Minggu, 20 Agustus 2017

Cersil Jodoh Rajawali 11 Dahsyat

Cersil Jodoh Rajawali 11 Dahsyat Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cersil Jodoh Rajawali 11 Dahsyat
kumpulan cerita silat cersil online
-
“Kalau Suthai memiliki hati penuh welas asih, tentu Suthai akan meninggalkan nona ini di sini dan Suthai
boleh pergi.”
“Kongcu, apa maksudmu?”
“Suthai tentu maklum betapa tersiksanya seorang pria yang sedang kesepian seperti saya ini. Melihat nona
ini, anak buahku ingin menghibur hatiku dengan persembahan berupa nona ini. Kalau Suthai menaruh
kasihan kepada saya, tentu Suthai juga tidak berkeberatan untuk menyerahkan nona ini kepadaku, untuk
menghibur hatiku yang sedang kesepian...“
“Ehh, Kongcu yang rendah budi!” Cui Lan berseru marah. “Aturan mana itu? Melihat gerak-gerik dan
pakaianmu, tentu engkau adalah orang yang tahu akan peraturan dan kebudayaan, mengapa dapat
mengeluarkan kata-kata yang rendah itu?”
Tang Hun tersenyum. “Nona Phang Cui Lan, begitu melihatmu aku sudah jatuh cinta kepadamu. Engkau
begini cantik jelita, halus budi dan penuh keberanian. Sungguh pantas kalau menjadi teman hidupku! Jiu
Koan, ajak teman-teman tangkap nona itu, akan tetapi jangan lukai dia dan jangan bersikap kasar, dia
adalah milikku yang harus kalian hormati.”
“Tapi... tapi dia...“ Jiu Koan memandang ke arah Kim Sim Nikouw dengan sikap jeri.
“Serahkan nikouw tua ini kepadaku!”
Setelah berkata demikian, secara tiba-tiba Hwa-i-kongcu Tang Hun sudah menerjang maju. Tangan
kanannya menampar ke arah pelipis dan tangan kirinya menghadang lalu mencengkeram lambung.
Serangan ini ganas bukan main!
“Omitohud...!” Kim Sim Nikouw berseru kaget sekali, akan tetapi kegesitan gerakannya masih mengatasi
kecepatan serangan lawan dan sebelum kedua tangan lawan itu menyentuh ujung baju, dia sudah
mengelak sehingga serangan pertama itu luput!
Akan tetapi, Hwa-i-kongcu terus menyerangnya dengan bertubi-tubi. Sedemikian hebat serangan pemuda
pesolek itu sehingga biar pun Kim Sim Nikouw memiliki kecepatan gerakan yang luar biasa dan semua
serangan Hwa-i-kongcu dapat dielakkannya dengan mudah, namun nenek ini maklum pula bahwa
menghadapi seorang yang memiliki tingkat kepandaian seperti pemuda pesolek ini, jelas bahwa dia tidak
mungkin dapat mengandalkan kecepatan untuk terus-menerus mengelak saja. Pukulan-pukulan yang
dilakukan oleh lawannya itu bukanlah pukulan kasar yang dapat dielakkannya dengan mudah, melainkan
pukulan yang mengandung tenaga sinkang sehingga amatlah berbahaya baginya kalau dia hanya
mengelak terus-menerus.
Oleh karena itu, mulailah nikouw tua ini bersilat dan terpaksa dia lalu mengeluarkan ilmu pukulan yang
selama ini disimpannya sebagai rahasia dirinya, yaitu Toat-beng Sin-ciang dan kadang-kadang Swat-im
Sin-ciang. Penggabungan pukulan seperti yang dilatih oleh Siluman Kecil atas petunjuk dan bantuannya,
sama sekali tidak pernah dipelajarinya sendiri karena dianggap terlalu kejam, bertentangan dengan hati
dan sifatnya yang menentang kekerasan.
Melihat gerakan tangan nikouw itu, bukan main kagetnya Hwa-i-kongcu. Yang dihadapi adalah seorang
nikouw pemuja Kwan Im Pouwsat yang demikian lemah lembut dan suci, akan tetapi mengapa gerakan
tangannya demikian kejinya, membayangkan ilmu yang luar biasa ganasnya dan ampuhnya? Dia tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
tahu bahwa Kim Sim Nikouw dahulunya di waktu muda adalah murid datuk-datuk ilmu persilatan yang
termasuk datuk kaum sesat.
Akan tetapi, karena memang kurang latihan, akhirnya Kim Sim Nikouw harus mengakui keunggulan murid
dari nenek iblis Durganini itu. Apa lagi ketika dalam penasaran dan marahnya Hwa-i-kongcu Tang Hun
mencabut pedangnya yang tipis, terpaksa Kim Sim Nikouw kembali mengandalkan ginkang-nya untuk
mengelak ke sana-sini.
Sebetulnya yang membuat dia terdesak adalah karena nikouw tua ini sama sekali tidak ada maksud untuk
membunuh lawan, berbeda dengan lawannya yang bernafsu untuk membunuhnya. Hal ini tentu saja amat
mempengaruhi jalannya pertempuran. Kalau dia selalu berhati-hati dan hanya melakukan serangan
balasan yang sifatnya menjaga diri saja, sebaliknya lawan menghujankan serangan maut untuk
membunuh.
Sementara itu, biar pun dia telah mengerahkan ginkang-nya untuk mengelak dan lari ke sana ke mari,
akhirnya Cui Lan tertangkap juga dan begitu lengannya kena ditangkap, dara itu tak mampu lari lagi dan
segera diringkus oleh Jiu Koan yang tertawa-tawa. Akan tetapi karena sudah dipesan oleh Hwa-i-kongcu,
maka dia dan kawan-kawannya tidak berani bersikap kasar atau kurang ajar terhadap dara itu, hanya
mengikat kedua tangan dara itu ke belakang tubuhnya dengan saputangan.
Tertawannya dara itu membuat Kim Sim Nikouw makin bingung dan nyaris pundaknya dimakan pedang
kalau saja dia tidak cepat-cepat melempar diri ke belakang dan terus berjungkir-balik dan melarikan diri
dari tempat itu!
“Subo...!” Phang Cui Lan berseru memanggil, akan tetapi nikouw itu telah berkelebat lenyap dari situ.
“Kejar dia! Nenek itu harus dibunuh karena dia sudah tahu tempat kita!” Hwa-i-kongcu berseru kepada Jiu
Koan dan teman-temannya yang segera berlari mengejar ke arah berkelebatnya bayangan nikouw itu,
sedangkan Hwa-i-kongcu lalu memondong tubuh Phang Cui Lan, dibawa lari memasuki hutan lebat. Dara
itu meronta dan memaki, akan tetapi tentu saja tidak mampu berkutik dalam pondongan Hwa-i-kongcu
yang hanya tertawa gembira.
Kenapa Kim Sim Nikouw melarikan diri dan meninggalkan Cui Lan begitu saja terancam bahaya di tangan
pemuda cabul itu? Apakah nikouw tua yang di waktu mudanya adalah seorang pendekar wanita gagah
perkasa itu kini menjadi penakut dan pengecut yang membiarkan muridnya terancam bahaya? Tentu saja
tidak demikian, Kim Sim Nikouw maklum bahwa kalau mengandalkan kekuatannya sendiri saja dia tidak
akan mampu menyelamatkan Cui Lan, bahkan dia sendiri yang akan celaka karena Hwai-kongcu Tang
Hun ternyata amat lihai dan agaknya memiliki banyak anak buah.
Oleh karena itulah maka dia sengaja melarikan diri untuk mencari bantuan! Karena daerah itu sudah
termasuk wilayah Propinsi Ho-pei, maka dia akan cepat mencari pembesar setempat untuk minta bantuan
pasukan keamanan untuk menolong puteri angkat gubernur yang tertawan orang jahat. Kalau pembesar
setempat mendengar bahwa yang tertawan Hwa-i-kongcu adalah puteri angkat Gubernur Hok Thian Ki,
sudah pasti pembesar itu mau membantu.
Ketika nikouw tua itu sudah mulai berpeluh dan terengah-engah karena sejak tadi melakukan perjalanan
dengan berlari cepat, tiba-tiba dia mendengar seruan dari samping, “Ibu...! Mengapa tergesa-gesa?
Hendak pergi ke manakah?”
“Kian Bu...!” Kim Sim Nikouw amat girang ketika dia menahan kakinya dan menengok, melihat bahwa yang
menegurnya itu adalah seorang pemuda berambut putih yang bukan lain adalah Suma Kian Bu, pemuda
yang menjadi muridnya, juga menjadi anak angkatnya itu, pemuda putera Suma Han atau Pendekar Super
Sakti, satu-satunya pria yang pernah dan masih dicintanya! Saking girangnya, Kim Sim Nikouw menubruk
dan merangkul Kian Bu dengan air mata berlinang.
“Ehhh, Ibu menangis?” Kian Bu terkejut bukan main.
Seperti telah kita ketahui, pemuda ini mengejar dan mencari Kian Lee, kakaknya yang lari melakukan
pengejaran terhadap Pangeran Liong Bian Cu yang membawa pergi Hwee Li. Akan tetapi karena dia tidak
tahu ke mana kakaknya itu lari, dia salah jalan dan tidak berhasil menyusul Kian Lee. Ketika dia tiba di
perbatasan Propinsi Ho-nan dan Ho-pei, dia teringat kepada Kim Sim Nikouw, gurunya dan juga ibu
angkatnya itu, maka dia lalu membelok dan bermaksud mengunjungi Kwan-im-bio di lereng gunung Thaidunia-
kangouw.blogspot.com
hang-san dan tak disangkanya, dia melihat nikouw itu berkelebat cepat maka segera dipanggilnya. Kini
melihat nikouw tua itu berlinang air mata, dia terkejut sekali.
“Kian Bu, anakku, engkau harus cepat menolong dia! Hayo kau ikut denganku!” Setelah berkata demikian,
nikouw itu menarik tangan Kian Bu dan cepat berlari ke arah yang berlawanan dengan tadi.
Terpaksa Kian Bu juga mempergunakan ilmunya berlari cepat sehingga nenek dan pemuda ini berlari
cepat sekali menuju ke sebuah hutan besar yang nampak dari situ.
“Dia siapakah, Ibu?” Kian Bu bertanya karena dia merasa heran dan ingin tahu sekali mengapa ibu
angkatnya kelihatan begitu gugup dan bingung, suatu sikap yang amat berlawanan dengan sikap nikouw
ini yang biasanya tenang dan lemah lembut.
“Dia... Phang Cui Lan,” jawab nikouw itu sambil terus berlari, bahkan mempercepat larinya, padahal
napasnya sudah terengah-engah.
“Phang Cui Lan...? Siapa dia...?” Kian Bu bertanya lagi. “Dan apa yang telah terjadi dengan dia?”
Tiba-tiba Kim Sim Nikouw menghentikan langkahnya, terengah-engah dan menghapus keringat dari muka
dan lehernya, matanya memandang kepada Klan Bu dengan marah dan dia berkata penuh teguran, “Kian
Bu, engkau laki-laki tak berjantung!”
Kian Bu memandang kepada nikouw itu dengan mata terbelalak. “Apa... apa maksud Ibu berkata
demikian?”
“Dara itu memujamu seperti dewa, mencintamu melebihi jiwa raganya sendiri, dan engkau... namanya pun
kau lupakan! Betapa kejam engkau...!”
“Ahhh...?” Kian Bu terkejut dan mengingat-ingat nama itu, namun tetap saja tak dapat diingat dan
dikenalnya.
“Lupakah kau kepada puteri mendiang lurah dusun Cian-Ii-cung di dekat Lokyang?”
“Ahhh...! Kiranya dia...!” Tentu saja kini teringat oleh Kian Bu dara cantik yang dia tahu tergila-gila dan jatuh
cinta kepadanya itu.
Dara yang ditolongnya ketika dusunnya diserbu perampok, keluarga ayahnya terbunuh semua, kemudian
dia menitipkan dara itu sebagai dayang di gedung Gubernur Ho-nan. Dan dara itu muncul kembali ketika
dia bertanding melawan Sin-siauw Sengjin. Dalam pertemuan itu dia sengaja bersikap kasar kepada dara
itu untuk meyakinkan hati dara itu bahwa dia tidak mencintanya karena sikap ini dianggapnya sebagai satusatunya
obat untuk menyembuhkan dara itu. Siapa kira, kini dara itu agaknya dikenal oleh Kim Sim Nikouw
dan terjadi sesuatu yang membuat nikouw itu demikian gelisah.
“Apa yang terjadi dengan dia, Ibu?”
“Dia ditawan oleh ketua Liong-simpang dan aku tidak berhasil menyelamatkannya, hayo kau cepat tolong
dia!” Nikouw itu sudah berlari-lari dan Kian Bu cepat menyusulnya.
“Mari kau kugendong saja agar cepat, Ibu, kau sudah lelah sekali!” kata pemuda itu dan tanpa menanti
jawaban, dia sudah menyambar dan memondong tubuh nikouw tua itu dan dibawanya lari secepat angin.
“Harap kau tunjukkan jalannya.”
Kim Sim Nikouw memandang pemuda itu dengan hati kagum. Dia yang mengajarkan ilmu ginkang kepada
pemuda ini, akan tetapi dibandingkan dengan pemuda ini, dia sekarang kalah jauh! Dan berada dalam
pondongan pemuda ini, ada rasa keharuan menyengat hatinya karena dia membayangkan bahwa yang
memondongnya bukan Suma Kian Bu melainkan ayahnya, Suma Han!
Akan tetapi dengan muka berubah merah Kim Sim Nikouw cepat mengusir bayangan itu dan mengalihkan
perhatiannya untuk menunjukkan jalan kepada Kian Bu memasuki hutan di mana tadi dia meninggalkan
Cui Lan yang tertawan oleh Hwa-i-kongcu Tang Hun, ketua dari Liong-sim-pang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, dengan hati girang dan gembira sekali Tang Hun memondong tubuh Cui Lan dan dibawa
masuk ke dalam sebuah pondok kayu yang kokoh kuat, pondok yang dibuat oleh anak buahnya di tengah
hutan sebagai tempat tinggal dan tempat sembunyi sementara itu. Hatinya gembira bukan main karena
dara yang ditawannya ini benar benar amat cantik jelita! Hatinya sedang kesal dan berduka oleh semua
kegagalannya, maka dara ini akan dapat menghiburnya di tengah hutan itu dan karena dara ini amat cantik
dan lemah lembut, apa lagi dikabarkan sebagai puteri angkat gubernur, maka dia tidak mau
memperkosanya secara kasar.
Tang Hun adalah seorang laki-laki hidung belang dan cabul, akan tetapi dia pun amat cerdik dan memiliki
ambisi besar. Baru saja, dalam membantu Pangeran Nepal, dia mengalami kegagalan yang amat
merugikan sehingga terpaksa dia menyembunyikan diri ke dalam hutan karena takut kalau diburu sebagai
pemberontak, akan tetapi kini terbukalah kesempatan baginya untuk menebus kegagalannya itu!
Dia mempunyai dua kesempatan yang amat baik dengan tertawannya puteri angkat Gubernur Ho-pei itu.
Kalau dia pandai membujuk rayu sampai dara cantik jelita itu menyerah dengan suka rela, dan dia yakin
akan berhasil dalam hal ini, maka selain dia akan memperisteri seorang wanita yang amat jelita, juga dia
akan menjadi menantu gubernur! Bukan main kenyataan ini, karena seketika dia akan terangkat tinggi
sekali dalam kedudukan yang amat terhormat dan tentu gubernur itu akan melindungi mantunya! Andai
kata keadaannya berbalik dan dara cantik manis itu tidak mau menyerah dengan suka rela, dia masih
dapat memanfaatkannya, yaitu menjadikannya sandera untuk melindungi dirinya jika dia diserbu dan diburu
oleh pasukan pemerintah. Tentu saja dia tetap akan dapat bersenang-senang dan menjadikan dara itu
kekasihnya, baik secara halus atau secara kasar!
Berbareng dengan kata terakhir itu, secara tiba-tiba dan cepat sekali Tang Hun sudah menubruk ke depan.
Kini dia mengambil keputusan untuk secara paksa mencemarkan gadis ini dan menundukkannya dengan
kekerasan. Dia percaya bahwa gadis ini setelah ditundukkan dengan paksaan, setelah diperkosanya akan
kehilangan keangkuhannya pula dan akan patuh dan menurut, seperti yang sudah banyak dia alami
dengan gadis gadis yang pernah diperolehnya dengan cara apa pun juga. Biasanya, seorang dara yang
angkuh seperti ini, sekali kehilangan kehormatannya akan menjadi jinak dan patah semangat.
“Ehh...?” Tang Hun terkejut bukan main ketika tubrukannya itu mengenai tempat kosong karena dengan
kecepatan luar biasa dara itu telah dapat mengelak dari tubrukan itu!
Tak disangkanya dara itu memiliki gerakan sedemikian cepatnya. Tetapi dianggapnya bahwa tentu gerakan
mengelak itu hanya kebetulan saja, maka kembali dia menubruk, sekali ini lebih cepat dan ganas, kedua
tangannya membentuk cakar karena dia ingin mencengkeram pakaian dara itu untuk direnggut dan
dicabik-cabiknya, kebiasaan yang amat disukainya kalau dia memperkosa wanita. Akan tetapi, kembali
tubrukannya luput!
Dengan sangat ringan Cui Lan yang melihat bahaya mengancam itu sudah meloncat, mengerahkan
seluruh ginkang-nya yang telah dipelajari selama ini dari Kim Sim Nikouw. Wajah dara ini menjadi pucat,
dia merasa ngeri dan maklum bahwa dia terancam bahaya yang lebih hebat dari pada maut, akan tetapi
sampai mati pun dia tidak akan menyerah dan kalau dia sudah tidak melihat jalan lain, dia mengambil
keputusan untuk membunuh dirinya sendiri dan pria ini hanya akan memperoleh mayatnya saja. Untuk itu
dia telah bersiap-siap, kalau sudah tidak ada jalan keluar, dia akan membenturkan kepalanya pada dinding
kamar itu!
“Hemmm... kiranya engkau memiliki ginkang yang boleh juga...!” Tang Hun berkata memuji dan pandang
mata yang marah itu bercampur kagum dan timbullah rasa sayang di dalam hatinya.
“Nona, engkau adalah seorang dara yang cantik jelita, mempunyai kepandaian lumayan dan engkau puteri
gubernur, mengapa engkau tidak mau mempergunakan pikiran sehat? Ketahuilah bahwa aku adalah
seorang pemuda yang belum beristeri dan aku jatuh cinta padamu. Kalau kita menjadi suami isteri,
bukankah sudah sepadan sekali dan engkau akan hidup serba kecukupan.”
“Tidak sudi...! Tidak sudi...!” Cui Lan berseru dengan marah pula.
“Nona, pikirlah baik-baik. Kalau engkau menerima dengan suka rela, aku akan memperlakukan engkau
dengan hormat sebagai calon isteriku yang baik. Aku akan merasa menyesal kalau harus memaksamu
dengan perkosaan. Jangan kau mengira bahwa sedikit ilmu ginkang itu akan dapat membuat engkau
terbebas dariku, Sayang. Nikouw tua itu sendiri tidak mampu melawanku. Marilah mendekat, dan katakan
bahwa engkau menerima pinanganku, Nona...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak sudi, keparat keji! Lebih baik seratus kali mati dari pada tunduk kepada niat jahatmu!” Cui Lan
membentak dan pada saat itu Tang Hun sudah menerjang dengan kecepatan kilat. Cui Lan berusaha
mengelak, akan tetapi tetap saja ujung lengan bajunya kena dicengkeram.
“Brettttt...!” Lengan baju itu robek sampai ke pundak sehingga nampak lengan dan pundak yang berkulit
putih mulus itu.
Melihat ini, makin berkobar nafsu Tang Hun dan dia sudah menyeringai, matanya jalang dan Cui Lan
sudah mundur-mundur sampai membentur dinding. Maklumlah dara itu bahwa dia tidak dapat meloloskan
diri, maka dia sudah mengambil keputusan untuk membenturkan kepalanya pada dinding itu kalau Tang
Hun menubruknya lagi.
Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara dari luar jendela, “Hemmm, bajingan kecil seperti ini berani
kurang ajar terhadap Nona Phang Cui Lan?”
Mendengar suara ini, sepasang mata Cui Lan terbelalak lebar, wajahnya berseri penuh kegembiraan dan
dia segera mengenal suara itu, maka teriaknya, “Taihiap...!”
Dia mengenal suara itu, sampai di mana pun, bercampur dengan suara apa pun, dia akan selalu mengenal
suara yang amat dirindukannya itu, suara dari Pendekar Siluman Kecil!
Hwa-i-kongcu Tang Hun terkejut mendengar suara itu. Anak buahnya banyak menjaga di luar, tetapi
bagaimana orang ini tahu-tahu sudah berada di luar jendela kamarnya? Hal ini saja menunjukkan bahwa
orang itu tentu lihai, sungguh pun dia tidak merasa jeri karena dia belum melihat siapa orangnya dan di
dunia ini tidak banyak orang yang akan mampu mengalahkannya.
Tiba-tiba tangan kanannya bergerak dan sinar hitam menyambar ke arah jendela itu. Daun jendela pecah
tertembus oleh senjata rahasia berbentuk uang logam yang dilontarkan oleh Tang Hun tadi. Kalau yang
berada di luar jendela itu hanya orang yang memiliki kepandaian silat biasa saja, tentu akan roboh oleh
penyerangan uang logam yang ampuh ini, yang setelah menembus daun jendela masih meluncur cepat
dan tentu akan melukai orang yang berdiri di luar jendela.
Cui Lan memandang dengan mata terbelalak ke arah jendela. Biar pun ilmu silat yang dipelajarinya dari
Kim Sim Nikouw belum tinggi benar, namun dia sudah mengerti atau sedikitnya sudah dapat menduga
bahwa sinar hitam yang menyambar jendela dan memecahkan daun jendela itu adalah senjata ampuh
yang menyerang ke arah orang yang bicara di luar jendela tadi. Dia sudah tahu akan kelihaian Pendekar
Siluman Kecil akan tetapi melihat senjata rahasia itu hatinya berdebar tegang dan penuh kekhawatiran
pula, apa lagi ketika tidak terdengar apa-apa dari luar, seolah-olah senjata-senjata kecil yang beterbangan
itu menembus daun jendela dan mengenai sasaran!
Tang Hun sendiri memandang ke arah jendela dengan mata terbelalak. Dia merasa yakin benar bahwa
senjata-senjatanya itu menembus daun jendela dan meluncur ke arah siapa saja yang berdiri di luar
jendela, akan tetapi kalau mengenai sasaran, mengapa tidak terdengar teriakan orang kesakitan? Dan
andai kata tidak mengenai sasaran, tentu terdengar pula uang-uang logam itu jatuh ke atas lantai atau
mengenai dinding di luar jendela.
Akan tetapi, sunyi saja tidak terdengar apa-apa, seolah-olah senjata-senjata rahasianya itu lenyap di luar
jendela tanpa bekas dan tanpa suara. Mulailah dia merasa bergidik. Akan tetapi tangannya sudah
menggenggam beberapa buah mata uang lagi, siap untuk menyerang siapa saja yang memasuki kamar.
Baik Cui Lan dan Tang Hun kini memandang ke arah daun jendela yang sudah penuh lubang ditembusi
senjata-senjata rahasia tadi dengan hati penuh ketegangan. Dan perlahan-lahan daun jendela itu
mengeluarkan bunyi dan bergerak, terbuka perlahan lahan seperti hanya didorong oleh hembusan angin
lembut! Seluruh urat syaraf di tangan Tang Hun sudah menegang dan dia sudah siap dengan senjata
rahasia uang logamnya, dan sepasang mata Cui Lan kini terbelalak menatap ke arah jendela yang terbuka
perlahan-lahan itu. Kemudian nampaklah sebuah kepala dan Cui Lan hampir saja menjerit kegirangan
karena itulah kepala yang amat dicintanya, kepala yang dihias rambut putih panjang, kepala Pendekar
Siluman Kecil!
Memang orang yang muncul dari balik jendela itu adalah Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu! Seperti
kita ketahui, Kian Bu bertemu dengan Kim Sim Nikouw yang kemudian dipondongnya untuk secepat
dunia-kangouw.blogspot.com
mungkin mencari Cui Lan dan akhirnya mereka tiba di rumah besar dari kayu dalam hutan itu. Kian Bu
cepat mempergunakan kepandaiannya menyelinap dan tanpa diketahui siapa pun dia berhasil mengintai
dari luar jendela kamar Tang Hun, diikuti oleh Kim Sim Nikouw dan mereka berdua mendengar semua
yang telah terjadi di dalam kamar itu, mendengar penolakan yang gagah berani dari Cui Lan. Ketika Kian
Bu mengeluarkan kata-kata tadi, dia sudah siap, maka begitu ada senjata-senjata rahasia berhamburan
keluar, dengan mudah saja pendekar muda ini menangkapi semua uang logam dengan kedua tangannya
sehingga tidak ada sebuah pun yang jatuh menimbulkan suara berisik.
Kini pendekar itu meloncat dan memasuki kamar melalui jendela, tidak peduli akan sikap Tang Hun yang
kini memandang terbelalak dengan muka berubah pucat sekali. Tentu saja ketua Liong-sim-pang ini
mengenal Kian Bu karena pendekar ini pernah menggegerkan benteng ketika Tang Hun masih berada di
dalam benteng Pangeran Nepal. Tanpa disadarinya lagi, tangan yang menggenggam uang-uang logam itu
gemetar, akan tetapi dengan nekat dia menggerakkan tangan melontarkan uang-uang logam itu ke arah
tubuh Suma Kian Bu.
Pendekar muda ini secara tidak pedulian menggerakkan kedua tangannya dan sinar sinar hitam
menyambar dari kedua tangan itu ketika uang-uang logam rampasan tadi menyambut datangnya uanguang
logam yang dilontarkan Tang Hun. Terdengar suara nyaring dan semua uang logam runtuh dan
menggelinding ke arah kaki Tang Hun!
Hwa-i-kongcu Tang Hun adalah seorang yang amat cerdik, maka dalam keadaan itu dia sudah mempunyai
akal yang cerdik. Secepat kilat dia melompat dan menerjang, bukan kepada Kian Bu melainkan kepada Cui
Lan yang hendak ditangkapnya dan yang akan digunakannya sebagai sandera karena dia merasa jeri
melawan Kian Bu atau Siluman Kecil itu.
“Pengecut hina dina yang curang!” Kian Bu berkata dan tahu-tahu tubuhnya sudah mendahului Tang Hun,
berkelebat dan menghadang di depan Cui Lan!
“Taihiap...!” Cui Lan berseru lirih akan tetapi suaranya mengandung getaran penuh keharuan, penuh
kebahagiaan, penuh cinta kasih.
Diam-diam Kian Bu merasa terharu dan kasihan sekali kepada gadis ini. Pantas saja ibu angkatnya
memarahinya dan memakinya laki-laki kejam. Gadis ini benar-benar amat mencintanya, akan tetapi
bagaimana mungkin dia dapat menyambut cinta itu kalau dia sendiri tidak ada hasrat untuk berjodoh
dengan Cui Lan, betapa pun sukanya kepada gadis ini?
Melihat betapa Siluman Kecil tahu-tahu sudah menghadang di depannya, Tang Hun berlaku nekat. Dia
berteriak memanggil anak buahnya, kemudian mencabut pedang tipisnya dan menyerang Siluman Kecil
dengan ganasnya, diikuti oleh tangan kirinya yang melakukan pukulan dengan pengerahan tenaga
sinkang. Namun, dengan tenang Siluman Kecil menyambut serangannya itu dengan elakan-elakan cepat.
Pada saat itu, Kim Sim Nikouw muncul dari jendela, langsung meloncat ke dekat Cui Lan.
“Subo...!” Cui Lan menubruk gurunya.
“Mari kita keluar dulu!” Kim Sim Nikouw menyambar tubuh muridnya dan membawanya meloncat keluar
melalui jendela. Dua orang anak buah Tang Hun yang muncul dari jendela berusaha menyerang nikouw ini,
akan tetapi dua kali nikouw itu menggerakkan kakinya, dua orang itu terjungkal dan Kim Sim Nikouw terus
membawa Cui Lan menjauh dari situ, membiarkan Kian Bu membuat perhitungan dengan gerombolan
penjahat itu.
Kini belasan orang anak buah Tang Hun sudah memasuki kamar yang cukup luas itu, dan mereka maju
mengeroyok. Kian Bu bersikap tenang. Tidak banyak bergerak, hanya berdiri di tengah-tengah, bahkan
sikapnya biasa saja seperti bukan orang yang sedang menghadapi pertempuran. Akan tetapi anehnya,
setiap serangan Tang Hun tadi dapat dihindarkannya dengan mudah.
Kini setelah belasan orang anak buah Tang Hun ikut maju, Kian Bu menjadi marah. Dia masih berdiri diam
di tengah-tengah, hanya biji matanya saja yang bergerak sedikit ke kanan kiri dan dia seluruhnya
mengandalkan perasaan dan pendengarannya untuk menghadapi serangan yang tak dapat dilihat oleh
matanya. Dan setiap kali ada anggota Liong-sim-pang berani bergerak menyerang tubuh, memutarnya dan
menggerakkan tangannya, maka penyerang itu tentu akan terpental dan roboh terbanting! Dalam waktu
singkat saja, sudah ada enam orang penyerang gelap yang roboh tak mampu bangkit kembali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat ini, Tang Hun menjadi makin marah. “Serbu! Keroyok bersama-sama dan secara berbareng!
Kurung!” teriaknya dan anak buahnya, walau pun kini merasa jeri sekali terhadap Siluman Kecil, mulai
mengurung dan atas bentakan majikan mereka yang merupakan perintah, didahului oleh Tang Hun sendiri
yang menubruk ke depan sambil menusukkan pedang tipisnya ke arah dada Kian Bu, mereka itu pun
menyerang dalam saat yang hampir berbareng.
Tiba-tiba nampak tubuh Kian Bu berkelebat lantas lenyap. Tang Hun dan anak buahnya terheran-heran,
akan tetapi keheranan mereka itu hanya sebentar saja karena tiba-tiba seperti kilat menyambar-nyambar,
bayangan Kian Bu nampak lagi dan pertama-tama tamparan yang keras sekali mengenai pelipis kiri Tang
Hun.
Hwa-i-kongcu mengeluarkan pekik mengerikan dan dia terbanting roboh, tak bergerak lagi karena
kepalanya retak oleh tamparan itu, lalu secara berturut-turut, terdengar teriakan-teriakan dan belasan
orang itu pun roboh semua. Tidak semua dari mereka tewas, akan tetapi sedikitnya tentu patah tulang
lengan atau kaki, dan ketika mereka mampu membuka mata memandang, Siluman Kecil telah tidak berada
lagi di dalam ruangan itu!
Memang Siluman Kecil telah keluar dari dalam pondok itu dan di luar dia melihat Kim Sim Nikouw dan
Phang Cui Lan telah menantinya.
“Suma-taihiap...!” Cui Lan berseru lirih dan berusaha keras menahan kedua lengannya yang ingin diulurkan
ke arah pemuda itu.
Kian Bu menarik napas panjang, memandang kepada Cui Lan dan berkata dengan halus namun agak
dingin, “Nona, engkau baik-baik saja, bukan? Ibu, ke manakah Ibu hendak pergi bersama Nona Phang...“
“Kian Bu, dia adalah muridku, oleh karena itu dia ini terhitung sumoi-mu sendiri! Cui Lan, engkau harus
menyebut suheng kepada Kian Bu,” kata nikouw tua itu dan sekilas pandang saja maklumlah dia bahwa
telah terulang kembali riwayat lama antara dia dan Pendekar Super Sakti yang kini diperankan oleh Phang
Cui Lan dan Pendekar Siluman Kecil. Seperti juga dia, Cui Lan jatuh cinta setengah mati kepada Kian Bu,
akan tetapi seperti Pendekar Super Sakti pula, jelas nampak olehnya bahwa pemuda ini tidak membalas
cinta Cui Lan. Maka dia merasa kasihan sekali kepada Cui Lan.
Mendengar ucapan nikouw itu, dengan senyum manis dan wajah berseri Cui Lan lalu menjura kepada Kian
Bu sambil berkata, “Suma-suheng, maafkan aku...“
“Sumoi, aku girang sekali engkau menjadi murid Ibu... ehhh, kalian berdua hendak ke manakah dan
bagaimana sampai terjatuh ke tangan Hwa-i-kongcu itu?”
Dengan tenang Kim Sim Nikouw lalu menceritakan bahwa Phang Cui Lan telah diangkat anak oleh
Gubernur Hok Thian Ki, dan dia sedang mengantar muridnya itu untuk pergi menghadap Gubernur Hok
Thian Ki, tetapi di tengah jalan mereka bertemu dengan anak buah Liongsim-pang sampai akhirnya Cui
Lan tertawan.
“Karena pinni tidak dapat mengalahkan Hwa-i-kongcu, maka pinni tadinya hendak minta bantuan petugas
keamanan yang tentu mau menolong kalau mendengar bahwa puteri angkat gubernur tertawan
gerombolan penjahat, tak terduga bertemu denganmu, Kian Bu.”
“Berkali-kali sudah saya berhutang budi dan nyawa kepada Taihiap… ehhh…, Suheng, entah bagaimana
saya akan dapat membalasnya,” terdengar Cui Lan berkata dan suaranya terdengar penuh keharuan. Ingin
dia meneriakkan bahwa dia mencinta pemuda itu dan ingin menghambakan diri, menjadi apa pun dia rela
asalkan dia dapat mendampingi pemuda ini selama hidupnya.
Baik Kim Sim Nikouw mau pun Kian Bu sendiri maklum akan isi hati dara ini, karenanya nikouw itu hanya
menundukkan muka, teringat akan pengalaman hidupnya sendiri. Akhirnya Kian Bu berkata setelah dia
berpikir masak-masak.
“Phang-sumoi, memang engkau sudah sepatutnya menjadi puteri gubernur, dan sudah selayaknya menjadi
seorang gadis bangsawan yang terhormat. Maka dari itu aku ingin mengucapkan selamat, dan sebaiknya
kalau Sumoi melanjutkan perjalanan bersama Ibu, dan aku akan mengawal sampai engkau tiba di rumah
kediaman Gubernur Hok Thian Ki yang saya tahu adalah seorang pembesar budiman dan bijaksana.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Akan tetapi aku... aku tidak suka menjadi gadis bangsawan terhormat...”
“Kau akan tinggal di rumah seperti istana dan menjadi puteri...“
“Akan tetapi aku tidak suka tinggal di istana..., aku... aku...“ Gadis itu memejamkan mata dan air matanya
berlinang-linang.
Kembali Kian Bu menarik napas panjang. Menghadapi dara yang sudah demikian parah tenggelam ke
dalam jurang cinta, harus menggunakan tindakan yang berani dan terus terang. “Phang-sumoi, memang
dalam hidup banyak terjadi hal-hal yang jauh dari pada yang kita harapkan. Segala sesuatu telah diatur
oleh Thian dan kita tidak mungkin dapat memaksakan kehendak kita, betapa pun kita akan menjadi
berduka dan menderita batin karenanya. Maafkan aku, Sumoi, percayalah, bukan maksudku untuk
menyakiti hatimu, akan tetapi... ah, bagaimana aku dapat memaksa hati sendiri? Terimalah kenyataannya,
Sumoi, dan sekali lagi, kau maafkanlah Suheng-mu yang mengecewakan hatimu dan tidak memenui
harapan hidupmu ini. Ibu, maafkan, aku pergi dulu!”
Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda itu lenyap dari situ, meninggalkan Cui Lan yang
menutupi muka dengan kedua tangan dan air matanya bercucuran melalui celah-celah jari tangannya,
sedangkan Kim Sim Nikouw hanya menggeleng kepala berulang-ulang sambil menarik napas panjang.
Nikouw tua itu merangkulnya dan berkata lembut, “Cui Lan, apa yang sudah dikatakan suheng-mu itu
memang benar. Dia adalah seorang laki-laki yang jujur. Apakah engkau menghendaki dia itu berpura-pura
membalas cintamu padahal sebenarnya tidak ada rasa cinta di hatinya kepadamu? Dan, lupakah engkau
bahwa cinta kasih yang murni itu mendorong kita untuk melihat orang yang kita cinta berbahagia? Apakah
engkau tidak ingin melihat dia berbahagia, Cui Lan? Dan dia akan bahagia melihat engkau memenuhi
permintaannya, yaitu agar engkau tinggal bersama ayah angkatmu, Gubernur Hok Thian Ki. Mari kita
lanjutkan perjalanan kita.”
Dara itu hanya mengangguk, kemudian mengikuti gurunya melanjutkan perjalanan, menahan tangisnya
dan hanya kadang-kadang kedua pundaknya bergoyang, tanda bahwa dia masih menahan isaknya…..
********************
Adakah yang lebih panas dari pada melihat orang lain merebut kekasih? Adakah yang lebih perih dari pada
melihat kekasihnya bermain cinta dengan orang lain? Panas dan perih terasa di dalam hati Tek Hoat ketika
dia melakukan perjalanan secepatnya menuju ke Bhutan. Batinnya tertekan dan menderita hebat sejak dia
menyaksikan betapa Syanti Dewi, puteri cantik jelita, Puteri Bhutan yang pernah menjadi tunangannya itu,
ternyata secara tak tahu malu telah bermain gila dengan Mohinta!
Kalau hanya melihat Syanti Dewi jatuh cinta kepada pria lain, apa lagi kepada Mohinta, pemuda tampan
gagah dan sebangsa dengan puteri itu, agaknya Tek Hoat akan dapat menerimanya, walau pun dengan
hati sedih dan iba kepada diri sendiri. Akan tetapi, apa yang disaksikannya adalah hal yang sangat
menjijikkan. Syanti Dewi agaknya telah menyerahkan diri secara amat murah kepada Mohinta, bermain
cinta dalam perjalanan secara tidak senonoh.
Hal ini, amat menjijikkan hatinya, apa lagi ketika mendengar pembicaraan dua orang insan yang keji itu,
yang merencanakan pemberontakan dan penggulingan kekuasaan Raja Bhutan, ayah dari Syanti Dewi
sendiri! Sungguh menjijikkan! Tek Hoat hampir tidak percaya bahwa Syanti Dewi telah tersesat sedemikian
jauhnya. Di samping perasaan panas, perih dan juga jijik, ada pula perasaan duka yang amat besar, yang
membuat jantungnya seperti diremas-remas rasanya.
Dia mengambil keputusan untuk mencegah persekutuan busuk itu dan membela Bhutan, kerajaan kecil
yang pernah menganugerahkan dia kedudukan panglima muda itu. Akan tetapi, tentu saja yang
mendorongnya untuk bergegas pergi ke Bhutan bukan hanya rasa hutang budi kepada Bhutan karena
sesungguhnya ada dua hal yang membuat dia nekat kembali ke Bhutan.
Pertama adalah rasa cintanya kepada Syanti Dewi yang sedemikian besarnya sehingga dia tidak ingin
melihat puteri itu mengkhianati kerajaan ayahnya sendiri, dan kedua adalah karena bencinya yang
mendalam kepada Mohinta. Mahinta bukan hanya telah membawa Syanti Dewi ke jalan sesat yang amat
menjijikkan, akan tetapi lebih dari itu malah Mohinta telah membunuh ibu kandungnya! Dia ingin
memperlihatkan kepada Raja Bhutan bahwa dia, yang dianggap sebagai seorang anak haram tanpa ayah,
seorang hina dina, ternyata jauh lebih berharga dari pada Sang Puteri Bhutan sendiri, puteri dari raja itu
dunia-kangouw.blogspot.com
sendiri yang mengkhianati ayah dan kerajaannya! Juga lebih berharga dari Mohinta, putera panglima tua
atau panglima pertama dari Bhutan!
Akan tetapi ketika dia tiba di Bhutan, timbul kesangsian dalam hati Tek Hoat. Dapatkah dia meyakinkan
hati raja akan kebenaran laporannya? Tentu laporan itu menimbulkan kegegeran besar dan banyak
kemungkinan tidak akan ada yang mau mempercayainya. Juga Raja Bhutan tentu sukar untuk percaya
ceritanya bahwa puterinya bersekutu dengan Mohinta dan Kerajaan Nepal untuk menggulingkan
kedudukannya! Tidak masuk di akal! Dia sendiri, andai kata tidak mendengarkan percakapan dalam
suasana penuh kecabulan itu antara Mohinta dan Syanti Dewi, kalau hanya mendengarkan kata-kata orang
lain saja tentang pengkhianatan Syanti Dewi, tentu tidak akan percaya, bahkan akan marah kepada orang
yang menceritakan hal itu!
Tek Hoat adalah seorang pemuda yang amat cerdik. Walau pun dia sedang dimabuk kemarahan dan
dendam, namun dia tidak bertindak secara sembrono. Setelah memutar otak mencari akal, akhirnya dia
menyelinap memasuki Kerajaan Bhutan di waktu malam dan berkat kepandaiannya yang tinggi, dia dapat
mengandalkan ginkang-nya untuk berkelebat dan memasuki kerajaan tanpa diketahui seorang pun
penjaga, tentu saja setelah dia berhasil memperoleh pakaian orang Bhutan yang diambilnya dari sebuah
rumah dan berganti dengan pakaian itu. Dengan pakaian Bhutan ditambah sebuah sorban kuning, dia
berubah menjadi seorang pemuda Bhutan biasa yang tidak akan menarik terlalu banyak perhatian…..
********************
Malam hari itu, Panglima Jayin sedang duduk termenung di dalam kamar kerjanya. Panglima yang usianya
sudah hampir lima puluh tahun ini masih nampak gagah, akan tapi semenjak beberapa tahun akhir-akhir ini
di dahinya banyak timbul guratan-guratan karena banyak terjadi hal di Bhutan yang mendatangkan
penyesalan besar di dalam hatinya, hati seorang panglima yang amat setia kepada tanah air dan
kerajaannya.
Panglima Jayin merupakan panglima tua yang kedua di Bhutan, di bawah kedudukan panglima pertama,
yaitu panglima tua Sangita yang usianya sudah hampir enam puluh tahun itu. Panglima Jayin prihatin
sekali semenjak Puteri Syanti Dewi lenyap pada beberapa tahun yang lalu. Kemudian dia sudah ikut
merasa berbahagia sekali ketika akhirnya, berkat bantuan para pendekar Han termasuk Tek Hoat, dia
dapat menemukan sang puteri dan mengantarnya kembali ke Bhutan, bahkan dia ikut bergembira ketika
sang puteri ditunangkan dengan Tek Hoat yang dikenalnya sebagai seorang pemuda yang berkepandaian
tinggi, sungguh pun dia sendiri akan merasa lebih senang kalau sang puteri itu berjodoh dengan bangsa
sendiri atau setidaknya dengan seorang pendekar seperti putera-putera Majikan Pulau Es yang gagah
perkasa itu dari pada Ang Tek Hoat yang pernah ternoda namanya karena membantu pemberontak. Ketika
hatinya sudah mulai tenteram, timbul pula bencana ketika Tek Hoat pergi dari Bhutan disusul lenyapnya
sang puteri lagi! (baca Kisah Sepasang Rajawali)
Mengenangkan keadaan rajanya, Panglima Jayin merasa prihatin sekali. Apa lagi dia maklum bahwa di
dalam negeri Bhutan sendiri yang nampaknya tenteram itu terjadi pertentangan antara pihak yang setia
kepada raja dan agaknya, biar pun tidak kentara, terdapat pula pihak yang menentang raja secara diamdiam.
Yang amat menyedihkan hatinya adalah karena sikap Sangita, panglima tua yang agaknya kini
menampakkan sikap tidak puas terhadap raja. Apakah hal itu terutama sekali disebabkan karena gagalnya
putera panglima besar itu, yaitu Mohinta, yang hendak memperisteri Puteri Syanti Dewi? Dia tidak yakin
benar.
“Selamat malam, Panglima!”
Sebagai seorang yang sering kali menghadapi bahaya dalam perang dan pertempuran, secara otomatis
tubuh panglima itu meloncat dari atas kursinya, memutar tubuhnya dan siap menghadapi segala
kemungkinan, karena munculnya seorang asing begitu saja di dalam ruangan kerjanya pada malam itu,
tanpa melalui pelaporan penjaga, sungguh merupakan hal yang luar biasa. Akan tetapi begitu dia melihat
siapa adanya pemuda yang muncul di luar jendela ruangannya, dia terkejut dan sejenak dia hanya
terbelalak memandang penuh keheranan.
“Apakah engkau juga seperti semua orang di Bhutan, tak lagi sudi mengenalku sebagai seorang sahabat,
Panglima?” tanya Tek Hoat, dalam suaranya terkandung penyesalan dan kepahitan.
“Eh... ohhh... tidak sama sekali, Ang-taihiap! Aku hanya... hanya terkejut dan heran. Masuklah, dari mana
Taihiap datang...?” tanya panglima itu dengan gugup karena dia masih terheran-heran.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan ringan sekali tubuh pemuda itu meloncat memasuki ruangan melalui jendela, kemudian dia duduk
di atas kursi, melepaskan sorbannya dan menarik napas panjang sambil menghapus keringatnya. “Aihhh,
betapa sukarnya tugasku ini,” keluhnya.
Panglima Jayin cepat menutupkan daun jendela, kemudian bergegas membuka pintu ruangan, meyakinkan
hatinya bahwa di luar kamar tidak ada siapa-siapa, kemudian dia menutupkan kembali daun pintu ruangan
itu dan menguncinya dari dalam. Kemudian dia menuangkan air teh dalam cangkir.
“Minumlah, Taihiap, kemudian ceritakan cepat apa maksud Taihiap datang ke Bhutan dan terutama datang
ke tempatku di malam hari begini. Aku yakin bahwa ada urusan penting sekali maka Taihiap teringat untuk
mencari Jayin.”
Tek Hoat minum air teh itu, kemudian dia memandang wajah panglima itu yang duduk berhadapan
dengannya dan yang sekarang sedang mengamati wajahnya penuh selidik. “Panglima, benar wawasanmu.
Kedatanganku membawa berita yang luar biasa penting, yang menyangkut diri Puteri Syanti Dewi, Raja
Bhutan, dan keselamatan Kerajaan Bhutan sendiri.”
“Ahhh...!” Wajah panglima itu menjadi pucat. “Mengapa Taihiap tidak langsung saja menghadap sri
baginda? Mari kuantarkan menghadap sekarang juga.”
“Nanti dulu, Panglima.” Tek Hoat menggeleng kepala. “Di Bhutan ini, siapa lagi yang dapat kupercaya
selain engkau? Kalau aku menghadap sri baginda dan menyampaikan laporanku ini, pasti beliau tidak akan
percaya, bahkan aku akan ditangkap. Maka lebih baik kuceritakan dulu kepadamu, barulah kau
pertimbangkan apakah perlu aku pergi menghadapi sri baginda raja.”
“Baik, baik, lekas kau ceritakan, Taihiap!”
“Dengar, Panglima. Kerajaan Bhutan dalam bahaya, juga keselamatan raja terancam. Mohinta sedang
menuju pulang ke Bhutan dan membawa Puteri Syanti Dewi sebagai sandera. Dia mengatur rencana,
membawa sang puteri ke dalam istana dan memaksa raja turun tahta dengan sang puteri di jadikan
sandera untuk mengancam raja. Selain itu, dia pun sudah siap dengan bala tentara untuk memberontak,
dibantu oleh pasukan Nepal yang akan datang dari perbatasan.” Tek Hoat sengaja tidak menceritakan
ikutnya Syanti Dewi dalam persekutuan itu, karena cintanya terhadap puteri itu melarang dia mengabarkan
tentang pengkhianatan sang puteri.
“Biarlah, hal itu akan kuhadapi sendiri dan akan kutanyakan sendiri kepadanya jika aku sempat bertemu
lagi dengan dia,” pikirnya.
Sepasang mata Panglima Jayin mengeluarkan sinar kilat yang menyoroti wajah Tek Hoat, memandang
penuh selidik dan wajah panglima itu jelas membayangkan ketidak percayaan, akan tetapi keheranan yang
besar menguasai hatinya sehingga dia tidak mampu mengeluarkan kata-kata!
“Hemmm, kulihat engkau pun agakrrya tidak percaya kepadaku, Panglima!” Tek Hoat berkata dengan alis
berkerut.
“Siapakah yang dapat mempercayai cerita segila itu? Ah, maafkan aku, Taihiap, akan tetapi penuturanmu
itu sungguh terlalu luar biasa. Mohinta adalah putera Panglima Sangita, hal ini tentu engkau sudah tahu,
dan dia malah direncanakan menjadi suami Puteri Syanti Dewi. Mana mungkin dia akan mengadakan
pemberontakan seperti itu? Akan tetapi nanti dulu... jangan kau putus asa, Taihiap karena agaknya, di
negeri ini hanya ada satu orang saja yang percaya kepada ceritamu, dan orang itu adalah aku.”
“Ahhh, terima kasih, Panglima. Kalau begitu tidak sia-sia perjalananku sejauh ini!” seru Tek Hoat dengan
girang. “Harap Panglima suka mengatur bagaimana baiknya untuk menggagalkan pengkhianatan ini, dan
aku akan membantumu.”
Wajah Panglima Jayin berseri. Biar pun dia bukan seorang pembesar ambisius yang mendambakan
kedudukan yang lebih tinggi, namun dalam peristiwa ini dia melihat kesempatan besar terbuka baginya
untuk membuat jasa besar sekali terhadap negara dan kerajaan, dan hal ini mendatangkan rasa girang
yang amat besar dalam hatinya. Apa lagi di situ terdapat pemuda perkasa, ini yang membantunya, maka
dia merasa tenang dan sama sekali tidak khawatir.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pertama-tama, kita harus cepat memberi laporan kepada sri baginda, dan karena urusan ini amat gawat,
dan agar tidak menarik perhatian orang dan menimbulkan keributan sehingga hal ini akan bocor dan
diketahui pihak pemberontak, sebaiknya kita harus malam ini juga melapor kepada sri baginda. Mari,
Taihiap, mari ikut bersamaku ke istana, kita menghadap sri baginda melalui jalan rahasia.”
Pergilah kedua orang itu menuju ke istana melalui tempat-tempat gelap, dan dari luar taman bunga istana,
Panglima Jayin mengajak Tek Hoat memasuki taman melalui jalan rahasia yang hanya diketahui oleh
keluarga raja dan para pembesar terpercaya. Setelah melalui jalan berliku-liku dan rumit, akhirnya mereka
berdua memasuki terowongan bawah tanah dan ketika keluar dari terowongan, mereka telah berada di
dalam sebuah kamar yang letaknya di belakang dapur istana yang pada saat itu sunyi senyap. Jayin
menggunakan sebuah kunci yang telah dibawanya dari rumah untuk membuka pintu kamar itu dan tibalah
mereka di lorong dalam istana.
Mereka bertemu dengan seorang pengawal istana untuk pertama kali. Akan tetapi ketika pengawal itu
datang berlari dan melihat bahwa dua orang itu yang seorang adalah Panglima Jayin sedangkan yang
kedua adalah seorang muda yang tidak dikenalnya karena Tek Hoat menyamar sebagai seorang Bhutan
pula, dia tidak menaruh curiga dan cepat memberi hormat kepada Panglima Jayin.
“Ada urusan mendesak yang memaksa kami harus cepat menghadap sri baginda,” kata panglima itu. “Di
mana beliau?”
“Beliau sudah memasuki kamar, baru saja.”
“Laporkan kepada pengawal kamar, kami harus menghadap sekarang.”
“Mari Panglima, keputusannya terserah kepada pengawal kamar.” Mereka bertiga lalu berjalan dan
beberapa kali mereka bertemu dengan pengawal-pengawal istana yang memandang dengan heran juga
melihat betapa panglima itu malam-malam begini memasuki istana.
“Maaf, panglima. Kami tidak berani membiarkan Paduka memasuki kamar sebelum ada perkenan dari sri
baginda sendiri,” kata seorang di antara para pengawal yang menjaga di depan kamar dengan senjata di
tangan.
“Kalau begitu sampaikan kepada sri baginda bahwa Panglima Jayin mohon menghadap sekarang juga
untuk menyampaikan berita amat penting tentang sang puteri.”
“Sang Puteri Syanti Dewi...?” Hampir semua mulut pengawal berseru mengulang nama ini dan tahulah
mereka betapa pentingnya berita yang dibawa oleh panglima ini, maka seorang di antara mereka yang
bertugas sebagai komandan jaga malam itu, segera membuka daun pintu perlahan-lahan dan melangkah
masuk kamar dengan hati-hati setelah menutupkan kembali daun pintu.
Tidak lama kemudian daun pintu bergerak, terbuka dan pengawal itu kembali muncul, mengangguk kepada
Panglima Jayin dan berkata, “Paduka diperkenankan masuk dan menghadap sri baginda.”
Panglima Jayin lalu memasuki kamar, diikuti oleh Tek Hoat yang berjalan sambil menundukkan mukanya.
Kamar itu besar dan ketika mereka masuk dan Tek Hoat melirik, dia melihat sri baginda sudah duduk di
atas pembaringan dan beberapa orang dayang cantik berlutut di sudut kamar. Sri baginda tersenyum
menerima kedatangan Jayin, akan tetapi alisnya berkerut heran ketika dia melihat Tek Hoat yang belum
dikenalnya.
Panglima Jayin segera menjatuhkan diri berlutut di depan pembaringan, diikuti oleh Ang Tek Hoat.
“Jayin, benarkah engkau datang membawa berita tentang puteriku? Bagaimana dia? Di mana dia
sekarang?” Karena tegang mendengar puterinya telah ada beritanya, raja ini tidak begitu memperhatikan
Tek Hoat.
Panglima Jayin melirik ke arah para dayang yang hadir di situ, kemudian berkata dengan penuh hormat,
“Harap Paduka sudi mengampuni hamba, akan tetapi hamba akan menghaturkan berita yang hanya layak
didengar oleh Paduka sendiri saja.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sri baginda mengerti maksud Jayin, maka dengan gerakan tangannya dia segera mengusir para dayang
itu. Enam orang wanita muda yang cantik-cantik itu segera mengundurkan diri melalui pintu belakang dan
daun pintu itu segera ditutup kembali rapat-rapat.
“Nah, ceritakan, Jayin.” Sri baginda cepat berkata.
“Maaf, hamba harus memeriksa pintu lebih dulu.” Panglima Jayin memberi hormat, kemudian bangkit
berdiri dan memeriksa pintu belakang yang baru saja ditutup, menguncinya, juga memeriksa jendelajendela
dan pintu depan yang besar. Setelah merasa yakin bahwa tidak ada orang lain yang
mendengarkan, dia kembali berlutut di depan raja itu.
Perbuatannya ini membuat hati sang raja menjadi makin tegang dan khawatir, lalu bertanya, “Jayin,
mengapa engkau begitu curiga? Apakah yang sesungguhnya terjadi dengan Puteri Syanti?”
“Bukan hanya keselamatan puteri Paduka terancam bahaya, Sri Baginda, bahkan juga Paduka sendiri dan
kerajaan terancam pengkhianat dan pemberontakan keji.”
Raja tua itu terkejut bukan main, terbelalak dan mukanya berubah agak pucat, tetapi kini dia memandang
ke arah Tek Hoat dengan sinar mata penuh selidik, kemudian dia membentak kepada Jayin, “Jayin, kalau
engkau membawa berita yang begini hebat dan gawat, mengapa engkau mengajak orang ini? Siapa dia
dan apa hubungannya dengan berita ini?”
“Maafkan kelancangan hamba, agaknya Paduka lupa kepada hamba. Hamba adalah Ang Tek Hoat dan
hambalah yang datang membawa berita ini.”
Kini sang raja benar-benar terkejut bukan main dan dia memandang kepada wajah Tek Hoat penuh
perhatian, kemudian memandang kepada Panglima Jayin dengan sinar mata terheran-heran dan penuh
pertanyaan.
“Hamba rnengerti bahwa Paduka tentu merasa heran sekali, akan tetapi oleh karena Ang-taihiap
membawa berita yang luar biasa penting dan gawatnya, maka hamba membawanya menghadap Paduka
agar Paduka dapat mendengar sendiri berita hebat ini.”
Betapa pun juga, sri baginda masih ingat benar akan jasa-jasa yang pernah dibuat oleh Tek Hoat, bahkan
pernah dia mengagumi pemuda ini dan merasa bangga mempunyai calon mantu seperti dia. Hanya karena
pengakuan ibu kandung pemuda ini saja yang membuat dia berubah membencinya karena merasa malu
kalau harus mempunyai mantu seorang anak haram tanpa ayah! Akan tetapi, sekarang puterinya itu hilang,
dan kini yang datang membawa berita tentang puterinya adalah pemuda itu sendiri!
“Jayin, ceritakanlah apa yang terjadi!” katanya singkat.
Dengan jelas Panglima Jayin lalu mengulang cerita Tek Hoat tentang Syanti Dewi yang ditawan oleh
Mohinta dan tentang rencana Mohinta mempergunakan puteri itu sebagai sandera untuk memaksa sang
raja turun tahta, kemudian menggunakan pasukan yang dibantu oleh Kerajaan Nepal untuk merampas
kedudukan sri baginda dan mengangkat diri sendiri menjadi raja.
Makin lama Sang Raja Bhutan menjadi makin terheran-heran di samping terkejut dan tidak percaya.
Setelah Jayin selesai bercerita, dia berkata, “Ah, mana mungkin terjadi hal demikian? Mohinta... dia putera
Sangita... bagaimana aku dapat percaya akan berita ini?”
“Memang amat mengherankan dan sukar dipercaya, Sri baginda, tetapi hendaknya Paduka memaklumi
bahwa hamba sendiri dapat percaya sepenuhnya akan berita yang dibawa oleh Ang-taihiap.”
“Hemmm, bagaimana kalau bohong?”
“Hamba mempertaruhkan nyawa hamba!” kata Ang Tek Hoat cepat-cepat dengan hati penasaran karena
dia masih juga belum dipercaya.
“Dan hamba juga berani mempertaruhkan kepala hamba untuk kebenaran berita yang dibawa oleh Angtaihiap.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sampai beberapa lamanya raja itu menatap kedua orang itu bergantian sehingga suasana di kamar itu
sunyi senyap. Akhirnya raja itu mengangguk-angguk dan berkata, “Sesungguhnya aku pun tidak dapat
menyangsikan omongan kalian berdua, hanya karena berita itu benar-benar mengejutkan dan luar biasa,
maka aku ingin meyakinkan hatiku. Kalau benar demikian, keparat sungguh Mohinta itu! Jayin, kau boleh
memimpin pasukan menyambut Mohinta itu, menangkapnya dan menyelamatkan puteriku!”
“Mohon diampunkan kelancangan hamba, Sri baginda. Akan tetapi kalau perintah Paduka itu dilaksanakan,
berarti kita belum dapat membasmi seluruh pemberontakan itu karena tidak ada bukti. Bahkan mungkin
sekali Mohinta akan menyangkal dan kita kehilangan bukti. Sebaiknya dilakukan pembersihan lebih dulu
sebelum Mohinta datang, dan di sini dilakukan penjagaan ketat yang terpendam, dan dikirim pasukan untuk
menghalau pasukan Nepal di perbatasan yang hendak membantu gerakan Mohinta. Hamba sendiri yang
akan melindungi sang puteri kalau sudah dibawa oleh Mohinta ke istana.”
“Usul Ang-taihiap itu tepat sekali, Sri Baginda. Memang lebih penting memadamkan sumber-sumber api
pemberontakan ini lebih dahulu sambil menunggu sampai Mohinta melakukan gerakannya dalam istana
yang diam-diam sudah terjaga ketat dan dilindungi oleh Ang-taihiap. Hamba akan menangkapi kaki tangan
Mohinta yang memang sudah hamba daftar, kemudian akan mencari akal untuk menaruh seorang perwira
yang pura pura akan bersekutu dengan dia agar segala rencananya dapat kita ketahui.”
Raja tua itu menghela napas panjang. “Baiklah... baiklah, kalian atur saja sebaiknya. Aku sudah malas
mengurus segala hal itu, akan tetapi aku menghendaki keselamatan puteriku!”
“Hamba menanggung keselamatan puteri Paduka dengan nyawa hamba!” kata Ang Tek Hoat.
“Baik, nah, kau bawa pedangku ini sebagai tanda kekuasaan tertinggi, Jayin, dan cincin ini akan
menyadarkan semua pembantuku bahwa engkau adalah orang kepercayaanku, Ang Tek Hoat.”
Dua orang itu dengan hormat menerima pedang dan cincin, kemudian diperkenankan mundur untuk
mengatur rencana penghancuran pemberontakan dan melaksanakannya tanpa menanti perintah dari sri
baginda lagi karena pedang di tangan Jayin itu telah merupakan kekuasaan mutlak untuk bertindak atas
nama raja!
Dengan tenang namun cepat, tanpa menimbulkan kegelisahan dan keributan, Jayin menangkapi banyak
panglima dan perwira, dimulai dari panglima tua Sangita sendiri. Sebagai panglima nomor dua di Bhutan,
tentu saja Panglima Jayin sudah hafal siapa di antara para panglima dan perwira yang condong kepada
Panglima Sangita, maka dalam waktu sehari itu dia menangkapi lebih dari lima puluh orang panglima dan
perwira tinggi!
Kemudian dia membawa seorang panglima yang sejak muda sudah mengabdi kepada sri baginda, dan
yang juga termasuk seorang di antara kaki tangan Sangita, membawa orang itu ke dalam kamar rumahnya
sendiri dan di situ dia membebaskan belenggu yang tadinya mengikat kedua tangan panglima tua ini. Di
situ dibeberkan semua rahasia pemberontakan Mohinta dan mengapa Sangita dan para pembantunya
ditangkapi.
“Mohinta merencanakan pengkhianatan dan pemberontakan, dan mengingat bahwa Mohinta adalah putera
Sangita, maka Sangita dan mereka yang berpihak padanya ditangkap atas perintah sri baginda.”
“Akan tetapi... saya tidak tahu menahu sama sekali tentang rencana pemberontakan, Panglima Jayin, dan
sepanjang pengetahuan saya, Panglima Sangita adalah seorang panglima tua yang berbakti kepada
negara. Tidak mungkin dia hendak melakukan pemberontakan, biar pun diatur oleh puteranya sendiri!”
“Aku tahu, akan tetapi demi keamanan negara, lebih dulu Panglima Sangita dan teman temannya,
termasuk engkau diamankan. Dan kalau memang benar engkau merupakan seorang warga negara Bhutan
yang setia, engkau harus dapat membantu untuk menghancurkan rencana pemberontakan ini.”
“Aku bersedia!” jawab panglima itu sambil berdiri sigap seperti seorang prajurit siap menerima perintah.
Jayin lalu mengatur dan menyusun siasat untuk menjebak Mohinta. Panglima tua itu adalah tangan kanan
Sangita, merupakan wakilnya, maka setelah panglima ini jelas memperlihatkan sikap setia pada negara,
Jayin lalu menggunakannya untuk menjebak Mohinta. Panglima itu lalu dibebaskan kembali dan bahkan
disuruh menghadapi dan menyelesaikan segala urusan yang seharusnya ditangani oleh Sangita, sebagai
wakil panglima pertama ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Panglima Jayin yang bijaksana dan pandai itu dapat mengatur sedemikian rupa hingga peristiwa
penahanan para panglima itu tidak sampai menghebohkan masyarakat, dan keadaan kota raja tetap
tenang-tenang saja sehingga tidak akan mencurigakan pihak pemberontak, sungguh pun kini kekuatan
utama telah diamankan sehingga andai kata ada pasukan-pasukan yang condong untuk memberontak,
mereka telah kehilangan kepala dan kehilangan pegangan. Kini mereka tinggal menanti saja munculnya
Mohinta.
Tek Hoat sendiri sudah bersiap-siap, menjaga dalam istana dan sepasukan pengawal diserahkan
kepadanya untuk diatur menjaga istana itu dengan ketat namun juga tidak kentara bahwa terjadi
ketegangan-ketegangan. Panglima Jayin sendiri mengerahkan pasukan terpendam untuk menghadapi
gerakan pasukan Nepal di perbatasan.
Akhirnya saat yang dinanti-nanti penuh ketegangan itu pun tiba! Pada suatu malam yang sunyi, seorang
perwira utusan Mohinta yang menjadi kurir menyelinap ke dalam gedung tempat tinggal Panglima Sangita.
Dia tidak tahu bahwa seluruh penjagaan di dalam gedung itu telah bertukar orang, yaitu orang-orangnya
Panglima Jayin. Kemudian oleh penjaga dia dihadapkan kepada panglima tua yang mengaku sebagai wakil
dari Panglima Sangita dan mengatakan bahwa Panglima Sangita sedang menjalankan tugas ke luar
Bhutan dan telah memberi kuasa kepadanya untuk menerima hubungan dari putera panglima.
Utusan itu lalu menyampaikan pesan Mohinta agar Panglima Sangita atau wakilnya suka menenuinya di
luar Bhutan, dalam sebuah hutan yang tersembunyi untuk bicara. Panglima tua yang kini telah menjadi
pembantu Jayin itu cepat mengikuti utusan itu meninggalkan kota raja dan menjelang pagi sampailah
mereka di dalam hutan di mana telah menanti Mohinta dan kaki tangannya.
Mohinta mengenal panglima tua ini sebagai pembantu ayahnya yang paling dipercaya, maka dia pun tidak
ragu-ragu lagi dan cepat dia menceritakan segala rencananya untuk disampaikan kepada ayahnya.
Mohinta minta kepada panglima itu untuk mengirim pasukan pengawal untuk mengawalnya masuk istana,
pasukan yang boleh dipercaya dan cukup kuat untuk menghadapi pengawal-pengawal istana. Kemudian
dia minta agar dikerahkan pasukan besar untuk bergerak mengepung istana, dan mengirim pula pasukan
untuk menyambut pasukan Nepal di perbatasan dan mengajak pasukan Nepal memasuki wilayah Bhutan
sehingga dengan bantuan pasukan Nepal mereka akan dapat menguasai Bhutan seluruhnya.
Tentu saja diam-diam panglima yang tua itu terkejut sekali mendengar rencana ini dan baru dia percaya
bahwa putera panglima ini merencanakan pemberontakan hebat, bahkan pengkhianatan dengan bersekutu
bersama pasukan Nepal yang menjadi musuh Bhutan. Dia menyatakan mengerti dan bergegas kembali ke
kota raja untuk segera ‘melaksanakan’ rencana yang diatur oleh Mohinta itu. Tanpa mengenal lelah
panglima tua ini lalu menemui Jayin yang memang sudah menanti dan diceritakanlah semua
pembicaraannya dengan Mohinta.
“Bagus! Permintaannya yang pertama tentu harus dipenuhi, yaitu mengirim pasukan pengawal pilihanku
sendiri. Dan memang ada pasukan yang akan menyambut pasukan Nepal di perbatasan, bukan untuk
diajak bekerja sama, melainkan untuk dihancurkan!” kata Jayin menahan kemarahannya.
Sesuai dengan permintaan Mohinta, seregu pasukan pengawal dikirim ke hutan itu, dan seorang ‘utusan’
panglima tua menyampaikan berita kepada Mohinta bahwa pasukan telah dipersiapkan untuk ‘mengurung’
istana, dan juga dikirim sebuah pasukan untuk menyambut bala tentara Nepal di perbatasan. Tentu saja
Mohinta menjadi girang bukan main. Biar pun hatinya juga diliputi ketegangan hebat, namun dia sudah
merasa yakin akan kemenangannya dan dia segera mengawal sang puteri, berikut para pengawalnya
sendiri dan pasukan pengawal yang baru saja menyambutnya, memasuki kota raja dan karena rakyat
sudah dikabari akan kembalinya sang puteri, maka di sepanjang jalan rakyat menyambut dengan gembira.
‘Puteri’ Syanti Dewi yang duduk di dalam kereta itu melambaikan tangannya ke kanan kiri sambil
tersenyum manis. Mereka yang pernah mengenal sang puteri dari dekat, diam-diam merasa akan adanya
perubahan pada diri sang puteri itu. Memang sejak dulu Puteri Syanti Dewi terkenal ramah terhadap rakyat
kecil, akan tetapi keramahannya itu bersifat halus, senyumnya agung dan pandang matanya lembut. Akan
tetapi ketika sang puteri melambaikan tangan dari dalam kereta dan wajahnya nampak sepintas lalu,
mereka ini melihat betapa senyum sang puteri itu, biar pun masih tetap manis, mengandung kegenitan dan
pandang matanya juga tidak selembut dahulu lagi! Tentu saja perubahan yang sedikit ini tidak
menimbulkan kecurigaan sesuatu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Rakyat bersorak-sorak menyambut sang puteri yang memang dicinta oleh rakyat Bhutan yang sudah lama
ikut prihatin karena hilangnya sang puteri, sampai rombongan itu tiba di depan istana, kemudian memasuki
halaman istana yang lebar. Rakyat hanya bergerombol di luar halaman yang terjaga. Para prajurit
pengawal memberi hormat ketika Mohinta mengawal sang puteri turun dari kereta dan berjalan dengan
agungnya memasuki istana.
Sesuai dengan permintaan Ang Tek Hoat, sri baginda menanti kedatangan puterinya itu di ruangan yang
luas di tengah istana, dan yang mendampingi raja itu hanya dua orang pengawal pribadi yang memegang
tombak. Ketika Mohinta tiba di luar pintu ruangan itu, para pengawal istana melarang para pengawal ikut
masuk bersama Mohinta memasuki ruangan itu dan hanya membolehkan Mohinta dan sang puteri berjalan
masuk. Karena Mohinta merasa yakin bahwa para pengawal di istana ini pun tentu sudah ‘diberi’ oleh
ayahnya dan kaki tangannya, maka dia dengan sikap tenang saja memasuki ruangan itu dengan sikap
gagah.
Raja Bhutan duduk di atas kursinya dengan sikap tenang, sungguh pun jantungnya berdebar penuh
ketegangan. Hanya ada dua orang pengawal di belakangnya, sungguh pun dia maklum bahwa Ang Tek
Hoat berada di situ pula, entah bersembunyi di mana! Dan melihat betapa raja hanya ditemani dua orang
pengawal, diam-diam Mohinta menjadi girang bukan main. Inilah saatnya bertindak, pikirnya dan begitu dia
dan Syanti Dewi melangkah maju sampai cukup dekat, tiba-tiba Mohinta mencabut pedangnya,
menangkap pundak sang puteri dan menodongkan pedangnya ke leher Syanti Dewi!
Dapat dibayangkan betapa kagetnya hati sang raja melihat ini sungguh pun dia telah diberi tahu akan
rencana Mohinta yang membawa puterinya sebagai sandera. Kaget dan marah bukan main hati raja itu
melihat pengkhianatan ini. Dia turun dari kursinya, dengan muka merah dan mata melotot, menudingkan
telunjuk kirinya ke arah Mohinta dan membentak, suaranya penuh dengan kemarahan.
“Mohinta, apa yang kau lakukan itu?” Suara sri baginda gemetar.
Dengan wajah beringas Mohinta berkata, “Sri baginda, dengarlah baik-baik! Pasukan pengawalku sudah
mengurung ruangan ini, juga istana telah dikurung oleh barisan ayahku, dan di perbatasan telah menanti
pasukan besar Nepal yang akan membantuku! Seluruh negeri Bhutan telah berada dalam genggamanku,
dan nyawa puterimu berada di telapak tanganku pula! Harap Paduka melihat kenyataan ini dan tidak
melawan!”
Hampir raja itu tidak mampu mengeluarkan kata-kata saking marahnya. “Pengkhianat busuk! Semenjak
beberapa keturunan, keluargamu telah menerima banyak anugerah dari kerajaan, juga telah banyak
membuat jasa yang mengharumkan nama keluargamu. Akan tetapi sehari ini semua itu akan dihancurkan
oleh kelakuan seorang keturunan macam kamu yang hina dan rendah ini!”
“Sri baginda, tak perlu banyak cakap kalau Paduka menghendaki puterimu ini selamat!” bentak Mohinta.
“Apa kehendakmu?” tanya raja, juga membentak.
“Buatkan pernyataan bahwa Paduka melepaskan kedudukan dan menyerahkan tahta kerajaan kepadaku.
Paduka telah terlalu tua dan aku sebagai menantu yang akan menggantikan kedudukan Paduka di
Bhutan!”
“Keparat! Jahanam! Tangkap pemberontak ini!” Raja itu berteriak-teriak dan dua orang pengawalnya
bergerak ke depan.
“Mundur kalian! Atau, kubunuh sang puteri, kemudian kubunuh pula Sri baginda!” bentak Mohinta dan
pedangnya makin dilekatkan ke leher sang puteri yang menjadi pucat dan gemetar tubuhnya.
Dua orang pengawal itu menjadi ragu-ragu dan bingung. Akan tetapi pada saat itu nampak bayangan
berkelebat ke arah Mohinta. Panglima muda ini terkejut bukan main ketika bayangan itu menyambar ke
arahnya dan ada hawa pukulan dahsyat menyambar pula. Dia mengelebatkan pedangnya, akan tetapi
akibatnya, dia berteriak kesakitan dan terhuyung ke belakang karena pedangnya itu membalik dan hampir
mengenai mukanya sendiri, sedangkan pergelangan tangannya yang kena pukulan hawa itu terasa nyeri.
Ketika dia memandang, seorang pemuda telah berdiri menghadang antara dia dan sang puteri dan
semangatnya seperti terbang meninggalkan tubuhnya ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain
adalah Ang Tek Hoat!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, Sri baginda sudah lari menghampiri sang puteri yang segera dipeluknya. “Syanti... anakku...
ahhh, anakku...!”
Ang Tek Hoat memandang Mohinta dengan muka beringas dan menyeramkan sekali. Apa lagi ketika
pemuda ini berkata lirih, namun cukup jelas terdengar oleh Mohinta, “Jahanam busuk Mohinta, engkau
telah membunuh ibuku dan untuk itu saja pasti akan kuhancurkan kepalamu! Engkau telah menyesatkan
Syanti Dewi dan untuk itu akan kupatahkan batang lehermu! Dan engkau berani merencanakan
pengkhianatan dan pemberontakan, dan untuk itu engkau layak mampus sebagai anjing pengkhianat!”
“Ahhh... kau... kau...!”
Teriakan raja ini mengejutkan Tek Hoat yang cepat memutar tubuhnya. Dia melihat Syanti Dewi dengan
pisau di tangan menyerang raja! Raja Bhutan mengelak akan tetapi lengannya masih tertusuk dan
mengeluarkan darah.
“Syanti...! Kau gila...!” Tek Hoat berseru, akan tetapi Syanti Dewi mengeluarkan suara ketawa aneh dan
terus menyerang raja.
Akan tetapi pada saat itu, dua orang pengawal raja sudah bergerak, tombak mereka menghalang dan
menyerang dan di lain saat, perut puteri itu sudah ditembus tombak dan robohlah puteri itu dengan mata
terbelalak. Ususnya keluar dari lukanya, tubuhnya mandi darah.
“Dewi...!” Tek Hoat berseru lagi dan Raja Bhutan segera diselamatkan oleh dua orang pengawal melalui
pintu rahasia.
Tek Hoat merasa kepalanya pening dan hampir dia roboh pingsan menyaksikan semua itu. Syanti Dewi
menyerang ayahnya sendiri dan puteri itu kemudian roboh tewas oleh pengawal. Semua ini gara-gara
Mohinta. Dia memutar tubuhnya, akan tetapi Mohinta telah lari keluar, mempergunakan kesempatan selagi
‘puteri’ itu menyerang raja dan Ang Tek Hoat tidak lagi memperhatikan dirinya. Di luar terjadi keributan,
terdengar suara hiruk-pikuk orang berkelahi.
Dengan hati hancur melihat tubuh kekasihnya menggeletak tak bernyawa dengan usus terurai keluar, Tek
Hoat mengerang dan berkelebat keluar dari dalam ruangan itu, mencabut pedang Cui-beng-kiam dan sinar
matanya mengandung hawa maut seperti seekor harimau yang haus darah. Ternyata telah terjadi
pertempuran di luar, di seluruh istana sampai keluar halaman istana, yaitu antara para pengikut Mohinta
melawan para pengawal.
Mohinta terkejut setengah mati ketika tadi melihat munculnya Tek Hoat dan tahulah dia bahwa rencananya
gagal. Juga Syanti Dewi palsu tahu akan kegagalan itu maka dengan nekat dia menyerang sang raja
sehingga dia menemui ajalnya di ujung tombak dua orang pengawal. Ketika tiba di luar dan melihat betapa
pasukan pengawal yang menyambutnya tadi kini malah bertanding melawan para pengikutnya, makin
sadarlah Mohinta bahwa dia telah terjebak. Maka dia pun lalu mengamuk dibantu oleh anak buahnya. Dan
memang sebelumnya Mohinta telah mempersiapkan diri maka para pengikutnya terdiri dari orang-orang
yang memiliki kepandaian tinggi, bukan pengikut pengikut biasa, bahkan di antara mereka terdapat orangorang
Nepal yang menyamar, orang-orang yang kepandaiannya bahkan lebih tinggi dari pada Mohinta
sendiri!
Tek Hoat mengamuk dengan pedangnya. Begitu dia menerjang ke depan, kacaulah pertahanan para
pengikut Mohinta dan sebentar saja, Tek Hoat telah merobohkan banyak pengikut pemberontak, akan
tetapi dia terus berlari keluar untuk mencari dan mengejar Mohinta. Ketika dia tiba di ruangan depan, dia
melihat Mohinta dibantu oleh beberapa orang anak buahnya, di antaranya bahkan ada seorang berkepala
gundul seperti hwesio yang amat lihai sedang mengamuk merobohkan para pengawal istana.
“Mohinta keparat, jangan lari!” Tek Hoat berseru nyaring dan menerjang ke depan, akan tetapi dia disambut
oleh banyak anak buah Mohinta yang cukup lihai sehingga Tek Hoat harus menggerakkan pedangnya
dengan cepat untuk melindungi tubuhnya dari hujan senjata.
“Kepung! Bunuh!” Mohinta berseru memerintahkan anak buahnya karena dia maklum bahwa selama
pemuda ini belum roboh, maka dia sendiri terancam bahaya.
Anak buahnya berdatangan dan kiranya panglima muda ini memang telah menaruh banyak mata-mata di
situ, mata-mata yang berdatangan pada saat Mohinta memasuki istana dan para anak buah itu kini dapat
dunia-kangouw.blogspot.com
membantunya mengeroyok Tek Hoat. Ada dua puluh orang lebih kini mengurung Tek Hoat yang
mengamuk seorang diri saja karena para pengawal istana sudah roboh oleh para pemberontak itu. Tek
Hoat tidak menjadi gentar dan mengamuk terus sambil berusaha mendekati Mohinta. Akan tetapi, para
pengeroyoknya adalah orang-orang pilihan dari Bhutan, sebagian dari Nepal dan bahkan ada beberapa
orang Han yang telah menjadi kaki tangan panglima muda itu.
Bagaikan seekor naga mengamuk, Tek Hoat menggerakkan pedangnya. Hatinya masih kalut, kedukaan
yang amat hebat menghimpit hatinya. Tubuh Syanti Dewi dengan usus keluar itu tak pernah meninggalkan
bayangan matanya dan dia mengamuk dengan gerakan nekat dan banyak yang mengawur maka beberapa
kali senjata lawan yang mengeroyoknya sempat mengenai tubuhnya. Kedua pahanya luka-luka, celananya
robek dan pakaiannya sudah ternoda darahnya sendiri dan darah musuh. Namun, dia terus merobohkan
mereka satu demi satu dan Cui-beng-kiam, pedang pusaka yang mengerikan itu, kini boleh puas minum
darah manusia. Berkali-kali pedang ini memasuki tubuh seorang pengeroyok dan keluar lagi telah
berwarna merah, dan darah-darah itu seperti mencucinya, membuatnya mengkilap dan makin ampuh!
Biar pun dia sendiri luka-luka dan banyak keluar darah dari lukanya, namun Tek Hoat tidak merasakan
semua itu. Satu-satunya hasrat dalam hatinya hanya membunuh Mohinta dan biar pun dia sudah
merobohkan belasan orang pengeroyok, dia masih belum dapat mendekati Mohinta yang selalu
menjauhkan diri itu. Kini hanya tinggal lima enam orang lagi saja yang masih mengeroyoknya, di antaranya
adalah orang berkepala gundul itu yang amat lihai mainkan tombak bercabang tiga itu, bersama dengan
beberapa orang pengawal dari Nepal yang pandai bermain golok dan perisai. Mohinta sendiri hanya
menyerang dari belakang setiap kali ada kesempatan, kemudian meloncat mundur lagi kalau Tek Hoat
membalikkan tubuhnya.
Melihat kecurangan orang yang amat dibencinya ini, Tek Hoat menjadi marah. Dia menanti kesempatan
baik sambil memutar Cui-beng-kiam menghalau semua serangan enam orang lihai yang membantu
Mohinta itu. Saat pendengarannya dapat menangkap gerakan Mohinta yang menyerangnya lagi dari
belakang, Tek Hoat pura-pura tidak memperhatikannya, akan tetapi setelah serangan itu dekat dengan
tubuhnya, tiba-tiba dia melakukan gerakan meloncat dan membalik, kaki kirinya menginjak tangga lantai.
Mohinta terkejut dan cepat meloncat hendak menjauhkan diri, akan tetapi Ang Tek Hoat yang berada di
belakangnya itu, tanpa memutar tubuhnya sudah cepat menggerakkan Cui-beng-kiam ke belakang, ke
arah punggung Mohinta melalui bawah ketiak lengan kanannya.
“Blesssss...!”
Mohinta menjerit ngeri ketika pedang Cui-beng-kiam itu memasuki punggung, terus ke perut dan
menembus ke depan. Darahnya muncrat-muncrat dan teriakannya seperti babi disembelih.
“Itu untuk ibuku!” teriak Tek Hoat sambil mencabut pedangnya. Ketika tubuh lawan itu terhuyung-huyung,
kembali pedangnya membabat dua kali.
“Crakkk! Crakkk!” Kedua lengan Mohinta putus sebatas siku oleh karena kena disambar Cui-beng-kiam.
“Itu untuk Kerajaan Bhutan!” kembali Tek Hoat berteriak.
Mohinta kembali menjerit dan matanya terbelalak memandang kedua lengannya yang buntung, kini
darahnya muncrat-muncrat dari perut, punggung, dan kedua lengan yang buntung. Tetapi Tek Hoat masih
belum berhenti menyerangnya. Pedangnya kembali berkelebat, menangkis tombak laki-laki gundul
sehingga ujung tombak bercabang tiga itu putus, kemudian pedang itu masih terus membabat ke arah
leher Mohinta yang sudah lemas dan kedua kakinya sudah hampir tidak kuat berdiri lagi itu.
“Crakkk!” Leher Mohinta putus disambar Cui-beng-kiam dan kini lenyaplah jeritan-jeritan Mohinta yang
mengerikan tadi.
“Itu untuk Syanti Dewi!” kembali Tek Hoat berteriak dan kini pemuda ini mengamuk sampai enam orang
pengeroyoknya itu roboh semua, tewas di ujung Cui-beng-kiam.
Akan tetapi karena dia sendiri pun mengalami banyak luka, dan terutama sekali karena batinnya yang
tertekan oleh kematian Syanti Dewi, sambil mengeluh panjang setelah tidak melihat adanya seorang pun
lawan, Tek Hoat terkulai dan dengan Cui-beng-kiam masih di dalam genggamannya, dia roboh pingsan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Di luar istana juga terjadi pertempuran-pertempuran kecil dari pasukan-pasukan anak buah Mohinta
melawan pasukan-pasukan kerajaan yang dipimpin oleh para pembantu Panglima Jayin. Akan tetapi
karena pasukan-pasukan pemberontak itu telah kehilangan pimpinan mereka, yang sudah ditawan terlebih
dahulu oleh Jayin, maka perlawanan mereka pun setengah matang, dilakukan setengah hati sehingga
belum sampai setengah hari lamanya, mereka telah dapat ditundukkan, dihancurkan dan ditawan.
Sebagian besar di antara mereka menaluk.
Demikian pula, di perbatasan terjadi pertempuran antara pasukan Nepal yang sudah siap menyeberang
dengan pasukan kerajaan yang dipimpin oleh Jayin sendiri. Pertama tama Jayin mengirim utusan yang
menyamar sebagai utusan pemberontak, yang pura pura mempersilakan pasukan Nepal memasuki
wilayah Bhutan. Setelah tiba di lorong sempit yang diapit dua buah bukit, pasukan Nepal itu diserbu dari
kanan kiri dan depan sehingga pasukan itu menjadi panik, akhirnya melarikan diri kembali ke Nepal dengan
meninggalkan banyak korban.
Pemberontakan itu berhasil dihancurkan sebelum dimulai! Rakyat merasa gembira bukan main karena
mereka terhindar dari perang pemberontakan yang tentu akan merusak kesejahteraan hidup. Apa lagi
ketika rakyat mengetahui bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu hanya seorang wanita Nepal
yang menyamar!
Akan tetapi, Ang Tek Hoat tidak tahu akan hal ini. Ketika dia ditolong dalam keadaan pingsan, sampai
beberapa hari dia tidak siuman, dan tubuhnya terus menderita demam panas. Dia jatuh sakit, bukan hanya
karena luka-lukanya melainkan terutama sekali karena kehancuran hatinya melihat Syanti Dewi tewas.
Untuk kedua kalinya, pemuda ini telah menyelamatkan dan membela Bhutan dengan taruhan nyawa,
bahkan telah mengorbankan dirinya sampai luka-luka. Karena sekali ini benar-benar merasakan
pembelaan pemuda ini, sri baginda merasa berterima kasih sekali dan dia sendiri yang mengatur agar Tek
Hoat memperoleh perawatan sebaiknya dari para ahli pengobatan dalam istana.
Para ahli pengobatan yang pandai itu tahu bahwa pemuda ini jatuh sakit bukan hanya karena luka-luka di
tubuhnya. Untuk itu, tubuh pemuda ini sudah terlampau kebal dan terlatih sehingga luka-luka itu tidak
membahayakan keselamatannya. Akan tetapi yang mengkhawatirkan para ahli pengobatan itu adalah
guncangan batin yang membuat pemuda itu belum pulih benar kesadarannya.
Memang Tek Hoat menjadi seperti seorang linglung. Dia hanya rebah dan kadang kadang duduk, diam
saja tak pernah mau bicara. Kadang-kadang dia menangis tersedu sedu menutupi mukanya, memejamkan
matanya hendak mengusir bayangan Syanti Dewi yang mati dalam keadaan mengerikan itu. Kadangkadang
pula, selagi tidur dia berteriak-teriak memanggil nama Syanti Dewi dan memaki-maki Mohinta.
Para ahli pengobatan merasa khawatir kalau tekanan batin itu akan mempengaruhi jiwa pemuda itu dan
kemudian membuatnya menjadi tidak waras. Oleh karena itu, para ahli pengobatan itu menasehatkan
kepada sri baginda agar kenyataan bahwa yang tewas sebagai Puteri Syanti Dewi itu sesungguhnya bukan
sang puteri, melainkan seorang wanita Nepal yang menyamar, supaya tetap dirahasiakan. Para tabib ini
khawatir kalau kalau berita yang amat mengejutkan akan mendatangkan guncangan yang terlalu hebat
sehingga bahkan membuat penyakit Tek Hoat menjadi makin parah. Sri baginda dapat menerima nasehat
ini, kemudian memerintahkan kepada semua pelayan agar jangan menceritakan hal itu kepada Tek Hoat.
Sri baginda cukup bijaksana untuk mengampuni Panglima Sangita yang sudah tua, karena memang
sesungguhnya panglima tua ini hanya terpaksa dan terbujuk oleh puteranya saja. Sedangkan para
panglima dan perwira yang menjadi kaki tangan Mohinta dijatuhi hukuman cukup berat untuk membikin jeri
mereka yang masih memiliki niat untuk memberontak. Pasukan-pasukan yang tadinya terpengaruh oleh
Mohinta dan kawan-kawannya dipecah-pecah dan digabungkan dengan pasukan pemerintah yang setia
untuk mencuci bersih batin mereka dari sisa-sisa keinginan memberontak.
Setelah Panglima Sangita yang sudah tua itu dipensiun dan dibebas tugaskan, dengan sendirinya
Panglima Jayin rmenjadi panglima pertama, dan biar pun belum diadakan pengangkatan resmi, namun
Ang Tek Hoat diangkat lagi menjadi panglima muda oleh sri baginda di Bhutan.
Perang terjadi di seluruh dunia semenjak jaman dahulu sampai sekarang, tiada henti hentinya. Baik yang
dinamakan perang dingin atau perang panas, perang kebudayaan, politik, ekonomi, perang halus mau pun
kasar, tak pernah lenyap dan selalu ada di antara bangsa sebagai letusan-letusan dari kemarahan,
kebencian dan permusuhan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Perang yang terjadi antara bangsa, di bagian mana pun juga di dunia ini, tidak terlepas dari setiap orang
dari kita, karena bangsa merupakan kelompok manusia, oleh karena itu, perang adalah masalah setiap
orang manusia di dunia ini, tidak peduli di mana pun dia tinggal dan hidup, tidak peduli negaranya berada
dalam perang atau tidak pada saat itu. Perang antara bangsa tidak terpisahkan dari keadaan diri setiap
orang manusia, karena perang pada hakekatnya adalah kekerasan yang timbul dari keadaan batin yang
penuh dengan kebencian, dengan perebutan kekuasaan, perebutan kebenaran, dan pementingan diri
sendiri. Perang antara bangsa hanya merupakan gambaran besar dari perang yang setiap saat timbul di
dalam hati kita sendiri masing-masing.
Setiap saat, setiap hari juga terjadi pertentangan-pertentangan, konflik-konflik yang menimbulkan
kebencian, kemarahan, dendam, iri hati, persaingan, perebutan yang kesemuanya itu didasari oleh
keinginan untuk mementingkan diri sendiri, untuk mencari kesenangan atau keenakan bagi diri sendiri
sehingga dalam pencarian atau pengejaran kesenangan ini kita tidak mempedulikan lagi keadaan orang
lain. Demi mencapai cita cita, mencapai apa yang kita kejar, yang tentu saja kita anggap akan
mendatangkan kesenangan, maka kalau perlu kita membasmi siapa saja yang kita anggap menjadi
penghalang tercapainya cita-cita kita itu.
Demikianlah keadaan perang di dalam batin kita setiap saat sehingga batin kita penuh dengan kemarahan,
kebencian, dan kekerasan dalam permusuhan. Hal ini dapat kita lihat setiap saat di sekeliling diri kita, atau
di dalam diri kita sendiri. Dan selama kita masing-masing tidak berubah, maka perang akan selalu berkobar
di dunia ini, karena yang bertanggung jawab adalah kita masing-masing manusia di permukaan bumi ini.
Dapatkah kita hidup tanpa perang? Perang dalam arti kata perang antara bangsa, antara suku, antara
kelompok, antara golongan, antara keluarga, antara tetangga, dan antara manusia perorangan, bahkan
perang dalam diri sendiri antara nafsu-nafsu keinginan kita? Berakhirnya ‘perang’ di dalam batin
mengakhiri perang di luar diri, karena lahir dan batin tidak terpisahkan, kait-mengait dan pengaruhmempengaruhi.
Bagaimana mungkin kita hidup damai lahiriah dengan orang lain kalau batin kita
mengandung kebencian? Mengandung kemarahan, iri hati, rasa takut dan keinginan untuk enak sendiri?
Jelas tidak mungkin!
Sebaliknya, kalau batin tidak lagi dihuni oleh kemarahan, kebencian, iri hati, rasa takut, keinginan enak
sendiri, batin seperti itu adalah batin yang hening dan bersih, batin seperti itu penuh dengan cahaya cinta
kasih, dan bagi batin seperti itu tidak ada perang, tidak ada permusuhan, tidak ada kekerasan!
Raja Bhutan dan Panglima Jayin tentu saja merasa bahwa mereka telah berhasil membasmi
pemberontakan, tetapi mereka lupa bahwa pemberontakan-pemberontakan tidak akan pernah berhenti,
baik pemberontakan halus mau pun kasar, selama manusia mementingkan kedudukan, harta benda, nama
dan kehormatan, pendeknya selama manusia mengejar-ngejar kesenangan dan mementingkan semua itu
lebih tinggi dari pada si manusia sendiri.
Raja Bhutan dan Jayin sama sekali bukan melenyapkan pemberontakan, tetapi hanya memperoleh
kemenangan sementara saja, kemenangan yang harus pula dijaganya dengan kekerasan, karena
kemenangan itu diperoleh dengan jalan kekerasan pula. Ketenangan dan kedamaian yang diciptakan oleh
penekanan dan kekerasan bukanlah kedamaian lagi namanya. Manusia tidak lagi melakukan
pemberontakan bukan karena dalam batinnya sudah penuh dengan cinta kasih, melainkan karena mereka
takut melakukan pemberontakan itu! Dan ketenteraman seperti ini, yang diciptakan dengan menciptakan
pula rasa takut, hanya akan bertahan untuk sementara saja, karena sekali waktu, ketenteraman itu akan
terganggu oleh pemberontakan yang lain apa bila yang takut sudah tidak takut lagi menurut keadaan pada
saat itu!
Ketertiban yang sungguh-sungguh ketertiban adalah ketertiban yang timbul dari cinta kasih! Ketertiban
yang timbul oleh paksaan kekuasaan, bukanlah ketertiban lagi namanya, melainkan ketidak tertiban yang
dipulas. Dan ketertiban berdasarkan cinta kasih tidak mungkin dapat diatur, melainkan datang dengan
sewajarnya apa bila kita masing-masing tidak lagi dicengkeram oleh keinginan menyenangkan diri sendiri,
apa bila tidak ada lagi si aku, si kamu dan si dia. bukan berarti bahwa kita lalu menjadi boneka-boneka
hidup yang digerakkan oleh suatu kekuasaan tertentu yang membuat kita mati daya cipta kita, membuat
kita kehilangan kepribadian, membuat kita memejamkan mata dan hanya bertindak menurut perintah atau
menyesuaikan diri dengan apa yang diajarkan oleh kekuasaan itu! Sama sekali tidak, karena kalau
demikian, sama saja kita hidup di bawah penekanan kekerasan dan terjadi konflik konflik dalam batin yang
akhirnya akan tercetus keluar menjadi tindakan kekerasan yang menimbulkan permusuhan antara
manusia. Ketertiban, cinta kasih tidak bisa dipaksakan, tidak bisa disusun atau dibentuk, melainkan timbul
sewajarnya kalau segala bentuk kekerasan sudah lenyap sama sekali dari batin. Amin…..
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Seperti juga dengan para pendekar yang sudah membantu pemerintah menentang pemberontakan yang
didalangi oleh Koksu Nepal, yang setelah benteng musuh itu berhasil dihancurkan lalu pergi cerai-berai,
masing-masing mengambil jalan sendiri, demikian pula dengan para tokoh yang tadinya membantu
pemberontakan itu.
Seperti kita ketahui, rombongan Bhutan yang dipimpin oleh Mohinta sudah lebih dahulu meninggalkan
benteng dan mengawal Puteri Syanti Dewi palsu untuk melaksanakan rencana pemberontakan Mohinta di
Bhutan. Rombongan Liong-sim-pang yang dikepalai Hwa-i-kongcu Tang Hun juga telah lolos dari benteng,
mengambil jalannya sendiri. Ada pun Hek-tiauw Lo-mo juga telah pergi mencari puteri angkatnya, demikian
pula Hek-hwa Lo-kwi juga sudah pergi mencari keselamatannya sendiri. Bahkan tiga orang pandai yang
tadinya membantu Hwa-i-kongcu Tang Hun, yaitu Hak Im Cu, Ban-kin-kwi Kwan Ok, dan Hai-liong-ong
Ciok Gu To, setelah melihat kegagalan orang yang dibantunya, juga telah pergi memisahkan diri
meninggalkan benteng.
Demikian pula dengan halnya Ngo-ok, lima orang datuk kaum sesat yang berilmu tinggi itu. Walau pun
tadinya mereka memperoleh kesempatan untuk meninggalkan benteng bersama-sama, namun setelah tiba
di luar benteng, mereka berpencar. Empat orang di antara Ngo-ok tidak mau mengikuti Sam-ok atau Koksu
Nepal yang telah gagal itu.
Mereka tidak mau ikut pergi ke negara Nepal, maka mereka pergi sendiri memisahkan diri, meninggalkan
Koksu Nepal yang seperti kita ketahui pergi bersama muridnya, Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian
Cu. Kalau tadinya keempat orang di antara Ngo-ok itu menyambut undangan Sam-ok untuk membantu
adalah karena Sam-ok atau Koksu Nepal itu mengadakan pergerakan di Tiongkok dan mereka bisa
mengharapkan kedudukan kalau gerakan itu berhasil. Akan tetapi gerakan pemberontakan itu gagal dan
mereka kini tidak bernafsu untuk mencari kemuliaan di negeri lain seperti Nepal, maka mereka berempat
meninggalkan Koksu Nepal, kemudian mengambil jalan sendiri, sungguh pun mereka berempat masih
belum berpencar, masih melakukan perjalanan bersama menuju ke utara.
Pada saat benteng yang dibangun oleh mendiang Jenderal Kao Liang atas pemaksaan Koksu Nepal itu
runtuh dan terbakar di antara pertempuran ketika pasukan-pasukan pimpinan Puteri Milana menyerbu
benteng, jauh tinggi di angkasa nampak sebuah titik hitam bergerak-gerak, melayang-layang berputaran di
atas tempat itu.
Orang-orang yang berada di bawah, di dalam dan luar benteng yang terbakar itu, terlalu sibuk dengan
urusan mereka sendiri, dengan perang dan bunuh-membunuh sehingga tidak ada seorang pun yang
sempat memandang ke atas dan melihat titik hitam yang kini makin membesar sehingga akhirnya nampak
bahwa titik hitam itu adalah seekor burung rajawali yang melayang-layang di antara awan dan asap yang
bergulung-gulung naik dari benteng yang kebakaran itu. Andai kata ada yang melihatnya, tentu orang itu
akan merasa terkejut dan heran sekali melihat bahwa di atas punggung burung rajawali raksasa itu duduk
seorang manusia! Orang yang melihatnya tentu akan menyangka bahwa yang menunggang rajawali itu
seorang dewa!
Burung itu sendiri adalah seekor burung rajawali yang sudah jarang dapat ditemukan orang di jaman itu,
seekor burung rajawali besar yang hanya hidup di tempat asing, jauh di utara. Burung itu telah tua sekali,
namun masih kelihatan kuat ketika menggerakkan sayapnya yang lebar dan nampaknya ringan saja dia
membawa seorang manusia di punggungnya.
Manusia itu pun aneh. Kakinya buntung sebelah, tinggal kaki kanan saja. Pakaiannya sederhana sekali,
rambutnya panjang terurai dan berwarna putih perak, demikian pula jenggotnya yang agak panjang.
Wajahnya agak kurus, namun masih nampak bahwa dahulu orang berkaki buntung sebelah ini tentu
merupakan seorang pria yang tampan. Tubuhnya sedang, agak kekurus-kurusan dan dia duduk di atas
punggung rajawali yang terbang cepat di angkasa itu seperti orang menunggang kuda saja, enak dan
tenang. Tangan kirinya memegang sebatang tongkat butut yang selalu ditempelkannya ke leher burung,
agaknya tongkat itulah yang menjadi pengganti kendali untuk mengemudikan burung itu, atau setidaknya
untuk memberi isyarat ke mana burung itu harus terbang.
Kini burung rajawali itu menguik-nguik panik ketika dia terpaksa memasuki gumpalan asap menghitam
bercampur awan, asap yang membubung tinggi dari benteng yang terbakar itu. Kakek berkaki buntung
yang usianya tentu sudah lebih dari enam puluh tahun itu menggerakkan tongkatnya dan burung itu
dunia-kangouw.blogspot.com
menukik turun lalu membelok ke kiri menghindarkan diri dari asap, keluar dari gumpalan menghitam yang
baunya sangat menyesakkan napas itu.
“Hemmm, perang... lagi-lagi perang... pertempuran, bunuh-membunuh antara manusia!” Kakek itu
menggumamkan sambil memandang ke bawah di mana pertempuran masih berlangsung. Kakek ini bukan
lain adalah Suma Han atau Pendekar Super Sakti, atau Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es.
Seperti telah kita ketahui, Pendekar Super Sakti seolah-olah ditangisi oleh kedua orang isteri tercintanya
untuk pergi meninggalkan pulau dan mencari putera-putera mereka yang sudah terlalu lama pergi
merantau tanpa ada kabar ceritanya. Sebenarnya, pendekar sakti yang tua ini enggan pergi meninggalkan
pulaunya, akan tetapi akhirnya dia mengalah juga terhadap keluhan dan bujukan isteri-isterinya, dan
pergilah dia bersama burung rajawali yang tua itu meninggalkan pulau, mulai dengan perantauannya
mencari dua orang puteranya, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.
Ketika dia mendengar akan gerakan pasukan kerajaan yang kabarnya telah menindas pemberontakan di
Propinsi Ho-nan dan kini pasukan itu bergerak menuju ke sebuah benteng di lembah, hatinya tertarik
karena sangat boleh jadi kedua orang puteranya itu terlibat pula dalam penindasan pemberontakan ini,
seperti yang pernah mereka lakukan ketika terjadi pemberontakan dari kedua orang Pangeran Liong. Maka
dia pun lalu menyusul ke tempat itu, menunggang burung rajawalinya yang tua.
Akan tetapi, ketika melihat pertempuran yang terjadi di bawah, melihat betapa benteng para pemberontak
itu dapat dibobolkan dan terbakar, pendekar sakti yang sudah sering menyaksikan perang di antara
manusia itu menjadi muak, dan tidak mau mendekati tempat ini, melainkan menyuruh rajawalinya
berputaran di atas dan memasang mata kalau-kalau dia akan dapat melihat dua orang puteranya. Dari
tempat tinggi, di antara gumpalan asap, dia samar-samar dapat melihat pemimpin pasukan pemerintah dan
jantungnya berdebar karena dia mengenal puterinya, yaitu Puteri Milana!
Ah, kalau begitu tentu pemberontakan itu cukup penting dan berbahaya, pikirnya. Kalau tidak demikian,
kiranya kaisar tidak akan mengganggu Milana yang sudah hidup tenang dan tenteram bersama pria yang
dikasihinya, Gak Bun Beng di puncak Telaga Warna di Pegunungan Beng-san. Pula, kalau tidak penting
dan berbahaya, tentu puterinya itu pun tidak akan mau menceburkan diri dalam medan perang seperti itu.
Akan tetapi, melihat puterinya memimpin pasukan untuk membasmi pemberontak, yang berarti adanya
bunuh membunuh yang mengerikan di antara manusia, Pendekar Super Sakti merasa enggan untuk turun
menemui puterinya. Dia tidak melihat adanya Kian Lee dan Kian Bu, maka dia lalu menyuruh burungnya
agak menjauhi benteng. Burung itu agaknya merasa girang karena binatang ini pun menjadi panik melihat
asap hitam bergumpal-gumpal itu, maka dengan cepat lalu meluncur ke arah timur.
Tiba-tiba Pendekar Super Sakti terkejut melihat bayangan empat orang yang bentuk tubuhnya aneh-aneh,
akan tetapi terutama sekali yang mengejutkan hati pendekar ini adalah cara empat orang itu bergerak dan
lari. Mereka itu bergerak cepat bukan main dan dari tempat tinggi itu Suma Han dapat mengenal orangorang
pandai yang memiliki ilmu yang sudah sangat tinggi tingkatnya. Maka dia lalu menyuruh burungnya
menukik dan mendekati. Setelah agak dekat di atas empat orang yang berlari cepat sekali itu, pendekar
sakti yang tua ini makin kaget karena dia mengenal dua orang di antara mereka, yaitu Twa-ok dan Ji-ok
yang pernah bentrok dengan dia belum lama ini.
Kalau yang dua orang ini Twa-ok dan Ji-ok, maka melihat bentuk tubuh mereka, yang dua orang lain lagi
pastilah orang-orang di antara Ngo-ok yang terkenal itu. Dan kalau Ngo-ok sudah bergerak di tempat ini,
maka tentulah terjadi urusan besar dan bukan tidak mungkin empat orang itu tahu di mana adanya Kian
Lee dan Kian Bu. Bukankah Twa-ok sendiri pernah bercerita kepadanya tentang Kian Bu yang katanya
rambutnya putih semua, berjuluk Siluman Kecil dan katanya bergulang-gulung dengan puteri dari Hektiauw
Lo-mo? Tentu mereka itu tahu di mana adanya Kian Bu. Berpikir demikian, Suma Han lalu menyuruh
rajawalinya terbang turun dan setelah burung itu berada kurang lebih empat meter dari tanah, dia lalu
meloncat turun dan membiarkan burungnya terbang naik lagi.
Munculnya pendekar sakti ini sama sekali tidak menimbulkan suara sehingga ketika empat orang itu tibatiba
melihat si pendekar sakti berdiri tegak di depan mereka, tentu saja mereka terkejut bukan main.
Memang mereka itu adalah Twa-ok, Ji-ok, Su-ok dan Ngo-ok, empat di antara Ngo-ok. Mereka sedang
meninggalkan benteng yang terbakar itu dengan hati kecewa dan mengkal karena gagalnya usaha mereka,
yaitu Sam-ok atau Koksu Nepal. Kegagalan itu bukan hanya merugikan mereka yang telah membuang
waktu dan tenaga untuk membantu usaha Sam-ok, akan tetapi terutama sekali karena kegagalan itu pun
sekaligus menjatuhkan nama mereka sebagai Ngo-ok!
dunia-kangouw.blogspot.com
Pemberontakan yang dibantu oleh Ngo-ok gagal sedemikian rupa, tentu saja hal ini menampar muka
mereka. Kini, melihat betapa tiba-tiba Pendekar Super Sakti, Majikan Pulau Es itu menghadang di depan
mereka, empat orang ini terkejut, agak gentar akan tetapi juga marah. Anak-anak dari pendekar inilah yang
membantu pemerintah sehingga gerakan itu gagal dan terutama sekali Twa-ok dan Ji-ok yang pernah
bentrok dan terpukul mundur oleh Pendekar Siluman ini, kini mendapatkan kesempatan untuk membalas
kekalahan mereka karena sekarang ada Su-ok dan Ngo-ok yang membantu mereka. Rasa penasaran
karena pernah dikalahkan, kemudian rasa kecewa karena kegagalan pemberontakan itu, kini hendak
mereka tumpahkan kepada Pendekar Super Sakti, maka Twa-ok sudah berkata dengan sikapnya yang
biasa, yaitu tenang dan gerak-geriknya yang halus lembut.
“Ah, kiranya yang terhormat Suma-taihiap alias Pendekar Super Sakti alias Pendekar Siluman, Majikan
Pulau Es yang datang menghadang kita! Saudara-saudaraku, tamu agung tiba, mari kita sambut dengan
penuh kehormatan!” Ucapan ini halus dan menghormat, akan tetapi merupakan isyarat bagi temantemannya
untuk menyerang pendekar berkaki satu itu.
“Maafkan kalau aku mengganggu kalian berempat. Aku hanya ingin bertanya kalau kalau Su-wi (kalian
berempat) melihat dua orang puteraku, yaitu Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu.” Dia berhenti sebentar,
memandang kepada empat orang itu dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Apakah putera-puteraku itu
terlibat dalam pertempuran di benteng yang terbakar itu dan apakah...“
Baru sampai di sini pendekar itu bicara, Ngo-ok Toat-beng Siansu, si tosu yang tinggi badannya dua
setengah meter itu, dengan mukanya yang selalu Nampak sedih, telah mengeluarkan teriakan menyayat
hati dan dia sudah menerjang dengan dua tangannya yang berlengan panjang. Serangan ini hebat sekali,
dan begitu Pendekar Super Sakti mengelak, dari samping telah menerjang Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio
gendut pendek katai itu yang menggelundung seperti trenggiling, melakukan penyerangan secara diam
diam dan pengecut, menghantam dari bawah ke arah belakang kaki Suma Han! Dan menyusul itu, hampir
bersamaan waktunya, Ji-ok Kui-bin Nionio dan Twa-ok Su Lo Ti juga sudah bergerak dan masing-masing
sudah menerjang dengan ganas dan dahsyat!
Mula-mula Suma Han hanya mengelak dari serangan-serangan itu satu demi satu, akan tetapi ketika
serangan-serangan itu dilanjutkan dengan desakan yang bertubi-tubi, dan setiap serangan merupakan
jangkauan tangan maut, pendekar ini terkejut juga dan tahulah dia bahwa yang dihadapinya adalah orangorang
lihai dengan kepandaian silat tingkat tinggi yang berbahaya dan sama sekali tidak boleh dipandang
ringan. Pendekar sakti ini lalu mengeluarkan suara melengking nyaring dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap
dari depan empat orang pengeroyoknya, dan yang nampak hanya bayangannya saja berkelebatan dengan
kecepatan seperti kilat menyambar dan ke mana pun empat orang lawan itu menubruk dan menyerang,
selalu bayangan itu melejit dan meluncur dengan cepat, membuat semua serangan itu mengenai tempat
kosong belaka.
Empat orang datuk kaum sesat itu terheran-heran. Tahulah mereka bahwa lawan ini menggunakan Ilmu
Soan-hong-lui-kun, ilmu ajaib yang terkenal sekali dan hanya dimiliki oleh Pendekar Siluman ini.
Akan tetapi Suma Han tidak ingin mencari permusuhan, maka setelah berkelebatan mengelak ke sana-sini
mengandalkan Ilmu Soan-hong-lui-kun, tiba-tiba dia turun dan berdiri tegak sambil berseru, “Tahan, harap
kalian suka dengarkan bicaraku dulu!”
Pendekar Siluman itu berdiri tegak dengan satu kaki kanannya, tangan kiri memegangi tongkat bututnya
yang dipergunakan sebagai pengganti kaki kiri, sikapnya tenang sekali namun agung dan berwibawa.
Empat orang datuk kaum sesat itu penasaran dan masih belum hilang rasa kaget dan heran menyaksikan
gerakan lawan yang tidak lumrah manusia itu. Ji-ok Kui-bin Nionio sudah memasang kuda-kuda yang amat
aneh, yaitu kedua lengannya diangkat ke atas, kedua lengan itu menggigil dan bergerak-gerak, dari situ
memancar hawa dingin, dan dia seolah-olah dengan susah payah menahan kedua tangannya berikut jarijari
tangan yang seperti ‘hidup’ dan hendak bergerak sendiri itu.
Twa-ok Su Lo Ti juga memasang kuda-kuda yang aneh dan lucu, agak membongkok, tangan kanannya
membentuk cakar setan dan tangan kirinya membuka jari telunjuk dan jari tengah, seperti siap untuk
menotok atau mencapit! Su-ok Siauw-siang-cu si gundul pendek kelihatan makin pendek karena dia
memasang kuda-kuda berjongkok dan itulah kuda-kuda untuk ilmunya yang hebat, yaitu pukulan sakti
Katak Buduk! Yang paling aneh adalah si jangkung Ngo-ok Toat-beng Siansu yang memasang kuda-kuda
dengan kedua tangan di bawah dan kedua kaki di atas. Karena tubuhnya jangkung bukan main, dua
dunia-kangouw.blogspot.com
setengah meter panjangnya, maka ketika dia berdiri seperti itu, kedua kakinya menjadi seperti dua batang
kayu yang menjulang tinggi!
Melihat gaya aneh-aneh dari empat orang pengeroyoknya yang kini memasang kuda kuda mengepungnya
dengan membentuk setengah lingkaran, Suma Han tetap tenang saja.
“Aku tidak pernah dan tidak ingin bermusuhan dengan Su-wi, maka hendaknya Su-wi suka bersabar. Aku
hanya ingin bertanya tentang kedua orang puteraku itu. Kalau di antara Su-wi ada yang tahu, harap
memberi tahu, kalau tidak ada yang tahu, sudahlah, aku tidak akan mengganggu lebih lama lagi. Kita
bukan anak-anak kecil yang tanpa sebab dan tanpa alasan berkelahi seperti gila. Nah, tahukah Su-wi
tentang kedua orang puteraku itu ataukah tidak?”
Empat orang itu sama sekali tidak menjawab, hanya memandang dengan sinar mata penuh kebencian.
Mereka itu tidak mempedulikan pertanyaan Suma Han, melainkan sedang memutar otak mencari jalan
bagaimana baiknya menyerang dan menjatuhkan Majikan Pulau Es yang amat sakti ini.
Selagi Pendekar Super Sakti hendak mengulang pertanyaannya, tiba-tiba terdengar pekik aneh di angkasa
dan ternyata burung rajawali itu diserang oleh seekor burung garuda! Semua orang melirik ke atas, akan
tetapi pada saat itu terdengar bentakan orang yang suaranya parau dan kasar sekali.
“Huh, kalau bapaknya tak tahu malu, anaknya pun tidak tahu malu pula!” Semua orang menengok, dan
Suma Han segera mengenal kakek yang baru datang ini, kakek raksasa yang kelihatan menakutkan dan
buas. Kakek ini bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo, penghuni Pulau Neraka!
“Suma Han, engkau tidak bisa mendidik anakmu! Anakmu yang bernama Suma Kian Lee itu sungguh tidak
tahu malu, dan kalau engkau tidak dapat menghajarnya, biar aku yang akan menghajarnya sampai
mampus!”
Tadinya Suma Han tidak mempedulikan munculnya Hek-tiauw Lo-mo ini, akan tetapi mendengar ucapan
itu yang menyangkut nama seorang di antara dua puteranya yang sedang dicarinya, dia tertarik.
“Hek-tiauw Lo-mo, apakah maksudmu? Di mana adanya Kian Lee?”
“Kalau aku tahu di mana dia, sudah kudatangi dia dan kubunuh dia!” jawab ketua Pulau Neraka ini dengan
marah. Kakek raksasa ini sudah mendengar bahwa Hwee Li telah dirampas oleh Kian Lee dari tangan
Liong Bian Cu, maka dia marah dan memaki-maki begitu melihat Pendekar Super Sakti.
Suma Han menarik napas panjang. Dia mengenal orang ini dan tahu akan wataknya yang liar, kasar dan
keras, maka maki-makian terhadap puteranya itu tak dihiraukannya. “Hek-tiauw Lo-mo, setidaknya engkau
tentu dapat menceritakan urusan apa yang telah diperbuat oleh puteraku itu sehingga engkau marahmarah
seperti ini.”
“Apa yang diperbuatnya? Setan cilik itu telah merampas dan menculik puteriku! Hayo engkau yang menjadi
bapaknya harus bertanggung jawab! Kalau engkau tidak bisa memaksa puteramu itu untuk mengembalikan
puteriku, maka namamu akan cemar selama hidup, bahkan sampai ke semua anak cucumu akan
menanggung kecemaran namamu!”
Suma Han mengerutkan alisnya. Segala makian dan omongan keji yang keluar dari mulut kakek raksasa
itu tidak dia masukkan dalam hati karena memang dia sudah tahu orang macam apa adanya ketua Pulau
Neraka itu. Akan tetapi yang merisaukan hatinya adalah berita tentang Kian Lee yang menculik seorang
gadis itu! Dan dia merasa heran akan bersimpang-siurnya berita itu. Twa-ok belum lama ini menceritakan
kepadanya bahwa Kian Bu yang berjuluk Siluman Kecil katanya lagi gulang-gulung dengan puteri Hektiauw
Lo-mo, dan sekarang Hek-tiauw Lo-mo sendiri menuduh Kian Lee menculik puterinya! Bagaimana
ini?
Dia menoleh kepada Twa-ok dan dengan hati kesal pendekar itu berkata. “Twa-ok mengatakan kepadaku
bahwa Kian Bu bergaul erat dengan puterimu, Hek-tiauw Lo-mo, dan sekarang engkau mengatakan bahwa
Kian Lee menculik puterimu. Siapakah yang benar dalam memberikan berita ini? Ataukah keduanya
bohong?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak ada yang bohong! Kedua berita itu semua benar. Twa-ok juga menceritakan kenyataan bahwa
anakmu bernama Kian Bu itu mengejar-ngejar puteriku, juga anakmu yang bernama Kian Lee kini menculik
puteriku, Hwee Li yang manis. Memang kedua anakmu itu mata keranjang, gila perempuan!”
“Heh-heh-heh-ha-ha-ha! Kacang mana meninggalkan lanjaran? Buah apel tidak akan jatuh terlalu jauh dari
pohonnya. Anak tidak akan jauh berbeda dari ayahnya. Aku mendengar bahwa Pendekar Siluman juga
seorang laki-laki mata keranjang, bahkan isterinya dua disembunyikan di pulau kosong. Mana anakanaknya
tidak mata keranjang pula? Ha-ha-ha!” kata Su-ok Siauw-siang-cu yang memang pandai sekali
bicara. Kakek berkepala gundul ini tertawa-tawa sambil memegangi perutnya saking gelinya, bahkan dia
lalu terguling dan tertawa-tawa sambil bergulingan di atas tanah!
Suma Han mengerutkan alisnya. Sinar matanya menjadi tajam sekali dan betapa pun juga, dia mulai
marah. “Hemmm, kalian adalah manusia-manusia iblis, mana mungkin bisa dipercaya omongannya?”
Pada saat itu, terdengar teriakan nyaring dan Suma Han terkejut bukan main karena teriakan itu adalah
teriakan kesakitan dari burung rajawalinya! Cepat dia memandang dan dia menahan seruannya ketika
melihat betapa burung rajawali dan burung garuda yang tadi bertarung di angkasa itu keduanya kini roboh
ke bawah, meluncur cepat sekali, kemudian terbaring berdebuk di atas tanah dan keduanya sudah tidak
bergerak lagi. Dengan sekali melompat Suma Han menghampiri dan memeriksa dua bangkai burung itu.
Kiranya mereka itu luka-luka parah dan agaknya telah saling bunuh dalam pertarungan tadi, mati sampyuh
karena sama kuatnya dan sama tuanya pula. Suma Han berduka sekali, berjongkok dan mengelus kepala
bangkai rajawalinya.
Mendadak ada angin dahsyat menyambar dan empat orang dari Ngo-ok itu bersama Hek-tiauw Lo-mo
sudah menyerangnya selagi dia berjongkok untuk memeriksa bangkai burungnya.
Kini marahlah Suma Han. Dia melengking nyaring dan tubuhnya berkelebat cepat, tongkatnya bergerak,
bukan hanya untuk menangkis melainkan untuk balas menyerang pula. Hebat bukan main gerakan
pendekar ini dan begitu tongkatnya diputar, lima orang pengeroyoknya itu terpaksa mundur untuk mengatur
kedudukan lagi, kemudian mereka kembali menyerang dari pelbagai jurusan. Suma Han kini tidak banyak
mengalah, dia mengelak, menangkis dan balas menyerang.
Terjadilah perkelahian yang amat hebat di tempat sunyi itu. Biar pun mereka bertanding tanpa suara,
namun debu beterbangan dan pohon-pohon di sekitar tempat itu seperti dilanda angin besar. Tubuh Suma
Han sudah lenyap, yang nampak hanya bayangan tubuhnya berkelebatan seperti kilat menyambarnyambar,
hebat bukan main karena dari sambaran tubuhnya itu keluar hawa yang kadang-kadang panas
sekali dan kadang kadang juga dingin bukan main. Terpaksa lima orang lawannya itu harus mengerahkan
sinkang sekuat tenaga mereka karena kalau tidak, tentu tanpa terkena pukulan pun mereka itu akan tidak
kuat menghadapi gelombang hawa yang berubah-ubah itu.
Twa-ok yang memiliki tingkat kepandaian paling tinggi merasa menyesal sekali bahwa dalam kesempatan
menghadapi seorang lawan hebat seperti Pendekar Super Sakti ini, Sam-ok tidak berada di situ bersama
mereka. Biar pun dalam urutan tingkat Koksu Nepal itu hanya tingkat tiga, namun sesungguhnya Sam-ok
memiliki keistimewaan sendiri dan tidak kalah oleh Ji-ok, dan mereka berlima memang telah memiliki kerja
sama yang amat baik maka mereka terkenal sebagai Ngo-ok.
Belasan tahun yang lalu, ketika di pantai selatan diadakan pertandingan antara datuk, hanya karena
mereka berlima dapat bekerja sama sajalah maka Ngo-ok dapat menjagoi dan tidak ada lawan yang dapat
mengalahkan lima orang datuk ini, biar pun lawan yang lebih banyak jumlahnya sekali pun, seperti Capsha-
tin (Barisan Tiga Belas), Pat-kwa-tin (Barisan Delapan) dan lain lagi. Biar pun kini di sini terdapat Hektiauw
Lo-mo yang membuat jumlah mereka tetap lima, namun Hek-tiauw Lo-mo masih terlampau rendah
tingkatnya, dan tidak bisa bekerja sama dengan mereka sehingga bantuan kakek raksasa ini tidak terlalu
banyak artinya. Kalau ada Sam-ok, tentu kelima orang Ngo-ok itu dapat mainkan Ngo-heng-tin (Barisan
Lima Unsur) yang amat dahsyat itu.
Kekhawatiran Twa-ok memang sangat beralasan karena setelah lewat seratus jurus, mulailah lima orang
itu terdesak hebat oleh gerakan Pendekar Super Sakti, terutama sekali Hek-tiauw Lo-mo yang sudah
beberapa kali sampai terhuyung-huyung terdorong oleh hawa pukulan Majikan Pulau Es itu. Kerja sama
antara empat orang itu pun menjadi kacau-balau dan kalau tadinya mereka masih mampu saling bantu
membentuk pertahanan dan penyerangan bersama, kini rangkaian itu putus dan mereka kini bergerak
sendiri-sendiri. Tentu saja hal ini amat merugikan mereka karena mereka itu masing-masing sama sekali
dunia-kangouw.blogspot.com
tidak mampu menandingi kecepatan gerakan Pendekar Super Sakti yang mempergunakan Ilmu Soanhong-
lui-kun.
Mengerti bahwa jika dilanjutkan tentu pihaknya akan roboh semua, Twa-ok yang cerdik segera memberi
isyarat kepada teman-temannya untuk mundur, dan dengan sikap halus dan ramah dia menjura ke arah
Suma Han yang masih berdiri tegak karena melihat para pengeroyoknya mundur, dia pun menarik kembali
gerakannya dan berdiri menanti dengan penuh kewaspadaan.
“Sungguh mengagumkan kepandaian Pendekar Super Sakti, Tocu (majikan pulau) Pulau Es! Sekali ini
kami mengaku kalah, akan tetapi kami belum merasa kalah sama sekali karena seperti yang Tocu lihat,
kami kurang satu orang sehingga kerja sama kami kacau. Kalau memang Suma-taihiap seorang yang
gagah perkasa, kami tantang engkau untuk mengadakan pertemuan dan bertanding melawan kami di
gurun pasir, di daratan Chang-pai-san. Kalau kelima Ngo-ok sudah hadir, dan kami berlima sudah
menggeletak di depan kakimu, barulah kami akan mengakui keunggulan Pendekar Super Sakti dan kami
tidak akan berani lagi memperlihatkan muka di dunia kang-ouw!”
“Ha-ha-ha, Twako, mana dia berani? Sekali ini kebetulan saja Sam-ko tidak ada dan dia lolos dari lubang
jarum, mana dia berani mengulang lagi kalau kita lengkap?” tiba-tiba Su-ok berkata untuk memanaskan
hati Suma Han.
Tanpa dibikin panas pun tak mungkin Pendekar Super Sakti dapat menolak tantangan seperti itu, apa lagi
memang dia tahu bahwa kalau Ngo-ok lengkap lima orang, dia tidak akan dapat mengambil kemenangan
dengan mudah. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja bertemu dengan lawan tangguh merupakan hal
yang selalu menarik hati.
“Baiklah, Ngo-ok! Aku menerima tantangan kalian. Akan tetapi karena aku hendak mencari dua orang
puteraku, tantangan itu baru akan dapat kulayani dalam waktu tiga bulan lagi. Tepat tiga bulan sejak hari
ini, aku akan berada di daratan Chang-pai-san, di gurun pasir, menanti kedatangan kalian berlima!”
“Bagus! Janji seorang gagah lebih berharga dari pada nyawa. Jangan khawatir, Suma taihiap, bukan
engkau yang menanti, melainkan kami yang akan siap menantimu di sana!” Setelah berkata demikian,
Twa-ok lalu pergi bersama tiga orang saudaranya, dan Hek-tiauw Lo-mo juga ikut pergi karena tentu saja
dia merasa gentar sekali kalau ditinggal seorang diri saja berhadapan dengan Majikan Pulau Es itu.
“Hek-tiauw Lo-mo! Katakan dulu padaku di mana adanya Suma Kian Lee!” Tiba-tiba pendekar itu berseru
ketika melihat kakek raksasa itu pun ikut pergi.
“Persetan!” bentak Hek-tiauw Lo-mo. Tanpa mempedulikan pendekar itu, dia melangkah terus
meninggalkan tempat itu. Akan tetapi tiba-tiba ada angin menyambar dan tahu tahu pendekar kaki buntung
itu sudah berdiri di depannya!
“Tak boleh engkau pergi sebelum memberitahukan kepadaku!” bentak Suma Han.
“Keparat sombong!” Hek-tiauw Lo-mo tak dapat menahan kemarahannya sehingga dia lupa akan takut,
golok gergajinya yang menggiriskan hati itu sudah menyambar dan membacok ke arah dada Pendekar
Siluman dengan kecepatan kilat!
Suma Han tidak bergerak mengelak, hanya berkata, “Senjatamu tajam sekali, dapat membelah tubuhku!”
“Crakkk!”
Golok itu benar-benar mengenai tubuh Suma Han, dan membelah tubuh itu menjadi dua, akan tetapi apa
yang terjadi? Tidak ada darah muncrat, dan tubuh yang terbelah itu ‘pecah’ menjadi dua, kemudian
muncullah dua orang Pendekar Siluman yang berdiri berdampingan sambil tersenyum kepada Hek-tiauw
Lo-mo!
“Ehhh?” Sejenak Hek-tiauw Lo-mo tertegun, akan tetapi dia teringat bahwa lawannya adalah seorang ahli
sihir, maka dia kembali menggerakkan goloknya dengan dahsyat, membacok ke arah dua orang Suma Han
itu.
“Crakkk! Crakkk!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali goloknya membacok dua orang lawan itu sampai terbelah dua dan... dua kali dua sama sama
dengan empat, kini empat orang Pendekar Siluman berdiri dengan senyum-senyum di depannya! Sebelum
dia mampu bergerak, empat orang Pendekar Siluman ini sudah memeganginya dari kanan kiri dan dia
tidak mampu bergerak lagi!
“Hek-tiauw Lo-mo, katakan di mana adanya Suma Kian Lee!”
Meski dia seorang manusia iblis yang tidak pernah mengenal takut, sekali ini Hek-tiauw Lo-mo merasa
tidak berdaya dan dia pun tahu bahwa dia tidak dapat menandingi Pendekar Super Sakti, maka sambil
bersungut-sungut dia berkata, suaranya masih kasar dan marah, “Anakmu yang bermuka tebal itu telah
menculik anakku dari tunangan anakku, yaitu Liong Bian Cu. Entah ke mana dia pergi membawa anakku
itu, aku sendiri ingin sekali mengetahuinya!”
Kini Suma Han percaya bahwa manusia iblis ini tidak membohong, akan tetapi dia pun merasa yakin
bahwa tentu ada suatu hal yang memaksa puteranya berbuat seperti itu, melarikan seorang gadis dari
tangan Pangeran Liong Bian Cu.
“Sudahlah,” katanya dan dia mendorong tubuh Hek-tiauw Lo-mo. Kakek raksasa itu hampir terguling,
terhuyung lalu lari tanpa menoleh lagi.
Sejenak Suma Han memandang ke arah bangkai dua ekor burung raksasa yang mati sampyuh itu, lalu
menarik napas panjang dan berkata lirih, “Ahhh, kalau kalian tidak terjatuh dalam kekuasaan manusia,
tentu kalian masih menjadi burung-burung liar dan bebas hidup di dunia kalian sendiri yang lebih murni.
Cara kehidupan manusia hanya mendatangkan permusuhan.” Suma Han lalu menggali lubang dan
mengubur bangkai dua ekor burung besar itu.
Apa yang diucapkan oleh Pendekar Super Sakti itu memang merupakan kenyataan yang sukar dibantah.
Bagi semua makhluk lainnya kecuali manusia, hidup dan mati merupakan dua hal yang tidak terpisah dan
kematian bukan apa-apa lagi. Anehnya, binatang-binatang yang masih belum dijinakkan manusia, hidup
bebas dan tidak terkurung, seolah-olah tidak lagi mengenal kematian seperti yang kita mengenalnya
dengan perasaan was-was. Demikian banyaknya burung terbang di udara di sekeliling kita, namun amatlah
sukar bagi kita untuk menemukan bangkai burung menggeletak mati karena penyakit atau karena usia tua!
Bahkan sukar kita melihat bangkai semut, kecuali sering melihat binatang peliharaan mati karena sakit atau
karena tua, akan tetapi jarang melihat binatang yang bebas sakit atau mati tua. Semua mahluk tidak ada
yang mengkhawatirkan tentang kematian, kecuali manusia!
Mengapa kita takut mati? Mengapa manusia merasa ngeri kalau membayangkan kematian? Kematian
adalah hal yang belum pernah kita alami, belum kita ketahui, bagaimana mungkin dapat takut terhadap
kematian? Mungkin saja ada yang takut terhadap kematian karena selagi hidup kita mendengar dongengdongeng
tentang sesudah mati, tentang penderitaan sesudah mati, tentang hukuman, dan sebagainya,
namun rasa takut kita terhadap itu pun hanya tipis saja, buktinya kalau benar-benar orang takut akan
hukuman sesudah mati, tentu dia tidak akan berani melakukan hal-hal yang akan menyebabkan hukuman
itu! Kiranya bukan itu yang menyebabkan manusia takut menghadapi kematian.
Bukankah rasa takut terhadap kematian itu timbul karena kita ngeri membayangkan bahwa kita akan
lenyap? Semua yang kita alami ini akan berhenti dan berakhir? Bukankah itu yang menimbulkan rasa ngeri
terhadap kematian? Kita sudah melekat kepada kesenangan-kesenangan, atau hal-hal, benda-benda yang
kita anggap menjadi sumber kesenangan. Kita tidak rela meninggalkan semua itu, kita ingin melanjutkan
kesenangan-kesenangan itu sampai abadi. Dan kita tahu bahwa kita tidak abadi, bahwa kita akan mati!
Inilah yang menimbulkan rasa takut, mengingat bahwa kita takkan bisa apa-apa lagi, tidak akan dapat
mendekati benda-benda yang kita suka atau orang-orang yang kita sayang. Maka timbullah harapanharapan
agar sesudah mati kita masih terus melanjutkan suatu keadaan seperti ketika kita masih hidup ini,
yaitu kembali mengejar kesenangan, sungguh pun kesenangan itu sudah berubah lagi bentuknya,
disesuaikan dengan keadaan baru dari badan kita! Lagi-lagi mengejar hal-hal yang menyenangkan!
Padahal, justeru pengejaran terhadap hal-hal yang menyenangkan inilah SUMBER dari mana timbulnya
rasa takut!
Setelah selesai menguburkan bangkai dua ekor burung besar itu, Suma Han lalu melanjutkan
perjalanannya, kini dengan jalan kaki, untuk mencari dua orang puteranya. Di dalam hatinya terdapat suatu
keputusan bulat, yaitu dia akan melarang kedua orang puteranya itu untuk bergaul dengan seorang gadis
seperti puteri Hek-tiauw Lo-mo! Dan biar pun dia kini berjalan kaki, namun pendekar yang memiliki
kesaktian luar biasa ini dapat melakukan perjalanan dengan amat cepatnya. Wussssss…..
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Siang In berlari secepatnya untuk dapat menyusul bayangan Kian Bu yang dia lihat melarikan diri keluar
dari dalam benteng. Akan tetapi, betapa cepat pun dia lari, betapa hebat dia mengerahkan ginkang-nya
untuk dapat menyusul pemuda itu, namun usahanya sia-sia belaka karena Kian Bu lari dengan
menggunakan ilmunya yang istimewa, yaitu Jouw-sang-hui-teng, yang membuat dia mampu lari secepat
terbang! Maka sebentar saja dia sudah kehilangan bayangan pemuda itu dan mau rasanya Siang In
menangis ketika dia berhenti mengejar dengan napas terengah-engah itu.
Bertahun-tahun sudah dia melakukan perjalanan jauh sekali, menjelajahi semua tempat sebelum dia
sampai ke Bhutan dan bertemu dengan Syanti Dewi, dengan maksud mencari pemuda ini! Dan sekarang,
setelah belum lama ini dia baru tahu bahwa Siiuman Kecil adalah pemuda yang dicari-carinya, yaitu Suma
Kian Bu, setelah dia dapat bertemu muka dengan pemuda itu, bahkan sama-sama berjuang menghadapi
pemberontakan, kini pemuda itu sudah pergi lagi sebelum dia sempat bicara! Apakah dia harus merantau
lagi, mencari-cari seperti dulu, mulai lagi dengan usahanya sampai bulanan, tahunan untuk dapat bicara
dengan Kian Bu?
“Ahh, Kian Bu... begitu sukarkah untuk dapat bicara denganmu?” Dia termenung dan tenggelam dalam
lamunannya, membayangkan bagaimana dia harus bicara dengan pemuda itu kalau sampai pada suatu
waktu dia berkesempatan untuk bicara dengan pemuda itu.
Siang In menarik napas panjang dan melanjutkan perjalanannya, perlahan-lahan karena dia tidak tahu ke
mana harus mencari pemuda itu. Dara ini melalui jalan yang naik turun di pegunungan, sampai akhirnya
senja pun tibalah dan terpaksa dia menghentikan perjalanannya karena dia tiba di sebuah hutan kecil yang
sunyi. Hutan itu kecil, akan tetapi indah sekali karena pohon-pohon yang hidup di situ adalah pohon-pohon
yang mengeluarkan bunga, bahkan tanah di situ dipenuhi rumput hijau yang merupakan permadani
menutup seluruh permukaan, tanah di dalam hutan. Hutan ini liar, akan tetapi seperti taman yang
terpelihara baik saja dan Siang In mengambil keputusan untuk melewatkan malam di tempat ini.
Dia memilih tempat di bawah sebatang pohon besar, membersihkan tempat itu dengan daun-daun, lalu dia
duduk melepaskan lelah. Perutnya terasa lapar, akan tetapi dia tidak peduli karena hatinya kesal
memikirkan Kian Bu. Rasa lapar dan lelah, ditambah hati kesal membuat dia lesu dan sebentar saja dia
sudah tidur nyenyak. Dia duduk di atas rumput tebal, punggungnya bersandar batang pohon, kepalanya
miring ke kiri dan napasnya halus tanda bahwa dia sudah pulas benar.
Akan tetapi pulasnya seorang pendekar silat yang telah memiliki ilmu kepandaian silat tinggi berbeda
dengan pulasnya orang biasa. Biar pun dalam keadaan tidur pulas, namun panca inderanya yang sudah
terlatih itu seolah-olah selalu berada dalam keadaan siap siaga sehingga sedikit suara saja cukup untuk
membangunkannya, yaitu suara yang tidak wajar dan yang mencurigakan.
Demikian pula dengan Siang In. Menjelang tengah malam, dia sadar oleh suara kaki manusia yang
berjalan perlahan-lahan menginjak daun kering dan ranting dan begitu terbangun, dara ini sudah meloncat
berdiri, dan seluruh urat syaraf di tubuhnya siap menghadapi segala bahaya apa pun yang
mengancamnya.
Langkah-langkah kaki itu kadang-kadang berhenti, kadang-kadang bergerak lagi dan dari suara yang
ringan itu Siang In dapat menduga bahwa yang berjalan itu tentu seorang pandai, atau sedikitnya tentu
orang yang telah memiliki ilmu ginkang sehingga dapat meringankan tubuhnya ketika berjalan. Tiba-tiba
timbul harapannya karena siapa tahu kalau-kalau orang itu adalah pemuda yang dicari-carinya! Siapa lagi
kalau bukan Kian Bu yang berkeliaran di dalam hutan pada malam buta begini?
Kalau orang lain, apa lagi seorang gadis muda, yang mendengar suara-suara ini di dalam hutan yang
demikian gelap, sunyi dan menyeramkan, tentu akan merasa takut dan pertama-tama tentu akan
menyangka ada setan yang muncul untuk menggodanya. Namun Siang In adalah seorang dara yang sejak
kecil sudah hidup dalam keadaan penuh bahaya, menyendiri dan sudah banyak merantau di dunia kangouw,
seorang diri saja sehingga entah sudah berapa puluh atau ratus kali dia tidur sendirian di dalam
hutan, atau di kuil kosong, dalam goa, atau di mana saja!
Maka, mendengar suara ini, pertama-tama yang diduganya adalah seorang manusia lain, atau seorang
musuh. Belum pernah dia menyangka akan ada setan, karena dia yang sudah merantau bertahun-tahun itu
dunia-kangouw.blogspot.com
belum pernah bertemu dengan setan sehingga dia yakin benar bahwa setan-setan yang menjadi buah bibir
manusia itu hanya hidup dalam dunia khayal dan bayangan pikiran manusia saja.
Karena langkah-langkah kaki itu kini membelok, tidak menuju ke tempat itu, Siang In yang mengharapkan
akan bertemu dengan Kian Bu menjadi khawatir kehilangan orang itu, maka dia pun menyelinap dengan
hati-hati sekali, mengejar suara langkah kaki itu. Dan biar pun ginkang-nya sendiri juga sudah terlatih baik,
namun dalam malam gelap itu tidak urung beberapa kali dia menginjak ranting kering dan menimbulkan
sedikit suara.
Ketika dia sudah tiba dekat dengan suara langkah kaki itu, mulai nampaklah bayangan orang karena orang
di depan itu sudah tiba di tempat terbuka, di mana cahaya bintang bintang di langit dapat menembus dan
memberi sedikit cuaca yang remang-remang.
“Kresekkk...!” Kembali kaki Siang In menginjak ranting dan daun kering karena dia merasa tegang dan
gembira, mengira bahwa orang di depan itu tentulah Siluman Kecil atau Suma Kian Bu, orang yang
dicarinya.
Bayangan itu menoleh cepat sekali dan agaknya juga dapat melihat bayangan Siang In, karena bayangan
itu cepat membalikkan tubuhnya dan menghampiri sambil berseru nyaring, suaranya penuh harapan dan
kegembiraan, suara wanita!
“Suma-taihiap! Siluman Kecil... engkaukah itu...?”
Mendengar suara wanita ini, seketika buyarlah harapan Siang In. Sialan, pikirnya, mengomel di dalam hati,
bayangan itu ternyata adalah wanita, dan wanita itu pun, seperti dia, mencari Siluman Kecil! Akan tetapi dia
seperti mengenal suara itu, maka dia pun melangkah maju, membiarkan wajahnya tertimpa cahaya bintang
yang redup.
“Siapa engkau?” bentaknya.
Bayangan itu pun tercengang. “Ahhh... kiranya bukan...!”
Kini dua orang dara itu berdiri dekat saling berhadapan dan Siang In tentu saja mengenalnya. Wanita itu
bukan lain adalah Ang-siocia atau Kang Swi Hwa, murid dari Hek-sin Touw-ong yang sudah berjasa besar
dalam membantu Jenderal Kao Liang untuk melakukan gerakan di dalam benteng.
“Enci Swi Hwa, kiranya engkau!” Siang In berseru, menyembunyikan kekecewaannya.
“Ah, Adik Siang In! Malam-malam begini engkau berada di dalam hutan, mau apakah? Dengan siapa
engkau di sini?”
“Dan engkau pun di sini seorang diri! Dan menyangka aku Siluman Kecil!” balas Siang In. “Mau apakah
engkau mencari Siluman Kecil, Enci Swi Hwa?”
Siang In tidak dapat melihat wajah dara itu di dalam kegelapan malam, akan tetapi dia mendengar
kegugupan gadis itu ketika menjawab, “Aku... aku sudah kenal baik dengan Suma-taihiap... dan kusangka
dia yang masuk ke sini...“
“Ada keperluan apakah engkau mencari Suma Kian Bu? Atau tidak bolehkah aku mengetahuinya?”
“Ah, tidak... tidak apa-apa, hanya ada sedikit pesan... ehhh, dari suhu..., sudahlah, aku harus cepat kembali
kepada suhu, Adik Siang In. Selamat tinggal, aku mau pergi.”
Siang In hanya mengangguk tanpa menjawab. Hatinya penuh tanda tanya. Apa pula urusan Siluman Kecil
dengan dara ini? Dara yang cantik manis, lihai dan terutama cerdik bukan main, juga berjasa besar sekali.
Suaranya ketika memanggil ‘Suma taihiap’ tadi demikian penuh perasaan, penuh harapan dan mesra!
Hatinya menjadi panas. Begitu banyak dara yang agaknya jatuh hati kepada Siluman Kecil! Apa lagi Hwee
Li itu, juga luar biasa cantik jelitanya dan lihai pula. Aihhh, begitu banyakkah saingannya?
“Gila kau!” Dia mencela diri sendiri. Mengapa belum apa-apa dia sudah menganggap semua wanita yang
bersikap mesra kepada Siluman Kecil sebagai saingan? Padahal dia masih belum tahu apa yang
dunia-kangouw.blogspot.com
menyebabkan dia bertahun-tahun ini selalu terkenang kepada Kian Bu, yang mendorongnya untuk mencari
Kian Bu sampai jauh di Bhutan!
Setelah pertemuannya dengan Ang-siocia itu, yang mendatangkan rasa kecewa dan kekhawatiran, Siang
In tidak dapat tidur nyenyak lagi. Memang dia bisa pulas, akan tetapi tidurnya penuh mimpi yang membuat
dia kegelagapan karena dalam mimpi itu dia melihat Kian Bu bermesraan dengan Ang-siocia yang
membuatnya terbangun dengan napas sengal-sengal. Kemudian tidur lagi dan mimpi lagi, sekali ini dia
melihat Kian Bu bergandeng tangan dan bersenda gurau dengan Hwee Li. Kembali dia terbangun dan
memaki diri sendiri yang dianggapnya tolol, memikirkan hal yang bukan-bukan.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang In telah meninggalkan hutan itu untuk melanjutkan
perjalanannya, sungguh pun dia sendiri tidak tahu harus ke mana arah perjalanannya itu. Ada dua
persoalan yang mendorongnya untuk melakukan perjalanan. Pertama tentu saja, mencari Kian Bu untuk
menyampaikan perasaan hatinya yang sudah dipendamnya bertahun-tahun, untuk mencari keyakinan.
Kedua, mencari Syanti Dewi yang kabarnya dilarikan oleh Mohinta, panglima dari Bhutan itu. Seharusnya
dia mengejar ke barat karena sangat boleh jadi Puteri Bhutan itu dilarikan ke barat oleh Mohinta, akan
tetapi karena dia melihat Kian Bu berlari ke utara, maka dia lebih dulu mengejar pemuda itu yang ternyata
kemudian gagal dan sia-sia belaka.
Matahari telah mulai naik meninggi ketika Siang In tiba di lereng bukit dan selagi dia berdiri di atas bagian
yang agak tinggi untuk memandang ke seluruh penjuru dengan sinar mata mencari-cari, tiba-tiba muncul
seorang kakek bersorban, begitu saja muncul di depannya seperti iblis. Memang kakek ini semenjak tadi
bersembunyi dan mengintai gerak-gerik Siang In.
Siang In cepat memandang dengan penuh perhatian dan dia pun segera mengenal kakek ini. Pernah dia
bertemu, bahkan mengadu ilmu sihir melawan kakek ini di tempat pesta pernikahan Hwa-i-kongcu Tang
Hun yang ketika itu merayakan pernikahannya dengan Puteri Syanti Dewi! Kakek ini bersorban, kulitnya
coklat kehitaman, jenggotnya panjang sampai ke perut dan tangannya memegang sebatang tongkat kayu
cendana. Inilah Gitananda, pendeta bangsa Nepal, pembantu Koksu Nepal, seorang kakek yang memiliki
kekuatan sihir yang hebat!
Setelah mengenal kakek itu, Siang In menjadi marah. Bukan saja kakek ini pernah mengganggunya ketika
dia berusaha menolong Syanti Dewi yang dulu hendak dipaksa menjadi isteri Hwa-i-kongcu, akan tetapi
juga melihat bahwa kakek ini adalah pembantu Koksu Nepal yang mengadakan pemberontakan, dan
terutama sekali karena dia sudah mendengar bahwa yang menangkap Syanti Dewi dan membawanya ke
dalam benteng sebagai tawanan adalah kakek ini pula.
“Ah, kiranya kakek dukun lepus kaki tangan pemberontak!” Dia memaki.
Gitananda sendiri sejak tadi mengintai gerak-gerik Siang In. Dia sudah merasa heran dan curiga mengapa
ada seorang gadis muda cantik yang berjalan seorang diri di tempat itu, maka dia tadi bersembunyi dan
mengintai. Kini dia pun mengenal dara ini yang dia tahu mempunyai ilmu sihir yang cukup kuat, maka
tertawalah kakek pendeta Nepal itu. Inilah gadis yang menjadi seorang di antara musuh-musuh
majikannya, yang telah menggagalkan pemberontakan dan menghancurkan benteng. Juga, dara ini amat
cantik jelita, rasanya tidak kalah cantik oleh Puteri Bhutan, maka kalau dia dapat menangkapnya dan
menyerahkannya kepada pangeran junjungannya, tentu Pangeran Nepal akan girang sekali. Sebagai
seorang hamba yang amat setia, tentu saja dia sudah tahu akan kesukaan Paageran Nepal terhadap kaum
wanita.
Melihat pendeta itu tertawa dan matanya mengeluarkan sinar yang aneh dan kurang ajar, Siang In menjadi
marah sekali dan segera dia sudah menubruk ke depan dan menggerakkan senjatanya yang istimewa,
yaitu pedang payungnya! Payung itu tertutup dan kini ujungnya yang runcing dan mengkilap itu meluncur
ke arah leher Gitananda, mengeluarkan suara mendesing saking cepat gerakannya.
“Hemmm...!” Gitananda menggereng dengan kaget dan cepat menggerakkan tongkat kayu cendana untuk
menangkis, bukan menangkis payung, tetapi menghantam ke arah pergelangan tangan yang memegang
payung. Tangkisan yang sekaligus merupakan serangan balasan!
Akan tetapi Siang In memiliki gerakan yang luar biasa cepatnya. Serangan balasan lawan ini sama sekali
tidak membuat dia menjadi gugup, sebaliknya malah dia sudah menarik kembali pedang payungnya dan
secepat kilat pedang payung itu telah membalik dan menusuk ke arah lambung lawan!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Uuuhhh...!” Kembali Gitananda berseru kaget.
Cepat dia melempar tubuh ke belakang karena untuk menangkis sudah tidak sempat lagi. Kakek ini
terjengkang, bergulingan dan meloncat bangun dengan muka berubah pucat, lalu merah karena
penasaran. Dalam dua gebrakan saja hampir dia termakan lawan!
Marahlah Gitananda. Lawannya hanya seorang dara remaja yang masih amat muda, pantas menjadi cucu
muridnya, mustahil kalau dia sampai kalah oleh dara ini. Sambil mengeluarkan teriakan nyaring dia lalu
menyerang, menubruk ke depan dan memutar tongkatnya yang mengeluarkan bau harum kayu cendana.
Melihat ini, dara itu tersenyum. Bagus, pikirnya girang, makin marah dan ganas gerakan lawan ini makin
mudah baginya untuk mencapai kemenangan. Ilmu silat kakek ini biar pun cukup ganas, namun dasarnya
liar dan hanya mengandalkan tenaga kasar, maka dia merasa sanggup untuk mengatasinya. Yang
berbahaya adalah ilmu sihir kakek ini. Maka melihat serangan yang ganas itu, Siang In bersikap tenang
saja, memainkan pedang payungnya, menangkis dan mengelak sambil kadang-kadang memutar
payungnya sehingga terbuka dan setelah menolak semua serangan tongkat, tiba-tiba dia mengirim balasan
yang mengejutkan sehingga beberapa kali kakek itu berseru kaget dan meloncat ke belakang, ditertawakan
oleh Siang In.
“Hi-hik, kiranya sebegitu saja tongkatmu penggebuk anjing itu?” Dia mengejek dan pendeta itu menjadi
makin marah. Inilah yang dikehendaki oleh Siang In. Makin marah, makin kacaulah permainan silat, hal ini
sudah diketahui oleh semua ahli.
Kemarahan membuat kewaspadaan banyak berkurang dan gerakan silat tidak lagi mengandung
kecerdikan, melainkan semata-mata merupakan peluapan dari kemarahan dan kebencian dan karenanya
menjadi lengah. Demikian pula dengan Gitananda. Dia marah bukan hanya karena ejekan Siang In,
melainkan terutama sekali karena merasa penasaran bahwa dia, pembantu Koksu Nepal, bahkan orang
kepercayaan Pangeran Nepal, kini dipermainkan oleh seorang dara remaja!
Sesungguhnya, tingkat ilmu silat yang dikuasai oleh pendeta itu tidak kalah banyak dibandingkan dengan
ilmu silat Siang In. Memang dasar ilmu silat dara ini lebih murni dan kuat, akan tetapi dalam hal
pengalaman bertempur, kakek itu lebih menang, maka andai kata Gitananda tidak marah-marah dan
penasaran, dan mau bertanding dengan tenang, agaknya tidak mudah bagi Siang In untuk
mengalahkanya.
Akan tetapi kini, dalam keadaan marah-marah dan kurang waspada, ketika dara itu menggunakan ilmu
tendangnya Soan-hong-twi yang amat cepat, kedua kaki kecil itu berputaran dan bertubi-tubi menendang
diselingi dengan tusukan-tusukan pedang payungnya, Gitananda tidak mampu mempertahankan diri lagi
dan kurang cepat sehingga tendangan kaki kiri Siang In yang meluncur dari samping sempat mencium
lambungnya.
“Dukkk!”
Gitananda mengeluh dan roboh terguling, terus bergulingan sambil meringis kesakitan dan tongkatnya
menyambar-nyambar melindungi tubuhnya yang sedang bergulingan itu.
Setelah dapat meloncat bangkit dan berdiri lagi, wajah kakek itu menjadi merah penuh kemarahan. Dia
mengacungkan tongkat kayu cendana itu ke atas, dan kemudian dia mengeluarkan pekik melengking
dahsyat, seluruh tubuhnya menggigil dan mendadak Siang In ikut pula menggigil! Maka segera tahulah
dara ini bahwa lawannya sudah mengeluarkan ilmu sihir, maka dia pun lalu mengerahkan tenaganya,
memusatkan perhatiannya dan mengerahkan kekuatan sihir yang selama bertahun-tahun ini sudah
dipelajarinya dari gurunya. Terjadilah pertempuran yang tidak nampak oleh mata orang, akan tetapi terasa
sekali oleh kedua orang itu, getaran-getaran ajaib yang saling menyerang.
“Bocah sombong, lihatlah siapa aku! Aku adalah Gitananda, ahli sihir terkuat di Nepal! Engkau harus
tunduk kepadaku!” Kakek itu membentak, suaranya terdengar aneh dan lucu, seperti suara dari jauh,
seperti suara setan!
Namun dengan tenang dan berani. Siang In menentang pandang mata lawannya. Dia merasa betapa sinar
mata lawan itu seperti dua sinar tajam hendak menembus dan mencengkeram kesadarannya, tetapi dia
mengerahkan tenaga dan dia pun membentak, halus akan tetapi nyaring, “Tua bangka, engkau tidak tahu
siapa aku! Aku adalah murid See-thian Hoat-su, seorang ahli sihir kenamaan di seluruh dunia! Aku tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
akan tunduk kepadamu!” Akan tetapi Siang In terpaksa menghentikan kata-katanya karena makin panjang
kata-katanya, makin banyak dia membagi tenaga dan perhatian sehingga dia terhuyung!
“Ha-ha-ha...!” Kakek itu tertawa bergelak dan menambah kekuatannya, namun Siang In sudah cepat-cepat
menguasai keadaannya dan kini dara itu memusatkan perhatiannya menolak pengaruh ajaib yang keluar
dari pandang mata lawan itu. Tiba-tiba Gitananda mengeluarkan suara bentakan nyaring dan dia sudah
melontarkan tongkatnya ke atas. Seketika tongkat itu mengeluarkan suara auman seperti singa dan
memang tongkat itu dalam pandang mata Siang In berubah menjadi singa yang menubruknya dengan
dahsyat!
“Dukun lepus, siapa takut permainanmu ini?” bentaknya dan dia memapaki ‘singa’ itu dengan bacokan
pedang payungnya.
“Cusssss!”
Bayangan singa yang terkena pedang payung itu seketika berubah, menjadi seekor ular yang melibat
payung dan membetot dengan kerasnya. Siang In terkejut, merasa tertipu dan dia mempertahankan
payungnya. Terdengar Gitananda tertawa dan menggerakkan kedua tangannya ke arah tongkat yang
menjadi ‘ular’ dan melibat pedang payung itu.
Siang In tidak mau kalah, tidak mau menyerahkan pedang payungnya begitu saja untuk dirampas lawan,
maka sambil mengerahkan kekuatan sihirnya, dia pun menarik dengan pengerahan tenaga Iweekang.
“Krakkk! Krekkk!”
Pedang payung dan ‘ular’ itu patah-patah dan runtuh ke atas tanah, pedang payung rusak dan patah, juga
tongkat itu patah menjadi tiga potong! Dengan terkejut dan marah sekali Siang In membuang gagang
payungnya. Gitananda tertawa bergelak, karena biar pun dia sendiri kehilangan tongkatnya, namun dia
girang melihat senjata istimewa dari dara itu rusak, karena senjata itulah yang membuat dia tadi repot
menghadapi Siang In.
Suara ketawa ini dan hawa yang mengandung kekuatan sihir yang ajaib itulah yang terdengar sampai jauh
dan menarik perhatian seorang pemuda yang sedang berjalan di dalam hutan tak jauh dari tempat itu.
Siapakah pemuda ini? Dia bukan lain adalah Suma Kian Bu!
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Kian Bu lari meninggalkan Phang Cui Lan dan Kim Sim Nikouw.
Dia merasa amat kasihan kepada Cui Lan. Dia tahu betul sejak dia menolong dara itu dari dalam
dusunnya, ketika dusun Cian-li-cung dirampok oleh gerombolan yang mengakibatkan musnahnya keluarga
gadis itu, bahwa Cui Lan jatuh cinta kepadanya. Dia dapat mengetahui hal ini dari pandang mata yang
mesra dan lembut, dari suara dalam kata-katanya, dan dari senyumnya. Dara itu bersedia menyerahkan
jiwa raganya kepadanya.
Dan dia juga tahu bahwa dia tidak boleh merusak hati dara ini, dan bahwa dia tidak membalas cintanya
maka dia bersikap keras, sengaja untuk membuka mata Cui Lan bahwa dia tidak mungkin dapat membalas
cintanya. Kalau dia melayani Cui Lan, kalau dia memperlihatkan sikap manis, akan makin ‘parah’ penyakit
dara itu. Memang dia pun tahu bahwa Cui Lan adalah seorang dara yang selain cantik jelita dan lemah
lembut, juga halus perasaannya dan memiliki jiwa yang gagah berani. Kalau dia menyambut cinta kasih Cui
Lan, itu berarti bahwa dia mendapatkan seorang gadis pilihan yang sukar dicari keduanya.
Akan tetapi, tentu dia juga akhirnya akan merana karena dia tidak tertarik kepada Cui Lan, tidak
mencintanya. Satu-satunya wanita yang pernah dicintanya adalah Puteri Syanti Dewi, dan akhir-akhir ini
dia tertarik kepada seorang dara yang cantik jelita dan galak, seorang gadis yang lincah bukan main, yaitu
Siang In! Akan tetapi, begitu dia teringat kepada Siang In, hatinya berdebar bingung. Dara itu kelihatan
bergaul dengan amat eratnya bersama Kian Lee, bahkan agaknya saling mencinta!
Hal inilah yang membingungkan Kian Bu. Dia tahu betul bahwa Hwee Li mencinta Kian Lee, dara yang
amat jujur dan polos itu terang-terangan menyatakan cintanya kepada Kian Lee. Akan tetapi sekarang
kelihatannya Kian Lee saling jatuh hati dengan Siang In. Padahal dia sendiri tertarik oleh Siang In.
Bingunglah Kian Bu, akan tetapi bagaimana pun juga, dia tidak hendak merintangi kebahagiaan kakaknya.
Dia pun tahu bahwa kakaknya itu pernah patah hati, tidak bahagia cintanya terhadap Ceng Ceng. Maka,
kini dia tidak ingin melihat kakaknya gagal lagi dalam bercinta, karena dia sendiri sudah mengalami betapa
pahit dan sengsaranya mengandung penderitaan rindu karena cinta gagal!
dunia-kangouw.blogspot.com
Selagi pemuda itu berjalan sambil melamun karena dia tidak dapat menemukan jejak kakaknya, dia
mendengar suara ketawa itu. Hatinya sedang risau karena ke mana pun mencari, dia kehilangan jejak Kian
Lee yang sudah jauh lebih dulu pergi meninggalkan benteng. Maka ketika mendengar suara ketawa aneh
itu, dia tertarik dan mengharapkan kalau-kalau suara itu ada hubungannya dengan kakaknya! Maka dia
cepat menghampiri ke arah suara yang kedengarannya dari luar hutan.
Setelah dekat, dia terkejut bukan main karena suara ketawa itu mengandung getaran aneh yang membuat
jantungnya berdebar-debar, dan juga setelah berada di luar hutan, dia merasakan adanya pengaruh
mukjijat, seolah-olah keadaan di sekeliling tempat itu terdapat dua tenaga sakti yang saling bertentangan,
tenaga sihir yang saling dorong! Cepat dia menyelinap dan berindap-indap mendekati, dan dapat
dibayangkan betapa kaget hatinya ketika melihat seorang dara yang baru saja dibayang-bayangkan, yaitu
Siang In, berdiri berhadapan dengan seorang kakek bersorban, dan kedua orang ini agaknya sedang
mengadu ilmu sihir!
Memang demikianlah keadaannya. Setelah melihat betapa senjata pedang payung dara itu yang amat
ditakutinya patah, Gitananda lalu mengerahkan kekuatan sihirnya. Dia berteriak keras dan kedua
tangannya didorongkan ke depan, kedua lengannya yang panjang berbulu itu lurus ke depan, ke arah
Siang In, dan jari-jari tangannya bergerak gerak seperti cakar-cakar setan yang hendak mencengkeram.
Dan biar pun jarak antara mereka cukup jauh, namun Siang In merasa betapa kedua tangan itu seolaholah
berada di depan mukanya. Maka dia pun lalu melonjorkan kedua lengannya untuk menolak.
Kekuatan sihir sepenuhnya terpancar dari dua pasang mata dan dua pasang tangan itu, membuat suasana
di sekeliling itu tergetar hebat. Bahkan Kian Bu sendiri, seorang pendekar sakti yang memiliki sinkang amat
kuatnya, merasakan getaran ini sehingga diam-diam dia pun mengerahkan sinkang-nya untuk bertahan
agar jangan sampai dia ‘terseret’ oleh gelombang getaran yang amat kuat itu. Diam-diam dia memandang
kagum kepada Siang In, kagum dan juga khawatir karena dia maklum betapa lihainya kakek Nepal itu.
Adu kekuatan sihir itu dilanjutkan dan makin lama Siang In merasa makin lemah. Kedua kakinya sudah
gemetar dan tahulah dia bahwa kakek itu lebih kuat dari padanya dan kalau dilanjutkan tentu dia akan
celaka. Maka, tiba-tiba saja dia merendahkan tubuhnya dan tangan kirinya mencengkeram tanah lalu
disambitkan ke depan. Sinar hitam dari pasir dan tanah menyambar ke arah kakek itu.
“Ihhhhh!” Gitananda berteriak kaget.
Biar pun yang menyambar itu hanya tanah dan pasir, akan tetapi karena disambitkan dengan pengerahan
tenaga sinkang, dapat menembus kulit daging! Dia tak menyangka bahwa lawannya dapat bergerak
secepat itu dan karena dia tadi mencurahkan seluruh tenaga dan kekuatan untuk merobohkan dara yang
sudah mulai lemah itu, maka kini dia gelagapan! Namun, kakek ini memang lihai sekali. Dia tidak mau
menurunkan kedua tangannya yang mendorong, karena dengan terus menekan dia mengharapkan
kemenangan. Kini dia menggerakkan pinggulnya sedemikian rupa sehingga ujung jubahnya yang panjang
berkibar ke depan tubuhnya, menyambut tanah dan pasir itu sehingga tidak mengenai tubuhnya, melainkan
runtuh oleh sambaran ujung jubahnya.
Akan tetapi Siang In juga bukan seorang dara yang bodoh. Dia maklum bahwa kalau hanya mengadu
kekuatan sihir, dia akan kalah, maka dia harus mendesak lawan dengan pertandingan yang mengandalkan
ilmu silat di mana dia merasa akan dapat mengatasi lawannya. Oleh karena itu, dia hanya menggunakan
setengah bagian tenaganya untuk bertahan dalam pertandingan tenaga sihir, dan kini dia sudah
menyambar potongan tongkat kayu cendana milik kakek itu dan melontarkannya ke arah lawan.
“Haihhhhhh!” Kakek itu membentak dan menuding ke arah tongkatnya dan tiba-tiba tongkat itu berubah
menjadi burung dan terbang ke atas lalu meluncur ke arah Siang In untuk menyerang dara ini.
Melihat betapa tongkat pendek itu berubah menjadi burung yang kini mematuk ke arah matanya, Siang In
terkejut sekali, menggerakkan tangan kiri dan menyampok sambil membentak, “Kembali menjadi tongkat!”
Dan burung itu tersampok jatuh, berubah menjadi tongkat lagi.
“Heh-heh-heh, engkau tak akan dapat lari dariku, Nona. Engkau harus ikut bersamaku dan menjadi
tawananku untuk kuhadapkan kepada pangeran...!” kata kakek itu sambil menyeringai.
Tiba-tiba dia memekik dahsyat dan terjadilah hal yang amat aneh. Kian Bu yang tidak mampu pula
mengelak dari pengaruh sihir itu, terbelalak memandang betapa jenggot kakek itu yang panjangnya sampai
dunia-kangouw.blogspot.com
ke perut, kini jenggot itu bergerak dan tumbuh makin lama makin panjang, melingkar-lingkar dan merayap
seperti ular-ular yang memenuhi tempat itu! Kian Bu terbelalak dan menahan napas memandang
penglihatan yang luar biasa ini.
Siang In juga kelihatan sangat terkejut. Dia sudah mencoba untuk mengerahkan tenaga sihirnya, untuk
menghentikan penglihatan itu atau untuk menyadarkan matanya bahwa yang dilihatnya itu hanyalah
khayalannya sendiri. Akan tetapi percuma saja, dia tetap melihat jenggot itu merayap-rayap dan tumbuh
semakin panjang. Kemana pun dia melangkah, tentu dia disambut gumpalan-gumpalan jenggot yang
melingkar-lingkar seperti benang ruwet, rambut-rambut jenggot yang hidup dan menjijikkan, mengerikan.
Siang In berkemak-kemik, membentak ke arah gumpalan jenggot, akan tetapi sia-sia. Dia lalu bertepuk
tangan tiga kali, tepukan tangannya menimbulkan suara meledak dan nampak asap mengepul, dia
mengerahkan seluruh tenaga sakti dari ilmu sihirnya, namun kesemuanya itu juga tidak dapat
membuyarkan sihir Gitananda yang membuat jenggotnya semakin panjang dan hidup memenuhi seluruh
tempat itu. Tempat seluas sepuluh meter persegi itu penuh oleh rambut-rambut bergumpal-gumpal dan
yang hidup itu, makin lama makin mulur dan ketat memenuhi tempat itu seperti jaring yang siap
menangkap mangsa.
“Hiaaaaakkk!” Gitananda berteriak mengejutkan.
“Syeettttt... Syeeettttt...!” Jenggot itu kini bersatu dan seperti seekor ular besar meluncur ke arah Siang In!
Dara ini terkejut sekali, berusaha mengelak akan tetapi ujung jenggot masih menyapu kakinya dan dia
terguling! Kini jenggot itu seperti seekor ular merayap hendak menggulungnya dan Siang In sudah merasa
ngeri bukan main. Akan tetapi tiba-tiba ada angin keras dan kuat membawa dan menerbangkan tubuh
Siang In yang melayang dan gulungan jenggot itu tidak mengenai tubuh Siang In yang sudah turun agak
jauh ke sebelah kanan. Jenggot itu terus menyambar dan melibat sebatang pohon yang tumbuh di sebelah
kiri Siang In.
“Brolllll!!” Pohon itu terlibat dan tertarik jebol oleh jenggot panjang yang kuat luar biasa itu.
Siang In maklum bahwa tadi dia telah dibantu orang pandai karena kalau tidak, mana mungkin dia tadi
dapat membebaskan diri dari jenggotnya itu? Kini, melihat Gitananda sibuk melepaskan jenggotnya dari
batang pohon yang tumbang, dia cepat meloncat ke depan dan menyerang kakek itu dengan pukulanpukulan
kedua tangannya. Tentu saja Gitananda menjadi sibuk sekali. Cepat dia menarik jenggotnya
menjadi pendek kembali dan melempar tubuh ke belakang, bergulingan dan setelah dia terbebas dari
desakan Siang In, tiba-tiba dia melompat dan kini jenggotnya menyambar seperti tongkat!
“Ihhh!” Siang In terkejut dan cepat mengelak, merasa jijik karena ketika jenggot itu lewat di dekat mukanya,
dia mencium bau yang apek dan memuakkan.
Akan tetapi jenggot itu sudah datang kembali, maka terpaksa Siang In memperlihatkan kelincahannya dan
balas menyerang dengan pukulan dan tendangan. Kembali kedua orang ini bertanding dengan seru. Akan
tetapi sekali ini Siang In tak mampu mendesak seperti tadi ketika dia masih memegang pedang payungnya.
Kini dia bertangan kosong dan kakek itu dapat mempergunakan jenggotnya yang panjang sebagai senjata!
Dan hebatnya, jenggot itu dapat mulur mengkeret sehingga benar-benar merupakan senjata yang amat
berbahaya bagi Siang In.
Akan tetapi, beberapa kali ketika nyaris dara itu terkena totokan atau libatan jenggot ada saja kekuatan
tersembunyi yang memukul kembali ujung jenggot sehingga Siang In terlolos dari bahaya. Siang In menjadi
penasaran. Dia belum kalah dan dia belum membutuhkan bantuan siapa pun juga. Dia harus dapat
mengalahkan kakek Nepal ini, akan tetapi bagaimana akalnya? Sukar menyerang kakek ini kalau
jenggotnya masih merupakan senjata yang demikian ampuhnya.
Tiba-tiba Siang In mendapatkan akal yang amat berani. Dia mulai menjauhi kakek itu dan tiada hentinya
mengejek, “Jenggotmu seperti jenggot kambing!”
Kakek itu menyerangnya dan kembali Siang In meloncat ke belakang.
“Jangan lari kau, bocah setan!” Gitananda membentak nyaring setelah beberapa kali serangannya hanya
dielakkan sambil main mundur saja oleh dara itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jenggotmu bau apek, bau tahi kambing, aku tidak tahan!” Siang In kembali mengejek.
Kembali kakek itu mengejar dan menyerang dengan jenggotnya, akan tetapi karena memang gerakannya
kalah lincah dan kalah ringan oleh dara itu, semua serangannya itu gagal. Akhirnya dia mengeluarkan
seruan memekik nyaring seperti tadi dan tiba-tiba jenggotnya telah mulur lagi! Jenggot itu mulur panjang
dan digunakan untuk menyerang, dan karena jenggot itu panjang sekali, sukar bagi Siang In untuk
mengelak lagi. Akan tetapi memang ini yang dikehendaki oleh dara itu, yaitu memancing agar kakek itu
memanjangkan lagi jenggotnya.
Ketika melihat jenggot itu menyambar dari kiri ke kanan, Siang In sengaja bersikap lambat, akan tetapi
ketika ujung jenggot hendak melibat pinggangnya, dia meloncat ke atas dan ketika ujung jenggot lewat di
bawah kakinya, dia mencengkeram dan berhasil menjambak ujung jenggot panjang itu. Tanpa membuang
waktu lagi, dia mengerahkan ginkang-nya dan berlari secepatnya membawa ujung jenggot itu, lari
mengitari kakek itu.
“Heee...!” Gitananda berteriak.
Akan tetapi dara itu tak peduli, terus saja berlari cepat sekali sehingga jenggot panjang itu mulai melibat
tubuh Gitananda sendiri! Kakek itu meronta dan berusaha melepaskan rambut jenggotnya, akan tetapi
Siang In berlari makin cepat, malah dia berloncatan dan terus melibatkan jenggot panjang itu ke leher
Gitananda, terus membelenggu kedua lengannya sampai kakek itu tidak mampu berkutik. Siang In masih
berlari terus, mengerahkan tenaga sinkang-nya untuk menarik sehingga jenggot itu mencekik leher dan
ketika dara ini akhirnya melepaskan ujung jenggot, tubuh kakek itu roboh dengan kaku dan lidahnya terjulur
keluar, matanya mendelik dan napasnya putus!
“Ihhh!” Melihat keadaan lawannya itu, Siang In bergidik ngeri dan dia lalu melarikan diri, lari neninggalkan
tempat yang menyeramkan itu. Sampai terengah-engah dia lari dan akhirnya dia menjatuhkan diri di atas
rumput tebal dalam hutan, dadanya bergelombang dan wajah serta lehernya berpeluh.
Sementara itu, Kian Bu tidak pernah berhenti membayangi Siang In. Setelah melihat pertandingan antara
dua orang ahli sihir itu, Kian Bu seperti orang terkena sihir! Tersihir oleh setiap gerak-gerik dara itu. Dia
mengintai dan semua tingkah dan gerak-gerik Siang In mempesona, membuatnya kagum, membuatnya
senang dan kini melihat dara itu menjatuhkan diri di atas rumput, mengusap keringat dan tiba-tiba kedua
mata dara itu basah dan Siang In mulai terisak menangis, Kian Bu makin terpesona! Jantung Kian Bu
berdebar tegang dan dia bingung melihat gadis itu menangis tanpa sebab. Mengapa menangis? Bukankah
gadis itu keluar sebagai pemenang dalam pertempuran yang seru tadi? Apakah gadis itu terluka? Tidak,
dia tidak melihat gadis itu terkena pukulan.
Memang Siang In bukan menangis karena terluka. Dara ini menangis karena hatinya mengkal dan kesal.
Pedang payungnya rusak, dia kehilangan benda yang disayangnya, dan memikirkan betapa dia belum juga
bertemu dengan orang yang dicarinya, sebaliknya malah bertemu dengan orang-orang lain seperti Angsiocia
dan Gitananda yang hampir saja mencelakainya, dia merasa sedih dan jengkel. Maka menangislah
gadis ini, menangis sepuas hatinya untuk mencurahkan semua kekecewaan dan kesedihan hatinya yang
bertumpuk selama ini.
Makin dikenang makin sedih dia akan nasib dirinya yang terlunta-lunta seorang diri. Apakah yang
menyebabkan dia selalu gagal dan sial? Mencari-cari Kian Bu bertahun tahun belum juga dapat
berkesempatan menyampaikan isi hatinya, setelah bertemu bahkan berpisah lagi. Bertemu dengan Syanti
Dewi yang ditolongnya juga kemudian gagal melindungi puteri itu. Kemudian melihat Kian Bu demikian
mesra dengan Hwee Li, dan bahkan dicari-cari oleh Ang-siocia.
Ahh, apakah sebaiknya dia kembali saja ke Goa Tengkorak di pantai Po-hai, bertapa bersama gurunya
yang sudah tua, dan membiarkan dirinya menjadi pertapa sampai tua di dalam goa itu? Teringat akan hal
ini, kembali Siang In menangis tersedu-sedu. Dara ini biasanya lincah jenaka, murah senyum dan gembira,
dan wataknya itulah yang seolah-olah menutupi semua duka dan kecewa sampai kini sudah bertumpuk
dan membanjir keluar melalui air matanya di tempat sunyi itu.
Tiba-tiba terdengar langkah halus disusul suara seseorang yang halus pula, “Nona, mengapa Nona begini
berduka?”
Siang In terperanjat seperti mendengar suara setan. Dia sampai terlonjak dari atas rumput di mana dia
duduk, cepat memutar tubuh dan memandang dengan muka pucat dan mata basah. Dari balik air matanya
dunia-kangouw.blogspot.com
dia melihat wajah tampan dikurung rambut putih keperakan itu. Dia mengusap air matanya untuk dapat
melihat lebih jelas. Benar! Siluman Kecil yang berdiri di depannya, kini berjongkok dan memandang
dengan sinar mata penuh iba kepadanya. Kembali Siang In menggosok kedua matanya seolah-olah dia
tidak percaya akan pandang matanya sendiri. Jangan-jangan dia masih berada dalam pengaruh sihir kakek
Nepal tadi, pikirnya dan setelah membuka mata kembali, ternyata memang Suma Kian Bu yang berada di
depannya itu!
Melihat wajah yang demikian cantik jelita dekat di depannya, wajah yang agak pucat, rambut indah hitam
awut-awutan, air mata masih menuruni kedua pipinya, Kian Bu terpesona dan hatinya tergerak, penuh
keharuan. “Nona... mengapa engkau menangis di sini seorang diri? Apakah kau terluka dalam pertempuran
tadi? Mengapa kau amat berduka?”
Suara pemuda itu demikian penuh perhatian dan penuh iba sehingga Siang In merasa hatinya tertusuk dan
kini dia makin terisak! Dia menutupi muka dengan kedua tangan, pundaknya bergerak-gerak dan air mata
mengalir di antara celah-celah jari tangannya. Suara halus yang menghibur itu malah membuatnya terharu
dan makin berduka! Bertahun-tahun dia mencari pemuda ini, setelah dia hampir putus asa, tiba-tiba saja
pemuda ini muncul di depannya, seperti dalam mimpi, dan menghibur dia seperti menghibur seorang anak
kecil yang cengeng sedang menangis!
Melihat Siang In menangis makin sedih, Kian Bu menjadi bingung. “Kenapakah, Nona? Siapa yang
menyakiti hatimu...?” tanyanya.
Akan tetapi Siang In tidak mampu menjawab, tersedu-sedu dan ketika dara itu bingung mencari
saputangan di kedua sakunya tanpa hasil, tiba-tiba Kian Bu menyodorkan sapu tangannya, saputangan
sutera berwarna biru muda. Tanpa berkata apa-apa Kian Bu menyodorkan saputangannya dan tanpa
berkata apa-apa pula Siang In menerimanya dengan pundak masih terguncang oleh tangis, kemudian dia
mempergunakan sapu tangan itu untuk mengusap air mata dan membersihkan hidungnya! Kian Bu
mengikuti semua gerakan ini dengan hati tertarik dan rasa iba makin menebal.
Kini Siang In sudah dapat menguasai dirinya, tangisnya terhenti dan air matanya tidak mengucur lagi,
sungguh pun mata dan terutama ujung hidungnya masih merah! Tanpa bicara pula dia menyerahkan
kembali saputangan biru yang kini menjadi basah itu. Kian Bu menerimanya dan tanpa berkata apa-apa
juga lalu menyimpan saputangan basah itu ke dalam saku bajunya.
“Jadi engkaukah kiranya yang menolongku tadi?” Tiba-tiba Siang In bertanya, biar pun suaranya masih
agak serak-serak basah karena habis menangis, namun dia benar benar telah sembuh dari rasa mengkal
dan kesalnya, kini memandang kepada Kian Bu dengan sepasang mata yang membuat Kian Bu tidak
berani menentang terlalu lama!
Untuk menjawab pertanyaan itu, dia mengangguk. “Mengapa engkau menangis sedih seperti itu tadi?”
Akan tetapi Siang In seperti tidak mendengar pertanyaan itu karena sebaliknya dari menjawab pertanyaan
itu, dia malah bertanya, pertanyaan tiba-tiba yang membuat Kian Bu memandang heran, “Sungguh tak
pernah kusangka bahwa Siluman Kecil adalah Suma Kian Bu! Apakah engkau Siluman Kecil?”
Kian Bu memandang heran, akan tetapi dia mengangguk.
“Dan engkau Suma Kian Bu?”
Makin heranlah Kian Bu. Dara ini benar-benar aneh bukan main! Begini muda, paling banyak sembilan
belas tahun usianya, begini cantik jelita, akan tetapi memiliki kekuatan sihir yang aneh! Juga wataknya
begini luar biasa, baru saja menangis begitu sedih, sekarang sudah tidak kelihatan berduka lagi biar pun
mata dan hidungnya masih merah. Hidung yang kecil mancung dan tipis itu kemerahan, menambah
cantiknya!
“Heiii, bukankah engkau Suma Kian Bu? Apakah bukan? Kenapa diam saja?”
Kian Bu terkejut dan gagap. “Eh... ohhh... benar, Nona. Aku bernama Suma Kian Bu. Kenapa Nona
bertanya lagi? Apakah kakakku tidak menceritakan kepadamu?”
Siang In hanya mengangguk dan semenjak tadi sepasang matanya tidak pernah meninggalkan wajah Kian
Bu, memandang penuh selidik. Sudah bertahun-tahun dia ingin bertemu dengan orang ini, ingin bicara,
dunia-kangouw.blogspot.com
mencurahkan semua isi hatinya, dan kini setelah berhadapan, timbul rasa takut yang amat besar di dalam
hatinya, takut kepada diri sendiri! Bagaimana kalau dugaannya selama ini benar, bahwa... bahwa dia jatuh
cinta kepada pendekar ini? Berubahnya keadaan Kian Bu, rambutnya yang menjadi putih semua, tidak
mengubah perasaan hatinya, bahkan timbul semacam rasa iba yang besar, yang mengharukan hati Siang
In. Akan tetapi, dia teringat akan hubungan Kian Bu dengan Hwee Li, kemesraan dan keakraban mereka,
maka jantungnya berdebar penuh ketegangan.
“Mengapa Nona tadi menangis di sini setelah berhasil mengalahkan pendeta Nepal itu, jika aku boleh
mengetahui?” kembali Kian Bu bertanya, agak mendesak karena hatinya masih merasa penasaran.
“Tadi aku menangis karena duka dan jengkel,” jawab Siang In tak acuh.
“Ahhh! Kusangka engkau sakit...,“ berkata Kian Bu, membayangkan keinginan hatinya bahwa dia ingin tahu
mengapa nona itu berduka dan jengkel.
Siang In bangkit berdiri, mengebutkan pakaiannya yang agak kotor karena pertempuran tadi, lalu otomatis
kedua tangannya diangkat ke atas untuk membereskan rambutnya yang awut-awutan. Gerakan ini adalah
ciri khas wanita, gerakan yang manis sekali karena ketika kedua lengan diangkat itu, tubuh yang ramping
dan padat itu makin menonjol dan kedua lengan itu membentuk lengkung-lengkung indah, jari-jari tangan
yang lentik itu pun seperti menari-nari di antara rambut yang hitam halus dan panjang.
Kembali Kian Bu memandang terpesona. Biasanya, tidak pernah dia memperhatikan wanita, akan tetapi
entah mengapa, kini dia memperhatikan setiap gerakan dara ini, seolah-olah setiap gerakan yang betapa
kecil pun amat berarti baginya.
“Akan tetapi sekarang aku tidak berduka atau jengkel lagi, dan aku sama sekali tidak sakit. Lihat, aku
sudah tidak menangis lagi!” Dan dara itu tersenyum manis.
Melihat bibir itu merekah kemerahan, memperlihatkan kilatan gigi berderet rapi yang nampak sekilas, Kian
Bu melongo dan tanpa disengaja atau disadarinya lagi pemuda ini menelan ludahnya.
Bukan main dara ini, bukan main anehnya dan manisnya! Baru saja menangis demikian sedihnya, kini
sudah tersenyum secerah itu. Seperti hari hujan lebat tiba-tiba menjadi terang dan matahari bersinar amat
cerahnya.
“Ehhh, Kian Bu, di mana itu temanmu yang cantik?” tiba-tiba saja dara itu bertanya, sampai pemuda itu
terkejut dibuatnya.
“Teman cantik? Siapa?” kata Kian Bu.
“Aih, masih pura-pura lagi! Siapa pula kalau bukan Hwee Li yang cantik itu? Bukankah dia itu sahabat
baikmu dan bukankah engkau sudah mengejarnya ketika mendengar dia dilarikan oleh Pangeran Liong
Bian Cu? Apakah engkau tidak berhasil menolongnya?”
Kian Bu menarik napas panjang, wajahnya membayangkan kekhawatiran. Itulah yang menjadi pengganjal
hatinya sejak dia mencari kakaknya. Dia tahu bahwa Kian Lee mengejar Pangeran Nepal untuk menolong
Hwee Li, akan tetapi sampai kini dia tidak berhasil menemukan mereka dan dia tidak tahu apa yang terjadi
dengan Hwee Li yang dilarikan Pangeran Nepal. Melihat pemuda itu menarik napas panjang dan wajahnya
muram, Siang In tersenyum mengejek untuk menutupi perasaan hatinya yang panas oleh cemburu!
“Engkau tentu mencinta sekali kepada Hwee Li, bukan? Dan engkau khawatir akan keselamatannya?”
Mendengar ini, Kian Bu lalu teringat betapa dara ini amat membenci Hwee Li, atau sebaliknya Hwee Li
membenci dara ini karena cemburu, maka mendengar ucapan itu dia cepat menjawab, “Harap Nona
jangan salah mengerti. Hwee Li adalah seorang sahabat baikku, tentu saja aku merasa khawatir
mendengar dia dilarikan Pangeran Nepal. Akan tetapi tidak ada perasaan saling cinta antara kami seperti
yang Nona sangka itu.”
Jawaban ini benar-benar menyenangkan hati Siang In dan senyumnya makin cerah, lalu dia berkata,
“Ahhh, kalau begitu aku telah berdosa terhadap Hwee Li! Kiranya dia seorang yang setia terhadap
cintanya. Kian Bu, aku sudah salah sangka sehingga aku merasa kasihan kepada Kian Lee dan membenci
Hwee Li.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mengapa begitu, Nona?”
“Ih, engkau ini menjemukan! Nona-nonaan segala macam, seperti kita ini belum pernah berkenalan saja!”
Kian Bu menahan senyumnya. Memang dara ini luar biasa sekali, tiada keduanya di dunia ini. Begitu lucu!
Padahal, memang dia belum pernah berkenalan dengan dara ini, mengapa sikap dara ini demikian polos
terbuka? Akan tetapi, dia tidak mau membikin hati gadis itu tidak senang, maka katanya lagi, “Mengapa
tadinya engkau merasa kasihan kepada Lee-ko dan membenci... Enci Hwee Li?”
“Karena kusangka engkau dan Hwee Li sudah saling jatuh cinta!”
Berdebar rasa jantung Kian Bu. “Andai kata benar begitu, mengapa?” Dia mendesak, menatap wajah yang
ayu itu penuh perhatian dan penuh selidik.
Siang In juga memandang. Dua pasang mata bertemu, akan tetapi Siang In kemudian membuang muka.
“Mengapa? Tentu saja aku kasihan kepada Kian Lee karena cintanya terhadap Hwee Li menjadi sia-sia,
dan aku membenci Hwee Li karena berarti dia gadis tidak setia. Akan tetapi syukur, engkau dan dia tidak
saling mencinta!”
Ucapan ini membuat jantung Kian Bu makin berdebar girang. “Kalau begitu... kalau begitu... kami, aku dan
Hwee Li juga salah sangka! Kami mengira bahwa antara engkau dan Lee-ko...“
“Ya, ada apa? Bicara mengapa gagap-gugup begitu? Beginikah Pendekar Siluman Kecil yang terkenal itu?
Bicara saja takut!”
“Kami berdua tadinya mengira bahwa kalian sudah saling cinta. Ahhh, kiranya tidak, sungguh gembira
hatiku!” Kian Bu berkata, wajahnya berseri-seri.
Kini Siang In yang memandang penuh selidik, demikian tajam sinar kedua matanya yang jeli dan
mempunyai kekuatan sihir itu sehingga Kian Bu teringat akan sinar mata ayahnya.
“Kenapa begitu? Kenapa kau gembira? Kenapa hatimu gembira mendengar bahwa aku dan Kian Lee tidak
saling mencinta?”
Kian Bu terkejut. Tentu saja dia tidak berani mengatakan bahwa dia girang karena dengan demikian berarti
bahwa hati Siang In masih ‘bebas’, maka dia cepat berkata, “Sama dengan alasanmu tadi. Aku gembira
karena hubungan cinta kasih antara Kian Lee koko dan Enci Hwee Li tidak menjadi putus.”
“Hemmm, kukira...” Siang In menundukkan mukanya, tangannya memetik ujung rumput dan jari-jari
tangannya mempermainkan rumput itu.
“Kau kira apa, Nona?”
Sepasang mata itu mengerling tajam penuh tuntutan, Kian Bu terperanjat karena ingat bahwa kembali dia
memanggil nona. Akan tetapi dia merasa sungkan untuk menyebut nama gadis itu.
“Ehhh, kau kira apa?” Kian Bu mengulang, tanpa menyebut nama apa pun di belakang pertanyaan itu.
Siang In tersenyum. “Tidak apa-apa...”
Keduanya terdiam. Siang In masih menunduk dan kini melangkah lambat ke arah sebatang pohon, lalu
bersandar ke pohon itu, matanya dipejamkan. Kian Bu juga melangkah mengikutinya, akan tetapi pemuda
ini tidak tahu lagi harus berkata apa. Berada di dekat dara ini dia merasa canggung, bingung, akan tetapi
juga gembira dan senang sekali. Seolah-olah dia baru mengenal dara ini, akan tetapi juga hatinya was was
karena dia takut kalau-kalau tidak menyenangkan hati dara yang lucu dan aneh ini.
Hening keadaan di situ. Kian Bu memandang wajah yang bersandar batang pohon dengan mata terpejam.
Wajah yang cantik molek. Kulit pipinya halus kemerahan, hidungnya kecil lucu, dan dia seolah-olah dapat
merasakan napas hangat yang keluar dari hidung dan bibir yang setengah terbuka itu. Tiba-tiba Siang In
membuka matanya dan Kian Bu yang sedang bengong memandang wajahnya itu gelagapan, cepat
menundukkan mukanya, pura-pura menendang-nendang batu kecil dengan sepatunya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia merasa heran mengapa dia menjadi begini kikuk di depan dara ini, padahal dia bukan anak kecil lagi.
Sama sekali bukan. Bahkan dia sudah pernah berhubungan erat dengan wanita, dalam arti sedalamdalamnya,
yaitu ketika untuk beberapa lamanya dia tenggelam dalam peluk rayu Siluman Kucing. Dia
sudah cukup dewasa, akan tetapi mengapa berhadapan dengan dara ini dia merasa seperti seorang anak
kecil?
“Tak kusangka sama sekali bahwa Siluman Kecil adalah Suma Kian Bu,” terdengar dara itu berkata dan
Kian Bu cepat mengangkat muka memandang. “Kalau aku tahu, tentu sudah dulu-dulu aku dapat
menjumpaimu.”
“Sekarang kita sudah saling jumpa,” kata Kian Bu, mencoba untuk tersenyum dan membesarkan hatinya
mengusir rasa canggung.
Dara itu rnenarik napas panjang. “Kian Bu, tahukah engkau betapa sudah bertahun tahun lamanya aku
menginginkan pertemuan ini? Betapa aku mencari-carimu sampai bertahun-tahun, sampai aku pergi ke
Bhutan dan menjelajahi seluruh negeri, mencari-carimu?”
Tentu saja hati Kian Bu merasa heran bukan main mendengar pengakuan ini. Biar pun dia amat tertarik
kepada dara ini, begitu bertemu, yaitu ketika dara ini berkelahi dengan Hwee Li secara mati-matian, dia
sudah tertarik sekali kepada dara ini. Memang dia tidak pernah dapat melupakan Teng Siang In, dara yang
ketika beberapa tahun yang lalu sudah nampak cantik jelita dan lincah jenaka, apa lagi karena dia pernah
mencium dara ini. Mana mungkin dia dapat melupakan Siang In?
Akan tetapi, dia harus mengaku terus terang bahwa selama ini dia tidak pernah lagi memikirkan Siang In,
dan peristiwa yang lalu itu dianggapnya sudah lewat begitu saja, sampai pada saat dia bertemu kembali
dengan Siang In ketika Siang In bertanding melawan Hwee Li. Barulah perhatiannya tertarik dan
pengalaman-pengalaman yang lalu bersama Siang In teringat olehnya, membuat dia merasa canggung
sekali. Akan tetapi kini mendengar betapa dara itu mencarinya selama bertahun-tahun jauh ke Bhutan, dia
benar-benar merasa terkejut dan heran sekali.
“Engkau? Mencariku selama bertahun-tahun? Sungguh nengherankan sekali! Siang In, ada urusan apakah
engkau mencari-cariku?” Setelah bercakap-cakap agak lama, mulai berkurang rasa canggung yang
menghimpit hati Kian Bu, sungguh pun dia masih seperti terpesona oleh segala gerak-gerik dara ini.
Dara ini adalah seorang kenalan lama, akan tetapi seperti seorang sahabat baru saja bagi Kian Bu. Dulu, di
waktu dia berjumpa dan berkenalan dengan Siang In, dara ini masih merupakan seorang dara remaja,
akan tetapi sekarang Siang In telah dewasa, sungguh pun masih belum kehilangan kelincahannya,
kegalakannya dan keanehan wataknya. Dulu, dara ini suka sekali menggoda orang, mengejek dan
menirukan gerak gerik orang.
Mendengar pertanyaan Kian Bu itu tiba-tiba saja sepasang mata yang indah itu mengeluarkan sinar marah.
“Engkau sudah lupa ataukah engkau pura-pura lupa akan perbuatanmu yang biadab beberapa tahun yang
lalu, yang kau lakukan kepadaku?”
Seketika wajah Kian Bu rnenjadi merah sekali dan kembali dia menjadi gelisah, gugup dan canggung!
Jantungnya berdebar tegang dan tentu saja dia tahu persis apa yang dimaksudkan oleh dara itu! Ah,
celaka sekali. Kiranya ciumannya dahulu itu menggores perasaan dara ini dan agaknya hal itu dijadikan
dendam yang hebat oleh Siang In!
Dengan muka masih merah sekali dan pandang mata hampir tidak berani bertemu dengan sinar mata dara
itu, Kian Bu berkata, kepalanya menunduk, suaranya terdengar penuh penyesalan besar, “Aihhh... itukah
maksudmu? Memang... aku menyesal sekali, aku mohon maaf sebesarnya atas kelancangan dan
kekurang ajaranku itu, Siang In, akan tetapi, hal itu telah terjadi bertahun-tahun yang lalu, pada saat kita
masih... ehhh, sama-sama belum dewasa benar. Aku sungguh-sungguh menyesal dan harap kau suka
memafkanku...“
“Maafkan, setelah selama bertahun-tahun aku tak pernah dapat melupakan penghinaan itu! Maafkan begitu
saja? Aih, terlalu enak di situ dan celaka di sini kalau begitu! Susah payah aku mencarimu bertahun-tahun,
setelah sekarang dapat saling jumpa, hanya cukup dengan maaf-memaafkan begitu saja?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kian Bu menarik napas panjang, hatinya merasa menyesal dan berduka sekali. Siapa duga, kenakalannya
di waktu remaja itu agaknya kini akan mempunyai akibat yang hebat pula! Dara yang menarik hatinya ini,
yang benar-benar membangkitkan rasa kagum dan suka di hatinya, ternyata mengandung dendam hebat
kepadanya dan bahkan tidak bersedia memaafkan! Memang hidupnya selalu dirundung malang dan
agaknya memang dia harus selalu menderita dalam asmara.
Pertama-tama dia merasakan hati kiamat untuk pertama kalinya ketika cinta kasihnya terhadap Puteri
Syanti Dewi tidak terbalas karena Puteri Bhutan itu mencinta Tek Hoat. Kemudian dia terbenam ke dalam
pelukan seorang wanita seperti Mauw Siauw Mo-li, Siluman Kucing, yang sama sekali hanya mendasarkan
hubungan antara mereka karena nafsu birahi semata sehingga dia terseret ke dalam gelombang nafsu
birahi yang menghanyutkan. Hal itu pun mendatangkan penyesalan yang amat hebat di dalam hatinya.
Setelah itu, dia harus pula melihat kehancuran hati seorang dara yang amat baik, yaitu Phang Cui Lan,
karena dia tidak dapat memaksa diri membalas cinta dara yang bijaksana itu. Dan masih ada lagi Angsiocia
yang dia lihat ada gejala jatuh cinta kepadanya pula, dan juga dia tidak mungkin dapat membalas
cinta murid Raja Maling itu.
Kini, setelah dia tertarik secara hebat kepada Siang In, dara yang di waktu remajanya memang pernah
menarik hatinya tetapi karena ketika itu Siang In masih merupakan seorang dara remaja, maka hal itu tidak
berkesan mendalam di hatinya, setelah kini dia merasa suka sekali, mungkin jatuh cinta kepada Siang In,
dara ini malah menyimpan dendam sakit hati kepadanya karena kenakalannya dahulu, yaitu mencium dara
ini, ciuman yang sesungguhnya ketika itu tidak berkesan amat mendalam di hatinya, akan tetapi yang
sekarang, setelah timbul rasa kagumnya terhadap Siang In, agaknya menjadi hidup kembali dan
mendatangkan kesan yang amat mendalam.
“Aku sudah salah... aku sudah berdosa besar, terserah kepadamu, hendak memberi hukuman apa
kepadaku kalau engkau tidak dapat memaafkan aku, Siang In,” katanya dengan nada sedih dan muka
tunduk sehingga dia tidak melihat betapa sinar mata yang tadinya keras dari dara itu kini melembut,
bahkan nampak dara itu seperti terharu.
“Selama bertahun-tahun ini aku mencarimu untuk... untuk membunuhmu!”
Tersentak Kian Bu mengangkat mukanya dan terbelalak. “Membunuhku...? Hanya untuk kesalahan men...
eh, menciummu itu...? Siang In, engkau agak terlalu keras! Memang aku bersalah dan aku menyesal, aku
minta maaf, tetapi engkau hendak membunuhku? Ini sih... keterlaluan...“ Wajah pemuda itu berubah agak
pucat karena dia merasa penasaran.
“Memang tadinya aku ingin membunuhmu, sungguh pun aku tahu bahwa tidak mungkin aku akan dapat
melakukannya. Kepandaianmu jauh lebih tinggi dari pada semua ilmu yang kumiliki, bahkan guruku sendiri
sekali pun takkan mampu menandingimu. Biar pun begitu, aku tetap akan berusaha membunuhmu karena
apa yang kau lakukan itu hanya dapat dicuci dengan melayangnya nyawamu atau nyawaku.”
Kian Bu terkejut bukan main, wajahnya menjadi pucat. “Ahhh, Siang In, mengapa pikiranmu demikian
sempit? Urusan yang telah lalu itu terjadi ketika kita masih remaja dan aku... aku masih belum dewasa.
Mengapa kau jadikan soal yang demikian hebat? Tidak bisakah engkau memaafkan aku?”
Dara itu menyandarkan punggungnya di atas batang pohon dan sejenak dia menatap wajah Kian Bu penuh
perhatian, lalu dia menarik napas. “Memang aku sudah meragu, dan agaknya hanya ada dua pilihan
bagiku, membunuhmu atau memaafkanmu. Akan tetapi untuk itu, aku harus yakin dulu dan inilah yang
membuat aku selama bertahun tahun ini ragu-ragu dan selama hidupku akan selalu meragu kalau tidak
ada keyakinan sekarang juga selagi kita bertemu. Hee, Kian Bu! Benar-benarkah engkau menyesali
perbuatanmu dahulu itu? Benarkah engkau menyesal dan minta maaf bahwa engkau dahulu pernah
menciumku?”
Timbul harapan di dalam hati Kian Bu. Tadinya dia sudah khawatir setengah mati. Dara seaneh Siang In ini
mungkin saja melakukan hal-hal yang luar biasa, misalnya, kalau tidak berhasil membunuhnya mungkin
saja akan membunuh diri untuk ‘mencuci aib’ dan kalau sampai terjadi demikian, tentu selama hidupnya dia
akan merana dan merasa berdosa. Dan dia... dia malah mulai tertarik dan mencinta dara ini! Maka,
mendengar pertanyaan itu, tanpa ragu-ragu lagi Kian Bu lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Siang In!
“Siang In, demi Langit dan Bumi, aku sungguh merasa menyesal dengan perbuatanku beberapa tahun
yang lalu itu, dan aku mohon maaf kepadamu atas perbuatanku itu,” katanya dengan wajah sungguhdunia-
kangouw.blogspot.com
sungguh karena memang dia rela minta maaf seperti itu dari pada harus melihat dara itu mati di tangannya
atau mati membunuh diri!
Dia menundukkan mukanya sehingga tidak melihat betapa perbuatannya itu membuat wajah yang cantik
itu sejenak berseri dan matanya bercahaya! Akan tetapi hanya sebentar saja karena sambil bersandar
kepada batang pohon itu, Siang In berkata dengan suara seperti orang yang sama sekali tidak tertarik atau
bahkan kesal melihat sikap Kian Bu yang berlutut kepadanya mohon maaf itu!
“Tidak begitu mudah untuk memaafkan dan menghabiskan persoalan itu begitu saja! Aku harus yakin dulu
dan untuk membuktikan penyesalanmu, engkau harus dapat memenuhi permintaanku.” Suaranya
terdengar keras dan tenang, akan tetapi suara itu agak gemetar, tanda bahwa di balik ketenangannya, dara
itu hendak menyembunyikan perasaan tegangnya.
Mendengar ini, Kian Bu meloncat berdiri, timbul harapannya. “Baik, aku akan memenuhi semua
permintaanmu, Siang In! Katakanlah, apa yang harus kulakukan?” Kian Bu maklum sepenuhnya bahwa
kesanggupan seperti itu merupakan kebodohan, akan tetapi kesanggupannya itu tidaklah ngawur, karena
berdasarkan keyakinan hatinya bahwa seorang gadis gagah perkasa seperti Siang In, yang sudah
bersahabat erat dengan kakaknya, tentulah merupakan seorang gadis yang berjiwa luhur dan tidak akan
minta dia melakukan suatu kejahatan.
Dengan sikap ditenang-tenangkan, namun matanya sayu dan suaranya gemetar, juga tangan yang
menunjuk ke mukanya sendiri itu menggigil, berkatalah Siang In, “Kian Bu... kau... kau harus mencium
bibirku seperti dulu!”
Wajah Kian Bu menjadi pucat dan matanya memandang terbelalak kepada wajah dara itu, tangan kanan
mengusap dagu penuh keheranan. Hampir dia tidak percaya akan apa yang didengarnya keluar dari mulut
gadis itu. Minta dicium bibirnya? Bagaimana pula ini? Sedangkan ciumannya beberapa tahun yang lalu itu
saja membuat dara ini menjadi sakit hati dan menaruh dendam sampai bertahun-tahun mencarinya untuk
membunuhnya. Bagaimana sekarang dara itu minta dicium lagi? Gilakah dara cantik jelita ini? Atau...
jangan-jangan dara ini telah tersesat sedemikian jauhnya, menjadi wanita cabul semacam Mauw Siauw
Moli? Celaka!
Akan tetapi, dara itu kelihatan wajar saja, sepasang matanya bahkan kelihatan betapa dara itu menahan
kengerian, senyumnya hilang dan tubuhnya menggigil, tanda bahwa apa yang dimintanya merupakan hal
yang sama sekali asing baginya dan dia merasa ngeri dan takut. Akan tetapi, kalau dara ini tidak gila dan
bukan seorang wanita yang cabul, mengapa mengajukan permintaan seperti itu?
“Siang In...“ Kian Bu mendengar suaranya sendiri dengan perasaan heran karena suaranya itu menjadi
bisik-bisik dan agak parau penuh perasaan tegang, “... apa artinya ini...?”
Suara Siang In sekarang juga berbisik-bisik dan parau, jelas suara itu menggetar penuh ketegangan, suara
yang dipaksakan keluar karena sesungguhnya, saking tegangnya dara itu sudah merasa amat sukar untuk
bicara, “Hanya... ini sajalah... yang dapat menentukan... apakah aku akan membunuhmu atau
memaafkanmu...“
Setelah berkata demikian, sambil menyandarkan tubuhnya di batang pohon itu, Siang In memejamkan
matanya, agaknya tidak kuat lagi dia menatap wajah Kian Bu dengan sinar mata penuh selidik, penuh
pertanyaan, dan penuh keheranan itu.
Kian Bu mengerutkan alisnya, otaknya bekerja cepat. Akhirnya dia tak dapat berbuat lain kecuali menuruti
permintaan gila itu. Dia masih belum tahu mengapa dara ini mendasarkan pilihannya kepada ciuman! Akan
tetapi karena dia sudah menyatakan sanggup untuk melakukan apa saja yang diminta Siang In, maka tidak
mungkin dia menarik kembali janjinya.
Dia sudah matang memperoleh ‘pendidikan’ Siluman Kucing sehingga mencium bukan merupakan hal
yang terlalu aneh baginya. Akan tetapi, sekali ini, Kian Bu menggigil, tubuhnya terasa panas dingin dan
kepalanya terasa puyeng! Dia merasa seperti terkena sihir yang amat kuat, maka cepat dia mengerahkan
tenaga sinkang-nya untuk mengusir perasaan itu. Namun, dia tidak tersihir, tenaga sinkang-nya tidak
berhasil mengusir sesuatu karena memang ketegangannya itu sudah sewajarnya, datang dari dalam.
Amat berat rasanya melaksanakan tugas ini! Dia tertarik kepada Siang In, bahkan dia merasa jatuh cinta.
Tentu saja, untuk mencium dara ini merupakan hal yang amat menyenangkan, jangankan satu kali, biar
dunia-kangouw.blogspot.com
disuruh menciumnya seribu kali pun dia sanggup. Akan tetapi bukan dalam keadaan seperti ini! Bukan
ciuman untuk percobaan atau untuk ujian belaka! Dan dia masih belum juga mengerti mengapa dara yang
mendendam sakit hati karena pernah diciumnya lagi untuk meyakinkan hatinya apakah dia akan
membunuh atau memaafkan! Sungguh tak masuk akal dan gila! Namun, tidak ada pilihan lain bagi Kian
Bu.
Kian Bu melangkah maju, lalu diraihnya kedua pundak dara itu, ditariknya mendekat. Merasa betapa kedua
pundaknya disentuh, Siang In makin keras memejamkan matanya, kedua kakinya menggigil dan napasnya
terengah-engah, jelas bahwa dara itu merasa tegang bukan main. Wajahnya ditengadahkan, mulutnya
agak terbuka karena napasnya tersengal-sengal.
Melihat wajah yang demikian cantiknya, mulut yang demikian menggairahkan, dan kedua pundak yang
lembut di bawah telapak tangannya, jantung Kian Bu berdebar. Biar apa pun yang akan terjadi, biar
akibatnya dia akan dibunuh atau dimaafkan, dia harus mencurahkan segenap perasaannya sekarang juga.
Gadis ini minta dicium, baik, dia akan menciumnya dengan sepenuh perasaan hatinya, sepenuh
kemesraannya, akan dicurahkan rasa birahi dan kasih sayangnya dalam ciuman itu!
Didekapnya tubuh itu, dirangkulnya sampai tubuh bagian depan mereka bertemu ketat, kemudian Kian Bu
mendekatkan mukanya dan perlahan-lahan diciumnya sepasang bibir yang setengah terbuka itu,
diciumnya dengan penuh perasaan dan sepenuh kemesraan yang terkandung di dalam hatinya terhadap
Siang In. Seketika naik sedu sedan dari dalam dada Siang In dan kerongkongannya mengeluarkan suara
keluhan, akan tetapi kedua tangan dara itu tiba-tiba merangkul leher Kian Bu dan bibirnya membalas
ciuman itu. Keduanya seperti tenggelam bersama ke dalam ciuman itu, merasa seolah-olah hati mereka
saling bertemu, bertaut dan bersatu.
“Siang In...!” Seluruh lahir batin Kian Bu mengeluh dan memanggil nama ini, ciumannya makin mesra, akan
tetapi tiba-tiba pemuda itu terkejut sekali karena kalau tadinya Siang In merangkulnya dan membalas
ciumannya penuh gairah, kini tiba-tiba dara itu menjadi lemas dalam pelukannya. Ketika dia melepaskan
ciumannya untuk memandang wajah itu, terdengar dari mulut dara itu keluhan lirih dan wajahnya pucat
sekali, matanya terpejam dan tubuhnya lunglai. Melihat bahwa dara itu telah pingsan, Kian Bu terkejut
setengah mati!
“Siang In...!” Kini mulutnya yang memanggil nama ini untuk membangunkannya, akan tetapi dara itu tetap
pingsan, seperti orang tidur pulas, dan detak jantungnya lemah sekali.
Kian Bu cepat memeriksa pukulan nadi dan detakan jantung, dan dia menjadi gelisah ketika melihat bahwa
keadaan tubuh dara itu lemah sekali. Cepat dipondongnya tubuh itu, lalu direbahkannya di atas rumput
hijau dan dengan penuh kekhawatiran, dia lalu menempelkan telapak tangannya di atas perut, dekat ulu
hati dan disalurkannya tenaga yang hangat untuk membantu bekerjanya perjalanan darah dan pernapasan
gadis itu yang amat lemah!
“Siang In... ahhh, Siang In..., maafkan aku... maafkan aku...!” Kian Bu meratap penuh kekhawatiran dan
sekarang dia yakin benar bahwa dia jatuh cinta kepada gadis ini, bukan hanya baru sekarang, bahkan
mungkin semenjak mereka bertemu beberapa tahun dahulu, ketika mereka masih sama remaja, dalam
sebuah hutan. (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali).
Dia sungguh merasa bingung dan heran terhadap dara ini, apa lagi ketika dia melihat bahwa Siang In
memegang sebuah pisau yang amat tajam runcing, pisau kecil yang tadi tentu dipegangnya dan kalau dara
itu menghendaki, ketika mereka berpelukan dan berciuman tadi, sekali tusuk saja tentu akan tewaslah Kian
Bu! Betapa pun saktinya dia, dalam keadaan berpelukan dan berciuman tadi, dia tentu menjadi lengah dan
sama sekali tidak akan mampu menghindarkan tusukan pisau itu. Akan tetapi, dara ini tidak menyerangnya
dan bahkan pingsan! Ini saja sudah menjadi bukti bagi Kian Bu bahwa dara itu tidak hendak
membunuhnya, berarti mengampuninya!
“Siang In... sadarlah..., kau maafkan aku...,“ bisiknya dan sekali ini, terdorong oleh rasa haru dan
sayangnya, dia mendekatkan mukanya dan dengan sepenuh kasih hatinya, dia mencium dahi dara itu yang
agak basah oleh keringat.
“Kian Bu...“ Suara itu lemah menggetar dan Kian Bu girang bukan main, melihat dara itu telah membuka
matanya dan memandang kepadanya dengan sinar mata yang aneh, sepasang mata indah itu seperti
terkatup, atau setengah terpejam, dan dua sinar mata yang aneh memancar dari balik bulu mata hitam
lentik yang setengah menyembunyikan mata itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siang In... kau... kau tidak apa-apa, bukan? Kau... kau maafkan aku, bukan?”
Siang In tersenyum. Bukan main manisnya, biar pun wajahnya masih pucat dan bibirnya agak gemetar,
seperti seekor kelinci yang baru saja terlepas dari ancaman harimau.
“Kini tak perlu lagi engkau minta maaf, Kian Bu. Lihat, aku tidak akan membunuhmu dan aku memaafkan
sudah, aku malah bersyukur akan hal yang telah terjadi itu.” Dan sekali menggerakkan tangannya, pisau
tajam runcing itu melesat dan lenyap ke dalam semak semak.
“Tringgg...!” Pisau itu mencelat, lalu membalik dan meluncur ke arah Siang In dengan kecepatan kilat.
“Ahhh!” Kian Bu menggerakkan tangannya dan sekali mengibaskan tangan, pisau kecil itu melesat ke
bawah masuk ke dalam tanah sampai tidak lagi nampak gagangnya. Pemuda ini cepat membalikkan tubuh
memandang ke arah semak-semak, dan Siang In juga sudah meloncat bangun dan memandang ke arah
semak-semak itu dengan mata terbelalak.
Dari dalam semak-semak itu keluarlah seorang wanita. Siang In dan Kian Bu terlonjak kaget melihat wanita
cantik ini, cantik pesolek yang berdiri tersenyum mengejek kepada mereka. Siang In samar-samar masih
mengenal wanita ini, dan bagi Kian Bu, perjumpaannya dengan wanita ini benar-benar amat mengejutkan
hatinya. Bagaimana dia tidak akan terkejut ketika mengenal wanita ini yang bukan lain adalah Siluman
Kucing?
Mauw Siauw Mo-li yang bernama Lauw Hong Kui itu benar-benar luar biasa sekali. Usianya sekarang tentu
sudah mendekati empat puluh tahun, akan tetapi dia masih kelihatan muda dan cantik jelita. Pakaiannya
rapi dan indah, rambutnya digelung halus dan dihias intan permata, mukanya yang cantik itu dibedaki dan
yang perlu warna merah dipoles gincu. Tubuhnya masih ramping padat, dan terutama sekali gayanya
ketika dia melangkah maju, lenggangnya sungguh memikat seperti lenggang seekor harimau kelaparan!
Sepasang matanya seperti hendak menelan Kian Bu bulat-bulat, penuh dengan rayuan.
Seperti telah diceritakan dalam Kisah Sepasang Rajawali, wanita cantik ini pernah berhasil merayu dan
membujuk Kian Bu beberapa tahun yang lalu ketika Kian Bu masih remaja, sehingga pemuda itu terjatuh
ke dalam pelukan wanita cabul ini. Akhirnya Kian Bu insyaf dan menjauhkan diri, namun betapa pun juga,
wanita pertama yang pernah dikenalnya sebagai teman bermain cinta ini tentu saja selalu masih
mendatangkan kenangan padanya dan betapa pun juga, dia tidak dapat membenci wanita yang dia tahu
amat mencintanya lahir batin ini. Maka, melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li, tentu saja Kian Bu menjadi
terkejut dan makin khawatirlah dia karena sekarang dia tahu bahwa sejak tadi wanita cabul ini mengintai
dan melihat perbuatannya ketika dia saling berciuman dengan Siang In tadi.
Dan Siang In juga ingat akan wanita ini, yang semenjak dahulu tak pernah disukainya, dianggapnya
seorang wanita perayu yang cabul dan menjemukan. Dia mengenal wanita iblis cabul yang lihai ini, maka
dia pun kaget melihat kemunculannya yang tidak terduga sama sekali dan wajahnya yang tadinya pucat
seketika menjadi merah ketika dia teringat bahwa perbuatannya bersama Kian Bu tadi tentu terlihat oleh
wanita cabul ini yang sejak tadi telah bersembunyi di balik semak-semak. Kalau saja dia tahu bahwa iblis
betina ini tadi bersembunyi di dalam semak-semak itu, tentu dia akan melontarkan pisaunya dengan
tenaga sepenuhnya!
Melihat Kian Bu memandangnya dengan alis berkerut dan dara jelita itu memandangnya dengan mata
terbelalak, keduanya jelas memperlihatkan sikap tidak senang, Mauw Siauw Mo-li malah tertawa. Suara
ketawanya merdu, mengandung suara seperti seekor kucing, dan gayanya memikat sekali, kemudian
lidahnya menjilat-jilat bibir seperti seekor kucing habis makan daging dan darah, dan gerakan bibir yang
dijilat-jilat lidah ini amat menggairahkan karena memang dimaksudkan untuk membangkitkan birahi pria
yang memandangnya.
“Hi-hi-hik, setelah mendapatkan baju baru lalu mencampakkan baju lama, setelah menemukan makanan
baru lalu melupakan kelezatan makanan lama, itulah watak laki laki dan agaknya engkau tidak terkecuali,
Kian Bu! Mendapatkan kekasih baru, lupa kepada kekasih lama. Hi-hi-hik, dan tak kusangka bahwa
pemuda tampan yang kini sudah berjuluk Pendekar Siluman Kecil kiranya hanya seorang laki-laki
pembosan.”
Sinar mata Kian Bu menyambar dan kalau saja sinar mata itu dapat dipergunakan untuk menyerang, tentu
Siluman Kucing itu sudah menghadapi serangan maut!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mauw Siauw Mo-li, mau apa engkau datang mengacau di sini? Pergilah sebelum aku hilang sabar dan
menghalaumu dengan kekerasan!” bentak Kian Bu, mukanya sudah menjadi merah sekali. Dia memang
tidak mungkin membenci wanita ini yang bagaimana pun juga pernah menghiburnya, namun melihat wanita
itu bersikap mengejek di depan Siang In, tentu saja dia menjadi marah dan tidak ingin wanita itu bicara
yang bukan bukan seperti itu.
“He-he-he, engkau marah, Kian Bu? Sekarang engkau marah, akan tetapi beberapa tahun yang lalu...
hemmm, di atas kereta itu, lupakah...”
“Tutup mulutmu yang kotor! Dan pergilah!” bentak Kian Bu sambil melangkah maju setindak, kedua tangan
dikepal dan sinar matanya penuh ancaman.
Tentu saja dia marah karena wanita cabul itu mengingatkan betapa dulu di atas kereta anak buah Lembah
Bunga Hitam, dia dan wanita cabul itu telah bermain cinta dengan mesra! Diingatkan akan hal yang amat
memalukan hatinya itu, apa lagi di depan Siang In, benar-benar membuat dia naik darah! (baca Kisah
Sepasang Rajawali)
“Hemmm, hendak kulihat apakah pendekar yang terkenal dengan julukan Siluman Kecil itu benar-benar
tega membunuhku dan melupakan segala-galanya,” kata wanita itu dan pada saat itu terdengar suara
dahsyat dari jauh.
“Sumoi, memang dia itu laki-laki tak tahu malu, perayu jahat! Puteriku pun dirayunya sampai habis-habisan
dan sekarang malah puteriku diculik oleh kakaknya. Memang anak-anak Pendekar Siluman Pulau Es ini
kurang ajar sekali dan harus dibasmi habis!” Maka muncullah seorang kakek raksasa yang ganas, yang
bukan lain adalah Hek-tiauw Lo-mo!
Melihat munculnya kakek ini, Kian Bu makin marah. “Bagus! Kalian dua orang manusia iblis, selalu
melakukan kejahatan di dunia ini dan sudah sepatutnya kalau aku turun tangan melenyapkan kalian!”
“Kian Bu, kalau aku tidak dapat mendapatkan tubuhmu, biarlah kuperoleh nyawamu! Suheng, mari kita
bunuh dia, baru nanti dara itu kuhadiahkan kepadamu!” Setelah berkata demikian, Mauw Siauw Mo-li
sudah mencabut pedangnya dan menyerang. Sinar hijau pedangnya meluncur cepat ke arah Kian Bu.
Mendengar kata-kata itu, lenyaplah sisa-sisa kenangan dan perasaan lembut di dalam hati Kian Bu
terhadap wanita itu dan dengan cepat dia mengelak, lalu balas menyerang dengan dorongan tangan kiri ke
arah perut wanita itu. Mauw Siauw Mo-li sudah mengenal kelihaian Kian Bu, apa lagi setelah pemuda ini
berjuluk Siluman Kecil yang sakti dan dikenal di seluruh dunia kang-ouw, maka dia tidak berani lengah.
Cepat dia meloncat ke belakang sambil memutar pedangnya melindungi tubuh.
Pada saat itu, Hek-tiauw Lo-mo yang membenci semua orang Pulau Es, mengeluarkan teriakan dahsyat
dan dia pun sudah menerjang ke depan dengan golok gergaji di tangan kanan. Bacokan golok yang
mempunyai gerakan berputar ini disusul tamparan tangan kiri yang mengeluarkan uap hitam. Tamparan ini
bahkan lebih dahsyat dari pada senjata golok gergajinya yang mengerikan itu, karena pukulan itu adalah
salah satu jurus dari Ilmu Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) yang sangat ampuh, suatu ilmu
yang diperolehnya dari kitab curian milik Go-bi Bu Beng Lojin atau Si Dewa Bongkok dari Gurun Pasir Gobi.
Namun Pendekar Siluman Kecil sudah melesat dan menghindarkan diri dari serangan raksasa itu dengan
kecepatan kilat, tubuhnya berkelebat seperti kilat, bahkan dia sudah membalas serangan itu dengan
kontan, menerjang dari atas setelah tubuhnya tadi melesat naik seperti burung terbang. Ketika Hek-tiauw
Lo-mo mengelak sambil memutar goloknya, bayangan Kian Bu sudah mencelat ke arah Mauw Siauw Mo-li
dan menyerang dengan tendangan kilat yang hampir saja mengenai lengan wanita cabul itu kalau saja dia
tidak cepat melempar tubuh ke belakang.
Terjadilah perkelahian yang amat seru dan hebat. Tingkat kepandaian Siluman Kecil Suma Kian Bu pada
waktu itu sudah amat tinggi sehingga andai kata dia harus melawan dua orang kakak beradik seperguruan
itu satu lawan satu, maka kiranya dia akan berhasil merobohkan lawan dalam waktu kurang dari tiga puluh
jurus. Akan tetapi, dua orang manusia iblis itu maju bersama dan karena mereka itu adalah kakak dan adik
seperguruan, tentu saja mereka berdua dapat bekerja sama dengan baik. Mereka saling mengenal dasar
gerakan mereka yang sesumber, maka kerja sama mereka teratur sekali dan kelihaian mereka tentu saja
menjadi berganda, membuat Kian Bu harus berhati-hati dan pemuda ini mempergunakan ilmunya yang luar
dunia-kangouw.blogspot.com
biasa, yaitu Sin-ho Coan-in, ilmu yang membuat tubuhnya berkelebatan seperti kilat dengan kecepatan luar
biasa hingga dua orang lawannya menjadi bingung seperti mengejar-ngejar bayangan.
Siang In sejak tadi menonton dengan mata terbelalak. Dia masih kagum dan juga ngeri, kagum kepada
Kian Bu yang luar biasa hebatnya itu, dan ngeri menyaksikan keganasan dua orang yang mengeroyok
Siluman Kecil itu. Dari gerakan-gerakan mereka, dia dapat menilai bahwa tingkat kepandaian silatnya
mungkin hanya dapat menandingi wanita siluman itu, sungguh pun dia tahu bahwa tidak akan mudah bagi
dia untuk merobohkan wanita yang amat lihai itu, dan dia pun tahu bahwa dibandingkan dengan raksasa
itu, dia masih kalah jauh. Dan kini, dua orang lihai itu menyerang dengan senjata yang ampuh, namun Kian
Bu menghadapi mereka hanya dengan bertangan kosong, dan pemuda itu sama sekali tidak kelihatan
terdesak!
Siang In tidak bergerak membantu Kian Bu. Selain bingung menyaksikan gerakan Kian Bu yang mencelat
ke sana-sini secepat itu dan takut kalau bantuannya malah akan mengacaukan gerakannya, juga dia
merasa tidak enak mendengar ucapan-ucapan Siluman Kucing tadi. Apa lagi mendengar ucapan Hek-tiauw
Lo-mo bahwa Kian Bu merayu puterinya habis-habisan! Hatinya mulai merasa tidak senang dan kini dia
hanya menonton sambil berjaga-jaga untuk membantu Kian Bu apa bila perlu, sungguh pun kini dia merasa
hampir yakin bahwa Kian Bu pasti akan dapat mengatasi kedua orang lawannya.
Dugaan Siang In memang tidak keliru. Dengan kecepatan gerakan Ilmu Sin-ho Coan-in, Kian Bu mulai
mendesak kedua orang lawannya. Dia lebih banyak menyerang, karena dua orang lawan itu sama sekali
tidak memperoleh kesempatan untuk menyerang bayangan yang berkelebatan menyambar mereka dari
segala jurusan itu. Sedemikian cepatnya gerakan Kian Bu sehingga dia seolah-olah berubah menjadi
beberapa orang banyaknya!
“Hyaaaaakkk...!” Hek-tiauw Lo-mo membentak dan tangan kirinya bergerak.
Sinar hitam lebar lantas menyambar ke arah bayangan Kian Bu dan itu adalah senjata rahasianya yang
amat ampuh dan bebahaya, yaitu jala hitam yang terbuat dari benang lembut yang amat kuat. Jala itu
menyambar cepat sekali, akan tetapi gerakan Kian Bu masih lebih cepat karena dia sudah dapat
menghindarkan diri, bahkan tangannya menyambar ujung jala dan ditariknya jala itu ke arah sinar hijau dari
pedang Mauw Siauw Mo-li yang menusuknya.
“Brettt...!”
Jala itu terobek pedang, akan tetapi pedang hijau di tangan wanita cabul itu pun terbelit jala. Kesempatan
ini dipergunakan oleh Kian Bu untuk menendang. Wanita itu masih berusaha menghindarkan tendangan
dengan melempar tubuh ke belakang dan menarik pedang sekuatnya, namun tetap saja pangkal paha
kirinya tercium ujung sepatu.
“Aduhhh...!” Wanita itu terpental dan pedangnya sudah terlepas dari libatan jala, kemudian dia terbanting
dan bergulingan lalu meloncat berdiri sambil meringis dan tangan kirinya mengelus-elus pangkal paha yang
terasa nyeri dan panas. Akan tetapi, hatinya lebih panas lagi dari pada pangkal pahanya yang tidak terluka
parah hanya nyeri dan panas itu, karena dia mengingat betapa dahulu, bagian tubuh itu pernah diusap dan
dibelai sayang oleh Kian Bu, akan tetapi kini ditendang! Dia merasa terhina sekali.
Sementara itu, melihat jalanya robek, Hek-tiauw Lo-mo membentak dan goloknya membacok ke arah Kian
Bu, disusul hantaman tangan kirinya. Kian Bu miringkan tubuhnya ke kanan, membiarkan golok
menyambar lewat dan melihat tangan kiri lawan yang mengeluarkan asap itu memukulnya dengan tangan
terbuka ke arah dada, dia pun cepat memapaki dengan tangan kanannya.
“Desss!”
Dua telapak tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, tubuh Hek-tiauw Lo-mo terjengkang dan
roboh bergulingan sampai beberapa meter jauhnya! Biar pun dia tidak terluka parah, namun tenaga
pukulannya yang membalik karena kalah kuat bertemu dengan hawa sinkang lawan tadi telah memukulnya
sendiri, membuat napasnya sesak dan tubuhnya gemetar!
Akan tetapi pada saat itu, Mauw Siauw Mo-li yang melihat bahwa dia dan suheng-nya takkan mampu
mengalahkan Kian Bu, sudah melontarkan beberapa buah benda hitam ke arah Siang In! Dara ini tidak
tahu benda apa yang menyambar ke arahnya itu, maka dengan cepat dia hendak menangkis.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jangan ditangkis...!” Kian Bu berseru dan tubuhnya berkelebat cepat sekali, tahu-tahu Siang In telah
dipondongnya dan dibawanya berloncatan ke kanan kiri.
Terdengar ledakan-ledakan keras bertubi-tubi, akan tetapi selalu dapat dielakkan oleh Kian Bu yang
memondong tubuh Siang In. Setelah ledakan tidak terdengar lagi, tempat itu menjadi gelap oleh asap hitam
dan dua orang manusia iblis itu telah lenyap.
Kian Bu beberapa kali melompat jauh, keluar dari lingkungan asap itu, lalu menurunkan Siang In dan
mengomel gemas, “Hemmm, lain kali aku tidak akan memberi kesempatan kepada mereka untuk
melarikan diri.”
Siang In memandang kagum kepada Kian Bu, lalu menghampirinya dan memegang kedua lengannya,
“Kian Bu, engkau hebat sekali...,“ katanya.
Mereka saling berpegang tangan, berhadapan dan saling pandang dengan mesra. Ketika pandang mata
mereka bertaut, yakinlah Kian Bu bahwa dia benar-benar mencinta dara ini. Semua rasa cintanya
terpancar dari pandang matanya, terasa benar oleh Siang In dan membuat bulu tengkuk dara itu
meremang dan dia cepat-cepat menundukkan mukanya. Dara lincah yang biasanya suka menggoda orang
itu kini kemalu-maluan menatap sinar mata yang demikian penuh cinta kasih.
Akan tetapi Siang In segera teringat akan semua ucapan dua orang manusia iblis tadi, maka alisnya
berkerut dan rasa malu tadi lenyap ketika dia mengangkat mukanya dan bertanya, “Kian Bu, apa artinya
ucapan raksasa tadi bahwa engkau merayu puterinya?”
Kian Bu tersenyum. “Puterinya adalah Hwee Li, dan sudah kuceritakan kepadamu tentang Hwee Li.
Agaknya dia pun menyangka bahwa antara Hwee Li dan aku ada hubungan yang tidak dikehendakinya,
padahal di antara kami hanya terdapat tali persahabatan saja, dan Hwee Li mencinta kakakku...“
“Dan ucapan-ucapan wanita tadi? Dia...“ Siang In tidak melanjutkan kata-katanya karena dia merasa malu
mengingat dan membayangkan arti ucapan wanita tadi.
Wajah Kian Bu menjadi muram dan alisnya berkerut. “Ahhh, jangan kau dengarkan ucapan iblis betina itu!
Dia curang dan bicaranya sama sekali tidak ada artinya, tidak perlu didengar dan dipercaya. Sudah terlalu
banyak dia membuat malapetaka.”
Agaknya Siang In percaya dan wajahnya berseri kembali, dan setelah mereka saling pandang kembali
timbul kemesraan dan rasa malu, apa lagi ketika Kian Bu kemudian mendekatkan muka sehingga hidung
pemuda itu menyentuh pelipisnya, dia cepat menundukkan mukanya. Seketika Kian Bu sudah melupakan
dua orang musuh tadi, kini dia teringat akan ciuman yang membuat dara itu tadi menjadi pingsan!
“Siang In, betapa engkau tadi membuat aku hampir mati karena khawatir. Mengapa engkau menjadi
pingsan tanpa sebab? Dan apa artinya pisau yang berada di tanganmu tadi? Mengapa pula engkau...
menyuruh aku... menciummu? Semua itu merupakan teka-teki bagiku, mengundang banyak dugaan yang
membingungkan. Maukah engkau menjelaskan kepadaku, Sayang?”
Mendengar sebutan itu, wajah Siang In menjadi merah sekali dan sambil menunduk dia tersenyum malumalu
dengan penuh rasa bahagia. Jari-jari tangannya yang saling genggam dengan jari tangan Kian Bu itu
gemetar dan dari jari-jari tangan kedua orang muda ini tersalur getaran-getaran yang penuh arti, terasa
sampai ke dasar jantung.
Getaran-getaran cinta yang tak perlu lagi dinyatakan dengan kata-kata, yang dalam keadaan seperti itu
sudah kehilangan arti dan fungsinya, bahkan hanya mendatangkan kecanggungan belaka. Bahasa cinta
melalui getaran sentuhan, melalui senyum dan terutama melalui sinar mata sudah lebih dari cukup
mewakili suara hati masing-masing, jauh lebih sempurna dari pada kata-kata yang biasanya hampa dan
dibuat-buat. Getaran dan sinar mata tak mungkin dapat dibuat-buat seperti suara melalui kata-kata.
“Kian Bu, sebelum aku menjawab, aku ingin lebih dulu mengetahui isi hatimu. Jawablah, adakah engkau
merasakan sesuatu dalam... dalam... ciuman tadi?”
“Ahhh...!” Dengan mesra Kian Bu merangkul dan mendekap kepala dara itu ke dadanya, jantungnya
berdegup dekat telinga Siang In yang seolah-olah mendengar bisikan hati melalui degup jantung itu. “Siang
In... aku merasakan sesuatu yang ajaib, seolah-olah langit terbuka dan kita berdua terbang ke angkasa,
dunia-kangouw.blogspot.com
aku... aku... ah, sukar menceritakan apa yang kurasakan tadi sampai... sampai aku terkejut melihat engkau
terkulai...”
Siang In menyandarkan kepalanya di dada yang kuat itu, kemudian dia berbisik halus, “...lanjutkan...
lanjutkan...“
“Mula-mula aku merasa heran dan terkejut, lalu takut-takut untuk menciummu seperti yang kau minta,
Siang In. Akan tetapi ketika aku melakukannya, ahhh... dunia seakan kiamat! Aku merasa seperti tidak
berpijak di atas bumi lagi... dan... dan pada detik itu juga tahulah aku...“ Kian Bu berhenti dan menunduk,
mencium rambut kepala yang bersandar di dadanya itu.
“Tahu apakah, Kian Bu...?” Suara itu makin lirih, berbisik dan gemetar.
“Aku tahu dan yakin benar, pada saat aku menciummu tadi, bahwa aku cinta padamu, Siang In.”
Inilah yang dikehendaki oleh Siang In. Pengakuan inilah. Sungguh pun tadi dia telah merasakan cinta
pemuda itu melalui ciuman, melalui tatapan mata, melalui sentuhan ujung jari-jari tangan, melalui degup
jantung di dekat telinganya, namun belum puas hatinya kalau belum mendengar pengakuan itu melalui
mulut.
Memang demikianlah keadaan kita manusia pada umumnya. Semenjak kecil, kita sudah terdidik dan
terbiasa untuk menilai segala sesuatu melalui kata-kata hingga kita semua terjerumus ke dalam dunia
penuh kepalsuan yang tersembunyi di balik kata-kata manis! Dan kepalsuan-kepalsuan melalui kata-kata
manis dan senyum buatan ini oleh kita dinamai peradaban. Sesungguhnya peradaban yang tidak beradab.
Kita namakan pula kesopanan. Kesopanan yang tidak sopan.
Kita sudah terbiasa untuk menilai keadaan luarnya saja. Inilah yang menyebabkan kita sering tergelincir
oleh kemanisan kata-kata dan sikap palsu. Kita tidak lagi peka untuk mengenal keadaan yang lebih
mendalam, karena perasaan kita sudah dibikin tumpul oleh kebiasaan menilai kulitnya saja. Maka diobral
oranglah kata-kata ‘aku cinta padamu’ sehingga tidak ada artinya lagi. Diobral orang pula senyum palsu,
sikap menghormat, menjilat, yang kesemuanya itu sesungguhnya tidak wajar dan palsu adanya. Hal ini
dapat kita lihat jelas sekali terjadi di sekeliling kita, bahkan dalam diri kita, kalau saja kita mau membuka
mata memandang dan mengamati apa adanya. Dapatkah kita hidup tanpa menjadi hamba kepalsuan ini?
Demikianlah pula dengan Siang In. Dia sudah yakin benar akan perasaan Kian Bu kepadanya, namun tidak
puaslah hatinya kalau dia tidak mendengar pernyataan cinta itu melalui kata-kata, padahal pernyataan
macam ini sesungguhnya tidak ada harganya sama sekali, karena apakah artinya kata-kata hampa
dibandingkan dengan perasaan yang murni dan agung itu?
Cinta asmara lautan rahasia kemesraan sejuta.
Menciptakan embun sakti menembus lubuk hati.
Anggur semanis madu bunga dan lagu merdu.
Kepuasan yang nikmat sorga yang memikat.
Namun juga membawa bara api menghanguskan hati.
Sepahit empedu maki kutuk menggebu.
Kekecewaan mencekam neraka jahanam!
Cinta asmara, lautan suka-duka...
Sampai lama rasanya ucapan Kian Bu dalam kalimat terakhir tadi, yaitu ‘aku cinta padamu’ bergema di
dalam ruang hati Siang In, membuat dia seperti terlena, seperti terayun dalam buaian kasih sayang yang
membawanya terbang ke sorga ke tujuh!
“Sekarang akan kuceritakan padamu, Kian Bu. Dengarlah akan tetapi jangan menatap wajahku, aku... aku
malu sesungguhnya untuk menceritakan. Tetapi karena engkau cinta padaku, seperti yang baru saja kau
katakan, biarlah kuceritakan kepadamu juga.” Siang In memejamkan matanya dan masih bersandar di
dada Kian Bu, kemudian dia melanjutkan dengan suara lirih berbisik-bisik.
“Semenjak engkau menciumku di dalam hutan beberapa tahun yang lalu itu, aku... tidak pernah lagi dapat
melupakanmu, tak pernah dapat melupakan saat engkau menciumku itu. Ada dua macam perasaan selalu
berperang di dalam hatiku, yaitu perasaan terhina yang menimbulkan benci serta perasaan gembira yang
sukar dilukiskan. Perasaan perasaan yang berperang itulah yang menimbulkan suka dan benci pada
bayanganmu. Maka setelah aku selesai mempelajari ilmu dari suhu, aku lalu pergi mencarimu, sampai aku
dunia-kangouw.blogspot.com
tiba di Bhutan dan di tempat-tempat jauh. Aku mencarimu dengan dua macam niat, yaitu membunuhmu
atau memaafkanmu. Dan dua niat itu hanya dapat ditentukan oleh perasaan hatiku padamu, apakah benci
ataukah cinta! Maka aku mengambil keputusan, yaitu kalau aku bertemu denganmu, sebelum melakukan
sesuatu, aku harus lebih dulu yakin, apakah aku benci atau cinta kepadamu, apakah ciumanmu itu
mendatangkan duka atau suka. Dan untuk dapat merasa yakin, aku harus minta kau cium sekali lagi! Nah,
sekarang engkau mengerti mengapa aku minta cium padamu.” Siang In masih memejamkan mata karena
dia menceritakan ini dengan perasaan malu sekali.
Kian Bu tahu betapa berat dan malu rasa hati kekasihnya itu untuk menceritakan semua ini, maka dia pun
tidak mau menambah beban itu dengan menatap wajahnya, tetapi mencium rambut kepala itu dengan
mesra. “Ahh, engkau memang seorang dara yang luar biasa, aneh, berani, jujur dan... hebat!”
Biar pun yang dicium hanya rambut kepalanya, akan tetapi Siang In sudah merasa betapa seluruh
tubuhnya tergetar dan jantung berdebar. “Dengarkan dulu ceritaku, Kian Bu.” Dia mengeluh dan agak
menjauhkan kepalanya untuk menghentikan pemuda itu menciumi rambutnya.
“Lanjutkanlah, Siang In.”
“Ketika engkau menciumku untuk kedua kalinya, aku diam-diam sudah mempersiapkan pisau itu. Kalau
dari ciuman itu aku menjadi yakin bahwa aku benci padamu, maka pisau itu akan menewaskanmu di saat
itu juga, karena hanya saat itulah kesempatan satu-satunya bagiku untuk membalas dendam. Dalam
keadaan biasa, mana mungkin aku dapat menandingimu? Nah, itulah sebabnya mengapa aku memegang
pisau itu.”
“Hebat! Engkau memang pintar sekali!” Kian Bu memuji dan hati Siang In merasa senang sekali. Ahh,
betapa cinta asmara membuat orang menjadi buta akan kenyataan.
Andai kata pada saat itu perasaan Kian Bu terhadap Siang In lain, tentu bukan pujian yang keluar dari
mulut pemuda ini. Mungkin sebutan pintar itu akan berubah menjadi sebutan curang atau pengecut!
Jelaslah bahwa penilaian terhadap suatu tindakan atau perbuatan itu tergantung dari keadaan batin
seseorang. Bagi seorang yang sedang mencinta, maka segala macam perbuatan orang yang dicintanya itu
akan nampak baik dan benar belaka. Sebaliknya, bagi seorang yang sedang membenci, maka segala
macam perbuatan orang yang dibencinya itu akan nampak jahat dan salah belaka.
Oleh karena itu sudah jelas pula bahwa penilaian adalah palsu, karena penilaian didasari atas rasa suka
atau tidak suka. Penilaian hanya mendatangkan konflik, karena yang dinilai baik oleh A, belum tentu dinilai
baik oleh B, dan mungkin dinilai jahat oleh C, dan selanjutnya. Apa adanya dan yang sesungguhnya tidak
baik tidak pula jahat, tidak bagus dan tidak pula jelek, karena baik dan buruk hanyalah hasil penilaian dan
kita sudah tahu bahwa penilaian adalah palsu. Pengertian yang mendalam dan menyeluruh tentang
kenyataan ini akan membuat kita hanya mengamati belaka tanpa penilaian sehingga kita tidak terseret
untuk mengambil kesimpulan, pendapat, melainkan mengamati saja penuh kewaspadaan.
“Sekarang tentang mengapa aku menjadi pingsan. Ohhh, Kian Bu, bagaimana aku dapat menjelaskan itu?
Ketika engkau menciumku, aku... aku merasa... seperti yang kau rasakan pula, aku merasa bahwa itulah
sesungguhnya yang kurindukan selama ini, pelukan dan ciumanmu, dirimu... dan aku tahu bahwa aku cinta
padamu, Kian Bu. Mengingat betapa pisau sudah di tangan, betapa hampir saja aku membunuh satu
satunya pria yang kucinta semenjak bertahun-tahun yang lalu, membuat aku begitu tegang dan terharu
sampai aku tidak ingat apa-apa lagi...”
“Siang In, dewiku... pujaan hatiku...“
Kian Bu merasa terharu sekali dan kini dia mendekap lebih erat, mengangkat wajah ayu itu dan
menciuminya dengan sepenuh perasaan cintanya.
Siang In mengeluh lirih dan mandah saja, bahkan kadang-kadang membalas ciuman itu, terdorong oleh
perasaan hatinya yang mencinta. Akan tetapi ketika ciuman-ciuman Kian Bu makin lama makin panas,
dara itu lalu menarik dirinya, mukanya merah sekali, pandang matanya setengah terpejam, mulutnya
setengah terbuka dan terengah. Ketika Kian Bu hendak merangkulnya, dia menolak halus dengan kedua
tangannya.
“Jangan... sudah cukup, Kian Bu, jangan...,“ bisiknya di antara napasnya yang terengah.
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah Kian Bu juga merah padam, matanya mengeluarkan sinar aneh. “Kenapa, Siang In? Kenapa...?
Bukankah kita saling mencinta...?”
Siang In melangkah mundur dua langkah. “Justeru karena cinta kita, maka kita harus tidak melanjutkan itu,
Kian Bu. Tidak baik kalau dilanjutkan. Karena cinta kita, maka kita harus saling menjaga, kita harus
mempertahankan, menunda dan menyimpan itu sampai pada saatnya yang tepat, yaitu... kelak kalau kita
sudah menjadi suami isteri, sudah menikah!”
Mendengar ini, seketika sadarlah Kian Bu dan dia merasa malu sendiri. Memang tadi, setelah menciumi
wajah Siang In, setelah merasa betapa bibir yang lunak itu membalas ciumannya, dia tenggelam dalam
gelombang nafsu birahi yang mendorong-dorongnya untuk bertindak lebih jauh, untuk memuaskan gelora
nafsu birahinya! Celaka, semua ini adalah gara-gara Siluman Kucing, keluhnya dalam hati. Dia lalu
memandang wajah kekasihnya dan tiba-tiba dia menjatuhkan diri berlutut karena merasa berdosa sekali.
“Ahh, betapa bijaksana engkau, dewiku. Betapa murni hatimu, dan aku... aku memang bersalah. Aku
bersumpah tidak akan berani mengganggumu lagi sampai... sampai kita menikah kelak.”
Siang In tertawa, suara ketawanya sangat merdu dan nyaring karena semua itu amat menyenangkan
hatinya. Dia mengulurkan tangan, memegang tangan pemuda itu dan menariknya bangun.
“Sudah, kalau kelihatan orang lain, disangka kita ini sedang berlatih main sandiwara! Kita saling mencinta,
dan kita akan menikah! Dua hal ini merupakan rahasia besar dalam batin kita, Kian Bu. Aku ingin sekali
bertemu dengan ayah bundamu.”
“Benar, memang aku pun ingin membawamu pulang ke Pulau Es.”
“Kalau begitu, mari kita pergi. Eh, apakah perutmu tidak lapar?”
Ditanya begitu, Kian Bu terbelalak, lalu tertawa. “Ha-ha-ha, memang benar kata orang bahwa cinta
membuat kita lupa makan lupa tidur. Aku sampai lupa bahwa sejak kemarin perutku belum kemasukan
apa-apa dan setelah sekarang kau peringatkan, baru terasa betapa lapar perutku!”
“Aku lebih percaya kepada kata-kata orang bahwa cinta membuat kita selalu merasa lapar!”
“Ehh, mengapa begitu?”
“Habis, cinta membuat hati menjadi senang, dan hati senang membuat perut selalu merasa lapar dan apa
pun yang kita makan terasa lezat. Pendapat ini kudukung karena lebih sehat dari pada pendapatmu tadi
yang membuat kita kelaparan dan kecapaian. Kalau menurut pendapatmu itu, bisa-bisa orang yang jatuh
cinta lekas mati karena kurang makan dan kurang tidur, bukan?”
Kian Bu tertawa. Kekasihnya ini selain cantik jelita, gagah perkasa, penuh keberanian, baik budi dan jujur,
juga lincah jenaka dan pandai bicara! Pendeknya, segala macam kebaikan wanita terdapat lengkap dalam
diri kekasihnya ini, pikirnya bangga!
“Kau memang hebat, Siang In. Hebat segala-galanya!”
“Hi-hik, engkau belum merasakan masakanku! Kalau engkau sudah menikmati lezatnya masakanku,
engkau akan kehabisan kata-kata untuk memujiku. Tunggu saja. Mari kita mencari bahan-bahannya dulu
dalam hutan itu.” Digandengnya lengan Kian Bu dan dua orang muda itu bergandeng tangan meninggalkan
tempat itu sambil tersenyum dan tertawa gembira.
Dunia seolah-olah berubah dalam sekejap mata bagi mereka berdua. Penuh keindahan, penuh
kegembiraan, penuh harapan dan bayangan yang muluk-muluk…..
********************
“Uhu-huuuuk-huuuu...!” Dara itu menangis mengguguk sambil berlutut di depan kaki gurunya, memeluk
kaki itu dan air matanya bercucuran.
Tentu saja Hek-sin Touw-on terkejut bukan main menyaksikan keadaan muridnya ini. Datang-datang
muridnya merangkul kakinya dan menangis sedih seperti itu, sungguh membuatnya bingung sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Berkali-kali dia menyuruh muridnya menceritakan apa yang begitu menyusahkan hatinya, namun Kang Swi
Hwa atau Ang-siocia tidak kuasa mengeluarkan kata-kata, hanya menangis mengguguk makin sedih
sehingga akhirnya kakek itu maklum bahwa dia harus membiarkan muridnya menangis dulu sampai
kedukaan yang menyesak di dada itu terlampiaskan dalam tangisnya.
Dari mana timbulnya duka? Akibat duka sudah jelas, membuat orang menjadi gelap pikiran dan tidak
sabar, dan dalam keadaan sesak oleh duka itu jasmani pun bekerjalah untuk menolong dirinya dari
ancaman bahaya karena duka, yaitu dengan jalan menciptakan air mata yang bercucuran keluar dan
peristiwa ini dapat melampiaskan duka seperti bendungan yang dibuka sehingga genangan duka itu dapat
membanjir keluar. Akan tetapi dari manakah timbulnya duka?
Jelaslah bahwa duka timbul dari pikiran sendiri. Pikiran dilayangkan kepada hal-hal yang sudah lewat, halhal
yang dianggap merugikan diri sendiri, dianggap tidak cocok dengan apa yang dikehendaki sehingga hal
yang telah terjadi itu mendatangkan kekecewaan yang kemudian menciptakan rasa nelangsa dan iba
kepada diri sendiri, menjadi duka. Jelaslah bahwa duka menguasai batin hanya pada saat kita tidak sadar,
pada saat kita tidak waspada, pada saat kita membiarkan batin diselubungi kenangan hal-hal yang sudah
lewat. Dan kita melakukan sesuatu yang amat keliru, yaitu kita selalu ingin lari dari duka yang datang
menyerang, kita ingin lari dari duka, kita ingin menghibur dan melupakan hal yang mendukakan. Usaha
menjauhkan duka ini malah memperbesar duka itu sendiri!
Kita tidak pernah mau menghadapi duka itu sebagaimana adanya, mengamati duka dengan penuh
kewaspadaan dan kesadaran, mengamati betapa kita penuh dengan iba diri, betapa kita mengenangngenang
hal yang merugikan itu, terus mengunyah ngunyah kenangan itu sehingga semua kenangan itu
seolah-olah merupakan sebuah tangan setan yang meremas-remas hati kita sendiri! Untuk dapat terbebas
dari duka, kita harus mengenal duka sebagaimana adanya, kita harus berani mengamati duka, tidak lari
darinya. Karena hanya dengan pengamatan yang penuh kewaspadaan inilah maka akan timbul pengertian
yang sedalam-dalamnya tentang duka, dan pengertian ini akan menimbulkan kesadaran yang dengan
sendirinya akan melenyapkan duka tanpa kita berusaha menghilangkannya.
Namun sayang, betapa kita semua tidak sadar dan membiarkan diri terseret ke dalam arus suka-duka ini.
Kita terseret duka, mengharapkan hiburan, menikmati hiburan yang mendatangkan suka, untuk kemudian
diseret ke dalam duka kembali, dan demikian selanjutnya kita terjebak ke dalam lingkaran setan yang
berupa suka dan duka. Dan lebih menyedihkan lagi, kita menganggap bahwa memang sudah demikian
itulah hidup! Seolah-olah tidak ada jalan lain dalam kehidupan ini kecuali menjadi hamba suka duka yang
menyedihkan.
Akhirnya reda juga tangis Ang-siocia, tinggal terisak-isak yang jarang. Gurunya, kakek Hek-sin Touw-ong
lalu mengangkatnya bangun dan disuruhnya murid itu duduk di atas bangku di depannya. Mereka berada
di dalam sebuah kuil rusak dan mereka duduk di atas bangku-bangku batu yang kasar. Kuil itu berada
dalam sebuah hutan di lereng bukit.
“Swi Hwa, mengapa engkau menangis seperti ini? Sungguh memalukan sekali melihat muridku menangis
seperti seorang perempuan lemah yang cengeng. Mana kegagahan yang kugemblengkan pada dirimu
selama bertahun-tahun ini?” Kakek itu menarik napas panjang, agaknya dia melihat bahwa betapa pun
gagahnya, muridnya itu hanya seorang wanita, dan menurut kata pujangga kuno, wanita tidak dapat
dipisahkan dari air mata!
“Suhu, maafkan teecu...“ Gadis itu berkata di antara isaknya.
“Hemmm, entah sudah berapa ratus kali selama menjadi muridku engkau minta maaf, dan sebanyak itu
pula aku selalu memaafkanmu. Sekarang ceritakanlah, mengapa kau menangis?”
“Suhu... teecu ingin mati saja...!” Gadis itu menutupi muka dengan kedua tangannya dan dari celah-celah
antara jari tangannya nampak air matanya menetes.
“Hehhh? Apa-apaan lagi ini? Mana bisa manusia minta mati kalau belum tiba saatnya? Kalau sudah tiba
saatnya, tanpa diminta pun akan mati. Hayo bilang, mengapa kau sampai mengeluarkan kata-kata gila ini?
Apa yang terjadi dengan dirimu?”
Gadis itu menggeleng kepala, kemudian menurunkan kedua tangan dari depan muka. Mukanya yang
cantik itu agak pucat dan amat muram, basah oleh air matanya. Hati kakek itu terkejut dan kasihan juga
melihat ini karena maklumlah dia bahwa muridnya ini mengalami pukulan batin yang parah juga.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tidak terjadi apa-apa dengan diri teecu, akan tetapi telah terjadi hal yang hebat dengan diri... dia...“ Gadis
itu megap-megap seperti ikan di darat.
“Dia? Dia siapa?” Hek-sin Touw-ong bertanya, memandang wajah muridnya penuh selidik karena dia
khawatir kalau-kalau kesedihan membuat muridnya ini mengalami guncangan batin yang akan
mengganggu ketenangan jiwanya.
“Dia… Pendekar Siluman Kecil...!”
Alis kakek itu berkerut. Dia sudah mengerti bahwa muridnya ini tergila-gila kepada pendekar sakti itu.
“Ada apa dengan dia?” desaknya.
Siluman Kecil itu menurut muridnya dapat mengalahkan Sin-siauw Sengjin, berarti memiliki kesaktian
setinggi langit yang sukar diukur lagi, maka apakah yang dapat menimpa seorang pendekar sakti seperti
itu? Apakah pendekar itu terkena malapetaka maka muridnya menjadi berduka seperti ini?
“Siluman Kecil? Ada apa dengan dia? Apa yang terjadi?”
“Dia... dia... mencinta wanita lain, Suhu... uuuhhhu-hu-huuuhhh...!” Dara itu menangis lagi.
Hek-sin Touw-ong mengerutkan alisnya dan memandang kepala yang menunduk dan pundak yang
berguncang-guncang dalam tangisnya itu. Dia menarik napas panjang berkali-kali dan hatinya penuh rasa
iba kepada muridnya ini. Terbayanglah semua peristiwa semenjak dia mengambil anak itu sebagai murid.
Dia tahu bahwa Kang Swi Hwa adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong yang dititipkan kepada Sin-siauw Sengjin
untuk dilatih ilmu silat. Karena penasaran terhadap Sin-siauw Sengjin, maka dia menculik anak itu untuk
dilatihnya sendiri. Akan tetapi kemudian, maksud yang hanya ingin menimpakan rasa penasaran itu
kepada Sin-siauw Sengjin, akhirnya berubah setelah dia mulai mencinta murid itu sebagai puterinya
sendiri! Maka anak itu pun dididiknya terus sampai menjadi dewasa dan dia telah mewariskan seluruh ilmu
kepandaiannya, baik ilmu silat, ilmu maling dan ilmu menyamar kepada dara itu.
Dia tahu bahwa muridnya ini adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong, seorang yang sudah dikenalnya dengan baik
maka ia pun mendidik muridnya itu sekuat tenaganya sehingga muridnya sekarang memiliki tingkat
kepandaian yang sudah hebat, hampir menyamai tingkatnya sendiri. Maka ketika dia mendengar betapa
muridnya itu ‘dihina’ secara tidak sengaja oleh murid Sai-cu Kai-ong, dia terkejut bukan main dan heran
mengapa justeru murid dari kakek gadis ini yang bertemu dan ‘menghina’ nya! Maka timbul pula niatnya
untuk menjodohkan muridnya dengan pemuda murid Sai-cu Kai-ong itu, sebab dengan demikian, selain
untuk menebus kesalahannya terhadap Sai-cu Kai-ong, juga untuk menghapus aib yang telah dialami oleh
Swi Hwa.
Dia sengaja mengganti nama muridnya yang ketika itu masih kecil sekali sehingga tidak mungkin dapat
mengingat apa-apa, mengganti namanya menjadi Kang Swi Hwa, bahkan dia telah menghapus tahi lalat di
dagu anak itu agar tidak akan dapat dikenali oleh Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw Sengjin! Dan kini, ternyata
muridnya itu mencinta Siluman Kecil dan merana, patah hati, karena Siluman Kecil mencinta gadis lain!
Setelah sejenak membiarkan dara itu menangis lagi, dengan hati amat terharu Hek-sin Touw-ong
kemudian memegang kedua pundak muridnya, dan berkata dengan suara menghibur, “Kalau begitu, masih
jauh lebih baik bagimu, muridku...“
Mendengar ini, dara itu mengangkat mukanya yang basah air mata itu, memandang gurunya dengan
penasaran.
“Lebih baik...? Apa... apa maksud Suhu?” Dia sedih setengah mati, gurunya malah mengatakan lebih baik!
Hati siapa tidak menjadi penasaran?
“Kakek itu mengangguk-angguk dan kembali menarik napas panjang. “Jauh lebih baik gagal sebelum
menikah, dari pada gagal setelah menjadi suami isteri... seperti gurumu ini...“
dunia-kangouw.blogspot.com
Sepasang mata yang masih basah itu terbelalak. Tidak disangkanya gurunya akan berkata demikian.
Gurunya tidak pernah bercerita tentang diri sendiri, bahkan tidak pernah bercerita tentang riwayatnya,
tentang ayah bundanya.
“Apakah Suhu pernah menikah?” tanyanya, hatinya tertarik karena seluruh perhatiannya tertarik akan
keadaan suhu-nya, maka otomatis ia melupakan diri sendiri dan lenyaplah seketika rasa duka di hatinya.
Memang, kedudukan bukan lain hanyalah permainan ingatan, permainan pikiran yang mengingat-ingat dan
membayang-bayangkan, penuh dengan iba diri. Begitu pikiran meninggalkan semua itu, ditujukan kepada
lain hal dengan penuh perhatian, maka duka pun lenyap tanpa bekas!
Kakek itu mengangguk. “Aku pernah menikah, akan tetapi terdapat ketidak cocokan dalam kehidupan
rumah tangga kami. Kami hidup menderita, seperti dalam neraka karena percekcokan terjadi setiap hari.
Akhirnya, setelah menikah selama tiga tahun tanpa ada keturunan, kami terpaksa berpisah, dan semenjak
itu, aku tidak mau lagi menikah...“
Melihat wajah suhu-nya membayangkan penderitaan batin, seketika lupalah Swi Hwa akan kesusahan
hatinya sendiri. Dia memandang kepada suhu-nya dengan hati penuh perasaan iba.
Akan tetapi kakek itu lalu melanjutkan, “Karena itulah, Swi Hwa, kukatakan lebih baik gagal sebelum
menikah dibandingkan seperti yang kualami ini. Bayangkan saja kalau kegagalanmu ini terjadi setelah
engkau menikah dengan seorang suami yang tidak menaruh cinta kepadamu, tentu akan lebih pahit dan
sengsara lagi.”
Dara itu kini menunduk, dia mengerti akan maksud ucapan gurunya itu. “Jadi, dalam pernikahan Suhu itu
hanya terdapat cinta sepihak?”
Hek-sin Touw-ong mengangguk. “Ya, hanya dariku adanya cinta itu, tidak dari pihaknya. Maka, kalau
Siluman Kecil tidak mencintamu dan mencinta orang lain, apa yang perlu disesalkan? Dunia tidak hanya
setapak tangan lebarnya, dan masih terdapat banyak sekali pria yang cukup baik untuk menjadi calon
jodohmu. Terutama sekali, kita harus mencari pemuda bernama Siauw Hong itu, karena menurut
pandanganku, hanya dialah yang harus menjadi suamimu, karena dia yang pernah melihat tubuhmu!”
Dara itu makin menunduk dan mukanya berubah merah mendengar ucapan ini, karena dia teringat akan
peristiwa itu, yaitu ketika dia yang menyamar sebagai pria dan terbuka rahasianya oleh Siauw Hong. Pada
waktu itu Siauw Hong berusaha mengobatinya dan memeriksa dadanya!
“Hanya ada dua pilihan terhadap pemuda itu. Membunuhnya atau menikah dengan dia! Kehormatan dan
nama baikmu tergantung sepenuhnya kepada persoalan ini, muridku. Maka, marilah engkau ikut
bersamaku pergi mencari Sai-cu Kai-ong buat membicarakan urusan muridnya itu.”
“Tapi... Suhu, teecu belum mempunyai ingatan untuk menguruskan persoalan jodoh sebelum... sebelum
teecu mendengar dari Suhu tentang keadaan keluarga teecu. Suhu selalu mengelak dan tidak mau
memberi keterangan kepada teecu. Sekarang teecu mohon Suhu suka memberi penjelasan. Siapakah
ayah bunda teecu? Apakah mereka masih hidup dan mengapa teecu sejak kecil ikut bersama Suhu?”
Kakek itu menghela napas. “Dalam hal ini aku berdosa kepadamu, muridku. Ketahuilah, bahwa engkau
adalah seperti cucu atau anak angkatku sendiri, di samping engkau muridku satu-satunya. Dan terus
terang saja, aku tidak dapat menceritakan tentang keluargamu karena memang aku tidak tahu. Hanya ada
satu orang saja yang akan dapat menceritakan hal itu kepadamu.”
“Siapa dia, Suhu?”
“Dia adalah Sai-cu Kai-ong...“
“Apa...?” Ang-siocia atau Kang Swi Hwa memandang kepada suhu-nya dengan mata terbelalak lebar.
“Kakek sakti guru... Siauw Hong itu...?”
Hek-sin Touw-ong mengangguk. “Muridku, agaknya sudah tiba saatnya bagimu untuk mengetahui semua
rahasia yang meliputi dirimu. Akulah yang bertanggung jawab akan semua itu. Maka, mari kau ikut
bersamaku menemui Sai-cu Kai-ong, sekalian kita bicarakan urusan muridnya itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dara itu mengangguk sambil menundukkan mukanya. Dia akan selalu merasa malu dan canggung kalau
bicara tentang pemuda yang menjadi pangeran pengemis itu, karena nama Siauw Hong selalu
mengingatkan dia akan peristiwa yang dialaminya, ketika rahasia penyamarannya sebagai pria terbuka
oleh pemuda itu.
Berangkatlah guru dan murid itu melanjutkan perjalanan, meninggalkan kuil tua itu. Seperti telah
diceritakan di bagian depan, Ang-siocia lari mengejar ketika melihat Siluman Kecil pergi, kemudian di
tengah perjalanan dia bertemu dengan Siang In. Mereka berpisah dan tanpa disengaja, kembali dia
bertemu dengan Siang In yang sedang berkasih-kasihan dengan Siluman Kecil. Dapat dibayangkan betapa
hancur rasa hati Kang Swi Hwa melihat betapa pria yang dikaguminya dan diam-diam dicintanya itu
ternyata saling mencinta dengan seorang gadis lain.
Maka dia lalu diam-diam meninggalkan tempat itu sambil menangis. Dia tidak tahu bahwa ketika dia lari
meninggalkan benteng yang terbakar, dari jauh gurunya selalu membayanginya dan melihat dara itu
menangis, Hek-sin Touw-ong lalu mengejar, menyusulnya dan mengajaknya istirahat di kuil tua itu,
kemudian bertanya apa yang disusahkan oleh muridnya. Karena kakek ini membayangi muridnya dari jauh,
maka dia tidak ikut menyaksikan apa yang menjadi sebab muridnya berduka, dia tidak melihat betapa
Siluman Kecil sedang berkasih-kasihan dengan Siang In.
Beberapa hari kemudian guru dan murid ini sudah tiba di puncak Bukit Nelayan di Pegunungan Tai-hangsan,
tempat tinggal Sai-cu Kai-ong. Dari lereng saja sudah nampak bangunan besar kuno yang dahulunya
merupakan bangunan semacam istana megah dari raja pengemis, nenek moyang dari Sai-cu Kai-ong.
Berbeda dengan nenek moyangnya, Saicu Kai-ong kini tidak suka menonjolkan diri dan walau pun dia
dijuluki Kai-ong dan pengaruhnya masih besar sekali, dianggap sebagai datuk kaum pengemis dan dipujapuja
oleh semua perkumpulan pengemis, namun dia tidak secara langsung memimpin para pengemis itu.
Dia lebih senang menyembunyikan diri di dalam bekas istana nenek moyangnya itu, hidup bersunyi di
puncak Bukit Nelayan.
Ketika guru dan murid itu telah berdiri di depan rumah kuno yang kelihatan kosong dan sunyi itu, Hek-sin
Touw-ong lalu berseru sambil mengerahkan khikangnya sehingga suaranya bergema sampai terdengar
dari tempat jauh.
“Kai-ong, ini sahabatmu Touw-ong ingin berjumpa denganmu!”
Memang kedengarannya lucu. Touw-ong (Raja Maling) ingin bertemu dengan Kai-ong (Raja Pengemis)!
Suara dari Hek-sian Touw-ong menimbulkan gema yang panjang dari dalam gedung besar itu, dan tidak
lama kemudian terdengar suara yang nyaring dari dalam gedung.
“Selamat datang, Touw-ong! Pintu rumahku tidak tertutup, harap kau masuk saja!”
Agaknya di antara dua orang sakti itu terdapat jalinan persahabatan yang sudah akrab, maka mereka
menggunakan kata-kata yang ramah dan kasar, tanpa banyak peraturan dan sopan santun yang biasa
timbul antara orang-orang yang baru berkenalan. Hek-sin Touw-ong tertawa bergelak, kemudian mengajak
muridnya memasuki pintu gerbang besar dari rumah kuno itu.
Hek-sin Touw-ong sendiri hidup sebagai seorang yang kaya, memiliki rumah besar yang terjaga oleh
banyak pelayan, maka tentu saja guru dan murid ini tidak asing dengan rumah-rumah besar dan mewah.
Akan tetapi, ketika memasuki istana tua ini, dara itu merasa seram juga, dan kagum melihat hiasan-hiasan
kuno yang antik dan indah.
Rumah kuno yang besar itu nampak sunyi menyeramkan oleh karena kelihatan kosong tanpa ada seorang
pun manusia yang menjaganya, kelihatan dingin karena kurangnya manusia di situ. Berindap-indap dara ini
berjalan di samping gurunya, memandang ke kanan kiri seperti memasuki sebuah goa yang penuh
ancaman bahaya. Akan tetapi Hek-sin Touw-ong yang dahulu sudah sering memasuki gedung ini, berjalan
seenaknya dengan wajah gembira, sungguh pun terdapat ketegangan yang nampak dari kerutan di antara
kedua alisnya. Kakek ini merasa gembira karena dia akan mengejutkan dan mendatangkan kegembiraan
besar kepada sahabat lamanya ini dengan mengembalikan cucunya, akan tetapi juga dia merasa tegang
karena merasa bersalah telah menculik cucu sahabatnya yang diserahkan kepada Sin-siauw Sengjin untuk
menjadi murid Kakek Suling Sakti itu. Juga hatinya tegang mengingat bahwa pemuda yang pernah
‘menghina’ muridnya adalah murid sahabatnya ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika mereka tiba di dalam sebuah ruangan, muncullah seorang kakek yang gagah perkasa, dan biar pun
usianya sudah lebih dari enam puluh lima tahun, namun tubuhnya yang tinggi tegap itu masih nampak
kokoh kuat, pakaiannya sederhana, pandang matanya tajam dan penuh kejujuran dan kegagahan. Kakek
ini menggunakan sinar matanya menyapu wajah dua orang tamunya dan dia agaknya merasa puas sekali
melihat keadaan Hek-sin Touw-ong karena sahabat lamanya itu masih nampak sehat dan sederhana,
dengan mukanya yang hitam terbakar matahari dan pakaiannya yang serba hitam pula. Dia tahu bahwa Si
Raja Maling ini amat kaya raya, namun pakaian dan sikapnya jelas membuktikan bahwa kakek itu tidak
membanggakan kekayaannya.
Ketika Sai-cu Kai-ong, kakek tuan rumah itu, memandang wajah Ang-siocia, dia kelihatan tertarik sekali,
bahkan seperti orang tertegun dan sinar matanya melekat pada wajah dara itu. Kalau orang tidak
mengenal bahwa kakek ini adalah seorang kakek sakti yang gagah perkasa, yang sudah tidak tertarik lagi
oleh wanita muda dan cantik, maka tentu orang akan menyangka dia adalah lelaki mata keranjang yang
terpesona oleh kecantikan Ang-siocia.
Melihat tuan rumah seperti tertegun memandangnya, dengan sinar mata penuh selidik menjelajahi setiap
bagian wajahnya, Ang-siocia mengerutkan alisnya dan diam-diam hatinya sudah merasa tidak senang. Dia
menyangka bahwa kakek itu tentu tergolong pria tua yang cabul dan mata keranjang! Akan tetapi tidak
demikian dengan gurunya, Hek-sin Touw-ong tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Kai-ong, dia ini adalah muridku, mengapa engkau memandanginya seperti itu? Apakah engkau sudah
mengenal muridku ini?” tanya Hek-sin Touw-ong sambil tersenyum.
Kalau saja dia memang terpesona oleh kecantikan gadis itu, tentu Sai-cu Kai-ong akan merasa canggung
dan malu mendengar teguran itu, akan tetapi karena memang dia sama sekali tidak ada pikiran yang tidak
patut, teguran itu diterimanya secara sungguh sungguh dan dia pun menjawab tanpa melepaskan pandang
matanya dari Ang-siocia.
“Serasa kukenal dia... wajahnya serupa benar dengan... mantuku yang telah meninggal dunia... akan
tetapi...,“ kini matanya meneliti ke arah dagu Ang-siocia.
“Ha-ha-ha, pengemis tua bangka, engkau mencari-cari sebuah tahi lalat kecil di dagu?”
Mendengar ini, secepat kilat kakek itu menoleh dan memandang pada tamunya dengan sinar mata berkilat,
wajahnya berubah pucat. “Engkau maling tua, hayo katakan yang sebenarnya, apa maksudmu itu? Dari
mana kau tahu tentang tahi lalat di dagu?”
Tiba-tiba mata kakek itu terbelalak. Dia menoleh lagi kepada Ang-siocia, memandang tajam wajah dara itu,
kemudian dia menoleh lagi kepada Hek-sin Touw-ong, suaranya gemetar ketika dia berkata, “Touw-ong,
demi Tuhan! Siapakah dia ini? Benarkah dia ini...?”
“Kai-ong, mari kita duduk yang baik dan akan kuceritakan sesuatu yang pasti akan mendatangkan
kegembiraan besar bagimu.”
Dengan mata masih memandang kepada Ang-siocia, tuan rumah itu membawa dua orang tamunya ke
sebuah ruangan dan mereka duduk berhadapan. Kemudian tuan rumah itu memandang wajah Si Raja
Maling, dan dari sinar matanya dia mengajukan seribu satu macam pertanyaan.
“Kai-ong, tidak perlu kujelaskan lagi, engkau tentu mengenal baik Sin-siauw Sengjin, bukan? Biar pun
engkau belum pernah membongkar rahasia kakek suling sakti itu, namun aku dapat menduga bahwa
antara engkau dan dia terdapat suatu ikatan yang amat mendalam. Benarkah demikian?”
Urusan yang menyangkut Sin-siauw Sengjin merupakan rahasia besar bagi Si Raja Pengemis, akan tetapi
karena dia percaya bahwa Raja Maling ini merupakan seorang gagah yang dapat dipercaya, maka tanpa
banyak cakap lagi dia mengangguk.
“Nah, terus terang saja, aku pernah bentrok dengan kakek yang angkuh dan sombong itu dan aku telah
kalah olehnya. Memang dia lihai bukan main dan betapa pun aku berusaha, aku tidak pernah dapat
menangkan kakek yang penuh rahasia itu.”
Sai-cu Kai-ong tersenyum. “Hal itu tidak aneh, Touw-ong. Aku sendiri pun tidak akan mampu
menandinginya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dan aku merasa penasaran, bukan main...“
“Ahhh, orang-orang macam kita ini, tua bangka-tua bangka yang sudah banyak makan garam dunia, masa
masih harus merasa penasaran kalau dikalahkan orang? Engkau tentu tahu bahwa tidak ada orang
terpandai di dunia ini,” cela Si Raja Pengemis.
“Engkau benar. Namun entah bagaimana, aku merasa penasaran sekali. Lebih-lebih ketika aku mendengar
betapa engkau mempercayakan seorang cucumu kepada kakek sombong itu untuk dididik! Kai-ong,
engkau memang terlalu. Jika hanya untuk mendidik cucumu saja, di dunia ini masih banyak sahabatsahabat
lainmu yang tidak sombong, dan termasuk aku yang tentu akan bersedia untuk menurunkan
seluruh ilmu tidak berharga yang ada padaku kepada cucumu. Akan tetapi, engkau justeru menyerahkan
cucumu itu kepada kakek takabur yang kubenci itu! Tentu saja aku menjadi makin penasaran saja.”
Sai-cu Kai-ong mengerutkan alisnya. “Bagaimana engkau dapat berkata demikian, Touw-ong? Urusan
keluarga adalah urusan kami sendiri dan kalau aku menyerahkan cucuku kepada Sin-siauw Sengjin, hal itu
tentu terjadi dengan suatu sebab dan alasan yang kuat. Kalau tidak demikian, apakah kau kira aku malas
untuk mendidik cucuku sendiri?”
Hek-sin Touw-ong mengangguk-angguk dan menarik napas panjang. “Agaknya engkau benar pula. Akan
tetapi ketika itu aku dibikin buta oleh perasaan penasaranku terhadap si suling sombong itu, maka aku
tidak dapat berpikir jernih. Dan untuk melampiaskan kemarahan dan rasa penasaranku, aku lalu memasuki
rumahnya dan... kuculik cucumu itu, kubawa pergi!”
Terdengar teriakan nyaring dan Sai-cu Kai-ong sudah bangkit berdiri dari bangkunya, matanya melotot dan
mukanya menjadi merah sekali. Mendengar teriakan nyaring tadi, Ang-siocia terkejut bukan main karena
dia merasa betapa jantungnya tergetar hebat dan tentu dia sudah roboh kalau saja dia tidak cepat
mengerahkan sinkang-nya untuk melawan serangan suara yang luar biasa itu. Itulah Ilmu Sai-cu Ho-kang
yang barusan dikeluarkan oleh Sai-cu Kai-ong dalam kemarahannya.
“Hemmm, jadi kiranya engkaukah yang menculik cucuku itu?” Suara Raja Pengemis itu terdengar penuh
ancaman dan kemarahan yang ditahan-tahan.
Akan tetapi Hek-sin Touw-ong masih bersikap tenang saja sungguh pun wajahnya berubah agak pucat. Dia
mengangguk. “Benar, Kai-ong, akulah yang menculiknya, dan aku tidak menyesal karena aku menganggap
anak itu seperti anakku atau cucuku sendiri, aku sudah menurunkan seluruh ilmuku kepada muridku itu...“
“Suhu...!” Ang-siocia berteriak kaget mendengar ini.
Sejak tadi dia mendengarkan saja tanpa mengerti apa yang dibicarakan oleh kedua orang kakek itu. Akan
tetapi, ucapan terakhir suhu-nya itu membuka matanya. Kiranya dialah anak kecil yang dipercakapkan itu.
Dialah cucu Raja Pengemis ini yang dititipkan kepada Sin-siauw Sengjin dan kemudian diculik oleh suhunya!
Pantas saja suhu-nya rnengatakan bahwa orang yang dapat menceritakan semua keluarganya adalah
Sai-cu Kai-ong yang ternyata adalah kakeknya sendiri!
“Dia... dia ini Yu Hwi cucuku...? Tapi... tapi...“ Sai-cu Kai-ong memandang dengan mata terbelalak dan
wajahnya pucat, suaranya gemetar karena keharuan yang mendalam.
“Maksudmu tahi lalatnya? Tahi lalat di dagu itu telah kuhilangkan dengan obat, dan dia pun hanya
mengenal namanya sebagai Kang Swi Hwa, atau julukannya Ang-siocia murid Si Raja Maling.”
“Yu Hwi... kau... kau cucuku...“ Sai-cu Kai-ong berseru dan melangkah maju.
Kang Swi Hwa atau lebih tepat lagi Yu Hwi juga memandang pada kakeknya itu, yang agaknya merupakan
satu-satunya keluarganya, maka dia pun lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek itu. “Kongkong...!”
“Yu Hwi... ahhh, Yu Hwi...!” Kakek itu mengangkat dara itu dengan memegang kedua pundaknya,
memandangi wajah itu. “Benar, benar..., engkaulah satu-satunya keturunan keluarga Yu kita... wajah dan
mulutmu serupa dengan mendiang ibumu, akan tetapi matamu... ahhh, matamu adalah mata keturunan
keluarga Yu...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu merasa terharu sekali dan memeluk cucunya. Tak dapat menahan keharuan hatinya, dan Yu Hwi
pun menangis.
Hek-sin Touw-ong tertegun. Baru sekarang dia merasa betapa dia telah melakukan suatu kesalahan besar.
Dia melihat sekarang persamaan sinar mata kedua orang itu, dan dia merasa betapa dia telah membuat
sahabatnya itu menderita hebat. Dia tidak mengira sama sekali bahwa sahabatnya itu pun baru belum lama
ini mendengar tentang hilangnya Yu Hwi, baru setelah Sin-siauw Sengjin menemuinya beberapa bulan
yang lalu. Tadinya, Raja Pengemis itu mengira bahwa cucunya masih belajar pada Kakek Suling Sakti itu
dalam keadaan sehat.
“Kai-ong, aku telah melakukan kesalahan besar padamu...!” Dia berkata dengan suara penuh kedukaan,
bukan duka karena menyesali kesalahannya, melainkan duka melihat betapa muridnya yang dianggap
sebagai keluarga sendiri itu kini benar-benar telah bertemu dengan keluarga asli muridnya, dan baru terasa
olehnya bahwa dia bukan apa apa, bahwa dia adalah orang luar, tidak berhak terhadap diri muridnya itu,
bahkan dia orang luar yang telah melakukan kesalahan terhadap keluarga Yu!
“Kau... kau... plakkk!” Tiba-tiba tangan kanan Sai-cu Kai-ong menampar pipi Hek-sin Touw-ong.
Melihat ini, Yu Hwi terkejut bukan main. Akan tetapi yang ditampar masih berdiri dan menundukkan
mukanya. Pipi kirinya menjadi merah sekali oleh tamparan itu. Kedua kakek itu saja yang tahu bahwa
betapa pun marahnya Si Raja Pengemis, namun dia tadi menampar tanpa mengerahkan tenaga sinkang,
karena kalau hal itu dilakukannya, tentu yang ditamparnya telah roboh dengan tulang pipi remuk! Dan juga,
yang ditampar tadi sama sekali tidak mengelak, bahkan sama sekali tidak mengerahkan sinkang untuk
melawan atau melindungi pipinya!
“Aku sudah layak kau tampar, bahkan kalau engkau hendak membunuhku sekali pun, Kai-ong, aku tidak
akan melawan. Silakan!”
“Engkau tua bangka keparat!” Sai-cu Kai-ong membentak dan tangannya telah bergerak lagi.
“Kong-kong, tahan...!” Tiba-tiba Yu Hwi berteriak dan dara ini sudah meloncat ke depan dan memegang
lengan kakeknya. Kakeknya memutar tubuh, kemudian menatap wajah cucunya dengan sinar mata penuh
selidik.
“Kong-kong, biarlah aku yang mintakan ampun untuk Suhu!” Dara itu menjatuhkan diri berlutut. “Setelah
aku mendengar riwayat itu, aku tahu bahwa Suhu bersalah besar kepada keluarga kita, terutama telah
membuat Kong-kong menderita duka. Akan tetapi, selama ini, semenjak aku kecil, Suhu telah menjadi
guruku, sahabatku, dan juga menjadi pengganti orang tuaku. Kalau Kong-kong mau menghukumnya,
biarlah aku yang mewakilinya sebagai pembalas semua budi kebaikannya yang telah dilimpahkan
kepadaku selama ini.”
Sai-cu Kai-ong berdiri tegak sambil menunduk, memandang kepala cucunya yang berlutut itu, dan Hek-sin
Touw-ong juga berdiri dengan kepala tunduk, kelihatan terharu sekali. Hening sekali suasana di dalam
ruangan itu setelah Yu Hwi menghentikan kata katanya.
Tiba-tiba meledak suara ketawa bergelak yang memecahkan keheningan itu. Hek-sin Touw-ong
mengangkat muka memandang, juga Yu Hwi memandang wajah kakeknya dengan penuh keheranan.
Kakek itu tertawa bergelak, menghadapkan mukanya ke atas dan tertawa lagi.
“Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Kiranya Hek-sin Touw-ong tidak mencemarkan namanya dan tetap terbukti
sebagai seorang laki-laki sejati yang pandai mendidik. Touw-ong, aku mengucapkan terima kasih
kepadamu. Engkau telah mendidik Yu Hwi sebagaimana mestinya sehingga dia tetap menjadi seorang
dara yang gagah perkasa, berjiwa pendekar, sungguh tidak memalukan sebagai keturunan terakhir
keluarga Yu. Ha-ha-ha, kau maafkanlah tamparanku sebagai ledakan kemarahanku tadi, Touw-ong!”
Hek-sin Touw-ong kini juga tertawa, akan tetapi ketika dia tertawa, ada dua titik air mata meloncat keluar
dari sepasang matanya, dua titik air mata yang hinggap di pipi dan cepat dihapusnya dengan punggung
tangannya. “Ha-ha-ha, engkau Raja Pengemis, jembel tua bangka yang menjemukan! Kau bilang
menampar, namun sesungguhnya engkau hanya mengelus pipiku saja. Kalau engkau benar menampar,
apakah mukaku yang buruk ini masih utuh sekarang? Ha-ha-ha, mengelabui anak sekali pun engkau tak
becus, Raja Pengemis! Sekarang hutangku telah impas, cucumu telah kukembalikan. Dan tentang si
sombong Sin-siauw Sengjin, sampaikan kepadanya bahwa aku mentertawakan dia, katakan bahwa akulah
dunia-kangouw.blogspot.com
yang dulu mencuri muridnya dan kalau dia tidak terima, dia boleh mencariku. Rumahku tidak tersembunyi
seperti rumahnya! Dan katakan lagi bahwa sekumpulan kitab-kitab palsunya telah dicuri orang, dan
pencurinya adalah... ha-ha-ha, cucumu inilah! Jangan heran, Kai-ong, cucumu ini adalah murid Hek-sin
Touw-ong, maka jangankan hanya milik manusia macam Sin-siauw Sengjin, biar milik kaisar sekali pun dia
sanggup untuk mencurinya tanpa diketahui sang pemilik! Dan kalau si suling sombong itu ingin
mendapatkan kitab-kitab palsunya kembali, suruh dia mengambil di rumahku. Nah, aku sudah cukup
bicara, dan di antara kita tidak ada hutang-pihutang lagi. Selamat tinggal, Kai-ong!”
Setelah berkata demikian, Hek-sin Touw-ong membalikkan tubuh dan melangkah keluar dengan langkah
lebar, tanpa menoleh kepada Yu Hwi lagi.
“Suhu...!” Yu Hwi meloncat dan menghadang di depan suhu-nya. Kini tampak olehnya betapa muka suhunya
itu basah oleh air mata yang masih menetes-netes dari kedua mata itu dan mengalir di sepanjang
kedua pipi yang keriput.
“Suhu...!” Yu Hwi menjatuhkan diri berlutut dan menangis di depan kaki suhu-nya, memegangi tangan
suhu-nya dengan perasaan penuh keharuan.
Teringatlah dia akan semua kebaikan suhu-nya itu semenjak dia masih kecil sekali. Terasa benar olehnya
kasih sayang gurunya ini kepadanya. Tahulah dia mengapa tadi suhu-nya pergi tanpa pamit, bahkan sama
sekali tanpa menoleh kepadanya. Kiranya suhu-nya merasa tidak kuat untuk berpamitan kepadanya, dan
suhu-nya hendak menyembunyikan kedukaan hatinya karena harus berpisah darinya, bukan hanya
berpisah lahir, bahkan harus memutuskan hubungan karena kini dia sudah kembali kepada keluarganya,
kepada kakeknya.
“Suhu, teecu menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan Suhu terhadap teecu, dan sampai mati teecu
tidak akan melupakan budi kebaikan Suhu...“
“Swi Hwa, muridku, biar pun engkau adalah Yu Hwi cucu si Raja Pengemis, akan tetapi bagiku engkau
tetap Kang Swi Hwa muridku. Engkau sekarang telah kembali kepada kakekmu, seorang gagah perkasa
yang patut kau junjung tinggi, patut kau hormati dan patut kau taati. Aku hanyalah seorang maling yang
tidak berhak menjadi gurumu, dan aku telah melakukan kesalahan besar terhadap keluargamu. Akan
tetapi, biar pun aku tidak mengharapkan lagi untuk kau ingat, aku minta kepadamu, Swi Hwa, agar engkau
mempergunakan semua ilmu yang pernah kuajarkan kepadamu itu untuk membela kebenaran dan
keadilan. Nah, sudahlah, muridku, kita berpisah dan jangan ingat aku lagi.” Sebelum muridnya sempat
menjawab, kakek itu telah berkelebat dan lenyap dari situ, melarikan diri dengan mengerahkan tenaga
ginkang-nya sehingga sebentar saja dia sudah jauh sekali.
“Suhu...!” Yu Hwi memekik dan hendak mengejar, namun sebuah tangan memegang pundaknya dengan
lembut.
“Yu Hwi, belum pernah keturunan keluarga Yu memperlihatkan kelemahan! Apakah yang kekal di dunia
ini? Pengikatan diri hanya merupakan sumber segala derita. Ada waktu berkumpul, pasti ada waktu
berpisah.”
Ucapan yang keluar dari mulut kakek Raja Pengemis itu terdengar sedemikian penuh wibawa dan
semangat sehingga Yu Hwi atau Kang Swi Hwa atau Ang-siocia seketika berdiri tegak dengan muka agak
pucat akan tetapi matanya bersinar-sinar. Dia dapat merasakan kegagahan yang terpancar keluar dari
sikap, kata-kata dan pandang mata kakeknya itu dan dia merasa bangga menjadi keturunan keluarga Yu.
Kebanggaan makin membesar dalam diri dara itu pada waktu kakeknya mengajaknya berkeliling ke dalam
istana kuno itu dan mendengar penuturan kakeknya mengenai kebesaran nama keluarga Yu, yaitu
keluarga nenek moyangnya yang terkenal sebagai tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan. Kiranya dia
bukanlah keturunan keluarga sembarangan, dan hatinya mengandung perasaan penasaran! Dia adalah
keturunan keluarga Yu yang besar dan gagah perkasa, tidak kalah hebat dibandingkan dengan keluarga
Pulau Es, keluarga dari Siluman Kecil!
“Yu Hwi, setelah engkau kini dapat kutemukan, kita harus cepat-cepat pergi menemui keluarga calon
suamimu.”
Ucapan tenang dan lembut dari kakeknya itu mengejutkan hati Yu Hwi bukan kepalang. Namun dara ini
dapat menekan perasaannya. Dia adalah keturunan keluarga besar, maka dia pun harus berjiwa besar dan
dunia-kangouw.blogspot.com
berwatak gagah, tidak boleh memperlihatkan perasaan hatinya! Kenyataan bahwa dia adalah keturunan
keluarga besar ini seketika telah mengubah sedikit watak Yu Hwi, mendatangkan semacam keangkuhan
yang hanya dimiliki oleh orang-orang yang merasa dirinya ‘besar’. Maka dengan kekuatan batinnya dia
telah berhasil menindas perasaannya yang terkejut ketika mendengar ucapan kakeknya itu dan dia hanya
memandang tajam kepada kakeknya. Suaranya terdengar tenang saja ketika dia bertanya.
“Calon suami? Apa yang kau maksudkan, Kong-kong?”
Sikap Sai-cu Kai-ong juga tenang sekali dan diam-diam dia merasa girang melihat sikap cucunya. Benarbenar
Si Raja Maling tidak mengecewakan, telah mendidik cucunya ini menjadi seorang dara yang gagah
perkasa. Dia tersenyum dan memandang cucunya dengan wajah berseri.
“Yu Hwi, semenjak engkau masih bayi, engkau telah bertunangan. Dan jangan engkau khawatir atas
keputusan yang diambil kakekmu ini. Tunanganmu itu bukanlah orang sembarangan. Dia adalah keturunan
dari keluarga yang jauh lebih besar dan gagah perkasa dari pada keluarga kita malah! Dia adalah
keturunan dari keluarga Pendekar Suling Emas, satu-satunya keturunan pendekar itu yang masih ada. Dan
jangan kau khawatir, Kam-kongcu, calon suamimu itu adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah
perkasa, memiliki kepandaian silat yang amat tinggi karena dia mewarisi kepandaian nenek moyangnya,
yaitu Pendekar Suling Emas.”
Biar pun sikapnya masih tenang, namun sepasang alis yang hitam kecil itu berkerut. Tentu saja dia sama
sekali tidak tertarik ketika mendengar seorang pemuda bernama Kam-kongcu itu, biar pun kakeknya
mengatakan betapa pemuda itu tampan dan gagah.
“Kong-kong, mengapa engkau mengikat perjodohanku ketika aku masih seorang bayi? Bukankah
perjodohan adalah urusan dua orang yang berhak memilih sendiri calon jodohnya sesuai dengan
perasaannya?”
Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek menarik napas panjang. “Boleh jadi benar anggapanmu, cucuku. Akan tetapi
di antara kita keluarga Yu dan keluarga Suling Emas, yaitu keluarga Kam, terdapat ikatan yang amat erat
semenjak nenek moyang kita dahulu. Kebetulan sekali keturunan keluarga kita yang terakhir terlahir
sebagai seorang wanita, yaitu engkau, dan keluarga Kam yang terlahir sebagai seorang pria. Oleh karena
itu, atas persetujuan bersama, engkau kutunangkan dengan Kam-kongcu, sehingga dengan demikian,
keturunan Yu biar pun akan putus karena tidak ada lagi keturunan laki-laki, namun keturunanmu akan
menjadi keturunan keluarga Kam dan berarti keluarga kita tidak putus melainkan menggabungkan dengan
keluarga Kam. Sungguh penggabungan yang amat baik dan mengharukan.” Suara kakek itu agak gemetar
ketika mengatakan kalimat terakhir.
Biar pun di dalam hatinya merasa tidak setuju dan tidak senang, akan tetapi sebagai keturunan keluarga
‘besar’, Yu Hwi hanya menunduk. Dia tahu bahwa janji seorang seperti kakeknya itu pasti tidak mungkin
dapat ditarik kembali! Maka dia pun akan melihat dulu bagaimana keadaan tunangan itu, kalau kelak dia
merasa tidak cocok, sampai bagaimana pun juga dia tidak akan tunduk dan menyerah begitu saja!
Sai-cu Kai-ong merasa girang bukan main ketika dia minta kepada cucunya untuk bersilat
mempertunjukkan ilmu-ilmu yang telah diperoleh cucunya itu dari Touw-ong. Dia merasa kagum melihat
kehebatan Kiam-to Sin-ciang, dan lebih kagum sekali melihat kecepatan gerakan tangan cucunya yang
memperlihatkan kemahiran ilmu mencopet, kemudian tertegun melihat cucunya dapat ‘pian-hoa’
(mengubah diri) menjadi orang lain dalam ilmu penyamarannya yang hebat!
“Ah, engkau telah menjadi seorang gadis yang lihai Yu Hwi. Dalam penggemblenganku sendiri, belum
tentu engkau akan menjadi lihai seperti ini. Akan tetapi, engkau berhak untuk mewarisi ilmu-ilmu dari
keluarga Yu kita, maka engkau harus menghafal semua ilmu itu untuk kemudian kau latih perlahan-lahan.”
Tentu saja Yu Hwi merasa girang sekali dan selama tiga hari tiga malam kakeknya menurunkan ilmu yang
amat hebat, yaitu ilmu warisan keluarga Yu yang mengangkat nama keluarga itu selama puluhan, bahkan
ratusan tahun, yaitu Ilmu Silat Khong-sim Sin-ciang, ilmu inti dari para raja pengemis perkumpulan Khongsim
Kai-pang! Setelah dara itu menghafal teori ilmu silat ini dengan baik, maka kakek itu lalu mengajaknya
untuk pergi menemui tempat tinggal tunangannya!
Yu Hwi tidak membantah, dan jantungnya berdebar penuh ketegangan pada saat dia melakukan
perjalanan dengan kakeknya menuju ke tempat tinggal calon suaminya, yang menurut kakeknya sekarang
tinggal bersama Sin-siauw Sengjin! Dia tidak pernah menyinggung nama tunangannya itu, akan tetapi
dunia-kangouw.blogspot.com
mendengar nama Sin-siauw Sengjin, dia berkata, “Apakah Kong-kong lupa akan pesan suhu? Aku pernah
mencuri kumpulan kitab-kitab dari kakek suling sakti itu. Kalau dia mendengar itu dan melihatku, apakah
dia tidak akan marah?”
Kakek itu tertawa. “Dia marah kepadamu? Ha-ha-ha, tidak mungkin cucuku. Dan dia tentu malah akan
tertawa girang melihat kelihaianmu, apa lagi kitab-kitab yang kau curi itu hanya kitab-kitab palsu. Sudahlah,
jangan khawatir. Kita akan menemui keluarga yang paling hebat dalam dunia ini, sedangkan Sin-siauw
Sengjin itu hanya merupakan keturunan dari pelayan saja dari keluarga tunanganmu!”
Diam-diam Yu Hwi terkejut sekali mendengar ini dan timbul keinginan hatinya untuk melihat seperti apakah
gerangan macamnya orang yang menjadi calon suaminya itu sehingga kakek sakti Sin-siauw Sengjin
hanya merupakan keturunan pelayan dari keluarga pemuda itu!
Hari telah sore dan cuaca mulai gelap ketika akhirnya kakek dan cucu itu tiba di puncak sebuah bukit kecil
yang kini menjadi tempat tinggal Sin-siauw Sengjin dan para pengikutnya. Di puncak itu terdapat sebuah
bangunan sederhana namun cukup besar dan kelihatan sunyi saja. Di sekeliling bangunan terdapat
tanaman bermacam-macam sayur dan bunga-bunga, suasananya hening dan bersih sekali.
Akan tetapi, ketika mereka tiba di depan rumah besar itu, tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan tahutahu
di depan mereka telah berdiri menghadang seorang kakek yang bertubuh tinggi kurus dan memegang
tongkat butut. Yu Hwi kagum melihat gerakan kakek ini yang memiliki ilmu ginkang yang amat tinggi
sehingga dapat bergerak secepat itu.
Sejenak kakek tinggi kurus itu memandang kepada Sai-cu Kai-ong dan Yu Hwi, akan tetapi segera
sikapnya berubah ketika dia mengenal Sai-cu Kai-ong. Kalau tadinya dia bersikap galak dan angkuh,
sekarang wajahnya tersenyum dan dia cepat membungkuk dengan hormat.
“Ahhh, kiranya Kai-ong yang berkenan datang berkunjung. Harap maafkan bahwa guru kami tidak
mengetahui sebelumnya sehingga tidak sempat menyambut.”
“Ha-ha-ha, Gin-siauw Lo-jin, engkau makin tua makin gagah saja. Tak usah bersikap sungkan, lebih baik
lekas beritahukan gurumu bahwa aku datang dan minta menghadap kepadanya karena urusan keluarga
yang amat penting,” kata Sai-cu Kai-ong.
“Silakan Kai-ong masuk dan menanti di ruangan tamu, saya akan melaporkan kepada suhu,” kata kakek itu
sambil mempersilakan dua orang tamu itu masuk.
Sai-cu Kai-ong mengangguk dan mengajak Yu Hwi masuk, kemudian mereka berdua duduk di sebuah
ruangan yang lebar dan sederhana, sedangkan kakek bertongkat itu lalu mengangguk lagi dan
meninggalkan mereka.
“Siapakah kakek lihai itu, Kong-kong? Kalau tidak salah, pada waktu Sin-siauw Sengjin bertanding
melawan Pendekar Siluman Kecil, aku pernah melihatnya,” bisik Yu Hwi yang masih kagum melihat kakek
itu.
“Dia adalah Gin-siauw Lo-jin. Kau lihat, muridnya saja demikian lihai, apa lagi gurunya! Dan selihai itu pun
masih belum dapat menguasai ilmu-ilmu Pendekar Suling Emas dengan sempurna. Yang dapat
menguasainya kelak tentu hanya Kam-kongcu, yaitu tunanganmu itu,” kata kakek itu dengan bangga
sehingga makin tertarik hati Yu Hwi untuk melihat bagaimana tampangnya pemuda yang dipuji-puji
kakeknya ini.
Terdengar suara orang tertawa halus dari arah pintu dalam dan muncullah seorang kakek tua renta yang
bukan lain adalah Sin-siauw Sengjin sendiri. Kakek ini nampak tua sekali. Begitu melihat tamunya, dia
cepat menjura dengan dalam ke arah Sai-cu Kai-ong sambil berkata, “Ahhh, sungguh girang sekali kami
mendapat kunjungan Kai-ong yang terhormat. Mengapa tidak memberi kabar lebih dulu sehingga kami
dapat mengadakan penyambutan meriah?”
Sai-cu Kai-ong cepat bangkit dan membalas penghormatan sahabatnya itu, kemudian dia menjawab,
“Kami datang secara tergesa-gesa, membawa berita yang amat penting dan tentu akan menggirangkan
hati Sengjin yang sudah tua.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek berambut putih itu memandang kepada Yu Hwi, dan Si Raja Pengemis tahu betapa sinar mata
kakek itu nampak tertegun, kemudian sinar mata itu meneliti ke arah dagu cucunya, maka dia tertawa, “Haha-
ha, Sengjin, engkau sedang mencari tahi lalat di dagunya?” Dia lalu teringat akan teguran Si Raja
Maling kepadanya dan dia tertawa gembira.
Wajah kakek berambut putih itu berubah. “Apa maksudmu, Kai-ong?” Sekarang dia memandang kepada
kakek raja pengemis itu penuh keheranan.
Memang tadi dia tertegun melihat Yu Hwi, akan tetapi tentu saja terdapat perbedaan amat besar antara Yu
Hwi belasan tahun yang lalu sebagai anak kecil dengan Yu Hwi sekarang yang telah menjadi seorang dara
jelita yang sudah dewasa. Kalau dia tadi memandang tertegun, bukan karena dia melihat persamaan,
seperti persamaan antara Yu Hwi dan mendiang ibu kandungnya yang dapat dikenal oleh Sai-cu Kai-ong,
tetapi karena dia merasa heran mengapa sahabatnya itu datang membawa seorang gadis cantik yang
sama sekali tak dikenalnya. Maka, mendengar ucapan sahabatnya tentang tahi lalat di dagu, dia terkejut
sekali.
“Maksudku, Sengjin, bahwa yang berdiri di depanmu ini adalah Yu Hwi, cucuku yang dulu kutitipkan
kepadamu kemudian hilang diculik orang.”
Mendengar ini, kakek berambut putih itu terkejut bukan main dan dia melangkah maju ke depan, mendekati
Yu Hwi dan memandang makin teliti. “Ahhhhh... terima kasih kepada Thian bahwa engkau akhirnya dapat
ditemukan dalam keadaan selamat, anak yang baik!” katanya.
“Yu Hwi, lekas beri hormat kepada Sin-siauw Sengjin, karena dia inilah sesungguhnya gurumu sebelum
engkau dilarikan oleh gurumu yang sekarang.”
Biar pun hatinya meragu, apa lagi mengingat bahwa dia telah mencuri kitab-kitab milik kakek sakti ini,
namun Yu Hwi tidak berani membantah perintah kakeknya dan dia lalu menjatuhkan dirinya berlutut di
depan kakek itu.
Sin-siauw Sengjin tersenyum dan mengelus jenggotnya sambil mengangguk-angguk. Dengan sikap lembut
jari-jari tangannya meraba baju di punggung dara itu, kemudian membetotnya. Ada tenaga kuat yang
memaksa Yu Hwi bangkit berdiri lagi.
“Jangan banyak sungkan, Yu-siocia. Silakan duduk,” katanya lembut.
Yu Hwi merasa heran mendengar betapa di dalam suara itu terkandung penghormatan yang agak
berlebihan, seolah-olah kakek itu merendahkan diri dengan menyebutnya Yu-siocia. Akan tetapi dia pun
tidak banyak cakap dan duduk di atas bangku yang ditunjuk, yaitu di depan kakek rambut putih itu.
“Kai-ong yang baik, kenapa engkau tidak cepat-cepat memberi kabar kepadaku bahwa engkau telah
menemukan kembali cucumu?” Sin-siauw Sengjin menegur sahabatnya.
“Ketahuilah, Sengjin, bahwa aku sendiri pun baru beberapa hari saja bertemu dengan cucuku, dan setelah
menurunkan ilmu-ilmu keluarga kami, aku lalu cepat mengajaknya menghadapmu di sini.”
“Ahhh, kalau begitu maafkan teguranku dan terima kasih atas perhatianmu, Kai-ong. Sekarang, coba kau
tolong beri tahu kepadaku, bagaimana engkau dapat menemukan cucumu ini? Siapakah yang
menculiknya?”
Sai-cu Kai-ong menarik napas panjang. “Inilah jadinya kalau kita yang sudah tua-tua ini selalu tidak mau
kalah mengadu ilmu dengan orang lain. Apakah engkau ingat akan Hek-sin Touw-ong?”
“Ah, Si Raja Maling dari pantai Po-hai yang lihai itu?”
“Benar dia, dan pernahkah engkau bentrok dengan dia?”
Sin-siauw Sengjin lantas mengangguk-angguk. “Ah, aku masih menyesal sekali dengan peristiwa itu. Kami
sama-sama keras kepala dan tak mau mengalah sehingga akhirnya dengan menyesal aku terpaksa
melukainya... apa hubungannya dia dengan urusan ini?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bukan hanya jasmaninya yang terluka, akan tetapi juga hatinya, Sengjin. Oleh karena merasa penasaran,
apa lagi ketika mendengar bahwa aku, sahabatnya yang akrab, menyerahkan cucuku untuk menjadi
muridmu, hatinya menjadi panas sekali dan dialah yang menculik Yu Hwi, yang kemudian diangkatnya
sebagai murid, bahkan dianggap sebagai anak sendiri dan dicintanya.”
“Ahhh...!” Wajah kakek tua itu berubah merah, akan tetapi kemarahannya itu segera meluntur. “Salahku
sendiri... semua sebab tentu berakibat...!”
“Engkau benar, tidak perlu kita merasa penasaran karena Si Raja Maling itu tidak berniat buruk terhadap
Yu Hwi. Bahkan semua kepandaiannya telah diturunkannya kepada Yu Hwi dan cucuku dicinta seperti
anak sendiri. Dan kau tahu apa yang dikatakannya kepadaku untuk disampaikan kepadamu? Bahkan
kumpulan-kumpulan kitab palsumu telah dicuri orang, dan pencurinya adalah... Yu Hwi sendiri!”
“Ahhh...?” Sin-siauw Sengjin terbelalak memandang kepada Yu Hwi dan dara itu cepat menundukkan
mukanya.
“Harap Locianpwe sudi memaafkan kekurang ajaranku...“
Kakek tua renta itu tertawa pahit. “Aihhh, si maling itu sungguh tak kepalang membalas sakit hatinya.
Tidak, Yu-siocia, aku tidak marah dan sudah sepatutnya aku menerirna hajaran itu agar aku tidak lagi
memandang rendah kepandaian orang lain.”
“Sengjin, kenapa urusan penting dilupakan dan kita bicara urusan sendiri? Mana dia Kam-kongcu?
Peristiwa yang amat menggembirakan ini harus kita saksikan, ha-ha-ha! Ingin aku melihat pertemuan
antara dua orang calon pengantin yang amat cocok dan sama-sama elok, bukan? Lekas kau persilakan
Kam-kongcu keluar!”
Sin-siauw Sengjin tersenyum gembira dan mengangguk-angguk. “Wah, aku sudah pikun, Kai-ong. Dia tadi
sedang tekun melatih sinkang bagian terakhir. Anak itu dengan cepat telah dapat menguasai ilmu-ilmu
yang paling sukar dan kini sudah melampaui tingkatku. Semua ini berkat bimbinganmu, Kai-ong. Biar
kupanggil dia.”
Setelah berkata begitu kakek itu menoleh ke kiri, lalu bibirnya bergerak mengeluarkan suara lirih, akan
tetapi suara lirih ini menggetarkan jantung Yu Hwi yang merasa terkejut setengah mati dan cepat dia pun
mengerahkan sinkang untuk menahan jantungnya agar tidak terguncang hebat oleh pengaruh khikang
suara itu.
“Kam-kongcu, silakan keluar ke kamar tamu, di sini ada Suhu-mu dan tunanganmu!”
Suara itu lirih saja, akan tetapi mengandung getaran amat kuat dan agaknya getaran itu dapat menembus
dinding. Hening sejenak setelah gema suara aneh itu lenyap, kemudian lapat-dapat terdengar bisikan yang
lirih pula akan tetapi terdengar jelas oleh Yu Hwi.
“Aku datang, Locianpwe...!”
Tak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang halus dari pintu samping ruangan tamu itu. Jantung
di dalam dada Yu Hwi lantas berdebar tegang. Kalau dia menurunkan bisikan hatinya yang biasanya wajar,
polos dan lincah, tentu dia akan memandang ke arah pintu itu untuk cepat melihat seperti apa gerangan
Kam-kongcu yang dikatakan sebagai tunangan atau calon suaminya itu. Namun, mengingat bahwa dia
adalah keturunan keluarga Yu yang ‘besar’, maka dia menekan perasaan hatinya dan hanya menundukkan
mukanya tanpa menoleh. Terasa benar olehnya betapa detak jantungnya seperti hendak memecahkan
rongga dadanya!
Bukan hanya Yu Hwi saja yang dapat terserang semacam ‘penyakit’, yaitu kehilangan kebebasan dan
kewajaran begitu dia ‘menempel’ kepada sesuatu yang lebih besar atau yang dianggap lebih besar dari
pada dirinya sendiri. Yu Hwi tadinya adalah seorang dara yang bebas dan wajar, polos dan tidak berpurapura,
hidup lincah gembira tanpa adanya penghalang apa pun. Akan tetapi, begitu dia merasa bahwa dia
adalah keturunan keluarga yang ‘besar’, maka dia menyamakan diri dengan kebesaran nama keluarga itu
dan merasa dirinya besar pula, dan begitu dia merasa dirinya besar, lenyaplah kewajaran dan
kebebasannya karena yang besar itu tentu mempunyai sifat sifat besar tersendiri pula! Bukan hanya Yu
Hwi yang terserang penyakit itu, melainkan kita pada umumnya pun demikian!
dunia-kangouw.blogspot.com
Dapat kita lihat di dalam kehidupan kita sehari-hari kalau kita mau membuka mata melihat kanan kiri,
depan belakang dan terutama sekali melihat ke dalam diri sendiri, melihat batin sendiri. Betapa kita hidup
dalam alam kepalsuan! Betapa kita memaksa diri untuk berpura-pura, berpalsu-palsu, semua itu hanya
karena ingin ‘menyesuaikan diri’ dengan kesopanan, dengan kebudayaan, dengan kebiasaan masyarakat
pada umumnya. Padahal, apa yang dinamakan kesopanan itu sesungguhnya tidak sopan lagi kalau
dilakukan dengan pura-pura, dengan paksaan. Apakah artinya senyum di bibir kalau di dalam hati kita
mencibir atau menangis? Apakah artinya sikap sopan di lahir kalau di batin kita memandang rendah?
Apakah gunanya sikap ramah dan suka kalau di dalam hati kita membenci?
Dan semua keadaan yang bertentangan ini terjadi setiap hari, setiap saat, di dalam kehidupan manusia di
seluruh dunia! Kita kehilangan kewajaran, kehilangan kebebasan, karena kita INGIN DIANGGAP BAIK, kita
ingin dianggap sopan, dianggap ramah, maka kita mengejar anggapan itu dengan menggunakan kedok
palsu bernama kesopanan, keramahan, kebaikan dan selanjutnya! Betapa menyedihkan hal ini! Betapa
munafik dan palsunya kita ini. Dapatkah kita hidup tanpa kepalsuan ini, dengan kesopanan yang tidak
dibuat-buat, keramahan yang wajar dan tulus, senyum yang memancarkan cahaya kegembiraan dari hati,
bukan sekedar usaha agar kita dianggap baik belaka? Dapatkah? Pertanyaan ini amat penting artinya bagi
kita kalau kita ingin mengenal dan menyelidiki diri sendiri.
Biar pun sepasang mata Yu Hwi tidak menoleh, namun pendengaran telinganya dapat menangkap setiap
gerakan dari orang yang memasuki ruangan itu. Langkah-langkah yang halus dan tetap, tidak tergesagesa,
gerakan yang lembut.
“Suhu! Teecu girang sekali melihat kedatangan Suhu, dan teecu menghaturkan hormat kepada Suhu!”
terdengar suara seorang pria dan hati dara itu tersentak kaget karena dia merasa seperti sudah mengenal
suara itu dengan baik sekali.
Akan tetapi ‘kesopanan’ masih membuat dia memaksa diri menundukkan muka, sama sekali tidak berani
mengerling ke arah pria yang kini berlutut tidak jauh di sebelah kiri bangku yang didudukinya itu. Dia hanya
dapat melihat baju yang sederhana di pundak yang lebar.
Sai-cu Kai-ong cepat berdiri dari duduknya, menyentuh pundak pemuda itu untuk ditarik berdiri sambil
tertawa. “Ha-ha-ha! Anak baik, bangkitlah dan perkenalkan calon isterimu yang sudah hilang selama
belasan tahun…”
Mula-mula Yu Hwi hanya melirik dengan ujung matanya ketika melihat bayangan tubuh pemuda itu
membalik dan menghadap kepadanya, tetapi tiba-tiba matanya terbelalak ketika dia sudah mulai dapat
memandang wajahnya.
“Kau…?!”
“Ahhhh….”
Walau pun dengan kata-kata yang berbeda, akan tetapi kedua orang ini berseru pada waktu yang
bersamaan. Tidak mengherankan apabila dua orang ini sama-sama terkejut bukan main karena mereka
sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa orang yang akan ditemuinya adalah yang kini sedang
berada di hadapannya. Sejenak mereka hanya saling menatap dengan mata terbelalak, dan akhirnya Yu
Hwi yang lebih dahulu mengeluarkan suara setengah berteriak.
“Ternyata kau adanya… laki-laki kurang ajar…!”
Setelah berkata demikian, gadis itu langsung membalikkan badan dan lari ke arah pintu, meninggalkan
suara isak bercampur kemarahan. Dua orang kakek dan pemuda yang ternyata Kam Hong adanya,
sekejap hanya bengong terlongong, tidak menduga bahwa kejadian akan berlangsung demikian.
Sai-cu Kai-ong yang sadar lebih dahulu kemudian berseru, “Siauw Hong, cepat kejar anak itu…!”
Seruan Sai-cu Kai-ong ini menyadarkan Sin-siauw Sengjin dan Kam Hong, dan bagai kuda dipecut, tanpa
membuang waktu segera Kam Hong berkelebat ke arah pintu pula mengejar bayangan Yu Hwi yang sudah
tidak nampak itu. Di dalam ruangan itu kini hanya tersisa dua orang kakek, Sai-cu Kai-ong dan Sin-siauw
Sengjin.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sai-cu Kai-ong menarik napas, lalu dia berkata, “Aihhh, anak itu… dengan maksud baik kuajak ke sini
untuk memperkenalkannya kepada Kam Hong. Eh, tidak tahunya mereka sudah saling mengenal, dan
malah ada rahasia di antara mereka!” Kakek ini menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kalau begitu, lebih baik lagi,” kata Sin-siauw Sengjin. “Biarlah mereka saling berkenalan agar kelak
mereka tidak menyalahkan kita kalau dalam perjodohan mereka terjadi ketegangan-ketegangan. Dan
sebaiknya kalau Kam-kongcu yang mencari sendiri, karena dia telah menguasai ilmu-ilmu nenek
moyangnya secara hampir sempurna. Sungguh hebat anak itu, ilmu-ilmu aneh yang selama puluhan tahun
tak dapat aku kuasai, kini dia kuasai intinya. Agaknya dia mendapat petunjuk langsung dari arwah leluhurleluhurnya.”
Ke manakah perginya Yu Hwi? Dan mengapa Kam Hong yang mengejarnya belum juga kembali setelah
ditunggu selama semalam suntuk oleh dua orang kakek itu?
Pertanyaan ini juga mengganggu hati Kam Hong yang mencari sampai semalam suntuk tanpa hasil.
Pemuda ini merasa khawatir bukan main. Padahal dia telah menggunakan ilmu ginkang-nya yang
membuat dia dapat berlari seperti terbang cepatnya. Sudah dijelajahinya seluruh daerah itu, sudah
dikejarnya ke empat penjuru, namun dia tidak berhasil menemukan jejak dara yang telah menggerakkan
hatinya semenjak peristiwa pembukaan rahasia itu, dara yang ternyata adalah tunangannya, calon isterinya
sendiri!
Berbagai perasaan mengaduk di hati Kam Hong. Diam-diam ada perasaan bahagia yang luar biasa oleh
kenyataan bahwa tunangannya, calon isterinya yang dipilihkan oleh Sin-siauw Sengjin dan Sai-cu Kai-ong,
adalah justeru gadis yang selama ini tak pernah dapat dilupakannya itu! Akan tetapi, perasaan bahagia ini
mulai berubah menjadi perasaan gelisah ketika dia tidak berhasil menyusul dan menemukan Yu Hwi.
Padahal, dalam hal ilmu berlari cepat, dia menang jauh dibandingkan dengan dara itu. Tidak mungkin
rasanya dara itu dapat berlari sedemikian cepatnya sehingga dia tidak mampu menyusulnya. Dia merasa
cemas sekali karena menduga tentu telah terjadi sesuatu atas diri tunangannya itu.
Maka, Kam Hong kemudian mengambil keputusan untuk mencari terus sampai dia dapat menemukan Yu
Hwi dan tidak akan pulang ke tempat tinggal Sin-siauw Sengjin sebelum dia dapat menemukan Yu Hwi.
Dan mengingat bahwa cerita ini masih panjang, dan akan terlalu panjang kalau harus mengikuti perjalanan
Yu Hwi dan Kam Hong, maka terpaksa dua orang muda ini kita tinggalkan, dan cerita tentang mereka akan
dapat diketahui dalam sebuah cerita terpisah yang akan terbit kemudian, merupakan sambungan atau juga
cabang dari cerita Jodoh Sepasang Rajawali ini. Cerita tentang Kam Hong dan Yu Hwi akan merupakan
sebuah cerita sendiri, karena keturunan terakhir dari Pendekar Suling Emas dan dari keluarga Raja
Pengemis Yu itu akan mengalami hal-hal yang amat hebat. Dan kini kita mengikuti perjalanan tokoh-tokoh
lainnya dari cerita ini, yaitu tokoh-tokoh utamanya. Sabar…..
********************
Tek Hoat rebah dengan kedua mata terpejam di atas pembaringan dalam kamar yang bersih dan indah itu.
Orang yang sudah mengenalnya tentu akan terkejut sekali kalau melihat wajahnya pada saat itu. Wajahnya
pucat dan kurus sekali sehingga sepasang alisnya yang tebal itu nampak lebih hitam lagi. Kerut-merut di
antara kedua alisnya membayangkan kedukaan besar yang agaknya menindih perasaan pemuda perkasa
ini. Rambutnya yang dikuncir itu agak awut-awutan dan tubuhnya tertutup selimut tebal.
Dua pelayan wanita muda yang cantik duduk di atas lantai, di depan pembaringan. Mereka adalah pelayanpelayan
yang menjaga, bergiliran dengan pelayan-pelayan lain. Pemuda yang sedang menderita sakit ini
selalu dijaga secara bergilir dan pada saat saat tertentu pelayan menyuapkan obat dan makanan ke dalam
mulut pemuda itu yang menerima segala perawatan tanpa pernah bicara atau membantah, bahkan jarang
membuka mata. Dia hanya rebahan seperti orang tidur, kadang-kadang berbisik-bisik, kadang-kadang
mengeluh bahkan tidak jarang ada pelayan melihat air mata berlinang dan menitik turun ke atas pipi yang
pucat dan cekung itu.
Sebetulnya semua luka yang diderita oleh Tek Hoat akibat pertempuran menghadapi para pemberontak itu
telah dapat disembuhkan sama sekali oleh ahli-ahli pengobatan Kerajaan Bhutan. Akan tetapi luka di
hatinya yang sukar disembuhkan. Para tabib itu merasa khawatir juga. Pemuda itu kelihatan linglung tidak
pernah dapat sadar sama sekali dan selalu murung, seperti orang yang putus harapan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Para pelayan wanita itu, yang sebagian besar merupakan bekas pelayan-pelayan dari Puteri Syanti Dewi,
merasa terharu kalau mendengar betapa dalam igauannya, pemuda itu sering kali menyebut-nyebut nama
Syanti Dewi. Mereka semua tahu belaka bahwa pemuda ini adalah bekas tunangan sang puteri dan betapa
pemuda ini pernah terusir dari Bhutan tanpa salah, betapa kemudian sang puteri juga lolos dari istana
untuk mencari pemuda kekasihnya ini. Mereka tahu bahwa ada hubungan cinta kasih yang mendalam
antara pemuda perkasa ini dan sang puteri, dan bahwa pemuda ini jatuh sakit seperti orang linglung karena
menyangka bahwa sang puteri telah bermain gila dengan Mohinta, kemudian melihat sang puteri tewas
tanpa mengetahuinya bahwa yang tewas dan bermain gila dengan Mohinta itu bukanlah Syanti Dewi yang
asli!
Tiba-tiba terdengar suara pengawal di luar pintu kamar dan dua orang pelayan itu cepat berlutut. Raja
Bhutan sendiri dengan dua orang tabib dan dikawal beberapa orang pengawal, diiringi pula oleh Panglima
Jayin, memasuki kamar itu. Sang raja mendekati pembaringan, memandang wajah pemuda itu, lalu
menarik napas panjang.
“Kasihan...,“ keluhnya, lalu dia menoleh kepada dua orang tabib tua itu. “Bagaimana harapannya?”
Dua orang tabib itu saling pandang, kelihatan was-was, kemudian seorang di antara mereka berkata,
“Hamba berdua telah berdaya sekuat tenaga, Sri baginda. Hamba telah membersihkan darahnya sehingga
tidak membahayakan keselamatan tubuhnya, akan tetapi... penyakitnya bukan menyerang badan,
melainkan batin dan hal ini amat sukar diatasi dengan obat. Perasaan kecewa yang besar dan kedukaan
yang hebat telah meracuni jantungnya.”
“Hemmm...“ Sang raja mengusap jenggotnya. “Kalian maksudkan ada hubungannya dengan sang puteri?”
Tabib itu mengangguk. “Kiranya begitulah. Melihat semua peristiwa yang terjadi atas diri wanita yang
disangkanya sang puteri, terutama melihat wanita itu tewas, telah mendatangkan guncangan yang amat
hebat.”
Raja Bhutan mengerutkan alisnya dan diam-diam dia merasa menyesal sekali. Kini telah terbukti bahwa
pemuda ini amat gagah perkasa dan setia, memang patut sekali menjadi mantunya, dan pemuda ini amat
mencinta Syanti Dewi. Dia merasa menyesal pernah berusaha memisahkan dua orang muda itu dan
sekarang akibatnya, Syanti Dewi masih belum dapat ditemukan dan pemuda ini yang sudah dua kali
berjasa terhadap Bhutan, kini rebah dalam keadaan sakit hebat.
“Bagaimana kalau dia diberi tahu bahwa Syanti Dewi masih hidup?” Akhirnya dia bertanya.
“Memang, guncangan itu kiranya dapat disembuhkan dengan guncangan lain yang amat berpengaruh
terhadap batinnya, Sri baginda. Akan tetapi hamba juga khawatir kalau-kalau guncangan lain itu bahkan
akan mengakibatkan hal yang lebih parah lagi.”
“Dapat menewaskannya...?”
“Mungkin saja.”
“Hemmm, kalau begitu amat berbahaya. Biarlah saja dulu, tak usah diberi tahu sampai kita berhasil
menemukan Syanti Dewi. Panglima Jayin, bagaimana dengan usahamu menyelidiki sang puteri?”
Panglima Jayin memberi hormat. “Hamba sudah mengerahkan para penyelidik yang terpandai. Ada kabar
baik, Sri Baginda. Ada kabar bahwa Sang Puteri Syanti Dewi diberitakan berada di sebuah pulau pada
beberapa tahun yang lalu, akan tetapi beliau sudah meninggalkan pulau itu. Para penyelidik sedang
melanjutkan penyelidikannya. Setidaknya hasil penyelidikan itu membuktikan bahwa sang puteri memang
masih dalam keadaan sehat.”
Raja Bhutan itu mengangguk-angguk, lalu mengomel, “Itulah susahnya kalau wanita diberi pelajaran silat.
Jayin, mulai sekarang umumkan di seluruh Bhutan bahwa dilarang mengajarkan ilnmu silat kepada kaum
wanita!”
Panglima Jayin merasa geli oleh perintah ini, akan tetapi dengan wajah bersungguh-sungguh dia
mengambil sikap tegak dan menjawab, “Baik, Sri baginda!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah memandang sekali lagi wajah pemuda itu, Raja Bhutan lalu keluar dari dalam kamar, diiringkan
oleh Panglima Jayin, para tabib dan para pengawal. Dua orang pelayan tadi masih duduk di dalam kamar,
di depan pembaringan setelah menutupkan kembali pintu kamar.
Tidak ada seorang pun yang melihatnya, juga Panglima Jayin yang lihai itu tidak dapat melihat betapa ada
bayangan yang amat cepat berkelebat di atas genteng kamar itu. Bayangan itu berkelebat seperti setan
saja saking cepatnya, demikian ringan seperti seekor kucing yang berlompatan di atas genteng.
Setelah rombongan raja meninggalkan kamar, bayangan yang amat ringan dan cepat gerakannya itu
melayang turun lalu meloncat ke depan pintu kamar Tek Hoat. Dengan amat hati-hati sebuah tangan
dengan jari-jari runcing kecil dan halus kulitnya itu membuka pintu mengintai ke dalam, kemudian, daun
pintu kamar itu dibukanya dan secepat kilat tubuhnya melayang ke dalam. Gerakannya itu sedemikian
ringannya sehingga sama sekali tidak menimbulkan suara apa-apa dan dua orang pelayan wanita yang
duduk di atas lantai menghadapi pembaringan itu sama sekali tidak mendengar apa-apa dan tidak
menengok.
Tiba-tiba mereka itu mengeluh dan roboh terguling, pingsan dan tidak sempat melihat siapa orangnya yang
menyerang mereka, bahkan tidak tahu apa yang terjadi karena serangan dengan totokan kedua tangan ke
arah tengkuk yang membuat mereka pingsan itu demikian luar biasa cepatnya.
Bayangan itu bukan lain adalah Syanti Dewi! Seperti telah kita ketahui, puteri Bhutan yang cantik jetita ini
telah melarikan diri dari Kim-coa-to karena jijik melihat kenyataan betapa gurunya, yaitu Ouw Yan Hui, dan
Maya Dewi si nenek India ahli kecantikan itu melakukan perbuatan-perbuatan mengerikan, yaitu suka
berjina dengan sesama wanita. Sang puteri melarikan diri dengan perahu dan kini dia telah berubah
menjadi seorang wanita yang luar biasa cantiknya berkat ramuan obat yang diberikan oleh Maya Dewi. Di
samping kecantikan yang luar biasa, bagaikan batu permata yang sudah digosok, dia pun kini memiliki
kepandaian istimewa, terutama sekali ilmu ginkang yang membuat dia dapat bergerak seperti terbang
cepatnya!
Dengan kepandaiannya yang hebat itu, Syanti Dewi cepat menuju ke Bhutan. Dia sudah merasa rindu
kepada kampung halaman, dan merasa berdosa telah meninggalkan ayah bundanya di Kerajaan Bhutan.
Apa lagi ketika dia mendengar berita yang didapatnya di sepanjang jalan bahwa di Bhutan terjadi
pemberontakan dan bahwa hampir saja Raja Bhutan menjadi korban, dia mempercepat perjalanannya
menuju ke Bhutan. Setelah tiba di daerah Bhutan, berita yang didapatnya lebih mengejutkan hatinya
karena berita ini menyatakan betapa dalam keadaan bahaya besar bagi ayahnya dan Kerajaan Bhutan itu,
kernbali muncul Ang Tek Hoat sebagai pahlawan dan penolong! Akan tetapi, hatinya merasa gelisah bukan
main ketika mendengar bahwa pemuda itu luka-luka parah dan kini rebah di istana dalam keadaan
menderita sakit berat.
Syanti Dewi mendengar pula akan adanya wanita yang memalsu dirinya, dan betapa pemberontakan itu
dipimpin oleh Mohinta yang telah tewas. Semua ini mendatangkan tanda tanya besar baginya sehingga dia
tidak mau memasuki Bhutan secara terang terangan, melainkan memasuki daerah istana itu setelah
malam tiba. Bahkan dia bersembunyi di atas genteng ketika melihat rombongan ayahnya memasuki kamar
Tek Hoat, dan mendengarkan percakapan mereka tanpa diketahui seorang pun. Dengan kepandaiannya
yang sekarang, hal ini dapat mudah dilakukannya karena semua gerakannya sedemikian ringan dan tidak
menimbulkan suara sedikit pun.
Setelah ayahnya dan rombongan ayahnya meninggalkan kamar itu, untuk sejenak dia berdiam dengan hati
terguncang hebat. Apa yang didengarnya antara percakapan ayahnya dengan Panglima Jayin dan tabibtabib
tadi benar-benar amat mengejutkan dan mengharukan hatinya. Tek Hoat sakit parah dan mungkin
tidak akan tertolong keselamatannya! Tek Hoat bukan parah karena luka-lukanya, tetapi karena mengira
dia telah mati, belum tahu bahwa yang mati adalah wanita yang mertyamar sebagai dia!
“Tek Hoat...!” Setelah dia meluncur turun dan merobohkan dua orang pelayan sehingga mereka berdua itu
roboh pingsan tanpa mengenalnya, Syanti Dewi berlari menghampiri dipan di mana tubuh Tek Hoat
terbujur terlentang di atasnya.
“Tek Hoat...!” Dia berbisik, menubruk pemuda itu dan duduk di tepi pembaringan, lalu memandang wajah
yang kurus pucat itu dengan hati penuh keharuan.
Dia merasa terharu karena betapa pun juga, Tek Hoat telah membuktikan kesetiaannya terhadap Bhutan
dan cinta kasih yang mendalam kepada dirinya sendiri. Kekerasan hatinya yang pernah marah terhadap
dunia-kangouw.blogspot.com
Tek Hoat yang meninggalkannya tanpa pamit itu melunak, akhirnya mencair bersama keluarnya air
matanya dan bangkitlah rasa cintanya terhadap pemuda ini yang memang belum pernah padam.
Perasaan duka dan iba memang merupakan perasaan yang paling kuat untuk menggerakkan cinta kasih
dalam batin seorang wanita! Betapa sering dan banyak terbukti bahwa seorang wanita yang menaruh iba
dan merasa terharu, akan mudah sekali menyatakan cinta kasihnya.
Agaknya Puteri Bhutan itu juga tidak terkecuali dan pada saat itu, keharuan dan iba hati mempengaruhi
batinnya dengan amat kuatnya sehingga hatinya yang memang sejak dahulu mencinta Tek Hoat, kini
bagaikan api berkobar lagi.
“Tek Hoat, ahhh... Tek Hoat...!”
Dia meraba-raba pipi yang kurus itu, air matanya bertitik turun di sepanjang kedua pipinya, semua
keangkuhan terbang pergi meninggalkan batinnya dan sang puteri yang cantik jelita seperti bidadari
kahyangan ini merangkul, menunduk dan mencium ujung mulut Tek Hoat dengan sepenuh perasaan kasih
sayangnya.
Getaran perasaan yang memuncak itu agaknya terasa pula oleh Tek Hoat yang sedang rebah tidur atau
dalam keadaan setengah sadar. Dia membuka matanya yang sayu. Pandang mata yang sayu itu bertemu
dengan sepasang mata yang amat dekat, sepasang mata bening yang basah air mata, wajah yang cantik,
yang begitu dekat sehingga dia merasakan hembusan napas yang hangat, wajah yang selama ini
membuat dia seperti bosan hidup, wajah Syanti Dewi yang telah meninggal dunia!
Tiba-tiba sepasang mata yang sayu itu terbelalak lebar, Tek Hoat tersentak kaget seperti melihat setan.
Ada kekuatan gaib yang menibuat dia seperti kemasukan kilat, membuatnya bangkit duduk.
“Syanti Dewi...!” dia menjerit, akan tetapi jeritannya itu hanya keluar seperti bisikan halus saja. “Tak
mungkin...! Tak mungkin...! Engkau telah... mati...!” Dengan sepasang mata tak pernah berkedip, masih
terbelalak, Tek Hoat berkata dengan suara berbisik, dan dadanya bergelombang, napasnya terengahengah.
Sambil tersenyum dengan mata basah air nata, Syanti Dewi mengulur kedua tangannya, memegang
lengan pemuda itu dengan lembut sambil berkata, “Tidak, Tek Hoat, tidak... aku tidak mati...“ Sungguh
mengharukan sekali wajah yang cantik itu, mulutnya tersenyum lebar sehingga nampak deretan giginya
yang seperti mutiara, akan tetapi air matanya masih membasahi matanya dan menuruni pipinya.
Tetapi lahir batin Tek Hoat masih dalam keadaan belum sehat benar. Tiba-tiba saja dia mengibaskan
kedua tangan dara itu dari lengannya, sepasang matanya mengeluarkan sinar kemarahan dan wajahnya
menjadi merah sekali, mulutnya bersungut-sungut dan kedua tangannya dikepal! Dia seperti melihat lagi
bayangan Syanti Dewi bercumbu dengan Mohinta, mendengar kata-kata penuh rayuan dan kegenitan
Syanti Dewi ketika bercumbu dalam kamar bersama pemberontak itu. Makin dikenang, makin hebatlah
kemarahannya dan akhirnya meledak dengan keras dalam bentuk kata-kata yang parau penuh kebencian.
“Enyah engkau, perempuan lacur! Perempuan hina dan rendah tak tahu malu! Engkau mengotorkan
negaramu, engkau mengotorkan cinta kasih kita, engkau mengotorkan bumi dengan kecabulanmu. Pergi!”
Syanti Dewi terhuyung ke belakang, memegangi pipinya seakan-akan baru menerima tamparan keras dari
Tek Hoat dengan kata-kata itu. Wajahnya berubah pucat, matanya terbelalak memandang wajah Tek Hoat
dan air matanya makin deras bercucuran. Dia lalu memejamkan matanya, menggigit bibirnya agar jangan
menjerit.
“Engkau telah berjinah dengan Mohinta! Berani kau menyentuhku setelah melakukan perbuatan keji dan
kotor itu?” Setiap kata yang keluar dari rnulut Tek Hoat seolah-olah menghujam di ulu hati Syanti Dewi,
menimbulkan keperihan yang amat hebat sehingga dia menjadi berduka sekali, kemudian kemarahan
menguasai dirinya.
Tiba-tiba dia meloncat ke belakang. Mukanya berubah merah, matanya bersinar-sinar, dadanya
bergelombang dan napasnya sesak, dengan kemarahan yang luar biasa dia menudingkan telunjuk kirinya
ke arah muka Tek Hoat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tutup mulutmu yang kotor, Tek Hoat! Engkau laki-laki tolol, keji dan jahat! Aku... aku... muak perutku
melihat mukamu! Uhhhhh...!” Syanti Dewi menutupi mukanya menahan tangis, lalu sekali berkelebat dia
sudah meloncat keluar kamar itu.
Sejenak Tek Hoat berdiri seperti patung. Mukanya sudah berubah pucat lagi, seperti mayat hidup. Baru dia
sadar betapa dia sudah menghina puteri itu, memaki puteri itu, puteri yang selama ini tidak pernah
dilupakannya, yang agaknya merupakan bayangan satu-satunya yang masih mampu menahan sehingga
nyawanya masih enggan meninggalkan tubuhnya. Betapa dia mencinta wanita itu! Dan betapa dia telah
menghinanya dengan kata-kata keji dan maki-makian! Semua itu kini nampak nyata.
“Syanti Dewi...!” Dia berteriak lantang dan cepat meloncat, terhuyung dan keluar dari kamar itu melalui
jendela, kemudian melakukan pengejaran secepat mungkin, tidak lagi mempedulikan kepeningan yang
mengganggu kepalanya dan yang membuat pandang matanya kabur.
“Dewi...! Syanti Dewi..., jangan tinggalkan aku...!” Berulang-ulang Tek Hoat berteriak sekuatnya ketika
akhirnya dia dapat melihat bayangan wanita itu.
Setengah malam suntuk dia telah melakukan pengejaran, sampai bayangan wanita itu jauh meninggalkan
Kota Raja Bhutan, naik turun bukit dan fajar telah menyingsing ketika akhirnya dia dapat melihat Syanti
Dewi masih berjalan cepat di sebelah depan.
“Syanti Dewi..., jangan tinggalkan aku...!” Dia berteriak sambil mengeluh dan terus berlari secepatnya.
Syanti Dewi yang tahu betapa Tek Hoat mengejarnya sejak semalam dan sengaja dia tidak mau berhenti,
sambil menangis terus berjalan cepat, kini tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuhnya, berdiri di tengah
jalan hutan yang kecil itu, berdiri tegak, bahkan bertolak pinggang menanti datangnya pemuda itu.
“Ah, Dewi..., kau tunggu...!” Tek Hoat berkata lemah dan terhuyung-huyung sampai juga di depan dara itu.
“Siapa yang lari meninggalkan siapa? Tek Hoat, lupakah engkau betapa dulu engkau telah lari dari Bhutan
tanpa pamit, meninggalkan aku begitu saja? Tidak tahukah engkau, atau pura-pura tidak tahu, betapa
sampai mati-matian aku bersusah payah mencari-carimu, menempuh banyak bahaya dan penderitaan,
semua kulakukan untuk dapat mencari dan menyusulmu? Beribu macam kesengsaraan kuderita demi
untukmu seorang! Dan sekarang, setelah kita saling bertemu, apa yang kudapatkan? Hanya fitnah dari
mulutmu yang keji, makian-makian dan kata-kata kotor! Aku muak! Aku tak sudi!” Syanti Dewi lalu
menangis dan menutupi mukanya, terisak-isak dengan hati terasa perih sekali.
Tek Hoat berdiri bingung, tubuhnya bergoyang-goyang, kepalanya masih pening, akan tetapi pikirannya
mulai berjalan, mulai sadar. Inilah Syanti Dewi yang asli, dan kalau Syanti Dewi ini masih hidup, jelas
bahwa yang mati itu bukanlah Syanti Dewi! Dan kalau yang mati bukan Syanti Dewi, berarti yang berjinah
dengan Mohinta tentu juga bukan Syanti Dewi. Dan yang mencoba membunuh Raja Bhutan tentu bukan
yang berdiri di depannya ini pula!
“Syanti... Dewiku... aku... aku bingung..., aku melihat engkau berjinah dengan Mohinta, aku melihat engkau
menyerang dan hendak membunuh Raja Bhutan ayahandamu sendiri, kemudian aku melihat engkau...
engkau mati...!”
“Itulah karena matamu telah buta! Buta oleh cemburu! Tidak sadar bahwa engkau sendiri yang
mengkhianati ikatan cinta kita, engkau pergi meninggalkan aku begitu saja! Engkau tidak tahu bahwa
wanita itu adalah wanita lain yang dipergunakan oleh Mohinta untuk memalsu aku! Dan engkau telah
memaki aku dengan kata-kata kotor, menghina diriku seperti belum pernah ada manusia berani
menghinaku selama hidupku ini...“ Kembali Syanti Dewi menangis.
Mulai teranglah kini bagi Tek Hoat terhadap semua kenangan dan gambaran yang amat membingungkan
hatinya itu dan makin jelaslah baginya betapa dia telah melakukan hal yang amat keji dan menyakitkan hati
kekasihnya itu. “Dewi... ahhh, Dewi... aku telah bersalah besar, aku berdosa padamu, kau maafkanlah aku,
Dewi, kau ampunkan aku...“
“Apa? Maaf? Ampun? Setelah apa yang kuderita selama setahun lebih, setelah apa yang kau katakan
dengan kata-kata keji terhadap diriku? Tidak! Aku tak sudi merendah lagi, aku sudah cukup merangkakrangkak
dengan mencari-carimu selama ini! Aku tidak mau menyembah-nyembah lagi, aku tidak mau
mendamba cintamu dengan mengemis! Tidak, kini sudah tiba masanya, tiba saatnya bahwa engkau yang
dunia-kangouw.blogspot.com
harus benar-benar menunjukkan cintamu kepadaku. Engkau yang harus menyembah-nyembah, harus
menderita kalau mau mendapatkan cintaku! Nah, dengar kau, Tek Hoat. Aku muak melihatmu, aku... ah,
aku...“ Dia menutupi mukanya dan menangis makin keras sampai sesenggukan.
Wajah Tek Hoat menjadi pucat sekali, tubuhnya gemetar, kedua kakinya menggigil. Dia tahu akan
kesalahannya. Kata-katanya memang terlampau keji, padahal, kalau dia mengingatkan betapa wanita ini
telah menderita hebat demi untuk mencarinya setelah dia meninggalkannya begitu saja! Ah, betapa besar
dosanya.
”Syanti Dewi... Puteri... ampunkanlah hamba...!” Dia menangis sesenggukan dan menjatuhkan diri berlutut
di depan Syanti Dewi, menyembah-nyembahnya dengan muka pucat dan air mata bercucuran.
Syanti Dewi terbelalak memandang kepada pemuda yang berlutut dan menyembah itu, mukanya
membayangkan kekagetan hebat, menjadi pucat kemudian merah dan dia menjadi semakin marah.
Dengan gemas dia membanting-banting kakinya.
“Uhhhhh! Laki-laki macam apakah engkau? Laki-laki lemah, laki-laki canggung, laki-laki cengeng! Uh, mual
perutku melihatmu!” Dia terisak dan membalik, terus lari secepat kijang melompat.
“Syanti Dewi...!” Tek Hoat mengangkat muka, terbelalak memandang gadis itu yang lari. Dia pun cepat
meloncat dan lari mengejar, akan tetapi terhuyung dan terguling roboh karena matanya gelap. Dia
merangkak, bangkit lagi dan berlari lagi terhuyung mengejar Syanti Dewi yang sudah lari jauh di depan.
“Dewiiiii...! Tungguuuuu...., jangan tinggalkan aku...!”
Akan tetapi wanita itu tidak mau peduli, berlari makin cepat dan karena kini dia telah memiliki ilmu ginkang
yang amat tinggi, sebentar saja Tek Hoat tertinggal jauh dan akhirnya dia lenyap dari pandang mata
pemuda itu yang masih terus lari mengejar dengan terhuyung-huyung dan akhirnya Tek Hoat merasa
matanya gelap sehingga dia menabrak sebatang pohon dan terpelanting, pingsan!
Sunyi sekali di tempat itu setelah Syanti Dewi pergi dan Tek Hoat roboh pingsan. Sinar matahari pagi
menimpa wajah pucat dari pemuda yang menggeletak terlentang tak sadarkan diri itu. Burung-burung
berkicau saling bersahutan sambil berloncatan di atas dahan-dahan pohon. Mereka itu bernyanyi
menyambut datangnya matahari ataukah mereka sedang membicarakan persoalan manusia yang
hidupnya selalu penuh dengan duka dan sengsara itu?
Matahari telah naik semakin tinggi dan burung-burung telah meninggalkan pohon-pohon di hutan itu untuk
bertebaran keempat penjuru mengikuti jalan sendiri-sendiri untuk mulai mencari makan ketika
serombongan pasukan yang dipimpin sendiri oleh Panglima Jayin memasuki hutan itu dan menemukan
Tek Hoat yang masih menggeletak pingsan.
Panglima Jayin terharu dan girang dapat menemukan pemuda ini, lalu digotonglah pemuda itu dengan hatihati,
kembali ke istana di Kota Raja Bhutan. Panglima ini telah dengan cepat memimpin pasukan untuk
mengikuti jejak Tek Hoat dan mencarinya setelah ada dayang yang menjenguk kamar sang pendekar dan
melihat dua orang pelayan masih roboh tak bergerak karena tertotok dan pendekar itu lenyap dari atas
pembaringan. Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Syanti Dewi, maka mereka semua, termasuk
Panglima Jayin, menyangka bahwa Tek Hoat, dalam keadaan bingung dan belum sadar benar, telah
menotok dua orang pelayan itu dan melarikan diri dari dalam kamarnya.
Ketika siuman dari pingsannya setelah dirawat oleh para tabib, Tek Hoat gelisah dan mulutnya memanggilmanggil
Syanti Dewi. Melihat keadaan pemuda ini, sri baginda lalu mendesak kepada Panglima Jayin
untuk menggiatkan kembali pencarian terhadap puterinya sampai dapat.
Guncangan batin yang hebat diderita oleh Tek Hoat sehingga untuk kedua kalinya dia rebah dan sakit,
kadang-kadang berteriak-teriak memanggil Syanti Dewi seperti orang gila, kadang-kadang merenung dan
menangis seorang diri seperti anak kecil. Dalam penderitaan ini, teringatlah dia akan semua perbuatannya
sebelum dia berjumpa dengan Syanti Dewi dan dia merasa menyesal sekali. Agaknya dosa-dosa yang
pernah dilakukannya di masa lalu itulah yang kini berbuah dengan kesengsaraan batin yang amat hebat
sebagai hukuman baginya…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Dia menjatuhkan dirinya yang sudah amat lelah itu ke atas rumput tebal di dalam hutan yang sunyi itu, di
bawah sebatang pohon, menangis terisak-isak. Makin diingat, makin sakitlah rasa hatinya. Syanti Dewi
menangis sampai mengguguk dan memijit-mijit betis kakinya yang terasa amat lelahnya. Dia tadi telah
mengerahkan seluruh tenaga dan ilmunya berlari cepat, berlari terus sampai dia tidak kuat lagi dan
akhirnya terpaksa menjatuhkan diri di situ.
“Tek Hoat...!” Nama ini keluar dari bibirnya seperti rintihan dan memang dia merintih karena jantungnya
terasa perih dan nyeri.
Dia tidak merasa syak lagi bahwa dia amat mencinta pemuda itu. Akan tetapi, sikap Tek Hoat amat
menyakitkan hatinya. Dia pun tahu bahwa Tek Hoat salah sangka, mengira wanita palsu yang menyamar
seperti dia itu adalah dia yang sesungguhnya sehingga makian Tek Hoat bukan tidak beralasan. Namun,
pengertian ini tidak cukup kuat untuk meredakan kemarahan dan sakit hatinya karena sambutan Tek Hoat
itu sungguh menyakitkan hati.
Dia telah bertahun-tahun menderita karena pemuda itu, dia telah sengsara dan beberapa kali terancam
bahaya yang lebih mengerikan dari pada maut sendiri dalam usahanya mencari kekasihnya. Dia telah
berkorban lahir batin untuk Tek Hoat, akan tetapi pemuda itu malah memakinya dengan kata-kata keji! Hati
siapa tidak akan menjadi panas karenanya? Makin diingatnya peristiwa tadi ketika Tek Hoat memakinya,
makin marahlah hati Syanti Dewi dan makin membuyar pengertiannya bahwa pemuda itu melakukannya
bukan tanpa sebab.
Marah, dalam bentuk apa pun juga, sudah pasti ditimbulkan oleh kekecewaan karena merasa dirinya
dirugikan, lahir mau pun batin. Dirinya itu pada hal-hal biasa adalah si aku, tetapi sering kali juga meluas
sifatnya menjadi si kami, keluargaku, golonganku, bangsaku dan selanjutnya yang sesungguhnya tiada
bedanya dengan si aku karena di dalam semua itu bersembunyi si aku yang menyamakan dirinya. Si aku
ini selalu ingin senang, oleh karena itu kalau dia tidak dibikin senang, marahlah dia.
Dari pengalaman, atau pelajaran kebudayaan, atau pelajaran agama, kita mengenal akibat-akibat
kemarahan yang mendatangkan kekerasan, permusuhan, kebencian dan kesengsaraan. Oleh karena ini
maka timbullah daya upaya untuk melenyapkan kemarahan, atau setidaknya menekannya dan
mengesampingkannya. Maka muncullah pelajaran untuk bersabar. Apakah ‘belajar sabar’ ini dapat
membebaskan kita dari pada kemarahan? Kiranya hasil belajar sabar ini hanya untuk sementara saja.
Belajar sabar berarti penekanan terhadap kemarahan dan biar pun kadang kala nampaknya berhasil,
namun sesungguhnya kemenangan itu hanya sementara saja.
Api kemarahan itu masih ada, hanya ditutup secara paksa oleh kesabaran yang dilandasi pengetahuan
bahwa kemarahan itu tidak baik. Api kemarahan itu masih belum padam, hanya nampaknya saja padam
karena tertutup oleh kesabaran, seperti api dalam sekam, nampaknya tidak bernyala namun sebenarnya di
sebelah dalam masih membara dan sewaktu-waktu akan dapat meledak dan menyala kembali! Belajar
sabar menyeret kita ke dalam lingkaran setan, marah, ditekan kesabaran, marah lagi, bersabar lagi dan
seterusnya seperti yang dapat kita lihat kenyataannya sehari-hari. Akhirnya, bukan api kemarahan yang
padam, melainkan api semangat kita sendiri, membuat kita menjadi apatis, tak acuh, tidak peduli, atau
sinis! Belajar sabar hanya pemulas, di sebelah dalam, batin, kita marah, akan tetapi di luar, lahir, kita
sabar.
Setelah melihat kenyataan ini semua, tindakan apakah yang harus kita ambil dalam menanggulangi
kemarahan dalam batin? Bagaimana pula kita harus melenyapkan kemarahan yang setiap saat muncul
apa bila kita merasa diganggu dan dirugikan lahir batin?
Melakukan tindakan apa pun juga untuk melenyapkan kemarahan tidak akan berhasil membebaskan diri
dari pada kemarahan. Kemarahan tidak dapat dilenyapkan oleh daya upaya. Kemarahan adalah si aku itu
sendiri, satu di antara sifat si aku yang selalu ingin senang, maka kalau kesenangannya terganggu, tentu
marah. Jalan satu-satunya bagi kita hanyalah mengenal aku, mengenal kemarahan, mengerti kemarahan
dan hal ini hanya dapat terjadi apa bila kita mau menghadapi kemarahan tanpa ingin mengubah, tanpa
ingin menekan atau melenyapkan!
Kalau kemarahan datang, yang membuat jantung berdebar panas, yang membuat napas terengah, muka
merah dan mata mendelik, kalau kita merasa tidak senang lalu marah, kita menghadapi kemarahan itu
seperti kenyataannya, kita mengamatinya, memandang dan mengamati saja penuh perhatian, penuh
kewaspadaan tanpa pamrih apa-apa, tanpa ingin menguasai menekan atau melenyapkan. Kalau kita
memandang dan mengamati dengan penuh perhatian tanpa perasaan atau keinginan apa-apa, berarti kita
dunia-kangouw.blogspot.com
sadar waspada, maka semua akan nampak terang dan kemarahan akan musnah tanpa kita hilangkan atau
tekan.
Hal ini tak mungkin dapat dimengerti tanpa penghayatan, tanpa pelaksanaan dalam kehidupan sehari-hari!
Dan kalau kemarahan sudah lenyap sendiri, tanpa dilenyapkan, kalau api kemarahan sudah padam, bukan
ditutup sekam, melainkan padam sama sekali, kalau di dalam batin sudah tidak ada lagi kemarahan, apa
perlunya kita belajar sabar? Tidak dibutuhkan lagi apa yang dinamakan kesabaran itu.
Kemarahan dalam hati Syanti Dewi mendatangkan perasaan nelangsa, iba diri dan duka. Dia merasa
hidupnya sengsara, penuh derita batin, dan tidak bahagia.
“Ahhh, betapa buruk nasibnya...,“ dia mengeluh di antara tangisnya. “Betapa jauh dari kebahagiaan...“
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru