Rabu, 27 September 2017

Pendekar Bongkok 2 Kho Ping Hoo

Pendekar Bongkok 2 Kho Ping Hoo Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Pendekar Bongkok 2 Kho Ping Hoo
kumpulan cerita silat cersil online
-
Sementara itu Sie Liong yang sama sekali belum mengenal dasar ilmu silat tinggi, hanya nonton dengan
hati ingin tahu. Akan tetapi tentu saja dia tidak begitu mengerti, karena ketika tadi terjadi perkelahian
tingkat tinggi antara para pendeta Lama dan Sam Lojin dia pun tidak mampu mengikutinya dengan baik.
Dia hanya merasa heran kenapa hatinya tertarik kepada si gembel yang berotak miring ini. Akan tetapi dia
pun kagum dan tunduk kepada kakek berpakaian kuning yang amat berwibawa itu. Dia merasa heran,
mengapa kakek itu mau saja melayani gembel tua yang disebut sute-nya.
“Suheng, coba kau sambut jurus tongkatku ini!” Tiba-tiba Koay Tojin berseru, kemudian tongkatnya
bergerak.
Anehnya, gerakan itu lambat saja, bahkan seperti main-main. Akan tetapi ujung tongkat itu mengeluarkan
angin menderu-deru dan ujungnya menusuk secara beruntun ke arah tulang-tulang iga Pek-sim Siansu,
sedangkan tangan kirinya dipentang dengan jari-jari tangan terbuka, siap menyambut ke mana pun lawan
akan mengelak!
Semua gerakan ini dilakukan lambat sehingga Sie Liong saja dapat mengikuti dengan pandang matanya.
“Bagus sekali!” seru Pek-sim Siansu memuji, bukan sekedar untuk menyenangkan hati sute-nya,
melainkan memuji karena kagum.
Dia melihat betapa dahsyatnya serangan sute-nya itu yang memang amat sukar untuk dilawan, sukar
dielakkan mau pun ditangkis. Dia maklum bahwa kalau ditangkis, maka tenaga tangkisan itu justru akan
memperkuat getaran tongkat sute-nya untuk melakukan tusukan berikutnya karena serangan itu
merupakan serangkaian tusukan ke arah tulang iga.
Dia lalu mengangkat tongkatnya, menggerakkan tongkat bututnya dengan lambat pula, dan menyambut
tongkat sute-nya. Dua batang tongkat butut lalu bertemu. Akan tetapi Pek-sim Siansu tidak menangkis,
melainkan menggunakan sinkang sehingga membuat tongkatnya menempel pada tongkat sute-nya dan
dengan demikian, tongkatnya terus mengikuti gerakan tongkat sute-nya dan setiap tusukan dapat
didorongnya kembali sehingga ujung tongkat sute-nya itu hanya mampu mencium kain kuning yang melibat
dada saja. Karena serangan pertama gagal, Koay Tojin melangkah mundur.
“Hemmm, sungguh hebat. Bukankah itu sebuah jurus dari ilmu tongkatmu yang baru, yang dinamakan Takwi
Tung-hoat (Ilmu Tongkat Memukul Setan)?” bertanya sang suheng.
“Heh-heh-heh, matamu yang sudah tua memang masih tajam sekali, suheng. Memang benar, dan jurus
tadi kunamakan Jurus Menghitung Tulang Iga. Sayang engkau tidak membiarkan aku menghitung tulang
igamu, suheng.”
“Dan membiarkan tulang-tulang igaku yang sudah tua itu remuk? Aih, aku berkewajiban menjaga tubuh tua
ini, sute.”
“Sekarang lihatlah ini, jurus yang kunamakan Menyapu Ribuan Setan!” katanya dan Koay Tojin sudah
menyerang lagi.
Kini tongkatnya itu membuat gerakan berputar lebar dan seakan ada ratusan batang tongkat menyambar
ke arah tubuh Pek-sim Siansu, dari kanan, kiri, depan, belakang, atas dan bawah! Sungguh hebat tongkat
itu, atau orang yang menggerakkan tongkat itu. Bagaimana mungkin tongkat yang hanya sebatang itu
mampu menghujankan serangan seperti itu, dari segala jurusan, dalam waktu yang berturut-turut tanpa
jeda. Dan angin pukulan yang keluar dari tongkat itu!
Untung Sie Liong masih duduk bersila, demikian pula Sam Lojin sehingga angin pukulan yang menyambar
ke atas itu tak mengenai mereka. Daun-daun pohon yang berdekatan sudah rontok semua, bahkan ada
ranting yang kurang kuat patah-patah akibat terkena sambaran angin pukulan tongkat butut itu! Melihat
keadaan ini, berdebar rasa jantung Sie Liong. Barulah dia melihat sendiri betapa hebatnya kakek gembel
gila itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siancai...! Sungguh dahsyat...!” kata Pek-sim Siansu.
Kakek ini pun menggerakkan tongkat bututnya. Ke mana pun bayangan tongkat Koay Tojin menyambar,
selalu tongkat itu bertemu dengan tongkat lain yang menangkisnya, seolah-olah tubuh Pek-sim Siansu
sudah dilindungi benteng yang kokoh kuat.
Berulang kali tongkat mereka saling bertemu, mengeluarkan suara tak-tuk-tak-tuk yang menggetarkan
jantung, bagai dua buah benda yang amat kuat dan berat saling bertemu. Akhirnya, kembali Koay Tojin
melangkah mundur dan menghentikan serangannya.
“Engkau memang hebat, suheng. Masih saja engkau mempunyai ilmu Benteng Tongkat Baja yang amat
kokoh kuat. Akan tetapi balaslah menyerang, suheng. Kenapa engkau hanya menangkis saja dan tidak
membalas?”
“Siancai..., sute yang baik. Bagaimana pinto mampu menyerang kalau untuk melindungi diri saja sudah
repot sekali? Hampir saja pinto tak kuat bertahan terhadap seranganmu yang mengerikan tadi.”
“Biarlah sekarang yang terakhir, suheng. Sambutlah jurus Tongkat Menghancurkan Kepala Setan ini!”
Koay Tojin pun sudah memegang tongkat itu dengan kedua tangannya dan langsung menghantamkan ke
arah kepala suheng-nya dari atas. Kelihatannya saja jurus ini amat sederhana, bahkan kasar seperti
gerakan liar orang yang berkelahi tanpa menggunakan ilmu silat. Akan tetapi sesungguhnya pukulan ini
berbahaya sekali karena mempunyai banyak macam perubahan yang tidak terduga-duga andai kata yang
dipukul mengelak.
Menghadapi pukulan dari atas seperti itu, memang mudah saja mengelak. Akan tetapi anehnya Pek-sim
Siansu justru tidak mengelak, melainkan mengangkat kedua tangan yang memegangi kedua ujung tongkat
untuk menangkis! Dia mengenal ilmu yang aneh ini, dan tahu pula bahwa di balik kesederhanaannya
tersembunyi perubahan yang amat berbahaya. Maka dia tidak mau mengelak, malah menangkis supaya
jurus itu dengan tenaga sepenuhnya menimpa tangkisannya sambil diam-diam dia mengerahkan tenaga
saktinya.
Sie Liong sudah merasa ngeri, mengira bahwa tentu pertemuan antara dua tongkat itu akan hebat dan
dahsyat sekali dan tentu ada di antara dua orang kakek itu yang akan terluka. Dan tongkat butut yang
dipukulkan oleh Koay Tojin itu menyambar turun, amat kuatnya menimpa tongkat yang dilintangkan di atas
kepala Pek-sim Siansu. Kedua orang kakek itu memegangi tongkat dengan kedua tangan.
Dua batang tongkat butut itu bertemu, keras sekali akan tetapi sungguh luar biasa. Tidak ada suara
terdengar! Seolah-olah dua batang tongkat itu hanyalah benda-benda yang lunak. Akan tetapi, Koay Tojin
melompat ke belakang dan tongkat bututnya telah patah menjadi dua potong! Sambil terkekeh dia
melemparkan tongkat itu.
Dua potong tongkat itu meluncur dan menancap pada batang sebuah pohon, tingginya dua meter lebih dan
menancap rapi berjajar atas dan bawah dalam jarak sekepalan tangan.
“Heh-heh, engkau hebat, suheng. Biar kubantu engkau mengobati bocah bongkok ini!” Mendadak dia
sudah menangkap Sie Liong dengan mencengkeram punggung bajunya.
Tiba-tiba Sie Liong merasa tubuhnya melayang ke atas dibawa oleh kakek itu melompat ke arah pohon itu.
Dia tidak sempat meronta karena tubuhnya sudah melayang ke atas dan dia merasa betapa kedua kakinya
dijepitkan di antara dua potongan tongkat tadi sehingga tubuhnya tergantung dengan kepala ke bawah,
bergantung pada dua kakinya yang terjepit.
Ternyata dua potong tongkat yang dilemparkan tadi dan menancap di batang pohon, jaraknya demikian
tepat sehingga dapat menjepit kedua pergelangan kaki Sie Liong. Ketika Sie Liong yang tergantung
dengan kepala di bawah itu hendak meronta karena takut jatuh, kakek gembel itu sambil terkekeh
menepuk punggung Sie Liong tiga kali, cukup keras sehingga mengeluarkan bunyi berdebuk. Seketika Sie
Liong muntahkan darah dari mulutnya yang langsung keluar dari dalam dada dan perutnya. Darah yang
cukup banyak dan agak menghitam!
Koay Tojin lalu meloncat turun. Cara dia turun dari pohon itu aneh karena dia hinggap di atas tanah bukan
dengan kedua kakinya, melainkan dengan kepalanya dan kini dia melompat-lompat dengan kepala di
dunia-kangouw.blogspot.com
bawah, mengeluarkan suara dak-duk-dak-duk dan tubuhnya sudah berloncatan secara aneh itu cepat
sekali, sebentar saja lenyap dari situ.
“Siancai... siancai... siancai...!” Pek-sim Siansu memuji dengan kedua tangan dirangkap di depan dadanya.
“Sute Koay Tojin sungguh telah mencapai tingkat yang sukar diukur tingginya. Hebat.”
Hek Bin Tosu, orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin membantah. “Akan tetapi masih kalah oleh supek.
Buktinya tadi tongkatnya patah menjadi dua potong ketika bertemu dengan tongkat supek!”
“Hemmm, begitukah pendapatmu? Lihat tongkatku ini...” kata Pek-sim Siansu lirih.
Tiga orang kakek itu melihat dan... begitu tongkat di tangan itu digerakkan perlahan, maka runtuhlah
tongkat itu dalam keadaan hancur berkeping-keping! Himalaya Sam Lojin terkejut bukan main.
Kiranya tenaga Koay Tojin sedemikian hebatnya sehingga pertemuan antara kedua tongkat itu membuat
tongkat di tangan Pek-sim Siansu hancur. Hanya berkat ilmu yang tinggi dari Pek-sim Siansu, maka
tongkat itu masih dapat dipegangnya dalam keadaan yang utuh.
“Siancai... Bukan main hebatnya susiok...” berkata Pek In Tosu sambil menarik napas panjang. “Dan
berbahaya sekali...!”
Pek-sim Siansu dapat membaca isi hati murid keponakan ini. “Engkau benar, memang berbahaya sekali
kalau sampai ilmu-ilmunya itu diwariskan kepada seorang manusia yang menjadi budak nafsu. Orang
seperti dia itu, yang tidak waras dan memang sinting, dapat saja melakukan hal yang aneh-aneh, dan
mungkin juga lengah sehingga keliru menerima murid. Bagaimana pun juga, segala sesuatu memang
sudah digariskan oleh Kekuasaan Tertinggi dan manusia hanya dapat memilih akan berpihak pada yang
baik ataukah yang buruk, yang benar ataukah yang salah.”
“Supek, kalau sampai susiok memiliki murid yang murtad dan sesat, tentu akan lebih berbahaya dari pada
Tibet Ngo-houw tadi! Dan kita sudah semakin tua. Siapakah yang akan menahan kejahatannya kelak?”
kata Swat Hwa Cinjin.
Pek-sim Siansu tersenyum. “Di atas Puncak Himalaya masih ada awan dan di atas awan masih ada langit!
Betapa pun kuat dan tingginya kejahatan masih ada kekuasaan lain yang lebih kuat dan lebih tinggi untuk
mengatasinya! Hal itu tak perlu dikhawatirkan. Pula, bukankah kita masih hidup sekarang? Dan kalau sute
dapat mempunyai murid, kita pun bisa saja memilih seorang murid yang baik, supaya kelak dia dapat
menahan kejahatan yang datang dari mana pun juga.”
Pada saat itu, terdengar suara memelas, “Locianpwe... harap suka tolong saya...”
Pek In Tosu bangkit dan hendak menghampiri pohon itu untuk menurunkan Sie Liong, akan tetapi Pek-sim
Siansu mencegahnya. “Jangan diturunkan dulu! Biarkan racun itu habis seperti yang dikehendaki oleh sute
tadi!”
Sie Liong marasa tersiksa sekali. Dia tergantung dengan kedua kakinya terjepit tongkat, kepalanya di
bawah dan dia merasa betapa kepalanya berdenyut-denyut seperti sedang kebanjiran darah dan mulai
merasa pening. Juga isi perutnya seperti masuk ke dalam rongga dadanya, kedua kaki terasa kesemutan
dan seperti tiada rasanya lagi, mukanya pun terasa panas. Mendengar ucapan kakek berpakaian kuning
tadi, dia pun merasa mendongkol.
“Locianpwe, kenapa begitu kejam membiarkan aku tersiksa begini?”
Kini Pek-sim Siansu mendekati pohon itu, berkata dengan lembut, “Sie Liong, ketahuilah bahwa sute Koay
Tojin tadi telah membantuku mengobatimu. Dengan caranya sendiri yang aneh dia telah membantu dan
mengeluarkan racun dari tubuhmu. Bukan untuk menyiksamu kalau dia menggantungmu seperti ini.
Sesungguhnya, tergantung dengan kepala di bawah ini merupakan suatu cara latihan yang amat hebat
hasilnya, ditambah dengan tepukan pada punggungmu tadi telah membuat engkau langsung muntahkan
darah beracun dari tubuhmu. Sebagai kelanjutannya, engkau harus bertahan selama satu jam tergantung
di situ, dan semua racun akan keluar dari tubuhmu sehingga untuk menyembuhkanmu kembali hanya
merupakan hal mudah, hanya memulihkan tenagamu saja.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar penjelasan ini, Sie Liong merasa girang sekali. “Ahh, kalau begitu, maafkan saya, locianpwe,
dan terima kasih. Jangankan satu jam, biar sepuluh jam saya akan pertahankan sekuat saya.”
Pek-sim Siansu mengangguk-angguk dan dia pun kembali duduk bersila di depan tiga orang murid
keponakannya.
“Supek tadi menyebut tentang betapa baiknya kalau kita mempunyai seorang murid, apakah supek
maksudkan dia itu?” Pek In Tosu menuding ke arah tubuh anak kecil bongkok yang sedang tergantung
dengan kepala di bawah itu.
Pek-sim Siansu tersenyum. Diam-diam dia memuji pandangan murid keponakannya yang tajam dan telah
memperoleh kemajuan pesat ini.
“Benar, dialah calon yang kulihat cocok sekali untuk menjadi tumpuan harapan kita,” jawabnya.
“Akan tetapi..., dia cacat! Apa yang dapat diharapkan dari seorang yang cacat, apa lagi cacatnya bongkok
seperti dia?” Hek Bin Tosu mencela dengan alis berkerut.
“Hemm, agaknya engkau belum memeriksa anak itu dengan seksama,” kata Pek-sim Siansu. “Sute tadi
sekali melihat saja sudah tahu akan keistimewaan anak itu sehingga dia mau turun tangan mengobatinya.”
“Supek benar, sute. Dia memang seorang anak yang berbakat tinggi, dan baik sekali. Cacatnya itu tak
akan menjadi penghalang besar, karena itu hanya merusak bentuknya saja, tidak mempengaruhi
dalamnya,” kata Pek In Tosu.
Mereka lalu bercakap-cakap tentang sepak terjang lima orang pendeta Lama dari Tibet yang mengadakan
pengacauan di Kun-lun-san, memburu para pertapa yang pindah dari Himalaya puluhan tahun yang lalu.
“Supek, kalau dugaan teecu bertiga benar, memang tentu ada hal-hal aneh terjadi di Tibet. Rasanya tidak
masuk di akal kalau Dalai Lama sendiri yang mengutus mereka untuk melakukan pembunuhan dan
perburuan itu, apa lagi mengutus mereka untuk menangkap atau membunuh teecu bertiga. Bagaimana pun
juga tentu Dalai Lama tahu bahwa dulu mendiang suhu adalah pembela dan pelindungnya,
menyelamatkan banyak penduduk dusun asalnya yang diamuk oleh para Lama yang akan menculiknya,”
kata Pek In Tosu.
“Memang nampaknya bukan Dalai Lama yang mengutus mereka. Pinto lebih condong menduga bahwa
mereka itu tentu merupakan hubungan dekat sekali dengan para Lama yang tewas di tangan mendiang
gurumu dan mereka memang sengaja menuntut balas. Bukankah ketika terjadi keributan dan pertentangan
tiga puluh tahun yang lalu di Tibet itu, lima orang Lama ini belum muncul? Keributan dahulu itu memang
dipimpin oleh Dalai Lama yang dahulu, yang marah oleh perlawanan mendiang suhu kalian sehingga
menjatuhkan korban di antara para pendeta Lama yang dulu menganggap para pertapa, terutama para
tosu di Himalaya memberontak. Akan tetapi, Dalai Lama yang sekarang ini, yang bahkan menjadi
penyebab perkelahian antara suhu kalian dan para Lama, tidak mempunyai permusuhan apa pun dengan
kita.”
“Memang mencurigakan sekali dan teecu kira hal ini patut untuk diselidiki, supek,” kata Hek Bin Tosu yang
masih penuh semangat.
Supek-nya tersenyum. “Hek Bin Tosu, lupakah engkau sudah berapa usiamu? Orang-orang setua kita ini
tidak memiliki tenaga dan keuletan lagi untuk melakukan pekerjaan besar itu. Memasuki Tibet untuk
melakukan penyelidikan bukan pekerjaan yang ringan. Apa lagi kita sudah mereka kenal, bahkan mereka
musuhi. Tidak, sebaiknya kalau kita menyerahkan tugas itu kepada muridku itu.” Dia menunjuk kepada
tubuh anak bongkok yang tergantung di pohon.
“Baiklah, supek. Kalau begitu, biarlah kelak teecu bertiga juga akan mewariskan semua ilmu-ilmu kami
yang terbaik untuk sute kami itu,” kata Swat Hwa Cinjin.
Hanya sampai di situ Sie Liong mampu menangkap percakapan mereka. Selanjutnya dia tak mendengar
apa-apa lagi, karena sudah pingsan dengan tubuh masih tergantung seperti kelelawar…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Gadis cilik itu membalapkan kudanya naik ke bukit itu. Seorang gadis mungil, berusia antara sebelas dan
dua belas tahun dengan wajah yang manis dan sepasang mata yang jeli dan indah. Anak perempuan itu
mengenakan pakaian cukup indah dan cara dia menunggang kuda membuktikan bahwa ia sudah biasa
dengan permainan ini.
Kudanya juga seekor kuda yang baik sekali, dengan tubuh panjang dan leher panjang. Anak perempuan itu
seperti berlomba saja ketika melarikan kudanya semakin cepat, padahal jalan itu tidak rata dan mendaki.
Akan tetapi, agaknya dia memang sudah biasa dengan daerah ini. Kudanya pun bukan baru sekali itu saja
membalap ke arah puncak bukit, di mana terdapat banyak rumput hijau segar yang gemuk dan yang akan
dinikmatinya sebagai hadiah bila mereka sudah tiba di puncak.
Akhirnya tibalah mereka di puncak bukit yang merupakan tanah datar dengan padang rumput yang luas.
Gadis cilik itu meloncat turun, ia dan kudanya bermandi keringat, dan keduanya nampak gembira. Apa lagi
setelah anak perempuan itu melepaskan kendali kuda dan membiarkan kudanya makan rumput dan ia
sendiri menjatuhkan diri duduk di atas rumput yang tebal.
Keduanya sungguh menikmati keindahan alam, hawa udara yang berbau harum itu, bau tanah dan
tumbuh-tumbuhan yang segar. Kicau burung menambah semarak suasana. Beberapa lamanya anak
perempuan itu rebah telentang di atas rumput, melepaskan lelah dan memejamkan mata. Alangkah
nikmatnya telentang di atas rumput seperti itu! Lebih nikmat dari pada rebah di atas kasur yang paling
lunak dengan tilam sutera yang paling halus.
Akan tetapi seekor semut yang agaknya tertindih olehnya, menggigit tengkuknya. Dia bangkit dan menepuk
semut itu, membuangnya sambil bersungut-sungut.
“Semut jahil kau!” katanya dan kini ia menoleh kepada kudanya.
Ketika ia melihat betapa kuda itu makan rumput dengan lahapnya, nampak enak sekali dengan mata yang
lebar itu berkedap-kedip melirik ke arahnya, ia menelan ludah dan perutnya tiba-tiba saja merasa lapar
sekali.
Anak perempuan itu adalah Yauw Bi Sian. Seperti telah kita ketahui, Bi Sian tinggal bersama ayahnya,
Yaw Sun Kok, di kota Sung-jan, di ujung barat Propinsi Sin-kiang. Di tempat tinggalnya banyak terdapat
penduduk asli Suku Bangsa Kirgiz, Uigur, dan Kazak yang ahli menunggang kuda.
Oleh karena keadaan lingkungan ini, sejak kecil pun Bi Sian pandai menunggang kuda. Apa lagi ia
memang menerima latihan ilmu silat dari ayahnya, maka menunggang kuda merupakan satu di antara
kepandaian yang cocok untuknya. Ayahnya yang sayang sekali kepadanya bahkan membelikan seekor
kuda yang baik untuknya dan sudah biasa Bi Sian membalapkan kudanya pergi seorang diri menyusuri
padang-padang rumput dan lembah-lembah.
Kepergian Sie Liong membuat anak perempuan ini berduka. Berhari-hari dia menangis dan mendesak
ayah ibunya supaya mencari Sie Liong sampai dapat dan mengajaknya pulang. Ia merasa kehilangan
sekali karena ia tumbuh besar di samping paman kecilnya itu yang merupakan paman, juga kakak, juga
sahabat baiknya. Semua hiburan ayah ibunya tidak dapat mengobati kesedihannya ketika ayahnya gagal
menemukan kembali Sie Liong. Akan tetapi, lambat laun ia mampu juga melupakan Sie Liong.
Pada hari itu, setengah tahun setelah Sie Liong pergi, ia membalapkan kuda seorang diri menaiki bukit itu.
Matahari sudah condong ke barat. Ketika melihat kudanya makan rumput, tiba-tiba Bi Sian merasa
perutnya menjadi lapar sekali.
Dia pun bangkit berdiri dan menghampiri kudanya. Dirangkulnya leher kudanya. Kuda itu dengan manja
mengangkat kepala dan mengusapkan pipinya pada kepala gadis cilik itu.
“Hayo kita pulang, hari sudah sore,” bisik Bi Sian dan dia pun memasangkan kembali kendali kudanya.
Pada saat itu, muncul lima orang laki-laki kasar. Mereka itu berusia rata-rata tiga puluh tahun dan mereka
menghampiri Bi Sian sambil tersenyum menyeringai. Karena tidak mengenal mereka, Bi Sian mengerutkan
alisnya dan tidak mempedulikan mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi ketika melihat gadis cilik itu hendak meloncat naik ke punggung kuda, tiba-tiba seorang di
antara mereka melangkah maju dan merampas kendali kuda dari tangan Bi Sian.
“Perlahan dulu, nona. Berikan kuda ini kepada kami!” katanya.
Bi Sian terkejut dan marah. Ia sama sekali tidak merasa takut, sama sekali tidak ingat bahwa ia berada di
tempat yang sunyi sekali dan lima orang itu jelas bukan orang baik-baik. Telunjuknya menuding ke arah
muka orang yang merampas kudanya.
“Siapa kalian? Berani kalian mengambil kudaku?!” bentaknya.
“Ha-ha-ha, bukan hanya kudamu, nona, akan tetapi segala-galanya yang ada padamu. Hayo lepaskan
semua pakaianmu, kami juga minta semua pakaianmu itu.”
Bi Sian terbelalak, bukan karena takut melainkan karena marahnya. Saking marahnya, ia tidak
mengeluarkan kata-kata lagi, tetapi ia sudah meloncat ke depan dan memukul ke arah perut orang yang
bicara itu, seorang laki-laki brewokan yang agaknya menjadi pemimpin mereka.
Serangannya cepat sekali datangnya. Maklum, biar pun usianya baru hampir dua belas tahun, akan tetapi
semenjak kecil Bi Sian sudah menerima gemblengan ayahnya yang pandai sehingga dalam usia sekecil itu
ia sudah mempunyai ilmu silat yang lumayan, terutama gerakannya cepat sekali walau pun dalam hal
tenaga, ia masih belum kuat benar.
Sambil tertawa-tawa si brewok itu mencoba untuk menangkap, akan tetapi dia kalah cepat.
“Bukkk!”
Perutnya kena dihantam tangan yang kecil itu dan dia pun terjengkang. Biar pun tidak terlalu nyeri, akan
tetapi dia terkejut dan juga merasa malu. Kawan-kawannya segera menubruk dan tentu saja Bi Sian tidak
mampu melawan lagi ketika mereka itu sudah meringkusnya.
“Lepaskan dia!” tiba-tiba terdengar bentakan nyaring.
Seorang pemuda remaja berusia lima belas tahun lebih, muncul di tempat itu. Bi Sian segera mengenal
pemuda ini yang bukan lain adalah Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di
Sung-jan. Pemuda yang pernah berkelahi dengan dia dan Sie Liong. Pemuda yang oleh ayahnya
dicalonkan menjadi suaminya!
Lima orang itu membalik dan memandang kepada Lu Ki Cong tanpa melepaskan kedua lengan Bi Sian
yang mereka telikung ke belakang.
“Hemmm, bocah lancang, siapa kau?!” bentak si brewok sambil menghampiri Ki Cong dengan sikap
mengancam.
Tapi pemuda remaja itu tidak menjadi gentar. Ia pun melangkah maju, membusungkan dada dan
menjawab dengan lantang, “Namaku Lu Ki Cong, putera dari Lu-ciangkun, komandan keamanan di Sungjan!”
“Ahhh...!” Si brewok terkejut dan melangkah mundur mendekati teman-temannya yang juga terkejut dan
memandang ketakutan.
“Maaf... maafkan kami... kongcu...” Si brewok berkata dengan suara gemetar.
Lu Ki Cong melangkah maju lagi. “Kalian tidak tahu siapa gadis ini? Dia adalah puteri Yauw Taihiap,
seorang pendekar besar di Sung-jan, dan ia tunanganku, mengerti?”
“Maaf... maaf...” Sekarang lima orang itu cepat-cepat melepaskan Bi Sian dan mereka menggigil ketakutan.
“Kalian patut dihajar!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ki Cong lalu melangkah maju. Tangan kakinya bergerak, menampar serta menendang. Lima orang itu jatuh
bangun, kemudian mereka melarikan diri tunggang langgang, pergi meninggalkan kuda tunggangan Bi
Sian.
Sejenak dua orang muda remaja itu saling pandang dan dalam pandang mata Bi Sian ada sinar kagum.
Tidak disangkanya pemuda yang nakal itu memiliki keberanian dan kegagahan!
“Terima kasih...” katanya lirih, agak malu-malu mengingat bahwa tadi pemuda itu sudah memperkenalkan
ia sebagai tunangannya kepada para penjahat.
Ki Cong tersenyum bangga, lalu mendekati gadis cilik itu. “Sian-moi, perlu apa berterima kasih? Sudah
semestinya kalau aku membela dan melindungimu, kalau perlu dengan jiwa ragaku, bukankah engkau ini
tunanganku dan calon isteriku?” Berkata demikian, Ki Cong mendekat dan tangannya lalu memegang
lengan Bi Sian dengan mesranya.
Merasa betapa lengannya diraba dengan mesra, meremang rasanya bulu tengkuk Bi Sian. Dia pun segera
menarik tangannya dengan renggutan, lalu melangkah mundur. Alisnya berkerut.
“Aku tidak minta pertolonganmu, dan aku bukan tunanganmu!” bentaknya marah.
“Aihh, jangan bersikap seperti itu kepadaku, calon suamimu, Sian-moi. Ingat, di antara orang tua kita sudah
setuju akan perjodohan kita...”
“Aku tidak peduli! Aku tidak sudi!” kembali Bi Sian membentak.
“Sian-moi, jangan begitu. Mengapa engkau membenci aku? Apakah aku tidak menang segala-galanya
dibandingkan anak bongkok itu?”
Mendadak sepasang mata yang jeli itu mengeluarkan sinar kemarahan yang bagaikan bernyala. “Jangan
menghina paman Sie Liong! Aku sayang padanya dan dia sepuluh kali lebih baik dari padamu!”
Karena pertolongannya tadi agaknya tidak mendatangkan perasaan berterima kasih dan bersyukur dari
gadis cilik itu, Ki Cong menjadi penasaran dan dia berkata dengan kasar, “Sian-moi, engkau sungguh tidak
tahu budi! Kalau tadi tidak ada aku, apa yang terjadi padamu? Bukan saja kuda dan pakaianmu diambil
orang, mungkin juga engkau sudah diperkosa! Dan engkau sedikit pun tidak berterima kasih kepadaku!”
“Hemm, sudah kukatakan bahwa aku tidak pernah minta pertolonganmu dan tadi aku sudah bilang terima
kasih. Mau apa lagi?”
“Setidaknya engkau harus memberi ciuman terima kasih!” kata Ki Cong yang tiba-tiba menangkap lengan
gadis cilik itu dan hendak merangkul serta mencium. Akan tetapi Bi Sian menggerakkan tangannya.
“Plakkk!”
Pipi pemuda remaja itu kena ditampar sampai merah. Ki Cong menjadi marah.
“Kau memang tidak tahu terima kasih!” Lalu dia menangkap kedua pergelangan tangan Bi Sian.
Gadis cilik itu meronta-ronta, akan tetapi ia kalah tenaga dan kini Ki Cong telah berhasil merangkulnya,
mendekap dan mencari muka anak perempuan itu dengan hidungnya. Akan tetapi Bi Sian meronta dan
membuang muka ke kanan kiri sehingga ciuman yang dipaksakan oleh Ki Cong itu tidak mengenai
sasaran.
Tiba-tiba nampak ada tongkat bergerak ke arah kepala Ki Cong dan memukul kepala pemuda remaja itu.
“Tokkk!”
Seketika kepala itu menjendol sebesar telur ayam dan Ki Cong pun berteriak mengaduh sambil meraba
kepalanya yang rasanya berdenyut-denyut. Ia melepaskan rangkulannya pada Bi Sian dan membalik.
Ketika dia melihat seorang kakek gembel yang tua berdiri sambil memegang sebatang tongkat butut, dia
marah sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kau... kau berani memukul aku?” bentaknya sambil melangkah maju mendekati kakek tua renta itu
dengan sikap mengancam.
Kakek yang rambutnya putih riap-riapan dan pakaiannya tambal-tambalan itu adalah Koay Tojin. Dia
kebetulan saja lewat di bukit itu dan sejak tadi melihat apa yang terjadi, kemudian mengemplang kepala Ki
Cong dengan tongkatnya. Kini dia tertawa terkekeh-kekeh.
“Aku! Memukulmu? Heh-heh-heh, yang memukul adalah tongkat ini, bukan aku!”
“Gembel tua busuk! Mana bisa tongkat memukul sendiri kalau tidak kau pukulkan?”
“Siapa bilang tidak bisa?” Koay Tojin mengangkat tongkatnya tinggi-tinggi dan berkata, “Tongkat, ada
orang yang menghinamu, dikatakannya engkau tak bisa memukul sendiri. Sekarang tunjukkan bahwa
engkau bisa memukul anjing dan orang kurang ajar, coba hajar pantatnya beberapa kali!”
Sungguh aneh sekali. Tongkat itu melayang terlepas dari tangan Koay Tojin, melayang di udara lalu
menukik turun dan menghantam pantat Ki Cong.
“Plakk!”
Ki Cong berteriak kesakitan dan mencoba untuk menangkap tongkat, akan tetapi sia-sia dan kembali
tongkat itu menghajar pantatnya. Ki Cong kini menjadi ketakutan setengah mati dan sambil berteriak-teriak
dia pun lari tunggang langgang ke bawah bukit setelah tongkat itu menghajar pantatnya beberapa kali.
Melihat ini, Bi Sian tertawa senang sekali. Dia pun terheran-heran melihat betapa ada tongkat dapat
memukuli orang kurang ajar. Kini tongkat itu sudah kembali ke tangan si kakek gembel. Bi Sian mendekati.
“Kakek yang aneh, sungguh hebat sekali tongkatmu itu! Apakah itu tongkat pusaka atau tongkat wasiat?”
“Heh? Pusaka? Wasiat? Ini tongkat butut, heh-heh-heh!”
Bi Sian makin mendekat, sedikit pun tidak merasa takut atau jijik kepada kakek gembel yang terkekehkekeh
dan menyeringai seperti orang gila itu.
“Kakek, maukah engkau memberikan tongkat itu kepadaku?”
“Tongkat ini? Tongkat butut ini? Heh-heh, boleh saja...”
Bi Sian gembira bukan main dan menerima tongkat butut itu dari tangan Koay Tojin. Ia meneliti tongkat itu,
akan tetapi hanya sebatang tongkat biasa saja, sebuah potongan ranting pohon yang sudah kering dan
kotor. Ia lalu mencoba untuk menggerak-gerakkan tongkat itu, akan tetapi biasa saja, tidak ada
keanehannya.
“Kek, maukah engkau mengajarkan aku caranya membuat tongkat ini dapat terbang dan memukuli orang
kurang ajar? Aku ingin sekali belajar ilmu itu.”
Kakek itu tertawa bergelak. “Belajar ilmu memukul orang dengan tongkat? Untuk apa?”
“Wah, banyak sekali kegunaannya, kek. Pertama, tentu untuk melindungi diriku sendiri. Kedua, dapat
kupergunakan pula untuk melindungi paman kecilku yang bongkok.”
“Paman kecil bongkok?”
“Ya, pamanku Sie Liong itu kecil-kecil sudah bongkok dan menjadi bahan hinaan orang. Si kurang ajar Ki
Cong tadi juga menghinanya!”
“Sie Liong... anak... bongkok?” Koay Tojin berkata lambat dan seperti mengingat-ingat.
“Benar, kek! Apakah engkau pernah melihatnya? Sudah berbulan-bulan ia melarikan diri dari rumah ayah,
kini entah berada di mana, aku rindu sekali padanya. Kek, bolehkah aku belajar ilmu itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Koay Tojin mengelus jenggotnya, lalu tiba-tiba menjumput seekor kutu busuk di lipatan bajunya dan
memasukkan kutu itu ke bibirnya. “Engkau sungguh mau menjadi muridku? Bukan hanya memainkan
tongkat itu, bahkan juga mempelajari ilmu-ilmu lain yang akan membuat engkau menjadi orang paling lihai
di dunia ini?”
“Mau, kek! Aku mau sekali!” kata Bi Sian girang.
Bi Sian mendapatkan perasaan bahwa ia berhadapan dengan orang sakti, seperti yang pernah ia dengar
dari ayahnya. Ayahnya pernah bercerita bahwa di dunia ini terdapat orang yang memiliki ilmu tinggi
sehingga kepandaiannya seperti dewa saja.
Untuk beberapa detik Koay Tojin seperti kehilangan kesintingannya. Sepasang matanya yang mencorong
itu menelusuri seluruh tubuh Bi Sian dengan penuh selidik. Kemudian, sikapnya yang sinting kembali lagi.
“Kau benar-benar mau? Tidak mudah, nona cilik! Pertama, engkau harus ikut ke mana pun aku pergi. Aku
tidak mempunyai rumah, tidak mempunyai apa pun, dan kau harus bersedia hidup seperti anak gembel
seperti aku!”
“Apa sukarnya? Aku bersedia!” jawab Bi Sian dengan penuh semangat.
Dia teringat kepada paman kecilnya yang tentu hidup sebagai gembel pula. Dan tidak mungkin akan mati
kelaparan kalau menjadi murid seorang yang demikian sakti seperti pengemis tua ini.
“Dan untuk waktu yang tidak sedikit! Sedikitnya tujuh tahun engkau harus mengikuti aku, atau sampai aku
mati!”
“Aku setuju!”
“Dan mentaati semua perintahku!”
“Setuju!”
“Ha-ha-ha-ha...” Kakek itu tertawa bergelak, berdiri sambil memegangi perutnya yang terguncang,
kepalanya menengadah dan mulutnya ternganga.
Melihat ini, Bi Sian ikut tertawa. Akan tetapi betapa kagetnya ketika tiba-tiba saja kakek yang tadinya
menengadah itu kini membungkuk, dan menjatuhkan diri di atas rumput lalu menangis.
“Hu-hu-huuhhh...”
Tentu saja Bi Sian tidak mau ikut nenangis, melainkan ikut duduk di atas rumput. Dia sejenak memandang
kakek yang menangis tersedu-sedu itu dengan bengong. Karena kakek itu tidak juga berhenti menangis, ia
menjadi tidak sabar dan mengguncang lengan kakek itu dengan tangannya. Kakek ini tentu gila, dia mulai
curiga, akan tetapi dia tidak merasa takut, melainkan geli.
“Kek, kenapa menangis?”
Tiba-tiba kakek itu menghentikan tangisnya, memandang kepada Bi Sian dengan mata kemerahan dan
muka yang basah air mata, kemudian dia mewek lagi dan menangis terisak-isak.
Tangis, seperti juga tawa, memang memiliki daya tular yang ampuh. Biar pun tadinya Bi Sian tidak mau ikut
menangis, kini melihat betapa tangis kakek itu tidak dibuat-buat, melainkan menangis sungguh-sungguh,
tanpa disadarinya lagi air matanya mulai keluar dari kedua matanya, menetes-netes menuruni kedua pipi.
Bi Sian terkejut sendiri ketika menyadari akan hal ini. Cepat ia menghapus air mata dari kedua pipinya dan
memegang lengan kakek itu, mengguncangnya dan bertanya.
“Hei, kakek, kenapa kau menangis? Mengapa? Aku jadi ikut menangis, maka aku ingin tahu lebih dulu apa
yang kita tangiskan seperti ini. Orang tertawa atau menangis harus ada sebabnya, kalau tanpa sebab kita
bisa dianggap sebagai orang gila!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba saja kakek itu berhenti menangis dan kini dia tertawa. Melihat anak perempuan itu
memandangnya dengan mata terbelalak, dia pun berkata sambil mencela. “Mengapa kita tidak boleh
tertawa dan menangis tanpa sebab? Kita tertawa atau menangis dengan menggunakan mulut kita sendiri,
tidak meminjam mulut orang lain, apa peduli pendapat orang lain?”
“Tapi kau tertawa dan menangis tanpa memberi tahu sebabnya, sungguh membikin aku menjadi bingung,
kek. Biasanya orang yang menangis dan tertawa tanpa sebab hanya orang-orang yang miring otaknya, dan
aku yakin engkau bukan orang sinting.”
“Ha-ha-ha-ha, kau kira orang sinting itu jelek? Di dunia ini, mana ada orang yang tidak sinting? Aku tertawa
karena hatiku sedang gembira mendapatkan seorang murid yang baik seperti engkau. Dan aku menangis
karena harus mewariskan ilmu-ilmu kepadamu. Hu-hu-huuhhh...” Kembali dia menangis.
Bi Sian mengerutkan alisnya. “Sudahlah, kek. Jangan menangis. Kalau memang engkau tidak rela
mewariskan ilmu-ilmu kepadaku, sudah saja jangan menjadi guruku.”
“Apa?!” Seketika tangis itu terhenti dan dia memandang dengan mata terbelalak. “Aku bukan takut
kehilangan ilmu karena biar kuwariskan kepada seratus orang pun tak akan habis, hanya ingat akan
mewariskan itu aku jadi ingat bahwa berarti aku akan mati! Dan aku takut... aku takut mati...”
“Hemm, engkau takut mati, kek?”
Kakek itu berhenti lagi setelah tangisnya disambung dengan wajah ketakutan, dan dia memandang wajah
Bi Sian. “Apa kau tidak takut mati?”
Anak perempuan itu menggelengkan kepala, pandang matanya jujur terbuka dan tidak pura-pura.
“Kenapa aku harus takut, kek? Orang takut itu kan ada yang ditakutinya. Kalau urusan kematian, kita kan
tidak tahu apa itu kematian, bagaimana itu yang namanya mati. Lalu kenapa takut kepada sesuatu yang
tidak kita mengerti? Aku tidak takut mati, kek!”
Kakek itu terbelalak, memandang kepada anak perempuan itu dengan penuh heran dan kagum. Tiba-tiba
dia menjatuhkan diri berlutut di depan Bi sian. “Kau pantas menjadi guruku! Ajarilah aku bagaimana agar
aku tidak takut mati! Aku mau menjadi muridmu...”
Bi Sian melongo. Berabe, pikirnya. Kakek gembel yang memiliki ilmu kesaktian sangat tinggi ini agaknya
memang benar-benar sinting!
“Wah, jangan begitu, kek. Bukankah aku yang menjadi muridmu dan sudah sepatutnya aku yang berlutut?
Bangkitlah dan biar aku yang berlutut memberi hormat kepadamu.”
“Tidak! Tidak!” Koay Tojin bersikeras. “Sebelum engkau mau mengajari aku bagaimana caranya agar tidak
takut mati, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut terus di depanmu sampai dunia kiamat!”
Bi Sian seorang anak yang baru berusia sebelas tahun lebih, bagaimana mungkin dapat memikirkan hal
yang rumit dan penuh rahasia seperti kematian? Dia seorang anak yang masih belum dewasa, masih
bocah. Akan tetapi justru kepolosannya itu yang membuat dia memiliki pemandangan polos dan
sederhana, tidak seperti orang dewasa yang suka mengerahkan pikirannya sehingga muluk-muluk dan
berbelit-belit. Bi Sian hanya berpikir sebentar, mengapa ia tidak pernah takut akan kematian.
“Gampang saja, kek. Jangan pikirkan mengenai mati karena kita tidak mengerti. Jangan pikirkan dan kau
tidak akan pusing, tidak akan takut!”
Jawaban itu memang sederhana dan sama sekali tanpa perhitungan. Akan tetapi dasar kakek itu sinting,
dia menerimanya dan ‘mengolahnya’ di dalam benaknya.
“Jangan pikirkan... jadi pikiran yang mendatangkan rasa takut? Kalau aku tidur, pikiran tidak bekerja,
apakah aku pernah takut? Tidak! Orang pingsan pun tidak pernah takut, apa lagi orang mati, sudah tidak
bisa takut lagi! Jangan pikirkan...! Ha-ha-ha-ha, benar sekali! Tepat sekali! Itulah ilmunya!”
Dia pun bangkit, menyambar tubuh Bi Sian dan melempar-lemparkan tubuh itu ke atas. Ketika tubuh itu
turun, ditangkap dan dilemparkan kembali, makin lama semakin tinggi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada mulanya Bi Sian agak merasa ngeri juga. Akan tetapi betapa setiap kali meluncur turun tubuhnya lalu
disambut dengan cekatan dan lunak, ia pun tidak lagi merasa ngeri, bahkan menikmati permainan aneh ini.
Ketika tubuhnya dilempar ke atas, dia merasa seperti menjadi seekor burung yang sedang terbang tinggi.
Maka mulailah ia mengatur keseimbangan tubuhnya supaya ketika dilempar ke atas, kepalanya berada di
atas dan ketika meluncur turun, ia dapat membalikkan tubuh sehingga terjun dengan kepala dan tangan di
bawah.
“Lebih tinggi, kek! Lebih tinggi lagi!” berkali-kali ia berteriak dengan gembira.
Kakek itu agaknya juga memperoleh kegembiraan luar biasa melihat muridnya itu sama sekali tidak takut,
bahkan menantangnya untuk melemparkannya lebih tinggi! Muridnya itu benar-benar tidak berbohong dan
tidak takut mati! Maka dia pun melemparkan tubuh anak perempuan itu makin lama semakin tinggi.
Bi Sian memang cerdik sekali dan juga memiliki keberanian luar biasa. Semakin tinggi lemparan itu, maka
membuka kesempatan lebih banyak baginya untuk berjungkir balik dan membuat bermacam gerakan di
udara sehingga ia semakin trampil dan cekatan.
Akan tetapi, betapa pun saktinya, Koay Tojin tetap merupakan seorang kakek tua renta yang usianya
sudah tujuh puluh tahun lebih, karena itu permainan yang membutuhkan pengerahan tenaga itu membuat
dia merasa lelah. Mendadak dia melemparkan tubuh murid itu jauh ke kiri, ke arah sebatang pohon besar
dan dia sendiri lalu meloncat ke bawah pohon itu, siap menerima tubuh muridnya kalau meluncur ke
bawah.
“Heiii...!” Bi Sian berteriak kaget.
Akan tetapi tubuhnya sudah terlanjur masuk ke dalam pohon itu, disambut daun-daun dan ranting-ranting
pohon sehingga mengeluarkan suara berkeresakan keras. Dengan ngawur Bi Sian mengulur kedua
tangannya dan berhasil menangkap sebatang batang pohon dan memeluknya erat-erat. Pohon itu besar
dan tinggi sekali sehingga kalau sampai ia terjatuh ke bawah, tubuhnya tentu akan remuk!
Koay Tojin sudah tiba di bawah pohon, menanti dan siap menyambut tubuh muridnya, akan tetapi tubuh itu
tidak kunjung jatuh! Dia merasa heran dan berteriak ke atas, tanpa dapat melihat Bi Sian karena daun
pohon itu memang lebat.
“Heiiiiii! Guruku... ehh, muridku yang tak takut mati! Di mana kau, he?”
“Kakek nakal! Kenapa kau melempar aku ke pohon ini?”
Mendengar suara anak perempuan itu, Koay Tojin tertawa bergelak saking gembira dan lega hatinya. “Haha-
ha, bukankah engkau tadi belajar terbang seperti burung? Kalau menjadi burung harus sekali waktu
hinggap di dalam pohon!”
Kakek itu lalu meloncat ke atas dan di lain saat dia sudah duduk di atas sebuah cabang pohon, kemudian
membantu Bi Sian terlepas dari batang yang dipeluknya dengan erat dan mendudukkan pula murid itu ke
atas dahan pohon yang kokoh kuat.
“Suhu nakal.”
“Suhu...? Siapa suhu (guru)?”
Bi Sian memandang wajah kakek itu. “Hemm, sudah lupa lagikah suhu bahwa aku telah menjadi muridmu?
Kalau tidak disebut suhu, apakah harus selalu disebut Pak Tua atau Kakek?”
“O ya benar! Engkau muridku, aku suhu-mu. Kenapa kau bilang aku nakal?”
“Lihat saja muka dan kulit tanganku ini. Balur-balur dan luka berdarah terkait ranting dan daun pohon.”
Koay Tojin memeriksa kulit muka, leher dan tangan yang baret-baret itu. “Ahh, itu tidak apa-apa. Engkau
harus terbiasa hidup di atas pohon, karena sering kali kalau berada di hutan, aku tidur di atas pohon. Lebih
enak dan aman kalau tidur di atas pohon, selagi pulas tidak dihampiri dan dicium harimau.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mau tidak mau Bi Sian bergidik ngeri. “Dicium harimau? Apakah suhu pernah dicium oleh harimau?”
“Wah, sudah sering!”
“Bagaimana rasanya, suhu?”
“Wah, geli! Kumisnya yang kaku itu menggelitik muka dan leher, dan pada waktu aku terbangun... wah, di
depan mukaku sudah nampak moncong dengan gigi yang runcing dan mata yang menyala, dan napasnya
yang berbau amis!”
“Kenapa dia tidak langsung menerkam, pakai cium-cium segala, suhu?”
“Ha-ha-ha, mana harimau mau langsung makan mangsanya sebelum mencium sepuas hatinya? Dia
mencium untuk menikmati dulu bau harum dan sedap calon mangsanya. Untunglah bauku agak tidak enak,
apek, sehingga ketika mencium-cium dan hidungnya menyedot bauku yang apek, harimau itu agak raguragu,
mungkin takut kalau dagingku beracun, ha-ha-ha! Keraguannya itu membuka kesempatan bagiku
untuk menghajarnya sampai dia lari terpincang-pincang dan berkaing-kaing!”
Kakek itu tertawa gembira sambil menepuk-nepuk lututnya. Tiba-tiba dia seperti teringat sesuatu. “Wah,
aku lupa! Muridku, engkau harus mulai berlatih mengumpulkan hawa sakti, membangkitkan tenaga sakti di
dalam tubuhmu!”
Tentu saja Bi Sian menjadi bingung. “Apa maksudmu, suhu? Aku tidak mengerti!”
Koay Tojin lalu memegang kedua pundak muridnya itu, mengangkatnya dan menjungkir balikkan tubuh
anak itu sehingga kedua kaki Bi Sian kini tergantung ke dahan pohon, bergantung pada belakang lutut
yang ditekuk dan kepalanya berada di bawah.
“Pertahankan keadaan seperti ini sekuatmu. Kedua tangan biarkan tergantung saja dan tarikan napas
sepanjang mungkin. Kalau matamu berkunang, pejamkan mata.”
“Bagaimana kalau kakiku tidak kuat dan kaitannya pada dahan terlepas, suhu?”
“Bodoh! Jangan boleh terlepas! Kalau terlepas kan masih ada aku di sini! Nah, sambil bergantung begini
kita bercakap-cakap!”
Dan Koay Tojin sendiri pun lalu menggantungkan kedua kakinya seperti halnya Bi Sian pada dahan yang
lebih tinggi sehingga kini kepalanya berhadapan persis dengan kepala muridnya itu, dalam jarak sekitar
dua meter. Bi Sian merasa lucu sekali berhadapan muka dengan kakek itu dalam keadaan terbalik.
“Nah, sekarang katakan siapa namamu!”
“Namaku Yaw Bi Sian, suhu.”
“Bagus, sungguh nama yang bagus. Bi Sian, gurumu ini dipanggil Koay Tojin, datang dari Himalaya akan
tetapi sekarang menjadi gelandangan tanpa tempat tinggal tertentu.”
“Sekarang aku telah menjadi muridmu, suhu. Seorang murid harus berlutut memberi hormat kepada suhunya.”
“Benar, hayo lekas berlutut di depanku!”
“Bagaimana mungkin kalau kita bergantung seperti ini?”
“Ahh, benar. Aku lupa, mari kita turun dulu!”
Dan sebelum Bi Sian tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah meluncur turun ditarik oleh kakek itu dan tahutahu
mereka telah berada di atas rumput lagi.
Bi Sian lalu menjatuhkan diri dan berlutut di depan Koay Tojin, memberi hormat sampai delapan kali. Koay
Tojin girang bukan main. Dia tertawa bergelak sambil dua tangannya bertolak pinggang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagus, sekarang engkau telah menjadi muridku, Bi Sian. Bangkitlah!”
Akan tetapi Bi Sian tidak mau bangkit. “Tidak, aku tidak mau bangkit dan akan berlutut sampai dunia
kiamat kalau suhu tidak meluluskan tuntutanku!”
Kakek itu memandang bengong, lalu terkekeh. “Heh-heh-heh, engkau ini persis seperti aku tadi, mau
berlutut sampai kiamat! Mengapa engkau meniru-niru aku, heh?”
“Engkau lupa bahwa engkau ini guruku. Siapa lagi yang ditiru oleh murid kalau bukan gurunya?”
“Wah, wah, repot dah! Baiklah, katakan apa permintaanmu itu?”
“Ada tiga permintaanku yang harus suhu penuhi, baru aku mau bangkit. Kalau tidak, aku akan berlutut...”
“...sampai dunia kiamat!” Koay Tojin menyambut sambil terkekeh.
Bi Sian tersenyum juga. Alangkah lucunya keadaan itu, pikir Bi Sian. Apakah kegilaan suhu-nya sudah
mulai menular padanya?
“Katakan apa tuntutanmu!”
“Pertama, sebelum aku pergi dengan suhu, aku harus pamit dulu kepada ayah ibuku.”
“Hemm, setuju! Akan tetapi sebentar saja, dari luar jendela. Pokoknya mereka itu tahu bahwa engkau pergi
dengan aku.”
“Ke dua, aku akan menjadi murid suhu paling lama tujuh tahun saja. Setelah tujuh tahun aku akan pulang
ke rumah orang tuaku.”
“Setuju! Tujuh tahun itu lama, mungkin sebelum tujuh tahun aku sudah mati...! Ehh, apa yang kukatakan
ini? Mati... hih, aku takut... ah, tidak, tidak. Aku tidak takut. Mati itu apa? Jangan dipikirkan, ha-ha-ha!”
“Dan ke tiga...”
“Banyak amat!”
“Cuma tiga, suhu. Yang ke tiga dan terakhir, aku mau berkelana dengan suhu, hidup kekurangan. Akan
tetapi aku tidak sudi kalau disuruh mengemis!”
“Waah, heh-heh-heh, aku memang gelandangan dan gembel, akan tetapi aku pun tidak pernah mengemis.
Kalau ada orang memberi, aku terima, akan tetapi aku tidak pernah minta. Apa pun yang kita butuhkan,
aku mampu adakan, untuk apa mengemis?”
“Benarkah? Suhu dapat mengadakan apa yang kita butuhkan?”
“Tentu saja?”
“Hemm, mana mungkin? Seperti sekarang ini, aku butuh sekali minum karena merasa haus, dapatkah
suhu mengadakan semangkuk air jernih?”
“Heh-heh-heh, apa sukarnya? Semangkuk air jernih? Lihat ini, terimalah!”
Bi Sian terbelalak ketika tiba-tiba gurunya itu sudah mengulurkan tangan kirinya yang memegang sebuah
mangkuk yang penuh dengan air jernih! Dia menerima mangkuk itu dan dengan sikap masih kurang
percaya dan ragu-ragu ia mendekatkan mangkuk itu ke bibirnya, lalu minum air itu dengan segarnya.
“Suhu, dari mana suhu bisa memperoleh semangkuk air dingin ini?” tanyanya, sekarang keraguannya
lenyap karena air itu terasa segar dan memang benar air jernih asli!
Sambil terkekeh kakek itu menerima mangkuk kosong yang dikembalikan Bi Sian dan bagaikan main sulap
saja, tiba-tiba saja mangkok di tangannya itu pun dia lontarkan ke udara dan lenyap!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kuambil dari udara... heh-heh-heh!”
Bi Sian terbelalak. “Wah, enak kalau begitu!” teriaknya. “Kalau kita perlu makan, minum, rumah, pakaian,
emas permata, kita tinggal ambil dari udara! Suhu, ajari aku melakukan hal itu, kita akan menjadi kaya
raya!”
“Hushhh! Kau sudah gila? Tidak boleh begitu!”
“Mengapa tidak boleh?”
“Tidak perlu kuberi tahukan, kelak engkau akan mengerti sendiri. Nah, sekarang kuturuti permintaanmu
tadi, mari kita kunjungi rumah keluarga orang tuamu agar engkau dapat berpamit dari mereka.”
“Itu kudaku di sana, suhu. Kita menunggang kuda saja!”
“Wah, aku tidak pernah menunggang kuda. Jika engkau mengikuti aku berkelana, tidak boleh menunggang
kuda.”
“Tapi sayang sekali jika kuda itu ditinggalkan begitu saja. Setidaknya dia harus kubawa pulang. Marilah,
kita boncengan, suhu!”
“Engkau naiklah, Bi Sian. Biar kakiku hanya dua buah, tiga dengan tongkatku, kiranya tidak akan kalah
melawan kuda yang berkaki empat itu.”
“Mana mungkin, suhu?”
“Sudahlah, jangan cerewet, Bi Sian. Mari kita pergi!”
Mendongkol juga hati Bi Sian dimaki cerewet oleh gurunya. Boleh kau rasakan nanti, pikirnya. Ingin
berlomba dengan kudaku yang larinya cepat bagaikan angin? Bagaimana pun juga, ia tidak percaya suhunya
akan mampu menandingi kecepatan kudanya.
Ia pun lalu meloncat ke atas punggung kuda dan menoleh kepada gurunya yang masih duduk bersila di
atas tanah. “Mari kita berangkat, dan cepatlah, suhu. Hari sudah mulai sore!”
Berkata demikian, Bi Sian lalu mencambuk kudanya dan membalapkan kuda itu berlari menuruni bukit
dengan cepat. Setelah beberapa lamanya ia berlari, ia menoleh untuk melihat gurunya yang ditinggalkan
jauh.
Tentu saja ia akan berhenti kalau melihat suhu-nya tertinggal jauh. Akan tetapi betapa kaget dan heran
rasa hatinya melihat bahwa kakek itu sedang berjalan tepat berada di belakang kudanya, seolah-olah
sedang melenggang seenaknya saja!
Ia merasa penasaran dan mencambuki kudanya, membalapkan kudanya makin cepat lagi. Setelah
beberapa lamanya, kembali ia menoleh dan untuk ke dua kalinya matanya terbelalak melihat suhu-nya
tetap berada di belakang kudanya, bahkan kini memegang ujung ekor kuda itu sambil tersenyum-senyum
kepadanya!
Kini Bi Sian tidak ragu-ragu lagi. Suhu-nya memang seorang sakti seperti yang pernah ia dengar dari
ayahnya. Hatinya merasa kagum dan juga bangga, juga girang karena ia merasa yakin bahwa akan
banyak ilmu yang hebat dapat diterimanya dari kakek aneh ini.
Akan tetapi suhu-nya sudah begitu tua. Rasa iba menyelinap di dalam hati Bi Sian dan kini ia membiarkan
kudanya berlari lambat agar gurunya yang sudah tua itu tidak terlalu mengerahkan tenaga.
Tiba-tiba Bi Sian menghentikan kudanya. Mereka sudah tiba di kaki bukit dan ia melihat ada enam orang
berdiri menghadang di tengah jalan. Mereka itu adalah lima orang perampok tadi, dan di belakang mereka
ia mengenal Lu Ki Cong!
Tentu saja Bi Sian terheran-heran. Bagaimana lima orang perampok itu dapat berada di situ bersama Ki
Cong dan agaknya di antara mereka tidak terdapat permusuhan sama sekali? Bukankah tadi lima orang
‘perampok’ itu dimaki dan dihajar oleh Lu Ki Cong?
dunia-kangouw.blogspot.com
“Heh-heh-heh, sahabatmu yang kurang ajar itu sudah menanti bersama lima orang anak buahnya.”
Bi Sian terkejut. “Anak buahnya? Tidak, suhu, mereka adalah lima orang perampok yang tadi malah dihajar
oleh Ki Cong ketika mereka menggangguku!”
“Heh-heh-heh, dan kukatakan bahwa mereka adalah anak buahnya!”
“Kalian mau apa menghadang perjalananku?” Bi Sian membentak kepada lima orang itu. “Minggir!”
Akan tetapi, betapa heran rasa hati Bi Sian ketika ia melihat Lu Ki Cong menggerakkan tangannya dan
berteriak kepada lima orang perampok itu. “Bunuh kakek gila itu dan tangkap gadis itu untukku!”
Lima orang itu bergerak ke depan dan mengepung Bi Sian dan Koay Tojin. Marahlah Bi Sian karena gadis
yang cerdik itu sudah dapat menduga apa yang sebenarnya sudah terjadi. Dia melompat turun dari atas
kudanya dan menudingkan telunjuknya ke arah muka Lu Ki Cong sambil memaki.
“Tikus busuk Lu Ki Cong! Sekarang aku mengerti akal busukmu. Kiranya lima orang ini adalah antekantekmu
yang sengaja kau suruh menggangguku tadi, kemudian engkau muncul sebagai jagoan yang
mengundurkan mereka untuk bisa menarik hatiku! Engkau memang tikus busuk yang licik, curang, dan
jahat sekali!”
Lu Ki Cong tak menjawab, akan tetapi lima orang tukang pukulnya itu kini menghampiri Bi Sian dan Koay
Tojin dengan sikap mengancam.
Koay Tojin hanya tersenyum lebar, lalu dia berkata kepada Bi Sian, “Bi Sian, bukankah engkau ingin
menghajar tikus-tikus itu? Nah, sekarang hajarlah mereka, jangan beri ampun seorang pun, terutama tikus
cilik di belakang itu!”
Tentu saja Bi Sian menjadi ragu-ragu. Ia sudah maklum bahwa tak mungkin ia mampu mengalahkan lima
orang tukang pukul itu. Tadi pun ia tak berdaya, bahkan menghadapi Lu Ki Cong pun ia kalah tenaga.
Bagaimana kini ia harus menghajar enam orang itu?
“Tapi, suhu, bagaimana aku mampu...”
“Hushh! Bikin malu saja! Engkau kan muridku? Hayo hajar mereka dan kau gunakan tongkat bututku ini
agar tanganmu tidak kotor!” Kakek itu menyerahkan tongkatnya.
Besarlah hati Bi Sian. Dia merasa percaya sepenuhnya akan kesaktian gurunya yang kadang-kadang
seperti sinting itu. Gurunya memerintahkan supaya ia menyerang, tentu gurunya sudah siap sedia
membantunya.
Dan tongkat itu agaknya sebuah tongkat wasiat, pikirnya. Buktinya, tadi tongkat itu bisa menghajar Ki Cong
tanpa dipegang oleh suhu-nya. Kini tongkat itu berada di tangannya dan entah bagaimana, ia merasa
hatinya besar dan penuh semangat ketika tongkat itu berada di tangannya.
Tanpa mempedulikan bahaya yang mungkin mengancam dirinya lagi, Bi Sian langsung menerjang ke
depan menggerakkan tongkat butut di tangannya. Bagaimana pun juga, Bi Sian sejak kecil digembleng
ilmu silat oleh ayahnya, maka ia memiliki gerakan yang gesit serta langkah yang teratur dan kuat.
Menghadapi serangan anak perempuan yang memegang tongkat butut itu, lima orang tukang pukul itu
tentu saja memandang rendah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa menggunakan
kekerasan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup hebat, dan tenaga yang kuat.
Kalau tadi mereka ‘dihajar’ oleh Lu Ki Cong, hal itu memang disengaja dan sudah diatur sebelumnya,
merupakan siasat Lu Ki Cong untuk menaklukkan hati Bi Sian yang keras. Ki Cong yang mengatur
semuanya dan mempergunakan mereka.
Tadi Lu Ki Cong lari turun dari bukit, menemui mereka dan minta kepada mereka untuk menghajar serta
membunuh kakek gembel yang sudah menghina dirinya, juga sekalian menangkapkan Bi Sian karena dia
masih merasa penasaran bahwa gadis cilik itu tetap tidak mau tunduk kepadanya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil tersenyum mengejek, menyeringai lebar, salah seorang di antara mereka yang brewokan maju dan
mengulur tangannya. Orang ini hendak menangkis, lalu menangkap dan merampas tongkat butut ketika Bi
Sian memukulkan tongkat itu ke arah mukanya.
Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena tangannya itu tertahan di udara, tak bisa digerakkan
seperti bertemu dengan suatu benda yang tak nampak. Sementara itu, tongkat butut di tangan Bi Sian
sudah menyambar ke arah mukanya. Saking herannya melihat tangannya tidak dapat bergerak terus, si
brewok itu tak sempat lagi mengelak.
“Plakkk!”
Tongkat itu menghantam mukanya, tepat mengenai hidungnya dan darah mengucur dari hidungnya yang
seketika ‘mimisan’.
Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju, seorang merampas tongkat, seorang lagi hendak
meringkus Bi Sian. Akan tetapi kembali terjadi keanehan ketika mendadak dua orang itu terhenti gerakan
mereka, dan seperti patung tak mampu lagi melanjutkan gerakan mereka.
Bi Sian sudah mengayun tongkatnya ke arah mereka, menyerang ke arah kepala.
“Tukkk! Tukkk!”
Dua buah kepala itu masing-masing kebagian sekali pukulan yang cukup keras dan seketika kepala itu
keluar telurnya, menjendol biru!
“Heh-heh-heh, bagus sekali! Pukul terus, Bi Sian!”
Bi Sian sendiri terheran-heran mengapa tiga orang itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak dan
makin yakinlah hatinya bahwa gurunya tentu mempergunakan kesaktian, atau tongkat wasiat itu yang lihai
bukan main. Ia pun terus mendesak ke depan dan dua orang tukang pukul lainnya yang sudah
menerjangnya, disambutnya dengan dua kali pukulan ke arah muka mereka.
Seperti yang terjadi pada teman-teman mereka, serangan dua orang itu juga tertahan dan mereka tidak
mampu menggerakkan tangan ketika tongkat butut itu menyambar ke arah kepala mereka. Mereka baru
dapat bergerak setelah kepala mereka terpukul dan hanya dapat menggosok-gosok kepala yang menjadi
benjol oleh pukulan tongkat itu.
Tentu saja lima orang itu menjadi marah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang jarang
menemukan tandingan, dan di kota Sung-jan mereka amat ditakuti orang. Bagaimana kini menghadapi
seorang anak perempuan saja mereka sampai terkena hajaran tongkat seorang demi seorang? Biar pun
tidak sampai terluka parah akan tetapi pukulan tongkat itu mendatangkan rasa sakit di hati yang jauh
melebihi rasa nyeri di bagian yang terpukul.
“Bocah setan, berani kau memukul kami?” bentak si brewok.
“Heh-heh-heh, muridku tidak kenal takut, tidak kenal mundur, tidak takut mati, tentu saja berani menghajar
kalian, heh-heh. Hajar terus, Bi Sian, pukul anjing-anjing itu sampai mereka melolong-lolong!”
Dan Bi Sian yang kini sudah bersemangat dan bergembira sekali, menerjang terus! Biar pun lima orang itu
kini sudah marah, bahkan mereka telah mencabut golok, namun apa artinya golok-golok itu kalau setiap
kali digerakkan, selalu tertahan di udara? Akibatnya, mereka hanya menjadi bulan-bulanan sabetan dan
pukulan tongkat di tangan Bi Sian.
Meski pun yang memukuli hanya seorang anak perempuan, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah
berlatih silat dan mempunyai tenaga cukup kuat, sedangkan yang dipukuli sama sekali tidak mampu
mengelak, menangkis atau membalas, akhirnya tubuh mereka pun matang biru, muka mereka berdarah
dan kepala benjol-benjol!
Melihat ini, bukan hanya lima orang tukang pukul itu yang mulai terkejut dan gentar, juga Lu Ki Cong
terbelalak matanya. Ia pun membuat gerakan untuk menyelamatkan diri dan berlari pergi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Heh-heh, kau hendak lari ke mana? Bi Sian, jangan biarkan monyet kecil itu melarikan diri!” teriak Koay
Tojin dan dia kelihatan menggapai dengan tangannya.
Anehnya, kedua kaki Ki Cong yang tadinya sudah melompat hendak berlari itu seperti menjadi kaku dan
tidak dapat digerakkan maju lagi. Sementara itu, Bi Sian yang marah sekali kepada pemuda yang
menipunya itu, cepat lari menghampirinya dan tongkatnya lalu menghajar membabi-buta! Ki Cong yang
sudah dapat bergerak kembali, mencoba melawan, akan tetapi hasilnya malah pukulan-pukulan itu
semakin hebat.
“Heh-heh-heh, pukul kepalanya, hantam mukanya dan habiskan pantatnya. Biar tahu rasa monyet itu, hehheh-
heh!” Koay Tojin memberi semangat kepada muridnya.
Bi Sian terus menghajar Ki Cong hingga pemuda itu berdarah hidungnya, babak bundas penuh balur dan
bengkak-bengkak membiru. Akhirnya pemuda itu pun menjatuhkan diri bergulingan di atas tanah sambil
menangis!
Melihat ini, lima orang tukang pukul itu mencoba untuk menolong tuan muda mereka. Akan tetapi biar pun
mereka mendesak maju dengan serentak, tiba-tiba saja gerakan mereka tertahan dan Bi Sian sudah
membalik serta menghujankan pukulan tongkatnya kepada mereka!
Lima orang tukang pukul itu bukan orang bodoh. Walau pun tadinya mereka merasa penasaran dikalahkan
oleh seorang anak perempuan, akan tetapi kini mereka maklum bahwa sesungguhnya bukan anak
perempuan itu yang menghajar mereka, melainkan kakek gembel yang aneh itu. Maka, mereka menjadi
gentar sekali. Kalau dilanjutkan, jangan-jangan mereka semua akan tewas oleh pukulan-pukulan anak
perempuan yang galak itu!
Mereka lalu menyambar tubuh Lu Ki Cong yang masih menangis, dan melarikan diri dari situ sambil
terhuyung dan terpincang-pincang! Suara tawa gelak Koay Tojin mengikuti mereka, membuat mereka
semakin takut dan berusaha berlari secepatnya sampai jatuh bangun!
Bi Sian tidak mengejar karena ia sudah menjatuhkan dirinya di atas tanah. Napasnya terengah-engah dan
tubuhnya mandi peluh, akan tetapi wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum puas.
Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, bahkan lalu menjatuhkan diri pula di atas tanah dekat Bi Sian, terus
tertawa sanbil memegangi perutnya dan menggeliat-geliat. Melihat ini, Bi Sian kembali timbul dugaan
bahwa gurunya ini walau pun memang sakti sekali, akan tetapi agaknya tidak lumrah manusia dan tentu
akan dianggap sinting oleh orang lain.
Akan tetapi ia lebih tahu. Sinting atau tidak, suhu-nya ini seorang manusia luar biasa! Ia pun tahu benar
bahwa suhu-nya yang tadi sudah membantunya, maka dengan begitu mudahnya ia menghajar enam orang
tadi tanpa satu kali pun mendapat balasan pukulan dari mereka.
“Sudahlah, suhu. Apa sih yang sedang kau tertawakan begitu hebatnya?” katanya untuk menghentikan
aksi gurunya. Benar saja. Koay Tojin menghentikan tawanya dan dia pun bangkit berdiri.
“Wah, kau hebat, Bi Sian. Kau hebat sekali, engkau sudah menghajar anjing-anjing itu sampai berkaingkaing,
heh-heh-heh!”
Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. “Berkat pertolongan suhu! Aku berjanji akan
belajar dengan tekun dan penuh semangat agar kelak tidak membuat susah suhu lagi kalau bertemu
dengan anjing-anjing seperti tadi.”
Bi Sian lalu menunggangi kudanya lagi dan gurunya tetap berjalan di belakangnya. Kini Bi Sian mulai
menaruh hormat kepada gurunya karena ia yakin akan kesaktian kakek itu, maka ia pun tidak berani
membalapkan kudanya, takut kalau membuat orang tua itu menjadi kelelahan.
Karena itu, hari sudah mulai gelap ketika akhirnya mereka tiba di dalam kota Sung-jan. Atas petunjuk
gurunya, Bi Sian menambatkan kuda itu di kebun belakang, kemudian ia pun menurut saja petunjuk suhunya
bagaimana harus berpamit dari ayah bundanya.
“Kalau kita masuk ke dalam dan bertemu ayah ibumu, tentu mereka akan menahanmu dan mungkin sekali
akan memusuhiku. Hal itu amat tidak enak, maka sebaiknya engkau menurut aku saja. Mari!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Yaw Sun Kok dan isterinya berada di ruangan dalam. Sejak tadi Sie Lan Hong merasa gelisah dan
beberapa kali dia menyuruh suaminya untuk pergi mencari dan menyusul puteri mereka yang belum juga
pulang.
“Aku mulai khawatir, mengapa sampai hari telah menjadi gelap begini ia belum pulang juga. Sebaiknya
kalau engkau pergi mencarinya,” bujuknya untuk ke beberapa kalinya.
“Ia pergi membawa kuda dan biasanya ia memang pulang setelah senja. Ada beberapa tempat yang biasa
ia datangi dan aku tidak tahu yang mana yang ia kunjungi kali ini. Kalau aku mencari ke suatu tempat dan
ia pergi ke lain tempat, mungkin aku akan bersimpang jalan dengannya. Biarlah kita tunggu sebentar lagi.
Tidak perlu khawatir.”
“Akan tetapi, aku gelisah sekali. Ia anak perempuan dan...”
“Aihh, mengapa engkau memandang rendah anak sendiri? Walau pun perempuan dan masih kecil, akan
tetapi Bi Sian sudah mempunyai kepandaian yang cukup untuk dapat melindungi diri sendiri. Dan ia pun
ahli menunggang kuda, tidak mungkin terjadi sesuatu yang tidak baik padanya. Pula, siapa yang akan
berani mengganggunya? Semua orang di Sung-jan tahu bahwa ia adalah anakku.”
Mendengar ucapan suaminya itu, Si Lan Hong jadi terdiam. Akan tetapi ia masih terus memandang ke arah
pintu dengan penuh harapan.
Pada saat itu, tiba-tiba saja ada suara ketukan pada jendela di sebelah kiri ruangan itu. Suami isteri itu
cepat menengok dan... di balik jendela kaca itu nampaklah wajah puteri mereka! Bi Sian tersenyum lebar
dan wajahnya berseri penuh kegembiraan ketika ayah ibunya memandang kepadanya dengan mata
terbelalak.
“Bi Sian...!” teriak ibunya, dan ayahnya cepat melangkah ke jendela, hendak membuka jendela itu.
“Jangan dibuka, ayah! Ibu dan ayah, dengarkanlah baik-baik apa yang akan kukatakan! Aku sudah
mendapatkan seorang guru. Guruku namanya Koay Tojin dan kedatanganku ini hanya untuk pamit kepada
ayah dan ibu. Aku akan ikut dia merantau selama tujuh tahun dan setelah tamat belajar, aku pasti pulang.
Jangan cari aku, ayah. Tidak akan ada gunanya, karena ayah tidak akan dapat menyusul suhu!”
“Bi Sian...!” Yauw Sun Kok berseru dan cepat sekali dia sudah membuka daun jendela itu.
Akan tetapi, wajah anaknya itu telah hilang dan yang nampak hanya malam gelap. Dia merasa sangat
penasaran dan cepat melompat keluar jendela. Isterinya juga meloncat keluar jendela. Mereka memanggilmanggil
nama Bi Sian sambil mencari-cari, akan tetapi tidak nampak bayangan anak itu.
Mendadak terdengar suara anak mereka dari atas genteng. “Kuda itu kutambatkan di dalam kebun, ayah.
Nah, selamat tinggal, ayah dan ibu. Tujuh tahun lagi aku pulang!”
Ketika mereka menengok, ternyata Bi Sian sudah berdiri di wuwungan rumah mereka. Tentu saja Yauw
Sun Kok terkejut bukan main dan dia pun cepat molompat naik ke atas genteng untuk mengejar. Akan
tetapi, dalam sekejap mata saja bayangan anaknya itu pun lenyap. Dia merasa penasaran sekali. Tak
mungkin Bi Sian dapat melompat ke atas wuwungan rumah seperti itu dan lebih tidak mungkin lagi
menghilang seperti setan.
Akan tetapi semua usahanya untuk mencari Bi Sian sia-sia belaka. Baru sekali itu dalam hidupnya Yauw
Sun Kok merasa tidak berdaya sama sekali, seperti dipermainkan, seperti seorang yang lemah. Dia pun
dapat menduga bahwa itu tentu gara-gara guru anaknya itu yang bernama Koay Tojin.
Tahulah dia bahwa anaknya bertemu dengan seorang sakti yang memilihnya untuk menjadi muridnya.
Akan tetapi, dia tidak pernah mendengar nama Koay Tojin! Dia tidak tahu ke mana puterinya dibawa dan
siapa Koay Tojin itu, orang macam apa!
Tentu saja dia gelisah bukan main dan ketika isterinya merangkulnya sambil menangis, Yauw Sun Kok
hanya bisa menarik napas panjang berulang-ulang dan merasa berduka sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku akan mencarinya..., aku akan mencarinya sampai jumpa kemudian membawanya pulang...” Dia
menghibur isterinya berkali-kali.
Akan tetapi, hiburan ini hanya tinggal hiburan kosong belaka. Sampai berbulan-bulan Yauw Sun Kok
mengerahkan tenaga, bahkan minta bantuan orang, namun tidak ada yang berhasil. Tepat seperti
dikatakan oleh puterinya ketika berpamit, dia tidak berhasil menemukan jejak Koay Tojin.
Bahkan pada keesokan harinya, Lu-ciangkun datang dengan marah-marah mencari Bi Sian sambil
membawa Lu Ki Cong yang babak bundas! Ki Cong menceritakan betapa dia dipukuli dengan tongkat oleh
Bi Sian yang dibantu seorang kakek gembel yang gila! Tentu saja Ki Cong tidak menyebut-nyebut tentang
lima orang tukang pukulnya.
Mendengar ini, semakin yakinlah hati Yauw Sun Kok bahwa puterinya memang sudah dipilih sebagai murid
oleh seorang sakti dan bahwa Koay Tojin itu, menurut keterangan Lu Ki Cong, adalah seorang kakek tua
renta yang berpakaian gembel serta bersikap seperti orang gila! Tentu dia sakti, pikirnya.
Dia pun minta maaf kepada Lu-ciangkun, mengatakan bahwa anak perempuannya itu telah pergi dibawa
oleh seorang sakti yang mengambilnya sebagai murid.
Demikianlah, akhirnya Yauw Sun Kok dan isterinya hanya dapat menunggu dengan hati penuh kegelisahan
dan kerinduan. Mereka harus menanti sampai tujuh tahun! Mendung menyelimuti kehidupan keluarga ini.
Yauw Bi Sian yang tadinya seakan-akan menjadi matahari yang menyinari kehidupan mereka, sekarang
menghilang. Lebih-lebih lagi bagi Sie Lan Hong! Kepergian puterinya ini merupakan pukulan berat baginya.
Baru saja ia kehilangan adik kandungnya. Dalam keadaan masih berduka, tiba-tiba saja tanpa disangkasangka,
puterinya pergi untuk waktu yang lama sekali. Tujuh tahun…..
********************
Terdengar suara lantang seorang anak laki-laki yang membaca kitab dari dalam sebuah kamar di rumah
gedung indah itu. Suaranya lantang dan yang dibacanya adalah kitab sajak para penyair jaman dulu. Suara
itu merdu dan cara membacanya pun amat baik, setiap kata diucapkan dengan jelas dan dengan nada
suara yang tepat.
Kalau orang mengintai ke dalam kamar itu, dia akan kagum. Anak laki-laki itu memang tampan, ganteng
dan rapi, baik rambutnya, seluruh tubuhnya yang terpelihara baik-baik, mau pun pakaiannya. Jelas ia
adalah seorang anak terpelajar dari keluarga bangsawan atau hartawan! Cara ia duduk menghadapi kitab
di atas meja itu pun telah menunjukkan bahwa dia adalah seorang yang pandai membawa diri, sopan
santun.
Memang anak laki-laki berusia tiga belas tahun itu sejak kecil sudah digembleng dengan pelajaran sastera.
Yang dimaksud pelajaran sastera pada waktu itu adalah pelajaran membaca dan menulis huruf, juga
membaca kitab-kitab kuno di mana terdapat pelajaran filsafat, kebudayaan, sajak dan pelajaran kebatinan
yang berat-berat menjadi santapan anak-anak remaja!
Tentu saja hanya sedikit yang dapat meresapi benar akan isinya. Sebagian besar hanya mampu
menghafal saja dengan lancar, akan tetapi mengenai inti artinya, jarang yang dapat mengerti secara
mendalam. Apa lagi menghayatinya!
Anak itu bernama Coa Bong Gan, berusia tiga belas tahun dan dia adalah anak angkat dari Coa-wangwe
(Hartawan Coa), seorang hartawan yang kaya raya di kota Ye-ceng, sebuah kota di kaki pegunungan Kunlun-
san sebelah barat. Coa Hun atau Hartawan Coa adalah seorang pedagang besar yang berdagang
segala macam barang dengan negara-negara barat di perbatasan barat.
Kurang lebih delapan tahun yang lalu, saat terjadi keributan karena adanya gerombolan perampok dari
Nepal yang merusak dusun-dusun di perbatasan selatan dan barat, rombongannya yang baru pulang dari
barat menemukan seorang anak laki-laki berusia lima tahun berlarian seorang diri sambil menangis di
antara para pengungsi. Karena bocah itu mungil dan tampan, dan tidak ada seorang pun mengakuinya
sebagai anggota keluarga, maka Coa Hun lalu membawanya pulang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semenjak itu, anak itu diakui sebagai anak angkat. Anak berusia lima tahun itu hanya mengenal nama
sendiri sebagai Bong Gan, maka sejak itu dia bernama Coa Bong Gan, menggunakan nama keluarga Coawangwe.
Karena Coa-wangwe sendiri tidak memiliki anak laki-laki, hanya memiliki beberapa anak perempuan, maka
Bong Gan disayang oleh keluarga itu. Hanya saja Coa-wangwe tidak merahasiakan bahwa anak itu
merupakan anak angkat, bukan anak kandung karena dia masih mengharapkan untuk memperoleh
seorang keturunan anak laki-laki. Untuk itu dia berusaha dengan mengambil beberapa orang selir yang
masih muda dan sehat. Coa Hun sendiri baru berusia empat puluh dua tahun ketika membawa Bong Gan
pulang.
Oleh karena itu, biar pun Bong Gan amat disayang, akan tetapi tetap saja semua orang menganggap ia
bukan sebagai anak kandung Coa-wangwe. Sikap hormat para pelayan terhadapnya hanya kalau berada
di depan hartawan itu. Bahkan para selir dan juga Nyonya Coa merasa iri dan tidak suka kepada Bong Gan
yang dianggap bukan suku bangsa Han.
Melihat bentuk wajah anak itu, ketampanannya merupakan ketampanan suku Uigur atau Kazak. Anak itu
sendiri tidak ketahuan siapa orang tuanya. Agaknya dua hal ini, yaitu kemuliaan yang diterima seorang
anak yang tak dikenal asal-usulnya, ketampanan dan kecerdikannya, kecakapannya belajar ilmu
kesusasteraan, sudah mendatangkan rasa iri hati.
Banyak orang tidak suka kepada Bong Gan. Baru namanya saja, yang diakui anak kecil itu ketika
ditemukan, Bong Gan, berbau nama suku bangsa Uigur atau Kazak. Mungkin nama aslinya Munggan atau
Boangana!
Bong Gan kini sudah menjadi seorang pemuda remaja berusia tiga belas tahun yang amat cerdik, pandai
sekali mengatur sikap dan bersikap manis dan rendah hati terhadap yang berada di atasnya, serta bersikap
anggun dan berwibawa terhadap yang tak suka kepadanya.
Pakaiannya selalu baru dan rapi sekali. Tubuhnya juga selalu dirawat baik-baik, mulai dari rambutnya
sampai kuku kakinya. Di setiap penampilannya, ia hanya mendatangkan rasa bangga kepada ayah
angkatnya, satu-satunya orang yang dihormatinya secara berlebihan karena dia tahu bahwa hanya
seorang ini sajalah yang memungkinkan dia mempertahankan kemuliaannya!
Biar pun usianya baru tiga belas tahun, namun Bong Gan amat cerdik. Dia tahu pula bahwa banyak di
antara anggota keluarga ayah angkatnya yang hatinya merasa iri dan tidak suka kepadanya. Dia tahu pula
bahwa mereka yang tidak suka kepadanya selalu memata-matainya, menyebar mata-mata yang bekerja
sebagai pelayan-pelayan, untuk mencari kesalahannya agar kesalahannya itu dapat dilaporkan kepada
ayah angkatnya. Oleh karena itu, dia bersikap hati-hati sekali.
Malam itu, biar pun dia tahu bahwa ayah angkatnya sedang berkunjung ke kota lain dan malam itu tidak
akan pulang, dia tetap saja menghafalkan pelajarannya membaca kitab kuno dengan suara yang berirama
dan merdu. Ini berarti bahwa meski ayah angkatnya tidak berada di rumah, tetap saja dia belajar dengan
tekun!
Setelah dia selesai membaca, dia mendengar langkah kaki halus memasuki kamarnya. Dia menengok.
Ketika melihat siapa yang memasuki kamarnya, jantung pemuda remaja ini berdentam penuh ketegangan.
Tentu saja dia mengenal Pek Lan, selir termuda dan tersayang dari ayah angkatnya.
Pek Lan baru berusia tujuh belas tahun dan ia seorang peranakan Kirgiz-Han yang amat manis. Wajahnya
lonjong seperti wanita Kirgiz umumnya, kulitnya kuning putih mulus seperti kulit wanita Han, akan tetapi
bulu-bulu halus pada lengannya menambah daya tarik seorang wanita berdarah Kirgiz. Tentu saja ia
menjadi selir tersayang Coa-wangwe karena ia paling muda dan paling cantik, dan ia diperoleh hartawan
itu dengan tebusan uang yang amat mahal!
Karena ia amat disayang dan dimanja oleh hartawan itu, tentu saja hal ini menimbulkan perasaan iri
kepada para selir lain, walau pun perasaan iri itu hanya mereka simpan di hati saja. Pengaruh selir muda
ini terhadap Coa-wangwe amat kuat sehingga hartawan itu pasti akan membela sang selir termuda kalau
sampai terjadi pertengkaran terbuka.
Perjodohan antara seorang pria dan seorang wanita harus berdasarkan cinta di antara mereka. Tanpa
perasaan ini sudah pasti akan terjadi pertentangan dan penyelewengan. Di dalam hati Pek Lan, sedikit pun
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak terdapat rasa sayang kepada suaminya yang jauh lebih tua itu, dan yang menjadi suaminya karena ia
telah dibeli dari orang tuanya yang miskin dan banyak hutang. Ia menjadi selir Coa-wangwe bukan dengan
suka rela, melainkan karena terpaksa.
Oleh karena itu, baru saja diboyong ke dalam rumah gedung Coa-wangwe, dan melihat betapa hampir
semua isi rumah kelihatan tidak suka kepadanya, hatinya segera tertarik oleh pemuda remaja yang tampan
itu. Ia tertarik kepada Bong Gan bukan hanya karena pemuda remaja ini tampan, juga karena ia
mendengar bahwa pemuda ini bukan putera kandung suaminya, dan juga ia melihat betapa orang-orang
serumah itu juga tidak suka kepada pemuda itu. Hal ini saja mendatangkan perasaan suka dalam hatinya
terhadap pemuda itu, perasaan senasib sependeritaan.
Sudah lama ia bersikap manis kepada Bong Gan, memperlihatkan rasa sukanya pada pandang mata dan
suaranya. Namun agaknya Bong Gan masih terlalu hijau dan terlalu muda untuk menangkap isyarat dan
menanggapinya.
Sesungguhnya, meski usianya baru tiga belas tahun, Bong Gan bukan seorang pemuda yang dungu. Ia
pun banyak membaca, di antaranya ia membaca cerita-cerita percintaan sehingga kini ia sudah dapat
membayangkan tentang perasaan mesra antara pria dan wanita ini.
Ketika Pek Lan menjadi keluarga ayahnya dan memasuki gedung itu, dia mengagumi kecantikan wanita ini.
Ketika Pek Lan mulai bersikap manis kepadanya, melalui kerling mata dan senyum manisnya, Bong Gan
bukan tidak tahu dan dia pun merasa amat suka kepada wanita itu.
Hanya tentu saja, dia tidak berani bersikap tidak hormat kepada isteri ayah angkatnya. Dia selalu bersikap
sopan, tidak memperlihatkan tanda bahwa dia sebenarnya sudah mengerti betapa selir muda ayahnya itu
bersikap menantang padanya. Juga dia masih terlalu muda untuk berani memperlihatkan tanggapan.
Pada malam hari itu, di luar dugaan dan harapannya, tiba-tiba saja Pek Lan memasuki kamarnya! Melihat
bahwa yang memasuki kamarnya dengan langkah halus adalah selir ayahnya, maka Bong Gan cepat
bangkit berdiri.
Bong Gan berusia tiga belas tahun dan Pek Lan tujuh belas tahun, akan tetapi tinggi badan mereka sama,
bahkan Bong Gan lebih tinggi sedikit. Pemuda remaja itu cepat merangkap kedua tangan di depan dada
memberi hormat.
“Ahh, kiranya ibu yang datang malam-malam begini...”
“Hushh, jangan sebut ibu kepadaku, Bong Gan. Sungguh tidak enak sekali mendengar sebutan itu...”
“Tapi, ibu adalah isteri ayah. Apa lagi harus saya sebut kalau bukan ibu?”
“Usia kita hanya berselisih dua tiga tahun, janggal rasanya kalau engkau menyebut ibu. Engkau patut
menjadi adikku dan aku enci-mu, walau pun aku menjadi isteri ayahmu. Sebut saja enci kepadaku,
kecuali... tentu saja di depan orang lain boleh saja engkau menyebut ibu.”
Bong Gan tersenyum. Hatinya gembira sekali karena wanita cantik itu bersikap begitu manis. Belum
pernah mereka berkesempatan bicara panjang dan berduaan saja seperti sekarang ini. Ayahnya sedang
tidak berada di rumah, dan hari sudah agak larut, semua penghuni rumah itu agaknya sudah tidur sehingga
tidak ada orang lain yang melihat ibu muda ini memasuki kamarnya.
“Baiklah, enci. Silakan duduk, dan maaf, kursinya hanya sebuah,” katanya menunjuk ke arah kursi yang
tadi dia duduki.
“Terima kasih,” Pek Lan tersenyum dan duduk di atas kursi itu.
Di atas meja terdapat beberapa buah buku dan diambilnya sebuah. Kebetulan buku itu adalah buku cerita
tentang percintaan romantis. Akan tetapi, ternyata Pek Lan hanya dapat membaca sedikit saja.
“Kau duduklah, Bong Gan,” katanya melihat pemuda itu hanya berdiri saja.
“Biar saya berdiri saja, enci. Kursinya hanya sebuah.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahhh!” Pek Lan bangkit berdiri, membawa bukunya, lalu ia duduk di atas pembaringan.
“Biarlah aku duduk di sini. Kau duduklah.”
Bong Gan duduk di atas kursi, jantungnya berdebar tegang melihat betapa wanita cantik itu duduk di atas
pembaringannya.
Beberapa kali Pek Lan yang membaca buku itu melirik kepadanya, membuat Bong Gan menjadi serba
salah tingkah.
“Bong Gan, huruf apakah ini...?” Pek Lan bertanya, menunjuk ke lembaran buku yang dipegangnya.
Karena dari tempat dia duduk tidak mungkin Bong Gan dapat melihat huruf itu, terpaksa ia bangkit dan
menghampiri, kemudian membacakan huruf itu dan kembali duduk. Akan tetapi beberapa kali Pek Lan
memanggilnya lagi untuk menanyakan huruf yang tidak dia kenal sehingga beberapa kali pula pemuda itu
menghampiri, membacakan hurufnya dan duduk kembali.
“Ahh, terlalu sukar bagiku, Bong Gan. Tolong kau bacakan untukku saja. Kesinilah dan duduklah di sini,
kita baca bersama. Kau ajari aku membaca, Bong Gan.”
Tentu saja Bong Gan menjadi gemetar dan tidak berani duduk berjajar di pembaringan itu. Walau pun dia
sudah menghampiri dekat, namun dia berdiri saja di depan wanita itu, tidak berani duduk bersanding. Pek
Lan memegang tangannya dan menariknya duduk di dekatnya, di tepi pembaringan.
“Aihh, mengapa engkau malu-malu dan takut?”
“Enci... aku... aku tidak berani... nanti dianggap tidak sopan...,” kata Bong Gan gemetar, walau pun hatinya
berdebar girang dan tegang.
“Aihh, siapa bilang tidak sopan? Aku adalah juga ibu angkatmu, atau kita seperti enci dan adik, apa
salahnya duduk berdekatan? Hayo, jangan takut!”
Dan kini Bong Gan membiarkan dirinya ditarik dan dia pun duduk di dekat Pek Lan. Tepi pinggul dan paha
mereka bersentuhan sehingga Bong Gan bisa merasakan kelembutan yang hangat, yang membuat
tubuhnya gemetar dan jantungnya berdegup keras.
Ketika dia membacakan buku itu, suaranya juga gemetar dan parau. Apa lagi, ketika dia merasa betapa
jari-jari tangan yang halus itu meraba-raba tubuhnya. Jari yang hangat lembut dengan sentuhan-sentuhan
mesra.
Makin lama suara bacaannya semakin lemah bahkan kacau, dan akhirnya buku yang tadi dibaca oleh
Bong Gan itu sudah menggeletak di atas lantai di depan pembaringan, sedangkan di atas pembaringan itu
Bong Gan dan Pek Lan sudah bergumul. Pek Lan seorang guru yang penuh gairah, sedangkan Bong Gan
menjadi murid yang pandai dan taat.
Keduanya tenggelam dalam buaian gelombang nafsu, keduanya menjadi semakin haus. Pek Lan adalah
seorang wanita muda yang dikecewakan karena perjodohannya dengan Coa-wangwe dilakukannya secara
terpaksa, yang membuat ia selalu merasa penasaran dan tidak puas. Kini, bertemu dengan seorang
pemuda remaja yang menjadi muridnya yang amat patuh, pandai dan menyenangkan, tentu saja Pek Lan
menjadi lupa daratan.
Sebaliknya, sejak kecil Bong Gan memang haus akan kasih sayang, dan kini bertemu dengan seorang
wanita yang cantik menarik, yang menyayangnya dan menjadi gurunya dalam berenang di lautan
kemesraan, dia pun menjadi mabok. Sebetulnya dia masih terlalu muda sehingga dia pun tidak dapat lagi
melihat kenyataan betapa perbuatannya itu amatlah berbahaya, juga sangat hina karena dia sudah
berjinah dengan selir ayah angkatnya yang berarti juga ibu angkatnya sendiri!
Langkah pertama dilanjutkan dengan langkah berikutnya, lalu ke sekian kali, ke sekian puluh kali dan
mereka berdua yang dimabok kemesraan ini, yang dibikin buta oleh nafsu birahi, tidak tahu bahwa banyak
pasang mata dari mereka yang memang tidak suka kepada mereka, selalu membayangi dan mengintai
mereka. Para pemilik mata inilah yang kemudian melaporkan kepada Coa-wangwe.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja hartawan yang usianya sudah setengah abad lebih ini menjadi amat terkejut, heran dan
kemudian marah. Dia terkejut sekali mendengar bahwa selirnya yang paling disayangnya telah bermain
gila dengan putera angkatnya, kemudian dia merasa heran mengingat betapa putera angkatnya itu
biasanya selalu bersikap amat baik, terpelajar, rajin, sopan dan selalu menyenangkan hati.
Bagaimana kini tiba-tiba saja ia mendengar bahwa putera angkatnya itu berjinah dengan selirnya? Pula,
Bong Gan baru berusia tiga belas tahun, sesungguhnya masih remaja, masih kanak-kanak dan belum
dewasa! Tentu selirnya itu yang menjadi biang keladinya, pikirnya dengan gemas dan marah.
Akan tetapi dia belum mau percaya begitu saja dan diaturlah oleh para selir yang lain dan para pelayan
agar sang hartawan dapat menangkap basah hubungan gelap yang dilakukan selirnya terkasih itu dengan
putera tersayang pula. Diatur supaya hartawan itu meninggalkan gedung untuk bermalam di luar. Dan pada
waktu malam, ketika semua musuh rahasia dua orang muda yang sedang dimabok nafsu itu tahu bahwa
mereka berdua sedang mengadakan pertemuan rahasia di kamar sang putera angkat, hartawan Coa lalu
tiba-tiba muncul dan daun pintu digedor dari luar!
Dapat dibayangkan alangkah kaget dan takutnya perasaan Pek Lan serta Bong Gan. Mereka hanya
sempat membereskan pakaian mereka sebelum daun pintu itu jebol karena dipaksa dari luar dan keduanya
segera menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Coa-wangwe yang mukanya menjadi merah seperti udang
direbus saking marahnya.
Biar pun kedua orang muda yang amat disayangnya itu berlutut sambil menangis minta ampun, tetap saja
kemarahan Coa-wangwe tak dapat diredakan, apa lagi di sampingnya terdapat para selir dan pelayan yang
membisikkan berita-berita yang amat menyakitkan hatinya, betapa putera angkat itu hampir setiap malam
mengadakan pertemuan dengan sang selir dan betapa mesranya hubungan di antara mereka.
Diam-diam Pek Lan melirik dan mencatat dalam otaknya siapa-siapa yang pada malam itu hadir bersama
suaminya. Dapat ia menduga bahwa mereka inilah yang telah menjadi mata-mata yang melaporkannya
kepada suaminya.
Coa-wangwe demikian marah sampai dia menyuruh para pelayan memberi hukuman cambuk rotan di
punggung kedua orang muda itu sebanyak lima belas kali, kemudian mengusir dua orang yang
punggungnya berdarah karena kulitnya pecah-pecah itu agar meninggalkan rumahnya tanpa diberi bekal
secuil pun pakaian pengganti atau sepotong pun uang kecil.
Keduanya meninggalkan rumah sambil menangis, ditertawakan oleh mereka yang sejak lama merasa iri
hati dan membenci kedua orang muda itu. Dengan tubuh sakit-sakit akan tetapi hati lebih sakit lagi, Bong
Gan dan Pek Lan pergi meninggalkan gedung itu. Mereka terus pergi dengan kepala menunduk, keluar
dari dalam kota Ye-ceng.
Berita mengenai diusirnya selir termuda dan putera angkat dari Coa-wangwe itu lebih cepat keluar dari
gedung itu dibandingkan orangnya, tentu saja karena disebarkan oleh mereka yang membenci kedua
orang itu, sehingga Bong Gan dan Pek Lan tidak berani mengangkat muka mereka, sebab semua orang
memandang dengan mata dan senyum mengejek.
Sampai di luar kota, malam sudah menjelang pagi dan mereka berdua masih berjalan terus di dalam
keremangan cuaca sambil menangis. Biar pun mereka tidak mempunyai tujuan ke mana harus pergi,
namun kedua orang ini tak pernah menghentikan langkah, seolah-olah khawatir bila ada orang-orang yang
mengejar dan memperolokkan mereka.
Barulah mereka berhenti setelah matahari terbit dan keduanya merasa lelah sekali. Mereka berhenti di tepi
sebuah hutan, di bawah sebuah pohon rindang. Suasananya di situ sunyi sekali karena sudah amat jauh
dari kota.
Melihat Pek Lan masih menangis sambil setengah menelungkup di atas rumput, Bong Gan merasa kasihan
juga. Wanita muda ini biasanya hidup mulia, mewah dan manja, kini harus menempuh perjalanan setengah
malam dan tidak mempunyai apa-apa lagi.
“Sudahlah, enci Pek Lan. Untuk apa menangis lagi? Ditangisi sampai air mata darah pun tidak ada
gunanya lagi,” kata Bong Gan yang sudah dapat memulihkan keadaan hatinya. Anak yang cerdik ini
maklum bahwa bersedih-sedih tidak ada gunanya dan dia harus dapat mencari jalan yang baik dalam
kehidupannya yang baru ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, tanpa diketahuinya, kata-kata hiburannya itu bahkan membuat wanita itu menjadi lebih
berduka dan akhirnya menjadi marah sekali kepada Bong Gan. Sejak tadi, di samping kedukaannya, Pek
Lan menganggap bahwa semua mala petaka yang kini menimpa dirinya ini disebabkan oleh Bong Gan!
“Engkau memang anak durhaka!” bentaknya sambil bangkit duduk dan jari telunjuknya menuding ke arah
muka Bong Gan. “Engkaulah biang keladi semua ini, engkaulah yang menjadi penyebab mala petaka yang
menimpa diriku! Kalau bukan karena engkau, aku tentu masih hidup terhormat dan mulia di rumah keluarga
Coa! Aahhh, engkau yang mencelakakan aku! Engkau anak tak tahu diri, engkau anak durhaka, tak tahu
malu...!”
Sepasang mata Bong Gan terbelalak. “Diam!” Dia membentak marah sekali. “Engkaulah perempuan yang
tidak tahu malu! Engkau yang datang pertama kali di dalam kamarku dan merayuku! Lupakah engkau?
Engkaulah yang tak tahu malu. Engkau mengkhianati ayah angkatku dan engkau menyeret aku ke dalam
lumpur kehinaan! Dan sekarang engkau hendak menyalahkan aku dan menghinaku? Perempuan tak tahu
malu!”
“Apa?! Kau berani memaki aku? Anak kurang ajar kau!” Pek Lan bangkit berdiri.
Bong Gan juga bangkit berdiri dan Pek Lan segera menyerang anak laki-laki itu dengan tamparan dan
cakaran. Bong Gan tidak tinggal diam dan dia pun membalas. Dua orang itu kini bergulat, bukan di atas
pembaringan di dalam kamar mewah Bong Gan, bukan bergulat untuk memperebutkan kemesraan,
melainkan bergulat dalam perkelahian dan memperebutkan kebenaran masing-masing, berusaha untuk
saling menyakiti!
Pek Lan lebih tua tiga empat tahun, akan tetapi Bong Gan seorang anak laki-laki, jadi masing-masing ada
kelebihan dan kelemahan yang membuat perkelahian itu menjadi ramai dan seimbang! Akan tetapi tiba-tiba
saja tubuh Bong Gan terlempar dan terguling-guling seperti disambar kilat.
Kiranya di situ sudah muncul seorang nenek yang amat menakutkan dan mengerikan. Kalau saja Bong
Gan dan Pek Lan tidak sedang dilanda kemarahan, tentu mereka akan lari tunggang langgang atau
menggigil ketakutan, mengira bahwa di situ muncul iblis sendiri. Pek Lan melihat dengan jelas betapa
nenek itu tadi mendorong tubuh Bong Gan yang menyebabkan anak laki-laki itu terlempar dan jatuh
terguling-guling.
Hal ini berarti bahwa nenek itu sudah membantunya. Maka, biar pun hatinya merasa ngeri, ia tahu bahwa
nenek itu boleh ia harapkan. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu sambil menangis!
Sementara itu Bong Gan yang sudah bangkit duduk, merasa betapa seluruh tubuhnya nyeri-nyeri karena
terbanting dan terguling-guling tadi. Dia tidak berani bangkit berdiri, hanya memandang pada nenek itu
dengan mata terbelalak dan hati dipenuhi perasaan seram.
Nenek itu berusia tua sekali, tentu tidak kurang dari pada tujuh puluh tahun. Tubuhnya demikian kurus
kering, kecil dan membungkuk seperti udang kering, seolah-olah usia tua sudah membuat tubuhnya
mengkerut dan kering.
Muka yang kulitnya kehitaman itu berkerut-kerut penuh dengan garis malang-melintang, dan sepasang
matanya sampai hampir tertutup karena kelebihan kulit pada pelupuknya. Tulang-tulang pipinya menonjol,
dan hidung serta mulutnya sangat kecil karena mulut itu mengkerut ke dalam, tidak nampak lagi bibirnya
yang seperti dikulum mulut yang tidak bergigi lagi.
Rambutnya tinggal sedikit, jarang dan pendek, kusut dan kotor. Tangan dan kaki seperti tulang-tulang
terbungkus kulit tipis. Tubuh yang membungkuk seperti udang itu ditopang sebatang tongkat hitam yang
bentuknya seperti ular kering, ditutupi oleh pakaian yang seluruhnya berwarna hitam. Sungguh
menyeramkan sekali keadaan nenek itu, namun sepasang mata yang kecil dan bersembunyi itu
mengeluarkan sinar mencorong yang amat mengejutkan hati orang.
Nenek itu mengangguk-angguk pada saat melihat Pek Lan berlutut di depannya sambil menangis.
Mendadak tangannya bergerak dan tongkatnya meluncur, dan tahu-tahu Pek Lan merasa dagunya
didorong sesuatu yang memaksa dia untuk menengadah. Kiranya nenek itu sudah menggunakan ujung
tongkatnya untuk memaksa gadis itu mengangkat muka. Melihat wajah yang manis itu, kembali si nenek
mengangguk-angguk.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ceritakan, mengapa kau menangis di sini!” terdengar nenek itu berkata, dan anehnya, biar pun jelas ia
mengeluarkan ucapan, namun mulut itu sama sekali tidak terbuka dan tidak bergerak!
Pek Lan agaknya menyadari bahwa dia sedang bertemu dengan seorang manusia luar biasa, atau
mungkin iblis sendiri yang memperlihatkan rupa, maka dia pun menjawab sambil menahan tangisnya.
“Nenek yang mulia, saya bernama Pek Lan. Saya barusan diusir dari rumah suami saya hartawan Coa di
kota Ye-ceng karena saya difitnah bermain gila dengan bocah setan itu. Saya tidak mempunyai rumah dan
keluarga saya di dusun pasti akan menolak saya. Semua ini gara-gara bocah setan itu, akan tetapi dia
tidak mau mengaku salah, malah menyalahkan saya.”
Nenek itu mengangkat mukanya memandang kepada Bong Gan yang masih mendekam di atas tanah.
Sinar mata nenek itu mencorong seperti hendak menyambar ke arahnya, membuat Bong Gan menjadi
semakin ngeri ketakutan.
“Huh-huh, bocah itu mempunyai mata seperti setan. Apakah kau ingin agar supaya aku membunuhnya?”
Bulu kuduk Pek Lan bergidik. Nenek itu sungguh berhati kejam bukan main. Bagaimana pun marahnya
terhadap Bong Gan, tentu saja Pek Lan tidak ingin melihat pemuda itu dibunuh. Kalau ia teringat akan
pengalamannya selama beberapa bulan ini, masih ada sisa kemesraan dalam hatinya terhadap Bong Gan.
“Jangan, nek, jangan dibunuh, akan tetapi beri saja hajaran agar dia kapok dan tidak berani lagi
menyalahkan aku!” katanya.
Nenek itu terkekeh. “Heh-heh, bagus. Akan kuhajar dia biar kapok!”
Bong Gan yang sudah merasa ngeri melihat nenek itu, kini timbul keberaniannya. Biar pun nenek itu
mengerikan, namun ia hanya seorang nenek yang tua renta dan nampak ringkih. Dan dia tidak mau dihajar
begitu saja tanpa melawan. Maka, Bong Gan segera bangkit berdiri dan siap untuk melawan kalau nenek
itu hendak menghajarnya.
Dengan langkah terseok-seok dibantu tongkatnya, nenek itu menghampiri Bong Gan. Ia terkekeh melihat
sikap anak laki-laki itu yang agaknya bersiap-siap untuk melawannya.
“He-he-heh, bocah setan, bergulinglah engkau!” Nampak ia menggerakkan tongkatnya, kemudian nampak
ada sinar hitam panjang menyambar, dan tahu-tahu tubuh Bong Gan, tanpa dapat ditahannya lagi, roboh
dan tubuh itu terguling-guling!
Nenek itu tertawa terpingkal-pingkal dan hebatnya, seperti juga tadi, mulutnya masih tetap tertutup. Entah
melalui lubang mana suara terpingkal-pingkal itu.
“Heh-heh-ho-ho... sekarang terbanglah! Terbanglah!” Kembali yang nampak hanya sinar hitam dan tibatiba
tubuh yang tadinya bergulingan itu, kini terlempar tinggi ke udara!
Bong Gan menjadi ketakutan. Tadi ketika tubuhnya terpelanting dan terguling-guling, dia merasa nyerinyeri
dan babak-bundas dan kini tubuhnya terlempar begitu jauh ke atas, maka dia pun mengeluarkan jerit
ketakutan ketika tubuhnya meluncur ke bawah dengan cepat sekali! Tentu akan remuk-remuk semua
tulangnya, dan pecah kepalanya!
“Tolooooong!” Dia menjerit-jerit.
“Nenek yang baik, harap jangan bunuh dia!” Pek Lan yang memandang dengan mata terbelalak berseru,
khawatir kalau sampai pemuda cilik yang pernah menjadi kekasihnya itu akan terbanting remuk dan tewas.
“Ho-ho, tidak dibunuh, tidak dibunuh!” kata nenek itu.
Dan benar saja, begitu tubuh Bong Gan hampir terbanting ke atas tanah, tiba-tiba ada sinar hitam panjang
menyambutnya sehingga tubuh itu kini terlempar kembali ke atas lebih tinggi dari pada tadi! Tentu saja
Bong Gan dengan ketakutan menjerit-jerit seperti seekor anjing sedang digebuki.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat kenyataan bahwa nenek itu benar-benar tidak membunuh Bong Gan, hanya menghajarnya saja,
legalah hati Pek Lan dan dia pun bertepuk tangan sambil bersorak. Lupalah dia akan kedukaannya.
“Bagus! Hi-hi-hik, bagus! Nah, tahu rasa sekarang engkau, Bong Gan! Hayo cepat kau minta ampun
kepadaku, baru aku mau minta kepada nenek yang mulia ini agar supaya menghentikan permainannya!”
Bong Gan boleh jadi ketakutan setengah mati, akan tetapi dia seorang anak yang cerdik dan juga keras
hati. Mendengar ucapan Pek Lan, dia mengeraskan perasaannya dan menutup mulutnya, tidak lagi mau
menjerit ketakutan, melainkan menutup dua matanya rapat-rapat.
Pada saat tubuhnya meluncur turun untuk ke dua kalinya, tiba-tiba saja tubuhnya itu berhenti di udara
seperti tertahan oleh tenaga yang tidak kelihatan. Kemudian, tubuh itu tidak lagi meluncur ke bawah,
melainkan ke samping dan tahu-tahu leher bajunya sudah berada di ujung tongkat yang mengaitnya, dan
tongkat itu dipegang oleh seorang kakek gembel!
Kakek yang muncul itu bukan lain adalah Koay Tojin, yang kebetulan tiba di tempat itu bersama muridnya
yang baru, yaitu Yauw Bi Sian! Melihat ada seorang anak laki-laki menjerit-jerit dan tubuhnya sedang
dilempar-lempar ke atas oleh seorang nenek yang menyeramkan, Bi Sian sudah merengek kepada
gurunya.
“Suhu, tolonglah anak laki-laki itu dan hajar nenek yang jahat itu. Biar aku menghajar gadis yang kejam itu!”
Mula-mula Koay Tojin memandang ke pada nenek itu dan nampak terkejut. “Waaahhh! Menghajar nenek
tua itu? Mana aku berani? Dia adalah Hek-in Kui-bo (Biang Iblis Awan Hitam)...! Hiiiih... aku ngeri
melihatnya...” Dan kakek gembel itu bergidik kengerian.
Melihat sikap gurunya, Bi Sian cemberut. Tentu saja ia tidak percaya kalau gurunya jeri terhadap nenek
yang kurus kering dan hampir mati itu!
“Kalau suhu tidak berani, biarlah aku yang melawannya! Aku tidak takut!”
Berkata demikian, Bi Sian lalu meloncat ke depan menghadapi nenek buruk itu dengan kedua tangan
terkepal. “Hei, nenek iblis yang jahat! Kenapa engkau menyiksa orang? Hayo pergi dari sini, kalau tidak
akan kupukul engkau!”
Nenek itu menyeringai, lalu menoleh kepada Pek Lan, “Ho-ho, bagaimana ini? Apakah aku harus
menghajarnya juga?”
Pek Lan marah sekali kepada anak perempuan yang muncul bersama kakek gembel itu karena mereka
menghentikan hajaran nenek itu terhadap Bong Gan.
“Nek, bocah itu mencampuri urusan kita, sebaiknya kau bunuh saja!”
Di sini telah nampak perwatakan yang menguasai batin Pek Lan. Ia dapat berlaku kejam sekali terhadap
orang yang tak disukainya, atau orang yang mendatangkan kemarahan dalam hatinya seperti gadis cilik itu.
“Bunuh? He-heh-heh, benar sekali, memang bocah ini layak dibunuh!” jawab nenek itu sambil terkekeh
tanpa membuka mulut.
Tiba-tiba dia menggerakkan tongkat ularnya ke arah Bi Sian. Sinar hitam meluncur ke arah gadis cilik itu,
mengeluarkan suara mendesir.
“Wirrrr... takkkk!”
Tongkat ular itu terpental, bertemu dengan sebatang tongkat butut di tangan Koay Tojin. Benturan antara
kedua tongkat itu sedemikian kuatnya sehingga terasa oleh Pek Lan dan Bi Sian.
Nenek itu mengeluarkan suara menggereng marah, kedua matanya yang bersembunyi di lipatan kulit itu
mencorong menatap kepada kakek yang berdiri di depannya.
“Ho-ho-ho! Bukankah engkau ini kakek gembel gila dari Himalaya?” teriaknya marah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Koay Tojin menyeringai pula. Dia tadi tidak berpura-pura ketika kepada muridnya dia mengatakan takut
kepada nenek itu, bukan takut karena kepandaian si nenek iblis itu, melainkan ngeri karena dia sudah
mengenal akan kejahatan dan kekejaman hati nenek yang berjuluk Hek-in Kui-bo itu!
“Dan engkau Biang Iblis Awan Hitam yang sudah tidak bergigi lagi, ha-ha-ha! Hayo buka mulutmu,
perlihatkan kepadaku, pasti tidak ada sepotong pun gigimu maka engkau malu membuka mulutmu!”
Nenek itu semakin marah. Kata-kata ‘tidak bergigi lagi’ bukan hanya dimaksudkan untuk mengejek
keburukan rupa, akan tetapi juga boleh diartikan sebagai ejekan bahwa nenek itu tidak berbahaya lagi,
seperti seekor macan ompong yang tidak bergigi lagi!
“Koay Tojin keparat! Tidak bergigi lagi, ya? Nah, rasakan gigitanku!”
Nenek itu sudah menyerang dengan cara yang sangat aneh. Dia melontarkan tongkat ularnya ke atas, dan
tahu-tahu tongkat itu meluncur ke arah Koay Tojin dan menyerang kalang-kabut seperti digerakkan oleh
tangan yang tidak nampak!
Koay Tojin tertawa bergelak, melompat ke belakang dan dia pun lalu melempar tongkat bututnya ke depan.
Seperti tongkat ular si nenek, maka tongkat butut Koay Tojin itu kini pun ‘hidup’ dan melawan tongkat ular
itu.
Terjadilah pertandingan yang luar biasa aneh antara dua batang tongkat itu! Keduanya ‘bersilat’ tanpa ada
yang memegangnya, tapi saling hantam dan saling tangkis sehingga terdengar bunyi nyaring berkali-kali,
dibarengi menyambarnya angin pukulan dahsyat.
Melihat betapa tongkat ularnya itu tidak mampu mendesak tongkat butut lawan melalui kekuatan sihir,
nenek itu kemudian mengangkat tangannya dan tongkat ularnya terbang kembali ke tangannya. Koay Tojin
juga sudah ‘memanggil’ kembali tongkat bututnya dan kini Hek-in Kui-bo menyerang Koay Tojin dengan
tongkat itu, menggunakan tangannya. Koay Tojin menangkis dan membalas sehingga terjadilah
perkelahian yang seru antara dua orang tua aneh itu.
Melihat betapa kini gurunya sudah melawan nenek iblis, hati Bi Sian girang sekali. Dia melihat gadis yang
menyuruh nenek tadi membunuhnya, maka ia pun segera meloncat ke depan Pek Lan dan tanpa banyak
cakap lagi Bi Sian menyerang Pek Lan dengan pukulan dan tendangan!
Walau pun Pek Lan sudah berusia tujuh belas tahun, sedangkan Bi Sian baru berusia sebelas tahun, akan
tetapi Pek Lan selamanya tidak pernah berkelahi atau belajar silat. Sebaliknya, semenjak kecil Bi Sian
digembleng dengan ilmu atau dasar ilmu silat oleh ayahnya sendiri.
Maka tentu saja ketika diserang oleh anak perempuan itu, Pek Lan menjadi repot sekali dan beberapa kali
perutnya kena dipukul dan kakinya ditendang. Dia mencoba untuk melawan dengan cubitan, jambakan
serta tamparan, akan tetapi dia tidak berhasil dan semakin lama, serangan Bi Sian bahkan semakin ganas
dan menyakitkan. Akhirnya Pek Lan menjerit-jerit minta tolong.
“Nenek, tolong aku... tolooooonggg!”
Ia terpelanting jatuh oleh sebuah tendangan Bi Sian yang mengenai perutnya.
Sementara itu, pertandingan antara Koay Tojin melawan Hek-in Kui-bo berlangsung dengan seru dan
ramai. Pada mulanya, Koay Tojin kewalahan juga menghadapi hujan serangan dari nenek itu yang
memang lihai dan berbahaya bukan main.
Nenek itu selain memiliki ilmu silat tongkat yang aneh dan gerakannya mirip ular, juga tongkat itu sendiri
mengandung hawa beracun. Selain itu, tenaga nenek keriputan itu juga kuat, sedangkan kecepatan
gerakannya juga membingungkan.
Akan tetapi begitu Koay Tojin mengeluarkan ilmu silat tongkat ciptaannya yang baru dan amat lihai, yang
bahkan dipuji oleh suheng-nya, yaitu Pek-sim Siansu, yaitu Ta-kwi Tung-hoat (Ilmu Tongkat Pemukul Iblis),
kini Hek-in Kui-bo menjadi repot bukan main. Ia selalu terdesak dan beberapa kali nyaris terkena hantaman
tongkat butut. Maka, ketika mendengar suara Pek Lan minta tolong, ia mempunyai alasan untuk melarikan
diri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia meloncat ke belakang, tongkat ularnya menyambar dan mengait baju Pek Lan yang tiba-tiba merasa
tubuhnya diterbangkan dan nenek itu melarikan diri cepat sekali sambil membawa tubuh Pek Lan.
Bi Sian masih mengepal kedua tangannya dan ia mengamangkan tinjunya ke arah Pek Lan yang dilarikan
nenek itu. “Hemm, kalau tidak lari, tentu akan kupukuli sampai kapok perempuan jahat itu!”
“Ha-ha, Bi Sian, sudahlah, mari kita pergi, jangan melayani nenek iblis yang mengerikan itu. Hihh...!” Koay
Tojin bergidik. “Hayo pergi...!”
Akan tetapi pada saat itu, Bong Gan yang sejak tadi melihat segala yang terjadi dengan hati penuh kagum
terhadap anak perempuan dan kakek gembel itu, kini menjatuhkan diri di depan kaki Koay Tojin.
“Locianpwe yang mulia... mohon kemurahan hati locianpwe untuk sudi menerima saya sebagai murid...!”
Kakek itu mengerutkan alisnya, memandang kepada anak itu dan menyeringai.
“He-he-heh, aku tidak sudi! Aku sudah mempunyai murid yang jauh lebih baik, ha-ha-ha! Mari Bi Sian, kita
pergi!” katanya sambil membalikkan tubuh mambelakangi Bong Gan dan melangkah pergi.
“Suhu, nanti dulu!” Bi Sian berkata sehingga kakek itu menahan langkah dan menoleh. Bi Sian mengamati
Bong Gan yang masih berlutut dan anak laki-laki itu kini menangis sesenggukan, kelihatannya sedih bukan
main.
“Siapa namamu?” Bi Sian bertanya.
“Nama saya Bong Gan...,” anak laki-laki itu menjawab sambil menahan tangisnya dan memandang kepada
Bi Sian dengan mata agak kemerahan dan penuh kedukaan.
“Kenapa engkau hendak dibunuh mereka tadi?”
“Saya adalah seorang anak yatim piatu yang dipungut oleh keluarga hartawan Coa di kota Ye-ceng,” Bong
Gan bercerita dengan suara yang memelas sekali. “Perempuan jahat tadi adalah selir ayah angkat saya.
Pada suatu hari, ayah angkat telah kehilangan barang-barang perhiasan berharga. Saya tahu bahwa yang
mencuri adalah perempuan tadi, akan tetapi ia berbalik menjatuhkan fitnah dan sebagian dari barang
curiannya ia sembunyikan ke dalam kamar saya. Karena itu, ayah angkat saya marah dan kami berdua
diusir. Ketika kami tiba di sini, perempuan itu menyalahkan saya dan memukuli saya. Saya melawan dan
muncul nenek iblis tadi yang membela perempuan jahat itu.”
Bong Gan yang pandai, membuat karangan yang masuk di akal ini secara tiba-tiba. Hal ini saja sudah
membuktikan bahwa dia memang seorang anak yang cerdik bukan main. Setelah selesai bercerita, dia lalu
menangis lagi.
“Nona, mohon belas kasihan nona dan guru nona... sudilah menerima saya menjadi murid. Saya mau
bekerja apa saja... saya sudah tidak memiliki seorang keluarga pun, dan saya takut kalau... perempuan
jahat dan nenek iblis tadi datang lagi dan membunuh saya...”
“Sudahlah, Bi Sian. Hayo kita pergi, jangan layani anak cengeng itu!” Koay Tojin berkata tidak sabaran lagi.
“Nanti dulu, suhu,” kata Bi Sian yang sudah tertarik sekali akan cerita Bong Gan dan ia merasa kasihan
kepada anak itu. “Aku mau pergi kalau suhu juga nengajak dia ini!”
“Apa??” Koay Tojin terbelalak. “Untuk apa mengajak anak cengeng ini?”
“Locianpwe, mohon maaf sebanyaknya. Kalau memang perlu, saya dapat menjadi anak yang sama sekali
tidak cengeng! Kalau locianpwe sudi menerima saya menjadi murid, biar menghadapi ancaman maut, saya
tidak akan takut dan tidak akan menangis sama sekali!”
Ucapan itu bernada menantang dan Koay Tojin yang memiliki watak aneh itu sekali ini tertarik. “Ha-ha-haha,
benarkah itu? Engkau tidak akan takut, tidak akan menangis biar pun menghadapi ancaman maut?”
“Benar, locianpwe,” kata Bong Gan, girang bahwa kakek gembel yang dia tahu amat lihai itu kini mau
mempedulikannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aku ingin melihat buktinya!” berkata demikian, Koay Tojin lalu melemparkan tongkatnya dan tongkat itu
kini meluncur ke arah Bong Gan, dan mulailah tongkat itu memukuli dan mencambuki Bong Gan.
“Plak! Plak! Plak! Bukk!”
Tongkat itu mengamuk, menghantami punggung dan pinggul Bong Gan. Anak itu kaget bukan main, dan
juga ngeri melihat ada tongkat dapat bergerak sendiri memukulinya. Dan pukulan-pukulan itu
mendatangkan perasaan nyeri yang cukup hebat, apa lagi bila pukulan itu mengenai kepalanya.
Dia menutupi kepalanya dengan kedua tangannya. Sekarang punggungnya, pahanya, pinggul, kaki dan
lengannya menjadi sasaran pukulan tongkat. Hampir saja Bong Gan berteriak kesakitan dan menjerit minta
tolong.
Akan tetapi, anak yang amat cerdik ini tahu benar bahwa dia sedang diuji, maka dia pun menggigit bibir.
Biar pun perasaan nyeri membuat dia terpelanting dan menggeliat-geliat di atas tanah di bawah hujan
pukulan tongkat, namun tidak sedikit pun keluhan keluar dari bibir yang digigitnya sendiri itu.
Bajunya sudah robek-robek dan basah oleh keringat dan darah. Kulit punggungnya pun pecah-pecah
berdarah. Akan tetapi dia tetap tidak mau mengeluh, bahkan setiap kali terpelanting, dia tergopoh bangkit
dan mencoba untuk berlutut kembali ke arah kakek itu.
Melihat betapa tubuh Bong Gan sudah berlepotan darah, hati Bi Sian merasa tidak tega. “Cukup, suhu,
cukup! Apakah suhu hendak memukulinya sampai mati?” teriaknya.
“Ha-ha-ha!” Koay Tojin tertawa bergelak dan di lain saat tongkat itu sudah kembali ke tangannya. Hatinya
gembira karena melihat Bong Gan benar-benar memegang janji dan sama sekali tidak mengeluh. Diamdiam
dia pun mulai suka kepada bocah itu.
“Mari kita pergi, Bi Sian!” katanya dan sekali sambar, tangan Bi Sian sudah dipegangnya dan sekali
melompat keduanya lenyap dari situ.
Tentu saja Bong Gan menjadi terkejut dan kecewa sekali. Tadi dia sudah membiarkan tubuhnya dihajar
babak belur dan berdarah-darah, sakitnya tak kepalang dan sekarang kakek gila itu meninggalkannya
begitu saja. Ingin dia menangis, ingin dia memaki. Akan tetapi dalam kepalanya yang cerdik terdapat
dugaan dan harapan bahwa kakek aneh itu tetap masih mengujinya!
Dia tahu bahwa kakek itu aneh dan sakti, dan anak perempuan itu manis bukan main, juga amat baik
kepadanya. Dia harus dapat menjadi murid kakek itu. Kalau tidak, dia akan hidup sebatang kara dan selalu
terancam bahaya.
Ia ingin memiliki ilmu kepandaian yang tinggi agar dapat menjaga diri. Ia harus berhasil menjadi murid
kakek itu, atau kalau perlu dia akan mengorbankan nyawanya. Dia harus tahan uji!
Dengan pikiran ini, Bong Gan terus berlutut menghadap ke arah tempat di mana kakek tadi berdiri. Dengan
nekat dia berlutut terus sampai kedua kakinya kesemutan dan tidak merasa apa-apa lagi, dan rasa nyeri di
tubuhnya makin menghebat karena sengatan sinar matahari. Dia bertahan terus, bahkan ketika matahari
terbenam dan tempat itu mulai gelap dengan tibanya malam, dia tetap berlutut di tempat itu!
Memang patut dipuji kekerasan hati anak ini. Dia tersiksa bukan main, tidak saja seluruh tubuhnya terasa
nyeri karena luka pukulan tongkat, juga tersiksa oleh hawa dingin yang menyengat tulang, dan ditambah
lagi perasaan ngeri karena di tepi hutan itu gelap dan sunyi. Kadang-kadang terdengar suara binatang dari
dalam hutan dan mau tidak mau, seluruh bulu di tubuh Bong Gan meremang seram.
Akhirnya, lewat tengah malam, dengan kenekatan yang masih bertahan, tubuhnya yang akhirnya tidak kuat
bertahan lagi dan dia terguling roboh. Pingsan.
Ketika Bong Gan siuman, dia mendapatkan dirinya rebah di atas tanah berumput tebal, di pinggir sebuah
sungai kecil yang jernih, di dalam sebuah hutan. Bagaikan mimpi dia melihat seorang anak perempuan
yang cantik dan manis sedang mengobati luka-luka di sekujur punggungnya dengan menempelkan daundaun
hijau yang lebar. Terasa dingin dan nyaman sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Agaknya anak perempuan itu mengerjakan dengan penuh kelembutan. Dia melihat anak itu memilin dan
menggosok daun-daun baru di antara dua telapak tangannya sehingga daun itu menjadi lemas dan
mengeluarkan air yang kehijauan. Kemudian daun-daun itu ditempelkan di atas kulit yang terluka oleh
pukulan tongkat. Sungguh anak perempuan yang manis, anak perempuan yang berjasa membujuk
gurunya untuk menerima dirinya sebagai murid!
“Terima kasih, kini sudah terasa nyaman...” katanya dan dia pun mengenakan bajunya.
Dia melihat kakek aneh itu duduk pula di situ, sedang memandang anak perempuan itu mengobatinya
dengan sikap acuh. Bong Gan cepat-cepat berlutut dan memberi hormat kepada kakek itu.
“Suhu, teecu (murid) menghaturkan terima kasih dan hormat...” sikapnya penuh hormat dan suaranya
mantap.
Melihat suhu-nya masih melenggut seperti orang mengantuk, Bi Sian berseru, “Suhu ini bagaimana sih?
Ini, muridmu yang baru menghaturkan terima kasih dan hormat, kenapa suhu diam saja?”
Kakek yang melenggut itu membuka mata dan memandang kepada Bong Gan dengan sikap acuh,
kemudian berkata, “Heh, karena bujukan Bi Sian engkau menjadi muridku. Akan tetapi awas, kalau kulihat
engkau malas dan tidak tekun atau tidak taat, engkau akan kuusir. Dan kalau kelak engkau menyeleweng,
engkau pasti akan kubunuh dengan tongkat ini!” Dia mengacungkan tongkatnya.
Dengan hati yang girang bukan main Bong Gan cepat memberi hormat dengan sembah sampai delapan
kali kepada gurunya. “Suhu, teecu bersumpah untuk mentaati semua perintah suhu.” Kemudian dia
menghadap Bi Sian dan juga memberi hormat kepada anak perempuan itu. “Suci, saya menghaturkan
banyak terima kasih atas budi kebaikan suci kepada saya, dan saya tidak akan melupakan budi
kebaikanmu itu...”
Bi Sian terbelalak. “Ehh, ehh, nanti dulu! Kenapa engkau menyebut aku suci?”
Bong Gan tersenyum. “Bukankah suci yang lebih dulu menjadi murid suhu?”
“Bukan begitu! Aku tidak mau cepat tua dengan disebut kakak! Coba sekarang kita lihat, siapa yang lebih
tua di antara kita. Berapa umurmu tahun ini?”
“Tiga belas tahun.”
“Nah, itu!” Bi Sian berteriak. “Aku baru sebelas tahun. Engkau lebih tua dua tahun, tidak boleh menyebut
suci padaku. Aku tidak mau!”
“Habis, lalu bagaimana?”
“Karena engkau lebih tua, engkau harus menyebut sumoi padaku dan aku menyebutmu suheng.”
Wajah Bong Gan menjadi merah, akan tetapi hatinya sangat girang walau pun dia juga merasa kikuk.
“Baiklah sumoi.”
“Nah, begitu baru benar, suheng! Nama keluargamu siapa sih? Apakah Bong?”
Bong Gan menggeleng kepalanya.
“Tadinya aku memakai nama keluarga Coa, akan tetapi karena aku telah diusir dan tidak diakui lagi
sebagai anak, aku tidak mau memakainya. Ketika aku ditemukan dan masih kecil, aku hanya tahu bahwa
namaku Bong Gan dan biarlah itu tetap menjadi namaku, tanpa nama keturunan atau boleh juga disebut
nama keturunanku Bong.”
Koay Tojin kelihatannya tidak mendengarkan percakapan mereka, dan andai kata dia mendengarkan pun,
agaknya dia hanya acuh saja. Akan tetapi, lambat laun sikapnya yang acuh terhadap Bong Gan ini berubah
saking pandainya Bong Gan membawa diri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia amat rajin dan amat memperhatikan keperluan suhu-nya dan sumoi-nya. Dia ringan kaki dan tangan,
mengerjakan apa saja untuk keperluan mereka. Juga dia amat tekun dan rajin ketika mulai diajar dasardasar
ilmu silat. Bahkan dia mau mengajarkan ilmu sastra yang lebih mendalam kepada Bi Sian. Sikap
Bong Gan yang amat baik ini selain membuat Bi Sian menyayangnya, juga Koay Tojin mau tidak mau
mulai menyukainya.
Bahkan dengan adanya Bong Gan sebagai murid Koay Tojin, lebih mudah bagi kakek itu untuk memegang
salah satu janjinya kepada Bi Sian, yaitu anak perempuan ini tidak mau menjadi pengemis. Ada saja akal
dari Bong Gan untuk mendapatkan makanan bagi mereka bertiga tanpa harus mengemis, yaitu dengan
menjual hasil buruan, atau rempah-rempah yang sangat berharga, Bong Gan bisa mendapatkan hasil
untuk biaya hidup mereka…..
********************
Pek Lan menjatuhkan dirinya berlutut di depan nenek buruk dan tua itu ketika si nenek menurunkannya
dari pondongan. Mereka kini berada di puncak sebuah bukit kecil yang sunyi dan sepi.
“Terima kasih, Nenek telah menyelamatkan saya, dan selanjutnya saya mohon petunjuk nenek apa yang
harus saya lakukan sebab hidup saya sebatang kara dan tidak memiliki harapan lagi.”
“Pek Lan, engkau berjodoh untuk menjadi muridku. Mulai sekarang, aku adalah gurumu. Kalau engkau
tidak mau menjadi muridku, engkau akan kubunuh sekarang juga. Nah, engkau pilih mana?”
Diam-diam Pek Lan terkejut bukan main. Dia harus menjadi murid nenek iblis ini dan kalau ia tidak mau ia
akan dibunuh! Manusia macam apakah nenek ini? Dan ia belum pernah mimpi akan berguru kepada
seorang nenek iblis. Mau belajar apa dari nenek ini? Akan tetapi, tidak sukar untuk memilih antara berguru
kepada nenek itu atau mati.
“Tentu saja saya memilih berguru, nek.”
“Hushhh! Kalau memilih berguru kepadaku, kenapa masih menyebut nenek? Sebut aku subo (ibu guru)!”
“Baik, subo. Saya akan mentaati semua perintah subo.”
“Bagus! Memang syaratnya engkau harus mentaati semua perintahku. Perintah apa pun harus kau taati,
tahu? Kalau tidak, engkau akan kupecat sebagai murid, kemudian akan kubunuh!”
Pek Lan bergidik. Nenek ini sedikit-sedikit mengancam mau membunuhnya! Akan tetapi lalu timbul dalam
benaknya bahwa jika ia dapat memiliki ilmu kepandaian seperti nenek itu, ia akan mampu menghadapi
siapa pun juga, termasuk nenek ini! Ia akan dapat menghajar semua orang yang tidak disukainya. Maka
bangkitlah semangatnya.
“Apa pun yang subo perintahkan kepada teecu akan teecu laksanakan.”
“Heh-heh-heh, bagus sekali. Sekarang engkau harus melaksanakan tugas yang sangat penting. Kita
membutuhkan harta yang amat banyak agar kita dapat hidup tenteram dan berkecukupan. Kalau sudah
begitu barulah engkau akan dapat belajar dengan baik.”
“Bagaimana kita bisa mendapatkan harta yang banyak, subo?”
“Mari, ikut dengan aku ke kota besar Ho-tan di timur. Di sana terdapat benteng besar pasukan dan di kota
itu terdapat seorang yang paling kaya raya, yaitu Pangeran Cun Kak Ong yang menjabat komandan atau
panglima besar. Banyak sekali barang-barang rampasan disimpan sendiri oleh pangeran itu dan kalau kita
dapat memasuki gudang hartanya, tentu kita akan menjadi kaya raya!”
Pek Lan ikut bergembira dan ia pun pergi mengikuti subo-nya. Ia telah melihat kesaktian nenek itu. Ia
percaya bahwa nenek itu akan mampu melaksanakan rencananya dengan baik. Mereka akan menjadi
kaya raya dan hidup berkecukupan sehingga ia dapat mulai mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari nenek itu.
Pangeran Cun Kak Ong adalah seorang laki-laki tinggi besar berusia lima puluh tahun. Ia adalah seorang
bangsawan, masih sanak keluarga Kerajaan Beng-tiauw. Pada masa itu Kerajaan Beng-tiauw sudah mulai
mengalami masa surut, bukan hanya disebabkan pemerintahannya mendapat gangguan para bajak laut,
dunia-kangouw.blogspot.com
pemberontakan-pemberontakan dalam negeri, ancaman gerakan orang-orang Mancu di luar Tembok
Besar, akan tetapi terutama sekali akibat para pembesarnya sudah kehilangan kesetiaan mereka terhadap
tanah air dan bangsa, namun hanya mementingkan kesenangan pribadi masing-masing sehingga sukar
ditemukan seorang pembesar yang setia dan tidak melakukan korupsi besar-besaran.
Pangeran Cun Kak Ong juga seorang di antara para pembesar yang kegiatannya hanya membesarkan
perut sendiri. Pada saat ia diangkat menjadi panglima besar dan menjadi orang nomor satu di daerah Sinkiang,
dia menjadi semacam raja kecil. Hanya sedikit saja bagian hasil dari daerah itu yang disetorkan ke
pusat. Selebihnya, yang terbanyak, masuk ke dalam gudang hartanya sendiri.
Bangsawan ini memiliki kesukaan mengumpulkan barang-barang kuno yang berharga, patung-patung
emas, barang-barang antik dari batu giok, perhiasan-perhiasan dari intan atau mutiara, lukisan-lukisan
yang mahal harganya. Dia seorang pembesar yang kaya raya sehingga tidak aneh jika hidupnya di kota
besar Ho-tan seperti kehidupan seorang raja, berikut dengan istananya yang megah dan siang malam
dijaga oleh puluhan orang prajurit.
Bukan hanya penjagaan di rumah seperti istana itu yang amat ketat, akan tetapi juga di istana itu terdapat
banyak rahasianya sehingga orang luar jangan harap bisa memasuki istana tanpa terancam jebakanjebakan
rahasia. Apa lagi kalau ada maling yang masuk, jangan harap dia akan mampu menemukan
kamar-kamar atau gudang-gudang rahasia di bawah tanah! Inilah yang menjadi penyebab kenapa orang
sakti seperti Hek-in Kui-bo ingin menggunakan muridnya yang cantik jelita untuk melaksanakan niatnya,
yaitu untuk mencuri harta dari pangeran itu.
Satu di antara kelemahan-kelemahan Pangeran Cun Kak Ong adalah wanita cantik! Di dalam istananya
sudah terdapat belasan orang selir yang muda-muda dan cantik-cantik dari bermacam suku bangsa. Ada
gadis suku bangsa Uigur yang manis, bangsa Uzbek yang panas, bangsa Kirgiz yang cantik lembut,
bangsa Hui yang pandai merayu, bahkan ada dari bangsa Tajik yang bermata kebiruan dan berhidung
mancung. Akan tetapi dia masih selalu membuka mata dan hidung lebar-lebar setiap kali berjumpa dengan
wanita cantik yang belum menjadi miliknya!
Pada pagi hari itu, ketika dia berkuda dari rumahnya menuju ke benteng, diiringkan oleh belasan orang
pengawal, tiba-tiba dia menahan kudanya dan memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Semua
prajurit ikut menengok ke kiri, ke mana panglima itu menengok dan mereka semua menahan senyum, telah
maklum apa yang menyebabkan panglima itu menahan kuda dan memberi isyarat mereka agar berhenti.
Kiranya di tepi jalan itu terdapat seorang wanita muda yang sedang menangis. Wanita yang masih amat
muda itu, baru tujuh belas tahun usianya, amat cantik manis sehingga tidak mengherankan apa bila
panglima yang sudah terkenal mata keranjang itu tertarik sekali.
Pangeran itu turun dari atas kudanya, kemudian sambil membusungkan dadanya dia melangkah gagah
menghampiri gadis cantik yang sedang memangis itu. Akan tetapi, karena sejak beberapa tahun ini
perutnya berkembang lebih cepat dari pada dadanya sehingga perutnya amat gendut, yang membusung
bukan dadanya melainkan perutnya menjadi semakin menonjol. Akan tetapi dia melangkah dengan lagak
yang gagah, yakin akan kegagahan pakaiannya sebagai seorang panglima yang serba gemerlapan.
Beberapa orang yang tadinya juga tertarik dan mendekati gadis yang menangis itu, kini cepat mundur
ketika melihat panglima besar itu menghampiri gadis itu. Yang tinggal di dekat gadis itu hanya seorang
nenek yang sudah tua sekali dan buruk rupa.
“Nona, siapakah engkau dan kenapa menangis di sini?” Pangeran Cun bertanya.
Hatinya semakin tertarik karena setelah dekat, dia mendapat kenyataan betapa gadis itu lebih cantik dari
pada yang diduganya. Wajahnya manis sekali, kulitnya putih mulus dan ketika menangis, gadis itu
menunduk sehingga dari atas dia dapat melihat celah-celah belahan dada dan nampaklah lereng sepasang
bukit yang menantang.
Gadis itu tidak menjawab melainkan menangis lebih sedih lagi, sampai sesenggukan dan menutupi
mukanya dengan kedua tangan dan sehelai sapu tangan sutera. Nenek di dekatnya juga ikut berlutut, akan
tetapi tidak mengeluarkan suara.
“Nona, ceritakanlah padaku. Jangan engkau khawatir, aku yang akan menolongmu dan menghukum orang
yang membikin susah hatimu. Agaknya engkau bukan orang sini, nona. Dari manakah engkau?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Maaf, Taijin... karena berduka maka tadi saya sukar sekali mengeluarkan suara... saya memang bukan
orang sini... saya berasal dari sebuah dusun kecil di luar kota Ye-ceng. Nama saya Pek Lan dan saya...
saya, pengantin baru... baru satu bulan menikah dan ketika saya diboyong ke dusun suami saya... di
tengah jalan kami dihadang perampok! Suami saya, semua keluarga saya... melakukan perlawanan dan
dalam kesempatan itu, saya berhasil melarikan diri, dibantu oleh pelayan tua kami yang setia ini. Ia gagu
dan tuli, akan tetapi ia setia sekali... karena itu, tolonglah kami, Taijin...”
Gadis itu bukan lain adalah Pek Lan, dan nenek yang diakuinya sebagai pelayan setia itu bukan lain adalah
gurunya, Hek-in Kui-bo, iblis yang amat jahat dan kejam! Semua itu adalah siasat dan rencana si nenek
untuk menundukkan hati dan memenangkan kepercayaan Pangeran Cun yang terkenal mata keranjang.
Tepat seperti dugaan nenek ini yang dapat melihat betapa cantik menariknya muridnya, seketika Pangeran
Cun jatuh hati! Apa lagi mendengar bahwa gadis jelita itu adalah seorang pengantin baru yang baru satu
bulan menikah dan kini berpisah dari suaminya!
Menurut patut, kalau dia mau menolong, tentu dia akan mengerahkan pasukan untuk mencoba
menyelamatkan suami dan keluarga gadis ini. Akan tetapi tidak sama sekali, dia menolong dengan cara
‘menampung’ Pek Lan, dan hal ini sudah pula diperhitungkan nenek Hek-in Kui-bo!
“Aduh kasihan...!” Pangeran itu berseru sambil melihat kemulusan gadis itu. “Janganlah menangis, nona,
dan jangan bersedih. Tentu saja kami suka menolongmu. Mari, mari ikut ke istana kami dan engkau akan
segera melupakan mala petaka yang menimpa dirimu, he-he-he!”
Pek Lan yang bermain sandiwara demi memenuhi perintah gurunya, segera memberi hormat. Berkali-kali
dia menghaturkan terima kasih, serta tak lupa untuk menghadiahkan kerling memikat dan senyum kecil
yang menantang, membuat hati pangeran itu menjadi semakin tertarik. Seketika dia pun membatalkan
kepergiannya ke benteng, melainkan memutar pasukannya pulang ke istana sambil mengawal kereta yang
cepat disediakan untuk Pek Lan dan ‘pelayannya’.
Tepat seperti diperhitungkan oleh Hek-in Kui-bo. Dalam waktu singkat sekali Pangeran Cun sudah
bertekuk lutut dan tergila-gila kepada selir barunya ini! Hek-in Kui-bo yang berpengalaman juga begitu
bertemu dengan Pek Lan sudah tahu bahwa gadis itu bukan perawan, melainkan seorang wanita yang biar
pun masih muda namun sudah matang, dan bahwa dalam diri Pek Lan tersembunyi watak cabul dan
pemikat.
Pek Lan memang amat cerdik. Tentu saja ia pun tidak mempunyai rasa suka kepada Pangeran Cun. Biar
pun dia seorang pangeran, bangsawan tinggi yang berkedudukan tinggi dan kaya raya, akan tetapi usianya
sudah setengah abad lebih. Mukanya yang sudah keriputan itu coba ditutupi dengan watak pesolek,
pakaian indah. Akan tetapi pakaiannya yang mewah itu tidak mampu menyembunyikan perutnya yang
gendut luar biasa.
Pek Lan terpaksa memejamkan mata supaya tidak melihat perut yang seolah-olah akan meledak itu setiap
kali sang pangeran mendekatinya. Akan tetapi, dia mempergunakan segala kecantikannya, gaya dan
kepandaiannya, untuk benar-benar meruntuhkan hati sang pangeran.
Dalam keadaan terbuai dengan kemesraan yang memuncak, Pangeran Cun Kak Ong mencurahkan
seluruh kasih sayang dan kepercayaannya kepada selir baru ini sehingga hanya dalam waktu dua minggu
saja dia sudah membuka rahasia tempat penyimpanan hartanya. Gudang di bawah tanah itu penuh alat
rahasia dan dijaga oleh jagoan-jagoan yang didatangkan dari kota raja dan memiliki ilmu silat tinggi!
Setelah berhasil mengorek rahasia ini, Pek Lan segera memberi tahu kepada gurunya yang menyamar
sebagai pelayannya.
“Subo, cepatlah bertindak. Aku sudah tidak tahan lagi didekati babi itu!” keluh Pek Lan yang terpaksa harus
melayani pria yang tidak disukainya.
Nenek itu tertawa tanpa membuka mulut. “Jangan khawatir, malam ini kita kerjakan! Akan tetapi, pekerjaan
ini berbahaya sekali, oleh karena itu, sebaiknya kalau engkau tinggal saja di dalam kamarmu. Aku akan
memancing mereka mengejar keluar, barulah aku akan kembali dan mengambilmu dari kamarmu.”
“Tapi..., tapi... subo jangan lupa untuk mengajak teecu keluar dari neraka ini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali nenek itu tertawa, “Anak goblok, kedudukanmu begitu baik kau bilang neraka?”
“Aihh, subo. Siapa sih yang suka siang malam dalam pelukan babi itu? Dengkurnya saja membuat
kepalaku selalu pening dan tidak dapat tidur barang satu jam pun. Seleranya seperti babi, aku jijik...”
“Engkau jangan khawatir. Aku akan bekerja cepat. Walau pun katanya tiga orang jagoan itu berilmu tinggi,
akan tetapi aku tidak takut dan tentu aku akan mampu merobohkan mereka,” berkata nenek itu setelah
mencatat dalam ingatannya tentang jebakan-jebakan rahasia yang berhasil dikorek dari mulut Pangeran
Cun.
Malam gelap pun tiba dan setelah lewat tengah malam, nenek Hek-in Kui-bo berkelebat keluar dari
kamarnya sendiri di dekat kamar Pek Lan yang ketika itu sedang merasa tersiksa ‘menderita’ di dalam
pelukan Pangeran Cun.
Pada waktu sang pangeran yang kelelahan telah tertidur dan mendengkur keras seperti dengkurnya babi
disembelih, Pek Lan perlahan-lahan melepaskan diri dari pelukannya, lalu duduk di tepi pembaringan,
melamun. Jantungnya berdebar tegang karena ia tahu bahwa saat itu pula gurunya sedang memasuki
lorong bawah tanah untuk mengunjungi gudang harta yang dijaga ketat itu. Bagaimana kalau gurunya
gagal? Apakah ia tidak akan tersangkut?
Dia akan mempergunakan segala rayuan dan kecantikannya untuk menyelamatkan diri, membanjiri
pangeran itu dengan segala kemesraan dan kehangatan. Setidaknya, ia tak tertangkap basah dan tidak
ikut dengan gurunya ke gudang harta itu! Ia berada dalam pelukan sang pangeran ketika pencurian itu
terjadi!
Dengan memaksakan diri, Pek Lan kembali merebahkan diri dan mendekati Pangeran Cun Kak Ong.
Pangeran itu bergerak dalam tidurnya dan lengannya yang gemuk dan berat itu merangkul, melintang di
atas dada Pek Lan! Gadis itu sampai merasa sesak bernapas, akan tetapi ia mandah saja, hanya
miringkan tubuhnya supaya tidak sampai mati terhimpit!
Bagaikan bayangan setan, Hek-in Kui-bo berhasil menyelinap ke lorong bawah tanah. Di bawah tanah itu
terdapat banyak kamar, di antaranya kamar atau gudang harta yang besar dan terjaga ketat. Belasan
orang penjaga berkeliaran di sekitar gudang itu, dan di depan gudang terdapat sebuah kamar di mana tiga
orang jagoan yang amat lihai tidur dan berjaga secara bergiliran. Yang terus melakukan perondaan adalah
para anak buah mereka yang jumlahnya ada selosin orang.
Dua orang penjaga meronda dan berjalan di belakang gudang itu, membawa sebuah lentera minyak. Tibatiba
saja ada sesosok bayangan hitam berkelebat dan dua orang itu terbelalak, akan tetapi tidak mampu
bergerak atau berteriak karena mereka sudah tertotok secara aneh sekali.
Tentu saja yang menotoknya adalah Hek-in Kui-bo dan secepat kilat nenek ini sudah merampas lentera
sebelum terlepas dan terjatuh. Sekali tiup, lentera itu pun padam! Dan seperti bayangan setan, ia kembali
bersembunyi dan mengintai.
Tak lama kemudian kembali dua orang penjaga datang membawa lentera dan tombak panjang. Mereka
jelas mencari-cari dua orang kawannya tadi, dan begitu melihat dua orang kawan itu berdiri di belakang
gudang, tidak bergerak, mereka pun cepat-cepat lari menghampiri.
Akan tetapi kembali ada bayangan hitam berkelebat dan di lain saat, dua orang ini pun berdiri seperti
patung tak bergerak, tombak dan lentera terampas dari tangan mereka! Semua ini terjadi dengan amat
cepatnya dan kini empat orang itu dari jauh nampaknya seperti sedang merundingkan sesuatu, berdiri
seperti patung.
Dua orang berikutnya lebih curiga. Mereka melihat empat orang kawan mereka berdiri di belakang gudang
dan seperti orang sedang berunding, akan tetapi tanpa lentera dan tanpa tombak! Dan mereka itu tidak
bergerak-gerak. Hal ini membuat mereka berdua bercuriga.
Mereka tidak menghampiri, melainkan berseru memanggil empat orang kawan itu. Akan tetapi tidak ada
jawaban dan selagi mereka hendak lari kembali ke depan gudang dan melapor, mendadak mereka pun
roboh terpelanting dengan pelipis berlubang tertusuk ujung tongkat. Lentera dan tombak mereka terampas
sebelum terbanting ke atas tanah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini bayangan hitam yang agak bungkuk itu, Hek-in Kui-bo, mengambil dua buah lentera terdahulu,
membukanya dan menyiramkan minyak dari dua lentera itu ke tubuh empat orang yang ditotoknya.
Kemudian, sambil membuka totokan mereka ia pun membakar empat orang penjaga itu!
Tentu saja empat orang penjaga itu berteriak-teriak, menjerit-jerit dan tubuh mereka lalu terbakar! Mereka
berlari cerai berai sambil menjerit-jerit. Hal ini tentu saja mengejutkan kawan-kawan mereka, bahkan tiga
orang jagoan itu pun cepat-cepat keluar dari kamar mereka.
Empat orang yang terbakar itu berlarian cerai berai dan tidak dapat bicara kecuali hanya menjerit-jerit,
membuat tiga orang jagoan itu menjadi bingung mengejar ke sana-sini. Mereka lalu merobohkan empat
orang yang berlarian-larian, yang membakar beberapa bagian bangunan bawah tanah itu dengan tubuh
mereka. Akan tetapi, sebelum mereka sempat memberi penjelasan, empat penjaga itu sudah tewas lebih
dahulu oleh luka-luka bakar.
Kemudian, tiga orang jagoan itu menemukan pula dua orang penjaga yang pelipisnya berlubang. Tentu
saja mereka terkejut dan maklum bahwa ada orang jahat. Akan tetapi di mana? Mereka memeriksa semua
bagian, tidak ada jejak kaki orang luar!
Tentu saja mereka tidak memeriksa ke dalam gudang di mana Hek-in Kui-bo dengan santai memilih
benda-benda yang paling berharga, tidak tergesa-gesa karena nenek ini maklum betapa perbuatannya itu
membuat semua penjaga mencari-cari keluar, bukan ke dalam gudang! Ia memasuki gudang itu dari
jendela belakang yang dipasangi alat rahasia, akan tetapi, berkat kecerdikan muridnya, dia sudah
mengetahui rahasia alat itu dan telah melumpuhkannya pula.
Sesudah berhasil membuka jendela dan memasukinya tanpa menyentuh anak panah beracun yang
dipasang di sana, dia menutup kembali daun jendela dan memasang lagi anak panah itu, kemudian dia
memilih benda-benda yang paling berharga. Patung emas murni, benda dari batu giok, perhiasanperhiasan
kuno dari intan, mutiara dan permata mulia lainnya. Dikumpulkan semua benda yang merupakan
harta yang dapat membuat orang menjadi kaya raya itu ke dalam sebuah kantung kain yang sudah
dipersiapkannya sebelumnya, kantung kain hitam yang tebal dan kuat, lalu dipanggulnya kain hitam yang
kini penuh barang berharga di atas punggungnya yang agak bungkuk.
Dengan hati-hati dia lalu mengintai keluar. Enam orang penjaga dan tiga orang jagoan itu masih sibuk
memadamkan api yang membakar empat orang penjaga karena mereka tadi berlarian menabrak sana-sini,
sehingga ada beberapa tempat yang kebakaran pula.
Mempergunakan kesempatan ini, Hek-in Kui-bo keluar dari dalam kamar melalui jendela pula, menutupkan
lagi jendela itu dan ia pun berkelebat menuju ke pintu lorong. Kalau ia mau, mengandalkan ginkang-nya
yang tinggi, tentu dia dapat menyelinap keluar tanpa diketahui.
Akan tetapi ia harus membawa muridnya keluar pula, dan hal ini tidak mudah. Ia harus memancing semua
penjaga untuk mengejarnya keluar dari gedung itu, maka ia sengaja memberatkan tubuhnya dan
langkahnya pun terdengar oleh tiga orang jago.
“Heiiii, berhenti...!” Tiga orang jagoan itu berteriak, mencabut pedang dan mereka sudah mengejar.
Memang betul keterangan yang diperoleh Pek Lan dari mulut Pangeran Cun. Tiga orang jagoan ini memiliki
kepandaian yang hebat dan tubuh mereka meluncur cepat sekali mengejar tubuh berpakaian hitam yang
bungkuk itu.
Akan tetapi, Hek-in Kui-bo adalah seorang datuk sesat yang seperti iblis. Ia telah keluar dari lorong, masuk
ke dalam taman gedung itu. Tiga orang jagoan terus mengejar dan melihat betapa bayangan hitam itu
dapat bergerak amat cepatnya, mereka pun berteriak memberi tanda kepada para rekan mereka yang
berjaga di atas.
Keadaan menjadi gaduh sekali ketika banyak penjaga berlarian ke sana-sini dan cuaca menjadi terang
karena semua penjaga itu menyalakan lentera-lentera dan lampu-lampu gantung. Hek-in Kui-bo sengaja
berkelebatan ke sana-sini untuk membikin keadaan jadi kacau, kemudian dia sengaja memperlihatkan diri
dan lari ke dalam kebun di samping gedung.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kebun atau taman ini amat luas dan semua penjaga, dipimpin oleh tiga orang jagoan dan para perwira,
mereka mengejar ke sana. Hek-in Kui-bo sengaja menanti di tempat gelap dan ketika mereka semua
datang menyerbu, ia mengamuk dengan tongkatnya.
Beberapa orang penjaga roboh seketika, akan tetapi tiga orang jagoan itu memang lihai.
Mereka bukan saja mampu menjaga diri dari amukan tongkat akan tetapi juga mampu membalas, walau
pun bagi Hek-in Kui-bo, mereka itu masih belum apa-apa, merupakan lawan-lawan yang lunak saja.
Setelah merobohkan kurang lebih sepuluh orang, Hek-in Kui-bo meloncat ke atas pagar tembok dan
menghilang ke dalam kegelapan malam. Tentu saja tiga orang jagoan dan para perwira melakukan
pengejaran, diikuti pula oleh pasukan pengawal. Mereka sama sekali tidak tahu betapa bayangan hitam itu
sebetulnya bersembunyi dekat tembok dan begitu mereka semua berloncatan keluar, Hek-in Kui-bo
mengambil jalan memutar dan sudah meloncat masuk kembali!
Pangeran Cun sudah mendengar keributan di luar, bahkan ada pengawal yang sudah melapor dari luar
kamar. Dengan malas Pangeran itu mengenakan pakaian, kemudian dia berkata sambil bersungut-sungut.
“Pencuri itu minta mampus barangkali. Bagaimana mungkin dapat melakukan pencurian di gedungku ini
yang dijaga ketat? Tentu sekarang sudah tertangkap!”
Dia pun membiarkan selir tercinta itu mengenakan pakaiannya, bahkan dia tidak sadar bahwa di sudut
kamar terdapat buntalan pakaian yang cukup besar, pakaian yang sejak tadi dipersiapkan oleh Pek Lan,
menggunakan saat pangeran itu mendengkur pulas.
“Brakkk!”
Tiba-tiba jendela itu berantakan dan tentu saja Pangeran Cun terkejut bukan main. Dia membalik tubuh
dan melihat dengan mata terbelalak betapa nenek buruk rupa, pelayan selirnya itu meloncat masuk,
membawa buntalan hitam di punggungnya.
“Pek Lan, mari kita pergi!” kata nenek itu.
Pangeran Cun masih belum sadar. Akan tetapi mendengar nenek itu hendak mengajak pergi selirnya, dia
menjadi marah. “Keparat, mau apa kau? Pergi dari kamar ini!” Dan dia mencabut pedang yang tergantung
di dinding kamar itu.
“Cerewet kau!” bentak nenek itu dan sekali tongkatnya bergerak, tubuh yang gendut itu telah terbanting
roboh di atas lantai, tak mampu bergerak lagi karena tertotok oleh ujung tongkat secara aneh.
“Subo, kenapa babi ini tidak dibunuh saja?” berkata Pek Lan sambil mengambil buntalan dari sudut kamar,
bahkan ia lalu mengumpulkan perhiasan di atas meja. Perhiasan ini merupakan hadiah dari sang pangeran
dan tadi ia harus melepaskannya semua supaya tidak ‘mengganggu’ pelayanannya kepada bangsawan itu.
“Ahh, jangan, he-he-heh! Bukankah dia yang membuat kita kaya raya? Mari kita pergi!”
Nenek itu menyambar lengan muridnya dan membawanya ‘terbang’ melalui jendela. Karena para penjaga
sedang sibuk sendiri melakukan pengejaran keluar tembok pagar gedung itu, dengan mudah guru dan
murid ini meninggalkan gedung, menyelinap di kegelapan malam sambil membawa buntalan di punggung
mesing-masing.
Meski Pek Lan selama dua minggu ini tersiksa oleh Pangeran Cun yang memaksanya harus bersikap
manis dan mesra, akan tetapi dia tidak merasa rugi. Pertama, dia telah menyenangkan hati gurunya dan
kedua, selain ia sendiri mendapatkan pakaian-pakaian indah dan perhiasan mahal, gurunya berhasil
mencuri banyak sekali barang yang tidak ternilai harganya, yang membuat mereka seketika itu pula
menjadi kaya raya sehingga memungkinkan mereka hidup mewah dengan harta benda itu.
Beberapa bulan kemudian, di tepi Telaga Co-sa yang indah, berdiri sebuah rumah yang mungil dengan
perkebunan yang amat luas. Nenek Hek-in Kui-bo telah membeli tanah yang sangat luas di daerah telaga
ini, membangun rumah dan hidup sebagai seorang nenek yang kaya raya, mempunyai beberapa orang
pelayan, hidup bersama muridnya, dikagumi dan disegani para penduduk dusun sekitarnya sebagai orangorang
kaya raya yang hidupnya menyendiri dan tidak mau bergaul rapat dengan para penghuni dusun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan mulai saat itu, Pek Lan yang tadinya merupakan seorang gadis manis yang lemah lembut, mulai
digembleng untuk menjadi seorang iblis betina seperti gurunya. Ternyata gadis ini memiliki bakat yang baik
sekali dalam ilmu silat…..
********************
Ang-in-kok atau Lembah Awan Merah merupakan sebutan bagi salah sebuah di antara puncak-puncak
Pegunungan Kun-lun-san. Bukit yang puncaknya disebut Ang-in-kok ini berada di ujung barat. Mungkin
karena pemandangan di puncak ini waktu senja amatlah indahnya, di mana orang dapat menikmati
keindahan matahari terbenam di ufuk barat, membuat angkasa seperti kebakaran dan kemerahan, maka
puncak ini lalu disebut pula Ang-in-kok. Letaknya jauh dari pusat Kun-lun-pai yang agak ke timur dari
Pegunungan Kun-lun-san.
Ang-in-kok ini sunyi, tidak pernah didatangi manusia karena untuk mendaki puncak ini tidak mudah, orang
harus melalui jurang-jurang yang curam. Sungguh pendakian yang tidak mungkin dilakukan orang biasa.
Karena sunyi dan indah itulah maka tempat ini dipilih oleh Himalaya Sam Lojin dan supek mereka, yaitu
Pek-sim Siansu untuk menjadi tempat tinggal sementara.
Mereka berempat menggembleng Sie Liong. Karena pemuda remaja ini menjadi murid Pek-sim Siansu,
maka tiga orang kakek yang berasal dari Himalaya itu, tiga orang tokoh besar yang usianya masing-masing
sudah tujuh puluh tahun lebih, terhitung sebagai para suheng (kakak seperguruan) dari Sie Liong!
Namun, tiga orang suheng inilah yang pertama-tama mendidik dan menggemblengnya. Karena tiga orang
kakek ini yang merasa dirinya sudah amat tua dan tidak mampu lagi melakukan tugas-tugas penting yang
membutuhkan kekuatan dan ketahanan tubuh, dan mereka mengharapkan sute (adik seperguruan) mereka
ini yang nantinya akan menjadi wakil mereka, maka mereka pun menggembleng anak itu dengan penuh
kesungguhan, bahkan mereka lalu mengajarkan ilmu andalan dan simpanan masing-masing kepada Sie
Liong.
Pek In Tosu mengajarkan ilmu simpanannya yang dinamakan Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih),
pukulan yang mengandung tenaga sinkang amat hebatnya sehingga kalau pukulan ini dipergunakan, maka
dari kedua telapak tangan pemukulnya keluar uap putih.
Pukulan ini bukan hanya kuat sekali sehingga angin pukulannya saja dapat merobohkan lawan, akan tetapi
juga mampu menahan dan membuyarkan pukulan-pukulan beracun yang jahat dari orang-orang golongan
hitam atau kaum sesat.
Orang ke dua dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Swat Hwa Cinjin yang selalu tersenyum ramah itu,
mengajarkan ilmu simpanannya yang disebut Swat-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Naga Salju). Pukulan ini
pun mengandung tenaga sinkang yang sangat kuat, dan kehebatan ilmu pukulan ini adalah pada pukulan
itu terkandung hawa yang amat dingin, hawa dingin yang mampu membikin beku darah di dalam tubuh
orang yang terpukul, sehingga pukulan itu dinamakan Naga Salju!
Orang ke tiga dari Himalaya Sam Lojin, yaitu Hek Bin Tosu yang bermuka hitam, juga mewariskan ilmu
simpanannya yang disebut Pay-san Sin-ciang (Tangan Sakti Menolak Gunung)! Dan sesuai dengan
namanya, pukulan ini mengandung tenaga raksasa yang seakan-akan dapat merobohkan gunung dengan
telapaknya! Ketika dilatih ilmu ini, Sie Liong harus mampu merobohkan batang-batang pohon yang kecil
sampai yang besar.
Selama lima tahun Himalaya Sam Lojin menggembleng Sie Liong dengan tekun. Anak itu pun rajin bukan
main. Tidak saja dia melakukan pekerjaan untuk melayani tiga orang suheng-nya dan seorang suhu-nya,
tetapi setiap ada waktu luang, dia selalu melatih diri dengan tekun.
Hal ini amat menggembirakan hati tiga orang kakek itu. Apa lagi saat mereka mendapat kenyataan betapa
Sie Liong memang mempunyai bakat yang luar biasa sekali. Tubuh bongkok itu ternyata memiliki darah
yang bersih dan tulang yang kuat. Apa lagi otaknya. Luar biasa!
Selama lima tahun itu Sie Liong hampir tidak memikirkan hal lain kecuali hanya latihan ilmu-ilmu silat tinggi.
Hanya kadang-kadang saja dia turun dari puncak, pergi ke dusun untuk mencari bahan-bahan makanan
yang dibutuhkan tiga orang kakek itu, dengan cara menukarnya dengan hasil-hasil yang bisa didapatkan di
puncak, antara lain berupa kulit-kulit binatang hutan, tanduk-tanduk menjangan yang berkhasiat, akar-akar
dunia-kangouw.blogspot.com
obat dan ramuan-ramuan lainnya yang banyak didapatkan di tempat itu atas petunjuk Pek-sim Siansu yang
ahli dalam hal pengobatan.
Selama lima tahun itu, Pek-sim Siansu jarang sekali keluar dari dalam goanya. Ia duduk bersemedhi dan
hanya kadang-kadang saja makan, atau kadang-kadang pula dia keluar melihat kemajuan yang dicapai
oleh murid barunya.
Setelah lewat lima tahun, yaitu waktu yang diberikan oleh Pek-sim Siansu kepada tiga orang murid
keponakan untuk menggembleng anak itu, mulailah Pek-sim Siansu sendiri menggembleng Sie Liong yang
sudah berusia delapan belas tahun.
Dia telah menjadi seorang pemuda yang sebetulnya bertubuh tinggi besar dan kokoh kuat, akan tetapi
karena punggungnya bongkok, dia kelihatan pendek. Seorang pemuda yang cacat, bongkok dan agaknya
hal ini membuat dia bersikap rendah diri.
Gemblengan yang dilakukan Pek-sim Siansu merupakan penyempurnaan dari ilmu-ilmu yang telah
dipelajari Sie Liong dari ketiga orang suheng-nya. Selain menyempurnakan ilmu-ilmu yang sudah dikuasai
oleh muridnya, juga Pek-sim Siansu mengajarkan latihan siu-lian untuk menghimpun sinkang yang menjadi
semakin kuat.
Juga kekuatan batin yang membuat pemuda ini seolah-olah kebal terhadap serangan ilmu sihir. Dia diberi
pelajaran ilmu tongkat yang diberi nama Thian-te Sin-tung (Tongkat Sakti Langit Bumi) dan ilmu
pengobatan. Selama dua tahun lagi dia tekun mempelajari ilmu, langsung di bawah bimbingan gurunya,
sedangkan tiga orang Himalaya Sam Lojin sudah meninggalkan tempat itu dan kembali ke tempat
pertapaan masing-masing.
Setelah membimbing Sie Liong selama dua tahun, pada suatu hari Pek-sim Siansu berkata kepada
muridnya bahwa sudah tiba saatnya mereka untuk saling berpisah.
“Sie Liong, sekarang usiamu sudah dua puluh tahun, sudah cukup dewasa dan sudah cukup pula ilmu-ilmu
kau pelajari untuk kau pergunakan dalam hidupmu. Engkau tentu masih ingat maksud pinto dan para
suheng-mu mengajarkan semua ilmu itu kepadamu. Yaitu supaya engkau dapat mewakili kami yang sudah
terlalu tua ini untuk menegakkan kebenaran dan keadilan dalam kehidupan rakyat, membela yang benar
dan menentang yang jahat. Selain itu, pinto memberi tugas kepadamu untuk melakukan penyelidikan ke
Tibet. Engkau tentu masih ingat akan penyerbuan Tibet Ngo-houw itu. Kami semua merasa heran
mengapa Dalai Lama mengutus mereka untuk memusuhi kami, padahal justru golongan kami yang dulu
membela dia ketika dia hendak diculik oleh para Lama. Selidikilah apa yang terjadi di sana dan kalau
mungkin usahakan supaya engkau dapat menghadap Dalai Lama dan menceritakan segala yang terjadi di
sini dan minta kepada Dalai Lama agar menghentikan sikap permusuhan para Lama terhadap kami.”
“Baik, suhu. Semua petunjuk dan perintah suhu dan tiga orang suheng, akan teecu taati. Dan teecu
menghaturkan terima kasih atas segala budi kebaikan suhu yang selama ini telah memberi bimbingan
kepada teecu.”
Pek-sim Siansu lalu meninggalkan puncak itu dan kembali ke He-lan-san yang pernah menjadi tempat
pertapaannya selama bertahun-tahun. Sie Liong juga akhirnya ikut pergi meninggalkan tempat itu. Dia
menuruni puncak Ang-in-kok dan langsung saja menuju ke dusun Tiong-cin, di dekat perbatasan utara
yang cukup jauh.
Dia sudah mendengar keterangan dari enci-nya tentang dusun tempat kelahirannya itu, di mana menurut
enci-nya ayah ibunya sudah tewas akibat penyakit menular. Dia ingin mengunjungi makam orang tuanya
dan bersembahyang di makam mereka.
Setelah melakukan perjalanan jauh yang susah payah, akhirnya berhasil juga Sie Liong memasuki dusun
itu. Ketika dia mendapat keterangan yang meyakinkan bahwa dusun itu adalah dusun Tiong-cin,
jantungnya lantas berdebar tegang. Betapa tidak? Tempat ini adalah tanah tumpah darahnya, tempat di
mana ibunya melahirkan dirinya! Kampung halaman ayah ibunya yang telah meninggal dunia.
Penduduk dusun itu melihat Sie Liong dengan pandang mata heran. Jarang ada orang luar memasuki
dusun itu, dan tidak ada seorang pun yang pernah merasa kenal dengan pemuda bongkok ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sie Liong juga tidak memperlihatkan sikap yang mencurigakan. Sikapnya biasa saja, seperti sikap
kebanyakan pemuda dusun, bahkan dia mencari bagian yang sunyi dari dusun itu.
Ketika dia melihat seorang kakek memanggul cangkul menuju ke ladangnya, dia cepat menghampiri dan
memberi hormat kepada orang tua itu.
“Maaf, lopek (paman tua). Bolehkah saya bertanya sedikit kepadamu?”
Biar pun pemuda yang bongkok itu tidak menarik, akan tetapi sikapnya yang sopan dan kata-katanya yang
teratur dan halus membuat kakek itu menghentikan langkahnya dan menghadapi pemuda bongkok itu.
Setelah mengamatinya beberapa lamanya, kakek itu pun menjawab.
“Hemm, tentu saja boleh, orang muda. Apakah yang hendak kau tanyakan?”
“Maaf, lopek. Saya ingin mengetahui di mana adanya makam dari suami isteri Sie Kian.”
Kakek itu membelalakkan matanya dan sekarang memandang kepada Sie Liong penuh selidik. “Orang
muda, engkau siapakah dan mengapa mencari makam suami isteri Sie Kian?”
Sie Liong tidak mau membuat dirinya menjadi perhatian orang, maka sambil lalu saja dia menjawab, “Saya
masih terhitung sanak keluarga jauh dari mereka, lopek, dan saya kebetulan sedang lewat di dusun ini,
maka saya ingin berkunjung ke makam mereka untuk memberi hormat.”
Kakek yang wajahnya semenjak tadi nampak muram itu bersungut-sungut. “Hemm, apa perlunya
mengingat orang yang sudah mati? Paling banyak setahun sekali kuburan itu seharusnya ditengok, namun
kuburan keluarga itu sudah bertahun-tahun tidak ada yang datang menengok! Benar kata orang bahwa
kalau hendak berbakti kepada orang tua, berbaktilah selagi mereka masih hidup, karena apa sih artinya
berbakti kalau orang tua sudah mati dan tidak lagi dapat merasakan nikmat kebaktian anak?”
Sebelum Sie Liong menjawab, terdengar teriakan orang.
“Heiii, Lo Kwan, tunggu dulu...!”
Sie Liong menengok dan melihat tiga orang laki-laki tinggi besar datang berlari-lari, dan melihat mereka,
kakek berusia enam puluh tahun itu mengerutkan alisnya dan nampak ketakutan. Sie Liong lalu melangkah
ke samping, berdiri di pinggir untuk mendengar apa yang akan dibicarakan tiga orang itu dengan kakek
berwajah muram ini.
Setelah dekat, nampaklah bahwa tiga orang itu berusia kurang lebih tiga puluh tahun, bertubuh kuat dan di
pinggang masing-masing tergantung sebatang golok. Pakaian dan lagak mereka, apa lagi golok itu, sama
sekali tidak menunjukkan bahwa mereka adalah golongan petani.
Salah seorang di antara mereka yang hidungnya besar sekali, seperti baru saja disengat kalajengking,
melangkah maju dan menudingkan jari telunjuknya kepada kakek itu, tidak mempedulikan pemuda
bongkok yang berdiri di pinggiran.
“He, kakek Kwan! Apakah sudah tebal kulitmu, maka engkau berani melarikan diri dari rumah? Bukankah
hari ini merupakan hari terakhir janjimu untuk membayar hutangmu kepada Bouw Loya? Hayo katakan,
engkau hendak minggat ke mana?”
Kakek itu membungkuk dengan sikap takut-takut. “Aih, mana saya berani melarikan diri? Kalian lihat
sendiri, saya membawa cangkul, hendak bekerja di ladang. Tentang hutang itu... ahhh, bagaimana lagi?
Semua orang juga tahu bahwa panen sekali ini buruk sekali hasilnya karena hujan turun terlalu pagi
sehingga banyak merusak gandum yang belum tua benar. Terpaksa tahun ini saya belum mampu
mengembalikan hutang saya kepada Bouw-chungcu (kepala dusun Bouw). Harap sampaikan maaf saya
kepada beliau dan tahun depan tentu akan saya bayar lunas.”
“Enak saja buka mulut! Kalau sedang butuh, minta hutang merengek-rengek akan tetapi kalau disuruh
mengembalikan, ada saja alasannya! Tidak tahu malu!” bentak si hidung besar.
Muka kakek yang muram itu berubah merah, agaknya dia merana penasaran sekali, akan tetapi karena
takut maka tidak leluasa mengeluarkan perasaan penasaran itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akan tetapi, selama berbulan-bulan ini saya selalu membayar bunganya, kalau semua dikumpulkan,
bunga-bunga itu sudah hampir sama banyaknya dengan jumlah pokok uang yang saya hutang!”
“Tentu saja kau harus membayar bunga. Memangnya yang yang kau hutang itu milik nenek moyangmu?
Akan tetapi hutang itu menurut perjanjian harus dikembalikan dalam enam bulan dan sekarang sudah
delapan bulan. Hari ini adalah hari terakhir, engkau harus membayarnya. Harus kau bayar sekarang,
mengerti?”
Kakek itu menarik napas panjang. “Bagaimana saya dapat membayarnya? Saya tidak mempunyai uang
dan saya tidak bisa mencari pinjaman kepada orang lain. Sungguh mati saya tidak bisa membayar
sekarang, bukan tidak mau... harap saya diberi waktu.”
Si hidung besar menggeleng kepala dan hidungnya nampak menjadi lebih besar dan kemerahan. “Tidak
bisa! Majikan kami mengharuskan engkau membayar sekarang juga. Sudahlah, kami akan pergi ke
rumahmu dan akan mengambil apa saja yang berharga untuk kami sita!”
Kakek itu tersenyum sedih. “Barang apa lagi? Semua sudah kami jual untuk membayar bunga kepada
Bouw-chungcu, dan sebagian lagi untuk makan. Di rumah tidak ada lagi sepotong pun benda yang
berharga.”
“Hemm, kukira tidak demikian, orang tua! Ada bunga yang manis dan bunga itu cukup untuk membayar
hutangmu kepada majikan kami!” Berkata demikian si hidung besar lalu membalikkan tubuh dan pergi
bersama dua orang kawannya.
Kakek itu kelihatan pucat dan ketakutan. “Celaka... celaka... mereka akan membawa Siu Si! Celaka, ya
Tuhan, apa yang dapat saya lakukan untuk menyelamatkan cucuku yang malang itu...?” Suaranya
bercampur tangis kebingungan.
“Lopek, siapakah itu Siu Si? Dan mengapa mereka hendak membawanya?”
Ditanya oleh pemuda bongkok itu, kakek yang sudah putus harapan itu lalu berkata, “Namaku Kwan Sun,
hidupku hanya dengan cucuku Siu Si, gadis berusia tujuh belas tahun yang sudah yatim piatu. Memang
sudah lama kepala dusun kami, Bouw Kun Hok, tertarik kepada cucuku dan beberapa kali dia ingin
mengambil cucuku sebagai selir, akan tetapi selalu kami tolak dengan halus. Dan agaknya, hutangku
kepadanya yang akan membuat Siu Si celaka! Ahhh, kalau saja mendiang Sie Kauwsu (Guru silat Sie)
masih hidup, tentu tidak ada kepala dusun yang berani menekan rakyatnya...”
Ucapan terakhir ini membangkitkan semangat dalam hati Sie Liong. Ayahnya disebut sebagai seorang
yang mencegah terjadinya kejahatan di dusun itu. Ayahnya telah tiada, akan tetapi dia, puteranya, masih
ada! Dia lalu memegang lengan kakek itu.
“Hayo, lopek, kenapa tinggal diam saja? Cucumu tidak boleh diganggu orang, aku akan membantumu!”
Berkata demikian, Sie Liong lalu menarik tangan kakek itu untuk diajak berjalan cepat.
Kakek itu masih tetap ketakutan. Dia meragukan kemampuan pemuda bongkok ini yang mengajaknya
untuk menentang tukang-tukang pukul yang ganas serta kejam itu. Akan tetapi, mengingat akan ancaman
bahaya bagi cucunya, dia pun berlari-lari dan menjadi petunjuk jalan menuju ke rumahnya.
Di sepanjang jalan, banyak penduduk dusun yang hanya berani menjenguk dari pintu dan jendela. Mereka
itu memandang dengan muka ketakutan dan gelisah sekali.
“Awas, Lo Kwan, cucumu...!”
“Mereka ke sana...”
“Hati-hatilah, Lo Kwan, kepala dusun mengincar cucumu...!”
Dari sikap mereka, Sie Liong maklum bahwa semua penduduk berpihak kepada kakek yang she Kwan ini.
Akan tetapi mereka itu semua ketakutan dan tidak berani berbicara terang-terangan, bahkan agaknya tidak
berani keluar dari rumah masing-masing melihat ada tiga orang tukang pukul kepala dusun menuju ke
rumah kakek Kwan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Akhirnya mereka pun tiba di depan rumah kakek itu. Kakek Kwan Sun cepat mendekati rumahnya dan
pada saat itu pula terdengar jerit tangis cucunya. Seorang di antara tiga tukang pukul itu, yang berhidung
besar, menyeret gadis itu keluar dari rumah sambil memegangi pergelangan tangan kirinya. Sedangkan
dua orang lagi mengobrak-abrik isi rumah.
Pada saat gadis berusia tujuh belas tahun yang manis itu, walau pun pakaiannya amat sederhana, melihat
kakeknya, ia berteriak sambil menangis.
“Kong-kong, tolonglah aku...!”
Gadis itu meronta-ronta, akan tetapi hanya rasa nyeri pada pergelangan tangan saja yang dia dapatkan
karena pegangan si hidung besar itu sungguh erat sekali.
Melihat cucunya meronta dan menangis tanpa daya, kakek Kwan Sun lupa akan rasa takutnya. Dia tidak
marah melihat barang-barang dalam rumahnya yang tidak berharga itu dirusak, akan tetapi melihat
cucunya yang tersayang itu ditangkap, dia marah sekali.
“Lepaskan cucuku! Ia tidak berdosa! Mau apa engkau menangkap cucuku? Hayo cepat lepaskan Siu Si...!”
teriaknya sambil lari mendekati si hidung besar dan berusaha untuk membebaskan cucunya.
Akan tetapi, kaki yang panjang dan besar itu lantas menendang sehingga tubuh Kwan Sun terlempar dan
terguling-guling. Si hidung besar tertawa.
“Ha-ha-ha, apakah kau bosan hidup? Gadis ini kujadikan sandera, dan jika engkau ingin melihat dia bebas,
bayarlah hutangmu pada majikan kami!”
Dia kemudian memberi isyarat kepada dua orang kawannya yang sudah merasa puas menghancurkan
pintu dan jendela rumah kecil itu. Dia lalu menyeret tubuh Kwan Siu Si yang meronta-ronta dan terus
menangis melihat kakeknya ditendang roboh.
“Kawan, perlahan dulu!”
Tiba-tiba saja Sie Liong sudah menghadang di depan si hidung besar. Sikapnya tenang, akan tetapi
matanya mencorong.
Melihat ada orang berani menghadangnya, si hidung besar memandang heran penuh perhatian karena dia
tidak mengenal orang yang punggungnya bongkok ini.
“Siapa engkau dan mau apa kau menghadangku?” bentaknya marah.
“Sobat, urusan hutang pihutang uang tidak ada sangkut-pautnya dengan nona ini. Maka, kuharap engkau
suka membebaskannya,” kata Sie Liong dengan sikap masih tenang.
Marahlah si hidung besar. “Setan! Engkau tidak kenal siapa aku?” Dia menunjuk ke arah hidungnya yang
besar. “Apa kau ingin mampus? Kalau aku tidak mau membebaskan gadis ini, engkau mau apa?!”
Sie Liong mengerutkan alisnya.
“Sungguh engkau telah menyeleweng dari kebenaran. Oleh karena itu, kalau tidak kau bebaskan, terpaksa
aku akan memaksamu membebaskannya.”
“Hah?!” Si hidung besar membelalakkan matanya yang besar dan hidungnya yang lebih besar lagi itu
bergerak-gerak seperti hidung monyet mencium sesuatu yang aneh.
“Kau... kau... setan bongkok ini sungguh lancang mulut!” Dia menoleh kepada dua orang kawannya dan
membentak. “Hajar mampus setan bongkok ini!”
Kedua orang temannya itu adalah orang yang pekerjaannya memang tukang memukul dan menyiksa
orang. Tidak ada lagi kesenangan yang lebih mengasyikkan bagi mereka melebihi menghajar orang lain.
Hal ini mendatangkan perasaan bangga karena mereka dapat memperlihatkan bahwa mereka lebih kuat,
dunia-kangouw.blogspot.com
lebih pandai dan lebih berkuasa dari pada yang mereka pukuli, juga mendatangkan perasaan nikmat dalam
hati mereka yang kejam.
Selain itu, mendatangkan uang pula karena memang pekerjaan mereka sebagai tukang pukul dari kepala
dusun Tiong-cin yang amat diandalkan oleh si kepala dusun. Apa lagi harus menghajar seorang pemuda
bongkok! Pekerjaan kecil yang teramat mudah, pikir mereka.
Dengan lagak bagaikan jagoan-jagoan sejati, dua orang yang sombong itu menghampiri Sie Liong sambil
menyeringai. Apa lagi pemuda bongkok itu tidak bersenjata, juga tidak menunjukkan sikap sebagai seorang
ahli berkelahi, melainkan hanya seorang pemuda bongkok sederhana saja.
“Sekali pukul bongkokmu itu akan pindah ke depan!” salah seorang di antara mereka mengejek.
“Tidak, biar kupukul sekali lagi, agar bongkoknya berubah menjadi dua, seperti seekor unta dari Mongol!”
Orang ke dua memperoloknya.
Namun Sie Liong diam saja, bahkan sikapnya seperti mengacuhkan mereka. Memang dia tahu bahwa dua
orang itu hanyalah gentong-gentong kosong yang nyaring bunyinya namun tidak ada isinya.
Dua orang itu agaknya hendak bersaing dan berlomba siapa yang akan terlebih dahulu merobohkan Sie
Liong, maka mereka pun menerjang dengan cepat dari kanan kiri, yang seorang menghantam ke arah
kepala Sie Liong, orang ke dua menonjok ke arah dada pemuda bongkok itu.
Sie Liong melihat datangnya dua pukulan itu yang bagi dia tentu saja teramat lambat datangnya. Dia
seolah tidak melihat atau tidak mampu menghindar, akan tetapi begitu dua orang itu dekat dan pukulan
mereka sudah hampir menyentuh sasaran, tiba-tiba dia mengembangkan kedua lengannya dan... dua
orang itu terlempar ke kanan kiri sampai beberapa meter jauhnya, lalu terbanting ke atas tanah sampai
berdebuk suaranya dan debu mengebul ketika pantat mereka terbanting keras ke atas tanah.
Dua orang itu meringis dan tangan mereka mengelus pantat yang amat nyeri itu, akan tetapi perasaan
malu dan marah membuat mereka segera melupakan rasa nyeri itu. Mereka sudah meloncat bangun dan
kini dengan gemas mereka sudah mencabut golok dari pinggang masing-masing. Sinar golok yang
berkilauan membuat Kwan Sun dan cucunya, Kwan Siu Si, memandang dengan mata terbelalak penuh
kengerian.
“Tuan-tuan... jangan membunuh orang...!” kata Kwan Sun, ngeri membayangkan betapa pemuda bongkok
yang menolongnya itu akan menjadi korban golok para tukang pukul itu. “Orang muda, pergilah, larilah...!”
Akan tetapi, tentu saja dua orang tukang pukul yang sudah marah sekali itu tidak ingin mempedulikannya.
Sie Liong menoleh kepada Kwan Sun, lalu berkata, “Lopek, jangan khawatir. Mereka ini adalah orangorang
jahat yang mengandalkan kekerasan untuk menindas orang, karena itu mereka patut dihajar...”
Baru saja Sie Liong bicara demikian, dua orang sudah menyerang dengan golok mereka dari kanan kiri,
mempergunakan kesempatan selagi pemuda bongkok itu menoleh dan bicara kepada Kwan Sun!
Kwan Sun dan cucunya memejamkan kedua mata saking ngerinya. Mereka tidak tahan melihat betapa
tubuh pemuda bongkok itu segera akan menjadi korban bacokan dan roboh mandi darah.
Akan tetapi, dengan tenang saja Sie Liong menggeser kakinya dan dua bacokan golok itu luput! Dan
sebelum dua orang penyerangnya sempat menarik kembali golok mereka, kembali Sie Liong
mengembangkan ke dua lengannya.
“Plak! Plakkk!”
Kini dua tubuh itu terlempar lagi seperti tadi, akan tetapi lebih keras sehingga mereka terpental dan
terbanting keras.
“Ngek! Ngek!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka kini tidak malu-malu lagi mengaduh-aduh sambil menggunakan kedua tangan menekan-nekan
pantat mereka yang seperti remuk rasanya. Mereka mencoba untuk bangkit duduk akan tetapi terguling
lagi dan golok mereka entah lenyap ke mana.
Kini si hidung besar terbelalak. Agaknya baru dia tahu bahwa pemuda bongkok itu lihai! Dia lalu
menggunakan kelicikannya. Tangan kiri memegang pergelangan tangan Kwan Siu Si, dan tangan kanan
mencabut golok lalu ditempelkan kepada leher gadis itu!
“Setan bongkok, mundur kau! Kalau tidak, akan kubunuh gadis ini!” bentaknya.
Sie Liong menggelengkan kepalanya dan melangkah maju menghampiri. “Tidak, engkau tidak akan
membunuh gadis itu!” katanya.
Tiba-tiba tangannya bergerak ke depan dan biar pun jaraknya dengan orang itu masih ada dua meter,
namun sambaran angin pukulannya mengenai pundak kanan si hidung besar. Tanpa dapat dihindarkan
lagi, si hidung besar melepaskan goloknya karena tiba-tiba merasa lengannya tergetar dan kehilangan
tenaga.
Dia terbelalak dan mukanya berubah pucat, akan tetapi pada saat itu, Sie Liong sudah melangkah ke
depannya. Dia masih mencoba untuk menggerakkan tangan kanannya, menyambut Sie Liong dengan
pukulan. Akan tetapi, Sie Liong menangkap pergelangan tangannya dan mencengkeram.
“Aduh... aduhhh... aughhhhh!”
Si hidung besar menjerit-jerit seperti babi disembelih dan otomatis pegangannya pada pergelangan tangan
Siu Si terlepas. Demikian nyeri rasa lengannya yang dicengkeram pemuda bongkok itu. Di lain saat, Sie
Liong sudah mendorongnya sehingga tubuhnya terlempar jauh ke belakang, terbanting keras dan tidak
dapat bergerak lagi karena dia sudah roboh pingsan!
Melihat ini, dua orang temannya cepat menghampirinya, lalu menggotongnya dan tanpa menoleh lagi,
mereka berdua lalu lari lintang pukang menggotong si hidung besar yang pingsan.
Melihat kejadian ini, Kwan Sun dan cucunya cepat menjatuhkan diri di depan kaki Sie Liong.
“Taihiap... mata kami buta, harap maafkan...” kata Kwan Sun. “Kami tidak tahu bahwa taihiap memiliki
kepandaian tinggi dan sudah menyelamatkan kami, akan tetapi... harap taihiap cepat pergi dari sini...
kepala dusun Bouw tentu akan datang bersama banyak anggota gerombolannya...”
Sie Liong tersenyum dan merasa suka kepada kakek itu. Biar pun dirinya sendiri dan cucunya sedang
terancam, kakek itu masih sempat mengkhawatirkan dirinya dan tadi pun menganjurkan agar dia melarikan
diri supaya tidak sampai celaka di tangan orang-orang jahat itu.
“Bangkitlah, lopek,” katanya sambil menyentuh pundak itu dan menarik orang tua itu bangun. “Engkau juga,
nona. Sekarang, harap kalian kumpulkan penduduk dusun ke sini, terutama kaum prianya dan yang masih
muda-muda, aku ingin bicara dengan mereka. Cepat lopek, sebelum kepala dusun yang jahat itu muncul!”
Tidak sukar pekerjaan ini sebab tadi pun, pada saat pemuda bongkok itu menghajar tiga orang tukang
pukul yang amat mereka takuti, hampir seluruh penduduk mengintai dan melihatnya. Mereka hampir tidak
percaya bahwa ada seorang pemuda, bongkok pula, mampu mengalahkan mereka bertiga. Maka, tanpa
perlu diperintah lagi, mereka sudah mengabarkan kepada orang-orang lain dan kini banyak orang
berdatangan ke rumah kakek Kwan Sun.
Maka, ketika kakek itu minta kepada para penduduk agar datang ke situ karena pemuda bongkok itu
hendak berbicara dengan mereka, sebentar saja tempat itu sudah penuh dengan para penghuni dusun,
terutama para prianya yang masih muda. Bahkan yang tua-tua pun tak mau ketinggalan. Melihat mereka,
diam-diam Sie Liong merasa terharu. Inilah teman-teman dan para sahabat mendiang orang tuanya!
“Saudara-saudara,” katanya dengan suara lantang, “kalian mempunyai seorang kepala dusun yang jahat
dan yang mempunyai kaki tangan penjahat, mengapa diam saja dan tidak melawan?”
Semua orang saling pandang dan wajah mereka membayangkan ketakutan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mana kami berani?” akhirnya seorang laki-laki muda menjawab.
“Andai kata Sie Kauwsu masih hidup, apakah mungkin ada kepala dusun yang jahat seperti itu di dusun
ini?” tanya pula Sie Liong, sekali ini ditujukan kepada mereka yang tua-tua karena tentu saja yang masih
muda tidak mengenal Sie Kauwsu.
Mendengar ini, beberapa orang tua segera menjawab. “Tidak mungkin! Dusun ini aman ketika Sie Kauwsu
masih hidup!”
“Nah, ketahuilah paman sekalian. Aku bernama Sie Liong dan aku adalah putera Sie Kauwsu! Aku akan
mewakili mendiang ayahku untuk menghajar kepala dusun itu, dan kuharap kalian semua mendukung dan
membantuku!”
“Kami... kami tidak berani...” beberapa orang berseru. “Kepala dusun Bouw mempunyai banyak tukang
pukul yang lihai.”
“Hemm, kalian lihat saja. Mereka itu hanya pandai menggertak, akan tetapi sama sekali tidak lihai. Apa lagi
jumlah kalian jauh lebih banyak. Kalian tidak perlu turun tangan, lihat saja aku akan menghajar mereka!”
berkata Sie Liong tanpa nada sombong, melainkan nada penasaran. Mengapa begini banyak pria di dusun
orang tuanya itu mandah saja kehidupan mereka ditindas oleh seorang kepala dusun yang jahat?
Meski pun pemuda ini sudah berjanji akan menghajar kepala dusun Bouw dan anak buahnya, tetap saja
para penduduk dusun itu belum yakin benar. Memang pemuda ini tadi sudah mengalahkan tiga orang
tukang pukul lurah Bouw, akan tetapi mampukah pemuda yang bongkok itu mengatasi Bouw-chungcu
dengan para jagoannya yang cukup banyak dan kejam? Maka, mereka tidak berani menyanggupi untuk
membantu pemuda bongkok itu dan hanya berdiri bergerombol agak jauh.
“Yang kumaksudkan bukanlah agar kalian membantuku menghajar mereka, melainkan mendukung dan
selanjutnya bersikap berani dan bersatu menghadapi kekejaman yang menindas kalian. Juga kalau
pembesar tinggi datang, kalian harus berani melaporkan kejahatan para pejabat di sini.”
Orang-orang itu mengangguk dan merasa lega bahwa pemuda itu tidak minta mereka untuk membantu
dengan perkelahian. Dengan demikian, andai kata pemuda itu gagal dan kalah, mereka tidak akan
dipersalahkan oleh Bouw-chungcu.
Tidak lama kemudian, terdengar suara banyak orang. Para penduduk dusun itu segera bersembunyi di
balik rumah-rumah dan pohon-pohon, seperti kura-kura ketakutan dan menyembunyikan kepalanya di
dalam rumahnya.
Nampak lurah Bouw yang bertubuh gendut pendek itu diiringkan oleh lima belas orang yang bersikap
gagah dan kasar, di antaranya tiga orang yang tadi telah dihajar oleh Sie Liong. Lurah Bouw ini
memperoleh kedudukannya sebagai lurah Tiong-cin dengan jalan menyogok pembesar tinggi yang
berwenang menentukan siapa lurah di dusun itu, dan dengan jalan mengancam mereka yang tidak setuju
dia diangkat menjadi lurah, dengan bantuan belasan orang tukang pukulnya.
Dia bukan orang berasal dari dusun Tiong-cin. Baru tiga tahun saja menjadi lurah di situ, dia telah menjadi
kaya raya dan hidupnya bagai seorang raja kecil.
Ketika mendengar laporan tiga orang tukang pukulnya bahwa di dusunnya telah datang seorang pemuda
bongkok yang berani menentang bahkan menghajar tiga orang tukang pukulnya, lurah Bouw menjadi
marah bukan main. Dia sendiri adalah seorang ahli silat yang cukup pandai. Dia segera mengumpulkan
pembantunya yang berjumlah lima belas orang, membawa senjata lengkap mencari pemuda bongkok itu.
Sie Liong menanti kedatangan mereka dengan sikap tenang saja, sebaliknya, melihat pemuda itu, tiga
orang jagoan yang tadi menerima hajarannya segera menuding dan berseru, “Itulah si setan bongkok!”
Lurah Bouw mendongkol bukan main. Pemuda itu biasa saja, bahkan cacat, bongkok dan sama sekali
tidak mengesankan sebagai seorang yang memiliki ilmu kepandaian. Akan tetapi, tiga orang tukang
pukulnya yang ditugaskan menyandera Kwan Siu Si yang membuatnya tergila-gila dan mengilar, dapat
digagalkan pemuda itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka begitu berhadapan dengan Sie Liong, lurah Bouw yang juga memegang sebatang golok seperti para
anak buahnya, menudingkan goloknya ke arah muka Sie Liong dan membentak marah.
“Engkau ini orang bongkok dari mana, beraninya datang ke dusun kami dan membikin kacau?”
Sie Liong mengangkat muka dan memandang wajah lurah itu, sinar matanya yang mencorong
mengejutkan hati lurah itu. Sie Liong pun tersenyum.
“Namaku Sie Liong dan aku adalah orang yang dilahirkan di dusun Tiong-cin ini. Aku datang untuk
menengok kuburan ayah ibuku. Tidak tahunya kini dusun ini telah berada dalam cengkeraman seekor
serigala yang kejam! Engkau telah mengerahkan penjahat-penjahat untuk menindas penduduk dusun.
Engkau tidak pantas menjadi lurah, dan aku mewakili ayahku, Sie Kian untuk menghajar kalian dan
membersihkan dusun kami ini dari serigala-serigala berwajah manusia yang berkeliaran di sini!”
Wajah lurah Bouw menjadi merah padam saking marahnya. Memang dia bukan orang berasal dari dusun
ini, akan tetapi dia telah berhasil menjadi lurah dan hidup makmur di situ.
“Jahanam keparat, setan bongkok yang sombong!” Dan dia menoleh kepada para anak buahnya. “Pukul
dia sampai mati!”
Lima belas orang itu memang sudah siap dengan senjata di tangan. Begitu mendengar komando ini,
mereka serentak maju mengepung dan mengeroyok Sie Liong! Belasan senjata tajam berupa golok,
pedang dan tombak, datang bagaikan hujan ke arah tubuh Sie Liong.
Orang-orang dusun yang mengintai dan menonton, menjadi pucat dan mereka merasa ngeri. Bahkan ada
yang diam-diam sudah meninggalkan tempat itu dan bersembunyi di rumah sendiri saking takut terlibat.
Akan tetapi, Sie Liong yang kini telah menjadi seorang pendekar sakti, tidak menjadi gugup menghadapi
hujan senjata tajam itu. Tubuhnya membuat gerakan memutar dan kedua tangannya dikibaskan ke kanan
kiri dan depan belakang. Akibatnya, beberapa batang senjata tajam terlempar karena pemegangnya
merasa betapa ada tenaga yang dahsyat menyambar tangan mereka dan serta merta membuat lengan
mereka menjadi seperti lumpuh!
Akan tetapi mereka mengandalkan pengeroyokan banyak orang, maka yang lain masih terus menyerang.
Sementara itu, yang senjatanya terlepas, cepat memungut kembali senjata mereka dan menyerang
semakin ganas.
Kini, melihat betapa dalam segebrakan saja beberapa orang anak buahnya melepaskan senjata, lurah
Bouw sendiri menjadi sangat penasaran. Sambil mengeluarkan bentakan nyaring, dia pun maju menyerang
dengan mengangkat goloknya tinggi-tinggi, kemudian melakukan bacokan yang amat cepat dan kuat.
Hanya dengan miringkan tubuh, Sie Liong membuat bacokan itu luput dan lewat di dekat pundaknya.
Sebelum kepala dusun itu sempat merobah posisinya, tiba-tiba saja dia merasa tengkuknya diraba dan
tubuhnya menjadi kaku!
Di lain saat, Sie Liong sudah mengangkat tubuh lurah ini dan mempergunakan sebagai perisai atau
sebagai senjata yang diputar-putar di atas kepalanya! Melihat ini, tentu saja para tukang pukul menjadi
terkejut bukan main dan mereka menahan senjata mereka!
Gambar Pebo-1-A
Sie Liong terus maju dan kedua kakinya secara bergantian menendangi mereka dan beberapa orang
pengeroyok kena ditendang sampai terlempar jauh dan terbanting jatuh dengan kerasnya ke atas tanah!
Sebelum mereka dapat bangkit, tiba-tiba saja datang banyak orang yang memukuli mereka yang terbanting
jatuh itu! Mereka yang memukuli ini adalah orang-orang dusun!
Kiranya ketika para penghuni dusun melihat betapa pemuda bongkok itu benar-benar dapat mengatasi
lurah Bouw dan para anak buahnya, mereka menjadi bersemangat. Pada waktu melihat beberapa orang
tukang pukul yang mereka benci itu terlempar, mereka lalu mengeroyok dan memukulinya dengan tangan
mereka!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja tukang-tukang pukul yang sudah kehilangan senjata dan masih pening akibat terbanting keras,
kini hanya mampu berkaok-kaok ketika dikeroyok serta dipukuli oleh para penduduk dusun! Makin keras
dia memaki dan mengancam, semakin keras pula orang-orang itu memukulinya sehingga mukanya
menjadi bengkak-bengkak dan tubuh mereka pun babak bundas, pakaian mereka robek-robek!
Sie Liong tersenyum gembira melihat ulah para penduduk dusun itu. Dia telah berhasil membangkitkan
semangat para penduduk dusun itu setelah semangat mereka lenyap selama bertahun-tahun di bawah
penindasan kepala dusun yang jahat itu. Maka dia pun segera melempar tubuh kepala dusun Bouw yang
langsung jatuh berdebuk, kemudian terguling-guling.
Kepala dusun itu hanya dapat mengeluh karena kepalanya sudah pening sekali ketika tubuhnya diputarputar,
kini terbanting keras pula setelah totokan pada tengkuknya dibebaskan pemuda bongkok yang lihai
itu. Dan dia pun terkejut ketika kini orang-orang dusun mengejarnya dan memukulinya.
“Hei...! Keparat... ini aku, lurahmu...!” teriaknya.
Akan tetapi teriakannya hanya disambut dengan pukulan-pukulan para penduduk yang sudah melihat
kesempatan untuk membalas dendam bertahun-tahun itu. Lucunya, kini banyak pula wanita dusun yang
keluar dari rumah dan mereka pun ikut pula memukuli kepala dusun dan anak buahnya dengan gaganggagang
sapu!
Sie Liong mengamuk, dan dalam waktu singkat saja, seluruh tukang pukul yang lima belas orang
banyaknya sudah dia robohkan dan kini mereka semua, juga kepala dusun Bouw, berteriak-teriak dan
mengaduh-aduh tanpa mampu melawan ketika orang-orang dusun, tua muda, laki perempuan,
mengeroyok mereka dan memukuli mereka sampai seluruh muka mereka bengkak-bengkak!
Sampai beberapa lamanya Sie Liong membiarkan orang-orang dusun itu melampiaskan kemarahan dan
sakit hati mereka, akan tetapi dia menjaga supaya mereka tidak sampai melakukan pembunuhan.
Akhirnya, khawatir kalau-kalau kepala dusun Bouw dan anak buahnya akan mati konyol dia lalu berseru
dengan suara nyaring.
“Cukup, saudara-saudara, cukup dan jangan memukul lagi!”
Teriakan yang nyaring ini ditaati seketika oleh para penghuni dusun yang kini penuh semangat itu.
Dipimpin oleh seorang kakek yang bersemangat, mereka pun berseru, “Hidup putera mendiang Sie
Kauwsu...!”
Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas memberi isyarat agar mereka tenang, lalu dia memeriksa
keadaan enam belas orang musuh itu. Keadaan mereka sungguh amat menyedihkan, keadaannya lebih
dari setengah mati.
Muka mereka bengkak-bengkak dan bonyok-bonyok, bahkan kepala dusun Bouw tidak mempunyai hidung
lagi. Bukit hidungnya penyok dan hancur, ada yang matanya pecah, patah tulang dan sebagainya.
Akan tetapi Sie Liong merasa bersyukur bahwa tidak ada di antara enam belas orang itu yang tewas. Dia
lalu menghampiri lurah Bouw dan mengguncang pundaknya. Lurah itu mengeluh dan merintih, berusaha
keras untuk membuka kedua matanya yang bengkak-bengkak, memandang kepada Sie Liong.
“Orang she Bouw, bagaimana sekarang? Apakah engkau masih merasa penasaran dan hendak
mempergunakan kekuasaanmu untuk menindas rakyat dusun Tiong-cin?”
Lurah Bouw sudah ketakutan setengah mati. Ketika tadi dipukuli oleh rakyat, dia yang tadinya memakimaki
dan mengancam, mulai menangis dan minta-minta ampun.
“Ampun... ampunkan saya... saya tidak berani lagi... saya berjanji akan menjadi lurah yang baik...”
Akan tetapi mendengar ucapannya itu, semua penduduk dusun menolak keras. “Tidak! Kami tidak mau dia
menjadi lurah kami!”
Sie Liong tersenyum dan berkata kepada orang she Bouw itu. “Nah, engkau sudah mendengar sendiri.
Kalau tidak ada aku di sini, engkau tentu telah mereka pukuli terus sampai mati. Orang she Bouw,
sekarang lebih baik kalau engkau dan anak buahmu itu pergi dari dusun ini secepatnya. Kami penduduk
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiong-cin tidak membutuhkan engkau dan orang-orangmu, kami dapat mengatur diri kami sendiri. Aku
akan melapor kepada pembesar atasanmu bahwa engkau tidak disuka rakyat dan bahwa engkau telah
pergi, dan kami akan mencari pengganti seorang kepala dusun. Nah, sekarang cepat engkau pergilah dan
bawalah keluargamu, juga hartamu. Akan tetapi, gudang gandum dan padi harus kau tinggalkan, karena itu
milik rakyat yang kau peras!”
Semua penghuni dusun bersorak gegap gempita menyambut ucapan Sie Liong karena mereka semua
merasa setuju sekali. Menghadapi semangat rakyat yang berkobar itu, Bouw Kun Hok, yaitu kepala dusun
yang jahat itu, menjadi ngeri. Dengan susah payah dia bersama anak buahnya, lalu kembali ke rumahnya
dan mengumpulkan keluarga mereka, membawa harta mereka dan pada hari itu juga mereka pergi
meninggalkan dusun Tiong-cin, diantar sorak-sorak para penduduk yang merasa lega sekali.
Setelah enam belas orang itu bersama keluarga mereka pergi, dengan dipimpin seorang kakek, yaitu
kakek Kwan Sun sendiri, para penghuni dusun menjatuhkan diri berlutut di depan Sie Liong. Sekarang
mereka semua keluar, termasuk kanak-kanak dan wanita sehingga ratusan orang berlutut di depan Sie
Liong.
“Sie-taihiap,” kata Kwan Sun dengan suara nyaring, “kami seluruh penghuni dusun Tiong-cin
menghaturkan terima kasih kepada taihiap yang sudah membebaskan kami dari tekanan lurah Bouw.
Sekarang kami mohon supaya taihiap suka menjadi kepala dusun kami.”
“Hidup Sie-taihiap...!”
“Kami setuju!”
“Akur! Sie-taihiap menjadi lurah kami!”
Melihat mereka itu berteriak-teriak, Sie Liong mengangkat kedua tangan ke atas dan hatinya terharu sekali.
Selama ini, orang-orang hanya memandang kepadanya dengan ejekan, dengan olok-olok, ada pula yang
dengan pandang mata kasihan.
Dia seorang bongkok yang dipandang rendah, membuat dia merasa rendah diri. Akan tetapi sekarang, di
dusun orang tuanya, di tempat kelahirannya, dia seperti dipuja-puja!
“Terima kasih atas kepercayaan cu-wi (anda sekalian)! Akan tetapi, aku masih memiliki tugas yang sangat
penting dan tidak mungkin tinggal selamanya di sini. Karena itu, aku tidak dapat pula menjadi seorang
lurah, apa lagi mengingat bahwa aku tidak mempunyai pengalaman dan tidak berpengetahuan bagaimana
memimpin rakyat dusun. Sebaiknya kalau sekarang cu-wi memilih sendiri seorang di antara cu-wi yang
benar-benar dapat dipercaya, kemudian mengangkatnya menjadi lurah baru.”
Kembali terjadi kegaduhan ketika mereka mengajukan nama-nama calon, akan tetapi ternyata sebagian
besar suara mereka memilih kakek Kwan Sun. Melihat ini, Sie Liong juga menyatakan persetujuannya.
“Kalian telah memilih dengan tepat. Kwan Lopek memang sangat tepat untuk menjadi lurah kalian yang
baru. Kuharap Kwan Lopek dapat menerimanya dan suka memimpin saudara-saudara ini!”
Kwan Sun bangkit dan mukanya agak merah karena merasa malu bahwa dia, seorang petani biasa, kini
diangkat menjadi lurah. “Sie-taihiap, bukan saya menolak, akan tetapi bagaimana mungkin saya bisa
menjadi lurah tanpa pengangkatan para pembesar yang berwajib di kota besar Wen-su?”
Semua orang menjadi bengong dan bingung karena apa yang diucapkan oleh kakek itu memang benar.
Sie Liong mengangguk-angguk, karena dia pun baru tahu akan hal itu sekarang.
“Harap lopek jangan khawatir. Aku sendiri yang akan pergi ke kota Wen-su dan akan kutemui pejabat yang
berwenang untuk itu. Akan kuceritakan pula tentang keadaan di Tiong-cin ini, juga tentang kejahatan lurah
Bouw dan tentang keputusan para penduduk mengangkat lopek sebagai lurah!”
Semua orang bersorak gembira karena mereka semua yakin bahwa kalau Pendekar Bongkok yang muda
itu turun tangan, pasti akan beres, seperti yang telah dibuktikan ketika dia menumpas lurah Bouw dan
anak-anak buahnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akan tetapi, taihiap. Bagaimana kalau orang she Bouw itu tidak mau menerima dan setelah taihiap pergi
dari sini, dia akan datang bersama gerombolannya dan membalas dendam?” tanya seorang penduduk
muda.
Kembali semua orang bengong dan wajah mereka berubah ketakutan. Membayangkan balas dendam dari
lurah Bouw dan gerombolannya, selagi Pendekar Bongkok, demikian mereka menjuluki Sie Liong, tidak
berada lagi di dusun itu, langsung membuat mereka mengeluarkan keringat dingin.
“Janganlah kalian takut! Kalau kalian sudah bersatu padu seperti tadi, lurah Bouw dan gerombolannya
tidak akan mampu berbuat sesuatu! Kulihat tadi di antara cu-wi banyak pula yang kuat dan memiliki
gerakan silat. Bukankah mendiang ayahku dahulu adalah guru silat di sini dan disebut Sie Kauwsu? Siapa
di antara cu-wi yang pernah berguru kepada ayahku?”
Ternyata ada tujuh orang yang pernah menjadi murid Sie Kauwsu. Mereka sudah lama tak pernah berlatih,
akan tetapi pada saat Sie Liong menyuruh mereka memperlihatkan gerakan silat, ternyata mereka cukup
mahir.
“Aku akan melatih tujuh orang saudara ini dengan beberapa jurus silat pilihan, kemudian mereka akan
melatih para muda di sini. Jumlah kalian ada ratusan orang, kalau bersatu padu, tentu tidak ada
gerombolan penjahat yang berani main-main.”
Semua orang setuju dan kakek Kwan Sun dipilih menjadi lurah yang baru, menempati bekas rumah lurah
Bouw yang besar! Dan Sie Liong menjadi tamunya yang dihormati. Akan tetapi sebelum dia pergi ke rumah
baru dari lurah Kwan, terlebih dahulu dia minta penjelasan dari Kwan Sun tentang orang tuanya.
“Seperti lopek mengetahui, saya datang untuk berkunjung ke makam ayah ibu saya di sini. Sekarang lebih
dulu saya ingin pergi berkunjung ke makam itu. Di manakah makam mereka, lopek?”
“Ahh, mari kuantar sendiri, taihiap. Makam itu berada di pinggir dusun sebelah timur, tempat pemakaman
penduduk kita.” Lurah baru itu lalu mengantar Sie Liong menuju ke tanah kuburan yang sunyi itu.
Tak lama kemudian, Sie Liong sudah berlutut di depan tiga buah makam yang berjejer. Makam yang
sederhana sekali, dan tidak terawat. Hal ini menunjukkan bahwa ayah dan ibunya tidak mempunyai sanak
keluarga lagi di dusun itu. Setelah memberi hormat, dia pun membersihkan rumput-rumput liar di makam
itu, dibantu oleh lurah Kwan.
“Ini makam Sie Kauwsu dan ini makam isterinya. Aku sendiri turut mengubur jenazah mereka, dan yang ini
makam Kim Cu An, muridnya yang menjadi calon mantunya.”
Sie Liong terkejut dan heran. “Apakah suheng Kim Cu An ini pun tewas karena penyakit menular yang
ganas itu, lopek?”
Kini lurah Kwan itu yang memandangnya dengan mata terbelalak. “Penyakit menular? Apa maksudmu,
taihiap?”
“Bukankah... bukankah ayah ibu tewas karena penyakit menular?”
“Ahh, dari mana taihiap mendengar berita itu? Sama sekali tidak begitu! Di sini memang pernah berjangkit
penyakit menular, akan tetapi tidak berapa hebat dan yang jelas, ayah ibumu tidak tewas oleh penyakit
menular, juga Kim Cu An ini tidak pula!”
Sie Liong terkejut bukan main, akan tetapi dia mampu menekan perasaannya sehingga tidak nampak di
wajahnya. Dia mempersilakan kakek itu duduk di atas rumput, di depan makam ayah ibunya dan suhengnya,
lalu dengan lembut dia berkata, “Kwan Lopek, sekarang aku minta tolong kepadamu. Ceritakanlah
dengan jelas apa yang telah terjadi pada ayah ibuku, dan bagaimana mereka itu tewas.”
Kwan Sun mengangguk-angguk. “Mendiang ayahmu terkenal sebagai Sie Kauwsu, guru silat di dusun ini
yang gagah perkasa dan kami semua menghormatinya. Dia memiliki dua orang anak, yang pertama
seorang gadis bernama Sie Lan Hong, ketika itu berusia lima belas tahun, dan anak ke dua adalah seorang
anak laki-laki yang baru kurang lebih setahun usianya, bernama Sie Liong.”
“Akulah anak itu, lopek.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu mengangguk. “Ya, kami sudah menduganya, taihiap, walau pun tadinya kami ragu-ragu...” Dia
memandang ke arah punggung Sie Liong. “Mendiang ayahmu memiliki beberapa orang murid, dan yang
menjadi murid utamanya adalah mendiang Kim Cu An yang pada saat itu berusia kurang lebih dua puluh
tahun dan sudah ditunangkan dengan puterinya yaitu Sie Lan Hong. Pada satu hari, pagi-pagi sekali, kami
sedusun dikejutkan oleh keadaan di rumah orang tuamu. Sungguh mengerikan dan menyedihkan sekali...”
Kakek itu berhenti bercerita dan termenung.
“Kemudian bagaimana, lopek? Apa yang telah terjadi di rumah orang tuaku?” Sie Liong mendesak karena
dia sudah tidak sabar lagi dan ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi pada ayah ibunya.
Kwan Sun menghela napas panjang. “Akulah seorang di antara para tetangga yang pertama kali
menyaksikan keadaan itu. Kami mendapatkan ayahmu dan ibumu, juga Kim Cu An, dalam keadaan tewas
terbunuh! Bukan hanya mereka bertiga, juga kami mendapatkan bahwa semua binatang peliharaan orang
tuamu, anjing, kucing, ayam dan kuda, juga mati terbunuh.”
“Ahhh! Apa yang telah terjadi dengan mereka, lopek? Siapa pembunuh mereka?”
Kakek itu menggeleng kepalanya. “Kami tidak tahu apa yang terjadi dengan mereka dan siapa pembunuh
mereka. Tidak ada tanda-tanda sama sekali! Enci-mu, Sie Lan Hong dan engkau sendiri, tidak berada di
sana, taihiap. Kami tidak tahu pula apa yang terjadi dengan taihiap dan enci taihiap itu. Barang-barang
dalam rumah Sie Kauwsu tidak dicuri orang yang menjadi pembunuh itu. Akan tetapi barang-barang itu,
rumah itu, telah lama dirampas oleh lurah Bouw.”
Sie Liong mengepal tinjunya. “Jangan-jangan lurah Bouw yang melakukan itu!”
Kakek Kwan menggeleng kepala. “Saya kira bukan, taihiap. Walau pun dia amat jahat, akan tetapi saya
yakin dia tidak akan mampu mengalahkan ayahmu yang gagah. Saya kira, yang mengetahui siapa
pembunuhnya hanyalah taihiap sendiri. Akan tetapi ketika itu taihiap baru berusia setahun, akan tetapi
enci-mu, Sie Lan Hong...”
“Lopek,” Sie Liong memotong, “apakah di antara para penduduk dusun ini tidak ada yang kebetulan melihat
orang asing malam itu di dusun ini, lopek?”
Kakek itu menggeleng kepala lagi.
“Tidak ada. Kalau ada, tentu dia sudah bercerita kepada kami. Kami semua mencinta Sie Kauwsu dan
kami semua merasa bersedih dan kehilangan.”
Sie Liong mengerutkan alisnya, sejenak ia termenung. “Lopek, banyak terima kasih atas keteranganmu,
dan aku tidak ingin lagi bicara tentang hal itu.” Setelah berkata demikian, pemuda ini bersila di depan
makam dan memejamkan kedua matanya, bersemedhi. Kakek Kwan tidak lagi berani mengganggunya.
Terjadi perang di dalam pikiran Sie Liong. Mengapa enci-nya bercerita lain? Mengapa enci-nya seperti
hendak menutupi kematian ayah ibunya, dan mengatakan bahwa ayah ibunya tewas karena penyakit
menular? Benarkah enci-nya tidak tahu akan peristiwa itu? Ataukah enci-nya sengaja membohonginya?
Tetapi, bagaimana mungkin enci-nya berbohong kepadanya?
Dia yakin benar betapa besar kasih sayang enci-nya kepadanya. Tadi dia tidak mau lagi membicarakan
urusan itu dengan Kwan Sun, karena khawatir kalau-kalau orang-orang mencurigai enci-nya. Tetapi betapa
pun juga, memang segalanya menunjukkan bahwa enci-nya tentu tahu akan peristiwa itu dan tahu pula
siapa pembunuh ayah ibunya! Hanya enci-nya yang tahu, dan dia pasti akan mendengarnya dari enci-nya.
Dia akan bertanya kepada Sie Lan Hong, enci-nya.
Setelah merasa cukup melakukan sembahyang di depan makam itu, Sie Liong lalu mengikuti Kwan Sun
yang menjadi lurah baru untuk pulang ke rumah baru lurah itu. Dia harus tinggal beberapa hari lamanya di
dusun itu untuk melatih beberapa jurus kepada bekas murid-murid ayahnya supaya para penduduk itu
dapat menyusun kekuatan untuk menghadapi ancaman orang-orang jahat seperti lurah Bouw.
Dengan penuh semangat para penduduk dusun itu, terutama mereka yang dulu pernah belajar silat pada
Sie Kauwsu, berlatih silat di bawah bimbingan Sie Liong selama satu minggu. Dan pada malam terakhir,
dunia-kangouw.blogspot.com
Sie Liong duduk bersila di dalam kamarnya di rumah lurah Kwan sambil merenungkan nasibnya. Nasib
yang lebih banyak pahitnya dari pada manisnya.
Sejak kecil dia telah menderita banyak sekali kekecewaan. Baru setelah dia menjadi murid orang-orang
sakti dan berlatih ilmu di puncak bukit, hidupnya nampak indah dan berbahagia. Sekarang, begitu turun, dia
mendengar berita kematian orang tuanya yang amat mengejutkan, yaitu bahwa ayah ibunya tewas karena
dibunuh orang, sama sekali bukan karena penyakit.
Ayah ibunya dan seisi rumah dibunuh, kecuali enci-nya dan dia! Apa artinya ini semua dan mengapa encinya
harus berbohong kepadanya? Dia harus mendengar penjelasan dari enci-nya.
Pada keesokan harinya ia berpamit meninggalkan dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya itu. Lurah Kwan
terkejut mendengar bahwa pendekar itu hendak pergi meninggalkan dusun mereka.
“Sie Taihiap, kenapa engkau tergesa-gesa hendak meninggalkan kami? Harap taihiap menanti selama
beberapa hari karena kami semua bermaksud untuk menjamu taihiap yang sudah menyelamatkan semua
saudara di dusun ini dari penindasan orang jahat. Selain itu, juga saya sendiri mempunyai urusan yang
amat penting untuk diselesaikan dengan taihiap.”
Sie Liong tersenyum. Ia memang memiliki rasa persaudaraan yang dekat sekali dengan para penghuni
dusun Tiong-cin, tempat kelahirannya. Apa bila para penduduk hendak menjamunya, sebagai semacam
pesta perpisahan, tidak mungkin dia menolak. Dia tidak ingin mengecewakan hati mereka, dan pula,
menunda beberapa hari pun apa salahnya? Biar pun hatinya ingin sekali segera mendengar dari enci-nya
tentang kematian orang tuanya, namun dia tidak perlu tergesa-gesa.
“Baiklah, Kwan Lopek. Aku tidak berkeberatan untuk menunda dua hari lagi, akan tetapi jangan terlalu
lama. Tentang urusanmu itu, apakah itu, lopek?”
“Sebelumnya maaf kalau pertanyaanku ini menyinggung karena terlalu pribadi. Akan tetapi bolehkah aku
mengetahui apakah engkau sudah menikah atau bertunangan, Sie Taihiap?”
Sie Liong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. Kalau saja dia belum menerima penggemblengan
ilmu-ilmu yang dalam, juga pengertian tentang kehidupan dari para gurunya, tentu pertanyaan itu akan
menyinggung perasaannya. Dia seorang yang cacat, bagaimana berani memikirkan tentang perjodohan?
Wanita mana yang mau didekati seorang laki-laki yang bongkok seperti dia? Yatim piatu, miskin, dan
bongkok pula!
“Tidak, lopek. Aku masih hidup seorang diri.”
Tiba-tiba wajah kakek itu berseri gembira sehingga Sie Liong menjadi heran. Bahkan kini kakek itu tertawa.
“Ha-ha-ha, sungguh kebetulan sekali, taihiap. Kalau Tuhan menghendaki, dan kalau taihiap tidak merasa
rendah, kami sekeluarga, bahkan seluruh penduduk dusun ini akan merasa berbahagia sekali kalau taihiap
sudi menjadi jodoh cucuku Kwan Siu Si. Ia juga sudah yatim piatu dan ia seorang anak yang amat baik,
taihiap.”
Wajah Sie Liong berubah merah. Siu Si? Hemm, gadis yang manis sekali itu! Memang dia sama sekali
belum pernah berpikir mengenai jodoh. Akan tetapi kalau benar gadis yang manis itu mau dijodohkan
dengan dia, sungguh hal itu merupakan suatu anugerah baginya. Gadis itu berwajah manis, bertubuh
padat dan sehat, juga seorang gadis dari dusun tempat kelahirannya sendiri.
“Bagaimana, Sie Taihiap? Maafkan kami kalau usulku tadi menyinggung perasaanmu. Memang kami akui
bahwa Siu Si seorang gadis dusun bodoh dan terlalu rendah apa bila dibandingkan dengan taihiap.”
“Ahh, jangan berkata demikian, lopek! Sama sekali aku tidak mempunyai pikiran seperti itu. Bahkan aku
merasa berterima kasih sekali. Akan tetapi karena aku sudah tidak mempunyai ayah ibu, aku harus minta
keputusan enci-ku dalam hal perjodohan. Maka, bersabarlah kalau aku belum dapat memberi jawaban dan
keputusan sekarang. Aku akan menyampaikan kepada enci dan minta keputusan enci.”
“Tapi... tapi, engkau sendiri tidak berkeberatan, taihiap?”
Sie Liong menggelengkan kepala.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lurah Kwan menjadi girang bukan main. “Terima kasih, taihiap! Aku akan memberi tahu kepada kawankawan
agar secepatnya mempersiapkan jamuan karena engkau akan pulang ke rumah enci-mu!”
Pada keesokan harinya, perjamuan makan untuk menghormati Sie Liong dan untuk menghaturkan selamat
jalan diadakan di rumah Lurah Kwan. Semua penghuni dusun itu hadir, dan Sie Liong duduk semeja
dengan Lurah Kwan, dilayani oleh Siu Si sendiri.
Gadis ini nampak malu-malu, karena ia sudah diberi tahu oleh kakeknya tentang usaha kakeknya
menjodohkannya dengan pendekar itu. Sie Liong melihat betapa gadis yang manis ini kelihatan canggung
dan malu-malu, akan tetapi penglihatan Sie Liong yang tajam dapat menangkap bekas air mata dan mata
yang agak kemerahan oleh tangis, dan bahwa sikap ramah serta senyum pada bibir yang mungil itu tidak
wajar, seperti dipaksakan.
Lurah Kwan bangkit berdiri dan minta perhatian kepada semua orang, lalu dia membuat pengumuman
bahwa dia telah menjodohkan Kwan Siu Si kepada pendekar Sie Liong! Tentu saja berita ini amat
menggembirakan para penduduk dusun itu dan mereka lantas menyambutnya dengan sorakan dan tepuk
tangan.
Lurah Kwan mengangkat kedua lengan ke atas dan mereka pun diam. Wajah mereka berseri-seri dan
mereka mendengarkan penuh perhatian apa yang akan diucapkan oleh kepala dusun baru itu.
“Kemarin, perjodohan ini sudah kami bicarakan dengan Sie-taihiap, dan dia pun tidak berkeberatan. Akan
tetapi jawaban dan keputusan darinya akan diberikan setelah dia menyampaikan hal itu kepada enci-nya
yang kini tinggal di kota Sung-jan. Karena itu, dalam waktu dekat ini Sie-taihiap akan meninggalkan dusun
kita dan pulang dahulu ke Sung-jan untuk minta persetujuan enci-nya.”
Kembali orang-orang bersorak dan bertepuk tangan. Akan tetapi Sie Liong melihat betapa Siu Si, gadis
yang tadi melayani mereka, bahkan diajak makan bersama oleh kakeknya, diam-diam telah pergi
meninggalkan meja dan keluar dari ruangan itu. Kwan Sun yang melihat hal itu hanya tertawa.
“Maafkan cucuku. Maklum, dia malu-malu,” katanya dan Sie Liong juga tidak berkata sesuatu.
Malam itu, di dalam kamarnya, Sie Liong agak gelisah. Malam terakhir dia di rumah keluarga Kwan yang
menjadi lurah baru, karena besok pagi-pagi dia sudah akan pergi meninggalkan dusun itu. Akan tetapi
bukan hal itu yang membuatnya tidak dapat tidur. Dia membayangkan keadaan sendiri, tentang ikatan
jodoh itu. Bagaimana bila ternyata enci-nya menyetujui ikatan jodoh itu?
Kalau enci-nya tidak setuju, hal itu bukan yang digelisahkan. Kalau enci-nya tak setuju, tinggal
menyampaikan saja kepada Lurah Kwan dan ikatan itu tidak jadi. Dia hanya suka saja kepada Siu Si yang
manis, apa lagi gadis sedusun dengannya. Dia belum dapat merasakan, belum tahu dan belum mengerti
apa itu yang dinamakan cinta antara pria dan wanita.
Akan tetapi, bagaimana kalau enci-nya setuju? Apakah dia harus menikah dengan Siu Si? Lalu apa jadinya
dengan dia? Dia tidak mempunyai rumah tinggal, tidak mempunyai pekerjaan yang menghasilkan sesuatu.
Tinggal di rumah Lurah Kwan? Sebagai laki-laki, tentu hal ini merendahkan harga dirinya. Ikut enci-nya? Ini
pun tidak betul, mengingat akan sikap cihu-nya dan bahkan urusan kematian orang tuanya masih menjadi
rahasia yang harus dia tanyakan kepada enci-nya.
Dan Bi Sian... Tiba-tiba Sie Liong tertegun dan termenung. Bi Sian!
Terbayanglah wajah anak perempuan yang manis, manja dan galak itu, dan jantungnya berdebar.
Mengapa timbul parasaan yang amat aneh ketika dia teringat pada Bi Sian? Uhhh, anak itu tentu akan
menggodanya setengah mati kalau mendengar bahwa dia hendak kawin!
Tiba-tiba saja timbul penyesalan di dalam hatinya. Mengapa dia tergesa-gesa menerima usul lurah Kwan?
Sekarang dia telah melangkah maju, tidak mungkin mundur lagi tanpa menyakiti hati keluarga Kwan.
Mendadak Sie Liong bangkit duduk. Dia pun memejamkan mata sambil mengerahkan pendengarannya
yang sudah sangat terlatih. Dia mendengar suara isak tangis tertahan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena mengkhawatirkan terjadinya sesuatu yang tidak beres, apa lagi dia menduga bahwa tangis itu
agaknya suara tangis Siu Si di dalam kamarnya, dengan hati-hati Sie Liong membuka jendela kamarnya
dan sekali berkelebat dia sudah berada di luar kamarnya, kemudian meloncat naik ke atas genteng dan
mengintai ke dalam kamar gadis yang dicalonkan menjadi isterinya itu.
Benar saja. Siu Si duduk di atas pembaringan sambil menangis lirih. Agaknya gadis itu menahan suara
tangisnya agar tidak kedengaran orang lain. Seorang wanita setengah tua duduk di dekat gadis itu dan
menghiburnya.
“Bibi Liu, kau tidak perlu membujuk dan menghiburku! Percuma kong-kong menyuruh engkau menemaniku
dan membujukku. Kong-kong sudah tahu bahwa aku telah lama bersahabat akrab dengan Sui-koko, dan
semua orang tahu, engkau juga tahu bahwa kami saling mencinta dan kami mengharapkan kelak menjadi
suami isteri. Biar pun tidak secara resmi, bahkan kong-kong telah menyetujui jika Siu-koko kelak menjadi
suamiku. Akan tetapi mengapa tiba-tiba saja kong-kong menjodohkan aku dengan... Si Bongkok itu?”
“Hushh, jangan berkata demikian, Siu Si. Sie Liong adalah seorang pendekar sakti yang budiman...”
“Aku tidak peduli! Biar dia sakti seperti dewa sekali pun, aku tidak sudi, aku tidak suka padanya. Siapa
yang mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk?” Siu Si menangis lagi.
“Hushh, kau tidak boleh berkata demikian, Siu Si. Sie-taihiap memang bongkok, akan tetapi dia tidaklah
buruk. Pula, dia telah menyelamatkan kita semua, terutama engkau! Kalau tidak ada dia, bukankah engkau
telah menjadi tawanan Lurah Bouw?”
“Tapi dia menolongku dengan pamrih! Buktinya, setelah menolongku, kenapa dia tidak pergi saja dan
bahkan ingin menjadi suamiku? Aku tidak sudi... tidak sudi menjadi isteri Si Bongkok! Aihh, aku mau
minggat saja dengan Sui-koko...”
“Hushhh...!”
Wajah Sie Liong menjadi pucat, lalu merah kembali dan tanpa diketahui siapa pun, dia sudah melayang
turun kembali ke dalam kamarnya. Hatinya seperti ditusuk rasanya.
Dia menyelamatkan dusun kelahirannya, menolong penduduk dengan hati yang jujur, menghindarkan Siu
Si dari bahaya dengan sesungguhnya tanpa pamrih. Akan tetapi kini dia dituduh yang bukan-bukan.
Dan gadis yang ditolongnya itu menyebutnya Si Bongkok dengan nada suara menghina dan penuh
kebencian! Dan gadis yang amat membencinya itu akan menjadi isterinya? Tidak, tidak mungkin!
Dengan tubuh lemas dan jari-jari tangan agak gemetar Sie Liong lalu menulis sepucuk surat, pendek saja
isinya.
Kwan Lopek,
Maafkan kepergianku tanpa pamit. Tentang perjodohanku itu, sebaiknya kita batalkan saja. Aku tidak mau
terikat perjodohan dan aku bukanlah calon suami yang baik bagi cucumu.
Sie Liong.
Malam itu juga Sie Liong meninggalkan rumah Lurah Kwan, pergi meninggalkan dusun Tiong-cin lalu
keluar menuju ke barat. Menjelang pagi, ketika matahari mulai nampak mengintai dari balik cakrawala di
timur, dia sudah tiba di puncak sebuah bukit.
Dia duduk menghadap ke arah matahari yang baru tersembul, duduk sambil memeluk kedua lutut,
tersenyum pahit dan kadang-kadang meraba punggungnya yang bongkok. Terngiang suara Siu Si di
antara isaknya. “Siapa mau dikawinkan dengan seorang yang bongkok dan buruk? Aku tidak sudi menjadi
isteri Si Bongkok...”
Senyum yang menghias wajah Sie Liong menjadi pahit sekali. Dia mengepal tinjunya, wajahnya merah.
Namun kepalan tinjunya terbuka kembali dan kepahitan senyumnya menipis. Mengapa dia harus marah?
Memang dia bongkok, memang dia buruk, habis mengapa? Biarlah dia berbahagia dengan
kebongkokannya, dengan keburukannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bongkok dan buruk hanyalah tubuh. Dia bahkan harus berterima kasih kepada Siu Si. Seorang gadis yang
hebat! Tidak mau menyerah begitu saja, berjiwa pemberontak dan berani menentang kesewenangwenangan.
Kakeknya memang sewenang-wenang!
Apa bila kakek Kwan itu sudah tahu bahwa cucunya saling mencinta dengan seorang pemuda lain,
mengapa mempunyai niat hendak menjodohkan cucunya itu dengan dia?! Untuk membalas budi? Untuk
mencari muka? Atau untuk mengikat agar dia mau terus tinggal di dusun itu sehingga menjamin keamanan
dan keselamatan penduduk? Yang jelas, niat itu sudah pasti berpamrih. Kalau tidak, sudah tentu kakek
Kwan tidak akan memutuskan ikatan kasih sayang antara cucunya dan pemuda lain.
Ya, dia malah harus berterima kasih kepada Siu Si. Kalau gadis itu seperti para gadis lain yang lemah dan
tidak berdaya, tidak menentang melainkan ‘terima nasib’, bukankah dia akan memasuki sebuah
perkawinan yang celaka? Isterinya akan merupakan orang yang sama sekali tidak mencintanya, bahkan
membencinya, dan hanya mau menjadi isterinya karena terpaksa!
“Terima kasih, Siu Si...” dia berbisik, lalu bangkit berdiri.
Pagi itu indah sekali. Matahari muncul sebagai sebuah bola merah yang amat besar, dengan sinar redup
cemerlang. Dia tersenyum kepada matahari.
“Terima kasih, matahari, terima kasih untuk pagi yang seindah ini...” dia kembali berbisik sambil
memandang matahari. Tidak lama, karena sebentar saja sinar matahari mulai menyilaukan dan tidak baik
untuk kesehatan mata.
Sie Liong membalikkan tubuh, kemudian menuruni puncak bukit itu, senyumnya tidak lagi pahit, melainkan
senyum cerah, menyongsong hari yang cerah.
“Terima kasih, Thian, untuk tubuh yang bongkok ini...” dia berbisik penuh rasa syukur.
Bukankah tubuhnya itu pemberian Tuhan? Bongkok atau pun tidak, pemberian Tuhan adalah anugerah
yang paling sempurna, dan patut disyukuri. Biarlah semua orang tidak menyukainya dan menghinanya
karena tubuhnya yang bongkok, dia tidak akan berkecil hati.
Memang dia bongkok, tinggal orang lain mau menerimanya seperti apa adanya ataukah tidak. Dia memang
bongkok dan dia tidak ingin menjadi tidak bongkok, karena keinginan seperti itulah yang menyengsarakan
kehidupan manusia. Menginginkan sesuatu yang tidak dimilikinya, menginginkan sesuatu yang lain dari
yang pada yang ada.
Tidak, dia tak menginginkan apa-apa. Dia memang bongkok, tetapi dia adalah seorang pemuda yang
berbahagia…..
********************
“Liong-te...!”
Sie Lan Hong menjerit dan merangkul pemuda bongkok yang muncul di depannya itu. Wanita itu
merangkul dan menangis di dada adiknya. “Aih, Liong-te... betapa girangnya hatiku melihatmu...!”
Sie Liong membiarkan enci-nya menangis sambil menumpahkan semua perasaan haru serta rindu, juga
kebahagiaan hati melihat bahwa adik yang sudah lama menghilang itu sekarang muncul dalam keadaan
selamat dan telah menjadi seorang pemuda dewasa. Setelah mereda guncangan hatinya, Sie Lan Hong
melepaskan rangkulannya.
“Enci, marilah kita duduk dan bicara,” kata Sie Liong, “dan mana ci-hu (kakak ipar)?”
“Cihu-mu... dia pergi, sebentar tentu akan kembali. Marilah, Liong-te, mari kita duduk di dalam.”
Sambil bergandeng tangan mereka masuk. Diam-diam Sie Liong memperhatikan segala yang nampak di
situ. Enci-nya nampak kurus dan pucat, dan garis-garis duka membuat enci-nya nampak tua.
dunia-kangouw.blogspot.com
Padahal kini usianya sendiri dua puluh tahun, berarti enci-nya baru tiga puluh empat tahun. Usianya belum
setua nampaknya! Tentu selama ini enci-nya hidup dalam duka, pikirnya. Karena dia pergi?
Dan rumah ini berbeda jauh dengan tujuh atau delapan tahun yang lalu. Cihu-nya yang berdagang rempahrempah
dapat dikatakan hidup makmur walau pun tidak terlalu kaya. Dahulu, perabot rumahnya cukup
mewah dan keluarga enci-nya hidup berkecukupan. Akan tetapi sekarang sungguh berbeda sekali
keadaannya.
Pakaian yang dikenakan enci-nya juga tak seindah dulu. Di tubuhnya tidak pula nampak perhiasan mahal.
Dan perabot rumah sudah berganti semua, terganti oleh perabot yang murah dan buruk.
Tentu saja hati Sie Liong diliputi perasaan khawatir sekali, walau pun wajahnya tidak membayangkan
sesuatu pada saat dia duduk berhadapan dengan enci-nya. Keduanya saling pandang dan wajah wanita itu
lalu berseri-seri melihat betapa adiknya, walau pun punggungnya masih bongkok, akan tetapi telah menjadi
seorang pemuda dewasa yang wajahnya gagah dan tubuhnya nampak sehat.
“Liong-te, selama ini engkau pergi ke mana saja?”
“Aku mempelajari ilmu silat, enci, berguru kepada orang-orang sakti dari Himalaya.” Sie Liong kemudian
menceritakan secara singkat mengenai riwayatnya ketika belajar ilmu silat. Mendengar cerita ini, enci-nya
girang sekali.
“Ahhh, syukurlah, adikku. Dengan demikian, maka engkau kini tentu menjadi seorang pendekar yang tidak
akan mengecewakan hati ayah dan ibu di alam baka...”
Sie Liong merasa heran. Biasanya dulu enci-nya paling tidak suka membicarakan ayah dan ibu mereka
yang sudah tiada.
“Enci Hong, kedatanganku ini untuk bertanya sesuatu kepadamu dan harap sekali ini engkau tidak
berbohong kepadaku.”
Wanita itu terbelalak memandang kepadanya, mukanya segera berubah agak pucat dan sinar matanya
membayangkan ketakutan yang sangat hebat. “Apa... apakah yang ingin kau tanyakan, adikku?”
“Apa yang telah terjadi dengan ayah dan ibu kita, enci?”
Wanita itu nampak semakin kaget. “Ayah dan ibu? Mereka... mereka meninggal dunia...”
“Tak perlu membohong lagi, enci. Aku sudah pergi ke Tiong-cin dan di sana aku telah mendengar bahwa
ayah dan ibu, dan juga suheng Kim Cu An, serta dua orang pelayan wanita, anjing, ayam dan kuda, semua
dibunuh orang pada suatu malam. Nah, enci tidak perlu berbohong lagi!”
Sie Lan Hong menangis, lalu mengusap air matanya dan berkata, “Engkau maafkan aku, Liong-te.
Memang dulu aku berbohong kepadamu supaya tidak membuat engkau penasaran dan diracuni oleh
dendam. Memang pada malam jahanam itu keluarga ayah diserbu musuh. Ayah telah mengetahuinya,
maka dia memaksa aku pergi meninggalkan rumah dan membawa engkau yang baru berusia sepuluh
bulan. Ayah memaksaku, dan andai kata aku tidak pergi membawamu mengungsi, tentu kita berdua sudah
menjadi korban pembunuhan pula...”
Sie Liong memandang wajah enci-nya dengan tajam dan penuh selidik. “Enci, di dusun kita itu tidak ada
seorang pun yang mengetahui siapa pembasmi keluarga kita. Apakah engkau tahu, enci? Siapakah musuh
besar yang demikian kejam itu?”
Sie Lan Hong menangis lagi dan menggelengkan kepala keras-keras. “Tidak... ahh, aku tidak tahu... aku
tidak tahu... aku mengajakmu melarikan diri, adikku. Aku tidak tahu siapa pembunuh itu...”
Melihat enci-nya menangis lagi, agaknya berduka mengingat akan kematian ayah ibu mereka yang
mengerikan, Sie Liong tidak bertanya lagi. Jadi benar bahwa ayah ibunya, suheng-nya, dua orang pelayan
dan semua binatang peliharaan di rumah orang tuanya dibunuh orang. Tentu orang itu menyimpan dendam
yang amat hebat maka melakukan perbuatan sekejam itu.
Lalu dia teringat kepada Yauw Bi Sian. “Enci, aku tidak melihat Bi Sian. Di manakah ia?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Enci-nya kembali memperlihatkan wajah duka. “Ia juga pergi mempelajari ilmu. Dulu ia bertemu dengan
seorang sakti dan menjadi muridnya, lalu diajak pergi oleh gurunya itu.”
“Ahhh...!” Sie Liong kagum sekali mendengar ini. Anak yang bengal itu akhirnya belajar silat pada seorang
sakti!
“Siapakah nama gurunya, enci?”
“Namanya Koay Tojin...”
Sie Liong menahan debaran jantungnya. Koay Tojin? Kakek yang seperti gila namun yang amat sakti itu?
Koay Tojin adalah sute dari Pek-sim Siansu, gurunya sendiri!
“Kapan ia pulang, enci?” tanyanya, hatinya masih berdebar girang.
“Entah, menurut janjinya dahulu ketika pamit, agaknya sewaktu-waktu ia akan pulang.”
“Enci yang baik, engkau kelihatan begini lesu, kurus dan sengsara. Juga aku melihat perubahan di dalam
rumah ini. Enci, apakah cihu gagal dalam usahanya dan menderita rugi? Apakah engkau sakit, enci?”
Ditanya demikian, Sie Lan Hong tiba-tiba menutupi muka dengan kedua tangannya dan menangis
sesenggukan. Sedih sekali. Sie Liong terkejut. Dia mendiamkan saja enci-nya menangis tersedu-sedu.
Setelah tangis itu mulai mereda, Sie Liong memegang tangan enci-nya, digenggamnya tangan itu.
“Enci, engkau hanya mempunyai aku sebagai keluargamu. Percayalah kepadaku dan ceritakan semuanya.
Siapa tahu aku akan bisa meringankan semua beban penderitaan batinmu, enci.”
Wanita itu menggelengkan kepalanya. “Aihh, memang nasibku buruk, adikku. Semenjak engkau pergi, lalu
disusul Bi Sian juga pergi. Semenjak itu, ahh, cihu-mu berubah sama sekali. Dia dahulu begitu baik, begitu
mencintaku, akan tetapi sudah beberapa tahun ini... hampir setiap malam dia pergi. Dia berjudi sampai
habis-habisan. Pekerjaannya tak diurus lagi sehingga bangkrut... dan dia... dia hanya berjudi dan pelesir
saja...”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya itu sungguh semakin tua tidak mencari jalan terang! Akan tetapi,
bagaimana dia dapat mencampuri urusan rumah tangga enci-nya? Betapa pun juga, cihu-nya telah
menyeleweng, dan hal itu perlu ditegur dan diingatkan.
Sie Lan Hong teringat bahwa adiknya baru datang. Cepat diusapnya air mata dan ia pun memaksa diri
tersenyum. “Aihh, engkau datang-datang kuajak bicara hal-hal yang tidak enak saja, Liong-te. Mari, engkau
beristirahatlah. Akan kubersihkan kamarmu untukmu.”
“Biar kubersihkan sendiri, enci. Aku pun tidak akan lama sekali tinggal di sini.”
“Liong-te, jangan begitu! Engkau baru pulang dan engkau mendatangkan kegembiraan di hatiku. Jangan
tergesa-gesa pergi. Temanilah enci-mu yang kesepian ini, Liong-te. Ahh, kita sudah tidak mempunyai
pelayan, semua harus dikerjakan sendiri.”
“Baiklah, enci. Aku akan tinggal selama beberapa hari sampai hilang rasa rindu kita.”
Diam-diam dia bermaksud untuk membujuk agar cihu-nya kembali ke jalan benar. Kalau perlu dia akan
menggunakan teguran keras!
Setelah jauh malam, barulah nampak Yauw Sun Kok pulang menggedor pintu dalam keadaan mabok!
Memang semenjak Bi Sian pergi, Yauw Sun Kok telah berubah sama sekali. Agaknya karena anaknya
tidak ada dan dia merasa kesepian, maka kambuh pula penyakit lamanya.
Ia merasa bosan dengan isterinya, lalu ia berpelesir di luaran, menjadi langganan rumah pelacuran dan
rumah perjudian. Perdagangannya akhirnya bangkrut karena tak pernah diurusnya sehingga semua
perabot rumah yang berharga sudah dijualnya untuk modal berjudi! Terhadap isterinya dia tidak peduli,
bahkan pernah beberapa kali kalau isterinya mengomelinya, dia tidak segan turun tangan memukulinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat enci-nya tergopoh-gopoh membuka pintu depan, Sie Liong juga segera keluar dari dalam
kamarnya.
“Brakkkkkk!”
Daun pintu didorong kuat-kuat dari luar ketika kuncinya dibuka oleh enci-nya dari dalam dan tubuh Sie Lan
Hong terdorong oleh daun pintu sampai terhuyung dan hampir jatuh.
“Dasar perempuan gila! Perempuan malas! Engkau sudah segan membuka pintu untuk suamimu, hah?
Engkau sudah bosan melayani aku, atau kini engkau sudah mempunyai seorang pacar simpanan? Awas,
kubunuh kau!” bentak Yauw Sun Kok sambil berjalan terhuyung menghampiri isterinya. Jelas bahwa dia
mabok.
Oleh karena diperlakukan kasar dan dimaki-maki di depan adiknya, Sie Lan Hong yang biasanya hanya
menghadapi suaminya dengan cucuran air mata, sekarang tidak dapat menahan kemarahannya.
“Sungguh bagus sekali sikapmu ini ya? Sejak pagi engkau pergi meninggalkan rumah, pulang sudah
malam dalam keadaan mabok, begitu mengetuk pintu segera kubuka, engkau malah memaki-maki aku!”
Sie Liong hampir tidak mengenal cihu-nya. Bukan hanya wataknya yang berubah, akan tetapi juga
keadaan badan orang itu amat berubah! Dulu cihu-nya tampan pesolek dan pakaiannya selalu rapi. Akan
tetapi sekarang, rambutnya awut-awutan, pakaiannya pun kusut, matanya seperti orang mengantuk dan
mulutnya cemberut.
Cihu-nya itu seperti orang yang tidak percaya mendengar ucapan isterinya.
“Apa?! Engkau hendak melawan, ya? Siapa yang sudah mengajarmu melawan suami? Perempuan sial!
Perempuan terkutuk! Engkau minta dihajar, ya?”
Yauw Sun Kok mengangkat tangannya ke atas, siap memukul isterinya. Melihat betapa lengan itu terayun
kuat, Sie Liong langsung maklum bahwa enci-nya bisa celaka kalau terkena pukulan itu.
Sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat dekat dan ia pun menangkap pergelangan tangan cihu-nya
sambil berkata, “Harap jangan memukul!”
Yauw Sun Kok menoleh ke kanan. Pada saat melihat ada seorang pemuda menangkap lengannya,
kemarahannya memuncak. Dia menarik tangannya dan memaki isterinya.
“Bagus! Sungguh perempuan tidak bermalu, perempuan lacur! Jadi engkau benar-benar menyimpan
seorang laki-laki di rumah, ya? Pantas sekarang engkau berani melawan aku, suamimu!”
Yauw Sun Kok maju dan hendak menyerang isterinya. Akan tetapi Sie Liong sudah berdiri menghalang di
depannya. “Cihu, lihatlah baik-baik siapa aku! Harap cihu jangan memukul enci dan menuduh yang bukanbukan!”
“Engkau pemuda kurang ajar berani main-main dengan isteriku? Ahh, engkau bongkok! Bongkok...?!”
Yauw Sun Kok membelalakkan kedua matanya seakan-akan tidak dapat melihat dengan jelas, kemudian
mendekatkan mukanya. “Engkau bongkok...? Benarkah engkau Sie Liong?”
“Benar, cihu. Aku Sie Liong.”
“Sie Liong...? Ha-ha-ha...!” Yauw Sun Kok tertawa bergelak sambil mengamati pemuda bongkok itu.
“Engkau sudah dewasa, akan tetapi tetap saja masih cacat. Ha-ha-ha!” Dia tertawa-tawa seperti orang gila.
“Jangan bicara sembarangan. Dia bukan Sie Liong yang dahulu lagi. Dia sudah menjadi murid orang-orang
sakti dan dia datang untuk mencari pembunuh ayah dan ibu kami,” kata Sie Lan Hong.
Seketika Yauw Sun Kok berhenti tertawa dan dia memandang kepada Sie Liong dengan mata terbelalak.
“Apa?! Engkau...? Engkau hendak mencari pembunuh ayah ibumu? Hemmm, mau apa engkau
mencarinya, Sie Liong? Apa kau kira setelah beberapa tahun ini engkau belajar sedikit ilmu silat lalu kau
kira akan dapat melawan pembunuh itu? Huh, jangan sombong engkau! Aku sendiri yang memiliki
dunia-kangouw.blogspot.com
kepandaian tinggi dan banyak pengalaman, masih tidak mampu menandingi pembunuh itu. Apa lagi
engkau?”
“Hemm, jadi cihu tahu siapa pembunuh ayah dan ibuku? Siapa dia itu, cihu?”
“Dia adalah Tibet Sin-mo (Iblis Sakti Tibet), tokoh Tibet yang sangat sakti. Aku sendiri tidak mampu
mencarinya. Apa lagi bocah cacat seperti engkau!”
Sie Liong mengerutkan alisnya. Cihu-nya ini memang telah berubah. Walau pun dahulu juga cihu-nya tidak
suka kepadanyaa, akan tetapi sikapnya baik dan ramah. Sekarang sikapnya demikian kasar dan
menghina. Teringat dia akan cerita enci-nya dan tadi pun dia melihat betapa enci-nya akan dipukuli.
“Cihu! Tidak sepatutnya cihu berkata demikian. Cihu memuji-muji musuh, dan cihu tentu tidak bersungguh
hati mencari pembunuh ayah ibu kami karena cihu tidak peduli! Dan sekarang pun cihu memperlihatkan
sikap yang amat buruk terhadap enci!”
“Apa? Kau anak kurang ajar... Hemm, enci-mu sudah mengadu, ya...?”
“Cihu, tanpa pengaduan dari siapa pun juga, aku sudah melihat sikapmu tadi. Engkau mabok-mabokan,
pulang malam marah-marah, bahkan hendak memukul enci! Keadaan rumah tanggamu menjadi rusak,
harta habis-habisan, sebab kau habiskan untuk berjudi! Cihu, engkau harus sadar bahwa engkau telah
terseret ke dalam lumpur...”
“Tutup mulutmu, keparat!”
Tiba-tiba Yauw Sun Kok menerjang dengan marah sekali, mengirim serangan kilat ke arah dada dan leher
adik isterinya. Walau pun dia sedang mabok, akan tetapi karena memang dia seorang ahli silat yang
pandai, serangannya ini masih amat berbahaya dan kalau hanya ahli silat biasa saja, masih akan sukar
untuk dapat menghindarkan diri dari serangan Yauw Sun Kok itu.
Akan tetapi, yang diserangnya adalah Sie Liong. Meski pun dia seorang pemuda cacat, punggungnya
bongkok namun dia adalah murid tersayang dari Himalaya Sam Lojin dan Pek-sim Siansu, manusia sakti
dari He-lan-san itu.
Dengan mudah saja Sie Liong memiringkan tubuhnya dan menggunakan lengan kirinya untuk mendorong
dari samping sehingga tubuh Yauw Sun Kok lantas terpelanting!
“Cihu, aku tidak mau dihina dan dipukul lagi!”
Melihat betapa akibat serangannya justru membuat dirinya yang terpelanting, Sun Kok menjadi marah
sekali. Dia menyambar ke arah dinding, di mana tergantung sebatang pedang hiasan. Meski dia mabok,
gerakannya masih cepat sekali dan tahu-tahu pedang itu telah berada di tangan kanannya, terlolos dari
sarungnya.
“Jangan...! Jangan berkelahi! Jangan pergunakan pedang...!” Sie Lan Hong berteriak ketakutan.
Akan tetapi suaminya tidak mempedulikan jeritannya dan sudah menyerang Sie Liong dengan pedangnya.
Pedang pun menyambar ganas ke arah leher pemuda itu. Sie Liong menekuk lutut sehingga pedang itu
menyambar lewat dan berdesing di atas kepalanya. Akan tetapi, dengan cepat pedang yang menyambar
itu telah membalik dan sekarang menusuk ke arah dadanya.
“Cihu, engkau sedang mabok!” bentak Sie Liong dan dia menggunakan tangannya dari samping memukul
pedang sambil mengerahkan tenaganya.
“Plakkk!”
Pedang itu terpukul lepas dari tangan Yauw Sun Kok yang menjadi terkejut bukan main. Namun dia masih
sempat menendang dengan kakinya ke arah perut Sie Liong. Pemuda ini maklum betapa cihu-nya yang
mabok itu harus diberi hajaran agar sadar bahwa yang dihadapinya kini bukanlah anak bongkok dan lemah
yang dahulu. Maka, dia sengaja menyambut tendangan kaki itu dengan pengerahan tenaga di perutnya.
“Dukkk!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Keras sekali tendangan itu, namun akibatnya, bukan tubuh Sie Liong yang terjengkang. Pemuda itu masih
berdiri tegak, akan tetapi tubuh Yauw Sun Kok yang terjengkang dan terbanting cukup keras. Dia bangkit
duduk dengan mata terbelalak.
Pada waktu itu, isterinya yang mengkhawatirkan kejadian atau perkelahian yang lebih hebat, sudah berlutut
di dekatnya.
“Hemmm, sudahlah. Engkau sedang mabok, maka engkau menyerang adik kita sendiri. Hayo,
mengasolah... tidurlah...” Ia membantu suaminya bangkit berdiri, lalu memapah suaminya itu menuju ke
kamar mereka. Sekali ini Yauw Sun Kok tidak membantah.
Biar pun mabok, sebenarnya orang ini masih cukup sadar untuk melihat kenyataan yang membuatnya
terkejut bukan main. Si Bongkok itu kini telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi! Sungguh berbahaya
sekali. Dia merasa penasaran dan juga malu, maka dia merasa lebih aman menyembunyikan diri dan
berlindung di balik kemabokannya, maka dia pun pura-pura tidak ingat apa-apa lagi dan menurut saja
ketika dipapah isterinya ke kamar.
Setibanya di dalam kamarnya, langsung dia melempar tubuh ke atas pembaringan dan tak lama kemudian
dia sudah tidur mendengkur…..
********************
Kakek gembel itu duduk di bawah pohon besar, nampak melenggut. Memang nyaman sekali duduk
berteduh di bawah pohon yang rindang dan teduh pada siang hari yang amat panas itu. Angin semilir sejuk
membuat kakek itu mengantuk. Dia duduk bersandar batang pohon, tongkat bututnya menggeletak di dekat
kakinya yang dijulurkan.
Kakek gembel ini sudah tua sekali, hampir delapan puluh tahun umurnya. Pakaiannya butut penuh
tambalan.
Kedua matanya yang tadi tertutup seperti orang tidur, kini mendadak terbuka dan dia tertawa-tawa seorang
diri, kemudian memejamkan kembali matanya. Orang-orang yang melihat keadaannya ini tentu akan
menduga bahwa dia seorang gembel tua yang hidup sengsara dan berotak miring. Akan tetapi kalau ada
tokoh kang-ouw lewat di situ dan melihat gembel tua ini, dia tentu akan terkejut setengah mati.
Kakek tua renta ini sesungguhnya bukanlah orang sembarangan. Ia adalah Koay Tojin, seorang yang
terkenal memiliki kesaktian yang menggiriskan. Sepak terjangnya aneh dan biar pun dia jarang bahkan
hampir tidak pernah mencampuri urusan dunia ramai, akan tetapi orang-orang kang-ouw ketakutan kalau
bertemu dengannya. Hal ini adalah karena wataknya yang aneh dan kadang-kadang ugal-ugalan dan
celakalah orang yang sampai berhadapan dengan dia sebagai lawan!
Selagi kakek itu duduk melenggut, tiba-tiba nampaklah bayangan dua orang berkelebat dan di depan kakek
itu kini nampak dua orang muda. Seorang gadis berusia delapan belas tahun dan seorang pemuda berusia
hampir dua puluh tahun.
Gadis itu cantik dan manis sekali, dengan dua matanya yang jeli dan tajam mencorong, sikap yang jenaka
dengan wajah selalu cerah ceria. Gadis manis ini pun mengenakan pakaian tambal-tambalan, akan tetapi
bukan sembarang tambalan! Biar pun pakaiannya tambal-tambalan, namun bersih dan semua tambalan itu
terbuat dari kain yang baru! Sepatu kulitnya juga mengkilat baru, rambutnya bersih licin, sama sekali tidak
nampak kesan seorang pengemis!
Pemuda itu pun berwajah tampan. Matanya mengandung kecerdikan dan bibirnya selalu terhias senyum
yang manis sehingga mendatangkan kesan bahwa dia adalah seorang pemuda yang merendahkan orang
lain dan memandang diri sendiri terlampau tinggi.
Seperti telah kita ketahui, Koay Tojin mempunyai dua orang murid dan dua orang muda itulah muridnya.
Gadis itu bukan lain adalah Yauw Bi Sian dan pemuda itu adalah Coa Bong Gan. Biar pun Bi Sian lebih
dahulu menjadi murid Koay Tojin, akan tetapi karena ia lebih muda, ia memaksa Bong Gan untuk
menyebut sumoi (adik seperguruan wanita) kepadanya, dan ia sendiri menyebut Bong Gan suheng (kakak
seperguruan pria).
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suhu, ini teecu (murid) bawakan oleh-oleh untuk suhu! Bebek tim yang lunak beserta bubur!” kata gadis itu
sambil duduk di atas batu di dekat suhu-nya sambil menyerahkan bungkunan makanan.
“Dan teecu bawakan arak Hang-ciu kesukaan suhu!” kata pula Bong Gan yang dengan gembira
menyerahkan seguci arak.
Kakek itu membuka matanya dan terkekeh, lalu menyeringai memandang kepada dua orang muridnya.
“Heh-heh, kalian adalah murid-murid yang baik. Kalian tahu saja kesukaan orang tua. Heh-heh, tidak ada
yang lebih enak untuk dimakan kecuali bubur dan bebek tim. Lunak dan gurih, tidak perlu menggunakan
gigi untuk mengunyah, memudahkan mulutku yang sudah tidak bergigi lagi, heh-heh-heh. Dan arak Hangciu
ini memang harum dan keras! Ha-ha-ha!”
Dua orang murid itu tersenyum. Mereka tahu bahwa guru mereka hanyalah berkelakar karena baru
kemarin dulu mereka masih menyaksikan betapa guru mereka itu, dengan mulutnya tanpa gigi sebuah pun,
masih kuat untuk menggigit daging kering yang amat keras dan mengunyahnya dengan mata merammelek!
Dengan kekuatan sinkang yang amat hebat, gusi dari guru mereka yang sudah tidak bergigi lagi itu
dapat menjadi lebih kuat dari pada gigi orang-orang muda!
Kakek itu makan minum tanpa mempedulikan dua orang muridnya yang duduk tak jauh di depannya. Akan
tetapi, diam-diam Koay Tojin kadang-kadang melirik.
Dia merasa senang sekali melihat Bi Sian. Dia amat sayang kepada muridnya ini yang ternyata selain
memiliki bakat baik, juga gadis ini memiliki watak yang gagah perkasa dan baik.
Sebaliknya, kakek ini merasa khawatir dan sangsi kepada muridnya yang pria. Watak Bong Gan amat
sukar diselami walau pun pada lahirnya, dia juga seorang murid yang berbakat dan amat rajin, pandai
mengambil hati pula.
Akan tetapi ada sesuatu dalam pandangan mata pemuda itu yang membuat kakek itu kadang-kadang
curiga dan ragu-ragu. Suatu ketika pernah dia melihat betapa pandang mata pemuda itu ditujukan kepada
sumoi-nya secara tidak wajar. Bukan memandang biasa, akan tetapi sinar mata pemuda itu penuh nafsu
birahi, memandangi ke seluruh bagian tubuh Bi Sian seperti hendak melahapnya!
Sungguh seorang murid yang kadang-kadang menimbulkan rasa khawatir di hatinya. Jangan-jangan dia
telah keliru memilih murid, pikirnya. Akan tetapi, dia sengaja sudah memberi pelajaran lebih pada Bi Sian
sehingga kalau sampai terjadi apa-apa, gadis itu tidak akan kalah menghadapi dan melawan Bong Gan.
Pernah dia ketika berdua saja dengan Bi Sian mengatakan bahwa ia harus berhati-hati terhadap suhengnya.
“Wataknya sukar diselami,” demikian dia berkata.
Akan tetapi gadis itu hanya tersenyum saja. “Aihhh, suhu ini ada-ada saja. Bukankah suheng seorang
pemuda dan murid yang amat baik?”
Setelah makan, Koay Tojin mengusap mulutnya dengan ujung lengan baju yang sudah butut. “Kebetulan
kalian datang, memang aku bermaksud untuk memanggil kalian.”
“Suhu, ada keperluan apakah?” Bi Sian bertanya sambil mendekati gurunya, sikapnya manja sekali.
Kakek itu tersenyum untuk menutupi rasa nyeri di dalam hatinya. Dia merasa heran. Mengapa mendadak
saja hatinya begini aneh? Mengapa bayangan perpisahan dengan muridnya ini mendatangkan rasa sakit?
Padahal selama hidupnya belum pernah dia merasakan hal seperti ini!
Akan tetapi kakek yang lihai ini segera dapat menemukan jawabannya. Sikap Bi Sian terlalu baik, amat
menyenangkan hatinya, sehingga selama tujuh tahun Bi Sian menjadi muridnya, hidup di sampingnya,
gadis itu seolah-olah menjadi matahari yang menyinari hidupnya!
Kesenangan dan keenakan memang selalu menimbulkan ikatan! Kalau sudah terikat, maka akan
datanglah duka karena kehilangan! Kalau gadis itu pergi, dibiarkan terpisah darinya, dia seolah-olah
kehilangan matahari yang menerangi hidupnya yang sudah tua, membuat dia seperti berada dalam
kegelapan! Kesenangan mendatangkan ikatan, dan ikatan menciptakan duka!
dunia-kangouw.blogspot.com
Itulah hidup. Ada suka pasti ada duka! Sudah menjadi imbangannya. Ada nikmat tentu ada derita. Dan
melihat kenyataan ini, menghadapi kenyataan ini, menerima kenyataan ini secara wajar merupakan seni
hidup itu sendiri.
“Bi Sian, dan kau juga Bong Gan, sekarang sudah tiba saatnya bagi kita untuk saling memenuhi janji. Janji
antara aku dan kau, Bi Sian. Janji bahwa kita akan berkumpul sebagai guru dan murid selama tujuh tahun
saja.”
Gadis itu nampak terkejut! Selama ikut dengan gurunya, ia pun merasakan lebih banyak senang dari pada
susahnya. Hidup bebas seperti burung di udara. Tanpa dirasakannya, tahu-tahu kini sudah tujuh tahun ia
mengikuti gurunya.
“Tapi, suhu... rasanya belum lama aku ikut suhu, dan aku masih ingin mempelajari ilmu silat yang lebih
tinggi!” bantahnya, terkejut karena tiba-tiba saja ia mendapat kenyataan bahwa ia harus berpisah dengan
suhu-nya dan melihat pula kenyataan betapa beratnya hal itu kalau terjadi karena ia merasa sayang
kepada suhu-nya yang sudah tua itu!
Koay Tojin tertawa dan nampak mulutnya yang tanpa gigi itu. “Ha-ha-ha, Bi Sian, janji tetap janji yang
harus dipegang teguh. Engkau bukan hanya berjanji kepadaku, akan tetapi juga kepada ayah ibumu yang
tentunya kini telah menanti-nanti penuh kerinduan. Tentang kepandaian, sampai berapa tingginya? Berapa
ukurannya? Apa yang selama ini kau pelajari sudah lebih dari pada cukup, Bi Sian. Tinggal terserah
kepadamu untuk melatih diri. Dan engkau, Bong Gan, engkau pun sudah dewasa dan kepandaianmu
sudah cukup. Hanya berhati-hatilah, karena kepandaian silat seperti juga pedang, dapat digunakan untuk
berbuat kebaikan akan tetapi juga dapat digunakan untuk melakukan kejahatan. Semua tergantung
kepadamu.”
Diingatkan pada ayah ibunya, kedukaan bayangan berpisah dari gurunya agak menipis dari hati Bi Sian,
tertutup oleh kegembiraan bayangan akan bertemu dengan ayah dan ibunya. Ia lalu menjatuhkan diri
berlutut di depan kakek itu. Bong Gang juga berlutut di dekat sumoi-nya.
“Suhu, selama tujuh tahun ini, suhu sudah melimpahkan banyak kebaikan dan kasih sayang kepada teecu.
Teecu menghaturkan terima kasih, suhu, dan entah bagaimana teecu akan dapat membalas budi kebaikan
suhu. Sebaliknya, teecu sudah banyak menjengkelkan hati suhu, maka mohon suhu memaafkan teecu,”
kata Bi Sian dengan hati terharu, akan tetapi tidak setetes pun air matanya tumpah. Dia memang pantang
menangis, apa lagi setelah menjadi murid Koay Tojin.
Koay Tojin tersenyum. “Engkau anak baik. Apa bila hendak membalas budi kepadaku, pergunakanlah
semua kepandaian yang sudah kau peroleh dariku itu dengan baik, tidak melakukan penyelewengan.
Dengan demikian berarti engkau menjunjung tinggi nama gurumu, sedangkan kalau engkau melakukan
kejahatan dan menyeleweng, engkau akan menyeret nama gurumu ke dalam lumpur.”
“Teecu juga menghaturkan banyak terima kasih, suhu. Teecu berjanji akan menjunjung tinggi nama suhu,”
kata Bong Gan.
Koay Tojin tersenyum saja, akan tetapi memandang wajah murid pria ini dengan penuh keraguan. Dia tahu
bahwa muridnya ini cerdik sekali, demikian cerdiknya sehingga dia sendiri tidak dapat menduga apa isi
hatinya.
“Engkau berhati-hatilah, Bong Gan. Ingat bahwa musuh yang paling berbahaya, paling lihai dan paling
sukar ditundukkan adalah dirimu sendiri. Karena itu, sebelum engkau menundukkan musuh, sebaiknya
kalau menundukkan dulu diri sendiri.”
Bong Gan tidak menjawab, hanya mengangguk-angguk.
“Sekarang, pergilah kalian sebelum timbul kedukaan dalam hatiku!” kata Koay Tojin, lalu tangan kanannya
menyambar tongkat di depannya dan dengan gerakan secepat kilat, tongkatnya sudah melakukan
serangan totokan bertubi-tubi pada dua orang muridnya yang sedang berlutut di depannya.
Dua orang muda itu terkejut sekali. Sambaran tongkat di tangan suhu mereka itu bukan main cepat dan
dahsyatnya, maka mereka berdua segera melempar tubuh ke belakang sambil berjungkir balik beberapa
kali. Mereka pun terhindar dari serangan kilat itu dan melihat betapa kakek itu masih duduk bersandar
batang pohon, memegangi tongkat sambil tertawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tahulah Bi Sian bahwa suhu-nya memang ingin segera melihat mereka pergi tanpa membiarkan kedukaan
karena perpisahan itu memasuki hati. Maka ia pun menjura dan berkata dengan suara dibuat nyaring
gembira.
“Suhu, selamat tinggal! Semoga suatu waktu kita akan dapat berjumpa kembali!”
“Ha-ha-ha, selamat jalan. Kita pasti akan bertemu kembali, kalau tidak di alam sini tentu di alam sana, hehheh-
heh!”
Bong Gan juga menjura dan kedua orang itu lalu melompat pergi dan dalam waktu singkat mereka sudah
lenyap dari pandang mata. Kakek yang ditinggal seorang diri itu nampak tertegun, matanya yang tua
memandang ke arah lenyapnya dua bayangan itu, lalu dia menghela napas panjang berulang kali, lalu
bangkit berdiri, dan melangkah perlahan pergi meninggalkan tempat itu, mengambil jurusan yang
berlawanan dengan dua orang muridnya…..
********************
Dua orang itu berlari cepat, keluar dari dalam hutan itu dan ketika mereka sudah berlari kurang lebih satu
jam dan tiba di kaki bukit, Bi Sian menghentikan larinya. Walau pun tubuhnya terlatih baik, namun karena
selama satu jam itu ia terus berlari cepat sambil menahan getaran hatinya yang penuh haru, sekarang
wajah dan lehernya basah oleh keringat.
Diambilnya sapu tangannya dan diusapnya keringat dari leher dan wajahnya. Bong Gan juga mengusap
keringatnya. Tidak seperti Bi Sian, pemuda ini mengenakan pakaian yang tidak ada tambalannya, walau
pun dari kain murah dan bentuknya sederhana saja, tidak seperti pakaian Bi Sian yang penuh tambalan
namun semua tambalannya kain yang baru.
“Suheng, sekarang engkau hendak pergi ke mana?” tanya Bi Sian.
Bong Gan menghela napas panjang, lalu duduk di atas sebuah batu besar di tepi jalan. Sebelum
menjawab, dia menatap wajah sumoi-nya dengan tajam, juga dengan wajah yang membayangkan
kedukaan. Betapa cantik manisnya sumoi-nya ini, pikirnya penuh kagum. Apakah dia harus berpisah dari
gadis manis ini?
Membayangkan perpisahan dengan gadis yang sudah menjadi sahabatnya dan saudara seperguruannya
selama tujuh tahun, hampir tidak pernah mereka saling berpisah dan selalu mengalami suka-duka
bersama-sama, wajah yang tampan itu nampak diliputi kesedihan. Demikian jelas kedukaan itu sehingga
nampak jelas oleh Bi Sian.
“Suheng, engkau pernah menceritakan riwayatmu kepadaku. Engkau sudah yatim piatu, tidak memiliki
keluarga sama sekali, tidak memiliki handai taulan dan tidak mempunyai tempat tinggal. Oleh karena itulah
maka aku sengaja bertanya kepadamu karena aku ingin tahu, ke mana engkau hendak pergi?”
“Justru pertanyaanmu itulah yang membuat aku membungkam karena sukar bagiku untuk menjawabnya.
Aku sendiri sejak tadi bertanya-tanya di dalam hatiku kepada diriku sendiri, sumoi. Ke mana aku harus
pergi? Aku tidak mempunyai tujuan sama sekali! Aku menjadi bingung setelah mendengar pertanyaanmu,
sumoi.”
Bi Sian memandang wajah suheng-nya itu dengan hati kasihan. Selama ini, suheng-nya telah
membuktikan bahwa dia seorang pemuda yang amat baik, amat rajin dan juga bersikap sopan kepada
gurunya dan juga kepada dirinya. Tidak pernah memperlihatkan kekurang-ajaran sama sekali.
Memang kadang-kadang suheng-nya suka pergi meninggalkan ia dan suhu-nya, akan tetapi kepergiannya
itu tentu hanya untuk mencari bahan makanan untuk mereka. Pada saat pulang, suheng-nya tentu
membawa seekor rusa, atau beberapa ekor kelinci, ayam hutan, atau juga buah-buahan segar. Beberapa
kali suheng-nya pernah berpamit pada suhu mereka untuk berjalan-jalan ke dusun atau kota, akan tetapi
tidak pernah lancang mengajaknya.
Diam-diam Bi Sian merasa suka sekali kepada pemuda ini, rasa suka yang bercampur dengan rasa iba.
Inikah cinta, beberapa kali ia suka bertanya kepada diri sendiri tanpa mendapat jawaban!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suheng, engkau ini bagaimanakah? Andai kata aku tidak mengajak engkau berhenti dan bertanya, lalu
engkau hendak ke mana?”
“Aku... aku hanya akan mengikutimu, sumoi. Ke mana pun engkau pergi... tentu saja kalau... kalau aku
tidak terlalu mengganggumu.”
Bi Sian tersenyum dan menggelengkan kepalanya, mendadak mendapat sebuah pikiran yang dianggap
amat bagus. “Tentu saja engkau tidak mengganggu, suheng. Bahkan kalau engkau suka, marilah engkau
ikut bersamaku ke Sung-jan. Tempat tinggal orang tuaku itu merupakan kota yang cukup ramai, dan siapa
tahu engkau dapat tinggal dan bekerja di sana. Ayahku seorang pedagang, mungkin nanti dapat
membantumu mencari pekerjaan.”
Wajah yang diliputi kedukaan itu kini menjadi cerah dan berseri. Sepasang mata itu bersinar-sinar dan
Bong Gan segera menjura ke arah sumoi-nya.
“Ahhh, sumoi, sungguh engkau berbudi mulia sekali! Terima kasih atas kebaikanmu, sumoi. Tentu saja aku
suka sekali pergi bersamamu!”
Bi Sian membalas penghormatan suheng-nya dan tertawa. “Ihhh, suheng ini! Engkau adalah suheng-ku
dan lebih tua, kenapa memberi hormat kepadaku? Dan di antara kita saudara seperguruan, perlukah
bersungkan-sungkan? Sudah sepantasnya apa bila kita saling bantu, bukan?”
Demikianlah, suheng dan sumoi ini melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Berkat adanya Bong Gan
di sampingnya, di sepanjang perjalanan Bi Sian tak menemui banyak gangguan. Andai kata dia melakukan
perjalanan seorang diri, tentu akan banyak timbul gangguan, mengingat bahwa ia adalah seorang gadis
yang cantik manis dan melakukan perjalanan jauh seorang diri.
Akan tetapi sikap Bong Gan yang gagah itu membuat banyak orang menjadi jeri untuk mengganggu
mereka. Padahal, andai kata pun ada gangguan, tentu saja Bi Sian sama sekali tidak akan merasa gentar
bahkan hal itu merupakan kesialan bagi si pengganggu yang tentu akan dihajar habis-habisan!
Ketika mereka pada suatu siang memasuki kota Sung-jan, keduanya langsung saja menuju ke rumah Bi
Sian. Gadis ini nampak gembira sekali, wajahnya cerah berseri dan matanya berkilat-kilat ketika mereka
tiba di depan rumah dan toko milik ayahnya. Akan tetapi ia merasa heran melihat betapa toko itu tertutup.
Segera ia mengajak suheng-nya memasuki pekarangan dan langsung menuju ke pintu depan.
Dua orang yang tadinya duduk di ruangan depan, bangkit berdiri dan melihat Bi Sian, wanita itu menjerit.
“Bi Sian...!”
“Ibuuu...!”
Dua orang wanita itu berlari saling tubruk dan di lain saat mereka telah berangkulan sambil memanggil
berulang kali. Sie Lan Hong menangis di dalam rangkulan puterinya, akan tetapi Bi Sian yang juga merasa
terharu dan gembira, tidak menangis, akan tetapi menciumi kedua pipi ibunya dengan penuh kerinduan
dan kasih sayang.
Ia diam-diam merasa kasihan melihat wajah ibunya yang kurus dan agak pucat. Tidak disangkanya bahwa
dalam waktu tujuh tahun ibunya kini nampak tua sekali!
Sementara itu, ketika dua orang wanita itu berangkulan, Bong Gan hanya berdiri dan menonton dengan
canggung. Juga Sie Liong, pemuda yang tadi sedang duduk bersama enci-nya, berdiri dan memandang
dengan wajah berseri, akan tetapi juga berdiri sedikit canggung.
Tentu saja hatinya girang bukan main melihat keponakannya yang dulu menjadi teman bermain yang akrab
itu pulang dan kini telah menjadi seorang gadis yang cantik jelita dan manis sekali. Dia pun heran melihat
keponakannya itu pulang bersama seorang pemuda yang tampan, yang kini juga berdiri dengan canggung.
Mereka saling pandang sebentar saja, tidak tahu harus berbuat apa karena mereka belum diperkenalkan.
“Ibu... ahhh, ibu... kenapa ibu begini kurus? Mana ayah?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sie Lan Hong dapat menguasai keharuan hatinya dan teringat akan dua orang pemuda itu. “Ayahmu
sedang tidak berada di rumah, sedang keluar. Akan tetapi, mari kau temui dulu pamanmu...”
Bi Sian yang melepaskan pelukan ibunya, tiba-tiba memandang dan matanya terbelalak, mulutnya
tersenyum dan hampir ia berteriak, “Paman Liong...!”
Sie Liong juga tersenyum. “Bi Sian, engkau sudah menjadi seorang gadis dewasa yang cantik dan gagah!”
Bi Sian melangkah maju dan memegang tangan Sie Liong. Ia lupa bahwa ia kini telah menjadi seorang
gadis dewasa dan pamannya itu pun sudah menjadi seorang pemuda dewasa. Digenggamnya tangan
pemuda itu.
“Paman Liong! Ahh, tidak kusangka akan bertemu denganmu di sini! Dan engkau... ahh, engkau juga
sudah menjadi seorang pemuda, paman! Engkau kelihatan gagah dan... hemm...”
Gadis itu melepaskan tangannya, lalu mundur dan mengamati Sie Liong yang menjadi merah sekali
mukanya.
“Dan... bongkok!” sambungnya mendahului, dari pada didahului gadis itu.
“Ahh, itu aku sudah tahu. Akan tetapi engkau gagah dan tampan, paman!”
Sungguh! Bi Sian masih nakal seperti dulu, pikirnya gembira. Masih lincah jenaka dan suka menggoda
orang, akan tetapi dengan cara yang menyenangkan.
“Bi Sian, engkau masih seperti dulu! Suka menggoda pamanmu!” Sie Lan Hong juga tertawa dan ia sendiri
terkejut. Agaknya sudah bertahun-tahun ia lupa untuk tertawa dan baru sekarang ia dapat tertawa kembali.
Anaknya telah pulang!
“Oya, ibu, paman. Aku sampai lupa memperkenalkan. Ia ini adalah suheng-ku, namanya Bong Gan.
Suheng, inilah ibuku dan ini pamanku Sie Liong.”
Sejak tadi Bong Gan hanya menonton saja dan hatinya terasa panas dan tidak enak melihat keakraban
antara sumoi-nya dan pemuda bongkok itu. Biar pun disebut paman, akan tetapi mereka itu sebaya dan
juga hubungan mereka demikian akrab, tidak seperti paman dan keponakan. Seketika, timbul perasaan
tidak suka kepada kedua orang itu. Akan tetapi karena dia diperkenalkan maka dia cepat memberi hormat
dan bersoja dan sikapnya amat sopan santun.
“Ibu, mana ayah?”
“Sudah kukatakan, ayahmu sedang keluar rumah. Mari, mari kita bicara di dalam...” Ibu itu merangkul
anaknya dan diajak masuk ke dalam rumah.
Sie Liong mengkuti, akan tetapi Bong Gan merasa ragu-ragu, dan dia pun menjadi salah tingkah. Dia
bukan anggota keluarga, bagaimana berani ikut masuk?
Akan tetapi agaknya Bi Sian dapat memaklumi keadaannya, maka ia pun menoleh dan berkata kepadanya.
“Suheng, mari silakan masuk saja. Paman Liong, ajaklah suheng. Dia memang pemalu.”
Sejak tadi Sie Liong memperhatikan suheng dari keponakannya itu. Seorang pemuda yang tampan dan
gagah, dan mengingat bahwa mereka berdua itu murid Koay Tojin, tidak dapat diragukan lagi bahwa
kepandaian mereka tentu tinggi sekali. Akan tetapi, ada sesuatu pada wajah pemuda itu yang membuatnya
jadi ragu-ragu. Entah apanya, mungkin pandang matanya.
“Saudara Bong, silakan masuk,” katanya dan Bong Gan menganguk.
“Terima kasih, terima kasih...!”
Mereka berempat pun memasuki rumah itu. Seperti juga ketika untuk pertama kalinya Sie Liong masuk ke
dalam rumah itu, Bi Sian juga melihat perubahan besar di dalam rumahnya. Perabot-perabot rumahnya
sudah berubah, sekarang jelek dan butut, tidak seperti dulu. Ibunya juga tidak lagi mengenakan perhiasan
sedikit pun, dan toko mereka sudah ditutup!
dunia-kangouw.blogspot.com
Apa yang telah terjadi? Ia tidak berani langsung bertanya kepada ibunya karena di situ terdapat Bong Gan
yang bagaimana juga adalah orang luar. Ia akan bertanya kepada ibunya kalau mereka hanya berdua, atau
bertiga saja dengan pamannya.
Mereka berempat lalu duduk menghadapi meja besar di ruangan dalam. Bi Sian segera menceritakan
pengalamannya ketika ia diambil murid Koay Tojin. Ia juga menceritakan mengenai perbuatan Lu Ki Cong,
putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di Sung-jan itu.
“Coba ibu bayangkan, bukankah orang itu jahat sekali? Ia menggunakan anak buahnya yang menyamar
sebagai perampok dan menggangguku, kemudian dia muncul sebagai penolongku. Setelah para perampok
palsu itu pergi, dia menggangguku! Untung muncul suhu! Ki Cong datang lagi membawa perampokperampok
palsu itu dan mengeroyok suhu. Akan tetapi mereka dihajar oleh suhu! Aihh, betapa senangku
pada waktu itu! Apakah manusia jahat itu sekarang masih hidup, ibu?”
Sie Lan Hong menahan senyumnya.
“Hussssh, jangan berkata demikian, anakku. Memang dia jahat, akan tetapi tidak perlu hal itu diperpanjang
lagi. Ia masih hidup dan ayahmu masih mengharapkan perjodohan itu....”
Bi Sian bangkit berdiri dan mengepal tinjunya. “Apa?! Dia masih berani melanjutkan ikatan jodoh itu?
Biarlah, aku akan ke sana dan menghajarnya sendiri sampai dia minta ampun!”
“Jangan, Bi Sian! Baru saja engkau pulang, jangan membikin ribut di Sung-jan. Bagai mana pun juga, dia
putera kepala pasukan keamanan di sini, dan kekuasaan ayahnya besar sekali. Kalau engkau memusuhi
mereka secara terang-terangan begitu, bukankah akibatnya ayah dan ibumu yang akan menanggung?”
“Sumoi, apa yang ibumu katakan itu benar sekali. Engkau adalah penduduk kota ini, tidak baik memusuhi
penguasa setempat. Kalau memang engkau ingin memberi hajaran padanya, serahkan saja kepadaku. Di
sini tak ada seorang pun yang mengenalku, maka tiada halangannya kalau aku yang pergi menemui dan
menghajar orang yang berani menghinamu,” kata Bong Gan dengan sikap gagah.
“Sudahlah, Bi Sian. Aku tidak menghendaki ribut-ribut,” kata Sie Lan Hong yang teringat akan keadaan
suaminya.
Baru menghadapi suaminya saja yang kini berubah demikian jahat, dia sudah berduka sekali. Apa lagi
kalau ditambah urusan yang ditimbulkan karena pengamukan Bi Sian terhadap keluarga Lu-ciangkun.
“Engkau baru pulang, Bi Sian. Karena itu tidak boleh terjadi hal-hal yang hanya akan mendatangkan
keributan dan kekacauan.”
Bi Sian masih merasa amat penasaran, kemudian ia menoleh kepada Sie Liong. “Coba pertimbangkan,
paman Liong. Bukankah sudah sepatutnya kalau manusia macam Lu Ki Cong itu kuberi hajaran keras?
Dahulu pun dia yang menghinamu. Hal itu masih boleh dilupakan karena engkau laki-laki. Akan tetapi
penghinaannya terhadap diriku, sungguh membuat hati ini panas dan mendongkol saja.”
Sie Liong tersenyum, akan tetapi dia lalu bersikap sungguh-sungguh dan memandang tajam kepada
keponakannya itu. “Bi Sian, kurasa tadi ibumu berkata benar. Tidak perlu mencari gara-gara dan
permusuhan. Tentang kejahatan Lu Ki Cong padamu, bukankah katamu tadi dia dan anak buahnya sudah
mendapat hajaran keras dari suhu-mu? Nah, dengan demikian berarti sudah lunas, bukan? Kalau sekarang
dia melakukan perbuatan jahat lagi, barulah pantas kalau kau turun tangan menghajarnya. Kukira engkau
cukup mengerti bahwa kepandaian yang kau pelajari bukan untuk menimbulkan kekacauan, bahkan
sebaliknya untuk memadamkan kekacauan. Bukankah begitu?”
Gadis itu memandang dengan mata terbelalak.
“Ehhh? Kepandaian bukan untuk menimbulkan kekacauan tetapi untuk memadamkan kekacauan? Paman,
aku juga pernah mendengar kalimat itu diucapkan suhu! Bukankah begitu, suheng?”
Song Gan mengangguk, akan tetapi dia memandang kepada Sie Liong dengan alisnya yang berkerut.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau begitu, suhu-mu adalah seorang yang bijaksana sekali, Bi Sian. Memang aku pernah menyaksikan
kehebatannya dan mendengar bahwa beliau, yang berjuluk Koay Tojin, adalah seorang yang sakti dan
bijaksana!”
“Paman Liong! Engkau... engkau mengenal suhu?”
Sie Liong tersenyum lagi. “Mengenal sih tidak, akan tetapi aku pernah bertemu dengan beliau dan
berhutang budi karena beliau pernah mengobati aku yang waktu itu terluka oleh pukulan beracun.”
“Kalau begitu, engkau tentu murid orang sakti pula, Paman Liong! Hayo lekas ceritakan pengalamanmu.
Siapa itu gurumu yang sakti?” tanya Bi Sian.
Gadis ini gembira sekali membayangkan bahwa pamannya yang amat disayangnya dan dikasihaninya itu
kini telah menjadi seorang yang lihai!
“Aihh, Bi Sian. Aku yang cacat ini mana bisa mempelajari ilmu silat yang tinggi? Hanya kebetulan sekali
bahwa aku mendengar dari ibumu tentang kepergianmu dibawa oleh seorang sakti bernama Koay Tojin,
dan aku mengenal nama itu, karena dia... dia itu masih terhitung paman guruku juga.”
Baik Bi Sian mau pun Bong Gan terkejut mendengar ini.
“Apa?!” gadis itu berseru. “Suhu-ku itu masih paman gurumu? Kalau begitu, siapakah gurumu? Ah,
sekarang aku ingat...! Pernah suhu menyebut nama seorang yang katanya paling dia segani dan sayangi di
dunia ini. Nama orang itu adalah... Pek-sim Siansu! Benarkah engkau muridnya?”
Sie Liong mengangguk. “Dari dulu engkau memang cerdik, Bi Sian. Akan tetapi, orang yang cacat seperti
aku ini tidak dapat mempelajari banyak ilmu silat. Aku hanya banyak belajar tentang hidup.”
“Ahh, aku tidak percaya! Engkau tentu lihai sekali, paman! Sekali waktu engkau harus mengajarku ilmu
silat!”
“Wah, mana aku berani? Jika melawanmu, dalam beberapa jurus saja aku tentu akan roboh!” kata Sie
Liong.
Dan suasana menjadi semakin gembira karena paman dan keponakan ini seolah-olah merasakan suasana
di waktu mereka masih kanak-kanak dahulu.
Hanya Bong Gan yang diam saja. Dia sendiri memandang rendah dan tidak suka kepada pemuda bongkok
itu. Pemuda bongkok itu kelihatan amat disuka dan dipuji oleh Bi Sian! Katakanlah pemuda itu sudah
mempelajari ilmu dari seorang sakti, akan tetapi dengan punggungnya yang bongkok itu, bagaimana
mungkin dia memperoleh ilmu yang tinggi? Bagaimana mampu menghimpun tenaga sakti kalau tulang
punggungnya saja bengkok?
Dia merasa tidak suka sekali. Apa lagi melihat betapa kadang-kadang sepasang mata pemuda bongkok itu
mencorong dan memandang tajam kepadanya, seakan hendak menjenguk isi hatinya sehingga dia merasa
ngeri sendiri! Masih bagus bahwa pemuda bongkok itu ialah paman dari Bi Sian, adik ibunya, sehingga
bukan merupakan seorang saingan dalam memperebutkan hati Bi Sian!
“Aih, kalian jangan main-main!” kata Sie Lan Hong. “Bi Sian, engkau ini baru saja pulang setelah pergi
selama tujuh tahun, dan begitu datang engkau sudah hendak menantang pamanmu? Ketahuilah,
pamanmu ini pun baru dua hari tiba di sini! Kedatangan kalian sungguh kebetulan sekali. Sekarang, kalian
harus beristirahat dan kita saling melepas rindu dengan membicarakan pengalaman-pengalamanmu,
bukan untuk saling hantam dan gebuk! Aih, aku ini mempunyai keluarga macam apa! Adik jagoan dan anak
tukang pukul?”
Mereka tertawa, bahkan Bong Gan juga tersenyum mendengar ucapan itu. Pada saat itu pula, terdengar
teriakan dari luar rumah.
“Haii, mana dia isteriku yang baik dan adiknya yang gagah? Siang-siang aku sudah pulang dan tidak
mabok, ha-ha-ha-ha!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Laki-laki itu muncul di pintu. Mulutnya barusan mengatakan tidak mabok, akan tetapi keadaannya yang
terhuyung-huyung itu jelas membuktikan keadaan yang sebaliknya.
“Ayahhhhh...!” Bi Sian berseru, bukan seruan girang melainkan seruan kaget melihat keadaan ayahnya.
Dahulu, ayahnya adalah seorang pria yang tampan dan rapi, akan tetapi sekarang, nampak awut-awutan
dan kotor!
Memang orang itu adalah Yauw Sun Kok. Mendengar panggilan itu, lenyaplah senyum menyeringai dan
mengejek tadi dari bibirnya. Sekarang matanya terbuka lebar dan dia memandang pada gadis yang sudah
bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri dirinya itu.
“Bi Sian... kau... kau Bi Sian...?”
“Ayah...!” Bi Sian lari menghampiri. “Kau kenapakah, ayah?”
Ayahnya merangkul puterinya itu dan menangis! Bi Sian terkejut bukan main. Ayahnya menangis?
Sungguh hal yang luar biasa sekali! Ayahnya yang demikian gagah perkasa, ayahnya yang jantan. Kini
menangis?
“Ayah, tenanglah, ayah. Mari duduk...” Ia membimbing ayahnya dan membawa ayahnya duduk di kursi
menghadapi meja.
Hanya sebentar saja Sun Kok menangis. Kini dia sudah memandang kepada puterinya dengan mata
merah. Lalu dia tertawa.
“Ha-ha-ha, engkau sudah pulang, Bi Sian? Engkau sudah mewarisi ilmu silat tinggi dari Koay Tojin? Bagus!
Sekarang engkau harus mewakili ayahmu ini, engkau harus dapat mengalahkan Si Bongkok ini. Dia telah
mengalahkan aku, Bi Sian...”
“Hemm, engkau telah mabok lagi. Mari, engkau perlu tidur...!” Sie Lan Hong membantu suaminya bangkit
dan memapahnya ke dalam kamar.
Yauw Sun Kok tidak membantah, hanya mengomel, “Kau harus pukul dia, Bi Sian, demi ayahmu, kau pukul
bongkoknya, biar mampus...!”
Saking heran dan bingungnya, Bi Sian menjatuhkan diri duduk di atas kursi dan tidak dapat bicara apa-apa.
Ia lalu memandang kepada pamannya yang juga duduk sambil menundukkan mukanya. Pintu kamar itu
tertutup setelah ayahnya dipapah oleh ibunya masuk ke dalamnya dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi
dan menegangkan.
“Paman Liong,” akhirnya Bi Sian bicara dan meski pun suaranya perlahan, akan tetapi terdengar
mengejutkan dan memecahkan kesunyian itu. “Engkau... engkau benar telah mengalahkan ayah...?”
Sie Liong mengangkat mukanya, memandang pada keponakannya itu, kemudian melirik ke arah Bong
Gan.
Bi Sian mengerti maksud lirikan itu, dan dia berkata, “Suheng adalah seperti keluarga sendiri, paman.
Tidak ada salahnya bicara di depan dia!”
Suaranya sudah terdengar kaku, tanda bahwa dia amat penasaran mendengar ayahnya dikalahkan Sie
Liong, dan tentu ayahnya telah dipukul oleh pamannya itu.
Sie Liong mengangguk-angguk. “Aku tidak pernah mengalahkan dia, Bi Sian.”
“Akan tetapi, ayah tadi mengatakan...”
“Kemarin dulu, ketika aku datang, aku melihat ayahmu hendak memukuli ibumu, dalam keadaan mabok.
Terpaksa aku harus melindungi ibumu, namun bukan berarti melawan dan mengalahkan ayahmu. Aku
hanya mengelak dan menangkis... dan ayahmu mabok, dan pukulan-pukulan itu... kalau mengenai ibumu,
tentu akan berakibat parah! Kau tidak melihat keadaan mereka? Keadaan rumah ini! Aihh, Bi Sian...
semuanya berubah...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali dia melirik ke arah Bong Gan. Jelas bahwa dia merasa tidak enak sekali harus bicara lebih banyak
di depan orang lain. Melihat ini, Bong Gan yang sejak tadi sudah merasa tidak enak dengan munculnya
ayah Bi Sian yang seperti itu, lalu bangkit berdiri.
“Maafkan aku, sumoi. Sebaiknya kalau aku mencari rumah penginapan di kota. Besok aku akan datang
berkunjung, sampaikan maafku kepada ayah dan ibumu!”
Bi Sian hanya mengangguk. Hatinya dipenuhi dengan hal lain, yaitu kenyataan tentang ayah dan ibunya.
Dan dalam keadaan seperti itu, memang sebaiknya kalau suheng-nya bermalam di rumah penginapan.
“Baiklah, suheng. Maafkan kami.”
Bong Gan pergi meninggalkan rumah itu. Setelah pemuda itu pergi, barulah Bi Sian duduk di dekat Sie
Liong. Tadi gadis itu memang marah sekali membayangkan bahwa pamannya sudah memukul ayahnya,
akan tetapi kini sudah hilang kemarahannya. Dia terlalu percaya kepada Sie Liong, tidak mungkin
pamannya ini mau memukul ayahnya.
“Nah, sekarang ceritakanlah keadaan yang sesungguhnya, paman!” Bi Sian menuntut.
Sie Liong menarik napas panjang. “Sebenarnya, ibumu yang harus bercerita kepadamu. Akan tetapi
biarlah, aku pun berkewajiban untuk memberi tahukan semua kepadamu. Ketahuilah bahwa setelah kita
berdua pergi, ayahmu telah berubah sama sekali. Setiap hari dia bergaul dengan orang-orang sesat. Dia
berjudi, selalu mabok-mabokan, pelesir, menghamburkan uang sampai usaha dagangnya jatuh dan dia
bangkrut. Bukan hanya itu, malah semua barang di rumah, perabot dan perhiasan ibumu, semua dijual
untuk dihamburkan di medan perjudian dan pelesiran. Lebih lagi, dia mulai membenci ibumu dan suka
memukuli ibumu.”
“Ahh, mana mungkin itu?”
“Aku sendiri pun tidak akan percaya kalau tidak melihat sendiri. Kemarin dulu, dia tidak tahu bahwa aku
telah datang, dia datang malam-malam dalam keadaan mabok dan hendak memukuli ibumu. Aku yang
melihatnya lalu melindungi ibumu. Aku diserang, bukan main-main, diserang mati-matian dengan pedang.
Aku hanya membela diri, sama sekali tidak memukulnya, melainkan merampas pedangnya. Engkau tentu
tahu bahwa aku tidak akan berani melakukan hal seperti itu, Bi Sian.”
“Aihh, ayah...! Kenapa begitu? Ibuu... ahhh, kasihan sekali, ibuku...”
Bi Sian lalu meninggalkan Sie Liong dan dia pun lari memasuki kamar ayah dan ibunya. Melihat ini, Sie
Liong juga meninggalkan ruangan itu dan pergi mencari hawa sejuk di belakang rumah. Hatinya lega
karena Bi Sian tidak sampai salah paham dengan dia.
Diam-diam dia merasa bangga dan kagum kepada keponakannya itu. Bi Sian telah menjadi seorang gadis
seperti yang selalu dia bayangkan. Seorang gadis yang lincah jenaka, gagah perkasa, berkepandaian
tinggi, juga bijaksana seperti sikapnya tadi ketika melihat ayahnya dan bertanya kepadanya. Tidak mudah
dipengaruhi emosi.
Dan dia teringat kepada Bong Gan. Pemuda itu suheng Bi Sian? Sebagai suheng-nya, tentu mempunyai
ilmu silat yang lebih tinggi! Memang, baru melihat sinar matanya saja mudah diduga bahwa pemuda itu
tentu lihai sekali. Akan tetapi ada sesuatu pada pandang mata pemuda itu yang membuat hatinya merasa
tidak enak.
Dia duduk di atas bangku di bawah pohon. Mengapa dia merasa tidak enak? Karena pemuda itu suheng Bi
Sian dan kelihatan amat akrab dengan gadis itu sehingga Bi Sian mengajak pemuda itu pulang? Hendak
diperkenalkan kepada ayah ibunya? Kalau benar begitu, mengapa dia harus merasa tidak enak? Sudah
sepantasnya kalau Bi Sian saling mencinta dengan pemuda itu!
“Ah, tidak...!” Tiba-tiba dia bangkit dan mengepal tinju. Akan tetapi dia teringat dan sadar lagi, duduk
kembali.
Ihhh, engkau ini kenapa? Demikian dia memaki diri sendiri. Bi Sian seorang gadis yang cantik manis, dan
suheng-nya itu pun seorang pemuda tampan. Keduanya sudah sama dewasa, sudah sepatutnya kalau
saling jatuh cinta. Kenapa di dalam hatinya harus ikut ribut-ribut? Dia kan hanya pamannya, dan dia kan
hanya seorang bongkok?
dunia-kangouw.blogspot.com
“Yang tahu dirilah kau!” demikian dia memaki diri sendiri.
Dan Sie Liong duduk termenung di kebun belakang itu sampai lama sekali…..
********************
Seorang pemuda memasuki rumah pelesir yang mewah itu. Pemuda itu tampan dan segera menarik
perhatian para pelacur yang hendak memperebutkan perhatian pemuda itu. Maka, ketika pemuda itu duduk
di dalam ruangan makan di depan, segera ada lima orang gadis pelacur menghampirinya, menyapanya
dengan ramah dan tanpa diminta mereka segera duduk mengelilingi meja itu. Pakaian mereka yang tipis,
muka mereka yang berbedak tebal, tubuh mereka yang menantang dan disiram minyak wangi, membuat
pemuda itu tersenyum-senyum gembira. Pemuda itu bukan lain adalah Bong Gan!
Sebetulnya tidak aneh bila kini dia kelihatan berada di dalam sebuah rumah pelacuran, walau pun selama
ini dia sangat pandai menyimpan rahasia. Semenjak dia melakukan perjinahan dengan Pek Lan, selir ayah
angkatnya itu, dia sudah menjadi hamba nafsu birahi yang tidak ketulungan lagi!
Akan tetapi, sebagai murid Koay Tojin dan yang selalu dekat dengan Bi Sian, dia pandai sekali menjaga
diri sehingga di luarnya dia nampak alim bukan main, sopan dan tidak pernah kurang ajar. Akan tetapi, apa
bila dia memperoleh kesempatan, yaitu ketika dia melakukan perjalanan seorang diri untuk berbelanja
bumbu atau memburu binatang, dia selalu menggunakan kepandaiannya untuk memuaskan birahinya yang
berkobar-kobar.
Di luar dugaan Bi Sian dan Koay Tojin, setelah dewasa, Bong Gan ternyata sering sekali mengganggu
wanita. Baik melalui ketampanannya, kepandaiannya, mau pun dengan paksa! Banyak sudah isteri atau
anak gadis orang menjadi korbannya, namun selalu dapat menjaga diri, menyembunyikan mukanya
sehingga tidak ada yang mengenalnya.
Wanita yang dirobohkannya dengan modal ketampanan, selalu adalah isteri orang yang tentu saja tidak
akan membongkar rahasia busuknya sendiri. Juga, tempat pelacuran bukan tempat asing bagi Bong Gan
karena kalau dia tidak mendapatkan korban, maka tempat pelacuranlah yang kemudian menjadi tempat dia
melepaskan semua dorongan nafsu birahinya.
Kini dia berada di rumah pelacuran karena hatinya agak kesal. Dia terpaksa berpisah dari Bi Sian,
bermalam di sebuah rumah penginapan dan malam itu, karena iseng, dia pun keluar berjalan-jalan.
Akhirnya ia masuk ke dalam sebuah rumah pelesir yang besar di kota Sung-jan.
Bong Gan tidak kekurangan uang. Sebelum memasuki rumah penginapan tadi, dia telah menggunakan
kepandaiannya untuk memasuki sebuah rumah gedung dan dari dalam rumah itu, tanpa diketahui siapa
pun, dia telah berhasil mencuri uang emas yang cukup banyak. Dengan kepandaian yang telah dia miliki,
kejahatan seperti itu mudah saja dia lakukan.
Tidak lama kemudian, dia sudah masuk ke dalam kamar ditemani oleh tiga orang gadis pelacur! Menjelang
tengah malam, baru dia keluar dari dalam kamar itu dan bermaksud untuk kembali ke rumah penginapan.
Besok pagi-pagi dia akan berkunjung ke rumah Bi Sian dan dia tidak ingin kurang tidur.
Dia keluar digandeng tiga orang gadis pelacur yang kelihatan amat mencintanya. Siapa orangnya takkan
mencinta seorang pemuda yang tampan, jantan dan royal dengan uangnya? Apa lagi kalau perempuan itu
seorang pelacur! Akan tetapi, baru saja kakinya hendak menginjak pintu keluar tempat pelesir itu, tiba-tiba
terdengar suara seorang pria menegurnya.
“Heiii, bukankah engkau suheng dari Bi Sian?”
Song Gan menoleh dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia mengenal pria yang menegurnya
itu. Yauw Sun Kok, ayah Bi Sian! Kalau saat itu ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Bong Gan
sekaget ketika dia bertemu dengan ayah Bi Sian di rumah pelacuran!
Celaka, pikirnya, habislah namanya. Rusaklah dia di mata ayah Bi Sian dan tentulah sumoi-nya itu juga
akan mendengar dari ayahnya! Tentu sumoi-nya itu tidak akan sudi lagi berdekatan dengan dia kalau
mendengar bahwa dia telah dilihat ayahnya di rumah pelacuran, dirangkul tiga orang pelacur.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia cepat dapat memulihkan sikapnya, berpura-pura tidak mengenal Yauw Sun Kok dan melepaskan diri
dari gandengan tiga orang pelacur itu. Dia lalu keluar sambil berkata dengan suara dirobah.
“Anda salah lihat!”
Yaw Sun Kok belum mabok pada saat itu. Dia memang langganan rumah pelacuran ini dan kalau dia tidak
berjudi, tentu dia berada di sini, main-main dengan gadis pelacur, atau sekedar mabok-mabokan. Pada
waktu melihat pemuda yang digandeng tiga orang pelacur itu, dia segera mengenalnya dan menegurnya.
Sebetulnya kekhawatiran Song Gan sangat tidak beralasan. Orang yang sudah menjadi langganan rumah
pelacuran seperti Yauw Sun Kok, tentu tak akan memandang rendah kepada pria lain yang juga datang
menghibur diri di tempat itu.
Yauw Sun Kok adalah seorang manusia berjiwa lemah, tertutup oleh nafsu-nafsunya sehingga jiwanya
menjadi hamba dari nafsunya. Semenjak kecil ia hidup sebagai orang sesat, di tengah-tengah orang yang
bekerja sebagai perampok, penjudi dan penjahat-penjahat.
Akhirnya isterinya terbunuh oleh Sie Kian sehingga dia menjadi sakit hati. Setelah dia memperdalam ilmuilmunya,
ia berhasil membalas dendam, membasmi keluarga musuh besarnya itu. Akan tetapi dia tergilagila
kepada Sie Lan Hong dan membawa gadis remaja itu sebagai isterinya, juga membiarkan Sie Liong
hidup atas permintaan Sie Lan Hong yang pada waktu itu amat dicintanya.
Karena cintanya terhadap isteri yang baru inilah Yauw Sun Kok dapat merobah jalan hidupnya. Dia bisa
mengekang nafsu-nafsunya, sebab semua nafsunya telah dipuaskan oleh isteri yang dicintanya itu. Apa
lagi ketika Bi Sian terlahir. Sun Kok bahkan pernah menjadi suami dan ayah yang baik.
Melihat Bong Gan bersikap tidak mengenalnya, hanya sebentar Yauw Sun Kok merasa heran. Akan tetapi
tak lama kemudian dia sudah tenggelam ke dalam buaian arak dan lewat tengah malam, dia pun berjalan
pulang terhuyung-huyung dalam keadaan mabok.
Ketika Sun Kok melewati daerah yang sunyi, di mana tak ada rumah di kanan kiri jalan, tiba-tiba saja
berkelebat bayangan hitam yang langsung menyerangnya dengan kepalan tangan. Serangan itu dahsyat
sekali, mendatangkan angin pukulan yang keras.
Bagaimana pun juga, Sun Kok adalah seorang yang sudah lama mempelajari ilmu silat dan tingkat
kepandaiannya cukup tinggi. Dia mendengar suara angin serangan ini dan cepat dia mengelak sambil
menggerakkan tangan kiri menangkis dan tangan kanannya membalas dengan cengkeraman ke arah
pundak penyerangnya! Namun, penyerang itu lihai bukan main karena dengan sangat mudahnya dia
mampu menghindarkan diri dari cengkeraman itu.
Saat itu dipergunakan Sun Kok yang cepat melompat ke belakang itu untuk mengamati penyerangnya.
Cuaca gelap, akan tetapi dia melihat bayangan penyerangnya yang berpunggung bongkok!
“Sie Liong...!” teriaknya dengan suara penuh rasa ngeri.
Memang semenjak dahulu dia takut kepada adik isterinya, takut kalau sampai anak itu mengetahui bahwa
dialah pembunuh orang tuanya. Kalau saja tidak melihat isterinya, sudah sejak dulu dia membunuh Sie
Liong.
Dan kini, apa yang ditakutinya terjadi. Sie Liong yang sudah dia bikin bongkok itu, masih berhasil
mempelajari ilmu silat tinggi dan malam ini agaknya hendak membalas dendam dan menyerangnya!
Maklum bahwa dia terancam maut, tangan Yauw Sun Kok bergerak dan tiga batang piauw beruntun
menyambar ke arah tubuh orang bongkok itu. Akan tetapi, dengan amat sigapnya lawannya itu berhasil
mengelak dengan sangat mudah.
Sun Kok telah mencabut pedangnya, pedang pusaka Pek-lian-kiam. Biar pun ia mabok, akan tetapi
perasaan takut melenyapkan maboknya dan dia sudah mainkan pedangnya, menyerang dengan gesit.
Akan tetapi, sekali ini dia harus mengakui bahwa dia telah berhadapan dengan seorang lawan yang
tangguh bukan main. Walau pun lawannya bertangan kosong, akan tetapi serangan-serangan pedangnya
tidak pernah mampu menyentuh lawannya yang dapat bergerak secepat burung walet terbang. Kemudian,
dunia-kangouw.blogspot.com
ketika dengan gugup dia membalik untuk mencari lawan yang tadi berkelebat lenyap ke arah belakangnya,
tiba-tiba tangan kanannya menjadi lumpuh tertotok dan pedangnya berpindah tangan!
Sebelum Sun Kok mampu menghindar, sinar pedang berkelebat dan pedang itu telah menembus dada dan
jantungnya! Sun Kok roboh terjengkang, seketika tewas dengan dada ditembusi pedangnya sendiri!
Bayangan berpunggung bongkok itu lalu menyambar tubuh yang tak bernyawa lagi itu, menyeretnya
menuju ke rumah Yauw Sun Kok. Dengan amat cekatan, dia melompat ke atas genteng dan selanjutnya
berlompatan sehingga tak ada orang melihatnya. Setelah berlompatan dari rumah ke rumah, dia lalu turun
ke pekarangan belakang rumah Yauw Sun Kok. Pada saat tiba di dekat sebuah jendela kamar di rumah itu,
kakinya tersaruk sebuah benda yang mengeluarkan suara keras.
“Siapa itu?!” terdengar bentakan suara wanita dari balik jendela.
Bayangan itu tidak menjawab, melainkan menyeret mayat itu menjauhi jendela. Akan tetapi dia kurang
cepat karena tiba-tiba daun jendela itu terbuka dari dalam dan Bi Sian masih sempat melihat seorang lakilaki
berkedok dan berpunggung bongkok menyeret sesosok mayat ke dalam kebun.
“Paman Liong...?!” Bi Sian memanggil.
Akan tetapi bayangan itu sudah lenyap ke dalam kegelapan malam. Bi Sian cepat-cepat meloncat keluar
dari kamarnya dan melakukan pengejaran ke dalam kebun. Akan tetapi bayangan orang berpunggung
bongkok itu lenyap dan ia menemukan sesosok tubuh menggeletak di atas tanah.
Pada waktu itu, kebetulan sekali bulan sepotong yang sejak tadi tertutup awan hitam, terlepas dari
cengkeraman awan dan menyinarkan cahayanya yang redup namun cukup terang bagi Bi Sian untuk
mengenal wajah orang itu.
“A... ayahhhhh...!” Ia menjerit dan cepat berlutut, memeriksa tubuh itu.
Ayahnya, benar ayahnya, telah tewas dengan dada ditembusi sebatang pedang yang dikenalnya sebagai
pedang pusaka milik ayahnya sendiri, Pek-lian-kiam!
Jeritan Bi Sian ini mengejutkan para penghuni rumah itu. Ibunya terkejut dan berlari keluar.
“Bi Sian, apa yang terjadi...?” tanyanya sambil berlari tersaruk-saruk ke dalam kebun.
“Ibu...! Ayah tewas terbunuh orang...!” Bi Sian berseru.
Dia pun melompat lalu berlari mencari-cari ke dalam kebun. Akan tetapi, dia tidak dapat menemukan jejak
orang yang tadi menyeret tubuh ayahnya. Lalu ia mendekati rumah. Tiba-tiba ia melihat sesuatu. Cepat ia
berjongkok dan diambilnya benda itu.
Sebuah topeng! Topeng yang tadi ia lihat dikenakan pembunuh ayahnya. Topeng hitam!
“Bi Sian, ada apakah ribut-ribut itu?”
Mendengar suara Sie Liong, Bi Sian cepat menyimpan topeng itu ke dalam saku dalam bajunya. Ia
memandang tajam kepada wajah Sie Liong. Walau pun remang-remang, ia melihat bahwa selarut itu
pamannya ini belum tidur!
“Paman Liong, apakah sejak tadi engkau tidak mendengar sesuatu?” tanyanya sambil memandang tajam
penuh selidik.
“Mendengar apa? Aku hanya mendengar teriakanmu memanggil ayahmu, lalu suara enci Lan Hong di
belakang sini. Apakah yang telah terjadi?”
“Paman Liong, mari kau lihat sendiri!” katanya sambil menarik lengan pamannya itu.
Lengan itu tidak memperlihatkan sesuatu, tidak gemetar, bahkan sikap pamannya masih tenang-tenang
saja. Bi Sian ingin melihat bagaimana sikap pamannya jika nanti melihat cihu-nya menggeletak tewas.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah tiba di tempat itu, dari jauh Sie Liong sudah mendengar ratap tangis enci-nya dan melihat tubuh
cihu-nya menggeletak dengan pedang masih menancap di dada. Dia terkejut bukan main.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru