Kamis, 21 September 2017

Si Tangan Sakti 1 Komik Kho Ping Hoo Terbaru

Si Tangan Sakti 1 Komik Kho Ping Hoo Terbaru Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Si Tangan Sakti 1 Komik Kho Ping Hoo Terbaru
kumpulan cerita silat cersil online
-
Kaisar Kian Liong adalah seorang di antara para kaisar Kerajaan Ceng atau Mancu yang paling terkenal.
Dia bijaksana dan pandai, walau pun seperti sebagian besar para kaisar dan tokoh-tokoh besar dunia, dia
mempunyai pula sebuah kelemahan, yaitu mata keranjang terhadap wanita.
Dalam pemerintahannya selama enam puluh tahun (1736-1796) kerajaannya mendapat banyak kemajuan
sehingga namanya tercatat dengan tinta emas di dalam buku sejarah. Tentu saja tentang semua
pengalamannya sebagai leaki mata keranjang, sejak masih menjadi pangeran, sengaja tidak dicatat karena
hal itu akan menjadi noda saja dalam sejarah raja-raja yang selalu diagungkan.
Pada waktu kaisar ini masih muda, masih menjadi seorang pangeran, dia dikenal pula sebagai seorang
pangeran yang amat pandai bergaul, yang suka bergaul dengan rakyat jelata, bahkan mendekati tokohtokoh
dunia persilatan sehingga namanya populer dan disuka, disebut Pangeran Bijaksana, Pangeran
Mulia dan sebagainya.
Ketika dia masih menjadi pangeran, pada suatu hari dia melihat seorang wanita muda yang teramat cantik
dan manis berkunjung ke istana bagian puteri, mengunjungi kakak perempuannya. Teringatlah dia bahwa
wanita itu adalah Fu Heng, isteri dari Pangeran Kian Tong yang menjadi kakak tirinya karena berlainan ibu.
Kalau dia merupakan putera permaisuri dan Pangeran Mahkota, Pangeran Kian Tong hanyalah puteri selir.
Pangeran Kian Tong baru beberapa bulan lalu menikah dan wanita cantik itulah isterinya, yang kini
berkunjung kepada Puteri Can Kim, kakaknya yang memang menjadi sahabat baik isteri Pangeran Kian
Tong itu.
Semenjak bertemu dengan kakak iparnya yang bernama Fu Heng itu, Pangeran Kian Liong menjadi tergilagila.
Walau pun dia dapat memperoleh gadis mana saja yang dia kehendaki, tetapi pada waktu itu hanya
bayangan kakak iparnya yang nampak di depan mata, siang malam! Tidur tak nyenyak, makan tak enak,
begitulah keadaan pangeran putera mahkota itu.
Hal ini segera diketahui oleh pembantunya yang setia, juga pelayannya, yaitu seorang thaikam (laki-laki
kebiri) bernama Siauw Hok Cu.
"Pangeran, apa yang mengganggu pikiran Paduka? Harap beri tahukan kepada hamba, dan hamba yang
akan melaksanakan segala perintah Paduka untuk dapat memenuhi segala kehendak Paduka," kata
thaikam itu.
Pangeran Kian Liong yang sedang rebahan itu bangkit duduk, lalu memandang kepada pelayannya yang
setia itu dan menghela napas panjang. "Hok Cu, engkau tidak tahu betapa hatiku merana karena rindu
kepada seorang wanita...."
Siauw Hok Cu tertawa, akan tetapi menutupi mulutnya dengan sikap sopan. "Sungguh lucu ucapan Paduka
ini. Wanita mana di dunia ini yang tidak akan lari ke dalam pelukan Paduka kalau Paduka membuka lengan
dan memanggilnya? Katakanlah, wanita mana yang Paduka rindukan, maka hamba akan segera
menjemputnya dan mengajaknya ke sini."
Tetapi pangeran itu tidak bergembira oleh kesanggupan pelayannya, bahkan menghela napas lagi. "Ahh,
engkau tidak tahu siapa wanita yang kurindukan itu, Hok Cu. Sekali ini, biar engkau pun tidak akan mampu
menolongku dan aku akan mati tenggelam ke dalam kerinduanku yang begini menghimpit. Aaaiiihhh...!"
"Katakanlah, Pangeran. Wanita mana yang Paduka kehendaki? Biar ia puteri raja muda sekali pun, hamba
sanggup melaksanakannya untuk Paduka!" berkata Siauw Hok Cu penuh semangat.
"Kalau saja ucapanmu itu benar, Hok Cu. Akan tetapi sudahlah, lupakan saja, biarkan aku merana sendiri
karena engkau tidak mungkin akan dapat membantuku sekali ini..."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Katakanlah siapa wanita itu, Pangeran. Hamba bersumpah, jika tak bisa mendapatkan, nyawa hamba
gantinya!" kata pula thaikam itu dengan penasaran.
"Benarkah?" Sekarang dalam mata pangeran itu bernyala sebuah harapan baru. "Nah, dengarlah. Wanita
yang kurindukan itu adalah Nyonya Fu."
"Nyonya Fu...?" tanya thaikam itu, tidak mengerti.
"Nyonya muda Fu Heng, kakak iparku, isteri Pangeran Kian Tong, pengantin baru itu!"
"Ya Tuhan...!" Wajah thaikam itu berubah pucat dan matanya terbelalak. "Tapi beliau adalah kakak ipar
Paduka sendiri!"
Pangeran Kian Liong tersenyum pahit. "Benar, namun ia pun seorang wanita, bukan? Wanita yang sangat
cantik, sangat manis, dan amat mulus. Bagaimana dengan janjimu untuk mengganti dengan nyawamu,
Hok Cu?"
Thaikam itu cepat-cepat mengangguk-anggukkan kepala sehingga dahinya membentur lantai. "Akan
hamba laksanakan, Paduka jangan khawatir, akan hamba carikan jalan!"
Tentu saja pangeran itu merasa gembira sekali. Pembantu utama yang menjadi pelayan pribadinya ini
memang cerdik dan banyak akalnya. Biar pun di situ tidak terdapat orang lain, mereka berbisik-bisik ketika
thaikam Siauw Hok Cu mengatur siasatnya.
Kurang lebih sepekan kemudian, sebuah kereta berhenti di halaman istana bagian putri dan wanita cantik
Fu Heng turun dari kereta. Seorang dayang segera menyambutnya. Dayang itu mengaku sebagai pelayan
pribadi Puteri Can Kim yang mengutusnya untuk menyambut Fu Heng.
"Puteri sedang menghadap Permaisuri dan hamba diutus untuk menyambut Paduka," kata dayang itu.
Wanita itu tersenyum dan bibirnya merekah dalam senyum manis sekali. "Terima kasih," katanya sambil
menggunakan sapu tangan untuk menghapus keringat yang membasahi lehernya. "Aihh, betapa panas
hawanya," ia mengeluh.
"Sang puteri tadi memerintahkan hamba supaya mengantar Paduka menanti di istana pondok merah di
taman. Di sana jauh lebih sejuk dan hamba telah mempersiapkan bak mandi untuk Paduka agar Paduka
merasa segar kembali setelah melakukan perjalanan dengan kereta dari tempat tinggal Paduka sampai ke
sini."
"Oohhh, terima kasih. Sang puteri sungguh baik hati sekali!" kata nyonya muda yang usianya baru
sembilan belas tahun itu dengan gembira.
Memang pondok merah di taman itu merupakan bangunan mungil yang indah. Saudara suaminya sering
kali mengajak ia bersenang-senang di tempat itu. Nyonya muda itu lalu dikawal oleh beberapa dayang
menuju ke ruang depan, lalu rombongan itu memasuki taman dan pergi ke sebuah pondok cat merah yang
indah mungil.
Tidak lama kemudian, Nyonya muda itu sudah mandi dengan air bunga yang harum, dilayani oleh para
dayang. Setelah puas membersihkan tubuhnya dengan air yang sejuk segar, si cantik ini duduk di depan
cermin, membereskan rambutnya yang panjang serta hitam dan terurai lepas.
Ia merasa amat nyaman dan sambil bersenandung kecil di depan cermin, ia mengagumi kecantikan diri
sendiri. Dengan pakaian kimono sutera yang diberikan dayang padanya, ia dapat melihat bayangan
tubuhnya di cermin. Ia tidak sadar bahwa para dayang telah meninggalkannya dan bahwa ia kini seorang
diri saja di dalam kamar yang indah dan lengkap itu.
Kalau ia sedang bermain di istana, atas undangan Puteri Can Kim seperti sekarang ini, ia merasa sangat
gembira dan lupa akan kedukaan hatinya. Setelah ia menikah dengan Pangeran Kian Tong, wanita ini
merasa amat kecewa dan menyesal sekali, membuat ia menahan kesedihannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suaminya ternyata berwajah buruk, sikapnya kasar dan sama sekali tak menyenangkan hatinya. Ia merasa
menyesal, mengapa orang tuanya menjodohkan dia dengan seorang lelaki seperti itu dan merasa
menyesal mengapa sebelumnya ia tidak lebih dulu melihat calon suaminya.
Kalau mengenangnya kembali, malam pertama merupakan pengalaman yang membuat ia menggigil ngeri.
Di sini, tempat yang nyaman ini, jauh dari suaminya, ia merasa aman dan juga gembira.
Tiba-tiba wajah yang cantik itu menjadi tegang, dua mata itu terbelalak memandang ke dalam cermin,
mulutnya yang berbibir merah basah itu terbuka dan sisir itu terlepas dari tangannya. Kemudian, setelah
melihat jelas bahwa pria yang muncul dari ambang pintu itu adalah Pangeran Mahkota, wajahnya berubah
merah sekali. Dengan tergopoh kedua tangannya mencoba untuk merapatkan kimono suteranya yang tipis.
Makin dirapatkan, kain sutera itu semakin menonjolkan lekuk lengkung tubuhnya.
Fu Heng memutar tubuh di atas bangkunya, menghadapi pangeran yang sedang berdiri memandang
dengan dua mata terpesona. "Pangeran... mohon Paduka pergi... pergilah atau saya akan menjerit...,"
katanya gagap.
Namun Pangeran Kian Liong bahkan menjatuhkan dirinya berlutut dengan sebelah kaki, mencabut
pedangnya, lalu berkata sambil menempelkan pedang terhunus di lehernya sendiri. "Bila engkau tidak mau
menemaniku, menolak untuk menerima cintaku, biarlah aku membunuh diri di depan kakimu!"
Melihat pangeran mahkota itu bersikap dan berkata seperti itu, wajah yang cantik jelita itu menjadi pucat
sekali. Kalau putera mahkota mati membunuh diri di depan kakinya, berarti bahaya maut bagi dirinya! Pula,
pemuda yang sangat tampan ini adalah calon kaisar, merupakan orang ke dua setelah kaisar yang paling
berkuasa. Mungkin tidak lama lagi pria ini akan menjadi kaisar!
"Harap... Paduka... jangan lakukan itu...," katanya berbisik.
Pangeran itu mengangkat muka dan memandang, sinar matanya bercahaya, wajahnya berseri. "Jadi
engkau mau...?"
Sekarang wanita itu menundukkan muka. Kedua pipinya merah sekali, juga sampai ke lehernya, membuat
dia nampak semakin cantik. Meski pun mukanya menunduk, masih nampak dia menahan senyum tersipu
dan kepalanya mengangguk perlahan.
Pangeran Kian Liong menahan diri agar tidak bersorak. Dia bangkit berdiri, menutupkan daun pintu,
kemudian memondong tubuh wanita itu dari atas bangku, membawanya ke pembaringan.
Semua ini tentu saja hasil siasat yang telah diatur rapi oleh pembantunya, yaitu thaikam Siauw Hok Cu.
Para dayang adalah kaki tangannya yang telah disuap.
Ketika akhirnya pangeran mahkota melepaskan kekasihnya keluar dari dalam pondok merah, Siauw Hok
Cu sengaja menghampiri kedua orang itu dan bersikap seperti orang yang terkejut sekali.
"Pangeran...! Nyonya muda...! Apa yang Paduka berdua lakukan ini? Kalau Pangeran Kian Tong
mengetahui..., hamba sendiri juga akan celaka. Seisi istana akan mengetahui peristiwa ini...!"
Pangeran Kian Liong diam saja. Akan tetapi nyonya muda itu dengan muka amat merah dan dengan tubuh
gemetar serta dua kaki menggigil segera berkata, "Ahh, harap jangan beri tahukan siapa pun..."
Dia memandang kepada thaikam itu, lalu menoleh kepada pangeran mahkota dengan sikap bingung,
matanya yang jeli dan masih redup seperti orang mengantuk itu nampak ketakutan seperti mata kelinci
bertemu harimau.
Pangeran Kian Liong pura-pura tidak tahu dan diam saja. Ia membiarkan pembantunya melanjutkan
siasatnya.
"Baik, nyonya muda. Hamba tidak memberi tahu kepada siapa pun juga, tetapi hanya dengan satu syarat
dan agar nyonya muda dapat berjanji untuk memenuhi syarat itu."
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan ketakutan nyonya muda itu bertanya, suaranya gemetar dan bibirnya menggigil. "Apa...
syaratnya...?"
"Syaratnya adalah bahwa setiap kali Pangeran Mahkota merindukan Paduka, kemudian memanggil,
Paduka harus segera datang melayaninya. Maukah Paduka berjanji?" kata Siauw Hok Cu.
Kembali Fu Heng, wanita cantik itu, tersipu, akan tetapi sinar matanya nampak lega dan dia pun kini
berkata lirih dengan suara mantap dan tidak lagi gemetar. "Aku berjanji!"
Setelah Kian Liong pergi meninggalkan pondok itu, barulah para dayang bermunculan. Akan tetapi mereka
itu pura-pura tidak tahu apa yang telah terjadi dan mereka segera mengantar nyonya muda itu keluar ketika
ia menyatakan hendak pulang.
Sebetulnya, tidak perlu Siauw Hok Cu menggunakan siasat pemerasan atau ancaman itu. Tanpa ancaman
sekali pun, Fu Heng dengan suka rela, bahkan dengan bergembira, akan menyambut setiap ajakan
Pangeran Kian Liong. Setelah merasakan curahan kasih sayang pangeran mahkota yang tampan, halus
lembut, romantis dan berpengalaman itu, dia pun menjadi tergila-gila dan makin tidak suka melayani
suaminya.
Demikianlah, hubungan gelap itu terus berkelanjutan. Dan atas bantuan Siauw Hok Cu, pertemuan rahasia
selalu terjadi antara Pangeran Kian Liong dengan kakak iparnya. Di rumahnya sendiri, Fu Heng semakin
jarang mau melayani suaminya.
Hubungan gelap itu membuahkan kandungan dan nyonya muda Fu Heng melahirkan seorang putera.
Tentu saja bagi umum, bahkan bagi keluarganya, anak itu merupakan putera dari Pangeran Kian Tong.
Akan tetapi dua orang kekasih itu yakin bahwa anak itu adalah keturunan Pangeran Kian Liong dari hasil
hubungan rahasia mereka.
Hubungan rahasia antara mereka itu pun terputus setelah Fu Heng mengandung serta melahirkan anak.
Dan rahasia itu tertutup rapat sampai pangeran mahkota menjadi kaisar. Anak laki-laki itu diberi nama Cia
Yan atau Pangeran Cia Yan.
Mengingat bahwa anak itu adalah darahnya sendiri, pada saat dia sudah menjadi kaisar, Pangeran yang
sudah menjadi Kaisar Kian Liong itu minta persetujuan kakaknya, yaitu Pangeran Kian Tong untuk
mengangkat Cia Yan sebagai puteranya. Pangeran Kian Tong tentu saja setuju dan merasa girang dan
bangga sekali karena dengan demikian, derajat Cia Yan akan naik beberapa kali lipat. Dari putera seorang
pangeran menjadi putera kaisar!
Sekarang Kaisar Kian Liong telah menjadi seorang kakek yang tua. Usianya sudah tujuh puluh tujuh tahun.
Pangeran Cia Yan, puteranya hasil hubungan dengan kakak iparnya itu, juga sudah berusia lima puluh
tahun lebih. Pangeran ini mempunyai seorang putera pula yang diberi nama Pangeran Cia Sun yang kini
berusia dua puluh dua tahun.
Agaknya pangeran muda ini mewarisi sifat-sifat kakeknya, yaitu Kaisar Kian Liong. Bagi umum, tentu saja
kaisar itu merupakan paman ayahnya, tetapi sesungguhnya adalah kakeknya yang asli, ayah kandung
ayahnya! Maka tak mengherankan bila dia mewarisi sifat dan wajah kakeknya.
Pangeran Cia Sun ini tampan, lembut, pandai dan romantis seperti kakeknya! Bahkan lebih dari itu, dia
berbakat baik dalam ilmu silat, juga suka sekali mempelajari ilmu silat. Di istana terdapat banyak jagoanjagoan
yang mempunyai ilmu kepandaian silat tingkat tinggi, maka sebagai seorang pangeran, mudah saja
dia mendapatkan guru-guru yang pandai. Kini, dalam usia dua puluh dua tahun, Cia Sun merupakan
seorang pangeran yang tampan, gagah, sastrawan, seniman dan sekaligus ahli silat yang tangguh.
Pada suatu hari, timbul keinginan di hati Pangeran Cia Sun untuk pergi meninggalkan lingkungan istana
ayahnya, pergi berkelana dengan bebas, tanpa pengawal, tanpa ada acara, dan tanpa upacara. Jiwa
petualangannya memberontak dan dia ingin terbebas dari pada semua ikatan peraturan
kebangsawanannya yang dianggap sangat mengikat. Ketika dia menghadap ayah ibunya untuk minta
perkenan mereka ke dua orang tuanya ini tentu saja merasa khawatir, terutama sekali ibunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Cia Sun, engkau hendak pergi ke mana? Kurang apakah di sini? Semua ada, segala keperluanmu
tersedia, segala keinginanmu akan terkabul. Mengapa hendak merantau dan bersusah payah?" kata
ibunya.
Cia Sun tersenyum kepada ibunya. Dia tahu sekali bahwa ibunya amat menyayangi dan memanjakannya.
"Ibu, ada sesuatu yang kurang di sini, yaitu kebebasan dari segala macam peraturan. Aku ingin merasakan
seperti seekor burung rajawali yang terbang melayang di udara, bebas dan pergi ke mana pun sekehendak
hatinya. Jangan ibu khawatir, aku tidak akan pergi selamanya, hanya ingin merantau selama kurang lebih
setahun untuk menambah pengetahuan, meluaskan pengetahuan melalui pengalaman."
"Tetapi, di luar sana banyak terdapat orang jahat, Nak," kata pula ibunya, lupa bahwa puteranya adalah
seorang ahli silat yang tangguh, bukan lagi seorang anak kecil yang lemah dan membutuhkan
perlindungannya.
"Aku mampu menjaga diri, Ibu. Bahkan kalau ada penjahat, menjadi kewajibanku untuk membasminya
agar negara menjadi aman dan kehidupan rakyat tidak akan terganggu."
"Cia Sun, aku mengerti keinginan hatimu dan aku pun tidak keberatan," kata ayahnya. "Akan tetapi
ingatlah, ada satu hal penting yang harus kau ketahui, yaitu bahwa engkau tak boleh mengikatkan diri
dengan seorang wanita lain. Engkau sudah kuusulkan untuk berjodoh dengan Si Bangau Merah!"
"Apa? Anakku akan kau jodohkan dengan burung bangau merah?" isteri Pangeran Cia Yan berseru.
Matanya terbelalak memandang pada suaminya dengan heran dan takut kalau-kalau suaminya mendadak
menjadi sinting!
Ayah dan anak itu tertawa bergelak mendengar pertanyaan wanita itu.
"Engkau jangan khawatir, aku belum gila. Masa anakku akan dijodohkan dengan burung bangau? Yang
kumaksudkan dengan Si Bangau Merah adalah seorang gadis pendekar yang berjuluk Si Bangau Merah,
puteri dari pendekar sakti Bangau Putih."
"Ihhh! Kenapa serba bangau? Apakah tidak keliru menjodohkan anak kita dengan gadis dari keluarga itu?
Jangan-jangan mukanya seperti bangau."
Kembali ayah dan anak itu tertawa.
"Ibu jangan khawatir, aku sudah mendengar akan nama besar Pendekar Bangau Putih, dan juga sudah
mendengar bahwa Si Bangau Merah adalah seorang pendekar wanita yang hebat, bukan hanya
berkepandaian tinggi, akan tetapi juga cantik jelita." Lalu dia berkata kepada ayahnya. "Ayah, bukan saya
menolak atas usul ayah. Akan tetapi, di antara saya dan gadis itu belum pernah bertemu muka, belum
pernah berkenalan, bagai mana begitu saja kami dapat dijodohkan? Saya yakin bahwa seorang gadis
seperti Si Bangau Merah, tidak akan mau dijodohkan dengan seorang laki-laki yang belum pernah
dilihatnya. Saya sendiri pun ragu-ragu apakah saya akan merasa cocok dengan gadis itu."
Ayahnya tersenyum. "Pendekar Bangau Putih atau yang bernama Tan Sin Hong adalah seorang pendekar
budiman. Aku mengenalnya dengan baik, karena itulah maka pernah aku mengusulkan padanya agar
anaknya dijodohkan dengan anakku. Dia tak menolak, tetapi juga belum menerima begitu saja karena itu
baru merupakan usul, bukan suatu pinangan resmi. Akan tetapi, akan bahagialah hatiku kalau akhirnya aku
dapat berbesan dengan Tan Taihiap (pendekar besar Tan), maka aku pesan kepadamu supaya dalam
perantauanmu ini engkau tidak terikat oleh gadis lain."
"Baiklah, Ayah. Aku memang suka bergaul dengan wanita, namun untuk menentukan jodoh, aku harus
memilih-milih dan tidak mau sembarangan saja."
Beberapa hari kemudian, berangkatlah Cia Sun meninggalkan rumah keluarganya yang berupa sebuah
gedung istana yang indah dan mewah. Dia membawa buntalan pakaian, bekal uang, dan tidak ketinggalan
sebatang pedang yang dimasukkan buntalan pakaian. Dia sendiri mengenakan pakaian seorang sastrawan
yang tidak begitu mewah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika dia keluar dari rumah lalu meninggalkan kota raja, orang yang melihatnya di jalan tentu tidak
menduga bahwa dia adalah seorang pangeran, cucu kaisar! Dia kelihatan sebagai seorang pemuda
sastrawan yang melakukan perjalanan, dari keluarga sedang saja, wajahnya tampan dan sikapnya lembut.
Cia Sun memang tampan seperti Kaisar Kian Liong di waktu muda. Tubuhnya sedang dan tegap.
Wajahnya yang berbentuk bulat itu berkulit putih bersih hingga alisnya yang lebat dan hitam nampak
semakin jelas. Sepasang matanya tajam bersinar, hidungnya agak besar dan mulutnya selalu terhias
senyum…..
********************
Siapakah yang dimaksudkan oleh Pangeran Cia Sun ketika dia bicara tentang keluarga ‘bangau’ itu?
Pendekar Bangau Putih adalah Tan Sin Hong, seorang pendekar sakti yang tinggal di kota Ta-tung sebelah
barat kota raja.
Tan Sin Hong berusia empat puluh satu tahun. Dia seorang yang sederhana sehingga tidak akan ada yang
menduga bahwa pria inilah yang berjuluk Pendekar Bangau Putih! Pakaiannya serba putih, dan pendekar
budiman yang sikapnya ramah dan lembut ini memang memiliki ilmu kepandaian hebat.
Dia mewarisi ilmu-ilmu hebat dari orang-orang sakti yang berada di Istana Gurun Pasir. Mendiang tiga
orang gurunya, yaitu Wan Tek Hoat, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng, sudah merangkai sebuah ilmu gabungan
mereka bertiga yang lalu diberi nama Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih). Tan Sin Hong sudah
menguasai ilmu ini dengan sempurna, maka sukarlah mencari lawan yang akan mampu mengalahkan
ilmunya itu. Selain itu, juga dia memiliki sebatang pedang pusaka yang ampuh, yaitu Cui-beng-kiam
(Pedang Pengejar Arwah)!
Isterinya juga seorang pendekar wanita yang amat lihai, bernama Kao Hong Li, berusia empat puluh tahun
namun masih nampak cantik, ramping dan cekatan seperti seorang gadis saja. Wajahnya bulat telur dan
matanya lebar.
Kao Hong Li ini merupakan keturunan asli dari Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir, karena ayahnya
ialah keturunan Gurun Pasir bernama Kao Cin Liong sedangkan ibunya keturunan Pulau Es bernama
Suma Hui. Dapat dibayangkan betapa lihainya wanita ini.
Ada pun puteri mereka, anak tunggal bernama Tan Sian Li. Gadis inilah yang di juluki Si Bangau Merah,
karena dia menguasai ilmu silat Bangau Merah gubahan ayahnya, yang disesuaikan dengan kesukaannya
memakai pakaian serba merah. Ilmu silat itu masih bersumber dari ilmu Pek-ho Sin-kun, dan setelah
diadakan perubahan yang lebih sesuai dimainkan wanita, maka diberi nama Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti
Bangau Merah). Oleh karena itu, seperti ayahnya, maka julukan Si Bangau Merah sungguh tepat bagi Sian
Li.
Gadis berusia delapan belas tahun ini cantik jelita. Wajahnya bulat telur seperti wajah ibunya. Kulitnya putih
mulus kemerahan. Dua matanya lebar, hidungnya mancung dan mulutnya selalu tersenyum agak
mengejek, dihias lesung pipi di kanan kiri. Manis sekali.
Wataknya lincah jenaka dan galak seperti ibunya, pemikirannya mendalam dan cerdik seperti ayahnya.
Dalam hal ilmu silat, gadis ini tentu saja lihai bukan main. Dia sudah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah dan
ibunya, bahkan ia pun pernah digembleng selama lima tahun oleh kakeknya, Suma Ceng Liong dan
isterinya Kam Bi Eng, yaitu paman dari ibunya.
Maka lengkaplah ilmu-ilmu dari tingkat tinggi yang dikuasai gadis berpakaian merah ini. Ilmu-ilmu dari
Pulau Es, dari Istana Gurun Pasir, dan dari Lembah Naga Siluman yang diwarisinya dari Kam Bi Eng, isteri
Suma Ceng Liong! Semua itu masih ditambah lagi dengan ilmu pengobatan yang dia pelajari dari Yok-sian
Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat). Sian Li seolah-olah mempunyai segala-galanya. Wajah cantik, ilmu
kepandaian tinggi, dari keluarga para pendekar! Mau apa lagi?
Akan tetapi, tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak pernah kekurangan sesuatu dalam hidupnya!
Kita dapat menyelidiki keadaan setiap orang manusia. Seorang kaisar sekali pun pasti tidak dapat
berbahagia sepenuhnya, tidak dapat puas selengkapnya. Ada saja kekurangannya yang membuat seorang
manusia kecewa dan tak puas dengan keadaan dirinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang miskin mengira bahwa orang kaya raya hidup bahagia dengan hartanya. Orang bodoh mengira
bahwa orang terpelajar pandai hidup bahagia dengan kepandaiannya. Orang biasa mengira bahwa orangorang
berkedudukan tinggi hidup berbahagia dengan kedudukannya.
Tapi bila kita melihat kenyataannya, lebih banyak terdapat orang kaya raya mengalami banyak kepusingan
karena hartanya, orang terpelajar menjadi angkuh dan congkak oleh karena kepandaiannya, orang
berkedudukan tinggi jadi pusing karena kedudukannya. Hal ini menunjukkan bahwa kita manusia sebagian
besar menjadi boneka-boneka yang dipermainkan nafsu daya rendah.
Ulah nafsu membuat kita selalu mengejar sesuatu yang tidak kita miliki, membuat kita selalu tak puas
dengan keadaan yang ada, menjangkau yang tiada. Nafsu mendorong kita mengejar sesuatu. Kalau
terdapat apa yang kita kejar, nafsu bukan mereda tetapi semakin mengganas, mengejar yang lain lagi,
sedangkan yang sudah terdapat menjadi hamba, mendatangkan bosan. Demikianlah terus-menerus.
Hidup merupakan pengejaran sesuatu yang kita anggap akan dapat membahagiakan, sehingga sampai
mati pun kita tidak dapat mengalami kebahagiaan yang selalu dikejar-kejar dan selalu berpindah ke
sesuatu yang belum kita peroleh! Kalau sekali saat tiada lagi pengejaran, baru ada kemungkinan kita
menemukan bahwa kebahagiaan adanya bukan di seberang sana, bukan di masa depan, melainkan di
saat ini!
Demikian pula dengan Sian Li. Gadis jelita ini, walau setiap hari nampak lincah gembira dan rajin
memperdalam ilmu silat Ang-ho Sin-kun di bawah bimbingan ayahnya, namun kalau sudah berada di
kamarnya di malam hari, ia sering kali duduk termenung di atas pembaringannya. Bahkan kadang ia
hampir menangis. Sukar baginya untuk melupakan seorang pria yang menjadi idaman hatinya sejak ia
masih kanak-kanak!
Pria yang sekarang telah berusia dua puluh enam tahun itu bernama Yo Han. Dia dapat dibilang suhengnya
sendiri, karena ketika kecilnya Yo Han mengaku suhu dan subo kepada ayah ibunya, walau pun ketika
itu Yo Han hanya mempelajari teori ilmu silat ayah ibunya belaka, tidak mau melatih diri dengan ilmu silat.
Akan tetapi kemudian mereka saling berpisah ketika ia berusia empat tahun dan suheng-nya itu berusia
dua belas tahun, perpisahan yang pernah membuat ia setiap hari rewel dan menangis.
Lewat tiga belas tahun kemudian, setelah ia menjadi seorang gadis remaja dan Yo Han menjadi pemuda
dewasa, mereka saling berjumpa. Dan telah terjadi perubahan besar dalam diri Yo Han.
Kalau dahulu, di waktu kecil dia tidak suka berlatih silat karena katanya ilmu silat hanya mendatangkan
kekerasan dan permusuhan, kini dia telah menjadi seorang pendekar sakti yang amat lihai, bahkan yang
dikenal oleh orang-orang di wilayah barat sebagai Sin-ciang Taihiap (Pendekar Tangan Sakti)! Mereka
saling mengenal dalam pertemuan yang mengharukan dan juga amat menggembirakan hati Sian Li.
Sejak kecil Sian Li menyayang Yo Han, dan kini setelah menjelang dewasa dan melihat bahwa Yo Han
telah menjadi seorang pendekar budiman yang sangat mengagumkan, tidaklah mengherankan bila ia jatuh
cinta. Walau pun ia dan Yo Han tidak pernah saling menyatakan isi hati yang mencinta, akan tetapi
keduanya dapat merasakan dalam hati masing-masing bahwa mereka saling mencinta.
Setelah bertemu dengan Yo Han, Sian Li pulang diantar oleh Yo Han dan kedua orang tua Sian Li juga
menyambut Yo Han dengan gembira dan kagum melihat pemuda yang di waktu kecilnya tidak suka berlatih
silat itu kini telah menjadi seorang pendekar lihai. Namun, melihat keakraban hubungan antara puteri
mereka dan Yo Han, suami isteri pendekar itu merasa khawatir.
Mereka berdua tidak setuju kalau sampai puteri mereka saling jatuh cinta dengan Yo Han, tidak setuju
kalau puteri mereka menjadi jodoh pemuda itu. Mereka tidak dapat melupakan bahwa biar pun ayah
kandung Yo Han seorang pemuda petani yang jujur dan baik, namun mendiang ibu kandungnya adalah
seorang wanita tokoh sesat yang dahulu terkenal sebagai iblis betina dengan julukan Bi Kwi (Setan Cantik).
Mereka merasa khawatir kalau-kalau Yo Han mewarisi watak ibunya yang sesat. Itulah sebabnya maka
suami isteri ini terang-terangan menyatakan kepada Yo Han bahwa Sian Li akan mereka jodohkan dengan
Pangeran Cia Sun dari kota raja! Keterangan itu memukul hati Yo Han dan pemuda itu pun, untuk ke dua
kalinya, pergi meninggalkan keluarga Tan demi menjauhkan diri dan tidak mengganggu Sian Li!
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah, kadang-kadang, kalau teringat kepada Yo Han, Sian Li merasa rindu dan bersedih. Akan
tetapi ayah ibunya menghiburnya dan mengatakan bahwa ayah ibunya akan mengajak dia pergi ke kota
raja, untuk membantu Yo Han yang bertugas mencari adik misannya yang hilang diculik orang sejak
berusia tiga tahun!
Adik misan Yo Han itu bernama Sim Hui Eng, puteri dari suami isteri pendekar Sim Houw dan Can Bi Lan.
Suami isteri pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi itu pun tak berhasil menemukan kembali puteri
mereka yang telah hilang selama dua puluh tahun! Sekarang Yo Han pergi untuk mencoba membantu
bibinya menemukan kembali puterinya yang hilang itu.
Tentu saja Sian Li terhibur karena hendak diajak mencari Sim Hui Eng. Bukan untuk menemukan gadis
yang sama sekali belum pernah dikenalnya itu, melainkan karena timbul harapan untuk berjumpa kembali
dengan Yo Han!
Tapi sebelum itu Sian Li diharuskan memperdalam ilmu silatnya, dan selama setahun ia melatih diri
dengan sangat tekun, menguasai ilmu silat Ang-ho Sin-kun yang sengaja dirangkai ayahnya untuk dirinya.
Tidak begitu sukar bagi Sian Li untuk menguasai ilmu ini, karena sebelumnya dia telah menguasai ilmu
silat Pek-ho Sin-kun yang merupakan dasar dari Ang-ho Sin-kun.
Dan pada pagi hari itu, untuk yang terakhir kalinya Sian Li berlatih, ditunggui ayah dan ibunya sendiri. Sian
Li bersilat memainkan Ang-ho Sin-kun. Demikian lincah gerakannya sehingga kadang-kadang tubuhnya
tidak nampak dan yang kelihatan hanya bayangan merah yang berkelebatan cepat.
Kadang-kadang pada saat ia melakukan gerakan yang lambat, maka ia kelihatan seperti seorang penari
yang pandai menarikan tari bangau yang indah. Ada gerakan burung bangau menyisir bulu, burung bangau
berjemur dan burung bangau mengembangkan kedua sayap. Indah sekali gerakannya itu, namun di balik
keindahan dan kelembutan ini tersimpan kekuatan dahsyat yang mengejutkan lawan yang kuat sekali pun.
Setelah selesai bersilat, Sian Li menghentikan gerakannya. Napasnya tidak memburu, hanya di leher dan
dahinya saja agak basah oleh keringat. Ibunya segera menghampiri puterinya, menggunakan sebuah
handuk untuk mengusap keringat dari leher dan dahi puterinya tercinta.
"Bagus, gerakanmu sudah bagus, tidak ada lagi kulihat lowongan yang lemah!" Ayahnya memuji.
"Kini kepandaianmu lengkap dan lumayan, aku sendiri tidak akan mampu menandingi dirimu," kata ibunya
dengan bangga dan ibu ini mencium kedua pipi puterinya.
"Kalau begitu kapan kita berangkat, Ayah?" Sian Li bertanya, wajahnya berseri gembira, matanya bersinarsinar.
Sin Hong sendiri kagum melihat puterinya. Isterinya adalah seorang wanita cantik, akan tetapi puteri
mereka ini lebih cantik lagi. Apa lagi dalam pakaian serba merah begitu. Hati pemuda mana yang tidak
akan terpikat? Pangeran Cia Sun pasti akan jatuh cinta kalau bertemu dengan Sian Li.
Tan Sin Hong tertawa. "Ha-ha-ha, berangkat ke mana?" Dia menggoda, tentu saja tahu bahwa puterinya
menagih janji.
"Aih, apakah Ayah sudah melupakan janjinya sendiri? Bukankah setahun yang lalu Ayah menjanjikan
kepadaku untuk pergi mencari puteri paman Sim Houw, dimulai dari kota raja?"
"Ayahmu hanya menggodamu, Sian Li. Kita berangkat besok pagi-pagi, kami sudah bersiap dan
berkemas," kata Kao Hong Li.
Mendengar ucapan ibunya ini, Sian Li bersorak gembira. "Kalau begitu, aku pun akan berkemas, ibu!" dan
gadis itu berlari ke kamarnya dengan sikap gembira bukan main.
Ayah dan ibu itu memandang ke arah puteri mereka dan tersenyum bahagia. "Dia sudah dewasa, akan
tetapi kadang-kadang masih kekanakan," kata Tan Sin Hong.
"Usianya sudah delapan belas tahun, tentu saja sudah dewasa," kata Kao Hong Li.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sekali ini kita akan mempertemukan dia dengan Pangeran Cia Sun. Kita matangkan urusan ini dengan
keluarga Pangeran Cia Yan."
"Mudah-mudahan mereka berjodoh," kata isterinya.
Akan tetapi di dalam hatinya Kao Hong Li tidak yakin benar. Ia mengenal benar watak puterinya. Sian Li
yang lincah gembira itu memiliki pendirian yang sekeras baja. Kalau puterinya itu tidak setuju untuk
dijodohkan dengan seseorang, meski dengan pangeran sekali pun, tidak akan ada kekuatan di dunia ini
yang akan mampu memaksanya. Akan tetapi tentu saja ia tidak mau merisaukan hati suaminya dengan
pendapat hatinya ini dan hanya disimpannya saja.
Keluarga ini membuat persiapan, dan pada keesokan harinya pagi-pagi berangkatlah mereka bertiga
menuju ke kota raja, menggunakan sebuah kereta yang ditarik dua ekor kuda. Akan tetapi Sian Li melihat
bahwa setelah kereta tiba di perempatan, kereta yang mestinya berbelok ke utara menuju ke kota raja tidak
dibelokkan ayahnya dan terus menuju ke timur.
"He, apakah Ayah tidak salah jalan? Kota raja berada di sana!" katanya menuding ke kiri.
"Kita pergi ke dusun Hong-cun lebih dulu. Lupakah engkau akan perayaan ulang tahun paman Suma Ceng
Liong?" kata ibunya.
Sian Li terbelalak, kemudian berseru gembira. "Aih, kenapa Ayah dan Ibu tidak memberi tahukan lebih
dahulu? Aku sampai lupa! Tentu saja Kakek Suma Ceng Liong akan merayakan ulang tahunnya yang ke
enam puluh, dan perayaan itu dipergunakan pula untuk mengumpulkan semua anggota keluarga Pulau Es,
Gurun Pasir, serta Lembah Gunung Naga!"
Teringat akan hal itu, Sian Li gembira bukan main. Tidak saja dia akan dapat bertemu dengan kakek Suma
Ceng Liong dan isterinya, Kam Bi Eng, dua orang tua yang pernah menggemblengnya selama lima tahun,
tetapi dapat bertemu pula dengan para anggota tiga keluarga besar, akan tetapi terutama sekali karena
ada kemungkinan dia berjumpa dengan Yo Han di sana!
Tan Sin Hong dan isterinya tertawa. Mereka memang ingin mengadakan kejutan maka tidak mengingatkan
puteri mereka tentang itu. Dan benar saja, kini gadis itu gembira bukan main.
Perjalanan yang cukup jauh itu mereka lakukan dengan santai, seperti orang sedang pesiar sehingga tidak
terasa lelah dan di sepanjang perjalanan mereka menikmati alam, berhenti di kota-kota yang ramai.
Waktunya masih banyak dan biar pun dengan santai, mereka tidak akan terlambat…..
********************
"Berhenti...!" Teriakan itu lantang sekali.
Tiga belas orang yang menghadang dan menghentikan kereta itu nampak bengis. Dari sikap, pakaian dan
wajah mereka dapat diduga bahwa mereka tentu orang-orang yang sudah biasa memaksakan kehendak
mereka dengan kekerasan.
Melihat ada belasan orang menghadang di jalan pegunungan yang sunyi itu, Tan Sin Hong yang
memegang kendali kuda, menghentikan dua ekor kuda itu dan kereta pun berhenti.
Kao Hong Li dan Tan Sian Li menjenguk dari jendela kereta dan dua orang wanita ini saling pandang.
Mereka bahkan merasa heran melihat keberanian gerombolan itu yang berani menghadang mereka!
"Biarkan aku menghadapi mereka, Ibu. Ayah, jangan turun tangan, biar aku menghajar orang-orang jahat
itu!"
Ayahnya tersenyum dan mengangguk. "Ingat, jangan sembarangan membunuh orang, Sian Li."
"Jangan khawatir, Ayah. Aku tidak pernah melupakan semua nasehatmu. Aku tak akan membunuh
mereka, hanya menghajar biar mereka jera!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian Li turun dari atas kereta. Dia sengaja tidak memperlihatkan kepandaiannya, turun dengan biasa saja
seperti seorang gadis yang lemah.
Pada saat ada seorang gadis berpakaian serba merah turun dari kereta yang mereka hadang, dan gadis itu
cantik jelita, tidak memegang senjata dan nampak lemah dengan langkah yang lembut menghampiri
mereka, para perampok itu menjadi terheran-heran. Pemimpin mereka, seorang yang mukanya hitam dan
tubuhnya seperti raksasa, segera melangkah maju menghadapi Sian Li, matanya memandang dengan
melotot, bagaikan harimau kelaparan melihat datangnya seekor kelinci yang berdaging gemuk dan lunak.
"Aduh-aduh... kiranya penumpang kereta adalah seorang bidadari merah yang cantik rupawan...," kata
raksasa muka hitam itu. "Hari ini aku Hek-bin-gu (Kerbau Muka Hitam) bertemu bidadari, sungguh
beruntung!"
Mendengar ucapan si raksasa muka hitam itu, kedua belas orang anak buahnya yang rata-rata juga kasar
dan bengis lalu tertawa-tawa dan semua mata memandang kepada Sian Li seolah-olah hendak
melahapnya.
Sian Li sengaja tersenyum semanisnya sehingga lesung pipi bermunculan di kanan kiri mulutnya.
Wajahnya menjadi demikian manis sehingga tiga belas orang kasar itu tidak dapat menahan air liur.
Mereka menelan ludah, membuat kalamenjing di kerongkongan mereka bergerak naik turun.
"Kalian ini belasan orang menghadang perjalananku, ada urusan apakah?" tanyanya, bersikap polos dan
tidak mengerti.
Si muka hitam menoleh kepada kawan-kawannya. "Haiii, dengar, kawan-kawan. Kita ini menghadang
kereta bidadari ini mau apa? Hayo jawab, mau apa, ya? Ha-ha-ha-ha-ha!" Kembali mereka semua tertawa
bergelak.
Sian Li mengernyitkan hidungnya karena dari mulut tiga belas orang yang terbuka lebar itu keluar bau yang
tidak sedap. Agaknya sebagian dari mereka telah minum banyak arak keras sepagi itu.
"Kalau kalian tidak mempunyai urusan denganku, mundurlah dan jangan menghalang jalan, keretaku akan
lewat," kata pula Sian Li.
Hek-bin-gu melangkah makin dekat. "Nona manis, tadinya kukira kereta ini ditumpangi pembesar Mancu.
Jika demikian halnya, tentu keretanya kami rampas, orang-orangnya kami bunuh. Akan tetapi, karena
engkau yang menjadi penumpang, biarlah kami sambut sebagai tamu agung dan mari engkau bersamaku
bersenang-senang di puncak bukit."
Sian Li mengerutkan alisnya, akan tetapi kemarahan hatinya ia tutupi dengan wataknya yang jenaka. "Hei,
bukankah engkau ini kerbau, kerbau yang hitam pula mukanya? Bagaimana aku dapat bergaul dengan
kerbau, apa lagi yang hitam mukanya? Baru berdekatan saja, baunya sudah membuat aku hampir muntah.
Menggelindinglah kalian pergi. Kalian ini perampok-perampok busuk, jangan mencoba untuk menakutnakuti
aku."
Tentu saja sikap ini mengejutkan dan mengherankan tiga belas orang perampok itu. Nona ini kelihatan
lembut dan lemah, akan tetapi kenapa begini tenang dan jelas sedikit pun tidak merasa takut menghadapi
mereka? Hek-bin-gu bukan orang bodoh. Maka dia pun sudah dapat menduga bahwa agaknya nona cantik
ini mempunyai andalan maka sikapnya demikian tabah. Biar pun demikian dia geli melihat sikap itu.
"Aihh, Nona. Engkau tidak takut, berarti engkau berani melawanku?"
"Kenapa tidak berani? Orang macam engkau ini hanya bisa menakuti-nakuti anak kecil saja!"
Hek-bin-gu masih memandang rendah. Dia kemudian menanggalkan kancing bajunya, memperlihatkan
dada dan lengan yang berotot. "Lihat, tubuhku empat kali lebih besar dan kuat dari padamu, bagaimana
engkau akan mampu melawan aku?"
"Hemmm, betapa pun besarnya sebuah gentong, kalau kosong bunyinya saja nyaring akan tetapi tidak ada
gunanya."
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekarang Hek-bin-gu mulai marah. "Marilah kita bertaruh! Kalau engkau dapat bertahan melawanku
selama sepuluh jurus, biarlah kubiarkan keretamu lewat. Kalau sebelum itu engkau dapat kuringkus,
engkau harus mau menjadi isteriku!"
Sian Li tersenyum. "Begitukah? Bagaimana kalau sebelum sepuluh jurus engkau yang roboh?"
Si muka hitam tidak menjawab melainkan tertawa, diikuti kedua belas orang kawannya. Mereka agaknya
merasa geli membayangkan hal yang mereka anggap tidak mungkin terjadi itu.
"Ha-ha-ha-ha, Toako kami ini kalah olehmu, nona manis? Mungkin dalam pertandingan bentuk lain, ha-haha!"
terdengar suara mereka dalam kelakar yang bermaksud mesum.
"Nona, kalau sampai aku Hek-bin-gu kalah sebelum sepuluh jurus olehmu, maka aku akan berlutut di
depan kakimu!" kata si muka hitam.
"Bagus! Mulailah dan bersiaplah untuk segera berlutut menciumi tanah yang kena tahi kudaku!" kata Sian
Li, sama sekali tidak marah mendengar kelakar tadi karena memang ia tidak menangkap artinya.
Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li, tentu saja mengerti akan makna kelakar mesum itu, akan tetapi
mereka pun ingin melihat sepak terjang puteri tersayang mereka.
Hek-bin-gu melangkah maju semakin dekat dan bertambah muaklah rasa hati Sian Li karena bau yang
penguk dan masam segera menerpa hidungnya. Ia menahan napas.
Si kerbau muka hitam itu mengeluarkan bentakan nyaring, kedua lengannya yang besar panjang itu
dikembangkan, jari-jari kedua tangan terbuka dan dia menerkam bagaikan seekor beruang menerkam
mangsanya. Tentu saja dia mengira bahwa sekali terkam dia akan mampu menangkap dan mendekap
gadis yang menggemaskan hatinya itu.
"Wuuuuuttttt...!"
Terkamannya mengenai tempat kosong. Hanya nampak bayangan merah berkelebat, tahu-tahu gadis itu
telah lenyap dari depannya.
"Hahhh...?"
Dia memutar tubuh dengan cepat, akan tetap mukanya disambut sepatu.
"Plakkk!"
"Auhhhppp...!"
Tubuhnya yang gempal itu terjengkang dan terbanting keras!
Dua belas orang kawannya ternganga. Mereka tadi hanya melihat betapa gadis itu meloncat dengan
kecepatan luar biasa ke atas, bagaikan seekor burung saja melayang di atas kepala Hek-bin-gu dan tiba di
belakang raksasa muka hitam itu. Dan pada saat Hek-bin-gu memutar tubuh, gadis itu telah meloncat ke
atas lagi. Kakinya menyambut muka lawan dengan gerakan seekor burung bangau bila akan hinggap di
cabang pohon, dengan sebelah kaki lebih dahulu. Sebelah kaki itulah yang tadi telah menyambut muka
Hek-bin-gu, seolah muka itu hendak dijadikan landasan mendarat!
Hek-bin-gu mempunyai tubuh yang kuat dan kulitnya keras seperti kulit buaya, maka karena Sian Li hanya
menendang biasa tanpa mengerahkan sinkang, dia pun begitu terbanting sudah cepat meloncat bangkit
lagi. Sejenak matanya terbelalak, akan tetapi mukanya menjadi semakin hitam. Baru satu gebrakan saja,
belum sejurus penuh, dia sudah terjengkang!
Dia bukan manusia yang berani mengakui kelemahannya, maka dengan lebih ganas dia sudah menerjang
lagi, kini menggunakan kedua tangan untuk mencengkeram. Entah apa jadinya kulit dan daging lunak
seorang gadis kalau terkena cengkeraman sepuluh jari tangan yang membentuk cakar itu. Sebelah mata
kiri Hek-bin-gu lebih hitam dari pada kulit mukanya dan agak membengkak karena mata itu tadi kebagian
sisi sepatu yang menonjol.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Haiiittttt...!"
Dia membentak dengan gaya seorang ahli silat atau jagoan yang pilih tanding.
"Wuuusssss...!"
Kembali dia kehilangan lawan dan hanya sempat melihat bayangan merah berkelebat. Cengkeramannya
luput dan dia melihat bayangan itu telah berada di sebelah kanannya. Cepat sekali kakinya yang kiri
melayang sambil memutar tubuhnya sehingga dia sudah mengirim tendangan ke arah tubuh Sian Li.
Kakinya panjang dan besar, dan tendangan itu mengandung kekuatan otot yang besar.
Kembali tendangan itu luput. Sebelum kaki itu turun, Sian Li sudah meloncat ke depan. Kakinya yang
kanan bergerak menendang dan dari bawah kaki itu mendorong pinggul lawan. Karena pada saat itu kaki
kiri Hek-bin-gu sedang melayang ke atas, maka ketika tubuhnya didorong kaki dari belakang, tanpa dapat
dicegahnya lagi kaki kanannya ikut pula terangkat ke atas.
"Bluggggg...!"
Seperti kerbau jatuh dari atas, tubuhnya menghantam tanah dengan pinggul lebih dulu dan debu pun
beterbangan. Meski tubuhnya kebal, namun sekali ini Hek-bin-gu meringis kesakitan. Tulang punggungnya
yang terbawah bagai patah-patah saat berat badannya membuat tubuh itu menghantam tanah dengan
kerasnya.
Sekali lagi teman-temannya terbelalak, hampir tidak percaya akan apa yang dilihatnya. Bagaimana
mungkin gadis itu dalam dua gebrakan sudah membuat orang terkuat di antara mereka dua kali pula
terbanting jatuh?
Hek-bin-gu bukan sekedar heran saja, namun dia lebih merasa penasaran dan marah, tetap tidak mau
mengakui bahwa dia kalah jauh kalau dibandingkan lawannya. Sambil menggereng dan mengabaikan rasa
nyeri di pinggulnya dia sudah bangkit kembali, lalu menghampiri Sian Li. Tanpa disadarinya, jalannya agak
terseok seperti kerbau pincang kaki belakangnya…..
"Bocah setan, aku akan memukul pecah kepalamu!"
Setelah berkata demikian, Hek-bin-gu menerjang dan menyerang. Sekali ini dia bukan sekedar menubruk
dan mencengkeram seperti dua kali serangan pertama, melainkan menyerang dengan jurus-jurus ilmu
silat, memukul dan menendang.
Akan tetapi, begitu kepalan tangan kanannya yang besarnya tidak kalah oleh besarnya kepala Sian Li itu
menyambar ke arah kepala Sian Li, gadis itu mengelak ke samping. Hek-bin-gu menyusulkan hantaman
yang diselingi dengan tendangan, namun sekali lagi tubuh itu lenyap menjadi bayangan merah yang
meluncur ke atas. Ia cepat mengangkat muka ke atas, siap menyambut tubuh yang meloncat ke atasnya
itu, akan tetapi kembali dia kalah cepat. Kedua kaki Sian Li bergerak.
"Plak! Desss...!"
Tubuh Hek-bin-gu terpelanting keras. Sekali ini hidungnya bercucuran darah sebab bukit hidungnya patah
akibat tendangan kaki kiri Sian Li, sedangkan tendangan kaki kanan yang mengenai bawah telinga
membuat dia tadi terpelanting dan terjungkal. Kepalanya nanar dan ketika dia merangkak bangun, dia
melihat bumi di sekelilingnya berputar! Sekarang tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, dia akan semakin
celaka, maka dalam keadaan masih pening dia berteriak kepada kawan-kawannya untuk mengeroyok!
Gerombolan itu kini menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang gadis yang amat lihai walau
pun kelihatan lemah lembut, maka mereka pun tidak malu-malu untuk mencabut senjata mereka dan
mengepung gadis itu dengan bersenjata golok, ruyung atau pedang! Sinar senjata mereka berkilauan
ketika tertimpa sinar matahari pagi.
Melihat ini, Tan Sin Hong dan Kao Hong Li tetap tenang-tenang saja, menonton akan tetapi turun dari
kereta. Mereka berdua tahu bahwa puteri mereka hanya berhadapan dengan orang-orang kasar yang
nampaknya saja bengis dan ganas, akan tetapi hanya gentong-gentong kosong yang tak berisi apa-apa
dunia-kangouw.blogspot.com
kecuali nafsu angkara murka. Mereka yakin bahwa puteri mereka akan mampu menghadapi pengeroyokan
mereka.
Sian Li tersenyum mengejek dan memandang kepada Hek-bin-gu yang masih mencoba untuk bangun
sambil merangkak. Karena dia belum dapat bangkit berdiri, hanya bisa merangkak, maka kini julukannya
itu tepat sekali. Dia memang seperti seekor kerbau yang berjalan dengan empat buah kakinya.
"Hemmm, sudah kuduga bahwa engkau memang hanyalah seekor kerbau. Tentu saja engkau tidak akan
memegang janji. Tetapi aku akan memaksamu memenuhi janjimu berlutut dan mencium tahi kuda!" Tibatiba
tubuh Sian Li meloncat dan melewati kepala orang-orang yang mengepungnya.
Dua belas orang itu amat terkejut dan cepat mengejar, akan tetapi Sian Li telah tiba di belakang Hek-bingu.
Kakinya menendang dan tubuh itu pun terdorong dan terbanting jatuh tepat di atas seonggok tahi kuda
penarik kereta. Karena jatuhnya telungkup dan tahi kuda itu masih baru dan masih hangat, maka mukanya
tepat menimpa tahi kuda itu.
Tentu saja, walau pun dia masih merasa nanar dan pening, Hek-bin-gu muntah-muntah dan menyumpahnyumpah,
menggunakan kedua tangan untuk membersihkan mukanya dari kotoran itu. Akan tetapi dia
mengeluh kesakitan pada waktu tangannya menggaruk batang hidungnya yang patah. Bau kotoran yang
memasuki mulut dan hidungnya tidak hanya membuat dia muntah-muntah, tetapi juga megap-megap
karena sulit bernapas.
Dua belas orang anak buahnya menjadi marah sekali. Sambil berteriak-teriak mereka menyerbu,
mengeroyok Sian Li bagai segerombolan anjing serigala mengepung seekor singa betina.
Sian Li sudah mengeluarkan sebatang suling yang disepuh emas dari ikat pinggangnya. Suling itu kecil
saja, hanya sebesar ibu jari kaki, dan panjangnya tidak melebihi panjang lengan Sian Li dari siku ke ujung
jari tangannya. Suling itu pemberian Kam Bi Eng, isteri kakek Suma Ceng Liong.
Kemudian, begitu sulingnya digerakkan menghadapi pengeroyokan dua belas orang itu, nampak gulungan
sinar emas yang mengeluarkan suara aneh, seperti orang bermain musik dengan suling, akan tetapi
gulungan sinar emas itu menyambar-nyambar seperti seekor naga. Itulah ilmu pedang Liong-siauw Kiamsut
(Ilmu Pedang Suling Naga) yang merupakan gabungan dari ilmu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang
Suling Emas) dengan ilmu Koai-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Siluman)!
Bukan main hebatnya ilmu ini. Ketika dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar yang menyambarnyambar
ke arah para pengeroyoknya, terdengar teriakan-teriakan berturut-turut dan dua belas orang itu
pun roboh satu demi satu. Ada yang tertotok lumpuh, ada yang kena tendangan, ada yang patah tulang,
ada yang babak belur karena terbanting. Tidak sampai dua menit, dua belas orang itu sudah roboh semua!
Melihat ini, Hek-bin-gu yang sudah dapat bangkit berdiri, tanpa mengenal malu lagi lalu menyeret tubuhnya
melarikan diri, diikuti oleh kedua belas orang temannya yang saling bantu, lari terbirit-birit sambil
terpincang-pincang, dengan muka ketakutan seperti dikejar setan.
Sian Li tertawa geli, lalu menghampiri ayah dan ibunya. Kao Hong Li tersenyum, teringat akan
kesukaannya mempermainkan orang-orang jahat di waktu mudanya. Akan tetapi puterinya ini lebih bengal
dan ugal-ugalan lagi. Sedangkan Sin Hong mengerutkan alis memandang kepada puterinya.
"Kenapa, Ayah?" tanya Sian Li. "Kenapa Ayah tidak gembira melihat aku menghajar gerombolan jahat itu?"
"Hemmm, memang baik sekali engkau menghajar mereka tanpa membunuh mereka atau melukai berat.
Akan tetapi engkau terlalu mempermainkan dan menghina orang. Yang kau lakukan terhadap Hek-bin-gu
tadi agak keterlaluan. Mengapa tidak langsung kau robohkan saja dia dalam satu dua jurus agar dia tidak
dapat melawan lagi?"
"Ayah, dia dan kawan-kawannya yang menghinaku, bukan aku. Memang hatiku baru puas kalau sudah
mempermainkan mereka yang jahat itu supaya mereka jera untuk menghina orang lagi."
"Sudahlah," berkata Kao Hong Li karena tidak ingin melihat suaminya memarahi puteri mereka. "Sian Li
kadang masih kekanak-kanakan. Ehh, Sian Li, mengapa engkau tadi mempergunakan dan memainkan
dunia-kangouw.blogspot.com
Liong-siauw Kiam-sut, bukankah hendak menguji ilmu silat Ang-ho Sin-kun? Dan kulihat engkau juga tidak
pernah menggunakan tangan untuk menangkis atau merobohkan lawan."
"Aih, apakah Ibu tidak tahu? Mereka bagitu kotor! Baunya saja membuat aku pening, seolah-olah aku tadi
dikeroyok oleh belasan babi! Aku jijik untuk menggunakan tangan, maka aku hanya menggunakan kaki dan
pada saat mereka menggunakan senjata, aku memilih menggunakan sulingku. Kalau melawan dengan
Ang-ho Sin-kun, aku terpaksa mempergunakan kedua tangan, dan kedua tanganku tentu akan
bersentuhan dengan mereka. Ihh, aku tidak mau!"
Kembali Sin Hong mengerutkan alisnya. "Sian Li, sungguh tidak baik mempunyai watak setinggi itu. Jangan
terlalu memandang rendah orang lain. Mereka pun manusia, walau pun mereka sedang sesat. Kalau
tanganmu kotor, bukankah dapat dicuci? Yang tidak mengerti tentu akan mengira engkau bertingkah dan
banyak lagak."
Ditegur ayahnya, Sian Li hanya cemberut akan tetapi tidak berani membantah. Ibunya yang melerai.
"Aihhh, sudahlah. Engkau tidak tahu akan perasaan wanita. Kalau wanita merasa jijik, biar berdekatan pun
sudah tidak suka, apa lagi sampai bersentuhan. Jangan terlalu salahkan Sian Li. Orang-orang itu memang
menjemukan!"
Sin Hong menghela napas panjang. Ia berusaha untuk memaklumi isterinya yang terlalu memanjakan dan
membela Sian Li. Betapa pun juga Sian Li merupakan anak tunggal, tumpuan segala harapan dan
penampung segala kasih sayang Kao Hong Li. Lagi pula, memang orang-orang tadi merupakan
gerombolan yang cukup ganas. Mengingat akan kata-kata mereka yang bernada mesum saja sudah cukup
untuk membuat isterinya itu membunuh mereka!
"Mari kita melanjutkan perjalanan," akhirnya Sin Hong berkata. Mereka naik kembali ke atas kereta dan Sin
Hong menjalankan kereta menuju ke timur.
Menjelang tengah hari, kereta mereka berhenti di lereng bukit berikutnya. Matahari amat panasnya dan
mereka berhenti di bawah sebatang pohon besar yang teduh. Karena hari telah siang, Hong Li segera
membuat api unggun untuk memasak daging dan roti kering yang mereka bawa sebagai bekal.
Sin Hong sendiri beristirahat, melenggut di dalam kereta. Dia membiarkan isteri dan puterinya
mempersiapkan makan siang. Di tempat teduh itu, membuat orang mudah mengantuk dihembus angin
semilir, dan perut pun mudah terasa lapar, apa lagi setelah melakukan perjalanan setengah hari di daerah
yang berbukit dan lengang itu.
Setelah masakan siap, mereka pun makan siang dengan makanan sederhana. Mereka minum air teh dan
anggur yang mereka bawa, makan roti dan daging kering yang sudah dimasak dengan sayur asin. Ketiga
orang ini memang anggota keluarga pendekar yang biasa bertualang, maka makan seperti itu malah terasa
nyaman dan lezat.
Ketika mereka membersihkan segalanya dan sudah bersiap kembali naik kereta untuk melanjutkan
perjalanan, tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari arah belakang. Mereka menengok dan tidak lama
kemudian nampaklah belasan orang menunggang kuda, serta membalapkan kuda-kuda itu ke arah
mereka.
Sian Li mengepal tinju. "Kalau buaya-buaya itu yang datang mengejar, sekali ini akan kubasmi mereka!"
"Bersabarlah, Sian Li. Sabar itu pangkal ketenangan dan tenang modal kewaspadaan." kata ayahnya.
Mereka menanti sambil duduk di dalam kereta.
Setelah rombongan berkuda itu dekat, terdengar mereka berteriak-teriak dan benar saja seperti dugaan
Sian Li, yang muncul adalah Hek-bin-gu bersama belasan orang anak buahnya tadi, akan tetapi sekali ini
ditambah dengan tiga orang laki-laki berusia lima puluh tahun yang tidak kelihatan bengis, akan tetapi
berwibawa.
Mereka tidak tinggi besar dan bengis seperti Hek-bin-gu dan kawan-kawannya, bahkan tubuh ketiganya
agak kurus. Akan tetapi pedang yang tergantung di pinggang mereka mendatangkan kesan bahwa mereka
adalah ahli-ahli pedang yang tak boleh disamakan dengan Hek-bin-gu dan kawan-kawannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bocah setan, lekas keluar dari kereta untuk menerima pembalasan kami!" Hek-bin-gu berteriak sambil
mengamangkan tinjunya ke arah kereta.
Tiga orang lelaki setengah tua itu dengan gerakan ringan meloncat turun dari atas kuda masing-masing
yang segera dituntun oleh anak buah gerombolan. Mereka berdiri tegak dan berjajar, menghadap ke arah
kereta.
"Siapakah Nona yang sudah melukai anak buah kami? Silakan keluar, kami Tiat-liong Sam-heng-te (Tiga
Saudara Naga Besi) tak mau menerima begitu saja anak buah kami diperhina orang!" kata salah seorang
di antara mereka, yang tertua dan kumisnya kecil berjuntai ke bawah.
Sian Li meloncat turun dari atas kereta, menghadapi mereka. "Akulah yang menghajar mereka! Kalian mau
apa?" bentaknya.
Melihat seorang gadis berpakaian merah yang usianya sekitar delapan belas tahun itu, tiga orang ini
terheran-heran. Bocah ini yang telah menghajar Hek-bin-gu dan dua belas orang anak buahnya? Sukar
dipercaya.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan di dekat nona baju merah itu sudah berdiri seorang wanita lain
yang cantik, usianya sekitar empat puluh tahun. Ia adalah Kao Hong Li yang berkata kepada puterinya.
"Biarkan aku yang menghadapi mereka!"
"Tidak perlu, ibu, aku sendiri cukup menghajar mereka kalau mereka hendak membela gerombolan
serigala itu."
Kembali nampak bayangan berkelebat, bayangan putih, dan Sin Hong sudah berada di dekat isterinya.
"Kalian mundurlah, biar sekarang ini aku sendiri yang melayani mereka!"
Pada saat melihat Sin Hong, tiga orang itu terbelalak dan wajah mereka berubah pucat sekali. Si kumis
kecil panjang dengan suara gemetar dan gagap bertanya, "Engkau... engkau... Pek-ho-eng (Pendekar
Bangau Putih)...?"
Sin Hong tersenyum. "Benar, aku yang disebut Pendekar Bangau Putih..."
"Dan aku Pendekar Wanita Bangau Merah!" kata Sian Li dengan sikap menantang dan bertolak pinggang.
Sin Hong memandang puterinya, kemudian mengalihkan pandangan ke arah tiga orang itu. "Mereka
adalah isteri dan puteriku. Siapakah Sam-wi (Anda Bertiga)? Dan apakah Sam-wi hendak membela
gerombolan perampok itu?"
Tiga orang itu dengan muka pucat kini mengangkat kedua tangan ke depan dada dan membungkuk
sampai dalam, menghormat kepada Pendekar Bangau Putih beserta anak isterinya. "Mohon Taihiap sudi
memaafkan kami yang bermata buta, tidak tahu bahwa Taihiap bertiga yang lewat di sini. Kami hanya
mendengar laporan dari anak buah kami. Mereka memang bersalah dan patut dihajar!"
Setelah berkata demikian, tiga orang itu membalikkan tubuh dan menghadapi tiga belas orang anak buah
mereka dengan sikap marah sekali. Tiga belas orang yang tadi sudah babak belur oleh Sian Li, kini sudah
turun dari atas kuda, bersiap menikmati bagaimana pimpinan mereka membalaskan penghinaan yang
mereka derita dari nona baju merah.
"Bagus, ya? Kalian sungguh membuat kami malu. Kalian berani mengganggu Pendekar Bangau Putih,
isteri beliau, dan puteri beliau Si Bangau Merah. Kalian tak pantas hidup!"
Setelah berkata demikian, si kumis bersama dua orang saudaranya bergerak menerjang dan menghajar
anak buah mereka sendiri dengan pukulan dan tendangan sampai tiga belas orang itu jatuh bangun dan
mengerang kesakitan. Sungguh mereka tidak pernah menyangka sama sekali bahwa laporan mereka
bukan membalaskan dendam mereka, bahkan membuat mereka ditambahi hajaran dari tiga orang
pemimpin mereka.
Yang paling parah dihajar adalah Hek-bin-gu. Si kumis memukuli dan menendanginya sehingga dia
muntah-muntah darah dan roboh pingsan. Dua belas orang yang lain juga dihajar setengah mati. Tiat-liong
dunia-kangouw.blogspot.com
Sam-heng-te nampak sangat malu, agaknya mereka tidak akan menghentikan amukan mereka terhadap
anak buah sendiri sampai tiga belas orang itu mati konyol.
Tiba-tiba berkelebat bayangan putih dan Sin Hong telah berada di dekat mereka sambil membentak.
"Hentikan pukulan!"
Tiga orang itu menghentikan siksaan mereka dan mereka berdiri berjajar, membungkuk-bungkuk dengan
hormat dan jeri kepada Sin Hong.
Tan Sin Hong berkata dengan nada suara kereng. "Kalian bertiga menghajar anak buah kalian oleh karena
kalian melihat bahwa mereka mengganggu kami. Coba kalau yang diganggu bukan kami tetapi orang lain,
tentu kalian sudah turun tangan membalaskan kekalahan mereka. Tidak perlu kalian membunuh mereka
karena kalian juga tidak lebih baik dari pada mereka."
"Ayah, pemimpin sama dengan guru. Kalau muridnya jahat, gurunya tentu lebih jahat lagi!" kata Sian Li.
"Biar kuhajar mereka bertiga!"
"Benar juga kata-katamu, Sian Li. Akan tetapi bagianmu sudah cukup. Biarlah aku yang akan menghajar
mereka supaya bertobat. Nah, Tiat-liong Sam-heng-te, majulah kalian bertiga melawanku untuk membela
para anak buah kalian. Itu jauh lebih jantan dan lebih bertanggung jawab dari pada menghukum mereka
padahal mereka adalah anak buah kalian sendiri!"
"Kami... kami tidak berani!" kata tiga orang itu dengan muka semakin pucat.
Tidaklah begitu mengherankan jika tiga orang ini ketakutan setengah mati menghadapi Pendekar Bangau
Putih. Sebenarnya tiga orang ini adalah sisa anak buah perkumpulan Tiat-liong-pang. Mereka ingat benar
betapa pendiri Tiat-liong-pang sendiri yang berjuluk Siangkoan Lohan (Laki-laki Tua Siangkoan) yang amat
tinggi ilmu kepandaiannya, dulu tewas di tangan Si Bangau Putih ini, bahkan puteranya yang bernama
Siangkoan Liong juga tewas di tangan pendekar ini.
Pendiri Tiat-liong-pang bersama puteranya memiliki tingkat yang sepuluh kali lebih tinggi dari tingkat
mereka, dan ayah dan anak itu tewas di tangan pendekar ini. Bagaimana sekarang mereka akan berani
melawan Si Bangau Putih?
"Kalau kalian tidak berani melawan suamiku, biarlah melawan aku saja!" kata Kao Hong Li.
"Tidak, Ibu. Biarkan aku saja yang menghadapi mereka. Heiii, kalian yang julukannya demikian hebat, Tiga
Saudara Naga Besi! Pilihlah seorang di antara kami bertiga. Kami tidak maju bertiga, hanya seorang dari
kami yang maju. Nah, pilihlah, siapa yang akan kalian lawan? Jika kalian dapat mengalahkan salah
seorang di antara kami, sudah saja, kalian boleh pergi membawa anak buah kalian."
"Kami... kami tidak berani..." Mereka masih segan dan jeri terhadap Si Bangau Putih.
"Berani atau tidak kalian harus maju, atau... kalian akan kuhajar begitu saja agar ikut merasakan
penderitaan anak buah kalian!" kata pula Sian Li.
Tiga orang itu saling pandang. Agaknya mereka sudah benar-benar tersudut dan tidak dapat
menghindarkan diri lagi. Mereka tahu bahwa melawan Si Bangau Putih sama saja dengan bunuh diri.
Tinggal isteri dan puteri pendekar itu.
Bagaimana pun juga, tentu isterinya lebih pandai dari pada puterinya, meski puterinya itu memiliki julukan
Si Bangau Merah dan telah merobohkan tiga belas orang anak buah mereka. Kiranya mereka masih
sanggup bertahan kalau mengeroyok gadis remaja ini. Dan siapa tahu mereka bisa menang sehingga
mereka dapat keluar dengan tidak terlalu kehilangan muka.
"Baiklah kalau Lihiap memaksa, kami bertiga yang bodoh dan lemah mohon petunjuk Nona," kata si kumis.
Mereka bertiga memasang kuda-kuda dan tidak berani mencabut pedang karena kalau bertanding
menggunakan pedang, kalau kalah tentu akibatnya akan lebih parah bagi mereka dari pada kalau
bertanding dengan tangan kosong. Pula, tidak percuma mereka menjadi bekas anggota Tiat-liong-pang
(Perkumpulan Naga Besi) karena mereka telah menguasai ilmu kebal dari Tiat-liong-pang yang membuat
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka berani menggunakan julukan Naga Besi. Betapa pun kuatnya, tangan gadis remaja itu mustahil
akan mampu menembus kekebalan mereka.
Sian Li tersenyum kepada ayah dan ibunya dan suami isteri itu terpaksa mengalah. Mereka kembali
mundur mendekati kereta dan berdiri di dekat kereta seperti tadi ketika menyaksikan puteri mereka berlaga
melawan pengeroyokan Hek-bin-gu dan dua belas orang anak buahnya. Akan tetapi sekarang mereka
lebih waspada karena mereka dapat menduga bahwa tiga orang laki-laki setengah tua itu sama sekali tidak
boleh disamakan dengan tiga belas orang anak buahnya.
Melihat betapa tiga orang calon lawannya itu tidak mencabut senjata, Sian Li tersenyum. Sekarang dia
mendapat kesempatan untuk mencoba ilmunya yang khas untuk dirinya, yaitu Ang-ho Sin-kun. Tidak ada
orang ke dua di dunia ini yang menguasai ilmu silat ini.
Ayahnya sendiri yang merangkai ilmu ini, dan hanya dia seorang yang mempelajarinya. Kepada tiga lakilaki
ini ia tidak mempunyai rasa muak yang berlebihan seperti terhadap tiga belas orang anak buah mereka
tadi, karena ketiga orang kakek ini selain bersikap halus, juga kelihatan bersih.
"Kalian mulailah, aku sudah siap siaga," berkata Sian Li.
Dia pun memasang kuda-kuda dengan kaki kiri ditekuk lututnya dan diangkat ke atas melekat kaki kanan
yang berdiri tegak, kedua tangan di pinggang dengan siku ditarik ke belakang, kepalanya menghadap ke
depan dengan leher dijulurkan. Inilah sikap seekor burung bangau yang sedang berdiri.
Nampaknya melenggut atau mengantuk, namun sedikit pun tidak bergerak seperti arca dan sepasang mata
itu tak pernah melewatkan sesuatu. Dalam keadaan seperti itu, jika ada ikan lewat dan menyangka kakinya
yang kanan itu hanyalah sepotong kayu, maka paruh itu akan meluncur ke dalam air dan tanpa dapat
dihindarkan lagi ikan itu akan ditangkapnya!
Karena Sian Li adalah seorang gadis yang berwajah cantik serta jenaka, dan mulutnya tersenyum-senyum,
sepasang matanya melirik ke arah tiga orang itu bagai mata bangau mengintai gerakan tiga ekor ikan,
maka ia nampak lucu.
Tiat-liong Sam-heng-te sudah tahu bahwa gadis ini lihai sekali, maka mereka pun tidak memandang
rendah pasangan kuda-kuda yang nampak lucu dan tidak mereka kenal itu. Mereka kemudian berpencar
dan maju menghampiri Sian Li dari depan, kanan dan kiri.
Kemudian, setelah si kumis mengeluarkan bentakan nyaring sebagai tanda dimulainya serangan mereka,
tubuh mereka bergerak cepat sekali dan mereka sudah melancarkan serangan serentak yang cukup
dahsyat ke arah tubuh Sian Li dari tiga jurusan. Enam buah lengan meluncur dan enam buah tangan
menyerang gadis itu dari depan, kanan, kiri, atas dan bawah!
Kini Sian Li memainkan ilmu silat Ang-ho Sin-kun sepenuhnya. Tubuhnya mengelak ke kanan dengan
lompatan seperti lompatan burung bangau sehingga serangan orang di sebelah kiri dan depan luput, dan
serangan orang yang berada di kanannya, ia sambut dengan tangkisan lengannya.
"Dukkk…! Dukkk…!"
Penyerang itu terkejut setengah mati karena begitu lengannya ditangkis oleh lengan Sian Li, dia merasa
betapa lengannya tergetar hebat. Dari kedua lengan yang tertangkis itu timbul getaran yang membuat isi
dadanya juga terguncang sehingga dia cepat-cepat melangkah mundur. Kiranya gadis ini memiliki tenaga
sinkang yang amat hebat!
Dua orang pengeroyok lain yang tadi hanya memukul tangan kosong, telah berloncatan dan menyerang
lagi dari kanan kiri. Sedangkan orang ke tiga juga menyerang dari arah belakang.
Sian Li bersikap tenang namun dengan gerakan yang gesit dan kuat, ia berkelebatan di antara tiga orang
pengeroyoknya. Tubuhnya bagaikan bayangan saja, tak pernah dapat disentuh tiga orang pengeroyoknya
yang mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian mereka untuk mengalahkan gadis berpakaian merah
itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Warna pakaian gadis itu yang serba merah memudahkan mereka mengikuti ke mana tubuh gadis itu
berkelebat, tetapi juga membuat tiga orang lawannya menjadi bingung. Akan tetapi setiap kali tangan gadis
itu menangkis, mereka dapat merasa betapa lengan mereka tergetar sampai ke pundak.
Sekali ini Sian Li yang hendak menguji ilmunya yang baru saja dia kuasai dengan baik, tidak main-main
lagi. Dengan gerakan yang indah dan lincah namun yang mengandung tenaga dahsyat, dia melayani
penyerangan ketiga orang itu. Begitu dia mengubah daya tahan menjadi daya serang, maka berturut-turut
ia merobohkan Tiat-liong Sam-heng-te dengan totokan, tamparan dan tendangan. Tidak sampai sepuluh
jurus dia menyerang dan tiga orang pengeroyok itu sudah roboh.
Tiat-liong Sam-heng-te terkejut bukan main. Mereka memang sudah mengetahui bahwa Pendekar Bangau
Putih merupakan seorang pendekar sakti, dan mereka sangat gentar menghadapinya. Akan tetapi baru
sekarang mereka membuktikan sendiri bahwa puteri pendekar itu pun seorang yang amat tangguh.
"Kami mengaku kalah...," kata mereka sambil bangkit dan menyeringai kesakitan.
"Mulai sekarang, kalian dan anak buah kalian jangan pernah mengganggu pejalan yang lewat di sini.
Untung kalian bertemu dengan kami, kalau bertemu dengan pendekar lain, mungkin kalian semua kini
sudah tidak bernyawa lagi." kata Tan Sin Hong yang merasa girang dan puas melihat kemajuan puterinya.
Tiat-liong Sam-heng-te memberi hormat dan si kumis berkata, "Taihiap, kami tak pernah mengganggu
pelancong atau pun pedagang, tak mau mengganggu rakyat. Kami hanya merampok pejabat Mancu yang
lewat di sini."
"Tidak semua pejabat merupakan orang jahat yang patut diganggu," Sin Hong berkata. "Lagi pula,
pekerjaan merampok merupakan kejahatan, tak peduli siapa pun yang kalian rampok. Lebih baik kalian
kembali ke jalan benar dan bekerja mencari nafkah tanpa mengganggu orang lain."
"Akan tetapi, Taihiap... kami tidak rela melihat tanah air dan bangsa kita dijajah orang Mancu dan..."
"Tidak perlu berlagak patriot dan pejuang!" Sin Hong membentak. "Kalau kalian patriot dan pejuang, kalian
tidak akan melakukan perampokan! Jangan menggunakan kedok pejuang untuk menyembunyikan
kejahatan kalian. Pejuang sejati takkan pernah berbuat kejahatan!"
Tiga orang itu menundukkan muka, tidak berani bicara lagi.
"Sudahlah, perlu apa bicara dengan orang-orang seperti ini? Lebih baik kita melanjutkan perjalanan," kata
Kao Hong Li kepada suaminya.
Mereka kembali naik ke dalam kereta. Kendaraan itu pun bergerak cepat meninggalkan belasan orang itu
yang merasa lega karena biar pun mereka babak belur, namun tidak ada di antara mereka yang terbunuh.
Dari mulut mereka lalu tersebar berita mengenai kehebatan Si Bangau Merah…..
********************
Dusun Hong-cun yang terletak di lembah Sungai Kuning, di luar kota Cin-an Propinsi Shantung adalah
sebuah dusun yang tidak besar akan tetapi jauh lebih rapi dan bersih dibandingkan dusun-dusun lain.
Penduduk dusun itu bekerja sebagai petani merangkap nelayan dan kehidupan mereka walau pun
sederhana, namun cukup makmur. Sungai Kuning tidak pernah kekurangan ikan, dan lembah sungai itu
memang memiliki tanah yang subur.
Pagi hari itu, suasana dusun Hong-cun berbeda dari biasanya. Suasananya meriah dan ini merupakan
tanda bahwa di dusun itu ada sebuah keluarga yang tengah mengadakan pesta merayakan sesuatu. Di
dusun yang penduduknya tidak terlalu padat, setiap kali ada sebuah keluarga mengadakan pesta
merayakan sesuatu, maka suasana meriahnya meliputi seluruh dusun, seolah pesta itu merupakan
pestanya orang sedusun. Apa lagi yang sedang berpesta adalah keluarga Suma Ceng Liong!
Biar pun di dusun itu sudah ada kepala dusun dan stafnya, namun Suma Ceng Liong dianggap sebagai
sesepuh dusun itu, walau pun dia tidak tinggal di situ semenjak kecil. Semua orang tahu belaka bahwa dia
adalah seorang pendekar sakti yang tinggal di dusun sunyi itu menjauhi keramaian dan hidup tenteram
bersama isterinya, Kam Bi Eng yang juga seorang pendekar wanita sakti.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suami isteri pendekar ini sangat dihormati dan disayang oleh seluruh penduduk dusun Hong-cun, karena
mereka ini suka menolong, baik dengan pengobatan atau membantu orang yang sedang dilanda
kekurangan, meski mereka sendiri bukan orang kaya raya. Di samping itu, seluruh penduduk dusun
maklum bahwa mereka dapat hidup tenang dan tenteram di dusun Hong-cun, tidak pernah ada penjahat
mana pun berani datang mengganggu, hanya karena nama besar pendekar Suma Ceng Liong dan
isterinya.
Siapa berani mengganggu pendekar ini yang merupakan keturunan langsung dari Pendekar Super Sakti
dari Istana Pulau Es? Suma Ceng Liong adalah cucu mendiang Suma Han si Pendekar Super Sakti. Ada
pun isterinya juga bukan orang sembarangan pula. Kam Bi Eng adalah puteri pendekar sakti Kam Hong,
ahli ilmu silat suling emas dan terkenal dengan Kim-siauw-kiam (Pedang Suling Emas).
Mereka hanya mempunyai anak tunggal, seorang perempuan bernama Suma Lian yang kini telah ikut
suaminya dan tinggal di Ping-san, sebelah selatan Pao-teng. Suami Suma Lian bernama Gu Hong Beng,
seorang ahli silat pula, murid Suma Ciang Bun.
Sekarang Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng tinggal berdua saja di dusun Hong-cun. Tadinya mereka oleh
ditemani seorang murid bernama Liem Sian Lun yang seolah-olah menjadi anak angkat mereka pula. Akan
tetapi sayang, murid mereka itu sudah tewas dalam pertempuran pada saat Liem Sian Lun bersama Tan
Sian Li sebagai suheng dan sumoi, melakukan perjalanan ke Bhutan lalu terlibat dalam pertempuran antara
para pemberontak Tibet dengan pasukan Tibet.
Mereka yang tadinya hidup berdua dan merasa kesepian setelah puteri mereka menikah dan pergi
mengikuti suaminya, lalu muncullah Liem Sian Lun yang kemudian menjadi tumpuan kasih sayang, dan
tiba-tiba saja, pemuda itu tewas dalam pertempuran di luar pengetahuan mereka.
Di sini nampak benar kekuasaan Tuhan yang mutlak atas kehidupan manusia. Betapa pun pandai
seseorang, kalau memang Tuhan tidak menghendaki, orang itu tak mampu melaksanakan sesuatu sesuai
kehendaknya. Manusia berwenang mengatur, tetapi yang berwenang menentukan hanyalah kekuasaan
Tuhan! Manusia hanya wajib berikhtiar, berusaha untuk berbuat sebaiknya dalam segala hal.
Kematian Liem Sian Lun yang mendatangkan duka di hati Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng merupakan
keputusan Tuhan.
Kelahiran serta kematian sepenuhnya berada dalam kuasa Tuhan, merupakan rahasia Tuhan, merupakan
hasil ciptaan Tuhan. Sepandai-pandainya manusia, hanya mampu menelusuri dan mempelajari proses
terjadinya penciptaan itu, membantu melancarkan proses itu saja.
Kita harus menyadari bahwa kita ini adalah hasil ciptaan Tuhan, bahwa kita berada di dunia ini adalah
karena kehendak Tuhan, bukan karena kehendak kita. Dan Tuhan telah menyertakan pada kita segala
macam perlengkapan yang serba sempurna, dari tubuh yang lengkap sampai hati dan akal pikiran. Tentu
supaya kita menjadi hasil ciptaan yang baik, yang berguna bagi kelancaran pekerjaan Tuhan.
Tuhan Maha Mengetahui apa yang terbaik bagi setiap orang umat-Nya. Baik sesuatu itu dianggap
menyenangkan atau pun menyusahkan bagi hati yang sudah bergelimang nafsu yang selalu ingin senang,
tapi kita boleh yakin bahwa segala hal yang menimpa diri kita dalam kehidupan ini sudah dikehendaki
Tuhan dan merupakan yang terbaik bagi kita. Entah hal itu berupa hukuman atau pun anugerah sebagai
pemetikan hasil dari pohon yang kita tanam sendiri melalui perbuatan yang lalu, mau pun berupa ujian dan
cobaan.
Demikian besar kemurahan Tuhan kepada kita sehingga kita berwenang untuk memilih, untuk menentukan
sendiri langkah hidup kita, kemudian bertanggung jawab atas semua langkah-langkah itu.
Pada pagi hari ini keluarga Suma Ceng Liong yang kini hanya tinggal berdua di dalam rumah besar di
dusun Hong-cun itu akan mengadakan pesta perayaan ulang tahun ke enam puluh dari Suma Ceng Liong.
Pesta sekali ini merupakan pesta yang diadakan khusus untuk ‘mengumpulkan tulang-tulang yang
berserakan’, istilah yang dipakai Suma Ceng Liong untuk mengartikan bahwa pesta itu diadakan untuk
mengumpulkan para anggota keluarga yang terpisah di mana-mana seperti tulang-tulang berserakan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suami isteri itu memang mempunyai rangkaian anggota keluarga yang besar, terdiri dari keluarga Pulau
Es, keluarga Gurun Pasir serta keluarga Lembah Naga Siluman! Tiga buah keluarga pendekar yang amat
terkenal di dunia persilatan. Bukan hanya keluarga hubungan darah, akan tetapi juga saudara
seperguruan.
Tentu saja yang lebih dahulu datang adalah puteri mereka sendiri, yaitu Suma Lian dan suaminya, Gu
Hong Beng. Suma Lian sudah berusia empat puluh tahun dan suaminya berusia empat puluh lima tahun,
akan tetapi mereka tidak dikaruniai seorang pun anak. Kenyataan ini pun menjadi bukti kekuasaan Tuhan.
Suami isteri ini adalah pendekar-pendekar yang sehat, bahkan dapat dikatakan sehat lahir batin, dan
pandai. Tetapi, betapa pun mereka berikhtiar, dengan minum bermacam obat, karena agaknya Tuhan tak
menghendaki, maka ikhtiar mereka gagal. Setelah dua puluh tahun mereka menikah dan belum juga
memperoleh anak, keduanya tidak lagi mengharapkan dan menerima kenyataan karena agaknya takdir
Tuhan menghendaki bahwa mereka tidak mendapatkan keturunan.
Lalu berturut-turut datanglah para tamu yang merupakan anggota tiga keluarga besar. Pertama urutan
tamu dari keluarga Pulau Es adalah kakek Kao Cin Liong dan isterinya, Suma Hui. Pendekar tua ini sudah
berusia tujuh puluh tujuh tahun dan isterinya enam puluh tujuh tahun, kemudian Suma Ciang Bun yang
berusia enam puluh lima tahun bersama isterinya, Gangga Dewi yang berusia enam puluh satu tahun tiba
dari Bhutan.
Nyonya Gak yang bernama Souw Hui Lan, isteri mendiang saudara kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat
Kong, juga merupakan anggota keluarga Pulau Es. Nyonya yang berusia lima puluh tujuh tahun ini datang
bersama puteranya, Gak Ciang Hun yang berusia dua puluh sembilan tahun.
Kemudian Tan Sin Hong bersama isterinya, Kao Hong Li, dan puteri mereka, Tan Sian Li, datang dan gadis
ini mendapat sambutan hangat dari kakek Suma Ceng Liong dan nenek Kam Bi Eng, karena gadis ini
merupakan cucu keponakan akan tetapi juga murid mereka selama lima tahun.
Dari fihak keluarga Istana Gurun Pasir diwakili oleh kakek Kao Cin Liong, kemudian Can Bi Lan yang kini
datang bersama suaminya, Sim Houw. Keluarga Gurun Pasir memang hanya tinggal Kao Cin Liong dan
sumoi-nya, yaitu Can Bi Lan yang dulu menjadi murid ayahnya.
Can Bi Lan sekarang berusia empat puluh lima tahun dan suaminya, Sim Houw, sudah berusia enam puluh
tahun. Tidak ada lagi anggota keluarga Gurun Pasir, bahkan yang masih ada pun telah menikah dengan
anggota keluarga yang lain seperti Kao Cin Liong menikah dengan Suma Hui anggota keluarga Pulau Es.
Can Bi Lan menikah dengan Sim Houw anggota keluarga Lembah Naga Siluman.
Anggota keluarga Lembah Naga Siluman yang hadir tentu saja diwakili nyonya rumah, Kam Bi Eng, karena
ibunya, yaitu nenek Bu Ci Sian isteri mendiang Kam Hong tidak hadir. Nenek itu sama sekali tidak mau
meninggalkan makam suaminya dan bertekad untuk menunggui makam itu sampai hayat meninggalkan
badan.
Kemudian muncul pula Cu Kun Tek dan isterinya, Pouw Li Sian. Suami isteri ini sudah berusia empat puluh
lima tahun dan tiga puluh sembilan tahun. Mereka datang bersama puteri mereka yang bernama Cu Kim
Giok, seorang gadis manis berusia delapan belas tahun. Tentu saja, sebagai puteri dari ayah dan ibu
pendekar, Cu Kim Giok ini menjadi seorang gadis pendekar yang lihai.
Ada lagi belasan orang yang pernah menerima bimbingan para tokoh itu sehingga dapat dianggap sebagai
murid. Mereka datang pula menghadiri pesta perayaan ulang tahun yang khusus diadakan untuk keluarga
itu.
Suasana amat meriah pagi hari itu dan sungguh ini merupakan suatu pertemuan yang menggembirakan,
dan juga luar biasa. Begitu banyak pendekar-pendekar yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan hebat.
Masing-masing dari mereka pernah menggemparkan dunia persilatan dengan kepandaian mereka, dan
masing-masing memiliki ilmu andalan sendiri yang dahsyat.
Satu demi satu, para anggota keluarga itu memberi selamat kepada Suma Ceng Liong yang merayakan
hari ulang tahunnya. Banyak pula yang memberi hadiah tanda mata yang aneh dan berharga.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika sedikitnya dua puluh orang penduduk dusun yang mewakili seluruh penduduk datang pula
menghadiri, tentu saja Suma Ceng Liong lalu menyambut mereka dengan gembira. Mereka datang
mewakili para penduduk, tentu saja tidak enak kalau harus ditolak, walau pun pesta itu diadakan khusus
untuk mengumpulkan anggota keluarga. Mereka mendapatkan tempat sekelompok di samping.
Sedangkan para anggota keluarga itu segera terlibat dalam percakapan hangat karena pertemuan itu
merupakan pula pertemuan istimewa, setelah bertahun-tahun mereka yang tadinya akrab saling berpisah.
Suasana menjadi gembira dan hiruk-pikuk seperti pasar karena mereka saling bercakap-cakap satu
kepada yang lainnya dengan suara gembira, apa lagi para wanitanya.
Ketika Suma Lian bertemu dengan Pouw Li Sian, mereka saling rangkul bahkan sampai menangis saking
terharu dan gembira hati mereka. Kedua orang wanita ini ketika kecil pernah menjadi saudara
seperguruan, dibimbing oleh mendiang Bu Beng Lokai atau Gak Bun Beng, ayah dari mendiang dua orang
saudara kembar Gak. Semenjak kedua orang wanita ini menikah, sembilan belas tahun yang lalu, mereka
tidak pernah saling berjumpa.
"Li Sian...!"
"Suci (Kakak Seperguruan) Lian!" dan keduanya lalu bertangisan.
Ketika Suma Lian diperkenalkan kepada puteri sumoi-nya yang bernama Cu Kim Giok, ia merangkul gadis
itu dan mencium kedua pipinya.
"Aihhh, aku sudah mempunyai keponakan sebesar dan secantik ini!" katanya dengan wajah berseri
gembira.
Kalau saja pertemuan ini terjadi beberapa tahun yang lampau, tentu Suma Lian akan menangis karena
sedih melihat sumoi-nya sudah memiliki anak sebesar itu sedangkan ia sendiri tidak mempunyai anak.
Akan tetapi sekarang ia dan suaminya sudah dapat menerima kenyataan dan keadaan sebagai kehendak
Tuhan dan pertemuan ini tidak membangkitkan rasa kecewa, iri atau sedih, melainkan mendatangkan
keharuan dan kegembiraan. Sebaliknya, Li Sian yang tahu bahwa suci-nya tak mempunyai anak, juga
bersikap bijaksana dan tidak mau bicara tentang anak.
Pertemuan itu mendatangkan banyak kenangan lama bagi semua anggota keluarga dan terdengar
teriakan-teriakan gembira. Banyak di antara mereka yang mendapat kejutan saat mendengar mereka
saling menceritakan keadaan dan pengalaman masing-masing selama mereka saling berpisah. Sungguh
merupakan pesta yang meriah dan penuh kegembiraan, suatu pertemuan besar yang amat berhasil.
Sian Li juga bergembira dapat bertemu dan berkenalan dengan para anggota keluarga yang selama ini
hanya ia dengar nama besarnya saja dari ayah ibunya. Akan tetapi ada satu hal yang membuat ia merasa
amat kecewa di dalam hatinya, yaitu bahwa Yo Han tidak nampak di situ.
Akan tetapi dia adalah seorang gadis yang amat cerdik. Diam-diam dia mendekati Sim Houw dan Can Bi
Lan yang sedang bercakap-cakap dengan tuan dan nyonya rumah, yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi
Eng.
Antara Pendekar Suling Naga Sim Houw dengan Kam Bi Eng terdapat hubungan yang dekat. Sim Houw
adalah murid mendiang Kam Hong, ayah Kam Bi Eng. Maka, Kam Bi Eng masih terhitung sumoi (adik
seperguruan) dari Sim Houw. Ketika empat orang itu melihat Sian Li menghampiri, mereka lalu menyambut
dan mempersilakan gadis yang lincah jenaka dan peramah ini duduk bersama mereka.
"Paman Sim Houw, bagaimana kabarnya dengan puterimu? Apakah Paman dan Bibi sudah menemukan
jejak enci Sim Hui Eng yang lenyap sejak masih kanak-kanak itu?" Pertanyaan ini diajukan dengan sikap
sungguh-sungguh dan penuh perhatian.
Mendengar pertanyaan Sian Li, Sim Houw dan Can Bi Lan saling pandang dengan alis berkerut dan Sim
Houw menghela napas panjang.
"Sian Li, terima kasih atas perhatianmu. Tetapi kami berdua sudah tidak mengharapkan lagi akan dapat
menemukan anak kami."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Aihhh! Paman dan Bibi sama sekali tidak boleh putus harapan!" Sian Li mencela.
Can Bi Lan berkata, "Kami tidak putus harapan, Sian Li. Akan tetapi ingatlah, anak kami itu sudah hilang
selama dua puluh tahun! Andai kata kami dapat bertemu dengannya sekali pun, kami tidak akan dapat
mengenalinya lagi. Kami tidak menyesal karena agaknya Thian (Tuhan) telah menghendaki demikian.
Yang kami sesalkan hanya bahwa kami tidak dapat yakin apakah ia masih hidup ataukah sudah mati. Kami
hanya dapat mendoakan agar kalau ia masih hidup, ia akan hidup berbahagia, dan kalau ia sudah mati,
semoga mendapat tempat yang layak."
Meski ucapan ini dikeluarkan tidak dengan suara sedih, tapi Sian Li dapat menangkap kedukaan yang
amat mendalam, yang membuatnya terharu dan tidak mampu berkata-kata lagi. Tadinya ia bermaksud
mendekati mereka dan memancing perihal lenyapnya Sim Hui Eng untuk mencari keterangan tentang Yo
Han. Tidak tahunya pertanyaannya itu telah membuka kembali luka di hati ayah dan ibu itu!
Suma Ceng Liong segera berkata. "Aihhh, kita manusia memang merupakan makhluk-makhluk yang lemah
dan tak berdaya. Dalam keadaan seperti ini, setelah segala ikhtiar kita gagal, satu-satunya hal yang dapat
kita lakukan hanyalah berdoa dan menyerahkan kepada kekuasaan Tuhan! Tidak ada hal yang mustahil
bagi kekuasaan Tuhan. Segala apa pun dapat saja terjadi kalau Tuhan menghendaki. Oleh karena itu,
sikap putus harapan secara tidak langsung merupakan sikap yang kurang yakin akan kekuasaan Tuhan.
Kalau Tuhan menghendaki, bukan tidak mungkin suatu saat kalian akan dapat bertemu kembali dengan
puteri kalian."
"Sim-suheng, apa yang dikatakan suamiku memang benar sekali. Justru karena kalian belum melihat bukti
dan kenyataan bahwa puteri kalian telah meninggal dunia, hal itu berarti bahwa mungkin sekali ia masih
hidup. Dan kalau ia masih hidup, bukan mustahil sekali waktu kita akan dapat bertemu dengannya," kata
Kam Bi Eng.
"Nah, benar bukan apa yang kukatakan tadi, Paman dan Bibi!" seru Sian Li, mendapat ‘angin’ dan juga
mendapat kesempatan untuk menyampaikan niat hatinya, yaitu bicara tentang Yo Han. "Tidak perlu putus
harapan, apa lagi sekarang ada Sin-ciang Taihiap (Pendekar Tangan Sakti) yang berusaha mencari puteri
kalian itu!"
"Sin-ciang Taihiap?" Mereka berempat berseru heran.
"Aih, Paman dan Bibi, juga Kakek dan Nenek sudah lupa akan Si Tangan Sakti Yo Han? Percayalah, sekali
Han-koko turun tangan, aku yakin enci Hui Eng pasti akan dapat ditemukan!" Sian Li berkata dengan
bangga.
Kini teringatlah mereka semua.
"Aihhh, Sian Li! Bagaimana engkau dapat begitu yakin bahwa Yo Han akan mampu menemukan puteri
mereka yang sudah hilang dua puluh tahun itu?" Suma Ceng Liong mencela, menganggap gadis itu terlalu
yakin akan hal yang amat sulit dilaksanakan itu. Kalau tidak ada kemurahan Tuhan, tidak ada mukjijat
Tuhan, bagaimana mungkin dapat menemukannya kembali?
"Ahhh, Kakek tidak percaya? Menurut ayah dan ibu, Han-koko memang mempunyai sesuatu yang mukjijat,
semacam indera ke enam. Ketika aku masih kecil dan aku diculik oleh Ang-I Moli, ayah dan ibu sendiri
tidak berhasil mencarinya. Akan tetapi Han-koko yang baru berusia belasan tahun tahu-tahu muncul di
depan penculik itu dan minta agar aku dikembalikan kepada ayah ibu dan dia sendiri menyerahkan diri
menjadi gantinya."
"Hemmm, pernah aku mendengar ayah ibumu bercerita tentang itu, akan tetapi tadinya kusangka bahwa
hal itu hanya kebetulan saja," kata Suma Ceng Liong.
"Bukan kebetulan," bantah Sian Li. "Memang Han-koko memiliki kelebihan dari orang lain. Dia memang
aneh sekali. Di waktu kecilnya, dia sama sekali tak mau berlatih silat, membuat ayah dan ibu sampai marah
dan kecewa. Selama menjadi murid ayah dan ibu, dia hanya mempelajari teorinya saja, akan tetapi tidak
suka berlatih silat. Bahkan dia membenci ilmu silat. Katanya dahulu, dia menganggap ilmu silat sebagai
suatu bentuk kekerasan yang membuat orang menjadi jahat, suka bermusuhan dan suka membunuh.
Ketika kecil dia tidak mau belajar silat, tapi setelah dewasa, tahu-tahu dia telah menjadi Sin-ciang Taihiap.
Apakah itu tidak aneh? Tetapi, mengapa dia tidak datang sekarang? Apakah dia tidak dikirimi undangan?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Ceng Liong tertawa. "Kami tidak melupakan dia karena dia adalah murid orang tuamu. Akan tetapi
tiada seorang pun mengetahui di mana dia sekarang. Bagaimana kami dapat mengirim undangan?"
"Betul juga...," kata Sian Li. "Akan tetapi dia dahulu sudah tahu akan perayaan ini. Kenapa dia tidak muncul
dan di mana dia sekarang?" pertanyaan ini ditujukan kepada diri sendiri karena tidak ada seorang pun yang
dapat menjawabnya.
Pada saat itu, semua orang yang duduknya agak di depan, menengok ke luar sehingga menarik perhatian
mereka yang berada di sebelah dalam. Tak lama kemudian, semua orang, termasuk Suma Ceng Liong dan
isterinya, juga Sian Li, ikut pula memandang ke luar…..
Memang ada yang sangat menarik di luar pekarangan sana. Para penduduk yang ikut menonton di luar
nampak memberi jalan kepada serombongan orang yang datang. Ada selusin orang laki-laki yang bertubuh
kokoh kuat dan berpakaian seragam abu-abu serta empat orang gadis cantik yang mengenakan pakaian
dengan warna menyolok. Ada yang serba kuning, serba biru, serba hitam dan serba putih.
Empat orang gadis ini berjalan di kanan kiri sebuah joli tertutup tirai yang dipikul empat orang laki-laki
anggota pasukan yang selosin dan berpakaian abu-abu itu. Joli berada di tengah-tengah, seolah-olah
dikawal selosin orang laki-laki dan empat orang gadis itu.
Orang yang berjalan paling depan memegang sebuah tombak yang ujungnya dipasangi sehelai bendera.
Dasar bendera itu berwarna kuning polos dan di tengahnya ada huruf BENG (TERANG) dari benang sutera
merah yang indah dan gagah. Tanpa ragu-ragu, dengan langkah tegap, rombongan itu memasuki
pekarangan dan berhenti di depan tangga ruangan depan yang dipenuhi tamu.
Semua orang memandang dengan heran karena tidak ada yang mengenal dari mana dan siapa
rombongan itu. Bendera itu pun tidak mereka kenal. Hanya Kao Cin Liong, orang tertua di antara mereka
semua, yang memandang dengan alis berkerut dan dia pun menghampiri tuan rumah, lalu berbisik kepada
Suma Ceng Liong. Suma Hui juga mengikuti suaminya dan mendekati adiknya.
"Hanya ada sebuah partai yang kiranya dapat memakai tanda bendera seperti itu, yaitu Pao-beng-pai
(Partai Pembela Terang)."
"Akan tetapi partai itu tidak pernah terdengar lagi sekarang," kata Suma Hui.
"Pao-beng-pai? Partai macam apakah itu?" tanya Suma Ceng Liong kepada cihu-nya (kakak iparnya), yaitu
suami dari enci-nya yang dahulu pernah menjadi panglima perang dan memiliki banyak sekali pengalaman.
"Pao-beng-pai itu partai yang berusaha untuk menegakkan kembali Kerajaan Beng yang sudah jatuh
dengan pemberontakan terhadap pemerintah yang sekarang," kata Kao Cin Liong.
Mereka berhenti bicara dan pada saat itu, seorang di antara para anggota pasukan yang berpakaian warna
abu-abu itu berteriak lantang. "Kami utusan dari Pao-beng-pai mohon bertemu dengan pimpinan dari
keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir, dan keluarga Lembah Naga Siluman yang kini sedang
berkumpul di sini!"
Semua orang terkejut mendengar ini. Suma Ceng Liong kemudian minta kepada suami enci-nya, yaitu Kao
Cin Liong sebagai orang tertua yang berada di situ, untuk mewakili seluruh keluarga dan menerima
pengunjung yang baru datang.
Karena jelas bahwa rombongan itu ingin bertemu dengan pimpinan tiga keluarga, bukan dengan tuan
rumah, Kao Cin Liong yang menjadi orang tertua di situ tidak keberatan untuk mewakili seluruh keluarga. Di
dalam hatinya dia merasa heran sekali. Mau apakah orang-orang Pao-beng-pai mencari mereka? Kalau
hendak mencari gara-gara, mungkin orang-orang Pao-beng-pai itu sudah gila. Siapa di dunia ini begitu gila
mencari perkara dengan para pendekar dari tiga keluarga besar yang saat itu berkumpul di situ?
Kakek yang kini sudah berusia tujuh puluh tujuh tahun itu melangkah maju ke depan rombongan itu. Para
anggota pasukan kecil yang berada di depan membuat gerakan menyibak ke kanan dan kiri sehingga
kakek itu kini berhadapan dengan joli yang tirainya masih saja tertutup. Semua orang memandang dari
belakang kakek Kao Cin Liong dan suasana menjadi hening sekali karena semua orang memperhatikan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Kami sedang berkumpul di sini untuk mengadakan pertemuan keluarga dan kami tidak mempunyai
pimpinan. Karena aku kebetulan yang tertua, maka para anggota keluarga kami minta supaya aku mewakili
mereka. Nah, apakah yang dikehendaki Pao-beng-pai dengan kunjungan mendadak dan tanpa diundang
ini? Di antara kami tidak ada yang mempunyai urusan dengan Pao-beng-pai." Suara kakek itu cukup
berwibawa walau pun sikapnya tenang sekali.
Bahkan dua belas orang anggota pasukan yang tadinya nampak kereng dan kokoh kuat itu kini nampak
gentar menghadapi sikap kakek itu yang demikian tenang, berwibawa dan penuh kepercayaan pada diri
sendiri. Tadinya mereka mengira bahwa setiap orang di dunia persilatan akan menjadi jeri melihat bendera
tanda pengenal partai mereka. Siapa tahu kakek ini bersikap seolah mereka hanyalah sebagai
pengganggu biasa saja yang tidak terkenal!
Seperti anak-anak ayam yang mencari perlindungan kepada induknya, mereka semua memandang ke
arah joli. Si pemegang bendera segera berkata dengan suara lantang, jelas dimaksudkan agar didengar
oleh semua orang karena bila hanya ditujukan kepada penumpang joli, tidak perlu dia berteriak selantang
itu.
"Nona yang mulia! Pihak tuan rumah telah datang menyambut, silakan Nona yang mulia keluar untuk
bicara dengan dia!"
Tentu saja semua orang menjadi semakin tertarik. Siapakah yang mereka sebut sebagai nona yang mulia
itu? Dengan penuh perhatian mereka semua kini memandang ke arah joli yang sejak tadi tidak bergerak,
dan yang oleh para pemikulnya sudah diturunkan ke atas tanah. Tirai itu pun semenjak tadi tidak pernah
bergoyang. Pada saat empat orang penggotong joli tadi menurunkannya, nampaknya begitu ringan seolaholah
penumpang joli itu teramat ringan, ataukah empat orang pemanggul itu yang amat kuat?
Kini tirai dari sutera hijau itu bergoyang sedikit dan agaknya ini merupakan isyarat bagi empat orang gadis
pendamping joli untuk cepat menghampiri bagian depan joli. Mereka menyingkap tirai itu dan ketika
melakukan ini, mereka berempat membungkuk sampai dalam, dan yang berpakaian kuning lalu berkata
penuh hormat. "Silakan, Siocia (Nona Muda)!"
Semua orang memandang dan ternyata yang duduk di joli itu adalah seorang wanita muda yang cantik dan
bersikap agung. Gadis ini mengenakan pakaian berkembang dan cerah, dan ia nampak anggun dan cantik.
Ia duduk dengan tegak seperti seorang puteri atau seorang ratu dan sedikit pun tidak merasa gentar atau
canggung walau pun banyak pasang mata yang tajam dan mencorong mengamatinya.
Usianya sukar diketahui dengan pasti karena pembawaannya menunjukkan bahwa dia bukan remaja lagi,
cukup dewasa dan tentu sudah ada dua puluh tahun. Rambutnya digelung tinggi di atas kepala, dan
rambut itu dihias sebuah tiara kecil yang berkilauan karena terhias intan permata. Matanya yang tajam
seakan-akan dapat menembus dan menjenguk isi dada orang.
Akan tetapi kecantikannya itu amat dingin. Keanggunannya mengandung keangkuhan. Dingin dan angkuh
ini nampak di sudut-sudut bibirnya yang tersenyum sinis. Tangan kirinya memegang sebuah hud-tim
(kebutan) yang biasa dipegang seorang pendeta atau pertapa, kebutan pengusir lalat dan nyamuk. Akan
tetapi kebutan ini indah, dengan gagang yang terbuat dari emas. Kebutan itu sendiri terbuat dari benang
yang mengkilap, entah benang apa, berwarna kemerahan seperti ternoda darah.
Setelah menyapu ruangan itu dengan lirikan matanya yang tajam, ia kini memandang kepada Kao Cin
Liong. Bibirnya bergerak, senyumnya semakin merekah dan semakin sinis. Lalu kakinya melangkah turun
dari joli, dengan gerakan sopan bagaikan seorang puteri yang menjaga setiap gerakan agar nampak
anggun dan sopan.
Setelah turun dari joli dan berdiri berhadapan dengan Kao Cin Liong, nampak tubuhnya yang ramping,
dengan pinggang yang kecil laksana pinggang lebah hitam, sedangkan pinggulnya besar menonjol. Dia
berdiri dengan tegak dan anggun, seperti seorang ratu di hadapan para hulubalangnya.
"Kiranya Jenderal Kao Cin Liong yang menjadi wakil," katanya. Suaranya lembut akan tetapi terasa begitu
dingin dan datar tanpa nada dan irama. Seperti igauan orang dalam mimpi!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, kalimat pendek ini mengejutkan semua orang, terutama sekali kakek itu. Bagaimana gadis
yang sama sekali tidak dikenalnya ini tahu bahwa dia pernah menjadi panglima?
"Hemm, sekarang tidak lagi menjadi jenderal, Nona. Siapakah Nona?" Kakek ini sudah merasa kalah
penampilan, karena gadis itu sudah mengenal namanya akan tetapi dia sama sekali belum mengenalnya,
bahkan bertemu pun baru sekali ini.
"Aku biasa dipanggil Siocia (Nona), tak pernah mempunyai nama. Walau pun sekarang engkau bukan lagi
jenderal, tetapi engkau pernah menjadi panglima Kerajaan Mancu, bukan?"
Jelas sekali bagi para anggota keluarga besar yang berkumpul di situ bahwa ketika mengucapkan kata
Mancu, gadis itu nampak menghina sekali. Mereka pun tidak merasa heran karena biar pun belum pernah
berurusan dengan orang-orang Pao-beng-pai yang selalu bergerak secara rahasia, tapi mereka pernah
mendengar bahwa partai itu adalah partai yang menentang pemerintah Mancu.
"Sudahlah, tidak perlu kita mempersoalkan apakah aku pernah menjadi panglima, juga apakah Nona
mempunyai nama atau tidak. Yang terpenting sekarang, apakah maksud kedatangan Nona sebagai utusan
Pao-beng-pai? Seperti kami katakan tadi, kami tidak pernah mempunyai urusan dengan Pao-beng-pai,
maka apa maksud kunjungan Nona ini?" kata kakek Kao Cin Liong dengan suara yang tetap tenang dan
penuh kesabaran. Sebagian anggota keluarga itu sudah ada yang melotot dan marah, akan tetapi tentu
saja mereka tidak berani mengganggu kakek Kao Cin Liong yang mewakili mereka.
Gadis itu menggerakkan tangan kirinya. Ujung kebutannya bergerak seolah ia mengusir lalat yang datang
mendekatinya, kemudian kembali senyumnya mekar penuh ejekan. "Apa maksud kunjunganku? Panglima
Kao Cin Liong, sudah lama sekali Pao-beng-pai mendengar bahwa dalam tiga keluarga besar Pulau Es,
Gurun Pasir, dan Lembah Naga memiliki banyak pendekar yang pandai, yang tidak memandang sebelah
mata kepada kelompok dan aliran lain di dunia persilatan. Juga bahwa ketiga keluarga itu berwatak tinggi
hati, suka mencampuri urusan aliran lain, tidak segan menggunakan kepandaian mengalahkan kelompok
lain, dan yang lebih tidak menyenangkan lagi, mereka menjadi antek-antek bangsa Mancu yang berarti
turut membantu kekuasaan para penjajah. Nah, karena itulah Pao-beng-pai ingin sekali membuktikan
sendiri apakah berita mengenai kegagahan mereka itu benar, atau hanya omong kosong saja."
Mendengar ucapan gadis itu, Kao Hong Li dan Tan Sian Li sudah bergerak maju sambil mengepal tinju.
Akan tetapi, Tan Sin Hong yang semenjak tadi sudah waspada melihat keadaan isteri dan puterinya, yang
dia tahu keduanya memiliki watak keras dan galak, cepat menangkap lengan mereka dan memberi isyarat
dengan geleng kepala.
"Ayah mewakili kita semua, jangan diganggu," bisiknya.
Kao Hong Li lantas teringat, demikian pula Sian Li, maka ibu dan anak ini menahan kemarahannya dalam
hati. Sebagai pihak pemilik rumah yang kedatangan tamu, tidak pantas kalau mereka maju mengganggu
Kao Cin Liong yang mewakili mereka semua.
Kakek Kao Cin Liong tersenyum mendengar ucapan gadis yang berani itu. Diam-diam dia terheran dan
terkejut. Bagaimana seorang gadis semuda ini berani mengeluarkan kata-kata keras mencela tiga keluarga
besar, padahal para anggota keluarga lengkap berada di situ? Biar semua datuk persilatan di dunia kangouw,
para datuk sesat sekali pun, tidak mungkin akan berani senekat itu!
Andai kata Pao-beng-pai mengirim seluruh pimpinan berikut anak buahnya sekali pun, menghadapi seluruh
keluarga ini, mereka akan sama dengan ombak samudera ganas yang menghantam bukit karang, akan
hancur lebur dengan sendirinya. Apakah gadis ini miring otaknya, ataukah sudah bosan hidup dan sedang
mencari cara membunuh diri yang dapat dianggap gagah? Dia mengelus jenggotnya yang sudah putih
semua.
"Bu-beng Siocia (Nona Tanpa Nama), kalau Pao-beng-pai hendak membuktikan sendiri berita mengenai
kegagahan ketiga keluarga kami, lalu apa yang kau kehendaki dengan kunjungan ini?"
"Aku mewakili Pao-beng-pai sepenuhnya, dan atas nama Pao-beng-pai aku menantang tokoh yang paling
tinggi ilmu kepandaiannya dari ketiga keluarga ini untuk mengadu kepandaian. Aku tahu, bahwa aku
mendatangi goa penuh singa dan naga, dan kalian semua bisa saja maju dan membunuhku. Akan tetapi
hal itu hanya akan membuktikan bahwa kalian hanyalah para pengecut, bukan orang gagah..."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tutup mulutmu yang bau busuk, iblis betina tanpa nama!" Tiba-tiba Kao Hong Li yang terkenal galak
sudah meloncat maju ke depan wanita itu. "Berani engkau mengeluarkan kata-kata yang menghina ayahku
dan seluruh keluarga kami? Bocah sombong macam engkau hendak menantang kami? Majulah, akulah
yang akan mewakili semua keluarga untuk menghajarmu!"
Gadis muda itu tersenyum mengejek, lalu mengeluarkan suara dengus dari hidungnya, memandang
rendah. "Engkau ini puteri Panglima Kao Cin Liong? Tentu engkau yang bernama Kao Hong Li. Bibi muda,
kepandaianmu masih terlalu rendah. Mengapa tidak menyuruh suamimu saja, Si Bangau Putih Tan Sin
Hong untuk mewakilimu? Aku ingin bertanding dengan tokoh paling tangguh dari tiga keluarga besar,
bukan dengan orang yang ilmu kepandaiannya masih tanggung-tanggung."
Kembali semua orang terheran. Wanita muda ini agaknya mengenal para anggota tiga keluarga besar itu.
Tidak salah lagi, pikir mereka, tentu gadis sombong itu sebelumnya telah mempelajari keadaan mereka,
wajah dan nama-nama mereka, dan mungkin sekali mendapat keterangan jelas tentang ilmu yang mereka
miliki masing-masing. Sikap gadis itu telah membakar hati para pendekar wanita yang berada di tempat itu.
"Biarkan aku saja yang menghadapinya!" terdengar bentakan nyaring dan nampaklah bayangan berkelebat
ketika Can Bi Lan meloncat ke dekat Kao Hong Li.
Gadis itu memandang penuh perhatian. "Hemmm, engkau tentu yang bernama Can Bi Lan dan berjuluk
Siauw-kwi (Setan Kecil). Sebaiknya kalau suamimu yang maju, bukan engkau. Kulihat suamimu Pendekar
Suling Naga Sim Houw juga berada di sini. Kalau dia yang maju barulah ada harganya untuk melawan
aku!"
"Wah, bocah sombong, agaknya otakmu tidak waras!" terdengar bentakan dan tubuh Kam Bi Eng
berkelebat cepat mendekati gadis itu. "Hayo engkau cepat menggelinding pergi dari sini, atau aku yang
akan menghancurkan mulutmu yang lancang!"
Gadis itu memandang kepada Kam Bi Eng penuh perhatian, kemudian menoleh untuk memandang kepada
Suma Ceng Liong. "Bagus, bibi Kam Bi Eng keturunan keluarga Suling Emas dan Naga Siluman! Tapi lebih
baik lagi kalau suamimu yang maju karena sudah lama aku mendengar nama besar Suma Ceng Liong,
keturunan langsung dari Pendekar Sakti Pulau Es!"
"Ibu, biarkan aku yang menghajarnya!" Suma Lian meloncat dekat pula dengan mata mencorong marah.
"Tidak, lebih baik aku saja yang menghadapinya!" lagi terdengar teriakan yang dibarengi berkelebatnya
bayangan merah dan Sian Li sudah pula berada di situ.
Nyonya Gak atau Souw Hui Lian, Suma Hui, yang sudah tua, bahkan juga Gangga Dewi dan para murid
perempuan yang hadir di situ, semua maju, mempersiapkan diri untuk melawan tamu yang kurang ajar itu.
Gadis itu kini tertawa. Tawanya lepas dan tidak menutupi mulutnya sehingga nampak deretan giginya yang
rapi dan bersih.
"Ha-ha-ha, agaknya para pendekar wanita tiga keluarga besar masih memiliki semangat dan galak-galak.
Tetapi aku tetap menghendaki orang terkuat yang maju menandingiku karena aku hanya akan menantang
seorang saja, kecuali tentu saja kalau kalian hendak mengeroyokku."
"Jahanam sombong, kau sambutlah seranganku!" Suma Lian sudah menerjang dengan dahsyat ke arah
gadis itu.
Suma Lian tak bisa menahan kemarahannya lagi, maka begitu berteriak memberi tanda penyerangan, dia
telah menyerang dengan totokan jari-jari tangannya. Terdengar suara bersuitan ketika tangannya bergerak,
menunjukkan betapa kuat tangan yang melakukan serangan totokan itu. Itulah ilmu Coan-kut-ci (Jari
Penembus Tulang) yang amat lihai.
"Hemmm, bagus!" Gadis itu berseru lembut dan tiba-tiba saja tubuhnya melesat cepat bagaikan kilat dan
dia sudah melayang ke belakang, ke tempat terbuka yang lebih luas sambil tadi menghindarkan diri dari
totokan maut. "Di sini lebih luas, mari kita main-main sebentar. Engkau ini tentu yang bernama Suma Lian,
bukan? Namamu cukup terkenal, pantas untuk menjadi lawanku. Mari!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Lian yang berusia empat puluh tahun itu adalah puteri Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Selain
telah mewarisi ilmu-ilmu dari ayah bundanya, juga bersama Pouw Li Sian ia pernah digembleng oleh Bu
Beng Lo-kai atau Gak Bun Beng. Agaknya di antara semua anggota keluarga wanita yang hadir di situ
pada saat itu, Suma Lian merupakan orang yang paling tangguh. Si Bangau Merah Tan Sian Li pun masih
belum setinggi ia tingkat kepandaiannya dan agaknya hal ini diketahui pula oleh gadis tamu yang aneh itu
maka ia suka menerima Suma Lian menjadi lawannya.
Suma Lian meloncat ke depan gadis itu. Semua orang memandang dengan hati tegang dan penuh
perhatian karena meski pun gadis itu tidak mau memperkenalkan nama dan mengaku tidak bernama,
tetapi dari gerakan silatnya, para pendekar itu ingin mengenal alirannya. Mereka tahu bahwa Pao-beng-pai
merupakan partai pemberontak yang selalu menentang pemerintah, sama seperti halnya Thian-li-pang,
Pat-kwa-pai, Pek-lian-kauw dan yang lain, akan tetapi Pao-beng-pai bukan perkumpulan silat maka para
tokohnya memiliki ilmu silat dari bermacam aliran.
Kedua orang wanita itu sekarang saling berhadapan dalam keadaan siap siaga. Dalam usia empat puluh
tahun Suma Lian masih nampak cantik dan ramping, dan selama ini ia tidak pernah bosan untuk berlatih
silat bersama suaminya. Oleh karena ia pun seorang pendekar wanita yang berpengalaman, ia dapat
menduga bahwa gadis yang bersikap sombong dan berani menantang para anggota tiga keluarga besar itu
tentu mempunyai kepandaian yang dapat diandalkan. Oleh karena itu, ia pun bersikap hati-hati dan diamdiam
ia pun sudah mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju) ke dalam kedua
lengannya.
Gadis itu bersikap tenang, kini tidak mengeluarkan kata-kata lagi. Matanya mencorong memandang lawan,
mulutnya masih tersenyum dingin dan sinis, namun jelas nampak bahwa ia pun tidak berani main-main.
Agaknya ia memang telah mendapat keterangan yang cukup mengenai para anggota keluarga, dan ia
maklum bahwa yang dihadapinya adalah pendekar wanita anggota keluarga Pulau Es yang amat tangguh.
Gadis itu bersikap tenang sekali. Melihat lawan bertangan kosong, ia pun melemparkan kebutannya
kepada gadis berbaju kuning yang tadi mengawalnya. Kebutan itu meluncur deras bagaikan anak panah ke
arah gadis baju kuning, amat mengejutkan semua orang karena seolah-olah gadis itu menyerang
pembantunya sendiri!
Akan tetapi, gadis baju kuning dengan tenang namun sigap menjulurkan tangan dan ia sudah berhasil
menjepit gagang kebutan itu dengan jari telunjuk dan jari tengah! Diam-diam para pendekar menjadi
semakin heran. Kalau si baju kuning itu, yang agaknya hanya merupakan pelayan, memiliki kemampuan
seperti itu, mudah diduga bahwa nona majikannya tentu jauh lebih lihai.
Gadis itu sekarang membetulkan ikat sabuk sutera di pinggangnya, menggulung kedua lengan baju sampai
ke siku sehingga nampak kedua lengannya yang kecil panjang dan berkulit halus.
"Suma Lian, aku sudah siap. Keluarkan semua kepandaianmu!" Gadis itu menantang.
"Iblis betina sombong, engkau yang datang, engkau yang menantang, engkau pula yang boleh bergerak
lebih dulu!" Suma Lian membentak dengan pasangan kuda-kuda tegak. Kedua lengan menyilang di depan
dada, sepasang matanya mencorong di antara kedua tangan yang dibuka jari-jarinya.
"Awas, aku mulai menyerang, ha-ha-hi-hi-hi...!"
Gadis itu tertawa dan suara tawanya makin lama semakin meninggi. Dua belas orang pengawalnya dan
empat orang pelayan wanitanya mengambil sesuatu dan menyumbat sepasang telinga masing-masing
dengan benda kecil itu.
Suma Lian terkejut pada saat merasakan getaran yang amat kuat menyusup ke dalam tubuhnya.
Keturunan keluarga Pulau Es ini segera tahu bahwa gadis itu bukan sekedar tertawa, melainkan sudah
melakukan penyerangan seperti yang dikatakan olehnya tadi, penyerangan melalui getaran suara tawa!
Ilmu macam ini, menggunakan getaran suara untuk menyerang lawan, merupakan ilmu yang hanya
mampu dilakukan oleh orang yang telah mempunyai sinkang (tenaga sakti) yang amat kuat. Suma Lian
sendiri adalah puteri Suma Ceng Liong, keturunan Pulau Es yang selain lihai ilmu silatnya, juga memiliki
dunia-kangouw.blogspot.com
ilmu sihir dari nenek moyangnya. Tentu saja Suma Lian sudah pernah mempelajari ilmu ini dan menguasai
kekuatan sihir.
Maka, menghadapi serangan lawan melalui getaran suara tawa, ia cepat mengerahkan tenaga melindungi
diri. Ia ‘menutup’ pendengarannya dari dalam dan memandang gadis yang tertawa itu dengan senyum
mengejek.
Para anggota keluarga para pendekar yang hadir di situ juga mengerahkan sinkang dan mereka semua
mampu menangkis getaran suara tawa itu. Akan tetapi, belasan orang tetangga yang masih hadir sebagai
tamu, tersiksa sekali. Mereka coba untuk menutupi telinga dengan kedua tangan, akan tetapi agaknya
getaran itu menembus tangan yang menutupi telinga dan di antara mereka sudah ada yang terjungkal
pingsan.
Melihat ini, Suma Lian membentak dengan suara lantang penuh wibawa, mengerahkan kekuatan sihirnya.
"Iblis betina, hentikan tawamu yang tidak ada gunanya itu!"
Dan suara tawa itu pun terhenti. Si gadis nampak kaget dan maklum bahwa tawanya tidak mempengaruhi
lawan mau pun para anggota keluarga lainnya, hanya merobohkan orang-orang yang sama sekali tidak
ada sangkut-pautnya dengan keluarga itu.
"Kamu anak kecil sombong! Kau kira dengan sedikit ilmu hitam itu engkau akan dapat menakut-nakuti
kami?!" bentak Suma Lian.
Dan nyonya ini pun membalas dengan serangan tamparan tangan kiri. Terdengar bunyi angin menyambar
dahsyat. Gadis itu cepat mengelak, lalu membalas dengan pukulan ke arah dada Suma Lian. Pukulan ini
dielakkan pula oleh Suma Lian dan segera terjadi perkelahian yang seru di antara kedua orang wanita
cantik itu.
Semua pendekar menonton dengan penuh keheranan. Mereka semua tahu betapa lihai Suma Lian. Wanita
ini sudah mempelajari banyak ilmu silat tingkat tinggi yang dahsyat. Ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es
ditambah pula ilmu-ilmu dari Lembah Naga Siluman.
Tidak tanggung-tanggung Suma Lian mengeluarkan ilmu-ilmu itu. Ia telah mengeluarkan beberapa jurus
dari ilmu silat Hong-in Bun-hoat (Silat Sastra Angin dan Awan), juga dari Sin-coa-kun (Silat Ular Sakti),
bahkan sudah menggunakan ilmu totokan Coa-kut-ci dan Toat-beng-ci (Jari Penembus Tulang dan Jari
Pencabut Nyawa).
Namun anehnya, gadis itu seolah-olah mengenal semua jurus itu dan mampu mengelak atau menangkis.
Ketika para pendekar memperhatikan dasar gerakan yang digunakan gadis cantik wakil Pao-beng-pai itu,
mereka merasa heran. Gerakan silat gadis itu sukar dikenal dasarnya karena mengandung dasar banyak
macam aliran silat.
Yang jelas kekokohan kuda-kuda Siauw-lim-pai nampak di situ, juga kelincahan gerakan silat Bu-tong-pai.
Akan tetapi, gerakan kedua tangan pada waktu mengelak dan balas menyerang, jelas bukan dari kedua
aliran itu, dan cara penyerangan yang tiba-tiba dan licik berbahaya itu menunjukkan adanya pengaruh ilmu
dari golongan sesat!
Namun, ternyata gadis itu lihai bukan main. Ilmu silatnya yang campuran sukar dikenal, dan agaknya
sedikit banyak ia telah mengenal jurus-jurus silat yang dipergunakan Suma Lian untuk menyerangnya
sehingga ia mampu mengelak atau menangkis dengan tepat. Sementara itu, dalam hal tenaga sinkang dan
keringanan tubuh, ia juga tidak berada di bawah tingkat Suma Lian! Hal ini saja sudah sangat
mengagumkan dan mengherankan hati para pendekar yang berada di situ.
Pendekar Bangau Putih Tan Sin Hong dan Suma Ceng Liong, dan juga Pendekar Suling Naga Sim Houw,
tiga orang di antara para pendekar yang mempunyai ilmu kepandaian paling tinggi di antara mereka
semua, diam-diam merasa heran dan kaget bukan main.
Pada jaman itu, kiranya sukar sekali mencari seorang gadis muda yang akan mampu menandingi ilmu
kepandaian Suma Lian. Bahkan Tan Sian Li yang disebut Si Bangau Merah oleh semua anggota keluarga,
dunia-kangouw.blogspot.com
yang dikagumi sebagai anggota keluarga termuda yang telah mempunyai ilmu kepandaian tinggi, agaknya
masih belum dapat menandingi Suma Lian.
Akan tetapi, gadis muda yang hanya dikenal sebagai Nona Tanpa Nama itu bukan saja mampu
menandingi, bahkan kini mulai mendesak Suma Lian dengan ilmu silatnya yang aneh. Dia melakukan
dorongan-dorongan atau pukulan jarak jauh yang sangat dahsyat, yang mendatangkan angin laksana
gelombang samudra sedang membadai.
Suma Lian mengerahkan tenaga dari Pulau Es untuk menahan dorongan-dorongan itu, namun agaknya ia
masih kalah kuat sedikit sehingga setiap kali terjadi bentrokan tenaga sakti, jelas bahwa pasangan kudakuda
kaki Suma Lian tergeser sedikit ke belakang, sedangkan kuda-kuda kaki gadis cantik itu masih tetap
teguh.
"Haiiiiittttt...!"
Tiba-tiba gadis itu menyerang lagi dengan kedua tangan didorongkan, akan tetapi kini ia mengubah kudakuda
kakinya dan menekuk kedua lutut sehingga tubuhnya merendah seperti berjongkok. Pinggulnya yang
besar menonjol hampir menyentuh tanah. Gerakan ini aneh sekali, akan tetapi dari kedua tangannya
menyambar angin dahsyat ke arah perut Suma Lian.
Suma Lian yang sudah cukup pengalaman itu dapat mengenal serangan dahsyat yang berbahaya. Akan
tetapi kalau dia mengelak terus, hal itu akan membuktikan bahwa dia tak berani mengadu tenaga sehingga
membuat ia nampak terdesak. Maka, wanita yang keras hati dan pemberani itu tidak mau mengalah.
Ia pun mengerahkan tenaga gabungan dari Tenaga Sakti Inti Api dan Tenaga Sakti Inti Salju dari Pulau Es.
Biar kepandaiannya dalam pengerahan sinkang ini belum setingkat ayahnya, namun dibandingkan tokohtokoh
wanita keturunan keluarga Pulau Es, Suma Lian sudah merupakan yang terkuat. Ia kerahkan tenaga
gabungan itu dan menyambut serangan lawannya dengan dorongan kedua tangannya pula.
Benturan dahsyat antara dua tenaga sakti tidak dapat dihindarkan pula. Memang tidak nampak oleh mata,
dan dua pasang tangan itu terpisah tidak kurang dari dua meter, akan tetapi keduanya seperti mendorong
dinding yang kokoh kuat.
Tubuh Suma Lian nampak terguncang, sedangkan gadis itu masih tak bergerak, bahkan kini bibirnya
mengembangkan senyum mengejek. Keduanya tak pernah mengendurkan tenaga, dan sebentar saja
nampak betapa Suma Lian berkeringat serta dari kepalanya mengepul uap.
Melihat peristiwa ini, semua orang merasa tegang dan khawatir. Sebagai ahli-ahli silat tinggi, mereka
maklum bahwa adu tenaga sinkang itu sudah mencapai titik yang gawat. Seorang di antara mereka akan
terancam maut, dan agaknya Suma Lian yang berada di pihak yang terancam. Akan tetapi mereka tidak
berani turun tangan melerai, karena hal itu bahkan sangat berbahaya bagi kedua orang wanita perkasa
yang sedang mengadu tenaga itu.
Akan tetapi, seorang yang memiliki tingkat lebih tinggi seperti Suma Ceng Liong, melihat bahaya maut
mengancam puterinya, segera meloncat ke depan, mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua
tangannya untuk melerai.
Kakek perkasa yang berusia enam puluh tahun ini menggunakan gerakan yang disebut Mendorong Bukit
ke Kanan dan Kiri. Kedua tangannya dikembangkan dan didorongkan dari samping ke arah tengah-tengah
di antara dua orang wanita yang sedang mengadu tenaga sinkang itu.
Seperti angin badai meniup dua batang pohon yang kokoh, tenaga itu membuat kedua orang yang sedang
bertanding itu terdorong dan hilang keseimbangan. Tenaga mereka yang tadi saling tekan itu terlepas, dan
akibatnya Suma Lian terpelanting sedang gadis tanpa nama itu terdorong ke belakang.
Suma Lian cepat menggulingkan tubuhnya dan ia dapat meloncat bangun dengan muka agak pucat dan
napas terengah, sedangkan gadis itu pada saat terdorong ke belakang, membuat gerakan jungkir-balik
yang indah sampai tiga kali, baru tubuhnya melayang turun dan berdiri tegak. Suma Lian terbebas dari
ancaman bahaya, namun dari akibat dorongan kekuatan sinkang Suma Ceng Liong yang melerai, semua
orang tahu bahwa dalam adu tenaga sakti tadi, Suma Lian berada di pihak yang terdesak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Gadis itu menatap wajah Suma Ceng Liong dengan sinar mata yang mencorong. Kulit wajahnya memerah
karena marah, mulutnya tersenyum sinis dan tangan kanan bertolak pinggang, telunjuk tangan kiri
diluruskan menuding ke arah muka pendekar itu.
"Pendekar besar Suma Ceng Liong tidak malu melakukan pengeroyokan?" Dia berkata mengejek.
Di waktu mudanya, Suma Ceng Liong adalah seorang yang lincah gembira dan bahkan agak ugal-ugalan.
Akan tetapi kini dia sudah berusia enam puluh tahun, tentu saja tidak seperti dulu lagi, walau pun dia masih
berwatak gembira. Melihat sikap gadis itu yang menuduhnya melakukan pengeroyokan dia hanya
tersenyum.
"Bu-beng Siocia, aku tidak melakukan pengeroyokan, hanya melerai. Puteri kami Suma Lian sudah kalah
olehmu. Nah, sekarang engkau mau apa lagi? Masih penasaran dan ingin menantang seorang di antara
kami?"
Walau pun kata-kata itu membuat pengakuan akan kekalahan Suma Lian, namun juga mengandung
penawaran kalau saja gadis itu masih mau menantang lagi. Semua orang juga tahu bahwa menghadapi
Suma Lian, gadis itu hanya lebih unggul sedikit. Jelas jika melawan Suma Ceng Liong atau lain tokoh yang
setingkat, ia tak akan mampu menang.
"Seperti kukatakan tadi, aku datang mewakili Pao-beng-pai untuk membuktikan sendiri kehebatan serta
nama besar para pendekar dari tiga keluarga Pulau Es, Lembah Naga, dan Gurun Pasir. Aku hanya ingin
bertanding satu kali saja, kecuali kalau kalian hendak mengeroyokku! Aku hanya ingin meninggalkan pesan
bahwa Pao-beng-pai merupakan perkumpulan para patriot yang tidak rela melihat tanah air dan bangsa ini
dijajah oleh orang-orang biadab Mancu. Sebaliknya, ketiga keluarga besar kalian hanya terdiri dari antek
dan penjilat penjajah asing! Selamat tinggal!"
Gadis itu membalikkan tubuh, dengan sikap angkuh sekali hendak memasuki jolinya, sedangkan dua belas
orang laki-laki dan empat orang gadis cantik sudah siap di kanan kiri joli seperti pasukan pengawal. Dia
pun menerima kembali kebutannya dari tangan gadis berpakaian kuning yang menyerahkan kebutan itu
sambil memberi hormat. Sikap gadis itu tiada ubahnya bagai seorang puteri istana, sedangkan para
pengikutnya amat menghormatinya.
Semenjak tadi Tan Sian Li telah terbakar hatinya. Kalau saja tidak ditahan ayah ibunya, sudah sejak tadi
sebelum Suma Lian maju, dia sendiri sudah menerjang gadis itu. Kini, mendengar ucapan gadis itu yang
dianggapnya sangat menghina tiga keluarga besar, mana mungkin Sian Li mampu menahan diri? Dadanya
seperti meledak rasanya, dan sebelum ayah ibunya melarangnya, ia sudah meloncat ke atas.
Bagaikan seekor burung bangau merah, tubuhnya meluncur ke arah gadis di depan joli itu dan mulutnya
membentak garang, "Iblis betina sombong! Sambut seranganku!"
Tapi gadis itu memberi isyarat dan empat orang gadis cantik yang menjadi pengawalnya itulah yang
menyambut Sian Li. Mereka berempat maju bersama dan tangan mereka menyambut dorongan tangan
Sian Li dari atas.
"Dukkk!"
Sian Li terpaksa berjungkir balik untuk mematahkan daya dorongan tenaga empat orang yang digabung itu,
dan ia pun melayang turun. Hatinya semakin panas. Gadis sombong itu menyuruh empat orang pelayan
mewakilinya, seolah-olah gadis itu menganggap dia tidak cukup berharga untuk menjadi lawannya!
"Jangan mengganggu nona kami yang mulia!" berkata si baju kuning yang sepertinya merupakan
pemimpin dari mereka berempat. Mereka sudah mengepung Sian Li serta menghadang Sian Li, melindungi
nona mereka. Melihat ini, Sian Li marah bukan main.
"Minggir! Apakah kalian sudah bosan hidup?" bentak Sian Li galak.
"Sian Li, jangan membunuh orang!" Ayahnya memperingatkan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba gadis cantik di depan joli itu tertawa renyah. Suara tawanya merdu sehingga nampak aneh dan
mengerikan, karena suara tertawa seperti itu sepatutnya dikeluarkan oleh wajah yang ramah dan periang,
bukan oleh wajah yang biar pun cantik tetapi dingin itu.
"He-he-heh, ingin kulihat apakah engkau mampu membunuh empat orang pelayanku?"
Ditantang seperti itu, Sian Li lalu membentak, "Iblis betina, engkau boleh sekalian maju mengeroyokku,
akan kurobohkan kalian semua!"
Setelah berteriak demikian, langsung Sian Li menerjang ke depan, disambut oleh empat orang gadis
pelayan yang berpakaian menyolok masing-masing mewakili satu warna itu.
Setelah bergebrak, barulah Sian Li dan semua pendekar mengetahui bahwa empat orang gadis pelayan itu
bukanlah pelayan biasa saja, melainkan empat orang yang telah menguasai ilmu silat tinggi dan menjadi
lawan yang amat tangguh! Mereka itu, terutama sekali si baju kuning, memiliki gerakan yang cepat seperti
empat ekor burung walet, dan rata-rata memiliki sinkang yang cukup kuat.
Ternyata gadis tanpa nama wakil Pao-beng-pai itu tidak membual ketika menertawakan Sian Li. Empat
orang pelayannya memang lihai bukan main. Mereka adalah gadis-gadis berbakat yang agaknya telah
digembleng secara khusus. Hal ini tidaklah aneh karena mereka berempat adalah empat orang pilihan dari
pasukan wanita Pao-beng-pai yang mewakili empat dari tujuh kelompok warna yang ada.
Diam-diam Sian Li juga terkejut dan merasa kecelik. Tadi dia memang memandang rendah kepada empat
orang pelayan itu, walau pun ia tidak berani memandang rendah kepada gadis cantik Pao-beng-pai yang
tadi ia lihat sendiri mampu menandingi bibinya, Suma Lian. Kini dia sendiri merasa repot ketika empat
orang pengeroyoknya bergerak cepat sehingga nampak mereka itu menjadi empat macam bayangan
dengan warna menyilaukan mata berkelebatan di sekeliling dirinya.
Mereka pun melakukan serangan bertubi-tubi secara teratur sekali, bergiliran dan setiap kali Sian Li
membalas serangan mereka, kalau mereka tidak mampu mengelak, maka mereka mempersatukan tenaga
untuk menangkisnya! Dengan demikian, serangan Sian Li selalu gagal dan ia pun dihujani serangan yang
membuat ia cukup repot. Dan yang lebih menyakitkan hatinya, suara tertawa merdu itu sering terdengar
seakan-akan gadis Pao-beng-pai itu memperhatikan jalannya pertandingan dan menertawakannya!
Panaslah rasa hati Sian Li. Kalau sejak tadi dia belum mampu mendesak empat orang pengeroyoknya dan
memperoleh kemenangan, hal itu adalah akibat peringatan ayahnya agar dia tidak membunuh orang. Maka
dia pun menahan diri, menahan sebagian tenaga dan tidak pula mengeluarkan semua kepandaiannya.
Kini, mendengar suara tawa itu, tiba-tiba ia mengubah gerakannya dan mulai memainkan ilmu andalannya,
yaitu Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah).
Tubuhnya melayang ke atas dan bagaikan seekor burung bangau, ia menyambar turun dan menyerang
empat orang pengeroyoknya dengan gerakan indah, seindah gerakan burung bangau. Oleh karena
pakaiannya serba merah, maka memang tepat sekali dia dijuluki Si Bangau Merah kalau memainkan ilmu
itu.
Ilmu yang sangat indah gerakannya ini mengandung kekuatan dahsyat, dan kini empat orang pelayan
wanita Pao-beng-pai itu nampak terkejut. Mereka berusaha menahan diri dengan menggabungkan tenaga,
namun tetap saja mereka kalah kuat dan empat orang itu pun terpelanting seperti diserang angin badai dan
mereka terbanting roboh.
Mereka tidak tewas, tidak pula terluka parah, tapi dari sudut bibir mereka nampak darah, tanda bahwa
mereka sudah menderita luka-luka dalam walau pun tidak parah. Hal ini adalah karena tadi Sian Li masih
menahan tenaganya, mengingat akan pesan ayahnya tadi.
Dengan senyum mengejek Sian Li menghadapi gadis Pao-beng-pai dan menantangnya. "Iblis betina,
sekarang engkau majulah kalau memang engkau memiliki keberanian!"
Gadis itu mendengus. "Huh, aku sudah satu kali bertanding, cukuplah. Lain kali masih banyak waktu untuk
memberi hajaran kepada bocah sombong macam kamu!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah berkata demikian, gadis itu memasuki jolinya dan memberi isyarat kepada para pengawalnya.
Empat orang pemikul joli segera mengangkat joli itu dan pergi dari situ dikawal oleh delapan orang pria
yang lain bersama empat orang pelayan wanita yang terluka berat setelah tadi kalah oleh Sian Li.
"Heiii, tunggu kau iblis betina!" Sian Li hendak mengejar.
"Sian Li, tahan...!" Sin Hong berseru.
Gadis itu terpaksa menahan diri dan tidak jadi mengejar, membiarkan rombongan itu pergi dengan
cepatnya. Karena merasa kecewa dan penasaran, ia pun menoleh untuk memandang kepada ayahnya.
Semua orang juga memandang ke arah rombongan yang menjauh.
Ketika ia menengok memandang ayahnya itulah Sian Li melihat wajah Suma Lian yang pucat dan sedikit
kehijauan. Sebagai seorang ahli pengobatan, murid Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) pertapa di
bukit Liong-san, sekali pandang saja Sian Li terkejut.
"Bibi Suma Lian, engkau keracunan...!" katanya sambil menghampiri wanita perkasa itu.
Semua orang menengok dan memandang, terkejut melihat wajah Suma Lian. Akan tetapi Suma Lian tidak
merasakan sesuatu.
"Celaka, ini tentu akibat adu tenaga dengan gadis tadi!" kata Suma Ceng Liong.
"Biar kukejar gadis itu untuk minta obat pemunah racunnya!" kata Gu Hong Beng yang mengkhawatirkan
keadaan isterinya.
"Jangan!" cegah Suma Lian, maklum bahwa kalau ia sendiri tidak mampu menandingi gadis itu, apa lagi
suaminya yang tingkat kepandaiannya tidak lebih tinggi darinya.
"Harap Bibi jangan khawatir, aku mampu mengobati Bibi," berkata Sian Li setelah dia memeriksa nadi
tangan Suma Lian. "Marilah kita ke kamar. Ibu, aku minta Ibu suka membantu dan memperkuat tenaga
sinkang-ku," katanya kepada ibunya, Kao Hong Li. Tiga orang wanita ini lalu memasuki rumah, masuk ke
kamar.
Setelah membuka baju atasnya, Suma Lian duduk bersila di atas pembaringan dan Sian Li bersila di
belakangnya, bersama ibunya. Atas petunjuk Sian Li, ibunya membantunya dengan menempelkan tangan
di punggung Suma Lian, bersama anaknya mengerahkan sinkang dan menyalurkan ke dalam tubuh Suma
Lian.
Setelah beberapa lama getaran tenaga ibu dan anak ini menyusup dalam tubuh Suma Lian melalui
punggungnya, Sian Li berbisik lirih. "Bibi, harap gerakkan kedua lenganmu melakukan jurus Sepasang
Tangan Menyangga Langit, kerahkan tenaga sinkang keluar melalui telapak kedua tangan Bibi."
Suma Lian yang merasa betapa hawa yang hangat dan amat kuat memasuki tubuhnya melalui punggung,
segera mengikuti petunjuk Sian Li. Ia menggerakkan dua lengannya dan mendorong ke atas dengan kedua
telapak tangan terbuka. Ada angin pukulan yang keluar dari kedua tapak tangannya. Atas anjuran Sian Li,
sampai tiga kali ia melakukan gerakan itu dan Sian Li menghentikan penyaluran tenaganya, minta ibunya
melepaskan tangannya pula.
Ketika Kao Hong Li memandang ke arah wajah Suma Lian, dia girang sekali melihat wajah itu tidak lagi
pucat kehijauan, melainkan sudah kembali kemerahan. Akan tetapi sepasang alis Suma Lian berkerut
karena sekarang ia bisa merasakan sedikit kenyerian pada dadanya. Ketika ia memberi tahukan ini kepada
Sian Li, gadis itu tersenyum.
"Itulah bekas pengaruh hawa beracun, Bibi. Akan tetapi sekarang hawa beracun itu sudah keluar dan
bahaya sudah lewat. Kalau Bibi menelan tiga butir pil ini, tentu rasa nyeri itu akan lenyap."
Sian Li mengeluarkan sebuah botol, kemudian mengambil tiga butir pil dari dalam botol, menyerahkannya
kepada Suma Lian yang tanpa ragu segera menelannya.
"Hebat, obatmu manjur sekali, Sian Li," katanya tak lama kemudian sambil merangkul Sian Li.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mari kita keluar, mereka semua tentu sedang menanti dengan khawatir, Bibi," kata Sian Li.
Semua orang bergembira melihat Suma Lian keluar dari kamar dalam keadaan sehat dan sudah sembuh.
Mereka memuji ilmu pengobatan Sian Li yang manjur. Sebetulnya, hampir semua di antara mereka akan
mampu menyembuhkan Suma Lian yang tidak terluka parah. Akan tetapi cara yang mereka pergunakan
hanya cara seorang ahli silat, bukan cara seorang ahli pengobatan seperti Sian Li. Cara seorang ahli silat
dapat dikata hanya ngawur, mengandalkan kekuatan sinkang untuk mengusir racun dalam tubuh orang
yang terluka. Hal ini bahkan kadang dapat membahayakan si penderita.
Pesta ulang tahun itu dilanjutkan, dan para tetangga yang menjadi tamu juga merasa amat lega bahwa
gangguan rombongan gadis cantik tadi bisa diatasi. Suasana menjadi gembira kembali. Akan tetapi setelah
pesta selesai dan para tamu meninggalkan tempat itu, keluarga itu sendiri masih berkumpul dan mereka
lalu membicarakan gadis wakil Pao-beng-pai yang lihai tadi.
Mereka semua merasa heran dan penasaran mengapa Pao-beng-pai, yang selama ini tidak pernah ada
urusan dengan mereka, kini tiba-tiba memperlihatkan sikap memusuhi mereka.
Melihat semua anggota dari tiga keluarga besar itu merasa penasaran, Kao Cin Liong mengangkat kedua
tangan, minta supaya mereka semua diam. Kemudian dia berkata, "Mungkin aku dapat menerangkan
mengapa Pao-beng-pai bersikap seperti itu."
Semua orang mendengarkan dengan penuh perhatian, dan Kao Cin Liong lantas mulai menceritakan
dugaannya. "Sesuai dengan namanya, Pao-beng-pai (Partai Pendukung Terang) muncul setelah Kerajaan
Beng jatuh dan kekuasaan digantikan oleh Kerajaan Ceng, yaitu pemerintah yang sekarang. Seperti yang
kuketahui dan dengar, mula-mula Pao-beng-pai terdiri dari para patriot, orang-orang gagah yang tidak rela
melihat tanah air dan bangsa dijajah oleh bangsa Mancu yang mendirikan Dinasti Ceng sekarang ini.
Mereka berjuang untuk mendirikan kembali Kerajaan Beng, dan terus berusaha untuk memberontak dan
menjatuhkan pemerintah Ceng. Pada mulanya, gerakan ini dipimpin oleh orang-orang pandai, bekas
keluarga kaisar Kerajaan Beng dan para pejabatnya. Namun, berkali-kali gerakan itu gagal dan
dihancurkan oleh pasukan pemerintah Ceng yang jauh lebih kuat. Akhirnya, tidak terdengar lagi gerakan
Pao-beng-pai dan dianggap bahwa partai itu telah hancur dan telah mati."
"Akan tetapi, mengapa sekarang muncul lagi Pao-beng-pai yang memusuhi kita?" tanya Suma Hui
isterinya, dan semua orang mengangguk karena pertanyaan itu muncul pula di dalam hati mereka.
"Aku sendiri baru tahu sekarang, akan tetapi sikap mereka itu agaknya mudah diduga. Kita semua tahu
bahwa tiga keluarga kita selalu merupakan golongan yang menentang para penjahat atau golongan sesat.
Bila sekarang Pao-beng-pai memusuhi kita, padahal dahulu, ketika masih dipimpin para patriot Beng tidak,
hal ini berarti bahwa sekarang Pao-beng-pai bangkit kembali dan dipimpin oleh golongan sesat. Dan ada
kemungkinan lain melihat betapa gadis tadi memaki kita sebagai antek pemerintah penjajah Mancu, yaitu
bahwa di samping memiliki pimpinan dari golongan sesat, juga Pao-beng-pai yang sekarang masih
menentang pemerintah Mancu dan mereka menganggap kita sebagai musuh, bukan hanya karena kita
menentang golongan sesat, akan tetapi juga karena tidak dapat disangkal lagi, keluarga kita pernah
membantu pemerintah Kerajaan Ceng." Kao Cin Liong berhenti dan menghela napas panjang.
"Akan tetapi, di antara kita sekarang tidak ada yang membantu pemerintah!" Gak Ciang Hun berseru
penasaran.
"Memang benar, akan tetapi kita harus mengakui bahwa keluarga kita pernah terlibat dengan pemerintah
Mancu sekarang ini. Kita tahu bahwa pendiri keluarga Pulau Es, yaitu mendiang kakek Suma Han, biar pun
tidak pernah membantu pemerintah Mancu, namun beliau menikah dengan puteri Mancu sehingga
keturunan beliau sekarang ini berdarah campuran dan masih dapat dikatakan keturunan ibu Mancu.
Kenyataan inilah yang agaknya membuat keluarga Pulau Es lantas dianggap sebagai antek Mancu oleh
Pao-beng-pai."
Mereka yang merasa sebagai keturunan keluarga Pulau Es saling pandang, dan tidak dapat membantah
kenyataan itu, walau pun dalam hati mereka merasa penasaran. Biar pun nenek mereka seorang puteri
Mancu, akan tetapi mereka tidak pernah membantu pemerintah penjajah Mancu…..
dunia-kangouw.blogspot.com
"Dan sekarang tentang keluarga Gurun Pasir," berkata pula Kao Cin Liong melanjutkan. "Memang
sekarang ini keluarga Gurun Pasir tidak ada pula yang membantu Kerajaan Ceng. Akan tetapi dulu, ketika
aku masih muda, aku pernah menjadi seorang panglima Kerajaan Mancu. Hal ini yang membuat aku
sampai kini merasa menyesal, walau pun tugasku dahulu meredakan pemberontakan di daerah perbatasan
yang dilakukan oleh suku-suku bangsa lain. Akan tetapi, kemudian aku menyadari tidak baiknya
pekerjaanku itu dan aku mengundurkan diri. Semenjak itu, tidak ada lagi keturunan kita yang bekerja pada
pemerintah Mancu. Namun, tentu saja kita selalu menentang golongan sesat, dan mungkin sekali inilah
yang menyebabkan Pao-beng-pai memusuhi kita."
"Pendapat paman Kao Cin Liong memang masuk akal," kini Cu Kun Tek yang berkata. Pendekar yang
tinggi besar dan gagah ini dahulu berwatak keras sekali, tapi sekarang, setelah ia menjadi suami Pouw Li
Sian dan usianya juga sudah empat puluh lima tahun, ia bersikap sangat tenang. "Akan tetapi, mengapa
pula Pao-beng-pai tadi menyinggung keluarga kami?"
Kao Cin Liong memandang kepada pendekar dari Lembah Naga Siluman itu, kemudian berkata. "Keluarga
Lembah Naga Siluman memang tidak pernah ada yang membantu pemerintah Ceng, akan tetapi anggota
keluarga ini memiliki kaitan dan hubungan yang erat melalui pernikahan dan perguruan dengan keluarga
Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Selain itu, para anggota keluarga Lembah Naga Siluman juga selalu
menentang golongan sesat. Tidak mengherankan kalau turut dimasukkan dalam daftar musuh oleh Paobeng-
pai."
"Jika benar begitu, Pao-beng-pai hanyalah perkumpulan penjahat yang memakai kedok perjuangan, seperti
halnya Pek-lian-kauw dan lain-lain!" kata Kao Hong Li.
Ayahnya menghela napas panjang. "Ini baru dugaan saja, belum ada buktinya. Melihat gadis tadi, ia seperti
bukan seorang penjahat, akan tetapi jelas bahwa ilmu silatnya lihai dan ia tentu murid orang-orang yang
pandai, yang agaknya sedikit banyak telah meneliti keadaan ilmu keluarga kita semua."
Demikianlah, para pendekar itu ramai membicarakan Pao-beng-pai yang sudah berani mati membikin
kacau pesta mereka. Para pendekar yang muda merasa penasaran, akan tetapi mereka yang lebih tua
bersikap tenang, bahkan menasehati yang muda agar tidak tergesa-gesa mengambil tindakan.
"Sebaiknya kalau kita bersikap waspada saja dan jangan mengambil tindakan sendiri-sendiri," kata Sim
Houw yang selalu bersikap tenang itu. "Bagaimana pun juga, kalau Pao-beng-pai melakukan gerakan
memusuhi pemerintah Ceng, hal itu bukanlah urusan kita. Kalau kita memusuhi mereka, dapat saja mereka
menuduh bahwa kita benar-benar membela pemerintah. Hal ini tentu akan mendatangkan kehebohan di
dunia persilatan. Sudah untung tadi tidak terjadi hal yang lebih hebat lagi, dan kita juga sudah mampu
memperlihatkan bahwa kita tidak boleh dibuat permainan oleh mereka. Kalau mereka tetap memusuhi kita,
tentu saja harus kita hadapi. Akan tetapi kalau mereka tidak lagi memusuhi kita, kita lupakan saja apa yang
tadi terjadi dan menganggap itu hanya ulah kesombongan seorang gadis Pao-beng-pai yang tidak tahu
diri."
Para tokoh tua membenarkan pendapat Sim Houw. Akan tetapi isterinya, Can Bi Lan, mengerutkan alis
dan dia pun mengeluarkan pendapatnya. "Aku melihat dari sikap gadis tadi bahwa ia amat membenci
keluarga kita. Hal ini kurasakan amat janggal. Biar pun ia bersikap sombong, hal itu kurasa karena
kebenciannya kepada kita. Akan tetapi ia tidak seperti golongan sesat pada umumnya, bahkan sepak
terjangnya teratur dan para anak buahnya demikian sopan dan hormat kepadanya seolah ia seorang puteri
kerajaan saja. Karena kebenciannya yang meluap itulah kukira ia sengaja mendatangi pesta ini. Dan
melihat tingkat kepandaiannya yang sudah cukup tinggi itu, tidak mungkin ia begitu tolol menantang kita
selagi semua anggota keluarga kita berkumpul. Tentu keberaniannya terdorong kebencian yang amat
besar."
"Atau mungkin juga ia sengaja diutus oleh Pao-beng-pai untuk melakukan penyelidikan sampai di mana
kekuatan kita," kata Kam Bi Eng, isteri Suma Ceng Liong.
Demikianlah, para anggota tiga keluarga besar itu sampai jauh malam membicarakan gadis Pao-beng-pai
itu. Mereka menduga-duga dan merasa heran karena peristiwa itu memang amat aneh dan mencurigakan.
Jika ada pihak golongan sesat yang datang memusuhi seorang atau dua orang di antara mereka, hal itu
tidaklah aneh sebab memang mereka selalu menentang kejahatan. Akan tetapi, seorang gadis muda
berani mendatangi dan menantang seluruh anggota dari tiga keluarga besar selagi mereka semua
dunia-kangouw.blogspot.com
berkumpul, sungguh ini hanya bisa dilakukan oleh seorang gila yang tentu saja tidak lagi mengenal apa
artinya takut.
Dan gadis itu bersikap demikian tenangnya! Gadis itu merasa yakin bahwa orang-orang gagah dari tiga
keluarga itu sudah pasti takkan mengeroyoknya. Agaknya kunjungannya itu telah direncanakan dengan
perhitungan yang masak.
Memang, andai kata yang menghadapi gadis tadi adalah Suma Ceng Liong atau Sim Houw, atau Tan Sin
Hong, tiga orang tokoh yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu gadis itu tidak akan menang. Akan
tetapi siapa pun di antara tiga orang pendekar ini sudah pasti pula tidak akan mau melukai apa lagi
membunuh seorang gadis muda yang menjadi lawan mereka. Hal ini agaknya sudah diperhitungkan oleh
gadis Pao-beng-pai itu, maka ia berani menantang sedemikian nekatnya.
Sampai jauh malam barulah para anggota tiga keluarga besar itu beristirahat di kamar masing-masing yang
sudah dipersiapkan oleh Suma Ceng Liong dan isterinya.
Pada keesokan harinya, terjadi lagi keributan di rumah yang penuh dengan tamu yang bermalam di situ.
Keributan itu terjadi ketika Kao Hong Li mencari puterinya ke sana sini dan bertanya-tanya dengan wajah
khawatir apakah ada di antara para anggota keluarga yang melihat gadis itu. Akan tetapi, tidak ada
seorang pun melihatnya dan Kao Hong Li menjatuhkan diri dengan lemas di atas kursi, wajahnya muram
dan khawatir sekali.
Tan Sin Hong menghiburnya. "Sudahlah, anak kita toh bukan lagi anak kecil yang perlu diasuh. Ia sudah
dewasa, dan ia pun sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup untuk menjaga diri sendiri."
"Tapi anak kita belum berpengalaman dan kalau ia ceroboh dan kurang waspada, dapat terancam
bahaya," isterinya membantah.
Semua anggota kini berkumpul dan bertanya-tanya apa yang telah terjadi.
Kao Hong Li menghela napas dan memperlihatkan sehelai surat kepada kakek Kao Cin Liong. "Lihatlah
Ayah, cucumu telah pergi, meninggalkan surat ini. Bagaimana baiknya? Hatiku merasa gelisah sekali, apa
lagi jika mengingat akan peristiwa yang baru kemarin terjadi."
Dengan tenang Kao Cin Liong menerima surat cucunya itu, lalu membacanya dengan suara cukup keras
agar terdengar oleh semua anggota keluarga yang mendengarkan.
Dalam suratnya itu dengan singkat Sian Li memberi tahu kepada ayah dan ibunya bahwa ia pergi untuk
membantu Yo Han dalam usahanya mencari Sim Hui Eng, puteri dari Sim Houw dan Can Bi Lan yang
hilang semenjak kecil itu. Juga dia ingin melakukan penyelidikan terhadap Pao-beng-pai.
‘Harap Ayah dan Ibu tidak khawatir, aku akan bersikap waspada dan hati-hati,’ demikian ia mengakhiri
suratnya.
"Aih, anak itu, kenapa demikian nekat!" seru Can Bi Lan. "Biar pun kami berterima kasih sekali kepada Sian
Li, akan tetapi ke mana dia akan mencari anak kami? Kami berdua sendiri pun sudah hampir putus
harapan karena bertahun-tahun mencari tanpa pernah berhasil!"
"Memang semenjak kecil anak kami itu keras hati dan keras kepala!" kata Kao Hong Li. "Bagaimana pun
juga, ia masih belum matang benar meski pun kepandaiannya sudah lumayan. Bagaimana ia akan dapat
menghadapi kecurangan dan kelicikan orang-orang di dunia kang-ouw, terutama golongan sesat?"
Mendengar ucapan keponakannya ini, Suma Ceng Liong tertawa. "Ha-ha-ha, Hong Li, kenapa engkau
begitu memandang ringan puterimu sendiri? Ingat, ia adalah Si Bangau Merah Tan Sian Li! Kurasa benar
ucapan suamimu bahwa ia sudah cukup mampu untuk menjaga diri sendiri dan tentang pengalaman,
lupakah engkau ketika ia pergi ke Bhutan mengikuti pamanmu Suma Ciang Bun dan bibimu Gangga Dewi?
Tenangkanlah hatimu, dan biarkan puterimu meluaskan pengalaman dan menambah pengetahuan."
Gangga Dewi mengangguk-angguk dan dengan lembut wanita keturunan puteri Bhutan ini berkata, "Benar
apa yang dikatakan adik Suma Ceng Liong. Sian Li sudah memiliki kemampuan besar untuk menjaga diri.
Biar pun ia keras hati, namun ia tidak ceroboh, ia cukup waspada dan pula ia juga cerdik."
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ini, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk membenarkan.
Setelah para tokoh tua dalam keluarga itu menghibur dan menenangkan hati Kao Hong Li, tiba-tiba
terdengar suara lantang dari Gak Ciang Hun. "Ibu, apakah ibu mengijinkan kalau aku pergi mencari dan
membantu adik Sian Li untuk mencari adik Sim Hui Eng yang hilang sambil menyelidiki Pao-beng-pai?"
Semua orang merasa heran mendengar ini dan mereka semua menoleh kepada ibu dan anak itu.
Mendengar pertanyaan puteranya yang tiba-tiba itu, wajah Nyonya Gak atau Souw Hui Lian menjadi
kemerahan. Ia tahu benar apa yang berada dalam hati puteranya, maka ia pun mengangguk dan
menjawab singkat. "Engkau sudah dewasa, aku tidak berhak lagi melarangmu melakukan apa saja asal
apa yang kau lakukan itu baik dan benar, Ciang Hun."
Pemuda itu kelihatan girang bukan main dan cepat dia memberi hormat kepada ibunya. "Terima kasih, Ibu.
Kalau begitu, aku akan pergi sekarang juga. Para Locianpwe, para Paman dan Bibi, saya mohon diri!"
Tanpa menanti jawaban lagi, pemuda itu lalu melangkah keluar dari rumah itu, dengan cepat setelah dia
menyambar sebuah buntalan yang ternyata sudah ia persiapkan sejak ia mendengar akan kepergian Sian
Li pagi tadi!
Tan Sin Hong dan Kao Hong Li lalu saling pandang. Mereka berdua adalah orang-orang berpengalaman,
maka tanpa diberi penjelasan sekali pun, peristiwa tadi dapat mereka terka apa artinya. Mereka dapat
menduga bahwa Gak Ciang Hun agaknya jatuh cinta kepada puteri mereka.
Bukan karena mereka tidak setuju, karena betapa pun Gak Ciang Hun juga merupakan seorang pendekar
gagah perkasa keturunan Beng-san Siang-eng yang juga merupakan anak murid keluarga Pulau Es. Akan
tetapi mereka sudah mengambil keputusan untuk menjodohkan puteri tunggal mereka dengan Pangeran
Cia Sun.
Maka, dengan lirih Kao Hong Li berkata, "Sian Li sebetulnya tidak boleh pergi sekarang karena kami
bertiga lagi bermaksud pergi ke kota raja untuk meresmikan pertunangan anak itu dengan Pangeran Cia
Sun."
"Pangeran?" Kao Cin Liong memandang puterinya dengan alis berkerut. "Engkau akan bermenantukan
seorang pangeran? Kenapa engkau tidak pernah memberi tahu kami?"
Tentu saja kakek ini merasa terkejut, karena baru saja mereka semua dimaki sebagai antek-antek
Kerajaan Mancu. Mereka semua menyangkal karena memang mereka tidak lagi bekerja untuk Kerajaan
Mancu. Dan sekarang, puterinya menyatakan bahwa dia hendak bermenantukan seorang pangeran
Mancu!
Tentu saja Tan Sin Hong dan isterinya tahu apa yang dipikirkan oleh kakek itu. Sin Hong cepat membantu
isterinya. "Ayah, kami memang belum memberi tahu karena hal itu belum resmi. Kami pernah bertemu dan
berkenalan dengan Pangeran Cia Yan dan dalam pertemuan itulah kami saling mufakat untuk
menjodohkan kedua orang anak itu. Sebetulnya, dari sini kami bertiga hendak berkunjung ke kota raja
untuk mengukuhkan itu."
"Tapi... tapi kenapa seorang pangeran...?" Kao Cin Liong berkata lirih.
Ia tentu saja tahu siapa Pangeran Cia Yan, yaitu putera angkat Kaisar Kian Liong. Maka dengan sendirinya
Pangeran Cia Sun adalah cucu kaisar!
Mendengar ini, Kao Hong Li yang menjawab ayahnya. "Jika seorang pangeran, kenapa, Ayah? Kami tidak
melihat kedudukannya, melainkan melihat manusianya. Pangeran Cia Yan adalah seorang pangeran yang
baik, dan kami pun sudah melihat dan menyelidiki keadaan Pangeran Cia Sun. Dia seorang pemuda yang
gagah dan tampan, juga ahli sastra dan ahli silat, sehingga cocok untuk menjadi suami Sian Li."
Kao Cin Liong hanya menghela napas panjang dan tidak mampu menjawab lagi. Terlalu menentang
perjodohan cucunya dengan seorang pangeran Mancu, hanyalah membuka kenyataan pahit bahwa
keluarga Pulau Es sendiri adalah keturunan Mancu dari pihak ibu! Dia tidak menentang orang Mancu, tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
menentang manusianya, hanya merasa tidak enak karena justru orang Mancu yang kini menjajah tanah air
dan bangsanya.
Sementara itu, tentu saja diam-diam, Nyonya Gak mengeluh. Ia tahu bahwa puteranya jatuh cinta kepada
Sian Li dan tentu saja mengharapkan gadis baju merah itu menjadi isterinya. Dan kini dia mendengar
sendiri dari orang tua gadis itu bahwa Sian Li akan dijodohkan dengan seorang pangeran! Ia pun hanya
pasrah dan hatinya merasa yakin bahwa perjodohan berada di tangan Tuhan! Jika memang anaknya
berjodoh dengan Si Bangau Merah, apa pun rintangannya, kelak pasti akan dapat menjadi suami isteri
juga.
Selama beberapa hari, berangsur-angsur para anggota keluarga meninggalkan rumah Suma Ceng Liong
dan akhirnya, di rumah itu hanya tinggal Suma Ceng Liong berdua isterinya, Kam Bi Eng. Suami isteri yang
sudah mulai tua ini duduk termenung seperti patung, dan merasa kehilangan sekali. Baru saja rumah
mereka demikian cerah meriah dengan adanya para anggota keluarga, dan kini rumah itu menjadi kosong
dan sunyi.
Makin sedih hati mereka ketika mereka teringat kepada Liem Sian Lun, murid mereka yang telah tewas
ketika pemuda itu melakukan perjalanan bersama Sian Li ke Bhutan. Murid mereka itu, menurut
keterangan Sian Li, tewas ketika dua orang muda itu terlibat dalam urusan pemberontakan yang terjadi di
daerah Tibet dan Sian Lun terbunuh oleh para pemberontak.
Tentu saja suami isteri ini sama sekali tidak tahu, sama sekali tidak pernah menduga bahwa murid mereka
yang tersayang itu sebenarnya sudah melakukan penyelewengan sehingga tewas akibat ulah sendiri. Sian
Li tidak menceritakan tentang penyelewengan Sian Lun itu atas bujukan Yo Han yang menjaga supaya
suami isteri ini tidak merasa menyesal.
"Kita harus mengambil seorang murid lagi!" tiba-tiba Suma Ceng Liong berkata kepada isterinya.
"Ah, ke mana kita harus mencari? Tidak banyak terdapat anak yang berbakat, bertulang dan berdarah baik,
juga berwatak baik. Juga, sebaiknya murid itu kita didik sejak masih kecil, seperti Sian Lun." Kam Bi Eng
tiba-tiba menjadi sedih ketika teringat kepada Sian Lun.
"Kita harus mencarinya," berkata suaminya. "Telah puluhan tahun kita mempelajari ilmu sehingga dapat
menguasai beberapa macam ilmu silat. Kini kita sudah semakin tua. Apakah semua ilmu yang kita pelajari
dengan susah payah ini akan kita bawa ke liang kubur? Sayang sekali! Kita harus mewariskan kepada
seorang murid yang pantas."
"Hemm, kurasa kata-katamu itu kurang tepat. Bukankah kita berdua sudah menurunkan ilmu-ilmu kita
kepada Suma Lian, bahkan juga kepada Si Bangau Merah Tan Sian Li? Sayang sekali anak kita itu sampai
sekarang tidak mempunyai keturunan. Kalau ada, tidak akan susah-susah kita mencari murid. Cucu-cucu
kita sendiri yang akan kita warisi ilmu-ilmu kita."
"Benar, akan tetapi baik Suma Lian mau pun Sian Li, keduanya bukan hanya menerima ilmu-ilmu dari kita.
Mereka juga memiliki guru-guru lain. Aku ingin seorang murid yang hanya menguasai ilmu-ilmu kita berdua,
juga aku ingin menggabung ilmu-ilmu silat kita supaya kelak dapat diteruskan serta dikembangkan oleh
seorang murid yang berbakat." Pendekar itu menarik napas panjang.
Isterinya tersenyum. "Baiklah, aku setuju saja dan kita perlahan-lahan mencari seorang murid. Akan tetapi
kita harus waspada dalam memilih, karena sekali kita salah pilih dan mengajarkan ilmu-ilmu kita kepada
seorang murid yang nanti menjadi seorang penjahat, maka nama kita akan ternoda selamanya."
Suaminya mengangguk-angguk. "Kita berdua akan mencari, kalau perlu kita merantau ke mana saja
sampai kita berhasil menemukan seorang murid yang cocok. Bagaimana pendapatmu?"
Isterinya memandang dengan wajah berseri. "Setuju! Sudah terlalu lama kita kesepian di sini, jika
melakukan perantauan akan menyegarkan semangat. Kita kunjungi keluarga, juga sahabat-sahabat lama,
sekalian mendengarkan berita tentang Pao-beng-pai."
Sepasang suami isteri itu saling pandang sambil tersenyum. Tanpa perlu sepatah kata pun, mereka sudah
saling mengetahui isi hati masing-masing…..
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Lembah bagian barat dari Kui-san (Gunung Setan) merupakan lembah yang amat liar dan sukar dikunjungi
orang biasa. Lembah ini selain mempunyai banyak hutan liar yang dihuni binatang-binatang buas, juga
terkenal banyak ularnya yang berbisa dan terdapat pula penjahat-penjahat yang berbahaya karena para
penjahat yang menjadi buronan pemerintah mau pun buruan para pendekar, bila sudah memasuki lembah
ini lalu lenyap dan sukar ditangkap.
Di lembah itu terdapat jurang-jurang yang curam dan berbahaya, juga terdapat rawa-rawa yang berbisa.
Bahkan di beberapa tempat terdapat pula lumpur maut, yaitu rawa berlumpur yang dapat menyedot siapa
saja yang terjatuh ke dalam rawa itu. Sekali kaki terperosok ke dalam lumpur maut ini, maka jangan harap
akan dapat selamat jika tidak tertolong orang lain yang menariknya keluar.
Pada saat malam tiba, tempat di sekitar lembah itu gelap dan menyeramkan, terdengar suara-suara aneh
seakan-akan laksaan iblis berpesta pora di sana. Karena ini, maka lembah ini disebut Ban-kwi-kok
(Lembah Selaksa Setan)!
Akan tetapi, jika ada orang yang mempunyai kepandaian, kemampuan dan keberanian sedemikian
tingginya sehingga berani dan mampu memasuki lembah ini, maka dia akan ternganga keheranan kalau
melihat di bagian paling dalam dari lembah itu.
Di dataran yang tinggi dan terkepung hutan-hutan liar sehingga tidak nampak dari luar, terdapat bagian
tanah yang amat indah dan subur. Tempat ini diatur secara rapi oleh tangan-tangan ahli. Petak rumput
hijau segar dan bersih diseling rumpun bunga-bunga yang beraneka warna. Pohon-pohon buah yang lebat
dengan buahnya.
Petak rumput itu luas sekali dan di sebelah sana nampak berdiri sebuah bangunan yang anggun dan
megah. Orang yang berhasil memasuki lembah sampai di tempat itu tentu akan merasa seperti dalam
mimpi. Bangunan itu pantasnya berada di kota raja, milik pangeran atau pembesar tinggi. Selain megah
dan besar, juga gedung itu terawat baik, nampak bersih. Halaman depan gedung itu pun bersih dan
terawat baik.
Ada sesuatu yang aneh pada gedung itu, keanehan yang mengerikan. Gedung yang jelas terawat baik dan
megah itu seperti rumah hantu saja, sunyi melengang tak nampak seorang pun manusianya, tidak pula
terdengar kesibukan atau suara apa pun dari sana. Seperti rumah kosong saja, padahal melihat
perawatannya, tak mungkin rumah gedung itu kosong. Untuk merawat mulai dari petak rumput, halaman,
taman dan gedung itu saja, setiap hari tentu dibutuhkan tenaga belasan orang!
Pagi hari itu cuaca amat cerah. Hawa udara juga hangat oleh matahari pagi dan sejuk oleh bersilirnya
angin gunung yang membawa keharuman bunga-bunga yang sedang mekar, daun-daun dan rumput hijau.
Ada pula keharuman tanah yang baru digali atau dicangkul, yang berhembus dari belakang gedung di
mana terdapat sebuah kebun yang subur. Matahari mulai naik di sebelah timur, dan hawa udara menjadi
semakin hangat, cuaca semakin cerah, namun masih saja tempat itu sunyi lengang.
Di lereng sebelah bawah, tak jauh dari situ, tiba-tiba saja burung-burung yang berada di sebuah hutan,
beterbangan sambil mengeluarkan suara seperti ketakutan. Juga suara monyet-monyet di pohon-pohon
besar, yang cecowetan sambil berloncatan dari dahan ke dahan dengan kacau, menunjukkan bahwa
mereka juga ketakutan.
Semak-semak bergerak, terdengar bunyi ranting kering patah terinjak, daun-daun kering tersaruk kaki.
Ternyata yang membuat burung-burung dan kera ketakutan itu adalah tiga orang laki-laki yang mencari
jalan di hutan itu.
Seorang yang berjalan paling depan memegang sebatang golok. Dengan benda tajam ini dia membabati
semak belukar yang menghadang jalan. Memang hutan itu liar dan tidak nampak adanya lorong atau jalan
setapak sekali pun karena memang tidak pernah ada manusia berani lewat di sana. Terlalu besar
bahayanya!
Karena itulah, maka ketiga orang ini terpaksa harus membuka jalan baru. Beberapa kali mereka menemui
jalan buntu, akan tetapi ternyata mereka bukanlah orang-orang lemah. Baru kenyataan bahwa mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
bertiga berani memasuki daerah Lembah Selaksa Setan saja sudah membuktikan bahwa mereka adalah
orang-orang yang berkepandaian dan kuat.
Ketika mereka berhasil membabat rumpun alang-alang yang lebat dan tinggi, mereka tiba di tempat yang
membuat mereka saling pandang dan terheran-heran, juga merasa penasaran. Dari rumpun belukar yang
bekas terbabat, mereka mengenal tempat itu, tempat yang tadi pernah mereka lewati. Kiranya perjalanan
mereka hanya berkeliaran di hutan itu, berputar-putar dan tidak pernah dapat keluar dari hutan!
"Hemm, kita tersesat jalan!" kata orang terdepan yang memegang golok. "Tadi pun kita sudah lewat di sini."
"Sudah tiga kali kita kembali ke tempat yang pernah kita lewati. Kapan kita akan dapat keluar dari hutan
keparat ini?" orang kedua mengomel.
"Jelaslah bahwa hutan ini bukan hanya hutan liar, akan tetapi memang agaknya sudah diatur sehingga
berupa semacam jebakan. Kita harus berhati-hati," kata orang pertama yang bertubuh tinggi besar dan
bermuka hitam.
"Kita adalah tamu-tamu yang diundang, bagaimana mereka berani membuat jebakan di dalam hutan ini
untuk menghina kita?" orang ke dua bertanya penasaran.
Dia bertubuh pendek gendut dan agaknya sudah kepayahan melakukan perjalanan jauh dan sukar itu.
Perutnya yang gendut merupakan beban yang amat berat baginya.
"Kalian tenang dan bersabarlah," kata orang ke tiga yang tinggi kurus bermuka kuning. "Kita sendiri yang
bersalah, kita terlalu tergesa-gesa memasuki daerah ini tanpa menanti datangnya penjemput. Karena
kelancangan kita itu maka pihak tuan rumah kini sengaja membiarkan kita berkeliaran dan tersesat di sini."
Ketiga orang itu berhenti melangkah, nampak seperti kebingungan. Mereka adalah tiga orang yang berusia
kurang lebih lima puluh tahun. Melihat dandanan mereka, mudah diduga bahwa mereka ialah golongan
orang-orang kang-ouw, petualang-petualang yang hidup berlandaskan kekerasaan dan mengandalkan
tebalnya kulit, kerasnya tulang serta lihainya ilmu silat.
"Hemm, seperti apa sih kehebatan orang-orang Pao-beng-pai, maka berani memandang rendah kita?" si
muka hitam mengomel lagi.
"Ssttt, Ji-te (Adik ke Dua), jangan ribut," cela orang pertama yang kurus tinggi bermuka kuning dan
berkumis kecil berjuntai ke bawah. "Kita adalah tamu dan karena kita telah mencari jalan sendiri, kita harus
dapat menemukan sarang mereka. Biar aku menyelidiki lagi dari atas pohon."
Dia lalu meloncat ke atas, menangkap dahan pohon paling bawah dan dengan cekatan seperti seekor
monyet dia berloncatan dari dahan ke dahan, makin tinggi di pohon besar itu. Dia melihat-lihat dari atas
pohon dan tiba-tiba dia berteriak.
"Ahhh, bukan main...! Betapa megahnya sarang mereka...! Itu, di sana sarang mereka, besar dan megah
sekali!"
Si muka hitam dan si gendut yang berada di bawah merasa tertarik, dan mereka pun cepat memanjat
pohon itu dan dari atas pohon, mereka melihat gedung yang besar dan megah itu. Nampaknya tak jauh lagi
dari situ, sebuah bangunan besar yang nampaknya sunyi saja, tidak nampak ada orang di sana.
"Mari kita cepat ke sana, aku sudah haus dan lelah sekali!" kata si gendut yang segera menyerosot turun
dari pohon.
Mereka lalu melangkah lagi, membabat rumpun semak belukar menuju ke arah di mana tadi mereka
melihat gedung itu berada. Ketika akhirnya semak belukar terakhir mereka babat, tiba-tiba di depan mereka
nampak hamparan rumput dan melihat ini, si gendut girang sekali.
"Wah, sekarang baru enak jalannya!" katanya.
Ia pun hendak lari ke depan, akan tetapi baru saja kakinya menginjak hamparan rumput, kaki itu terjeblos
ke bawah, diikuti kaki ke dua dan dia pun sudah terperosok ke dalam lumpur tertutup rumput sampai
dunia-kangouw.blogspot.com
sepinggang dalamnya! Si gendut terbelalak kaget dan ketakutan, apa lagi merasa betapa tubuhnya
tersedot dari bawah, makin dalam masuk ke dalam lumpur.
"Tolooonggg...! Twako.... Ji-ko, tolong...!" Dia berkaok bagaikan seekor babi disembelih, matanya melotot
penuh kengerian, mukanya pucat sekali.
Melihat hal ini, si muka hitam terkejut. Segera dia berjongkok di tepi kubangan lumpur tertutup rumput itu
dan menjulurkan lengan kanannya. Dalam keadaan penuh ketakutan itu, si gendut menyambar tangan
kakak seperguruan atau kakak segerombolan itu dan menangkap tangan itu, memegangi dengan kedua
tangannya kemudian ia pun menarik sekuatnya dengan maksud untuk menarik tubuhnya keluar dari dalam
lumpur.
Akan tetapi, terjadilah hal yang mengejutkan hati mereka ketika si muka hitam yang tinggi besar itu
berteriak karena dia terbetot dan tanpa dapat dielakkannya lagi, dia pun turut terjatuh ke dalam lumpur di
sebelah si gendut! Kiranya, tenaga tarikan si gendut ditambah dengan tenaga sedotan lumpur itu terlalu
kuat bagi si muka hitam yang hanya berjongkok, yang mengira bahwa dengan mudah dia akan mampu
menarik saudaranya itu keluar dari kubangan lumpur.
"Tolong...! Twako (Kakak Tertua) tolong...!"
Sekarang si muka hitam juga ikut berteriak-teriak ketakutan karena tubuhnya yang berat ditambah
rontaannya membuat tubuhnya cepat sekali amblas sampai ke pinggang! Ada pun si gendut sudah
terbenam sampai ke dada.
Ketika melihat ulah kedua orang saudaranya, si kumis tipis yang bertubuh tinggi kurus itu mengerutkan
alisnya. Dia mendongkol dan kecewa sekali. Mereka bertiga di dunia kang-ouw berjuluk Tiat-liong Samheng-
te (Tiga Kakak Beradik Naga Besi), akan tetapi kedua orang adiknya yang sudah berpengalaman itu
kini berulah seperti kakak-kanak yang masih hijau dan bodoh!
"Tenang, jangan bergerak kalau kalian tidak ingin mampus!" bentaknya mendongkol.
Mendengar bentakan kakak mereka, kedua orang itu tersadar. Mereka pun kini berdiam diri, sama sekali
tidak bergerak sehingga tubuh mereka pun tidak cepat-cepat terbenam semakin dalam. Mereka
melintangkan kedua lengan dengan tangan terbuka sehingga kedua lengan dan tangan yang dibuka jarijarinya
itu sedikit banyak dapat melawan sedotan lumpur dan menahan tubuh mereka tidak cepat-cepat
terbenam.
Sementara itu, orang pertama dari Tiat-liong Sam-heng-te segera mencari sepotong dahan pohon yang
cukup panjang dan kuat, mengikat ujung kayu itu dengan sabuknya yang kuat dan panjang, melibatkan
ujung ikat pinggang itu pada sebatang pohon yang besar, lalu melemparkan dahan itu ke dekat kedua
orang adiknya yang menyambutnya dengan girang sekali.
Kini kedua orang itu menarik tubuh mereka sambil berpegang pada dahan kayu, dibantu si kumis tipis. Biar
pun dengan susah payah melawan sedotan lumpur, akhirnya mereka berdua berhasil juga keluar dari
kubangan lumpur dan rebah menelungkup di atas tanah di tepi kubangan, terengah-engah dan ketika
mereka berdua saling pandang, mereka tertawa bergelak saking gembira dan lega hati mereka, juga
karena lucu melihat betapa mereka kini menjadi seperti setan lumpur.
"Kalian sungguh ceroboh dan kurang hati-hati, juga bersikap demikian penakut sehingga kehilangan
ketenangan," sang kakak mengomel.
"Aihh, maafkan kami, Twako. Menghadapi lawan manusia, kami tidak akan gentar, akan tetapi siapa
orangnya yang tidak akan merasa ngeri menghadapi sedotan lumpur itu? Membuat kita merasa tak
berdaya seperti boneka dan melihat kematian merayap begitu dekat dan berangsur-angsur, perlahan-lahan
tapi pasti. Hihhh, masih ngeri bila dikenang kembali!" kata si gendut.
"Hemmm, kubangan lumpur ini memang berbahaya sekali, Twako. Jebakan ini sungguh licik dan kejam
bukan main. Huhhh!" kata si muka hitam.
"Sudahlah, mari kita lanjutkan perjalanan. Dari atas tadi, gedung itu terletak di sana. Akan tetapi, biar aku
yang berjalan di depan untuk menjaga kalau-kalau ada jebakan lain," kata si kumis tipis dan kini dia pun
dunia-kangouw.blogspot.com
berjalan di muka sebagai pemimpin, sedangkan dua orang adiknya yang masih terbungkus lumpur itu
mengikuti dari belakang.
Memang tidak terdapat jebakan berbahaya lagi, akan tetapi kembali mereka terpaksa berhenti melangkah
karena kini mereka tiba di tepi jurang yang dalamnya tidak dapat dilihat atau diukur! Jurang itu demikian
curam sehingga dasarnya tidak nampak, tertutup rumput alang-alang yang tebal. Membayangkan diri
terguling jatuh ke dalam jurang itu cukup membuat bulu tengkuk meremang.
Mereka mencari-cari jalan lain. Akan tetapi sama sekali tidak ada! Perjalanan mereka sama sekali buntu,
terputus oleh jurang yang curam itu. Kalau hendak menggunakan kepandaian melompati jurang pun tidak
mungkin, karena jurang itu lebar sekali dan untuk dapat mencapai tepi di seberang, hanya dapat dilakukan
kalau mereka bersayap dan dapat terbang. Membelok ke kiri atau ke kanan, berarti memasuki hutan lagi
dan mereka menyimpang dari arah di mana gedung itu berada. Jalan buntu!
"Jahanam! Kita bertiga diundang hanya untuk dipermainkan!" si gendut mengomel dan mengepal tangan.
Dia merasa tidak enak sekali karena kini lumpur yang menempel di tubuhnya mulai mengering sehingga
tubuhnya terasa kaku dan gatal-gatal.
"Keparat memang, kalau tahu begini, aku tidak sudi datang!" berkata pria si muka hitam dan tiba-tiba dia
menampar lehernya.
Darah muncrat ketika seekor lintah yang gemuk terguncet pecah. Kiranya seekor lintah menempel sambil
menghisap darah di lehernya tanpa dirasakannya! Dia bergidik dan menyumpah-nyumpah, ditertawakan si
gendut yang merasa lucu.
Memang penderitaan sendiri terasa ringan tiba-tiba kalau si penderita melihat orang lain lebih menderita
darinya. Sebaliknya, keuntungan sendiri nampak tiba-tiba menjadi kecil tidak berarti kalau yang untung itu
melihat orang lain mendapat keuntungan yang lebih besar darinya. Demikian sifat dan watak seseorang
yang dikuasai nafsu, dicengkeram perasaan iri dan dengki.
Kembali si tinggi kurus berkumis tipis mengerutkan alisnya dan menegur kedua orang adiknya yang kasar.
"Kalian jangan sembarang bicara! Kita berada di daerah kekuasaan Pao-beng-pai!"
Dia memandang ke arah seberang sana, lalu memasang kedua tangan seperti corong di kanan kiri
mulutnya, kemudian mengerahkan khikang dan berteriak lantang.
"Saudara pimpinan Pao-beng-pai! Kami tiga saudara Tiat-liong Sam-heng-te sudah tiba di sini memenuhi
undangan Pao-beng-pai! Kami mohon penunjuk jalan!"
Suara itu terdengar lantang dan bergema karena diteriakkan oleh si kumis tipis dengan pengerahan
khikang, dan gemanya terdengar membalik dari sekeliling tempat itu.
"Tiat-liong Sam-heng-te, aku sudah berada di sini untuk menjadi penunjuk jalan," tiba-tiba terdengar suara
lembut.
Mereka bertiga kaget sekali karena ketika mereka menengok ke arah suara di belakang mereka, ternyata
di situ telah berdiri seorang wanita cantik! Munculnya wanita ini seperti setan saja, sama sekali tidak
mereka lihat atau dengar, hanya tahu-tahu sudah di situ, tersenyum manis.
Wanita ini masih muda, paling banyak dua puluh lima tahun usianya. Pakaiannya serba putih dan wajahnya
demikian cantik sehingga muncul di tempat seperti itu, sepatutnya ia seorang siluman, bukan manusia!
Si gendut pendek tercengang, lalu dia tersenyum menyeringai memperlihatkan giginya yang juga pendekpendek
besar seperti perutnya, dan berkata. "Nona manis, engkau ini bidadari, siluman ataukah manusia?"
Si tinggi kurus memandang marah kepada adiknya, akan tetapi gadis berpakaian putih itu tersenyum
ramah. "Aku adalah manusia biasa. Aku salah seorang di antara prajurit Pao-beng-pai yang diutus untuk
menjemput Sam-wi (Anda Bertiga)."
"Bukan main!" kata si muka hitam yang sejak tadi terpesona dan baru sekarang dapat mengeluarkan
suara. "Apakah semua prajurit Pao-beng-pai cantik-cantik jelita bagaikan engkau ini, Nona?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Gadis itu menggelengkan kepala. "Nanti engkau akan melihatnya sendiri, harap Sam-wi suka mengikuti
aku."
"Nanti dulu!" si gendut berteriak. "Bagaimana aku dapat bertemu dengan mereka kalau badan dan
pakaianku kotor seperti ini!"
"Aku juga!" kata si muka hitam.
Mereka berdua tadi bertanya apakah semua prajurit Pao-beng-pai cantik-cantik seperti nona ini. Kalau
begitu banyaknya gadis cantik di sana, tentu mereka merasa tidak enak kalau bertemu mereka dalam
keadaan sekotor itu.
Gadis itu tersenyum dan nampaklah deretan giginya yang berkilauan. "Jangan khawatir. Sebelum tiba di
sana, kita akan melewati sebuah danau kecil yang airnya sangat jernih dan Ji-wi (Anda Berdua) dapat
membersihkan diri di sana."
Berangkatlah tiga orang itu mengikuti si gadis baju putih yang ternyata mengambil jalan membelok ke kiri
memasuki hutan! Gadis yang sudah mengenal jalan ini berjalan cepat, diikuti oleh ketiga orang itu yang
tidak berani mengambil jalan menyimpang, melainkan mengikuti jejak kaki di belakang gadis itu.
Dengan hati ngeri mereka melihat betapa gadis itu melewati kubangan lumpur seperti tadi yang lebih luas,
dan begitu saja gadis itu melangkah masuk ke dalam kubangan lumpur, akan tetapi setelah mereka
perhatikan, ternyata kaki gadis itu menginjak tanda-tanda tertentu dan di bawah tanda-tanda itu terdapat
bagian yang keras karena agaknya ditaruh batu besar yang menonjol sedikit di permukaan. Mereka
mengikuti jejak kaki itu dengan cermat dan dapat melintasi kubangan lumpur berbahaya dengan selamat.
Setelah melewati hutan itu, mendadak saja mereka berhadapan dengan sebuah danau kecil yang airnya
jernih. Di dekat situ terdapat pula sebuah air terjun kecil yang bersih pula airnya.
Seperti berebut saja, si muka hitam dan si gendut segera mandi di bawah air terjun, membersihkan badan
dan pakaian dari lumpur. Untung bahwa buntalan pakaian bekal mereka dibungkus oleh kain tebal yang
tidak tembus air, maka pakaian mereka di dalam buntalan itu tidak kotor, hanya pembungkusnya saja yang
kotor. Kini mereka mencuci pakaian dan kain pembungkus yang kotor itu.
Sementara menanti kedua orang adiknya mandi dan mencuci pakaian, si tinggi kurus yang berkumis tipis
itu duduk di bawah pohon berhadapan dengan gadis pakaian putih. Tidak banyak keterangan yang dapat
dia peroleh dari gadis itu.
Gadis itu hanya menceritakan bahwa pimpinan Pao-beng-pai, tidak dia sebutkan siapa namanya, sedang
mengundang orang-orang gagah di dunia persilatan untuk berkenalan dan diajak bekerja sama dalam
perjuangan menentang penjajah.
"Aku tidak boleh banyak bicara. Nanti kalau Paman sudah tiba di sana, tentu akan diberi kesempatan
berkenalan dengan para pimpinan dan mendengar lebih jelas," demikian katanya mengakhiri
keterangannya.
"Akan tetapi, aku mendengar bahwa Pao-beng-pai dulunya dipimpin oleh orang-orang yang menamakan
diri seperti pendekar yang selalu memusuhi orang-orang kang-ouw. Kemudian, aku mendengar bahwa
Pao-beng-pai sudah hancur dan mati. Bagaimana sekarang tiba-tiba ada pimpinan Pao-beng-pai yang
mengundang banyak orang-orang kang-ouw? Jangan-jangan kami datang hanya untuk dicaci-maki dan
dimusuhi, dihina seperti yang telah kami derita tadi." Dia menunjuk ke arah kedua orang adiknya yang
sedang membersihkan diri di bawah pancuran air terjun.
Gadis itu kembali tersenyum. "Karena Sam-wi memasuki wilayah kami tanpa memberi tahu, bagaimana
kami mengetahui bahwa Sam-wi termasuk yang diundang? Memang, daerah kami merupakan daerah
berbahaya sehingga kalau orang memasukinya tanpa persetujuan kami, akan menghadapi bahaya. Tadi
kami masih belum mengenal Sam-wi, baru setelah Sam-wi memperkenalkan diri, maka aku sengaja datang
untuk menjemput Sam-wi. Maafkan kalau Sam-wi menghadapi kesukaran tadi."
dunia-kangouw.blogspot.com
Si tinggi kurus menghela napas panjang. "Sudahlah, bagaimana pun juga kamilah yang bersalah sebab
tergesa-gesa masuk sebelum datang jemputan. Apakah para undangan yang lain sudah tiba dan sudah
mendapat jemputan?"
"Sudah banyak yang datang, dan masih banyak yang dinanti kedatangannya hari ini."
Dua orang yang membersihkan diri sekarang sudah selesai dan sudah siap. Gadis itu menahan
senyumnya ketika melihat betapa si gendut dan si muka hitam itu kini sudah mengenakan pakaian yang
bersih dan gagah, bahkan rambut mereka pun disisir rapi dan nampak lebih berkilau karena mereka
menggunakan minyak. Mereka kini berlagak dengan lirikan dan senyum yang dibuat-buat, seperti biasa
lagak pria kalau berhadapan dengan wanita cantik. Si tinggi kurus yang tidak berwatak mata keranjang
seperti kedua adiknya, hanya memandang dengan cemberut.
Mereka melanjutkan parjalanan dan kembali mereka tiba di tepi jurang yang agaknya merupakan
sambungan dari jurang yang tadi. Akan tetapi seberang sana tidak sejauh tadi, walau pun masih tidak
mungkin diloncati orang meski memiliki ilmu meringankan tubuh yang tinggi. Jurang itu lebarnya tidak
kurang dari lima puluh meter dan dalamnya tidak dapat diukur.
"Wah, kita terhalang jurang lagi," kata si gendut.
"Tentu ada jalan lain lagi, bukankah begitu, Nona?" tanya si kulit hitam.
Gadis itu menggeleng kepala dan memandang ke seberang sana. "Tidak ada jalan lain. Inilah jalan satusatunya."
"Maksudmu, Nona?" Si tinggi kurus bertanya heran.
"Menyeberangi jurang ini," kata gadis itu dengan sikap tenang.
Tiga orang yang berjuluk Naga Besi itu saling pandang sambil terbelalak. "Akan tetapi, siapakah yang akan
mampu meloncati jurang selebar ini, Nona?" tanya si gendut tanpa malu-malu lagi.
"Tidak meloncati, melainkan menyeberang."
"Tapi, bagaimana mungkin? Tidak ada jembatannya...," kata pula si muka hitam.
"Tunggu dan lihat sajalah," kata gadis itu yang agaknya mulai tidak sabar menghadapi dua orang laki-laki
yang banyak bertanya dan gelisah itu.
Gadis berpakaian putih itu lalu mengeluarkan sebuah sempritan perak sebesar ibu jari tangannya, lalu
meniup benda itu. Terdengar bunyi melengking nyaring dengan irama tertentu, lalu ia menghentikan
tiupannya dan menyimpan kembali sempritannya.
Tidak lama kemudian, dari seberang sana terdengar bunyi yang sama sebagai jawaban. Kemudian, dari
balik sebatang pohon besar yang tumbuh di seberang sana, muncullah seorang gadis cantik yang
berpakaian serba kuning. Gadis itu memegang sebatang busur dan memasang sebatang anak panah, lalu
membidik.
"Singgg... wirrrrr...!"
Anak panah itu meluncur ke seberang sini dan ternyata pada ekor anak panah diikatkan sebatang tali
sebesar ibu jari kaki. Ketika anak panah meluncur ke arah dirinya, gadis berpakaian putih dengan sikap
tenang sekali, hanya miringkan tubuhnya dan tangannya menangkap anak panah itu dari samping dengan
gerakan yang cepat bagaikan seekor ular mematuk.
Tiat-liong Sam-heng-te memandang kagum dan baru kini mereka percaya bahwa gadis berpakaian putih ini
bukan seorang wanita lemah, melainkan memiliki ilmu kepandaian yang cukup lihai. Gadis itu mengikatkan
tali pada batang pohon besar dan dari seberang sana, tali itu direntang sehingga tertarik lurus dan kuat.
Mereka melihat betapa tali itu dikaitkan pada dahan pohon yang patah, dengan ikatan yang kuat tetapi
mengait kendur sehingga dari seberang sana, dengan mengendurkan tali dan melambungkannya, maka
kaitannya akan terlepas dan tali itu dapat ditarik ke seberang sana.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nah, kita menyeberang melalui jembatan tali ini," kata gadis pakaian putih.
"Wah-wah-wah, jembatan macam apa ini! Bermain-main dengan nyawa!" kata si gendut.
Biar pun dia sudah memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi, tetapi belum pernah dia mencoba untuk
berjalan di atas jembatan macam itu, jembatan yang hanya terdiri dari sehelai tali sebesar ibu jari kaki, di
atas jurang yang dalamnya tidak dapat diukur! Sekali saja kaki meleset atau tali itu putus, maka sudah
dapat dipastikan bahwa nyawa akan melayang ketika badan terbanting hancur di dasar jurang!
Gadis itu tersenyum mengejek. "Siapa bilang main-main dengan nyawa? Kami sudah ratusan, bahkan
ribuan kali menyeberang dengan cara ini, dan tidak pernah ada yang kehilangan nyawanya. Justru tempat
ini merupakan ujian bagi para pengunjung. Yang tidak mampu menyeberang ke sana dengan tali ini, berarti
tidak pantas untuk menjadi tamu Pao-beng-pai."
Setelah berkata demikian, ia kemudian melompat dan seperti seekor burung saja, kedua kakinya hinggap
di atas tali. Ia melakukannya dengan amat mudah, bahkan ia sempat membalik dan berkata. "Marilah,
Sam-wi, silakan menyeberang."
Setelah berkata demikian, lalu ia pun mulai melangkah ke depan dan berjalan dengan enaknya seperti
berjalan di atas jembatan besi yang lebar saja.
"Jangan membikin malu saja," kata si tinggi kurus.
Dia pun meloncat ke atas tali dengan gerakan ringan. Si muka hitam juga melangkah dan diikuti pula oleh
si gendut. Mereka bertiga adalah orang-orang kang-ouw yang telah menguasai ginkang (ilmu meringankan
tubuh) yang lumayan tinggi, maka sebenarnya, menyeberang melalui tali itu bukan hal yang terlalu sukar
bagi mereka. Hanya karena mereka belum pernah melakukannya, apa lagi tali itu direntang di atas jurang
yang teramat dalam, tentu saja mereka merasa tegang sekali…..
Setelah mereka semua tiba di seberang jurang, wajah yang hitam dari orang ke dua itu kini berubah
menjadi abu-abu tanda bahwa dia masih pucat, sedangkan si gendut, jelas masih nampak gemetar kedua
kakinya. Walau pun wajahnya tersenyum dan berusaha memperlihatkan ketenangan dan kegagahan, tapi
jelas kedua kaki itu menggigil! Hanya si tinggi kurus yang tetap tenang, walau pun tadi ia pun sempat
berdebar tegang karena terayun-ayun di atas, di tengah-tengah jurang, karena membayangkan akibatnya
kalau-kalau sampai terjatuh.
Setelah tiba di seberang, dengan sekali ayun tali itu terlepas dari kaitannya di seberang situ dan gadis
berpakaian kuning itu menggulung kembali talinya. Tiga orang itu melihat bahwa gadis berpakaian serba
kuning ini pun masih muda dan cantik sehingga si muka hitam dan si gendut menjadi makin gembira. Jika
Pao-beng-pai memiliki prajurit seperti ini semua, tanpa ditanya lagi mereka siap untuk menjadi sahabat!
"Nona, bila tak ada orang yang mengaitkan tali di seberang sana, lalu bagaimana kalian dapat
menyeberang?" tanya si tinggi kurus.
Sekarang si pakaian kuning tersenyum dan nampak sekilas giginya yang putih dan rapi. "Tentu saja kami
mempunyai suatu cara, akan tetapi hal itu merupakan rahasia kami," ia saling pandang dengan yang
pakaian putih, lalu keduanya tersenyum geli.
"Marilah, Tiat-liong Sam-heng-te, silakan mengikuti kami menghadap pemimpin kami," kata si baju putih.
Mereka melanjutkan perjalanan. Si baju putih berjalan di depan, diikuti tiga orang tamu itu, dan si baju
kuning berjalan paling belakang. Tak lama kemudian, nampaklah gedung besar yang tadi kelihatan oleh si
tinggi kurus dari puncak pohon.
Ketiga orang itu tercengang. Dari atas pohon tadi, mereka sudah melihat bahwa sarang Pao-beng-pai
merupakan gedung besar yang megah. Akan tetapi setelah dekat, baru mereka melihat dengan jelas.
Pekarangan depan yang luas, dan di luar pagar nampak hamparan rumput yang luas dan terawat baik.
Taman bunga yang indah, pohon-pohon yang terawat dan gedung yang bersih dan seperti istana!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kalau tadi dari atas pohon mereka tidak melihat seorang pun di situ, begitu kini mereka muncul, bagaikan
semut saja nampak pasukan-pasukan kecil yang berbaris rapi. Ada yang terdiri dari pria yang bertubuh
kokoh, berpakaian seragam abu-abu, ada pula yang seragamnya hitam, ada yang biru. Namun, para
prajurit itu bertubuh kokoh kuat dan dari langkah mereka, jelas nampak bahwa mereka itu sangat
berdisiplin.
Saat Tiat-liong Sam-hengte memasuki pekarangan, bermunculan penjaga-penjaga yang berpakaian abuabu.
Mereka berkelompok mulai di pintu gerbang, di pekarangan dan di pendopo bagian luar gedung itu.
Mereka berdiri dengan sikap tegak laksana arca, dan ketika tiga orang tamu itu lewat, mereka memberi
hormat kepada gadis berpakaian putih seperti prajurit memberi hormat kepada seorang yang lebih tinggi
pangkatnya.
Tiga orang itu pun dapat menduga bahwa gadis baju putih yang menjemput mereka itu bukan seorang
prajurit rendahan, melainkan seorang perwira pula.
Setelah tiba di pendapa, gadis baju putih berkata, "Pertemuan belum dimulai dan para tamu yang sudah
datang dipersilakan untuk berada di ruangan tamu yang berada di bangunan darurat sebelah kiri. Mari, kita
persilakan Sam-wi untuk menanti pula di sana seperti para tamu yang lain."
Tiat-liong Sam-hengte hanya mengangguk. Begitu memasuki gedung seperti istana itu, mereka telah
kehilangan wibawa. Gedung itu memang megah, dengan perabot-perabot yang pantasnya berada di istana
kaisar atau pangeran. Juga adanya pasukan penjaga yang demikian tertib dan penuh wibawa, membuat
mereka diam-diam merasa jeri dan maklum bahwa mereka memasuki sarang sebuah perkumpulan yang
besar dan kuat.
Kiranya, dalam sebuah ruangan yang amat luas, yang agaknya sengaja dibangun untuk keperluan itu,
sekarang sudah berkumpul banyak sekali tamu. Dengan girang Tiat-liong Sam-hengte dapat mengenali
beberapa orang segolongan, yaitu orang-orang kang-ouw yang terhitung sebagai golongan hitam atau
golongan sesat.
Mereka melihat adanya orang Pek-lian-kauw, orang-orang Pat-kwa-pai, dan tokoh-tokoh sesat yang
terkenal. Tentu saja mereka merasa seperti ikan yang dilepas di air, merasa cocok dan senang. Apa lagi di
ruangan itu, para tamu yang dipersilakan menanti tibanya saat pertemuan, mendapat hidangan arak dan
kue serba melimpah.
Setelah gadis baju putih mempersilakan mereka masuk, tiga orang Naga Besi ini segera bertemu dan
bercakap-cakap dengan akrab bersama orang-orang yang sudah mereka kenal. Dan di ruangan ini,
mereka baru mendapatkan keterangan dari para tamu siapa orang-orang yang berdiri di belakang Paobeng-
pai ini.
Pao-beng-pai yang kini berdiri lagi dengan kokoh kuatnya ini adalah perkumpulan yang tadinya telah mati
akibat dihancurkan pasukan pemerintah, seperti banyak perkumpulan lain yang memberontak terhadap
Kerajaan Ceng (Mancu).
Telah muncul seorang yang gagah perkasa. Dialah yang mengumpulkan kembali bekas para anak buah
Pao-beng-pai, menggunakan uang untuk menghimpun tenaga-tenaga baru sehingga Pao-beng-pai bangkit
kembali dan kini bahkan menjadi perkumpulan yang lebih besar dan lebih kuat dari pada dulu.
Tokoh itu bernama Siangkoan Kok, seorang laki-laki berusia lima puluh lima tahun yang bertubuh tinggi
besar dan berwajah gagah seperti tokoh Kwan In Tiang dalam dongeng Sam Kok. Dia mengaku sebagai
keturunan keluarga kaisar Kerajaan Beng yang telah jatuh oleh orang-orang Mancu. Tentu saja tidak ada
bukti-bukti bahwa dia keturunan kerajaan yang sudah jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu, tetapi karena
dia kaya raya dan berilmu tinggi, maka orang-orang yang ditarik menjadi anggota Pao-beng-pai percaya
saja.
Di samping harta kekayaan yang amat banyak, yang tidak seorang pun mengetahui dari mana datangnya,
namun menurut Siangkoan Kok harta benda itu adalah peninggalan keluarga Kaisar Beng, tokoh ini pun
memiliki kepandaian silat yang hebat. Telah banyak jagoan yang tadinya menentangnya, sebab tidak
percaya akan kepemimpinannya, jatuh di tangannya dan banyak yang menakluk lalu menjadi pembantunya
dengan imbalan yang cukup besar sehingga kedudukannya semakin kuat dan Pao-beng-pai semakin
terpandang karena di situ berkumpul banyak tokoh yang berilmu tinggi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siangkoan Kok memiliki seorang isteri yang selain cantik juga lihai bukan main. Isterinya itu bernama Lauw
Cu Si dan kini berusia empat puluh lima tahun. Ia pun terkenal karena mengaku sebagai keturunan
keluarga pimpinan Beng-kauw, sebuah perkumpulan para tokoh-tokoh sesat yang pernah menjagoi dunia
kang-ouw. Kalau Siangkoan Kok disebut ‘pangcu’ (ketua), maka isterinya, Lauw Cu Si ini memerintahkan
semua anak buahnya agar menyebutnya ‘toanio’ (nyonya besar).
Masih ada lagi seorang tokoh di dalam keluarga pimpinan Pao-beng-pai, yaitu seorang gadis berusia dua
puluh tiga tahun yang cantik jelita, akan tetapi tidak kalah lihainya dibandingkan ayah ibunya, yaitu ketua
Pao-beng-pai dan isterinya itu. Namanya adalah Siangkoan Eng.
Ayah ibunya menyebutnya Eng Eng, tetapi semua anak buah Pao-beng-pai diharuskan menyebutnya
Siocia (Nona) saja tanpa sebutan lain. Gadis yang cantik, anggun tetapi dingin inilah yang pernah dengan
berani mendatangi pesta tiga keluarga besar di rumah Suma Ceng Liong dan menantang untuk mengadu
ilmu silat.
Lima tahun yang lalu, keluarga ini menguasai atau lebih tepat lagi membangun kembali Pao-beng-pai.
Dengan kepandaian mereka yang tinggi, ayah, ibu dan anak yang ketika itu baru berusia delapan belas
tahun, berhasil membangkitkan Pao-beng-pai menjadi sebuah perkumpulan yang kuat.
Anak buah mereka tidak kurang dari seratus orang, akan tetapi rata-rata anak buah ini memiliki ilmu
kepandaian yang cukup tangguh karena selain para anggota itu dipilih, juga mereka dilatih ilmu silat
selama lima tahun ini. Lebih dari separuh jumlah itu adalah anggota pria yang terbagi menjadi dua
kelompok, yaitu kelompok seragam abu-abu dan kelompok berseragam hitam-hitam yang tingkatnya lebih
tinggi dari pada yang abu-abu.
Ada pun sisanya, empat puluh orang, terdiri dari gadis-gadis yang usianya antara dua puluh sampai tiga
puluh tahun, rata-rata cantik dan mereka digembleng secara khusus sehingga merupakan pasukan yang
lihai, lebih lihai dibandingkan para anggota pria. Para anggota wanita ini memiliki dua tingkat pula. Yang
pertama adalah mereka yang berpakaian putih-putih, di antara mereka hanya terdapat empat orang
sebagai pimpinan, selebihnya dibagi menjadi pasukan yang berseragam hitam, kuning, dan biru.
Para anggota yang seratus orang lebih jumlahnya itu masih muda-muda dan tidak ada yang lebih dari tiga
puluh tahun usianya. Mereka itu tertib dan berdisiplin sekali, karena Pao-beng-pai mempunyai peraturan
yang amat keras. Mereka itu mendapat upah yang besar, hidup serba kecukupan, tetapi mereka harus taat
akan semua peraturan dengan ancaman hukuman berat kalau mereka melanggar.
Di antara peraturan itu terdapat suatu ketentuan bahwa selama mereka masih menjadi anggota Pao-bengpai,
mereka tidak diperbolehkan menikah! Juga bagi para anggota wanitanya, selain tidak boleh menikah,
tidak boleh pula melahirkan anak.
Bisa dibayangkan apa akibatnya dengan adanya peraturan ini. Para anggota itu adalah orang-orang yang
sudah dewasa, maka peraturan ini tentu saja sangat menyiksa. Tetapi karena mereka merasa sayang
kehilangan kemewahan yang mereka nikmati sebagai anggota Pao-beng-pai, juga karena mereka takut
akan ancaman hukuman, mereka pun tidak ada yang berani melanggarnya.
Akan tetapi, larangan itu hanyalah larangan menikah bagi semua anggota, dan larangan melahirkan bagi
anggota wanita. Akibatnya, untuk penyaluran kebutuhan birahi mereka, terjadilah hubungan gelap yang
tidak wajar, bahkan kadang-kadang amat jahat.
Karena mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang cukup tinggi bagi orang awam,
maka banyak di antara para anggota pria mempunyai kekasih di luar, bahkan ada pula yang melakukan
perkosaan terhadap para wanita di dusun-dusun yang berada di luar daerah Ban-kwi-kok, yaitu yang
berada di lereng dan kaki Gunung Setan.
Juga para anggota wanita yang tidak lagi dapat menahan gejolak nafsu mereka, diam-diam menjalin
hubungan gelap dengan sesama anggota pria, atau mempunyai kekasih gelap yang mereka pilih dari para
penduduk dusun. Tentu saja para wanita ini berusaha agar jangan sampai hamil sebagai hubungan gelap
itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka adalah orang-orang dari golongan sesat, maka perbuatan semacam itu mereka anggap wajar saja.
Maka tersohorlah nama Pao-beng-pai sebagai perkumpulan yang amat ditakuti oleh penduduk di
pegunungan itu.
Siangkoan Kok dan anak isterinya tentu saja tahu akan perbuatan anak buah mereka, namun mereka
bersikap tidak peduli. Selama para anggota tidak melanggar peraturan dan larangan, cukuplah sudah.
Selain itu, Siangkoan Kok yang meski pun kaya raya namun harus mengeluarkan biaya cukup besar untuk
perkumpulannya, segera mengambil tindakan untuk mendatangkan dana. Caranya adalah menundukkan
dan menalukkan semua gerombolan penjahat di kota-kota dan dusun-dusun sekitar Kui-san, lalu memaksa
mereka mengakui kekuasaan Pao-beng-pai. Siapa pun yang membangkang dihancurkan, dan yang takluk
diharuskan membayar semacam ‘upeti’ setiap bulan. Bahkan Pao-beng-pai juga menguasai banyak tempat
perjudian dan pelacuran di berbagai kota, sehingga dari semua penghasilan itu keuangan Pao-beng-pai
menjadi kuat.
Semua sepak terjang Pao-beng-pai selalu digembar-gemborkan sebagai suatu usaha untuk perjuangan,
yaitu menghancurkan pemerintah penjajah Mancu dan membangun kembali Kerajaan Beng yang sudah
jatuh lebih dari seratus tahun yang lalu!
Mungkin orang lain akan menganggap bahwa cita-cita Siangkoan Kok terlalu tinggi, bahkan mimpinya
terlalu muluk. Tetapi, Siangkoan Kok berusaha sungguh-sungguh dan kini dia mulai hendak mendekati
semua golongan untuk diajak bekerja sama. Kalau dia berhasil, maka usahanya itu akan menjadi bahaya
yang cukup besar bagi pemerintah Mancu.
Dia mengirim undangan ke seluruh penjuru, mengundang semua pihak yang merasa tak rela tanah air dan
bangsa ini dijajah orang Mancu, untuk berkunjung ke Ban-kwi-kok di Gunung Setan dan mengadakan
pertemuan besar.
Dan pada hari itu, banyak sekali tamu berdatangan, mengunjungi sarang Pao-beng-pai. Seperti juga
halnya Tiat-liong Sam-hengte, para pengunjung itu tercengang dan kagum. Setelah tiba di perbatasan
wilayah Pao-beng-pai, mereka disambut oleh seorang murid Pao-beng-pai dan diantar sampai ke gedung
yang megah bagai istana itu. Di sepanjang perjalanan ini saja mereka bisa melihat kenyataan betapa
tempat itu merupakan sebuah tempat pertahanan yang sukar diserang musuh, berbahaya dan penuh
jebakan alam.
Tidak kurang dari seratus orang wakil dari pelbagai golongan datang sebagai tamu pada hari itu. Bukan
hanya dari perkumpulan-perkumpulan yang terkenal sebagai golongan yang anti pemerintah Mancu seperti
Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai, akan tetapi juga dari gerombolan orang-orang sesat, bahkan ada pula
golongan pendekar yang datang berkunjung.
Mereka ini pada umumnya merasa tertarik dan ingin mengenal Pao-beng-pai lebih dekat karena mereka
merasa heran mendengar bahwa perkumpulan yang sudah mati itu kini bangkit kembali. Jika golongan
para pendekar ini datang untuk mencari tahu, sebaliknya mereka yang datang dari golongan sesat tentu
saja datang untuk melihat apakah di situ terdapat harapan bagi mereka untuk memperoleh keuntungan
besar. Tanpa keuntungan bagi mereka, golongan sesat ini tentu saja tidak sudi melelahkan diri.
Karena undangan itu tidak ditujukan kepada orang-orang tertentu, melainkan undangan untuk umum, yaitu
para tokoh dunia persilatan, maka bermacam orang yang datang berkunjung. Asalkan dia merasa bahwa
dirinya termasuk golongan dunia persilatan, ikut pula datang, walau pun tingkat ilmu silat mereka itu masih
jauh dari pada pantas untuk menghadiri pertemuan seperti itu.
Siangkoan Kok memang pandai mengambil hati orang. Sebelum pertemuan dimulai, sebelum dia keluar
menemui para tamu, mereka itu sudah disuguhi arak dan anggur yang baik, makanan yang lezat. Setelah
menjelang tengah hari, dihidangkanlah makan siang yang amat royal.
Berpestalah para tamu itu, melebihi pesta pernikahan atau pesta lain. Daging segala macam binatang
berlimpah ruah, guci arak tak pernah kosong, dan masakan-masakan termahal dihidangkan. Banyak di
antara para tamu yang tercengang dan terheran-heran melihat masakan yang belum pernah mereka
rasakan sebelumnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah selesai makan siang, barulah Siangkoan Kok bersama isterinya dan puterinya muncul! Memang
aneh, akan tetapi cara seperti ini sangat menyenangkan para tamu. Tadi tanpa merasa sungkan mereka
dijamu hidangan secara royal, karena pihak tuan rumah hanya mewakilkan kepada para gadis cantik yang
menjadi anggota Pao-beng-pai.
Para gadis cantik itu melayani para tamu sambil tersenyum manis dan bersikap ramah. Bahkan mereka
tidak menjadi marah kalau di antara para tamu ada yang mencoba menggoda mereka dengan ucapan
yang kadang membikin merah wajah para pendekar yang juga hadir di situ. Hal ini saja sudah
menunjukkan betapa taatnya para anggota Pao-beng-pai.
Biasanya, para anggota wanita itu merupakan orang-orang yang galak. Bukan mustahil mereka ini
membunuh seorang pria yang berani menggoda mereka, kalau mereka tidak menyukai pria itu. Akan tetapi,
dalam melayani para tamu itu, mereka tak pernah marah, bahkan tidak berani marah karena mereka sudah
dipesan oleh ketua mereka supaya melayani para tamu baik-baik dan manis, dan dilarang untuk bersikap
keras terhadap mereka.
Dalam suasana gembira dan sesudah puas makan minum sampai kenyang, para tamu menyambut
munculnya Siangkoan Kok dengan tepuk tangan. Ketua Pao-beng-pai itu muncul sambil tersenyum, namun
sikapnya yang gagah berwibawa membuat semua orang memandang kagum dan segan. Orang tinggi
besar dan gagah ini memang tidak terkenal di dunia persilatan, namun namanya secara tiba-tiba menjulang
tinggi ketika dia membangun kembali Pao-beng-pai dan kabar angin menyiarkan betapa ketua ini dan anak
isterinya memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebat!
Siangkoan Kok memang gagah. Tubuhnya yang tinggi besar itu kokoh kuat seperti batu karang. Wajahnya
yang tampan gagah itu berwibawa dan keningratan, langkahnya pun mantap dan gagah seperti seekor
singa.
Sebatang pedang tergantung di pinggang serta pakaiannya rapi dan terbuat dari sutera mahal, meski tidak
berkesan mentereng. Rambutnya tidak dikuncir, melainkan digelung kemudian diikat ke atas. Ini saja
merupakan tanda bahwa dia tidak mentaati peraturan pemerintah Mancu bahwa semua pria harus
menguncir rambutnya! Usianya sekitar lima puluh lima tahun.
Di samping kirinya melangkah seorang wanita yang umurnya empat puluh lima tahun, akan tetapi masih
nampak cantik dan tubuhnya masih padat dengan pinggang ramping. Sepasang mata wanita ini jeli dan
bersinar tajam, mulutnya selalu dihias senyum yang membayangkan kebanggaan, seperti senyum seorang
puteri kerajaan yang menyadari akan kekuasaannya, kemuliaannya dan kecantikannya.
Dia adalah Lauw Cu Si, isteri ketua Pao-beng-pai yang selalu disebut Toanio oleh para anggotanya.
Semua mata memandang kagum karena wanita ini memang pantas untuk menjadi seorang wanita
bangsawan tinggi.
Akan tetapi yang paling menarik perhatian semua tamu adalah gadis yang melangkah perlahan di belakang
suami isteri itu. Gadis ini memang merupakan tontonan yang amat menarik hati. Usianya sekitar dua puluh
tiga tahun, pakaiannya lebih mewah dari pada pakaian ibunya.
Rambutnya yang hitam lebat dan panjang itu digelung ke atas dan dihias sebuah tiara kecil penuh permata
berkilauan. Wajah itu cantik jelita, anggun, akan tetapi amat dingin. Pandang matanya lebih banyak
menunduk, akan tetapi kalau ia mengangkat muka dan sinar matanya menyambar, banyak orang langsung
merasa ngeri karena sinar mata itu mencorong seperti mata seekor naga.
Di punggung gadis ini nampak sebatang pedang beronce merah, sedang tangan kirinya memegang
sebuah hud-tim berbulu merah. Kebutan pendeta ini benar-benar membuat orang merasa heran.
Bagaimana seorang gadis cantik membawa sebuah kebutan yang biasanya dibawa oleh seorang pendeta?
Gadis ini adalah Siangkoan Eng, gadis yang pernah menggemparkan pesta pertemuan tiga keluarga besar
di rumah pendekar Suma Ceng Liong.
Di belakang ayah, ibu dan anak ini berjalan dengan sikap hormat empat orang gadis yang berpakaian
serba putih, yaitu empat orang gadis yang merupakan pimpinan dari semua anggota wanita dari Pao-bengpai.
Mereka dapat juga dianggap sebagai murid-murid yang paling pandai dari Siangkoan Kok dan
isterinya. Tingkat kepandaian mereka hanya di bawah tingkat kepandaian Siangkoan Eng yang oleh para
anggotanya disebut Siocia atau Nona.
dunia-kangouw.blogspot.com
Para tamu bertepuk tangan menyambut munculnya keluarga tuan rumah, dan sesudah tepuk tangan itu
reda barulah Siangkoan Kok, isterinya dan puterinya mengambil tempat duduk yang sudah disediakan,
yaitu di sudut yang agak lebih tinggi dari lantai ruangan luas itu sehingga semua tamu dapat melihat
mereka.
Dengan isyarat tangannya, Siangkoan Kok mempersilakan para tamu untuk duduk, dan seorang di antara
empat wanita berpakaian putih yang berdiri di belakang keluarga itu, kini berseru dengan suaranya yang
merdu dan lantang sekali karena diteriakkan dengan pengerahan khikang.
"Cuwi (Anda Sekalian) yang terhormat. Pangcu kami mempersilakan Cuwi untuk duduk kembali dan
diharap supaya masing-masing memperkenalkan diri. Sebutkan nama, dari perkumpulan atau aliran mana,
dan bertempat tinggal di mana."
Semua tamu saling pandang dan ada di antara mereka yang merasa kurang senang. Betapa angkuhnya
sikap tuan rumah ini. Seperti seorang raja saja! Akan tetapi sebagian besar di antara mereka segera
memperkenalkan diri.
Satu per satu kepala rombongan para tamu memperkenalkan nama, nama perkumpulan yang diwakilinya,
dan tempat tinggal mereka. Dengan cara demikian, tuan rumah dapat mengenal siapa tamu-tamunya, dan
seorang gadis berpakaian putih sibuk menuliskan nama-nama dari para tamu yang memperkenalkan diri.
Lebih dari delapan puluh orang telah memperkenalkan diri masing-masing, mewakili tiga puluh
perkumpulan atau rombongan. Mereka adalah orang-orang dunia kang-ouw yang sebagian besar dari
golongan sesat. Tinggal dua puluh orang lebih yang masih belum memperkenalkan diri karena mereka ini
termasuk mereka yang menganggap sikap tuan rumah itu sombong dan angkuh.
Saat melihat kenyataan ini, gadis berpakaian putih yang tadi mewakili ketuanya kembali bangkit berdiri dan
berteriak dengan suaranya yang lantang.
"Para tamu lain yang belum memperkenalkan diri, diharap suka memperkenalkan diri secepatnya agar
perkenalan ini dapat segera selesai!"
Di antara tiga puluh orang lebih itu, terdapat pula wakil-wakil dari partai persilatan yang besar. Dua orang
murid Siauw-lim-pai, dua orang murid Go-bi-pai, juga dua orang murid Bu-tong-pai dan dua orang murid
dari Kun-lun-pai. Empat perkumpulan besar ini telah memiliki nama besar di dunia persilatan dan mereka
memiliki murid-murid yang pandai dan yang terkenal sebagai golongan pendekar.
Untuk menjaga kebesaran nama partai masing-masing, delapan orang ini sudah saling pandang. Dari
pandang mata saja mereka sudah maklum bahwa mereka berpendapat sama, maka mereka pun diam saja
di tempat duduk mereka, tidak memperkenalkan diri dan akan melihat perkembangan selanjutnya.
Sisa dari mereka yang belum memperkenalkan diri nampak ragu-ragu, karena mereka pun bersandar pada
sikap para wakil empat partai besar itu. Untuk berdiam diri seperti mereka delapan orang itu, mereka
merasa tidak enak juga.
Mereka adalah tamu-tamu yang diundang dan pihak tuan rumah telah menjamu mereka secara royal
sekali. Jika sekarang tuan rumah bersikap angkuh dan minta mereka untuk memperkenalkan diri, tentu
saja mereka merasa sungkan untuk tidak melakukan hal itu. Akan tetapi kalau melakukannya juga, berarti
mereka sudah merendahkan diri kepada pimpinan Pao-beng-pai yang sama sekali belum mereka kenal
orang-orang macam apa adanya mereka itu.
Mendadak seorang di antara mereka yang bertubuh tinggi besar bermuka bulat, usianya sekitar tiga puluh
tahun, bangkit berdiri, diikuti dua orang kawannya. Agaknya mereka mewakili pula satu rombongan, dan si
muka bulat itu lalu berkata, suaranya tidak kalah lantang dibandingkan suara gadis berpakaian putih yang
tadi mewakili ketuanya.
"Kami bertiga mewakili sebuah perguruan silat, dan sebelum memperkenalkan diri, kami ingin memprotes
cara perkenalan diri ini! Kami adalah tamu-tamu yang diundang, bukan orang-orang yang diperintah untuk
datang menghadap. Oleh karena itu, kami menolak cara perkenalan seperti ini, dan kami menuntut supaya
pihak tuan rumah terlebih dahulu memperkenalkan diri, baru kami akan memperkenalkan diri kami!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Agaknya ucapan gagah ini disetujui oleh mereka semua yang belum memperkenalkan diri, bahkan para
wakil keempat partai besar mengangguk-angguk dan tersenyum. Hati mereka tertarik sekali dan ingin
melihat bagaimana sikap tuan rumah.
Semua orang memandang ke arah tempat duduk tuan rumah. Tapi ketua Pao-beng-pai itu, isterinya, dan
puterinya bersikap tenang dan acuh, seolah-olah tidak terjadi sesuatu dan mereka menyerahkan saja
kepada gadis berpakaian putih yang mewakili Siangkoan Kok bicara.
Dengan sinar matanya yang tajam, gadis berpakaian putih itu memandang kepada si muka bulat, juga ia
melihat sikap mereka yang belum memperkenalkan diri.
"Kami melihat betapa para tamu yang belum memperkenalkan diri agaknya telah setuju dengan usul
saudara yang baru saja berbicara. Baiklah, jika begitu kami akan memberi penjelasan. Semenjak
kedatangan para Cuwi, ketua kami telah menyambut Cuwi (Anda Sekalian) dengan penuh kehormatan dan
keramahan. Cuwi dijemput dan diantar ke sini, lalu disuguhi hidangan makanan yang sebaik mungkin..."
"Kami tidak pernah minta makanan, kalian sendirilah yang menghidangkan!" bantah si muka bulat dan
banyak di antara para tamu tersenyum lebar mendengar ucapan itu.
"Begitukah?" Gadis berpakaian putih itu memandang dan sinar matanya mulai marah. "Kalau begitu
dengarlah baik-baik. Pangcu (Ketua) kami menganggap sudah sepatutnya kalau beliau yang lebih tinggi
tingkatnya menerima perkenalan diri kalian. Beliau hanya mau berkenalan secara langsung dengan
mereka yang sederajat!"
"Wahh!" Si muka bulat kini terbelalak dan mukanya yang putih itu berubah merah akibat darah sudah naik
ke kepalanya. "Sombong amat! Kalau begitu, begini saja. Biar kami semua yang belum mengenalkan diri
menguji kepandaian para pimpinan Pao-beng-pai yang tinggi hati itu, untuk melihat apakah benar derajat
dan tingkat mereka lebih tinggi dari pada kami!"
Kembali banyak orang mengangguk menyetujui usul ini. Dan melihat betapa banyak di antara para tamu
menyetujuinya, si muka bulat memberi isyarat kepada dua orang adik seperguruannya, dan mereka bertiga
tiba-tiba meloncat dengan gerakan ringan ke sudut ruangan yang kosong dan tempat itu merupakan
tempat yang cukup luas untuk dipakai bertanding silat.
Suasana menjadi tegang. Namun, karena mereka semua adalah orang-orang kang-ouw yang tentu saja
gemar melihat pi-bu (adu silat), maka pada wajah mereka terbayang kegembiraan karena mereka
mengharapkan akan dapat melihat pertandingan silat yang menarik antara orang-orang pandai. Juga para
tamu kini ingin sekali melihat bagaimana sikap dan jawaban para pimpinan Pao-beng-pai terhadap
tantangan si muka bulat dan dua orang kawannya itu.
Gadis berbaju putih yang mewakili para pimpinan Pao-beng-pai, yang juga merupakan murid ketua dan
pelayan terdekat dan terpercaya, menoleh ke arah sang ketua. Namun ketua itu hanya tersenyum dan
mengangguk, tanda bahwa dia merestui sikap muridnya itu.
Melihat tanda ini, gadis berpakaian putih itu lalu berkata, "Kami menerima usul itu, dan menyambut
tantangan siapa saja yang hendak menguji kepandaian!"
Si muka bulat yang sekarang menjadi perhatian para tamu merasa bangga dan dengan membusungkan
dada dia berkata, "Kami bertiga pengurus Pek-eng Bu-koan (Perguruan Silat Garuda Putih) mohon
petunjuk dari ketua Pao-beng-pai!"
Tetapi, tantangan terhadap ketua itu disambut oleh gadis pakaian putih tadi. Ia memberi isyarat kepada tiga
orang temannya dan sekali melompat, tiga orang berpakaian putih itu sudah berhadapan dengan tiga
orang penantang. Gadis yang tadi berbicara tidak ikut maju, dan ia yang bicara menjawab.
"Tak mudah untuk mengadu ilmu dengan ketua kami, harus bisa mengalahkan wakilnya, yaitu Toanio, dan
untuk menandingi Toanio harus lebih dulu mengalahkan Siocia. Akan tetapi sebelum dapat pi-bu dengan
Siocia harus lebih dahulu dapat mengalahkan kami dan beberapa orang murid lain!" Gadis itu tersenyum
mengejek. "Sam-wi sudah maju, dan tiga orang rekan kami pun sudah maju menyambut tantangan. Nah,
kami persilakan apa bila Sam-wi hendak bertanding.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja tiga orang tokoh dari Perguruan Silat Garuda Putih itu marah sekali. Mereka merasa
diremehkan. Padahal, gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak membual atau meremehkan, karena
dari gerakan tiga orang pria ketika meloncat tadi, ia sudah tahu bahwa tiga orang rekannya akan mampu
menandingi mereka.
"Bagus, kalian orang-orang Pao-beng-pai sungguh memandang rendah pada orang lain. Hendak kami lihat
sampai di mana kelihaian kalian!" bentak si muka bulat.
Seorang di antara tiga wanita berpakaian putih yang berdiri di depan mereka itu berkata tenang, "Kami
bertiga sudah siap."
"Sambut serangan kami!" bentak si muka bulat dan bersama dua orang rekannya dia sudah menyerang
gadis yang bicara itu.
Dua orang rekannya juga menyerang dengan pukulan yang mendatangkan angin kuat. Namun, tiga orang
gadis pakaian putih itu dengan mudah sekali mengelak dan gerakan mereka ringan sekali, juga amat cepat
saat mereka membalas. Terjadilah pertandingan tiga lawan tiga.
Agaknya tiga orang gadis berpakaian putih itu maklum bahwa kalau mengadu tenaga kasar, mereka jelas
kalah kuat. Maka mereka menggunakan kecepatan dan keringanan gerakan mereka, dan dalam hal ini
mereka memang lebih unggul. Tubuh mereka lantas berkelebatan menjadi bayangan putih yang sulit sekali
diserang oleh tiga orang pria itu, seperti tiga orang anak-anak yang mencoba untuk menangkap tiga ekor
dara putih yang gesit sekali.
Para ahli silat yang menjadi tamu di situ diam-diam mengikuti jalannya pertandingan dan mereka
mencurahkan perhatian mereka untuk mengamati gerakan tiga orang gadis itu. Mereka ingin mengenal
ilmu silat mereka supaya mereka dapat menentukan dari aliran mana ilmu itu sehingga dengan sendirinya
dapat pula mengenal ilmu silat para pimpinan Pao-beng-pai.
Akan tetapi, mereka menjadi bingung dan heran sekali karena mereka sama sekali tidak mengenal ilmu
silat yang dimainkan oleh ketiga orang gadis berpakaian putih. Kadang nampak dasar gerakan ilmu silat
Siauw-lim-pai, namun dengan gerakan tangan yang mirip dengan aliran silat Bu-tong-pai, lalu berubah dan
bercampur dengan aliran lain.
Agaknya ilmu silat yang mereka mainkan itu merupakan gabungan dari semua aliran! Hanya dipilih
gerakan yang baik dan menguntungkan. Kalau benar demikian, tentu yang merangkai ilmu silat itu seorang
ahli yang mahir semua ilmu silat!
Pertandingan sudah berlangsung dua puluh jurus lebih dan semua orang melihat betapa tiga orang tokoh
Pek-eng Bu-koan itu mulai terdesak. Karena kalah cepat gerakannya, maka tiga orang jagoan dari Garuda
Putih itu lantas terdesak dan mereka lebih banyak mengelak serta menangkis dari pada menyerang.
Mereka tidak diberi kesempatan untuk membalas, dan serangan tiga orang gadis berpakaian putih itu
datang bertubi-tubi.
Tiba-tiba tiga orang gadis itu melompat ke belakang dan tiga orang Pek-eng Bu-koan menghentikan
gerakan mereka. Muka mereka nampak merah.
Kiranya, di tangan gadis pertama terdapat kain kepala yang sudah dapat direnggutnya lepas dari kepala
lawan. Di tangan gadis ke dua terdapat sobekan baju di bagian dada lawannya, dan biar pun gadis ke tiga
tidak merampas sesuatu, namun lawannya sibuk membereskan rambutnya yang riap-riapan karena
pengikat kuncirnya terlepas. Jelaslah bahwa kalau tiga orang gadis berpakaian putih itu menghendaki,
tentu tangan mereka akan bergerak lebih jauh dan dapat merobohkan tiga orang lawan dengan pukulan.
"Maafkan kami," kata seorang di antara tiga gadis itu mewakili teman-temannya.
Si muka bulat menghela napas panjang. Dia tahu diri dan mengangkat kedua tangan ke depan dada, lalu
menghadap pihak tuan rumah sambil berkata, "Kami bertiga adalah pimpinan Pek-eng Bu-koan, dan saya
Liu Pin sebagai ketuanya. Kami mengaku kalah."
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia dan dua orang sute-nya lalu mengundurkan diri dan duduk di tempat semula, tidak berani lagi
mengeluarkan kata-kata. Melawan tiga orang gadis yang menjadi anak buah Pao-beng-pai saja mereka
kalah. Apa lagi melawan pimpinannya!
Mereka yang telah mengenal kelihaian Pek-eng Bu-koan dan melihat kekalahan mereka di tangan tiga
orang gadis anak buah Pao-beng-pai sekarang tidak merasa ragu lagi dan mereka segera
memperkenalkan diri seperti yang telah dilakukan para tamu lain. Hanya tinggal masing-masing dua orang
wakil dari Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai yang belum memperkenalkan diri, di
samping para wakil dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai. Juga masih ada lagi tiga orang lelaki muda yang
nampaknya belum mau memperkenalkan diri.
Melihat masih ada belasan orang yang belum memperkenalkan diri, gadis pakaian putih itu kembali
berseru, "Apakah masih ada di antara Cuwi (Anda Sekalian) yang sebelum memperkenalkan diri ingin
menantang pi-bu?"
Tiba-tiba ketua Pao-beng-pai yang sejak tadi duduk diam saja dengan tegak, berbisik kepada si gadis
pakaian putih. Gadis itu menghampiri dan berlutut di depan ketuanya, menerima pesan dalam bisikan.
Gadis itu mengangguk, lalu bangkit lagi dan memandang ke arah kelompok yang belum memperkenalkan
diri, lalu berkata dengan suara lantang.
"Pangcu (Ketua) kami memandang partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai
sebagai setingkat dan sederajat. Karena itu, wakil dari masing-masing partai itu dimohon suka maju untuk
berkenalan langsung dengan keluarga Pangcu yang menjadi pimpinan Pao-beng-pai!"
Kebetulan ada dua orang wakil dari masing-masing partai besar itu adalah orang-orang muda. Tadinya
mereka tak mau memperkenalkan diri seperti para tamu lain karena hal itu dianggap terlalu merendahkan
diri, seperti orang-orang bawahan menghadap orang atasan saja.
Akan tetapi kini, mendengar ucapan gadis pakaian putih, mereka merasa tidak enak bila tak mau
berkenalan. Mereka adalah tamu yang diundang, sudah makan hidangan tuan rumah, dan memang
mereka diutus hadir di situ untuk mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-beng-pai.
Berturut-turut, didahului wakil dari Siauw-lim-pai, mereka datang menghampiri tempat duduk keluarga
ketua Pao-beng-pai dan berkenalan, saling menyebutkan nama. Para wakil itu sekarang baru tahu bahwa
ketua Pao-beng-pai atau pendiri baru ini bernama Siangkoan Kok. Bersama isteri dan puterinya yang
diperkenalkan sebagai Siangkoan Eng, mereka bertiga inilah merupakan pimpinan Pao-beng-pai.
Sedangkan undangan itu dilakukan untuk saling berkenalan dan menghimpun persahabatan di antara
tokoh-tokoh persilatan masa itu.
Setelah para wakil dari empat partai besar itu duduk kembali ke tempat mereka tanpa merasa direndahkan,
kini gadis pakaian putih bangkit dan berseru lagi, ditujukan kepada para wakil Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
"Pangcu kami menganggap bahwa Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai sebagai rekan-rekan seperjuangan. Oleh
karena itu, Pangcu mengharap agar para wakil mereka suka maju untuk saling berkenalan dengan Pangcu
sekeluarga."
"Siancai, siancai...!" Terdengar suara pujian dan sesosok bayangan berkelebat ke sudut ruangan di mana
tadi diadakan pertandingan silat.
Kiranya dia seorang di antara para wakil Pat-kwa-pai. Tanda Pat-kwa-pai dapat terlihat di bajunya, di dada
kiri yang disulam dengan benang emas berbentuk sebuah pat-kwa (segi delapan).
Dia seorang pria berusia lima puluh tahun, bertubuh gendut dengan jubah lebar, dan nampak kokoh kuat.
Di punggungnya tergantung pedang. Matanya lebar, hidungnya pun besar dan mulutnya berbibir tebal.
Segalanya pada orang ini nampak kokoh dan besar.
"Pat-kwa-pai kami juga memiliki peraturan, yaitu sebelum berkawan, haruslah mengenal isi perutnya lebih
dahulu. Oleh karena itu, kami sebagai wakil Pat-kwa-pai ingin sekali mengenal siapa adanya para pimpinan
Pao-beng-pai melalui pertandingan silat." Dia menjura ke arah tempat duduk tuan rumah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua orang kini memandang ke arah keluarga tuan rumah dan melihat betapa gadis cantik jelita tuan
rumah hendak bangkit, tetapi dilarang ayahnya. Kemudian, dengan hati gembira semua tamu melihat
betapa Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai sendiri yang bangkit dan dengan langkah tenang berjalan
menghampiri wakil Pat-kwa-pai yang telah berdiri menanti.
Sekarang semua orang melihat betapa ketua itu mempunyai gerak-gerik yang anggun dan berwibawa,
tetapi wajahnya cerah. Dia tersenyum ketika berdiri berhadapan dengan tokoh Pat-kwa-pai.
"Saudara wakil dari Pat-kwa-pai, jika kami boleh bertanya, apakah hubunganmu dengan Thian Ho Sianjin?"
Suara Siangkoan Kok halus dan ramah, juga sangat sopan seperti cara bicara seorang yang terpelajar
tinggi.
Diam-diam utusan Pat-kwa-pai itu terkejut. Sikap ketua Pao-beng-pai ini seakan-akan sudah mengenal
baik ketuanya, yaitu Thian Ho Sianjin! Ketua Pat-kwa-pai itu adalah gurunya, dan dia merupakan murid
pertama. Dia mewakili gurunya datang bersama tiga orang sute-nya dan mereka berempat merupakan
tokoh-tokoh Pat-kwa-pai yang kuat.
"Kami yang menjadi utusan adalah murid-murid suhu yang menjadi ketua Pat-kwa-pai," katanya.
"Ahh, kiranya murid-murid Thian Ho Sianjin. Sahabat, kalian kami undang ke sini untuk persahabatan dan
kerja sama, bukan untuk saling bertanding," ucapan itu seperti suatu teguran.
"Akan tetapi, Pangcu, kami harus mendapat bahan untuk laporan kepada ketua kami tentang Pao-bengpai,"
bantah tokoh Pat-kwa-pai itu.
Siangkoan Kok tersenyum. "Baiklah, kalau begitu marilah kita latihan sebentar. Berapa orang dari Pat-kwapai
yang datang?"
"Kami datang berempat."
"Silakan yang tiga orang lagi ke sini ikut latihan."
Mendengar ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menggapai ke arah tiga orang sute-nya. Lebih kuat keadaan mereka
lebih baik, pikirnya. Ketiga orang murid Pat-kwa-pai itu bangkit dan nampak tubuh mereka melayang ke
sudut itu. Gerakan mereka ringan, dan ketika sudah berdiri di situ, nampaklah betapa tiga orang ini pun
bertubuh tegap dan nampak kokoh kuat.
"Bagus, Thian Ho Sianjin memiliki murid-murid yang gagah sekali. Nah, sekarang kalian berempat boleh
menyerangku sekuat kalian. Aku tak akan mengelak, takkan membalas pula, hanya menangkis saja. Kalau
dalam dua puluh jurus kalian berhasil memukulku, berarti aku kalah."
Empat orang itu tercengang, juga semua tamu terbelalak. Orang itu terlalu sombong! Semua orang
mengetahui betapa lihainya orang-orang Pat-kwa-pai, apa lagi empat orang itu adalah murid-murid ketua
Pat-kwa-pai. Kepandaian mereka tentu sudah tinggi.
Tidak akan mengherankan kalau ketua Pao-beng-pai ini lebih lihai dari mereka. Akan tetapi menghadapi
pengeroyokan mereka selama dua puluh jurus tanpa mengelak dan tanpa membalas, hanya menangkis
saja? Ketua Pao-beng-pai itu pasti akan celaka oleh kesombongannya sendiri.
"Baik, kami setuju!" kata si gendut dengan penuh semangat. Guru mereka sendiri belum tentu akan dapat
bertahan, apa lagi orang sombong ini, pikirnya.
"Nah, mulailah, aku sudah siap." Kata Siangkoan Kok dengan sikap tenang sekali.
Keempat orang murid Pat-kwa-pai itu sudah memasang kuda-kuda serta menghimpun tenaga sakti. Akan
tetapi Siangkoan Kok masih tenang saja, berdiri seenaknya, bahkan melirik pun tidak ketika salah seorang
di antara empat orang lawan itu melangkah ke belakangnya. Sekarang ia dikepung empat orang yang
mengambil kedudukan di depan, belakang, kanan dan kirinya.
"Pangcu, jaga serangan kami!" seru si gendut yang berada di depan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia mulai menyerang dengan pukulan yang kuat sekali dari depan, ke arah dada lawan. Bertubi-tubi tiga
orang pengeroyok lainnya juga mengirim pukulan dan rata-rata pukulan mereka itu kuat sekali,
mendatangkan angin pukulan yang membuat baju Siangkoan Kok berkibar.
Ketua Pao-beng-pai ini tidak mengelak, sesuai dengan janjinya tadi. Akan tetapi kedua tangannya bergerak
cepat menangkisi pukulan-pukulan itu sambil memutar tubuhnya.
"Duk-duk-duk-plakkk!" Empat orang itu terpental ke belakang!
Mereka terkejut dan maklum bahwa ketua Pao-beng-pai ini mempunyai tenaga sinkang yang hebat bukan
main. Pantas saja berani menghadapi mereka tanpa mengelak hanya mengandalkan tangkisan.
Akan tetapi, karena mereka tidak khawatir kalau dibalas seperti yang sudah dijanjikan, mereka pun
memperhebat serangan, menghantam atau menendang bertubi-tubi sambil mengerahkan seluruh tenaga
mereka. Bahkan mereka juga mengerahkan tenaga yang mengandung hawa beracun!
Namun, Siangkoan Kok dapat menangkis semua pukulan itu dan agaknya sama sekali tidak terpengaruh
oleh hawa beracun yang terkandung dalam tangan mereka dan setiap kali tertangkis, tentu si pemukul
sendiri yang terpental dan lengan mereka terasa nyeri bukan main.
Sepuluh jurus sudah lewat dan mereka belum juga dapat menyentuh tubuh Siangkoan Kok, apa lagi
memukulnya. Padahal, ketua Pao-beng-pai itu tidak pernah mengelak! Si gendut memberi isyarat kepada
tiga orang sute-nya untuk mempercepat serangan. Dia hanya memiliki dua buah tangan, kalau diserang
secara cepat oleh empat orang, tidak akan dapat menangkis lagi dan terpaksa harus mengelak. Sekali saja
mengelak berarti dia melanggar janji dan dapat dianggap kalah!
Akan tetapi, sebelum isyarat ini dilaksanakan, tiba-tiba Siangkoan Kok mengeluarkan seruan nyaring dan
tubuhnya berputar seperti gasing! Sukar bagi empat orang itu untuk mengetahui kedudukan badan lawan,
karena tubuh itu berputar sangat cepat dan kedua tangannya menjadi banyak sekali.
Mereka masih mencoba untuk memukul tubuh yang berputar itu. Akan tetapi setiap kali pukulan mereka
bertemu dengan tangkisan lawan lantas membuat mereka terpelanting. Kini kedua lengan mereka sudah
bengkak-bengkak karena berkali-kali bertemu dengan lengan Siangkoan Kok.
Si gendut lalu memberi isyarat kepada tiga orang sute-nya untuk memasang kuda-ruda dan berdiam diri,
tak menyerang lagi. Melihat ini, Siangkoan Kok menghentikan putaran tubuhnya dan begitu dia berhenti,
empat orang itu menyerang pada detik yang sama! Inilah siasat terakhir para murid Pat-kwa-pai itu untuk
mengalahkan lawan. Tak mungkin dua lengan lawan itu dapat menangkis empat pukulan dari depan dan
belakang dengan berbareng pada saat yang sama!
Tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat ke atas. Di udara tubuhnya merentang, kedua tangan menangkis ke
depan dan kedua kaki menangkis ke belakang. Dan sekali ini, tenaganya sedemikian besar dan kuatnya
sehingga empat murid Pat-kwa-pai itu terjengkang dan roboh!
Tentu saja semua tamu kagum bukan main, bahkan beberapa orang bertepuk tangan memuji, memancing
yang lain untuk bertepuk tangan pula.
Empat orang tokoh Pat-kwa-pai itu bangkit, mengebut-ngebutkan pakaian yang terkena debu sambil
mengerang kesakitan karena kedua lengan mereka biru-biru dan bengkak-bengkak, lalu dipimpin oleh si
gendut, mereka memberi hormat.
"Kami mengakui kelihaian Pangcu dan kini kami mempunyai bahan untuk menceritakan kepada para
pimpinan Pat-kwa-pai," kata si gendut.
"Sampaikan salamku kepada Thian Ho Sianjin," kata ketua Pao-beng-pai itu. Dengan tenang dia duduk
kembali ke tempatnya semula, tidak nampak sedikit pun keringat pada wajah dan lehernya.
"Siancai..., tenaga sinkang Pangcu dari Pao-beng-pai memang hebat bukan main. Kami semua merasa
kagum!" Tiba-tiba terdengarlah suara yang diikuti berkelebatnya sesosok bayangan orang ke sudut
ruangan di mana pertandingan tadi berlangsung.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua orang memandang. Dia adalah seorang pria berpakaian pendeta dengan jubah panjang. Usianya
sudah enam puluh empat tahun. Tubuhnya pendek kurus tetapi masih nampak segar seperti tubuh kanakkanak,
akan tetapi mukanya keriputan dan kelihatan sudah tua sekali. Di punggungnya tergantung
sebatang pedang yang kelihatan terlalu panjang karena tubuhnya yang pendek kecil.
Melihat pria itu, gadis berpakaian putih segera berkata, "Totiang (Pak Pendeta) tentunya wakil dari Peklian-
pai. Apa kehendak Totiang?"
"Siancai...! Seperti juga saudara dari Pat-kwa-pai tadi, kami dari Pek-lian-pai ingin pula membuktikan
sendiri kelihaian pimpinan Pao-beng-pai. Akan tetapi pinto (aku) tidak mau melakukan pengeroyokan, pinto
hanya ingin membuktikan kelihaian kalian bila bermain pedang. Nah, siapa di antara para pimpinan Paobeng-
pai yang berani melayani pinto bermain pedang?"
Sekali tangan kanannya bergerak, pendeta Pek-lian-kauw itu telah mencabut sebatang pedang yang
berkilauan saking tajamnya. Cara dia mencabut pedang saja menunjukkan kemahirannya.
Tentu saja dia lihai karena tosu ini adalah Kui Thiancu, seorang tokoh Pek-lian-kauw yang lihai dan
dipercaya oleh para pimpinan perkumpulan pemberontak itu. Sekarang ia datang sebagai wakil Pek-lianpai
bersama dua orang sute-nya. Dia tadi sudah melihat betapa hebat tenaga sinkang dari ketua Paobeng-
pai, oleh karena itu, dia menantang untuk bertanding ilmu pedang yang menjadi andalannya…..
Kembali keluarga ketua Pao-beng-pai nampak saling berbisik. Agaknya Siangkoan Eng meminta perkenan
kepada ayahnya untuk mewakili ayahnya menyambut tantangan tosu Pek-lian-kauw itu. Siangkoan Kok
mengangguk memberi ijin dan dari tempat duduknya, ketua Pao-beng-pai itu berkata kepada Kui Thiancu.
"Sobat, kenapa Pek Sim Siansu tidak datang sendiri?"
Mendengar pertanyaan itu, Kui Thiancu mengerutkan alisnya. Pek Sim Siansu adalah ketua Pek-lian-kauw
yang masih terhitung paman gurunya. Kiranya ketua Pao-beng-pai ini mengenal ketua Pek-lian-kauw pula!
"Pangcu, ketua kami mengutus kami untuk datang sebagai wakil Pek-lian-pai, supaya melihat apakah Paobeng-
pai cukup pantas untuk menjadi rekan seperjuangan. Ketua kami adalah paman guru kami."
"Andai kata Pek Sim Siansu sendiri yang datang, tentu akan kusambut ajakannya untuk berlatih pedang.
Akan tetapi sekarang hanya murid keponakannya yang datang. Aku akan mewakilkan saja kepada puteriku
untuk bertanding ilmu pedang!"
Siangkoan Eng kemudian bangkit dan dengan tenangnya melangkah menghampiri tosu Pek-lian-kauw itu.
Semua orang memandang kagum dan juga tegang. Gadis itu nampak demikian lembut dan anggun, cantik
jelita, bagaimana akan dapat menandingi seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah terkenal akan
kelihaiannya?
Kui Thiancu sendiri mengerutkan alisnya dan memandang rendah. Dia sudah pandai bermain pedang
sebelum gadis yang usianya baru dua puluh tahun lebih ini lahir! Dia telah menguasai ilmu pedang selama
puluhan tahun, sedangkan gadis ini paling banyak hanya belajar silat selama belasan tahun saja.
Apa lagi dalam hal pengalaman bertanding. Sudah ratusan kali dia bertanding melawan orang-orang yang
lihai, sedangkan gadis ini? Mungkin belum pernah bertemu tanding yang sungguh-sungguh.
Kui Thiancu tersenyum pahit karena merasa sangat direndahkan dengan kemunculan seorang bocah untuk
menandinginya. Diam-diam dia mengerahkan ilmu sihirnya. Setiap orang tosu Pek-lian-kauw yang sudah
tinggi kedudukannya tentu pandai menggunakan ilmu sihir.
Ia lalu mengerahkan kekuatan sihirnya terhadap gadis di depannya. Sepasang matanya bagai menembus
mata gadis itu, sedang mulutnya berkemak-kemik membaca mantera. Kemudian terdengar suaranya yang
menggetar mengandung penuh wibawa.
"Nona yang begini muda bagaimana hendak bermain-main dengan pedang yang tajam? Bila tergores
sedikit saja, kulitmu yang halus akan berdarah dan engkau akan menangis karena ngeri. Nah, sekarang
pun engkau sudah ingin menangis. Menangislah, Nona, menangislah karena engkau memang pantas
dikasihani! Menangislah...!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Kui Thiancu merasa diremehkan, maka kini dia hendak membalas dan membikin malu keluarga ketua Paobeng-
pai dengan ilmu sihirnya.
Akan tetapi, gadis itu tidak menangis, malah memandang kepadanya dengan matanya yang mencorong,
lalu bertanya dengan suara yang sungguh-sungguh, "Totiang, bagai mana sih caranya menangis itu? Aku
tidak pernah menangis, harap Totiang memberi contoh."
Tentu saja Kui Thiancu merasa heran. Seorang gadis muda tidak pernah menangis? Sungguh aneh.
"Bagaimana caranya menangis? Engkau sungguh belum tahu? Begini, Nona, beginilah caranya orang
menangis..."
Dan tosu itu lalu mengeluarkan suara tangis sambil menutupi muka dengan tangan kiri, sedangkan tangan
kanannya tetap memegang pedang.
"Huauuu-uuuuu... huuuuu-uuuhhh..."
Terdengar suara orang-orang tertawa geli karena pertunjukan itu memang lucu sekali. Kakek yang
tubuhnya pendek kurus dan mukanya keriputan sehingga nampak amat tua itu, yang mengenakan jubah
pendeta, tokoh Pek-lian-kauw, sekarang seperti anak kecil menangis di depan Siangkoan Eng yang cantik
dan kini tersenyum-senyum mengejek.
Mendengar suara tawa orang-orang di situ, Kui Thiancu baru menyadari keadaannya. Diam-diam dia
terkejut. Sihirnya yang dikerahkan untuk memaksa gadis itu menangis bahkan seperti senjata makan tuan.
Gadis itu ternyata tak terpengaruh sihirnya, bahkan menggunakan kekuatan sihir itu, ditambah
kekuatannya sendiri, membuat pengaruh itu membalik sehingga dialah yang lalu menangis, tanpa
disadarinya sendiri bahwa ia telah melakukan perbuatan yang lucu dan memalukan.
Tentu saja Kui Thiancu marah sekali, akan tetapi ia bukan seorang bodoh atau ceroboh. Dia adalah
seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah berpengalaman, maka biar pun dia mendapat malu di depan
banyak orang, namun dia dapat melihat kenyataan dan tidak menuruti hawa nafsu amarah.
Dia menyadari bahwa dia sudah membuat kesalahan besar, keliru menafsirkan orang dan terlalu
memandang rendah gadis puteri tuan rumah itu. Dia pun sudah mendengar bahwa Siangkoan Kok adalah
seorang bangsawan keturunan keluarga Kerajaan Beng yang selain tinggi ilmu silatnya, juga menguasai
ilmu sihir. Maka tidak mengherankan kalau puterinya juga pandai ilmu sihir.
"Hemmm, Nona masih muda sudah lihai dan juga cerdik sekali sehingga aku terjebak. Nah, sekarang aku
ingin melihat kehebatan ilmu pedangmu, Nona."
Dia menggerakkan tangan dan memutar-mutar pedang di atas kepala, sedemikian kuat dan cepatnya
sehingga pedang itu lenyap bentuknya, berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan
terdengar bunyi desing yang menyeramkan.
Siangkoan Eng masih tersenyum mengejek. Tangan kanannya bergerak dan dia sudah mencabut
pedangnya yang beronce merah, sedangkan tangan kirinya tetap memegang hud-tim (kebutan) yang
bergagang emas dan bulunya merah mengkilap itu.
Dengan sikap tenang gadis itu menyilangkan pedang dan kebutan di depan dada, lalu berkata, "Totiang,
aku sudah siap, silakan mulai memperlihatkan ilmu pedangmu yang hebat!"
Dalam ucapan yang dingin ini terkandung tantangan dan juga ejekan yang terasa sekali oleh Kui Thiancu
sehingga membuatnya marah sekali, akan tetapi hanya ditahannya di dalam hati.
Ini memang merupakan siasat yang cerdik dari Siangkoan Eng. Kemarahan akan dapat melemahkan
orang, membuat orang menjadi kurang waspada. Maka bagi seorang ahli silat, marah pada waktu
bertanding merupakan pantangan besar karena hanya akan merugikan diri sendiri.
Kui Thiancu yang sudah amat marah itu tidak mau lagi bersikap sungkan. Sebenarnya, sebagai seorang
yang jauh lebih tua, apa lagi memiliki kedudukan tinggi sebagai wakil sebuah perkumpulan besar seperti
dunia-kangouw.blogspot.com
Pek-lian-pai, seharusnya dia merasa malu bila harus menyerang lebih dahulu dalam sebuah pi-bu melawan
seorang gadis muda. Akan tetapi karena sudah amat marah, dia tidak lagi peduli dan putaran pedangnya di
atas kepala semakin kuat dan cepat.
"Nona, jaga baik-baik seranganku ini!" bentaknya dan pedang itu makin cepat berdesing membentuk sinar
yang membentuk gulungan lingkaran, lalu dari lingkaran itu mencuat sinar menyambar ke arah Siangkoan
Eng secara bertubi-tubi.
Gadis itu pun menggerakkan pedangnya untuk menangkis sementara kakinya membuat langkah-langkah
melingkar sehingga semua serangan itu gagal, luput atau tertangkis. Kemudian sambil menangkis, dia pun
membalas dengan serangan hud-tim di tangan kirinya. Begitu digerakkan, bulu hud-tim yang lemas itu
berubah kaku seperti kawat baja, dapat dipergunakan untuk menusuk, akan tetapi juga dapat lemas seperti
rambut yang dapat membelit lawan.
Pertandingan itu berlangsung dengan seru sekali. Karena merasa dirinya sebagai wakil perkumpulan
besar, tentu saja Kui Thiancu tidak mau kalah melawan seorang gadis. Dia pun mengerahkan seluruh
tenaga dan mengeluarkan semua jurus ilmu pedangnya.
Namun agaknya sedikit banyak gadis itu mengenal jurus-jurus ilmu pedang Pek-lian-pai. Buktinya, gadis itu
dapat menghindarkan diri dengan mudah dan tepat sekali. Bahkan serangan balasan dengan kebutannya,
setelah lewat dua puluh jurus, membuat tokoh Pek-lian-kauw itu mulai terdesak dan sibuk menghindarkan
diri.
Diam-diam kakek ini terkejut dan khawatir. Sungguh di luar dugaannya bahwa gadis ini benar-benar amat
lihai! Dia semakin memperhebat serangannya, bahkan mengeluarkan seluruh ilmu pedangnya. Namun
tetap saja dia menghadapi benteng pertahanan yang tidak mampu ditembus oleh gulungan sinar
pedangnya. Sebaliknya, sambaran bulu-bulu kebutan itu membuat dia semakin repot dengan loncatan ke
kanan kiri dan memutar pedang untuk melindungi tubuhnya.
Ketika kembali dia membacokkan pedangnya dengan pengerahan tenaga, bulu kebutan itu menyambut
dan melibat pedangnya dengan lilitan bagaikan ular. Dan pada saat yang sama pula, pedang di tangan
gadis itu menyambar, membacok ke arah pergelangan tangannya yang memegang pedang!
Serangan ini hebat sekali dan tidak ada lain jalan bagi Kui Thiancu kecuali melepaskan pedangnya dan
meloncat ke belakang kalau dia tidak ingin tangannya terbabat buntung di pergelangannya! Dengan muka
berubah kemerahan dia meloncat ke belakang dan melepaskan pedangnya yang kini masih terbelit hudtim.
Siangkoan Eng juga tidak mengejar. Sambil tersenyum dingin gadis ini memandang kepada lawannya, lalu
berkata, "Totiang, terimalah kembali pedangmu!"
Dia menggerakkan hud-tim di tangan kiri, dan pedang rampasan itu meluncur ke arah pemiliknya! Wajah
tokoh Pek-lian-pai itu berubah pucat, akan tetapi dia menyambut pedangnya dan dia pun maklum bahwa
dia tidak akan menang melawan gadis itu. Kalau tadi dia merasa penasaran, kini dia kagum bukan main.
Kalau puterinya saja sehebat itu, apa lagi ayahnya. Dan dia pun mendengar bahwa ibu gadis ini, Lauw Cu
Si, ialah seorang keturunan para pimpinan Beng-kauw, perkumpulan yang dahulu amat terkenal sebagai
perkumpulan besar kaum sesat yang telah hancur. Dan kabarnya, isteri Siangkoan Kok itu pun memiliki
ilmu yang lihai, di samping ilmu sihir.
"Nona memang hebat, pinto mengaku kalah," lalu dia menghadap ke arah tuan rumah dan memberi
hormat. "Pangcu, sekarang pinto yakin bahwa Pao-beng-pai merupakan kawan seperjuangan yang layak
dihargai dan pinto dapat memberi kabar kepada para pimpinan Pek-lian-kauw."
Tentu saja Siangkoan Kok merasa girang. "Terima kasih, Totiang dan silakan duduk."
Setelah tokoh Pek-lian-kauw itu duduk kembali, bangkitlah seorang di antara tiga orang pemuda yang
belum mau memperkenalkan diri. Dia seorang pemuda berusia tiga puluh tahun yang bertubuh tinggi
besar, kepalanya botak dan kulitnya kuning dengan mata yang sipit. Gerakannya tangkas ketika dia
melompat ke atas ruangan tempat mengadu ilmu itu dan dia pun menjura kepada pihak tuan rumah.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Melihat kepandaian Nona Siangkoan, hati saya penuh rasa kagum dan sebelum saya memperkenalkan
diri sebagai murid Kong-thong-pai, saya ingin berkenalan lebih dahulu dengan ilmu silat puteri tuan rumah!
Nona, silakan maju dan melayaniku beberapa belas jurus!" Sikapnya kaku dan agak takabur, seperti bukan
sikap seorang ahli silat di dunia kang-ouw yang berpengalaman.
Siangkoan Eng tentu saja tidak mau melayani seorang tamu seperti itu. Kalau tadi dia mewakil ayahnya
menandingi Kui Thiancu adalah karena mengingat bahwa Pek-lian-pai sebuah perkumpulan pejuang yang
besar dan dia tahu bahwa para tosu Pek-lian-kauw amat lihai. Akan tetapi, biar laki-laki muda itu murid
perkumpulan silat Kong-thong-pai, sikapnya demikian hijau dan dungu.
Dia memberi isyarat kepada seorang di antara pelayannya, yaitu yang berpakaian serba kuning,
pelayannya yang paling lihai, lalu berkata lantang.
"Sahabat dari Kong-thong-pai, untuk menyambut tantanganmu, aku mewakilkan kepada salah seorang
pelayanku. Kalau engkau dapat mengalahkannya, barulah engkau pantas menantangku!"
Sesosok bayangan kuning berkelebat dan wanita muda berpakaian serba kuning yang juga cantik itu tahutahu
telah berdiri di depan pemuda Kong-thong-pai yang tidak mau mengenalkan diri sebelum menguji
kepandaian.
"Kongcu (Tuan Muda), saya mewakili Siocia untuk menandingi Kongcu. Silakan!"
Diam-diam murid Kong-thong-pai ini mendongkol bukan main. Dia adalah seorang murid unggulan dari
Kong-thong-pai, dan dia dipercaya para pimpinan perkumpulannya untuk mewakili Kong-thong-pai. Namun
di sini dia dipandang rendah sekali, tingkatnya hanya disejajarnya dengan seorang pelayan dari puteri tuan
rumah! Keterlaluan sekali!
Maka, dia pun melawan aksi meremehkan dari pihak tuan rumah itu dengan sikap yang angkuh, "Baik,
sebagai tamu saya tentu saja menerima semua peraturan tuan rumah. Akan tetapi, saya tidak mau mencari
kemenangan dari seorang pelayan! Kalau wakil Nona Siangkoan ini mampu bertahan melawanku selama
dua puluh jurus maka aku mengaku kalah!"
Melihat lagak orang yang meremehkan dirinya itu, si baju kuning hanya tersenyum saja. Dengan sikap
tetap menghormat sebagai seorang pelayan terhadap tamu majikannya, dia tersenyum dan memberi
hormat,
"Kongcu, saya sudah siap. Silakan Kongcu mengalahkan saya sebelum dua puluh jurus itu."
Melihat sikap si pelayan yang menantang, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran.
Mukanya yang kuning kini berubah merah dan dia pun membentak, "Lihat seranganku!"
Dan dia pun sudah menerjang dengan ganas. Ilmu silat yang dia mainkan adalah ilmu silat Kong-thong-pai
yang banyak menggunakan gerakan kedua lengan dikembangkan seperti sepasang sayap burung rajawali
dan kedua tangan dapat menyambar dari kanan kiri secara cepat sekali. Serangan pertama itu dilakukan
dengan gerakan seperti seekor harimau menerkam kambing, kedua lengan yang dikembangkan itu
membuat gerakan ke depan, dan kedua tangannya menerkam dari kanan kiri dengan tubuh melompat.
Akan tetapi, nona baju kuning itu adalah pelayan Siangkoan Eng yang nomor satu, serta merupakan
pelayan kepercayaan yang telah menguasai ilmu silat paling tinggi di antara rekan-rekannya. Menghadapi
terkaman yang dahsyat itu, dia pun bersikap lincah dan meloncat ke belakang, lalu memutar tubuh
sehingga serangan lawan luput dan dia pun telah menggerakkan kaki ketika memutar tubuh tadi,
membalas serangan lawan dengan sebuah tendangan kaki yang mencuat ke arah dada lawan!
Melihat kelincahan lawan, pemuda Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran. Dia memutar
lengannya dan berusaha menangkap kaki yang menendangnya. Akan tetapi gadis pelayan itu sudah
maklum akan niat lawan, maka ia pun menarik kembali kakinya, meloncat dengan gerakan cepat sekali ke
kiri, kemudian dari kiri ia mengirim tamparan ke arah kepala lawan!
Sekali ini, pemuda itu tidak berani bersikap lengah. Untuk menangkis tidak ada waktu lagi, maka terpaksa
dia melempar tubuh ke belakang agar terhindar dari tamparan yang cukup berbahaya itu karena dia dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
merasakan sambaran angin pukulan yang cukup kuat. Tahulah dia bahwa gadis berpakaian kuning itu, biar
pun hanya seorang pelayan, ternyata memiliki ilmu kepandaian tinggi dan merupakan lawan berat.
Maka ia pun tidak berani lagi memandang rendah. Dia mulai menyerang dengan gencar dan tanpa
sungkan lagi. Setelah lewat sepuluh jurus dan dia sama sekali belum mampu mengalahkan lawan, bahkan
mendesak pun tak mampu, pemuda murid Kong-thong-pai itu menjadi semakin penasaran.
Ia segera mengeluarkan semua jurus pilihan yang paling dia andalkan, namun gadis itu mampu
menandinginya, bahkan mampu pula membalas dengan tak kalah kuatnya. Dua puluh jurus lewat dan
pemuda Kong-thong-pai itu melompat mundur. Mukanya berubah merah sekali.
"Dua puluh jurus telah lewat, aku mengaku kalah!”
Siangkoan Eng tersenyum, kini senyumnya tidak mengejek lagi karena bagaimana pun juga, dia senang
dengan sikap jantan pemuda itu yang tidak malu-malu untuk mengakui kekalahannya sesuai dengan
janjinya, walau pun sebenarnya dia belum kalah.
"Lanjutkanlah sampai ada yang kalah karena sesungguhnya engkau belum kalah, sobat dari Kong-thongpai!"
katanya lembut.
"Hemmm, aku Koan Tek adalah seorang lelaki sejati yang menjunjung tinggi nama dan kebesaran nama
Kong-thong-pai. Tadi aku sudah berjanji, dan ternyata setelah lewat dua puluh jurus aku masih belum
mampu mengalahkannya, berarti aku kalah. Pangcu, terimalah hormatku!" katanya sambil memberi hormat
kepada Siangkoan Kok.
Ketua Pao-beng-pai yang tinggi besar ini mengangguk dan membalas penghormatan pemuda wakil Kongthong-
pai itu. "Silakan duduk, saudara Koan Tek!"
Kini tinggal dua orang tamu yang masih belum mau memperkenalkan diri dan mereka adalah dua orang
pemuda yang kebetulan tidak saling berjauhan duduknya. Sekarang perhatian semua tamu ditujukan
kepada kedua orang pemuda itu, bertanya-tanya siapa kiranya mereka berdua. Di antara mereka yang
hadir, tidak ada yang mengenal mereka, maka tentu saja semua orang merasa heran bagaimana ada dua
orang pemuda yang tidak terkenal berani bersikap begitu angkuh, tidak mau memperkenalkan diri lebih
dulu kepada pihak tuan rumah!
Dua orang pemuda yang merasa menjadi pusat perhatian itu, kini juga saling pandang. Mereka belum
saling mengenal, namun mereka berdua seperti merasakan suatu ikatan dan sepenanggungan. Keduanya
merasa menjadi pusat perhatian sebab hanya mereka berdua saja yang kini belum lagi memperkenalkan
diri, dan diharapkan mereka berdua akan menguji pihak tuan rumah seperti tadi dilakukan oleh wakil-wakil
Pek-eng Bu-koan, Pat-kwa-pai, Pek-lian-pai dan Kong-thong-pai.
Pemuda pertama berusia kurang lebih dua puluh dua tahun, berperawakan sedang dan tegap. Wajahnya
bulat, berkulit putih bersih. Sepasang matanya tajam, hidungnya agak besar dan mancung, mulutnya selalu
terhias senyum manis dan alisnya tebal.
Dia seorang pemuda yang tampan. Sikapnya juga sangat anggun, tidak malu-malu dan berwibawa.
Pemuda ini bukan lain adalah Pangeran Cia Sun yang sedang melakukan penyamaran!
Dia meninggalkan istana untuk mencari pengalaman, menyamar sebagai pemuda biasa. Karena dia
seorang yang semenjak kecil suka mempelajari silat, kini ia ingin meluaskan pengetahuan dan menjelajahi
dunia kang-ouw.
Maka, mendengar akan pertemuan yang diadakan oleh Pao-beng-pai, apa lagi sesudah mendengar bahwa
Pao-beng-pai adalah perkumpulan yang anti terhadap pemerintahan kakeknya, yaitu Kaisar Kian Liong, dia
tertarik dan sengaja datang berkunjung. Tentu saja dia tidak akan mengaku bahwa dia adalah seorang
pangeran, karena hal itu sama saja dengan mencari kematian.
Kalau perkumpulan Pao-beng-pai itu anti pemerintah Kerajaan Ceng, tentu mereka akan membunuhnya
ketika mengetahui bahwa dia seorang pangeran Mancu! Di sepanjang perjalanannya pun ia mengaku
bernama Cia Ceng Sun. Dia memakai namanya sendiri, hanya menambahkan huruf Ceng di tengah, yaitu
yang berarti kerajaan atau Dinasti Kerajaan Mancu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan karena sejak kecil dia hidup dalam pendidikan seperti orang Han, maka tidak ada seorang pun yang
tahu bahwa ia seorang pangeran Mancu. Dalam segala hal ia adalah seorang pemuda Han biasa. Dia
pandai silat dan pandai pula dalam hal kesusastraan bangsa Han.
Pemuda yang kedua juga tampan, berusia lebih tua, kurang lebih dua puluh enam tahun dan sikapnya
lebih matang dan pendiam. Dia pun tampan, walau pun ketampanannya berbeda dengan ketampanan
Pangeran Cia Sun yang kini kita kenal sebagai pemuda Cia Ceng Sun.
Pemuda ke dua ini bermuka lonjong dengan dua mata yang tajam, hidung mancung dan mulutnya ramah
tersenyum. Dagunya runcing berlekuk, rambutnya panjang dan hitam, alisnya tebal dengan dahi lebar.
Perawakannya juga hampir sama dengan perawakan Cia Ceng Sun, sedang dan tegap. Gerak-geriknya
amat tenang, sikapnya seperti acuh tak acuh walau pun wajahnya ramah.
Pemuda ini bukan lain adalah Yo Han, pemuda perkasa yang dijuluki Sin-ciang Taihiap (Pendekar Besar
Tangan Sakti). Namun, karena ketika dia dijuluki Tangan Sakti itu tidak pernah ada orang yang melihat
wajahnya, maka sekarang tidak ada seorang pun yang mengenalnya sebagai pendekar itu di dalam
pertemuan orang-orang dunia persilatan di situ.
Berbeda dengan Cia Ceng Sun yang pergi meninggalkan istana dengan tujuan hendak memperdalam
pengetahuan dan meluaskan pengalaman, Yo Han datang ke tempat itu dalam rangka menunaikan
tugasnya yang teramat sulit, yaitu mencari puteri bibinya Can Bi Lan dan suami bibinya si Pendekar Suling
Naga Sim Houw.
Para pembaca kisah Si Bangau Merah tentu mengenal baik siapa Yo Han. Dia seorang yatim piatu.
Mendiang ayahnya adalah Yo Jin, seorang petani biasa yang jujur namun berjiwa gagah, sedangkan
mendiang ibunya adalah seorang tokoh sesat yang sudah bertobat, berjuluk Bi Kwi (Setan Cantik), su-ci
dari Can Bi Lan atau Nyonya Sim Houw.
Semenjak kecil, Yo Han dididik oleh Tan Sin Hong dan isterinya, Kao Hong Li sehingga sejak kecil Yo Han
sudah akrab dengan Tan Sian Li Si Bangau Merah sebagai kakak seperguruan. Akan tetapi, ketika
kecilnya, Yo Han sama sekali tidak suka belajar atau berlatih ilmu silat.
Biar pun suami isteri Tan Sin Hong Si Bangau Putih dan Kao Hong Li merupakan suami isteri yang sakti
dan mengajarkan silat kepadanya, Yo Han hanya mempelajari teorinya saja dan tidak pernah mau berlatih.
Dia selalu menganggap bahwa ilmu silat adalah ilmu kekerasan yang hanya dipelajari orang-orang yang
suka berkelahi untuk saling bunuh dengan orang lain.
Karena ulahnya ini, maka suami isteri pendekar itu merasa khawatir kalau-kalau puteri mereka yang amat
akrab dengan Yo Han kelak akan ketularan sikap itu. Oleh karena itu mereka ingin memisahkan dua orang
anak itu dengan menitipkan Yo Han pada sebuah perguruan silat yang baik.
Yo Han mendengar hal ini dan dia pun lebih dahulu meninggalkan keluarga itu. Dengan nekat dia
mengikuti seorang iblis betina setelah berhasil membujuk iblis betina itu untuk melepaskan Sian Li kecil
yang diculiknya dan dia menyerahkan diri sebagai penukarnya.
Demikianlah, setelah ikut dengan iblis betina itu ia mengalami banyak penderitaan yang aneh-aneh sampai
akhirnya dia bertemu dengan mendiang kakek Ciu Lam Hok yang buntung kaki tangannya, namun yang
memiliki ilmu luar biasa. Akhirnya Yo Han menjadi pewaris tunggal ilmu Bu-kek Hoat-keng dari kakek itu,
yang lalu membuat dia menjadi seorang pendekar sakti.
Ketika Yo Han merantau ke barat dan terkenal dengan julukan Sin-ciang Taihiap yang mukanya tidak
pernah dikenal oleh orang lain, secara kebetulan dia bertemu kembali dengan Sian Li yang telah menjadi
seorang gadis cantik. Mereka saling mengenal dan kasih sayang yang sejak kecil sudah tumbuh dalam hati
mereka, kini berubah menjadi cinta kasih dewasa antara pria dan wanita!
Namun, kembali ayah dan ibu Sian Li tidak menyetujui hubungan mereka karena suami isteri pendekar itu
khawatir kalau-kalau Yo Han mewarisi watak mendiang ibunya yang dulu pernah menjadi seorang wanita
golongan sesat yang jahat. Maka, terang-terangan mereka memberi tahu kepada Yo Han bahwa Sian Li
telah dijodohkan dengan seorang pangeran di kota raja!
dunia-kangouw.blogspot.com
Yo Han menjadi sangat terpukul. Pada saat diingatkan akan lenyapnya puteri bibinya, dia pun bertekad
untuk mencari puteri bibinya itu sampai dapat dia temukan dan dia kembalikan kepada bibinya.
Demikianlah tentang riwayat singkat Yo Han Si Pendekar Tangan Sakti. Dan pada hari itu, sebetulnya dia
mendengar tentang pertemuan para orang gagah yang diadakan oleh Pao-beng-pai, maka dia pun sengaja
berkunjung dengan maksud untuk mencari jejak adik misannya yang dicuri penjahat pada waktu masih
kecil.
Yo Han maklum sepenuhnya alangkah sulitnya tugas yang dipikulnya. Mencari seorang anak perempuan
yang hilang dua puluh tahun yang lalu, dan ketika hilang diculik orang masih berusia tiga tahun!
Dia tidak tahu siapa penculiknya, juga tidak pernah melihat anak perempuan itu. Yang dia ketahui hanya
bahwa anak perempuan itu adalah puteri Sim Houw dan Can Bi Lan, nama anak itu Sim Hui Eng dan
mempunyai tanda pengenal yang mustahil untuk dapat dilihat orang, yaitu noda merah di tapak kaki kanan
dan tahi lalat hitam di pundak kiri.
Bagaimana mungkin melihat kedua tanda itu di tubuh seorang gadis tanpa membuka sepatu dan bajunya?
Dan sudah pasti pula anak berusia tiga tahun itu sudah lupa sama sekali akan ayah dan ibu kandungnya,
tak tahu lagi bahwa ia adalah anak yang diculik. Itu pun kalau anak itu masih hidup!
Sungguh merupakan suatu usaha yang teramat sulit, bahkan agaknya mustahil untuk bisa menemukan
anak yang hilang pada dua puluh tahun yang lalu itu. Akan tetapi, Yo Han mempunyai akal.
Bila dia tidak dapat menemukan kembali anak itu, setidaknya dia berusaha menyelidiki siapa pelaku
penculikan itu. Hal ini tentu hanya dapat dia lakukan dengan menyelidiki dunia kang-ouw, bahkan di antara
golongan sesat. Maka, untuk tugas itulah sekarang ia sengaja datang menghadiri pertemuan itu dan
sengaja dia tidak mau memperkenalkan diri sesuai dengan rencana siasatnya.
Ketika dua orang pemuda itu saling pandang, Yo Han tersenyum dan dengan tangannya dia memberi
isyarat, mempersilakan pemuda tampan murah senyum itu untuk bertindak lebih dahulu. Dia hadir di sana
karena ingin menyelidiki keberadaan adik misannya yang belum tentu terdapat di tempat itu, tidak memiliki
tujuan lain.
Melihat isyarat gerakan tangan itu, Cia Ceng Sun tersenyum lebar dan mengangguk. Pemuda ini pun
kemudian mulai melangkah dengan ringan dan santai menuju ke ruang tempat bertanding silat. Dia berdiri
di tengah ruangan dan menjura kepada pihak tuan rumah. Terdengarlah suaranya yang halus dan sopan,
juga dengan gaya bahasa yang menunjukkan bahwa dia bukanlah seorang kang-ouw kasar biasa,
melainkan seorang yang terpelajar.
"Harap Pangcu dari Pao-beng-pai sekeluarga suka memaafkan saya. Bukan karena ketinggian hati maka
saya belum memperkenalkan nama, namun karena tertarik akan kehebatan ilmu silat keluarga Siangkoan
yang tadi telah diperlihatkan. Oleh karena saya memang bermaksud meluaskan pengalaman dan
menambah pengetahuan, maka saya ingin mempergunakan kesempatan ini untuk sekedar menambah
pengetahuan dengan jalan bertanding silat secara persahabatan, sebelum saya memperkenalkan nama
saya yang tidak berarti."
Sikap yang lembut dan kata-kata yang amat sopan seperti biasa dilakukan orang-orang terpelajar dan
kaum bangsawan, tidak disuka oleh kebanyakan orang dunia kang-ouw, maka di sana-sini terdengar
ejekan terhadap pemuda tampan itu. Bahkan ada pula yang menganggap bahwa pemuda ini tentu tak
memiliki kemampuan yang berarti dalam ilmu silat, hanya pandai berlagak saja.
Akan tetapi tidak demikianlah kesan yang didatangkan Cia Ceng Sun kepada keluarga tuan rumah.
Siangkoan Kok adalah seorang bangsawan pula, bahkan masih keturunan keluarga Kaisar Beng. Sejak
kecil dia terbiasa dengan tata-cara dan sopan-santun yang berlaku di antara para bangsawan, di antaranya
sikap yang halus dan kata-kata yang indah. Oleh karena itu, sikap pemuda tampan itu sungguh menarik
perhatiannya dan dia merasa senang.
Demikian pula dengan Siangkoan Eng. Biar pun tidak mengalami kehidupan bangsawan istana, namun
karena di dalam keluarganya, ayahnya masih memakai peraturan seperti keluarga bangsawan, ia pun
tertarik melihat pemuda yang berbeda dari pemuda biasa itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda itu berwajah tampan, anggun dan berwibawa. Sikapnya begitu lemah lembut, akan tetapi telah
berani maju untuk menguji ilmu silat. Seketika hatinya tertarik kepada pemuda itu, maka ia berbisik-bisik
kepada pelayannya, si baju kuning yang lihai, dengan pesan agar pelayannya itu kembali mewakilinya
menguji si pemuda, akan tetapi jangan sekali-kali dilukai atau dibikin malu.
Si baju kuning mengerti dan mengangguk, kemudian ia maju menghadapi Cia Ceng Sun sambil memberi
hormat.
"Kongcu, saya bertugas melaksanakan perintah Siocia (Nona) untuk mewakili keluarga Siangkoan dan
melayanimu beberapa jurus."
Cia Ceng Sun tersenyum, ia tidak merasa dipandang rendah. Maka dia pun cepat-cepat membalas
penghormatan pelayan yang lihai itu.
"Aku tadi sudah melihat kelihaianmu, Nona pelayan. Tentu nona majikanmu jauh lebih lihai, maka
untunglah engkau yang maju sehingga bagaimana pun juga, lawanku lebih ringan. Mudah-mudahan aku
dapat mengimbangi kelihaianmu."
Si nona baju kuning juga amat senang melihat sikap pemuda tampan ini yang demikian rendah hati,
bahkan sikapnya menghormat terhadap dirinya, padahal ia hanya seorang pelayan.
"Kongcu, silakan mulai, saya sudah siap!" katanya lembut dan memperlihatkan senyum ramah.
"Baik, lihat seranganku!" dan Cia Ceng Sun sudah menggerakkan tangan melakukan serangan.
Karena ia maklum bahwa pelayan baju kuning ini cukup lihai, tentu saja ia tidak berani memandang
rendah. Begitu bergerak, dia sudah menyerang dengan sungguh-sungguh, memainkan jurus yang ampuh
dari ilmu silat aliran Siauw-lim-pai. Kepalan tangan kiri yang memukul lurus ke depan itu mendatangkan
angin pukulan yang kuat.
Nona baju kuning itu mengeluarkan seruan kagum dan cepat ia mengelak dengan lincah ke kiri sambil
membalas dengan sebuah tendangan. Namun, Cia Ceng Sun yang sudah menguasai banyak macam Ilmu
silat itu dapat menghindar dengan baik, bahkan lantas mengirim serangan balasan dengan cepat sekali,
mencengkeram pundak gadis pelayan itu dari samping.
Gerakan ini mengejutkan lawan yang kembali terpaksa harus meloncat ke belakang karena serangan
pemuda itu sungguh tidak boleh dipandang ringan dan sama sekali tidak boleh disamakan dengan murid
Kong-thong-pai tadi. Maka, si nona baju kuning kini mengeluarkan seluruh kepandaiannya untuk
mengimbangi, walau pun ia tetap ingat akan pesan nonanya agar tidak melukai atau membikin malu
pemuda itu.
Diam-diam dia mengeluh. Bagaimana mungkin? Untuk menang pun tidak akan mudah, pikirnya. Tak
disangkanya bahwa pemuda yang tampan dan sopan ini demikian lihainya dan ia pun merasa sangat
heran.
Selama ini Pao-beng-pai sudah menyebarkan banyak mata-mata untuk menyelidiki para tokoh dunia
persilatan, bahkan mencatat dan mempelajari ilmu-ilmu silat mereka. Akan tetapi, pemuda ini agaknya
luput dari pengawasan sehingga tidak dikenal oleh keluarga majikannya. Padahal, kepandaian pemuda ini
cukup hebat. Ia sendiri sampai kewalahan setelah mereka bertanding selama tiga puluh jurus. Mulailah ia
terdesak hebat!
Para tamu yang menonton pertandingan itu pun menjadi kagum. Apa lagi para tokoh dari aliran persilatan
besar seperti wakil Siauw-lim-pai. Mereka tertegun melihat betapa pemuda tampan itu memainkan
beberapa jurus dari ilmu silat aliran mereka!
Ilmu silat pemuda itu campur aduk, akan tetapi setiap jurus yang dimainkannya sudah mendekati
kesempurnaan! Dan mereka semua tidak pernah mengenal pemuda tampan itu!
Hal ini memang tidak aneh. Sebagai seorang pangeran, Cia Ceng Sun atau Cia Sun tentu saja tidak
menjadi murid biasa dalam sebuah perguruan. Dengan kekuasaannya dan kedudukan ayahnya, mudah
saja dia mendatangkan guru-guru silat dari berbagai aliran yang melatihnya secara rahasia.
dunia-kangouw.blogspot.com
Apa lagi, di antara para jagoan istana bangsa Mancu terdapat banyak tokoh persilatan pandai. Mereka ini
sudah berhasil mencari dan menguasai ilmu-ilmu silat dari berbagai aliran itu sehingga mereka dapat
mengajarkannya kepada Pangeran Cia Sun tanpa ada orang lain yang mengetahuinya.
Keadaan pangeran ini tentu saja berbeda dengan kakeknya, yaitu yang kini menjadi kaisar ketika masih
muda. Kaisar Kian Liong pun ketika masih muda juga bertualang dan mempelajari ilmu silat, akan tetapi dia
mempelajarinya dari para tokoh persilatan secara berterang sehingga namanya dikenal oleh semua tokoh
kang-ouw.
Siangkoan Eng memandang kagum dan hatinya semakin tertarik. Bukan main pemuda itu, pikirnya sambil
termenung. Ilmu silatnya tinggi, bahkan pandai memainkan jurus dari berbagai aliran persilatan. Wajahnya
tampan, sikapnya agung seperti bangsawan, serta gerak-geriknya lembut dan cara bicaranya menunjukkan
bahwa dia seorang terpelajar.
Belum pernah dia bertemu dengan seorang pemuda seperti ini! Dan pemuda itu mampu mengimbangi
pelayannya yang utama sampai lebih dari empat puluh jurus, bahkan kini pelayannya sudah terdesak
hebat.
"Haiiiiittttt!"
Tiba-tiba Cia Ceng Sun berseru nyaring dan serangannya mendatangkan angin pukulan yang amat kuat,
membuat nona baju kuning itu terpaksa menggunakan kedua tangan menangkis.
"Dukkk!"
Dua pasang lengan bertemu dan akibatnya, nona baju kuning itu terdorong ke belakang, terhuyung-huyung
dan hampir saja roboh kalau Siangkoan Eng tidak cepat melompat ke depan dan menyambar lengannya.
"Kau mundurlah!" kata Siangkoan Eng.
Pelayan itu pun mundur dan kini nona cantik jelita itu berhadapan dengan Cia Ceng Sun yang cepat
memberi hormat.
"Maaf kalau aku kesalahan tangan. Aku sudah puas dapat menguji ilmu silat dan biarlah kini aku mengaku
dan memperkenalkan namaku. Aku bernama Cia Ceng Sun, seorang pemuda perantau yang hidup di
antara langit dan bumi tanpa tempat tinggal tertentu. Aku pun tidak mewakili golongan mana pun, hanya
ingin meluaskan pengalaman." Dia memberi hormat ke arah ketua Pao-beng-pai dan hendak kembali ke
tempat duduknya.
"Cia Kongcu (tuan muda Cia), nanti dulu!" terdengar seruan halus dan Cia Ceng Sun menghentikan
langkahnya lalu memutar tubuhnya dan memandang kepada gadis jelita yang berhadapan dengannya.
"Nona, aku sudah memperkenalkan diri sebagai tamu, ada urusan apa lagikah yang dapat kulakukan untuk
keluarga tuan rumah?"
Siangkoan Eng tersenyum. Nampak giginya yang rata dan putih itu berkilauan sejenak. "Harap jangan
salah mengerti, Kongcu. Tadi engkau sudah memperkenalkan diri, tidak sepatutnya jika aku sebagai nona
rumah juga tidak memperkenalkan diri. Aku bernama Siangkoan Eng dan aku hendak mewakili orang tuaku
dan mewakili Pao-beng-pai untuk berkenalan dengan ilmu silatmu yang tinggi. Ingin sekali aku mengajak
engkau berlatih sejenak untuk mengenal ilmu masing-masing. Sudikah engkau memenuhi keinginanku ini,
Kongcu?"
Cia Ceng Sun terbelalak. Bukan main gadis ini! Begitu pandai membawa diri dan kalau tadi nampak begitu
dingin, kini begitu ramah dan wajahnya cerah seperti matahari baru terbit dari balik gunung.
Dan manisnya bukan main, cantik jelita seperti seorang puteri istana! Lebih lagi karena jika puteri istana
dikekang oleh adat istiadat yang kaku, gadis ini demikian bebas seperti bunga mawar hutan yang
semerbak harum dan indah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia teringat akan pesan ayahnya agar dia tidak jatuh hati kepada gadis lain, karena dia sudah ditunangkan
dengan seorang gadis lain yang juga seorang gadis perkasa dengan julukan Si Bangau Merah. Akan
tetapi, dia belum pernah berhadapan dengan Si Bangau Merah. Apakah ia secantik gadis di depannya ini?
"Nona Siangkoan terlalu memujiku. Kepandaian silatku memang hanya sejajar dengan tingkat kepandaian
pelayanmu, Nona. Kalau untuk melawanmu, mana mungkin aku bisa mengimbangimu?"
"Cia Kongcu, harap jangan terlalu merendahkan diri. Kita hanya berlatih sebentar untuk menambah
pengetahuan masing-masing dan harap jangan sungkan. Marilah, Kongcu."
Sikap Siangkoan Eng begitu membujuk dan manis sehingga Cia Ceng Sun yang tadinya tidak ingin
bertanding lagi, menjadi tertarik.
"Baik, harap jangan terlalu kejam kepadaku, Nona. Nah, aku sudah siap, silakan Nona mulai."
Pemuda itu maklum bahwa dia menghadapi lawan yang sangat tangguh. Maka kini dia telah memasang
kuda-kuda Lo-han-hun dari aliran Siauw-lim-pai, kuda-kuda yang amat kokoh, kuat dan tangguh seperti
benteng baja. Ketika melihat kuda-kuda ini, Siangkoan Eng tersenyum.
"Cia Kongcu, awas terhadap seranganku! Hiaaaaattttt...!"
Dan ia pun menyerang dengan jurus ilmu silat Siauw-lim-pai pula! Tentu saja Cia Ceng Sun terkejut dan
kagum, maka dia pun menyambut serangan itu dengan tangkisan dan membalas serangan lawan dengan
jurus ilmu silat Siauw-lim-pai.
Belasan jurus mereka saling serang dengan ilmu silat Siauw-lim-pai, kemudian tiba-tiba gadis itu
mengubah ilmu silatnya. Kini ia menyerang dengan ilmu silat dari Bu-tong-pai. Dan Cia Ceng Sun juga
mengimbangi dengan ilmu silat yang sama!
Demikianlah, pertandingan itu berlangsung seru bukan main. Keduanya menukar-nukar ilmu silat dan
selalu diimbangi lawan dengan ilmu yang sama. Gerakan mereka tangkas dan gesit, juga dalam hal tenaga
sinkang, mereka seimbang.
Sesungguhnya, kalau Siangkoan Eng menghendaki, tingkatnya masih lebih tinggi dari pada tingkat
kepandaian Cia Ceng Sun dan biar pun pemuda itu merupakan lawan yang tangguh baginya, namun kalau
ia bersungguh-sungguh akhirnya pemuda itu akan kalah. Apa lagi kalau gadis itu mau mempergunakan
kekuatan sihir atau ilmu pukulan sesat beracun yang amat berbahaya dari didikan ibunya, tentu pemuda itu
akan celaka.
Hanya saja, gadis itu memang tidak ingin mencelakai Cia Ceng Sun. Untuk pertama kali dalam hidupnya,
Siangkoan Eng merasa tertarik dan sayang kepada seorang pemuda dan ia sengaja mengalah.
Enam puluh jurus sudah lewat dan pertandingan itu masih ramai dan seru, seolah tidak ada yang menang
atau pun kalah, dan nampaknya seimbang dan setingkat. Kecepatan gerakan mereka, keindahan gerakan
mereka, membuat semua orang merasa kagum.
Lauw Cu Si, ibu dari Siangkoan Eng, berbisik kepada suaminya, "Anakmu agaknya telah menjatuhkan
pilihan hatinya."
Siangkoan Kok mengelus jenggotnya yang panjang dan rapi. "Jika memang benar, apa salahnya? Pemuda
itu cukup tampan dan gagah, dan pembawaannya seperti seorang bangsawan. Kita hanya perlu
mengetahui siapa orang tuanya," suaminya berbisik pula.
Pada saat itu, Cia Ceng Sun merasa penasaran juga. Belum pernah dia dikalahkan oleh seorang wanita
dalam pertandingan silat, dan sekarang dia sama sekali tidak mampu mengalahkan gadis ini, bahkan
mendesak pun dia tidak mampu. Dia merasa penasaran sekali.
Tiba-tiba dia melompat ke depan, lalu menyerang dengan kedua lengan diluruskan dan kedua tangan
terbuka mendorong ke depan dengan jurus Pat-bun Twi-san (Atur Pintu Tolak Gunung). Kedua kakinya
terpentang sedangkan lutut ditekuk, kedua tangan lurus mendorong ke arah lawan sambil mengerahkan
dunia-kangouw.blogspot.com
tenaga sinkang. Jurus ini merupakan serangan yang mengandalkan tenaga sakti. Hawa dorongannya saja
mampu membuat lawan terlempar.
Tetapi melihat serangan ini, Siangkoan Eng tidak mengelak atau menangkis, melainkan meloncat pula ke
depan, membuat gerakan yang sama dan menyambut serangan itu dengan dorongan kedua tangan pula,
juga dengan kedua kaki terpentang dan ditekuk lututnya. Kedudukan mereka persis sama, dan kini dua
pasang tangan yang terbuka itu saling bertemu.
"Plakkk!"
Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan melekat! Keduanya seperti tergetar dan terguncang karena
pertemuan tenaga sinkang itu, akan tetapi keduanya dapat bertahan!
Mereka saling pandang dalam jarak dekat, hanya terpisah juluran lengan.
Mereka dapat saling merasakan hawa panas yang keluar dari tubuh masing-masing, dan keduanya
tersenyum. Mereka seperti sedang bercanda atau bercumbu dengan cara yang aneh. Keduanya saling
dorong, akan tetapi Siangkoan Eng sengaja membatasi tenaganya sehingga kedudukan mereka seimbang
dan dua pasang telapak tangan itu seperti melekat dan tidak dapat dipisahkan lagi.
Banyak di antara para tamu yang memandang dengan hati berdebar tegang. Adu tenaga seperti itu
amatlah berbahaya bagi yang kalah! Salah-salah dapat merenggut nyawa salah seorang di antara mereka.
Tentu saja mereka tidak tahu bahwa hal ini tidak mungkin terjadi karena sebenarnya tenaga sinkang
Siangkoan Eng masih lebih kuat sehingga gadis ini dapat mengatur dan mengendalikan adu tenaga itu.
Kalau tenaga mereka seimbang, memang berbahaya sekali.
Agaknya Cia Ceng Sun juga menyadari bahwa sebetulnya dia kalah kuat. Buktinya, gadis itu nampak
santai saja dan tidak nampak khawatir seperti dia. Maka dia pun kini tersenyum dan maklum bahwa
keadaan mereka sama sekali tidak berbahaya karena gadis itu menguasai tenaga mereka. Jantung
pangeran ini berdebar pada saat melalui telapak tangan itu ia bisa merasakan suatu kehangatan dan
kelembutan yang membuat kedua pipinya menjadi kemerahan.
Pada saat itu nampak Yo Han cepat naik ke tempat pertandingan itu. Tanpa ragu-ragu lagi dia menengahi,
menggunakan kedua tangannya mendorong di tengah-tengah, ke arah dua pasang tangan yang saling
tempel.
"Cukup, harap kalian mundur!" katanya.
Dari dorongannya muncul tenaga yang sangat dahsyat, yang membuat Siangkoan Eng dan Cia Ceng Sun
terdorong mundur sampai tiga langkah. Dengan sendirinya tempelan dua pasang tangan itu terlepas,
namun tidak mendatangkan bahaya kepada keduanya. Mereka hanya merasa kedua lengan mereka
tergetar dan mereka terdorong hawa pukulan yang dahsyat.
Diam-diam Cia Ceng Sun terkejut dan memandang kepada Yo Han dengan sinar mata penuh kagum.
"Siangkoan Siocia, terima kasih atas pelajaran yang kau berikan kepadaku," katanya sambil memberi
hormat kepada gadis itu.
Siangkoan Eng membalas dan tersenyum. "Cia Kongcu, engkaulah yang telah memberi pelajaran
kepadaku. Terima kasih."
Sekarang Cia Ceng Sun menghadapi Yo Han. Sesudah mereka saling pandang penuh perhatian,
pangeran itu berkata, "Sobat, engkau hebat. Terima kasih."
Lalu dia kembali ke tempat duduknya, meninggalkan Yo Han yang kini berdiri di situ, berhadapan dengan
Siangkoan Eng. Gadis ini mengerutkan alisnya dan nampak marah, akan tetapi pada saat itu, ayahnya
berkata dengan suara yang dalam.
"Eng Eng, engkau mundurlah, biar aku sendiri menghadapi sobat muda itu."
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiranya ketua Pao-beng-pai ini sudah waspada setelah melihat gerakan Yo Han tadi. Dia tahu bahwa
puterinya mempunyai tenaga sinkang yang sudah kuat, dan tahu pula bahwa puterinya tadi mengalah
terhadap pemuda she Cia itu sehingga biar pun mereka nampaknya mengadu tenaga sinkang, namun
puterinya dapat mengendalikan tenaga mereka dan keadaan keduanya sama sekali tldak berbahaya.
Lalu muncul pemuda yang lain itu, yang dengan sekali dorong saja mampu membuat kedua orang itu
terdorong mundur. Ini berarti bahwa pemuda yang baru muncul ini memiliki kekuatan sinkang yang amat
hebat, yang dapat sekaligus melawan kekuatan Siangkoan Eng dan Cia Ceng Sun yang bergabung
menjadi satu!
Maklum akan hal ini, Siangkoan Kok dapat menduga bahwa pemuda yang baru muncul ini lihai sekali dan
mungkin puterinya tak akan mampu menandinginya, maka dia sendiri yang maju. Setelah puterinya
mundur, ia pun bangkit dan melangkah maju menghadapi Yo Han.
Dua orang laki-laki itu berdiri berhadapan dalam jarak empat meter. Yo Han bersikap angkuh dan dingin
karena sikap ini merupakan pelaksanaan dari siasat yang sudah dia rencanakan.
Untuk dapat mencari jejak penculik puteri bibinya, dia harus berkecimpung dalam dunia kang-ouw, bergaul
dengan golongan sesat dan bersikap seperti seorang pemuda sesat pula. Atau setidaknya seorang
pemuda yang memusuhi keluarga besar para pendekar, terutama sekali memusuhi ayah dan ibu anak
yang diculik itu. Itulah sebabnya dia lalu bersikap bagaikan seorang pemuda yang tinggi hati, dingin serta
kejam. Sikap seorang pemuda golongan sesat!
Setelah saling pandang beberapa lamanya, melihat pemuda itu sama sekali tidak mau menghormatinya,
Siangkoan Kok mengerutkan alisnya. Dengan suara yang mengguntur dia berkata, "Sobat muda! Engkau
datang ke sini, berarti engkau adalah tamu kami. Nah, perkenalkan namamu dan katakan mengapa engkau
usil tangan mencampuri adu ilmu yang dilakukan puteri kami tadi?"
Yo Han mengangguk dan dengan sikap congkak dia pun berkata, "Pangcu, aku sudah mendengar bahwa
engkau adalah pangcu dari Pao-beng-pai yang bernama Siangkoan Kok. Pertemuan ini memang
kupergunakan sebagai kesempatan untuk bertemu dengan orang-orang sehaluan dan juga segolongan.
Dan aku belum memperkenalkan nama, karena memang aku menunggu kesempatan terakhir ini untuk
bicara kepada seluruh saudara segolongan yang kini berkumpul di sini!"
Sikap yang congkak ini membuat Siangkoan Kok semakin senang, akan tetapi juga membuat dia ingin
sekali tahu siapa pemuda ini dan apa maunya…..
"Hemm, baiklah, kau perkenalkan diri dan katakan apa kehendakmu datang ke sini. Jika memang
beralasan kami mau menerimanya, tapi kalau engkau hanya ingin mengacau, jangan salahkan kalau
terpaksa kami akan membunuhmu!" Setelah berkata demikian, Siangkoan Kok kembali duduk di kursinya.
Semua orang memandang dengan hati tegang kepada Yo Han yang kini berdiri seorang diri di atas
panggung yang tadi dipergunakan untuk mengadu ilmu silat.
Tiba-tiba terdengar seruan nyaring, "Dia bocah iblis dari Thian-li-pang itu!"
Semua orang menengok dan yang berteriak itu adalah tosu Pek-lian-kauw, Kui Thiancu yang tadi
dikalahkan Siangkoan Eng dalam pertandingan. Dia sudah bangkit berdiri dari tempat duduknya dan
menuding-nuding ke arah Yo Han. Kiranya tosu Pek-lian-kauw ini masih ingat kepada Yo Han yang kurang
lebih tiga tahun yang lalu pernah dia jumpai di perkumpulan Thian-li-pang, yaitu pada saat dia berkunjung
ke sana bersama rekannya, Kwan Thian-cu.
Belum juga gema suara Kui Thiancu hilang, terdengar seruan nyaring yang lain. “Tosu dari Pek-lian-kauw
harap jangan menghina pemimpin kami! Saudara-saudara sekalian, perkenalkanlah, pemuda perkasa ini
ialah pemimpin kami dari Thian-li-pang yang telah menyerahkan kedudukan ketua kepada ketua kami yang
sekarang!"
Semua orang menengok dan melihat bahwa yang berbicara itu adalah seorang laki-laki berusia lima
puluhan tahun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Laki-laki itu tidak peduli kepada semua orang, melainkan kini dari tempat duduknya menghadap ke arah Yo
Han dan memberi hormat sambil berkata, "Yo Taihiap, maafkan kelancangan saya. Saya Thio Cu dari
Thian-li-pang diutus ketua Lauw untuk mewakili Thian-li-pang hadir di sini."
Yo Han tidak mengenal orang itu, akan tetapi kini dia tahu bahwa Thio Cu itu tentulah seorang tokoh Thianli-
pang, maka dia pun mengangguk dengan sikap yang angkuh.
Siangkoan Kok memandang kepada Yo Han. "Orang muda, harap cepat perkenalkan diri dan nyatakan apa
kehendakmu di sini," katanya.
Yo Han memandang ke empat penjuru, lalu menghadap pihak tuan rumah dan berkata sambil
membusungkan dada. "Cuwi (Anda Sekalian), dengarkan aku memperkenalkan diri. Namaku Yo Han dan
seperti dikatakan Paman Thio Cu dari Thian-li-pang tadi, aku adalah seorang pimpinan Thian-li-pang, tapi
aku tidak mau memegang kedudukan ketua dan kuserahkan kepada Paman Lauw Kang Hui. Aku lebih
senang pergi merantau untuk melaksanakan tugasku yang teramat penting. Kalau tosu Pek-lian-kauw itu
merasa tidak suka kepadaku, hal itu tidak aneh karena aku pernah melarang Thian-li-pang untuk bekerja
sama dengan Pek-lian-kauw. Kurasa, Thian-li-pang sama dengan Pao-beng-pai, yaitu sekelompok patriot
yang menentang penjajah Mancu, bukan kelompok penjahat yang menggunakan kedok perjuangan untuk
berbuat jahat. Aku sendiri pun bukan orang bersih, tapi aku pantang mengganggu rakyat jelata. Hendaknya
Cuwi ketahui bahwa aku tidak mewakili siapa pun, ayah ibuku sudah tiada. Ayahku bernama Yo Jin dan
ibuku tentu Cuwi sudah mengenalnya. Ia bernama Ciong Siu Kwi, berjuluk Bi Kwi."
Terdengar seruan di sana-sini karena nama Bi Kwi pernah menggemparkan seluruh dunia persilatan. Bi
Kwi (Setan Cantik) terkenal sebagai seorang tokoh yang aneh dan kejam.
"Hemmm, Yo Han, kami ingat bahwa Bi Kwi dahulunya memang tokoh kang-ouw yang terkenal, murid Sam
Kwi (Tiga Setan). Namun kemudian dia membalik dan bergabung dengan mereka yang menamakan diri
para pendekar, memihak kepada orang Mancu!" teriak Siangkoan Kok dan terdengar banyak suara
membenarkan.
"Itu hanya kabar bohong, Siangkoan Pangcu (Ketua Siangkoan)! Aku sebagai anaknya yang lebih tahu.
Ayahku tewas, ibuku juga tewas membunuh diri, semua itu gara-gara mereka yang menamakan diri
pendekar-pendekar keluarga Pulau Es, keluarga Gurun Pasir serta keluarga Lembah Naga. Aku
mendendam kepada mereka, terutama aku benci sekali kepada bekas bibi guruku, adik seperguruan
mendiang ibu yang bernama Can Bi Lan berjuluk Siauw Kwi! Can Bi Lan itulah yang telah membujuk sucinya,
yaitu ibuku, untuk bergabung dengan mereka, dan Can Bi Lan sendiri menjadi isteri pendekar Suling
Naga Sim Houw! Aku hendak mengajak mereka yang menentang pemerintah Mancu untuk tidak saja
menentang pemerintah itu, juga untuk membasmi para antek Mancu, terutama sekali Can Bi Lan dan
suaminya, Sim Houw!"
Yo Han berbicara dengan semangat berapi-api, matanya mencorong seolah dia marah besar dan amat
membenci nama-nama yang baru saja dia sebutkan. Inilah siasatnya. Dia ingin melacak jejak penculik
puteri bibinya itu dengan cara mendekati orang-orang kang-ouw dan bersikap seolah dia memusuhi suami
isteri yang kehilangan anaknya itu.
Kembali suasana menjadi gaduh setelah dia berhenti bicara. Para tamu saling bicara sendiri dan karena
sebagian besar di antara mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw yang memang tidak suka kepada para
pendekar dari tiga keluarga itu, maka kebanyakan di antara mereka setuju dengan pendapat Yo Han.
Akan tetapi, ada pula yang terkejut mendengar hal itu dan di antara mereka adalah para wakil dari Siauwlim-
pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai. Juga Pangeran Cia Sun diam-diam terkejut sekali. Pemuda
itu merupakan bahaya bagi kerajaan keluarga kakeknya!
Justru kerajaan di bawah pimpinan kakeknya selalu ingin mendekati para pendekar dan para tokoh kangouw
untuk memanfaatkan kekuatan mereka, namun pemuda ini malah menghasut. Dia sendiri pun tadinya
selain hendak menambah pengetahuan, ingin pula menyelidiki sampai berapa jauhnya gerakan Pao-bengpai
yang kabarnya merupakan perkumpulan yang hendak menentang pemerintah Mancu.
"Omitohud...!" Tiba-tiba terdengar suara halus dan seorang pendeta berkepala gundul yang usianya sudah
enam puluh tahun maju menghadapi Yo Han.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia adalah seorang di antara utusan Siauw-lim-pai yang merasa penasaran sekali ketika mendengar
bahwa Yo Han hendak membasmi keluarga Pulau Es, Gurun Pasir serta Lembah Naga.
"Orang muda, engkau masih begini muda, akan tetapi sungguh tinggi hati dan sombong. Bagaimana
mungkin engkau akan menghadapi para pendekar sakti dari ketiga keluarga itu? Lagi pula, mereka adalah
pendekar-pendekar sakti yang bertindak demi membela mereka yang tertindas dan menentang kejahatan,
sama sekali bukan antek pemerintah. Pinceng (aku) peringatkan agar engkau berhati-hati kalau bicara.
Kami adalah sahabat baik dari para pendekar itu."
"Siancai...! Apa yang dikatakan Lo Kiat Hwesio dari Siauw-lim-pai memang benar sekali. Pemuda ini terlalu
sombong dan lancang mulut. Kami dari Kun-lun-pai juga merupakan sahabat para pendekar itu dan pinto
(aku) tidak suka mendengar ada orang menghina mereka. Mereka bukan antek pemerintah!"
Semua orang menengok dan yang bicara itu adalah seorang tosu (pendeta To) berusia lima puluh tahun
lebih, yang tinggi kurus dan berjenggot panjang.
"Kalau orang muda she Yo tidak mau menghentikan bualannya, pinto Ciang Tojin dari Kun-lun-pai pasti
tidak akah tinggal diam saja!"
Yo Han menoleh pula kepada tosu itu, kemudian dia tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha, kiranya Lo Kian Hwesio dari Siauw-lim-pai dan Ciang Tojin dari Kun-lun-pai mambela para
pandakar itu. Mereka itu terang antek Mancu, bahkan Pendekar Super Sakti sendiri masih mempunyai
hubungan keluarga dengan Kerajaan Mancu. Dia pun menikah dengan puteri Mancu! Pantas kalau Ji-wi
(Kalian Berdua) membela, karena bukankah selama ini kuil-kuil Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai menjadi
makmur berkat bantuan pemerintah Mancu? Sayang sekali, Siauw-lim-pai dan Kun-lun-pai yang besar itu
pun kini menjadi kecil karena diperbudak orang-orang Mancu."
"Keparat, betapa sombongnya engkau!"
Bayangan berkelebat dan tosu Kun-lun-pai itu sudah berada di depan Yo Han, berjajar dengan Lo Kian
Hwesio. Kalau hwesio Siauw-lim-pai itu memegang seuntai tasbih hitam yang matanya besar-besar, tosu
itu memegang sebatang tongkat berbentuk ular yang tingginya sepundak dan besarnya sepergelangan
tangan.
Melihat mereka berdua, Yo Han sengaja tertawa lagi. "Ha-ha-ha-ha, kalian mau apa? Jangan dikira aku
takut menghadapi kalian berdua. Kalian boleh maju berdua untuk mengeroyok aku. Kalau aku kalah, aku
tidak akan banyak mulut lagi dan akan pergi dari sini. Kalau kalian kalah, jangan kalian ribut mencampuri
urusanku lagi!"
Dua orang pendeta itu terpancing kemarahan mereka karena Yo Han sengaja menghina Siauw-lim-pai dan
Kun-lun-pai. Mereka lupa bahwa tidaklah pantas bagi mereka dua orang tua yang berkedudukan tinggi
mengeroyok seorang pemuda! Namun, kemarahan memang membutakan kesadaran dan mendengar
tantangan itu, hwesio dan tosu itu semakin marah.
"Omitohud, bocah sombong ini agaknya perlu dibuat sadar dengan kekerasan, To-yu!" kata hwesio itu.
Dia pun mendahului tosu Kun-lun-pai itu, menggerakkan tasbih di tangannya menyerang Yo Han. Tosu itu
pun menggerakkan tongkatnya dan memukulkannya ke arah tubuh Yo Han, seperti seorang ayah yang
sedang marah-marah dan hendak menghajar anaknya yang bandel.
Yo Han memang sengaja hendak memperlihatkan kepandaian untuk menarik perhatian, terutama sekali
perhatian dari penculik puteri bibinya, atau setidaknya yang tahu akan peristiwa itu, dan supaya dia
dipercaya dan ditarik sebagai sekutu mereka. Maka, begitu menghadapi serangan dari kedua orang ahli
silat kelas tinggi sebagai tokoh-tokoh partai persilatan besar, dia pun meloncat ke belakang, kemudian
ketika kedua orang lawannya maju mengejar, dia pun mengerahkan tenaga yang didapat dari Bu-kek Hoatkeng
dan mendorongkan kedua tangannya ke depan, menyambut mereka.
Bukan main kagetnya kedua orang tua itu ketika tiba-tiba ada angin menyambar dari kedua tangan pemuda
itu bagaikan badai. Mereka lantas berusaha menyambut dengan dorongan tangan kiri yang disertai
dunia-kangouw.blogspot.com
pengerahan tenaga sinkang. Pertemuan antara dua hawa pukulan yang amat dahsyat terjadi dan
akibatnya, kedua orang tua itu terdorong dan terjengkang roboh!
Tentu saja kejadian ini membuat semua orang terkejut. Bahkan Siangkoan Kok sendiri terbelalak. Dia tahu
betapa lihainya tokoh Siauw-lim-pai dan tokoh Kun-lun-pai itu, akan tetapi dalam segebrakan saja mereka
roboh oleh pukulan jarak jauh yang dahsyat!
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru