Minggu, 20 Agustus 2017

Kho Ping Hoo Jawa Jodoh Rajawali 8

Kho Ping Hoo Jawa Jodoh Rajawali 8 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Kho Ping Hoo Jawa Jodoh Rajawali 8
kumpulan cerita silat cersil online
-Siang In kecewa. Tadinya dia mengharapkan bahwa pertemuannya dengan saudara Kian Bu akan dapat
membawa dia bertemu dengan Kian Bu, kiranya orang ini malah bertanya kepadanya di mana adanya Kian
Bu! Dia menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dia berada di mana. Aku... aku sedang mencari Puteri Syanti
Dewi yang diculik orang dan kabarnya dibawa ke sekitar daerah ini.”
Kian Lee makin tertarik dan memandang lebih tajam penuh selidik. Dipandang seperti itu oleh pemuda
yang bersikap halus dan amat tampan ini, Siang In merasa malu sendiri dan teringat akan kenakalannya
tadi, kedua pipinya menjadi merah sekali dan dia menundukkan mukanya.
“Nona, engkau mengenal pula Puteri Syanti Dewi?”
“Mengenal? Dia sahabat baikku, kami sudah seperti saudara saja. Sayang dia sampai dapat lolos dari
penjagaanku!”
“Kalau engkau sudah mengenal Kian Bu, dan menjadi sahabat baik Syanti Dewi, berarti engkau seorang
sahabatku pula. Siapakah namamu, Nona?”
“Aku Teng Siang In.”
Kian Lee mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Teng Siang In...? Siang In...?” Tiba tiba wajahnya
berseru ketika dia mengangkat muka memandang wajah nona itu. “Ahh, tahu aku sekarang! Bukankah
engkau adalah murid See-thian Hoat-su? Kian Bu pernah bercerita tentang dirimu kepadaku!”
Wajah itu menjadi semakin merah dan semakin cantik saja. Siang In melangkah maju mendekati Kian Lee,
bertanya mendesak, “Benarkah? Apa saja yang diceritakannya tentang diriku kepadamu?”
Kian Lee menggeleng kepala. “Tidak banyak, hanya bahwa engkau dan enci-mu yang bernama... ahhh,
lupa lagi aku...”
“Mendiang Enci Siang Hwa?”
“Benar, Siang Hwa yang menurut Kian Bu tewas di perahu. Katanya bahwa engkau dan enci-mu adalah
keturunan atau anak-anak dari mendiang Yok-sin, ahli pengobatan yang amat terkenal di lembah Pekthouw-
san, dan bahwa engkau kemudian menjadi murid See-thian Hoatsu. Ah, pantas saja engkau pandai
ilmu silat, ahli dalam ilmu sihir, dan tentu engkau seorang ahli pengobatan pula, Nona.” Kian Lee
memandang penuh rasa kagum. “Engkau masih begini muda sudah amat pandai, sungguh
mengagumkan.”
Wajah yang tadinya berseri amat cantiknya mendengar pujian itu, tiba-tiba saja berubah sama sekali
menjadi bersungut-sungut, seperti langit yang tadinya cerah tiba-tiba telah tertutup mendung. Luar biasa
sekali cepatnya perubahan pada wajah dara ini, hal ini menunjukkan bahwa keadaan hatinya juga mudah
sekali berubah. Dara seperti ini mudah marah, mudah gembira, mudah berduka dan mudah bersuka, akan
tetapi biar pun bersungut-sungut, tidak pernah kehilangan kemanisan wajahnya yang memang cantik
rupawan. Dan pada dasarnya dara ini berwatak jenaka dan periang, sehingga bersungut-sungut pun hanya
sebentar saja, seperti angin lalu.
“Pandai apanya? Kalau tidak ada engkau yang datang menolong, tentu aku yang kau puji-puji pandai ini
sudah menjadi mayat!” Dia termenung lalu melanjutkan, “Dua orang itu ternyata lihai sekali!”
Kian Lee lalu teringat kepada dua orang yang tadi mengeroyok dara ini. “Ahh, siapakah mereka, Nona?
Dan mengapa pula kau berkelahi dengan mereka?”
Kembali terjadi perubahan hebat pada wajah cantik itu. Kalau tadi dia bersungut-sungut menunjukkan
kekesalan hatinya, kini berubah marah dan sepasang mata yang indah itu seperti memancarkan cahaya
dunia-kangouw.blogspot.com
berapi yang panas, yang ditujukan kepada Kian Lee, dan suaranya nyaring dan marah, “Aih, kalau tidak
ada engkau yang lancang turun tangan menggangguku, tentu sekarang juga aku sudah berhasil
membekuk mereka Hemmm, kalau tidak teringat betapa tadi engkau menyelamatkan nyawaku, tentu
engkau sudah kuanggap musuh dan kuserang mati-matian! Engkau ini memang seorang yang aneh,
membikin aku bingung apa yang harus kulakukan terhadap dirimu!”
Kian Lee adalah seorang pemuda pendiam yang biasanya tidak suka banyak bicara, tetapi menghadapi
seorang dara seperti ini, yang memiliki kepribadian amat menarik, yang berubah-ubah sikapnya, penuh
daya hidup dan semangat, mau tidak mau dia terseret juga.
“Apa maksudmu?” tanyanya.
“Mengingat kau tadi menggagalkan usahaku yang hampir saja berhasil menangkap dua orang penculik itu,
sepatutnya kau kubunuh, tetapi mengingat kau telah menyelamatkan nyawaku, tidak mungkin aku
memusuhimu.”
Kian Lee tersenyum, akan tetapi dia kurang memperhatikan semua kata-kata yang seperti kanak-kanak itu
karena dia teringat akan penuturan Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, maka dia berkata, “Nona Siang In...“
“Sudahlah, kalau kau tidak menganggap aku sahabat, lebih baik aku pergi saja...,“ dan tiba-tiba Siang In
membalikkan tubuhnya, mengempit payungnya dan berjalan pergi. Lenggangnya yang wajar tidak dibuatbuat
itu menonjolkan keindahan tubuhnya karena dia berjalan seperti orang menari-nari saja layaknya!
Tentu saja Kian Lee menjadi bengong dan ketika sadar bahwa dara itu benar-benar meninggalkannya, dia
cepat melompat dan mengejar, lalu berdiri menghadang di depan dara itu dengan pandang mata penuh
keheranan. “Nona Siang In... mengapa kau..., apa salahku?”
“Kau tadi berkata bahwa karena mengenal adikmu dan karena aku sahabat baik dari Puteri Syanti Dewi,
maka kau menganggap aku sebagai sahabatmu, akan tetapi kau menyebutku nona-nona segala macam!
Sebutan nona membuat aku merasa sedang berhadapan dengan orang asing, dan terhadap seorang asing
aku tidak sudi banyak bicara lagi!” Dan dara itu sudah mau melangkah pergi lagi saja.
Hampir saja Kian Lee menggaruk-garuk kepalanya karena merasa sangat kewalahan menghadapi dara ini.
“Habis, aku harus menyebutmu apakah?”
“Namaku Siang In, tanpa nona-nonaan bagi seorang sahabat. Engkau tentu lebih tua dariku, tentu saja
tidak harus menyebut enci.”
“Ahh, baiklah Adik Siang In. Maafkan aku.”
Wajah yang tadinya keruh dan marah itu tiba-tiba menjadi cerah berseri dan dara itu lalu duduk di atas
sebuah batu yang terdapat tak jauh dari situ. “Nah, sekarang katakanlah, engkau mau bicara apa tadi?”
“Bicara apa...?” Kian Lee menjadi bingung karena sikap dara itu benar-benar sudah mengocoknya,
membuat dia lupa lagi akan apa yang sedang hendak dikatakannya tadi.
“Bukankah kau tadi ingin mengatakan sesuatu kepadaku? Carilah sampai kau teringat, kalau tidak, aku
bisa mati karena penasaran dan ingin tahu apa yang akan kau katakan tadi!”
Kian Lee mengerutkan alisnya, duduk di atas rumput di depan dara itu dan mengingat ingat. Celaka, kalau
orang sedang terlupa akan sesuatu, makin diingat akan makin sulit untuk dapat teringat. Melihat pemuda
itu demikian tersiksa karena mengingat-ingat hal yang sudah lupa sama sekali, Siang In merasa tidak tega.
“Ehhh, kau sudah makan?” tiba-tiba dia bertanya.
Kian Lee terkejut, memandang bengong. “Makan...?” tanyanya bingung.
Siang In tersenyum, manis sekali, kemudian mengangguk. “Ya, makan. Kalau belum, aku dapat
menyediakan nasi dan masakan-masakan yang paling lezat untukmu, dalam sekejap mata saja.“
“Ah, jangan main-main, Adik Siang In. Di dalam hutan seperti ini mana mungkin engkau bisa membeli...
ahhh, ataukah engkau barangkali hendak menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan masakan?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siang In mengangguk, masih tersenyum. “Apa sukarnya? Bukankah ayahmu juga Pendekar Siluman yang
merupakan ahli sihir nomor satu di dunia ini? Apa sukarnya menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan
masakan lezat?”
“Hemmm, jangan coba mengelabui aku, In-moi (Adik In). Biar pun mungkin bisa, tetapi nasi dan masakan
jadi-jadian itu tidak mungkin dapat dimakan sampai mengenyangkan perut.”
“Akan tetapi aku bisa! Dan aku tanggung kau akan menikmatinya dan perutmu akan kenyang, Lee-koko!”
“Aku tidak percaya,”
“Tidak percaya? Nah, kau boleh tutup mata sebentar!”
Sambil tersenyum seperti melayani seorang anak kecil sedang main-main, Kian Lee memejamkan
matanya. Dengan telinganya dia dapat menangkap dara itu bergerak, melesat pergi dari situ dan tak lama
kemudian kembali lagi, melakukan gerakan gerakan lalu terdengar dara itu berkata, “Nah, sudah jadi!
Bukalah matamu, Lee-ko!”
Sambil tersenyum Kian Lee membuka matanya dan dia terbelalak! Di depannya, di atas rumput, terhampar
nasi dan beberapa macam masakan sedap yang diletakkan di atas daun pembungkus, masih mengepul
hangat-hangat!
“Nah, silakan makan!” kata Siang In tersenyum. “Aku sih sudah makan kenyang tadi.”
Kian Lee mengerahkan sinkang-nya, mengerahkan kekuatan batin untuk membuyarkan sihir itu, akan
tetapi nasi dan masakan itu masih ada saja di situ, tidak mau lenyap. Dan bau sedap masakan itu
meremas-remas perutnya yang lapar, maka tanpa banyak pikir lagi dia lalu mulai makan. Bukan main
lezatnya! Perut lapar bertemu nasi dan masakan hangat tentu saja lezat! Dan dara itu sudah menyulap
pula seguci air jernih dari saku jubahnya. Kian Lee makan sampai kenyang dan setelah minum, dia
mengusap bibirnya dan perutnya, memandang dara itu dan tersenyum. “Hebat... engkau memang hebat.
Kiranya kau benar-benar telah menyediakan makanan ini... ahh, sekarang aku teringat apa yang akan
kukatakan kepadamu!”
Siang In tertawa geli, terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya manis dan agak genit, akan tetapi
menarik hati sekali. “Tentu saja! Kalau pikiran kosong, maka segala sesuatu akan teringat. Kalau pikiran
dikerjakan, hal yang terlupa mana mungkin dapat teringat? Pikiran penuh dengan kenangan dan ingatan,
sampai penuh sesak dan bertumpuk tumpuk. Nah, sekarang katakan, apa yang akan kau bicarakan tadi?”
“Aku mau bicara tentang Syanti Dewi. Bukankah engkau kehilangan dia di dalam pesta pernikahan Hwa-ikongcu
di puncak Naga Api yang menjadi sarang Liong-sim-pang?”
Siang In meloncat bangun dan wajahnya berseri. “Engkau tahu? Sekarang di mana dia?”
“Tenanglah dan dengarkan ceritaku. Yang melarikan Syanti Dewi dari puncak Naga Api itu bukan lain
adalah See-thian Hoat-su...“
“Ehhh, guruku?” Dara itu berteriak.
“Benar, tetapi puteri itu telah diculik orang lagi dari tangan gurumu di pantai Po-hai...“
“Di Goa Tengkorak?”
“Benar, aku mendengar semua itu dari Nyonya Kao Kok Cu...“
“Siapakah Nyonya Kao Kok Cu itu?”
“Dia masih adik angkat dari Puteri Syanti Dewi sendiri.”
“Ahh, Enci Ceng Ceng? Aku sudah banyak mendengar namanya yang sering disebut sebut dan diceritakan
oleh Syanti Dewi! Lalu bagaimana?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Lee lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Ceng Ceng tentang Syanti Dewi, betapa Ceng
Ceng bertempur melawan See-thian Hoat-su di Goa Tengkorak karena salah sangka sehingga dalam
pertempuran itu, mereka tidak tahu betapa Syanti Dewi diculik orang lain.
Mendengar ini, Siang In mengepal tinjunya. “Ah, celaka! Sudah dapat, terlepas lagi! Dia belum bertemu,
puteri itu juga lenyap dan kini ditambah dua orang penculik itu! Wah, perjalananku penuh dengan soal-soal
yang meruwetkan pikiran!”
“Apa maksudmu? Siapa dia yang belum bertemu itu?”
Tiba-tiba wajah Siang In menjadi merah. Tentu saja dia tidak mau bicara tentang Kian Bu yang dicaricarinya
hanya karena ingin bertanya mengapa dulu pemuda itu, lima enam tahun yang lalu, telah...
menciumnya. Bicara tentang itu kepada kakak dari Kian Bu, tentu saja tidak mungkin! Maka dia cepat
menjawab, “Sayang bahwa dua orang penculik tadi telah dapat meloloskan diri. Aku kasihan sekali kalau
mengingat akan nasib anak laki-laki yang mereka culik.”
“Laki-laki dan wanita tadi, yang mengeroyokmu, mereka tadi penculik? Dan ada anak laki-laki yang mereka
culik?” Kian Lee tertarik sekali.
Siang In mengangguk. Setelah bercakap-cakap agak lama, mulai nampaklah oleh dia perbedaan yang
besar antara Kian Bu dan Kian Lee. Dia masih ingat benar kepada Suma Kian Bu biar pun sudah enam
tahun dia tidak jumpa dengan pemuda itu. Kian Bu yang tampan itu wajahnya agak lonjong, matanya tajam
dan kocak, wataknya keras namun dia dapat menjadi seorang yang periang, jenaka dan suka
mengeluarkan kata kata yang menyindir atau menggoda, pandai memuji dan wajahnya selalu berseri
gembira.
Sebaliknya, Kian Lee ini biar pun juga memiliki wajah yang amat tampan, namun bentuk mukanya bulat,
matanya lebar dan juga tajam sekali, akan tetapi pandang matanya penuh kesungguhan, serius, tenang
seperti air telaga yang dalam, gerak-geriknya halus, penuh kesabaran dan agaknya tidak banyak bicara.
Hanya pada sepasang mata mereka dan tarikan dagu mereka yang penuh kejantanan itulah terletak
persamaannya dan karena yang dua ini merupakan ciri-ciri khas mereka, maka pada pertemuan pertama
nampak benar persamaan di antara mereka.
“Kakak Suma Kian Lee, apakah engkau tidak suka bersendau-gurau?”
“Hahhh?” Tentu saja Kian Lee terkejut, heran dan bengong.
Dengan sungguh-sungguh dia amat tertarik dan bertanya tentang penculik-penculik dan anak yang diculik
mereka, jawabannya malah pertanyaan seperti itu yang sama sekali tak pernah diduga-duganya!
“Bersendau-gurau...?”
“Ya, sukakah engkau bersendau-gurau dan bergembira, berguyon-guyon, Lee-ko?”
Kian Lee tidak tahu bagaimana harus menjawab, akan tetapi agar tidak menimbulkan kecewa orang, dia
mengangguk, lalu berkata, “In-moi, ceritakanlah bagaimana kau bisa tahu bahwa dua orang lawanmu yang
lihai tadi menculik seorang anak laki-laki.”
Sikap dan suara Kian Lee demikian berwibawa sehingga diam-diam Siang In menjadi jeri! Pemuda ini
benar-benar menyeramkan. Begitu tampan, begitu halus, tetapi entah mengapa, wibawanya besar sekali
dan di dalam sikap diamnya itu nampak kekuatan yang menggiriskan hati.
“Hanya kebetulan saja aku bertemu dengan mereka ketika mereka memasuki rumah makan tadi bersama
seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima enam tahun. Sikap mereka terhadap anak itu
mencurigakan dan wanita itu mengaku anak itu sebagai puteranya, padahal aku tahu benar bahwa dia itu
masih perawan...“
“Hemmm, bagaimana kau tahu akan hal itu kalau engkau baru pertama kali bertemu dengan dia?”
“Tentang dia masih perawan atau bukan? Huh, itu adalah rahasia wanita!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba wajah Kian Lee menjadi merah dan dia menyimpangkan percakapan tentang perawan atau bukan
itu. “Lalu, bagaimana selanjutnya?”
“Mereka merasakan kecurigaanku agaknya, buktinya wanita itu pergi membawa anak itu dan meninggalkan
si pria sendirian membeli masakan dan nasi. Setelah dia keluar dari restoran, aku lalu membayanginya...“
“Hemmm, jadi masakan yang sudah kumakan tadi adalah miliknya yang dibelinya dari restoran?”
Siang In terkekeh. “Hi-hi-hik…” Suara kekeh yang keluar dari tenggorokannya itu merdu sekali. “Akan tetapi
lezat, kan?”
Kian Lee terpaksa tersenyum, mengangguk dan berkata, “Lanjutkanlah ceritamu.”
“Wanita itu sudah menanti di sini, aku ketahuan dan dikeroyok. Anak itu entah mereka sembunyikan di
mana. Melihat omongan di antara mereka dalam bahasa Mongol yang kumengerti, jelas bahwa anak itu
sudah pasti mereka culik, entah anak siapa.”
“Anak laki-laki...? Berusia lima enam tahun...? Ahhh, jangan-jangan anaknya!” Kian Lee teringat dan
mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan memandang ke arah larinya dua orang itu tadi.
“Anaknya? Anak siapa, Koko?”
“Anak Ceng Ceng! Anaknya pun diculik orang, laki-laki dan usianya juga lima tahun!”
“Ahhh...! Mungkin sekali!” Siang In kini bersikap sungguh-sungguh. “Kulihat anak itu bukan anak
sembarangan, meski baru berusia lima tahun tetapi telah memperlihatkan sikap yang tegas dan penuh
keberanian.”
“Dan melihat betapa dua orang itu memang lihai, agaknya tidak salah mereka itulah yang menculik anak
Kao Kok Cu. Aku harus mengejar mereka!” kata Kian Lee.
“Lee-ko, aku ikut!” Siang In berseru ketika melihat pemuda itu melesat pergi dengan kecepatan kilat.
Biar pun Siang In telah mengerahkan ginkang-nya, tetap saja dia tertinggal agak jauh maka dia berteriakteriak
memanggil pemuda itu, repot membawa payungnya yang dibawa lari cepat sekali. Terpaksa Kian
Lee memperlambat larinya sehingga akhirnya Siang In mampu menyusulnya. Dara itu lalu memandang
kagum. Bukan main hebatnya pemuda ini, pikirnya, akan tetapi ketika teringat bahwa pemuda ini adalah
kakak dari Kian Bu, dan putera dari Pendekar Super Sakti, dia merasa girang dan bangga.
“Larimu seperti kijang saja cepatnya...!” katanya terengah-engah.
Kian Lee yang sedang merasa tegang mengingat bahwa mungkin anak yang diculik orang itu benar anak
Ceng Ceng, tidak melayani senda gurau itu dan berkata, “Mari kita cepat mengejar mereka.”
Dengan teliti mereka mencari dan menyelidiki dan akhirnya mereka mendapatkan keterangan dari
penduduk dusun yang mereka temui bahwa laki-laki dan wanita baju hijau yang membawa anak laki-laki itu
menuju ke lembah Huang-ho. Mereka terus mengejar dan jejak itu membawa mereka ke lembah, yaitu
sarang dari perkumpulan Kui-liong-pang yang kini telah menjadi benteng yang kuat dari Pangeran
Bharuhendra atau Liong Bian Cu dari Nepal yang menyusun kekuatan di tempat itu, bekerja sama dengan
gubernur dari Ho-nan!
Di depan telah diceritakan sedikit tentang dua orang laki-laki dan wanita yang menculik Kao Cin Liong,
yaitu putera dari Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan Ceng Ceng. Laki-laki berkulit putih bule yang
bernama Liong Tek Hwi itu adalah putera dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong dari seorang selirnya
yang berasal dari daerah Rusia selatan, seorang gadis cantik yang dipersembahkan kepada Pangeran
Liong Bin Ong yang pada waktu itu masih berkuasa sebagai saudara dari kaisar.
Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Pangeran Liong Bin Ong dan pangeran
Liong Khi Ong, dua orang pangeran tua yang menjadi saudara dari Kaisar Kang Hsi itu mengadakan
pemberontakan, dibantu oleh panglima-panglima pemberontak, di antaranya yang paling terkenal adalah
Panglima Kim Bouw Sin yang tadinya menjadi pembantu dan tangan kanan Jenderal Kao Liang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi pemberontakan itu dapat dipadamkan dan Pangeran Liong Bin Ong tewas di dalam istananya
sendiri oleh mendiang Han Wi Kong, suami dari Puteri Milana yang merasa penasaran karena pangeran
pemberontak itu terlepas dari hukuman karena kaisar terlalu lunak kepadanya. Sedangkan Pangeran Liong
Khi Ong ditewaskan dalam perang oleh Ang Tek Hoat.
Demikian, Pangeran Liong Bin Ong meninggalkan seorang putera dari selir berkulit putih itu dan putera ini
bukan lain adalah Liong Tek Hwi yang selamat dari kematian karena pada waktu itu dia telah berada
bersama gurunya. Guru pemuda berdarah campuran ini adalah seorang nenek yang sangat sakti, yang
terkenal dengan julukan Kim-mouw Nionio, seorang nenek yang juga merupakan peranakan barat,
rambutnya pirang dan matanya biru. Kim-mouw Nionio ini merupakan datuk di sebelah barat di luar
Tembok Besar. Dia memiliki kesaktian yang amat hebat, akan tetapi telah belasan tahun dia tidak mau
keluar lagi dari tempat pertapaannya di luar Tembok Besar dan hanya menyembunyikan diri karena dia
sudah merasa muak dengan segala urusan dunia yang akibatnya lebih banyak mendatangkan
kesengsaraan dari pada kebahagiaan.
Liong Tek Hwi menjadi murid nenek ini dan dikasihi karena ada persamaan darah antara nenek Kim-mouw
Nionio dan Liong Tek Hwi. Dan selain Liong Tek Hwi, juga nenek ini mempunyai seorang murid wanita,
yaitu Kim Cui Yan. Juga murid wanita ini bukanlah sembarangan orang. Dia adalah anak dari Panglima
Kim Bouw Sin, panglima yang memberontak karena bujukan dua orang Pangeran Liong itu, yang akhirnya
tewas karena pemberontakannya. Seluruh keluarga Panglima Kim Bouw Sin binasa, kecuali Kim Cui Yan
yang pada waktu itu tidak berada di rumah.
Setelah Kim Cui Yan ikut bersama Kim-mouw Nionio sebagai muridnya, maka anak ini, seperti juga Liong
Tek Hwi, menerima gemblengan dari nenek itu dan memiliki kepandaian yang hebat pula. Bahkan nenek
itu telah menurunkan ilmu pukulan yang diciptakannya di tempat pertapaannya, yaitu Ilmu Pukulan Swatlian
Sin-ciang yang mengandung tenaga dingin yang dapat membikin beku keringat lawan!
Selain banyak macam ilmu pukulan yang aneh-aneh, nenek Kim-mouw Nionio juga terkenal dengan
senjatanya yang istimewa, yaitu sepasang gelang kim-lun (roda emas) dan gin-lun (roda perak). Sepasang
gelang besar yang terbuat dari emas dan perak ini dapat dia mainkan sebagai senjata yang ampuh, dan
dapat dipergunakan pula untuk menyerang lawan dari jarak jauh dengan cara melontarkannya, dan
hebatnya gelang gelang yang dilontarkan untuk menyambit lawan ini dapat berputar dan dapat berbalik
kembali ke tangannya! Akan tetapi, kepandaian istimewa ini amat sukar dipelajari maka belum diturunkan
kepada dua orang muridnya.
Ada benarnya juga kalau dikatakan bahwa satu di antara pendorong timbulnya cinta di antara pria dan
wanita adalah karena pergaulan dan kebiasaan, karena hubungan yang akrab. Hal ini tidaklah aneh karena
cinta seperti yang kita kenal sekarang ini, cinta asmara antara pria dan wanita, sesungguhnya adalah suatu
ikatan, yaitu ikatan antara aku dan sesuatu yang menyenangkan aku, baik yang menyenangkan itu
berbentuk benda atau manusia. Tentu saja di samping ikatan karena menyenangkan, ini terdapat juga
daya tarik alamiah yang ada antara pria dan wanita, yang memperkuat ikatan itu sehingga timbul keinginan
untuk saling memiliki.
Demikian pula, karena hidup berdua di bawah bimbingan Kim-mouw Nionio, setiap hari bergaul dan
berlatih bersama, lambat-laun timbul daya tarik dan saling suka antara kedua orang suheng dan sumoi itu.
Kim-mouw Nionio yang melihat gejala ini, tidak menaruh keberatan bahkan dia yang mewakili orang tua
kedua orang muridnya yang sudah yatim piatu, bahkan mengusulkan perjodohan antara kedua orang
muridnya itu.
Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan sudah sama-sama saling mencinta. Akan tetapi, Kim Cui Yan yang keras
hati itu sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum dia berhasil membalas dendam kematian seluruh
keluarga ayahnya. Dan dendam ini ditujukan pada Jenderal Kao Liang sekeluarga!
“Suheng, kalau engkau memang cinta kepadaku, engkau harus penuhi permintaanku agar aku tidak
sampai melanggar sumpahku. Kita tak bisa menikah sebelum sumpahku itu terpenuhi.” Dengan terus
terang, Kim Cui Yan menyampaikan isi hatinya kepada suheng-nya.
Berbeda dengan Kim Cui Yan, ternyata putera dari Pangeran Liong Bin Ong ini memiliki watak yang halus
dan bijaksana. Sejak kecil oleh ayahnya dia memang diharuskan mempelajari segala macam kitab kuno
dan agaknya banyak dari isi kitab itu yang telah mempengaruhi batinnya sehingga di lubuk hatinya, dia
tidak suka dan menentang adanya kekerasan dan kejahatan, bahkan dia adalah seorang laki-laki yang
selain halus sikapnya, juga tidak tega melakukan perbuatan yang kejam.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tentu saja aku tidak berhak untuk melarangmu, Sumoi. Akan tetapi hendaknya engkau suka
menggunakan pandangan yang mendalam dan jangan sempit menurutkan kata hati yang diracuni oleh
dendam dan kebencian belaka. Kalau toh kau anggap bahwa kehancuran keluarga ayahmu disebabkan
oleh Jenderal Kao Liang, maka yang menjadi musuhmu hanyalah Jenderal Kao itu saja, karena yang dapat
dianggap sebagai musuh pribadi ayahmu hanyalah jenderal itu. Jangan kau mengikut sertakan
keluarganya yang tidak tahu apa-apa, bahkan mungkin sekali keluarga jenderal itu tidak pernah mengenal
siapa itu keluarga Kim. Aku pasti akan membantumu, Sumoi, dan tentang pernikahan antara kita, aku
hanya menurut apa yang kau kehendaki karena hal itu tentu saja tidak ada unsur pemaksaan dari pihak
mana pun dan harus dilakukan dengan suka rela.” Demikianlah antara lain Liong Tek Hwi memberi nasehat
kepada sumoi-nya.
Ketika dua orang murid yang telah memiliki kepandaian tinggi itu menyatakan niat hati mereka kepada guru
mereka untuk mencari Jenderal Kao dan membalas dendam atas kehancuran keluarga Kim Cui Yan, dan
setelah usaha itu berhasil baru mereka akan kembali dan menikah, Kim-mouw Nionio menarik napas
panjang.
“Permusuhan, bunuh-membunuh, sakit hati dan dendam-mendendam! Semua inilah yang kelak akan
menghancurkan seluruh dunia kang-ouw, menamatkan riwayat seluruh ahli-ahli silat di dunia ini!
Kepandaian kalian sudah lumayan dan kiranya kalau hanya menghadapi Jenderal Kao saja kalian takkan
kalah dan akan mampu merobohkannya. Akan tetapi, aku sangsi apakah jenderal yang amat terkenal itu
tidak mempunyai anak anak yang telah memiliki kepandaian tinggi?”
Dengan terus terang Liong Tek Hwi berkata, “Subo, menurut penyelidikan teecu, salah seorang di antara
putera-putera jenderal itu, yang sulung, telah menjadi seorang sakti berjuluk Naga Sakti Gurun Pasir...“
Tiba-tiba wajah nenek itu berubah dan matanya yang lebar terbelalak, kelihatan biru sekali. “Apa kau
bilang? Apa hubungannya dengan Istana Gurun Pasir?”
“Memang putera sulung Jenderal Kao itu tinggal di Istana Gurun Pasir... begitulah kata orang...,“ kata Liong
Tek Hwi yang terkejut melihat sikap gurunya.
“Celaka! Kalau begitu dia tentu murid Si Dewa Bongkok! Jangan sekali-kali kalian berani mendekati tempat
itu! Kalau kalian bentrok dengan Istana Gurun Pasir, biar gurumu ini sekali pun tidak akan mampu
menyelamatkan kalian!”
Setelah mendapatkan nasehat-nasehat dan peringatan dari guru mereka, berangkatlah Liong Tek Hwi dan
sumoi-nya, Kim Cui Yan, meninggalkan tempat pertapaan subo mereka. Menurut kehendak Liong Tek Hwi,
mereka harus langsung ke selatan untuk mencari Jenderal Kao. Akan tetapi sumoi-nya membantah.
Keterangan dari subo mereka tadi malah mendatangkan rasa penasaran di dalam hati Kim Cui Yan!
“Suheng, penuturan Subo tadi mendatangkan rasa penasaran di dalam hatiku. Mari kita mencari Istana
Gurun Pasir dan melihat sampai di mana kelihaian mereka!”
“Ah, Sumoi, jangan begitu! Subo sendiri jeri terhadap penghuni istana itu. Apakah kau mencari penyakit?
Sudah kukatakan kepadamu bahwa yang penting adalah mencari Jenderal Kao, musuh pribadimu, dan
jangan membawa-bawa keluarganya.”
“Aku tidak akan bertindak ceroboh, Suheng, dan akan menurut kata-katamu. Akan tetapi aku ingin
mengetahui seperti apa adanya Istana Gurun Pasir yang disebut dalam dongeng itu.”
Liong Tek Hwi mengerutkan alisnya, dia sudah mengenal watak sumoi-nya atau kekasihnya yang amat
keras ini. “Subo sendiri pernah mengatakan bahwa tempat itu merupakan tempat keramat dan tak seorang
pun berani mendekatinya. Ke mana kita harus mencari?”
“Dulu aku pernah mendengar dongeng tentang Istana Gurun Pasir. Ingat, dahulu ayahku adalah pembantu
dan sahabat Jenderal Kao, dan tentu ayah tahu benar tentang lenyapnya putera Jenderal Kao Liang, dan
aku tahu di mana bekas markas jenderal itu di mana puteranya lenyap. Tentu tidak akan jauh dari situ
letaknya.”
Liong Tek Hwi yang mencinta sumoi-nya terpaksa menuruti permintaan sumoi-nya dan demikianlah,
mereka tidak langsung mencari Jenderal Kao Liang melainkan mencari Istana Gurun Pasir! Dan dalam
dunia-kangouw.blogspot.com
perjalanan ini, mereka banyak melalui dusun-dusun dan setiap bertemu dengan soal-soal yang
menimbulkan penasaran, mereka tentu turun tangan menentang setiap kejahatan. Semua ini memang
sengaja diarahkan oleh Liong Tek Hwi yang tak ingin melihat sumoi-nya atau kekasihnya tersesat, maka
dia mencoba untuk menarik perhatian sumoi-nya agar menentang kejahatan dan membela kebenaran dan
keadilan, menggunakan kepandaian mereka.
Karena inilah, meski mereka berdua merupakan murid-murid dari seorang datuk kaum sesat, namun dalam
sepak terjang mereka, mereka tiada bedanya dengan pendekar pendekar yang budiman dan menentang
kejahatan. Dan dalam sepak terjang mereka, Kim Cui Yan amat menonjol dengan gerak-geriknya yang
tangkas karena memang gadis ini memiliki keistimewaan dalam hal ginkang, maka tak lama kemudian,
orang menjuluki gadis berbaju hijau ini sebagai Ceng-yan-cu atau Si Walet Hijau.
Akhirnya, pada suatu hari setelah menerima petunjuk dari seorang kakek dusun yang sering menyeberangi
gurun pasir dan pernah tersesat dan melihat istana itu dari jauh, kakak beradik seperguruan ini lalu nekat
mengambil jalan menyeberangi gurun pasir yang amat berbahaya itu.
Kakek itu sudah memperingatkan mereka bahwa amatlah berbahaya menyeberangi gurun pasir itu dengan
jalan kaki atau berkuda, sebaiknya adalah menunggang onta. Maka mereka lalu membeli dua ekor onta,
membawa perbekalan secukupnya dan pada hari itu berangkatlah mereka menempuh perjalanan yang
sukar itu, menyeberangi gurun pasir yang seperti laut tak bertepi itu!
Dan mulailah mereka mengalami hal-hal yang sangat aneh dan sengsara. Bahkan beberapa hari
kemudian, saat mereka bingung karena tidak tahu ke mana harus menuju di tengah-tengah gurun pasir
yang teramat luas itu, mereka diserang oleh badai! Badai di gurun pasir tidak kalah bahayanya dengan
badai di tengah lautan. Seperti juga di lautan, di mana badai menciptakan gulungan ombak-ombak besar
dan air laut yang bergelombang, di tengah gurun itu pun pasir menjadi seperti air laut dan bergelombang,
membentuk dinding-dinding pasir berjalan yang menelan segala apa yang berada di depan dan
menghalanginya.
Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan bersama onta mereka dapat berlindung di balik anak bukit batu yang
cukup besar, akan tetapi setelah badai mereda, mereka telah teruruk pasir dan kalau mereka tidak memiliki
ilmu kepandaian tinggi, tentu mereka sudah mati terkubur hidup-hidup di tempat itu!
Akhirnya, pada suatu senja, mereka tiba di belakang Istana Gurun Pasir! Bagaikan dalam mimpi, mereka
memandang istana yang megah itu dari kejauhan, hampir tidak percaya kepada pandang mata mereka
sendiri karena agaknya tidak masuk akal melihat sebuah bangunan megah di tengah-tengah gurun pasir
seperti itu! Mereka lalu meninggalkan onta dan dengan hati-hati mereka mendekat.
Dan secara kebetulan sekali mereka melihat seorang anak laki-laki berusia lima tahun berkeliaran seorang
diri di belakang istana itu, bermain layang-layang. Mungkin karena menarik tali layang-layang terlalu keras,
atau juga karena angin terlalu kuat, maka tali di tangan anak itu putus! Kebetulan, sebelum layang-layang
itu membubung ke atas, talinya lewat dekat Kim Cui Yan yang segera menangkapnya dan membawa
layang layang itu kepada si anak kecil yang menjadi girang sekali.
“Anak yang baik, siapakah namamu?” tanya Cui Yan.
Karena orang itu telah mengembalikan layang-layangnya yang putus, anak itu tidak merasa takut dan
menjawab, “Namaku Kao Cin Liong.”
“Ahhh, kau tentu putera dari Si Naga Sakti, bukan?”
Anak itu memandang tajam, lalu balas bertanya, “Apakah engkau mengenal ayahku, Bibi?”
Cui Yan tersenyum ramah. “Ayahmu adalah putera Jenderal Kao Liang, bukan?”
Anak itu mengangguk. “Ayahku adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang tiada bandingnya!” Sekecil itu, anak
ini sudah pandai membanggakan ayahnya?
Kim Cui Yan berkedip kepada suheng-nya, kemudian berkata kepada anak itu, “Siapa bilang? Kami
bertaruh dengan ayahmu bahwa dia tidak akan mampu mencari kami. Hayo kau ikut kami bersembunyi,
biar dicari ayahmu, tanggung dia tidak akan mampu mendapatkan kita.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahhh, tidak mungkin!” Anak ini belum mengenal kepalsuan manusia, tahunya hanya main-main saja, maka
dia tertarik sekali ketika diajak main sembunyi-sembunyian agar dicari ayahnya.
“Mari kita sembunyi sekarang juga, ayahmu sudah mulai mencari!” Cui Yan memondong anak itu dan
membawanya ke tempat mereka meninggalkan onta mereka.
“He-he, ayah akan dengan mudah melihat jejak kaki kalian!” Cin Liong mentertawakan mereka.
Mendengar ini, Liong Tek Hwi lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke belakang mereka. Ada angin
menyambar dan jejak kaki mereka menjadi rata kembali tertutup pasir yang diterbangkan oleh angin
pukulannya!
Melihat ini Cin Liong tertawa, “He-he, kau hebat juga, Paman!” Dia mulai gembira dan ingin melihat apakah
ayahnya dapat mencari mereka.
Demikianlah dua orang itu membawa Cin Liong dan Tek Hwi selalu menggunakan hawa pukulannya untuk
mengusap jejak kaki onta mereka. Kini mereka menjalankan onta mereka ke selatan dan untuk melihat
mana arah selatan, mereka kalau malam melihat letaknya bintang-bintang dan kalau siang melihat letaknya
matahari.
Di waktu pagi mereka maju dengan matahari berada di sebelah kiri mereka dan di waktu sore matahari
harus selalu berada di sebelah kanan mereka. Dengan pedoman matahari dan bintang, mereka tidak salah
jalan dan dapat terus menuju ke selatan dan jejak mereka selalu langsung dihapus oleh pukulan-pukulan
Tek Hwi dan Cui Yan yang mendatangkan angin, atau terhapus oleh angin lalu yang mengerakkan pasir.
Akhirnya mereka dapat meninggalkan padang pasir itu dan karena mereka maklum bahwa ayah dan ibu
anak ini pasti mencari mereka, dan karena mereka maklum akan kesaktian ayah dan ibu anak itu, maka
mereka melakukan perjalanan sambil sembunyi sembunyi dan sekalian mencari Jenderal Kao Liang.
Hanya karena ada Tek Hwi di situ maka Cui Yan tidak sampai membunuh anak itu! Tadinya Cui Yan
merasa betapa amat berabe membawa-bawa anak keturunan musuh besarnya itu, lebih baik dibunuh saja
untuk melampiaskan dendamnya. Akan tetapi Tek Hwi melarang keras dan memberi alasan yang kuat.
“Kalau kau melakukan itu, selama hidup engkau akan menjadi musuh Istana Gurun Pasir dan hidupmu
tidak akan aman lagi. Pula, anak ini merupakan perisai yang baik bagi kita, siapa tahu sekali waktu kita
akan dapat mempergunakannya sebagai sandera yang amat berharga. Selain itu, kau juga sudah berjanji
untuk tidak mengikut sertakan keluarga Kao, Sumoi.”
Demikianlah, dalam perjalanan itu, Tek Hwi dan Cui Yan akhirnya dapat juga bertemu dengan Jenderal
Kao, akan tetapi usaha Cui Yan untuk membunuh jenderal itu gagal karena campur tangan Ang-siocia atau
Kang Swi Hwa yang menyamar pria, bahkan kemudian mereka terpaksa mundur dan melarikan diri ketika
muncul pendekar Siluman Kecil yang pernah menyelamatkan nyawa mereka ketika mereka hampir binasa
di tangan Boan-wangwe yang amat lihai itu.
Maka, setelah kini banyak orang mencurigai mereka, di antaranya paling akhir ini adalah dara cantik
berpayung yang kemudian dibela pula oleh seorang pemuda tampan sekali yang memiliki kesaktian luar
biasa, mereka menjadi jeri dan menurut usul Liong Tek Hwi, mereka lalu menuju ke lembah yang dijadikan
benteng oleh Liong Bian Cu, saudara misan dari Liong Tek Hwi.
Ketika mereka tiba di benteng lembah, setelah para penjaga melaporkan ke dalam, mereka disambut
dengan girang sekali oleh Pangeran Liong Bian Cu. Sudah hampir sepuluh tahun lamanya Liong Bian Cu
tidak pernah bertemu dengan saudara misannya ini, maka kini dia menyambut kedatangan adik misan ini
dengan pelukan mesra. Bahkan ada air mata di mata kedua orang laki-laki yang masih ada hubungan
keluarga amat dekat itu karena ayah mereka adalah kakak beradik. Mereka berdua sebenarnya adalah
keponakan-keponakan dari Kaisar Kang Hsi sendiri!
Akan tetapi, terdapat banyak sekali perbedaan bentuk dan wajah di antara kedua orang ini. Yang seorang
berkulit putih bermata biru dengan rambut kecoklatan, sedangkan yang kedua berkulit coklat kehitaman,
hidungnya membengkok ke bawah, matanya cekung, hitam sekali dan rambutnya juga agak kecoklatan.
Yang seorang berdarah campuran dengan ibu kulit putih, sedangkan yang kedua beribu Nepal.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahhh, Adik Tek Hwi... betapa keluarga kita telah berantakan...,“ terdengar Pangeran Nepal itu berkata
dengan hati terharu.
Liong Tek Hwi juga merasa terharu diingatkan akan keadaan keluarganya itu. Kakak misannya ini masih
baik keadaannya karena ibunya adalah puteri raja sehingga dia merupakan cucu Raja Nepal, seorang
pangeran yang masih memiliki keluarga dan kedudukan tinggi. Akan tetapi dia? Ayahnya telah terbasmi
keluarganya, ibunya pun telah meninggal dan ibunya dahulu adalah seorang gadis kulit putih yang diculik
orang Mongol dan dipersembahkan kepada ayahnya sehingga dia sudah tidak mempunyai keluarga lagi,
kalau pun masih ada, maka tentu jauh di utara, di negeri Rusia. Dia sebatang kara, tidak seperti kakak
misannya ini, seorang pangeran!
Melihat Tek Hwi juga melinangkan air mata, Pangeran Liong Bian Cu lalu menepuk nepuk pundak adiknya
dan berkata, “Jangan kau berduka, adikku. Lihat, kakakmu yang akan membalaskan sakit hati kita, yang
akan melanjutkan cita-cita ayah kita berdua, yang akan mengangkat derajatmu ke atas. Ehh, siapakah
Nona ini, adikku?”
“Dia adalah sumoi Kim Cui Yan, dia adalah puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin.”
Wajah Pangeran Nepal itu berseri. “Ahh! Sungguh kebetulan sekali!”
Dia mengatakan kebetulan karena gadis cantik berbaju hijau yang menjadi sumoi adik misannya ini
ternyata puteri panglima yang pernah menjadi pembantu ayahnya itu, bahkan masih saudara dengan calon
isterinya, dengan Hwee Li, yaitu puteri angkat Hek-tiauw Lo-mo, juga puteri kandung Kim Bouw Sin. Akan
tetapi tentu saja dia tidak membuka rahasia ini, melainkan menjura kepada Cui Yan.
“Dan anak ini?”
Tek Hwi hendak menjawab, akan tetapi didahului oleh Cui Yan. “Dia ini adalah calon murid kami.”
“Ah, bagus, bagus! Sebagai murid-murid Kim-mouw Nionio, kalian tentu telah memiliki ilmu kepandaian
yang tinggi. Kau telah melihat benteng kita, bukan? Nah, bagaimana pendapatmu?”
Tek Hwi dan Cui Yan memang tadi sudah mengagumi keadaan benteng itu dan merasa terkejut sekali dan
heran. Tempat itu benar-benar merupakan benteng yang kokoh kuat dan terjaga rapi oleh pasukanpasukan
yang terlatih. Sama sekali Tek Hwi tidak pernah membayangkan betapa saudara misannya itu
telah membuat persiapan seperti orang yang hendak melaksanakan perang!
“Hebat sekali!” Tek Hwi mengakui.
“Ha-ha-ha! Dan kau belum melihat siapa yang telah membantuku. Sayang beberapa orang di antara
mereka sekarang sedang keluar untuk menangkap mata-mata. Marilah kuperkenalkan dengan dia yang
telah membangun benteng ini dan kau akan terheran-heran, adikku!”
Benar saja, Tek Hwi terkejut bukan main, juga Cui Yan menjadi pucat wajahnya ketika mereka dihadapkan
dengan Jenderal Kao Liang sendiri! Melihat kakek ini, Cin Liong lalu melepaskan tangan Cui Yan dan lari
menubruk kakeknya. “Kong-kong...!” teriaknya.
Kini giliran Liong Bian Cu yang terkejut, dan Jenderal Kao Liang juga memeluk dan mengangkat cucunya
itu. Dia segera mengenali Cin Liong. “Ahh, Cin Liong... kau... kau!” Dia tidak melanjutkan kata-katanya,
melainkan menatap tajam kepada Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan.
“Ha-ha-ha, engkau pandai sekali menyembunyikan dia tadi, Nona Kim! Kiranya kalian telah berhasil pula
menculik cucunya!” Pangeran Liong Bian Cu tertawa.
Jenderal Kao Liang menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dia menekan perasaannya dan sambil
memandang kepada kedua orang pendatang baru itu, dia bertanya tenang, “Siapakah kalian dan mengapa
kalian menculik cucuku dari Istana Gurun Pasir?”
Mendengar ini, pangeran dari Nepal itu terkejut. “Adik Tek Hwi! Benarkah dia ini dari Istana Gurun Pasir?”
tanyanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja sebagai murid orang pandai, dia pernah mendengar nama Istana Gurun Pasir yang sama aneh
dan keramatnya seperti nama Pulau Es! Tek Hwi mengangguk dengan bangga karena memang
merupakan hal yang patut dibanggakan bahwa dia dan sumoi-nya sanggup menculik putera dari Si Naga
Sakti Gurun Pasir!
“Hebat...! Bukan main kalian ini...!” Pangeran Liong Bian Cu berseru kagum, kemudian berkata kepada
Jenderal Kao. “Kao-goanswe, perkenalkanlah, dia ini adalah Liong Tek Hwi, putera dari paman Pangeran
Liong Bin Ong, sedangkan Nona ini adalah Nona Kim Cui Yan, puteri dari paman Panglima Kim Bouw Sin.”
“Ahhhhh...!” Mengertilah kini Jenderal Kao mengapa dua orang itu menculik cucunya. Kiranya mereka ini
yang menculik Cin Liong yang dicari-cari oleh ayah bundanya.
“Kao-goanswe, kini engkau tahu bahwa cucumu juga berada di antara keluargamu!” kata Pangeran Liong
Bian Cu. “Lepaskan dia, biar dia bersatu dengan keluargamu.”
Jenderal Kao Liang menarik napas panjang dan menurunkan cucunya dari pondongan. Dia lalu mengelus
kepala anak itu sambil berkata, “Cin Liong, kau ikutlah bersama nenekmu, pamanmu, bibimu dan keluarga
lain.”
“Kong-kong, siapakah mereka ini? Dua orang ini menipuku, membawaku pergi sampai lama dan tidak mau
membawaku kembali. Kong-kong, lawanlah mereka!” Cin Liong berkata, akan tetapi Jenderal Kao Liang
hanya membuang muka lalu pergi. Cin Liong lalu ditangkap oleh dua orang pengawal atas isyarat
pangeran itu dan dibawa pergi ke dalam ruangan tahanan di mana berkumpul keluarga Jenderal Kao
Liang. Terhibur dan girang juga hati anak itu ketika bertemu dengan keluarga ayahnya.
Di dalam hatinya, Liong Tek Hwi tidak setuju sama sekali dengan semua rencana yang diambil oleh kakak
misannya. Dia mendengar penuturan kakak misannya itu dan diam diam dia terkejut bukan main. Pemuda
ini sudah dapat melihat kesalahan mendiang ayahnya yang memberontak, dan dia merasa menyesal
sekali, bahkan sering kali dia membicarakan hal itu dengan sumoi-nya yang perlahan-lahan juga dapat
melihat kesalahan ayahnya yang membantu pemberontak. Mereka berdua berjanji untuk menebus nama
buruk ayah mereka, tetapi kini mereka malah akan diajak bersekutu untuk mengulangi lagi kesalahan ayah
mereka yang lalu, yaitu memberontak!
Akan tetapi, melihat keadaan benteng yang kokoh kuat itu, dan melihat bahwa kakak misannya itu
didukung oleh Nepal, Liong Tek Hwi tidak berani berkata apa-apa. Apa lagi karena dia dan sumoi-nya
merasa girang bahwa musuh besar mereka telah berada di situ pula sehingga memudahkan mereka untuk
membalas dendam.
Pangeran Liong Bian Cu tidak dapat lama melayani adik misannya yang baru datang bersama sumoi-nya.
Setelah menyuruh pengawal membawa Cin Liong agar berkumpul dengan keluarga Jenderal Kao, dengan
demikian memperkuat pengaruhnya atas diri jenderal itu, Pangeran Liong Bian Cu lalu mengundurkan diri
karena dia masih menanti dengan hati khawatir akan hasil kedua orang pembantunya, yaitu Hek-tiauw Lomo
dan Hek-hwa Lo-kwi yang melakukan pengejaran terhadap Siluman Kecil yang membawa lari Hwee Li.
Dua orang murid dari Kim-mouw Nionio itu dipersilakan untuk melihat-lihat keadaan di dalam benteng,
berkenalan dengan para pembantu lain termasuk Mohinta, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan para
tokoh dari Nepal lainnya.
Diam-diam Liong Tek Hwi makin khawatir melihat bahwa keadaan benteng itu benar benar kuat dan kakak
misannya telah berhasil mengumpulkan orang-orang pandai yang amat banyak, bahkan kedudukan kakak
misannya ini lebih kuat dari pada kedudukan pemberontakan mendiang ayahnya dahulu, hanya bedanya,
sekarang kakak misannya didukung oleh Gubernur Ho-nan, yang tentu saja mempersiapkan pasukan yang
cukup besar, sedangkan dulu ayahnya didukung oleh pasukan yang dipimpin oleh Panglima Kim Bouw Sin
di utara…..
********************
Memang Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu tidak mau bekerja kepalang tanggung. Pangeran
Nepal ini selain hendak membalas kematian ayahnya, juga hendak melanjutkan cita-cita ayahnya,
menggulingkan kaisar dan bahkan dia memiliki cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu menggunakan
kesempatan itu untuk bersekutu dengan gubernur-gubernur yang dapat dipengaruhinya untuk
menggulingkan Kerajaan Ceng dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar!
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena itu, dia membuat persiapan sebaiknya. Gurunya adalah seorang yang sakti dan yang
berkedudukan tinggi. Selain menjadi koksu dari Nepal, Ban Hwa Sengjin juga merupakan seorang di antara
Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat dari Akhirat)! Pada waktu itu, di antara sekalian datuk persilatan golongan
sesat, terdapat Im-kan Ngo-ok yang jarang muncul di dunia kang-ouw, bahkan sudah belasan tahun
lamanya mereka itu tidak pernah muncul sama sekali karena sudah merasa tua dan tidak ada semangat
lagi untuk menjagoi di dunia persilatan. Akan tetapi sebetulnya mereka itu adalah lima orang yang amat
tinggi ilmunya, bahkan mereka oleh dunia kaum sesat dijuluki Im-kan Ngo-ok atau Lima Jahat dari Akhirat!
Karena ini, Pangeran Liong Bian Cu membujuk kepada gurunya untuk dapat memanggil empat tokoh yang
lain agar supaya dapat membantu pergerakannya.
Koksu Nepal juga haus akan kedudukan. Kalau sampai pemuda yang bersemangat besar itu berhasil dan
menjadi kaisar, tentu dia akan terangkat menjadi koksu dari kerajaan yang amat besar yang menguasai
seluruh Tiongkok! Maka dia pun kemudian mengirim surat, membujuk empat orang saudara angkatnya itu
untuk datang membantu, dan menentukan hari dan tempat pertemuan. Harinya kebetulan jatuh pada hari
itu dan tempatnya adalah di lembah Huang-ho yang dijadikan benteng itu…..
********************
Siang itu matahari sudah naik tinggi dan sinarnya menyinari bumi dengan kerasnya. Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah, karena dalam keadaan tidak mampu bergerak itu muka mereka
yang tertimpa sinar matahari membuat mereka menderita dan mendongkol sekali. Mereka masih belum
terbebas dari totokan dan agaknya sebentar lagi mereka baru akan bebas karena waktu mereka tertotok
sampai sekarang sudah berjalan hampir setengah hari. Totokan pemuda sakti Siluman Kecil itu benarbenar
amat hebat sehingga dua orang kakek sakti seperti mereka itu tidak dapat membebaskan totokan itu
dan harus menanti sampai totokan itu buyar sendiri kekuatan dan pengaruhnya.
Mereka yang dikubur sebatas leher itu merasa tersiksa sekali. Mereka tidak mampu mengerahkan tenaga
untuk membuat tubuh mereka kebal, maka tentu saja segala gigitan semut pada tubuh mereka terasa
semua, membuat mereka berkaok-kaok dan memaki-maki. “Anak durhaka, perempuan keparat! Kalau
kelak dia dapat olehku, akan kupermainkan dia, akan kuperkosa dia sampai mati seperti ibunya!” Hek-tiauw
Lo-mo menyumpah-nyumpah karena marah sekali kepada Kim Hwee Li.
“Huhhh, kau tidak akan berani!” Hek-hwa Lo-kwi mengejek dan menggoyang-goyang kepalanya untuk
mengusir lalat yang sejak tadi mengganggunya, hinggap di hidung, di telinga, di bibir sehingga rasanya geli
dan tidak enak sekali.
Lalat itu terbang dan meluncur turun lagi, diikuti pandang mata Hek-hwa Lo-kwi dan seperti yang
dikhawatirkan, kembali hinggap di bibirnya. Kakek ini mendongkol bukan main, lalu membuka mulutnya.
Lalat itu bergerak perlahan memasuki mulut dan tiba tiba...
“Happp!” mulut itu tertutup dan lalat itu meronta-ronta tertindih lidah sampai akhirnya mati dan diludahkan
penuh kepuasan oleh Hek-hwa Lo-kwi.
“Aku? Tidak berani? Apa kau gila?!” Hek-tiauw Lo-mo memaki. “Masa aku tidak berani kepada anak
perempuan yang kubesarkan sendiri itu?”
“Ha-ha-ha, apa kau lupa bahwa dia itu tunangan Pangeran Nepal?”
Hek-tiauw Lo-mo bersungut-sungut, “Aku menyumpah dia tidak jadi diambil isteri, biar puas aku membalas
kekurang ajaran dan penghinaannya hari ini!”
Akan tetapi Hek-hwa Lo-kwi hanya tersenyum menyeringai saja. Dia sudah mengenal betul watak orang
yang selama ini beberapa kali menjadi musuhnya yang paling besar, juga beberapa kali menjadi rekannya
yang saling bantu itu. Kalau Hek-tiauw Lo-mo sudah menghadapi harapan pangkat dan kemuliaan besar,
tentu dia akan melupakan lagi ancamannya terhadap Hwee Li.
“Kalau aku tidak akan begitu bodoh menumpahkan kemarahan kepada dua orang dara itu, Lo-mo. Yang
merobohkan kita adalah Siluman Kecil yang dibantu oleh Hek-sin Touw-ong. Mereka berdua itulah yang
hutang hinaan kepada kita dan kelak mereka harus membayarnya.”
“Mereka juga, pasti akan kucari kelak!” kata Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi tiba-tiba dia menghentikan katakatanya
dan memandang ke depan dengan mata terbelalak. Kini pengaruh totokan itu sudah mulai
dunia-kangouw.blogspot.com
mengurang sehingga Hek-hwa Lo-kwi dapat memutar lehernya dan memandang ke arah yang sedang
dipandang oleh Hek-tiauw Lo-mo dan dia pun terbelalak sambil mengeluarkan suara tertahan.
Kebetulan sekali tempat di mana mereka dikubur sampai ke leher itu sampai jauh ke sebelah depan
terbuka, tidak terhalang oleh batu atau pohon sehingga mereka dapat memandang sampai jauh dan kini
dari kejauhan nampak pemandangan yang membuat mereka terbelalak saking terheran-heran. Mereka
melihat dari jauh sekali dua orang sedang berlari ke tempat mereka, akan tetapi cara kedua orang itu
berlari amat aneh dan bukan main cepatnya.
Yang seorang bertubuh jangkung dan larinya cepat sekali, kadang-kadang melompat dengan langkahlangkah
lebar akan tetapi kadang-kadang berjungkir balik dan berlari menggunakan kedua tangan menjadi
kaki, akan tetapi tidak berkurang kecepatannya, kalau tidak lebih cepat malah! Dan orang yang kedua amat
pendek, seperti anak-anak pendeknya, akan tetapi larinya juga cepat dan kadang-kadang orang ini
menggelundung seperti bola dengan kecepatan luar biasa pula.
Seperti burung-burung terbang saja, dua orang itu telah tiba dekat tempat itu dan kini Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi dapat melihat dengan jelas. Mereka berdua makin terheran ketika dapat mengenal dua
orang ini.
Yang bertubuh jangkung tadi memang benar-benar seorang yang amat jangkung, tubuhnya seperti
sebatang bambu panjang! Kalau diukur dengan ukuran manusia biasa, tentu dia satu setengah kali
jangkungnya dari seorang manusia biasa yang cukup jangkung. Ada dua setengah meter jangkungnya!
Pakaiannya serba hitam, lengan bajunya lebar sehingga nampak lengan tangannya yang kecil seperti
tulang terbungkus kulit. Wajahnya juga kurus sekali, kurus dan serba panjang. Rambutnya sebaliknya
malah hanya sedikit dan tidak panjang, bercampur uban dan digelung ke atas model rambut para tosu,
matanya juga panjang sehingga nampak sipit. Jenggotnya sedikit dan pendek, demikian pula kumisnya.
Orang ini benar-benar luar biasa sekali bentuk tubuhnya.
Orang kedua tidak kalah anehnya. Kalau orang pertama itu seperti seorang tosu, orang kedua ini melihat
pakaian atau jubahnya dan kepalanya, seperti seorang hwesio saja. Dan bentuk tubuhnya merupakan
kebalikan dari tubuh kawannya. Dia bertubuh gendut besar sekali, hanya setinggi pinggang si jangkung
dan tingginya seperti seorang bocah berusia sepuluh tahun, maka tubuhnya yang amat besar dan amat
pendek itu membuat dia seperti manusia bola yang bulat!
Orang lain yang melihat kedua orang kakek yang sukar ditaksir usianya karena bentuk tubuh mereka yang
aneh itu, tentu akan tertawa geli di dalam hati karena memang keduanya merupakan orang-orang aneh,
pantasnya menjadi badut-badut sirkus atau pelawak-pelawak panggung wayang. Apa lagi muka si gendut
pendek, baru melihat mulutnya yang bergerak-gerak itu saja tentu sudah menimbulkan rasa geli dalam hati
orang. Wajah mereka benar-benar merupakan kebalikan pula. Si gendut pendek nampak selalu gembira
dan tertawa terus, seperti muka bayi gendut kekenyangan, akan tetapi sebaliknya wajah si jangkung itu
selalu muram, cemberut dan sedih!
Kalau orang lain bisa tersenyum geli melihat dua orang ini, sebaliknya Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lokwi
terkejut sekali dan memandang dengan muka berubah. Mereka berdua mengenal dua orang itu dan
terkejutlah mereka, karena dua orang ini bukan orang sembarangan, melainkan dua orang datuk-datuk
besar di dunia hitam yang sudah lama menyembunyikan diri. Si jangkung itu adalah Toat-beng Siansu
(Manusia Dewa Pencabut Nyawa) yang merupakan seorang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat), dia
merupakan yang termuda, sebenarnya bukan usia mereka yang menentukan urutan itu, melainkan tingkat
kepandaian mereka!
Im-kan Ngo-ok memang mempunyai kebiasaan yang amat aneh. Puluhan tahun yang lalu, sejak mereka
masih muda dan mengangkat persaudaraan dan membentuk Im-kan Ngo-ok, mereka lalu bertanding dan
mengukur kepandaian, dan dari tingkat ilmu kepandaian inilah mereka menyusun tingkat itu, yang
terpandai menjadi Twa-ok (Jahat Nomor Satu), kemudian Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dan seterusnya. Dan
setiap tiga tahun sekali, mereka berlima tentu selalu mengadakan pertemuan dan mereka kembali
mengadu ilmu kepandaian untuk menentukan tingkat baru mereka.
Oleh karena persaingan sebutan inilah maka mereka masing-masing dapat mencapai kemajuan hebat,
menciptakan berbagai macam ilmu untuk mengalahkan saudara saudara angkat sendiri agar naik tingkat
mereka. Maka tidak aneh kalau mereka itu sering bertukar tempat atau tingkat selama sepuluhan tahun.
Akan tetapi sudah sepuluh tahun lebih mereka tidak lagi mengadu ilmu karena mereka sudah merasa
bosan dan masing-masing lebih suka bersembunyi di dalam daerah masing-masing. Dan pada
dunia-kangouw.blogspot.com
pertandingan adu ilmu yang terakhir kalinya, yaitu belasan tahun yang lalu, Toat-beng Siansu menduduki
tingkat paling bawah atau Ngo-ok (Jahat Nomor Lima).
Ada pun kakek yang seperti hwesio itu juga memiliki nama besar yang amat terkenal. Seperti juga Toatbeng
Siansu dan tokoh-tokoh besar dunia hitam, dia hanya dikenal dengan julukannya, yaitu Siauw-siangcu
(Si Gajah Cilik) atau dalam urutan Im-kan Ngo-ok dia memiliki tingkat keempat, yaitu disebut Su-ok
(Jahat Nomor Empat). Jadi pada pertemuan atau pertandingan terakhir, tingkatnya masih lebih tinggi satu
tingkat dibandingkan dengan si jangkung. Akan tetapi karena sudah sepuluh tahun lebih tidak pernah lagi
mengadu kepandaian, maka sekarang sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih lihai.
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sudah mendengar akan kelihaian mereka, yang kabarnya memiliki
kepandaian yang tidak lumrah manusia biasa, bahkan jauh melebihi kepandaian para tokoh dunia kangouw
pada umumnya. Dan mereka berdua ini pun maklum bahwa Koksu Nepal, yaitu Ban Hwa Sengjin
yang amat lihai itu, hanya menduduki tingkat ketiga dalam urutan Ngo-ok. Jadi selain menjadi Koksu Nepal,
juga Ban Hwa Sengjin itu disebut Sam-ok (Jahat Nomor Tiga). Mengingat akan kelihaian Koksu Nepal itu,
maka dapat dibayangkan betapa lihainya Su-ok dan Ngo-ok ini, tentu tidak berselisih jauh dari Ban Hwa
Sengjin karena sekarang belum diketahui siapa di antara mereka yang lebih lihai.
Sejak dahulu pun, Ngo-ok Toat-beng Siansu terkenal dengan ginkang-nya yang tidak lumrah manusia
kang-ouw umumnya. Dia memiliki gerakan yang cepatnya luar biasa, ditambah dengan kaki dan tangannya
yang amat panjang, maka dalam perkelahian sukarlah menandingi kecepatan gerakan si jangkung ini. Dan
sesuai dengan julukannya sebagai seorang di antara Im-kang Ngo-ok, maka si jangkung ini juga
mempunyai kekejaman yang tidak lumrah manusia.
Dahulu, di waktu dia masih aktif dalam dunia hitam, dia sengaja melakukan hal-hal yang membikin
meremang bulu kuduk orang-orang yang paling kejam sekali pun. Melakukan kejahatan merupakan
sesuatu ‘keharusan’ untuk mempertahankan gelar mereka sebagai Im-kan Ngo-ok. Hanya setelah kini
kelima Ngo-ok itu tidak lagi terjun ke dunia ramai, maka orang tidak lagi mendengar tentang mereka.
Hanya Ban Hwa Sengjin seorang saja yang masih terjun di dunia ramai, akan tetapi bukan sebagai tokoh
dunia hitam kaum sesat, bahkan dia telah berhasil mengangkat diri menjadi koksu dari negara Nepal, yaitu
tempat asalnya di mana dia dikenal sebagai seorang sakti penasehat raja yang bergelar atau berjuluk
Lakshapadma.
Tentu saja orang keempat dari Si Lima Jahat ini, yaitu Siauw-siang-cu yang pendek, dalam hal kejahatan
juga tidak kalah dibandingkan dengan si jangkung itu. Melihat wajahnya yang kekanak-kanakan, pakaian
dan kepalanya yang seperti pendeta, yang sepatutnya hidup saleh dan beribadat, pantang melakukan
kejahatan, sungguh sukar dipercaya bahwa si gendut pendek itu mampu melakukan kejahatan. Akan tetapi
kalau orang menyaksikan kejahatan dan kekejaman Su-ok ini, orang akan mengkirik dan mungkin selama
hidupnya dia tidak akan mampu melupakan peristiwa mengerikan itu!
Bayangkan, untuk menyempurnakan satu di antara ilmu-ilmunya yang aneh dan mukjijat saja, Su-ok ini
dengan muka masih tersenyum dan jernih, telah merobek perut wanita wanita yang mengandung begitu
saja untuk mengambil anak-anak yang belum dilahirkan itu, untuk campuran ‘obat’ yang dibuatnya! Dan dia
melakukan hal ini berkali kali sambil tersenyum cerah, seolah-olah dia merasa girang sekali menyaksikan
para korbannya itu merintih, berkelojotan dan sekarat lalu meninggal di depan hidungnya!
Ngo-ok Toat-beng Siansu yang juga bersikap dan berpakaian seperti pendeta tosu itu pernah
menggegerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang keji. Dia amat suka menangkapi wanita-wanita,
tak peduli cantik atau jelek, muda atau tua, untuk diperkosa di depan keluarganya, keluarga si korban! Dan
dia memperkosa sambil membunuhnya! Semua ini dilakukannya bukan karena dorongan nafsu binatang
belaka, melainkan untuk menonjolkan kejahatan dan kekejamannya sesuai dengan julukannya agar dia
tidak kalah oleh para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain! Dan setiap kali dia membunuh wanita itu secara keji
dan mendirikan bulu roma, juga dia lalu mencabut kuku ibu jari tangan kiri korbannya untuk disimpan dan
sampai sekarang dalam saku bajunya selalu terdapat seuntai ‘tasbih’ yang terbuat dari kuku-kuku wanita
yang diuntai dengan benang emas. Melihat panjangnya, tentu sudah ratusan banyaknya!
“Ha-ha-ha, larimu masih cepat sekali, Ngo-te!” kata si gendut pendek sambil tertawa tawa ketika mereka
tiba di tempat itu. “Kiranya selama ini engkau yang diam saja meringkuk dalam goa silumanmu itu tidak
tinggal diam dan tak pernah melupakan ilmu malingmu! Ha-ha-ha, memang masih sukar untuk menandingi
ilmumu melarikan diri itu! Hebat, hebat! Dalam hal lari, aku masih kalah, ha-ha-ha!” Siauw-siang-cu
tertawa-tawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah yang muram itu menjadi makin keruh. “Dan kau masih licik!” kata si jangkung dengan singkat lalu
diam tidak mau melanjutkan kata-katanya.
“Ha-ha-ha, menangkap ujung bajumu ketika kau membalap sehingga aku tidak sampai tertinggal jauh
bukan licik namanya, akan tetapi cerdik! Biar pun dalam hal lari aku kalah, akan tetapi dalam hal kecepatan
menangkap dan memukul, kau masih setingkat lebih rendah dariku, adikku yang kelima!”
Toat-beng Siansu tidak menjawab, hanya mendengus dan tiba-tiba saja tangannya yang amat panjang itu
seperti ular menyambar telah mengirim pukulan ke arah kepala gundul itu. Cepat bukan main gerakannya
dan melihat tangan yang sepanjang itu, baik Hek-tiauw Lo-mo mau pun Hek-hwa Lo-kwi mengira bahwa si
cebol itu pasti tidak akan mampu menghindar.
Akan tetapi, tiba-tiba si pendek itu tertawa.
“Dukkkk!”
Tubuhnya sudah terlempar dan menggelundung, terlepas dari hantaman itu dan tahu tahu tubuhnya itu
bukan menggelundung menjauh, melainkan bahkan mendekati si jangkung dan kontan dia mengirim
pukulan balasan sambil mencelat bangun. Gerakannya juga cepat dan aneh, dan pukulannya tidak kalah
hebatnya dari pada pukulan si jangkung, karena dari pukulan itu keluar suara mencicit nyaring,
mengejutkan dua orang kakek iblis yang terkubur sampai ke leher itu! Kiranya si pendek ini cerdik bukan
main, menggunakan siasat seperti kalau seorang ahli silat menghadapi lawan yang memegang senjata
panjang, yaitu mengajak bertanding dari jarak dekat!
Akan tetapi, si jangkung mendengus dan tubuhnya meliuk, seperti seekor tubuh belut saja dia sudah dapat
mengelak dan melangkah mundur, selangkah saja dia sudah mundur sampai dua meter jauhnya, dan tibatiba
tubuhnya sudah berjungkir-balik, kepala dan kedua tangan di bawah membentuk kaki segi tiga,
sedangkan kedua kakinya yang panjang itu menjulang tinggi ke atas, berayun-ayun seperti tubuh dua
orang yang siap untuk bertanding!
“Ha-ha-ha, bagus, bagus! Jungkir-balikmu sudah kau sempurnakan, ya?” Bagus, coba kau hadapi pukulan
Katak Buduk ini!” dan tubuh si pendek gendut tua kini makin pendek karena dia sudah menekuk kedua
kakinya, tubuhnya agak condong ke depan, kedua tangan dikembangkan, lagaknya persis seperti seekor
katak buduk yang siap untuk melompat!
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menonton dengan hati tegang karena mereka berdua maklum
bahwa mereka akan menyaksikan pertandingan yang amat dahsyat yang dilakukan dengan ilmu-ilmu
mukjijat tingkat tinggi. Mereka berdua sudah merasa betapa hawa tiba-tiba menjadi berubah, angin
menderu-deru ketika dua kaki yang panjang itu digerakkan, dan bau amis yang aneh sekali keluar dari
tubuh kakek gendut itu, nampak pula uap hitam mengepul dari tubuh kedua orang aneh yang sudah siap
untuk saling gempur.
Mendadak bertiup angin dahsyat sekali dan disusul suara melengking nyaring yang mengguncangkan
jantung Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Suara ini melengking dari atas, seperti dari udara saja dan
hebatnya, suara itu juga mengandung getaran sedemikian rupa sehingga menyusup ke dalam tubuh dua
orang kakek iblis yang terkubur itu dan ketika mereka membarengi dengan pengerahan tenaga, maka
segera mereka mampu menembus jalan darah yang tertotok dan sudah banyak kehilangan pengaruhnya
itu. Suara lengkingan itu ternyata dapat membantu mereka membebaskan diri.
“Blarrr! Blarrrrr!”
Dua orang kakek iblis itu menggunakan lengannya dan mereka dapat menerobos dengan loncatan ke atas,
membuat tanah yang menguruk mereka itu terpental dan melayang ke kanan kiri seperti terjadi ledakan di
situ.
Dua orang kakek yang sedang berhadapan untuk saling gempur tadi, mendengar suara melengking ini,
terkejut, lalu disusul gerakan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, mereka makin kaget dan cepat
mereka bergerak ke arah kedua orang kakek iblis yang baru saja terbebas dari totokan itu.
Hek-tiauw Lo-mo terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada lengan panjang menekan pundaknya dan
sebelum dia mampu melepaskan diri, kekuatan dahsyat menyeretnya dan dia sudah dibanting masuk lagi
ke dalam lubang di mana dia tadi terkubur. Ketika dia hendak meronta, dia merasa ada jari-jari tangan
dunia-kangouw.blogspot.com
menempel di ubun-ubun kepalanya sehingga dia bergidik karena maklum bahwa sedikit saja jari-jari tangan
itu bergerak, ubun-ubunnya akan pecah dan dia takkan mampu melindungi nyawanya lagi. Maka dia tak
bergerak dan kini dia sudah berjongkok di dalam lubang seperti tadi, hanya kini tidak terpendam melainkan
ditekan oleh kakek jangkung!
Juga Hek-hwa Lo-kwi mengalami hal yang sama. Tiba-tiba saja kedua kakinya dipegang orang dan
sebelum dia sempat bergerak, dia sudah diseret ke dalam lubang dan sebuah tangan yang gemuk telah
mencengkeram hiat-to (jalan darah) di tengkuknya, jalan darah kematian yang membuat dia tidak berani
banyak bergerak karena maklum bahwa nyawanya berada di tangan orang.
“Ha-ha-ha, kalian ini dua orang iblis busuk kiranya sedang bertapa di sini! Ha-ha-ha, di jaman ini masih ada
orang bertapa pendam. Ji-ci (Kakak Perempuan kedua), coba lihat ini dua ekor monyet tua, apakah engkau
masih mengenal mereka? Yang kutangkap ini adalah bekas pelayan Si Dewa Bongkok, maling yang
kabarnya dapat melarikan kitab itu. Ha-ha-ha, dan yang itu tentu adalah sekongkolnya, si Hek-tiauw Lo-mo
dari Pulau Neraka! Agaknya mereka kini bertapa untuk menciptakan ilmu permalingan baru!” Su-ok Siauwsiang-
cu mengejek sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi Ngo-ok Toat-beng Siansu tidak berkata-kata, hanya kini dia menggunakan kepala Hek-tiauw
Lo-mo untuk didudukinya, dan jari tangannya masih menempel di ubun-ubun yang didudukinya. Dia kini
menggunakan kepala ketua Pulau Neraka yang ditakuti orang itu sebagai bangku!
“Hi-hi-hik, kalian ini dua orang tua bangka masih suka main-main seperti anak-anak saja. Kalau enci-mu ini
tidak cepat datang, tentu kalian tadi telah saling serang kembali seperti belasan tahun yang lalu. Apakah
selama ini kalian tidak makin tua, akan tetapi berubah kembali menjadi anak-anak?” Dari atas pohon
melayang turun tubuh seorang wanita dan ketika Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi memandang,
mereka bergidik.
Mereka sudah mendengar tentang wanita ini, yang merupakan Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dari Im-kan Ngook.
Tingkat wanita ini bahkan masih lebih tinggi setingkat dibandingkan dengan koksu dari Nepal, dan
kabarnya memiliki kekejaman yang sukar dibayangkan orang-orang kejam seperti Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi sekali pun! Kabarnya pernah wanita ini setiap hari mengisap darah dan otak anak kecil
yang belum satu tahun usianya untuk ‘jamu’, dan ketika orang-orang sedusun mengepungnya, dia
mengamuk, menangkapi dan menotok seluruh penghuni dusun yang jumlahnya ratusan orang itu,
mengumpulkan mereka di rumah kepala dusun, lalu menyiram sekeliling rumah dengan minyak dan
dibakarnya rumah itu. Dia menanti sampai semua orang yang ratusan banyaknya itu terbakar habis dan dia
tertawa-tawa ketika mendengar teriakan dan jeritan mereka. Yang tidak ikut dibakarnya hanya anak-anak
kecil yang belum satu tahun usianya, ada puluhan orang anak banyaknya, dibawanya mereka semua ke
dalam goanya, dipelihara baik-baik sampai gemuk-gemuk, akan tetapi setiap hari tentu berkurang satu
anak karena menjadi ‘jamunya’!
Dan menurut kabar, ilmu kepandaian wanita ini juga luar biasa sekali. Tadi saja sudah terbukti betapa
lengking suaranya mengandung khikang yang demikian ampuhnya sehingga tanpa disengaja mampu
menembus jalan darah kedua orang kakek iblis itu. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tidak
berdaya sama sekali karena jalan darah kematian dan ubun-ubun mereka telah diancam oleh dua orang
anggota Ngo-ok, dan mereka kini hanya dapat memandang ke depan, ke arah wanita yang baru datang itu
dengan jantung berdebar tegang.
Wanita itu memang menyeramkan sekali. Bahkan dua orang kakek iblis yang namanya saja biasanya
membikin orang menggigil ketakutan itu kini merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Wanita itu
bertubuh tinggi langsing, seperti tubuh seorang wanita yang masih muda. Mukanya tidak dapat dilihat
karena muka itu memakai topeng, bukan topeng buatan biasa atau topeng palsu, melainkan topeng dari
tengkorak manusia sungguh-sungguh! Tengkorak manusia yang masih lengkap dengan giginya yang besar
besar dan matanya yang berlubang dan dari lubang mata tengkorak ini nampak sepasang mata yang tajam
dan liar atau mengerikan, bukan seperti manusia melainkan pantasnya menjadi mata setan! Hanya
rambutnya yang sudah putih semua itu membuktikan bahwa wanita ini sesungguhnya adalah seorang
nenek yang sudah tua!
Kabarnya, sebelum menjadi anggota nomor dua dari Im-kang Ngo-ok, wanita ini adalah seorang yang
memiliki ilmu tinggi yang hidup malang melintang di Ko-le-kok, di mana dia ditakuti sebagai seorang yang
amat tinggi ilmunya. Akan tetapi, perangainya berubah ketika dia jatuh cinta kepada seorang pangeran
negeri itu dan karena cintanya tidak dibalas dan pangeran itu menikah dengan wanita lain. Dalam perayaan
pesta dia mengamuk, membunuhi sang pangeran dan isterinya dan seluruh keluarga, bahkan ratusan
dunia-kangouw.blogspot.com
orang tamu ikut pula menjadi korban. Dan dia lalu memenggal leher pangeran itu, membawa kepalanya ke
mana-mana sampai menjadi tengkorak, bahkan dia lalu memakai tengkorak itu sebagai topengnya ketika
dia menjadi anggota Im-kan Ngo-ok untuk menunjukkan bahwa dia cukup kejam dan pantas untuk menjadi
tokoh kedua dari Im-kan Ngo-ok itu!
“Ahhh, Ji-ci mengapa begitu sungkan? Bukankah kita memenuhi panggilan dari Sam-ko untuk berkumpul?
Setelah berkumpul, kenapa kita tidak sekalian mencoba kepandaian masing-masing? Siapa tahu aku dari
Su-ok bisa menjadi Ji-ok! Ha-ha-ha!”
“Huh, cebol kepala gundul tak tahu diri! Engkau hendak menandingi cici-mu? Oho, kau boleh belajar
seratus tahun lagi, adikku!” Si topeng tengkorak itu mengejek.
Wanita ini adalah Ji-ok (Jahat kedua) yang bernama Kui-bin Nionio (Wanita Muka Setan) yang juga seperti
yang lain telah lama sekali mengundurkan diri dan baru sekarang muncul karena undangan Sam-ok yang
kini telah menjadi Koksu Negara Nepal! Mungkin karena jabatan koksu inilah yang membuat Ji-ok yang
setingkat lebih tinggi itu sudi pula untuk datang memenuhi panggilan!
“Lihat ini!” Wanita itu menudingkan telunjuknya dan menggerakkan sedikit tangannya.
“Cuiiiiittttt...!”
Dari telunjuknya itu menyambar hawa yang dingin sekali, mengenai batu besar di dekat Su-ok dan debu
beterbangan seolah-olah batu itu di-‘bor’ dan ketika wanita topeng tengkorak menghentikan gerakannya,
maka di permukaan batu itu terdapat ukiran berbunyi ‘Ji-ok’!
Su-ok menjulurkan lidahnya dan masih tertawa-tawa sambil dia berkata nyaring. “Aha, kepandaian Ji-ci
masih hebat! Akan tetapi aku bukan batu mati, dan agaknya tidak akan mudah begitu saja Kiam-ci (Jari
Pedang) dari Ji-ci akan dapat mengalahkan aku!”
Akan tetapi agaknya wanita itu merasa sebal dan tidak bersemangat untuk berdebat atau bertanding. Dia
memandang ke sekeliling dan berseru, “Mana dia adik ketiga si Sam-ok? Apakah setelah menjadi koksu
dia begitu congkak tidak mau menyambut kita? Dan apakah Twako tidak mau datang?”
Tiba-tiba menyambar angin halus dan terdengar suara dari jauh sekali, akan tetapi suara itu terdengar
amat jelas, satu-satu seolah-olah orangnya berada di situ, akan tetapi tidak nampak apa-apa. Hal ini
kembali mengejutkan Hek-tiauw Lo-mo beserta Hek-hwa Lo-kwi sebab hal itu menandakan bahwa orang
itu telah memiliki kepandaian yang sukar diukur tingginya, sudah mampu melakukan Ilmu Coan-im-jip-bit
(Mengirim Suara Dari Jauh) secara sempurna sekali.
“Hemmm, aku orang tua tak berguna bisa apakah?”
“Twako...!” Tiga orang itu berseru secara berbareng.
Ketiganya bangkit berdiri memandang ke arah datangnya suara seolah-olah hendak menyambut.
Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Kalau tadi mereka
tidak berani berkutik adalah karena nyawa mereka terancam. Akan tetapi begitu kedua orang itu bergerak
bangun, secepat kilat mereka sudah bergerak dan menghantam ke arah punggung para penawan mereka!
“Ha-ha-ha!” Si pendek gendut sudah bergerak ke depan, lalu menggelinding sehingga terlepas dari
hantaman Hek-hwa Lo-kwi, sedangkan si jangkung itu dengan langkah lebar juga mengelak dan membalik
hendak menangkap lengan Hek-tiauw Lo-mo.
Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo yang berkepandaian tinggi itu sudah cepat mengelak dan kembali mengirim
serangan yang ampuh, yaitu dengan ilmu pukulan Hek-coa-tok-ciang yang diciptakannya dari kitab
curiannya ketika dia memperoleh sebagian kitab dari Si Dewa Bongkok. Hawa beracun berupa uap hitam
mengepul dari kedua tangannya ketika dia menyerang si jangkung itu.
“Hemmm...! Ngo-ok Toat-beng Siansu mendengus.
Tiba-tiba dia sudah berjungkir-balik. Agaknya dia mengenal pula pukulan sakti maka dia tahu bahwa
lawannya ini bukan orang sembarangan, maka orang kelima dari Im-kan Ngo-ok itu sudah berjungkir-balik
untuk mengeluarkan kepandaiannya yang istimewa! Dan benar saja, Hek-tiauw Lo-mo menjadi bingung
dunia-kangouw.blogspot.com
karena sasarannya menjadi aneh. Kalau biasanya dia memukul dada, kini pukulannya itu bertemu dengan
paha dan ditangkis oleh tangan yang panjang itu, kalau dia memukul kepala, kini bertemu dengan lutut
yang dapat bergerak dan menyerangnya kembali!
Dan tiap gerakan kakek jangkung itu mendatangkan angin pukulan dahsyat, sedangkan pukulan Hek-coatok-
ciang yang dimainkannya itu agaknya tidak mempengaruhi si jangkung karena beberapa kali si
jangkung berani menangkisnya tanpa keracunan. Sebaliknya, sepasang kaki si jangkung membuat dia
bingung karena kaki itu secara tiba-tiba dapat ‘memukulnya’ dari belakang, ke arah punggungnya!
Demikian pula, dengan keadaan Hek-hwa Lo-kwi. Kakek iblis ketua Kui-liong-pang ini terkejut bukan main
ketika menghadapi lawannya yang pendek gemuk itu. Sukar sekali menyerang lawan itu karena tubuh
lawan itu bergerak secara aneh sekali, kadang kadang bergulingan, kadang-kadang meloncat dan berlarilari
di sekelilingnya, dan kadang-kadang menerima pukulannya akan tetapi pada saat pukulan hampir
mengenai tubuh, dia melejit lenyap dan tahu-tahu sudah membalas serangannya dari bawah dengan
dasyat!
Hek-hwa Lo-kwi merasa penasaran sekali. Tidak peduli siapa adanya lawan ini, si pendek ini sudah
menghinanya secara keterlaluan sekali, menduduki kepalanya dan tadi ketika si pendek ini duduk di atas
kepalanya, biar pun tidak ada yang tahu karena tidak mengeluarkan suara, tetapi dia tahu betul bahwa dua
kali si pendek ini melepas kentut yang bau busuk! Maka saking marahnya, Hek-hwa Lo-kwi lalu
mengeluarkan ilmu barunya yang sakti dan mengerikan, yaitu Pek-hiat-hoat-lek.
“Hehhhhh...!” Dia berseru keras, kedua tangannya bergerak melakukan dorongan ke depan. Nampaklah
uap putih mengepul dan angin dahsyat menyambar ke arah kakek pendek itu.
“Krok-krokkk!” Kakek pendek yang menghadapi pukulan maut itu tiba-tiba berjongkok, memasang kudakuda
seperti seekor katak buduk. Kedua tangannya juga mendorong ke depan.
“Dessss...!”
Akibat pertemuan tenaga yang dahsyat, tubuh Hek-hwa Lo-kwi terjengkang dan dia terbanting roboh
dengan kepala pening. Akan tetapi kakek muka seperti tengkorak yang tinggi kurus ini dengan cekatan
telah meloncat bangun dan menyerang lagi kalang kabut. Ternyata ilmu barunya itu cukup tangguh
sehingga menghadapi pukulan llmu Katak Buduk dari si pendek itu dia tidak sampai mengalami luka, hanya
terjengkang saja. Melihat ini, Su-ok Siauw-siang-cu merasa kagum juga.
“Bagus, jongos maling, ilmumu lumayan juga!” katanya memuji akan tetapi juga sambil memaki.
Justeru Hek-hwa Lo-kwi paling benci kalau diingatkan bahwa dia dahulu adalah seorang pelayan dan
seorang pelayan yang telah mencuri kitab majikannya! Maka sambil menggereng dia menubruk ke depan,
akan tetapi si pendek melejit lenyap dan main kucing-kucingan sambil tertawa-tawa.
Di pihak lain, Hek-tiauw Lo-mo juga repot bukan main. Beberapa kali tubuh belakangnya kena digajul oleh
kaki lawan secara aneh sampai dia hampir terpelanting. Ngo-ok Toat-beng Siansu tak pernah
mengeluarkan suara, akan tetapi tangan dan kakinya sungguh jahil dan menghina sekali. Kadang-kadang
kedua tangan kakek ini bergerak cepat, tangan yang panjang itu tahu-tahu sudah menyentil telinga Hektiauw
Lo-mo, kemudian kakinya menendang pinggulnya secara aneh melalui belakangnya. Saat
menggerakkan tangannya, maka kakek yang tingginya tidak lumrah ini hanya mengunakan kepala sebagai
kaki, dan dia berloncatan sehingga kepalanya mengeluarkan bunyi ‘duk-duk-duk!’ memukul tanah!
Tiba-tiba terdengar suara yang tadi, suara halus yang tadi terdengar dekat, “Hemmm, Ngo-ok dan Su-ok
masih repot melayani dua ekor kera tua ini, sungguh harus dikatakan bahwa kepandaian kalian selama ini
tidak ada kemajuan sama sekali!”
Yang bicara itu adalah seorang kakek yang luar biasa sekali. Kakek ini tidak pantas disebut manusia, lebih
patut dinamakan gorila atau monyet besar sekali, seekor monyet besar yang memakai sepatu dan pakaian
seperti manusia, akan tetapi pakaiannya amat sederhana. Mukanya adalah muka campuran antara
manusia dan monyet, akan tetapi masih lebih mendekati monyet dari pada manusia, sehingga pantasnya
dia dinamakan monyet yang mirip manusia.
Bahkan dari bibir monyetnya itu menonjol keluar dua buah taring di kanan kiri! Hanya kulitnya saja yang
tidak seperti monyet, karena kulit muka dan tangannya tidak berbulu, dan rambutnya juga seperti rambut
dunia-kangouw.blogspot.com
manusia, pendek sampai di pundaknya dan masih banyak hitamnya. Kedua tangannya besar, seperti
tangan manusia, akan tetapi kedua lengannya panjang melampaui lututnya, ciri lengan tangan monyet!
Dan biar pun wajahnya menyeramkan seperti monyet, akan tetapi suaranya halus dan lemah lembut
seperti suara seorang pendeta, dan pakaiannya amat sederhana!
Padahal dia adalah orang nomor satu dari Im-kan Ngo-ok, dan dia inilah yang disebut Twa-ok (Jahat
Nomor Satu) bernama Su Lo Ti, nama yang berasal dari Pegunungan Himalaya, dan dia ini adalah suheng
(kakak seperguruan) dari Koksu Nepal! Tentu saja, sebagai Twa-ok, kepandaiannya juga amat tinggi, jauh
lebih tinggi dari pada tingkat sute-nya yang hanya menduduki tingkat Sam-ok, dan dalam hal kekejaman,
kiranya tidak ada lawannya di dunia ini! Akan tetapi hebatnya, biar pun wajahnya menyeramkan dan
bengis, sikap dan suaranya lemah lembut seperti orang yang sabar dan memiliki watak budiman!
Empat orang dari Im-kan Ngo-ok yang kesemuanya sudah menyembunyikan diri selama belasan tahun,
bertapa di tempat persembunyian mereka, menjauhkan diri dari dunia ramai itu, semua berpakaian
sederhana sekali. Pakaian, cara kehidupan, dan sikap sederhana ini selalu menarik perhatian orang dan
menimbulkan rasa hormat dalam hati setiap orang.
Benarkah semua itu yang dinamakan kesederhanaan? Kita sudah terlalu terbiasa untuk menilai segala
sesuatu dari lahiriah belaka. Dan kita selalu mengejar sesuatu juga untuk kepentingan kesenangan diri
sendiri dengan dasar-dasar lahiriah pula. Kesederhanaan adalah suatu hal yang menyangkut suatu
keadaan rohani, keadaan batiniah yang tidak ada sangkut-pautnya dengan keadaan jasmaniah atau
lahiriah.
Seorang pertapa boleh jadi hanya mengenakan cawat saja sebagai penutup tubuh, hanya makan sehari
sekali atau kurang dari makanan seadanya, tetapi belum tentu dia itu berjiwa sederhana!
Ada orang-orang yang tampak sederhana, namun kesederhanaannya itu digunakannya sebagai pameran,
memamerkan kesederhanaannya, agar semua orang tahu bahwa dia adalah orang sederhana!
Kesederhanaan macam ini adalah kesederhanaan palsu, biar pun dia telah menyiksa tubuhnya sendiri,
memaksa tubuhnya agar melaksanakan apa yang dianggapnya kesederhanaan.
Kesederhanaan yang diakui sendiri, dirasakannya sendiri ini hanyalah kesederhanaan pura-pura yang
pada hakekatnya tak lain tak bukan hanyalah suatu kesombongan yang terselubung, suatu pamrih atau
keinginan menonjolkan diri yang dibungkus dan diberi etiket berbunyi: Kesederhanaan! Kesederhanaan
lahiriah yang disengaja seperti itu hanyalah merupakan daya upaya, merupakan cara untuk mencapai
sesuatu belaka, yaitu: Agar orang lain tahu bahwa dia sederhana, bahwa dia suci, baik dan sebagainya
yang pada akhirnya hanya menunjukkan bahwa dia berpamrih agar terpandang! Dan ‘terpandang’ ini
merupakan sesuatu yang menyenangkan hati! Jadi kesimpulannya adalah bahwa dia menggunakan
kesederhanaan lahiriah sebagai kedok untuk mengejar kesenangan!
Ada pula orang yang sengaja hidup sederhana, bertapa di gunung-gunung dan goa goa, berpakaian
setengah telanjang, jarang makan minum, menyiksa diri. Akan tetapi semua itu pun merupakan bentuk
pemaksaan belaka, semua itu pun merupakan suatu jalan untuk mencapai sesuatu, oleh karena itu pun
palsu adanya. Hanya sebagai cara memenuhi keinginannya, mencapai sesuatu dan segala yang berpamrih
sudah pasti palsu adanya, tidak WAJAR!
Mungkin si pertapa yang menyiksa diri dan memaksa diri sederhana itu menghendaki sesuatu yang tidak
ada sangkut-pautnya dengan duniawi, bukan menghendaki harta, bukan menghendaki nama, atau
menghendaki kedigdayaan yang kesemuanya adalah duniawi, bukan pula ingin memperoleh kemuliaan
duniawi, tetapi menginginkan sesuatu yang dinamakannya ‘lebih tinggi’ yang pada umumnya dinamakan
‘kesempurnaan’, atau ‘kesucian’, atau ‘kebahagiaan’, bahkan ada pula yang menyebutnya Tuhan! Akan
tetapi, semua sebutan itu pasti dihubungkan sebagai hal yang MENYENANGKAN!
Baik itu kesempurnaan, kebahagiaan atau lainnya, tentu digambarkan oleh PIKIRAN sebagai sesuatu
YANG MENYENANGKAN, atau yang lebih baik, lebih enak, lebih menyenangkan dari pada yang sekarang
ada padanya! Dengan demikian, kembali lagi lingkaran setan itu terbukti, bahwa yang dikejar adalah
kesenangan! Baik jasmaniah, atau pun batiniah, tetap saja yang dicari-cari adalah kesenangan menurut
ukuran pikiran! Karena yang selalu mengukur sesuatu dengan untung rugi, dengan senang susah, yang
selalu mengejar-ngejar kesenangan adalah pikiran itulah!
Kesederhanaan, seperti cinta kasih seperti juga kebenaran, kebaikan, kebajikan dan sebagainya, jelas
tidak dapat dilatih! Karena sesuatu yang dilatih itu berarti penekanan, berarti pemaksaan, dan sesuatu
dunia-kangouw.blogspot.com
yang dilatih itu sudah pasti mengandung pamrih untuk memperoleh sesuatu! Dan kalau sudah ada pamrih,
dan semua pamrih selalu berputar untuk kemudian menuju kepada pencapaian kesenangan sendiri,
apakah itu dapat dinamakan kesederhanaan lagi? Kesederhanaan, seperti juga kebaikan atau kebajikan,
adalah suatu keadaan, bukan suatu hal yang mati. Sekali kita merasa bahwa kita baik, maka itu bukanlah
baik lagi namanya! Sekali kita menganggap bahwa kita sederhana, itu tiada lain hanyalah kesombongan
yang berselubung dengan cap kesederhanaan. Kita dapat melihatnya semua ini secara gamblang di dalam
diri kita sendiri kalau kita mau membuka mata setiap saat dan memandang diri sendiri.
Dan untuk mengenal apa yang dinamakan cinta kasih, kebahagiaan, keindahan, keagungan alam, apa
yang dinamakan kekuasaan Tuhan yang biasanya kita hanya menerima saja dari pendapat-pendapat yang
sudah ditentukan oleh kitab dan para ahli, untuk dapat mengenal itu semua secara nyata, bukan hanya
teori belaka, bukan hanya harapan belaka, dibutuhkan jiwa yang sungguh-sungguh sederhana!
Dan kesederhanaan tak mungkin ada selama di situ terdapat aku yang berpamrih, aku yang ingin senang,
selama terdapat pikiran yang mencari-cari hal yang menyenangkan. Batin yang hening, tidak dibikin hening
dengan sengaja, melainkan batin yang hening dengan sendirinya, bukan buatan, batin yang tidak pernah
mengharap, tidak pernah menginginkan sesuatu yang tidak ada, batin demikian ini yang berada dalam
keadaan sederhana.
Namun sayang, sejak kecil kita sudah terbiasa oleh hal-hal yang palsu. Pendapat pendapat umum yang
dibangun semenjak kita dapat berpikir, mempengaruhi kita, membutakan mata kita betapa palsunya semua
itu. Kita menjadi buta dan hanya melihat hal-hal lahiriah belaka. Oleh karena itu maka kebanyakan dari kita
mempergunakan hal hal lahiriah ini untuk mengelabui orang lain, yang tentu saja bersumber lagi kepada
pamrih untuk menarik keuntungan lahir batin sebanyaknya, pamrih untuk mengejar kesenangan pribadi…..
Empat orang dari Im-kan Ngo-ok itu tentu saja hanya mempergunakan pakaian dan sikap sederhana untuk
pamer belaka. Biar pun tidak kelihatan demikian, namun seolah olah mereka itu berkaok-kaok, “Lihat nih!
Aku adalah orang sederhana, lain dari pada yang lain! Aku bukan orang biasa! Aku sederhana dan baik,
suci dan sebagainya!”
Ketika mendengar teguran twako mereka, Ngo-ok dan Su-ok menjadi merah mukanya, akan tetapi pada
saat itu, Ji-ok Kui-bin Nionio sudah berkata dengan suaranya yang nyaring melengking, “Hai, Twako! Yang
mendekati ilmumu hanya aku saja, marilah kita berlomba mempermainkan dua orang iblis ini!”
“Hemmm, kau boleh lihat, Ji-moi. Dua ekor kera ini boleh kita jadikan alat percobaan!”
Memang menggeiikan sekali mereka itu. Ji-ok Kui-bin Nionio yang memakai topeng tengkorak dan lebih
mirip iblis dari pada manusia itu paling suka menamakan orang lain iblis, dan sebaliknya Twa-ok Su Lo Ti
yang mukanya benar-benar mirip kera itu paling suka memaki orang lain monyet!
Demikianlah watak dan sifatnya orang-orang yang tidak pernah mau mengenal diri sendiri. Kalau saja
mereka itu, seperti kita, mau pula untuk belajar hidup setiap hari, belajar mengerti hidup dengan
mengamati diri sendiri, mengenal diri sendiri setiap saat, maka kiranya mereka tidak akan mencela dan
memaki orang lain. Kalau kita mencela orang lain, ini sudah pasti terjadi karena kita menganggap diri
sendiri sebagai orang baik, setidaknya lebih baik dari pada dia yang kita cela. Akan tetapi benarkah
demikian?
Mari kita bercermin setiap hari, bukan hanya bercermin untuk melihat wajah kita setiap hari, melainkan
terutama sekali bercermin setiap saat dengan mengamati diri sendiri dalam hubungan kita setiap hari
dengan orang lain atau dengan benda, dengan pikiran dan apa saja, yaitu mengamati setiap saat segala
macam pikiran kita, perasaan kita, gerak-gerik kita lahir batin. Bukan mengendalikan diri sendiri. Bukan
mengoreksi diri sendiri, bukan mencari kesalahan diri sendiri, karena semua itu merupakan bentuk bentuk
perlawanan dan pemaksaan belaka yang akhirnya ternyata adalah permainan pikiran yang berpamrih
menghendaki sesuatu yang lebih! Mengamati saja, memandang saja, dengan penuh perhatian, tanpa
mencela atau memuji, tanpa pamrih sama sekali. Dapatkah?
Tiba-tiba Ji-ok Kui-bin Nionio dan Twa-ok Su Lo Ti bergerak hampir bersamaan, meloncat ke depan dan
ketika kedua orang ini menggerakkan tangan ke depan, Ngo-ok dan Su-ok terpaksa minggir dan melompat
ke belakang karena ada suara angin mencicit keluar dari gerakan mereka berdua itu.
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tadi dipermainkan oleh Ngo-ok dan Su-ok, kini tiba-tiba merasa
ada angin menyambar dahsyat. Keduanya cepat membalik dan berusaha menangkis dengan pengerahan
dunia-kangouw.blogspot.com
tenaga sinkang, akan tetapi tiba-tiba saja tangan mereka yang menangkis itu seperti lumpuh dan tanpa
mereka ketahui bagai mana caranya, tahu-tahu tengkuk mereka telah dipegang dan tubuh mereka telah
diangkat ke atas lalu dilontarkan! Ji-ok menangkap Hek-tiauw Lo-mo dan melontarkan kakek raksasa itu ke
arah Twa-ok, sebaliknya Twa-ok telah mencengkeram tengkuk Hek-hwa Lo-kwi dan kini melontarkan tubuh
kakek ini ke arah Ji-ok!
Ji-ok menerima tubuh Hek-hwa Lo-kwi, memandang wajah kakek ini sambil berkata, “Wajahmu tidak
buruk!” Padahal wajah Hek-hwa Lo-kwi seperti tengkorak hidup!
Agaknya karena mirip tengkorak itulah maka dia dipuji, akan tetapi tahu-tahu tubuh kakek ini sudah
melayang lagi ke udara, berbareng dengan tubuh Hek-tiauw Lo-mo yang juga melayang kembali ke arah Jiok.
Demikianlah, dua orang pertama dan kedua dari Im-kan Ngo-ok itu telah mempermainkan tubuh Hektiauw
Lo-mo beserta Hek-hwa Lo-kwi seperti dua orang anak kecil bermain bola saling mengoperkan tanpa
dua orang kakek iblis itu mampu melawan!
Tentu saja dua orang kakek iblis yang berkepandaian tinggi itu berusaha melawan, akan tetapi setiap kali
mereka menggerakkan tangan untuk memukul, lengan mereka menjadi lumpuh karena mereka jauh kalah
cepat, lebih dulu ditotok lumpuh untuk beberapa menit lamanya dan dilontar-lontarkan di antara dua orang
manusia aneh itu! Tentu saja dua orang kakek itu marah bukan main, marah, penasaran dan merasa
terhina dan malu sekali!
Akan tetapi dalam adu ilmu secara aneh ini nampak betapa Ji-ok masih kalah setingkat, buktinya, tubuh
dua orang kakek iblis itu lebih gencar melayang ke arah Ji-ok sehingga nenek ini menjadi kewalahan! Baru
saja dia melontarkan tubuh seorang kakek kembali kepada Twa-ok, tubuh kakek kedua sudah datang
menyambar, dan sambaran itu makin lama makin berat terasa olehnya, tanda bahwa Twa-ok menambah
tenaga lontarannya!
“Ahhh, Twako dan Ji-ci, harap suka hentikan main-main itu!” Tiba-tiba terdengar suara orang berseru keras
dan kaget. “Mereka itu adalah pembantu-pembantu kita sendiri!”
“Ha-ha, Sam-ko telah mengkhawatirkan orang-orangnya!” Terdengar si gendut pendek Su-ok tertawa.
Akan tetapi mendengar suara Koksu Nepal ini, dua orang yang sedang bermain-main itu lalu melontarkan
tubuh dua orang kakek itu ke arah Ban Hwa Sengjin! Koksu Nepal ini mengebutkan kedua tangannya dan
tubuh dua orang kakek itu meluncur turun ke atas tanah.
Setelah kini tidak tertotok lagi, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi berseru keras, berjungkir balik dan
turun ke atas tanah dalam keadaan berdiri dan tidak terbanting. Mereka memandang kepada Twa-ok dan
Ji-ok dengan mata marah, kemudian mereka mengeluarkan suara menggereng dan siap untuk menerjang
maju.
“Sudahlah, Lo-mo dan Lo-kwi. Mereka ini adalah saudara-saudaraku sendiri!” Koksu ini berkata kepada
dua orang pembantu itu.
“Mereka itu menghina kami!” berkata Hek-tiauw Lo-mo dengan marah.
“Tidak ada orang boleh mempermainkan kami seperti itu!” Hek-hwa Lo-kwi juga berkata dengan geram.
“Sudahlah, dua orang kakakku ini memang gemar bermain-main dan andai kata mereka tidak tahu bahwa
kalian adalah orang-orang sendiri, apakah kalian kira saat ini kalian masih dapat hidup?” kata pula Ban
Hwa Sengjin dengan suara sungguh-sungguh.
Dua orang kakek iblis itu terpaksa membenarkan pendapat ini karena kalau mereka tadi menghendaki, dua
orang itu tentu sudah dapat membunuh mereka berdua dengan amat mudahnya. Diam-diam mereka
bergidik menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian empat orang di antara Ngo-ok itu.
“Ahh, Koksu yang mulia, sungguh tidak melanggar janji. Sayangnya masih ada orang orang yang mengintai
kami, apakah Koksu sengaja menyambut kami dengan mata mata yang menyelidik?” tanya Twa-ok Su Lo
Ti, suaranya masih halus seperti tadi.
“Heh-heh-heh, agaknya Koksu sudah kurang percaya kepada kita, Twako!” kata Ji-ok Kui-bin Nionio sambil
tertawa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Koksu Nepal itu mengerutkan alisnya dan mengelus jenggotnya. “Hemmm, hemmm... mengapa Twako dan
Ji-ci menyebut koksu kepadaku? Tidak seperti Su-te dan Ngo-te yang masih bersikap biasa!”
“Ha-ha-ha, mungkin karena pakaianmu, Sam-ko!” kata Su-ok sambil bergelak tertawa, sedangkan Ngo-ok
hanya berdiri diam saja dengan muka muram dan mulut cemberut seperti orang ngambek.
“Pakaianku, mengapa? Ah, pakaian mewah ini? Tentu saja aku harus menyesuaikan diri dengan
kedudukanku. Hendaknya Twako dan Ji-ci ingat bahwa aku adalah koksu, yang memimpin negara yang
rakyatnya berjuta orang! Aku harus dapat menjaga nama dan kehormatan.”
“Lalu bagaimana dengan mata-mata yang mengintai itu?” tanya pula Twa-ok, masih halus suaranya akan
tetapi jelas nampak tidak senang.
“Mata-mata yang mana yang Twako maksudkan? Aku datang, tidak tahu tentang mata mata,” tanya Ban
Hwa Sengjin.
“Hi-hik, kalau begitu bukan mata-mata yang dipasang oleh Sam-te, Twako!” kata Ji-ok.
“Aku tidak melihat orang lain!” kata Su-ok.
“Twako dan Ji-ci lihai, aku pun tidak melihat orang!” kata Ngo-ok, kini dia pun tertarik dan menoleh ke
kanan kiri, mencari-cari dan membuka kedua matanya yang sipit dan seperti mau tidur terus saja itu.
“Heh-heh, Twako, kalau begitu mari kita sekali lagi bertanding ilmu, siapa yang dapat merobohkan matamata
itu lebih dulu, dia lebih unggul!” kata Ji-ok dan nenek yang tidak peduli akan segala kecurangan ini
sudah mendahului, tiba-tiba saja tangannya bergerak dan terdengar suara mencicit ketika jari telunjuk
tangannya menyambar hawa dingin ke arah semak-semak.
Twa-ok Su Lo Ti juga sudah bergerak, tangan kanannya mendorong ke arah sebatang pohon.
“Krakkkkk!”
Biar pun kakek bermuka gorila itu bergerak belakangan, tetapi akibat hantamannya telah lebih dulu
mengenai sasaran dan pohon itu roboh. Dari balik pohon itu berkelebat bayangan orang yang cepat bukan
main dan dengan kibasan lengan bajunya, bayangan itu telah dapat menangkis tenaga dahsyat yang
dilepas oleh Twa-ok Su Lo Ti tadi! Bahkan kini bayangan itu mencelat ke belakang semak-semak yang
diserang oleh pukulan jarak jauh dengan ilmu mukjijat Kiam-ci (Jari Pedang) dari nenek bertopeng
tengkorak itu.
“Syeeettttt...!”
Cabang ranting dan daun semak-semak itu berhamburan, akan tetapi tubuh Siang In telah didorong
sampai terguling-guling oleh Kian Lee sehingga dara ini terbebas dari maut! Kiranya sejak tadi Kian Lee
dan Siang In telah tiba di tempat itu dan diam-diam mereka melakukan pengintaian dengan hati-hati sekali.
Orang-orang seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, juga yang lebih lihai lagi seperti Ngo-ok dan
Su-ok, tidak melihat tempat persembunyian mereka. Ban Hwa Sengjin juga tidak melihat karena memang
kakek botak ini baru tiba, tetapi ternyata Twa-ok dan Ji-ok dapat mengetahuinya. Hal ini saja sudah
membuktikan, alangkah lihainya orang pertama dan orang kedua dari Im-kan Ngo-ok itu!
Serangan kedua orang itu memang hebat bukan main karena mereka tadi menyerang untuk membunuh
dan karena mereka mempergunakan serangan itu untuk menguji kepandaian masing-masing antara orang
pertama dan orang kedua, tentu saja mereka telah mengerahkan tenaga agar lebih dulu merobohkan
lawan. Akan tetapi siapa kira, serangan mereka keduanya tidak berhasil dan kini muncullah seorang
pernuda yang gagah dan tampan sekali bersama seorang dara yang amat cantik jelita dari dua tempat
yang mereka serang tadi, berdiri berdampingan dengan gagah perkasa dan penuh keberanian!
Diam-diam Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang mengenal Kian Lee terkejut sekali. Mereka maklum
akan kelihaian pemuda putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu, akan tetapi karena mereka masih
merasa mendongkol kepada empat orang dari Im-kan Ngo-ok, maka mereka diam saja, hendak melihat
apa yang selanjutnya akan terjadi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Di lain pihak, Kian Lee juga kaget sekali ketika mengenal orang-orang yang amat lihai itu. Dia sudah
mengenal Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, akan tetapi dua orang kakek iblis ini tidak membuat dia
jeri. Hanya ketika mengenal Ban Hwa Sengjin, diam diam dia merasa khawatir akan keselamatan Siang In
karena dia tahu betapa lihainya Koksu Nepal ini. Dan biar pun dia belum mengenal empat orang aneh yang
lain itu, namun dari gerakan-gerakan mereka tadi saja dia sudah tahu bahwa mereka itu pun merupakan
lawan-lawan yang amat tangguh!
Sementara itu, Ngo-ok Toat-beng Siansu yang sejak tadi diam saja dan seperti orang mengantuk atau
orang murung dan ngambek, tiba-tiba kini membelalakkan matanya yang sipit, memandang kepada Siang
In dan seketika mulutnya mengeluarkan air liur yang keluar dari ujung kiri mulutnya, hampir menetes turun
akan tetapi sudah cepat disedotnya kembali ke dalam mulutnya. Dia mulai menyeringai, kemudian dia
berkata, “Berikan kuku ibu jarimu kepadaku!”
Dan tiba-tiba saja dia sudah menubruk dengan gerakan mengejutkan ke arah Siang In! Karena langkahnya
panjang, dan lengannya yang panjang sudah menyambar hendak menangkap tangan Siang In, maka
gerakannya itu cepat bukan main dan hampir saja lengan dara itu dapat ditangkapnya!
“Ihhhh!” Siang In menjerit dan tubuhnya mencelat ke belakang dengan hati penuh jijik melihat orang
jangkung ini.
Akan tetapi Ngo-ok yang melihat betapa sambarannya yang pertama dapat dielakkan, tahu bahwa dara
yang luar biasa cantiknya itu ternyata memiliki kepandaian yang boleh juga, sudah menerjang lagi, kini
kedua lengannya yang panjang itu seperti sepasang capit kepiting menyerang dari atas, tinggi sekali dan
kedua tangannya menyambar turun ke bawah, dari kanan kiri menutup semua jalan lari dari Siang In!
Teng Siang In adalah murid terkasih dari See-thian Hoat-su, maka selain ilmu sihir, tentu saja dia banyak
mewarisi ilmu silat tinggi yang lihai dari gurunya itu. Menghadapi serangan yang amat aneh dan dahsyat
ini, dia terkejut akan tetapi tidak menjadi gugup. Payungnya sudah menyambar dan tubuhnya bergerak
cepat, dia sudah mengelak dari sambaran tangan kiri, payungnya menangkis tangan kanan lawan dan
secepat kilat dia balas menyerang dengan tendangan Soan-hong-twi!
“Dukkkk!”
Biar pun payung di tangan Siang In membalik, namun tangan kanan kakek jangkung itu dapat tertangkis
dan sekarang secara tiba-tiba saja kaki yang kecil mungil itu telah menyambar ke arah pusar Ngo-ok!
Betapa pun lihainya Ngo-ok Toat-beng Siansu, akan tetapi dia tidak mau coba-coba menerima tendangan
yang jelas dilakukan dengan pengerahan sinkang kuat itu dengan pusarnya karena hal ini amat berbahaya.
Maka si jangkung ini cepat menekuk tubuhnya melengkung ke belakang sehingga tendangan itu luput!
Karena tubuh itu jangkung dan panjang sekali, maka dengan melengkung tengahnya ke belakang, dia
sudah dapat mengelak dan tendangan pertama dari Siang In jauh dari sasarannya.
Akan tetapi ilmu tendangan Soan-hong-twi dari dara itu hebat bukan main. Walau pun tendangan pertama
luput, tetapi tendangan kedua, ketiga, keempat dan seterusnya datang bertubi-tubi menghujani bagianbagian
tubuh yang berbahaya dari si kakek jangkung!
Kini kakek itu agak repot juga. Tubuhnya yang panjang itu melengkang-lengkung ke sana-sini untuk
mengelak dan beberapa kali kedua tangannya juga menangkis sehingga perkelahian itu kelihatan ramai.
Semua orang menonton dan tiada yang mempedulikan Kian Lee karena mereka tidak ingin ketinggalan
menonton perkelahian itu!
Namun segera nampak keunggulan Ngo-ok. Setelah si jangkung ini dapat memulihkan ketenangannya
menghadapi serangan tendangan dari dara itu, mulailah dia menangkis, kaki Siang In membalik dan dara
itu menyeringai kesakitan. Maklumlah Siang In bahwa lawannya memang hebat, maka tiba-tiba saja dia
mengerahkan kekuatan sihirnya dan cepat dia membentak, “Lihat siapa aku!”
Mendengar ini, otomatis Ngo-ok memandang ke arah wajah dara itu dan pada saat itu Siang In berseru
nyaring, suaranya mengandung getaran hebat dan aneh, “Aku adalah ibumu, kau tidak lekas berlutut?”
Tiba-tiba Ngo-ok mengeluarkan suara aneh, matanya terbelalak memandang wajah dara yang cantik jelita
itu. Siapa tidak akan menjadi kaget dan heran kalau tiba-tiba melihat ibunya yang telah puluhan tahun
dunia-kangouw.blogspot.com
meninggal dunia itu kini berdiri di depannya dalam keadaan segar bugar? Seluruh tubuh Ngo-ok menggigil
dan dia menjatuhkan dirinya berlutut! Pada saat itu, Siang In mengirim tendangan Soan-hong-twi.
“Duk-plak-desss...!”
Tubuhnya yang jangkung itu terguling-guling. Pada saat itu terdengar suara melengking nyaring, suara
yang dikeluarkan oleh Ji-ok Kui-bin Nionio. Siang In terkejut karena suara ini menggetarkan jantungnya dan
sekaligus membuyarkan kekuatan sihirnya atas batin Ngo-ok. Ngo-ok yang bergulingan terkena tendangan
bertubi-tubi itu, kini meloncat bangun dan menggosok-gosok matanya karena melihat bahwa ‘ibunya’ sudah
lenyap dan yang adalah dara cantik yang telah menendanginya seenaknya!
“Arghhh...!” Dia menggereng, maklum bahwa dia telah dipermainkan dengan sihir, maka tiba-tiba saja
tubuhnya sudah berjungkir-balik dan kini bagaikan badai mengamuk, tubuh yang membalik itu telah
menyerang kalang-kabut ke arah Siang In!
Dara ini terkejut bukan main. Untuk menggunakan sihirnya, amat sukar karena mencari wajah orang itu
pun sudah amat sukar. Empat kaki dan tangan itu bergerak-gerak aneh, semua menyambar ke arahnya
dengan cepat bukan main dan betapa pun dia berusaha mengelak dan menangkis, tetap saja dia kena
ditampar dan ditendang. Tamparan ketiga yang mengenai tengkuknya membuat dia terlempar dengan
kepala pening dan tahu-tahu dia telah dirangkul Kian Lee dan sudah menggerakkan tangan menangkis
tamparan berikutnya dari tangan panjang itu.
“Desssss...!”
Kini tubuh yang berjungkir balik itu terlempar oleh tangkisan Kian Lee! Ngo-ok terkejut bukan main dan
cepat dia bangkit berdiri sambil memandang dengan penuh perhatian kepada Kian Lee. Tak disangkanya
betapa tangkisan itu mengandung hawa panas yang seperti hendak membakar seluruh langannya tadi,
maka saking kagetnya dia telah membalik dan menghentikan serangannya. Siang In yang masih pening
kini duduk di atas tanah sambil memijit-mijit tengkuknya yang kena ditampar tadi.
Melihat Ngo-ok, Su-ok dan Ji-ok hendak maju, tiba-tiba Twa-ok Su Lo Ti berteriak, “Biarkan dia
menghadapi aku! Dia sudah menjadi lawanku sejak pertama tadi!”
Mendengar teriakan halus ini, tiga orang adik angkatnya itu tak berani maju, sedangkan Ban Hwa Sengjin
yang juga mengenal Kian Lee hanya memandang dengan tenang. Dia merasa girang dengan munculnya
saudara-saudaranya, sebab itu berarti memperkuat kedudukannya dan kini dia hendak menikmati tontonan
menarik, betapa suheng-nya atau juga twako-nya itu akan menandingi pemuda yang dia tahu amat lihai ini.
Dia merasa yakin bahwa suheng-nya sudah pasti akan mampu mengalahkan pemuda ini, maka hatinya
tidak khawatir dan dia hanya menonton dengan tenang.
Juga Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menonton dengan jantung berdebar tegang. Mereka mengenal
kelihaian putera Pendekar Super Sakti, maka mereka kini ingin melihat sampai di mana kelihaian kakek
seperti monyet besar itu.
Kian Lee maklum bahwa dia menghadapi banyak lawan tangguh. Tidak disangkanya bahwa sejak para
penculik putera Ceng Ceng itu menuju ke lembah di mana dia akan bertemu dengan begini banyak orang
lihai yang aneh-aneh dan belum pernah dijumpainya. Karena sudah terlanjur ketahuan, maka dia harus
menghadapi segala bahaya, untuk membela diri dan juga untuk menyelamatkan Siang In, karena dari sikap
dan ucapan-ucapan mereka maklumlah dia bahwa dia berhadapan dengan datuk-datuk dari kaum sesat
yang amat jahat dan kejam sehingga kalau sampai dia dan Siang In tertawan, maka keadaan dan
keselamatan dara yang cantik jelita itu pasti terancam hebat!
Maka melihat betapa kakek yang seperti gorila itu sekarang mulai melangkah maju menghampirinya, dia
sudah siap dan diam-diam dia telah mengerahkan sinkang-nya untuk menghadapi segala kemungkinan
sambil matanya menatap tajam wajah lawan dan gerak-gerik lawan yang aneh.
Dia melihat kakek itu berdiri biasa saja, dengan kedua kaki agak terpentang dan agak ditekuk,
punggungnya membongkok dan kedua lengan panjang itu bergantung ke bawah, persis sikap seekor
monyet besar! Kemudian, perlahan-lahan kedua tangan itu diangkat ke depan, dengan jari-jari terbuka dan
telapak tangan menghadap keluar, juga gerakan ini tiada ubahnya seekor monyet!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Lee belum pernah menyaksikan pasangan kuda-kuda ilmu silat seperti itu, kecuali kalau kuda-kuda itu
dilakukan oleh seekor monyet yang hendak menyerang musuh! Akan tetapi dia tetap waspada dan ketika
kakek itu menggerakkan tangan kiri yang mukanya menghadapi kepadanya itu, dia siap.
“Wirrrrrrr...!”
Angin yang dahsyat keluar dari tangan kiri kakek itu dan angin ini berpusing seperti angin puyuh,
menyambar ke arah Kian Lee, disusul oleh sebuah tangan yang tiba-tiba ‘mulur’ sehingga biar pun jarak
antara kakek itu dan dia ada dua meter jauhnya, bahkan lebih, tangan itu masih dapat mencapainya
dengan cengkeraman ke arah ubun-ubun kepalanya!
Hebat, pikir Kian Lee! Akan tetapi dia tidak menjadi gentar. Melihat betapa angin pukulan tangan kiri itu
berhawa dingin, dia lalu mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang dan dengan tangan kanannya dia
menangkis cengkeraman itu sambil memperkuat kedudukan kuda-kuda kakinya.
“Dukkkkk!”
“Ehhh...?” Kakek itu mengeluarkan seruan kaget dan tangannya yang mulur tadi kini mengkeret kembali.
Akibat pertemuan kedua lengan itu, cengkeraman kakek itu dapat tertangkis akan tetapi kuda-kuda kaki
Kian Lee agar tergeser sedikit, tanda betapa kuatnya tenaga sinkang kakek gorila itu!
Hanya sebentar saja kakek itu terheran dan kaget karena kini tangan kanannya yang bergerak ke depan,
juga mulur seperti tangan kirinya tadi. Kini tangan kanan itu didahului angin yang mengeluarkan suara
mendesis-desis dan Kian Lee merasa betapa tangan yang sekarang menampar ke arah lehernya itu
mendatangkan hawa panas membakar! Dia pun tidak mau kalah, cepat mengerahkan Ilmu Hwi-yang Sinciang
dan kembali dia menangkis.
“Desssss...!”
Pertemuan kedua lengan sekali ini lebih hebat lagi, keras lawan keras sehingga kini tubuh Kian Lee
terhuyung ke belakang, akan tetapi kakek itu menjadi makin kaget dan matanya yang seperti mata monyet
itu mendelik. Hampir dia tidak dapat percaya bahwa ada seorang pemuda yang berhasil menangkis
serangan tangan kiri dan kanannya, dan yang juga menggunakan hawa Im-kang yang amat kuat kemudian
tenaga Yang-kang yang juga amat dahsyat!
“Kau... kau... dari Pulau Es?” tanyanya kaget, karena dia telah mendengar bahwa hanya orang-orang dari
Pulau Es saja yang mempunyai kemampuan untuk menguasai dua macam tenaga Im dan Yang secara
berselang-seling seperti itu.
Sekarang Hek-tiauw Lo-mo mendapatkan kesempatan untuk mengejek, “Ha-ha-ha, baru puteranya saja
sudah mengejutkan semua orang, apa lagi kalau ayahnya yang datang, agaknya si kaki buntung itu tidak
ada yang berani melawannya!”
Wajah kakek gorila itu berseri dan mulutnya menyeringai memperlihatkan gigi dan taring yang
menyeramkan, akan tetapi dia segera kembali bersikap lemah lembut. “Ahaa, kiranya kau benar-benar
putera Pendekar Siluman dari Pulau Es? Bagus, sudah lama memang aku ingin mencoba kelihaian Pulau
Es.”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba kakek ini menggerakkan tubuhnya berpusing! Makin lama makin cepat
tubuhnya berpusing, seperti seorang penari ballet yang mahir. Sukar sekali dilihat ke mana dia
menghadap, tetapi tubuh yang berpusing itu mengeluarkan angin yang dahsyat, juga berpusing sehingga
orang-orang yang berdekatan cepat mundur. Tubuh itu sekarang menerjang ke arah Kian Lee dan dari
pusingan itu nampak menyambar kaki atau tangan yang mencuat dengan cepat dan dahsyat secara tibatiba,
tidak tentu mana yang diserangnya sehingga sukar untuk dijaga.
Akan tetapi, Kian Lee adalah putera Pendekar Super Sakti. Biar pun dia maklum bahwa lawannya ini hebat
bukan main kepandaiannya, bahkan lebih hebat dari pada tingkat kepandaian Koksu Nepal, dan hal ini
dapat diukurnya ketika dia dua kali menangkis pukulannya tadi, namun dia tidak menjadi gentar. Kian Lee
adalah seorang pemuda yang tenang dan waspada, maka kini dia mempergunakan ketenangannya itu
untuk membentuk benteng pertahanan yang kokoh kuat. Dia tidak bergerak, hanya diam saja penuh
kewaspadaan, hanya setiap kali ada kaki atau tangan menyambar saja maka dia bergerak untuk mengelak
dunia-kangouw.blogspot.com
atau menangkis dengan pengerahan seluruh tenaga, kadang kadang tenaga Swat-im Sin-ciang, kadangkadang
tenaga Hwi-yang Sin-ciang.
Akan tetapi, kakek itu memang benar-benar hebat. Agaknya dia hendak menguras ilmu dari pemuda itu,
maka dia sengaja mempermainkan Kian Lee. Hal ini dirasakan pula oleh Kian Lee yang mulai menjadi
pening juga ketika kakek itu berputaran di sekeliling tubuhnya. Sukar baginya untuk menyerang dan hanya
mempertahankan diri saja tentu lama-lama dia takkan dapat bertahan terus.
“Haiiittttt...!”
Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya mencelat ke sana sini ketika Kian Lee
mulai membalas dengan serangan-serangannya. Akan tetapi, terdengar kakek itu tertawa girang dan kakek
itu menandinginya tanpa menyerang lagi, hanya mengelak ke sana-sini dengan tubuh masih berpusing.
Melihat ini, sadarlah Kian Lee bahwa pihak lawan akan mempelajari ilmu silatnya, maka dia lalu
menyimpan kembali jurus-jurus Toat-beng Bian-kun, satu di antara ilmu silat tinggi yang dikuasai pemuda
itu. Dia baru mengeluarkan beberapa jurus dan melihat betapa ilmu silatnya ini tidak akan berhasil
merobohkan lawan, bahkan mungkin akan dapat dipelajari dan dicuri oleh kakek iblis ini sehingga kelak
akan merugikan pihak Pulau Es.
Setelah memancing terus tanpa hasil kakek itu menjadi jengkel juga, maka dia berseru keras sekali, dari
tubuhnya yang berpusing itu menyambar hawa pukulan dahsyat bukan main.
Kian Lee yang sudah siap waspada itu menggunakan kedua tangannya menangkis, akan tetapi tetap saja
tubuhnya terpental dan terbanting keras di atas tanah dan dia tak dapat bangkit karena kepalanya terasa
pening!
“Lee-koko...!” Siang In menjerit dan cepat menubruk pemuda itu, kemudian dara ini mengembangkan
payungnya, memandang kepada mereka sambil berteriak nyaring, “Kami berdua pergi!”
Ngo-ok dan Su-ok terkejut, demikian pula Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi karena benar saja, tibatiba
dara cantik dan pemuda itu lenyap dari situ! Tetapi kembali Ji-ok sudah mengeluarkan suara
melengking nyaring, suara lengking yang mengandung khikang amat kuatnya dan kini mereka berempat
melihat betapa pemuda itu digandeng dan dibantu oleh dara itu sedang berjalan pergi meninggalkan
tempat itu dengan diam diam!
Siang In yang menyangka bahwa sihirnya sekali ini berhasil, melihat betapa orang orang tua yang buruk
rupa itu berdiri diam tak bergerak, maka dia merasa girang sekali dan menarik lengan tangan Kian Lee
agar cepat-cepat pergi dari tempat itu. Setelah dia merasa aman, dia menoleh dan tidak lagi melihat
mereka, hatinya lega sekali, akan tetapi tiba-tiba dia mendengar sesuatu. Dia mengangkat mukanya dan...
tujuh orang tua aneh itu kembali sudah berdiri di situ, mengurung dia dan Kian Lee!
“Ohhh... tidak...!” Dia menjerit dan kembali dia mengerahkan sihirnya, menggerakkan payungnya yang
terbuka menutupi tubuh mereka berdua sambil berseru nyaring sekali, “Kami berdua pergi!”
Kembali terdengar Ji-ok Kui-bin Nionio mengeluarkan suara melengking dan Siang In cepat-cepat
mengajak Kian Lee pergi, dibiarkan saja oleh tujuh orang tua itu. Ketika Siang In dan Kian Lee tiba di atas
lapangan rumput, kembali terdengar suara dan tujuh orang kakek itu telah mengurung mereka berdua!
“Percuma, In-moi, mereka tak terpengaruh sihirmu,“ dengan perlahan Kian Lee berkata. Dia tahu apa yang
terjadi. Sihir dari Siang In selalu dibuyarkan oleh suara lengking dari nenek bertopeng tengkorak itu yang
agaknya kebal terhadap pengaruh sihir nona itu.
“Huh, kau mau lari ke mana? Kuku ibu jari tanganmu harus menjadi milikku!”
Kembali Ngo-ok Toat-beng Siansu berseru dan lengannya yang panjang menyambar Siang In yang sudah
lemah dan masih pening oleh tamparan tadi, berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah cepat dan
pundaknya sudah kena dicengkeram, kemudian tubuhnya diangkat tinggi sekali oleh tangan itu sampai dia
menjerit ketakutan. Kakek itu memang sudah amat tinggi, kini lengannya yang panjang itu mengangkat
tubuh Siang In ke atas, tentu tingginya lebih dari tiga meter dari tanah!
“Huh!” Kini tangan kiri kakek itu sudah mencengkeram ke arah pakaian Siang In, siap untuk merobeknya
karena Ngo-ok ini akan memperlihatkan kekejamannya yang luar biasa, yaitu memperkosa dara itu di
dunia-kangouw.blogspot.com
depan mata semua orang begitu saja sebelum disiksa dan dicabuti kukunya, dibeset-beset kulit dagingnya
sampai mati seperti biasa!
Sam-ok atau Ban Hwa Sengjin sudah mengenal kebiasaan Ngo-ok ini, maka tiba-tiba dia berkata dengan
suara yang nyaring berwibawa, “Ngo-te, jangan lakukan itu! Kau lepaskan dia!”
Sejenak si jangkung itu menentang pandang mata koksu, mukanya yang sudah muram itu makin keruh dan
seperti akan menangis. Mula-mula dia seperti hendak menentang, akan tetapi akhirnya dia melemparkan
tubuh Siang In.
“Brukkkk...!” Dara itu merangkak mendekati Kian Lee yang masih lemah dan pening.
“Sam-ko, apa artinya sikapmu ini?” Ngo-ok menuntut dengan suara marah.
“Ha-ha-ha-ha-ha, setelah menjadi koksu, Sam-ko telah berubah rupanya! Telah menjadi lemah dan
menaruh kasihan. Ha-ha-ha! Betapa lucunya, ada seorang anggota Ngo-ok yang menaruh kasihan! Ha-haha-
ha, kalau begitu memang sepatutnya disebut koksu saja!”
“Sute, jangan bicara sembarangan kau!” Tiba-tiba koksu berkata, suaranya terdengar nyaring. “Aku sama
sekali tidak lemah seperti yang kalian kira! Akan tetapi aku ingin bertanya lebih dulu, kalian berempat ini
sudah sudi datang ke sini atas undangan dan permintaanku, sebetulnya mau apakah? Apakah hanya mau
mempermainkan anak yang tidak ada artinya ini? Ataukah mau membantu gerakan kami yang besar, yang
kelak akan dapat mengangkat nama kita sebagai Ngo-ok sehingga nama kita menjadi termasyur dan
harum sampai selama-lamanya?”
“Tentu saja kita semua ingin sangat membantumu, Sam-te. Kalau tidak, perlu apa kita meninggalkan
tempat klta yang aman dan enak!” kata Twa-ok.
“Benar, tanpa dasar itu, perlu apa aku berkeliaran ke sini?” kata pula Ji-ok.
“Ha-ha-ha, benar juga. Aku pun begitu, akan tetapi aku tetap tidak mengerti, mengapa kau melarang Ngote
untuk bermain-main dengan gadis ini agar aku dapat menonton dengan enak!”
“Ya, pertanyaan itu harus dijawab!” kata Ngo-ok.
“Kalian tahu bahwa aku adalah seorang koksu yang memimpin pergerakan besar yang dikepalai oleh
Pangeran Bharuhendra dari Nepal! Ini urusan besar, urusan negara, mengertikah kalian? Karena kita
adalah orang-orang penting yang memegang puncak pimpinan, maka kita harus mementingkan urusan
negara dan pergerakan lebih dulu. Urusan pribadi adalah urusan kecil dan kelak kalau sudah selesai
pergerakan ini, biar Ngo-ok mau mempermainkan puteri-puteri cantik sehari sampai seratus orang, siapa
peduli? Akan tetapi kalau kini dia melakukan hal itu, lalu terlihat oleh semua anak buah, apa akan kata
mereka? Tentu akan merendahkan nama puncak pimpinan dan juga memberi contoh buruk sehingga akan
ditiru oleh para pasukan. Kalau pasukan melakukan hal seperti itu, menuruti nafsu belaka, apa gunanya
mereka dalam perang? Tentu pergerakan kita akan gagal!”
Ngo-ok bersungut-sungut, akan tetapi dia mengangguk dan tangannya mengeluarkan seuntai kuku yang
bermacam-macam bentuknya, akan tetapi semua kuku yang diuntai itu adalah kuku wanita-wanita yang
telah menjadi korbannya. “Sayang... sudah kuhitung kemarin... empat ratus kurang satu! Kalau ditambah
kukunya, genap empat ratus...“
Siang In mengkirik dan mau muntah menyaksikan kuku-kuku yang diuntai itu dan tanpa disadari dia
menggenggam semua kuku jarinya, seolah-olah hendak menyembunyikan kuku-kuku itu agar jangan
dicabut!
“Ha-ha-ha, omongan Sam-ko sebagai koksu memang hebat!” seru Si pendek gundul mengacungkan ibu
jari tangan kanannya ke atas tinggi-tinggi, akan tetapi karena tubuhnya cebol, tetap saja ibu jarinya tidak
mencapai perut si jangkung Ngo-ok. “Lalu, ingin sekali aku melihat bagaimana keputusan seorang koksu
negara besar terhadap dua orang mata-mata musuh yang tertangkap. Ha-ha-ha, aku mendengar bahwa
seorang koksu amat bijaksana dan keputusannya ditaati semua orang, adil dan memuaskan. Ha-ha-ha,
yang mulia Koksu, hukuman apakah yang harus dijatuhkan kepada dua orang mata-mata ini? Ataukah
mereka itu akan dibebaskan begitu saja?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Ban Hwa Sengjin tidak mempedulikan ejekan dari Su-ok itu, dan dengan sikap kereng dan
berwibawa dia lalu menghadapi Kian Lee yang masih menunduk pening dan Siang In yang mulai merasa
ngeri menyaksikan sikap orang-orang aneh yang luar biasa lihainya itu. Ketika tadi mendengar bahwa
pemuda itu adalah putera dari Pulau Es, Ban Hwa Sengjin terkejut dan dia pun tidak berani main-main.
Bermusuhan dengan Pulau Es merupakan suatu hal yang amat berbahaya, pikirnya. Akan tetapi, setelah
pemuda ini menentang mereka, lebih baik kalau dibunuh saja agar jangan sampai ada yang tahu dan kalau
tidak ada saksinya, tentu Pendekar Super Sakti tidak akan tahu pula ke mana lenyapnya puteranya ini dan
siapa yang membunuhnya! Akan tetapi, dia adalah seorang koksu, tidak bisa membunuh secara begitu
saja, dan dia harus memperlihatkan wibawanya!
“Heh, kalian dua orang muda yang sudah lancang menjadi mata-mata dan menentang kami, dengarlah
baik-baik keputusanku! Menurut patut, memang sudah semestinya kalian dihukum mati dan patut pula
kalau Ngo-ok Toat-beng Siansu mempermainkan kalian lalu membunuh kalian. Akan tetapi, kami adalah
orang-orang yang tahu akan peraturan, tahu akan hukum, maka kalian akan dijatuhi hukuman menurut
aturan! Akan tetapi, tidak ada hukuman tanpa pembelaan, maka kalian kuberi kesempatan untuk
menentukan hukuman kalian. Kalian boleh mengeluarkan pendapat terakhir dan kalau pendapat kalian itu
tepat, hukuman kalian akan lebih ringan!”
Sampai di sini, Ban Hwa Sengjin tersenyum-senyum dan memandang kepada para saudaranya untuk
melihat reaksi mereka. Empat orang saudaranya itu memandang kagum, Siang In memandang penuh
harapan, sedangkan Kian Lee masih menunduk saja.
“Orang tua, lekaslah katakan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada kami? Dan apakah benar engkau
ini seorang pembesar tinggi?” Siang In bertanya, bingung menyaksikan sikap mereka yang aneh-aneh itu.
Ban Hwa Sengjin tersenyum lebar. “Nona cilik, ketahuilah olehmu bahwa aku adalah Ban Hwa Sengjin, aku
adalah koksu dari negara Nepal yang agung, dan bahwa keputusanku merupakan hukum yang harus
dilaksanakan. Nah, kalau kalian mengeluarkan pendapat yang keliru dan tidak tepat, kalian akan
kuserahkan kepada Ngo-ok Toat-beng Siansu agar menyiksa kalian sampai mati, dan mungkin saja kuku
ibu jarimu itu akan melengkapi koleksinya, Nona!”
Siang In bergidik ngeri melihat wajah si jangkung itu makin muram, dan wajah si pendek terkekeh geli,
sedangkan nenek muka tengkorak dan kakek gorila itu memandang seperti patung, sedikit pun tidak
bergerak atau berkedip.
“Dan kalau pendapat kami benar kau akan membebaskan kami?” Siang In bertanya penuh harapan. Dia
akan dapat mengandalkan kecerdikannya untuk mencari kata-kata yang benar atau tepat agar dapat
selamat.
Akan tetapi dengan muka kereng Ban Hwa Sengjin berkata, suaranya lantang sekali, “Mana ada aturan
membebaskan orang yang bersalah? Kalau pendapat kalian benar, kalian memperoleh keringanan, yaitu
bukan dihukum mati, melainkan dihukum potong hidung dan kedua telinga agar semua orang selamanya
akan tahu bahwa kalian telah berani melakukan dosa terhadap Koksu Nepal!”
Mendengar ini, Su-ok Siauw-siang-cu bertepuk tangan memuji dan tertawa gembira. “Ha-ha-ha-ha-ha,
kiranya Sam-ok Ban Hwa Sengjin masih mempertahankan gelarnya!”
Memang, begitu berkumpul dengan saudara-saudaranya, kumat lagilah watak Sam-ok ini. Dia
mempermainkan orang, memberi harapan, akan tetapi hanya untuk di ‘banting’ dengan keputusan
hukuman yang mengerikan itu, hanya untuk membuktikan bahwa kejahatan dan kekejamannya masih
belum berubah dan dia masih patut menjadi Sam-ok! Tentu saja luar biasa kejamnya menghukum orangorang
muda yang begitu tampan dan begitu cantik jelita dengan potong hidung dan telinga, hukuman yang
bahkan lebih berat dari pada mati!
Mendengar ini, biar pun mukanya masih keruh, Ngo-ok sudah menggosok-gosok kedua tangannya yang
panjang dan menjilat-jilat bibirnya yang basah karena kembali dia telah mulai mengilar. Kini agaknya dia
akan memperoleh kesempatan untuk menonjolkan kekejamannya di depan saudara-saudaranya! Kali ini
untuk melaksanakan ‘hukuman’, jadi demi negara dan pergerakan!
Mendengar ucapan Koksu Nepal itu, marahlah Suma Kian Lee. Dia masih pening dan belum dapat bangkit
untuk melawan, namun dia mengangkat muka dan memandang kakek raksasa yang botak itu. “Ban Hwa
Sengjin, bagus sekali omonganmu! Engkau sebagai seorang Koksu Negara Nepal telah merencanakan
dunia-kangouw.blogspot.com
pemberontakan dengan Gubernur Ho-nan, siapa yang tidak tahu akan hal itu? Sekarang aku telah terjatuh
ke tanganmu, mau bunuh hayo bunuhlah, siapa sih yang takut mati? Tidak perlu lagi engkau mengeluarkan
segala omongan kosong!”
Akan tetapi Siang In memegang lengan pemuda itu dan cepat dia mendahului koksu itu, berkata, “Koksu,
aku mendengar bahwa pangkat koksu amatlah tinggi dalam sebuah negara, dan bahwa kata-kata koksu
merupakan keputusan yang harus ditaati, hampir sama kuat dengan kata-kata keputusan raja sendiri.
Sekali seekor koksu mengeluarkan kata-kata, maka kata-katanya itu merupakan keputusan yang tidak
boleh dibantah, tidak boleh ditarik mundur kembali. Pendeknya, seorang koksu berbeda dengan seekor
anjing keparat yang curang dan yang suka makan tahi, bukan?”
Siang In sengaja berkata-kata dengan nyaring dan panjang lebar ketika dia melihat datangnya rombongan
pasukan penjaga. Itulah pasukan penjaga pintu gerbang benteng Kui-liong-pang yang tertarik oleh suara
ribut-ribut dan puluhan orang prajurit kini mengepung tempat itu dan tentu saja ikut mendengarkan.
Muka Koksu Nepal itu sudah menjadi merah karena dia merasa dihina. “Bocah lancang mulut, apa
maksudmu?”
“Maksudku, Koksu, bahwa seorang koksu adalah seorang yang tentu memegang kata katanya yang
dianggap lebih berharga dari pada nyawa, bukan seorang yang suka menjilat kembali kata-katanya seperti
anjing yang suka makan tahi. Koksu, aku hendak bertanya apakah engkau biasa suka makan tahi?”
Sepasang mata itu mendelik dan Kian Lee menjadi heran dan bingung. Akal apa yang hendak
dipergunakan Siang In maka dara ini bisa begitu nekat membakar hati koksu sedemikian rupa yang
mendekati penghinaan paling besar?
“Ha-ha-ha-ha! Baru ini aku mendengar seorang koksu dipermainkan bocah cilik, ditanya apakah biasa
makan tahi? Hi-hik, Ngo-te, bagaimana sih rasanya tahi orang? Mungkin enak juga, ya?”
“Bocah perempuan bosan hidup, jika kau bermaksud menghinaku...!” Ban Hwa Sengjin hampir tak dapat
menahan kesabarannya lagi karena dia melihat betapa di antara para prajurit juga ada yang menutupi
mulut tanda bahwa mereka juga merasa geli.
Siang In mengangkat kedua tangan ke depan. “Sabar... sabarlah, Koksu yang mulia! Aku tidak menghina,
aku hanya bertanya, karena aku pun tentu saja tak percaya bahwa Koksu suka menjilat ludah sendiri, suka
menarik janjinya sendiri. Seorang koksu negara tidak mungkin menarik kata-katanya sendiri, juga seorang
locianpwe tingkat atas, baik dari dunia terang mau pun gelap, kiranya akan menjaga nama dan tidak sudi
menarik janjinya sendiri.”
“Sudah tentu saja tidak! Lebih baik mati dari pada menarik janji sendiri!” kata koksu yang cerdik itu. “Aku
berjanji, dengarkan kalian semua! Aku berjanji kepada Nona ini dan kepada pemuda ini bahwa mereka
boleh mengajukan pendapat yang terakhir. Kalau pendapat mereka itu tidak tepat dan keliru atau bohong,
mereka akan di jatuhi hukuman mati dan pelaksanaannya akan diserahkan kepada Ngo-ok Toat-beng
Siansu! Sebaliknya kalau pendapat mereka itu tepat, benar dan tidak bohong, mereka akan dihukum
dengan potong hidung dan kedua telinga, tidak dibunuh. Nah, kata-kataku ini siapa yang berani
membangkang atau menarik kembali?”
Siang In kini bangkit berdiri, tangan kanannya masih menggandeng tangan Kian Lee yang masih duduk di
atas tanah. Dengan wajah berseri dia berkata lantang, “Koksu yang terhormat, maukah engkau bersumpah
bahwa engkau akan menepati janjimu?”
Ban Hwa Sengjin makin marah, mengepal tinju dan tentu dia sudah menghantam remuk kepala anak
perempuan itu di saat itu juga kalau saja tidak ada begitu banyak orang yang menonton.
“Tidak perlu sumpah, aku mempertaruhkan kedudukanku sebagai koksu dan sebagai orang ketiga dari Imkan
Ngo-ok!” teriaknya berang.
“Sudahlah, In-moi, biar aku yang menyatakan pendapatku sebagai ucapan terakhir seorang gagah...”
“Sssttttt...! Kau tidak boleh bicara apa-apa, Koko. Akulah yang bertanggung jawab dan aku yang mewakili
kita berdua,” kata Siang In.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat dara dan pemuda itu bisik-bisik, Ban Hwa Sengjin ingin melampiaskan rasa mendongkolnya karena
merasa dihina dan dipermainkan oleh dara itu. “Kami masih mempunyai banyak urusan penting, dan
urusan orang-orang seperti kalian berdua adalah urusan kecil yang harus segera diselesaikan. Hayo
ucapkan pendapat kalian yang terakhir. Kami memberi waktu hitungan sampai dua puluh. Su-ok, kau
hitunglah!”
Kakek pendek gendut itu tertawa dan dasar orang licik bukan main, dia lalu menghitung dengan kecepatan
membalap, “Satu-dua-tiga...” dan selanjutnya, tetapi hitungannya sedemikian cepatnya sehingga sebentar
saja dia sudah menghitung sampai lima belas.
Kian Lee memandang dara itu dengan jantung berdebar penuh ketegangan.
“Berhenti!” tiba-tiba Siang In berseru nyaring, “Dengarkan pendapat kami yang terakhir!”
Kakek pendek gendut itu berhenti dan suasana menjadi sunyi bukan main, sunyi yang amat menegangkan
karena setiap orang seolah-olah menahan napas ingin mendengar apa yang akan menjadi pendapat atau
ucapan terakhir dari dara itu. Suma Kian Lee juga menahan napas karena pemuda ini berpikir, apa artinya
mengucapkan pendapat terakhir? Apa pun pendapatnya, tidak ada pilihan lain, kalau ucapan itu tepat
dihukum potong hidung dan telinga, kalau tidak tepat dibunuh. Lebih baik mengatakan sesuatu yang dapat
memukul atau menusuk hati mereka dan biarlah dibunuh, karena hidup pun apa gunanya kalau dipotong
hidung dan telinganya? Apa lagi bagi seorang dara seperti Siang In!
Tiba-tiba Kian Lee merasa kasihan sekali kepada dara itu dan tanpa disadarinya dia menggenggam tangan
dara itu lebih erat lagi. Dia tahu nasib apa yang menanti Siang In. Kalau dipotong hidung dan telinganya,
dara itu akan menjadi seorang yang berubah menakutkan, dan itu lebih hebat dari pada mati. Kalau
dihukum bunuh, tentu akan dihina dan diperkosa lebih dulu oleh si jangkung tanpa dia mampu
menolongnya. Maka dia sudah mengambil keputusan, sebelum dijatuhkan hukuman kepada dia dan Siang
In, dia akan menggunakan tenaga terakhir untuk membunuh dara itu! Lebih baik dia membunuh dara itu
dari pada dara itu mengalami penghinaan yang hebat!
Siang In menoleh dan memandang kepada Kian Lee karena merasa tangannya digenggam erat, dia
tersenyum dan mengedipkan sebelah matanya kepada pemuda itu! Bukan main! Dalam keadaan seperti
itu, dara ini masih pandai bergurau! Lalu dara itu mengangkat mukanya dan berdiri tegak, lalu berkata
dengan suara lantang sehingga terdengar oleh semua orang yang berada di situ.
“Koksu, dengarlah baik-baik kata-kata terakhir kami berdua yang tidak boleh diubah oleh siapa pun juga,
yaitu begini: Kami berdua akan dihukum mati!”
Suasana masih hening dan ketika dara itu telah mengucapkan kata-katanya yang amat singkat dan lantang
itu dan semua orang saling pandang. Mengapa dara itu, hanya meninggalkan kata-kata terakhir seperti itu?
Kami berdua akan dihukum mati! Cuma sebegitu, apa artinya?
“Ha-ha-ha! Jadi hanya itu yang menjadi pendapat atau pesan terakhir kalian? Bagus, memang sebaiknya
begitu karena kami masih banyak urusan. Nah, Ngo-ok, engkau kuserahi tugas untuk menghukum mati
mereka berdua!”
Tiba-tiba Siang In berseru. “Ah, jadi ternyata Koksu dari Nepal adalah seorang yang biasa makan tahi?”
Semua orang terkejut sekali dan Ban Hwa Sengjin terkejut dan marah. “Kau sudah mau mampus masih
berani menghina orang! Dasar anak perempuan setan...!”
Sementara itu, Ngo-ok sudah meloncat ke depan, tangannya yang panjang sudah digerakkan dan pada
saat itu, Kian Lee juga mengerahkan tenaganya untuk turun tangan membunuh Siang In agar jangan
mengalami penghinaan.
“Dukkkk!”
Tiba-tiba Ji-ok Kui-bo Nionio menangkis lengan Ngo-ok sampai Ngo-ok menyeringai dan meloncat mundur.
“Tahan dulu!” Ji-ok Kui-bin Nionio berkata, “Sam-te, aku tidak ingin melihat engkau menjadi seorang
pemakan tahi!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Eh, apa ini? Apa maksudmu?” Ban Hwa Sengjin memandang terlongong, menyangka bahwa Ji-ok itu
agaknya tentu kena sihir sehingga mengulangi kata-kata Siang In. Akan tetapi Ji-ok menggeleng-geleng
kepalanya.
“Sam-te, engkau sudah menjadi koksu, mengapa masih begitu kurang luas pikiranmu? Bagaimana bunyi
janji tadi? Kau bilang bahwa jika kata-kata terakhir mereka itu benar, mereka akan dihukum potong hidung
dan telinga, tidak dihukum mati. Nah, dara itu bilang bahwa mereka berdua akan dihukum mati! Kalau
sekarang engkau menjatuhkan hukuman mati, berarti kata-katanya itu benar! Dan kalau kata-katanya
benar, dia tidak boleh dihukum mati, melainkan dihukum potong hidung dan telinga seperti janjimu.
Mengapa kau hendak melanggar janjimu?”
“Ohhh...!” Koksu Nepal menjadi merah sekali mukanya dan mengangguk. “Ahh, benar juga. Kalau mereka
dihukum mati, ucapan gadis ini jadi benar dan mereka tidak boleh dihukum mati. Untunglah engkau
mengingatkan aku, Ji-ci. Terima kasih! Heh, Ngo-ok, terpaksa membikin kecewa hatimu. Hayo kau
laksanakan hukuman kedua, yaitu potong hidung dan telinga!”
Ngo-ok tentu saja kecewa sekali karena kini setelah ada puluhan orang prajurit di situ, ingin dia
memperkosa gadis ini agar namanya makin tersohor, sebagai seorang paling kejam! Akan tetapi dia tidak
berani membangkang perintah.
“Huh, kiranya Koksu Nepal hanya seorang yang biasa makan tahi busuk!” kembali terdengar Siang In
berseru.
Ngo-ok sudah bergerak ke depan, tangannya menyambar.
“Dessss...!”
Kini lengannya ditangkis oleh lengan Twa-ok dan karena tenaga Twa-ok lebih hebat maka Ngo-ok yang sial
itu kini terlempar dan terhuyung.
“Ehh, ehh… apa sih salahku?” teriak orang yang sial ini.
“Sam-te, sekarang aku yang tidak ingin melihat Sam-te menjadi seorang pemakan tahi!” kata Twa-ok,
seperti mengulang kata-kata Siang In sehingga sang koksu dari Nepal makin bengong terlongong.
“Apa... apa maksudmu, Twako...?”
“Sam-te, kau tidak boleh menghukum mereka dengan potong hidung dan telinga atau hukuman kedua...!”
Kakek seperti gorila itu berkata dengan suaranya yang halus. “Kalau kau melakukan itu, berarti engkau
melanggar janjimu tadi!”
“Ehhh, mana mungkin? Kalau menjatuhkan hukuman ke satu, hukuman mati, baru namanya melanggar
janji karena kata-kata mereka itu benar dan mereka tidak boleh dihukum mati, harus dihukum potong
telinga dan hidung, hukuman kedua. Bukankah kata-kata mereka itu benar dan harus dihukum yang kedua
itu?”
“Mana bisa?” bantah Twa-ok. “Mereka berkata bahwa mereka akan dihukum mati. Nah, kalau sekarang
kau menjatuhkan hukuman kedua, yaitu potong hidung dan telinga, berarti bahwa kata-kata terakhir
mereka itu tidak benar. Dan menurut janji, kata-kata yang tidak benar dijatuhi hukuman mati!”
Ban Hwa Sengjin menjadi pucat wajahnya dan matanya terbelalak. “Kalau begitu hukum mati!”
“Tak mungkin! Kalau dihukum mati mereka berkata benar dan harus dihukum potong!” bantah Ji-ok.
“Kalau begitu hukum potong...!” kata pula Ban Hwa Sengjin.
“Tidak bisa! Kalau dihukum potong berarti kata-kata mereka bohong dan untuk itu mereka harus dihukum
mati!”
Ban Hwa Sengjin menjatuhkan dirinya di atas batu dan memegangi kepala dengan kedua tangan, bingung
sekali. Dihukum mati salah, dihukum potong pun salah!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, Kian Lee memandang kepada Siang In dengan penuh kekaguman. Tak disangkanya bahwa
dara ini benar-benar memiliki kecerdikan yang amat hebat! Dalam keadaan berbahaya seperti itu, dalam
waktu sesingkat itu, dapat menemukan akal yang demikian luar biasa, agaknya tidak masuk di akal akan
tetapi memang benar dan tepat! Dengan akal itu, Ban Hwa Sengjin dibikin mati kutu, tidak berdaya karena
hukuman apa pun yang dijatuhkannya, berarti dia melanggar janji dan... makan tahi! Empat orang dari Imkan
Ngo-ok juga bengong dan penuh kagum, juga Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, demikian pula
puluhan orang prajurit itu bengong, ikut memikirkan.
Siang In tersenyum. “Boleh kau pikirkan lagi, Koksu. Kami kini bebas, kecuali kalau kau mau makan tahi
lebih dulu!” Setelah berkata demikian, Siang In menarik tangan Kian Lee dan diajak pergi dari tempat itu
dengan sikap tenang sekali.
Dan lima orang Im-kan Ngo-ok yang ditakuti oleh semua orang dunia hitam itu hanya memandang dengan
bengong saja tanpa mampu berbuat sesuatu! Bahkan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi juga tidak
berani berkutik karena kalau mereka turun tangan mencegah, sama halnya dengan mendorong Koksu
Nepal untuk ‘makan tahi’ yang berarti menjadi anjing penjilat janjinya sendlri! Tentu saja pasukan yang
mendengar semua itu pun tidak ada yang berani bergerak tanpa perintah koksu.
Setelah pemuda dan dara itu pergi jauh dan tidak nampak lagi, barulah terdengar suara Ngo-ok Toat-beng
Siansu mengomel, “Inilah kalau Sam-ok berubah menjadi pembesar negeri yang menjaga nama dan
kehormatan! Rugi kita! Ru - gi...!”
“Ha-ha-ha, gadis itu otaknya cerdas sekali! Ha-ha-ha, Sam-ko yang terkenal cerdik masih kena diakalinya!
Ha-ha-ha!” Si gendut pendek terpingkal-pingkal geli.
Memang watak lima orang Ngo-ok ini luar biasa sekali. Girang kalau melihat orang lain menderita! Agaknya
memang mereka itu sengaja melakukan hal-hal yang paling buruk di dunia ini agar sesuai dengan julukan
mereka sebagai Si Jahat dari Akhirat!
Muka koksu sebentar pucat sebentar merah, kedua tangannya mengepal dan sepasang matanya beringas,
akan tetapi di hadapan sekian banyaknya orang, tentu saja dia tidak sudi dianggap anjing penjilat janjinya
kembali! Apa lagi, dia adalah seorang yang amat cerdik. Mendengar bahwa pemuda itu adalah putera
Pendekar Super Sakti, dia juga harus hati-hati dan biarlah dia mendapat malu sedikit karena diakali gadis
itu, akan tetapi hitung-hitung dia membebaskan putera Pendekar Super Sakti dan mencegah munculnya
seorang musuh yang menggiriskan hatinya.
“Sudahlah! Salahku sendiri, juga bocah-bocah itu dibunuh atau tidak pun apa sih artinya bagiku? Mari kita
ke lembah, ada urusan lebih penting yang harus kita selesaikan!”
Maka pergilah tujuh orang kakek sakti itu diikuti oleh pasukan memasuki lembah kembali dengan hati
mendongkol.
Sementara itu, Kian Lee yang hanya nanar dan lemas seketika, akan tetapi tidak sampai terluka parah,
dalam waktu tidak lama pun sudah pulih kembali kesehatannya. Mereka berdua merasa lega bahwa para
kakek sakti itu tidak melakukan pengejaran, dan Kian Lee seperti masih belum dapat mempercayai bahwa
mereka dapat lolos dari bahaya sedemikian mudahnya.
Kian Lee berhenti dan berkata kepada Siang In sambil memandang penuh kagum, “Adik Siang In yang
hebat! Sungguh masih sukar aku untuk dapat percaya betapa dengan mudahnya kita dapat terlepas dari
bahaya maut! Dan hampir aku tidak percaya bahwa engkau yang begini muda dapat mengakali orangorang
sakti seperti mereka itu. Dalam waktu begitu singkat engkau telah memperoleh akal yang demikian
mengagumkan!”
Siang In tersenyum, senang hatinya dipuji seperti itu tentu saja! Akan tetapi dia seorang dara yang jujur,
maka dia menahan ketawanya dan berkata, “Ahh, Lee-koko, siapa sih yang pintar? Aku sama sekali tidak
pintar, hanya koksu itu yang tolol!”
“In-moi, akalmu itu benar-benar hebat dan menandakan bahwa engkau memang pintar sekali, mengapa
merendahkan diri? Dengan akalmu itu, memang koksu menjadi tidak berdaya dan mati kutu sama sekali,
karena menjatuhkan hukuman kepada kita dengan cara apa pun, tetap saja berarti dia melanggar janji.
Bukan main!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hi-hi-hik, memang demikianlah, Koko. Akan tetapi itu sama sekali bukanlah akalku, karena aku hanya
menirunya dari dongeng kuno yang pernah kubaca! Jadi bukan akalku, melainkan akal kuno yang pernah
dipergunakan orang untuk menyelamatkan diri dari hukuman seorang raja lalim yang menjatuhkan
peraturan hukuman yang seperti itu.”
“Ahhh, begitukah?” Kian Lee terheran.
Siang In tertawa. “Itulah hasilnya orang suka membaca, asalkan bukan sembarangan membaca, melainkan
memperhatikan isinya dengan seksama. Dari bacaan itu kita dapat memperoleh banyak manfaatnya, Koko.
Koksu itu saja yang tolol tidak mengenal akal kuno yang kupergunakan, hi-hi-hik!”
Suma Kian Lee tertawa juga, mentertawakan kebodohan koksu, akan tetapi diam-diam makin kagum
kepada dara ini yang sudah memperlihatkan ketabahan dan kecerdikan luar biasa, yang telah berhasil
menyelamatkan nyawa mereka, akan tetapi tidak menjadi sombong, sebaliknya malah membuka rahasia
kecerdikannya dengan jujur bahkan kecerdikannya itu hanyalah meniru dari akal dalam dongeng kuno
belaka!
Akan tetapi kegembiraan segera mereda ketika dia teringat akan peristiwa tadi dan melihat betapa
gawatnya keadaan. Agaknya Koksu Nepal itu telah mengumpulkan orang-orang pandai di lembah itu!
“In-moi, aku harus menyelidiki keadaan di lembah! Aku harus tahu apa yang sedang dilakukan oleh koksu
itu...“
”Ahhh, hal itu berbahaya sekali, Lee-ko! Baru empat orang teman koksu tadi saja sudah memiliki
kepandaian yang amat mengerikan, dan di sana terdapat banyak pula pasukan anak buah koksu. Mana
mungkin engkau seorang diri akan dapat menghadapi mereka semua!” Siang In memandang khawatir,
tidak lagi bersendau-gurau mendengar niat pemuda itu yang hendak menyelidiki sarang dari koksu yang
lihai dan dibantu oleh banyak orang pandai itu.
“Aku bukan bermaksud melawan mereka, In-moi, tetapi hendak menyelidiki keadaan mereka, lalu aku
harus segera melaporkan ke kota raja. Sudah menjadi kewajibanku untuk mencegah bahaya yang
mengancam kota raja. Agaknya ada apa-apa di lembah itu, agaknya koksu sedang merencanakan gerakan
besar yang berbahaya bagi kota raja.”
“Kalau begitu memang baik sekali, Lee-ko, akan tetapi aku ikut!”
“Baru saja kau terlepas dari ancaman bahaya dahsyat, Siang In, moi-moi, lebih baik kau jangan ikut, terlalu
berbahaya bagimu.”
Siang In mengerutkan alisnya. “Biar pun aku bodoh, kiranya sedikit banyak aku akan dapat membantumu,
Lee-ko, dan dengan pergi dua orang, kalau ada bahaya kita dapat saling membantu, bukan?”
Kian Lee tidak dapat membantah atau melarang lagi, apa pula kalau diingat bahwa andai kata tidak ada
Siang In di waktu dia menghadapi para kakek sakti tadi, tentu dia telah tewas. “Baiklah, In-moi. Kita pergi
berdua, karena memang aku pun hanya hendak menyelidiki keadaan luarnya saja. Akan tetapi kita harus
berhati-hati karena sekali lagi kita bertemu dengan mereka, kiranya mereka tidak akan mau membiarkan
kita lolos lagi.”
Siang In menjadi gembira, sekali. Timbul kembali kenakalan dan kejenakaannya. “Wah, kalau cuma
menghadapi tua bangka-tua bangka tolol macam itu saja, aku menyimpan banyak macam akal untuk
mengelabui mereka, Lee-ko!”
“Akal dari dongeng kuno?”
Siang In terkekeh dan menutupi mulutnya sehingga terpaksa Kian Lee juga tersenyum. Dekat dengan
seorang dara seperti Siang In ini, tidak mungkin orang dapat berdiam diri saja tanpa ketularan
kegembiraannya. Maka berangkatlah dua orang itu dengan hati hati, menyelinap dan sembunyi-sembunyi,
menuju ke benteng lembah untuk menyelidiki keadaan benteng itu…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Pangeran Liong Bian Cu girang bukan main ketika melihat munculnya Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lokwi
membawa dua orang tawanan, yaitu Kian Bu dan Hwee Li! Akan tetapi dia tidak melihat adanya burung
garuda, maka pangeran ini merasa khawatir dan bertanya, “Bagus, Ji-wi telah berhasil menangkap mereka
kembali. Akan tetapi di mana adanya burung garuda itu?”
Hek-tiauw Lo-mo mengerutkan alisnya dan berkata dengan suaranya yang parau, “Celaka, anak durhaka
ini telah melukainya dan sekarang saya membiarkan burung itu mengobati lukanya sendiri dan beristirahat
di hutan, di luar benteng.”
Keterangan itu melegakan hati Pangeran Liong Bian Cu dan dia menghampiri Hwee Li dengan wajah
berseri. “Sayang, beruntung sekali engkau dapat bebas dari mata-mata ini!”
Akan tetapi Hwee Li cemberut dan Hek-tiauw Lo-mo lalu berkata, “Bocah ini kalau dibiarkan terlalu bebas
bisa berbahaya, Pangeran. Maka sebaiknya kuatur penjagaan di sekitar kamar dia dan sang puteri
sekarang juga.”
“Dan saya mohon ijin untuk membunuh pemuda yang telah melukai saya ini! Saya terluka oleh pukulannya
dan setelah dia sekarang tertawan, hati saya tidak akan pernah puas sebelum membalas dendam ini
dengan nyawanya!” kata Hek-hwa Lo-kwi yang memegang lengan Kian Bu atau Siluman Kecil yang
terbelenggu.
Pangeran Liong Bian Cu memang merasa agak jeri kepada Siluman Kecil, apa lagi mendengar bahwa
pemuda rambut putih ini adalah putera Pendekar Super Sakti, maka dia tidak berani sembarangan.
Sekarang, mendengar bahwa Hek-hwa Lo-kwi hendak membunuhnya karena dendam pribadi, berarti dia
bebas dari pemuda yang ditakutinya itu.
“Kalau engkau mau membunuhnya karena urusan pribadimu, terserah, Lo-kwi. Akan tetapi harus kau
bereskan juga agar tidak ada bekas-bekasnya!”
Hek-hwa Lo-kwi tertawa. “Ha-haha, jangan khawatir, Pangeran!”
Pada saat itu, sang pangeran sedang menjamu saudara misannya, yaitu Liong Tek Hwi dan Kim Cui Yan.
Ketika dua orang ini melihat betapa Siluman Kecil menjadi tawanan, mereka terkejut bukan main. Mereka
pernah diselamatkan oleh pemuda rambut putih itu, maka kini melihat betapa pemuda itu tertawan dan
akan dibunuh, tentu saja mereka terkejut.
“Kanda Pangeran, jangan bunuh dia!” Tiba-tiba Liong Tek Hwi berseru dan bangkit dari tempat duduknya.
“Dia adalah Siluman Kecil, pendekar ternama...”
Liong Bian Cu tersenyum. “Benar, adikku, dia adalah Siluman Kecil, akan tetapi dia adalah juga putera
Pendekar Siluman, dan dia adalah cucu kaisar, dan dia adalah mata mata yang menyelidiki ke benteng
kita! Sekarang, dia telah membikin sakit hati kepada Locianpwe Hek-hwa Lo-kwi ini, maka terserah kepada
Hek-hwa Lo-kwi kalau hendak membunuhnya!”
Bukan main herannya hati kedua orang murid Kim-mouw Nionio mendengar bahwa Siluman Kecil adalah
cucu kaisar dan putera Pendekar Siluman dari Pulau Es. Akan tetapi selagi mereka tercengang, Kian Bu
sudah berkata kepada mereka dengan nada tak senang, “Hemmm, melihat bahwa kalian adalah sekutu
dari pangeran pemberontak ini, aku tidak sudi kalian bela!”
Hek-hwa Lo-kwi sudah cepat mendorongnya pergi dari situ bersama Hek-tiauw Lo-mo yang juga
memegang lengan tangan Hwee Li dan setengah menyeret dara itu meninggalkan ruangan.
Pangeran Liong Bian Cu tertawa dan minum araknya kemudian memperkenalkan dua orang kakek yang
baru saja pergi itu pada saudara misannya. Lalu dia menambahkan, “Kau lihat gadis itu tadi, adikku? Aku...
aku telah mengambil keputusan untuk menikah dengan dia.”
Sementara itu, Kim Cui Yan sejak tadi bengong saja memandang ke arah perginya Hwee Li. Melihat wajah
Hwee Li, Kim Cui Yan merasa seperti pernah mengenal dara cantik berpakaian hitam itu, akan tetapi biar
pun dia mengingat-ingatnya, tetap saja dia tidak dapat mengingat kapan dia pernah mengenal dara itu. Hal
ini tidak mengherankan karena wajah Hwee Li memang mirip benar dengan wajah mendiang ibu
kandungnya, dan di waktu dia berusia kurang lebih lima enam tahun, Kim Cu Yan tentu saja sering melihat
dunia-kangouw.blogspot.com
ibu tirinya, yaitu Ibu kandung Hwee Li yang menjadi selir ayahnya! Jadi, bukan Hwee Li yang pernah
dikenalnya, melainkan ibu kandung dari dara baju hitam itu.
Seperti dapat kita duga, Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang baru datang menghadap Pangeran
Liong Bian Cu di sore hari itu dan membawa Kian Bu dan Hwee Li sebagai tawanan, sebetulnya bukan lain
adalah Hek-sin Touw-ong si Raja Maling bersama muridnya, Ang-siocia atau Kang Swi Hwa! Dengan
penyamaran mereka yang tepat sekali, bahkan Pangeran Liong Bian Cu yang cerdik itu pun sama sekali
tidak mengenal mereka. Saking girangnya melihat Hwee Li dapat kembali, pangeran itu tidak menaruh
curiga akan sikap tergesa-gesa dari dua orang kakek iblis itu yang tidak mau lama-lama berhadapan
dengan dia.
“Kakanda Pangeran!” Liong Tek Hwi berkata lagi, “Kuharap engkau tidak membiarkan Siluman Kecil
dibunuh karena ketahuilah bahwa dia pernah menyelamatkan nyawaku dan Sumoi. Tidak mungkin aku
berdiam lebih lama lagi di sini kalau dia dibunuh dengan sepengetahuanku. Harap kau memaklumi
perasaan kami ini!” Pemuda berkulit putih itu sudah bangkit berdiri, diturut oleh sumoi-nya.
Pangeran Liong Bian Cu mengangguk-angguk. “Baiklah, biar segera kusuruh pengawal memberi tahu
kepada Lo-kwi agar pemuda itu ditahan saja dulu dan jangan dibunuh sekarang.” Pangeran Liong Bian Cu
bertepuk tangan dan muncullah seorang Panglima Nepal dan pangeran itu lalu memberi perintah dengan
cepat dalam bahasa Nepal.
Orang yang berkulit coklat kehitaman itu berlutut dengan kaki kanan, lalu membalikkan tubuh dan berjalan
cepat meninggalkan ruangan itu untuk menyusul Hek-hwa Lo-kwi dan menyampaikan perintah majikannya.
Sementara itu, setelah berhasil menipu Pangeran Liong Bian Cu, empat orang itu, ialah Ang-siocia yang
menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo, si Raja Maling yang menyamar sebagai Hek-hwa Lo-kwi, dan kedua
orang ‘tawanan’ mereka, yaitu Kian Bu dan Hwee Li, cepat meninggalkan ruangan itu dan dengan Hwee Li
bertindak sebagai penunjuk jalan, pergilah mereka ke ruangan belakang!
Sementara itu, cuaca di luar sudah mulai gelap dan tergesa-gesa empat orang itu menuju ke ruangan di
mana keluarga Kao ditahan. Karena di tempat ini terdapat banyak penjaga, maka kembali Hwee Li dan
Kian Bu pura-pura menjadi tawanan yang dikawal oleh dua orang kakek itu sehingga para penjaga tidak
menaruh curiga apa-apa.
Ketika melihat betapa banyaknya keluarga Kao yang berada di dalam tahanan itu, Kian Bu terkejut bukan
main, demikian pula Ang-siocia dan gurunya. Mana mungkin dapat menyelamatkan begitu banyak orang
dari tempat sekuat benteng itu? Tetapi mereka telah berhasil menyelundup masuk, maka harus mencari
jalan untuk menyelamatkan mereka, dan Siluman Kecil sudah mencari-cari dengan pandang matanya ke
dalam ruangan tahanan di balik pintu jeruji besi itu.
“Mana puteri...?” bisiknya tanpa menggerakkan bibir kepada Hwee Li sehingga yang dapat mendengar
hanya Hwee Li seorang.
Hwee Li lalu memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi palsu yang segera membawa
mereka pergi dari situ. Para penjaga tidak ada yang menaruh curiga. Mereka sudah mengenal watak aneh
dari dua orang kakek iblis itu, apa lagi Hek-tiauw Lo-kwi adalah ketua dari Kui-liong-pang, pemilik tempat
itu. Mereka hanya menduga bahwa tawanan baru yang berambut putih itu tentu sengaja disuruh melihat
keluarga Kao yang ditawan. Dan ketika di antara mereka ada yang mengenal pemuda rambut putih itu
sebagai Siluman Kecil, mereka hanya dapat memandang heran dan setelah empat orang itu pergi,
bisinglah tempat itu karena mereka berbisik-bisik bahwa Siluman Kecil yang selama ini menggemparkan
daerah lembah Huang-ho, kini telah menjadi tawanan pula!
“Lekas bawa kami kepada sang puteri...,“ bisik Kian Bu setelah menjauhi tempat itu. “Kita harus tolong
sang puteri, sedangkan keluarga Kao sedemikian banyaknya.”
“Kalau bisa menolong mereka seorang satu saja sudah baik,” kata Ang-siocia.
“Tunggu aku mencoba untuk mengeluarkan seorang di antara mereka, agaknya putera Jenderal Kao itu
lebih baik diselamatkan dulu supaya dia dapat membantu kita,” kata Hek-sin Touw-ong.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nanti dulu,” cegah Hwee Li. “Bisa menimbulkan kecurigaan kalau membebaskan mereka, apa lagi kurasa
tidak akan ada di antara mereka yang mau dibebaskan kalau tidak semua. Lebih baik kita membebaskan
Puteri Syanti Dewi lebih dulu, lalu kita membikin kacau agar penjagaan itu bubar...!”
“Aku sudah siap dengan bahan bakarnya!” mendadak Hek-sin Touw-ong berkata sambil mengeluarkan
sebuah bungkusan dari dalam saku bajunya. Memang kakek ini selalu mempersiapkan segala sesuatu,
seperti seorang tukang sulap.
Dengan hati-hati Hwee Li lalu mengajak mereka menuju ke kamar sang puteri yang berada di sebelah
dalam, di samping kiri bangunan induk yang menjadi tempat tinggal pangeran. Akan tetapi, dari jauh saja
sudah nampak bahwa tempat itu terjaga oleh Mohinta dan anak buahnya, dibantu pula oleh belasan orang
prajurit Nepal karena puteri itu merupakan seorang tawanan penting bagi negara Nepal! Ada pun Mohinta
sendiri tidak pernah mau meninggalkan wanita yang dicintanya ini.
“Harap kalian tinggal di sini, biar aku dan ayahku ini saja yang masuk,” kata Hwee Li berbisik kepada Kian
Bu dan Hek-hwa Lo-kwi.
Melihat kedatangan empat orang itu, para penjaga sudah memandang dengan penuh perhatian, terutama
sekali kepada Kian Bu karena tentu saja mereka tidak menaruh curiga apa-apa terhadap Hwee Li dan dua
orang kakek iblis itu. Biar pun demikian, andai kata tidak bersama Hwee Li, dan seorang di antara dua
orang kakek iblis itu yang masuk sendiri, tentu para penjaga itu akan melarangnya. Akan tetapi tidak ada
yang berani melarang Hwee Li karena dara ini adalah calon isteri sang pangeran!
Maka dengan tenang saja Hwee Li masuk ke dalam rumah itu bersama ‘ayahnya’ yang berjalan dengan
gagah. Tidak ada yang tahu betapa di sebelah dalam Hek-tiauw Lo-mo ini Kang Swi Hwa mengeluarkan
keringat dingin dan panas karena selain tegang, dia juga merasa gerah sekali dalam penyamarannya itu,
dan mukanya yang ditambal bahan penyamaran itu terasa gatal, kakinya yang memakai ganjal terasa kaku
dan sakit-sakit!
“Hwee Li...!” Puteri Syanti Dewi berseru girang dan lari menyambut lalu merangkul Hwee Li ketika dara ini
memasuki kamarnya. “Ah, betapa girangku melihatmu... akan tetapi...“
Puteri itu mundur kembali ketika melihat Hek-tiauw Lo-mo muncul di belakang dara baju hitam itu. Dia
merasa takut sekali kalau melihat Hek-tiauw Lo-mo yang sudah lama dikenalnya itu, semenjak
perantauannya yang pertama beberapa tahun yang lalu dan dia sudah tahu benar betapa jahatnya iblis tua
yang menjadi ayah dari Hwee Li ini. Melihat ini Hwee Li tersenyum dan memegang tangan puteri itu.
“Jangan takut, Bibi Syanti Dewi, dia ini adalah seorang sahabat baik, seorang gadis cantik yang menyamar
sebagai Hek-tiauw Lo-mo untuk menolongmu.”
“Maafkan jika saya mengejutkan anda, Puteri. Sudah lama mendengar akan kecantikan anda, dan ternyata
anda seperti bidadari...,“ kata Ang-siocia atau Kang Swi Hwa dengan suara biasa yang merdu dan halus.
Syanti Dewi terkejut dan juga girang, di samping rasa herannya bagaimana seorang gadis dapat
menyamar sebagai seorang kakek raksasa seperti Hek-tiauw Lo-mo.
“Akan tetapi, bagaimana kita dapat...,” tanyanya ragu.
“Jangan khawatir, di luar masih ada Siluman Kecil atau Suma Kian Bu dan juga Hek-sin Touw-ong yang
akan membantu kita.”
“Suma Kian Bu...?” Wajah puteri itu agak berubah ketika mendengar nama ini, nama seorang pemuda
yang takkan pernah dilupakannya selama hidupnya, pemuda yang selalu menimbulkan rasa iba di hatinya
kalau dia teringat, oleh karena dia tahu betapa pemuda perkasa itu amat mencintanya dan cintanya itu
terpaksa ditolaknya sehingga dia menghancurkan hati pemuda itu. Seorang pemuda perkasa yang sudah
berkali-kali menolongnya, putera dari Pulau Es, dan amat mencintainya, namun terpaksa ditolaknya karena
cintanya hanya untuk Tek-Hoat seorang!
Hwee Li tidak tahu akan rahasia antara sang puteri dan Siluman Kecil, maka dia hanya mengira bahwa
Syanti Dewi girang mendengar nama itu karena tentu saja puteri ini sudah mengenalnya. “Marilah, Bibi,
sekarang juga kita pergi. Kita tidak banyak waktu...” Hwee Li memegang tangan puteri itu dan menariknya
bersama Hek-tiauw Lo-mo lalu keluar dari dalam kamar itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Para penjaga dan juga para pengawal Bhutan yang berada di situ tidak menaruh curiga melihat sang puteri
keluar bersama Hwee Li, karena memang antara dua orang wanlta cantik ini terdapat persahabatan yang
amat akrab. Akan tetapi, baru saja tiga orang ini keluar dari kamar dan Kian Bu berdiri seperti terpesona
ketika melihat sang puteri, sebaliknya Syanti Dewi juga memandang pemuda itu dengan mata terbelalak
saking kagetnya menyaksikan perubahan pada diri Kian Bu, terutama rambutnya, selagi mereka saling
pandang dengan penuh perasaan terharu, tiba-tiba datang seorang pengawal bangsa Nepal yang
menghampiri Hek-hwa Lo-kwi palsu.
“Pangcu, atas perintah dari pangeran, tawanan ini agar dibawa kembali ke sana, tidak boleh dibunuh dulu.”
Hek-sin Touw-ong yang menyamar sebagai Hek-hwa Lo-kwi terkejut. “Eh, ada urusan apakah?” tanyanya
cemas.
“Entahlah, akan tetapi pangeran mengutus saya untuk memberi tahu kepada Pangcu agar tawanan ini
dibawa kembali ke sana.”
Hek-sin Touw-ong menjadi bingung dan hatinya merasa tidak enak sekali. Orang macam Pangeran Nepal
itu bukanlah orang sembarangan dan tentu memiliki kecerdikan luar biasa. Hal ini dapat dilihatnya ketika
dia tahu melihat sepasang mata Pangeran Nepal itu. Mengelabui orang seperti itu dengan penyamarannya
memang mungkin dapat, akan tetapi hanya sekelebatan saja. Kalau dia harus menghadap dan banyak
bicara dengan pangeran itu, tentu penyamarannya akan dikenal. Apa lagi kalau Siluman Kecil diserahkan
kepada pangeran itu, tentu akan berbahaya malah.
Dalam keadaan bingung dia menengok ke arah Hek-tiauw Lo-mo palsu. Dia hendak mengandalkan
kecerdikan muridnya ini. Akan tetapi, berada di tempat asing itu dan menghadapi banyak orang pandai,
bahkan Ang-siocia yang biasanya cerdik itu menjadi bingung dan khawatir.
Dalam keadaan seperti itu Hwee Li yang cepat berkata. “Dia ini musuh besar kami, harus dibunuh! Dan
kami akan mengajak sang puteri untuk menyaksikan pelaksanaan pembunuhan terhadap musuh besar ini!
Mari, Bibi Syanti!” Dia menggandeng tangan puteri itu dan memberi isyarat kepada Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi untuk cepat pergi dari situ. Hek-hwa Lo-kwi kemudian mendorong tubuh Siluman Kecil
yang dibelenggunya itu ke depan dengan kasar.
Para penjaga menjadi bingung, juga utusan orang Nepal ltu menjadi bingung. Dia merasa ragu-ragu untuk
memaksa Hek-hwa Lo-kwi yang menjadi pangcu (ketua) dari Kui-liong-pang dan sebenarnya adalah tuan
rumah di lembah itu. Juga dia tahu baik bahwa Hek-tiauw Lo-mo adalah seorang tokoh pembantu dari
majikannya, sedangkan Hwee Li adalah tunangan sang pangeran dan puteri itu adalah Puteri Bhutan,
seorang tamu agung!
Akan tetapi baru saja lima orang itu bergerak, Mohinta yang sejak tadi memandang dan mendengarkan
saja sudah berteriak, “Tahan!” Dia meloncat maju menghadang.
“Mohinta, manusia pengkhianat!” bentak Syanti Dewi penuh kebencian. Dia sudah tahu akan kehadiran
Mohinta di tempat itu dan dia amat benci kepada Panglima Bhutan ini yang menurut Hwee Li telah berniat
memberontak dan bersekutu dengan orang Nepal. “Engkau mau apa? Minggir!”
Akan tetapi Mohinta tersenyum dan menggeleng kepala. “Lekas kau melapor kepada Sang Pangeran
Bharuhendra!” teriak Mohinta kepada pengawal Nepal tadi, lalu dia menghadapi lima orang itu. “Sebelum
ada keputusan dari sang pangeran, kalian berlima tidak boleh meninggalkan tempat ini!”
Mohinta memang cerdik sekali. Tentu saja dia sudah tahu bahwa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi
adalah dua orang tokoh besar yang sakti dan yang menjadi pembantu pembantu Pangeran Bharuhendra
atau Liong Bian Cu. Akan tetapi melihat betapa mereka hendak membawa pergi Syanti Dewi, dia lantas
merasa curiga dan tidak mau memperkenankan mereka membawa pergi sang puteri begitu saja. Dia
sampai berada di situ adalah demi sang puteri ini, maka tidak boleh orang membawanya pergi di luar
pengawasannya.
Melihat orang Nepal tadi kini membalik dan berlari cepat menuju ke tempat tinggal Pangeran Liong Bian Cu
yang seperti istana di tengah-tengah lembah itu, terkejutlah Hwee Li.
“Cepat!” serunya dan dia sudah menerjang Mohinta.
dunia-kangouw.blogspot.com
Panglima Bhutan ini terkejut dan berusaha mengelak, akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo palsu telah menendang
sehingga dia roboh terguling! Hwee Li cepat menyambar tangan Syanti Dewi dan diajaknya berlari menuju
ke pintu belakang lembah. Gegerlah keadaan di situ, apa lagi setelah Mohinta meloncat bangun kembali
dan berteriak-teriak dengan suara keras, “Tangkap pemberontak! Kepung! Tahan, mereka hendak
melarikan Sang Puteri Bhutan dan tawanan!”
Para pengawal serentak maju mengepung dan menghadang. Melihat ini, Siluman Kecil menggerakkan
kedua tangannya dan patahlah belenggu tangannya. Para pengawal mengeroyok dan terjadilah
pertempuran. Terdengar pengawal memukul tanda bahaya dan keadaan menjadi makin geger!
Dengan mudah saja Siluman Kecil, Hwee Li, Ang-siocia, Hek-sin Touw-ong dan juga Puteri Syanti Dewi
sendiri yang membantu merobohkan para pengawal itu. Namun kini nampak puluhan orang pengawal dan
prajurit datang berlarian, juga para anak buah Kui-liong-pang dan muncul orang-orang pandai seperti Hwaikongcu
Tang Hun dan tiga orang pembantunya yang lihai, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, Hailiong-
ong Ciok Gu To dan masih banyak lagi para pembantu Pangeran Nepal yang datang berlarian ke
tempat itu.
“Cepat kita lari!” Hwee Li berseru sambil menyambar tangan Syanti Dewi dan mereka semua sudah
melarikan diri dikejar oleh puluhan orang pengawal.
Namuni suatu tanda bahaya itu telah menggerakkan para penjaga di sebelah belakang dan kini ke mana
pun mereka melarikan diri, selalu mereka dihadang oleh puluhan orang, bahkan mulai nampak pasukan
dengan teratur sekali menjaga dan menghadang semua jalan.
“Celaka! Suhu, lekas lepas api!” teriak Ang-siocia sambil mengamuk ketika kembali mereka sudah
dikeroyok.
Hek-hwa Lo-kwi palsu, yaitu penyamaran Hek-sin Touw-ong, cepat meloncat ke atas genteng dan dari situ
dia melemparkan empat buah benda keempat penjuru. Terdengar ledakan-ledakan disusul oleh
berkobarnya api yang membakar rumah-rumah yang dilempari bahan peledak itu. Suasana menjadi makin
kacau-balau dan lima orang itu kembali dikepung dan dikeroyok.
Akan tetapi, para anggota Kui-liong-pang tidak ada yang berani mengeroyok ketua mereka! Dan juga
banyak orang tidak berani menghadapi Hek-tiauw Lo-mo, apa lagi menyerang Hwee Li yang menjadi
tunangan sang pangeran. Maka pengepungan itu hanya untuk mencegah mereka melarikan diri saja, dan
hanya Siluman Kecil saja yang dikeroyok oleh banyak orang. Tetapi justeru ini yang mencelakakan para
pengeroyok karena setiap gerakan pemuda ini pasti merobohkan beberapa orang sekaligus.
Hwee Li juga dikepung dan dara ini mengamuk dengan hebat. Karena gugup maka dara ini tidak tahu
bahwa sebetulnya, kalau dia tidak bergerak, tidak akan ada orang yang berani menyerangnya! Akan tetapi
karena dia mengamuk, maka para pengepung itu bergerak hanya untuk membela diri saja. Dara ini lupa
bahwa sebetulnya tidak mungkin ada seorang pun di antara mereka yang berani melukai kekasih sekaligus
tunangan Pangeran Nepal!
Syanti Dewi yang tadinya mendapatkan harapan untuk lolos dari tempat itu, kini begitu melihat bahaya,
tidak mau tinggal diam. Selama dia berkumpul dengan Hwee Li di tempat itu, dia telah mempelajari ilmu
silat dari dara ini sehingga dia telah memperoleh kemajuan. Maka pada waktu melihat beberapa orang
anak buah Mohinta berusaha menangkapnya, dia pun mengamuk dan kaki tangannya telah merobohkan
beberapa orang.
Pengeroyokan menjadi makin rapat, sungguh pun keadaan amat kacau oleh kebakaran kebakaran itu.
Tiba-tiba Syanti Dewi menjerit dan ketika Hwee Li menoleh, ternyata puteri itu telah dipeluk oleh Mohinta.
Kiranya Mohinta yang cerdik ini telah menyelinap dengan diam-diam, dan ketika melihat kesempatan selagi
Syanti Dewi mengamuk, dia sudah menubruk dari belakang dan merangkul puteri itu.
“Keparat, lepaskan Bibi Syanti!” Hwee Li membentak dan menerjang maju, akan tetapi dia cepat menahan
gerakannya dan meloncat mundur dengan muka pucat ketika melihat betapa Mohinta menodongkan pisau
runcing ke leher Syanti Dewi.
“Mundur kau! Atau kubunuh dia!” bentak Mohinta yang cerdik. Melihat ini, tentu saja Hwee Li menjadi pucat
dan dia menjadi marah, kemudian mengamuk dan sekaligus merobohkan empat orang pengepung.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kita gagal! Lari...!” Hwee Li berteriak karena maklum bahwa dia tidak mungkin dapat menolong Syanti
Dewi dan kini paling perlu adalah menyelamatkan diri lebih dulu.
Akan tetapi hampir saja Hwee Li celaka ketika Hwa-i-kongcu Tang Hun yang sudah tiba di situ menubruk
dari samping. Memang pemuda yang menjadi ketua Liong-sim-pang ini lihai bukan main. Biar pun Hwee Li
dapat mengelak, akan tetapi karena dara ini baru saja mengamuk dan mencurahkan perhatian kepada
empat orang yang dirobohkan itu, elakannya kurang cepat dan tangannya yang kiri dapat dicengkeram
oleh Hwai-kongcu!
Hwee Li mengerahkan tenaga meronta, akan tetapi cengkeraman itu seperti jepitan baja yang amat kuat
dan Hwa-i-kongcu tersenyum menyeringai sambil berkata, “Nona, sang pangeran akan berterima kasih
kalau aku dapat menahanmu sehingga tidak sampai melarikan diri...“
“Wuuuttttt, desss...!”
Tubuh Hwa-i-kongcu terlempar dan bergulingan. Dia dapat meloncat bangun lagi, tapi kepalanya nanar.
Untung dia tadi masih menangkis ketika mendengar sambaran angin dahsyat dari kiri. Ternyata Siluman
Kecil sudah menerjangnya tadi untuk menolong Hwee Li dan akibat dari tangkisannya itu, dia sampai
terlempar dan pandang matanya berkunang, kepalanya menjadi pening. Tang Hun terkejut setengah mati,
tidak mengira bahwa sedemikian ampuh dan dahsyatnya serangan dari Siluman Kecil maka dia hanya
memandang dengan mata terbelalak dan hati gentar, tidak berani bergerak lagi!
Melihat keadaan yang gawat ini, Hek-si Touw-ong lalu berseru, “Lari ke atas...!”
Dan dia sudah mendahului meloncat ke atas genteng. Tiga orang temannya cepat berloncatan ke atas dan
pada saat itu, Hek-sin Touw-ong melemparkan dua buah benda yang meledak di bawah sehingga para
pengeroyok dan pengejar menjadi mawut dan kacau-balau. Mereka terus berloncatan dan Hek-sin Touwong
mengobral bahan peledaknya, melempar-lemparkannya di seluruh tempat sehingga terdengar ledakan
ledakan bertubi-tubi dan nampak rumah-rumah di seluruh lembah dalam benteng itu kebakaran!
Untung bahwa para penjaga di pintu gerbang masih bingung dan ragu-ragu melihat Hek-tiauw Lo-mo dan
terutama Hek-hwa Lo-kwi palsu itu. Mereka masih belum tahu bahwa kedua orang kakek itu adalah palsu,
bahkan yang tadi mengeroyok pun tidak ada yang tahu bahwa mereka itu palsu, dan mereka hanya
mengira bahwa dua orang kakek itu hendak berkhianat dan memberontak saja. Inilah yang membuat para
penjaga menjadi ragu-ragu dan mereka tidak menghadang dengan sepenuh hati karena mereka memang
jeri terhadap dua orang kakek itu, dan tidak ada pula yang berani menyerang Hwee Li yang mereka kenal
sebagai tunangan sang pangeran. Dan karena ini, maka empat orang itu berhasil keluar dari dalam
benteng itu tanpa banyak kesukaran, sungguh pun mereka merasa kecewa sekali karena tidak berhasil
melarikan Syanti Dewi, apa lagi keluarga Jenderal Kao Liang. Benteng itu terlalu kuat dan penjagaan
terlalu ketat.
Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa di waktu api berkobar-kobar di dalam benteng itu, nampak
bayangan berkelebatan yang sukar diikuti pandang mata. Bayangan ini cepatnya bukan main sehingga
tidak ada orang yang melihatnya. Apa lagi setelah api berkobar-kobar, asap membubung tinggi di manamana,
bayangan itu seperti setan saja berkelebatan di antara genteng-genteng dan api-api berkobar, dari
atas dia merupakan seorang wanita cantik sekali yang berpakaian mewah. Kini wanita itu mengintai ke
bawah dan melihat Mohinta yang masih merangkul Syanti Dewi yang meronta-ronta berusaha melepaskan
diri.
Wanita ini bukan lain adalah Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui! Wanita cantik jelita ini pernah bertemu dengan
Siluman Kecil dan dia amat tertarik kepada pendekar yang namanya sudah menggemparkan dunia kangouw
itu. Akan tetapi ketika dia mengadu ilmu silat dengan pendekar itu, dia terkejut sekali dan diam-diam
dia maklum bahwa dia sendiri pun takkan mampu menandingi pendekar itu. Akan dicobanya lagi kalau dia
mempunyai kesempatan berjumpa dengan pendekar itu.
Betapa pun juga, pendekar itu hanyalah seorang sute-nya! Dia sudah mendengar bahwa Pendekar
Siluman Kecil berguru, bahkan dianggap putera oleh gurunya, yaitu Kim Sim Nikouw di lereng Bukit Taihang-
san, maka pendekar itu masih terhitung sute-nya juga. Dia tidak pernah membayangkan bahwa
Pendekar Siluman Kecil itu adalah putera Pulau Es! Andai kata dia tahu akan hal ini, tentu Bu-eng-kwi Ouw
Yan Hui tidak akan merasa penasaran dikalahkan oleh pemuda itu. Betapa pun juga, dia merasa senang
dunia-kangouw.blogspot.com
juga mendapatkan kenyataan bahwa dalam hal ginkang, dia masih menang dibandingkan dengan
pendekar perkasa itu.
Dalam perjalanannya itu, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui juga mendengar akan berkumpulnya tokoh-tokoh besar
di dalam lembah Huang-ho. Hal ini menarik perhatiannya dan dia lalu menuju ke benteng itu. Dapat
dibayangkan betapa heran dan kagetnya ketika dia melihat Siluman Kecil menjadi tawanan dua orang
kakek bersama seorang dara yang cantik berpakaian hitam! Dia sendiri tidak tahu bahwa dua orang kakek
itu adalah palsu, karena dia melihat empat orang itu ketika mereka sedang memasuki pintu gerbang.
Karena amat tertarik melihat ‘sute-nya’ itu menjadi tawanan, diam-diam Bu-eng-kwi lalu membayangi.
Mudah saja bagi ahli ginkang seperti dia untuk berloncatan naik melalui tembok benteng tanpa diketahui
orang.
Akan tetapi begitu menyaksikan keadaan benteng itu, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui menjadi terkejut bukan
main dan dia kagum. Benteng ini amat hebat, pikirnya! Amat kuatnya sehingga merupakan benteng perang
yang kokoh dan sukar diserbu pasukan dari luar! Penjagaannya demikian ketat sehingga kalau dia tidak
memiliki ginkang yang luar biasa, tentu amat sukar untuk dapat memasukinya, apa lagi pasukan yang
hendak masuk lewat pintu gerbang yang berlapis-lapis itu! Dia sendiri menjadi bingung setelah naik ke atas
tembok dan terpaksa menyelinap dan bersembunyi agar jangan ketahuan penjaga. Dia tidak tahu ke mana
dibawanya Siluman Kecil dan gadis berbaju hitam tadi oleh dua orang kakek yang kelihatan seperti iblis itu.
Selagi dia bingung dan tidak tahu harus mencari ke mana, dan dia hanya menggunakan ginkang-nya yang
luar biasa, yaitu semacam ilmu yang dikuasai oleh Siluman Kecil, yang disebut Jouw-san-hui-teng (Ilmu
Terbang di Atas Rumput), dia berkelebatan di atas genteng-genteng bangunan itu dengan amat hati-hati
sehingga tidak ada seorang pun yang mengetahuinya, tiba-tiba dia melihat Siluman Kecil, gadis cantik dan
dua orang kakek yang menawan mereka tadi keluar dari bangunan induk! Dia menjadi girang sekali dan
diam-diam dia membayangi dari atas.
Kemudian dia menyaksikan keributan yang terjadi, disusul pertempuran dan kebakaran kebakaran yang
dilakukan oleh kakek bermuka tengkorak itu dengan senjata-senjata bahan peledaknya. Kini tahulah dia
bahwa Siluman Kecil bukan ditawan, melainkan pura-pura ditawan dan betapa dua orang kakek itu malah
menjadi kawan-kawan dari Siluman Kecil dan gadis cantik itu!
Ketika dia melihat Puteri Syanti Dewi, Ouw Yan Hui terpesona dan kagum sekali. Belum pernah dia melihat
seorang wanita secantik itu dan begitu melihatnya, seketika dia tertarik dan merasa suka seketika! Akan
tetapi, agaknya wanita aneh ini tidak akan bertindak sesuatu dan tidak sudi mencampuri urusan orang lain
yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya, kalau saja dia tidak melihat Puteri Syanti Dewi dipeluk dan
diseret oleh Panglima Bhutan itu secara paksa memasuki sebuah rumah.
Melihat puteri jelita itu dipaksa orang, mendadak timbul kemarahan wanita ini. Dan memang menjadi
pantangan bagi Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui melihat seorang wanita diperlakukan secara kasar oleh seorang
pria. Ketika dia melihat lima orang penjahat Ngo-giam-lo-ong dari selatan melarikan seorang gadis, Ouw
Yan Hui juga mengejarnya dan akhirnya membunuh mereka di dalam hutan karena lima orang penjahat itu
telah memperkosa gadis itu sampai mati, seperti yang telah dilihat oleh Siluman Kecil.
Kini melihat, puteri cantik jelita yang amat menarik hatinya itu diseret dan dirangkul secara paksa oleh
seorang Panglima Bhutan, dia marah sekali dan bagaikan seekor burung garuda yang marah, dia
mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya sudah menyambar dari atas ke bawah, menukik
turun menerjang Mohinta yang sedang berkutetan dengan Syanti Dewi. Mohinta hendak memaksa puteri
itu masuk kembali agar jangan sampai terancam bahaya dilarikan orang, sedangkan Syanti Dewi yang
ingin melarikan diri bersama Hwee Li meronta-ronta.
Ketika Mohinta mendengar berdesirnya angin dari atas, dia memandang dan alangkah kagetnya ketika dia
melihat seorang wanita seperti seekor burung saja menyerangnya. Dia mengira bahwa yang
menyerangnya itu tentu Hwee Li karena dia pun tahu bahwa tunangan sang pangeran itu lihai sekali.
“Mundur!” bentaknya dan seperti tadi dia mengancamkan pisaunya ke leher Puteri Syanti Dewi.
Kalau saja yang menyerangnya itu adalah Hwee Li, tentu Hwe Li tidak akan berani melanjutkan
serangannya, karena khawatir kalau-kalau nyawa Syanti Dewi terancam. Akan tetapi Ouw Yan Hui sama
sekali tidak peduli akan hal ini. Dia marah kepada orang Bhutan itu dan dia tidak peduli akan keselamatan
Syanti Dewi yang tidak dikenalnya. Maka dia tak menghentikan serangannya dan tubuhnya terus meluncur
dan menyerang Mohinta dengan hebatnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Mohita terkejut bukan main. Tentu saja dia pun mengancam Syanti Dewi bukan untuk membunuhnya
sungguh-sungguh. Maka kini melihat wanita itu masih nekat dan terus menyerang, dia terpaksa
melepaskan Syanti Dewi dan menggunakan pisaunya untuk memapaki wanita yang menyerangnya itu,
karena kini dia melihat bahwa wanita itu sama sekali bukan Hwee Li tunangan Pangeran Bharuhendra!
“Plakkk... tringgg...!”
Untuk kedua kalinya malam itu, tubuh Mohinta yang sial itu terlempar dan terhuyung. Saat dia meloncat
bangun, ternyata bagaikan seekor burung garuda saja, wanita cantik berpakaian mewah itu telah
berkelebat pergi sambil memanggul tubuh Syanti Dewi!
“Hei, berhenti...!” Mohinta berseru.
Cepat dia mengambil pisaunya yang tadi terlepas karena tangkisan wanita itu. Dia ingin menyambit, akan
tetapi khawatir kalau mengenai tubuh Syanti Dewi, maka dia lalu berteriak-teriak minta bantuan dan dia
sendiri lalu mengejar. Akan tetapi kemanakah dia hendak mengejar. Wanita itu hanya dengan beberapa
kali lompatan saja telah lenyap di antara api dan asap yang memenuhi tempat itu.
Mula-mula Syanti Dewi meronta karena terkejut sekali melihat dirinya dibawa loncat secepat itu ke atas.
Akan tetapi ketika dia melihat betapa dia di panggul seorang wanita cantik dan dibawa ‘terbang’ melalui api
yang bernyala-nyala dan asap tebal, sehingga nampaknya setiap saat dia dapat terbakar dijilat lidah api
merah, dia merasa ngeri sekali.
Melihat bahwa wanita itu adalah seseorang yang sama sekali tidak dikenalnya, dia berkata, “Lepaskan
aku...!”
“Huh, lepaskan? Benarkah?” Wanita itu lalu melepaskan tubuh Syanti Dewi yang berdiri di atas tembok
benteng, dikelilingi api dan asap! Syanti Dewi terbelalak ngeri.
“Ehh, ohhh... tolong...!” teriaknya.
“Hemmm!” Ouw Yan Hui mengejek dan dia menyambar lagi, memanggul tubuh Syanti Dewi yang saking
ngerinya menjadi hampir pingsan itu, dipanggul di atas pundak kanannya lalu dia berloncatan lagi amat
cepatnya seperti terbang saja!
Beberapa kali Syanti Dewi membuka mata, akan tetapi terpaksa memejamkan kembali matanya ketika
melihat betapa dia dibawa lari terus di atas rumah yang terbakar dan terus ke tembok-tembok benteng
yang berlapis-lapis itu untuk kemudian berloncatan keluar dari benteng seperti seekor burung terbang saja!
Hampir Syanti Dewi menjerit ngeri ketika Ouw Yan Hui meloncat dari atas wuwungan tempat penjagaan di
atas tembok benteng yang tebalnya hanya satu meter itu, padahal di kanan kiri tembok itu api masih
berkobar! Akan tetapi sebenarnya puteri ini tidak perlu khawatir. Dengan mudah Ouw Yan Hui meloncat
dan hinggap di atas tembok dengan kaki kanannya, gerakannya seperti orang menari saja.
Kemudian, dari atas tembok ini Ouw Yan Hui meloncat ke luar kemudian terus berlari di dalam kegelapan
malam, menyusup di antara pohon-pohon di dalam hutan di luar benteng itu…..
********************
Malam telah sangat larut dan mereka telah berada jauh sekali dari benteng di lembah Huang-ho ketika
Ouw Yan Hui berhenti berlari, menurunkan tubuh Syanti Dewi. Mereka berada di lereng sebuah bukit, di
dalam hutan kecil yang amat sunyi. Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui membuat api unggun dan mereka berdua
duduk di dekat api unggun, saling berhadapan dan sejak tadi mereka tidak saling bicara. Kini, mereka
berdua duduk saling berpandangan, dihalangi oleh api unggun yang menyinari wajah dua orang wanita itu
dengan cahaya yang kemerahan.
Keduanya terkejut dan kagum. Setelah kini berada di tempat yang diterangi oleh api unggun, duduk
berhadapan dan berdekatan, mereka dapat melihat wajah masing masing dengan jelas dan keduanya
merasa kagum bukan main oleh kecantikan masing masing.
Syanti Dewi memandang wanita yang duduk di depannya itu dengan penuh perhatian. Sukar menaksir
berapa usia wanita ini, akan tetapi dia merasa pasti bahwa wanita ini jauh lebih tua dari pada dia, sungguh
dunia-kangouw.blogspot.com
pun melihat wajahnya, tentu orang akan menaksir bahwa usia wanita ini tidak akan lebih dari dua puluh
lima tahun. Seraut wajah yang bulat seperti bulan, dengan dagu runcing, kedua pipinya halus penuh
kemerahan amat mulusnya, sepasang mata yang jernih dan lembut, sungguh pun di balik kelembutan itu
mengandung sifat dingin yang menyeramkan.
Rambutnya digelung seperti model gelung puteri istana, dihias dengan hiasan rambut dari emas permata
yang indah dan tentu mahal sekali harganya, berbentuk burung hong. Telinganya memakai perhiasan yang
bermata besar dengan sinar berkilauan. Hidungnya kecil mancung, cuping hidungnya mudah kembang
kempis, mulutnya kecil akan tetapi selalu terbuka secara menantang, mulut yang membayangkan birahi
yang besar, sungguh pun kalau dikatupkan lalu nampak betapa wanita ini dapat berwatak kejam. Alisnya
seperti dilukis saja, demikian pula sinom rambut dan anak rambut di pelipisnya. Wajah yang cantik jelita
dan manis bukan main, tidak kalah oleh wanita puteri-puteri istana!
Dan tubuh itu padat dan penuh lekuk lengkung menggairahkan, tubuh seorang wanita yang sudah matang.
Sungguh sukar membayangkan betapa di dalam tubuh yang penuh daya tarik kewanitaan ini dapat
tersembunyi tenaga dahsyat dan ilmu yang demikian tinggi.
Perhiasan wanita itu, pakaiannya yang mewah dan rapi, gelang-gelang di tangannya, sepatunya, semua
menunjukkan bahwa wanita ini pantasnya seorang puteri istana atau seorang puteri yang kaya raya.
Bahkan Puteri Milana yang pernah dikenalnya, puteri istana sakti itu, tidak pernah bersolek semewah
wanita ini! Syanti Dewi memandang penuh keheranan dan menduga-duga gerangan wanita yang telah
menyelamatkan dirinya dari dalam benteng itu, menyelamatkannya ataukah menculiknya?
Di lain pihak, Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui juga terkejut, kagum dan terpesona sehingga sejenak dia tidak
dapat berkata-kata, hanya terus menatap wajah Syanti Dewi penuh kekaguman dan perhatian. Selama
hidupnya, belum pernah dia melihat wajah yang demikian sempurna kecantikannya!
Tadinya dia, seperti yang dibanggakan oleh gurunya, yaitu Maya Dewi, adalah seorang wanita yang
memiliki kecantikan wanita Tiongkok yang sempurna! Dan gurunya itu, Maya Dewi, adalah seorang wanita
yang memiliki kecantikan wanita India yang paling sempurna! Akan tetapi kini, berhadapan dengan Syanti
Dewi, Ouw Yan Hui melihat kecantikan yang membuat dia terpesona! Kecantikan dara ini begitu wajar,
bahkan pakaiannya yang sederhana, rambutnya yang awut-awutan, matanya yang terbelalak lebar penuh
kekhawatiran, bibirnya yang agak pucat dan agak gemetar karena cemas, tidak mengurangi
kecantikannya!
Diam-diam Ouw Yan Hui merasa penasaran sekali! Setiap kali bertemu dengan wanita cantik di mana pun
juga, dia selalu merasa besar hati karena yakin akan kecantikannya sendiri yang sukar dicari bandingnya,
akan tetapi kini, duduk berhadapan dengan dara yang ditolongnya ini di antara api unggun, dia tiba-tiba
merasa bimbang!
“Siapa engkau? Siapa namamu?” tiba-tiba Ouw Yan Hui bertanya dan suaranya juga halus merdu, seperti
suara seorang dara muda, suara halus yang ‘basah’.
“Namaku Syanti Dewi.”
“Ehhh?? Engkau bangsa apakah?”
“Aku datang dari Bhutan”
“Hemmm, engkau tentu bukan gadis kampung biasa. Hayo ceritakan, siapa sebenarnya engkau yang
mengaku dari Bhutan ini?”
Syanti Dewi mengerutkan alisnya. Tidak senang dia melihat sikap orang yang angkuh dan kaku ini, juga
sinar mata yang tiba-tiba menjadi dingin sekali dan menyeramkan itu. Syanti Dewi menegakkan kepalanya
dan dengan sikap yang agung dia lalu berkata, “Aku adalah Puteri Bhutan!”
Kini Ouw Yan Hui yang mengerutkan alisnya. Kiranya seorang puteri istana! Dia makin tertarik. Sudah
terlalu lama dia menyembunyikan diri tidak mencampuri urusan dunia kang-ouw sehingga dia tidak pernah
mendengar tentang Puteri Bhutan yang sudah banyak menggegerkan dunia kang-ouw ini.
“Kau puteri Raja Bhutan, kenapa meninggalkan istanamu dan jauh-jauh berkeliaran sampai di sini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Syanti Dewi tidak mau menjawab, hanya memandang ke dalam api unggun. Sejenak Ouw Yan Hui
menatap wajah itu, lalu dia tersenyum seorang diri. Dara ini benar-benar seorang puteri yang agung dan
angkuh, pikirnya. Cocok benar dengan dia! Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan Syanti Dewi mengangkat muka
memandang, mengikuti gerakannya.
“Kau bisa silat?” kembali Ouw Yan Hui bertanya.
Syanti Dewi menggeleng kepala.
Ouw Yan Hui tersenyum mengejek, karena dia tadi melihat pula betapa puteri ini melawan dan sempat pula
merobohkan beberapa orang prajurit sebelum dia ditangkap oleh Panglima Bhutan itu.
“Aku hendak membunuhmu, hendak kulihat apakah kau demikian pengecut untuk menerima kematian
tanpa membela diri!” Setelah berkata demikian, Ouw Yan Hui lalu meloncat dan menendang ke arah tubuh
Syanti Dewi untuk membuat tubuh puteri itu terlempar ke dalam api unggun.
“Ihhh!” Syanti Dewi meloncat dan mengelak, gerakannya cepat juga karena selama ini dia telah
memperoleh banyak kemajuan.
Semenjak dia dahulu diberi petunjuk oleh Ceng Ceng, kemudian oleh pendekar sakti Gak Bun Beng,
kemudian baru-baru ini oleh Hwee Li, sang puteri ini telah memperoleh kemajuan pesat dan kalau hanya
beberapa orang laki-laki biasa saja jangan harap dapat menandinginya. (baca Kisah Sepasang Rajawali)
“Bagus!” Ouw Yan Hui berseru dan mulailah wanita ini melancarkan serangan bertubi tubi dengan pukulanpukulan
maut!
Tentu saja Syanti Dewi marah sekali. Tadinya memang dia tidak tahu apa maksudnya wanita cantik ini
membawanya lari keluar dari benteng, dan dia tidak tahu apakah wanita ini kawan atau lawan. Siapa kira,
kini wanita itu hendak membunuhnya, setelah bersusah-payah membawanya ke luar dari benteng. Gila!
Jangan-jangan memang gila wanita cantik ini, pikir Syanti Dewi dan bulu tengkuknya meremang ngeri.
Akan tetapi tentu saja dia tidak mau dibunuh begitu saja tanpa melawan dan sambil mengelak atau
menangkis, dia pun menyerang pula dengan dahsyat untuk merobohkan wanita ini agar dia dapat
melarikan diri.
Diam-diam Ouw Yan Hui terkejut juga menyaksikan beberapa gerakan pukulan yang menunjukkan bahwa
dara ini pernah mempelajari ilmu silat tinggi! Hanya latihannya belum matang dan memang jiwa puteri ini
adalah lemah lembut sesuai dengan kedudukannya, maka serangan balasannya juga tidak mengandung
kedahsyatan. Mula mula, Ouw Yan Hui yang hanya ingin menguji sampai di mana kepandaian Syanti Dewi,
bergerak dengan lambat untuk mengimbangi lawan. Setelah dia puas menguji dan memperoleh kenyataan
bahwa puteri ini tak mengecewakan, mulailah dia mempercepat gerakannya dan mulailah Syanti Dewi
menjadi bingung.
Mendadak saja wanita cantik itu lenyap dan tahu-tahu selagi dia bingung, wanita itu menowel pinggulnya
dari belakangnya. Dia membalik dan cepat menyerang, akan tetapi kembali wanita itu lenyap untuk muncul
secara aneh di belakangnya, di kanan atau kirinya. Syanti Dewi berpusing-pusing dan akhirnya dia roboh
karena pening dan duduk terengah-engah di dekat api unggun.
“Bunuhlah kalau mau bunuh, aku tidak takut mati dan aku tidak dapat melawanmu!” katanya dengan kepala
ditegakkan penuh keagungan.
Ouw Yan Hui makin kagum. Puteri ini selain memiliki ilmu silat yang boleh juga, ternyata tidak cengeng
seperti puteri-puteri lain, tidak menangis, bahkan sikapnya tabah sekali menghadapi ancaman kematian,
seperti sikap seorang pendekar wanita tulen! Dia pun duduk kembali seperti tadi.
“Tadi sempat kulihat Siluman Kecil berusaha menyelamatkanmu dari benteng. Apakah hubunganmu
dengan dia?”
Syanti Dewi terkejut dan tanpa dapat dicegahnya lagi, kedua pipinya yang tadi sudah merah karena marah
dan lelah itu menjadi makin merah. Teringat dia akan cinta kasih Suma Kian Bu padanya. Sukar baginya
untuk menjawab, maka dia hanya menggeleng kepala, lalu akhirnya dapat juga berkata, “Hanya teman
baik, aku pun baru tahu ketika dia muncul, setelah lima tahun lebih tidak saling jumpa.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Syanti Dewi lalu menatap wajah yang cantik itu, lalu dia pun bertanya dengan suara mengandung
penasaran. “Dan engkau siapakah? Aku tidak minta pertolonganmu akan tetapi engkau meloloskan aku
keluar dari benteng, hanya untuk kau hina. Apa maksud ini semua?”
Ouw Yan Hui tersenyum. “Aku paling benci melihat pria, apa lagi yang mengganggu wanita. Ketika kau
diganggu Panglima Bhutan tadi, aku segera ingin menolongmu. Dan kau cantik sekali. Aku tidak
bermaksud menghinamu.”
“Dan tadi engkau menyerangku, mempermainkan aku...“
“Hemmm, kau tidak tahu, Syanti Dewi. Aku hanya ingin menguji kepandaianmu sampai di mana.”
“Siapakah engkau sebenarnya?” Syanti Dewi tertarik sekali.
Wanita ini aneh, cantik jelita, dan berilmu tinggi. Seketika lenyap rasa penasaran dan marahnya karena
dipermainkan tadi. Meski dia sendiri bukan terhitung seorang wanita kang-ouw, akan tetapi selama
beberapa tahun ini kehidupan Syanti Dewi penuh dengan pengalaman, dan sudah banyak sekali dia
bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang lihai-lihai dan yang aneh-aneh, maka dia dapat memaklumi
keanehan wanita ini.
“Orang menyebutku Bu-eng-kwi (Iblis Tanpa Bayangan), akan tetapi namaku adalah Ouw Yan Hui. Aku
juga bukan orang sembarangan, Syanti Dewi. Kalau engkau seorang Puteri Bhutan, maka aku adalah
seorang ratu, ratu dari pulauku sendiri!” Ouw Yan Hui tersenyum dan kalau dia sedang tersenyum,
memang dia cantik sekali, sedikit pun tidak membayangkan bahwa dia adalah seorang wanita iblis yang
amat lihai.
Syanti Dewi menjadi heran. “Dan apa yang hendak kau lakukan kepadaku?”
“Apa yang kau harapkan?”
“Agar kau membebaskan aku, membiarkan aku pergi setelah kau berhasil meloloskan aku dari benteng itu.
Dan aku, Syanti Dewi, selamanya tidak akan melupakan budi kebaikan Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui.”
“Dan ke mana kau hendak pergi?”
“Ke mana saja kakiku membawaku. Aku... aku mencari dua orang.”
“Siapa mereka?”
“Yang pertama adalah Teng Siang In, gadis sahabatku yang membawaku pergi dari Bhutan, dan kedua
adalah... Ang Tek Hoat, dia... dia tunanganku!”
“Hemmm!” Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya. Dia merasa sayang bahwa seorang dara secantik Puteri
Bhutan ini mau saja menyerahkan hatinya kepada seorang pria! Pria di dunia ini tidak ada yang baik, tidak
ada yang bisa dipercaya!
“Dengan kepandaian silatmu yang biasa saja ini, dan dengan adanya demikian banyak orang pandai di
dunia, apa lagi mereka yang berada di dalam benteng tentu akan mengejar dan mencarimu, mana mungkin
kau melakukan perjalanan seorang diri saja? Baru satu dua hari saja engkau tentu akan terjatuh ke tangan
orang jahat lagi.”
“Aku tidak takut.”
“Akan tetapi aku tidak mau melepasmu ke dalam bahaya.”
“Lalu apa yang akan kau lakukan terhadap diriku, Bu-eng-kwi?”
Ouw Yan Hui memandang penuh perhatian dan Syanti Dewi menambah kayu dalam api unggun sehingga
apinya berkobar lagi. Dia tidak takut kepada wanita cantik ini karena dia dapat menduga bahwa wanita ini
hanya lihai dan aneh, akan tetapi agaknya tidak jahat dan pasti tidak akan mengganggunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Apa yang akan kulakukan? Hemmm, tergantung keadaanmu, Syanti Dewi. Aku akan mengambil
keputusan kalau sudah mendengar riwayatmu, mengapa engkau seorang puteri dari Bhutan sampai bisa
berada di sini dan menjadi tawanan di dalam benteng itu.”
Syanti Dewi menarik napas panjang. Wanita ini aneh, lihai sekali, dan betapa pun juga wanita ini telah
menolongnya melepaskan dia dari dalam benteng yang amat kokoh kuat itu. Maka sebaiknya dia mengaku
terus terang agar jangan membikin marah hati wanita aneh ini.
Dengan singkat Syanti Dewi lalu menceritakan semua pengalamannya, semenjak dia lolos dari istana
ayahnya di Bhutan, dibantu oleh Teng Siang In, untuk menyusul dan mencari tunangannya, yaitu Ang Tek
Hoat. Betapa dia jatuh ke tangan Hwa-i-kongcu Tang Hun ketua dari Liongsiam-pang dan akan dipaksa
menjadi isterinya, lalu betapa dia diperebutkan dan akhirnya dia terjatuh ke tangan Gitananda, kakek
pembantu dari Koksu Nepal itu dan akhirnya terjatuh ke tangan Pangeran Nepal dan ditawan di dalam
benteng itu. Betapa kemudian Hwee Li, yang tadinya juga menjadi tawanan di benteng itu dan dijadikan
tunangan oleh Pangeran Nepal secara paksa, sudah mencoba untuk menolongnya, dibantu oleh Suma
Kian Bu dan dua orang lain yang menyamar sebagai dua orang kakek iblis.
“Suma Kian Bu? Siapa dia?” Ouw Yan bertanya.
Kini Syanti Dewi yang memandang heran. “Bukankah kau tadi sudah menyebutnya dengan sebutan aneh,
kalau tidak salah, Siluman Kecil?”
“Ah, jadi Siluman Kecil itu bernama Suma Kian Bu? Suma...? Seperti pernah kudengar nama keturunan
ini...“
“Tentu saja. Suma Kian Bu adalah putera dari Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman dari...“
“Pulau Es...?” Sepasang mata yang masih indah itu terbelalak dan wajah Ouw Yan Hui agak berubah
saking kagetnya mendengar bahwa Siluman Kecil adalah putera dari Pulau Es!
Kini Syanti Dewi mengangguk bangga. “Benar, dia adalah putera dari pendekar sakti Suma Han, majikan
dari Pulau Es. Sungguh kasihan sekali Suma-taihiap...“
Tiba-tiba Syanti Dewi menghentikan kata-katanya, terkejut bahwa begitu menyebut nama ini, tanpa
disadarinya dia teringat lagi akan hubungannya dengan pemuda itu dan begitu saja menyatakan perasaan
hatinya yang selalu merasa iba kepada putera Pulau Es itu. Apa lagi begitu dia teringat betapa hebat
perubahan terjadi atas diri pemuda itu. Semua rambutnya telah menjadi putih! Dia merasa bahwa dialah
yang berdosa, dialah yang menjadi biang keladi dan bertanggung jawab atas kedukaan yang diderita
pemuda itu sampai rambutnya putih semua!
Ucapan dan sikap Syanti Dewi ini membangkitkan keinginan tahu dari Ouw Yan Hui. “Apa maksudmu?
Mengapa kasihan?” dia mendesak, maklum bahwa ada sesuatu yang dirahasiakan oleh Puteri Bhutan itu.
Ada dua macam kebanggaan yang menyelinap di lubuk hati hampir setiap orang wanita normal. Pertama
adalah pernyataan bahwa dia muda dan cantik, dan kedua adalah bahwa dia dicinta oleh pria! Apa lagi
kalau pria yang mencintanya itu adalah seorang pria pilihan, bukan pria sembarangan! Makin banyak pria
tergila-gila dan jatuh cinta kepadanya, akan makin bangga dan besarlah hatinya.
Betapa pun pandainya seorang wanita, betapa pun majunya, betapa pun dia hendak menutupinya dan
merahasiakannya, namun di lubuk hatinya tentu akan terasa suatu kebanggaan besar kalau dia
mengetahui bahwa dirinya dicinta oleh pria, dikagumi oleh pria. Andai kata dia tidak dapat membalas cinta
kasih pria itu, dan dengan sikapnya menyatakan ketidak-senangan hatinya, namun di sebelah dalam
hatinya ada perasaan bangga itu, bahkan penonjolan sikap penolakannya itu adalah usaha yang tidak
disadarinya untuk lebih meninggikan harga dirinya lagi, bahwa dia masih terlalu ‘tinggi’ untuk pria yang
tidak dibalas cintanya itu.
Syanti Dewi, biar pun dia seorang puteri, tidak terlepas dari sifat yang menjadi naluri kewanitaan ini.
Kebanggaanlah yang mendorongnya untuk mengaku kepada Ouw Yan Hui. Melihat betapa wanita cantik
yang lihai itu terkejut mendengar bahwa Siluman Kecil adalah putera Pulau Es, kebanggaan hati karena
kenyataannya bahwa pemuda luar biasa itu jatuh cinta kepadanya membuat dia lupa dan seperti dengan
sendirinya dia menjawab, “Aku kasihan kepadanya karena dia mencintaku tanpa dapat kubalas...“
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali Syanti Dewi terkejut dan menghentikan kata-katanya yang sudah terlambat. Dia merasa menyesal
juga telah membuka rahasia itu, tetapi di samping penyesalannya ini, dia mengerling untuk melihat sikap
wanita itu sewaktu mendengar pengakuannya ini.
Dan memang wanita cantik itu tertarik sekali, pandang matanya penuh kagum dan heran, juga alisnya
bergerak-gerak, bibirnya komat-kamit tanpa bersuara. Akhirnya, Ouw Yan Hui berkata “Dan kau menolak
cinta putera Pulau Es itu karena engkau telah jatuh cinta kepada... siapa pula nama tunanganmu tadi?”
“Ang Tek Hoat. Benar, aku telah saling jatuh cinta dengan Ang Tek Hoat!” jawab Syanti Dewi dengan tegas
dan memang suara ini adalah suara hatinya.
“Tetapi Ang Tek Hoat itu meninggalkanmu dan kau, perempuan bodoh ini, mengejar dan mencari-carinya
dari Bhutan sampai ke sini?” Pandang mata Ouw Yan Hui berkilat karena dia merasa marah dan
penasaran sekali! Dan sebelum Syanti Dewi menjawab, dia melanjutkan dengan suara yang kedengaran
marah, “Dan kau percaya saja kepada laki-laki itu? Laki-laki yang sudah meninggalkanmu begitu saja?
Kau, seorang puteri yang begini muda, begini cantik jelita, yang akan disembah oleh laksaan laki-laki, kau
begini merendahkan diri, begini menjual murah, merantau dan bersengsara hanya oleh seorang laki-laki
yang tak dapat dipercaya mulutnya?”
Syanti Dewi terkejut melihat kemarahan ini. Dia menggeleng kepala. “Tidak, dia.... dia amat gagah dan
baik... hanya dia terpaksa meninggalkan Bhutan, karena ayah marah kepadanya...“
“Huh! Laki-laki di dunia ini, di mana pun sama saja. Mahluk yang berhati palsu, tidak dapat dipercaya sama
sekali. Apa kau kira Ang Tek Hoat itu pun laki-laki yang dapat dipercaya? Semua laki-laki di dunia ini
adalah jahat dan palsu!”
“Tetapi... tapi dia baik sekali...”
“Itulah kalau wanita sudah jatuh cinta! Dan kau akan kecelik kelak, akan kecewa dan merana seperti aku...“
Syanti Dewi terkejut sekali, melihat kepada wanita yang tiba-tiba kelihatan berduka itu. “Apakah yang telah
terjadi denganmu... Enci Ouw Yan Hui?”
Pertanyaan dari Puteri Bhutan ini terdengar begitu wajar, begitu halus karena memang merupakan suara
dari hatinya yang mengandung penuh rasa iba sehingga Ouw Yan Hui merasa tersentuh perasaannya. Dia
menunduk, lalu berkatalah dia dengan suara gemetar.
“Aku mencinta dia, suamiku itu... apa lagi aku dalam keadaan mengandung untuk yang pertama kalinya...
akan tetapi... malam itu... aku melihat suamiku bermain cinta, berjinah di dalam kamar seorang wanita
tetangga...“
“Ahhh...!” Syanti Dewi mengeluh penuh rasa iba dan penasaran.
“Kubunuh dia! Kubunuh mereka! Aku menjadi buronan! Hemmm, anak yang kukandung terlahir mati,
kebetulan malah. Huhh, sekarang, jangan harap ada pria akan mampu mempermainkan aku, kalau perlu
akulah yang mempermainkan mereka! Syanti Dewi, jangan kau menjual dirimu demikian murah. Kau harus
yakin dulu akan hati orang bernama Ang Tek Hoat itu! Uji dia sampai habis-habisan, dan engkau dapat
melakukan hal itu jika engkau memiliki kepandaian.”
“Akan tetapi dia lihai sekali...“
“Apa artinya kelihaiannya kalau engkau dapat bergerak seperti aku? Pria mana yang akan mampu
menangkapku? Aku bebas, aku tidak dapat ditundukkan siapa pun, dan aku dapat memperlakukan pria
sesuka hatiku! Syanti Dewi, kalau kulepaskan engkau sekarang, akhirnya engkau hanya akan menjadi
permainan pria. Lupakah engkau betapa sudah berkali-kali engkau terjatuh ke tangan pria-pria jahat?
Kalau engkau berkepandaian, tak mungkin mereka itu dapat memandang rendah kepadamu.”
“Maksudmu...?”
“Kau ikutlah bersamaku. Aku akan mengajarkan ginkang yang akan membuat engkau dapat bergerak
seperti aku, sehingga tidak akan ada seorang pun pria di dunia ini yang dapat berbuat sesuka hatinya
dunia-kangouw.blogspot.com
kepadamu, tanpa kau kehendaki. Engkau akan menjadi bagaikan seekor burung di angkasa yang dapat
dipandang, dikagumi, akan tetapi tidak dapat ditangkap tangan!”
Syanti Dewi termenung. Dia masih belum tahu di mana adanya Tek Hoat. Dan kalau dia mengingat bahwa
orang-orang di dalam lembah itu, Pangeran Nepal, Mohinta, dan semua anak buah Pangeran Nepal yang
amat banyak dan amat lihai, tentu akan mengejar dan mencarinya, dia menjadi ngeri juga. Apa lagi janji
yang diberikan Ouw Yan Hui ini amat menarik hatinya. Kalau dia pandai ‘terbang’ seperti itu, tentu selain
tidak akan mudah ditangkap orang jahat, juga akan lebih mudah baginya untuk mencari Tek Hoat.
Untuk sementara ini lebih banyak selamatnya dari pada ruginya kalau dia ikut bersama dengan wanita
cantik itu, maka dia mengangguk. “Baiklah, aku mau ikut bersamamu, Enci.”
********************
“Sialan! Pangeran Nepal bedebah! Kalau dapat dia oleh tanganku, hemmm, akan kupatahkan batang
hidungnya yang panjang bengkok itu!” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa mengomel panjang pendek sambil
melempar-lemparkan penyamarannya sebagai Hek-tiauw Lo-mo. “Sudah payah-payah aku setengah mati
menyamar seperti setan dan hampir berhasil, eh, tahu-tahu si hidung kakatua itu membikin gagal saja.”
Tiba-tiba dia menoleh kepada Hwee Li seperti orang teringat akan sesuatu dan cepat berkata, “Ah,
maafkan aku, Adik Hwee Li, bukan maksudku menyinggung engkau.”
Kim Hwee Li tadinya tersenyum mendengar omelan Swi Hwa, akan tetapi mendengar ucapan ini dia
mengerutkan alisnya dan bertanya, “Mengapa kau minta maaf kepadaku, Enci Hwa?”
“Aku telah memaki dan mengancam mematahkan batang hidung... ehh, tunanganmu.”
Sepasang mata Hwee Li langsung memancarkan sinar marah. “Hemmm, sekali lagi kau menyebut dia
tunanganku, hidungmu sendiri yang akan kupatahkan!” katanya.
Ang-siocia tertawa. Dia kecewa dan penasaran oleh kegagalan itu, akan tetapi tadi dia melihat Hwee Li
masih dapat tersenyum-senyum, maka dia sengaja menggoda dara itu yang kini juga menjadi marah, maka
legalah hatinya.
“Tidak ada yang harus dipersalahkan,” terdengar Hek-sin Touw-ong berkata sambil menggeleng kepala.
Dia pun sudah melemparkan semua penyamarannya. “Benteng itu kokoh kuat bukan main. Masih untung
kita dapat menyelamatkan diri keluar dari sana. Hemmm, hebat sekali benteng itu dan penjagaannya amat
kuat. Kalau saja Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan orang seperti Koksu Nepal itu berada di lembah,
mana mungkin kita dapat menyelamatkan diri?”
“Ucapan Touw-ong memang tepat. Benteng itu tidak mungkin dapat ditembus tanpa bantuan pasukan yang
kuat. Dan tanpa penyerbuan oleh pasukan, tidak mungkin menyelamatkan keluarga Jenderal Kao dan
Puteri Syanti Dewi.” Kian Bu diam sejenak, teringat akan puteri itu hatinya menjadi gelisah sekali.
“Sekarang juga aku akan pergi ke kota raja untuk minta bantuan dan melaporkan keadaan di dalam
benteng yang siap untuk memberontak itu.”
“Aku ikut!” Hwee Li sudah memotong cepat.
“Sayang kami tak dapat membantu,” kata Hek-sin Touw-ong. “Kami mempunyai urusan kami sendiri.
Taihiap, kami ingin mohon pertolonganmu sedikit, yaitu, dapatkah Taihiap memberi tahu kepada kami, di
mana adanya orang muda yang bernama Siauw Hong itu?”
“Siauw Hong?” Kian Bu memandang kepada guru dan murid itu, dan melihat betapa Ang-siocia
menundukkan mukanya. Dia tidak tahu akan peristiwa yang terjadi antara Siauw Hong dan Ang-siocia.
“Maksudmu pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu? Tentu saja dia berada di Bukit Nelayan di lereng
Pegungungan Tai-hang-san itu.”
Kian Bu tidak mau banyak bercerita tentang Siauw Hong, pemuda yang ternyata adalah keturunan dari
keluarga Suling Emas yang hebat itu. Karena hal itu amat dirahasiakan tadinya oleh kedua belah pihak
yang bersangkutan, yaitu Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Sengjin, maka dia pun tidak mau membuka rahasia
itu dan hanya mengatakan bahwa Siauw Hong yang telah diketahuinya bernama Kam Hong, keturunan
langsung dari keluarga Suling Emas, kini berada bersama gurunya, Sai-cu Kai-ong di Tai-hang-san.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Terima kasih, Suma-taihiap. Kami akan pergi ke Tai-hang-san,” kata Hek-sin Touw-ong dengan singkat
pula.
Mereka lalu mengucapkan selamat berpisah. Hwee Li memegang tangan Swi Hwa. “Enci Hwa, jangan kau
lupa padaku, ya? Aku kagum sekali akan ilmu penyamaranmu dan kalau ada waktu kelak aku ingin belajar
menyamar seperti engkau.”
“Mana mungkin aku dapat melupakan orang seperti engkau, Adik Hwee Li? Engkau mempunyai seorang
ayah yang jelek sekali...“
“Hanya ayah paksaan!”
“Dan engkau mempunyai tunangan yang lebih jahat lagi...“
“Juga tunangan paksaan!”
“Akan tetapi engkau sendiri amat cantik jelita, lihai dan manis, adikku. Sebetulnya, kalau tidak bersama
Suhu, aku… aku akan suka sekali melakukan perjalanan bersamamu!” Sambil berkata demikian, mata dara
ini mengerling kepada Suma Kian Bu oleh karena sesungguhnya yang membuat hatinya merasa berat
adalah berpisah dari Siluman Kecil yang amat dikaguminya itu.
Maka berpisahlah empat orang itu. Ang-siocia yang merasa berat berpisahan dengan Hwee Li dan
terutama Kian Bu, terpaksa ikut bersama suhu-nya untuk mencari Siauw Hong! Sedangkan Hwee Li pergi
bersama Suma Kian Bu menuju ke kota raja karena Kian Bu melihat bahaya besar mengancam keamanan
kerajaan dengan adanya bencana di lembah Huang-ho itu…..
********************
Sementara itu, kebakaran di dalam benteng itu akhirnya berhasil dipadamkan juga. Pangeran Bharuhendra
atau Liong Bian Cu marah bukan main karena mendengar berita bahwa Puteri Syanti Dewi hilang diculik
orang dan terutama sekali bahwa Hwee Li, dara yang dicintanya itu pun telah melarikan diri.
Mendengar betapa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi secara aneh telah berkhianat, membantu
Siluman Kecil dan bahkan telah menculik Puteri Syanti Dewi pula, dan juga membakar benteng,
kemarahannya memuncak akan tetapi karena kedua orang kakek iblis yang dianggapnya berkhianat itu
telah tidak ada lagi, maka kemarahannya lalu dia timpakan kepada Jenderal Kao Liang!
“Ternyata engkau seorang yang tidak dapat memegang janji!” bentaknya ketika jenderal tua ini dihadapkan
kepadanya. “Engkau telah menipu kami! Engkau tidak sungguh sungguh dalam pembuatan benteng ini
sehingga mudah saja dikacau orang! Padahal yang mengacau hanya empat orang, yaitu Hek-tiauw Lo-mo
si keparat dan anaknya, Hek-hwa Lo-kwi si pengkhianat, dan Siluman Kecil. Benteng macam apa yang kau
buat ini?”
Jenderal Kao Liang memandang kepada Pangeran Nepal itu dengan sikap tenang. “Pangeran, sama sekali
bukan salahku! Coba ada datang pasukan besar menyerbu, sudah pasti aku akan dapat menahan mereka
dengan bentengku dan dengan pasukan penjaga benteng. Jangan harap pasukan musuh akan dapat
dengan mudah membobol bentengku ini! Akan tetapi, tadi yang menimbulkan kekacauan adalah orangorang
yang berkepandaian tinggi, orang-orang sakti dari dunia kang-ouw. Benteng ini bukan dibuat untuk
menghadapi orang kang-ouw, melainkan untuk menghadapi pasukan musuh. Tentu saja pasukan yang
terdiri dari orang-orang biasa tidak mampu menghadapi ahli ahli silat yang memiliki kepandaian luar biasa
itu. Adalah kesalahan Pangeran sendiri yang memusuhi orang-orang pandai di dunia kang-ouw. Mengapa
menyalahkan aku?”
Melihat sikap Jenderal Kao Liang itu, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin marah. Dengan geram dia
lalu memberi aba-aba dan beberapa orang pengawal pribadinya cepat maju dan menangkap Jenderal Kao!
Jenderal itu hanya memandang dengan tersenyum pahit, sikapnya tenang sekali dan memandang rendah.
Sudah lama dia kehilangan perhatiannya terhadap keselamatan dirinya sendiri sehingga baginya tidak ada
lagi rasa takut. Melihat sikap ini, Pangeran Liong Bian Cu menjadi semakin marah. Dia lalu memerintahkan
para pengawalnya untuk menyeret jenderal itu ke pintu gerbang dan mencambukinya sebagai hukuman
atas kelalaiannya sehingga benteng itu sampai dapat diserbu dan dimasuki oleh musuh!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan penerangan obor dan lampu karena malam mulai tiba, Jenderal Kao, yang dibelenggu kedua
tangannya itu diseret menuju ke lapangan terbuka di dekat pintu gerbang. Para pengawal Nepal itu telah
mengikatnya pada balok kayu yang berbentuk salib, mengikat kaki dan tangannya pada balok itu. Seorang
pengawal lain telah membuka baju atasnya dan pengawal algojo sudah mempersiapkan cambuknya,
menanti tanda dari Pangeran Nepal itu yang juga mengikuti sampai di tempat itu.
Tanda itu diberikan dengan mengangkat tangan kiri dan menganggukkan kepala ke arah algojo itu. Dengan
menyeringai puas algojo itu menghampiri Jenderal Kao. Tidak ada kesenangan yang lebih memuaskan
bagi algojo ini dari pada kalau dia sedang melaksanakan tugas menghajar atau membunuh orang
hukuman. Dalam pelaksanaan hukuman ini, tanpa mempedulikan siapa korbannya, dia menemukan
kenikmatan dan kesenangan yang luar biasa yang mendatangkan perasaan puas dan lega, penyaluran
dari rasa dendamnya terhadap manusia lain!
Setelah menerima tanda dari sang pangeran, algojo ini tidak segera mau menjatuhkan pukulan cambuk
pertama, melainkan mengayun-ayunkan cambuknya di udara, di atas kepalanya dan matanya berkilat
memilih bagian punggung yang paling lunak untuk dijadikan sasaran lecutan pertama. Biasanya dia paling
senang menikmati lecutan pertama ini, melihat betapa korbannya menegang dan menjerit, melihat darah
pertama nampak memanjang di kulit punggung korbannya. Seperti seorang yang ingin menikmati makanan
lezat, sebelum memakannya dia hendak memuaskan hatinya dulu dengan memandanginya, menghemat
gerakannya agar kenikmatan itu dapat dikunyahnya lebih lama lagi.
“Wirrr... siuuuuuttttt...!”
Akhirnya cambuk itu yang berputar makin cepat, kini turun meluncur dan menyambar ke arah punggung
Jenderal Kao yang sudah siap sedia untuk menghadapi segala macam siksaan, bahkan kematian sekali
pun, dengan tenang dan dia tidak akan menyenangkan hati para musuh dan penyiksanya dengan keluhan
sedikit pun juga.
Akan tetapi, algojo yang sudah meringis seperti seekor harimau yang sedang menubruk mangsanya itu,
tiba-tiba mengeluarkan seruan kaget dan heran. Cambuknya tertahan di udara! Dia mengerahkan tenaga,
tetapi tetap saja cambuknya tidak dapat meluncur terus, dan ketika dia menengok, bukan main kagetnya
melihat betapa ujung cambuknya itu telah ditangkap oleh tangan seorang kakek botak yang bukan lain
adalah Ban Hwa Sengjin atau juga yang dikenalnya sebagai Pendeta Lakshapadma, koksu dari Nepal!
“Mundur kau!” Koksu itu berkata dan sang algojo tentu saja tidak berani membantah.
Walau pun dia akan melakukan tugas menurut perintah Pangeran Bharuhendra, akan tetapi kakek botak ini
adalah guru negara, dan juga merupakan guru dari sang pangeran itu. Dia membungkuk dengan hormat,
menggulung cambuknya dan setelah melepaskan kerling kecewa ke arah Jenderal Kao, dia lalu
mengundurkan diri.
Pangeran Liong Bian Cu memandang kepada Ban Hwa Sengjin yang datang bersama dengan Hek-hwa
Lo-kwi, Hektiauw Lo-mo, kakek yang seperti gorilla, nenek bermuka tengkorak, hwesio gundul katai, dan
kakek yang tingginya luar biasa itu. Pangeran ini belum pernah bertemu dengan empat orang dari Im-kan
Ngo-ok itu, akan tetapi dia sudah pernah mendengar nama mereka. Dalam keadaan lain tentu dia akan
merasa girang dan menyambut mereka dengan keramahan, akan tetapi pada saat itu, Pangeran Liong
Bian Cu sedang marah bukan main. Dia marah melihat Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi, maka dia
tidak mempedulikan lagi betapa perintahnya menghajar Jenderal Kao tadi dihentikan oleh koksu, dan kini
dia melangkah maju dan menudingkan telunjuknya secara bergantian kepada dua orang kakek raksasa itu.
“Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dua orang pengkhianat besar! Kalian masih berani muncul di
hadapanku? Koksu, kenapa dua orang manusia pengkhianat ini tidak ditangkap dan diberi hukuman yang
berat?” Pangeran itu menoleh kepada gurunya dengan pandang mata penuh penasaran.
Tentu saja Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi segera saling pandang dengan penuh keheranan, dan
koksu itu kemudian berkata, “Harap Paduka tenang, Pangeran. Kenapa Paduka marah-marah, hendak
menghukum cambuk kepada Jenderal Kao, dan kenapa pula Paduka marah kepada mereka berdua ini?
Dan kami melihat tadi di dalam benteng terjadi kebakaran-kebakaran. Apakah yang telah terjadi?”
“Musuh telah memasuki benteng dengan bantuan dua orang pengkhianat ini! Dan selain melakukan
pembakaran-pembakaran, juga musuh yang dibantu dua orang pengkhianat ini telah melarikan Puteri
Syanti Dewi!” Pangeran Liong Bian Cu berkata marah.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ini dia orangnya!” teriak seorang pengawal yang tadi kena dirobohkan oleh Hek-tiauw Lo-mo palsu
sehingga sampai sekarang pun dia masih terpincang-pincang, sekarang jari tangannya menuding ke arah
kakek raksasa dari Pulau Neraka itu dengan penuh kebencian.
“Mereka inilah yang tadi membantu melarikan Puteri Syanti Dewi!” Tiba-tiba terdengar Mohinta berseru.
“Dengan bantuan para pengawal, saya sudah dapat menyingkirkan Sang Puteri dan dua orang
pengkhianat ini bersama pemuda berambut putih itu dan... puteri Hek-tiauw Lo-mo mengamuk, dikeroyok
oleh para pengawal. Akan tetapi tiba-tiba saya diserang secara menggelap, tentu oleh seorang di antara
mereka ini dan Sang Puteri dilarikan!”
“Koksu, cepat tangkap mereka!” bentak Liong Bian Cu dengan marah.
Dia sudah kehilangan kekasihnya, juga kehilangan Puteri Bhutan yang amat penting baginya, dan
ditambah lagi kenyataan betapa dua orang pembantunya ini melakukan pengkhianatan!
Akan tetapi, Ban Hwa Sengjin bersikap tenang saja. “Pangeran, tidak baik membiarkan diri terseret oleh
kemarahan. Marilah kita bicarakan hal ini dengan tenang, karena di sini terjadi keanehan dan kesalah
pahaman besar. Kerugian kita yang paling besar adalah kalau musuh sampai berhasil membuat kita semua
saling mencurigai kemudian terjadi perpecahan sehingga melemahkan kedudukan kita sendiri.” Koksu lalu
melepaskan belenggu kaki tangan Jenderal Kao dan mengajaknya untuk melakukan perundingan pula di
sebelah dalam.
Liong Bian Cu terheran-heran mendengar ucapan gurunya itu, tetapi dia dapat melihat kebenaran kata-kata
gurunya bahwa perpecahan antara dia dan para pembantunya sungguh amat merugikan dan dapat
melemahkan kedudukannya sendiri. Maka dengan menahan kemarahan dan penasaran, dia pun lalu tidak
bicara apa-apa lagi melainkan melangkah menuju ke dalam gedungnya, langsung menuju ke ruangan tamu
yang luas, diikuti oleh Ban Hwa Sengjin, empat orang dari Im-kan Ngo-ok, Jenderal Kao Liang, Mohinta,
Hwa-i-kongcu dan beberapa orang pembantu utama lagi.
Mereka semua duduk mengelilingi meja besar dan karena Pangeran Liong Bian Cu dan para pembantunya
sedang berada dalam keadaan tegang, maka Ban Hwa Sengjin juga tidak memakai banyak peraturan dan
dia tidak memperkenalkan empat orang rekannya itu, melainkan segera minta penjelasan dari Liong Bian
Cu tentang peristiwa yang terjadi di dalam benteng.
Liong Bian Cu lalu menceritakan semua yang telah disaksikannya sendiri dan yang dilengkapi oleh
pelaporan semua pembantunya, didengarkan dengan penuh perhatian oleh Ban Hwa Sengjin dan dengan
penuh keheranan oleh Hek-tiauw Lo-mo berdua Hek-hwa Lo-kwi. Dua orang kakek raksasa ini marah
bukan main dan mereka dapat menduga siapa adanya kedua orang yang telah menyamar sebagai mereka
itu!
Maka, setelah Pangeran Liong Bian Cu selesai menceritakan semua peristiwa yang terjadi dalam benteng,
Hek-tiauw Lo-mo berseru, “Si keparat itu! Siapa lagi kalau bukan Hek-sin Touw-ong dan muridnya!”
“Benar, guru dan murid itulah yang telah menyamar sebagai kita dan membikin kacau di dalam benteng!”
Hek-hwa Lo-kwi juga berseru marah.
Liong Bian Cu terkejut sekali dan memandang kepada mereka bergantian dengan alis berkerut, karena
masih belum hilang rasa penasaran dan marahnya kepada dua orang tokoh yang tadinya dianggap
sebagai pengkhianat-pengkhianat ini. “Apa pula maksud kalian?”
“Pangeran, mereka berdua ini sama sekali tidak pernah kembali ke dalam benteng, karena mereka telah
dirobohkan musuh dan baru kembali ke sini bersama kami tadi. Yang memasuki benteng bukanlah mereka,
melainkan dua orang yang telah menyamar sebagai mereka. Dan menurut cerita Paduka, dua orang palsu
yang pandai itu bukan hanya dapat mengelabui para penjaga dan para pengawal, bahkan mereka telah
berani menghadap Paduka dalam penyamaran mereka dan Paduka sendiri sampai tidak dapat melihat
bahwa mereka adalah dua orang musuh yang menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi.
Dan mengapa Paduka tadi hendak menjatuhkan hukuman kepada Jenderal Kao?”
Liong Bian Cu masih terheran-heran mendengar bahwa dua kakek yang menghadapnya tadi sambil
membawa tawanan Siluman Kecil dan membawa kembali tunangannya itu bukanlah Hek-tiauw Lomo dan
Hek-hwa Lo-kwi, menjadi bingung dan ketika dia ditanya tentang hukuman terhadap Jenderal Kao, dia
dunia-kangouw.blogspot.com
menjawab, “Koksu, kuanggap bahwa dialah yang bertanggung jawab sehingga benteng ini dengan mudah
dapat diserbu musuh yang mengacau dan mendatangkan kebakaran di banyak rumah dalam benteng ini.
Akan tetapi dia tidak mau mengakui kesalahannya bahkan mengatakan bahwa benteng ini dibangun untuk
menghadapi serbuan pasukan besar, bukan penyelundupan beberapa orang sakti, dan ia berani
menyalahkan kami yang dianggap memusuhi orang orang kang-ouw.”
Koksu Nepal itu mengangguk-angguk dan dia memandang kepada Jenderal Kao yang semenjak tadi
hanya mendengarkan sambil menundukkan muka saja. Kemudian kakek botak ini berkata, “Pangeran,
alasan Jenderal Kao memang benar. Untuk menghadapi penerobosan orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi, haruslah dipergunakan kesaktian pula untuk melawannya pula. Dan dengan girang saya
beritahukan kepada Pangeran bahwa sekarang sahabat-sahabat saya ini telah datang untuk membantu
kita. Andai kata tadi sewaktu musuh menyelundup ke sini ada seorang saja di antara kami berlima, sudah
pasti mereka itu tidak akan dapat bergerak seenaknya. Pangeran, dan juga para rekan dan sahabat,
perkenalkanlah empat orang sahabat saya ini.”
Dengan bangga Ban Hwa Sengjin memperkenalkan empat orang itu dan para tokoh yang baru pertama
kali ini bertemu dengan mereka, memandang dengan hati terkejut dan penuh kekaguman, juga kengerian
karena sesungguhnya mereka sudah pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok! Melihat mereka, para tokoh
ini seolah-olah melihat iblis-iblis yang keluar dari dalam neraka, iblis-iblis yang tadinya hanya mereka
dengar seperti dalam cerita dongeng saja!
“Pangeran, seperti saya katakan tadi, kalau musuh mempergunakan pasukan, maka saya percaya bahwa
Jenderal Kao dengan bentengnya akan mampu menghalau setiap pasukan musuh yang bagaimana besar
pun juga. Akan tetapi karena musuh yang datang adalah orang-orang yang menggunakan ilmu
kepandaian, maka biarlah saya minta bantuan Su-ok dan Ngo-ok untuk melakukan pengejaran.” Pangeran
Liong Bian Cu hanya mengangguk.
“Su-te dan Ngo-te, harap kalian suka sedikit melelahkan diri dan melakukan pengejaran terhadap para
pengacau yang telah membikin pusing kepala Sang Pangeran. Kalian sudah mendengar bahwa dua orang
yang menyamar itu adalah Hek-sin Touw-ong dan muridnya, dan tentu kalian tahu di mana adanya mereka
itu.”
Kakek cebol dan kakek tinggi itu bangkit berdiri, dan mengangguk kepada Liong Bian Cu. Kalau kakek
tinggi itu hanya cemberut saja, adalah kakek gundul pendek yang tertawa dan berkata kepada Ban Hwa
Sengjin, “Ahhh, Koksu, kalau saja kami tidak mengingat betapa Pangeran telah dibikin pusing oleh
penjahat-penjahat itu, tentu kami malas untuk pergi karena kami baru saja datang belum disambut dengan
makanan lezat dan arak wangi!”
Pangeran Liong Bian Cu merasa tidak enak sekali dan dia sudah hendak menyuruh pengawal
memerintahkan pelayan mengeluarkan hidangan, namun Ban Hwa Sengjin sambil tertawa menjawab, “Sute,
jangan khawatir. Mengejar orang-orang macam raja maling itu saja bersama muridnya, apa sih
sukarnya bagi kalian? Sebelum masakan masakan itu dingin, tentu kalian sudah datang kembali membawa
mereka sebagai tawanan dan masih belum terlambat bagi kalian untuk makan minum sepuasnya nanti!”
Si pendek dan si tinggi itu kemudian menggerakkan tubuh dan dalam sekelebatan saja mereka telah
lenyap dari tempat itu! Semua orang merasa kagum sekali, bahkan diam diam Hek-tiauw Lo-mo dan Hekhwa
Lo-kwi harus mengakui bahwa sekarang mereka mendapatkan saingan yang amat berat! Pangeran
Liong Bian Cu menjadi girang dan terhibur melihat datangnya orang-orang pandai yang membantunya,
maka dia cepat memerintahkan pelayan untuk mengeluarkan hidangan untuk menyambut Twa-ok Su Lo Ti
dan Ji-ok Kui-bin Nionio.
“Harap Pangeran mengijinkan saya untuk kembali ke kamar saya,” kata Jenderal Kao Liang. Pangeran
Liong Bian Cu mengangguk dengan sikap tidak begitu mempedulikan. Jenderal tua ini lantas meninggalkan
ruangan di mana pangeran itu mulai berpesta dengan gembira bersama para pembantunya.
Dengan hati berat Jenderal Kao Liang kembali ke dalam kamarnya lalu dia merebahkan diri terlentang di
atas pembaringannya. Kedua matanya yang sejak tadi terbelalak memandang ke langit-langit dalam
kamarnya tak pernah berkedip itu, perlahan-lahan menjadi basah! Setelah berkumpul, akhirnya dua butir
air mata bergerak keluar dari sepasang matanya dan jatuh menimpa bantal. Hanya dua butir air mata, akan
tetapi hal ini sudah merupakan suatu hal yang amat luar biasa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Jenderal Kao adalah seorang laki-laki sejati yang pantang menitikkan air mata. Lebih baik mengucurkan
peluh dan darah dari pada air mata bagi jenderal yang gagah perkasa ini. Akan tetapi, pada saat ini hatinya
tersiksa bukan main rasanya. Pangeran Nepal itu mendatangkan kelima Im-kan Ngo-ok! Negara berada
dalam bahaya. Dan dia malah menjadi kaki tangan pangeran pemberontak itu! Ahhh, kalau saja
keluarganya dapat lolos dari tempat itu, berada dalam keadaan selamat, tentu dia tidak akan merasa begini
tersiksa. Dia tentu akan dapat melaksanakan segala rencananya yang telah dipersiapkannya semenjak dia
membangun benteng itu secara terpaksa sekali untuk menyelamatkan nyawa semua keluarganya! Akan
tetapi, agaknya tidak ada jalan bagi keluarganya untuk dapat lolos dari tempat itu. Bahkan Siluman Kecil,
atau Suma Kian Bu, putera dari Pendekar Super Sakti itu sendiri tidak berdaya…..
********************
“Suhu, aku tidak mau!”
Seperti seorang anak kecil yang ngambek, Kang Swi Hwa berhenti di tepi jalan dan duduk di atas batu
besar, sepasang alisnya bertemu, mulutnya cemberut dan matanya hampir menangis.
Hek-sin Touw-ong memandang kepada muridnya itu dan tersenyum melihat murid yang dicintanya itu
mogok berjalan! Biar pun mukanya berwarna hitam, namun muka raja maling ini membayangkan
kelembutan, apa lagi kalau dia berhadapan dengan muridnya itu.
“Hayaaa...“ Dia menarik napas panjang dan duduk pula di atas batu tak jauh dari tempat duduk muridnya.
“Swi Hwa, berkali-kali kau mengatakan tidak mau. Ehh, muridku yang baik, tahukah engkau apa yang
paling berharga bagi seorang wanita?”
“Aku tahu, aku tahu, berapa kali Suhu menanyakan itu? Yang paling berharga adalah kehormatan.”
“Nah, engkau sudah tahu! Dan engkau tahu apa yang telah terjadi antara engkau dan pemuda bernama
Siauw Hong itu.”
“Akan tetapi, tidak terjadi apa-apa antara dia dengan aku, hanya dia melihat bahwa aku seorang wanita.”
“Hemmm, muridku yang baik. Tidak ada wanita yang membiarkan tubuhnya dilihat, apa lagi disentuh oleh
seorang pria yang bukan suaminya. Dan Siauw Hong itu… dia telah menyentuhmu. Memang hal itu
dilakukannya tanpa sengaja, bahkan dia bermaksud menyelamatkanmu dari bahaya maut. Mengingat
bahwa dia murid Sai-cu Kai-ong, maka kuanggap bahwa hal itu memang telah diatur oleh Thian, dan
agaknya Tuhan sendiri yang telah menjodohkan engkau dengan dia, muridku. Bagi seorang wanita
terhormat, tubuhnya hanya boleh disentuh oleh suaminya, dan kalau ada pria lain yang melakukan hal itu,
pria itu harus dibunuhnya!”
“Kalau begitu, aku akan membunuhnya!” Kang Swi Hwa masih mengambek.
“Dan engkau akan menjadi seorang yang paling tidak kenal budi, bahkan seorang yang membalas
kebaikan dengan kejahatan. Dia telah menolongmu, menyelamatkanmu, dan kau hendak membunuhnya?”
“Habis, mau bagaimana? Hanya ada dua pilihan kata Suhu, membunuhnya atau kawin dengan dia. Aku
tidak mau kawin dengan dia, maka aku akan membunuhnya.”
“Swi Hwa, muridku yang baik. Mengapa engkau berkeras tidak mau menikah dengan dia? Apakah dia
seorang pemuda yang berwajah buruk? Ataukah tubuhnya cacat?”
“Tidak, tidak sama sekali, Suhu. Dia seorang pemuda yang tampan dan gagah...“
“Nah, kalau begitu, mengapa menolak?”
“Dia hanya seorang pengemis, Suhu! Dan aku tidak mungkin menikah dengan seorang pengemis!”
Kakek itu tertawa bergelak. Melihat ini, Ang-siocia yang tadinya selalu menundukkan mukanya, kini dia
mengangkat muka memandang gurunya, mukanya merah dan sinar matanya marah. “Suhu, hatiku sedang
mengkal, sekarang Suhu malah tertawa-tawa, mentertawakan aku! Apanya yang lucu?”
“Ha-ha-ha, Swi Hwa, memang aku mentertawakan engkau. Engkau sungguh tidak mau bercermin!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bercermin?” Tangan kiri Swi Hwa dengan jari-jarinya yang lentik halus itu otomatis meraba-raba rambut
kepala dan mukanya. “Setiap hari aku bercermin. Apakah mukaku coreng-moreng, rambutku awutawutan?”
Kakek itu makin geli tertawa, lalu dia memandang kepada muridnya yang dianggapnya seperti anaknya
sendiri itu. “Swi Hwa, maksudku bukan bercermin untuk melihat wajah, melainkan bercermin untuk
mengenal dirimu sendiri. Engkau terlalu memandang rendah pengemis, dan agaknya lupa siapakah kita ini!
Engkau hanyalah murid seorang maling, apakah maling lebih tinggi derajatnya dari pada seorang
pengemis?”
Makin merah wajah Swi Hwa, merah karena penasaran dan marah. “Akan tetapi kita adalah maling bukan
sembarang maling! Suhu adalah Raja Maling! Mana bisa lantas disamakan dengan pengemis...?”
“Hemmm, Swi Hwa, apa kau lupa bahwa pemuda itu juga bukan sembarang pengemis, melainkan murid
dari Raja Pengemis Sai-cu Kai-ong? Dan apakah engkau tahu? Sai-cu Kai-ong itu adalah seorang...
sahabat baikku, setidaknya adalah seorang bekas sahabat baikku. Maka, muridnya tentu saja bukan
merupakan seorang yang asing sama sekali.”
Swi Hwa masih cemberut. Dia membayangkan wajah Siauw Hong. Seorang pemuda yang tampan
memang. Akan tetapi, ketika dia mengenal Siauw Hong dan Siluman Kecil, bahkan lalu melakukan
perjalanan bersama, dia menganggap Siaw Hong sebagai seorang pemuda remaja yang belum dewasa
benar, bahkan sering kali dia menyuruh Siauw Hong, sebagai pelayan! Betapa jauhnya kalau dibandingkan
dengan Siluman Kecil, pendekar yang sakti itu, pria yang sudah matang dan amat mengagumkan hatinya.
“Tidak, Suhu, aku tidak mau! Aku tidak suka!”
“Agaknya engkau masih kukuh bahwa engkau jatuh cinta kepada pendekar Siluman Kecil. Benarkah itu,
Swi Hwa?”
Wajah itu menjadi makin merah dan dia menunduk.
“Swi Hwa, aku adalah seorang tua yang sudah dapat melihat tanda-tanda orang yang jatuh cinta. Dan
dalam pertemuan kita dengan Siluman Kecil, aku tidak yakin bahwa engkau mencinta dia. Engkau hanya
kagum saja kepadanya dan memang sudah sepatutnya orang kagum kepada pendekar yang
berkepandaian tinggi itu. Akan tetapi, dia bukan jodohmu, muridku.”
“Tapi, Suhu, bagaimana mungkin perjodohan dilangsungkan tanpa cinta kasih?”
“Mengapa tidak mungkin? Perjodohan antara dua orang muda yang tidak saling mencinta bisa saja kelak
mendatangkan rasa cinta kasih yang amat mendalam, dan sebaliknya mungkin saja apa yang dinamakan
cinta kasih antara dua orang muda sebelum perjodohan akan menjadi luntur setelah mereka memasuki
pintu gerbang pernikahan. Pula, aku tidak melihat tanda-tanda, baik dari sikapnya, kata-katanya mau pun
pandang matanya bahwa pendekar itu mencintamu, Swi Hwa. Dan bagaimana mungkin engkau mengikat
perjodohan dengan seorang pendekar besar dan aneh seperti dia? Apa lagi mengingat dia adalah putera
Pendekar Super Sakti dari Pulau Es? Ah, tempat dia berpijak lebih tinggi dari pada bintang di langit,
muridku, agaknya lebih sukar berjodoh dengan dia dari pada dengan seorang pangeran sekali pun
untukmu.”
Mendengar ini, Swi Hwa makin menunduk dan wajahnya membayangkan kecewa dan duka sekali. Kini
teringatlah dia akan hubungan antara Siluman Kecil dengan Hwee Li. Ah, gurunya benar! Agaknya Siluman
Kecil terlalu tinggi untuknya. Dia, hanya seorang maling, pantasnya hanya berjodoh dengan seorang
pengemis! Tanpa terasa lagi air matanya bercucuran didorong oleh rasa iba diri.
Kakek itu menyentuh tangan muridnya. “Hidup ini memang penuh dengan kepahitan kepahitan yang
ditimbulkan oleh kekecewaan-kekecewaan, muridku. Kekecewaan bisa timbul karena harapan-harapan kita
yang tidak tercapai, dan harapan-harapan selalu memang lebih indah dari pada kenyataan...”
Tiba-tiba ucapan Hek-sin Touw-ong itu terhenti karena guru dan murid ini mendengar suara aneh, suara
ketawa yang terdengar teramat kerasnya seolah-olah orang yang tertawa itu berada di dekat mereka,
padahal mereka tidak melihat seorang pun manusia di situ. Pagi hari itu sunyi saja. Mereka berdua telah
melarikan diri semalaman, dan baru pagi ini mereka berhenti di tempat itu setelah semalam suntuk mereka
tidak melihat ada orang mengejar mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, sekali ini aku mengaku kalah kepadamu, Ngo-te! Matamu memang awas sekali dan benar saja,
mereka berada di sini!”
Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa meloncat berdiri dan siap menghadapi bahaya. Swi Hwa sudah mencabut
pedangnya, dan gurunya yang tidak pernah berpedang lagi berdiri dengan penuh kewaspadaan.
Maklumlah kakek pandai ini bahwa ada orang bicara mempergunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh,
orangnya masih jauh akan tetapi suaranya sudah tiba di situ, tanda bahwa ada orang pandai agaknya
mengejar mereka.
Tak lama kemudian, nampaklah dua orang yang bentuk tubuhnya amat aneh datang dengan kecepatan
yang mengejutkan hati guru dan murid itu.
Gurunya menggeleng kepala. “Mereka sudah mengetahui kita di sini, dan percuma saja melarikan diri. Kau
berhati-hatilah, Swi Hwa,” bisik gurunya sambil memandang dengan penuh perhatian ke depan. Bayangan
dua orang itu cepat sekali gerakannya dan sebentar saja mereka sudah tiba di depan guru dan murid itu.
Setelah dua orang kakek yang bentuk tubuhnya amat luar biasa dan berlawanan itu tiba di depan mereka,
Swi Hwa memandang penuh perhatian. Biar pun masih muda, dara ini sudah banyak pengetahuannya di
dunia kang-ouw dan sudah banyak bertemu dengan tokoh-tokoh besar, akan tetapi betapa pun dia
mengingat-ingat, belum pernah dia bertemu dengan dua orang kakek aneh ini, yang seorang tingginya
hanya sampai di pundaknya, tetapi kakek kedua tingginya bukan main sehingga dia harus menengadah
kalau hendak memandang wajahnya. Kakek yang pendek gundul itu tersenyum-senyum lebar, akan tetapi
yang membuat Swi Hwa merasa ngeri adalah kakek tinggi itu, karena biar pun kakek tinggi itu hanya
cemberut saja, namun matanya yang sipit itu seolah-olah hendak menelanjanginya dengan pandang
matanya!
“Su-ko, yang tua untukmu karena aku perlu dengan yang muda!” tiba-tiba si tinggi kurus bermata sipit itu
berkata.
Sebelum suaranya yang menyeramkan itu habis, tangannya yang berlengan panjang sekali itu tahu-tahu
sudah menjangkau ke arah pundak Swi Hwa! Gerakannya itu amat mengerikan karena jarak antara dia dan
Swi Hwa cukup jauh, terlalu jauh bagi orang yang berlengan bagaimana panjang pun untuk bisa
menjangkaunya. Akan tetapi kakek tinggi itu tidak melangkahkan kakinya, dan lengannya seperti dapat
diulur lebih panjang dari pada semestinya. Gerakan yang mengerikan sekali!
“Ihhh...!” Swi Hwa berseru kaget dan juga jijik saat melihat lengan itu seperti seekor ular panjang hidup
meluncur ke arah pundaknya.
Dia cepat-cepat menarik kaki melangkah mundur, akan tetapi hebatnya, tangan itu terus mengejarnya,
sebuah tangan yang lebar dengan jari-jari yang panjang dan besar, kotor dan kukunya panjang hitam! Swi
Hwa kaget setengah mati dan agaknya sukar baginya untuk dapat mengelak. Pada saat itu, Hek-sin Touwong
yang mengenal ilmu luar biasa dari si jangkung itu, yaitu ilmu mengulur lengan yang tidak mudah
dipelajari, kecuali oleh mereka yang telah menguasai ilmu melepas tulang, maklum bahwa muridnya
terancam bahaya. Dia cepat menggerakkan tangan kirinya.
“Cusssss...!”
Tangan kiri Hek-sin Touw-ong yang digerakkan ini bukan sembarang tangan, melainkan tangan yang
mengandung Ilmu Kiam-to Sin-ciang sehingga tangan itu seperti berubah tajam bagaikan pedang atau
golok, bahkan hawa pukulannya saja dapat membabat putus benda keras!
“Wusss... ahaaa...!”
Si jangkung terkejut sekali dan walau pun lengannya tidak terluka karena dia sudah menarik kembali
lengannya sambil mengerahkan sinkang untuk melindungi lengan itu, akan tetapi tetap saja lengan bajunya
terobek oleh hawa yang menyambar dari Kiam-to Sin-ciang tadi.
Si pendek gundul tertawa. “Ha-haha, engkau mendapat malu, Ngo-te! Jangan terlalu memandang rendah
kepada Hek-sin Touw-ong yang kabarnya juga memiliki Kiam-to Sin-ciang. Dan engkau sama sekali tidak
boleh main hakim sendiri, ingat bahwa tugas kita hanya untuk menawan mereka ini!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Si jangkung hanya cemberut, akan tetapi matanya terus mengincar Swi Hwa dan gadis ini diam-diam
bergidik. Dia tadi melihat betapa gurunya menggunakan ilmu ini. Lengan si jangkung tadi jelas terkena
sambaran hawa sakti itu, akan tetapi lengan itu sama sekali tidak terluka dan hanya lengan bajunya saja
yang terobek! Tahulah dia bahwa si jangkung yang luar biasa itu memiliki kepandaian yang amat tinggi.
Biar pun wajahnya tidak menunjukkan perasaan, namun di dalam hatinya, Si Raja Maling juga menjadi
terkejut bukan main. Tadi dia sudah menduga-duga, akan tetapi kini melihat kelihaian si jangkung, melihat
bentuk tubuh mereka dan cara kedua orang itu saling memanggil, yaitu Ngo-te dan Su-ko (adik kelima dan
kakak keempat), dia tidak ragu-ragu lagi bahwa tentu kedua orang inilah tokoh-tokoh dari Im-kan Ngo-ok
yang telah puluhan tahun lamanya tidak pernah terdengar lagi turun ke dunia ramai.
Hampir dia tidak percaya karena memang selama dia menjelajahi dunia kang-ouw, Raja Maling ini tidak
pernah berjumpa dengan mereka dan menganggap bahwa nama mereka itu hanya merupakan dongeng di
antara orang-orang kang-ouw saja. Dan kini, melihat keadaan kedua orang ini yang ternyata bukan hanya
mengenalnya, bahkan mengenal pula Ilmu Kiam-to Sin-ciang, dia yakin bahwa tentu mereka ini adalah
orang keempat dan kelima dari Im-kan Ngo-ok. Maka cepat dia menjura dengan hormat kepada datukdatuk
kaum sesat itu sambil berkata dengan suara halus merendah.
“Siauwte yang bodoh pernah mendengar nama besar dari Su-ok Siauw-siang-cu dan Ngo-ok Toat-beng
Siansu, tidak tahu apakah dua nama besar itu adalah nama Ji-wi?”
Tosu jangkung bermata sipit itu hanya cemberut, akan tetapi hwesio cebol gendut itu tertawa. ”Ha-ha-ha,
kiranya Si Raja Maling juga dapat mengenal kami, itu menunjukkan bahwa engkau memang bukan orang
sembarangan!”
Hek-sin Touw-ong menjura lagi. “Maaf kalau siauwte yang bodoh kurang menghormat, karena sungguh
mati kami berdua tidak pernah mimpi akan dapat jumpa dengan tokoh tokoh besar seperti Ji-wi (Anda
berdua). Setelah kami mendapat kehormatan bertemu dengan Ji-wi, siauwte mohon bertanya ada
keperluan apakah gerangan maka Ji-wi memberi kehormatan kepada kami dengan kunjungan ini?”
“Su-ko, mulutnya terlalu manis!” Tiba-tiba tosu tinggi kurus itu mencela.
Akan tetapi hwesio cebol itu hanya tersenyum lebar. Girang sekali hatinya. Memang sudah menjadi watak
Si Jahat Keempat dari Im-kan Ngo-ok ini untuk beramah-tamah dengan orang untuk kemudian mencelakai
orang yang diajaknya beramah-tamah itu!
“Hek-sin Touw-ong, sudah lama kami mendengar nama besarmu dan ternyata engkau memang seorang
yang lihai sekali. Kiam-to Sin-ciang tadi amat hebat, dan engkau mempunyai seorang murid yang cantik
jelita dan pandai. Sungguh beruntung sekali hidupmu. Aku Su-ok Siauw-siang-cu ikut merasa girang
melihat keberuntunganmu dan sayang di sini tidak ada arak untuk menghaturkan selamat kepadamu. Haha-
ha!”
Si Raja Maling mengerutkan alis. Dia hanya pernah mendengar nama Im-kan Ngo-ok akan tetapi tidak
mengenal watak mereka seorang demi seorang, maka dia pun tidak tahu akan watak Su-ok ini. Dia sendiri
adalah salah seorang tokoh besar di dalam dunia kang-ouw, maka teritu saja dia tidak mudah tertipu oleh
sikap ramah-tamah yang luar biasa itu. Maka dia hanya menjura sambil berkata, “Terima kasih atas
kebaikan Su-ok Siauw-siang-cu Lo-enghiong.”
Akan tetapi, Ngo-ok Toat-beng Sian-cu tidak sabar menyaksikan sikap ramah-tamah dari kawannya itu,
maka dia berkata singkat, “Hek-sin Touw-ong, hayo lekas menyerah untuk kami tangkap dan bawa kembali
ke benteng lembah, di mana engkau bersama muridmu mengacau malam tadi!”
Hek-sin Touw-ong tidak terkejut mendengar ini, karena memang dia sudah menduga bahwa dua orang
sakti dari kaum sesat ini tentu muncul sehubungan dengan perbuatan mereka di benteng lembah semalam.
Dia sama sekali tidak pernah menduga dan sama sekali tidak tahu bahwa Koksu Nepal adalah orang
ketiga dari Im-kan Ngo-ok!
“Kami tidak akan menyerah kepada siapa pun juga!” Tiba-tiba Kang Swi Hwa berkata dengan nada suara
keras dan dia sudah melintangkan pedangnya di depan dada. Tidak seperti gurunya, dara ini belum pernah
mendengar nama Im-kan Ngo-ok, maka dia pun tidak merasa gentar sama sekali sungguh pun dia tahu
bahwa dua orang kakek itu tentu merupakan orang-orang lihai dan lawan-lawan tangguh.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong dan muridnya ini memang amat hebat!” kembali hwesio cebol itu tertawa dan
memuji. “Siapa yang dapat mengira bahwa kalian berdua dapat menyamar sebagai dua orang iblis Hektiauw
Lo-mo dan Hek-hwa Lokwi! Ha-ha-ha! Melihat Hek-sin Touw-ong menyamar sebagai seorang di
antara mereka masih tidak mengherankan, akan tetapi bagaimana engkau bisa menyamar sebagai
seorang iblis seperti mereka itu, Nona? Mengagumkan, sukar untuk dapat dipercaya! Eh, Nona Cilik, aku
berani bertaruh bahwa engkau tidak akan mampu menyamar sebagai aku atau sebagai Ngo-te ini!”
Di dalam hatinya, Kang Swi Hwa mengejek. Kalau ada alat-alatnya, tentu saja dia akan mampu menyamar
sebagai mereka, sungguh pun untuk menyamar sebagai Su-ok dia harus menekuk lututnya dan untuk
menyamar sebagai Ngo-ok dia harus menggunakan jangkungan, yaitu dua potong kayu untuk
menyambung kakinya agar dia dapat menjadi jangkung seperti tosu itu. Akan tetapi dia tidak mau melayani
kelakar ini dan hanya memandang dengan sinar mata marah.
“Ha-ha-ha, Hek-sin Touw-ong, kepandaian kalian amat hebat dan mengagumkan hati Pangeran Nepal.
Oleh karena itu, beliau mengutus kami berdua untuk mengundang kalian sebagai tamu terhormat ke dalam
benteng, mungkin akan memberi hadiah atas permainan sandiwara kalian yang amat berhasil itu. Marilah,
Touw-ong, marilah kami iringkan ke benteng di lembah sana.” Sikap hwesio cebol itu masih manis sekali,
terlalu manis malah.
Akan tetapi Hek-sin Touw-ong kini sudah maklum bahwa keramahan hwesio cebol ini adalah wataknya dan
cirinya yang khas, sama sekali bukan keramahan yang timbul dari hati yang beriktikad baik. Maka dia pun
tidak mau melayani, melainkan memandang dengan tajam.
“Ji-wi tidak perlu berpura-pura. Memang sesungguhnya kami berdua yang semalam mengunjungi benteng.
Kami telah gagal, nah, sekarang Ji-wi datang menyusul kami dan betapa pun juga kami tidak akan mau
kembali ke sana, baik itu merupakan undangan mau pun paksaan.”
Ucapan ini halus akan tetapi juga merupakan tantangan.
“Su-ko, kenapa cerewet? Tangkap mereka!” bentak Ngo-ok Toat-beng Siansu sambil menubruk ke arah
Swi Hwa.
“Ngo-te, awas, jangan kau lukai dia, kita harus menangkap mereka hidup-hidup. Jangan sampai membuat
Sam-ko dan pangeran menjadi marah!” Si cebol berseru, kemudian secepat kilat dia pun sudah menerjang
kepada Hek-sin Touw-ong!
Swi Hwa menggerakkan pedangnya, memutar pedang itu untuk membabat dua tangan panjang yang
mengancamnya dari kanan kiri itu. Sinar pedangnya bergulung-gulung dan membentuk lingkaran yang
berhawa tajam sekali karena dara ini sudah memainkan pedang dengan pengerahan Ilmu Kiam-to Sinsiang
yang dipelajarinya dari gurunya.
Biar pun dia lihai bukan main, Ngo-ok tidak mau sembarangan mempertaruhkan kedua lengannya, atau
sedikitnya tentu lengan bajunya akan hancur kalau terkena sambaran sinar pedang itu, maka dia
menggunakan kegesitannya untuk menarik kembali tangan yang hendak terbacok, kemudian membalas
dengan kedua tangan itu meluncur dari sana-sini seperti dua ekor ular terbang yang berusaha menangkap
atau menotok dara itu. Bulu tengkuk dara itu meremang saking ngerinya ketika beberapa kali tangan
telanjang si jangkung itu menyampok pedangnya dan terdengar bunyi berdencing nyaring ketika
pedangnya bertemu dengan jari tangan itu, seolah-olah tangan itu terbuat dari pada baja yang amat kuat!
Sementara itu, Hek-sin Touw-ong sudah bertanding dengan hebatnya melawan Su-ok Siauw-siang-cu.
Hek-sin Touw-ong yang maklum bahwa dia menghadapi lawan pandai dan bahwa dia dan muridnya
terancam bahaya maut, telah mengeluarkan ilmunya yang amat hebat, yaitu Kiam-to Sin-ciang dan
mengerahkan ginkang-nya untuk berkelebatan dengan cepatnya. Dia harus dapat merobohkan lawannya
yang gemuk pendek ini sebelum dia dapat membantu muridnya. Dia tahu bahwa muridnya bukanlah
tandingan si jangkung itu, dan maklum bahwa kalau dia dan muridnya sampai tertangkap dan dibawa
kembali ke lembah, tentu mereka berdua akan celaka dan menerima hukuman berat atas perbuatan
mereka semalam yang mengacau dan membakar benteng di lembah Huang-ho itu.
Bunyi angin bersuitan dan mendesis-desis ketika kedua tangan Raja Maling ini bergerak melancarkan
serangan Kiam-to Sin-ciang. Demikian hebatnya ilmu itu sehingga orang keempat dari Im-kan Ngo-ok
sendiri tidak berani secara lancang menerima pukulan itu dengan tubuhnya. Su-ok bergulingan
menghindarkan diri, kemudian dia meloncat dan tubuhnya yang pendek itu menjadi makin pendek ketika
dunia-kangouw.blogspot.com
dia berjongkok dan perutnya yang gendut itu makin menggembung terisi penuh hawa mukjijat! Kemudian,
dari tenggorokan dan perutnya berbunyi suara.
“Kok-kok-kok!” dan itulah ilmunya yang amat luar biasa, ilmu pukulan Katak Buduk!
Ketika Hek-sin Touw-ong kembali menggerakkan kedua tangan dan dari kedua telapak tangannya itu
menyambar hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang yang mengandung angin tajam sekali, Su-ok lalu mendorong
dengan kedua tangannya yang pendek ke depan. Angin pukulan dahsyat menyambar dari kedua
tangannya dan begitu angin pukulan ini bertemu dengan hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang.
Tubuh Hek-sin Touw-ong terjengkang dan dia tentu sudah roboh terbanting kalau saja dia tidak cepatcepat
meloncat ke kiri dan terhindar dari dorongan hawa dahsyat yang mendorong pukulannya yang tadi
membalik itu! Bukan main terkejutnya hati Si Raja Maling! Kini kakek pendek itu tertawa-tawa, kemudian
bergulingan dan mengejarnya seperti seekor binatang trenggiling dan melakukan serangan dari atas tanah
secara tidak terduga-duga! Dan setiap kali Touw-ong menggunakan Kiam-to Sin-ciang, selalu kakek
pendek itu menggunakan pukulan sakti Katak Buduk membuat Kiam-to Sin-ciang kehilangan kehebatannya
dan selalu terdorong kembali!
Perkelahian antara Ang-siocia atau Kang Swi Hwa dan kakek tosu jangkung Ngo-ok tak berlangsung terlalu
lama. Agaknya Ngo-ok merasa jengkel juga menyaksikan kenekatan dara itu, maka dia lalu mengerahkan
tenaganya dan begitu pedang di tangan nona itu menusuknya, dia menggunakan jari-jari tangannya
menangkis dan terus mencengkeram dan pedang itu sudah kena dicengkeramnya!
“Krek-krekkk!”
Pedang itu dicengkeram patah-patah dan dilemparkan ke samping, kemudian sebelum Swi Hwa sempat
mengelak, tengkuknya sudah dicengkeram dan tubuhnya diangkat ke atas! Swi Hwa hampir pingsan ketika
merasa betapa jari-jari tangan yang panjang dan besar sudah mencengkeram baju di dadanya dan hendak
mencabik dan merenggutnya. Tanpa terasa lagi dia menjerit.
Jeritan itu menolongnya karena Su-ok sudah menggelinding dekat dan menendang lutut Ngo-ok. Hampir
saja Ngo-ok tertendang roboh kalau dia tidak cepat meloncat tinggi sekali sambil membawa tubuh Swi Hwa
yang seperti hampir pingsan rasanya dibawa melambung tinggi itu.
“Ngo-te, kuperingatkan kau, jangan ganggu dia!” bentak Su-ok.
“Ehh, kau mengiri? Apa pedulimu?” bantah Ngo-ok.
“Tolol kau, Ngo-te. Jika kau mengganggunya dan Sam-ko marah, juga Pangeran, tentu Twako dan Ji-ci
juga marah dan jika mereka semua marah, apa kau kira hanya engkau saja yang akan dihajar? Aku pun
ikut bertanggung jawab, mengerti? Jangan ganggu dia sebelum kita menyerahkan kedua orang guru dan
murid ini kepada Pangeran. Kalau kau nekat, aku sendiri akan menggempurmu!”
“Huh, menyebalkan!” Ngo-ok berseru marah dan kecewa, jari tangannya menotok dan seketika tubuh Swi
Hwa menjadi lumpuh dan ketika dia dilemparkan ke atas tanah, dara itu tak dapat bergerak lagi.
Hek-sin Touw-ong tadi sudah merasa khawatir menyaksikan betapa muridnya tertawan, akan tetapi legalah
hatinya ketika dia melihat Su-ok menyelamatkannya dari ancaman malapetaka yang amat mengerikan.
Melihat muridnya sudah terbebas dari malapetaka, Raja Maling itu lalu menyerang lagi, kini tidak
menyerang kepada Su-ok, melainkan kepada Ngo-ok saking marahnya melihat betapa si jangkung itu tadi
sudah hampir saja menghina muridnya.
“Cusss-cusssss... wuuut-wuuuttt... brettt...!”
Ujung baju Ngo-ok terobek oleh hawa pukulan Kiam-to Sin-ciang dan tubuh si jangkung sampai terhuyung
ke belakang. Hal ini adalah karena dia sama sekali tidak menyangka akan kehebatan serangan dari Si
Raja Maling itu, maka dia tadi terdesak dan lupa untuk mengelak, melainkan menangkis sehingga biar pun
dia tidak terluka, namun bajunya robek dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
Si jangkung mengeluarkan suara aneh dan tiba-tiba tubuhnya berjungkir balik, kepala di bawah dan kaki di
atas kemudian secara aneh sekali tubuh yang membalik ini sudah menyerang kalang-kabut kepada Heksin
Touw-ong!
dunia-kangouw.blogspot.com
Raja Maling ini sudah banyak menghadapi lawan lihai dan aneh-aneh, akan tetapi belum pernah dia
diserang orang yang berjungkir balik seperti ini. Dia agak bingung karena kedua tangan yang panjang itu
menyerangnya dari bawah dan begitu dia menggunakan kedua tangan untuk menangkis, tiba-tiba dari
angkasa meluncur turun dua batang kaki yang menyerangnya secara hebat, mengancam ubun-ubun
kepala dan tengkuknya!
“Jangan bunuh dia, Ngo-ok, manusia bandel!” bentak Su-ok.
Bentakan ini menyelamatkan nyawa Hek-sin Touw-ong karena Ngo-ok teringat bahwa dia sama sekali
tidak boleh membunuh kalau dia ingin selamat kembali ke benteng, maka kakinya yang menotok ke arah
ubun-ubun itu mengubah gerakan menotok ke leher dan ketika Hek-sin Touw-ong mengangkat tangan
menangkis, kaki kirinya sudah menotok tengkuk.
“Dukkk!”
Tubuh Hek-sin Touw-ong roboh dalam keadaan pingsan oleh totokan ujung kaki yang amat tepat dan amat
kuat itu.
“Bagus! Engkau telah maju pesat, Ngo-te. Engkau telah dapat merobohkan guru dan murid itu tanpa
membunuh mereka. Hebat kau, aku kagum sekali!” kata Su-ok sambil tertawa.
Tosu jangkung itu memandang kepada Su-ok, kemudian menyeringai dan meludah ke samping kiri.
“Cuhhh!”
Dia hanya memandang kepada tubuh Swi Hwa yang terlentang di atas tanah dengan sinar mata penuh
gairah dan kekecewaan. Kembali dia terhalang untuk melampiaskan gelora nafsunya, terutama sekali
untuk memenuhi koleksi kuku-kuku ibu jari wanita yang sudah berjumlah empat ratus kurang satu itu!
“Mari kita cepat kembali, Ngo-te. Jangan sampai masakan-masakan untuk kita menjadi dingin. Nah, kau
panggul si tua itu, biar aku yang membawa nona ini!” kata Su-ok yang tahu bahwa dia tidak boleh
mempercayakan tubuh wanita muda itu kepada Ngo-ok, maka cepat dia menyambar tubuh Swi Hwa dan
mengempitnya sambil berkelebat cepat pergi dari tempat itu.
Ngo-ok meludah kembali dengan hati mengkal, kemudian menggunakan ujung kakinya untuk mencokel
tubuh Hek-sin Touw-ong ke atas, menyambarnya dengan tangan kiri, memanggulnya dan dia pun berlari
cepat menyusul Su-ok menuju ke benteng di lembah Huang-ho.
Pangeran Liong Bian Cu merasa girang dan kagum bukan main ketika melihat Su-ok dan Ngo-ok telah
kembali membawa Hek-sin Touw-ong dan Kang Swi Hwa. Akan tetapi tentu saja hati pangeran ini masih
kecewa, marah dan juga berduka karena Hwee Li, dara yang dicintanya itu, dan Puteri Syanti Dewi,
tawanan yang amat penting baginya, belum ditemukan kembali.
Sejenak dia memandang kepada tubuh Hek-sin Touw-ong dan Swi Hwa yang sudah dilemparkan ke atas
lantai, lalu sang pangeran itu menarik napas panjang dan berkata, “Aih, sayang sekali bahwa yang
ditemukan hanya dua orang pengacau ini. Apa gunanya kecuali hanya menghukum mereka? Kami akan
lebih gembira kalau yang dapat dibawa kembali adalah Hwee Li dan Puteri Bhutan....“
Ban Hwa Sengjin maklum bahwa diam-diam sang pangeran kecewa sekali atas hasil pengejaran Su-ok
dan Ngo-ok. Dia pun maklum betapa pentingnya Syanti Dewi bagi Nepal, dan betapa pangeran itu amat
mencinta Hwee Li. Maka dia lalu berkata, “Harap Paduka tenangkan hati. Sudah saya katakan tadi bahwa
menghadapi orang pandai harus pula mempergunakan kesaktian dan setelah kini saudara-saudaraku
berada di sini, kita tidak perlu khawatir. Kiranya bukan merupakan tugas yang terlalu berat untuk
menemukan dan membawa kembali dua orang dara itu, Pangeran. Twako dan Ji-ci, sekarang aku
mengharap bantuan kalian untuk mencari dua orang dara itu. Yang seorang bernama Hwee Li, seorang
dara berusia delapan belas tahun, berpakaian serba hitam, suka bermain dengan ular-ular beracun, anak
angkat dari Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka, wajahnya cantik jelita dan wataknya periang, jenaka dan
agak... agak liar. Dan dara yang kedua adalah seorang Puteri Bhutan, usianya dua puluh satu tahun, cantik
sekali, lemah lembut dan halus, bernama Syanti Dewi. Kalau tidak keliru, dua orang dara itu tentu bersama
dengan seorang pemuda yang terkenal dengan julukan Siluman Kecil, bernama Suma Kian Bu, putera dari
Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahhh...!” Hampir berbarengan kakek gorilla dan nenek tengkorak itu berseru kaget mendengar ucapan
terakhir itu.
“Ya, benar, Twako dan Ji-ci. Pemuda itu adalah putera dari Pulau Es, maka kalian kini memperoleh
kesempatan untuk memperlihatkan kepandaian. Harap kalian dapat segera mencari dan membawa
kembali dua orang puteri itu ke sini dan untuk jasa itu, Pangeran Nepal pasti tidak akan melupakannya.”
“Tentu saja!” Pangeran Liong Bian Cu bangkit berdiri dan menjura. “Pertolongan Ji-wi Locianpwe amat
berharga dan saya pasti tidak akan melupakan budi Ji-wi itu.”
Kakek gorilla itu saling pandang dengan nenek bertopeng tengkorak, lalu terdengar kakek itu berkata
dengan suaranya yang tenang dan lembut, “Ji-moi, mari kita pergi!” Baru saja dia berkata demikian,
tubuhnya berkelebat dan orangnya sudah lenyap!
Nenek muka tengkorak memandang kepada koksu dan berkata, “Sam-te, tugas kami cukup berat, namun
menegangkan dan menggembirakan. Mungkin saja kami gagal, akan tetapi kami percaya bahwa kau, Su-te
dan Ngo-te tidak akan membiarkan kami penasaran.”
“Jangan khawatir, Ji-ci!” kata Koksu Nepal dan percakapan sekali ini terjadi seperti dua orang saudara dan
memang koksu itu bicara sebagai Sam-ok, bukan sebagai koksu. Akan tetapi jawabannya belum selesai
ketika tubuh Ji-ok Kui-bin Nionio sudah lenyap pula dari tempat itu!
Hek-sin Touw-ong yang tadinya pingsan, sudah sejak tadi siuman, tetapi kakek ini pura pura masih
pingsan. Diam-diam dia memperhatikan keadaan di situ dan mendengarkan semua percakapan. Dia
terkejut sekali melihat betapa Im-kan Ngo-ok telah berkumpul semua di dalam benteng itu! Dan
mendengarkan mereka bicara, tahulah kakek ini bahwa Koksu Nepal yang lihai itu bukan lain adalah Samok,
orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok! Tahulah dia bahwa dia dan muridnya tak mungkin dapat lolos dari
tempat yang dihuni demikian banyaknya orang-orang pandai itu! Hanya dengan akal saja dia akan dapat
menyelamatkan muridnya.
Dia sendiri adalah seorang yang sudah tua, hidup bukan lagi merupakan suatu hal yang terlalu berharga
baginya, dan kematian bukan merupakan suatu hal yang menakutkan. Akan tetapi Swi Hwa! Dia tidak
boleh mati dalam usia semuda itu! Dan terbayanglah di depan mata kakek ini semua yang telah terjadi atas
diri anak itu dan dia merasa berdosa sekali!
Dia telah menculik anak itu, memisahkan anak itu dari semua keluarganya! Semua itu dilakukan hanya
untuk melampiaskan dendam dan kemarahannya. Dan setelah sekian lama dipeliharanya, maka dia
mencinta anak itu seperti anaknya sendiri. Dan sekarang, anak itu akan mati! Semua adalah gara-gara dia,
dan anak itu tidak boleh mati karena menjadi muridnya!
“Ahhh...!” Dia mengeluh dan pura-pura baru siuman dari pingsannya, bangkit duduk dan memandang ke
kanan kiri. “Ahhh... Ji-wi Lo-enghiong Su-ok dan Ngo-ok sungguh tak boleh dibuat permainan, dan
sekarang aku yang dijadikan permainan! Mengapa orang segolongan sendiri menyusahkan kami guru dan
murid?”
Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong pura-pura kaget melihat sang pangeran dan Koksu Nepal. “Celaka! Kenapa
kami dibawa ke sini?”
Ban Hwa Sengjin memandang dengan muka kereng. “Hek-sin Touw-ong, apa yang sudah kau lakukan
bersama muridmu ketika menyamar sebagai Hek-tiauw Lomo dan Hek-hwa Lo-kwi, mengacau di dalam
benteng?” bentaknya.
Pada saat itu, Swi Hwa sudah bergerak pula dan dara ini meloncat berdiri, akan tetapi gurunya cepat
menarik tangannya, diajak berlutut, “Lekas berlutut, kita berada di depan Pangeran dan Koksu Nepal yang
mulia!”
Swi Hwa heran menyaksikan sikap gurunya, akan tetapi ketika dia melihat bahwa dia telah berada di dalam
benteng, terkurung oleh orang-orang pandai yang sekian banyaknya, dia tidak membantah dan cepat dia
berlutut sambil menundukkan mukanya.
“Koksu yang mulia, Locianpwe Sam-ok Ban Hwa Sengjin yang sakti tentu sudah bisa maklum mengapa
orang-orang seperti kita melakukan suatu tindakan. Sesuai dengan kebijaksanaan golongan kita kaum
dunia-kangouw.blogspot.com
hitam, tentu saja kami berdua guru dan murid juga melakukan hal itu demi kepentingan kami sendiri, yaitu
menerima hadiah dan juga atas tekanan dari Pendekar Siluman Kecil. Tadinya kami kira bahwa benteng ini
hanya menjadi tempat orang-orang yang dimusuhi oleh Pendekar Siluman Kecil yang minta bantuan kami,
sama sekali kami tak tahu bahwa banyak tokoh dan datuk dari golongan kita sendiri berkumpul di sini.
Kami berdua tidak mati pun sudah sangat untung, hanya mengalami kegagalan saja. Harap Locianpwe
memaklumi keadaan kami.”
Dengan ucapan itu Hek-sin Touw-ong hendak menyatakan bahwa dia dan muridnya sama sekali tak
berniat memusuhi Im-kan Ngo-ok yang dianggap orang-orang dari satu golongan, yaitu golongan hitam
atau kaum sesat, dan bahwa penyerbuannya semalam di dalam benteng adalah karena penekanan
Siluman Kecil dan juga hadiah yang diberikannya, jadi dasarnya hanya ‘pekerjaan’ saja, bukan
permusuhan pribadi.
Ban Hwa Sengjin sudah mengenal kakek muka hitam ini sebagai raja maling, tentu saja merupakan tokoh
hitam pula di dunia kang-ouw, maka dia pun tak merasa benci. Hanya karena kedudukannya sebagai
koksu dan karena guru dan murid ini telah mengacau benteng maka dia harus bertindak.
“Tidak perlu banyak cakap. Kalian telah mengacaukan tempat ini, baik sebagai musuh atau bukan tidak
ada bedanya. Sekarang katakan, di mana adanya Siluman Kecil dan Nona Hwee Li? Di mana pula adanya
Puteri Syanti Dewi?”
Pertanyaan terakhir itu amat mengejutkan hati guru dan murid itu. Jelas bahwa mereka berempat gagal
untuk melarikan Syanti Dewi, juga gagal untuk melarikan seorang pun dari keluarga Jenderal Kao,
bagaimana sekarang Koksu Nepal ini menanyakan tentang Puteri Bhutan itu? Apakah puteri itu berhasil
melarikan diri di waktu ribut-ribut semalam? Karena maklum bahwa mereka berdua tidak berdaya dan
bahwa agaknya gurunya yang biasanya tidak banyak cakap itu kini hendak menggunakan ‘kepandaiannya’
bicara, maka Swi Hwa diam saja dan menyerahkan semua jawaban kepada suhu-nya.
“Kami telah gagal melarikan Syanti Dewi seperti yang dikehendaki oleh Siluman Kecil,” jawab Touw-ong
dengan tenang. “Setelah kegagalan itu, maka kami lalu berpencar, saya melarikan diri bersama murid
saya, hal yang agak mudah karena kami berdua menyamar sebagai...” dia menoleh ke arah Hek-tiauw Lomo,
dan Hek-hwa Lo-kwi, “... kedua orang gagah itu, sedangkan Siluman Kecil melarikan diri bersama
Nona Hwee Li. Setelah itu, kami berdua tidak lagi bertemu dengan mereka. Tentang Puteri Bhutan,
sungguh kami tidak tahu karena telah gagal membawanya, bahkan kalau tidak salah, ketika itu sang puteri
sudah dibawa masuk kembali oleh seorang Panglima Bhutan...“
Penuturan ini memang cocok sekali dengan laporan para pengawal yang melakukan pengeroyokan, maka
Ban Hwa Sengjin berpendapat bahwa tentu Siluman Kecil yang telah berhasil melarikan sang puteri. Hanya
Siluman Kecil yang memiliki kepandaian tinggi sekali, bahkan dia sendiri karena kurang hati-hati, pernah
roboh pingsan oleh Siluman Kecil itu. Sedangkan Touw-ong bersama muridnya ini tentu hanya memiliki
kepandaian biasa saja, buktinya mudah tertawan oleh Su-ok dan Ngo-ok.
“Pangeran, saya kira Raja Maling ini tidak membohong dan memang mereka ini tidak tahu di mana adanya
Sang Puteri dan juga Nona Hwee Li. Lalu apa yang harus kita lakukan terhadap mereka?”
Pangeran itu mengerutkan alisnya. “Dia ini telah mengacau benteng, juga melakukan pembakaran, dan
bersama muridnya telah menyamar sebagai Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Apa yang harus kita
lakukan terhadap mereka?” Ucapan pangeran itu seperti bertanya kepada semua orang yang ada di
ruangan itu. Hatinya memang mengkal sekali kalau mengingat bahwa perbuatan kedua orang ini telah
menyebabkan hilangnya Syanti Dewi, sungguh pun Hwee Li memang sudah lolos sebelum mereka berdua
ini datang mengacau dengan penyamaran mereka.
“Serahkan saja mereka pada kami berdua!” tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berkata dengan marah.
“Bunuh saja mereka!” kata pula Hek-hwa Lo-kwi.
“Siksa mereka agar mengaku di mana adanya Sang Puteri Syanti Dewi!” kata Mohinta. “Saya yakin bahwa
dia yang menyerang saya dan melarikan sang puteri, tentu seorang kawan dari mereka ini!”
“Koksu, harap serahkan gadis ini kepadaku sebagai pengganti yang tempo hari!” tiba tiba Ngo-ok berkata
dan menoleh kepada Swi Hwa.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Hek-sin Touw-ong tertawa. “Sungguh mengherankan. Di dalam rimba sekali pun, tidak ada
harimau makan harimau dan serigala makan serigala! Kalau golongan hitam tidak saling membantu, mana
mungkin menghadapi golongan putih yang kuat? Kami guru dan murid memang telah melakukan
kesalahan, akan tetapi kesalahan itu hanya karena kami tidak tahu bahwa di sini terdapat banyak orangorang
segolongan, dan kami tertipu dan tertekan oleh Siluman Kecil! Kalau kami dianggap sebagai
golongan putih hendak dihukum, silakan. Siapa yang takut mati? Akan tetapi, sungguh menggelikan sekali
kalau terdengar di dunia kang-ouw betapa ada kawan makan kawan sendiri! Pangeran, kami guru dan
murid adalah orang-orang yang mencari rejeki menggunakan kemampuan kami. Kalau Paduka memaafkan
kami dan memberi kami pekerjaan, kiranya kami dapat mempergunakan kepandaian kami untuk
keuntungan Paduka!”
Pangeran Liong Bian Cu yang sedang marah itu memang tertarik oleh kepandaian guru dan murid ini.
Masih belum dapat dia melenyapkan keheranannya betapa Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang
menghadapnya kemarin sore itu adalah penyamaran dari guru dan murid ini! Kini, mendengar omongan
kakek bermuka hitam itu, dia berkata, “Orang berdosa, apa lagi yang hendak kau sampaikan kepada kami?
Pekerjaan apa yang dapat kami berikan kepada kalian yang telah melakukan dosa besar itu?”
“Pangeran, harap jangan percaya kepada omongannya!” Lo-mo berkata marah.
“Lo-mo, jangan ganggu pembicaraan Pangeran dengan pesakitan!” Ban Hwa Sengin menegur dan Hektiauw
Lo-mo melotot marah, akan tetapi tidak berani berkata apa-apa lagi.
“Pangeran, saya masih heran mendengar akan lenyapnya sang puteri. Sedangkan saya bersama murid
saya, juga pendekar Siluman Kecil yang demikian sakti bersama Nona Hwee Li, tidak mampu melarikan
sang puteri, bagaimana dalam keadaan ribut-ribut kebakaran itu ada orang yang mampu melarikannya?
Hal itu hanya berarti bahwa ada orang lain yang melarikan sang puteri, dan menurut pendapat saya, orang
itu tentu memiliki kepandaian yang lebih tinggi dari pada kepandaian Siluman Kecil.”
Semua orang tertegun dan bengong mendengar ini. Juga Ban Hwa Sengjin menjadi terkejut dan diam-diam
dia memperhatikan karena dugaan yang diajukan oleh Raja Maling itu memang masuk di akal. Akan tetapi,
siapakah orang yang lebih tinggi dari Siluman Kecil? Padahal Siluman Kecil itu sudah demikian lihainya!
“Jangan ngawur!” bentaknya. “Siapakah orangnya yang dapat lebih lihai dari Siluman Kecil dan mengapa
pula dia melarikan sang puteri?”
Hek-sin Touw-ong memang cerdik dan dia tidak kekurangan akal untuk mengemukakan dugaan-dugaan
yang dapat diterima, semua itu dilakukannya untuk menyelamatkan muridnya dari ancaman hukuman mati.
“Ketika kami dimintai bantuan oleh Siluman Kecil, rencana kami adalah melarikan Puteri Bhutan dan juga
keluarga Jenderal Kao Liang. Akan tetapi melihat keluarga jenderal itu demikian banyaknya, Siluman Kecil
lalu hendak melarikan sang puteri saja. Akan tetapi hal itu pun gagal dilakukan karena kami ketahuan.
Dalam keributan itu, ternyata sang puteri benar-benar lenyap. Hal ini tentu dilakukan oleh seorang yang
amat lihai dan mengingat bahwa keluarga Jenderal Kao berada di sini sebagai tahanan, maka siapa lagi
orang yang lebih lihai dari pada Siluman Kecil itu selain putera sulung Jenderal Kao yang terkenal dengan
julukan Si Naga Sakti Gurun Pasir?”
“Ahhh...! Benar juga dugaannya!” tiba-tiba terdengar suara wanita berseru dan wanita yang bangkit dari
tempat duduknya itu bukan lain adalah Cheng-yan-cu Kim Cui Yan!
Liok Tek Hwi juga berkata kepada Pangeran Liong Bian Cu, “Kiranya dugaannya itu tidak salah. Tadi pun
aku sudah menduga bahwa tentu dia yang datang melarikan sang puteri.”
Ban Hwa Sengjin berubah wajahnya dan alisnya berkerut. “Si Naga Sakti Gurun Pasir?” Dia sudah
mendengar nama ini, nama yang amat terkenal bukan karena pendekar itu sendiri, melainkan karena
tempat tinggalnya, yaitu Istana Gurun Pasir yang menjadi tempat tinggal Si Dewa Bongkok, guru dari Naga
Sakti itu! Benarkah pendekar yang sama tenarnya dengan nama pendekar Pulau Es itu telah datang?
“Ahhh, kalau benar dia yang datang, kenapa dia tidak melarikan puteranya, melainkan puteri itu?”
Terdengar Kim Cui Yan membantah.
“Benar juga pendapatmu itu, Sumoi.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kita harus cepat menyelidiki hal ini,” kata Pangeran Liong Bian Cu. “Kita harus dapat menyelidiki tentang
putera sulung Jenderal Kao Liang itu, mencari keterangan dari keluarganya.”
“Akan tetapi mereka semua itu keras hati dan tidak takut mati, mana mereka mau membocorkan rahasia Si
Naga Sakti?” Ban Hwa Sengjin meragu.
“Kalau Paduka suka memaafkan kami berdua guru dan murid, maka saya dapat menyelidikinya dengan
menyamar sebagai Jenderal Kao dan bicara dengan mereka!” tiba-tiba Hek-sin Tow-ong yang melihat
kesempatan baik terbuka itu segera berkata. “Tentu mereka akan membuka semua rahasia tentang putera
sulung dari jenderal itu. Akan tetapi tentu saja lebih dulu saya harus mengenal mereka, satu-satu, dan apa
hubungan mereka dengan jenderal itu.”
Pangeran dan koksu saling pandang dan diam-diam koksu memberi persetujuan dengan anggukan
kepalanya. Memang tidak ada untungnya kalau hanya membunuh kedua orang guru dan murid ini, dan
kalau dapat mempergunakan mereka sebagai pembantu, memanfaatkan kepandaian mereka menyamar,
agaknya akan banyak berguna dan menguntungkan. Pula, mereka itu bukanlah musuh-musuh golongan,
bahkan orang-orang segolongan dan perbuatan mereka semalam di benteng itu hanya terdorong oleh
pekerjaan mereka sebagai maling yang menghendaki keuntungan dalam setiap perbuatan mereka.
Demikianlah, setelah mempelajari gerak-gerik Jenderal Kao dan mengenal semua keluarga jenderal itu, Si
Raja Maling kemudian menyuruh muridnya yang melakukan penyamaran. Dia telah percaya benar akan
kepandaian Swi Hwa dalam hal menyamar, bahkan kelincahan dara itu membuat Swi Hwa tidak kalah
pandai dari pada sang guru dalam meniru gerak-gerik orang lain. Selain ini, Raja Maling ini juga ingin
menonjolkan jasa muridnya karena sesungguhnya semua ini dilakukannya untuk menyelamatkan sang
murid dari hukuman berat. Dan usaha yang dilakukan oleh Swi Hwa memang berhasil baik sekali!
Semua keluarga jenderal itu tidak ada yang tahu bahwa yang bercakap-cakap dengan mereka di luar pintu
jeruji besi itu bukanlah Jenderal Kao Liang! Bahkan isteri sang jenderal sendiri tidak mengenal kepalsuan
ini. Mereka saling bercakap tentang lolosnya Puteri Bhutan, dan Swi Hwa sebagai Jenderal Kao
menyatakan dugaannya kepada keluarganya bahwa mungkin yang melarikan sang puteri adalah Kao Kok
Cu, putera sulungnya atau Si Naga Sakti itu.
Akan tetapi keluarganya membantah. Tidak mungkin, kata mereka, karena kalau benar Naga Sakti yang
datang, tentu puteranya, Kao Cin Liong, yang akan diselamatkannya lebih dulu, atau juga ayah ibunya,
bukan puteri dari Bhutan itu! Dari percakapan ini, Swi Hwa mendengar tentang semua riwayat Jenderal
Kao Liang, dan juga betapa jenderal itu telah menyuruh puteranya yang ketiga, yaitu Kao Kok Han, untuk
mencari Naga Sakti dan memberi tahu tentang segala malapetaka yang menimpa keluarga Kao.
Semua yang diketahui dari hasil percakapan ini, oleh Swi Hwa dan gurunya kemudian dilaporkan kepada
Pangeran Liong Bian Cu dan akhirnya, melihat betapa dara itu dalam melakukan penyamaran sungguh
amat mengagumkan, pangeran ini dan koksu lantas menerima mereka berdua sebagai pembantupembantu
mereka karena Pangeran Liong Bian Cu memang ingin mengumpulkan sebanyak mungkin
orang pandai, terutama dari golongan hitam untuk membantunya.
Dan sesungguhnya Hek-sin Touw-ong juga termasuk seorang di antara tokoh-tokoh yang memang sudah
diincarnya untuk membantunya, bahkan ketika terjadi pertemuan di lembah ini antara para tokoh hitam,
Hek-sin Touw-ong juga diwakili oleh Ang-siocia, muridnya itu. Mengingat akan semua inilah, maka
pangeran dan koksu memaafkan pengacauan mereka berdua di dalam benteng semalam, dan menarik
mereka sebagai pembantu dan sekutu…..
********************
“Bagaimana kita menyeberang lautan yang lebar tanpa tepi itu, Enci?” Syanti Dewi bertanya ketika dia
bersama Ouw Yan Hui berdiri di pantai yang sunyi pada siang hari itu, melihat air laut yang bergelombang,
luas dan sampai ke kaki langit tidak nampak ada tepi atau pulau itu.
“Dengan kapal tentu saja. Kapalku sudah menantiku di sini,” jawab wanita cantik itu sambil tersenyum.
Kemudian Ouw Yan Hui mengeluarkan sebatang anak panah kecil dari dalam buntalan pakaiannya,
memukulkan ujung anak panah itu ke atas batu dan anak panah itu pun terbakarlah, mengeluarkan asap
berwarna biru! Kemudian, tanpa gendewa, hanya menggunakan jari-jari tangannya yang kecil meruncing
itu saja, dia melontarkan anak panah itu ke udara. Nampak sinar biru meluncur ke atas, dan asap biru
dunia-kangouw.blogspot.com
nampak nyata. Itulah tanda rahasia, pikir Syanti Dewi kagum. Dan sesaat kemudian, nampak sinar asap
biru meluncur di sebelah barat.
“Nah, itulah mereka!” kata Ouw Yan Hui dengan wajah girang sambil memandang ke barat.
Syanti Dewi juga ikut memandang, dan tidak lama kemudian muncullah sebuah kapal yang amat indah.
Kapal layar itu besar sekali dan indah, dan nampak beberapa orang anak buah menurunkan sebuah
perahu kecil yang didayung oleh empat orang dengan cepat menuju ke pantai. Setelah perahu itu tiba di
pantai, barulah nampak oleh Syanti Dewi bahwa empat orang anak buah kapal yang mendayung perahu itu
adalah wanita wanita cantik dan muda yang memakai pakaian ringkas hingga dari jauh tidak kelihatan
bahwa mereka itu wanita.
“Tocu telah pulang!” Mereka berseru dengan girang dan mereka lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
Ouw Yan Hui yang mereka sebut tocu (majikan pulau).
Ouw Yan Hui hanya tersenyum, kemudian menggandeng tangan Syanti Dewi dan diajak naik ke dalam
perahu kecil yang segera didayung dengan cepat oleh keempat orang wanita itu menuju ke kapal besar.
Setelah tiba di kapal dan naik, Syanti Dewi melihat bahwa semua anak buah kapal itu adalah wanita,
muda-muda dan rata-rata memiliki wajah yang cantik, atau setidaknya bersih. Dan begitu sang tocu naik ke
atas kapal, mereka semua menjatuhkan diri berlutut dengan wajah gembira dan penuh hormat kepada
Ouw Yan Hui! Mereka bersikap seolah-olah Ouw Yan Hui adalah ratu mereka! Dan kapal itu ternyata amat
mewah.
“Hei, kalian semua lihatlah baik-baik. Nona ini adalah adikku, juga muridku, dan kalian harus bersikap
hormat dan ramah kepadanya, dan menyebutnya siocia.”
Semua orang yang masih berlutut itu cepat memberi hormat kepada Syanti Dewi dan menyebut, “Siocia!”
dengan suara nyaring sehingga Syanti Dewi merasa canggung sekali.
Dia memang sudah biasa dihormati orang, sebagai puteri istana Bhutan, akan tetapi di tempat ini dia
merasa amat canggung menerima penghormatan seperti itu. Dan secara otomatis, keagungannya sebagai
seorang puteri seketika timbul. Ia mengangkat sedikit tangannya sambil menganggukkan kepala sebagai
tanda menerima penghormatan itu.
Terdengar suara bisik-bisik memuji kecantikan puteri ini ketika Ouw Yan Hui memberi isyarat agar kapal
segera dilayarkan. Sibuklah semua anak buah kapal itu dan Syanti Dewi mengagumi ruangan-ruangan
yang mewah dari kapal itu ketika Ouw Yan Hui mengajaknya masuk ke dalam bilik kapal yang cukup luas.
Di situ pun mereka disambut oleh para pelayan wanita yang cantik-cantik. Mereka segera sibuk melayani
sang tocu, menyediakan air hangat untuk mandi, pakaian yang indah dan bersih, dan ada pula yang sibuk
mempersiapkan hidangan.
Ouw Yan Hui mandi dan bertukar pakaian, pakaian yang bahkan lebih indah dari pada yang dipakainya
tadi, dan sehabis mandi, wanita itu nampak makin cantik saja. Syanti Dewi dipersilakan mandi pula dan
puteri ini kembali mengagumi kamar mandi tocu itu di dalam kapal yang indah dan lengkap. Air hangat
dalam kolam air yang berbau harum membuat tubuhnya terasa segar dan dua orang pelayan melayaninya
dengan pakaian yang serba baru! Pakaian itu adalah pakaian Ouw Yan Hui yang memerintah pelayan
untuk memberikan kepada Syanti Dewi, dan karena bentuk tubuh kedua orang wanita cantik ini memang
tidak berbeda jauh, maka pakaian Ouw Yan Hui dapat pula dipakai oleh Syanti Dewi dengan pantas.
Kemudian Sang Puteri Bhutan dipersilakan makan bersama nyonya rumah yang juga menjadi gurunya itu.
Hidangannya juga serba mewah, tidak kalah lezat oleh masakan di restoran-restoran besar. Sekarang
tahulah Syanti Dewi bahwa Ouw Yan Hui selain gagah perkasa dan lihai sekali, juga amat kaya raya!
Syanti Dewi tidak tahu arah mana yang ditempuh oleh kapal itu. Akan tetapi, cuaca telah berubah gelap
dan para awak kapal menyalakan lampu-lampu kapal, dan kapal itu masih terus berlayar. Ouw Yan Hui
mempersilakan Syanti Dewi untuk tidur. Mereka tidur sekamar, di mana terdapat dua buah tempat tidur.
Syanti Dewi baru merasa demikian aman dan senang setelah untuk beberapa pekan lamanya hidup
dengan penuh ketegangan dan kekhawatiran sehingga dia dapat tidur dengan nyenyak sekali, tanpa diusik
mimpi dan tanpa bangun sampai suara musik dan nyanyian membangunkannya. Cepat dia menengok dan
dunia-kangouw.blogspot.com
ternyata bahwa Ouw Yan Hui telah pergi, karena tempat tidurnya kosong dan dari jendela bilik kapal yang
ditutup tirai biru tipis itu menyorot cahaya matahari pagi! Hari telah pagi! Betapa nyenyaknya dia tidur!
Seperti telah mengikuti semua gerak geriknya, begitu dia duduk datanglah seorang pelayan yang berkata
dengan sikap hormat dan suara halus, “Siocia, air untuk mandi telah siap. Siocia menghendaki air hangat
atau air dingin?”
“Dingin saja,” jawab Syanti Dewi dan pelayan itu lalu membungkuk.
“Sudah siap di kamar mandi, Siocia.”
“Ke manakah perginya... Tocu?”
“Tocu sudah menanti di geladak kapal, sedang menonton tari-tarian yang menyambut kedatangan beliau.”
Ah, jadi suara musik dan nyanyian itu adalah tari-tarian yang khusus diadakan untuk menyambut
kedatangan Ouw Yan Hui? Bukan main! Syanti Dewi tergesa-gesa pergi ke kamar mandi, diikuti oleh
pelayan yang menanti di luar kamar mandi dengan pakaian baru yang sudah dipersiapkan.
Setelah selesai mandi dan melihat betapa pakaian yang diperuntukkan bagi dia amat bagusnya, dia
berseru, “Ahh, untuk apa pakaian begini indah dan mewah?”
“Atas perintah Tocu, Siocia. Untuk menghadiri penyambutan ini!” jawab pelayan dengan tegas dan singkat,
agaknya memang sudah dipersiapkan jawaban ini.
Syanti Dewi cepat-cepat mengenakan pakaian indah itu, dibantu oleh pelayan. Setelah selesai, seorang
pelayan lain datang menghadap dan memberi hormat. “Tocu minta kepada Siocia untuk makan pagi di
geladak sambil menikmati pesta sambutan.”
Hampir Syanti Dewi tertawa. Bukan main penolongnya ini! Agaknya mempunyai kehidupan yang amat
mulia dan mewah dan menyenangkan, tiada ubahnya seorang puteri atau seorang ratu saja! Dia pun lalu
berjalan keluar dari kamar, didahului oleh pelayan tadi dan ketika dia tiba di geladak kapal itu, Syanti Dewi
kembali merasa kagum bukan main.
Kiranya kapal itu telah berlabuh di pantai sebuah pulau yang subur sekali, penuh dengan pohon-pohon dan
bunga-bunga yang agaknya teratur rapi, seperti sebuah taman yang amat besar, luas dan indah. Sejauh
mata memandang, tidak nampak rumah melainkan pohon-pohon dan bunga-bunga belaka! Seperti pulau
sorga dalam dongeng saja!
Dan di pantai nampak belasan orang wanita cantik sedang menari-nari amat indahnya, lemah gemulai,
dengan melambaikan selendang-selendang yang beraneka warna, dengan gerakan berirama sehingga
selendang-selendang yang beraneka warna itu seperti bunga-bunga yang berkembang dan mekar. Mereka
menari sambil menyanyi, diiringi musik yang dimainkan oleh wanita-wanita pula. Tidak ada seorang pun
pria di situ, semua wanita belaka, dari yang berpakaian pelayan, berpakaian penjaga atau prajurit, sampai
para penari dan pemain musik, semua perempuan dan jumlah mereka amat banyak, tak terhitung oleh
Syanti Dewi yang berdiri bengong.
“Ah, engkau sudah bangun, Syanti? Mari, duduklah di sini. Enak makan di sini, mandi cahaya matahari
pagi sebelum panas sambil menikmati tarian dan nyanyian!”
Syanti Dewi menengok dan dia melihat Ouw Yan Hui duduk menghadapi meja yang penuh dengan
hidangan yang sudah lengkap dan masih mengepul panas. Beberapa orang pelayan berdiri di dekat situ
dengan sikap hormat dan seorang di antara mereka menarik bangku yang memang sudah dipersiapkan
untuk Syanti Dewi.
“Terima kasih, Enci” kata Syanti Dewi yang lalu duduk dan pelayan sibuk mengambilkan hidangan dan
minuman untuk puteri itu.
Mereka berdua lalu makan pagi sambil menikmati tontonan yang sengaja diadakan untuk menyambut
pulangnya Ouw Yan Hui.
“Enci, apakah setiap kali kau bepergian, pulangnya disambut seperti ini?” Syanti Dewi bertanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Wanita cantik itu tersenyum. “Ah, engkau tidak tahu, Syanti. Dalam beberapa tahun ini aku tidak pernah
meninggalkan pulau ini. Karena itulah maka anak buahku merasa girang melihat aku pulang, agaknya
mereka itu khawatir karena sudah beberapa pekan lamanya aku tidak pulang. Mereka itu menganggap aku
sebagai ratu mereka, Syanti.”
“Enci, engkau memang pantas menjadi ratu! Pulau ini milikmu?”
Wanita itu mengangguk. “Begitulah. Pulau ini kosong tiada orangnya, dan punghuninya hanyalah ular-ular
beracun, bahkan di sini terdapat ular beracun paling hebat yang kulitnya seperti emas, dan dinamakan
Kim-coa. Tidak ada nelayan berani mendarat di sini, maka aku lalu tinggal di sini, membersihkan pulau ini
yang kuberi nama Kim-coa-to (Pulau Ular Emas). Ternyata tanah di pulau ini subur sekali, maka setelah
lewat belasan tahun, kau lihat pulau ini telah berubah menjadi tempat yang menyenangkan sekali, dan aku
hidup bersama lima puluh orang anak buahku di tempat ini dengan bahagia.”
“Belasan tahun? Engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun? Tentu engkau datang ke tempat ini
ketika masih amat kecil, Enci. Bagaimana dalam usia kanak-kanak engkau dapat menaklukkan ular-ular
beracun dan dapat berlayar sampai di tempat terpencil ini? Dan... menurut ceritamu, kau pernah
bersuami... ehh, apakah kalian dulu juga tinggal di sini? Kalau begitu kurasa di sini tidak ada tetangga...
ataukah yang kau maksudkan wanita pengganggu itu seorang di antara pelayan-pelayanmu ini?”
Ouw Yan Hui tersenyum geli. “Ahhh, dugaanmu meleset jauh sekali, Syanti. Tentu saja dahulu aku tidak
tinggal di sini. Justeru karena peristiwa terkutuk itu, setelah membunuh mereka, aku menjadi buronan dan
aku melarikan diri dengan perahu, sampai akhirnya tiba di sini!”
“Tapi... tapi kau tadi bilang bahwa engkau telah tinggal di sini selama belasan tahun...”
Ouw Yan Hui mengangguk. “Sudah tujuh belas tahun.”
Syanti Dewi terbelalak. “Mana mungkin? Tentu ketika itu engkau baru berusia paling banyak delapan
tahun, Enci...”
“Ketika pertama kali aku mendarat di, pulau ini, usiaku sudah sebaya denganmu, Syanti, sekitar dua puluh
dua tahun.”
“Ahhh...! Tapi... tapi...“ Syanti Dewi benar-benar terkejut dan heran, menatap wajah wanita itu penuh
selidik, wajah yang membayangkan usia yang tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun.
“Kau kira berapakah usiaku, Syanti? Sudah empat puluh tahun.”
”Tidak mungkin!” Puteri Bhutan itu berseru.
Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui tersenyum lebar, malah hampir tertawa. “Baru melihat aku saja engkau sudah
terheran-heran, apa lagi kalau engkau bertemu dengan Bibi Maya.”
“Siapakah Bibi Maya?”
“Dia adalah guruku, guru dalam ilmu awet muda. Kelak engkau akan dapat bertemu dengan dia kalau
kebetulan dia berkunjung ke sini. Sekarang, marilah kita mendarat. Kasihan para pelayan di istanaku yang
sudah lama menanti-nanti.”
Keheranan demi keheranan, kekaguman demi kekaguman memenuhi hati Syanti Dewi semenjak dia
dilarikan oleh Ouw Yan Hui dari dalam benteng di mana dia menjadi tawanan sampai dia mendarat di Kimcoa-
to.
Pulau itu tidak berapa besar, akan tetapi tentu saja sudah cukup besar untuk ditinggali oleh Ouw Yan Hui
bersama lima puluh orang anak buahnya itu. Merupakan sebuah perkampungan berikut ladang yang
ditanami tumbuh-tumbuhan obat, sayur dan pohon pohon buah. Terdapat belasan pondok-pondok yang
menjadi tempat tinggal para anak buah majikan Pulau Ular Emas itu. Di tengah-tengah pulau, dari pantai
tidak nampak karena tertutup oleh pohon-pohon besar, berdiri sebuah bangunan yang tidak terlalu besar,
akan tetapi amat megah dan mewah. Pantas saja kalau Ouw Yan Hui menyebut rumahnya itu istana
dunia-kangouw.blogspot.com
karena memang indah seperti istana raja saja! Dan di belakang istana itu terdapat sebuah taman yang
indah sekali, merupakan inti dari pulau yang sudah merupakan taman besar itu.
Benar saja seperti yang telah diduganya ketika dia makan pagi bersama Ouw Yan Hui di atas geladak
kapal dan tidak melihat adanya seorang pun pria, ternyata di atas pulau itu memang sama sekali tidak ada
prianya. Semua adalah wanita-wanita, dan tidak ada wanita yang sudah tua, paling tua berusia tiga puluh
tahun dan rata-rata memiliki wajah bersih dan tubuh yang ramping dan padat? Seperti dunia wanita saja!
Akan tetapi, setelah segala pengalamannya yang mengerikan terjatuh ke tangan orang-orang jahat, kini
berada di antara wanita-wanita itu saja Syanti Dewi merasa aman.
Hanya satu hal yang membuat Syanti Dewi tidak pernah berhenti terheran-heran, yaitu melihat kecantikan
wajah Ouw Yan Hui dan kepadatan tubuh wanita itu. Usia sudah empat puluh tahun. Sungguh sukar untuk
dapat dipercaya. Di negerinya, di Bhutan, memang terdapat ilmu untuk membuat wanita awet muda, akan
tetapi tidak seperti ini, sudah berusia empat puluh tahun namun wajahnya tidak lebih tua dari dua puluh
lima tahun dan tubuhnya malah seperti seorang dara remaja saja! Padahal wanita berusia empat puluh
tahun ini sudah pernah bersuami, bahkan pernah pula mengandung dan melahirkan!
Setelah tinggal di Pulau Kim-coa-to, mulailah Ouw Yan Hui melatih ginkang kepada Syanti Dewi. Mulamula
Syanti Dewi disuruh mengejar-ngejar kupu-kupu dalam taman! Seperti permainan kanak-kanak saja.
Mula-mula hanya disuruh mengejar seekor kupu kupu terbang dan menangkapnya, akan tetapi dari seekor
kupu-kupu dia lalu disuruh menangkap dua ekor kupu-kupu sekaligus, lalu tiga ekor dan seterusnya. Dia
dilatih untuk bersemedhi, mengatur pernapasan, dan bagaimana cara dia harus mengerahkan sinkang di
waktu berloncatan mengejar kupu-kupu.
Jangan dikira mudah mengejar kupu-kupu, terutama kupu-kupu yang bersayap kuning, yang amat lincah
dan pandai mengelak. Pertama kali mengejarnya, seekor kupu-kupu saja baru dapat ditangkapnya setelah
Syanti Dewi bermandi keringat dan mengejar ngejarnya sampai berjam-jam lamanya. Akan tetapi, setelah
memperoleh kemajuan dan mulai memiliki gerakan yang lincah dan gesit sekali, Syanti Dewi dapat
menangkapnya dengan sekali lompat, dan setelah lewat dua bulan, dia dapat menangkap lima ekor kupukupu
hanya dengan beberapa kali loncatan saja!
Setelah itu, Ouw Yan Hui lalu mengajarnya untuk menangkap burung terbang!
“Aihh, Enci Hui, mana mungkin aku dapat menangkap burung terbang? Aku tidak punya sayap seperti
burung!” Syanti Dewi berkata penuh keraguan.
“Kau lihatlah aku!” kata wanita itu sambil memandang ke atas, ke arah pohon-pohon di mana terdapat
beberapa ekor burung berwarna coklat dengan dada putih. “Aku akan menangkap burung-burung itu!”
Tiba-tiba tubuhnya lenyap, berkelebat ke atas, dan dengan mata terbelalak Syanti Dewi melihat bayangan
wanita itu berkelebatan di antara cabang-cabang pohon lalu disusul suara burung-burung mencicit
ketakutan. Sesosok bayangan berkelebat turun dan tahu tahu wanita luar biasa itu telah melompat turun, di
masing-masing tangannya terdapat dua ekor burung yang tadi beterbangan di antara daun-daun pohon itu!
“Hebat, Enci! Kau hebat bukan main!” Syanti Dewi berseru.
“Kalau kau tekun berlatih, engkau pun akan dapat menangkap burung-burung seperti itu. Mari kita latihan
di lian-bu-thia dengan burung-burung ini!”
Syanti Dewi diajak ke ruangan latihan silat yang tertutup rapat dan di situ Ouw Yan Hui melepaskan empat
ekor burung kecil tadi. Burung itu beterbangan di dalam ruangan itu, akan tetapi tidak dapat keluar karena
jendela dan pintunya sudah ditutup rapat. Atas petunjuk Ouw Yan Hui, mulailah Syanti Dewi mengejarngejar
empat ekor burung itu. Dia menggunakan kegesitannya dan kelincahannya yang diperoleh selama
berlatih menangkap kupu-kupu, tetapi sampai sehari itu, belum juga dia berhasil menangkap seekor pun di
antara burung-burung itu! Ternyata jauh sekali bedanya antara gerakan kupu-kupu dengan gerakan burung
yang jauh lebih gesit dan cepat itu!
Kembali Syanti Dewi harus dengan tekun melatih semedhi dan pernapasan, dan tiada bosan-bosannya dia
berlatih mengejar dan menangkap burung-burung. Ouw Yan Hui selalu menggantikan burung-burung itu
dengan burung-burung baru yang segar dan lebih gesit, akan tetapi dengan ketekunannya yang luar biasa,
bahkan kadang-kadang di waktu malam Syanti Dewi berlatih seorang diri di dalam lian-bu-thia, akhirnya
Puteri Bhutan itu berhasil juga menangkap burung terbang, mula-mula hanya seekor, akan tetapi beberapa
dunia-kangouw.blogspot.com
bulan kemudian dia dapat menangkap empat lima ekor burung yang dilepas oleh Ouw Yan Hui di dalam
ruangan silat itu!
“Bagus, engkau memang berbakat dan untungnya engkau pernah mempelajari dasar dasar ilmu silat tinggi
dari pendekar pendekar sakti, sehingga engkau dapat dengan mudah menguasai dasar-dasar ginkang.
Setelah engkau menguasai kecepatan gerak, kita boleh mulai berlatih di luar untuk memperoleh
keringanan tubuh sehingga engkau dapat mulai belajar Ilmu Jouw-sang-hui-teng yang akan membuat
engkau dapat berlari seperti terbang cepatnya dan belajar meloncat tinggi seperti melayang. Akan tetapi
ilmu ini tidak mudah, Syanti, engkau harus belajar dengan tekun sekali.”
Mulailah Syanti Dewi berlatih di bawah petunjuk Ouw Yan Hui. Latihan ini dilakukan di tempat-tempat
sunyi, tidak boleh dilihat oleh para anak buah. Dan kadang-kadang Ouw Yan Hui mengajak Syanti Dewi
untuk naik perahu kecil berdua saja di tengah lautan, kemudian mengajak Puteri Bhutan itu untuk mandi di
laut, bertelanjang bulat karena memang di tengah laut itu sunyi sekali. Seperti dua orang peri laut kedua
orang wanita cantik jelita itu berkecimpung di antara ombak-ombak dan di sini Ouw Yan Hui mengajarkan
ginkang yang amat tinggi tingkatnya kepada Syanti Dewi!
Tanpa disadarinya sendiri, Syanti Dewi telah mempelajari ilmu yang amat hebat, ilmu yang mengubah
dirinya sama sekali, dari seorang puteri yang biar pun mengenal ilmu silat namun tergolong lemah di antara
tokoh-tokoh kang-ouw, menjadi seorang wanita yang memiliki gerakan seperti kilat, memiliki ginkang yang
sukar dicari tandingannya. Akan tetapi bukan hanya perubahan ini saja yang terjadi pada dirinya, akan
tetapi tanpa disadarinya pula, karena setiap hari bergaul dengan Ouw Yan Hui dan selalu meniru contohcontoh
yang diberikan wanita itu dalam berlatih ilmu, maka secara otomatis watak aneh dari Ouw Yan Hui
juga menular kepada Syanti Dewi!
Puteri Bhutan itu kini makin cantik, atau makin pesolek, makin angkuh dan tinggi hati, juga keramahan
pada wajahnya lenyap, berubah menjadi dingin! Akan tetapi karena dinginnya ini bukan terpengaruh
batinnya, melainkan pengaruh dari luar, maka gadis yang sudah dewasa ini, yang sangat rindu akan
belaian kasih sayang pria pujaannya, sebetulnya menyimpan gairah yang berapi-api, sehingga karena
dibungkus oleh sifat dingin yang ditularkan Ouw Yan Hui maka Syanti Dewi kini seperti gunung berapi yang
tertutup salju…..
********************
Di sebelah timur daratan Tiongkok terdapat banyak sekali pulau-pulau besar dan kecil. Terutama agak ke
utara, terdapat pulau-pulau kecil yang tak terhitung banyaknya, pulau-pulau yang masih terasing dan masih
banyak yang kosong. Di ujung utara, di tempat terpencil dan jauh sekali dari kehidupan ramai, terdapat
sebuah pulau di antara pulaa-pulau lain, yaitu pulau yang terkenal di dalam dongeng para tokoh kang-ouw,
yang dinamakan Pulau Es!
Jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah melihat pulau ini, karena selain sukar sekali didatangi, juga
kebanyakan orang kang-ouw takut untuk mendekati pulau ini, takut kepada penghuninya yang lebih
terkenal dari pada pulau itu sendiri. Penghuni Pulau Es atau majikan dari Pulau Es terkenal dengan julukan
Pendekar Siluman atau Pendekar Super Sakti. Baru menyebut namanya saja, semua orang dari golongan
hitam atau kaum sesat sudah menggigil ketakutan.
Para pembaca cerita Pendekar Super Sakti dan cerita-cerita lanjutannya tentu sudah mengenal siapa
adanya Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman ini. Namanya adalah Suma Han, dan kini Suma Han
atau Pendekar Super Sakti telah berusia lanjut, sudah lebih dari enam puluh tahun. Pendekar sakti ini
tinggal dengan tenang dan tenteramnya di Pulau Es, bersama dua orang isterinya yang tercinta, yaitu
Puteri Nirahai dan Lulu, dua orang wanita yang amat mencinta suami mereka, amat setia dan juga merasa
amat bahagia hidup bertiga di atas pulau itu bersama suami dan madu mereka.
Akan tetapi, sungguh merupakan kenyataan bahwa ketenteraman, ketenangan atau kedamaian hidup
sama sekali bukan tergantung dari pada tempat atau keadaan di luar diri kita, melainkan sepenuhnya
tergantung dari keadaan batin kita sendiri! Betapa pun sunyi tempat di mana kita tinggal, namun kalau batin
kita tidak hening, kalau batin kita sibuk dan bising, maka kesunyian tempat itu tidak ada artinya!
Oleh karena itu, bukan hanya teori belaka kalau dikatakan bahwa seorang yang bertapa di puncak gunung
yang sunyi akan menderita karena kebisingan batinnya, sebaliknya orang yang berada di tengah
kebisingan akan dapat menikmati keheningan batinnya. Sungguh pun tak dapat disangkal bahwa keadaan
dunia-kangouw.blogspot.com
di luar itu ada pengaruhnya juga terhadap batin, akan tetapi segala sesuatu berpusat pada batin kita
sendiri. Masalah timbul dari dalam batin, timbul dari penanggapan pikiran terhadap peristiwa yang terjadi.
Segala macam hal yang terjadi dalam hidup ini merupakan suatu fakta, dan apakah kejadian itu menjadi
masalah ataukah tidak, sepenuhnya tergantung dari pikiran yang menanggapinya. Kalau pikiran
menanggapi, tentu saja timbul masalah karena pikiran selalu memperhitungkan rugi untung, dan setelah
masalah timbul, tentu saja terdapat penderitaan dan kekhawatiran.
Demikian pula halnya dengan Pendekar Super Sakti dan dua orang isterinya. Bukan hanya Pendekar
Super Sakti saja yang merupakan seorang manusia sakti, dengan ilmunya yang tinggi sukar dicari
bandingnya, bahkan kedua orang isterinya juga merupakan wanita-wanita yang amat lihai. Kedua orang
wanita itu, baik Puteri Nirahai mau pun Lulu, pernah menggegerkan dunia persilatan pada puluhan tahun
yang lalu. Akan tetapi, kesaktian mereka dan kehidupan mereka di Pulau Es yang amat sunyi itu, tetap saja
bukan merupakan jaminan akan kedamaian hidup mereka di waktu usia mereka sudah mulai tua itu.
Selama beberapa bulan ini terasa sekali oleh Pendekar Super Sakti betapa hatinya tertindih oleh
kegelisahan dan kemarahan. Dia marah kepada dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma
Kian Bu. Terutama sekali kepada Suma Kian Bu, putera dari Nirahai, yang sudah meninggalkan Pulau Es
selama enam tahun dan belum pernah pulang!
Puteranya yang lain, yaitu Suma Kian Lee, putera Lulu, enam tahun yang lalu juga pergi meninggalkan
Pulau Es bersama adiknya itu, tetapi Kian Lee sudah pulang, bahkan memperdalam ilmunya di Pulau Es
selama beberapa tahun. Sekarang, Kian Lee telah diutusnya untuk pergi mencari adiknya, dan sudah
hampir setahun lamanya Kian Lee belum pulang sehingga tidak ada berita tentang kedua orang puteranya
itu. Tentu saja hal ini membuat hati pendekar sakti itu menjadi gelisah dan marah. (baca cerita Sepasang
Rajawali)
Apa lagi kegelisahannya itu bertambah dengan adanya sikap dari dua orang isterinya. Mereka berdua itu
selalu kelihatan berwajah muram, kadang-kadang marah-marah dan berduka karena mereka merasa rindu
dan khawatir sekali. Terutama Puteri Nirahai yang telah enam tahun tak melihat puteranya. Sebagai
wanita-wanita gagah, mereka pantang untuk memperlihatkan kedukaan mereka, tetapi mereka menjadi
marah-marah karena melihat suami mereka seperti tidak mempedulikan kepergian dua orang anak mereka
itu. Mereka memperlihatkan rasa tidak suka hati mereka kepada suami mereka dengan wajah muram.
Ketika pada suatu malam, kedua isterinya yang melayani makan itu hanya duduk diam saja menghadapi
dia makan, dan tidak ikut makan, Pendekar Super Sakti menghela napas panjang dan mendorong
mangkok nasinya ke samping.
“Nah, katakanlah, apa yang kalian kehendaki? Tidak baik menyimpan dendam di dalam hati,” katanya
dengan halus dan penuh kasih sayang karena memang sesungguhnya pendekar ini masih menaruh hati
cinta yang mendalam terhadap kedua orang isterinya itu.
Setelah melihat sikap halus dari suami mereka itu, dua orang isteri yang juga amat kagum dan mencinta
suami mereka, berbalik merasa kasihan.
“Kami besok hendak pergi meninggalkan pulau,” tiba-tiba Lulu, yang kini telah menjadi seorang nenek
berusia hampir enam puluh tahun itu, namun masih memiliki raut wajah yang cantik, berkata penuh
semangat. Memang wanita ini tidak pernah kehilangan semangatnya sejak dahulu sampai sekarang.
“Kami harus pergi menyusul dan mencari anak-anak kita,” Puteri Nirahai menerangkan dengan tenang.
“Kau harus ingat, suamiku, mereka berdua itu telah cukup umur, telah berusia dua puluh satu dan dua
puluh tahun. Kami ingin melihat mereka itu menjadi suami dari isteri yang baik. Sudah tiba waktunya bagi
kita untuk mempunyai menantu.”
“Hemmm..., bagaimana mungkin wanita-wanita yang sudah mulai lanjut usianya seperti kalian berdua ini
hendak melakukan perjalanan yang demikian jauh dan berbahaya?” Pendekar Super Sakti berkata halus,
penuh kekhawatiran.
“Habis, kalau engkau yang menjadi ayahnya diam saja, terpaksa kami yang menjadi ibu mereka turun
tangan. Mendiamkannya saja mereka pergi tanpa berita lebih lama lagi, kami bisa mati karena gelisah!”
Lulu berkata.
dunia-kangouw.blogspot.com
Suma Han menghela napas panjang, lalu meraih kembali mangkok nasinya. “Baiklah, nanti kita bicarakan
hal itu, untuk itu kalian tidak perlu mogok makan, membahayakan kesehatan sendiri.”
Dua orang isterinya itu saling pandang, timbul harapan mereka bahwa sekali ini suami mereka akan
menaruh perhatian, maka mereka pun lalu mengisi mangkok dengan nasi dan makan bersama suaminya.
Mereka makan tanpa berkata-kata, seperti biasa kalau mereka makan, dengan mencurahkan seluruh
perhatian mereka kepada apa yang mereka lakukan saat itu.
Setelah selesai makan dan ketika dua orang isterinya menyingkirkan mangkok piring, Pendekar Super
Sakti duduk termenung. Sudah lama dia tinggal bertiga saja bersama dua orang isterinya sejak dua orang
puteranya pergi, enam tahun yang lalu. Semua anak buah atau pelayan dan pembantu di Pulau Es, telah
dia suruh pulang ke tempat asal masing-masing meninggalkan Pulau Es, sehingga dia tinggal bertiga saja
dengan dua orang isterinya. Dia telah membagi-bagikan sebagian harta kepada para anak buah itu yang
dengan hati berat meninggalkan Pulau Es, karena mereka maklum bahwa pendekar sakti itu dalam usia
tuanya ingin hidup mengasingkan diri di tempat sunyi itu, tidak ingin mencampuri urusan dunia ramai lagi,
maka tidak membutuhkan bantuan para anak buah itu lagi. Akan tetapi kini, timbul urusan kedua orang
puteranya sehingga mau tidak mau dia harus pula memikirkan.
Beberapa kali pendekar itu menarik napas panjang. Betapa hidup ini selalu menjadi permainan keinginan.
Sejak kecil sampai sudah setua dia masih juga belum dapat bebas dari keinginan-keinginan. Kalau pun
sekarang, dalam usia tua dia sudah tidak menginginkan apa-apa untuk dirinya sendiri yang sudah tua,
keinginan itu bukannya mati, melainkan meluas menjadi keinginan untuk melihat anak-anaknya
berbahagia!
Dan untuk memperjuangkan kebahagiaan anak-anaknya, maka dia mau pun kedua orang isterinya mau
melakukan apa saja! Hidup penuh dengan ikatan, sehingga tidak mungkin dapat bebas selama dirinya
masih terikat, terikat kepada keluarga, kepada harta benda, kepada kedudukan, kepada nama! Ah, dia
tidak boleh membiarkan kedua orang isterinya itu pergi ke daratan besar. Kalau mereka pergi, tentu
mereka akan menimbulkan onar, terutama sekali Lulu, tentu akan terjadi geger di dunia kang-ouw, dan
belum tentu mereka berdua akan kembali ke Pulau Es! Tidak, dia tidak boleh membiarkan mereka pergi,
dia yang harus pergi sendiri!
Betapa kebanyakan dari kita masih belum melihat betapa cinta kasih kita terhadap anak-anak kita adalah
palsu belaka! Betapa sesungguhnya kita, secara halus dan tentu saja tidak akan ada yang mau
mengakuinya, hanya ingin mempergunakan anak-anak kita sebagai jembatan atau perabot untuk
memperoleh kesenangan bagi diri kita sendiri, yaitu melihat anak-anak kita taat, berbakti kepada kita, lalu
kelak menjadi seorang yang terpandang di masyarakat, pendeknya menjadi seorang anak kita yang
mengangkat tinggi nama kita! Menjadi seorang anak yang dapat kita banggakan, dapat kita sandari, dan
dapat kita andalkan!
Mulut kita mengatakan bahwa kita ingin membahagiakan anak, akan tetapi mata kita tidak ada yang
melihat dengan waspada betapa kita telah membentuk anak-anak kita menjadi boneka sesuai dengan
selera kita, membentuk kebahagiaan-kebahagiaan mereka yang sesuai dengan perumusan kita tentang
kebahagiaan. Karena itu, karena kebodohan kita, karena ketamakan kita, maka kita sama sekali bukan
membahagiakan mereka, melainkan sebaliknya kita melempar anak-anak kita ke dalam kehidupan yang
penuh dengan konflik dan kesengsaraan tiada hentinya. Karena perumusan kita tentang bahagia adalah
kaya raya, mulia, terhormat, terpandang, padahal semua ini tiada lain hanya mendatangkan iri hati dan
konflik antara sesama manusia, dan konflik ini tak dapat tiada mendatangkan penderitaan batin. Kita
hendak mengikat anak-anak kita dengan apa yang kita namakan cinta, padahal sesungguhnya hanyalah
pamrih untuk memuaskan hati sendiri belaka.
Kalau kita benar mencinta anak-anak kita, kiranya kita tidak akan membiarkan anak anak kita bersaingan,
bermusuhan, berebutan, dan terutama sekali takkan membiarkan anak-anak kita berperang! Saling
bersaing dalam sekolah, lalu saling berebutan dalam mencari nafkah, juga saling bermusuhan dalam
mencari kedudukan dan kemuliaan, kemudian saling membunuh dalam perang. Kita mengajarkan semua
itu dan toh kita mengaku cinta kepada anak-anak kita!
Kita lupa bahwa kalau kita mencinta anak-anak kita, selayaknya kalau kita memberi kebebasan kepada
mereka, dengan pengamatan yang penuh perhatian, menunjukkan bahaya-bahaya agar mereka mengerti,
menunjukkan kesesatan-kesesatan agar mereka tidak sampai memasukinya, dan menuntun mereka,
bukan memaksa mereka melalui jalan tertentu, dengan penuh kasih sayang, bukan dengan cinta yang
berpamrih memuaskan diri sendiri melalui anak-anak!
dunia-kangouw.blogspot.com
Semalam suntuk Pendekar Super Sakti bersama dua orang isterinya bercakap-cakap tentang kedua orang
anak mereka.
“Kian Lee dan Kian Bu bukan kanak-kanak lagi, mereka sudah dewasa,” kata Pendekar Super Sakti antara
lain kepada dua orang isterinya. “Dan mereka pun telah memiliki kepandaian cukup sehingga mereka tentu
mampu menjaga diri sendiri. Tentang jodoh, kalian tentu mengerti bahwa mereka berhak untuk memilih
calon jodoh mereka masing masing sendiri, dan tidak baik kalau kita yang mencarikan jodoh untuk
mereka.”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru