Kamis, 21 September 2017

Si Bangau Merah 5 Kho Ping Hoo Bersilat Mandarin

Si Bangau Merah 5 Kho Ping Hoo Bersilat Mandarin Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Si Bangau Merah 5 Kho Ping Hoo Bersilat Mandarin
kumpulan cerita silat cersil online
-
Tentu saja perhatian Sian Li dan Sian Lun menjadi semakin besar ketika mendengar ucapan Lulung Lama
itu. Kiranya ketiga orang wanita cantik itu adalah orang-orang dari Pek-lian-kauw!
Mereka berdua sudah banyak mendengar tentang Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), yaitu segolongan
orang dengan agama yang aneh dan yang memiliki banyak tokoh lihai. Mereka terkenal sebagai
pemberontak-pemberontak yang gigih. Tetapi sayang, biar pun mereka memberontak terhadap pemerintah
penjajah, tetapi nama Pek-lian-kauw bukan nama yang bersih dan disuka rakyat.
Banyak tokoh-tokoh mereka yang suka melakukan segala macam kejahatan berkedok perjuangan. Juga
agama mereka merupakan agama yang aneh, yang menyimpang dari induknya, yaitu Agama Buddha, dan
banyak melakukan tindakan sesat. Inilah sebabnya kenapa Pek-lian-kauw selalu bergerak sendiri, tidak
mendapat dukungan para pendekar patriot, lebih dekat dengan tokoh-tokoh sesat di dunia kang-ouw.
"Kami Pek-lian Sam-li (Tiga Wanita Teratai Putih) telah menyerahkan bukti surat kuasa sebagai wakil Peklian-
kauw kepada pimpinan Hek-I Lama. Maka kami diberi wewenang untuk menghadiri pertemuan ini,
menyelidiki serta memutuskan apakah Pek-lian-kauw menganggap patut untuk dapat bekerja sama dengan
kalian. Pek-lian-kauw sejak dulu selalu menentang pemerintah penjajah dan kami adalah pejuang-pejuang
yang pantang mundur. Maka, kami ingin mengetahui terlebih dulu apakah kalian ini sungguh-sungguh
hendak menentang pemerintah Mancu, sebelum kami menyatakan suka bekerja sama."
Kembali Ji Kui, wanita yang merupakan saudara paling tua di antara mereka bertiga itu, mengerling ke arah
Gulam Sing yang juga memandang kepada tiga orang wanita itu sambil tersenyum-senyum. Gulam Sing ini
terkenal sebagai seorang laki-laki yang selalu haus wanita, maka tentu saja kehadiran ketiga orang tokoh
Pek-lian-kauw itu sejak tadi sudah amat menarik perhatiannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ucapan Pek-lian Sam-li wakil dari Pek-lian-kauw itu benar!" mendadak terdengar suara lantang.
Ternyata yang berbicara adalah seorang laki-laki berusia enam puluh tahun lebih yang pakaiannya penuh
tambalan. Dia adalah seorang tokoh dari dunia pengemis, bertubuh tinggi kurus dan bongkok, dan ketika
dia bangkit berdiri, tangan kanannya memegang sebatang tongkat hitam.
"Kami harus tahu benar apakah yang hadir di sini sungguh-sungguh hendak menentang pemerintah
Mancu. Sebelum tiba di sini, kami banyak mendengar dan kami pun merasa heran ketika ada berita bahwa
pemerintah Tibet tidak mau menentang Kerajaan Ceng, bahkan kabarnya Dalai Lama sendiri mengakui
pemerintahan penjajah Mancu. Kami juga mendengar bahwa pemerintah Nepal yang resmi tidak
menentang penjajah Mancu. Maka, apa artinya gerakan yang diadakan oleh Hek-I Lama dan Pangeran
Gulam Sing? Sebelum kami menyatakan diri bergabung, kami harus mengetahui dahulu dengan jelas
seperti yang diucapkan wakil Pek-lian-kauw tadi."
Sehabis bicara, kakek pengemis itu duduk kembali dan suasana menjadi riuh karena di antara orang-orang
Han yang berkumpul di situ, banyak pula yang menyetujui pendapat kakek pengemis itu.
Sian Li memandang ke arah kakek itu dengan hati berdebar. Dia mengenal kakek itu! Nampaknya masih
sama saja seperti dulu, kurang lebih lima tahun yang lalu. Tentu saja dia tidak dapat melupakan kakek
pengemis itu yang pernah merampasnya dari tangan Hek-bin-houw, bahkan kakek itu membunuh Hek-binhouw.
Kakek itu adalah Hek-pang Sin-kai (Pengemis Sakti Tongkat Hitam). Dahulu, sesudah membebaskan dia
dari tangan Hek-bin-houw, kakek pengemis itu hendak mengajaknya pergi untuk menjadi muridnya. Akan
tetapi, muncul Nenek Bu Ci Sian yang merampas dirinya. Nenek sakti itu mengalahkan Hek-pang Sin-kai,
bahkan melukai paha pengemis itu. Dia ingat benar semua peristiwa itu dan kini dia memandang ke arah
pengemis itu penuh perhatian.
Mendengar ucapan kakek pengemis itu, Dobhin Lama, Ketua Hek-I Lama yang sejak tadi duduk melenggut
saja, sekarang menegakkan tubuhnya dan membuka matanya. Kemudian terdengar suaranya dan dia
bicara tanpa bangkit berdiri.
"Siapa yang bicara itu tadi?"
"Kami adalah Hek-pang Sin-kai, Ketua Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam di daerah selatan!" kata
kakek itu dengan berani.
Namun, begitu pendeta Lama yang kelihatan lemah itu mengangkat muka memandang padanya, begitu
dua pasang pandang mata bertemu, kakek pengemis itu terkejut bukan main oleh karena pandang
matanya bertemu dengan dua sinar mencorong yang seperti menembus sampai ke jantungnya. Dia tidak
tahan memandang lebih lama dan segera menundukkan mukanya.
"Omitohud, Ketua Hek-pang Kai-pang meragukan kami? Ketahuilah Sin-kai, meski pun Dalai Lama sendiri
mengakui kekuasaan Kerajaan Mancu, akan tetapi kami golongan Hek-I Lama tidak! Biar pemerintah Tibet
tidak bergerak, akan tetapi kami akan bergerak dan kami yakin bahwa rakyat Tibet akan mendukung kami!"
Terdengar suara ketawa dan Pangeran Gulam Sing juga berkata dalam bahasa Nepal, diikuti kalimat demi
kalimat oleh penterjemahnya. "Ha-ha-ha, agaknya Hek-pang Sin-kai ingin mengetahui keadaan orang lain
dan menaruh kecurigaan. Terus terang saja, kami memang tidak sejalan dengan pemerintah kami yang
berkuasa sekarang di Nepal. Raja kami terlalu lemah dan tidak berani menentang orang Mancu. Karena
itu, kami bergerak sendiri tanpa persetujuan raja. Lalu, apa hubungannya urusan pribadi kami ini dengan
perjuanganmu untuk membebaskan tanah air dan bangsa dari tangan penjajah Mancu, Sin-kai?"
"Maaf, Pangeran. Tidak ada hubungannya apa-apa, hanya kami merasa heran melihat betapa negara
Bhutan yang demikian kecilnya, tidak turut bergerak seperti Nepal untuk menentang Mancu," kata
pengemis tua itu pula.
"Omitohud... agaknya engkau belum mengetahui keadaan di Bhutan, Sin-kai!" terdengar Lulung Lama
berkata. "Tentu saja Bhutan tidak mau menentang Mancu, sebab keluarga Kerajaan Bhutan masih ada
hubungan darah dengan Mancu! Bahkan yang sekarang menjadi sesepuh di sana, Puteri Gangga Dewi,
sudah menikah pula dengan seorang keturunan Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang masih berdarah
Mancu pula."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Keluarga Pendekar Pulau Es bukan hanya berdarah Mancu, juga musuh-musuh yang selalu mengganggu
kita!" terdengar teriakan beberapa orang tokoh kang-ouw yang hadir di situ.
"Tentu saja," kata Lulung Ma pula. "Keturunan Pendekar Super Sakti semuanya beribu Mancu, bahkan
keluarga itu lalu berbesan dengan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Dua keluarga itu adalah pengkhianatpengkhianat
bangsa, antek-antek bangsa Mancu yang harus kita basmi!"
Sian Lun sudah bangkit berdiri dengan kedua tangan dikepal, akan tetapi Sian Li segera menyentuh
lengannya dan menarik pemuda itu duduk kembali sambil memberi isyarat dengan gelengan kepala. Ia
sendiri tentu saja juga marah mendengar betapa keluarga Pendekar Pulau Es dan Pendekar Gurun Pasir
dijelek-jelekkan oleh mereka yang hadir.
Sian Li sendiri memang memiliki darah dua keluarga itu! Dari ibunya ia mewarisi darah keluarga Kao
keturunan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sedangkan neneknya ialah keluarga Suma, keturunan
Pendekar Super Sakti Pulau Es! Sian Lun sendiri tadi hanya marah karena keluarga gurunya, Suma Ceng
Liong, dimusuhi mereka.
Dengan menahan kemarahannya, Sian Lun terpaksa berdiam diri memenuhi permintaan sumoi-nya. Ia
duduk cemberut dan kadang-kadang pandang matanya yang ditujukan ke arah pihak tuan rumah bersinar
penuh kemarahan.
"Sekarang kami tak meragukan lagi kesungguhan hati para saudara untuk bekerja sama dengan kami
dalam menghadapi Kerajaan Mancu di timur. Kami hanya menghendaki kesungguhan hati, agar jangan
sampai kami dikecewakan lagi seperti yang telah terjadi dengan Thian-li-pang," kata Ji Kui, orang pertama
dari Pek-lian Sam-li.
Semua orang memandang pada wanita itu. Mereka yang hadir tahu belaka perkumpulan apakah Thian-lipang
itu. Selain Pek-lian-kauw, perkumpulan Thian-li-pang merupakan perkumpulan yang terkenal sangat
gigih menentang pemerintah Kerajaan Mancu, sejak pemerintah itu menguasai daratan Cina.
Bahkan dua perkumpulan itu diketahui telah bekerja sama dengan baik sekali sehingga sering kali terjadi
kekacauan di kota raja, bahkan juga di istana, ditimbulkan oleh mereka berdua. Kenapa sekarang tokoh
Pek-lian-kauw itu menjelek-jelekkan Thian-li-pang yang dikatakan telah mengecewakan Peklian-kauw?
"Nanti dulu, Toanio," kata Lulung Lama. "Kami tidak mengerti apa yang kau maksudkan. Bukankah Thianli-
pang selalu berjuang menentang Mancu juga? Dan bukankah selama bertahun-tahun ini Thian-li-pang
dikenal sebagai kawan seperjuangan Pek-lian-kauw?"
"Itu memang benar, tapi dahulu. Akan tetapi sekarang, keadaan sudah lain sama sekali. Selama beberapa
tahun ini, Thian-li-pang sudah berubah, sudah menyeleweng!"
"Benarkah itu, Nona?" Hek-pang Sin-kai bertanya heran. "Aku masih mendengar bahwa Thian-li-pang tetap
berjuang melawan pemerintah penjajah Mancu, bahkan akhir-akhir ini gerakan mereka bertambah kuat."
"Huh, mereka itu orang-orang yang tak mengenal budi, orang-orang yang tidak memiliki perasaan setia
kawan. Dahulu, kami dari Pek-lian-kauw yang membantu mereka, kami bekerja sama dengan baik. Akan
tetapi sekarang, setelah Lauw Kang Hui yang menjadi ketua, mereka itu menjadi sombong, mereka
memisahkan diri dan tidak mau mengakui lagi Pek-lian-kauw sebagai teman seperjuangan. Mereka
berlagak pendekar dan suka menghina orang. Tidakkah itu amat mengecewakan? Kami tidak mau lagi
kalau sampai kerja sama dengan kalian ini akhirnya kelak hanya akan merugikan dan mengecewakan kami
seperti yang dilakukan oleh Thian-li-pang."
"Ha-ha-ha, jangan khawatir, Nona!" Pangeran Gulam Sing berbicara dalam bahasa Han bercampur Nepal,
karena baru beberapa tahun ia mempelajari bahasa Han, sehingga ia selalu dikawal seorang penterjemah.
"Kami berjanji akan membantu Nona agar kelak memberi hajaran kepada Thian-li-pang yang sombong dan
tidak mengenal setia kawan itu, ha-ha-ha-ha!" Pangeran Nepal yang ganteng itu mengelus-elus kumisnya
yang melintang gagah dan matanya bersinar-sinar ditujukan kepada tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw
itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga orang wanita muda itu tersenyum. Ji Hwa, orang ke dua yang kulitnya putih mulus dan wajahnya
cantik, tersenyum dan suaranya terdengar basah ketika berbicara dengan suara mendesah. "Pangeran,
harap jangan pandang rendah Thian-li-pang. Di sana juga banyak terdapat tokoh yang amat lihai!"
"Benar sekali kata Enci ke dua itu, Pangeran," kata Ji Kim, wanita ke tiga yang selain jelita, juga lincah
jenaka dan cerdik sekali. "Ketuanya yang bernama Lauw Kang Hui itu memiliki ilmu kepandaian yang amat
tinggi, sungguh tidak boleh dipandang ringan!"
Pangeran Gulam Sing tertawa dan nampaklah giginya yang putih dan kuat. "Ha-ha-ha, kami tidak
memandang rendah, Nona-nona yang baik. Kami hanya menyatakan hendak membantu kalian
menghadapi Thian-li-pang. Dan tentang kelihaian mereka, kita tidak perlu takut karena kita pun bukan
orang-orang lemah. Aku sendiri pun, biar pun bodoh, tapi memiliki juga sedikit tenaga untuk disumbangkan
membantu kalian dalam segala hal, ha-ha-ha!"
Setelah berkata demikian, pangeran yang tinggi besar dan bertubuh kokoh kuat itu lalu menghampiri
sebuah arca singa besi yang berada di sudut ruangan. Singa besi itu jelas amat berat dan sedikitnya
membutuhkan tenaga sepuluh orang untuk mengangkatnya! Akan tetapi, Pangeran Gulam Sing
membungkuk, memegang benda itu dengan kedua tangannya dan sekali dia mengeluarkan suara
bentakan nyaring, benda itu diangkatnya di atas kepala!
Tentu saja semua orang memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan, kaget dan kagum. Setelah
pangeran itu menurunkan kembali singa batu di tempatnya semula, dan hanya mukanya menjadi
kemerahan serta napasnya agak memburu, semua orang bertepuk tangan memuji. Memang jarang ada
orang yang memiliki tenaga gajah seperti pangeran itu. Diam-diam Sian Li dan Sian Lun terkejut juga dan
tahulah mereka bahwa pangeran itu akan merupakan lawan yang tangguh dan berbahaya.
Tiga orang wanita Pek-lian-kauw itu pun menyambut dengan tepuk tangan dan mereka tersenyum-senyum
gembira. "Aihhh kiranya Pangeran memiliki tenaga yang amat kuat, lebih kuat dari pada kuda!" Ji Kui
memuji.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pangeran itu tertawa. "Ha-ha-ha, setiap saat kami siap menggunakan tenaga kuda kami untuk Nona
bertiga!"
Sekarang Lulung Lama bangkit berdiri dan memberi isyarat agar semua orang tenang, lalu ia pun berkata,
"Terima kasih, kami gembira sekali melihat bahwa saudara sekalian agaknya telah siap untuk bekerja
sama dengan kami. Masih adakah di antara para tamu yang ingin mengemukakan pendapatnya? Silakan!"
Lulung Lama sengaja memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.
Akan tetapi kembali Sian Li menyentuh lengan Sian Lun yang sudah gatal mulut untuk bicara itu. Saat itu
pula, seorang lelaki Han berusia lima puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, bangkit
dan berbicara dengan suaranya yang tinggi seperti suara wanita.
"Bersatu untuk bekerja sama dalam perjuangan menentang pemerintah Mancu memang mudah
dibicarakan, akan tetapi pelaksanaannya menentang pemerintah Mancu amatlah berbahaya dan sukar.
Kaisar Kian Liong yang sekarang menjadi Kaisar telah berusaha mendekati dan menggandeng para tokoh
pendekar di dunia persilatan sehingga mereka sama sekali tidak mau menentang Kaisar, apa lagi
membantu usaha perjuangan untuk menumbangkan kekuasaan Mancu. Sekarang ini masih banyak para
pendekar yang berubah menjadi penjilat penjajah Mancu. Dan selama para pendekar penjilat itu tidak
dibasmi terlebih dahulu, tentu mereka akan menjadi penghalang perjuangan kita."
"Pendapat itu tepat dan benar sekali!" tiba-tiba Ji Kui berseru dengan lantang dan penuh semangat. "Kalau
tidak karena ulah para pendekar penjilat, terutama sekali keturunan pendekar Pulau Es dan pendekar
Gurun Pasir, tentu telah lama keluarga Kaisar dapat kami basmi! Beberapa tahun yang lalu, ketika Thian-lipang
masih bekerja sama dengan kami, kami telah berhasil mendekati Siang Hong-houw. Bahkan putera
kandung Ketua Thian-li-pang telah berhasil diselundupkan ke istana bersama Ang-I Moli, seorang tokoh
murid Pek-lian-kauw. Mereka nyaris berhasil membunuh para pangeran kalau saja tidak digagalkan oleh
Gangga Dewi dan suaminya, yaitu Suma Ciang Bun, cucu Pendekar Super Sakti Pulau Es! Jelaslah bahwa
orang-orang dari keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir merupakan penghalang besar bagi perjuangan kita!"
Lulung Lama tertawa dan dia bersama muridnya, Cu Ki Bok kini memandang ke arah Sian Lun dan Sian Li.
"Ha-ha-ha, belum tentu, Toanio," katanya. "Belum tentu kalau semua keturunan kedua pendekar itu sudi
menjadi antek dan penjilat penjajah Mancu. Di sini hadir pula dua orang muda gagah perkasa yang
berhubungan dekat dengan Gangga Dewi. Kami tidak yakin bahwa mereka berdua ini sudi menjadi antek
penjilat orang Mancu. Liem-sicu dan Tan-lihiap, bagaimana pendapat kalian?"
Tentu saja semua orang menoleh dan memandang kepada Sian Li dan Sian Lun yang diperkenalkan
sebagai orang yang dekat dengan Gangga Dewi dan ada hubungannya dengan keluarga Pulau Es dan
Gurun Pasir itu. Sian Lun yang sejak tadi sudah hampir tak kuat menahan kemarahannya mendengar
keluarga gurunya dimaki-maki, dan hanya menahan kemarahannya karena dilarang sumoi-nya, kini
mendapat kesempatan dan dia pun meloncat berdiri sambil mengepal tinju.
"Kami bukanlah penjilat pemerintah Mancu, juga kami bukan pemberontak-pemberontak yang berkedok
perjuangan! Akan tetapi, aku sebagai murid dari keluarga Pulau Es, siap untuk menandingi siapa saja yang
berani menghina keluarga Pulau Es!" Setelah berkata demikian, tanpa mempedulikan sumoi-nya, dia
sudah melompat ke tengah ruangan itu, di depan meja tuan rumah.
Melihat kenekatan suheng-nya itu, tentu saja Sian Li merasa khawatir karena gadis ini maklum sepenuhnya
bahwa di tempat itu berkumpul banyak lawan yang pandai sekali. Maka ia pun harus melindungi dan
membela suheng-nya dan ia pun sudah melompat ke dekat Sian Lun.
"Suheng berkata benar!" katanya. "Kalian telah terlalu banyak memandang rendah dan menghina keluarga
Pulau Es dan keluarga Gurun Pasir. Nah, ini aku keturunan kedua keluarga itu, siap untuk membela
kehormatan dan nama dua keluargaku itu, menandingi siapa saja yang berani menghina!"
Melihat munculnya pemuda dan gadis yang mengaku sebagai keluarga Pendekar Pulau Es dan Gurun
Pasir, bahkan yang berani menantang, para tamu yang terdiri dari tokoh-tokoh kang-ouw yang sebagian
besar mendendam terhadap kedua keluarga besar itu segera menjadi gaduh.
"Bunuh pengkhianat!"
"Basmi keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tangkap mereka, tentu telah memata-matai kita!"
Teriakan-teriakan terdengar dan agaknya mereka semua sudah siap untuk mengeroyok Sian Lun dan Sian
Li. Akan tetapi, terdengar seruan Gulam Sing. "Lulung Lama, bagai mana kalau aku saja yang menghadapi
nona cantik dan gagah ini? Bukankah dia yang pernah kau ceritakan kepadaku tempo hari?"
Lulung Lama menoleh pada pangeran itu, kemudian mengangguk. "Baiklah, Pangeran. Memang sebaiknya
salah seorang di antara kita yang maju. Memalukan jika harus maju keroyokan," katanya.
"Dan pemuda itu serahkan kepada kami untuk menangkapnya!" berkata Pek-lian Sam-li dan tiga orang
wanita muda itu sudah berloncatan menghadapi Sian Lun dengan kerling yang memikat dan senyum yang
manis.
Melihat ini, Gulam Sing tertawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ha-ha-ha, tiga orang nona yang jelita! Pemuda itu hanya seorang, bagaimana kalian dapat membaginya?
Bukankah sudah ada aku? Ha-ha!" Pangeran yang mata keranjang ini di depan banyak orang tanpa malumalu
mengeluarkan ucapan yang mengandung arti tak senonoh itu.
"Pangeran, mari kita berlomba, siapa di antara kita yang dapat lebih dahulu menangkap lawan tanpa
melukai, kami bertiga ataukah engkau!" tantang Ji Kui. "Taruhannya, siapa kalah cepat harus menurut
kehendak yang menang. Setuju?"
Melihat pandang mata penuh tantangan dan senyuman penuh ajakan itu, Pangeran Gulam Sing
mengangguk, "Setuju!"
Sian Li dan Sian Lun yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, apa lagi mereka sekarang
berada di sarang musuh dan setiap saat mereka dapat menghadapi pengeroyokan, sudah mencabut
pedang mereka.
"Pangeran sombong, majulah kalau ingin merasakan tajamnya pedangku!" bentak Sian Li.
Pangeran itu tertawa dan mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung bagai bulan sabit. Melihat
lawannya sudah siap siaga dengan golok di tangan, Sian Li sudah meloncat ke depan dan melakukan
serangan yang dahsyat sakali.
"Tranggg...!"
Pangeran itu menangkis dengan babatan goloknya, dan biar pun Sian Li sudah maklum akan kuatnya
tenaga lawan, ia tetap saja terkejut ketika pedangnya hampir terlepas dari pegangan tangannya. Pedang
itu terpental sedangkan telapak tangannya yang berhasil menahan gagang pedang terasa panas. Melihat
ini, terdengar suara tawa di sana sini dan pangeran itu pun tertawa bergelak.
Sian Lun yang dihadapi Pek-lian Sam-li, biar mendongkol sekali karena lawan bersikap curang dan belum
apa-apa sudah hendak mengeroyoknya, tak mau banyak cakap lagi. Tidak ada gunanya mencela dan
memprotes orang-orang macam itu, apa lagi tiga orang wanita ini adalah orang-orang Pek-lian-kauw.
Sambil membentak nyaring pedangnya sudah berkelebat menjadi gulungan sinar yang menyambar ke arah
tiga orang wanita itu. Pek-lian Sam-li juga telah mencabut pedang mereka dan mereka pun mengepung
dengan membentuk barisan Segi Tiga. Ternyata gerakan mereka lincah sekali dan bagaikan tiga ekor
kupu-kupu mengepung setangkai bunga, mereka berloncatan ke sana sini, membuat Sian Lun sukar sekali
untuk dapat mengarahkan serangannya.
Sian Li juga segera terdesak karena ia tidak berani mengadu senjata. Hal ini tentu saja membuat pangeran
itu menang angin dan dia pun terus mendesak sambil tertawa-tawa karena dia ingin lebih duluan
menangkap lawannya untuk mendahului Pek-lian Sam-li. Dengan demikian, dia tidak hanya akan
menguasai gadis cantik berpakaian merah ini, akan tetapi juga dia akan membuat tiga orang wanita genit
itu membayar kekalahan mereka dengan mentaatinya! Betapa akan senangnya dilayani empat orang
wanita itu, pikirnya.
Akan tetapi, sementara itu Sian Lun juga sudah terdesak hebat oleh tiga pedang yang mengepungnya.
Tingkat kepandaian pemuda ini tidak jauh selisihnya dengan tiap orang dari Pek-lian Sam-li, maka kini
dikeroyok tiga tentu saja dia menjadi kewalahan dan repot sekali melindungi tubuhnya dari sambaran tiga
gulungan sinar pedang lawan.
Pada saat yang amat kritis bagi Sian Lun dan Sian Li, setiap saat mereka akan dapat tertangkap,
mendadak nampak bayangan berkelebat dan bagaikan seekor rajawali saja bayangan itu menyambarnyambar.
Mula-mula ke arah Sian Li dan Gulam Sing yang sedang bertanding.
Baik Gulam Sing mau pun Sian Li mengeluarkan seruan kaget pada saat bayangan itu menggerakkan
tangan dan mereka berdua terdorong ke belakang sampai tiga langkah! Bayangan itu berkelebat ke arah
Sian Lun yang dikeroyok tiga dan di sana bayangan itu berputaran. Juga Sian Lun dan tiga orang wanita
pengeroyoknya terdorong ke belakang seperti diterjang angin badai.
Otomatis, mereka semua menghentikan serangan dan memandang kepada orang yang tahu-tahu telah
berada di situ. Sian Li hampir berteriak saking girangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia melihat seorang lelaki yang tubuhnya sedang saja namun tegap, rambutnya panjang dibiarkan riapriapan
ke belakang dan sebagian menutupi muka, membantu tirai hitam yang bergantungan dari atas topi
capingnya yang lebar. Sukar melihat wajah orang itu, yang nampak hanya kilatan sepasang mata dari balik
tirai dan rambut. Pakaiannya sederhana saja seperti pakaian petani, namun ringkas. Dan dia tidak
membawa senjata apa pun.
"Sin-ciang Taihiap...!" terdengar teriakan beberapa orang dan demikian pula teriakan hati Sian Li yang
memandang penuh kagum, juga kini mendadak saja ia merasa aman begitu orang ini sudah berada di situ.
Lenyap semua kekhawatirannya akan dikeroyok dan ditangkap oleh para pemberontak ini.
Lulung Lama mewakili suheng-nya, Dobhin Lama yang sejak tadi hanya menonton saja. Dengan langkah
lebar dia menghampiri laki-laki bercaping lebar yang menyembunyikan mukanya itu. Dia mencoba untuk
menembus tirai hitam dan rambut itu untuk mengamati wajahnya, lalu dia mengangkat kedua tangan ke
depan dada dan memberi hormat.
"Omitohud...! Kiranya engkau adalah Sin-ciang Taihiap yang selama beberapa tahun ini membuat nama
besar di daerah perbatasan Tibet ini? Selamat datang, Taihiap! Apakah engkau datang hendak menghadiri
rapat pertemuan yang kami adakan ini?"
Pendekar bercaping itu membalas penghormatan tuan rumah dengan sikap sopan, lalu terdengar
suaranya, sangat lembut dan singkat. "Lulung Lama, terserah dengan nama apa orang akan menyebutku.
Aku datang bukan untuk menjadi tamu dalam pertemuan ini."
Lulung Lama mengerutkan alis. "Sin-ciang Taihiap, pinceng (saya) yakin bahwa sebagai sama-sama tokoh
dunia persilatan yang tahu akan peraturan dunia kang-ouw, engkau tentu maklum bahwa jalan kita
bersimpang. Aku tidak pernah mencampuri urusanmu, dan demikian pula kami harap engkau tak akan
mencampuri dan mengacaukan urusan kami. Kalau engkau tidak datang untuk menghadiri pertemuan, lalu
mengapa engkau menghentikan pertandingan tadi dan apa pula maksudmu datang berkunjung tanpa
diundang ini?"
Lulung Lama bicara dengan nada tinggi hati. Hal ini adalah karena dia sebagai tokoh besar Hek-I Lama
tentu saja tidak takut kepada pendekar rahasia ini walau pun sudah banyak dia mendengar tentang
kelihaian Sin-ciang Taihiap, dan ke dua karena pada saat itu, dia berada di tempat sendiri, mempunyai
banyak anak buah, bahkan ada pula suheng-nya yang sakti dan banyak tamu yang dapat diandalkan.
Semua orang menaruh perhatian besar kepada pendatang aneh itu. Suasana menjadi sunyi senyap karena
semua orang ingin mendengarkan bagaimana jawaban pendekar yang selama akhir-akhir ini amat terkenal
namanya.
Pendekar aneh itu menggerakkan tubuhnya, memandang ke sekeliling, kemudian ia pun menjawab,
suaranya masih lembut seperti tadi.
"Lulung Lama, aku tidak ingin mencampuri urusan siapa pun. Kalau pun tadi aku melerai pertandingan
adalah karena aku tidak suka melihat orang menyelesaikan persoalan melalui senjata, saling melukai dan
saling membunuh. Kedatanganku ini untuk bertemu dan bicara dengan saudara Thong Nam, kepada suku
Miao yang aku tahu berada di sini sebagai tamu. Biarkan aku bicara dengan dia, dan setelah selesai
urusanku dengan dia, aku akan pergi dari sini."
Lulung Lama mengerutkan alisnya. Bagaimana pun juga, Thong Nam adalah kepala suku Miao, seorang di
antara sekutunya yang saat itu menjadi tamunya, maka sebagai tuan rumah dia harus dapat melindungi
tamunya.
Akan tetapi, sebelum dia dapat berkata atau berbuat sesuatu, seorang di antara para tamu sudah bangkit
berdiri dan berkata lantang dengan suara keras dan logatnya asing. "Akulah Thong Nam, kepala suku
Miao. Biar pun kami telah mendengar nama Sin-ciang Taihiap, namun kami belum pernah berurusan
dengannya. Sekarang engkau datang mencariku di sini, katakan apa perlunya engkau mencari aku, Sinciang
Taihiap!"
Pendekar bercaping itu memutar tubuh ke kiri untuk memandang ke arah Si Pembicara. Ternyata orang
bernama Thong Nam itu bertubuh pendek dengan perut gendut, namun tubuhnya nampak kokoh kuat dan
wajahnya yang bulat itu membayangkan ketinggian hati.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tidak mengherankan kalau kepala suku Miao ini dengan lantang memperkenalkan diri, karena dia pun
terkenal sebagai seorang jagoan di antara suku bangsanya. Dia terkenal mempunyai tenaga kuat, ilmu
gulat yang tak pernah terkalahkan, juga dia memiliki ilmu tendangan maut. Selain itu, ia pun tahu bahwa di
tempat itu, dia memiliki banyak kawan tangguh yang pasti akan membantunya kalau dia terancam bahaya.
Sejenak pendekar bercaping itu mengamati Si Pendek Gendut dan karena ia diam saja, semua orang
menjadi semakin tegang.
"Thong Nam," akhirnya terdengar dia berkata, "aku mencarimu untuk meminta kembali sebutir mutiara
hitam. Engkau tak berhak memilikinya dan benda itu harus dikembalikan kepada pemiliknya."
Semua orang tidak mengerti mengenai mutiara hitam itu, akan tetapi wajah Si Pendek Gendut itu berubah
merah dan alisnya berkerut, nampak bahwa dia marah mendengar itu.
Otomatis tangan kirinya meraba ke arah dadanya, lalu dia berkata lantang, "Sin-ciang, Taihiap! Mutiara
Hitam itu adalah milikku, dan kuterima dari mendiang ayahku. Aku tidak pernah mengambilnya dari orang
lain!"
"Kalau begitu, saudara Thong Nam, ayahmu itulah yang sudah mengambilnya. Mutiara Hitam itu milik
orang lain, kuharap engkau suka berbesar hati untuk mengembalikannya kepadaku agar dapat kupenuhi
pesan pemiliknya."
"Sin-ciang Taihiap, engkau sungguh terlalu mendesak. Orang lain boleh takut padamu, akan tetapi aku
tidak! Dan menurut peraturan dunia kang-ouw, untuk memiliki sesuatu dari orang lain haruslah lebih dahulu
mengalahkannya."
Kepala suku Miao itu lalu mengambil sesuatu dari balik baju, kemudian menyerahkan sebuah mutiara
hitam yang tadi ia pakai sebagai kalung kepada Lulung Lama. "Losuhu, tolong simpan dulu benda ini, aku
akan menandingi pendekar yang sombong ini!"
Setelah menyerahkan benda itu kepada Lulung Lama, Thong Nam lalu lompat ke depan pendekar
bercaping lebar dengan sikap menantang. Lulung Lama menerima benda itu, nampak tertarik dan segera
dia mendekati suheng-nya. Dobhin Lama menerima benda itu kemudian mereka berdua mengamati benda
itu sambil berbisik-bisik, pandang mata mereka bersinar-sinar.
Sementara itu, Thong Nam yang merasa diremehkan di hadapan banyak orang, tanpa banyak cakap lagi
sudah menyerang pendekar bercaping itu dengan tubrukan ganas, seperti seekor beruang menubruk
mangsanya. Agaknya dia hendak mengandalkan ilmu gulatnya untuk menangkap lawan, karena dia yakin
bahwa sekali dia dapat menangkap lengan lawan, dia akan mampu membuat lawannya tak berdaya
dengan ringkusan atau bantingan.
Sin-ciang Taihiap agaknya tidak tahu akan keistimewaan Thong Nam. Maka dia seperti acuh saja dan
bahkan menangkis dengan pemutaran lengan kanan dari kiri ke kanan dan membiarkan lengannya itu
tertangkap lawan!
Tentu saja girang hati Thong Nam. Begitu dia berhasil menangkap lengan kanan lawan, dia
mempergunakan kedua tangannya, menangkap dengan pengerahan tenaga yang mendadak disentakkan.
Dia hendak menekuk lengan itu ke belakang. Sekali dia berhasil menekuk lengan itu ke belakang tubuh,
dia akan dapat membuat lawan tidak berdaya dengan mendorong lengan yang tertekuk ke belakang itu ke
atas!
Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia sama sekali tak mampu menekuk lengan lawan itu. Jangankan
memuntir ke belakang, bahkan menekuk sikunya saja dia tidak mampu. Lengan itu terasa olehnya seperti
sebatang baja yang sangat kuat. Padahal, sebatang tongkat atau tombak baja pun akan dapat ditekuknya
dengan mudah!
Tiba-tiba pendekar bercaping itu menggerakkan lengannya yang ditangkap dan sedang hendak ditekuk ke
belakang dan... Thong Nam tidak mampu bertahan lagi. Pegangan kedua tangannya terlepas dan dia pun
terjengkang sampai beberapa meter jauhnya.
Thong Nam tidak terluka, dia hanya terkejut. Dia bangkit kembali dan mukanya menjadi merah sekali. Dia
menjadi semakin penasaran dan marah, dan tanpa bicara lagi segera menerjang lawannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekali ini dia tidak ingin menangkap, melainkan mengandalkan ilmu tendangannya yang memang hebat
dan berbahaya. Selain kedua kaki itu dapat bergerak cepat sekali, juga setiap tendangan mengandung
tenaga yang amat kuat, apa lagi kedua kaki itu memakai sepatu yang dilapis baja, bagian bawahnya
memiliki tepi yang tajam dan ujungnya juga runcing.
Dengan gerakan yang tenang sekali, Sin-ciang Taihiap dapat menghindarkan sambaran dua buah kaki
yang melakukan serangkaian tendangan secara bertubi-tubi. Tubuhnya hanya bergerak sedikit saja,
namun cukup membuat tendangan itu hanya lewat di dekat tubuhnya.
"Hemm, sepatumu itu terlalu keji, Thong Nam," kata pendekar itu lembut.
Tiba-tiba saja, tubuh Thong Nam kembali terlempar dan terjengkang ke belakang, akan tetapi sekali ini
kedua kakinya sudah telanjang karena sepasang sepatu itu tertinggal di kedua tangan pendekar bercaping
itu!
Pendekar itu memeriksa sepasang sepatu yang sangat istimewa itu, kemudian jari-jari tangannya bergerak
dan... lapisan besi di bawah sepatu itu sudah terlepas semua dan yang tinggal hanya sepasang sepatu
kulit biasa. Dia melemparkan sepasang sepatu itu kepada Thong Nam.
Kini wajah Thong Nam berubah pucat. Ia mengenakan sepatunya yang menjadi sepatu biasa itu dan
lenyaplah semua ketinggian hatinya. Dia tahu benar bahwa pendekar itu sama sekali bukan lawannya dan
jika pendekar itu menghendaki, mungkin dia sekarang telah tewas, atau setidaknya terluka berat.
Sementara itu, Sian Lun yang tadi pertandingannya dihentikan menjadi penasaran. Juga diam-diam,
seperti juga Sian Li, kini hatinya menjadi besar setelah munculnya Sin-ciang Taihiap. Dilihatnya betapa tiga
orang wanita Pek-lian-kauw tadi masih berdiri dengan pedang di tangan, maka dia segera melangkah maju
dan menudingkan telunjuknya ke arah mereka dan pihak tuan rumah.
"Kalian semua mengaku sebagai pejuang-pejuang patriot, tapi sesungguhnya hanyalah penjahat-penjahat
dan pemberontak-pemberontak yang berkedok perjuangan! Keluarga Pulau Es dan Istana Gurun Pasir
memang selalu menentang dan membasmi penjahat-penjahat seperti kalian!"
Melihat suheng-nya sudah nekat seperti itu, Sian Li juga meloncat ke dekatnya untuk membantu. Melihat
ini, Lulung Lama menjadi marah dan dia memberi perintah kepada anak buahnya.
"Tangkap dua orang muda kurang ajar ini!"
"Tahan!" Sin-ciang Taihiap berseru ketika melihat banyak orang sudah bangkit dan siap menyerbu. "Lulung
Lama, urusanku dengan Thong Nam belum selesai. Mutiara Hitam belum diserahkan kembali kepadaku,
dan mengenai kedua orang muda ini, seyogianya kalau kalian membiarkan mereka pergi. Mereka adalah
pendekar-pendekar gagah yang tidak ada hubungannya dengan segala macam pemberontakan."
Kini Dobhin Lama yang masih memegang mutiara hitam itu bangkit berdiri. Tubuhnya nampak semakin
kurus dan tinggi ketika dia telah berdiri dan dan memandang kepada Sin-ciang Taihiap.
"Hemmm, Sin-ciang Taihiap. Meski pun engkau menyembunyikan wajahmu, akan tetapi kami tahu bahwa
engkau adalah seorang yang masih amat muda. Mengagumkan sekali seorang yang demikian muda sudah
mempunyai ilmu kepandaian sepertimu. Alangkah sayangnya kalau kepandaian seperti itu tidak kau
gunakan untuk mencapai kemuliaan selagi engkau masih muda. Sin-ciang Taihiap, sebagai seorang Han,
apakah engkau tidak prihatin melihat bangsa Mancu menjajah negara dan bangsamu? Marilah engkau
bergabung dengan kami. Kami akan memberi kedudukan yang tinggi padamu, bahkan mungkin sekali kami
akan mengangkatmu sebagai panglima besar."
Dengan sikap yang sopan pendekar itu memberi hormat kepada Dobhin Lama, lalu terdengar suaranya
yang lembut namun lantang dan tegas. "Terima kasih atas uluran tanganmu, Dobhin Lama. Tentu saja aku
merasa prihatin dengan adanya penjajahan bangsa Mancu. Aku mengagumi usaha para patriot yang
berjuang demi membebaskan tanah air dan bangsa dari cengkeraman penjajah Mancu. Tetapi, Losuhu,
perjuangan bukanlah perjuangan murni lagi kalau didasari pamrih untuk kepentingan pribadi, pamrih untuk
mendapatkan imbalan jasa bagi diri sendiri. Perjuangan yang benar adalah suatu kebaktian terhadap tanah
air dan bangsa, tanpa adanya pamrih untuk pribadi. Kalau ada pamrih, maka perjuangan itu hanyalah
menjadi suatu alat, suatu cara untuk mencapai keuntungan pribadi seperti kedudukan, kemuliaan, harta
dunia-kangouw.blogspot.com
dan segala kesenangan lain sebagai hasil dari kemenangan. Saudara sekalian yang berada di sini tentu
dapat pula meneliti diri sendiri, apakah perjuangan kalian itu murni ataukah hanya menjadi suatu cara saja
untuk mengejar hasil kemenangan yang akan menyenangkan diri sendiri atau golongan sendiri?"
"Sin-ciang Taihiap, perlukah bicara dengan mereka ini?" Tiba-tiba Sian Li berseru. "Lihat saja siapa adanya
mereka ini dan kita akan tahu macam apa perjuangan mereka itu! Perkumpulan Lama Jubah Hitam adalah
pemberontak terhadap pemerintah Tibet yang sah. Juga orang-orang Nepal yang bersekutu dengan
mereka ini adalah orang-orang Nepal yang memberontak terhadap Kerajaan Nepal sendiri sehingga
mereka itu menjadi buronan dan buruan dari kedua kerajaan itu! Dan lihat pula siapa lagi sekutu mereka!
Pek-lian-kauw! Tak perlu berpanjang cerita lagi, mereka bukanlah pejuang-pejuang asli, perjuangan itu
hanya menjadi kedok untuk menutupi kejahatan mereka!"
"Tangkap mereka!" Lulung Lama berteriak lagi dan dia menghadapi Sin-ciang Taihiap. "Sin-ciang Taihiap,
harap jangan mencampuri urusan kami! Atau terpaksa kami akan menentangmu!"
Pek-lian Sam-li berloncatan mengepung Sian Lun dan Ji Kui berkata kepada anak buah tuan rumah,
"Biarkan kami bertiga yang menangkap pemuda ini!" Dan mereka pun telah mengepung dan menyerang
Sian Lun dengan pedang mereka.
"Gadis ini untukku, ha-ha-ha-ha!" Pangeran Gulam Sing juga membentak dan dia sudah menghadapi Sian
Li dengan goloknya yang melengkung. Kembali mereka bertempur, melanjutkan pertandingan tadi yang
tertunda oleh kemunculan Sin-ciang Taihiap.
Sebelum Sin-ciang Taihiap bisa mencegah terjadinya pengeroyokan itu, ia sendiri sudah diserang oleh dua
orang yang amat lihai, yaitu Cu Ki Bok dan gurunya, Lulung Lama! Begitu pemuda peranakan Han Tibet itu
meyerang dengan sabuk baja yang pada kedua ujungnya dipasangi pisau, tahulah pendekar bercaping
lebar itu bahwa dia menghadapi seorang lawan yang tangguh. Apa lagi ketika Lulung Lama juga ikut
menyerang dengan senjatanya yang aneh, yaitu sepasang gelang roda besar yang warnanya keemasan
dan tepinya bersirip tajam.
Pendekar itu pun memperlihatkan kelihaiannya. Tubuhnya berkelebatan seperti seekor burung walet,
beterbangan di antara gulungan sinar senjata dua orang pengeroyoknya!
Akan tetapi, tepat seperti yang dikabarkan orang. Sin-ciang Taihiap agaknya tidak mau melukai lawan, apa
lagi membunuhnya. Inilah sebabnya mengapa sukar baginya untuk menundukkan dua orang
pengeroyoknya yang memiliki kepandaian yang sudah tinggi tingkatnya. Kalau saja dia mau melukai, tentu
tidak akan lama pertandingan itu, karena dia tentu dapat merobohkan Cu Ki Bok mau pun Lulung Lama!
Keadaan Sian Lun mau pun Sian Li sangat payah, walau pun kedua orang muda ini melawan dengan gigih.
Mereka langsung terdesak hebat, akan tetapi tidak mudah pula bagi lawan-lawan mereka untuk segera
meraih kemenangan.
Sian Lun menghadapi tiga orang wanita tokoh Pek-lian-kauw yang sudah memiliki ilmu kepandaian tingkat
tinggi. Tiga orang wanita itu merasa kagum bukan main. Baru kini mereka berhadapan dengan seorang
lawan muda yang dapat menahan pengeroyokan mereka bertiga!
Memang Sian Lun bukan merupakan lawan yang lunak. Dia telah digembleng oleh dua orang gurunya,
yaitu Suma Ceng Liong dan Kam Bi Eng. Walau pun tidak seluruh ilmu kesaktian dari keluarga para
pendekar Pulau Es dikuasainya, akan tetapi dia sudah menguasai Hwi-yang Sinkang dan Soat-Im Sinkang,
kedua ilmu menggunakan tenaga sakti yang panas dan dingin, dan juga ilmu pedang Liong-siauw Kiam-sut
(Ilmu Pedang Suling Naga) yang diajarkan oleh Kam Bi Eng.
Pemuda ini memang belum mempunyai banyak pengalaman bertanding, namun karena dia menguasai
ilmu pedang yang dahsyat dan memiliki gabungan tenaga sinkang yang sangat kuat, maka tiga orang
wanita dari Pek-liankauw yang bermaksud menangkapnya hidup-hidup tanpa melukainya itu mengalami
kesulitan.
Sian Li juga menghadapi lawan yang tangguh. Seperti juga Sian Lun, gadis remaja ini telah menguasai
ilmu yang hebat, bahkan dia masih lebih tangguh kalau dibandingkan suheng-nya itu karena gadis ini
menguasai pula ilmu Pek-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Putih) dari ayahnya. Andai kata ia sudah memiliki
banyak pengalaman bertanding, tentu ia akan mampu mengalahkan pangeran Nepal itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, karena dia kurang pengalaman menghadapi ilmu golok melengkung dari pangeran asing itu
yang gerakan-gerakannya aneh sekali, ia menjadi agak bingung. Biar pun demikian, karena pangeran
Nepal itu tidak ingin melukainya dan ingin menangkap gadis itu hidup-hidup, maka pangeran itu tidak
mudah dapat menundukkannya.
Sian Lun yang memang sudah terdesak, dengan nekat memutar pedangnya dan sinar pedang yang
bergulung-gulung itu bagaikan benteng baja yang sangat kuat, membuat tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu
kagum dan juga penasaran. Mereka saling memberi isyarat dan masing-masing mengaluaran sehelai sapu
tangan merah.
Tanpa diduga-duga oleh Sian Lun, mereka mengebutkan sapu tangan merah ke arah pemuda itu. Sian Lun
memang kurang pengalaman, melihat uap tipis kemerahan itu dia tidak menyangka buruk. Baru setelah dia
mencium bau harum yang aneh dan matanya berkunang, kepalanya pening, setelah sangat terlambat, dia
baru tahu bahwa tiga orang pengeroyoknya itu menggunakan bubuk beracun.
"Iblis-iblis betina yang curang...!” Dia berteriak dan memaksakan diri untuk menyerang dengan nekat, akan
tetapi kepalanya semakin pening dan dia pun terhuyung-huyung.
Ji Kui mengeluarkan suara ketawa mengejek. Sekali menggerakkan tangan menotok, Sian Lun terkulai
dalam rangkulannya dan pemuda itu lemas tak mampu bergerak lagi.
Sian Li mendengar teriakan suheng-nya dan cepat menengok. Melihat suheng-nya telah tertawan, ia
menjadi marah dan tubuhnya bergerak cepat. Bagai seekor burung bangau dia sudah mengirim tujuh kali
tusukan beruntun dengan pedangnya kepada Pangeran Gulam Sing.
Pangeran ini terkejut, merasa seperti menghadapi seekor burung besar. Dia memutar golok dan
melangkah mundur. Akan tetapi kesempatan seperti itu dipergunakan oleh Sian Li untuk meloncat ke arah
Sian Lun.
Melihat ini, tiga orang wanita Pek-lian-kauw terkejut dan marah. Tangan kiri mereka pun bergerak ke arah
Sian Li dan belasan batang jarum halus menyambar ke arah tubuh gadis yang sedang melayang ke arah
mereka itu!
Sukar bagi Sian Li untuk dapat menghindarkan diri dari sambaran jarum karena pada saat itu ia sedang
meloncat ke arah Sian Lun yang tertawan. Dan Pangeran Gulam Sing juga mengejar dengan lompatan
seperti seekor harimau yang menubruk, bukan sekedar melompat, melainkan sambil menggerakkan kaki
menendang! Keadaan Sian Li sunggh berbahaya sekali.
Pada saat itu pula, Sin-ciang Taihiap yang melihat keadaan itu secepat kilat mengirim tendangan beruntun
kepada dua orang pengeroyoknya. Tendangan itu mendatangkan angin yang bersiutan sehingga Lulung
Lama dan Cu Ki Bok terpaksa berloncatan ke belakang dan kesempatan ini dipergunakan olehnya untuk
meloncat mendahului Sian Li untuk melindungi gadis itu dari sambaran jarum-jarum halus!
Sian Li yang mendengar gerakan kaki Pangeran Gulam Sing dari belakang, walau pun tubuhnya sedang
melayang di udara, dapat berjungkir balik dan pedangnya menyambar ke belakang. Bila kaki pangeran itu
dilanjutkan menendang, tentu akan bertemu dengan pedangnya!
Akan tetapi pangeran itu juga berjungkir balik dan turun kembali. Sedangkan Sin-ciang Taihiap dengan
ujung lengan bajunya mengebut jarum-jarum halus itu sehingga runtuh dan dia pun sudah menyambar
lengan kiri Sian Li dan berseru,
"Mari kita pergi!"
"Tidak, Suheng-ku...!"
Sian Li hendak meronta, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya dibawa meloncat jauh oleh Sin-ciang Taihiap
dan terpaksa dia pun ikut menggerakkan kaki berlari karena ia tidak mau terseret. Cepat bukan main
gerakan Sin-ciang Taihiap sehingga biar pun dia ingin meronta, tetap saja dia kalah kuat dan tidak berhasil
melepaskan lengan kirinya yang terpegang.
Sian Li merasa penasaran sekali. Akan tetapi karena ia tahu bahwa pendekar aneh ini sudah berulang kali
menolongnya, dia pun tidak mau menyerang dengan pedangnya, hanya terpaksa ikut berlari dengan alis
dunia-kangouw.blogspot.com
berkerut sambil bersungut-sungut. Mengapa pendekar ini mengajaknya berlari? Suheng-nya telah
tertawan, dan sekarang ia disuruh melarikan diri! Ia bukan seorang pengecut seperti itu!
Agaknya, semua orang yang sedang mengadakan pertemuan di sana merasa jeri juga terhadap Sin-ciang
Taihiap dan mereka tidak berani melakukan pengejaran. Apa lagi, mereka telah berhasil menawan seorang
dan tawanan ini dapat menjamin mereka agar Sin-ciang Taihiap dan Tan Sian Li tidak akan berani
mengganggu mereka lagi.
"Harap Sam-li jangan sampai melukai atau membunuh pemuda itu," kata Lulung Lama. "Dia masih berguna
bagi kita, selain untuk jaminan, juga kalau kita dapat membujuk sandera ini sehingga dia taluk dan dapat
membantu, hal itu amat menguntungkan."
Ji Kui yang merangkul Sian Lun yang tak sadarkan diri, mengelus dagu pemuda itu dan tersenyum sambil
saling pandang dengan dua orang adiknya.
"Jangan khawatir, Losuhu. Kami pun tidak bermaksud mencelakai pemuda tampan ini. Bahkan kami akan
membantu agar dia tunduk dan takluk kepada kita."
Ji Hwa, orang ke dua dari mereka, memandang pada Pangeran Gulam Sing dan sambil tersenyum manis
ia berkata, "Pangeran, engkau telah kalah oleh kami. Mengakulah!"
Gulam Sing juga tersenyum. "Ah, kalian memang cerdik, menggunakan bubuk racun itu. Sungguh aku
kalah cerdik dan aku mengaku kalah. Perintahkan saja apa yang kalian kehendaki, aku tentu akan mentaati
untuk membayar kekalahanku."
"Hi-hik, nanti saja kita bicarakan hal itu di kamar kami, Pangeran!" kata Ji Kim, wanita Pek-lian-kauw
termuda.
Mereka bertiga tertawa dan pangeran Nepal itu pun tertawa bergelak. Sudah diduganya. Kalah atau
menang, sama saja baginya, tetap akan menyenangkan.
"Pangeran, mengapa tadi tidak mempergunakan sihir untuk mengalahkan Tan Sian Li?" Lulung Lama
berkata kepada pangeran itu.
"Hemm, apa kau kira aku begitu bodoh?" Pangeran itu balas bertanya. "Sudah kucoba, akan tetapi gagal,
tidak ada pengaruhnya sama sekali! Dan kenapa engkau pun tidak menggunakan sihir untuk menundukkan
Sin-ciang Taihiap tadi?"
"Omitohud, kalau begitu sama saja. Pinceng juga sudah mencobanya, akan tetapi tidak ada hasilnya sama
sekali," kata Lulung Lama.
"Sungguh mengherankan. Tadi sebelum menggunakan bubuk racun merah, kami juga telah mencoba
dengan sihir akan tetapi kekuatan sihir kami seperti tenggelam ke dalam air saja!" kata pula Ji Kui.
Jika semua orang merasa heran, Dobhin Lama justru tertawa. "Ha-ha-ha, kalian seperti anak-anak saja.
Sudah jelas bahwa pengaruh ilmu sihir menjadi punah karena adanya Sin-ciang Taihiap di sini. Orang itu
berbahaya sekali, karena itu kita harus berhati-hati. Kulihat tadi ketika dia melindungi gadis itu, ada jarum
Pek-lian Sam-li yang mengenai pundak kirinya. Dia telah terluka jarum Pek-lian Tok-ciam!"
"Ah, benarkah itu, Losuhu?" Ji Kui dan dua orang adiknya berseru girang. "Kalau begitu, dia tentu tidak
akan dapat lolos! Jarum kami mengandung racun yang sukar dilawan."
“Jangan gembira dulu, Sam-li," kata Dobhin Lama. "Pinceng sudah mengenal baik jarum baracun Pek-tlan
Tok-ciam. Bukankah siapa yang terkena jarum itu tentu akan lumpuh seketika? Dan melihat betapa Sinciang
Taihiap masih dapat melarikan diri, hal itu menunjukkan bahwa dia memang lihai bukan main. Belum
tentu jarummu akan dapat membuat dia tak berdaya. Bagaimana pun juga kita harus berhati-hati dan suruh
anak buah melakukan penjagaan ketat."
Mereka melanjutkan pertemuan itu untuk membicarakan gerakan mereka dan mengatur rencana dan
membagi tugas kerja. Sian Lun yang sudah tidak berdaya itu diserahkan kepada Pek-lian Sam-Li untuk
menjaga dan menundukkannya. Dan tiga orang wanita itu dengan wajah berseri-seri lalu mengajak
Pangeran Gulam Sing dan memondong tubuh Sian Lun, pergi mengundurkan diri…..
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
"Cukup, berhenti!" Sian Li merenggutkan tangannya dan sekali ini ia berhasil.
Mereka kini berada di kaki bukit yang sunyi, dikelilingi hutan-hutan kecil dan rawa-rawa. Orang yang
bercaping lebar itu sekali ini tidak mempertahankan pegangannya lagi dan melepaskan lengan kiri Sian Li.
Sian Li menghentikan langkahnya. Matahari sudah condong ke barat, senja menjelang tiba. Dia
menghadapi laki-laki itu dengan alis berkerut.
"Kenapa engkau memaksaku berlari-lari, melarikan diri seperti pengecut-pengecut yang ketakutan?" dua
kali Sian Li mengajukan pertanyaan ini dengan muka merah karena marah dan penasaran. "Kenapa?"
Orang itu menghela napas panjang beberapa kali, kemudian terdengar suaranya yang lembut, "Karena aku
tidak ingin melihat engkau tewas di sana."
"Akan tetapi, aku tidak takut mati!" Sian Li berkata dan membanting kakinya dengan marah.
Pendekar itu tidak menjawab, malah melangkah pergi meninggalkan Sian Li. Gadis itu hendak marahmarah,
akan tetapi ia melihat betapa pendekar itu langkahnya gontai dan agak terhuyung. Tentu saja ia
menjadi heran dan mengikuti dari belakang.
Orang bercaping lebar itu menuju ke sebuah goa besar yang tertutup rumpum semak-semak berduri, dan
agaknya sudah biasa dia berada di situ. Ketika dia memasuki goa, Sian Li mengikuti dan ternyata goa itu
terpelihara dan bersih, merupakan ruangan yang terlindung. Begitu memasuki goa, pendekar aneh itu lalu
duduk bersila, seolah tidak mempedulikan lagi kepada Sian Li.
Gadis ini tentu saja menjadi semakin marah. Orang ini biar pun pernah beberapa kali menolongnya, akan
tetapi sekali ini telah bertindak keterlaluan. Sudah memaksa dirinya melarikan diri, sekarang malah
mengacuhkannya sama sekali.
"Heiiii! Engkau ini ternyata hanyalah seorang pendekar yang mempunyai pikiran tidak senonoh!" bentaknya
semakin marah.
Pendekar itu menggerakkan kepalanya yang tadi bertunduk, akan tetapi tidak langsung menghadapkan
mukanya yang tertutup rambut dan tirai.
"Kenapa engkau menuduh demikian?" tanyanya, masih lembut dan penuh kesabaran.
"Buktinya, engkau hanya melarikan aku sendiri saja. Kalau memang hendak menolong, kenapa hanya aku
yang kau tolong, dan meninggalkan Suheng di sana?"
"Dia sudah tertawan. Kalau kubiarkan, engkau akan tertawan pula.”
“Aku tidak takut! Suheng telah ditawan, aku pun harus menolongnya, tidak peduli aku akan tertawan pula
atau mati sekali pun!"
Sejenak orang itu tidak berkata-kata, kemudian terdengar suaranya lirih, "Engkau tentu amat… sayang
kepada suheng-mu itu."
"Tentu saja! Dia Suheng-ku, kalau bukan aku yang menolongnya, lalu siapa lagi?"
"Kalau engkau tadi tewas atau tertawan, lalu bagaimana engkau akan dapat menolong suheng-mu?"
Ucapan itu menyadarkan Sian Li dan ia pun termangu.
Sin-ciang Taihiap lalu berkata lagi, "Mereka terlalu banyak dan juga banyak orang lihai. Karena terpaksa
aku mengajakmu melarikan diri dari sana supaya kita dapat mengatur siasat untuk dapat menolong
suheng-mu..." Ucapan itu tidak dilanjutkan, tetapi berhenti tiba-tiba dan pendekar itu lalu menundukkan
mukanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian Li masih curiga, apa lagi melihat orang itu tiba-tiba menghentikan ucapannya dan sikapnya seperti
orang yang menyembunyikan sesuatu. Ia tidak mengenal siapa orang ini, belum tahu pula bagaimana
wataknya. Siapa tahu semua itu hanya siasat saja dan orang yang selalu menyembunyikan mukanya itu
memang mempunyai niat yang tidak baik.
"Sudahlah, aku harus kembali ke sana sekarang juga untuk membebaskan Suheng!" katanya dan ia pun
hendak meninggalkan tempat itu.
Akan tetapi, pendekar bercaping itu sudah mendahuluinya bergerak dan menghadang di depannya.
"Jangan! Sekarang belum boleh..."
Benar saja dugaannya. Orang ini mempunyai niat yang tidak baik, pikir Sian Li kecewa. Sebelum ini, ia
selalu mengenang Sin-ciang Taihiap yang pernah menolong dirinya dan suheng-nya, membuat dia kagum
dan ingin sekali bertemu. Akan tetapi setelah jumpa, kekagumannya menghilang karena ulah pendekar itu
yang amat mencurigakan, dan kini ia malah menjadi marah sekali.
“Siapa pun tidak boleh melarang aku menolong Suheng-ku!" bentaknya.
Dia pun maju terus dan mendorong pendekar yang menghadang itu dengan tangan kiri. Tangan kirinya
mengenai dada orang itu dan... pendekar itu terdorong ke belakang, terhuyung-huyung, lalu roboh!
Tentu saja Sian Li merasa heran dan terkejut bukan main. Mengapa orang itu menjadi demikian lemah?
Dia cepat menghampiri dan keheranannya bertambah ketika melihat bahwa orang itu sudah pingsan!
Wajahnya masih tertutup rambut dan tirai, akan tetapi napasnya terengah-engah. Ketika dia menyentuh
lengannya, terasa amat panas!
Sian Li menjadi khawatir sekali. Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang sudah mempelajari ilmu pengobatan
dari Dewa Obat itu, sekali pegang nadi orang itu tahulah dia bahwa tubuh orang itu sudah keracunan
secara hebat! Racun yang berhawa panas, pikirnya dengan lega.
Racun yang mengandung hawa panas masih lebih mudah untuk diobati dibandingkan racun berhawa
dingin. Jelas bahwa pendekar ini keracunan dan teringatlah dia ketika Sin-ciang Taihiap tadi
membantunya. Ia diserang jarum-jarum oleh Pek-lian Sam-li dan pendekar ini yang melompat dan
meruntuhkan jarum-jarum itu dengan lengan bajunya, gerakan yang membuat ia kagum bukan main.
Jangan-jangan ada jarum yang mengenai tubuh pendekar ini. Tangannya meraba-raba dan akhirnya ia
tahu bahwa memang benar racun itu berpusat di pundak kirinya. Tanpa ragu lagi Sian Li merobek baju di
pundak kiri dan benar saja. Ada bintik kehijauan di situ, kecil sekali dan ia pun tahu bahwa tentu jarum itu
memasuki bagian tubuh itu dan meracuni darah.
Sebagai murid Yok-sian Lo-kai yang pandai, Sian Li tahu apa yang harus dilakukannya. Lebih dahulu dia
menotok jalan darah di sekitar pundak untuk mencegah menjalarnya racun, lalu dengan ujung pedangnya
yang tajam dia menoreh bintik hijau itu sehingga kulit dan dagingnya terbuka, dan ia mencongkel keluar
sebatang jarum hitam kehijauan.
Kemudian, ia menyedot luka itu dengan mulutnya, menghisap keluar darah yang sudah keracunan, lalu
menaruh obat bubuk pada luka di pundak. Setelah itu, ia mengeluarkan jarum emas serta perak yang dia
dapatkan dari Yok-sian Lo-kai, kemudian melakukan pengobatan dengan tusuk jarum di beberapa bagian
tubuh untuk memunahkan sisa-sisa hawa beracun yang mengeram di tubuh Sin-ciang Taihiap.
Kurang lebih setengah jam dia memberi pengobatan sampai dia merasa yakin benar bahwa pendekar itu
telah terbebas dari racun. Ia memulihkan jalan darah pendekar itu. Pernapasannya mulai normal kembali
dan tubuhnya tidak panas seperti tadi.
Melihat pendekar itu masih rebah telentang dalam keadaan tak sadar, timbul keinginan hati Sian Li untuk
melihat wajahnya. Dia masih pingsan, apa salahnya kalau ia melihat wajahnya sebentar saja? Orang ini
selalu menyembunyikan muka. Kenapa? Cacadkah dia? Atau ada rahasia lain?
Sekarang ia tahu bahwa tadi kecurigaannya tidak beralasan sama sekali. Pendekar ini jauh dari pada apa
yang ia curigakan. Sama sekali tidak mempunyai niat buruk, apa lagi tak senonoh. Pendekar ini sedang
menderita luka beracun yang amat parah ketika tadi menolongnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena itulah maka pendekar itu memaksanya melarikan diri, karena kalau tidak, tentu mereka berdua
sudah tertawan pula, atau bahkan terbunuh. Dan memang benar. Kalau pendekar itu tidak memaksanya
melarikan diri, tentu mereka bertiga sudah tertawan dan tidak ada kesempatan sama sekali untuk
menolong suheng-nya.
Pendekar ini benar. Ia yang terburu nafsu dan terlalu mencurigainya. Dan sekarang, apa salahnya kalau ia
memandang sebentar saja wajahnya yang penuh rahasia, mengambil kesempatan selagi dia belum
siuman?
Dengan jari-jari tangan gemetar karena tegang dan juga diam-diam merasa malu pada diri sendiri bahwa
dia sudah mencuri dan membuka rahasia orang, Sian Li menyingkap tirai di depan muka itu, lalu
menyingkap rambutnya yang terurai awut-awutan menutupi muka. Ia melihat sebuah wajah yang tampan.
Muka itu berbentuk lonjong dengan dagu runcing dan ujung dagu berlekuk, alis yang tebal hitam dengan
mata terpejam, dahinya lebar, hidung mancung dan bentuk muka yang amat dikenalnya. Dia terbelalak, tak
bergerak seperti patung, lalu bibirnya berbisik berulang-ulang, seolah tidak percaya kepada pandang
matanya sendiri.
"Yo Han...? Suheng... Kakak Yo Han...?"
Akan tetapi ia membantah sendiri. Tidak mungkin ini adalah suheng-nya yang selama bertahun-tahun
dirindukannya itu. Suheng-nya itu selamanya tidak pernah suka berlatih silat. Suheng-nya sangat baik
kepadanya, seperti kakak kandungnya sendiri, akan tetapi sama sekali tidak pandai silat biar pun ayah
ibunya berusaha untuk menggemblengnya. Sedangkan pendekar ini memiliki ilmu silat yang amat tinggi.
Akan tetapi wajah ini...! Bagaimana mungkin ia bisa salah? Wajah ini hampir tak pernah meninggalkan
lubuk hatinya. Biar pun kini telah menjadi seorang laki-laki dewasa, tetapi bentuk muka itu tidak berubah.
Dahi itu, hidung mulut dan dagu itu! Ah, ia teringat akan sesuatu.
Pernah ketika suheng-nya ini mandi di sungai kecil dan bertelanjang tubuh bagian atas, ia melihat sebuah
tahi lalat sebesar kedelai di dada suheng-nya itu, tepat di tengah ulu hatinya. Semenjak itu, sering kali dia
menggoda dan memperolok suheng-nya dengan tahi lalat itu.
Dengan jari tangan menggigil Sian Li membuka kancing baju pendekar itu untuk melihat dadanya. Ia
membuka baju itu dan... di sanalah, tepat di tengah ulu hati, bertengger tahi lalat itu.
"Kakak Yo Han...!" Kini ia tidak ragu lagi dan ia pun merangkul, menangis!
Pendekar itu membuka matanya. Ketika melihat Sian Li menangis di atas dadanya, dia mendorongnya
dengan halus dan bangkit duduk. "Nona... kau..."
Tetapi dia tidak melanjutkan ucapannya karena Sian Li sudah memandangnya dengan mata yang
berlinangan air mata, akan tetapi mulut gadis itu tersenyum, sinar matanya penuh kebahagiaan.
"Han-suheng (Kakak Seperguruan Han), Han-koko (Kakanda Han), kenapa engkau jadi bersikap begini
terhadap aku? Benarkah engkau tidak mengenal aku lagi? Aku Sian Li, Tan Sian Li...!"
Akan tetapi Yo Han, yang selama beberapa tahun ini berkeliaran di perbatasan Tibet sehingga dijuluki Sinciang
Taihiap oleh mereka yang pernah ditolongnya, tidak merasa heran. Tentu saja sebelumnya dia sudah
tahu atau dapat menduga siapa adanya gadis remaja berpakaian serba merah itu.
"Sian Li... Sumoi..." katanya dan sinar matanya mengandung kasih sayang sedemikian mendalam
sehingga Sian Li teringat akan masa lalu, ketika ia merasakan benar kasih sayang suheng-nya ini
kepadanya.
"Suheng...!" Dan lupa akan segala, lupa bahwa ia bukan lagi kanak-kanak, ia menubruk dan merangkul Yo
Han, menangis di dalam rangkulan pendekar itu!
Yo Han membiarkan saja dan mengelus rambut yang halus itu, maklum bahwa di saat seperti itu, semua
peraturan sudah terlupakan, yang ada hanyalah peluapan perasaan. Pada saat itu, dia tahu bahwa
perasaan gembira, terharu dan bahagia meluap di hati Sian Li.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia sendiri pun merasa terharu dan tanpa terasa kedua matanya menjadi basah. Betapa sering ia
membayangkan dan mengenang Sian Li dengan hati penuh kerinduan. Hampir dia tidak dapat percaya
akan tiba saat seperti sekarang ini, di mana dia merangkul Sian Li yang menangis di dadanya.
Setelah gejolak perasaan itu mereda, dengan lembut Yo Han mendorong kedua pundak gadis itu, bahkan
terus memegangi kedua pundak itu dan mengamati wajahnya sambil tersenyum. Sepasang matanya
mencorong sehingga diam-diam Sian Li terkejut dan amat kagum. Jika ada perubahan pada diri suhengnya
ini, barangkali hanya pada sinar matanya itulah. Ia pun membalas, mengamati wajah Yo Han.
"Aihhh, adikku yang dahulu begitu bengal, tabah, keras hati dan pemberani, mengapa sekarang telah
berubah menjadi seorang gadis yang cantik dan cengeng?"
Seketika sinar mata itu bernyala. "Aku tidak cengeng! Aku menangis karena haru dan bahagia! Aihhh, Hanko,
selama ini engkau ke mana sajakah? Kenapa pula engkau tega meninggalkan aku sampai bertahuntahun?
Bagaimana pula engkau tahu-tahu sudah menjadi seorang pendekar sakti dan berjuluk Sin-ciang
Taihiap? Mengapa pula engkau selalu menyembunyikan muka dan tidak ingin dikenal orang? Apa yang
menyebabkan engkau menjadi seorang petualang di daerah ini dan mengapa tidak kembali kepada kami?"
Diberondong pertanyaan-pertanyaan seperti itu, Yo Han tersenyum dan memandang wajah Sian Li penuh
kasih sayang. Sian Li masih cerewet, masih lucu seperti dulu!
"Panjang ceritanya, Li-moi. Akan tetapi... apakah engkau sudah melupakan suheng-mu yang ditawan oleh
gerombolan Lama Jubah Hitam?"
Sian Li seperti baru teringat kepada Sian Lun. "Ahhh, engkau benar juga, Han-ko. Kita harus cepat
menolong dan membebaskannya, sekarang juga!"
Yo Han mengangguk, diam-diam hatinya merasa girang. Adik seperguruan yang sejak kecil sudah
dianggap seperti adiknya sendiri dan yang sangat disayangnya ini ternyata merupakan seorang gadis
gagah perkasa yang bertanggung jawab dan juga setia.
"Tidak akan ada gunanya kalau kita menyerbu ke sana sekarang. Malam hampir tiba dan selain di sana
banyak terdapat orang lihai, juga penjagaan amat kuat dan dipasangi banyak jebakan berbahaya. Kita
memang harus membebaskannya, akan tetapi bukan sekarang. Besok pagi aku akan berkunjung ke sana
dan minta kepada Dobhin Lama, Ketua Lama Jubah Hitam, agar suheng-mu dibebaskan.”
"Tapi... kenapa harus menanti sampai besok? Bagaimana kalau kita telambat dan terjadi apa-apa dengan
Suheng? Mungkin saja dia dibunuh!"
"Jangan khawatir, Li-moi. Aku sudah tahu akan sepak terjang gerombolan Lama Jubah Hitam. Mereka
tidak memusuhi para pendekar, bahkan ingin merangkul dan mengajak para pendekar bersekutu. Mereka
membutuhkan kerja sama dan bantuan orang-orang pandai dalam usaha mereka merebut tahta kekuasaan
di Tibet. Perjuangan melawan pemerintah Mancu hanya sebagai sarana untuk memperoleh dukungan para
pendekar saja. Pada hakekatnya, yang terpenting bagi mereka adalah menguasai Tibet, seperti juga
orang-orang Nepal itu bercita-cita untuk merampas kekuasaan di Nepal dan kini mereka mencari sekutu
agar kelak dapat membantu mereka. Sebab itu jangan khawatir, suheng-mu tak akan dibunuh, mungkin
bahkan dibujuk untuk mau bekerja sama dengan mereka."
Hati Sian Li merasa sangat lega. Ia percaya sepenuhnya kepada Yo Han, bukan hanya percaya karena Yo
Han adalah suheng-nya yang sejak dahulu paling disayangnya dan dipercayainya, akan tetapi juga karena
ia ingat bahwa sudah lama Yo Han bertualang di daerah ini dan tentu mengenal benar keadaan di sini
sehingga keterangannya tadi pasti benar.
"Baiklah kalau begitu, aku menyerahkan kepadamu supaya Suheng dapat terbebas dari tangan mereka.
Sekarang, harap kau ceritakan semua pengalamanmu sejak kita saling berpisah, Han-ko."
Yo Han merasa girang bahwa Sian Li menyebut dia koko (kakak), bukan suheng (kakak seperguruan)
karena bagaimana pun juga dia tidak pernah dengan sungguh-sunggguh belajar silat dari ayah ibu Sian Li.
"Memang sebaiknya malam ini kita lewatkan dengan saling menceritakan pengalaman, Li-moi. Akan tetapi
aku ingin tahu lebih dulu, bagaimana engkau dapat mengobati luka beracun di pundakku? Kurasakan
dunia-kangouw.blogspot.com
racun itu cukup berbahaya, jika harus menggunakan kekuatan sendiri untuk mengusirnya dan
menyembuhkan luka beracun itu, tentu akan memerlukan waktu paling sedikit sepuluh hari. Akan tetapi
sekarang aku telah sembuh sama sekali! Bagaimana engkau dapat mempunyai kepandaian pengobatan
yang begini hebat?"
Biasanya, Sian Li tidak haus pujian, bahkan ia akan menganggap seorang pria merayu kalau memujinya.
Akan tetapi entah bagaimana sekali ini menerima pujian dari Yo Han, ia merasa amat girang dan bangga.
"Aku telah mempelajari ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai," katanya sederhana untuk menyembunyikan
rasa bangga dan senangnya.
"Ahhh, begitukah? Pantas saja kalau begitu. Aku sudah mendengar nama besar Dewa Obat itu. Dan
kulihat ilmu silatmu juga hebat, agaknya engkau telah menguasai benar Pek-ho Sin-kun dari Suhu, akan
tetapi aku melihat gerakan lain yang bukan dari ayah ibumu."
Sian Li mengangkat telunjuk kanan dan mengamangkannya kepada Yo Han. "Nah, nah, engkau mau
mengakali aku, ya? Engkau belum menceritakan sedikit juga mengenai pengalamanmu dan engkau sudah
memancing-mancing agar aku menceritakan segala tentang diriku."
Yo Han tertawa. Sudah lama dia tidak pernah merasakan kegembiraan hati seperti saat itu. Dan dia
bersyukur kepada Tuhan bahwa dia dipertemukan dengan Sian Li di tempat yang sama sekali tidak pernah
disangkanya ini, apa lagi melihat Sian Li telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, manis budi dan
gagah perkasa.
Yo Han menceritakan pengalamannya dengan singkat saja. "Setelah aku meninggalkan tempat tinggal
orang tuamu di Ta-tung..."
"Nanti dulu, ceritakan dulu kenapa engkau meninggalkan aku, meninggalkan kami dan sampai selama ini
tidak pernah kembali, Han-ko!"
Yo Han menatap wajah gadis itu dan menarik napas panjang. Sekali lagi dia harus menghadapi suatu
kenyataan dalam hidup ini, bahwa meski pun membohong adalah perbuatan tidak baik, namun ada
waktunya perlu sekali orang membohong! Membohong bukan dalam arti menipu demi keuntungan pribadi,
melainkan membohong agar jangan sampai menyinggung atau menyakiti perasaan orang yang
dibohonginya!
Kalau sekarang dia berterus terang bahwa dia meninggalkan keluarga gadis itu karena mendengar ayah
ibu gadis itu menyatakan keinginan hati supaya Sian Li jauh darinya, tentu cerita ini akan mengguncang
perasaan Sian Li dan bukan hanya menyinggung, namun menyakitkan dan membingungkan. Maka, dia
harus berbohong!
"Lupakah engkau, Li-moi? Aku menggantikanmu menjadi tawanan Ang-I Moli. Aku telah berjanji kepadanya
bahwa kalau dia mengembalikan engkau kepada orang tuamu, aku akan menggantikanmu menjadi
muridnya." Lega rasa hati Yo Han setelah dia mulai memberi keterangan. Bagaimana pun juga, dia tidaklah
berbohong, hanya tidak berterus terang menceritakan keadaan selengkapnya.
Tentu saja Sian Li masih ingat akan semua itu. Bahkan dahulu ketika Yo Han pergi, hampir setiap hari ia
menangis dan menanyakannya. Ia pun teringat akan pembelaan Yo Han kepadanya terhadap Ang-I Moli.
"Han-ko, jadi engkau telah menjadi murid iblis betina itu?"
"Tidak, Li-moi. Ia jahat bukan main, jahat dan kejam. Aku tidak suka menjadi muridnya. Aku berhasil lolos
darinya dan aku lalu mendapatkan seorang guru di tempat rahasia. Guruku itu kini telah tiada, dan aku
merantau ke sini adalah untuk memenuhi pesan terakhir guruku."
"Mencari mutiara hitam itu?"
"Benar, Li-moi. Benda mustika itu dahulu adalah milik guruku yang hilang dicuri orang. Aku hanya ingin
merampasnya kembali untuk memenuhi pesan mendiang Suhu."
"Dan engkau malang melintang di daerah barat ini sebagai Sin-ciang Taihiap?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Yo-Han menarik napas panjang. Selama bertahun-tahun ia berhasil menyimpan rahasia dirinya, akan tetapi
sekali ini rahasianya terbuka. Bukan oleh orang lain, bahkan oleh Sian Li!
"Ternyata tak mudah mencari mutiara hitam seperti yang menjadi pesan terakhir Suhu," dia bercerita.
"Suhu hanya mengatakan bahwa benda pusaka itu berada di daerah barat ini. Sampai hampir lima tahun
aku berkeliaran di sini, bahkan sudah menjelajah sampai ke daerah Tibet, namun belum berhasil. Dalam
penjelajahan itulah aku bertemu dengan hal-hal yang menggerakkan hatiku untuk turun tangan menentang
kejahatan. Aku tidak ingin dikenal orang, karena itu aku selalu menyembunyikan mukaku dan tidak pernah
memperkenalkan diri. Orang-orang memberi julukan Sin-ciang Taihiap. Aku membiarkan saja dan tidak ada
seorang pun tahu bahwa akulah Sin-ciang Taihiap. Baru hari ini ada yang tahu, yaitu engkau Li-moi."
Sian Li tertawa dan suasana menjadi akrab sekali ketika dara itu tertawa. Yo Han lalu teringat akan masa
lampau. Suara tawa Sian Li itu bagaikan bunyi musik merdu yang mendatangkan perasaan bahagia dalam
hatinya. Seperti tetesan air hujan pada hatinya yang selama ini seperti tanah kering. Terasa demikian sejuk
den segar dan dia pun tak dapat menahan timbulnya senyum lebar penuh kebahagiaan yang membuat
wajahnya berseri.
"Hi-hi-hik, heh-heh-heh, engkau ini sungguh aneh dan lucu sekali, Han-ko. Engkau ingin menyembunyikan
diri dan tidak ingin dikenal orang, ataukah engkau bahkan sengaja ingin mempopulerkan julukanmu atau
penyamaranmu itu? Dengan penyamaranmu itu, maka semakin terkenallah Sin-ciang Taihiap sebagai
seorang pendekar yang rambutnya riap-riapan, bercaping yang ditutupi tirai! Sebaliknya, kalau engkau
tidak menyamar lagi, tidak menyembunyikan diri, siapa yang akan tahu bahwa engkau ini adalah Sin-ciang
Taihiap? Kenapa mesti menyamar lagi, Han-ko?"
Yo Han mengangguk-angguk. "Engkau benar, Li-moi. Aku sudah begitu khawatir untuk dikenal orang,
maka aku bahkan membuat Sin-ciang Taihiap semakin terkenal karena dipenuhi rahasia. Mulai sekarang
aku akan menanggalkan penyamaran diriku sebagai Sin-ciang Taihiap, dan aku akan menjadi Yo Han
biasa saja...”
Setelah berkata demikian, Yo Han yang sudah menanggalkan capingnya itu kemudian menggelung
rambutnya, tidak lagi dibiarkan riap-riapan. Dia menggelung rambut, tidak dikuncirnya karena dia tidak
senang harus mentaati peraturan pemerintah Mancu agar semua orang Han menguncir rambutnya.
Peraturan itu dianggapnya menghina.
"Tapi caping itu jangan dibuang, Han-ko. Pertama, benda itu memang berguna untuk melindungi kepalamu
dari panas dan hujan, dan ke dua, siapa tahu kadang-kadang kau perlukan juga tokoh Sin-ciang Taihiap
itu."
"Li-moi, sudah cukup aku menceritakan pengalamanku, sekarang engkaulah yang harus menceritakan
kepadaku keadaanmu semenjak kita saling berpisah. Engkau kini sudah menjadi seorang gadis dewasa
yang cantik jelita, lincah dan juga lihai ilmu silatnya. Tentu sekarang usiamu sudah dewasa, Li-moi."
"Ketika engkau pergi, usiaku empat tahun, Han-ko. Kita saling berpisah selama tiga belas tahun lebih, Jadi
usiaku sekarang hampir delapan belas tahun. Aku belajar ilmu silat dari Ayah dan Ibu, kemudian aku
menerima gemblengan dari Paman Kakek Suma Ceng Liong dan isterinya di dusun Hong-cun dekat kota
Cin-an. Di sana aku bertemu dengan Suheng Liem Sian Lun, murid Paman dan Bibi. Selain itu, juga aku
belajar ilmu pengobatan dari Yok-sian Lo-kai."
"Wah, engkau beruntung sekali, Li-moi, mendapat ilmu-ilmu dari banyak orang sakti. Akan tetapi
bagaimana engkau dan suheng-mu itu dapat berada di sini, amat jauh dari tempat tinggal orang tuamu?"
"Aku dan Suheng Sian Lun sedang dalam perjalanan pulang. Kami baru saja berkunjung ke Bhutan, Hanko."
"Bhutan? Kenapa pergi ke tempat yang demikian jauh?"
Sian Li lalu bercerita tentang Gangga Dewi dan paman kakeknya Suma Ciang Bun, tentang perjalanan
mereka yang jauh, juga tentang pengalamannya ketika bertemu dan bertentangan dengan Lulung Lama
dan sekutunya.
Dua orang muda yang merasa amat berbahagia dalam pertemuan yang sama sekali tak pernah mereka
sangka-sangka itu, bercakap-cakap sampai larut tengah malam. Mereka makan malam secara amat
dunia-kangouw.blogspot.com
sederhana, dari persediaan makanan yang disimpan Yo Han di dalam goa. Mereka saling menceritakan
pengalaman masing-masing, menjawab semua pertanyaan.
Setelah lewat tengah malam, baru mereka istirahat dan tidur sesudah saling mengetahui hampir semua
keadaan diri masing-masing. Hanya ada satu hal yang masih membuat Yo Han sangsi dan ragu, yaitu
tentang hubungan batin antara Sian Li dan suheng-nya.
Mereka adalah kakak beradik seperguruan, akan tetapi apakah tidak lebih dari pada itu? Mereka adalah
seorang pemuda dan seorang gadis tidak ada hubungan darah, dan keduanya tampan dan cantik,
melakukan perjalanan berdua saja. Tak ada anehnya bila mereka itu saling mencinta, bahkan agaknya
tidak wajar kalau tidak ada perasaan cinta di antara mereka.
Yo Han tidak berani bertanya akan hal itu, akan tetapi dia menduga bahwa Sian Li agaknya amat mencinta
suheng-nya itu. Dan dia pun tidak akan merasa heran. Suheng Sian Li itu memang seorang pemuda yang
tampan dan gagah, sudah sepatutnya kalau menjadi jodoh Sian Li. Hanya saja, dia merasa heran dan tidak
enak, mengapa hatinya menjadi pedih kalau membayangkan kakak beradik seperguruan itu saling
mencinta dan menjadi jodoh?
Bahkan bayangan ini menghantuinya, membuat dia gelisah dan tidak dapat pulas. Baru setelah jauh lewat
tengah malam, dia dapat mengusir gangguan itu dan tidur pulas…..
********************
Pada keesokan harinya, Yo Han menunjukkan kepada Sian Li anak sungai berair jernih yang mengalir tak
jauh dari goa itu, di mana dara itu dapat membersihkan diri. Mereka mandi bergantian dan dengan badan
segar mereka sarapan pagi seadanya, hanya roti kering dan daging kering yang dihangatkan di atas api
unggun, kemudian mereka pergi meninggalkan goa.
"Kita harus menolong suheng, Han-ko," kata Sian Li ketika mereka keluar dari hutan.
"Tentu saja, Li-moi." Dia menepuk buntalan pakaiannya. "Aku sudah mempersiapkan capingku. Kalau aku
menghadapi para Lama, aku harus berperan sebagai Sin-ciang Taihiap. Dan aku akan minta dengan
hormat kepada mereka untuk mau membebaskan suheng-mu."
"Akan tetapi bagaimana mungkin, Han-ko? Bagaimana jika mereka tidak mau menuruti permintaanmu?"
"Aku tidak pernah bermusuhan dengan para Lama itu, dan mereka adalah orang-orang yang menghargai
kegagahan. Bila perlu, aku akan menantang mereka dengan taruhan bahwa kalau aku menang, mereka
harus memenuhi permintaanku."
"Kalau kau kalah?"
"Hemm, kita harus bertanggung jawab dan tidak lari dari kenyataan, Li-moi. Kalau aku kalah, mereka boleh
melakukan apa saja terhadap diriku."
"Tapi... itu berbahaya sekali, Han-ko!"
Yo Han tersenyum. "Aku tahu, Limoi. Semenjak aku mempelajari ilmu silat, tahulah aku bahwa aku sudah
terjun ke dalam dunia kekerasan di mana terdapat penuh bahaya. Tetapi, hidup seperti apakah yang tidak
berbahaya? Hidup itu sendiri sudah merupakan suatu bahaya, Li-moi. Hidup adalah perjuangan, suatu
perjuangan orang tiada hentinya melawan bahaya yang datang dari segala jurusan. Hidup merupakan
suatu tantangan yang harus kita perjuangkan, kita hadapi, dan perjuangan itu adalah untuk mengatasi
semua tantangan itu, semua bahaya itu!"
Sian Li mengerutkan alisnya dan saking tertarik, ia langsung menghentikan langkahnya, memandang
kepada pemuda itu. "Ehhh? Apa maksudmu, Han-ko? Kehidupan seorang dari dunia persilatan seperti kita
ini memang menghadapi banyak tantangan, banyak bahaya, akan tetapi kehidupan seorang biasa, apakah
bahaya dan tantangannya?"
Yo Han tersenyum, "Tiada bedanya, Li-moi. Apakah kehidupan seorang petani miskin itu tidak penuh
tantangan yang harus mereka hadapi dan atasi? Tantangan itu dapat datang dari kemiskinan, dari
kesehatan yang terganggu, dari kesejahteraan keluarga, dari kerukunan keluarganya. Orang bisa ditantang
dunia-kangouw.blogspot.com
oleh kekurangan makan, pakaian dan tempat tinggal, oleh gangguan kesehatan oleh percekcokan rumah
tangga, dan seribu satu tantangan lagi. Semua itu mau tidak mau, harus dihadapi dan diatasi. Kita tidak
mungkin dapat lari darinya, karena itulah isi kehidupan ini, yaitu urusan jasmani, urusan duniawi."
"Hemm, kalau begitu orang kaya dan orang berpangkat tentu tidak menghadapi semua tantangan dan
kesulitan..."
"Siapa bilang? Mereka pun dapat sakit, dapat cekcok dengan keluarga. Bahkan masih ditambah lagi.
Orang kaya harus mempertahankan kekayaannya, menjaganya agar tak berkurang atau lenyap, selalu
khawatir akan kehilangan. Demikian pula dengan orang berkedudukan yang selalu berusaha
mempertahankan kedudukannya, takut kehilangan. Pendeknya, selagi hidup sebagai manusia, kita tidak
akan dapat bebas dari tantangan dan bahaya. Justru itulah isi kehidupan, itulah romantikanya kehidupan,
menghadapi semua itu, berusaha mengatasinya. Perjuangannya melawan semua tantangan, itulah
seninya, seni kehidupan! Betapa akan membosankan kalau hidup ini tak ada tantangan yang harus
ditanggulangi, dihadapi dan diatasi. Senang baru akan terasa senang kalau kita pernah merasakan susah.
Kepuasan yang sebenarnya hanyalah terasa kalau kita pernah merasa kecewa. Bukankah begitu, Li-moi?"
Mata Sian Li terbelalak, kemudian tertawa. "Wah-wah-wah, bicaramu seperti seorang guru besar kebatinan
saja, Han-ko. Menurut Ayah dan Ibuku, dahulu engkau tidak suka akan kekerasan, tidak suka belajar silat,
akan tetapi sekarang malah menjadi seorang pendekar sakti dan bicaramu seperti seorang pendeta!"
"Li-moi, jika bicara mengenai kehidupan, apakah hanya para pendeta saja yang harus mengetahuinya?
Kehidupan adalah kita sendiri, Li-moi. Sudah sewajarnya, dan bahkan sepatutnya kalau setiap orang tahu
dan mengerti akan kenyataan di dalam hidup ini. Sampai sekarang pun aku tidak suka akan kekerasan, Limoi,
karena aku tahu dan yakin benar bahwa kekerasan bukanlah cara terbaik untuk hidup. Namun,
menghadapi tantangan di dalam kehidupan ini, sekali waktu kita membutuhkan juga kekuatan untuk
menanggulanginya, dn seperti juga semua ilmu, ilmu silat pun amat berguna kalau saja digunakan melalui
garis yang benar, bukan sebagai alat mengumbar nafsu. Nah, kurasa engkau pun tentu sudah mengerti
akan semua itu, karena aku tahu bahwa orang tuamu adalah sepasang suami isteri yang bijaksana. Apa
lagi engkau telah digembleng oleh paman kakekmu dan isterinya, juga oleh seorang tokoh besar seperti
Yok-sian Lo-kai."
Sian Li mengangguk-angguk kagum. "Cara mereka bicara tidak jauh bedanya dengan apa yang kau
katakan semua tadi, Han-ko..."
"Hemmm, ada orang-orang datang ke sini, Li-moi. Jangan katakan bahwa aku adalah Sin-ciang Taihiap..."
Sian Li mengangkat muka memandang ke depan dan benar saja. Ada enam orang datang dengan langkah
lebar. Dari jauh saja, sudah nampak bahwa lima orang di antara mereka adalah para pendeta Lama Jubah
Hitam, dapat dilihat dari kepala mereka yang gundul dan jubah hitam mereka yang lebar. Yang seorang
lagi adalah seorang pemuda.
Setelah mereka datang lebih dekat dan Sian Li mengenal siapa pemuda itu, wajahnya berubah merah dan
ia menjadi marah. Pemuda itu bukan lain adalah Cu Ki Bok murid Lulung Lama yang kurang ajar itu. Dan
lima orang gundul itu adalah lima orang anggota Hek-I Lama.
"Jahanam busuk! Akan kubunuh kalian!" Sian Li pun sudah meraba gagang pedangnya, akan tetapi Yo
Han menyentuh lengannya,
"Sabarlah, Li-moi, biarkan mereka mengatakan dulu apa maksud mereka mencari kita."
Kini Cu Ki Bok sudah tiba di depan mereka. Pemuda tinggi tegap yang tampan gagah itu tersenyum,
sedangkan lima orang pendeta Lama yang berdiri di belakangnya, diam tak bergerak seperti patung.
“Selamat pagi, Nona Tan Sian Li. Senang sekali bertemu denganmu, karena Nona tentu akan dapat
memberi tahu kepada kami di mana kami dapat bertemu dengan Sin-ciang Taihiap."
Sian Li tersenyum mengejek. "Hemm, keparat busuk, andai kata aku tahu sekali pun tak akan sudi aku
memberi tahukan kepadamu!"
"Hemm, Nona jangan berlagak. Kalau tidak ada Sin-ciang Taihiap, apa kau kira akan mampu lepas dari
tangan kami? Sekarang kami menginginkan Sin-ciang Taihiap, untuk menyampaikan pesan dari ketua
dunia-kangouw.blogspot.com
kami. Katakan di mana aku dapat bertemu dengan dia, dan aku tidak akan mengganggumu lagi, melihat
muka pendekar itu."
"Sobat, katakan saja kepada kami apa yang hendak kau sampaikan kepada Sin-ciang Taihiap, dan kamilah
yang akan menyampaikan kepadanya," kata Yo Han dengan suara tenang dan lembut.
Cu Ki Bok memandang pada Yo Han dengan alis berkerut. Jelas bahwa ia memandang rendah kepada
pemuda itu. Dia tidak mengenalnya, tetapi merasa tidak senang karena pemuda ini berdua dengan gadis
yang dirindukannya.
"Siapa kamu? Dan mengapa aku harus menyampaikan pesan untuk Sin-ciang Taihiap kepada kamu?"
Sian Li marah sekali melihat sikap dan mendengar ucapan yang nadanya menghina dan memandang
rendah itu. Akan tetapi Yo Han tersenyum, gembira bahwa kini dia dapat menghadapi orang tanpa perlu
menyembunyikan wajah aslinya dan orang itu tetap tidak mengenalnya. Benar juga pendapat Sian Li tadi
malam. Sin-ciang Taihiap yang harus dirahasiakan, bukan Yo Han!
"Namaku Yo Han. Aku orang biasa saja, akan tetapi aku sudah dipesan oleh Taihiap bahwa jika ada orang
yang mencarinya, boleh menyampaikan kepada kami berdua. Kalau engkau percaya kepada kami, nah,
katakan apa yang kau ingin sampaikan kepadanya. Kalau tidak percaya, sudahlah, kau cari saja sendiri."
Sian Li mengeluarkan suara tawa mengejek. "Huh, mana pengecut ini berani mencari Sin-ciang Taihiap?
Baru melihatnya saja, dia akan lari terbirit-birit!" Lalu dilanjutkannya dengan nada suara marah, "Kawanan
serigala ini licik dan pengecut, beraninya hanya main keroyokan. Buktinya, Suheng-ku ditawan karena
keroyokan. Jahanam Cu Ki Bok, kalau kalian mengganggu Suheng-ku, aku akan membasmi kalian semua,
tak seorang pun kubiarkan hidup!"
Mendengar ucapan yang keras itu, Cu Ki Bok tidak menjadi marah, bahkan dia tertawa geli. "Ha-ha-ha, kau
mengira suheng-mu itu kami ganggu, Nona? Nona masih saja salah sangka. Kami bukanlah penjahat.
Kami adalah pejuang-pejuang yang memiliki cita-cita mengusir penjajah Mancu. Kami membutuhkan kerja
sama dengan para pendekar. Bukankah ketua kami tadinya juga menawarkan kerja sama dengan Nona
dan suheng Nona itu? Dan sekarang suheng-mu dengan suka rela membantu kami, dan dia hidup
bersenang-senang. Hemm, suheng-mu memang pandai mempergunakan kesempatan, aku sendiri sampai
iri melihat dia bersenang-senang seperti itu..."
"Kau bohong!" Sian Li membentak, tetapi diam-diam dia ingin sekali tahu kesenangan apa yang
dimaksudkan oleh orang itu.
"Sudahlah, aku pun datang bukan untuk membicarakan urusan Liem Sian Lun. Aku diutus oleh ketua kami
untuk bicara dengan Sin-ciang Taihiap. Kuharap saja dia akan muncul menemui kami."
"Orang macam engkau tidak berharga untuk bertemu dengan Sin-ciang Taihiap," kata Sian Li. "Sampaikan
saja kepadaku atau kau boleh minggat dari sini."
Wajah Cu Ki Bok berubah merah. Dia merasa direndahkan dan dihina oleh gadis itu. Akan tetapi harus
diakuinya bahwa dia memang merasa jeri untuk berhadapan dengan pendekar sakti itu.
"Baiklah, akan kusampaikan kepadamu, Nona Tan Sian Li, akan tetapi tidak kepada cacing tanah itu." Cu
Ki Bok menggerakkan kepala ke arah Yo Han dengan sikap amat merendahkan sehingga wajah Sian Li
berubah, merah karena marahnya.
"Cu Ki Bok, kalau engkau menghina kami berdua, berarti engkau menghina Sin-ciang Taihiap karena
Taihiap sudah memberi kuasa kepada kami berdua untuk mewakilinya bicara dengan siapa saja! Nah,
katakan kepada kami berdua apa keperluanmu tanpa menghina orang, atau aku akan mewakilinya
membunuhmu di sini juga!"
Cu Ki Bok tidak gentar terhadap Sian Li, akan tetapi dia takut kalau Sin-ciang Taihiap muncul membantu
nona itu. "Baik, dengarlah pesan kami. Ketua kami, Dobhin Lama mengundang Sin-ciang Taihiap untuk
mengadakan pertandingan adu ilmu..."
"Huh, dan kalian tentu akan menjebaknya dan mengeroyoknya dengan mengandalkan banyak orang,
bukan?" Sian Li mengejek. Ia sengaja memanaskan hati pihak lawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Sama sekali tidak!" bantah Cu Ki Bok penasaran. "Nona, engkau belum mengenal siapa adanya Supek
(Uwa Guru) Dobhin Lama! Beliau adalah seorang tokoh besar di Tibet yang mempunyai kedudukan tinggi.
Tidak mungkin Supek menggunakan siasat. Supek telah lama mendengar akan nama besar Sin-ciang
Taihiap dan sekarang ingin mengadu ilmu dengan Sin-ciang Taihiap. Kalau Sin-ciang Taihiap mampu
menandingi Supek Dobhin Lama, maka mutiara hitam akan dikembalikan kepadanya."
"Hemmm, tidak cukup dengan itu! Kalau dia dapat mengalahkan Dobhin Lama, selain mutiara hitam
diserahkan kepadanya, juga Suheng Liem Sian Lun harus dibebaskan!" kata Sian Li. "Kalau syarat ini tidak
dijanjikan, aku tak sudi menyampaikan kepadanya."
"Ha-ha-ha, sekarang juga dia sudah bebas, tetapi mana mungkin dia mau meninggalkan segala
kesenangan itu? Akan tetapi baiklah, aku yang tanggung bahwa syarat ke dua itu dapat diterima dan
disetujui oleh Supek. Kalau Supek kalah, Liem Sian Lun akan dibebaskan dan mutiara hitam
akan diserahkan kepada Sin-ciang Taihiap. Akan tetapi sebaliknya, kalau Supek yang menang, Sin-ciang
Taihiap harus membantu perjuangan untuk menentang penjajah Mancu."
Tentu saja Sian Li tidak berani lancang menerima syarat itu, maka ia menoleh kepada Yo Han dan berkata,
"Han-ko, bagaimana dengan pendapatmu? Biar pun Taihiap sudah menyerahkan keputusannya kepadaku,
akan tetapi aku ingin menanyakan pendapatmu sebelum menerima syarat itu."
Yo Han mengangguk-angguk. "Sin-ciang Taihiap adalah seorang pendekar yang selalu menjunjung tinggi
keadilan dan kebenaran. Bangsa Mancu menjajah, hal itu jelas tidak adil dan tidak benar, maka tentu saja
dia tidak akan berkeberatan untuk menentang penjajah Mancu."
Sian Li mengangguk-angguk. "Tepat sekali, aku pun berpikir demikian, Han-ko. Nah, Cu Ki Bok, akan
kusampaikan pesan itu kepada Sin-ciang Taihiap. Aku ulangi taruhannya. Kalau dia menang, mutiara hitam
harus diserahkan kepadanya dan Suheng-ku harus dibebaskan, tapi kalau Dobhin Lama yang menang,
Sin-ciang Taihiap harus membantu perjuangan menentang penjajah Mancu. Kalau dia menerima tantangan
itu, lalu kapan dan di mana pertandingan itu akan diadakan?"
Cu Ki Bok tersenyum. "Dalam hal ini, Supek ingin memperlihatkan iktikad baiknya dan kejujurannya ketika
mengajak Sin-ciang Taihiap mengadu ilmu. Supek menyerahkan kepada Sin-ciang Taihiap untuk
menentukan waktu dan tempatnya."
"Kalau begitu sekarang juga!" Sian Li berkata dengan cepat.
Dara yang cerdik ini segera mengambil keputusan yang dianggapnya menguntungkan pihaknya. "Dan
tempatnya, di puncak bukit sebelah sana itu!" Ia menunjuk ke arah bukit di sebelah kiri.
Ia tahu bahwa tempat yang menjadi sarang Hek-I Lama berada di sebelah kanan, maka bukit itu tentu
merupakan tempat bebas dari pengaruh kekuasaan Hek-I Lama sehingga kalau diadakan pertandingan di
sana, maka pihak musuh tidak akan sempat mengatur siasat untuk menjebak atau mengeroyok.
Cu Ki Bok memandang ke arah bukit itu dan mengangguk-angguk. "Baiklah. Kami akan melapor kepada
ketua kami. Sebentar lagi, menjelang tengah hari, tentu Supek sudah berada di puncak bukit itu. Harap
saja janji kalian bukan merupakan bual kosong belaka. Selamat tinggal!" Cu Ki Bok lalu pergi dari situ
diikuti lima orang pendeta Lama.
"Kenapa engkau memilih tempat pertandingan di puncak bukit itu, Li-moi?"
"Aku sengaja memilih tempat yang jauh dari mereka agar kita dapat mendahului mereka ke tempat itu
sehingga mereka tidak sempat membuat jebakan. Sebaiknya kalau kita sekarang juga pergi ke sana, Hanko,
untuk mengenal medan dan mempersiapkan diri."
Yo Han kagum. Kiranya Sian Li, Si Bangau Merah yang dahulu sering digendongnya dan diajak bermainmain
itu, kini sudah menjadi seorang gadis yang cantik jelita, lihai, pemberani dan juga cerdik sekali. Cara
gadis itu tadi menghadapi Cu Ki Bok saja sudah menunjukkan kecerdikannya. Diam-diam dia merasa
bangga.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka lalu berangkat mendaki bukit yang tadi ditunjuk oleh Sian Li. Bukit itu ternyata merupakan sebuah
bukit yang sunyi, penuh dengan hutan belukar dan tidak nampak ada dusun di atas bukit. Dusun-dusun
hanya terdapat pada kaki bukit.
Begitu mereka mendaki ke atas, ternyata tidak terdapat dusun di lereng-lereng bukit itu yang penuh hutan
belukar dan rawa-rawa. Bahkan mendaki ke puncak pun tidak mudah walau pun bukit itu tidak terlalu
besar. Karena kini dia sudah berada di tempat di mana ditentukan adu kepandaian itu, untuk menjaga
kalau ada pihak musuh yang melihatnya, Yo Han sudah mengenakan caping berikut tirai sutera hitamnya
lagi, dan membiarkan rambutnya juga terlepas riap-riapan.
Akan tetapi, betapa heran mereka ketika tiba di puncak, mereka melihat sebuah pondok berdiri di situ!
Sebuah pondok kayu yang nampak masih baru, mungkin baru beberapa bulan saja umurnya. Kecil namun
kokoh kuat. Di belakang dan kanan kiri pondok itu terlihat ditanami sayur-sayuran. Di depan pondok, ada
sebuah taman yang penuh bunga indah dan amat menyedapkan pandang mata.
Tentu saja Sian Li dan Yo Han tertegun sejenak dan saling pandang. Sungguh di luar dugaan mereka
bahwa di tempat sunyi itu terdapat pondok tempat tinggal orang! Siapa orangnya yang tinggal di tempat
sunyi seperti ini? Tentu hanya pertapa atau pendeta yang sengaja mengasingkan diri dari dunia ramai.
Pada waktu dengan ragu-ragu mereka memasuki pelataran rumah itu yang merupakan sebuah taman
dikelilingi pagar bambu, tiba-tiba terdengar bentakan halus suara wanita, "Berhenti! Siapa kalian yang
berani lancang memasuki pekarangan rumah orang tanpa diundang?!"
Yo Han dan Sian Li berhenti, lalu memandang ke arah suara yang keluar dari pinggir pondok. Ketika
pemilik suara muncul, mereka memandang heran.
Wanita itu berusia lima puluh tahun lebih, akan tetapi masih nampak cantik dan manis. Pakaiannya
sederhana namun bersih dan ringkas. Tubuhnya masih padat dan tegak, sikapnya gagah. Sebatang
pedang yang tergantung di pinggang menunjukkan bahwa wanita ini seorang ahli silat yang tidak lemah.
Rambut panjang yang sudah dihias uban itu digelung ke atas, dengan hiasan tusuk sanggul dari perak
berbentuk bunga seruni.
Wanita itu dengan alis berkerut dan sinar mata tajam menyelidik, mengamati Yo Han dan Sian Li. Juga ia
merasa heran melihat bahwa tamu-tamu yang tidak diundangnya itu seorang pemuda tampan bermata
tajam mencorong, dan seorang gadis yang jelita.
Sian Li yang lincah jenaka itu sudah dapat menguasai keheranannya. Ia pun tersenyum manis.
"Aih, Bibi ini manusia ataukah peri? Bibi kelihatan seperti seorang wanita setengah tua yang cantik dan
gagah, agaknya memang seorang manusia dari darah daging. Akan tetapi kalau manusia, kenapa hidup di
puncak bukit yang amat sepi ini seorang diri?"
Wanita itu terbelalak dan matanya bersinar marah. "Kau bocah lancang mulut!"
Wanita itu menggerakkan lengan bajunya dan tiba-tiba tubuhnya sudah meloncat dan melayang ke depan
Sian Li. Gerakannya demikian ringan, seperti terbang saja. Begitu tiba di depan Sian Li, dia menggerakkan
tangan menampar ke arah pundak gadis itu.
Tamparannya nampak lembut dan tidak mengandung tenaga, akan tetapi ada angin yang dingin
menyambar ke arah pundak SianLi. Gadis ini terkejut, mengenal pukulan yang mengandung sinkang
(tenaga sakti) dingin. Cepat ia pun mengelak dan sambaran tangan wanita itu luput.
Kini tangan kanan wanita itu menyambar dan kembali tangan itu menampar ke arah pundak kiri Sian Li.
Kalau tadi tangan kiri wanita itu mendatangkan angin yang dingin sekali, sekarang tangan kanannya yang
menyambar itu membawa angin pukulan yang amat panas sehingga telapak tangan itu beruap! Kembali
Sian Li terkejut dan cepat ia menggeser kaki, menarik diri kebelakang sehingga pukulan kedua itu pun
luput.
"Ehhh...?!"
dunia-kangouw.blogspot.com
Wanita itu nampak amat terkejut dan heran. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis remaja yang
lancang mulut itu mampu menghindarkan diri dari dua tamparannya yang hebat! Ia merasa penasaran dan
siap untuk menyerang sungguh-sungguh, akan tetapi pada saat itu terdengar suara mencegahnya.
"Ibu, harap jangan pukul orang...!"
Wanita setengah tua itu terkejut dan membalikkan tubuh, dan ketika ia melihat seorang pemuda keluar dari
pintu pondok, ia cepat mengangkat kedua tangannya ke atas dan memandang penuh kekhawatiran.
"Ciang Hun, mengapa engkau bangun? Seharusnya engkau melanjutkan pengobatan dengan menghimpun
hawa murni agar engkau sembuh benar!"
Pemuda itu tersenyum, "Ibu, aku sudah sembuh."
Mendengar ini, wanita itu berlari menghampiri dan langsung merangkul pundak pemuda itu dengan
pandang mata yang membuat Sian Li terharu. Pandang mata wanita itu terhadap puteranya sungguh
penuh kasih sayang mendalam! Wanita itu seorang ibu yang teramat besar kasih sayangnya kepada
puteranya.
Seperti Yo Han, sekarang ia pun memperhatikan pemuda yang baru muncul dari dalam pondok itu.
Pemuda itu bertubuh tinggi besar dan tegap sehingga nampak gagah perkasa, namun wajahnya
membayangkan kelembutan dan ketenangan. Usianya sekitar dua puluh tujuh tahun. Pada saat itu,
wajahnya agak pucat, wajah yang tampan dengan alis tebal dan hidung mancung besar. Matanya seperti
mata ibunya, jeli dan bersinar tajam.
Pemuda itu kini menghampiri Sian Li dan Yo Han. Pandang matanya menyelidik, akan tetapi mulutnya
tersenyum ramah dan dengan rendah hati dia mengangkat dua tangan di depan dada sebagai
penghormatan. Tentu saja Yo Han segera membalasnya, dan Sian Li yang masih mendongkol karena tadi
diserang secara membabi-buta, mengikuti Yo Han dengan setengah hati.
"Harap Jiwi (Anda Berdua) memaafkan ibuku yang menyambut Jiwi dengan sikap kasar. Hendaknya Jiwi
ketahui bahwa di sini banyak berkeliaran orang-orang jahat, maka ibuku menjadi pemarah dan mencurigai
semua orang. Jika boleh kami mengetahui, siapakah Jiwi dan apa pula maksud kunjungan Jiwi ke sini?"
Selain suaranya lembut, wajahnya cerah dan dihias senyum, juga kata-katanya teratur, tanda bahwa
pemuda tinggi besar itu seorang yang terpelajar. Yo Han segera merasa tertarik dan dia pun merasa
sungkan sekali, ingat betapa dia dan Sian Li telah lancang memasuki pekarangan orang tanpa ijin. Wanita,
setengah tua itu tidak bersalah, apa lagi agaknya ucapan jenaka dari Sian Li tadi agaknya membuat wanita
yang sedang risau dan pemarah itu salah sangka atau salah tampa.
"Kamilah yang seharusnya minta maaf sobat," kata Yo Han dengan sikap sopan. "Kami sudah lancang
memasuki pekarangan ini, bukan dengan niat buruk di hati, tetapi karena keinginan tahu siapa penghuni
rumah di tempat yang sunyi ini. Saya bernama Yo Han dan adik ini bernama Tan Sian Li."
Pemuda tinggi besar itu menerima perkenalan dengan ramah. "Namaku Gak Ciang Hun, dan ini adalah
ibuku. Baru beberapa bulan lalu kami memilih tempat ini sebagai tempat tinggal yang baru. Kami kira
tempat ini tenteram dan penuh kedamaian, namun siapa kira, baru sebulan yang lalu di kaki bukit kami
bertemu dengan orang-orang jahat yang mengeroyok sehingga biar pun kami berhasil mengusir mereka,
aku menderita luka dan ibu menjadi pemarah, selalu mencurigai setiap orang asing."
"Apakah orang-orang jahat itu para Lama berjubah hitam, ataukah orang Nepal, atau pengemis-pengemis
bertongkat hitam?" tanya Sian Li.
Gak Ciang Hun memandang pada Sian Li dengan mata terbelalak lebar. Baru sekarang dia memandang
gadis itu sepenuhnya dan diam-diam dia merasa terpesona dan sangat kagum. Gadis ini bukan saja lincah
jenaka, akan tetapi sudah mampu menyambut dua kali pukulan ibunya. Selain itu, ternyata gadis itu juga
amat cantik jelita dan nampaknya cerdik bukan main.
"Nona, bagaimana Nona dapat mengetahuinya dengan tepat? Memang di antara para pengeroyok,
terdapat tiga macam orang itu!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Tentu saja aku tahu!" kata Sian Li sambil tersenyum dan membusungkan dada yang sudah menonjol itu.
"Bahkan aku tahu lebih banyak lagi! Setidaknya, aku tahu bahwa Bibi Gak ini tentu pernah mempelajari
ilmu Hui-yang Sinkang dan Swat-im Sinkang dari keluarga pendekar Pulau Es."
Wanita itu mengeluarkan seruan kaget. Dengan gerakan cepat sekali ia telah meloncat mendekati Sian Li,
sepasang matanya seperti berapi ketika ia memandang pada gadis itu.
"Hemm, bagaimana kau tahu tentang ilmu-ilmu dari Pulau Es? Hayo cepat katakan!"
Sian Li sendiri adalah seorang gadis yang galak dan pemberani sekali. Dia tersenyum mengejek. "Bibi,
engkau terlalu galak! Aku bukan apa-apamu, mengapa main bentak saja? Kalau seperti ini sikapmu dalam
bertanya, aku pun tidak jadi menjawab. Nah, kau mau apa?"
Sebelum ibunya marah-marah, pemuda tinggi besar itu cepat menengahi dan berkata, "Harap Nona suka
memaafkan Ibuku. Seperti kukatakan tadi, Ibuku menjadi pemarah karena gangguan orang-orang jahat itu.
Akan tetapi, sungguh kami berdua merasa amat terkejut dan heran sekali mendengar bahwa Nona
mengenali ilmu-ilmu dari Pulau Es. Bagaimanakah Nona dapat mengetahui bahwa Ibuku mempelajari ilmuilmu
Pulau Es?"
Sian Li tersenyum. "Apa sukarnya? Ibumu tadi menamparku dengan Swat-im Sinkang, lalu tamparan
kedua menggunakan tenaga Hui-yang Sinkang. Namun setahuku, para murid pendekar Pulau Es tidaklah
jahat dan galak, main bentak dan main pukul saja."
Mendengar ini, Gak Ciang Hun cepat memberi hormat. "Jika begitu, Nona adalah murid keluarga pendekar
Pulau Es?"
"Katakan lebih dahulu, dari siapakah ibumu mempelajari ilmu Pulau Es? Baru aku akan menerangkan
tentang diriku," kata Sian Li dengan sikap ‘jual mahal’ untuk melepaskan kedongkolan hatinya karena tadi
diserang dan dibentak-bentak oleh ibu pemuda itu.
"Nona Tan Sian Li, ketahuilah bahwa kami mempelajari ilmu keluarga Pulau Es ini dari mendiang kakek
kami," jawab Ciang Hun.
"Siapa nama mendiang kakekmu itu?"
"Mendiang kakek adalah Bu Beng Lokai (Pengemis Tua Tanpa Nama)."
Sekarang Sian Li terbelalak. "Aihh...? Bukankah Locianpwe itu yang bernama Gak Bun Beng?"
Ia teringat akan cerita paman kakeknya, yaitu Suma Ceng Liong yang memperkenalkan nama para
pendekar yang mempunyai hubungan dengan keluarga Pulau Es dan yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau
Es.
"Benar, Nona. Kedua orang Ayahku, Beng-san Sian-eng, juga sudah meninggal dunia pula kurang lebih
setahun yang lalu. Setelah Ayah meninggal, Ibu tak betah lagi tinggal di Beng-san, maka kami pergi
meninggalkan Beng-san dan merantau sampai ke sini, lalu memilih tempat sunyi ini sebagai tempat tinggal
sementara."
Kini Sian Li tidak berani main-main dan tidak berani bersikap galak lagi. Ia mengangkat kedua tangan
memberi hormat kepada wanita setengah tua yang masih cantik namun galak itu. "Kalau begitu,
maafkanlah aku, bibi yang baik. Kiranya bibi bukan orang lain dan di antara kita masih ada hubungan yang
cukup dekat..."
"Hemm, cukuplah bermaaf-maafan ini," kata Nyonya Gak atau Souw Hui Lan. "Engkau sudah mengetahui
siapa adanya kami, akan tetapi kami belum tahu siapa engkau dan apa hubunganmu dengan keluarga
Pulau Es."
"Bibi, aku dapat dikatakan murid Pulau Es, akan tetapi juga keluarga Pulau Es. Nenekku yang bernama
Suma Hui adalah cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan aku pun diambil murid oleh Paman
Kakekku sendiri, yaitu Kakek Suma Ceng Liong."
dunia-kangouw.blogspot.com
Wanita itu membelalakkan matanya. Wajah yang tadinya masam itu kini menjadi cerah berseri. "Ahhh...
kiranya engkau cucu Enci Suma Hui dan bahkan murid pendekar besar Suma Ceng Liong? Kalau begitu,
sama sekali tidak aneh kalau engkau mengenal dua tamparanku tadi! Engkau benar, kita masih ada
hubungan yang dekat. Maafkan sikapku tadi, Sian Li. Kakakmu Ciang Hun benar, aku menjadi pemurung
dan pemarah, bukan hanya karena sikap orang-orang jahat di kaki bukit, melainkan sejak kedua pamanmu
meninggal dunia..."
Sian Li sudah mendengar dari paman kakeknya bahwa wanita ini bernama Souw Hui Lian dan menikah
dengan dua orang suami, yaitu pendekar kembar Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong, putera Gak Bun Beng.
"Sudahlah Bibi. Yang sudah meninggal tidak perlu disedihkan lagi. Kita semua pun akan mengalaminya,
dan kata Paman Kakek Suma Ceng Liong, kematian hanya merupakan perjalanan pulang yang abadi,
setelah orang merantau di dunia yang penuh sengketa ini. Bila Bibi terlalu bersusah hati, akibatnya malah
hanya akan mengganggu kesehatan sendiri."
"Bukan main!" Ciang Hun yang biasanya tenang dan lembut itu kini berseru dengan mata yang bersinarsinar.
"Masih begini muda tetapi telah memiliki pengertian demikian mendalam tentang kematian. Dan
siapakah saudara Yo Han ini? Apakah juga murid atau anggota keluarga Pulau Es?"
"Ciang Hun, sekarang engkau yang kurang sopan. Kenapa dua orang tamu terhormat diajak bicara di
pekarangan saja? Anak-anak baik, marilah kita bicara di dalam pondok. Silakan masuk!" kata Nyonya Gak
atau Souw Hui Lian. Sian Li tertawa dan mereka pun memasuki pondok.
Siapakah ibu dan anak itu? Nyonya itu dulu bernama Souw Hui Lian, yaitu murid dari sepasang pendekar
Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong. Kemudian, murid itu jatuh cinta kepada dua orang gurunya, dan
demikian pula sebaliknya, maka ia menjadi isteri kedua orang pendekar itu. Dari perjodohan yang agak
ganjil ini, yaitu seorang isteri dengan dua suami, lahirlah seorang anak laki-laki yang diberi nama Gak
Ciang Hun.
Sepasang Pendekar Gak yang berjulukan Beng-san Sian-eng (Sepasang Pendekar dari Beng-san) itu
merupakan putera tunggal Gak Bun Beng, seorang pendekar yang pernah digembleng oleh Pendekar
Super Sakti sehingga mewarisi ilmu tenaga sakti dari Pulau Es, dan yang setelah tua berjuluk Bu Beng
Lokai.
Pada akhir hayatnya, Bu Beng Lokai masih sempat mengoperkan tenaga sakti Hui-yang Sinkang dan
Swat-im Sinkang kepada cucunya, yaitu Gak Ciang Hun yang kini sudah menjadi seorang pemuda perkasa
berusia dua puluh tujuh tahun dan belum menikah. Keluarga ini tinggal di Pegunungan Beng-san. Setelah
dua orang pendekar kembar itu meninggal dunia karena usia tua, Souw Hui Lian menjadi sedih sekali, tidak
betah lagi tinggal di Beng-san dan mengajak puteranya merantau sampai ke barat, dan akhirnya memilih
bukit itu sebagai tempat tinggal.
Mereka sekarang duduk di dalam pondok, di mana terdapat bangku-bangku batu buatan Ciang Hun
sendiri. Sederhana namun kokoh.
"Nah, sekarang ceritakan tentang dirimu, Saudara Yo Han. Engkau she (bermarga) Yo, tentu bukan
keluarga Pulau Es. Apakah murid Pulau Es pula?"
Yo Han menggeleng dan saling pandang dengan Sian Li. Gadis ini pun maklum akan perasaan hati Yo
Han. "Han-ko, Bibi Gak dan Kakak Ciang Hun ini bukan orang lain. Kurasa sebaiknya kalau engkau
berterus terang saja, bahkan kita dapat saling bantu dengan mereka menghadapi gerombolan jahat itu."
Mendengar ucapan Sian Li itu, Yo Han lalu mengangguk-angguk. Dia dikenal sebagai pendekar bertopeng
atau yang selalu menyembunyikan wajahnya dan disebut Sin-ciang Taihiap, bukan karena dia sengaja. Dia
merantau dan berkeliaran di daerah perbatasan Tibet ini karena menunaikan tugas, mentaati pesan
mendiang gurunya, Kakek Ciu Lam Hok, yaitu mencari dan merampas kembali mustika mutiara hitam.
Karena bertahun-tahun dia tidak dapat menemukan pusaka itu, maka sepak terjangnya menentang
kejahatan membuat nama Sin-ciang Taihiap terkenal. Bila mustika itu sudah dapat dirampasnya, tentu dia
akan meninggalkan daerah itu dan Sin-ciang Taihiap pun akan lenyap bersama dia.
Terhadap orang-orang golongan sendiri, memang tidak perlu menyembunyikan rahasia dirinya itu, apa lagi
saat ini dia sedang menghadapi ancaman musuh yang selain lihai, juga banyak jumlahnya dan mungkin
dunia-kangouw.blogspot.com
pula mereka akan melakukan kecurangan. Dia tak khawatir akan diri sendiri, melainkan khawatir karena
Sian Li terlibat. Jika ada dua orang ibu dan anak yang juga berkepandaian tinggi ini bisa saling bantu
dengan mereka, tentu keselamatan Sian Li lebih terjamin.
"Bibi dan Saudara Gak Ciang Hun, sesungguhnya saya tidak memiliki hubungan sama sekali dengan
keluarga Pulau Es yang terhormat dan yang berilmu tinggi. Akan tetapi di saat saya kecil, saya pernah
menerima pertolongan orang tua Adik Tan Sian Li, bahkan saya yang sudah yatim piatu ditampung oleh
mereka. Saya diaku sebagai murid, maka hubungan saya dengan Adik Sian Li seperti saudara saja." Yo
Han berhenti, tidak tahu harus menceritakan apa lagi. Melihat ini, Sian Li lalu membantunya.
"Kakak Yo Han ini tiga belas tahun yang lalu berpisah dariku, Bibi. Dia mengorbankan diri, menggantikan
aku menjadi tawanan seorang iblis betina, dan sejak itu kami saling berpisah. Ketika itu usiaku baru empat
tahun. Sekarang, tiga belas tahun kemudian, kita saling bertemu lagi di tempat ini! Bukankah hal itu amat
mengherankan dan membawa kebahagiaan?”
Souw Hui Lian mengangguk-angguk. "Memang sungguh mengherankan sekali. Kalian yang keduanya
datang dari timur, bagaimana dapat secara aneh saling jumpa di sini? Tentu menarik sekali ceritanya!"
"Nanti dulu, Ibu. Sebaiknya Saudara Yo Han menceritakan lebih dahulu siapa gurunya kalau bukan
keluarga Pulau Es," kata Ciang Hun.
"Ahh, guru saya seorang yang tidak terkenal dan menyembunyikan diri, dan saya tidak dapat dibandingkan
dengan para murid Pulau Es...," kata Yo Han merendah.
Sikap ini membuat Sian Li mengerutkan alisnya. "Bibi, Gak-toako (Kakak Gak) belum lama tinggal di sini,
akan tetapi dalam perjalanan ke barat, kurasa pernah mendengar nama Sin-ciang Taihiap, bukan? Ataukah
belum pernah?"
"Pendekar yang penuh rahasia itu, yang bersikap lembut terhadap para penjahat, yang menundukkan
banyak tokoh dan datuk jahat itu? Kami pernah mendengarnya, tapi tidak mengetahui siapa sebetulnya
pendekar itu karena dia selalu menyembunyikan mukanya dibalik tirai caping lebarnya," kata Ciang Hun.
"Nah, inilah orangnya!" kata Sian Li dengan bangga sambil menunjuk kepada Yo Han.
Pemuda ini mengerutkan alisnya dan mukanya berubah kemerahan. "Saya tak sengaja menggunakan
nama julukan seperti itu...," katanya. “Saya mohon setelah mendengar pembukaan rahasia dari Adik Sian
Li, Jiwi akan menyimpannya sebagai rahasia. Saya tidak ingin dikenal sebagai Sin-ciang Taihiap."
Ibu dan anak itu tercengang. Mereka sudah mendengar bahwa pendekar yang penuh rahasia itu memiliki
kesaktian yang luar biasa, dan sekarang orangnya berada di depan mereka, seorang pemuda yang
sederhana, ramah bahkan pemalu! Kalau bukan Sian Li yang memberi tahu, tentu mereka tidak akan
percaya.
Ciang Hun cepat-cepat bangkit dan memberi hormat kepada Yo Han. "Ah, kiranya kami berhadapan
dengan seorang pendekar besar, maafkan kami dan terimalah hormatku, Taihiap!"
Yo Han cepat membalas. "Gak-toako, harap jangan bersikap seperti itu kalau memang Jiwi (Kalian Berdua)
menghendaki bersahabat dengan saya."
"Gak-toako, bersikaplah biasa saja. Biar pun Han-ko ini memiliki ilmu silat yang tinggi, namun dia tidak
suka ditonjolkan. Itulah sebabnya dia menyembunyikan keadaan dirinya dan selalu menutupi muka dengan
tirai caping dan rambut. Dan biar pun dia penentang kejahatan yang gigih, tapi dia tidak suka akan
kekerasan. Apa lagi membunuh manusia, membunuh seekor ayam pun dia tidak tega!"
"Ihh, Li-moi, jangan goda aku," kata Yo Han.
Ibu dan anak itu memandang penuh kagum.
