Minggu, 20 Agustus 2017

Kho Ping Hoo Online Jodoh Rajawali 9

Kho Ping Hoo Online Jodoh Rajawali 9 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Kho Ping Hoo Online Jodoh Rajawali 9
kumpulan cerita silat cersil online
-“Akan tetapi, lupakah kau bahwa Kian Bu sudah meninggalkan pulau ini selama enam tahun? Kalau tidak
ada apa-apa dengan dia, tidak mungkin dia seolah-olah lupa kepada orang tuanya! Dan menurut penuturan
Kian Lee ketika pulang, agaknya Kian Bu juga menderita kekecewaan dalam percintaannya. Ahh, aku
khawatir kalau-kalau terjadi apa apa dengan dia.”
“Aku pun tidak akan memaksa dia berjodoh dengan orang yang tidak dicintanya,” Lulu juga membantah.
“Akan tetapi, dia dan Kian Bu harus pulang dulu ke sini, baru kita bicara tentang perjodohan mereka. Kian
Lee berjanji akan mencari dan mengajak pulang Kian Bu, akan tetapi mengapa sampai sekarang tidak ada
kabar beritanya? Dan menurut penuturannya, di dunia ramai banyak bermuncullan tokoh-tokoh kaum
sesat. Biar pun kedua orang anak kita itu sudah memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi mereka itu belum
banyak pengalaman, tentu berbahaya kalau berhadapan dengan datuk-datuk sesat.”
“Baiklah, kalian jangan khawatir. Aku sendiri memang sudah mengambil keputusan untuk pergi menyusul
mereka. Karena kita sekarang sudah tidak mempunyai pembantu lagi, maka aku akan pergi sendiri sambil
melihat-lihat keadaan di dunia ramai. Aku akan membawa Tiauw-ko (Rajawali) yang sudah tua itu. Mudahmudahan
saja dia masih kuat menyeberangkan aku ke daratan besar.”
Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pendekar Super Sakti telah memanggil burung
rajawali yang sudah tua pula. Burung ini hanya satu-satunya burung rajawali yang masih berada di pulau
itu, dan ketika burung tua itu meluncur turun dan hinggap di depan pendekar itu bersama kedua orang
isterinya, Suma Han memandang kepada burung itu dengan terharu.
“Tiauw-ko, maafkan aku. Sudah setua ini kau masih harus membantuku menyeberang lautan. Membikin
lelah engkau saja, Tiuaw-ko!” berkata pendekar ini sambil menepuk-nepuk punggung burung itu yang
mengeluarkan suara menguk-nguk seperti seekor anjing setia.
“Hati-hati dalam perjalanan!” kata Nirahai.
“Dan jangan lama-lama, cepat ajak pulang Kian Lee dan Kian Bu,” kata pula Lulu.
Suma Han tersenyum, memandang kepada dua orang isterinya dengan penuh kasih sayang, diam-diam
merasa kasihan meninggalkan dua orang isterinya itu berdua saja di atas pulau yang sunyi itu. Dia
membiarkan dua orang isterinya memegang kedua tangannya, kemudian setelah meremas tangan mereka
dengan jari-jari tangan yang masih menggetarkan kasih yang mendalam, Suma Han lalu melepaskan
pegangan tangannya dan sekali dia menggerakkan kaki tunggalnya, tubuhnya sudah mencelat ke atas
punggung burung rajawali.
“Selamat tinggal, aku pergi takkan lama!” katanya. “Tiauw-ko, mari kita berangkat.”
Burung itu lalu menggerakkan sepasang sayapnya dan terbanglah dia ke atas. Suma Han membalas
lambaian tangan kedua orang isterinya itu dengan gerakan tongkatnya, dan sebentar saja dia sudah tidak
lagi dapat melihat isterinya, hanya melihat pulau itu yang nampak kecil dari atas, keputih-putihan. Dari
bawah, Lulu dan Nirahai hanya melihat titik hitam dari rajawali itu untuk kemudian lenyap ditelan awan.
Setelah dibawa terbang di antara awan-awan di udara, Pendekar Super Sakti kembali merasakan
kegembiraan yang luar biasa dan bangkitlah semangatnya seperti pada puluhan tahun yang lalu!
Teringatlah dia akan semua pengalamannya yang lalu dan terbayanglah di depan matanya wajah-wajah
para tokoh dunia persilatan. Apakah mereka itu masih hidup? Dan apakah mereka itu pun seperti dia,
mengasingkan diri dari dunia ramai?
Ah, kalau para tokoh kaum sesat bermunculan, tentu kepergiannya sekali ini tidaklah begitu mudah untuk
menghindarkan diri dari bentrokan-bentrokan. Dia sudah tidak bergairah untuk mempergunakan
dunia-kangouw.blogspot.com
kepandaian melawan seorang dalam perkelahian, dia sudah bosan harus bertanding melawan orang lain.
Akan tetapi, apakah dia mungkin dapat membiarkan kejahatan merajalela dan membiarkan kesewenangwenangan
terjadi di depan matanya? Biarlah, dia tidak akan bergerak kalau tidak terpaksa. Biarkan
pendekar-pendekar muda menggantikan tempatnya untuk menentang kejahatan dan membela kebenaran
dan keadilan, pendekar-pendekar muda dan gagah seperti dua orang puteranya itu.
Pendekar Super Sakti tidak memaksa rajawalinya untuk terbang terus. Dia tahu bahwa rajawalinya itu telah
tua, setua dia dan sudah banyak berkurang tenaganya. Di sendiri tidak tahu apakah tenaganya juga
banyak berkurang karena selama ini dia tidak pernah mendapatkan kesempatan untuk mengukur
tenaganya. Melihat rajawali itu terengah engah, dia lalu menyuruh burung itu menukik turun sehingga
beberapa kali dia dan burungnya beristirahat di sebuah pulau kosong. Akhirnya, sampai juga dia di pantai
daratan besar. Setelah beristirahat lagi dan melewatkan malam itu di pantai yang sunyi, pada keesokan
harinya Pendekar Super Sakti melanjutkan perjalanannya menunggang rajawali yang terbang tinggi
menuju ke selatan.
Pada suatu hari, pada waktu burung itu terbang rendah di atas sebuah hutan di luar pedusunan, Pendekar
Super Sakti merasa tertarik sekali ketika melihat serombongan orang berbondong-bondong memasuki
hutan itu. Melihat pakaian orang-orang itu, dia mengenal mereka sebagai penghuni dusun, petani-petani
miskin. Akan tetapi para petani itu kelihatan marah-marah, membawa benda-benda tajam dan pisau,
kapak, cangkul dan sebagainya, seperti sepasukan orang yang tak teratur sedang melakukan penyerbuan.
Dia menepuk punggung rajawali yang menukik ke bawah, kemudian dia meloncat jauh ke depan sehingga
dia menghadang rombongan penduduk dusun itu.
Ketika orang-orang dusun yang jumlahnya belasan orang itu melihat seorang kakek berkaki buntung
memegang tongkat berdiri tegak dengan sikap tenang, mereka tertegun dan berhenti, akan tetapi mereka
semua bersikap siap dengan senjata dipegang yang erat-erat.
“Sahabat-sahabat sekalian hendak ke manakah? Apa yang terjadi maka kalian kelihatan begitu marah?”
tanya Suma Han dengan suara halus dan agak gemetar karena terharu.
Baru sekarang semenjak bertahun-tahun lamanya dia bertemu dengan manusia lain kecuali dua orang
isterinya, dan melihat betapa begitu bertemu dia sudah melihat manusia yang agaknya hendak bertempur,
maka dia merasa kasihan dan terharu sekali. Betapa kehidupan manusia penuh dengan kekerasan, penuh
permusuhan.
“Siapakah engkau? Apakah engkau sahabat dari nenek siluman itu?” tanya seorang di antara mereka,
seorang laki-laki yang memegang tombak dan agaknya memimpin rombongan orang itu.
“Nenek siluman yang mana? Aku tidak melihatnya dan tidak mengenalnya,” kata Suma Han dengan heran.
“Kalau begitu, Paman, jangan ikut-ikut. Kami akan mengeroyok dan membunuh nenek siluman bermuka
tengkorak itu!” berkata pula si pemegang tombak. “Kami adalah penduduk dusun di sana, dan aku adalah
kepala dusunnya. Kami hendak membunuh nenek siluman!”
“Nanti dulu, sabarlah. Mana ada siluman di dunia ini, dan andai kata ada setan, masa dia keluar di siang
hari? Sesungguhnya, apakah yang telah terjadi?” tanya Suma Han yang merasa bahwa tentu terjadi
kesalah pahaman di sini sehingga dia khawatir kalau orang-orang dusun ini akan kesalahan membunuh
orang.
Melihat keadaan Pendekar Super Sakti yang sangat aneh itu, kepala dusun dan orang orangnya agaknya
jeri juga. Kakek berkaki sebelah ini tidak mereka kenal, rambutnya putih panjang dan halus, wajahnya
begitu berwibawa dan dari mana kakek ini datang?
Karena jeri, kepala dusun kemudian bercerita, “Seorang anak dari dusun kami sedang menggembala
delapan ekor lembu di dalam hutan, lalu muncul nenek iblis itu yang menggunakan tangannya memukul
pecah kepala seekor lembu. Penggembala itu marah-marah, akan tetapi apa yang dilakukan oleh nenek
itu? Dia malah memukuli semua lembu sampai delapan ekor lembu itu tewas semua! Anak itu lalu lari
ketakutan dan melapor kepada kami, maka kini kami hendak menyerbu ke dalam hutan dan menangkap
atau membunuh nenek siluman itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Pendekar Super Sakti terkejut. Seorang nenek dapat memukul pecah kepala lembu begitu
saja? Mukanya seperti tengkorak? Tentu bukan orang sembarangan, dan kalau memang benar nenek itu
demikian jahatnya, maka amatlah berbahaya bagi orang-orang dusun ini untuk menyerbunya.
“Di manakah nenek itu?” tanyanya.
“Di tengah hutan ini!” kepala dusun menuding ke depan.
“Kalau begitu, harap kalian jangan tergesa-gesa, biarkan aku menemuinya lebih dulu. Kalau kalian tergesagesa,
jangan-jangan kalian juga akan dibunuhnya seperti lembu lembu itu!”
Ucapan Suma Han ini membuat wajah mereka menjadi pucat, karena sebenarnya mereka memang sudah
merasa ngeri dan jeri mendengar penuturan anak penggembala itu akan wajah si nenek yang amat
mengerikan. Mereka tadi hanya berani karena semangat mereka dibakar oleh kepala dusun yang merasa
marah karena kehilangan lembu-lembunya. Dialah pemilik lembu-lembu itu.
Kini melihat kakek berkaki sebelah itu membalikkan tubuhnya dan berjalan dengan bantuan tongkatnya,
mereka mengikuti dari belakang, akan tetapi agak jauh karena mereka juga curiga kepada kakek aneh ini
di samping rasa takutnya terhadap nenek itu.
Dan tak lama kemudian, Suma Han melihat seorang wanita yang duduk di atas sebuah batu sambil makan
benda putih lunak yang masih berdarah. Tiba-tiba saja dia menjadi muak, karena dia dapat menduga
bahwa yang dimakan oleh nenek itu tentulah otak lembu yang mentah! Otak yang mentah dan masih
berdarah, diambil dari kepala seekor lembu. Dan muka nenek itu sungguh mengerikan! Bukan muka,
melainkan kedok, kedok tengkorak asli! Dan nenek itu kelihatan tenang-tenang saja, padahal nenek itu
tentu tahu akan kedatangan banyak orang itu yang kini berhenti di tempat agak jauh, memandang dengan
muka pucat dan mata terbelalak penuh kengerian.
Dengan sikap tenang, Suma Han melangkah dan menghampiri tempat itu dan dari jauh dia sudah melihat
bangkai delapan ekor lembu yang gemuk-gemuk dan yang malang melintang di tempat itu, satu di
antaranya telah hancur kepalanya sehingga tidak kelihatan lagi, agaknya itulah yang diambil otaknya oleh
nenek itu, sedangkan tujuh ekor yang lain juga mati dengan kepala pecah, sungguh pun belum hancur
seperti yang seekor itu.
Masih baik nenek ini tidak membunuh orang, pikir Suma Han. Tentu ada hal-hal yang menyebabkan nenek
ini marah-marah dan membunuh semua lembu itu, padahal andai kata dia membutuhkan otak lembu, tentu
hanya seekor saja yang dibunuh, tidak semua. Kini Suma Han telah berdiri di depan nenek yang masih
makan otak berdarah itu, hanya dalam jarak lima meter.
Sudah tentu nenek itu dapat melihatnya, tapi agaknya nenek itu tak mempedulikannya dan sengaja purapura
tidak melihat, masih enak-enak makan otak itu dengan mulut tengkoraknya yang amat lebar, di balik
mana terdapat mulutnya sendiri yang kecil. Gigi gigi di depan tengkorak itu kelihatan berlepotan darah dan
otak, dan kembali Suma Han menjadi muak. Sudah terlalu lama dia tidak melihat kebuasan dan kejahatan
manusia, hidup dengan tenang dan tenteram di Pulau Es, kini menyaksikan tingkah seorang aneh di dunia
kang-ouw yang begini mengerikan dia menjadi muak.
Suma Han menanti sampai nenek itu menghabiskan sisa otak yang dimakannya. Dia berdiri tanpa
bergerak, bersandar kepada tongkatnya dan memandang dengan sinar lembut, diam-diam dia merasa
kasihan mengapa ada seorang wanita yang mau hidup seperti itu, mukanya ditutup tengkorak asli, seolaholah
hendak bersembunyi dari dunia, ataukah hendak memperingatkan dunia bahwa di balik wajah setiap
orang manusia, apa pun kedudukannya, tiada lain hanyalah sebuah tengkorak yang mengerikan seperti
itu?
Apakah nenek ini hendak menyindirkan bahwa di akhir semua kehidupan yang beraneka ragam, yang
mendatangkan segala macam peristiwa itu, tiada lain hanyalah ada maut yang menanti? Suma Han tidak
dapat menafsirkan apa yang dimaksudkan oleh nenek itu dengan mengenakan kedok tengkorak asli di
depan mukanya. Dan tentang otak mentah yang dimakannya, dia tahu bahwa memang di dalam otak
berdarah itu terkandung obat penguat bagi nenek tua ini.
Kini wanita tua itu sudah selesai makan dan agaknya dia pun mulai memperhatikan Suma Han, buktinya
mata di balik tengkorak itu berkilauan dan bergerak dari atas ke bawah, terutama sekali memperhatikan
kaki yang buntung sebelah itu. Akan tetapi karena nenek itu tidak bicara atau bergerak, Suma Han lalu
dunia-kangouw.blogspot.com
bertanya dengan suara halus, “Sobat, maafkan kalau aku mengganggumu. Akan tetapi mengapakah
engkau membunuh delapan ekor lembu yang tidak bersalah apa-apa ini?”
Terdengar suara mendengus di balik kedok itu, dan mata di balik kedok itu berputar liar seperti mata setan,
kemudian terdengar suaranya nyaring melengking dengan mulut tengkorak bergerak-gerak aneh,
“Kubunuh mereka agar anak itu melapor ke dusun, agar semua orang dusun datang ke sini!”
Suma Han mengerutkan alisnya yang putih. Jawaban yang aneh!
“Kalau mereka sudah datang ke sini?” dia mendesak dengan suara masih halus.
“Sialan! Mereka tidak datang ke sini, yang datang malah engkau ini kakek buntung menyebalkan! Kalau
mereka datang, tentu dengan enak aku akan membunuh mereka semua, akan tetapi yang datang hanya
engkau kakek buntung, dibunuh pun tidak ada harganya!”
Diam-diam Suma Han terkejut juga. Kiranya nenek ini adalah seorang yang amat jahat! Demikian jahatnya
sehingga bukan hanya membunuh delapan ekor lembu, akan tetapi tak membunuh si penggembala
hanyalah dengan maksud untuk memancing datangnya semua orang dusun untuk dibunuhnya!
“Sobat yang baik, apakah kesalahan semua orang dusun itu maka engkau hendak membunuh mereka?”
“Huh, semua orang kalau bisa akan kubunuh! Peduli apa mereka bersalah atau tidak? Kau pun seharusnya
dibunuh, tetapi terlalu enak bagimu kalau kau dibunuh. Engkau sudah tua bangka, kakimu buntung pula,
dan wajahmu membayangkan penderitaan. Heh-heh, engkau tentu menderita sekali dan sisa hidupmu
yang tinggal tidak berapa lama itu, biarlah kau lewatkan dalam siksaan dan penderitaan. Kalau dibunuh
sekarang, sungguh terlalu enak bagimu!”
Suma Han tercengang. Belum pernah dia bertemu dengan orang sejahat ini! Dia teringat bahwa di
dunianya kaum sesat terdapat Im-kan Ngo-ok, Si Lima Jahat dari Akhirat yang kabarnya mempunyai watak
yang luar biasa jahatnya.
“Hemmm, sobat baik, apa gunanya engkau sengaja melakukan kejahatan seperti itu? Apakah manfaatnya
bagimu kalau kau membunuhi orang-orang yang tidak berdosa?”
“Gunanya? Manfaatnya? Ha, tentu saja untuk mengisi kenyataan pada sebutan Ji-ok Kui-bin Nionio, ha-haha!”
Suma Han mengangguk-angguk. Kiranya nenek ini adalah orang kedua dari Im-kan Ngo-ok. Ahhh, pasti
hebat juga kalau Im-kan Ngo-ok yang kabarnya sudah tidak pernah meninggalkan dunia mereka sendiri itu
kini turun ke dunia ramai!
“Hai, kau ini siapakah?” Tiba-tiba nenek itu berseru, seolah-olah baru terkejut melihat betapa kakek
buntung itu sedikit pun tidak kelihatan jeri kepadanya.
“Aku? Aku hanya seorang tua bangka buntung seperti katamu tadi, tidak ada apa apanya yang patut
diperhatikan!” jawab Suma Han yang tidak ingin memperkenalkan diri, juga tidak ingin mencari perkara
karena maksudnya pun bukan hendak memusuhi nenek ini melainkan hendak melindungi agar orangorang
dusun itu tidak sampai celaka. Kalau tadi dia tidak curiga dan para penghuni dusun itu sudah
mendahuluinya tiba di sini, tentu mereka itu sudah menggeletak mati seperti bangkai-bangkai lembu itu!
“Kalau buntung keduanya mungkin akan patut diperhatikan orang!” Tiba-tiba nenek itu berkata dan telunjuk
kanannya menuding ke depan, ke arah kaki kanan Suma Han yang tidak buntung.
Suma Han terkejut. Wanita ini benar-benar amat jahat sekali, begitu kejam dan ganas melebihi semua
tokoh hitam yang pernah ditemuinya di waktu dia masih berkecimpung di dunia kang-ouw dahulu.
“Cusssss...!”
Hawa yang dingin sekali menyambar ke arah kakinya dan tahulah pendekar ini bahwa wanita berkedok
tengkorak itu telah menguasai ilmu pukulan luar biasa yang digerakkan dengan Im-kang, yang amat
berbahaya karena hawa yang menyambar dari gerakan telunjuk itu bukan main dahsyatnya, seperti
dunia-kangouw.blogspot.com
tusukan pedang saja. Dan memang Ji-ok telah mengeluarkan ilmunya yang hebat, yaitu Kiam-ci (Jari
Pedang) untuk membikin buntung kaki yang tinggal satu itu!
Tentu saja setelah dia sendiri diserang, Suma Han tidak dapat lagi menyembunyikan kepandaiannya,
karena dia harus membela diri. Tangan kirinya yang memegang tongkatnya itu bergerak cepat dan dia
telah menudingkan tongkatnya ke depan, ke arah telunjuk Ji-ok yang menuding ke arah kakinya itu.
“Wirrrrrrr...!”
Ji-ok mengeluarkan jerit tertahan ketika sambaran hawa dari telunjuknya itu kembali dan membuat
tangannya terasa tergetar hebat. Cepat dia menyimpan tenaganya, kemudian mengerahkan telunjuknya
lagi dan kini menunjuk ke arah dada kakek buntung kakinya itu! Kembali Suma Han memapakinya dengan
tongkat yang ditudingkan dan untuk kedua kalinya Ji-ok tergetar hebat, bahkan kini sampai mundur
selangkah. Mata di balik kedok itu mengeluarkan sinar berapi. Baru dia percaya bahwa kakek buntung itu
benar benar telah mampu menangkis serangan Kiam-ci sampai dua kali, bahkan yang kedua kalinya
membuat dia terdorong ke belakang!
“Siapakah engkau?!” bentaknya.
Suma Han kembali menarik napas panjang. “Seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung,”
jawabnya tenang.
“Kau... rambutmu putih, kaki kirimu buntung, kau... kau Pendekar Super Sakti dari Pulau Es...?” Ji-ok
berseru kaget bukan main.
“Ha-ha-ha, Ji-moi, apakah kau tidak mengenalnya? Lihat rajawali di atas itu! Siapa lagi kalau bukan
Pendekar Siluman yang datang bersama rajawalinya?”
Suma Han kagum mendengar suara yang datang dibawa angin ini. Seorang yang amat lihai, pikirnya, akan
tetapi dia tidak menoleh ke kanan, ke arah datangnya suara, melainkan tetap memandang nenek berkedok
itu karena dia tahu betapa bahayanya orang-orang seperti nenek ini yang suka bertindak curang. Dia tetap
tenang dan waspada, tidak ingin mencari permusuhan, akan tetapi tentu saja dia pun harus menjaga diri
terhadap datuk-datuk jahat seperti Im-kan Ngo-ok.
Nama lima orang manusia iblis itu sudah amat terkenal dan agaknya kalau ada yang satu, tentu ada pula
yang lain. Buktinya, suara tadi tentulah suara Twa-ok, yaitu Si Jahat Pertama, dapat dikenal dari cara dia
memanggil nenek itu dengan Ji-moi (adik kedua). Siapa lagi yang menyebut nenek itu adik kedua kalau
bukan Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok? Tegang juga rasa hati Suma Han. Orang kedua saja
sudah memiliki pukulan sakti yang dahsyat dari jari telunjuknya tadi, apa lagi orang yang pertama!
Dugaannya memang benar, dan ketika ada angin berkesiur, muncullah kakek yang seperti gorilla atau
monyet besar itu, dengan langkahnya yang kaku dan kedua lengannya tergantung di bawah lutut! Suma
Han memandang dengan penuh perhatian, akan tetapi juga penuh kewaspadaan.
“Ji-moi, sudah lama aku ingin sekali melihat rajawali dari Pulau Es. Biar kupanggil dia ke sini!” kata kakek
bermuka orang utan itu dengan sikapnya yang lemah lembut dan suaranya yang halus.
Kemudian dia mengangkat kedua tangannya ke atas, ke arah rajawali yang terbang berputaran di atas
pohon-pohon sambil mengeluarkan suara yang menggetar tinggi. Burung rajawali itu seperti kaget dan tibatiba
terbangnya menjadi kacau.
Melihat ini, Suma Han merasa khawatir akan keselamatan burungnya yang sudah tua itu, maka dia lalu
mengeluarkan suara melengking halus, suara yang menjadi tanda bagi rajawalinya untuk terbang tinggi
menjauhi tempat itu, kemudian dengan suara yang tenang dia berkata, “Sobat, apakah engkau hendak
bermain-main dengan rajawali? Nah, dia sudah datang menyambarmu!”
Twa-ok Su Lo Ti adalah seorang Jahat Nomor Satu, biar pun dia bersikap lembut dan bersuara halus, tapi
di dalam hatinya selalu terkandung keinginan untuk mencelakakan orang lain secara halus namun keji!
Tadi begitu melihat Ji-ok berhadapan dengan Majikan Pulau Es, dia tidak langsung menghadapi pendekar
yang amat terkenal itu, melainkan lebih dulu hendak meruntuhkan tunggangannya, yaitu burung rajawali.
Biar pun dia tidak langsung memusuhi Pendekar Siluman, melainkan secara halus hendak mencelakai
dunia-kangouw.blogspot.com
burungnya, namun jelas bahwa perbuatannya ini selain amat kejam, juga menunjukkan bahwa dia lebih
dulu ingin mengganggu dan menyusahkan lawannya sebelum berhadapan secara langsung.
Ketika dia mendengar pendekar itu mengeluarkan suara melengking halus, dia merasa betapa jantungnya
berdebar dan suaranya yang menggetar dan yang ditujukan ke arah burung rajawali di atas itu membuyar.
Dia terkejut dan cepat menengok, memandang ke arah pendekar itu ketika mendengar pendekar itu bicara
kepadanya. Dan pada saat itu, sehabis ucapan pendekar dari Pulau Es itu, dia mendengar suara sayap
burung dan ketika dia memandang kembali ke depan, dia melihat seekor rajawali sudah terbang meluncur
hendak menyambarnya!
“Ha-ha-ha, burung yang baik, hendak terbang ke manakah engkau?” katanya dan dia cepat menggerakkan
kedua tangannya, di goyang-goyang di depan mukanya dengan tubuh agak membongkok.
Burung rajawali yang sedang terbang itu tertahan terbangnya. Biar pun dia menggerak gerakkan kedua
sayapnya, mencakar-cakar dan memekik-mekik, akan tetapi burung itu tetap saja tidak mampu terbang
pergi, seolah-olah kakinya terikat oleh tali yang tidak nampak!
“Ha-ha-ha, burung yang baik, aku butuh beberapa lembar bulumu untuk kujadikan sapu. Hayo lepaskan
beberapa ekor bulumu, burung rajawali yang baik!” Kakek bermuka gorilla itu menggerak-gerakkannya jari
tangannya ke arah burung yang tidak mampu terbang pergi dan benar saja, beberapa lembar bulu panjang
dari ekor dan sayapnya jatuh berguguran ke bawah.
Pada saat itu, kepala dusun dan para penghuni dusun itu sudah maju dekat. Mereka tertarik sekali melihat
betapa kakek tua yang buntung itu berhadapan dengan nenek iblis dan betapa kini muncul pula seorang
kakek seperti gorilla. Saking tertariknya, mereka tidak ingat lagi bahwa nenek itu telah melakukan hal yang
keji, dan mereka lupa akan takutnya.
Tiba-tiba Ji-ok berseru, “Eh, Twako, apa yang kau lakukan itu? Lihat baik-baik, itu bukan rajawali! Engkau
telah dipermainkan orang!”
Mendengar ucapan Ji-ok ini, Twa-ok cepat menahan napas, mengerahkan sinkang-nya dan mengeluarkan
suara gerengan seperti monyet. Dia adalah seorang yang telah mempelajari ilmu sihir dan kebatinan, maka
begitu dia mengerahkan kekuatan batinnya, kini matanya dapat melihat jelas dan ternyata burung rajawali
yang dipermainkannya tadi bukan lain hanyalah sepotong ranting pohon dengan daun-daunnya, dan yang
berguguran tadi adalah daun-daun dari ranting itu! Kiranya tadi Suma Han telah melemparkan sepotong
ranting, dan menyulapnya menjadi rajawalinya yang kini telah terbang tinggi menurut perintah majikannya!
“Hemmm...!” Kakek yang menjadi orang pertama dari Im-kan Ngo-ok mendengus dan begitu dia
menghentikan kedua tangannya, ranting itu pun meluncur jatuh ke atas tanah. Tadi ranting itu ditahan oleh
tenaga kedua tangannya yang mempermainkannya, dan andai kata burung rajawali yang tadi dipermainkan
dengan hawa sakti kedua tangannya, tentu rajawali itu sudah tewas!
Pada saat Twa-ok dan Ji-ok menoleh ke arah kakek buntung itu. Mereka hanya melihat bayangan
berkelebat dan tahu-tahu kakek itu lenyap dari depan mereka. Keduanya kaget bukan main. Bagaimana
mungkin seorang berkaki buntung sebelah bisa bergerak secepat itu? Seperti kilat menyambar saja! Dan
memang hal ini tidak mengherankan kalau mereka mengetahui bahwa Pendekar Super Sakti memang
telah mempergunakan kesaktiannya untuk menghadapi mereka.
Pada saat mereka berdua menoleh, ternyata kakek buntung itu telah berdiri di depan rombongan penghuni
dusun, membelakangi orang-orang itu seperti hendak melindungi mereka. Melihat ini, Twa-ok cepat-cepat
menjura dengan hormat ke arah Suma Han. Pendekar Super Sakti sudah siap dan waspada, karena dia
harus melindungi semua orang ini. Akan tetapi ternyata kakek bermuka gorilla itu tidak melakukan
penyerangan, dan hanya menjura dan mengangkat kedua tangan ke depan dada secara wajar.
“Aihhh, sudah puluhan tahun kami mendengar nama besar Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es, dan
ternyata nama besar itu bukanlah kosong belaka. Akan tetapi, setelah puluhan tahun tidak muncul di dunia
kang-ouw, kini begitu muncul telah memamerkan permainan sulapnya yang sungguh mengagumkan,
apakah kiranya tidak dipertunjukkan di tempat yang keliru?” Dengan kata-kata yang halus ini, Twa-ok
hendak mengejek permainan sihir tadi, sungguh pun dia telah terpedaya.
Suma Han hanya memandang dengan sikap tenang dan sungguh-sungguh. “Aku pun telah mendengar
nama besar Im-kan Ngo-ok dan sungguh beruntung sekali sekarang dapat berjumpa dengan Twa-ok dan
dunia-kangouw.blogspot.com
Ji-ok, dua orang tertua dari Im-kan Ngo-ok yang memiliki kepandaian hebat. Akan tetapi, sungguh
mengherankan mengapa Twa-ok dan Ji-ok yang tersohor itu hanya seperti anak-anak kecil yang
mempermainkan binatang binatang yang tidak bersalah, membunuhi delapan ekor lembu dan hendak
mencelakai burung rajawali?”
“Wah, bukankah orang-orang tua itu hanyalah anak-anak kecil yang besar badannya?”
Twa-ok menjura lagi. Akan tetapi sekali ini, ketika dia mengangkat kedua tangannya tiba-tiba ada hawa
pukulan yang dahsyat bukan main menyambar ke arah Suma Han! Sejak tadi memang Suma Han sudah
bersiap sedia dan waspada selalu, maka kini dia telah mendahului, menggerakkan tangan kanannya
mendorong ke depan, menyambut pukulan jarak jauh dari Twa-ok itu dengan ilmu pukulan Hwi-yang Sinciang.
Pada saat itu, Ji-ok yang curang juga sudah cepat menudingkan telunjuknya, mengerahkan Ilmu
Kiam-ci untuk menyerang ke arah kakek buntung itu. Tongkat di tangan kiri Suma Han diangkat dan
menyambut serangan Ji-ok ini dan sekaligus Suma Han telah menyambut serangan kedua orang itu,
telapak tangan kanannya menggunakan Hwi-yang Sin-ciang yang mendatangkan hawa panas sedangkan
tongkat di tangan kirinya menyambar hawa Swat-im Sin-ciang yang amat dingin!
Perlu diketahui bahwa dalam usia enam puluh tahun lebih itu, Suma Han telah memiliki tenaga sinkang
yang sukar diukur lagi dalamnya, maka kedua ilmunya itu sudah mencapai tingkat yang hampir sempurna
dan luar biasa kuatnya. Maka, sekaligus dia dapat membagi dirinya, menyambut serangan Twa-ok dengan
hawa sakti panas dan serangan Ji-ok dengan hawa sakti dingin.
Orang pertama dan kedua dari Im-kan Ngo-ok itu terkejut bukan main ketika mereka merasa betapa ada
hawa yang panas sekali dan dingin sekali menyambut mereka. Dan ketika mereka berdua mengerahkan
tenaga dan mendesak, secara tiba-tiba saja terdengar Suma Han mengeluarkan suara menggetar dari
dalam dada dan mendadak Twa-ok agak menggigil dan Ji-ok berseru kaget. Kiranya, begitu mengeluarkan
suara menggetar tadi, Pendekar Super Sakti telah mengubah hawa saktinya, kalau tadi yang kanan panas
dan yang kiri dingin, kini berubah sama sekali, yang menghadapi Twa-ok berubah dingin dan yang
melawan Ji-ok berubah panas. Kedua orang datuk kaum sesat itu terkejut dan cepat-cepat mereka
melangkah mundur sambil menghentikan serangan mereka! Suma Han juga tidak mendesak dan
menghentikan pula tenaga saktinya. Kemudian, Suma Han mengetukkan tongkatnya ke atas tanah. Batu
yang terkena ketukan itu mengeluarkan bunyi keras dan nampak api berpijar saking kerasnya ujung
tongkatnya menumbuk batu.
“Twa-ok dan Ji-ok, dengarlah baik-baik. Aku sengaja meninggalkan pulau bukan sekali kali untuk
bermusuhan dengan siapa pun juga, tapi untuk mencari putera-puteraku dan mengajak mereka pulang.
Akan tetapi jangan mengira bahwa aku akan membiarkan orang-orang menghinaku atau mengganggu
orang lain di depan mataku!”
Ucapan itu halus, akan tetapi mengandung wibawa yang hebat dan gagah, dan dua orang tokoh Im-kan
Ngo-ok itu terbelalak memandang ketika melihat betapa tubuh Suma Han perlahan-lahan berubah menjadi
besar seperti raksasa! Akan tetapi mereka segera sadar bahwa Pendekar Siluman itu mempergunakan
kekuatan batinnya, maka cepat mereka menunduk, berkemak-kemik dan menguatkan batin, sehingga
ketika mereka memandang lagi, tubuh pendekar itu sudah biasa lagi, hanya kelihatan berwibawa dan
menimbulkan rasa jeri di dalam hati mereka.
Twa-ok bukan seorang bodoh. Dia tadi bersama Ji-ok telah mengadu tenaga dan kalau terjadi
pertandingan, belum tentu dia dan Ji-ok akan mampu menandingi Pendekar Super Sakti yang benar-benar
amat lihai ini. Kalau saja tiga orang saudaranya yang lain berada di situ, tentu dia akan nekat
menggunakan kekuatan untuk menyerang dan mengeroyok. Akan tetapi, tugasnya masih banyak dan dia
menganggap belum tiba saatnya untuk mempertaruhkan keselamatannya mengadu nyawa dengan
seorang tokoh besar seperti Majikan Pulau Es ini. Maka dia lalu tersenyum dan menjura lagi, pemberian
hormat yang wajar.
“Maaf, maaf, kalau belum mengadu tenaga belum saling mengenal kata orang!” Dia mengangguk-angguk.
“Pendekar Super Sakti memang lihai sekali, kami berdua amat kagum. Akan tetapi kalau Taihiap
bermaksud mencari puteramu Siluman Kecil, kurasa belum tentu dia akan mau pulang ke Pulau Es.”
Mendengar disebutnya nama Siluman Kecil, Suma Han tertarik. “Siluman Kecil? Siapa yang kau
maksudkan?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, apakah Taihiap juga hendak merahasiakan keadaan puteramu yang penuh rahasia itu?
Bukankah puteramu itu bernama Suma Kian Bu, biar pun usianya masih muda namun rambutnya sudah
putih semua, di dunia kang-ouw dijuluki Siluman Kecil?”
Suma Han hanya mengangguk-angguk. Tentu saja dia tidak tahu bahwa kini di dunia kang-ouw Suma Kian
Bu dijuluki orang Siluman Kecil, dan tidak tahu pula bahwa rambut puteranya itu telah menjadi putih
semua!
“Dia tidak mungkin mau pulang setelah dia hidup penuh kesenangan bersama seorang dara cantik jelita...”
Twa-ok sengaja menghentikan kata-katanya yang merupakan pancingan dan dia memperhatikan wajah
pendekar itu.
Akan tetapi dia belum mengenal baik siapa adanya Suma Han, seorang pendekar yang amat hebat
kekuatan batinnya sehingga kalau dia hendak ‘membaca’ keadaan hati pendekar itu, dia kecelik. Tidak ada
tanda apa-apa pada wajah yang berwibawa itu, kecuali sepasang matanya saja yang menyambar dan
membuat seorang manusia iblis seperti Twa-ok Su Lo Ti sendiri sampai bergidik. Bukan mata manusia,
pikirnya.
“Kalau kau hendak memberi tahu, segera lanjutkanlah. Kalau tidak, aku pun tidak akan memaksakan
keterangan apa pun darimu, Twa-ok.”
Wajah kakek bermuka gorilla itu menjadi merah karena malu. “Dia ke mana pun berdua dengan Nona
Hwee Li, puteri dari Hek-tiauw Lo-mo ketua Pulau Neraka. Agaknya mereka itu saling mencinta... ha-ha-ha,
begitulah orang muda.”
Mendengar ini, sesungguhnya hati Suma Han terkejut bukan main, terkejut, penasaran dan tidak senang,
akan tetapi wajahnya tidak memperlihatkan sesuatu sehingga Twa-ok tidak tahu apakah bidikannya itu
mengenai sasaran ataukah tidak.
“Twa-ok, mari kita coba lagi, aku masih penasaran. Tidak mungkin kita berdua kalah oleh kakek buntung!”
Ji-ok berkata, akan tetapi Twa-ok menggeleng kepalanya.
“Ji-moi, engkau seperti seorang gadis bodoh saja. Kalau kau mau main-main dengan dia, nah, lakukanlah,
akan tetapi aku tidak ikut campur. Dan engkau sudah membunuh delapan ekor lembu milik orang dusun.
Sungguh lancang, Ji-moi, sungguh kasihan sekali orang-orang dusun itu.”
Kakek bermuka gorilla itu lalu menoleh kepada orang-orang kampung yang dikepalai oleh kepala dusun itu,
kemudian menjura sambil berkata, “Kami mohon maaf atas kelancangan kami dan bukan maksud kami
hendak merugikan kalian yang sudah hidup serba kekurangan. Oleh karena itu, biarlah kami mengganti
harga delapan ekor lembu ini...“ Kakek itu merogoh saku jubahnya yang lebar, lalu mengeluarkan beberapa
potongan uang perak, dikepalnya uang itu lalu diletakkannya di atas batu dekat bangkai bangkai lembu.
“Dan daging-daging tembu ini kami berikan kepada kalian untuk dipakai berpesta.” Dia lalu menghampiri
bangkai-bangkai lembu itu dan menepuk-nepuk perut perut lembu yang gemuk. “Lembu gemuk, daging
lezat...“ katanya berkali-kali sampai semua lembu ditepuk-tepuknya. Kemudian dia berkata kepada Ji-ok,
“Ji-moi, hayo kita pergi!”
Tanpa pamit lagi kedua orang datuk kaum sesat itu berkelebat dan lenyap dari situ. Suma Han sejak tadi
mengikuti gerak-gerik kakek muka gorilla itu, dan hatinya lega ketika dia tidak melihat kakek itu menyerang
orang-orang dusun seperti yang telah dikhawatirkannya. Dia tadi sudah siap sedia untuk turun tangan
melindungi orang-orang dusun itu apa bila kakek muka gorilla dan nenek muka tengkorak itu menyerang
mereka.
Melihat kesudahan dari peristiwa itu, kepala dusun menjadi girang bukan main. Bukan saja lembulembunya
diganti dengan uang perak yang dari jauh saja sudah nampak cukup banyak untuk pengganti
harga lembu-lembunya, akan tetapi juga kakek dan nenek aneh yang semula disangka siluman jahat itu
malah mengembalikan bangkai bangkai lembu agar dagingnya dapat mereka makan! Dan daging delapan
ekor lembu yang gemuk-gemuk itu merupakan bahan makanan yang amat lezat dan banyak bagi orangorang
dusun yang mungkin hanya setahun sekali pernah menikmati daging lembu!
Maka dia lalu berseru, “Saudara-saudara, kita telah kejatuhan rejeki, tak usah sungkan sungkan, mari kita
bagi-bagi daging lembu-lembu itu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Para penduduk dusun itu bersorak girang dan kepala dusun itu pun sudah lari ke arah batu di mana Twaok
tadi menaruh beberapa potong uang perak.
“Jangan sentuh perak itu dan jangan dekati lembu-lembu itu!” Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan semua
orang terkejut ketika melihat bahwa kakek berkaki buntung sebelah tadi kini sudah berdiri menghadang
antara mereka denngan bangkai-bangkai lembu dan uang di atas batu itu.
Tentu saja kepala dusun dan anak buahnya menjadi terkejut dan marah. Kiranya kakek buntung ini malah
yang jahat! Nenek bermuka tengkorak yang mereka sangka siluman itu bersama temannya yang bermuka
monyet, ternyata malah orang-orang yang amat baik, karena biar pun telah membunuh delapan ekor
lembu, akan tetapi selain lembu lembu itu dibayarnya dengan cukup, juga daging lembu-lembu itu diberikan
kepada orang dusun. Sebaliknya kakek berkaki buntung sebelah ini malah agaknya yang akan merampas
atau merampok uang dan daging lembu itu!
“Orang tua, apa maksudmu? Apakah kau hendak merampok semua itu?” Kepala dusun bertanya dan dia
sudah memegang tombaknya erat-erat, sedangkan para penduduk dusun itu pun sudah mempersiapkan
senjata mereka.
Kalau tadi saja menghadapi siluman yang berwajah mengerikan mereka tidak takut, apa lagi menghadapi
kakek berkaki buntung sebelah ini! Tentu saja semua pertandingan adu tenaga sakti antara kakek buntung
ini dan kedua orang kakek dan nenek yang menyeramkan tadi tidak ada seorang pun yang mengetahui,
dan mereka hanya mengira bahwa kakek tua ini adalah seorang biasa saja.
Ditegur seperti itu, Suma Han menarik napas panjang. “Ahhh, kalian tidak tahu akan bahaya yang
mengancam nyawa kalian. Ketahuilah bahwa pada permukaan uang perak itu telah dilumuri racun dan
sekali saja kalian menyentuhnya, kalian akan tewas. Dan bangkai-bangkai lembu itu pun telah
mengandung racun.”
Semua orang terkejut akan tetapi tidak percaya. “Bohong... bohong...! Dia ingin memiliki sendiri semua itu!”
terdengar mereka berteriak-teriak.
Suma Han melihat ada beberapa ekor burung gagak terbang datang dan hinggap di atas cabang pohon
yang berdekatan. Dia tahu bahwa burung-burung itu tertarik oleh bangkai-bangkai lembu, maka dia lalu
berkata, “Kalian lihatlah sendiri!”
Dia menggunakan tongkatnya mencongkel daging di punggung seekor lembu, lalu melontarkan gumpalan
daging itu ke arah gagak-gagak yang bertengger di cabang pohon. Tiga ekor burung gagak cepat
menyambut daging itu dan memperebutkannya. Akan tetapi, begitu mereka menelan sedikit potongan
daging, tiga ekor burung itu tiba tiba berkaok nyaring, lalu tubuh mereka terbanting ke atas tanah,
berkelojotan dan mati!
Semua orang terkejut bukan main! Ternyata tiga ekor burung gagak itu telah mati keracunan! Tubuh
mereka kini menggigil ketakutan dan mereka memandang kepada Suma Han dengan muka pucat.
“Daging lembu-lembu ini sudah tidak dapat dibersihkan lagi. Maka harap kalian cepat mengubur mereka di
sini juga agar racun itu tidak menjalar ke mana-mana. Tentang uang perak itu, jangan khawatir, aku setua
ini tidak lagi membutuhkan perak dan emas, dan aku akan mencoba untuk membersihkan racun yang
berada di situ.”
Kini kepala dusun percaya penuh dan dia lalu mengerahkan orang-orangnya untuk menggali lubang besar,
kemudian mereka menyeret kaki mayat lembu-lembu itu dan menguburnya di dalam lubang besar dan
menutupnya dengan tanah. Sementara itu, Suma Han mengerahkan sinkang ke telapak kedua tangannya,
lalu mengambil uang perak itu dan mengerahkan Hwi-yang Sin-ciang. Kepala dusun itu melihat dengan
mata terbelalak betapa dari uang perak itu mengepul uap hijau!
Setelah ‘membakar’ racun yang melumuri perak itu sampai habis, barulah Suma Han meletakkan uang
perak itu ke atas batu sambil berkata, “Sekarang kau boleh mengambil perak ini tanpa bahaya. Dan
kuperingatkan kalian, kalau kalian melihat dua orang itu atau seorang di antara mereka, lebih baik kalian
menyingkir dan sama sekali jangan mendekati mereka. Nah, aku pergi!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat kakek itu melangkah pergi dibantu tongkatnya, kepala dusun dan anak buahnya segera berlutut
dan kepala dusun itu berseru, “Harap Locianpwe sudi meninggalkan nama besar Locianpwe untuk kami
ingat.”
Suma Han menoleh, menarik napas panjang ketika melihat mereka berlutut, dan berkata, “Aku hanya
seorang tua bangka yang sebelah kakinya buntung.” Setelah berkata demikian, dia melangkah terus, diikuti
pandang mata para penduduk dusun itu dengan terbelalak sampai akhirnya kakek yang berjalan dengan
agak terpincang itu lenyap dari pandang mata mereka.
Seperti kita ketahui, Twa-ok dan Ji-ok itu sedang menjalankan tugas dan diperintahkan oleh Pangeran
Nepal melalui koksu, yaitu untuk mencari Siluman Kecil dan Hwee Li, juga Puteri Syanti Dewi dari Bhutan.
Mereka itu mencari-cari jejak tiga orang itu tanpa hasil sampai akhirnya tiba di dusun itu. Saking jengkelnya
karena tidak juga berhasil menemukan tiga orang buronan itu, Ji-ok yang berwatak aneh dan keji itu
mencari perkara dan hendak melampiaskan kemendongkolan hatinya dengan membunuhi semua orang
dusun di tempat itu! Dan andai kata tidak secara kebetulan Suma Han lewat di situ, sudah tentu seluruh
penghuni dusun itu akan menjadi korban kekejaman wanita yang merupakan Si Jahat Nomor Dua dari Imkan
Ngo-ok itu.
Suma Han telah memanggil burung rajawalinya dan sekarang dia sudah melanjutkan penerbangannya
untuk mencari putera-puteranya. Dia sudah tidak ingat lagi kepada dua orang jahat itu, akan tetapi ucapan
Twa-ok tentang Pendekar Siluman Kecil benar benar menggores di hatinya. Siluman Kecil! Kian Bu kini
berjuluk Siluman Kecil? Hampir dia tertawa. Mengapa puteranya itu memakai julukan seperti itu? Dia
sendiri, di luar kehendaknya, dijuluki orang-orang dari dunia sesat sebagai Pendekar Siluman, julukan yang
sesungguhnya amat tidak disukainya. Akan tetapi kini puteranya malah berjuluk Siluman Kecil! Dan
rambutnya sudah putih semua? Benarkah itu? Diam-diam hati pendekar sakti ini merasa tegang.
Apa yang telah menimpa diri puteranya yang nakal itu sehingga rambutnya menjadi putih semua dan
berjuluk Siluman Kecil? Benar-benar pendekar yang sakti luar biasa ini merasa amat heran dan dia tertawa
seorang diri mengingat kemungkinan akan kebenaran berita itu. Kalau benar, mengapa Kian Bu menuruni
rambutnya yang putih? Dan lebih aneh pula, dia sendiri dijuluki orang Pendekar Siluman, kenapa justeru
puteranya itu pun mempunyai julukan Siluman Kecil? Benar-benar luar biasa dan sama sekali tidak didugaduganya.
Akan tetapi ketika dia teringat berita yang mengatakan bahwa puteranya gulang-gulung dengan
puteri Hek-tiauw Lo-mo, alisnya yang sudah putih itu berkerut. Puteranya bermain gila dengan puteri Hektiauw
Lo-mo, ketua Pulau Neraka yang dia tahu bukan merupakan manusia baik itu? Hal ini sungguh tidak
menyenangkan dan harus dicegah!
Ketika Pendekar Super Sakti ini teringat akan berita tentang puteranya, maka dia pun membayangkan pula
dua orang tokoh golongan sesat yang baru saja dijumpainya itu. Biar pun Suma Han adalah seorang
pendekar yang sudah berpuluh-puluh tahun dan entah sudah berapa ribu kali berkecimpung di dunia kangouw
dan bertemu dengan para datuk kaum sesat, namun teringat akan kekejaman Twa-ok dan Ji-ok, dia
bergidik juga.
Ji-ok si nenek iblis itu jelas adalah amat jahat dan kejam, akan tetapi Twa-ok yang licik itu ternyata lebih
berbahaya dan lebih kejam pula. Biar pun jahat dan keji, Ji-ok tidak menyembunyikan kekejamannya,
sebaliknya Twa-ok bersikap baik, lemah lembut dan ramah, akan tetapi diam-diam dia merencanakan
untuk membunuh semua orang dusun itu secara sangat mengerikan. Pada lahirnya, dia bersikap baik,
memberikan daging semua lembu, bahkan memberi uang pengganti, tetapi ternyata semua itu dijadikan
jebakan untuk membunuh para penduduk dusun.
Akan tetapi segera dia melupakan lagi wajah kedua orang datuk sesat itu dan kembali dia memikirkan
putera-puteranya. Ke mana dia harus mencari Suma Kian Bu dan Suma Kian Lee? Mencari mereka ke
kota raja pun percuma, pikirnya. Kalau dulu, sudah pasti dua orang puteranya itu pergi ke kota raja atau
kalau tidak berada di kota raja, agaknya dia akan dapat mencarinya dengan bertanya kepada puterinya,
yaitu Puteri Milana yang dulu berada di kota raja. Akan tetapi, sekarang Milana tidak lagi berada di kota
raja, dan sudah pergi meninggalkan kota raja bersama suaminya yang baru, Gak Bun Beng, dan dia sendiri
tidak pernah tahu di mana adanya mereka itu. Tidak, dia tidak akan mencari ke kota raja. Dan sekarang dia
sudah mempunyai pegangan, yaitu hendak mencari Pendekar Siluman Kecil yang tentu akan lebih mudah
dicari dari pada mencari Suma Kian Bu, karena tentu orang-orang kang-ouw lebih mengenal julukan itu dari
pada nama aslinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Andai kata Pendekar Super Sakti tidak berpendapat demikian dan langsung pergi ke kota raja, tentu dia
akan dapat berjumpa dengan puteranya itu karena ketika itu Milana telah memenuhi undangan dari
Pangeran Mahkota Yung Cheng. Akan tetapi tentu saja pendekar itu tidak mengetahuinya…..
********************
Kita tinggalkan dulu Pendekar Super Sakti yang melayang-layang di atas punggung burung rajawali itu,
pertanda bahwa dunia persilatan tentu akan mengalami geger dengan munculnya kakek yang sakti ini dan
kita tengok apa yang terjadi di kota raja pada waktu itu.
Seorang pemuda tampan dan gagah memasuki kota raja dengan tergesa-gesa. Pakaian pemuda ini
kelihatan kusut dan agak kotor berdebu, wajahnya juga muram dan penuh kekhawatiran, agak pucat dan
dia nampak lelah sekali seperti orang yang melakukan perjalanan jauh dengan tergesa-gesa dan jarang
berhenti mengaso.
Ketika dia memasuki kota raja, dia kelihatan lega, akan tetapi kekhawatiran tidak pernah menghilang dari
pandang matanya ketika dia memasuki sebuah rumah makan karena semenjak kemarin dia belum makan.
Memang selama beberapa hari ini dia seperti lupa makan dan minum dan lupa tidur saking tegang dan
khawatir hatinya.
Masuknya pemuda ini ke rumah makan, tidak menarik perhatian banyak orang. Di kota raja memang
banyak terdapat seorang muda seperti dia ini, usianya kurang lebih sembilan belas tahun, gagah dan
tampan, kelihatan terpelajar dengan gerak-gerik yang halus, namun pakaiannya yang kusut dan kotor itu
menunjukkan bahwa dia adalah seorang di antara pemuda-pemuda terpelajar kota yang miskin.
Akan tetapi, orang akan keliru kalau menyangka demikian. Tidak, pemuda ini sama sekali bukanlah
pemuda miskin, bahkan dia seorang pemuda yang tadinya menjadi putera seorang yang berkedudukan
tinggi sekali. Dan kenyataan ini agaknya tidak lepas dari pandang mata seorang tua berusia lima puluh
tahun yang duduk di sudut rumah makan itu dan makan mi goreng dengan lahapnya.
Ketika kakek ini melihat munculnya pemuda tampan itu, tiba-tiba saja dia menghentikan sepasang
sumpitnya yang tadi dengan cekatan mengantar bakmi ke mulutnya, bahkan dia hampir tersedak dan cepat
mendorong makanan yang menyesak di tenggorokannya itu dengan minuman. Semua ini dikerjakan
dengan mata yang tidak pernah berkedip memandang kepada pemuda itu yang duduk menghadapi meja
kosong dengan muka pucat dan memesan makanan kepada pelayan. Kemudian, kakek ini cepat
membayar makanannya dan pergi meninggalkan rumah makan dengan tergesa-gesa.
Pemuda itu sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi, dan setelah makanan yang dipesannya
dihidangkan, dia makan dengan tenang dan lambat-lambat, cara makan seorang yang terpelajar dan yang
selalu mengendalikan perasaannya. Akan tetapi, rasa lapar membuat dia makan dengan lahapnya, dan
pada saat itu, yang menjadi perhatiannya hanyalah makanan di depannya, dan untuk sejenak itulah dia
melupakan segala hal yang selama ini mengganggu hati dan pikirannya.
Dia sama sekali tidak tahu betapa ketika dia sudah selesai makan, di luar rumah makan itu terdapat enam
orang, yaitu kakek yang tadi makan bakmi bersama lima orang lain, berdiri di luar rumah makan dengan
sikap mencurigakan dan jelas bahwa mereka itu sedang memperhatikan gerak-gerik pemuda itu. Agaknya
enam orang itu memang menanti sampai pemuda itu selesai membayar harga makanan dan minuman,
kemudian menarik napas lega karena perutnya tidak lapar lagi dan tenaganya agak pulih, pemuda itu lalu
melangkah keluar rumah makan.
Pada saat dia berada di luar rumah makan itulah dia terkejut ketika tiba-tiba enam orang yang tidak
dikenalnya menghampirinya, membuat gerakan mengurung dan seorang di antara mereka, seorang lakilaki
berusia kurang lebih empat puluh tahun, berkata lirih dengan nada suara mengancam, “Kao Kok Han,
menyerahlah engkau dan ikut bersama kami!”
Pemuda itu bukan lain adalah Kao Kok Han, putera bungsu dari Jenderal Kao Liang. Seperti telah kita
ketahui, pemuda ini bersama ayahnya dan kakaknya, Kao Kok Tiong, pergi menyelidiki ke sepanjang
lembah Sungai Huang-ho untuk mencari jejak keluarga mereka yang diculik orang. Ketika Jenderal Kao
Liang dihadang oleh utusan-utusan dari Pangeran Liong Bian Cu, yang dikepalai oleh Hoa-gu-ji tokoh Kui-
Tiong-pang, untuk memaksa Jenderal Kao menyerahkan diri dengan memperlihatkan cincin Nyonya Kao
Liang dan tusuk konde Nyonya Kao Kok Tiong, Jenderal Kao menyuruh putera bungsunya ini untuk cepat
pergi ke kota raja dan mencari putera sulungnya, yaitu Si Naga Sakti Kao Kok Cu dan menyampaikan
dunia-kangouw.blogspot.com
berita penangkapan atas dirinya itu. Jenderal Kao Liang bersama Kao Kok Tiong lalu dibawa pergi dan Kok
Han sendiri dengan cepat lalu melarikan diri dan melakukan perjalanan jauh itu dengan hati risau.
Saking khawatirnya karena melihat betapa keluarganya yang terculik secara aneh masih belum
diketahuinya nasibnya dan sekarang bahkan ayahnya dan kakaknya juga ditawan orang sedangkan dia
belum dapat bertemu dengan kakak sulungnya, pemuda ini sama sekali tidak teringat bahwa kembalinya
ke kota raja sama artinya dengan kembali ke goa singa. Dia sekeluarga telah diusir dengan halus dari kota
raja di mana diam-diam banyak terdapat musuh-musuh ayahnya, maka kini dia kembali ke kota raja, tentu
saja banyak orang akan mengenalnya.
Baru setelah enam orang itu menghadang dan hendak menangkapnya, Kok Han terkejut dan insyaf bahwa
dia berada di tempat yang berbahaya! Teringatlah dia akan musuh-musuh ayahnya, maka dia dapat
menduga bahwa enam orang ini tentulah utusan seorang di antara musuh-musuh ayahnya itu. Kok Han
mewarisi ketabahan ayahnya, maka biar pun dia sudah dikepung, dia tidak menjadi gentar dan dengan
sinar mata tajam dan suara tenang dia menghampiri mereka dan berkata, “Siapakah kalian? Apa sebabnya
kalian hendak menangkapku?”
“Tidak perlu banyak cakap, lebih baik engkau ikut bersama kami dengan tenang dan kau boleh bicara,
dengan majikan kami,” kata seorang di antara mereka yang mukanya hitam dan sikapnya bengis sekali.
Kok Han mengerutkan alisnya, sikapnya masih tenang. “Siapakah majikan kalian? Dan bagaimana kalau
aku tidak sudi menyerah?”
“Bocah sombong, kami akan menggunakan kekerasan dan engkau akan menyesal!” bentak si muka hitam
sambil meraba gagang goloknya, sikapnya kereng sekali.
Kini Kok Han menjadi marah. Hatinya sedang tertekan kekhawatiran teringat akan keadaan keluarganya,
dan juga sedang bingung karena dia tidak tahu ke mana harus mencari kakak sulungnya di dalam kota raja
yang besar itu, dan kini dia diganggu orang. Apa lagi karena dia tahu bahwa orang-orang ini adalah kaki
tangan musuh-musuh ayahnya yang mungkin juga menjadi biang keladi malapetaka yang menimpa
keluarga ayahnya, maka pemuda ini menjadi marah bukan main. Mukanya yang pucat itu berubah merah
dan dia menatap wajah enam orang itu dengan mata terbelalak.
“Penjahat-penjahat hina! Kami keluarga dari bekas Panglima Kao Liang tidak mengenal takut, apa lagi
terhadap kaki tangan segala macam pembesar durna yang memusuhi kami!” Dia berseru dengan keras
dan nyaring sehingga terdengar sampai jauh dan dengan gerakan cepat Kok Han sudah menerjang ke
depan.
Enam orang itu terkejut, lebih terkejut mendengar bentakan itu dari pada menghadapi serangan pemuda
itu, sehingga dua orang di antara mereka kena dipukul oleh Kok Han dan mereka terpelanting ke atas
tanah. Empat orang yang lain sudah menubruk dan menyerang Kok Han yang melawan dengan nekat.
Terjadilah perkelahian di depan rumah makan itu, mengejutkan semua orang, dan seperti biasanya setiap
kali ada perkelahian, orang-orang hanya menjauhkan diri atau menonton saja hingga tempat itu segera
terkurung oleh banyak orang yang menonton.
Biar pun dua orang yang dipukulnya tadi kini sudah bangkit kembali dan dia dikeroyok oleh enam orang,
namun Kok Han adalah seorang pemuda yang sejak kecil digembleng oleh ayahnya dan memiliki dasar
ilmu silat yang tinggi dan baik. Maka kini dia mengamuk dan enam orang itulah yang sering menerima
pukulan dan tendangan oleh pemuda ini sehingga jatuh bangun.
Enam orang itu menerima perintah untuk menangkap Kok Han, maka mereka tadi tidak mempergunakan
senjata. Akan tetapi ketika mereka mendapat kenyataan betapa lihainya pemuda itu, kini mereka mulai
mencabut senjata masing-masing dan para penonton menjadi gempar dan cepat menjauhkan diri. Namun
Kao Kok Han tidak menjadi gentar. Dia berdiri tegak di tengah-tengah, memandang kepada enam orang
yang telah mengelilinginya dengan senjata pedang dan golok di tangan itu. Kok Han diam-diam meraba
gagang pedangnya dan mengambil keputusan untuk membela diri sekuatnya.
“Tahan...!” Tiba-tiba terdengar bentakan halus dan enam orang itu berhenti bergerak, lalu menjura ke arah
kakek berusia enam puluh tahun yang muncul di antara para penonton itu.
Ketika Kok Han menoleh, wajahnya berubah pucat. Kakek itu adalah seorang panglima yang berpakaian
preman dan dia mengenal benar Panglima Chang ini, seorang panglima tua yang menjadi musuh besar
dunia-kangouw.blogspot.com
ayahnya karena ayahnya pernah membongkar praktek kecurangan dan korupsi dari Panglima Chang ini
sehingga panglima ini pernah mengalami hukuman turun pangkat sampai beberapa tingkat! Dia maklum
bahwa campur tangan panglima yang tentu diam-diam amat membenci ayahnya itu merupakan hal yang
tidak menguntungkan baginya. Dugaannya memang benar karena panglima itu lalu melangkah maju dan
tertawa mengejek.
“Hemmm, kiranya bocah anak dari bekas jenderal pengkhianat! Ehh, bocah she Kao, di mana adanya
ayahmu yang khianat itu? Apakah engkau diutus untuk memata-matai kerajaan?”
Tentu saja Kok Han tidak dapat lagi menahan kemarahannya. Saking marahnya dia sampai melupakan
sopan santun lagi dan terhadap panglima tua ini dia mendamprat, “Kakek tua bermulut busuk! Ayahku
adalah seorang gagah sejati, bukan pengkhianat macammu!”
Memang inilah yang dikehendaki oleh Panglima Chang ini. Agar semua orang mendengar bahwa dia
dimaki dan dihina oleh pemuda ini sehingga dia dapat turun tangan dengan ada alasannya. Maka dia lalu
berkata keras, “Ahhh, bocah sombong! Engkau berani menghina dan memaki aku, Panglima Chang? Biar
pun aku berpakaian preman, akan tetapi aku masih mampu untuk menangkapmu. Ayahmu adalah seorang
pengkhianat, kalau tidak mana mungkin dia sampai dihentikan dan diusir? Dan kau hendak memberontak
pula dengan menghina seorang panglima?”
“Manusia she Chang yang hina! Siapa tidak mengenal kepalsuanmu?” Kok Han kembali membentak,
makin marah.
“Cu-wi sekalian mendengar betapa bocah ini sudah menghinaku. Terpaksa aku harus menghajarmu!”
Setelah berkata demikian, kakek ini lalu bergerak maju, tangannya menyambar dan ujung lengan bajunya
yang lebar itu telah menyerang ke depan dan menotok ke arah pundak Kok Han!
Kao Kok Han maklum bahwa kakek ini tidak boleh disamakan dengan enam orang pengeroyoknya tadi.
Kalau enam orang tadi hanya kaki tangan pembesar yang hanya mengandalkan kekasaran dan kekerasan
belaka seperti tukang-tukang pukul bayaran, kakek ini adalah seorang panglima yang memiliki kepandaian
tinggi. Maka begitu melihat tangan kakek itu bergerak dan ujung lengan bajunya menyerang ke arah
pundaknya, dia cepat melangkah mundur mengelak. Akan tetapi, lengan baju yang luput sambarannya itu
disusul oleh cengkeraman jari-jari tangan ke arah leher pemuda itu.
“Ehhh!” Kok Han berseru kaget dan cepat dia membuang tubuh ke atas ke belakang dan pada saat itu,
sambil tertawa kakek itu sudah menendang.
Kok Han yang sedang membuang tubuh atas ke belakang itu tentu saja menjadi makin kaget. Dia terpaksa
menjatuhkan diri, akan tetapi gerakannya kurang cepat sehingga betisnya masih tersentuh ujung sepatu.
Dia bergulingan dan meloncat bangun, betis kakinya terasa nyeri, akan tetapi Kok Han tidak peduli dan dia
sudah mencabut pedangnya.
Kakek itu memandang sambil tersenyum lebar. “Bagus, kau malah membawa senjata untuk membunuh
orang? Nah, majulah!”
Hati yang diliputi kedukaan dan kekhawatiran mudah menjadi marah dan nekat. Melihat kakek yang
menjadi musuh besar ayahnya, yang mengeluarkan kata-kata menghina ayahnya, dan kini menantangnya,
biar pun dia maklum bahwa kakek ini lihai sekali, membuat Kok Han lupa diri dan dia menjadi marah bukan
main. Orang yang marah lupa segala, lupa akan kesadaran dan yang ada hanyalah kebencian di dalam
hatinya yang perlu dilampiaskan dengan ucapan atau tindakan kasar dan keras untuk menyakiti orang
yang dibencinya.
Sambil berseru keras, Kok Han menerjang dengan pedangnya. Tetapi, Chang-ciangkun sudah siap dengan
sebatang cambuk kulit berwarna hitam yang tadi dipakainya sebagai ikat pinggang.
“Tar-tar-tarrr...!”
Tiga kali ikat pinggang cambuk itu meledak. Pedang itu bukan saja sudah ditangkisnya, malah dua kali
cambuk itu sudah mematuk dan Kok Han meloncat ke belakang sambil mengusap pangkal lengan
kanannya dan juga pundaknya yang berdarah. Bajunya di dua bagian itu telah robek berikut kulitnya!
Bukan main lihainya permainan cambuk kakek itu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Panglima Chang tertawa bergelak. Girang bukan main hatinya. Sudah belasan tahun lamanya semenjak
rahasianya dibongkar oleh Jenderal Kao sehingga dia tidak hanya mengalami penurunan pangkat, akan
tetapi juga merasa dibikin malu dan terhina, telah menahan-nahan hatinya yang penuh dendam terhadap
Jenderal Kao. Akan tetapi karena jenderal itu amat lihai dan juga amat kuat kedudukannya, dia tidak dapat
berbuat apa pun juga. Kini dia memperoleh kesempatan, berhadapan dengan putera jenderal musuh
besarnya itu, dan dia boleh menghajar anak ini sebagai pengganti Jenderal Kao seenaknya karena
bukankah banyak saksinya betapa pemuda itu menghinanya?
Mereka kini berhadapan sebagai dua orang yang bertanding karena mempertahankan kehormatan masingmasing!
Dia tidak akan cepat-cepat membunuh putera Jenderal Kao ini, hendak dihajarnya sampai habishabis
kulitnya dengan cambuknya, barulah dia akan menangkapnya sebagai tuduhan mata-mata yang
hendak memberontak! Kalau sudah begitu, puaslah dia dapat membalas dendam sakit hatinya terhadap
Jenderal Kao Liang!
“Ha-ha-ha, bocah pelarian sombong! Bocah hijau macam engkau ini berani melawan Chang-ciangkun? Haha-
ha, hayo kau berlutut minta-minta ampun dan bersumpah tujuh turunan tidak akan berani melawanku
lagi, baru aku akan mengampunimu!”
“Tar-tar-tarrr!”
Kok Han cepat memutar pedangnya, akan tetapi cambukan ketiga mengenai lengan kanannya yang
memegang pedang sehingga lengan itu berdarah. Akan tetapi dia tidak melepaskan pedangnya, apa lagi
harus berlutut minta ampun!
“Manusia hina, lebih baik seribu kali mampus dari pada menyerah kepada pembesar durna macam
engkau!” Dia memutar pedangnya dengan cepat dan menerjang lagi seperti seekor harimau terluka dan
yang tidak mengenal bahaya lagi.
“Tar-tar-tar-suuuuuttttt...!”
Karena jari-jari tangannya yang memegang pedang kena dihajar cambuk, maka ketika ujung cambuk itu
membelit pedang dan ditarik, Kok Han tidak dapat mempertahankan pedangnya lagi yang sudah terampas
oleh kakek Chang. Kakek itu tertawa bergelak dan mengambil pedang itu, sekali dia menggerakkan kedua
tangan terdengar bunyi nyaring dan pedang itu telah dapat dipatahkannya lalu dilempar ke atas tanah!
Kok Han terkejut bukan main akan tetapi dia menjadi bertambah marah. Dengan nekat dia, menerjang
maju lagi dengan tangan kosong, hanya untuk disambut oleh ujung cambuk yang melibat kedua kakinya
dan ketika cambuk ditarik, pemuda itu tentu saja terguling ke atas tanah!
“Tar-tar-tarrr!”
Cambuk itu sekarang meledak-ledak di atas kepala Kok Han, mematuk-matuk dan menyengat-nyengat.
Kok Han hanya dapat menutupi dan melindungi kepala dan mukanya, akan tetapi tentu saja tidak lagi
mampu mengelak dari sambaran cambuk yang bertubi-tubi itu sehingga pakaiannya menjadi robek-robek
berikut kulit tubuhnya sehingga pakaiannya mulai berlepotan darah. Akan tetapi pemuda itu meloncat
bangun lagi dan hendak menyerbu ke depan.
Melihat kenekatan pemuda ini, diam-diam Panglima Chang terkejut juga. Akan tetapi hatinya sudah puas,
sudah dapat mencambuki putera musuh besarnya itu di tengah jalan. Kini dia memutar cambuknya dan
bermaksud untuk merobohkan pemuda itu dengan totokan ujung cambuknya, untuk diserahkan kepada
enam orang tadi yang dia tahu adalah anak buah seorang jaksa yang juga menjadi musuh besar Jenderal
Kao, dan tentu saja jaksa itu akan menuntut pemuda ini sebagai seorang pengkhianat atau pemberontak.
Akan tetapi, begitu dia meluncurkan ujung cambuknya ke arah jalan darah di leher pemuda itu untuk
menotoknya, mendadak cambuk itu terhenti di tengah udara. Dia membetot-betot, akan tetapi sia-sia
belaka dan ketika dia melihat, ternyata ujung cambuknya itu telah dipegang oleh seorang wanita cantik
yang tahu-tahu telah berdiri di sebelah belakangnya. Wanita itu paling banyak berusia dua puluh empat
tahun, cantik jelita dengan sepasang mata yang amat tajam, akan tetapi rambutnya kusut dan wajahnya
membayangkan kemuraman seolah-olah wanita muda secantik itu telah menderita tekanan batin yang
hebat dan pada saat itu wanita ini kelihatan marah sekali sehingga sinar matanya seperti mengeluarkan
api.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapa kau? Perempuan lancang, hayo lepaskan cambukku, berani kau mencampuri urusan Panglima
Chang?” bentaknya sambil dia mencoba membetot cambuknya sekali lagi.
Akan tetapi, tiba-tiba saja tangan kiri wanita itu bergerak ke depan, ke arah mukanya dan dua jari tangan
yang kecil mungil menusuk ke arah kedua mata panglima itu dengan gerakan yang amat cepat dan
sedemikian kuatnya sehingga sebelum jari tangan datang, lebih dulu ada angin menyambar ke muka
panglima itu! Chang-ciangkun terkejut bukan main melihat serangan yang amat hebat ini karena kalau dia
kurang cepat, tentu sepasang matanya akan menjadi buta! Maka dia lalu menggerakkan tangan kirinya
untuk menangkis dan sekalian menangkap lengan tangan wanita itu.
“Plakkk!”
“Ahhh!” Chang-ciangkun berseru kaget ketika tiba-tiba tangan yang menusuk matanya itu mengubah
gerakan dan menampar ke arah tangan kanannya dan yang memegang gagang cambuk. Tangannya
menjadi lumpuh rasanya dan ketika ujung cambuk ditarik oleh wanita itu, dia tidak mampu
mempertahankan lagi. Cambuk itu telah dirampas!
“Jahanam busuk, berani kau mencambuki adik iparku? Mestinya engkau kubunuh untuk itu, akan tetapi
biarlah kuambil dulu kedua telingamu!”
“Tar-tar-tarrr!”
Cambuk itu segera meledak-ledak di udara saat diputar oleh wanita itu. Chang-ciangkun marah bukan
main.
“Bangsat perempuan, engkau harus dihajar!” bentaknya dan dia sudah cepat mencabut pedangnya.
Akan tetapi, wanita cantik itu menggerakkan tangannya dan cambuk itu menyambar ke bawah seperti kilat
cepatnya. Chang-ciangkun terkejut dan mencoba untuk menangkis dengan pedangnya, akan tetapi
tangkisannya itu luput dan ujung dari cambuk itu masih terus meluncur ke bawah, ke arah telinga kirinya.
“Prattt! Aduhhhhhhh...!” Chang-ciangkun menjerit dan menggunakan tangan kiri untuk mendekap
telinganya. Daun telinganya yang kiri telah putus dan terlempar ke atas tanah, seperti dikerat dengan pisau
tajam saja ketika disambar oleh ujung cambuk tadi!
“Dan sekarang telinga kananmu!” Wanita itu membentak dan kembali cambuknya menyambar.
Chang-ciangkun sudah terkejut dan ketakutan setengah mati. Tahulah dia bahwa wanita ini lihai bukan
main, dan kini dia pun memutar pedangnya melindungi tubuhnya. Namun, seperti sinar kilat saja, ujung
cambuk itu sudah mendesing-desing dan menyambar nyambar, kemudian mencari jalan masuk melalui
sinar pedang, menyambar ke arah telinga kanan.
“Prattt! Aughhhhh...!” Chang-ciangkun menjerit dan melempar pedangnya untuk dapat menggunakan
tangan kanan mendekap pinggir kepala kanan yang sudah tidak berdaun telinga lagi itu. Darah bercucuran
dari kedua tempat bekas sepasang daun telinga yang telah putus.
Cambuk itu masih meledak-ledak di udara. “Sekarang engkau mampus! Ataukah lebih dulu kusayat
hidungmu?” Wanita cantik itu mengancam dengan suara bengis.
Mendengar ini Chang-ciangkun terisak dan kedua kakinya menggigil, lalu dia jatuh berlutut dan dengan
suara setengah menangis dia minta-minta ampun! Takutnya bukan main karena dia maklum bahwa
nyawanya berada di tangan wanita itu.
“Sudah, isteriku, jangan bunuh dia!” tiba-tiba terdengar suara halus dan Ceng Ceng, wanita itu, lalu
menoleh. Ketika dia melihat Kao Kok Cu si Naga Sakti sudah berada di sebelahnya, dia menarik napas
panjang dan membuang cambuknya.
“Twako...! Twaso...!” Kok Han berseru dengan girang bukan main.
Tadi pada saat dia melihat twaso-nya (kakak ipar terbesar) datang menolongnya dan menghajar Changciangkun,
dia sudah merasa girang bukan main. Sekarang melihat munculnya kakaknya, tentu saja dia
dunia-kangouw.blogspot.com
amat girang, melupakan penderitaannya dan dia lalu menghampiri sambil berseru girang memanggil
mereka.
“Mari kita pergi dari tempat ini,” kata Kao Kok Cu dengan tenang.
Tanpa mempedulikan Panglima Chang yang masih berlutut sambil menangis, dan para penonton yang
memandang kepada mereka dengan mata terbelalak, tiga orang itu lalu meninggalkan tempat itu menuju
ke rumah penginapan di mana Kao Kok Cu dan isterinya bermalam.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Si Naga Sakti Gurun Pasir ini bersama isterinya telah berhasil
melapor kepada Pangeran Yung Hwa sehingga pangeran itu memanggil kakaknya, yaitu Pangeran
Mahkota Yung Cheng yang berada di Kuil Siauw-lim-si. Akhirnya pangeran mahkota pulang ke kota raja
dan berhasil mengundang datang Puteri Milana yang segera tiba di kota raja. Mendengar perkembangan
ini, Kao Kok Cu dan isterinya merasa lega karena mereka merasa yakin bahwa dengan pimpinan Puteri
Milana, tentu usaha kaum pemberontak akan dapat dihancurkan.
Mereka mulai melakukan penyelidikan sendiri untuk mencari jejak hilangnya keluarga ayah mereka. Akan
tetapi mereka belum juga berhasil dan pada hari itu, secara kebetulan sekali Ceng Ceng melihat Kok Han
sedang dihajar oleh Panglima Chang. Tentu saja nyonya muda ini menjadi marah sekali dan hampir saja
dibunuhnya panglima itu kalau saja suaminya tidak cepat datang mencegahnya. Akan tetapi hatinya sudah
puas karena dia telah memberi hajaran keras, membuntungi kedua daun telinga pembesar yang
sewenang-wenang itu.
Setelah mereka tiba di rumah penginapan, Kok Cu lalu memeriksa luka-luka adiknya dan merasa lega
bahwa luka-luka itu tidak berbahaya, hanya merupakan pecah-pecah pada kulit belaka. Dia cepat memberi
obat kepada adiknya dan Kok Han lalu berganti pakaian. Semua ini dikerjakan sambil bercakap-cakap dan
Kok Han menceritakan semua yang telah terjadi, betapa ayahnya dan kakaknya, Kok Tiong, ditawan oleh
tokoh Kui-liong-pang di lembah Huang-ho, juga bahwa keluarga Kao tentu juga ditawan di lembah.
“Hoa-gu-ji, tokoh Kui-liong-pang itu memperlihatkan cincin ibu dan hiasan rambut ji-soso (kakak ipar
kedua), maka ayah dan ji-ko tidak berani melawan dan bukti itu jelas menyatakan bahwa semua keluarga
tentu ditawan di lembah.”
Kao Kok Cu mengepal tinjunya. “Mari kita serbu ke sana!” teriak Ceng Ceng tidak sabar lagi.
Anak mereka diculik orang, belum juga berhasil mereka temukan, dan sekarang semua keluarga suaminya
ditawan orang! Nyonya muda ini benar-benar merasa berduka dan marah bukan main. Memang di waktu
belum menikah dahulu, Ceng Ceng adalah seorang gadis yang berhati baja, keras dan ganas, apa lagi dia
pernah menjadi murid dari Ban-tok Mo-li, maka begitu kini dilanda duka yang bertubi-tubi, kekerasan
hatinya pun muncul kembali sehingga tadi dia memberi hajaran yang ganas sekali kepada Changciangkun.
(baca Kisah Sepasang Rajawali)
Akan tetapi Kao Kok Cu yang biasa bersikap tenang dalam segala macam keadaan itu, biar pun hatinya
juga terasa panas mendengar betapa ayahnya juga ditawan musuh, lalu berkata dengan nada suara halus
dan tegas, “Kita pergi menghadap Puteri Milana lebih dulu untuk melaporkan keadaan lembah yang
mencurigakan itu. Aku mempunyai perasaan bahwa ditangkapnya ayah dan semua keluarga ini tentu ada
hubungannya dengan usaha para pemberontak itu, entah apa kehendak mereka.”
Maka pada hari itu juga, Kao Kok Cu, Kao Kok Han, dan Ceng Ceng pergi menghadap Panglima Puteri
Milana yang ketika itu sedang membuat persiapan dengan bala tentara yang hendak dipimpinnya untuk
menghancurkan usaha para pemberontak. Hati Puteri Milana girang sekali ketika dia melihat siapa
orangnya yang minta menghadap dia itu. Segera dia mengenal Ceng Ceng.
“Kau... Ceng Ceng...?” seru puteri itu sambil melangkah maju dan memegang tangan wanita itu. “Akan
tetapi kenapa kau nampak muram seperti ini? Apa yang telah terjadi?”
Berjumpa dengan wanita agung yang masih menjadi bibi tirinya itu, dan melihat sikap yang ramah, hampir
saja Ceng Ceng menitikkan air matanya. Akan tetapi dia segera teringat dengan siapa dia berhadapan.
Puteri Milana adalah seorang wanita perkasa, puteri Pendekar Super Sakti, yang selain memiliki ilmu
kepandaian silat yang tinggi sekali, juga memiliki kepandaian ilmu perang yang hebat. Maka tidak patutlah
kalau sampai dia menangis di depan wanita perkasa itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahh, dan engkau adalah Kao-taihiap yang dahulu berjuluk Si Topeng Setan itu, bukan? Hebat, aku sudah
lama mendengar julukanmu yang baru, yaitu Naga Sakti Gurun Pasir, Taihiap!” kata pula Milana sambil
memandang wajah pria yang menimbulkan rasa kagum di hatinya itu.
“Paduka terlalu memuji,” kata Kao Kok Cu. “Dia ini adalah adik saya, Kao Kok Han, dan dia datang
membawa berita tentang keadaan lembah Huang-ho yang mencurigakan, maka kami mengambil
keputusan untuk menghadap Paduka Puteri Milana untuk...“
“Ahhh, Kao Kok Cu! Bukankah engkau ini suami Ceng Ceng? Isterimu adalah masih keponakanku, maka
engkau harus menyebut bibi kepadaku, jangan begitu merendah, membikin aku merasa tidak enak saja.
Pula, aku sekarang bukan lagi puteri istana, melainkan tenaga bantuan dari luar yang diminta oleh
Pangeran Mahkota Yung Ceng.”
Melihat sikap yang terbuka dan ramah ini, diam-diam Kok Cu merasa kagum sekali dan dia bersama
isterinya lalu bercerita tentang keadaan keluarga Jenderal Kao yang hilang diculik orang, juga tentang
putera mereka yang juga lenyap diculik orang.
Puteri Milana menarik napas panjang dan memotong, “Aihhh, demikianlah memang kehidupan orang-orang
gagah dan orang-orang ternama, di mana-mana mempunyai banyak musuh dan sewaktu-waktu tentu ada
saja perbuatan musuh curang untuk mencelakai kita. Sungguh aneh sekali, siapa orangnya yang begitu
berani menculik keluarga yang demikian banyaknya dari Jenderal Kao Liang? Dan menculik putera kalian
dari Gurun Pasir! Sungguh berani mati sekali!”
“Bukan itu saja, Bibi,” kata Ceng Ceng. “Bahkan adik Kok Han baru saja datang dan menceritakan bahwa
ayah mertuaku dan adik Kok Tiong juga terpaksa pergi mengikuti musuh karena mereka membawa bukti
bahwa keluarga Kao telah mereka tawan.” Lalu Kok Han menceritakan kembali pengalamannya kepada
Milana yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Setelah Kok Han selesai bercerita, Kok Cu berkata
kepada Milana, suaranya sungguh-sungguh.
“Sebetulnya, urusan keluarga kami ini adalah urusan kami sendiri dan kami tidak akan berani mengganggu
Bibi yang sudah cukup repot menanggulangi para pemberontak dengan tugas Bibi yang mulia itu. Bahkan
kami sendiri, mendengar akan adanya usaha pemberontakan, tanpa diminta tentu akan membantu Bibi
sekuat tenaga, kalau saja tidak ada urusan pribadi yang cukup hebat ini. Akan tetapi, kami merasa bahwa
ada pertalian antara diculiknya keluarga ayah dengan usaha pemberontak. Kalau memang para penculik
itu hanya memusuhi ayah secara pribadi, mengapa mereka menawan semua keluarga, tidak
membunuhnya? Juga mereka kini menawan ayah, tentu ada kehendak mereka yang tersembunyi, dan
keadaan lembah itu sungguh mencurigakan. Karena itulah maka kami sengaja melapor kepada Bibi.”
Milana mengangguk-angguk. “Memang aku pun mempunyai kecurigaan demikian, Kok Cu. Setelah
memimpin pasukan menggempur Ho-nan, tentu aku memimpin pasukan menyelidiki ke lembah itu.”
“Terserah kepada kebijaksanaan Bibi Milana, akan tetapi kami tidak dapat membantu usaha mulia Bibi itu
karena kami hendak lebih dulu menyelidiki ke lembah. Hanya adik saya Kok Han ini kiranya akan dapat
menyumbangkan tenaganya, mewakili ayah untuk membantu Bibi menghadapi para pemberontak.”
Kok Han yang memang sebetulnya telah diberi tahu oleh kakaknya, segera berkata dengan gagah,
“Semenjak muda ayah telah menghabiskan waktu dan tenaganya untuk membela negara, maka karena
kini ayah tidak dapat membantu, biarlah saya mewakili ayah untuk membela negara, Bibi Milana. Harap
bantuan saya yang tidak berharga ini dapat diterima.”
Milana memandang kagum dan mengangguk-angguk. “Keluarga Kao memang terkenal keluarga gagah
perkasa dan setia kepada negara sampai turun-temurun, sayang sekali istana tidak sadar akan hal ini dan
tenaga sehebat itu kini dihentikan dan dikeluarkan dari istana. Baiklah, Kao Kok Han, kau membantu kami.”
Setelah meninggalkan Kok Han bersama Milana agar pemuda itu dapat membantu Milana menghadapi
pemberontak, Kok Cu dan Ceng Ceng lalu meninggalkan kota raja, menuju ke lembah untuk melakukan
penyelidikan lebih dulu. Mereka memang sengaja meninggalkan Kok Han di kota raja bersama Milana,
bukan hanya memberi kesempatan kepada adik itu untuk ikut membela negara menghancurkan
pemberontak, akan tetapi juga karena mereka berdua akan lebih leluasa untuk melakukan penyelidikan
berdua saja, mengingat bahwa tingkat kepandaian Kok Han belum dapat diandalkan untuk menghadapi
lawan-lawan yang tangguh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kao Kok Han lalu ikut bersama Milana untuk menyusun dan menggembleng pasukan pasukan yang akan
dipimpin untuk menggempur para pemberontak dan putera bungsu dari Jenderal Kao ini oleh Milana
diserahi pimpinan atas sebuah pasukan istimewa. Milana sengaja melaporkan tentang putera Jenderal Kao
yang membantu ini dan pangeran mahkota menerima laporan dengan girang.
“Memang ayahanda kaisar lemah sekali, mau mendengarkan omongan dan bujukan pembesar-pembesar
khianat sehingga Jenderal Kao yang gagah perkasa menjadi korban. Kalau saja tidak terjadi hal itu, kalau
saja Jenderal Kao masih bertugas di sini, kiranya pemberontakan itu tidak akan sampai berlarut-larut dan
sudah dihancurkannya sebelum menjadi kuat. Sekarang puteranya ikut mewakili ayahnya membantu,
sungguh menggirangkan hatiku!” kata pangeran itu.
Beberapa hari kemudian, Milana sudah siap dengan pasukannya dan ketika dia sudah bersiap-siap untuk
memimpin pasukannya, secara tidak terduga-duga muncullah Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li!
“Enci Milana...!” begitu menghadap panglima wanita itu, Suma Kian Bu berseru dengan suara girang sekali
karena dia memang sudah merasa amat rindu kepada kakaknya itu.
Sejenak Milana tertegun, memandang kepada pemuda berambut putih panjang yang berdiri di depannya
itu. Rambut itulah yang membuatnya tertegun dan ragu-ragu akan tetapi tiba-tiba dia meloncat turun dari
kursinya, berlari menghampiri pemuda itu.
“Bu-te...! Kian Bu... benar-benar engkaukah ini...?”
“Enci Milana...!”
Milana merangkul adiknya, mereka saling berangkulan untuk menumpahkan rasa rindu masing-masing.
Enci dan adik sekandung ini saling pandang dan di kedua mata Milana nampak air mata membasahi
matanya.
“Kian Bu... kau... kenapakah kau? Rambutmu ini...“
Kian Bu tersenyum dan melangkah mundur setelah kakaknya melepaskan rangkulan. “Enci, lupakah Enci
bahwa rambut ayah juga putih semua?”
“Tapi... tapi ayah...“
Milana sudah mendengar dari ibunya bahwa putihnya rambut ayahnya adalah karena penderitaan hati
yang amat hebat selagi ayahnya masih muda, maka teringatlah dia akan keadaan adik kandungnya ini,
tentang kegagalan cinta kasih adiknya itu dengan Puteri Syanti Dewi! Hatinya seperti ditusuk rasanya dan
kembali dia melangkah maju dan merangkul leher adiknya sambil memejamkan mata supaya jangan
sampai air matanya keluar.
“Enci yang baik, apakah buruknya rambut putih?” Kian Bu berkata untuk menghibur hati enci-nya, tetapi
kata-kata itu bahkan dirasakan seperti menikam hati wanita perkasa itu.
“Aihhh, sungguh mengharukan sekali, Kian Bu. Pertemuan mengharukan antara enci yang mencinta dan
adiknya...“
Mendengar suara wanita yang nyaring dan bernada seperti mengejek ini, Milana cepat melepaskan
rangkulannya dan memandang. Dia tadi memang melihat bahwa adiknya datang bersama seorang dara
berpakaian hitam yang amat cantik jelita, akan tetapi pertemuannya dengan adiknya itu membuat dia lupa
kepada dara itu dan kini setelah dara itu mengeluarkan suara yang demikian mengejek, dia cepat
memandang dengan alis berkerut, sinar matanya tajam menyambar dengan penuh selidik kepada dara
yang berdiri dengan sikap tenang dan lagak yang angkuh itu.
Memang Hwee Li, dara itu, marah sekali menyaksikan pertemuan antara enci dan adik yang demikian
mengharukan dan mereka berdua itu seolah-olah sudah melupakan dia, seolah-olah dia tidak ada di situ!
Maka dia sengaja mengeluarkan kata-kata mengejek tadi. Bagi Hwee Li, dia memang tidak mengenal apa
artinya takut, apa artinya sopan santun. Biar di dalam istana sekali pun, di depan kaisar sekali pun, dia
tetap akan mengeluarkan apa pun yang berada dalam pikirannya melalui mulut tanpa sungkan sungkan
dan ragu-ragu lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapakah dia ini?” Milana bertanya.
Kian Bu yang juga mendengar ucapan Hwee Li tadi cepat-cepat memperkenalkan gadis itu kepada encinya.
“Enci, dia ini adalah Kim Hwee Li, puteri Hek-tiauw Lo-mo...“
“Ehhh...? Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka? Pantas! Dia puteri dari iblis jahat itu! Kenapa kau ajak dia
ke sini, Bu-te?” Milana menjadi merah mukanya dan matanya melotot memandang kepada Hwee Li, siap
untuk menerjang dan menyerang gadis itu.
“Dia... dia bukan musuh, Enci, bahkan dia telah beberapa kali menolongku, menolong Lee-ko. Dia adalah
sahabat baikku, Enci, dan dia bukanlah puteri Hek-tiauw Lo-mo, maksudku bukan anak kandungnya, hanya
anak angkat...“
“Anak angkat pun bukan, bahkan tua bangka iblis itu adalah musuh besarku, pembunuh dari ibu
kandungku!” Hwee Li melanjutkan.
Agar jangan menimbulkan salah sangka karena sikap Hwee Li yang kasar itu, Kian Bu cepat-cepat
menceritakan semua hal mengenai Hwee Li kepada enci-nya, betapa dia pernah tertawan di dalam
benteng dan diselamatkan oleh Hwee Li, kemudian dia menceritakan tentang keadaan di dalam benteng
lembah. Dalam penuturan ini, Hwee Li yang mengetahui lebih banyak tentang lembah, juga menambah
cerita Kian Bu dan setelah bercakap-cakap, Milana mendapat kenyataan betapa Hwee Li adalah seorang
dara yang polos, jujur dan terbuka, juga pemberani dan tidak suka untuk berpalsu-palsu dengan sopan
santun buatan.
Ketika mendengar keadaan di dalam benteng lembah, Milana sangat terkejut. Betapa benteng itu dibangun
oleh Jenderal Kao yang dipaksa oleh karena seluruh keluarganya tertawan di situ, betapa putera Kao Kok
Cu dan Ceng Ceng juga berada di situ. Malah Puteri Syanti Dewi juga turut tertawan di lembah dan mereka
telah gagal dalam usaha mereka untuk menyelamatkan Syanti Dewi.
Akan tetapi yang paling mengejutkan hati Milana adalah keadaan di lembah yang telah menjadi benteng
amat kuat itu. Apa lagi ketika dia mendengar bahwa Pangeran Liong Bian Cu, keturunan dari Pangeran
Liong Khi Ong yang memberontak, sekarang telah mengumpulkan orang-orang sakti dan memaksa
Jenderal Kao membentuk barisan amat kuat di benteng yang kuat pula itu, maklumlah dia bahwa
keadaannya benar-benar amat gawat.
“Ah, sungguh celaka! Kiranya keturunan dua orang Pangeran Liong yang memberontak itu telah
menimbulkan pemberontakan pula yong lebih berbahaya. Karena benteng itu didirikan di antara Propinsi
Ho-nan dan Ho-pei, maka keadaannya jadi lebih berbahaya dari pada pemberontakan kedua pangeran
Liong beberapa tahun yang lalu. Kao Kok Cu dan Ceng Ceng juga baru saja datang melapor, maka
sebaiknya kalian berdua juga cepat pergi menyusul mereka, membantu mereka yang menyelidiki lembah.
Aku akan mengerahkan pasukan, lebih dulu menyerbu Ho-nan untuk menaklukkan Gubernur Ho-nan
karena dari sanalah sumbernya tenaga bantuan kepada para pemberontak.”
Kian Bu dan Hwee Li tidak lama tinggal di kota raja. Mereka lalu berangkat lagi untuk kembali ke lembah,
untuk membantu Kok Cu dan Ceng Ceng karena mereka pun maklum bahwa tempat itu sangat berbahaya,
membutuhkan bantuan orang-orang sakti dan juga membutuhkan serbuan pasukan yang kuat sekali untuk
dapat menghancurkan pemberontakan-pemberontakan dan juga menyelamatkan semua orang yang
tertawan di situ.
Setelah kedua orang muda itu pergi, Milana kemudian mengirim utusan, cepat-cepat memberitahukan
kepada suaminya tentang keadaan yang berbahaya itu. Dia menulis surat kepada suaminya, menceritakan
semuanya dan mengharapkan suaminya untuk turun tangan pula membantu, agar suaminya langsung
menuju ke lembah karena dia hendak memimpin pasukan menyerbu Propinsi Ho-nan lebih dulu…..
********************
Pagi yang amat sunyi di tepi Sungai Huang-ho. Kao Kok Cu dan Ceng Ceng, isterinya, duduk di atas batubatu
besar yang memenuhi sepanjang tepi sungai itu. Batu-batu sebesar kerbau yang halus dan keputihan.
Bagian tepi sungai ini sunyi sekali, karena jalan menuju ke situ tertutup oleh semak-semak belukar dan
hutan-hutan yang lebat. Sudah lama juga, tidak kurang dari satu pekan lamanya, suami isteri itu berada di
tepi Sungai Huang-ho. Dari tempat yang mereka pergunakan sebagai tempat melewatkan malam ini dapat
nampak tembok benteng lembah yang kokoh kuat. Mereka berdua bercakap-cakap.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semenjak terjadinya peristiwa penyerbuan, kini tembok benteng itu oleh Pangeran Liong Bian Cu diperkuat
penjagaannya, tidak hanya penjagaan di setiap pintu gerbang dan perondaan di sepanjang tembok
benteng, akan tetapi juga di atas tembok dipasangi alat-alat rahasia, jebakan-jebakan dan juga banyak
disembunyikan pasukan-pasukan panah dan orang-orang pandai untuk mencegah masuknya mata-mata
musuh. Suami isteri ini telah menyelidiki selama beberapa hari dan mendapat kenyataan bahwa tempat itu
memang kokoh kuat, dan juga penuh dengan orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi.
Ceng Ceng sudah tidak sabar menanti lebih lama lagi. Suaminya mempunyai ilmu kepandaian yang amat
tinggi, dan dia sendiri pun tidak akan mudah dikalahkan orang. Mengapa suaminya belum juga mau
menyerbu masuk, padahal keluarga suaminya semua berada di dalam benteng itu?
“Kalau menyelinap secara diam-diam tidak mungkin, marilah kita serbu saja dari pintu gerbang. Apa sih
sukarnya merobohkan puluhan orang penjaga di sana? Kalau kita sudah berada di dalam, kita akan
bertindak melihat suasana dan keadaan. Kalau mereka mau diajak bicara baik-baik, kita tuntut
dibebaskannya seluruh keluarga, kalau mereka berkeras, kita turun tangan saja mengamuk!” Ceng Ceng
berkata sambil duduk di atas batu dan matanya yang tadi melamun memandang ke arah tembok benteng,
kini memandang suaminya dengan alis berkerut. Dia sudah tidak sabar lagi untuk lebih lama menanti.
Kok Cu menggeleng kepalanya. “Isteriku, dalam keadaan seperti sekarang ini, di mana keselamatan
seluruh keluarga terancam, amat tidak bijaksana kalau kita menggunakan kekerasan begitu saja. Memang
tentu mudah bagi kita untuk menyerbu masuk, akan tetapi kalau tempat itu penuh dengan pasukan musuh,
dan banyak pula terjaga oleh orang-orang pandai, bagaimana kita akan dapat membebaskan semua
keluarga ayah itu? Sebelum kita bergerak, kalau mereka itu mengancam keselamatan keluarga ayah, apa
yang dapat kita lakukan? Harap kau bersabar. Kita menanti kesempatan baik, kalau ada di antara anggota
pasukan yang keluar dan dapat kita tangkap, kita akan dapat memaksanya menceritakan semua keadaan
sehingga kita dapat melakukan tindakan yang tepat.”
Ceng Ceng hendak membantah, tetapi suaminya memberi isyarat dengan matanya dan ketika Ceng Ceng
mencurahkan perhatian, dia pun kemudian mendengar suara yang mencurigakan di sebelah belakang, dari
dalam hutan kecil yang lebat itu. Suami isteri ini masih duduk dengan tenang, akan tetapi waspada dan
semua syaraf di tubuh mereka menegang. Keduanya makin yakin bahwa penjagaan di sekitar tembok
benteng itu memang amat kuat dan cermat sehingga agaknya kehadiran mereka telah diketahui oleh pihak
musuh!
Dugaan mereka ini ternyata benar, segera terdengar suara sebelum orangnya nampak. “Ha-ha-ha, Ngo-te,
sungguh akhir-akhir ini Sam-ko menjadi penakut sekali. Hanya dua orang laki-laki dan wanita muda di sini.
Sepasukan orang saja cukup untuk menangkap mereka, mengapa mesti menyuruh kami? Ha-ha-ha, ini
namanya menangkap dua ekor ikan teri menggunakan jala yang besar! Ha-ha-ha!”
Lalu terdengar suara kedua, suara orang yang agaknya malas bicara, “Su-ko, kuku ibu jari perempuan itu
untukku!”
“Ha-ha-ha, dia cantik juga, Ngo-te. Engkau memang beruntung hari ini!”
Ceng Ceng dan Kok Cu masih duduk ketika nampak dua bayangan berkelebat. Mereka berdua terkejut.
Melihat cara bayangan itu berkelebat sedemikian cepatnya, suami isteri ini maklum bahwa yang datang
bukanlah orang-orang biasa, melainkan dua orang yang termasuk orang-orang yang berilmu tinggi sekali,
bukan tokoh-tokoh kang-ouw umum saja yang mampu bergerak seperti itu. Maka suami isteri ini cepat
bangkit berdiri dan memandang kepada dua orang itu dengan mata terheran-heran karena yang berdiri di
depan mereka adalah dua orang yang amat aneh bentuk tubuhnya.
Yang seorang amat jangkung hingga Kao Kok Cu sendiri yang sudah termasuk seorang pria yang tinggi,
agaknya hanya sampai di bawah pundak kakek jangkung itu! Dan yang seorang lagi, yang kepalanya
gundul, berpakaian hwesio, adalah seorang yang amat gendut akan tetapi juga amat pendek, begitu
pendeknya sehingga paling-paling sampai di dada Ceng Ceng tingginya. Benar-benar seorang tosu
jangkung dan seorang hwesio pendek yang aneh, karena keadaan tubuh keduanya amat berlawanan, yang
seorang tinggi kurus dan yang kedua gendut pendek.
Sebaliknya, Su-ok Siauw-siang-cu dan Ngo-ok Toat-beng Siansu sama sekali tidak mengenal suami isteri
itu, karena biar pun namanya terkenal di seluruh dunia persilatan sebagai seorang tokoh sakti seperti
dalam dongeng, namun Kok Cu dan isterinya jarang sekali meninggalkan Istana Gurun Pasir. Ketika
dunia-kangouw.blogspot.com
melihat betapa cantiknya Ceng Ceng, seketika kumatlah penyakit Ngo-ok Toat-beng Siansu dan dia sudah
memandang kepada Ceng Ceng dengan penuh nafsu, terutama memandang kepada ibu jari tangan Ceng
Ceng dengan kukunya yang mengkilap dan terpelihara baik-baik itu.
“Su-ko, aku tidak tahan lagi. Kau lihatlah pertunjukan yang menarik!” kata si jangkung dengan suara serak.
Yang dimaksudkan dengan pertunjukan menarik adalah betapa dia dengan cara sadis memperkosa wanita
di depan Su-ok, kemudian mencabut kuku ibu jari wanita yang telah diperkosanya lalu dibunuhnya.
“Heh-heh-heh, senang sekali, aku suka menonton. Kau juga, lengan buntung?” tanya si gendut pendek
kepada Kok Cu. Senang karena dia melihat si lengan buntung ini akan dipaksa menyaksikan isterinya
diperkosa sampai mati secara kejam sekali oleh si jangkung.
Tetapi Kok Cu diam saja, wajahnya yang tampan sama sekali tidak memperlihatkan apa-apa, juga Ceng
Ceng hanya berdiri memandang si jangkung, hanya sepasang matanya yang mengeluarkan sinar kilat dan
diam-diam Ceng Ceng sudah mengerahkan tenaganya yang mukjijat dan kedua tangannya yang berkulit
putih halus itu tanpa diketahui orang kini telah berubah menjadi dua tangan maut yang mengandung Ilmu
Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun)!
Tiba-tiba si jangkung melangkah maju dan Kok Cu berbisik kepada isterinya, “Berhati hatilah.” Lalu suami
ini malah menyingkir dari samping isterinya.
Ceng Ceng berdiri dengan kedua kaki terpentang dan sepasang matanya tidak pernah meninggalkan si
jangkung yang memandang kepadanya dengan mata seperti terpejam. Setelah jarak di antara mereka
tinggal kurang dari dua meter, si jangkung berhenti dan kedua mata sipit itu bergerak-gerak mengamati
tubuh Ceng Ceng dari atas ke bawah, lalu dia mengangguk-angguk puas, dan begitu kakinya yang panjang
melangkah dan tubuhnya bergerak, tahu-tahu ada dua lengan panjang sekali menyambar dari kanan kiri,
menubruk ke arah kedua pundak Ceng Ceng!
Ngo-ok yang jangkung itu tentu saja memandang rendah kepada Ceng Ceng dan mengira bahwa wanita
cantik yang menjadi calon korbannya ini sekali tubruk saja tentu akan menyerah dan dapat dipeluknya.
Akan tetapi sekali ini, Si Jahat Nomor Lima ini benar-benar kecelik sekali. Wanita cantik yang ditubruknya
dengan menggunakan dua lengan panjangnya itu sama sekali tidak mengelak atau meloncat mundur,
bahkan Ceng Ceng melangkah maju dan kedua tangannya dihantamkan ke arah dada dan lambung Ngook!
“Wuuuttttt...!”
Melihat pukulan yang mengeluarkan suara aneh dan nampak sinar menghitam dari tangan itu, Ngo-ok
terkejut bukan main. Maklumlah dia bahwa pukulan itu adalah pukulan yang mengandung racun amat
hebatnya. Tidak percuma dia menjadi datuk kaum sesat, maka tentu saja dia segera mengenal pukulan ini.
Dia mengeluarkan suara teriakan serak dan tubuhnya ditarik ke belakang, terpaksa kedua tangannya
ditarik pula untuk melindungi tubuhnya.
“Duk! Dukkk!”
Kedua lengan Ceng Ceng dapat ditangkisnya, akan tetapi akibatnya, tubuh si jangkung terlempar ke
belakang dan kedua lengannya terasa panas sekali! Dan pada saat itu, Ceng Ceng sudah melangkah maju
pula dan melancarkan pukulan-pukulan saktinya.
“Aaahhhhh...!”
Si jangkung kaget setengah mati dan cepat dia sudah berjungkir balik dengan kepala di bawah dan kaki di
atas, tangan dan kakinya sibuk menangkisi pukulan-pukulan Ceng Ceng yang menjadi agak bingung juga
melihat tubuh yang tiba-tiba membalik itu.
Melihat ini, maklumlah Su-ok bahwa orang-orang muda yang disangkanya lemah ini ternyata adalah orangorang
pandai. Mengertilah dia sekarang mengapa koksu telah memerintahkan dia dan Ngo-ok untuk
menangkap dua orang ini. Maka tanpa banyak cakap lagi, dia pun sudah meloncat ke depan Kok Cu,
tubuhnya berjongkok dan karena tidak ingin membuang waktu untuk segera merobohkan laki-laki
berlengan buntung lalu membantu Ngo-ok, si pendek gendut ini begitu menyerang telah menggunakan
Ilmu Pukulan Katak Buduk yang amat lihai itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Angin pukulan dahsyat disertai bau amis menyambar ke arah Kok Cu. Akan tetapi pendekar sakti ini
bersikap tenang saja. Ketika pukulan itu sudah datang dekat, tiba-tiba lengan kiri yang buntung, yang
hanya tinggal lengan bajunya saja itu segera bergerak menyambar ke depan lalu bergoyang-goyang dan
pukulan Katak Buduk itu membuyar! Dan tiba-tiba tangan kanan pendekar itu sudah menyelonong ke atas
kepala Su-ok, mengancam hendak mencengkeram kepala yang botak itu!
Su-ok terkejut, cepat melempar dirinya ke atas batu dan menggelundung, lalu meloncat dan menyerang
lagi dengan pukulan Katak Buduk. Akan tetapi sekali ini, Kok Cu menerima pukulan itu dengan dorongan
tangan kanannya. Pertemuan dua tenaga dahsyat itu hebat bukan main dan akibatnya, Su-ok terpental ke
belakang dan dadanya terasa sesak!
“Tahan...!” katanya terengah. “Apakah... apakah Sicu ini Si Naga Sakti Gurun Pasir?”
Mendengar pertanyaan ini, Ngo-ok mengeluarkan seruan aneh dan dia pun cepat meloncat ke belakang
sambil membalikkan tubuhnya lagi, memandang dengan kaget kepada laki-laki buntung lengan kirinya itu.
Kok Cu mengangguk.
“Bukankah kalian ini Su-ok dan Ngo-ok dari Im-kan Ngo-ok? Hemmm... jadi kalian inikah yang telah
menculik keluarga ayahku?” Di dalam suara itu terkandung ancaman hebat dan sepasang mata itu kini
mencorong, membuat dua orang datuk kaum sesat itu diam diam menjadi jeri sekali.
Su-ok lalu berkemak-kemik, mengerahkan tenaga khikang untuk menggunakan Ilmu Coan-im-jip-bit, yaitu
mengirim suara dari jauh untuk memberi tahu kepada koksu. Juga Ngo-ok membantunya sehingga dua
orang aneh itu hanya berdiri seperti patung, dan hanya bibir mereka yang bergerak-gerak tanpa
mengeluarkan suara. Tentu saja Kok Cu tahu artinya ini dan dia hanya tersenyum mengejek karena dia
tahu bahwa dua orang itu belum mahir benar dalam ilmu ini.
Dugaan pendekar ini memang benar. Su-ok dan Ngo-ok demikian kaget dan gentar mendengar bahwa si
lengan buntung ini adalah Naga Sakti Gurun Pasir, maka mereka tidak berani menyerang lagi dan segera
mengirim berita kepada koksu melalui ilmu mengirim suara dari jauh. Tak lama kemudian, terdengarlah
lapat-lapat suara koksu yang ditujukan kepada pendekar itu dan isterinya.
“Koksu Negara Nepal mengundang Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya untuk memasuki benteng
lembah!”
Mendengar ini, Kao Kok Cu lalu mengangkat mukanya menghadap ke arah banteng. Dadanya yang bidang
itu mekar dan tiba-tiba terdengar suaranya, tidak keras akan tetapi suara itu mengandung getaran hebat
dan suara itu dapat mencapai tempat jauh sekali, “Kami datang memenuhi undangan Koksu Nepal!”
Su-ok dan Ngo-ok saling pandang dengan muka pucat. Barusan cara Naga Sakti itu mengeluarkan
suaranya saja sudah menunjukkan bahwa pendekar ini memiliki tenaga sinkang yang jauh lebih kuat dari
pada mereka. Orang yang sudah dapat berteriak seperti itu, menunjukkan kekuatan sinkang yang sukar
diukur lagi berapa dalamnya! Untung bahwa mereka tadi tidak lancang terus menyerang karena keduanya
maklum bahwa mereka bukanlah tandingan Si Naga Sakti dan isterinya ini.
“Heh-heh-heh, maafkan kami...heh-heh, kami tidak tahu bahwa Sicu adalah Si Naga Sakti dari Gurun
Pasir. Heh-heh, koksu sudah mengundang Ji-wi, mari kita antarkan...,“ kata Su-ok yang pandai bicara
dengan sikap ramah, sedangkan Ngo-ok hanya makin cemberut saja karena untuk ke sekian kalinya
kembali dia gagal memperoleh seorang wanita yang telah membangkitkan birahinya!
“Kalian jalanlah lebih dulu,” kata Kok Cu dengan sikap dingin.
Dua orang kakek itu lalu berkelebat cepat. Mereka sengaja menggunakan ginkang mereka untuk bergerak
cepat agar suami isteri itu tertinggal di belakang dan agar suami isteri itu minta kepada mereka jangan
terlalu cepat. Akan tetapi ketika mereka menoleh, mereka melihat betapa suami isteri itu sudah berada
dekat sekali di belakang mereka tanpa kelihatan mengerahkan tenaga sedikit pun juga, padahal mereka
berdua sudah berusaha sekuat tenaga untuk meninggalkan mereka.
Karena mereka berjalan dengan pengerahan tenaga ginkang, sebentar saja mereka telah tiba di pintu
gerbang. Di sini, dua orang kakek itu berjalan dengan langkah biasa dan ketika meiewati pintu gerbang
yang terjaga oleh pasukan yang kuat, Su-ok dan Ngo-ok mengangkat dada dan berjalan dengan lagak dua
orang panglima yang menang perang atau dua orang yang telah berhasil ‘menawan’ seorang pendekar
dunia-kangouw.blogspot.com
sakti seperti Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya! Mereka lalu mempersilakan Kok Cu dan isterinya untuk
berjalan di depan.
Kok Cu dan Ceng Ceng juga tidak takut. Mereka melihat betapa tembok benteng itu tebal dan terjaga kuat
dan diam-diam mereka terkejut menyaksikan betapa benteng itu berlapis-lapis dan luar biasa kuatnya.
Memang tidak mudahlah bagi pasukan untuk menyerbu tempat ini, apa lagi kalau penjagaan dilakukan
sedemikian ketatnya.
Juga nampak pasukan yang berjaga-jaga secara teratur sekali, ada pasukan tombak, pasukan golok,
pasukan pedang dan pasukan panah. Di atas tembok juga berjajar pasukan-pasukan yang siap menangkis
setiap penyerbuan dan diam-diam Kok Cu menahan napas. Hebat memang penjagaan di benteng ini dan
dia merasa lega bahwa pasukan pemerintah dipimpin oleh seorang ahli seperti Puteri Milana. Biar pun
demikian, dia masih menyangsikan apakah pasukan pemerintah akan dapat membobol benteng yang
sedemikian kuatnya ini.
Lalu dia terkejut dan mulai mengerti! Agaknya ayahnya yang berdiri di belakang semua ini! Siapa lagi kalau
bukan ayahnya yang mampu menciptakan benteng sekuat dan sehebat ini? Ahhh, tentu ayahnya dipaksa,
dan oleh karena keluarga ayahnya menjadi tawanan, maka ayahnya kemudian menurut saja untuk
menyelamatkan keluarganya! Benarkah dugaannya ini? Dia masih ragu-ragu. Tak mungkin ayahnya mau
membantu musuh, lebih baik mati, demikian tentu pendirian ayahnya.
Suami isteri pendekar itu makin terkejut ketika mengenal orang-orang pandai di dalam benteng, di
antaranya mereka melihat Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lokwi, tiga orang tua yang mereka duga tentulah
Twa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok karena mereka sudah pernah mendengar bagaimana rupanya Im-kan Ngo-ok.
Masih banyak pula orang-orang yang kelihatan memiliki kepandaian tinggi akan tetapi yang tidak mereka
kenal. Mereka semua itu dipimpin oleh Sam-ok yang berpakaian sebagai seorang pembesar, yang
bertubuh raksasa berkepala botak, mengenakan mantel merah dan pakaiannya mewah. Inilah tentu Koksu
Nepal, pikir Kok Cu sambil memandang penuh perhatian.
Ketika melihat orang-orang yang bermacam-macam bentuknya itu menyambut, Kok Cu lalu bertanya,
“Apakah kami berhadapan dengan Koksu Nepal yang mengundang kami?”
Ban Hwa Sengjin, yaitu Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok, atau Koksu Negara Nepal, menjura dengan sikap
hormat. Diam-diam dia merasa kagum bukan main kepada pendekar lengan buntung ini. Sejak tadi dia
sudah memperhatikan dan memang pria berlengan buntung sebelah ini patut menjadi seorang pendekar
sakti. Dia masuk bersama isterinya dengan tangan kosong dan suami isteri itu melangkah dengan
gagahnya, tenang dan sedikit pun tidak kelihatan gentar. Sikap ini bukan hanya mengagumkan hati Samok,
akan tetapi iuga mencengangkan semua tokoh yang sebelumnya memang sudah gentar mendengar
nama Naga Sakti Gurun Pasir itu.
“Selamat datang di benteng kami, Sicu,” kata koksu. “Tidak salah perkiraan Sicu, saya adalah Koksu
Nepal...“
“Hemmm, kalau begitu Sam-ok dan Im-kan Ngo-ok?” mendadak Ceng Ceng bertanya karena dia melihat
betapa Im-kan Ngo-ok berdiri berjajar, di sebelah kanan koksu itu nampak nenek Ji-ok dan kakek Twa-ok,
sedangkan Su-ok dan Ngo-ok berdiri di sebelah kiri koksu.
“Li-enghiong berpemandangan awas benar!” kata koksu memuji. “Tidak salah, selain sebagai Koksu Nepal,
saya juga menjadi Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok. Ji-wi telah melihat sendiri betapa kuatnya keadaan kami,
dengan bantuan semua tokoh yang pandai dari dunia kang-ouw.”
“Apa maksudmu mengundang kami?” Kok Cu bertanya singkat dan tegas.
“Sicu, kami atas nama Pangeran Bharuhendra dari Nepal menyampaikan undangan kepada Sicu berdua,
mengajak Sicu berdua untuk bekerja sama...“
“Hemmm, apa hubungannya Pangeran Nepal dengan kami? Mengapa pula pangeran dari Nepal membuat
benteng di sini? Apakah Pangeran Nepal berhubungan dengan mereka yang hendak memberontak
terhadap kaisar?”
Semua orang saling pandang. Pendekar ini bicaranya tegas dan terus terang, penuh keberanian dan
keangkuhan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi koksu tersenyum. “Sicu, hendaknya Sicu rnenyadari keadaan. Pangeran Bharuhendra adalah
juga Pangeran Liong Bian Cu, putera dari mendiang Pangeran Liong Khi Ong, yang hanya melanjutkan
cita-cita besar ayahnya, yaitu menumbangkan kekuasaan sekarang yang lemah dan lalim untuk
membentuk suatu pemerintahan yang kokoh kuat dan bijaksana. Banyak orang yang sudah membantu
perjuangan ini...”
“Hanya pengkhianat-pengkhianat saja yang mau membantu pemberontakan!” cela Ceng Ceng.
“Kami tidak sudi bekerja sama dengan pemberontak!” sambung Kok Cu.
“Sicu, ingatlah. Apakah Sicu juga masih hendak bersetia kepada kaisar yang begitu sewenang-wenang,
memecat dan mengusir orang yang berjasa besar seperti ayahmu, Jenderal Kao itu? Ingat, bahkan
ayahmu pun kini sudah bekerja sama dengan kami. Lihat benteng ini, ayahmulah yang membangun! Lihat
pasukan-pasukan itu. Ayahmulah yang membentuk dan melatih sehingga keadaan kami begini kuat.”
“Tidak! Ayahku kalian paksa maka sudi melakukan semua ini!” bentak Kok Cu marah dan kini matanya
mencorong seperti mata seekor naga sakti sehingga semua orang menjadi gentar sekali. “Dan pula, siapa
percaya bahwa ayahku berada di sini membantu kalian?” Dengan ucapan ini Kok Cu memang hendak
melihat bukti bahwa ayahnya masih dalam keadaan selamat.
“Sicu agaknya belum percaya kepada kami? Lo-mo, harap kau panggil Jenderal Kao ke sini!” Mendengar
perintah ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk dan pergi. Jantung Kok Cu berdebar tegang.
Tidak lama kemudian Hek-tiauw Lo-mo datang kembali, dan bersama dia datang pula Jenderal Kao Liang.
Kok Cu membalikkan tubuh dan memandang kepada ayahnya, sukar dibayangkan bagaimana perasaan
hati pendekar sakti ini karena pada wajahnya yang tampan dan keras itu tidak terbayang sesuatu. Ceng
Ceng juga memandang kepada ayah mertuanya dengan muka berubah agak pucat, akan tetapi juga
wanita ini yang sudah pandai menguasai perasaannya, tidak berkata apa-apa.
Agaknya Jenderal Kao itu tadi tidak diberi tahu oleh Hek-tiauw Lo-mo mengapa dia dipanggil. Tadinya ia
berjalan dengan langkah tenang saja di samping Hek-tiauw Lo-mo menuju ke tempat itu. Akan tetapi begitu
dia melihat puteranya itu, tiba-tiba langkahnya terhenti dan matanya terbelalak memandang ke arah wajah
Kok Cu, wajahnya berubah pucat sekali dan tiba-tiba saja dia membalikkan tubuhnya, membelakangi
puteranya itu untuk menyembunyikan air mata yang keluar dari sepasang matanya. Dia tidak mau dilihat
puteranya mengeluarkan air mata, akan tetapi kakek ini tidak dapat menahan tangisnya ketika melihat
puteranya karena berbagai perasaan mencengkeram hatinya. Ada rasa haru, duka, dan juga malu bahwa
puteranya tentu telah melihat, mendengar betapa dia kini telah menghambakan diri kepada pemberontak!
Lalu dengan langkah perlahan dan kepala menunduk, Jenderal Kao pergi lagi meninggalkan tempat itu,
tanpa menoleh lagi.
Kok Cu mengerti dan merasa terharu sekali. Dia tahu betapa hancur hati ayahnya, dan dia tahu pula
bahwa ayahnya melakukan hal itu karena terpaksa, karena tidak ingin melihat keluarganya tersiksa atau
terbunuh! Dia tahu bahwa tentu koksu itu, Orang Jahat Nomor Tiga dari Im-kan Ngo-ok yang dia tahu tentu
tidak segan-segan melakukan apa saja yang paling keji sifatnya, untuk memaksa ayahnya dengan jalan
mengancam para keluarga yang sudah tertawan di tempat itu. Maka setelah ayahnya pergi dan lenyap di
tikungan, dia kemudian membalik dan kembali menghadapi koksu dan para pembantunya dengan sinar
mata penuh tantangan.
“Koksu, engkau telah berhasil memperdayai ayahku, memaksa ayahku untuk bekerja untukmu dengan
ancaman keluarga ayah. Akan tetapi jangan harap engkau akan dapat membujuk aku untuk membantu
pekerjaanmu yang terkutuk ini!” katanya dengan suara tenang dan tegas dan di dalam suara itu saja koksu
ini telah mengerti benar bahwa memang tidak mungkin dapat membujuk seorang yang berhati keras dan
teguh seperti Naga Sakti Gurun Pasir itu.
“Apa pun yang kau tuduhkan, kenyataan adalah bahwa ayahmu, Jenderal Kao Liang, telah bekerja sama
dengan kami,” kata Koksu Nepal. “Oleh karena itu sekali lagi, kami harap agar engkau dan isterimu suka
bekerja sama dengan kami, Sicu. Andai kata tidak secara suka rela, tentu engkau akan melakukannya
dengan bijaksana, melihat keadaan yang tak mungkin dapat diubah lagi. Sicu dan Li-enghiong, kalian lihat
siapakah yang di sana itu!” Koksu Nepal itu menuding ke belakang dua orang suami isteri itu yang segera
membalikkan tubuhnya memandang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hampir saja Ceng Ceng mengeluarkan teriakan ketika dia melihat siapa yang berada di sana, berdiri
dengan sepasang mata terbelalak, dijaga oleh Hek-tiauw Lo-mo berdua Hek-hwa Lo-kwi yang tentu akan
turun tangan dengan keji kalau sampai suami isteri ini bergerak. Juga Kok Cu memandang dengan
sepasang mata terbelalak ketika dia melihat puteranya di situ. Sungguh sama sekali tidak pernah mereka
sangka bahwa putera mereka yang terculik itu ternyata juga berada di situ pula!
Sekarang mengertilah Kok Cu betapa makin berat penanggungan ayahnya. Dengan seluruh keluarga,
termasuk puteranya pula di tangannya, tentu saja koksu memiliki senjata yang amat ampuh dan kuat untuk
memaksa ayahnya melakukan apa pun juga. Betapa pun, dia menganggap ayahnya terlalu lemah! Apa
artinya pengorbanan ayahnya itu kalau dia harus melakukan sesuatu yang demikian hina? Bukankah noda
dan aib yang dilakukan ayahnya itu akan mencemarkan nama seluruh keluarganya. Mengapa ayahnya
tidak melihat hal ini?
“Ayah...! Ibu...!” Cin Liong berseru dan air matanya lalu bercucuran dari kedua mata anak itu. Akan tetapi
dia telah diancam tidak boleh mendekati orang tuanya.
Seperti diremas-remas rasa jantung Ceng Ceng. Seperti hendak terbang dia mendekati puteranya,
mengamuk dan kalau perlu mengadu nyawa. Akan tetapi ketika dia merasa betapa lengannya dipegang
oleh suaminya, datang pula kekuatan di hatinya dan dia menelan ludah, lalu memandang kepada
puteranya dengan batin yang lebih tenang.
“Cin Liong, kau tenanglah dan jangan menangis. Pada suatu hari, ayah ibumu pasti akan dapat
membawamu pulang!” kata Kok Cu, suaranya tenang sekali dan sama sekali tidak mengandung
kekhawatiran sehingga semua orang yang menyaksikannya menjadi kagum bukan main.
Koksu memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang mengajak Cin Liong pergi lagi,
akan tetapi tiba-tiba anak itu membalikkan tubuhnya dan berkata lantang, “Ayah, yang menculikku adalah
laki-laki berambut keemasan dan wanita baju hijau itu!” Anak itu menudingkan telunjuknya kepada laki-laki
dan wanita yang berdiri tidak jauh dari Koksu Nepal, akan tetapi dua orang kakek iblis itu sudah
memondong dan menariknya pergi dari situ.
Akan tetapi teriakan Cin Liong itu cukup bagi Ceng Ceng untuk memutar tubuh dan memandang kepada
Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan, dengan sinar mata seperti hendak menelan bulat-bulat kedua orang itu
sehingga dua orang itu merasa agak ngeri juga.
“Kenapa kalian menculik puteraku? Kenapa?” bentak Ceng Ceng, sinar matanya berapi api.
Baik Liong Tek Hwi mau pun Kim Cui Yan tidak menjawab, hanya memandang kepada koksu karena
mereka tahu bahwa yang dapat menanggulangi dua suami isteri yang sakti ini hanyalah koksu.
“Sicu dan Li-enghiong, Ji-wi hendak mengetahui sebabnya? Nah, dengarlah baik-baik. Kongcu ini adalah
putera dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong, sedang sumoi-nya ini adalah puteri dari mendiang
Panglima Kim Bouw Sin! Nah, tentu Ji-wi tahu betapa keluarga Kim Bouw Sin dihukum dan dibasmi karena
Jenderal Kao, dan juga betapa Pangeran Liong Bin Ong gagal dan tewas, satu antara lain juga karena
Jenderal Kao. Semua orang menaruh dendam kepada Jenderal Kao Liang, oleh karena itulah maka terjadi
penculikan-penculikan terhadap keluarga Kao dan juga terhadap puteramu, Sicu. Akan tetapi, kami
bukanlah orang-orang yang buta oleh dendam dan sakit hati. Tidak, kami adalah orang-orang yang
mementingkan perjuangan. Oleh karena itu, Sicu, maka sampai sekarang pun keluarga Kao dan puteramu
masih dalam keadaan selamat semua, tidak ada seorang pun yang mengalami luka atau tewas.”
“Koksu, engkau dan semua orang yang bersangkutan tentu tahu belaka bahwa tidak ada permusuhan
pribadi antara ayahku dan ayah mereka. Kematian Kim Bouw Sin atau Pangeran Liong bukan karena
bermusuhan dengan ayahku. Ayahku adalah seorang panglima yang bertugas membasmi pemberontakan
sedangkan mereka itu adalah pemberontak-pemberontak. Kalau sampai mereka kalah dan tewas, hal itu
tentu saja tidak boleh disalahkan kepada ayahku. Andai kata ayahku tewas dalam melaksanakan tugas,
tentu aku pun tidak menaruh dendam pribadi kepada lawannya di medan perang! Oleh karena itu,
sekarang aku datang bersama isteriku dan aku menuntut agar ayahku dan semua keluarga dibebaskan
sekarang juga, untuk mana kami tentu akan berterima kasih sekali.”
“Hemmm, Kao-sicu, permintaanmu itu tentu saja tak mungkin kami laksanakan,” kata koksu. “Perjuangan
kami belum selesai. Kami terpaksa saja menahan keluarga Kao agar Jenderal Kao suka membantu kami
dunia-kangouw.blogspot.com
sampai kami berhasil. Dan setelah berhasil, tentu akan kami bebaskan semua, bahkan akan memberi
ganjaran dan penghargaan atas jasa-jasa keluarga Kao kepada kami.”
“Koksu keparat! Hayo kau maju lawan aku. Kita bertanding dengan taruhan keluarga Kao!” Tiba-tiba Ceng
Ceng membentak nyaring dan melangkah maju dengan kedua tangan terkepal.
Akan tetapi Sam-ok atau Koksu Nepal adalah seorang datuk sesat yang sudah banyak pengalaman. Dia
tentu saja tidak jeri menghadapi Ceng Ceng, akan tetapi melihat kehadiran Si Naga Sakti Gurun Pasir di
situ, dia tidak mau dipancing untuk bertanding satu lawan satu. Dia tahu bahwa di situ tidak ada seorang
pun yang akan sanggup menandingi Si Naga Sakti. Bahkan Twa-ok sendiri pun agaknya tidak akan
menang.
“Li-enghiong, kami menghargai sekali kegagahanmu. Akan tetapi ketahuilah bahwa urusan tawanan bukan
urusan pribadiku, melainkan urusan seluruh isi benteng. Kalau engkau dan suamimu hendak
menggunakan kekerasan, tentu kalian akan berhadapan dengan kami semua berikut seluruh pasukan
kami!”
Kembali Ceng Ceng merasa tangannya dipegang oleh suaminya dan ia teringat bahwa menggunakan
kekerasan tidak akan ada gunanya, maka dia mundur, biar pun matanya masih berapi-api ditujukan kepada
koksu.
“Baiklah, kami akan mundur dan kami akan berusaha menggunakan kepandaian kami untuk dapat
membebaskan keluarga kami dari tempat ini. Akan tetapi kalau sampai ada seorang saja di antara keluarga
Kao yang celaka selagi mereka menjadi tawanan di tempat ini, maka Im-kan Ngo-ok yang bertanggung
jawab dan kelak tentu akan berhadapan dengan kami! Camkanlah ini!”
Setelah berkata demikian, Kok Cu mengajak isterinya meninggalkan tempat itu. Koksu dan semua orang
memandang dengan hati ngeri, dan dua orang suami isteri itu melangkah pergi diikuti oleh pandang mata
mereka semua.
Melihat ini, Hek-hwa Lo-kwi yang sejak tadi sudah memandang dengan marah dan yang sudah
mengumpulkan anak buah Kui-liong-pang yang jumlahnya tidak kurang dari dua puluh orang, cepat
memberi aba-aba dan majulah dua puluh lima orang Kui-liong-pang, yaitu mereka yang termasuk tokohtokohnya
yang berkepandaian, dipimpin oleh Khiu Sek, bekas pangcu dari Kui-liong-pang dan Hoa-gu-ji,
tokoh kedua dari Kui-liong-pang yang kemudian keduanya menjadi pembantu-pembantu Hek-hwa Lo-kwi.
Hek-hwa Lo-kwi penasaran sekali karena dia sudah mengenal Ceng Ceng dan tahu bahwa biar pun wanita
itu lihai, namun dia sanggup melawannya, apa lagi kalau dibantu oleh anak buahnya, biar pun di situ ada Si
Naga Sakti!
Melihat Hek-hwa Lo-kwi dan anak buahnya menghadang, Si Naga Sakti tenang saja, akan tetapi Ceng
Ceng sudah mendamprat, “Hek-hwa Lo-kwi iblis tua bangka bosan hidup! Mau apa kau menghadang
kami?”
“Ha-ha-ha!” Hek-hwa Lo-kwi tertawa. “Kalian dua orang manusia yang sombong sudah memasuki lembah
kami, tentu tidak akan mudah keluar begitu saja!” Lalu kakek ini melambaikan tangan kepada para anak
buahnya dan berkata, “Tangkap mereka!”
Kok Cu masih sempat berbisik kepada isterinya, “Jangan membunuh!” dan isterinya yang sedang marah itu
terpaksa mengangguk karena Ceng Ceng juga teringat betapa nyawa anak mereka dan keluarga Kao
berada di tangan musuh.
Ketika dua puluh lima orang itu menyerbu dengan senjata mereka, suami isteri itu bergerak maju dan
terjadilah pertempuran yang amat luar biasa.
Yang mula-mula menubruk maju adalah Khiu Sek dan Hoa-gu-ji. Dua orang tokoh pertama dan kedua dari
Kui-liong-pang sesudah Hek-hwa Lo-kwi ini sesungguhnya cukup lihai. Khiu Sek adalah seorang bertubuh
kecil yang permainan cambuknya lihai sekali. Cambuk hitam bercabang di tangannya itu adalah senjatanya
yang istimewa. Ada pun Hoa-gu-ji, sesuai dengan julukannya, yaitu Kerbau Belang, memiliki tenaga besar.
Tubuhnya tinggi kurus dan dia memegang senjata yang istimewa pula, yaitu sebatang dayung panjang
yang amat berat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang tokoh Kui-liong-pang ini adalah penjahat-penjahat yang biasa menghina wanita. Mereka
memang sudah mendengar nama besar Si Naga Sakti, maka mereka hendak menyerahkan lawan berat itu
kepada ketua baru mereka, sedangkan mereka sendiri memilih yang lunak dan menyenangkan, yaitu Ceng
Ceng. Maka dengan ganas dan sangat dahsyat, keduanya sudah menerjang Ceng Ceng.
Akan tetapi, apa yang terjadi benar-benar membuat semua orang terkejut setengah mati. Mereka melihat
dua orang tokoh Kui-liong-pang itu menyerang dari kanan kiri, dan ternyata wanita itu sama sekali tidak
mengelak, bahkan dia menggunakan lengannya yang berkulit putih halus dan kecil itu untuk menangkis
dayung, sedangkan sambaran cambuk itu didiamkannya saja. Tetapi setelah cambuk menyambar dekat
kepalanya, dia tiba-tiba saja merendahkan tubuhnya, tangannya yang tadi menangkis sudah bertemu
dengan dayung dan terus tangan itu menangkap dayung, menariknya sehingga dayung bertemu cambuk
dan dilibat oleh ujung cambuk.
Tentu saja kedua orang tokoh Kui-liong-pang yang sudah berpengalaman itu cepat menarik senjata
masing-masing, akan tetapi pada saat yang hanya beberapa detik saja ketika kedua senjata mereka
bertemu itu telah dipergunakan oleh Ceng Ceng untuk melepaskan dayung, menggerakkan kedua tangan
ke bawah dan tubuhnya meluncur ke bawah seperti hendak menelungkup.
“Plak! Plak!”
Kedua tangannya berhasil menghantam paha dua orang lawan itu secara bergantian dengan jari-jari
tangan terbuka, kemudian dia sudah berjungkir balik dan meloncat bangun lagi, tidak mempedulikan dua
orang yang mengaduh-aduh dan memegang paha yang terpukul tadi karena Ceng Ceng bukan
menggunakan pukulan sembarangan saja, melainkan menggunakan pukulan yang disertai dengan sinkang
yang amat kuat dan panas!
Memang berkat darah anak naga, yaitu ular luar biasa yang pernah dimakannya, hawa beracun di
tubuhnya telah hilang. Namun hal ini bukan berarti bahwa kepandaiannya tentang pukulan beracun hilang
pula. Maka dua orang tokoh Kui-liong-pang yang kena pukulannya di paha itu merasa betapa bagian yang
terpukul itu selain panas juga gatal gatal dan mereka berloncatan seperti dua ekor monyet menari-nari.
(baca Kisah Sepasang Rajawali)
Tentu saja semua orang menjadi terkejut. Kepandaian dua orang itu, biar pun bagi para tokoh sakti di situ
tidaklah terlalu tinggi, akan tetapi bagi orang-orang kang-ouw, mereka telah termasuk orang-orang yang
tangguh. Kini, dalam segebrakan saja mereka telah dibuat tidak berdaya oleh nyonya muda yang cantik itu.
Pada saat itu, Hek-hwa Lo-kwi telah menyerang Kao Kok Cu. Seperti telah diketahui, Hek-hwa Lo-kwi
belum lama ini menyempurnakan semacam ilmu yang dikuasainya, yaitu ilmu pukulan beracun yang
bernama Pek-hiat-hoatlek. Memang bekas pelayan dari Dewa Bongkok ini adalah seorang yang ahli
tentang racun, dan ilmu pukulannya yang baru itu amatlah jahat dan kejinya. Dan melihat bahwa pemuda
lengan buntung itu adalah murid dari bekas majikannya, maka begitu menyerang dia telah menggunakan
ilmu barunya itu!
Akan tetapi dia sama sekali tidak tahu bahwa tingkat kepandaian Kok Cu sudah amat tinggi, bahkan tak
lagi berselisih jauh dibandingkan dengan kepandaian gurunya sendiri! Maka menghadapi serangan yang
luar biasa itu, yang mendatangkan angin dahsyat dan yang mengepulkan uap putih, Kok Cu bersikap
tenang-tenang saja dan beberapa kali dia mengelak karena dia sedang memperhatikan isterinya.
Ceng Ceng kini mengamuk seperti seekor singa betina. Dia menerjang ke kanan kiri, menghantam atau
menendang siapa saja yang berdekatan sehingga gegerlah dua puluh lebih anggota Kui-liong-pang itu.
Terdengar teriakan susul-menyusul dibarengi robohnya beberapa orang yang tidak dapat bangkit lagi
setelah terkena tamparan atau tendangan dari nyonya yang sedang marah itu. Andai kata Ceng Ceng tidak
ingat akan pesan suaminya, tentu mereka yang dirobohkannya itu akan tewas semua, termasuk dua orang
tokoh Kui-liong-pang tadi. Akan tetapi dia tahu akan maksud suaminya. Dia tidak boleh membunuh agar
semua orang tahu akan kelihaian mereka berdua dan juga akan iktikad baik mereka sehingga keluarga
yang ditawan takkan mengalami gangguan.
Setelah melihat betapa isterinya baik-baik saja dan tidak melanggar pesannya, Kok Cu kemudian
mencurahkan perhatiannya terhadap lawannya. Dia harus memperlihatkan kelihaiannya! Dia maklum
bahwa serangan Hek-hwa Lo-kwi ini selain dimaksudkan untuk mencegahnya keluar, juga untuk
mengujinya dan semua mata dari Im-kan Ngo-ok tentu sedang mengikuti gerakan-gerakannya dengan
teliti.
dunia-kangouw.blogspot.com
Oleh karena itu, tiba-tiba pendekar sakti ini mengeluarkan suara melengking yang amat dahsyat, yang
menggetarkan semua orang, bahkan beberapa orang yang kurang kuat segera terguling roboh dan mereka
yang kuat pun tergetar hebat sampai terguncang jantung mereka, kemudian tiba-tiba tubuh dari pendekar
itu meluncur ke depan seperti seekor naga ke arah Hek-hwa Lo-kwi. Kakek iblis ini terkejut dan cepat dia
menyambut dengan pukulan Pek-hiat hoat-lek yang dahsyat. Pendekar berlengan tunggal itu sama sekali
tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kanannya mendorong.
“Desssss...!”
Tubuh Hek-hwa Lo-kwi terpental sampai jauh, terbanting roboh pingsan! Kemudian, Kok Cu membantu
isterinya mengamuk dan dalam waktu yang singkat sekali, semua orang Kui-liong-pang sudah roboh dan
kedua orang suami isteri itu melanjutkan perjalanan mereka menuju ke pintu gerbang pertama dari dalam,
di mana terdapat banyak penjaga, akan tetapi karena tidak ada komando dari atas, para penjaga itu pun
diam saja dan tidak ada yang berani mengganggu ketika Kok Cu dan Ceng Ceng lewat. Setelah melalui
beberapa lapis tembok benteng yang berpintu gerbang, akhirnya suami isteri itu dapat keluar dari pintu
gerbang paling luar dan mereka melangkah cepat meninggalkan benteng itu.
Setelah mereka jauh meninggalkan benteng dan memasuki sebuah hutan yang sunyi, mereka berhenti dan
Ceng Ceng lalu menjatuh diri di atas rumput di bawah pohon sambil menangis! Kok Cu berdiri memandang
isterinya dan untuk beberapa saat lamanya dia membiarkan isterinya menumpahkan semua kedukaannya
melalui tangis. Dia tahu betapa isterinya itu sudah berbulan-bulan ditekan oleh penderitaan batin yang
hebat, yang amat mengkhawatirkan keadaan putera mereka. Dan sekarang isterinya menangis karena
guncangan batin, karena perasaan marah, khawatir dan juga girang melihat bahwa puteranya itu ternyata
masih hidup dalam keadaan sehat, akan tetapi berada di tangan musuh dan mereka tidak berdaya untuk
membebaskan putera mereka itu!
Tiba-tiba Ceng Ceng menghantamkan tangannya ke batang pohon di sampingnya.
“Braaakkkkk!” pohon itu tumbang!
“Kubunuh mereka semua! Kubunuh seorang demi seorang jika sampai Liong-ji mereka ganggu...!”
teriaknya dengan kalap.
Kini Kok Cu merangkul isterinya dan berkata tenang, “Mereka takkan berani, isteriku. Mereka justeru akan
menjaga baik-baik semua keluarga kita sebagai sandera, mereka takkan berani mengganggu anak kita...“
Ceng Ceng memandang wajah suaminya, lalu mengeluh dan ibu muda ini menjadi terkulai lemas dan
pingsan di dalam pelukan suaminya! Terlampau hebat kemarahan, ketegangan dan kekhawatiran selama
ini menekan hatinya. Kok Cu dengan tenang merawat isterinya sehingga guncangan perasaan itu tidak
sampai mengakibatkan hal yang buruk atas diri wanita itu.
Setelah Ceng Ceng siuman kembali dan sudah agak tenang, Kok Cu lalu berkata, “Kita tentu saja dapat
menyerbu ke sana dan mengamuk, tetapi apa artinya kalau akhirnya mereka bahkan membunuh keluarga
kita? Kita harus sabar, menanti kesempatan baik dan kesempatan itu baru akan tiba apa bila Bibi Milana
telah menyerbu benteng itu. Selagi keadaan kacau dan semua kekuatan dikerahkan untuk menghadapi
serbuan pasukan Bibi Milana, kita menyelinap ke dalam dan kita bebaskan keluarga kita.”
“Akan tetapi, benteng itu sedemikian kuatnya. Kiranya tidak akan mudah saja bagi Bibi Milana untuk
membobolnya. Apa lagi... yang mengatur dan menjaga adalah... adalah...” Tak sampai hatinya untuk
menyebut nama mertuanya.
Kok Cu mengangguk-angguk. “Memang ayah adalah seorang ahli siasat perang yang takkan mudah
dilawan begitu saja oleh Bibi Milana. Akan tetapi, aku tidak percaya kalau ayah benar-benar hendak
berkhianat. Hanya karena tidak tega melihat keluarga celaka maka ayah sengaja pura-pura menyerah,
akan tetapi tentu ayah mempunyai suatu rencana lain yang menjadi rahasianya. Kita harus bersabar dan
menunggu, kiranya tidak akan lama Bibi Milana datang bersama pasukannya.”
Demikianlah, suami isteri pendekar itu menunggu di tempat persembunyian di sekitar tembok benteng dan
Ceng Ceng terpaksa menurut karena ia maklum bahwa pendapat suaminya itu memang tepat. Akan tetapi,
suaminya harus setiap hari menghiburnya dan di dalam keadaan menderita batin ini, sepasang suami isteri
menjadi makin rapat, makin dekat dan makin mesra hubungannya karena dalam hati mereka timbul rasa
dunia-kangouw.blogspot.com
iba satu kepada yang lain. Juga di dalam diri masing-masing mereka menemukan hiburan yang setidaknya
meringankan penderitaan batin masing-masing itu…..
********************
Barisan yang besar di bawah panji Puteri Milana itu bergerak dengan teratur dan tertib sekali memasuki
wilayah Propinsi Ho-nan. Tidak seperti biasanya kalau ada pasukan besar lewat dengan tujuan perang,
sekali ini pasukan-pasukan berjalan tertib dan tidak pernah terjadi pelanggaran-pelanggaran. Biasanya,
dusun-dusun yang dilalui oleh pasukan tentu akan menderita karena ada saja ulah anggota pasukan yang
melakukan pelanggaran-pelanggaran dan kekerasan-kerasan. Hal ini adalah karena adanya disiplin yang
kuat, ketertiban yang tidak perlu ditekankan lagi oleh para pimpinannya, karena semua dewan pimpinan
sendiri juga amat tertib.
Ketertiban di dalam kelompok atau golongan haruslah dimulai dari atas. Biasanya, yang di atas selalu
menekankan dan menghendaki agar kaum bawahan berdisiplin dan tertib, sedangkan mereka sendiri yang
merasa berkuasa tidak memperhatikan disiplin dan ketertiban diri mereka sendiri. Hal ini adalah tak
mungkin karena manusia itu condong untuk mencontoh dan yang dicontoh selalu tentulah yang berada di
atas. Kalau sang pemimpin korup, mana mungkin anak buahnya tidak korup? Dan untuk melenyapkan sifat
buruk dari bawahan, yang di atas haruslah melenyapkan lebih dulu sifat buruknya sendiri.
Jika atasan bersih, barulah dia berhak dan dapat menunjukkan kekotoran bawahannya dan
membersihkannya. Sebaliknya, kalau dia sendiri kotor, mana mungkin dia mampu membersihkan
bawahannya? Tentu dia sendiri juga merasa sungkan dan malu karena si bawahan tentu hanya akan
mentertawakannya saja dan melawan dengan menunjuk kekotorannya pula.
Pasukan dari kota raja ini hanya mengalami sedikit perlawanan saja dari pasukan yang dipimpin oleh
Gubernur Ho-nan. Ketika para komandan di Ho-nan mendengar bahwa pasukan itu selain amat besar dan
kuat juga dipimpin oleh Puteri Milana, sebelum bertempur nyali mereka sudah menjadi kecil dan semangat
mereka menjadi lemah.
Hal ini tentu saja juga menjalar kepada anak buah mereka sehingga ketika Milana menggerakkan
pasukannya dan mulai terjadi pertempuran, anak buah pasukan Ho-nan hanya bertempur dengan
setengah hati saja, kemudian mereka melarikan diri mundur, terus digiring dan ditekan oleh pasukan kota
raja. Akhirnya pasukan kerajaan memasuki Ibu Kota Propinsi Ho-nan.
Juga di sini perlawanan amat tidak berarti karena belum apa-apa gubernurnya sudah ketakutan.
Kesombongan-kesombongan yang sudah diperlihatkan oleh para komandan ternyata tidak ada
kenyataannya ketika musuh sudah berada di depan pintu. Yang nekat melakukan perlawanan segera
roboh dan disapu bersih dalam waktu singkat saja sehingga akhirnya sebagian besar pasukan yang
sebetulnya merupakan pasukan kerajaan pula yang dibawa menyeleweng dan memberontak oleh
gubernur, menakluk dan menyerah. Sebagian lagi masih terus mengawal Gubernur Kui Cu Kam melarikan
diri, meninggalkan Lok-yang menuju ke lembah Huang-ho di mana terdapat sekutunya dalam benteng yang
kuat.
Setelah menduduki kota Lok-yang, Milana lalu memberi kesempatan kepada pasukan pasukannya untuk
beristirahat. Dia memerintahkan untuk membiarkan para anak buah pasukan berpesta makan minum
sepuasnya, tetapi melarang siapa pun mengganggu penduduk sehingga para penduduk kota Lok-yang
yang sudah ketakutan dikarenakan membayangkan bahwa tentu mereka akan dirampok habis-habisan
oleh para tentara kerajaan, menjadi lega dan berterima kasih.
Dengan suka rela para penduduk, terutama yang kaya, lalu mengeluarkan kekayaan mereka untuk
menjamu dan menyenangkan hati pasukan kerajaan yang telah menang perang. Mereka tahu bahwa
semua ini berkat pimpinan Puteri Milana yang terkenal itu. Dan anehnya, begitu sadar bahwa kebersihan
mereka dikagumi penduduk, para anggota pasukan itu sendiri merasa sungkan dan enggan melakukan
pelanggaran, karena kebersihan mereka itu merupakan kebanggaan mereka! Dan kebanggaan ini pun
mendatangkan suatu perasaan senang yang luar biasa.
Milana sendiri beristirahat di dalam kamarnya, di bekas rumah gedung gubernur. Ketika seorang pengawal
memberi laporan bahwa suaminya, pendekar Gak Bun Beng datang menyusul, Milana cepat menyambut
suaminya dengan hati girang. Mereka kemudian bercakap-cakap di dalam kamar. Kiranya begitu menerima
berita isterinya, Gak Bun Beng menitipkan kedua putera kembarnya, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat
Kong, kepada kepala dusun di lereng bukit, dan dia sendiri cepat menyusul isterinya ke kota raja. Ketika
dunia-kangouw.blogspot.com
mendengar berita bahwa pasukan isterinya sudah menyerbu ke Ho-nan, dia pun cepat menyusul dan
malam itu dia dapat bertemu dengan isterinya di rumah Gubernur Ho-nan yang telah ditinggalkan oleh
penghuninya yang lari mengungsi ke lembah.
Ketika Milana menceritakan kepada suaminya tentang penuturan Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li tentang
kekuatan di lembah Huang-ho yang ternyata dipimpin oleh pangeran dari Nepal yang dibantu oleh banyak
orang pandai, bahkan bentengnya dibangun dan dipimpin oleh Jenderal Kao Liang yang terpaksa
menyerah karena semua keluarganya ditawan, Bun Beng menjadi terkejut bukan main.
“Aihhh, kalau begitu berbahaya sekali! Jadi pangeran dari Nepal itu adalah putera dari pangeran tua Liong
yang memberontak dahulu itu? Ah, dia melanjutkan pemberontakan ayahnya?”
“Dan agaknya dia tidak kalah licik dan cerdiknya dibandingkan ayahnya. Buktinya dia telah dapat memaksa
Jenderal Kao untuk membantunya, dan menurut Kian Bu, dia dibantu oleh orang-orang pandai yang
berilmu tinggi, sedangkan Koksu Nepal yang memimpin benteng itu sendiri juga memiliki kepandaian
hebat. Oleh karena itulah maka aku sengaja mengundangmu, karena untuk menyerbu benteng yang
dipimpin oleh Jenderal Kao, dan mendengar betapa banyaknya orang pandai di dalam benteng itu, terus
terang saja, tanpa engkau di sampingku, aku merasa agak jeri juga.”
Ketika Bun Beng mendengar bahwa juga Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan isterinya, Ceng Ceng,
sudah lebih dulu pergi menyelidik ke benteng, dan bahwa putera mereka pun menjadi tawanan, mendengar
pula betapa Kian Bu juga sudah menyelidik ke sana, dia lalu mengambil keputusan untuk mendahului
pasukan.
“Sebaiknya aku pun pergi dulu menyelidik ke sana, karena sesungguhnya aku belum percaya benar bahwa
orang seperti Jenderal Kao Liang itu dapat berkhianat dan sudi membantu musuh yang memberontak,
betapa pun dia tertekan dan betapa terancam pun keselamatan keluarganya. Dia bukanlah seorang
lemah.”
Milana juga setuju dengan usul suaminya itu dan semalam itu Bun Beng bermalam di kamar isterinya.
Suami isteri ini saling melepaskan rindu mereka dan saling menasehati agar berhati-hati karena keduanya
akan menghadapi bahaya dalam penyerbuan ke lembah itu.
Pada keesokan harinya, Bun Beng bertemu dengan Kao Kok Han dan dari pemuda ini dia mendengar lagi
penuturan yang lebih jelas tentang Jenderal Kao. Setelah berpamit dari isterinya, Bun Beng lalu berangkat,
melakukan perjalanan secepatnya menuju ke lembah Huang-ho, mendahului pasukan yang pada hari itu
juga diatur oleh Milana untuk berangkat ke benteng di lembah itu…..
********************
Malam terang bulan yang indah sekali, apa lagi di tempat sunyi di tebing pinggir Sungai Huang-ho yang
penuh dengan batu-batu besar dan bersih itu, tempat persembunyian Kok Cu dan Ceng Ceng. Biar pun
musuh pernah menemukan mereka di situ, namun suami isteri ini tidak takut dan mereka tetap menanti di
situ, yaitu tempat yang paling menyenangkan bagi mereka di sepanjang tepi sungai, karena dari situ
mereka dapat melihat tembok benteng, dan tempat ini selain indah, juga amat sunyi dan bersih. Hanya kini
mereka selalu berjaga dengan bergilir, tidak pernah lengah karena maklum akan kelihaian musuh-musuh
yang berada di dalam benteng.
Malam itu terang bulan, karena bulan sedang purnama. Di permukaan bumi tidak ada angin, akan tetapi di
angkasa awan-awan berarak dengan cepat, tanda bahwa di atas sana terdapat angin yang menggerakkan
awan-awan sehingga kadang-kadang awan putih tipis menyembunyikan bulan yang menjadi agak suram
cahayanya. Akan tetapi karena awan itu bergerak cepat, hanya sebentar saja bulan muncul lagi dengan
lebih berseri.
Kao Kok Cu nampak duduk bersila di atas sebuah batu besar, sedang tenggelam dalam siulian (semedhi)
yang hening.
Semedhi akan kehilangan artinya jika di dalamnya tersembunyi pamrih untuk mencapai atau memperoleh
sesuatu. Semedhi adalah keadaan hening dan bersih, bersih dari segala macam pamrih, hening karena
berhentinya segala pikiran. Keheningan barulah benar-benar hening kalau datang tanpa diundang, kalau
ada tanpa diadakan, kalau tidak dibuat agar supaya hening. Di waktu segala keinginan dan pamrih
berhenti, maka keheningan akan ada dan itulah semedhi yang sesungguhnya. Bukan acuh tak acuh, bukan
dunia-kangouw.blogspot.com
tidur duduk, melainkan sadar dan waspada akan segala sesuatu, di luar dan di dalam diri, mengamati apa
adanya tanpa keinginan, untuk mengubah, menerima atau pun menolak, tanpa menilai, tanpa
membenarkan atau menyalahkan. Tanpa ‘aku’ yang bersemedhi, itulah semedhi yang sebenarnya.
Ceng Ceng juga duduk tidak jauh dari suaminya, akan tetapi dia tidak dapat duduk diam karena pikirannya
selalu teringat akan puteranya, akan keluarga suaminya. Dia merasa gelisah karena sudah hampir
sepekan dia dan suaminya duduk menanti di tempat itu. Sampai berapa lama dia harus menanti,
membiarkan puteranya terancam bahaya di dalam tangan musuh-musuh yang dia tahu adalah orang-orang
yang amat kejam dan jahat itu? Dia tidak dapat beristirahat seperti suaminya, makin lama semakin merasa
gelisah sehingga akhirnya dia turun dari atas batu dan berjalan-jalan di sepanjang tepi sungai. Malam itu
memang indah sekali, namun sayang, bagi seorang yang sedang kacau batinnya oleh kegelisahan seperti
Ceng Ceng, tidak ada apa pun yang kelihatan indah di dunia ini.
Tiba-tiba sepasang mata Ceng Ceng mengeluarkan sinar dan tubuhnya yang tadinya kelihatan lemas itu
tiba-tiba saja menjadi cekatan. Dia melihat sesuatu yang tentu saja menimbulkan kecurigaannya. Melihat
bayangan manusia berkelebat tak jauh dari situ. Tentu musuh yang datang! Atau mata-mata musuh yang
mengintai! Kemarahannya bangkit dan dengan gerakan ringan dan cepat sekali Ceng Ceng sudah
bergerak melakukan pengejaran, menyelinap di antara pohon-pohon dan batu-batu. Akan tetapi bayangan
itu dapat bergerak amat cepat dan sekali berkelebat, bayangan itu menyusup dan lenyap di balik semaksemak
belukar.
Ceng Ceng makin curiga, akan tetapi karena dia maklum akan kelihaian orang-orang di dalam benteng dan
dia yakin bahwa yang nampak bayangannya tentulah orang dari dalam benteng, dia bersikap hati-hati
sekali dan menyelidik dengan jalan memutar. Bulan kadang-kadang tertutup awan sehingga cahayanya
menjadi remang-remang saja. Dengan langkah satu-satu dan amat waspada, Ceng Ceng memutari semaksemak
di mana dia melihat bayangan tadi lenyap. Seluruh perhatian dicurahkannya melalui pendengaran
dan penglihatannya.
Tiba-tiba ada sambaran angin dari belakang dan ketika secepat kilat dia membalik, dari sudut matanya
Ceng Geng melihat bayangan orang menyerangnya dengan totokan yang cepat dan hebat. Akan tetapi
Ceng Ceng memang sejak tadi sudah siap sedia, maka diserang seperti itu dia tidak menjadi gugup. Dia
miringkan tubuh mengelak dan tangannya membalas dengan tamparan kilat ke dada penyerangnya itu.
Orang itu terkejut bukan main, agaknya tak mengira bahwa yang diserangnya itu selain dapat mengelak,
juga dapat membalas dengan tamparan yang sedemikian hebatnya, terbukti dari sambaran angin yang
menandakan sinkang yang dahsyat. Maka dia pun menggerakkan lengannya menangkis.
“Dukkkk...!”
Keduanya terhuyung ke belakang dan mereka kaget bukan main mengetahui betapa kuatnya lawan. Ceng
Ceng cepat memandang, akan tetapi karena bulan masih tertutup awan, cuaca remang-remang dan dia
hanya melihat seorang pria yang berdiri di depannya, seorang pria yang memiliki sepasang mata yang
tajam bersinar.
“Manusia curang, siapakah engkau? Mengakulah sebelum engkau mati tanpa nama!” bentak Ceng Ceng
dengan marah sekali.
Orang itu kelihatannya terkejut mendengar suara ini. “Ehhh...? Kau...?!“ Pada saat itu awan telah
meninggalkan bulan dan cahaya bulan yang terang menyinari wajah kedua orang yang saling pandang itu.
Keduanya kini kelihatan makin kaget.
“Kau Ceng Ceng...!”
“Tek Hoat...!”
Memang orang itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini terus-menerus
mengikuti jejak Puteri Syanti Dewi setelah dia gagal merampas Syanti Dewi dari puncak Naga Api sarang
dari perkumpulan Liong-sim-pang yang diketuai oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun. Dia dibantu oleh Siluman
Kucing Mauw Siauw Mo-li yang katanya tahu di mana harus mencari Syanti Dewi. Akan tetapi sebetulnya
Siluman Kucing itu pun tidak tahu, hanya menduga-duga saja dan sebenarnya wanita cabul itu bermaksud
untuk mendekati pemuda ini dan kalau mungkin mencengkeram pemuda lihai ini untuk menjadi korban
nafsu birahinya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, seperti telah diceritakan di bagian depan, Tek Hoat yang mulai sadar akan kesesatannya itu,
apa lagi setelah dia berjumpa dengan seorang pelacur yang sudah membuka matanya, dia malah
mempermainkan Siluman Kucing dan meninggalkannya pergi untuk mencari sendiri jejak Syanti Dewi.
Akhirnya dia mendengar tentang keadaan di lembah Huang-ho dan dia menaruh hati curiga.
Dia pernah menyerang lembah itu sebagai sarang dari perkumpulan Kui-liong-pang untuk memenuhi
permintaan ketua Hek-eng-pang, bersama dengan Siluman Kucing yang menjadi guru dari ketua Hek-engpang,
hingga mereka akhirnya dapat membobol bendungan air dan membuat lembah itu tenggelam dalam
genangan air bah setelah tanggul atau bendungannya itu dijebolkan oleh alat-alat peledak dari Mauw
Siauw Mo-li.
Kini dia mendengar berita angin bahwa lembah itu telah berubah menjadi benteng yang kuat. Dia merasa
curiga sekali dan ingin tahu, maka dia lalu menyelidiki ke lembah. Siapa tahu kalau-kalau Syanti Dewi yang
seperti lenyap ditelan bumi itu berada di tempat itu, pikirnya. Hal ini memasuki pikirannya ketika dia
mendengar bahwa banyak tokoh kaum sesat kabarnya juga berada di dalam benteng itu. Andai kata Syanti
Dewi tidak berada di situ, setidaknya dia akan dapat bertanya kepada para tokoh sesat itu dan tentu ada di
antara mereka yang tahu di mana adanya Syanti Dewi dan siapa yang telah menculiknya.
Malam itu dia tiba di dekat benteng lembah dan selagi dia berjalan dan hendak mulai dengan
penyelidikannya, dia melihat bayangan orang yang gerakannya cepat sekali dan mengejarnya. Maka
kemudian dia menyelinap dan menyerang bayangan itu untuk menotoknya, karena dia menduga bahwa
bayangan itu tentulah mata-mata dari dalam benteng. Akan tetapi betapa kagetnya ketika bayangan itu
sedemikian lihainya, dan makin kagetlah dia pada saat cahaya bulan menyinari wajah yang cantik itu,
wajah dari Ceng Ceng, saudara tirinya seayah berlainan ibu!
Ibu dari Ceng Ceng adalah Lu Kim Bwee, sedangkan ibu dari Tek Hoat bernama Ang Siok Bi. Ketika kedua
orang wanita itu masih gadis, mereka telah tertimpa malapetaka dan aib. Mereka itu dicemarkan oleh
seorang laki-laki yang berilmu tinggi sehingga keduanya mengandung. Dari kandungan itulah terlahir Ceng
Ceng dan Tek Hoat.
Karena mereka terlahir sebagai akibat perkosaan, maka mereka berdua menggunakan she ibu mereka
masing-masing. Ceng Ceng menggunakan she Lu sedangkan Tek Hoat menggunakan she Ang. Ayah
kandung mereka, yaitu pria yang mencemarkan ibu masing-masing itu bukanlah orang sembarangan,
karena dia adalah putera tiri dari Pendekar Super Sakti yang bernama Wan Keng In (baca cerita Sepasang
Pedang Iblis dan Kisah Sepasang Rajawali).
Ketika masih kecil, baik Ceng Ceng mau pun Tek Hoat tidak tahu akan rahasia itu karena ibu masingmasing
tidak mau menceritakan aib itu kepada anak masing-masing. Baru setelah kedua orang anak ini
menjadi dewasa, di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, mereka bertemu dan bahkan mereka hampir
saling jatuh cinta. Kemudian terbukalah rahasia itu dan keduanya baru tahu bahwa mereka berdua
sesungguhnya adalah saudara tiri, seayah berlainan ibu! Dan keduanya sesungguhnya adalah she Wan.
“Ahhh, kusangka engkau seorang mata-mata dari benteng!” seru Tek Hoat.
Ceng Ceng cemberut. “Engkaulah yang kukira mata-mata dari dalam benteng!”
Keduanya kemudian tersenyum dan saling pandang. Memang keduanya mempunyai perasaan suka satu
sama lain, apa lagi setelah mereka tahu bahwa mereka adalah saudara seayah. Dalam pandang mata
mereka itu terdapat keharuan karena memang keduanya tidak mempunyai saudara lain, bahkan tidak
bersanak kadang lagi.
“Bagaimana keadaanmu...?” Keduanya bicara berbareng dan dengan pertanyaan yang sama. Kemudian
keduanya tersenyum dan pada saat itu muncullah Kao Kok Cu.
Di dalam siulian tadi, Kok Cu mendengar suara isterinya, maka dia pun cepat meloncat turun dan mencari.
Dia merasa heran sekali melihat isterinya berhadapan dengan seorang pria dan ketika dia tiba di situ,
segera dia mengenal Tek Hoat.
“Ahh, kiranya engkau, Tek Hoat!” katanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tek Hoat memandang wajah Kok Cu penuh perhatian. Di dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan
bahwa antara Tek Hoat dan Kao Kok Cu sesungguhnya terdapat hubungan yang tidak asing lagi, akan
tetapi sesungguhnya baru sekarang inilah Tek Hoat sempat mengenal dan memandang wajah Kok Cu,
karena dahulu Kok Cu selalu memakai topeng yang amat buruk sehingga dia pun hanya dikenal sebagai Si
Topeng Setan. Setelah memandang wajah suami Ceng Ceng itu dia menarik napas panjang.
“Ah, kiranya engkau adalah seorang yang gagah dan tampan, Topeng Setan!” katanya. “Aku girang sekali
bahwa saudaraku ini memperoleh seorang suami hebat seperti engkau.”
Akan tetapi hanya sebentar saja Tek Hoat kelihatan gembira dengan pertemuan ini. Segera wajahnya
muram kembali, apa lagi karena dia teringat betapa keadaannya jauh dibandingkan dengan Ceng Ceng
yang berbahagia dengan suaminya, sedangkan dia, sampai sekarang pun belum juga dapat mengetahui di
mana adanya Syanti Dewi.
“Bagaimana engkau sampai tiba di sini?” tanya Ceng Ceng.
“Aku memang perantau yang bisa berada di mana saja. Akan tetapi kalian? Mau apa di sini?” Tek Hoat
balas bertanya karena dia tidak suka menceritakan keadaan dirinya.
“Ahh, engkau tidak tahu, Tek Hoat. Malapetaka besar menimpa keluarga kami,” kata Ceng Ceng dan dia
lalu bercerita tentang keluarga Kao dan juga puteranya yang diculik orang dan ditawan di dalam benteng
itu.
Kok Cu tidak sempat mencegah isterinya bercerita, apa lagi dia merasa kurang enak karena dia maklum
bahwa isterinya sangat suka kepada saudara tirinya itu. Dia melihat betapa Ang Tek Hoat mendengarkan
dengan penuh perhatian dan kadang-kadang mengeluarkan seruan kaget mendengar betapa orang-orang
pandai seperti Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, bahkan Im-kan Ngo-ok yang terkenal itu semua
berkumpul di dalam benteng! Bukan tidak mungkin Syanti Dewi berada di situ pula sebagai tawanan,
pikirnya. Dia tidak dapat memikirkan hal lain kecuali Syanti Dewi.
Setelah Ceng Ceng selesai bercerita, Tek Hoat menegur, “Kalau begitu, kenapa kalian tidak segera masuk
dan menolong mereka yang tertawan?”
“Ah, kami sudah masuk, akan tetapi kami melihat betapa keluarga kami terancam, maka kami hendak
menanti saat baik untuk menolong mereka,” jawab Ceng Ceng, akan tetapi jawaban ini seolah-olah tidak
didengar oleh Tek Hoat. Dia lalu bangkit berdiri, dan berkata kepada suami isteri itu.
“Aku pergi dulu...!”
“Engkau hendak ke mana?” Kok Cu menegur.
“Aku akan mencoba masuk ke dalam benteng itu!”
“Tek Hoat, jangan...!” Ceng Ceng berkata. “Keadaannya amat berbahaya, engkau akan celaka di sana
sebelum berhasil...“
“Aku tidak takut!” jawab Tek Hoat dengan sikapnya yang keras kepala.
Ceng Ceng merasa terharu sekali. Dia mengira bahwa Tek Hoat kini telah berubah menjadi seorang yang
berwatak pendekar gagah, yang merasa penasaran mendengar tentang ditawannya Cin Liong dan
keluarga Kao lainnya, dan bermaksud untuk nekat memasuki benteng dan menolong keluarga yang
tertawan itu.
“Tek Hoat, tidak perlu kau mengorbankan nyawa dengan sia-sia. Keluarga kami terlalu banyak untuk dapat
kau selamatkan seorang diri saja. Sebaiknya tunggu kesempatan dan kelak bergerak bersama kami.”
Sebetulnya, niat dari Tek Hoat itu amat cocok dengan niat di hati Ceng Ceng yang juga sudah tidak sabar
lagi menanti kesempatan, dan ingin dia mengajak suaminya untuk bersama dengan Tek Hoat malam itu
juga menyerbu benteng. Akan tetapi ucapan Tek Hoat sungguh tidak diduganya sama sekali.
“Aku harus mencari Syanti Dewi, sekarang juga!” Setelah berkata demikian, sekali berkelebat Tek Hoat
sudah lenyap dari situ.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ceng Ceng termangu-mangu, kemudian mengepal tinjunya dan merasa mendongkol sekali. “Ahhh, kiranya
dia hendak mencari Enci Syanti Dewi? Hemmm, tidak sempat kutanya dia mengapa dia meninggalkan Enci
Syanti Dewi di Bhutan dan sekarang pura pura ribut mencarinya, hemmm...,“ Ceng Ceng marah dan
mendongkol karena kecewa. Tadinya dia kira Tek Hoat mau membela keluarga suaminya, tidak tahunya
pemuda itu sama sekali tidak memikirkan tentang keluarga Kao, dan keinginannya memasuki benteng itu
tidak lain hanya untuk mencari Syanti Dewi.
Kok Cu maklum akan kejengkelan hati isterinya, dia merangkul isterinya dan berkata, “Kasihan dia. Dia
menderita tekanan batin yang hebat sekali, hal itu dapat kulihat dari wajahnya.”
“Hemmm, mungkin dia kembali menjadi jahat lagi...,“ kata Ceng Ceng, membayangkan kembali cerita
tentang ayah kandungnya, seorang manusia yang amat jahat!
Dia merasa beruntung bahwa dia menjadi isteri seorang bijaksana seperti Kok Cu, karena kalau dia
teringat akan pengalamannya dahulu, setelah menjadi murid Ban-tok Mo-li, mungkin saja dia pun menjadi
seorang tersesat yang jahat, seperti mendiang ayah kandungnya. Dan mendadak dia bergidik, lalu
menyembunyikan mukanya dalam rangkulan lengan kanan suaminya…..
********************
Malam telah larut, lewat tengah malam. Bulan purnama telah condong ke barat dan malam itu dingin serta
sunyi sekali. Akan tetapi, sesosok bayangan berkelebatan seperti setan di bawah tembok benteng.
Bayangan orang itu bukan lain adalah Tek Hoat yang telah meninggalkan Ceng Ceng dan suaminya. Ceng
Ceng tidak melihat Syanti Dewi di dalam benteng, akan tetapi siapa tahu? Dan seandainya dia tidak
menemukan Syanti Dewi di situ, tidak pula bisa memperoleh kabar tentang puteri itu, setidaknya dia akan
dapat menuntut agar putera Ceng Ceng dibebaskan.
Dia tidak perlu banyak berjanji kepada suami isteri itu, akan tetapi kalau di sana tidak ada Syanti Dewi, dia
tentu akan membebaskan putera Ceng Ceng! Saudara tirinya itu kelihatan demikian gelisah, dan diamdiam
dia merasa amat kasihan kepada Ceng Ceng. Dia tidak takut biar pun di sana ada Hek-tiauw Lo-mo,
Hek-hwa Lo-kwi dan yang disebut Im-kan Ngo-ok yang tidak dikenalnya itu. Biar semua iblis dan setan
berkumpul di sana, dia tidak takut!
Ketika dia mulai mendekati tembok benteng, Tek Hoat yang berpenglihatan tajam itu mengerti bahwa ada
bayangan yang mengikutinya. Orang yang membayanginya itu juga amat cepat gerakannya. Mula-mula dia
menduga bahwa bayangan itu tentulah Ceng Ceng atau Kok Cu, akan tetapi setelah dia melihat
sekelebatan, dia tahu bahwa bayangan itu bukan Ceng Ceng, karena orang itu tinggi besar tidak seperti
bentuk tubuh Ceng Ceng dan lengannya lengkap tidak seperti lengan Kok Cu.
Namun karena bayangan itu hanya mengikutinya, maka dia pun tak mempedulikan dan melanjutkan
gerakannya meloncat naik ke atas tembok benteng seperti seekor burung garuda terbang saja.
Loncatannya tidak mungkin dapat mencapai di atas tembok yang demikian tingginya, akan tetapi seperti
seekor cecak terbang, dia hinggap di tembok dan menggunakan kaki tangannya menempel tembok,
kemudian terus merangkak ke atas menggunakan sinkang-nya yang membuat telapak tangannya
menyedot dan menempel dinding, menahan tubuhnya. Dengan cepat dia merayap seperti seekor cecak
dan akhirnya dia dapat mencapai pinggiran tembok dan meloncat naik ke atas tembok benteng yang tinggi
itu.
Akan tetapi baru saja dia berdiri, kakinya telah menginjak alat jebakan dan dari bawah menyambar belasan
batang anak panah ke arah tubuhnya! Namun, Tek Hoat telah siap waspada dan begitu mendengar bunyi
berdesir dari bawah, dia telah meloncat ke atas dan mengelak, lalu turun lagi di atas dinding tembok di
depan. Kiranya semenjak benteng itu kebobolan, Im-kan Ngo-ok telah memasang jebakan-jebakan di atas
tembok benteng dan satu di antara alat jebakan itu tadi terinjak oleh Tek Hoat.
Tek Hoat terus berloncatan di atas tembok benteng yang berlapis-lapis itu, dari tembok pertama ke atas
tembok kedua. Dia melihat bayangan di belakangnya masih tetap mengikutinya, akan tetapi dia tidak peduli
dan terus meloncat ke tembok sebelah dalam. Tiba-tiba dia terkejut sekali ketika tembok yang diinjaknya
bergoyang dan melesak ke bawah! Karena secara tiba-tiba tubuhnya terjeblos ke bawah, tentu saja dia
tidak dapat meloncat lagi ke atas dan ketika dia memandang ke bawah, ternyata di bawahnya telah
menanti ujung-ujung tombak yang meruncing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dari atas, ujung-ujung tombak itu kelihatan menyeramkan dan orang yang terjatuh ke tempat itu tentu akan
tembus-tembus tubuhnya oleh puluhan batang tombak itu. Untuk meloncat ke lain tempat sudah tidak
mungkin lagi, maka mau tidak mau Tek Hoat harus terus meluncur ke bawah! Dia cepat mengerahkan
ginkang-nya dan ketika ujung-ujung tombak itu telah dekat sekali, dia menggunakan ujung kakinya menotol
ujung tombak dan mengenjot ke atas untuk mematahkan tenaga luncuran tubuhnya, kemudian dia turun
lagi dan hinggap dengan kedua kakinya ke atas ujung dua batang tombak.
Akan tetapi tombak itu terpasang kuat sekali, terpaksa dia mengerahkan tenaganya dan mematahkan
tenaga luncuran tubuhnya, kemudian dia turun lagi dan hinggap dengan kedua kakinya ke atas ujung dua
batang tombak seperti seekor burung saja! Dengan berjongkok tangannya mencabut sebatang tombak.
Akan tetapi tombak itu terpasang kuat sekali, terpaksa dia mengerahkan tenaganya dan mematahkan
gagang tombak itu, lalu dia mengenjot tubuhnya meloncat ke atas. Ketika dia tidak mencapai atas tembok,
dia menggunakan tombak patahan tadi untuk menyodok dinding dan dengan tenaga sodokan ini dia dapat
berpoksai lagi ke atas. sehingga akhirnya dapat juga dia hinggap di atas tembok kembali.
“Bagus sekali...!” Pujian ini terdengar dari bayangan yang masih mengikutinya dari jauh. Akan tetapi Tek
Hoat tidak peduli lagi dan melanjutkan penyelidikannya, meloncat terus ke tembok sebelah dalam lagi.
Sekarang Tek Hoat telah tiba di lapisan tembok benteng yang paling dalam. Tiba-tiba terdengar suara
berdering-dering ketika kakinya menyangkut tali rahasia dan Tek Hoat melihat pasukan berbondongbondong
datang ke sebelah dalam tembok. Bahkan ada pasukan dua puluh orang lebih yang
menghujankan anak panah ke arah dia berdiri di atas tembok. Akan tetapi, Tek Hoat sama sekali tidak
menjadi gentar, dia malah terus meloncat ke dalam sambil memutar tombak yang dicabutnya dari tempat
jebakan tadi dan semua anak panah dapat ditangkisnya dan runtuh ke bawah. Dengan ringan kakinya
menginjak tanah di tengah-tengah lapangan di sebelah dalam benteng itu dan sebentar saja dia sudah
terkurung oleh pasukan penjaga yang banyak sekali. Akan tetapi, pemuda ini berdiri tenang dan sepasang
matanya bersinar-sinar menyeramkan.
Tidak ada anggota pasukan yang berani menyerang karena selain tidak ada perintah dari atasan, juga
mereka maklum bahwa yang datang ini adalah seorang pemuda yang lihai sekali, seperti Si Naga Sakti
dan isterinya yang juga datang ke benteng ini beberapa hari yang lalu. Menghadapi orang-orang sakti
seperti ini bukanlah tugas mereka dan memang benar saja, tak lama kemudian terdengar aba-aba dari
komandan mereka untuk membuka jalan dan nampaklah Koksu Nepal dan para pembantunya
menghampiri tempat itu dan berhadapan dengan Tek Hoat yang memandang kepada rombongan ini
dengan sikap tenang dan sinar mata tajam penuh selidik.
“Ha-ha-ha, dia adalah Si Jari Maut! Semenjak tadi aku sudah mengenalinya!” Tiba-tiba terdengar suara dan
muncullah Hek-hwa Lo-kwi. Juga Hek-tiauw Lo-mo yang turut datang bersama Koksu Nepal segera
mengenal pemuda itu.
“Ang Tek Hoat si Jari Maut, mau apa kau berkeliaran ke sini?” bentaknya.
Tek Hoat memandang kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, lalu terdengar dia berkata dengan
sikap angkuh dan tenang, “Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, apakah kalian menjadi pimpinan di sini
ataukah hanya sebagai pembantu-pembantu belaka? Kalau begitu, siapakah pemimpinnya? Aku mau
berbicara dengan pemimpin benteng ini.”
Begitu mendengar julukan Si Jari Maut, biar pun dia belum pernah mendengar julukan yang memang
belum lama terkenal di dunia kang-ouw ini, namun koksu sudah merasa kagum. Orang yang mendapat
pujian dari dua orang kakek iblis itu tentulah bukan orang biasa, dan pemuda ini masih begini muda, dan
cekatan pula, buktinya dapat melalui jebakan-jebakan dengan begitu mudah. Maka dia lalu melangkah
maju dan tersenyum lebar.
“Kami, koksu dari Nepal, adalah yang mewakili Pangeran Bharuhendra memimpin benteng ini. Ang-sicu
sudah memerlukan malam-malam datang ke tempat ini, ada keperluan apakah?” tanyanya dengan sikap
ramah.
Sinar bulan tenggelam, akan tetapi sebagai gantinya, banyak obor dinyalakan untuk membantu
penerangan lampu yang banyak tergantung di tempat itu sehingga Tek Hoat dapat mengamati wajah
banyak orang itu. Kini dia berhadapan dengan Ban Hwa Sengjin dan setelah sejenak memandang wajah
kakek ini dengan penuh selidik, dia lalu berkata dengan lantang, “Kiranya yang memimpin adalah koksu
dari Nepal! Sungguh hebat benteng ini, dan kulihat banyak orang-orang pandai membantu di sini. Koksu,
dunia-kangouw.blogspot.com
aku sama sekali tidak mau mencampuri urusan pemberontakan. Aku datang untuk urusan pribadi, yaitu
aku mencari Puteri Bhutan...”
“Ahhh, Puteri Syanti Dewi?” Koksu Nepal itu memotong sambil tersenyum lebar.
“Benar!” Jantung Tek Hoat berdebar keras. “Bukankah dia berada di sini? Aku datang untuk mencari dia!”
“Ah, tentu saja sang puteri berada di sini, Ang-sicu. Beliau berada di sini sebagai tamu agung!”
Tek Hoat mengerutkan alisnya. “Hemmm, siapakah yang tidak tahu bahwa Nepal selamanya tidak pernah
bersahabat dengan Bhutan?”
Mendengar ini, Koksu Nepal terkejut dan tiba-tiba Gitananda berbisik dalam bahasa Nepal kepada koksu
itu. Wajah koksu itu menjadi berseri. “Aha, kiranya engkau adalah panglima muda yang amat terkenal di
Bhutan, yang pernah akan menjadi mantu Raja Bhutan itu? Ah, sungguh kebetulan sekali! Agaknya engkau
telah meninggalkan Bhutan dan tidak tahu bahwa antara Bhutan dan Nepal telah terjadi persahabatan.
Buktinya, Puteri Syanti Dewi kini menjadi tamu kami, diantar oleh panglimanya.” Dia lalu bicara kepada
Gitananda untuk memanggil Mohinta.
Tek Hoat terkejut melihat munculnya panglima muda Bhutan itu di situ. Sebaliknya, ketika melihat Tek
Hoat, Mohinta menjadi marah sekali dan bersama para pengikutnya, dia sudah melolos senjata dan
hendak menyerang. Akan tetapi koksu mengangkat tangannya dan memberi isyarat kepada Mohinta untuk
mundur.
“Ang-sicu, kau lihat sendiri, Panglima Mohinta dari Bhutan sendirilah yang mengawal Sang Puteri Syanti
Dewi dan menjadi tamuku. Kita semua adalah merupakan satu keluarga, mengingat bahwa Sicu juga
sudah berjasa untuk Bhutan. Nah, sekarang katakanlah, apa maksud kedatanganmu? Sebagai kawan
ataukah sebagai lawan?”
Semua orang terkejut dan merasa heran mendengar ucapan koksu yang mengaku bahwa Puteri Bhutan itu
berada di situ sebagai tamu. Padahal, bukankah puteri itu telah terculik orang dan sampai kini belum
diketahui di mana adanya? Akan tetapi tidak ada orang yang tahu akan kelicikan koksu ini. Dia memang
sengaja mengatakan bahwa Syanti Dewi masih berada di situ, karena dia mempunyai rencana yang
dianggapnya baik sekali untuk dapat menahan pemuda yang lihai ini agar dapat membantunya.
“Terserah kepada koksu akan menganggap aku sebagai kawan atau lawan. Maksud kedatanganku sudah
jelas, yaitu aku ingin melihat Puteri Syanti Dewi dalam keadaan selamat.”
“Ha-ha-ha, permintaan yang amat mudah, Ang-sicu. Tentu engkau bisa maklum bahwa keselamatan sang
puteri sepenuhnya berada di tangan kami. Kalau Sicu mau membantu kami, sudah pasti sang puteri akan
selamat...“
“Sudah kukatakan bahwa aku tidak hendak mencampuri urusan pemberontakanmu!” Tek Hoat memotong
cepat.
“Baiklah, setidaknya asal engkau suka berjanji bahwa engkau tidak akan membantu pihak musuh kami dan
bahwa engkau suka melindungi Puteri Syanti Dewi di sini.”
“Tentu saja aku akan suka melindunginya dari siapa pun juga!” jawab Tek Hoat. “Akan tetapi biarkan aku
lebih dulu bertemu dengan dia.”
“Ang-sicu, hendaknya Sicu maklum bahwa setelah Sicu berada di dalam benteng, maka kamilah yang
menentukan segala sesuatu, karena betapa pun lihainya Sicu, seorang diri saja tidak berdaya terhadap
kami. Sicu baru saja datang, tentu tidak baik kalau bertemu dengan sang puteri. Akan tetapi tunggulah satu
dua hari, kalau memang Sicu benar-benar mau tinggal di sini melindunginya dan memperlihatkan iktikad
baik bahwa Sicu bukan mata-mata musuh kami, barulah Sicu akan dapat bertemu dengan Puteri Syanti
Dewi.”
Tek Hoat memandang ke sekeliling. Dia melihat bahwa selain Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, juga
terdapat banyak orang yang kelihatan berilmu tinggi. Semua tokoh ini sudah berbahaya, apa lagi ditambah
dengan banyak pasukan dan keadaan benteng yang kokoh kuat, memang kalau dia menggunakan
kekerasan hal itu adalah bodoh sekali. Apa lagi setelah ada kepastian bahwa Syanti Dewi berada di situ
dunia-kangouw.blogspot.com
dan dalam keadaan selamat, apa lagi yang dikehendakinya? Dia harus bersabar sampai dia benar-benar
bertemu dengan Syanti Dewi. Setelah bertemu barulah dia akan mencari akal bagaimana untuk dapat
membawa keluar puteri itu dari benteng ini. Kalau hal ini tidak mungkin, setidaknya dia berdekatan dengan
wanita yang dicintanya itu dan dapat melindunginya dari gangguan siapa pun juga dengan taruhan
nyawanya.
“Baiklah, asal benar-benar dia berada di sini, aku akan melindunginya di sini dan tidak akan mencampuri
urusan kalian dengan musuh-musuh kalian,” katanya.
Tek Hoat lalu diberi sebuah kamar dan diam-diam gerak-geriknya selalu diikuti. Pemuda ini pun tidak
memperlihatkan sikap mencurigakan karena dia hanya menanti sampai dia dapat dipertemukan dengan
kekasihnya. Satu dua hari, kata koksu. Baik, dia akan bersikap baik selama dua hari sampai dia benarbenar
melihat sang puteri dalam keadaan selamat.
Sementara itu, kalau semua orang merasa heran, koksu dengan tenang lalu memanggil pembantunya
yang amat ahli dalam hal itu, yaitu Ang-siocia dan gurunya, yaitu Hek-sin Touw-ong. Adanya dua orang
yang pandai melakukan penyamaran inilah yang membuat koksu tanpa ragu-ragu mengatakan kepada Tek
Hoat bahwa Syanti Dewi memang berada di situ sebagai tamu!
“Pemuda selihai itu sebaiknya kalau berpihak kepada kita,” kata koksu kepada para pembantunya setelah
Ang-siocia hadir bersama gurunya, “atau setidaknya, dalam menghadapi masa gawat ini, sebaiknya kalau
dia di sini dan tidak membantu musuh. Karena itulah aku menggunakan dalih adanya Puteri Syanti Dewi
untuk menahan dia di sini, dan untuk melaksanakan akal ini, aku mengharapkan bantuan Ang-siocia, dan
tentu saja Hek-sin Touw-ong.”
Dara itu saling pandang dengan gurunya. Semenjak berada di dalam benteng, mereka itu tidak pernah
melihat kesempatan untuk melarikan diri karena biar pun mereka itu dianggap pembantu-pembantu, akan
tetapi seperti juga Jenderal Kao, mereka adalah pembantu-pembantu yang dicurigai sehingga selalu
terjaga dan tidak pernah dibolehkan keluar dari benteng.
“Memang hal itu mudah dilakukan karena kami melihat di sini banyak wanita Nepal yang potongan
wajahnya agak mirip dengan sang puteri sehingga mudahlah untuk meriasnya sampai tidak akan ada
bedanya dengan wajah sang puteri sendiri,” kata Touw-ong.
“Menghias mukanya memang mudah sekali, juga pakaian dan gerak-geriknya, akan tetapi meniru suaranya
harus dilakukan oleh seorang yang mengenal betul cara sang puteri bicara,” kata Ang-siocia. “Kalau benar
Ang Tek Hoat itu dahulu adalah tunangan sang puteri, tentu dia akan dapat mengenal cara wanita itu
bicara.”
“Bagus!” kata Ban Hwa Sengjin berseru girang. “Soal cara bicara dan lagaknya, di sini terdapat Mohinta
yang akan mampu melatihnya karena dia tentu hafal akan kebiasaan sang puteri bicara dan bersikap.”
Mohinta mengangguk-angguk, sungguh pun di dalam hatinya dia tidak setuju kalau Tek Hoat diterima
sebagai sekutu di tempat itu. Menurut keinginannya, pemuda itu sebaiknya dibunuh saja! Akan tetapi, tentu
saja dia tidak berani membantah kehendak Koksu Nepal yang bertindak demi kepentingan benteng.
Mudah saja bagi Ang-siocia dan gurunya untuk menyulap seorang dayang Nepal yang menjadi pelayan
Pangeran Bharuhendra, menjadi Puteri Syanti Dewi. Biar pun baru satu kali guru dan murid ini melihat
Syanti Dewi, namun ingatan mereka kuat sekali, dan pula di situ terdapat Mohinta dan para bekas dayang
yang melayani sang puteri sehingga mereka ini dapat memberi petunjuk.
Dalam waktu satu dua jam saja berubahlah seorang dayang menjadi Puteri Syanti Dewi dari Bhutan! Dari
rambut sampai ke kakinya, persis sekali! Kini tinggal melatih dayang itu untuk bersikap dan bicara seperti
Syanti Dewi dan hal inilah yang lebih sukar sehingga membutuhkan waktu dua hari di bawah pimpinan
Mohinta, baru dayang itu dapat meniru dan agak mirip dengan gerak-gerik dan cara bicara Puteri Bhutan
itu. Oleh karena itu, Koksu Nepal memesan kepada dayang itu untuk bicara seperlunya saja dan wanita ini
sudah dilatih sampai hafal betul apa yang harus diucapkannya kalau dia sebagai Puteri Syanti Dewi
bertemu dengan Ang Tek Hoat!
Demikianlah, setelah dua hari lamanya menanti di situ, akhirnya Ang Tek Hoat ditemui oleh koksu dan
kakek ini tertawa lebar. “Ha-ha-ha, girang hati kami melihat bahwa engkau ternyata tidak memperlihatkan
sikap yang buruk, Sicu. Maka, sekarang kami memenuhi janji untuk mempertemukan engkau dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
Puteri Bhutan. Tentu saja hanya terbatas, pokoknya Sicu dapat membuktikan bahwa dia selamat di sini
dan dapat bicara sepatah dua patah kata.”
Tek Hoat tidak lagi memperhatikan syarat itu karena hatinya sudah berdebar penuh ketegangan dan juga
kegirangan. Sejak dia meninggalkan Bhutan, hatinya menderita hebat oleh rasa rindunya kepada Syanti
Dewi dan dia sudah merasa putus asa karena tidak mungkin dia akan dapat bertemu lagi dengan
kekasihnya itu. Maka ketika dia mendengar bahwa Syanti Dewi meninggalkan Bhutan dan berada di timur,
dia mencari cari sampai akhirnya sekarang tiba saatnya dia akan bertemu muka, berhadapan dan bicara
dengan kekasihnya itu! Jantungnya berdebar-debar dan dia hanya dapat mengangguk kepada Ban Hwa
Sengjin dengan perasaan berterima kasih.
Mereka menuju ke satu bagian di dalam benteng itu dan dari dalam sebuah pintu di pondok besar,
muncullah Syanti Dewi dengan gerak-geriknya yang lemah lembut dan harus diiringkan oleh beberapa
orang dayang. Ketika Syanti Dewi melihat Tek Hoat, dia mengeluarkan seruan tertahan dan berhenti
melangkah, lalu memandang dengan mata terbelalak kemudian menundukkan mukanya, lalu jari-jari
tangannya mempermainkan ujung bajunya. Kebiasaan sang puteri kalau sedang merasa tegang,
kebiasaan yang amat dikenal oleh Tek Hoat!
“Dewi...!” Tek Hoat berseru lirih dan melangkah maju, lehernya seperti dicekik rasanya karena terharu dan
juga girang. Ternyata kekasihnya itu benar-benar dalam keadaan selamat dan hal ini amat menggirangkan
hatinya! “Terima kasih kepada Thian bahwa engkau masih dalam keadaan sehat dan selamat!” Hanya
demikianlah Tek Hoat dapat berseru dengan girang sekali.
“Ang Tek Hoat,” terdengar sang puteri berkata dengan suara agak gemetar, tanpa mengangkat mukanya.
“Mau apakah engkau minta bertemu dengan aku...?” Dalam suara itu terkandung kedukaan dan
kemarahan.
Tek Hoat mengerutkan alisnya. Biasanya, Puteri Syanti Dewi menyebutnya koko atau kanda, kini menyebut
namanya begitu saja. Dia dapat mengerti bahwa tentu sang puteri ini marah kepadanya, dan dia dapat
mengerti mengapa puteri ini marah kepadanya.
“Dinda Syanti Dewi, engkau tahu... betapa berat hatiku berpisah... dan betapa kaget hatiku mendengar
engkau berada di sini, meninggalkan Bhutan. Aku hanya ingin melihat engkau selamat dan bahagia...“ Tek
Hoat mengeluarkan isi hatinya tanpa malu dan sungkan lagi sungguh pun di situ terdapat empat orang
dayang dan juga terdapat Ban Hwa Sengjin. Bahkan dia melihat bayangan beberapa orang berkelebatan
tak jauh dari situ. Dan memang diam-diam empat orang Im-kan Ngo-ok lainnya bersiap-siap tidak jauh dari
tempat itu, menjaga kalau-kalau Tek Hoat melihat penyamaran itu.
Puteri palsu itu sengaja menyebut Tek Hoat dengan namanya saja karena hal ini sudah diperhitungkan
baik-balk oleh Mohinta yang mengatur percakapan itu! Maka berkatalah puteri itu sesuai dengan
hafalannya, “Ang Tek Hoat, engkau telah pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di hati
ayahku, oleh karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara kita. Akan tetapi kalau engkau
memperlihatkan bantuan untuk menghadapi musuh dari Pangeran Nepal, baru aku mau mengenalmu lagi.
Nah, sampai jumpa pula... dan semoga kau berhasil!” Setelah berkata demikian, puteri palsu itu
membalikkan tubuhnya dan diiringkan oleh para dayang dia masuk, kembali ke dalam pondok.
“Syanti...! Syanti Dewi...!” Tek Hoat berseru akan tetapi sesuai dengan petunjuk yang telah diterimanya,
puteri itu tidak mau berhenti atau menoleh. Daun pintu ditutupkan oleh para dayang dan ketika Tek Hoat
melangkah ke depan, Ban Hwa Sengjin sudah mendekatinya dan menegurnya.
“Sicu, pondok ini khusus untuk sang puteri, tidak ada pria yang boleh masuk. Marilah kita bicara. Saya kira
sang puteri sudah cukup jelas bicara.”
Seperti orang yang kehilangan semangat Tek Hoat mengikuti Koksu Nepal dan dengan ucapan Syanti
Dewi masih terngiang di telinganya, apa lagi kata-kata terakhir “semoga kau berhasil!” berkesan di dalam
hatinya. Dia mendengarkan bujukan-bujukan Koksu Nepal dan akhirnya dia menyetujui untuk melindungi
sang puteri di dalam benteng itu dan akan membantu menghalau musuh yang membahayakan
keselamatan Syanti Dewi sedapat mungkin!
Selagi koksu membujuk Tek Hoat, tiba-tiba terdengar suara hiruk-pikuk dan datanglah penjaga melapor
bahwa pasukan Gubernur Ho-nan datang berlari-larian, nampaknya ketakutan dan mengalami kekalahan!
Mendengar ini, Ban Hwa Sengjin cepat pergi melapor kepada Pangeran Bharuhendra yang cepat keluar
dunia-kangouw.blogspot.com
dan pintu gerbang dibuka lebar untuk menyambut datangnya sang gubernur bersama pasukannya yang
melarikan diri dari Lok-yang itu.
Dengan muka pucat dan napas terengah-engah Gubernur Kui Cu Kam menceritakan betapa pasukan
besar yang dipimpin oleh Puteri Milana telah menggempur Lok-yang dan telah menduduki semua kota, dan
tentu akan segera menyerbu ke lembah.
Dalam pertemuan ini, dengan singkat Tek Hoat diperkenalkan kepada sang pangeran oleh Koksu Nepal.
Pangeran Liong Bian Cu sudah mendengar laporan lengkap tentang Tek Hoat, maka ia pun menyatakan
kegirangannya jika pemuda itu suka membantunya. Kemudian, pangeran memerintahkan supaya semua
pembantunya dikumpulkan dan diadakanlah persidangan kilat untuk mengatur rencana dan siasat
menghadapi musuh yang sudah mengancam.
Kepada Jenderal Kao Liang yang juga diharuskan hadir, sang pangeran berkata, “Sekarang tiba saatnya
engkau memperlihatkan kepandaianmu dan memenuhi janjimu, Jenderal Kao!”
Jenderal yang tua itu dengan wajah muram mengangguk. “Saya akan memperlihatkan bahwa janji saya
akan tetap saya penuhi, dan tidak akan ada pasukan mana pun yang mampu membobol benteng ini!”
Jenderal Kao Liang lalu berpamit mundur untuk mulai mengatur penjagaan dan membagi-bagi tugas
kepada para komandan bawahannya.
Pangeran Liong Bian Cu lalu mengajak Gubernur Kui Cu Kam untuk bicara di dalam, sedangkan
persidangan itu dilanjutkan oleh Koksu Nepal yang membagi-bagi tugas kepada para tokoh pembantunya
untuk memperkuat kedudukan benteng di sebelah dalam, karena kedudukan di sebelah luar seluruhnya
menjadi tanggung jawab Jenderal Kao Liang.
Sibuklah semua orang yang menanti dengan jantung berdebar tegang karena para pasukan gubernur yang
melarikan diri ke benteng itu bercerita betapa kuatnya pasukan kota raja yang dipimpin oleh Puteri Milana
yang memang terkenal pandai sekali dalam hal memimpin pasukan itu. Puteri Milana ini memang
mengingatkan kaum tua kepada Puteri Nirahai, ibunya, yang dahulu juga merupakan seorang panglima
besar yang amat pandai. Tek Hoat juga memperoleh bagian dalam pembagian kerja itu, yaitu dia harus
melindungi bagian bangunan di mana juga tinggal Puteri Syanti Dewi. Tentu saja pemuda ini menerima
tugas itu dengan girang dan dia pun bersungguh-sungguh, karena dia akan melindungi sang puteri dengan
taruhan nyawanya.
Pada keesokan harinya, muncullah pasukan kerajaan yang telah dinanti-nanti dengan hati penuh
ketegangan oleh semua orang di benteng itu! Pasukan yang besar dan berbaris rapi, dipimpin oleh Puteri
Milana. Dari atas menara di tembok benteng sudah nampak debu mengepul tinggi ketika pasukan itu
datang dari jauh, kemudian makin lama nampaklah barisan itu seperti serombongan semut yang bergerak
dengan teratur. Jantung mereka yang memandang dari atas menara berdebar tegang karena gerakan
pasukan besar itu memang amat menyeramkan.
Di atas tebing bukit yang tinggi dari mana orang dapat melihat tembok benteng di kejauhan, Puteri Milana
memberi isyarat kepada pasukannya untuk berhenti. Pembawa bendera menggerak-gerakkan bendera
sebagai isyarat dan barisan itu pun berhenti.
Puteri Milana menunggang seekor kuda besar berbulu hitam, diiringkan oleh beberapa orang panglima dari
kota raja. Gagah dan cantik sekali puteri ini, seorang wanita berusia empat puluh tahun namun kelihatan
masih muda, dengan wajah yang cantik dan matang, kelihatan angker dan mendatangkan rasa hormat
ketika dia duduk dengan tenang di atas kuda yang besar itu, memegang kendali dengan tangan kiri.
Pakaiannya tertutup oleh baju perang bersisik baja berwarna kuning emas, sehelai mantel merah menutupi
pundak dan punggungnya. Rambutnya disanggul ke atas dan ekor rambut berjuntai ke belakang diikat
dengan pita kuning. Sebatang pedang dengan sarung pedang terukir indah tanda bahwa pedang itu adalah
pedang kebesaran dari kota raja, dari istana, tergantung dipinggang kirinya. Hati setiap orang prajurit tentu
akan penuh semangat kalau memandang kepada pemimpinnya seperti itu!
Milana membagi-bagi barisannya dalam pasukan-pasukan yang diberi nama Pasukan Serigala, Pasukan
Harimau, Pasukan Naga, dan lain nama binatang yang perkasa pula. Para komandan masing-masing
pasukan memakai lukisan binatang yang menjadi tanda pasukannya, demikian pun setiap pasukan
membawa bendera lambang pasukan berupa gambar binatang itu. Hal ini untuk memudahkan mereka
dunia-kangouw.blogspot.com
saling mengenal dan sifat setiap pasukan disesuaikan pula dengan lambang binatang yang menjadi nama
mereka.
Setelah semua pasukan berhenti, Milana mengamati keadaan benteng yang nampak dari jauh dan
kelihatan sunyi itu. Dia sudah mempelajari keadaan tempat di sekitar benteng itu dari gambar yang dibuat
oleh para penyelidik, maka kini dia memandang untuk mempelajari keadaan itu sesuai dengan gambar
yang pernah dipelajarinya. Memang sebuah benteng yang amat kuat, pikirnya. Dan hatinya terasa perih
kalau dia teringat bahwa benteng itu dibuat atas petunjuk Jenderal Kao Liang! Keadaan benteng yang
angker, sunyi dan kelihatan kokoh kuat itu benar-benar menggiriskan hati, berbeda dengan bentengbenteng
lain di mana kelihatan anggota pasukan penjaga hilir-mudik dan kelihatan sibuk. Tidak, benteng ini
seperti kosong saja, bahkan dari luar tak nampak seorang pun penjaga.
Milana masih duduk di atas pelana kudanya dan memandang ke arah benteng dengan alis berkerut dan
sinar mata melamun. Dari sebelah kanannya datang seorang Panglima Pasukan Serigala yang melapor
dengan suara tegas, “Laporan, Panglima! Para penyelidik melaporkan bahwa benteng itu tak dapat
diserang dari belakang karena membelakangi tebing sungai yang penuh rawa-rawa liar dan berbahaya.
Kanan dan kirinya tertutup jurang yang dalam. Laporan selesai!”
Milana mengangguk-angguk. “Hemmm, jadi cocok dengan keterangan dalam gambar. Kalau begitu,
siapkan pasukan, jalan satu-satunya hanyalah menyerang dari depan untuk mencoba sampai di mana
ketangguhan lawan. Akan tetapi, kalau ternyata pihak lawan kuat sekali, jangan memaksakan diri, tunggu
tanda untuk mundur agar jangan sampai kehilangan banyak anak buah menjadi korban!”
Komandan itu lalu mundur dan Milana memberi perintah kepada pemegang bendera isyarat untuk
menyampaikan perintahnya. Pemegang bendera itu berdiri di atas batu besar dan menggerakkan
benderanya dengan gerakan-gerakan tertentu agar terbaca oleh semua komandan. Perintah dari Panglima
Puteri Milana adalah agar Pasukan Serigala maju menyerang pintu gerbang depan benteng itu sedangkan
pasukan pasukan lain hanya bersiap di kanan kiri sesuai dengan kedudukan mereka tanpa ikut menyerang,
hanya melindungi kalau-kalau Pasukan Serigala terdesak agar membantu mereka mundur dengan
selamat.
Pasukan Serigala yang terdiri dari sepuluh ribu orang itu lalu dikerahkan dan mulailah pasukan ini
menyerang dan menyerbu benteng dari pintu gerbang depan. Setelah jarak mereka mulai dekat dan sejauh
sasaran anak panah, tiba-tiba dari atas tembok benteng itu berhamburan datang anak panah dan batu-batu
bagaikan hujan menyambut mereka! Hal seperti ini tidak mengejutkan pasukan yang sudah
berpengalaman itu dan memang sudah mereka duga lebih dulu. Maka mereka pun cepat mengangkat
perisai masing masing untuk melindungi diri dan mereka terus menyerbu sambil bersorak-sorak, dan
pasukan-pasukan bagian panah lalu membalas dengan melepaskan anak panah mereka ke tembok
benteng, tubuh mereka dilindungi oleh teman yang mengangkat perisai besar. Hiruk-pikuk bunyi anak
panah dan batu menimpa perisai-perisai itu.
Puteri Milana menyaksikan penyerbuan Pasukan Serigala itu dengan seksama sambil memandang ke arah
atas tembok benteng. Dari menara tembok itu dia melihat bendera merah dikibarkan dan tiba-tiba anak
panah dan batu yang meluncur bagaikan hujan dari atas tembok itu berhenti. Pasukan Serigala masih
menyerbu terus, kini sudah mulai menaiki lereng menuju ke pintu gerbang.
“Perintahkan mereka mundur!” Tiba-tiba Milana berseru dan pemegang bendera lalu memberi isyarat,
disusul bunyi tambur sebagai perintah kepada pasukan itu.
Namun terlambat, karena tiba-tiba saja pintu gerbang terbuka dan dari dalam pintu gerbang itu keluar batubatu
besar bergulingan ke bawah lereng, juga dari atas tembok dilempar-lemparkan batu-batu sebesar
kepala orang ke bawah sehingga batu-batu ini pun bergulingan ke bawah menyambut pasukan musuh!
Diserang secara bertubi-tubi dan mendadak ini, Pasukan Serigala menjadi terkejut. Mereka berusaha
menyingkir dan berloncatan ke sana-sini, akan tetapi banyak pula di antara mereka yang tertimpa dan
tertumbuk batu-batu besar sehingga ramailah suara mereka yang diserang oleh batu-batu ini. Terpaksa
mereka mundur secara tidak teratur dan dalam penyerbuan pertama ini Pasukan Serigala kehilangan dua
ratus orang lebih. Milana melihat dari atas dan nampak olehnya betapa pintu gerbang tertutup kembali dan
bendera merah di atas menara itu bergerak-gerak memberi tanda. Tembok benteng musuh kembali
menjadi sunyi dan tidak nampak seorang pun prajuritnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Milana menarik napas panjang. Hebat, pikirnya. Benar-benar Jenderal Kao Liang telah bekerja untuk
musuh! Baik, dia pun harus melawan dengan kekerasan!
Dia memberi kesempatan agar Pasukan Serigala memulihkan tenaga dan mengatur kembali keberesan
pasukan itu. Kemudian terdengar aba-abanya nyaring, “Lepaskan panah berapi!”
Pasukan anak panah lalu berindap-indap memencar dari depan, kanan dan kiri, dan tak lama kemudian
berluncuranlah anak panah yang membawa api menuju ke benteng itu. Akan tetapi, karena benteng itu
berlapis-lapis, maka anak-anak panah berapi itu hanya mengenai tembok benteng di sebelah dalam, tidak
mengenai bangunan-bangunan di dalam benteng. Betapa pun juga, hujan anak panah berapi itu membuat
para prajurit di dalam benteng terpaksa berlindung dan memadamkan api begitu anak panah itu menimpa
tembok sebelah dalam. Sementara itu, diam-diam Milana lalu memberi perintah kepada pasukan untuk
menggali lubang-lubang naik ke lereng itu.
Kemudian, tiba-tiba Puteri Milana memerintahkan tiga pasukan, yaitu Pasukan Harimau, Pasukan Naga,
dan Pasukan Singa untuk menyerbu dari kanan kiri dan tengah, didahului oleh pasukan yang mengerjakan
penggalian-penggalian itu. Kembali hujan anak panah dan batu, yang dibalas oleh serangan anak panah
dari pasukan kerajaan. Seperti juga tadi, ketika pasukan penyerbu sudah mulai naik ke lereng, batu-batu
besar berjatuhan dari atas dan keluar dari pintu gerbang. Akan tetapi kini pasukan-pasukan itu sudah siap.
Cepat mereka bertiarap ke dalam lubang-lubang itu sehingga batu-batu yang menggelundung itu melewati
tubuh mereka. Ada pula yang terkena, akan tetapi tidak begitu banyak dan sebagian besar pasukan
selamat dan setelah hujan batu mereda, mereka terus mendaki naik sambil menggali lubang-lubang
berikutnya.
Siasat Milana ini berhasil dan akhirnya tiga pasukan itu dapat bergabung dan sambil bersorak-sorak
mereka lari menuju ke depan. Akan tetapi, tiba-tiba mereka disambut oleh teriakan yang mengejutkan dan
dari dalam tanah di depan tembok benteng itu terbuka lubang-lubang dan ternyata di situ terdapat
pasukan-pasukan pendam yang sudah lama menanti. Begitu keluar dari tempat persembunyian mereka,
pasukan pendam ini melepaskan anak panah dari kanan kiri, sedangkan pasukan inti menyerbu dari
tengah, dan kini pintu gerbang terbuka dan bersama dengan bunyi tambur dan teriakan-teriakan
menggegap-gempita, keluarlah pasukan besar menyerbu dari tengah, menghimpit pasukan kerajaan dari
kanan kiri dan tengah.
Terjadilah pertempuran yang hebat, akan tetapi pasukan kerajaan sama sekali tidak mampu untuk
mendesak musuh. Bahkan mereka yang coba untuk mendekati tembok, menerima siraman-siraman air
panas dari atas tembok sehingga mereka terpaksa mundur kembali! Melihat ini, kembali Milana
memerintahkan mundur semua pasukan. Serangan yang kedua itu pun gagal dan ternyata lebih dari seribu
orang anak buah pasukan tewas!
Setelah dua kali kegagalan ini, dan melihat betapa tembok benteng itu kembali sunyi, Milana lalu menarik
mundur pasukannya dan membiarkan mereka mengaso. Dia sendiri lalu mengadakan perundingan dengan
para panglima kerajaan menghadapi benteng musuh yang demikian kuatnya.
Dia tahu atau dapat menduga bahwa yang menggerakkan bendera merah di menara itu tentulah Jenderal
Kao, atau setidaknya tentulah pembantu jenderal yang pandai itu. Untuk menyerbu secara nekat dan
membobolkan benteng dengan kekerasan, agaknya lebih dulu akan mengorbankan banyak sekali prajurit
dan hasilnya pun belum dapat menyakinkan, mengingat betapa kuatnya penjagaan di benteng itu.
Malam tiba dan Milana masih melakukan perundingan dan mencari siasat bersama para panglima
pembantunya, terus mencari-cari kemungkinan untuk menyerbu dengan lain cara…..
********************
Sementara itu, pendekar Gak Bun Beng yang mendahului pasukan isterinya, sedang menyusup-nyusup
melalui hutan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho dan dia melihat Kok Cu dan Ceng Ceng yang
bersembunyi di tepi sungai. Dia lalu muncul di depan suami isteri pendekar itu.
Kok Cu dan isterinya terkejut sekali ketika tiba-tiba melihat bayangan berkelebat. Orang yang datang ini
sama sekali tidak mereka ketahui, tanda bahwa orang ini hebat sekali ilmunya. Akan tetapi ketika Ceng
Ceng melihat siapa adanya orang itu, dia girang bukan main.
“Paman Gak Bun Beng...!” serunya ketika melihat pria yang berdiri sambil tersenyum di depannya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Juga Kok Cu menjadi girang dan cepat dia memberi hormat. Melihat pendekar ini, hati Ceng Ceng menjadi
besar dan cepat dia bertanya, “Paman, kapankah pasukan Bibi Milana akan menyerbu ke sini?”
“Dalam satu dua hari ini, kini telah berangkat setelah menduduki Lok-yang.”
“Ahhh, Paman. Benteng itu kuat bukan main, dipimpin oleh...,“ Ceng Ceng tidak mampu melanjutkan
karena merasa tidak enak kepada suaminya.
“Aku sudah tahu. Jenderal Kao Liang, ayah mertuamu itu terpaksa oleh karena semua keluarganya
ditawan, bukan? Tentu ada apa-apanya ini. Aku akan menyelidiki lebih dulu ke dalam, dan sebaiknya
kalian menanti sampai pasukan kerajaan menyerbu. Ehhh, apakah kalian tidak bertemu dengan Suma Kian
Bu? Dia telah lebih dulu meninggalkan kota raja menuju ke sini!”
Kok Cu dan Ceng Ceng saling pandang dengan heran lalu menggeleng kepala. “Kami bertemu dengan
Ang Tek Hoat yang mencari Puteri Syanti Dewi dan dia memasuki lembah, entah apa jadinya dengan dia.”
Ceng Ceng kemudian menceritakan tentang pertemuan mereka dengan Tek Hoat. Mendengar hal ini, Gak
Bun Beng mengerutkan alisnya.
“Sungguh aneh sekali, mengapa Syanti Dewi kembali dapat terbawa-bawa dalam pemberontakan ini dan
dia berada di lembah? Ahh, benteng di lembah itu mengandung banyak rahasia, dan hal ini makin
mendorongku untuk lebih dulu masuk menyelidiki ke sana.”
“Keadaan mereka kuat sekali... Paman Gak,” kata Kok Cu yang merasa agak kaku menyebut paman
kepada pendekar itu, akan tetapi karena memang pendekar itu adalah suami dari Puteri Milana, bibi dari
isterinya, maka dia pun menyebut paman. “Di sana terdapat Im-kan Ngo-ok, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa
Lo-kwi, dan banyak lagi tokoh tokoh kaum sesat. Karena putera kami juga tertawan di sana, maka kami
terpaksa menahan diri dan mencari kesempatan untuk dapat menyelundup masuk dan menolong semua
keluarga ayah.” Lalu Si Naga Sakti ini bercerita tentang puteranya yang juga terculik dan tahu-tahu sudah
dibawa oleh penculik itu ke dalam benteng dan menjadi tawanan bersama keluarga ayahnya pula.
Mendengar ini, Gak Bun Beng menggelengkan kepalanya dengan kagum dan juga penasaran sekali.
“Ahhh, agaknya Pangeran Liong Bian Cu putera Pangeran Liong Khi Ong yang ternyata juga menjadi
Pangeran Nepal ini ternyata lebih cerdik dan berbahaya dari pada ayahnya dahulu. Untuk mencapai citacitanya,
dia tidak segan-segan menggunakan segala macam kecurangan untuk memaksa Jenderal Kao
membantunya dan membuatmu tidak berdaya pula dengan menguasai puteramu.”
“Kalau hanya seorang anggota keluarga saja yang ditawan, kami berdua tentu sanggup untuk
menyelamatkannya, akan tetapi anggota keluarga sedemikian banyaknya, tidak mungkin menggunakan
kekerasan menolong mereka semua,” kata Kok Cu dengan penasaran.
“Paman Gak, kalau Paman sudah berhasil memasuki benteng, harap Paman sudi mengamat-amati
keadaan putera kami, Kao Cin Liong.”
Gak Bun Beng mengangguk. Dia maklum bahwa bagi Kok Cu tak mungkin mengajukan permintaan seperti
itu karena selain puteranya, juga ayah bundanya, dan keluarga ayahnya semua tertawan di sana, akan
tetapi bagi Ceng Ceng sebagai seorang ibu, tentu saja yang diingat hanyalah keselamatan puteranya.
“Jangan khawatir, tentu saja aku akan berusaha sedapat mungkin agar mereka itu tidak sampai terancam.”
Bun Beng lalu bangkit berdiri. “Nah, sebaiknya memang kalau kalian menanti sampai pasukan kerajaan
menyerbu sehingga dalam kekacauan itu mereka tidak begitu memperhatikan kalian. Sebelum itu,
kehadiran kalian di sana hanya membahayakan keselamatan keluarga kalian yang ditawan. Sampai
jumpa,” Setelah berkata demikian, Gak Bun Beng lalu meloncat pergi. Diam-diam Ceng Ceng merasa
berbesar hati setelah bertemu dengan pendekar itu karena dengan adanya bantuan pendekar sakti itu,
keselamatan puteranya lebih terjamin.
Ke manakah perginya Kian Bu dan Hwee Li? Mereka itu beberapa hari lebih dulu dari Gak Bun Beng
meninggalkan kota raja menuju ke benteng di lembah Huang-ho, kenapa setelah Bun Beng sudah tiba di
situ, dua orang muda ini belum kelihatan bayangannya? Ternyata mereka berdua itu mengambil jalan
memutar. Mereka berdua sudah mengerti benar akan kekuatan di dalam benteng, dan sedikit banyak
Hwee Li sudah mengenal keadaan di sekeliling benteng itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka mereka lalu mencari akal, yaitu hendak menyelidiki benteng itu dari samping, melalui jurang yang
amat curam dan sukar, oleh karena itu mereka menggunakan waktu berhari-hari untuk mencari jalan
melalui tempat yang amat sukar dan tak mungkin dilalui oleh pasukan atau manusia biasa itu. Sampai
beberapa hari lamanya Kian Bu dan Hwee Li mencari-cari jalan rahasia yang menurut Hwee Li terdapat di
sekitar jurang itu, namun tanpa hasil. Kian Bu mencela Hwee Li, mengatakan bahwa mungkin tidak ada
jalan rahasia itu dan Hwee Li menjadi uring-uringan.
“Aku belum gila,” jawabnya marah. “Kalau tidak ada, perlu apa aku bersusah payah mengambil jalan ini?
Memang pintu rahasia itu belum kulihat di sebelah sini, akan tetapi aku sudah tahu di sebelah dalamnya
menembus di taman, di belakang rumpun bambu kuning.”
Mereka duduk di atas batu, menyeka peluh karena hari amat panas dan mereka sudah lelah sekali.
Mendadak Kian Bu meloncat berdiri. “Aku pergi dulu sebentar...,“ bisiknya, matanya terus mengincar ke
kiri, di mana terdapat semak-semak belukar.
“Mau apa? Ada apa?” Hwee Li bertanya.
“Sssttt, kulihat berkelebatnya bayangan kelinci gemuk di sana tadi. Perutku lapar, aku akan menangkapnya
untuk makan.” Kian Bu lalu berjingkat-jingkatan bergerak cepat tanpa suara mencari kelinci yang baru saja
dilihatnya. Sebentar saja bayangan pemuda itu sudah lenyap di balik semak-semak.
Hwee Li merasa panas hatinya karena agaknya keterangannya tentang jalan atau pintu rahasia itu tak
dipercaya oleh Kian Bu. Dia bangkit berdiri, membanting-banting kakinya dan mulailah dia mencari lagi,
mencari sendiri karena hatinya merasa penasaran sekali. Ditelitinya setiap batu, setiap rumpun alang-alang
atau semak-semak. Sampailah dia di tepi jurang dan tiba-tiba dia tertegun memandang ke kanan,
kemudian cepat tubuhnya bergerak memutar, matanya terbelalak dan mukanya perlahan-lahan berubah
merah, tanda bahwa dia mulai marah sekali melihat apa yang sedang terjadi di seberang jurang itu!
Apakah yang sedang dilihatnya? Yang menimbulkan kemarahan hati Hwee Li ternyata adalah Suma Kian
Lee dan Teng Siang In! Seperti telah kita ketahui, dua orang muda ini pun setelah lolos dari tangan Im-kan
Ngo-ok lalu pergi menyelidiki benteng. Akan tetapi karena mereka maklum bahwa menyelidiki dari depan
amatlah berbahaya, mereka lalu mengambil jalan memutar dan menyelidiki dari samping, melalui jurang
jurang seperti yang dilakukan oleh Kian Bu dan Hwee Li.
Ketika mereka harus menyeberangi sebuah jurang yang amat berbahaya, keduanya menggunakan akal.
Untuk meloncati jurang itu tidaklah mungkin karena di seberang sana terdapat semak-semak berduri
sehingga tidak diketahui bagaimana keadaan tanah di tepi jurang di seberang. Oleh karena itu, Kian Lee
lalu mengumpulkan akar-akar yang panjang dan kuat, disambung-sambungnya, kemudian dia mengikatkan
ujungnya pada sebuah batu sebesar kepala orang dan melontarkan batu itu ke seberang sampai akar yang
merupakan tambang itu melibat pada sebatang pohon dan ditariknya sehingga menegang dan cukup kuat
untuk dipakai sebagai jembatan menyeberang.
Dan keduanya sedang menyeberangi tali dari akar yang kuat itu ketika Hwee Li melihat mereka. Biar pun
Siang In memiliki ginkang yang amat tinggi dan baginya merupakan pekerjaan amat mudah untuk
menyeberang dan berjalan di atas tali itu, jangankan hanya sepanjang itu, meski lima kali lebih panjang
pun sanggup dilakukannya, akan tetapi dara ini ternyata merupakan seorang yang mudah merasa ngeri
kalau berada di tempat yang curam, maka begitu dia mulai melangkah dan melihat ke bawah, dia menjerit
tertahan, “Aihhh... aku... aku ngeri...!” Dan dia lalu menggerakkan payungnya, dibukanya payung itu dan
dipergunakannya untuk membantu keseimbangan tubuhnya! Padahal kalau dia tidak merasa ngeri, sambil
berlari biasa pun dia sanggup melintasi jurang itu melalui tambang.
Melihat wajah dara itu mendadak menjadi pucat, Kian Lee menjadi tidak tega dan juga khawatir kalau-kalau
saking ngerinya dara itu menjadi pingsan dan hal itu tentu saja amat berbahaya. Karena itulah, dia pun
kemudian berjalan di belakang dara itu dan memegang tangan kiri Siang In sehingga Siang In
menyeberangi tali akar itu dengan tangan kanan memegang payung dan tangan kiri digandeng oleh Kian
Lee. Dan pemandangan inilah yang membuat wajah Hwee Li menjadi merah saking marahnya. Cemburu
menyesakkan dadanya. Dia melihat Kian Lee bergandeng tangan demikian mesranya dengan seorang
dara cantik yang memegang payung, seorang dara yang genit! Tanpa disadarinya, tangan kanannya sudah
menyambar sebuah batu sebesar kepala orang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Menurut hatinya yang panas karena cemburu, ingin dia melontarkan batu itu untuk menyambit tali itu agar
putus, akan tetapi dia teringat bahwa kalau tali itu putus, bukan hanya dara itu yang akan terjatuh ke dalam
jurang, akan tetapi juga Kian Lee! Maka ketika dia melihat betapa di ujung jurang itu terdapat tempat
dangkal penuh lumpur, yaitu setelah hampir tiba di tepi jurang, dia menanti sampai dua orang itu berada di
atas genangan lumpur itu, lalu dia menyambitkan batu di tangannya.
“Crottttt...!”
Batu itu menimpa air lumpur dan tentu saja air lumpur itu muncrat ke atas dan Siang In yang berada di
depan itu paling banyak terkena lumpur pakaiannya. Tentu saja kedua orang itu terkejut bukan main.
Ketika Siang In menoleh dan melihat bahwa yang menyambitkan batu sehingga air lumpur memercik ke
pakaiannya itu adalah seorang gadis pakaian hitam yang cantik manis dan yang berdiri sambil bertolak
pinggang dan sengaja mentertawakannya dengan mengejek, menjadi panas perutnya. Dia lupa akan
kengeriannya, melepaskan tangan Kian Lee dan dengan sekali lompat dia telah tiba di tepi jurang
melampaui semak-semak berduri, lalu langsung dia berlari menghampiri Hwee Li!
“Bocah setan, engkaukah yang melempari lumpur itu tadi?” bentak Siang In marah sekali. Payungnya
masih terbuka dan kini ujungnya yang runcing itu ditodongkan ke depan. “Kalau kutusukkan payungku ini,
mampus kau karena kelancanganmu itu!”
“Ehh, ehh, engkau mau membunuh aku? Bocah iblis, mudah saja kau bicara! Sebelum payung bututmu itu
bergerak, lehermu sudah putus oleh pedangku ini!” Setelah berkata demikian, sekali tangan kanannya
bergerak Hwee Li telah mencabut pedangnya!
“Bocah siluman gunung! Kau sudah berbuat kurang ajar, melempar lumpur sampai pakaianku kotor semua,
masih berani membuka mulut lancang dan kotor? Sungguh selama hidupku belum pernah aku bertemu
dengan anak kurang ajar macam engkau!” Siang In menjadi makin marah.
“Engkau siluman jurang! Memang pantas berlepotan lumpur! Memang aku melempar batu ke lumpur, habis
kau mau apa? Apakah tempat ini milikmu? Aku mau melempar ke mana pun aku suka, kau peduli apa?”
Hwee Li menantang.
“Bocah ingusan kau harus dihajar!”
Siang In marah sekali, tangan kirinya sudah bergerak menampar ke arah pipi Hwee Li. Tamparannya itu
cepat bukan main, seperti kilat menyambar, tetapi Hwee Li adalah seorang ahli silat tinggi, maka dengan
miringkan tubuh saja dia dapat menghindarkan diri dan kontan keras tangan kirinya juga bergerak
menampar ke arah pipi Siang In.
“Syuuuuuttt...!” Siang In cepat melangkah mundur untuk mengelak.
“Ehh, tahan dulu...! Jangan berkelahi, tahan dulu...!” Kian Lee datang dan pemuda ini tentu saja segera
mengenal Hwee Li dan dia berteriak melerai ketika melihat betapa dua orang dara itu sudah saling tampar
dan kini bahkan menggerakkan senjata mereka!
Melihat munculnya Kian Lee yang melerai, hati Hwee Li menjadi makin panas dan dalam nada suara Kian
Lee itu dia menangkap sikap Kian Lee yang membela dan berpihak pada wanita yang cantik itu.
Cemburunya naik ke kepala. Dia membelalakkan matanya, memandang kepada dara itu. Benar cantik
sekali, dan pakaiannya juga indah. Seorang gadis pesolek yang sinar matanya genit! Melototlah dia kepada
Kian Lee, seperti hendak ditelannya bulat-bulat pemuda itu.
“Kau...! Kau boleh sekalian maju membelanya, boleh dikeroyok dua aku tidak akan surut selangkah pun!”
bentaknya dan pedangnya sudah digerakkan menyerang Siang In.
“Bocah bermulut lancang dan kurang ajar!” Siang In juga sudah marah sekali dan dia menganggap dara
berpakaian hitam itu benar-benar tidak tahu sopan santun serta sombong sekali, maka dia cepat
menggerakkan payungnya dan menangkis.
“Cringgg... Tranggg...!”
Bunga api berpijar ketika ujung payung bertemu dengan ujung pedang dan berkali-kali mereka sudah
mengadu senjata dan saling serang dengan hebatnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Eh-eh, apa yang terjadi ini...?” Tiba-tiba Kian Bu telah datang dengan loncatan kilat, di tangan kirinya dia
memegang seekor kelinci gemuk.
“Bu-te...!”
“Ohhh, Lee-ko...!” Kian Bu girang bukan main melihat kakaknya, akan tetapi matanya terbelalak
memandang kepada dua orang dara yang sedang bertanding hebat itu.
Dia kagum juga melihat Siang In yang dapat mengimbangi gerakan pedang Hwee Li yang ganas, dan
melihat gadis itu memainkan payungnya dengan gaya yang demikian indah seperti orang menari,
teringatlah dia. Gadis berpayung! Tentu saja! Mana mungkin dia dapat melupakan seorang gadis seperti
Siang In? Apa lagi seorang gadis yang pernah diciumnya? Gadis itu kini makin dewasa dan makin cantik
jelita!
Karena bingung dan khawatir melihat pertandingan dengan senjata itu, Kian Bu tanpa disadarinya sendiri
melepaskan kelinci yang tadi dengan susah payah ditangkapnya dan dia mendekati tempat pertempuran
itu sambil berseru, “Nanti dulu! Tahan senjata! Aihhh, berbahaya sekali...!”
Siang In meloncat ke belakang dan tentu saja dia segera mengenal Siluman Kecil! Dan setelah kini dia
melihat wajah Siluman Kecil, hampir dia menjerit! Itulah dia orang yang dicarinya selama ini! Suma Kian
Bu! Tapi dia itu Siluman Kecil. Lihat rambutnya yang putih semua!
“Kau... Siluman Kecil ataukah Suma Kian Bu...?” tanyanya dengan suara tertahan-tahan dan mukanya
berubah agak pucat.
Kian Bu tersenyum dan menjura. “Kedua-duanya, boleh pilih yang mana pun...“
Kini tahulah Siang In bahwa orang yang selama ini dicari-carinya bukan lain adalah Siluman Kecil! Dan
Siluman Kecil kini agaknya bersama dara cantik berpakaian hitam ini, buktinya kini Siluman Kecil berdiri di
dekat dara berpakaian hitam itu, kelihatan memihaknya. Sungguh aneh sekali, dia merasa betapa hatinya
panas bukan main, panas dan marah.
“Bagus! Kau boleh maju sekalian mengeroyokku!” katanya dan dengan hebat dia sudah menerjang maju
dengan payungnya, menyerang Hwee Li.
“Siluman jahat!” Hwee Li juga memaki dan pedangnya bergerak menangkis, lalu dia balas menyerang yang
juga dapat ditangkis oleh Siang In.
Terjadilah pertandingan yang amat seru, sengit, namun sedemikian indah gerakan kedua orang dara yang
sama cantiknya ini sehingga dua orang kakak beradik dari Pulau Es itu sampai melongo dan amat tertarik.
Terdapat persamaan gerakan dari kedua orang dara itu, keduanya seperti sedang menari-nari, bukan
sedang berkelahi, apa lagi karena senjata Siang In adalah sebatang payung yang dapat terbuka dan
tertutup. Dan gerakan Hwee Li juga indah sekali. Hal ini tidaklah aneh karena selama dia tinggal bersama
Puteri Syanti Dewi, Hwee Li diajari menari oleh Puteri Bhutan itu dan memang Hwee Li suka sekali menari
sehingga gerakan silatnya tanpa disadarinya sendiri telah kemasukan gerak tari yang indah, namun tidak
kehilangan keganasannya!
Kakak beradik itu saling pandang dari jauh dan keduanya mengangguk, seolah-olah dengan pandang mata
mereka itu keduanya sudah sepakat untuk membiarkan dua orang dara yang sama cantik jelita dan sama
pandainya menari dan bersilat itu melanjutkan pertandingan mereka dan mereka berdua diam-diam
menjaga untuk melindungi dan mencegah kalau sampai ada bahaya mengancam keduanya dari
perkelahian itu!
Siang In yang sudah menjadi marah dan kini juga penuh dengan hati panas melihat betapa Kian Bu yang
dicari-carinya selama ini ternyata berduaan dengan dara cantik ini, membuat kemarahannya bertumpuktumpuk,
kini mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa, permainan payungnya yang didapatnya dari
gurunya, yaitu See-thian Hoat-su kakek yang bertapa di Goa Tengkorak. Memang senjata payung adalah
senjata yang istimewa dan karena keanehannya ini maka membingungkan lawan. Apa lagi ketika payung
itu terbuka tertutup seperti permainan pedang yang dilindungi tameng, bahkan batangnya yang bengkok itu
dipergunakan oleh Siang In untuk mengait leher lawan, sejenak Hwee Li menjadi terdesak dan dibikin
dunia-kangouw.blogspot.com
kacau permainan pedangnya. Akan tetapi tentu saja Siang In tidak dapat merobohkannya, apa lagi
menerobos lingkaran sinar pedang yang hebat itu, hanya mampu mendesak dara pakaian hitam itu.
“Serang gagang payungnya, serang bagian tengah tubuhnya!” Tiba-tiba Kian Bu berkata lirih namun
terdengar jelas oleh Hwee Li dan juga tentu saja oleh Siang In.
Mendengar ini, Hwee Li melihat lowongan itu dan begitu gagang pedang menyambar ke arah gagang
payung, Siang In menjadi sibuk dan cepat dia menarik payungnya ke belakang. Kesempatan itu
dipergunakan oleh Hwee Li dengan baik.
“Haiiittttt...!” bentaknya dan dia menekuk lengan kirinya, menyikut perut Siang In!
“Ihhhhh...!” Siang In terkejut dan mengangkat kakinya mengelak.
Nyaris perutnya kena disikut! Hwee Li menang angin dan terus mendesak dengan pedangnya sehingga
Siang In terpaksa mundur-mundur sambil memutar payungnya yang terbuka seperti perisai. Kini berbalik
terdesaklah Siang In dan hatinya makin panas, makin sakit melihat kenyataan betapa Kian Bu, pemuda
yang selama ini dicari carinya sampai dia jauh-jauh pergi ke Bhutan, pemuda yang seringkali membuatnya
bangun dari tidur karena mimpi, pemuda yang pernah menciumnya, selain gulang gulung dengan dara
pakaian hitam yang cantik jelita ini, juga membantu dara ini dan memberi petunjuk sehingga hampir saja
dia mati! Betapa kejam hati pemuda itu! Siang In merasa kedua matanya panas dan dia menahan air
matanya ketika dia terus memutar payungnya melindungi tubuhnya dari serangan pedang yang amat
ganas dari lawannya.
Mendadak terdengar Kian Lee berkata, “Pertahanan bawahnya lemah, pergunakan tendangan untuk
menghalau desakan!”
Juga suara Kian Lee ini jelas terdengar oleh kedua orang dara itu. Siang In menjadi girang dan cepat dia
menggunakan kedua kakinya menendang secara bertubi-tubi dengan Ilmu Tendangan Soan-hong-twi.
Kedua kakinya bergerak dengan cepat sekali dan payungnya tetap menahan pedang Hwee Li di bagian
atas. Terkejutlah Hwee Li. Terkejut dan juga marah bukan main. Kian Lee telah membantu perempuan ini!
Hampir dia menjerit dan menangis! Jelas bahwa Kian Lee mencinta perempuan cantik ini, tentu Kian Lee
telah terpikat oleh kegenitan wanita ini! Dia terpaksa mundur lagi agar jangan sampai terkena tendangan.
Pertandingan itu menjadi makin seru dan makin indah, juga lucu. Kadang-kadang Kian Bu memberi
petunjuk kepada Hwee Li, dan sebaliknya Kian Lee memberi petunjuk kepada Siang In. Sebetulnya, kedua
orang kakak beradik ini memberi petunjuk tanpa maksud untuk mencelakakan seorang di antara kedua
dara itu, melainkan merasa sudah sepatutnya memberi petunjuk teman seperjalanan yang terdesak.
Biar pun mereka memberi petunjuk, namun di dalam hati mereka tidak berpihak, bahkan selalu menjaga
untuk segera turun tangan mencegah kalau sampai ada yang terancam bahaya terluka. Tetapi, tanpa
mereka sadari, sikap mereka ini makin menghancurkan hati dua orang dara itu yang terus bertanding matimatian
dengan hati dibakar cemburu dan kebencian!
Kalau dibuat perbandingan tingkat kepandaian silat antara dua orang dara itu, harus diakui bahwa tingkat
kepandaian Hwee Li sedikit lebih tinggi dari pada tingkat kepandaian Siang In. Hwee Li semenjak kecil
sudah digembleng oleh seorang yang amat tinggi kepandaiannya seperti Hek-tiauw Lo-mo. Sebagai anak
angkat yang dicintanya, tentu saja kakek iblis itu menurunkan semua ilmunya kepada Hwee Li.
Kemudian, Hwee Li menjadi murid dari Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir. Sungguh pun
menurut janjinya dahulu Hwee Li hanya akan berguru tentang racun dan pukulan beracun, akan tetapi
karena Ceng Ceng kini tidak lagi menyukai ilmu itu, guru ini telah menurunkan ilmu-ilmu silat, bahkan telah
‘membersihkan’ ilmu silat dari kaum hitam yang dipelajari oleh dara itu dari ayah angkatnya.
Maka tidaklah mengherankan apa bila dalam pertempuran ini, akhirnya Hwee Li yang dapat mendesak
Siang In dengan sinar pedangnya yang memang hebat sekali itu. Sifat dari ilmu pedang yang dimainkan
oleh Hwee Li masih amat ganas dan dahsyat, sungguh pun Ceng Ceng sudah banyak menyuruhnya
membuang bagian-bagian yang terlalu ganas dan keji. (baca Kisah Sepasang Rajawali)
Karena memang kalah dalam hal mainkan senjata, akhirnya Siang In yang sudah marah dan tak mau kalah
itu kemudian menggunakan kekuatan sihirnya. Dia berkemak-kemik, mengerahkan kekuatan batinnya dan
memandang dengan sepasang matanya yang bersinar-sinar, lalu terdengar dia bersuara seperti orang
dunia-kangouw.blogspot.com
bersenandung, “Nona pakaian hitam yang galak, engkau sudah lelah dan menyerahlah kepada nonamu,
berlututlah...“
Aneh sekali, mendengar senandung ini, tiba-tiba saja Hwee Li merasa tubuhnya lemas dan kehilangan
tenaga. Pada saat itu, hampir saja dia menjatuhkan diri berlutut kalau saja tidak terdengar suara Kian Bu
yang mengeluarkan bunyi melengking panjang. Suara lengking yang aneh dan perlahan, akan tetapi penuh
getaran dan seketika Hwe Li merasa biasa kembali dan pedangnya kembali menjadi ganas. Kembali Siang
In merasa hatinya tertusuk, karena untuk ke sekian kalinya Kian Bu membantu Hwee Li.
Tadinya, kedua kakak beradik ini hanya ingin menonton permainan silat yang indah itu dan saling
membantu supaya tidak sampai ada yang celaka, akan tetapi lambat-laun mereka berdua terseret pula dan
masing-masing merasa heran.
Kian Lee mulai memandang dengan terheran-heran dan dengan hati penuh pertanyaan. Adiknya itu
membela Hwee Li mati-matian, dan mereka berdua juga sudah melakukan perjalanan bersama, kelihatan
begitu mesra! Dan memang adiknya itu mempunyai watak yang cocok sekali dengan Hwee Li. Ah,
mengapa dia begitu bodoh? Tidak salah lagi, adiknya itu, Kian Bu, tentu jatuh cinta kepada puteri Hektiauw
Lo-mo ini!
Dia tidak tahu bahwa diam-diam Kian Bu juga menduga demikian. Kakaknya melakukan perjalanan
bersama dengan Siang In dan kakaknya membantu Siang In mati-matian. Siang In memang cantik jelita
dan demikian menarik, maka sudah sepatutnyalah kalau kakaknya itu jatuh cinta kepada dara itu. Diamdiam
dia merasa bersyukur sungguh pun ada perasaan aneh menyelinap di dalam hatinya.
Mengapa tidak kepada Hwee Li kakaknya mencinta? Dia tahu benar bahwa Hwee Li cinta kepada
kakaknya! Hwee Li telah begitu berterus terang kepadanya bahwa dara ini amat mencinta Kian Lee,
kakaknya. Dan kini melihat gejala-gejalanya, agaknya Kian Lee jatuh hati kepada dara berpayung yang
memang sejak dulu pandai bergaya itu, cantik jelita, manis dan memikat sehingga sukar mencari keduanya
dara seperti Siang In!
“Cukuplah, In-moi, cukuplah... kita adalah orang-orang sendiri, tidak perlu berkelahi...!” Akhirnya Kian Lee
meloncat di antara kedua orang dara itu dan melerai. Juga Kian Bu meloncat di depan Hwee Li.
Melihat betapa Kian Lee menyebut ‘ln-moi’ demikian mesranya kepada dara itu, Hwee Li tak dapat
menahan lagi kemarahannya dan dia lalu membalikkan diri dan lari dari situ sambil terisak menangis!
Melihat ini, Kian Bu menjadi khawatir sekali dan juga mengejar dengan cepat. Akan tetapi Hwee Li tidak
mau berhenti dan terus berlari, biar pun dihibur dan dibujuk oleh Kian Bu untuk berhenti.
“In-moi, mereka itu bukanlah orang lain...“
Akan tetapi baru berkata sampai di sini, Siang In yang hatinya makin panas melihat Kian Bu mengejar
Hwee Li, juga membalikkan tubuhnya dan lari sambil menangis pula. Kian Lee terkejut dan cepat mengejar.
Demikianlah, dua orang gadls itu melarikan diri ke jurusan yang berlawanan, dikejar oleh kedua orang
pemuda itu yang tidak sempat untuk bicara lagi. Dua orang pemuda yang menjadi bingung sekali.
Setelah napasnya hampir putus karena berlari terus sambil menangis, akhirnya Siang In berhenti dan
menjatuhkan dirinya di atas rumput. Muka dan lehernya penuh peluh dan mukanya agak pucat. Kian Lee
juga duduk di atas rumput, hatinya menyesal sekali mengapa pertandingan itu berakibat sedemikian
berlarut-larut.
“Jadi... jadi Siluman Kecil itu adalah adikmu, Suma Kian Bu itu?” Akhirnya Siang In berkata dengan
terengah-engah.
“Benar, sudahkah engkau mengenalnya?” Kian Lee balas bertanya.
“Dan dara itu..., siapakah dia?”
“Ahh, dia itu bernama Kim Hwee Li, dia... puteri dari Hek-tiauw Lo-mo.”
“Hemmm, pantas! Dan adikmu itu... Siluman Kecil itu agaknya jatuh cinta kepadanya, ya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Lee merasa sukar untuk menjawab. Dia tidak tahu dengan pasti, tetapi melihat betapa tadi Kian Bu
membantu dara pakaian hitam itu...! “Yah, agaknya begitulah,” jawabnya tanpa dipikir panjang karena apa
salahnya menjawab demikian, pikirnya. “Mari kita jumpai mereka.”
“Tidak sudi! Kalau aku bertemu dengan perempuan itu, akan kubunuh dia!” tiba-tiba Siang In berkata,
suaranya penuh kebencian.
Kian Lee terkejut bukan main dan mengangkat muka memandang wajah yang cantik itu dengan penuh
selidik. Tidak biasa Siang In marah-marah seperti ini! Maka dia pun mengambil keputusan untuk tidak
mempertemukan kedua orang dara yang sedang diamuk kemarahan itu.
Memang Hwee Li telah berlaku keterlaluan, pikirnya, melemparkan batu itu sehingga pakaian Siang In
menjadi kotor. Dia tidak mengerti mengapa dara itu berbuat seperti itu. Dia menarik napas panjang karena
menduga bahwa Hwee Li masih berwatak kekanak kanakan dan mungkin ketularan watak Hek-tiauw Lomo!
Sayang, pikirnya. Dara itu tidak jahat seperti ayahnya, mudah-mudahan saja Kian Bu akan dapat
mendidik dan menuntunnya ke jalan benar.
Sementara itu, Hwee Li akhirnya juga berhenti karena kehabisan napas. Dia duduk menangis. Kian Bu
duduk di depannya, tidak dapat membuka mulut karena dia tahu bahwa Hwee Li marah bukan main. “Dia...
dia telah jatuh cinta kepada gadis siluman itu!” teriaknya dan kembali dia menangis.
Kian Bu menarik napas panjang. Dia sendiri juga meragukan kakaknya, mungkin saja kakaknya jatuh cinta
kepada Siang In. Memang dara itu amat cantik jelita! “Belum tentu, hanya dugaan saja...,“ katanya
menghibur Hwee Li.
Dia tahu kini bahwa Hwee Li marah-marah karena cemburu, “Lebih baik kita jumpai mereka dan kita bicara
dengan baik-baik. Gadis itu bukan musuh...“
“Hemmm, agaknya engkau sudah kenal dia. Siapakah dia?”
“Namanya Teng Siang In, dia murid dari See-thian Hoat-su...“
“Hemmm, kakek tukang sihir itu? Pantas saja dia menjadi siluman! Kalau aku bertemu dengan dia, harus
kubunuh siluman itu!”
Melihat kemarahan dan kebencian Hwee Li, Kian Bu beranggapan bahwa memang belum waktunya
menemui kakaknya dan Siang In, karena kalau hal itu terjadi, sukarlah untuk menahan gadis ini
mengamuk! “Kalau begitu, mari kita melanjutkan perjalanan. Kalau engkau tidak dapat menemukan jalan
rahasia itu, sebaiknya kita langsung saja naik ke atas tembok benteng.”
Pada saat Kian Bu bicara dengan Hwee Li dan Kian Lee bicara dengan Siang In itulah tiba-tiba terdengar
suara hiruk pikuk dari jauh. Itulah suara pasukan-pasukan dari kerajaan yang mulai menyerbu benteng dan
seperti kita ketahui, penyerbuan dua kali dalam sehari yang diatur oleh Puteri Milana itu mengalami
kegagalan…..
********************
Kali ini Puteri Milana merasa pusing bukan main. Benar-benar dia dibuat tidak berdaya oleh Jenderal Kao
karena segala usahanya untuk menggempur benteng itu selalu gagal dan anak buahnya selalu dipukul
mundur. Agaknya siasat apa pun yang digunakannya, telah diketahui belaka oleh Jenderal Kao sehingga
tidak ada hasilnya sama sekali.
Ketika beberapa hari kemudian kembali dia mengusahakan penyerbuan besar-besaran. Di antara hujan
anah panah, terlihat sebatang anak panah yang diikat sehelai surat. Seorang prajurit memungut anak
panah ini dan cepat menyerahkan surat yang dibawa oleh anak panah itu. Puteri Milana cepat
membacanya dan ternyata surat itu adalah tulisan dari Jenderal Kao Liang sendiri!
Panglima Puteri Milana!
Jangan menyerang. Kepung saja rapat-rapat. Kami akan bakar gudang ransum. Tunggu gerbang dan
menara meledak, baru serbu. Kalau tidak menurut ini, takkan berhasil.
Jenderal Kao Liang
dunia-kangouw.blogspot.com
Puteri Milana merasa girang membaca surat ini, akan tetapi juga meragu. Apa maksud jenderal itu?
Bagaimana kalau berita yang dikirim ini palsu? Akan tetapi, Jenderal Kao menyebut ‘kami’, siapa tahu
jenderal itu telah berhubungan dengan suaminya yang dia percaya tentu telah berhasil menyelundup ke
dalam benteng.
Memang tidak salah dugaan panglima wanita ini. Dengan kepandaiannya yang tinggi, tentu tidak begitu
sukar bagi Gak Bun Beng untuk menyelundup masuk dengan cara merayap tembok dan menghindarkan
diri dari jebakan-jebakan yang dipasang di atas tembok. Dia tidak begitu sembrono sehingga dia dapat
menyelinap masuk ke dalam benteng itu tanpa diketahui oleh seorang pun. Benarkah tidak diketahui oleh
seorang pun?
Kiranya tidak demikian, karena betapa pun lihainya Bun Beng, tetap saja dia tidak tahu bahwa tanpa
disadarinya sendiri kakinya menginjak alat rahasia yang akibatnya hanya Jenderal Kao seorang yang
mengetahui akan kedatangannya! Jenderal ini ketika membangun benteng dan membuat alat-alat jebakan
dan alat-alat rahasia, diam-diam memasang semacam alat rahasia yang kalau dilanggar oleh penyelundup,
hanya dia seorang yang mengetahuinya. Dan begitu mengetahui, dia sudah cepat berhubungan dengan
Hek-sin Touw-ong dan Ang-siocia secara rahasia pula!
Bagaimana pula ini? Ternyata Ang-siocia dan suhu-nya yang amat cerdik itu, dengan kepandaian mereka
menyamar dan mendandani orang, telah dapat menarik hati koksu dan mereka berdua selamat dan
diampuni dari dosa-dosa mereka ketika mereka menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi
dahulu itu, bahkan mereka lalu diangkat sebagai pambantu-pambantu yang selalu diawasi gerak-geriknya.
Mereka, seperti juga Jenderal Kao, tidak boleh keluar, akan tetapi kecerdikan Ang-siocia tidak
memungkinkan koksu dan kaki tangannya mengetahui betapa guru dan murid ini secara diam-diam
mengadakan hubungan rahasia dengan Jenderal Kao Liang!
Touw-ong dan Ang-siocia segera tahu akan duduknya semua perkara, dan tahu pula bahwa jenderal itu
membantu pihak pemberontak hanya karena terpaksa oleh keadaan, yaitu karena semua keluarganya
tertawan. Maka, dengan cerdik Ang-siocia kemudian menghubungi jenderal ini yang segera menaruh
kepercayaan besar kepada mereka dan diam-diam dua orang ini menjadi pembantu-pembantu Jenderal
Kao Liang yang seperti telah diduga oleh puteranya sendiri dan oleh Gak Bun Beng dan para orang gagah
lainnya, diam-diam mempunyai rencana yang hebat terhadap para pemberontak yang telah memaksanya
berkhianat itu!
Maka, ketika Jenderal Kao tahu akan kedatangan orang pandai, karena hanya orang pandai sekali sajalah
yang tidak sampai melanggar jebakan-jebakan, hanya tanda rahasia untuk dirinya sendiri, cepat dia
memberi tanda rahasia kepada Ang-siocia dan gurunya untuk ‘menyambut’ kedatangan orang pandai itu
dan dia menunjukkan di mana tempat orang pandai itu datang yang diketahuinya dari alat rahasia yang
oleh Bun Beng telah dilanggar itu.
Demikianlah, dapat dibayangkan betapa kagetnya Bun Beng ketika baru saja dia melayang turun di tempat
yang amat sunyi, di taman yang indah dalam benteng itu, suara wanita yang halus menegurnya, “Selamat
datang, sahabat!”
Baru saja berhenti bicara mulut Ang-siocia, tiba-tiba saja tubuhnya menjadi lemas karena orang itu dengan
kecepatan kilat telah menotoknya tanpa ia mampu bergerak sama sekali. Ang-siocia terkejut bukan main
dan dengan tidak berdaya sama sekali dia merasa betapa tubuhnya dipondong dan dibawa ke belakang
sebuah gudang, di mana terdapat lampu penerangan. Orang itu memeriksanya di bawah lampu dan ketika
melihat bahwa dia benar-benar seorang wanita muda yang cantik, orang itu kembali membawanya
menyelinap ke dalam gelap lalu membuka totokannya, akan tetapi jari-jari tangan yang kuat menempel di
tengkuknya dan orang itu berkata, “Jawablah baik-baik. Kalau berteriak, sekali tekan kau akan mati!”
“Sialan dangkalan...!” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa itu mengomel dan merengut, mengerling kepada lakilaki
setengah tua yang lihainya bukan alang kepalang itu.
Laki-laki itu adalah Bun Beng dan dia merasa sungkan juga harus menggunakan kekerasan terhadap
seorang wanita yang ternyata adalah seorang gadis muda yang cantik. Akan tetapi dia berada di sarang
musuh, di dalam benteng yang berbahaya dan kedatangannya yang dilakukan dengan sembunyi-sembunyi
dan hati-hati itu ternyata telah ketahuan oleh gadis ini! “Hayo kau cepat bawa aku kepada Jenderal Kao,
dan jangan sampai ketahuan oleh penghuni lain dari benteng ini. Awas, nyawamu berada di tanganku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi jawaban gadis itu benar-benar mencengangkan Bun Beng. “Justeru aku menyambutmu adalah
atas perintah Jenderal Kao Liang yang sudah mengetahui akan kedatanganmu. Akan tetapi ternyata kau
bukan manusia baik-baik, melainkan seorang yang kasar dan kejam. Tidak, aku tidak mau membawamu
kepada Jenderal Kao, karena agaknya engkau berniat buruk. Biar pun kau seribu kali membunuh aku, aku
Ang-siocia yang sudah berani memasuki sarang naga dan harimau ini tentu tidak takut mampus!” Marah
sekali Ang-siocia, bukan hanya karena dia diancam dan diperlakukan dengan kasar, akan tetapi melihat
kenyataan betapa dia sama sekali tidak berdaya, tidak berkutik ketika ditangkap dan di bawa ke tempat
terang lalu diseret lagi ke tempat gelap, dibebaskan totokannya dan kini tengkuknya diancam. Seperti
ayam yang sama sekali tidak berdaya! Padahal biasanya dia amat mengandalkan kepandaiannya!
“Ahhh, maafkan aku... siapakah engkau?” Bun Beng bertanya.
“Hemmm, orang kasar. Engkaulah yang harus lebih dulu memperkenalkan diri, baru aku akan
mempertimbangkan apakah engkau pantas untuk kubawa kepada Jenderal Kao ataukah tidak.”
Menghadapi gadis yang ternyata berani mati ini, Bun Beng merasa tidak berdaya. Akan tetapi dia sudah
amat tertarik, karena kalau gadis ini adalah pembantu Jenderal Kao, bahkan tadi menyatakan bahwa gadis
ini sudah berani memasuki goa harimau dan naga, maka berarti bahwa gadis ini bukanlah kaki tangan dari
musuh!
“Namaku adalah Gak Bun Beng, Jenderal Kao tentu mengenalku.”
Sepasang mata yang jeli itu terbelalak. “Gak... Gak-taihiap...?” Ang-siocia berseru dengan kaget sekali.
“Ahhh, maafkan aku yang tidak mengenal Taihiap, mari kita cepat pergi dari sini, menemui suhu. Taihiap
harus cepat menyamar, sesuai dengan rencana kami atas perintah Jenderal Kao,” bisiknya.
Tanpa ragu-ragu lagi Ang-siocia menggandeng tangan pendekar itu dan dibawanya pergi menyelinap
melalui semak-semak dan memasuki pintu belakang sebuah pondok. Mereka tiba di dalam sebuah kamar
dan di situ telah menanti seorang kakek yang mukanya hitam. Kakek itu segera menjura dan berkata,
“Selamat datang, Gak-taihiap, kami sungguh lega dan girang sekali melihat Taihiap datang.”
Bun Beng memandang penuh perhatian akan tetapi dia tidak mengenal kakek dan gadis ini, walau pun kini
dia dapat melihat wajah mereka dengan jelas. Gadis itu benar-benar seorang gadis muda yang cantik dan
lincah, nampak gagah dan berani, sedangkan kakek itu biar pun mukanya hitam, namun memiliki sepasang
mata yang tajam.
Bun Beng segera menjura kepada mereka. “Agaknya Ji-wi telah mengenalku, akan tetapi maaf kalau aku
tidak mengenal siapa Ji-wi dan apa hubungan Ji-wi dengan Jenderal Kao.”
Sebelum guru dan murid itu sempat menjawab, terdengar pintu depan diketuk orang! Guru dan murid itu
kelihatan terkejut dan terdengar Touw-ong bertanya, “Siapa di luar?”
“Touw-ong, apakah Ang-siocia di dalam?”
Mendengar suara Ngo-ok, guru dan murid itu makin kaget dan Bun Beng dengan tenang dan waspada
mengamati gerak-gerik mereka.
“Aku di sini. Ada apakah, Siansu?” tanya Ang-siocia.
“Aku disuruh oleh koksu untuk memanggilmu, Ang-siocia. Ada urusan penting hendak dibicarakan.
Sekarang juga!” terdengar suara dari luar itu.
Ang-siocia memandang gurunya yang mengangguk, dan gadis itu lalu melangkah menuju ke depan untuk
membuka pintu depan. “Dia itu Ngo-ok Toat-beng Siansu, saya harus membayangi dan melindungi murid
saya, harap Taihiap tunggu di sini!”
Tentu saja Bun Beng belum percaya sepenuhnya kepada guru dan murid yang belum dikenalnya itu, maka
dia berkata, “Biar aku yang membayangi.”
Touw-ong terkejut bukan main dan seperti yang dialami oleh muridnya tadi, tiba-tiba saja dia merasa
tubuhnya telah lemas karena tertotok! Sebetulnya, tingkat kepandaian Touw-ong sudah cukup tinggi dan
kiranya tidaklah akan demikian mudah bagi Bun Beng untuk menotok kakek itu dengan sekali gerakan
dunia-kangouw.blogspot.com
saja, akan tetapi gerakan Bun Beng tadi sama sekali tidak disangka-sangka oleh kakek itu sehingga dia
hanya melihat tangan pendekar itu berkelebat dan tahu-tahu dia telah roboh lemas. Akan tetapi Si Raja
Maling ini tidak menjadi heran karena dia sudah mendengar nama besar pendekar Gak Bun Beng ini
sebagai seorang pendekar yang luar biasa tinggi ilmunya.
Ang-siocia sudah membuka pintu dan mengikuti kakek tinggi seperti pohon bambu itu keluar dari pondok.
Nona ini memang sengaja bersicepat agar Ngo-ok tidak melongok ke dalam di mana terdapat seorang
asing. Dia tidak tahu betapa Bun Beng malah telah merobohkan gurunya dan kini bagaikan bayangan
setan telah mengikutinya dengan diam-diam dari jarak tidak terlalu jauh, akan tetapi dengan amat hati-hati
karena Gak Bun Beng sudah terkejut sekali ketika mendengar dari Si Raja Maling tadi bahwa si jangkung
itu adalah Ngo-ok Toat-beng Siansu.
Tentu saja dia pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok dan tidak disangkanya sama sekali dia akan
melihat seorang di antara mereka berada di tempat ini. Memang dia dan Milana belum mendengar bahwa
Im-kan Ngo-ok berada di dalam benteng lembah, bahkan Kian Bu dan Hwee Li sendiri pun belum tahu
maka kedua orang muda ini tidak menceritakan tentang adanya Im-kan Ngo-ok itu kepada Milana. Baru
dari Ceng Ceng dan suaminya dia mendengar tentang mereka.
Di tempat yang sunyi, tiba-tiba Ang-siocia berhenti dan menegur si jangkung yang berjalan di depannya,
“Ehh, kita mau ke mana?”
“Ke sana! Koksu menanti di sana,” jawab si jangkung itu sambil menuding ke arah sebuah pondok.
“Aneh, kenapa koksu tidak menanti di tempat tinggalnya sendiri?” Ang-siocia mengomel akan tetapi dia
melangkah terus bersama si jangkung.
Setelah mereka tiba di depan pondok yang sunyi itu, tiba-tiba si jangkung membuka pintu dan berkata,
“Mari kita menemui koksu.” Dia lalu memegang lengan gadis itu dan menariknya masuk, menutupkan
kembali pintu itu, lalu dia menyeringai.
Ang-siocia terkejut bukan main. Pondok itu kosong dan melihat sikap si jangkung itu, jelaslah apa
kehendaknya. “Mau apa kau? Mana koksu? Biarkan aku keluar!” teriaknya, akan tetapi tiba-tiba tangannya
sudah disambar oleh tangan Ngo-ok.
“Nona, sudah lama aku tergila-gila kepadamu!”
“Eh, lepaskan aku!” bentak Ang-siocia, akan tetapi tiba-tiba saja tubuhnya terangkat ke atas dan dipegang
oleh sebelah tangan saja, dia tidak berdaya melepaskan diri sama sekali, sedangkan tangan yang lain dari
si jangkung itu bergerak hendak merenggut pakaian Ang-siocia.
Dara itu terkejut setengah mati, kakinya menendang ke depan, ke arah perut si jangkung itu.
“Desss...! Hukkk...!”
Ngo-ok melepaskan tubuh Ang-siocia dan tubuhnya terhuyung ke belakang, matanya terbelalak
memandang ke arah gadis itu. Tak disangkanya bahwa tendangan nona itu sedemikian kuatnya sehingga
perutnya seketika terasa mulas! Dia tidak tahu bahwa sebenarnya yang menghantam perutnya bukanlah
kaki atau tendangan Ang-siocia melainkan sambaran angin pukulan yang dilakukan oleh Gak Bun Beng
dari luar pondok.
Pendekar ini mengintai dari jendela dan pada saat Ang-siocia menendang, dia telah membantunya dengan
pukulan jarak jauh, tepat mengenai perut si jangkung yang amat lihai itu. Orang lain yang disambar angin
pukulan jarak jauh dari Gak Bun Beng, tentu akan remuk isi perutnya, akan tetapi Ngo-ok hanya merasa
mulas saja sebentar!
Marahlah Ngo-ok dan kini dia memandang kepada Ang-siocia dengan mata disipitkan dan mukanya
berubah menyeramkan.
“Tunggu!” Ang-siocia yang cerdik cepat berseru. “Ingat, aku telah menerima janji dari Sam-ok atau koksu
bahwa kalau perjuangan ini selesai, aku akan diambil selir olehnya. Kau sama sekali tidak boleh ganggu
aku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ini, Ngo-ok terkejut, akan tetapi dia lalu menyeringai. “Kalau begitu, aku takkan membunuhmu,
hanya mendahuluimu apa salahnya? Heh, tendanganmu boleh juga.”
Ang-siocia sudah merasa heran sendiri betapa tendangannya tadi dapat membuat terlepas pegangan
kakek jangkung itu, bahkan membuatnya terhuyung. Akan tetapi kini melihat kakek itu melangkah maju, dia
menjadi gentar. “Kalau kau memaksaku, aku akan menceritakan kepada koksu, hendak kulihat apakah dia
tidak akan marah dan menghukummu!”
Mendengar ini, Ngo-ok menjadi ragu-ragu. Dia kena digertak dan dia mulai melihat bahaya kalau dia
memaksa. “Ah, Nona Manis, mari layani aku sebentar... aku tidak akan menyakitimu...“
Akan tetapi Ang-siocia sudah lari ke pintu. “Kalau kau tidak menyentuhku, aku tidak akan bicara apa-apa
kepada koksu!” katanya sehingga ketika Ngo-ok hendak mengejar, si jangkung ini kembali tertegun dan
meragu.
Ang-siocia terus berlari cepat dan teringat akan ini, Ngo-ok mengejar, akan tetapi begitu keluar dari pintu
pondok, dia jatuh menelungkup! Dia cepat bangkit dan mencaci-maki ambang pintu, akan tetapi diam-diam
dia merasa heran sekali bagaimana dia, seorang ahli berlari cepat dengan kaki yang panjang dan langkah
yang tinggi, dapat tersandung pada ambang pintu sampai jatuh menelungkup?
“Setan...!” dia mengomel lalu pergi dari situ. Dia sama sekali tidak tahu bahwa yang membuatnya jatuh
menelungkup tadi bukanlah ambang pintu melainkan Gak Bun Beng!
Ang-siocia memasuki pondoknya dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia melihat gurunya
rebah dalam keadaan tertotok. Selagi dia hendak menolong, tiba-tiba dari belakangnya, Gak Bun Beng
sudah memegang lengannya dan pendekar ini lalu bertanya, “Apa artinya janji koksu mengambilmu
sebagai selir itu?”
Ang-siocia menjadi terkejut bukan main dan seketika mukanya menjadi merah. Pendekar ini tadi telah
membayanginya dan melihat segalanya! Teringatlah dia akan tendangannya yang ampuh tadi dan dia
menduga bahwa tentu pendekar sakti inilah yang tadi telah membantunya. Bun Beng memandang tajam
dan tidak peduli melihat nona itu marah, bahkan dia mengerahkan tenaga ketika Ang-siocia meronta untuk
melepaskan tangannya sehingga pegangannya makin erat dan nona itu tidak berhasil melepaskan diri.
“Benarkah engkau menjadi calon selir Koksu Nepal?” tanyanya dengan suara mendesak, sinar matanya
tajam penuh selidik. Kalau benar gadis ini, yang memang cantik dan lincah, menjadi calon selir koksu,
maka gadis ini berarti kaki tangan musuh!
Kalau menuruti hatinya, ingin Ang-siocia memaki dan mengejek, menyatakan kalau dia menjadi calon selir
koksu, pendekar itu mau apa? Akan tetapi dia tahu akan gawatnya keadaan, apa lagi melihat gurunya
dalam keadaan tertotok tak berdaya, maka biar pun hatinya terasa panas sekali, dia menjawab juga
dengan marah.
“Kalau aku tidak menggertak Ngo-ok yang gila itu, mana aku bisa lolos? Siapa sih yang sudi menjadi selir
manusia macam Koksu Nepal?” Dia berkata setengah berteriak saking marahnya karena dia dicurigai.
“Sssttttt.... jangan keras-keras berteriak!” Bun Beng yang kini menjadi sibuk mendengar dara itu berteriak,
karena kalau sampai terdengar orang tentu berbahaya.
“Biar aku berteriak! Biar diketahui semua orang, aku tidak sudi menjadi selir koksu!”
“Sudahlah, aku bersalah telah mencurigarmu, Nona,” berkata Gak Bun Beng sambil melepaskan
pegangannya.
Ang-siocia cemberut dan mengurut-urut lengannya yang terasa nyeri karena dipegang erat-erat tadi. “Habis
Gak-taihiap terlalu tidak percaya kepada orang sih! Dan mengapa Suhu menjadi begini?”
“Maaf, maaf... sekarang aku baru percaya,” kata Gak Bun Beng dan pendekar ini segera membebaskan
totokannya yang membuat tubuh Si Raja Maling menjadi lumpuh itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Touw-ong dapat bergerak lagi dan dia pun memandang kepada pendekar itu dengan alis berkerut.
“Sungguh aneh sikap Taihiap yang terlalu tidak percaya kepada kami guru dan murid,” katanya setengah
menegur.
Gak Bun Beng kembali minta maaf dan Ang-siocia yang tahu bahwa gurunya merasa tak senang lalu cepat
berkata, “Sudahlah, Suhu. Gak-taihiap merasa berada di benteng musuh, maka tentu saja dia terlalu
berhati-hati. Tadi aku hampir celaka oleh Ngo-ok yang ternyata memancingku keluar dengan niat jahat.
Untung ada Gak-taihiap yang diam-diam membantu, kalau tidak, tentu muridmu ini sudah celaka, Suhu.”
Ang-siocia lalu menceritakan tentang pengalamannya yang hendak diperkosa oleh Ngo-ok dan betapa Gak
Bun Beng telah menolong dengan ilmunya yang tinggi.
Mendengar ini, lenyaplah rasa mendongkol di dalam hati Touw-ong. Dia lalu menjura kepada Gak Bun
Beng.
“Ahh, terima kasih saya haturkan kepada Gak-taihiap yang telah menyelamatkan murid saya...“
Gak Bun Beng menggoyang tangannya dengan tidak sabar. “Sudahlah, kita adalah orang sendiri,
menghadapi musuh yang sama, maka perlu apa banyak sungkan lagi? Lebih baik Ji-wi menceritakan
kepada saya tentang keadaan di dalam benteng ini dan siapa-siapa saja yang tertawan, siapa pula yang
menjadi pembantu koksu, siapa di antara mereka yang lihai.”
“Sebelum kita bicara, kurasa lebih baik kalau Gak-taihiap menyamar pula, agar tidak sampai mudah
ketahuan musuh. Gak-taihiap dapat mendengarkan kami bercerita sambil melakukan penyamaran yang
akan dikerjakan oleh Suhu.”
Mendengar kata-kata muridnya yang cerdik ini, Touw-ong mengangguk. “Memang sebaiknya demikian.
Bentuk tubuh Taihiap tidak banyak selisihnya dengan saya, dan saya cukup dikenal di sini, kalau Taihiap
menyamar sebagai saya, tidak akan dapat diganggu dan Taihiap dapat bergerak dengan leluasa pula.”
Gak Bun Beng setuju dan Touw-ong mulai ‘mengerjakan’ muka dan pakaian Gak Bun Beng sehingga
pendekar ini mulai dibentuk menjadi Touw-ong yang kedua! Sambil mengerjakan penyamaran itu, Touwong
dibantu oleh muridnya lalu menceritakan semua keadaan di dalam benteng yang didengarkan penuh
perhatian oleh pendekar itu. Bun Beng mendengar betapa Puteri Syanti Dewi tadinya juga tertawan di situ
kini telah lolos secara aneh, tanpa ada yang tahu siapa yang menculiknya. Kemudian dia mendengar
betapa pemuda Ang Tek Hoat si Jari Maut juga berada di dalam benteng, betapa pemuda itu telah tertipu
dan mengira bahwa Syanti Dewi masih berada di situ sebagai tawanan.
“Kami yang merias seorang dayang menyerupai Syanti Dewi,” kata Ang-siocia sambil tertawa. “Yang dikira
Syanti Dewi itu adalah seorang perempuan Nepal dan Ang Tek Hoat percaya sepenuhnya.”
Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, “Hemmm, bocah itu wataknya aneh, juga memiliki kepandaian yang
amat lihai. Lebih baik biarkan saja dia begitu, biarkan dia tertipu yang akan membuat dia tenang. Kalau dia
tahu bahwa dia tertipu tentu dia akan membuat geger dan hal ini bisa membocorkan rahasia kita.”
Kemudian guru dan murid itu bercerita tentang usaha mereka yang sudah berhasil menghubungi Jenderal
Kao Liang.
“Sungguh kasihan sekali jenderal yang gagah perkasa itu,” kata Touw-ong, “Dia seperti seekor naga yang
telah terjebak dalam kurungan. Seluruh keluarganya tertawan, maka mau tidak mau dia harus menuruti
semua permintaan koksu. Akan tetapi, jenderal yang gagah perkasa itu tentu saja tidak mau tunduk begitu
saja hanya untuk menyelamatkan keluarganya. Dia memiliki rencana yang amat hebat dan besar, dan
hanya di dalam tangannya sajalah terletak siasat yang akan menghancurkan pemberontak ini, akan tetapi
kepada kami pun dia tidak mau membuka rencana siasatnya itu.”
Touw-ong kemudian melatih Bun Beng untuk bergaya dan bicara seperti dia supaya penyamarannya
menjadi sempurna, baru pendekar sakti ini dibawa oleh Ang-siocia untuk menemui Jenderal Kao Liang.
Ketika bertemu dengan Gak Bun Beng sepasang mata jenderal yang gagah perkasa itu menjadi basah. Dia
tidak banyak bicara, hanya memegang tangan pendekar itu dan suaranya tergetar ketika dia berkata,
“Girang bukan main rasa hatiku dapat bertemu dengan Gak-taihiap di sini. Sekarang makin yakinlah hatiku
bahwa aku akan dapat menghancurkan mereka ini dan keluargaku akan dapat diselamatkan!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Gak Bun Beng menekan tangan jenderal itu. “Percayalah, Goanswe, saya pasti akan membantu sampai
keluargamu semua selamat.”
Mereka tidak berani terlalu lama bicara karena mereka tahu bahwa biar pun Jenderal Kao Liang, Touw-ong
dan Ang-siocia bebas dalam benteng itu, akan tetapi mereka sesungguhnya adalah orang-orang yang
selalu diawasi secara diam-diam oleh koksu. Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu
berpamit dan pergi lagi kembali ke tempat tinggal Touw-ong bersama Ang-siocia.
Bukan hanya Jenderal Kao yang berbesar hati dengan kehadiran Gak Bun Beng, juga Touw-ong dan
muridnya merasa girang sekali. Mereka lalu mengadakan perundingan secara diam-diam untuk mengatur
siasat kalau saat yang baik bagi mereka untuk bergerak sudah tiba.
Koksu Nepal merasa girang bukan main melihat hasil baik dari pertahanan Jenderal Kao terhadap
penyerbuan tentara kerajaan yang dipimpin oleh Milana. Berkali-kali serangan dari pasukan kerajaan itu
dapat dihalau dan dipukul mundur. Dan pada malam itu, saking girangnya, Koksu Nepal bersama-sama
para saudaranya dalam gerombolan Im-kan Ngo-ok, kemudian mengadakan pesta kemenangan untuk
menghormati dan menyenangkan hati Jenderal Kao Liang. Pesta besar diadakan dan semua pembantu
diundang.
Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong menggantikan tempat Touw-ong yang juga tidak
ketinggalan diundang, mendatangi tempat pesta bersama Ang-siocia. Pada kesempatan ini Bun Beng
dapat melihat sendiri semua anggota Im-kan Ngo-ok. Juga dia dapat memperhatikan pula Ang Tek Hoat,
pemuda lihai yang berwatak aneh dan keras, keturunan dari Wan Keng In itu. Juga dia melihat Syanti Dewi
palsu yang kelihatan sengaja di jauhkan dari para tamu lain oleh Koksu Nepal. Diam-diam Gak Bun Beng
merasa kagum kepada Touw-ong dan muridnya karena harus diakuinya bahwa dia sendiri pun tidak akan
menduga bahwa wanita itu adalah Syanti Dewi yang palsu! Juga di dalam pesta itu, Koksu Nepal memberi
kesempatan kepada Jenderal Kao untuk bertemu dengan para keluarga jenderal itu yang diperbolehkan
menghadiri pesta.
Karena Koksu Nepal benar-benar merasa bersyukur dan gembira, bahkan dia mulai percaya kejujuran
Jenderal Kao mempertahankan benteng, maka dalam kesempatan itu sang jenderal diperbolehkan untuk
beramah-tamah dengan keluarganya. Akan tetapi, pertemuan dalam pesta itu sungguh mengharukan hati
Gak Bun Beng.
Jenderal Kao Liang tidak dapat menahan keharuan hatinya. Di depan begitu banyaknya orang, yaitu tokohtokoh
pembantu dari Koksu Nepal, juga di mana hadir pula Pangeran Bharuhendra atau Pangeran Liong
Bian Cu, jenderal tua ini merangkul isterinya, lalu anak-anaknya dan semua anggota keluarganya seorang
demi seorang. Ada beberapa tetes air mata menitik turun dari kedua matanya.
Adegan yang mengharukan ini dipecahkan oleh suara Pangeran Liong Bian Cu.
“Kao-goanswe, pekerjaanmu sungguh baik sekali. Dan kalau sampai kita memperoleh kemenangan, tentu
engkau dapat segera pulang ke kampung bersama keluargamu. Akan tetapi sayang, kita sekarang
agaknya terancam bahaya. Kita telah dikepung musuh dan agaknya musuh hendak memperketat
kepungan, membikin putus hubungan antara kita dengan dunia luar benteng.”
Jenderal Kao Liang lalu meninggalkan keluarganya, menghadapi pangeran itu dan berkata, “Harap
Pangeran tidak berkecil hati. Saya dapat menghadapi kepungan itu.”
“Ha-ha-ha, hal itu tidak perlu dikhawatirkan, Pangeran. Berkat siasat Jenderal Kao Liang yang sudah lama
memperhitungkan kemungkinan bahaya ini, gudang-gudang kita telah penuh dengan ransum kering yang
akan cukup untuk kita pakai selama satu tahun! Dan tidak mungkin musuh dapat bertahan mengepung kita
selama itu dan sudah tentu pula Kao-goanswe telah memiliki siasat lain untuk menghadapi pengepungan
musuh,” kata Ban Hwa Sengjin atau Lakshapadma, koksu dari Nepal itu.
“Kong-kong, kenapa pula Kong-kong menangis? Ayah dan lbu selalu bilang bahwa Kong-kong adalah
seorang yang gagah perkasa, dan ayah ibu bilang bahwa seorang yang gagah pantang menangis.
Mengapa Kong-kong menangis?” Tiba-tiba terdengar suara nyaring ini yang membuat semua orang
memandang kepada Cin Liong, karena bocah itulah yang mengeluarkan suara nyaring ini. Jenderal Kao
sendiri menoleh dan mukanya menjadi merah sekali ketika dia memandang kepada cucunya itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Diam-diam Gak Bun Beng memandang kagum kepada anak itu. Dia dapat menduga bahwa tentu anak
itulah yang oleh Ang-siocia diceritakan sebagai anak dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, putera dari Kao Kok
Cu dan Ceng Ceng! Seorang bocah yang hebat, pikirnya. Dan dia dapat mengerti betapa perih perasaan
hati seorang gagah seperti Jenderal Kao mendengar teguran seperti itu keluar dari mulut cucunya yang
masih kecil!
Melihat keadaan yang menegangkan yang ditimbulkan oleh kata-kata anak kecil itu, Koksu Nepal lalu
mengambil tindakan halus. Dia lalu menyuruh pengawal mengantar kembali semua keluarga Kao, juga
termasuk Syanti Dewi palsu, untuk kembali ke tempat mereka dan meninggalkan ruangan pesta itu. Ang
Tek Hoat yang sejak tadi belum berhasil mendekati Syanti Dewi merasa kecewa, akan tetapi dia tidak
melakukan sesuatu. Bagi pemuda ini, sudah cukuplah kalau dia dapat melihat kekasihnya itu dalam
keadaan sehat dan selamat.
Pesta dilanjutkan sampai lewat tengah malam. Jenderal Kao minum sampai mabuk, dan melihat ini, Gak
Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong lalu bersama Ang-siocia merangkul Jenderal Kao dan
membawanya kembali ke kamarnya. Dalam perjalanan mengantar Jenderal Kao ini sampai tiba di
kamarnya, mereka berunding.
Perundingan singkat itulah yang membuat Panglima Milana akhirnya dapat menemukan surat
pemberitahuan dari Jenderal Kao ketika pada keesokan harinya kembali Milana mengerahkan pasukannya
menyerbu. Anak panah mengandung surat itu adalah anak panah yang diluncurkan oleh Gak Bun Beng
yang menyamar sebagai Touw-ong dan yang dalam perang anak panah itu ikut pula membantu ‘menahan’
musuh. Maka sudah terjadi permufakatan antara mereka berempat untuk membakar gudang-gudang
ransum sesuai dengan rencana yang diatur oleh Jenderal Kao. Mereka diharuskan menanti tanda yang
akan diberikan oleh jenderal itu.
Ketika terjadi penyerbuan yang terakhir itu, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng menggunakan keadaan yang ribut
untuk menyelundup masuk. Suami isteri ini adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi, maka tidak
sukar bagi mereka berdua untuk menyelundup masuk benteng lewat tembok tinggi di samping kiri agak
jauh dari tempat penyerbuan pasukan kerajaan.
Ang-siocia yang memang ditugaskan oleh Jenderal Kao untuk selalu meneliti tanda tanda rahasia,
menyambut datangnya kawan-kawan, dapat melihat kedatangan suami isteri ini yang tanpa mereka sadari
telah menginjak alat-alat rahasa pribadi Jenderal Kao sehingga Ang-siocia dapat mengetahui kedatangan
mereka dan menyambut. Maka terkejutlah suami isteri itu pada saat mereka meloncat turun dan
menyelinap di antara kegelapan bayangan pohon, tiba-tiba ada sesosok tubuh ramping berkelebat disusul
suara Ang-siocia yang halus.
“Kao-taihiap dan Lihiap, cepat ke sinilah...“
Suami isteri itu memandang tajam, alis mata mereka berkerut penuh curiga. Melihat sinar mata pendekar
itu mencorong, Ang-siocia bergidik dan cepat dia mendekati sambil berbisik, “Harap Taihiap jangan curiga,
saya adalah utusan dari Jenderal Kao. Cepat, ke sinilah...“
Kao Kok Cu dan Ceng Ceng kemudian cepat mengikuti Ang-siocia menuju ke sebuah kandang kuda dan
mereka memasuki sebuah kamar sederhana di belakang kandang kuda itu. “Harap kalian bersembunyi
dulu di sini sampai keributan dari perang di luar itu selesai, nanti Ji-wi akan dapat bertemu dengan suhu,
yaitu Hek-sin Touw-ong, Gak Bun Beng taihiap, dan dengan Jenderal Kao sendiri.”
Mendengar ucapan itu, giranglah hati Kao Kok Cu dan isterinya. Akan tetapi Ceng Ceng yang sudah tidak
sabar lagi menanti berkata, “Jadi engkau adalah murid Touw-ong dan engkau bekerja sama dengan ayah
mertuaku?”
Ang-siocia mengangguk. “Nama saya Kang Swi Hwa dan saya bersama suhu secara terpaksa menjadi
pembantu-pembantu di sini.” Lalu dengan singkat dia menceritakan betapa dia dan suhu-nya bertemu
dengan Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li, dan betapa mereka berdua membantu dua orang muda itu
berusaha untuk membebaskan Syanti Dewi sehingga akhirnya mereka berdua tertawan.
“Untuk menyelamatkan diri, terpaksa kami berdua pura-pura menakluk dan membantu Koksu Nepal.
Namun diam-diam kami mengadakan hubungan dan membantu Jenderal Kao Liang.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Hati Ceng Ceng girang sekali. Dia memegang tangan Ang-siocia dan berkata, “Adik yang baik, kalau begitu
harap kau cepat membawaku bertemu dengan puteraku!”
Ang-siocia mengangguk. “Harap kau suka bersabar, Enci. Dalam keadaan ribut seperti ini, koksu telah
memerintahkan para pengawal untuk menjaga para tawanan dengan ketat. Sebaiknya nanti saja jika
keadaan sudah mereda, Enci tentu akan dapat bertemu dengan putera Enci yang gagah itu. Akan tetapi
Enci harus menyamar, jangan khawatir, aku mempunyai akal untuk mengaturnya.”
Kao Kok Cu juga menasehati isterinya agar bersabar dan menanti saat baik, karena sekali saja mereka itu
gagal sehingga diketahui musuh, hal ini mungkin sekali akan membahayakan semua keluarga mereka.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, penyerangan tentara kerajaan di bawah pimpinan Puteri Milana
kembali mengalami kegagalan dan setelah menerima surat yang dikirimkan oleh Jenderal Kao melalui
anak panah yang dilancarkan diam-diam oleh Gak Bun Beng yang menyamar sebagai Touw-ong, Milana
lalu menarik mundur pasukannya, lalu membagi-bagi pasukannya untuk melakukan pengepungan dengan
ketat.
Gak Bun Beng lalu dipanggil oleh Ang-siocia untuk menemui suami isteri itu. Mereka berunding dan Ceng
Ceng lalu dirias oleh Ang-siocia, menyamar menjadi dia sendiri. Tak lama kemudian di ruangan itu telah
ada dua orang Ang-siocia yang kembar segala galanya!
“Sebaiknya Kao-taihiap bersembunyi saja di sini, menyamar sebagai pembantu penjaga kandang,” kata
Touw-ong dan Si Naga Sakti Gurun Pasir ini mengangguk karena dia pun tahu bahwa dia tidak mungkin
dapat menyamar. Lengan kirinya yang buntung itu tidak memungkinkan dia menyamar sebagai orang lain.
Jenderal Kao Liang sendiri merasa girang mendengar bahwa puteranya yang amat diandalkannya, yaitu
Kok Cu, bersama isterinya, telah tiba di dalam benteng. Betapa pun rindu rasa hatinya, namun dia tidak
mau bertemu dengan putera atau mantunya. Amat berbahaya untuk membiarkan Kok Cu muncul di depan
umum, karena puteranya itu pernah membikin geger di situ. Dia hanya memesan melalui Gak Bun Beng
yang menyamar sebagai Touw-ong dan yang dapat mudah menghubunginya, memesan agar mereka
semua jangan sekali-kali melakukan gerakan lebih dulu secara lancang.
“Kalian harus menanti sampai terjadi pembakaran gudang-gudang ransum secara berhasil. Musnahnya
gudang ransum akan menghancurkan pertahanan mereka, dan setelah itu barulah aku akan memberi
tanda kepada Puteri Milana untuk melakukan penyerbuan besar-besaran,” demikian pesan Jenderal Kao
Liang yang telah mengatur rencana. Anehnya, jenderal ini tidak pernah mau membuka siasatnya secara
terperinci sehingga orang-orang gagah itu hanya dapat menduga-duga saja siasat apa yang akan
digunakan oleh jenderal itu untuk menghancurkan pertahanan benteng yang demikian kuatnya itu di
samping membakar gudang-gudang ransun.
Puteri Milana mentaati pesan dari Jenderal Kao Liang. Dia lalu mengatur pasukannya, mengepung benteng
itu dengan ketat dan tidak melakukan penyerbuan lagi, hanya kadang-kadang saja dia membiarkan
pasukan-pasukan itu mengacau benteng dengan hujan anak panah, kemudian mundur dan kembali
menjaga dengan ketat sehingga pihak musuh di dalam benteng tidak akan mungkin dapat mengadakan
hubungan dengan luar benteng. Namun, hati puteri perkasa itu makin tidak sabar setelah menanti sampai
beberapa hari, belum juga terjadi kebakaran di dalam benteng dan belum juga ada tanda dari Jenderal Kao
untuk membolehkan dia melakukan penyerbuan.
Gak Bun Beng, Milana, Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Kao Kok Cu, dan Ceng Ceng dapat menanti dengan
sabar sampai Jenderal Kao Liang memberi isyarat, dan mereka semua itu percaya penuh akan kelihaian
sang jenderal mengatur dan menjalankan siasatnya. Akan tetapi ada beberapa orang muda yang tidak tahu
akan hal ini dan tidak dapat menanti! Malam itu terjadilah kegemparan besar di dalam benteng ketika
empat orang muda menyelundup masuk dan membuat semua penjaga di dalam benteng menjadi geger!
Mereka itu bukan lain adalah Suma Kian Lee dan Teng Siang In yang menyelundup masuk dari dinding
timur, dan Suma Kian Bu bersama Kim Hwee Li yang menyelundup masuk dari dinding barat!
Mula-mula terdengar teriakan-teriakan para penjaga di dekat dinding benteng sebelah timur oleh karena
ada tanda rahasia yang terpijak orang di atas tembok. Para penjaga menghujankan anak panah pada dua
sosok bayangan orang yang bergerak cepat bukan main, namun semua anak panah itu luput dan dua
sosok bayaangan orang itu cepat lenyap dalam kegelapan malam di sebelah dalam benteng! Waktu itu
sudah lewat tengah malam, sebagian besar penjaga sudah mengantuk, maka tentu saja mereka menjadi
gempar ketika tiba-tiba terdengar tanda bahaya. Juga para tokoh lihai yang berada di dalam benteng itu
dunia-kangouw.blogspot.com
serentak bangun dan melakukan pengejaran dan pencarian. Namun, dua sosok bayangan orang yang
dikabarkan menyelundup ke dalam benteng itu telah lenyap.
Selagi para tokoh dan penjaga mencari-cari, tiba-tiba terdengar tanda bahaya di sebelah barat,
menandakan bahwa ada pihak musuh menyelundup masuk melalui dinding barat pula. Maka keadaan
menjadi makin gempar, para penjaga lari ke sana sini, para tokoh berkelebatan ke sana-sini mencari-cari
karena dikabarkan bahwa dari dinding sebelah barat ini pun menyelundup masuk dua sosok bayangan
manusia yang memiliki gerakan luar biasa gesitnya. Gegerlah seluruh benteng. Koksu sendiri sampai
terbangun dari tidurnya kemudian dia sendiri bersama para saudaranya memimpin pengejaran dan
pencarian terhadap empat orang penyelundup yang dikabarkan oleh para penjaga amat lihai itu.
Tentu saja sukar bagi empat orang muda itu untuk dapat menyembunyikan diri terus terusan di dalam
benteng setelah para penjaga dan para tokoh yang berkepandaian tinggi itu mencari dengan penuh
semangat. Beberapa kali mereka kepergok oleh para penjaga yang mencari-cari sehingga mereka
terpaksa mempergunakan kepandaian dan lari lagi, dikejar-kejar dan lenyap lagi sehingga keadaan
menjadi makin kacau-balau.
Suma Kian Bu dan Kim Hwee Li melarikan diri ke sebelah dalam. Berkat adanya Hwee Li yang mengenal
baik seluruh tempat di dalam benteng, maka mereka berdua lebih mudah untuk bersembunyi. Hwee Li
hendak mengajak Kian Bu untuk pergi mencari dan menangkap Pangeran Liong Bian Cu.
“Kita bekuk dia dan dengan dia menjadi sandera, kurasa kita akan dapat menaklukkan mereka semua,”
kata Hwee Li. “Kau tangkap dia dan betapa pun lihainya, aku yakin engkau akan dapat menang dan
membuat dia tidak berdaya, Kian Bu. Kemudian kita seret dia keluar dan ancam koksu dan yang lain agar
suka membebaskan Jenderal Kao dan keluarganya.”
“Hemmm, mana mungkin begitu mudah? Kalau koksu menolak?”
“Apa? Menolak? Kita ketuk kepala si hidung kakatua itu sampai dia minta-minta ampun. Dia adalah
seorang Pangeran Nepal, mustahil koksu tidak akan melindunginya dan mengalah. Kita kan hanya minta
tukar orang?”
“Hemmm, kau benar juga, tapi hati-hatilah, karena pangeran itu tentu terjaga kuat. Jangan kau bertindak
ceroboh sehingga belum kita berhasil, engkau akan tertangkap lebih dulu.”
“Cerewet amat sih, kau ikut aku saja. Mari...!”
“Tangkap penjahat...!” Tiba-tiba terdengar bentakan dan seorang perwira meloncat ke depan menyergap
mereka, diikuti oleh enam orang prajurit. Teriakannya ini diikuti oleh teriakan-teriakan enam orang prajurit
itu sehingga keadaan menjadi gaduh.
“Sialan! Diam kau!” Hwee Li berseru, tubuhnya mencelat ke depan, ke arah perwira itu dan sebelum
perwira itu sempat melindungi dirinya, Hwee Li sudah menampar.
Telapak tangan kirinya yang berkulit halus dan hangat itu mengenai telinga kiri si perwira dan terasa
olehnya bagaikan kilat menyambar, panas dan membuat matanya melihat seribu bintang runtuh. Dia
terpelanting dan roboh tak sadarkan diri! Ketika Hwee Li membalikkan tubuh untuk menerjang enam orang
prajurit itu, dia melihat betapa enam orang itu telah roboh semua oleh Kian Bu, padahal dia tadi tidak
mendengar apa apa. Entah apa yang dilakukan oleh Kian Bu kepada enam orang itu sehingga mereka
roboh tanpa mengeluarkan suara dalam waktu secepat itu.
“Kau boleh juga!” Hwee Li memuji. “Mari...!”
Keduanya lalu meloncat dan menyusup di dalam kegelapan di antara bayang-bayang pohon dan rumahrumah
di dalam benteng. Tempat itu segera menjadi gempar ketika beberapa orang penjaga menemukan
tujuh orang yang roboh pingsan itu, roboh tanpa terluka. Akan tetapi pemuda dan dara yang merobohkan
mereka itu telah pergi jauh. Bukan pergi untuk menjauhkan diri dari bahaya, sebaliknya malah karena tibatiba
saja muncul koksu sendiri di depan mereka. Koksu Nepal yang diiringkan oleh sepasukan pengawal
pribadinya yang berjumlah dua losin orang! Bukan main marahnya koksu ketika melihat bahwa dua orang
yang membikin kacau benteng itu bukan lain adalah Siluman Kecil dan Kim Hwee Li.
“Kiranya kalian datang kembali mengantar nyawa?” bentaknya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kian Bu, kau hadapi si botak menjemukan ini, biar aku menghajar pasukan tikus merah itu!” Para
pengawal pribadi koksu memang memakai seragam merah, sesuai dengan si kakek botak yang juga
memakai mantel merah. Kian Bu tidak sempat menjawab karena pendeta Lakshapadma atau Ban Hwa
Sengjin itu memang sudah menerjang ke depan dan menggerakkan kedua lengannya yang amat panjang
itu.
”Hemmmm...!” Kian Bu mendengus dan dia sudah menggerakkan tangan menyambut dengan pukulan
saktinya.
Namun, Koksu Nepal yang sudah pernah merasakan kelihaian pemuda ini, tidak mau mengadu tenaga,
melainkan menggerakkan tubuhnya berpusing dan tubuh itu segera berubah menjadi tubuh yang berlengan
banyak sekali karena dia berpusing seperti gasing. Semua tangan yang menjadi banyak itu menyerang dan
mengirim pukulan, tamparan, dan totokan-totokan maut ke arah tubuh Kian Bu.
Siluman Kecil maklum pula akan kehebatan lawan ini, maka dia tak berani memandang rendah. Cepat dia
mengerahkan ginkang-nya yang istimewa, tubuhnya berkelebatan seperti cahaya kllat ke sana-sini,
menghindarkan diri dari semua serangan, kemudian membalas dengan pukulan-pukulan yang tidak kalah
ampuhnya. Akan tetapi kakek botak yang lihai, orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok itu pun dapat
menghindarkan diri dan kadang-kadang menangkis hingga berkali kali terjadi pertemuan tenaga yang
membuat keduanya terpental saking kuatnya tenaga sinkang yang bersembunyi di kedua tangan masingmasing.
Sementara itu, Hwee Li juga sudah dikeroyok oleh para pengawal yang banyak jumlahnya itu. Mereka
adalah pengawal-pengawal pribadi koksu dalam upacara resmi, dalam kedudukannya sebagai koksu,
maka tentu saja mereka merupakan orang-orang pilihan dari koksu sendiri, dan rata-rata memiliki
kepandaian tinggi. Dalam keadaan lain, pengawal pribadi dari koksu adalah Gitananda. Biar pun para
pengawal pribadi itu tidak selihai Gitananda, namun mereka itu lebih lihai dari para pengawal biasa dan
karena dikeroyok, setelah berhasil merobohkan lima enam orang, Hwee Li mulai terdesak dan terkepung
dengan ketat.
Kian Bu dapat melihat keadaan Hwee Li itu dan dia merasa khawatir sekali. Sekali ini dia tidak dapat
merobohkan koksu dengan cepat karena agaknya koksu kini berlaku hati-hati sekali, memusatkan seluruh
kepandaiannya kepada penjagaan diri sehingga dia tidak sempat membantu Hwee Li. Maka dia lalu
berseru, “Enci Hwee Li, cepat kau larilah!”
Akan tetapi, Hwee Li sama sekali tidak mampu keluar dari kepungan ketat itu. Biar pun dengan amukannya
dia telah merobohkan dua orang lagi, akan tetapi sekarang para pengepungnya memperlebar kepungan
sehingga sukar bagi Hwee Li untuk merobohkan mereka dan juga sukar baginya untuk keluar dari
kepungan belasan orang itu. Dara ini adalah seorang yang amat berani dan cerdik. Melihat keadaan
dirinya, dia tidak putus harapan. Dia pun maklum bahwa pada saat itu Kian Bu tidak dapat membantunya,
dan dia maklum pula bahwa kalau sampai datang lagi pasukan musuh, dia dan Kian Bu tentu akan celaka.
Maka dia lalu menggunakan akal.
“Tikus-tikus merah busuk! Kau tidak ingat siapa aku? Aku adalah tunangan pangeran! Beranikah kalian
menyentuhku? Beranikah kalian menyerangku? Coba kalian bunuh aku, hendak kulihat hukuman apa yang
akan kalian terima dari pangeran!”
Para pengawal itu tentu saja menjadi terkejut. Mereka memang sudah tahu sejak tadi bahwa dara cantik ini
adalah tunangan dan kekasih pangeran. Mereka hanya bergerak karena memandang kepada koksu. Akan
tetapi setelah kini dara itu mengingatkan mereka akan hal itu, mereka menjadi ragu-ragu karena mereka
pun tahu bahwa kata kata dara itu bukan merupakan gertakan kosong belaka. Memang mereka akan
celaka dan dihukum berat oleh pangeran kalau mereka sampai melukai apa lagi membunuh dara ini. Selagi
mereka itu ragu-ragu dan bingung, Hwe Li lalu meloncat dan menerjang keluar dari kepungan, sedangkan
para pengawal yang mengepung itu tidak berani menggerakkan senjata menyerangnya sehingga Hwee Li
dapat dengan mudah keluar dan meloncat jauh.
“Tangkap dia...!” teriak koksu dan kakek ini lalu mengeluarkan suara melengking untuk memanggil para
pembantunya.
Mendengar lengking ini, Hwee Li terkejut dan dia meloncat makin jauh, lalu menengok dan berseru kepada
Kian Bu untuk lari.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Bu memang tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kalau dia menghendaki, biar pun dia tak dapat
dengan mudah merobohkan koksu, tetapi jika hanya untuk melarikan diri dari musuh saja akan dapat dia
lakukan dengan amat mudah. Dia tadi tidak mau melarikan diri karena dia tidak mau meninggalkan Hwee
Li yang terdesak musuh.
“Mari kita lari!” serunya dan dia menggunakan kesempatan selagi koksu melengking tadi untuk menyerang
dengan hebatnya, menggunakan dua tangannya mendorong dengan pukulannya yang amat ampuh.
“Ehhhhh...!” Koksu berseru keras karena terkejut melihat datangnya pukulan ini.
Dia sudah tahu akan kehebatan pemuda ini, maka melihat pukulan yang gerakannya halus, mendatangkan
sambaran angin halus sekali itu, dia tidak berani menerimanya, bahkan lalu cepat melempar tubuh ke
belakang untuk menghindarkan diri. Ketika dia sudah berjungkir balik dan memandang, ternyata Kian Bu
sudah tidak berada lagi di depannya.
Akan tetapi pada saat itu muncul Ngo-ok dan Su-ok diikuti oleh tiga puluhan orang penjaga. Melihat ini,
Hwee Li cepat meloncat ke tempat gelap dan Kian Bu yang hendak mencegah orang-orang itu mengejar
Hwee Li, menyambut mereka dengan terjangannya sehingga dalam waktu sangat singkat, belasan orang
penjaga terpelanting ke kanan kiri. Setelah melihat Hwee Li lenyap, barulah Kian Bu juga melarikan diri.
Sekali berkelebat dia pun meloncat jauh tinggi di atas genteng dan lenyap dalam gelap. Akan tetapi dia
tidak dapat melihat Hwee Li lagi, tidak tahu ke mana perginya dara itu. Mereka berdua telah saling terpisah!
Kalau Kian Bu dan Hwee Li menimbulkan kegemparan sehingga koksu sendiri sampai ikut turun tangan
dan marah-marah karena melihat dua orang itu lenyap lagi, di lain bagian dari dalam benteng itu terjadi
kegemparan lain karena ulah Suma Kian Lee dan Teng Siang In! Mereka pun berhasil menyelundup masuk
ke dalam benteng dan mereka juga ketahuan oleh pihak penjaga, lalu dihujani anak panah yang dengan
mudah dapat mereka hindarkan. Namun mereka tidak dapat menghindarkan diri dari pengeroyokan setelah
mereka berada di atas tanah di sebelah dalam tembok benteng. Dan celakanya mereka dikepung oleh
banyak sekali orang, lebih dari lima puluh orang yang dipimpin oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi
sendiri!
“Siang In, kau larilah dan biar aku menahan mereka!” Kian Lee berseru keras karena pemuda ini
menghawatirkan keselamatan Siang In.
Akan tetapi, tentu saja Siang In tidak mau lari meninggalkan Kian Lee menghadapi bahaya seorang diri
saja. “Hi-hi-hik, kau kira aku takut mati? Mari kita lawan mereka itu!” jawab Siang In sambil memutar
payungnya dan merobohkan dua orang prajurit musuh yang berani mendekat.
Terpaksa Kian Lee juga mengamuk, tetapi pemuda ini langsung menghadapi Hek-tiauw Lo-mo dan Hekhwa
Lo-kwi karena dia maklum betapa lihainya dua orang kakek iblis ini sehingga dia membiarkan Siang In
hanya menghadapi pengeroyokan para penjaga saja.
Mula-mula Siang In mengamuk dengan enaknya. Payungnya segera berubah menjadi bayangan hitam
yang menutupi tubuhnya dan para pengeroyoknya roboh cerai-berai sehingga keadaan mereka menjadi
kacau-balau. Tetapi, keributan itu segera menarik perhatian pasukan-pasukan lain sehingga
berdatanganlah puluhan orang penjaga dan pengawal ke tempat itu sehingga Siang In merasa kewalahan
juga.
“Siang In, lari...!”
“Kau juga tidak!” jawab Siang In yang melihat dengan sudut matanya betapa pemuda itu dengan gagahnya
menghadapi desakan dua orang kakek iblis yang masih dibantu oleh beberapa orang perwira yang lihai.
“Kau lari dulu, nanti aku menyusul!” teriak Kian Lee yang merasa jengkel juga melihat kebandelan dara itu.
“Lee-koko, tunggulah aku menciptakan asap hitam, baru kita lari!” Dara itu berteriak nyaring.
Dan tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan ketika dia mengebutkan saputangannya,
nampaklah asap hitam mengebul dan memenuhi tempat itu. Dara ini telah mempergunakan ilmu sihirnya!
Semua pengeroyok terkejut dan bingung, dan kesempatan itu dipergunakan oleh Siang In dan Kian Lee
untuk melarikan diri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi terdengar suara gerengan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dan seketika asap hitam itu
membuyar dan lenyap. Kembali dua orang muda itu dikeroyok dan mereka berdua terpaksa membela diri
dan kini mereka terpisah sehingga ketika keduanya berhasil melarikan diri, mereka sudah tidak dapat
saling melihat lagi. Kian Lee merasa gelisah dan dia berloncatan ke atas genteng mencari-cari Siang In,
namun dara itu lenyap entah ke mana.
Siang In juga tidak berhasil mencari Kian Lee karena dia terdesak oleh banyaknya prajurit musuh yang
mengejarnya. Dia terpaksa melarikan diri karena tidak mungkin dia melawan pengeroyok yang demikian
banyaknya, baik dengan menggunakan ilmu silat mau pun ilmu sihirnya. Dia maklum bahwa kalau tokohtokoh
lihai sampai bermunculan, dia tentu akan celaka, maka dia cepat melarikan diri menyelinap di antara
pohon-pohon dan bangunan-bangunan sampai akhirnya dia tidak dikejar lagi.
Dengan napas terengah-engah dan tubuh basah oleh peluh, dara ini berhenti berlari di belakang sebuah
bangunan sunyi. Aku harus mengaso dulu, pikirnya dan tempat itu amat sunyi, baik untuk melepaskan lelah
mau pun mengumpulkan kembali tenaganya. Sambil memanggul payungnya, dara ini melangkah pelan ke
tempat gelap di belakang bangunan, dengan maksud untuk beristirahat di tempat gelap itu.
Dia meletakkan payungnya di atas lantai ruang belakang rumah yang agaknya kosong itu, kemudian dia
duduk bersila di atas lantai yang dingin. Enak sekali rasanya duduk di lantai dingin itu setelah
mengerahkan banyak tenaga dalam pertempuran tadi, dan sungguh menyenangkan tempat sunyi ini
setelah tadi dia dikeroyok banyak orang. Siang In menarik napas panjang, mulai mengatur pernapasan
untuk memulihkan tenaga. Akan tetapi, hatinya tak dapat tenang, pikirannya selalu membayangkan wajah
Kian Bu dan Hwee Li dan setiap kali dia teringat kepada dua orang itu, jantungnya berdebar tegang dan
hatinya merasa panas sekali. Panas oleh cemburu!
Dia masih terheran-heran karena sama sekali tidak pernah menyangka bahwa Siluman Kecil itu ternyata
adalah Suma Kian Bu, pemuda yang selama ini dicari-carinya, pemuda yang pernah menciumnya dan
yang belum pernah dapat dia lupakan selama dia ikut dengan gurunya, yaitu See-thian Hoat-su! Dan dia
malah pernah bertemu dengan Siluman Kecil! Sekarang, begitu bertemu dia melihat pemuda yang dicaricarinya
itu berpacaran dengan seorang dara lain yang cantik jelita, galak dan berwatak rendah, hati siapa
takkan menjadi panas? Bayangan Kian Bu dengan Hwee Li selalu mengganggu pikirannya sehingga dia
tidak dapat beristirahat dengan sempurna. Berulang kali dia menghela napas panjang untuk melepas
kemarahan hatinya.
“Byar-byar-byarrr...!” Tiba-tiba tempat yang gelap itu menjadi terang sekali oleh sinar lampu yang
dinyalakan orang dengan serentak, dan kesunyian dipecahkan suara orang orang yang tahu-tahu sudah
mengurung tempat itu!
Siang In terkejut, menyambar payungnya dan meloncat berdiri. Kiranya di situ telah berdiri seorang tosu
berwajah bengis, bertubuh tinggi kurus yang memegang sebatang pedang di tangan kanannya, diikuti oleh
tujuh orang prajurit pengawal. Delapan orang ini sudah mengepung tempat itu!
Tosu ini bukan lain adalah Hak Im Cu, seorang tosu yang berkepandalan tinggi, seorang di antara
pembantu-pembantu Hw-i-kongcu Tang Hun yang kini telah bersekutu dengan Koksu Nepal. Ketika tosu ini
juga ikut mencari orang-orang yang dikabarkan mengacau di dalam benteng, diikuti tujuh orang anggota
Liong-sim-pang yang kini sudah menjadi prajurit pengikut Koksu Nepal, dia melihat berkelebatnya tubuh
dara cantik membawa payung itu. Tentu saja dia menjadi curiga karena sepanjang pengetahuannya, tidak
ada seorang dara seperti itu di dalam benteng. Maka cepat dia mengurung tempat itu dan secara tiba-tiba
dia menyalakan lampu-lampu bersama anak buahnya.
“Hemmm, kiranya pengacau itu adalah seorang nona muda. Betapa berani mati sekali engkau. Hayo lekas
engkau menyerah sebelum kami menggunakan kekerasan untuk menangkapmu!” Hak Im Cu membentak
marah.
Siang In menuding dengan payung hitamnya, lalu berkata mengejek, “Kiranya para pemberontak dan
orang-orang Nepal telah berhasil pula memikat hati segala macam tosu palsu untuk berkhianat kepada
negara!”
“Bocah bermulut lancang!” Tosu tinggi kurus berwajah bengis itu tiba-tiba bergerak ke depan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siang In mengeluarkan seruan kaget sambil meloncat ke samping, payungnya bergerak untuk melindungi
dirinya. Tidak disangkanya bahwa tosu itu dapat bergerak sedemikian cepat, tahu-tahu tangan tosu itu
sudah menyambar hendak mencengkeram pundaknya. Kalau dia tidak cepat-cepat menggerakkan
payungnya, tentu pundaknya sudah kena dicengkeram. Tosu itu agaknya maklum akan kelihaian payung di
tangan nona itu, maka dia menarik kembali tangannya, tetapi melanjutkan serangannya dengan tendangan
kilat yang kembali hampir mengenai paha Siang In yang meloncat ke belakang.
Melihat betapa dua kali serangannya gagal, Hak Im Cu menjadi marah. Bahkan dalam penyerangannya
kedua itu, bukan saja si nona cantik dapat menghindarkan diri dari tendangan, melainkan payung itu juga
digerakkan secara aneh dan hampir saja ujung payung yang runcing menusuk perutnya.
“Singggggg...!” Hak Im Cu menyerang dengan pedangnya dan bersama tujuh orang anggota Liong-simpang
dia lalu menerjang dan mengeroyok Siang In.
“Trang-trang-tranggg...!” Siang In memutar payungnya untuk menangkis banyak senjata tajam yang
menyambar ke arahnya dari berbagai jurusan itu.
Diam-diam Siang In mengeluh. Dari tangkisan itu tahulah dia bahwa selain tujuh orang pembantu tosu itu
rata-rata memiliki kepandaian lumayan, juga tosu itu sendiri amat kuat dan merupakan lawan tangguh. Dia
tidak melihat jalan untuk meloloskan diri kecuali menggunakan sihirnya.
“Kalian adalah laki-laki semua bukan?” Tiba-tiba suara merdu Siang In terdengar di antara suara
beradunya senjata mereka. Biar pun tidak ada di antara mereka yang menjawab, namun di dalam hati
mereka, delapan orang membenarkan ucapan Siang In. Memang mereka adalah laki-laki, pria sejati!
“Kalian delapan laki-laki yang suka makan makanan enak, mana mampu bertempur?”
Delapan orang itu tertarik dan biar pun tangan kaki mereka masih bergerak mengeroyok dara itu, namun
telinga mereka dipasang untuk mendengarkan. Siapa orangnya tidak suka makanan enak? Dan apa
hubungannya makanan dengan bertempur?
“Makanan enak membuat perut sakit. Perut kalian sakit... aduhhh..., perutku sakit, mulas sekali...!” Tiba-tiba
Siang In meloncat ke belakang, kemudian menggunakan tangan kiri menekan-nekan perutnya sendiri,
dengan wajah membayangkan kenyerian hebat.
Sungguh aneh bukan main. Delapan orang itu semua memandang wajah Siang In dan ketika mereka
melihat wajah yang cantik manis itu membayangkan kenyerian, mendengar kata-kata Siang In itu, tiba-tiba
saja mereka semua merasa betapa perut mereka juga sakit bukan main, mulas dan seperti diremas-remas
rasanya!
“Aduh... perutku...”
“Aduh mulas... ahhh...!”
“Tak tertahankan... ingin buang air...!”
Sungguh aneh dan lucu pemandangan pada waktu itu. Delapan orang itu kini tidak lagi mengeroyok Siang
In, melainkan menekan-nekan perut sendiri dengan muka mereka membayangkan kesakitan hebat.
Hak Im Cu sebagai seorang tokoh berkepandaian tinggi dari dunia kang-ouw, tentu saja melihat ketidak
wajaran ini dan dia sudah menduga dengan terkejut sekali bahwa keadaan itu bukan semestinya dan tentu
adalah pengaruh dari ilmu hitam atau ilmu sihir. Maka dia mengerahkan sinkang-nya melawan rasa mulas
di perutnya itu. Akan tetapi sebelum dia berhasil menolak pengaruh ilmu sihir yang dipergunakan oleh
Siang In, dara yang bermata tajam ini melihat usaha dari tosu itu dan dia cepat menggerakkan payungnya,
menghantam dari samping mengenai leher tosu yang sedang berusaha membebaskan diri dari pengaruh
ilmu sihir.
“Dessss...!” Tubuh tosu itu terpelanting dan roboh pingsan!
Tujuh orang lain yang masih tersiksa oleh sakit perut, kini tak dapat menahan lagi dan di antara mereka
sudah ada yang melepas celana mereka, bertelanjang untuk buang air di situ juga! Melihat ini, tentu saja
wajah Siang In menjadi merah sekali, dia membuang muka dan meludah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ihhh, sialan!” Dara itu berseru dan cepat melarikan diri dari tempat itu.
Karena dia melarikan diri dan merasa jijik dan malu, maka otomatis pengaruh sihirnya lenyap dan tujuh
orang itu sadar kembali, perut mereka sembuh seketika dan mereka baru tahu bahwa mereka tadi
dipermainkan oleh dara itu. Marahlah mereka, apa lagi melihat betapa tosu pimpinan mereka masih
pingsan dan sambil berteriak-teriak mereka melakukan pengejaran.
Siang In berlari makin cepat. Dia tidak takut menghadapi tujuh orang itu, akan tetapi dia takut terhadap
teriakan-teriakan mereka karena teriakan-teriakan itu dapat memancing datangnya tokoh-tokoh dalam
benteng dan akan celakalah dia kalau sampai mereka semua muncul. Di antara mereka banyak terdapat
orang pandai yang memiliki ilmu silat jauh lebih tinggi dari pada dia, bahkan ada pula yang memiliki ilmu
sihir yang akan dapat melawan ilmunya sendiri. Maka dia lalu cepat menyusup di antara kegelapan
bayangan-bayangan rumah dan menghilang dari kejaran tujuh orang itu.
Siang In terengah-engah menghapus peluhnya dengan saputangan. Dia tiba di sudut sebuah rumah yang
gelap, terhindar dari pengejaran semua orang. Celaka, pikirnya. Ke mana perginya Kian Lee? Baru saja dia
dapat bernapas panjang melepaskan lelah, tiba tiba terdengar hiruk-pikuk di belakangnya, suara
sepasukan tentara musuh yang mendatangi tempat itu, mencari-cari. Dia terkejut dan lari lagi menjauhi.
Pada saat dia membelok ke belakang sebuah bangunan besar, hampir saja dia bertabrakan dengan
sesosok bayangan orang yang juga berlari cepat dan membelok di sudut bangunan itu.
“Heeeiiittttt!”
“Aihhhhh!”
Keduanya sudah mendorong dengan lengan tangan dan karena dorongan ini, keduanya terlempar ke
belakang. Mereka berjungkir balik, meloncat dan siap menghadapi musuh yang hampir ditabrak itu, berdiri
saling pandang.
“Kau...?”
“Hemmm, kiranya engkau?”
Dua orang dara yang sama-sama cantik jelita itu dan sama-sama kaget itu saling pandang. Kiranya orang
yang hampir menubruk Siang In itu adalah Kim Hwee Li!
“Kau perawan genit dan binal!” Siang In sudah memaki karena rasa cemburu sudah membakar hatinya
begitu dia bertemu dengan dara yang dianggapnya sebagai pacar dari Siluman Kecil itu.
Di lain pihak, Hwee Li juga marah sekali melihat dara yang dianggapnya merampas Kian Lee dari dirinya,
maka dengan mata terbelalak melotot dia pun menudingkan telunjuknya, dengan marah. “Ahh, engkau
perempuan tak tahu malu!”
“Engkau yang tak tahu malu!”
“Engkau perampas laki-laki!”
“Engkau yang pengeret hina!”
Mereka saling maki dan akhirnya tak dapat dicegah lagi keduanya saling serang dan kembali seperti ketika
mereka bertemu di luar tembok benteng, kini pedang dan payung itu sudah saling serang dengan seru dan
hebatnya! Akan tetapi pertandingan mati matian ini hanya berjalan belasan jurus saja karena tiba-tiba
muncullah pasukan yang belasan orang banyaknya, dipimpin oleh Hwa-i-kongcu sendiri!
Melihat Hwee Li, Hwa-i-kongcu tertawa. “Aha, kiranya puteri liar dari Hek-tiauw Lo-mo yang ikut mengacau
di sini!”
Pertempuran antara Hwee Li dan Siang In otomatis berhenti dan dua orang dara itu serentak lalu
menyerang Hwa-i-kongcu yang menjadi kelabakan karena serangan dua orang dara itu sama sekali tidak
boleh dipandang ringan. Tidak berani dia memandang rendah, maka dia sudah mencabut pula pedangnya
yang tipis, diputarnya cepat untuk melindungi tubuhnya sambil berseru kepada anak buahnya untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
bergerak menangkap dua orang dara itu. Maka dikeroyoklah Hwee Li dan Siang In yang kini mau tidak mau
terpaksa harus bertempur bahu-membahu dan saling melindungi! Memang aneh sekali. Mereka itu saling
benci dan saling marah satu sama lain, akan tetapi nyatanya mereka sekarang menghadapi musuh yang
sama sehingga mereka menghadapi lawan secara bersama-sama.
Hwee Li yang sekarang menimpakan kemarahannya kepada Hwa-i-kongcu Tang Hun, memutar
pedangnya dengan nekat dan menerjang laki-laki muda pesolek itu dengan dahsyat, membuat Tang Hun
mundur-mundur dan terus didesak oleh Hwee Li. Dara yang gagah perkasa dan tidak mengenal rasa takut
itu tidak tahu betapa sebenarnya ketua Liong-sim-pang yang cerdik ini memang sengaja memancingnya
hingga terpisah dari Siang In.
Kini Siang In dikeroyok oleh belasan orang anak buah Liong-sim-pang sedangkan Hwee Li menghadapi
Tang Hun seorang diri dalam pertandingan mati-matian yang amat seru. Siang In yang sudah merasa lelah
itu tidak mau banyak membuang tenaga. Dia cepat mengerahkan tenaga batinnya dan mengeluarkan
suara melengking nyaring disusul oleh kata-katanya yang merdu namun mengandung pengaruh luar biasa.
“Ahhh, kalian ini segerombolan laki-laki yang gagah perkasa mengapa mengeroyok seorang dara yang
lemah dan tak berdaya? Kalian merasa malu jika harus mengeroyok seorang anak perempuan!”
Memang luar biasa pengaruh kata-kata yang merdu dan lembut itu. Seketika para pengeroyok itu menahan
senjata mereka, memandang kepada Siang In dengan muka merah karena malu, dan mereka ragu-ragu,
tidak tahu harus berbuat apa. Kesempatan ini tidak disia-siakan oleh Siang In yang sudah meloncat
dengan cepatnya, lenyap dari situ, meninggalkan para pengeroyoknya yang bengong. Akan tetapi setelah
Siang In lenyap, baru mereka sadar bahwa mereka telah membiarkan seorang musuh lolos, maka mereka
menjadi sibuk dan kini mereka semua mengeroyok Hwee Li yang masih bertanding dengan serunya
melawan Hwa-i-kongcu Tang Hun. Melihat ini, Tang Hun terkejut.
“Mundur semua! Mana wanita itu tadi?”
“Dia... dia sudah melarikan diri...” Seorang di antara mereka menjawab.
“Bodoh, kejar!” teriak Tang Hun dan kini dia menangkis pedang Hwee Li, kemudian dia membentak, “Nona
Hwee Li, hayo kau berlutut!”
Bentakan ini mengandung kekuatan batin karena Tang Hun telah mempergunakan ilmu sihirnya. Hwa-ikongcu
Tang Hun, ketua Liong-sim-pang adalah murid dari Durganini, seorang nenek iblis dari India, ahli
sihir, maka tentu saja dia pun pandai menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi batin lawan.
Seketika Hwee Li merasa betapa kedua kakinya lemas dan tanpa dapat ditahannya lagi, dia sudah
menjatuhkan diri berlutut. Namun, Hwee Li adalah seorang dara gemblengan yang sejak kecil digembleng
oleh seorang manusia iblis seperti, Hek-tiaw Lo-mo, bahkan dia lalu menjadi murid seorang wanita sakti
seperti Lu Ceng Ceng dan karena berdekatan dengan suami subo-nya ini yaitu Si Naga Sakti Gurun Pasir,
maka dia bukan merupakan dara biasa yang mudah saja dikuasai sihir. Dia masih sadar bahwa dia
diserang orang dengan sihir, maka dia menggunakan kecerdikannya. Biar pun dia sudah berlutut, namun
dia masih memegang pedangnya dan kini dia cepat mengangkat muka memandang kepada Tang Hun.
“Hwa-i-kongcu Tang Hun, engkau tahu siapa aku? Aku adalah tunangan dari Pangeran Bharuhendra!
Beranikah kau kurang ajar kepada calon permaisuri Raja Nepal?”
Ucapan dara itu sungguh amat mengejutkan hati Tang Hun. Pemuda pesolek ini adalah seorang yang
berilmu tinggi dan tidak mudah baginya untuk merasa terkejut, apa lagi takut. Akan tetapi, terhadap
Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Nepal, apa lagi setelah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok juga menjadi kaki
tangan Pangeran Nepal, dia benar-benar tahu bahwa pangeran itu memiliki kedudukan yang amat kuat dan
dia tahu akan kelemahannya menghadapi mereka. Oleh karena itulah maka dia mau membonceng
kekuasaan itu dan mau bersekutu dengan Pangeran Nepal. Kini, di ingatkan bahwa Hwee Li adalah
tunangan dan calon isteri Pangeran Liong Bian Cu, dia terkejut bukan main. Memang dia sendiri pun tahu
betapa besar cinta kasih Pangeran Liong Bian Cu kepada dara cantik jelita dan lincah ini, maka diingatkan
demikian, dia termangu.
“Mampuslah!” Tiba-tiba Hwee Li meloncat dan pedangnya menyambar ke arah dada Tang Hun.
“Aihh...! Cringgg...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tang Hun kaget bukan main, sedapatnya dia menangkis pedang itu dengan pedangnya. Akan tetapi
karena serangan itu datangnya tidak tersangka-sangka, pada saat Hwee Li menggerakkan kakinya
menendang dia tidak mampu mempertahankan dirinya lagi.
“Dessss!”
Pahanya kena ditendang sehingga tubuh Tang Hun terlempar ke belakang. Ketika dia merangkak bangun
sambil meringis oleh karena pahanya terasa nyeri bukan main, dia melihat bahwa Hwee Li telah lenyap
melarikan diri. Terpincang-pincang dia mengejar sambil menyumpah-nyumpah karena merasa bodoh.
Kiranya ketika dia terkejut tadi, kekuatan sihirnya pun lenyap sehingga dara itu dapat bergerak dan
menyerangnya.
Sementara itu, Kian Bu yang terpisah dari Hwee Li mencari-cari dara itu. Tentu saja tidak mudah mencari
Hwee Li di tempat itu, di mana pasukan musuh sibuk mengejar dan mencari-cari mereka. Maka Kian Bu
mencari Hwee Li sambil juga bersembunyi sembunyi jangan sampai bertemu dengan para prajurit musuh
dan tokoh-tokoh lihai yang berkeliaran di dalam benteng. Dia tidak begitu khawatir akan keselamatan Hwee
Li karena dia maklum bahwa selain lihai sekali, juga gadis itu amat cerdik dan menurut ceritanya, gadis itu
dicinta oleh Pangeran Liong Bian Cu, maka keselamatan gadis itu agaknya tidak begitu mengkhawatirkan.
Dia harus dapat mencari sendiri Pangeran Liong Bian Cu untuk cepat dibekuk, karena itulah kiranya satusatunya
untuk menguasai benteng dan menyelamatkan para tawanan.
Tiba-tiba dia melihat ribut-ribut di bawah. Dia mendekam di atas wuwungan dan memandang ke bawah. Di
bawah sinar lampu dan obor, dia melihat seorang pemuda sedang dikeroyok oleh belasan orang prajurit
yang dipimpin oleh seorang kakek bertubuh gorilla yang amat mengerikan. Kiranya kakek itu adalah Su Lo
Ti yang memiliki kepandaian seperti iblis! Dan pemuda yang dikeroyok itu adalah Suma Kian Lee!
Dikeroyok oleh belasan orang itu, Kian Lee bersilat seenaknya saja dan setiap orang pengeroyok yang
berani mendekat, tentu roboh oleh tamparan atau tendangannya. Kakek gorilla itu hanya menonton dan
berdiri sambil berpangku tangan. Kemudian dia menurunkan kedua lengannya yang panjang, lalu
mengangkat sebelah tangan ke atas sambil berkata, “Mundur kalian semua!”
Para pengeroyok itu berloncatan mundur dan menolong teman-teman yang sudah roboh. Kakek itu
melangkah dengan langkah seekor monyet besar, menghadapi Kian Lee yang memandang kepada kakek
gorilla itu dengan sinar mata tajam dan penuh kewaspadaan. Kian Lee yang sudah pernah bentrok dengan
kakek ini maklum betapa lihai dan berbahayanya orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini, akan tetapi tentu
saja dia sama sekali tidak merasa jeri. Sinar mata yang mencorong dan mengeluarkan cahaya kehijauan
dari kakek itu menandakan bahwa kakek itu telah menampung tenaga sinkang yang luar biasa. Ketika
melihat Kian Lee dan sikapnya yang berani, kakek itu tersenyum.
“Sungguh berani mati sekali, sudah pernah lolos dari bahaya sekarang malah berani mendatangi tempat ini
lagi. Sungguh pemuda Pulau Es yang mengagumkan dan patut dihormati!”
Dari atas genteng, Kian Bu melihat dengan penuh kecurigaan dan hampir saja dia berteriak
memperingatkan kakaknya ketika kakek gorilla itu menjura. Akan tetapi, Kian Lee adalah seorang pemuda
berwatak tenang namun waspada, maka begitu kakek itu menjura, dia pun cepat membalas dengan sikap
hormat, akan tetapi tidak melepaskan kewaspadaan.
Benar saja, begitu kakek itu menjura, ada angin dahsyat menyambar dari kedua tangan kakek itu ke arah
Kian Lee. Pemuda yang sudah siap ini cepat mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-kang untuk mendorong
dan menangkis.
Nampak asap mengepul ketika dua hawa itu bertemu dan Kian Lee terkejut juga karena ternyata olehnya
betapa kuatnya sinkang dari kakek itu. Maka dia lalu meloncat ke pinggir menghindarkan adu tenaga
secara langsung. Sebaliknya, Twa-ok Su Lo Ti yang curang luar biasa itu tersenyum.
“Bagus, tidak kecewa menjadi penghuni Pulau Es. Orang muda, mari kita main-main sebentar!” Dan kakek
itu sudah menerjang dengan dahsyatnya.
Memang hebat sekali kepandaian orang pertama Im-kan Ngo-ok ini. Angin menyambar nyambar, bukan
hanya dari kedua tangannya berikut lengan baju yang panjang, akan tetapi juga dari kedua kakinya dan
angin yang menyambar itu mengandung hawa yang amat panas dan mengeluarkan bunyi bercuitan! Kian
dunia-kangouw.blogspot.com
Lee maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk melawan,
menangkis, mengelak dan balas menyerang.
Namun, tiap kali mereka berdua mengadu lengan atau mengadu hawa pukulan, selalu Kian Lee merasa
terdorong ke belakang dan dadanya terasa nyeri karena tertekan oleh tenaga mukjijat yang aneh! Dia
makin terkejut, namun dia melawan sekuatnya, karena dalam keadaan terdesak dan terkepung, tidak
mungkin dia akan dapat meloloskan diri sebelum dia mengalahkan kakek lihai ini.
“Lee-ko, kau serang bagian bawahnya!” Mendadak terdengar seruan nyaring dan ada bayangan orang
berkelebat dari atas, cepatnya seperti halilintar menyambar dan tahu tahu Twa-ok Su Lo Ti merasa ada
angin pukulan dahsyat menyambar ke arah ubun ubun kepalanya. Dan pada saat itu, Kian Lee yang
maklum bahwa adiknya sudah muncul dan membantunya, cepat-cepat melancarkan pukulan Swat-im Sinciang
yang berhawa dingin ke arah pusar kakek itu.
“Aughhhhh...!” Twa-ok Su Lo Ti mengeluarkan gerengan nyaring sampai seluruh tempat itu seperti tergetar,
dan biar pun penyerangan kakak beradik itu dahsyat, dan cepat, namun dia masih dapat menggunakan
lengan kanan menangkis hantaman Kian Bu dan lengan kirinya menangkis pukulan Kian Lee.
“Dukkk...! Desss...!”
Tubuh Kian Lee mencelat ke belakang sedangkan tubuh Kian Bu juga berjungkir balik beberapa kali. Kakek
yang lihai itu hanya tergetar dan terhuyung saja, padahal Kian Bu sudah menggunakan tenaga gabungan
Im dan Yang, yaitu tenaga mukjijat yang pernah membuat koksu roboh pingsan. Namun kakek gorilla ini
hanya tergetar dan terhuyung, padahal pukulan Kian Bu tadi dibantu oleh pukulan Kian Lee yang juga amat
kuatnya. Hal ini saja sudah membuktikan betapa lihainya Twa-ok, orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu.
Twa-ok memandang dengan kaget. “Ah, kiranya engkau yang disebut Siluman Kecil? Hebat, hebat!
Sungguh orang-orang muda yang hebat,” katanya halus akan tetapi tiba tiba saja tubuhnya sudah
menyerang ke depan, berputar-putar seperti gasing dan dari gerakan kedua tangannya menyambar tenaga
yang amat kuatnya.
Kian Bu dan Kian Lee cepat menyambut dengan tangkisan dan serangan balasan, namun keduanya
maklum bahwa kakek ini memang benar-benar amat kuat. Kian Bu sendiri yang sudah banyak menghadapi
orang kuat, diam-diam harus memuji dan mengakui bahwa selama ini baru sekarang dia bertemu dengan
lawan yang benar benar amat menggiriskan. Tingkat kepandaian kakek bermuka monyet ini lebih tinggi
dari pada tingkat kepandaian Sin-siauw Sengjin, kakek yang menyimpan pusaka pusaka Suling Emas itu!
Akan tetapi sekali ini Kian Bu dibantu oleh kakaknya, Kian Lee yang kepandaiannya juga sudah meningkat
tinggi sekali, maka dua kakak beradik ini dapat mengimbangi permainan silat yang aneh dari Twa-ok.
Akan tetapi, mereka harus mengakui bahwa untuk mengalahkan kakek itu bukanlah hal yang mudah, dan
mereka berdua berada di tempat berbahaya. Baru seorang kakek ini saja sudah sehebat itu, kalau sampai
datang yang lain-lain bukankah keselamatan mereka terancam bahaya?
“Lee-ko, mari kita pergi!” kata Kian Bu dan tiba-tiba saja pemuda ini menyambar tangan kakaknya dan
sekali bergerak, mereka sudah melesat seperti kilat cepatnya ke atas genteng, dan dengan beberapa
loncatan lagi mereka telah lenyap dari pandang mata.
Twa-ok tidak mengejar, melainkan bengong memandang ke atas genteng dan berulang kali dia menarik
napas panjang, lalu dia menggeleng-geleng kepalanya.
“Hebat... hebat...!” Dia masih tertegun karena harus diakui bahwa selama hidupnya baru sekarang dia
menyaksikan ginkang seperti itu! Dia sendiri maklum dalam hal ginkang, dia tidak akan menang melawan
Siluman Kecil. Dan kalau dia dikeroyok dua, dia masih ragu-ragu apakah dia pun akan dapat mengalahkan
dua orang muda yang amat hebat itu.
Sementara itu Kian Bu dan Kian Lee cepat menjauhkan diri, kemudian bersembunyi di wuwungan rumah
yang gelap.
“Ah, kakek monyet itu benar-benar lihai sekali,” kata Kian Bu.
“Untung engkau keburu datang, Bu-te. Kalau tidak, kiranya aku tidak akan mampu mengalahkan dia.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lee-ko, tempat ini berbahaya sekali. Melawan banyak orang pandai dengan kekerasan tentu tidak ada
gunanya dan kita akan gagal. Sebaiknya kita mencari dan menangkap Pangeran Liong Bian Cu itu. Sekali
dia sudah berada di tangan kita, kita dapat memaksa Koksu Nepal dan yang lain untuk menyerah.”
Kian Lee mengangguk. “Pikiran yang baik sekali, Bu-te. Akan tetapi ke mana kita harus mencarinya?”
“Dia tentu berada di salah satu di antara rumah-rumah ini. Kita harus mencarinya sampai dapat. Mari!”
Kakak beradik ini sama sekali tidak mau menyinggung soal Siang In dan Hwee Li. Keduanya merasa
sungkan karena keduanya menduga bahwa tentu masing-masing mencinta dara yang melakukan
perjalanan bersama itu. Kian Lee menduga bahwa Kian Bu jatuh cinta kepada Hwee Li, sebaliknya Kian Bu
juga menduga bahwa Kian Lee tentu jatuh cinta kepada dara cantik jelita berpayung itu. Maka keduanya
tutup mulut, tidak berani saling bertanya tentang dara-dara itu, padahal di dalam hati, mereka itu merasa
heran dan bertanya-tanya ke mana perginya dara yang tadinya bersama masing-masing itu.
Suasana makin menjadi gempar ketika beberapa kali para penjaga bentrok dengan Kian Lee, Kian Bu,
Siang In, dan Hwee Li yang telah berpencaran dan terpisah-pisah itu. Seluruh pembantu yang pandai
dikerahkan, bahkan Pangeran Liong Bian Cu sendiri memerintahkan agar para pengacau itu dapat
ditangkap hidup-hidup. Bahkan Koksu Nepal sendiri pun turun tangan, keluar dari kamarnya untuk
memimpin para penjaga melakukan pencarian dan pengejaran.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru