Minggu, 20 Agustus 2017

Jodoh Rajawali 10

Jodoh Rajawali 10 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Jodoh Rajawali 10
kumpulan cerita silat cersil online
-
Para perwira pasukan yang mengadakan perondaan dan pemeriksaan, juga menjadi makin bingung ketika
mereka melihat ada dua orang Hek-sin Touw-ong berkeliaran! Baru saja seorang perwira bersama selosin
orang prajuritnya bertemu dengan Hek-sin Touw-ong di belakang sebuah rumah, dan begitu mereka keluar
dari lorong dan berada di depan rumah itu, mereka melihat lagi Hek-sin Touw-ong! Biar pun kakek itu lihai,
tidak mungkin pandai menghilang atau terbang secepat itu.
“Heiii, Touw-ong! Bagaimana kau bisa muncul di sini? Padahal, baru saja kita saling jumpa di belakang...“
Akan tetapi perwira itu tidak melanjutkan kata-katanya karena Hek-sin Touw-ong kedua ini telah
menggerakkan tangan menampar dan perwira itu roboh pingsan! Selagi para prajurit melongo dan
kemudian marah-marah, Hek-sin Touw-ong yang kedua itu sudah melarikan diri! Tentu saja mereka tidak
tahu bahwa Hek-sin Touw-ong kedua ini bukan lain adalah Gak Bun Beng! Para prajurit menggotong
perwira yang pingsan dan mereka lari pergi menghadap Koksu Nepal. Ketika mereka bertemu dengan
rombongan koksu, mereka melihat bahwa Hek-sin Touw-ong sudah berada di situ bersama rombongan
koksu!
“Dia... dia baru saja menyerang dan merobohkan komandan kami!” prajurit-prajurit itu berseru.
“Kalian bicara apa? Semenjak tadi aku berada di sini bersama dengan Koksu!” jawab Touw-ong yang tentu
saja mengerti bahwa yang dimaksudkan adalah Bun Beng.
Karena koksu juga melihat sendiri betapa Touw-ong sejak tadi berada bersamanya, maka dia marahmarah
dan memaki-maki para prajurit dan menyuruh mereka pergi dan membawa perwira yang pingsan.
“Kalian tolol! Tentu musuh yang telah menyerang perwira kalian, dan sama sekali bukan Touw-ong.”
“Tapi... tapi hamba melihat betul bahwa Touw-ong...”
“Cukup dan pergi! Atau kau ingin kupukul roboh juga?” bentak koksu dan para prajurit itu segera pergi
dengan ketakutan. Koksu Nepal marah bukan main. Dia merasa jengkel bahwa bentengnya diselundupi
mata-mata musuh dan sampai sekian lamanya mata mata musuh belum juga tertangkap.
Ketika dia mendengar laporan dari Twa-ok yang bertemu dengan Siluman Kecil dan pemuda Pulau Es,
mengertilah koksu bahwa Kian Lee dan Kian Bu adalah dua orang di antara para mata-mata yang
mengacau. Juga dia mendengar dari para pembantu lain bahwa gadis yang dicinta oleh pangeran, Hwee
Li, dan seorang gadis lain yang mahir limu sihir, juga memasuki benteng dan melakukan pengacauan.
Kalau hanya orang orang muda itu yang mengacau, masa seluruh pasukan di dalam benteng ini tidak
mampu menangkap mereka? Padahal di situ terdapat lm-kan Ngo-ok lengkap, belum lagi orang-orang
pandai seperti Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan masih
banyak orang-orang pandai lagi!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tangkap mereka!” bentaknya ketika dia bertemu dengan semua pembantunya. “Kalau tidak dapat
menangkap, bunuh saja mereka!”
“Akan tetapi, jangan sekali-kali melukai atau membunuh Nona Hwee Li!” tiba-tiba Pangeran Liong Bian Cu
berkata dan tidak ada seorang pun berani membantah perintah ini. Pengejaran di perketat dan semua
pengawal dikerahkan untuk mencari di seluruh tempat dalam benteng seperti menyisir rambut saja.
Akan tetapi kekacauan makin menghebat pada saat para pengawal itu tiba-tiba melihat Ang-siocia kembar!
Saking bingungnya menyaksikan keributan yang ditimbulkan oleh empat orang muda yang belum dapat
mereka jumpai, Ang-siocia dan Ceng Ceng meninggalkan tempat mereka dan ikut mencari, tentu saja
dengan maksud melihat siapa orangnya yang menyusup ke dalam benteng dan kalau perlu melindungi
mereka. Mereka lupa sama sekali bahwa wajah mereka adalah serupa dan bahwa mereka merupakan
Ang-siocia kembar! Demikian pula dengan Gak Bun Beng yang sudah dapat menduga bahwa tentu
keributan itu di timbulkan oleh Kian Bu dan Kian Lee. Pendekar ini pun telah menambah kebingungan para
pengejar karena dia merupakan Hek-sin Touw-ong kedua.
“Benarkah dugaanmu bahwa satu di antara pengacau itu adalah Siluman Kecil, Lihiap?” tanya Ang-siocia
kepada Ceng Ceng yang berjalan di sebelahnya.
Ceng Ceng mengangguk. “Siapa lagi kalau bukan dia yang begitu berani mengacau di tempat seperti ini?
Dan aku mendengar sendiri dari mulut Twa-ok yang bertemu dengan Ji-ok, bahwa dia telah bentrok
dengan pemuda lihai berambut putih panjang. Siapa lagi kalau bukan Paman Kian Bu?”
Jantung Ang-siocia atau Kang Swi Hwa berdebar kencang. Siluman Kecil berada di situ pula! Tentu saja
dia makin bersemangat untuk dapat menolong dan menyembunyikan pendekar yang telah menundukkan
hatinya itu dan mereka berdua lalu makin giat mencari. Tiba-tiba mereka bertemu dengan Jiu Koan, tokoh
Liong-sim-pang yang tinggi dan sombong, yang memimpin belasan orang dan yang memegang golok
dengan sikap angkuh, seolah-olah dialah yang akan berhasil menangkap para pengacau.
Matanya liar memandang ke kanan kiri dan mendadak matanya terbelalak ketika dia melihat Ang-siocia
dan Ceng Ceng! Dia mengenal Ang-siocia yang dianggap sebagai pembantu koksu yang lihai. Andai kata
dia melihat seorang saja Ang-siocia berkeliaran, tentu dia tidak akan menaruh curiga karena sudah
semestinya kalau Ang-siocia ikut pula mengejar dan mencari mata-mata musuh. Akan tetapi dia melihat
Ang-siocia kembar! Dan dia tidak pernah mendengar Ang-siocia mempunyai enci atau adik di situ, apa lagi
saudara kembar.
“Heeiii!! Berhentii!” bentaknya.
Ang-siocia sudah hafal akan semua pembantu koksu dan dia tahu siapa adanya si jangkung bergolok ini.
Maka dia tersenyum dan berkata, “Jiu-lopek, mau apa engkau menghentikan aku? Apakah kau sudah
berhasil membekuk mata-mata?”
Jiu Koan memandang kepada Ang-siocia dan Ceng Ceng silih berganti dengan mata bingung. “Ang-siocia,
engkaukah Ang-siocia? Dan siapa pula yang seorang ini?”
Ditanya demikian, barulah Ceng Ceng ingat bahwa ia menyamar sebagai Ang-siocia dan Kang Swi Hwa
sendiri baru sadar setelah dia menoleh dan menatap wajah Ceng Ceng. Celaka, pikirnya mengapa dia
begitu pelupa dan bodoh! Hal ini tentu karena ketegangan hatinya mendengar bahwa Siluman Kecil berada
di dalam benteng itu.
“Lihiap, serang!” bisiknya dan dia sudah menerjang maju.
Juga Ceng Ceng sudah bergerak dan serangannya demikian hebatnya sehingga Jiu Koan tidak sempat
lagi berteriak. Tengkuknya sudah dihantam oleh tangan Ceng Ceng dan dia roboh tak sadarkan diri lagi.
Juga Ang-siocia telah merobohkan dua orang anak buah Liong-sim-pang, kemudian dua orang wanita itu
meloncat dan cepat melarikan diri, dikejar oleh para anak buah Liong-simpang yang berteriak-teriak.
Di sana-sini terjadi pertempuran, apa bila ada seorang di antara para pengacau itu kepergok musuh, akan
tetapi karena empat orang muda itu memang lihai, mereka selalu dapat melarikan diri dan mereka begitu
cerdik sehingga tidak pernah para tokoh lihai pembantu koksu dapat melihat mereka. Akan tetapi, setelah
para pembantu koksu menggunakan siasat bersembunyi sambil mengintai, akhirnya Ang-siocia dan Ceng
dunia-kangouw.blogspot.com
Ceng yang merupakan dua orang kembar itu terkepung oleh Twa-ok dan Ji-ok dibantu oleh beberapa
orang penjaga!
Twa-ok dan Ji-ok berdua sudah mendengar dari para anggota Liong-sim-pang betapa Ang-siocia telah
berkhianat dan menyelundupkan seorang mata-mata yang menyamar seperti dia, maka begitu bertemu
dengan Ang-siocia kembar ini, orang pertama dan kedua dari Im-kan Ngo-ok langsung saja meloncat
keluar dari tempat persembunyian mereka dan menghadang.
Ceng Ceng terkejut bukan main saat melihat dua orang yang wajahnya mengerikan itu. Twa-ok Su Lo Ti
yang wajah dan tubuhnya seperti seekor monyet besar sudah sangat mengerikan, akan tetapi Ji-ok Kui-bin
Nionio yang memakai topeng tengkorak lebih mengerikan lagi. Tentu saja dia tidak merasa takut, karena
suaminya sendiri, Si Naga Sakti Gurun Pasir, dahulu juga memakai topeng setan yang mengerikan, dan
memang nyonya muda yang gagah perkasa ini tidak pernah merasa takut menghadapi siapa pun juga, apa
lagi dia tidak pernah mengenal siapa adanya dua orang ini dan sampai di mana kelihaian mereka. (baca
Kisah Sepasang Rajawali)
Akan tetapi, Ang-siocia sudah menjadi amat pucat wajahnya dan dia berbisik, “Lihiap, celakalah kita sekali
ini...“
Twa-ok Su Lo Ti tersenyum ramah, akan tetapi karena wajahnya seperti monyet, ketika tersenyum ramah
wajahnya itu menyeringai seperti seekor kera marah. “Ha-ha-ha, engkaulah yang tulen karena wajahmu
dapat berubah pucat. Dan yang seorang lagi adalah Ang-siocia palsu, wajahnya tertutup lapisan topeng.
Ang-siocia, memang sejak lama aku sudah curiga kepadamu dan kepada gurumu, dan sekarang terbukti
bahwa engkau menyelundupkan seorang mata-mata musuh. Betapa berani mati engkau.”
“Twa-heng, ingin aku melihat wajah orang kedua ini,” kata Ji-ok Kui-bin Nionio dan tiba tiba telunjuknya
menuding ke arah Ceng Ceng, ke arah wajah pendekar wanita ini. Terdengar suara mencicit nyaring dan
hawa dingin tajam menyambar ke arah wajah Ceng Ceng.
Wanita ini terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa wanita tua bertopeng tengkorak itu demikian hebat
kepandaiannya. Cepat dia miringkan tubuhnya dan menggunakan kekuatan sinkang untuk menangkis. Dia
berhasil menghindarkan diri, akan tetapi tetap saja dia terhuyung, tanda betapa kuatnya sinkang dari
wanita muka tengkorak itu! Di lain pihak, Ji-ok Kui-bin Nionio juga terkejut dan penasaran. Tidak banyak
orang dapat menghindarkan diri dari serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang amat diandalkan itu.
“Ehhh, kau boleh juga!” dia mengejek dan sudah hendak menyerang pula. Akan tetapi Twa-ok
mencegahnya.
“Tidak perlu membuka kedoknya, Ji-moi. Wajah semua wanita pun sama saja, tiada bedanya dengan
kedok. Kulit muka hanyalah topeng yang menutupi keadaan aslinya. Kalau kulit muka dikupas, yang
nampak tentu hanyalah tengkorak seperti yang sedang kau pakai itu.”
“Kalau begitu dia tentu harus kita bunuh dulu.”
“Tidak perlu, aku bisa mengupas kulit muka mereka sehingga nampak tengkoraknya tanpa membunuh
mereka. Kau ingin lihat?”
“Baik, kau lakukanlah. Ingin aku melihat tengkorak hidup, hi-hik-hik, tentu lucu sekali, Twa-heng.”
Mendengar percakapan dua orang aneh itu, Ang-siocia merasa ngeri. Akan tetapi, Ceng Ceng marah
bukan main. Dua orang itu bicara seolah-olah dia dan Kang Swi Hwa hanya merupakan dua buah boneka
yang boleh diperbuat sesuka hati dua orang iblis itu.
“Iblis-iblis tua bangka yang sombong! Siapa takut padamu?” bentak Ceng Ceng dan nyonya muda ini
sudah menyerang dengan pukulan dahsyat.
Pukulan ini adalah pukulan Ban-tok Sin-ciang (Tangan Sakti Selaksa Racun) yang dulu dipelajarinya dari
mendiang Ban-tok Mo-li, dan setelah nyonya muda ini minum darah anak naga dan memiliki kekuatan
mukjijat, tentu saja pukulan yang menggunakan jurus Ban-tok Sin-ciang ini dahsyatnya bukan main. Angin
pukulan yang mengandung hawa panas seperti api berkobar menyambar ke arah kakek gorilla itu ketika
Ceng Ceng menyerangnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aehhhhh...!” Twa-ok Su Lo Ti berseru kaget. Dia langsung mengenal pukulan beracun yang mengandung
tenaga amat kuatnya, maka segera dia pun bergerak menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Dessss...!”
Tubuh Ceng Ceng terlempar ke belakang, akan tetapi nyonya muda ini tidak roboh melainkan berjungkir
balik dan turun lagi ke atas tanah dengan selamat, sungguh pun napasnya agak memburu karena dadanya
terguncang hebat. Akan tetapi, sebaliknya kakek itu pun terhuyung ke belakang. Bukan main kuatnya
memang tenaga sakti yang didapat oleh Ceng Ceng dari sari darah ular telaga yang dinamakan anak naga
itu!
Twa-ok Su Lo Ti terbelalak kaget dan penuh kagum. Selama hidupnya mengembara di dunia kang-ouw
sebagai orang pertama dari Im-kan Ngo-ok, baru sekarang dia bertemu tanding seorang wanita muda yang
memiliki tenaga demikian kuatnya sehingga dalam pertemuan tenaga tadi mampu membuat dia terhuyung.
“Hi-hi-hik, Twa-heng, apakah kau masih bersumbar hendak mengupas kulit mukanya hidup-hidup?” Ji-ok
mengejek. Wanita tua mengerikan ini senang melihat Twa-hengnya menemukan tandingan yang amat
tangguh maka dia mengejek. Akan tetapi Twa-ok tidak mempedulikannya.
“Siapakah engkau?” tanyanya sambil memandang kepada Ceng Ceng.
“Siapa adanya aku tidak perlu kau tahu!” bentak Ceng Ceng dengan angkuh.
Twa-ok mengangguk-angguk. “Bagus, bagus! Kau kira aku tidak akan dapat mengenal ilmu silatmu? Nah,
kau sambutlah ini dan aku akan mencoba untuk mengenal ilmu silatmu.”
Setelah berkata demikian, dua buah lengan panjang itu bergerak dan tahu-tahu dua buah tangan itu mulur
sampai panjang, hendak menangkap Ceng Ceng dari atas dan bawah. Yang atas mengacam kepala, yang
bawah hendak menangkap kaki!
Ceng Ceng makin kaget. Dari suaminya dia sudah pernah mendengar akan adanya ilmu mukjijat ini, yang
dapat membuat kedua lengan mulur sampai panjang sekali dan ilmu ini sungguh amat berbahaya. Cepat
dia lalu mengerahkan tenaga dan menggunakan kedua tangannya untuk menyambut dua lengan panjang
itu dengan babatan tangan yang dimiringkan.
“Wut-wuttt... plakkk!”
Kembali tubuh Ceng Ceng terlempar. Ketika kedua tangannya membabat tadi, seperti dua ekor ular hidup,
kedua lengan Twa-ok Su Lo Ti sudah mengelak dan dari samping, tangan itu menampar ke arah tengkuk
Ceng Ceng. Nyonya muda itu cepat mengelak, akan tetapi tetap saja pundaknya kena ditampar dan dia
terlempar dan terbanting. Baiknya nyonya muda ini memiliki kekebalan, dan dia menggulingkan tubuhnya
lalu meloncat bangun kembali.
Sementara itu, melihat Ceng Ceng sudah bertempur melawan Twa-ok, dengan nekat Ang-siocia lalu
mencabut pedangnya dan menyerang Ji-ok dengan senjata itu. Ilmu Kiam-to Sin-ciang yang dimiliki Angsiocia
sudah lumayan, dan kini dia menggunakan pedang, maka tentu saja serangannya bukan merupakan
hal yang boleh dipandang ringan begitu saja.
Ji-ok maklum akan hal ini, maka dia pun tidak berani menerima serangan pedang itu dan cepat dia
bergerak mengelak dan membalas dengan sambaran hawa pedang yang menyambar dahsyat dari jari-jari
tangannya. Menghadapi ini, Ang-siocia kewalahan dan baru belasan jurus saja baju di lengan kirinya telah
robek dan kulit lengannya tergores hawa yang tajam itu. Dia terkejut dan melompat mundur, ditertawakan
oleh Ji-ok!
Pada saat yang amat berbahaya bagi kedua orang wanita muda itu, tiba-tiba muncul Koksu Nepal! Begitu
muncul, Koksu Nepal ini cepat mengangkat kedua tangan ke atas dan berseru, “Twa-ok! Ji-ok! Jangan
layani mereka. Pangeran berada dalam bahaya, yang penting kita harus lindungi pangeran. Mari...!”
Tiba-tiba Ang-siocia menyentuh lengan Ceng Ceng dan berbisik, “Kita pergi!” Lalu dia menarik lengan
Ceng Ceng. Nyonya muda ini mengerutkan alisnya, karena biar pun dia maklum akan kelihaian lawan, dia
tidak takut dan ingin melawan terus. Akan tetapi sikap Ang-siocia yang menarik lengannya, dia pun tidak
membantah dan meloncat bersama Ang-siocia meninggalkan tempat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Twa-ok dan Ji-ok saling pandang dengan wajah menunjukkan kemarahan. Koksu Nepal sudah lari ke kiri
sambil memberi isyarat kepada mereka untuk ikut, akan tetapi mereka tidak mau cepat-cepat ikut, karena
mereka merasa mendongkol dengan sikap koksu. Koksu tidak saja mencegah mereka menangkap atau
merobohkan dua orang wanita muda tadi, bahkan koksu telah menyebut mereka Twa-ok dan Ji-ok!
Agaknya dalam keadaan genting seperti itu, Sam-ok menganggap dirinya koksu dan menganggap mereka
berdua bukan sebagai kakak-kakak yang sepatutnya disebut Twa-heng dan Ji-ci, melainkan menyebut
mereka Twa-ok dan Ji-ok. Karena mendongkol inilah maka keduanya tadi membiarkan saja Ceng Ceng
dan Ang-siocia lari dan kini mereka saling pandang.
“Hemmm, lagaknya...!” Ji-ok mengomel.
“Sam-te, memang sudah mabuk pangkat rupanya,” Twa-ok juga mengomel.
“Jangan pedulikan dia, kalau dia muncul lagi akan kutempiling kepalanya!” Jik-ok makin marah.
“Akan tetapi kita di sini untuk membantu pangeran, kalau dia benar dalam bahaya...“
Mereka diam dan menoleh. Betapa kaget dan marah mereka pada saat melihat koksu muncul lagi dari
belakang, padahal baru saja koksu pergi ke kiri!
“Twa-heng, Ji-ci, kenapa kalian diam saja di sini?”
“Bagus, ya? Tadi menyebut Twa-ok dan Ji-ok, kini mengapa berubah dengan sebutan Twa-heng dan Ji-ci
segala?” Ji-ok membentak dan sudah menyerang koksu dengan pukulan Kiam-ci!
“Plak-plak!” Dua kali koksu menangkis dan dia mencelat ke belakang.
“Ehh, ehh, apa-apaan ini? Siapa menyebut kalian begitu?”
Twa-ok memandang heran. “Bukankah baru saja engkau muncul dan mengajak kami melindungi
pangeran?”
“Siapa? Aku baru saja datang...“
“Tentu kau koksu yang palsu!” Ji-ok sudah menyerang lagi dengan dahsyatnya.
Koksu meloncat ke kanan dan kiri, lalu meloncat ke belakang. “Tunggu, kau keliru, Ji-ci. Lihat, apakah ini
palsu?”
Dia lalu bersilat, membuat gerakan aneh yang membuat tubuhnya berpusing. Itulah Thian-te Hong-i, ilmu
silat khas dari Ban Hwa Sengjin atau Sam-ok. Melihat ini Twa-ok dan Ji-ok percaya.
“Wah, kalau begitu, ada orang yang tadi main-main dan menyamar sebagai engkau, Sam-te,” kata Ji-ok.
Twa-ok lalu menceritakan pertemuan mereka berdua dengan dua orang Ang-siocia, dan orang kedua itu
amat lihainya.
Mendengar penuturan itu, koksu mengangguk-angguk. “Aku sudah tahu. Guru dan murid maling itu benarbenar
telah mengkhianti kita. Dan Ang-siocia kedua itu tentu adalah isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir.
Agaknya mereka telah menyelundup ke sini. Ji-ci, lekas kau pergi ke tempat tawanan dan kau bawa anak
Si Naga Sakti itu ke istana pangeran. Twa-heng, mari ikut aku untuk menjebak dan menangkap mereka.”
Ji-ok mengangguk dan berkelebat pergi, sedangkan Twa-ok kemudian mengikuti koksu meninggalkan
tempat itu.
Ke mana perginya Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu? Dua orang yang memiliki kesaktian hebat ini kenapa
tidak muncul dalam keadaan kacau-balau itu?
Sesungguhnya mereka berdua pun sedang sibuk dan sesuai dengan rencana siasat Jenderal Kao Liang,
mereka berdua menggunakan kesempatan selagi keadaan kacau balau itu untuk berusaha menyelamatkan
keluarga Jenderal Kao lebih dulu. Seperti kita ketahui Gak Bun Beng menyamar sebagai Hek-sin Touwdunia-
kangouw.blogspot.com
ong, sedangkan Kao Kok Cu yang lengan kirinya buntung itu memang tidak menyamar. Kini, kedua orang
sakti ini sudah berkelebat pergi menuju ke tempat di mana tawanan berada.
Namun tempat itu terjaga dengan amat ketat, dan ketika mereka tiba di tempat itu, yang bertugas menjaga
adalah Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio gendut pendek sekali itu dan Ngo-ok Toat-beng Siansu, tosu kurus
yang tingginya dua meter setengah. Di samping dua orang tangguh dari Im-kan Ngo-ok ini, nampak pula
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi.
Melihat ketatnya penjagaan di luar tempat tahanan, Bun Beng menarik tangan Kok Cu ke tempat gelap.
“Penjagaan amat kuat,” bisik Bun Beng.
“Paman Gak, kita terjang saja. Biar saya saja yang mengamuk sehingga Paman dapat melindungi para
tawanan dan membawa mereka keluar.”
Gak Bun Beng menggelengkan kepala. “Empat orang kakek itu lihai sekali, dan kakek Nepal yang berdiri di
sudut itu agaknya juga tak boleh dipandang ringan.”
“Kalau tidak salah, kakek itu bernama Gitananda dan menjadi pengawal pribadi koksu,” bisik Kok Cu.
“Akan tetapi, biarlah saya menghadapi mereka.”
“Aku percaya kepadamu, Kok Cu. Tetapi tujuan kita adalah mengeluarkan tawanan dan membawa mereka
ke tempat seperti yang telah ditunjuk oleh ayahmu, bukan sekedar melawan mereka. Jika sampai gagal,
tentu akan lebih sukar lagi untuk menyelamatkan mereka. Kau seorang diri saja masih kurang cukup untuk
melindungi aku mengeluarkan keluargamu yang amat banyak itu. Kalau saja ada Kian Lee atau Kian Bu...“
Tiba-tiba kedua orang itu menarik diri ke tempat gelap karena mereka melihat berkelebatnya orang.
Gerakan orang itu cepat bukan main dan melihat orang itu, Bun Beng cepat bergerak. Dengan loncatan
seperti seekor burung saja, dia sudah keluar dari tempat sembunyinya dan menghadang di depan pemuda
yang berkelebat itu.
“Paman Gak...!”
“Sssttttt…, cepat ke sinilah...!”
Orang itu bukan lain adalah Ang Tek Hoat! Seperti telah kita ketahui, pemuda ini berada di dalam tembok
benteng, bukan semata-mata hendak membantu pemberontak atau membantu Koksu Nepal, melainkan
karena dia hendak melindungi Syanti Dewi yang dianggapnya berada di tempat itu sebagai tawanan.
Ketika terjadi ribut-ribut pada malam hari itu, Tek Hoat terus menjaga di luar tempat tinggal sang puteri
dengan setia dan penuh kewaspadaan. Biar pun di situ ada pula Mohinta dan kaki tangannya yang
melakukan penjagaan, namun dia tidak pernah meninggalkan tempat itu dan siap untuk melindungi Syanti
Dewi.
Namun ketika dia mendengar dari Mohinta dan para penjaga bahwa yang mengacau di dalam benteng, di
antaranya terdapat Kian Lee dan Kian Bu yang dinamakan orang Siluman Kecil, juga adanya berita bahwa
Ang-siocia dan gurunya juga berkhianat, jantungnya berdebar tegang. Dia tahu bahwa mereka yang
disebut sebagai pengacau pengacau itu sama sekali bukanlah musuh Syanti Dewi, juga bukan musuhnya.
Siapa tahu kalau gerakan mereka itu malah ada hubungannya dengan ditawannya Syanti Dewi dan bahwa
mereka itu bergerak untuk membebaskan para tawanan termasuk juga Syanti Dewi.
Semenjak benteng itu diserang oleh barisan kerajaan yang dipimpin oleh Puteri Milana, yaitu bibinya
sendiri, dia sudah merasa gelisah bukan main. Dia tidak sudi membantu orang Nepal, akan tetapi dia pun
tidak mungkin dapat meninggalkan Syanti Dewi yang menjadi tamu atau tawanan di tempat itu. Yang
membuat dia pusing dan bingung adalah sikap Syanti Dewi kepadanya. Begitu dingin dan lebih hebat lagi,
Syanti Dewi minta kepadanya agar dia membantu orang-orang Nepal.
Dalam keadaan bimbang inilah akhirnya Tek Hoat meninggalkan tempat di mana dia berjaga, yaitu di
depan tempat tinggal Syanti Dewi dan dia berniat untuk mencari dan bertemu dengan seorang di antara
para pengacau untuk menyelidiki apa yang mereka kehendaki. Maka ketika tiba-tiba dia melihat Gak Bun
Beng, dia terkejut bukan main. Tak disangkanya bahwa pendekar sakti itu juga telah berada di dalam
benteng!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia maklum bahwa pendekar sakti ini adalah seorang gagah dan budiman, bahkan pernah menyelamatkan
nyawa Syanti Dewi berkali-kali, maka tentu saja dia menaruh kepercayaan penuh dan cepat dia mengikuti
Bun Beng menyelinap ke dalam tempat gelap. Dan ketika dia melihat Kao Kok Cu berada pula di situ, dia
makin terkejut. Dia maklum akan kelihaian si Topeng Setan ini, maka cepat-cepat dia menegur adik iparnya
ini, karena Ceng Ceng adalah adik tirinya seayah berlainan ibu.
“Engkau juga di sini?”
Kao Kok Cu tersenyum. “Sama dengan engkau.”
“Tek Hoat, engkau harus ikut membantu kami. Kami akan menyelamatkan keluarga Kao yang tertawan,”
kata Bun Beng.
Tek Hoat mengerutkan alisnya dan memandang dengan bimbang, lalu dia pun berkata dengan suara
meragu, “Akan tetapi aku... saya harus melindungi dia di sana...”
“Aku tahu, Tek Hoat, engkau melindungi Syanti Dewi, tetapi bukankah engkau juga tahu bahwa Syanti
Dewi bukanlah tawanan melainkan tamu? Syanti Dewi takkan diganggu, sebaliknya keluarga Kao terancam
keselamatan nyawanya. Dan benteng ini sudah dikurung oleh barisan kerajaan, dalam beberapa hari lagi
pasti akan runtuh. Engkau harus membantu kami. Kini kau bantulah Kok Cu menyerang mereka yang
menjaga tawanan itu, dan aku akan membawa mereka keluar.”
“Tapi Syanti...“
“Jangan khawatir, akulah yang menanggung bahwa kalau benteng ini dibobolkan, dan kalau benar Syanti
Dewi masih berada di sini, aku menjamin keselamatannya.”
Tentu saja ucapan seorang pendekar seperti Gak Bun Beng itu tidak pernah diragukan oleh Tek Hoat.
Pula, memang sesungguhnya dia tidak suka kepada koksu dan semua pembantunya dan dia tidak sudi
membantu mereka. Kalau saja tidak ingat bahwa Syanti Dewi perlu dengan perlindungannya, tentu dia
tidak sudi tinggal di dalam benteng itu dan sudah keluar, bahkan ada kemungkinan dia membantu bibinya,
Puteri Milana, untuk menyerbu ke dalam benteng. Maka mendengar ucapan Gak Bun Beng, dia langsung
mengangguk.
“Cepat, waktunya tinggal sedikit lagi!” kata Gak Bun Beng dengan girang.
Dia telah mengatur rencana dengan Jenderal Kao dan telah berjanji bahwa sebelum matahari pagi muncul,
dia sudah harus dapat membawa para tawanan itu ke tempat aman, yaitu di dalam gudang bawah tanah
yang telah ditentukan oleh Jenderal Kao Liang. Dan waktu itu, tengah malam telah lama terlewat. Fajar
sudah menjelang tiba. Gak Bun Beng membisikkan siasatnya kepada Kao Kok Cu dan Tek Hoat,
kemudian, dari tempat persembunyian mereka, tiga orang yang berilmu tinggi ini meloncat ke depan.
Seperti sudah direncanakan oleh Bun Beng, maka Gak Bun Beng langsung menyerang Ngo-ok yang tinggi
itu sedangkan Kok Cu mernyerang Su-ok, ada pun Tek Hoat sudah menerjang ke arah Hek-tiauw Lo-mo.
Perhitungan Gak Bun Beng memang tepat. Di antara mereka yang berjaga itu orang orang yang paling lihai
adalah Su-ok dan Ngo-ok. Akan tetapi, dua orang dari Im-kan Ngo-ok itu kini diserang oleh dua orang sakti
seperti Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu, maka biar pun mereka itu cepat menyambut, namun mereka
terkena hantaman dengan hawa pukulan sinkang yang hebat bukan main sampai mereka itu terhuyunghuyung
ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Gak Bun Beng untuk mendesak Ngo-ok dengan
ilmu sakti Lo-thian-sin-ciang.
Biar pun Si Jangkung itu telah mempertahankan diri dan menggerakkan dua lengannya yang panjang,
namun karena diserang secara mendadak oleh seorang yang memiliki tingkat ilmu yang lebih tinggi dari
padanya, dia menjadi bingung dan gugup, akhirnya pundaknya kena ditampar dan dia terlempar sampai
beberapa kaki jauhnya!
Sepak terjang Si Naga Sakti Gurun Pasir lebih hebat lagi. Tadi dia melayang seperti seekor naga dan
begitu tangan kanannya yang mencengkeram itu dapat dielakkan oleh si kate Su-ok yang masih terhuyung
karena dorongan hawa pukulan, Kok Cu menubruk dengan kecepatan kilat dan lengan kirinya yang kosong
dan hanya ada lengan baju saja itu meluncur ke depan, melakukan totokan sampai tujuh kali ke arah jalanjalan
darah yang paling berbahaya dari lawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Su-ok berteriak kaget dan ketakutan, menggelinding ke sana-sini, dan biar pun dia berhasil menghindarkan
diri dari ancaman maut, tetap saja dia kena ditendang sehingga tubuhnya menjadi semacam bola dan
terlempar lebih jauh dari tubuh Ngo-ok.
Tek Hoat mengalami kesukaran karena dikeroyok oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Tetapi tibatiba
Kok Cu membantunya dan dua orang iblis itu menjadi gentar karena hawa pukulan yang meluncur dari
tangan tunggal Kok Cu sudah mendorong mereka ke belakang dengan dahsyatnya. Juga Gitananda yang
memutar tongkatnya, bertemu dengan Bun Beng yang secara berani menangkis tongkat itu dengan lengan.
“Krakkkk!”
Tongkat itu patah dan Gitananda meloncat ke belakang dengan muka pucat. Pendeta Nepal ini lalu
berkemak-kemik, mengangkat tangan kiri ke atas dan berteriak nyaring, “Tiga orang jahat berlututlah
kalian!”
Bun Beng dan Kok Cu telah mencapai tingkat tinggi sekali dalam kekuatan sinkang mereka, maka walau
pun jantung mereka tergetar karena pengaruh sihir ini, dengan menahan napas mereka dapat menolak
pengaruh itu. Ketika Tek Hoat terhuyung dan hampir berlutut, tiba-tiba Kok Cu mengeluarkan suara
melengking seperti seekor naga marah. Mendadak Tek Hoat dapat meloncat ke depan kakek Nepal,
dengan kemarahan meluap Tek Hoat lalu menusukkan jari tangannya dengan pengerahan tenaga sinkang
ke arah dada Gitananda. Kakek ini terkejut, lalu mendoyongkan tubuh ke belakang dan menggerakkan
tangan kanan menangkis.
“Cusss... aughhh...!”
Lengan yang menangkis itu bertemu dengan jari tangan Tek Hoat sehingga lengan itu tertusuk jari seperti
tertusuk pedang saja! Memang hebat sekali jari tangan Tek Hoat ini dan bukanlah julukan kosong kalau di
dunia kang-ouw dia dinamakan Si Jari Maut. Kiranya pengaruh sihir dari Gitananda tadi membuyar dan
lenyap oleh suara lengkingan yang keluar dari dada Kok Cu.
“Harap kalian suka menahan mereka!” Bun Beng berseru.
Dan dia sendiri lalu menerobos dari kepungan, menghampiri pintu tempat tahanan dan merobohkan setiap
orang pengawal yang berani menghalanginya. Dengan kekuatan tangannya, dibobolnya pintu itu. Pintu
besi yang terkunci itu ambrol dan terbuka.
Keluarga Kao yang sejak tadi merasa gelisah mendengar suara ribut-ribut, kini terkejut melihat munculnya
seorang laki-laki gagah perkasa. Kini Gak Bun Beng sudah tidak lagi menyamar sebagai Hek-sin Touwong.
Semenjak dia pergi bersama Kao Kok Cu untuk menolong keluarga Kao, dia sudah menanggalkan
penyamarannya yang dianggapnya tidak berguna lagi.
Akan tetapi, Kao Kok Tiong, putera kedua dari Jederal Kao, segera mengenal Bun Beng.
“Gak-taihiap...!” serunya girang dan semua keluarga lalu dikumpulkan dan diajak keluar oleh Bun Beng.
“Cepat, kita harus pergi ke gudang bawah tanah. Ini perintah Jenderal Kao!” kata Bun Beng.
Kok Tiong lalu mengatur keluarganya, digiringnya semua keluarga itu keluar dari tempat tahanan. Ternyata
Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, Gitananda dan semua penjaga sudah melarikan diri, tidak dapat
menahan amukan Kok Cu dan Tek Hoat.
Melihat ibunya dan semua keluarga keluar, Kok Cu girang dan terharu. Akan tetapi matanya mencari-cari
dan wajahnya berubah. “Mana Cin Liong...?” tanyanya.
Kok Tiong, adiknya, cepat-cepat berkata, “Baru saja dia dibawa pergi oleh nenek muka tengkorak, Twako.”
“Ji-ok...!” Kao Kok Cu berseru kaget dan mukanya menjadi pucat. Dia sudah mendengar tentang
kekejaman nenek iblis itu dan kini puteranya dibawa pergi oleh Ji-ok.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat keadaan kakaknya, Kok Tiong berkata dengan suara sedih, “Maafkan bahwa aku tidak dapat
mempertahankan puteramu, Twako. Nenek itu lihai bukan main dan dia berkata bahwa koksu yang
menyuruh dia menjemput Cin Liong.”
Kao Kok Cu tentu saja tidak dapat menyalahkan adiknya karena dia pun maklum betapa lihainya Ji-ok yang
sama sekali bukanlah tandingan Kok Tiong. Dia lalu berkata kepada Gak Bun Beng. “Paman Gak, tolong
Paman lindungi keluarga kami, aku sendiri harus cepat mencari Cin Liong.” Setelah berkata demikian dan
melihat Bun Beng yang telah mengangguk, Kok Cu lalu berkelebat pergi dengan cepatnya.
Gak Bun Beng kini dibantu oleh Tek Hoat mengawal keluarga Jenderal Kao menuju ke gudang bawah
tanah yang memang sudah dipersiapkan oleh Jenderal Kao sebagai tempat persembunyian keluarganya
kalau tiba saatnya. Tanpa ada rintangan, Bun Beng berhasil mengantar mereka semua memasuki gudang
bawah tanah.
“Paman Gak, sekarang saya harus pergi karena saya harus melindungi Syanti Dewi! Sedapat mungkin
saya harus melarikan dia dari tempat ini sebelum terlambat.”
Gak Bun Beng mengangguk dan hendak membuka mulut, akan tetapi ditahannya dan dia memandang
tubuh pemuda itu yang sudah berkelebat pergi. Tadinya dia hendak memberi tahu bahwa yang
dilindunginya itu adalah Syanti Dewi palsu, akan tetapi dia ingat betapa aneh dan beraninya tabiat pemuda
ini sehingga kalau sampai diberitahu, mungkin pemuda ini akan mengamuk di dalam benteng secara nekat
dan hal itu sama artinya dengan bunuh diri. Karena itulah maka dia tidak jadi memberi tahu.
Dengan sikap gagah Gak Bun Beng menjaga di luar pintu gudang itu bersama Kao Kok Tiong yang kini
timbul kembali semangatnya setelah keluarganya keluar dari tahanan, apa lagi ketika dia mengetahui
bahwa kakaknya yang sakti, juga banyak pendekar sakti, telah berada di dalam benteng untuk membantu
keluarganya. Dia merampas sebatang pedang dari seorang penjaga dan dengan pedang di tangan dia ikut
menjaga di depan pintu gudang di mana keluarganya bersembunyi.
Ketika Tek Hoat berlari menuju ke tempat di mana Syanti Dewi berada, yaitu di sebuah bangunan kecil
bagian barat, tiba-tiba dia melihat Kian Lee dan Kian Bu lagi mengamuk di luar rumah besar seperti istana
yang dia tahu adalah tempat tinggal Pangeran Liong Bian Cu. Kakak beradik yang amat lihai itu dikeroyok
oleh Im-kan Ngo-ok! Tadinya Tek Hoat tidak mau peduli karena baginya yang terpenting adalah
keselamatan Syanti Dewi, dan melihat betapa koksu dan teman-temannya sedang sibuk mengeroyok dua
orang pemuda Pulau Es itu, dia melihat kesempatan baik untuk melarikan Syanti Dewi.
Akan tetapi, melihat betapa dua orang kakak beradik yang amat lihai itu terdesak hebat oleh Im-kan Ngook,
sedangkan di situ masih nampak para pembantu koksu lainnya, dia merasa tidak tega. Dia teringat
bahwa dua orang pemuda Pulau Es itu adalah orang orang gagah luar biasa, dan dia teringat juga bahwa
mereka itu sesungguhnya masih merupakan paman-paman tirinya karena dia adalah cucu kandung dari
lbu Suma Kian Lee. Mendiang ayahnya dan Suma Kian Lee adalah saudara seibu berlainan ayah. Mana
mungkin dia mendiamkan saja mereka yang terancam bahaya di tangan Im-kan Ngo-ok?
Dia tahu bahwa dia sendiri bukanlah lawan lima orang iblis Im-kan Ngo-ok itu, akan tetapi kalau melihat
dua orang pemuda Pulau Es itu terancam bahaya dan dia diam saja, selamanya dia akan merasa
menyesal. Apa lagi kalau hal itu terdengar oleh Syanti Dewi, tentu dia akan dikutuk oleh Puteri Bhutan itu
sebagai seorang manusia yang tidak mengenal peri kemanusiaan!
Teringat akan ini, dia lalu mengeluarkan teriakan nyaring dan meloncat ke depan, langsung dia menyerang
dengan pukulan dahsyat ke arah Koksu Nepal.
“Haiiiiittt...!”
Hantaman yang dilakukan oleh Tek Hoat itu hebat bukan main. Tek Hoat sudah tahu akan kesaktian koksu
atau Sam-ok, maka sekali menyerang dia telah mengerahkan seluruh tenaganya sehingga angin pukulan
dahsyat menyambar ke arah kepala Ban Hwa Sengjin.
“Ehhh...?” Kakek botak itu terkejut bukan main.
Tadi bersama dengan Twa-ok dia sedang mengeroyok dan mendesak Siluman Kecil, sedangkan tiga orang
saudaranya yang lain mendesak Kian Lee. Ketika menghadapi serangan diahsyat ini, dia berseru keras
dan melempar tubuh ke belakang sambil menggerakkan kedua tangannya untuk melindungi tubuhnya. Dia
dunia-kangouw.blogspot.com
terluput dari serangan itu, akan tetapi Kian Bu juga terbebas dari desakan, bahkan dengan pukulanpukulan
gabungan tenaga Im-yang yang amat dahsyat dia dapat membuat Twa-ok meloncat ke belakang
pula.
Melihat bahwa yang membantunya adalah Ang Tek Hoat, Kian Bu terkejut dan girang sekall. “Ah, kiranya
engkau membantuku, Tek Hoat?” tanyanya sambil tersenyum lebar.
“Bagus, Tek Hoat!” Kian Lee yang sudah terdesak itu pun masih mampu mengeluarkan seruan girang.
Melihat Kian Lee terdesak hebat oleh tiga orang lawannya, Tek Hoat lalu menerjang dan menyerang Ji-ok
yang mengerikan itu sambil berkata, “Mari kita hancurkan mereka ini atau kita mati bersama!”
Kakak beradik dari Pulau Es itu tentu saja merasa girang bukan main mendengar hal ini. Semangat mereka
bangkit kembali dan bersama dengan Ang Tek Hoat mereka lalu mengamuk dan biar pun lima orang Imkan
Ngo-ok memiliki kepandaian yang rata-rata amat tinggi, bahkan tingkat kepandaian Twa-ok dan Ji-ok
sedikit lebih tinggi dari pada tingkat mereka, namun tidak mudah bagi Im-kan Ngo-ok untuk merobohkan
mereka bertiga.
“Mari kita masuk!” Tiba-tiba Kian Lee yang maklum bahwa kalau mereka tidak cepat cepat dapat
menangkap Pangeran Liong Bian Cu, tentu keselamatan mereka akan terancam hebat. Mendengar
teriakan Kian Lee ini, Kian Bu dan Tek Hoat lalu mengikuti Kian Lee yang sudah lebih dulu meloncat ke
dalam istana itu! Anehnya, Im-kan Ngo-ok tidak menghalangi perbuatan mereka melainkan mengejar dari
belakang.
Tiba-tiba terdengar suara koksu, suara yang dikirim dari jauh melalui kekuatan khikang ke arah kamar di
sebelah kiri yang pintunya terbuka dan besar.
“Pangeran, hati-hati, tutuplah pintu kamar Paduka.”
Suara ini terdengar oleh tiga orang muda perkasa itu. Tentu saja girang bukan main hati Kian Lee dan Kian
Bu, maka serentak mereka bersama Tek Hoat menyerbu ke dalam kamar yang pintunya terbuka itu. Kalau
sekali pangeran itu dapat mereka tangkap, tentu mereka dapat menguasai keadaan.
Tiga orang muda perkasa itu masih bersikap hati-hati saat mereka menyerbu memasuki pintu kamar itu.
Akan tetapi ketika mereka melihat Pangeran Liong Bian Cu duduk di atas pembaringan kamar yang amat
indah itu, hati mereka girang sekali dan seperti orang-orang berlomba mereka melompat ke dalam. Tentu
saja dalam perlombaan itu Kian Bu yang menang karena pemuda ini mengerahkan ilmu ginkang-nya yang
luar biasa.
“Bu-te, hati-hati...!” Tiba-tiba Kian Lee berseru kaget ketika pemuda ini melihat pintu kamar di belakangnya
tiba-tiba tertutup.
Kian Bu sudah hampir tiba di dekat pembaringan, ketika mendadak pembaringan itu terjeblos ke bawah
dengan cepat sekali bersama tubuh sang pangeran yang tertawa mengejek. Kian Bu maklum bahwa
pangeran itu melarikan diri dengan alat rahasia, maka dia cepat menyusulkan pukulan dengan tenaga
saktinya.
“Blarrrrr...!”
Pembaringan itu pecah, akan tetapi tubuh sang pangeran sudah meloncat ke bawah dan lubang di mana
ranjang itu lenyap kini telah tertutup kembali. Kian Bu meloncat ke tempat itu dan menggunakan kakinya
untuk menginjak dan menendang, namun hasilnya sia-sia belaka karena ternyata lantai itu terbuat dari batu
yang di bawahnya dipasangi baja. Mereka bertiga seperti tiga ekor harimau terjebak. Mereka berlarian ke
pintu dan jendeta, akan tetapi mendapat kenyataan bahwa jendela dan pintu itu terbuat dari baja yang
amat kuat pula! Mereka telah terjebak dalam sebuah kamar luas yang kuat sekali. Melihat adanya sebuah
pintu kayu kecil di sebelah kiri, yang agaknya menembus ke ruangan lain, Kian Bu lalu menendangnya.
“Brakkkkk...!”
Pintu kayu itu jebol dan mereka bertiga siap untuk menerjang ke depan, akan tetapi betapa kaget hati
mereka ketika melihat empat orang menggeletak pingsan di dalam kamar di belakang pintu itu! Mereka itu
adalah Hek-sin Touw-ong, Ang-siocia, Siang In, dan Hwee Li!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ahhhhh...!”
Otomatis Kian Lee dan Kian Bu meloncat dan berlutut dekat tubuh Siang In dan Hwee Li dan karena
mereka berdua masih menyangka bahwa masing-masing mencinta dara yang datang bersama mereka.
Kian Lee merasa tidak enak kalau harus mendekati Hwee Li, sungguh pun hatinya merasa berkhawatir
sekali akan keselamatan Hwee Li, maka dia lalu ‘mengalah’ dan tidak ingin menyakitkan hati adiknya. Dia
berlutut di dekat tubuh Siang In.
Melihat ini, Kian Bu juga makin keras menyangka bahwa kakaknya itu benar-benar telah jatuh hati kepada
Siang In, padahal dia tahu bahwa Hwee Li mencinta kakaknya. Dia merasa kasihan kepada Hwee Li dan
dia pun berlutut di dekat Hwee Ll. Sementara itu, Tek Hoat cepat memeriksa jendela kamar ini dan ternyata
sama juga. Jendela kamar ini amat kuatnya, terbuat dari pada baja dan terkunci dari luar!
Kian Lee dan Kian Bu merasa lega bahwa dua orang dara itu hanya pingsan karena asap bius saja,
demikian pula Hek-sin Touw-ong dan Ang-siocia. Setelah mengurut tengkuk mereka, sebentar saja mereka
berempat sudah siuman kembali dan yang lebih dulu meloncat adalah Hwee Li.
“Mana si bedebah pangeran dan koksu? Biar kupatahkan batang lehernya!” bentaknya marah, apa lagi
ketika melihat betapa Kian Lee tadi mengurut tengkuk Siang In. Rasa cemburu bercampur rasa
mendongkol karena dia seperti juga yang lain telah kena dijebak oleh koksu dan pangeran sehingga
tertawan di dalam kamar itu.
Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring, “Kembalikan anakku!” Dan terdengar suara hiruk pikuk ketika pintu
besar terbuka dan Ceng Ceng meloncat ke dalam kamar itu.
“Ceng Ceng, tahan pintu itu!” Tiba-tiba Kian Lee berteriak.
Namun terlambat karena begitu Ceng Ceng masuk pintu itu telah tertutup kembali! Ceng Ceng membalik,
mendorong dan menendang pintu, namun sia-sia belaka. Pintu itu terlampau kokoh kuat.
Mereka semua kini berkumpul di tengah kamar besar itu. Ceng Ceng bercerita betapa dia tadi berpisah dari
Ang-siocia dan karena merasa tidak perlu lagi menyamar dalam keadaan ribut itu, dan pula karena sudah
diketahui musuh betapa Ang-siocia sudah berkhianat, maka dia menanggalkan penyamarannya. Ketika dia
hendak mencari tempat tawanan, dia melihat Ji-ok mengempit tubuh puteranya berkelebat ke dalam istana
ini.
“Ibuuuuu... tolonggg...!” Cin Liong menjerit dan Ceng Ceng lalu mengejar.
Akan tetapi Ji-ok lenyap dan Ceng Ceng yang tiba-tiba melihat pintu istana terbuka, cepat menerjang
masuk. Kiranya dia pun terjebak seperti yang lain.
“Bagaimana kalian tahu-tahu pingsan di dalam kamar sebelah?” Kian Lee bertanya kepada Siang In tanpa
berani memandang kepada Hwee Li yang dianggapnya telah saling jatuh cinta dengan Kian Bu.
Akan tetapi yang ditanya sedang menatap wajah Kian Bu tak pernah berkedip, dan barulah Siang ln
terkejut ketika dia ditanya oleh Kian Lee. Dia menunduk dan menarik napas panjang. “Si keparat Koksu
Nepal itu sungguh amat cerdik dan berbahaya.” Akan tetapi dia tidak berani bercerita, hanya mengerling ke
arah Hwee Li.
Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia juga merasa sungkan dan sukar untuk menceritakan betapa dia kembali
telah bertemu dengan Siang In dan saling serang! Maka dia lalu bercerita sambil melewati adegan ketika
dia bertanding melawan Siang In itu.
“Kami berdua... kami dikepung oleh orang-orang yang dipimpin oleh Pangeran Nepal sendiri. Karena aku
gemas dan benci kepadanya, aku menyerang Pangeran Nepal yang main mundur dan akhirnya kami
berdua kena dipancing ke dalam kamar ini. Pangeran Nepal dan para pengikutnya lenyap melalui pintupintu
rahasia, dan ternyata semua itu diatur oleh koksu yang hanya terdengar saja suaranya dari dalam
kamar. Tak lama kemudian muncul Hek-sin Touw-ong dan Enci Swi Hwa yang hendak menolong kami
berdua. Akan tetapi sungguh celaka, mereka itu pun terjebak dan begitu masuk, mereka tidak dapat keluar
kembali.” Dia tidak mau menceritakan betapa di dalam kamar itu, dia dan Siang In sudah saling maki dan
saling serang kembali sampai muncul guru dan murid itu yang melerai mereka.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Eh, bagaimana bisa begitu?” Kian Bu bertanya sambil memandang kepada Ang-siocia yang sejak tadi
juga memandang kepadanya dengan sinar mata penuh perasaan.
“Koksu Nepal memang lihai bukan main,” Touw-ong bercerita. “Dia sudah tahu bahwa kami berdua telah
memberontak dan berkhianat, akan tetapi dia sengaja pura-pura tidak tahu. Ketika bertemu dengan kami,
dia menyuruh kami menjaga tawanan di dalam kamar ini. Kami berdua mengintai dan melihat dua orang
Nona ini sedang... ehhh...“ Sukar bagi Touw-ong untuk menceritakan betapa dia melihat dua orang nona itu
saling serang!
“Kau dan muridmu lalu menolong kami akan tetapi terjebak pula!” Hwee Li melanjutkan cepat.
Touw-ong mengangguk. “Benar, kami melihat dua orang Nona ini dan cepat kami membuka pintu dari luar.
Akan tetapi begitu kami berdua masuk, pintu tertutup dari luar dan pada saat itu koksu menyemburkan
asap beracun ke dalam kamar. Kami tak dapat menghindarkan asap itu dan roboh pingsan.”
Kian Bu dan Kian Lee saling pandang. Koksu Nepal itu benar-benar amat cerdik sekali. Mereka semua kini
telah terjebak di situ, bahkan Ceng Ceng yang lihai juga telah dapat dipancing masuk ke dalam ruangan.
“Ha-ha-ha, semua tikus yang mengacau benteng telah terjebak. Orang-orang muda yang bosan hidup,
kalian mau berkata apa lagi sekarang?” Tiba-tiba terdengar suara koksu dari lubang jendela yan terbuat
dari pada baja.
“Kami telah terjebak oleh akal busukmu, mau bunuh lekas bunuh!” Ceng Ceng yang tidak kehilangan
keberaniannya itu memaki. Tek Hoat memandang saudara tirinya seayah berlainan ibu itu dengan kagum.
“Ceng Ceng, engkau masih seperti dulu, benar-benar mengagumkan hatiku,” katanya.
Ceng Ceng memandang saudaranya ini dan tersenyum. “Dan aku girang sekali melihat engkau berdiri di
pihak kami, bukan menjadi lawan kami, Tek Hoat.”
Melihat dua orang keponakannya itu, Kian Lee yang pernah jatuh hati secara mendalam dan mati-matian
kepada Ceng Ceng, memegang tangan mereka dan berkata, “Dan aku girang sekali mempunyai dua orang
keponakan seperti kallan. Aku akan merasa bangga dapat mati bersama kalian.”
Ucapan yang jujur ini amat mengharukan hati Tek Hoat, apa lagi Ceng Ceng yang maklum akan isi hati
‘pamannya’ itu sehingga dua titik air mata membasahi mata nyonya muda itu.
Melihat adegan yang mengharukan itu, tiba-tiba saja Hwee Li menjadi marah. Kian Lee agaknya sama
sekali tidak mempedulikan dia! Tiba-tiba saja dia menghampiri jendela dari mana tadi terdengar suara
koksu dan dia lantas membentak, “Ehh, koksu botak menjemukan! Lekas kau beritahukan kepada
Pangeran Liong Bian Cu bahwa aku adalah tunangannya dan aku menuntut agar dia membebaskan aku!”
Akan tetapi koksu hanya tertawa mengejek dan Hwee Li menjadi makin marah, lalu dia menjerit-jerit
nyaring, “Pangeran Liong Bian Cu, apakah mulutmu berbau tahi dan tidak dapat dipercaya lagl? Kau bilang
mencintaku, kau bilang bahwa aku adalah calon isterimu, mengapa kau membiarkan aku terjebak dan
ditawan seperti ini? Kalau kau menghinaku, mana aku sudi menjadi isterimu?”
Tiba-tiba nampak wajah pangeran yang tampan dengan hidung kakatua itu dari balik jendela. Suaranya
halus ketika dia berkata, “Hwee Li, manisku. Mana aku dapat melupakan engkau? Adalah salahmu sendiri
sampai engkau terjebak karena engkau telah terbujuk musuh dan membantu mereka. Akan tetapi kalau
engkau mau bertobat, tentu saja aku suka mengampunimu, seperti yang telah berkali-kali kulakukan.”
Kian Lee dan Kian Bu memandang pada Hwee Li dengan alis berkerut penuh kecewa. Apakah puteri Hektiauw
Lo-mo ini akhirnya memperlihatkan belangnya dan dalam keadaan terancam itu lalu timbul
kepalsuannya, merengek dan minta diampuni oleh pangeran? Akan tetapi Kian Bu melihat sendiri betapa
selama ini Hwee Li benar-benar menentang musuh, bahkan mati-matian membela pihak mereka yang
memusuhi orang orang Nepal.
“Pangeran, mana aku bisa percaya omonganmu kalau engkau tidak mau masuk ke sini? Masuklah dan
jemputlah aku, baru aku percaya kepada omonganmu. Ribuan kali engkau menyatakan cinta, akan tetapi
aku masih belum percaya benar dan sekali ini biar kupakai sebagai ujian.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ucapan ini, Siang In mendengus dengan penuh ejekan, akan tetapi Kian Bu dan Kian Lee
saling pandang, maklum akan maksud ucapan Hwee Li yang agaknya hendak memancing pangeran itu
masuk agar dapat ditangkap. Maka kakak beradik ini sudah siap untuk turun tangan begitu melihat sang
pangeran masuk ke dalam ruangan itu.
Akan tetapi, dari luar ruangan itu terdengar suara ketawa Koksu Nepal. “Ha-ha-ha-ha! Nona Hwee Li,
engkau kira kami hanya anak-anak kecil yang mudah kau bujuk dan tipu begitu saja.”
“Hwee Li, kekasihku, kau keluarlah dari ruangan itu, melalui pintu. Akan tetapi yang lain jangan ada yang
bergerak, dan setelah tiba di luar, aku tentu akan membebaskanmu dan permintaan apa pun yang kau
ajukan akan kupertimbangkan.”
Mendengar ini, Hwee Li mengerutkan alisnya. Akalnya gagal. Akan tetapi dia masih mempunyai harapan.
“Benarkah bahwa semua permintaanku kau penuhi?”
“Akan kupertimbangkan,” jawab pangeran.
Tidak ada lain jalan bagi Hwee Li. Harapan satu-satunya untuk menolong semua orang yang tertawan
hanyalah membujuk pangeran yang benar-benar jatuh cinta kepadanya itu. Kalau perlu, untuk
menyelamatkan mereka, terutama menyelamatkan Kian Lee, dia siap untuk mengorbankan diri!
“Baiklah, aku akan keluar.” Dia kemudian menoleh, sekali ini dia menatap Kian Lee dan berbisik, “Harap
kalian jangan bergerak, aku akan membantu kalian, jangan khawatir.“ Kemudian dia melangkah menuju ke
pintu ruangan itu.
“Hwee Li, engkau jangan mudah terbujuk musuh!” Ceng Ceng berkata, memperingatkan muridnya karena
dia khawatir kalau-kalau muridnya itu akan celaka di tangan Pangeran Nepal. Hwee Li menoleh dan
tersenyum kepada nyonya muda itu.
“Harap Subo jangan khawatir, aku dapat menjaga diri,” katanya.
Seluruh urat syaraf di tubuh Kian Lee, Kian Bu, Ceng Ceng, dan Tek Hoat sudah menegang dan mereka
sudah siap menerjang keluar kalau pintu itu terbuka. Akan tetapi ketika Hwee Li melangkah sampai di
belakang pintu, tiba-tiba dia menjerit dan tubuhnya terjeblos ke bawah. Kiranya lantai di belakang pintu itu
dipasangi alat dan begitu dara itu menginjaknya, lantai itu bergerak meluncur ke bawah membawa tubuh
dara itu bersamanya.
Semua pendekar yang berada di situ meloncat, akan tetapi lantai itu telah tertutup kembali dan tubuh Hwee
Li sudah lenyap! Ternyata tubuh Hwee Li telah terbawa turun dan begitu dia tiba di ruangan bawah, di situ
telah menanti Pangeran Liong Bian Cu dan Koksu Nepal! Hwee Li hendak mengamuk, akan tetapi
pangeran itu menubruknya dan pada saat yang sama Koksu Nepal telah mengirim totokan. Hwee Li tak
mungkin dapat melawan dua orang yang amat lihai itu dan di lain saat dia telah tertotok dan dipondong
oleh Pangeran Liong Bian Cu.
“Bunuh mereka semua! Bakar saja ruangan itu dari luar!” Sang pangeran berteriak dengan girang setelah
dia berhasil menangkap kekasihnya.
Mereka yang tertawan di dalam mendengar perintah ini dan mereka menjadi bingung. Kembali mereka
berusaha mencari jalan keluar dengan mengetuk-ngetuk tembok, memeriksa dinding, jendela dan pintu,
juga meloncat ke atas untuk mencoba menerobos atap. Namun semua itu sia-sia karena memang ruangan
itu dibuat secara khusus untuk menjebak lawan-lawan tangguh dan pembuatannya telah direncanakan
sendiri oleh Koksu Nepal.
Dalam keadaan yang menegangkan urat syaraf itu, tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan nyaring disusul
suara hiruk-pikuk, “Kebakaran! Kebakaran!”
“Gudang ransum terbakar!”
“Tolonggggg...! Lekas bantu padamkan. Ransum terbakar...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka yang terkurung di dalam ruangan itu saling pandang. Kian Lee, Kian Bu, dan Siang In tidak
mengerti apa artinya itu, akan tetapi Ceng Ceng, Ang-siocia dan Hek-sin Touw-ong tersenyum girang.
“Ah, siasat Jenderal Kao Liang mulai dijalankan dengan baik!” kata Touw-ong dan dia lalu duduk bersandar
tembok dengan wajah girang.
“Ransum di sini akan terbakar habis dan benteng ini sudah dikurung! Sebentar lagi tentu tentara kerajaan
akan menyerbu. Ahh, kalau mereka yang jahat ini dapat dihancurkan, kematian kita pun tidak akan sia-sia!”
kata Ang-siocia sambil memandang kepada Kian Bu. Dia tahu bahwa mereka telah terjebak dan agaknya
tidak ada harapan lagi untuk hidup, maka wanita muda ini tidak ragu-ragu lagi untuk menyatakan rasa
hatinya terhadap Siluman Kecil. “Terutama sekali, aku rela mati bersama Taihiap,” katanya sambil
memandang kepada pendekar itu. “Bukankah kita pernah melakukan perjalanan bersama yang amat
menyenangkan? Kalau kita mati bersama, berarti sekali lagi melakukan perjalanan bersama Taihiap,
betapa bahagianya rasa hatiku!”
Hek-sin Touw-ong mengerutkan alisnya. Murid yang dicintanya itu telah dia tetapkan untuk menjadi jodoh
dari Siauw Hong, murid dari Sai-cu Kai-ong yang telah mengetahui rahasia kewanitaan Ang-siocia yang
menyamar pria. Akan tetapi dia tahu pula bahwa muridnya ini telah jatuh hati kepada Siluman Kecil, maka
di samping rasa tidak puasnya melihat sikap dan mendengar kata-kata muridnya, dia juga merasa terharu
sekali.
Kian Bu sendiri terkejut mendengar ucapan itu dan melihat sinar mata Ang-siocia yang penuh kemesraan
kepadanya. Baru sekarang dia mengerti bahwa dara cantik ini ternyata jatuh cinta kepadanya! Otomatis dia
menoleh kepada Siang In dan makin terkejutlah dia ketika melihat sinar mata Siang In penuh dengan api
kemarahan. Dia menjadi bingung dan tidak menjawab kata-kata Ang-siocia, apa lagi karena pada saat itu
terdengar suara hiruk-pikuk dan nyala api, di antara teriakan-teriakan orang yang kebingungan.
“Darrr...! Blaaarrrrr...!”
Ledakan-ledakan yang bertubi-tubi menggetarkan ruangan itu. Dinding bagai bergoyang dan akan runtuh
rasanya, lantai yang dipijak juga tergetar hebat. Lalu terdengar sorak sorai menggegap-gempita dan
terdengarlah suara ribut-ribut luar biasa di sebelah luar.
“Apa... apa artinya itu?” Kian Lee bertanya heran.
“Itu… itu merupakan satu di antara siasat ayah mertuaku!” Ceng Ceng berseru dengan wajah penuh
ketegangan.
Dan memang yang dikatakannya itu benar adanya. Jenderal Kao Liang telah mengatur rencana siasatnya
dengan rapi. Dia minta kepada Puteri Milana untuk menggunakan pasukannya mengurung benteng itu
dengan ketat, kemudian dengan bantuan Gak Bun Beng dan Kao Kok Cu, dia melakukan pembakaranpembakaran
pada gudang-gudang ransum. Dua orang pendekar itu memasang obat-obat bahan bakar di
dalam gudang gudang dan ketika saatnya tiba, Jenderal Kao Liang yang berada di menara dan gapura
terbesar, melepas anak-anak panah berapi ke arah gudang-gudang itu sehingga dalam beberapa waktu
singkat gudang-gudang itu terbakar semua. Api menjulang tinggi dan sukar dipadamkan karena api telah
membakar alat-alat bahan bakar yang telah ditaruh di dalam gudang-gudang itu.
Kemudian, dengan menekan tombol-tombol rahasia yang dipasangnya ketika mengatur pembangunan
benteng itu, tombol-tombol rahasia yang hanya diketahuinya sendiri dan merupakan rencananya semenjak
semula, Jenderal Kao Liang mulai meledakkan dinding-dinding benteng dengan alat-alat peledak yang
sudah ditanamnya di tempat tempat tersembunyi. Bunyi ledakan bertubi-tubi itu meruntuhkan pintu-pintu
gerbang dan dinding-dinding.
Melihat ini, Puteri Milana yang semenjak tadi sudah siap siaga, cepat memerintahkan pasukan-pasukannya
untuk menyerbu. Waktu itu, matahari mulai mengusir kegelapan malam dan di antara kabut pagi
bercampur asap ledakan dan debu, seperti semut semut saja pasukan kerajaan menyerbu benteng yang
sudah kacau-balau bukan main oleh kebakaran-kebakaran yang disusul ledakan-ledakan itu.
Dapat dibayangkan betapa gegernya keadaan dalam benteng itu. Mula-mula semalam suntuk penghuni
benteng sudah dikacaukan oleh pendekar-pendekar muda yang masuk menyelundup ke dalam benteng,
yang dibantu pula oleh Touw-ong dan Ang-siocia yang berkhianat sehingga terjadi banyak hal yang
membingungkan. Kemudian, menjelang pagi, disusul pula dengan kebakaran-kebakaran pada gudangdunia-
kangouw.blogspot.com
gudang ransum, hal yang amat mengejutkan, dan kini, tanpa mereka ketahui apa sebabnya, pintu-pintu
gapura benteng dan dinding-dinding banyak yang runtuh oleh ledakan-ledakan dahsyat tadi. Lebih hebat
lagi, kini pasukan kerajaan yang banyak jumlahnya telah menyerbu masuk melalui pintu-pintu dan dindingdinding
yang runtuh, seperti air bah saja menyerang dengan gegap-gempita.
Koksu Nepal dan Pangeran Liong Bian Cu terkejut bukan main, tidak tahu apa yang terjadi dan mereka
baru sadar bahwa Jenderal Kao Lianglah yang melakukan semua itu. Mereka mengira bahwa semua itu
terjadi karena kelihaian Puteri Milana yang memang sudah mereka dengar akan kepandaiannya mengatur
pasukan. Tentu saja mereka menjadi jeri sehingga Koksu Nepal cepat mengeluarkan aba-aba kepada para
pasukannya untuk menahan serbuan musuh. Dia sendiri mengempit tubuh Cin Liong sedangkan Pangeran
Liong Bian Cu memanggul tubuh Hwee Li. Mereka ingin mempergunakan dua orang tawanan ini sebagai
sandera untuk dapat melarikan diri melalui pintu rahasia apa bila keadaan memaksa dan memerlukan.
“Bakar ruangan ini!” teriak Koksu Nepal dan perintah ini segera dilaksanakan oleh para pengawalnya.
Kemudian koksu, pangeran, dan dikawal oleh empat orang dari Im-kan Ngo-ok yang lain, juga para
pembantu, cepat meninggalkan tempat itu untuk membantu para pasukan yang sedang menahan serbuan
tentara kerajaan.
Api mulai berkobar membakar ruangan di mana para pendekar itu terkurung dan agaknya mereka akan
terbakar hangus kalau saja pada saat api sudah mulai berkobar tinggi, pintu tahanan itu tidak dibuka orang
dari luar. Beberapa orang pengawal roboh oleh terjangan sesosok tubuh yang gerakannya seperti seekor
naga dan orang ini berhasil membuka pintu ruangan. Para pendekar yang sudah mulai putus asa di
sebelah dalam, melihat terbukanya pintu, cepat berloncatan keluar dan ternyata yang menolong mereka itu
adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu!
Bersama Bun Beng, Kok Cu melaksanakan siasat ayahnya, yaitu membantu ayahnya membakari gudanggudang
ransum, kemudian karena dia khawatir akan puteranya yang kabarnya dibawa oleh Ji-ok, dia
menyusul ke istana pangeran. Di situ dia melihat ruangan depan dibakar, maka ia segera dapat menduga
bahwa tentu kawan-kawannya terkurung di dalam ruangan itu. Tanpa ragu-ragu lagi dia lalu membuka
pintu ruangan yang memang sudah dipalang dari depan sehingga semua orang yang terkurung dapat
diselamatkannya, termasuk isterinya sendiri.
“Di mana Cin Liong?” tanya Kok Cu kepada isterinya yang sudah memeluknya.
“Dia... dia tadi dibawa oleh koksu...,” isterinya menjawab penuh kekhawatiran dan menuding ke depan.
Dari lubang jendela dia tadi melihat ke mana puteranya dibawa oleh kakek botak itu. Tanpa banyak cakap
mereka semua lalu lari mengejar. Akan tetapi Ang Tek Hoat tidak ikut mengejar karena dia sudah lari
menuju ke tempat tinggal Syanti Dewi. Keadaan di kanan kiri sudah kacau-balau, perang campuh terjadi di
mana-mana dan banyak rumah rumah yang terbakar.
Ketika Tek Hoat tiba di depan rumah yang tadinya menjadi tempat tinggal Puteri Syanti Dewi, jantungnya
berdebar penuh ketegangan melihat betapa rumah itu juga sedang terbakar!
“Dewi...!” Dia berseru berkali-kali dan mencari-cari jalan untuk memasuki rumah yang terbakar itu. Akan
tetapi dia tidak mungkin dapat masuk.
Tiba-tiba dia melihat seorang pengawal lari menjauhkan diri. Cepat dia meloncat dan dengan mudah dia
mencengkeram tengkuk orang itu.
“Hayo katakan, di mana Sang Puteri Bhutan?” bentaknya.
Melihat wajah pemuda itu pucat sekali, sepasang matanya melotot dan mengeluarkan sinar bengis,
pengawal itu makin ketakutan.
“Dia... dia sudah sejak tadi... dibawa pergi oleh panglima dari Bhutan bersama orang orangnya...“
“Mohinta...?”
Orang itu mengangguk dan lalu Tek Hoat mengendurkan cengkeramannya. “Ke mana dibawanya?”
Orang itu menggeleng kepala. “Hamba tidak tahu...“
dunia-kangouw.blogspot.com
Tek Hoat melepaskan orang itu dan meloncat pergi. Hatinya panas sekali akan tetapi dia mengerti bahwa
Mohinta tentu melarikan sang puteri keluar dari benteng dan ke mana lagi dibawanya kalau tidak kembali
ke Bhutan? Dia lalu meloncat dan mencari cari, tentu saja menuju ke pintu depan yang sudah roboh dan di
mana terjadi perang campuh yang amat seru.
Tiba-tiba dia melihat Koksu Nepal yang mengempit tubuh anak laki-laki kecil, bersama Pangeran Liong
Bian Cu yang memanggul tubuh Hwee Li, diikuti oleh para pembantu mereka, tergesa-gesa menuju ke
arah selatan. Dan dia melihat pula Kao Kok Cu, Ceng Ceng, dan yang lain-lainnya mengejar mereka.
Koksu dan kawan-kawannya itu cepat memasuki sebuah rumah besar yang kosong, dan para pengejarnya
cepat menyusul.
Melihat ini, Tek Hoat merasa bahwa dia pun harus membantu mereka karena bukankah Pangeran Nepal
dan Koksu Nepal itu yang menjadi biang keladi sehingga Syanti Dewi tertawan di tempat itu? Pula, dia
maklum akan kelihaian koksu dan para pembantunya sehingga Kok Cu dan para pendekar lain itu tentu
membutuhkan bantuannya.
“Tek Hoat, mari bantu kami merampas kembali puteraku!” teriak Ceng Ceng ketika dia melihat saudaranya
itu. Tek Hoat hanya mengangguk dan dia pun ikut pula menyerbu ke dalam rumah.
Tidak ada perlawanan dari dalam dan ternyata koksu dan pangeran berdiri tegak, para pembantunya di
belakang mereka dan kedua orang ini tersenyum.
“Berhenti!” teriak koksu sambil mengangkat tubuh Cin Liong ke atas. “Melangkah maju berarti anak ini akan
kami bunuh lebih dulu!”
Tentu saja menghadapi para pendekar itu, koksu sama sekali tidak takut karena dia mempunyai banyak
pembantu, apa lagi di situ ada Im-kan Ngo-ok lengkap yang amat kuat. Akan tetapi, kakek botak ini maklum
bahwa biar pun mereka dapat mengalahkan rombongan pendekar ini, atau setidaknya mengimbangi
mereka, namun dia dan kawan kawannya tidak mungkin dapat melawan puluhan ribu tentara kerajaan
yang tentu akhirnya akan menang karena jumlahnya yang jauh lebih banyak, sedangkan pasukan
pasukannya sudah kehilangan pimpinan.
“Hemmm, kalau sudah menderita kekalahan kemudian muncullah watak pengecut dan curang!” Kao Kok
Cu mengejek. “Koksu Nepal, aku mendengar bahwa selain engkau menjadi koksu dari Kerajaan Nepal,
juga engkau terkenal sebagai Sam-ok dari Im-kan Ngo-ok. Sekarang, secara curang engkau telah berhasil
menawan puteraku. Oleh karena itu, marilah kita bertanding secara gagah untuk memperebutkan puteraku
itu. Kalau aku kalah, tentu saja engkau berhak membawa puteraku sebagai sandera. Akan tetapi kalau
engkau yang kalah, engkau harus menyerahkan puteraku itu dengan baik baik kepadaku.”
Ban Hwa Sengjin menyeringai. “Enak saja engkau, Naga Sakti Gurun Pasir! Kami amat membutuhkan
anakmu ini untuk dapat keluar dari sini dengan selamat. Kalau anak ini kuserahkan kepadamu, lalu kau
mengandalkan pasukan yang puluhan ribu banyaknya, tentu saja kami takkan sanggup meloloskan diri.”
“Dengarlah, Koksu Nepal. Di antara kita pribadi tidak ada permusuhan, mengapa kami harus mencegah
kalian melarikan diri? Aku berjanji sebagai seorang gagah bahwa kalau Cin Liong sudah kembali
kepadamu, kami tidak akan menghalangi engkau untuk melarikan diri.”
Ban Hwa Sengjin berpikir-pikir. Dia dapat percaya omongan seorang pendekar besar seperti Kao Kok Cu
ini. Kalau orang-orang gagah di depannya ini tidak menghalangi, tentu dia dan teman-temannya dapat
melarikan diri melalui pintu rahasia, karena halangan dari para pasukan saja tentu tidak ada artinya
baginya. Yang berbahaya adalah orang-orang muda perkasa ini turun tangan mencegah mereka lari.
“Baiklah, kami dapat percaya omongan Naga Sakti Gurun Pasir! Kau bawa dulu anak ini, Twa-heng!”
katanya dan dia melemparkan tubuh Cin Liong kepada Twa-ok yang menerimanya sambil tersenyum.
Sebetulnya diam-diam dia tidak setuju dengan sikap koksu yang menerima tantangan itu karena kakek
gorilla ini maklum betapa lihainya Naga Sakti Gurun Pasir. Kalau dia sendiri yang maju, barulah lebih
banyak harapan untuk menang. Akan tetapi yang ditantang oleh si lengan buntung itu adalah koksu, maka
kalau koksu mewakilkan kepadanya tentu saja hal itu menjatuhkan nama Ban Hwa Sengjin, sebagai orang
ketiga dari Im-kan Ngo-ok dan juga sebagai seorang Koksu Nepal.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini dua orang sakti itu sudah saling berhadapan. Sikap Kok Cu tenang saja, bahkan lengan kirinya yang
buntung, yang memperlihatkan lengan baju kosong itu, kelihatan menyedihkan dan menimbulkan rasa iba.
Akan tetapi, di lain pihak Ban Hwa Sengjin kelihatan gelisah dan khawatir, sebagian besar wibawa dan
keangkuhannya lenyap, bahkan dia menoleh ke kanan kiri seperti hendak mencari perlindungan. Memang
di dalam hatinya, kakek botak ini merasa gentar terhadap pendekar lengan buntung yang sederhana ini
karena dia sudah mendengar banyak hal yang luar biasa tentang Istana Gurun Pasir dan pengnuninya.
“Ban Hwa Sengjin, majulah!” Kao Kok Cu berkata dengan tenang.
Akan tetapi kakek botak itu tidak menjawab, melainkan diam saja, memandang tajam dan dia menggerakgerakkan
kedua lengannya. Terdengar suara berkerotokan dan kedua telapak tangan Sam-ok atau Koksu
Nepal itu mengeluarkan uap kehitaman! Itulah tanda bahwa si kakek botak ini telah mengerahkan
tenaganya yang luar biasa karena agaknya dia tahu benar bahwa dia berhadapan dengan seorang lawan
yang amat tangguh.
Tiba-tiba dia mengeluarkan suara dahsyat seperti gerengan seekor beruang marah, membuat tempat itu
tergetar dan tubuhnya lalu bergerak meluncur ke depan, lalu berpusing cepat sekali dan dia mulai
menerjang ke arah Kok Cu! Namun, Kok Cu juga sudah siap sedia. Begitu diserang, dia langsung
menggunakan ilmunya yang paling hebat, yaitu Sin-liong-ciang-hoat, tubuhnya tiba-tiba saja membungkuk
dan lurus ke depan, pangkal lengan kirinya bergerak dan lengan baju yang kosong itu mengeluarkan bunyi
mencicit, kemudian menyambar ke depan menyambut pukulan lawan dan hendak menggulung tangan
lawan!
Ban Hwa Sengjin atau Lakshapadma menarik kembali tangannya dan mendadak dia melayangkan kaki
kanannya dengan tendangan kilat yang mendatangkan angin dahsyat sekali. Sepatunya yang berlapis baja
itu merupakan senjata ampuh. Jangankan tubuh manusia, biar dinding batu pun akan ambrol kalau kena
hantaman kaki yang bersepatu baja ini. Namun, tubuh Kok Cu dapat mendoyong ke belakang, lurus ke
belakang dan kembali lengan baju kosong itu meluncur ke depan, menotok ke arah lambung lawan.
“Prakkkkk!”
Ban Hwa Sengjin menangkis dengan tangan kirinya dan dia menggunakan pertemuan tenaga sakti itu
untuk berjungkir balik ke belakang, kemudian kembali menggerakkan tubuhnya berpusing dengan ilmunya
yang aneh dan disebut Thian-te-hong-i. Terjadilah pertandingan yang amat seru dan aneh sekali di mana
nampak tubuh kakek botak itu berpusing seperti gasing dan tubuh Kok Cu seperti rebah lurus disanggah
oleh sebelah kaki, seperti seekor naga yang gerakkannya aneh bukan main.
Siluman Kecil mendekati Tek Hoat. Dia merasa makin suka kepada keponakan ini yang agaknya kini telah
berubah, tidak lagi mau membantu kaum pemberontak. Dia maklum bahwa kehadiran Tek Hoat di dalam
benteng itu sama sekali bukan untuk membantu pemberontak, melainkan untuk melindungi Syanti Dewi.
Teringatlah dia akan rahasia tentang kematian ibu pemuda itu, maka dia berbisik, “Tek Hoat, tahukah
engkau siapa pembunuh ibumu?”
Ang Tek Hoat terkejut bukan main, matanya terbelalak memandang kepada Kian Bu, dan wajahnya
berubah. Dia menggeleng kepalanya dan pandang matanya penuh selidik menatap wajah Siluman Kecil.
“Tahukah engkau?” Dia balas bertanya.
Suma Kian Bu mengangguk. “Secara kebetulan aku bertemu dengan Cui Ma yang telah menjadi gila, dan
sebelum dia mati dia sempat menceritakan bahwa yang membunuh ibumu adalah Mohinta dan kawankawannya
dari Bhutan...“
“Keparat!” Tek Hoat berseru demikian kerasnya sehingga mengejutkan semua orang, akan tetapi dua
orang yang sedang bertanding itu tidak mempedulikan dan terus saja berkelahi. Tek Hoat memandang
tajam kepada Kian Bu dengan muka berubah merah, matanya beringas dan dia mendengarkan ketika Kian
Bu menceritakan dengan singkat pertemuannya dengan Cui Ma, pelayan dari Ang Siok Bi, ibu pemuda itu.
“Kalau begitu, aku harus mengejarnya sekarang juga!” Ang Tek Hoat berseru dan dia menangkap tangan
Kian Bu. “Paman, terima kasih!” Dengan kecepatan kilat Tek Hoat melompat keluar dari tempat itu dan
tanpa mempedulikan perang yang masih berjalan seru, dia menyusup di antara tentara yang saling
bertempur, terus dia melarikan diri keluar dari dalam benteng itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Perkelahian antara Ban Hwa Sengjin dan Kao Kok Cu masih terus berlangsung dengan hebatnya. Kedua
pihak yang menonton pertandingan ini merasa tegang sekali, akan tetapi Ceng Ceng bersikap tenang saja,
bahkan dia tidak pernah melepaskan pandang matanya dari puteranya yang dipondong oleh Twa-ok. Dia
merasa sangat yakin akan kemenangan suaminya, yang dikhawatirkan adalah kalau pihak Im-kan Ngo-ok
tidak akan memegang janjinya. Akan tetapi dia melihat kakek gorilla itu tersenyum-senyum dan agaknya
puteranya tidak diganggunya.
Sebenarnya, Ban Hwa Sengjin sudah merasa kewalahan sekali menghadapi ilmu silat yang aneh dari
lawannya, juga setiap kali mereka beradu tenaga sakti, dia merasa betapa dadanya menjadi sesak, tanda
bahwa tenaga sinkang dari lawan yang buntung sebelah lengannya itu benar-benar sangat luar biasa
kuatnya. Hal ini tidak aneh karena Kao Kok Cu telah berhasil memiliki tenaga mukjijat yang timbul karena
penguasaan Ilmu Sin-liong-hok-te dari gurunya, Si Dewa Bongkok yang juga hanya berlengan sebelah.
Sebagai orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok, ilmu silat Ban Hwa Sengjin sudah mencapai tingkat tinggi sekali,
apa lagi Ilmu Silat Thian-te Hong-i itu sukar sekali dilawan. Selain itu, juga dia telah memiliki pengalaman
yang amat luas, maka dia merupakan lawan yang tangguh bagi Kok Cu. Akan tetapi, dengan bekal
kepandaiannya yang luar biasa, yang diperolehnya dari gemblengan Si Dewa Bongkok, apa lagi dengan
tenaga sakti dari Sin-liong-hok-te, kalau dia menghendaki, Kok Cu tentu akan mampu merobohkan kakek
botak itu.
Akan tetapi, pendekar ini adalah seorang yang memiliki pandangan luas dan tidak mau menuruti perasaan
hatinya. Dia maklum bahwa selama ini dia tidak bermusuhan dengan Im-kan Ngo-ok, dan bahwa diculiknya
puteranya pun sesungguhnya bukan perbuatan Im-kan Ngo-ok, melainkan merupakan balas dendam dari
puteri mendiang pemberontak Kim Bouw Sin kepada ayahnya. Kalau kini Cin Liong terjatuh ke tangan Imkan
Ngo-ok, hal itu hanya merupakan kebetulan saja. Pula, selama puteranya masih berada di tangan
mereka, dia tidak boleh ceroboh dengan membunuh atau melukai berat kepada Koksu Nepal. Oleh karena
inilah maka dia berkelahi dengan hati-hati dan tidak mau merobohkan koksu yang boleh mengakibatkan
kematiannya.
Ketika mendapat kesempatan yang baik setelah dia berhasil menghindarkan diri dari tendangan Ban Hwa
Sengjin, tiba-tiba tubuh Kok Cu mencelat ke atas dan dari atas, ujung lengan bajunya yang kiri dan kosong
itu meluncur dan menyambar ke arah ubun ubun kepala yang botak dari lawannya. Inilah cara yang paling
tepat untuk menyerang tubuh lawan yang berpusing itu. Ban Hwa Sengjin terkejut bukan main. Untuk
mengelak amatlah berbahaya, maka dia lalu mengangkat tangan kiri menangkis sambaran ujung lengan
baju itu.
“Prattttt!”
Ujung lengan baju bertemu dengan tangan Ban Hwa Sengjin. Terasa panas tangan itu dan ujung lengan
baju seperti ekor naga sudah melibat pergelangan tangan Ban Hwa Sengjin dan tubuh Kok Cu sudah turun
kembali. Kini Ban Hwa Sengjin membarengi turunnya tubuh lawan di depannya itu dengan hantaman
telapak tangan kanan ke arah dada Kok Cu. Pendekar ini pun menggerakkan tangan kanan menyambut.
“Plakkkkk!”
Kelihatannya perlahan saja dua telapak tangan itu bertemu, akan tetapi akibatnya tubuh Ban Hwa Sengjin
terhuyung setengah melayang ke belakang seperti layangan putus talinya. Dia berhasil berdiri tegak
kembali, akan tetapi mukanya pucat dan ujung bibirnya mengeluarkan darah segar! Ban Hwa Sengjin
sejenak menatap wajah Kao Kok Cu, kemudian mengangguk dan menjura, lalu menoleh kepada Twa-ok.
“Twa-heng, harap kembalikan anak itu,” katanya lemah dan begitu mengeluarkan kata kata ini, beberapa
titik darah menetes dari ujung mulutnya. Koksu Nepal itu cepat memejamkan matanya dan menarik napas
panjang. Ji-ok melompat mendekatinya dan tangan kanan nenek iblis itu ditempelkan ke punggung koksu,
lalu mengurut beberapa kali ke bawah. Nenek itu menolong saudaranya mengobati luka di dalam tubuh
yang ternyata tidaklah terlalu berbahaya, karena bukan langsung dihantam oleh tenaga sakti lawan,
melainkan terkena tenaganya sendiri yang membalik keras.
Twa-ok tertawa dan melemparkan tubuh Cin Liong ke arah Kao Kok Cu. Pendekar ini menggerakkan
lengan baju kiri yang menggulung tubuh anak itu, diperiksanya sebentar lalu diserahkannya anak itu
kepada isterinya. Ceng Ceng memeluk dan menciumi anaknya. Dua titik air mata membasahi pipinya
ketika ibu ini akhirnya bertemu kembali dengan puteranya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ehh, mana, Lee-ko...?” Tiba-tiba Kian Bu bertanya ketika dia tidak melihat kakaknya berada di situ lagi.
Semua orang juga mencari dengan pandangan matanya, yang bukan hanya Kian Lee yang tidak nampak,
bahkan juga Pangeran Liong Bian Cu telah lenyap bersama tawanannya, yaitu Hwee Li.
“Aku tadi melihat dia mengejar Pangeran Nepal,” kata Siang In.
Kiranya tadi secara diam-diam, menggunakan kesempatan selagi semua orang tertarik menonton
pertandingan yang luar biasa hebat antara Koksu Nepal dan Kao Kok Cu, Pangeran Nepal itu minta
bantuan Gitananda, kakek bersorban yang jenggotnya panjang sampai ke perut, untuk menggunakan
sihirnya melindungi dia melarikan diri membawa Hwee Li bersama. Semua orang mudah saja seperti
terlupa karena perhatian mereka sedang dicurahkan ke arah pertandingan itu. Hanya Suma Kian Lee yang
tidak terpengaruh oleh karena pemuda ini sejak tadi memperhatikan Hwee Li.
Maka ketika Gitananda mengangkat tongkat cendana dan mempergunakan sihir, dia sudah mengerahkan
sinkang-nya melawan dan dia dapat melihat Pangeran Liong Bian Cu diam-diam membawa Hwee Li pergi
dari tempat itu maka dia pun cepat mengejar. Sedangkan Siang In yang ahli dalam ilmu sihir, segera
merasakan pengaruh sihir yang dilepas oleh Gitananda, maka dia cepat melawan dan dia sempat melihat
Kian Lee mengejar sang pangeran.
Melihat kekalahan Ban Hwa Sengjin, empat orang Im-kan Ngo-ok yang lain dan juga para pembantu koksu
merasa penasaran. “Ha-ha-ha, Sam-te, biarlah kami menebus kekalahanmu dan membasmi mereka ini,”
kata Twa-ok dan bersama Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, dia sudah maju dan hendak mengamuk.
Akan tetapi tiba-tiba muncul dua orang yang membawa pasukan pengawal berbaju emas yang amat rapi
dan menyeramkan. Mereka itu bukan lain adalah pendekar Gak Bun Beng bersama isterinya, Milana, yang
memimpin empat puluh orang anggota pasukan pengawal baju emas yang terkenal itu.
Melihat munculnya suami isteri ini, Im-kan Ngo-ok merasa gentar juga. Di antara para pendekar tadi, yang
lihai sudah ada tiga orang, yaitu Siluman Kecil, Kao Kok Cu dan Ceng Ceng. Kalau kini muncul pula
pendekar sakti Gak Bun Beng, dan Puteri Milana, maka pihak lawan menjadi terlampau kuat, apa lagi
masih dibantu oleh pasukan yang amat besar. Munculnya Puteri Milana ini berarti bahwa pasukan
Gubernur Ho-nan yang bertahan di situ sudah kalah. Maka koksu yang cerdik itu maklum bahwa
menggunakan kekerasan sama artinya dengan membunuh diri.
Cepat dia berkata lantang, “Twa-heng dan teman-teman semua! Si Naga Sakti Gurun Pasir telah
menjanjikan untuk membiarkan kita pergi, perlu apa kita yang sudah kalah ini lebih lama berada di sini?
Mari kita pergi!”
Mendengar ucapan ini, Im-kan Ngo-ok yang lainnya dan para pembantu koksu seperti Hwa-i-kongcu dan
orang-orangnya, Hek-tiauw Lo-mo, Hek-hwa Lo-kwi, dan yang lain lain mengerti akan maksudnya dan
tanpa diperintah dua kali, mereka lalu mengikuti koksu pergi dari istana itu.
Melihat ini, Gak Bun Beng menghadang di tengah jalan dengan sikap mengancam, akan tetapi Kao Kok Cu
berkata, “Paman Gak, harap suka membiarkan mereka pergi karena memang kami telah menjanjikan
mereka untuk pergi.”
Gak Bun Beng mengerutkan alisnya, tetapi terdengar Puteri Milana berkata kepada suaminya, “Biarkanlah
mereka pergi. Memang kerajaan tidak mempunyai permusuhan resmi dengan Kerajaan Nepal, dan kami
hanya perlu menangkap Gubernur Ho-nan yang memberontak!”
Gak Bun Beng mengerti bahwa dalam ucapan isterinya ini tentu terkandung maksud yang lebih dalam. Dan
memang sebenarnyalah demikian. Puteri Milana maklum bahwa kerajaan sedang lemah dan kacau oleh
tindakan kaisar tua yang mendengarkan bujukan para menteri durna sehingga kaisar menaruh curiga
kepada semua orang, terutama orang-orang yang setia seperti Jenderal Kao Liang yang sampai dipecat.
Dalam keadaan lemah itu, biar pun kini pangeran mahkota sudah mulai menaruh perhatian, amatlah
berbahaya kalau menyatakan perang dengan Nepal secara terbuka dengan jalan menangkap atau
membunuh Koksu Nepal. Kini yang terpenting adalah menangkap dan menghukum Gubernur Ho-nan yang
memberontak.
Rombongan Koksu Nepal tidak mengalami banyak hambatan karena para prajurit tidak ada yang berani
mencoba menghalangi mereka sehingga mereka itu dapat melarikan diri melalui pintu rahasia dan cepat
dunia-kangouw.blogspot.com
meninggalkan benteng yang sudah diduduki musuh itu. Banyak pasukan pemberontak yang tewas, tetapi
lebih banyak lagi yang menyerah setelah melihat para pimpinan mereka melarikan diri.
Dengan tubuh gemetar dan muka pucat ketakutan, Kui Cu Kam, Gubernur Ho-nan yang memberontak itu
berlutut dan ditawan bersama kaki tangannya.
Puteri Milana dan para pendekar merasa lega bahwa akhirnya semua keluarga Kao dapat diselamatkan
dan sambil menggiring rombongan gubernur pemberontak mereka keluar dari dalam istana dengan girang.
Hanya Kian Bu yang mengerutkan alisnya dengan khawatir karena kakaknya tadi pergi entah ke mana,
melakukan pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang melarikan Hwee Li.
Ketika rombongan Puteri Milana keluar dari istana, tiba-tiba terdengar suara ledakan yang amat dahsyat
dan mengejutkan semua orang. Mereka terkejut sekali karena perang telah selesai dan tidak perlu lagi
diadakan peledakan lain untuk menghancurkan benteng. Mereka semua memburu keluar dan terdengar
teriakan yang memilukan, “Ayaaahhh…..!”
Mendengar bahwa teriakan itu adalah suara Kao Kok Cu, semua orang cepat berlari menghampiri tempat
ledakan. Yang meledak hancur dan kini terbakar adalah menara di mana tadi Jenderal Kao Liang berdiri
serta mengatur ledakan-ledakan dan pembakaran pembakaran. Kini menara itu telah terbakar dan api
menyala-nyala dengan hebatnya. Dan di tengah-tengah menara yang sudah runtuh, di antara api yang
bernyala-nyala, nampak berdiri tegak seorang laki-laki tua yang gagah perkasa, berdiri dengan tegak dan
memandang ke arah benteng yang sudah hancur dengan wajah berseri akan tetapi kedua matanya
mengalirkan air mata. Orang tua gagah itu bukan lain adalah Jenderal Kao Liang!
“Ayaaah...!” Kao Kok Cu berseru.
Dan berbareng dengan tubuh isterinya yang sudah menurunkan Cin Liong, pendekar ini melayang naik
seperti berlomba dengan Ceng Ceng untuk menolong kakek itu. Namun, mereka terpaksa berjungkir balik
dan turun kembali karena mereka disambut oleh api yang berkobar-kobar!
“Kembalilah, Kok Cu dan Ceng Ceng! Aku bukanlah seorang pengecut, dan aku sudah bersumpah untuk
mempertahankan benteng dengan nyawaku!” terdengar Jenderal Kao Liang berseru dengan suara
mengguntur. “Selamat tinggal semua!”
Tangannya bergerak dan terdengar lagi ledakan dahsyat, nampak sinar api berkilauan hebat dan tempat itu
hancur sama sekali. Tubuh sang jenderal lenyap bersama sisa menara yang hancur oleh ledakan itu!
Ceng Ceng menangis mengguguk dan merangkul suaminya. Terdengar jerit tangis saat para keluarga Kao
keluar dari tempat mereka dan mereka hanya dapat menangis sambil memandang ke arah api yang
berkobar. Isteri sang jenderal dan beberapa orang keluarga wanita roboh pingsan. Kao Kok Cu juga tak
dapat menahan air matanya dan dia menundukkan mukanya, berdoa untuk roh ayahnya yang gagah. Dia
tahu apa yang telah dilakukan ayahnya dan mengapa. Dia tidak dapat menyalahkan keputusan yang
diambil oleh ayahnya itu.
Ayahnya telah berkhianat kepada negara, demi menyelamatkan keluarganya. Setelah keluarganya
selamat, ayahnya melaksanakan rencana yang telah diaturnya semenjak hari pertama dia dipaksa
membangun benteng, yaitu menghancurkan seluruh benteng itu. Menghancurkannya bersama dia karena
dia sudah berjanji kepada pangeran dan Koksu Nepal bahwa dia akan mempertahankan benteng itu
dengan nyawanya. Dan memang dia mempertahankan dengan taruhan nyawanya di samping dia menebus
dosa pengkhianatannya kepada negara! Jenderal Kao Liang tewas sebagai seorang panglima yang gagah
perkasa, yang mempertahankan benteng buatannya dan yang dipimpinnya dengan mengorbankan
nyawanya.
Hati Kian Bu yang gelisah memikirkan Kian Lee, menjadi semakin berduka menyaksikan peristiwa yang
menimpa keluarga Kao itu. Dia tidak mampu menghibur, bahkan tidak mampu berkata apa-apa lagi. Yang
banyak memberi hiburan kepada keluarga itu adalah Gak Bun Beng dan isterinya, Puteri Milana. Melihat
bahwa tenaganya tidak lagi diperlukan, dan karena tidak mau mengganggu keluarga yang sedang dilanda
duka itu dengan pamit, dia lalu mendekati Puteri Milana dan berkata, “Enci Miiana, aku akan pergi mencari
Lee-ko.”
Milana memandang kepada adiknya ini. “Ke mana dia?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Katanya mengejar Pangeran Llong Bian Cu yang melarikan Nona Hwee Li.”
Milana mengangguk. “Hati-hati kau, Bu-te, dan jangan terlalu lama, kalau sudah jumpa dengan Kian Lee
kalian harus mengunjungi kami di puncak Telaga Warna di Beng-san. Atau kalian susul kami di kota raja
karena kami harus lebih dulu pergi ke kota raja bersama pasukan dan tawanan.”
“Baik, Enci Milana.” Kian Bu lalu pergi meninggalkan benteng itu, tidak tahu bahwa diam-diam ada orang
yang membayanginya dan orang ini bukan lain adalah Teng Siang In! Dan tidak lama setelah Siang In
pergi, nampak seorang lain yang juga diam-diam pergi dari situ dan orang ini adalah Kang Swi Hwa atau
Ang-siocia…..
********************
Oleh karena para tokoh dalam cerita kita ini mulai berpencaran lagi setelah benteng pemberontak dapat
dihancurkan, dan karena masing-masing mengalami hal-hal yang amat hebat dan menarik, maka
sebaiknya kalau kita mengikuti perjalanan mereka satu demi satu. Pertama-tama kita mengikuti perjalanan
Ang Tek Hoat yang telah lebih dulu meninggalkan benteng ketika mendengar bahwa Puteri Syanti Dewi
telah dilarikan oleh Panglima Bhutan, yaitu Mohinta dan anak buahnya.
Ketika mendengar dari Siluman Kecil Suma Kian Bu bahwa yang membunuh ibunya adalah Mohinta, hati
pemuda ini penuh dengan dendam dan kemarahan hebat. Kematian ibunya tak pernah dapat
dilupakannya, dan dia telah dengan susah payah mencari siapa mereka atau dia yang membunuh ibunya.
Akhirnya dia sudah hampir putus asa untuk dapat membongkar rahasia itu karena tidak ada bukti atau
saksi yang dapat menuntunnya kepada si pembunuh. Tak disangkanya bahwa dia akan mendengar
keterangan yang demikian jelasnya dari Suma Kian Bu, paman tirinya sendiri.
Kini dia mengerti dan dapat membayangkan keadaan ibunya. Tentu Mohinta dan anak buahnya itu
menemukan ibunya seorang diri dalam pondoknya dan panglima muda yang keji itu telah membunuh
ibunya. Akan tetapi dia ingin tahu mengapa Mohinta membunuh ibunya. Dia akan menangkap Mohinta dan
memaksanya mengaku mengapa Mohinta membunuh ibunya, setelah itu baru dia akan membalas
kematian ibunya. Sakit hati karena dendam membuat pemuda ini selalu membayangkan dan
merencanakan penyiksaan yang paling hebat untuk musuh besar pembunuh ibunya itu!
Dendam merusak dan meracuni batin manusia. Kenyataan ini nampak dalam kehidupan kita sehari-hari.
Betapa dendam dan amarah menguasai hati kita setiap hari. Dendam melahirkan kekerasan dan
kekejaman. Dendam menciptakan permusuhan yang tiada habisnya. Betapa semenjak kita masih kecil,
nafsu amarah dan dendam ini sudah menguasai lubuk hati kita sepenuhnya.
Kita akan marah-marah kalau kita diganggu, kalau keluarga kita diganggu, kalau negara kita di ganggu,
kalau bangsa kita diganggu, kalau milik kita lahir batin diganggu. Dan kita akan membalas! Membalas
berlipat ganda! Sejak masih kanak-kanak sudah nampak nafsu dendam ini. Dipukul sekali baru akan puas
kalau membalas dua kali! Hati yang marah baru akan puas kalau sudah menumpahkan kemarahannya
berupa makian, balas menghina, memukul dan sebagainya lagi.
Betapa nyata nampak kalau kita mau membuka mata memandang, bahwa satu di antara hal yang
mendorong kita mendendam adalah karena kita selalu ingin menang dari orang lain, tidak mau kalah dalam
hal apa pun juga! Kalau orang melakukan kekerasan kepada kita, kita pun tidak mau kalah keras! Kita
khawatir disangka takut, disangka pengecut, dianggap tidak berani! Inilah yang mendorong kita menyambut
kekerasan orang dengan kekerasan yang lebih hebat lagi.
Dan bagaimana kalau ada orang bersikap baik kepada kita? Kita pun tidak mau kalah, tidak mau kalah
baik, ingin dianggap lebih baik lagi. Buktinya? Kalau anda bermusuhan atau saling marah dan membenci
dengan lain orang, cobalah anda mengubah diri dan bersikap manis dan baik. Akan nampak oleh anda
betapa orang itu pun sebaliknya akan mengambil sikap yang lebih manis dan lebih baik pula dari pada
sikap anda. Sebaliknya, kalau dia bersikap keras dan congkak, anda akan bersikap lebih keras dan lebih
congkak lagi!
Kemudian kita melihat bahwa kemarahan itu mengakibatkan hal-hal buruk sekali dalam kehidupan,
menimbulkan permusuhan, pertentangan dan kesengsaraan, maka lalu muncullah ajaran agar kita belajar
sabar! Kita marah dan kita dianjurkan bersabar. Hal ini, seperti terbukti dalam kehidupan kita sehari-hari,
sama sekali tidak ada artinya, tidak ada gunanya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dalam keadaan marah, kita lalu mengendalikan perasaan, menekan kemarahan, dan memaksa diri untuk
menjadi sabar. Memang, pada saat itu dapat kita menekan kemarahan dan menjadi sabar, namun
kesabaran seperti itu adalah kesabaran palsu, kemarahan itu tidak padam, hanya ditekan dan ditutupi
belaka. Seperti api dalam sekam, kelihatannya saja tidak menyala namun sesungguhnya masih membara
dan sewaktu-waktu akan berkobar lagi.
Maka nampaklah dalam kehidupan kita betapa apa bila belajar sabar itu sama sekali tidak ada gunanya
karena kemarahan yang ditekan-tekan itu akan terus-menerus dan selalu muncul dan muncul lagi untuk
ditekan dan dikendalikan lagi. Maka terjadilah perang batin, konflik batin antara kemarahan sebagai
kenyataan dan sabar sebagai hal yang kita kehendaki.
Kita lupa bahwa kemarahan tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar sabar atau dengan keinginan
untuk tidak marah! Kotoran tidak mungkin dapat dilenyapkan dengan belajar bersih! Yang penting adalah
berani menghadapi kenyataan. Dan kenyataan pada diri kita adalah kemarahan itulah. Itulah faktanya. Kita
marah! Kita keras, kita pendendam, kita kejam. Inilah kenyataannya! Tidak perlu kita lari dari pada
kenyataan ini dan bersembunyi di balik selimut kesabaran, kebaikan dan sebagainya. Semua itu hanya
palsu dan munafik belaka. Pada hakekatnya, pada dasarnya, pada intinya, kita masih pendendam, masih
pemarah.
Lalu, apakah kita harus membiarkan saja kenyataan bahwa kita adalah pendendam dan pemarah? Sudah
tentu tidak! Kita melihat dengan jelas bahwa harus terjadi perubahan pada diri kita, pada batin kita. Akan
tetapi perubahan itu tak mungkin terjadi kalau hanya dengan jalan menentang kemarahan itu dan ingin
menggantikan kedudukannya dengan kesabaran dan kebaikan. Kita HARUS berubah!
Lalu bagaimana caranya untuk melenyapkan kemarahan? Tidak ada caranya, karena kalau disebutkan
suatu cara, itu pun palsu dan merupakan penipuan belaka, merupakan pelarian seperti belajar sabar dan
mengendalikan perasaan tadi. Apakah kemarahan itu? Siapa yang marah? Berbedakah kita dengan
kemarahan itu? Kitalah yang marah. Kitalah kemarahan itu sendiri! Kemarahan tidak terpisah dari kita!
Kitalah sumber kemarahan, kitalah pembuat kemarahan, dan kitalah biang keladinya. Karena itu, kalau
kemarahan tiba, tidak perlu kita lari, tidak perlu pula kita sembunyi, sebaliknya, kita hadapi kemarahan itu,
kita pandang dengan penuh kewaspadaan, dengan penuh perhatian! Pernahkah anda melakukan hal ini?
Biasanya, kalau kita marah, kita menjadi mata gelap, kita kehilangan kesadaran, kita tidak ingat apa-apa
lagi, yang ada hanyalah nafsu ingin melampiaskan kemarahan. Bukankah demikian?
Pernahkah dan maukah kita mencoba untuk menghadapi kemarahan itu sebagai suatu fakta, kita
perhatikan kemarahan kita itu, penuh kewaspadaan dan ingin kita melihat apa yang terjadi kalau begitu!
Karena kemarahan itu pada hakekatnya adalah kita sendiri, maka dengan pengamatan penuh
kewaspadaan itu, dengan penuh perhatian itu, kemarahan pun tidak ada! Sebaiknya kita mencoba dalam
kehidupan kita sehari-hari yang penuh coba dan goda ini.
Dan kalau sudah tidak ada kemarahan lagi dalam batin kita, perlukah kita belajar sabar? Kalau kita tidak
marah, perlukah kita menekan dan mengendalikan perasaan? Dan kalau tidak ada kemarahan, tidak ada
benci, apa yang timbul dalam batin kita? Mungkin mata batin kita baru akan melihat apa artinya CINTA
KASIH itu.
Tek Hoat dimabuk dendam. Dalam keadaan dendam dan marah, dia merencanakan siksaan sehebathebatnya
kepada orang yang amat dibencinya, yaitu Mohinta. Dia membuat perhitungan dan dugaan
bahwa Mohinta tentu melarikan Syanti Dewi menuju ke barat, ke Bhutan. Dan memang dugaannya itu
tepat.
Beberapa hari kemudian setelah dia meninggalkan benteng melakukan pengejaran, dia menemukan jejak
mereka. Kiranya Mohinta dan anak buahnya itu melakukan perjalanan cepat dengan menggunakan sebuah
kereta dan rombongan itu menunggang kuda, melakukan perjalanan yang cepat. Demikianlah keterangan
yang didapat oleh Tek Hoat dalam penyelidikannya. Maka dia lalu melakukan pengejaran secepatnya dan
beberapa hari kemudian dia berhasil menyusul rombongan itu!
Begitu melihat Mohinta menunggang kuda memimpin anak buahnya yang mengawal kereta, jantung Tek
Hoat berdebar kencang dan menurutkan dorongan hatinya, ingin dia seketika menerjang dan menangkap
Mohinta dan membebaskan Syanti Dewi yang dia duga tentu berada di dalam kereta itu. Akan tetapi,
pemuda ini dapat menahan dirinya. Nanti saja, pikirnya sambil mengintai dari balik pohon, aku harus
melihat Syanti Dewi lebih dulu. Nanti kalau rombongan itu melewatkan malam, dia akan turun tangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka Tek Hoat hanya mengintai sambil berjongkok di balik sebatang pohon, membiarkan kereta yang
dikawal orang-orang Bhutan itu lewat.
Dia lalu membayangi terus dan akhirnya rombongan itu berhenti di sebuah dusun yang tidak berapa besar,
dusun di antara bukit-bukit yang jauh dari kota. Dengan pengaruh uangnya dan juga pengaruh sikap anak
buahnya yang galak, Mohinta dapat menyewa rumah kepala dusun itu untuk dijadikan tempat bermalam.
Karena menerima uang sewa yang cukup besar dan juga jeri melihat sikap rombongan orang Bhutan itu,
kepala dusun mengalah dan membawa keluarganya keluar dari rumah, bermalam di rumah seorang
penduduk dusun.
Tek Hoat mengintai terus dan jantungnya berdebar tegang ketika dia melihat Syanti Dewi melangkah turun
dari dalam kereta. Akan tetapi, perasaan tidak senang menyusup di hatinya ketika dia melihat puteri pujaan
hatinya itu tersenyum genit kepada Mohinta yang membantunya turun dari kereta, bahkan puteri itu
kemudian bergandengan tangan dengan Mohinta memasuki rumah kepala dusun yang mereka sewa untuk
semalam.
Tek Hoat melongo sampai lama setelah kedua orang itu memasuki rumah. Perasaan hatinya nyeri rasanya
seperti ditusuk pedang. Sikap Syanti Dewi begitu mesra terhadap Mohinta. Senyum itu! Kerling mata itu!
Begitu genitnya, padahal seingatnya, tak pernah Syanti Dewi bersikap segenit itu, bahkan kepadanya
sekali pun. Cemburu menguasai hatinya, cemburu dan penasaran. Jadi begitukah keadaan sebenarnya
mengapa Syanti Dewi bersikap dingin kepadanya ketika mereka dipertemukan oleh Koksu Nepal? Syanti
Dewi telah berpaling kepada Mohinta dan agaknya bertukar hati dengan panglima muda Bhutan itu?
Dengan hati penuh dendam dan cemburu yang membuat kepalanya pening, malam itu Tek Hoat mendekati
rumah kepala dusun. Biar pun rumah itu terjaga, namun mudah saja bagi Tek Hoat untuk menyusup dan
memasuki rumah itu sehingga akhirnya dia berhasil juga mengintai ke dalam kamar besar rumah itu. Dan
apa yang dilihat dan didengarnya membuat pemuda ini hampir saja jatuh pingsan!
Di bawah sinar lampu remang-remang, dia melihat Mohinta yang tidak lagi memakai pakaian panglima,
melainkan mengenakan pakaian tidur yang tipis, duduk di atas kursi dan Puteri Syanti Dewi duduk di atas
pangkuannya dengan sikap manja sekali! Dengan hati hampir meledak saking panasnya Tek Hoat melihat
betapa kedua lengan Mohinta memeluk tubuh itu dan tangan Mohinta dengan cara yang dianggapnya
kurang ajar memegang-megang dada sang puteri! Akan tetapi puteri itu tidak marah, malah merangkul
leher Mohinta dan mereka berdua berciuman dengan cara yang membuat Tek Hoat yang mengintai itu
bergidik karena ciuman itu dilakukan dengan mulut ke mulut dan amat mesranya.
Melihat panglima itu yang mengingatkan dia akan kematian ibunya saja sudah membuat Tek Hoat marah
bukan main, apa lagi melihat betapa musuh besarnya itu sekarang merampas pula kekasihnya, hampir Tek
Hoat tidak dapat menahan sabar dan ingin dia menerjang lewat jendela. Akan tetapi, kedua orang itu kini
sudah bicara berbisik-bisik dan Tek Hoat menahan hatinya untuk mendengarkan lebih dulu percakapan
mereka sebelum dia menerjang masuk.
“Ahhh, Sayang... engkau sungguh manis, dan aku sungguh cinta padamu...,“ terdengar Mohinta berbisik
sambil membelai-belai tubuh puteri itu.
“Hemmmmm...” Sang Puteri merintih manja dan menggeliat di atas pangkuan Panglima Bhutan itu. “Aku
pun cinta padamu... Panglima... akan tetapi benarkah kelak aku akan menjadi permaisurimu...?”
Tek Hoat terbelalak dan merasa heran bukan main mendengar bisikan Syanti Dewi itu dan timbullah
keinginan tahunya untuk mendengarkan terus.
“Tentu saja, Manis. Tetapi kita harus berhasil dulu, dan untuk itu aku mengandalkan bantuanmu. Engkau
harus membantuku menundukkan raja tua itu...”
“Ihhh, aku takut...“ Puteri itu berbisik manja sambil menyandarkan muka di atas dada Mohinta.
Mohinta memeluknya. “Tidak usah takut. Pasukan-pasukanku sudah siap dan engkau hanya pura-pura
saja menjadi tawananku, dan kalau kuancam engkau di depan raja, engkau tahu bahwa aku pun hanya
pura-pura saja agar raja mau tunduk dan menyerah kepadaku. Kemudian, jika aku sudah menjadi raja,
engkau tentu menjadi permaisuriku. Hemmm... engkau manis benar malam ini...“ Mohinta kembali
menciumnya dan Tek Hoat sudah mundur dan tidak mau melihat lagi. Akan tetapi dia tidak menerjang
jendela itu, malah dia menjauhkan diri dan meninggalkan tempat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tak lama kemudian, pemuda ini telah rebah di dalam gubuk di tengah sawah di luar dusun, tempat para
petani mengaso dan berteduh dari sinar matahari. Dia termenung. Tidak, dia tidak akan membunuh
Mohinta sekarang ini, dia harus sabar menanti sampai mereka tiba di Bhutan. Jelas bahwa Mohinta
merencanakan sedang pemberontakan terhadap raja, dan Mohinta hendak menggunakan Syanti Dewi
sebagai sandera untuk menundukkan Raja Bhutan!
Kalau saja benar-benar Syanti Dewi menjadi sandera, menjadi tawanan, tentu sekarang juga dia
membebaskan puteri itu dan membunuh Mohinta. Akan tetapi, yang membuat dia penasaran adalah
karena melihat kenyataan betapa puteri itu sama sekali bukan menjadi tawanan, bahkan menjadi sekutu
dari Mohinta untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Dia sungguh merasa heran bukan main,
bertanya-tanya dalam hati apa yang telah terjadi dengan Syanti Dewi sehingga puteri itu demikian berubah,
tidak hanya menjadi genit dan aneh, akan tetapi juga menjadi jahat sehingga kini mau bersekutu dengan
seorang pemberontak untuk merampas kedudukan ayahnya sendiri! Diam-diam Tek Hoat merasa
menyesal bukan main dan terbayanglah kembali sikap Syanti Dewi ketika dipertemukan dengannya oleh
koksu. Terdengar berdengung di dalam telinganya ucapan Syanti Dewi kepadanya waktu itu.
“Ang Tek Hoat, engkau telah pergi tanpa pamit, bahkan telah menimbulkan kemarahan di hati ayahku, oleh
karena itu sesungguhnya sudah tidak ada apa-apa lagi antara kita...“
Tek Hoat memejamkan matanya, hatinya seperti ditusuk rasanya. Jadi agaknya sang puteri telah
memutuskan hubungan antara mereka dan kini bahkan telah berganti pacar! Dia makin penasaran. Andai
kata berganti pacar, mengapa sang puteri begitu tidak tahu malu dan tidak mengenal susila, mau saja
diperlakukan seperti itu oleh Mohinta? Dan mengapa pula sudi diajak bersekutu untuk menjatuhkan Raja
Bhutan?
“Aku harus menentang mereka!” Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk dan mengepal tinju. “Aku akan sabar
menanti, tidak membunuh Mohinta dulu. Aku harus menggagalkan rencana busuk mereka dan membuka
kedok mereka di depan Raja Bhutan! Biar Raja Bhutan menjadi terbuka matanya dan melihat betapa
seorang anak haram seperti aku jauh lebih berharga dari pada panglima mudanya, bahkan lebih berharga
dari pada puterinya sendiri!”
Pikiran ini membuat Tek Hoat akhirnya dapat tidur di dalam gubuk dan pada keesokan harinya, pagi-pagi
sekali dia sudah membayangi lagi rombongan Mohinta itu. Dia tidak akan membunuh Mohinta di tengah
jalan. Tidak, dia akan membongkar dulu kedok mereka, rahasia mereka yang busuk di depan raja,
menghancurkan siasat dan rencana pemberontakan kotor mereka, barulah dia akan membunuh Mohinta,
pembunuh dari ibunya itu. Tentang Syanti Dewi... ahhh, dia tidak berani memikirkan masa depannya
dengan puteri itu, sungguh pun dia tahu bahwa selama hidupnya tidak mungkin dia melupakan puteri itu,
dan apa pun yang terjadi dengan diri puteri itu, cintanya tetap mendalam dan akan terus menyala di dalam
hatinya.
Ketika rombongan itu sudah tiba di perbatasan barat, Tek Hoat lalu mendahuluinya dan dia hendak pergi
lebih dulu ke Bhutan untuk menghadap raja dan memberitahukan tentang rencana pemberontakan Mohinta
itu. Akan tetapi sebelum dia meninggalkan rombongan itu, dia melihat pasukan yang cukup besar, tidak
kurang dari seribu orang jumlahnya, nampak menyambut rombongan itu dan tahulah dia bahwa pasukan
itu adalah pasukan yang dipimpin oleh panglima tua Sangita yang agaknya telah bersekongkol pula
dengan puteranya dan lebih dulu sudah tahu akan kedatangan puteranya bersama Syanti Dewi. Maka Tek
Hoat lalu bergegas mendahului mereka menuju ke Bhutan, melintasi perbatasan yang terdiri dari gununggunung.
Selagi dia berjalan cepat melalui padang rumput setelah keluar dari sebuah hutan, pada jalan mendaki,
tiba-tiba terdengar suara ketawa orang dan ketika dia menoleh, ternyata yang tertawa itu adalah Hek-tiauw
Lo-mo yang muncul keluar dari balok pohon besar.
“Ha-ha-ha, pengkhianat muda, kiranya kita dapat saling jumpa di sini!” kata kakek itu sambil memandang
dengan penuh ejekan.
Tek Hoat mengerutkan alisnya. Dia sedang tergesa-gesa dan dirinya tidak sudi banyak bicara dengan
kakek iblis itu. “Hek-tiauw Lo-mo, mau apa engkau menghadangku?” bentaknya.
“Ha-ha-ha, kita sama-sama petualang. Aku sedang mencari puteriku. Apakah engkau melihatnya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Andai kata melihatnya juga, apa kau kira aku sudi memberi tahu padamu? Pergilah, jangan ganggu aku!”
Bagaimana Hek-tiauw Lo-mo dapat melakukan perjalanan secepat itu, mendahului Tek Hoat? Kiranya
kakek iblis ini telah mendapatkan kembali burung garudanya dan melarikan diri dari dalam benteng itu
dengan menunggang garuda. Ketika terjadi ribut ribut oleh penyerbuan tentara kerajaan dan koksu
bersama para pembantunya diberi kesempatan untuk melarikan diri oleh Kao Kok Cu, Hek-tiauw Lo-mo
tiba-tiba melihat burung garudanya terbang berputaran tinggi di atas benteng yang kebakaran itu sambil
mengeluarkan suara ketakutan. Ternyata burung yang ditinggalkan oleh Hwee Li di dalam hutan itu tengah
mencari majikan-majikannya dan ketika melihat benteng itu kebakaran dan melihat banyak manusia
bertempur, binatang ini menjadi ketakutan dan hanya berani terbang berputaran di atas tempat itu.
Hek-tiauw Lo-mo lalu mengeluarkan suara melengking panjang memanggil burungnya. Garuda itu
mengenal suara majikannya, menukik turun dan kakek iblis itu kemudian meninggalkan semua rekannya,
menunggang garuda untuk mencari puterinya karena dia mendengar bahwa puterinya telah dilarikan oleh
Pangeran Nepal. Dia melakukan pengejaran ke barat, namun tidak berhasil menemukan puterinya itu. Dia
menghadang dan bersembunyi di padang rumput, menanti munculnya Pangeran Nepal yang menculik
Hwee Li, akan tetapi sebaliknya yang muncul malah Tek Hoat yang segera dihadangnya untuk ditanya.
Mendengar jawaban itu, Hek-tiauw Lo-mo menjadi marah. “Jari Maut, engkau sungguh manusia yang
sombong sekali. Kalau aku sekarang menyerang dan membunuhmu juga, sudah sepatutnya karena
engkau telah mengkhianati kami di dalam benteng itu.”
“Persetan dengan bentengmu, persetan dengan koksu dan Pangeran Nepal! Aku di sana karena hendak
melindungi Puteri Bhutan, bukan hendak mengekor orang Nepal seperti engkau!”
Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo tertawa bergelak. “Puteri Bhutan? Ha-ha-ha, Puteri Bhutan? Engkau memang
sombong dan saat ini aku senang, maka aku akan membunuhmu.”
Sebetulnya Tek Hoat tidak mau melayani kakek iblis yang dianggapnya gila itu. Pertama karena memang
dia tidak mempunyai urusan apa-apa dengan kakek itu, kedua karena dia sedang tergesa-gesa hendak
mendahului rombongan Mohinta menuju ke Bhutan sehingga dia tidak ingin menghabiskan waktunya untuk
melayani penghuni Pulau Neraka itu. Akan tetapi ketika melihat kakek itu mengeluarkan sebatang pedang
yang mengeluarkan sinar berkilat menyeramkan, wajah pemuda ini berubah dan matanya terbelalak.
“Cui-beng-kiam...!” serunya dan matanya melekat kepada pedang di tangan kakek itu.
“Ha-ha-ha, engkau masih mengenalnya? Benar, ini Cui-beng-kiam yang akan minum darah tuannya
sendiri, ha-ha-ha!”
Dan terbayanglah semua peristiwa beberapa tahun yang lalu oleh Tek Hoat. Tadinya pedang Cui-bengkiam
itu adalah pedangnya, yang dimilikinya bersama ilmu-ilmu peninggalan Cui-beng Koai-ong, seorang
datuk dari Pulau Neraka. Akan tetapi, dalam Kisah Sepasang Rajawali diceritakan betapa pedang itu telah
terampas oleh Hek-tiauw Lo-mo yang sebagai ketua Pulau Neraka berhak pula memiliki pedang itu.
Ketika Ang Tek Hoat menjadi panglima di Bhutan dan berdekatan dengan kekasihnya, yaitu Puteri Syanti
Dewi, dia telah melupakan pedang itu, bahkan tidak pernah dia bertanya lagi ketika dia bertemu dengan
Hek-tiauw Lo-mo. Tingkat kepandaiannya yang sudah tinggi itu membuat dia tidak terlalu membutuhkan
bantuan sebatang pedang, biar pun pedang sedahsyat dan seampuh Cui-beng-kiam. Akan tetapi, sekarang
kakek itu mengeluarkan Cui-beng-kiam untuk mengancamnya. Tentu saja Ang Tek Hoat menjadi marah
bukan main. Begitu melihat Cui-beng-kiam, bangkitlah semangatnya dan kalau tadinya dia tidak bernafsu
melayani Hek-tiauw Lo-mo, kini timbul kemarahannya dan tekadnya untuk melawan kakek itu dan untuk
merampas kembali Cui-beng-kiam!
“Keparat, kembalikan pedangku!” bentaknya dan dia sudah langsung menerjang dengan tamparantamparan
maut dari jari-jari tangannya yang ampuh.
Hek-tiauw Lo-mo tertawa dan cepat-cepat menggerakkan pedang Cui-beng-kiam untuk membabat ke arah
kedua tangan pemuda itu. Tek Hoat menarik tangannya dan dia menggunakan kecepatan gerakannya
untuk menyerang lagi. Terjadilah pertempuran yang amat hebat antara dua orang sakti ini.
Hek-tiauw Lo-mo sedang merasa murung dan jengkel karena hilangnya Hwee Li. Dia memang telah
menyetujui untuk menyerahkan Hwee Li kepada Pangeran Nepal, akan tetapi tentu saja penyerahannya itu
dunia-kangouw.blogspot.com
berdasarkan pamrih agar dia dapat mengangkat diri sendiri menjadi mertua pangeran. Kini, usaha
pangeran untuk bersekutu dengan Gubernur Ho-nan mengalami kegagalan dan pangeran itu telah
melarikan puterinya. Tentu saja dia menjadi marah dan dia tidak akan melepaskan Hwee Li yang cantik
jelita itu begitu saja tanpa ada keuntungan untuk dirinya sendiri. Kemurungannya itu kini ditimpakannya
kepada Ang Tek Hoat dan dia menggunakan pedang Cui-beng-kiam, menyerang dengan amat ganasnya
untuk membunuh pemuda ini menggunakan pedang pemuda itu sendiri.
Akan tetapi, Ang Tek Hoat atau yang sebenarnya ber-she Wan seperti she ayah kandungnya, kini telah
memiliki kematangan dalam ilmu silatnya. Pemuda ini mainkan Ilmu Silat Pat-mo Sin-kun yang digabung
dengan Pat-sian Sin-kun, ilmu silat yang pernah dipelajarinya dari Sai-cu Lo-mo. Sebetulnya ilmu
gabungan ini adalah ciptaan dari Puteri Nirahai, isteri pertama dari Pendekar Super Sakti yang dipelajari
oleh Sai-cu Lo-mo. Akan tetapi, Tek Hoat telah dapat melatihnya dengan sempurna karena dia memiliki
tenaga Inti Bumi yang dipelajarinya dari kitab peninggalan Cui-beng Koai-ong. Oleh karena itu, dalam hal
ilmu gabungan Pat-sian Sin-kun dan Pat-mo Sin-kun, pemuda ini telah mencapai tingkat yang tinggi sekali,
sebanding dengan tingkat yang dimiliki penciptanya, bahkan mungkin lebih kuat karena tenaga Inti Bumi!
Menghadapi serangan-serangan pedang dari Hek-tiauw Lo-mo, Tek Hoat tidak merasa gentar. Dengan
ilmu silatnya yang mengandalkan gerakan cepat itu, dia selalu dapat menghindarkan diri dari tusukan atau
bacokan pedang, bahkan dapat membalas dengan pukulan-pukulan maut. Dan yang membuat Hek-tiauw
Lomo terkejut sekali adalah penggunaan totokan dengan Ilmu Toat-beng-ci, yaitu ilmu totok dengan jari
maut yang mengangkat nama Tek Hoat menjadi si Jari Maut.
Betapa pun juga, yang dilawan oleh Tek Hoat adalah seorang kakek iblis yang amat tangguh, maka
tidaklah mudah bagi pemuda ini untuk dapat menangkan perkelahian itu. Bahkan dia harus bersikap hatihati
sekali karena dia maklum betapa ampuhnya pedang Cui-beng-kiam yang mengandung racun, juga
memiliki hawa yang menyeramkan ini.
Seratus jurus telah lewat dan Hek-tiauw Lo-mo yang tadinya tertawa-tawa itu kini tidak dapat lagi tertawa.
Bahkan dia mulai marah dan penasaran sekali karena sebegitu lamanya belum juga dia berhasil
merobohkan lawannya yang masih muda. Mulailah dia membantu pedangnya dengan pukulan-pukulan
tangan kirinya yang ampuh pula, yaitu Hek-coa-tok-ciang. Tangan kirinya mengeluarkan uap hitam dan bau
yang amis ketika dilancarkan untuk menghantam ke arah Tek Hoat. Akan tetapi pemuda ini maklum akan
bahaya pukulan itu dan selalu dapat menghindarkan sambil membalas dengan totokan totokan mautnya.
“Mampuslah!” Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berteriak nyaring dan Cui-beng-kiam meluncur dengan kecepatan
luar biasa ke arah dada Tek Hoat.
Pemuda ini terkejut karena pada saat itu dia sedang mengelak dari sambaran pukulan tangan kiri lawan.
Tidak disangkanya bahwa pukulan dahsyat itu tadi hanya pancingan belaka dan ketika dia mengelak,
tubuhnya disambut oleh tusukan pedang. Cepat dia miringkan tubuhnya, maklum bahwa dia berada dalam
keadaan berbahaya maka dia pun lalu menggerakkan tangannya membalas dengan tusukan jari tangan ke
arah lambung lawan.
“Brettt!”
“Brettt!”
Mereka melangkah mundur dan masing-masing meraba pinggir dada dan lambung yang ternyata hampir
saja terkena serangan masing-masing dan baju di bagian itu yang robek! Tek Hoat menggunakan
kesempatan itu, ketika meloncat mundur tubuhnya rebah ke atas tanah dan mendadak kedua kakinya
meluncur ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dahsyat. Itulah tendangan yang menggunakan
tenaga Inti Bumi sekuatnya. Angin yang kencang menyambar ke arah Hek-tiauw Lo-mo. Kakek iblis ini
terkejut dan hendak meloncat ke belakang untuk mengelak, akan tetapi kurang cepat gerakannya itu
karena ujung kaki Tek Hoat telah mengenai tangannya yang memegang pedang Cui-beng-kiam.
“Dessss... ahhhh...!”
Pedang itu terlepas dari pegangannya tanpa dapat dicegahnya lagi karena tangannya seperti dihantam
palu godam raksasa saja dan seperti lumpuh rasanya.
Tubuh Tek Hoat berkelebat cepat dan dia telah menyambar pedang Cui-bengkiam yang melayang terlepas
dari tangan lawan tadi dan kini dia berdiri dengan pedang itu di tangan, wajahnya beringas dengan
dunia-kangouw.blogspot.com
tersenyum mengejek amat menyeramkan. Namun, Hek-tiauw Lo-mo yang tadi merasa terkejut itu kini
menjadi bertambah marah.
“Bocah setan!” dengusnya dan kini tangan kanannya sudah memegang sebatang golok gergaji yang
merupakan senjatanya yang ampuh, sedangkan tangan kirinya memegang jala tipis yang dikepal dan siap
dipergunakan.
Tek Hoat menghadapi dengan penuh kewaspadaan, karena biar pun kini Cui-beng-kiam telah berada di
tangannya kembali, dia maklum bahwa dengan golok gergaji dan jala tipis di tangan, kakek ini malah lebih
berbahaya lagi. Mereka sudah saling berhadapan dengan mata beringas, siap menerjang seperti dua ekor
ayam jago berlagak dan hendak bertanding mati-matian.
Akan tetapi pada saat itu terdengar derap kaki kuda yang banyak sekali dari arah timur. Kedua orang itu
maklum akan datangnya banyak orang, dan Tek Hoat maklum bahwa itu adalah pasukan yang menyambut
Mohinta, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo nampak gentar karena dia pun tidak ingin bertemu dengan pasukan
yang disangkanya adalah pasukan kerajaan yang melakukan pengejaran. Maka dua orang itu otomatis
melompat saling menjauhkan diri dan tak lama kemudian Tek Hoat melihat seekor burung garuda terbang
dari dalam hutan, dan kakek iblis itu duduk di atas punggungnya. Dia pun tidak mempedulikannya lagi dan
cepat melanjutkan perjalanannya, mendahului pasukan itu menuju ke Bhutan…..
********************
Kapal yang berlabuh di tepi pantai pulau itu amat besar, indah dan megah. Perabot perabotnya amat
mewah dan pantasnya kapal itu milik seorang raja yang kaya raya. Rantai kapal yang nampak berjuntai ke
bawah dan ujungnya mengikat tiang besi di pantai itu terbuat dari pada perak! Kapal itu bergoyang-goyang
perlahan terdorong air yang berombak sehingga nampak berlenggang-lenggok seperti seorang dara yang
cantik dan pesolek. Cat kapal itu masih baru agaknya memang sering dicat seperti seorang dara yang
sering membedaki wajahnya sehari beberapa kali.
Anak buah kapal yang hilir-mudik di atas kapal itu semua terdiri dari wanita-wanita cantik dan muda. Paling
tua kurang lebih tiga puluh tahun dan mereka itu bergerak dengan gesit dan lemah gemulai, membuat
kapal itu nampak lebih elok lagi. Apa lagi pakaian para anak buah kapal itu rata-rata mewah, dari suterasutera
halus beraneka warna, dan kalau kita mendekati mereka, biar pun mereka itu bekerja kasar seperti
pelaut-pelaut biasa, sigap dan kuat, namun kulit tangan mereka halus dan tubuh mereka berbau sedap
karena memakai bedak wangi dan minyak wangi! Sungguh sebuah kapal yang indah, mewah, dan aneh.
Pulau itu bukan lain adalah Kim-coa-to (Pulau Ular Emas) yang menjadi tempat tinggal Bu-eng-kwi Ouw
Yan Hui, wanita berusia empat puluh tahun lebih yang masih nampak cantik jelita seperti baru berusia dua
puluh lima tahun itu. Dan kapal itu adalah kapalnya, sebuah kapal yang memang mewah sekali, yang
dibangun dengan biaya amat mahal. Akan tetapi memang wanita ini memiliki harta kekayaan yang luar
biasa besarnya, harta karun yang didapatkan di pulau, harta karun yang ditinggalkan oleh bajak-bajak laut
jaman dahulu, penuh dengan emas permata yang tak ternilai besarnya.
Seperti telah kita ketahui dari cerita ini di bagian depan, Puteri Bhutan, Syanti Dewi, kini tinggal di Kim-coato
dan menjadi murid dari Bu-eng-cu Ouw Yan Hui. Puteri Bhutan itu berkenan menarik hati Ouw Yan Hui
yang menyayangnya karena kecantikan dan kelembutan puteri itu, dan Ouw Yan Hui lalu melatih ilmunya
yang hebat, yaitu ilmu ginkang yang luar biasa kepada Syanti Dewi.
Selama setengah tahun lamanya Syanti Dewi dilatih menangkap burung-burung dalam ruangan tertutup
dan kini dia telah menjadi seorang puteri yang memiliki ilmu ginkang istimewa. Selain ilmu-ilmu
meringankan tubuh yang membuat sang puteri pandai berlari seperti terbang, menggunakan Ilmu Jouwsang-
hui-teng (Terbang Di Atas Rumput), juga Syanti Dewi diberi pelajaran ilmu silat yang tinggi oleh
gurunya.
Syanti Dewi sekarang jauh bedanya dengan Syanti Dewi beberapa bulan yang lalu. Dia telah menjadi
seorang wanita yang lihai, dan kecantikannya makin menonjol karena berdekatan dengan Ouw Yan Hui,
dia bukan hanya ketularan kepandaian ilmu silat, melainkan juga ketularan sifat pesoleknya, dan juga sifat
dingin dan pendiamnya!
Syanti Dewi yang dulu lembut dan halus budi, peramah dan seratus prosen penuh sifat kewanitaan dan
keibuan, kini menjadi seorang wanita yang wajahnya selalu dirias rapi, cantik jelita seperti bidadari.
Pakaiannya berganti-ganti dengan pakaian yang amat indah, kadang-kadang berpakaian seperti seorang
dunia-kangouw.blogspot.com
Puteri Bhutan, kadang-kadang seperti seorang Puteri India, dan kadang-kadang seperti seorang Puteri
Kerajaan Ceng atau seorang Puteri Mancu. Namun, memakai pakaian apa pun juga, tetap saja Syanti
Dewi nampak cantik jelita seperti bidadari.
Kalau dulu Syanti Dewi murah senyum dan wajahnya selalu cerah, sinar matanya lembut berseri-seri, kini
di depan orang lain dia tidak pernah senyum dan sinar matanya tajam menusuk, juga mengandung
keangkuhan. Hanya di depan Ouw Yan Hui atau anak buah di Pulau Ular Emas saja dia mau tersenyum,
bahkan di waktu berlatih ginkang bersama gurunya dia suka tertawa-tawa dan agaknya kembalilah lagi
sifat gembiranya seperti dahulu. Akan tetapi, di depan orang lain, dia bersikap angkuh, dingin dan pendiam
seperti juga Ouw Yan Hui!
Hubungannya dengan Ouw Yan Hui bukan seperti hubungan guru dan murid, melainkan lebih condong
seperti hubungan sahabat. Ouw Yan Hui juga amat sayang kepada muridnya ini karena dia melihat
kecantikan yang asli dan yang membuat dia selalu merasa muda kembali.
Pagi hari itu, para anak buah kapal yang jumlahnya belasan orang itu telah sibuk membersihkan kapal dan
mempersiapkan kapal itu karena tocu (majikan pulau) mereka yang bagi mereka merupakan seorang ratu
itu telah memberi perintah bahwa menjelang tengah hari nanti dia dan muridnya akan berpesiar dengan
kapal itu. Wanita-wanita muda yang berada di kapal itu bekerja dengan cekatan, akan tetapi hari yang
cerah dengan matahari pagi yang sehat itu membuat mereka menjadi gembira dan sambil bekerja mereka
itu bernyanyi-nyanyi.
Tiba-tiba mereka menghentikan nyanyian mereka, bahkan sejenak menghentikan pekerjaan mereka dan
semua mata memandang ke tengah laut di mana mereka melihat tocu mereka berkejaran dengan Syanti
Dewi. Dan memang merupakan penglihatan yang mentakjubkan sekali dua orang wanita yang sedang
berkejaran di tengah laut itu!
Para anak buah Pulau Ular Emas rata-rata juga memiliki kepandaian silat, dan rata-rata memiliki ginkang
yang hebat. Akan tetapi, tidak ada seorang pun di antara mereka pernah diberi kesempatan melatih
ginkang di atas lautan oleh tocu mereka dan kalau mereka menyaksikan tocu mereka berlatih ginkang di
atas air, mereka benar-benar merasa kagum dan ngeri.
Bu-eng-cu Ouw Yan Hui memang telah menciptakan alat untuk berlatih ginkang secara istimewa di atas
laut. Alat ini sederhana saja, yaitu merupakan dua batang bambu pendek yang diikatkan di bawah kedua
kaki merupakan alas kaki atau sebetulnya merupakan alat penampung karena bambu-bambu itu membuat
tubuhnya terapung di atas air. Akan tetapi, untuk mencegah agar jangan sampai tubuhnya terguling, cara
menginjak bambu-bambu itu harus dapat mengatur keseimbangan tubuh secara luar biasa. Di samping ini,
juga kedua kaki harus digerakkan cepat, meluncur bergantian ke depan sehingga dari jauh nampak seolaholah
wanita cantik itu pandai berjalan di permukaan air!
Cara berlatih seperti ini membuat tubuh Ouw Yan Hui ringan dan cekatan sekali sehingga kalau dia
melepaskan bambu dan berlari di atas daratan, maka kecepatannya seperti seekor kijang berlari saja. Dan
Syanti Dewi yang rupanya memiliki bakat baik untuk ilmu ginkang, kini mulai dilatih dengan dua potong
bambu di bawah kakinya itu dan ternyata dalam waktu singkat saja Syanti Dewi sudah mulai pandai berlarilari
mempergunakan dua potong bambu itu di atas air, bahkan sudah berani menerjang ombak
bergelombang di tengah laut!
Pagi hari itu guru dan murid ini pun melakukan latihan tingkat terakhir untuk Syanti Dewi. Mereka
berkejaran di atas permukaan laut, di antara ombak-ombak yang mengganas sambil tertawa! Hebatnya,
biar pun mereka berdua berlatih di atas laut, di antara ombak-ombak bergelombang, mereka itu
mengenakan pakaian yang istimewa, bersih dan mewah! Apa lagi Syanti Dewi! Agaknya puteri ini memang
disayang dan dimanja oleh gurunya sehingga gurunya membuatkan banyak sekali pakaian untuknya.
Di pagi hari itu, Syanti Dewi mengenakan pakaian puteri India di tubuhnya yang menggairahkan.
Rambutnya yang hitam, halus dan panjang sampai ke pinggul itu dibiarkan terurai lembut dan hanya diikat
dengan ikat kepala yang terbuat dari pada emas dan yang dihias sebuah permata besar yang bergantung
di dahinya, berkilauan tertimpa sinar matahari. Rambut itu berkibar di belakang tubuhnya bersama ujung
kain sari yang membungkus tubuhnya dan yang ujungnya disampirkan di pundak kirinya.
Bajunya yang pendek model India itu membiarkan pinggangnya dan sebagian perutnya telanjang sehingga
nampak kulit yang putih kuning dan halus menggairahkan, kadang kadang tertutup sari yang tipis dan
dunia-kangouw.blogspot.com
tembus pandang, kadang-kadang terbuka sehingga pinggang telanjang ini merupakan daya tarik yang
istimewa. Kain sarinya melambai lambai tertiup angin kencang.
Wajahnya demikian segar kemerahan karena dia harus mengerahkan banyak tenaga saat berloncatan di
atas ombak-ombak dahsyat itu, mengelak ke sana-sini menghindar hempasan ombak sambil mengatur
keseimbangan tubuhnya. Kedua lengan memainkan peranan penting dalam latihan seperti ini, karena
berguna untuk menjaga dan mengatur keseimbangan tubuh. Kedua lengan itulah yang bekerja keras,
kadang-kadang yang kanan naik yang kiri turun dan sebaliknya, seperti orang menari. Dan karena kedua
lengan Puteri Bhutan itu dihias gelang-gelang emas maka setiap gerakan tangannya menimbulkan bunyi
berkerincing, seolah-olah memperlengkap suara air mengalun menjadi semacam musik pengiring tariannya
yang luar biasa itu.
Sepasang sepatunya yang kecil terbuat dari kulit mengkilap, bentuknya agak tinggi menutupi mata kakinya
dan sepatunya itu diikat pada sepotong bambu, sehingga dua potong bambu menjadi penyambung kedua
kakinya seperti dua buah perahu kecil. Dengan bantuan pengapung bambu itu berlarilah Syanti Dewi,
bagaikan peri atau Dewi Laut sendiri bermain-main di antara gelombang lautan yang dahsyat.
Tidak jauh di belakang, meluncur tubuh Ouw Yan-Hui, guru dan sahabatnya, dengan gerakan yang lebih
ringan dan lebih cekatan dari pada Syanti Dewi, akan tetapi tidak seindah gerakan Syanti Dewi yang
seperti orang menari-nari menjaga keseimbangan tubuhnya itu. Seperti biasanya, Bu-eng-cu Ouw Yan Hui
juga memakai pakaian mewah dan indah, rambutnya digelung rapi dan dia kelihatan seperti Dewi Kwan Im
Pouwsat sendiri, demikian agung dan ayunya.
“Enci Hui, mari kita berlomba ke kapal!” Syanti Dewi berseru gembira.
“Baik, kau larilah dulu, nanti kukejar!” jawab Ouw Yan Hui.
Maka berlarianlah dua orang wanita cantik itu semakin cepat sehingga para anak buah kapal layar itu
memandang makin kagum karena kini dua orang wanita itu seperti terbang saja di atas permukaan laut.
Dan Bu-eng-cu Ouw Yan Hui diam-diam merasa kagum karena kemajuan pesat dari Puteri Bhutan. Meski
dia akhirnya dapat menyusul dan mendahului Syanti Dewi menyambar tali tangga dan naik ke kapal,
namun hanya sedikit saja selisihnya dan ternyata bahwa kecepatan moridnya itu sudah hampir
menyamainya!
“Bibi Maya Dewi...!” Syanti Dewi mendengar seruan Ouw Yan Hui yang telah lebih dulu naik ke kapal.
“Kapan Bibi datang...?”
Syanti Dewi cepat naik ke kapal dan dia melihat seorang wanita India yang amat cantik. Usia wanita itu
kurang lebih tiga puluh tahun, rambutnya masih hitam, halus mengkilap dan dibiarkan terurai ke belakang.
Kepalanya dihias seuntai pengikat rambut terbuat dari permata merah dan hiasan permata yang berjuntai
di dahinya amat besar, biru berkilauan. Wajahnya segar dan cantik, dengan sepasang mata lebar berseriseri.
Juga tubuhnya masih nampak padat, kulit perut dan pinggang yang nampak antara baju dan celana,
sedikit tertutup sari tipis itu masih halus dan putih bersih. Lehernya mengenakan kalung dari permata pula,
dan kedua lengannya dihias gelang emas bertumpuk. Wanita yang cantik sekali, agung, dan berpakaian
indah! Inikah ‘bibi Maya’ yang pernah disebut oleh Ouw Yan Hui itu? Memang cantik, akan tetapi tidak
secantik Ouw Yan Hui, juga tidak semuda Ouw Yan Hui!
“Aku baru saja datang, Yan Hui, dengan perahu kecil. Kabarnya engkau mempunyai seorang murid yang
hebat... ahhh, diakah orangnya?” Wanita itu memandang kepada Syanti Dewi yang baru saja naik ke kapal.
“Benar, Bibi. Inilah dia, Syanti Dewi dari Bhutan, muridku, juga sahabatku yang tercinta!” Dengan gembira
Ouw Yan Hui menghampiri Syanti Dewi dan merangkul pundak sahabat ini, diajak mendekat sambil
berbisik di dekat telinga Puteri Bhutan itu, “Syanti, Bibi Maya Dewi ini sudah berusia enam puluh tahun
lebih!”
“Ahhh...!” Kini Syanti Dewi melongo memandang kepada wanita itu. “Tidak mungkin!” Dia mengeluarkan
kata-kata ini dengan keras karena memang dia terkejut dan terheran heran bukan main. Wanita yang
cantik jelita itu, yang tak mungkin lebih dari tiga puluh tahun usianya, adalah seorang nenek berusia enam
puluh tahun?
“Mari kita masuk ke bilik, Bibi Maya. Mari Syanti, kita bicara di dalam.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga orang wanita cantik itu masuk ke dalam bilik kapal dan para anak buah kapal segera melanjutkan
pekerjaan mereka. Setelah tiba di dalam bilik kapal, Ouw Yan Hui memeluk wanita itu dan mencium kedua
pipinya dengan mesra, dibalas pula oleh nenek Maya Dewi yang cantik itu dengan penuh kemesraan pula.
Syanti Dewi memandang dengan melongo dan hanya mengira bahwa memang demikianlah kebiasaan
kedua orang wanita itu saling memberi salam.
“Syanti Dewi, inilah Bibi Maya Dewi seperti yang pernah kuceritakan kepadamu dulu. Dia hebat sekali,
bukan? Usianya sudah enam puluh tahun lebih, dan lihatlah wajahnya yang cantik, lihatlah tubuhnya yang
padat dan mulus seperti tubuh seorang dara! Hayo kau lekas memberi hormat kepada Bibi Maya Dewi,
Syanti.”
Syanti Dewi cepat menjura dan memberi hormat dengan sembah, yaitu dengan cara merangkapkan kedua
tangan yang terbuka dan dibawanya kedua tangan itu ke depan hidungnya. Akan tetapi, wanita itu lalu
melangkah maju dan merangkulnya. “Tak perlu segala penghormatan itu, Dewi. Lebih baik biarkan aku
menciummu sebagai salam perkenalan.” Wanita itu lalu merangkul lehernya dan mencium kedua pipinya
dengan mesra. Karena menyangka bahwa memang demikian cara wanita ini memberi salam, maka Syanti
Dewi dengan tersenyum juga membalas dan menggunakan hidungnya menyentuh pipi nenek itu. Dia
mencium bau harum minyak wangi yang keras.
Tetapi, betapa terkejut rasa hati puteri ini ketika tiba-tiba mulut wanita itu mengecup bibirnya dan jari-jari
tangan wanita itu mengelus dadanya! Hampir dia menjerit dan cepat dia menarik dirinya lepas dari
rangkulan wanita itu, mukanya berubah merah sekali dan sepasang matanya yang lebar dan jernih itu
terbelalak.
Ouw Yan Hui segera memegang lengannya. “Aihhh, Bibi Maya mengejutkan hati adik Syanti dengan
salamnya.”
Wanita itu memejamkan matanya. “Hemmm, sedap sekali bau keringatmu, Dewi yang jelita. Engkau
sungguh seorang anak yang manis sekali, dan betapa akan hebatnya kalau kecantikanmu yang seperti
dewi kahyangan itu dibikin abadi sehingga selamanya engkau akan tetap tinggal cantik jelita seperti ini!”
Rasa kaget sudah mereda dari hati Syanti Dewi dan dia masih mengira bahwa memang cara nenek itu
memberi salam adalah luar biasa anehnya, bukan saja memeluk dan menciumi pipi, bahkan mengecup
bibir dan menggerayangi dada! Sekarang mendengar ucapan wanita itu, dia terheran dan bertanya, “Apa...
apa maksudmu...?”
Ouw Yan Hui sudah merangkulnya dan baru kini Syanti Dewi merasa betapa rangkulan sahabat dan
gurunya ini teramat mesra. Biasanya dia tidak merasakan hal ini dan menganggapnya sebagai rangkulan
seorang sahabat baik, tetapi setelah dia mengalami rangkulan dan ciuman nenek Maya Dewi tadi, dia
merasa betapa rangkulan-rangkulan Ouw Yan Hui juga amat mesranya sehingga dia merasa bulu
tengkuknya dingin.
“Adik Syanti, lupakah engkau akan keherananmu melihat aku yang sudah berusia empat puluh tahun lebih
masih kelihatan muda? Dan Bibi Maya ini sudah berusia enam puluh tahun lebih! Dialah yang menjadi
guruku dalam hal ilmu mempercantik diri dan ilmu awet muda. Dia dapat membuat kecantikanmu ini
menjadi abadi, Syanti Dewi. Dengan cara pengobatannya dan caranya memelihara kecantikan, maka
engkau akan tetap kelihatan secantik sekarang ini tiga empat puluh tahun lagi.”
“Ahhh...! Mana mungkin? Rambutku akan beruban dan putih...”
“Hi-hik, lihat rambutku, Dewi. Apakah kalah hitam dan kalah halus panjang dari pada rambut orang muda?”
Maya Dewi membelai rambutnya sendiri. “Dan lihat betapa tidak ada sehelai pun rambut uban!”
“Tapi... tapi...”
“Apakah engkau tidak ingin tetap cantik dan muda selamanya, Syanti?” tanya Ouw Yan Hui.
“Tentu... tentu saja...,” Syanti Dewi menjawab bingung. Wanita mana di dunia ini yang tidak ingin awet
muda dan tetap cantik selamanya dan tidak dirusak oleh usia tua?
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau begitu bersiaplah! Aku akan membuatmu tetap cantik selama hidupmu, Dewi. Sayang kalau
kecantikan seperti yang kau miliki itu kelak habis dimakan keriput dan uban, atau ditelan oleh lemak. Yan
Hui, suruh orang-orangmu mempersiapkan semua keperluan merendam Dewi dalam air ramuan!”
Tak lama kemudian sibuklah para pelayan mempersiapkan sebuah bak air atau lebih patut disebut gentong
karena bentuknya seperti gentong besar dan dicat sangat indah. Gentong besar ini diisi air jernih oleh para
pelayan itu, kemudian mereka semua disuruh keluar dari bilik dan mulailah nenek Maya Dewi menuangkan
ramuan obat di dalam air itu. Tercium bau harum semerbak dan air jernih itu berubah menjadi agak
kemerahan.
Sambil memejamkan mata membaca mantera-mantera dalam bahasa India Kuno, Maya Dewi lalu
menaburkan bubuk kuning ke dalam gentong atau guci besar berisi air kemerahan itu dan tiba-tlba saja air
itu mendidih! Syanti Dewi memandang dengan mata terbelalak dan penuh keheranan, juga kekaguman.
Tentang ilmu-ilmu ajaib seperti ini, dia sudah banyak mendengar dan melihat di negerinya, akan tetapi baru
sekarang dia melihat betapa ada ilmu yang membuat orang menjadi awet muda dan cantik sehingga
seorang nenek berusia enam puluh tahun lebih masih kelihatan secantik itu.
“Sekarang tanggalkanlah semua pakaianmu, Dewi,” kata nenek itu dengan suara halus dan mesra.
“Menanggalkan pakaian...?” Syanti Dewi menjawab dan mukanya menjadi merah sekali. Belum pernah
selamanya dia menanggalkan pakaiannya, kecuali di depan para pelayan pribadinya di lstana Bhutan, akan
tetapi para pelayan wanita itu adalah pelayan-pelayan yang telah mengenalnya sejak dia masih anak-anak
sehingga dia tidak merasa malu lagi.
“Aihhh, Adik Syanti, mengapa meragu? Di sini tidak ada orang lain, yang ada hanya aku dan Bibi Maya.
Mengapa malu? Hayolah, kubantu kau...”
Karena bujukan halus ini akhirnya Syanti Dewi membiarkan dirinya ditelanjangi dan dengan muka merah
sampai ke lehernya akhirnya dia berdiri telanjang bulat di depan kedua orang wanita itu yang
memandangnya dengan sepasang mata penuh kagum dan takjub.
“Bukan main...” Nenek itu seperti merintih dan beberapa kali menelan ludah.
“Adikku yang manis, engkau hebat...” Ouw Yan Hui berbisik dan dari kedua matanya turun dua butir air
mata! Begitu terharu wanita ini menyaksikan kejelitaan yang seolah olah tanpa cacat di depannya itu.
“Apa... apa yang harus kulakukan, Enci...?” Syanti Dewi bertanya halus dengan suara agak gemetar sambil
berusaha menutupi bagian depan tubuhnya dengan rambut dan tangan.
“Kau masuklah ke sini, masuklah ke dalam guci ini, Sayang...“ Nenek itu berkata dengan suara gemetar
pula. “Aku akan memijati tubuhmu dan engkau selamanya takkan pernah menjadi tua.”
Karena sudah terlanjur dan juga memang dia amat tertarik untuk dapat tetap muda selamanya, Syanti Dewi
lalu mendekati guci. Melihat air itu mendidih, dia bergidik, lalu menyentuh air itu dengan tangannya. Aneh!
Biar pun air itu kelihatan mendidih, namun ternyata dingin sekali! Maka dia lalu menggunakan kedua
tangan menekan bibir guci, mengangkat tubuhnya dan masuk ke dalam guci, berjongkok sampai air itu
mencapai lehernya.
“Sekarang, kendurkan seluruh uratmu, jangan melawan dan biarkan pijitanku mengatur jalan darahmu,”
kata nenek itu.
Kemudian Syanti Dewi merasa ada jari-jari tangan menyusuri tubuhnya, dari leher, ke pundak, ke dada,
terus ke bawah. Mula-mula terasa geli seperti digelitik, akan tetapi lambat-laun ada rasa nyaman dan
nikmat dan dia membiarkan tubuhnya dipijiti dan makin lama dia merasa seolah-olah terapung di angkasa.
Dia memejamkan kedua matanya, memeluk pundak dan menyilangkan kedua lengan depan dada, sampai
dia mendengar suara Ouw Yan Hui.
“Sudah, Bibi, engkau membuat aku tidak kuat menahan...!”
Syanti Dewi membuka matanya dan melihat Ouw Yan Hui berdiri dengan muka merah sekali, mata hampir
terpejam dan tubuh wanita itu menggigil. Selagi dia masih merasa terheran-heran, Maya Dewi berkata
kepadanya, “Pejamkan matamu, Dewi, dan aku akan memandikanmu dengan air keramat Sungai Gangga!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Syanti Dewi menurut saja. Dia memejamkan matanya dan nenek itu lalu menuangkan air dari sebuah poci
air. Terasa dingin sekali air itu menimpa ubun-ubun kepala Syanti Dewi. Teringat bahwa air itu adalah air
keramat dari sungai suci, yaitu Sungai Gangga itu, Syanti Dewi menggigil. Sebagai seorang puteri dari
Bhutan, tentu saja dia mengenal Sungai Gangga yang dianggap sebagai sungai yang suci di India itu. Dia
mendengar betapa nenek itu mengucapkan mantera ketika air itu bercucuran menimpa ubun-ubun
kepalanya.
Setelah menuangkan air suci itu, kembali nenek Maya Dewi mengurut punggung Syanti Dewi, dari tengkuk
sampai ke pinggul. Nikmat rasanya diurut seperti itu, dan akhirnya selesailah ‘pengobatan’ dengan mandi
air keramat itu. Syanti Dewi diperbolehkan keluar dan dibantu oleh Ouw Yan Hui, dia mengeringkan
tubuhnya dan mengenakan kembali pakaiannya. Rambutnya yang masih basah dibiarkan terurai.
“Bagus! Kini di dunia ada tiga orang wanita yang tidak akan mengenal usia tua!” kata Maya Dewi dengan
wajah berseri dan dia memandang kepada Syanti Dewi dengan mata bersinar-sinar. “Dan engkaulah yang
tercantik di antara kita bertiga, Dewi! Engkau kelak akan dikagumi seluruh manusia di dunia ini, dipuja dan
dianggap sebagai dewi kahyangan!”
“Kita harus rayakan peristiwa ini! Mari, marilah kita berpesta dan biarkan kapal ini dilayarkan ke tengah
lautan,” kata Ouw Yan Hui.
Maya Dewi mengangguk-angguk. “Benar sekali, sebaiknya jika Syanti Dewi melanjutkan pengobatan di
tengah lautan, jauh dari keramaian dunia.”
“Apakah... apakah pengobatan itu masih harus dilanjutkan lagi...?” tanya Syanti Dewi yang merasa enggan
dan malu mengenangkan cara pengobatan seperti tadi.
“Tentu saja, akan tetapi mandi air keramat hanya satu kali tadi cukuplah. Mandi air keramat itu
dimaksudkan untuk mencuci bersih semua kekotoran yang ada pada dirimu. Akan tetapi engkau adalah
seorang perawan, Dewi, dan tubuhmu masih bersih, maka mandi satu kali saja cukuplah bagimu.
Selanjutnya engkau hanya akan minum pil pengawet muda dan harus kupijit dan urut beberapa hari
lamanya.”
Mereka bertiga keluar dari bilik dan pesta pun dimulailah bersama bergeraknya kapal meninggalkan pulau
itu menuju ke tengah lautan, secara perlahan-lahan digerakkan oleh hembusan angin lembut pada layarlayar
kapal. Masakan-masakan yang masih mengepulkan uap dihidangkan di atas meja dan tiga orang
wanita cantik itu mulai makan minum.
Nenek Maya Dewi menyerahkan sebutir pil merah kepada Syanti Dewi. “Kau telanlah ini bersama secawan
arak merah, Dewiku.”
Syanti Dewi menurut dan ternyata pil itu menambah manisnya arak. “Apakah saya harus pantang makan
sesuatu?”
“Tidak ada pantangan makanan apa-apa, hanya...“
“Bibi Maya, biarkan Adik Syanti Dewi, membiasakan diri lebih dulu.” Tiba-tiba Ouw Yan Hui memotong dan
nenek itu tidak melanjutkan keterangannya, akan tetapi Syanti Dewi juga tidak menduga lain dan mulailah
mereka makan masakan-masakan lezat.
Kehidupan di atas kapal pesiar itu amat mewah. Kapal menjelajahi pulau-pulau yang indah, taman-taman
laut yang memperlihatkan pemandangan indah dengan ikan-ikan beraneka warna di waktu air tenang.
Akan tetapi Syanti Dewi merasa tersiksa apa bila dia harus membiarkan dirinya diurut dan dipijiti oleh Maya
Dewi. Jari-jari tangan nenek itu benar-benar amat nakal dan kalau sudah mengurut, memijit, jari-jari itu
membelai belai, membuat Syanti Dewi menggigil dan semua bulu di tubuhnya meremang. Kalau tidak ingat
bahwa nenek itu adalah seorang wanita, tentu dia sudah memberontak, bahkan memukulnya! Kalau dia
memprotes, nenek itu menghiburnya.
“Memang harus begini, Dewi. Kalau tidak, bagian ini akan mengendur kelak setelah usiamu bertambah.”
Dengan alasan seperti itu, terpaksa Syanti Dewi membiarkan saja nenek itu menjelajahi semua bagian
tubuhnya dengan gerakan-gerakan jari tangan yang amat kurang ajar! Kadang-kadang dia seperti terlena,
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti tenggelam karena betapa pun juga, gerakan gerakan itu mendatangkan rasa nikmat yang sangat
aneh dan menakutkan sehingga kadang-kadang dia terpaksa meronta dan jari-jari itu mengurangi gerakangerakannya.
Tiga hari kemudian, kapal itu melakukan pelayaran kembali ke Kim-coa-to, dan malam itu Syanti Dewi
secara kebetulan lewat di depan bilik Ouw Yan Hui dan mendengar secara aneh dari dalam bilik itu. Suara
orang mendengus-dengus dan terengah-engah, seperti suara orang yang sedang kesakitan hebat. Dia
sudah hendak mengetuk pintu, akan tetapi tiba-tiba dibatalkannya niat mengetuk pintu itu karena dia
mendengar bahwa suara terengah-engah itu adalah suara dua orang manusia!
Keheranannya mendorongnya untuk menyelinap ke arah jendela bilik dan mengintai. Dan apa yang
dilihatnya membuat dia bengong sejenak, mengintai lagi dan bengong lagi. Dia melihat Ouw Yan Hui dan
Maya Dewi, dua orang wanita cantik itu dengan telanjang bulat sedang bergulat di atas pembaringan!
Syanti Dewi merasa bulu tengkuknya meremang dan cepat-cepat dia melangkah mundur, akan tetapi
perasaan heran membuat dia masih mendekati jendela. Dia tidak mengerti apa yang sedang dilakukan
oleh dua orang itu. Tentu saja dia cukup mengerti, dari kitab-kitab yang dibacanya, tentang hubungan
jasmani antara pria dan wanita. Namun selama hidupnya belum pernah dia mendengar akan hubungan
seperti itu antara wanita dan wanita pula! Dugaannya tidak menjurus ke situ dan dia hanya terheran-heran
saja.
Kemudian dia mendengar mereka bercakap-cakap dalam bisikan-bisikan. “Dia sungguh bodoh dan hatinya
keras...,“ terdengar suara Maya Dewi. Mereka berdua bicara dalam bahasa India yang tidak dimengerti
oleh para anak buah Pulau Kim-coa-to, akan tetapi dimengerti baik oleh Syanti Dewi.
“Engkau harus sabar, Bibi. Ingat, dia masih perawan, dia masih murni dan belum tahu apa-apa...!
Sebaiknya menanti kalau kita sudah berada di pulau dan dengan obat... shhhhh...“ Tiba-tiba suara Ouw
Yan Hui terhenti dan Syanti Dewi lalu sengaja berjalan dan bersenandung, kebiasaannya kalau dia
berjalan-jalan di dek kapal seorang diri.
Pada keesokan harinya, kapal berlabuh di Kim-coa-to dan mereka bertiga turun dari kapal memasuki istana
di tengah pulau, istana yang megah dan mewah.
“Tinggal satu malam ini lagi dan pengobatanmu sudah selesai, Dewi. Malam ini aku akan menjagamu
karena pengobatan itu harus diulangi sampai nampak ada tanda bahwa semuanya telah berhasil baik,”
kata Maya Dewi.
Syanti Dewi tidak menjawab dengan kata-kata, hanya mengangguk, akan tetapi di dalam hatinya mulai
timbul kecurigaan bahwa agaknya ada sesuatu yang dia tidak mengerti sama sekali, sesuatu yang aneh
dan mengerikan…..
********************
“Kau minumlah secawan arak ini. Inilah pengobatan terakhir, Dewi. Dan malam ini aku akan menemanimu
semalaman, maka selesailah sudah pengobatan ini dan engkau selamanya akan menjadi seorang wanita
yang paling cantik di dunia ini! Besok aku akan meninggalkan Kim-coa-to. Minumlah.”
Syanti Dewi menerima cawan arak itu dan minum arak merah. Tercium bau harum yang lain dari biasanya,
akan tetapi tanpa ragu-ragu diminumnya sampai habis arak itu.
“Ke manakah Bibi akan pergi?” tanyanya biasa saja sambil menaruh cawan kosong ke atas meja.
“Aku?” Wanita itu tersenyum dan untuk ke sekian kalinya Syanti Dewi kagum melihat deretan gigi putih
yang masih rapi itu, seperti gigi orang muda saja. “Ahhh, aku hidup seperti bayangan, ke mana saja hati ini
menghendaki. Mungkin aku akan terus ke India dan kalau benar demikian, akan lamalah kita dapat
berjumpa kembali, Dewi. Akan tetapi, aku tak akan dapat melupakan engkau, karena sungguh mati,
engkaulah dara tarcantik yang pernah kutemui selama hidupku dan aku girang sekali dapat membuat
kecantikanmu ini abadi, Syanti Dewi.”
“Terima kasih atas kebaikan Bibi Maya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Malam itu, seperti biasanya, Maya Dewi memijati tubuh Syanti Dewi dan mengurut-urut punggungnya.
Syanti Dewi merasa mengantuk sekali dan akhirnya dia tidak dapat menahan kantuknya, dia pulas selagi
punggungnya masih diurut oleh nenek yang cantik itu.
Syanti Dewi bermimpi. Dia merasa seperti dikejar oleh seorang manusia bermuka iblis mengerikan. Dia
sudah mempergunakan ginkang-nya yang dia pelajari dari Ouw Yan Hui, namun iblis itu amat cepat larinya
dan akhirnya dia tersusul dan dia diterkam dari belakang. Syanti Dewi meronta dan melawan, namun iblis
itu terlampau kuat baginya dan iblis itu berusaha untuk memperkosanya.
Syanti Dewi mempertahankan diri sekuatnya dan akhirnya dia menjerit, “Tek Hoattt...!” karena dalam
keadaan berbahaya itu dia teringat kepada kekasihnya.
Dengan tubuh penuh keringat Syanti Dewi sadar dari mimpi. Dia mengeluh karena merasa betapa
tubuhnya dipeluk orang dan dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika dia membuka mata melihat bahwa
dia dalam keadaan telanjang bulat. Dia merasa betapa dada yang bulat besar dari nenek ini menekan
dadanya dan mulut nenek itu menciumnya, mencium mulutnya dengan penuh dengusan nafsu birahi!
Sejenak Syanti Dewi merasa seperti dihanyutkan dalam arus air yang amat kuat, bahkan ada dorongan
hati aneh yang membuat dia condong membalas ciuman itu! Dia merasa betapa tubuhnya hangat dan
panas-panas, betapa ada gairah di dalam hatinya untuk diperlakukan dengan mesra oleh seseorang, dan
tanpa disadarinya sendiri dia pun merangkul leher nenek itu sambil mengeluh.
“Syanti..., Dewiku... kau sungguh cantik, hemmm...!”
Ketika merasa betapa tangan nenek itu menggerayanginya, betapa tubuhnya ditindih, Syanti Dewi teringat
kepada Tek Hoat, teringat kepada adegan antara Ouw Yan Hui dan Maya Dewi dan dia menahan jeritnya,
lalu menggunakan tangan untuk mendorong pundak Maya Dewi. Dia mendorong sambil mengerahkan
tenaga sehingga tak dapat dicegah lagi tubuh Maya Dewi terlempar dari atas pembaringan!
“Aduhhh... ahh, apa yang kau lakukan ini, Dewi...?” Maya Dewi merangkak bangun dan kini berdiri dalam
keadaan telanjang bulat di depan Syanti Dewi.
Dara ini memandang dengan mata terbelalak. Biar pun dari di dalam tubuhnya masih bergelombang gairah
nafsu yang tidak normal, akan tetapi melihat wanita itu berdiri telanjang bulat, dengan mulut setengah
terbuka mendengus-dengus, mata setengah terpejam, kedua tangan dikembangkan seperti hendak
memeluknya, dia merasa ngeri bukan main!
“Bibi... jangan begitu...!” Dia terengah-engah, menyambar pakaiannya dan bergegas mengenakan
pakaiannya.
“Dewiku... ke sinilah... aihhh, aku sayang padamu, Dewi, aku cinta padamu, marilah kau layanilah aku,
Dewi...!”
Rayuan ini membuat Syanti Dewi menjadi semakin ngeri dan dia cepat meloncat untuk menghindarkan
terkaman Maya Dewi yang seperti sudah menjadi mabuk itu, kemudian dia lari keluar dari dalam kamar.
“Dewiku... kembalilah... kembalilah kau...!” Maya Dewi mengejar, akan tetapi wanita ini hanya lihai dalam
ilmu mempercantik diri dan mempergunakan ramuan untuk membuat dirinya awet muda saja, namun
dalam hal ilmu silat, apa lagi ilmu berlari cepat, tentu saja dia tidak dapat melawan Syanti Dewi yang sudah
lari cepat dan lenyap dari situ.
Dengan napas terengah-engah dan muka pucat, ngeri dan takut seperti dikejar setan, Syanti Dewi berlari
terus keluar dari istana Ouw Yan Hui itu, tidak mempedulikan teguran dan pertanyaan para anak buah Ouw
Yan Hui, lalu dia mendorong sebuah perahu kecil ke air, mendayung perahu ke tengah dan memasang
layar. Selama ini dia sudah mempelajari ilmu mengemudikan perahu layar, maka sebentar saja karena
angin sedang bertiup kencang, perahunya meluncur ke tengah laut meninggalkan Kim-coa-to. Dia hanya
ingat akan arah daratan besar, maka tanpa mempedulikan sesuatu dia menujukan perahunya ke kanan,
meninggalkan pulau itu.
Angin yang bertiup kuat itu membuat rambutnya terurai ke belakang dan udara yang dingin mulai mengusir
hawa panas yang membuat tubuhnya menjadi tidak karuan rasanya, yang mendorong gairah nafsu aneh
dari dalam hatinya. Dia bergidik dan mulai menggigil. Mengertilah dia kini bahwa arak terakhir yang
diminumnya malam tadi bukan obat, melainkan arak yang mengandung racun perangsang! Akan tetapi,
dunia-kangouw.blogspot.com
tetap saja dia tidak mengerti dan terheran-heran mengapa seorang wanita seperti Maya Dewi itu bisa
tergila-gila kepadanya, seorang wanita pula. Mengapa seorang wanita ingin membujuk rayu seorang
wanita lain, bahkan kelihatan begitu bernafsu, seolah-olah hendak mengajaknya bermain cinta, hendak
memperkosanya!
Syanti Dewl bergidik. Tentu nenek itu telah berubah gila, pikirnya. Kalau tidak gila, mana mungkin ada
wanita timbul birahinya melihat wanita lain?
Tentu Eenci Yan Hui akan mencariku, pikirnya. Dan teringat kepada Yan Hui, dia teringat pula akan
adegan yang dilihatnya dalam kamar Ouw Yan Hui, yaitu ketika dia melihat Ouw Yan Hui dan Maya Dewi
dalam keadaan bugil sedang bergulat! Apakah yang mereka telah lakukan? Syanti Dewi makin ngeri dan
bergidik, akan tetapi dia menjadi makin bingung. Apakah mereka berdua itu sudah gila? Dia tahu bahwa
Ouw Yan Hui adalah seorang pembenci pria, akan tetapi mengapa main gila seperti itu dengan sesama
wanita? Mungkinkah itu? Syanti Dewi merasa makin bingung…..
********************
Kita tinggalkan dulu Syanti Dewi yang melarikan diri dari Pulau Kim-coa-to di waktu tengah malam dengan
menggunakan perahu layar kecil itu dan marilah kita mengikuti perjalanan Kim Hwee Li yang dilarikan oleh
Pangeran Liong Bian Cu, dan Suma Kian Lee yang mengejar larinya pangeran dari Nepal itu.
Setelah berhasil lari keluar dari dalam benteng sambil memondong tubuh Kim Hwee Li yang telah lemas
ditotoknya, Pangeran Liong Bian Cu atau Bharuhendra, tiba di luar pintu rahasia dan di tempat itu memang
telah siap menanti beberapa orang pengawal pribadinya. Cepat Pangeran Nepal ini minta seekor kuda,
kemudian meloncat ke atas punggung kuda itu dan membalapkannya ke arah barat, ke pegunungan yang
penuh dengan hutan-hutan lebat.
Di tengah sebuah hutan di lereng gunung, terdapat sebuah rumah kecil mungil yang tersembunyi di antara
pohon-pohon. Inilah rumah yang dibangun oleh Pangeran Liong Bian Cu pula, untuk keperluan
peristirahatan di waktu dia melakukan olah raga berburu binatang di waktu dia masih berkuasa di dalam
benteng. Rumah itu biasanya terjaga oleh belasan orang prajurit, akan tetapi agaknya para prajurit itu telah
mendengar akan bobol dan runtuhnya benteng sehingga ketika Pangeran Liong Bian Cu tiba di situ, dia
mendapatkan rumah yang kosong, tidak nampak seorang pun penjaga.
“Pengecut-pengecut rendah, gentong-gentong nasi kosong menjemukan…!” Pangeran Liong Bian Cu
memaki dengan perasaan sebal melihat betapa tempat itu telah ditinggal pergi oleh para penjaga. Sambil
memondong tubuh Hwee Li, dia membuka daun pintu depan dengan kakinya, kemudian memasuki rumah
yang cukup mewah biar pun kecil itu.
“Pangeran, kau lepaskan aku...!”
Liong Bian Cu merebahkan tubuh Hwee Li ke atas dipan panjang di sudut ruangan itu, lalu dia sendiri
duduk di atas kursi dekat dipan, menarik napas panjang beberapa kali dengan hati murung. Gerakannya
telah gagal sama sekali.
“Engkau tahu, Hwee Li, bahwa aku cinta sekali kepadamu, maka tentu saja tak mungkin aku
melepaskanmu. Engkau harus menjadi isteriku, Sayang, baik aku berhasil atau pun gagal.”
Hening sejenak dan Hwee Li yang masih belum dapat menggerakkan kaki tangannya itu mengerutkan
alisnya, mencari akal. Tetapi agaknya sukar baginya untuk membebaskan diri karena kini pangeran yang
murung dan kecewa itu telah mengenal segala siasat dan akalnya, maka tentu pangeran itu akan hati-hati.
“Lalu apa yang akan kau lakukan terhadap diriku, Pangeran?” tanyanya, suaranya mengandung keluhan
dan kedukaan hebat yang sengaja dilakukan untuk meruntuhkan hati pangeran yang dia tahu amat
mencintanya itu.
“Kita beristirahat dulu di sini malam ini, dan besok tentu ada anak buahku yang akan datang menjemput.
Kau tahu betapa aku cinta padamu, Hwee Li, dan engkau akan kuajak ke Nepal di mana kita akan menikah
dengan resmi.”
“Tidak, aku tidak mau!” Hwee Li berkata sambil memandang dengan mata terbelalak.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pangeran itu menghela napas panjang. “Mau atau tidak, engkau harus menjadi isteriku, Sayang! Kalau
selagi bertunangan engkau tidak dapat belajar mencintaku, biarlah setelah menjadi isteriku engkau belajar
membalas cinta kasihku. Engkau akan hidup mulia di Nepal, Hwee Li.”
“Tidak... ahhh, aku tidak mau... aku tidak dapat hidup bersamamu, Pangeran. Kau kasihanilah aku, kau
bebaskan aku, Pangeran...“ Hwee Li yang tak melihat jalan keluar itu kini menangis!
Pangeran Liong Bian Cu bangkit dari atas kursi dan kini dia menghampiri Hwee Li, duduk di tepi dipan.
“Jangan dekati aku, jangan sentuh aku... hu-hu-hu... aku akan membunuh diri kalau kau jamah tubuhku...”
Pangeran itu nampak berduka sekali. “Kim Hwee Li, mengapa engkau bersikap begini menusuk
peraaaanku dan menyedihkan hatiku? Aku tidak akan mengganggumu, aku sungguh cinta padamu, dan
aku tidak ingin menguasai hati dan tubuhmu secara paksa. Aku ingin engkau membalas cintaku, Hwee Li.
Lupakah engkau bahwa engkau adalah puteri seorang sekutu mendiang ayahku? Ayahku dan ayahmu
adalah sekutu yang baik, kenapa kita tidak dapat melanjutkan persahabatan antara mereka secara lebih
erat lagi?”
“Tidak... hu-hu-hu... tidak, aku tidak cinta padamu...“
“Hemmm, aku adalah seorang pangeran, Hwee Li. Apa yang kukehendaki harus tercapai. Engkau harus
menjadi isteriku, baik engkau cinta padaku atau tidak!” Suara pangeran itu terdengar keras dan tegas.
“Kau... kau sungguh pengecut! Mengapa engkau hendak memaksa seorang wanita yang tidak
mencintamu?” Hwee Li berkata sambil terisak.
“Hemmm, seorang pria berhak memilih jodohnya, Hwee Li. Dan aku selamanya akan mempertahankan
dirimu dengan taruhan nyawaku. Bagiku, engkau lebih berharga dari pada segalanya, dari pada nyawaku.
Tanpa adanya engkau, hidupku akan hampa. Aku bukan pengecut, dan aku siap untuk memperebutkan
dirimu dengan siapa pun juga di dunia ini!”
“Bagus, Liong Bian Cu! Aku datang untuk merampas Hwee Li dari tanganmu dan kalau memang engkau
bukan pengecut, mari kau lawan aku!”
Liong Bian Cu terkejut dan cepat mengangkat mukanya. Kiranya di ambang pintu telah berdiri seorang
pemuda tampan yang berpakaian sederhana, dan pemuda itu bukan lain adalah Suma Kian Lee! Hwee Li
yang masih rebah tertotok, menjadi girang bukan main ketika melihat munculnya pemuda pujaan hatinya
itu. Akan tetapi segera dia teringat kepada Siang In, dengan cepat mulutnya berubah cemberut, mukanya
berubah merah, sinar matanya berapi-api.
Sementara itu, Liong Bian Cu sudah bangkit dan menghampiri Kian Lee yang juga sudah melangkah
memasuki ruangan.
“Mau apa engkau ke sini? Hemmm, apakah janji para pendekar sekarang tidak dapat dipercaya lagi?
Perang telah selesai, dan kami pun telah menerima janji untuk dapat diperbolehkan pergi dengan aman...“
“Aku datang menyusulmu bukan karena urusan negara, Pangeran, melainkan karena urusan pribadi.
Engkau melarikan dan menculik Hwee Li, karena itu aku menentangmu. Kembalikan dia kepadaku,
bebaskan dia, baru aku akan membiarkan engkau pergi dengan aman.”
Pangeran Liong Bian Cu memandang keluar penuh perhatian dan setelah dia mendapat kenyataan bahwa
pemuda ini memang datang sendirian saja, hatinya merasa lega. Dia masih mampu mengandalkan
kepandaiannya dan dia tidak takut melawan pemuda ini.
“Kim Hwee Li adalah tunanganku, calon isteriku, calon isteri Pangeran Nepal. Engkau sungguh tidak tahu
malu mencampuri urusan kekeluargaan orang lain! Ayahnya telah menyerahkan dia kepadaku untuk
menjadi isteriku. Engkau ini mempunyai hak apakah untuk mencampuri?” bentaknya.
“Hak seorang gagah yang tidak ingin melihat seorang wanita dipaksa dan diperkosa! Aku sudah pasti tidak
akan berani mencampuri kalau dia suka menjadi isterimu dengan hati rela. Akan tetapi engkau telah
menculik dan melarikannya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kurang ajar! Ayahnya sendiri sudah meresmikan pertunangan kami, engkau ini orang luar berani
mencampuri?”
Kian Lee tersenyum. “Mana mungkin ada orang menotok tunangannya sendiri sehingga tidak berdaya?
Biarkan dia sendiri yang menjawab bahwa dia dengan suka rela ikut bersamamu, baru aku mau pergi dan
tidak mengganggu lagi.”
“Habis kau mau apa?”
“Pangeran Liong Bian Cu, kita berdua adalah sama-sama jantan dan suka menjunjung kegagahan. Oleh
karena itu, aku tantang engkau untuk memperebutkan nona itu. Kalau aku kalah, baru engkau boleh
memaksa dan membawa lari dia. Akan tetapi kalau engkau yang kalah, engkau harus menghentikan niat
busukmu itu dan membebaskan dia.“
“Keparat...!” Liong Bian Cu sudah menjadi marah sekali dan dia telah menggerak gerakkan kedua
tangannya, digosok-gosoknya kedua telapak tangannya dan diam-diam dia mengerahkan tenaga Im-yang
Sin-ciang, ilmunya yang sangat diandalkan karena memang ampuh sekali itu.
Melihat ini dari tempat dia rebah, Hwee Li mengerutkan alisnya. Dia mengenal Im-yang Sin-ciang dari
pangeran itu, dan tahu betapa dahsyatnya pukulan dengan ilmu itu. Dia amat khawatir akan keselamatan
Kian Lee yang agaknya masih belum sadar akan bahaya maut yang mengancam. Tetapi karena dia masih
teringat dan membayangkan Siang In, perasaan cemburu memenuhi hatinya dan kemarahannya terhadap
Kian Lee membuat dia diam saja, hanya menonton dengan mata terbelalak.
Hampir dia berteriak ngeri ketika tiba-tiba Pangeran Nepal itu mengeluarkan bentakan nyaring dan
menyerang ke arah Kian Lee dengan hantaman tangan kirinya yang sudah diisi penuh tenaga Im-yang Sinciang!
“Mampuslah... haaaiiiittttt!”
Kaki kirinya melangkah ke depan, dengan tubuh miring pangeran itu telah menghantam dengan tangan
kirinya yang dibuka, dan dari telapak tangan kiri itu menyambar hawa pukulan dahsyat sekali ke arah dada
Suma Kian Lee. Namun, pemuda sakti dari pulau Es ini tentu saja sama sekali tidak merasa gentar
menghadapi serangan dahsyat itu. Dia mengenal pukulan sakti yang ampuh, akan tetapi dia sama sekali
tidak mengelak atau mundur, bahkan dia bergerak maju ke depan dan menggerakkan tangan kanan untuk
menangkis dari samping ke arah lengan kiri lawan yang menyambar ke arah dadanya, tentu saja sambil
mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang yang dingin.
“Dukkkk!”
Pertemuan dua tenaga itu membuktikan betapa pangeran itu masih tidak mampu menandingi kekuatan
pemuda Pulau Es dan serangannya tadi bukan hanya dapat digagalkan, bahkan tubuhnya menjadi
condong ke depan ketika lengannya tertangkis. Namun Pangeran Nepal yang marah itu sudah
menyusulkan serangan bertubi-tubi dengan Ilmu Pukulan Im-yang Sin-ciang kepada lawannya.
Tingkat kepandaian Kian Lee memang lebih tinggi dari pada lawannya, dan tenaga sinkang-nya selain
lebih murni juga lebih besar, maka tentu saja tidak sukar bagi Kian Lee untuk menghadapi serangan
bertubi-tubi itu yang kesemuanya dapat dielakkannya atau ditangkisnya.
Akan tetapi, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Sam-ok atau Ban Hwa Sengjin, Koksu Nepal,
maka tingkat kepandaiannya sudah cukup tinggi untuk dapat dikalahkan dalam waktu singkat oleh Kian
Lee. Dia terus menyerang dan mendesak karena dia sudah bertekad untuk memenangkan perebutan ini.
Dia maklum bahwa menghadapi pemuda ini, tak mungkin baginya untuk melarikan diri sambil membawa
Hwee Li. Dia harus lebih dulu merobohkan pemuda ini kalau dia ingin berhasil membawa Hwee Li kembali
ke Nepal.
Akan tetapi gerakan Kian Lee tenang dan kuat sekali, setiap serangan lawan yang ditangkisnya tentu
membuat lawan terhuyung. Melihat betapa semua serangannya tadi sudah gagal, Liong Bian Cu menjadi
makin marah. Tiba-tiba dia mengeluarkan suara melengking panjang dan mengucapkan beberapa katakata
mantera dalam bahasa Nepal, disertai dorongan kedua tangannya. Dua telapak tangannya itu
berubah menjadi merah dan putih. Yang kanan merah mengepulkan asap panas dan yang kiri menjadi
pucat putih kebiruan mengeluarkan hawa dingin sekali. Inilah puncak dari llmu Im-yang Sin-ciang yang
dunia-kangouw.blogspot.com
dilakukan untuk menyerang, dibarengi dengan kekuatan ilmu hitam yang dipelajarinya dari ahli-ahli sihir di
Nepal seperti Gitananda.
Kian Lee terkejut bukan main karena lengking yang disertai mantera aneh itu membuat jantungnya tergetar
dan pandang matanya gelap seolah-olah kepalanya disambar kilat dan dia terhuyung. Padahal pada saat
itu lawannya telah melakukan pukulan jurus paling bahaya dari ilmu Im-yang Sin-ciang!
Akan tetapi, Suma Kian Lee adalah putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es yang sejak kecil sudah
menerima gemblengan sempurna dari ayah bundanya dan selama bertahun-tahun ini dia telah mengalami
banyak pertempuran yang mematangkan dirinya. Oleh karena itu, menghadapi bahaya ini, dia sebagai
putera Pendekar Super Sakti segera maklum bahwa lawan mempergunakan kekuasaan mukjijat. Maka ia
cepat mengerahkan tenaga murni dari pusarnya, menahan napas dan membentak dengan suara dahsyat.
Seketika lenyaplah pengaruh aneh yang membuatnya pening itu dan pada saat itu dia cepat
mendorongkan kedua tangannya menyambut serangan lawan.
“Desssss...!”
Pertemuan dua pasang tangan itu hebat bukan main. Seakan-akan udara di sekitar tempat itu dipenuhi
dengan getaran amat kuat karena Suma Kian Lee telah menyambut hantaman Im-yang Sin-ciang itu
dengan gabungan kedua tenaga itu pula, yaitu tangan kirinya yang menyambut tangan kanan yang merah
dari lawan itu diisi dengan Swat-im Sin-kang yang dingin, sedangkan tangan kiri lawan yang dingin putih
kebiruan itu disambutnya dengan Hwi-yang Sin-kang di tangan kirinya yang mengandung hawa panas.
Maka sekali ini mereka menggunakan keras lawan keras dan akibatnya tubuh pangeran itu terlempar ke
belakang seperti setangkai daun kering tertiup angin dan terbanting roboh tak sadarkan diri lagi!
Kian Lee juga merasa betapa tubuhnya terguncang hebat, namun dia tidak mengalami luka karena
tenaganya memang lebih besar. Karena dia ingin melihat akibat dari adu tenaga sakti itu, sekali melompat
dia sudah becada di dekat tubuh Liong Bian Cu yang rebah miring.
“Jangan bunuh dia...!”
Kian Lee yang sedang membungkuk untuk memeriksa keadaan Liong Bian Cu itu terkejut sekali
mendengar seruan ini dan dia cepat menghampiri Hwee Li, kemudian menotok dara itu untuk
membebaskannya.
Begitu terbebas dari totokan, Hwee Li memulihkan jalan darahnya dan segera berlari menghampiri tubuh
Liong Bian Cu yang masih menggeletak miring tak bergerak. Dara itu berlutut di dekat tubuh itu dan
mengguncang pundaknya sambil berseru memanggil, “Pangeran...! Pangeran...!”
Suaranya mengandung isak tertahan, lalu dia menoleh ke arah Kian Lee sambil berkata penuh penyesalan,
“Engkau... engkau telah membunuhnya!”
Kian Lee mengerutkan alisnya. Sungguh dia tidak mengerti akan sikap aneh dara itu. Bukankah Hwee Li
sudah diculik dan dilarikan oleh Liong Bian Cu, dan dara itu amat membenci pangeran itu? Bukankah dia
telah menyelamatkan Hwee Li dari ancaman pangeran dari Nepal itu?
“Dia orang kuat, dia tidak akan mati, dia hanya terluka oleh tenaganya sendiri yang membalik,” katanya
sederhana sambil berdiri termangu-mangu.
Dara itu demikian cantiknya, dan timbul rasa aneh di dalam hatinya yang membuat Kian Lee bengong dan
bingung. Mengapa ada rasa tidak enak dan tidak senang, mengapa dia seperti merasa iri hati melihat dara
itu mengkhawatirkan keselamatan Liong Bian Cu, berlutut dan seperti hendak menangis? Inikah yang
dinamakan cemburu atau iri hati?
“Pangeran...!”
Tubuh itu bergerak dan mencoba untuk bangkit, kemudian, dibantu oleh Hwee Li, Liong Bian Cu dapat
duduk dan sejenak dia memandang kepada Suma Kian Lee. “Engkau hebat..., hemmm..., mengapa
engkau tidak membunuhku tadi?”
“Aku tidak bermusuhan denganmu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Liong Bian Cu kini memandang kepada Hwee Li. “Engkau ternyata seorang gadis yang baik sekali. Meski
pun engkau selalu menolakku, bahkan sudah beberapa kali hampir membunuhku, kini melihat aku
terancam maut, engkau memperlihatkan kebaikanmu. Ahh, Hwee Li... Hwee Li, benar-benarkah engkau
tidak dapat membalas cintaku? Baru saja engkau memperlihatkan sayang...“
Tiba-tiba Hwee Li bangkit berdiri dan dengan muka pucat dia memandang kepada Pangeran Nepal itu, lalu
menggeleng kepala. “Tidak, aku tidak cinta padamu, Pangeran. Aku tadi teringat akan segala kebaikanmu
kepadaku...“
Liong Bian Cu menarik napas panjang. “Mudah-mudahan kelak akan tiba saatnya engkau ada sedikit rasa
cinta padaku, dan aku akan selalu menantimu di Nepal, Hwee Li. Tidak peduli engkau masih perawan
ataukah sudah janda, aku akan selalu membuka tangan untuk menerimamu sebagai isteriku... nah,
selamat tinggal, Hwee Li, hati-hatilah engkau dalam memilih jodoh...” Dia menoleh kepada Kian Lee,
mengangguk kepada pemuda itu, kemudian memaksa dirinya untuk melangkah keluar dari dalam rumah
itu, bergegas pergi memasuki kegelapan malam yang mulai tiba.
Mereka kini berdiri dan saling berhadapan, saling berpandangan. Kemudian kerut di antara kedua alis dara
itu mendalam, dan suaranya kaku ketika terdengar dia berkata, “Engkau... engkau hampir saja
membunuhnya!”
Suara yang kaku dan mengandung penyesalan dan teguran itu dirasakan seperti ujung pedang menusuk
jantung oleh Kian Lee. Dia pun mengerutkan alisnya, merasa betapa dara itu keterlaluan. Jelas bahwa dia
susah payah mengejar Liong Bian Cu untuk menolongnya dan setelah menyelamatkannya, apa yang
diperlihatkan oleh dara Ini? Tidak saja Hwee Li telah memperlihatkan sikap khawatir dan menyayang
kepada Liong Bian Cu, sebaliknya malah menegurnya dengan suara kaku dan pandang mata penuh
penyesalan! Panaslah rasa hati Kian Lee saat itu. Panas dan sakit!
“Ah, kalau aku tahu, tentu aku akan membiarkan dia memukul roboh dan membunuhku, kalau kau... lebih
senang demikian, Nona.”
Sepasang mata itu terbelalak, mulutnya terbuka dan beberapa kali mulut itu bergerak akan tetapi tidak ada
suara yang keluar. Kemudian terdengar sedu-sedan dan Hwee Li meloncat dan lari keluar dari dalam
rumah itu sambil menangis.
“Hemmm...?” Kian Lee berdiri bengong dan memandang keluar sampai bayangan dara itu lenyap di antara
pohon-pohon hutan yang mulai menghitam oleh kegelapan malam yang mulai tiba.
Kian Lee lalu teringat akan bahaya yang mungkin saja mengancam diri dara itu lagi. Siapa tahu kalau-kalau
pangeran dari Nepal itu masih berada di sekitar tempat itu, dan kalau saja pangeran itu dilindungi oleh
kelima orang Ngo-ok, akan sukarlah bagi dia untuk menyelamatkannya kembali. Karena itu, Kian Lee lalu
meloncat keluar dan melakukan pengejaran.
Akan tetapi karena hutan itu gelap, dia terpaksa berjalan perlahan-lahan dan mencari cari, namun sampai
semalam suntuk dia berkeliaran keluar masuk hutan, dia tidak berhasil menemukan Hwee Li. Makin gelisah
rasa hati Kian Lee dan sambil berjalan mencari-cari tanpa arah tertentu, dia mengenangkan semua yang
terjadi dan menjadi bingung memikirkan rasa hatinya sendiri! Apakah yang telah terjadi dengan dia?
Mengapa dia makin dalam mengenangkan Hwee Li, bahkan sukar melupakan dara yang masih seperti
kanak-kanak itu? Bahkan rasa nyeri di hatinya akibat asmara gagal dengan Ceng Ceng rasanya telah
sembuh sama sekali.
Mula-mula dia makin tertarik kepada Hwee Li setelah dara itu untuk kedua kalinya menolongnya, atau
membantu Kian Bu mencarikan obat untuknya. Pertolongan pertama kali oleh dara itu adalah ketika dara
itu baru berusia dua belas atau tiga belas tahun, dan hal itu tidak terlalu mengesankan. Baru sekarang
peristiwa itu teringat olehnya. Kini dara itu telah merupakan seorang dara remaja dan sudah dewasa, walau
usianya baru tujuh belas atau delapan belas tahun, dan bukan main cantik jelitanya. Dia mulai tertarik
ketika Hwee Li mengunjunginya di Bukit Nelayan, di istana kuno tempat tinggal Sai-cu Kai-ong.
Akan tetapi, rasa tertarik ini putus sama sekali ketika dia melihat hubungan antara Hwee Li dan Kian Bu
yang demikian erat dan mesra, dan dia melihat kecocokan antara kedua orang itu, sama lincah gembira
dan jenaka, dan dia merasa betapa akan tepatnya kalau keduanya dijodohkan. Semenjak itu, dia mengusir
perasaan di hatinya terhadap Hwee Li!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dan sekarang? Dia tidak dapat menahan dorongan hatinya ketika melihat Hwee Li dilarikan Liong Bian Cu,
maka dengan nekat dia lalu melakukan pengejaran, tidak peduli bahwa pangeran dari Nepal itu mungkin
sekali dikawal oleh banyak orang pandai yang akan sukar ditundukkannya. Dan dia berhasil menolong
Hwee Li. Akan tetapi, apa jadinya? Dara itu marah-marah karena dia merobohkan Liong Bian Cu dan
sekarang meninggalkannya sambil menangis, dan dia seperti orang gila mencari terus semalam suntuk
tanpa hasil.
Menjelang pagi, cuaca demikian gelapnya karena bintang-bintang di langit tertutup awan tebal, dan hawa
udara amat dinginnya menembus pakaian dan menyusup ke tulang-tulang, namun Kian Lee tidak
merasakan itu semua. Dia terpaksa menghentikan pencariannya, karena dalam cuaca sedemikian
gelapnya, andai kata Hwee Li berada hanya beberapa puluh kaki jauhnya di depannya sekali pun, dia tidak
akan dapat melihatnya. Dia duduk di bawah pohon dan melamun dengan hati kesal dan bingung.
Makin dikenang, makin khawatirlah dia akan keselamatan Hwee Li, dan perasaan cintanya terhadap dara
yang setengah liar itu, yang selama ini ditekan-tekan dan coba diusirnya setelah dia menduga bahwa dara
itu mencinta Kian Bu, muncul dan amat menggodanya! Kian Lee memejamkan matanya dan hatinya terasa
perih. Haruskah dia patah hati dalam asmara untuk kedua kalinya? Perasaan cintanya terhadap Ceng
Ceng terpaksa harus diusirnya oleh kenyataan bahwa Ceng Ceng adalah keponakannya sendiri. Apakah
kini dia harus mengusir rasa cintanya terhadap Hwee Li karena dara itu ternyata mencinta adiknya?
Suma Kian Lee duduk bertopang dagu dan merenung bingung. Mengapa cinta selalu mendatangkan
penderitaan batin? Banyak sudah dia mendengar betapa manusia menderita oleh cinta. Ayahnya sendiri,
menurut penuturan ibunya, belasan tahun menderita karena harus berpisah dari orang-orang yang
dicintanya. Kemudian dia mendengar pula tentang cinta yang membuat sengsara kakaknya, yaitu Puteri
Milana yang terpaksa harus berpisah pula dari orang yang dicintanya, yaitu Gak Bun Beng. Lalu adiknya,
Suma Kian Bu, yang gagal pula dalam cintanya terhadap Puteri Syanti Dewi sehingga adiknya itu pun
menderita pula. Dan dia sendiri yang merana akibat gagalnya cinta kasihnya terhadap Ceng Ceng.
Sekarang, kembali dia harus menderita karena cintanya terhadap Hwee Li! Haruskah semua manusia yang
jatuh cinta menderita?
Betapa banyaknya, bahkan sebagian besar di antara manusia, masih belum mau membuka mata batinnya
dan berpegang pada pendapat seperti Kian Lee itu bahwa cinta kasih mendatangkan penderitaan! Atau
lebih lengkap lagi, menurut pendapat umum berdasarkan pengalaman, cinta kasih mendatangkan
kebahagiaan kalau berhasil dan mendatangkan kesengsaraan kalau gagal!
Adakah itu cinta kasih kalau mengandung keberhasilan dan kegagalan? Di mana terdapat perhitungan
hasil atau gagal, untung atau rugi, di situ sudah jelas terdapat si aku yang selalu mengejar kesenangan dan
keuntungan, si aku yang selalu menentang kesusahan dan kerugian, si aku yang bersenang dan tertawa
kalau untung, si aku yang berduka dan menangis kalau rugi. Jelaslah bahwa yang dapat menyenangkan
atau menyusahkan, yang dapat menguntungkan atau merugikan kalau berhasil atau gagal, bukanlah cinta
kasih, melainkan pengejaran kesenangan belaka.
Cinta seperti yang dimaksudkan oleh Kian Lee dan oleh kita pada umumnya itu jelas akan mendatangkan
suka duka, banyak duka dari pada sukanya, akan mendatangkan kebosanan dan kekecewaan,
mendatangkan konflik dalam kehidupan. Karena itu, maka sesungguhnya perasaan itu bukan cinta kasih,
melainkan pengejaran kesenangan melalui nafsu birahi, melalui pengikatan diri, melalui kebanggaan,
melalui penguasaan dan monopoli, perasaan bahwa yang cantik atau tampan itu adalah miliknya sendiri,
adalah sumber dari pada semua kesenangannya.
Itulah sebabnya mengapa Kian Lee selalu terperosok ke dalam penderitaan batin, ke dalam kesengsaraan
setiap kali dia merasa bahwa cintanya gagal! Padahal, kalau memang benar hati ini mencinta seseorang,
sungguh-sungguh mencinta, sudah pasti bahwa kita selalu ingin melihat orang yang kita cinta itu
berbahagia, bukan? Kita tentu selalu ingin melihat si dia berbahagia, baik dia itu menjadi jodoh kita atau
pun bukan!
Cinta kasih meniadakan si aku yang ingin senang sendiri! Kalau sudah tidak ada lagi aku ingin senang atau
aku kecewa menderita, baru mungkin bicara tentang cinta kasih kepada orang lain. Kalau kita membuka
mata melihat diri sendiri, dan di dalam diri sendiri jelas sudah tidak ada dendam, kebencian, sakit hati,
kemarahan, iri hati, cemburu dan pementingan diri sendiri, barulah mungkin hati ini mencinta. Kalau sudah
begitu, maka asmara dan birahi mengalami perubahan besar sekali, bukan merupakan pendorong utama
yang mutlak, melainkan merupakan bagian dari kesatuan maha besar yang dinamakan cinta kasih.
dunia-kangouw.blogspot.com
Fajar mulai menyingsing dan bumi diselimuti kabut tebal. Mulai nampak kabut memutih bergerak seperti
asap di permukaan bumi, makin lama makin meninggi seolah-olah terusir atau terdesak oleh hawa dari
bumi bersama dengan datangnya cuaca terang. Pagi bersemi dengan suburnya, dan bumi bermandikan
cahaya keemasan. Cahaya matahari pagi mulai berseri di antara daun-daun pohon dan dunia pun
bangunlah, kehidupan baru mulai, diawali dengan kokok ayam dan kicau burung yang menyambut
kehadiran matahari.
Setelah cuaca cukup terang, Kian Lee lalu memanjat pohon besar dan dari puncak pohon dia memandang
ke sekeliling, mencari-cari. Akhirnya dengan girang dia melihat sesosok tubuh wanita berjalan perlahan ke
arah utara dan dia mengenal pakaian hitam yang dipakai Hwee Li. Cepat dia meloncat turun dan berlari
mengejar.
“Hwee Li...!” Kian Lee berseru memanggil setelah dia dapat menyusul.
Mendengar suara ini, Hwee Li terkejut, menoleh, lalu lari secepatnya seperti seekor kijang dikejar harimau!
Kian Lee tertegun sebentar, kemudian dia pun mengejar dengan cepat.
“Hwee Li...! Tunggu dulu...!” teriaknya sambil mempercepat larinya karena dara itu dapat berlari cepat
bukan main. Karena memang ilmu kepandaian Kian Lee jauh lebih tinggi dibandingkan tingkat kepandaian
Hwee Li, maka sebentar saja pemuda itu dapat menyusulnya, melampauinya dan menghadang di tengah
jalan.
Terpaksa Hwee Li berhenti dan dengan muka merah dan mata bersinar-sinar penuh kemarahan dia
memandang dan bertolak pinggang, lalu membentak kaku, “Mau apa engkau menghadang di depanku?”
Dibentak seperti itu, Kian Lee terkejut dan gugup. “Aku ingin tahu, mengapa kau marah marah kepadaku,
Hwee Li?”
“Pergilah kau kepada perempuan tukang tenung itu, mengapa mengejar-ngejar aku? Pergi! Pergi kau...!”
Suara Hwee Li sudah mengandung isak lagi dan terasa olehnya betapa jantungnya seperti mau meledak
rasanya, betapa hawa panas sudah memenuhi dadanya.
Kian Lee masih belum mengerti apa yang dimaksudkan oleh Hwee Li. Dia menyangka bahwa dara itu
marah karena dia telah memukul roboh pangeran dari Nepal itu, dan sangkaan ini mendatangkan perasaan
tidak enak di dalam hatinya.
“Hwee Li... Nona... harap jangan marah dahulu dan jelaskanlah, mengapa engkau melarangku membunuh
Pangeran Nepal? Mengapa engkau marah melihat aku hampir membunuhnya dan merobohkannya? Apa
sebabnya?”
Sepasang mata yang lebar itu tiba-tiba menunduk dan terdengar bercampur isak, “Dia... betapa pun
jahatnya dia... dia sungguh-sungguh mencintaku... ahhh...!” Tiba-tiba Hwee Li menjatuhkan diri di bawah
pohon itu dan menangis terisak-isak.
Kian Lee menjadi makin bingung melihat dara itu sesunggukan. Ingin dia menghibur, ingin dia merangkul
karena dia merasa kasihan sekali. Dia pun lalu duduk di atas batu di sebelah kiri dara itu, akan tetapi Hwee
Li lalu membuang muka dan membalikkan tubuh sehingga pemuda itu duduk di belakangnya. Air mata
mengalir dari celah-celah jari kedua tangannya dan pundaknya berguncang.
“Dan kau... kau mencinta dia...?” Dengan lirih Kian Lee bertanya, memancing, hatinya was-was.
Sambil menangis Hwee Li menggoyang-goyang kepala dan pundaknya keras-keras, kemudian suara di
antara isaknya terdengar penuh kemarahan, “Engkau bodoh! Engkau buta...! Dia... dialah satu-satunya
orang di dunia ini yang sungguh sungguh… cinta kepadaku... biar pun dia jahat dan aku tidak suka
kepadanya... hu-hu-huuhhh, akan tetapi... selain dia... tidak ada orang lain lagi yang cinta padaku... hu-huhuuuhhh...!”
Tangisnya makin menjadi-jadi sehingga Kian Lee menjadi bingung, menggaruk-garuk kepalanya yang tidak
gatal. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dan dia amat terkejut mendengar gadis itu memakinya
bodoh dan buta. Akan tetapi dia tidak setuju mendengar pengakuan gadis yang katanya di dunia ini hanya
Liong Bian Cu seorang yang mencintanya dan selain pangeran itu tidak ada orang lain yang cinta
kepadanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Engkau keliru, Hwee Li..., bukan hanya pangeran itu yang mencintamu, bukan, bahkan cintanya masih
harus diragukan. Akan tetapi aku...“
“Kau mencinta perempuan iblis tukang tenung itu! Kau pergilah kepadanya...!”
“Ehhh? Perempuan iblis? Tukang tenung? Apa sih maksudmu?” Kian Lee benar-benar tidak mengerti dan
bertanya dengan alis berkerut.
Hwee Li menurunkan dua tangannya, menggunakan saputangan sutera untuk menyusut air mata yang
menetes dari kedua mata dan dari hidungnya. Hidung kecil mancung itu menjadi merah sekali, akan tetapi
bagi Kian Lee, hal itu menambah kemanisan Hwee Li.
“Jangan kau pura-pura tidak mengerti! Perempuan iblis tukang tenung yang selalu berdua bersamamu...
ahhh, kalau jumpa, akan kubunuh dia...!”
Kian Lee teringat akan sikap Hwee Li terhadap Siang In, betapa Hwee Li tanpa sebab memusuhi dan
menyerang Siang In. Selama ini dia sudah merasa heran dan bertanya tanya di dalam hati mengapa Hwee
Li begitu membenci Siang In, padahal kenal pun tidak. Kini mengertilah dia dan setelah dia mengerti, dia
menjadi semakin heran!
“Ahhh...! Jadi kiranya... itukah sebabnya mengapa engkau marah-marah dan membenci Siang In? Hwee Li,
Teng Siang In bukanlah seorang perempuan iblis tukang tenung...“
“Tentu saja! Bagimu yang sudah tergila-gila, yang sudah berlutut di bawah pengaruh sihirnya, dia adalah
bidadari dari kahyangan, ya? Engkau yang sudah jatuh cinta...“ Kembali Hwee Li terisak.
Kian Lee jadi melongo. Cemburu! Itukah gerangan yang menyebabkan Hwee Li marah marah kepadanya
dan kepada Siang In?
“Hwee Li, harap jangan menyangka yang bukan-bukan! Aku sama sekali tidak jatuh cinta kepada Siang In,
dan juga Siang In tidak cinta kepadaku dia bukanlah seorang dara yang jahat...“
Dengan mata masih basah Hwee Li memandang kepada Kian Lee, menatap wajah pemuda itu dengan
sinar mata penuh selidik, kemudian dia berkata dengan suara meragu, “... tidak... tidak saling mencinta...?
Tapi... tapi kalian nampak begitu rukun dan mesra, melakukan perjalanan berdua...“
“Tentu saja, karena kami saling mengenal dengan baik dan dia adalah seorang gadis yang bijaksana. Kami
tidak saling mencinta! Akan tetapi, nanti dulu, Hwee Li... aku merasa heran sekali mengapa engkau begitu
marah dan begitu membenci Siang In hanya karena engkau mengira dia dan aku saling mencinta?
Mengapa?” Suara Kian Lee tergetar dan sepasang matanya kini menatap wajah dara itu dengan tajam,
penuh selidik.
Sejenak mereka saling berpandangan dan Hwee Li yang biasanya amat berani dan lincah, kini merasa
betapa sepasang mata itu menembus jantungnya, seperti hendak menguak dan menjenguk isi hatinya,
mengetahui semua rahasia hatinya, maka dia tidak tahan lagi dan menunduk. Air mata mengalir dari
sepasang matanya, perlahan-lahan seperti butiran-butiran mutiara terlepas dari untaiannya, menggelinding
turun satu-satu melalui sepasang pipinya yang kemerahan.
“Karena... karena... aku tidak ingin melihat engkau saling mencinta dengan wanita lain... tidak semenjak
subo... kau tidak boleh mencinta wanita lain...“
“Hemmm...“
“Kecuali... kecuali aku...“
“Hwee Li...!”
Dara itu mengangkat mukanya dan mereka saling pandang, mata Hwee Li masih basah dan wajah itu
kelihatan demikian cantik jelita bagi Kian Lee sehingga pemuda ini merasa terharu sekali. Dia mendekat
dan memegang kedua pundak dara itu, kemudian menariknya sehingga mereka berdua berdiri, saling
berpandangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hwee Li..., apakah maksudmu? Apa yang akan baru kau katakan? Mengapa engkau berpendirian
demikian...?” Karena ingin sekali mendapatkan keyakinan maka Kian Lee mendesak dengan pertanyaan
ini.
Sepasang mata yang basah itu bersinar lembut, lenyap sinar lincah kekanak-kanakan seperti biasanya itu,
terganti dengan sinar lembut mesra seorang wanita dewasa yang jatuh cinta.
“Kian Lee koko, apakah benar engkau belum mengerti atau belum dapat menduga isi hatiku? Semenjak
beberapa tahun yang lalu, ketika aku masih kecil dan menolong merawat luka di kakimu, semenjak itu aku
tidak lagi dapat lupa kepadamu, Koko. Aku merindukanmu, mengharapkan untuk dapat bertemu
denganmu. Akan tetapi engkau lenyap, kembali ke Pulau Es dan aku tidak berani dan tidak dapat
menyusulmu ke sana. Akhirnya aku berhasil menjumpaimu di Bukit Nelayan dan membantu untuk mencari
obat guna menyembuhkanmu dan yang terakhir aku melihat engkau berdua bersama dara itu! Betapa
hancur hatiku, betapa panas perasaanku, dan sekarang engkau masih bertanya apa yang kumaksudkan?”
Kian Lee merasa terharu sekali, terharu dan juga girang, tetapi masih ada keraguan di dalam hatinya.
“Akan tetapi... kukira tadinya, melihat engkau bersama adikku, kukira engkau saling mencinta dengan Kian
Bu, maka aku sengaja mundur dan...“
“Sungguh bodoh engkau, Lee-koko... ah, kalau begitu engkau sama bodohnya dengan aku! Kita berdua
telah salah menduga, aku mengira bahwa engkau dan Siang In saling mencinta, sebaliknya engkau malah
menduga aku dan Kian Bu saling mencinta pula. Padahal... padahal Kian Bu tahu betul betapa aku... aku
cinta kepadamu seorang, Koko sampai dia kuharuskan menyebutku enci...“
“Hwee Li...!” Kian Lee merasa demikian girang dan terharu mendengar pengakuan dara ini hingga dia tak
kuasa menahan getaran hatinya, langsung dia meraih dan merangkul dara itu.
Hwee Li menarik napas panjang, terisak dan dia menyandarkan kepalanya di dada yang tegap itu,
memejamkan kedua matanya. Dengan jari-jari tangan gemetar Kian Lee mendekap kepala itu, kemudian
dia mengelus rambut yang hitam lebat dan panjang itu dengan penuh kasih sayang yang meluap-luap dari
perasaan hatinya.
“Hwee Li... Moi-moi... sungguh tak kusangka..., sungguh tidak kukira bahwa engkaulah orangnya yang
akan dapat mendatangkan sinar terang dalam hidupku yang gelap... tak kusangka seorang dara seperti
engkau sudi melimpahkan cinta kepada diriku. Aku... aku juga cinta padamu, Moi-moi, bukan semenjak
engkau menolongku yang pertama kali dahulu, kuanggap ketika itu bahwa engkau masih seorang dara
remaja setengah anak-anak. Tetapi ketika aku mendengar dari Kian Bu bahwa engkau yang mencarikan
obat untukku, kemudian... dalam pertemuan kita ketika aku sakit, melihat engkau sudah dewasa dan... dan
demikian cantik jelita, aku... sudah jatuh hati. Akan tetapi, aku hampir tidak berani mengakui hal itu kepada
diri sendiri, aku sudah hampir jera... hampir kapok untuk jatuh cinta.”
Hwee Li membuka matanya, menengadah dan dari bawah dia menatap wajah pemuda yang sejak dahulu
menjadi pujaan hatinya itu. “Lee-ko, aku tahu dan karena engkau pernah gagal dalam asmara, engkau
pernah kecewa dalam cintamu terhadap subo... karena itulah aku makin kasihan padamu, ingin
menghiburmu, ingin aku menggantikan tempat subo di dalam hatimu. Karena itulah aku tidak ingin wanita
lain menguasaimu, kecuali aku sendiri, sebagai pengganti subo...“
“Hwee Li...“ Kian Lee menghela napas panjang. “Engkau tahu akan urusanku dengan... dengan Ceng
Ceng?”
Hwee Li tersenyum dan menggerakkan kepala dengan manja dalam pelukan pemuda itu. “Aku sudah
menjadi muridnya, bukan? Dan subo amat cinta kepadaku, tentu saja aku sudah dapat menduganya dan
akhirnya subo menceritakan kepadaku...“
“Ahhh... akan tetapi urusan itu telah lewat, Hwee Li. Dia adalah keponakanku sendiri, dan... sekarang aku
sudah mendapatkan gantinya, yang lebih hebat dan lebih segala galanya dari pada semua wanita di dunia
ini, yaitu engkau...“ Kian Lee menunduk dan hendak mencium bibir yang berjebi ketika mendengar
pujiannya itu. Akan tetapi Hwee Li mengelak dan melepaskan diri dari rangkulan Kian Lee.
Sambil membereskan rambutnya yang agak kusut, Hwee Li tersenyum, memandang kepada Kian Lee.
Sejenak mereka berpandangan, lalu dara itu menundukkan muka, kemalu-maluan! Aneh sekali rasanya
dunia-kangouw.blogspot.com
melihat seorang dara seperti Hwee Li dapat juga menunduk malu-malu seperti itu! Kian Lee menguluarkan
kedua tangan dan otomatis Hwee Li melangkah maju dan kembali dia sudah dipeluk oleh Kian Lee. Akan
tetapi ketika Kian Lee mendekapnya erat dan mendekatkan muka hendak menciumnyra, kembali dia
meronta dan melepaskan diri!
“Kenapa, Li-moi? Kenapa... kau menolak? Bukankah kita saling mencinta...?”
Dara itu menarik napas panjang, lalu dia memegang tangan Kian Lee, digandengnya pemuda itu dan
diajaknya duduk di atas batu di bawah pohon. Sambil duduk, dia tetap memegang tangan Kian Lee
sehingga jari-jari tangan mereka saling genggam, saling mengeluarkan getaran hangat yang timbul dari
jantung mereka yang berdebar penuh gairah kemesraan.
“Lee-koko, harap kau maafkan aku. Percayalah, tiada kebahagiaan lebih besar bagiku selain dekat
denganmu dan betapa selama ini aku merindukan kasih sayangmu dan... pelukanmu. Akan tetapi...
semenjak apa yang kualami... semenjak saat itu... aku telah bersumpah di dalam hatiku sendiri, aku
bersumpah bahwa aku tidak akan membiarkan diri dicium oleh pria mana pun juga kecuali oleh suamiku!
Engkau... ah, betapa aku cinta padamu, Koko, akan tetapi... karena sumpahku itu, maka aku pun dengan
berat hati terpaksa tidak berani melanggarnya sebelum engkau... menjadi suamiku... kau… kau
maafkanlah aku, Lee-ko...“
Kian Lee mengerutkan alisnya. Sebetulnya dia merasa bangga dan sangat girang akan pendirian dara
yang dicintanya itu, akan tetapi mendengar bahwa sumpah itu dilakukan semenjak suatu saat tertentu,
semenjak apa yang dialami oleh dara itu, dia menjadi ingin tahu.
“Moi-moi, mengapa engkau mengucapkan sumpah itu? Dan semenjak apakah? Apakah yang telah kau
alami sehingga engkau mengucapkan sumpah itu?”
“Dahulu, aku selalu merindukanmu, dalam mimpi aku mendambakan pelukanmu yang mesra, merindukan
ciumanmu, akan tetapi... semenjak saat jahanam itu... pangeran dari Nepal itu... menciumku, semenjak
saat itulah aku bersumpah...“
“Ahhh...!” Wajah Kian Lee sebentar menjadi pucat lalu berubah merah sekali, sepasang matanya
mengeluarkan sinar berkilat.
Hwee Li terkejut melihat wajah dan sinar mata itu. “Kenapa, Koko...?”
“Dan kau senang?”
“Senang apa maksudmu?”
“Kau senang di... ciumnya?”
Hwee Li cepat memegang tangan pemuda itu. “Ehhh, kau ini kenapa sih, Koko? Bagaimana engkau bisa
mengatakan bahwa aku senang diciumnya? Aku benci bukan main, aku muak dan jijik, akan tetapi aku
tidak berdaya, aku tertawan dan tidak mampu bergerak.”
“Hemmm, dan selain diciumnya, kau diapakannya lagi?” Pandang mata pemuda itu penuh selidik, matanya
membayangkan kemarahan besar yang disebabkan oleh iri hati dan cemburu.
“Diapakan? Aihhhhh... kau maksudkan apakah dia memperkosaku? Tidak, Koko. Dia itu sungguh cinta
kepadaku, maka dia tidak mau memperkosa, dia menghendaki aku menyerahkan diri secara suka rela.
Akan tetapi aku benci sekali karena ciumannya dan karena itu aku bersumpah tidak akan mau dicium siapa
pun selain suamiku.”
“Kalau begitu, aku akan mencarinya dan membunuhnya, karena dia telah menghinamu!” Kian Lee
mengepal tinju, makin panas hatinya membayangkan betapa bibir pangeran itu mengecup bibir kekasihnya
ini.
“Baik sekali, dan aku pun akan senang membagi beberapa kali pukulan sebelum kau membunuhnya!”
Hwee Li berkata penuh semangat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Lee tercengang dan kini dia memandang dengan penuh keheranan. “Ehhh, bagaimana pula ini?
Bukankah kemarin engkau mencegah atau melarangku ketika kau mengira aku hendak membunuhnya?
Dan kini engkau malah hendak membantuku membunuhnya!”
Hwee Li menggenggam jari-jari tangan Kian Lee dan tersenyum. “Tentu saja, kemarin aku masih mengira
bahwa engkau tidak mencintaku, melainkan mencinta gadis lain.”
“Kalau begitu?”
“Aku marah kepadamu, dan karena kusangka dia satu-satunya pria yang mencintaku dengan sepenuh
hatinya, maka aku tidak suka melihat engkau membunuhnya.”
“Dan sekarang?”
“Sekarang, engkau mencintaku, Lee-koko, dan persetan dengan segala pangeran dari Nepal, dan kalau
perbuatannya terhadap diriku membuat marah hatimu, maka dia harus mampus. Dan memang dulu pun
sudah beberapa kali dia hampir mati di tanganku.” Dara itu lalu menceritakan semua pengalamannya
selama dia ditahan di dalam benteng Pangeran Liong Bian Cu, betapa dia telah mempergunakan berbagai
akal untuk membunuh pangeran itu dan nyaris dia berhasil.
Kian Lee mendengarkan dengan penuh perhatian, penuh kagum dan kini dia pun dapat mengerti betapa
besar rasa cinta kasih di dalam hati pangeran itu terhadap Hwee Li. Timbullah rasa kasihan di dalam
hatinya terhadap pria itu karena dia sudah merasakan betapa sengsaranya derita batin ditanggung seorang
pria yang tidak dibalas cintanya.
“Hwee Li, setelah kita sekarang bertemu di sini, engkau hendak pergi ke manakah?”
“Dan engkau sendiri hendak ke mana, Koko?” Hwee Li balas bertanya.
Kian Lee memejamkan matanya sebentar, pikirannya bekerja keras. Terdapat hal-hal yang meruwetkan
pikirannya sehubungan dengan kenyataan bahwa dia dan Hwee Li saling mencinta. Dia harus mengakui
bahwa dia memang benar mencinta dara ini, akan tetapi dia pun melihat pula kenyataan betapa di dalam
cinta mereka berdua itu terdapat banyak hal yang menghalang.
Pertama, dia melihat kenyataan betapa watak dara ini liar, dan ganas sekali di samping kelincahan dan
kejenakaannya. Hal ini merupakan kewajibannya kelak untuk dapat membimbingnya agar dara itu dapat
menghentikan sifat liar yang dia tahu tentu timbul karena dara ini adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo. Dan dia
pun melihat mengapa dia tertarik sekali kepada Hwee Li. Tidak lain karena dara ini memiliki sifat dan watak
yang hampir sama dengan watak Ceng Ceng di waktu masih gadis dahulu. Ceng Ceng juga memiliki watak
yang liar dan ganas semenjak menjadi murid Ban-tok Mo-li.
Akan tetapi, persoalan pertama ini tidak begitu memusingkannya karena dia tetap yakin bahwa dengan
cinta kasihnya, dia akan mampu mengubah watak ganas itu. Hal yang kedua adalah perbedaan yang amat
menyolok antara orang tuanya dan orang tua dara ini. Dia merasa sangsi sekali apakah ayahnya dan ayah
Hwee Li akan menyetujui kalau mereka berdua saling berjodoh! Dia tahu akan kekerasan hati ayahnya
terhadap kejahatan, dan ayah dara yang dicintanya ini adalah seorang pentolan atau datuk dari kaum
sesat!
“Bagaimana, Lee-koko? Engkau belum menjawab pertanyaanku!” Tiba-tiba Hwee Li merangkul pundaknya
dengan sikap manja dan ini menyentakkan Kian Lee kembali kepada kenyataan.
Dia memandang wajah itu, merasa betapa lembut, halus dan hangat tangan dara itu merangkulnya,
merasa getaran yang tersalur melalui jari-jari tangan itu dan melalui sinar mata bening itu, dan tiba-tiba dia
sudah mengambil keputusan pada saat itu juga untuk menghadapi segala macam kesukaran apa pun
untuk membela cinta kasih antara mereka. Sekali ini dia tidak mau gagal lagi! Apa pun yang terjadi, yang
merupakan penghalang tali perjodohan antara dia dan Hwee Li, akan ditantangnya. Dia sudah merasakan
betapa pahit dan nyerinya gagal dalam ikatan cinta, maka sekali ini dia tidak mau gagal lagi.
“Hwee Li, aku akan pergi ke bekas benteng pemberontak untuk menemui Kian Bu, kemudian aku akan
mengajaknya pulang ke Pulau Es.”
“Aku ikut denganmu, Koko!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat sikap dara itu yang penuh semangat, Kian Lee merasa girang sekali. Hidup di samping dara ini
tentu akan penuh kegembiraan, penuh semangat dan seolah-olah Hwee Li merupakan cahaya yang setiap
saat menyinari kehidupannya. Dia merangkul pinggang yang ramping itu, menarik tubuh Hwee Li sehingga
merapat ke tubuhnya dan dengan mesra dia mencium dahi Hwee Li. Tadinya dara itu terkejut, akan tetapi
melihat betapa kekasihnya hanya mencium dahinya, dia terengah dan memeluk dengan erat.
“Baik, Moi-moi, memang aku ingin memperkenalkan engkau kepada... ibuku.” Dia tidak berani menyebut
ayahnya karena diam-diam dia merasa ngeri membayangkan ayahnya menerima kedatangannya dengan
calon isterinya yang ternyata adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo!
Hwee Li tersenyum manis. “Aku girang sekali, Koko. Aku memang ingin sekali bertemu dan berkenalan
dengan ibumu. Aku sudah mendengar dari adik Kian Bu bahwa ibumu di waktu masih muda menjadi ketua
Pulau Neraka.”
“Benar, Li-moi.”
“Ah, betapa hebat ibumu! Dan aku pun sudah banyak mendengar tentang ayahmu yang sakti itu. Aku akan
merasa bangga dan gembira sekali bisa menghadap ayah bundamu, Koko. Mari kita cepat berangkat
mencari adik Kian Bu!”
Mereka pun pergi meninggalkan hutan di pegunungan itu dan diam-diam Kian Lee merasa geli juga melihat
kenyataan dan liku-liku kehidupan yang serba aneh. Dara yang dicintanya ini mengangkat diri menjadi
kakak dan menyebut adik kepada Kian Bu, padahal sudah tentu saja Kian Bu jauh lebih tua dari pada
Hwee Li. Dan yang lebih ruwet lagi, kekasihnya ini adalah murid dari Ceng Ceng, wanita yang pernah
dicintainya, bahkan cinta pertamanya, dan lebih dari itu, keponakannya! Yang lebih hebat lagi, dia adalah
putera majikan Pulau Es, sedangkan Hwee Li adalah puteri ketua Pulau Neraka, padahal, menurut
sejarahnya, terdapat permusuhan antara kedua pulau itu. Akan tetapi, ada hal yang membesarkan hatinya,
yaitu keadaan ibunya. Ibunya juga pernah menjadi ketua Pulau Neraka, oleh karena itu, sudah pantaslah
kalau dia berjodoh dengan gadis Pulau Neraka ini!
Sambil bergandeng tangan dan mendengarkan Hwee Li bercerita dengan sifatnya yang gembira, Kian Lee
tersenyum penuh harapan, penuh kebahagiaan. Kelincahan dara ini hampir sama dengan Siang In, akan
tetapi ada sesuatu pada diri Hwee Li yang amat menarik hatinya, yang sukar dikatakan apa daya tarik
keistimewaan yang tidak ada pada wanita lain dan hal seperti ini selalu dirasakan oleh orang-orang yang
sedang jatuh cinta!
Cinta asmara,
Betapa penuh rahasia betapa kuat penuh kuasa,
mencengkeram seluruh raga dan jiwa,
menerbangkan manusia ke sorga,
menghempaskan manusia ke neraka!
Cinta asmara,
Terkadang suci dan mulia, penuh kelembutan indah dan mesra,
mendatangkan suka cita!
Terkadang kotor bernoda penuh cemburu benci dan hina,
mendatangkan duka nestapa!
Penggambaran tentang cinta seperti itu semenjak ribuan tahun yang lalu telah menjadi sasaran penulisan
sajak para seniman. Cinta dipuja-puja kalau sedang mendatangkan nikmat hidup karena berhasil,
sebaliknya cinta dikutuk kalau sedang mendatangkan derita hidup karena gagal. Cinta dianggap
mendatangkan kebahagiaan, juga dianggap mendatangkan kesengsaraan.
Penggambaran seperti itu jelas didasari oleh penilaian untung rugi, enak atau tidak enak, pendeknya
didasari oleh pendapat demi kesenangan diri sendiri, baik kesenangan lahir mau pun kesenangan batin
yang sesungguhnya tak dapat dipisah-pisahkan. Kalau jasmani dan rohani kita merasa nikmat oleh cinta,
maka kita memuja-muja cinta sebagai jembatan yang membawa kita ke sorga. Sebaliknya kalau jasmani
dan terutama rohani kita merasa menderita karena kecewa oleh kegagalan cinta, maka kita mengutuknya
sebagai jalan yang membawa kita ke neraka.
Akan tetapi, kalau mendatangkan penderitaan batin, adakah itu cinta kasih? Yang mendatangkan
penderitaan batin bukanlah cinta kasih, melainkan pikiran yang selalu berpusat kepada kepentingan diri
dunia-kangouw.blogspot.com
sendiri. Pikiran yang berupa si aku yang mengejar kesenangan diri sendiri inilah yang menciptakan segala
suka dan duka, di dalam apa yang dinamakan cinta sekali pun! Baik cinta, mau pun hal-hal seperti hujan,
panasnya matahari, dan sebagainya, bisa saja dianggap sebagai berkah atau pun malapetaka oleh si aku
yang selalu mengejar dan mencari kesenangan.
Kita, sebagai akibat dari si aku masing-masing yang selalu mengejar kesenangan, telah merumuskan cinta
kasih, sebagai sesuatu yang tidak terpisah dari si aku dan membagi bagi cinta kasih sesuai dengan
‘tempatnya’ yang semua sarat dengan kepentingan kita masing-masing. Maka muncullah istilah cinta
terhadap Tuhan, cinta terhadap negara, cinta terhadap orang tua, cinta terhadap isteri, cinta terhadap
pacar, cinta terhadap anak, dan sebagainya lagi, termasuk cinta terhadap sahabat.
Cinta kasih dipecah-pecah dan dibagi-bagi. Akan tetapi, selama cinta kasih itu menjadi milikKu atau
milikMu atau milikNya, maka yang dinamakan cinta kasih itu bukan lain hanyalah nafsu mencapai
kesenangan belaka. Cinta seperti itu tidak dapat dihindarkan lagi pasti dikuasai oleh untung rugi bagi si aku
dan dalam keadaan seperti itu, cinta sama artinya dengan yang menyenangkan aku. Itulah sebabnya
mengapa orang tua yang tadinya mengaku cinta kepada anaknya berubah membenci anak itu oleh karena
hatinya dikecewakan oleh si anak yang tidak menurut kepadanya dan sebagainya, pokoknya si anak tidak
menyenangkan lagi hatinya!
Demikian pula cinta seperti itu terhadap isteri, terhadap sahabat, terhadap partai, atau terhadap apa saja.
Selama masih mendatangkan kesenangan atau yang dianggap bisa menyenangkan lahir mau pun batin,
maka cinta semacam itu masih subur. Akan tetapi, begitu yang dicinta itu sudah tidak lagi mendatangkan
kesenangan, bahkan sebaliknya mendatangkan kekecewaan, lenyaplah perasaan cinta itu dan mungkin
saja terganti oleh perasaan benci.
Ini pula yang menjadi sebab mengapa manusia selalu ingat kepada Tuhan sewaktu berada dalam duka
nestapa, sewaktu berada dalam ketakutan, dalam kesengsaraan. Harapan untuk memperoleh hiburan,
memperoleh pertolongan, yang merupakan jalan ke arah kesenangan, inilah yang membuat kita berpaling
kepada Tuhan. Dan kita akan melupakan Tuhan apa bila kebutuhan akan hiburan, akan pertolongan, akan
janji-janji kesenangan itu tidak ada. Dalam keadaan senang, kita tidak ingat kepada Tuhan, sebaliknya
dalam keadaan susah di waktu kita membutuhkan hiburan, kita teringat kepada Tuhan dan kita
menganggap bahwa kita mencinta Tuhan.
Akan tetapi, benarkah yang demikian itu, kesemuanya itu, dapat dinamakan CINTA KASIH? Bukankah
semua itu hanya merupakan jembatan dan sarana untuk mendapat kesenangan belaka? Sehingga dengan
demikian, semua itu adalah palsu belaka?
Tentu saja kita sebagai manusia hidup sudah sewajarnya kalau menikmati kesenangan dan kita memang
berhak menikmati kesenangan dalam kehidupan. Tetapi, mengejar ngejar kesenangan jelas akan
menuntun kita kepada kemunafikan dan kepalsuan. Uang merupakan satu di antara alat untuk menikmati
kesenangan lahiriah dalam kehidupan, hal itu tak dapat disangkal oleh siapa pun juga. Akan tetapi kita
dapat melihat jelas pula betapa PENGEJARAN terhadap uang itulah yang menimbulkan adanya pencurian,
perampokan, penipuan, penggelapan, korupsi, dan segala tindakan lain yang merugikan orang lain.
Demikian pula dengan segala macam bentuk kesenangan.
Penulis tidak menganjurkan agar kita menolak atau menjauhi kesenangan, lalu hidup sebagai pertapa di
tengah hutan, sama sekali tidak. Melainkan mengajak kepada kita semua untuk membuka mata dan
melihat yang berkecamuk di dalam hati dan pikiran kita sendiri. Melihat kenyataan yang terjadi di dalam diri
kita sendiri, di dalam dunia. Setelah melihat kenyataan tentang cinta kasih yang dibagi-bagi dan yang
sebenarnya bukanlah cinta kasih itu, timbul pertanyaan, Apakah adanya cinta kasih?
Betapa mungkin menguraikan cinta kasih! Betapa mungkin menggambarkan Tuhan! Betapa mungkin
menerangkan kebenaran! Sudah jelas bahwa di mana ada pikiran atau si aku yang berkuasa, yang
mencengkeram cinta kasih sebagai miliknya, maka tidak akan ada cinta kasih. Oleh karena itu, selama
masih ada si aku yang selalu mengejar kesenangan, si aku yang ingin menjadi orang baik, si aku yang
ingin benar, si aku yang ingin memperoleh yang baik-baik dan yang enak-enak saja, maka tidak mungkin
bicara tentang cinta kasih!
Betapa kecewa hati Kian Lee dan Hwee Li ketika mereka tiba kembali di bekas benteng pangeran dari
Nepal yang kini telah hancur dan bekas terbakar itu. Mereka melihat benteng hancur yang sunyi, dijaga
oleh puluhan orang prajurit yang ditinggalkan oleh Puteri Milana untuk menjaga tempat itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang muda ini lalu mencari keterangan dari para prajurit tentang Kian Bu yang mereka cari-cari. Para
prajurit hanya mengatakan bahwa semua pendekar telah pergi semua dan mereka tidak tahu ke mana
perginya Pendekar Siluman Kecil, tidak tahu pula apakah pendekar berambut putih itu ikut bersama
Panglima Puteri Milana kembali ke kota raja ataukah tidak.
Akan tetapi ada seorang prajurit yang melihat bahwa pendekar itu pergi ke arah timur. Mendengar ini,
giranglah hati Kian Lee dan Hwee Li. Mereka lalu cepat pergi ke timur meninggalkan benteng rusak itu
untuk mencari Kian Bu. Sampai berhari-hari mereka mengejar dan mencari, akan tetapi belum juga
menemukan jejak Kian Bu. Tidak ada seorang pun di sepanjang jalan yang mereka lalui tahu tentang
pendekar berambut putih itu sehingga hati kedua orang muda ini menjadi makin bingung.
Kurang lebih sepekan kemudian, mereka mendengar dari seorang petani bahwa dia melihat orang-orang
yang lari seperti terbang memasuki hutan. Mendengar keterangan yang tidak jelas ini, Kian Lee dan Hwee
Li cepat mengejar ke dalam hutan. Akan tetapi sampai malam tiba, mereka tidak bertemu dengan siapa
pun sehingga akhirnya mereka terpaksa bermalam di dalam kuil tua karena cuaca sudah terlalu gelap
untuk berkeliaran di dalam hutan itu. Karena mereka berdua belum tahu siapa adanya orang-orang yang
oleh si petani dikabarkan seperti orang-orang yang terbang memasuki hutan, kawan ataukah lawan, maka
Kian Lee dan Hwee Li yang bersikap hati-hati tidak membuat penerangan di dalam kuil. Hwee Li
membersihkan lantai dan mereka berdua duduk di dalam ruangan kuil tua melepaskan lelah sambil
bercakap-cakap. Sebelum gelap tadi, mereka sudah berhenti di dekat sumber air di hutan itu untuk makan
dan minum, maka kini mereka tinggal beristirahat saja.
Malam itu tidak terjadi sesuatu. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Hwee Li sudah terbangun oleh
suara ayam hutan berkokok dan berkeruyuk. Dia menoleh ke kiri dan tidak melihat Kian Lee. Tentu
pemuda itu telah bangun lebih dulu dan pergi ke sumber air yang berada agak jauh di belakang kuil,
pikirnya. Dia masih merasa malas untuk bangun, hari masih terlampau pagi dan hawa udara sedemikian
sejuknya sehingga kembali Hwee Li melingkar dan berselimut jubah Kian Lee yang oleh pemuda itu
semalam diselimutkan kepadanya tanpa dia ketahui.
Tiba-tiba dara ini meloncat dan seketika dia menjadi sadar betul seperti biasanya seorang ahli silat kalau
mendengar sesuatu yang mencurigakan. Seluruh urat syarafnya menegang dan cepat dia menyelinap di
balik dinding, mengintai ke luar dari mana dia mendengar suara orang memasuki kuil itu, suara langkah
kaki yang ragu-ragu dan hati hati. Dan dia melihat seorang wanita memasuki kuil itu, seorang wanita muda
yang memegang sebatang pedang. Wanita itu cantik dan pakaiannya berwarna hijau. Kim Cui Yan, wanita
baju hijau sumoi dari Liong Tek Hwi saudara misan Pa-ngeran Nepal!
Tentu saja Hwee Li segera mengenali wanita ini, wanita cantik yang masih terhitung kakak tirinya itu! Akan
tetapi karena enci tirinya ini pernah membantu Pangeran Nepal, atau setidaknya termasuk kelompok
lawan, maka Hwee Li diam saja dan mengintai penuh perhatian. Dia melihat betapa Kim Cui Yan berdiri
sambil mundur-mundur dan memandang ke arah pintu kuil. Di luar kuil masih gelap dan sangat sunyi. Cui
Yan nampak gelisah sekali, wajahnya tidak begitu nampak jelas di keremangan cuaca, namun gerakgeriknya
menunjukkan bahwa dia sedang dilanda ketakutan dan pedang telanjang di tangannya itu
dilintangkan depan dada, siap untuk digerakkan menyerang lawan.
Keadaan di dalam kuil rusak itu makin terang ketika sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan. Hwee
Li melihat enci tirinya itu masih berdiri setelah mundur-mundur sampai punggungnya menempel dinding
retak-retak. Kini dia dapat melihat wajah yang agak pucat itu, wajah yang jelas memperlihatkan rasa takut
dan juga lelah. Agaknya semalam itu enci-nya tidak tidur, dan berada dalam ketakutan, mungkin dikejarkejar
musuh.
Hati Hwee Li menjadi panas. Betapa pun juga, wanita ini adalah enci tirinya, seayah dengan dia, maka
sudah sepatutnya kalau dia bela. Dia akan menanti dan melihat sampai musuh yang agaknya ditakuti encinya
itu muncul, dan kalau perlu, dia akan membantu enci tirinya. Hwee Li bersiap-siap dan menduga-duga
siapa adanya musuh yang begitu ditakuti enci-nya, padahal dia tahu bahwa Kim Cui Yan yang berjuluk Si
Walet Hijau ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi sehingga tidak akan mudah dikalahkan orang begitu
saja.
Tak lama kemudian, suasana yang penuh ketegangan yang mencekam hati itu pecah oleh suara wanita
yang nyaring, “Perempuan kejam, hendak lari ke manakah engkau?”
Hwee Li terkejut bukan main mendengar suara yang amat dikenalnya itu dan begitu wanita itu muncul di
ambang pintu, Hwee Li memandang terbelalak dari tempat persembunyiannya. Wanita itu bukan lain
dunia-kangouw.blogspot.com
adalah gurunya sendiri, Ceng Ceng atau isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Wajah nyonya muda ini
kelihatan bengis dan sepasang matanya mencorong seperti mata naga ketika dia memasuki ruangan kuil
itu dengan tenang, namun di setiap langkahnya terkandung ancaman maut yang membuat Hwee Li
menggigil. Dia melihat betapa Cui Yan juga terkejut dan muka enci tirinya itu menjadi makin pucat, akan
tetapi tangan yang memegang pedang itu tidak gemetar.
“Kau... kau terlalu mendesakku!” kata Cui Yan dan kini dia melangkah maju dengan pedang siap di tangan.
“Perempuan keparat, pada waktu engkau menculik dan melarikan puteraku, apakah perbuatanmu itu tidak
terlalu kejam? Engkau membuat duniaku hampir kiamat rasanya, dan sekarang engkau bilang aku
mendesakmu?” Nyonya muda itu berkata, suaranya mengandung penuh kebencian.
Karena sudah tersudut, agaknya Kim Cu Yan menjadi berani dan nekat. Dia menjawab dan suaranya
terdengar penuh penyesalan, “Hemmm, seluruh keluarga ayahku tewas karena ayah mertuamu, kalau aku
melarikan puteramu dan di sepanjang jalan aku merawatnya, menjaganya dan sama sekali tidak pernah
menyiksanya, bukankah aku masih jauh lebih baik dari pada ayah mertuamu?”
Sepasang mata Ceng Ceng mengeluarkan sinar berkilat. “Ayahmu adalah pemberontak, sudah selayaknya
dihukum!”
“Ayahku boleh jadi pemberontak, akan tetapi apakah ibuku, dan keluarga ayah, juga berdosa?” Cui Yan
balas menghardik.
Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berhati keras seperti baja. Biar pun dia dapat mengerti akan rasa
penasaran di hati dara itu karena seluruh keluarganya tewas, akan tetapi tentu saja dia membela pihaknya
sendiri. “Tidak perlu banyak cerewet, engkau memegang pedang. Nah, kita sudah berhadapan, mari
membuat perhitungan. Engkau boleh melepaskan dendam kematian keluarga ayahmu, dan aku akan
membalasmu dan menghukummu karena engkau pernah menculik puteraku. Atau barangkali engkau takut,
pengecut seperti mendiang ayahmu?”
“Perempuan sombong!” Kim Cui Yan menjerit dan pedangnya menyambar.
Ceng Ceng cepat mengelak dan balas menyerang dengan tamparan tangannya yang mengandung tenaga
sakti yang luar biasa itu. Hwee Li menonton dari balik pintu tembusan itu dengan mata terbelalak dan
bingung. Tadi dia sudah sempat mengambil keputusan untuk membela dan membantu enci tirinya
berhadapan dengan musuh, akan tetapi setelah melihat bahwa musuh enci-nya itu bukan lain adalah
gurunya sendiri, dia menjadi bingung dan tidak tahu harus berbuat apa! Maka dia hanya bengong dan
melihat ke arah pertandingan yang berjalan amat seru itu dengan bingung, mengepal tinju dengan hati
amat gelisah dan khawatir.
Kim Cui Yan adalah murid terkasih dari nenek Kim-mou Nionio, datuk barat di luar tembok besar yang amat
sakti, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi. Apa lagi dia kini memegang
sebatang pedang dan mainkan Ilmu Pedang Swat-lian Kiamsut (Ilmu Pedang Teratai Salju) yang berhawa
dingin sekali, maka dia merupakan seorang lawan yang lihai dan berbahaya. Akan tetapi, kini dia
berhadapan dengan Ceng Ceng, isteri dari Si Naga Sakti Gurun Pasir! Nyonya muda ini semenjak minum
sari darah anak naga telah memiliki tenaga sinkang yang luar biasa dahsyatnya, ditambah lagi memperoleh
bimbingan suaminya dalam ilmu silat tiinggi, maka dia merupakan seorang tokoh wanita yang jarang dapat
ditemukan tandingannya di waktu itu. (baca Kisah Sepasang Rajawali)
Pertandingan itu berjalan cepat dan juga seru, karena Kim Cui Yan yang maklum akan kehebatan lawan itu
berkelahi mati-matian. Akan tetapi, akhirnya dia harus mengakui keunggulan lawannya ketika dengan
tenaganya yang dahsyat, Ceng Ceng berhasil memukul pergelangan tangan kanannya sehingga
pedangnya terlepas dan terampas oleh lawan. Di lain saat, Ceng Ceng sudah menodongkan ujung pedang
rampasan itu ke leher lawan sampai menempel di kulit tenggorokan Cui Yan yang tak berani bergerak lagi
karena bergerak berarti lehernya tertembus ujung pedangnya sendiri!
Cui Yan hanya melangkah mundur, namun ujung pedang itu tidak pernah meninggalkan kulit
tenggorokannya sedikit pun, terus menempel ketika Ceng Ceng melangkah maju pula mengikutinya
sampai akhirnya Cui Yan tidak mampu mundur lagi oleh karena punggungnya telah menumbuk bekas
perapian di ruangan kuil tua itu.
“Bunuhlah, siapa takut mati?” teriak Cui Yan sambil memandang dengan mata yang terbelalak.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Perempuan keji, memang aku akan membunuhmu...“
“Tunggu! Jangan bunuh dia, Subo...!” Hwee Li menjerit dan meloncat keluar dari tempat
persembunyiannya.
Ceng Ceng menahan pedangnya dan memandang kepada muridnya itu dengan kaget dan heran. Tanpa
menurunkan pedangnya yang tetap menodong leher Cui Yan, dia membentak, “Apa maksudmu, Hwee Li?
Mengapa engkau mencegah aku membunuh penculik puteraku ini?”
“Subo, jangan bunuh dia... dia adalah enci-ku sendiri...“
Ceng Ceng merasa terkejut bukan main mendengar ini sehingga otomatis pedang itu diturunkannya dari
leher Cui Yan yang juga merasa heran sekali mendengar itu dan memandang kepada Hwee Li dengan
mata penuh keheranan.
“Enci-mu? Jadi dia ini juga puteri Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka?” tanya Ceng Ceng dengan alis
berkerut.
“Bukan, Subo. Akan tetapi dia adalah puteri mendiang Panglima Kim Bouw Sin...”
“Dan engkau puteri Hek-tiauw Lo-mo, bagaimana kau bisa bilang dia enci-mu?”
“Tidak, teecu hanya anak angkat saja dari Hek-tiauw Lo-mo, sebetulnya teecu adalah puteri Kim Bouw Sin
juga, dari salah seorang selir yang dilarikan oleh Hek-tiauw Lo-mo. Teecu Kim Hwee Li adalah adik tirinya
seayah dengan Enci Cui Yan. Oleh karena itu, harap Subo memandang muka teecu dan suka
mengampuni Enci Cui Yan.”
Keterangan ini membuat Ceng Ceng melangkah mundur tiga langkah dan dia demikian tercengang
sehingga tangan kirinya naik dan mengusap pipinya sendiri. Kenyataan ini merupakan pukulan baginya.
“Ahhh, kau... jadi engkau ini anak pemberontak? Aihhh, sungguh celaka sekali. Jadi selama ini aku
mengambil anak pemberontak keji dan hina sebagai murid?”
Saking menyesalnya, Ceng Ceng lalu menggunakan kedua tangan menekuk pedang di tangannya itu.
“Krekkk!”
Pedang Cui Yan itu patah menjadi dua dan Ceng Ceng melemparkannya ke atas tanah. Matanya menatap
wajah muridnya itu dengan penuh kemarahan, kekecewaan dan penyesalan. Kemudian dia mengeluh dan
sekali berkelebat, dia sudah meloncat keluar dari kuil itu.
“Ahhh...“ Hwee Li rnemejamkan kedua matanya dan seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia merasa lega
bahwa nyawa enci tirinya terlepas dari ancaman maut, akan tetapi juga berduka sekali karena maklum
bahwa gurunya itu merasa kecewa dan menyesal dan dia merasa bahwa semenjak saat tadi, tali
perhubungan antara dia dan gurunya telah diputuskan oleh gurunya, seperti gurunya mematahkan pedang
tadi.
Tiba-tiba terdengar suara yang membuat Hwee Li cepat membuka mata, membalikkan tubuh dan
memandang ke arah jendela. Di luar jendela itu telah berdiri Kian Lee, wajahnya pucat, matanya terbelalak
dan kerut-merut duka terbayang di wajah itu.
“Ya Tuhan... jadi engkau ini anak Kim Bouw Sin pemberontak hina itu...?” Setelah berkata demikian, Kian
Lee berkelebat pergi.
“Lee-koko...!” Hwee Li menjerit.
Dia meloncat ke dekat jendela, akan tetapi ketika dia memandang, bayangan Kian Lee telah lenyap dari
situ dan dia tahu bahwa dia tidak mungkin dapat mengejar pemuda itu yang dapat lari jauh lebih cepat dari
pada dia, bahkan lebih cepat dari gurunya tadi. Maka tak tertahankan lagi Hwee Li menangis terisak-isak
sambil bersandar di ambang jendela yang retak-retak. Memang tadinya dia sudah merasa berduka sekali
oleh sikap gurunya yang tercinta, yang kelihatan kecewa dan meninggalkanya dengan marah dan
dunia-kangouw.blogspot.com
menyesal. Sikap gurunya sudah membuat dia hampir menangis, maka sikap Kian Lee yang mengeluarkan
kata-kata yang sama dengan ucapan gurunya menjebol bendungan hatinya yang seperti disayat rasanya.
Sebuah tangan yang halus menyentuh pundaknya. Hwee Li menoleh dan melihat Cui Yan berdiri di
dekatnya. Mereka saling pandang dan Hwee Li melihat betapa kedua mata gadis itu penuh air mata,
betapa mata itu memandangnya penuh perasaan iba. Tiba-tiba, seperti ada sesuatu yang menarik mereka,
keduanya saling rangkul dan menangislah dua orang dara itu tersedu-sedu. Kakak beradik yang saling
jumpa dalam keadaan yang menyedihkan.
Setelah tangis mereka mereda, biar pun Hwee Li masih sesenggukan, akan tetapi Cui Yan telah dapat
menguasai hatinya. Sambil merangkul adiknya, dia berkata, “Aku sudah menduga-duga dengan penuh
keheranan mengapa engkau serupa sekali dengan ibu ketiga, yaitu selir ayah yang cantik. Aku berusia
kurang lebih enam tahun ketika ibumu itu lenyap. Kiranya engkaulah puterinya yang ketika itu baru berusia
tiga bulan. Kenapa engkau tidak bilang kepadaku bahwa engkau adikku ketika kita berada di benteng?”
Hwee Li menghapus air matanya dan keduanya lalu duduk di atas lantai ruangan itu. “Aku... aku tidak ingin
diketahui oleh... mereka bahwa aku adalah puteri pemberontak, maka aku diam saja walau pun aku sudah
mendengar bahwa engkau adalah kakak tiriku, Enci Cui Yan.”
Gadis baju hijau itu menarik napas panjang. “Aku mengerti. Mereka semua membenci ayah kita. Sungguh
menggemaskan sekali! Apa hubungannya ayah kita dengan kita? Kenapa kita diikutkan memikul kesalahan
yang diperbuat oleh ayah kita?” Lalu Cui Yan merangkul lagi leher adiknya. “Engkau... engkau telah
berkorban untuk keselamatanku, Adikku! Engkau telah menyelamatkan nyawaku, akan tetapi untuk itu
engkau kehilangan guru... dan pemuda itu...”
Diingatkan begini Hwee Li menangis lagi. Dia merebahkan diri di atas dada enci-nya dan kembali keduanya
bertangisan.
Memang demikianlah satu di antara ‘kebiasaan umum’ yang sudah membudaya dalam kehidupan kita.
Manusia dinilai bukan dari keadaan manusia itu sendiri pada saat itu, melainkan dinilai dari segala yang
melekat pada dirinya. Ada penilaian terhadap manusia didasarkan atas kebangsaannya, sukunya,
masyarakatnya, agamanya, orang tuanya, keluarganya, pendidikannya, kedudukannya, hartanya dan
sebagainya lagi.
Sungguh merupakan suatu kebiasaan yang amat buruk dan palsu. Sudah menjadi kebiasaan dalam
peradaban kita ini untuk menilai dan menentukan keadaan seseorang dan apa yang nampak oleh kita.
Padahal, tidak ada orang yang dapat menilai orang lain, kecuali dirinya sendiri. Kalau kita membenci
bangsanya atau sukunya, setiap orang yang menjadi anggota bangsa atau suku itu pun kita benci. Kalau
kita membenci ayahnya, setiap keluarga dari si ayah itu pun kita benci. Pandangan seperti ini tentu saja
amat sesat. Pandangan seperti ini menimbulkan konflik antara suku, antara bangsa, antara agama, antara
keluarga dan antara perorangan.
Dapatkah kita hidup di dunia ini sedemikian bebasnya dari pandangan ketergantungan dan penilaian ini
hingga kita menghadapi siapa pun juga tanpa mengingat kebangsaan, kesukuan, agamanya, kaya
miskinnya, pintar bodohnya, keluarganya, tetapi sebagai manusia dengan manusia lain pada saat itu juga,
tanpa diembel-embeli latar belakang atau latar depannya, asal-usulnya atau segala perbuatannya yang
telah lampau? Kalau tidak dapat, maka konflik antara manusia pun takkan pernah dapat dihentikan!
Kakak beradik itu lalu saling menceritakan pengalaman dan riwayat mereka masing masing. Dengan
segala kejujuran mereka membuka rahasia hati masing-masing hingga mengertilah Hwee Li bahwa encinya
ini saling mencinta dengan Liong Tek Hwi dan merencanakan pernikahan mereka. Sebaliknya, Kim Cui
Yan mendengar bahwa adik tirinya ini sesungguhnya saling mencinta dengan Suma Kian Lee, pemuda
yang tadi meninggalkan adiknya karena kecewa mendengar bahwa adiknya itu puteri seorang
pemberontak.
“Sudahlah, jangan engkau terlalu berduka, Adikku. Setelah kita saling jumpa, aku tidak akan membiarkan
engkau terhina oleh siapa pun juga. Biar pun kita dianggap anak anak pemberontak yang hina, kita pun
tidak butuh dengan mereka. Marilah engkau ikut bersamaku, hidup di samping enci-mu ini yang akan
menghibur dan melindungimu, Hwee Li.”
Akan tetapi Hwee Li bangkit berdiri dan sambil menghapus air mata yang masih terus mengalir di atas
kedua pipinya. Dia berkata keras, “Tidak...! Aku harus mencarinya, aku harus menyusulnya... aku... aku
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak dapat hidup tanpa dia, Enci!” Dan Hwee Li lalu berlari meninggalkan Cui Yan yang bangkit dan berdiri
termangu-mangu memandang dari jendela ke arah adiknya yang berlari cepat sambil menangis.
Setelah bayangan Hwee Li lenyap, gadis baju hijau ini menghela napas panjang dan menggeleng kepala.
“Kasihan Hwee Li... ah, semua ini gara-gara Hek-tiauw Lo-mo dan pangeran dari Nepal yang konyol itu!
Kalau bertemu dengan mereka, akan kuhajar mereka! Dan aku pun harus mengajak suheng untuk mencari
pemuda itu dan dapat menjodohkan Hwee Li dengan dia...“
Dengan pikiran penuh rasa iba kepada adiknya, Cui Yan lalu meninggalkan kuil untuk pergi menemui
suheng-nya, yaitu Liong Tek Hwi. Dia bersama suheng-nya itu setelah meninggalkan benteng yang
terbakar, lalu untuk sementara tinggal di rumah dusun yang dibeli suheng-nya. Mereka menanti datangnya
Kim-mouw Nionio, guru mereka yang akan mengunjungi mereka dan akan mempersiapkan hari pernikahan
mereka. Dia sedang keluar dari rumah ketika di tengah jalan dia bertemu dengan Ceng Ceng yang segera
menyerangnya. Karena merasa kewalahan menghadapi nyonya muda yang amat lihai itu, Cui Yan
melarikan diri dan terus dikejar oleh musuhnya. Cui Yan dapat melarikan diri ke dalam hutan dan malam itu
musuhnya terus mengejar dan mencari carinya di dalam hutan sampai pada keesokan paginya Cui Yan
bersembunyi ke dalam kuil itu dan akhirnya ditemukan juga oleh Ceng Ceng.
“Tentu suheng sedang mencari-cari aku dengan bingung,” pikirnya. Dia pergi sejak kemarin dan kepada
suheng-nya hanya berpamit untuk berbelanja ke kota. Maka dengan cepat dia berlari menuju ke dusun
tempat tinggal suheng-nya yang cukup jauh karena ketika melarikan diri dia mempergunakan ilmu lari
cepat, dan terus dikejar oleh musuh sampai ke hutan itu.
Kim Cui Yan mengambil keputusan untuk mengajak suheng-nya mencari Hwee Li dan Kian Lee. Untuk
keperluan itu, dia rela untuk mengundur hari pernikahannya dengan suheng-nya yang juga menjadi
kekasihnya itu. Kini urusan pribadinya telah beres.
Keluarganya yang terbasmi habis karena Jenderal Kao telah impas dendamnya karena jenderal itu sendiri
pun telah tewas. Dan kini terbuka mata batinnya bahwa Jenderal Kao Liang adalah seorang gagah perkasa
yang selain setia kepada negara juga rela berkorban apa saja demi keselamatan keluarganya.
Jenderal itu gagah perkasa, para pendekar yang mendukungnya terdiri dari orang-orang yang berjiwa
satria yang gagah perkasa pula. Maka dia telah menghapus dendam pribadi itu dari hatinya. Diam-diam dia
merasa bersyukur bahwa dia tidak memperdalam dendam itu dengan mencelakai cucu Jenderal Kao Liang
atau putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, walau pun baru saja dia hampir tewas di tangan ibu dari anak
yang diculiknya itu yang masih marah kepadanya.
Diam-diam dia bergidik kalau teringat akan pengalamannya bertanding melawan isteri Si Naga Sakti Gurun
Pasir. Baru isterinya saja sudah demikian saktinya sehingga biar pun dia mempergunakan pedang, sama
sekali dia tidak berdaya mendesak wanita itu. Agaknya bahkan gurunya sendiri pun belum tentu dapat
menangkan wanita itu dengan mudah. Apa lagi Si Naga Sakti sendiri! Koksu Nepal yang demikian saktinya,
orang ketiga dari Im-kan Ngo-ok juga tidak mampu menandingi Si Naga Sakti. Dia bergidik.
Biarlah dia mencari adiknya, mengurus perjodohan adiknya itu, baru dia akan ikut bersama suheng-nya,
atau kekasihnya, atau calon suaminya, ke utara, jauh sekali ke utara, ke tempat asal ibu dari suheng-nya
yang juga menjadi tempat asal guru mereka, nenek Kim-mouw Nionio.
Matahari telah naik tinggi ketika gadis baju hijau itu memasuki sebuah hutan. Dia harus berjalan cepat agar
dapat tiba di dusun yang menjadi tempat tinggal mereka sementara waktu, di mana suheng-nya tentu
sedang menanti kedatangannya dengan gelisah.
Tiba-tiba di sebelah depan berkelebat bayangan orang dan dari balik pohon-pohon muncullah seorang lakilaki
bertubuh tinggi tegap yang kepalanya memakai sorban dan di bagian depan sorban itu terthias bulu
burung yang amat indah. Segera Cui Yan mengenal orang itu. Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu,
pangeran dari Nepal itu! Melihat pangeran ini, hati Cui Yan yang masih dipenuhi rasa iba dan duka karena
adiknya, seketika menjadi panas karena dia teringat bahwa pangeran inilah yang menjadi gara-gara
sehingga adiknya itu kini mengalami hal-hal yang menyengsarakan hati. Huh, laki-laki macam ini mau
memaksa Hwee Li menjadi isterinya!
Liong Bian Cu juga segera mengenal Cui Yan, sumoi dan juga kekasih dari saudara misannya itu, maka
dengan tersenyum lebar dia cepat menghampiri dan begitu berhadapan dia kemudian berkata, “Ahhh,
dunia-kangouw.blogspot.com
kiranya Nona Kim berada di sini. Sungguh menggembirakan hati dapat bertemu dengan calon iparku yang
begini cantik manis! Eh, di mana adanya saudaraku Liong Tek Hwi?”
Sikap yang ceriwis itu makin memanaskan hati Cui Yan. Dia berdiri tegak memandang wajah pangeran itu
dengan sepasang mata terbelalak, mukanya merah dan mulutnya cemberut, hidungnya yang mancung itu
bergetar dan cuping hidungnya kembang kempis karena kemarahan membuat napasnya agak memburu.
Kemudian terdengar dia berkata, suaranya nyaring dan kaku, “Pangeran, engkau adalah seorang laki-laki
yang tidak tahu malu!”
Sepasang alis yang tebal hitam itu berkerut dan sepasang mata yang agak dalam dan mempunyai
pandangan tajam itu menatap wajah Cui Yan yang cantik. Memang cantik manis sekali calon iparku ini,
pikir sang pangeran. Terutama sekali hidungnya yang mancung itu, manis sekali. Tetapi, mengapa dia
marah-marah dan berani memakinya?
Hati pangeran ini memang sedang tertekan sekali oleh kekecewaan dan kedukaan. Gerakannya telah
gagal total, bentengnya telah hancur dan dia tentu akan mendapat kemarahan besar dari pamannya yang
kini menjadi raja di Nepal. Selain itu, juga baru saja dia kehilangan Hwee Li, gadis yang dicintanya. Dalam
keadaan murung seperti itu, kini bertemu dengan wanita ini yang datang-datang memakinya sebagai lakilaki
yang tidak tahu malu, tentu saja diam-diam dia merasa penasaran dan marah sekali.
Dia, Pangeran Nepal, yang biasanya disembah-sembah orang, yang biasanya dihujani kerling dan senyum
manis oleh setiap orang wanita, tua atau pun muda, yang selama hidupnya belum pernah dihina wanita
kecuali oleh Hwee Li yang dicintanya, sekarang merasa dihina oleh wanita ini! Namun, dia dapat
menyembunyikan kemarahannya dan masih tersenyum memandang kepada wanita yang marah-marah
sampai kedua pipinya kemerahan dan amat menarik itu.
“Calon iparku yang manis, mengapa begitu bertemu engkau marah-marah dan memaki aku? Biar pun
kalau marah engkau kelihatan bertambah cantik, akan tetapi iparmu ini ingin mengetahui mengapa engkau
marah kepadaku.”
Sikap dan kata-kata Liong Bian Cu merupakan minyak pembakar yang disiramkan pada api yang menyala
di dalam Cui Yan. Mukanya segera bertambah merah dan matanya mengeluarkan sinar berkilat. “Cih, lakilaki
tak sopan! Engkau tahu bahwa adikku Hwee Li tidak suka kepadamu, kenapa engkau hendak
memaksanya menjadi isterimu? Engkaulah yang membuat dia merana!”
Pangeran Nepal itu memandang dengan sepasang mata mulai berseri. Teringatlah kini dia bahwa wanita
yang berdiri di depannya dan sedang marah-marah ini adalah kakak tiri Hwee Li, puteri dari mendiang Kim
Bouw Sin, hanya berlainan ibu dengan Hwee Li. Memang ada kemiripan antara keduanya, terutama sikap
galaknya dan bibir yang membayangkan kelembutan di balik kekerasan itu.
Maka timbullah dua macam perasaan di dalam hatinya, perasaan yang terdorong oleh kecewa dan
penasaran karena kegagalannya. Perasaan itu adalah perasaan marah karena dia dihina oleh wanita,
bercampur dengan perasaan kagum karena memang keberanian wanita ini mengingatkan dia akan
keberanian Hwee Li dan itulah yang membangkitkan birahinya! Walau pun aku luput mendapatkan adiknya,
biar kudapatkan kakaknya, demikian bisikan hatinya yang mulai panas. Kalau aku bisa mendapatkannya
dan membawanya ke Nepal sebagai seorang di antara selir-selirku, sewaktu-waktu aku rindu kepada Hwee
Li, wanita ini bisa menjadi penggantinya dan kuanggap saja dia Hwee Li!
“Ahhh, Kim Cui Yan, nona yang cantik manis. Kalau kau anggap aku demikian, lalu bagaimana? Engkau
mau menghukumku? Nah, silakan, aku menyerah kepada seorang wanita denok manis seperti engkau.”
Sepasang mata wanita itu berapi-api saking marahnya. “Pangeran ceriwis! Engkau harus menyatakan
bersalah, minta ampun di depanku dan berjanji bahwa selanjutnya engkau tidak akan mengganggu adikku
Hwee Li lagi!”
Tentu saja diam-diam Pangeran Bharuhendra menjadi marah sekali, akan tetapi dia masih tersenyum
sungguh pun pandang matanya mulai berapi. “Kalau aku tidak mau minta ampun bagaimana?”
“Aku akan menghajarmu!” bentak Cui Yan sambil mengepalkan kedua tinjunya dan berdiri tegak.
“Ha-ha-ha, bagus sekali. Kiranya engkau mengajak aku untuk bertanding mengadu kepandaian? Baik,
akan tetapi pertandingan ini harus ada taruhannya. Kalau aku kalah, biarlah aku akan minta ampun
dunia-kangouw.blogspot.com
padamu seperti yang kau minta, akan tetapi sebaliknya, kalau engkau kalah...“ Pangeran itu mengelus
dagunya yang dicukur licin, “Engkau cantik manis seperti adikmu, kalau engkau kalah, engkau harus
menemani aku sehari semalam, menghibur hatiku yang sedang gundah-gulana...“
“Keparat!” Cui Yan membentak.
Dara ini sudah menerjang dengan kemarahan meluap-luap. Saking marahnya, begitu menyerang dia
sudah mempergunakan ilmu pukulannya yang amat diandalkan, yaitu Swat-lian Sin-ciang. Pukulan ini
adalah pukulan yang mengandalkan tenaga sinkang yang amat kuat dan berbahaya, tenaga Im-kang yang
mengandung hawa dingin sekali.
Ketika merasa betapa ada hawa dingin menyambar ke arah dadanya, pangeran itu berseru, “Bagus sekali!”
Dan cepat dia mengelak ke belakang, lalu siap menghadapi terjangan lawan. Cui Yan yang sudah marah
terus mendesak dengan pukulan-pukulan Swat-im Sin-ciang, akan tetapi kini pangeran itu pun
mempergunakan ilmu pukulan sakti untuk menyambutnya, yaitu ilmu pukulan Im-yang Sin-ciang yang juga
sama kuatnya.
Ilmu pukulan Swat-lian Sin-ciang yang dimiliki Cui Yan bukanlah ilmu sembarangan. Ilmu pukulan ini
mengandung tenaga Im-kang tingkat tinggi yang diciptakan oleh gurunya, yaitu Kim-mouw Nionio di daerah
utara dekat kutub di mana setahun penuh segala sesuatu diselimuti es dari salju, hawanya dingin bukan
main. Biar pun tingkat Cui Yan belum sehebat gurunya, namun pukulan-pukulannya sudah sedemikian
kuatnya sehingga kalau lawannya kurang kuat, maka darah dan segala cairan dalam tubuh lawan dapat
membeku terlanda hawa pukulannya, atau setidaknya, hawa dingin akan membuat lawan menggigil dan
tidak mampu bertahan lagi.
Namun, Liong Bian Cu adalah murid tersayang dari Ban Hwa Sengjin atau pendeta dari Nepal yang
bernama Lakshapadma, yang selain menjadi seorang koksu dari Nepal juga merupakan orang ketiga dari
Ngo-ok yang pada waktu itu termasuk datuk-datuk kaum sesat yang telah memiliki tingkat kepandaian
tinggi sekali. Maka, dengan menggunakan Ilmu Im-yang Sin-ciang, pangeran itu dengan tepat sekali dapat
menahan semua serangan Cui Yan biar pun setiap kali lengan mereka bertemu, dia merasa betapa hawa
dingin menyusup ke dalam tulang lengannya, sebaliknya, karena memang kalah kuat, Cui Yan selalu
terdorong dan terhuyung ke belakang.
Mulailah Cui Yan terdesak dan dara ini merasa menyesal mengapa pedangnya telah dipatahkan oleh Ceng
Ceng sehingga dalam pertempuran melawan Pangeran Nepal ini dia tidak dapat mengandalkan permainan
pedangnya. Setelah bertanding lima puluh jurus lebih, kini Liong Bian Cu mulai melancarkan seranganserangan
hebat yang membuat dara itu menjadi kewalahan. Jika dibandingkan, tingkat kepandaian
Pangeran Nepal itu memang masih lebih tinggi, maka begitu dia menekan, dara itu menjadi sibuk sekali
dan pada saat kedua lengan mereka kembali beradu, Liong Bian Cu cepat mempergunakan kesempatan
itu untuk mencengkeram pergelangan tangan kanan dara itu. Dia tertawa bergelak dan sebelum Cui Yan
mampu melepaskan lengannya, dia sudah tertotok dan menjadi lemas!
Kalau dia dihantam atau dibunuh, Cui Yan tentu akan menghadapinya dengan tabah. Akan tetapi kini
pangeran itu merangkul dan memeluknya dan dara itu terbelalak dan merasa ngeri setengah mati ketika
pangeran itu mendekatkan muka lalu menciumnya penuh nafsu! Cui Yan memejamkan mata dan berusaha
meronta, namun dia telah tertotok sehingga tenaganya habis. Bahkan dia tidak mampu mengerahkan
Swat-im Sin-kang untuk membuat tubuhnya dingin. Terpaksa dia menyerah saja diciumi dan dibelai oleh
pangeran itu yang tertawa-tawa.
“Engkau cantik, manis, dan engkau seperti Hwee Li... ha-ha-ha, Cui Yan yang cantik, engkau telah kalah,
engkau harus membayar taruhan.” Lalu dipondongnya tubuh dara itu.
“Lepaskan aku ! Atau... bunuh saja aku...,“ Cui Yan meratap, kini merasa takut bukan main. Baru sekarang
ini dia merasa amat ketakutan, amat ngeri menghadapi apa yang akan menimpa dirinya.
“Lepaskan? Nanti dulu, Sayang, kau harus membayar taruhan dulu. Membunuhmu? Sayang sekali, engkau
terlalu cantik... ha-ha-ha...!”
Cui Yan tak mampu berdaya apa-apa lagi dan dia dilarikan oleh pangeran itu ke sebuah dusun di mana
terdapat sebuah gedung yang dibangunnya semenjak dia bertualang di daerah ini. Ketika dia memondong
tubuh Cui Yan memasuki rumah itu, Cui Yan melihat Koksu Nepal berada di situ pula! Melihat muridnya
dunia-kangouw.blogspot.com
memondong gadis yang dikenalnya sebagai nona yang pernah datang ke lembah atau ke dalam benteng,
kakek botak itu hanya tersenyum saja, sama sekali tidak bertanya apa lagi menegur. Dia hanya
memandang ketika muridnya itu membawa tubuh yang dipondongnya memasuki kamarnya dan
menutupkan kamar itu dengan kakinya.
Pada jaman itu, baik di Tiongkok mau pun di bagian dunia lain di Asia, terutama di Nepal, memang kaum
wanita dipandang sebagai benda mainan atau sebagai sumber kesenangan bagi pria belaka. Wanita
dianggap tidak berhak untuk menentukan nasibnya, tergantung sepenuhnya dari orang tua atau dari pria
yang menguasainya, seperti benda-benda hiasan atau binatang-binatang peliharaan, dijadikan alat pemuas
nafsu, dijadikan milik kebanggaan. Maka, bukan hal yang aneh melihat wanita dipaksa oleh pria yang
memiliki kedudukan seperti Pangeran Nepal, seolah-olah setiap orang wanita yang berada di dalam
kekuasaannya harus tunduk kepadanya, bahkan dipilih oleh seorang pangeran dianggap sebagai
kehormatan besar bagi si wanita, tidak peduli wanita itu dipilih dengan paksa atau dengan suka rela.
Oleh karena itulah, Ban Hwa Sengjin hanya tersenyum-senyum saja melihat muridnya memondong
seorang wanita cantik, seolah-olah melihat suatu hal yang lucu. Apa lagi karena memang Ban Hwa Sengjin
adalah seorang yang amat keji hatinya, Sam-ok dari Ngo-ok yang terkenal sebagai Lima Datuk yang paling
kejam di seluruh dunia ini.
Kim Cui Yan hanya dapat merintih dan menangis dengan hati hancur lebur. Dia tidak mampu menolak,
tidak mampu meronta, tidak mampu mengelak ketika Liong Bian Cu memperkosanya disertai bujuk rayu
yang tentu akan ditolaknya dan ditentangnya dengan taruhan nyawa kalau saja dia mampu bergerak. Akan
tetapi, Pangeran Nepal itu cerdik, dia ditotok sehingga kaki tangannya menjadi lemas tak berdaya, hanya
mampu bergerak lemah tanpa mampu mengerahkan tenaga sinkang-nya. Dia hanya mampu membuang
muka dan air matanya bercucuran ketika dia dipermainkan oleh pangeran itu yang agaknya tidak ada puaspuasnya
menuruti nafsu kejinya.
Sudah bulat tekad di dalam hati Cui Yan untuk membunuh diri begitu dia memperoleh kesempatan. Untuk
melaksanakan kebenciannya dan membunuh pangeran itu, tentu saja dia tidak mampu, apa lagi mengingat
bahwa di tempat itu terdapat koksu yang sakti pula. Maka, jalan satu-satunya hanyalah membunuh diri
untuk mencuci dirinya dari aib dan penghinaan. Akan tetapi, kalau hanya membunuh diri begitu saja akan
sia-sia. Dia harus lebih dulu dapat bertemu dengan suheng-nya, dengan kekasihnya, dengan calon
suaminya, untuk menceritakan semua mala petaka yang menimpa dirinya ini.
Akan tetapi, Liong Bian Cu yang sudah berpengalaman dalam hal memperkosa wanita dapat melihat dan
menduga bahwa Cui Yan tentu akan membunuh diri kalau diberi kesempatan, oleh karena itu dia selalu
menjaga dan menotok jalan darah wanita itu. Baru setelah ada tanda-tanda bahwa Cui Yan membalas
belaiannya dan seolah-olah menjawab pernyataan cintanya, dia mulai memberi kelonggaran karena dia
mengira bahwa dia telah berhasil ‘menundukkan’ wanita ini, seperti menundukkan seekor kuda betina liar
yang mulai menjadi ‘jinak’, seperti yang sudah sering kali dia alami. Di antara para selirnya, banyak yang
tadinya juga melawan dan tidak rela menyerahkan diri, akan tetapi kemudian malah menjadi selir yang
amat mendambakan cintanya, bahkan saling berebutan untuk melayaninya! Dan dia mengira bahwa Cui
Yan juga termasuk wanita seperti itu. Kini Cui Yan mulai suka tersenyum kepadanya!
Karena merasa bahwa setelah sepekan lamanya dia memaksa Cui Yan melayaninya dan jarang
meninggalkan wanita ini, dia mulai memberi kelonggaran. Akan tetapi, pada malam kelima itu, malam
pertama dia meninggalkan Cui Yan sebentar untuk berbincang-bincang dengan koksu, ketika dia kembali
ke kamarnya, burung itu telah terbang menghilang! Dia cepat mengejar dan mencari, namun sia-sia belaka.
Cui Yan telah lenyap!
Ke manakah perginya Cui Yan? Wanita, yang ditimpa mala petaka hebat ini melarikan diri dengan
secepatnya meninggalkan dusun tempat tinggal Liong Bian Cu. Sambil menangis dia terus lari sekuatnya
semalam suntuk itu, menuju ke dusun tempat tinggal suheng-nya. Hampir putus napasnya ketika pada
keesokan harinya dia tiba di depan rumah suheng-nya, karena semalam suntuk dia terus berlari cepat,
sedikit pun tidak pernah mengurangi kecepatannya dan mengerahkan segenap tenaganya.
Bukan main kaget hati Liong Tek Hwi ketika dia melihat sumoi-nya datang berlari-lari, lalu menubruk
padanya, merangkul dan menangis tersedu-sedu.
“Sumoi, apa yang telah terjadi? Ke mana saja selama ini engkau pergi? Aku dan subo mencari-carimu
sampai ke mana-mana, hatiku risau dan bingung sekali...“ Pemuda berkulit putih bermata kebiruan itu
merangkul dan mengelus rambut kekasihnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cui Yan, apa yang telah terjadi?” tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dan ketika mendengar ini, Cui
Yan kaget dan menengok, kemudian dia menjerit dan melepaskan rangkulan leher suheng-nya, menubruk
kaki nenek itu sambil menangis sesenggukan.
Nenek itu bukan lain adalah gurunya, Kim-mouw Nionio. Nenek ini sudah tua sekali, sudah sembilan
puluhan tahun usianya, dan keadaannya amat mengerikan. Rambutnya pirang keemasan sudah penuh
uban, matanya agak kebiruan dan di kedua lengannya nampak dua buah gelang, yang kanan terbuat dari
emas dan yang kiri dari perak. Sepasang gelang emas dan perak itu selain menjadi perhiasan, juga
merupakan senjatanya yang ampuh sekali.
Melihat muridnya itu menangis tersedu-sedu sambil merangkul kakinya, nenek itu menyeringai dan sekali
menggerakkan kakinya, tubuh muridnya itu terjengkang.
“Wuhhh, memalukan sekali! Apakah selama ini aku mengajar engkau menjadi wanita lemah dan cengeng?
Hayo katakan apa yang telah terjadi!”
Dengan air mata bercucuran Cui Yan bangkit berdiri dan ketika dia bertemu pandang dengan kekasihnya,
kembali dia tersedu-sedu. Liong Tek Hwi melangkah maju dan memegang tangan sumoi-nya, memandang
dengan penuh kekhawatiran dan bertanya halus, “Sumoi, ada apakah? Engkau benar-benar membuat aku
gelisah sekali. Coba ceritakanlah.”
“Suheng... demi Thian... engkau harus membunuh si jahanam Liong Bian Cu...!”
Tentu saja ucapan itu membuat Liong Tek Hwi terkejut bukan main. Liong Bian Cu adalah saudara
misannya dan sekarang sumoi-nya atau kekasihnya ini sudah minta kepadanya untuk membunuh saudara
misannya itu!
“Sumoi, apakah yang terjadi? Mengapa engkau mengajukan permintaan yang luar biasa ini?”
“Sepekan yang lalu... aku bertemu dia. Kami bertempur karena aku menyalahkan dia yang ingin memaksa
adikku Kim Hwee Li menjadi isterinya dan karena dia kurang ajar kepadaku, aku kalah dan tertawan. Aku
dibawa ke dusun sebelah barat hutan di mana jahanam itu tinggal bersama gurunya, Koksu Nepal dan...
dan...“ Cui Yan kembali menjerit dan menangis terisak-isak.
Sepasang alis Tek Hwi berkerut dan pandang mata yang ditujukan kepada sumoi-nya itu penuh
kekhawatiran. “Lalu bagaimana, Sumoi?”
“Dia... selama sepekan ini... dia... memaksaku, dia memperkosa aku... dan aku tidak berdaya... ditotoknya
dan... diperkosanya... hu-hu-huuu!”
“Ahhh...!” Liong Tek Hwi mengeluarkan suara bentakan nyaring dan wajahnya seketika menjadi pucat
sekali, matanya terbelalak dan tinjunya dikepal kuat-kuat.
“Suheng...!” Cui Yan menjerit dan menubruk suheng-nya.
Tek Hwi menerima dan merangkul kekasihnya, dari kedua matanya juga keluar air mata saking marah dan
menyesalnya. Dia ingin menghibur kekasihnya, akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.
“Tek Hwi, awas...! Cegah dia...!”
Tiba-tiba Kim-mouw Nionio berseru dan sekali meloncat dia telah menerkam Cui Yan dan menangkap
kedua tangan dara itu, akan tetapi terlambat sudah. Liong Tek Hwi memandang dengan mata terbelalak,
melihat dada kekasihnya yang merah semua karena darahnya mengucur keluar dari ulu hati yang tertusuk
hiasan rambut atau tusuk konde yang terbuat dari perak dan panjangnya lebih dari sejengkal. Tusuk konde
itu terbenam di dada Cui Yan, menembus jantungnya sehingga darah muncrat-muncrat dan tanpa banyak
bergerak lagi dara itu menjadi lemas dan lunglai.
“Sumoi...!” Tek Hwi, menjerit dan menubruk, merangkul kekasihnya.
Cui Yan membuka mata dan bibirnya bergerak lemah, “Balaskan, Suheng...“ Kemudian tubuhnya lunglai
dan matanya terpejam.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sumoi...! Cui Yan... ahh, Cui Yan kekasihku...!” Liong Tek Hwi menangis dan berteriak teriak seperti orang
gila memanggil-manggil nama kekasihnya, namun nyawa Cui Yan telah melayang pergi meninggalkan
tubuhnya.
“Bian Cu, jahanam kau! Aku harus mengadu nyawa denganmu!” Liong Tek Hwi menurunkan jenazah
kekasihnya dan dia meloncat bangun, kemudian lari dari rumah itu, diikuti oleh subo-nya.
“Tek Hwi, nanti dulu...!” subo-nya berseru, akan tetapi Liong Tek Hwi yang sudah hampir gila saking duka
dan marahnya, tidak mempedulikan subo-nya sehingga terpaksa Kim-mouw Nionio mengikutinya terus
menuju ke barat dengan cepat sekali.
Ketika tiba di dusun itu, dengan mudah Liong Tek Hwi dapat mencari rumah saudara misannya itu dan
kebetulan sekali pada waktu itu, Pangeran Liong Bian Cu dan Ban Hwa Sengjin sedang berada di ruangan
depan. Mereka sudah tahu bahwa Cui Yan semalam telah berhasil melarikan diri, dan mereka pun
menduga bahwa mungkin saja kekasih nona itu, yaitu Liong Tek Hwi atau saudara misan sang pangeran
akan muncul. Akan tetapi mereka bersikap tenang-tenang saja dan tidak takut, bahkan mereka lalu
melupakan urusan nona itu dan bicara tentang kegagalan gerakan mereka dan mengatur rencana
selanjutnya. Perhatian mereka kini ditujukan kepada pemberontakan di Bhutan yang dilakukan oleh
Mohinta.
Ketika mereka sedang bercakap-cakap, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dari depan, “Bian Cu,
jahanam hina-dina! Mari kita tentukan siapa di antara kita yang harus mampus untuk menemani arwah
sumoi-ku!”
Pangeran Liong Bian Cu bangkit berdiri, sedangkan Koksu Nepal hanya menoleh saja. Akan tetapi
terkejutlah guru dan murid ini ketika melihat bahwa di belakang Liong Tek Hwi terdapat seorang nenek
berambut keemasan yang bukan lain adalah Kim-mouw Nionio, datuk luar tembok besar dari utara itu!
Biar pun terkejut melihat kehadiran nenek itu yang sudah sering kali didengarnya dari suhu-nya, akan tetapi
karena di situ hadir pula gurunya, Pangeran Nepal tidak merasa gentar dan dengan gagah dia menyambut
kemarahan saudara misannya itu dengan tersenyum.
“Saudaraku Tek Hwi, mengapa engkau datang dengan kemarahan seperti itu?”
“Keparat, engkau manusia berhati binatang! Engkau menghina dan memperkosa calon isteriku sampai dia
membunuh diri... ah, aku tidak ingin hidup bersamamu di dunia ini. Seorang di antara kita harus mati!”
bentak Liong Tek Hwi dan dengan kemarahan memuncak, pemuda peranakan bule ini sudah menerjang
dengan pukulan yang amat keras.
Liong Bian Cu cepat mengelak dengan loncatan ke belakang sambil berkata, “Sabar dulu, saudaraku.
Apakah kita antara saudara harus saling bunuh hanya karena urusan wanita? Aku dapat mengganti seribu
orang wanita yang lebih cantik dari pada sumoi-mu itu!”
“Manusia iblis! Harus kau ganti dengan nyawamu!” Tek Hwi, menerjang lagi, kini menggunakan ilmu
pukulan Swat-lian Sin-ciang setelah menggosok-gosok kedua tangannya lalu diputar-putar di depan dada
dan menyerang dengan gerakan mendorong lawan.
Pangeran Nepal itu terkejut bukan main. Hawa dingin yang menyerangnya amat hebat, lebih hebat dari
pada serangan Kim Cui Yan, tanda bahwa tingkat kepandaian saudara misannya ini masih lebih tinggi dari
pada nona yang pernah ditawannya itu. Maka dia tidak mau banyak bicara lagi karena kalau dia tidak
waspada, bisa-bisa dia celaka oleh lawan ini. Apa lagi dia melihat betapa gurunya tidak turun tangan
membantu, melainkan berdiri bertolak pinggang dan tak jauh dari situ nampak si nenek rambut kuning
emas itu juga berdiri dengan sikap siap menghadapi Sam-ok atau Koksu Nepal!
Pangeran Liong Bian Cu mengelak dan balas menyerang, dan karena dia maklum akan kelihaian lawan,
dia pun kini mempergunakan ilmu pukulan Im-yang Sinciang, Dia tidak mau mengalah dan biar pun merasa
sayang bahwa dia harus bermusuhan dengan saudara misannya, akan tetapi pangeran ini maklum bahwa
dia tidak akan mampu membujuknya, maka terpaksa harus membunuhnya.
Terjadilah pertandingan yang amat seru dan mati-matian antara dua orang saudara misan ini. Ternyata
bahwa tingkat kepandaian mereka memang berimbang sehingga berbeda dengan ketika melawan Cui Yan,
dunia-kangouw.blogspot.com
sekali ini Pangeran Liong Bian Cu harus mempergunakan seluruh kepandaiannya untuk menghadapi lawan
ini. Sementara itu, Sam-ok dan Kim-mouw Nionio tetap berdiri menonton sambil bersiap-siap turun tangan
kalau pihak lawan dibantu oleh guru masing-masing. Akan tetapi, kakek botak itu hanya tersenyum saja
melihat betapa muridnya agak kewalahan menghadapi lawannya, sedangkan Kim-mouw Nionio secara
terang-terangan selalu memandang kakek itu untuk mengamati gerak-geriknya!
Seratus jurus telah lewat dan kedua lengan mereka telah bengkak-bengkak, akan tetapi pertandingan itu
masih berlangsung terus dengan serunya. Pangeran Liong Bian Cu makin terkejut dan mulai merasa
khawatir. Tak disangkanya bahwa saudara misannya ini ternyata tangguh sekali.
“Liong Tek Hwi, kita berdua dapat membangun kembali kejayaan ayah-ayah kita. Mengapa engkau tidak
menghabiskan saja urusan perempuan ini?” dia berseru sambil menangkis sebuah pukulan keras yang
membuat mereka berdua terpental ke belakang.
Akan tetapi Liong Tek Hwi menerjang lagi dengan nekat.
“Liong Bian Cu, aku baru menganggap habis urusan ini kalau kau sudah menggeletak tanpa nyawa di
depan kakiku!”
“Keparat!” Liong Bian Cu membentak marah dan perkelahian dilanjutkan makin nekat dan makin-seru.
Akan tetapi karena pada waktu itu hati Liong Tek Hwi diliputi penuh kedukaan dan kemarahan, penuh
dendam sakit hati yang meluap-luap, maka serangannya lebih bersemangat dan nekat. Dia tidak takut mati
dan tenaganya seperti bertambah hebat oleh semangat dan kenekatan ini, berbeda dengan Liong Bian Cu
yang masih bersikap hati-hati. Oleh karena inilah maka kini pangeran itu kelihatan mulai terdesak!
Serangan serangan Liong Tek Hwi seperti seekor singa terluka yang sudah nekat. Hanya ada dua pilihan
bagi pemuda yang sakit hati ini, yaitu membunuh atau terbunuh! Liong Bian Cu mulai khawatir dan tak
terasa lagi dia mengharapkan bantuan gurunya.
“Suhu, harap bantu...!”
Akan tetapi sungguh aneh. Kakek botak yang biasanya sebagai seorang koksu amat taat kepada pangeran
ini, sekarang hanya tersenyum dan sama sekali tidak bergerak membantu, juga tidak berkata apa-apa!
Memang, hati kakek ini luar biasa kejinya maka dia menjadi orang ketiga dari Sam-ok, Lima Jahat yang
oleh dunia kang-ouw dianggap sebagai datuk-datuk kejahatan yang paling hebat. Di dalam hati kakek
botak ini, yang terpenting adalah keuntungan atau kesenangan bagi dirinya sendiri.
Memang benar bahwa Liong Bian Cu adalah muridnya, akan tetapi Ban Hwa Sengjin ini mau
mengambilnya sebagai murid hanya karena pemuda ini adalah Pangeran Nepal sehingga melalui muridnya
dia dapat memperoleh kedudukan sampai menjadi koksu! Tentu saja tidak ada perasaan cinta sebagai
guru terhadap pangeran ini. Apa lagi sekarang dia melihat bahwa yang terbaik bagi dirinya adalah matinya
pangeran ini!
Gerakan pangeran ini yang ditunjangnya telah gagal, dan hal ini tentu akan mendatangkan kemarahan
pada Raja Nepal, dan kalau pangeran ini masih hidup dan mereka berdua bersama-sama kembali ke
Nepal, tentu dialah yang akan dipersalahkan oleh Raja Nepal karena kegagalan itu. Akan tetapi kalau
Pangeran Liong Bian Cu sudah tidak ada, tentu dia dapat menimpakan kesalahan kepada pangeran ini.
Dia sendiri masih akan dapat menghibur hati raja dengan membuat jasa baru, yaitu menaklukkan Bhutan
dengan bantuan Mohinta seperti yang telah di aturnya itu.
Demikianlah, setiap perbuatan yang disebut jahat, kejam, keras dan licik selalu tentu terdorong oleh
keinginan untuk keuntungan atau kesenangan diri sendiri. Keinginan untuk senang, atau pengejaran
terhadap kesenangan inilah yang menyeret manusia untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang amat
jahat. Bagi dia yang melakukannya, perbuatan itu tidak dianggap jahat karena dianggap sebagai suatu
kecerdikan atau langkah-langkah demi mencapai apa yang dicita-citakan atau yang dikejar-kejar.
Dapat kita saksikan sehari-hari dalam kehidupan kita betapa pengejaran terhadap kedudukan
menimbulkan jegal-jegalan, permusuhan dan bunuh-membunuh, pengejaran terhadap harta menimbulkan
sogok-menyogok, korupsi, penipuan, pencurian dan sebagainya; pengejaran terhadap kehormatan,
kebersihan nama dan apa pun yang dinamakan kebaikan menimbulkan penjilatan dan kemunafikan.
Perbuatan apa pun, betapa mulia pun, akan kehilangan kemurniannya apa bila didorong oleh suatu pamrih,
dunia-kangouw.blogspot.com
karena perbuatan itu menjadi tidak wajar, menjadi palsu, dan hanya merupakan alat untuk mencapai apa
yang dipamrihkan itu.
Dan pamrih tetap pamrih, tetap memalsukan inti perbuatan, biar pamrih itu bisa saja kita beri pakaian dan
menyebutnya sebagai ‘pamrih baik’, ‘pamrih mulia’ dan sebagainya lagi. Pada hakekatnya, betapa pun baik
dan mulianya kita namakan dia, pamrih itu bukan lain adalah keinginan tercapainya sesuatu yang dapat
menguntungkan atau bisa menyenangkan diri kita, lahir mau pun batin! Hanya tindakan yang seketika,
tanpa pamrih, wajar dan tanpa kita sadari baik buruknya, tanpa didasari kebencian, kemarahan, iri hati,
rasa takut, maka tindakan seperti itu barulah merupakan tindakan yang benar, karena tindakan tanpa
pamrih dan tanpa dinodai oleh segala macam nafsu pementingan diri pribadi itulah tindakan yang
mengandung cinta kasih!
Ketika Pangeran Liong Bian Cu mendapat kenyataan betapa gurunya diam saja, jangankan membantunya,
bahkan menjawab permintaannya pun tidak, hatinya menjadi kecut sekali dan dia menjadi makin panik.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Liong Tek Hwi untuk menubruk ke depan dan terdengarlah pekik
menyayat hati ketika tangan kanan Tek Hwi yang ditusukkan itu mengenai dada Pangeran Lion Bian Cu
dan amblas memasuki dada seperti sebuah kapak.
“Crottttt...!”
Tangan yang terbuka jari-jarinya dan mengandung tenaga sinkang amat kuat itu sudah memasuki rongga
dada sampai sepergelangan tangan dalamnya. Akan tetapi pada saat itu juga, dengan mata melotot dan
mulut masih mengeluarkan pekik Pangeran Liong Bian Cu sempat menghantamkan kepalan kanannya ke
arah kepala yang amat dekat dengannya itu.
“Prakkkk!”
Pukulan itu keras bukan main karena dalam keadaan sekarat itu Liong Bian Cu masih ingat untuk
mengerahkan seluruh tenaga terakhir dalam pukulannya yang mengenai kepala dengan tepat sehingga
kepala Liong Tek Hwi pecah terkena hantaman itu!
Robohlah dua orang kakak beradik misan itu, tergelimpang dan tak bergerak lagi karena keduanya telah
tewas, mati sampyuh dalam perkelahian yang seru dan nekat itu. Berbeda dengan Sam-ok Ban Hwa
Sengjin yang tidak mencinta muridnya, Kim-mouw Nionio amat mencinta murid-muridnya, terutama sekali
Liong Tek Hwi karena pemuda ini memiliki kulit, warna mata dan rambut yang sama dengan dia. Tadi dia
menjaga agar Sam-ok tidak membantu pangeran itu, dan dia sudah girang melihat kemenangan muridnya,
akan tetapi sungguh tidak disangkanya bahwa dalam saat terakhir itu, Pangeran Nepal masih sanggup
melakukan pukulan maut terakhir yang menewaskan muridnya. Dia menjadi marah sekali. Dengan lengking
mengerikan nenek ini menangis dan langsung saja dia menyerang Sam-ok Ban Hwa Sengjin!
Ban Hwa Sengjin tertawa dan menggerakkan lengan bajunya menangkis. Hatinya girang bahwa muridnya
tewas bersama lawannya. Hal ini amat menguntungkan dia. Pertama, dalam pertandingan tadi tak dapat
dikatakan bahwa muridnya kalah karena lawannya juga tewas sehingga namanya tidak akan ternoda oleh
kekalahan muridnya. Kedua, pangeran itu tewas sebagaimana yang diharapkannya. Maka kini menghadapi
kemarahan Kim-mouw Nionio, dia tertawa. Nenek tua ini pun sebaiknya dibungkam mulutnya untuk
selamanya karena nenek ini merupakan seorang saksi pula. Baiknya, tidak ada penduduk dusun yang
berani datang mendekat menyaksikan pertempuran itu sehingga yang menjadi saksi hanyalah satu nenek
tua ini. Dan untuk membungkam mulutnya, tentu saja nenek ini harus dibunuh.
Tangkisan Ban Hwa Sengjin membuat nenek itu terpelanting dan terhuyung, hampir saja roboh. Kim-mouw
Nionio terkejut bukan main. Lawannya memiliki sinkang yang luar biasa kuatnya, dan juga dia sendiri
sudah terlampau tua, usianya sudah kurang lebih seratus tahun. Maklumlah nenek tua ini bahwa kalau
mengandalkan tenaga sinkang dan ilmu pukulan, dia tidak akan menang melawan Sam-ok ini. Maka dia
lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba saja nampak dua gulung sinar emas dan sinar perak
melayang-layang dan menyerang ke arah Ban Hwa Sengjin dari atas, menyambar turun di kedua tangan
nenek itu yang sudah terlepas dari tangannya dan seperti benda-benda hidup menyambar ke arah lawan
sambil berputar cepat sekali sehingga mengeluarkan suara mendesing.
Ban Hwa Sengjin terkejut melihat gulungan sinar yang menyambar dari kanan kiri ini. Akan tetapi sebagai
seorang berilmu tinggi, dia tidak menjadi gugup dan cepat dia mengulur kedua tangan untuk menangkap
dua buah gelang yang menyambar itu. Akan tetapi, betapa kagetnya ketika dia mencoba menangkap,
tangannya terasa nyeri seperti akan terkupas kulitnya oleh benda yang berpusing itu, maka cepat-cepat dia
dunia-kangouw.blogspot.com
menarik kembali kedua tangannya dan dua benda itu seperti hidup menyambar ke arah kepala dan
dadanya! Namun, Sam-ok dapat meloncat ke samping dan menghindarkan diri dari serangan maut itu dan
ketika dia menghadapi lagi nenek itu, ternyata gelang emas dan gelang perak itu telah dipegang oleh si
nenek yang lihai.
“Hemmm, kiranya itukah senjatamu kim-lun dan gin-lun yang lihai? Bagus, aku ingin sekali merasakan
sampai di mana kelihaiannya!” kata Sam-ok sambil tertawa.
Memang dia pernah mendengar bahwa nenek ini lihai sekali memainkan kim-lun (roda emas) dan gin-lun
(roda perak). Nenek itu tidak menjawab, melainkan mendengus dan sudah menyerang lagi, kini bersilat
secara aneh dan kedua gelang itu berubah menjadi gulungan sinar yang menyilaukan mata dan
mengeluarkan suara nyaring berdesing. Ban Hwa Sengjin yang maklum akan kelihaian lawan, cepat
memutar tubuhnya dan kini tubuhnya sudah berpusing, lenyap bentuknya merupakan pusingan yang
bergerak maju mundur.
Dari dalam pusingan itu terdengar suara ketawanya dan kadang-kadang sebuah kaki bersepatu dengan
lapis baja mencuat untuk menendang atau sebuah dengan mencuat untuk menghantam atau menotok.
Itulah ilmu silat yang amat diandalkan oleh kakek ini, yaitu ilmu yang disebutnya Thian-te Hong-i (Hujan
Angin Langit Bumi) dan yang amat sukar dilawan.
Kini nenek Kim-mouw Nionio menjadi kaget dan bingung. Sepasang senjatanya kehilangan keampuhannya
karena tubuh lawan yang berpusing itu sukar sekali diikuti oleh pandang matanya sehingga sukar pula di
jadikan sasaran serangannya. Beberapa kali dia menyerang secara ngawur saja dan begitu bertemu
dengan bayangan tubuh berpusing itu, senjatanya membalik diikuti oleh pukulan tangan atau tendangan
kaki yang tiba-tiba mencuat dari pusingan itu, membuat dia terkejut sekali dan beberapa kali nyaris dia
menjadi korban tendangan.
Sambil berpusing dalam Ilmu Thian-te Hong-i, diam-diam Ban Hwa Sengjin yang lihai itu memperhatikan
gerakan kedua senjata lawan dan akhirnya dia mengenal sifat keras dari kedua senjata itu. Maka pada saat
yang telah diperhitungkannya masak-masak, ketika lawan menggerakkan kedua gelang itu dari arah yang
berlawanan yang memang menjadi sifat permainan kedua gelang itu, tiba-tiba nenek Kim-mouw Nionio
menjadi kabur pandangan matanya karena dia melihat warna merah yang lebar sekali dan tahu tahu kedua
tangannya berikut gelang emas dan perak yang dipegangnya itu telah tergulung dalam selimut mantel
merah! Dan sebelum dia mampu bergerak, kaki kanan Ban Hwa Sengjin menendang. Tendangan itu
sedemikian kuatnya dan tepat mengenai pusar Kim-mouw Nionio. Nenek tua itu menjerit dan terlempar
sampai beberapa meter jauhnya, terbanting jatuh dan dari mulut dan hidungnya mengalir darah, tubuhnya
lunglai dan dia sudah tewas karena isi perutnya hancur oleh tendangan yang amat dahsyat tadi!
Ban Hwa Sengjin tertawa puas melihat ke arah tiga mayat itu. Kemudian, dengan kasar dia menyeret
mayat tiga orang itu dan melempar-lemparkannya ke dalam rumah, lalu dia menyiramkan minyak dan
membakar rumah itu! Setelah rumah itu berkobar besar dan para penduduk dusun mulai geger, diam-diam
Ban Hwa Sengjin menyelinap pergi dari situ tanpa dilihat seorang pun di antara penduduk dusun. Kini
dengan hati lapang Sam-ok Ban Hwa Sengjin melakukan perjalanan pulang ke Nepal.
Dia telah menyusun laporan-laporan palsu kepada Raja Nepal yang akan diajukannya nanti setibanya di
Nepal, tentang kegagalan gerakan di Tiongkok yang disebabkan oleh kesalahan-kesalahan Pangeran
Bharuhendra yang telah tewas pula dalam pertempuran itu. Andai kata kegagalan itu membuat dia tidak
disukai lagi di Kerajaan Nepal, dia pun masih dapat bergabung dengan keempat orang saudaranya dalam
kedudukan mereka sebagai Ngo-ok…..
********************
“Cui Lan, pinni (aku) tahu bahwa engkau mencinta Siluman Kecil, bukan?”
Gadis cantik itu menundukkan mukanya, dan biar pun dia berusaha untuk menahannya, namun tetap saja
dua titik air mata bergantung di pelupuk matanya.
Kim Sim Nikouw menarik napas panjang dan untuk sejenak lamanya dia termenung, teringat akan
pengalaman hidupnya sendiri ketika dia masih muda, ketika dia belum menjadi nikouw. Puluhan tahun
yang lalu, ketika dia masih merupakan seorang dara cantik dan muda seperti Phang Cui Lan ini, ketika
namanya masih Kim Cu dan dia merupakan seorang dara perkasa murid dari Ma-bin Lo-mo, dia pernah
dunia-kangouw.blogspot.com
juga jatuh cinta mati-matian kepada Suma Han atau Pendekar Super Sakti. Akan tetapi cintanya adalah
cinta sepihak dan betapa dia merana dan mengalami penderitaan batin yang amat hebat.
Dia tahu belaka betapa sengsaranya cinta yang tidak terbalas, akan tetapi sekarang dia melihat betapa
semua itu adalah kesalahannya sendiri, betapa cinta kasih yang mengharapkan balasan adalah cinta kasih
yang berdasar ingin menyenangkan diri sendiri dan karenanya tentu saja dapat berubah menjadi
kesengsaraan karena pada hakekatnya, kesenangan yang dikejar-kejar adalah muka kedua dari
kesusahan. Dalam cerita Pendekar Super Sakti diceritakan dengan jelas semua pengalaman dan
penderitaan yang diderita oleh nikouw tua ini akibat cintanya yang tidak mendapatkan balasan dari Suma
Han yang dicintanya itu.
“Cui Lan hentikan tangismu dan dengarlah baik-baik segala ucapan pinni. Di waktu pinni masih muda, pinni
pernah mengalami kepahitan hidup akibat cinta seperti yang kau rasakan sekarang ini, bahkan karena
kegagalan cinta itulah yang mendorong pinni menjadi seorang nikouw. Ketahuilah bahwa cinta pinni
terhadap orang yang pinni cinta itu, seperti cintamu terhadap Siluman Kecil ini, adalah cinta yang palsu,
Cui Lan.”
Dara itu mengangkat wajahnya yang cantik. Sepasang matanya yang indah terbelalak karena penasaran
dan dua titik air mata itu kini meloncat turun ke atas kedua pipinya. “Subo... bagaimana Subo dapat
mengatakan demikian? Teecu (murid)... mencintanya dengan sepenuh jiwa raga teecu...,“ dia berhenti
sebentar, menunduk lalu mengangkat lagi mukanya memandang wajah nikouw tua itu. “Subo,
bagaimanakah Subo dapat mengatakan bahwa cinta Subo dan cinta teecu itu adalah cinta palsu?”
“Anak yang baik,” kata pendeta wanita itu dengan sikap halus dan penuh iba hati, “Kalau kita benar-benar
mencinta seseorang, tentu kita mementingkan kebahagiaan orang itu, bukan? Kalau benar kita mencinta
seseorang, tentu kita akan ikut merasa bahagia melihat orang yang kita cinta itu berbahagia hidupnya.
Namun tidak demikian, kita tidak mementingkan keadaan orang itu, melainkan mementingkan keadaan diri
kita sendiri sehingga kalau tidak terpenuhi hasrat hati kita, yaitu hidup bersama dengan orang yang kita
cinta, kita merasa sengsara dan menderita! Apakah ini disebut cinta, ataukah hanya keinginan kita untuk
senang sendiri dengan berdekatan dengan dia yang kita cinta sehingga kita mempergunakan dia sebagai
sarana untuk menyenangkan diri belaka?”
“Subo...!” Dara itu terisak. “Teecu memujanya, menghormatinya, mengaguminya dan teecu mencintanya.
Teecu ingin melihat dia berbahagia, tetapi juga ingin berdekatan selama hidup teecu di sampingnya...,
salahkah ini?”
Nikouw itu tersenyum haru. “Tidak ada yang menyalahkan atau membenarkan, Cui Lan. Pinni hanya minta
agar engkau suka membuka mata melihat kenyataan. Cinta yang mengharapkan balasan pada hakekatnya
adalah nafsu birahi. Tentu saja hal ini bukan berarti pinni menyalahkan, karena hal itu sudah wajar, timbul
dari daya tarik antara pria dan wanita. Akan tetapi, cinta seperti itu sudah pasti menimbulkan duka pula di
samping mendatangkan kesenangan, anakku. Kalau kita mencinta seseorang dan orang itu tidak
membalas cinta kita, lalu bagaimana?”
“Teecu akan tetap mencintanya...“
“Dengan hati hancur dan menderita?”
Gadis itu mengangguk dan terisak. “Teecu mencintanya dan teecu tahu bahwa teecu tidak cukup berharga
untuk menjadi jodohnya, akan tetapi biar pun dia tidak membalas cinta teecu, teecu tetap mencintanya
sampai akhir hidup teecu...“
Kim Sim Nikouw merangkul dara itu dan mendekapkan kepala dara itu di dadanya. Betapa sama
penderitaan dara ini dengan apa yang dialaminya dahulu. Bahkan dia sendiri meragu apakah sampai detik
ini juga dia dapat melupakan perasaan hatinya terhadap Pendekar Super Sakti!
“Anakku yang baik, mengapa engkau tidak mau membuka mata melihat kenyataan dan menyadari bahwa
engkau menyiksa diri sendiri secara sia-sia? Apakah manfaatnya kedukaan dan kepatahan hatimu itu
untuk dirimu sendiri, apa gunanya pula untuk orang yang kau cinta? Apa pula gunanya untuk orang lain?”
Mendengar ini, perih rasa hati Cui Lan, dia memejamkan mata dan menggigit bibir yang gemetar menahan
tangis. Air mata jatuh berderai dari kedua matanya. Setelah dapat menenangkan hatinya, dia kemudian
berkata, “Subo, apakah yang harus teecu lakukan sekarang? Teecu mohon petunjuk Subo...“
dunia-kangouw.blogspot.com
Kim Sim Nikouw mengelus rambut yang panjang halus itu, lalu mendorong tubuh muridnya dengan lembut.
“Duduklah yang baik, mari kita bicara.”
Setelah Phang Cui Lan duduk dan menghapus air matanya, wajahnya agak pucat dengan rambut yang
kusut namun tidak mengurangi kecantikannya, nikouw tua itu lalu berkata.
“Cui Lan, engkau telah menceritakan semua riwayat dan pengalamanmu. Menurut pandangan pinni,
sebaiknya kalau engkau pergi menghadap ayah angkatmu, yaitu Gubernur Hok Thian Ki yang bijaksana
itu. Di sana engkau akan terhibur, berada dalam lingkungan keluarga baik-baik dan terhormat, dan pinni
yakin bahwa ayah angkatmu yang bijaksana itu akan dapat mengatur hidupmu selanjutnya, mencarikan
jodoh yang layak untukmu...“
“Akan tetapi, teecu merasa tenteram berada di dekat Subo. Biarlah teecu melayani Subo saja, teecu tidak
ingin menjadi seorang puteri bangsawan terhormat...“
Pendeta itu tersenyum memandang wajah dara yang jelita itu. “Alangkah baiknya watakmu, Cui Lan. Pinni
tahu bahwa engkau adalah seorang gadis yang rendah hati, akan tetapi setelah pinni mengajarkan ginkang
kepadamu, pinni yakin bahwa engkau tidak berbakat untuk menjadi seorang wanita yang mengandalkan
kekerasan, sungguh pun pinni melihat jiwa pendekar yang gagah berani dalam dirimu. Dan pinni bukan
menganjurkan engkau hidup kaya raya dan mulia di rumah Gubernur Ho-pei, melainkan karena gubernur
itu amat baik dan sudah mengangkatmu sebagai puterinya, maka sudah sepatutnya kalau engkau ikut
dengan beliau sebagai puterinya yang berbakti. Pinni akan mengantarmu ke sana, Cui Lan.”
Cui Lan teringat kepada orang tua yang gagah dan bijaksana itu, dan akhirnya dia menurut karena
memang dia sayang dan kagum kepada Gubernur Hok Thian Ki yang pernah mengalami bahaya
bersamanya dan yang telah mengangkatnya sebagai anak itu. Memang, dia sudah tidak berayah ibu lagi,
gubernur itu telah menjadi pengganti orang tuanya, sudah selayaknya kalau dia pergi menghadap ayah
angkat itu.
Demikianlah, beberapa hari kemudian, dengan diantar oleh Kim Sim Nikouw, Cui Lan meninggalkan Kuil
Kwan-im-bio di lereng Bukit Thai-hang-san itu untuk pergi ke Ho-pei, di mana Hok Thian Ki menjadi
gubernurnya. Selama beberapa bulan ini Phang Cui Lan telah diajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dan
terutama sekali dilatih ilmu ginkang sehingga gadis yang lemah lembut itu kini dapat bergerak dengan
cepat, bahkan dapat melakukan perjalanan dengan cepat dan tubuhnya tidak mudah lelah seperti sebelum
dia menjadi murid Kim Sim Nikouw. Biar pun kepandaiannya belum boleh diandalkan untuk menyerang
orang lain, tetapi kegesitannya sudah cukup untuk menghindarkan diri dari serangan orang.
Pada suatu hari, nikouw tua dan dara cantik ini memasuki sebuah hutan di kaki Pegunungan Thai-hangsan.
Dari tempat tinggal nikouw itu, yaitu di Kuil Kwan-im-bio yang letaknya di lereng Bukit Thai-hang-san,
menuju ke daerah Ho-pei tidaklah begitu jauh, akan tetapi harus melalui banyak hutan liar dan makan
waktu perjalanan kurang lebih tiga empat hari.
Pada hari ketiga itu, mereka memasuki hutan besar dan di dalam hatinya, Kim Sim Nikouw sudah merasa
khawatir sungguh pun dia tidak mengatakan sesuatu kepada Cui Lan. Sebagai seorang kang-ouw yang
berpengalaman, Kim Sim Nikouw dapat menduga bahwa sebuah hutan besar dan liar seperti itu, biasanya
disuka sekali oleh orang-orang jahat yang hendak menyembunyikan diri dari pengejaran yang berwajib
atau juga dari pengejaran para pendekar.
Kekhawatiran Kim Sim Nikouw itu memang benar. Pada waktu itu, di dalam hutan ini memang
bersembunyi ketua Liong-sim-pang dan anak buahnya! Seperti kita ketahui, ketua Liong-sim-pang, yaitu
Hwa-i-kongcu Tang Hun telah ikut terseret pula dalam petualangan Pangeran Nepal sehingga dia bersama
anak buah dan para pembantunya ikut pula bersekutu dengan pemberontak itu.
Setelah benteng pemberontak dapat dihancurkan dan Hwai-kongcu Tang Hun bersama sisa anak buahnya
berhasil melarikan diri, tentu saja dia tidak berani kembali ke sarangnya semula, yaitu Puncak Naga Api
yang terletak di Pegunungan Lu-liang-san, melainkan bersembunyi di dalam hutan besar di kaki
Pegunungan Thai-hang-san itu. Dia khawatir sekali kalau-kalau namanya dan perkumpulannya telah
masuk cacatan pemerintah dan sarangnya itu akan di serbu pasukan pemerintah. Apa lagi karena dalam
pertempuran di benteng itu, dia juga telah ditinggalkan oleh tiga orang tangan kanannya yang dipercaya,
yaitu Ban-kin-kwi Kwan Ok, Hai-Liong-pang Ciok Gu To dan tosu Hak Im Cu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga orang pandai ini juga melarikan diri dari benteng dalam keadaan terpencar dan melihat kegagalan
Hwa-i-kongcu dalam persekutuan itu, mereka bertiga lalu terus pergi tanpa pamit lagi. Hwa-i-kongcu hanya
berhasil mengumpulkan dua puluh orang lebih sisa anggota Liong-sim-pang dan bersama mereka dia
cepat kembali ke Puncak Naga Api untuk mengambil semua hartanya yang ditinggalkan di situ, kemudian
membawa hartanya pergi dan bersembunyilah dia dan anak buahnya di dalam hutan ini, menanti saat baik
untuk membangun kembali perkumpulannya yang menjadi lemah dan rusak akibat gagalnya persekutuan
membantu Pangeran Nepal itu.
Ketika nikouw tua dan dara muda itu sedang berjalan di antara pohon-pohon raksasa dalam hutan yang
sunyi itu, tiba-tiba Kim Sim Nikouw memegang lengan muridnya dan berhenti melangkah. Biar pun dia
sudah tua sekali, namun berkat latihan ketat di waktu mudanya, maka panca inderanya masih peka dan
tajam, pendengarannya masih dapat menangkap suara yang tidak sewajarnya.
“Ada apakah, Subo?” bisik Phang Cui Lan khawatir ketika melihat wajah subo-nya yang serius.
“Sssttt...“ Kim Sim Nikouw berbisik pula.
Cui Lan makin khawatir, mengira bahwa tentu subo-nya melihat atau mendengar suara seekor binatang
buas, maka dara ini merasa ngeri juga. Mendadak terdengar suara berisik dan dari balik pohon-pohon
besar itu muncullah seorang laki-laki bertubuh jangkung diikuti oleh lima orang lain. Melihat munculnya
enam orang laki-laki ini, Cui Lan menarik napas lega. Kiranya hanya manusia-manusia saja dan dara ini
menjadi tenang kembali.
“Ahh, kalian enam orang gagah sungguh membuat kami berdua terkejut bukan main!” kata Cui Lan dengan
wajah berseri dan senyum ramah. “Kusangka kami akan bertemu dengan harimau atau ular!”
Laki-laki berusia hampir lima puluh tahun yang bertubuh jangkung dan bermuka keras itu tertawa
mendengar ini dan lima orang temannya tertawa semua. “Ha-ha-ha, Nona Manis, kalau dibandingkan
dengan harimau, kami adalah singa-singa perkasa, dan kalau dibandingkan dengan ular-ular
sesungguhnya kami adalah naga-naga sakti! Setelah berjumpa dengan kami, kalian berdua harus
menyerah untuk menjadi tawanan kami.”
“Menjadi tawanan?” Cui Lan bertanya dengan penasaran. Dara ini memang memiliki ketabahan besar,
maka kini dia pun tidak menyembunyikan kemarahannya dan sedikit pun tidak kelihatan takut karena dia
merasa berada di pihak yang benar. “Apakah kesalahan kami berdua. Dan untuk apa kami hendak
ditawan?”
Kembali enam orang itu tertawa dan si jangkung membusungkan dada. “Kalian telah memasuki wilayah
kami dan kalian harus kami tawan untuk kami hadapkan kepada pimpinan kami!”
Kim Sim Nikouw sudah maklum bahwa dia dan muridnya sedang berhadapan dengan gerombolan
perampok atau orang-orang jahat, maka dia sudah mengerutkan alisnya dan kini dia segera berkata halus,
“Omitohud... kami berdua hanyalah seorang nikouw tua dan seorang gadis muda yang lemah dan miskin,
tidak mempunyai apa-apa, maka, demi Dewi Kwan Im yang pengasih dan penyayang, harap Cu-wi (Anda
sekalian) yang gagah perkasa tidak mengganggu kami.”
Si jangkung itu membelalakkan matanya. “Ehh, nikouw tua, jangan ngoceh engkau! Kau kira kami ini
perampokperampok? Phuh! Kami adalah orang-orang gagah perkasa dari Liong-sim-pang, tahu?”
Sudah puluhan tahun lamanya Kim Sim Nikouw tidak lagi berkecimpung di dalam dunia kang-ouw, tentu
saja dia belum pernah mendengar akan nama perkumpulan Liong-sim-pang itu. Akan tetapi melihat sikap
sombong dari si jangkung ini saja sudah dapat dinilai olehnya macam apa adanya Perkumpulan Hati Naga
itu.
Dia cepat menjura dan berkata, “Ahhh, kiranya Cu-wi adalah orang-orang gagah dari perkumpulan besar.
Makin baik kalau begitu, karena pinni percaya bahwa Cu-wi tidak akan mengganggu kami. Hendaknya Cuwi
ketahui bahwa pinni sedang mengantarkan nona ini untuk menghadap Gubernur Ho-pei. Nona ini adalah
puteri angkat beliau, maka harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan.”
“Puteri angkat Gubernur Ho-pei? Ahhh...!” Enam orang itu terbelalak dan kelihatan terkejut dan girang
sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kim Sim Nikouw sengaja menggunakan nama gubernur untuk mengusir mereka karena biar pun dia tidak
merasa takut, akan tetapi nenek ini sudah tidak mempunyai minat lagi untuk menggunakan kekerasan
bertempur melawan orang lain. Usianya sudah hampir enam puluh tahun dan sudah puluhan tahun dia
tidak pernah berkelahi, bahkan jarang sekali berlatih sungguh pun selama puluhan tahun itu dia telah
menemukan rahasia ilmu ginkang yang luar biasa sekali.
Biar pun Cui Lan sendiri merasa tak setuju mendengar gurunya membawa-bawa nama ayah angkatnya
menghadapi orang-orang kasar ini karena dia sendiri sama sekali tidak merasa takut, akan tetapi melihat
wajah girang mereka, dara ini mengira bahwa mereka sudah mengenal ayah angkatnya dan
menghormatinya, maka dia pun tersenyum dan berkata, “Setelah Cu-wi mengenal ayah angkatku, maka
harap Cu-wi suka membiarkan kami melanjutkan perjalanan. Dan nanti setelah bertemu dengan beliau
tentu aku akan melaporkan tentang kebaikan kalian. Sekarang ini, seperti dikatakan Subo, kami adalah
orang-orang miskin dan aku tidak mempunyai apa-apa...“
Cui Lan menghentikan kata-katanya karena tiba-tiba si jangkung itu tertawa bergelak dan diikuti oleh
teman-temannya. “Ha-ha-ha, engkau bilang tidak mempunyai apa-apa, Nona? Ha-ha-ha, engkau memiliki
sesuatu yang amat berharga sekali, yaitu kecantikan dan kemudaanmu. Kongcu tentu akan tertarik sekali
kepadamu, oleh karena itu, marilah engkau ikut bersama kami menghadap kongcu dan nenek tua ini tidak
ada gunanya, biar dia melanjutkan perjalanannya seorang diri saja.”
“Jiu-twako, mengapa tidak bunuh saja nenek ini biar menjadi makanan binatang hutan dan agar dia tidak
dapat banyak bicara tentang kita di sini?” berkata seorang di antara mereka yang mukanya penuh brewok
dan kata-katanya ini agaknya didukung oleh teman-temannya.
“Bunuh juga lebih baik!” kata si jangkung.
Tentu saja Cui Lan menjadi terkejut bukan main dan bangkitlah kemarahannya. Dengan mata terbuka lebar
dan dada dibusungkan, dia menghadang di depan subo-nya dan menentang enam orang laki-laki kasar itu.
“Hemmm, apa yang kalian hendak perbuat? Apakah seperti itu sikap orang-orang gagah yang menamakan
dirinya anggota-anggota perkumpulan Liong-sim-pang yang gagah perkasa? Mundurlah, kalau tidak, tentu
kejahatan kalian kelak akan menerima hukuman dari pemerintah dan dari Tuhan!”
Enam orang itu tertawa terkekeh-kekeh mendengar ucapan ini. “Ha-ha-ha-ha, kawan kawan, lihat, nona ini
selain cantik jelita, juga memiliki keberanian! Kongcu tentu akan girang melihatnya. Kurasa, dibandingkan
dengan Puteri Bhutan itu, dia ini masih tidak kalah!”
Kim Sim Nikouw melihat gelagat tidak baik, maka dia menarik tangan muridnya dan berkata, “Cui Lan,
mundurlah.” Kemudian dia menghadapi enam orang itu dan berkata lagi dengan halus, “Harap Cu-wi suka
mempertimbangkan lagi apa keuntungan Cu-wi mengganggu kami, seorang wanita tua dan seorang gadis
lemah. Apakah Cu-wi tidak khawatir nama baik Cu-wi akan ternoda?”
Si jangkung membentak, “Nikouw tua jangan cerewet! Dengar, aku adalah Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang
yang terkenal jagoan dan tentu saja aku tidak sudi mengganggu nenek-nenek tua dan seorang dara yang
lemah. Tetapi kami bukan ingin mengganggu kalian. Aku hanya ingin mengajak nona ini menghadap
kongcu yang sedang kesepian, sedangkan engkau, kalau engkau mau menjadi bujang dan melayani
kongcu akan kami ajak sekalian. Kalau tidak, nona ini akan kami bawa dan engkau akan kami berikan
kepada binatang-binatang buas di hutan ini untuk dimakan!”
Kim Sim Nikouw memejamkan mata sejenak untuk merasakan api kemarahan yang terasa di dada dan
kepalanya, kemudian dia membuka kembali matanya, memandang kepada Jiu Koan jagoan Liong-simpang
itu dengan sinar mata tetap lembut dan dia menarik napas panjang berkali-kali sehingga api
kemarahan itu padam kembali.
“Omitohud... kalian menggunakan kekerasaan untuk melakukan perbuatan jahat, tidak tahukah kalian
bahwa hal itu akan menimpa kalian sendiri?”
“Jiu-twako, mengapa melayani nenek-nenek cerewet? Biar kusembelih saja dia!” bentak si brewok sambil
mencabut sebuah golok dari punggungnya, ditertawakan oleh teman temannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Jiu Koan mengangguk, kemudian tiba-tiba dia sendiri bergerak menubruk ke arah Cui Lan untuk
menangkap dara itu, sementara itu, si brewok sudah memutar goloknya lalu dibabatkan golok itu ke arah
leher Kim Sim Nikouw!
“Ihhhhh...!” Cui Lan menjerit ngeri akan tetapi dengan ringan sekali tubuhnya sudah meloncat ke samping
sehingga Jiu Koan hanya menubruk tempat kosong belaka! Inilah hasil beberapa bulan digembleng oleh
Kim Sim Nikouw dalam hal ginkang! Melihat betapa mudahnya dia mengelak, Cui Lan menjadi besar hati
dan dia bersikap waspada memandang kepada si jangkung yang kelihatan terheran itu. Akan tetapi si
jangkung Jiu Koan tidak berusaha menubruknya kembali karena tertarik untuk menonton si brewok yang
sudah mulai menyerang nikouw tua itu.
Enam orang itu terkejut sekali seperti juga si brewok. Walau pun si brewok menyerang sedemikian
cepatnya, ketika golok itu menyambar, tubuh nenek itu tiba-tiba saja lenyap! Jiu Koan sendiri melihat
betapa cepatnya gerakan nenek itu, seperti kapas ringannya, melayang ke kanan saat golok si brewok
menyambar. Dia menjadi penasaran dan mulai menduga bahwa nikouw itu tentu memiliki kepandaian,
maka dia mengambil kesimpulan bahwa kalau nikouw ini tidak dibunuh lebih dulu, tentu akan sukar
baginya untuk dapat menawan dara cantik jelita yang tentu akan menyenangkan hati kongcunya itu.
Maka setelah mencabut goloknya, golok yang amat diandalkannya, dia lalu berseru nyaring kepada kawankawannya,
“Hayo kalian bantu, bunuh nikouw tua itu!”
Empat orang kawannya cepat mengeluarkan senjata masing-masing dan beramai-ramai mereka berlima
lalu mengeroyok Kim Sim Nikouw. Hujan senjata menyambar ke arah tubuh nikouw itu, menyilaukan mata
sinar golok dan pedang yang berkilat-kilat. Namun sungguh mengejutkan mereka karena biar pun mereka
kadang-kadang dapat melihat dengan jelas tubuh atau bayangan nenek itu, tidak ada satu pun di antara
serangan serangan mereka mengenai sasaran! Nenek tua itu seperti pandai menghilang saja dan tahutahu,
begitu diserang, bayangan itu lenyap dan telah berada di tempat lain, di belakang atau di kanan kiri
mereka! Tentu saja hal ini memancing rasa penasaran mereka dan lima orang itu menyerang lebih ganas
lagi.
Penyerangan orang-orang kasar itu tentu saja sama sekali tidak ada artinya bagi Kim Sim Nikouw,
merupakan serangan sekumpulan anak-anak yang canggung dan kaku belaka dan dengan ginkang-nya
yang sudah mencapai tingkat amat tinggi itu, dengan mudah dia dapat mengelak ke sana-sini. Jangankan
baru lima orang kasar itu, biar ditambah lagi dengan lima puluh orang macam mereka, kiranya belum tentu
akan mampu melukai nenek ini dengan senjata mereka!
Kalau nikouw tua itu menghendaki, dengan sedikit gerakan berdasarkan ilmu ganas Toat-beng Sin-ciang
(Tangan Sakti Pencabut Nyawa), atau Swat-im Sin-ciang (Tangan Sakti Inti Salju), maka dengan mudah
dia akan dapat merobohkan mereka. Hanya saja hati nikouw ini merasa tidak tega. Setelah puluhan tahun
lamanya menghayati ajaran ajaran Dewi Kwan Im yang penuh welas asih, ia merasa tidak tega untuk
membalas kekerasan orang dengan kekerasan pula. Dia melihat perbuatan keras dan kasar itu bukan
sebagai suatu kejahatan, melainkan sebagai suatu kebodohan dan orang-orang itu tidak menimbulkan
kebencian di dalam hatinya, malah baginya patut dikasihani! Inilah sebabnya mengapa sampai sekian
lamanya Kim Sim Nikouw hanya mengelak saja tanpa mau membalas.
Jiu Koan, tokoh Liong-sim-pang yang sombong itu, tentu saja terkejut bukan main melihat betapa nenek itu
dapat berkelebat seperti seekor burung di antara kilatan golok dan pedang anak buahnya, sedikit pun tidak
pernah tersentuh. Dia menjadi penasaran sekali dan sambil berseru keras dia pun menerjang ke depan,
menusukkan goloknya ke arah punggung nenek itu. Kim Sim Nikouw mengelak dengan tubuh dimiringkan,
akan tetapi golok yang luput menusuk itu telah membalik dan membabat ke arah lehernya! Tahulah Kim
Sim Nikouw bahwa Jiu Koan ini memiliki kepandaian yang tidak boleh disamakan dengan kekasaran lima
orang anak buahnya, maka dengan cepat nikouw tua ini mengenjot kakinya dan tubuhnya sudah mencelat
ke belakang, membuat babatan golok di tangan Jiu Koan itu mengenai angin kosong saja.
Enam orang Liong-sim-pang itu makin penasaran dan kini mereka terus menyerang bertubi-tubi, sama
sekali sudah tidak ingat akan kegagahan mereka yang sepatutnya tersinggung dan membuat mereka malu
karena mereka adalah enam orang laki-laki yang selalu menganggap diri sendiri gagah perkasa, akan
tetapi sekarang mengeroyok seorang nikouw tua yang sama sekali tidak pernah mau balas menyerang!
Kim Sim Nikouw akhirnya maklum bahwa kalau dia tidak mengalahkan mereka, enam orang yang tidak
tahu diri ini tentu akan terus menyerang, dan dia pun mengkhawatirkan keselamatan Cui Lan, maka tibadunia-
kangouw.blogspot.com
tiba nenek tua itu mengeluarkan suara melengking nyaring dan di lain saat, terdengar pekik kaget berturutturut,
golok dan pedang mereka terlepas dari tangan dan telah dirampas semua oleh Kim Sim Nikouw.
“Omitohud, kalian terlalu mendesak...!” Kim Sim Nikouw berseru dan satu demi satu dia mematahkan
pedang dan golok itu dengan jari-jari tangannya yang kurus dan kecil.
Mendengar suara ‘pletak-pletak’ dan melihat betapa golok dan pedang mereka itu dipatahkan seperti orang
mematahkan lidi saja, enam orang itu terbelalak dengan muka pucat! Tahulah mereka sekarang bahwa
nikouw tua itu ternyata adalah seorang yang sakti, memiliki kepandaian yang amat tinggi dan luar biasa.
Selagi mereka terbelalak dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara orang di belakang
mereka.
“Apakah yang sedang terjadi di sini?”
Legalah hati Jiu Koan dan para anak buahnya mendengar suara ini. Jiu Koan cepat membalik dan
menghadap seorang laki-laki muda yang usianya tiga puluh tahun lebih akan tetapi masih nampak muda
sekali, nampaknya baru berusia dua puluhan tahun lebih. Pakaiannya serba baru dengan baju kembangkembang,
sepatunya mengkilap. Seorang yang tampan dan pesolek, yang kini berdiri dan biar pun dia
bertanya kepada anak buahnya, namun sepasang matanya dengan jalang melahap kecantikan Cui Lan
yang berdiri tidak jauh dari tempat itu.
Dengan tangan kiri memegang kipas yang dikembangkan, maka Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua Liong-simpang
ini pantas menjadi seorang sastrawan yang sopan dan halus budi! Mukanya putih seperti dibedaki,
dan di punggungnya nampak gagang sebatang pedang yang terukir indah dan dihias ronce merah!
“Kongcu, nenek ini lihai bukan main dan kami tak berdaya terhadapnya. Senjata kami dirampasnya, harap
Kongcu suka menghajarnya!”
Hwa-i-kongcu Tang Hun mengerutkan alisnya, akan tetapi mulutnya masih tersenyum dan matanya
mengerling tajam ke arah Cui Lan yang tentu saja merasa tidak enak dan juga agak tak senang melihat
kekurang ajaran dalam mata pemuda asing itu.
“Jiu Koan, ceritakan yang jelas mengapa kalian ribut-ribut dengan Lo-suthai ini,” kata Hwa-i-kongcu,
suaranya halus sikapnya menarik dan sopan.
“Kongcu, kami melihat nenek dan nona ini lewat di sini, melanggar wilayah kita, maka kami bermaksud
untuk menghadapkan nona itu kepada Kongcu. Akan tetapi nikouw tua ini melarang dan kami lalu
menyerangnya...“
“Seorang gagah perkasa harus malu berbohong!” mendadak Cui Lan berkata lantang. “Hendaknya Kongcu
tidak sembarangan percaya pelaporan orang-orang yang pengecut ini! Kami guru dan murid lewat di sini
dalam perjalanan kami ke daerah Ho-pei, mana kami tahu bahwa hutan ini menjadi wilayah kekuasaan
mereka? Si jangkung ini lalu hendak menangkap aku dan hendak membunuh Subo, dan Subo hanya
membela diri saja ketika hendak dibunuh. Harap Kongcu membiarkan kami berdua guru dan murid
melanjutkan perjalanan kami.”
“Kongcu, nona itu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki di Ho-pei!” tiba-tiba si jangkung berkata.
Berubahlah wajah Tang Hun. Dia tersenyum dan matanya menatap wajah cantik Cui Lan. “Ah, kiranya
Siocia adalah puteri angkat Gubernur Ho-pei? Selamat datang di wilayah kami dan kupersilakan Nona
untuk sudi singgah di gubukku sebagai seorang tamu terhormat.”
Cui Lan mengerutkan alisnya. Biar pun pemuda itu tampan dan lemah lembut, juga sopan santun, namun
dia melihat betapa di balik sinar mata dan senyum pemuda itu terdapat sesuatu yang menyeramkan dan
mengerikan hatinya. Dia tidak menjawab, akan tetapi Kim Sim Nikouw yang juga segera mengenal orang,
segera menjura.
“Ah, kiranya Kongcu adalah pimpinan Liong-sim-pang? Harap maafkan pinni dan murid pinni yang tanpa
disengaja melanggar wilayah Kongcu. Kini kami sedang tergesa-gesa, maka harap maafkan bahwa pinni
dan murid pinni tiada kesempatan untuk berkunjung.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapakah Lo-suthai?” Tiba-tiba suara pemuda itu berubah, tidak semanis tadi, bahkan kelihatan marah.
Memang sesungguhnya hati Tang Hun sudah terasa panas melihat betapa enam orang anak buahnya
dibuat tidak berdaya oleh nenek tua ini.
“Pinni adalah Kim Sim Nikouw, ketua dari Kwan-im-bio yang berada di salah satu lereng Thai-hang-san,
Kongcu. Dan murid pinni ini adalah Phang Cui Lan, puteri angkat dari Gubernur Ho-pei. Kami sedang
menuju ke sana untuk menghadap gubernur.” Nikouw itu menjelaskan sejujurnya.
“Hemmm, Suthai adalah seorang pemuja Dewi Welas Asih, akan tetapi Suthai sendiri tidak memiliki welas
asih dalam hati Suthai.”
“Maksud Kongcu?” Kim Sim Nikouw bertanya heran.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru