Senin, 04 September 2017

Kopinghoo Kisah Bangau Putih 4

Kopinghoo Kisah Bangau Putih 4 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Kopinghoo Kisah Bangau Putih 4 
Gugat Cerai, Indadari Masih Komunikasi dengan Caisar 
kumpulan cerita silat cersil online
-
Sementara itu, Suma Lian yang berada di dalam sumur, berhasil melompat turun dan hinggap di atas dua
ujung tombak dengan kedua kakinya. Akan tetapi pada waktu dia memandang ke atas, ternyata lubang
sumur itu terlalu tinggi baginya. Tidak mungkin melompat ke atas dengan hanya menekankan kedua kaki
pada ujung tombak yang runcing dan lentur! Kalau tombak itu patah, ia malah akan celaka, dan kalau
sampai loncatannya tidak sampai ke atas sumur, ia akan jatuh lagi dan hal itu lebih berbahaya lagi!
Gadis ini cerdik. Ia mengukur lebar sumur. Tidak begitu lebar. Ketika ia berdiri di tengah dan
mengembangkan kedua lengannya, maka kedua lengannya itu lebih panjang dari pada lebarnya sumur. Ia
lalu mencoba untuk menusukkan tangannya dengan jari-jari terbuka pada dinding sumur.
“Ceppp!”
Tangan yang terlatih itu, bagaikan tombak saja menancap di dinding sumur padas itu sampai ke
pergelangan tangannya! Ia lalu mencoba untuk mencengkeram dan dengan mudah jari-jari tangannya
dapat mencengkeram. Ahh, ia menemukan akal untuk dapat mendaki naik, pikirnya.
Diselipkannya suling emas di pinggangnya, kemudian mulailah dicengkeramnya dinding sumur di kanan kiri
dengan kedua tangannya dan mulailah ia mendaki. Kedua kakinya terpentang dan membantu dua
tangannya, menginjak pada bekas cengkeraman tangan dan dengan cepat dia mendaki naik. Sebentar
saja ia sudah melompat naik keluar dari dalam sumur, tepat pada saat Sin Hong merobohkan enam orang
pengeroyoknya.
Sin-kiam Mo-li yang terkejut melihat kehebatan Sin Hong merobohkan enam orang anak buahnya, menjadi
semakin kaget melihat munculnya Suma Lian dari dalam sumur. Sin Hong sendiri tadi tidak melihat gadis
itu terjebak ke dalam sumur. Ia hanya mendengar ucapan Sin-kiam Mo-li yang hendak membunuh
seseorang di dalam sumur dengan cara menggelindingkan batu besar, maka dia cepat turun tangan
mendorong pergi batu itu. Kini, melihat munculnya seorang gadis dari dalam sumur, dia juga terkejut dan
kagum bukan main.
Gadis itu demikian cantik. Mukanya yang sebagian terkena lumpur, coreng-moreng tidak menyembunyikan
kecantikannya. Matanya demikian bening, tajam dan kocak, mulutnya demikian manisnya dan tersenyum
mengejek ketika ia memandang kepada Sin-kiam Mo-li.
Suma Lian menoleh kepada Sin Hong. Ia tak mengenal pemuda ini, akan tetapi melihat betapa pemuda itu
tadi dikeroyok oleh enam orang berpakaian merah, ia bisa menduga bahwa pemuda ini tentulah bukan
sahabat atau pembantu Sin-kiam Mo-li. Ketika dia memandang kepada Bi-kwi yang tadi mencoba untuk
memperingatkannya pada saat ia hampir terjeblos ke dalam sumur, ia melihat wanita itu nampak diam saja,
tidak berdaya.
“Sin-kiam Mo-li, engkau sungguh-sungguh seorang iblis betina yang tidak tahu malu, mengandalkan
pengeroyokan dan mengandalkan jebakan keji. Sungguh, tidak mungkin lagi engkau dibiarkan hidup di
dunia ini!” bentak Suma Lian dan ia sudah mengeluarkan suling emasnya, tidak peduli bahwa kedua
tangannya kotor karena lumpur.
“Ucapan Nona ini memang tepat. Engkau terlampau jahat, Sin-kiam Mo-li, dan terpaksa pula aku harus
berusaha membasmimu, demi keamanan hidup orang-orang lain!” kata Sin Hong, diam-diam dia kagum
dan kaget melihat gadis itu memegang sebatang suling emas.
Melihat sikap kedua orang muda itu dan mendengar ancaman mereka, mau tidak mau Sin-kiam Mo-li
merasa takut. Ia memandang kepada Tan Sin Hong dengan mata penuh kebencian.
“Huh, engkau lagi yang merusak semua rencanaku!” Ia lalu berseru kepada Ciong Siu Kwi. “Bi-kwi, hayo
cepat usir mereka berdua itu, atau suami dan puteramu akan kusuruh bunuh sekarang juga!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia hendak mempergunakan Bi-kwi sebagai perisai karena ia maklum bahwa kalau Suma Lian dan Tan Sin
Hong maju bersama, biar ia dibantu oleh Liok Cit, Bi-kwi dan puluhan orang Ang-i Mo-pang juga tak akan
ada gunanya. Suma Lian sudah demikian hebatnya, dan ia tahu bahwa Tan Sin Hong lebih lihai lagi!
Bi-kwi juga maklum bahwa di antara mereka semua, ialah yang paling terjepit. Sin-kiam Mo-li dan kawankawannya
agaknya takut menghadapi pemuda yang baru datang ini, akan tetapi bagaimana pun juga, iblis
betina itu masih dapat membela diri mati-matian dan ia pun tahu betapa lihainya iblis betina itu. Akan tetapi
ia sendiri?
Ia merasa seakan-akan kaki tangannya dibelenggu. Dengan disanderanya suami dan puteranya, ia tidak
mampu berbuat apa pun kecuali mentaati perintah Sin-kiam Mo-li. Melihat Suma Lian dan pemuda yang
baru muncul ini, ia pun maklum bahwa keduanya tentulah pendekar-pendekar yang gagah perkasa,
bahkan Suma Lian sudah tahu siapa dirinya.
Maka ia mempunyai suatu gagasan yang baik sekali. Kenyataannya bahwa Sin-kiam Mo-li takut terhadap
pemuda dan gadis itu harus dimanfaatkannya sebaik mungkin.
“Mo-li, aku yakin bahwa nona Suma Lian dan juga Taihiap (Pendekar Besar) yang tidak kukenal ini akan
suka memenuhi permintaanku, akan tetapi aku baru mau melakukan perintahmu kalau engkau suka
membebaskan puteraku.”
Sin-kiam Mo-li mengerutkan alis, kemudian tersenyum mengejek. “Bi-kwi, engkau tidak berada dalam
keadaan untuk memaksaku. Engkaulah yang harus mentaati perintahku, dan engkau sama sekali tidak
boleh menuntut sesuatu dariku. Ingat, sekali aku memberi isyarat, suami dan puteramu akan mampus.”
“Apa boleh buat, Mo-li. Kalau engkau membunuh mereka, aku akan membantu Taihiap ini dan Suma-lihiap
untuk membasmi engkau dan anak buahmu ini tidak seorang pun akan kuberi ampun. Orang-orang bekas
anggota Ang-i Mo-pang ini mengenal siapa aku dan aku tidak biasa menjilat kembali kata-kata yang sudah
kukeluarkan! Engkau boleh pilih. Membebaskan puteraku, dan aku akan membantu perjuangan yang kau
sebutkan itu, dengan suamiku menjadi sandera. Atau, engkau boleh membunuh mereka, akan tetapi
engkau sendiri dan juga semua anak buahmu ini akan mati semua di tangan kami bertiga!”
Sin Hong yang mendengarkan percakapan itu menjadi bingung karena ia memang tidak tahu apa yang
sedang terjadi dan siapa pula wanita yang disebut Bi-kwi oleh Sin-kiam Mo-li itu. “Apakah artinya semua
ini? Aku tidak ingin mencampuri urusan antara kalian berdua dan...“
“Diamlah engkau!” Suma Lian membentak Sin Hong dengan suara nyaring sehingga Sin Hong tersentak
kaget, tidak mengira bahwa gadis itu sedemikian galaknya terhadap dia yang sama sekali tidak saling
mengenal. “Jangan turut campur dan diamlah saja karena engkau tidak tahu urusannya!”
Sin Hong tersenyum. Dia hanya mengangguk, lalu berdiri sambil bersedakap, saling bertumpang lengan di
atas dadanya seolah-olah dia hendak memperlihatkan bahwa dia tidak akan mencampuri urusan mereka
dan hanya mendengarkan saja.
Sin-kiam Mo-li mempertimbangkan ucapan Bi-kwi tadi. Diam-diam ia pun dapat mengerti bahwa apa yang
dikatakan oleh Bi-kwi memang benar. “Engkau berjanji bahwa kalau aku membebaskan puteramu, engkau
akan ikut bersama kami dan suamimu menjadi sandera, dan engkau berjanji membantu perjuangan kami?”
tanyanya kepada Bi-kwi.
“Aku berjanji!” jawab Bi-kwi dengan tegas.
Sin-kiam Mo-li merasa lega. Ia mengenal kekerasan hati Bi-kwi dan tahu pula bahwa wanita itu, sesudah
kini meninggalkan dunia kang-ouw, lebih lagi menjaga kehormatan dan pasti tidak akan mau melanggar
janjinya.
“Baiklah, engkau sudah berjanji dan didengarkan, disaksikan oleh semua orang yang berada di sini!”
Sin-kiam Mo-li kemudian memerintahkan Liok Cit untuk mengambil anak itu dari dalam pondok. Liok Cit
lalu pergi memasuki pondok dan tak lama kemudian dia keluar sambil menggandeng tangan Yo Han.
Setelah dilepaskan, Yo Han lari kepada ibunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ibu, kata ayah, Ibu memiliki ilmu kepandaian tinggi. Ibu, selamatkan ayah dari tangan mereka yang jahat
ini!” kata Yo Han.
“Tenanglah, anakku. Han-ji, sekarang engkau harus mendengarkan kata-kata Ibu dan mentaatinya,
mengerti? Nah, mulai sekarang, engkau ikutlah pergi dengan enci Suma Lian itu.”
“Tapi, ibu dan ayah...”
“Jangan membantah lagi. Pergilah bersama enci Suma Lian. Ia adalah pendekar wanita perkasa yang
tentu akan mau mengatur dirimu, dan engkau taatilah dia, turut saja ke mana engkau dibawa pergi dan apa
yang selanjutnya dia atur mengenai dirimu. Nona Suma, sudikah Nona menolong anak kami Yo Han ini,
mengajaknya pergi dari sini?”
Suma Lian mengerutkan alisnya. Dia maklum akan maksud Ciong Siu Kwi. Agaknya wanita itu hendak
mengorbankan dirinya dan suaminya demi keselamatan anak mereka.
“Bibi, tidakkah lebih baik kalau kita hancurkan saja iblis betina ini dan kawan-kawannya.”
“Tidak! Harap jangan lakukan ini. Mereka akan membunuh suamiku, dan dan aku sudah mengeluarkan
janji. Kalau kalian berdua melakukan itu, terpaksa aku akan membelanya dan akan melawanmu sampai
mati! Tidak, aku mohon kepadamu, nona Suma Lian, bawalah anakku Yo Han dan terserah kepadamu
akan kau berikan kepada siapa anak kami itu. Budimu tidak akan kami lupakan, Nona, dan kalau Tuhan
menghendaki, kelak tentu kami akan dapat bertemu kembali dengan dia. Nah, bawalah dia pergi, Nona.”
Suma Lian menarik napas panjang. Ia merasa menyesal sekali jika harus melepaskan Sin-kiam Mo-li. Akan
tetapi, demi keselamatan keluarga Yo, ia tidak mempunyai pilihan. “Marilah, Yo Han, marilah ikut dengan
aku!” katanya sambil mengulurkan tangan. Akan tetapi Yo Han menarik diri dan memegang tangan ibunya.
“Tidak, aku tidak mau meninggalkan ibu dan ayah!” katanya.
“Yo Han, jangan engkau membantah lagi. Kalau engkau tidak mau, maka ayah, ibu, dan engkau akan mati
semua, dibunuh oleh orang-orang ini!” kata Ciong Siu Kwi.
“Aku tidak peduli! Biar pun mereka membunuh kita, aku tidak takut Ibu, asal bersama dengan ayah dan
ibu!” bantah pula Yo Han.
“Yo Han, anakku. Kalau engkau pergi ikut dengan enci Suma Lian ini maka ayah dan ibumu tidak akan
dibunuh dan kelak kita akan berjumpa lagi,” bujuk Ciong Siu Kwi.
“Tapi, Ibu. Tadi ayah menceritakan semua. Katanya Ibu lihai dan dia menyesal kenapa tidak membolehkan
aku belajar silat dari Ibu, agar aku dapat menentang dan melawan orang-orang jahat.”
“Han-ji, anakku. Kepandaian enci Suma dan Paman itu jauh lebih tinggi dari pada ilmu kepandaian ibumu.
Kalau engkau ikut dengan enci Suma Lian, maka dia tentu akan mampu mencarikan guru yang jauh lebih
lihai dari pada ibumu. Pergilah dan jangan membantah lagi, anakku.”
Sejak tadi Sin Hong mendengarkan dengan penuh perhatian dan diam-diam dia merasa kagum sekali
kepada anak laki-laki itu. Sekarang, setelah mendengarkan dengan penuh perhatian, ia mulai mengerti.
Kiranya wanita yang cantik dan berpakaian seperti seorang petani wanita itu telah dibikin tidak berdaya
oleh Sin-kiam Mo-li karena suaminya dan puteranya disandera oleh iblis betina itu. Memang, jalan satusatunya
agar supaya bisa menyelamatkan suami isteri itu hanyalah membiarkan anak itu dibawa pergi.
Pada saat dia mendengar disebutnya nama gadis itu oleh ibu anak itu, dia pun terkejut setengah mati. Dia
memang belum mengenal nama itu, akan tetapi nama keluarga itu! Suma! Siapa lagi yang memakai nama
keluarga itu kalau bukan keturunan keluarga Pulau Es yang nama keluarganya juga Suma? Dia sudah
banyak mendengar kehebatan ilmu kehebatan keluarga Pulau Es seperti yang sudah sering diceritakan
oleh tiga orang gurunya!
Kini, melihat kebandelan Yo Han yang ingin hidup atau mati bersama ayah ibunya, dia pun lalu ikut bicara.
“Seorang anak yang ingin menjadi seorang calon pendekar, lebih dulu harus menjadi seorang anak
berbakti yang mentaati semua perintah orang tuanya, terutama ibunya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ucapan laki-laki itu, Yo Han menoleh dan menghadapi Sin Hong. Sepasang matanya yang kecil
namun amat tajam itu mengamati Sin Hong dari kepala sampai ke kaki, kemudian terdengar suaranya
lantang.
“Paman, kata ibu Paman memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari ibu, dan Paman tadi menasehati
aku bagaimana sikap seorang calon pendekar! Kalau Paman sudah dapat menasehati orang, tentu
seorang pendekar. Apakah Paman seorang pendekar?”
Ditanya demikian oleh seorang anak kecil, Sin Hong agak tersipu-sipu, akan tetapi dia mengangguk sambil
tersenyum. “Hemmm, begitulah...“
“Kalau Paman seorang pendekar, tentu berani menentang iblis betina ini! Lawanlah dia, Paman agar aku
percaya akan semua omonganmu!” kata Yo Han sambil menudingkan telunjuknya ke arah Sin-kiam Mo-li.
Sin Hong menoleh ke arah iblis betina itu, dan wajah Sin-kiam Mo-li menjadi agak pucat. Ia sudah
merasakan kelihaian pemuda itu. Ia dibantu oleh Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek saja masih belum
mampu mengalahkan Tan Sin Hong, apa lagi kalau ia harus maju seorang diri.
Sin Hong berkata kepada anak itu sambil tersenyum, “Kalau ia berani, boleh saja.”
Suma Lian yang semenjak tadi melihat dan mendengar, merasa agak mendongkol juga. Dianggapnya
pemuda yang berpakaian serba putih dan sikapnya lembut sederhana itu terlalu sombong dan bicara
besar. Ia sendiri tahu bahwa Sin-kiam Mo-li adalah seorang wanita yang sakti dan tidak boleh dipandang
ringan, akan tetapi pemuda ini tadi berani mengejek, mengatakan apakah wanita itu berani kepadanya!
Bukan hanya Suma Lian yang merasa penasaran, akan tetapi terutama sekali Liok Cit, Si Iblis Terbang
Tangan Beracun itu. Sikap dan ucapan pemuda itu dianggapnya terlalu menghina wanita yang amat
dikaguminya, dan dengan adanya Sin-kiam Mo-li, juga anak buah Ang-i Mo-pang, bahkan kini dibantu Bikwi
yang sudah dapat ditundukkan dengan disanderanya suami wanita itu, hatinya menjadi besar dan
dengan gerakan ringan sekali, tubuhnya yang kurus itu sudah melayang ke depan Sin Hong.
Pria berusia tiga puluh tahun yang pakaiannya serba hijau ini, dengan tubuh kurus bagai pemadatan,
berwajah tampan akan tetapi semua giginya menghitam, lantas mendorong capingnya yang lebar ke
belakang sehingga kini wajahnya nampak semua. Dengan hati penasaran dia ingin mempermainkan
pemuda yang sederhana itu.
Walau pun dia tadi telah melihat betapa pemuda ini mendorong batu besar yang nyaris menggelinding ke
dalam sumur, dia tidak merasa gentar. Diam-diam dia mengerahkan kekuatan sihirnya. Sebagai murid
pertama dari Pek-lian-kauw, tentu saja dia sudah memiliki ilmu sihir yang lumayan. Kalau hanya untuk
menyihir dan menundukkan wanita cantik untuk dikuasainya saja, dia sudah mahir!
“Hei, orang muda, lihat aku adalah ayahmu. Engkau harus tunduk dan taat kepadaku. Berlututlah engkau!”
Dia lalu membuat gerakan dengan kedua tangannya dengan gaya orang menyihir.
Akan tetapi, Sin Hong adalah murid tiga orang sakti yang sudah mempunyai tenaga gabungan ketiga orang
itu. Hawa sakti di tubuhnya sudah sangat kuat. Apa lagi hanya kekuatan sihir yang dimiliki seorang seperti
Liok Cit, bahkan Sin-kiam Mo-li sendiri tidak mampu menguasai pemuda ini dengan sihirnya pada waktu
Sin Hong belum menguasai sepenuhnya Ilmu Pek-ho Sin-kun.
Maka, menghadapi serangan ilmu sihir yang masih amat lemah ini, dia hanya berdiri saja sambil
tersenyum, lalu berkata, “Apakah engkau sudah menjadi gila?”
Mata Liok Cit terbelalak. Dia mencoba untuk memperkuat ilmu sihirnya sampai mulutnya mengeluarkan
suara ah-ah-uh-uh-uh dan kedua tangannya membuat gerakan-gerakan aneh, namun tetap saja Sin Hong
hanya memandang sambil tersenyum geli.
Kini marahlah Liok Cit. Dia adalah murid kepala Pek-lian-kauw, ilmu sihirnya telah amat kuat menurut
anggapannya sendiri, dan kini dia dibikin malu di depan para anggota Ang-i Mo-pang oleh seorang pemuda
tak terkenal. Dalam kemarahannya, dia mencabut pedangnya dan sambil mengeluarkan bentakan nyaring,
pedangnya menusuk ke arah dada Sin Hong!
dunia-kangouw.blogspot.com
Gerakan Tok-ciang Hui-moko Liok Cit ini amat cepat dan kuat, karena memang tingkat kepandaiannya
sudah cukup tinggi. Namun, tidak terlalu tinggi bagi Sin Hong. Melihat tusukan pedang itu sekilas saja, Sin
Hong tahu apa yang harus dia lakukan. Tubuhnya miring ke kanan sehingga pedang lewat depan dadanya,
lalu tangan kanan mengetuk sambungan siku, tangan kiri menampar pundak dan kaki kirinya menyapu
belakang lutut lawan.
Gerakan yang dilakukan Sin Hong itu sedemikian cepatnya, hampir berbareng dengan datangnya
serangan Liok Cit, atau paling tidak sedetik berikutnya, dan dilakukan secara otomatis sehingga tak ada
kesempatan sama sekali bagi Liok Cit untuk menghindarkan diri. Pedang yang dipegangnya lantas terlepas
sebab lengan kanan yang ditekuk bagian sikunya itu seperti lumpuh, kakinya tertekuk dan tamparan pada
pundak membuat dia terjungkal!
Masih untung baginya bahwa Sin Hong membatasi tenaganya. Kalau saja pemuda ini menyerang
sungguh-sungguh, tentu dia langsung tewas seketika. Dengan penasaran Liok Cit mengambil pedangnya
dan meloncat berdiri, siap untuk menyerang lagi, akan tetapi terdengar bentakan Sin-kiam Mo-li.
“Liok Cit, mundur kau!”
Wanita iblis ini maklum bahwa jangankan Liok Cit, bahkan ia sendiri pun dibantu oleh semua anak buahnya
yang berada di situ, takkan mampu menandingi Sin Hong yang tentu akan dibantu oleh Suma Lian pula.
Sementara itu, Yo Han langsung bersorak gembira melihat kehebatan Sin Hong dan dia pun berkata,
“Paman, aku akan ikut bersama Paman dan ingin menjadi murid Paman.” Setelah berkata demikian, dia lari
mendekat dan memegang tangan Sin Hong. Melihat ini, legalah hati Bi-kwi yang tadinya khawatir kalaukalau
puteranya itu tetap tidak mau pergi.
“Taihiap, tolonglah, harap Taihiap sudi membawa puteraku ini. Kami suami isteri akan berterima kasih
sekali,” kata Bi-kwi dengan suara memohon. Ia mengenal kekerasan hati puteranya, sekali pilihan
puteranya dijatuhkan kepada pemuda itu, tentu dia tidak mau disuruh ikut orang lain.
Sin Hong memandang kepada Yo Han yang memegang tangannya dan dia tersenyum. Semenjak tadi dia
memang sudah merasa suka sekali kepada Yo Han. Akan tetapi mempunyai murid? Dia masih terlalu
muda, hidupnya sendiri masih berkelana dan dia masih memiliki banyak tugas, menyelidiki pembunuh
ayahnya dan lain-lain. Akan tetapi, dia pun tahu bahwa dalam keadaan terjepit seperti sekarang ini, ibu dari
anak itu tidak berdaya dan dia harus menolongnya, maka dia pun mengangguk.
“Baiklah, harap jangan khawatir, Enci,” katanya.
Hampir saja Bi-kwi bersorak saking girang dan lega hatinya. “Terima kasih, Taihiap, dan harap suka
memperkenalkan nama agar kami tidak akan melupakan Taihiap.”
Jarang Sin Hong memperkenalkan namanya, apa lagi nama tiga orang gurunya. Akan tetapi karena ia
hendak membawa pergi anak orang, maka terpaksa ia berterus terang, “Namaku Tan Sin Hong, Enci. Mari
Yo Han, mari kita pergi dari sini.”
Dia lalu menggandeng tangan anak itu dan pergi sambil melirik ke arah Suma Lian dan mengangguk
sebagai tanda hormat.
“Ibu, selamat tinggal. Tolong sampaikan hormatku kepada ayah!” Yo Han berteriak pada ibunya sambil
menoleh, lalu dia pun melanjutkan langkahnya di samping penolong yang kini menjadi gurunya. Bi-kwi
memandang dengan kedua mata basah.
Suma Lian merasa serba salah. Ingin dia menerjang Sin-kiam Mo-li yang tadi hampir mencelakainya
dengan jebakan. Akan tetapi bukan dia takut melakukan ini, melainkan karena ia tahu bahwa Bi-kwi tentu
akan membantu iblis betina itu demi keselamatan suaminya yang menjadi sandera. Tidak, ia harus dapat
mencari jalan lain, ia tidak ingin mengorbankan keselamatan wanita itu dan suami wanita itu yang tidak
berdosa.
Sejak tadi ia menonton dan diam diam ia pun terkejut melihat betapa lihainya Sin Hong. Akan tetapi setelah
Yo Han memilih pemuda itu untuk diikutinya, ia merasa mendongkol bukan main. Bukan karena ia terlalu
senang kalau dititipi seorang anak laki-laki, akan tetapi ibu anak itu tadinya minta tolong kepadanya, ibu
anak itu hendak menitipkan Yo Han kepadanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi pemuda bernama Tan Sin Hong itu seolah-olah menyainginya dan merebut Yo Han dari
tangannya. Hal ini membuat hatinya penasaran bukan main. Seolah-olah pemuda itu membuat ia malu dan
menurunkan harga dirinya di depan banyak orang!
Kini, Sin-kiam Mo-li, Liok Cit, juga Bi-kwi dan semua anak buah yang berpakaian serba merah itu
menunggu apa yang akan dilakukannya dan mereka agaknya sudah bersiap siaga. Juga Bi-kwi
memandang kepadanya dengan sinar mata memohon, sinar mata yang jelas mengharapkan supaya dia
pergi saja dan tidak melanjutkan perkelahiannya melawan Sin-kiam Mo-li dan anak buahnya.
“Huhhh!” Suma Lian mengeluarkan dengus marah dan tanpa berkata sesuatu, dia pun membalikkan
tubuhnya. Dengan beberapa loncatan saja bayangannya lenyap di antara pohon-pohon.
“Bukan main...!” Bi-kwi menarik napas panjang memuji. “Orang-orang muda sekarang sungguh amat hebat,
demikian muda telah memiliki ilmu silat yang begitu hebat. Ahhh, kita seperti katak dalam tempurung...,
ketinggalan jauh...“
Sin-kiam Mo-li merasa diejek dan diremehkan. Ia cemberut dan menjawab seperti orang bersungut, “Tentu
saja, gadis itu cucu buyut Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan pemuda itu murid Pendekar Naga Sakti
Gurun Pasir dan isterinya...“
“Ohhh...!”
Wajah Bi-kwi berseri dan matanya bersinar-sinar. Ia sudah dapat menduga bahwa gadis yang bernama
Suma Lian itu tentu keturunan Pendekar Pulau Es, akan tetapi yang membuat ia merasa amat gembira
adalah ketika mendengar tentang pemuda yang kini menjadi guru puteranya itu. Murid suami isteri
penghuni Istana Gurun Pasir! Bukan main! Tentu saja hatinya girang mendengar bahwa puteranya menjadi
murid seorang muda yang sakti. Pantas pemuda itu sedemikian lihainya!
Melihat kegembiraan di wajah Bi-kwi, Sin-kiam Mo-li merasa semakin mendongkol. Dia sendiri amat
membenci pemuda murid Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu. Teringat ia betapa kurang lebih dua tahun
yang lalu, ia dan enam belas orang lainnya, sebagian dari Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai, menyerbu ke
Istana Gurun Pasir. Mereka berhasil menewaskan tiga orang tua penghuni istana itu, akan tetapi di
pihaknya sendiri, empat belas orang tewas sedangkan sisanya, yaitu ia sendiri, Thian Kong Cinjin dan
Thian Kek Sengjin, terluka cukup parah!
Dan kini muncul murid mereka yang sangat lihai! Ia merasa menyesal sekali mengapa dahulu dia tidak
membunuh saja pemuda itu, bahkan usahanya untuk ‘memperkosa’ pemuda itu pun gagal!
“Sudahlah, Bi-kwi. Mari kita pergi. Yang penting, mulai sekarang engkau harus mentaati semua perintah
dari pimpinan kami, membantu gerakan kami berjuang dan berusaha menumbangkan kekuasaan
pemerintah penjajah Mancu.”
Bi-kwi mengangguk dan sambil tersenyum dia mengikuti rombongan Sin-kiam Mo-li meninggalkan tempat
itu. Ia melihat betapa suaminya terdapat pula dalam rombongan itu, bahkan tidak dibelenggu dan ia pun
diperbolehkan berjalan dekat suaminya. Tanpa berkata-kata, mereka saling berpegang tangan dan
berjalan.
Sin-kiam Mo-li berjalan di belakang mereka siap dengan senjatanya untuk mencegah kalau-kalau Bi-kwi
berusaha melarikan suaminya. Namun, Bi-kwi tidaklah sebodoh itu. Ia tahu betapa lihainya Sin-kiam Mo-li,
apa lagi ditambah dengan banyak anak buahnya. Ia takkan mampu melarikan suaminya dengan jalan
kekerasan. Kalau hal itu dicobanya, berarti ia hanya akan bunuh diri bersama suaminya.
Biar pun hatinya sudah merasa lega dan tenang karena putera mereka telah ikut pergi bersama Tan Sin
Hong yang sakti, namun ia harus dapat mempertahankan dirinya dan suaminya dari kebinasaan. Dan jalan
satu-satunya untuk menyelamatkan diri mereka berdua hanyalah mentaati perintah Sin-kiam Mo-li untuk
sementara waktu ini.
Tentu saja dia tidak mau percaya begitu saja bahwa seorang jahat dan keji semacam Sin-kiam Mo-li,
mendadak bisa berubah menjadi seorang patriot! Tentu ada apa-apanya dalam pergerakan yang
dimaksudkan Sin-kiam Mo-li itu. Maka, ia pun menjadi penurut. Wajahnya selalu cerah, apa lagi karena dia
dunia-kangouw.blogspot.com
diberi kebebasan untuk berkumpul dengan suaminya, biar pun siang malam mereka berdua selalu dibawah
pengawasan ketat…..
********************
Suma Lian merasa penasaran sekali. Ketika ia meninggalkan rombongan Sin-kiam Mo-li yang menawan
Yo Jin dan memaksa Bi-kwi menjadi pembantunya, dia masih merasa penasaran bukan main.
Ia memang tidak begitu peduli akan keadaan Bi-kwi. Bukankah menurut cerita yang ia pernah dengar dari
ayah ibunya, Bi-kwi memang dahulunya seorang tokoh sesat dan mungkin sejalan dengan Sin-kiam Mo-li?
Kalau sekarang ia ‘kembali’ kepada golongan hitam, hal itu tiada anehnya walau pun hal itu masih
meragukan melihat bahwa Bi-kwi memang dalam keadaan terjepit. Suaminya masih ditawan dan dijadikan
sandera, maka terpaksalah wanita itu menyerah.
Betapa pun juga, ia percaya bahwa seorang wanita yang demikian cerdik dan banyak pengalaman seperti
Bi-kwi, tentu akan mampu menjaga diri sendiri dan suaminya dan tidaklah perlu dikhawatirkan benar. Akan
tetapi, yang membuat hatinya mendongkol adalah karena Yo Han oleh Bi-kwi diserahkan kepada pemuda
yang mengaku bernama Tan Sin Hong itu!
Huh, tidak tahu diri, pikirnya dengan hati dan perut panas bukan main ketika ia berlari cepat meninggalkan
hutan itu. Bukankah ia sendiri hampir saja tewas karena membela anak itu? Hampir saja ia mengorbankan
nyawanya demi menolong Yo Han. Dan apa balasnya? Anak itu diserahkan orang lain yang datang
belakangan, seolah-olah anak itu dan ibunya lebih percaya kepada Tan Sin Hong dari pada kepadanya!
Bahkan anak itu sendiri pun memilih Sin Hong!
Memang itu hak mereka. Hanya ia mendongkol kepada pemuda itu yang dianggapnya menonjolkan diri
dan menyainginya! Seolah-olah pemuda itu lebih lihai darinya, maka Yo Han memilih pemuda itu dari pada
ia untuk menjadi gurunya! Bukan karena ia ingin sekali menjadi guru Yo Han! Ia pun tidak mau menjadi
guru, karena kalau anak itu ikut dengannya, malah hanya akan menjadi beban saja. Ia seorang gadis
muda, untuk apa mengambil murid? Andai kata Yo Han jadi dibawanya, paling-paling akan dititipkannya
kepada keluarga lain, atau juga kepada ayah ibunya.
Makin panas rasa perutnya kalau ia teringat kepada Tan Sin Hong. Pemuda itu agaknya sengaja
memamerkan kepandaiannya pada saat melawan Tok-ciang Hui-moko Liok Cit! Huh, ia pun mampu
merobohkan Liok Cit dalam sejurus saja! Apa anehnya kalau bisa mengalahkan si baju hijau itu? Dasar
pemuda sombong! Tak sobek-sobek kowe!
Dengan pikiran yang makin menggerogoti hatinya dan membuat hati itu menjadi makin panas, Suma Lian
mempercepat larinya untuk mengejar dan mencari Sin Hong yang tadi membawa pergi Yo Han!
Segala macam emosi datangnya dari pikiran! Pikiran mengingat-ingat dan mengunyah pengalaman
lampau, menonjolkan kepentingan diri sendiri, dan menciptakan gambaran si aku yang demikian agung
dan tingginya sehingga kalau diganggu sedikit saja akan menimbulkan emosi dan perasaan marah, duka,
takut dan sebagainya.
Pikiran yang hening dan kosong dari beban ingatan masa lalu dan bebas dari bayangan khayal masa
depan, akan membuat kita menjadi waspada akan diri sendiri lahir batin, sekarang saat demi saat,
waspada akan keadaan sekeliling kita, sehingga kita akan mampu menghayati hidup yang sesungguhnya,
hidup yang seutuhnya!
Karena Sin Hong yang pergi sambil menggandeng tangan Yo Han berjalan biasa, tidak mempergunakan
ilmu berlari cepat, tentu saja dia segera dapat disusul oleh Suma Lian. Pemuda itu berjalan seenaknya
sambil mengobrol dengan Yo Han. Dia minta kepada anak itu untuk menceritakan keadaan keluarganya.
Tak banyak yang dapat diceritakan oleh Yo Han. Anak itu hanya tahu bahwa ayah dan ibunya adalah
petani-petani yang hidup penuh damai dan tenteram, cukup makan dan pakaian. Dia sendiri sejak kecil
hidup di dusun itu, bermain dengan anak-anak dusun lainnya. Hanya bedanya dengan anak-anak dusun,
dia sejak kecil diberi pelajaran baca tulis oleh ibunya sehingga sekarang dia sudah pandai membaca dan
menulis, bahkan membuat sajak.
“Engkau tidak pernah dilatih ilmu silat?” tanya Sin Hong yang merasa heran sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Yo Han menggeleng kepala. “Jangankan dilatih ilmu silat, bahkan mengetahui bahwa ibu pandai ilmu silat
pun baru saja tadi ketika ayah ditawan. Sebelum ini ayah dan ibu tidak pernah bicara tentang ilmu silat dan
aku pun tidak pernah mimpi bahwa ibuku pandai ilmu silat.”
Diam-diam Sin Hong merasa heran akan tetapi juga kagum. Dia dapat menduga bahwa agaknya ayah ibu
dari anak ini ingin menjauhkan anak mereka dari kehidupan kang-ouw yang serba keras dan penuh dengan
permusuhan.
“Ibumu memang memiliki ilmu silat yang cukup hebat, akan tetapi apakah ayahmu tidak memiliki ilmu
kepandaian silat pula yang tinggi?”
“Tidak, tidak. Ayah hanya seorang petani biasa. Pada waktu di dalam tahanan itu, ayah menceritakan
semua padaku, Paman. Katanya bahwa ibu dahulu adalah seorang tokoh besar yang memiliki ilmu silat
tinggi sehingga di juluki Bi-kwi (Setan Cantik), sedangkan ayah hanyalah seorang petani biasa saja. Ketika
ayah dan ibu menjadi suami isteri, ibu berjanji akan meninggalkan kehidupannya sebagai seorang ahli silat.
Bahkan ayah pula yang melarang agar ibu tidak mengajarkan ilmu silat kepadaku. Akan tetapi setelah
terjadi penculikan atas diriku, ayah merasa menyesal bahwa aku tidak diajar ilmu silat sehingga tidak
mampu membela dan melindungi diri sendiri….”
Atas permintaan Sin Hong, Yo Han kemudian menceritakan bagaimana dia diculik dan dilarikan oleh Liok
Cit. Betapa kemudian di tengah jalan dia dilarikan oleh karena Liok Cit dikejar-kejar oleh Suma Lian.
“Enci Suma Lian yang gagah perkasa itu hampir saja celaka karena membelaku. Betapa gagahnya enci
Suma Lian. Untung kemudian muncul engkau, Paman. Dan aku merasa girang sekali bahwa Paman suka
membawa aku pergi. Paman tentu akan melatih ilmu silat kepadaku, bukan? Aku suka sekali menjadi
muridmu, Paman. Sebaiknya sekarang juga aku mengangkat Paman menjadi guruku.” Dan setelah berkata
demikian, Yo Han menjatuhkan dirinya berlutut di depan Sin Hong sambil menyebut, “Suhu...!”
Sin Hong cepat memegang pundak Yo Han dan menariknya bangun. Wajahnya merah karena dia merasa
rikuh sendiri menerima penghormatan sebagai seorang guru. Baru saja dia meninggalkan perguruannya
dan kini sudah hendak diangkat menjadi guru. Dia canggung dan merasa belum saatnya menerima
seorang menjadi muridnya. Hidupnya sendiri masih tidak menentu, bagaimana mungkin dia kini menerima
beban baru berupa seorang murid?
“Nanti dulu, Yo Han. Jangan tergesa-gesa mengangkatku sebagai guru...“
“Akan tetapi, Suhu! Bukankah Suhu sudah menerima permintaan ibu? Dan teecu sudah mengambil
keputusan meninggalkan ayah dan ibu, hanyalah karena teecu (murid) suka untuk menjadi murid Suhu!”
“Tadinya aku hanya ingin menyelamatkanmu dan kedua orang tuamu, maka kemudian aku mau
menerimamu dan mengajakmu pergi, Yo Han. Akan tetapi ketahuilah bahwa aku adalah seorang pemuda
pengembara yang hidupnya pun belum menentu. Aku tidak memiliki tempat tinggal, tidak berkeluarga...”
“Teecu akan ikut Suhu, ke mana pun Suhu pergi, dan teecu tidak takut menghadapi hidup serba kurang
dan sederhana. Teecu akan bekerja dan melakukan apa saja yang Suhu kehendaki...“ Yo Han berkata,
nada suaranya khawatir kalau-kalau pemuda yang sakti itu tidak akan suka menjadi gurunya.
Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat disusul suara Suma Lian. “Bagus! Sudah berani berbuat tetapi tidak
berani bertanggung jawab, ya?”
Sin Hong mengangkat mukanya dan gadis itu sudah berada di situ, berdiri tegak, kedua kaki terpentang
lebar dan kedua tangan di pinggang, sepasang matanya memandang tajam.
“Orang she Tan! Jika engkau tidak suka menerima Yo Han ini menjadi muridmu, kenapa engkau tadi
menjual lagak dan memamerkan kepandaian, lalu menerima permintaan ibu anak ini?”
Sin Hong tertegun. “Nona Suma Lian, harap jangan salah sangka. Bukan maksudku untuk melepaskan
tanggung jawab dan menolaknya, aku hanya menjelaskan padanya bahwa tak mungkin dia hidup bersama
aku yang tidak mempunyai tempat tinggal, tidak berkeluarga. Hidupku sendiri tidak menentu, sebagai
petualang dan pengelana, bagai mana mungkin kini ditambah seorang lagi? Dan juga aku mempunyai
tugas yang belum kuselesaikan. Tugas itu akan membawaku ke tempat-tempat berbahaya, berhadapan
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan lawan-lawan yang berbahaya. Kalau dia ikut denganku, bukankah hal itu berarti membawa dia ke
dalam ancaman bahaya pula?”
Suma Lian tersenyum mengejek, diam-diam ia tertawa dan hatinya senang. Rasakan kamu, pikirnya.
Untung bukan ia yang tadi menerima beban itu!
“Lalu apa maksudmu tadi memamerkan kepandaian dan menerimanya dari ibunya?”
“Aku tadi hanya bermaksud menolong dan menyelamatkan...“
“Huh, engkau tadi hanya ingin berlagak dan memamerkan ilmu kepandaian silatmu, dan memandang
rendah kepada orang lain ya? Hemmm, ingin aku melihat sampai di mana kepandaianmu maka engkau
menjadi sombong dan besar kepala! Nah, bersiaplah dan majulah melawanku, manusia sombong!”
Sin Hong terkejut sekali. Tidak disangkanya bahwa dia akan disusul oleh gadis yang galak ini. Tentu saja
dia merasa segan untuk bertanding tanpa sebab dengan gadis itu, apa lagi gadis itu memiliki she Suma
yang membuktikan bahwa gadis ini ialah keturunan pendekar Pulau Es!
“Aku tidak mempunyai urusan denganmu, Nona. Lalu untuk apa aku harus melayanimu bertanding?”
bantahnya.
“Hemmm, engkau agaknya hanya berani berlagak karena mengetahui betapa lawanmu memang tolol dan
rendah ilmu silatnya, macam Tok-ciang Hui-moko tadi. Dan engkau menjadi jeri ketika kutantang untuk
mengadu ilmu. Apakah engkau selain sombong juga seorang pengecut?”
Suma Lian sengaja mengeluarkan makian ini dengan maksud untuk memaksa pemuda itu bertanding
dengannya. Ia ingin sekali menguji kepandaian pemuda itu, juga ia ingin mengetahui tingkat
kepandaiannya sendiri.
Wajah Sin Hong berubah merah. Panas juga perutnya saat mendengar ucapan terakhir itu. Dia dianggap
sombong dan pengecut! Sungguh keterlaluan sekali nona ini, pikirnya. Dari ucapannya itu saja jelas
menunjukkan bahwa yang sombong adalah nona ini!
Timbul pula keinginan hatinya untuk menguji sampai di mana kehebatan ilmu gadis keturunan para
pendekar Pulau Es ini. Sudah banyak dia mendengar dari ketiga orang gurunya akan kehebatan ilmu-ilmu
dari keluarga para pendekar Pulau Es, dan sekarang kebetulan sekali dia ditantang dan dipaksa untuk
bertanding melawan seorang di antara mereka. Kesempatan yang amat baik! Dan pertandingan itu
dipaksakan oleh gadis itu, bukan atas kehendaknya.
“Baiklah, nona Suma. Kalau memang engkau menghendaki kita mengadu ilmu, terpaksa aku melayanimu
untuk membuktikan bahwa aku tidak takut dan bukanlah pengecut, juga bukan orang sombong seperti
yang kau sangka tadi.” Berkata demikian, Sin Hong lalu melangkah maju menghadapi nona itu.
Yo Han berdiri dengan mata terbelalak lebar dan jantung berdebar tegang. Enci Suma Lian ini tak tahu
bahwa tadi ia diselamatkan oleh gurunya, ketika gurunya itu mencegah batu besar menggelinding masuk
ke dalam sumur. Kalau enci Suma Lian mengetahui, tentu ia tidak akan bersikap seperti ini, pikirnya.
Mulutnya sudah bergerak hendak memberi tahu, akan tetapi ditahannya karena dia pun ingin sekali melihat
pertandingan adu ilmu antara dua orang yang menurut ibunya memiliki ilmu kepandaian yang jauh lebih
tinggi dari pada ibunya itu. Tentu saja diam-diam dia berpihak kepada suhu-nya!
Sementara itu, melihat betapa Sin Hong telah menghadapinya, Suma Lian memandang dengan penuh
perhatian. Ia memang sengaja mengeluarkan kata-kata sombong dan pengecut, untuk memaksa pemuda
itu mau melayaninya bertanding. Kini ia mengamati pemuda itu.
Seorang pemuda yang wajahnya biasa saja, seperti seorang pemuda petani biasa yang sederhana.
Pakaiannya serba putih, dari kain kasar pula. Tetapi, pada wajah yang biasa itu terdapat sepasang mata
yang sinarnya lembut sekali, dan mulut yang mengandung keramahan, dengan senyum lembut pula. Dua
mata dan mulut itulah yang mengandung daya tarik yang amat kuat.
Di lain pihak, Sin Hong juga mengamati gadis yang dikaguminya itu. Gadis keturunan keluarga Suma dari
Pulau Es! Tadi ketika tersenyum mengejek, dia melihat betapa di tepi kedua ujung mulut gadis itu tiba-tiba
dunia-kangouw.blogspot.com
muncul dua lesung pipit yang membuat wajah itu menjadi semakin manis. Sepasang mata yang tajam dan
jeli, juga lincah. Sikap yang gagah dan berani, agak ugal-ugalan. Seorang gadis yang jelas menunjukkan
bahwa ia biasa hidup di dunia persilatan, berani menghadapi kehidupan yang keras dan penuh tantangan.
Kedua orang muda itu kemudian saling pandang seperti dua ayam jago yang saling menilai sebelum
bertarung. Atau juga seperti sepasang muda-mudi yang saling menilai sebelum jadian.
Walau pun dia tahu bahwa pemuda ini lihai, Suma Lian tidak mengeluarkan sulingnya karena pemuda itu
pun bertangan kosong. Dia ingin menguji kepandaian pemuda itu dalam ilmu silat tangan kosong. Melihat
pemuda itu sudah berdiri dengan sikap tenang di depannya, ia pun mulai memasang kuda-kuda dan
membentak nyaring.
“Orang she Tan, lihat seranganku!”
Teriakan ini disusul serangan yang amat cepat dan kuat, karena ia sudah mengerahkan tenaga Swat-im
Sinkang dalam jurus serangan Ilmu Silat Lothian Sin-kun. Hebat bukan main serangannya, karena
memang Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti Pengacau Langit) yang dipelajarinya dari mendiang Bu
Beng Lokai itu merupakan ilmu silat tingkat tinggi yang ampuh. Juga tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga
Sakti Inti Salju) merupakan ilmu keturunan keluarga Pulau Es yang hebat.
Sin Hong kagum melihat gerakan serangan yang amat cepat dan dahsyat itu, dan dia sudah merasakan
sambaran hawa dingin ke arah dadanya sebelum tangan gadis itu sendiri tiba, dan tahulah dia bahwa
pukulan itu mengandung hawa pukulan sinkang dari keluarga Pulau Es. Karena dia memang tidak
mempunyai maksud untuk bermusuhan dengan gadis itu, maka dia pun tidak mau melawan keras dengan
keras. Dia hanya menggerakkan kedua kakinya dan menggeser kaki depan ke belakang menghindarkan
diri dari serangan pertama itu dengan elakan.
Melihat betapa serangannya dapat dielakkan dengan mudahnya. Suma Lian mendesak lagi dengan
serangan berikutnya yang lebih hebat. Sekarang tangan kirinya menampar dengan pengerahan tenaga
Swat-im Sinkang, sedangkan pada detik berikutnya, tangan kanannya sudah menjotos ke arah dada
dengan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api)!
Gadis ini sudah menerima gemblengan penggunaan dua sinkang yang berlawanan dari keluarga Pulau Es,
digembleng oleh ayahnya sendiri setelah dia pulang dari berguru kepada mendiang Bu Beng Lokai. Karena
ia sudah memperoleh dasar yang amat kuat, maka tidak sukar baginya menerima penggabungan kedua
inti tenaga sakti itu yang merupakan kebanggaan dari keluarga Pulau Es.
Ketika ada dua macam tenaga yang berlawanan, dingin sekali kemudian disusul panas sekali, Sin Hong
terkejut bukan main. Kedua hawa sakti yang menyambar itu seperti mengepungnya dan agaknya sulit
baginya untuk hanya mengandalkan kelincahan tubuh untuk mengelak. Gadis itu ternyata mampu bergerak
dengan amat cepat, dan gerakan kaki gadis itu pun aneh, mengepung dan memotong jalan keluarnya,
maka, kini terpaksa dia harus membela diri dengan tangkisan.
Hal ini memang disengaja oleh Suma Lian yang hendak memaksa pemuda itu mengadu tenaga sakti,
karena gadis ini merasa yakin bahwa penggabungan kedua sinkang yang berlawanan itu tentu takkan
dapat ditahan oleh lawan.
Sin Hong tidak berani menggunakan tenaga sinkang gabungan dari tiga orang gurunya dalam Ilmu Silat
Pek-ho Sin-kun, melainkan menangkis dengan pengerahan tenaga Inti Bumi yang pernah dipelajarinya dari
Tiong Khi Hwesio, seorang di antara tiga orang gurunya itu. Ketika kedua tangan gadis itu menyambar
hampir berbareng dengan kedua sinkang yang berlawanan, dia pun menangkisnya dengan pengerahan
tenaga Inti Bumi. Tak dapat dicegah lagi, dua pasang lengan itu saling bertemu di udara.
“Plakkk! Plakkkkk!”
Melihat betapa pemuda itu merendahkan badan seperti mendekam, kemudian meloncat dan menangkis
serangannya, dan hawa pukulan yang luar biasa kuat menahan kedua pukulannya, membuat tubuhnya
terdorong ke belakang bagaikan dilanda angin badai, Suma Lian mengeluarkan seruan kaget dan cepat ia
berjungkir balik tiga kali untuk mematahkan tenaga yang mendorongnya. Dengan gerakan yang indah, ia
sudah dapat meluncur turun kembali setelah membuat salto tiga kali sehingga ia dapat pula melihat betapa
pemuda itu juga terdorong mundur dan nampak sedikit menggigil.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Lian tersenyum. Tadinya ia terkejut dan juga takut kalau-kalau ia kalah kuat, akan tetapi sekarang
ternyata bahwa lawannya juga terdorong ke belakang, bahkan bekas kehebatan Swat-im Sinkang masih
nampak mempengaruhinya dan membuatnya agak menggigil.
Akan tetapi yang membuat ia tadi kaget setengah mati adalah ketika mengenal gerakan Sin Hong. Tidak
salah lagi, pemuda itu tadi jelas mengeluarkan tenaga sakti Inti Bumi, melihat dari caranya mendekam lalu
meloncat ketika menangkis.
Sin Hong juga terkejut bukan main. Dia kagum sekali. Sekarang baru dia tahu mengapa tiga orang gurunya
memuji-muji ilmu dari keluarga Pulau Es. Ketika tadi dia menangkis, memang dia tidak berani
mengerahkan seluruh tenaganya, akan tetapi akibatnya, dia terdorong mundur sampai ia terhuyunghuyung.
Tubuhnya diserang hawa panas sekali, kemudian dingin sekali sampai membuat dia menggigil.
Memang dia dapat segera mengatasi hawa dingin ini dengan tenaga sinkang-nya, akan tetapi hal itu
membuatnya terkejut sekali. Juga dia kagum melihat betapa gadis itu dengan indahnya dapat
menyelamatkan diri dengan cara berjungkir balik sampai tiga kali dengan gaya dan gerakan indah.
Akan tetapi, sebelum hilang kaget dan kagumnya, sekarang dia menjadi semakin kaget melihat betapa
gadis itu merendahkan tubuhnya. Tiba-tiba saja gadis itu menyerangnya lagi. Dari jarak yang agak jauh,
karena gadis itu tadi berjungkir balik ke belakang sejauh tiga meter lebih.
Mendadak gadis itu meluncur, bagaikan seekor naga menyerangnya dengan serangan yang dahsyat dan
aneh sekali, dengan kedua tangan dibentangkan dan jari telunjuknya ditudingkan, kemudian secara
bertubi-tubi kedua jari telunjuk itu melakukan totokan-totokan dengan tenaga yang amat dikenalnya, karena
cara gadis itu tadi mengumpulkan tenaga, jelas bahwa gadis itu menggunakan tenaga Inti Bumi!
Serangan totokan bertubi-tubi itu mengeluarkan suara mencicit-cicit seperti benda tajam yang menyambarnyambar!
Dia tidak tahu bahwa gadis itu kini menggunakan Ilmu Totok Coan-kut-ci (Jari Penembus Tulang)
dari ayahnya, sebuah ilmu totokan yang sangat ganas dan berbahaya, juga amat aneh dan sukar
dihindarkan lawan.
Sin Hong merasa betapa dirinya diserang oleh banyak jari tangan yang lebih berbahaya dari pada dua
batang tombak, yang seolah-olah bermata dan menyerang bertubi-tubi ke arah bagian tubuhnya yang
berbahaya. Dia sudah menangkis dengan kedua lengannya juga mengelak ke sana-sini, namun akhirnya
dia menjadi sibuk karena sukar sekali mematahkan serangkaian serangan yang mengandung tenaga Inti
Bumi itu.
Ia tak mengenal ilmu totokan yang aneh sekali gerakannya itu, yang biar pun dilakukan dengan sebuah
saja jari tangan, namun amat berbahaya karena jari telunjuk itu menjadi keras bagaikan baja. Dia pernah
mempelajari ilmu Toat-beng-ci (Jari Maut), sebuah ilmu totokan yang istimewa dari seorang di antara tiga
gurunya.
Gurunya itu, Tiong Khi Hwesio, dahulunya ketika masih bernama Wan Tek Hoat pernah mendapat julukan
Si Jari Maut karena ilmu totoknya itu. Dan kalau dibandingkan dengan Toat-beng-ci, kedua jari tangan
gadis itu tidak kalah ampuhnya. Akan tetapi, teringat akan Toat-beng-ci, dia pun kemudian cepat
mengubah gerakannya dan kini dia pun menghadapi totokan-totokan itu dengan totokan pula!
“Tuk! Tuk!”
Ketika kedua telunjuk tangan Suma Lian bertemu dengan ujung telunjuk kedua tangan Sin Hong, gadis
segera itu berseru kaget. Pemuda itu menghadapi totokannya dengan tangkisan berupa totokan pula, dan
dapat pula dengan tepat menotok ujung telunjuknya dengan tenaga Inti Bumi yang sama pula! Ia menjadi
semakin penasaran dan marah, lalu kedua tangannya dibuka, dihantamkan ke arah lawan dengan
mengerahkan tenaga sinkang sekuatnya!
Sambaran hawa pukulan ini makin mengejutkan hati Sin Hong karena dia tahu akan kehebatannya. Tiada
lain jalan baginya kecuali menerima hantaman itu dengan kedua tangan terbuka pula.
“Plakkk!”
Kedua pasang tangan itu kini saling melekat dan keduanya terkejut sekali! Dua tenaga raksasa dari tubuh
masing-masing telah bertemu dan mereka berdua berada dalam keadaan terjepit. Siapa yang lebih dulu
dunia-kangouw.blogspot.com
menarik tenaganya akan celaka! Tidak ada lain jalan kecuali melanjutkan pengerahan tenaga sinkang yang
sekarang seolah-olah macet dalam pertemuan kedua pasang telapak tangan itu, saling dorong dalam
kekuatan yang sama.
Kalau Sin Hong menghendaki, dia dapat menggunakan tenaga gabungan dalam dirinya dengan Ilmu Pekho
Sin-kun. Akan tetapi dia khawatir kalau-kalau gadis itu tidak akan kuat menerimanya dan akan tewas
atau setidaknya terluka parah. Karena hal itu tidak dikehendakinya, maka dia tidak mau
mempergunakannya. Akan tetapi, dia pun tidak mungkin dapat menarik kembali tenaganya karena kalau
hal itu terjadi, dia akan celaka.
Di dalam kedua telapak tangan gadis itu terkandung tenaga sakti Inti Bumi, Hui-yang Sinkang dan Swat-im
Sinkang. Kalau dia menarik tenaganya, satu di antara tiga tenaga sakti itu akan terus meluncur melalui
telapak tangan dan menghantamnya. Dia dapat tewas atau terluka parah! Darahnya dapat menjadi beku
oleh Swat-im Sinkang, atau hangus oleh Hui-yang Sinkang, atau bahkan semua ototnya, setidaknya
jantungnya, akan remuk oleh tenaga sakti Inti Bumi!
Di lain fihak, Suma Lian juga terkejut bukan main. Ia pun mengerti bahwa keadaannya amat berbahaya. Ia
tidak mungkin dapat menarik kembali tenaganya, karena kalau ia lakukan ini, ia akan dihantam tenaga
dahsyat dari pemuda itu. Maka jalan satu-satunya baginya hanyalah menambah tenaganya dan
mengerahkan semua tenaga yang ada. Namun, betapa pun dia mengerahkan tenaga, di fihak pemuda itu
pun agaknya selalu menambah tenaga untuk mengimbanginya hingga mereka berdua bagai sedang dalam
keadaan melayang, tenggelam tidak terapung pun tidak.
Kalau pertandingan adu tenaga sinkang itu dilanjutkan, akhirnya mereka berdua akan kehabisan tenaga.
Siapa yang lebih dahulu habis tenaganya, dialah yang akan celaka! Sebaliknya, kalau mereka menarik
kembali tenaga mereka, siapa yang terlebih dahulu menarik kembali tenaganya, dia yang akan binasa!
Sungguh suatu keadaan yang amat mengerikan.
Mereka berdua saling pandang. Melihat betapa wajah gadis itu menjadi pucat, pandang matanya mulai
panik, Sin Hong merasa kasihan. Dari kepala mereka sudah mengepul uap putih, tanda bahwa keduanya
telah mengerahkan tenaga yang amat hebat dan di dalam tubuh mereka bergolak mendidih oleh kekuatan
yang berputaran itu.
Tiba-tiba saja, Suma Lian mendengar suara berbisik dan melihat betapa bibir pemuda itu bergerak
perlahan. Terdengar olehnya, sayup sampai dan lirih sekali suara pemuda itu.
“Dorong dan tarik berbareng, lempar tubuh ke belakang.”
Sejenak Suma Lian memandang bingung lalu ia mengerti. Memang, kalau mereka dapat melakukan hal itu
dalam detik yang sama, yaitu keduanya saling dorong kemudian keduanya dalam saat yang sama saling
menarik tenaga kemudian melempar tubuh ke belakang, kemungkinan besar mereka akan dapat saling
melepaskan diri. Memang harus tepat sekali, karena kalau tidak tepat dan dalam detik yang sama yang
berbareng, seorang di antara mereka dapat celaka. Selagi gadis itu meragu walau pun ia sudah
mengangguk sebagai jawaban, terdengar, lagi bisikan pemuda itu menghitung.
“Satu... dua... tiga...!”
Seperti menurutkan naluri saja, tepat pada hitungan ketiga, Suma Lian mengerahkan tenaga sinkang-nya
mendorong, lalu menarik. Hal yang sama dilakukan pula oleh Sin Hong, tepat pada waktunya sehingga
tiba-tiba saja kedua pasang tangan yang tadinya saling menempel itu terlepas dan seperti didorong oleh
tenaga raksasa. Tubuh mereka terpental ke belakang seperti dua helai layang-layang putus talinya.
Ini saja sudah berbahaya sekali karena mereka itu tadi dalam keadaan ‘kosong’ setelah masing-masing
menarik tenaga, kini terpental karena ledakan tenaga masing-masing yang tadi saling mendorong. Akan
tetapi berkat ketinggian ilmu kepandaian mereka, keduanya dapat menguasai dirinya sehingga ketika tubuh
mereka terpental itu, mereka dapat membuat pok-sai (salto) sampai beberapa kali dan dapat turun ke atas
tanah dalam keadaan berdiri, tidak sampai terbanting keras.
Wajah Suma Lian nampak pucat, akan tetapi perutnya masih panas sekali. Ia masih merasa panasaran
oleh karena merasa belum dikalahkan. Di lain saat, tubuhnya sudah meluncur ke arah Sin Hong, didahului
sinar kuning emas dari sulingnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Gadis ini telah mencabut suling emasnya dan dengan gerakan luar biasa cepat sudah menyerang dengan
memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut (Naga Siluman) yang dimainkannya dengan suling emas.
Sulingnya lenyap bentuknya, berubah menjadi sinar keemasan yang bergulung-gulung serta mengeluarkan
suara mengaung-ngaung tinggi rendah, sungguh dahsyat sekali!
“Aih, Nona, harap hentikan seranganmu!” Sin Hong berseru terkejut sekali.
Baru saja mereka berdua terlepas dari bahaya maut, dan nona ini masih melanjutkan pertandingan itu
dengan serangan yang begini hebat! Karena dia terkejut dan tidak menyangka biar pun dia sudah
mengelak, tetap saja sinar suling itu masih merobek baju di pundak kirinya. Akan tetapi dia masih dapat
menghindarkan diri dengan bergulingan dan menjauh.
“Tidak, seorang di antara kita belum kalah!” bentak Suma Lian galak dan gadis ini sudah menyerang lagi.
Terpaksa Sin Hong melawan karena dia mendapat kenyataan bahwa gadis ini yang memang amat lihai
dan memiliki banyak macam ilmu silat tinggi, setelah menggunakan suling emas ternyata semakin
berbahaya pula. Dan begitu tubuhnya meloncat bangun dari bergulingan tadi, dia sudah mainkan Ilmu Silat
Pek-ho Sin-kun!
Hanya ilmu simpanannya inilah yang akan bisa menyelamatkan dirinya, pikirnya, sebab kalau dia
mengandalkan ilmu silatnya yang lain kiranya akan sukar menghindarkan diri dari ancaman suling emas
yang amat dahsyat itu. Tubuhnya bergerak dengan lambat namun cepat, lemah namun kuat! Inilah inti dari
ilmu silatnya itu, nampak kosong namun berisi.
Gerakannya bagaikan seekor burung bangau, demikian tenang dan lambat, indah dan setiap gerak
mengandung kekuatan tersembunyi yang amat hebat, kekuatan yang dapat menerbangkan tubuh seekor
burung bangau itu jauh tinggi di angkasa, kelemasan yang dapat membuat seekor burung bangau mampu
melawan dan mengalahkan seekor ular, kecepatan tersembunyi yang dapat membuat seekor burung
bangau bisa menangkap seekor katak yang meloncat dengan cepatnya.
Tubuh Sin Hong bergerak seperti menari di antara gulungan sinar kuning emas itu. Kedua lengannya
kadang-kadang terpentang bagai sayap seekor burung bangau putih. Lengan tangan itu demikian
lemasnya, kadang-kadang lengan itu seperti leher bangau, tangannya membentuk kepala bangau yang
menyampok suling dan menotok ke arah jalan darah di sekitar tubuh Suma Lian.
Gadis ini kagum bukan main. Belum pernah ia menyaksikan ilmu silat yang seindah itu. Pernah ia
mempelajari Ilmu Silat Panca Hewan, yaitu gerakan lima binatang, harimau, kijang, biruang, kera dan
burung. Akan tetapi, Ilmu Silat Burung yang dipelajarinya itu berbeda dengan ilmu silat yang kini dimainkan
lawannya. Dan kedua lengan lawannya itu demikian lemas dan kuat, ketika menangkis sulingnya membuat
tangannya yang memegang suling tergetar. Namun, ia hanya kagum dan sama sekali tidak gentar.
“Hyaaaaa...!”
Suma Lian menyerang lagi setelah memutar sulingnya yang berubah menjadi lingkaran lebar. Sinar terang
mencuat ke depan ketika sulingnya menusuk ke arah ulu hati lawan. Sin Hong menyambut dengan
tangkisan tangan kanan dari samping sambil miringkan tubuhnya.
Lengan kanannya itu seperti leher burung Bangau Putih menangkis terus melibat dan tangannya yang
sudah membentuk kepala bangau itu, langsung menotok ke depan, ke arah pergelangan tangan yang
memegang suling, dan tangan kirinya, juga membentuk kepala burung bangau menotok ke arah pundak
kiri dari arah belakang tubuh gadis itu. Kedua serangan balasan ini masih dibantu kaki kirinya yang seperti
kaki bangau yang mencakar menendang ke arah bagian sisi luar dari lutut kanan Suma Lian.
Gadis itu terkejut bukan main. Gerakan lawan demikian otomatis dan cepat walau pun nampaknya lambat
dan tenang sekali. Ia tidak tahu bahwa itulah jurus Bangau Mencuci Sayap dari Ilmu Pek-ho Sin-kun yang
amat sakti dari lawannya. Ia cepat-cepat menarik kembali sulingnya, diputar untuk menangkis totokan pada
pundaknya, sedangkan untuk menghindarkan diri dari tendangan itu ia terpaksa meloncat jauh ke belakang
dalam keadaan terhuyung! Tenaga yang dipergunakan Sin Hong adalah tenaga gabungan dari tiga orang
gurunya, maka tentu saja pertemuan tenaga itu, walau pun bukan merupakan benturan langsung,
membuat Suma Lian terhuyung.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba terdengar teriakan Yo Han, “Enci Suma Lian, tadi Suhu telah menyelamatkan nyawa Enci, kenapa
sekarang Enci menyerangnya mati-matian? Begitukah cara Enci membalas budi kebaikan orang?”
Anak ini sejak tadi memang diam saja untuk menyaksikan pertandingan antara gurunya dan gadis yang
oleh ibunya dikatakan amat lihai itu. Akan tetapi dia menjadi pening ketika menonton pertandingan itu, tidak
tahu siapa kalah siapa menang atau siapa yang lebih unggul di antara mereka. Gerakan mereka berdua itu
terlalu cepat bagi matanya yang tidak terlatih. Hanya ketika dia melihat Suma Lian mempergunakan
senjata suling emas yang mengeluarkan sinar menyilaukan itu, sedangkan gurunya tak menggunakan
senjata, hatinya lalu merasa khawatir kalau-kalau gurunya sampai celaka. Maka kini dia mengeluarkan
seruan itu.
Tentu saja Suma Lian yang telah siap untuk menyerang lagi, menjadi heran mendengar ucapan dari anak
itu. Ia menahan dirinya, dan menoleh kepada Yo Han. Napasnya agak memburu dan baru terasa olehnya
betapa lelah tubuhnya dan pakaiannya telah basah oleh keringat.
“Yo Han, apa artinya ucapanmu itu?” tanyanya dengan alis berkerut karena dia tidak pernah merasa
diselamatkan nyawanya oleh Tan Sin Hong.
“Enci, ketika Enci tadi terjatuh ke dalam sumur, iblis betina itu menggelindingkan sebuah batu besar ke
dalam sumur untuk membunuhmu. Ibu tidak berdaya mencegah dan ibu sudah pucat sekali, akan tetapi
pada saat batu hendak menggelinding ke dalam sumur, tiba-tiba muncul suhu Tan Sin Hong yang memukul
dan mendorong batu sehingga tidak sampai jatuh ke dalam sumur dan menimpa Enci yang masih berada
di dalam sumur itu.”
Tentu saja Suma Lian terkejut bukan main mendengar keterangan Yo Han itu. Ia cepat menoleh,
memandang kepada Sin Hong dengan sepasang mata tajam menyelidik, juga mengandung rasa heran.
“Benarkah itu? Kenapa engkau diam saja dan tidak menceritakan hal itu ketika aku menyerangmu?”
Sin Hong tersenyum dan menggeleng kepalanya perlahan. “Nona, hal yang sekecil itu tidak perlu disebut
lagi. Bukankah sudah menjadi kewajiban kita masing-masing untuk mencegah terjadinya kejahatan,
menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?”
“Wah, sungguh aku harus malu sekali! Engkau sudah menolongku menghindarkan aku dari kematian
mengerikan di dalam sumur itu, sedangkan aku masih bersikap buruk, menantangmu, dan engkau masih
juga menyebut aku nona! Aihhh, Toako (Kakak Tua), jangan membuat aku menjadi makin malu dan
berdosa. Maafkan aku, Toako!” katanya tersenyum dan ia pun menjura dengan membungkukkan tubuhnya
sampai dalam sekali.
Sin Hong memandang dengan wajah berseri dan dia pun tersenyum geli. Nona ini sungguh gagah perkasa,
lincah polos dan juga ugal-ugalan. Melihat sikap Suma Lian, lenyap sudah semua rasa penasaran karena
gadis ini tadi menyerangnya mati-matian. Memang gadis ini berwatak aneh, akan tetapi harus diakuinya
bahwa dia mempunyai kegagahan yang luar biasa, juga demikian ringannya mulut yang manis itu
mengakui kesalahannya dan minta maaf.
Sikap mau mengakui kesalahan dan minta maaf inilah yang amat mengagumkan hati Sin Hong karena
pemuda ini maklum bahwa sikap demikian hanya dimiliki oleh orang-orang yang berjiwa pendekar gagah
perkasa dan bijaksana, dan merupakan sifat yang amat sukar dilakukan oleh kebanyakan orang. Dia pun
cepat membalas penghormatan itu dengan bersoja dan membungkukkan tubuhnya.
“Sudahlah, Nona. Semua kesalah pahaman itu mungkin saja terjadi karena Nona belum mengenalku.”
“Ah, Toako. Engkau masih saja menyebutku nona-nona! Padahal, engkau yang memiliki tenaga sakti Inti
Bumi, jelas masih mempunyai hubungan dengan aku, kenapa masih mempergunakan tata cara sungkansungkan!
Kalau engkau tidak mau menyebut adik kepadaku itu berarti bahwa engkau tidak mau berkenalan
denganku dan kuhabisi saja pertemuan kita sampai di sini saja!”
Tentu saja Sin Hong terkejut. Gadis ini sungguh aneh sekali, hatinya keras dan agaknya ia tidak mau
mengalah dalam hal apa pun juga! Maka sambil tersenyum dia pun cepat berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Baiklah, Non... ehh, adik Suma Lian yang baik. Maafkan aku karena sesungguhnya aku merasa kurang
pantas kalau aku berkakak adik dengan seorang gadis seperti engkau, keturunan keluarga Pulau Es yang
gagah perkasa.”
Wajah yang cemberut itu kini sudah tersenyum kembali, matanya bersinar-sinar dan lesung pipit yang
manis muncul kembali di kanan kiri mulutnya. “Uhh, Hong-ko (kakak Hong) engkau hendak mengejekku,
ya? Siapa tidak tahu bahwa engkau memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa sekali. Baru sekarang aku
bertemu tanding yang demikian lihai, dan aku sungguh mengaku kalah!”
“Ahhh, jangan merendahkan diri, Lian-moi (adik Lian)! Kepandaianmulah yang hebat bukan main. Aku
sudah lama mendengar akan kehebatan ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es dan baru hari ini aku beruntung
sekali merasakan semua kehebatan itu. Akan tetapi yang membuat aku bingung, bagaimana engkau mahir
pula menggunakan tenaga sakti Inti Bumi?”
“Marilah kita duduk dan bicara, Hong-ko. Hei, Yo Han, marilah engkau duduk di sini. Kenapa berdiri
bengong saja di situ?” teriak Suma Lian sambil menggapai kepada anak itu yang sejak tadi berdiri di
pinggir.
Mendengar panggilan ini, Yo Han lari menghampiri.
“Enci, bagaimana pendapatmu dengan ilmu kesaktian suhu-ku? Siapakah yang lebih unggul antara Enci
dan Suhu tadi?” tanyanya sambil duduk di atas rumput, dekat Suma Lian.
“Tentu saja gurumu yang lebih lihai,” kata Suma Lian tersenyum.
“Yo Han, duduk saja di situ dan tutup mulut, jangan bicara kalau tidak ditanya!” Sin Hong berkata dengan
tegas.
“Baik, Suhu,” jawab Yo Han, tegas pula walau pun sepasang mata anak itu bersinar-sinar penuh
kegembiraan. Agaknya Yo Han sudah mengenal betul watak gurunya yang lemah lembut dan tahu bahwa
kegalakan tadi dibuat-buat saja.
Mereka duduk berhadapan, dan Yo Han duduk agak mundur di belakang.
Setelah beberapa lamanya saling pandang, Suma Lian lalu berkata, “Hong-ko, agaknya engkau sudah tahu
bahwa aku adalah keturunan keluarga Pulau Es. Tentu engkau mendengar dari percakapan ketika aku
menghadapi orang-orang sesat tadi. Akan tetapi aku sendiri belum tahu siapakah engkau sebenarnya.”
“Namaku Tan Sin Hong.”
“Itu aku sudah tahu. Akan tetapi, siapakah gurumu, Hong-ko? Aku yakin bahwa ada hubungan antara
perguruan kita karena kita berdua sama-sama menguasai tenaga Sakti Inti Bumi, walau pun ilmu-ilmu
silatmu aneh dan banyak yang tidak kukenal.”
Sin Hong mengerutkan alisnya. Selama ini, belum pernah dia menceritakan kepada orang lain tentang
guru-gurunya, tentu saja kecuali kepada keluarga suheng-nya, Kao Cin Liong sebagai putera tunggal
suami isteri penghuni Istana Gurun Pasir. Akan tetapi, dia pun sudah sering mendengar dari para gurunya
bahwa keluarga Pulau Es tak boleh dianggap sebagai ‘orang luar’ karena ada hubungan erat sekali antara
keluarga Istana Gurun Pasir dan Pulau Es.
Dia tahu bahwa gadis yang wataknya aneh ini akan tersinggung dan marah kembali kalau dia tidak mau
mengaku siapa guru-gurunya. Kiranya tidak ada salahnya kalau dia mengaku kepada seorang gadis she
Suma, keturunan asli dari Pulau Es.
“Terus terang saja, Lian-moi, belum pernah aku memperkenalkan nama guru-guruku kepada orang lain.
Akan tetapi karena para guruku mengenal baik keluarga Pulau Es, bahkan masih mempunyai hubungan
dekat, dan mengingat pula bahwa di antara kita sudah terjadi tali persahabatan yang akrab, maka biarlah
aku mengaku kepadamu. Aku memiliki tiga orang guru, mereka adalah mendiang suami isteri penghuni
Istana Gurun Pasir...“
“Ahhh! Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?” Suma Lian berseru, hampir berteriak.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar, dan yang seorang lagi adalah suhu Tiong Khi Hwesio. Mereka bertiga berada di Gurun Pasir dan
aku menjadi murid para guruku itu selama tujuh tahun di sana.”
“Aihh...! Pantas saja engkau demikian lihai! Tapi... tapi... engkau tadi berkata mendiang? Apakah... apakah
mereka itu sudah...”
“Mereka sudah meninggal dunia, Lian-moi, tewas pada saat belasan orang tokoh sesat menyerbu ke Istana
Gurun Pasir. Dan ketahuilah bahwa para penyerbu itu bukan lain adalah Sin-kiam Mo-li tadi bersama
kawan-kawannya yang lihai.”
“Iblis betina tadi?” Suma Lian berseru kaget dan matanya terbelalak. “Tapi... bagaimana mungkin iblis
betina itu dan kawan-kawannya mampu menewaskan mereka yang sakti? Padahal di sana ada engkau
pula, Hong-ko?” Suma Lian bertanya dengan nada suara mengandung penasaran.
Ia tahu bahwa Sin-kiam Mo-li lihai, akan tetapi ia sendiri mampu menandingi iblis betina itu bahkan Sin
Hong sendiri jauh lebih lihai dari Sin-kiam Mo-li. Bagaimana mungkin iblis betina itu bersama kawankawannya
mampu menewaskan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, juga Tiong Khi Hwesio
yang pernah didengarnya pula dari ayah ibunya sebagai seorang yang amat lihai?
Sin Hong menarik napas panjang. “Agaknya Tuhan telah menakdirkan bahwa tiga orang guruku itu harus
gugur dan tewas sebagai orang-orang yang gagah perkasa. Kurang lebih dua tahun yang lalu terjadinya.
Tiga orang guruku adalah orang-orang sakti, akan tetapi usia mereka pun sudah amat lanjut, rata-rata
delapan puluh tahun, bahkan suhu Kao Kok Cu, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir, sudah berusia delapan
puluh lima tahun. Ada pun yang datang menyerbu, bukan orang-orang sembarangan, banyak yang lebih
lihai dari Sin-kiam Mo-li. Mereka adalah tokoh-tokoh besar dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw semua
berjumlah tujuh belas orang. Tiga orang guruku tewas akan tetapi dari tujuh belas orang penyerbu itu
empat belas orang tewas pula, sedangkan yang masih hidup namun terluka parah adalah Sin-kiam Mo-li,
Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-kauw, Thian Kek Sengjin, tokoh besar Pek-lian-kauw.”
“Akan tetapi engkau sendiri, bukankah engkau berada di sana, Hong-ko dan bagaimana gurumu tewas?”
Suma Lian memandang dengan alis berkerut, agaknya merasa heran dan menyesal mengapa pemuda ini
tidak dapat membela guru-gurunya.
Sin Hong menarik napas panjang, jantungnya terasa nyeri seperti ditusuk setiap kali dia teringat akan
peristiwa itu.
“Sudah kukatakan tadi Lian-moi, agaknya Tuhan sudah menghendaki demikian dan menakdirkan tiga
orang guruku itu sudah tiba saatnya meninggal dunia. Pada waktu itu, aku tidak berdaya. Tiga orang
guruku itu mengajarkan sebuah ilmu gabungan ciptaan mereka bertiga dan mengoperkan gabungan
tenaga sakti kepada diriku. Ilmu itu harus kupelajari selama satu tahun, dengan syarat bahwa selama
setahun itu aku sama sekali tidak boleh melakukan gerakan silat apa lagi mengerahkan sinkang karena
kalau hal ini kulakukan... aku akan segera tewas dengan sendirinya, terpukul sendiri oleh tenaga yang
kukerahkan itu. Nah bayangkan saja, Lian-moi. Aku tidak dapat bergerak, terpaksa melihat tiga orang
guruku tewas di tangan mereka, dan aku sendiri tertawan tiga orang yang masih tersisa itu. Mereka
mengira aku seorang kacung yang tidak memiliki ilmu silat, mereka memaksaku untuk menunjukkan di
mana adanya pusaka-pusaka istana tua itu. Karena memang tidak ada pusaka, mereka menyiksaku. Aku
membakar istana tua itu berikut jenazah tiga orang guruku, dan aku disuruh menguburkan jenazah empat
belas orang penyerbu yang tewas. Untung bagiku pada malam harinya, aku berhasil melarikan diri dan
sembunyi di dalam hutan selama satu tahun untuk menyelesaikan latihanku.”
Suma Lian mendengarkan dan sekarang senyumnya timbul kembali. Kiranya pemuda ini bukan seorang
pengecut, melainkan karena terpaksa maka tidak mampu membela guru-gurunya.
“Tapi kenapa Sin-kiam Mo-li tadi tidak heran melihat engkau muncul sebagai seorang yang berilmu tinggi,
Hong-ko?”
“Semenjak aku keluar dari dalam hutan, sudah pernah aku bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, yaitu ketika ia
hendak membunuh ketua Cin-sa-pang. Aku menyelamatkan ketua itu dan sejak itu Sin-kiam Mo-li sudah
tahu bahwa aku mewarisi ilmu dari para guruku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akan tetapi, Hong-ko, yang satu ini sungguh aku tidak mengerti. Engkau telah bertemu dengan seorang di
antara para pembunuh guru-gurumu, yaitu Sin-kiam Mo-li. Mengapa engkau tidak membalas dendam dan
membunuh iblis betina itu?”
Sin Hong tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Ketahuilah Lian-moi, guru-guruku pernah memesan
dengan amat sangat kepadaku supaya jangan membiarkan dendam meracuni hatiku. Jika selama ini aku
menentang Sin-kiam Mo-li, yang kutentang adalah perbuatannya yang jahat, bukan karena dendamku
kepada pribadinya, karena kematian guru-guruku.”
Suma Lian mengerutkan alisnya. Pernah pula ia mendengar ayahnya juga berpendapat demikian, namun
ia sendiri tidak pernah dapat menerima dan menyetujui pendapat itu. “Sudahlah, sekarang ceritakan, siapa
keluargamu, Hong-ko, dan bagaimana engkau sampai dapat menjadi murid para penghuni Istana Gurun
Pasir.”
Terpaksa Sin Hong menceritakan riwayatnya, betapa keluarga ayahnya menjadi hancur karena perbuatan
jahat musuh yang sampai sekarang belum diketahuinya benar siapa orangnya. Betapa ayahnya dibunuh
orang, ibunya tewas di gurun pasir, dan dia sendiri tertolong oleh para penghuni Istana Gurun Pasir
sehingga lalu menjadi murid mereka. Betapa kemudian dia menyelidiki pembunuh ayahnya dan sampai
sekarang belum juga berhasil.
“Hemmm, kalau begitu engkau tentu menaruh dendam dan hendak membalas kematian ayahmu?” Suma
Lian memancing.
Pemuda itu menggeleng kepalanya. “Sama sekali tidak, Lian-moi. Aku hanya mencari pemecahan rahasia
itu. Ingin aku mengetahui siapa pembunuh ayahku dan mengapa pula ayah dibunuh sehingga ibu pun
tewas dalam keadaan sengsara. Kalau pembunuh itu memang jahat, tentu saja akan kutentang seperti aku
menentang para penjahat lainnya, siapa dan di mana pun juga. Menurut hasil penyelidikanku, rahasianya
agaknya terletak pada perkumpulan Tiat-liong-pang dan aku sedang hendak pergi ke sana.”
Suma Lian mengangguk-angguk. “Dan tentang ilmu sinkang Inti Bumi itu, kau pelajari dari siapa?”
“Dari suhu Tiong Khi Hwesio.”
“Ahhh! Menurut cerita ayahku, Tiong Khi Hwesio dahulunya bernama Wan Tek Hoat, berjuluk Si Jari Maut,
seorang pendekar yang lihai sekali.”
“Benar, dan menurut mendiang Tiong Khi Hwesio guruku itu, sinkang Inti Bumi berasal dari para penghuni
Pulau Neraka. Bagaimana engkau sendiri yang menjadi keturunan keluarga Pulau Es, dapat menguasai
sinkang itu, Lian-moi?”
“Aku… meski aku adalah cucu buyut Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dan ayahku merupakan
keturunan langsung, namun aku pernah menjadi murid paman kakekku sendiri yang berjuluk Bu Beng
Lokai dan sekarang telah meninggal dunia. Dari dialah aku mempelajari sinkang itu. Kemudian tentu saja
aku memperdalam ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es, dari ayah dan juga ilmu mempergunakan suling emas
ini dari ibuku.”
Sin Hong memandang kagum. “Ahhh, tidak heran kalau engkau begitu lihai, Lian-moi. Kiranya engkau
sudah mempelajari banyak ilmu silat tinggi di samping ilmu-ilmu dari keluarga Pulau Es.”
“Sudahlah, Toako, tak perlu memuji lagi. Sudah jelas bahwa dalam hal ilmu silat, bagai mana pun juga aku
masih kalah olehmu. Sekarang, engkau hendak pergi ke mana? Aku sendiri akan pergi ke lereng Gunung
Tapa-san, untuk menemui seorang paman tua dan menyampaikan pesan ayahku. Dan engkau?”
“Seperti sudah kuceritakan tadi, penyelidikanku membawaku ke sini dan aku akan pergi mengunjungi Tiatliong-
pang, melanjutkan penyelidikanku karena sebelum mati, orang she Lay itu menyebut Tiat-liong-pang.
Dan menurut penyelidikanku, perkumpulan itu bersarang di luar kota Sang-cia-kou, di lereng sebuah bukit.”
“Sang-cia-kou di selatan? Kalau begitu dapat melalui Tapa-san. Bagaimana kalau kita melakukan
perjalanan bersama saja, Hong-ko?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Hong tersenyum gembira. Gadis ini demikian lincah dan ternyata ramah dan manis sekali kalau tidak
marah, dan tentu perjalanan akan menjadi menyenangkan dan tidak sepi kalau dilakukan bersama Suma
Lian.
“Baiklah, Lian-moi. Hanya ada satu hal yang membuat aku agak bingung, yaitu anak ini. Aku masih
mempunyai banyak tugas yang harus kuselesaikan, dan banyak menempuh perjalanan jauh yang sukar,
bahkan mungkin bertemu lawan yang jahat dan tangguh. Bagaimana aku akan dapat leluasa bergerak
kalau harus menjaga dia?”
“Akan tetapi dia muridmu dan ibunya sudah menyerahkan kepadamu, Hong-ko. Engkau pun sudah
menerimanya!” kata Suma Lian. Ia pun tersenyum lebar karena ia merasa gembira bahwa bukan ia yang
menerima beban berat itu! Kalau ia yang menerima Yo Han dari ibunya, tentu ia akan menjadi lebih
bingung dibandingkan Sin Hong.
“Benar, dan terus terang saja, biar pun aku belum mempunyai niat mengambil murid, merasa masih terlalu
muda, bahkan tidak mempunyai tempat tinggal tetap. Aku suka melihatnya, akan tetapi, kalau sekarang dia
terus mengikuti aku, bagaimana aku akan dapat berhasil melaksanakan tugasku?”
“Suhu, harap Suhu tidak khawatir!” Tiba-tiba Yo Han berkata dengan penuh semangat, “Suhu tidak perlu
mempedulikan teecu, tidak perlu menjaga teecu, karena teecu dapat menjaga diri sendiri.”
Mendengar ucapan itu, Sin Hong dan Suma Lian saling pandang. Keduanya tersenyum, ada rasa kagum
membayang pada wajah mereka. Anak itu memang luar biasa. Sedikit pun tidak pernah belajar silat akan
tetapi memiliki keberanian dan semangat yang hebat, bahkan sedikit pun tidak gentar menghadapi
ancaman maut di tangan Sin-kiam Mo-li. Sungguh amat sukar dicari keduanya anak dengan nyali seperti
ini, nyali seorang calon pendekar sejati.
“Ahhh, aku mempunyai jalan keluar yang amat baik!” tiba-tiba Suma Lian berkata. Sin Hong memandang
kepadanya dengan penuh harapan.
“Ketahuilah, Hong-ko. Paman tua yang akan kukunjungi itu adalah saudara sepupu dari ayahku. Dia
bernama Suma Ciang Bun, keturunan langsung pula dari keluarga Pulau Es. Pek-hu (Uwa) Suma Ciang
Bun itu hidup seorang diri, hanya berdua dengan muridnya yang sering kali pergi merantau. Dan dia pun
tidak berkeluarga, bahkan kini ayah menyuruh aku pergi mengunjunginya dan menyampaikan ajakan
ayahku supaya pek-hu suka tinggal bersama ayah dan ibu, agar hidupnya di hari tua tidak kesepian. Nah,
bagaimana kalau engkau titipkan Yo Han kepadanya lebih dahulu selama engkau melaksanakan tugasmu?
Aku yang akan bicara dan setelah melihat Yo Han aku yakin pek-hu akan suka pula menerimanya.”
Wajah Sin Hong berseri. “Ahhh, itu merupakan jalan keluar yang baik sekali!” Tiba-tiba wajahnya berubah.
“Akan tetapi, bagaimana aku berani mengganggu locianpwe itu?”
Ia lalu menoleh kepada Yo Han dan berkata, “Dan bukankah itu berarti aku melepaskan pula tanggung
jawabku setelah menerima anak ini dari ibunya?”
“Urusan pek-hu akulah yang akan bicara, Hong-ko. Dan jika pek-hu mau menerimanya, kurasa bukan
berarti engkau melepas tanggung jawab, karena bukankah maksud bibi Bi-kwi hanya supaya engkau
membawa pergi Yo Han dan anak ini dihindarkan dari gangguan Sin-kiam Mo-li?”
Akan tetapi Sin Hong masih meragu, memandang kepada Yo Han dengan bingung. Melihat ini, Yo Han
segera berkata, “Suhu, teecu mengerti bahwa kalau teecu ikut dengan Suhu sekarang, teecu akan menjadi
beban dan Suhu akan merasa terhalang dan terganggu. Karena itu, teecu akan mentaati semua perintah
Suhu, disuruh tinggal di mana pun teecu menurut, asal Suhu tidak melupakan teecu dan kelak pada
waktunya Suhu datang menjemput teecu.”
Mendengar ini, Suma Lian bertepuk tangan dan memuji. “Murid yang bagus sekali, ahh engkau beruntung
mempunyai seorang murid seperti dia, Hong-ko!”
Mau tak mau Sin Hong tersenyum. Bagaimana pun juga, dia memang suka dan kagum kepada Yo Han.
“Kalau begitu, baiklah, dan sebelumnya kuhaturkan terima kasih atas bantuanmu, Lian-moi.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka bertiga kemudian melanjutkan perjalanan, menuju ke Tapa-san. Di sepanjang perjalanan Sin Hong
merasa gembira selalu karena Suma Lian memang merupakan seorang gadis yang lincah jenaka,
sedangkan Yo Han juga merupakan seorang anak yang menyenangkan dan murid yang taat dan cekatan.
Setiap kali mereka berhenti di hutan dan terpaksa bermalam di tempat terbuka, tanpa diperintah lagi anak
itu mencari kayu bakar, atau air dan sebagainya. Juga Yo Han amat pandai membawa diri, pendiam tak
pernah bicara kalau tidak ditanya. Wajahnya selalu cerah walau pun kadang-kadang, terutama sekali di
waktu malam kalau dia sedang duduk menghadapi api unggun, anak itu sering kali termenung.
Sin Hong dan Suma Lian bisa menduga bahwa tentu anak ini teringat dan rindu kepada ayah bundanya.
Namun, tak pernah anak itu mau mengatakan hal ini dan dengan keras hati menyembunyikan
kesedihannya itu di balik dagu yang mengeras dan mata yang bersinar-sinar…..
********************
Kita tinggalkan dahulu perjalanan Sin Hong, Suma Lian dan Yo Han yang menuju ke Pegunungan Tapasan
itu, dan mari kita mengikuti keadaan Pouw Li Sian yang telah berada di sarang Tiat-liong-pang. Seperti
telah diceritakan di bagian depan, gadis ini berkunjung ke Tiat-liong-pang karena ketuanya yaitu Siangkoan
Lohan (Kakek Gagah Siangkoan) atau bernama Siangkoan Tek, dulu adalah sahabat dari mendiang
ayahnya, Menteri Pouw Tong Ki.
Bahkan pernah satu dua kali ia diajak ayahnya berkunjung ke Tiat-liong-pang sehingga ia sudah mengenal
Siangkoan Lohan dan puteranya, Siangkoan Liong. Ia berkunjung untuk bertanya mengenai salah seorang
kakaknya, satu-satunya anggota keluarganya yang kabarnya masih hidup, yaitu Pouw Ciang Hin, yang
menurut hasil penyelidikannya, kini menjadi seorang perwira pasukan kerajaan yang bertugas jaga di
perbatasan utara dekat Tembok Besar.
Munculnya gadis itu di Tiat-liong-pang, sempat menggemparkan karena ketika Sin-kiam Mo-li yang
mencurigainya menyuruh anak buahnya untuk menangkap, Pouw Li Sian menunjukkan bahwa dia adalah
seorang gadis yang sangat lihai. Sin-kiam Mo-li sendiri tidak mampu mengalahkannya! Siangkoan Lohan
segera menerimanya dengan ramah dan baik ketika mendengar pengakuan Li Sian bahwa gadis yang
cantik dan lihai ini bukan lain adalah puteri sahabatnya, Pouw Taijin.
Gadis ini diterima dan disambut dengan gembira, dan ketika bertemu dengan Siangkoan Liong yang
pernah dikenalnya ketika mereka masih kecil, di antara mereka berdua lalu segera terjalin suatu
keakraban.
Pouw Li Sian adalah seorang gadis yang biar pun telah mempegoleh pendidikan ilmu silat tinggi sehingga
membuatnya menjadi seorang gadis yang amat lihai, namun dia masih hijau dalam pengalaman. Ia baru
saja meninggalkan perguruan dan pengetahuan umumnya masih dangkal, walau pun ia bukan seorang
gadis bodoh. Oleh karena itu, ketika ia tinggal di sarang Tiat-liong-pang, ia tidak menaruh curiga sedikit
pun.
Tetapi, bagaimana pun juga, ia merasa heran ketika diperkenalkan dengan para tokoh sesat yang
bersekutu dengan Tiat-liong-pang. Banyak di antara mereka yang sikapnya kasar, bahkan amat
menjemukan hatinya karena mereka itu jelas-jelas memperlihatkan pandang mata yang kurang ajar dan
tidak sopan.
Perasaan penasaran yang terkandung di dalam hatinya pada saat melihat orang-orang kang-ouw yang
kasar itu berada di situ, dan agaknya menjadi pembantu atau tamu dari Tiat-liong-pang, mendorong Li Sian
untuk membicarakannya dengan Siangkoan Liong yang telah dipercayainya. Sesudah beberapa hari
tinggal di situ dan dia melihat betapa Tiat-liong-pang melatih para anggotanya untuk bermain perangperangan,
seolah-olah perkumpulan itu sedang mempersiapkan diri untuk berperang, ia pun pada suatu
senja bercakap-cakap tentang semua itu dengan Siangkoan Liong dalam sebuah taman.
Mereka duduk berhadapan di atas bangku kayu sederhana di dekat kolam ikan buatan yang membuat
tempat itu terasa nyaman dan sejuk segar. Baik Siangkoan Liong mau pun gadis itu, baru saja mandi dan
berganti pakaian bersih sehingga keduanya merasa segar pula.
Biar pun Li Sian baru tinggal belasan hari di tempat itu, namun pergaulannya dengan Siangkoan Liong
telah cukup akrab karena pemuda itu memang pandai membawa diri, selalu sopan dan ramah. Siangkoan
Liong adalah seorang yang amat cerdik, bagaikan seekor harimau yang mengenakan bulu domba, sedikit
dunia-kangouw.blogspot.com
pun tak nampak wataknya yang mata keranjang dan siap menerkam ketika melihat Li Sian yang cantik.
Bahkan Li Sian merasa amat tertarik kepada pemuda yang memang tampan dan gagah ini.
Setelah mereka duduk saling berhadapan keduanya saling pandang. Seperti biasanya Siangkoan Liong
duduk dengan tenang. Sikapnya pendiam, halus serta lembut. Wajah yang tampan itu terpelihara dengan
cermat. Rambutnya hitam licin dan disisir rapi, dan tercium keharuman dari pakaian dan rambutnya.
Pakaiannya pun selalu rapi dan setiap hari berganti pakaian baru. Dilihat sepintas lalu, tidak nampak
bahwa Siangkoan Liong adalah seorang pemuda yang amat lihai ilmu silatnya, lebih pantas dia menjadi
seorang kongcu (tuan muda) bangsawan yang hartawan dan terpelajar tinggi.
Pemuda itu pun memandang Li Sian dengan sinar mata penuh kekaguman. Gadis ini nampak manis sekali,
terutama adanya tahi lalat di dagunya, menjadi penambah dalam kecantikannya. Biar pun bukan pesolek,
namun Li Sian pandai berdandan. Pakaiannya yang sederhana nampak rapi, juga rambutnya digelung
dengan indahnya. Ada sedikit anak rambut terjuntai di dahinya, lembut sekali. Sikapnya halus dan lembut
namun anggun, seperti puteri bangsawan sejati. Gerak-geriknya halus tetapi di balik kehalusan itu nampak
jelas oleh mata Siangkoan Liong yang terlatih bahwa di situ tersembunyi kekuatan dahsyat.
Siangkoan Liong semakin kagum. Tidak disangkanya bahwa dalam diri seorang gadis yang begini cantik
dan halus, terdapat kepandaian silat yang tinggi, bahkan lebih tinggi tingkatnya dari pada Sin-kiam Mo-li!
Dia amat kagum dan makin bulat tekadnya untuk menundukkan gadis ini, untuk memilikinya agar dapat
dibanggakannya. Bukan sekedar dijadikan permainannya, sebagai sumber kesenangan jasmani saja.
Tidak, dia ingin mempersunting Li Sian menjadi isterinya karena agaknya hanya gadis yang berdarah
bangsawan ini saja yang patut untuk mendampinginya kalau kelak dia menjadi seorang kaisar!
Setelah sekian lamanya saling pandang, baru terasalah oleh Li Sian ketidak wajaran itu, betapa sepasang
mata pemuda itu memandangnya tak seperti biasa, akan tetapi penuh dengan kekaguman dan daya tarik.
Tiba-tiba ia merasa mukanya panas dan gadis itu pun menundukkan mukanya.
“Ehh, Twako, kenapa sejak tadi memandang saja padaku tanpa bicara?” tegurnya.
Siangkoan Liong tersenyum dan nampak seperti baru sadar dari mimpi. Dia cepat-cepat bangkit berdiri dan
memberi hormat dengan bersoja dan membungkukkan tubuhnya sampai dalam.
“Ahhh, maafkan aku, Sian-moi. Tanpa kusadari aku sudah terpesona... maaf, bukan maksudku untuk
merayu, akan tetapi sore hari ini engkau sungguh nampak begini cantik jelita seperti bidadari, membuat
aku terpesona tadi...”
Menghadapi ucapan dengan sikap yang demikian sopan, bagaimana Li Sian dapat merasa tidak senang
oleh pujian itu? Pujian yang terdengarnya demikian sopan, disertai maaf, bukan sekedar rayuan kasar. Ia
pun tersenyum dan mukanya menjadi semakin merah, sampai ke lehernya.
Ia melempar kerling malu-malu dan berkata, “Aih, Toako, harap jangan bicara seperti itu, membuat aku
merasa malu saja. Kalau kau lanjutkan pujian-pujianmu itu, aku akan segera pergi ke dalam kamarku dan
tidak mau bicara padamu sore ini.”
“Maaf, maaf...! Aku tidak bermaksud membuat hatimu tersinggung, Sian-moi. Maafkan aku dan aku berjanji
tidak akan mengulangi lagi.”
Li Sian tersenyum. “Sudahlah, Toako, engkau tidak bersalah apa-apa, tidak perlu minta maaf. Aku sengaja
ingin bicara denganmu sore hari ini, karena ada beberapa hal yang selama ini menjadi pertanyaan dalam
hatiku dan menimbulkan rasa penasaran.”
Siangkoan Liong segera memperlihatkan sikap serius pada saat dia memandang wajah gadis itu penuh
perhatian. “Persoalan apakah yang membuatmu penasaran, Sian-moi? Tanyakanlah, tidak ada rahasia
bagimu di sini.”
“Begini, Toako. Pertama, begitu tiba di sini, aku bertemu dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang melihat sikap
mereka agaknya bukanlah manusia baik-baik, tetapi lebih pantas kalau menjadi tokoh-tokoh kaum sesat
dari dunia hitam! Misalnya Sin-kiam Mo-li itu, selain julukannya saja sudah jelas menunjukkan bahwa dia
seorang iblis betina, juga sikapnya demikian menyeramkan, seperti lagi menyembunyikan sesuatu dan
pandang matanya kadang-kadang begitu kejam dan buas. Dan Toat-beng Kiam-ong itu, hihhh, pandang
matanya padaku membuat aku bergidik dan hampir saja aku menyerangnya ketika pada suatu kali dia
dunia-kangouw.blogspot.com
memandang dan tersenyum kepadaku. Juga para pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu, agaknya
mereka pun bukan orang baik-baik. Toako, benarkah dugaanku bahwa mereka adalah tokoh-tokoh sesat
dan kalau benar demikian, kenapa Tiat-long-pang menerima orang-orang seperti itu di sini?” Pertanyaan ini
diajukan Li Sian dengan pandang mata tajam penuh selidik ditujukan kepada wajah pemuda itu.
Siangkoan Liong tetap tersenyum tenang, bahkan lalu berkata, “Selain itu, adakah lagi hal lain yang
mendatangkan perasaan heran dan penasaran di dalam hatimu, Sian-moi? Kalau ada, ajukanlah
pertanyaan itu agar sekalian kujawab, karena memang terdapat banyak hal yang belum kau ketahui dan
agaknya kesemuanya itu perlu aku jelaskan kepadamu.”
“Ada satu lagi, Toako. Aku melihat betapa para anggota Tiat-liong-pang dilatih perang-perangan seolaholah
mereka itu menghadapi suatu pertempuran atau perang. Apakah artinya semua itu? Apakah ada
bahaya yang mengancam Tiat-liong-pang?”
Pemuda itu tertawa, lalu berkata dengan suara sungguh-sungguh. “Sian-moi, sebelum aku menjawab
pertanyaanmu itu, menjelaskan hal-hal yang telah kau lihat terjadi di sini dan menimbulkan keheranan
dalam hatimu, ingin aku bertanya, ingatkah engkau akan peristiwa yang menimpa keluarga orang tuamu,
beberapa tahun yang lalu ketika engkau masih kecil, peristiwa yang mengakibatkan hancurnya keluarga
orang tuamu?”
Li Sian mengerutkan alisnya dan mengangguk. “Karena sebagai seorang menteri ayah berani menentang
Thaikam Hou Seng yang berkuasa. Menurut penjelasan mendiang guruku, kaki tangan Hou Seng itulah
yang membunuh ayah ibu dan kemudian ayah difitnah sehingga sisa keluargaku ditangkap sebagai
pemberontak. Semua kakakku tewas kecuali kakak Pouw Ciang Hin yang kabarnya kini menjadi perwira...“
Pemuda itu mengangguk-angguk, “Jelaslah bahwa keluargamu hancur karena kelaliman kaisar! Kaisar
yang menjadi permainan para thaikam dan para menteri yang jahat dan korup. Ingat, Sian-moi, biar pun
menjadi menteri, akan tetapi ayahmu bukanlah seorang Mancu asli, melainkan peranakan dan darahmu
lebih banyak darah Han dari pada darah Mancu.”
Mata gadis itu terbelalak. “Maksudmu bagaimanakah Toako, dengan menyinggung soal keturunan dan
darah?”
“Maaf, Sian-moi. Kita adalah orang-orang Han. Engkau tentu tahu bahwa pemerintah sekarang ini adalah
pemerintah penjajah bangsa Mancu yang menjajah tanah air kita, memperbudak bangsa kita!” Ucapan ini
penuh semangat dan gadis itu memandang dengan penuh perhatian.
“Lalu, bagaimana?” tanyanya, ingin tahu karena ia belum dapat menduga ke arah mana percakapan itu.
“Nah, karena itulah Tiat-liong-pang menganggap sudah tiba saatnya untuk menentang pemerintahan
penjajah, menumbangkan kekuasaan bangsa Mancu!”
“Kau maksudkan… memberontak?” Li Sian membelalakkan matanya, tidak menyangka sama sekali bahwa
Tiat-liong-pang bermaksud memberontak.
Pemuda itu mengangguk-angguk. “Memberontak terhadap kekuasaan penjajah Mancu, Sian-moi, berjuang
untuk membebaskan tanah air dan bangsa kita dari cengkeraman penjajah. Itulah sebabnya mengapa kami
menghimpun kekuatan, melatih anak buah kami dan tentang para tokoh itu, engkau tidak keliru, memang di
antara mereka terdapat orang-orang kang-ouw dari dunia hitam. Kami membutuhkan tenaga mereka,
bantuan mereka karena mereka itu memiliki kepandaian tinggi, juga memiliki banyak anak buah. Kami
harus menghimpun kekuatan dari mana pun juga untuk memperkuat kedudukan kami agar perjuangan
kami menentang penjajah dapat berhasil. Nah, engkau mengerti sekarang keadaan di sini, Sian-moi?”
Sesungguhnya, hati Li Sian diliputi kekhawatiran dan kebingungan. Ia belum mengerti benar, akan tetapi ia
mengangguk-angguk. Bagaimana pun juga pada dasarnya ia dapat mengerti. Tiat-liong-pang hendak
memberontak, menentang pemerintah sebab kerajaan yang sekarang adalah Kerajaan Mancu, bangsa
asing yang menjajah tanah air dan bangsa! Dan ia pun merasa bangga dan kagum.
Kiranya Tiat-liong-pang sedang mengadakan gerakan perjuangan yang demikian mulia, akan tetapi juga
amat berbahaya. Tiba-tiba ia pun teringat akan sesuatu dan wajahnya mendadak berubah pucat.
“Liong-ko, kalau begitu… Tiat-liong-pang akan memusuhi pasukan pemerintah?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemuda itu mengangguk, “Tentu saja, pasukan pemerintah adalah pasukan kerajaan penjajah dan...“
“Tapi... tapi kakakku, Pouw Ciang Hin kabarnya menjadi perwira pasukan pemerintah! Kabarnya dia
ditugaskan di perbatasan utara ini dan apakah sampai sekarang anak buahmu belum dapat
menemukannya?”
Siangkoan Liong tersenyum tenang.
“Jangan khawatir, Sian-moi. Ketahuilah bahwa komandan pasukan yang bertugas di utara ini telah
mengadakan hubungan dengan kami dan dia mendukung gerakan kami. Jadi, kalau kakakmu itu menjadi
perwira bawahannya, tentu hal itu berarti bahwa kakakmu juga akan bekerja sama dengan kita. Engkau
tentu suka membantu, bukan?”
Gembira rasa hati Li Sian mendengar tentang kakaknya itu. “Ahh, kalau begitu bagus sekali. Tentu saja
aku suka membantu, Liong-ko.”
Namun Siangkoan Liong masih belum merasa puas dengan kesanggupan ini. Selama belasan hari ini,
diam-diam dia mengamati gerak-gerik Li Sian dan bahkan menyuruh Sin-kiam Mo-li diam-diam melakukan
pengamatan dari jauh. Satu hal yang membuat dia merasa gelisah dan belum percaya benar adalah
karena menurut keterangan Sin-kiam Mo-li, Pouw Li San adalah murid dari mantu Pendekar Super Sakti
Pulau Es!
Padahal, dia sudah mendengar bahwa di antara keluarga Pulau Es dan keluarga kaisar Mancu, masih
terdapat hubungan kekeluargaan yang dekat. Isteri Pendekar Pulau Es adalah seorang puteri Mancu,
bahkan isterinya dan puterinya pernah menjadi panglima-panglima Mancu yang gagah perkasa dan pada
waktu yang lampau sudah menumpas banyak gerakan pemberontakan.
“Sian-moi, engkau pernah menceritakan kepada ayah bahwa gurumu adalah seorang sakti, keluarga Pulau
Es, bahkan mantu dari mendiang Pendekar Super Sakti dari Pulau Es. Lalu bagaimana pendapat
mendiang gurumu itu tentang pemerintah penjajah dan gerakan para patriot?” Dia memancing.
Li Sian mengingat-ingat, lalu menggeleng kepalanya. “Seingatku, suhu belum pernah bicara tentang
pemerintahan dan jika sekali waktu aku bertanya dia tak mau memberi penjelasan. Hanya pernah dia
mengeluh tentang kelemahan kaisar yang membiarkan dirinya dipermainkan para pembesar durjana.”
“Nah, tidak salah lagi. Diam-diam suhu-mu itu pun tentu tidak setuju dengan adanya pemerintah penjajah
yang lalim!” Siangkoan Liong berseru girang. Tadinya dia khawatir bahwa guru gadis ini condong memihak
kerajaan.
Pada saat itu, nampak serombongan orang datang. Dari jauh saja Siangkoan Liong dan Li Sian bisa
mengenal rombongan yang dipimpin oleh Sin-kiam Mo-li, kini mengiringkan seorang laki-laki dan seorang
wanita yang berjalan sambil bergandeng tangan.
Laki-laki itu nampak bersikap gagah walau pun langkahnya tak menunjukkan dia pandai ilmu silat.
Sedangkan wanita itu cantik manis, berusia mendekati empat puluh tahun, sebaya dengan laki-laki itu.
Tetapi wanita yang nampak tenang sederhana itu memiliki langkah kaki yang mengejutkan Siangkoan
Liong dan Li Sian karena mereka berdua dapat menduga bahwa wanita itu bukanlah orang sembarangan.
Laki-laki dan wanita itu adalah Yo Jin dan Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi yang baru datang bersama
rombongan Sin-kiam Mo-li. Setelah rombongan mereka sampai di luar daerah kekuasaan Tiat-liong-pang,
rombongan ini disambut oleh Toat-beng Kiam-ong dan para tokoh yang membantu pergerakan Tiat-liongpang,
di antaranya nampak ada beberapa orang pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw.
Melihat mereka diam-diam Bi-kwi terkejut. Tadinya ia mulai percaya akan pengakuan Sin-kiam Mo-li bahwa
iblis betina itu sedang membantu perjuangan orang-orang gagah yang dipimpin oleh ketua Tiat-liong-pang,
akan menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi, ketika melihat orang-orang yang dikenalnya
sebagai tokoh sesat, dia pun mulai meragu lagi. Akan tetapi, dengan cerdik Bi-kwi diam saja, bahkan purapura
tidak mengenal mereka.
Melihat betapa Sin-kiam Mo-li pulang sambil membawa laki-laki dan wanita yang tidak dikenalnya itu,
Siangkoan Liong segera bangkit dan menghadang, diikuti oleh Li Sian yang juga ingin tahu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mo-li, siapakah dua orang saudara yang barusan datang ini?” tanya Siangkoan Liong sambil memandang
kepada Bi-kwi karena kecantikan wanita ini pun menarik hatinya.
Sin-kiam Mo-li tersenyum dengan bangga karena dia merasa betapa usahanya telah berhasil baik.
“Siangkoan-kongcu, dia inilah Bi-kwi yang pernah saya bicarakan dengan Kongcu dan dengan bengcu
(pemimpin). Saya telah berhasil mengajaknya ke sini dan bergabung dengan kami. Dan laki-laki ini adalah
suaminya. Bi-kwi adalah murid utama dari mendiang Sam Kwi, dia lihai bukan main, Kongcu.” Kemudian ia
memperkenalkan pemuda itu kepada Bi-kwi dan Yo Jin. “Kongcu ini adalah putera dari pimpinan kami
bernama Siangkoan Liong.”
Bi-kwi memandang pemuda itu. Sekali pandang saja tahulah Bi-kwi bahwa pemuda tampan yang kelihatan
lemah lembut ini mempunyai kepandaian tinggi. Juga di balik kelembutan sikapnya itu, di balik sinar
matanya yang lembut, dia dapat melihat gairah nafsu yang besar, maka diam-diam ia berhati-hati.
Juga ia memandang kepada gadis yang berada di dekat Siangkoan Liong, dan ia pun bisa menduga
bahwa gadis itu pun bukan gadis sembarangan. Hemmm, di sini banyak terdapat orang pandai, pikir Bi-kwi
khawatir. Tadi pun ia mengenal Toat-beng Kiam-ong, tokoh-tokoh Pek-lian-kauw, dan Pat-kwa-kauw, juga
beberapa orang kang-ouw yang berkepandaian tinggi berada di tempat itu.
Siangkoan Liong mengerutkan alisnya. Agaknya dia memandang rendah kepada Bi-kwi dan suaminya.
Betapa pun lihainya, agaknya suami isteri itu berada di bawah pengaruh Sin-kiam Mo-li. Orang yang
kelihaiannya tidak melebihi Sin-kiam Mo-li, kurang menarik hatinya walau pun sempat hatinya terguncang
dan gairahnya bangkit oleh kecantikan Bi-kwi yang sudah matang itu!
“Bawalah mereka menghadap ayah,” katanya. Dia pun mengajak Li Sian untuk kembali duduk bercakapcakap
di dalam taman. Rombongan itu lalu masuk ke dalam untuk menghadap Siangkoan Lohan.
Setelah mereka berdua duduk lagi di dalam taman. Li Sian bertanya, “Apakah suami isteri itu pun hendak
membantu gerakan yang dipimpin oleh ayahmu, Liong-toako?”
“Agaknya begitulah. Perjuangan ini didukung oleh orang gagah, dan aku yakin bahwa usaha ayah akan
berhasil baik,” kata Siangkoan Liong gembira.
“Wanita itu kelihatan memiliki kepandaian tinggi,” kata pula Li Sian.
“Kau tunggu saja, Sian-moi. Kalau ada kesempatan akan kuperkenalkan engkau kepada suhu-ku.”
“Gurumu?” Gadis itu memandang wajah pemuda di depannya dalam keremangan cuaca senja. “Bukankah
gurumu itu adalah paman Siangkoan Tek sendiri? Bukankah ayahmu memiliki tingkat kepandaian yang
amat tinggi?”
Pemuda itu tersenyum bangga. “Memang benar, Sian-moi. Akan tetapi guruku ini lebih lihai lagi. Ayah
sendiri pernah menguji kepandaiannya maka ayah memperbolehkan aku berguru padanya. Ilmu
kepandaian guruku itu sulit diukur sampai bagaimana tingginya!”
Li Sian tersenyum dalam hatinya. Baru kini dia mendengar ucapan yang mengandung nada bangga dan
bahkan sombong dari pemuda ini. Dia tidak merasa heran karena mungkin saja apa yang dikatakan
pemuda ini benar. Menurut keterangan gurunya, di dunia ini memang banyak terdapat orang-orang sakti.
“Siapakah gurumu, Liong-toako? Dan kenapa tidak sejak kemarin aku kau perkenalkan padanya?”
“Guruku sedang bertapa dan dia tidak suka diganggu. Kelak jika dia kebetulan datang berkunjung ke sini,
barulah akan kuperkenalkan engkau kepadanya. Beliau bernama keturunan Ouwyang, biasa disebut
Ouwyang Sianseng (Tuan Ouwyang) dan tak pernah ada yang tahu siapa namanya. Nama julukannya
adalah Nam-san Sianjin (Manusia Dewa Pegunungan Selatan). Dia bukan orang sembarangan, Sian-moi,
karena dahulu dia pernah menjadi seorang yang sangat penting, bahkan menjadi penasehat raja di
Kerajaan Birma.”
Li Sian tertarik sekali. Ia sudah dapat menduga bahwa pemuda ini memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi
belum pernah dia menyaksikannya. Selama belasan hari ini mereka bergaul cukup rapat hingga dia seolaholah
diberi kesempatan untuk mengenal pemuda ini, bukan hanya wajahnya, bentuk tubuhnya, suaranya,
dunia-kangouw.blogspot.com
akan tetapi juga keadaan dan wataknya. Akan tetapi dia belum melihat sampai di mana tingkat
kepandaiannya, dan berkenalan tanpa mengetahui atau melihat kepandaiannya tentulah tidak lengkap.
Ingin ia menguji kepandaian pemuda itu. Apakah jauh di atas tingkatnya sendiri?
“Liong-ko, setelah engkau menerima gemblengan dari ayahmu sendiri, kemudian dilatih pula oleh seorang
sakti seperti gurumu, tentu engkau kini telah memiliki tingkat ilmu silat yang amat tinggi. Semenjak kecil kita
sudah saling mengenal, bahkan kini ayahmu juga menerimaku dengan ramah dan baik, bahkan
menganggap aku sebagai keponakannya sendiri sehingga antara kita terdapat pertalian persaudaraan.
Oleh karena itu, aku ingin sekali melihat sampai di mana tingkat kepandaianmu itu, Toako, agar supaya
aku dapat menambah pengetahuanku darimu.”
Siangkoan Liong tersenyum, apa lagi melihat gadis itu sudah bangkit berdiri menuju ke petak rumput yang
cukup luas dan enak untuk dipakai berlatih silat, di dalam taman itu dekat kolam ikan, dan gadis itu berdiri
tegak menantinya. Tentu saja dia tahu bahwa gadis itu agaknya ingin sekali menguji kepandaiannya,
tentunya dengan maksud baik, karena jelas nampak olehnya betapa Li Sian mulai tertarik kepadanya. Dia
pun bangkit berdiri dan menghampiri gadis itu.
“Sian-moi, aku sudah melihat bahwa engkau mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi sehingga pada waktu
engkau pertama kali muncul di sini, engkau mampu menandingi kelihaian Sin-kiam Mo-li. Aku menjadi
gentar melawanmu, Sian-moi. Bagaimana kalau sampai aku tewas atau terluka parah karena pukulanmu?”
“Aih, Liong-toako, harap jangan berkata demikian. Kepandaian Sin-kiam Mo-li amat lihai dan kalau tidak
muncul ayahmu datang melerai, tentu aku akan celaka di tangannya. Aku hanya ingin melihat sendiri
kelihaianmu dalam suatu permainan bersama. Bagai mana mungkin kita akan saling melukai? Sudahlah,
Toako, jangan terlalu pelit, mari kita main-main sebentar untuk membuka mataku.”
“Baik, Sian-moi. Nah, aku sudah siap, kau mulailah keluarkan seranganmu!” pemuda itu berkata sambil
memandang dengan senyum memikat dan dia pun membuka pasangan kuda-kuda yang gagah dan indah.
Li Sian yang memang ingin sekali mengetahui sampai di mana kelihaian pemuda yang menarik hatinya ini,
segera mengeluarkan seruan sebagai isyarat bahwa dara ini mulai menyerang. Serangan awalnya
merupakan tamparan ke arah pundak Siangkoan Liong, seperti main-main saja, akan tetapi gadis ini
mengerahkan tenaga Hui-yang Sinkang (Tenaga Sakti Inti Api) ke dalam telapak tangannya sehingga hawa
panas menyambar ke arah pundak Siangkoan Liong.
Pemuda ini kagum sekali ketika merasakan betapa tangan kanan gadis itu menyambar lambat namun
membawa hawa yang amat panas. Dia pun cepat menggerakkan tangan kirinya menangkis untuk
melindungi pundaknya. Karena dia maklum bahwa gadis manis itu menggunakan sinkang untuk menguji
tenaganya, maka dia pun mengerahkan tenaga sinkang dalam lengan yang menangkis itu.
“Dukkk!”
Kedua lengan bertemu dan hampir Siangkoan Liong berseru karena dia merasa betapa hawa panas
menyusup ke dalam lengannya. Cepat dia menarik kembali lengannya dan loncat ke belakang,
mengerahkan hawa sakti dalam tubuhnya untuk mendorong keluar lagi hawa panas itu.
Li Sian tadi tidak menggunakan seluruh tenaganya, seperti juga yang dilakukan pemuda itu, karena
memang dara ini hanya ingin menguji saja. Ketika melihat bahwa pemuda itu mampu menangkis tamparan
yang mengandung Hui-yang Sinkang, dia merasa kagum dan menyerang lagi, kini dengan tangan kiri yang
mendorong dengan tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga Sakti Inti Salju).
Kembali pemuda itu menangkis, agak menambah tenaga sinkang-nya karena dia tahu bahwa gadis cantik
ini memang lihai dan kuat. Kembali kedua lengan mereka bertemu dan Siangkoan Liong kini meloncat
mundur, tidak lagi sambil menahan seruannya.
“Bukankah itu tadi dua tenaga sakti dari Pulau Es yang terkenal itu? Yang panas adalah Hui-yang Sinkang
dan yang dingin ini tadi Swat-im Sinkang?” tanyanya setelah berhasil mendorong keluar pengaruh hawa
dingin yang menyusup ke dalam tubuhnya.
Li Sian menjadi semakin kagum. Pemuda itu ternyata mampu mengenali dua macam tenaga sinkang yang
dipelajarinya dari gurunya, Bu Beng Lokai.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Benar sekali, Toako. Sekarang terimalah lagi seranganku ini!” katanya gembira.
Kini tubuhnya bergerak cepat karena dia sudah memainkan Ilmu Silat Lo-thian Sin-kun (Silat Sakti
Mengacau Langit) yang juga merupakan salah satu ilmu silatnya yang paling hebat di samping ilmu
pedangnya yang sama dasarnya, yaitu Lo-thian Kiam-sut (Ilmu Pedang Pengacau Langit).
Menghadapi gerakan ilmu silat yang amat dahsyat itu, cepat dan mengandung tenaga besar, Siangkoan
Liong berseru, “Bagus sekali!”
Dia pun menghadapi terjangan Li Sian dengan hati-hati, juga dengan cepat sekali. Dia maklum akan
kelihaian gadis ini, dan tahu pula bahwa kalau dia hanya mengandalkan kelincahan dan tenaga untuk
bertahan saja, akhirnya dia akan kalah. Maka, pemuda ini, yang tidak mau dikalahkan karena hal itu akan
merendahkan dirinya dalam pandangan gadis yang sangat menarik hatinya itu, segera bergerak membalas
dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya. Dia telah mainkan ilmu silatnya yang aneh, yang
lebih banyak mempergunakan loncatan-loncatan dan tendangan sambil meloncat, yaitu Kong-ciak Sin-kun
(Silat Sakti Burung Merak) yang pernah dipelajarinya dari Ouwyang Sianseng dan kini menjadi ilmu
andalannya.
Memang hebat sekali ilmu silat ini karena mampu menandingi Lo-thian Sin-kun yang merupakan satu di
antara ilmu-ilmu silat tinggi. Makin kagum rasa hati Li Sian melihat betapa ilmu silat aneh dari pemuda itu
sangat lincah dan berbahaya, sehingga ketika ia memainkan Lo-thian Sin-kun, Siangkoan Liong sama
sekali tidak terdesak, bahkan dia mampu membalas setiap jurus serangannya dengan sama hebatnya.
Mereka saling serang sampai tiga puluh jurus lebih dan melihat ini, Li Sian makin lama semakin menambah
tenaganya. Sampai akhirnya dia mengerahkan semua tenaga dan kepandaian, namun tetap saja ia tidak
mampu mendesak Siangkoan Liong, sebaliknya, pemuda ini juga semakin kagum pula karena baru setelah
dia mengerahkan hampir semua tenaganya, gadis itu tidak mampu menjadi semakin hebat. Hal ini
menunjukkan bahwa biar pun tidak banyak selisihnya, namun tingkatnya masih lebih tinggi.
Akan tetapi tentu saja dia tidak ingin mengalahkan nona itu dengan keras, tidak mau melukainya, maka
otaknya yang cerdik itu mencari-cari akal bagaimana dia akan dapat memenangkan pibu (adu silat) itu
tanpa melukai lawan. Dia pun teringat akan sebuah ilmu silat dari keluarganya, yaitu Tiat-wi Liong-kun
(Ilmu Silat Naga Ekor Besi) yang juga menggunakan tenaga sinkang yang istimewa dan semenjak tadi
dipergunakannya untuk menandingi sinkang dari Li Sian, yaitu Liong-jiauw-kang (Tenaga Sakti Cakar
Naga).
Sinkang yang dimilikinya telah diperkuat dengan gemblengan Ouwyang Sianseng, maka kini dalam hal
sinkang, dia malah lebih kuat dari pada ayahnya sendiri. Ilmu Silat Naga Ekor Besi ini mempunyai
beberapa jurus yang dicampur dengan ilmu gulat dari Mongol, yaitu ilmu untuk menangkap dan
membanting. Juga terdapat cara-cara menangkap dan mengempit lawan sampai tidak mampu lolos atau
pun bergerak lagi. Inilah yang akan digunakannya karena hanya ilmu ini yang akan mampu memberinya
kemenangan tanpa melukai atau merobohkan lawan.
Akan tetapi, Siangkoan Liong adalah seorang pemuda yang selain cerdik, juga sudah mempelajari
kebudayaan sejak kecil. Dia tahu bahwa jika dia melakukan penangkapan dan himpitan seperti itu terhadap
Li Sian, tentu akan membuat Li Sian menyangka dia sengaja mempermainkan dan hendak kurang ajar,
mempergunakan ‘kesempatan’ untuk memeluk dan menangkap gadis itu.
Maka, sebelum mempergunakan ilmu itu, dia terlebih dahulu akan memberi peringatan agar gadis itu tidak
menyangka yang bukan-bukan, walau pun tentu saja satu di antara sebab yang mendorongnya
menaklukkan Li Sian dengan cara itu adalah untuk dapat merangkul dan mendekap tubuh yang
membuatnya tergila-gila itu!
Mendadak Siangkoan Liong mengubah gerakannya dan berseru, “Awas, Sian-moi, aku akan menyerang
dengan tendangan Ban-kin-twi!”
Dan kini Siangkoan Liong sudah menggunakan kedua kakinya yang secara bertubi-tubi melakukan
tendangan yang amat cepat dan kuat. Ban-kin-twi (Tendangan Selaksa Kati) adalah ilmu tendangan dari
ayahnya, yang selain cepat dan sukar diduga dari mana datangnya tendangan, juga amat kuat, sesuai
dengan namanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat tendangan kedua kaki yang menyambar-nyambar dari segala jurusan ini, Li Sian cepat mainkan
San-po Cin-keng. Kedua kakinya membuat langkah-langkah aneh yang teratur rapi dan sungguh aneh,
semua sambaran kaki Siangkoan Liong hanya mengenai angin saja karena setiap kali kakinya meluncur,
tubuh gadis itu telah bergeser dengan langkahnya yang ringan, aneh dan cepat. Akan tetapi, dengan
begini, Li Sian pun tidak mampu lagi balas menyerang sehingga ia nampak terdesak.
“Sekarang aku akan menyerang dengan Ilmu Silat Tiat-wi Liong-kun, Sian-moi. Awas!” Dan pemuda itu
sudah menghentikan rangkaian tendangannya, kini menyerang dengan cengkeraman-cengkeraman yang
dicampur dengan totokan dan tendangan.
Li Sian menghadapi serangan-serangan ini dengan kembali mainkan Lo-thian Sin-kun agar ia dapat
membalas serangan sehingga keduanya sudah bertanding lagi dengan amat serunya.
Pada waktu Siangkoan Liong melihat kesempatan baik, melihat tangan kanan Li Sian menyambar ke arah
lambungnya dengan pukulan jari tangan terbuka, seperti pedang, secepat kilat dia menangkap
pergelangan tangan kanan itu dengan tangan kanannya dan cepat sekali, tanpa dapat diduga oleh Li Sian,
dia sudah menyusup ke belakang tubuh gadis itu sambil memuntir lengan kanan Li Sian sehingga lengan
kanan gadis itu terpuntir ke belakang tubuhnya.
Kini tubuh Siangkoan Liong berada di sebelah kiri agak ke depan, dengan lengan kanan gadis itu masih
dipuntir dan dicengkeram pergelangannya. Li Sian cepat menggunakan siku lengan kirinya untuk
menyerang agar pemuda itu melepaskan lengan kanannya, akan tetapi serangan ini sudah diduga lebih
dahulu oleh Siangkoan Liong yang cepat menggunakan tangan kirinya mencengkeram pula ke arah siku
lengan kiri Li Sian.
Siku itu dapat dicengkeram dan seketika gadis itu merasa tenaga pada lengan kirinya lenyap dan lumpuh.
Ia terkejut dan cepat memutar tubuh ke kiri dan kakinya bergerak hendak mengirim tendangan. Akan tetapi
kembali gerakan ini sudah dapat diduga oleh Siangkoan Liong dan cepat sekali kaki pemuda itu telah
mendahului, dimajukan ke depan di antara kedua kaki Li Sian.
Dengan demikian, tentu saja gadis itu tidak berani melakukan tendangan karena bagian tubuhnya yang
paling rahasia menempel pada paha di atas lutut Siangkoan Liong. Gadis itu mencoba untuk meronta,
namun hasilnya hanya membuat dadanya bergeser dengan lengan kiri pemuda itu yang mencengkeram
siku kirinya dan lengan itu ditekuk sehingga siku kiri pemuda itu mengancam dadanya! Wajah Li Sian
berubah merah sekali merasa betapa bagian tubuh depan telah bersentuhan dan didekap oleh siku dan
lutut pemuda itu!
“Sian-moi, inilah ilmu gulat yang terdapat dalam Tiat-wi Liong-kun kami. Maafkan aku!” katanya dan ketika
bicara ini, wajahnya dekat sekali dengan wajah Li Sian.
Ia pun cepat melepaskan kedua tangannya dan melangkah mundur sambil berkata lagi, “Wah, ilmu
kepandaianmu hebat sekali, Sian-moi. Kalau aku tidak mempergunakan akal dengan ilmu gulat yang tidak
kau kenal, belum tentu aku akan mampu menyelamatkan diri dari serangan-serangan dan desakanmu.”
Sampai beberapa lamanya Li Sian tak mampu bicara, jantungnya masih berdebar keras dan tubuhnya
terasa panas dingin. Ia merasa malu sekali. Bukan karena kekalahannya, sama sekali bukan, melainkan
mengingat betapa tadi ia sudah dirangkul, didekap dan tubuhnya bersentuhan dengan tubuh pemuda itu!
Ia tidak dapat marah, karena ia tahu bahwa pemuda itu sama sekali tidak bermaksud menghinanya, tidak
bermaksud melakukan perbuatan cabul dan tidak sopan. Bukankah Siangkoan Liong sudah
memperingatkannya setiap kali hendak mengeluarkan suatu ilmunya? Dan pemuda itu tadi
mempergunakan ilmu gulat untuk mengalahkannya, dan tentu saja ilmu gulat itu dimainkan dengan cara
menangkap, memuntir dan menekan atau menghimpit. Akan tetapi, mengingat betapa payudaranya tadi
tertekan oleh lengan Siangkoan Liong, dan antara kedua pahanya tertekan oleh lutut pemuda itu, sungguh
membuat ia merasa tubuhnya panas dingin.
“Kenapa, Sian-moi? Maafkan aku, kalau aku telah mengalahkanmu dengan ilmu gulat hingga membuat
hatimu kecewa,” kata Siangkoan Liong sambil memandang khawatir.
Li Sian tersenyum malu-malu dan menggelengkan kepala. “Ahh, tidak, Liong-toako. Aku memang sudah
menduga bahwa aku takkan menang melawanmu dan ternyata engkau memang hebat, tingkat
kepandaianmu lebih tinggi dari pada aku, Toako.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sudahlah, Sian-moi. Terus terang saja, kalau aku tidak menguasai ilmu silat bercampur ilmu gulat,
agaknya aku tidak akan mampu mengalahkanmu. Malam telah tiba, marilah kita mencari anak buahku
yang berjanji bahwa malam ini dia akan mengajak kakakmu itu datang untuk bertemu denganmu.”
Bukan main girangnya hati Li Sian. Ia bangkit lagi dari tempat duduknya dan berseru, “Ahhh, terima kasih,
Toako. Sungguh aku berterima kasih sekali kalau hal itu benar dan aku dapat bertemu dengan kakak
sulungku Pouw Ciang Hin!”
Mereka lalu meninggalkan taman itu dan sungguh aneh, seperti sudah sewajarnya saja tangan pemuda itu
menggandeng tangan Li Sian dan lebih aneh pula, gadis ini pun tidak menarik tangannya, hanya tangan itu
agak dingin dan sedikit gemetar ketika Siangkoan Liong menggenggamnya. Akan tetapi dalam genggaman
tangan pemuda itu yang mesra dan lembut, tangan Li Sian menjadi makin hangat dan tidak gemetar
lagi…..
********************
Mereka berdua duduk menanti di dalam ruangan itu, ruangan bagian belakang rumah induk yang luas.
Ruangan ini biasanya digunakan oleh pangcu Siangkoan Lohan untuk mengadakan rapat dan perundingan
dengan para pembantunya.
Siangkoan Liong mempersilakan Li Sian duduk setelah dia berbicara dengan beberapa orang anak
buahnya. “Kita tunggu di sini sebentar, Sian-moi. Tak lama lagi utusanku itu akan datang dan mudahmudahan
dia tidak gagal membawa kakakmu ke sini untuk berjumpa denganmu.”
Gadis itu menatap wajah Siangkoan Liong dengan sinar penuh rasa syukur dan terima kasih. Jantungnya
berdebar penuh ketegangan sebab akan berjumpa dengan kakaknya sehingga ia tidak mampu
mengeluarkan suara untuk menjawab, melainkan hanya dapat mengangguk. Tetapi setelah beberapa
menit lamanya, gadis ini dapat menenteramkan gejolak perasaan hatinya dan ia pun mengangkat muka
memandang wajah pemuda itu.
Kebetulan sekali Siangkoan Liong juga sedang memandang sehingga dua pasang sinar mata itu saling
tatap dan sejenak melekat. Akhirnya Li Sian menundukkan pandang matanya dan bertanya dengan suara
lirih.
“Toako, di mana engkau menemukan kakakku? Benarkah dia bekerja menjadi perwira dalam pasukan
pemerintah yang berjaga di perbatasan utara ini?”
Siangkoan Liong tersenyum dan mengibaskan ujung bajunya dengan jari tangannya. Ujung baju itu agak
kotor karena pi-bu yang mereka adakan di taman tadi.
“Menurut laporan para penyelidik, memang begitulah, Sian-moi. Akan tetapi sebaiknya engkau bertanya
sendiri kepada kakakmu nanti kalau benar dia dapat diajak datang oleh utusanku. Jangan khawatir,
utusanku itu adalah suheng-ku sendiri. Dia adalah murid ayahku yang paling lihai dan paling dipercaya,
oleh karena itu maka aku sengaja mengutus dia untuk menjemput kakakmu.”
Percakapan mereka terputus ketika nampak dua orang memasuki ruangan itu dari pintu samping. Seorang
di antara mereka adalah seorang laki-laki yang bertubuh tinggi kurus, mukanya pucat dan matanya tajam.
Di punggungnya tergantung sebatang pedang.
Akan tetapi Li Sian tidak memperhatikan orang itu, melainkan memperhatikan orang ke dua yang usianya
sebaya dengan orang pertama, kurang lebih tiga puluh lima tahun yang mengenakan pakaian perwira
pasukan kerajaan. Biar pun kini nampak jauh lebih tua, namun ia tidak pangling melihat wajah orang ini.
Kakaknya! Wajah yang tampan ini nampak jauh lebih tua dari pada usianya, penuh garis-garis penderitaan
hidup, bahkan pandang matanya pun sayu.
Sementara itu laki-laki berpakaian perwira itu pun memandang kepada Li Sian, dengan mata agak
terbelalak.
“Li Sian… engkau Li Sian...,“ kata laki-laki itu yang bukan lain adalah Pouw Ciang Hin, kakak sulung Pouw
Li Sian.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hanya dialah seorang di antara keluarga Pouw-taijin yang selamat serta diampuni, dan bahkan kemudian
masuk menjadi tentara. Mengingat bahwa dia adalah putera seorang pejabat tinggi, juga karena
kecakapannya, dia pun sekarang menjadi seorang perwira yang ditugaskan dalam pasukan yang berjaga
di perbatasan.
“Kakak Pouw Ciang Hin...“ Li Sian juga berkata lirih.
Keduanya merasa agak kikuk karena selain di situ terdapat orang lain, juga karena telah lama sekali
mereka saling berpisah, bahkan menyangka bahwa masing-masing sudah meninggal dunia. Akan tetapi
sekali berjumpa, mereka saling mengenal, biar pun ketika mereka berpisah, Li Sian baru berusia dua belas
atau tiga belas tahun.
Melihat sikap kakak beradik itu, Siangkoan Liong tersenyum dan berkata kepada pria yang tadi menemani
Pouw Ciang Hin memasuki ruangan itu, “Ciu-suheng, mari kita keluar dan biarlah kakak beradik yang
berbahagia ini bercakap-cakap. Sian-moi, biarlah kami pergi dulu, dan Pouw-ciangkun, selamat bertemu
dengan adikmu.”
Setelah berkata demikian, dengan sikap hormat Siangkoan Liong lalu menjura kepada mereka berdua,
kemudian dia keluar meninggalkan ruangan itu bersama suheng-nya yang sejak tadi diam saja.
Suheng-nya itu juga adalah tangan kanan Siangkoan Lohan, murid utama yang terkenal dengan
julukannya Tiat-liong Kiam-eng (Pendekar Pedang Tiat-liong-pang). Memang ia sangat berbakat
memainkan pedang sehingga bukan hanya mampu menguasai dengan baik ilmu pedang dari gurunya,
bahkan sudah dapat melampaui gurunya dalam hal ilmu pedang. Oleh karena kelihaiannya dalam berolah
pedang, maka di Tiat-liong-pang dia terkenal sebagai Kiam-eng (Pendekar Pedang)!
Setelah dua orang itu pergi, kakak beradik itu kembali saling pandang dan kini, semua perasaan yang tadi
ditahan-tahan, seperti air bah menjebol bendungan.
“Koko...!” Li Sian berseru sambil berlari, disambut oleh kakaknya yang mengembangkan kedua lengannya.
“Siauwmoi...!”
Kedua orang kakak beradik itu saling peluk dan bertangisan sampai beberapa lamanya, tak mampu
mengeluarkan kata-kata sebab keduanya merasa terharu sekali. Teringatlah oleh mereka semua kenangan
lama, tentang kehancuran keluarga mereka, dan bahwa hanya mereka berdualah yang tersisa hidup.
Akhirnya Li Sian yang sudah lama digembleng oleh mendiang Bu Beng Lokai mampu lebih dulu menguasai
dirinya. Dengan lembut ia melepaskan diri dari pelukan kakaknya, lalu berkata halus.
“Koko, mari kita duduk dan bicara dengan tenang.” Ia pun duduk sambil menyediakan sebuah kursi lain
untuk kakaknya, diletakkan di depannya, terhalang sebuah meja.
Pouw Ciang Hin dapat pula menenangkan dirinya setelah melihat sikap adiknya sudah pulih dan tenang
kembali. Dia menggunakan punggung tangan untuk menghapus sisa air matanya, lalu keduanya duduk
sambil berpandangan.
“Adikku, engkau sekarang sudah menjadi seorang gadis dewasa! Ahhh, sungguh tidak kusangka akan
dapat bertemu denganmu di sini! Ke manakah saja engkau selama ini, adikku? Dan bagaimana dapat lolos
dari serbuan pasukan yang membasmi keluarga kita itu?”
Li Sian lalu menceritakan pengalamannya, betapa ia diselamatkan oleh mendiang Bu Beng Lokai dan
dijadikan muridnya, dan betapa selama ini ia ikut bersama gurunya ke puncak Telaga Warna di
Pegunungan Beng-san. Kemudian, setelah turun gunung dia melakukan penyelidikan ke kota raja tentang
keluarganya dan dia kemudian mendengar bahwa semua anggota keluarganya telah habis kecuali kakak
sulungnya yang menjadi perwira dan bertugas di perbatasan utara.
“Aku lalu ingin mencarimu, Koko, dan aku teringat bahwa Tiat-liong-pang yang diketuai oleh paman
Siangkoan Tek adalah sahabat mendiang ayah, maka aku lalu mengunjungi Tiat-liong-pang dan berkat
bantuan Liong-toako dan anak buahnya, akhirnya malam ini kita dapat saling berjumpa. Dan bagaimana
dengan engkau sendiri, Koko?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak banyak hal lain di luar yang telah kau dengar, adikku. Tadinya aku pun ditangkap dan dipenjara
karena fitnah setelah seluruh keluarga kita dibasmi. Akan tetapi berkat pertolongan para menteri yang
setia, yang memintakan ampun, akhirnya Sri Baginda berkenan mengampuniku, bahkan untuk
membuktikan darma baktiku kepada kerajaan aku dianjurkan untuk masuk menjadi tentara. Nah, aku
masuk dan kini menjadi perwira. Akan tetapi, semua itu tidaklah penting. Yang penting adalah...” Perwira
itu menoleh ke kanan kiri dan setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain mendengarkan, dia pun
melanjutkan, suaranya direndahkan sehingga terdengar lirih, “... adalah kehadiranmu di sini, adikku.”
“Kehadiranku di sini? Kenapa, Koko?” tanya gadis itu heran.
“Ah, mustahil engkau belum melihat sendiri kenyataan yang jelas ini. Engkau berada di antara para
pemberontak! Jangan sampai engkau terbujuk dan bersekutu dengan para pemberontak, adikku.”
Li Sian mengerutkan alis. Ia memandang wajah kakaknya dengan sinar mata mencela, lalu terdengar
suaranya penuh kesungguhan. “Koko, engkau keliru! Bagaimana engkau dapat mengatakan Tiat-liongpang
pemberontak? Keluarga Siangkoan semenjak dahulu adalah keluarga gagah perkasa sehingga
menjadi sahabat baik ayah kita. Dan kalau Tiat-liong-pang kini menentang pemerintah, hal itu bukan berarti
hendak memberontak, melainkan berjuang untuk menentang kelaliman!”
“Siauwmoi...!”
“Nanti dulu, Koko. Apakah engkau sudah lupa bagaimana keluarga kita terbasmi habis? Ayah ibu dan
saudara-saudara kita terbunuh, semua itu terjadi karena kelaliman kaisar! Oleh karena itu, aku telah
mengambil keputusan membantu perjuangan Tiat-liong-pang untuk menentang kaisar yang lalim, untuk
membalas atas kematian keluarga kita...”
“Moi-moi! Nanti dulu, engkau salah paham. Agaknya karena engkau masih kecil dan dibawa pergi oleh
gurumu maka engkau tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi pada waktu itu...“
Pada saat itu terdengar langkah kaki memasuki ruangan. Melihat bahwa yang masuk adalah Siangkoan
Liong, maka Pouw Ciang Hin segera menghentikan kata-katanya.
Siangkoan Liong tersenyum gembira dan ramah. “Ahh, sungguh aku merasa menyesal sekali harus
menganggu kakak beradik yang sedang bercakap-cakap melepas rindu. Akan tetapi, masih terdapat
banyak waktu bagi Ji-wi (Kalian Berdua) untuk bercakap-cakap lagi kelak. Pouw-ciangkun, terpaksa aku
mengganggu kalian karena baru saja aku menerima perintah dari ayah agar mohon bantuan Ciangkun
sekarang juga.”
Pouw Ciang Hin memandang tajam penuh selidik, akan tetapi sikapnya juga ramah dan lembut. “Keperluan
apakah itu, Kongcu?”
Siangkoan Liong mengeluarkan segulung surat dalam tempat surat tertutup rapat dan menyerahkan itu
kepada Pouw Ciang Hin. “Ayah mohon bantuanmu supaya surat yang sangat penting ini disampaikan
kepada komandanmu, yaitu Coa Tai-ciangkun. Harap dapat disampaikan sekarang juga karena amat
penting.”
Pouw Ciang Hin merasa kecewa karena belum sempat menjelaskan kepada adiknya tentang peristiwa
yang menimpa keluarga mereka, akan tetapi karena maklum bahwa keraguan akan mendatangkan
bencana, dia pun lalu mengangguk.
“Baiklah, akan kusampaikan sekarang juga. Siauw-moi, terpaksa kita berpisah dulu. Tunggulah selama
satu minggu, aku akan minta cuti dua hari agar dapat datang ke sini dan bermalam satu malam di sini
sehingga kita mendapatkan banyak waktu untuk bisa bercakap-cakap.”
“Baiklah, Koko,” kata Li Sian dan ia mengikuti bayangan kakak kandungnya itu yang pergi meninggalkan
ruangan itu. Kemudian, ia pun minta diri dari Siangkoan Liong untuk pergi ke kamarnya.
Di dalam kamarnya, gadis itu termenung, mengenang kembali percakapannya dengan kakaknya. Benarkah
apa yang dikatakan kakaknya? Akan tetapi, tidak ada alasan untuk meragukan perjuangan Tiat-liong-pang
yang diketuai seorang sahabat ayahnya. Pula, sudah jelas bahwa keluarganya dibasmi oleh kerajaan.
Buktinya, empat orang kakaknya juga ditangkap dan dipenjara, bahkan tiga orang tewas di dalam penjara.
Bukankah itu sudah jelas bahwa yang membasmi keluarganya adalah kekuasaan kaisar yang lalim?
dunia-kangouw.blogspot.com
Katakanlah keluarga ayahnya difitnah orang, tetap saja kesalahan kaisarlah jika sampai menjatuhkan
hukuman kepada keluarga ayahnya, padahal ayahnya sama sekali tidak bersalah. Ayahnya seorang
menteri yang baik, jujur dan bijaksana! Betapa pun juga, ia akan menanti kakaknya datang berkunjung lagi
dan melanjutkan keterangannya tentang peristiwa pembasmian keluarga mereka itu.
Memang Pouw Li Sian tidak tahu apa yang telah terjadi. Gurunya juga tidak pernah bercerita mengenai hal
itu, bahkan gurunya juga tidak tahu dengan jelas apa yang sesungguhnya terjadi di balik layar peristiwa itu.
Di dalam kisah Suling Naga, diceritakan betapa Pouw Tong Ki yang menjabat sebagai Menteri
Pendapatan, adalah seorang menteri yang jujur. Ketika ia melihat betapa Hou Seng, seorang thaikam yang
amat dicinta oleh kaisar dan memiliki kekuasaan besar di istana, makin lama semakin mempengaruhi
kaisar dan kekuasaannya digunakan untuk kepentingan pribadi, dengan jujur dan berani dia mencela
perbuatan Hou Seng di depan kaisar.
Hal ini tentu saja menimbulkan kemarahan Hou Seng dan thaikam yang berkuasa ini lalu memerintahkan
seorang datuk sesat untuk membunuh Pouw Tong Ki dan isterinya. Untung pada saat itu Bu Beng Lokai
sedang menjadi tamunya, dan Bu Beng Lokai yang menyelamatkan Li Sian, bahkan melawan datuk sesat
yang kemudian melarikan diri.
Akan tetapi, Hou Seng lalu mengerahkan pasukan untuk menyerbu gedung keluarga itu dengan fitnah
bahwa Bu Beng Lokai yang membunuh Pouw Tong Ki, dan empat orang putera Pouw Tong Ki ditangkap
dengan tuduhan memberontak, serta rumah keluarga Pouw disita! Demikianlah keadaan yang tadinya
hendak diceritakan oleh Pouw Ciang Hin kepada adiknya, akan tetapi belum sempat karena kedatangan
Siangkoan Liong.
Dan Li Sian menanti kunjungan kakak kandungnya dengan sia-sia. Bahkan pada hari terakhir, pagi-pagi
sekali Siangkoan Liong sudah menemuinya dan dengan muka serius pemuda itu berkata,
“Sian-moi, telah terjadi sesuatu dengan kakak kandungmu. Sungguh celaka!”
Tentu saja Li Sian terkejut bukan main. “Apa yang telah terjadi dengan kakakku?”
“Dia dibunuh orang...“
“Ahhhh!” Betapa pun tabah dan terlatih, Pouw Li Sian terbelalak dan mukanya berubah pucat. “Siapa yang
membunuhnya dan mengapa?” tanyanya dengan suara membentak, hatinya penuh duka dan kemarahan.
“Tenanglah, Sian-moi, dan mari ikut bersamaku agar engkau dapat melihatnya sendiri. Aku sudah
memesan anak buahku supaya keadaannya jangan diubah sebelum engkau datang bersamaku.”
Mendengar ini, tanpa membereskan rambutnya yang kusut, Li Sian lalu berlari mengikuti Siangkoan Liong
yang menuju ke sebuah hutan kecil di sebelah utara perkampungan Tiat-liong-pang. Sambil berlari,
Siangkoan Liong berkata,
“Agaknya kakakmu baru meninggalkan markasnya untuk datang berkunjung, memenuhi janjinya
denganmu, dan agaknya dia memang dihadang di hutan itu, terjadi perkelahian dan dia tewas bersama
seorang perwira lain yang agaknya menjadi pembunuhnya.”
Setelah mereka memasuki hutan, Li Sian langsung dapat melihat beberapa orang anak buah Tiat-liongpang
berjaga, dan di tengah hutan, dia melihat belasan orang anggota perkumpulan itu berdiri melingkari
dua sosok orang yang menggeletak di atas rumput. Seorang di antara mereka adalah kakaknya, Pouw
Ciang Hin, dan orang yang ke dua adalah seorang laki-laki berpakaian perwira kerajaan, usianya setengah
tua.
Ketika telah mendekat, ia melihat bahwa di antara anggota Tiat-liong-pang terdapat pula Sin-kiam Mo-li,
Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek, dan Thian Kong Cinjin wakil ketua Pat-kwa-pai, yaitu tiga orang yang
sudah dikenalnya sebagai tokoh-tokoh sakti yang ikut membantu gerakan perjuangan Tiat-liong-pang. Juga
ia bisa melihat wanita cantik yang disebut Bi-kwi berada di situ, sekali ini tanpa suaminya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, Li Sian hanya memandang mereka dengan sekelebatan saja karena dia sudah lari dan berlutut
di dekat jenazah kakaknya. Kakaknya sudah tewas, tidak dapat diragukan lagi. Mandi darahnya sendiri.
Dan orang ke dua yang berpakaian perwira itu pun tewas, juga mandi darah.
“Siapakah orang ini?” Li Sian bertanya kepada Siangkoan Liong sambil menudingkan telunjuk kepada
perwira asing yang tangannya masih memegang sebatang golok besar, sedangkan di dekat tangan
kakaknya nampak pula sebatang pedang yang berlepotan darah.
“Kami tidak tahu,” berkata Siangkoan Liong. “Dia tidak berada di dalam pasukan Coa Tai-ciangkun yang
semua telah kami kenal. Jelas bahwa dia seorang perwira pasukan kerajaan yang lain, dan agaknya dia
memaksa kakakmu untuk mengkhianati komandan pasukannya, mungkin juga memaksanya untuk menjadi
mata-mata kerajaan. Dan tentu kakakmu menolak, lalu terjadi perkelahian dan keduanya tewas.”
Mendengar penjelasan atau dugaan ini, Li Sian termenung. Teringat dia akan semua ucapan kakaknya
yang membujuknya agar tidak mencampuri urusan pemberontakan. Apakah kakaknya sudah mulai
tergerak hatinya oleh bujukan pihak pasukan kerajaan? Kemudian, setelah bertemu dengannya, kakaknya
mungkin sadar dan hal ini membuat dia dimusuhi tentara kerajaan dan dibunuh?
Dia mengepal tinju dan di dalam hatinya dia mengutuk. Kembali keluarganya menjadi korban keganasan
tentara kerajaan kaisar lalim! Satu-satunya anggota keluarganya yang tersisa dari pembasmian tentara
kerajaan, kini sudah dibunuh pula.
“Aku bersumpah untuk menumpas tentara kerajaan kaisar lalim!” katanya sambil bangkit berdiri, mengusap
beberapa butir air matanya.
Mereka kembali ke perkampungan Tiat-liong-pang. Jenazah Pouw-ciangkun dipanggul, sedangkan jenazah
perwira kerajaan yang menjadi lawannya itu dikubur di tengah hutan itu juga. Pada keesokan harinya,
jenazah Pouw Ciang Hin dimakamkan dengan dihadiri semua tokoh yang bersekutu dengan Tiat-liongpang,
dengan satu upacara kehormatan, bahkan beberapa orang perwira dari pasukan Coa Tai-ciangkun
turut pula hadir dan memberi penghormatan.
Li Sian merasa berduka sekali, tubuhnya terasa lemas dan hatinya nyeri. Ia mencari kakak sulungnya,
satu-satunya keluarganya yang masih ada di dunia ini, dan berhasil bertemu dengan kakaknya. Akan
tetapi, semua hanya untuk diakhiri dengan kedukaan. Pertemuan singkat, bahkan mereka belum lagi
sempat bercakap-cakap secara panjang lebar. Lebih dari itu malah, agaknya terjadi ketidak sesuaian
paham antara mereka mengenai Tiat-liong-pang. Dan kini ia tidak sempat lagi bicara karena kakaknya
dibunuh orang.
Sejak kakaknya mati, Li Sian selalu duduk di dekat peti mati, membalas penghormatan semua orang. Ia
merasa lelah sekali, lelah lahir batin. Setelah jenazah itu dimakamkan, dia duduk terkulai di depan makam.
Semua orang sudah pergi meninggalkan kuburan kakaknya, kecuali dia sendiri dan Siangkoan Liong yang
selalu menemaninya dengan penuh perhatian dan mencoba untuk menghiburnya.
Melihat gadis itu masih bersimpuh dekat kuburan baru itu, Siangkoan Liong lalu berlutut di samping Li Sian.
Dengan lembut sekali tangannya menyentuh pundak gadis itu dan terdengar suaranya halus menggetar
penuh perasaan iba, “Sian-moi... sudahlah. Tidak ada gunanya ditangisi lagi, kakakmu telah tiada dan hal
itu sudah dikehendaki Tuhan. Akan tetapi engkau masih hidup dan karena itu engkau harus menjaga
kesehatanmu. Sejak kemarin engkau tidak makan, tidak minum, dan hanya menangis saja.”
Li Sian menoleh, memandang kepada Siangkoan Liong dengan sepasang mata merah karena kebanyakan
menangis. “Akan tetapi, Liong-ko, dia... dia ini adalah satu-satunya orang di dunia ini yang kumiliki... satusatunya
keluargaku...“
“Aihhh, harap jangan berpendapat demikian, Sian-moi. Bukankah keluarga Siangkoan telah menerimamu
dengan tangan terbuka seperti keluarga sendiri? Dan lihatlah aku ini, Sian-moi. Sampai sekarang aku
masih ada di sampingmu, dan aku akan melindungimu terus, menemanimu, menjadi pengganti seluruh
keluargamu, karena aku cinta padamu, Sian-moi. Tak tahukah engkau? Sejak pertama kali kita berjumpa,
aku sudah jatuh cinta padamu dengan sepenuh jiwa ragaku...“
Dalam keadaan hatinya sedang duka dan lemah, mendengar ucapan yang penuh kasih mesra dan iba itu,
luluh rasa hati Li Sian oleh perasaan haru. Matanya sayu menatap wajah pemuda itu dan mulutnya berbisik
lirih, “Liong-ko...“
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika pemuda itu merangkul dan memeluknya, ia pun menyembunyikan muka di dada pemuda itu sambil
menangis. Hatinya merasa terhibur dan di saat itu bagi Li Sian, tidak ada seorang pun manusia yang lebih
baik dari pada Siangkoan Liong. Karena hatinya sendiri memang sudah merasa kagum dan amat tertarik
kepada pemuda itu, maka ia pun tidak menolak ketika Siangkoan Liong membelai rambutnya, mengusap
air mata dari pipinya. Bahkan ketika pemuda itu mencium pipinya dan mengecup bibirnya, ia pun hanya
mengeluh panjang dan dia menemukan perasaan bahagia yang mendalam di antara kedukaannya.
“Sian-moi, aku akan segera minta kepada ayah agar menjodohkan kita. Maukah engkau menjadi isteriku,
Sian-moi?” tanya Siangkoan Liong dengan suara halus dan lirih sekali sambil menempelkan mulutnya di
dekat telinga gadis itu.
Li Sian kembali mengeluh, merasa canggung untuk menjawab. Memang sukar baginya di saat itu untuk
bersuara, maka ia pun hanya menggerakkan kepalanya mengangguk, masih bersandar pada dada
pemuda itu.
Mereka masih duduk dalam keadaan seperti itu beberapa lamanya, di depan kuburan baru Pouw Ciang
Hin. Cumbu rayu dan belaian penuh kasih sayang Siangkoan Liong perlahan-lahan dapat mengusir
kedukaan dari hati Li Sian dan ia pun dapat memulihkan lagi tenaganya dan kesadarannya. Dengan lembut
dia lalu menarik diri terlepas dari pelukan pemuda itu, lalu memandang kepada makam kakaknya dan
kedua pipinya yang tadinya pucat berubah kemerahan.
“Ahhh, Liong-ko, apa yang telah kita lakukan? Kita bersenang-senang di depan makam kakakku yang
masih baru...!” katanya agak menyesal.
“Sian-moi, kakakmu akan tersenyum melihat betapa kita saling mencinta dan adiknya mendapatkan jodoh
yang tepat. Marilah Sian-moi, mari kita pulang dan makan. Engkau harus makan agar tidak jatuh sakit.”
Mereka bangkit berdiri dan Li Sian kembali menoleh kepada makam kakaknya, lalu dia menjura sebagai
penghormatan terakhir sambil berkata, “Koko, tenangkanlah hatimu. Adikmu ini yang akan membalaskan
kematianmu dengan menentang pasukan kerajaan, menentang kaisar yang lalim...!”
“Bagus... bagus...!” Terdengar suara yang dalam dan lantang.
Li Sian dan Siangkoan Liong membalikkan tubuh dan menghadapi Siangkoan Lohan yang mendadak
muncul dan memuji ketika mendengar janji Li Sian di depan makam kakaknya.
“Paman Siangkoan...!” Li Sian memberi hormat.
“Bagus, Li Sian. Memang kami semua juga sedang berusaha untuk menghancurkan pemerintah yang lalim
itu! Pemerintah kaisar lalim itu sudah membasmi keluargamu, sahabatku Pouw Tong Ki yang jujur dan
bijaksana serta baik, bahkan kini membunuh pula satu-satunya puteranya yang masih hidup. Dengan
adanya bantuanmu, aku yakin gerakan kita akan berhasil baik.”
“Ayah, masih ada sebuah berita baik sekali bagi Ayah dan kami berdua mengharapkan persetujuan dan
keputusan Ayah.”
“Hemmm, berita apakah itu, Liong-ji (anak Liong)?”
“Ayah, baru saja kami berdua telah menyatakan saling mencinta, dan Sian-moi sudah menyatakan setuju
untuk menjadi isteriku. Oleh karena itu, kami mohon persetujuan dan keputusan Ayah mengenai hal ini.”
Siangkoan Lohan tertawa, suara ketawanya bergema di seluruh tanah kuburan itu.
“Ha-ha-ha-ha! Bagus, bagus sekali! Sungguh-sungguh merupakan berita yang sangat membahagiakan
hatiku. Tentu saja aku merasa setuju sekali. Biarlah nanti jika sudah habis perkabungan sebulan, akan
kurayakan pertunangan kalian dan kuumumkan!”
Siangkoan Liong cepat berkata, “Terima kasih, Ayah.” Lalu dia menggandeng tangan Li Sian. “Mari, kita
pulang dan makan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka berdua kemudian pergi meninggalkan kuburan, diikuti pandang mata Siangkoan Lohan yang
tersenyum lebar…..
********************
Pada waktu mereka berdua tiba di ruangan makan, di situ sudah duduk Sin-kiam Mo-li, Toat-beng Kiamong
Giam San Ek, Bi-kwi, Tiat-liong Kiam-eng suheng dari Siangkoan Liong tadi, juga Thian Kong Cinjin
dan Thian Kek Sengjin, serta beberapa orang tokoh lain yang menjadi pembantu atau sekutu ketua Tiatliong-
pang. Mereka semua duduk menghadapi meja makan dan agaknya mereka sedang makan minum,
atau baru saja selesai. Pada waktu melihat Siangkoan Liong datang memasuki ruangan makan sambil
menggandeng tangan Pouw Li Sian, mereka semua bangkit berdiri untuk menghormati Siangkoan Liong,
kemudian mereka memandang kepada gadis yang baru saja kematian kakak kandungnya itu.
“Para locianpwe dan saudara sekalian, kami membawa berita baik, yaitu bahwa nona Pouw Li Sian dan
saya akan bertunangan, peresmiannya sebulan dari sekarang,” kata Siangkoan Liong dengan wajah
berseri gembira.
Mendengar ini, semua yang hadir menyambut dengan gembira. Ada yang bersorak, ada yang tertawa,
kecuali tentu saja Bi-kwi yang hanya tersenyum saja dan sedetik wanita ini melempar pandang mata tajam
ke arah wajah Pouw Li Sian.
“Ahh, jika begitu, kita harus memberi ucapan selamat kepada sepasang calon mempelai ini dengan
suguhan secawan arak!” kata Sin-kiam Mo-li.
Wanita ini kemudian menuangkan arak yang kemerahan dari sebuah cawan. Bau arak semerbak harum
ketika arak itu mengalir ke dalam dua buah cawan bersih. Setelah dua cawan ini penuh arak merah yang
harum, Sin-kiam Mo-li kemudian membawanya dan menghampiri Siangkoan Liong dan Pouw Li Sian yang
masih berdiri. Dengan sikap dan suara merdu menarik wanita ini menyuguhkan dua cawan arak sambil
berkata dengan gembira.
“Perkenankanlah saya menghaturkan selamat atas nama semua kawan yang hadir di sini kepada Ji-wi
yang berbahagia,” katanya.
Semua orang telah mengisi cawan arak mereka masing-masing, kemudian mereka pun ramai-ramai
mengangkat cawan arak mereka sambil membujuk dan berkata, “Selamat kepada Siangkoan-kongcu dan
Pouw-siocia!”
Pouw Li Sian sejak kedatangannya pertama sudah merasa tidak senang kepada wanita cantik yang genit
itu, dan tadi dia merasa ragu untuk menerima suguhan arak ucapan selamat itu. Akan tetapi melihat betapa
semua orang sudah mengangkat cawan arak mereka, dan melihat pula betapa Siangkoan Liong juga
sudah menerimanya, terpaksa dia menerimanya pula. Mereka semua lalu minum arak masing-masing
sampai habis secawan penuh. Semua orang lalu bertepuk dan bersorak.
“Cu-wi (saudara sekalian), karena kita sudah makan kenyang, dan agaknya kedua calon pengantin belum
makan, maka sebaiknya kalau kita tidak ganggu mereka dan biarlah mereka makan berdua saja dengan
asyik.” Semua orang tertawa dan setelah memberi hormat, mereka keluar dari ruangan makan itu sambil
tertawa-tawa.
Siangkoan Liong memanggil pelayan. Empat orang pelayan datang dan dia menyuruh mereka
membersihkan meja, kemudian menghidangkan masakan-masakan baru untuk mereka berdua.
Mereka lalu makan minum dan perlahan-lahan, Li Sian sudah melupakan kedukaannya. Ia merasa
semakin gembira dan berbahagia, kedua pipinya merah, sinar matanya tajam dan wajahnya berseri,
senyumnya tak pernah meninggalkan bibir. Bahkan ia pun hanya tersenyum kalau Siangkoan Liong
bersikap dan bicara terlalu mesra, dan ia pun tidak menolak ketika pemuda itu menyuapinya dengan
sumpitnya, memilihkan daging yang paling lunak. Mereka pun makan minum sambil berkasih-kasihan.
Li Sian sama sekali tidak tahu bahwa arak yang disuguhkan oleh Sin-kiam Mo-li tadi, untuk
menghormatinya, diam-diam telah dimasuki bubuk merah oleh wanita itu. Arak itu telah menjadi arak obat
perangsang! Hal ini diketahui pula oleh Siangkoan Liong yang memang sudah mengaturnya bersama
wanita itu dan para pembantunya yang lain.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka semua maklum bahwa gadis yang menjadi murid keluarga Pulau Es ini, kalau dapat ditundukkan
akan menjadi kawan yang amat berguna, sebaliknya kalau menjadi lawan, ia amat berbahaya. Dan cara
satu-satunya untuk menundukkan adalah kalau ia dapat menjadi kekasih atau isteri Siangkoan Liong.
Bahkan ketika Siangkoan Liong, setelah mereka selesai makan, menggandengnya dan mengajaknya
masuk ke kamar pemuda itu, Li Sian tidak sadar lagi dan menurut saja seperti seekor domba dituntun ke
dalam rumah jagal. Gadis ini pun sama sekali tidak tahu bahwa di luar jendela kamar itu, nampak dua
orang yang berdiri sambil bersedakap dan mulut mereka berkemak-kemik.
Mereka adalah Sin-kiam Mo-li dan Thian Kek Sengjin, tokoh besar dari perkumpulan Pek-lian-kauw itu.
Mereka berdua adalah ahli-ahli sihir, dan seperti yang telah mereka rundingkan bersama Siangkoan Liong,
mereka berdua sekarang membantu pemuda itu, mengerahkan ilmu sihir mereka untuk mempengaruhi Li
Sian.
Gadis itu tak berdaya lagi. Memang di dalam hatinya sudah terdapat rasa suka, kagum dan tertarik kepada
Siangkoan Liong. Hal ini ditambah lagi bahwa ia kini berada dalam keadaan duka sehingga batinnya
menjadi lemah. Kemudian dia pun sudah terlena oleh bujuk rayu Siangkoan Liong dan juga keputusan
Siangkoan Lohan di kuburan kakaknya, bahwa ia telah ditunangkan dengan Siangkoan Liong.
Dalam makan minum lagi, sebelumnya dia pun sudah menerima arak obat perangsang dari Sin-kiam Mo-li
dan kini, di bawah pengaruh kekuatan sihir dua orang itu, dan bujuk rayu Siangkoan Liong, tentu saja
habislah semua daya tahannya. Ia sama sekali tidak melakukan perlawanan dan terulang kembalilah
peristiwa dalam kamar itu seperti yang pernah dialami oleh Kwee Ci Hwa.
Baru pada keesokan harinya, Li Sian diam-diam merasa menyesal bukan main dan mencela diri sendiri
yang demikian lemahnya. Akan tetapi, semuanya telah terjadi dan karena Siangkoan Liong amat pandai
menghiburnya, apa lagi karena pemuda itu adalah calon suaminya sendiri, maka Li Sian akhirnya takluk
dan tunduk, tidak lagi menyesali perbuatannya. Sama sekali dia tidak sadar bahwa dia telah menjadi
korban dari siasat yang amat lihai, yang telah diatur oleh Siangkoan Liong bersama para sekutunya untuk
menjatuhkannya, untuk menariknya menjadi pembantu mereka yang setia.
Masih untung bagi Li Sian bahwa ia memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga nasibnya tidak seperti Kwee
Ci Hwa yang dicampakkan begitu saja, seperti sampah tebu setelah manisnya dihisap habis. Dan ia pun
mencinta calon suaminya dengan sepenuh hatinya, bahkan ia kini percaya benar akan sucinya perjuangan
yang sedang direncanakan oleh calon ayah mertuanya…..
********************
Pria yang duduk bersila seorang diri di dalam gubuk itu usianya sudah mendekati lima puluh tahun. Belum
tua benar, namun wajahnya sudah mulai nampak tua karena penuh guratan derita hidup yang membayang
pada wajahnya yang masih nampak tampan. Muka yang berbentuk bulat dengan kulit agak gelap,
tubuhnya tegap dan pakaiannya sederhana walau pun rapi dan bersih.
Gubuk itu berada di lereng Pegunungan Tapa-san, di dekat sumber air yang kemudian mengalir menjadi
awal Sungai Han Sui. Pemandangan alam di situ indah sekali, dan sunyi karena dusun-dusun terletak jauh
di sebelah bawah, di mana terdapat tanah pertanian di sepanjang kedua tepi sungai yang subur. Pertapa di
dalam gubuk itu adalah Suma Ciang Bun, seorang di antara cucu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es.
Semenjak muridnya, Gu Hong Beng, pergi dua tahun yang lalu meninggalkannya untuk melakukan
perjalanan merantau dan menentang gerakan para tokoh sesat, Suma Ciang Bun berdiam seorang diri
dalam gubuknya di lereng Pegunungan Tapa-san yang sunyi itu. Ia hidup menyendiri, bercocok tanam
sedikit, hanya cukup untuk keperluan hidupnya sehari-hari dan waktu selebihnya hanya diisi dengan
semedhi. Dia sudah tidak ingin lagi mencampuri urusan dunia ramai dan di dalam tempat yang sunyi itu,
pendekar ini telah memperoleh kedamaian batin. Dia tidak ingin mengganggu ketenteraman batinnya itu
dengan segala urusan dunia yang baginya selalu hanya menimbulkan pertentangan dan keruwetan belaka.
Tidak dapat disangkal bahwa kedamaian terdapat di dalam batin, dan tergantung dari keadaan batin,
bukan dari keadaan di luar. Segala keinginan timbul dari batin sendiri, bukan dari keadaan di luar. Hal ini
tentu saja memang benar. Akan tetapi tidak boleh diremehkan daya tarik keadaan di luar batin sendiri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tempat yang sunyi dan tenteram mempunyai banyak pengaruh terhadap ketenteraman batin, seperti juga
benda-benda yang memiliki daya tarik bagi keinginan batin. Jauh dari benda-benda itu tentu sedikit sekali
membangkitkan keinginan, tak seperti kalau benda-benda itu berada di depan mata.
Biar pun demikian, tentu saja yang menentukan semuanya adalah keadaan batin itu sendiri. Batin yang
kosong dan damai akan tetap tenang biar orangnya berada di tempat ramai, sebaliknya batin yang penuh
persoalan dan tegang akan tetap merana biar pun orangnya berada di tempat yang sunyi.
Karena Suma Ciang Bun memang tidak mempunyai keinginan apa pun, tidak memiliki pamrih atau cita-cita
apa pun, maka dia sama sekali bukan melakukan pertapaan yang menyiksa diri seperti banyak dilakukan
orang yang ingin mencapai sesuatu. Ada banyak orang-orang yang melakukan tapabrata untuk berprihatin,
dengan pamrih agar sesuatu yang diinginkannya akan tercapai, dan tapa seperti ini sering kali disertai
penyiksaan diri, seperti menahan lapar, menahan haus, menahan kantuk, dan sebagainya sampai berharihari,
bahkan berminggu atau berbulan.
Akan tetapi Suma Ciang Bun tidak melakukan penyiksaan diri. Ini bukan berarti bahwa dia menuruti semua
nafsu badannya, bukan ingin menyenangkan tubuhnya, karena jika demikian halnya, tidak ada bedanya
dengan para pertapa yang ingin mencari sesuatu yang diinginkan.
Pada saat perutnya berkuruyuk, Suma Ciang Bun sadar dari semedhinya dan dia pun teringat bahwa
sudah tiba saatnya perutnya diisi karena sejak kemarin sore, dia belum lagi mengisi perut, dan hari ini
matahari sudah naik tinggi. Dengan tenang dia pun turun dari tempat semedhi, menuju ke luar gubuk
melalui pintu gubuk yang semenjak pagi tadi telah dibukanya lebar-lebar sehingga hawa pegunungan
memenuhi gubuknya. Dia pergi ke bagian belakang gubuk, di sebelah luar dan nampaklah asap mengepul
ketika Suma Ciang Bun membuat api dan menanak nasi, memasak air dan sayuran, dengan bumbu
sederhana.
Selagi dia masak itulah terdengar langkah kaki orang dan dia pun menengok. Kiranya ada tiga orang yang
berjalan menghampirinya dari depan gubuk. Seorang gadis yang cantik dan lincah berusia sekitar dua
puluh satu tahun, seorang pemuda yang wajah dan pakaiannya sederhana, pakaian yang serba putih,
berusia sekitar dua puluh dua tahun, dan seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tujuh tahun yang
tampan dan matanya bersinar tajam.
Suma Ciang Bun tidak mengenal siapa mereka itu dan dia memandang heran sambil mengingat-ingat.
Hanya gadis itulah dia merasa seperti pernah mengenalnya. Gadis itu pun segera lari menghampirinya dan
memegang lengannya.
“Paman Suma Ciang Bun! Lupakah Paman kepadaku?” kata Suma Lian sambil tertawa gembira. “Aku
adalah Suma Lian!”
Suma Ciang Bun terbelalak memandang gadis itu. “Aihhh, engkau, Lian-ji? Wah, sudah begini dewasa
engkau! Angin apakah yang meniupmu sampai ke sini? Dan siapakah mereka itu?”
Dia memandang kepada pemuda dan anak laki-laki itu dengan alis berkerut. Gadis ini adalah
keponakannya, keponakan dalam, tapi sebetulnya juga tunangan dari muridnya. Semenjak Suma Lian
berusia dua belas tahun, gadis ini telah dijanjikan oleh mendiang neneknya untuk menjadi isteri Gu Hong
Beng, muridnya itu. (baca kisah SULING NAGA)
Mendengar pertanyaan bertubi-tubi itu Suma Lian tersenyum. “Dia adalah saudara Tan Sin Hong, Paman.
Kami berjumpa dalam perjalanan dan berkenalan. Ternyata antara dirinya dengan keluarga kita masih ada
hubungan dekat, Paman. Dan tahukah Paman, siapa guru-gurunya? Kakek Kao Kok Cu dan isterinya,
penghuni Istana Gurun Pasir, juga kakek Wan Tek Hoat. Tiga orang sakti itu telah menggemblengnya di
Istana Gurun Pasir.”
Tentu saja Suma Ciang Bun terkejut bukan main mendengar keterangan itu dan dia pun membalas
penghormatan Sin Hong kepadanya sambil memandang pemuda itu dengan penuh perhatian. “Ah, kiranya
murid para locianpwe yang sakti itu. Sungguh beruntung dapat berjumpa dengan seorang pemuda yang
gagah perkasa. Dan siapakah anak ini?”
Dia memandang kepada Yo Han, seorang anak laki-laki yang memiliki sikap gagah dan sepasang mata
yang mencorong. Suma Ciang Bun merasa suka sekali, dan dia agak tercengang ketika anak itu tiba-tiba
saja menjatuhkan diri berlutut di depan kakinya. Dia mengelus rambut kepala anak itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aihhh, anak yang baik, tidak perlu melakukan penghormatan seperti itu. Bangkitlah.” katanya lembut.
“Paman, dia bernama Yo Han. Ayahnya adalah paman Yo Jin dan kurasa Paman sudah mendengar nama
ibunya yang gagah perkasa, yaitu bibi Ciong Siu Kwi...“
Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya, mengingat-ingat.
“Ciong Siu Kwi...,“ katanya perlahan.
Dia sudah banyak mendengar akan nama ini dari muridnya. Bukankah wanita iblis yang amat jahat, akan
tetapi kemudian telah mengubah jalan hidupnya setelah dia menikah dengan seorang pemuda petani,
bahkan kemudian menjadi orang yang mengasingkan diri dari dunia persilatan?
“Apakah dia yang berjuluk Bi-kwi...?”
Suma Lian mengangguk. “Benar sekali, Paman.”
Suma Ciang Bun memandang kepada anak itu dengan kagum. Dan anak laki-laki ini adalah putera bekas
iblis betina itu?
“Akan tetapi, mengapa dia ikut denganmu? Apa yang telah terjadi...?”
“Panjang ceritanya, Paman...”
“Ahh, benar juga. Sampai lupa aku. Marilah kalian masuk, kita bicara di dalam,” ajaknya sambil mendahului
ketiga orang tamu itu memasuki gubuknya yang sederhana namun bersih.
Tidak ada kursi atau bangku di dalam gubuk itu. Lantainya ditilami jerami kering dan mereka duduk di atas
tikar anyaman sendiri yang bersih dan lunak karena di bawah tikar itu terdapat lapisan jerami kering yang
tebal.
Setelah mereka semua duduk di atas tikar itu, Suma Lian lalu menceritakan maksud kunjungannya.
“Paman Suma Ciang Bun, sebetulnya kunjunganku ke sini adalah diutus oleh ayah dan ibu. Mereka rindu
kepada Paman dan mengutusku untuk menengok dan menanyakan keselamatan Paman. Selain itu, apa
bila Paman tidak merasa keberatan, ayah dan ibu ingin sekali supaya Paman suka pindah saja ke rumah
kami dan tinggal bersama kami di sana, dari pada Paman hidup menyendiri di tempat sunyi ini. Kata ayah,
dia dan Paman sudah mulai tua dan ayah ingin dekat dengan Paman.”
Mendengar ucapan keponakannya itu, Suma Ciang Bun merasa terharu, akan tetapi dia tersenyum.
“Ahhh, sejak dulu ayahmu memang amat baik! Aku sudah merasa cukup berbahagia di sini, akan tetapi
undangan ayah ibumu itu bukannya tidak menarik. Berilah waktu, akan kupikirkan masak-masak dan kalau
kelak aku ingin hidup santai dan tenang, aku akan datang ke rumah kalian.”
Selanjutnya, Suma Ciang Bun bertanya tentang Sin Hong dan Yo Han. Maka Suma Lian lalu berceritalah
tentang pengalaman perjalanannya, betapa ia melihat Yo Han dilarikan penculik, kemudian ia berusaha
menyelamatkannya dan nyaris tewas jika tidak ditolong oleh Sin Hong. Ia menceritakan betapa orangorang
golongan sesat itu telah menawan ayah dan ibu Yo Han. Mereka terpaksa menyerahkan diri demi
menyelamatkan Yo Han yang dijadikan sandera oleh para penjahat.
“Saudara Tan Sin Hong ini dan aku bermaksud untuk melakukan penyelidikan terhadap para tokoh sesat
yang kabarnya membuat gerakan untuk memberontak, Paman. Kami ingin melakukan penyelidikan
terhadap Tiat-liong-pang di utara. Karena kami tidak ingin membawa Yo Han ke dalam bahaya sewaktu
melakukan tugas itu, maka aku teringat untuk menitipkan dulu anak ini di sini, Paman. Tentu saja kalau
Paman tak berkeberatan dan hanya untuk sementara. Kelak, kalau tugas kami selesai, saudara Tan Sin
Hong ini tentu akan menjemputnya, karena Yo Han telah menjadi muridnya.”
Mendengar ini, wajah Suma Ciang Bun berseri dan dia memandang kepada anak laki laki di depannya itu.
Sejak melihatnya pertama kali, memang hatinya telah tertarik sekali dan dia merasa kagum dan suka
kepada Yo Han. Oleh karena itu, mendengar ucapan Suma Lian, dia mengangguk-angguk.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Baiklah, biarlah dia berada di sini saja selama kalian melaksanakan tugas penting itu. Ketahuilah bahwa
muridku, Gu Hong Beng, juga sudah pergi merantau dua tahun yang lalu dan aku merasa yakin bahwa dia
tentu tidak akan tinggal diam kalau mendengar akan pergerakan kaum sesat itu. Engkau tentu belum lupa
kepada muridku Gu Hong Beng itu, bukan?” tanyanya sambil menatap tajam wajah manis keponakannya.
Suma Lian tersenyum, membuat wajahnya nampak makin cerah dan jelita. “Aih, Paman. Bagaimana
mungkin aku dapat melupakan suheng Gu Hong Beng? Tidak akan pernah dapat kulupakan betapa dulu,
ketika aku berusia dua belas tahun dan diculik oleh Sai-cu Lama, suheng Gu Hong Beng membelaku matimatian.”
Gadis ini teringat akan pengalamannya ketika masih kecil itu, ketika ia diculik seorang datuk sesat, Sai-cu
Lama, dan mengakibatkan kematian neneknya (baca kisah SULING NAGA).
Mendengar jawaban itu, Suma Ciang Bun merasa gembira sekali dan dia mendapat pikiran yang amat
baik. Pemuda yang datang bersama Suma Lian ini adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian
tinggi. Hal ini mudah diduga kalau mengingat betapa pemuda ini pernah menyelamatkan Suma Lian, apa
lagi karena ketiga orang gurunya adalah tokoh-tokoh besar yang sakti.
Melihat pergaulan yang nampak akrab di antara pemuda itu dan keponakannya, timbul kekhawatiran dalam
hatinya walau pun dia tidak merasa heran melihat pergaulan yang akrab antara muda mudi itu. Memang
kehidupan di dunia persilatan lebih bebas. Bagi seorang gadis ahli silat yang suka merantau, merupakan
hal yang biasa bergaul dengan seorang pemuda karena gadis itu mampu menjaga diri dengan
kepandaiannya. Akan tetapi dia khawatir kedahuluan, maka dia mempunyai pikiran untuk menyampaikan
saja pesan rahasia mendiang nenek Teng Siang In kepada keponakannya, di depan pemuda itu.
“Lian-ji, keponakanku yang baik. Dalam kesempatan ini, aku ingin menyampaikan suatu berita yang
mungkin selama ini masih menjadi rahasia besar bagimu. Mengingat bahwa pemuda perkasa ini adalah
murid Istana Gurun Pasir, maka berarti dia bukan orang luar dan tidak ada jeleknya kalau dia
mendengarkan pula.”
Mendengar ucapan yang dikeluarkan dengan wajah serius itu, Suma Lian terkejut dan menatap wajah
pamannya dengan penuh keinginan tahu. “Paman, rahasia apakah itu?”
“Rahasia peninggalan pesan terakhir nenekmu Teng Siang In. Atau barang kali engkau sudah
mendengarnya dari orang tuamu?”
“Pesan terakhir nenek Teng Siang In? Belum, Paman, aku belum mendengar tentang itu. Apakah pesan
terakhir itu ditujukan kepadaku?”
“Bukan kepadamu, akan tetapi justru pesan itu mengenai dirimu, atau lebih tepatnya mengenai
perjodohanmu.”
Sepasang mata yang lebar dan jeli itu terbelalak, kemudian kedua pipinya berubah kemerahan.
“Apa... apa maksudmu, Paman?” tanyanya agak tergagap karena hatinya terguncang mendengar bahwa
mendiang neneknya meninggalkan pesan mengenai perjodohannya.
Suma Ciang Bun menarik napas panjang. “Hal ini sudah pernah kuceritakan pada ayah ibumu, akan tetapi
agaknya mereka belum menceritakannya kepadamu. Baiklah akan kuceritakan saja agar aku tidak akan
selalu merasa berhutang janji kepada nenekmu itu, melalui muridku. Hal itu terjadi ketika engkau diculik
oleh Sai-cu Lama. Engkau tentu masih ingat betapa telah terjadi perkelahian antara mendiang nenekmu
dan Sai-cu Lama. Nenekmu kemudian dibantu oleh suheng-mu, Gu Hong Beng, akan tetapi Sai-cu Lama
amat lihai dan akhirnya nenekmu roboh dan terluka parah oleh Sai-cu Lama yang mempergunakan pedang
Ban-tok-kiam...“
“Ban-tok-kiam...?” Tiba-tiba Sin Hong berseru kaget, di luar kesadarannya.
Suma Ciang Bun memandang kepadanya dan mengangguk. “Benar, Tan-sicu (orang gagah Tan), datuk
sesat itu mempergunakan Ban-tok-kam, karena pedang dari Istana Gurun Pasir itu pernah terjatuh ke
dalam tangannya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sin Hong sadar bahwa dia telah lancang bicara dan kini diam saja, membayangkan betapa Ban-tok-kiam
dan Cui-beng-kiam kini terjatuh ke dalam tangan Sin-kiam Mo-li. Hal ini mengingatkan dia bahwa amatlah
berbahaya kalau pedang-pedang yang amat ampuh dan ganas itu terjatuh ke tangan orang jahat.
Bagaimana pun juga, dia harus mencari Sin-kiam Mo-li, bukan untuk sekedar membalas dendam atas
kematian tiga orang gurunya, akan tetapi terutama sekali untuk merampas kembali Ban-tok-kiam dan Cuibeng-
kiam. Dua batang pedang pusaka yang amat ganas itu tidak boleh disalah gunakan oleh Sin-kiam
Mo-li atau para tokoh jahat lainnya untuk melakukan kejahatan.
“Lalu bagaimana, Paman?” tanya Suma Lian tidak sabar karena cerita pamannya yang akan membuka
rahasia pesan terakhir neneknya itu tadi diselingi urusan Ban-tok-kiam.
“Nenekmu terluka parah dan dibawa pulang oleh Hong Beng, sedangkan engkau lalu dilarikan Sai-cu
Lama. Ketika ayah ibumu mendengar pelaporan Hong Beng, mereka segera melakukan pengejaran
terhadap Sai-cu Lama sedangkan Hong Beng menjaga dan merawat nenekmu. Tapi nenekmu tak tertolong
lagi, dan sebelum menghembuskan napas terakhir, nenekmu telah meninggalkan pesan kepada Hong
Beng.” Kembali Suma Ciang Bun menghentikan ceritanya, agaknya dia sendiri juga merasa canggung
untuk membuka rahasia itu.
“Pesan mengenai diriku, Paman? Bagaimanakah pesan itu?”
Suma Ciang Bun menarik napas panjang sebelum melanjutkan. “Sebetulnya pesan ini bukan kepadamu,
namun kepada Hong Beng. Nenekmu itu sebelum meninggal dunia, minta kepada Hong Beng untuk
berjanji. Betapa pun berat rasanya janji itu oleh Hong Beng, namun mengingat bahwa pesan itu adalah
pesan dari seorang yang menghadapi kematian, Hong Beng tidak tega untuk menolak dan dia pun telah
berjanji seperti yang diminta oleh mendiang nenekmu itu...” Kembali dia berhenti.
“Apakah janji itu, Paman? Katakanlah, kenapa Paman nampak ragu-ragu?” Suma Lian mendesak.
“Hong Beng diminta berjanji agar kelak dia suka menjadi suamimu...“
Sepasang mata itu kembali terbelalak dan kini kedua pipi yang halus itu berubah merah sekali.
“Ahhhhh...“ Suma Lian menahan seruannya.
Suma Ciang Bun merasa hatinya lapang setelah dia menceritakan pesan yang selama bertahun-tahun
dirahasiakan itu. “Demikianlah pesan nenekmu, Suma Lian. Hong Beng tidak berani menolak dan dia pun
sudah berjanji di depan nenekmu yang sedang menghadapi kematian. Tentu saja janji itu amat
mengganggu hati Hong Beng dan dia tidak berani menceritakannya kepada siapa pun, apa lagi kepada
orang tuamu. Setelah engkau dewasa, akhirnya dia menceritakannya kepadaku. Mendengar itu, aku
segera menemui orang tuamu dan sudah kuceritakan kepada mereka tentang pesan terakhir nenekmu itu.”
Tanpa disengaja, Suma Lian menoleh kepada Sin Hong. Akan tetapi pemuda itu hanya duduk bersila
dengan muka ditundukkan sehingga Suma Lian tidak dapat mengetahui bagaimana wajah pemuda itu yang
tentu saja ikut mendengarkan semua percakapan tadi. Hati Suma Lian menjadi agak lega karena tadinya ia
merasa rikuh sekali bahwa Sin Hong ikut mendengarkan percakapan tentang perjodohannya.
“Dan mereka... ayah ibuku..., bagaimana pendapat mereka, Paman?”
Dia teringat akan peringatan ayah ibunya kepadanya bahwa ia telah lebih dari dewasa untuk segera
menentukan jodohnya! Akan tetapi ayah ibunya sama sekali tak menyebut nama Gu Hong Beng. Teringat
akan ini, ia pun membayangkan wajah Gu Hong Beng. Akan tetapi, ia tidak dapat mengingatnya dengan
baik. Ketika itu, ia baru berusia dua belas tahun! Delapan atau sembilan tahun telah lewat ketika ia melihat
Gu Hong Beng.
Akan tetapi, karena pemuda itu dahulu pernah membelanya dari ancaman penculikan Sai-cu Lama, tentu
saja dia mengenang pemuda itu dengan hati kagum dan berhutang budi. Samar-samar ia masih ingat
bahwa Gu Hong Beng adalah seorang pemuda yang berpakaian sederhana, sikapnya lemah lembut,
pendiam, halus, serta berwajah cerah dan tampan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ayah dan ibumu, hemmm... mereka tidak dapat mengambil keputusan dan mengatakan bahwa untuk
urusan perjodohanmu, mereka menyerahkan sepenuhnya kepadamu. Lalu bagaimana dengan
pendapatmu mengenai pesan terakhir nenekmu itu, Lian-ji (anak Lian)?”
Suma Lian tersenyum. Hatinya merasa lega dan bersyukur. Ayah ibunya memang amat bijaksana dan
sangat mencintanya. Ia tahu bahwa ayah ibunya amat menginginkan ia segera menikah, akan tetapi
mereka menyerahkan pemilihan jodoh kepadanya sendiri.
Kembali tanpa disengaja, ia melirik ke arah Sin Hong. Pemuda itu tetap menundukkan muka dan
nampaknya rikuh sekali. Seorang pemuda yang sopan dan baik, pikir Suma Lian. Sikapnya yang diam
menunduk itu banyak menolongnya dari kerikuhan.
“Aku tidak tahu, Paman...“ Suma Lian memandang pamannya dengan senyum lebar. “Ayah dan ibu
sungguh bijaksana sekali. Terus terang saja, aku berterima kasih atas sikap mereka yang menyerahkan
keputusan urusan perjodohanku kepadaku sendiri.”
Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya sebentar dan wajahnya sudah cerah kembali.
“Maksudku, bagaimana pendapatmu dengan muridku Gu Hong Beng? Setujukah engkau kalau dia menjadi
calon suamimu seperti yang dipesankan mendiang nenekmu? Kalau engkau setuju, aku akan merasa
berbahagia sekali dan segera aku akan membicarakan urusan ikatan jodoh itu dengan orang tuamu.”
“Aihhh, Paman mengapa demikian tergesa-gesa? Kurasa, urusan perjodohan bukanlah urusan sederhana
dua orang untuk selamanya di kemudian hari! Mana mungkin aku dapat menentukan sekarang?
Sedangkan suheng Gu Hong Beng itu seperti apa pun aku tidak tahu...“
“Ah, bukankah engkau sudah pernah bertemu dengan dia?”
“Itu sembilan tahun yang lalu, Paman, dan kini aku sudah lupa lagi bagaimana rupanya. Kurasa, suheng
Gu Hong Beng sendiri juga sudah lupa kepadaku...“
“Tidak, Lian-ji. Dia tidak pernah lupa, dan kurasa dia selalu menunggu keputusanmu tentang perjodohan
itu.”
Diam-diam Suma Lian terkejut juga mendengar hal ini karena dia merasa yakin bahwa pamannya ini tidak
berbohong. Mungkinkah murid pamannya itu sejak dia berusia dua belas tahun telah jatuh hati kepadanya?
Menggelikan!
“Biarlah aku akan memberi jawaban kalau kami sudah saling jumpa, Paman.”
Mendengar ketegasan dalam suara keponakannya, Suma Ciang Bun tidak mendesak lebih jauh, lalu
mengalihkan percakapan ke arah gerakan para tokoh sesat yang hendak memberontak itu sehingga Sin
Hong mendapat kesempatan pula untuk ikut bicara tanpa merasa kikuk.
Atas pertanyaan Suma Ciang Bun, Sin Hong lalu menceritakan tentang dirinya, tentang orang tuanya yang
menjadi korban pembunuhan dan betapa ia melakukan penyelidikan yang jejaknya membawanya kepada
Tiat-liong-pang pula. Pada waktu Suma Ciang Bun mendengar cerita Sin Hong betapa ketiga orang
gurunya di Istana Gurun Pasir diserbu oleh banyak datuk sesat sehingga ketiga orang gurunya itu tewas,
pendekar ini terkejut bukan main. Sepasang matanya terbelalak seolah-olah ia tak percaya mendengar
berita mengejutkan itu.
“Apa?” teriaknya. “Tiga orang locianpwe yang sakti itu bisa tewas di tangan para tokoh sesat? Bagaimana
hal itu mungkin terjadi? Siapakah mereka? Ceritakanlah!”
“Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, yang bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li dan
Sai-cu Sin-touw,” kata Sin Hong.
Dia selanjutnya menceritakan betapa di antara ketujuh belas orang tokoh sesat yang menyerbu Istana
Gurun Paisir itu, hanya ada tiga orang yang tidak tewas, yaitu Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin wakil ketua
Pat-kwa-kauw, dan Thian Kek Sengjin tokoh besar Pek-Lian-kauw, sedangkan empat belas orang tokoh
lainnya sudah tewas. Akan tetapi tiga orang gurunya juga tewas dalam perkelahian keroyokan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akan tetapi, bagaimana engkau sendiri dapat lolos dari kematian, sedangkan tiga orang gurumu tewas?”
Suma Ciang Bun bertanya.
Hati Suma Ciang Bun diliputi rasa penasaran besar mendengar bahwa tiga orang yang dianggapnya
memiliki tingkat ilmu kepandaian yang sulit dibayangkan tingginya, bahkan mendekati kebesaran nama
kakeknya, yaitu Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, dapat tewas di tangan pengeroyokan orang-orang
sesat.
Tan Sin Hong menghela napas panjang. Pertanyaan seperti itu selalu membuat dirinya merasa menyesal
dan memancing datangnya rasa duka. Dengan singkat dia kemudian menceritakan mengapa dia masih
hidup dan mengapa dia tidak berdaya membela tiga orang gurunya ketika Istana Gurun Pasir diserbu para
penjahat itu.
Dia ceritakan pula, tanpa menyinggung tentang usaha Sin-kiam Mo-li untuk merayunya tanpa hasil, betapa
akhirnya dia berhasil lolos dan menyelamatkan dirinya, sesudah membakar istana itu dengan jenazah tiga
orang gurunya berada di dalamnya dan ikut terbakar. Betapa selama setahun dia bersembunyi di dalam
hutan untuk menyelesaikan latihannya, menguasai ilmu silat baru ciptaan tiga orang gurunya yang
membuat dia tak berdaya ketika istana diserbu karena pada waktu itu dia belum menguasai Ilmu Pek-ho
Sin-kun dan setiap kali mengerahkan tenaga dia akan roboh sendiri.
Setelah mendengar penjelasan Sin Hong, Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan dia pun menarik
napas panjang. Agaknya memang sudah ditakdirkan oleh Tuhan bahwa saat itu keluarga sakti penghuni
Istana Gurun Pasir harus mengalami kematian seperti itu. Buktinya, kebetulan sekali ketika mara bahaya
itu tiba, murid mereka yang mereka andalkan sedang dalam keadaan tak berdaya. Andai kata pemuda ini
telah menamatkan ilmunya yang baru itu, tentu akan mampu membela mereka dan belum tentu mereka
bertiga itu akan tewas.
“Paman, keadaan tiga orang locianpwe di Istana Gurun Pasir itu sama benar dengan nasib keluarga kakek
buyutku di Istana Pulau Es. Mereka semua adalah keluarga yang sakti, memiliki ilmu silat yang amat tinggi,
akan tetapi mengapa mereka semua tewas dalam tangan orang-orang jahat? Tewas dalam perkelahian?”
kata Suma Lian dengan penasaran. “Bukankah mereka semua adalah orang-orang gagah perkasa yang
selalu menentang kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan?”
Mendengar pertanyaan ini, Suma Ciang Bun hanya mengembangkan kedua lengannya lalu
mengangkatnya ke atas, kemudian merapatkan kedua tangan di depan dada sambil berkata dengan suara
lirih, “Kekuasaan Tuhan menuntun segala sesuatu dan kehendak Tuhan pun terjadilah! Tiada kekuasaan
lain di dunia ini dapat mengubah, mempercepat atau memperlambat setiap peristiwa yang sudah
ditentukan Tuhan. Hukum Karma tidak akan terelakkan oleh siapa pun juga. Siapa menanam dia memetik
buahnya, pohon apel berbuah apel, pohon mawar berbunga mawar, pohon racun berbunga racun. Siapa
bermain air akan basah, bermain api akan terbakar, bermain lumpur akan kotor. Siapa hidup di dalam
kekerasan, takkan terelakkan lagi tentu akan menjadi korban kekerasan pula. Betapa pun gagahnya
seseorang, akan tiba saatnya dia menemukan tanding yang lebih gagah, atau sebaliknya, akan tiba
saatnya di mana usianya akan menggerogoti kegagahannya. Dia akan menjadi lemah. Keluarga Pulau Es
dan keluarga Gurun Pasir memang terkenal sebagai keluarga yang sakti dan gagah perkasa. Justru karena
itulah maka mereka gugur di dalam kekerasan, di dalam perkelahian. Kalau kita mengingat akan Hukum
Karma, hal itu sama sekali tidak aneh, bukan?”
“Tetapi, Locianpwe,” kata Sin Hong. “Harap maafkan kalau saya lancang mencampuri bicara dan
mengemukakan pendapat saya. Biar pun para guru saya itu merupakan ahli ahli silat sehingga mereka itu
tentu saja selalu mempergunakan kekerasan karena harus menentang para penjahat, namun, bukankah
mereka itu adalah pembela kebenaran dan keadilan? Bukankah perbuatan mereka itu mulia dan sesuai
dengan kebajikan? Akan tetapi mengapa mereka harus menerima nasib tewas di tangan kaum sesat yang
jahat? Apakah hal itu dapat dikatakan sebagai hukum yang adil?”
Suma Ciang Bun tersenyum. Dari nada bicara pemuda itu, dia dapat menduga bahwa pemuda ini
bukannya tidak tahu mengenai masalah itu, melainkan hendak mengajak dia berbincang tentang hukum
yang nampaknya tidak adil itu.
“Orang muda yang gagah, pendapatmu itu mewakili pendapat umum, tetapi hendaknya dimengerti benar
bahwa pendapat umum bukanlah merupakan ukuran akan kebenaran dan keadilan kekuasaan Tuhan.
Masih terdapat banyak rahasia yang tersimpan di balik semua peristiwa yang terjadi. Apa pun yang terjadi
di dalam kehidupan ini, sudah pasti sesuai dengan kehidupan ini, sudah pasti sesuai dengan kewajaran,
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak terlepas dari Hukum Karma yang mencerminkan keadilan kekuasaan Tuhan. Mungkin saja nampak
tidak adil, bahkan ada kalanya suatu peristiwa dianggap janggal dan tidak adil sama sekali oleh kita,
namun hal itu hanya membuktikan betapa lemah dan bodohnya kita. Akal kita, batin kita, pikiran kita, sama
sekali tidak mampu menjangkau rahasia itu. Ada seorang bayi yang begitu dilahirkan sudah harus
menderita, entah karena kemiskinan keluarganya, atau dikarenakan cacad badan, atau karena tertimpa
bencana alam dan sebagainya. Menurut pendapat akal kita, tentu saja hal itu sama sekali tidak adil! Ada
pula orang yang hidupnya penuh dengan kecurangan dan kejahatan, nampaknya hidup serba mewah,
mulia dan senang. Sebaliknya, orang yang kita anggap berbudi mulia, baik dan dermawan, hidupnya serba
kekurangan atau menderita karena penyakit yang berat dan lama. Nah, semua itu hanya sekedar bukti
bahwa akal pikiran kita tidak akan mampu menguak rahasia kekuasaan Tuhan!”
“Paman, kalau begitu, apa gunanya kita membela kebenaran dan menentang kejahatan kalau hasilnya
belum tentu menguntungkan kita?” Suma Lian membantah dengan hati penasaran.
Mendengar bantahan keponakannya itu, Suma Ciang Bun tertawa. “Ha-ha-ha-ha, Suma Lian,
pertanyaanmu itu mengejutkan dan mengherankan, seolah-olah engkau bukanlah keturunan keluarga
Pulau Es saja, seolah-olah engkau bukan murid terkasih dari paman Gak Bun Beng! Jika kita membela
kebenaran dan keadilan serta menentang kejahatan dengan pamrih hasil yang menguntungkan, apakah
hal itu bisa disebut perbuatan gagah seorang pendekar? Ketahuilah, lahir dan matinya seorang manusia
seutuhnya berada di dalam kekuasaan Tuhan yang menentukan. Tapi bagaimana mengisi kehidupan,
antara kelahiran dan kematian itulah tugas hidup seorang manusia. Dan aku merasa yakin, demi keadilan
Tuhan, bahwa kekuasaan yang menentukan itu tentu disesuaikan dengan mutu dan nilai kehidupan yang
diisi oleh manusia sendiri. Jadi, tugas kita hanyalah agar selalu harus menjauhkan segala macam
kebencian iri hati, pementingan diri sendiri, dan sebagainya. Sesudah itu, selesailah, karena yang lain-lain
berada di tangan Tuhan dan kita harus menyerahkannya dengan penuh keimanan akan kekuasaan
Tuhan.”
Sin Hong menundukkan mukanya. Dia dapat merasakan kebenaran ucapan pendekar itu.
Bagaimana pun juga, manusia adalah makhluk yang lemah sekali. Biar pun kebanyakan manusia merasa
dirinya besar dan berkuasa, akan tetapi sesungguhnya itu hanyalah kesombongan kosong belaka.
Jangankan menguasai hidup matinya, bahkan menguasai sehelai rambut pun tidak! Rambut itu tumbuh
sendiri di luar kekuasaan manusia yang mengaku memilikinya. Penyerahan diri dalam kekuasaan Tuhanlah
satu-satunya jalan tempat manusia berlindung, di samping, tentu saja, segala ikhtiar sekuatnya.
“Aku sudah mendengar akan semua itu, Paman.” Suma Lian mendesak, “akan tetapi, aku tetap merasa
penasaran mengapa kakek buyut dan kedua nenek buyutku di Pulau Es, dan juga para locianpwe di Istana
Gurun Pasir, enam orang yang terkenal memiliki kesaktian dan nama mereka pernah menggemparkan
dunia persilatan itu, di dalam usia tua sekali meninggal dunia secara menyedihkan, yaitu tewas di tangan
orang-orang sesat.”
Kembali Suma Ciang Bun tersenyum. “Watak orang muda memang selalu penasaran dan ingin tahu. Akan
tetapi sikap demikian itu baik sekali. Janganlah mudah puas dan selidikilah segala sesuatu dengan
seksama sampai engkau mengerti benar. Agaknya aku dapat menjawab pertanyaanmu itu, Lian-ji, karena
aku juga dapat menyelami watak orang-orang tua yang gagah perkasa itu dan aku dapat menduga
mengapa mereka itu tewas dalam perkelahian melawan kaum sesat. Kematian memang hanya satu
macam saja, yaitu nyawa meninggalkan badan, akan tetapi ada berbagai macam cara kematian. Tidak ada
kematian yang lebih membanggakan dari pada kematian yang terjadi ketika sedang melaksanakan tugas.
Tugas seorang pendekar adalah menentang kejahatan, berarti menentang golongan sesat. Agaknya itulah
yang membuat para orang tua gagah itu lebih suka memilih kematian ketika mereka sedang menentang
golongan sesat. Hal itu pada umumnya oleh para pendekar dianggap mati sebagai harimau, bukannya mati
sebagai seekor babi. Dan ini ada hubungannya dengan perputaran Hukum Karma tadi. Prajurit mati dalam
perang, pendekar mati dalam pertempuran melawan golongan sesat. Ini sudah tepat namanya.”
“Semua keterangan Locianpwe sungguh-sungguh membuka mata batin dan menambah pengertian saya.
Terima kasih, Locianpwe,” kata Sin Hong dengan pandang mata amat kagum. “Tetapi, dalam kesempatan
ini saya mohon agar Locianpwe suka menerangkan kepada saya yang bodoh ini, apa sesungguhnya
hakekat hidup dan mati. Mengapa kita dilahirkan, hanya untuk dimatikan pada akhirnya? Apa artinya
semua ini Locianpwe?”
Suma Ciang Bun tersenyum. Persis seperti yang sering kali dia renungkan ketika mulai menyendiri dalam
pertapaan!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Orang muda yang gagah. Siapakah kita ini yang akan mampu membicarakan rahasia yang hanya
diketahui Tuhan? Segala bentuk kelahiran di dunia pasti akan diakhiri pula dengan kematian. Hal ini sudah
terbukti di atas bumi ini. Kalau ada kelahiran tanpa kematian, maka kelahiran seperti itu tentu terjadi bukan
di dunia ini. Keadaan yang menyebutnya Sorga atau Nirwana atau sudah bersatu dengan Tuhan. Lebih
tepat kalau kita bicara tentang kehidupan di atas dunia ini, kehidupan kita bersama yang sama kita
rasakan. Kini kita hanya dapat bicara tentang pengalaman, hal-hal yang kita ketahui dari pengalaman
orang lain. Sebelum kita dilahirkan, kita ini tidak ada. Kita lalu ada setelah terlahir dan hidup. Kemudian,
setelah mati, kembali keadaan kita lenyap dan menjadi tidak ada lagi! Nah, keadaan tidak ada itu, sebelum
terlahir dan sesudah mati, bukanlah urusan kita, melainkan urusan yang ditangani oleh kekuasaan Tuhan.
Bukan hak mau pun kewajiban kita untuk menyelidikinya, lagi pula, bagaimana kita mampu menyelidiki
sesuatu yang berada di luar jangkauan kemampuan akal budi dan pikiran kita? Lebih baik kita bicarakan
tentang keadaan yang ada saja, yaitu keadaan hidup kita ini. Hak kita adalah menghayati kehidupan ini
sepenuhnya, kewajiban kita adalah mengisi hidup ini sebagaimana mestinya, memupuk kebaikan dan
menjauhi kejahatan, tanpa pamrih mendapatkan upah. Ada pun semua penilaian tentang prilaku kita
semasa hidup, kita serahkan saja kepada Tuhan!”
Kalau Sin Hong mendengarkan dengan penuh hormat. Suma Lian sebaliknya menjadi kagum. Dahulu,
pernah beberapa kali dia mendengar pamannya ini bicara, akan tetapi alangkah bedanya cara pamannya
bicara. Kini pamannya demikian pasrah, demikian dekat dengan Tuhannya. Agaknya itulah hasil
pertapaannya, hasil perenungan di dalam semedhinya, dan Suma Lian menjadi kagum, juga terharu.
Dari ayah dan ibunya ia telah banyak mendengar mengenai Suma Ciang Bun, tentang keadaannya yang
luar biasa, kecondongannya untuk menyukai sesama jenisnya, yaitu laki-laki. Karena itu sampai setua itu
dia tidak pernah menikah dan lebih suka hidup menyendiri di lereng Tapa-san yang sunyi itu.
Setelah bercakap-cakap dan menyerahkan Yo Han untuk dititipkan sementara waktu di tempat tinggal
Suma Ciang Bun, Sin Hong dan Suma Lian lalu berpamit untuk memulai dengan perjalanan mereka, yaitu
melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liong-pang yang kabarnya menghimpun para tokoh hitam untuk
memberontak itu.
Mereka pun ingin berusaha membebaskan ayah ibu Yo Han yang menjadi tawanan para tokoh hitam itu, di
samping juga kepentingan Sin Hong yang hendak menyelidiki rahasia pembunuhan ayahnya, juga untuk
menentang Sin-kiam Mo-li yang dia tahu amat jahat. Yo Han suka tinggal untuk sementara waktu dengan
kakek yang amat ramah dan halus budi itu, apa lagi karena Sin Hong sudah berjanji bahwa setelah selesai
tugasnya, dia pasti akan datang menjemput muridnya…..
********************
Sementara itu, Tiat-liong-pang kini mulai memperkuat diri, menerima banyak anggota baru. Bahkan orangorang
suku Mongol anak buah Agakai, sedikit demi sedikit mulai menyusup masuk lewat perbatasan
bergabung dengan Tiat-liong-pang. Semua anak buah itu mulai dilatih perang-perangan, dan para tokoh
sesat yang menjadi pembantu Siangkoan Lohan, sibuk disebar ke selatan untuk menghimpun kekuatan
dan membujuk perkumpulan-perkumpulan untuk mendukung rencana pemberontakan mereka.
Bi-kwi belum dipercaya untuk bertugas keluar. Ia ditugaskan untuk ikut melatih pasukan-pasukan kecil
yang terdiri dari anak buah Tiat-liong-pang yang sekarang sudah menjadi semacam benteng. Tentu saja
Bi-kwi tak berdaya selama suaminya masih berada di situ dan selalu diawasi. Dia masih dapat mencoba
untuk membebaskan diri, mengandalkan kepandaiannya meski di situ masih terdapat banyak orang
pandai, tetapi sukar baginya untuk menjamin keselamatan suaminya. Masih baik bahwa mereka berdua
mendapat sebuah kamar yang cukup luas, walau pun setiap malam kamar itu tidak pernah sunyi dari
penjaga yang mengepungnya.
Ketika Bi-kwi pada suatu malam hari memberi tahukan kepada suaminya, Yo Jin, akan peristiwa kematian
Pouw Ciang Hin, kakak Pouw Li Sian, mengemukakan dugaannya bahwa kakak gadis itu tewas secara
aneh dan kemungkinan besar sudah dibunuh oleh Siangkoan Liong dan kaki tangannya, Yo Jin yang
berwatak gagah dan jujur itu menjadi marah.
“Huh, orang-orang macam apa yang kau bantu ini? Kita tidak boleh tinggal diam saja! Engkau harus
memberi tahukan hal itu kepada nona Pouw Li Sian. Kalau hal itu tidak kau lakukan, sama saja halnya
dengan membantu mereka melakukan pembunuhan keji terhadap kakak gadis itu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Bi-kwi dapat menyetujui keinginan suaminya itu. Ia pun merasa muak melihat sepak terjang Siangkoan
Liong dan ia yang bermata tajam dan berpengalaman luas itu segera dapat melihat apa yang sama sekali
tidak dapat diduga oleh Pouw Li Sian, yaitu bahwa dalam peristiwa kematian kakak gadis itu, terdapat halhal
yang tidak wajar. Maka ketika mendapat kesempatan bertemu berdua saja dengan Li Sian, Bi-kwi lalu
berbisik, “Nona Pouw, mari ke sini, aku ingin membicarakan sesuatu yang penting mengenai kematian
kakakmu.”
Li Sian baru mengenal Bi-kwi dari cerita Siangkoan Liong. Pemuda itu memberi tahu kepadanya bahwa Bikwi
adalah seorang tokoh sesat yang amat jahat dan licik, maka ia harus berhati-hati terhadap wanita
cantik itu. Akan tetapi, saat Bi-kwi menyebut tentang kematian kakaknya, dia pun segera mengangguk dan
mengikuti wanita itu ke sebuah sudut bangunan di mana mereka tersembunyi dan mudah melihat kalau
ada orang lain datang menghampiri tempat itu.
“Apakah yang hendak kau bicarakan dengan aku, Enci?” tanya Li Sian.
Setelah kini mereka berdiri berhadapan dekat dan ia memperhatikan wajah wanita itu, ia bisa melihat
betapa wajah yang cantik itu membayangkan kekhawatiran dan juga sinar matanya nampak lembut, bukan
seperti mata seorang yang berwatak jahat.
“Nona Pouw, aku merasa kasihan sekali kepadamu dan tidak ingin melihat engkau akan tertipu semakin
jauh. Ketika kita semua menyaksikan kematian kakakmu, perwira Pouw Ciang Hin, di dalam hutan itu, aku
pun ikut menyaksikan dan aku melihat suatu hal yang amat penting dan menunjukkan dengan jelas
kepadaku bahwa kakakmu itu sama sekali tidak tewas karena berkelahi melawan perwira kerajaan.”
Pouw Li Sian mengerutkan alisnya dan memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik ke arah wajah
wanita cantik itu. Ia teringat akan pesan Siangkoan Liong bahwa ia harus berhati-hati terhadap wanita yang
amat jahat dan licik. Siapa tahu, wanita ini hendak mempergunakan suatu tipu muslihat yang licik terhadap
dirinya.
“Apa maksudmu yang sebenarnya, Enci? Sudah jelas bahwa mendiang kakakku itu tewas dalam
perkelahian dan lawannya juga tewas. Apa buktinya dugaanmu itu bahwa dia tidak tewas dalam
perkelahian melawan perwira kerajaan itu?”
“Memang tadinya aku pun percaya akan keterangan mereka bahwa kakakmu itu mati bersama lawannya
berkelahi. Akan tetapi ketika aku memperhatikan lukanya, dan juga melihat betapa perwira kerajaan yang
menjadi lawannya itu binasa sambil memegang senjatanya, yaitu sebatang golok, aku pun menjadi curiga.
Aku mendekat dan melihat keadaan luka pada kakakmu yang membawa kematian itu dan aku pun yakin
setelah melihat dari depan dan belakang, bahwa kakakmu itu tewas bukan oleh perwira yang menjadi
lawannya itu.”
“Apa buktinya? Coba terangkan yang jelas,” kata Li Sian, jantungnya berdebar tegang walau pun ia belum
percaya benar dan masih mencurigai wanita ini.
“Pada jenazah kakakmu itu terdapat beberapa luka sabetan golok, pada paha, pangkal lengan kiri, dan
pundak kanan. Akan tetapi tiga buah luka yang jelas disebabkan oleh bacokan golok itu bukan luka yang
mematikan. Luka yang telah menyebabkan kematian kakakmu adalah luka tusukan pada dada yang
menembus ke punggung, dan hal ini kulihat benar dari arah depan dan belakang. Jadi, kakakmu bukan
tewas oleh golok di tangan perwira itu, melainkan oleh tusukan pedang dari depan, yang dilakukan dengan
kuat sekali. Luka itu kecil dan hanya dapat diakibatkan tusukan pedang, bukan bacokan atau tusukan
golok.”
Sepasang mata Li Sian terbelalak, kecurigaannya lenyap dan dia nampak ragu-ragu, mulai percaya karena
dia pun teringat akan luka-luka di tubuh kakaknya, akan tetapi sebelum ini ia tidak memikirkan sejauh itu.
“Lalu... kalau menurut pendapatmu… bagaimana, Enci?” tanyanya, suaranya gemetar karena ia mendapat
perasaan yang amat tidak enak.
“Aku pernah melihat perwira yang menjadi lawan kakakmu itu, nona Pouw. Kalau tidak keliru, dia seorang
kepercayaan Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan perbatasan yang agaknya
telah bersekutu dengan Tiat-liong-pang. Dan melihat tanda pangkat yang dipakainyanya, dia memiliki
pangkat yang lebih tinggi dari kakakmu. Dan itu dapat dibuktikan dengan adanya tiga luka bacokan golok
pada tubuh kakakmu, sedangkan pada tubuh perwira itu, hanya ada satu luka tusukan pedang, dari
dunia-kangouw.blogspot.com
punggung yang menembus ke dada. Jadi menurut perhitunganku, kakakmu memang berkelahi melawan
perwira itu, akan tetapi kakakmu kemudian terdesak dan menderita tiga luka itu. Lalu, kalau tidak keliru
dugaanku, muncul seorang lain yang membunuh perwira itu dari belakang dengan tusukan pedang. Orang
itu tentu lihai sekali sehingga sekali tusuk dia mampu langsung merobohkan perwira itu. Kemudian, dengan
mudah dia membunuh pula kakakmu yang sudah luka-luka itu dengan tusukan pedang dari depan.“
“Akan tetapi, pedang kakakku yang berada di situ juga berlumuran darah!”
Bi-kwi tersenyum. “Apa sukarnya mengenai itu, pembunuh itu dapat saja mengambil pedang kakakmu dan
melumurinya dengan darah perwira itu yang masih bercucuran.”
“Akan tetapi... siapakah orang yang sekeji itu membunuh kakakku, dan mengapa pula dia mengatur
muslihat supaya kelihatannya kakakku tewas dalam perkelahian melawan perwira itu? Apa alasannya?” Li
Sian bertanya, penasaran walau pun ia melihat bahwa pendapat wanita ini memang sangat mungkin
terjadi.
“Sukar untuk menduga siapa pelaku pembunuhan itu. Akan tetapi, aku merasa yakin bahwa dia tentulah
seorang pembantu Siangkoan Lohan, di antara tokoh-tokoh yang lihai itu. Dan siasat itu sengaja dilakukan
orang untuk mengelabuimu, nona Pouw.”
“Apa? Untuk mengelabui aku? Mengapa?”
“Ini hanya dugaanku belaka. Engkau seorang gadis muda yang menurut pendengaranku memiliki ilmu
kepandaian yang sangat tinggi, bahkan ilmu-ilmu dari Pulau Es pun kau kuasai, tentu Siangkoan Lohan
ingin mengikatmu. Dan agaknya, kakakmu itu adalah seorang perwira yang setia kepada kerajaan
sehingga dia mungkin saja akan membuka rahasia pemberontakan Tiat-liong-pang ini kepadamu. Nah,
karena itulah, mereka harus membunuh kakakmu dan yang menerima tugas adalah rekannya yang lebih
lihai, yaitu perwira yang tewas pula itu. Dan agaknya perwira itu memang dikorbankan, dibunuh agar
nampaknya kakakmu tewas dalam perkelahian melawan rekannya sendiri. Tentu hal ini selain untuk
mengelabuimu agar supaya engkau tak menyangka buruk terhadap Tiat-liong-pang, juga untuk
menanamkan kebencian di dalam hatimu terhadap pasukan kerajaan.”
“Ahhh...!”
Sepasang mata Li Sian terbelalak, karena ia teringat akan sikap dan kata-kata kakak kandungnya sebelum
mereka dipisahkan oleh kemunculan Siangkoan Liong. Kakaknya sempat berjanji akan mengunjunginya
dan bicara panjang lebar seminggu kemudian, akan tetapi tahu-tahu dia tewas. “Memang kakakku pernah
memperingatkan aku dalam pertemuan pertama itu, memperingatkan aku tentang Tiat-llong-pang...”
“Ah, kalau begitu sudah pasti tepat dugaanku tadi, Nona. Kakakmu itu telah mengetahui akan rahasia
busuk dari Tiat-liong-pang dan hendak memperingatkanmu, maka mereka telah mendahuluinya,
membunuhnya dengan siasat agar engkau tidak menduga buruk terhadap mereka.”
“Akan tetapi Tiat-liong-pang adalah perkumpulan orang gagah! Sejak aku kecil dahulu, mendiang ayahku
telah bersahabat erat dengan Siangkoan Lohan, dan kalau sekarang mereka hendak melakukan
pemberontakan, hal itu adalah wajar, bukan? Setiap orang gagah tentu tidak rela melihat tanah airnya
dijajah oleh bangsa Mancu, dan sedapat mungkin hendak membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan
ini!” Li Sian membela. “Menurut, perkiraanku, kakakku itu mulai menyadari akan kebaikan gerakan
perjuangan Tiat-liong-pang, maka dia hendak membalik dan hendak membantu Tiat-liong-pang. Hal ini
agaknya diketahui oleh pihak tentara kerajaan, maka kakakku dibunuh.”
“Itulah cerita yang sengaja mereka buat untuk mengelabuimu, nona Pouw. Akan tetapi kalau benar
demikian halnya, lalu dari mana pula datangnya luka tusukan pedang yang menewaskan kakakmu? Harap
jangan lengah dan bodoh, nona Pouw, dan waspadalah terhadap bujuk rayu Siangkoan Liong itu. Dia
seorang pemuda yang bukan hanya lihai sekali ilmu silatnya, akan tetapi juga amat cerdik dan pandai
membawa diri, sehingga gadis-gadis yang berhati polos dan jujur sepertimu ini akan mudah sekali terjatuh
dan...”
“Diam! Itu bukan urusanmu!” Li Sian membentak dengan muka berubah merah, lalu ia pergi meninggalkan
Bi-kwi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Wanita ini hanya menghela napas panjang, dan ia mengambil keputusan bahwa kalau tidak dapat
menggandeng Li Sian sebagai kawan untuk menentang persekutuan itu, ia akan maju sendiri. Bagaimana
pun juga, dia sudah bersumpah di dalam hatinya untuk meninggalkan jalan kejahatan, bahkan akan
menentang kejahatan.
Pemberontakan yang akan dilakukan Tiat-liong-pang ini sama sekali bukan menentang penjajah,
melainkan pemberontakan yang jahat, persekutuan dengan para kaum sesat. Dan ia pun sudah
mendengar betapa Siangkoan Liong dicalonkan menjadi kaisar kalau pemberontakan itu berhasil! Ia pun
cepat-cepat menuju ke kamarnya untuk menemui suaminya dan membicarakan urusan itu.
Sementara itu, dengan muka masih merah dan jantungnya berdebar, serta dada terasa panas, Li Sian lari
meninggalkan Bi-kwi dan segera pergi mencari Siangkoan Liong.
Ketika itu, Siangkoan Liong sedang bercakap-cakap dengan ayahnya, yaitu Siangkoan Lohan, di ruangan
sebelah dalam. Karena hatinya terguncang dan dia menjadi sangat penasaran dan tidak sabaran Li Sian
tidak peduli dan langsung saja memasuki rumah induk untuk mencari Siangkoan Liong.
Hatinya bagaikan ditusuk-tusuk. Kalau benar semua dugaan Bi-kwi itu, lalu bagaimana? Bagaimana kalu
memang benar Siangkoan Liong sedang menjalankan siasat busuk itu dan bahkan pemuda itu telah
berhasil membujuk rayu sehingga ia terjatuh! Seperti yang dikhawatirkan Bi-kwi tadi, ia telah jatuh! Ia telah
menyerahkan dirinya bulat-bulat kepada Siangkoan Liong, karena memang ia tertarik dan katakanlah
tergila-gila kepada pemuda itu, merasa bahwa ia memang mencinta pemuda itu!
Bagaimana jika benar Siangkoan Liong membunuh atau menyuruh bunuh kakaknya dan menguasai
tubuhnya hanya sebagai siasat busuk belaka untuk menguasainya, bukan karena cinta kasih? Hampir Li
Sian menjerit membayangkan semua kemungkinan itu! Ia akan dapat menjadi gila kalau semua itu ternyata
benar demikian!
Pada saat dengan tergesa-gesa ia memasuki rumah induk yang luas itu, ia mendengar suara Siangkoan
Liong di sebuah ruangan samping yang daun pintunya tertutup. Cepat dia mengerahkan tenaganya agar
tidak sampai ada suara pada langkah kakinya dan ia pun mendekati daun pintu itu. Dengan cukup jelas ia
mendengar percakapan antara Siangkoan Liong dan suara wanita yang dikenalnya adalah suara Sin-kiam
Mo-li!
"Sudahlah, Mo-li. Jangan kau ganggu aku sekarang ini! Aku sedang sibuk dan aku tidak ada nafsu untuk..."
suara Siangkoan Liong ini seperti orang yang jengkel dan terganggu.
"Kongcu, engkau sungguh tidak adil!" Terdengar suara Sin-kiam Mo-li memotong, suara yang direndahkan
supaya lirih sehingga terdengar mendesis. "Engkau tahu betapa aku mengagumimu, tergila-gila kepadamu
dan mendambakan kasih sayangmu. Aku sudah pantas menerima kasih sayangmu sebagai balas jasa atas
semua bantuanku, bukan? Tidak setiap hari, hanya kadang-kadang kalau aku sudah amat rindu, Kongcu.
Marilah, engkau kasihanilah aku, karena aku seperti seorang yang kehausan membutuhkan air cintamu..."
"Mo-li, jangan ganggu aku. Nanti saja, besok atau pun lusa kalau aku sudah tidak sibuk lagi..."
"Sibuk apa lagi? Bukankah sudah banyak pembantu yang melatih pasukan? Ingatlah, bukankah aku pula
yang sudah membantu sehingga gadis mulus itu terjatuh ke dalam pelukanmu? Betapa dengan susah
payah aku menggunakan akal membiarkan ia minum anggur rahasiaku yang mengandung rangsanganrangsangan
kuat, dan ditambah pula dengan kekuatan sihirku pada malam itu, bahkan dibantu pula oleh
Thian Kek Sengjin yang dapat kubujuk. Dan engkau sudah melupakan semua jasaku itu?"
"Ssttt... jangan lancang mulut, Mo-li. Dinding pun mungkin mempunyai telinga. Sudahlah biar aku berjanji,
malam nanti aku akan menantimu dalam kamarku!"
"Hi-hi-hik-hik, begitu barulah pujaanku yang tampan dan gagah! Sampai malam nanti, Kongcu," kata wanita
itu dan Sin-kiam Mo-li keluar ruangan itu, diikuti oleh Siangkoan Liong.
Melihat mereka Li Sian tidak mampu menahan kemarahan dan rasa penasaran di dalam hatinya lagi.
Jelaslah bahwa di antara Siangkoan Liong dan Sin-kiam Mo-li, nenek yang masih cantik jelita itu, terdapat
hubungan gelap! Maka ia pun segera meloncat keluar dari balik pilar itu, mengejutkan mereka berdua.
Tanpa mempedulikan Sin-kiam Mo-li, Li Sian lalu menghampiri Siangkoan Liong yang juga memandang
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan mata terbelalak dan hati tak enak melihat betapa wajah gadis itu nampak marah dan sepasang
matanya mengeluarkan sinar berapi!
“Sian-moi, kau...“ Dia maju sambil mengembangkan kedua lengan seolah-olah hendak memeluk Li Sian.
Akan tetapi gadis itu menahan langkahnya, berhenti kurang lebih dua meter dari pemuda itu, matanya
memandang tajam penuh selidik.
“Siangkoan Liong!” bentak gadis itu, dan sebutan ini saja sudah amat mengejutkan hati pemuda itu. “Aku
menuntut penjelasan darimu!”
“Sian-moi ada apakah? Apakah yang telah terjadi dan penjelasan apa pula yang kau inginkan?” Siangkoan
Liong yang memang merupakan seorang pemuda luar biasa itu sudah dapat menguasai dirinya dan
bersikap tenang.
Sementara itu Sin-kiam Mo-li memandang gadis itu dengan bibirnya tersenyum penuh kemenangan.
Bagaimana pun juga, gadis itu sudah ternoda, dan berarti sudah mampu ditundukkan. Dia tidak percaya
bahwa gadis yang sudah terjatuh ke dalam pelukan Siangkoan Liong itu akan berani atau masih ingin
memberontak.
“Mo-li, sebaiknya engkau keluar dahulu dan biarkan aku berbicara empat mata dengan Sian-moi.”
“Tidak perlu! Boleh saja ia ikut menghadiri karena ia pun agaknya merupakan anggota komplotanmu yang
jahat!” kata pula Li Sian dan kedua orang itu saling pandang, jelas nampak ada kekagetan dalam pandang
mata mereka.
“Sian-moi, aku tidak mengerti...“
“Katakanlah terus terang, siapakah yang sudah membunuh kakakku Pouw Ciang Hin?!” bentak Li Sian
sambil menatap tajam.
Siangkoan Liong yang sudah menduga buruk, telah siap siaga. Wajahnya tidak berubah mendengar
pertanyaan ini dan dia bahkan bersikap seperti orang terheran-heran, lalu tersenyum. “Ah, Sian-moi,
apakah engkau sudah lupa? Ataukah kedukaanmu membuat engkau menjadi bingung? Sudah jelas kau
lihat sendiri betapa kakakmu itu tewas dalam perkelahian melawan perwira kerajaan, mati sampyuh
(keduanya tewas)...“
“Bohong! Kakakku mati oleh tusukan pedang sedangkan lawannya itu bersenjatakan golok! Hayo katakan
saja, siapa yang membunuh kakakku, dan mengapa kalian semua melakukan tipu muslihat itu untuk
mengelabui aku mengenai kematian kakakku? Hayo jawab sejujurnya!”
Tentu saja, betapa kuat pun batinnya, Siangkoan Liong terkejut bukan main mendengar pengungkapan
rahasia itu dari mulut Li Sian. “Ahh, itu fitnah belaka! Dari siapa engkau mendengar fitnah itu, Sian-moi?”
“Tidak peduli dari siapa! Pokoknya katakanlah siapa pembunuh kakakku dan mengapa ada siasat buruk itu
untuk mengelabui aku?”
Mendadak muncul Toat-beng Kiam-ong Giam San Ek dan dia segera berkata dengan suara lantang,
“Siangkoan-kongcu, tadi aku melihat ia bicara bisik-bisik dengan Bi-kwi!”
“Ah, kalau begitu siluman betina itu yang telah menyebar fitnah jahat!” Siangkoan Liong berseru marah.
“Aku harus menegur wanita itu!”
Dia pun segera meloncat pergi untuk mencari Bi-kwi di kamarnya, diikuti oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng
Kiam-ong. Melihat ini, Li Sian juga cepat mengikuti karena ia ingin kepastian, siapa yang benar antara
mereka.
Sementara itu, Bi-kwi telah berada di dalam kamarnya, “Telah kuceritakan kepada Pouw Li Sian itu tentang
pembunuhan atas diri kakaknya, dan kurasa tidak lama lagi badai akan segera datang menyerang.”
“Hemmm, biarkan saja, aku tidak takut,” kata Yo Jin dengan gagah. “Bagaimana pun juga, anak kita telah
selamat, dan kita tidak boleh membantu perbuatan jahat.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Bi-kwi merasa amat terharu melihat kegagahan suaminya. Ia kemudian maju merangkul suaminya, merasa
bahwa kali ini mereka terancam bahaya maut yang amat berbahaya dan ia tidak berdaya menyelamatkan
suaminya.
“Engkau memang benar, dan aku merasa amat berbahagia berada di sampingmu sebab sikapmu yang
gagah membangkitkan semangatku. Memang kita sudah tertipu. Mereka sama sekali bukan perkumpulan
orang-orang gagah yang hendak menentang penjajah dan membebaskan nusa bangsa dari penjajahan,
tetapi sekelompok orang-orang jahat yang sedang bersekutu untuk memberontak, demi diri mereka sendiri.
Siangkoan Lohan telah mengumpulkan tokoh-tokoh dunia hitam di sini, dan aku mendengar bahwa usaha
pemberontakan ini hanyalah untuk cita-cita agar supaya kelak puteranya dapat diangkat menjadi kaisar
kalau pemberontakan itu berhasil. Ibu Siangkoan Liong adalah seorang puteri istana, karena itu Siangkoan
Lohan merasa bahwa puteranya itu adalah seorang pangeran dan karenanya patut untuk menjadi kaisar.
Itulah yang mendorong adanya pemberontakan mereka, bukan karena kesadaran politik untuk
membebaskan nusa dan bangsa dari belenggu penjajahan.”
Yo Jin bangkit berdiri dan mengepal tinju. “Dan engkau hendak mereka paksa menjadi kaki tangan mereka,
membantu usaha mereka yang jahat itu? Tidak, isteriku, tak boleh sama sekali!”
“Jangan khawatir suamiku, jangan khawatir. Aku pun setuju denganmu, aku tidak sudi membantu mereka.
Akan tetapi, hal ini akan mengakibatkan bahaya besar mengancam keselamatan kita.”
“Tidak mengapa! Aku tidak takut. Mati hidup berada di tangan Tuhan dan jauh lebh baik mati sebagai
seorang terhormat dan bersih dari pada hidup sebagai kaki tangan orang-orang jahat!”
Bi-kwi semakin kagum dan terharu. Ia merangkul dan mencium suaminya dengan kedua mata basah air
mata. Dalam keadaan berangkulan itulah pintu depan jebol ditendang orang dan muncullah Siangkoan
Liong, Sin-kiam Mo-li, dan Toat-beng Kiam-ong dengan sikap garang sekali! Dan di belakang mereka,
muncul pula Pouw Li Sian yang mukanya nampak pucat!
Bi-kwi cepat menyembunyikan suaminya di belakang tubuhnya, menghadapi mereka dengan sikap tenang
namun waspada, maklum bahwa badai yang sudah disangkanya akan muncul itu kini telah tiba.
“Bi-kwi, engkau berani menyebar fitnah, meracuni hati Sian-moi dengan berita bohong!” bentak Siangkoan
Liong dengan sikap, marah biar pun suaranya masih terdengar halus seperti biasa. “Hayo cepat engkau
tarik kembali fitnah itu dan mengaku salah agar aku masih dapat mempertimbangkan apakah engkau dapat
dimaafkan atau tidak.”
Bi-kwi masih tetap tenang dan ia malah tersenyum manis. “Kenapa aku harus menarik kembali tuduhan
yang memang berdasar? Aku tahu bahwa kakak dari nona Pouw itu terbunuh oleh kaki tangan kalian
sendiri, karena dia tidak mau turut bersekutu dengan rencana pemberontakan kalian. Aku tahu bahwa
pemberontakan ini sama sekali bukan perjuangan membebaskan nusa bangsa dari belenggu penjajahan,
melainkan hanyalah untuk merebut pemerintahan agar Siangkoan Liong kelak menjadi kaisarnya!”
“Ihhh...!” Li Sian mengeluarkan teriakan marah.
Akan tetapi Siangkoan Liong kini tertawa. “Heh-heh-heh, engkau sudah tahu itu? Bagus sekali! Nah, apa
salahnya dengan itu? Aku adalah seorang pangeran, di dalam darahku mengalir darah keluarga istana.
Ibuku seorang puteri, maka sudah sepantasnya kalau kelak aku menjadi kaisar! Dan siapa yang menjadi
penghalang, akan mati di tanganku. Bi-kwi, sekali lagi, cepatlah berlutut mengaku salah, dan nyawamu
juga nyawa suamimu mungkin takkan kucabut.”
“Keparat kau!” Tiba-tiba Yo Jin melompat keluar dari belakang punggung isterinya dan menudingkan
telunjuknya ke arah muka Siangkoan Liong. “Siapa takut mati? Nyawaku berada di tangan Tuhan, bukan di
tangan seorang manusia rendah semacam engkau!”
Siangkoan Liong marah sekali, tiba-tiba saja tangannya menghantam ke arah kepala Yo Jin.
“Wuuuttttt... klukkk!”
Hantaman itu ditangkis oleh Bi-kwi, dan akibatnya tubuh Bi-kwi terhuyung, akan tetapi suaminya selamat
dari hantaman itu. Pada saat itu pula Toat-beng Kiam-ong telah maju menyerang Bi-kwi dengan sebatang
dunia-kangouw.blogspot.com
pedangnya sehingga wanita ini terpaksa mengelak cepat ke kiri sambil membalas dengan tendangan
kakinya yang dapat dielakkan pula oleh lawan.
Si Raja Pedang yang jahat ini memutar pedang dan terus mendesak Bi-kwi. Wanita ini memperlihatkan
kegesitannya, mengelak ke sana-sini. Ia dapat menghindarkan diri, tapi ia merasa prihatin sekali karena
suaminya tidak ada lagi yang melindunginya.
Siangkoan Liong yang masih marah, sekarang menerjang ke depan, tangannya kembali menampar. Hanya
nalurinya saja yang membuat Yo Jin mengangkat tangan menangkis.
“Desss...!”
Tangan itu terpental dan juga kepalanya kena ditampar tangan Siangkoan Liong. Yo Jin terjungkal dan
tewas seketika oleh karena kepalanya retak terkena hantaman tangan pemuda yang bukan main lihai itu.
Bi-kwi menjerit nyaring dan bagaikan seekor singa betina melihat anaknya diganggu, ia mengamuk.
Sebuah tendangannya nyaris saja membuat pedang di tangan Toat-beng Kiam-ong terlepas. Walau pun Si
Raja Pedang ini masih sempat melompat ke belakang menyelamatkan pedangnya, namun tetap saja
pahanya terserempet sepatu kaki Bi-kwi sehingga dia mengeluh dan hampir roboh karena paha itu terasa
nyeri sekali. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li sudah meloncat ke depan dan menyerang Bi-kwi dengan sepasang
senjatanya yang ampuh, yaitu pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri.
“Kau... kau... keparat jahanam!” Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Pouw Li Sian telah meloncat ke
depan dan menyerang Siangkoan Liong dengan pedangnya. Pemuda ini sudah mencabut pedangnya pula
dan menangkis.
“Sian-moi, tenanglah, sabarlah...”
“Manusia iblis...!” Li Sian menyerang terus, dan kembali Siangkoan Liong menangkis sehingga terdengar
suara nyaring dan nampak api berpijar dari kedua pedang itu.
“Sian-moi, ingatlah, engkau adalah kekasihku, engkau tunanganku... bahkan engkau... sudah menjadi
isteriku...” Siangkoan Liong mencoba untuk memperingatkan gadis itu agar mereda kemarahannya.
Akan tetapi sebaliknya dari pada reda, kemarahan gadis itu makin berkobar, seolah-olah ucapan dari
pemuda itu makin merupakan minyak yang disiramkan kepada api yang bernyala. Ucapan itu
mengingatkan Li Sian betapa dirinya telah menjadi korban siasat licik, betapa ia telah menyerahkan
kehormatannya begitu saja karena telah terjatuh oleh rayuan pemuda itu, yang dibantu pula oleh arak
perangsang dari Sin-kiam Mo-li dan juga kekuatan sihir yang membuat ia malam itu menjadi jinak!
“Kalian... kalian... iblis-iblis busuk...!” Li Sian menjerit dan pedangnya langsung diputar garang sekali ketika
ia kembali menyerang kepada pemuda itu.
Melihat hal ini, Siangkoan Liong tidak berani main-main lagi. Dia tahu betapa lihai dan berbahayanya Li
Sian yang telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat tinggi, dan mempunyai kekuatan sakti yang menggiriskan.
Apa lagi kini gadis ini agaknya demikian marah dan nekat, maka akan berbahaya sekali kalau dia
mengalah.
Maka, Siangkoan Liong segera memutar pula pedangnya, mengimbangi kecepatan dan kekuatan gadis itu
hingga mereka berdua lenyap ditelan gulungan sinar pedang mereka dalam suatu perkelahian yang matimatian
dan seru sekali. Karena memang tingkat kepandaian Siangkoan Liong menjadi tinggi dan hebat
setelah dia digembleng oleh gurunya yang bernama Ouwyang Sianseng atau Nam San Sianjin, dan
tingkatnya lebih tinggi dibandingkan Pouw Li Sian, maka begitu dia membalas dan mengerahkan tenaga,
mengeluarkan kepandaiannya, perlahan-lahan Li Sian mulai terdesak.
Namun gadis yang merasa sakit hati ini tidak menjadi jeri dan melawan terus dengan nekat. Ia tidak takut
mati dan beberapa kali hendak mengadu nyawa sehingga hal ini membuat Siangkoan Liong terpaksa harus
berlaku hati-hati sekali. Beberapa kali, ketika pedangnya menyambar ke arah Li Sian, gadis itu tidak
menangkis atau pun mengelak, tetapi mencurahkan segala daya serangnya untuk membarengi
menyerangnya sehingga kalau dia melanjutkan serangan itu, tentu dirinya sendiri akan menjadi korban
pedang gadis itu! Tentu saja Siangkoan Liong tidak mau mati sampyuh sehingga dia terpaksa menarik
kembali serangannya untuk menyelamatkan diri pula.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bi-kwi sendiri dikeroyok dua orang lawan yang sangat tangguh. Menghadapi Toat-beng Kiam-ong Giam
San Ek seorang saja, kepandaiannya sudah setingkat, dan ia bahkan sedang terdesak hebat karena ia
tidak bersenjata, sedangkan lawannya itu merupakan seorang ahli pedang yang lihai. Apa lagi kini Sin-kiam
Mo-li juga maju mengeroyoknya.
Tingkat kepandaian Sin-kiam Mo-li lebih tinggi tingkatnya dan wanita iblis itu memegang sepasang senjata
yang sangat berbahaya. Namun Bi-kwi juga sudah nekat. Ia melihat suaminya tewas di depan matanya.
Suaminya yang tercinta, satu-satunya manusia di bumi ini, selain puteranya, yang dicintanya dan melihat
suaminya mati, ia pun tidak ingin hidup lebih lama lagi! Ia merasa jeri menghadapi kehidupan yang serba
kejam ini tanpa bimbingan suaminya yang selalu demikian tenang dan gagah perkasa!
Maka, kedukaan karena kematian suaminya membuat Bi-kwi menjadi nekat dan dia lalu mengamuk seperti
seekor naga betina. Walau pun dia tidak bersenjata lagi, akan tetapi serangan-serangannya cukup
berbahaya sehingga untuk beberapa lamanya dua orang lawannya yang lebih kuat karena memegang
senjata itu sama sekali belum juga mampu menundukkannya.
Sin-kiam Mo-li maklum bahwa Bi-kwi tak mungkin bisa dibujuk untuk membantu mereka lagi setelah
sekarang suaminya tewas di tangan Siangkoan Liong. Maka ia pun berseru kepada Toat-beng Kiam-ong.
“Kiam-ong, kita bunuh saja perempuan ini supaya kelak di kemudian hari tidak membikin repot!”
Siangkoan Liong mendengar ucapan ini dan meski pun dia sedang sibuk menghadapi pengamukan Li
Sian, dia segera berseru, “Benar! Bunuh perempuan itu!”
Setelah mendapat perintah ini, Toat-beng Kiam-ong dan Sin-kiam Mo-li tidak ragu-ragu lagi. Mereka
mendesak dan menekan Bi-kwi. Akan tetapi, wanita ini memang hebat. Ia adalah bekas tokoh sesat yang
amat lihai, yang dijuluki Setan Cantik, bukan saja karena sepak terjangnya yang menggiriskan, akan tetapi
juga karena kelihaiannya. Ia adalah murid pertama dari Sam Kwi (Tiga Setan) yang mencintanya dan
mereka bertiga telah menurunkan ilmu-ilmu mereka kepada murid tercinta ini.
Walau pun kedua tangan Bi-kwi tidak memegang senjata, akan tetapi kedua tangan itu menggunakan ilmu
yang disebut Kiam-ciang (Tangan Pedang) sehingga kedua tangan itu kalau membacok, atau menusuk,
tajam dan runcingnya seperti pedang saja. Juga kedua lengan wanita ini dapat mulur sampai hampir dua
meter kalau ia mempergunakan Ilmu Hek-wan Sip-pat-ciang (Delapan Belas Jurus Silat Lutung Hitam).
Selain tendangan-tendangan bertubi Pat-hong-twi (Tendangan Delapan Penjuru Angin), ia memiliki
kekebalan Kulit Baja. Dan masih menguasai banyak macam ilmu silat tinggi yang aneh-aneh. Maka, kedua
orang lawannya yang memiliki tingkat lebih tinggi itu pun tidak mudah mengalahkannya dan hanya dapat
mendesak terus. Baru sesudah lewat hampir seratus jurus, mulailah Bi-kwi yang kelelahan karena selama
bertahun-tahun ini ia tidak pernah berlatih silat, menerima beberapa tusukan serta lecutan cambuk yang
mengakibatkan bajunya robek-robek dan kulitnya terluka.
“Siangkoan Liong manusia busuk!” Tiba-tiba terdengar makian suara seorang wanita dan muncullah Kwee
Ci Hwa yang ditemani oleh Gu Hong Beng.
Seperti telah kita ketahui, sesudah mengalami penghinaan dan penderitaan, diperkosa oleh Siangkoan
Liong setelah Ci Hwa berhasil dijatuhkan dengan rayuan, maka Ci Hwa merasa sakit hati dan putus
harapan. Ia maklum bahwa dengan kepandaiannya yang tidak berapa tinggi, mustahil baginya untuk
membalas dendam kepada Siangkoan Liong atas semua penghinaan yang dideritanya.
Akan tetapi, ketika ia mencoba membunuh diri dengan menggantung di dalam hutan, ia sudah
diselamatkan oleh pendekar Gu Hong Beng yang dapat menyadarkannya dengan nasehat-nasehat.
Keduanya kemudian bersahabat dan bersama-sama pergi melakukan penyelidikan terhadap Tiat-liongpang,
karena Hong Beng juga mendengar berita akan gerakan para tokoh sesat yang bergabung dengan
Tiat-liong-pang. Dan akhirnya, pada sore hari itu setelah cuaca mulai gelap, dan atas petunjuk Ci Hwa
yang sudah mengenal lapangan, keduanya pun berhasil menyelundup masuk sampai ke dalam
perkampungan Tiat-liong-pang dan masuk ke dalam rumah induk yang besar.
Sebetulnya, Hong Beng hendak bersikap hati-hati. Namun, Ci Hwa yang merasa sakit hati, ingin sekali
menemukan Siangkoan Liong dan hendak membalas dendam kepada pemuda itu. Kini ada Hong Beng di
sampingnya, maka ia tidak takut dan mengharapkan akan dapat membunuh musuh itu dengan bantuan
Hong Beng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika mereka berdua melihat perkelahian di ruangan tengah, dan ketika Ci Hwa melihat Siangkoan Liong
sedang berkelahi melawan seorang gadis yang amat lihai pula, ia lalu berteriak dan segera menerjang ke
depan, membantu Li Sian mengeroyok Siangkoan Liong. Gadis ini menggunakan senjata sebatang sabuk
rantai yang memang sejak kecil, senjata inilah yang merupakan senjata andalan keluarganya. Dengan
sabuk rantai baja ini, ia menerjang maju menyerang Siangkoan Liong dengan penuh kebencian. Karena
sakit hati, maka meski pun tingkat kepandaian Ci Hwa jauh di bawah tingkat lawannya, namun seperti juga
Li Sian, gadis ini siap mengadu nyawa serta melakukan serangan secara nekat sekali!
Sementara itu, Hong Beng segera mengenal Bi-kwi yang dikeroyok oleh Sin-kiam Mo-li dan Toat-beng
Kiam-ong. Juga Bi-kwi bisa mengenal Hong Beng, maka hatinya menjadi agak besar karena ia boleh
mengharapkan bantuan pendekar itu. Hong Beng melihat betapa gadis yang dibantu Ci Hwa memiliki ilmu
kepandaian tinggi, maka dia pun tanpa ragu lagi cepat mencabut sepasang pedang yang tergantung di
punggungnya.
Dalam usahanya melakukan penyelidikan itu, ia telah menyiapkan diri dengan sepasang pedang, yang
merupakan senjata yang dikuasainya karena dia memiliki Ilmu Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang
Iblis), apa lagi setelah mendengar dari Ci Hwa betapa di perkampungan Tiat-liong-pang terdapat banyak
tokoh pandai. Kini, dengan sepasang pedang di tangan dia pun menyerbu dan membantu Bi-kwi yang
sudah mulai payah dan terdesak hebat.
Gu Hong Beng adalah murid Suma Ciang Bun. Ilmu kepandaiannya murni dengan ilmu-ilmu silat keluarga
Pulau Es. Akan tetapi harus diakui bahwa gurunya, Suma Ciang Bun, bukan merupakan keturunan
keluarga Pulau Es yang terlalu kuat, yang bakatnya tidak terlalu menonjol. Oleh karena itu, biar pun Hong
Beng menerima gemblengan seorang pendekar dari keluarga Pulau Es, tingkat kepandaiannya tidak
menonjol sekali dan jika dibandingkan dengan tingkat Bi-kwi, hanya seimbang saja.
Namun, masuknya Hong Beng yang membantu Bi-kwi, membuat Bi-kwi seperti tumbuh sayap atau tambah
semangat. Hong Beng yang juga mengenal siapa adanya Sin-kiam Mo-li yang lihai segera mengerahkan
tenaga. Dia lantas memutar sepasang pedangnya dengan ganas.
Sin-kiam Mo-li terkejut melihat munculnya Hong Beng yang dahulu pernah membuat ia tergila-gila. Pernah
pula ia dan beberapa orang sekutunya mengeroyok Hong Beng dan Bi-Kwi yang bekerja sama ketika dua
orang ini berusaha untuk merampas kembali Kao Hong Li yang diculiknya. (baca kisah SULING NAGA)
Maka, marahlah Sin-kiam Mo-li dan dia pun berteriak, “Bagus! Kiranya engkau kembali datang mencampuri
urusan kami. Sekali ini aku tidak akan mengampunimu, Gu Hong Beng!”
Dan wanita ini kemudian menyambut Hong Beng dengan serangan dahsyat. Terjadilah perkelahian yang
seru antara dua orang musuh lama ini. Kini pertempuran terjadi lebih seru lagi. Bi-kwi yang sudah luka-luka
itu kini dengan mati-matian melawan Toat-beng Kiam-ong yang semakin ganas memainkan pedangnya.
Gu Hong Beng maju bertanding melawan Sin-kiam Mo-li dan Siangkoan Liong dikeroyok oleh Li Sian dan
Ci Hwa.
Diam-diam Siangkoan Liong merasa khawatir melihat sepak terjang dua orang gadis itu. Walau pun kedua
orang gadis itu tidak tahu bahwa keduanya mempunyai sebab yang sama yang membuat mereka matimatian
hendak mengadu nyawa dengan Siangkoan Liong, namun pemuda ini tentu saja tahu dan inilah
yang membuat dia merasa tidak enak.
Tingkat kepandaiannya lebih tinggi dan biar pun kini Ci Hwa mengeroyoknya dia sama sekali tidak merasa
takut karena dia tahu bahwa kepandaian gadis ini masih jauh untuk dapat menandinginya. Akan tetapi,
kenekatan dua orang gadis yang hendak mengadu nyawa itulah yang membuat dia khawatir. Kalau dia
mau, kiranya tidak sukar baginya untuk membunuh mereka. Akan tetapi, diam-diam pemuda ini masih
merasa sayang sekali membunuh mereka. Apa lagi Li Sian. Dia ingin menangkap mereka hidup-hidup,
kalau tidak mau diajak bersekutu juga mereka masih berguna untuk dijadikan hiburan hatinya, walau pun
dengan paksaan!
Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring. “Gu Hong Beng, jangan takut aku datang
membantumu membasmi gerombolan jahat ini!”
Dan muncullah seorang laki-laki yang gagah perkasa. Usianya kurang lebih dua puluh tujuh tahun,
bertubuh tinggi besar dengan muka kehitaman, gagah perkasa bagai tokoh Thio Hwi dalam cerita Sam
dunia-kangouw.blogspot.com
Kok. Begitu pemuda ini meloncat ke depan dan mencabut sebatang pedang, terdengar suara mengaung
yang menyeramkan seolah-olah pedang itu dapat menggereng dan nampak sinar berkilauan menyilaukan
mata.
“Kakak Cu Kun Tek...!” Hong Beng berseru gembira setelah mengenal orang itu. “Bagus sekali engkau
datang! Mari kita basmi iblis-iblis ini!”
Akan tetapi sebelum Cu Kun Tek sempat membantu Hong Beng, tiba-tiba dari dalam muncul dua orang
kakek yang bukan lain adalah Siangkoan Lohan dan seorang kakek tinggi kurus berpakaian siucai yang
sikapnya halus dan memegang sebatang kipas yang dikebut-kebutkan tubuhnya. Dia bukan lain adalah
Ouwyang Sianseng, guru Siangkoan Liong!
Tentu saja kemunculan Cu Kun Tek di tempat itu bukan merupakan suatu kebetulan. Seperti telah kita
ketahui, Kun Tek bersahabat dengan Ciok Kim Bouw, ketua dari partai Cin-sa-pang. Ketika dia singgah di
tempat kediaman Cin-sa-pangcu ini, dia mendengar akan usaha pemberontakan yang dilakukan oleh Tiatliong-
pang yang sudah bergabung dengan tokoh-tokoh sesat.
Andai pemberontakan itu murni, melawan pemerintah penjajah, tentu ketua Cin-sa-pang itu akan
membantu dengan sekuat tenaga. Akan tetapi, melihat betapa Tiat-liong-pang bersekutu dengan
pemberontak-pemberontak kotor semacam Pek-lian-pai, Pat-kwa-pai dan orang-orang seperti Sin-kiam
Mo-li, tentu saja dia tidak sudi bekerja sama. Hampir saja ketua ini tewas di tangan Sin-kiam Mo-li kalau
tidak tertolong oleh Sin Hong.
Dalam percakapan itulah Kun Tek mendengar akan gerakan ini dan tentu saja hatinya tergerak untuk
menentang. Maka, dia pun segera berangkat ke utara untuk melakukan penyelidikan dan pada sore hari itu
dia keluar menyelundup masuk ke perkampungan Tiat-liong-pang dan melihat perkelahian itu.
Ketika itu, Siangkoan Lohan sedang bercakap-cakap dengan tamunya, yaitu Ouwyang Sianseng,
melanjutkan percakapan mereka bertiga tadi dengan Siangkoan Liong. Dua orang tua itu masih bercakapcakap
setelah pemuda itu meninggalkan ruangan dalam, terus mengatur siasat yang mulai digambarkan
oleh Ouwyang Sianseng sebagai dalang pemberontakan. Saat bercakap-cakap itulah mereka mendengar
keributan dan akhirnya mereka pun keluar, tepat pada saat Kun Tek muncul dan mencabut pedangnya.
Melihat pedang itu, Siangkoan Lohan terkejut sekali. Sebagai seorang tokoh kang-ouw yang ternama dan
sudah banyak pengalaman, dia tentu saja pernah mendengar akan pedang pusaka di tangan pemuda itu.
“Ahhh, bukankah itu Koai-liong Po-kiam (Pedang Pusaka Naga Siluman)?” tanyanya sambil menggerakkan
kedua kakinya.
Tubuhnya melayang ke depan Cu Kun Tek dan tangannya mendadak menyambar untuk merampas
gagang pedang. Caranya merampas ini hebat sekali. Tangan kiri, dengan jari telunjuk dan jari tengah,
meluncur menusuk ke arah kedua mata pemuda itu, sedangkan tangan kanannya cepat berusaha
merampas pedang ini!
Cu Kun Tek ialah seorang pemuda gagah perkasa yang telah mewarisi ilmu-ilmu tinggi dari ayah dan
ibunya. Ayahnya, Cu Kang Bu, berjulukan Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati), seorang ahli gwakang
(tenaga luar) yang kuat seperti gajah, sedangkan ibunya adalah Yu Hwi, seorang pendekar wanita
yang juga amat lihai. Maka, Cu Kun Tek yang telah mewarisi ilmu-ilmu mereka, tentu saja lihai sekali, apa
lagi karena di tangannya terdapat Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka keluarganya yang amat ampuh.
Akan tetapi kini dia berhadapan dengan Siangkoan Lohan, ketua Tiat-liong-pang yang memiliki tingkat
kepandaian lebih tinggi darinya. Dari cara kakek itu menyerangnya, Kun Tek mengenal orang pandai, maka
dia pun tidak berani memandang ringan.
“Hyaaaaattt...!”
Ia mengeluarkan seruan sambil meloncat ke belakang dan memutar pedangnya sebagai perisai.
Menghadapi gulungan sinar pedang yang menyeramkan serta mengeluarkan suara mengaung bagaikan
binatang buas itu, Siangkoan Lohan tentu saja tidak berani melanjutkan serangan kedua tangannya.
Ia menarik kembali dua lengannya dan ketika tangan kirinya bergerak ke arah pinggang, nampak sinar
emas berkelebat dan tahu-tahu ketua Tiat-liong-pang itu telah mencabut sebatang hun-cwe (pipa
dunia-kangouw.blogspot.com
tembakau) emas yang panjangnya sekitar tiga kaki! Emas itu hanya menghias di luarnya saja, dan di
sebelah dalam, hun-cwe itu terbuat dari baja pilihan. Benda ini biasanya dia pakai untuk menghisap
tembakau yang dibakar di ujung hun-cwe, akan tetapi juga merupakan senjata yang amat ampuh dan
berbahaya dari ketua Tiat-liong-pang itu.
Dengan sikap tenang Siangkoan Lohan lalu menudingkan hun-cwenya kepada Kun Tek. “Orang muda, apa
hubunganmu dengan keluarga Cu yang tinggal di Lembah Gunung Naga Siluman?!” bentaknya.
Kun Tek maklum bahwa ia berhadapan dengan orang pandai, akan tetapi ia tidak tahu bahwa kakek ini
adalah ketua Tiat-liong-pang yang diselidikinya. Akan tetapi, melihat bahwa kakek itu berada di situ, maka
tentu saja dia menganggapnya sebagai musuh.
“Namaku Cu Kun Tek, keturunan langsung dari Lembah Naga Siluman...”
“Bagus!” Siangkoan Lohan memotong. “Benar dugaanku, pedang itu tentulah Koai-liong Po-kiam. Orang
muda, serahkan pedang itu kepadaku, maka engkau akan kami terima sebagai seorang sahabat baik!”
“Simpan saja bujukanmu!” bentak Kun Tek. “Dan hentikan penyerangan terhadap kawan baikku Gu Hong
Beng dan para wanita ini!”
“Bocah sombong, engkau memilih mampus agaknya!”
Siangkoan Lohan telah menyerang dengan hun-cwenya. Nampak sinar emas berkelebat di depan mata
Kun Tek yang segera memutar pedangnya untuk melindungi dirinya. Mereka sudah saling serang dan
dalam belasan jurus saja tahulah Kun Tek bahwa dia benar-benar menghadapi seorang lawan tangguh.
Terutama sekali tendangan-tendangan yang dilakukan dua kaki kakek itu sungguh amat berbahaya karena
tendangan itu selain kuat, juga cepat dan tidak terduga datangnya. Agaknya kakek ini adalah seorang ahli
tendangan yang hebat. Juga tangan kiri kakek itu membuat gerakan cengkeraman dan tangkapan yang
cukup berbahaya.
Untung bagi Kun Tek bahwa ia dilindungi oleh Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka yang agaknya membuat
kakek itu agak jeri, bahkan tak pernah berani mengadu hun-cwenya dengan pedang. Tentu kakek itu sudah
tahu akan keampuhan Koai-liong Po-kiam dan takut kalau hun-cwenya, akan patah sehingga dia akan
terancam bahaya.
Sementara itu, para anak buah Tiat-liong-pang, dipimpin oleh Tiat-liong Kiam-eng, murid pertama dari
Siangkoan Lohan, telah mengurung tempat itu dengan ketat. Melihat ini, diam-diam Kun Tek dan Hong
Beng merasa khawatir. Tak mereka sangka bahwa pihak lawan mempunyai demikian banyak orang
pandai, dan tempat itu telah dikepung ketat. Agaknya sukar bagi mereka untuk dapat meloloskan diri.
Mereka tidak tahu bahwa kekuatan yang dihimpun oleh Tiat-liong-pang memang besar dan sangat kuat.
Kalau saja sebagian besar pembantu Siangkoan Lohan tidak sedang pergi melaksanakan tugas membujuk
para tokoh kang-ouw membantu gerakan mereka, di sana berkumpul lebih banyak lagi orang pandai
seperti para tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw.
Agaknya Ouwyang Sianseng yang menjadi tamu kehormatan merasa tak sabar melihat betapa pihak tuan
rumah masih belum mampu menundukkan dua orang pemuda dan tiga orang wanita muda itu. Hal ini
mengecewakan hatinya. Baru ada lima orang muda saja yang datang mengacau, agaknya sulit untuk
menundukkan mereka, apa lagi kalau musuh-musuh yang lebih berat.
Dia pun melihat keraguan pada diri muridnya, yang agaknya tidak ingin membunuh atau melukai dua orang
gadis cantik yang mengeroyoknya. Siangkoan Lohan sendiri terlihat jeri menghadapi pedang Koai-liong Pokiam
yang memang hebat bukan main itu. Dan tingkat kepandaian Toat-beng Kiam-ong hanya mampu
membuat dia mendesak Bi-kwi, tanpa dapat merobohkan wanita yang sudah luka-luka itu.
“Hemmm, sungguh membosankan, biar kuselesaikan keributan ini...!” katanya, seperti kepada diri sendiri.
Dia mengembangkan kipasnya, kemudian dengan langkah lebar dia memasuki medan pertempuran.
Gerakannya gesit dan ringan sekali. Mula-mula dia menghampiri muridnya yang dikeroyok oleh dua orang
gadis karena perkelahian ini yang terdekat dengannya. Dua kali tangan yang memegang kipas itu
mengebut.
dunia-kangouw.blogspot.com
Li Sian dan Ci Hwa yang sedang sibuk mengeroyok Siangkoan Liong dengan penuh dendam kebencian
itu, gelagapan ketika ada serangkum angin menyambar ke muka mereka. Tiba-tiba saja kipas itu menutup
dan dua kali digerakkan menotok tengkuk dua orang gadis itu. Mereka hanya mengeluarkan suara rintihan
lirih dan tubuh mereka pun sudah terkulai dan roboh dengan lemas!
Dengan langkah-langkah aneh dan ringan sekali, kini Ouwyang Sianseng menghampiri Sin-kiam Mo-li yang
masih berkelahi dengan amat sengitnya melawan Gu Hong Beng. Kini kipas itu ditutup dan serangkaian
totokan menyerang ke arah sembilan jalan darah terpenting di tubuh Hong Beng.
Pemuda perkasa ini terkejut sekali. Menghadapi Sin-kiam Mo-li saja sudah merupakan lawan yang berat
baginya, dan kini, muncul kakek yang luar biasa lihainya. Serangkaian serangan itu demikian cepatnya,
tanpa mengeluarkan bunyi dan tahu-tahu dirinya telah diancam totokan-totokan aneh. Dia berusaha
mengelak dan menangkis dengan sebelah pedangnya, sedangkan yang sebelah lagi masih dia
pergunakan untuk menghadapi dua senjata Sin-kiam Mo-li.
Karena sebagian perhatiannya harus dikerahkan untuk menghadapi serangan Sin-kiam Mo-li, maka
akhirnya dia tak mampu menghindarkan diri dari totokan gagang kipas yang mengenai pundaknya. Dia
mengeluh dan terhuyung, kemudian sebuah totokan susulan membuat dia roboh terkulai, lemas tak
berdaya sehingga kedua pedangnya pun terlepas dari tangan, jatuh berkerontangan di atas lantai.
“Biar kurampaskan pedangnya untukmu, Lohan,” kata Ouwyang Sianseng yang kini sudah meluncur ke
arah perkelahian antara ketua Tiat-liong-pang yang masih dilawan dengan gigihnya oleh Cu Kun Tek.
Melihat berkelebatnya bayangan kakek yang memegang kipas itu di samping kirinya, Kun Tek yang sudah
repot menghadapi desakan hun-cwe di tangan Siangkoan Lohan, cepat mengelebatkan pedangnya ke
kanan. Tapi Ouwyang Sianseng bukan mengelak, bahkan menyambut serangan pedang itu dengan
totokan gagang kipasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan kanan yang memegang pedang.
Dalam sedetik saja pedang itu telah berpindah ke tangan Ouwyang Sianseng dan kini hun-cwe di tangan
Siangkoan Lohan menyambar dan menotok jalan darah di kedua pundak Kun Tek. Tanpa dapat dicegah
lagi tubuh pemuda yang tinggi besar dan kokoh kuat itu terkulai dan roboh.
Ketika itu Bi-kwi sudah melihat betapa teman-temannya roboh seorang demi seorang. Maka mendadak ia
meninggalkan Toat-beng Kiam-ong, dan tepat pada saat Ouwyang Sianseng merampas pedang Kun Tek,
wanita perkasa ini menyerangnya dari belakang dengan pukulan Hun-kin Tok-ciang (Tangan Beracun
Memutuskan Otot), mengarah ke tengkuk kakek itu. Ia melakukannya dengan sepenuh tenaganya untuk
tujuan membalas kawan-kawannya yang dirobohkan oleh kakek lihai itu.
“Desss...!”
Pukulan kedua tangan Bi-kwi itu tepat mengenai punggung dan tengkuk, akan tetapi akibatnya, tubuh Bikwi
sendiri yang terhuyung ke belakang dengan menggigil! Ia tadi merasa seperti menyerang sebuah pilar
baja yang amat dingin! Maklum bahwa ia tidak akan mampu melawan lagi, dan kalau sampai tertawan
tentu musuh-musuhnya takkan mengampuninya, Bi-kwi lalu meloncat ke dekat jenazah suaminya.
“Suamiku, tunggu... aku menyusulmu...,” katanya.
Dan pada saat Sin-kiam Mo-li meloncat mendekatinya untuk mencegah, Bi-kwi sudah mencengkeram ke
arah kepalanya sendiri. Dia mengerahkan Ilmu Kiam-ciang (Tangan Pedang) dan kelima jari tangan
kanannya menusuk dan menancap ke dalam kepalanya sampai ke otak. Ia pun terkulai dan roboh
menelungkup dan merangkul jenazah Yo Jin, tewas seketika!
Meski hatinya girang karena memperoleh pedang Koai-liong Po-kiam yang diterimanya dari Ouwyang
Sianseng, namun hati girang Siangkoan Lohan terganggu oleh kekesalan melihat betapa kekacauan terjadi
di situ.
“Tangkap mereka semua, jebloskan ke dalam tahanan dan jaga yang ketat. Awas, jangan sampai ada yang
dapat lolos! Perkuat penjagaan dan jangan biarkan siapa juga masuk tanpa ijin!” bentaknya kepada murid
utamanya, Tiat-liong Kiam-eng yang segera mengerahkan anak buah Tiat-liong-pang untuk menyeret
tubuh Kun Tek, Hong Beng, Li Sian dan Ci Hwa dan memasukkan mereka ke dalam tahanan, ke dalam
kamar sel yang terpisah-pisah, juga untuk menyingkirkan dua sosok mayat dan membersihkan ruangan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siangkoan Lohan lalu mengajak Ouwyang Sianseng dan puteranya, bersama dengan para pembantunya
yang berada di situ, untuk memasuki ruangan dalam dan berunding. Menurut perhitungan Ouwyang
Sianseng, sekarang sudah tiba waktunya untuk segera melakukan gerakan.
Penyerbuan orang-orang muda itu menunjukkan bahwa gerakan mereka mulai diketahui orang luar dan hal
itu berbahaya. Lebih baik mendahului sebelum pemerintah mencium akan gerakan itu. Maka, Siangkoan
Lohan segera mengirim utusan untuk menghubungi para sekutunya, terutama Agakai kepala suku Mongol,
dan tentu saja Coa Tai-ciangkun, panglima yang menjadi komandan pasukan yang berada di perbatasan,
pasukan Mancu yang sudah siap membantu pemberontakan itu. Juga para pembantu yang bertugas ke
luar, dipanggil agar segera pulang…..
********************
Empat orang muda yang tadinya lemas tertotok, kini sudah dapat menggerakkan tubuh mereka. Akan
tetapi, Kun Tek, Hong Beng dan Li Sian mendapatkan diri mereka terbelenggu. Sehelai rantai baja panjang
mengikat kaki mereka pada tonjolan besi di dinding, dan kedua pergelangan tangan mereka juga
dibelenggu, disambung dengan rantai sehingga biar pun mereka mampu menggerakkan kaki tangan,
namun mereka tidak dapat bebas.
Hanya Ci Hwa seorang yang tidak terbelenggu, dan hal ini adalah karena Tiat-liong Kiam-eng menganggap
Ci Hwa sama sekali tidak berbahaya. Dia menganggap bahwa ilmu kepandaian gadis itu tidak berapa tinggi
sehingga tidak perlu dikhawatirkan akan mampu memberontak.
Dia sendiri yang memimpin penjagaan atas diri empat orang tawanan itu. Sejumlah lima puluh orang
ditugaskan berjaga secara bergilir dan dia sendiri sering kali meronda untuk meneliti keadaan empat orang
tawanan itu agar jangan sampai ada kesempatan atau kemungkinan bagi mereka untuk lolos.
Ketika Ci Hwa sudah bisa menggerakkan tubuhnya lagi, ia segera bangkit dalam kamar tahanan yang
luasnya hanya tiga meter persegi itu dan memeriksa keadaan kamar tahanan. Sebuah kamar yang kuat,
dengan tembok tebal dan di bagian depannya ada sebuah pintu besi yang bagian atasnya terdapat terali
baja. Ia segera melangkah ke pintu dan memandang keluar.
Tempat itu merupakan bangunan yang agaknya memang khusus dibangun menjadi sebuah penjara atau
tempat tawanan karena mempunyai banyak sekali kamar-kamar seperti yang ditempatinya itu. Sebuah
kamar yang kosong sama sekali sehingga orang harus tidur dan duduk di lantai yang dingin dan keras!
Ketika ia didorong ke dalam kamar ini secara kasar oleh anggota Tiat-liong-pang, ia sempat melihat betapa
hal yang sama diperlakukan oleh para anggota Tiat-liong-pang kepada Gu Hong Beng dan juga kepada
gadis cantik dan pemuda tinggi besar yang tidak dikenalnya, akan tetapi yang sama-sama melawan Tiatliong-
pang dan sekutunya.
“Kasihan Beng-ko...” Ci Hwa mengenang nasib Hong Beng. “Karena menolongku, dia sampai ikut tertawan.
Ahh, bagaimana aku harus menolongnya? Biar berkorban nyawa sekali pun, aku bersedia untuk
menyelamatkannya.”
Ia termenung dan menyadari sepenuhnya bahwa ia telah jatuh cinta kepada pemuda tampan dan halus
yang pernah merenggutnya dari tangan maut ketika ia nekat hendak membunuh diri di hutan itu. Ia tahu
bahwa ketiga orang tawanan lain berada di dalam kamar-kamar sebelah karena ia dilemparkan dalam
kamar terakhir, dan dia pun melihat betapa tiga orang itu terlebih dahulu dibelenggu sebelum ditinggalkan
di dalam kamar tahanan. Akan tetapi ia tidak dapat berhubungan dengan mereka karena kamar mereka
bersebelahan.
Meski pun malam itu di luar amat gelapnya, namun di bangunan besar yang menjadi tempat tawanan ini
cukup terang oleh lampu-lampu gantung. Agaknya memang tempat itu sengaja diterangi agar supaya
gerak-gerik para tawanan dapat dilihat jelas oleh para penjaga.
Ci Hwa melihat dua orang penjaga membawa lentera mengiringkan seorang laki-laki tinggi kurus menuju
ke tempat para tawanan. Agaknya masih ada lagi tawanan lain di tempat itu selain mereka berempat. Kini
laki-laki tinggi kurus itu melakukan perondaan, menjenguk ke dalam setiap kamar yang berisi tawanan
melalui ruji besi di bagian atas pintu. Dari jauh, Ci Hwa melihat dari sinar lentera itu dan kembali ia
tertegun.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tadi, ketika ia dan ketiga orang lainnya diseret ke tempat tawanan ini, ia pun sudah tertegun dan terheran
melihat laki-laki tinggi kurus itu, yang ternyata menjadi pimpinan para anak buah Tiat-liong-pang yang
melakukan penjagaan di tempat itu. Ia merasa sudah mengenal laki-laki itu, akan tetapi lupa lagi di mana.
Seorang laki-laki yang usianya kurang lebih tiga puluh lima tahun, bertubuh tinggi kurus, dengan sepasang
mata tajam dan muka yang agak pucat. Pedangnya tergantung di punggung dan pandang matanya yang
tajam itu membayangkan kecerdikan dan juga kekejaman. Kini, melihat sinar lentera menyoroti muka orang
itu, melihat lirikan mata itu, tiba-tiba Ci Hwa teringat.
Ciu Piauwsu! Ya, telah beberapa kali ia bertemu dengan rekan ayahnya itu. Dia adalah seorang piauwsu
(pengawal barang kiriman) di Ban-goan, di kota tempat tinggalnya. Sebagai seorang piauwsu, rekan dari
ayahnya, tentu saja ia mengenalnya, seperti ia mengenal semua piauwsu di kota Ban-goan. Bahkan akhirakhir
ini, Ciu Piauwsu yang bernama Ciu Hok Kwi itu menarik perhatian keluarganya saat Ciu Piauwsu
mendatangi Ban-goan Piauwkiok dan menantang ayahnya!
Ayahnya, Kwee Tay Seng atau Kwee Piauwsu, lalu menyambut tantangan Ciu Piauwsu sehingga terjadi
perkelahian, di mana Ciu Piauwsu tidak mampu menandingi ayahnya, mengaku kalah dan pergi sambil
mengancam. Itulah Ciu Piauwsu! Dan kini, tahu-tahu dia muncul di tempat ini, sebagai kepala para anggota
Tiat-liong-pang!
Mengingat hal ini, tiba-tiba saja Ci Hwa melihat kesempatan baik untuk menyelamatkan Hong Beng dan
dua orang lainnya. Kalau saja ia dapat mendekati Ciu Piauwsu! Bagai mana pun juga, mereka adalah
sekota, bahkan orang itu juga seorang piauwsu, seperti ayahnya.
Dia pun teringat bahwa Ciu Piauwsu adalah seorang piauwsu di perusahaan piauwkiok milik ayah Tan Sin
Hong! Ciu Piauwsu adalah pembantu dari mendiang Tan Piauwsu. Apakah ini hanya suatu kebetulan saja?
Otak gadis ini bekerja dan semakin mantap hatinya untuk mendekati bisa Ciu Piauwsu, dengan cara apa
pun, bukan sekedar untuk berusaha menyelamatkan Hong Beng dan kedua orang tawanan lainnya, namun
juga untuk menyelidiki tentang kehadiran seorang piauwsu dari Ban-goan yang kini berada di antara orangorang
Tiat-liong-pang!
Seseorang yang sudah mengalami peristiwa hebat seperti yang diderita oleh Ci Hwa, memang dapat
berubah segala-galanya. Rasa kekhawatiran, sakit hati, putus asa, dan duka yang melanda hatinya
semenjak dia diperkosa dan dihina oleh Siangkoan Liong, membuat ia menjadi seorang yang nekat. Ia
tidak lagi menghargai dirinya sendiri, yang ada hanyalah satu tekad, ialah membalas dendam,
melampiaskan kebencian atau rasa cinta tanpa mengenal batas lagi, tanpa mempedulikan keselamatan diri
atau harga diri lagi.
Kini, Ciu Hok Kwi dan dua orang anak buahnya yang memeriksa setiap orang penghuni kamar-kamar
tahanan itu, sedang menuju ke kamar tahanan di mana Ci Hwa berdiri memegangi terali besi dan
memandang keluar.
“Ciu Piauwsu...!” Ci Hwa memanggil dengan suara lembut.
Ciu Hok Kwi memandang tajam dan sejenak dia menatap wajah gadis itu dengan penuh perhatian. Ketika
Ci Hwa berada di perkampungan itu dan menjadi korban Siangkoan Liong, Ciu Hok Kwi tidak berada di
sana sehingga dia tidak tahu akan semua peristiwa yang menimpa diri gadis itu. Sekarang, ketika dia
melakukan perondaan, tiba-tiba saja seorang di antara para tawanan itu, seorang gadis manis sekali
dengan mulut yang penuh gairah, memanggilnya dengan sebutan Ciu Piauwsu, sebuah sebutan yang luar
biasa sekali di situ karena tiada seorang pun menyebutnya seperti itu!
Dia memandang tajam dan heran, lalu melangkah mendekat. Dia hanya tahu bahwa di antara empat orang
tawanan yang tadi mengamuk dan ditangkap, gadis ini adalah yang paling lemah dan tidak berbahaya,
demikian menurut keterangan Siangkoan Kongcu. Oleh karena itu, dia pun tidak merasa perlu untuk
membelenggu gadis ini.
Ci Hwa melihat sikap orang itu, maklum bahwa orang she Ciu itu agaknya lupa dan tidak mengenalnya.
Memang ketika berada di Ban-goan, di antara mereka tiada hubungan sesuatu dan amat jarang berjumpa.
Gemblengan batin yang mengalami guncangan dan tekanan hebat itu telah membuat gadis yang hijau itu
kini menjadi seorang wanita yang matang dan penuh perhitungan! Ia tersenyum, senyum manis dan ia tahu
bahwa senyumnya dengan tarikan pada dagunya itu akan menciptakan lesung pipit yang manis pada
dunia-kangouw.blogspot.com
lekukan pipinya yang kiri, yang sengaja dia miringkan agar tersorot sinar lentera yang dibawa oleh kedua
orang anak buah Tiat-liong-pang itu.
“Aihh, Ciu Piauwsu, apakah engkau sudah tidak ingat kepadaku? Kita sama-sama dari Ban-goan, dan oleh
karena itu, harap kau suka mengingat akan kawan sekota dan suka menolong aku...!” di dalam suaranya,
Ci Hwa menggetarkan permohonan yang amat sangat, demikian pula sinar matanya memandang penuh
harapan.
Ciu Hok Kwi tertarik. Dia bukanlah seorang pelahap wanita seperti Toat-beng Kiam-ong atau Siangkoan
Liong, akan tetapi dia bukanlah kanak-kanak pula. Dia seorang laki-laki dewasa yang sudah
berpengalaman, maka tentu saja dapat menangkap gairah dalam pandang mata gadis manis ini, di mana
terkandung penawaran dan janji manis sekali.
“Hemmm, jangan ngawur! Aku bukan piauwsu...!” Dia masih mencoba karena dia belum mengenal gadis
itu. Matanya tak dapat dihindarkan lagi mengamati lekukan dan tonjolan bukit dada yang menjadi amat
jelas karena Ci Hwa menekan dadanya pada jeruji besi kuat-kuat.
“Aih, Ciu Piauwsu, harap jangan salah sangka. Aku... aku mengenalmu sebagai seorang piauwsu yang
gagah. Namaku Kwee Ci Hwa... dari Ban-goan Piauwkiok! Nah, engkau tentu masih ingat, bukan?”
Ciu Hok Kwi terbelalak, lalu mengelus dagunya yang halus karena jenggotnya dia cukup bersih. Matanya
yang tajam itu mengamati wajah gadis cantik itu penuh perhatian.
“Ahh, engkau she Kwee... dari Ban-goan Piauwkiok?”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru