Jumat, 16 Juni 2017

Cersil Istana Pulau Es 3

Cersil Istana Pulau Es 3
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
-Cersil Istana Pulau Es 3

    Orang-orang itu lalu bersorak sambil mengangkut tiga ekor ikan besar, kemudian mereka mengajak Han Ki
    dan dua orang sumoi-nya meninggalkan pantai pergi ke tengah pulau di mana terdapat sebuah dusun kecil
    dengan pondok-pondok kayu yang sederhana pula. Beberapa anak-anak yang telanjang bulat menyambut
    kedatangan mereka sambil bersorak-sorak gembira.
    Tak lama kemudian anak-anak itu mengelilingi Maya dan Siauw Bwee, memandang terheran-heran dan
    tertawa-tawa sehingga akhirnya Maya dan Siauw Bwee merasa suka kepada mereka. Biar pun mereka itu
    kelihatan tak berpakaian dan sederhana, namun mereka sama sekali tidaklah bodoh, dan juga tidak nakal.
    Di samping itu, semenjak kecil anak-anak ini sudah digembleng dengan ilmu silat sehingga gerakan
    mereka tangkas dan tubuh mereka kuat.
    Setelah daging ikan di panggang dan diberi bumbu yang sedap baunya, tiga orang tamu itu ikut makan
    daging ikan dan buah-buahan, minum semacam arak buatan penghuni pulau itu sendiri yang rasanya
    seperti sari buah. Mereka semua bersikap ramah dan wajar sehingga Maya sendiri yang biasanya rewel
    kini merasa senang di pulau itu. Yang amat mengherankan di antara semua keanehan pada keluarga itu
    adalah bahwa mereka itu tidak mempunyai nama! Agaknya keluarga yang terasing dari dunia ramai ini
    telah kehilangan kebiasaan memberi nama pada anak mereka yang baru lahir sehingga sampai tua
    mereka tidak bernama.
    Keadaan mereka yang aneh, kepandaian mereka yang tinggi dan satu sumber dengan ilmu yang diajarkan
    Bu Kek Siansu membuat hati Han Ki tertarik sekali untuk membuka rahasia yang menyelimuti keadaan
    keluarga nelayan ini. Maka tinggallah dia bersama kedua orang sumoi-nya untuk beberapa hari lamanya di
    pulau itu. Diam-diam ia melakukan penyelidikan dan akhirnya ia menduga bahwa letak rahasianya agaknya
    berada di daerah keramat di pulau itu.
    Karena ia menduga keras bahwa keluarga ini tentu masih mempunyai hubungan dengan suhu-nya, Han Ki
    bertekad bulat untuk melakukan penyelidikan ke tempat keramat itu dan agaknya hal itu akan dapat ia
    lakukan dengan mudah karena keluarga nelayan itu memberi kebebasan sepenuhnya kepadanya.
    Sedangkan Maya dan Siauw Bwee setiap hari bergembira bersama anak-anak para nelayan itu,
    menangkap ikan di pantai pulau dan belajar renang dari anak-anak yang amat pandai berenang....
    ********************
    Sudah lama kita meninggalkan Tang Hauw Lam yang ditinggal pergi isterinya, yaitu Kam Kwi Lan Si
    Mutiara Hitam. Telah diceritakan di bagian depan betapa Mutiara Hitam, pendekar wanita yang gagah
    perkasa itu meninggalkan suami dan dua orang muridnya pergi menuntut balas atas kematian saudara
    kembarnya, yaitu Raja Talibu. Semenjak mendengar berita bahwa kakak kembarnya itu gugur dalam
    perang melawan tentara Mongol, hati pendekar wanita itu tidak pernah merasa tenteram lagi. Bayangan
    Raja Talibu, saudara kembarnya, selalu muncul dan menggodanya, menuntut dibalaskan kematiannya.
    Dengan hati hancur akan tetapi tak dapat menahan gelora hatinya, Mutiara Hitam Kam Kwi Lan
    meninggalkan suami yang dicintanya untuk melaksanakan tugasnya yang menyiksa jiwanya. Maka
    berangkatlah ia seorang diri ke Mongol untuk menuntut balas atas kematian saudara kembarnya, tugas
    yang dia dan suaminya tahu takkan mungkin dapat dilakukan dengan berhasil, yaitu membunuh Raja
    Mongol!
    Sungguh sengsara rasa hati Hauw Lam ketika isterinya yang tercinta itu meninggalkannya. Semenjak
    menikah dengan Mutiara Hitam, Pendekar Golok Sinar Putih ini tak pernah terpisah sehari pun dari
    isterinya, maka dapat dibayangkan betapa dunia ini berubah menjadi sunyi senyap, semua kegembiraan
    dunia-kangouw.blogspot.com
    lenyap dari hatinya ketika Mutiara Hitam pergi dan dia terpaksa menanti dengan hati gelisah di Gunung
    Merak di daerah Khitan bersama dua orang muridnya.
    Pendekar yang di waktu mudanya terkenal sebagai seorang yang selalu gembira dan jenaka ini kehilangan
    gairah hidupnya seperti matahari tertutup awan gelap. Dia kini berubah menjadi seorang pendiam dan
    murung, bahkan keras terhadap dua orang muridnya yang ia paksa untuk tekun mempelajari ilmu-ilmu dari
    kitab-kitab peninggalan isterinya.
    Berbulan-bulan ia menunggu. Di lubuk hatinya Tang Hauw Lam maklum bahwa lebih tepat kalau dikatakan
    bahwa dia menunggu berita kematian isterinya dari pada menunggu kembalinya isterinya yang dicintainya
    itu. Siapakah seorang yang akan mampu membunuh seorang raja, apa lagi Raja Mongol yang pada waktu
    itu sedang kuat-kuatnya?
    Gunung Merak merupakan bukit kecil dan tanah kuburan Raja-raja Khitan berada di lereng bukit itu. Tang
    Hauw Lam memilih tempat tinggal tidak jauh dari arah kuburan, sesuai dengan pesan isterinya. Jenazah
    Talibu dan isterinya pun oleh Pangilma Khitan yang setia sempat diselamatkan dan dimakamkan di tempat
    itu pula. Pendekar ini membangun sebuah pondok kecil di sebelah atas tanah kuburan dan hidup sebagai
    pertapa di tempat itu bersama dua orang muridnya.
    Kurang lebih lima bulan kemudian, pada suatu pagi ketika Tang Hauw Lam sedang duduk bersemedhi, dia
    disadarkan teriakan dua orang muridnya.
    “Suhu! Ada orang membongkar kuburan!”
    Tang Hauw Lam membuka matanya yang kini tampak sayu dan muram. Wajahnya kurus sekali karena
    pendekar ini jarang sekali makan. Berita yang mengejutkan itu diterimanya dengan tenang.
    “Ceritakan yang betul, apa yang terjadi?” katanya kepada dua orang muridnya yang sudah berlutut di
    depannya.
    “Teecu dan Sumoi pergi ke kuburan untuk bermain-main dan berlatih. Di sana sudah terdapat seorang lakilaki
    bongkok yang menakutkan. Dia sedang menggali tanah kuburan. Ketika teecu menegurnya dan
    bertanya ia membentak teecu berdua dan mengusir,” kata Can Ji Kun.
    “Dia pasti orang jahat, Suhu. Mukanya menakutkan dan dia galak sekali, mengusir teecu seperti anjing
    saja!” Ok Yan Hwa menyambung dengan suara penuh kemarahan.
    Tang Hauw Lam maklum akan kenakalan kedua orang muridnya, maka ia bertanya sambil memandang
    tajam. “Apakah kalian tidak bersikap kurang ajar kepadanya? Apakah dia tidak memberitahukan nama dan
    apa keperluannya menggali tanah kuburan?”
    Melihat sinar mata gurunya penuh selidik, Can Ji Kun tidak berani membohong lalu menceritakan dengan
    jelas apa yang telah ia alami bersama sumoi-nya....
    ********************
    Mereka melihat seorang laki-laki bongkok menggali tanah kuburan menggunakan sebuah cangkul. Karena
    mereka menduga bahwa orang itu tentu tidak berniat baik terhadap kuburan keluarga Raja Khitan yang
    juga menjadi kuburan keluarga subo mereka itu, dengan marah Ok Yan Hwa meloncat ke dekat laki-laki
    bongkok itu sambil membentak.
    “Haii! Engkau tentu maling yang hendak merampok isi kuburan!”
    “Mau apa kau membongkar tanah kuburan? Siapa engkau?” Can Ji Kun juga membentak marah.
    Laki-laki bongkok itu menunda pekerjaannya menggali tanah, menoleh dan memandang mereka dengan
    mata terheran karena sesungguhnya dia tidak mengira akan bertemu dengan dua orang anak-anak di
    dunia-kangouw.blogspot.com
    tempat sunyi itu, kemudian berkata nyaring. “Kalian anak-anak tahu apa? Pergilah bermain di tempat lain,
    jangan di tempat keramat ini!”
    Dan dia melanjutkan pekerjaannya menggali tanah. Tiap kali cangkulnya menghunjam tanah, sebongkah
    tanah yang besar terangkat dan ternyata tenaga laki-laki itu besar sekali. Akan tetapi dua orang anak yang
    seperti dua ekor anak harimau itu tidak melihat kenyataan ini.
    Merasa tidak dihiraukan, Can Ji Kun lalu membentak, “Maling kurang ajar, pergilah!” Ia lalu menerjang
    dengan pukulan tangan kanannya ke arah punggung yang bongkok.
    “Dukk!” Pukulan Can Ji Kun yang baru berusia sebelas tahun itu amat keras karena dia terlatih semenjak
    kecil. Akan tetapi akibat pukulan itu membuat dia terjengkang dan roboh bergulingan, tangannya terasa
    nyeri.
    Melihat suheng-nya roboh, Ok Yan Hwa membentak keras, “Maling hina! Berani kau merobohkan Suhengku?”
    anak perempuan ini menerjang pula dengan pukulan tangan miring ke arah tengkuk Si laki-laki
    Bongkok yang masih terus menggali tanah tanpa mempedulikan mereka.
    “Plakk! Aduh...!” Seperti halnya Can Ji Kun, begitu tangannya mengenai tengkuk laki-laki itu, Ok Yan Hwa
    terpelanting dan memegang tangannya yang terasa panas dan nyeri.
    Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa yang merasa kesakitan tangannya itu masih belum kapok, bahkan kini
    keduanya mengambil sebuah batu besar dan berbareng menyerang laki-laki itu dengan batu di tangan.
    “Hemm... anak-anak nakal!” Laki-laki itu membalik dan sekali tangkap ia telah merampas dua buah batu itu,
    kemudian meremas dengan tangan dan dua buah batu itu hancur lebur. Melihat ini, Can Ji Kun dan Ok Yan
    Hwa menjadi pucat, kemudian membalikkan tubuh dan lari untuk melapor kepada suhu mereka....
    “Demikianlah, Suhu. Teecu lalu lari ke sini. Orang itu jahat dan lihai sekali!”
    “Agaknya dia bukan manusia, Suhu. Mungkin setan! Kalau manusia, perlu apa membongkar kuburan?”
    kata Ok Yan Hwa.
    Hati Tang Hauw Lam tertarik sekali. Kalau ada orang kuat menahan pukulan muridnya yang masih kecil,
    bukanlah hal yang mengherankan. Juga meremas hancur batu-batu itu bukan hal aneh. Dalam keadaan
    biasa, tentu ia akan menegur dua orang muridnya yang dianggapnya lancang. Akan tetapi laki-laki bongkok
    itu membongkar tanah kuburan keluarga Raja Khitan! Hal ini amat mencurigakan.
    Maka ia bangkit berdiri dan berkata, “Akan kutemui dia, akan tetapi kalian hanya boleh menonton saja,
    jangan sekali-kali lancang mencampuri.”
    Dua orang murid itu lalu mengikuti guru mereka sambil berjalan membusungkan dada. Kini Si Bongkok itu
    akan tahu rasa, pikir mereka karena hati mereka sakit kalau memikirkan kekalahan mereka tadi.
    Ketika Tang Hauw Lam tiba di tanah kuburan itu, laki-laki bongkok masih menggali tanah sehingga legalah
    hati pendekar ini karena ternyata bahwa dua orang muridnya itu tidak membohong. Akan tetapi dia juga
    lega melihat bahwa laki-laki itu sama sekali bukan membongkar kuburan karena yang digalinya adalah
    tanah kosong, sungguh pun tidak jauh dari kuburan raja Khitan. Ia memperhatikan orang itu.
    Seorang laki-laki yang bongkok berpunuk, pakaiannya sederhana seperti pakaian pelayan, wajahnya buruk
    dan kelihatan berduka. Di atas tanah, tak jauh dari makam Raja Khitan, tampak dua buah guci perak
    tempat abu jenazah. Makin tertarik hati Tang Hauw Lam dan ia pun merasa kurang senang karena jelas
    agaknya bahwa orang ini sedang menggali tanah untuk mengubur abu jenazah. Hal ini dianggapnya amat
    lancang. Mana mungkin abu jenazah sembarang orang dimakamkan di tanah kuburan keluarga Raja
    Khitan?
    “Sobat, apa yang kau lakukan di sini?” Ia menegur.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Si Bongkok itu kembali menunda pekerjaannya dan menoleh dengan alis berkerut. Agaknya ia tidak
    senang sekali pekerjaannya yang dilakukan dengan tekun itu selalu terganggu. Akan tetapi ketika melihat
    seorang laki-laki setengah tua yang tampan dan gagah, biar pun kurus dan agak pucat, ia menghentikan
    pekerjaannya, membalikkan tubuh dan berdiri menghadapi Tang Hauw Lam. Setelah memperhatikan Hauw
    Lam dan merasa yakin tidak pernah bertemu dengan laki-laki gagah itu, ia menjawab singkat.
    “Kalau engkau suhu dari dua orang anak nakal tadi, lebih baik engkau pergi dan nasehati murid-muridmu
    agar jangan mencari urusan orang lain. Apa yang kulakukan di sini adalah urusanku dan tiada sangkut
    pautnya denganmu. Pergilah, aku sedang sibuk!”
    Tang Hauw Lam mengerutkan keningnya. Orang ini jelas bukan orang Khitan, melainkan bersuku bangsa
    Han yang sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Raja Khitan. Jawaban orang ini ketus
    dan tidak ramah, bahkan memandang rendah kepadanya.
    “Kalau begitu, aku pun tidak mau tahu siapa yang kau kubur di sini, akan tetapi yang sudah jelas, engkau
    tidak boleh mengubur abu jenazah di tempat ini!”
    Orang bongkok itu memandang Tang Hauw Lam dengan alis berkerut dan mata bersinar penuh
    kemarahan. “Hemm... siapa yang melarangnya?”
    “Aku yang melarangnya!” Hauw Lam berkata tegas.
    Si Bongkok menjadi semakin marah, berdiri dan menantang. “Kalau aku tetap hendak mengubur abu
    jenazah di sini, engkau mau apa?”
    Tang Hauw Lam juga menjadi marah sekali. “Akan kuusir engkau dari sini dengan kekerasan!”
    “Hemm, kau kira akan gampang saja? Cobalah!”
    Kalau isterinya berada di sampingnya, belum tentu Hauw Lam akan suka melayani Si Bongkok ini dengan
    kekerasan dan tentu ia akan lebih mengandalkan kepandaian bicara. Akan tetapi semenjak isterinya pergi,
    ia pemurung dan pemarah. Maka kini menyaksikan sikap yang menantang dan sama sekali tidak
    memandangnya, amat merendahkan, dia tidak dapat menahan kesabarannya dan membentak.
    “Manusia sombong! Pergilah!” Sambil membentak demikian, ia menerjang maju dan menggunakan tangan
    kanannya untuk mendorong. Bukan sembarang dorongan karena itu adalah pukulan Pek-kong-ciang yang
    amat ampuh dan kuat, mengandung tenaga sinkang yang dapat merobohkan lawan dari jarak jauh.
    Si Bongkok itu membuat gerakan menangkis dengan tangannya, bahkan meloncat maju pula sehingga
    kedua lengan mereka bertemu dengan kuatnya.
    “Desss...!”
    “Ahhh...!”
    Keduanya meloncat mundur dengan kaget ketika merasa betapa lengan mereka tergetar hebat tanda
    bahwa tenaga lawan amat kuatnya. Yang lebih kaget adalah Hauw Lam. Pada waktu itu ilmu
    kepandaiannya telah meningkat hebat, karena selama perantauannya dengan isterinya ke negeri barat ia
    telah memperoleh pengalaman dan penambahan ilmu-ilmu silat yang hebat, juga tenaga sinkang-nya
    bertambah kuat sehingga untuk masa itu jarang ada orang kang-ouw yang mampu menandingi Pek-kongto
    Tang Hauw Lam, suami Mutiara Hitam ini.
    Akan tetapi, dalam pertemuan tenaga sakti tadi, Hauw Lam merasa betapa tangan Si Bongkok itu amat
    kuatnya dan mengandung tenaga mukjizat, tenaga sinkang yang sudah mencapai tingkat tinggi sekali!
    Bagaimana seorang yang hanya berpakaian pelayan dapat memiliki ke pandaian sehebat ini?
    Di lain pihak, Si Bongkok itu pun agaknya terkejut sekali dan baru tahu bahwa orang yang dilawannya
    bukanlah orang sembarangan sehingga ia mulai memandang penuh perhatian. Karena maklum bahwa
    dunia-kangouw.blogspot.com
    orang ini tentulah seorang pendekar yang berilmu tinggi, maka timbul kekhawatiran di hatinya kalau-kalau
    dia salah tangan dan salah duga. Orang yang berkepandaian sehebat itu tidak mungkin hanya
    menghalanginya karena sebab yang remeh seperti mengalahkan dua orang muridnya tadi.
    “Orang gagah, ketahuilah bahwa aku Gu Toan hanya melakukan tugas hidupku dan aku akan mengubur
    abu jenazah majikanku di sini dengan taruhan nyawa. Siapa pun juga tidak boleh menghalangi dikuburnya
    abu jenazah ini di sini!” dengan ucapan ini, Si Bongkok itu agaknya hendak minta maaf dan mengajukan
    alasan mengapa dia bersikeras hendak mengubur abu jenazah di situ.
    Tang Hauw Lam belum pernah mendengar nama Gu Toan. Setelah diingat-ingat dan merasa yakin bahwa
    dia belum pernah mengenal orang ini, dia pun menjawab, “Dan aku pun mempertaruhkan nyawaku untuk
    menjaga kebersihan tanah kuburan ini dari gangguan siapa pun juga. Tidak boleh sembarang jenazah atau
    abunya dikuburkan di tempat ini!”
    Gu Toan tercengang dan penasaran, lalu bertanya. “Bolehkan aku mengetahui siapakah Sicu ini? Dan hak
    apa yang Sicu miliki untuk mempertahankan tanah kuburan ini?”
    “Aku adalah Pek-kong-to Tang Hauw Lam. Tanah kuburan ini adalah kuburan keluarga isteriku, bahkan
    Raja Talibu yang dimakamkan di sini adalah saudara iparku!”
    Gu Toan terbelalak memandang ragu-ragu dan bertanya gugup, “Mutiara Hitam...?”
    Hauw Lam mengangguk. “Isteriku!”
    Tiba-tiba terjadi hal yang membuat Tang Hauw Lam terkejut dan terheran-heran, demikian pula kedua
    orang muridnya. Di luar dugaannya sama sekali, Si Bongkok itu menjatuhkan diri berlutut di depannya
    sambil menangis! Gu Toan menangis sesenggukan, mengambil sebuah di antara dua guci terisi abu
    jenazah, memeluknya dan berkata terisak-isak.
    “Hamba Gu Toan mohon ampun... harap Tang-taihiap ketahui... ini... abu jenazah dari... majikan hamba...
    mendiang Menteri Kam Liong...!”
    Wajah Hauw Lam menjadi pucat seketika dan matanya terbelalak memandang ke arah guci terisi abu
    jenazah. “Apa?! Kanda Kam Liong... mati...? Benarkah...?”
    “Hamba adalah pelayan beliau. Beliau tewas karena dikeroyok para panglima kerajaan... dan yang satu itu
    abu jenazah Panglima Khu Tek San, murid majikan hamba... Mereka tewas dalam menolong adik beliau,
    Kam Han Ki Taihiap...”
    “Ahhh...!” Tang Hauw Lam menjatuhkan diri berlutut, menyentuh guci itu dan berkata lirih, “Tidak dinyana...
    Kam Liong Twako...!”
    Sambil berlutut, Gu Toan lalu menceritakan semua peristiwa yang menimpa keluarga majikannya.
    Menceritakan pula betapa pada saat terakhir, Kam Han Ki, Maya dan Khu Siauw Bwee tertolong oleh Bu
    Kek Siansu dan dia berhasil pula membawa pergi jenazah Kam Liong dan muridnya, menyelamatkan pula
    kitab-kitab dan senjata, kemudian membakar jenazah Kam Liong dan Khu Tek San dan membawa abu
    jenazah ke tempat itu untuk dikubur sesuai dengan pesan Bu Kek Siansu.
    Tang Hauw Lam mendengarkan penuturan itu dengan penuh keharuan. Hatinya berduka bukan main,
    makin tersayat rasa hatinya kalau mengenangkan nasib keluarga isterinya. Raja Talibu saudara kembar
    isterinya, tewas dan terbasmi seluruh keluarga berikut kerajaannya. Kini Menteri Kam Liong, saudara tertua
    isterinya tewas dalam keadaan begitu rendah, sebagai pemberontak, padahal tadinya Menteri Kam
    terkenal sebagai seorang menteri yang amat setia! Mengapa begitu buruk nasib keturunan Suling Emas,
    pendekar perkasa yang menjadi ayah mertuanya? Dan sekarang, isterinya juga belum diketahui nasibnya!
    “Aihhh. Gu Toan... engkau seorang yang amat setia. Terima kasih atas semua pembelaanmu, dan kau
    maafkanlah aku dan murid-muridku. Gu Toan, aku pun sedang menanti berita tentang isteriku...”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Karena tidak menganggap Gu Toan si bongkok sebagai pelayan biasa, maka tanpa ragu-ragu lagi Tang
    Hauw Lam menceritakan kepergian isterinya. Mendengar ini Gu Toan terkejut dan ikut prihatin. Kemudian
    Tang Hauw Lam membantu Gu Toan menggali lubang kuburan untuk mengubur abu jenazah Kam Liong
    dan Khu Tek San sebagaimana mestinya, bahkan dengan penuh khidmat dia bersama muridnya
    menyembahyangi kuburan baru itu.
    Dua hari kemudian, selagi Tang Hauw Lam, kedua orang muridnya dan Gu Toan yang berkabung
    menunggu kuburan Kam Liong, datanglah serombongan pasukan yang didahului dengan bunyi terompet
    dan tambur. Hauw Lam dan Gu Toan terkejut dan sudah siap-siap. Tang Hauw Lam yang khawatir akan
    datang bahaya lalu menyuruh kedua orang muridnya untuk bersembunyi di belakangnya dan memesan
    agar jangan sembarangan bicara atau bergerak.
    Tak lama kemudian muncullah serombongan pasukan terdiri dari lima puluh orang yang berkuda. Sikap
    mereka gagah perkasa dan pakaian perang mereka gemerlap ditimpa matahari pagi. Komandan pasukan
    itu bertubuh tinggi besar seperti raksasa, mukanya penuh cambang bauk dan sikapnya gagah sekali.
    Sebatang golok besar targantung di pinggang, dan kuda yang ditungganginya juga kuda putih yang tinggi
    besar.
    Ketika komandan pasukan ini tiba di dekat kuburan dan melihat Tang Hauw Lam bersama Gu Toan berdiri
    dengan sikap tenang namun siap waspada, ia mengangkat tangan memberi isyarat agar pasukannya
    berhenti. Kemudian terdengar suaranya yang nyaring bertanya, ditujukan kepada Gu Toan dan Hauw Lam.
    “Kami adalah pasukan Mongol yang jaya, sengaja datang ke tanah kuburan keluarga Khitan untuk mencari
    seorang yang bernama Tang Hauw Lam Pek-kong-to!”
    Jantung Tang Hauw Lam berdebar keras dan ia meloncat ke depan. Wajahnya berubah ketika ia berkata,
    “Akulah Pek-kong-to Tang Hauw Lam! Ada keperluan apakah pasukan Mongol mencari aku?”
    Semua anak buah pasukan memandang ke arah Hauw Lam, dan komandan itu lalu memberi hormat
    secara militer, kemudian berkata dengan sikap hormat, “Kami melaksanakan perintah raja kami untuk
    pertama-tama menyampaikan salam dan hormat raja kami yang setinggi-tingginya kepada pendekar Tang
    Hauw Lam, disertai pujian bahwa Tang-taihiap adalah seorang yang amat bahagia dapat menjadi suami
    seorang pendekar wanita perkasa seperti Mutiara Hitam!”
    Hati pendekar itu makin berdebar. Apakah artinya ini? Bukankah isterinya menuju ke Mongol dengan
    maksud membunuh Raja Mongol? Apakah yang telah terjadi? Karena dia memang selalu berkhawatir akan
    nasib isterinya, maka dia tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan berteriak, “Apa yang terjadi dengan
    isteriku? Lekas katakan dan jangan memutar-mutar omongan! Di mana Mutiara Hitam dan apa yang telah
    terjadi?”
    “Kami hanya utusan yang menyampaikan perintah langsung dari raja kami. Setelah menyampaikan salam
    dan hormat, kami bertugas menyerahkan ini kepada Taihiap!”
    Panglima Mongol itu mengambil sebuah bungkusan sutera kuning dari tangan seorang pembantunya,
    melompat turun dari kudanya dengan sigap, kemudian dengan penuh hormat dan membungkuk
    menyerahkan bungkusan sutera kuning itu kepada Hauw Lam. Dengan kedua tangan agak gemetar dan
    jantung berdebar tegang Hauw Lam menerima bungkusan itu tanpa berkata apa-apa, kemudian
    menurunkan bungkusan dan hendak membukanya.
    “Tang-taihiap, kami telah melaksanakan tugas dengan baik. Kami mohon diri hendak kembali ke Mongol.”
    “Tunggu dulu!” Hauw Lam tidak melanjutkan niatnya membuka bungkusan, tetapi ia melompat berdiri dan
    berkata, “Ceritakan dulu, apa yang terjadi dengan isteriku!”
    “Tang-taihiap, kami tidak berhak bicara. Raja kami hanya mengutus seperti yang telah kami lakukan, dan
    Taihiap tentu akan mengerti kesemuanya setelah membaca surat dari raja kami yang berada di dalam
    bungkusan. Selamat tinggal!” Panglima itu meloncat ke atas kudanya, memberi aba-aba dan pasukan itu
    dunia-kangouw.blogspot.com
    bergerak cepat. Kuda mereka membentuk barisan yang rapi dan ketika pasukan bergerak pergi, tampak
    debu mengebul tinggi menutupi barisan yang pergi dengan cepatnya.
    Tang Hauw Lam masih berdiri termangu-mangu ketika Gu Toan berkata halus, “Taihiap, hidup memang
    banyak penderitaan, akan tetapi kalau kita kuat menghadapinya, penderitaan merupakan pengalaman
    hidup yang amat berguna.”
    Tang Hauw Lam membalikkan tubuhnya, berlutut menghadapi bungkusan sutera kuning, hampir tidak
    berani membuka bungkusan itu. Ia mengheningkan cipta, memusatkan panca indera dan memperkuat
    hatinya dengan hawa murni. Setelah hatinya tenang, dengan jari-jari yang tak bergetar lagi ia mulai
    membuka bungkusan kain kuning.
    Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa telah mendekati suhu mereka dan berlutut di sebelah kiri orang tua itu tanpa
    berani mengeluarkan suara, namun hati mereka ingin sekali tahu apa isi bungkusan yang dikirim oleh Raja
    Mongol dengan begitu menghormat kepada suhu mereka. Juga Gu Toan diam-diam memandang penuh
    perhatian, dengan wajah penuh iba terhadap Tang Hauw Lam, karena dia sudah dapat menduga apa yang
    telah terjadi atas diri Mutiara Hitam.
    Suasana amat menegangkan ketika Tang Hauw Lam mulai membuka tali sutera yang mengikat bungkusan.
    Suara berkereseknya tali sutera yang dibuka sampai terdengar oleh tiga orang yang mengikuti gerakan jari
    tangan itu dengan seksama. Akhirnya bungkusan itu terbuka dan tampaklah isinya yang mereka tunggutunggu
    dan duga-duga.
    Ternyata bahwa bungkusan itu berisi sebuah tempayan dari emas terukir indah sekali, tutupnya dihias
    dengan batu permata, sesampul surat yang megah dan dicap Kerajaan Mongol, dan... setumpuk pakaian
    dan perhiasan yang amat dikenal karena itu adalah pakaian dan perhiasan yang dipakai Mutiara Hitam
    ketika pergi, berikut sebatang pedang kayu, yaitu Siang-bhok-kiam, pedang Mutiara Hitam!
    Betapa pun kuat Tang Hauw Lam mempersiapkan hatinya, namun tangannya menggigil ketika ia membuka
    tutup tempayan dan melihat abu jenazah yang memang telah ia perkirakan semula. Terdengar keluhnya,
    “Lan-moi... isteriku...!”
    Ia menyambar pakaian Mutiara Hitam, mencengkeram pakaian itu dan menutupi mukanya dengan pakaian
    isterinya, lalu menubruk dan memeluk tempayan itu. Tak tertahan lagi ia terisak-isak sambil memejamkan
    mata, menggigit bibir sendiri sampai berdarah. Isterinya tercinta telah tewas! Gagal dalam usahanya dan
    mengorbankan nyawa, kini pakaian dan abu jenazahnya dikirim kembali oleh Raja Mongol.
    “Kwi Lan...!” Ia mengeluh lagi dan mengerahkan seluruh tenaga batinnya agar kedukaan tidak
    menggelapkan kesadarannya.
    “Subo...!” Can Ji Kun berseru sambil menangis.
    “Subo...!” Ok Yan Hwa menjerit, kemudian meloncat berdiri dan berteriak, “Keparat orang-orang Mongol!
    Aku akan membalas dendam!”
    “Aku juga!” Can Ji Kun juga meloncat berdiri dan kedua orang anak itu lalu hendak mengejar rombongan
    pasukan Mongol.
    “Ji Kun, Yan Hwa! Berhenti...!” Tang Hauw Lam membentak, tangannya bergerak ke depan dan dua orang
    muridnya itu terpelanting roboh. “Apa yang hendak kalian lakukan?”
    Kedua orang anak itu merangkak menghampiri suhu mereka, berlutut sambil menangis sesenggukan.
    “Subo telah mereka bunuh...!” Ok Yan Hwa mengeluh sambil menangis.
    “Subo-mu gagal, namun tewas sebagai seorang gagah yang mendapat kehormatan besar dari Raja
    Mongol, dari musuhnya sendiri. Kalian patut berbangga karenanya!”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Kelemahan dua orang muridnya itu membangkitkan semangat Hauw Lam. Dengan wajah pucat, pipi basah
    air mata, namun sikapnya telah menjadi tenang, mulailah pendekar ini membuka sampul surat dan
    membaca isinya. Bibirnya bergerak-gerak, air matanya menetes-netes ketika ia membaca surat Raja
    Mongol itu.
    Surat yang menceritakan usaha isterinya membalas dendam kematian Raja Talibu, menceritakan penuh
    kekaguman dan pujian atas kegagahan Mutiara Hitam yang seorang diri menyerbu Mongol, mengamuk
    dan menghadapi pengeroyokan ratusan orang tentara Mongol dengan gagah perkasa, membunuhi ratusan
    orang prajurit Raja Mongol yang menyambutnya seperti seekor naga sakti mengamuk, dan hanya karena
    kehabisan tenaga saja akhirnya Mutiara Hitam dapat dirobohkan dan tewas dengan pedang masih di
    tangan!
    ‘Kami amat kagum dan terharu menyaksikan kegagahan pendekar wanita Mutiara Hitam.’ Demikian
    penutup surat yang panjang lebar itu. ‘Tak dapat kami menganggap orang segagah itu sebagai musuh,
    bahkan kami jadikan contoh untuk para panglima kami. Sayang bahwa dia mencampur-adukkan urusan
    perang dengan perasaan pribadi. Kami memperabukan jenazahnya dengan upacara kebesaran dan penuh
    hormat, dan kami mengirim salam dan hormat kepada Pek-kong-to Tang Hauw Lam yang beruntung sekali
    dapat menjadi suami seorang wanita sakti yang demikian gagah perkasa.’
    “Kwi Lan...!” Ucapan Tang Hauw Lam terdengar sayu.
    Wajahnya menjadi layu seperti tanaman kekeringan, sinar matanya suram-muram. Tanpa banyak cakap
    lagi Tang Hauw Lam lalu menggali tanah, dibantu oleh dua orang muridnya yang menangis terus, dan oleh
    Gu Toan yang berkali-kali menarik napas panjang dan menggeleng kepala. Penguburan abu jenazah
    Mutiara Hitam dilakukan dengan khidmat, dan sampai satu bulan lamanya Tang Hauw Lam berkabung di
    dekat kuburan isterinya.
    Setelah lewat sebulan dia menyerahkan tempayan emas dan pedang Siang-bhok-kiam kepada Gu Toan
    sambil berkata, “Gu Toan, engkaulah satu-satunya orang yang tepat menjadi penjaga kuburan keluarga ini
    dan karena pusaka-pusaka peninggalan Menteri Kam Liong berada di tanganmu, maka kuserahkan semua
    ini kepadamu untuk disimpan menjadi satu sebagai benda-benda pusaka keluarga keturunan Suling Emas.
    Jagalah tanah kuburan ini baik-baik, aku hendak pergi bersama dua orang muridku.”
    “Jangan khawatir, Taihiap. Satu-satunya kewajiban hidupku sekarang adalah menjaga tanah kuburan ini,
    akan hamba jaga sampai mati. Selama hamba masih hidup, tidak akan ada seorang pun yang dapat
    mengganggu kuburan atau benda-benda keramat, pusaka peninggalan keluarga majikan hamba.”
    “Engkau seorang yang bahagia sekali, Gu Toan. Kesetiaan yang merupakan tugas dan dapat dilaksanakan
    dengan baik merupakan kebahagiaan besar. Selamat tinggal, Gu Toan.”
    “Selamat jalan, Tang-taihiap. Maafkan kalau hamba lancang memberi nasehat kepada Taihiap. Hanya
    ingin hamba memperingatkan bahwa bukan hanya hamba yang mempunyai tugas hidup, melainkan juga
    Taihiap mempunyai tugas suci, yaitu mendidik kedua orang murid Taihiap.”
    Kedua mata pendekar itu menjadi basah. Teringat ia akan pesan terakhir isterinya ketika hendak pergi.
    Masih berkumandang di telinganya pesan terakhir isterinya, “Andai kata aku tewas dalam tugas pribadiku
    ini, kau pimpinlah baik-baik kedua orang murid kita, dan aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu
    gerbang akhirat, suamiku.”
    Biar pun dua titik air mata membasahi bulu matanya, Tang Hauw Lam memaksa diri tersenyum penuh
    syukur kepada Gu Toan, mengangguk dan berkata, “Terima kasih, Gu Toan. Aku akan melakukan tugasku
    sebaik mungkin, karena aku yakin bahwa kebahagiaan menantiku di pintu gerbang akhirat. Selamat
    tinggal!” Sambil menggandeng tangan kedua muridnya. Tang Hauw Lam berkelebat lenyap dari situ, diikuti
    pandang mata Si Bongkok yang mengangguk-angguk dan menghela napas panjang.....
    ********************
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Berlindung di bawah cuaca senja yang suram, tubuh Han Ki berkelebat naik ke bukit karang dan
    menyelinap di antara batu-batu karang, menghampiri goa besar yang dianggap tempat keramat oleh
    penduduk Pulau Nelayan. Setelah tiga hari tinggal di pulau itu, akhirnya pada senja hari ini ia dapat
    menyelundup ke tempat keramat dan terlarang itu. Tidak ada seorang pun mengetahui akan perbuatannya
    ini, bahkan Maya dan Siauw Bwee juga tidak mengetahui. Dia ingin menyelidiki tempat keramat itu. Ia
    menduga bahwa tentu kunci rahasia keadaan para penghuni Pulau Nelayan yang penuh rahasia dan tentu
    ada hubungannya dengan Bu Kek Siansu itu, akan dapat ia temukan di dalam goa keramat yang terlarang
    itu.
    Biar pun kepandaiannya sudah mencapai tingkat tinggi, namun Han Ki berlaku hati-hati sekali. Seluruh
    penghuni Pulau Nelayan yang hidupnya amat sederhana itu memiliki kepandaian hebat, sehingga kalau dia
    tidak hati-hati tentu akan terlihat oleh mereka. Dia tidak takut ketahuan, hanya tidak ingin dia menyinggung
    hati orang-orang yang bodoh akan tetapi amat ramah itu, tidak mau menyakiti hati pihak tuan rumah yang
    bersikap baik kepadanya. Kakek yang menjadi orang tertua itu sudah berpesan agar dia jangan melanggar
    daerah terlarang itu. Kalau sampai dia ketahuan mendatangi tempat itu, bukankah ia akan merasa malu
    sekali?
    Goa itu sudah mulai gelap, akan tetapi dia sudah mempersiapkan lilin yang dibuatnya dari lemak ikan.
    Setelah memasuki goa itu, Han Ki menyalakan lilin dan mulailah ia dengan penyelidikannya. Goa itu
    ternyata cukup besar dan tepat seperti dugaannya, goa itu merupakan terowongan. Ia masuk terus dan
    betapa girang hatinya ketika ia melihat sebuah ruangan seperti kamar yang keadaannya sudah rusak dan
    dinding batunya banyak yang longsor.
    Akan tetapi di sudut kamar ia melihat sebuah peti hitam. Peti yang amat tua, sebagian tertimbun batu dan
    tanah. Dibukanya peti itu dan isinya adalah kitab yang sudah amat tua, sebagian sudah lapuk. Han Ki
    mengambil sebuah kitab yang ditulis dengan huruf-huruf indah, lalu menaruh lilin di atas peti dan mulai
    membuka-buka kitab.
    “Inilah yang kucari!” serunya girang.
    Ia duduk di atas lantai batu dekat peti dan mulai membaca. Huruf-huruf itu adalah huruf yang sudah agak
    kuno, akan tetapi Han Ki dapat membacanya dan menangkap artinya. Memang benar seruannya tadi.
    Kitab itu adalah kitab catatan yang menceritakan keadaan nenek moyang penghuni. Pulau Nelayan.
    Agaknya kitab-kitab itu tidak ada gunanya bagi para penghuni di situ karena tiada seorang pun di antara
    mereka dapat membaca.
    Dengan penuh perhatian Han Ki membaca isi kitab yang ditulis rapi dan indah itu. Dan ia menjadi kaget
    sekali, juga girang karena ternyata dugaannya tidak keliru bahwa penghuni Pulau Nelayan itu masih
    mempunyai hubungan dengan Bu Kek Siansu! Kiranya mereka itu adalah keturunan orang-orang yang
    mengungsi dari Pulau Es di jaman dahulu. Juga di dalam kitab itu dituturkan sejelasnya tentang kerajaan
    kecil di Pulau Es, yaitu raja sakti seperti dewa yang menjadi nenek moyang gurunya Bu Kek Siansu.
    Menurut catatan dalam kitab itu, di jaman dahulu, ratusan tahun yang lalu, seorang pangeran pelarian dari
    daratan bersama keluarganya menduduki Pulau Es dan membangun sebuah istana di situ. Pangeran ini
    amat sakti dan bersama para pengikutnya ia tinggal di Pulau Es sebagai seorang raja kecil. Mereka hidup
    aman tenteram dan penuh kebahagiaan di pulau itu. Para pengikutnya membentuk keluarga-keluarga yang
    hidup aman dan tidak kekurangan sesuatu. Karena kesaktian raja ini, tidak ada golongan atau kerajaan lain
    yang berani mengganggu Pulau Es dan sekitarnya. Raja ini tinggal di Pulau Es turun-temurun dan ilmu
    kepandaiannya pun menjadi ilmu warisan yang turun-temurun dipelajari anak cucunya.
    Akan tetapi, pada waktu keturunan ke empat berkuasa menjadi raja dan keluarga di Pulau Es sudah mulai
    berkembang, terjadilah mala-petaka yang amat dahsyat di pulau itu. Badai taufan mengamuk, tak
    tertahankan oleh manusia yang bagaimana kuat pun, menyapu habis Pulau Es berikut semua
    penghuninya! Seluruh keluarga raja dan para pengikutnya yang berada di pulau itu habis dan terbasmi
    semua!
    Hanya beberapa orang yang kebetulan sedang tidak berada di pulau, yaitu yang sedang berlayar
    menangkap ikan, mereka inilah yang tidak terbasmi habis. Perahu-perahu mereka pun diamuk badai, dan
    dunia-kangouw.blogspot.com
    sebagian besar di antara mereka pun lenyap ditelan badai, akan tetapi ada belasan orang, tujuh laki-laki
    dan lima wanita, dilemparkan badai sehingga perahu mereka terdampar di sebuah pulau kosong. Dua
    belas orang inilah yang menjadi nenek moyang para penghuni Pulau Nelayan!
    Di antara mereka itu terdapat seorang yang berkepandaian tinggi, yang telah menerima pelajaran ilmu silat
    tinggi dari keluarga raja, maka tidaklah mengherankan apa bila ilmunya itu ia wariskan kepada anak
    cucunya sehingga sampai sekarang para penghuni Pulau Nelayan itu memiliki ilmu kepandaian tinggi!
    Mungkin karena makin lama makin tidak membutuhkan, makin lenyaplah pengetahuan baca tulis, bahkan
    pakaian serta watak mereka menjadi sederhana sekali sungguh pun ilmu silat mereka amat lihai!
    Han Ki tertarik sekali. Mengertilah ia kini bahwa memang ada hubungan antara para penghuni pulau ini
    dengan gurunya, hanya bedanya, kalau para penghuni pulau ini adalah keturunan para pengungsi yang
    terlepas dari bencana maut itu, adalah Bu Kek Siansu merupakan satu-satunya keturunan keluarga raja
    yang terbebas dari maut.
    Mendadak terdengar suara gerengan aneh dan Han Ki cepat meloncat sambil mengelak ketika ada angin
    menyambar ke arah kepalanya. Sebuah tangan berkuku panjang mencengkeram ke arah kepalanya
    dengan kecepatan yang mengerikan. Han Ki berhasil mengelak, akan tetapi sebuah tangan lain
    mencengkeram dada. Kembali ia mengelak dan tiba-tiba dua buah kaki menendangnya secara berbareng.
    Serangan bertubi-tubi itu amat cepat datangnya, cepat dan juga kuat sekali dibarengi suara menggereng
    seperti binatang buas.
    Han Ki tersedak dan meloncat mundur, kakinya tanpa disengaja menyentuh peti sehingga terguling. Ketika
    ia menoleh ke arah penyerangnya, ia berseru kaget dan mencabut pedang. Penyerangnya adalah manusia
    bertubuh satu berkepala dua, berkaki empat dan berlengan empat! Dan kini orang aneh itu menyerang lagi
    dengan amat hebatnya. Han Ki cepat mengelak dan mengelebatkan pedangnya untuk menangkis dan
    menakut-nakuti.
    “Trik-cringgg...!”
    “Ayaaa...!” Han Ki makin terkejut. Sentilan kuku panjang kepada pedangnya membuat seluruh lengan
    kanannya seperti lumpuh dan hampir saja ia melepaskan pedangnya. Orang itu menubruk dan kembali
    Han Ki mengelak dan melindungi tubuhnya dengan sinar pedang.
    Kini di antara serangan bertubi-tubi yang benar-benar membuatnya repot dan terdesak, Han Ki dapat
    melihat bahwa yang menyerangnya itu adalah dua orang. Dua orang kembar dampit (kembar siam) yang
    punggungnya melekat menjadi satu, yang bergerak seperti satu orang saja, atau memang dua orang yang
    mempunyai satu hati dan satu perasaan. Kiranya orang kembar dampit itu memiliki tingkat kepandaian
    yang lebih tinggi dari pada para penghuni Pulau Nelayan.
    Han Ki mengerahkan seluruh kepandaiannya karena berbeda dengan kakek botak yang menguji
    kepandaiannya, orang kembar itu kini menyerangnya dengan niat membunuh. Setiap serangan kaki atau
    tangan adalah serangan maut yang bermaksud membunuhnya! Han Ki tidak dapat bergerak leluasa di
    dalam goa yang gelap karena lilin di atas peti terguling, sebaliknya dua orang itu bergerak makin cepat,
    agaknya mereka lebih awas di dalam gelap.
    “Heii, nanti dulu! Aku bukan musuh...!” Han Ki berkali-kali berseru sambil membuang diri ke sana ke mari.
    Namun orang dampit itu sama sekali tidak mengendurkan serangannya, malah mendesak makin hebat.
    Tempat itu terlalu sempit untuk bertanding, keadaan makin gelap dan Han Ki memang tidak ingin
    membunuh, maka tentu saja pemuda ini makin terdesak hebat sehingga dua kali ia kena dicakar kuku
    runcing itu. Untung ia, masih dapat bergerak cepat sehingga yang terobek hanyalah bajunya di punggung
    dan di belakang pundak.
    Tiba-tiba seorang di antara sepasang dampit itu mengeluh, “Mataku... ahhh... silaunya...!”
    Han Ki terheran melihat betapa keadaan tidak segelap tadi lagi, bahkan kini agak terang. Dan bersamaan
    dengan terangnya tempat itu, dua orang dampit itu makin bingung, serangannya ngawur bahkan sering kali
    dunia-kangouw.blogspot.com
    menggunakan tangan melindungi mata mereka. Ketika Han Ki memutar pedang sambil meloncat ke
    belakang, tampaklah olehnya apa yang menyebabkan tempat ini menjadi terang. Kiranya lilin tadi terguling
    dan tidak padam, melainkan perahan-lahan membakar kitab yang tadi dibacanya!
    “Aduh... silau...!”
    “Tak dapat melihat...!”
    Tiba-tiba sepasang orang dampit itu berteriak dan sekali berkelebat lenyaplah mereka dari tempat itu,
    menghilang ke sebelah dalam terowongan yang gelap. Han Ki menyimpan pedangnya, menyusut peluh
    dan menarik napas melihat betapa semua kitab yang tadi tertumpah keluar dari dalam peti, kini telah
    menjadi korban api! Ia dapat menduga bahwa seperti keadaan binatang-binatang buas yang biasa dengan
    tempat gelap, sepasang orang dampit yang amat lihai itu takut akan sinar terang, dan api itulah yang
    menolongnya.
    Ia harus lekas pergi karena kalau api itu padam tentu Si Dampit akan muncul dan menyerangnya, pula.
    Kalau demikian, maka berbahayalah. Menghadapi orang dampit di tempat terang dan tempat yang luas,
    mungkin masih dapat melindungi diri. Akan tetapi di tempat sempit dan gelap? Mereka terlalu lihai!
    Tergesa-gesa Han Ki lalu berlari keluar, menggunakan sinar terang dari kitab-kitab yang terbakar di tempat
    pertempuran tadi.
    Akan tetapi ketika ia tiba di luar goa, tempat di luar goa itu sudah terang sekali oleh obor-obor minyak yang
    dipegang oleh para penghuni Pulau Nelayan yang sudah berkumpul di depan goa. Maya dan Siauw Bwee
    berada di antara mereka, akan tetapi kedua orang sumoi-nya itu dibelenggu!
    “Eh... aku... aku tidak melakukan apa-apa...,” Han Ki berkata gagap. Ia merasa malu sekali karena sekali ini
    benar-benar ia tertangkap basah! Dan diam-diam ia siap untuk membela kedua orang sumoi-nya kalau
    mereka itu berniat buruk.
    “Engkau telah melanggar larangan kami dan telah bertemu dengan Si Dampit!” Kakek botak berkata
    suaranya dingin sekali.
    “Akan tetapi... dia... dia yang menyerangku. Aku hanya ingin menyelidiki asal-usul kalian karena aku
    tertarik, tidak berniat buruk.... Dan aku telah berhasil mengetahui bahwa nenek moyang kalian berasal dari
    Pulau Es!”
    Orang-orang itu saling pandang dan tidak menjawab, kemudian kakek itu berkata lagi, “Kami tidak mengerti
    apa yang kau katakan itu. Si Dampit adalah keturunan kami, karena mereka terlahir seperti itu, kami
    anggap sebagai kutukan dan kami percaya bahwa mereka akan mendatangkan mala-petaka kalau tinggal
    bersama kami. Kelahiran mereka telah membawa bencana, para penangkap ikan tidak berhasil, angin
    besar merusakkan tanaman. Karena itu mereka kami asingkan di tempat keramat.”
    “Akan tetapi mereka... lihai sekali!”
    “Kami mengajarkan semua kepandaian yang kami ketahui kepada mereka dan karena mereka merupakan
    seorang dengan empat tangan empat kaki dua kepala, tentu saja mereka lebih tangkas. Sudahlah, engkau
    telah melanggar pantangan kami, karena itu sekarang juga engkau dan dua orang sumoi-mu harus
    meninggalkan pulau ini!”
    “Akan tetapi...!” Han Ki membantah.
    “Apakah engkau lebih suka kalau kalian bertiga kami bunuh dan kami korbankan untuk mencegah
    kemarahan penghuni pulau?”
    Han Ki tak dapat membantah lagi, maklum bahwa orang-orang yang percaya takhayul ini tak mungkin di
    bantah. “Baiklah, kami akan pergi besok pagi.”
    “Sekarang juga!”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    “Suheng, mengapa membantah? Mereka ini adalah orang-orang bodoh. Mari kita pergi! Aku muak
    menyaksikan sikap mereka. Pula, bukankah tujuan kita bukan pulau ini?”
    Han Ki mengangguk. “Baiklah. Mari kita pergi!”
    Han Ki lalu menghampiri kedua orang sumoi-nya, menggunakan tenaga saktinya untuk sekali renggut
    membikin patah belenggu kedua orang anak perempuan itu, kemudian menggandeng tangan mereka dan
    mengikuti orang-orang itu yang mengantarkan ke pantai di mana perahu mereka ditinggalkan. Han Ki
    kagum menyaksikan betapa mereka semua, laki-laki, perempuan, juga kanak-kanak menuruni tebing
    membawa obor sampai ke bawah tebing. Dia lalu melepaskan ikatan perahunya, mengajak kedua orang
    sumoi-nya memasuki perahu, kemudian ia menjura kepada mereka semua dan berkata kepada kakek
    botak.
    “Kalian ketahuilah bahwa menurut buku catatan di goa yang kubaca, kalian adalah keturunan dari dua
    belas orang pengungsi yang menyelamatkan diri dari Pulau Es di waktu pulau itu dilanda badai taufan.
    Kalian adalah keturunan rakyat dari raja muda di Pulau Es yang keluarganya terbasmi dalam badai. Akan
    tetapi, ada seorang keturunan keluarga raja yang selamat, yaitu yang kini dikenal sebagai manusia dewa
    yang sakti Bu Kek Siansu, yaitu guru kami. Nah kalian tahu bahwa aku tidak berniat buruk ketika
    menyelidik ke dalam goa. Ada pun sepasang manusia dampit itu, kasihan kalau diasingkan di tempat itu.
    Mereka sampai menjadi takut dan silau oleh sinar terang. Kepandaian mereka itu hebat sekali. Kalau
    kaLiang Biarkan keluar, tenaga mereka akan amat berguna bagi kalian. Nah, selamat tinggal!”
    Dengan hati-hati Han Ki mendayung perahunya, akan tetapi tidak terus ke tengah lautan karena malam
    amat gelap. Dia menanti sampai orang-orang itu pergi meninggalkan pantai. Obor-obor di tangan mereka
    membentuk pemandangan yang aneh, sinar panjang yang bergerak mendaki tebing sperti seekor ular
    merayap naik. Setelah sinar-sinar obor itu lenyap, Han Ki kembali mendekatkan perahu ke pantai dan ia
    melewatkan malam itu di atas perahu di pinggir pantai. Baru setelah fajar menyingsing di ufuk timur, ia
    mendayung perahunya menuju ke arah matahari yang mulai muncul di permukaan air.
    Dua orang gadis ciiik itu mendengarkan penuturan Han Ki dengan hati tertarik. Apa lagi ketika mendengar
    bahwa suhu mereka adalah keturunan keluarga raja di Pulau Es, hati mereka menjadi besar dan bangga.
    Baru para pengikut kerajaan itu saja mempunyai keturunan yang demikian hebat kepandaiannya seperti
    penghuni Pulau Nelayan, apa lagi raja itu sendiri yang menjadi nenek moyang suhu mereka! Dan Pulau Es
    itu tentu indah sekali. Ingin sekali mereka segera sampai di tempat yang dituju.
    Setelah memasang layar pada perahu kecil dan berlayar selama setengah hari melewati sekumpulan pulau
    kecil, akhirnya mereka melihat sebuah pulau yang berwarna putih dan dari jarak jauh tampak samar-samar
    puncak sebuah bangunan di tengah pulau itu.
    ”Tak salah lagi, itulah Pulau Es!” Han Ki berseru sambil menunjuk ke depan.
    Maya dan Siauw Bwee melindungi mata dengan tangan, meneropong ke depan dengan hati berdebar
    tegang. Memang dari jauh sudah tampak lain dari pada pulau-pulau lain. Pulau ini berwarna putih dan
    cemerlang tertimpa sinar matahari, seolah-olah merupakan sebuah pulau perak! Dan kalau tidak lebih dulu
    mendengar bahwa di tengah pulau terdapat sebuah istana, ujung bangunan itu tentu disangka puncak
    sebuah bukit karang.
    “Apakah ada yang tinggal di sana, Suheng?” tanya Maya.
    “Jangan-jangan kita telah didahului orang lain,” kata pula Siauw Bwee penuh keraguan.
    “Tidak mungkin,” jawab Han Ki. “Kalau demikian halnya tidak mungkin Suhu menyuruh kita ke sana. Hayo
    bantulah aku agar kita dapat cepat tiba di sana.”
    Perahu meluncur cepat sekali dan akhirnya dengan jantung berdebar tegang tiga orang itu mendarat dan
    menarik perahu naik ke darat. Perahu itu amat penting bagi mereka, karena di pulau kosong ini yang dapat
    menghbungkan mereka dengan dunia ramai hanya perahu itulah. Setelah menarik perahu sampai jauh ke
    dunia-kangouw.blogspot.com
    daratan agar jangan terbawa hanyut air laut kalau pasang, dan menyembunyikan perahu di tempat yang
    aman, mereka bertiga mendekati bangunan aneh yang biasanya terdapat di dalam mimpi saja.
    Pulau itu penuh batu karang yang diselimuti salju sehingga tidak ada bagian yang kelihatan tanah atau
    batunya. Pantas saja disebut Pulau Es, karena pulau itu kelihatannya seolah-olah terbuat dari bongkahan
    es yang amat besar. Atau sebongkah es raksasa yang mengapung di atas laut, sungguh pun mereka tidak
    merasakan guncangan sama sekali.
    “Pulau Es ini kosong, tidak ada makhluk hidup tinggal di sini, benar seperti kata Suhu!” Han Ki berseru,
    gembira dan kagum.
    “Bagaimana kita dapat hidup di tempat seperti ini?” Maya mencela, “Tidak ada tetumbuhan sebatang pun,
    tidak ada hewan seekor pun. Kita akan mati kelaparan di sini!”
    “Aduh, dinginnya bukan main!” Siauw Bwee menggigil. Mendengar ini, Maya juga menggigil kedinginan.
    Han Ki merasa betapa makin lama, keadaan hawa udara di situ makin dingin, menyusup ke tulang-tulang
    rasa dingin itu sehingga ia harus mengerahkan sinkang untuk melawan hawa dingin. Akan tetapi ia maklum
    bahwa kedua orang sumoi-nya tentu akan menderita sekali, karena untuk dapat melawan hawa yang
    dingin dan agaknya kalau malam tentu akan makin dingin itu, membutuhkan tenaga sinkang yang kuat.
    “Mari kita berlari cepat ke istana. Di sana tentu tidak sedingin di luar.”
    Mereka berlari cepat mendaki bukit karang. Karena pergerakan ini darah mereka mengalir cepat
    menimbulkan rasa hangat. Setelah melampaui beberapa buah bukit karang akhirnya mereka berhenti dan
    memandang kagum ke depan. Di tengah pulau itu, di antara bukit-bukit karang yang mengelilinginya,
    berdiri megah bangunan yang amat indah. Karena di situ tidak terdapat debu kotor, bangunan itu nampak
    gemilang seperti baru, selain indah dengan ukiran-ukiran bermutu, juga kelihatan kokoh kuat. Akan tetapi,
    karena tempat ini merupakan tempat yang paling tinggi di pulau ini, hawanya lebih dingin lagi sehingga
    Maya dan Siauw Bwee berdiri dengan tubuh menggigil dan bibir mereka menjadi biru.
    “Mari kita masuk!” Han Ki berkata, khawatir melihat keadaan kedua orang sumoi-nya.
    Kedua orang anak perempuan itu tidak membantah, akan tetapi ketika mereka bertiga tiba di depan pintu
    bangunan yang besar, Siauw Bwee menghentikan langkahnya dan bertanya, “ Suheng... jangan-jangan
    ada orangnya di....”
    “Aihhh, Sumoi, mengapa engkau begini penakut? Andai kata ada penghuninya sekali pun kita takut apa?”
    Maya mencela dengan suara nyaring.
    “Jangan khawatir, siapa berani masuk ke sini? Ini adalah tempat tinggal Suhu, tidak ada orang yang akan
    berani mengganggu. Marilah!” Han Ki menggandeng tangan Siauw Bwee. Sedangkan Maya yang hendak
    digandengnya pula merenggut tangannya dan mendahului mendorong pintu gerbang itu dengan sikap
    tabah. Diam-diam Han Ki merasa khawatir kalau-kalau tidak akan terdapat kerukunan di antara kedua
    orang sumoi-nya itu.
    Pintu yang besar itu terbuka dan tiga orang itu terbelalak kagum dan terheran-heran. Ruangan depan
    istana itu benar-benar mengagumkan sekali. Selain bersih dan perabot rumahnya serba indah, juga di
    dinding terdapat lukisan-lukisan kuno yang biasanya hanya menghias rumah orang-orang bangsawan dan
    hartawan. Juga tulisan indah yang merupakan sajak berpasangan.
    Ruangan yang lebar, lantainya dari batu putih mengkilap bersih. Dua pasang meja kursi kuno berjajar rapi
    di kedua sudut, dua buah lemari kayu terbuat dari pada kayu besi terukir kepala naga dan piring-piring
    dinding, guci berukir bunga-bunga menghias ruangan itu. Ruangan ini mempunyai tiga buah pintu. Sebuah
    pintu besar menembus ke ruangan tengah dan dua pintu agak kecil ke kanan kiri, yang sebelah kiri
    menembus ke halaman samping, yang kanan menembus ke lorong yang menuju kebangunan kecil. Di
    sudut sekali terdapat sebuah rak senjata yang penuh dengan delapan belas macam senjata, biasanya
    dipasang sebagai hiasan akan tetapi senjata yang berada di rak itu, dari pedang sampai tombak
    dunia-kangouw.blogspot.com
    merupakan senjata pilihan karena senjata-senjata itu mengeluarkan sinar gemilang saking tajam dan
    runcingnya!
    Han Ki menutup pintu depan yang tadi dibuka Maya dan benar saja, hawa di ruangan depan ini tidaklah
    sedingin hawa di luar. Kedua orang anak perempuan itu menjadi girang sekali karena mereka tidak lagi
    benar-benar menderita oleh hawa yang makin lama makin dingin. Mereka memeriksa keadaan di ruangan
    depan, kemudian terus masuk ke dalam melalui pintu besar yang menembus ke ruangan dalam. Semakin
    dalam, makin eloklah keadaan di dalam istana.
    Semua perabot rumah serba lengkap dan indah, dan di situ terdapat banyak sekali kamar yang bersih dan
    lengkap dengan tempat tidur, meja kursi dan lemari. Di ruangan belakang terdapat beberapa pintu yang
    menembus ke kamar-kamar yang penuh buku-buku kuno, yaitu kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu!
    Dapat dibayangkan betapa girang hati tiga orang murid itu dan bagaikan orang-orang kelaparan mereka
    memeriksa kitab-kitab itu tiada bosan-bosannya.
    Ruangan belakang yang luas itu pun merupakan sebuah ruangan tempat latihan silat, bahkan di sebuah
    kamar bawah terdapat sebuah arca batu yang ukirannya amat indah dan halus sehingga tampak urat-urat
    dan jalan darah seolah-olah arca itu terbuat dari pada kulit dan daging. Han Ki girang sekali karena dengan
    adanya arca itu dia akan dapat melatih kedua orang sumoi-nya lebih baik dan lebih mudah, yaitu untuk
    melatih pukulan-pukulan dan totokan-totokan ke jalan darah lawan menggunakan tubuh arca yang persis
    tubuh manusia biasa itu.
    Ketika Han Ki mendapatkan beberapa karung gandum dan bumbu-bumbu masakan, juga sayur-sayur
    kering, ia makin kagum dan bersyukur kepada suhu-nya yang agaknya telah lebih dulu mengatur
    persediaan secukupnya sebelum menyuruh para muridnya pergi ke Pulau Es.
    “Nah, engkau tidak akan kelaparan lagi, Suci,” Siauw Bwee berkata menahan senyum, sikap dan suaranya
    halus, namun tidak urung tampak juga bahwa nona ciilk ini mengejek kepada suci-nya yang tadi takut
    kelaparan berada di pulau itu.
    “Hemm, semua bahan makanan ini paling lama hanya bertahan untuk beberapa bulan saja. Kalau sudah
    habis, ke mana kita akan mencarinya?” Maya mempertahankan kehkhawatirannya.
    “Kita bisa mencari ikan di laut,” kata Siauw Bwee.
    “Hemm, kalau engkau mempunyai kepandaian seperti para nelayan yang tinggal di Pulau Nelayan, tentu
    mudah, Sumoi. Sayang sekali hawa di sini amat dinginnya sehingga sekali menyelam, sebelum mendapat
    seekor ikan pun, engkau sudah akan membeku dan sebaliknya menjadi makanan ikan. Sumoi, aku tidak
    takut mati kelaparan, akan tetapi kita harus memandang jauh kalau memang benar akan selamanya belajar
    ilmu bertahun-tahun di tempat ini.”
    Melihat betapa kedua orang sumoi-nya kembali hendak bertengkar, Han Ki cepat berkata, “Sudahlah,
    Sumoi berdua, tidak ada gunanya ribut-ribut. Kalian berdua memang benar semua. Khu-sumoi benar
    karena memang kita tidak perlu berkecil hati, dan Maya-sumoi juga benar bahwa kita harus mencari akal
    bagaimana kita akan dapat hidup bertahun-tahun di tempat yang tiada tumbuh-tumbuhan ini dengan
    selamat. Jangan kalian khawatir. Dalam pelayaran ke tempat ini kita melalui pulau-pulau yang subur, dan
    kurasa di tempat yang subur tentu terdapat binatang-binatang buruan dan buah-buahan serta sayursayuran.
    Kelak aku akan melakukan penyelidikan dengan perahu dan mencari bahan makanan
    secukupnya. Sekarang lebih baik membantu aku untuk membuat api dan memasak makanan dari bahan
    peninggalan Suhu untuk mengisi perut,” dengan bijaksana Han Ki melerai dan kedua orang sumoi-nya
    melupakan perbantahan mereka.
    Kemudian mereka berdua kembali berlomba untuk membuat masakan yang seenak-enaknya. Ternyata
    dalam hal membuat masakan ini pun keduanya tidak mau saling mengalah, atau lebih tepat lagi, Maya
    tidak pernah mau kalah oleh sumoi-nya dalam hal apa pun. Siauw Bwee yang wataknya lebih halus kini
    mulai banyak mengalah sehingga diam-diam Han Ki mulai dapat menilai watak kedua orang sumoi-nya.
    Maya keras hati, keras kepala dan tidak mau kalah sungguh pun di dasari kejujuran dan juga mempunyai
    kasih sayang kepada Siauw Bwee. Sebaliknya Siauw Bwee memiliki kekerasan hati yang tidak kalah teguh
    dunia-kangouw.blogspot.com
    oleh Maya, akan tetapi kekerasan hatinya tertutup oleh sifatnya yang halus sehingga dia tidak segan-segan
    untuk mengalah terhadap suci-nya.
    Ada satu hal yang menguntungkan dalam sifat saling tidak mau kalah dan saling lomba antara kedua orang
    anak perempuan itu, yaitu ketika mempelajari ilmu silat. Dalam hal ini pun, dua orang anak perempuan itu
    agaknya merasa takut kalau sampai ketinggalan sehingga amat menggembirakan hati Han Ki. Kedua
    orang sumoi-nya merupakan ‘murid-murid’ yang amat baik, cepat sekali memperoleh kemajuan justeru
    karena sifat mereka tidak mau saling mengalah. Betapa pun lelahnya seorang di antara mereka, kalau
    melihat yang lain berlatih, maka akan terus melanjutkan latihannya seolah-olah merasa khawatir kalau
    beristirahat akan tertinggal jauh.
    Keduanya sama tekun dan sama cerdik. Kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu yang mereka pelajari di
    bawah pengawasan dan bimbingan Han Ki mereka ‘sikat’ satu demi satu! Tentu saja mereka berdua
    memperoleh kemajuan yang amat cepat. Juga Han Ki sendiri sampai terbawa hanyut oleh semangat kedua
    orang sumoi-nya sehingga dia pun dengan amat tekunnya melatih diri dan mempelajari ilmu-ilmu yang
    lebih tinggi, yang ia pelajari dari kitab-kitab peninggalan suhu-nya. Dengan dasar yang telah dimilikinya,
    tidak terlalu sukar baginya untuk melatih diri dengan ilmu yang lebih tinggi.
    Akan tetapi, di samping kegembiraannya melihat persaingan antara kedua orang sumoi-nya yang membuat
    mereka berdua maju cepat dalam berlatih silat, kadang-kadang Han Ki menjadi pusing kalau melihat
    persaingan itu berlarut-larut sehingga menimbulkan hal-hal yang tidak enak. Sungguh sukar bagi seorang
    laki-laki dewasa seperti dia tinggal di atas pulau kosong bersama dua orang gadis remaja yang sedang
    manja-manjanya dan bengal-bengalnya, apa lagi menghadapi Maya yang makin lama makin tampak
    kegalakannya, terdorong oleh kekerasan hatinya yang membaja.
    “Aku akan mempelajari ilmu di sini sampai dapat mengalahkan semua musuh-musuhku!” Pada suatu
    malam Maya berkata ketika mereka bertiga menikmati makanan malam seadanya. “Kalau belum kubasmi
    habis musuh-musuhku, belum lega hatiku!”
    Karena maklum bahwa sumoi-nya yang galak ini tidak perlu ditanggapi karena akan berlarut-larut, Han Ki
    hanya mengangguk. “Lebih baik sekarang mempelajari ilmu dengan tekun. Ilmu silat tidak ada batasnya
    dan di dunia ini banyak sekali terdapat orang pandai, Sumoi.”
    Akan tetapi, Siauw Bwee yang selalu ingin melayani Maya, seolah-olah dia ingin melihat suci-nya itu untuk
    kemudian ia permainkan dan tertawa, segera bertanya, “Eh, Suci. Siapa sih itu musuh-musuhmu yang
    begitu banyak sehingga hendak kau basmi semua?”
    “Musuh-musuhku?” Sepasang mata Maya yang indah sekali itu kini memancarkan sinar sehingga Han Ki
    memandang kagum.
    Di bawah sinar api penerangan, mata itu sedemikian indahnya, seperti sepasang bintang yang terang
    cemerlang! Bukan main indahnya sepasang mata Maya! Bentuknya indah sekali. Bola matanya begitu
    jernih sehingga perbedaan antara warna putih dan hitamnya mencolok sekali di tengah bagian yang hitam
    tampak titik yang hitam namun seolah-olah mengeluarkan api!
    “Siapa lagi kalau bukan Kerajaan Mongol yang biadab dan Kerajaan Sung yang curang? Akan kubasmi
    mereka semua kelak!”
    Diam-diam Han Ki terkejut. Bukan main sumoi-nya ini. Kiranya menaruh dendam sakit hati yang demikian
    besar atas kematian ayah bunda angkatnya. Sungguh dendam yang tidak pada tempatnya kalau ditujukan
    kepada dua buah kerajaan! Akan tetapi ia maklum bahwa kalau dibantah, sumoi-nya ini akan lebih ‘ngotot’
    lagi, maka dia diam saja.
    Akan tetapi seperti biasa, Siauw Bwee tidak mau ‘kalah’ begitu saja dan ia langsung mencela, “Aihhh, Suci.
    Pandanganmu itu keliru sekali!”
    “Apa? Keliru katamu kalau aku mendendam kepada dua kerajaan yang telah menghancurkan kerajaan
    ayahku, telah membunuh ayah bundaku? Keliru katamu? Di mana letak kekeliruannya, Sumoi yang manis?”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Biar pun Maya menyebut ‘sumoi yang manis’, namun jelas bahwa dia marah terhadap Siauw Bwee dan
    menantangnya untuk berdebat.
    Han Ki maklum bahwa kembali api di antara kedua orang sumoi-nya akan menyala, dan seyogianya dia
    segera memadamkannya, akan tetapi karena dia pun tertarik hendak mengetahui bagaimana pandangan
    kedua orang sumoi-nya mengenai urusan itu, dia diam saja mendengarkan penuh perhatian.
    “Suci,” jawab Siauw Bwee dan kembali Han Ki kagum menyaksikan sumoi-nya yang kecil ini karena di balik
    kehalusannya itu tersembunyi kekuatan dan ketenangan yang mengherankan hatinya. “Engkau tentu tahu
    sendiri bahwa aku pun menjadi korban. Ayahku tewas oleh bala tentara Kerajaan Sung. Akan tetapi aku
    sama sekali tidak mendendam kepada seluruh kerajaan Sung! Aku tahu bahwa ada biang keladinya yang
    mengakibatkan tewasnya ayahku, dan karena itu aku hanya akan mendendam pada biang keladinya yaitu
    Panglima Besar Suma Kiat dan kaki-tangannya.”
    “Itu tandanya bahwa engkau gentar menghadapi musuh kerajaan! Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung
    telah bersama menghancurkan kerajaan orang tuaku, bahkan kemudian Kam-pekhu sendiri sampai tewas.
    Ini merupakan dendam keluarga dan juga dendam kerajaan. Ahh, tentu saja engkau tak dapat merasakan
    hal ini karena engkau bukan putri raja yang mempunyai kerajaan! Dendamku adalah dendam pribadi
    ditambah dendam bangsa! Aku akan belajar ilmu dan kelak pasti akan kubalas.”
    Sebelum Siauw Bwee membantah lagi Han Ki segera mendahuluinya, “Semua cita-cita adalah benar asal
    dilakukan di atas kebenaran, tidak menyimpang dari pada jalan kebenaran. Aku sudah mendengar tekad
    Maya-sumoi, dan aku tidak akan mencampuri cita-citanya. Dan engkau sendiri bagaimana cita-citamu,
    Khu-sumoi?”
    Seperti biasa, Siauw Bwee yang cerdik maklum bahwa suheng-nya itu sengaja memasuki perdebatan
    dengan maksud menghentikannya, maka dia yang selalu patuh kepada suheng-nya juga tidak berkeras
    hendak membantah Maya. Maka jawabnya, “Aku akan mempelajari ilmu sesempurna mungkin untuk
    kemudian menghadapi musuh besarku, terutama Suma Kiat. Dia amat lihai, karena itu aku harus memiliki
    tingkat kepandaian yang melebihi dia. Juga kaki tangannya banyak yang lihai, namun, aku akan bersabar
    dan tekun mempelajari ilmu sampai aku dapat menandingi mereka!”
    Han Ki mengangguk-angguk dan Siauw Bwee melanjutkan dengan pertanyaan. “Suheng, engkau sendiri
    mengalami kecelakaan karena perbuatan Suma Kiat. Bukankah engkau mendendam pula kepadanya?”
    Pertanyaan itu dilakukan dengan cerdik, dengan dasar keinginan menarik Han Ki di sampingnya sehingga
    mereka berdua mempunyai cita-cita yang sama!
    Akan tetapi, betapa heran dan kecewa hatinya, juga Maya menjadi terheran ketika mendengar jawaban
    Han Ki. Pemuda ini menarik napas panjang sebelum menjawab. “Masih bergema di telingaku nasehat dan
    wejangan Siansu.” Han Ki kadang-kadang menyebut Suhu-nya ‘Siansu’. “Yaitu bahwa dendam timbul dari
    nafsu iba diri dan hendak menang sendiri. Dan berkali-kali Suhu menegaskan bahwa menuruti nafsu
    memancing datangnya penyesalan dan penderitaan batin. Tidak, Sumoi, aku tidak mendendam kepada
    siapa pun juga. Kalau toh ada mala-petaka dan kesengsaraan yang menimpa diriku, maka hal itu
    datangnya dari kehendak Tuhan, entah sebagai hukuman, entah sebagai ujian, namun yang jelas,
    demikian menurut Siansu, adalah bahwa apa pun yang menimpa diri kita adalah kehendak Tuhan! Di luar
    kehendak-Nya, takkan ada terjadi sesuatu!”
    “Akan tetapi, Suheng,” Siauw Swee membantah penuh perasaan. “Ada akibat tentu ada sebabnya.
    Katakanlah bahwa akibatnya adalah di tangan Tuhan, ditentukan oleh Tuhan, akan tetapi yang menjadi
    sebabnya adalah perbuatan manusia. Dalam hal mala-petaka yang menimpamu, sebabnya adalah
    kejahatan Suma Kiat!”
    Han Ki menggeleng kepala, tersenyum pahit dan menghela napas. “Sungguh pun demikian, Sumoi, namun
    si manusia yang melakukannya, yang menjadi sebab hanyalah merupakan semacam alat saja, sebagai
    penyebab. Dan siapa yang melakukan perbuatan jahat, sama halnya dengan menanam pohon yang
    buahnya kelak dia sendiri yang akan memetik dan memakannya. Itu sudah hukum keadilan Tuhan! Tanpa
    kita balas, Tuhan akan memungut-Nya sendiri dan dibalas atau tidak, sudah kuserahkan seluruhnya
    kepada Tuhan.”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Maya mengerutkan alisnya, sama sekali tidak puas mendengar ucapan dan menyaksikan sikap suhengnya
    itu. “Suheng! Aku tidak setuju! Pendapat Suheng itu membayangkan keputus-asaan dan kelemahan
    yang menjijikkan! Seperti mayat hidup saja, tidak mempunyai kemauan apa-apa lagi. Hanya binatang tak
    berakal saja yang tidak mau berbuat apa-apa dan menerima apa adanya. Dan kita bukan binatang! Apa
    pun yang dikehendaki Tuhan, kita harus berusaha untuk menentang hal-hal yang mencelakakan kita!”
    Han Ki tersenyum memandang sumoi-nya yang penuh semangat itu. “Ucapanmu benar, Sumoi. Memang
    manusia wajib berikhtiar, akan tetapi ikhtiar yang baik dan benar. Betapa pun juga, segala ikhtiar hanyalah
    merupakan pelaksanaan wajib hidup saja, ada pun segala penentuannya adalah di tangan Tuhan juga.”
    “Suheng, kenapa Tuhan menjatuhkan mala-petaka kepada kita?” Siauw Bwee bertanya, suaranya
    mengandung penasaran. “Suheng sendiri tertimpa mala-petaka sehingga menjadi orang buronan kerajaan
    di mana Suheng bekerja sebagai seorang panglima yang setia! Aku sendiri tertimpa mala-petaka. Ayahku
    yang setia terhadap kerajaan tewas oleh kerajaan sendiri dan aku terlunta-lunta bersama Suheng dan Suci
    di tempat ini. Dan Suci juga kehilangan orang tuanya. Mengapa nasib kita begini buruk? Mengapa Tuhan
    seolah-olah mengutuk kita? Apakah karena kita bertiga ini tergolong manusia jahat maka Tuhan sengaja
    menghukum kita? Kalau kita ini manusia jahat, kejahatan apakah yang telah kita lakukan?”
    Kembali Han Ki tersenyum sabar. Ia maklum bahwa kedua orang sumoi-nya ini masih remaja dan penuh
    nafsu dan semangat, maka perlu mendapat penjelasan tentang filsafat hidup yang sederhana. “Sumoi,
    manusia terlahir bukan atas kehendaknya sendiri, melainkan atas kehendak Tuhan. Juga manusia kelak
    mati tidak mungkin atas kehendaknya sendiri, juga Tuhan yang menentukan saatnya dan caranya. Seluruh
    hidup manusia, dari lahir sampai mati, seluruhnya berada di tangan Tuhan yang menentukan segalanya,
    sungguh pun segala akibat itu bersebab dari sumber perbuatan manusia sendiri....”
    “Hukum Tuhan adalah hukum mutlak yang tak dapat dirubah oleh siapa pun juga, merupakan hukum yang
    penuh rahasia bagi manusia yang amat terbatas pikirannya. Karena itu, kita harus sadar dengan penuh
    keyakinan bahwa Tuhan itu Kuasa Memberi, juga Kuasa Mengambil! Betapa piciknya kalau kita hanya
    tertawa senang sewaktu diberi sesuatu yang menyenangkan, sebaliknya menangis duka dan penasaran
    sewaktu Tuhan mengambil sesuatu dari kita! Kalau kita mendasarkan segala peristiwa sebagai kehendak
    Tuhan, mengapa kita mesti merasa penasaran lagi? Yang penting adalah menjaga sepak terjang kita
    dalam hidup. Asalkan kita melandasi sepak terjang hidup kita dengan kebenaran dan keadilan, cukuplah,
    yang lain tidaklah penting lagi.”
    “Ah, mana mungkin?” Maya membantah. “Kalau orang tertimpa mala-petaka yang disebabkan oleh
    kejahatan orang lain, bagaimana kita dapat berdiam diri? Bagaimana kita harus ingat untuk berbuat baik
    kalau nasib kita terseret ke dalam lembah kehinaan dan kedukaan?”
    Han Ki menggeleng kepala, “Suka duka hanyalah permainan perasaan yang digerakkan oleh nafsu iba diri
    dan mementingkan diri sendiri, Sumoi. Andai kata Tuhan sutradaranya, maka manusia-manusia adalah
    pemain-pemain sandiwaranya yang berperan di atas panggung kehidupan. Sutradara menentukan,
    permainan apakah yang harus dimainkan oleh setiap orang manusia. Dan ingat, bukan perannya yang
    penting, melainkan cara manusia memainkan perannya itu. Biar pun seseorang diberi peran seorang raja
    besar, kalau dia tidak pandai dan baik permainannya, dia akan tercela. Sebaliknya, biar pun Sang
    Sutradara memberi peran kecil tak berarti, misalnya peran seorang pelayan, kalau pemegang peran itu
    memainkannya dengan baik, tentu dia akan terpuji. Demikian pun dalam kehidupan manusia. Apa artinya
    seorang raja besar yang dimuliakan rakyat kalau sepak terjang hidupnya tidak patut dilakukan seorang raja,
    kalau dia lalim, rakus, murka dan melakukan hal-hal yang hina? Dia hanya akan direndahkan di mata
    manusia, juga di mata Tuhan! Sebaliknya, betapa mengagumkan hati manusia dan menyenangkan Hati
    Tuhan kalau seorang biasa yang bodoh miskin dan dianggap rendah mempunyai sepak terjang hidup
    penuh kebajikan dan selalu melandaskan kelakuannya di atas garis kebenaran dan keadilan.”
    Dua orang anak perempuan itu mengerutkan kening. Makanan batin itu terlampau keras dan alot untuk hati
    mereka, sukar diterima oleh hati mereka yang masih panas oleh nafsu dan gairah hidup.
    “Ahh, engkau terlalu lemah, Suheng.” Maya mendengus.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    “Maaf, Suheng. Betapa pun juga, aku tetap menaruh dendam kepada Suma Kiat dan kaki tangannya!”
    Siauw Bwee berkata.
    Han Ki tersenyum. Maklumlah dia bahwa memaksakan filsafat itu kepada kedua orang sumoi-nya akan siasia
    belaka....
    Kesadaran datang bukan oleh pelajaran dari mulut ke telinga, melainkan dari gemblengan pengalaman.
    Orang yang belum pernah jatuh berlari, mana mungkin disuruh hati-hati kalau lari? Manusia membutuhkan
    pengalaman pahit untuk mencapai kesadaran, dan hidup sendiri adalah pengalaman, pengalaman yang
    lebih banyak pahitnya dari pada manisnya. Namun semua ini berguna, karena apakah artinya pengalaman
    manis? Hanya akan lalu tanpa bekas. Sebaliknya, pengalaman pahit akan membekas dalam hati sanubari,
    sukar dilupa, dan karena itu maka amat berguna.
    Diam-diam dia hanya mengharapkan semoga pengalaman yang akan menimpa kedua orang sumoi-nya ini
    tidak terlalu pahit.
    “Sudahlah, dari pada omong kosong, mari kita berlatih. Kalian sudah mulai dapat memperkuat sinkang
    sehingga dapat bertahan bersemedhi di atas salju sampai semalam suntuk. Kalian sudah mengerti bahwa
    hawa dingin di Pulau Es ini merupakan pelatih sinkang yang amat baik, dan tahu pula caranya melatih diri
    untuk memperkuat sinkang kalian. Sekarang, marilah kumulai dengan mengajarkan tiam-hoat (ilmu
    menotok) dengan satu jari dan dua jari. Kita menggunakan arca yang berada di kamar bawah untuk
    berlatih.”
    Dua orang anak perempuan itu menjadi gembira sekali seperti biasa kalau mereka menerima pelajaran
    ilmu baru. Ilmu menotok sudah mereka kenal sebelum mereka ikut bersama Han Ki ke Pulau Es, akan
    tetapi yang diajarkan Han Ki adalah ilmu menotok yang bertingkat tinggi. Untuk pelajaran ini, mereka telah
    menerima pelajaran teorinya, melatih kekuatan jari, menghafal letak-letak jalan darah sehingga kini mereka
    hanya akan melatih prakteknya saja dengan arca itu.
    Terutama sekali Siauw Bwee girang sekali karena semenjak semula, dalam pelajaran ilmu ini dia dapat
    mengatasi suci-nya! Memang kedua orang anak perempuan itu, biar pun keduanya sama tekun dan samasama
    memiliki bakat yang amat baik untuk belajar ilmu silat, memiliki bakat-bakat menonjol yang berbeda.
    Dalam hal mempelajari sinkang, jelas bahwa Maya melampaui sumoi-nya, juga dalam ilmu pukulan,
    gerakan Maya lebih mantap dan berisi sehingga dia lebih cepat maju dibandingkan dengan sumoi-nya.
    Akan tetapi dalam hal ginkang, yaitu ilmu meringankan diri yang dipergunakan sebagai dasar loncatanloncatan
    dan berlari cepat. Siauw Bwee jauh melampaui suci-nya. Juga dalam hal pelajaran tiam-hiat-hoat
    ini.
    Dan seperti biasa dalam setiap hari kedua orang anak perempuan ini bersaing dan berlomba saling
    mengalahkan. Dia yang merasa kalah maju akan menjadi murung. Di bawah pengawasan dan petunjuk
    Han Ki, mulailah kedua orang anak perempuan itu berlatih. Mula-mula Maya yang disuruh bergerak dan
    menyerang semua jalan darah di tubuh arca itu seperti yang telah diajarkannya dalam teori gerakan ilmu
    silat ini.
    Bergeraklah Maya secepat mungkin dan tubuh anak perempuan ini berkelebatan seperti seekor kumbang
    mengelilingi setangkai bunga. Dalam waktu beberapa belas menit saja ia telah berhasil menotok semua
    jalan darah di tubuh arca itu secara bertubi-tubi. Seluruh gerakannya diawasi oleh Han Ki dan Siauw Bwee.
    Setelah selesai, Han Ki berkata sungguh-sungguh, “Maya-sumoi, gerakanmu masih kurang cepat dan
    ketika engkau menotok jalan darah ci-kiong-hiat seharusnya engkau menggunakan jari telunjuk saja,
    sebaliknya untuk menotok jalan darah tiong-teng-hiat yang lebih besar, harus dipergunakan telunjuk dan
    jari tengah. Engkau tadi melakukannya dengan terbalik. Harap kau latih setiap hari dengan tekun. Mayasumoi.”
    Maya mengangguk dan menjawab, “Baiklah, Suheng.” Akan tetapi mukanya yang menunduk itu
    membayangkan ketidak-puasan hatinya.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    “Sekarang engkau, Khu-sumoi,” Han Ki menyuruh sumoi-nya yang kedua.
    ”Baik, Suheng. Harap Suheng lihat baik-baik dan suka memberi tahu kesalahan-kesalahanku seperti yang
    dilakukan Suci tadi agar aku mengenal kesalahanku sendiri!” kata gadis cilik ini dan dengan gerakan lincah
    dan ringan sekali mulailah tubuhnya berkelebatan di sekeliling arca. Jari tangannya yang kecil mungil
    melakukan totokan-totokan secara cepat. Kalau tadi gerakan Maya kelihatan amat cepat dan indahnya, kini
    ternyata bahwa gerakan Siauw Bwee lebih cepat lagi.
    Setelah ia selesai bersilat dan menghabiskan semua jurus penyerangan totokan pada tubuh arca itu, Han
    Ki berkata, “Bagus! Totokanmu tepat semua, penggunaan jari tangan benar dan kecepatanmu cukup,
    hanya dalam melakukan totokan, engkau harus pandai mengumpulkan tenaga sinkang di ujung jarimu agar
    setiap totokan pada tubuh manusia akan berhasil baik.”
    Melihat betapa Han Ki, memuji sumoi-nya, Maya meloncat ke depan dan berkata, “Suheng, aku mau
    berlatih lagi dengan arca keparat ini!” Tanpa menanti jawaban Han Ki, Maya sudah bergerak lagi
    menerjang dan menyerang arca batu, gerakannya cepat dan serangannya amat kuat
    “Krakkk!” Dada arca itu retak-retak dan Maya menyusulkan sebuah pukulan lagi dari punggung, membuat
    tubuh arca itu pecah dan jatuh di atas lantai.
    “Ahhh, Sumoi! Engkau telah merusakkan arca!” Han Ki berseru marah.
    Karena dalam kemarahannya melihat Siauw Bwee dapat melampauinya dan mendengar Han Ki memujimuji
    Siauw Bwee padahal tadi mencelanya, Maya tidak lagi menggunakan totokan jari tangan, melainkan
    pukulan-pukulan dengan telapak tangan terbuka sehingga arca itu menjadi pecah dan rusakl
    Mendengar teguran Han Ki dan melihat betapa sinar mata Han Ki tajam memandangnya penuh kemarahan,
    Maya menundukkan muka dan berkata, ”Salahku, Suheng. Aku bersalah dan siap menerima hukuman....”
    Han Ki menghela napas panjang. Maya amat keras hati, akan tetapi kalau sudah menerima kesalahan dan
    siap dihukum seperti itu, hati siapa tidak merasa iba dan sayang?
    Siauw Bwee melangkah maju, memegang lengan Maya dan berkata, “Suheng, kalau arca itu rusak
    bukanlah kesalahan Suci, melainkan arca itu yang salah mengapa begitu rapuh? Alat untuk menguji ilmu
    dan berlatih haruslah yang kuat, apa lagi arca ini setiap hari ditotok dan dipukul, tentu saja lama-lama
    pecah.”
    Han Ki tersenyum. Kedua orang sumoi-nya ini memang aneh dan lucu. Tadi saling berlomba dan bersaing,
    akan tetapi begitu yang seorang terancam bahaya, yang lain siap membela dan melindunginya!
    “Arca ini peninggalan Suhu, kini telah menjadi rusak. Kita harus dapat membuatkan penggantinya.”
    Han Ki lalu mencari batu karang yang terselimut salju, membongkar sebongkah batu sebesar manusia, dan
    mulai hari itu dia mencoba untuk mengukir batu membentuk tubuh seorang manusia. Dan dalam usaha ini
    terjadi keanehan dan penemuan bakatnya. Ternyata Han Ki memiliki bakat seni ukir yang luar biasa sekali!
    Maya dan Siauw Bwee berseru terheran-teran dan kagum ketika mereka menyaksikan betapa arca buatan
    Han Ki ternyata amat baik. Bentuknya menyerupai manusia benar dan biar pun tidak sehalus arca yang
    rusak, namun tidak kalah baik dalam bentuknya. Melihat hasil ukirannya yang tak terduga-duga ini, Han Ki
    menemukan bakatnya dan kini pada setiap waktu terluang dia tentu sibuk dengan pekerjaan mengukir
    untuk memperdalam kemahiran tangannya.
    Demikianlah, Han Ki dan dua orang sumoi-nya dengan amat tekun mempelajari ilmu-llmu yang amat tinggi
    peninggalan Bu Kek Siansu sehingga mereka mewarisi ilmu-ilmu yang luar biasa. Kalau dua orang gadis
    cilik itu saja berubah menjadi orang-orang yang amat lihai, apa lagi Han Ki. Sebelum tinggal di pulau, dia
    sudah merupakan seorang pemuda sakti yang sukar dicari tandingannya, apa lagi sekarang! Namun di
    samping ketekunan mereka yang bercita-cita dan melatih diri menjadi orang-orang sakti, terdapatlah
    keruwetan-keruwetan perasaan di antara dua orang gadis remaja yang berangkat dewasa.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Han Ki adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, lagi amat pandai. Bagi kedua orang dara remaja
    itu, Han Ki merupakan suheng, juga guru dan merupakan orang terpandai. Maka, anehkah kalau di dalam
    hati kedua orang dara remaja ini tumbuh tunas yang sama? Perasaan ini pulalah yang sesungguhnya yang
    menyebabkan kedua orang kakak beradik seperguruan yang sebetulnya saling menyayang ini selalu
    bersaing, apa lagi di depan Han Ki!
    Mereka bertiga yang memasuki Pulau Es yang kosong itu tidak tahu bahwa bersama dengan mereka
    masuk pula setan yang mengubah diri menjadi Cinta, Nafsu dan Cemburu. Melawan musuh yang kuat
    dapat mengandalkan ilmu silat tinggi yang telah dikuasai, akan tetapi bagaimana orang-orang muda itu
    akan dapat melawan setan yang bersembunyi di dalam dirinya sendiri?
    Han Ki selalu merasa kagum ketika sedang melatih silat kepada dua orang sumoi-nya. Selain cerdik dan
    berbakat, juga kedua orang sumoi-nya itu merupakan dua orang gadis remaja yang cantik jelita. Sukar
    dikatakan siapa di antara mereka yang lebih cantik. Maya memiliki kecantikan yang panas dan liar,
    bagaikan setangkai bunga mawar hutan, memiliki daya tarik istimewa dan khas. Akan tetapi daya tariknya
    itu sukar dikatakan dapat mengalahkan daya tarik yang dimiliki Siauw Bwee dengan kehalusannya dan
    pengertiannya yang mendalam.
    Sama sekali Han Ki, pemuda yang pernah patah hati ini, yang merasa putus asa pula dan tidak
    bersemangat, bahkan diam-diam berjanji dalam hati untuk tidak mendekati wanita, tidak pernah mimpi
    bahwa dialah orangnya yang akan mabok kepayang, bahkan akan menjadi akibat dari pada serangkaian
    peristiwa yang amat hebat.
    “Bagus sekali! Ahh, Suheng, terima kasih! Terima kasih banyak, burung batu ini indah sekali, lihat, seolaholah
    dia bernapas!” Siauw Bwee bersorak girang ketika menerima burung batu yang dibuat oleh Han Ki
    atas permintaannya.
    Han Ki memandang dengan wajah berseri, diam-diam merasa geli bahwa Siauw Bwee yang kini usianya
    sudah empat belas tahun itu kelihatan seperti seorang anak kecil, begitu girang memeluk burung-burungan
    dari batu yang diukirnya dari batu karang putih. Siauw Bwee lalu berlari-lari pergi mencari Maya yang
    berlatih di belakang istana.
    Han Ki lalu pergi memasuki ruangan dalam untuk melanjutkan usahanya. yang sudah ia kerjakan kurang
    lebih setahun lamanya, yaitu menuliskan ilmu-ilmu silat tinggi yang ia gabungkan dari ilmu-ilmu yang
    dipelajarinya selama ini ke dalam sebuah kitab. Bu Kek Siansu telah berpesan kepadanya bahwa setelah
    kitab-kitab yang ditinggalkannya di istana itu habis dipelajari, kitab-kitab itu harus dibakar.
    “Kitab-kitab pelajaran ilmu silat tidak baik ditinggalkan begitu saja,” kata gurunya. “Ilmu silat merupakan
    ilmu yang amat berguna jika terjatuh ke tangan orang yang baik-baik, akan tetapi sekali terjatuh ke tangan
    orang yang hatinya gelap tersesat, amatlah berbahaya. Karena itu, setelah isinya dapat dipelajari dengan
    kedua orang sumoimu, kitab-kitab itu harus dibakar.”
    Karena inilah maka Han Ki terpaksa membakar dan memusnahkan kitab-kitab peninggalan Bu Kek Siansu
    yang telah mereka pelajari, dan karena dia tidak ingin melupakan ilmu-ilmunya, maka dia sendiri lalu
    merangkai kitab yang berisikan ilmu-ilmu yang digabungnya sendiri dari banyak ilmu silat yang telah ia
    pelajari.
    Tiba-tiba Han Ki mendengar suara ribut-ribut di belakang istana. Suara Maya dan Siauw Bwee seperti
    orang bertengkar. Cepat ia menghentikan tulisannya dan lari ke belakang. Dilihatnya Siauw Bwee dan
    Maya bertanding memperebutkan batu putih! Ketika Han Ki tiba di situ, perebutan mencapai puncaknya.
    Maya berusaha merampas burung batu itu dari tangan Siauw Bwee yang mempertahankan. Keduanya
    memegang burung batu itu, bersitegang hendak menarik dan mengerahkan tenaga.
    “Prakkk!” burung batu itu pecah menjadi perkeping-keping dan jatuh berhamburan ke atas tanah!
    “Ohhh...! Burungku... aiihh, burungku pecah...!” Siauw Bwee berlutut, menangis memandang burung batu
    yang sudah pecah berantakan di depan lututnya.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Melihat munculnya Han Ki dan akibat perebutan itu, Maya menjadi pucat dan dia mencela, “Ahh, begitu
    saja menangis. Cengeng...!”
    “Maya-sumoi!” Apa yang kau lakukan itu?” Han Ki membentak, marah kepada Maya dan kasihan kepada
    Siauw Bwee.
    “Aku hanya ingin meminjam dan melihat sebentar. Dasar dia kikir, manja dan cengeng!”
    “Tidak! Dia memang hendak merampasnya!” Siauw Bwee membantah, terisak-isak.
    “Maya-sumoi, tidak baik meminjam milik orang lain dengan paksa,” Han Ki kembali menegur, tidak senang
    karena melihat Maya mulai bersikap keras dan memaksa kepada Siauw Bwee.
    “Suheng, engkau yang tidak adil, pilih kasih! Kau membuatkan mainan kepada Sumoi, akan tetapi tidak
    kepadaku.”
    Han Ki mengerutkan keningnya. “Sumoi, burung batu itu kubuat atas permintaan Khu-sumoi, bukan
    semata-mata aku membuatkan untuknya. Kalau engkau juga menginginkan sebuah, mengapa tidak minta
    saja kubuatkan dan malah merampas kepunyaan Khu-sumoi? Perbuatanmu itu tidak benar. Kau harus
    minta maaf kepada Khu-sumoi!”
    “Sudahlah, Suheng. Suci tidak merusak burung batuku.” Siauw Bwee bangun berdiri dan mengusap air
    matanya. Melihat betapa Maya dimarahi Han Ki, timbul rasa kasihan di hati Siauw Bwee.
    “Lihat, Khu-sumoi begini baik kepadamu, akan tetapi engkau selalu nakal, Maya-sumoi,” Han Ki kembali
    menegur.
    Sejenak sepasang mata yang indah itu menatap wajah Han Ki, kemudian menoleh kepada Siauw Bwee.
    Tiba-tiba Maya terisak dan air matanya mengucur. “Memang aku selalu nakal! Memang aku paling jahat!
    Lebih baik aku pergi saja agar jangan mengganggu Sumoi dan membikin marah Suheng!” Maya
    membalikkan tubuhnya dan lari meninggalkan Han Ki dan Siauw Bwee.
    “Suci, kau hendak ke mana?” Siauw Bwee hendak mengejar akan tetapi Han Ki memegang lengannya
    mencegah.
    “Kalau dia sedang marah, dikejar dan dibujuk pun percuma. Biarkan dia, nanti kalau sudah mendingin
    hatinya, tentu dia kembali sendiri.” Karena di dalam hatinya Han Ki masih marah kepada Maya, maka dia
    sengaja membiarkan saja karena dipikirnya, ke mana Maya dapat pergi? Pulau itu tidak berapa luas.
    Akan tetapi, setelah malam tiba dan Maya belum juga kembali, mulailah hati Han Ki menjadi gelisah. Juga
    Siauw Bwee merasa khawatir sekali dan mereka berdua mulai mencari, mengelilingi pulau dari dua jurusan.
    Akan tetapi mereka bertemu kembali dengan tangan hampa.
    “Kucari kemana-mana tidak ada. Suheng, jangan-jangan dia....”
    “Tidak bisa pergi dari sini. Perahu kita masih ada. Entah di mana anak nakal itu!”
    “Suheng, Suci tidak nakal! Ahh... dia harus dapat ditemukan kembali. Bagaimana kalau terjadi sesuatu
    dengan dia? Suheng, aku khawatir sekali....”
    “Tenanglah. Kau persiapkan saja makan malam. Aku akan mencari Maya sampai dapat.”
    Han Ki pergi lagi mencari, kini dia tidak menyembunyikan kekhawatiran hatinya dan mulai berteriak-teriak
    nyaring memanggil nama Maya.
    “Mayaaaaa...! Sumoi..., keluarlah...! Di mana engkau...?”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Suara Han Ki bergema di seluruh permukaan pulau karena dia mengerahkan tenaga dari dalam perutnya,
    mempergunakan khikang yang kuat sekali. Mendengar suara itu Siauw Bwee merasa makin khawatir. Dia
    melanjutkan persiapannya membuat makan malam untuk mereka bertiga dan dia mendengarkan gema
    suara Han Ki dari jauh.
    “Maya...! Maya...! Maya...!”
    Tidak ada orang lain mendengar suara nyaring bergema ini kecuali Siauw Bwee dan tentu saja Maya yang
    bersembunyi! Maya tersenyum, hatinya puas. Memang dia sejak tadi bersembunyi dan memang itulah
    keinginan hatinya, bersembunyi tidak mau keluar lagi agar Han Ki susah payah mencarinya, agar suhengnya
    dan sumoi-nya cemas memikirkannya, terutama sekali suheng-nya!
    Ia tersenyum mendengar suara Han Ki memanggil-manggil namanya dan ia tahu bahwa suheng-nya tentu
    mencarinya di seluruh permukaan pulau itu. Tentu saja dia tidak bodoh bersembunyi di pulau yang kosong
    itu. Dia bersembunyi di tempat yang tidak akan disangka-sangka oleh suheng dan sumoi-nya, yaitu di
    dalam ruangan bawah istana!
    Biar dia tahu rasa, demikian pikir Maya. Hatinya gemas sekali kalau mengingat betapa Han Ki membuatkan
    mainan untuk sumoi-nya dan dalam pertengkaran tadi jelas bahwa suheng-nya membela sumoi-nya,
    bahkan memarahinya di depan sumoi-nya. Hatinya sakit sekali. Biar sekarang dia mencariku setengah mati,
    aku tidak akan kembali kepada mereka!
    Akan tetapi, ke mana dia dapat pergi? Kalau terus bersembunyi di dalam ruangan bawah itu, tentu suheng
    dan sumoi-nya akan dapat menemukannya. Maya mencari-cari tempat sembunyi. Melihat arca batu yang
    tadinya mereka pakai sebagai alat melatih tiam-hoat, yang kini sudah pecah dan hanya tinggal kaki dan
    pinggangnya saja yang masih berdiri di situ, hatinya makin sakit, teringat ia betapa dalam latihan itu pun ia
    dimarahi suheng-nya karena membikin pecah arca. Ahh, pecahan arca itu masih berada di situ.
    Kalau dia tumpuk di depan rak senjata, tentu merupakan tempat sembunyi yang baik, yaitu di belakang
    tumpukan, di bawah kolong rak senjata. Berpikir demikian, Maya lalu menghampiri arca yang tinggal
    setengah badan bagian bawah, kemudian ia memeluk kaki arca itu, mengerahkan tenaga untuk
    mengangkatnya. Namun arca itu sama sekali tidak dapat ia gerakkan!
    Ia berdiri memandang penuh penasaran. Sinkang-nya sudah kuat, masa dia tidak dapat mengangkat batu
    ini? Menurut ukurannya, biar arca itu masih utuh sekali pun pasti dia akan kuat mengangkatnya. Mengapa
    kaki arca ini tak dapat dia angkat sedikit pun? Ia menjadi penasaran, kembali membungkuk, memeluk
    kedua kaki arca dan mengerahkan tenaga, menarik, membetot dan memutar.
    Sisa arca itu tidak terangkat akan tetapi tergeser dan betapa heran rasa hati Maya ketika melihat bahwa di
    bawah landasan kaki arca itu lantainya berlubang. Akan tetapi keheranannya berganti kegirangan dan ia
    berkata, “Inilah tempat sembunyi yang baik!”
    Tanpa ragu-ragu lagi ia lalu memasuki lubang itu dan kembali dia terheran-heran karena di bawah lubang
    terdapat anak tangga dari batu. Dengan penuh keheranan, lupa akan niatnya bersembunyi sehingga dia
    tidak menutup lagi kaki arca di atas lubang, dengan hati-hati Maya menuruni anak tangga batu itu, terus ke
    bawah. Kiranya di bawah arca itu terdapat sebuah lorong rahasia ke bawah tanah!
    Dengan hati-hati akan tetapi sedikit pun juga tidak merasa takut, Maya melanjutkan perjalanannya
    menuruni lorong kecil. Dia dapat menduga bahwa lorong ini memang sengaja dibuat orang, berada di
    bawah istana dan hal ini selain terbukti dari adanya anak tangga batu, juga karena lorong ini tidaklah gelap,
    melainkan mendapat penerangan dari atas, yaitu datang dari sinar penerangan melalui lubang-lubang
    rahasia.
    Akan tetapi karena penerangan di malam itu hanya datang dari beberapa buah kamar saja di atas, yaitu
    kamarnya, kamar Siauw Bwee dan kamar Han Ki, juga di dapur, maka makin ia turun ke bawah makin
    gelaplah cuaca. Maya berhenti dan duduk mengaso.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Teringatlah ia kembali akan tujuannya semula, yaitu bersembunyi. Ah, tempat sembunyi yang baik dan
    tidak mungkin Han Ki dapat mencarinya di sini. Ia tersenyum puas, akan tetapi mulai merasa ngeri karena
    tak lama kemudian tempat itu menjadi gelap sekali. Hal ini karena adalah penerangan di dapur yang
    letaknya di atas tempat itu dipadamkan oleh Siauw Bwee yang sudah selesai memasak.
    “Dia tidak ada!” Kata Han Ki sambil menghela napas panjang, kini penuh kekhawatiran.
    “Begini gelap, tentu sukar mencarinya,” kata Siauw Bwee.
    “Besok akan kucari lagi sampai dapat. Heran sekali, ke mana perginya anak nakal itu?”
    “Dia tidak nakal, Suheng...”
    Kembali pemuda itu menghela napas, “Hemm, dia sering kali mengganggumu dan kau selalu melayaninya,
    akan tetapi sekarang kau selalu membelanya. Kau makanlah, Sumoi.”
    “Marilah, Suheng.”
    “Makanlah, aku tidak lapar.”
    “Suheng mengkhawatirkan keselamatan Suci?”
    “Tentu saja. Entah di mana anak itu. Aku bertanggung jawab atas keselamatannya. Dia lenyap, bagaimana
    aku tidak khawatir?”
    “Kalau Suheng tidak mau makan, aku pun tidak makan.”
    “Makanlah, Sumoi, aku akan pergi lagi mencarinya.” Han Ki berkelebat ke luar untuk mencari lagi sumoinya
    yang hilang.
    Siauw Bwee berdiri menghadapi makanan, alisnya berkerut. “Dia... dia mencintai Suci!” Tiba-tiba ia
    menjatuhkan diri di atas bangku dan menyandarkan muka berbantal lengan di atas meja, pundaknya
    bergoyang-goyang. Siauw Bwee menangis!
    Semalam itu Siauw Bwee tidak tidur, gelisah di dalam kamarnya. Makanan yang telah dibuatnya dan
    disediakan di ruangan belakang di atas meja tidak tersentuh. Juga Han Ki tidak tidur, bahkan semalaman
    itu ia tidak kembali ke istana karena dia terus mencari Maya di seluruh Pulau Es. Beberapa kali
    mengelilingi pulau sehingga setiap tempat yang mungkin dijadikan tempat sembunyi sumoi-nya itu
    dijenguknya sampai dua tiga kali. Namun hasilnya sia-sia belaka.
    Setelah matahari terbit, ia berdiri termenung di tepi laut. Tiba-tiba ia menepuk kepalanya sendiri. Ah, ke
    mana Maya dapat pergi? Tidak mungkin dapat meninggalkan pulau tanpa perahu! Tentu berada di pulau
    dan karena semalam penuh ia mencari di luar istana, tentu sumoi-nya itu bersembunyi di dalam istana!
    Mengapa dia begini bodoh?
    Bergegas ia lari memasuki bangunan besar itu dan mencari-cari. Semua kamar dimasukinya dan akhirnya
    ia memasuki ruangan bawah, tempat mereka berlatih tiam-hiat-hoat. Begitu masuk, ia mencium sesuatu
    yang aneh, harum-harum dan amis, juga tampak olehnya lubang di atas lantai dekat kaki arca yang pecah!
    Ia terbelalak heran, kemudian tanpa ragu-ragu lagi ia merayap memasuki lubang itu.
    Maya yang tertidur sambil duduk bersandar dinding batu, terbangun dan melihat betapa tempat yang gelap
    itu kini menjadi terang. Ia dapat menduga bahwa tentu malam telah terganti pagi karena sinar yang masuk
    dari atas adalah sinar matahari. Timbul keinginan hatinya untuk melanjutkan penyelidikannya, maka ia
    terus berjalan turun, menuruni anak tangga batu.
    Dari jauh ia sudah mencium bau harum yang aneh di sebelah bawah. Ketika ia tiba di akhir anak tangga
    batu dan melihat ke depan, ternyata bahwa anak tangga itu berakhir di dalam sebuah ruangan yang lebar
    dan di atas lantai tampak uap mengebul memenuhi ruangan. Ia tertarik dan mendekat.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Tiba-tiba ia menjerit dan membalikkan tubuh hendak lari naik karena kini matanya yang sudah biasa dapat
    melihat di balik uap putih itu terdapat banyak sekali ular merah. Puluhan, bahkan ratusan ekor banyaknya!
    Ular-ular berkulit merah berdesis-desis saling belit dan agaknya ular-ular itu melihat kedatangannya karena
    ular-ular itu mengangkat kepala memandang kepadanya dengan lidah bergerak-gerak cepat keluar masuk
    mulut yang kebiruan.
    Dengan hati penuh kengerian Maya melangkah hendak lari menaiki anak tangga dan pergi dari tempat
    yang menyeramkan itu. Akan tetapi tiba-tiba kepalanya terasa pusing, pandang matanya berkunang dan
    seluruh tubuhnya panas, kakinya gemetar lemas dan akhirnya gadis cilik ini terguling roboh di atas anak
    tangga.
    Ratusan ekor ular merayap perlahan menghampirinya, akan tetapi karena anak tangga itu terbuat dari batu
    dan licin, maka ular-ular itu tidak dapat merayap naik, baru sampai dekat kaki Maya sudah terpeleset jatuh
    kembali ke bawah. Akan tetapi uap putih harum amis yang keluar dari mulut mereka makin tebal memenuhi
    ruangan. Maya tidak melihat kengerian ini karena dia sudah pingsan, rebah terlentang di atas anak tangga.
    “Maya...!” Han Ki terkejut dan cemas sekali menyaksikan tubuh Maya menggeletak di atas anak tangga,
    sedangkan di bawahnya ratusan ekor ular merah berusaha untuk merayap naik.
    Cepat pemuda yang banyak pengalaman dan maklum bahwa uap putih harum itu adalah hawa beracun,
    menahan napas dan menyambar tubuh Maya, dibawanya lari naik menjauhi gumpalan uap. Kemudian ia
    menurunkan tubuh Maya di atas lantai lorong yang rata, memeriksa nadi pergelangan tangan Maya. Ia
    bernapas lega. Jalan darah sumoi-nya tidak berubah, pernapasannya biasa, hanya tubuhnya agak panas
    dan mungkin sumoi-nya pingsan karena kaget. Cepat ia memijit beberapa jalan darah di tengkuk dan
    pundak Maya.
    Maya mengeluh, bergerak perlahan, membuka mata dan napasnya mulai terengah-engah! Hal ini
    mengherankan hati Han Ki, juga mendatangkan rasa khawatir. Ia memeluk tubuh sumoi-nya, mengangkat
    kepala gadis cilik itu dan mengguncang-guncangnya.
    “Maya-sumoi...!”
    Maya memandang kepada Han Ki. Pemuda ini terkejut. Sepasang mata yang indah itu kini mengandung
    sinar yang amat luar biasa, seolah-olah mengeluarkan api. Wajah yang jelita itu menjadi kemerahan,
    mengingatkan ia akan wajah kekasihnya dahulu, yaitu puteri Sung Hong Kwi di waktu berlomba asmara
    dengan dia!
    “Maya...”
    Han Ki tidak dapat melanjutkan kata-katanya saking kagetnya ketika tiba-tiba Maya merangkul lehernya
    dengan kedua lengan, merangkul erat-erat dan menyembunyikan muka ke dadanya, didekapkan kuat-kuat
    sambil berbisik, “Suheng... ah, Suheng...!” Kemudian gadis cilik itu menangis! “Suheng... apakah kau
    sayang kepadaku...?”
    Hati Han Ki menjadi lega karena tangis menandakan bahwa Maya tidak menderita sesuatu, akan tetapi
    sikap dan pertanyaan Maya membuat ia merasa aneh.
    “Tentu saja aku sayang padamu, Sumoi,” jawabnya dengan cepat karena memang tentu saja dia sayang
    kepada sumoi-nya, baik Maya mau pun Siauw Bwee.
    Jawaban ini dijawab dengan rangkulan yang lebih ketat lagi sehingga ia merasa tidak enak sendiri, lalu
    berusaha melepaskan rangkulan Maya. Akan tetapi, kedua lengan itu merangkul makin ketat dan mulut
    Maya berbisik, “Peluklah aku erat-erat... Suheng..., jangan lepaskan lagi...!”
    “Maya...!” Han Ki berseru kaget dan jantungnya berdebar.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    “Suheng... aku cinta padamu, Suheng... ahhh...!” Kini Maya mengangkat mulutnya dan membuat gerakan
    hendak mencium pipi Han Ki.
    Pemuda itu terkejut seperti diserang ular berbisa. Melihat mata yang penuh gairah dari sumoi-nya, ia
    mengerti bahwa tentu uap putih harum itu yang mengandung racun aneh sehingga mempengaruhi watak
    Maya yang luar biasa ini, seolah-olah gadis cilik itu berubah menjadi seorang wanita yang penuh nafsu
    birahi! Cepat ia menotok tubuh sumoi-nya sehingga Maya mengeluh dan terkulai lemas, kemudian ia
    memondongnya dan membawanya lari naik.
    “Suheng..., Suci kenapa...?” Siauw Bwee ternyata mencari suci-nya dan berhasil menemukan lubang
    rahasia, lalu memasukinya. Kini dia melihat Han Ki berlari naik dari bawah memondong tubuh suci-nya
    yang terkulai lemas.
    “Khu-sumoi, lekas kembali! Di sini berbahaya!” kata Han Ki.
    Ucapan ini mengejutkan Siauw Bwee dan bersama-sama mereka lari naik dan keluar dari lubang di lantai
    ruangan bawah. Karena lubang itu kecil, maka Siauw Bwee yang keluar lebih dahulu membantu tubuh
    Maya yang didorong keluar dari bawah oleh Han Ki. Kemudian Han Ki memondong tubuh itu dibawa ke
    dalam kamar Maya yang berada di sebelah kamar Siauw Bwee.
    “Di bawah banyak ular merah beracun. Agaknya dia terkena racun uap putih yang keluar dari mulut ularular
    itu,” kata Han Ki sambil menotok beberapa jalan darah di tubuh Maya. Gadis itu segera tertidur pulas.
    “Dia perlu beristirahat, biarkan dia tidur agar hawa beracun lenyap dari tubuhnya.”
    Sehari semalam Maya tidur pulas, bahkan dia tidak terbangun ketika Siauw Bwee menuangkan air obat
    yang dibuat oleh Han Ki. Setelah memberi obat, Han Ki duduk bersila dan menempelkan telapak
    tangannya di punggung Maya, menggunakan sinkang-nya untuk ‘membersihkan’ tubuh sumoi-nya dari
    pengaruh hawa beracun. Pada keesokan harinya Maya terbangun dan ia bangkit duduk, mengusap-usap
    matanya dan memandang kepada Siauw Bwee.
    “Ular... banyak sekali... ular merah...!” katanya gugup.
    Siauw Bwee merangkulnya dengan hati lega. “Engkau sudah aman, Suci. Suheng menyelamatkanmu.”
    “Aku di sini, Sumoi.” Han Ki memasuki kamar, menekan perasaannya agar guncangan hatinya tidak terlihat
    di wajahnya. Dia pun menekan kemarahannya atas perbuatan Maya yang membingungkan dia dan Siauw
    Bwee semalam suntuk.
    “Ahhh, kini aku teringat... lubang rahasia di bawah arca... lorong di bawah tanah... dan ular-ular merah!
    Hiiih, menjijikkan! Suheng, kau maafkan aku, ya?”
    “Tidak ada yang perlu dimaafkan, Sumoi. Aku girang bahwa engkau selamat. Ular-ular itu berbahaya sekali,
    entah bagaimana bisa berada di bawah sana. Harus dibasmi.”
    “Aku ikut, Suheng!” Siauw Bwee berkata penuh semangat.
    “Aku juga ikut!” kata Maya sambil melompat turun dari pembaringan. Han Ki tersenyum. Maya telah pulih
    kembali, telah memperlihatkan sikap tidak mau mengalah seperti biasa.
    “Memang aku akan mengajak kalian, akan tetapi kita makan dulu. Siapakah yang sudah makan malam
    tadi?”
    “Aku belum!” jawab Maya, mendadak merasa betapa perutnya lapar sekali. “Bukan hanya semalam, sudah
    dua hari dua malam aku tidak makan!”
    “Aku juga belum sama sekali!” Siauw Bwee berkata.
    “Aihh! Mengapa Sumoi?” Maya bertanya.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    “Dia gelisah memikirkanmu, mana bisa makan?” Han Ki berkata.
    Maya memandang Siauw Bwee, lalu merangkul dan mencium pipi sumoi-nya. Melihat ini Han Ki berdebar,
    teringat akan perbuatan Maya seperti itu terhadapnya ketika Maya dikuasai racun ular.
    “Sumoi, kau baik sekali! Aku sungguh sayang kepadamu, Sumoi!”
    Siauw Bwee balas memeluk. “Maka jangan kau pergi lagi, Suci. Aku tidak bisa makan dan tidur kalau kau
    pergi,” jawab Siauw Bwee.
    Tiba-tiba Maya menoleh kepada Han Ki. “Dan engkau pun tidak makan tidak tidur, Suheng?”
    Jantung Han Ki berdebar. Ia seperti melihat betapa sinar mata Maya ini berbeda dari biasanya, bukan
    pandang mata kanak-kanak lagi, melainkan pandang mata seorang gadis yang sudah mulai dewasa,
    pandang mata seorang wanita! Ia menekan debar jantungnya dan memasang muka cemberut, menjawab,
    “Aku setengah mati mencarimu, mana ingat makan dan tidur?”
    “Aihh! Aku membikin susah kalian! Maafkan saja. Biar kumasakkan yang enak untuk kalian!” Maya berlari
    ke dapur.
    Siauw Bwee tertawa, menoleh kepada Han Ki dan berkata, “Lihat! Suci begitu baik, mana bisa dibilang
    nakal?” Dan ia pun lari mengejar untuk membantu Maya mempersiapkan makanan.
    Setelah makan, tiga orang itu lalu bersama memasuki lorong rahasia di bawah tanah. Tadinya Siauw Bwee
    dan Maya membawa sebatang pedang karena mereka bermaksud untuk membunuh ular-ular berbahaya
    itu. Akan tetapi mereka dilarang oleh Han Ki yang berkata,
    “Ular-ular itu berbahaya sekali. Baru uap yang keluar dari mulut mereka saja sudah amat berbahaya. Tidak
    mungkin kita dapat mendekati binatang-blnatang itu untuk membunuhnya.”
    “Habis, bagaimana baiknya, Suheng?” tanya Maya yang masih belum tahu bahwa dia nyaris menjadi
    korban uap beracun. Bahkan sesungguhnya, akibat racun ular merah itu masih belum lenyap sama sekali
    dari tubuhnya, yang membuat ia kini merasa ada sesuatu yang aneh dalam hatinya terhadap Han Ki, yang
    mendatangkan gairah dan rangsangan birahi namun belum dimengerti benar oleh hatinya yang masih
    belum matang.
    “Aku akan menggunakan api. Tidak mungkin ular-ular itu berada di sana tadinya. Suhu tentu tidak akan
    membiarkan ular-ular berbahaya itu memenuhi ruangan. Tentu ular-ular itu datang dari lain tempat, maka
    biarlah kuusir mereka itu dari ruangan bawah tanah. Kalau tidak mau pergi, binatang-binatang itu akan
    kubasmi dengan api.”
    Selama tinggal di Pulau Es, Han Ki beberapa kali pergi menggunakan perahu untuk mencari bahan
    makanan, binatang buruan, buah-buahan dan sayur-sayuran, juga ranting-ranting kering untuk bahan
    bakar dari pulau-pulau yang berdekatan. Kini ia membawa ranting-ranting dan daun kering serta
    menyalakan obor memasuki lorong rahasia itu bersama kedua orang sumoi-nya yang juga membawa
    ranting-ranting kering.
    Dengan hati-hati mereka menuruni anak tangga, dan dari atas tampaklah oleh mereka ular-ular itu dengan
    uap yang harum.
    “Kita nyalakan ranting-ranting dan melemparkan ke bawah. Akan tetapi hati-hatilah, kalau mendekat ke
    sana harus menahan napas. Jika sudah tidak tertahan, segera naik lagi dan bernapas di tempat yang tak
    ada uap putihnya. Uap itu berbahaya sekali!” Han Ki berkata, “Akan tetapi, lemparkan ranting-ranting
    berapi di dekat anak tangga agar jangan sampai menimbulkan kebakaran. Kulihat di sudut ruangan itu ada
    lemari dan meja, jangan sampai barang-barang itu terbakar. Siapa tahu kalau-kalau Suhu menyimpan
    sesuatu di sana.”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Tiga orang itu membakar ranting dan melemparkan ke bawah. Melihat menyambarnya ranting-ranting
    berapi itu, beberapa ekor ular lalu menerjang dan tentu saja mereka bertemu dengan api dan seketika
    mereka berkelojotan. Han Ki dan kedua orang sumoi-nya melemparkan lagi beberapa batang ranting
    berapi. Kembali ular-ular itu menyerang sambil mendesis-desis dan begitu bertemu api, binatang-binatang
    itu berkelojotan dan menyerang kawan sendiri membabi buta. Akhirnya mereka itu agaknya baru tahu
    bahwa benda-benda bernyala itu berbahaya. Mulailah ular-ular itu menjadi panik, bergerak saling terjang,
    saling belit dan berlomba lari memasuki sebuah lubang yang terdapat di sudut ruangan itu.
    Dua tiga kali Maya dan Siauw Bwee meloncat naik ke atas menjauhi uap beracun untuk bernapas,
    sedangkan Han Ki yang lebih kuat masih bertahan terus.
    “Lihat, mereka lari dari sebuah lubang. Sudah kuduga, tentu ada lubangnya yang menembus ruangan itu.
    Mereka menggunakan ruangan itu sebagai sarang!”
    Dengan hati penuh rasa jijik dan ngeri Maya dan Siauw Bwee melihat ular-ular itu bergerak pergi dan tak
    lama kemudian, di ruangan itu hanya tinggal belasan ekor ular yang mati dan ada yang masih berkelojotan.
    Uap putih yang tadi memenuhi ruangan bawah itu kini telah lenyap pula, keluar dari lubang-lubang di atas
    dari mana sinar matahari menerobos masuk. Agaknya lubang-tubang di atas itu memang sengaja dibuat
    untuk lubang hawa dan lubang memasukkan sinar matahari.
    “Heii, di lemari itu ada kitab-kitab!” Maya berseru dan hendak berlari turun.
    Akan tetapi, Han Ki memegang lengannya mencegah. “Hati-hati, Sumoi. Biar pun ular-ular telah pergi dan
    uap telah lenyap, tempat masih amat berbahaya, penuh racun bekas ular. Biarkan aku saja yang turun
    membersihkan tempat itu dan memeriksa kitab-kitab.”
    Setelah berkata demikian, dengan hati-hati Han Ki menuruni anak tangga dan menggunakan kakinya
    melempar-lemparkan bangkai dan tubuh ular yang berkelojotan keluar dari lubang kecil di sudut ruangan.
    Kemudian pemuda ini mencabut pedang, memotong dinding batu yang cukup besar lalu menggunakan
    sebongkah batu itu menutupi lubang dari mana ular-ular tadi meninggalkan ruangan.
    Dengan pengerahan tenaganya, ia mendorongkan batu sebesar lubang itu lebih dulu sebagai penyumbat,
    baru meletakkan batu besar itu di luar lubang. Kemudian ia menghampiri lemari yang daun pintunya
    terbuka separuh memperlihatkan beberapa jilid kitab tua. Akan tetapi baru saja tiba di depan lemari, ia
    melihat bahwa lemari itu tadinya tertutup dan ‘disegel’ dengan sepotong kain sutera yang ada tulisannya.
    Agaknya karena tua dan lapuk, terutama sekali karena bisa ular, kain itu robek dan daun pintunya terbuka
    separuh. Han Ki mengenal tulisan di atas kain, yaitu tulisan tangan suhu-nya dengan huruf-huruf kembang
    yang amat rapi, maka dia tidak berani berlaku lancang. Dipegangnya kain sutera itu, disambungkannya
    kembali baru dibaca. Kagetlah ia ketika membaca tulisan suhu-nya itu!
    ‘Ilmu-ilmu silat dalam kitab-kitab ini amat keji, ciptaan tokoh-tokoh buangan di Pulau Neraka, tidak patut
    dipelajari pembela-pembela kebenaran dan keadilan.’
    Membaca tulisan suhu-nya itu, Han Ki cepat menutupkan kembali daun pintu lemari, kemudian ia meloncat
    naik menghampiri kedua orang sumoi-nya yang memandang dengan heran.
    “Suheng, kitab-kitab apakah itu?” Siauw Bwee bertanya tidak sabar. Seperti juga suci-nya, dia selalu ingin
    sekali melihat dan mempelajari ilmu-ilmu baru dari kitab-kitab yang berada di istana itu.
    “Kenapa tidak diambil, bahkan tidak kau periksa isinya, Suheng?” Maya juga bertanya.
    “Mari kita kembali ke atas, nanti kuceritakan,” kata Han Ki dan kedua orang sumoi-nya tidak banyak
    bertanya lagi karena melihat wajah serius suheng mereka. Setelah tiba di atas, barulah Han Ki menarik
    napas panjang dan berkata. “Memang ruangan di bawah itu hanya pantas menjadi sarang ular. Kitab-kitab
    itu ternyata lebih berbahaya dari pada sekumpulan ular berbisa itu.”
    “Ah, kitab-kitab apakah itu, Suheng?” tanya Maya.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    “Kitab-kitab itu sengaja disembunyikan oleh Siansu agar jangan dibaca orang, dan lemari itu tadinya
    dipasangi tulisan Suhu yang melarang orang membaca kitab-kitab yang katanya amat keji, ciptaan tokohtokoh
    buangan di Pulau Neraka dan tidak patut dipelajari oleh orang-orang gagah pembela kebenaran dan
    keadilan.”
    “Orang buangan di Pulau Neraka? Siapakah itu, Suheng?” Siauw Bwee bertanya.
    “Aku sendiri pun tidak tahu jelas, Akan tetapi ada disebut sedikit di dalam kitab yang kubaca di tempat
    keramat penghuni Pulau Nelayan. Ketika kerajaan kecil di Pulau Es ini masih berdiri, yang istananya kini
    kita tempati, terdapat orang-orang yang melanggar peraturan dan dihukum buang ke sebuah pulau yang
    merupakan neraka dunia, yang amat sukar, bahkan tak mungkin orang hidup di sana, disebut Pulau
    Neraka. Tentu hanya orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan keji saja yang dibuang di sana.
    Melihat betapa rakyat Pulau Es itu saja sudah amat lihai seperti kita buktikan pada keturunan mereka di
    Pulau Nelayan, maka para penjahatnya amat lihai. Kitab-kitab dalam lemari itu adalah ciptaan orang-orang
    yang menjadi tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka, tentu saja amat lihai akan tetapi keji bukan main.
    Setelah Suhu kita sendiri melarang, perlu apa kita melihat kitab-kitab keji seperti itu?”
    Sekali ini kedua orang gadis remaja itu tidak membantah. Akan tetapi diam-diam Maya merasa penasaran
    dan tidak setuju. Apa sih kejinya ilmu? Tergantung kepada orangnya! Akan tetapi ia takut untuk
    membantah, apa lagi mengingat bahwa terdapat larangan oleh suhu-nya sendiri.
    Semenjak peristiwa itu, Maya tidak banyak rewel seperti biasa akan tetapi ada perubahan yang membuat
    hati Han Ki makin khawatir, yaitu bahwa sering kali pandang mata Maya kepadanya mengingatkan ia akan
    pandang mata Puteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, memandangnya penuh cinta kasih! Dia tidak tahu
    bahwa diam-diam, sesuai dengan wataknya yang halus, Siauw Bwee juga sering kali memandangnya
    seperti itu.
    Cinta kasih bersemi di dalam lubuk hati kedua orang gadis remaja itu terhadap suheng mereka. Dan
    perlombaan di antara mereka dahulu untuk menarik perhatian suheng mereka, kini diam-diam mereka
    melanjutkan dengan perlombaan mencinta pemuda itu!
    Hal ini terjadi dengan diam-diam karena kedua orang gadis yang berangkat dewasa itu mempunyai
    perasaan kewanitaan yang halus, yang membuat mereka saling mengerti bahwa mereka mencinta Han Ki,
    bukan kasih sayang seorang sumoi terhadap suheng-nya, melainkan kasih sayang seorang wanita
    terhadap seorang pria.
    Biar pun keduanya tidak pernah membuka rahasia hati dari mulut mereka, namun keduanya saling
    mengerti. Hal ini sama sekali tidak diketahui oleh Han Ki, dan masih ada lagi hal yang tidak diketahui Han
    Ki, yaitu bahwa diam-diam Maya telah turun ke dalam ruangan rahasia itu dan diam-diam membuka dan
    membaca kitab-kitab ciptaan tokoh-tokoh buangan Pulau Neraka!
    Yang diketahui oleh Han Ki hanyalah bahwa kedua orang sumoi-nya itu belajar ilmu dengan amat tekunnya
    sehingga mereka memperoleh kemajuan pesat dan semua ini membuat hatinya gembira sekali karena ia
    merasa bahwa dia telah memenuhi tugas yang dibebankan suhu-nya dengan baik.
    Waktu berjalan dengan amat cepatnya sehingga tanpa mereka sadari, mereka bertiga telah tinggal di atas
    Pulau Es selama lima tahun. Kini Maya telah menjadi seorang dara jelita berusia delapan belas tahun
    sedangkan Siauw Bwee menjadi seorang gadis cantik berusia tujuh belas tahun. Biar pun mereka bertiga
    tinggal di atas pulau yang kosong, namun untuk kepentingan mereka, Han Ki pergi menggunakan
    perahunya membeli bahan-bahan pakaian untuk mereka sehingga mereka selalu dapat berpakaian dengan
    baik.
    Seperti telah dapat diduga sebelumnya oleh Han Ki, setelah kini kepandaian kedua orang sumoi-nya itu
    menjadi matang, Siauw Bwee memiliki ginkang yang luar biasa sekali, yang memungkinkannya bergerak
    seperti seekor burung walet dan pandai pula menggerakkan tenaga sinkang-nya menjadi tenaga halus
    yang memungkinkan dara ini mempergunakan telapak tangannya menghadapi senjata lawan yang keras
    dan tajam.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Di lain pihak, Maya juga memperoleh kemajuan luar biasa. Tenaga sinkang-nya mengagumkan, kuat sekali,
    terutama sekali tenaga Yang-kang sehingga kalau Maya memainkan ilmu silat yang sifatnya panas, dari
    kedua telapak tangannya menyambar hawa yang panas seperti api membara! Juga Maya dapat bersilat
    dengan gerakan indah seperti menari-nari sehingga dara yang memiliki kecantikan luar biasa dan khas
    Khitan itu tampak seperti bidadari kahyangan menari-nari.
    Han Ki sendiri memperoleh kemajuan yang sukar diukur lagi. Dia menjadi seorang pendekar sakti yang
    sukar dicari tandingnya di waktu itu. Usianya sudah tiga puluh tahun, namun sikapnya sudah seperti
    seorang tua, pendiam dan sering kali bersemedhi. Di samping kepandaian silatnya, juga kepandaiannya
    mengukir batu memperoleh kemajuan karena sering ia latih. Dan pada waktu kedua orang sumoi-nya telah
    menjadi dara-dara dewasa, Han Ki mencari tiga bongkah batu karang yang seperti batu pualam putih dan
    amat indah. Mulailah ia mengukir batu-batu itu, membuat tiga buah arca mereka dengan penuh ketelitian
    dan hati-hati.....
    ********************
    “Jangan tinggalkan aku... ohhh, Koko... jangan tinggalkan aku..., bawalah aku pergi...!” Rintihan ini keluar
    dari mulut seorang wanita muda, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang cantik jelita, yang
    pakaiannya setengah telanjang dan dicobanya membetulkan letak pakaian ketika ia turun dari
    pembaringan menghampiri seorang laki-laki yang sedang berkemas membetulkan pakaian di dekat pintu
    kamar.
    Kamar itu mewah dan indah, kamar seorang puteri bangsawan atau hartawan, bersih dan harum semerbak.
    Dara itu amat cantik, kulit muka dan lengannya putih seperti salju, halus seperti sutera. Rambutnya terurai
    lepas, hitam dan panjang agak berombak, berbau harum sari bunga. Pakaian yang dipakainya, yang
    sedang dibetulkan letaknya, juga terbuat dari sutera halus dan mahal. Di atas meja dekat pembaringan
    tampak hiasan-hiasan baju dan hiasan-hiasan rambut dari pada emas dan batu kumala, serba indah, dan
    mahal.
    Mudah diduga bahwa dara berusia delapan belas tahun ini adalah puteri seorang bangsawan atau seorang
    hartawan. Ada pun pria yang sedang membetulkan pakaian dengan sikap tidak acuh itu adalah seorang
    laki-laki yang tampan dan sikapnya gagah perkasa, berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, pakaiannya
    juga indah dan pesolek sekali sikapnya ketika membetulkan baju dan membereskan rambutnya.
    “Aku harus pergi sekarang juga dan engkau tidak boleh ikut, bahkan tidak boleh mengingat aku lagi.
    Pertemuan kita hanya sekali ini dan untuk terakhir kali, sesudah itu, tidak ada apa-apa lagi di antara kita.”
    Dara itu memandang terbelalak, seolah-olah tidak percaya kepada telinganya sendiri. Benarkah ucapan
    yang tadi penuh rayuan, yang manis dan sedap didengar, yang membahagiakan hatinya semalam suntuk,
    keluar dari mulut laki-laki ini pula yang sekarang bicara dengan sikap demikian dingin?
    Ah, tidak mungkin! Dara itu lari ke depan dan menubruk laki-laki itu, merangkul pinggangnya dari belakang
    dan menjatuhkan diri berlutut, “Koko..., jangan tinggalkan aku..., ahhh, tidakkah engkau mencintaku?
    Bukankah tadi telah kau bisikkan kata-kata cinta kepadaku? Mungkinkah orang seperti engkau akan begitu
    tega meninggalkan aku? Ahh, Koko!”
    “Hemm, cinta telah mati di hatiku. Mati karena cinta palsu perempuan-perempuan sepertimu.”
    “Koko... aku... aku cinta padamu... uhu-uhu, dengan seluruh jiwa ragaku...!” Dara itu menangis.
    “Engkau? Perempuan? Mencinta dengan seluruh jiwa raga? Ha-ha-ha!” Laki-laki itu tertawa, akan tetapi
    suara tawanya mengandung kepahitan.
    “Koko..., sudah kubuktikan tadi cinta kasihku kepadamu. Bukankah sudah kuberikan kepadamu tubuhku,
    cintaku, segala-galanya...?”
    “Ha-ha-ha, itukah buktinya cinta? Seperti semua perempuan yang telah kukenal. Bagimu, bukti cinta
    adalah penyerahan tubuhmu? Ha-ha-ha, pergilah, dan biarkan aku pergi!
    dunia-kangouw.blogspot.com
    ”Tidak...! Tidak...! Koko, jangan tinggalkan aku. Aku cinta padamu, aku mau meninggalkan semua ini, aku
    mau ikut bersamamu, ke mana pun kau pergi!”
    Tiba-tiba laki-laki itu menggerakkan kakinya ke belakang dan tubuh dara itu terlempar ke atas pembaringan.
    Dia terbanting ringan dan gerakan laki-laki itu cukup menjadi bukti akan kelihaiannya. Si Dara terbanting
    telentang di atas pembaringan dan menangis terisak-isak memandang laki-laki itu yang perlahan menoleh
    sambil berkata,
    “Tidak ada cinta lagi bagiku! Aku tidak percaya akan cinta. Yang ada hanyalah nafsu, kebutuhan tubuh.
    Yang kau berikan kepadaku tadi juga nafsu! Kita saling berjumpa, saling memberi dan meminta untuk
    mernuaskan nafsu, dan habis perkara. Tidak ada bakas-bekasnya lagi. Engkau tahu aku siapa?”
    “Engkau seorang pendekar yang perkasa, yang kucinta...!”
    “Ha-ha-ha! Sama sekali bukan, Nona manis. Aku adalah seorang yang dikutuk banyak orang, yang
    dianggap sejahat-jahatnya. Aku dijuluki Jai-hwa-sian! Engkau tahu artinya? Jai-hwa-sian Si Dewa
    Pemerkosa Wanita! Entah sudah berapa banyak bunga kupetik, akan tetapi bukan kupatahkan tangkainya
    melainkan kupetik atas kerelaan si bunga sendiri. Ha-ha-ha! Aku penjahat besar Jai-hwa-sian (Dewa
    Pemetik Bunga) dan engkau seorang di antara ratusan orang korbanku. Mau ikut? Mencintaku? Ha-ha,
    menggelikan sekali. Selamat tinggal, Nona manis. Apa yang terjadi semalam itu hanya menjadi kenangan
    manis.”
    Sekali berkelebat, laki-laki itu telah lenyap dari dalam kamar yang mewah. Hanya bayangan saja tampak
    melayang ke luar dari jendela kamar yang seketika menjadi sunyi senyap, kemudian disusul dengan isak
    tangis tertahan dara itu. Terbayanglah semua yang terjadi oleh dara jelita itu.....
    Tiga hari yang lalu, ketika dia bersama ayahnya berpesiar naik perahu di telaga, perahunya bertumbukan
    dengan perahu lain dan terguling. Untung dari perahu yang menumbuknya itu meloncat ke luar seorang
    pemuda tampan dan gagah yang menyambar dia dan ayahnya, bahkan membalikkan perahu sekaligus,
    dan menurunkan mereka di atas perahu. Ayahnya seorang kaya raya dan tentu saja para pelayan yang
    berada di perahu lain cepat memberi pertolongan. Akan tetapi andai kata tidak ada pemuda itu, agaknya
    ayahnya dan dia akan mengalami kekagetan dan basah kuyup sebelum tertolong.
    Setelah menolong, pemuda itu tidak menanti ucapan terima kasih, langsung meloncat ke perahunya sendiri
    yang didayung pergi dengan cepat, tidak mempedulikan teriakan ayahnya. Akan tetapi ketika tadi
    menolongnya, menyambar tubuhnya, ia mendengar bisikan pemuda itu di telinganya, “Malam nanti aku
    menerima terima kasihmu di dalam kamarmu, Nona manis.”
    Sehari itu Si Dara gelisah, akan tetapi kadang-kadang kedua pipinya menjadi merah dan jantungnya
    berdebar tidak karuan kalau ia terbayang akan wajah yang tampan, bentuk tubuh yang gagah dan sikap
    yang halus dari pemuda itu. Dan dia tidak berani menceritakan tentang bisikan itu kepada orang tuanya.
    Benarkah pemuda itu membisikkan kata-kata seperti itu? Ah, tidak mungkin! Betapa pun juga, hatinya
    menjadi gelisah dan malam itu ia mengunci semua jendela dan pintu kamarnya.
    Setelah merebahkan diri dan menjelang malam baru pulas dengan hati lega akan tetapi juga kecewa, lega
    karena yang dlkhawatirkan tidak terjadi akan tetapi juga kecewa mengapa tidak terjadi (wanita memang
    aneh), tertidurlah Si Dara manis.
    Akan tetapi, belum lama pulas ia terbangun dan dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika mendapat
    kenyataan bahwa pemuda yang dibayangkan setiap detik sebelum pulas tadi kini telah rebah di
    sampingnya! Dia memang ada mengharapkan hal ini, akan tetapi setelah benar-benar terjadi ia kaget dan
    takut, lalu membuka mulut hendak menjerit.
    Akan tetapi sekali bergerak, jari tangan pemuda itu telah menotok jalan darah di lehernya membuat dia tak
    dapat mengeluarkan suara. Kemudian dengan halus dan menarik pemuda itu mencumbu rayu, membujukbujuk
    dengan halus sehingga ketika totokannya dibebaskan, dara ini sama sekali tidak menjerit atau
    melawan. Jangankan melawan, bahkan dia membalas setiap rayuan laki-laki yang telah menjatuhkan
    dunia-kangouw.blogspot.com
    hatinya itu. Dia jatuh dan mabok, menyerahkan segalanya dengan hati rela karena dia merasa yakin bahwa
    pemuda itu mencintanya, maka tentu akan meminangnya.
    “Aahhh...!” Dara itu menangis makin sedih ketika teringat akan itu semua. Kiranya dia menjadi korban
    seorang laki-laki yang keji! Dan tidak lama kemudian, terdengar suara aneh dari dalam kamar itu, seperti
    suara leher dicekik, suara yang akan menggegerkan seisi rumah pada esok harinya karena suara itu keluar
    dari kerongkongan dara yang tadi menggantung diri di kamarnya!
    Laki-laki itu bukan lain adalah Suma Hoat! Seperti telah diceritakan di bagian depan, karena patah hati
    sebagai akibat terputusnya cinta kasihnya dengan Ciok Kun Hwa, kemudian ditambah lagi dengan
    peristiwa bersama ibu tirinya sehingga dia diusir oleh ayahnya sendlri, Suma Hoat menjadi seorang laki-laki
    yang suka mempermainkan cinta wanita.
    Mula-mula dia hanya ingin membalaskan sakit hatinya kepada wanita, akan tetapi lama-kelamaan hal itu
    menjadi kebiasaan dan menjadi penyakit sehingga dia berubah menjadi seorang yang selalu mencari
    korban, seperti seekor burung elang yang selalu kelaparan mengintai dari angkasa mencari anak ayam!
    Karena ilmu kepandaiannya tinggi dan tidak pernah ia dapat ditangkap, bahkan banyak orang gagah yang
    roboh ketika berusaha menangkapnya, Suma Hoat diberi julukan Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga),
    bahkan nama aslinya dilupakan orang.
    Nona hartawan yang menggantung diri di kamarnya itu adalah korban yang entah ke berapa ratus. Begitu
    keluar dari kamar, Jai-hwa-sian tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan diri dara yang telah menjadi
    korbannya. Dia tahu bahwa banyak di antara mereka yang membunuh diri untuk lari dari aib dan malu, ada
    pula yang diam-diam merahasiakan peristiwa satu malam itu, akan tetapi dia tidak peduli dan juga tidak
    ingin tahu. Begitu keluar dari kamar, dianggapnya bahwa di antara dia dan korbannya sudah tidak ada
    sangkut-paut lagi, tidak ada hubungan atau urusan apa-apa lagi.
    Sudah lebih dari lima tahun ia meninggalkan kota raja, meninggalkan orang tuanya dan selama
    perantauannya di dunia kang-ouw, ia menyaksikan dengan mata kepala sendiri sepak terjang orang-orang
    gagah dan kekejaman-kekejaman yang dilakukan oleh orang-orang golongan hitam. Biar pun dia sendiri
    tidak berani menganggap dirinya sebagai orang gagah atau pendekar budiman, namun di lubuk hatinya ia
    selalu merasa kagum kepada para pendekar itu dan muak menyaksikan kelakuan tokoh-tokoh dunia hitam.
    Mulailah terbuka mata hatinya betapa ayahnya selama ini melakukan perbuatan-perbuatan sewenangwenang
    dan mulailah ia menaruh penghargaan kepada Menteri Kam, paman tuanya yang amat ia takuti itu.
    Dan ia berjanji di dalam hatinya untuk berusaha menjadi atau sedikitnya mencontoh perbuatan-perbuatan
    para orang gagah. Karena itu pemuda ini selalu mengulurkan tangan kepada pihak yang tertindas dan
    menentang golongan dunia hitam, sungguh pun ia tidak dapat meninggalkan kesukaannya merayu wanitawanita
    untuk menjadi korbannya, bahkan kalau perlu menggunakan kekerasan!
    Ia maklum bahwa perbuatannya itu tidak baik, akan tetapi dia sudah mencandu dan tidak dapat
    menghentikannya, terutama sekali kalau ia ingat akan sakit hati dan patah hatinya. Inilah sebabnya, di
    samping kebiasaannya memperkosa wanita, ia pun sering kali menolong orang-orang lemah tertindas
    sehingga dia di samping julukan Pemetik Bunga (Pemerkosa) juga di juluki Dewa!
    Pada masa itu terjadilah perubahan besar. Setelah Kerajaan Khitan dihancurkan, terutama sekali oleh
    Kerajaan Yucen yang menjadi makin kuat, kemudian malah barisan Mongol ikut pula menyerbu, diam-diam
    dibantu oleh pasukan-pasukan Sung yang berada dalam kekuasaan Jenderal Suma Kiat, maka Kerajaan
    Yucen boleh dibilang tidak ada lagi saingannya di daerah utara di luar tembok besar. Benar bahwa bangsa
    Mongol sudah mulai memperlihatkan kekuatannya, namun bangsa ini sedang membangun dan menyusun
    kekuatan mengatasi bentrokan-bentrokan di dalam, di antara bangsa sendiri. Maka bangsa Yucen menjadi
    makin kuat sehingga bangsa ini mendirikan sebuah wangsa baru yang disebut Wangsa Cin.
    Namun segera menjadi kenyataan pahit bagi Kerajaan Sung bahwa Kerajaan Cin yang baru ini ternyata
    lebih bengis dan sewenang-wenang dari pada Kerajaan Khitan yang sudah runtuh. Biar pun dahulu
    Kerajaan Khitan juga merupakan kerajaan kuat yang selalu menjadi ancaman untuk Kerajaan Sung, dan
    setiap tahun Kerajaan Sung mengirim upeti sebagai tanda persahabatan, namun Raja Talibu dari Kerajaan
    Khitan yang masih ingat akan darahnya yang separuh darah Han tidak terlalu mendesak dan selalu
    dunia-kangouw.blogspot.com
    memperlihatkan sikap yang bersahabat dan saling menghormat. Kini bangsa Cin yang tahu akan
    kelemahan Sung menuntut upeti yang lebih besar dan yang sifatnya memaksa, seolah-olah upeti harus
    dlberikan sebagai tanda pengakuan kebesaran kerajaan baru Cin.
    Kalau dahulu bangsa Khitan tidak pernah mengganggu Kerajaan Sung, kini Kerajaan Cin mulai
    memperlihatkan keserakahannya, bersikap menghina kepada bangsa Han, bahkan sedikit demi sedikit
    daerah-daerah di utara yang termasuk wilayah Sung dirampas dengan kekerasan. Kerajaan Sung tak
    dapat mempertahankan daerah ini dan selalu didesak mundur ke selatan.
    Melihat keadaan ini, bangsa Han pada umumnya, terutama sekali kaum patriot dan orang gagah, menjadi
    cemas dan kecewa sekali. Tentu saja kekecewaan ini terutama mereka tujukan kepada pemerintah Sung
    yang amat lemah. Kaisar telah berada dalam cengkeraman para pembesar tinggi yang korup. Hidup Kaisar
    dan keluarganya terlalu mewah, yang diperhatikan hanyalah kesenangan-kesenangan pribadi saja, seolaholah
    tidak mempedulikan betapa rakyatnya di sebelah utara ditindas, dirampok, ditawan dan dipaksa oleh
    bangsa Yucen yang kini mempunyai Kerajaan Cin yang makin kuat. Pesta pora, bersenang-senang,
    melakukan pemilihan dara-dara muda jelita setiap bulan memperbanyak isi haremnya dengan dara-dara
    cantik, membuang-buang kakayaan semena-mena tanpa mempedulikan bahwa semua itu adalah hasil
    keringat rakyat jelata, hanya inilah yang dikerjakan oleh kaisar dan keluarganya setiap saat.
    Di luar istana, pembesar-pembesar korup berbuat sekehendak hatinya, merajalela tanpa ada pengawasan.
    Masing-masing mempunyai kekuasaan seperti raja-raja kecil di daerah masing-masing, mempergunakan
    kekuasannya untuk melakukan apa saja demi kesenangan diri pribadi, memeras, memaksa, merampas
    dan mengadakan peraturan-peraturan yang menekan bawahan. Setiap protes dan nasehat dianggap
    melawan kekuasaan dan terjadilah penangkapan-penangkapan dan hukuman-hukuman serta
    pembunuhan-pembunuhan sewenang-wenang.
    Di sebelah dalam istana sendiri, Kaisar hanya seperti boneka hidup yang tenggelam dalam pelukan daradara
    muda jelita, dalam arak-arak wangi dan hidangan serba lezat, mabok oleh tubuh ramping berlenggaklenggok
    menari, terbuai suara musik dan nyanyian-nyanyian merdu, dan terlena oleh bisik dan bujuk rayu
    kaum penjilat. Kekuasaan yang sesungguhnya tidak lagi terletak di tangan Kaisar, melainkan dipegang
    oleh para pembesar thaikam (orang kebiri) melalui lidah dan tubuh menggairahkan para selir.
    Sedemikian besar kekuasaan dan pengaruh para thaikam dan selir muda itu sehingga boleh dibilang
    seluruh urusan kerajaan merekalah yang memutuskannya. Urusan pengangkatan pembesar-pembesar,
    baik sipil mau pun militer tergantung kepada mereka. Mereka mengajukan usul dan Kaisar menelannya
    begitu saja. Karena ini, timbullah sistim konco-isme, keluarga-isme, dan sogok-isme, sogokan yang berupa
    apa saja, benda mati mau pun benda hidup, benda mati berupa emas permata dan sutera-sutera halus,
    benda hidup berupa dara-dara jelita!
    Keadaan semacam ini tentu saja mengakibatkan makin lemahnya Kerajaan Sung. Para tokoh kang-ouw,
    para partai-partai persilatan dan perkumpulan-perkumpulan orang gagah merasa marah sekali dan kecewa
    bukan main sehingga mereka mulai membenci kerajaan yang dipimpin oleh orang-orang lalim itu. Mereka
    ini lalu terpecah-pecah, mendukung dan membantu pembesar-pembesar dan raja-raja muda yang
    menguasai daerah-daerah, dan yang mulai memberontak dan tidak mengakui kedaulatan pemerintah
    Kerajaan Sung pusat.
    Yang paling dibenci oleh tokoh-tokoh kang-ouw dan oleh pembesar-pembesar daerah, di antara para
    pembesar daerah, di antara pembesar pusat yang korup, adalah Jenderal Suma Kiat. Kebencian mereka
    memuncak ketika pera pembesar daerah ini mendengar akan perbuatan Suma Kiat terhadap Menteri Kam
    yang mereka hormati, mereka percaya sepenuhnya sebagai penegak keadilan dan satu-satunya pembesar
    yang paling berani dalam menentang perbuatan lalim para thaikam dan kaisar sendiri. Bukan hanya para
    pembesar daerah yang membenci Suma Kiat, juga terutama sekali para tokoh kang-ouw yang menaruh
    hormat kepada putera Suling Emas itu menjadi sakit hati dan berusaha untuk membalas kematian Menteri
    Kam.
    Mulailah terjadi kesimpang-siuran dan bentrokan-bentrokan ketika para pembesar daerah ini berkuasa dan
    berdaulat di daerah masing-masing dan mulailah penghidupan para pembesar kerajaan Sung menjadi tidak
    dunia-kangouw.blogspot.com
    aman, setiap saat mereka terancam oleh pembunuhan-pembunuhan yang terdiri dari tokoh-tokoh kangouw
    dan juga mata-mata para pembesar daerah.
    Hampir semua partai persilatan mengadakan aksi anti Kaisar dan anti Kerajaan Sung, kecuali Siauw-limpai.
    Pada waktu itu yang menjadi ketua Siauw-lim-pai adalah seorang hwesio tua yang amat tinggi ilmunya,
    yaitu Kian Ti Hosiang. Ketika para muridnya menyatakan pendapat menghadapi kekacauan di Kerajaan
    Sung, ketua mereka, Kian Ti Hosiang merangkapkan kedua telapak tangan di depan dada sambil berkata,
    “Omitohud.... Segala peristiwa telah dikehendaki Yang Maha Kuasa dan menjadi akibat dari pada sepak
    terjang manusia yang selalu dikuasai nafsu pribadinya! Kita adalah orang-orang beragama yang bertugas
    menyebarkan agama, ada sangkut-paut apakah dengan urusan kerajaan? Siapa pun yang menjadi
    pembesar, bagi kita sama saja, mereka adalah manusia-manusia yang belum sadar dan sudah menjadi
    kewajiban kita untuk memberi penerangan. Mengikuti perputaran dan pertentangan kerajaan, berarti
    terjatuh ke dalam api permusuhan dan hal ini sungguh bertentangan dengan sifat kita. Tidak, Siauw-lim-pai
    tidak boleh terbawa-bawa dan kalian semua pinceng larang untuk mencampuri pertentangan di antara
    pembesar-pembesar daerah, orang-orang kangouw dan pemerintah pusat.”
    “Maaf, Supek, teecu sekalian tentu saja mentaati pesan Supek dan semua nasehat Supek benar belaka,”
    kata seorang hwesio yang menjadi murid kepala, yaitu Ceng San Hwesio yang dianggap sebagai seorang
    hwesio yang paling ‘maju’ dan yang diharapkan kelak menggantikan kedudukan Ketua Siauw-lim-pai
    setelah ketua sekarang yang terhitung supek-nya itu mengundurkan diri. “Akan tetapi apa bila badai
    mengamuk, semua pohon besar kecil akan diamuk badai. Binatang-binataang kecil seperti burung sekali
    pun akan berusaha menyelamatkan diri, apakah kita harus mandah saja menjadi korban keganasan badai?”
    Dengan ucapannya ini, Ceng San Hwesio hendak mengatakan bahwa pertentangan antara para pembesar
    daerah dibantu orang kang-ouw dengan pemerintah pusat tentu akan mendatangkan perang dan mereka
    tentu akan terlanda akibat perang.
    Kian Ti Hosiang mengangguk-angguk, ia maklum bahwa para murid Siauw-lim-pai, di samping menjadi
    kaum beragama, juga merupakan orang kuat yang memiliki kepandaian, penegak kebenaran dan tentu
    saja merasa penasaran menyaksikan kelaliman merajalela.
    “Pohon akan tunduk oleh kekuasaan alam dan akan condong ke mana angin bertiup tanpa perlawanan.
    Mencontoh sifat pohon bukanlah hal yang mudah, akan tetapi kalau kalian tidak dapat mencontohnya
    tirulah sifat burung dilanda badai, yaitu mencari perlindungan dan keselamatan diri tanpa merusak dan
    merugikan pihak lain. Nah, kalian tentu mengerti dan laksanakanlah pesan pinceng ini.”
    Setelah berkata demikian, Kian Ti Hosiang bersila dan memejamkan matanya. Ini merupakan tanda bagi
    para murid bahwa ketua itu mengakhiri wawancara dan telah mulai bersemedhi. Maka mereka pun
    bubaran.
    Demikian sikap Ketua Siauw-lim-pai ini dijadikan pegangan oleh para murid, juga oleh semua cabangcabang
    Siauw-lim-pai yang tersebar di mana-mana. Sikap ini adalah tidak ingin mencampuri pertentangan
    dan menjauhkan diri dari urusan kerajaan, tidak melakukan perbuatan permulaan ke arah permusuhan,
    namun hanya boleh bertindak menyelamatkan orang lain.
    Cabang Siauw-lim-pai di kota Lo-kiu juga melakukan politik seperti itu. Para hwesio Siauw-lim-pai di
    cabang itu melakukan tugas mereka sehari-hari di dalam kelenteng dengan tekun dan tenteram, menyebar
    pelajaran tentang kasih sayang dan membantu rakyat yang membutuhkan bantuan. Beberapa kali mereka
    didatangi tokoh-tokoh kang-ouw, kaki tangan para pembesar daerah, dan petugas-petugas pembesar
    pusat untuk menarik mereka yang merupakan tenaga kuat untuk berpihak, namun semua permintaan
    ditolak dengan halus oleh Gin Sin Hwesio, ketua kelenteng Siauw-lim-pai di Lo-kiu itu.
    Pada waktu itu memang belum ada terjadi perang terbuka, namun telah ada bentrokan-bentrokan kecil
    antara kaki tangan masing-masing pihak dan di mana-mana, termasuk di Lo-kiu, terdapat pertentangan
    paham dan diam-diam terdapat mata-mata semua pihak yang saling menyelidiki. Namun seperti biasa,
    rakyat yang sudah kenyang akan pertentangan itu masih melanjutkan usaha mereka seperti biasa, seolahdunia-
    kangouw.blogspot.com
    olah tidak pernah terjadi sesuatu. Perdagangan masih tetap ramai, bahkan restoran-restoran masih penuh
    tamu yang datang untuk makan minum sambil bercakap-cakap.
    Di tempat-tempat seperti inilah sering kali dijadikan tempat pertemuan antara teman golongan masingmasing
    sehingga tidak jarang pula terjadi bentrokan-bentrokan yang mengakibatkan luka-luka dan
    kematian. Akan tetapi hal yang amat mengherankan dan mengagumkan adalah, pihak yang melakukan
    bentrokan selalu mengganti kerugian pemilik restoran atau rakyat yang menderita rugi akibat bentrokanbentrokan
    itu.
    Hal ini adalah karena masing-masing golongan bukan hanya saling bermusuhan, akan tetapi juga
    berlomba untuk merebut hati rakyat yang amat diperlukan dukungannya. Karena itulah maka pemilik
    restoran-restoran tidak khawatir akan terjadinya bentrokan-bentrokan, bahkan sebagai pedagangpedagang
    cerdik, setiap terjadi bentrokan yang merusakkan perabot restoran, mereka berkesempatan
    menarik keuntungan dengan menaikkan jumlah penafsiran ganti rugi! Juga para pembesar setempat selalu
    bersikap bijaksana, tidak mencampuri bentrokan-bentrokan itu karena sekali mereka ini mencampuri dan
    berat sebelah, berarti mereka akan menanam permusuhan!
    Pada suatu pagi, restoran itu sudah hampir penuh oleh tamu yang datang berbelanja. Seorang pemuda
    tampan yang gagah sekali sikapnya, dan pakaiannya indah dengan pedang bergantung di punggung
    memasuki restoran. Pelayan menyambutnya dengan ramah dan mempersilakan duduk di meja sudut
    sebelah dalam yang kosong. Pemuda ini bukan lain adalah Suma Hoat.
    Semenjak meninggalkan gadis yang kemudian membunuh diri dua hari yang lalu, dia belum bertemu
    dengan wanita yang menggerakkan birahinya sehingga hatinya menjadi kesal. Ia memasuki kota Lo-kiu
    juga dengan niat mencari calon korbannya, akan tetapi wanita di daerah ini tidak ada yang menarik hatinya.
    Ia menanggalkan pedang dan buntalan pakaiannya, meletakkan di atas meja dan memesan makanan dan
    minuman. Setelah pelayan pergi untuk melayani pesanannya, pemuda ini menyapu ruangan restoran
    dengan pandang matanya. Tamu yang memenuhi tempat itu terdiri dari bermacam-macam golongan, dan
    ramailah mereka itu bercakap-cakap dengan teman masing-masing yang duduk semeja. Tidak ada yang
    menarik perhatian Suma Hoat, karena mereka itu terdiri dari pedagang-pedagang dan pelancongpelancong.
    Melihat betapa para pedagang dan pelancong memenuhi restoran sambil bercakap-cakap dan
    bersendau-gurau, keadaan nampaknya tenang tenteram dan damai.
    Akan tetapi ketika seorang tamu baru memasuki restoran, perhatian Suma Hoat segera tertarik sekali.
    Orang ini adalah seorang laki-laki yang usianya sebaya dengannya, paling tinggi dua puluh lima tahun
    usianya. Pakaiannya sederhana sekali, bahkan yang amat mencolok adalah kakinya yang tidak bersepatu,
    telanjang sama sekali!
    Laki-laki ini memanggul sebuah tongkat dan ujung tongkat tampak sebuah buntalan kain kuning yang
    agaknya berisi pakaian. Wajah laki-laki ini kurus seperti tubuhnya, dan tidak ada keanehan menonjol pada
    dirinya, kecuali kaki telanjang itu dan sinar matanya yang tajam, serta senyumnya yang seolah-olah
    mengejek pada keadaan di sekitarnya. Rambutnya diikat ke atas dan dia lebih mirip seorang tosu perantau,
    hanya pakaiannya tidak seperti pendeta To-kauw (Agama To), melainkan seperti seorang petani yang
    bangkrut!
    Tidaklah mengherankan apa bila pelayan restoran menyambut tamu istimewa ini dengan alis berkerut, hati
    curiga dan pandang mata pelayan itu naik turun melalui pakaian sederhana dan kaki telanjang.
    Laki-laki itu mengikuti pandang mata Si Pelayan lalu berkata, “Bung Pelayan, engkau tidak melayani
    pakaian dan sepatu, bukan? Yang kau layani bukan pula orangnya, melainkan uangnya, bukan? Nah, aku
    mempunyai uang itu, maka jangan ragu-ragu melayani uangku!” Setelah berkata demikian, laki-laki itu
    menepuk-nepuk bungkusan di ujung tongkatnya dan terdengarlah suara berkerincingnya perak.
    Pelayan itu cepat membungkuk dan mempersilakan tamu aneh itu duduk tidak jauh dari meja Suma Hoat.
    Ketika melewati meja ini, laki-laki tadi melirik ke arah pedang yang terletak di meja Suma Hoat, mengerling
    tajam ke arah Suma Hoat, lalu tersenyum dan membungkuk. Akan tetapi betapa pun tertarik hatinya, Suma
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Hoat pura-pura tidak melihatnya. Di dalam hatinya ia merasa geli dan menganggap betapa tepatnya
    ucapan orang aneh itu.
    Memang tidak dapat disangkal betapa palsu sikap manusia yang matanya sudah tertutup oleh bayangan
    perak dan emas, silau oleh harta dunia sehingga setiap gerakan mereka merupakan pengabdian terhadap
    harta dunia!
    Orang menilai orang lain bukan dari orangnya, melainkan dari pakaian, kekayaan, dan kedudukannya,
    pendeknya yang dinilai adalah hal-hal yang sekiranya dapat mendatangkan kesenangan dan keuntungan
    bagi yang menilai! Buktinya tersebar di mana-mana.
    Datanglah ke rumah seseorang dengan pakaian butut dan nama tak terkenal, maka engkau akan disambut
    dengan penuh curiga, pandang rendah dan penghinaan karena Si Tuan Rumah menganggap bahwa
    engkau hanya akan mendatangkan kerugian dan ketidak-senangan belaka. Sebaliknya, kalau engkau
    datang dengan pakaian serba indah, dengan kekayaan berlimpah, dengan kereta mewah dan dengan
    nama besar serta kedudukan, tentu engkau akan disambut dengan terbongkok-bongkok dan tersenyumsenyum
    karena engkau dianggap akan mendatangkan keuntungan atau kesenangan! Hal ini tak mungkin
    dapat dibantah lagi karena memang kenyataannya demikianlah.
    Maka biar pun sikapnya tak acuh, diam-diam Suma Hoat memperhatikan laki-laki itu dan menduga bahwa
    orang itu tentulah bukan orang sembarangan, sungguh pun tak tampak sebatang pun senjata pada dirinya.
    Timbul kegembiraannya karena ada sesuatu yang menarik hatinya dan di dalam hatinya timbul pula
    keyakinan bahwa munculnya seorang tokoh luar biasa seperti ini tentu akan disusul dengan peristiwa yang
    menarik. Akan tetapi ia meragu. Jangan-jangan orang yang masih muda ini hanya berlagak saja, karena
    pada waktu itu memang tidak jarang orang berlagak dengan pakaian dan sikap yang aneh-aneh agar
    dianggap orang aneh, atau setidaknya agar dianggap bahwa dia adalah lain dari pada yang lain!
    Si Pelayan yang sudah biasa melayani orang-orang kang-ouw, kalau tadinya menganggap laki-laki itu
    sebangsa pengemis yang merugikan, kini dapat menduga pula bahwa orang aneh itu tentulah seorang
    kang-ouw, maka ia bertanya dengan sikap hormat. “Sicu hendak memesan apakah?”
    Akah tetapi orang itu tidak menjawab, hanya memandang ke arah pintu depan. Si Pelayan menoleh ke
    arah pintu dan tiba-tiba mukanya berubah, senyumnya melebar dan serta-merta ia meninggalkan orang itu
    dan lari terbungkuk-bungkuk menyambut datangnya serombongan tamu yang tiba. Melihat ini Suma Hoat
    memandang pula dan diam-diam ia menaruh perhatian karena dapat menduga dari langkah-langkah kaki
    dan sikap lima orang itu bahwa mereka adalah orang-orang penting dan orang-orang yang memiliki ilmu
    kepandaian tinggi.
    Mereka itu terdiri dari dua orang yang pakaiannya seperti perwira tinggi, dua orang pula berpakaian
    sebagai orang-orang kang-ouw dengan pedang di punggung, dan seorang lagi adalah hwesio berkepala
    gundul dan berpakaian serba kuning. Pada waktu sekacau itu, melihat seorang pendeta hwesio memasuki
    restoran bukan merupakan penglihatan aneh. Lima orang itu memasuki ruangan sambil bercakap-cakap
    dan tertawa-tawa.
    Si Pelayan yang menyambut segera berkata, “Selamat datang, Ngo-wi (Tuan Berlima) yang terhormat!
    Pesanan ciangkun kemarin telah kami sediakan. Silakan, di sanalah tempat terhormat Ngo-wi!”
    Pelayan itu dengan bantuan beberapa orang temannya lalu mengatur meja, tiga meja disatukan di tengah
    ruangan itu, di depan meja Suma Hoat dan orang bertelanjang kaki. Dengan sikap angkuh lima orang itu
    menarik kursi dan duduk mengelilingi meja, dua orang perwira membelakangi Suma Hoat dan Si Tosu
    membelakangi meja laki-laki berkaki telanjang.
    Suma Hoat mulai makan, akan tetapi diam-diam ia memperhatikan lima orang itu, dan juga memperhatikan
    Si Kaki Telanjang yang masih belum memesan makanan karena ditinggalkan pelayan yang kini sibuk
    melayani lima orang itu. Karena lima orang itu menanti pesanan makanan mereka yang amat banyak
    sambil bercakap-cakap perlahan, Suma Hoat sambil makan memasang telinga dan menangkap
    percakapan mereka.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    “Sungguh menjemukan sekali keledai-keledai gundul itu!” kata seorang perwira yang bertubuh tinggi besar.
    “Akan tetapi, mulai malam nanti mereka tidak akan dapat tinggal diam lagi!” kata perwira kurus sambil
    tertawa.
    “Kabarnya mereka lihai,” kata orang yang berpakaian tokoh kang-ouw, bajunya berwarna biru.
    “Aahh, yang lihai hanya ketuanya, dan pinto sanggup melawannya,” kata Si Tosu dengan suara rendah.
    “Pinto akan memperkenalkan diri sebagai tokoh Hoasan...”
    “Sstt, harap Totiang hati-hati,” perwira gemuk mencela dan menoleh ke kanan kiri.
    “Takut apa?” Tosu itu berseru dan melirik ke arah Suma Hoat yang masih makan dan berpura-pura tidak
    mendengar. “Semua sudah diatur baik.”
    “Memang Hoa-totiang benar. Kalau pusat perkumpulan mereka mendengar bahwa cabang mereka
    terbasmi oleh perwira Sung dan tokoh Hoa-san, hendak kulihat apakah ketua pusatnya akan tetap dingin
    saja,” kata pula perwira kurus.
    Percakapan mereka terhenti karena munculnya empat orang pelayan yang membawa hidangan yang
    mereka pesan. Banyak benar hidangan itu dan mereka sudah mempersiapkan sumpit ketika mereka
    dikejutkan oleh suara orang menggebrak meja sambil berseru,
    “He, Bung Pelayan yang tidak adil! Aku sudah datang lebih dulu dan pesan lebih dulu, mengapa orangorang
    lain yang datang belakangan dilayani lebih dulu? Sungguh menjemukan!”
    “Sicu, harap bersabar...!” Pelayan membujuk dengan wajah ketakutan, bukan takut terhadap Si Kaki
    Telanjang, melainkan takut kepada rombongan lima orang itu karena ia membungkuk-bungkuk kepada dua
    orang perwira sambil menggumam, “Ciangkun, maafkan...!”
    Melihat ini Suma Hoat menjadi panas perutnya dan ia pun berkata, “Pelayan, tugasmu melayani tamu yang
    sama-sama membayar tanpa pilih kedudukan dan pilih kasih!”
    Pelayan itu makin ketakutan dan empat orang pelayan mundur-mundur ketika melihat betapa lima orang itu
    pelototkan mata mereka. Si Perwira kurus memencet hidungnya dan berkata, “Wah-wah, banyak sekali
    lalat di sini! Membikin orang kurang bernafsu makan saja! Biar kubasmi lalat-lalat ini!” katanya dan
    menyambar kain lap dari pundak seorang pelayan. Kain itu ia gerakkan ke atas, ke kanan kiri dan...
    belasan ekor lalat yang memang banyak terdapat di situ terkena sambaran angin pukulan, runtuh semua
    ke atas meja Si Kaki Telanjang!
    Si Kaki Telanjang melihat bangkai belasan ekor lalat di atas mejanya, dan terdengarlah suara ketawa lima
    orang itu terbahak-bahak, “Ha-ha-ha!” Si Perwira Kurus yang memperlihatkan kepandaiannya itu tertawa.
    “Kalau sudah amat kelaparan, lalat pun merupakan hidangan yang lumayan!”
    “Ha-ha-ha-ha!” Lima orang itu bertawa lagi, yang paling keras ketawanya adalah Si Perwira Kurus karena
    ia sengaja hendak menghina Si Kaki telanjang. Perwira kurus ini lalu menoleh dan mengerling ke arah Si
    Kaki Telanjang, masih sambil tertawa.
    “Ha-ha-ha-hauuup...!” tiba-tiba Si Perwira kurus menghentikan ketawanya.
    Matanya mendelik, ia terbatuk-batuk dan berusaha mengeluarkan tiga ekor lalat yang menyambar masuk
    mulutnya yang tadi tertawa dan kini bersarang ke tenggorokannya.
    “Haaak-agghh... haaakk-huaaakkk!”
    “Eh, kau kenapa?” temannya, Si Perwira Gemuk bertanya. Juga tiga orang lainnya memandang heran,
    menghentikan ketawa mereka.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    “Ughh-ughh... lalat... masuk mulut..., si bedebah!” Perwira kurus itu terbatuk-batuk dan empat orang
    temannya tertawa-tawa geli, akan tetapi mereka itu menjadi terheran-heran juga mengapa ada lalat bisa
    masuk ke mulut teman mereka.
    “Tiga ekor... ihh, huakk..., si keparat!” Perwira itu menyumpah-nyumpah dan terpaksa menelan tiga ekor
    lalat itu karena tidak berhasil mengeluarkannya. Empat orang temannya makin terheran.
    Suma Hoat memandang dengan kagum. Ia melihat tadi betapa Si Kaki Telanjang itu menggunakan telunjuk
    kirinya menyentil tiga ekor bangkai lalat dari atas mejanya dan menerbangkan bangkai tiga ekor lalat itu
    memasuki mulut Si Perwira Kurus. Dia ikut merasa gembira dan tak dapat menahan ketawanya.
    “Ha-ha-ha, bagi yang kelaparan memang tiga ekor bangkai lalat juga merupakan hidangan lumayan!”
    Lima orang itu semua menengok kepada Suma Hoat, dan Si Perwira Gemuk lalu minum araknya setelah
    berkata, “Menangkap lalat banyak caranya, aku suka dengan cara ini!”
    Setelah minum arak semulut penuh, ia lalu menyemburkan arak dari mulutnya ke arah lalat-lalat yang
    beterbangan. Belasan ekor lalat disambar percikan arak, dan berikut percikan araknya, bangkai-bangkai
    lalat itu menyambar ke arah Suma Hoat! Ini pun merupakan demonstrasi kepandaian yang tidak rendah
    karena seperti halnya Si Perwira Kurus tadi, Si Gemuk itu pun menyembur dengan pengerahan tenaga
    sinkang yang kuat.
    Dengan tenang Suma Hoat melambaikan tangan kirinya dan percikan arak bersama bangkai-bangkai lalat
    itu terputar-putar kemudian ia mengangkat mangkok kuah dan semua percikan arak berikut bangkai lalat
    masuk ke dalam mangkok itu, semua masuk dengan tepat seolah-olah dituangkan ke situ.
    Suma Hoat memandang kepada Si Gemuk dan berkata, “Kalau orang gemar kuah daging lalat, silakan
    minum!” Maka terbanglah mangkok dan kuah itu ke arah Si Perwira Gemuk.
    ”Setan...!” Si Perwira berseru dan mengelak dengan jalan melempar tubuh ke belakang, akan tetapi
    mangkok itu melayang dari atas dan mengguyur kepalanya sehingga kepalanya dan mukanya tersiram
    kuah dan bangkai-bangkai lalat. Biar pun ia gelagapan dan mukanya terasa perih, tangan perwira gemuk
    itu masih berhasil menangkap mangkok dan sekali remas mangkok itu hancur berkeping-keping!
    “Ha-ha-ha! Hebat! Hebat! Ada yang suka mengganyang lalat mentah-mentah, ada pula yang suka mandi
    kuah lalat, ha-ha-ha!” Kini Si Kaki Telanjang yang berjingkrak dan bertepuk tangan. Diam-diam ia kagum
    sekali menyaksikan kepandaian pemuda pesolek tampan yang tadi sudah menarik perhatiannya itu.
    “Makanlah!” Si Perwira Kurus menyambar dua buah mangkok sayurnya yang belum dimakan sesendok
    pun, dilemparkan ke arah Si Kaki Telanjang.
    Akan tetapi orang aneh ini menerima dua buah mangkok itu dengan kedua tangannya, tangkas sekali
    gerakannya sehingga ketika ia meletakkan dua buah mangkok itu, tidak ada setetes pun kuahnya tumpah.
    “Ha-ha-ha, lagi! Lagi...!” katanya gembira.
    Dua orang kang-ouw yang melihat ini menjadi penasaran, mereka pun menyambar mangkok-mangkok
    masakan dan melemparkan ke arah Si Kaki Telanjang. Cepat sekali sambaran mangkok-mangkok itu,
    namun Si Kaki Telanjang lebih cepat lagi menerima mangkok-mangkok itu seperti seorang pemain akrobat
    yang mahir dan susulan mangkok-mangkok berikutnya diterima semua sampai semua hidangan dari atas
    meja lima orang itu kini pindah ke mejanya.
    “Singggg...!” tiba-tiba tampak sinar berkelebat, sinar putih yang menyambar cepat bukan main ke arah Si
    Kaki Telanjang.
    Melihat ini Suma Hoat terkejut. Yang melempar itu adalah Si Tosu dan yang dilemparkan adalah sebuah
    piring sehingga ‘senjata rahasia’ itu menyambar cepat bukan main, padahal saat itu Si Kaki Telanjang
    sedang sibuk menerima sambaran mangkok-mangkok terakhir.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    “Ke sini...!” Suma Hoat membentak, tangannya diulur ke depan dengan pengerahan sinkang-nya yang kuat
    dan... piring yang berubah menjadi sinar putih itu seperti bernyawa, berputaran dan melayang ke arah
    tangan Suma Hoat yang menerimanya dan dengan tenang meletakkannya ke atas meja.
    Lima orang itu terkejut bukan main. Tak mereka sangka bahwa di dalam restoran itu terdapat dua orang
    yang demikian lihai. Mereka tahu diri, bahkan Si Tosu yang memiliki kepandaian tertinggi di antara mereka
    cepat bangkit berdiri dan menjura dengan hormat.
    ”Maafkan pinto dan teman-teman yang tidak melihat dua buah Gunung Thai-san menjulang tinggi di depan
    mata.” Ucapan ini biasa dilakukan oleh orang-orang kang-ouw yang mengakui keunggulan orang pandai.
    Empat orang temannya juga sudah bangkit berdiri dan menjura. Akan tetapi Suma Hoat dan Si Kaki
    Telanjang itu sama sekali tidak berdiri, tetap duduk dengan tenang.
    “Mohon tanya, Ji-wi-enghiong dari aliran manakah?” tiba-tiba Si Kurus, perwira yang tadi mengganyang
    tiga ekor lalat bertanya.
    “Aku bukan dari aliran apa pun juga dan tidak mempunyai urusan dengan siapa pun juga,” kata Suma Hoat
    acuh.
    “Heh-heh, dan aku pun hanya seorang perantau yang tidak mempunyai sandaran, seorang manusia biasa
    biar pun bukan tergolong lalat hijau,” kata Si Kaki Telanjang sambil tertawa.
    “Kalau begitu, sekali lagi maaf,” kata Si Perwira Kurus. “Karena belum mengenal, kami telah bersikap
    lancang dan harap Ji-wi tidak mencampuri urusan kami.”
    “Ha-ha-ha, sahabat yang baik, engkau terlalu merendah. Setelah menjamu kami dengan hidanganhidangan
    yang begitu komplit, siapa bilang bahwa kalian belum mengenal kami? Terima kasih, ya?”
    Perwira Gemuk yang kini bersikap hormat dan berhati-hati, menjura ke arah Si Kaki Telanjang sambil
    berkata, “Hidangan kami hanya sekedarnya, harap Jiwi-enghiong suka menerimanya dengan senang hati.
    Kami mohon diri!” Lima orang itu lalu menjura dan membalikkan tubuh hendak meninggalkan restoran itu.
    “Eh, eh, sahabat-sahabat baik, nanti dulu!” Si Kaki Telanjang bangkit berdiri dan menggapai. “Harap jangan
    mempermainkan aku orang miskin, dan jangan akal-akalan, ya? Hidangan ini belum dibayar, kalau kalian
    pergi tanpa membayar, tentu aku yang ditagih, bisa repot aku membayarnya!”
    “Sahabat, biarlah aku yang membayarnya!” Suma Hoat berkata, menganggap Si Kaki Telanjang itu
    keterlaluan sekali.
    “Tidak, mereka memberi hadiah, kenapa harus kita bayar sendiri?” Si Kaki Telanjang berkata membantah.
    Perwira gemuk merogoh kantung bajunya dan menggapai pelayan yang datang membungkuk-bungkuk, “Ini
    bayaran hidangan!” kata Si Perwira mengeluarkan beberapa buah uang perak dan memberikan kepada Si
    Pelayan.
    Si Pelayan menerima dan matanya terbelalak. Uang itu terlampau banyak, akan tetapi dia bergidik ketika
    menerimanya. Perwira itu tidak peduli dan pergilah dia bersama empat temannya meninggalkan restoran.
    “Heii! Kenapa kau bengong? Apakah bayarannya kurang?” Si Kaki Telanjang menegur pelayan. “Kalau
    kurang bilang saja, mereka harus menambahnya!”
    ”Tidak..., tidak kurang malah lebih..., akan tetapi...” Pelayan itu memperlihatkan perak yang berada di
    telapak tangannya dan ternyata bahwa potongan-potongan uang perak itu kini telah menjadi satu seperti
    dijepit jepitan baja yang amat kuat!
    Si Kaki Telanjang tertawa, “Bagus, kalau lebih, berikan kelebihannya untuk menambah arak!”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Pelayan ini pergi tanpa berani membantah. Kalau lima orang itu saja bersikap mengalah dan gentar
    terhadap dua orang aneh ini, apa lagi dia!
    “Mari, sahabat yang tampan. Kita makan bersama!”
    Suma Hoat menjawab, “Makanlah sendiri. Aku tidak rakus!”
    Si Kaki Telanjang terbelalak, kemudian bangkit berdiri dan membungkuk. “Aihh... dasar aku si tukang
    rakus! Perkenalkan, aku tidak mempunyai nama, akan tetapi orang-orang sinting di dunia ini menyebutku
    Im-yang Seng-cu.”
    Suma Hoat terkejut. Dia sudah mendengar nama besar orang aneh ini dan sama sekali tidak pernah
    disangkanya bahwa orangnya masih begitu muda, namun namanya sudah menggemparkan dunia
    persilatan. Menurut kabar yang ia peroleh, Im-yang Seng-cu adalah seorang tokoh Hoa-san-pai yang
    dianggap ‘murtad’, menjadi seorang perantau yang ilmunya tinggi. Wataknya aneh dan gila-gilaan, akan
    tetapi selalu menindas kejahatan. Ia pun menjura dan berkata, “Aku pun tidak mempunyai nama, dan
    orang-orang suci di dunia ini menyebutku Jai-hwa-sian!”
    “Haiii!” Im-yang Seng-cu meloncat bangun, kemudian menggeleng-geleng kepala dan menggoyanggoyangkan
    tangannya, “Jangan berkelakar, kawan. Orang seperti engkau ini tidak patut disebut Jai-hwasian!”
    “Akan tetapi memang benar akulah Jai-hwa-sian, dan kalau engkau merasa terlalu suci untuk berdekatan
    dengan....”
    “Wah-wah, stop! Biar engkau Jai-hwa-sian atau Jai-hwa-kwi (setan) aku tidak peduli. Yang penting kita
    berdua hari ini bertemu secara kebetulan dan menyenangkan sekali. Kupersilakan engkau sudi
    menemaniku. Makanan di mejamu tentu sudah kotor kena percikan arak bau dari mulut orang tadi!”
    Suma Hoat memang tertarik sekali untuk berkenalan dengan orang aneh yang telah ia lihat sendiri
    kelihaiannya tadi, maka ia lalu bangkit berdiri dan pindah duduk, menghadapi meja Si Kaki Telanjang.
    Mereka lalu makan minum, dan karena Im-yang Seng-cu makan dengan lahapnya tanpa bicara, Suma
    Hoat juga makan tanpa berkata sesuatu.
    “Benarkah engkau Jai-hwa-sian?” tiba-tiba Im-yang Seng-cu bertanya.
    “Kalau benar mengapa?” Suma Hoat balas bertanya.
    Im-yang Seng-cu tertawa. “Engkau jantan sejati. Akan tetapi aku masih tak bisa percaya. Akan tetapi aku
    tidak bisa percaya bahwa engkau adalah Jai-hwa-sian yang tersohor itu.”
    “Kalau engkau ragu-ragu, aku pun meragukan apakah benar engkau ini Im-yang Seng-cu yang terkenal.”
    “Ha-ha-ha! Bagus, bagus! Apakah artinya nama julukan? Yang penting kecocokan hati, dan aku cocok
    sekali denganmu. Biarlah kita saling menutup mata terhadap nama. Eh, sahabat, bagaimana pendapatmu
    tentang lima orang tadi?”
    “Mereka lihai, akan tetapi sombong.”
    Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk. “Mereka merupakan lawan-lawan tangguh, terutama si tosu bau
    yang hendak menodai nama Hoa-san-pai tadi. Dan Si Gemuk yang mencengkeram uang perak
    membuktikan bahwa sinkang-nya tinggi. Eh, apa yang hendak kau lakukan terhadap rencana mereka?”
    “Rencana yang mana? Tentang niat mereka menyerbu kelenteng? Aku tidak mengerti dan tidak peduli,”
    jawab Suma Hoat.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    “Aihhh! Engkau sudah tahu mereka akan menyerbu kelenteng dan membasmi hwesio-hwesio di sana dan
    masih tidak peduli? Dengar baik-baik, yang hendak mereka serbu adalah kelenteng cabang Siauw-lim-pai,
    dan mereka itu hendak membakar hati tokoh-tokoh Siauw-lim-pai, terutama Ketua Siauw-lim-pai, Kian Ti
    Hosiang!”
    Biar pun Im-yang Seng-cu bicara penuh gairah dan semangat, Suma Hoat mendengarkan dengan sikap
    dingin dan melanjutkan menyumpit dan makan potongan daging.
    “Tidak ada sangkut-pautnya dengan aku,” jawabnya.
    “Apa?” Im-yang Seng-cu membelalakkan matanya. “Jai-hwa-sian, kalau benar kau Jai-hwa-sian, salahkan
    pendengaranku selama ini bahwa di samping... eh... kebiasaanmu yang tidak terpuji, engkau adalah
    seorang pendekar yang selalu siap mengulurkan tangan menentang kejahatan?”
    Mendengar ini Suma Hoat menunda sumpitnya dan memandang tajam. “Im-yang Seng-cu, tentang
    kebiasaanku, itu adalah urusan pribadi. Dan tentang sifat pendekar, aku bukan seorang pendekar, akan
    tetapi aku bukan pula seorang yang suka mencampuri urusan permusuhan orang lain, sedangkan aku
    belum tahu siapa salah dan siapa yang benar.”
    Im-yang Seng-cu menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aih-aihh..., sampai begitu jauhkah engkau mengerti
    tentang keadaan di dunia kang-ouw dan kerajaan?”
    “Aku tidak ada urusan dengan kerajaan dan dunia kang-ouw.”
    “Kalau begitu, engkau perlu mengerti. Dengarlah baik-baik....”
    Im-yang Seng-cu lalu menceritakan pendirian Siauw-lim-pai tentang pertentangan-pertentangan yang
    timbul antara Kerajaan Sung dan banyak pembesar-pembesar daerah yang hendak berdiri sendiri.
    Kemudian ia menambahkan, “Nah, siapakah yang tidak kagum akan kebijaksanaan Kian Ti Hosiang, Ketua
    Siauw-lim-pai yang sakti itu? Akan tetapi sekarang, lima orang cecunguk tadi hendak merusak
    pendiriannya yang bijaksana itu. Si Tosu hendak menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai membunuh ketua
    cabang Siauw-lim-si, hal ini berarti mereka hendak mengadu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai.
    Kemudian dua orang perwira tadi hendak menyamar sebagai perwira-perwira Sung, ini berarti orang-orang
    ini hendak melawan Kerajaan Sung dan membantu para pemberontak! Tidak kasihankah engkau kepada
    pendeta-pendeta Siauw-lim-pai yang tidak berdosa dan tidak sayangnya engkau kalau melihat pendirian
    yang bijaksana itu menjadi berantakan?”
    Suma Hoat tertarik sekali. Dia sudah mendengar bahwa di antara para tokoh besar, kedudukan Ketua
    Siauw-lim-pai, Kian Ti Hosiang, amatlah tinggi dan kesaktiannya dapat disejajarkan dengan paman tuanya,
    Menteri Kam Liong. Dia sudah mendengar pula bahwa Menteri Kam telah tewas dikeroyok pasukan
    kerajaan di bawah pimpinan ayahnya sendiri, hal yang amat menyesalkan hatinya.
    “Im-yang Seng-cu, bagaimana engkau bisa tahu bahwa mereka tadi hendak membasmi para hwesio
    kelenteng Siauw-lim-si ?”
    Yang ditanya tertawa, “Biar pun dalam hal ilmu kepandaian aku masih kalah jauh dibandingkan denganmu,
    akan tetapi agaknya tentang dunia kang-ouw aku lebih tahu. Mereka bicara tentang keledai-keledai gundul
    yang berarti hwesio, dan di kota Lo-kiu ini satu-satunya kelenteng yang memiliki hwesio-hwesio lihai
    hanyalah kelenteng Siauw-lim-si di sebelah barat kota. Dan percakapan mereka tadi cocok dengan
    keadaan pada waktu ini. Sudahlah, kalau memang engkau tidak memiliki kegagahan biar aku sendiri yang
    akan membela para hwesio Siauw-lim-pai!”
    Suma Hoat tersenyum dingin. “Silakan!”
    Im-yang Seng-cu menenggak araknya, lalu bangkit berdiri dengan sikap marah. “Sebaiknya mulai saat ini,
    julukanmu dirubah menjadi Jai-hwa-kwi (Setan Pemetik Bunga) saja! Selamat tinggal!”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Im-yang Seng-cu lalu meninggalkan Suma Hoat dan pergi dengan cepat, memanggul tongkat dan buntalan
    pakaiannya. Tak lama kemudian, Suma Hoat juga meninggalkan restoran itu setelah membayar makanan
    yang dipesannya tadi.
    Im-yang Seng-cu maklum bahwa seorang diri saja dia akan kurang kuat untuk menghadapi lima orang lihai
    yang hendak menyerang Siauw-lim-si, maka ia langsung pergi ke kuil itu yang berada di sebelah barat, di
    ujung kota.
    “Saya mohon bertemu dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini,” katanya kepada penjaga kuil.
    Penjaga kuil itu, seorang hwesio muda, memandang Im-yang Seng-cu penuh kecurigaan dan menjawab,
    “Suhu sedang bersemedhi, tidak boleh diganggu. Kalau Sicu hendak bersembahyang, siauwceng dapat
    melayani Sicu.”
    Im-yang Seng-cu menjadi tidak sabar menyaksikan pandang mata hwesio muda itu mengandung
    kecurigaan, maka katanya keras, “Aku mempunyai urusan penting sekali dengan Gin Sim Hwesio, urusan
    yang menyangkut persoalan jatuh bangunnya Siauw-lim-si ini, dan juga termasuk urusan mati hidupmu.
    Harap jangan banyak curiga dan lekas minta Gin Sim Hwesio keluar menemuiku!”
    Alis hwesio itu berkerut. Tamu ini biar pun aneh dan tidak bersepatu, usianya hanya sebaya dengan dia,
    mengapa sikapnya begini angkuh?
    “Maaf Sicu,” jawabnya dengan sikap yang sopan namun keras. “Urusan jatuh bangunnya Siauw-lim-si
    adalah tanggung jawab kami sendiri, ada pun urusan mati hidup siauwceng adalah urusan Tuhan. Sicu
    tidak ada hubungannya dengan itu. Kami di sini selalu mengutamakan hidup suci dan damai, dan hanya
    melayani orang-orang yang ingin menikmati sinar kasih Sang Buddha dan bersembahyang.”
    Bukan main jengkelnya hati Im-yang Seng-cu melihat kekerasan hati hwesio muda itu. Diam-diam ia
    memaki diri sendiri yang suka mencampuri urusan orang. Apakah dia keliru dan Jai-hwa-sian yang benar?
    Dia penasaran dan berkata lagi, “Engkau sungguh terlalu curiga dan keras kepala! Katakanlah kepada
    suhumu bahwa aku Im-yang Seng-cu mohon bertemu!”
    Sepasang mata hwesio itu terbelalak. Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai bukanlah pendeta-pendeta
    sembarangan. Telinga serta mata mereka tajam, pengertian mereka tentang dunia kang-ouw luas karena
    hwesio-hwesio Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sehingga terkenal
    di dunia kang-ouw.
    Sambil menjura hwesio itu berkata, “Omitohud... kiranya orang gagah Im-yang Seng-cu yang datang?
    Maafkan Sicu, Siauwceng rasa bahwa Siauw-lim-pai tidak mempunyai urusan apa-apa dengan Hoa-sanpai.”
    “Aku tidak datang sebagai utusan Hoa-san-pai, melainkan karena maksud pribadi, dan yang hendak
    kubicarakan adalah hal penting yang menyangkut keselamatan Siauw-lim-pai, bukan hanya mengenai kuil
    ini, melainkan mengenai Siauw-lim-pai seluruhnya. Lekas kau beritahukan kepada suhumu sebelum
    terlambat.”
    Tiba-tiba dari sebelah dalam terdengar suara halus, “Siapakah yang ingin berjumpa dengan pinceng?”
    Im-yang Seng-cu memandang. Yang bicara itu adalah seorang hwesio tinggi kurus yang usianya sudah
    empat puluh tahun lebih, bersikap gagah dan tangan kirinya membawa seuntai tasbeh. Ia cepat menjura
    dan bertanya. “Apakah aku berhadapan dengan Gin Sim Hwesio yang mengepalai kuil ini?”
    “Benar, Sicu,” Hwesio itu berkata dan balas menjura dengan hormat.
    “Aku adalah Im-yang Seng-cu. Ada urusan penting mengenai kuil ini yang hendak kusampaikan kepada
    Losuhu.”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    “Omitohud... ! Pinceng merasa menerima kehormatan besar sekali dengan kunjungan seorang pendekar
    kang-ouw yang ternama seperti Sicu. Silakan masuk dan mari kita bicara di ruangan dalam.”
    Setelah mereka memasuki ruangan dalam yang sederhana namun bersih sekali dan duduk berhadapan,
    Im-yang Seng-cu lalu berkata, wajahnya serius, “Gin Sim Hwesio, Siauw-lim-pai terancam bahaya besar.
    Malam nanti kuil ini akan diserbu, semua penghuninya akan dibunuh dan mungkin kuilnya akan dibakar!”
    Hwesio tinggi kurus itu menerima berita ini dengan sikap tenang-tenang saja sungguh pun sinar keheranan
    dan tidak percaya terpancar dari kedua matanya. “Omitohud! Sungguh luar biasa sekali berita yang Sicu
    bawa ini. Siapakah yang begitu gatal tangan hendak melakukan hal-hal hebat itu? Kami selamanya tidak
    bermusuhan dengan siapa juga, kami bersahabat dengan semua golongan...”
    “Aku mengerti Losuhu!” Im-yang Seng-cu memotong tak sabar. “Aku tahu sikap bijaksana yang menjadi
    pegangan Siauw-lim-pai, dan aku kagum serta menghargai sikap yang diambil oleh ketua kalian, Kian Ti
    Hosiang-locianpwe yang terhormat. Akan tetapi, justeru sikap diam tidak mencampuri dan tidak memusuhi
    siapa-siapa itulah yang menjadi sebab ancaman yang akan dilakukan orang malam nanti.”
    Mulailah hwesio itu tertarik. “Siapakah yang akan melakukan hal yang keji itu, Sicu? Dan kenapa?”
    “Aku tidak tahu mereka itu siapa, akan tetapi yang jelas, mereka itu akan menyerbu dan membasmi kuil ini
    dengan menyamar sebagai tokoh Hoa-san-pai dan perwira-perwira Kerajaan Sung.” Dengan singkat
    namun jelas Im-yang Seng-cu lalu menceritakan tentang lima orang yang ia lihat dan dengar percakapan
    mereka di dalam restoran pagi hari itu.
    Gin Sim Hwesio adalah murid Siauw-lim-pai yang lebih condong dengan sikap suheng-nya di pusat, yaitu
    Ceng San Hwesio yang bersikap keras terhadap orang-orang yang memusuhi Siauw-lim-pai, tidak seperti
    sikap Kian Ti Hosiang. Mendengar penuturan Im-yang Seng-cu, ia mengerutkan alisnya kemudian bangkit
    berdiri dan menjura kepada tamunya.
    “Banyak terima kasih akan peringatan Sicu. Pinceng tidak percaya bahwa ada orang-orang yang berniat
    begitu jahat terhadap kuil ini, dan andai kata benar demikian, pinceng dan murid-murid akan sanggup
    menghadapi mereka. Selamat jalan, Sicu.”
    Im-yang Seng-cu membelalakkan mata, “Losuhu, aku akan membantumu!”
    “Tidak baik kalau pihak luar mencampuri. Kami sanggup membela diri dan kami tidak ingin menarik orang
    luar sehingga permusuhan akan berlarut-larut. Selamat jalan, Sicu!”
    Im-yang Seng-cu hampir tidak dapat percaya. Dia diusir halus-halusan! Dengan hati mengkal Im-yang
    Seng-cu bangkit berdiri, menampar kepalanya sendiri dan mengomel, “Dasar si bodoh yang ingin
    mencampuri urusan orang-orang besar! Benar sekali pandangan Si Jai-hwa-sian! Selamat tinggal, Losuhu!”
    Ia membalikkan tubuhnya hendak pergi.
    “Tunggu dulu, Sicu. Hendaknya jangan salah paham. Pinceng berterima kasih sekali, akan tetapi kalau
    pinceng menerima bantuan Sicu, bukankah hal ini berarti pinceng perluas permusuhan dengan orangorang
    yang belum kita ketahui dari golongan mana datangnya? Pinceng kira, kalau pinceng sudah
    berhadapan dengan mereka, pinceng dapat membujuk mereka agar tidak melanjutkan niat jahat mereka
    sehingga perdamaian dapat dijaga dan dipertahankan.”
    Akan tetapi, Im-yang Seng-cu mendengus marah dan pergi meninggalkan kuil itu. Namun hatinya
    penasaran. Jiwa kependekarannya mengalahkan rasa jengkelnya dan biar pun penawarannya untuk
    membantu ditolak mentah-mentah, dia masih tetap ingin menjaga dan kalau perlu membantu pendetapendeta
    Siauw-lim-pai yang ia tahu bersih hatinya, namun juga amat keras kepalanya itu.
    Malam itu sunyi sekali di sekitar kuil. Malam yang gelap, akan tetapi keadaan di dalam dan di luarnya
    terang karena para hwesio menyalakan lampu penerangan atas perintah Gin Sim Hwesio. Biar pun hatinya
    keras dan kepercayaannya terhadap diri sendiri dan para muridnya amat besar, namun ketua kuil itu telah
    siap sedia dan berlaku hati-hati.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Kuil cabang Siauw-lim-pai di Lo-kiu ini tidak begitu besar dan Gin Sim Hwesio hanya dibantu oleh muridmuridnya,
    para hwesio muda Siauw-lim-pai yang jumlahnya ada dua puluh orang. Dia merasa bahwa
    kedudukannya sudah cukup kuat karena murid-muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang lumayan.
    Para muridnya menjaga di sekeliling kuil, sedangkan Gin Sim Hwesio sendiri duduk bersila melakukan
    semedhi di tengah ruangan depan.
    Menjelang tengah malam, tiba-tiba Gin Sim Hwesio berkata, “Siap...!” Dan perintah ini segera disampaikan
    kepada semua murid sambung-menyambung.
    Tak lama kemudian tampaklah berkelebat bayangan enam orang yang gerakannya gesit sekali, tanda
    bahwa mereka adalah orang-orang berkepandaian tinggi. Melihat ini, enam orang murid kepala yang
    ditugaskan menjaga di dalam segera keluar membawa obor sehingga sinar penerangan di ruangan depan
    itu makin cemerlang menerangi wajah enam orang itu.
    Gin Sim Hwesio sudah bangkit berdiri, tasbeh di tangan kiri, sebatang tongkat hwesio di tangan kanan. Ia
    memandang tajam. Ia mengenal lima orang yang diceritakan Im-yang Seng-cu, yaitu dua orang kang-ouw,
    dua orang berpakaian perwira, dan seorang tosu. Akan tetapi kini bertambah dengan seorang lagi yang
    membuatnya terkejut karena gerakan dan sinar mata orang ini menunjukkan bahwa kepandaiannya amat
    tinggi. Orangnya gendut pendek dan mulutnya tertawa-tawa atau tersenyum-senyum lebar, usianya kurang
    lebih empat puluh tahun.
    “Liok-wi siapakah, malam-malam mengunjungi kuil kami secara ini?”
    Si Perwira Gemuk yang agaknya memimpin penyerbuan itu tertawa sambil mencabut pedang panjang dari
    pinggangnya, “Kami adalah dua orang perwira tinggi Kerajaan Sung, datang untuk membasmi kuil Siauwlim-
    si karena para hwesio Siauw-lim-pai bersekutu dengan pemberontak!”
    “Dan pinto Thian Ek Cin-jin dari Hoa-san-pai!” kata Si Tosu sambil mengejek.
    “Omitohud! Harap Cu-wi tidak membohong lagi karena pinceng sudah tahu bahwa Ji-wi-ciangkun hanyalah
    perwira-perwira Sung yang palsu, sedangkan Toyu juga hanya menyamar sebagai tosu Hoa-san-pai.
    Sebaiknya katakan terus terang, apakah maksud Cu-wi datang mengganggu? Cu-wi sudah mendengar
    bahwa Siauw-lim-pai tidak mau mengotorkan diri dengan pertentangan dan perebutan kekuasaan. Kami
    tidak mau memusuhi siapa pun juga. Kalau Cu-wi datang hendak mengobarkan kemarahan Siauw-lim-pai
    dan memancing-mancing usaha keji, itu tidak akan berhasil, sebaliknya Cu-wi selamanya akan merasa
    tidak aman. Sebaiknya Cu-wi pergilah dengan aman sebelum kita semua melakukan dosa!”
    Lima orang itu saling pandang dengan mata terbelalak. “Ahhhh Si Keparat... tentu mereka yang
    membocorkan...!” teriak Si Perwira Kurus.
    Tiba-tiba terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ telah muncul Im-yang Seng-cu yang tertawa dan
    berkata, “Ha-ha-ha, kiranya si pemakan lalat yang datang! Eh, apakah engkau sudah ketagihan lalat lagi
    dan datang ke sini hendak mencari makanan? Di sini terlalu bersih, tidak ada lalat hijau, ha-ha!”
    “Engkau... Im-yang Seng-cu!” Tiba-tiba orang pendek gemuk yang tersenyum-senyum tadi melangkah
    maju dan menegur.
    Im-yang Seng-cu mengangguk-angguk. “Hemm... hemm, kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee juga hadir!
    Sekarang tahulah aku bahwa yang berdiri di belakang semua ini tentulah Coa Sin Cu!”
    “Setan kau!” Dua orang perwira gendut dan kurus itu sudah menerjang maju, dibantu oleh dua orang kangouw,
    sedangkan tosu, dan Si Gendut yang bukan lain adalah Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee menerjang Gin
    Sim Hwesio yang dibantu enam orang muridnya.
    Im-yang Seng-cu sudah menggerakkan tongkatnya. Sinar hitam yang lebar dan panjang bergulung di
    depan tubuhnya menangkis serangan empat batang pedang, dan sambil meloncat mundur mencari tempat
    luas ia mengejek ke arah ketua kuil cabang Siauw-lim-si, “Bagaimana, Losuhu? Berhasilkah engkau
    dunia-kangouw.blogspot.com
    menghadapi mereka dengan pelajaran suci agamamu? Ha-ha-ha, orang-orang macam mereka ini hanya
    patut dihadapi dengan tongkat penggebuk anjing!”
    “Omitohud..., terpaksa pinceng melanggar pantangan berkelahi!” Gin Sim Hwesio juga sudah
    menggerakkan tongkat hwesio-nya dan melanjutkan, “Im-yang Seng-cu, terima kasih atas bantuanmu,
    akan tetapi jangan mengotorkan kuil dengan darah atau pembunuhan!”
    Akan tetapi, biar pun mulutnya berkata demikian, hati hwesio ini terkejut sekali menyaksikan kelihaian dua
    orang lawannya, terutama Si Gendut yang dengan gerakan golok besarnya di tangan kanan telah membuat
    senjata para muridnya menyeleweng, kemudian dorongan tangan kiri yang amat kuat membuat seorang di
    antara muridnya roboh terjengkang dan muntah darah!
    “Ha-ha-ha, Gin Sim Hwesio. Kalau kita tidak membunuh tentu kita yang akan terbunuh!” Im-yang Seng-cu
    tertawa lagi.
    Tongkatnya menyambar-nyambar, dan dengan ilmu kepandaiannya yang campur aduk ia berhasil
    mengacaukan pertahanan keempat orang pengeroyoknya. Im-yang Seng-cu adalah seorang jagoan Hoasan-
    pai, murid Tee Cu Cinjin yang merupakan orang terpandai di Hoa-san-pai, akan tetapi semenjak
    bertahun-tahun ia berkelana, merantau dan mempelajari banyak sekali ilmu silat.
    Memang mempelajari ilmu silat merupakan hobbynya. Tidak seperti para murid Hoa-san-pai yang menjaga
    kemurnian ilmu silat Hoasan-pai dan tidak sudi mempelajari ilmu silat golongan atau partai lain, Im-yang
    Seng-cu tidak pantang mempelajari ilmu silat apa pun juga, baik ilmu silat kaum putih mau pun kaum hitam
    sehingga dia dianggap murtad dari Hoa-san-pai. Akan tetapi berkat kesukaannya mempelajari segala
    macam ilmu silat dan ‘mengawin-ngawinkan’ semua ilmu itu, Im-yang Seng-cu memperoleh kemajuan
    hebat dan dia memiliki gerakan yang aneh-aneh, sedangkan keuntungan lain adalah bahwa dia mengenal
    dasar-dasar gerakan ilmu silat lawan sehingga memudahkannya untuk menghadapi lawan itu.
    Selain segala keanehan yang dimilikinya, juga jago kang-ouw yang masih muda akan tetapi wataknya luar
    biasa ini mempunyai sebuah keanehan lain, yaitu dia selalu bernyanyi dan mengarang sajak setiap
    melakukan pertempuran! Kali ini pun dia sudah memutar tongkatnya sambil bernyanyi, suaranya lantang
    dan nyaring:
    Betapa dunia takkan kacau-balau
    oleh tingkah makhluk bernama manusia
    Pendeta tidak segan berbuat dosa
    Pejabat tidak segan berbuat khianat
    Pendekar berubah menjadi penjahat
    Si bengcu cerdik menggoyang kaki
    membiarkan anjing-anjing memperebutkan tulang
    Tinggal dia menanti hasil terakhir!
    Oh dunia... Oh manusia...
    Sungguh menyedihkan, ataukah menggelikan?
    Pada saat menyanyikan bait terakhir, ujung tongkatnya yang tadinya dikempit ketika ia menggerakkan
    ujung satunya untuk menangkis tiga batang pedang, tiba-tiba mencuat melalui belakang ketiaknya dan
    langsung menyambar ke arah kaki Si Perwira kurus.
    “Pletak!” tulang kering kaki kanan Si Perwira Kurus dihajar ujung toya hingga retak dan rasa nyeri menusuk
    ke tengah jantung.
    “Ayaaaa...! Aduh-aduhhh...!” Perwira kurus itu berloncatan dengan sebelah kaki, pedangnya terlepas dan ia
    berjingkrak-jingkrak memegangi kaki yang rasanya patah-patah. Yang terpukul adalah tulang kering
    kakinya, namun rasa nyeri menusuk-nusuk sampai jantung.
    “Ha-ha-ha! Kalau menangis jangan terlalu lebar membuka mulut, nanti kemasukkan lalat lagi!” Im-yang
    Seng-cu mengejek dan mendesak tiga orang pengeroyoknya.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    “Im-yang Seng-cu, manusia sombong!” Tiba-tiba sebatang golok besar menyambar dari belakang.
    “Syuuutt... tranggg!” Im-yang Seng-cu mundur dan terkejut karena telapak tangannya tergetar ketika
    tongkatnya menangkis golok.
    Kiranya Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee yang menyerangnya. Ketika melihat betapa empat orang kawannya
    tidak mampu mengalahkan Im-yang Seng-cu, bahkan perwira kurus terluka, orang gendut pendek ini
    segera meninggalkan Gin Sim Hwesio. Tosu itu sendiri cukup untuk menghadapi Gin Sim Hwesio yang kini
    hanya dibantu oleh seorang murid, sedangkan lima orang muridnya telah roboh dan tewas.
    Tosu itu ternyata lihai sekali. Pedangnya menyambar-nyambar merupakan gulungan sinar putih sehingga
    biar pun Gin Sim Hwesio sudah menggerakkan tongkat dan tasbihnya, dibantu pula oleh murid kepala,
    tetap saja kedua orang hwesio ini terdesak. Betapa pun juga, mereka berdua masih mampu
    mempertahankan diri, tidak seberat tadi ketika Thai-lek Siauw-hud masih membantu Si Tosu.
    Ada pun Im-yang Seng-cu, biar pun masih tertawa-tawa, namun dia kini bersilat dengan hati-hati sekali.
    Tadinya ia memandang ringan setelah para pengeroyoknya tinggal tiga orang, akan tetapi begitu Si Gendut
    Pendek itu maju, dia segera terdesak dan maklumlah dia bahwa tingkat kepandaian Thai-lek Siauw-hud
    tidak kalah jauh olehnya.
    “Thai-lek Siauw-hud, kematian sudah di depan mata, engkau masih banyak berlagak?” Im-yang Seng-cu
    masih mengejek.
    “Ha-ha-ha! Bualanmu tidak akan menolongmu Im-yang Seng-cu! Sayang kau tidak pernah bersepatu
    sehingga kalau mati, jangankan sorga, neraka pun tidak akan sudi menerima orang tak sopan bertelanjang
    kaki!”
    Im-yang Seng-cu tertawa. Diam-diam ia mendongkol karena sekarang ia bertemu batunya. Ternyata Si
    Pendek itu pun suka tertawa dan suka berkelakar. Ia lalu menjalankan siasatnya yang ia dapatkan ketika
    merantau ke utara, di mana ia mempelajari ilmu gulat dari bangsa Mongol. Ketika tiga batang pedang
    menyambar, disusul sambaran golok Si Gendut yang lihai, ia cepat memutar tongkatnya dengan
    pengerahan tenaga sehingga tiga batang pedang itu terpental dan tiga orang pengeroyoknya meloncat
    mundur dengan kaget.
    Pada saat golok menyambar, Im-yang Seng-cu sengaja memperlambat gerakan mengelak. Akan tetapi
    begitu sinar golok lewat di atas pundak, ia merendahkan tubuh, menangkap pergelangan tangan lawan!
    Sedetik mereka bersitegang, dan tiba-tiba tubuh yang gendut pendek dari Thai-lek Siauw-hud terlempar ke
    atas kepala Im-yang Seng-cu! Inilah bantingan dari gulat yang dimiliki Im-yang Seng-cu. Dalam adu tenaga
    ia mendapat kenyataan bahwa julukan Thai-lek tidaklah kosong, Si Gendut Pendek itu kuat sekali. Maka ia
    tadi telah cepat membalikkan tubuh dan melontarkan tubuh Si Gendut itu dengan kekuatan dari bokong
    dan punggungnya.
    “Ngekkk...broooottt!” Tubuh si Gendut terbanting dan ketika ia mengerahkan sinkang untuk melawan
    bantingan, tanpa disengaja lubang belakangnya melepaskan kentut besar!
    “Idiiih...! Bau... Bau...!” Im-yang Seng-cu memijat hidung dengan jari tangan kiri sedangkan tangan
    kanannya memutar tongkat menyambut serangan perwira gemuk dan dua orang kang-ouw.
    Muka Thai-lek Siauw-hud merah sekali. Dia tidak terluka akan tetapi telah terbanting sampai terkentutkentut!
    Memang aneh sekali Thai-lek Siauw-hud ini, dia mempunyai semacam ‘penyakit’ yang mungkin
    timbul karena kesalahan berlatih sinkang dahulu. Entah terlalu banyak angin di dalam perutnya yang
    gendut itu, ataukah karena lubang belakangnya sudah longgar, akan tetapi setiap kali ia mengerahkan
    tenaga sinkang sekuatnya dan hawa sakti terkumpul di perut, selalu tentu ada saja hawa yang bocor sedikit
    ke belakang sehingga menimbulkan suara kentut yang nyaring!
    Ketika menghadiri ulang tahun Coa-bengcu di pantai Po-hai dahulu pun, dalam mengikuti pameran tenaga
    mengangkat benda berat, ia sudah melepas kentut pula. Sekarang, karena terbanting ia mengerahkan
    sinkang agar tidak terluka, ia terkentut pula. Rasa malu membuat dia marah sekali. Bagaikan seekor
    dunia-kangouw.blogspot.com
    harimau terluka, ia menerjang maju memutar goloknya sambil memaki, “Im-yang Seng-cu calon bangkai!
    Makanlah golokku!”
    Hebat bukan main serangan Thai-lek Siauw-hud yang marah sehingga Im-yang Seng-cu tidak berani mainmain,
    cepat mainkan jurus-jurus pertahanan dengan ketat, menahan serangan golok dan tiga batang
    pedang yang bertubi-tubi itu. Sekali ini ia terdesak hebat seperti halnya Gin Sim Hwesio dan murid
    kepalanya.
    Gin Sim Hwesio mulai merasa khawatir karena murid-muridnya yang menjaga di sekitar kuil tidak ada yang
    tampak. Tiba-tiba ia berseru, “Celaka...!”
    Ia memutar tongkatnya mengirim serangan hebat kepada Si Tosu yang lihai, akan tetapi tosu itu dapat
    mengelak dan bahkan mengirim tusukan dari samping dengan pedangnya. Kekagetan ketua kuil ini melihat
    api bernyala di belakang kuil membuat gerakannya kurang cepat dan ketika ia mengelak, pedang itu
    berkelebat ke bawah melukai pahanya. Ia terhuyung dan muridnya cepat mendesak Si Tosu untuk
    menolong suhu-nya.
    Tiba-tiba terdengar sorak-sorai menyusul berkobarnya api, akan tetapi sorak-sorai ini segera terganti
    teriakan-teriakan kaget dan api pun padam. Tak lama kemudian berkelebatlah bayangan orang yang cepat
    dan ringan sekali, dan di situ muncul seorang laki-laki tampan yang menerjang dengan pedangnya, sekali
    terjang ia telah membuat Si Tosu terlempar ke belakang. Kemudian laki-laki ini meloncat dan menerjang
    mereka yang mengepung Im-yang Seng-cu.
    Melihat laki-laki ini Im-yang Seng-cu tertawa dan berseru, “Ha-ha-ha! Kiranya engkau benar-benar Sian
    (Dewa), bukannya Kwi (Setan)!”
    Suma Hoat atau Jai-hwa-sian tidak menjawab, hanya menggerakkan pedangnya yang diputar cepat sekali
    sehingga dua orang kang-ouw yang baru menangkis menjadi patah pedangnya dan terluka pundak dan
    dadanya.
    “Siapa engkau...?” Thai-lek Siauw-hud membentak, kaget menyaksikan kehebatan gerak pedang Suma
    Hoat.
    Suma Hoat tidak menjawab, akan tetapi Im-yang Seng-cu sudah memperkenalkan, “Mau kenal sahabatku
    ini? Dialah Jai-hwa-sian!”
    Si Gendut terkejut sekali. “Mengapa orang seperti engkau membela Siauw-lim-pai?”
    Sebagai jawaban Jai-hwa-sian menerjang, dan Si Gendut terpaksa menangkis dengan golok.
    “Cringggg!” golok dan pedang bertemu dan melekat.
    Pada saat itulah Si Perwira gemuk sudah menerjang dengan pedang panjangnya, menyambar ke leher
    Suma Hoat dari belakang.
    “Pergilah...!” Suma Hoat membentak.
    Ia menggetarkan pedangnya dan mendorong sehingga Thai-lek Siauw-hud terhuyung ke belakang dan
    secepat kilat Suma Hoat sudah merendahkan diri sehingga pedang perwira gemuk menyambar di atas
    kepalanya. Detik itu juga pedang Suma Hoat meluncur dari bawah sehingga Si Perwira menjerit,
    pedangnya terlepas dan ia terjengkang roboh. Darah muncrat-muncrat keluar dari perutnya.
    Akan tetapi puluhan orang sudah menyerbu datang. Mereka terdiri dari belasan pemuda-pemuda dan
    belasan gadis-gadis yang memiliki gerakan gesit dan ringan. Mereka itu adalah anak buah atau muridmurid
    dari Coa Sin Cu, bengcu di pantai laut Po-hai. Para murid Kuil Siauw-lim-si yang menjaga di luar tadi
    telah roboh oleh mereka dan ketika mereka mulai membakar kuil, tiba-tiba muncul Suma Hoat yang
    merobohkan lima orang yang membakar kuil dan memadamkan kebakaran, lalu datang membantu Gin Sim
    Hwesio dan Im-yang Seng-cu.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Terjadilah pertadingan yang berat sebelah karena para penyerbu terdiri dari puluhan orang, sedangkan
    yang mempertahankan hanyalah Gin Sim Hwesio yang telah terluka, Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat.
    Murid kepala Gin Sim Hwesio juga sudah roboh.
    “Ha-ha-ha! Jai-hwa-sian, mari kita basmi anjing-anjing keparat ini!” Im-yang Seng-cu tertawa bergelak.
    Cepat ia mengerjakan tongkatnya merobohkan dua pengeroyok karena ingin mengejar ketinggalannya
    ketika melihat betapa Suma Hoat sudah lebih dulu merobohkan dua orang. Gin Sim Hwesio mengeluh
    ketika melihat kuilnya menjadi kotor oleh darah manusia, dan karena dia sudah terluka cukup parah, ia
    hanya dapat menggerakkan tongkatnya untuk melindungi tubuhnya.
    Dari pihak penyerbu, yang memiliki kepandaian tinggi hanya Thai-lek Siauw-hud dan tosu yang mengaku
    bernama Thian Ek Cinjin. Si Perwira Gemuk telah tewas oleh pedang Suma Hoat, si Perwira Kurus telah
    remuk tulang kering kakinya dan dua orang kang-ouw teman mereka pun telah terluka oleh pedang Suma
    Hoat. Biar pun kepandaian dua orang itu cukup hebat, namun Si Tosu kewalahan menghadapi tongkat Imyang
    seng-cu dan Thai-lek Siauw-hud juga terdesak hebat menghadapi pedang Suma Hoat. Akan tetapi
    karena datang puluhan orang anak buah Coa Sin Cu, payah jugalah Im-yang Seng-cu dan Suma Hoat. Gin
    Sim Hwesio sendiri sudah tidak dapat menyerang lawan kecuali melindungi diri sendiri.
    Bunyi senjata beradu bertubi-tubi nyaring dan terdengar Gin Sim Hwesio mengeluh panjang, tubuhnya
    terhuyung dan roboh ke belakang ketika kembali bahu kanannya terluka oleh sabetan pedang. Dia sudah
    terluka dan tenaganya makin berkurang, sedangkan para pengeroyoknya yang masih muda-muda itu
    terlampau banyak. Biar pun ia roboh terjengkang dan rebah sambil memutar tongkatnya, namun
    keadaannya terancam bahaya maut oleh serangan senjata pedang yang amat banyak, yang bagaikan
    hujan menimpa dirinya.
    “Trang-trang-trang...!” Pedang-pedang yang menyerang tubuh ketua kuil ini terpental, bahkan dua orang
    pengeroyok roboh terguling ketika Suma Hoat meloncat datang, meninggalkan para pengeroyoknya untuk
    menolong Gin Sim Hwesio.
    Hwesio itu kini sempat bangun kembali. Darah mengucur dari bahu dan pahanya, namun ia sudah dapat
    memasang kuda-kuda dan melintangkan tongkatnya. Suma Hoat kini kembali dikepung dan pundaknya
    kena ujung pedang seorang pengeroyok, bajunya robek dan kulitnya ikut robek sehingga darahnya mulai
    mengucur keluar. Namun bagaikan seekor naga mengamuk, ia masih terus memutar pedangnya
    menyambut datangnya serangan Thai-lek Siauw-hud dan para murid Coa-bengcu.
    Keadaan Im-yang Seng-cu juga tidak lebih baik. Biar pun masih tertawa-tawa, namun dia sudah terluka
    pula. Dada kanannya tertusuk pedang, dan untunglah bahwa ia sempat mengerahkan sinkang sambil
    membanting diri sehingga hanya kulit dan daging dada saja yang robek berdarah. Dia pun mengamuk
    hebat, bahkan terdengar dia bernyanyi nyaring:
    Malang-melintang di dunia kang-ouw
    menentang kejahatan mengabdi kebenaran
    Tongkat di tangan haus darah dan nyawa
    para penjahat angkara murka
    Biar pun tewas dalam membela kebenaran
    dengan senjata tongkat tetap di tangan
    Apa lagi yang membuat penasaran?
    “Bress! Prookk!” Kembali dua orang pengeroyok roboh oleh tongkat di tangan Im-yang Seng-cu, akan
    tetapi pada saat itu, pedang Si Tosu yang lihai telah berhasil membacok ke arah lehernya.
    Im-yang Seng-cu cepat membuang diri ke belakang, namun sinar pedang menyusul dan darah muncrat
    keluar dari pundak kanan Im-yang Seng-cu, sebagian daging bahu kanannya robek! Ia terhuyung dan
    memutar tongkatnya sehingga terdengar suara nyaring ketika tongkatnya berhasil menangkis banyak
    senjata lawan.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Suma Hoat mengeluarkan teriakan keras dan pedangnya berubah menjadi gulungan sinar menyilaukan
    mata tertimpa api penerangan, membuat Thai-lek Siauw-hud dan teman-temannya mundur. Kesempatan
    itu dipergunakan Suma Hoat untuk loncat menjauh, menyambar tubuh Im-yang Seng-cu yang kemudian
    dibawa ke tempat di mana Gin Sim Hwesio masih mempertahankan diri.
    “Kalian berdua mempertahankan di belakangku!” kata Suma Hoat.
    Mulailah terjadi pengepungan yang ketat terhadap tiga orang itu. Gin Sim Hwesio sudah terluka parah, juga
    Im-yang Sengcu sudah terluka berat, dan hanya Suma Hoat seorang yang masih mampu mengirim
    serangan balasan karena dua orang temannya hanya mampu mempertahankan diri saja.
    Bukan main kagum hati Gin Sim Hwesio dan Im-yang Seng-cu menyaksikan sepak terjang Suma Hoat.
    Biar pun pundaknya sudah berdarah, pemuda tampan itu mengamuk terus, melindungi kedua orang yang
    terluka sambil balas menerjang dengan sambaran pedangnya yang amat luar biasa sehingga sedikit saja
    ada pengeroyok lengah tentu menjadi korban.
    Im-yang Seng-cu kagum dan juga gembira menyaksikan teman barunya itu. Dia sendiri bersama Gin Sim
    Hwesio hanya mampu melindungi diri, dan dia pun maklum bahwa kalau tidak ada Suma Hoat tentu niat
    buruk anak buah Coa Sin Cu membasmi para hwesio Siauw-lim-pai dan membakar kuil akan terlaksana,
    bahkan ditambah dengan pengorbanan dirinya sendiri. Saking gembiranya menyaksikan sepak terjang
    Suma Hoat, ia memutar tongkat sambil bernyanyi:
    Dia dikatakan Pemetik Bunga
    perbuatannya bergelimang darah menghitam
    Kini dia mati-matian membela kebenaran
    dengan taruhan nyawa penuh rela
    Hitam atau putihkah dia?
    Dia disebut berbudi seperti dewa
    tapi betapa banyak air mata runtuh dari dara-dara
    menangis dengan hati merana
    Setan atau dewakah dia?
    Suma Hoat tidak dapat memperhatikan nyayian ini, hanya diam-diam ia pun kagum sekali akan sikap Imyang
    Seng-cu yang dalam himpitan bahaya maut masih sempat bernyanyi-nyanyi. Betapa gagah
    perkasanya Si Kaki Telanjang itu! Suma Hoat memusatkan perhatiannya di ujung pedang dan amukannya
    membuat gentar Thai-lek Siauw-hud, Thian Ek Cinjin dan anak buah mereka.
    Malam sudah hampir terganti pagi dan mulailah para penyerbu merasa khawatir. Kalau sampai pagi
    mereka belum berhasil sehingga kelihatan oleh penduduk, tentu rahasia mereka akan pecah dan semua
    usaha itu akan sia-sia belaka. Maka Thai-lek Siauw-hud lalu memberi aba-aba rahasia. Semua anak
    buahnya mulai mengumpulkan teman-teman yang tewas atau terluka, kemudian serentak mereka lari
    meninggalkan tempat itu membawa para korban pihak mereka.
    “Engkau ikut denganku!” tiba-tiba Suma Hoat berseru.
    Tubuhnya berkelebat ke depan dan ia sudah menyambar pinggang seorang di antara gadis-gadis
    penyerbu yang sejak tadi memang sudah diincarnya, bahkan ketika mengamuk tadi ia berlaku hati-hati
    agar jangan melukai gadis berpakaian hijau ini. Gadis itu menjerit, meronta dan menggerakkan pedangnya
    membacok, akan tetapi sekali mengetuk pergelangan gadis itu, pedangnya terbang dan di lain saat
    tubuhnya sudah ditotok dan dikempit lengan kiri Suma Hoat. Gadis yang cantik itu tak dapat bergerak lagi.
    Kemudian, tanpa menoleh lagi Suma Hoat meloncat berkelebat dan pergi dari situ tanpa pamit.
    “Eh, nanti dulu!” Im-yang Seng-cu berseru.
    “Taihiap, harap tunggu dulu, Pinceng hendak menyampaikan terima kasih!” Gin Sim Hwesio juga berteriak,
    akan tetapi Suma Hoat tidak peduli dan sama sekali tidak menengok atau menjawab.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Im-yang Seng-cu tertawa dan berkata kepada Gin Sin Hwesio, “Itulah seorang pendekar besar yang rusak
    hatinya oleh asmara! Ha-ha-ha-ha, dia terkenal di dunia kang-ouw sebagai Jai-hwa-sian, akan tetapi siapa
    kira malam ini dia membela Siauw-lim-pai mati-matian. Losuhu selamat berpisah!” Im-yang Seng-cu juga
    berkelebat pergi mengejar bayangan Suma Hoat yang sudah lenyap di telan keremangan pagi.
    “Omitohod...!” Gin Sim Hwesio merangkap kedua tangan seperti berdoa. Diam-diam ia harus mengakui
    bahwa keselamatannya dan keselamatan kuilnya, juga agaknya keselamatan Siauw-lim-pai sehingga tidak
    terseret dalam pertentangan adalah jasa pertolongan orang muda yang di dunia kang-ouw disohorkan
    sebagai seorang penjahat cabul yang dikutuk semua orang.
    Im-yang Seng-cu melakuan pengejaran. Hatinya penuh rasa penasaran dan penuh rasa kekecewaan.
    Begitu bertemu dengan Suma Hoat, ia merasa tertarik, merasa suka dan kagum. Ia tahu bahwa di dasar
    hatinya Suma Hoat memiliki watak pendekar yang besar dan mengagumkan. Akan tetapi sayang seribu
    kali sayang watak yang baik itu dikotori oleh kesukaan lain yang dianggap terkutuk di seluruh dunia, yaitu
    suka mengganggu wanita!
    Bahkan perbuatannya semalam yang amat mengagumkan, kegagahan serta keberanian disertai tekad
    untuk membela kebenaran dengan taruhan nyawa tanpa ditawar-tawar lagi, pada akhirnya dicemarkan
    oleh perbuatannya yang amat tercela, yaitu menculik seorang di antara para penyerbu yang masih muda
    dan cantik. Penculikan yang jelas diketahui apa maksudnya!
    Padahal di waktu mengamuk tadi, demi membela kebenaran untuk membersihkan nama Siauw-lim-pai, dia
    sudah terancam bahaya maut. Kalau dikehendaki, Jai-hwa-sian yang sudah terluka itu masih sempat
    melarikan diri. Akan tetapi dia sama sekali tidak mau menyelamatkan diri, tidak mau meninggalkan Gin Sim
    Hwesio dan Im-yang Seng-cu yang terluka parah, bahkan melindungi mereka dan mengamuk dengan
    nekat!
    “Jai-hwa-sian... bagaimana aku akan dapat menyadarkanmu dari kebiasaan buruk itu?” Im-yang Seng-cu
    berlari terus dan baru setelah matahari naik tinggi ia menemukan jejak Jai-hwa-sian yang membawa lari
    korbannya ke dalam sebuah hutan di luar kota Lok-kiu!
    Im-yang Seng-cu mencari-cari di dalam hutan. Akhirnya ia mendengar suara-suara dari balik rumpun, dan
    tahulah ia bahwa Jai-hwa-sian bersama korbannya berada di balik rumpun itu, di atas tanah yang ditilami
    rumput tebal hijau seperti permadani! Dia menyelinap mendekati, siap untuk menolong gadis yang menjadi
    korban itu. Betapa pun kagumnya terhadap Jai-hwa-sian, di sini terdapat seorang wanita yang perlu
    ditolong! Dan dia akan melawan Jai-hwa-sian, demi kebenaran, kalau perlu berkorban nyawa!
    Memang tidak salah bahwa gadis itu adalah seorang di antara para penyerbu kuil semalam, seorang anak
    buah Coa Sin Cu. Akan tetapi persoalannya sekarang lain. Gadis itu kini menjadi seorang wanita yang
    terancam kehormatannya oleh seorang penjahat cabul tukang memperkosa, bukan oleh seorang pendekar
    yang semalam mempertaruhkan nyawanya untuk membela kebenaran!
    Ia menduga bahwa tentu akan mendengar gadis itu menangis seperti biasa kalau seorang Jai-hwa-cat
    (Penjahat Pemerkosa) menerkam korbannya, dan mendengar suara Jai-hwa-sian membujuk rayu atau
    mengancam. Akan tetapi muka Im-yang Seng-cu menjadi merah sekali, bahkan matanya terbelalak ketika
    ia mendengar suara gadis itu penuh kemanjaan penuh rayuan.
    “Koko... aku... aku cinta padamu! Betapa gagah perkasa engkau... betapa... tampan dan mesra! Koko, aku
    rela menjadi milikmu selamanya... aku cinta padamu!”
    Dan terdengarlah jawaban Jai-hwa-sian, suaranya mengandung kegetiran, “Aku tidak percaya akan cinta!
    Perempuan yang cantik rupanya belum tentu cantik hatinya. Yang ada ini hanya nafsu! Nafsu birahi! Dan
    aku....” Tiba-tiba suara itu terhenti kemudian disusul bentakan.
    “Im-yang Seng-cu! Aku suka bersahabat denganmu karena aku kagum padamu. Akan tetapi kalau kau
    mencampuri urusan pribadiku, aku akan melupakan kekagumanku dan terpaksa engkau akan kuanggap
    penghalang. Pergilah, atau seorang di antara kita akan mati!”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Im-yang Seng-cu menarik napas panjang, merasa malu karena benar-benar keterlaluan baginya untuk
    mengintai dua orang yang sedang berkasih mesra, sama sekali tidak ada tanda-tanda perkosaan. Kedua
    telinganya sendiri jelas mendengar pernyataan cinta gadis itu kepada Jai-hwa-sian! Betapa mungkin ini?
    Dia menggeleng-geleng kepala dan berkata, “Jai-hwa-sian, aku hanya ingin melihat apakah engkau sadar
    bahwa perbuatanmu itu menyeleweng dari pada kebenaran.”
    “Im-yang Seng-cu, perbuatan yang menyangkut urusan pribadiku tidak ada sangkut-pautnya dengan siapa
    pun juga, dan sama sekali engkau tidak berhak mencampurinya. Pilihlah sekarang, engkau mau pergi atau
    aku terpaksa menggunakan kekerasan?”
    Im-yang Seng-cu menghela napas. Apa yang akan ia lakukan? Dia tidak takut menghadapi Jai-hwa-sian,
    sungguh pun ia maklum bahwa orang itu lihai sekali, apa lagi sekarang dia sudah terluka cukup parah.
    Andai kata dia mendengar gadis itu menangis dan minta tolong, jangankan baru orang selihai Jai-hwa-sian,
    biar sepuluh kali lebih lihai, dia tidak akan mundur selangkah pun dalam membela wanita yang tertindas
    dan terhina.
    Akan tetapi wanita yang suaranya manja dan merayu itu mana membutuhkan ‘pertolongannya’? Bahkan,
    kalau ia mencampuri, bukan hanya Jai-hwa-sian yang tidak senang hatinya, jelas bahwa wanita itu pun
    akan membecinya! Jadi siapa yang ditolongnya dan untuk apa ia mencampuri urusan ini? Ia
    menggerakkan pundak lalu pergi dari tempat itu.....
    ********************
    Han Ki memandang kedua arca Maya dan Siauw Bwee dengan mata bersinar-sinar penuh kegembiraan.
    Kedua arca yang berdiri di dekat arcanya sendiri itu amat memuaskan dirinya. Arca-arca itu sudah jadi,
    persis seperti kedua orang sumoi-nya yang amat dikasihinya. Ia bukan kagum akan hasil seni yang
    diciptakan tangannya, melainkan kagum akan kecantikan kedua orang sumoi-nya. Baru sekarang ia dapat
    memandangi kecantikan kedua orang gadis remaja itu sepuas hatinya.
    Memang hebat! Sukarlah menentukan siapa di antara keduanya yang lebih cantik. Kadang-kadang tampak
    Maya lebih cantik, akan tetapi kadang-kadang Siauw Bwee lebih manis dan jelita. Hanya diam-diam ia
    harus mengakui bahwa sepasang mata Maya amat hebat, luar biasa hebatnya dan menyinarkan
    kehangatan yang membuat ia kadang-kadang merasa jantungnya berdebar, apa lagi ditambah bibir yang
    seolah-olah mengandung senyum penuh arti itu.
    Gerakan halus di belakangnya pada saat itu amat dikenalnya. Berkat latihan yang tekun, tanpa menengok
    pun Han Ki maklum bahwa Maya telah berada dalam kamar kerjanya membuat arca. Dia mengenal benar
    gerakan halus kedua orang sumoi-nya, malah dapat membedakannya. Apa lagi ada keharuman yang khas
    pada diri masing-masing dara itu karena keduanya suka memakai bunga yang berlainan, bunga-bunga
    yang sering kali dipetiknya dari pulau-pulau lain, yang dia cari untuk kedua orang sumoi-nya karena dia
    tahu bahwa semua wanita menyukai bunga dan bau-bau harum.
    “Suheng...”
    Han Ki menoleh tersenyum. “Sudah hampir jadi arca-arca kita, Sumoi. Hanya tinggal menghaluskannya
    saja, dalam sehari saja tentu selesai.”
    Maya berlutut di dekat suheng-nya. “Suheng, arca siapakah yang terindah di antara tiga buah arca ini?”
    Pertanyaan kanak-kanak, pikir Han Ki sambil tersenyum dan dia menjawab, suaranya menggoda, “Tentu
    saja arcaku sendiri!”
    “Ah, Suheng sombong!”
    Han Ki hanya tertawa.
    “Suheng, kalau dua yang lain ini, mana lebih cantik?”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Han Ki mengerutkan alisnya, sejenak tak dapat menjawab. Akan tetapi kemudian terdengar suaranya
    menggoda karena dia terpaksa melayani pertanyaan yang manja itu, “Wah, tentu saja arcamu lebih cantik.”
    Wajah yang manis itu berseri. Pandang mata yang biasanya hangat itu lebih panas lagi, senyumnya manis
    memikat. “Suheng...,” Maya menyentuh lengan suheng-nya, “Benarkah engkau anggap aku paling cantik?”
    Han Ki menatap wajah sumoi-nya dan memang dia harus mengakui bahwa wajah itu luar biasa cantiknya,
    kecantikan khas, yang sukar dilukiskan karena memiliki ciri tersendiri dan mempunyai daya pikat yang
    amat kuat. Terpaksa ia mengangguk dan menjawab sungguh-sungguh, “Engkau memang cantik jelita,
    Sumoi.”
    “Tidak ada wanita di dunia ini yang melebihi kecantikanku?” Pertanyaan ini makin manja dan Maya
    mendekatkan mukanya. Tampak garis-garis muka yang amat indah itu, bulu matanya panjang lentik
    melengkung, agak merapat karena mata itu memandang setengah terpejam, bibir itu terbuka sedikit,
    tampak sederetan gigi putih dan napas dara itu seperti agak terengah.
    Han Ki hanyalah seorang laki-laki yang masih muda pula. Jantungnya berdebar dan jakunnya bergerak
    ketika ia menelan ludah, “Engkau cantik sukar dicari bandingnya di dunia ini, Maya.”
    Maya memandang dengan sinar mata penuh arti, tangannya memegang lengan Han Ki, suaranya
    menggetar berbisik, “Suheng, engkau pun bagiku merupakan pria yang paling hebat di dunia ini.”
    “Maya...!” Han Ki membantah kaget.
    Akan tetapi Maya yang sudah mabok oleh perasaannya sendiri itu melanjutkan. “Suheng, bukankah aku
    lebih cantik pula dibandingkan dengan Sung Hong Kwi?”
    “Maya-sumoi...!”
    Maya sudah menjatuhkan diri ke dalam pelukan suheng-nya dan berbisik, “Suheng, aku bersedia menjadi
    pengganti Hong Kwi... aku... Suheng, bukankah engkau mencintaku seperti aku cinta padamu...?”
    Kali ini benar-benar Han Ki terkejut karena di luar kesadarannya ia telah memeluk tubuh itu penuh dendam
    rindu terhadap Sung Hong Kwi yang selama lima tahun ditahan-tahannya, bahkan muka Maya yang
    tengadah itu dekat sekali dengan mukanya sehingga napas yang keluar dari hidung dara itu menyentuh
    pipinya. Bagaikan sinar kilat tampak wajah gurunya dan Han Ki melepaskannya, bangkit berdiri dan
    membalikkan tubuh membelakangi Maya, memejamkan mata mengheningkan hati dan pikirannya
    mengusir gairah nafsu yang menyesakkan dada.
    “Suheng...!” Maya juga bangkit berdiri dan memeluk pinggangnya.
    “Maya-sumoi, jangan...!” Han Ki berkata dan melepas kedua lengan yang merangkul pinggang itu,
    melangkah maju dua langkah sambil membalikkan tubuh menghadapi sumoi-nya. Kini ia telah menguasai
    nafsunya dan matanya memancarkan pandang mata penuh teguran.
    “Sumoi, mulai detik ini jangan engkau ulangi semua sikap dan kata-katamu tadi!”
    “Suheng..., Aku... cinta padamu, Suheng...”
    “Diam! Keluarlah engkau sebelum kutampar!”
    Maya memandang dengan mata terbelalak lebar, seperti mata kelinci yang ketakutan, napasnya terengah
    dan naiklah sedu-sedan dari dadanya, kemudian membalik dan lari ke luar sambil terisak.
    Han Ki memejamkan mata, menarik napas panjang dan kedua kaki yang lemas itu berlutut, dan kemudian
    ia memandangi arca-arca itu. Maya mencintainya! Dan biar pun Siauw Bwee tidak pernah memperlihatkan
    sikap dengan terang-terangan, namun ia dapat menduga bahwa Siauw Bwee juga mencintanya! Dan dia?
    Ah, cintanya sudah habis, sudah terbang pergi bersama Hong Kwi. Betapa mungkin ia jatuh cinta lagi?
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Namun ahhh.... dia bergidik kalau teringat tadi betapa nafsu birahi menguasainya, membuat ia ingin
    memeluk ketat tubuh itu, ingin mencium bibir dan mata itu, ingin membelai merayu. Ah, betapa mudahnya
    ia jatuh cinta kepada Maya, dan... ketika ia memandang arca Siauw Bwee, dia pun tahu bahwa akan amat
    mudah pula, semudah tadi, ia jatuh hati kepada Khu Siauw Bwee yang halus wataknya. Celaka!
    “Kau... kau mata keranjang!” Han Ki menampar kepalanya sendiri.
    Terbayanglah wajah Hong Kwi dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya. Sampai lama ia termenung
    seperti itu, berjam-jam dan hanya dengan kekuatan batinnya yang hebat saja akhirnya ia dapat menindas
    perasaannya. Kemudian, seperti orang mabok ia melanjutkan pekerjaannya memperhalus tiga buah arca
    itu, tidak mempedulikan apa-apa. Bahkan ketika dua kali Siauw Bwee menjenguknya, kemudian
    mengajaknya makan setelah bertanya mengapa dia tidak tidur, dia hanya menjawab tanpa menoleh.
    “Aku tidak lapar dan tidak mengantuk. Aku ingin menyelesaikan ini, Khu-siauwmoi, tinggalkan aku sendiri.”
    Pada jengukannya yang kedua, Siauw Bwee ragu-ragu dan memandang suheng-nya, kemudian berkata,
    “Ini tentu kesalahan suci entah apa sebabnya!”
    Han Ki terkejut, akan tetapi menindas perasaannya dan menoleh. “Mengapa engkau, berpendapat
    demikian?”
    “Kulihat Suci menangis, dia pun tidak mau makan, tidak mau tidur. Ketika aku bertanya dan menghiburnya
    dia malah membentakku agar aku tidak mencampuri urusannya. Suheng, apakah yang terjadi?”
    “Tidak apa-apa. Aku pun tidak tahu dia mengapa? Sudahlah, tinggalkan aku sendiri, Sumoi!”
    Sejenak Siauw Bwee berdiri di belakangnya, ragu-ragu. Kemudian terdengar ucapannya lirih, “Engkau
    kelihatan berduka, Suheng. Kenapakah?”
    “Tidak apa-apa! Tidak apa-apa!”
    “Suheng, selama lima tahun kita tinggal di sini, baru sekarang kulihat engkau berduka dan Suci menangis.
    Suheng, engkau... engkau satu-satunya orang yang kumiliki di dunia ini, di samping ibuku yang entah
    berada di mana. Suheng, kalau engkau berduka, aku ikut berduka...”
    Han Ki memejamkan mata, jantungnya seperti ditusuk rasanya. Akan tetapi hanya sebentar ia telah dapat
    menguasai dirinya. Ia menoleh, memaksa diri tersenyum dan berkata, “Engkau ini aneh-aneh saja, Sumoi.
    Aku tidak apa-apa, hanya tekun menyelesaikan arca-arca ini. Eh, bagaimana dengan perahu yang kau
    buat? Telah selesaikah?” Dia sengaja membelokkan percakapan untuk mengalihkan perhatian sumoi-nya
    itu.
    “Sudah, Suheng. Layar yang kau beri sudah kujahit dan kupasang. Besok pagi akan kucoba. Aku ingin
    mengunjungi pulau yang kulihat di sebelah selatan itu!”
    Han Ki tersenyum. “Itu Pulau Kijang. Pulau kosong akan tetapi banyak binatang kijang di sana.”
    “Aku ingin menagkap kijang.”
    ”Boleh, akan tetapi kalau memburu kijang, cari yang sudah tua agar pembiakannya tidak terganggu.”
    “Aku ingin menangkap seekor anak kijang, tidak membunuhnya. Aku ingin memeliharanya, untuk teman di
    sini.”
    Han Ki berdiri, membalikkan tubuh dan memandang sumoi-nya. “Apa? Di sini ada aku dan suci-mu, dan
    engkau hendak mencari kijang untuk teman?”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Siauw Bwee menunduk dan terdengar suaranya lemah seperti berbisik, “Aku... aku kadang-kadang merasa
    kesepian, Suheng, terutama sekali... sekarang ini....” Setelah berkata demikian Siauw Bwee membalikkan
    tubuhnya dan lari pergi.
    “Hei...! Khu-sumoi...?” Han Ki memanggil akan tetapi dara itu tidak menoleh dan lapat-lapat Han Ki
    mendengar sumoi-nya itu terisak! Han Ki berdiri termangu-mangu kemudian menggaruk-garuk kepalanya
    yang tidak gatal.
    “Perempuan...!” gumamnya dengan hati terheran-heran dan tidak mengerti.
    Hatinya makin bingung dan makin berduka karena perasaannya membisikkan bahwa mulai saat itu ia
    hanya akan menjumpai kesulitan-kesulitan dengan kedua sumoi-nya itu. Untuk melupakan perasaannya,
    semalam suntuk dia tidak tidur dan memperhalus ukiran tiga buah arcanya.
    Pada keesokan harinya barulah pekerjaannya selesai dan selagi ia hendak beristirahat, tiba-tiba ia
    terlonjak bangun karena mendengar suara desir angin yang aneh dan yang dikenalnya baik-baik. Itulah
    suara pukulan-pukulan dengan tenaga sinkang yang kuat. Biasanya desir angin pukulan itu terdengar di
    waktu kedua sumoi-nya berlatih, akan tetapi sekali ini desir angin hebat itu diseling suara bentakanbentakan
    nyaring orang bertempur.
    Ia merasa heran dan khawatir sekali, cepat meloncat bangun dan melesat ke luar dari Istana Pulau Es.
    Ketika tiba di luar, ia berdiri kaget melihat betapa kedua orang sumoi-nya sudah saling serang dengan
    hebatnya! Pohon tumbang dan batu berhamburan dilanggar angin pukulan kedua sumoi-nya yang
    berkelahi dengan sungguh-sungguh, mengeluarkan semua ilmu yang selama ini mereka latih. Sekali ini
    mereka bukan sedang berlatih, melainkan sedang saling serang sungguh-sungguh, setiap serangan
    mendatangkan maut. Sekelebatan saja ia dapat mengerti bahwa dalam perkelahian itu, Siauw Bwee masih
    bersikap mengalah dan lebih banyak mengelak, akan tetapi Maya menyerang seperti seekor singa betina
    kehilangan anaknya.
    “Maya...! Siauw Bwee...! Berhenti...!” Han Ki berteriak sambil lari menghampiri.
    Akan tetapi ia tertegun dan menghentikan larinya ketika melihat kini kedua orang dara itu saling serang dari
    jarak dekat, tidak hanya mengandalkan sinkang seperti tadi, melainkan menggunakan jari-jari tangan
    mereka yang lihai dan yang merupakan cengkeraman-cengkeraman maut, totokan-totokan yang
    mengancam nyawa! Akan tetapi yang membuat Han Ki tertegun adalah jeritan mereka yang saling
    menuduh.
    “Engkaulah yang membuat suheng berduka! Engkau sungguh seorang adik yang tidak mengenal budi!”
    “Dan engkau... engkau yang menjadi biang keladinya sehingga dia tidak dapat menerima cintaku!” Maya
    membalas dengan teriakan marah.
    “Begitukah? Kalau benar dia mencintaku, sepatutnya kau tahu diri!” balas Siauw Bwee.
    “Kau perempuan tak bermalu!”
    “Engkau yang tidak tahu malu!”
    “Sumoi... ! Jangan berkelahi!” Han Ki berteriak keras dan tubuhnya mencelat menangkis sambil
    mengerahkan tenaga. Akibatnya, tubuh Maya dan Siauw Bwee terlempar ke belakang, terpental dan
    terhuyung-huyung.
    “Kau... membelanya...!” Siauw Bwee berkata sambil menangis.
    “Kau... kau... melemparku dahulu, kau... benar-benar mencinta bocah kurang ajar ini!” Maya juga menangis.
    “Ahh, Maya-sumoi dan Khu-sumoi, apakah kalian berdua telah menjadi gila? Hentikan permusuhan gila ini!
    Aku... aku... ahhh...!” Han Ki menjambak rambutnya sendiri dan ingin pula dia menangis!
    dunia-kangouw.blogspot.com
    “Suheng! Berterus teranglah, apakah engkau mencinta Maya-suci?” Siauw Bwee bertanya.
    “Suheng, engkau bilang aku paling cantik di dunia ini! Bukankah engkau mencintaku? Ataukah... engkau
    cinta kepada Sumoi?” Maya juga menuntut jawaban pasti.
    Wajah Han Ki menjadi pucat. Kemudian ia menggunakan kedua tangan menutupi mukanya karena
    pandang matanya terasa berkunang-kunang. Sambil menggelengkan kepalanya ia berkata, “Aku tidak
    tahu... aku tidak tahu. Kalian adalah kedua orang sumoi-ku, seperti adik-adikku sendiri... aku tidak cinta
    siapa-siapa...!”
    Ia hanya mendengar isak tertahan dan mendengar berkelebatnya gerakan tubuh mereka pergi dari situ.
    Dia tidak peduli, bagi dia asalkan kedua orang dara itu tidak saling serang pada saat itu, cukuplah. Akan
    tetapi ketika sampai lama dia tidak mendengar gerakan mereka, ia membuka kedua tangannya dan
    memandang. Kedua orang dara itu tidak tampak lagi dan keadaan di sekelilingnya sunyi. Sunyi dan dingin
    karena angin yang bertiup membawa datang salju-salju tipis.
    Ia mulai merasa khawatir, lalu melangkahkan kaki mencari kedua orang sumoi-nya, khawatir kalau-kalau
    mereka itu pergi untuk melanjutkan pertandingan mati-matian di bagian lain dari pulau itu. Akan tetapi
    mereka tidak ada di pulau dan betapa kaget hatinya ketika melihat dua buah perahu berlayar, jauh dari
    pantai, yang sebuah ke barat, yang sebuah lagi selatan. Ia mengenal perahu lama dengan layar hitam itu
    membawa Maya menuju ke barat, sedangkan yang sebuah lagi adalah perahu buatan Siauw Bwee,
    dengan layar kuning meluncur pergi membawa dara itu ke selatan!
    Han Ki berlari ke pantai, berteriak nyaring, “Sumoiiii...!”
    Akan tetapi samar-samar dia hanya melihat kedua orang sumoi-nya itu menoleh dan melambaikan tangan,
    kemudian tangan yang melambai itu menyentuh muka, seperti menghapus air mata! Tak terasa lagi kedua
    mata Han Ki menjadi basah dan dia memandang sampai kedua buah perahu itu lenyap dari pandang
    matanya. Di dalam hatinya, semenjak tinggal di situ dia sudah mengambil keputusan untuk tidak kembali
    ke dunia ramai. Akan tetapi kini kedua orang sumoi-nya, dua orang yang paling dicintainya di dunia ini,
    meninggalkan Pulau Es, menempuh hidup menghadapi dunia ramai yang penuh bahaya.
    Teringat dia akan cita-cita kedua orang sumoi-nya membalas dendam, dan terbayanglah dia betapa sumoisumoi-
    nya itu akan menghadapi bahaya-bahaya besar. Betapa mungkin ia mendiamkan saja kedua orang
    yang dikasihinya itu terancam bahaya di sana? Tidak, dia harus pergi menyusul, membantu mereka dan
    kalau mungkin mengakurkan mereka. Akan tetapi mungkinkah ini? Betapa pun juga, dia harus menyusul
    mereka dan berusaha.
    Setelah dua buah perahu itu tidak tampak lagi, Han Ki mengalami perasaan yang selama hidupnya belum
    pernah dirasainya, yaitu perasaan hati kosong dan nelangsa, seolah-olah semangat dan segala gairah
    hidupnya terbang melayang dibawa pergi bayangan dua buah perahu yang ditumpangi Maya dan Siauw
    Bwee. Lenyaplah semua gairah dan kegembiraan hidup, seolah-olah kegembiraan hidupnya selama ini
    berada di tangan kedua sumoi-nya itu. Han Ki menjatuhkan diri duduk di pantai. Ia termenung, hatinya
    kosong, sedangkan pikirannya melayang-layang jauh mencari-cari dan terkenanglah ia akan keadaan
    hidupnya selama ini.
    Semenjak kecil ia sudah sebatang kara, seorang diri di dunia ini dan selama itu ia selalu gembira, tidak
    pernah merasa kehilangan sesuatu. Kemudian pengikatan cinta kasihnya dengan Sung Hong Kwi
    membuat ia merasa sengsara dan menderita kehilangan karena dipisahkan dari orang yang dicintanya itu.
    Namun rasa sengsara itu terobati ketika ia tinggal di pulau ini bersama kedua orang sumoi-nya. Semua
    rasa sayangnya ia curahkan kepada kedua orang sumoi-nya itu. Dan sekarang timbul pula keruwetan
    karena cinta, dan akhirnya dia menderita lebih hebat lagi setelah kedua orang itu pergi meninggalkan Pulau
    Es, meninggalkan dia! Maka teringatlah ia akan petuah-petuah Bu Kek Siansu, gurunya yang bijaksana.
    “Han Ki, segala hal yang menimpa dirimu kelak, jangan kau persalahkan keadaan di luar dirimu, karena
    sesungguhnya yang menjadi sebab dari pada akibat yang menimpa diri berada di dalam diri sendiri. Carilah
    sebab-sebabnya pada dirimu sendiri dan dengan jalan itu engkau akan dapat memperbaiki diri dan
    dunia-kangouw.blogspot.com
    mengenal kekotoran diri sendiri. Mengenal cacat diri pribadi jauh lebih penting dan berharga dari pada
    mengenal cacat selaksa orang lain.”
    Teringat akan petuah ini, Han Ki mengangguk-angguk, kemudian termenung lagi karena dalam menderita
    kekosongan hati dan kehilangan ini lapat-lapat terngiang di telinganya petuah gurunya mengenai hal ini.
    “Segala peristiwa merupakan mata rantai yang tak dapat dipisah-pisahkan, karena saling menyambung,
    saling mengikat dan saling menjadi sebab. Segala macam perasaan suka-duka, gembira, marah, puas,
    kecewa dan lain-lain hanyalah permainan dari pada rasa sayang diri dan iba diri. Yang mau bersuka tentu
    akan bertemu dengan duka. Ingatlah, Han Ki, bahwa senang bergandeng tangan dengan susah. Hanya dia
    yang MEMILIKI saja yang akan KEHILANGAN! Memiliki itu bersifat senang, akan tetapi memiliki membawa
    datang kewajiban paksa yaitu MENJAGA karena di depannya terbentang mengerikan jurang
    KEHILANGAN. Karena ada dan tiada itu saling mengait, yang ada tentu akan tiada, sebaliknya yang tiada
    tentu akan ada, maka yang memiliki tentu akan kehilangan! Dan dia yang merasa suka di waktu memiliki,
    sudah tentu saja akan menderita duka di waktu kehilangan. Oleh karena itu, Han Ki, berbahagialah si
    bijaksana yang TIDAK MEMILIKI APA-APA, karena dia akan bebas dari pada suka mau pun duka!”
    Han Ki termenung mengerutkan alisnya. Betapa tepat petuah gurunya itu, betapa cocok dengan keadaan
    hidupnya. Bahkan ia yakin bahwa wejangan itu cocok pula dengan kehidupan semua manusia.
    Orang yang tidak mempunyai apa-apa takkan khawatir kehilangan. Si pembesar khawatir kehilangan
    kedudukannya, si hartawan khawatir kehilangan hartanya, si terkenal khawatir kehilangan kesohorannya,
    dan kalau sampai kemudian terjadi kehilangan, itu akan menimbulkan duka.
    Seperti dia sekarang, karena dia memiliki kedua orang sumoi-nya, mencintainya, maka kini kehilangan dan
    menimbulkan duka nestapa di hatinya, menyesal kecewa dan suka! Dahulu pun, karena dia memiliki Sung
    Hong Kwi, mencintainya, dia menjadi berduka ketika kehilangan. Andai kata dia tidak memiliki kesemuanya
    itu, pasti sekarang dia akan tetap hidup tenang gembira!
    “Janganlah kita sampai dikuasai nafsu, Han Ki. Sebaliknya kita harus menguasai nafsu perasaan sehingga
    kita mempunyai tanpa memiliki. Pada lahirnya kita mempunyai namun batin kita tidak terikat sehingga batin
    kita tidak tergoncang sewaktu yang kita punyai itu hilang, karena hal itu sudah wajar. Mata batin yang
    sadar sudah menjadi waspada, melihat sesuatu berlandaskan kewajaran sehingga tidak lagi menjadi kaget,
    tidak menjadi duka karenanya. Menang dan kalah sudah menjadi rangkaian maka wajarlah. Berkumpul dan
    berpisah wajar pula. Tidak ada hal aneh di dunia ini yang patut disesalkan.”
    Han Ki menghela napas panjang. Melamun dan mengenangkan kembali semua wejangan gurunya yang
    merupakan obat yang amat mujarab karena kini dia merasa hatinya ringan, tidak seberat tadi, sungguh pun
    gundah gulana yang menyesak dada tidak mungkin dapat lenyap. Bukan hanya karena kehilangan dua
    orang yang dicintainya, melainkan karena kedua orang sumoi-nya itu membawa ganjalan hati yang rumit,
    membawa dendam dan permusuhan karena cinta, cinta dua orang dara remaja terhadap dirinya!
    Mulai saat itu bangkitlah semangat Han Ki dan dia lalu membuat sebuah perahu. Beberapa pekan
    kemudian berangkatlah Han Ki menaiki perahunya yang kecil sederhana, meninggalkan Pulau Es,
    meninggalkan tiga buah arca yang seolah-olah kini menggantikan mereka menghuni Istana Pulau Es yang
    mereka tinggalkan.
    Kalau hati Han Ki merana karena ditinggal pergi dua orang yang dikasihinya sehingga dunia terasa kosong
    olehnya, hati Maya pun merana penuh kekecewaan dan penuh cemburu terhadap sumoi-nya. Dia
    mencintai suheng-nya. Melihat sikap suheng-nya selama lima tahun dia tinggal di Pulau Es, dia pun
    merasa yakin bahwa suheng-nya mencintainya. Bukan hanya mencinta seperti seorang suheng terhadap
    sumoi-nya, melainkan cinta seorang pemuda terhadap seorang dara!
    Hal ini diketahuinya benar atau diduganya penuh keyakinan. Menyaksikan sikap dan pandang mata Han Ki,
    juga ketika suheng-nya mengukir arcanya, jari-jari tangan suheng-nya itu penuh perasaan dan amat mesra,
    sehingga ketika ia menonton suheng-nya bekerja menyelesaikan arcanya, dia merasa seolah-olah jari
    tangan suheng-nya itu bukan meraba-raba arca, melainkan meraba dan membelai tubuhnya sendiri,
    dunia-kangouw.blogspot.com
    membuat ia merasa mesra dan nikmat. Akan tetapi, mengapa suheng-nya tidak mau mengaku cinta?
    Apakah karena di sampingnya ada Siauw Bwee?
    Hatinya kecewa, penasaran, dan mengkal. Maka larilah dara ini kepada cita-citanya. Dia harus memenuhi
    cita-citanya. Dia harus membalas dendam keluarganya. Membalas kematian ayah bundanya, membalas
    kehancuran kerajaan ayahnya. Dia akan membalas dendam kepada Kerajaan Mongol dan Kerajaan Sung,
    terutama sekali Kerajaan Sung karena selain kerajaan ini ikut bertanggung jawab atas kehancuran
    Kerajaan Khitan dan tewasnya ayah bundanya, juga Kerajaan Sung telah menewaskan pek-hu-nya,
    Menteri Kam Liong, dan telah membikin sengsara pula kepada suheng-nya, Kam Han Ki.
    Dia harus membalas Kerajaan Sung, inilah tugasnya yang paling penting. Biar pun dia tidak tahu
    bagaimana caranya membalas dendam kepada sebuah kerajaan, namun dia akan mencari cara itu, dan
    tidak akan berhenti sebelum cita-citanya tercapai. Dia percaya bahwa ilmu kepandaiannya sudah cukup
    tinggi dan dia tidak takut menghadapi siapa pun juga di Kerajaan Sung!
    Perahunya berlayar terus ke barat. Sampai keesokan harinya, dia belum melihat daratan besar, hanya
    bertemu dengan pulau-pulau kecil yang kosong. Akan tetapi pada keesokan harinya, menjelang tengah
    hari, ia terkejut melihat sebuah mayat manusia terbawa ombak berlalu di dekat perahunya. Mayat seorang
    laki-laki yang berpakaian tentara! Maya cepat lari ke pinggir perahu dan kini tampaklah olehnya bahwa
    bukan hanya sebuah itu saja mayat yang terapung di laut karena segera tampak banyak sekali mayat
    manusia di samping bagian-bagian perahu yang pecah dan peralatan perang yang terbawa hanyut oleh
    ombak. Siapakah mereka?
    Tentara mana dan mengapa perahu mereka pecah dan mereka semua tewas? Pada tubuh mayat-mayat
    itu tampak luka-luka bekas senjata tajam. Agaknya terjadi pertempuran yang mengakibatkan semua ini,
    pikirnya. Tiba-tiba ia makin terkejut melihat asap membubung tinggi di sebelah kiri perahu, agak jauh dari
    situ.
    Maya cepat mengatur kemudi dan membelokkan perahunya menuju ke arah asap yang membubung tinggi.
    Perahunya melawan ombak dan tak lama kemudian tampaklah olehnya penyebab asap itu. Kiranya ada
    beberapa buah perahu terbakar dan di atas lautan yang bergelombang itu tampak olehnya pertempuran
    yang dahsyat antara dua pasukan di atas perahu-perahu besar dan kecil yang bergerak-gerak naik turun
    oleh ombak. Udara yang digelapkan oleh asap itu penuh dengan anak panah yang beterbangan ke sanasini
    mengeluarkan bunyi bersuitan dan amat banyak bagaikan hujan saling menyerang musuh kedua pihak.
    Tampak pula panah-panah yang dipasangi kain berminyak yang bernyala-nyala menyambar perahuperahu
    dan terbakarlah perahu-perahu yang terkena panah berapi ini. Dahsyat dan mengerikan, bising
    oleh suara anak panah, suara api memakan perahu, dan suara teriakan-teriakan manusia sedang berjuang
    melawan maut. Mayat-mayat bergelimpangan di atas perahu-perahu, ada yang terapung-apung, ada pula
    yang terluka dan belum mati terlempar ke laut. Teriakan mereka melolong-lolong karena ngeri menghadapi
    maut di laut, sungguh menyayat hati.
    Banyak sekali di antara prajurit yang tadinya dengan gagah berani menghadapi maut melawan musuh,
    setelah kini berada dalam cengkeraman maut yang berada di tengah gelombang lautan, menjerit-jerit dan
    minta tolong seperti seorang pengecut yang penakut. Memang ada kalanya orang yang berani mati
    menghadapi ancaman maut di tangan senjata tajam musuh menjadi ketakutan menghadapi ancaman maut
    ditelan air.
    Maya memandang semua itu dengan hati tertarik. Aneh-aneh sekali. Dia tidak merasa ngeri atau takut!
    Pengalaman-pengalamannya setelah Kerajaan Khitan hancur, ketika dia dibawa pasukan Khitan yang
    berkhianat di bawah pimpinan bekas pengawal Bhutan, amatlah hebatnya sehingga perang bukan
    merupakan hal yang baru baginya.
    Dia sama sekali tidak merasa takut atau ngeri, bahkan tertarik hatinya untuk ikut pula berperang! Dia tidak
    tahu siapa yang berperang, akan tetapi dia ingin membantu pihak yang terdesak! Karena itu Maya
    mempercepat perahunya menghampiri daerah perang yang mengerikan itu, dan matanya memandang
    penuh perhatian. Ketika ia melihat sebuah perahu besar seperti perahu perang dikepung oleh banyak
    perahu-perahu kecil, ia mendekatkan perahunya ke tempat itu.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Kagum hatinya menyaksikan beberapa orang berpakaian perwira dan anak buahnya mempertahankan
    perahu besar itu. Setiap kali ada prajurit dari perahu-perahu kecil itu berhasil meloncat ke atas perahu
    besar, tentu orang ini roboh lagi dengan tubuh terluka. Gerakan para perwira di atas perahu besar
    menunjukkan bahwa mereka memiliki kegagahan dan kepandaian lumayan. Akan tetapi serangan anak
    panah yang seperti hujan lebatnya telah merobohkan banyak anak buah perahu besar sehingga di atas
    dek perahu besar itu telah bertumpukan mayat-mayat prajurit.
    Hanya beberapa orang perwira yang masih sempat mempertahankan diri, menggunakan golok besar atau
    pedang untuk menangkis semua anak panah yang menyambar ke arah diri mereka. Di antara beberapa
    orang perwira itu, ada dua orang yang amat mengagumkan hati Maya.
    Mereka itu amat gagah perkasa, bukan hanya melindungi diri sendiri namun juga orang ini membagi-bagi
    perintah dan berusaha melindungi anak buah mereka dengan pedang mereka yang panjang. Seorang di
    antara mereka yang berpakaian amat indah dan gagahnya dapat ia kenal dari pakaiannya sebagai seorang
    panglima besar, berjenggot panjang dan sudah putih.
    Ada pun orang kedua adalah seorang berpakaian panglima muda yang brewok dan gagah perkasa, yang
    berjuang bahu-membahu dengan Si Panglima Besar. Namun keadaan mereka itu amat terdesak, tidak
    hanya karena pihak musuh yang amat banyak jumlahnya, yang meloncat dari perahu-perahu kecil yang
    mengepung perahu besar, akan tetapi juga karena para anak buah mereka itu sibuk memadamkan perahu
    besar yang sudah terbakar sebagian!
    “Gak-goanswe (Jenderal Gak), engkau sudah memberontak terhadap Kerajaan Sung, dan sekarang telah
    terkepung. Menyerahlah!” terdengar teriakan dari perahu-perahu kecil.
    Mendengar ini segera timbul rasa suka di hati Maya terhadap jenderal yang agaknya memberontak
    terhadap pemerintah Sung ini. Inilah kesempatannya untuk membalas, pikirnya. Yang berperahu besar itu
    adalah seorang jenderal dengan anak buahnya yang memberontak dan lawan mereka adalah tentara
    Kerajaan Sung yang harus dibasminya!
    Dengan dayungnya, Maya lalu mendayung perahunya menuju ke tengah medan pertempuran. Ada anak
    panah yang menyeleweng dan menyambar ke arahnya, akan tetapi hanya dengan kebutan tangan ia
    berhasil meruntuhkan semua anak panah dan akhirnya ia dapat mendekatkan perahunya ke perahu besar
    setelah melalui kobaran api yang memakan perahu. Dengan gerakan bagaikan seekor burung walet,
    tubuhnya mencelat ke atas perahu besar.
    “Basmi tentara Sung yang lalim!” teriaknya dan sekali menggerakkan kaki tangan, tiga orang tentara Sung
    yang mengeroyok panglima besar pemberontak itu roboh.
    Dengan cekatan sekali Maya merampas sebatang golok dan sebatang pedang, lalu mengamuklah sang
    dara perkasa ini yang membuat Si Jenderal melongo. Baru sekarang ini ia menyaksikan seorang dara jelita
    yang masih remaja, bersilat secara aneh, tangan kiri mainkan golok dengan ilmu golok sedangkan tangan
    kanan mainkan pedang dengan ilmu pedang.
    Dalam waktu beberapa menit saja, lima orang pengeroyok roboh dan tubuh mereka mencelat ke luar dari
    perahu besar, terjatuh ke laut karena ditendang kaki-kaki yang kecil mungil itu! Setelah kepungan terhadap
    diri Sang Jenderal itu berkurang sehingga Sang Jenderal dengan leluasa dapat bergerak melindungi
    dirinya, Maya lalu meninggalkannya untuk mengamuk dan membabati tentara musuh yang mulai
    membakar layar perahu besar.
    Amukannya hebat sekali dan setelah golok dan pedang rampasannya yang buruk itu rusak-rusak, ia
    menangkap tengkuk leher seorang perwira Sung yang berhasil naik ke perahu besar, kemudian merampas
    pedang dan sarung pedangnya yang indah, dan sekali menggerakkan tangan ia melempar tubuh sang
    perwira Sung dari perahu besar pula. Kini dara perkasa itu mengamuk dengan pedang di tangan kanan
    dan sarung pedang di tangan kiri.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Akan tetapi di sebelah belakang perahu besar terjadi keributan hebat. Maya cepat menengok dan alangkah
    kagetnya ketika ia menyaksikan pemandangan aneh. Dua orang laki-laki yang tubuhnya menempel satu
    sama lain, dua orang dampit, mengamuk dan membantu tentara kerajaan Sung! Gerakan mereka tangkas
    dan aneh sekali. Maya segera teringat akan cerita suheng-nya akan sepasang manusia dampit yang amat
    lihai, bersembunyi di tempat keramat Pulau Nelayan. Pada saat itu perwira pemberontak yang brewok,
    yang gagah perkasa menerjang marah kepada sepasang orang dampit yang merobohkan banyak anak
    buahnya.
    Perwira muda itu menerjang dengan pedang panjangnya, menyerang dua orang yang tubuhnya menjadi
    satu dan bersambung di bagian punggung. Akan tetapi Si Dampit itu lihai bukan main karena empat buah
    tangan mereka bergerak secara berbareng dan tahu-tahu pedang di tangan panglima muda itu telah
    dirampas, pundak Si Panglima Muda dicengkeram dan di lain saat Sang Panglima Muda pemberontak
    sudah ditawan dan dikempit dalam keadaan lumpuh tertotok!
    “Tawan dan bawa dia ke sini!” terdengar perintah dari sebuah di antara perahu kecil.
    Maya menjadi marah sekali. Begitu melihat sepasang manusia dampit, sudah timbul kebenciannya, apa
    lagi melihat mereka telah menawan panglima muda pemberontak yang sedang dibelanya. Maka ia pun
    merobohkan para pengeroyok dengan pedangnya yang digerakkan secara luar biasa cepatnya, kemudian
    tubuhnya meloncat ke arah sepasang orang dampit, pedangnya menyambar, sekaligus membabat dua
    buah kepala orang dampit itu.
    “Wuuuuttt... tranggg...!”
    Maya terkejut karena tenaga manusia-manusia dampit itu ternyata amat kuat sehingga pedangnya tergetar.
    Namun manusia dampit itu lebih kaget lagi karena pedang dara yang ditangkis itu kini telah melakukan
    gerakan melengkung dan tahu-tahu sudah menyambar ke arah empat buah kaki mereka. Cepat mereka
    meloncat ke atas dan Maya mendapat kenyataan bahwa dua orang dampit itu tidak saja kuat sinkang-nya,
    akan tetapi juga amat lihai ginkang-nya.
    “Lepaskan dia...!” Maya membentak dan mengirim serangan bertubi-tubi.
    Selama berada di Pulau Es, dia dan sumoi-nya paling tekun mempelajari ilmu pedang dan ilmu pedang
    yang mereka latih bersama Han Ki adalah ilmu pedang ciptaan Bu Kek Siansu, hebatnya bukan main. Baru
    sinar pedangnya saja sudah berbahaya sekali, dapat merobohkan lawan, apa lagi kini ia mendesak dari
    jarak dekat!
    Sepasang manusia dampit itu tadinya memandang rendah dan mengandalkan tiga buah tangan mereka
    untuk melawan Maya, karena yang sebuah mengempit tubuh Si Panglima Muda. Namun sepasang senjata
    di kedua tangan Maya, yaitu pedang dan sarung pedangnya, amatlah hebat gerakannya. Selain aneh
    gerakannya juga cepat bukan main dan mengandung tenaga sinkang yang dingin menusuk tulang. Setiap
    kali senjata kedua orang dampit itu bertemu pedang di tangan Maya, kedua orang itu menggigil dan
    terdengar seorang di antara mereka yang kepalanya botak, berseru,
    “Gadis siluman!”
    Orang kedua yang berambut riap-riapan berseru, “Loncat turun, bawa dia lari!”
    Si Kepala Botak yang mengempit tubuh panglima muda dengan tangan kanannya membuat gerakan maut,
    dibantu oleh kaki Si Rambut Panjang yang juga mengenjot tubuhnya. Karena loncatan mereka digerakkan
    oleh enjotan empat buah kaki, tubuh mereka melayang cepat ke luar dari perahu besar. Mereka meloncat
    ke atas atap sebuah perahu kecil dan terus melompat dari situ ke perahu lain, agaknya hendak membawa
    tawanan mereka ke perahu dari mana tadi terdengar suara perintah pemimpin mereka.
    Akan tetapi Maya juga meloncat, gerakannya seperti burung walet, amat cepatnya melakukan pengejaran.
    “Ke mana kau hendak lari, setan dampit?” bentaknya, pedangnya berkelebat menyambar dari belakang.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Si Rambut Panjang yang berada di sebelah belakang menangkis dengan pedangnya, kemudian sisihannya
    sudah melompat lagi, kini tidak melompat ke perahu, melainkan melompat ke... air! Maya terkejut, mengira
    bahwa Si Dampit hendak terjun ke air, hal yang tentu saja tak dapat ia lakukan karena biar pun dia pandai
    berenang, namun kepandaiannya di air tidaklah boleh diandalkan untuk melawan musuh lihai seperti Si
    Dampit itu.
    Akan tetapi ternyata bahwa Si Dampit itu tidak menceburkan diri ke air, melainkan hinggap di atas mayat
    seorang tentara yang sudah mati, yang mengapung di air dengan menelungkup! Maya menyambar cepat,
    hinggap di atas kayu pecahan perahu dan pedangnya menyambar, akan tetapi Si Dampit sudah melompat
    lagi menggunakan mayat itu sebagai tempat loncatan. Dari perbuatan ini saja dapat dibayangkan betapa
    lihai Si Dampit ini dan betapa tinggi ginkang-nya. Namun Maya tidak kalah cepat dan terus loncat mengejar,
    bahkan menyusul, dan selagi tubuh mereka di udara, ujung pedangnya yang menyambar dengan cepat
    menusuk lengan Si Botak yang mengempit tubuh perwira yang melawan itu.
    “Aduhhh...!” Si Botak berteriak dan tentu saja kempitannya terlepas.
    Maya yang menangkis serangan pedang Si Rambut Panjang dengan sarung pedangnya berjungkir balik di
    udara, menggigit pedangnya dan tangan kanannya dengan gerakan seperti seekor burung elang
    menyambar kelinci sudah mencengkeram leher baju Si Panglima Muda dan kembali berjungkir balik,
    tubuhnya melayang ke atas sebuah perahu. Dari situ kembali ia berloncatan menggunakan pecahan
    perahu, mayat-mayat tentara, dan atap-atap perahu yang sedang terbakar, langsung ke perahu besar. Dia
    masih sempat membebaskan totokan Si Panglima Muda dan melemparkan tubuhnya itu ke atas dek
    perahu, kemudian memutar senjatanya menghadapi para musuh yang mengeroyok sambil berkata,
    “Tai-ciangkun, lekas putar perahu dan tinggalkan tempat ini. Biar aku yang menghadapi anjing-anjing Sung
    ini!” Panglima tinggi yang merasa bersyukur melhat pembantunya selamat merasa kagum bukan main. Ia
    lalu berkata, “Lihiap... harap memperkenalkan nama yang mulia...”
    “Cepat putar perahu!” Maya menjawab tanpa memperkenalkan nama.
    Dia mengamuk amat hebat sehingga para pengeroyok menjadi gentar dan mereka berlompatan
    meninggalkan perahu besar yang mulai diputar kemudinya. Perahu itu telah dapat dipadamkan dari bahaya
    kebakaran, sedangkan sisa pasukan musuh pun sudah berloncatan ke air! Mereka tak memperhitungkan
    lagi, pokoknya mereka dapat lari dari dara perkasa yang seperti setan itu!
    Kegembiraan besar karena dia dapat membunuhi tentara-tentara Sung membuat Maya seperti seekor
    harimau haus darah. Dia meloncat pula meninggalkan perahu besar, mengejar dan mengamuk dari perahu
    ke perahu sehingga pasukan Sung menjadi kacau-balau dan terdengarlah perintah menyuruh perahuperahu
    kecil untuk mundur!
    Akhirnya tempat itu menjadi sunyi. Perahu besar panglima yang memberontak sudah pergi jauh, perahuperahu
    kecil pasukan Sung sudah pergi semua. Yang tampak hanya perahu-perahu terbakar, pecahanpecahan
    perahu, mayat-mayat manusia yang mulai bergoyang-goyang karena kakinya disambari ikan hiu,
    dan rintih tangis mereka yang terluka dan masih belum mati. Ada yang meronta-ronta di air berusaha
    berenang menyelamatkan diri, ada yang terapung di pecahan-pecahan perahu.
    Maya berdiri di atas sebuah balok pecahan tiang perahu, pedang di tangan, berdiri tegak dengan wajah
    berseri, dadanya turun naik, napasnya agak memburu karena dia telah mengeluarkan banyak tenaga. Baru
    sekarang terasa betapa lelahnya tubuhnya, dan betapa perih kaki di paha kirinya karena serempetan golok
    para pengeroyok yang ketika ia mengamuk tadi tidak dirasakannya.
    Tiba-tiba dara perkasa itu menjerit kaget. Balok yang diinjaknya terbalik dan terseret ke bawah dan tentu
    saja tubuhnya terlempar ke air! Ia gelagapan dan pedang serta sarung pedang terpaksa dibuangnya
    karena ia membutuhkan kedua tangannya untuk berenang. Akan tetapi tiba-tiba kakinya terpegang atau
    tergigit sesuatu, lalu tubuhnya diseret ke dalam air. Ia berusaha meronta, akan tetapi karena memang
    bukan ahli di air, ia gelagapan, minum air laut dan tak lama kemudian tubuhnya tenggelam.....
    ********************
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Kita tinggalkan dulu Maya yang terancam bahaya maut tanpa ia ketahui sebabnya dan kita tengok keadaan
    Pek-kong-to Tang Hauw Lam Si Golok Sinar Putih, suami Mutiara Hitam yang tekun menggembleng kedua
    orang muridnya, yaitu Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa. Pekerjaan ini dilakukan dengan amat tekun oleh Tang
    Hauw Lam yang seolah-olah sudah mati perasaan dan kemauannya akan hal lain. Memang sejak ditinggal
    mati isterinya yang tercinta, Mutiara Hitam yang gugur ketika berusaha membalas kematian kakak
    kembarnya Raja Talibu dari Kerajaan Khitan, dan menyerbu Kerajaan Mongol, Tang Hauw Lam kehilangan
    gairah hidup. Kalau saja tidak ada dua orang muridnya dan tidak hendak memenuhi pesan terakhir
    isterinya tercinta agaknya pendekar ini lebih baik memilih mati menyusul isterinya.
    Kini ia mencurahkan seluruh kepandaiannya mengajar kedua orang muridnya yang dilatih sesuai dengan
    kitab-kitab peninggalan isterinya sehingga dalam waktu lima tahun saja kedua orang murid itu telah
    memperoleh kemajuan hebat dan telah dapat mewarisi hampir semua kepandaian Mutiara Hitam! Tentu
    saja mereka masih jauh kalau dibandingkan dengan mendiang subo mereka, kalah latihan dan kalah
    pengalaman. Namun tidaklah terlalu dilebih-lebihkan kalau dikatakan bahwa pada masa itu, sukarlah dicari
    pemuda-pemudi remaja yang memiliki ilmu kepandaian setinggi kedua orang murid Mutiara Hitam ini.
    Akan tetapi dalam keadaan tiada semangat dan selalu terbenam kedukaan dan kerinduan terhadap
    isterinya seperti itu, tubuh Tang Hauw Lam menjadi kurus kering dan wajahnya selalu muram dan pucat.
    Bekas pendekar besar ini tiada bersemangat pula untuk memperhatikan kedua muridnya kecuali dalam
    pelajaran ilmu silat yang ia turunkan, sama sekali tidak memperhatikan hal lain dan sama sekali tidak
    memperhatikan soal pendidikan. Bekas pendekar besar yang sekarang seperti pohon layu kekeringan itu
    lupa bahwa kedua orang muridnya telah mulai dewasa, dan bahwa dalam usia seperti itu mereka bukan
    lagi kanak-kanak, perlu pembatasan di dalam pergaulan mereka.
    Setelah mendapat kenyataan bahwa tingkat kepandaian kedua orang muridnya itu telah cukup tinggi,
    mulailah dia menurunkan ilmu pedang yang dahulu membuat Mutiara Hitam terkenal sekali, yaitu Ilmu
    Pedang Siang-bhok Kiam-sut (Ilmu Pedang Kayu Harum). Ilmu pedang yang diturunkannya kepada murid
    perempuannya Ok Yan Hwa ini telah ia pelajari dari kitab peninggalan Mutiara Hitam, dan dalam melatih
    ilmu pedang ini Tang Hauw Lam sengaja menyerahkan Pedang Iblis yang betina kepada Yan Hwa.
    Pada waktu yang sama, ia menyerahkan Pedang Iblis yang jantan kepada Can Ji Kun dan mengajarkan
    ilmu pedang yang bersumber dari Ilmu goloknya yang dahulu membuatnya amat terkenal, yaitu Ilmu Golok
    Pek-kong To-hoat (Ilmu Golok Sinar Putih). Dengan tingkat kepandaiannya yang amat tinggi, bekas
    pendekar besar ini mampu mengubah ilmu goloknya menjadi ilmu pedang dan menurunkan ilmu pedang ini
    kepada Ji Kun. Akan tetapi tentu saja untuk melengkapi ilmu kedua orang muridnya, dia mengajarkan
    kedua ilmu pedang itu kepada mereka, hanya berpesan agar Yan Hwa khusus memperdalam Siang-bhok
    Kiam-sut, sedangkan Ji Kun memperdalam Pek-kong Kiam-sut.
    Setahun lamanya kedua orang muda itu menggembleng diri sehingga akhirnya mereka dapat menguasai
    ilmu pedang masing-masing dan sepasang pedang yang kini diserahkan kepada mereka itu benar-benar
    amat luar biasa. Kalau mereka berlatih, terdengar bunyi berdesingan dan tampaklah kilat menyambarnyambar
    menyilaukan mata.
    Tang Hauw Lam benar-benar tidak peduli sama sekali akan pendidikan moral murid-muridnya. Di samping
    mengajarkan ilmu silat, ia hanya selalu tekun besemedhi. Sebab itu bekas pendekar ini tidak tahu akan
    perubahan-perubahan yang terjadi dalam perhubungan kedua orang muridnya.
    Kekuasaan alam menguasai dua orang yang telah dewasa itu dan mulailah mereka itu saling tertarik. Masa
    kanak-kanak mereka lewat sudah. Menjelang kedewasaan mereka, masing-masing merupakan daya tarik
    yang luar biasa dan karena mereka hidup terasing, maka tanpa pengawasan terjadilah hal yang tidak aneh,
    yaitu kedua orang suheng dan sumoi ini mulai bermain dengan asmara!
    Tang Hauw Lam baru terkejut bukan main ketika pada suatu malam, secara tidak sengaja ia mendapatkan
    kedua orang muridnya itu sedang saling bermain cinta, saling bercumbu seperti kelakuan dua orang suami
    isteri!
    “Ji Kun! Yan Hwa!” bentaknya dengan muka pucat sekali, matanya terbelalak lebar penuh kemarahan.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Kedua orang muda itu terkejut, saling melepaskan pelukan dan menjatuhkan diri berlutut di depan suhu
    mereka yang marah. Sampai lama Tang Hauw Lam tak dapat berkata-kata, kemudian kemarahannya
    mereda dan jantungnya seperti ditusuk-tusuk rasanya karena apa yang dilakukan kedua orang muridnya itu
    menimbulkan rindu yang makin hebat, mengingatkan ia akan isterinya yang telah tiada.
    “Ahhh... dua orang muridku...? Ahhh, betapa isteriku akan kecewa sekali... aku... aku telah gagal mendidik
    kalian....” Ia tak dapat melanjutkan kata-katanya. Dengan terhuyung ia memasuki kamar di pondoknya dan
    bersila, memejamkan mata melawan kehancuran hatinya.
    Pada keesokan harinya Tang Hauw Lam dikejutkan suara ribut-ribut beradunya pedang dan angin pukulan
    yang berdesir-desir. Ia menjadi kaget. Kalau berlatih, bukan seperti itu gerakan pedang kedua orang
    muridnya. Sekali ini kedua pedang itu bergerak dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, gerakan orang
    bertempur mati-matian.
    Ia meloncat. Tubuhnya terhuyung lemah karena pukulan batin yang diterimanya selama ini membuat tubuh
    bekas pendekar yang sudah lemah itu menjadi makin lemah. Ketika ia tiba di luar pondok, Tang Hauw Lam
    terkejut bukan main melihat kedua orang muridnya itu telah bertanding mati-matian dengan pedang di
    tangan. Sepasang pedang iblis itu mereka pergunakan untuk saling serang dengan hebat! Apakah yang
    telah terjadi dengan sepasang orang muda yang semalam saling melimpahkan kasih sayangnya satu sama
    lain?
    Ternyata bahwa ketika gurunya mempergoki perbuatan mereka dan mengundurkan diri dengan penuh
    kemarahan dan kedukaan, dua orang ini lalu saling menyalahkan. Semalam suntuk mereka bercekcok,
    saling menuduh telah mulai dengan permainan cinta mereka, menuduh masing-masing lebih dulu mulai
    merayu dan memikat.
    Percekcokan menjadi makin sengit ketika masing-masing menyatakan bahwa ilmu pedangnya lebih lihai,
    pedang masing-masing lebih ampuh. Karena pertengkaran itu makin memuncak sehingga kemarahan
    mereka melampaui besarnya cinta kasih mereka, tak dapat dicegah lagi kedua orang muda yang masih
    berdarah panas ini lalu saling membuktikan keunggulan masing-masing dengan jalan mengadu ilmu secara
    mati-matian!
    Baru sekali ini mereka bertanding sungguh-sungguh, dan anehnya, begitu kedua pedang mereka saling
    bentrok, seolah-olah ada kekuasaan gaib yang membuat mereka menjadi makin penasaran dan tidak akan
    merasa puas sebelum memperoleh kemenangan. Seolah-olah mereka menjadi lebih marah dan lebih
    panas hatinya, timbul keinginan untuk keluar sebagai pemenang tanpa memperhitungkan lagi bagaimana
    harus mengalahkan lawan, kalau perlu membunuhnya! Anehnya, setelah bertanding, seolah-olah lenyap
    semua cinta kasih di antara mereka, bahkan lenyap pula semua persoalan saling menyalahkan sehingga
    malam tadi mereka kepergok suhu mereka. Kini yang ada hanyalah ingin menang! Ingin membuktikan
    bahwa ilmu pedangnya lebih tinggi dan pedang di tangannya lebih ampuh!
    Sebagai seorang ahli, sekali pandang saja Tang Hauw Lam maklum bahwa kedua orang muridnya itu
    tidaklah sedang berlatih atau main-main, melainkan saling serang dengan dahsyat dan mati-matian.
    Pandang matanya berkunang, kepalanya pening karena apa yang disaksikannya ini merupakan pukulan
    batin kedua yang hebat, yang menimbulkan kemarahan, kedukaan, penasaran dan kekecewaan. Juga dia
    terkejut bukan main karena dia seolah-olah tidak melihat kedua orang muridnya yang bertanding,
    melainkan Mahendra dan Nila Dewi, dua orang tokoh India yang membuat Sepasang Pedang Iblis itu!
    Wajah kedua orang muridnya itu mengeluarkan sinar yang sama, sinar mengerikan yang haus darah!
    “Ji Kun! Yan Hwa! Berhenti bertanding...!” Ia berseru sambil lari cepat menghampiri kedua orang muridnya.
    Akan tetapi seruannya itu sekali ini tidak seperti biasa pengaruhnya. Biasanya setiap seruannya tentu akan
    diperhatikan dan ditaati oleh kedua orang muridnya itu. Akan tetapi seruan dan perintahnya sekali ini sama
    sekali tidak dlgubris, tidak ditaati, bahkan kedua orang muridnya saling menyerang semakin dahsyat.
    “Ji Kun! Yan Hwa! Kalian masih tidak mau berhenti?” Tang Hauw Lam yang menjadi marah sekali ini
    meloncat ke depan dan menerjang maju. Ia melihat betapa kedua pedang muridnya itu membuat gerakan
    dunia-kangouw.blogspot.com
    saling menusuk. Ia tidak peduli dan cepat menerjang di tengah-tengah antara mereka sambil
    mendorongkan kedua tangannya ke kanan kiri.
    Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa mengeluarkan pekik tertahan. Tubuh mereka terlempar ke belakang dan
    masing-masing memandang suhu mereka yang berdiri tegak, kedua tangan mendekap lambung kanan kiri
    yang masih menyemburkan darah melalui celah-celah jari tangan yang menutup kedua luka itu!
    “Suhu...!” Kedua orang muda yang agaknya seperti baru sadar dari mimpi itu menjerit berbareng dan
    keduanya menangis terisak-isak.
    “Suhu... harap Suhu bunuh saja teecu...” Can Ji Kun meratap.
    “Suhu, bunuhlah teecu yang berdosa...!” Ok Yan Hwa juga berkata dengan suara merintih.
    Sepasang mata Tang Hauw Lam melotot memandang ke arah sepasang pedang di atas tanah. Pedang itu
    dilepas oleh kedua orang muridnya setengah dilempar seolah-olah mereka jijik menyaksikan pedang yang
    berlumuran darah suhu mereka dan sepasang pedang yang terjatuh dalam jarak berpisahan satu meter itu
    tiba-tiba sudah bergerak seperti saling tarik dan kini bagian gagang mereka saling melekat! Dia memang
    tahu akan sifat pedang-pedang itu, yaitu bagian mata pedang saling tolak akan tetapi bagian gagang saling
    tarik!
    “Sepasang Pedang iblis! Pedang-pedang terkutuk... aaahhhh...!”
    “Suhu... teecu berdosa...!” Ji Kun berkata pula, penuh penyesalan.
    “Suhu, bunuh saja teecu...!” Yan Hwa juga meratap lagi.
    Tang Hauw Lam menunduk, memandang kedua muridnya. Kemarahannya lenyap dan kini ia tersenyum!
    “Tidak, kalian tidak sengaja... dan... dan terima kasih... aku girang sekali... akan dapat berjumpa dengan
    subo kalian... akan tetapi kalian... ahh, hati-hatilah... pedang-pedang itu terkutuk... aaaahhhh!” Wajah yang
    berseri itu memucat, matanya memandang ke atas, lalu ia tersenyum lebar. “Kwi Lan... isteriku, engkau
    masih menunggu aku...? Ha-ha, tunggulah, kekasihku, aku datang...!” Tubuhnya terguling.
    Kedua orang muridnya menubruk dan ternyata Tang Hauw Lam telah tewas, matanya terbuka, mulutnya
    tersenyum dan tarikan wajahnya berseri penuh bahagia!
    “Suhu...!” Ok Yan Hwa terguling roboh pingsan dan Can Ji Kun hanya dapat menangis, sebentar memeluk
    mayat suhu-nya, kemudian bingung hendak menyadarkan sumoi-nya.
    Tiga hari kemudian setelah mengubur jenazah suhu mereka yang mereka bawa ke Bukit Merak di Khitan
    dan dikuburkan di sebuah makam bersama Mutiara Hitam, kedua orang ini berpamit dari Gu Toan si
    bongkok yang menjaga kuburan keluarga itu dan yang membantu mereka mengubur jenazah Tang Hauw
    Lam sambil menghela napas penuh duka. Ji Kun dan Yan Hwa lalu berpisah, membawa pedang masingmasing.
    “Sumoi, mengapa kita harus berpisah? Engkau tahu bahwa kalau kita berpisah, kita berdua akan menderita,
    akan saling merindukan...” Can Ji Kun mencoba untuk membujuk sumoi-nya setelah berhari-hari ia
    membujuk dengan sia-sia.
    Yan Hwa menggeleng kepala dengan duka. “Tidak, kita telah berdosa. Dosa yang timbul karena kita
    berkumpul menjadi satu. Kalau dekat denganmu, aku akan selalu teringat akan dosaku terhadap Suhu,
    Suheng. Sebaiknya kita berpisah.” Ucapan itu dikeluarkan dengan suara tegas, namun mengandung
    kedukaan.
    “Sumoi, bukankah engkau cinta padaku seperti besarnya cintaku kepadamu?”
    Yan Hwa mengangguk. “Tidak kusangkal, akan tetapi cinta kita baru bersih dan membawa bahagia kalau
    engkau sudah mengakui keunggulan ilmu pedang dan po-kiam-ku (pedang pusakaku).”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Tiba-tiba sinar mata penuh kasih sayang lenyap dari mata pemuda itu, terganti sinar penasaran. “Akan
    tetapi, Sumoi. Mana bisa itu? Jelas bahwa ilmuku lebih tinggi darimu, pedangku juga tidak kalah. Ingat, aku
    suheng-mu, sudah semestinya lebih lihai darimu!”
    “Hemm, kita lihat saja! Ingin bukti? Mau melanjutkan yang dahulu?”
    Ji Kun bergidik, teringat betapa pertemuan di antara mereka mengorbankan nyawa suhu mereka. Sungguh
    pun hal itu terjadi tanpa mereka sengaja karena keduanya sedang diamuk penasaran dan kemarahan dan
    mereka juga tidak mengira bahwa suhu mereka demikian lemah dan lambat gerakannya sehingga
    termakan pedang mereka, namun peristiwa ini takkan pernah terlupa dan tetap akan menjadi tekanan batin
    dan perasaan berdosa.
    “Cukuplah, Sumoi. Kalau engkau menghendaki perpisahan di antara kita, baiklah. Akan tetapi, kita akan
    menderita...”
    “Aku akan kembali kepadamu setelah kuperdalam ilmuku, kembali untuk mengalahkan engkau dan setelah
    kau mengakui keunggulanku, baru aku suka menyambung kembali hubungan cinta kita.”
    “Gila...!” Ji Kun berseru akan tetapi ia pun merasa betapa yang gila dan berbeda pendapat seperti itu
    bukan hanya sumoi-nya, melainkan dia sendiri juga! Dia baru akan merasa puas dan cintanya takkan
    terganggu apa bila sumoi-nya mau tunduk dan mengaku kalah terhadapnya.
    Maka berpisahlah kedua orang muda yang saling mencinta itu, sama sakali mereka tidak sadar bahwa
    mereka telah berada dalam cengkeraman kekuasaan gaib dari Sepasang Pedang Iblis yang seolah-olah
    telah kemasukan roh dari Mahendra dan Nila Dewi. Dan pada waktu itu, kembali dunia kang-ouw
    kemasukan dua orang muda yang berilmu tinggi, yang mengambli jalan masing-masing, namun yang
    keduanya memiliki pedang pusaka yang haus darah, memiliki sebatang Pedang Iblis!
    ********************
    Agar tidak tertinggal terlalu lama dan jauh, marilah kita ikuti perjalanan Khu Siauw Bwee, seorang dara lain
    yang melakukan perjalanan seorang diri meninggalkan Istana Pulau Es dan meninggalkan hatinya pula
    yang seolah-olah tertinggal di pulau itu menemani suheng-nya yang diam-diam ia cinta sepenuh hatinya,
    Kam Han Ki! Dengan hati merana dan kosong, Siauw Bwee melayarkan perahu buatannya, menuju ke
    selatan. Seperti juga suci-nya ia ingin mengobati sakit hatinya dengan pelaksanaan cita-citanya.
    Pertama, dia ingin mencari ibunya yang dahulu mengungsi ketika ayahnya, mendiang Panglima Khu Tek
    San yang gagah perkasa, bersama suhu-nya, Menteri Kam Liong yang sakti melakukan usaha nekat, yaitu
    membebaskan Kam Han Ki dari dalam penjara istana. Kemudian ia akan menuntut balas atas kematian
    ayahnya. Akan tetapi dia tidak berpemandangan sepicik suci-nya, tidak mendendam kepada Kerajaan
    Sung, melainkan kepada Suma Kiat, jenderal yang lalim itu bersama semua kaki tangannya.
    Setelah melakukan palayaran selama belasan hari, barulah ia melihat daratan luas membentang di sebelah
    barat, maka ia lalu mendayung perahunya ke pantai. Dia berniat memasuki dunia ramai di daratan yang
    luas itu, maka perahunya sedianya akan ia tinggalkan begitu saja. Akan tetapi, ketika perahunya tiba di
    pantai ia melihat banyak nelayan di pantai, maka berkatalah ia kepada para nelayan yang datang
    menyambutnya dengan heran karena melihat seorang dara remaja dan jelita mendarat seorang diri,
    “Paman sekalian tentu dapat menggunakan dan memanfaatkan perahu ini. Aku suka menukarnya dengan
    seekor kuda yang baik. Siapa suka?”
    Para nelayan membelalakkan mata. Sebuah perahu yang biar pun amat sederhana namun kuat buatannya
    itu ditukar dengan kuda? Tentu saja banyak yang mau, maka berlarianlah mereka yang memiliki kuda dan
    tak lama kemudian di situ telah terdapat belasan ekor kuda yang dituntun oleh pemiliknya masing-masing.
    Siauw Bwee memilih seekor kuda berbulu hitam yang besar. “Aku memilih kuda ini. Pemiliknya boleh
    mendapatkan perahuku.”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Pemilik kuda itu seorang petani tua. Dengan wajah berseri ia menyerahkan kudanya kepada Siauw Bwee.
    “Nona, banyak terima kasih. Penukaran ini amat menguntungkan aku. Akan tetapi, hati seorang tua seperti
    aku akan selalu merasa tidak enak kalau tidak berterus terang. Nona, apakah Nona pandai menunggang
    kuda?”
    Nelayan itu jujur sekali tampaknya dan Siauw Bwee juga menjawab secara jujur, “Aku tidak pandai, Lopek.
    Akan tetapi ketika masih kecil dahulu, lima tahun yang lalu, aku pernah belajar menunggang kuda.”
    Nelayan tua itu menggeleng kepala. “Kalau begitu, biar pun hatiku amat menyesal karena tidak jadi
    mendapat keuntungan, aku tidak dapat melakukan penukaran ini, Nona. Silakan memilih lain kuda saja.”
    Siauw Bwee memandang heran. “Mengapa, Lopek?”
    “Kudaku ini adalah kuda liar, Nona. Belum lama kutangkap dari hutan. Amat sukar ditunggangi karena
    belum jinak. Aku sendiri, dan semua teman yang di sini belum ada yang mampu menundukkan dan
    menjinakkannya. Aku khawatir kalau Nona dilemparkan jatuh.”
    Siauw Bwee mengangguk-angguk dan diam-diam ia memuji kejujuran nelayan ini. Tahulah dia bahwa
    watak orang-orang pantai seperti juga orang-orang dusun di pegunungan yang sederhana dan dianggap
    bodoh ternyata jauh lebih baik dari watak orang-orang kota yang menganggap diri pintar! Ia tersenyum
    manis dan berkata, “Lopek, aku memerima kudamu ini dan aku tidak akan menyesal andai kata aku
    sampai dilemparkan dan mati sekali pun.”
    “Nona...!” Beberapa mulut para nelayan berseru mencegah.
    “Biarlah kucoba keliarannya!” Siauw Bwee berkata, memegang kendali kuda dan bagaikan seekor burung,
    tubuhnya sudah meloncat naik ke punggung kuda hitam besar itu.
    Benar saja kata-kata Si Nelayan. Kuda itu meringkik, lalu meloncat tinggi, melengkungkan punggungnya
    mengipat-ngipatkan tubuh. Ketika nona itu masih tetap duduk di atas punggungnya, ia lalu berdiri di atas
    kedua kaki belakang, menggoyang-goyang tubuh dan meringkik-ringkik, berusaha menoleh untuk
    menggigit orang yang menduduki punggungnya.
    Para nelayan berlari menjauhi, takut tergigit atau tertendang. Akan tetapi mereka melongo menyaksikan
    betapa nona jelita itu masih tetap di atas punggung kuda dengan tegak duduk menggunakan kedua kaki
    menjepit perut kuda. Ketika kepala kuda menoleh hendak menggigit, tangan Siauw Bwee bergerak
    menamparnya. Setiap kali menoleh kuda itu ditampar dengan pengerahan sedikit sinkang, sementara
    tubuhnya ditekan sehingga kuda itu tidak kuat menahan dan roboh mendeprok dengan penunggangnya
    masih tetap di atas punggung!
    “Dia jinak, Lopek,” kata Siauw Bwee sambil melompat turun. Kini kuda itu dapat berdiri lagi, empat buah
    kakinya gemetaran, akan tetapi dia menundukkan kepala dengan mata melirik takut ketika Siauw Bwee
    mengelus bulu di kepalanya.
    “Hebat... bukan main... siapakah... siapakah Nona...?” tanya nelayan itu. Kini mukanya, seperti muka
    teman-temannya, memperlihatkan sikap hormat dan takut.
    “Selamat tinggal Lopek!” Siauw Bwee meloncat ke atas punggung kudanya yang meringkik perlahan dan
    melambaikan tangan. “Lupakan aku, aku hanya seorang gadis pengembara biasa!” Ia menyepak perut
    kudanya dan kuda itu meringkik lagi lebih keras, lalu meloncat ke depan dan lari cepat sekali, diikuti
    pandang mata para nelayan yang melongo.
    Hati Siauw Bwee girang sekali. Kuda itu ternyata kuat dan tangkas, dapat berlari cepat dan tidak pernah
    mogok atau rewel. Biar pun melalui padang rumput yang hijau dan gemuk ia tidak berhenti sebelum
    dihentikan. Berhari-hari Siauw Bwee menunggang kuda, naik turun gunung dan masuk keluar hutan lebat.
    Pada suatu hari ia melihat seorang laki-laki berlari di sebelah depan. Ia heran dan juga girang. Heran
    melihat di tempat sunyi itu, di dalam hutan, ada seorang yang memiliki ilmu berlari cepat cukup lumayan,
    dunia-kangouw.blogspot.com
    dan girang karena dia yang mulai merasa bingung karena tidak mengenal jalan dan sudah berhari-hari
    tidak pernah bertemu manusia atau dusun kini bertemu orang yang tentu akan dapat ia tanyai arah ke kota
    raja Kerajaan Sung.
    Ia mempercepat larinya kuda untuk mengejar orang itu. Akan tetapi tiba-tiba orang itu menghilang di
    sebuah tikungan yang penuh pohon. Siauw Bwee mengejar sampai ke tempat itu dan menghentikan
    kudanya. Orang itu hilang tanpa meninggalkan jejak! Ia memandang ke kanan kiri, kemudian mendengar
    makian nyaring dari atas!
    “Setan! Siluman! Keluarlah kalau memang kalian memiliki kegagahan dan lawanlah aku, Hui-eng Liem Hok
    Sun!”
    Siauw Bwee mengangkat muka memandang dan ia terheran-heran. Orang yang dikejarnya tadi kini telah
    terjerat dalam sebuah jala dan tergantung di dahan pohon besar, meronta-ronta dan memaki-maki kalangkabut.
    Diam-diam Siauw Bwee merasa geli hatinya melihat orang yang berjuluk Hui-eng (Garuda Terbang)
    itu kini seperti seekor garuda dalan sebuah sangkar!
    Orang yang terjerat itu melihat Siauw Bwee melotot dan siap memaki-maki, akan tetapi ia melongo ketika
    melihat bahwa yang datang menunggang kuda adalah seorang dara remaja yang cantik jelita.
    Akhirnya Siauw Bwee yang membuka mulut lebih dulu, bertanya sambil tersenyum, “Sobat, kau sedang
    apa di situ? Mengapa terjala seperti ikan? Ataukah engkau memang seekor burung dalam kurungan?”
    Godaan Siauw Bwee ini timbul ketika mendengar julukan orang itu dan melihat bahwa orang itu adalah
    seorang pemuda berusia kurang lebih dua puluh lima tahun, mukanya memperlihatkan kekasaran seorang
    yang jujur dan penuh keberanian.
    Mendengar ucapan yang bernada mengejek ini, pemuda itu makin membelalakkan mata saking marahnya.
    Tangannya keluar dari celah-celah jala menuding ke arah muka Siauw Bwee, mulutnya terbuka lebar
    mengeluarkan kata-kata keras. “Eh, bocah cilik nakal! Apakah ini perbuatanmu? Jangan main-main kau!
    Aku bukan harimau atau beruang yang boleh kau jerat seperti ini. Hayo lepaskan aku, kalau tidak aku
    akan...”
    “Kau akan apa? Melepaskan diri sendiri pun tidak mampu, masih banyak lagak hendak mengancam orang!”
    Siauw Bwee makin suka menggoda menyaksikan orang kasar itu. “Dan biar pun engkau bukan harimau
    atau monyet, akan tetapi engkau adalah seekor burung tolol yang mudah dijerat, hi-hik!”
    “Eh, bocah! Lepaskan aku! Jangan main-main kau. Apakah engkau ini bocah yang baru turun di dunia
    kang-ouw sehingga tidak mengenal julukanku Hui-eng yang sudah terkenal di seluruh jagad?”
    Siauw Bwee tidak membenci orang itu. Malah sebaliknya, dia suka kepada orang yang kasar, jujur dan
    agaknya memiliki kepandaian lumayan ini dan berniat menolongnya. Kalau tadi ia menggodanya adalah
    karena tertarik melihat sikap orang itu. Akan tetapi, ketika ia berniat meloncat turun dan menolong
    membebaskan orang yang meronta-ronta dan berteriak-teriak itu, tiba-tiba telinganya mendengar gerakan
    banyak orang mendatangi dari jauh. Ia cepat memutar kudanya dan pergi dari situ.
    “Heee! Siluman betina! Kau hendak pergi ke mana? Lepaskan dulu aku, baru boleh pergi. Kalau pergi dulu,
    siapa yang akan membebaskan aku? Aku... aku ngeri melihat ke bawah...!” Akan tetapi Siauw Bwee tidak
    peduli dan cepat membawa kudanya bersembunyi, lalu ia kembali ke tempat itu, menyelinap di antara
    pohon-pohon dan mengintai.
    Tak lama kemudian, di tempat itu telah datang serombongan orang yang membuat Siauw Bwee bengong
    keheranan memandang mereka. Mereka itu terdiri dari dua belas orang, sembilan laki-laki dan tiga orang
    wanita. Melihat sikap mereka membayangkan bahwa mereka memiliki kepandaian tinggi, dan pakaian
    mereka pun biasa saja. Akan tetapi yang amat luar biasa adalah bahwa mereka semua hanya berkaki satu,
    alias buntung kaki kanan mereka! Sebagai pengganti kaki, mereka itu memakai tongkat bercagak yang
    mereka kempit di ketiak kanan. Biar pun mereka itu semua berkaki satu, namun mereka dapat melangkah
    cepat dan gerakan mereka sigap sekali, bahkan ketika mereka berdiri di bawah Hui-eng Liem Hok Sun
    yang tergantung di pohon, mereka berdiri tegak dengan sikap penuh wibawa.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Liem Hok Sun Si Garuda Terbang juga memandang ke bawah dan kini mulailah dia mengerti bahwa
    agaknya bukan Si Dara Jelita tadi yang menjeratnya, melainkan orang-orang berkaki buntung ini. Dia
    memang kasar, akan tetapi tidak bodoh dan dia pun maklum bahwa orang-orang buntung itu lihai sekali.
    Karena tidak mempunyai permusuhan dengan mereka bahkan tidak mengenal mereka, dia diam menutup
    mulut dan menanti perkembangan selanjutnya.
    “Susiok, kita kesalahan menjerat orang lain!” Seorang di antara tiga wanita itu berkata kepada seorang
    kakek berusia lima puluh tahun yang agaknya menjadi pimpinan rombongan.
    Kakek itu memandang tajam penuh perhatian kepada Liem Hok Sun, kemudian mengangguk-angguk dan
    menarik napas panjang. “Sayang sekali bukan seorang anggota mereka yang terjerat. Akan tetapi karena
    dia sudah berkeliaran di sini sampai terjerat, siapa tahu dia adalah bala bantuan dan mata-mata yang
    dikirim kaum tangan satu. Kita bawa dia menghadap Suhu.”
    Mendengar percakapan itu, Hok Sun berteriak-teriak, “Hei, saudara-saudara yang di bawah, dengarlah!
    Aku Hui-eng Liem Hok Sun, selamanya tidak ada permusuhan dengan kalian, juga tidak tahu-menahu
    siapa itu golongan lengan satu dan kaki satu! Lepaskan aku dan biarkan aku pergi!”
    “Pergilah kalau bisa!” Seorang berkaki buntung yang kelihatannya juga kasar dan berwatak dogol berkata.
    Dalam persembunyiannya Siauw Bwee menahan ketawanya. Nah ketemu batunya kau, orang kasar,
    pikirnya.
    Hok Sun melotot. “Sudah terang terjerat, mana bisa pergi? Totol amat kau! Coba lepaskan jerat ini, tentu
    aku akan dapat pergi!”
    Orang kasar berkaki satu itu tertawa bergelak, “Benarkah? Baru ada aku seorang saja di sini, engkau si
    goblok ini mana bisa pergi, apa lagi di sini sekarang terdapat Sam-susiok! Coba kita lihat, bagaimana
    engkau akan pergi!” Setelah berkata demikian, tubuh yang berkaki satu mencelat ke atas, tongkatnya
    membabat dan....
    “Brettt!” tali yang menggantung tubuh Hok Sun putus dan tubuh Si Kasar itu melayang jatuh ke bawah.
    Akan tetapi ternyata ginkang Hok Sun sudah cukup tinggi sehingga dia tidak terbanting jatuh, melainkan
    turun dengan kedua kakinya ringan menyentuh tanah. Setelah membuang jerat dari tubuhnya, Hok Sun
    menggerakkan tubuh hendak meloncat pergi karena dia tidak ingin membalas kepada belasan orang yang
    ia tahu lihai itu. Akan tetapi, begitu meloncat tampak sinar berkelebat dan tongkat kakek kaki buntung
    bergerak, tahu-tahu tubuh Hok Sun jatuh tersungkur! Si Kaki Buntung yang kasar tertawa bergelak.
    “Ha-ha-ha! Pergilah! Pergilah, hendak kulihat bagaimana engkau dapat pergi!”
    Liem Hok Sun meloncat bangun, mukanya merah saking marahnya. “Eh kalian ini orang-orang buntung
    kaki mengapa begini tidak tahu aturan? Apakah kalian mau menantang berkelahi?”
    Kakek yang menjadi susiok rombongan itu manjawab, suaranya halus namun nadanya kereng. “Kami tidak
    ingin berkelahi, akan tetapi engkau harus ikut bersama kami, untuk sementara menjadi tawanan kami
    sebelum menerima keputusan ketua kami.”
    “Aku tidak peduli keputusan ketua kalian! Apa salahku kalian hendak menangkapku?” bantah Hok Sun.
    “Kau sudah melanggar wilayah kami, masih pura-pura bodoh ataukah memang engkau ini bodoh melebihi
    kerbau?”
    “Kalian sungguh tidak memandang aku Si Garuda Terbang!” bentak Hok Sun dan ia sudah menerjang Si
    Kaki Buntung yang kasar.
    Dari tempat persembunyiannya Siauw Bwee mendapat kenyataan bahwa julukan si kasar itu bukanlah
    kosong belaka. Gerakannya tangkas penuh tenaga dan terjangannya memang seperti seekor garuda
    dunia-kangouw.blogspot.com
    terbang, menyerang lawan dari atas. Dan memang orang kasar berjuluk garuda tebang ini adalah seorang
    murid pertapa di Gobi-san yang lihai, wataknya kasar, dogol dan jujur, akan tetapi ilmu kepandaiannya juga
    tinggi.
    Menghadapi serangan ini, Si Kaki Buntung yang juga sama kasarnya itu cepat menangkis dengan lengan
    kiri ke arah kaki Hok Sun yang menendang, sedangkan tongkatnya sudah menotok ke arah leher. Namun
    Hok Sun benar-benar memiliki ginkang yang hebat. Biar pun tubuhnya masih terapung di udara dan
    sekaligus lawannya menangkis sambil menyerang, namun dia tidak menjadi gugup. Tubuhnya sudah
    berjungkir balik dan dengan gerakan tangkas dia telah berhasil menangkap ujung tongkat yang menotok
    lehernya, kemudian sambil meluncur turun ia mengerahkan tenaganya menarik sehingga lawannya roboh
    tersungkur!
    “Hemm, manusia bandel!” Kakek yang menjadi pimpinan rombongan sudah mencelat ke depan.
    Siauw Bwee yang menyaksikan kecepatan gerakan kakek itu menjadi kagum. Memang hebat sekali
    gerakannya. Sekaligus kakek buntung ini menggerakkan kedua lengannya, jari-jari tangannya sudah
    mengirim serangan totokan bertubi-tubi dengan kecepatan yang membingungkan Hok Sun. Biar pun murid
    dari Gobi-san ini berusaha menangkis dan mengelak namun ia kalah cepat, apa lagi memang gerakan
    kedua tangan kakek yang menyerang sambil mengempit tongkatnya itu luar biasa anehnya sehingga tahutahu
    Hok Sun sudah tertotok dan roboh tak dapat berkutik lagi!
    “Curang! Kalian manusia-manusia curang. Main keroyokan!” Liem Hok Sun berteriak-teriak, akan tetapi
    rombongan itu tidak mempedulikan. Dia digotong seperti seekor celeng (babi hutan) yang meraung-raung,
    dibawa pergi dari tempat itu.
    Ada yang menarik dalam gerak-gerik para orang buntung itu dan yang membuat Siauw Bwee menahan
    keinginan hatinya untuk menolong si manusia kasar Hok Sun. Sikap para orang buntung itu bukan seperti
    sikap orang-orang jahat yang kejam melainkan seperti sikap anak buah perkumpulan yang berdisiplin. Pula
    dia tertarik menyaksikan gerak tangan kakek buntung tadi, gerak silat yang amat aneh sehingga dia ingin
    lebih banyak mengetahui tentang orang-orang ini sebelum menolong Si Garuda Terbang. Maka ia tidak
    tergesa-gesa menolongnya, melainkan mengikuti rombongan yang menggotong tubuh Hok Sun itu dari
    jauh.
    Mereka menyeberangi hutan yang besar dan lebat sekali, kemudian memasuki hutan kecil yang
    menyambung hutan itu di kaki bukit. Di tengah hutan kecil itu terdapat bangunan yang bentuknya aneh
    sekali. Hanya ada sebuah, tidak terlalu besar dan dari jauh kelihatan seperti bukit gundul setengah bundar.
    Ke arah bangunan inilah rombongan itu membawa Hok Sun. Siauw Bwee mengintai penuh perhatian,
    melihat betapa rombongan orang itu mendekati bangunan aneh, kemudian melompat dan lenyap! Kakek
    pimpinan rombongan mengempit tubuh Hok Sun, melompat lebih dulu dan lenyap pula.
    Setelah semua orang tidak tampak lagi, Siauw Bwee berindap menghampiri bangunan itu dan ia terheranheran.
    Bangunan itu merupakan dinding batu yang amat tebal dan kuat, berbentuk bundar dan sama sekali
    tidak ada lubangnya! Namun, semua orang tadi begitu meloncat terus lenyap! Siauw Bwee merasa
    penasaran sekali. Ia melayang ke atas bangunan, merayap sampai ke puncak, memeriksa seluruh
    permukaan yang setengah bundar, akan tetapi tetap saja dia tidak melihat adanya lubang sedikit pun! Ke
    manakah perginya rombongan orang kaki buntung tadi? Tentu ada pintu rahasianya, pikir Siauw Bwee.
    Akan tetapi, andai kata ada pintu rahasianya, bagaimana begitu banyak orang dapat masuk semua ke
    bangunan kecil ini!
    Tiba-tiba Siauw Bwee melayang turun dengan cepat, lalu mencari tempat sembunyi. Dari atas puncak
    bangunan itu dia tadi melihat serombongan orang berjalan cepat menghampiri bangunan. Ia menyelinap
    dan mengintai, sekali ini Siauw Bwee benar-benar tak dapat menahan keheranan hatinya.
    “Ohh... tidak...! Mimpi burukkah aku...?” Dia mencubit pahanya sendiri, terasa panas. Tidak, dia tidak mimpi.
    Akan tetapi adakah yang lebih aneh dari pada semua ini? Tadi ia melihat serombongan orang buntung
    sebelah kaki kanan, semua buntung dan begitu sama keadaannya seolah-olah kebuntungan mereka
    dunia-kangouw.blogspot.com
    merupakan keseragaman! Dan orang-orang berkaki buntung itu mempunyai tempat yang begini aneh,
    begitu kecil tanpa lubang pintu atau jendela, namun dapat menampung begitu banyak orang!
    Dan sebelum semua keanehan itu terbuka rahasianya, kini ia menyaksikan lima orang, empat laki-laki dan
    seorang wanita, yang kesemuanya buntung lengan kirinya! Begitu sama keadaannya, lengan kiri buntung
    sebatas pundak, dengan lengan baju sebelah kiri kosong kempis tergantung lepas. Mengerikan!
    Seorang di antara lima orang lengan buntung itu membawa sebatang tongkat yang biasa dipakai anak
    buah rombongan kaki buntung, dan dia agaknya menjadi pemimpin rombongan, karena selain dia paling
    tua berjenggot panjang dan bersikap angker, juga gerakan kedua kakinya paling ringan dan lincah. Ada
    pun di belakang kakek ini tampak seorang laki-laki muda tinggi besar yang juga buntung lengan kirinya,
    menggunakan lengan kanan mengempit tubuh seorang anggota rombongan kaki buntung!
    Diam-diam Siauw Bwee memandang penuh perhatian, dan ia mendapat kenyataan bahwa gerakan kaki
    lima orang itu luar biasa sekali. Ringan dan langkah mereka teratur, begitu tegap, begitu kuat dan kokoh,
    namun begitu ringan membuat dia kagum bukan main!
    Kakek berjenggot yang memegang tongkat Si Kaki Buntung dan menjadi pemimpin rombongan itu
    menggunakan ujung tongkat mengetuk tujuh kali ke atas dinding bangunan bundar, kemudian meloncat ke
    belakang. Tak lama kemudian terbukalah lubang di sebelah atas depan bangunan itu dan dari dalam
    lubang melayang ke luar tiga orang berkaki buntung, yang paling depan adalah kakek yang memimpin
    rombongan penawan Liem Hok Sun tadi. Kemudian dari belakang bangunan itu keluar pula beberapa
    orang berkaki buntung, agaknya keluar dari lubang rahasia lain di sebelah belakang. Suasana menjadi
    tegang dan Siauw Bwee memandang penuh perhatian.
    Laki-laki tangan buntung yang tinggi besar tadi melemparkan tubuh Si Kaki Buntung yang dikempitnya
    sehingga Si Kaki Buntung itu terguling di atas tanah, dan secepat kilat pimpinan rombongan lengan
    buntung menodongkan ujung tongkatnya, yaitu tongkat Si Kaki Buntung yang tertawan, ke jalan darah di
    punggung orang berkaki buntung itu yang jatuh berlutut dan tidak berani berkutik. Keadaan masih hening,
    tidak ada seorang pun dari kedua pihak orang-orang bercacat itu yang mengeluarkan suara. Yang paling
    merasa tegang adalah Siauw Bwee yang mengintai dan melihat semua itu dari tempat persembunyiannya.
    Tiba-tiba wanita berkaki buntung yang ikut meloncat ke luar menggerakkan tangan kirinya, dan ternyata
    bahwa dialah yang mewakili pihak tuan rumah, karena ia sudah menegur dengan suara penuh kebencian,
    keras dan dingin, “Apakah kaum lengan buntung kini sudah menambah sebuah watak buruk baru lagi, tidak
    mematuhi janji? Hari pertandingan masih tiga bulan lagi, kenapa sekarang sudah turun tangan memancing
    keributan dengan menawan seorang anggota kami?”
    Kakek yang menodong punggung orang berkaki buntung yang dibawa mereka sebagai tawanan itu
    tersenyum mengejek, lalu menjawab dengan suara tidak kalah keras dan dinginnya, mengandung
    kebencian yang sama, “Agaknya di dalam pondok kalian yang buruk tidak terdapat cermin sehingga kalian
    orang-orang berkaki buntung suka menjelekkan kami yang berlengan buntung. Memang mudah
    melontarkan tuduhan, mudah menunjuk cacat orang tanpa melihat akan besarnya cacat sendiri, semudah
    menggoyang lidah yang tidak bertulang. Kami kaum lengan buntung bukanlah orang-orang hina yang suka
    melanggar janji, melainkan kalianlah yang tidak memenuhi janji sendiri. Memang tepat sekali, hari
    pertandingan masih tiga bulan lagi, akan tetapi mengapa seorang anggota kalian yang tidak terhormat ini
    melanggar wilayah kami dan melakukan penyelidikan?”
    Alis empat orang berkaki buntung itu berkerut dan Si Wanita bersama Si Kakek memandang kepada anak
    buah mereka dengan mata penuh pertanyaan. Tawanan itu kelihatan ketakutan dan diam-diam Siauw
    Bwee merasa heran sekali. Tadi ketika menjadi tawanan kaum lengan buntung, tawanan itu tidak kelihatan
    begitu takut. Dia dapat menduga bahwa tentu kaum kaki buntung itu mempunyai peraturan dan hukum
    yang keras sekali terhadap anak buahnya yang melanggar peraturan.
    “Tidak... tidak... Suci... dan Suheng... aku tidak melanggar wilayah mereka. Aku tidak melakukan
    penyelidikan seperti yang mereka tuduhkan. Aku sedang memburu hewan seperti biasa. Aku berhasil
    melukai seekor kijang yang masih dapat berlari maka aku melakukan pengejaran. Tahu-tahu mereka ini
    merobohkan aku dengan jalan mengeroyok dan menawanku!” Si Tawanan membantah.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Kakek berlengan satu tertawa mengejek, “Hemm, mana ada maling mau mengaku?”
    Si Wanita Berkaki Satu menggerakkan tangan kirinya ke atas dan berkata, suaranya mantap dan
    berwibawa, “Menghadapi perkara tidak boleh mendengar keterangan sepihak saja. Kalau keterangan dua
    pihak berlawanan, satu-satunya jalan hanya melihat bukti!”
    “Baik!” kata kakek lengan satu. “Mari kita lihat buktinya di mana kami menawan anak buahmu!” Tanpa
    banyak cakap lagi, rombongan lengan buntung sebanyak lima orang dan rombongan kaki buntung yang
    bersama Si Bekas Tawanan juga berjumlah lima orang sudah pergi meninggalkan tempat itu memasuki
    hutan!
    Siauw Bwee tertarik sekali dan ingin menyaksikan kelanjutan perkara itu. Akan tetapi mengingat akan nasib
    Si Garuda Terbang yang dibawa masuk ke dalam bangunan bundar, dan melihat kesempatan baik selagi
    lubang itu belum tertutup, Siauw Bwee cepat meloncat dan sekaligus menerobos masuk ke dalam lubang
    itu. Ketika ia turun di sebelah dalam, ia tiba di ruangan berlantai dan di sudut terdapat dua buah anak
    tangga yang menurun ke bawah. Tahulah ia sekarang bahwa kiranya bangunan di luar itu hanya
    merupakan ‘pintu gerbang’ saja yang menyembunyikan tempat tinggal yang agaknya luas sekali, yang
    tersembunyi di sebelah bawah!
    Ia menjadi bingung. Tangga batu yang manakah yang akan membawanya ke tempat Si Kasar itu ditahan?
    Karena tidak ada jalan lain, Siauw Bwee lalu menuruni tangga yang sebelah kiri. Tak lama kemudian ia
    mendapat kenyataan bahwa tepat seperti diduganya, bagian bawah terdapat ruangan-ruangan yang luas
    sekali, lorong-lorong yang terbuat dari pada batu dan keadaan di bawah itu merupakan bangunan di bawah
    tanah seperti istana!
    Siauw Bwee menuruni tangga dengan hati-hati sekali, akan tetapi dia tidak mendengar gerakan apa-apa,
    juga tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Jelas ia melihat rombongan yang menawan Liem Hok Sun
    tadi memasuki bangunan ini, sedangkan tadi yang keluar hanyalah empat orang. Di manakah adanya
    orang-orang lain? Apakah mereka telah keluar lagi dari pintu rahasia yang lain? Apakah tempat itu kosong?
    Dengan sikap hati-hati ia melangkah terus dan tibalah dia di sebuah ruangan yang luas dan bersih sekali.
    Lantainya dari batu putih dan di sudut terdapat sebuah arca yang melukiskan seorang laki-laki tua bermuka
    kasar, berdiri dengan tegak akan tetapi kakinya hanya satu karena kaki kanan arca ini pun buntung.
    Melihat arca ini, Siauw Bwee menduga bahwa agaknya arca inilah arca nenek moyang kaum kaki buntung
    yang lihai ini.
    Tiba-tiba terdengar gerakan halus. Siauw Bwee memutar tubuhnya, siap waspada dan ternyata dari
    sekeliling ruangan itu muncul dua puluh orang lebih, laki-laki dan perempuan, semua buntung kaki
    kanannya. Akan tetapi mereka itu hanya mengepung dan tidak bergerak, berdiri dibantu tongkat masingmasing
    dan sikap mereka menanti, menanti perintah seorang di antara mereka, yaitu seorang kakek
    buntung pula yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih dan sikapnya berwibawa sekali.
    Siauw Bwee dapat menduga bahwa agaknya kakek inilah yang menjadi ketua mereka, maka ia cepat
    mengangkat tangan memberi hormat sambil berkata, “Apakah Locianpwe ketua dari kaum... eh, kaki
    buntung ini?”
    Kakek itu memandang tajam, mengerutkan keningnya dan menjawab singkat, “Benar. Aku adalah Liong Ki
    Bok, ketua kaum kaki buntung.”
    “Maafkan kalau aku lancang memasuki tempat kediaman kalian ini, Liong-locianpwe. Kedatanganku tidak
    bermaksud buruk, hanya ingin minta pertimbanganmu agar kalian suka membebaskan si kasar Hui-eng
    Liem Hok Sun yang sesungguhnya tidak mempunyai kesalahan apa-apa.”
    “Tidak mempunyai kesalahan? Hemm... hal itu harus diputuskan kelak setelah hari pertandingan. Kalau
    kelak ternyata diakui oleh pihak Si Lengan Buntung bahwa dia bukan mata-mata mereka, kami pun tidak
    akan mengganggu orang yang tidak berdosa. Akan tetapi, selama ini sampai hari pertandingan tiba di
    mana persoalan dibikin terang, dia akan menjadi tawanan kami. Juga engkau, Nona.”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Siauw Bwee mengerutkan alisnya, “Apa? Menjadi tawanan selama tiga bulan?”
    “Terpaksa begitulah. Sekarang kami belum dapat mengetahui apakah dia dan engkau pembantu mereka
    atau bukan. Dia sudah kami tawan dan tak seorang pun dapat membebaskannya. Engkau pun sebaiknya
    menyerah menjadi tawanan kami.”
    “Eh, nanti dulu! Liong-locianpwe, aku tidak mempunyai permusuhan dengan kaum kaki buntung, juga tidak
    mengenal siapa adanya kaum lengan buntung. Aku hanya minta kau membebaskan orang yang tidak
    bersalah, dan kalau engkau hendak menawanku, hemmm... kurasa tidak akan begitu mudah.”
    Terdengar seruan-seruan marah dari semua kaum kaki buntung, dan sepasang mata kakek itu
    mengeluarkan sinar tajam, “Engkau siapa, Nona? Apakah engkau juga murid Gobi-san seperti orang she
    Liem itu? Dan dari aliran manakah engkau? Kami tidak ingin bermusuhan dengan partai lain, akan tetapi
    kami harus berhati-hati terhadap para pembantu kaum lengan buntung.”
    “Aku bukan dari aliran atau partai apa pun, namaku Khu Siauw Bwee.”
    “Bagus! Kalau begitu, harap kau suka menyerah saja menjadi tawanan kami, Nona. Aku sungguh merasa
    tidak enak kalau harus menggunakan kekerasan terhadap seorang gadis muda.”
    “Orang she Liong, kau terlalu sombong, tidak pantas dihormati! Kalau aku tidak mau menyerah, hendak
    kulihat engkau dapat berbuat apakah?”
    “Suhu, biarkan teecu menawannya!” kata seorang wanita yang usianya sudah lima puluhan tahun dan
    agaknya dia adalah murid kepala. Kakek itu mengangguk dan berkata, “Hati-hatilah, jangan sampai
    membuat dia menderita luka parah. Dia hanya seorang bocah yang masih amat muda.”
    Nenek itu mengangguk, kemudian tiba-tiba tubuhnya sudah berkelebat dan berdiri di depan Siauw Bwee.
    “Nona, kami tidak biasa menghina yang muda, maka sebaiknya engkau dapat menerima peraturan kami
    dan menyerahlah. Biar pun engkau menjadi tawanan, engkau akan kami perlakukan dengan baik.
    Sebaliknya, hendaknya kau ketahui bahwa entah sudah beberapa ratus orang tewas di tangan kami.”
    Panas rasa hati Siauw Bwee. Jelas bahwa mereka, Si Ketua dan murid kepalanya ini, amat memandang
    rendah kepadanya. Ia tersenyum lebar dan menjawab, “Bagus sekali kalau kalian mempunyai pikiran tidak
    ingin menghina yang muda. Akan tetapi sebaliknya aku pun sama sekali tidak ingin menghina kaum tua,
    apa lagi yang bercacat. Maka sebaiknya kalau engkau membebaskan Si Kasar itu dan aku akan pergi dari
    sini agar hatiku tidak menjadi tak enak membikin repot orang-orang tua yang cacat saja.”
    “Bocah sombong!” Nenek itu berteriak dan tahu-tahu tangan kirinya sudah menyambar dan mencengkeram
    ke arah pundak kiri Siauw Bwee.
    Cepat bukan main gerakan itu. Akan tetapi Siauw Bwee, murid ke tiga dari Bu Kek Siansu yang telah
    mempelajari ilmu yang tinggi tingkatnya, cepat miringkan tubuh dan dari bawah jari tangannya menyambar
    dengan totokan ke arah telapak tangan nenek itu.
    “Aihhh...!” Nenek itu berseru kaget, tangannya membuat gerakan membalik dan luputlah totokan Siauw
    Bwee.
    Gerakan nenek itu aneh sekali dan tahu-tahu kini tongkatnya menyambar, menotok ke arah lutut kiri Siauw
    Bwee yang kalau mengenai sasarannya tentu akan membuat gadis itu bertekuk lutut. Namun Siauw Bwee
    yang sudah melihat betapa gerakan-gerakan nenek itu cepat dan aneh sekali, maklum bahwa lawannya
    memiliki gerak tangan yang hebat dalam bersilat. Maka ia berlaku hati-hati dan cepat menggeser kakinya.
    Ketika kembali tangan kiri nenek itu menusuk dengan jari-jari tangan terbuka ke arah lambungnya, disusul
    tongkat yang menyambar dengan totokan ke arah pundak, dia berkelebat ke kanan dan sengaja
    menggunakan telapak tangannya menerima tongkat yang menyambar.
    “Plakk!”
    dunia-kangouw.blogspot.com
    “Aihhh...!” Nenek itu kembali berteriak kaget dan tubuhnya terhuyung, namun kembali tangan kirinya sudah
    mencengkeram disusul totokan tongkatnya, kini tidak kepalang dan dilakukan dengan kemarahan karena
    tongkat itu menyerang leher!
    Diam-diam Siauw Bwee kagum sekali. Dalam keadaan terhuyung seperti itu Si Nenek yang kakinya hanya
    satu ini masih mampu mengirim serangan dua kali berturut-turut, sungguh merupakan hal yang luar biasa.
    Dia mengerti bahwa kiranya kaum kaki buntung ini memiliki ilmu silat yang amat aneh, cepat dan kuat
    sehingga ilmu silat tangan kiri dan tongkat ini dapat menutup kekurangan karena cacat kaki mereka!
    Dia juga mengeluarkan kegesitannya dan bayangannya berkelebat lenyap. Biar pun dia agak bingung
    menghadapi serangan ilmu silat aneh dari nenek itu, namun karena dia menang dalam tenaga sinkang,
    pula dalam hal ginkang dia pun lebih unggul, maka dia masih mampu menyelamatkan diri dengan elakan
    cepat atau tangkisan kuat. Akan tetapi karena dia pun tahu bahwa kaum kaki buntung ini bukan orangorang
    jahat, dan dia harus mengakui bahwa dalam pertentangan ini dialah yang telah mulai lebih dulu,
    Siauw Bwee tidak ingin mencelakai lawannya dan hanya ingin merobohkan atau mengalahkannya tanpa
    melukai.
    “Hebat...! Luar biasa...! Sukar dipercaya!” Beberapa kali kakek yang menjadi ketua kaum kaki buntung itu
    memberi komentar penuh kekaguman menyaksikan gerakan Siauw Bwee.
    Siauw Bwee adalah seorang dara remaja yang baru sekali itu mengadakan pertandingan sungguhsungguh
    yang selamanya belum pernah ia lakukan, kecuali ketika melawan Maya, suci-nya. Maka kini
    mendengar pujian keluar dari mulut ketua kaum kaki buntung yang lihai ilmunya, dia menjadi bangga. Ingin
    dia memperlihatkan kelihaiannya, maka ketika tongkat nenek itu untuk kesekian kalinya menyambar dan
    kini menyambar ke arah pinggangnya, ia meloncat dan mengeluarkan teriakan keras, tubuhnya melayang
    ke atas dan kakinya menotol ujung tongkat lawan!
    Perbuatan ini selain luar biasa dan membuktikan kemahiran ginkang yang istimewa, juga amat berbahaya.
    Maka terdengarlah seruan-seruan heran dan seruan kagum dari pada penonton termasuk ketuanya. Nenek
    itu penasaran sekali, merasa seperti dipermainkan, maka ia mengerahkan tenaga, menggerakkan ujung
    tongkatnya dan siap untuk memberi serangan susulan kalau tubuh dara itu telah terlepas dari ujung tongkat.
    “Wuuuutttt!”
    Tubuh dara itu memang terlepas dari tongkat, akan tetapi terlepas ke atas, ke arah langit-langit ruangan
    batu itu yang tingginya ada tiga ukuran tinggi manusia. Semua orang berdongak memandang terbelalak,
    melihat betapa dara itu mencapai langit-langit, punggungnya menempel ke langit-langit seolah-olah di
    punggungnya terdapat perekat ajaib yang melekatkan punggungnya dengan langit-langit.
    Siauw Bwee tertawa-tawa mengejek. “Ah, kasihan engkau, nenek cacat. Lebih baik sudahilah saja, untuk
    apa susah payah melawan orang muda yang lebih panjang napasnya dan lebih kuat tubuhnya?”
    Muka nenek itu menjadi merah sekali. Dia adalah murid kepala yang kepandaiannya sudah mencapai
    tingkat tinggi, hanya selisih sedikit dengan gurunya. Kini melawan seorang dara berusia belasan tahun
    yang tidak ternama, dia dipermainkan seperti itu.
    “Bocah sombong keparat!” Ia berseru dan sekali kaki tunggalnya menggenjot lantai, tubuhnya sudah
    melayang ke atas dan tongkatnya siap menusuk tubuh yang menempel di langit-langit itu.
    “Jangan...!” Sang Ketua berteriak ketika melihat serangan maut yang dilakukan muridnya. Dia sudah
    menyaksikan kehebatan Siauw Bwee, dan merasa khawatir sekali. Kalau seorang dara remaja sudah
    berkepandalan seperti itu, tentu dapat dibayangkan betapa hebat orang tua atau guru yang berdiri di
    belakangnya!
    Akan tetapi seruannya terlambat dan nenek itu dalam kemarahannya telah menyerang ke atas. Memang
    saat inilah yang dinanti-nanti oleh Siauw Bwee. Begitu tubuh nenek itu meloncat, ia melepaskan
    dunia-kangouw.blogspot.com
    punggungnya dari langit-langit, tubuhnya meluncur didahului kedua tangannya yang melakukan gerakan
    mendorong. Dari kedua telapak tangannya itu menyambar angin pukulan yang amat dingin!
    “Aihhh...!” Nenek itu menggigil, tongkatnya terlepas dan tubuhnya sendiri terbanting ke bawah.
    Untung tubuhnya disambut oleh seorang sutenya, akan tetapi begitu kedua tangan sutenya menyambut
    tubuh itu, ia merasakan pula getaran dingin yang membuatnya menggigil dan kedua kakinya tidak dapat
    menahan sehingga mereka berdua roboh bergulingan. Betapa pun juga, karena telah ditahan oleh kedua
    tangan sutenya, tubuh nenek itu tidak terbanting keras.
    Baru saja Siauw Bwee turun, ia mendengar suara mencicit-cicit dan betapa kagetnya ketika suara itu
    keluar dari sepasang tangan kakek ketua kaum kaki buntung! Kakek itu telah menyerangnya tanpa
    menggunakan tongkat. Dengan sebelah kaki berloncatan kakek ini telah menyerangnya dengan kedua
    tangan, gerakannya luar biasa anehnya sehingga repotlah Siauw Bwee mengelak. Dara ini makin terdesak
    dan dia maklum bahwa dalam hal ilmu silat dia kalah pengalaman, lagi pula harus menghadapi gerakan
    sepasang tangan yang begitu aneh.
    Maka dia lalu mengerahkan tenaga di tangan kiri menangkis. Tubuh kakek itu sampai berputaran ketika
    lengannya tertangkis dan ternyata dia pun kalah kuat sinkang-nya oleh dara penghuni Pulau Es yang hebat
    ini. Akan tetapi, dalam perputaran ini kedua tangan kakek itu masih bergerak secara luar biasa,
    membingungkan Siauw Bwee sehingga tanpa dapat dicegah lagi, jalan darah di belakang pusar dara itu
    kena tertotok dengan tepat sekali.
    “Celaka...!” Ketua kaki buntung itu berteriak kaget. Teriakan yang membayangkan kekagetan dan
    penyesalan besar.
    Totokan yang dilakukan dalam keadaan tubuh terputar-putar itu memang mengenai jalan darah yang bagi
    lawan lain tentu akan menimbulkan kematian. Akan tetapi Siauw Bwee yang telah digembleng dengan
    latihan-latihan sinkang dan besemedhi secara istimewa oleh Han Ki sesuai dengan kitab Bu Kek Siansu,
    ketika tertotok hanya menjadi gemetar beberapa detik lamanya.
    Tadinya dia sudah menjadi marah sekali karena dianggapnya kakek itu kejam, telah mengirim totokan para
    jalan darah yang menyebabkan kematian sehingga dia sudah mengerahkan sinkang istimewa memulihkan
    jalan darahnya kemudian dia hendak membalas dengan serangan hebat. Akan tetapi setelah mendengar
    seruan kakek itu, maklumlah dia bahwa kakek itu tidak sengaja hendak membunuhnya. Timbullah
    pikirannya untuk menyelidiki keadaan kaum kaki buntung yang aneh ini dan jalan satu-satunya hanyalah
    berpura-pura mati.
    Ketika berlatih sinkang di Istana Pulau Es, suheng-nya telah membikin rahasia ilmu ‘mematikan raga’ yang
    luar biasa. Kini dia mengeluarkan kepandaiannya ini sehingga tubuhnya menjadi lemas, napasnya dan
    detik pada nadi tangannya berhenti. Tubuhnya benar-benar seperti dalam keadaan tak bernyawa lagi!
    Kakek itu berlutut dengan satu kakinya dan memeriksa pergelangan tangan Siauw Bwee. “Aihh, celaka.
    Aku telah kesalahan tangan membunuhnya. Gadis ini luar biasa sekali, kepandaiannya sudah mencapai
    tingkat lebih tinggi dari pada kepandaianku sendiri! Kalau aku tidak memiliki ilmu silat gerak tangan kilat,
    agaknya aku sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya. Celaka, aku telah membunuhnya! Biar aku
    sendiri yang menyimpannya di dalam ruangan jenazah. Dia harus mendapatkan tempat terhormat.”
    Setelah menghela napas berulang-ulang, kakek itu lalu memondong tubuh Siauw Bwee lalu dibawanya
    masuk melalui lorong yang panjang dan agak gelap. Anak buahnya hanya berdiri menonton, tak seorang
    pun mengeluarkan suara seperti ikut merasa berduka bersama pimpinan mereka.
    Siauw Bwee yang berlagak mati itu diam-diam siap. Kalau sampai tubuhnya akan mengalami bahaya, tentu
    saja ia akan sadar kembali dan akan melawan untuk menyelamatkan diri. Tadinya dia sudah khawatir
    kalau-kalau ketua kaum kaki buntung ini membawa ‘jenazahnya’ keluar dari bangunan di bawah tanah,
    akan tetapi hatinya menjadi lega dan girang ketika kakek itu membawanya ke bagian dalam.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    Ketua yang bernama Liong Ki Bok itu memasuki sebuah ruangan yang mendapat penerangan dari lubang
    yang merupakan celah-celah batu yang menjadi langit-langit ruangan itu. Terdengarlah gerengan
    menyeramkan. Siauw Bwee terkejut dan hampir dia lupa bahwa dia beraksi mati ketika melihat seekor
    beruang hitam yang besar menyambut kedatangan Sang Ketua. Akan tetapi ternyata binatang besar itu
    tidak menyerang, bahkan Liong Ki Bok berkata,
    “Aku membawa mayat baru, Hek-mo. Mayat seorang yang terhormat dan sama sekali bukan musuh kita.
    Sayang aku telah kesalahan tangan membunuhnya. Bawa dan letakkan dia di peti teratas, tempat
    terhormat, peti yang disediakan untuk tubuhku sendiri.”
    Beruang yang bernama Hek-mo (Setan Hitam) itu mengeluarkan suara gerengan. Bagaikan mengerti akan
    ucapan Sang Ketua, ia menerima tubuh Siauw Bwee dan memondongnya. Tiba-tiba dia mendengar dan
    merintih dan diam-diam Siauw Bwee terkejut. Manusia mengenal kematiannya hanya dari panas dan darah
    yang berhenti, akan tetapi binatang memiliki indera ke enam yang luar biasa. Jangan-jangan binatang ini
    tahu bahwa dia sebetulnya belum mati!
    “Memang kasihan sekali dia, Hek-mo, dan aku akan menyesal selama hidupku hari ini telah kesalahan
    tangan membunuh seorang seperti dia. Cepatlah bawa dia, Hek-mo, aku tidak ingin lama-lama berada di
    situ melihat korban tanganku yang berdarah!”
    Beruang itu lalu berjalan ke dalam diikuti kakek berkaki satu. Diam-diam Siauw Bwee bergidik ketika
    melihat ruangan sebelah dalam yang diterangi sebuah lampu. Siapa takkan menjadi ngeri dan merasa
    seram kalau melihat ruangan yang penuh mayat? Di sekelilingnya terdapat lubang-lubang pada dinding
    dan di setiap lubang berisi sebuah mayat yang sudah kering. Ada puluhan banyaknya lubang-lubang itu,
    ada yang sudah terisi dan ada pula yang masih kosong.
    Beruang itu membawanya naik ke anak tangga batu, kemudian meletakkan tubuhnya ke dalam sebuah peti
    kaca yang indah, sebuah peti mati terindah yang berada di situ. Peti mati yang disediakan untuk Sang
    Ketua kalau kelak ketua itu mati! Sambil rebah di dalam peti, Siauw Bwee mengerling dan melihat ketua itu
    membalikkan tubuh, memandang sesosok mayat orang tinggi besar yang berdiri menyeramkan di sebalik
    lubang dekat anak tangga. Bibir Sang Ketua bergerak-gerak seperti orang bicara, akan tetapi suaranya
    perlahan sekali, berbisik-bisik. Dengan mengerahkan kepandaiannya, Siauw Bwee dapat menangkap
    bisikan-bisikan itu.
    “Orang she Cia, tadinya kusangka bahwa engkaulah orang yang paling pandai yang pernah kutandingi.
    Kiranya hari ini sangkaanku ini terbantah dan gadis yang baru kubawa masuk ini jauh melampauimu. Ahhh,
    dan penyesalanku lebih besar dari pada ketika terpaksa membunuhmu.”
    Setelah kakek itu melihat bahwa tubuh Siauw Bwee rebah di dalam peti mati kaca dengan baik, dia
    mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi botol berupa benda cair berwarna kuning berbau harum
    ke atas tubuh Siauw Bwee. “Jenazah orang seperti engkau patut diawetkan, Nona yang bernasib malang...”
    Kemudian kakek itu meninggalkan ruangan jenazah setelah mengelus kepala beruang sambil berkata,
    “Hek-mo, kau jagalah baik-baik pintu gerbang ruangan jenazah.”
    Mereka keluar dari ruangan itu dan menutupkan pintu besi. Agaknya beruang itu bertugas menjaga
    ruangan di luar pintu gerbang. Penjaga yang kuat! Siauw Bwee tidak segera bergerak karena khawatir
    kalau kakek itu kembali lagi. Dia rebah dan diam memperhatikan keadaan ruangan jenazah yang cukup
    luas itu. Ketika matanya mengerling ke arah mayat tinggi besar yang tubuhnya juga tidak rusak, hanya
    memakai cawat dan kepalanya gundul, dia bergidik. Tiba-tiba ia merasa tubuhnya gemetar, semua bulu di
    tubuhnya meremang dan matanya terbelalak ketika ia melihat mayat orang she Cia itu bergerak!
    Tadinya dia tidak percaya ketika melihat mata mayat itu berkedip-kedip. Hampir saja ia lupa bahwa dia
    telah ‘mati’ dan tidak semestinya bergerak dan hampir meloncat saking kaget dan ngerinya ketika melihat
    mayat itu menggerakkan kaki tangannya dan melangkah ke luar dari dalam lubangnya! Mayat itu hidup
    kembali! Melihat seorang ‘mayat hidup’ di dalam kamar jenazah yang penuh jenazah-jenazah tengkorak
    dan mayat-mayat kering, tentu saja hal ini merupakan pemandangan yang terlalu berat menguji hati
    dunia-kangouw.blogspot.com
    seorang gadis remaja, biar pun memiliki kesaktian seperti Siauw Bwee. Maka dara yang tadinya berpurapura
    mati itu kini benar-benar menjadi pingsan!
    Setelah siuman kembali, hal pertama yang dilakukan Siauw Bwee adalah melirik ke arah lubang mayat she
    Cia itu dengan harapan akan melihat mayat itu masih di situ dan tak bergerak, dan bahwa yang dialaminya
    tadi hanyalah dalam mimpi. Akan tetapi lubang itu kosong! Dengan napas terengah saking ngeri dan takut,
    Siauw Bwee gadis perkasa yang kini ketakutan seperti kanak-kanak melihat setan itu mengintai dari balik
    peti mati di mana ia direbahkan dan matanya melotot lebar ketika melihat mayat hidup itu bergerak cepat
    sekali, berkelebat datang dari sebelah belakang ruangan itu, tangan kanannya membawa sebuah panci
    besar terisi makanan.
    Setelah tiba di ruangan itu, dia makan dengan lahapnya sambil berdiri saja. Akan tetapi tiba-tiba ia
    mengeluarkan suara gerengan seperti terkekeh, lalu ia menggerakkan kaki tangannya. Siauw Bwee
    menjadi makin ngeri, juga heran sekali menyaksikan bahwa mayat hidup itu memiliki kepandaian yang
    hebat. Ilmu silatnya luar biasa sekali, kedua tangan bergerak cepat dan tiba-tiba kedua tangan itu
    menyerang dengan gerakan menggunting dari atas kanan kiri disusul gerakan kaki menyapu dari bawah.
    Agaknya jurus itu merupakan jurus terakhir dan mayat hidup itu kini kelihatan girang bukan main. Begitu
    girangnya sampai terkekeh-kekeh dan berjingkrak-jingkrak menari. Tangannya mengambil makanan dari
    panci yang tadi ia taruh di atas lantai ketika dia bersilat. Ketika ia mengambil makanan itu dimasukkan ke
    mulut, Siauw Bwee memandang jelas dan tiba-tiba Siauw Bwee merasa hendak muntah karena melihat
    bahwa yang dimakan oleh mayat hidup itu adalah tikus-tikus kecil yang berkulit merah!
    Karena ingin muntah ini, Siauw Bwee mengeluarkan suara dari tenggorokannya dan tiba-tiba mayat hidup
    itu melesat seperti anak panah cepatnya dan tahu-tahu telah berdiri lagi di lubangnya seperti tadi. Akan
    tetapi, mungkin karena tergesa-gesa dan lupa, dia berdiri di tempatnya dengan panci di tangan kiri dan
    mulutnya masih menggigit seekor anak tikus yang buntutnya melambai ke bawah melalui bibirnya!
    Aksi Si Mayat Hidup ini mengusir semua rasa takut dari hati Siauw Bwee. Tidak mungkin di dunia ini ada
    setan atau mayat hidup yang bersikap seperti itu! Begitu panik dan kembali ke lubangnya secara
    menggelikan. Hal seperti itu hanya dapat dilakukan orang hidup yang sedang ketakutan atau panik.
    Siauw Bwee tertawa dan ia melangkah keluar dari dalam peti kaca. Ketika ia langsung melangkah
    menghampiri Si Mayat Hidup, hatinya menjadi makin geli melihat betapa ‘mayat hidup’ itu matanya melotot
    memandang kepadanya dengan kedua kaki menggigil. Siauw Bwee makin geli hatinya, maklum bahwa
    tentulah mayat hidup yang sebenarnya seorang manusia yang masih hidup itu kini menderita kengerian
    seperti dia tadi. Tentu orang ini mengira bahwa dialah yang kini menjadi mayat hidup!
    Terdorong oleh rasa geli dan kelegaan hatinya mendapat kenyataan bahwa mayat hidup itu hanyalah
    seorang manusia hidup, timbul kenakalan Siauw Bwee. Dia sengaja menyeringai untuk menakut-nakuti,
    setelah tiba di depan mayat hidup itu ia tertawa dengan suara mengerikan, “He-he-hi-hi-hiiik! Bangkai ini
    masih baik, enak diganyang jantungnya!”
    Dengan gerakan dibuat-buat, Siauw Bwee membentuk kedua tangannya seperti cakar setan dan
    melangkah maju.
    “Hiiiihh!” Kini ‘mayat hidup’ itu tidak dapat menahan kengerian hatinya dan ia meloncat meninggalkan
    lubangnya, menjauhi Siauw Bwee dan berdiri dengan kedua kaki menggigil.
    Siauw Bwee tak dapat bersandiwara terus dan ia tertawa terpingkal-pingkal. “Nah, kau tahu sekarang
    rasanya orang yang ketakutan menghadapi mayat hidup!” katanya. “Orang she Cia, mengapa engkau purapura
    mati dan berada di tempat ini?”
    Orang yang tadinya berdiri menggigil itu menjadi begitu lega hatinya sehingga jatuh terduduk. “Aahhh...
    sungguh mati. Aku hampir pingsan ketakutan!” katanya. Suaranya besar dan agak parau, agaknya karena
    sudah lama tidak bicara.
    dunia-kangouw.blogspot.com
    “Aku sendiri tadi sampai pingsan saking takutku melihat engkau sebagai mayat hidup,” Siauw Bwee
    berkata sambil tertawa geli.
    Share:
    cersil...
    Comments
    0 Comments