"Sekarang, ceritakan apa yang membawa kalian ke bukit ini, dan bagaimana kalian bisa saling berjumpa di
tempat terasing ini," kata Nyonya Gak.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Bibi, aku sedang bersama seorang Suheng-ku, murid Paman Kakek Suma Ceng Liong bernama Sian
Lun..."
"Ahhh, kakakmu?" tanya Ciang Hun.
"Bukan, Toako, meski pun namanya mirip dengan namaku. Dia bernama Liem Sian Lun dan menjadi
suheng-ku. Kami berdua ikut Paman Kakek Suma Ciang Bun dan Nenek Gangga Dewi pergi ke Bhutan."
"Aku tahu Suma Ciang Bun, akan tetapi siapa Gangga Dewi?" tanya Nyonya Gak.
"Nenek Gangga Dewi adalah puteri mendiang Kakek Wan Tek Hoat dan Puteri Syanti Dewi," Sian Li
menjelaskan.
"Aihhh...! Kiranya begitu? Menarik sekali. Lalu, di mana sekarang suheng-mu itu?"
"Inilah persoalan yang kami hadapi, Bibi Gak. Aku dan Suheng, dalam perjalanan dari Bhutan hendak
kembali ketimur, bertemu dengan gerombolan persekutuan orang Nepal, orang-orang Hek-I Lama dan para
anggota pengemis tongkat hitam. Kami lalu bentrok dengan mereka sehingga Suheng tertawan. Kalau
tidak muncul Sin-ciang Taihiap yang kemudian kukenal sebagai Han-ko ini, tentu aku pun telah mereka
tawan."
"Wah, wah! Kalau begitu kita harus cepat menolong suheng-mu itu! Kita harus segera membebaskannya
dari tangan mereka!" seru Ciang Hun dan mendengar ini, diam-diam Yo Han merasa gembira dan kagum.
Gak Ciang Hun ini seorang pemuda yang gagah berani.
"Benar, kita harus cepat membebaskan suheng-mu, Sian Li!" kata pula Nyonya Gak.
"Itulah persoalannya, Bibi," kata Sian Li sambil menghela napas. "Jumlah mereka amat banyak, merupakan
persekutuan, lagi pula di antara para pimpinan Hek-I Lama terdapat banyak orang yang berkepandaian
tinggi."
Mendengar suara gadis itu penuh kegelisahan, Yo Han merasa iba dan dia makin yakin bahwa gadis yang
ketika kecil diasuhnya dan digendongnya ini agaknya memang jatuh cinta kepada suheng-nya sendiri.
"Li-moi, jangan khawatir. Aku pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk membebaskan suheng-mu, "
katanya dengan nada suara penuh keyakinan.
"Kebetulan kita bisa saling berjumpa di sini," berkata pula Nyonya Gak. "Mari kita serbu sarang mereka.
Dengan tenaga kita berempat, kita paksa mereka untuk membebaskan suheng-mu itu, Sian Li."
"Terima kasih atas uluran tangan Bibi dan Gak-toako. Tetapi, Ketua Hek-I Lama sudah menantang Sinciang
Taihiap untuk mengadu ilmu di puncak bukit ini, dengan taruhan bahwa kalau dia kalah, dia akan
membebaskan Suheng-ku dan menyerahkan mutiara hitam milik guru Han-ko. Sebaliknya kalau Sin-ciang
Taihiap kalah, dia harus membantu perjuangan gerombolan itu menentang penjajah Mancu."
"Ahh, jadi mereka akan datang ke puncak ini?" tanya Ciang Hun.
"Benar, Toako, Han-koko memilih puncak ini untuk tempat mengadu kepandaian. Tentu saja kami tidak
tahu bahwa Bibi dan Toako berada di sini. Dan untuk menghadapi Ketua Hek-I Lama, Han-koko akan
menyamar sebagai Sin-ciang Taihiap."
"Kapan pertandingan itu diadakan?" tanya Nonya Gak.
"Hari ini juga. Kami sengaja mendahului mereka untuk melihat keadaan di sini, jangan sampai kami
terjebak dan terkepung."
Nyonya Gak bangkit dari bangkunya dan ia nampak penuh gairah dan semangat, seolah lenyap semua
bayangan duka dan kemuraman dari wajahnya. Bagai seorang pemimpin mengatur siasat, dia berkata
kepada puteranya yang juga sudah bangkit berdiri dan siap siaga.
"Ciang Hun, cepat kau periksa keadaan sekeliling puncak dan siapkan tangga tali yang kita buat itu di tepi
jurang! Kau tahu apa yang harus kau lakukan!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Baik, Ibu!" kata Ciang Hun dan pemuda tinggi besar itu sekali melompat sudah keluar dari dalam pondok
untuk melaksanakan perintah ibunya.
"Kita harus siap siaga, bukan hanya bagaimana harus melawan mereka, akan tetapi juga mempersiapkan
diri supaya dapat terhindar dari bahaya. Ciang Hun telah membuat persiapan sehingga sewaktu-waktu kita
dapat meloloskan diri kalau ada bahaya," wanita gagah itu menerangkan.
"Aihh, Bibi Gak, kenapa begitu? Han-ko dan aku tidak akan melarikan diri! Memalukan sekali kalau harus
melarikan diri, apa lagi kita sudah saling berjanji bahwa ini sebuah pertandingan dengan taruhan. Yang ada
bagi kami hanyalah kalah atau menang. Kalau menang, suheng akan dibebaskan dan mutiara hitam
diberikan kepada Han-ko, kalau kalah, terpaksa kami harus memenuhi atau membayar kekalahan kita
dengan menepati janji untuk membantu perjuangan melawan pemerintah penjajah Mancu."
Wanita itu terbelalak. "Akan tetapi mana mungkin itu? Kalian adalah keturunan atau murid-murid pendekar
sakti, kalian adalah pendekar yang harus menentang kejahatan. Bagaimana mungkin kalian akan bekerja
sama dengan orang-orang jahat dan sesat itu? Bukankah hal itu berarti kalian akan mencemarkan nama
baik leluhur beserta guru-guru kalian?"
Sian Li menoleh kepada Yo Han. "Bibi Kakak Yo Han yang sudah menentukan syarat atau taruhan itu."
"Memang benar, Bibi yang baik. Akan tetapi taruhan saya adalah kalau saya kalah, saya akan membantu
perjuangan melawan atau menentang penjajah Mancu bukan bekerja sama dalam hal melakukan
kejahatan! Kalau mereka melakukan kejahatan dan saya mengetahuinya, tentu akan saya tentang
kejahatan mereka itu! Dan saya kira, berjuang melawan penjajah Mancu bukanlah perbuatan yang jahat.
Karena itulah saya menerima taruhan itu. Mereka hanya mengatakan supaya saya membantu perjuangan
menentang penjajah, bukan bekerja sama melakukan kejahatan."
Sian Li tersenyum. "Bagus! Aku pun memang berpendapat demikian juga, maka aku menyetujui taruhan
itu. Nah, Bibi Gak, tidak ada permasalahan lagi dan tidak perlu lagi kita mempersiapkan diri untuk lari,
bukan?"
"Hemm, kalian memang cerdik, akan tetapi kalian masih kurang pengalaman dan tidak cukup berhati-hati,
maka suheng-mu sampai dapat tertawan. Di dalam dunia kang-ouw, kalian akan bertemu dengan orangorang
yang bukan saja lihai ilmu silatnya, akan tetapi juga cerdik dan liciknya bukan main, penuh tipu
muslihat dan kecurangan. Menghadapi orang-orang macam begini, tidak dapat kalian hadapi hanya
dengan mengandalkan ilmu silat saja. Harus kita hadapi dengan siasat pula."
"Akan tetapi, Bibi, bukankah pendapat tadi bertentangan dengan kehormatan seorang pendekar yang
selalu menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kegagahan? Seorang pendekar lebih baik tewas sebagai
seekor harimau yang melawan dengan gagah berani dari pada hidup sebagai seekor babi yang menguiknguik
melarikan diri dengan cara pengecut! Kami akan menghadapi lawan sampai kalah atau mati, tidak
akan melarikan diri. Bukankah begitu, Han-ko?"
"Memang benar begitu, Li-moi, akan tetapi sebaiknya kita dengarkan juga pendapat Bibi Gak yang
terhormat ini," kata Yo Han yang melihat betapa nyonya setengah tua itu memandang dengan sinar mata
berkilat.
"Pendapatmu itu memang benar. Apa kau kira aku tidak memiliki kegagahan dan sudi melarikan diri seperti
seekor anjing digebuk atau seekor babi yang hendak disembelih? Engkau salah sangka, Sian Li. Apa bila
bertanding secara jantan dan gagah, memang seorang pendekar pantang melarikan diri dan akan melawan
sampai kalah atau tewas. Akan tetapi, kalau pihak lawan menggunakan kecurangan, misalnya
menjebakmu atau mengeroyokmu dengan jumlah yang besar dan tak mungkin kau tandingi, maka berlaku
nekat melawan sampai mati hanyalah merupakan perbuatan tolol, akan mati konyol dan sama sekali bukan
perbuatan gagah! Menyelamatkan diri dari ancaman lawan yang menggunakan kecurangan, bukan
pertandingan jantan, menandakan kecerdikan, bukan ketakutan atau sikap pengecut. Engkau harus dapat
membedakan kedua hal itu!"
Sian Li mengerutkan alisnya. Ia adalah seorang gadis yang cerdik, maka tentu saja ia dapat mengerti, dan
ia pun mengangguk-angguk.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ah, benar sekali pendapat Bibi barusan. Menghadapi kecurangan musuh dengan nekat sampai mati,
hanya menunjukkan ketololan dan juga kesombongan yang sia-sia belaka. Baiklah Bibi, terima kasih atas
persiapan itu. Mudah-mudahan saja Ketua Hek-I Lama tidak menggunakan kecurangan agar kita pun tidak
perlu melarikan diri."
Sian Li teringat bahwa Yo Han juga mengajaknya melarikan diri ketika dikeroyok oleh gerombolan itu dan
Yo Han telah terluka. Andai kata mereka gagah-gagahan dan nekat melawan terus sampai mati, maka
akan sia-sialah kegagahan mereka itu, mereka akan mati konyol dan suheng-nya tentu tidak ada yang
akan menolongnya lagi.
Mendadak Ciang Hun masuk ke pondok dan wajahnya nampak tegang. "Ibu, mereka sudah naik ke
puncak!"
"Apa yang kau lihat?" tanya nyonya itu.
"Ada dua orang pendeta berjubah hitam bersama seorang pemuda naik ke sini melalui jalan depan."
"Hanya itu? Kau tidak menyelidiki kemungkinan lain?"
"Dari jalan kiri dan jalan kanan nampak puluhan orang lain naik secara sembunyi dan menyusup-nyusup."
"Jahanam!" Sian Li mengepal tinju. "Ternyata mereka memang hendak main curang!"
Nyonya Gak bersikap tenang. "Sudah kuduga demikian. Ingat, jika nanti mereka mulai memperlihatkan
kecurangan, akan mengeroyok dengan jumlah besar, kalian harus lari ke belakang pondok, lurus saja
maka kalian akan tiba di tepi jurang. Di sana sudah terpasang tangga tali dan kita dapat melarikan diri dari
situ tanpa dapat dikejar musuh. Sekarang biarlah Sin-ciang Taihiap yang keluar menandingi Ketua Hek-I
Lama sesuai dengan perjanjian. Kita bertiga akan turun tangan apa bila mereka bersikap curang. Kita
bersembunyi dulu dalam pondok untuk membuat mereka terkejut dan kacau kalau kita muncul mendadak
nanti. Yo Han, kau sambut mereka di pekarangan pondok di mana engkau tidak mungkin diserang secara
menggelap."
Yo Han dan Sian Li kagum sekali. Nyonya Gak memang seorang kang-ouw yang telah berpengalaman.
Bersikap tenang dan bisa mengatur segalanya dengan teliti dan tegas.
Sementara itu, Yo Han sudah cepat mengurai rambut, mengenakan capingnya yang bertirai dan dia pun
keluar dari pondok dengan langkah tenang, diikuti pandang mata penuh kagum dari ibu dan anak itu yang
baru sekarang melihat kenyataan yang tadi membuat mereka hampir tak bisa percaya. Inilah Sin-ciang
Taihiap yang namanya telah menggetarkan daerah perbatasan itu!
Yang datang menuju ke pondok itu dari arah depan adalah Dobhin Lama yang berjalan dibantu tongkatnya,
Lulung Lama, beserta Cu Ki Bok. Meski pun Dobhin Lama berjalan dibantu tongkatnya yang panjang, akan
tetapi ternyata mereka bertiga dapat tiba di pekarangan itu dengan cepat seolah mereka berlari saja!
Dengan sikap tenang, Yo Han yang sekarang sudah menjadi Sin-ciang Taihiap berdiri di tengah
pekarangan, menanti kedatangan tiga orang itu.
Meski dia telah menyamar sebagai Sin-ciang Taihiap, Yo Han tidak melupakan sikapnya yang selalu sopan
dan menghormati orang lain. Apa lagi yang muncul di hadapannya adalah Ketua Hek-I Lama dan wakilnya,
dua orang pendeta Lama yang sudah tua. Dia menyambut dengan kedua tangan depan dada, memberi
hormat dan membungkuk.
"Selamat datang, Jiwi Locianpwe." Yo Han hanya memberi hormat kepada dua orang pendeta tua itu, tidak
kepada Cu Ki Bok yang berdiri dengan sikapnya yang angkuh!
Pemuda itu memandang kearah pondok dan pandang matanya mencari-cari. Yo Han tahu bahwa pemuda
itu mencari Sian Li dan dirinya, karena tentu mengira bahwa dia adalah Sin-ciang Taihiap!
Lulung Lama yang memegang dua buah gelang atau roda besar bersirip dengan tangan kirinya, tertawa
bergelak dan dialah yang mewakili suheng-nya bicara.
"Ha-ha-ha! Omitohud, selain lihai ilmu silatnya, kiranya Sin-ciang Taihiap juga mengenal aturan. Kami akan
merasa bangga dan senang sekali kalau kelak dapat bekerja sama denganmu!"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Nanti saja kita bicara tentang kerja sama, Locianpwe. Sekarang, kita bicara mengenai tantangan Ketua
Hek-I Lama kepadaku. Siapakah yang akan maju memberi pelajaran kepada saya?" Dia menatap kearah
wajah Dobhin Lama yang sudah tua itu.
Kakek yang tinggi kurus dan usianya sudah tujuh puluh lima tahun ini nampaknya saja lemah, akan tetapi
Yo Han dapat menduga bahwa di antara mereka semua, Ketua Hek-I Lama inilah yang paling lihai
sehingga dia harus berhati-hati kalau bertanding melawan kakek tua ini. Dan yang paling licik tentu saja
Lulung Lama dan muridnya itu.
Pandang mata Sin-ciang Taihiap yang nampak di balik tirai itu mencorong dan jelas kelihatan betapa Cu Ki
Bok menjadi gentar. Bahkan Lulung Lama yang sakti itu pun kelihatan tegang karena tokoh ini maklum
bahwa menghadapi pendekar yang satu ini, dia tidak boleh memandang rendah sama sekali. Andai kata
dia tidak kalah sekali pun, kiranya tidak akan mudah baginya untuk mengalahkan pendekar itu, maka dia
diam saja menanti perintah suheng-nya.
Dobhin Lama yang telah tua ini memang ingin sekali menguji ilmu kepandaian Sin-ciang Taihiap.
Sebetulnya tantangan ini merupakan siasat dari Lulung Ma, dan dia menyetujui pertandingan itu, bahkan
sudah memesan agar sute-nya itu jangan melakukan apa-apa sebelum dia berkesempatan menguji
kepandaian Sin-ciang Taihiap.
Kini ia telah berhadapan dengan pendekar aneh itu, dan timbul kegembiraannya. Sudah bertahun-tahun
Dobhin Lama tidak pernah menemukan lawan yang dianggapnya cukup tangguh dan pantas menjadi
lawannya. Bertahun-tahun dia tidak pernah turun tangan sendiri, merasa dirinya terlalu pandai dan terlalu
tinggi untuk melawan orang-orang yang dianggapnya tidak patut menjadi lawannya. Dan kini, dia merasa
gembira serta timbul semangatnya. Pertandingan seperti ini, melawan musuh yang tangguh dan terkenal,
membuat latihannya selama ini tidak sia-sia.
"Omitohud...!" Dobhin Lama berseru, suaranya lirih dan gemetar seperti suara seorang kakek tua pikun
yang lemah. "Pinceng (Aku) yang menantangmu, Sin-ciang Taihiap. Nah, majulah dan mari kita main-main
sebentar."
Yo Han melangkah maju menghadapi kakek bertongkat panjang itu. Dia pun memberi hormat. "Merupakan
suatu kehormatan besar sekali bagi saya, Locianpwe, untuk dapat menerima pelajaran darimu. Tetapi
sebelum kita mulai, saya ingin mendengar dulu janji Locianpwe bahwa kalau saya berhasil menang dalam
adu kepandaian ini, Locianpwe akan membebaskan Liem Sian Lun dan juga menyerahkan kembali mutiara
hitam yang Locianpwe terima dari Thong Nam itu kepada saya."
"Heh-heh, tentu saja. Akan tetapi bagaimana kalau engkau yang kalah, orang muda?"
"Sesuai dengan janji, kalau saya kalah saya akan membantu perjuangan menentang penjajah Mancu!"
"Bagus! Janji seorang pendekar pasti dapat dipegang teguh dan dipercaya. Sekarang majulah, Sin-ciang
Taihiap, pinceng ingin sekali membuktikan apakah kepandaianmu sama tingginya dengan nama besarmu."
Kakek itu berdiri tegak, tangan kiri tegak lurus dengan jari terbuka menempel miring di depan dahi, lengan
kanan menjepit tongkat panjangnya di bawah ketiak.
Yo Han tidak berani memandang rendah lawan. Pernah dia mendengar dari Kakek Ciu Lam Hok bahwa
tokoh-tokoh dari Tibet dapat menjadi lawan yang sangat berbahaya karena kekuatan sihir mereka. Dalam
hal ilmu silat, tokoh-tokoh persilatan Tibet hanya mengandalkan tenaga sakti yang mengandung kekuatan
sihir, sedangkan mengenai gerakan silatnya, tidak seberapa hebat. Gerakan tokoh Tibet tidaklah selincah
ilmu silat dari timur. Akan tetapi karena setiap gerakan mengandalkan sinkang yang diperkuat oleh ilmu
sihir, maka gerakan itu menjadi amat kuat dan berbahaya sekali.
Oleh karena itu, diam-diam dia pun menghimpun tenaga sakti yang pernah dipelajarinya dari ilmu Bu-kek
Hoat-keng, yaitu ilmu sakti yang menjadi andalan mendiang gurunya. Sesuai dengan wataknya, Yo Han
tidak pernah mau mempergunakan senjata dari baja, karena dia sama sekali tidak mau melukai orang,
bahkan dia pantang membunuh orang. Senjata pelindung diri hanya kaki tangan dan ilmu-ilmunya.
Namun, dengan menguasai Bu-kek Hoat-keng, memang dia tidak membutuhkan segala macam senjata
lagi. Tenaga sinkang yang ditimbulkan oleh ilmu itu membuat tubuhnya, terutama kedua lengannya,
dunia-kangouw.blogspot.com
menjadi kebal dan dapat menangkis senjata tajam yang bagai mana ampuh pun. Tentu saja kekebalan ini
hanya pada bagian tubuh di mana dia menyalurkan sinkang-nya. Bagian yang tidak dilindungi sinkang yang
dia salurkan, tentu saja tidak kebal. Kekebalannya bukan karena ilmu hitam, tetapi akibat lindungan tenaga
sakti dari dalam yang dikerahkan ke bagian tubuh itu.
"Locianpwe, saya sudah siap," katanya.
Dia pun berdiri dengan sikap tenang. Kedua kaki terpentang dan tubuhnya agak miring menghadapi lawan,
kedua tangan dirangkap seperti menyembah di depan dada kirinya. Inilah jurus yang oleh gurunya
dinamakan jurus ‘Menyembah Tuhan dengan Hati Tulus’.
"Sin-ciang Taihiap, pinceng hendak mempergunakan tongkat. Keluarkan senjatamu!"
Yo Han menggeleng kepala. "Locianpwe, senjata dibuat hanya untuk membunuh orang. Saya tak ingin
membunuh siapa pun, dan untuk melindungi diri, Tuhan telah melengkapi tubuh saya ini dengan lengkap
dan sempurna. Saya sudah siap, silakan Locianpwe."
"Omitohud, engkau seorang pendekar yang hebat, ataukah yang terlalu tinggi hati? Nah, pinceng telah
mendengar ucapanmu. Sambut serangan pinceng ini!"
Kakek berjubah hitam itu mulai menggerakkan tongkat yang tadinya dijepit di bawah ketiak, maka
terdengarlah sambaran angin yang berdengung bagaikan ada ratusan ekor kumbang terbang menyerang!
Yo Han telah menduga bahwa kakek itu tentu mengandalkan tenaga dan kekuatan sihir untuk
menyerangnya, maka dia pun sudah siap siaga. Tubuhnya bergerak ke kiri ketika kakinya digeser, maka
sambaran tongkat itu lewat dan luput, namun angin pukulannya yang menyambar terasa olehnya amat kuat
dan mengandung hawa panas.
Dia harus menghormati lawannya yang sudah tua, yang lebih pantas menjadi kakeknya. Karena itu, Yo
Han membiarkan Dobhin Lama menyerangnya sampai tiga kali tanpa membalas. Serangan itu datang
bertubi-tubi, makin lama semakin kuat dan berbahaya sekali.
Akan tetapi, Yo Han tetap hanya menggunakan kelincahan tubuhnya untuk mengelak. Sambaran tongkat
yang ke tiga kalinya hampir saja membuat dia terpelanting, karena hawa pukulan tongkat itu sedemikian
kuatnya, membuat rambutnya yang panjang itu berkibar dan hampir saja capingnya yang lebar itu
diterbangkan! Dengan terhuyung Yo Han masih sempat memegang capingnya sehingga tidak sampai
terbuka dan dapat memperlihatkan mukanya.
Setelah tiga kali serangannya dapat dielakkan lawan tanpa membalas, Dobhin Lama mengerutkan alisnya
yang putih dan dia merasa penasaran. Apakah pendekar muda ini berani memandang rendah padanya
sehingga hanya mengalah saja, tidak membalas?
"Sin-ciang Taihiap, balaslah serangan pinceng! Apakah engkau menganggap pinceng seorang lawan yang
terlalu lemah bagimu?"
"Sama sekali tidak, Locianpwe. Kalau saya selama tiga jurus tidak melawan, hal itu saya lakukan untuk
menghormati Locianpwe yang merupakan golongan jauh lebih tua dari pada saya. Sekarang saya akan
membalas, Locianpwe."
"Bagus! Nah, sambutlah ini!"
Kakek itu kembali menyerang. Tongkatnya membuat gerakan berputar dengan ujungnya membentuk
lingkaran lebar, makin lama semakin cepat dan mengecil lalu tiba-tiba ujung itu meluncur kearah dada Yo
Han!
Sekali ini Yo Han tidak mengelak, melainkan mempergunakan ilmu Bu-kek Hoat-keng untuk memutar
lengan kanan dan menangkis luncuran tongkat ke arah dadanya itu. Ilmu ini adalah ilmu kesaktian yang
amat hebat. Salah satu di antara keampuhannya adalah hadirnya tenaga mukjijat yang menolak semua
hawa kebencian yang datang dari lawan, terkandung dalam serangan lawan. Betapa kuat dan tinggi pun
ilmu lawan, kalau lawan menyerang dengan kandungan hati membenci, maka serangannya itu akan
membalik dan mungkin mengenai diri sendiri!
dunia-kangouw.blogspot.com
"Plakkk!"
Tangkisan yang disertai tenaga sinkang amat kuat itu ternyata tidak membuat tongkat itu membalik dan
menyerang pemiliknya sendiri dan ini merupakan bukti bahwa tidak ada kebencian terkandung di dalam
serangan itu! Akan tetapi, akibat benturan kedua tenaga sakti membuat Yo Han terhuyung ke belakang,
dan Dobhin Lama juga terdorong ke belakang beberapa langkah!
Keduanya saling pandang dengan rasa kagum. Bagi Dhobin Lama, baru sekarang ada seorang muda yang
mampu menangkis tusukan tongkatnya tadi, dan bagi Yo Han, juga pendeta itu merupakan lawan paling
tangguh yang pernah dilawannya. Tangguh dan tidak ada kebencian di hatinya! Diam-diam dia merasa
girang dan dia pun mengerahkan seluruh tenaga, mengeluarkan semua kepandaiannya untuk menandingi
lawannya yang hebat itu.
Pertandingan itu memang hebat bukan main. Kadang berjalan cepat, kadang lambat. Bumi di pekarangan
itu bergetar, daun-daun pohon yang berada di dekat situ rontok.
Lulung Lama dan muridnya, Cu Ki Bok, menonton dengan mata terbelalak dan penuh kagum. Mereka
merasa beruntung bahwa mereka tadi tidak maju melawan Sin-ciang Taihiap, karena kalau hal itu terjadi,
mereka pasti kalah. Apa lagi Cu Ki Bok, bahkan gurunya, Lulung Lama, setelah menyaksikan pertandingan
itu, maklum bahwa dia tidak akan menang melawan pendekar aneh yang amat lihai itu.
Makin lama, kedua orang yang bertanding itu menjadi semakin kagum kepada lawan. Yo Han juga kagum
bukan main. Walau pun lawannya sudah tua sekali, tetapi semua serangan balasannya bagai membentur
tembok baja yang amat kuat, yang sukar sekali ditembus.
Mereka saling serang dan saling desak, tapi tidak pernah dapat membobolkan benteng pertahanan lawan
sehingga tanpa terasa lagi, seratus jurus lebih sudah terlewat! Dan selama itu, keduanya tak pernah
mengendurkan tenaga, karena siapa yang mengendur pasti akan kalah. Karena semua jurus yang mereka
mainkan tidak mampu menembus benteng pertahanan lawan, maka mereka sekarang tidak lagi
mengandalkan jurus silat, melainkan lebih mengandalkan kekuatan sinkang.
Akhirnya, keadaan usia menguntungkan Yo Han. Kalau dia hanya merasa lelah saja, lawannya kini sudah
mandi keringat dan napasnya mulai terengah saking kehabisan tenaga. Bahkan dari kepala yang tidak
berambut itu sudah mengepul uap putih yang agak tebal, tanda bahwa tubuhnya telah menjadi panas
sekali.
Maklum bahwa dirinya berada dalam bahaya kalau dilanjutkan, maka Dobhin Lama lalu mengeluarkan
jurusnya yang terhebat, yaitu Jurus Gunung Runtuh! Dia mengeluarkan pekik yang dahsyat, tongkatnya
menyambar dari atas ke arah kepala Yo Han dengan tenaga sepenuhnya yang masih tersisa.
Melihat ini, Yo Han juga mengerahkan seluruh tenaganya, menangkis dengan kedua lengannya,
mendorong ke atas. Bertemulah tongkat dengan kedua lengan pendekar itu.
"Brakkkk...!"
Yo Han terhuyung, akan tetapi tongkat di tangan Dobhin Lama patah menjadi tiga potong! Kakek itu
nampak pucat dan dia menghela napas panjang sambil melempar potongan tongkatnya ke atas tanah.
"Omitohud... pinceng mengaku kalah...!" Dia lalu duduk bersila di atas tanah, berkata kepada Lulung Lama.
"Sute... bebaskan pemuda itu..."
Dia mengeluarkan sebuah kalung dari saku jubahnya, kalung dengan mainan sebuah mutiara hitam dan
melemparkan benda itu kepada Yo Han. "Nah, terimalah mutiara hitam ini!"
Yo Han menerima sambaran mutiara hitam itu dan dia pun memberi hormat. Hatinya merasa terharu dan
juga kagum sekali. "Banyak terima kasih bahwa Locianpwe sudah mengalah dan menepati janji."
Lulung Lama bertepuk tangan. Dari lereng bukit itu muncullah Sian Lun yang diiringkan dua orang pendeta
Lama jubah hitam. Sian Lun agaknya dalam keadaan tertotok dan dia dibimbing oleh dua orang pendeta
itu. Lulung Lama lalu mendorong tubuh Sian Lun sehingga pemuda ini roboh tertelungkup.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dari dalam pondok, muncul Sian Li yang dengan sekali lompatan sudah berada di dekat Yo Han. Melihat
munculnya sumoi-nya, Sian Lun berkata lirih, "Sumoi, tolonglah aku..."
Sian Li menghampiri Sian Lun, lalu berlutut dan meraba pundak suheng-nya itu untuk memulihkan
kesehatannya, membebaskannya dari totokan. Akan tetapi, pada saat itu mendadak saja Sian Lun
menggerakkan tangan dan menotok jalan darah di punggung sumoi-nya! Gerakkannya ini sama sekali
tidak terduga oleh Sian Li sehingga gadis itu sama sekali tidak dapat menjaga dirinya, tahu-tahu dia sudah
tertotok dan lemas. Sian Lun sudah merangkul pinggang Sian Li dan membawanya meloncat ke belakang
Lulung Lama dan Cu Ki Bok!
Dari dalam pondok, Nyonya Gak dan puteranya, Gak Ciang Hun, sejak tadi mengintai. Begitu melihat Sian
Li ditangkap oleh suheng-nya sendiri, seperti juga Yo Han, mereka tertegun heran. Akan tetapi Nyonya
Gak lalu meloncat keluar, diikuti puteranya.
"Sin-ciang Taihiap, mereka bertindak curang!" teriak nyonya itu.
Yo Han memang tertegun dan amat bingung melihat betapa Sian Lun tiba-tiba malah menangkap sumoinya.
Akan tetapi, pada saat itu muncullah puluhan orang dari depan, kanan dan kiri. Mereka adalah para
pendeta Lama jubah hitam yang dibantu oleh para anggota pengemis tongkat hitam dan beberapa orang
Nepal. Nampak pula Badhu dan Sagha, dua orang Nepal yang kuat itu, bahkan juga muncul tiga orang
wanita cantik dari Pek-lian-kauw, yaitu Pek-lian Sam-li yang lihai.
"Lulung Lama, kalian curang! Bebaskan mereka berdua itu!" Yo Han berseru.
Tubuhnya sudah berkelebat ke depan untuk menolong Sian Li dan Sian Lun, karena dia masih bingung
dan mengira bahwa Sian Lun tentu dipaksa oleh mereka. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia melihat
Sian Lun membawa Sian Li meloncat ke belakang para penyerbu dan lenyap. Terpaksa dia menyambut
pengeroyokan banyak orang itu, dibantu oleh Nyonya Gak dan Gak Ciang Bun yang sudah mengamuk.
"Locianpwe Dobhin Lama, apakah Locianpwe hendak melanggar janji sendiri?" teriak Yo Han penasaran.
Akan tetapi, Dobhin Lama yang duduk bersila dan memejamkan mata itu tidak menjawab, juga tidak
bergerak.
Terpaksa Yo Han mengamuk, namun dia tidak membiarkan diri dikuasai dendam dan kemarahan. Dia
tetap hanya merobohkan para pengeroyok tanpa membunuh mereka. Tidak seperti Nyonya Gak dan
puteranya yang mengamuk dengan pedang mereka, menewaskan beberapa orang pengeroyok. Akan
tetapi, di pihak lawan terdapat banyak orang pandai, dan jumlah mereka semakin bertambah banyak
sehingga bagaimana pun juga, tiga orang itu mulai terdesak.
"Mari kita pergi!" tiba-tiba Nyonya Gak berseru kepada puteranya dan Yo Han.
Yo Han maklum bahwa melanjutkan perkelahian juga tidak ada gunanya, bahkan amat berbahaya.
Padahal dia harus dalam keadaan sehat dan selamat untuk dapat menolong Sian Li kemudian. Kalau
sekarang dia nekat sekali pun, belum tentu dia akan dapat menemukan Sian Li yang telah dilarikan Sian
Lun.
Pula, dia belum tahu apa yang telah terjadi, dan mengapa Sian Lun bersikap seperti itu. Siapa tahu itu
merupakan siasat pemuda itu untuk menolong sumoi-nya. Yang penting, dia harus menyelamatkan diri.
"Baik, Bibi Gak!" katanya dan dia pun membuka jalan dengan berkelebatan di antara para pengeroyok
yang roboh satu demi satu.
Nyonya Gak dan puteranya juga memutar pedang sedemikian rupa sehingga tidak ada pengeroyok berani
yang mendekati mereka. Mereka lari ke belakang pondok, dipimpin oleh Nyonya Gak dan benar seperti
keterangannya tadi, mereka tiba di tepi jurang yang amat dalam sehingga tidak dapat dilihat dasarnya.
Nyonya Gak dan puteranya sudah mengambil tangga-tangga tali dari balik semak belukar dan cepat
memasang tangga-tangga tali itu, mengikatkan pada akar pohon di belakang semak di tepi jurang.
"Mari, kita lari lewat tangga ini! Yo Han, kau ikutilah aku!" kata Nyonya Gak, sedangkan Ciang Hun sudah
menuruni tangga tali yang lain. Yo Han tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengikuti Nyonya Gak
menuruni tangga tali menuruni tebing jurang yang amat terjal dan dalam itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tangga tali itu panjangnya ada dua puluh meter dan ternyata mereka mendarat di sebuah goa besar.
Setelah mereka bertiga tiba di goa, ibu dan anak itu segera menarik tangga-tangga tali itu dengan sentakan
tiba-tiba yang membuat kaitan di ujung tangga pada akar pohon terlepas.
"Tidak ada seorang pun manusia yang mampu menuruni tebing ini tanpa tangga tali, kecuali kalau dia bisa
terbang seperti burung," kata Nyonya Gak. "Dari goa ini terdapat jalan setapak melalui tepi tebing menuju
ke lereng bukit. Jalan ini kami temukan dan kami buatkan lorong yang menembus goa sehingga kecuali
kami berdua, tidak ada yang mengetahuinya."
Yo Han duduk di atas batu dalam goa, termenung. "Akan tetapi, mereka menawan adik Tan Sian Li,"
suaranya mengandung kekhawatiran.
Ciang Hun berkata dengan suara marah. "Tentu nanti kita akan berusaha sekuat tenaga untuk
menolongnya! Yang amat kuherankan, kenapa suheng dari adik Sian Li bersikap seperti itu? Jelas bahwa
dia tadi berpura-pura ketika didorong dan tersungkur. Ketika adik Sian Li hendak menolongnya, dia malah
menotoknya, kemudian menawannya. Apa artinya ini?"
Nyonya Gak juga berkata, "Pemuda itu tidak dapat dipercaya! Yo Han, bagaimana sih hubungan Sian Li
dengan suheng-nya dan orang macam apa suheng-nya itu?"
Yo Han menggeleng kepalanya. "Saya sendiri belum mengenalnya dengan baik, Bibi. Pada waktu Li-moi
dan suheng-nya itu dikeroyok oleh persekutuan gerombolan itu, saya menolong mereka, akan tetapi hanya
dapat melarikan Li-moi, sedangkan suheng-nya yang bernama Liem Sian Lun itu tertawan. Kalau
mengingat bahwa pemuda itu adalah suheng Li-moi, murid dari Locianpwe Suma Ceng Liong, rasanya
tidak mungkin kalau dia memiliki watak palsu dan jahat."
Nyonya Gak mengerutkan alisnya. "Pasti ada sesuatu yang tidak beres dengan pemuda itu. Para pendeta
Lama itu lihai dan di antara mereka banyak yang memiliki ilmu sihir. Siapa tahu pemuda itu berada di
bawah pengaruh sihir."
"Bagaimana pun juga, saya harus cepat melakukan penyelidikan dan menolong mereka, terutama adik Tan
Sian Li, Bibi."
"Yo Han, aku percaya bahwa engkau adalah seorang pendekar sakti yang mempunyai kepandaian tinggi.
Hal itu sudah kubuktikan tadi ketika engkau berhasil mengalahkan Ketua Hek-I Lama," kata Ciang Hun
dengan kagum. "Akan tetapi perlu kau ingat bahwa bagaimana pun juga, kepandaianmu ada batasnya.
Bagaimana mungkin engkau akan melawan mereka yang memiliki anak buah sebanyak itu? Ibu dan aku
akan membantu, kalau perlu dengan taruhan nyawa, namun kita harus berhati-hati dan menggunakan
siasat yang baik."
"Benar ucapan anakku, Yo Han. Menghadapi gerombolan yang demikian banyak, kita harus menggunakan
siasat. Kalau hanya nekat, kita akhirnya takkan berhasil menolong Sian Lun dan Sian Li, sebaliknya malah
tertawan atau tewas konyol," kata Nyonya Gak.
"Saya akan minta bantuan beberapa tokoh kang-ouw di perbatasan yang telah sadar dan kini menjadi
orang baik-baik. Mereka mempunyai banyak kawan dan saya yakin mereka akan suka membantu saya,"
kata Yo Han.
Ibu dan anak itu memandang kagum. Mereka sudah mendengar akan sepak terjang Sin-ciang Taihiap
yang tidak pernah membunuh para penjahat, melainkan menalukkan mereka dan menasehati, dengan cara
kasar mau pun halus berhasil membuat banyak penjahat mengambil jalan hidup yang sama sekali
berubah, dari jalan sesat ke jalan yang benar.
Mereka lalu mengatur siasat, membagi tugas sebelum meninggalkan goa itu melalui sebuah terowongan
pendek di bawah tanah yang sudah dibuat oleh ibu dan anak itu. Terowongan ini menembus ke lereng
bukit melalui pintu rahasia yang dari luar nampak seperti batu besar biasa…..
********************
Apakah yang terjadi dengan diri Sian Lun? Mengapa dia yang akan ditolong Sian Li, bersikap seperti itu,
berbalik menotok dan menawan Sian Li, dan menghilang di antara para anak buah gerombolan?
dunia-kangouw.blogspot.com
Liem Sian Lun telah terjatuh ke tangan Pek-lian Sam-li! Tiga orang wanita Pek-lian-kauw ini adalah tiga
orang tokoh Pek-lian-kauw yang berwatak cabul. Pek-lian Sam-li sudah terkenal sebagai tiga kakak beradik
yang genit, mata keranjang dan mesum. Setiap kali bertemu dengan pria yang tampan, mereka tidak
pernah melewatkan kesempatan untuk merayunya, bahkan kalau pria itu menolak, mereka akan
memaksanya.
Selain ilmu silat mereka lihai sekali, mereka juga pandai ilmu sihir, ahli racun sehingga dengan berbagai
cara tidak ada pria yang akhirnya tidak tunduk kepada mereka. Ketika mereka berhasil menawan Liem
Sian Lun, tentu saja sudah terbakar gairah mereka untuk menguasai pemuda tampan dan gagah itu, apa
lagi mengingat bahwa pemuda itu adalah murid Pulau Es!
Mereka akan mendapat banyak sekali keuntungan jika berhasil menguasai pemuda ini. Pertama, pemuda
ini masih muda, baru berusia dua puluh tahun, seorang perjaka tulen, tampan dan bertubuh kuat. Ke dua,
dengan menundukkan pemuda itu, berarti mereka dapat membalas semua dendam dan kebencian mereka
terhadap musuh-musuh besar Pek-lian-kauw, yaitu para pendekar Pulau Es sebab pemuda itu merupakan
murid Pulau Es. Dan ke tiga, mereka dapat menyenangkan hati sekutu mereka, yaitu para pendeta Lama
jubah hitam yang hendak mengumpulkan orang-orang yang memiliki kepandaian silat tinggi seperti
pemuda itu, karena setelah menguasai Sian Lun, tentu pemuda itu akan suka menjadi sekutu mereka pula.
Sian Lun pada dasarnya bukanlah seorang pemuda yang berhati teguh. Sejak dewasa, sudah sering kali
dia termenung, membayangkan hal-hal yang menimbulkan birahinya. Dia pun sudah sering kali
memandang kepada sumoi-nya, Tan Sian Li, dengan pandang mata penuh gairah birahi.
Apa lagi setelah ia mendengar percakapan suhu dan subo-nya, yang ingin menjodohkan dia dengan Sian
Li, sering kali ia membayangkan betapa senangnya bila ia bermesraan dengan sumoi-nya yang cantik itu
sebagai suami isteri! Dia jatuh cinta kepada Sian Li, dan makin dibayangkan, semakin dalam dia tenggelam
dalam cinta. Bahkan sering kali terbawa dalam mimpi.
Ketika mereka melakukan perjalanan bersama, kalau saja ia tidak merasa takut kepada sumoi-nya yang
dalam hal kepandaian silat jauh lebih tangguh darinya, tentu sudah dia nyatakan perasaan hatinya itu
dengan perbuatan. Terasa amat menyiksa baginya, bagai seorang kelaparan melihat makanan lezat tanpa
boleh memakannya, atau seorang yang kehausan melihat air jernih tanpa boleh meminumnya.
Berkobarnya nafsu birahi yang sering kali menggodanya itu masih dapat dilawannya dengan dua
keyakinan, yaitu pertama bahwa menuruti nafsunya itu adalah tidak benar, dan kedua menuruti nafsunya
itu tentu dia akan celaka karena sumoi-nya yang cantik itu amat galak dan lihai!
Nafsu birahi, seperti segala macam nafsu yang dimiliki manusia, adalah sesuatu yang wajar, bahkan
terbawa sejak lahir, merupakan alat bagi manusia untuk hidup di dunia. Nafsu birahi merupakan sesuatu
yang amat penting, bahkan mutlak sebagai pendorong agar manusia tidak akan musnah, agar dapat
berkembang biak.
Segala macam ciptaan Tuhan yang terdapat di dunia ini, disertai nafsu seperti ini, yaitu nafsu yang
mendorong bersatunya dua kelamin yang berlawanan untuk bersatu dan dari persatuan ini terciptalah
manusia atau makhluk sejenis yang baru, yang dinamakan anak bagi manusia dan hewan, dinamakan
buah bagi tumbuh-tumbuhan. Anak menjadi manusia baru dan buah-buah menjadi calon bibit tumbuhan
baru.
Tuhan Maha Kasih! Di dalam nafsu birahi ini, disertakan rasa nikmat sehingga semua makhluk termasuk
manusia terdorong untuk melakukan persatuan itu dengan suka rela. Dan di dalam rasa nikmat inilah setan
menyusup! Rasa nikmat ini yang dijadikan alat oleh setan untuk menggoda manusia sehingga manusia
menjadi lupa diri.
Karena mengejar perasaan nikmat itu maka bukan lagi manusia memperalat nafsu, tapi terjadi
kebalikannya, nafsu yang memperalat manusia! Bukan manusia menjadi majikan dari pada nafsu birahi,
malah nafsu birahi yang menjadi majikan dan manusia menjadi budak nafsunya sendiri. Kalau sudah
begini, terjadilah perbuatan sesat atau perbuatan yang sifatnya merusak dan merugikan orang lain atau
bahkan yang akibat panjangnya akan merusak dirinya sendiri.
Semua agama serta filsafat yang dicetuskan orang-orang budiman, pelajaran agama yang diwahyukan
oleh Tuhan, semua bertujuan untuk mengingatkan manusia supaya sadar akan bahayanya pengaruh nafsu
sendiri di dalam diri. Namun, jarang ada orang yang mampu menguasai nafsunya sendiri, karena hati dan
dunia-kangouw.blogspot.com
akal pikiran kita pun sudah dicengkeram nafsu sehingga usaha apa pun yang klta lakukan, di situ pasti
terkandung keinginan nafsu. Kenyataan ini dapat kita lihat buktinya dalam kehidupan ini, kalau kita melihat
dan meneliti keadaan diri kita sendiri.
Betapa banyaknya kebiasaan-kebiasaan kecil atau besar yang kita lakukan, kita ketahui dan mengerti
benar bahwa perbuatan itu tidak benar atau tidak baik, namun kita tidak berdaya untuk mengubahnya! Kita
tahu benar bahwa amarah itu tidak benar dan tidak baik, akan tetapi sekali kemarahan muncul, kita tidak
berdaya untuk mengatasinya dan kita terseret oleh kemarahan kita.
Demikian pula dengan permainan nafsu yang lain, keterikatan kita kepada benda, pada makanan, kepada
orang lain. Semua itu menimbulkan kesenangan yang selalu dikejar-kejar nafsu, yang menjadi pemikat
bagi kita sehingga sukarlah bagi kita untuk mengubahnya.
Nafsu merupakan pembawaan yang diikut sertakan saat kita lahir, dan nafsu merupakan alat yang teramat
penting bagi kehidupan kita. Tanpa adanya nafsu, kita tak akan dapat hidup seperti manusia yang wajar.
Akan tetapi, di samping kepentingannya yang mutlak, nafsu juga merupakan bahaya yang akan menyeret
kita ke dalam kesesatan, yang akan menjauhkan kita dari kewajiban utama sebagai manusia, yaitu
mendekati Tuhan yang menciptakan kita dan seluruh keadaan di alam maya pada ini.
Nafsu penting bagi kita, akan tetapi juga berbahaya bagi kita. Lalu bagaimana? Sudah sejak jaman pra
sejarah, manusia sadar akan bahayanya nafsu, dan sejak itu manusia sudah berusaha untuk menaklukkan
nafsu, mengekang dan mengendalikan nafsu. Ada yang dengan cara bertapa, menjauhkan diri dari dunia
ramai, ada yang dengan jalan menyiksa diri, dan seribu satu macam cara lagi.
Tetapi, semua cara itu adalah usaha hati dan akal pikiran. Maka terjadilah pertentangan sendiri di dalam
batin, tarik menarik antara keinginan untuk bersenang-senang menuruti gejolak nafsu, dan keinginan
menolak gejolak nafsu karena sadar akan akibatnya yang akhirnya tidak menyenangkan.
Jelaslah bahwa pada dasarnya, di antara kedua keinginan itu sama, timbul dari hati akal pikiran yang
sudah bergelimang nafsu, yaitu keinginan untuk mengejar kesenangan dan keinginan menjauhi kesusahan
yang timbul karena pengejaran itu! Dan pertempuran ini tiada habisnya selama kita hidup. Kadang nafsu
yang menang dan berkobar membakar, kadang nafsu dapat ditundukkan untuk sementara, bagai api di
dalam sekam yang tiap waktu akan dapat berkobar lagi.
Lalu apa yang dapat kita lakukan? Kita tak mungkin dapat menundukkan nafsu, karena ‘kita’ inilah nafsu itu
sendiri. Kita adalah hati akal pikiran yang sudah bergelimang nafsu, maka apa pun yang kita usahakan,
pada dasarnya hanyalah untuk mengabdi kepada nafsu, untuk pemuasan nafsu dengan segala cara, ada
yang kasar, ada yang halus, bahkan ada cara yang dipulas seolah-olah cara itu bukan buatan nafsu.
Setan memang amat licik dan pandai, penuh tipu muslihat dan memang sudah menjadi tugasnya untuk
menggoda kita. Bila kita manusia hanya mengandalkan hati akal pikiran saja, tidak akan mungkin kita
mampu mengalahkan setan! Jalan satu-satunya hanyalah berpaling kepada Sang Maha Pencipta! Hanya
kekuasaan Tuhan saja yang akan dapat menundukkan segala yang ada. yang nampak dan yang tidak
nampak oleh mata kita, termasuk setan. Betapa tidak? Setan dan nafsu pun diciptakan oleh Tuhan!
Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah menyerah kepada Tuhan Maha Kasih! Menyerah tanpa syarat,
menyerah dengan total dan mutlak, menyerah dengan sabar, tawakal dan ikhlas. Hanya kekuasaan Tuhan
sajalah yang akan mampu membersihkan seluruh batin kita. Hanya kekuasaan Tuhan saja yang akan
dapat mengembalikan nafsu dalam tugas yang sebenarnya, yaitu menjadi abdi jiwa manusia, membantu
kehidupan manusia di dunia dan tak lagi menjadi majikan yang kejam, tak lagi menjadi pemikat dan
pembujuk yang menyeret kita ke dalam kesesatan.
Menyerah tanpa syarat, bukan ‘menyerah demi untuk memperoleh sesuatu’, karena jika demikian halnya,
maka yang dinamakan penyerahan ini pun hanya tipu muslihat dari nafsu belaka dan kita akan tetap
berada dalam lingkaran setan permainan nafsu daya rendah! Menyerah tanpa pamrih, dengan ikhlas dan
tawakal saja!
Sian Lun yang masih hijau itu, tidak kuat menghadapi rayuan tiga orang wanita cantik seperti Pek-lian
Sam-li. Apa lagi ketiga orang wanita cabul itu bukan sekedar merayu biasa. Mereka pun mencampurkan
racun pembius dan perangsang ke dalam minuman yang disuguhkan kepada Sian Lun, bahkan masih
ditambah lagi dengan kekuatan sihir mereka!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian Lun jatuh dalam pelukan mereka. Bahkan Pangeran Gulam Sing yang kini menjadi sahabat baik dan
rekan pengumbar nafsu birahi dari tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu, juga membantu dengan ilmu
sihirnya, membuat Sian Lun menjadi kehilangan kesadaran sama sekali. Pemuda itu benar benar runtuh.
Kalau tadinya dia seperti seekor harimau jantan yang ganas, kini di tangan ketiga orang wanita itu dia
berubah menjadi seperti seekor domba jinak!
Dia merasa seakan-akan dia sudah mendapatkan kebahagiaan hidup yang selama ini didambakan dan
diimpikannya. Dia percaya bahwa tiga orang wanita kakak beradik itu amat mencintanya dan
memanjakannya hingga dia dengan amat mudahnya melupakan Sian Li, gadis yang biar pun pernah
membuatnya tergila-gila namun yang tak terjangkau olehnya itu!
Hanya dalam waktu satu malam, Sian Lun sudah berubah sama sekali. Dia kini telah menyerah, dan di
dalam pelukan tiga orang wanita itu dia bersumpah untuk bekerja sama dengan mereka, mentaati semua
keinginan tiga orang wanita yang dianggapnya amat mencintanya dan yang dapat membuat dia seperti
terbuai dalam kemesraan dan kenikmatan yang tanpa batas.
Dalam keadaan seperti inilah, Pangeran Gulam Sing datang mendekati dan menjanjikan kedudukan tinggi,
pangkat yang besar di Nepal kalau perjuangannya kelak berhasil! Dan Sian Lun menganggap ini sebagai
suatu cita-cita yang teramat besar dan mulia.
Demikianlah, ketika dia dalam keadaan terpengaruh sihir, dan diperintah oleh Pek-lian Sam-li untuk
berpura-pura menjadi tawanan dan agar dia menawan sumoi-nya sendiri, dia lalu melakukannya dengan
suka rela dan senang hati. Dia ingin membuat jasa untuk menyenangkan hati Pek-lian Sam-li dan juga para
pimpinan Hek-I Lama dan Pangeran Gulam Sing.
Sian Li tentu saja merasa terkejut bukan main, juga merasa heran ketika secara tiba-tiba suheng-nya
menotoknya. Karena sama sekali tak menyangka bahwa suheng-nya yang hendak ditolongnya itu malah
menotoknya, gadis itu dapat dirobohkan dengan mudah. Sian Li hanya dapat merasa heran dan penasaran
sekali ketika tubuhnya yang sudah lemas tak berdaya itu dipondong dan dilarikan Sian Lun.
Makin besar keheranan Sian Li pada saat dia dibawa oleh suheng-nya ke sarang Hek-I Lama! Dalam
perjalanan tadi, saat suheng-nya melarikannya, ia masih diam saja karena mengira bahwa suheng-nya
tentu bermaksud akan menyelamatkannya, mengira bahwa suheng-nya akan melarikannya ke tempat yang
aman. Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya ketika dia melihat Sian Lun membawanya masuk ke pintu
gerbang sarang perkumpulan pendeta Lama jubah hitam itu!
"Suheng, apa yang kau lakukan ini?" tanyanya dengan suara lemah karena totokan itu selain
melumpuhkan kaki tangannya, juga membuatnya lemah tanpa tenaga sehingga untuk mengeluarkan suara
pun tidak dapat keras.
"Kau diam sajalah, Sumoi. Semua ini kulakukan demi kebaikan kita," jawab Sian Lun.
Anehnya, ketika melihat Sian Lun masuk memondong tubuh gadis yang lemas itu, para pendeta Lama
yang berada di situ hanya menonton saja, bahkan ada di antara mereka yang tersenyum atau menyeringai.
Dan agaknya Sian Lun sudah hafal akan tempat di situ. Dia langsung saja membawa sumoi-nya ke sebuah
kamar dan merebahkan tubuh gadis itu ke atas sebuah pembaringan dalam kamar itu.
Sian Li membelalakkan mata ketika melihat suheng-nya mengambil sehelai tali sutera dan mulai mengikat
pergelangan kaki dan kedua tangannya.
"Suheng, apa yang kau lakukan ini?" kembali ia bertanya.
Kini suaranya mulai menguat, tanda bahwa pengaruh totokan itu mulai mengendur, juga ia mulai dapat
menggerakkan kaki tangan walau pun masih lemah. Namun, ikatan tali sutera itu kuat bukan main dan ia
pun tidak mampu melepaskan diri.
Sian Lun tidak menjawab, melainkan melanjutkan pekerjaannya. Setelah dia merasa yakin bahwa ikatan
kaki tangan sumoi-nya itu kuat, barulah dia berkata, suaranya datar saja, seperti tanpa perasaan. "Sumoi,
terpaksa aku mengikat kaki tanganmu agar kalau sudah pulih dari totokan, engkau tidak melakukan
kebodohan dan memberontak."
"Suheng, lepaskan aku! Sudah gilakah engkau? Apa artinya semua ini, Suheng?"
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda itu menundukkan muka, dia tidak berani menentang pandang mata sumoi-nya secara langsung!
Bagaimana pun juga, masih tertinggal kesan lama, dan dia merasa canggung dan salah tingkah, walau pun
di dalam hatinya dia membenarkan tindakannya ini.
"Sumoi, tiada pilihan lagi bagi kita. Kita harus membantu perjuangan mereka menentang penjajah Mancu.
Tak percuma kita sejak kecil mempelajari ilmu silat kalau kita gunakan untuk membela negara dan
bangsa."
Sian Li membelalakkan matanya. Kini totokan itu sudah pulih, dan jalan darahnya telah normal kembali.
Akan tetapi tentu saja ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya yang terbelenggu. Dia mencoba
mengerahkan tenaga untuk membikin putus belenggu pergelangan kaki tangan itu, namun sia-sia.
Sian Lun maklum bagaimana harus membuat sumoi-nya tidak berdaya. Tali sutera itu lentur, tidak mudah
dibikin putus. Andai kata belenggu itu terbuat dari rantai baja yang tidak terlalu kuat saja, mungkin Sian Li
dapat mematahkannya. Akan tetapi tali sutera yang lentur? Tidak mungkin dibikin putus, kecuali dengan
senjata tajam. Dan senjatanya juga sudah dilucuti suheng-nya.
Pada saat itu, terdengar langkah kaki dan masuklah tiga orang wanita yang bukan lain adalah Pek-lian
Sam-li, yaitu tiga kakak beradik tokoh Pek-lian-kauw. Ji Kui yang hitam manis, yang paling tua, tersenyum
dan menepuk pundak Sian Lun.
"Bagus, engkau telah berhasil baik, Sian Lun."
"Tentu saja berhasil, kalau tidak, percuma dia menjadi kekasihku," berkata pula Ji Hwa yang putih mulus,
orang ke dua, dan dengan mesra dia lalu merangkul Sian Lun dan mencium pipi pemuda itu penuh gairah
dan dengan sikap genit.
"Nih upah untuk kekasih yang gagah!" kata pula Ji Kim yang termuda, cantik jelita dan ia pun dengan sikap
genit mencium Sian Lun pada bibirnya.
Sian Li terbelalak, akan tetapi gadis yang cerdik ini sekarang tahu atau dapat menduga apa yang kiranya
telah terjadi. Suheng-nya telah jatuh ke tangan tiga orang wanita genit mesum ini. Suheng-nya yang
selama ini sebagai murid paman kakeknya seperti seekor serigala berbulu domba, kini meninggalkan kulit
domba dan nampaklah keasliannya! Ia pun memandang kepada Sian Lun dengan mata melotot.
"Jahanam busuk! Liem Sian Lun, kiranya kau hanyalah seorang murid murtad, seorang keparat berhati
busuk yang selama ini berpura-pura menjadi pendekar! Phuih, muak aku melihat mukamu!" Dan Sian Li
membuang muka, dia tidak sudi lagi memandang wajah suheng-nya yang merupakan pria pertama yang
hampir menjatuhkan hatinya.
"Sian Lun, sudah jangan pedulikan bocah ingusan ini!" kata Ji Kui sambil menggandeng tangan Sian Lun.
"Biarkan saja Pangeran Gulam Sing yang menjinakkannya."
Tiga orang wanita itu terkekeh genit dan mereka bertiga menggandeng Sian Lun, diajak meninggalkan
kamar. Ketika Sian Li melirik ke arah pintu, ternyata sekarang nampak beberapa orang bertubuh tinggi
hitam, orang-orang Nepal, berjaga di luar pintu kamar.
Sian Li berusaha sekuatnya untuk melepaskan ikatan pada pergelangan tangan dan kakinya, namun
hasilnya sia-sia belaka. Akhirnya, ia maklum bahwa usahanya itu hanya akan menghabiskan tenaga, maka
ia pun diam saja, bahkan mengatur pernapasan untuk mengumpulkan tenaga dan ia termenung.
Hal yang amat menyakitkan hatinya yaitu bila ia teringat kepada Sian Lun. Suheng-nya itu telah
menyeleweng! Kalau paman kakeknya mendengar, tentu dia dan isterinya akan marah sekali. Akan tetapi
bagaimana mereka akan dapat mendengar hal ini? Hanya ia seorang yang tahu dan dapat melaporkan,
dan untuk itu ia harus dapat membebaskan diri. Akan tetapi bagaimana?
Sian Li tak merasa gentar, tidak merasa putus asa. Sebagai seorang gadis yang cerdik, ia pun tahu bahwa
gerombolan itu tidak ingin membunuhnya. Kalau demikian halnya, tentu ia sudah sejak tadi dibunuh. Tidak,
mereka tidak akan membunuhnya, dan yang jelas, mereka akan membujuknya agar ia suka membantu
mereka, bekerja sama dan menjadi sekutu mereka. Seperti Sian Lun! Akan tetapi ia tidak sudi!
dunia-kangouw.blogspot.com
Hanya ada satu hal yang membuat hatinya terasa cemas dan ngeri juga, yaitu ucapan tiga orang wanita
Pek-lian-kauw tadi bahwa ia akan diserahkan pada Pangeran Gulam Sing untuk dijinakkan! Bergidik juga ia
kalau teringat pada pangeran Nepal itu. Memang seorang pria yang tinggi besar, brewok dan gagah,
nampak jantan. Akan tetapi matanya sungguh menyeramkan, seperti mata seekor harimau kelaparan
melihat domba!
Sian Li menghela napas panjang. Ia tidak perlu membayangkan hal-hal yang tidak-tidak. Membayangkan
hal-hal mengerikan yang belum datang hanya akan menimbulkan rasa cemas saja. Ia masih memiliki
kemampuan untuk membela diri, dan di sana masih ada Yo Han! Yo Han yang dibantu oleh Nyonya Gak
dan juga Gak Ciang Hun.
Mereka bertiga adalah orang-orang sakti, tidak mungkin kalau sampai tertawan musuh. Bukankah Bibi Gak
telah mengatur pelarian untuk mereka kalau bahaya mengancam? Pula, ia percaya sepenuhnya kepada
Yo Han! Dobhin Lama sendiri yang demikian sakti masih tidak mampu menandinginya!
Sungguh mengherankan sekali kenyataan itu. Yo Han, yang dahulu tidak pernah mau belajat silat, yang
membenci kekerasan, kini tiba-tiba saja muncul sebagai Sin-ciang Taihiap yang demikian saktinya.
Terdengar suara laki-laki di depan pintu sedang bicara dalam bahasa asing yang tidak dimengertinya, lalu
beberapa orang Nepal itu meninggalkan pintu kamar. Jantungnya berdebar tegang. Apakah pangeran itu
yang muncul?
Ketika orang itu berdiri di ambang pintu, ternyata bukan pangeran Nepal yang datang melainkan Cu Ki Bok,
pemuda peranakan Han Tibet, murid Lulung Lama. Pemuda yang tinggi tegap dan tampan itu berdiri di situ
memandang kepadanya. Sian Li yang sedang menghadap ke arah pintu juga memandang kepadanya
dengan sinar mata yang penuh kemarahan dan kebencian.
Pemuda itu tersenyum, melirik ke kanan kiri lalu melangkah memasuki kemar dengan ringan dan cepat.
Dia duduk di tepi pembaringan lalu berbisik.
"Nona, dengarkan baik-baik dan jangan membantah. Dengarlah, engkau telah tertawan dan aku akan
melepaskan ikatan tangan kakimu. Akan tetapi, engkau harus bersikap damai, tidak memberontak karena
percuma saja kalau engkau hendak melarikan diri. Di sini terjaga kuat dan kami berjumlah banyak. Engkau
tidak akan diganggu, dan aku bertugas mengawasimu. Nah, kalau engkau berjanji tidak akan memberontak
atau lari, aku akan melepaskan ikatanmu. Maukah engkau berjanji?"
Sian Li mengerutkan alisnya. Ia tahu akan benarnya ucapan pemuda itu, walau pun ia tidak dapat percaya
sepenuhnya karena menduga bahwa sikap dan ucapan ini tentu sebuah tipu muslihat. Ia harus berhati-hati.
Akan tetapi, tentu saja lebih baik kalau kaki tangannya tidak terikat. Setidaknya ia dapat leluasa dan dapat
membela diri lebih baik kalau terancam bahaya.
Melihat keraguan gadis itu, Cu Ki Bok melanjutkan bisikannya. "Nona tentu mencurigai aku. Akan tetapi
ingatlah, kalau Nona dalam keadaan terbelenggu, bagaimana engkau akan dapat membela diri kalau
Pangeran Gulam Sing datang dan mengganggu dirimu? Pula, dalam keadaan terbelenggu ini, bagaimana
mungkin engkau akan membebaskan diri? Berjanjilah bahwa engkau tidak akan memberontak atau
melarikan diri, maka aku akan melepaskan ikatan tangan kakimu dan engkau akan diperlakukan sebagai
seorang tamu terhormat."
Sian Li mengangguk. "Aku berjanji, akan tetapi janjiku ini bukan berarti bahwa aku tidak akan
membebaskan diri dan lari dari sini kalau ada kesempatan."
Cu Ki Bok memandang kagum. Gadis ini terlalu gagah untuk berbohong, maka berjanji pun dengan terus
terang karena tidak ingin melanggar janjinya sendiri. Bukan main!
"Tentu saja, Nona. Dan aku sendiri akan membantumu kalau kesempatan itu tiba. Untuk itu engkau harus
memperlihatkan sikap lunak supaya para pimpinan percaya bahwa kau tidak akan memberontak dan lari."
Pemuda itu lalu melepaskan ikatan tali sutera dari kaki dan tangan gadis itu.
Sian Li bangkit duduk, mengurut-urut pergelangan tangan dan kaki untuk melancarkan jalan darah sambil
mengamati wajah Cu Ki Bok dengan tajam dan penuh selidik. Karena merasa tidak enak bicara dengan
pemuda itu selagi dia duduk di atas pembaringan, gadis itu lalu berpindah duduk di atas kursi yang
terdapat di kamar itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Cu Ki Bok, apa artinya ini? Katakan saja terus terang, mengapa engkau menolongku? Dengan pamrih
apa? Kalau ini merupakan siasat busukmu, lebih baik aku mengamuk sekarang dan tewas di tangan
kalian!"
"Sabar dan tenanglah, Nona. Percayalah, kali ini aku tidak bersiasat. Apa perlunya aku bersiasat dan
membebaskanmu dari belenggu kalau tadi engkau sudah tidak berdaya?"
"Lalu, kenapa engkau membebaskan aku dari ikatan kaki tanganku?"
Tentu saja Cu Ki Bok tidak berani menyatakan secara terang bahwa sejak pertama kali berjumpa, dia
sudah jatuh hati pada gadis muda perkasa ini. Tak mungkin dia mengaku cinta begitu saja, karena selain
hal itu mentertawakan, juga sudah pasti gadis itu tidak akan percaya dan menganggap dia merayu atau
bersiasat.
"Ada dua hal yang memaksa aku tak bisa membiarkan engkau tertawan dalam keadaan tersiksa dalam
belenggu, Nona. Pertama, engkau seorang pendekar gagah perkasa, bukan penjahat, bahkan tenagamu
dibutuhkan oleh rakyat untuk membebaskannya dari belenggu penjajahan. Kalau pun menjadi tawanan,
engkau patut diperlakukan dengan hormat dan tidak dibelenggu seperti itu. Dan ke dua, terus terang saja
aku merasa muak dan tidak suka melihat cara engkau ditawan oleh Liem Sian Lun."
Bagaimana pun juga, hati Sian Li masih merasa curiga dan ia tetap waspada terhadap pemuda tampan
murid Lulung Ma itu.
"Apa yang terjadi dengan Liem Sian Lun? Mengapa dia bersikap seperti itu, berpihak kepada kalian dan
mengkhianatiku?"
Cu Ki Bok menghela napas panjang. "Ia bukan seorang jantan. Dia lemah dan bertekuk lutut terhadap
rayuan Pek-lian Sam-li yang bekerja sama dengan Pangeran Gulam Sing. Berjuang menentang penjajah
Mancu memang tugas seorang gagah dan boleh saja dia bergabung dengan kami untuk bersama-sama
menentang penjajah Mancu. Akan tetapi dia bukan orang gagah, dia menaluk karena terbujuk rayuan tiga
orang wanita itu."
"Hemmm, kau sendiri, orang baik-baikkah? Kenapa engkau menjadi antek para Lama dan juga bekerja
sama dengan Pek-lian-kauw dan orang Nepal?"
"Aku murid Suhu Lulung Lama, tentu saja aku membantu Suhu. Kami memang pejuang, akan tetapi bukan
penjahat. Kerja sama dengan Pek-lian-kauw dan orang Nepal hanya kerja sama di bidang menghadapi
musuh, bukan untuk urusan lain. Aku amat tidak suka cara-cara pengecut dan curang."
Sian Li mengamati wajah pemuda itu dengan tajam penuh selidik. Ada benarnya pula ucapan pemuda itu.
Jujurkah dia dalam usahanya menolongnya? Memang benar juga bahwa tidak ada gunanya
mempergunakan muslihat. Ia tadi sudah tidak berdaya. Andai kata ada muslihat di balik pertolongan
pemuda ini tentulah hanya untuk menyenangkan hatinya supaya dia mau bekerja sama, membantu mereka
dalam perjuangan melawan penjajah Mancu. Dan seperti juga Yo Han, ia tidak melihat sesuatu yang buruk
dalam urusan membantu menentag pemerintah Mancu.
"Hemm, kalau begitu, sekarang aku menjadi tawanan, dan tidak boleh keluar dari tempat ini? Apakah aku
boleh keluar dari kamar ini dan dengan bebas melihat-lihat keadaan di dalam sarang kalian ini?"
"Nona, akulah yang bertugas menjaga dan mengamatimu, dan aku sudah memberi tahu kepada semua
anggota Hek-I Lama agar engkau dibiarkan tinggal di sini dengan bebas, asalkan engkau tidak membikin
ribut, tidak pula berusaha melarikan diri. Akulah yang bertanggung jawab atas dirimu, maka kalau Nona
melarikan diri, berarti membikin susah padaku. Aku telah berusaha menghindarkan dirimu dari keadaan
yang tidak enak, maka kuharap engkau juga suka menjaga agar aku tidak sampai mendapat kesusahan
karena engkau lari."
Sian Li lantas mengangguk-angguk. "Baiklah, Cu Ki Bok. Akan tetapi aku ingin bertemu dengan Liem Sian
Lun, jahanam itu. Aku harus membuat perhitungan dengan dia!" Sian Li mengepal tinju, marah sekali kalau
teringat kepada suheng-nya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cu Ki Bok mengerutkan alisnya. "Nona Sian Li, jika kebetulan engkau bertemu dengan suheng-mu itu tentu
saja..."
"Dia bukan suheng-ku lagi! Mungkin aku akan membunuh jahanam itu kalau bertemu dengan dia!"
"Nah, itulah yang kurisaukan. Kalau Nona bertemu dan bicara dengan dia, hal itu masih tidak mengapa.
Akan tetapi kalau sampai Nona menyerangnya, padahal kini Sian Lun sudah menjadi sekutu kami, tentu
semua orang akan membantunya dan Nona akan dipersalahkan. Oleh karena itu, mengingat bahwa urusan
antara Nona dengan Sian Lun merupakan urusan pribadi, sebaiknya Nona bersabar hati dan menunggu
sampai kelak setelah kalian berada di luar lingkungan kami, barulah Nona bisa membuat perhitungan.
Jangan di sini, Nona.”
Sian Li mengangguk-angguk. Benar juga, pikirnya. Sian Lun kini telah menjadi sekutu mereka. Kalau dia
menyerang Sian Lun, tentu mereka akan membantunya, bahkan pemuda di depannya ini tentu saja
terpaksa harus berpihak kepada Sian Lun pula.
"Baiklah, aku tidak akan menyerangnya. Akan tetapi setidaknya ajaklah dia ke sini agar aku dapat bertanya
sendiri kepadanya. Dengan begitu, hatiku baru akan puas dan yakin bahwa dia benar-benar telah
menyeleweng."
"Akan kuusahakan, Nona."
Pemuda itu lalu mengajak Sian Li keluar dari kamarnya. Dan kini, dalam keadaan sadar dan tidak
terbelenggu, gadis itu mendapat kesempatan mengamati keadaan di sarang Hek-I Lama itu.
Tempat itu merupakan perkampungan besar dan di tengah-tengah terdapat bangunan induk yang
bentuknya seperti kuil. Bangunan induk itu besar sekali, sedangkan tempat di mana ia dikurung merupakan
bangunan di sebelah kiri bangunan induk.
Di dalam perkampungan itu terdapat banyak rumah-rumah yang bentuknya sama, dan itulah tempat tinggal
para anggota Hek-I Lama. Terdapat pula bangunan baru berupa pondok-pondok yang menjadi tempat
tinggal para anggota pasukan Nepal, juga tempat para tamu dari pengemis tongkat hitam.
Setelah keluar dari rumah tempat ia di tahan, nampaklah oleh Sian Li betapa melarikan diri dari situ
merupakan hal yang tidak mungkin. Banyak sekali anggota gerombolan itu berkeliaran, dan penjagaan juga
diadakan dengan amat ketatnya. Baru rumah di mana ia dikurung itu saja dijaga oleh sedikitnya dua puluh
orang! Tak mungkin ia dapat pergi tanpa diketahui dan sekali ketahuan, tentu ia akan dikeroyok puluhan,
bahkan ratusan orang.
Cu Ki Bok berkata benar. Alangkah bodohnya bila ia berusaha melarikan diri. Sebaiknya bersabar
menunggu kesempatan yang lebih baik. Selama tak diganggu, ia akan tinggal di situ, menanti kesempatan
melarikan diri, atau menunggu sampai munculnya Yo Han karena dia merasa yakin bahwa Yo Han pasti
tidak akan membiarkan saja dia menjadi tawanan gerombolan. Teringat akan Yo Han, Sian Li tersenyum.
Bekas suheng-nya itu hebat bukan main!
"Kenapa Nona tersenyum?" tanya Cu Ki Bok. Ketika gadis itu memandang kepadanya, pemuda itu pun
tersenyum. "Senang melihat Nona gembira," sambungnya.
"Tempat ini indah sekali, dan penjagaannya sangat kuat. Engkau benar sekali, Ki Bok. Aku harus
menunggu dengan sabar dan tidak akan mencoba kebodohan melarikan diri. Dan kalau engkau beritikad
baik, jangan sebut Nona kepadaku. Namaku Sian Li."
Wajah pemuda itu berseri. "Aku tahu bahwa engkau adalah gadis yang selain gagah perkasa dan cerdik,
juga berhati mulia, Nona... ehh, Sian Li. Sungguh aku akan merasa bahagia sekali kalau akhirnya akan
dapat menjauhkanmu dari bencana dan ancaman bahaya. Nah, sekarang engkau akan kutinggal. Akan
tetapi sekali lagi kuperingatkan, jangan mencoba untuk membuat keributan. Nona... eh, kau akan selalu
diawasi, Sian Li. Dan seperti yang kukatakan tadi, aku yang diserahi tugas menjagamu dan bertanggung
jawab."
Sian Li mengangguk tegas. "Baiklah, Ki Bok. Dan aku sudah berjanji, bukan? Aku tidak akan suka
melanggar janjiku sendiri."
dunia-kangouw.blogspot.com
Ki Bok tersenyum dan pergi meninggalkannya. Hemm, pemuda itu semakin tampan bila tersenyum, pikir
Sian Li. Sayang pemuda sebaik itu berada di tengah orang-orang Hek-I Lama, tempat yang sungguh tidak
sesuai dengan dirinya. Dan ia teringat betapa Ki Bok juga telah menguasai ilmu kepandaian silat yang
tangguh.
Sian Li berjalan-jalan, dan kemana pun ia pergi di dalam kampung para pendeta Lama itu, ia tahu bahwa
semua mata mengamatinya. Dia selalu dibayangi secara diam-diam.
Pada saat ia tiba di pintu gerbang, satu-satunya pintu gerbang di perkampungan itu, ia melihat betapa di
situ terdapat puluhan orang penjaga! Dan perkampungan itu dikelilingi pagar tembok yang tinggi, bahkan di
sudut-sudutnya terdapat menara di mana terdapat penjaga pula. Seperti benteng saja. Belum lagi
perondaan yang dia lihat dilakukan oleh pasukan kecil Hek-I Lama.
Sukarlah untuk dapat melarikan diri dari perkampungan itu, dan agaknya lebih sukar lagi untuk menyusup
masuk! Walau pun demikian, dia yakin bahwa Yo Han akan mampu menyerbu masuk dan menemukan
dirinya.
Benar seperti dikatakan Ki Bok, kemana pun ia pergi, sampai ke pintu gerbang pun, tidak ada orang yang
melarangnya, namun makin dekat dengan pintu gerbang, semakin banyak orang membayangi dan
mengamatinya. Agaknya semua anggota Hek-I Lama sudah mendapat perintah untuk mengamatinya, akan
tetapi tanpa mengganggunya.
Diam-diam dia bersyukur dan berterima kasih kepada Cu Ki Bok. Akan tetapi karena teringat betapa ia
ditipu Sian Lun, bahkan lalu dibelenggu oleh bekas suheng-nya itu, ia amat membenci Sian Lun. Ia
berusaha untuk menemui bekas suheng itu, sekarang ia tidak sudi lagi mengaku suheng kepadanya,
namun usahanya sia-sia saja.
Ia sampai pula di pemondokan para orang Nepal, dan cepat-cepat meninggalkan tempat itu lagi ketika
melihat betapa mata orang-orang Nepal itu memandang padanya seperti sekumpulan serigala memandang
seekor domba muda yang gemuk. Juga ia merasa jijik ketika melihat sekelompok anggota pengemis
tongkat hitam yang berpakaian butut dan dekil, kotor sekali dan jorok.
Dengan berindap-indap ia kini menghampiri bangunan yang berbentuk kuil. Baru tiba di pekarangan saja
sudah mendengar suara orang berdoa, diiringi ketukan kayu berirama. Dan ketika ia tiba di ambang pintu
gerbang masuk, nampak asap tebal mengepul tebal dari ruangan depan yang menjadi ruangan
sembahyang seperti pada kuil-kuil biasa.
Kiranya bangunan induk ini di bagian depannya memang merupakan kuil yang luas dengan ruangan
sembahyang yang mewah. Dan di tempat ini, penjagaan lebih ketat lagi walau pun penjaganya tidak
tampak berjaga, melainkan para pendeta yang bertugas di situ.
Ia dibiarkan masuk ke ruangan ke dua di belakang ruangan sembahyang dan ternyata ruangan ini lebih
luas lagi. Yang membuat ia terkejut adalah ketika ia melihat sebuah peti mati berada di tengah ruangan ini,
lengkap dengan meja sembahyang dan dikelilingi pendeta-pendeta Lama yang berdoa. Ada orang mati di
sini!
Dan setelah dia menjenguk ke dalam, barulah dia tahu mengapa tadi dalam perjalanan berkeliaran di
perkampungan itu, dia tidak bertemu dengan tokoh-tokoh persekutuan itu. Kiranya mereka semua
berkumpul di ruangan ini, agaknya melayat yang mati!
Dan semua orang itu agaknya tidak mempedulikan Sian Li yang berada di luar pintu. Dengan terangterangan
Sian Li memandang ke arah kelompok yang duduk di ruangan itu. Ia melihat mereka lengkap
semua! Lulung Lama, Cu Ki Bok, Hek-pang Sin-kai ketua perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam,
Pangeran Gulam Sing dengan dikawal oleh dua orang jagoannya yaitu Badhu dan Sagha. Ada pula Peklian
Sam-li bersama Liem Sian Lun yang duduk di tengah-tengah antara mereka.
Ia melihat lagi ke arah peti mati besar itu. Aih! Semua orang melayat dan Dobhin Lama tidak nampak di
antara mereka. Siapa lagi kalau bukan ketua para Lama Jubah Hitam itu yang berada di dalam peti mati?
Tentu kakek tua renta itu tewas setelah bertanding melawan Yo Han!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia melihat Sian Lun mengangkat muka memandang kepadanya, akan tetapi suheng-nya itu menunduk
kembali. Sian Li ingin menghampiri bekas suheng itu, memaki-makinya, atau menyeretnya dan
menyerangnya. Akan tetapi ia teringat akan janjinya kepada Ki Bok.
Pada saat itu, dia melihat Ki Bok juga memandang kepadanya. Bahkan pemuda itu lalu bangkit dan
dengan tenang menghampirinya, keluar dari pintu kemudian dengan suara lirih berkata,
"Harap jangan memasuki ruangan berkabung ini, Sian Li. Kecuali kalau engkau hendak melayat.”
“Dobhin Lama?" tanya Sian Li, juga berbisik sambil memandang ke arah peti mati.
Ki Bok mengangguk. "Supek sudah terlalu tua. Pertandingan dengan Sin-cang Taihiap telah menghabiskan
tenaganya. Ia meninggal akibat kehabisan tenaga dan napas, tidak terluka. Pendekar aneh itu terlalu lihai
baginya..."
Diam-diam Sian Li merasa bangga dan girang bukan main. Akan tetapi dia diam saja, bahkan lalu melirik
ke arah Sian Lun yang masih menunduk, dan berkata, "Aku masih ingin bicara dengan jahanam itu."
Ki Bok mengangguk. "Tentu akan kuusahakan, akan tetapi tidak sekarang. Nanti setelah selesai
pengurusan jenasah Supek. Engkau tidak hendak melayat dan duduk di dalam?"
Sian Li menggeleng kepala. Untuk apa ia masuk ke ruangan itu dan melihat Sian Lun di antara tiga wanita
cabul itu? Ia khawatir tidak akan dapat menahan hatinya untuk tidak menyerang bekas suheng-nya itu.
Pula, tidak perlu berkabung terhadap kematian Ketua Hek-I Lama yang menyebabkan Sian Lun tersesat
dan ia sendiri tertawan. Ia kemudian meninggalkan ruangan itu, keluar lagi.
Senja telah mendatang, dan lampu-lampu penerangan mulai dipasang di perkampungan itu. Sian Li
kembali ke kamarnya. Seorang pelayan wanita setengah tua menyerahkan pakaian pengganti kepadanya,
juga mempersiapkan air untuk mandi.
Sian Li merasa senang. Ternyata Ki Bok memegang janjinya. Dia diperlakukan seperti seorang tamu
terhormat, dilayani semua keperluannya walau pun diam-diam ia tidak pernah dilepaskan dari pengamatan
tajam. Kepada pelayan itu ia pun dapat memesan semua keperluannya, minta disediakan makan malam.
Bagaimana pun juga, Sian Li tetap berhati-hati, lebih dulu memeriksa semua makanan dan minuman
sebelum memakan dan meminumnya. Penerangan dalam kamarnya juga cukup terang dan suasana cukup
menyenangkan.
Malam itu sore-sore bulan sudah muncul. Udara cerah dan langit pun bersih, bulan tiga perempat
menyinarkan cahaya lembut. Sian Li tidak betah berada di kamarnya. Dia keluar dan berjalan-jalan di
taman bunga dalam perkampungan itu. Sebuah taman yang cukup luas dan terpelihara baik-baik.
Agaknya, para pendeta Lama ini bukanlah orang-orang kasar, melainkan suka pula akan kedamaian dan
keindahan.
Agaknya para tokoh masih berada di ruangan berkabung, dari mana terdengar doa-doa untuk si mati. Sian
Li melihat banyak pula penjaga di taman itu, bahkan ia bisa menduga bahwa begitu ia memasuki taman,
maka tempat itu telah dikepung para anggota Hek-I Lama yang bertugas mengamatinya. Ia kemudian
menduga-duga, apakah Ki Bok juga ikut mengamatinya, ataukah pemuda itu sudah begitu percaya
kepadanya sehingga ikut berkabung di ruangan itu.
Di dekat empang ikan emas terdapat bangku-bangku yang terlindung oleh atap. Sian Li duduk di situ
sambil termenung. Bulan menari-nari di air yang digerakkan perlahan oleh ikan-ikan yang berkejaran. Dia
teringat akan Yo Han dan kembali bibirnya tersenyum.
Senang sekali mengingat pemuda itu, orang yang paling disayangnya ketika dia masih kecil. Dan
sekarang, sesudah mereka kembali saling berjumpa dalam keadaan sudah sama dewasa, ia tidak tahu!
Yang jelas, penyelewengan Sian Lun hanya membuatnya marah, sama sekali tidak membuat ia bersedih.
Diam-diam ia malah merasa gembira sebab hal ini membuktikan bahwa meski pun tadinya ia sayang
kepada Sian Lun, kesayangan itu adalah keakraban antara kakak beradik seperguruan yang selalu ingin
akrab dalam pergaulan, dalam latihan bersama. Ia tidak pernah mencinta Sian Lun! Dan Yo Han? Dia tidak
tahu, yang jelas, ia merasa bangga, kagum dan juga senang sekali dapat bertemu kembali dengan Yo Han!
dunia-kangouw.blogspot.com
Yo Han takkan membiarkan ia terancam bahaya! Ia yakin bahwa pemuda itu pasti akan datang
menyelamatkannya. Ia teringat betapa sejak kecil, ketika ia baru berusia empat tahun, dan Yo Han juga
hanya seorang anak remaja yang lemah, Yo Han sudah berani membelanya mati-matian, bahkan
mempertaruhkan keselamatan dirinya sendiri dengan menukar dirinya menjadi tawanan iblis betina Ang-I
Moli. Kali ini pun Yo Han pasti akan menolongnya!
Kini ia mencoba mengenang kembali apa yang dapat diingatnya ketika ia masih kecil, ketika Yo Han masih
menjadi murid ayah ibunya. Samar-samar masih teringat olehnya betapa dahulu ia sering digendong oleh
Yo Han, diajak bermain-main, dihibur dan selalu disenangkan hatinya.
"Nona, alangkah cantiknya engkau...!"
Tentu saja Sian Li terkejut dan serentak sadar dari lamunan ketika tiba-tiba mendengar kata-kata pujian
yang lembut itu. Ia meloncat berdiri dan membalik karena suara itu tadi datang dari belakang dan ia
berhadapan dengan pria tinggi besar gagah perkasa itu. Pangeran Gulam Sing! Kalau saja ia tidak ingat
akan janjinya kepada Cu Ki Bok, tentu Sian Li sudah menerjang dan menyerang pangeran Nepal yang
dibencinya ini.
"Mau apa engkau? Pergi, aku tidak ingin bicara denganmu!" bentaknya, lalu dia duduk kembali,
membelakangi pangeran itu.
"Aduh, alangkah cantiknya! Marah-Marah semakin cantik jelita. Bukan main!" Kata-kata itu diucapkan
dalam bahasa Han yang patah-patah sehingga terdengar lucu, namun cukup membuat kedua pipi Sian Li
menjadi merah oleh perasaan malu dan marah.
"Manusia biadab! Jangan mencari perkara, atau aku akan kehilangan kesabaran dan akan membunuhmu!”
Sian Li membentak lagi.
Sekarang dia memutar duduknya, menghadapi pangeran itu dengan sinar mata berapi. Wajahnya tertimpa
sinar bulan dan nampak cantik bukan main.
Pangeran itu mengerutkan alis. Sebelum bangsa Han dijajah Mancu, memang Kerajaan Beng
menganggap orang asing adalah bangsa yang biadab. Maka tentu saja Pangeran Gulam Sing merasa
dihina sekali. Akan tetapi dia malah tertawa, suara tawanya bening dan aneh.
"Nona Tan Sian Li, aku seorang pangeran! Pandanglah wajahku baik-baik, aku seorang pangeran Nepal,
bukan bangsa biadab. Seluruh bangsa Nepal akan menghormati dan memuliakan aku kalau melihatku,
bahkan tidak mampu bergerak. Engkau juga, Nona! Pandang aku baik-baik, aku seorang pangeran dan
engkau harus tunduk kepadaku!"
Pangeran tinggi besar itu kini melangkah maju menghampiri Sian Li.
Gadis itu hendak meloncat bangun, akan tetapi aneh, ia tidak mampu menggerakkan tubuhnya! Terngiang
di dalam telinganya perintah pangeran itu bahwa ia harus tunduk dan tidak mampu bergerak. Ia mencoba
untuk mengerahkan tenaga sinkang-nya pada saat pangeran itu sudah memegang kedua tangannya dan
menariknya bangkit berdiri.
Di lain saat, ia sudah didekap dalam pelukan kedua lengan yang panjang dan besar itu, dan ia mencium
bau keharuman yang aneh keluar dari dada pangeran itu, di mana wajahnya didekap rapat.
"Pangeran, lepaskan nona itu!" tiba-tiba terdengar bentakan halus dan Pangeran Gulam Sing terkejut, lalu
menoleh. Kiranya Cu Ki Bok yang membentak itu.
"Nona Tan Sian Li, mundurlah engkau!"
Sungguh aneh, baru sekarang Sian Li dapat bergerak, seolah tenaga tak nampak yang tadi mempengaruhi
dirinya telah lenyap. Tahulah dia bahwa dia tadi di bawah pengaruh sihir pangeran Nepal itu, dan agaknya
Cu Ki Bok yang membebaskannya dari pengaruh sihir.
"Pangeran Iblis! Keparat busuk engkau!" Ia pun membentak dan sudah menerjang serta menyerang
Pangeran Gulam Sing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pengeran itu mengelak dengan loncatan ke belakang. Ketika Sian Li hendak menyerang lagi, Ki Bok telah
menghadang di depannya.
"Sian Li, ingat akan janjimu. Jangan membuat keributan di sini!"
Sian Li teringat dan ia pun menahan diri, mukanya merah dan matanya masih berkilat.
Sementara itu, Pangeran Gulam Sing tertawa, "Ha-ha-ha, saudara Cu Ki Bok, engkau malah membela Si
Bangau Merah ini? Sungguh aneh sekali!"
"Pangeran," kata Cu Ki Bok dan suaranya mengandung kemarahan. "Kalau Ketua Hek-I Lama mendengar
akan apa yang sudah kau lakukan ini, tentu beliau akan menjadi tidak senang."
"Hemm, Ketua Hek-I Lama sudah mati, bahkan petinya juga belum diangkat dari ruang berkabung!” kata
pangeran itu membantah.
"Pangeran! Engkau tentu tahu bahwa wakil ketua adalah guruku, Lulung Lama, dan setelah kini Supek
Dobhin Lama meninggal dunia, gurukulah yang menjadi ketua! Nona Tan Sian Li ini menjadi tamu yang
dihormati, dan Ketua Hek-I Lama yang menugaskan aku untuk menjaganya. Kuharap Pangeran tidak
membuat keributan di sini dan bersikap sebagai tamu serta sahabat yang baik."
"Aku protes!" Pangeran itu marah-marah. "Saudara Liem Sian Lun dan ketiga Pek-lian Sam-li sudah
berjanji akan menghadiahkan gadis ini kepadaku, dan sekarang mengapa engkau hendak
menghalangiku?! Beginikah sikap seorang sahabat?"
"Pangeran, lupakah Pangeran siapa itu Liem Sian Lun dan Pek-lian Sam-li? Mereka pun hanya tamu-tamu
dari Hek-I Lama seperti juga engkau. Sedangkan Nona Tan ini adalah seorang tawanan kami, dan yang
berhak memutuskan mengenai dirinya adalah ketua kami. Ketua kami menganggap Nona ini seorang
pendekar wanita gagah perkasa yang patut diajak bekerja sama berjuang menentang orang Mancu.
Bagaimana mungkin para tamu seperti Liem Sian Lun dan Pek-lian Sam-li tiba-tiba dapat menghadiahkan
Nona ini kepadamu? Mereka tidak berhak!"
"Orang muda, berani engkau bersikap seperti ini terhadap aku? Bagaimana kalau aku memaksa untuk
memiliki gadis ini?"
Sepasang mata pemuda itu berkilat. Dia meraba pinggangnya di mana terdapat sabuk bajanya yang kedua
ujungnya dipasangi pisau, senjatanya yang ampuh, dan dia berkata dengan tegas.
"Pangeran, aku adalah utusan Ketua Hek-I Lama dan aku melaksanakan tugas yang diperintahkan untuk
menjaga Nona ini. Kalau ada yang berani mengganggunya, berarti dia melanggar peraturan di sini dan aku
akan menghadapinya sebagai wakil ketua Hek-I Lama!"
"Bocah sombong...!"
Akan tetapi pada saat itu, entah dari mana datangnya, nampak beberapa orang pendeta Lama Jubah
Hitam bermunculan. Mereka hanya berdiri memandang, akan tetapi sikap mereka jelas siap untuk
membantu Cu Ki Bok.
Melihat ini, Pangeran Gulam Sing sadar bahwa dia berada di tempat orang sebagai tamu. Dia memandang
kepada Sian Li dan mengepal tinju. Daging lunak yang sudah berada di depan bibir, terpaksa harus dia
lepaskan! Dengan bersungut-sungut, memaki-maki dalam bahasanya sendiri, dia pun meninggalkan taman
itu.
Beberapa orang pendeta Lama itu pun seperti bayangan-bayangan saja, lenyap pula dari dalam taman.
Tahulah Sian Li bahwa andai kata Cu Ki Bok tidak berada di situ pun, para pendeta Lama itu tentu akan
melihat ulah Pangeran Gulam Sing dan mereka akan turun tangan membantunya dan melapor kepada Cu
Ki Bok.
Betapa pun juga, dia berterima kasih kepada pemuda ini dan dia bergidik kalau teringat betapa tadi ia
didekap oleh pangeran Nepal yang tinggi besar itu tanpa mampu berkutik! Sian Li mulai percaya pada Cu
Ki Bok, bahwa pemuda murid Lulung Lama ini memang benar-benar hendak melindunginya.
dunia-kangouw.blogspot.com
"Ki Bok, terima kasih atas pertolonganmu tadi. Apa yang telah terjadi denganku tadi? Kenapa aku tidak
mampu bergerak? Apakah jahanam itu mempergunakan sihir?"
"Benar, Sian Li. Maafkan, aku agak terlambat. Akan tetapi, seperti kau lihat tadi, selalu ada beberapa orang
anggota Hek-I Lama yang membayangimu sehingga engkau selalu aman. Para anggota tadi tidak mengira
bahwa pangeran itu akan menggunakan sihir."
"Kalau begitu, engkau pun ahli sihir, Ki Bok?" tanya Sian Li dan pemuda itu tersenyum, merasa girang
bukan main melihat sikap gadis itu terhadapnya kini berubah, tidak lagi angkuh dan ketus seperti
sebelumnya, kini nampak ramah bersahabat!
"Sian Li, engkau sudah tahu bahwa aku murid Suhu Lulung Lama, murid seorang tokoh pendeta Lama.
Karena itu, selain ilmu silat, aku pun mempelajari ilmu-ilmu keagamaan dan juga ilmu kebatinan sehingga
tidak aneh kalau aku pun mempelajari ilmu sihir."
"Hemm, kata orang tuaku dan juga paman kakek yang menjadi guruku, ilmu sihir dapat membuat orang
menjadi sesat. Kenapa engkau mempelajari ilmu seperti itu, Ki Bok?"
Pemuda itu tertawa. "Aihh, engkau ini yang aneh sekali, Sian Li. Engkau sendiri masih keturunan keluarga
Pendekar Pulau Es, bahkan juga pendekar Gurun Pasir! Padahal, menurut yang kudengar, dahulu
Pendekar Super Sakti Pulau Es adalah seorang sakti yang selain hebat ilmu silatnya, juga ahli dalam ilmu
sihir!"
Sian Li tersenyum. "Memang engkau benar, namun menurut orang tuaku, mempelajari ilmu sihir amatlah
berbahaya karena ilmu seperti itu condong untuk menyeret orangnya kepada kesesatan."
Pemuda itu kini duduk di bangku, berhadapan dengan Sian Li yang juga sudah duduk. "Segala macam ilmu
mengandung daya tarik yang dapat menyesatkan orang, Sian Li. Ilmu apa pun juga membuat orang
merasa lebih pandai dari pada orang lain, dan ada kecondongan mempergunakan ilmu yang dikuasainya
itu untuk berkuasa atau mencari pengaruh atas orang-orang lain. Ilmunya sendiri tidak baik, tidak pula pun
buruk. Baik buruknya tergantung dari dia yang mempergunakannya. Betapa baik pun sebuah ilmu, jika
dipergunakan untuk mencelakai orang lain, ilmu itu menjadi jahat. Sebaliknya, ilmu yang dianggap jahat,
kalau dipergunakan untuk menolong orang lain, akan menjadi ilmu yang baik. Bukankah begitu?"
Sian Li pernah mendengar ini, maka dia pun mengangguk. Kini pandangannya terhadap pemuda itu sama
sekali berubah. Ia tidak tahu benar bahwa semua agama di dunia ini mengajarkan orang agar hidup baik
serta bijaksana. Pelajaran agama yang dipelajari Ki Bok dari pendeta Lama tentu juga mengatakan yang
baik-baik. Kalau terjadi kejahatan dilakukan orang beragama, maka hal itu berarti bahwa orang itu telah
menyeleweng dari pada pelajaran agamanya sendiri.
Tidak ada agama di dunia ini yang mengajarkan orang untuk menjadi jahat. Justru yang disebut agama
adalah pelajaran tentang budi pekerti, mengajarkan orang untuk menjadi manusia yang baik dan berguna
bagi manusia lain.
Cu Ki Bok yang semenjak kecil menjadi murid pendeta Lama, tentu saja juga membaca kitab-kitab agama
yang pada hakekatnya tiada bedanya dengan kitab-kitab agama lain, yaitu menuntun manusia ke arah
jalan hidup yang benar.
"Sebenarnya, dari orang tuaku serta paman kakekku, aku pun sudah menerima latihan kekuatan batin yang
dimaksudkan menolak pengaruh sihir. Akan tetapi, tadi aku sama sekali tidak mengira bahwa pangeran
Nepal itu akan menggunakan ilmu sihir sehingga aku menjadi lengah. Ki Bok, apakah kau kira Sian Lun
juga terpengaruh sihir?" Tiba-tiba timbul dugaan ini dalam pikiran Sian Li.
Ki Bok menarik napas panjang. "Mungkin saja, tetapi yang jelas suheng-mu itu seorang pria yang lemah
dan mudah dirayu. Sungguh sayang sekali karena sesungguhnya dia memiliki ilmu kepandaian yang tinggi.
Kalau dia mau bekerja sama dengan kami untuk menentang penjajah Mancu, hal itu baik-baik saja. Akan
tetapi aku khawatir kalau dia sampai terseret oleh Pek-lian-kauw, melakukan hal-hal yang tidak patut."
Hening sejenak. Kemudian Sian Li mengangkat muka memandang pemuda itu. "Ki Bok, engkau kini
kuanggap sebagai seorang sahabat. Aku percaya kepadamu. Katakanlah, apa maksud gurumu dengan
menahanku di sini? Berterus terang sajalah supaya hatiku tidak menjadi ragu kepadamu."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Mudah sekali diduga, Sian Li. Engkau pasti tahu bahwa Hek-I Lama sedang menyusun kekuatan..."
"Hemm, untuk memberontak kepada pemerintah Dalai Lama di Tibet?"
"Benar, akan tetapi selain hal itu merupakan urusan dalam para pendeta Lama, juga satu di antara
penyebabnya karena pemerintah Tibet mengakui kekuasaan pemerintah Mancu. Nah, Hek-I Lama
dianggap memberontak karena tidak menyetujui hal itu. Oleh karenanya, Hek-I Lama yang kini dipimpin
oleh Suhu Lulung Lama menyusun kekuatan sambil mengharapkan bantuan dari orang-orang kuat, untuk
bersama-sama menentang penjajah Mancu, juga untuk menentang pemerintah Tibet yang mau menjadi
taklukan orang Mancu."
"Jadi aku ditahan untuk dibujuk agar mau bekerja sama dengan Hek-I Lama?"
"Begitulah. Suhu mengharapkan engkau akan suka membantu pula. Bukankah penjajah Mancu merupakan
penjajah yang menindas bangsa kita? Aku sendiri pun mempunyai darah Han, Sian Li. Aku akan merasa
gembira sekali kalau engkau suka bekerja sama dengan kami."
"Dan bagaimana kalau aku menolak kerja sama? Apakah aku akan dibunuhnya?”
Cu Ki bok mengerutkan alisnya dan menggeleng kepala keras-keras.
"Suhu tak akan memaksa orang untuk bekerja sama. Paksaan itu akhirnya hanya akan merugikan kami
sendiri, karena orang yang dipaksa bekerja sama akhirnya mudah saja menjadi pengkhianat. Tidak,
engkau tidak akan dipaksa. Andai kata pun ada yang akan memaksa atau mengganggumu, demi Tuhan,
aku akan membelamu dengan taruhan nyawaku, Sian Li!"
Pemuda itu bicara penuh semangat, membuat Sian Li terheran dan ia menatap wajah pemuda itu penuh
selidik. Namun, sinar bulan tidak cukup terang sehingga tidak melihat betapa wajah pemuda itu berubah
kemerahan.
"Akan tetapi... kenapakah, Ki Bok? Mengapa engkau hendak membelaku seperti itu? Mengapa engkau
begini baik kepadaku? Padahal, bukankah sejak pertama kali saling bertemu, kita berhadapan sebagai
musuh?"
Pemuda itu menggelengkan kepala. "Hanya salah paham, Sian Li, hanya karena saling memperebutkan
kebenaran masing-masing. Sudahlah, sebaiknya engkau kembali saja ke dalam kamarmu untuk
beristirahat. Besok, sesudah jenazah Supek diperabukan, bila mungkin Suhu akan bicara denganmu
tentang ajakan bekerja sama itu."
"Apa yang harus kujawab?"
"Sudah kukatakan, kalau engkau suka bekerja sama, aku akan merasa bahagia sekali, Sian Li."
"Kalau aku menolak?"
Pemuda itu menghela napas panjang. "Aku akan merasa kecewa sekali. Akan tetapi tentu saja terserah
kepadamu, dan aku yang akan membantumu agar dapat pergi dari sini dalam keadaan bebas dan aman."
Tentu saja hati Sian Li menjadi girang bukan main. "Sungguh mati, amat sukar menilai keadaan hati atau
watak asli seseorang," dia berkata. "Tadinya kukira engkau seorang yang luar biasa jahat, Ki Bok, tidak
tahunya engkau adalah seorang yang berhati mulia. Sebaliknya, suheng-ku yang dulu kunilai sebaikbaiknya
orang, ternyata malah seorang manusia yang budinya rendah!"
Pemuda itu tersenyum. "Karena itu, jangan tergesa-gesa menilai seseorang, Sian Li. Yang hari ini kau nilai
baik, mungkin besok akan kau cela, sebaliknya yang kemarin kau cela, hari ini akan kau puji. Mungkin
kalau hari ini aku kau nilai baik, besok lusa akan kau nilai jahat lagi, siapa tahu?"
Sian Li tertawa. "Aku sudah mengerti, Ki Bok. Penilaian seseorang tergantung dari pada kepentingan si
penilai, kalau dia diuntungkan, tentu menilai baik, kalau dirugikan, akan menilai buruk. Akan tetapi, juga
tergantung kepada orang yang dinilai. Setiap perbuatan baik tentu mendatangkan kekaguman, sebaliknya
perbuatan buruk akan mendatangkan celaan. Bukankah demikan?"
dunia-kangouw.blogspot.com
"Engkau memang cerdik, Sian Li. Nah kau bersabar dan tenanglah saja, dan harap kau menjaga diri
supaya jangan sampai terpancing keributan sebelum Suhu Lulung Lama bicara denganmu. Selamat malam
dan selamat tidur."
Sian Li yang sudah bangkit, tersenyum. "Selamat bermimpi, Ki Bok."
Mereka berpisah dan Sian Li sama sekali tidak mengira bahwa ucapannya tadi sungguh terjadi. Ia
mengatakan selamat bermimpi hanya untuk berkelakar, tidak tahunya malam itu Ki Bok telah benar-benar
bermimpi semalam suntuk, mimpi bertemu dengannya dan berkasih sayang dengannya…..
********************
Gak Ciang Hun, ibunya, dan Yo Han langsung bekerja dengan cepat. Yo Han segera menghubungi para
tokoh di perbatasan yang pernah disadarkannya, sedangkan Nyonya Gak dan puteranya juga pergi
menghadap para pendeta Lama dan pasukan pemerintah yang berada di benteng daerah perbatasan tak
jauh dari tempat itu.
Panglima yang menjadi komandan pasukan Tibet itu menerima laporan Gak Ciang Hun dan ibunya. Dia
segera berunding dengan para pendeta Lama. Tentu saja mereka telah mendengar akan adanya gerakan
Hek-I Lama, akan tetapi karena gerombolan itu tidak melakukan kekacauan, pasukan pemerintah pun
tadinya mendiamkan saja. Bagaimana pun juga para pimpinan Hek-I Lama dahulunya adalah tokoh-tokoh
pendeta Lama yang terkenal.
Akan tetapi, ketika mendengar laporan Gak Ciang Hun dan ibunya bahwa gerombolan pendeta Lama jubah
hitam itu kini bersekutu dengan orang-orang Nepal yang menjadi pelarian dari negara mereka, juga
bersekutu dengan kaum pengemis sesat dan orang-orang Pek-lian-kauw, komandan itu merasa khawatir
dan dia pun cepat mengerahkan pasukan, siap untuk melakukan penyerbuan terhadap gerombolan yang
kini merupakan persekutuan besar dan hendak melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Tibet itu.
Sementara itu, para tokoh sesat yang kini sudah sadar akibat kebijaksanaan Sin-ciang Taihiap, ketika
pendekar aneh itu minta bantuan mereka, tentu saja mereka menjadi gembira dan mereka seakan
berlomba untuk membuktikan bahwa kini mereka bukanlah penjahat-penjahat lagi, tetapi orang-orang
gagah yang siap mengganyang pemberontak dan penjahat yang mengganggu ketenteraman.
Setelah menerima kesanggupan para tokoh kang-ouw itu, Yo Han yang ketika menemui mereka
mengenakan capingnya yang menyembunyikan mukanya dan mengurai rambut, cepat kembali ke bukit
yang dijadikan sarang Hek-I Lama. Dia pun lalu menanggalkan penyamarannya dan ketika muncul di
depan pintu gerbang yang seperti benteng itu, dia sudah menjadi seorang pemuda biasa, bukan lagi
sebagai pendekar Sin-ciang Taihiap yang selalu menyembunyikan mukanya itu.
Yo Han maklum bahwa dia tidak perlu menyamar kalau ingin memasuki perkampungan yang dijadikan
sarang gerombolan itu dengan aman. Pemuda murid Lulung Lama itu pernah melihat dia bersama Sian Li,
pernah pula bicara dengan dia. Oleh karena itu, ketika para penjaga pintu gerbang menghadang dan
membentaknya, dia pun berkata dengan suara tenang.
"Aku bernama Yo Han, dan aku ingin bertemu dengan saudara Cu Ki Bok. Aku sudah mengenalnya."
Yo Han dipersilakan menunggu. Dua orang penjaga lalu berlari masuk untuk memberi kabar kepada Cu Ki
Bok. Selama dua hari ini, sejak jenazah Dobhin Lama diperabukan, ketua baru mereka, Lulung Lama,
memerintahkan supaya penjagaan diperketat dan semua anggota Hek-I Lama diharuskan bersiap siaga.
Lulung Lama maklum bahwa Sin-ciang Taihiap tentu tidak akan tinggal diam dan akan datang menyerbu
untuk membebaskan Tah Sian Li. Dan oleh karena ingin memancing munculnya Sin-ciang Taihiap inilah
maka dia pun memerintahkan supaya gadis itu tetap menjadi tawanan, walau pun diperlakukan dengan
baik.
Dia sudah membujuk agar gadis itu suka membantu perjuangannya, dengan harapan kalau gadis itu mau
bekerja sama seperti halnya Sian Lun, mungkin Sin-ciang Taihiap akan mau pula membantunya. Dan
mengingat bahwa gadis itu dan suheng-nya adalah murid keluarga Pulau Es, maka kalau mereka bekerja
sama dengan perkumpulannya, tentu lebih mudah menarik tokoh-tokoh kang-ouw untuk bekerja sama
pula.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika dua orang penjaga itu melapor bahwa ada orang bernama Yo Han mencarinya, Cu Ki Bok yang
sudah lupa lagi akan nama itu, lalu menduga-duga siapa orang yang mencarinya di tempat itu. Apa lagi
nama orang itu menunjukkan bahwa dia tentu orang Han.
Dia sedang bingung memikirkan Sian Li. Gurunya tidak berhasil membujuk gadis itu untuk bekerja sama.
Sian Li selalu menolak, dengan halus mau pun kasar. Akan tetapi gurunya tetap belum mau membebaskan
Sian Li. Menurut gurunya, gadis itu sengaja ditahan untuk memancing datangnya Sin-ciang Taihiap.
Agaknya Lulung Lama masih penasaran dan belum puas kalau belum mendapatkan bantuan pendekar
aneh itu.
Sian Li juga bertahan, tidak mau bekerja sama. Ia selalu mencari kesempatan untuk dapat meloloskan diri,
dan harapan satu-satunya hanya pada Cu Ki Bok yang selama ini bersikap baik dan tidak mencurigakan.
Kemarin, ketika ia kebetulan bertemu dengan Sian Lun di taman bunga, ia tidak mampu mengendalikan
kemarahannya.
"Keparat busuk, penghianat jahanam!” bentaknya. “Orang macam engkau layak untuk mampus!"
Dan Sian Li langsung saja menyerang bekas suheng-nya itu dengan penuh kebencian. Saking dahsyatnya
serangan gadis itu, biar pun Sian Lun sudah menangkis, tetap saja dia terhuyung ke belakang.
"Sumoi, nanti dulu...!" teriaknya.
"Siapa sumoi-mu? Aku tidak sudi menjadi sumoi seorang pengkhianat jahanam!"
Dan Sian Li sudah menyerang lagi, mengerahkan seluruh tenaganya dan kembali Sian Lun terhuyung ke
belakang.
"Sumoi...!"
Sian Li tidak memberi kesempatan kepada bekas suheng-nya untuk banyak cakap lagi karena ia sudah
menerjang lagi, dengan serangan-serangan yang dimaksudkan untuk membunuh! Sian Li bukan hanya
membenci Sian Lun karena sudah mengkhianatinya, membantu pihak musuh untuk mencurangi dan
menangkapnya, akan tetapi juga karena ia mendengar dan melihat sendiri betapa bekas suheng itu telah
bermain gila dengan tiga orang wanita cabul dari Pek-lian-kauw!
Ketika Sian Lun terhuyung dan Sian Li terus mendesaknya, dan berhasil menendang paha Sian Lun
sehingga pemuda itu terpelanting, tiba-tiba muncul Pek-lian Sam-li yang segera turun tangan membantu
Sian Lun dan mengeroyok Sian Li!
Melihat munculnya ketiga orang wanita yang memang dibencinya ini, Sian Li menjadi semakin marah dan
ia pun mengamuk. Akan tetapi, tiga orang wanita itu juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat, apa lagi
mereka maju bertiga sehingga begitu mereka membalas dan mendesak, Sian Li mulai terdesak mundur.
"Tahan! Jangan berkelahi!" Tiba-tiba muncul Cu Ki Bok melerai. "Sam-li, ajak Sian Lun manyingkir,"
katanya.
Tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu tidak berani membantah. Mereka tahu bahwa Ki Bok adalah seorang
pemuda yang berdisiplin. Setelah kini Lulung Lama menjadi Ketua Hek-I Lama, maka pemuda itu berarti
menjadi wakilnya. Mereka bertiga lalu menggandeng tangan Sian Lun dan diajak pergi dari situ. Sementara
itu, Ki Bok menghampiri Sian Li dan menghiburnya.
"Sian Li, apa gunanya membuat ribut dengan bekas suheng-mu itu? Bila engkau sudah tidak menyukainya
dan tidak mau berhubungan dengannya, lebih baik kau diamkan saja dia. Membikin ribut di sini sungguh
tak menguntungkan dirimu, dan pula, jangan-jangan orang akan menganggap engkau..."
"Menganggap aku kenapa?" Sian Li mendesak, muka gadis itu masih kemerahan akibat marah.
"Maaf, mungkin saja orang akan menganggap engkau cemburu melihat keakrabannya dengan Pek-lian
Sam-li..."
dunia-kangouw.blogspot.com
"Gila! Akan kuhancurkan mulut orang yang menganggap aku cemburu! Siapa pula yang cemburu? Biar pun
dia menggandeng seratus orang perempuan, apa peduliku? Biar dia mampus! Yang membuat aku marah
adalah karena dia adalah murid paman kakekku. Kalau guru-gurunya mengetahui akan kelakuannya, tentu
dia pun akan mereka hukum berat!”
“Sudahlah, kelak dapat saja engkau membuat laporan kepada guru-gurumu, atau boleh saja engkau
menghukum dia, akan tetapi kalau kalian sudah tidak berada di sini. Kalau engkau membuat ribut di sini,
tentu aku akan ikut repot menanggung akibatnya."
Demikianlah, sampai hari itu, Lulung Lama masih belum memberi keputusan mengenai diri Sian Li. Dan Ki
Bok sedang menimbang-nimbang dan mencari jalan terbaik untuk membebaskan gadis itu. Dia jatuh cinta
kepada Sian Li, akan tetapi kalau gadis itu tidak mau bekerja sama dengan Hek-I Lama, terpaksa mereka
harus berpisah dan dia harus mencarikan jalan terbaik agar gadis itu dapat keluar dari perkampungan yang
menjadi pusat Hek-I Lama itu secara aman.
Pada waktu dua orang penjaga melapor tentang munculnya seorang bernama Yo Han mencarinya, Ki Bok
segera menuju ke pintu gerbang. Begitu melihat Yo Han, teringatlah dia akan pemuda yang dia temui
bersama Sian Li tempo hari. Pemuda yang menjadi perantara menyampaikan tantangan mendiang Dobhin
Lama kepada Sin-ciang Taihiap.
Alisnya berkerut karena pertemuan ini sungguh mengejutkan hatinya. Akan tetapi ia pun diam-diam merasa
gembira dan menaruh harapan untuk dapat mengadakan hubungan dengan Sin-ciang Taihiap melalui
‘perantara’ ini.
"Ahh, kiranya saudara Yo Han yang datang berkunjung! Selamat datang, dan benarkah bahwa engkau
hendak bicara dengan aku?" tanya Ki Bok.
Yo Han memberi hormat. "Benar sekali, dan saya datang untuk bicara tentang nona Tan Sian Li."
"Silakan masuk, saudara Yo Han. Kita bicara di dalam," ajak Ki Bok, mempersilakan tamunya untuk
memasuki pondok penjagaan di dekat pintu gerbang.
Dengan lagak seorang yang jujur dan tidak curiga, Yo Han melangkah masuk mengikuti pemuda tinggi
tegap yang tampan gagah itu, dan mereka lalu duduk berhadapan di atas bangku, di dalam pondok atau
gardu penjagaan.
Ki Bok sudah memberi isyarat kepada para petugas jaga untuk menjauhi gardu supaya mereka berdua
dapat berbicara dengan leluasa tanpa terdengar orang lain. Karena pemuda itu merupakan seorang tokoh
penting dalam perkumpulan Lama Jubah Hitam, maka para petugas menghormatinya dan mentaati
perintahnya.
"Saudara Yo Han, selamat datang. Aku girang sekali menerima kunjunganmu ini. Angin baik apakah yang
membawamu ke sini?”
Diam-diam Yo Han mendongkol, akan tetapi juga waspada sekali. Pemuda di depannya ini sudah dia kenal
ilmunya, dan ternyata selain lihai, juga cerdik dan licin bagaikan ular, pandai pula bersikap manis budi
seperti ini.
Yo Han mengerutkan alis. "Aku datang karena diutus oleh Sin-ciang Taihiap…," katanya sengaja berhenti,
untuk melihat tanggapan orang itu.
Wajah Ki Bok tampak berseri mendengar disebutnya pendekar itu. Agaknya harapannya akan semakin
besar dan kesempatan semakin terbuka untuk dapat mengajak pendekar sakti itu bekerja sama. “Aihh,
sungguh merupakan kehormatan sekali dan terima kasih atas perhatian Sin-ciang Taihiap yang kami
kagumi.”
“Sudahlah, tidak perlu bersandiwara lagi,” kata Yo Han. “Taihiap marah sekali karena kecurangan kalian.
Tak pernah kami duga bahwa Hek-I Lama, perkumpulan besar yang terhormat itu dapat melanggar janji
dan melakukan kelicikan dan kecurangan. Bukankah janjinya sebelum bertanding, kalau ketua kalian kalah
oleh Taihiap, maka Sian Lun akan dibebaskan dan mutiara hitam akan dikembalikan? Mutiara itu memang
telah diberikan kepada Taihiap, akan tetapi kenapa Sian Lun tidak dibebaskan, sebaliknya adikku Sian Li
malah ditangkap pula? Pantaskah hal securang itu dilakukan oleh orang-orang Hek-I Lama yang gagah?
dunia-kangouw.blogspot.com
Sepatutnya hanya dilakukan orang-orang pengecut, bukan anggota perkumpulan pejuang yang
menganggap dirinya pahlawan.”
Ki Bok tidak marah mendengar umpat caci ini. Hal ini saja sudah membuktikan bahwa dia memang cerdik
dan mampu mengendalikan perasaan hatinya. Dia malah tersenyum ramah.
“Harap tenang dan bersabar, saudara Yo Han, atau lebih baik kusebut Yo-toako (Kakak Yo) saja karena
tadi engkau mengatakan bahwa engkau adalah kakak Nona Sian Li. Benarkah itu?”
Yo Han mengangguk. “Aku adalah kakak misan Tan Sian Li,” jawabnya.
Dia tidak berterus terang, akan tetapi juga tidak terlalu membohong, karena bukankah dia juga termasuk
kakak dari gadis itu, walau pun bukan kakak misan melainkan kakak seperguruan? Dia juga merasa seperti
anak sendiri dari orang tua gadis itu, maka sudah sepatutnya kalau dia mengakui gadis itu sebagai
adiknya.
“Bagus, kalau begitu aku pun dapat bicara terus terang. Sesungguhnya, Sian Lun telah setuju untuk
membantu perjuangan kami melawan orang-orang Mancu. Oleh karena itu, dia sengaja menawan sumoinya
agar suka pula bekerja sama dengan kami. Sekarang, Nona Sian Li menjadi tamu kami, bukan
tawanan dan diperlakukan dengan baik dan terhormat. Kami menunggu sampai Nona Sian Li juga
menyetujui sikap suheng-nya, dan mau pula bekerja sama dengan kami. Bahkan kami mengharapkan agar
engkau suka menyampaikan himbauan kami kepada Sin-ciang Taihiap untuk bergabung dengan kami,
bersama-sama menentang penjajah Mancu.”
“Hemm, aku tidak tahu apakah Taihiap suka menerima ajakan itu atau tidak. Yang jelas, dia marah sekali
karena janji yang merupakan taruhan pertandingan itu dilanggar. Pula, bagaimana aku dapat percaya
bahwa adikku Sian Li diperlakukan dengan baik di sini sebelum aku bertemu dengannya dan melihatnya
sendiri?”
“Engkau ingin bertemu dengan adikmu itu, Yo-toako? Baik, baiklah, tentu saja engkau boleh dan dapat
bertemu dengannya. Akan tetapi tentu saja kita harus terlebih dahulu menghadap Suhu dan minta
persetujuannya.”
“Menghadap ketua kalian Dobhin Lama?”
“Tidak, menghadap Suhu Lulung Lama,” jawab Ki Bok singkat.
Yo Han merasa heran, akan tetapi diam saja tanpa bertanya lagi. Dia mengikuti Cu Ki Bok yang
mengajaknya memasuki perkampungan itu. Di rumah induk, dia dibawa Cu Ki Bok ke ruangan depan
rumah besar itu, dan di situ Yo Han tidak saja melihat Lulung Lama, akan tetapi juga para tokoh lain. Di
tengah ruangan depan itu tergeletak sebuah peti mati.
Diam-diam Yo Han terkejut. Kini mengertilah dia mengapa dia diajak menghadap Lulung Lama, bukan
Dobhin Lama. Kiranya ketua perkumpulan Hek-I Lama itu telah meninggal dunia! Padahal, kemarin masih
bertanding dengan dia.
Jika begitu, agaknya kakek yang sudah tua renta itu terlalu memaksa diri mengerahkan tenaga pada waktu
bertanding sehingga tubuh yang sudah tua itu kehabisan tenaga dan tewas. Mungkin ketika dia duduk
bersila sesudah selesai bertanding kemarin, dan diam saja melihat kecurangan anak buahnya yang
mengeroyok, kakek itu sudah tewas.
Kalau benar demikian, bukan Dobhin Lama yang curang, melainkan Lulung Lama dan anak buahnya. Juga
penangkapan atas diri Sian Li tentu telah diatur oleh Lulung Lama. Buktinya, sesudah Dobhin Lama
merasa kalah, kakek tua itu mengembalikan mutiara hitam dan menyuruh Lulung Lama membebaskan
Sian Lun.
“Siapa yang meninggal dunia itu?” tanya Yo Han, pura-pura terkejut dan tidak tahu.
“Dia adalah ketua kami...“
“Dobhin Lama yang bertanding melawan Sin-ciang Taihiap?” Yo Han bertanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Cu Ki Bok menganggukkan kepala. Kesempatan ini digunakan oleh Yo Han untuk cepat menghampiri peti
mati dan berlutut di depan peti mati sambil mengeluarkan kata-kata yang bernada sedih penuh penyesalan.
“Losuhu, maafkan saya. Sungguh saya menyesal sekali bahwa Losuhu tewas karena pertandingan
melawan Sin-ciang Taihiap. Bagaimana pun, saya turut merasa menyesal karena saya yang menjadi
perantara. Akan tetapi, Taihiap tak sengaja melukai Losuhu, Taihiap tidak pernah mau membunuh
lawannya. Sayangnya, setelah Losuhu tidak ada, para anak buah Losuhu berbuat curang, tidak menepati
janji. Bukan saja Sian Lun tidak dibebaskan, bahkan adikku Sian Li ditawan. Losuhu, saya menyesal sekali.
Andai kata Losuhu tidak meninggal, tentu adik saya tidak ditawan...“
Sementara itu, Ki Bok telah mendekati Lulung Lama dan menerangkan siapa adanya pemuda yang berlutut
di depan peti mati itu. Setelah mendengar keterangan muridnya, Lulung Lama bangkit dan menghampiri Yo
Han.
“Saudara Yo, bangkitlah. Mati hidup berada di tangan Tuhan dan tidak ada yang perlu disesalkan. Juga
kami tidak melanggar janji. Ketahuilah bahwa Liem Sian Lun dengan suka rela berada di sini, bukan kami
tawan. Dia memang telah sadar dan ingin berjuang bersama kami menentang penjajah Mancu. Dialah
yang menghendaki agar sumoi-nya ikut pula membantu perjuangan kami yang suci. Maka, tidak salah
kiranya kalau engkau suka membujuk Sin-ciang Taihiap agar suka bekerja sama pula dengan kami.”
Yo Han bangkit dan memberi hormat kepada Lulung Lama, lalu berkata dengan suara mengandung
penasaran. “Saya datang sebagai utusan Taihiap yang menuntut supaya Liem Sian Lun dan adikku Tan
Sian Li dibebaskan dari sini, sesuai perjanjian.”
“Omitohud, sudah pinceng katakan bahwa kami tidak menawan Liem Sian Lun dan...”
“Bagaimana saya dapat percaya kalau tidak bertemu sendiri dengan adik saya?”
Lulung Lama yang telah mendengar penjelasan muridnya, tersenyum dan mengangguk. “Baiklah, saudara
Yo Han. Engkau boleh bertemu dengan adikmu itu. Ki Bok, antarkan dia bertemu dengan Nona Tan Sian
Li.”
Cu Ki Bok mengajak Yo Han meninggalkan ruangan itu. Yo Han girang bahwa mereka itu agaknya sama
sekali tidak pernah menyangka bahwa dialah sebenarnya Sin-ciang Taihiap. Kini Ki Bok mengajaknya ke
bagian belakang perkampungan yang luas itu dan akhirnya dia melihat Sian Li yang duduk seorang diri di
ruangan depan sebuah pondok.
Ketika tadi diajak pergi ke tempat itu, diam-diam Yo Han memperhatikan dan dia tahu bahwa di tempat itu
terdapat amat banyak orang yang diam-diam melakukan penjagaan sehingga untuk mengajak Sian Li dan
Sian Lun melarikan diri dari tempat itu bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah. Dia juga tadi melihat
bahwa di ruang perkabungan terdapat banyak sekali orang yang tentu mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Dia melihat pula orang-orang Nepal yang bertubuh tinggi besar, juga orang-orang Han yang melihat
pakaian mereka mudah diduga bahwa mereka adalah orang-orang Pek-lian-kauw.
Ketika Sian Li yang sedang termenung memikirkan sikap Sian Lun yang aneh, berubah sama sekali dan
menjadi seperti boneka yang memuakkan di bawah pengaruh Pek-lian Sam-li, melihat ada orang datang
menghampirinya, ia mengangkat muka.
Ia girang melihat Cu Ki Bok yang amat baik kepadanya itu. Akan tetapi ketika ia melihat orang ke dua, ia
terbelalak saking kagetnya. Sama sekali tidak disangkanya bahwa Yo Han akan muncul begitu saja, secara
terang-terangan, di tempat itu. Karena ia tidak tahu bagaimana maksud Yo Han dengan kemunculannya,
maka ia pun tidak berani lancang membuka suara dan hanya memandang dengan mata terbelalak.
“Li-moi, syukurlah engkau dalam keadaan selamat dan sehat!” Yo Han berteriak sambil menghampiri dan
memegang kedua tangan gadis itu.
Melihat sikap Yo Han yang wajar saja, Sian Li merasa lega. Apa lagi ia pun percaya bahwa Cu Ki Bok
adalah seorang pemuda yang baik dan yang ingin menolongnya.
“Han-ko, bagaimana engkau bisa datang ke sini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku sedang menjadi utusan Sin-ciang Taihiap untuk menyampaikan tuntutan kepada Hek-I Lama supaya
engkau dan suheng-mu itu dibebaskan, Li-moi. Mereka mengatakan bahwa engkau beserta Sian Lun mau
bekerja sama dengan mereka dan tidak ditahan, maka aku minta agar dapat melihat dengan mata sendiri
dan dapat bicara denganmu.”
“Selama ini aku memang diperlakukan dengan baik di sini, Koko, sebagai tamu. Ada pun Suheng...” ia
ragu-ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
Yo Han memotong dan berkata kepada Cu Ki Bok, suaranya mengandung penasaran. “Aku menuntut agar
adikku dibebaskan sekarang juga. Kalau tidak, aku tidak akan pergi dari sini, aku harus menemani adik
misanku ini!”
Ki Bok tersenyum. “Yo-toako, engkau melihat sendiri bahwa Nona Tan Sian Li dalam keadaan sehat dan
selamat. Sebaiknya kalian bicara berdua di sini, untuk membuktikan bahwa kalian di sini diberi kebebasan
dan bukan menjadi tahanan.” Setelah berkata demikian, Ki Bok meninggalkan mereka berdua di ruangan
depan pondok itu.
Setelah Ki Bok pergi, segera Sian Li berkata, “Han-ko, duduklah. Kau tahu, Cu Ki Bok itu ternyata baik
sekali. Dia bersungguh-sungguh hendak menolongku.”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru