goa yang panjang dan aneh. Sebetulnya pulau itu menjadi tempat penguburan
raja-raja kami, bahkan nenek sakti yang pernah menurunkan ilmu silat pada kami, juga berasal dari pulau
itu dan di kubur di sana pula.’
Kwan Cu menyembunyikan rasa girangnya. Itulah gerangan pulau yang dimaksudkan di dalam buku
sejarah Gui Tin di mana tersimpan kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng!
‘Mari antarkan aku ke sana, akan kutawan semua laki-laki yang berada di sana. Akan kutangkap Kahano
yang memberontak itu!’ tulisnya gagah sambil berdiri.
Akan tetapi Malita nampak ragu-ragu. Apa lagi Malika yang berwatak lebih keras dari pada kakaknya.
Gadis ini berdiri dan mencabut pedangnya.
‘Raksasa,’ tulisnya di tanah menggunakan ujung pedangnya, ‘gampang saja kau bicara seakan-akan kau
dunia-kangouw.blogspot.com
benar-benar akan dapat menangkan Kahano serta kawan-kawannya. Sekarang begini saja, aku dan
kakakku Malita hendak menguji kepandaianmu. Biar pun kau besar sekali dan tentu tenagamu juga amat
besar, akan tetapi kalau tidak memiliki kepandaian, apa gunanya?’
Malika menegur adiknya dengan kerling mata tajam, kemudian ia pun menulis. ‘Maafkan adikku yang nakal
dan kasar, saudara Kwan Cu. Akan tetapi, kata-kata itu ada benarnya pula. Kami tidak mau membiarkan
kau yang bermaksud baik itu mengalami kegagalan dan celaka di tangan Kahano yang lihai. Maka,
maukah kau kuuji kepandaianmu?’
Kwan Cu mengangguk, dan tanpa banyak cakap, dia bersiap sedia, berdiri menghadapi dua orang gadis itu
dengan hati-hati. Dia dapat menduga bahwa kedua orang gadis yang kecil ini memiliki ginkang yang amat
tinggi dan karenanya tentu mempunyai kepandaian yang tak boleh dipandang ringan.
Malita dan Malika bersiap dengan pedang mereka, kemudian Malika berseru dan kedua orang gadis itu
menyerbulah dengan hebatnya. Malita melompat dan tubuhnya melayang tinggi sehingga ia dapat
menusukkan pedangnya ke arah dada Kwan Cu, ada pun Malika yang cerdik menggunakan pedangnya
untuk membabat kedua kaki Kwan Cu yang besar. Benar saja dugaan Kwan Cu. Gerakan kedua orang
gadis ini cepat bukan main dan cara penyerangan mereka menggunakan teori silat yang tinggi.
Kwan Cu menggunakan Pai-bun Tui-pek-to untuk menghadapi serangan dua orang gadis kecil ini. Baiknya
pemuda ini sudah mempunyai pandangan mata yang awas dan karena tubuhnya jauh lebih besar, maka
langkahnya pun lebar sekali bagi Malita dan Malika.
Sekali saja Kwan Cu melangkah, dia telah menghindarkan diri jauh-jauh dari dua pedang kecil yang
menyerang dirinya. Akan tetapi bagaikan dua ekor nyamuk yang gesit sekali, Malita dan Malika terus
mendesak dan mengejarnya dengan pedang mereka.
Kwan Cu memperhatikan gerakan-gerakan mereka dan diam-diam dia terkejut sekali. Ilmu pedang mereka
itu benar-benar lihai, dan kalau saja mereka merupakan dua orang gadis dengan tubuh sebesar dia, tentu
dia tidak akan sanggup menghindarkan diri dari serangan mereka itu.
Gerakan pedang mereka selain sangat cepat, juga gerakannya memiliki perubahan yang tak terduga-duga,
begitu indah dan juga kuat sekali. Tubuh mereka seakan-akan telah menjadi satu dengan pedang dan
bagaikan dua kunang-kunang di waktu malam gelap, dua orang gadis itu menyambar-nyambarnya dari
segala jurusan.
Kwan Cu menjadi bingung. Untuk membuktikan bahwa dia mampu membantu mereka ini dan
mengalahkan para pemberontak, dia harus dapat menunjukkan kepandaiannya dan dapat mengalahkan
Malita dan Malika. Akan tetapi, hanya dengan tangan kosong saja, tak mungkin dia bisa mengalahkan
mereka tanpa melukai mereka ini. Ia tentu akan dapat menggunakan Ilmu silat Sin-ci Tin-san yang lihai,
akan tetapi apakah tubuh mereka yang kecil-kecil ini akan dapat menahan hawa pukulan Sin-ci Tin-san?
Makin lama, Malita dan Malika mendesaknya makin hebat sehingga Kwan Cu terpaksa menahan desakan
mereka dengan Ilmu Silat Sam-hoan-ciang. Meski ilmu silat ini hanya terdiri dari tiga jurus pukulan, akan
tetapi dapat membuat dia bertahan secara kuat. Hawa pukulan yang ditimbulkan gerakan kedua tangannya
merupakan perisai yang menangkis semua serangan lawan.
Malita dan Malika tak dapat mendekatinya lagi karena di sekitar tubuh pemuda itu bertiup angin pukulan
yang membuat tubuh mereka terpental mundur kembali setiap kali mereka hendak menyerang. Kwan Cu
masih tidak puas. Sambil tersenyum dia lalu mengeluarkan sulingnya yang tadi dia ambil dari buntalan
pakaian dan dia selipkan di ikat pinggangnya.
Malita memandang heran. Apakah pemuda raksasa yang aneh dan amat lihai ini hendak menyuling sambil
bertempur? Akan tetapi, keheranannya makin bertambah ketika Kwan Cu bukannya menggunakan benda
itu untuk menyuling melainkan mempergunakannya untuk bertempur!
Dengan sulingnya ini, Kwan Cu mulai memainkan gerakan-gerakan ilmu pedang Hun-kai Kiam-hoat yang
dia pelajari dari Ang-bin Sin-kai. Dia bermaksud mengalahkan dua orang gadis cilik ini dengan merampas
pedang mereka. Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika dua orang gadis itu agaknya tidak gentar
menghadapi sulingnya, bahkan agaknya sudah dapat menduga lebih dulu ke mana sulingnya akan
bergerak sehingga mereka mampu mempertahankan diri dengan baik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat gerakan mereka, Kwan Cu merasa yakin bahwa mereka sudah mengenali ilmu pedangnya, karena
ke mana pun juga dia hendak menggerakkan suling, keduanya sudah bersiap sedia dan setiap elakan
demikian tepatnya. Untung bagi Kwan Cu bahwa kedua orang lawannya yang kecil itu tenaganya kecil pula
sehingga baru hawa pukulannya saja sudah cukup untuk menangkis serangan-serangan mereka.
Akan tetapi diam-diam pemuda ini merasa kagum dan girang sekali. Ilmu pedang yang diperlihatkan oleh
Malita dan Malika benar-benar hebat dan agaknya memang di tempat ini menjadi sumber dari ilmu-ilmu
silat tinggi. Tidak salah lagi, tentu kitab Im-yang Bu-tek Cin-keng berada di pulau yang dijadikan tempat
sembunyi kaum pemberontak itu.
Baca JUga.....!!!!
Share:
cersil...
Comments
0 Comments