Jumat, 09 Juni 2017

Cerita Silat Lawas Mutiara Hitam 3

Cerita Silat Lawas Mutiara Hitam 3 Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Lawas Mutiara Hitam 3
kumpulan cerita silat cersil online
Cerita Silat Lawas Mutiara Hitam 3
“Krakkk!!” tongkat di tangan Ciam-lokai itu patah-patah menjadi beberapa potong dan setiap kali pengemis
tua itu menghantamkan tongkatnya selalu disambut kepalan dan terpotong-potong lagi!
Sementara itu Pak-kek Sian-ong yang menghadapi Gak-lokai juga merasa kecewa. Akan tetapi berbeda
dengan si Muka Merah yang mendemonstrasikan tenaga Yang-kang dahsyat dan amat kuatnya itu, ia
mengeluarkan keahliannya, yaitu tenaga Im yang lemas dan halus. Ketika Gak lokai menghantamnya
dengan tongkat, ia menyambut dengan telapak tangan dan... tubuh Gak-lokai bersama tongkatnya
mencelat ke atas.
Gak-lokai terkejut. Namun karena ia pun seorang yang lihai, biar pun tubuhnya mencelat ke atas, ia
bergerak di udara dan menghantamkan tongkatnya ke arah kepala Pak-kek Sian-ong. Kakek muka putih ini
lagi-lagi menyambut dengan telapak tangan dan sekali lagi tubuh Gak-lokai mencelat ke atas. Berkali-kali
hal ini terjadi sehingga tubuh Gak-lokai bagaikan sebuah bal yang dipermainkan lawan.
“Iblis-iblis tua, berani kau mempermainkan Khong-sim Kai-pang?!” bentakan halus ini keluar dari mulut Yu
Siang Ki.
Pemuda ini menjadi marah ketika menyaksikan betapa dua orang kakek aneh itu mengacaukan pertemuan
kai-pang yang mempunyai maksud baik itu. Apa lagi ketika melihat betapa Gak-lokai dan Ciam-lokai
dipermainkan, ia segera tahu bahwa dua orang tokoh pengemis itu bukanlah lawan dua orang kakek yang
datang mengacau. Ia sendiri belum tentu dapat mengalahkan dua orang kakek yang sakti itu, namun
melihat usaha persatuan yang diadakan Khong-sim Kai-pang itu terancam bahaya, ia segera meloncat
naik, menegur dan sekaligus ia melemparkan hiasan bunga yang biasanya menghias topinya.
Lontaran itu bukanlah sembarang lontaran, melainkan serangan yang hebat dan yang mengancam jalan
darah di dekat siku Lam-kek Sian-ong. Siang Ki sengaja menyerang kakek muka merah karena melihat
betapa kakek muka merah ini amat dahsyat kedua tangannya dan pada saat itu keadaan Ciam-lokai amat
berbahaya. Sekali saja tangan kakek muka merah itu berhasil menonjok tubuh Ciam-lokai, tentu tokoh
Khong-sim Kai-pang itu akan roboh tewas!
“Aihh...!” kakek muka merah itu mengeluarkan seruan kaget.
Lengannya terasa kesemutan karena jalan darah di sikunya secara tepat sekali tertusuk gagang hiasan
bunga. Tadi ia melihat benda ini menyambar, akan tetapi tentu saja ia memandang rendah. Siapa kira
totokan gagang bunga itu cukup mengandung tenaga Iweekang yang dahsyat sehingga lengannya
kesemutan. Ia terheran-heran, ini bukan sambitan orang biasa. Maka ia berseru kaget dan memutar tubuh
menghadapi Yu Siang Ki.
Keheranannya bertambah ketika ia mendapat kenyataan bahwa yang menyambitnya hanya seorang
pemuda tampan yang masih amat muda. Pada saat itu Ciam-lokai yang merasa marah dan penasaran
menggunakan sisa tongkatnya menusuk dari belakang, mengarah lambung dan menusuk di bagian yang
mematikan.
“Dukk!” Tusukan tongkat itu tepat mengenai lambung, akan tetapi membalik seperti menusuk karet yang
keras saja.
Ciam-lokai kaget sekali akan tetapi sebelum hilang kagetnya, tiba-tiba tubuhnya sudah melayang jauh
turun ke bawah panggung karena pada saat itu kaki Lam-kek Sian-ong sudah melakukan gerakan
menyepak (menendang ke belakang) persis seperti gerakan kaki kuda. Tanpa menoleh kakek muka merah
itu mampu menendang Ciam-lokai yang lihai itu sampai terlempar ke bawah panggung. Hal ini benar-benar
membuktikan bahwa kesaktiannya memang luar biasa.
Yu Siang Ki maklum akan hal ini, maka pemuda ini tidak berani sembrono. Tadi pun menyaksikan
sambitannya yang tepat mengenai jalan darah itu tidak melumpuhkan lengan kakek muka merah, ia sudah
tahu bahwa lawannya benar-benar sakti. Kini pemuda itu sudah menyambar tongkatnya dan berseru keras.
“Tak seorang pun boleh menghina Khong-sim Kai-pang!” ia lalu menggerakkan tongkat dan menerjang
dengan gerakan yang mantap dan penuh tenaga sinkang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hua-ha-ha, bagus, bagus! Eh, Pek-bin-twako (Kakak Muka Putih)! Kau lihat lawanku ini. Biar pun masih
muda, baru berharga untuk diajak main-main!” ia bicara sambil menggerakkan tubuh mengelak. Sekali lihat
saja Lam-kek Sian-ong mengerti bahwa ilmu tongkat pemuda ini hebat dan tak boleh dipandang ringan,
maka timbullah kegembiraannya untuk melayani Yu Siang Ki.
“Eh, Kakek tua, kau mundurlah. Kau bukan lawan iblis ini!”
Inilah suara Kwi Lan. Ketika gadis ini melihat Yu Siang Ki sudah melompat naik ke atas panggung dan
turun tangan, ia pun tidak mau tinggal diam. Tentu saja ia pun mengenal dua orang kakek itu. Ia tahu
bahwa mereka itu, Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong, guru Siangkoan Li, adalah dua orang kakek
yang sakti. Tentu Yu Siang Ki tidak mengenal mereka maka pemuda itu secara gegabah berani maju.
Kalau tidak ia bantu, mana mungkin Yu Siang Ki dapat menandingi dua orang kakek itu.
Biar pun ia maklum bahwa dengan bantuannya sekali pun amat sukar untuk mendapat kemenangan,
namun ia tidak bisa membiarkan sahabatnya menghadapi bahaya seorang diri. Maka ia pun lalu meloncat
tinggi ke udara. Ia anggap bahwa gerakan Gak-lokai yang dibuat permainan oleh Pak-kek Sian-ong itu
hanya akan menghalangi dan membuatnya tidak leluasa, maka sekali meloncat, ia sudah mengeluarkan
ucapan tadi dan tahu-tahu di udara ia sudah menjambret leher baju Gak-lokai dan melemparkan kakek itu
ke bawah panggung!
Gerakan ini tentu saja kelihatan hebat luar biasa. Inilah demonstrasi ginkang yang hebat, juga sekali
jambret saja ia dapat melemparkan seorang tokoh seperti Gak-lokai sudah membuktikan betapa lihainya
gadis ini! Semua pengemis yang menyaksikan ini menjadi makin bengong dan bingung. Bahkan Suling
Emas sendiri yang tadi terkejut melihat munculnya pengemis muda yang berani menentang Lam-kek Sianong,
kini melongo menyaksikan munculnya seorang gadis remaja yang bagaikan seekor naga muda kini
sudah menerjang Pak-kek Sian-ong dengan pedangnya!
“Ho-ho-ho, Ang-bin Siauwte kau bilang lawanmu hebat? Kau lihat ini, Nona muda yang galak ini apakah
kalah hebatnya?” Pak-kek Sian-ong berkata demikian, akan tetapi cepat mengelak dari gulungan sinar
pedang yang menyambar-nyambar dahsyat.
Pertandingan di atas panggung kini benar-benar mengagumkan dan membuat para pengemis terlongong
keheranan. Dua orang kakek tua renta itu dengan gerakan-gerakan aneh dan ringan menghadapi seorang
pengemis muda yang memutar tongkat secara hebat dan seorang gadis cantik yang memainkan pedang
secara ganas.
Gak-lokai dan Ciam-lokai juga sudah bangun. Untung bahwa tadi mereka tidak terbanting hebat dan juga
tidak terluka. Hati mereka menjadi gentar karena maklum bahwa orang-orang yang sedang bertanding di
atas panggung itu adalah orang-orang sakti yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada
kepandaian mereka.
Suling Emas sejak tadi sudah bangkit berdiri. Matanya tajam menonton pertandingan, menimbang dan
menilainya. Sebentar ia memandang ke arah pengemis muda yang menghadapi Lam-kek Sian-ong,
sebentar kemudian ia memandang ke arah gadis cantik yang menerjang Pak-kek Sian-ong. Ia makin
terheran-heran. Pengemis muda itu ilmu tongkatnya hebat dan tinggi, tenaganya kuat dan memiliki
kecepatan gerak yang membuktikan bahwa dia bukan ahli silat sembarangan. Diam-diam ia menjadi
kagum sekali dan ia merasa seperti pernah mengenal ilmu tongkat yang dimainkan pemuda itu. Kalau
dasarnya sudah jelas ilmu silat dari pantai timur, akan tetapi siapakah pernah mainkan tongkat seperti ini?
Ia lupa lagi.
Namun kekagumannya terhadap pemuda tampan itu tidak ada artinya ketika ia menonton pertempuran
antara kakek muka putih dan gadis cantik. Suling Emas melongo dan benar-benar ia terheran-heran
menyaksikan sepak terjang gadis itu. Ilmu silat apa gerangan yang dimainkan oleh gadis dengan pedang
kayunya itu? Dalam hal ilmu pedang, setidaknya telah mengenal dasar-dasarnya. Akan tetapi gerakan
pedang yang dimainkan gadis itu benar-benar membuat ia terlongong.
Gerak kakinya seperti gerak kaki ilmu silat Siauw-lim-pai, tegap dan digeser-geser kuat. Akan tetapi ketika
sambaran pedang diimbangi tendangan kaki, maka tendangan itu bukanlah tendangan ilmu sliat Siauw-limpai,
lebih mirip tendangan ilmu silat utara Gobi-pai. Dan gerakan pedang itu, kacau balau antara ilmu
pedang Beng-kauw dan Ilmu pedang Kun-lun. Aneh bukan main, kacau-balau namun justru kekacauannya
inilah yang merupakan sifat ilmu silat gadis itu yang benar-benar luar biasa dan dahsyatnya bukan main,
keganasannya membuat Suling Emas mengerutkan kening.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pantas saja Pak-kek Sian-ong berkali-kali mengeluarkan seruan kaget dan kagum, dan agaknya kakek
yang doyan berkelahi itu melayaninya dengan sungguh-sungguh sambil memperhatikan ilmu silat gadis itu.
Namun sukarlah untuk mengenal atau mempelajari ilmu kacau balau ini sehingga si Kakek merasa sayang
kalau cepat-cepat menghentikan pertandingan.
Setelah meneliti sejenak tahulah Suling Emas bahwa dua orang muda itu benar-benar bukan orang
sembarangan, tentu murid-murid orang pandai yang memiliki kepandaian luar biasa. Juga ia sudah
mengenal sifat-sifat dan keampuhan ilmu silat mereka. Ia sudah tahu pula akan sifat Pak-kek Sian-ong.
Dibandingkan dengan Lam-kek Sian-ong, kakek muka putih itu lebih lunak dan agaknya tidak akan tega
untuk mencelakai orang muda. Oleh karena itu, ia lalu meloncat ke dekat Lam-kek Sian-kong dan berkata
kepada Yu Siang Ki sambil menangkis sebuah pukulan tangan kiri, Lam-kek Sian-ong, “Orang muda, kau
bantulah gadis itu. Biarkan dia yang menyerang, kau memperkuat pertahanan kalian!”
“Dukkk...!” dua lengan yang sama-sama mengandung tenaga sinkang yang dahsyat bertemu.
Lam-kek Sian-ong sejak tadi tidak pernah ditangkis Yu Siang Ki karena pemuda yang cerdik itu maklum
bahwa ia kalah tenaga. Kini melihat ada orang yang berani menangkis, sengaja Lam-kek Sian-ong
mengerahkan tenaga Yang-kang yang menjadi keistimewaannya. Akibatnya, pertemuan kedua lengan itu
membuat Suling Emas terhuyung ke belakang, akan tetapi Lam-kek Sian-ong juga terjengkang dan hampir
roboh! Bukan main kaget dan herannya sehingga kakek muka merah mengeluarkan seruan seperti seekor
singa yang membuat papan panggung tergetar dan sejenak ia hanya berdiri memandang dengan mata
melotot.
Sementara itu Yu Siang Ki yang melihat gerakan orang bertopeng yang mengaku ayahnya itu, seketika
maklum bahwa orang ini kepandaiannya hebat, maka tanpa ragu-ragu lagi ia menerjang Pak-kek Sian-ong
yang sedang melayani Kwi Lan.
“Kau seranglah terus, biar aku yang menahannya!” bisiknya kepada Kwi Lan.
Pertandingan dilanjutkan dengan hebat dan makin gembiralah hati Pak-kek Sian-ong. Setelah kini
dikeroyok dua barulah ia merasa seimbang dan tidak ragu-ragu lagi untuk mengeluarkan kepandaian.
Diam-diam ia kagum kepada pemuda yang tadi menjadi lawan Lam-kek Sian-ong ini. Bagaimana pemuda
ini dapat mengatur sedemikian tepatnya dengan membagi dua daya tempur mereka?
Memang sifat ilmu pedang gadis ini liar dan ganas bukan main, serangan-serangannya kuat, pendeknya
letak kelihaian ilmu pedang ini berada pada daya serangnya. Ada pun ilmu tongkat pemuda itu lebih
mengutamakan pertahanannya sehingga amatlah tepat apa bila dipergunakan untuk menjaga diri dan
mempertahankan. Gembiralah hatinya menghadapi serangan-serangan pedang yang demikian berbahaya
dan menghadapi pertahanan seperti benteng baja kuatnya dari tongkat pemuda itu. Di lain pihak, dua
orang muda itu juga berbesar hati karena begitu mereka berdua bertanding dengan sikap seperti yang
dianjurkan Suling Emas tadi, ternyata mereka dapat mengimbangi kelihaian kakek muka putih.
Sementara itu, pertandingan antara Suling Emas dan Lam-kek Sian-ong juga bukan main hebatnya.
Setelah beberapa kali hawa pukulan mereka saling bertemu dan membuat keduanya terdorong mundur,
diam-diam mereka menjadi kaget. Lam-kek Sian-ong bersama Pak-kek Sian-ong selama ‘dalam hukuman’
di lereng Lu-liang-san memperdalam ilmu silat mereka dengan maksud menghadapi Bu Kek Siansu yang
sakti. Dapat dimengerti bahwa ilmu kepandaiannya jauh lebih hebat dari pada dua puluh tahun yang lalu
ketika ia bertemu dengan Suling Emas di Khitan.
Di jaman itu hanya beberapa orang saja yang memiliki tingkat kepandaian setinggi Lam-kek Sian-ong.
Akan tetapi mengapa orang bertopeng ini mampu menandinginya? Sama sekali kakek muka merah ini
tidak mengira bahwa yang dihadapinya adalah lawan lama, Suling Emas! Di pihak Suling Emas sendiri juga
terheran-heran karena selama ini pun ia memperhebat kepandaiannya, bahkan ia yakin akan kekuatan
sinkang di dalam tubuhnya. Namun ternyata bertemu dengan kakek muka merah ini, ia hanya dapat
mengimbangi kekuatannya.
Maka ia lalu merubah gerakannya, hendak mencari kemenangan dengan menggunakan ilmu silatnya yang
ia yakin lebih murni dan lebih banyak ragamnya dari pada ilmu silat Lam-kek Sian-ong. Ia lalu
menggerakkan kedua tangannya, mulai ‘menulis’ hurut-huruf mulia di udara. Tampaknya saja seperti
menulis huruf, pada hakekatnya semua gerakan itu mengandung hawa serangan yang amat dahsyat
sehingga terdengar anginnya bersiutan, karena inilah Hong-In-bun-hoat (Silat Huruf Angin dan Awan)!
dunia-kangouw.blogspot.com
Lam-kek Sian-ong yang merasa tergetar oleh angin pukulan gerakan tangan lawan, menjadi kaget sekali
dan berulang-ulang ia mengeluarkan seruan keras.
Saat mendengar seruan kawannya, Pak-kek Sian-ong yang sedang gembira melayani dua orang muda
yang mengeroyoknya menjadi terheran-heran. Seruan-seruan itu menandakan bahwa kawannya kaget dan
terheran, menemui lawan berat. Tidak sembarang orang dapat membuat Lam-kek Sian-ong mengeluarkan
seruan-seruan seperti itu. Pak-kek Sian-ong mencari kesempatan, lalu menengok. Alangkah kagetnya
ketika ia melihat betapa kawannya terdesak hebat oleh pengemis berkedok yang gerakannya luar biasa
sekali.
Ia berseru keras dan kedua lengannya lalu ia dorongkan ke depan, ke arah Kwi Lan dan Yu Siang Ki.
Karena kakek ini mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya dan sekaligus menyerang mereka berdua,
tentu saja Siang Ki tidak dapat menahan dua serangan ini sekaligus dan terpaksa Kwi Lan menjaga diri
dengan memutar pedangnya. Namun hebat sekali angin pukulan yang keluar dari dorongan kedua tapak
tangan yang terbuka itu. Betapa pun Yu Siang Ki dan Kwi Lan mempertahankan diri, tetap saja mereka
terhuyung-huyung ke belakang sampai lima enam langkah!
Kesempatan yang memang dicari oleh si Muka Putih itu lalu dipergunakan sepenuhnya. Bagaikan kilat
cepatnya, tubuhnya sudah mencelat ke arah Suling Emas yang sedang berhantam dengan Lam-kek Sianong.
Gerakan Pak-kek Sian-ong ini luar biasa cepatnya dan tak terduga-duga sama sekali.
Memang Pak-kek Sian-ong adalah seorang ahli yang memiliki keistimewaan sebaliknya dari pada Lam-kek
Sian-ong. Kalau Lam-kek Sian-ong ahli dalam penggunaan tenaga sakti yang ia salurkan menjadi tenaga
yang dahsyat, keras dan amat kuat, adalah Pak-kek Sian-ong menyalurkan tenaga saktinya menjadi
tenaga yang amat halus dan tidak menimbulkan suara. Akan tetapi kekuatannya tidak kalah oleh kakek
muka merah, bahkan melebihinya! Demikian pula ketika ia meloncat, tanpa mengeluarkan suara tahu-tahu
lengannya sudah menyelonong ke depan dan jari tangan kirinya mencengkeram kepala didahului oleh jari
tangan kanan yang menotok ke arah leher!
“Kepandaianmu boleh juga!” demikian Pak-kek Sian-ong berseru sebagai tanda serangannya.
Suling Emas terkejut sekali. Menghadapi seorang di antara dua kakek ini saja, tidak mudah baginya untuk
memperoleh kemenangan. Kalau ia dikeroyok, hal ini bukan main beratnya. Cepat sekali ia menendang
lengan tangan Lam-kek Sian-ong yang sudah menyerangnya dan pada detik lain tubuhnya sudah mencelat
ke atas. Terpaksa ia akan menyambut serangan Pak-kek Sian-ong dari atas itu dengan cara keras
melawan keras. Sambil mengerahkan tenaga, ia menangkis totokan pada lehernya dan balas menghantam
dada sambil miringkan kepalanya yang dicengkeram.
“Plak-plak!” Cepat sekali gebrakan yang terjadi di udara ini.
Tubuh Pak-kek Sian-ong terlempar ke belakang dan ketika turun kakek itu terhuyung-huyung dan berseru.
“Bagus...!” Di tangannya terdapat sehelai sapu tangan yang tadi menutupi muka Suling Emas.
Suling Emas kaget dan cepat ia berjungkir balik membuat salto sampal lima kali di udara sebelum turun
karena ia khawatir akan penyerangan Lam-kek Sian-ong yang tentu akan hebat sekali karena posisi dirinya
tidak menguntungkan. Akan tetapi ketika kedua kakinya turun di atas papan, ia melihat betapa dua orang
kakek itu hanya berdiri dan memandangnya dengan mata terbelalak.
“Suling Emas...!” dua orang kakek itu berseru heran.
Sungguh tak mereka sangka bahwa mereka akan berhadapan dengan Suling Emas di situ. Saking heran,
sejenak mereka tak dapat bicara. Tadinya Pak-kek Sian-ong merasa penasaran sekali. Ia gagal dalam
serangannya dan hanya berhasil merenggut sapu tangan penutup muka, akan tetapi ia sendiri menerima
pukulan di pundak yang membuat bagian tubuh itu terasa ngilu. Kini setelah mendapat kenyataan bahwa
lawan yang amat tangguh itu adalah Suling Emas, penasarannya hilang, terganti rasa heran.
Bukan hanya kedua orang kakek tua renta ini yang terkejut dan terheran melihat Suling Emas, juga semua
orang yang berada di situ. Bermacam perasaan teraduk dalam hati mereka. Ada yang merasa kagum dan
girang karena maklum bahwa pendekar sakti yang dicinta kawan ditakuti lawan ini adalah seorang
pendekar yang sejak dahulu bersahabat dengan kaum kai-pang. Ada pula yang marah dan benci karena
memang sejak dahulu mengandung hati dendam kepada Suling Emas, karena Suling Emas adalah putra
dunia-kangouw.blogspot.com
tunggal iblis betina Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian (baca cerita SULING EMAS) yang melakukan banyak
kejahatan sehingga banyak orang kang-ouw mendendam kepadanya.
Yang paling gentar adalah kaum sesat yang menyelundup menjadi anggota kai-pang. Mereka maklum
bahwa bukan saatnya bagi mereka untuk menentang kaum pengemis baju butut setelah Suling Emas
berada di situ. Diam-diam para pengemis Hek-peng Kai-pang dan Hek-coa Kai-pang segera pergi dari situ
untuk menyelamatkan diri dan hendak melaporkan peristiwa ini kepada junjungan mereka, yaitu Bu-tek Siulam.
Sementara itu Suling Emas yang sudah terbuka rahasianya menarik napas panjang tiga kali, memandang
ke sekeliling kemudian mengeluarkan sebatang suling dari balik jubahnya. Sambil melintangkan suling
emasnya di depan dada, ia menatap dua orang kakek itu sambil berkata.
“Baiklah, Ji-wi Sian-ong (Sian-ong Berdua). Agaknya memang Ji-wi paling suka mengacau semenjak
dahulu, tetapi jangan mengira aku akan diam saja melihat kalian mengacau Khong-sim Kai-pang. Aku akan
mewakili sahabat baikku Yu Kang Tianglo untuk melindungi kai-pang dari gangguan kalian,” suara ini jelas
dikeluarkan dengan halus akan tetapi jelas terdengar oleh semua pengemis yang hadir di situ.
Gak-lokai dan Ciam-lokai berdiri bengong, sama sekali tidak mengira bahwa mereka betul-betul telah salah
sangka. Kiranya orang yang mereka sangka Yu Kang Tianglo itu adalah Suling Emas, pendekar sakti yang
namanya menggetarkan jagad selama puluhan tahun!
Yu Siang Ki berdiri dengan muka pucat. Sama sekali di luar persangkaannya bahwa yang memalsukan
nama ayahnya adalah Suling Emas, pendekar yang dicari-carinya, pendekar yang selalu dihormati dan
dijunjung tinggi oleh ayahnya. Tidaklah salah dugaannya bahwa orang aneh ini memang bermaksud
menyelamatkan kai-pang dengan menggunakan nama ayahnya.
Akan tetapi mengapa menggunakan nama ayahnya? Nama Suling Emas sendiri jauh di atas nama Yu
Kang Tianglo, jauh lebih terkenal dan ditakuti orang jahat. Mengapa Suling Emas menggunakan nama
ayahnya yang sudah meninggal dunia? Mengapa pula memakai kedok sapu tangan seperti orang takut
dikenal? Mengapa Suling Emas seakan-akan hendak menyembunyikan diri? Saking heran dan
bingungnya, pemuda yang merasa girang di hatinya berdiri memandang dengan bengong.
Kwi Lan memandang dengan sinar mata bercahaya. Ia kagum sekali terhadap Suling Emas. Kagum
menyaksikan sepak terjangnya ketika menghadapi dua orang kakek yang sakti itu, dan terutama kagum
sekali setelah kini sapu tangan itu terbuka. Wajah laki-laki yang amat gagah dan entah bagaimana,
jantungnya berdebar dan ia merasa tertarik sekali. Kini ia tidak akan sesalkan ibu kandungnya andai kata
ibu kandungnya itu mencinta laki-laki ini! Makin besar keinginan hatinya untuk bicara dengan Suling Emas,
untuk bertanya kepada pendekar ini tentang Ratu Yalina di Khitan.
Pada saat itu ia melihat Suling Emas sudah mencabut sulingnya, melihat pula betapa dua orang kakek itu
sambil tertawa-tawa girang sudah mencabut pedang mereka. Si Kakek Muka Putih mencabut pedang putih
sedangkan kakek muka merah mencabut pedang merah. Ia maklum betapa lihainya dua orang kakek itu
maka timbullah kekhawatiran di hatinya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia meloncat maju menghadapi dua
orang kakek itu sambil menudingkan pedangnya ke arah hidung mereka.
“Kalian ini dua orang tua bangka benar-benar tak tahu malu!”
Tidak hanya para pengemis yang kaget setengah mati, bahkan Suling Emas yang sejak tadi sudah kagum
dan heran melihat ilmu silat gadis ini, sekarang bengong melihat betapa gadis ini berani memaki-maki dua
orang kakek sakti itu. Anehnya, dua orang kakek itu hanya tersenyum lebar dimaki-maki.
“Kalian ini sudah tua bangka seperti kanak-kanak nakal saja! Lupa lagikah kalian betapa secara pengecut
kalian memukul Bu Kek Siansu? Lupa lagikah kalian betapa kalian menangis dan menyesali perbuatan,
betapa kalian bersumpah akan mentaati pesan beliau sampai mati? Apakah yang dipesan oleh Bu Kek
Siansu?”
Pak-kek Sian-ong hanya meringis dan menundukkan muka, akan tetapi, Lam-kek Sian-ong dengan melotot
lalu membentak, “Bocah kurang ajar! Siapa bilang kami lupa akan pesan Bu Kek Siansu?”
Sepasang mata yang jeli itu bersinar-sinar tajam, bibir yang merah itu tersenyum mengejek, pedang kayu
di tangan masih menuding ke arah hidung Lam-kek Sian-ong ketika gadis itu berkata nyaring. “Tidak lupa
dunia-kangouw.blogspot.com
mungkin sekali, akan tetapi melanggar sudah jelas! Apa kau kira aku lupa akan pesan itu? Masih terbayang
di depan mataku bagaimana kakek suci itu mengatakannya kepada kalian.”
Gadis itu dengan gerakan lincah lalu duduk bersila di atas papan dan berkata lagi, “Dia bersila seperti ini,
hanya bedanya, setelah menerima pukulan curang dan pengecut kalian, dari mata, hidung, mulut dan
telinganya mengalir darah segar. Kemudian ia berkata begini. Kwi Lan duduk bersila setengah
memejamkan mata dan meniru lagak dan suara Bu Kek Siansu sedapatnya. “Anak-anak yang baik. Tidak
ada pengorbanan apa-apa. Yang keras kalah oleh yang lunak, itu sudah sewajarnya. Yang lenyap diganti
oleh yang muncul, yang mati diganti oleh yang lahir. Apa bedanya? Paling penting, mengenal diri sendiri
termasuk kelemahan-kelemahan dan kebodohan-kebodohannya, sadar insyaf dan kembali ke jalan benar.
Yang lain-lain tidakkah penting lagi. Selamat berpisah.”
Kwi Lan meloncat bangun dan kembali menudingkan ujung pedangnya ke arah hidung dua orang kakek itu
berganti-ganti. “Nah, betul tidakkah demikian?”
“Memang betul. Nah, bagaimana kau bilang kami melanggarnya? Kami memang sudah sadar dan insyaf,”
bantah Pak-kek Sian-ong.
“Wah, kalian tebal muka benar-benar! Kalian datang mengacau di sini masih bilang sadar dan insyaf?
Bukankah perbuatan kalian hari ini merupakan pelanggaran sumpah itu? Bukankah kalian kembali
menggunakan kepandaian untuk berbuat jahat dan mengacau?”
“Tidak! Jembel-jembel busuk ini jahat dan menyeleweng, saling memperebutkan kedudukan, sudah
sepatutnya dihajar! Kalau kami yang menjadi raja jembel dan memimpin para jembel busuk ini ke jalan
benar, bukankah itu merupakan perbuatan baik?” Lam-kek Sian-ong membantah.
“Tak tahu malu!” Kwi Lan kembali memaki. “Yu Siang Ki ini adalah putera Yu Kang Tianglo dan Suling
Emas itu adalah sahabat baik mendiang Yu Kang Tianglo. Dengan cara masing-masing, mereka hendak
menyelamatkan Khong-sim Kai-pang dari penyelundupan orang-orang sesat. Kalau kalian membantu
mereka dan membasmi kaum sesat, itu barulah benar namanya. Akan tetapi kalian memusuhi orang-orang
gagah Khong-sim Kai-pang, bukankah itu berarti kalian lebih sesat dari pada kaum sesat? Baiklah, kalau
aku bertemu dengan Bu Kek Siansu, hendak kulaporkan hal ini, minta bagaimana pendapat orang tua suci
itu dan hendak kulihat kelak bagaimana kalian masih mempunyai muka untuk bertemu dengan beliau!”
Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian-ong saling pandang dengan muka berubah. Ucapan gadis itu amat
berkesan di hati mereka. Akhirnya mereka merasa ngeri juga kalau sampai Bu Kek Siansu mendengar
tentang sepak terjang mereka yang mengacau Khong-sim Kai-pang. Apa lagi setelah mereka melihat
Suling Emas berada di situ. Mereka tahu bahwa Suling Emas adalah seorang pendekar yang dikasihi Bu
Kek Siansu.
“Sudahlah, kami mengaku salah, Nona. Jangan kau bilang apa-apa kepada Bu Kek Siansu orang tua itu.
Akan tetapi kesalahan kami tidak sengaja. Kami memang tidak tahu akan urusan kaum jembel ini. Nah
mana sekarang golongan jembel sesat? Biar merasa kerasnya kepalan kami!” kata Lam-kek Sian-ong.
“Dasar kalian, tua bangka-tua bangka bodoh! Sudah jelas yang menyeleweng adalah Hek-peng Kai-pang
dan Hek-coa Kai-pang. Mereka ini sudah pergi jauh. Andai kata kalian mengejar juga, kalau kalian nanti
bertemu dengan datuk mereka yang bernama Bu-tek Siu-lam, kalian tentu akan lari terbirit-birit ketakutan!”
“Heh, kau lihat saja!” bentak Pak-kek Sian-ong marah. “Hayo, Ang-bin Siauwte, kita kejar mereka!” Dua
orang kakek itu lalu meloncat turun dari panggung dan secepat terbang mereka pergi.
Dari jauh terdengar suara Lam-kek Sian-ong. “Suling Emas, Lain kali kami akan mencarimu untuk
menentukan siapa di antara kita yang lebih unggul!”
Suling Emas hanya tersenyum pahit dan tidak menjawab. Pada saat itu, setelah para pengacau pergi,
kembali Suling Emas yang menjadi pusat perhatian.
Keadaan masih tetap tegang karena hal-hal dan perubahan-perubahan baru yang mereka dengar dan
hadapi ini tidak kalah gawat dan menegangkan dari pada tadi. Orang yang mereka anggap Yu Kang
Tianglo tadi ternyata bukan Yu Kang Tianglo! Ini sudah hebat, akan tetapi lebih hebat lagi, orang itu
ternyata Suling Emas. Lalu muncul pengemis muda lihai yang menurut keterangan si Gadis jelita adalah
putera Yu Kang Tianglo. Semua pengemis menjadi bingung dengan adanya perubahan-perubahan hebat
dunia-kangouw.blogspot.com
yang amat cepat terjadi di depan mata mereka. Akan tetapi karena maklum akan lihainya tiga orang yang
kini berada di atas panggung itu, mereka tidak berani apa-apa. Juga jelas bahwa dalam sepak terjang
mereka tadi, mereka membantu Khong-sim Kai-pang.
Suling Emas yang kini tidak menutupi muka dengan sapu tangannya lagi, berdiri di atas panggung
berhadapan dengan Yu Siang Ki dan Kwi Lan. Mereka bertemu pandang untuk beberapa lamanya.
Kemudian tanpa ragu-ragu lagi Siang Ki maju ke depan dan menjatuhkan dirinya berlutut di depan Suling
Emas.
“Paman, besar sekali hati saya dapat berjumpa dengan Paman yang memang saya cari-cari, dan lebih
bahagia lagi hati saya menyaksikan betapa Paman telah melindungi Khong-sim Kai-pang dari orang-orang
jahat. Nama saya Yu Siang Ki. Yu Kang Tianglo adalah mendiang ayah saya. Sebelum meninggal dunia,
ayah saya meninggalkan pesan kepada saya untuk membela Khong-sim Kai-pang dari pada pengaruh
kaum sesat dan untuk usaha itu, kalau saya menemui kesulitan menghadapi orang jahat yang lihai, saya
diharuskan mencari Paman dan mohon pertolongan Paman. Siapa kira dapat berjumpa di sini, harap
Paman menerima hormat saya.”
Suling Emas tersenyum dan girang sekali hatinya. Dengan munculnya pemuda yang menjadi putera Yu
Kang Tianglo, akan terbebaslah ia dari tugas melindungi Khong-sim Kai-pang. Tadi ia sudah menyaksikan
kelihaian pemuda ini dan agaknya pemuda ini sudah mewarisi kepandaian ayahnya. Melihat betapa
pemuda ini secara gagah berani turun tangan menghadapi Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong yang
sakti untuk membela Khong-sim Kai-pang, ia maklum pula bahwa pemuda ini setia dan mencinta
perkumpulan pengemis yang dulu dibangun oleh kakeknya, maka dapat diharapkan pemuda ini
menggantikan Yu Kang Tianglo menjadi ketua perkumpulan ini.
Untuk menguji Iweekang Yu Siang Ki, Suling Emas menempelkan kedua tangannya di pundak pemuda itu
sambil membentak. “Tak usah berlutut!” Pendekar sakti ini mengerahkan sinkang yang disalurkan di kedua
tengannya.
Yu Siang Ki terkejut ketika merasa betapa pundaknya seakan-akan ditindih dua buah gunung, kemudian
tenaga raksasa membetotnya ke atas. Ia mengerling ke atas dan melihat wajah yang tersenyum-senyum
itu maklumlah ia bahwa Suling Emas sedang mengujinya. Maka ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga
sehingga biar pun tubuhnya terbetot dan tertarik ke atas, namun ia masih dalam keadaan berlutut!
“Bagus! Engkau patut menjadi putera Saudara Yu Kang Tianglo!” kata Suling Emas sambil melepaskan
kedua tangannya.
Pemuda itu melompat dan berdiri di depan Suling Emas dengan muka agak pucat dan bibir menyeringai
menahan sakit. Suling Emas terkejut sekali, tangan kirinya bergerak cepat dan....
“Brettt!” baju Siang Ki sudah robek memperlihatkan pundak kirinya. Ternyata benar seperti dugaannya, di
situ terdapat tanda menghitam seperti tapak jari tangan!
“Hemm, kau terkena hawa pukulan jarak jauh yang amat berbahaya. Berputarlah kau dan jangan
melawan!”
Yu Siang Ki tadinya terkejut dan heran ketika ia mengerahkan Iweekang untuk menahan ujian, ia merasa
betapa dada kirinya sakit seperti ditusuk-tusuk jarum. Ia makin terkejut ketika tiba-tiba Suling Emas
merobek bajunya, akan tetapi kini ia merasa bersyukur. Sebagai seorang ahli silat tinggi, tentu saja ia
sudah dapat menduga bahwa kakek putih yang sakti tadi ternyata telah melukainya dengan pukulan jarak
jauh yang membuat ia terdorong dan terhuyung ke belakang tadi. Maka tanpa banyak pikir lagi ia lalu
memutar tubuh membelakangi Suling Emas, melepaskan seluruh urat dan tenaganya sedikit pun tidak
melakukan perlawanan. Pada saat itu ia merasa betapa pundak kiri dan punggungnya ditotok, kemudian
telapak tangan yang amat panas seperti membara menempel di punggungnya.
“Sekarang bernapaslah panjang-panjang dan rasakan apakah masih sakit.”
Yu Siang Ki menarik napas panjang, hatinya girang sekali karena dada kirinya sudah tidak sakit lagi. Ia
menggeleng kepala dan berkata. “Sudah tidak terasa apa-apa lagi, Paman.”
Suling Emas melepaskan tangannya dan menghela napas. “Sungguh berbahaya Pak-kek Sian-ong,
tangannya masih keji! Akan tetapi bahayanya sudah lewat, hanya perlu memulihkan tenaganya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“He, Nona, ke sinilah engkau!” Tiba-tiba Suling Emas memanggil dan menggapai ke arah Kwi Lan.
Kwi Lan tercengang ketika tadi ia melihat betapa Yu Siang Ki disembuhkan dari lukanya oleh Suling Emas
dengan tenaga sinkang. Kemudian ia tersenyum girang. Kiranya kakek muka putih tadi lihai sekali
sehingga dorongannya dari jarak jauh telah melukai Yu Siang Ki. Akan tetapi ia tidak terluka! Dan hal ini
berarti bahwa dia lebih kuat dari pada pemuda itu, lebih lihai! Ketika Suling Emas memanggilnya, sambil
tersenyum ia menghampiri dan menyimpan pedangnya. Memang ia pun ingin sekali bicara dengan Suling
Emas yang ia kagumi. Ingin bicara tentang Sang Ratu Khitan, ibu kandungnya!
Begitu Kwi Lan melangkah maju dengan mata bersinar, wajah berseri dan bibir tersenyum, Suling Emas
memandang seperti orang terpesona. Dadanya berdenyut keras dan seketika teringatlah ia kepada Lin Lin
atau Yalina, kekasihnya. Gadis ini sama benar dengan kekasihnya itu! Seperti itu pula Lin Lin dahulu
mengangkat muka dengan leher panjang lurus, dada dibusungkan, pandang mata penuh ketabahan dan
semangat. Seperti itu pula lenggang Lin Lin yang halus gemulai namun membayangkan kegagahan. Dan
senyum itu! Senyum nakal dan aneh, pembawaan dari suku bangsanya yang asing, suku bangsa Khitan!
Gadis itu sudah berdiri dekat di depannya, namun Suling Emas masih memandang, merasa seperti dalam
mimpi. Ia melihat Lin Lin muda kembali, menjadi gadis remaja!
Melihat keadaan Suling Emas ini, Kwi Lan memperlebar senyumnya, merasa lucu dan aneh. Dilihat
sikapnya, pendekar sakti yang berjuluk Suling Emas ini tiada ubahnya dengan laki-laki biasa, yang selalu
memandangnya dengan sikap tertarik seperti itu. Akan tetapi sinar matanya lain dari pada laki-laki yang
lain. Sinar mata yang terpancar keluar dari sepasang mata yang sayu sedih itu tidak mengandung nafsu
seperti pada laki-laki lain, melainkan penuh pertanyaan dan keheranan, bukan kekaguman dan bukan pula
gairah.
“Jadi engkau inikah orangnya yang berjuluk Suling Emas? Sudah banyak kudengar tentang dirimu dari Yu
Siang Ki. Memang aku ingin sekali jumpa denganmu, banyak hal yang hendak kutanyakan. Suling Emas, di
manakah kita dapat bicara dengan enak dan leluasa? Kuharap engkau tidak akan merasa keberatan...!”
“Engkau anak siapa?! Siapa ibumu?!” Pertanyaan ini keluar dari mulut Suling Emas secara otomatis seperti
di luar kesadarannya dan terdengar keras seperti bentakan sehingga semua orang yang mendengar
mengira bahwa pendekar itu menjadi marah-marah.
Kwi Lan tersentak kaget, keningnya berkerut, matanya memandang tajam. Apa maksud pendekar ini?
Mengapa begitu jumpa, terus saja bertanya siapa ibunya? Kwi Lan adalah seorang gadis yang amat cerdik.
Pertanyaan yang membingungkan semua orang ini sudah dapat diduga maksudnya dalam sekejap mata
oleh Kwi Lan. Ia sudah mendengar bahwa orang ini, Suling Emas adalah kakak angkat Ratu Yalina, dan
mungkin sekali, kalau tidak hisapan jempol belaka percakapan antara kaum sesat, di antara kakak dan adik
angkat ini terjalin kasih sayang. Kalau betul demikian, agaknya kini Suling Emas terkejut melihat dia dan
tentu saja hanya satu hal yang menyebabkannya, yaitu bahwa dia tentu mirip dengan ibunya di waktu
masih muda! Ia tidak meragukan keterangan bibi dan gurunya, bahwa ibu kandungnya adalah Ratu Yalina.
“Kau tanya namaku? Seperti engkau, namaku hanya nama julukan. Mutiara Hitam! Tentang ibuku... aku
sendiri tidak tahu....”
Mendengar jawaban ini, Suling Emas baru sadar betapa tidak pantasnya pertanyaannya tadi. Wajahnya
menjadi merah sekali dan ia cepat berkata. “Nona, kau bukalah baju bagian dadamu!”
Kini wajah Kwi Lan yang menjadi merah sekali, merah karena marah. Sepasang matanya memancarkan
kemarahan, sinarnya menyambar wajah Suling Emas dan tangan kanannya bertolak pinggang, telunjuk kiri
menuding ke arah hidung Suling Emas sambil mulutnya membentak.
“Apakah kau kira setelah kau bernama Suling Emas dan terkenal sebagai pendekar besar yang sakti, boleh
saja engkau menghina seorang seperti aku? Cih, manusia kurang ajar tak tahu malu!” Setelah berkata
demikian, ia membanting kakinya dengan gemas kemudian sekali bergerak, tubuhnya sudah melayang
turun dari atas panggung.
“Kwi Lan...! Kwi Lan, kembalilah! Engkau hendak ke mana...?” Yu Siang Ki berseru memanggil.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Lan tidak menoleh, hanya menjawab dengan suara menyatakan kekesalan hatinya. “Aku pergi, uruslah
dunia pengemismu, sampai jumpa!”
“Kwi Lan...!” Yu Siang masih berusaha menahan.
“Percuma, gadis seperti dia itu tak mungkin mau dicegah kehendaknya...!” Suling Emas berkata lirih dan
berkali-kali pendekar ini menarik napas panjang dan berkata. “Aneh... benar aneh...,” Di dalam hatinya ia
benar-benar makin heran menyaksikan sikap gadis pemarah itu yang sama dengan watak Lin Lin.
Kemudian ia bertanya kepada Yu Siang Ki, “Kwi Lan namanya? Mutiara Hitam? Dari manakah datangnya?
Ilmunya hebat....“
“Entahlah, Paman. Saya bertemu di tengah jalan, dia sebatang-kara namanya Kwi Lan dan shenya Kam....”
“Heh...?” Suling Emas benar-benar terkejut, memandang wajah tampan itu dengan mata penuh selidik.
“Benar, Paman. Ketika pertama kali mendengar saya pun terkejut dan melihat kelihaiannya, saya mengira
dia mempunyai hubungan keluarga dengan Paman. Akan tetapi ternyata bukan dia... dia bahkan tidak tahu
siapa orang tuanya. Kiranya, semenjak bayi dia dirawat gurunya yang ia sebut-sebut Bibi Sian.”
Suling Emas berdiri tegak seperti arca. Penuturan singkat tentang gadis itu membuat pikirannya melayanglayang
dan mengenangkan masa lalu. Bibi Sian? Kalau gadis yang sama benar wajah dan wataknya
dengan Lin Lin itu puteri Lin Lin, memang dia mempunyai seorang ‘Bibi Sian’, yaitu Kam Sian Eng! Dan
ilmu kepandaian Sian Eng memang hebat luar biasa, karena Sian Eng telah mewarisi pusaka ibu
kandungnya, Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian (baca cerita CINTA BERNODA DARAH)!
Benarkah sangkaannya ini? Akan tetapi, ahh... mana mungkin Lin Lin mempunyai puteri? Ia hanya
mendengar bahwa sampai kini Lin Lin yang kini menjadi Ratu Yalina di Khitan tidak pernah menikah dan
hanya mempunyai seorang putera angkat, yaitu anak panglimanya sendiri yang setia, Kayabu.
Pada saat itu, Gak-lokai dan Ciam-lokai sudah meloncat ke atas panggung. Tadi ketika semua orang
mendengar bahwa orang yang mereka sangka Yu Kang Tianglo itu ternyata palsu dan Suling Emas
adanya, mereka menjadi gaduh dan ramailah mereka mengeluarkan pendapat masing-masing.
Gak-lokai dan Ciam-lokai segera merundingkan hal itu dengan anak buahnya. Mereka kini sudah
mendengar bahwa Yu Kang Tianglo telah meninggal dunia dan karena mereka tahu bahwa Suling Emas
dahulu sahabat baik Yu Kang Tianglo, maka mereka tidak akan menuntut, bahkan berterima kasih. Apa
lagi di situ ada terdapat pemuda lihai yang mengaku putera Yu Kang Tianglo, hal ini harus dibuktikan lebih
dahulu kebenarannya.
Setelah mendapat persetujuan rekan-rekan mereka, dua orang kakek pengemis itu lalu melompat ke atas
panggung. Langsung mereka berdua menghadapi Suling Emas dan memberi hormat. “Kiranya Taihiap
(Pendekar Besar) yang semenjak dahulu telah menjadi sahabat baik para kai-pang. Harap Taihiap sudi
memaafkan kesalahan kami yang menyangka Taihiap adalah Yu Kang Tianglo,” kata Gak-lokai.
Suling Emas balas menjura dan menarik napas panjang. “Sama-sama salah, Lokai. Aku pun bersalah,
telah berani mengaku sebagai Yu Kang Tianglo. Syukurlah kalian semua percaya bahwa perbuatanku ini
sama sekali bukan untuk merampas kedudukan, melainkan untuk mewakili sahabatku itu membersihkan
Khong-sim Kai-pang. Sekarang rahasiaku telah terbuka, dan kebetulan sekali muncul putera Yu Kang
Tianglo yang bernama Yu Siang Ki ini. Melihat kepandaiannya, kiranya tidak ada orang lain yang tepat
untuk memimpin Khong-sim Kai-pang dan bersama kai-pang-kai-pang lain bersatu menghadapi ancaman
kaum sesat.”
“Ucapan Taihiap tepat sekali dan kami bergembira bertemu dengan putera Yu Kang Kai-pangcu, sungguh
pun merasa sedih mendengar berita kematiannya. Akan tetapi, Taihiap, siapakah berani tanggung bahwa
orang muda ini benar-benar putera Yu Kang Tianglo yang sudah puluhan tahun tiada berita?” kata Ciamlokai.
“Pendapat rekan Ciam-lokai benar. Kalau yang memalsukan nama Yu Kang Tianglo itu Taihiap, hal ini
masih tidak ada buruknya, bahkan lebih baik mengingat bahwa Taihiap seorang pendekar sakti yang selalu
membela kaum lemah. Akan tetapi kalau sampai dipalsukan orang lain yang kemudian menyelewengkan
kai-pang seperti halnya lima pangcu yang telah tewas di tangan Taihiap, bukankah hal ini akan
dunia-kangouw.blogspot.com
menimbulkan mala-petaka? Karena itu, kami minta bukti dari orang muda ini bahwa dia betul-betul putera
Yu Kang Tianglo!”
“Bagus...! Benar sekali...!” terdengar para pengemis berteriak-teriak.
Suling Emas hanya memandang kepada Yu Siang Ki. Di dalam hatinya ia percaya kepada pemuda ini yang
dapat ia nilai kejujuran dan kesetiaannya dari sikap dan sepak terjangnya tadi. Akan tetapi ia pun tidak
berani memastikan apakah pemuda ini benar-benar putera Yu Kang Tianglo, karena ketika bertemu
dengan tokoh pengemis itu dahulu, Yu Kang Tianglo tidak menyebut-nyebut tentang keadaan keluarganya.
Oleh karena inilah ia diam saja dan menyerahkan kepada Yu Siang Ki sendiri untuk membuktikan
kebenaran pengakuan sebagai putera Yu Kang Tianglo.
Pemuda itu dengan sikap tenang, tanpa ragu-ragu menghadapi Cak-lokai dan Ciam-lokai sambil berkata,
“Kalau saya tidak salah duga, Ji-wi (Anda Berdua) tentulah Gak-lokai dan Ciam-lokai. Ayah pernah
menyebut nama Ji-wi kepada saya. Apa yang Ji-wi kemukakan tadi memang benar. Saya harus dapat
membuktikan bahwa saya Yu Siang Ki, benar-benar adalah putera tunggal Yu Kang Tianglo. Saya
mempunyai tiga macam bukti, harap Ji wi dan semua Saudara anggota Khong-sim Kai-pang mendengar
dan menyaksikannya!”
Yu Siang Ki berhenti sejenak, kemudian ia berkata lagi dengan suara lantang sambil menggerakkan kedua
tangannya, yang kiri menekan di dada kiri arah tempat jantung dan tangan kanan diangkat ke atas
membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah. “Beginilah tanda rahasia perkumpulan kita Khong-sim
Kai-pang! Kakekku, Yu Jin Tianglo, yang menciptakan tanda rahasia ini. Bukan hanya sekedar tanda,
melainkan memiliki tiga kegunaan, yaitu pertama sebagai tanda pengenal sesama anggota. Kedua
mempunyai arti yaitu Kosong dan Hati, sesuai dengan nama perkumpulan kita, Khong-sim Kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Kosong adalah kosong lahir batin. Lahirnya kosong dan miskin
tidak memiliki apa-apa, dalamnya juga kosong dan polos tidak mempunyai watak dan pikiran kotor. Ada
pun hati dimaksudkan bahwa setiap anggota harus memiliki hati yang bersih dan penuh kesetiaan terhadap
perkumpulan. Kemudian arti ke tiga dan hal ini hanya dikenal oleh para pimpinan Khong-sim Kai-pang,
yaitu gerakan ini adalah jurus pembukaan dari pada ilmu silat yang harus dimiliki oleh para pimpinan
Khong-sim Kai-pang. Nama ilmu silatnya pun Khong-sim-kun (Ilmu Silat Hati Kosong)!”
Mendengar ini, berisiklah semua pengemis dan semua terheran-heran. Yang sudah tahu jelas akan arti
tanda rahasia mereka itu mengangguk-angguk membenarkan, yang belum tahu kini menjadi tahu dan
tercengang, tidak mengira bahwa tanda rahasia itu mempunyai arti yang begitu luas.
“Sekarang bukti ke dua bahwa saya adalah putera tunggal Yu Kang Tianglo. Mungkin di antara saudara
anggota Khong-sim Kai-pang tidak ada yang mengetahui siapa nama Gak-lokai dan Ciam-lokai! Adakah di
antara saudara yang mengetahui nama mereka berdua?”
Yu Siang Ki menanti sampai beberapa lama. Para pengemis itu kembali berisik sekali sehingga keadaan di
situ menjadi seperti pasar. Namun tidak ada yang tahu akan nama dua orang tokoh yang selalu hanya
dikenal sebagai Gak-lokai dan Ciam-lokai saja. Kemudian terdengar suara mereka. “Tidak ada yang
tahu...!”
Yu Siang Ki menjura kepada Gak-lokai dan Ciam-lokai. “Maafkan saya, Ji wi Lokai, untuk menjadi bukti,
terpaksa saya memperkenalkan nama Ji wi.” Kemudian pemuda ini menghadapi para pengemis dan
berkata lantang. “Mendiang ayah pernah mengatakan bahwa di antara para tokoh Khong-sim Kai-pang,
yang boleh saya percaya adalah dua orang, yaitu Paman Gak Lun dan Paman Ciam Hie inilah!”
Dua orang lokai itu saling pandang dengan muka pucat. Sudah puluhan tahun mereka tidak pernah
memperkenalkan nama, bahkan tidak pernah ada yang menyebut nama mereka. Memang hanya Yu Kang
Tianglo yang mereka beritahu tentang nama mereka.
Kembali para pengemis menjadi berisik, bahkan ada yang bersorak karena kedua orang lokai itu sama
sekali tidak membantah. Hal ini hanya berarti bahwa bukti kedua ini pun cocok.
“Sekarang bukti ke tiga. Seperti kukatakan tadi, setiap pimpinan Khong-sim Kai-pang tentu diberi pelajaran
ilmu silat Khong-sim-kun. Ayah pernah bercerita bahwa pada masa ini, di antara semua anggota Khongsim
Kai-pang, hanya Gak-lokai dan Ciam-lokai berdua sajalah yang faham akan ilmu silat itu, karena
dahulu ketika ayah datang ke sini untuk memimpin saudara-saudara menghadapi Pouw Kai-ong, sebelum
pergi lagi ayah telah menurunkan ilmu itu kepada dua orang tua ini. Benarkah, Ji-wi Lokai?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Gak-lokai dan Ciam-lokai berseri-seri wajahnya dan mengangguk-angguk. Kini mereka tidak ragu-ragu lagi
bahwa pemuda yang tahu semua kejadian rahasia ini tentulah benar putera Yu Kang Tianglo. Akan tetapi
mereka masih belum puas. Kalau ketua mereka selihai Suling Emas, hati mereka akan menjadi lega. Akan
tetapi Yu Siang Ki masih amat muda. Biar pun tadi kelihatan kelihaiannya, bahkan dipuji oleh Suling Emas,
namun cukup kuatkah pemuda ini menjadi ketua kai-pang yang kini menghadapi banyak musuh tangguh?
“Nah, kalau benar demikian,” Siang Ki menyambung kata-katanya, “sekarang saya persilakan Ji-wi untuk
menguji aku dengan ilmu silat itu. Kalau aku dapat memecahkan Khong-sim-kun, jelaslah bahwa hanya
ayahku Yu Kang Tianglo yang bisa mengajarkan ilmu itu kepadaku.”
“Setuju! Baik begitu!” Semua pengemis bersorak.
Gak-lokai dan Ciam-lokai juga menjadi girang karena kini terbuka kesempatan bagi mereka untuk
memuaskan hati mereka dengan menguji sampai di mana kelihaian putera Yu Kang Tianglo ini. Akan tetapi
karena kini mereka yakin bahwa pemuda ini adalah putera Yu Kang Tianglo, maka mereka menjadi segan
juga. Gak-lokai lalu menjura dan berkata.
“Yu Siauw-pangcu (Ketua Yu Muda) yang memerintah, harap suka maafkan kami dua orang tua berani
kurang ajar!”
Yu Siang Ki tertawa. Senang hatinya melihat sikap dua orang yang pernah dipuji ayahnya ini. “Ji-wi harap
jangan sungkan-sungkan. Mulailah!”
Gak-lokai dan Ciam-lokai bergerak maju dan benar saja, sebagai pembukaan mereka telah bergerak
seperti yang dilakukan Yu Siang Ki tadi, yaitu tangan kiri menekan dada kiri sedangkan tangan kanan
diangkat di atas kepala membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah. Juga pemuda itu melakukan
gerak yang sama, setelah itu barulah dua orang kakek itu menyerang dengan jurus-jurus yang aneh,
namun amat cepat dan menimbulkan angin pukulan halus.
Diam-diam Suling Emas memperhatikan dan menjadi kagum. Ilmu Khong-sim-kun yang diciptakan kakek
pemuda itu memang benar hebat, gerakannya halus dan indah, namun mengandung kecepatan gerak dan
tenaga kuat. Begitu menyaksikan cara pemuda itu menyambut serangan, tahulah Suling Emas bahwa
dalam ilmu silat ini, si Pemuda jauh lebih matang dan sempurna gerakannya dari pada kedua orang
lawannya. Hal ini adalah karena Gak-lokai dan Ciam-lokai hanya beberapa hari saja berkumpul dengan Yu
Kang Tianglo sehingga hanya menerima teori dan menerima bimbingan sebentar, sebaliknya Yu Siang Ki
berlatih di bawah pengawasan ayahnya, tentu saja gerakannya lebih mahir dan sempurna.
Dua orang kakek itu girang bukan main. Mereka pun tahu bahwa pemuda ini benar-benar mahir ilmu silat
Khong-sim-kun dan semua jurus yang mereka keluarkan untuk menyerangnya, semua dapat dikembalikan,
ditangkis atau dielakkan dengan baik sekali. Sampai habis semua jurus Khong-sim-kun mereka jalankan
dan belum pernah mereka dapat menyentuh tubuh Yu Siang Ki, sebaliknya setiap kali pemuda itu
menangkis, tentu tangan mereka terpental dan pangkal lengan mereka terasa kesemutan dan setengah
lumpuh. Mereka maklum bahwa kalau pemuda itu menghendaki, dalam beberapa jurus saja mereka tentu
akan dapat dirobohkan!
Keduanya lalu melompat mundur, menghadapi para pengemis di bawah panggung dan bersorak,
“Saudara-saudara semua! Dia ini betul-betul putera Yu Kang Kai-pangcu! Dialah yang patut menjadi ketua
kita!”
Setelah berkata demikian, Gak-lokai dan Ciam-lokai lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Yu Siang Ki
sambil berkata, “Yu-pangcu, kami mohon pimpinan Pangcu!”
Pemuda itu terharu ketika melihat semua pengemis di bawah panggung juga berlutut. Ia tersenyum dan
mengangkat bangun Gak-lokai dan Ciam-lokai. “Harap Saudara sekalian jangan terlalu merendahkan diri.
Aku tentu saja suka sekali memimpin kalian dan melindungi perkumpulan kita, asal mendapat bantuan
Gak-lokai dan Ciam-lokai yang sudah lebih berpengalaman.”
Para pengemis bersorak gembira, ada yang menari-nari dan ada yang tertawa-tawa. Para pimpinan kaipang
yang menjadi tamu segera maju dan memberi hormat serta memberi selamat kepada pangcu baru
dari Khong-sim Kai-pang. Timbul harapan mereka bahwa bersama pemuda yang lihai ini mereka akan
lebih kuat menghadapi penyelundupan kaum sesat.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Eh, ke mana dia...?” Tiba-tiba Yu Siang Ki menengok, terkejut karena tidak melihat Suling Emas di
belakangnya.
Gak-lokai dan Ciam-lokai juga terkejut dan heran. “Ke mana perginya Kim-siauw Taihiap?”
“Lihat itu ada tulisan!” kata pula Yu Siang Ki yang melihat tulisan terukir di atas papan panggung di mana
tadi Suling Emas berdiri. Beramai-ramai mereka mendatangi tempat itu dan pembaca tulisan yang terukir,
amat indahnya, agaknya diukir dengan ujung sepatu!
Selamat kepada pangcu baru,
Suling Emas akan selalu mengamati
dan melindungi dari jauh!
Mereka menarik napas panjang. Gak-lokai dan Ciam-lokai cepat lari meloncat turun menuju ke kandang
kuda, namun kuda kurus tunggangan Suling Emas juga tidak ada pula di situ. Semua orang menjadi makin
kagum. Di depan mata sekian banyaknya orang, Suling Emas dapat menghilang begitu saja, bahkan
meninggalkan tulisan yang diukir dengan ujung kaki.
Namun di dalam hatinya, Yu Siang Ki, Gak-lokai, dan Ciam-lokai girang karena di dalam tulisan yang
ditinggalkan Suling Emas itu, si Pendekar Sakti menjanjikan pengamatan dan perlindungan, biar pun dari
jauh. Hal ini berarti bahwa dalam menghadapi bahaya dan kesukaran, mereka masih dapat mengharapkan
bantuan pendekar sakti itu. Biar pun di dalam hatinya Yu Siang Ki berduka sekali karena ia kehilangan Kwi
Lan yang pergi secara mendadak, namun sebagai seorang ketua yang amat setia kepada Khong-sim Kaipang,
ia mengesampingkan perasaan pribadi yang jatuh cinta kepada gadis itu, dan mulailah ia mengatur
segala usaha dan perbaikan untuk Khong-sim Kai-pang.
********************
Suling Emas menarik napas panjang berkali-kali, hanya kecewa dan menyesal karena ia tidak berhasil
mengejar gadis yang bernama Kam Kwi Lan itu. Biar pun ia membalapkan kudanya mengejar keempat
penjuru, ia tetap saja tak dapat melihat Kwi Lan. Mengertilah ia bahwa gadis itu memang sengaja tidak
mau menjumpainya. Ia mengingat-ingat dan mengangguk-angguk. Gadis itu wataknya aneh dan keras
sekali.
Dan ia memang kurang hati-hati dengan ucapannya tadi. Ia menyuruh gadis itu membuka baju. Tentu saja
ia maksudkan agar gadis itu melihat sendiri pada dadanya karena seperti juga Siang Ki, ia tahu bahwa
gadis itu menderita luka akibat pukulan rahasia Pak-kek Sian-ong. Gadis itu salah kira, menyangka dia
bersikap kurang ajar!
“Hemm, patut menjadi murid Sian Eng,” ia menggereneng. “Akan tetapi wataknya lebih mirip dengan Linmoi,
juga wajah dan bentuk tubuhnya. Heran sekali... siapakah bocah itu?”
Karena dapat menduga watak Kwi Lan yang mirip Lin Lin, maka ia tahu bahwa percuma saja mencari
terus. Kalau gadis itu tidak mau menjumpainya dan bersembunyi, mana mungkin ia mencari dan
menemukannya? Suling Emas menjalankan kudanya lagi, perlahan-lahan. Ia telah dikenal orang.
Rahasianya telah bocor karena munculnya Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong. Hatinya menjadi
risau.
Untuk menghilangkan perasaan tidak enak ini ia mengeluarkan sulingnya dan ditiupnya sulingnya itu dan
berusaha melenyapkan segala perasaan yang tidak menyenangkan. Namun tetap saja pikirannya tak
dapat ia diamkan. Dunia mulai kacau lagi. Orang-orang jahat bermunculan. Bahkan dua orang seperti Pakkek
Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong juga mulai main gila di dunia ramai. Bagaimana dia akan dapat
menyembunyikan dan mengasingkan diri, berpeluk tangan saja? Tak mungkin, bisik hatinya. Tak mungkin
aku dapat menjadi penonton saja. Haruskah dia turun tangan kembali, seperti dulu-dulu? Haruskah ia
mengisi hidupnya dengan pertandingan-pertandingan lagi? Mengganggu ketenangan dan kesunyian
dengan urusan dunia yang tiada habisnya?
Tiba-tiba ia menahan kudanya dan otomatis tangan kirinya menarik sapu tangan yang tergantung di leher
ke atas, menutupi mulut dan hidungnya. Telinganya mendengar suara makian dari jauh, dari arah
belakangnya.
“Setan biadab, siapa sudi menuruti kehendakmu? Bunuh saja aku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Iblis Khitan, kalau bisa kau cari sendiri orangnya, mengapa memaksa kami? Kau berani menghina
pengemis miskin?”
Itulah suara Gak-lokai dan Ciam-lokai! Biar pun ia tidak menengok dan tidak melihat, namun telinganya
mendengar betapa dari belakang terdapat dua orang yang mendatangi dengan ilmu lari cepat yang amat
hebat. Ia terkejut dan tadinya ia mengira tentu Lam-kek Sian-ong dan Pak-kek Sian-ong yang datang, akan
tetapi kalau mereka, mengapa suara makian Ciam-lokai tadi menyebut-nyebut iblis Khitan? Suling Emas
lalu memutar kudanya dan karena harus siap menjaga kalau yang datang betul Pak-kek Sian-ong dan
Lam-kek Sian-ong, maka masih memegang suling di tangan kanannya.
Akan tetapi setelah kini ia memutar kuda, ia terheran-heran. Yang datang berlari cepat sekali adalah dua
orang Khitan, dua orang kakek yang datang membawa Gak-lokai seperti orang menenteng kelinci saja.
Dua orang kakek pengemis yang cukup lihai itu dicengkeram punggung bajunya dan sama sekali tidak
dapat melepaskan diri. Ini saja sudah membuktikan betapa lihainya dua orang Khitan itu.
Suling Emas diam-diam terkejut. Bukan terkejut melihat kelihaian mereka karena ia pun maklum bahwa
banyak orang-orang kuat di Khitan. Akan tetapi ia terkejut karena melihat bahwa yang datang ini bukan
orang sembarangan, melainkan dua orang yang berpangkat tinggi dalam ketentaraan, dua orang panglima!
Hal ini dapat dilihat dari pakaiannya. Para panglima Khitan dapat dikenal dari tanda sulaman bundar di
dada mereka. Dua orang kakek ini pada dadanya terdapat gambar pilar besar, berarti bahwa mereka
adalah panglima-panglima benteng. Hemm, kalau Lin Lin sampai mengutus panglima-panglimanya datang,
berarti Ratu Khitan itu tidak main-main lagi, tidak sekedar rindu dan mengundangnya begitu saja!
Setelah dua orang panglima Khitan itu tiba dekat, Gak-lokai berkata sambil memandang Suling Emas,
“Taihiap, bukan kami yang menunjukkan tempat Taihiap, melainkan kami dibawa dengan paksa oleh dua
ekor monyet Khitan ini!”
Suling Emas berkata dari balik sapu tangannya, suaranya perlahan dan halus, namun berpengaruh,
“Sepanjang pengetahuanku, panglima-panglima Khitan adalah orang-orang yang berkepandaian tinggi dan
juga menjunjung keadilan dan kegagahan. Mengapa mengganggu pengemis-pengemis seperti kami?
Apakah Khitan sudah melupakan persahabatan dan hendak mengganas di selatan?”
Muka kedua orang panglima Khitan itu menjadi merah karena teguran itu langsung menusuk hati mereka.
Sejenak mereka saling pandang dengan sangsi karena mereka sendiri pun tidak tahu apakah benar orang
berkuda yang menutupi mukanya itu adalah orang yang dicarinya. Namun, karena perintah dari atasan
mereka menyatakan bahwa orang yang dicarinya itu menyamar sebagai pengemis dan berada di antara
para pengemis Khong-sim Kai-pang, serta memiliki seekor kuda merah yang kurus kering, hilang keraguan
mereka.
Seorang di antara mereka berkata, “Maafkan jika terpaksa kami menangkap dua manusia bandel ini,
karena dimintai tolong menunjukkan tempat Taihiap mereka tidak mau malah memaki-maki. Taihiap, jauhjauh
kami datang sengaja untuk menemui Taihiap, menempuh perjalanan ribuan li, mengalami segala
macam kesukaran dan rintangan. Sama sekali bukan maksud kami untuk mengganggu saudara-saudara
kai-pang. Hanya dua orang manusia ini terlalu bandel tidak suka membantu.”
“Di antara kalian dan aku tidak ada urusan apa-apa, tak pernah saling bertemu dan tidak saling mengenal.
Mengapa kalian bersusah payah mencariku?”
Panglima yang bicara tadi mengambil sesuatu dari sakunya, kemudian berkata, “Kami datang sebagai
utusan ratu kami untuk menyampaikan surat ini kepada Taihiap. Harap Taihiap sudi menerimanya!”.
Setelah berkata demikian, tangannya yang memegang surat itu bergerak menyambit dan gulungan surat
itu bagaikan peluru menyambar ke arah Suling Emas.
Suling Emas mengerti bahwa tidak perlu ia berpura-pura terus. Sambitan itu saja sudah merupakan ujian
karena tidak sembarang orang dapat menyambit seperti itu dan tidak sembarangan orang pula dapat
menerimanya. Ia mengangsurkan tangan kiri, dengan tenang ia menangkap gulungan surat itu. Tubuhnya
sedikit pun tidak bergoyang dari atas panggung kudanya.
Dua orang panglima itu memandang penuh kekaguman dan panglima yang menyambitkan gulungan surat
berkata, “Ternyata tidak keliru dugaan kami. Kami telah melaksanakan tugas kami. Maafkan kami, sobatsobat
yang bandel dan selamat tinggal, Taihiap!” Mereka berdua melepaskan cengkeraman pada
dunia-kangouw.blogspot.com
punggung baju dua orang kakek pengemis itu, kemudian membalikkan tubuh dan berlari cepat pergi
meninggalkan tempat itu.
“Berbahaya sekali! Mereka itu memiliki kepandaian yang hebat. Mengapa Taihiap selalu diganggu orangorang
Khitan?” tanya Ciam-lokai terheran-heran. Ini adalah pengalamannya yang dua kali melihat Suling
Emas dikejar-kejar orang Khitan.
Suling Emas tersenyum. “Urusan pribadi, Lo-kai. Maafkan kalau kalian sampai terbawa-bawa.”
“Adakah sesuatu yang dapat kami lakukan untuk membantumu, Taihiap?” tanya Gak-lokai ketika melihat
wajah pendekar itu agak pucat.
Suling Emas mengerutkan kening. Ia tadi kecewa karena tak dapat mencari Kwi Lan, maka kini ia berkata.
“Memang kalian dapat membantuku. Harap kalian sampaikan kepada Pangcu kalian agar suka mengutus
anak-anak buahnya untuk menyelidiki dan mencari kemana perginya gadis yang berjuluk Mutiara Hitam itu.
Kalau berhasil, harap memberi kabar kepadaku. Aku akan berada di kota raja.”
Dua orang kakek pengemis itu menyanggupi dan mereka lalu berpisah. Setelah Gak-lokai dan Ciam-lokai
pergi, Suling Emas menjalankan kudanya perlahan-lahan sambil melepas tali pengikat gulungan kertas.
Hatinya berdebar keras. Surat dari Lin Lin? Apa kehendaknya? Jari-jari tangannya agak gemetar ketika ia
membentangkan kertas itu di depannya, sedangkan kudanya masih jalan terus perlahan-lahan seenaknya.
Surat itu ternyata singkat namun mengandung gambaran hati yang penuh rindu dan risau.
Kakanda Kam Bu Song,
Terlalu lama saya menanggung derita batin. Terlalu lama menyimpan rahasia besar. Tak tertahankan lagi.
Lekas datang berkunjung.
YALINA
Suling Emas menghela napas panjang dan menyimpan gulungan surat di saku baju sebelah dalam.
Apakah yang dikehendaki Lin Lin? Rahasia besar apakah yang dimaksudkannya? Bukankah sudah tepat
kalau ia meninggalkan Lin Lin, seperti juga ia meninggalkan Suma Ceng?”
Ah, hidupnya yang lalu dirusak oleh asmara gagal. Bukan ia tidak merasa rindu kepada Lin Lin, hanya ia
sengaja hendak menghapus perasaan itu mengingat akan kedudukan Lin Lin sebagai Ratu Yalina di
Khitan. Untuk apa dia mengganggu dan merusak nama baik seorang ratu besar? Inilah yang meragukan
hatinya sehingga ia tidak berani berkunjung ke Khitan. Sekarang pun ia tidak ingin berkunjung, bahkan
hendak pergi ke kota raja Sung, untuk menemui Liong-ji (Anak Liong).
Ya, kini hanya pemuda putera Suma Ceng itulah yang menjadi harapannya. Kiang Liong adalah pemuda
puteranya, anak Suma Ceng. Pemuda ini menggunakan she Kiang menurut nama keluarga Pangeran
Kiang suami Suma Ceng, akan tetapi Kiang Liong adalah puteranya! Dan semenjak kecil, ia sering kali
berkunjung secara diam-diam dan menurunkan ilmunya kepada Kiang Liong yang menganggapnya
sebagai gurunya. Sekarang pun ia hendak pergi ke kota raja untuk berkunjung kepada murid dan juga
puteranya itu, karena sudah merasa rindu. Akan tetapi surat Lin Ling yang baru saja diterimanya membuat
hatinya bimbang.
Ah, betapa pahit semua kenyataan itu. Lin Lin adalah seorang wanita yang dicintanya, bahkan bukan
hanya menjadi kekasih biasa, melainkan menjadi isteri selama sebulan, isteri yang tidak sah! Terpaksa ia
harus merenggutkan cinta kasih, merobek hati sendiri demi kedudukan Lin Lin sebagai seorang ratu!
Dan terhadap Kiang Liong, biar pun ia tahu bahwa anak itu adalah puteranya sendiri, ia tidak berani
mengakuinya dan oleh pemuda itu ia hanya dianggap sebagai guru! Hal ini ia lakukan demi menjaga nama
baik Suma Ceng, juga nama baik anak itu sendiri sebagai putera pangeran! Benar-benar ia banyak
menderita batin, namun pengorbanan-pengorbanan itu harus ia lakukan demi orang-orang yang ia cinta!
********************
Senja hari di malam tahun baru. Untuk kedua kalinya dalam beberapa bulan itu, puncak Cheng-liong-san
yang biasanya sunyi sepi itu kini ramai dikunjungi orang. Akan tetapi tidak seperti dahulu pada pertama
kalinya, kini kaum sesat dengan pasukan-pasukannya yang datang berbondong-bondong, tidak langsung
naik ke puncak, melainkan bergerombol dan berkumpul menjadi beberapa kelompok di lereng gunung.
Puncak Cheng-liong-san tetap sunyi. Siapakah berani lancang naik ke puncak sebelum datuk-datuk yang
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka pilih tiba? Hari itu adalah hari penentuan, hari pertemuan para datuk kaum sesat yang dipilih oleh
golongan masing-masing untuk menentukan siapa di antara mereka yang patut dipilih menjadi bengcu atau
pemimpin besar kaum sesat.
Datuk pertama yang muncul di puncak adalah seorang yang amat aneh. Dia berjalan seorang diri, mendaki
puncak sambil bernyanyi-nyanyi. Nyanyinya amat aneh pula, dengan kata-kata asing yang lucu, sedangkan
lagunya juga lucu sekali sehingga suaranya yang bergema di seluruh lembah dan terdengar oleh para
kaum sesat membuat mereka terheran-heran dan tersenyum-senyum geli. Suaranya tinggi kecil seperti
suara perempuan.
Kalau tidak melihat orangnya, mendengar suaranya tentu orang mengira dia seorang wanita. Akan tetapi
ternyata dia itu seorang laki-laki yang bertubuh tinggi tegap, dengan tubuh berotot dan sepatutnya ia
seorang laki-laki yang memiliki tubuh gagah. Wajahnya tampan sekali, dengan hidung yang agak terlalu
mancung dan mata yang warna hitamnya tercampur biru. Kulitnya putih halus seperti kulit wanita,
rambutnya panjang dibiarkan terurai di belakang punggung. Dan lenggangnya, lenggangnya genit dan
lemah-gemulai seperti lenggang seorang wanita berpantat besar yang genit sekali. Bibirnya yang terlalu
manis bentuknya untuk seorang pria itu selalu tersenyum-senyum dan bergerak-gerak dibuat-buat agar
nampak makin manis. Pakaiannya juga aneh, amat mewah terbuat dari sutera beraneka warna yang halus,
lehernya digantungi kalung permata yang besar-besar. Kuku jari-jari tangannya runcing terpelihara dan
diberi merah-merah!
Inilah dia Bu-tek Siu-lam, datuk yang dipilih para pengemis untuk menjadi bengcu. Julukan Siu-lam (Lakilaki
Tampan) memang ada benarnya, hanya sayang ketampanannya itu membuat ia menjadi genit seperti
perempuan, beraksi seperti perempuan dan tingkah lakunya tiada bedanya dengan seorang wadam
(banci). Sebuah gunting besar yang mengkilap putih terselip di pinggangnya.
Setelah tiba di puncak, Bu-tek Siu-lam menghentikan nyanyiannya, memandang ke kanan kiri lalu
berdongak ke atas. Mulutnya terbuka dan terdengarlah suara suitan yang keras sekali sehingga
mengumandang ke seluruh lembah dan lereng gunung. Suitan panjang ini disusul suaranya yang merdu
dan kecil namun nyaring sekali.
“Heiiii! Mana dia iblis-iblis palsu dari empat penjuru yang katanya hendak beraksi? Kalau benar bisa
menandingi Bu-tek Siu-lam, aku rela menganggapnya sebagai bengcu dan bersahabat dengannya, hi-hihik!”
Setelah berkata demikian, Bu-tek Siu-lam yang sukar ditaksir berapa usianya ini berdiri dengan tubuh
digerak-gerakan kemayu!
Mendengar suara datuk mereka ini, rombongan pengemis yang dipimpin oleh Hek-peng Kai-pang dan Hekcoa
Kai-pang mulai berani mendaki puncak, akan tetapi mereka ini pun hanya berkumpul di bawah puncak
dari mana mereka dapat memandang datuk mereka dengan penuh harapan. Di antara kaum sesat yang
berkumpul disekitar Pegunungan Cheng-liong-san, terdapat pula puluhan orang yang datang hanya karena
tertarik hatinya dan ingin menonton apa sesungguhnya yang menyebabkan banyak sekali orang
mendatangi bukit yang sunyi itu. Mereka ini adalah orang-orang petani, beberapa orang pelancong dan ada
juga beberapa orang kang-ouw yang menjadi ingin tahu sekali. Ketika rombongan pengemis mulai mendaki
bukit, orang-orang yang tidak tahu akan bahaya ini, dan sama sekali tidak tahu dan tidak mengenal orang
aneh di atas puncak, ikut pula naik untuk menonton.
Kedatangan rombongan bukan pengemis ini tak terlepas dari pandangan mata Bu-tek Siu-lam yang tajam.
Ia segera menghadap ke arah tiga puluh lebih orang-orang yang ingin menonton itu, lalu berkata, suaranya
manis sekali terdengarnya, sungguh pun dengan dialek asing.
“Siapakah jago kalian? Mana dia? Suruh dia naik ke sini!”
Akan tetapi tentu saja puluhan orang itu tidak ada yang mengerti apa yang dimaksudkannya karena
mereka itu bukan rombongan tertentu, dan sama sekali tidak punya jago. Karena tidak ada yang
menjawabnya, Bu-tek Siu-lam diam-diam menjadi marah, menganggap mereka itu tidak sopan dan tidak
menghormatinya. Tiba-tiba ia tertawa dan tahu-tahu tubuhnya yang tinggi itu sudah melayang turun dari
puncak, tiba di antara puluhan orang yang menonton itu. Para penonton ini tidak menyangka buruk, bahkan
menjadi girang dapat melihat orang aneh itu dari dekat. Mereka tersenyum-senyum kepada Bu-tek Siu-lam
karena orang aneh yang tampan dan genit ini pun tertawa-tawa.
Akan tetapi secara mendadak suara ketawa mereka terhenti ketika Bu-tek Siu-lam menangkap seorang di
antara mereka yang terdekat, menangkap gelung rambut orang itu, seorang laki-laki berusia tiga puluh
dunia-kangouw.blogspot.com
tahun yang bertubuh tinggi besar dan kuat. Sekali sambar dengan tangan kanan, laki-laki itu dijambak
rambutnya dan digantung. Laki-laki itu terkejut dan berteriak kesakitan.
“Hi-hik, inikah jago kalian? Atau ada yang lain lagi?” Bu-tek Siu-lam bertanya sambil tertawa-tawa dan
mengangkat-angkat tubuh yang tergantung di tangan kanannya itu.
Orang itu menjadi marah sekali karena kesakitan. Betapa pun juga dia adalah seorang laki-laki yang kuat
dan pernah belajar silat, maka tentu saja tidak mau dihina oleh orang aneh ini. “Bedebah! Lepaskan aku!”
teriaknya dan tangan kirinya menghantam ke arah dada Bu-tek Siu-lam.
“Crakkk!”
Laki-laki itu menjerit dan darah menyembur dari lengan kirinya yang sudah buntung sebatas siku karena
pukulannya tadi ditangkis dengan guntingan, dilakukan oleh tangan kiri Bu-tek Siu-lam yang entah kapan
sudah mencabut guntingnya! Saking sakitnya laki-laki itu meronta-ronta dan menjadi nekat, menggunakan
tangan kanan dan kedua kakinya menghantam dan menendang agar terlepas dari cengkeraman orang
aneh itu.
“Crak-crak-crak!”
Sungguh hebat pemandangan itu. Mengerikan sekali! Laki-laki yang tergantung itu kini buntung semua
lengan dan kakinya! Darah bercucuran dan laki-laki itu matanya mendelik, mukanya pucat tak berdarah
lagi, agaknya sudah tewas di saat itu juga, atau pingsan! Kejadian ini membuat para penonton menjadi
panik, ada yang lari, ada yang jatuh bangun, ada pula yang seketika menjadi lumpuh tak dapat lari saking
takutnya.
“Hayo mana jagomu. Inikah?”
“Crak-crak!”
“Atau ini?”
“Crak-crak-crak!”
Sambil tertawa-tawa Bu-tek Siu-lam mengerjakan guntingnya setelah melemparkan korban pertama ke
atas tanah. Ia tidak menggunting badan atau leher, melainkan kaki dan tangan sehingga sebentar saja
belasan orang sudah bergelimpangan dengan kaki tangan buntung! Darah membanjir dan mereka yang
menjadi korban kebiadaban ini berkelojotan dan mati karena kehabisan darah!
“Heeii, anak-anakku semua kaum kai-pang! Lihat, beginilah akan kuperlakukan terhadap musuh-musuh
kita kalau aku menjadi Bengcu!”
Para pengemis itu biar pun tadinya merasa ngeri menyaksikan kekejaman yang luar biasa itu, namun
karena mereka sendiri adalah golongan kaum sesat yang berwatak kejam dan senang melihat orang lain
bukan golongannya menderita, lalu bersorak girang.
“Hidup Locianpwe Bu-tek Siu-lam!”
“Tidak ada yang dapat melawan kegagahan Locianpwe!”
Demikianlah teriakan-teriakan mereka dan Bu-tek Siu-lam berdiri sambil tersenyum bangga dan puas.
Sementara itu sisa para penonton yang panik dan ketakutan itu kini melarikan diri ke sebelah barat,
menjauhi rombongan pengemis yang mendaki puncak dari sebelah timur. Hati mereka lega karena orang
aneh kejam itu tidak mengejar mereka, agaknya Bu-tek Siu-lam yang sudah membunuh belasan orang
untuk mendemonstrasikan kepandaian dan kekejamannya telah puas.
Di antara rombongan pengemis itu terdapat seorang pengemis tua yang terkenal dengan julukan Tiat-ciang
Lo-kai (Pengemis Tua Tangan Besi) dan namanya hanya disebut Hoan-lokai. Dia adalah tokoh pengemis
semenjak mudanya, dan semenjak dahulu menjadi tokoh Hek-coa Kai-pang. Perkumpulan Hek-coa Kaipang
ini sudah mengalami banyak sekali perubahan, dari pimpinan orang baik-baik sampai pimpinan
orang-orang sesat. Akan tetapi Hoan-lokai tidak pernah ambil peduli, selalu dia setia kepada Hek-coa kaipang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Hal ini adalah karena Hoan-lokai mempunyai penyakit pikun dan tak mau tahu akan segala urusan.
Pendeknya ia hanya tahu bahwa ia harus setia terhadap perkumpulannya yang didirikan oleh seorang
pamannya dahulu. Begitu bodoh dan tidak normal pikiran Hoan-lokai ini sehingga ia tidak tahu lagi apakah
perkumpulannya berada di tangan pimpinan baik-baik atau sesat. Kali ini ia pun ikut rombongan hanya
untuk menonton dan sama sekali tidak tahu macam apa orang yang dipilih perkumpulannya sebagai
bengcu. Maka tadi pun ia hanya ikut bergerak kalau rombongannya bergerak.
Akan tetapi, begitu menyaksikan kekejaman yang amat luar biasa dan di luar batas peri-kemanusiaan ini,
semangatnya tergugah dan kemarahannya membuat mukanya merah dan matanya melotot. Apa lagi
ketika melihat betapa para pengemis yang menjadi anggota-anggota perkumpulannya kini sambil
tersenyum-senyum memuji orang kejam aneh itu, dan mulai menyeret mayat-mayat yang bergelimpangan
dan melemparkan mayat-mayat itu ke dalam jurang atas perintah Bu-tek Siu-lam, ia menjadi makin
penasaran. Kalau ia melihat anak buah merampok atau memeras, ia masih tidak peduli karena betapa pun
juga yang dirampok dan diperas tentulah orang yang kaya. Akan tetapi menyaksikan pembunuhanpembunuhan
tanpa alasan terhadap orang-orang yang sama sekali tidak berdosa, benar-benar ini
menembus kebodohannya dan membuat hatinya memberontak.
“Hei, kau ini mengapa begini kejam seperti iblis?” bentaknya sambil meloncat maju ke depan Bu-tek Siulam.
“Hoan-lokai, jangan sembrono...!”
“Hoan-lokai, jangan kurang ajar terhadap calon bengcu...!”
Teriakan-teriakan peringatan para pimpinan Hek-coa Kai-pang ini tidak dipedulikan oleh Hoan-lokai yang
sudah menjadi marah sekali. Ia sudah meloncat naik ke bagian paling atas dari puncak itu, berhadapan
dengan Bu-tek Siu-lam. Ketika semua orang memandang dan melihat betapa kedua tangan pengemis ini
berubah menjadi hijau, mereka terkejut dan mengeluarkan teriakan kaget.
Warna hijau pada kedua tangan ini menjadi tanda bahwa Tiat-ciang Lo-kai ini sudah mengerahkan semua
tenaga Tiat-ciang pada kedua tangan! Jarang sekali kakek itu menggunakan ilmunya dan biar pun semua
orang tahu akan keampuhan kedua tangannya, namun belum pernah mereka melihat Hoan-lokai
mengerahkan tenaga Tiat-ciang sampai kedua tangan menjadi hijau!
Kini tak seorang pun mengeluarkan suara, hanya memandang ke atas puncak dengan muka pucat dan
mata terbelalak. Betapa pun juga, kejadian ini menegangkan hati dan menyenangkan, karena mereka
mendapat kesempatan untuk menyaksikan kelihaian orang yang hendak mereka angkat menjadi bengcu
itu. Tentang keselamatan Hoan-lokai, siapa peduli? Kakek ini biar pun memiliki ilmu tinggi, namun bodoh
dan tidak tahu urusan. Kematiannya pun takkan merugikan siapa-siapa.
Sementara itu, ketika Bu-tek Siu-lam melihat majunya seorang pengemis tua bermuka jelek yang kedua
tangannya hijau, ia hanya tertawa dan menyelipkan guntingnya di pinggang. Ia tahu akan sikap kakek
pengemis itu yang marah, dan tahu pula bahwa kedua tangan yang hijau itu mengandung tenaga mukjijat,
namun Bu-tek Siu-lam agaknya sama sekali tidak memandang mata.
“Kau mau apa?” tanya Bu-tek Siulam dengan sikap angkuh sambil memandang pengemis itu dengan
kepala dimiringkan.
“Kau ini manusia apakah iblis? Kalau manusia, mengapa kau membunuhi orang sekejam itu tanpa
alasan?” tanya Hoan-lokai dengan muka merah dan mata melotot.
Bu-tek Siu-lam tertawa terbahak-bahak. Kepalanya mendongak ke atas dan ia sama sekali tidak peduli lagi
bahwa kakek pengemis itu sudah melangkah maju dengan sikap mengancam sekali. Kemudian tanpa
memberi peringatan lagi karena marahnya melihat sikap orang aneh yang amat sombong itu, Hoan-lokai
sudah menggerakkan tangan kanannya menghantam ke arah perut Bu-tek Siulam. Pukulan ini keras
sekali, sesuai dengan sifat ilmu pukulan Tiat-ciang-kang. Dengan ilmu pukulan seperti ini, pengemis tua itu
sanggup memukul hancur sepotong batu, karena tangannya seperti besi saja keras dan kuatnya.
Namun bagi seorang tokoh besar seperti Bu-tek Siu-lam, tentu saja kepandaian seperti ini tidak ada artinya
sama sekali, termasuk kepandaian luar yang kasar. Ilmu Tiat-ciang atau semacam Tiat-see-ciang adalah
ilmu gwakang atau ilmu luar yang dikuasai seseorang hanya dengan latihan-latihan berat mempergunakan
dunia-kangouw.blogspot.com
kekuatan kulit daging, maka bagi seorang berilmu seperti Bu-tek Siu-lam, pukulan itu hanya keras dan kuat
saja, sama sekali tidak mengandung hawa sakti yang boleh dipandang. Tingkat Bu-tek Siu-lam jauh lebih
tinggi karena tokoh ini sudah tidak lagi membutuhkan tenaga kasar untuk mempergunakan,
kepandaiannya.
Seseorang yang sudah menguasai ilmu silat tinggi, tidak lagi membutuhkan bantuan tenaga kasar,
melainkan lebih mengandalkan hawa sakti dari dalam tubuhnya untuk dipergunakan secara tepat. Seorang
ahli ilmu silat tinggi mendasarkan tenaga dalam yang sifatnya lunak dan lembut, seperti pasir atau tanah
seperti air, atau lunak ulet seperti karet.
Kalau seorang yang mengandalkan tenaga kasar menggunakan tenaganya seperti besi sifatnya, apakah
yang dapat ia lakukan terhadap sifat lunak dan lemas itu? Besi dapat menghancurkan batu atau bendabenda
lain karena keras bertemu keras, akan tetapi kalau besi dipukulkan karet, takkan ada artinya bahkan
memukul diri sendiri, kalau dihantamkan pasir, tanah atau air yang tak melawan, akan lenyap dan tenaga
pukulannya akan tersedot tanpa guna.
“Wuuuuttt... desss!” pukulan tangan Tiat-ciang yang dilancarkan Hoan-lokai itu tepat sekali mengenai perut
Bu-tek Siu-lam.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hati Hoan-lokai ketika ia merasa betapa tangannya itu amblas
atau tenggelam ke dalam perut, sama sekali tidak menemui perlawanan seperti orang memukul kapas.
Namun Hoan-lokai adalah seorang ahli silat yang sudah banyak pengalaman. Ia segera maklum bahwa
orang aneh kejam seperti iblis ini adalah seorang ahli Iweekeh (tenaga dalam), maka ia cepat-cepat
menggunakan tangan kirinya menghantam ke arah dada.
“Wuuuuttt... dukkk!” kali ini dada itu dibusungkan penuh hawa sakti sehingga pukulan tangan kiri Hoanlokai
seperti memukul karet dan membalik.
Untung bahwa Hoan-lokai tadi menggunakan siasat, hanya menggunakan setengah tenaganya, sedangkan
tenaga setengahnya lagi ia pergunakan untuk mencabut lengan kanan yang ‘menancap’ ke dalam perut. Ia
berhasil dan tubuhnya terhuyung ke belakang.
“Ha-ha-hi-hi-he-hehh...!” Bu-tek Siu-lam tertawa, suara ketawanya genit sekali, berirama dan berlagu
seperti orang bernyanyi! “Jembel busuk, apakah kau hendak memberontak? Teman-temanmu
mengangkatku sebagai Bengcu, kenapa engkau sendiri hendak melawan aku?”
“Manusia iblis! Kau bukan manusia, engkau setan. Engkau akan menyeret Hek-coa Kai-pang ke dalam
neraka!”
Dengan kemarahan meluap, Hoan-lokai sudah menerjang maju lagi. Di tangan kanannya tampak seekor
ular hitam yang panjangnya semeter lebih. Ular itu mendesis-desis dan kepalanya menyambar, mendahului
tangan Hoan-lokai, ke arah leher Bu-tek Siu-lam. Namun tokoh aneh itu hanya tersenyum dan sekali dua
jari tangan kirinya menyambar ke depan, leher ular itu telah putus karena telah digunting kedua buah jari
tangannya tadi!
Hoan-lokai melempar bangkai ular hitamnya dan hatinya marah bercampur duka. Ular hitam itu bukan
sembarang ular, melainkan binatang peliharaannya. Sesuai dengan nama perkumpulan Hek-coa Kai-pang
(Perkumpulan Pengemis Ular Hitam), maka semenjak dahulu para pemimpinnya tentu memelihara ular
hitam yang mempunyai dua kegunaan. Pertama adalah dipelihara untuk diambil racunnya yang dapat
dicampur dengan obat penguat tubuh, kedua kalinya di waktu amat perlu dapat dipakai sebagai senjata
yang ampuh karena ular hitam ini beracun. Kini ular yang sudah dipeliharanya bertahun-tahun itu demikian
mudah terbunuh! Sambil memekik keras Hoan-lokai lalu menerjang maju dan kali ini kedua kepalan
tangannya secara berbareng, dengan pengerahan tenaga Tiat-ciang-kang sekuatnya menghantam perut.
“Wuuuttt... ceppp...!”
Dua buah kepalan tangan Hoan-lokai masuk ke perut karena sama sekali tidak dielakkan oleh Bu-tek Siulam!
Akan tetapi segera kakek pengemis itu meronta-ronta dan mukanya menjadi pucat sekali, keringatnya
keluar memenuhi muka yang berkerut-kerut. Jelas bahwa ia menderita nyeri yang hebat. Kedua kepalan
tangannya yang masuk ke dalam perut lawan itu seperti dibakar api panasnya. Rasa panas menjalar
melalui lengan terus ke seluruh tubuh. Ia berusaha untuk meronta, mengerahkan seluruh tenaga untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
mencabut ke luar kedua tangannya, namun sia-sia belaka. Bu-tek Siu-lam hanya tertawa, suara ketawanya
lucu menyeramkan.
“Pergilah!” bentaknya nyaring dan tubuh Hoan-lokai terdorong ke belakang ketika Bu-tek Siu-lam
mengerahkan tenaga. Akan tetapi sebelum tangannya terlepas dari ‘cengkeraman’ perut, terlebih dahulu
terdengar suara....
“Pletok-pletok!” suara itu dua kali dan ketika kedua tangan itu sudah bebas, ternyata tulang-tulang
tangannya sudah remuk dan patah-patah! Kedua lengan itu tergantung lumpuh dan rasa nyeri menusuk
sampai ke jantung dan tulang sumsum.
Muka Hoan-lokai menyeramkan sekali. Rasa nyeri membuat mukanya pucat penuh keringat, dan garisgaris
keriputnya makin dalam, matanya merah dan basah, mulutnya menyeringai. Dia memang seorang
yang memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi karena kecerdikannya kurang, maka Hoan-lokai tak dapat
sadar bahwa kini ia berhadapan dengan lawan yang jauh lebih tinggi ilmunya. Saking hebatnya rasa sakit
yang dideritanya, ia menjadi makin marah dan nekat.
Dengan pekik yang menyeramkan ia lalu menerjang maju lagi, kedua lengannya bergantungan lumpuh,
dan kini ia menyerang dengan menggunakan kepalanya! Serudukan seperti ini sama sekali tak boleh
dipandang ringan karena dengan kepalanya, Hoan-lokai sanggup menyeruduk roboh sebuah dinding
tembok yang kuat! Akan tetapi Bu-tek Siu-lam hanya berdiri dengan tegak sambil tertawa ha-ha-hi-hi,
memasang perutnya yang sengaja ia busungkan untuk diseruduk lawan. Tak dapat dihindarkan lagi
tubrukan antara kepala dan perut itu.
“Suppp!” kepala itu dengan tepat menghantam perut dan tiba-tiba perut yang tadinya membusung itu
serentak mengempis sehingga kepala Hoan-lokai tersedot masuk ke rongga perut!
Aneh sekali kejadian ini. Kepala menancap di perut sampai dalam sehingga mata dan hidung Hoan-lokai
tak tampak, hanya mulutnya yang tampak menggigit-gigit bibir seperti menahan kesakitan hebat. Kedua
lengan yang tangannya remuk itu bergerak-gerak seperti meronta, demikian pula kedua kakinya
menendang-nendang tanah di bawahnya. Biar pun semua orang yang hadir belum pernah menyaksikan
ilmu yang sehebat itu, yaitu menggunakan perut menangkap kepala orang, namun semua sudah dapat
menduga betapa kepala Hoan-lokai akan menjadi remuk tergencet seperti kedua tangannya tadi!
Pada saat itu dari bawah puncak gunung terdengar suara orang tertawa, suara ketawanya keras sekali dan
terbahak-bahak terpingkal-pingkal seakan-akan orang itu melihat sesuatu yang amat lucu. Terdengar lucu
sekali, akan tetapi semua pengemis yang berkumpul di dekat puncak menjadi kaget dan berdiri bulu
tengkuk mereka karena suara ketawa ini bergema di empat penjuru dan mendatangkan hawa dingin yang
membuat jantung seakan-akan berhenti berdetik. Mereka saling pandang dengan melongo.
Belum lenyap suara gema ketawa itu, tiba-tiba muncul orangnya. Amat tidak patut dengan suara
ketawanya. Kalau suara ketawanya besar dan dalam, panjang dan bergema, sepatutnya suara seorang
raksasa tinggi besar, orangnya ternyata biasa saja, bahkan kurang dari pada ukuran biasa. Kecil kurus,
sedemikian kurusnya seperti cecak kering, tinggal kulit membungkus tulang-tulang yang kecil, sudah amat
tua sehingga sukar ditaksir berapa usianya.
Rambutnya hanya sedikit di atas kepalanya yang kecil, alisnya tebal panjang menutupi matanya yang
hanya tampak sebagai dua bayangan hitam. Namun kumisnya yang melintang di tengah muka yang sempit
itu amat panjang. Punggungnya dilingkari sabuk yang aneh dan lucu pula karena sabuk itu penuh dengan
dompet-dompet kecil berjajar di sekeliling perutnya. Di punggungnya tampak sebuah bambu yang
panjangnya dua kaki, diikat di punggung dengan tali.
Bajunya berlengan pendek sebatas pangkal lengan, celananya panjang dan kakinya telanjang. Benarbenar
seorang yang aneh dan lucu sekali. Apa lagi kalau orang melihat mukanya, muka yang kelihatan
serius dan galak, pantasnya ia pemarah sehingga sama sekali tidak cocok dengan suara ketawa terkekehkekeh
yang keluar dari mulutnya, sedangkan mulut itu sendiri tidak tertawa!
Berbareng dengan munculnya kakek yang aneh ini, dari bawah puncak muncul pula serombongan orang
yang beraneka macam bentuk dan pakaiannya, akan tetapi sebuah bendera yang dipegang oleh seorang
di antara mereka bertuliskan huruf Thian-liong-pang dengan gambar seekor liong (naga). Kiranya
rombongan itu adalah rombongan perkumpulan Thian-liong-pang yang sudah kita kenal, yaitu perkumpulan
dunia-kangouw.blogspot.com
yang diselewengkan oleh Sin-seng Losu dan dua belas orang murid-muridnya, yaitu yang terkenal dengan
julukan Dua Belas Ekor Naga!
Melihat rombongan ini, mudahlah diduga sekarang siapa adanya kakek kecil kurus yang aneh itu. Dia
bukan lain adalah Siauw bin Lo-mo (Iblis Tua Muka Tertawa)! Siauw-bin Lo-mo yang belum lama ini
menggemparkan dunia persilatan. Sebetulnya, julukannya Iblis Tua Muka Tertawa kurang tepat karena biar
pun suaranya kalau tertawa seperti orang terpingkal-pingkal, akan tetapi mukanya sama sekali tak pernah
memperlihatkan senyum sedikit pun, apa lagi ketawa!
Kedua kaki orang aneh ini tidak tampak bergerak, akan tetapi tahu-tahu ia sudah berada di depan Bu-tek
Siu-lam, yaitu di belakang tubuh Hoan-lokai yang kepalanya masih ‘menancap’ dalam perut Bu-tek Siu-lam.
Melihat datangnya orang kate kecil ini, Bu-tek Siu-lam sama sekali tidak memandang mata dan ia masih
tersenyum-senyum bangga sedangkan kedua kaki Hoan-lokai masih berkelojotan dalam usahanya
membebaskan kepalanya dari perut lawan. Kepalanya terasa makin panas seperti akan meledak dan
sakitnya tak dapat diceritakan lagi saking hebatnya.
“Huah-hah-heh-heh-heh!” Siauw-bin Lo-mo tertawa bergelak tanpa menggerakkan bibir atau membuka
mulut. Suara ketawa itu seperti keluar dari dalam perutnya yang kecil! “Gunung di barat takkan dapat
berjumpa dengan laut di selatan akan tetapi setan dari barat hari ini bertemu dengan iblis dari selatan.
Huah-hah-hah-hah! Aku mendengar kau yang berjuluk Bu-tek Siu-lam, jangan kau bermain-main seorang
diri!” Setelah berkata demikian, kaki kiri Siauw-bin Lo mo diangkat dan ditendangkan ke arah pantat Hoanlokai.
“Bukkk!”
Tendangan ini kelihatannya hanya tendangan biasa saja, akan tetapi kelirulah kalau orang mengira
demikian, karena tendangan kaki telanjang yang kecil itu mengandung tenaga sakti yang hebat sehingga
Hoan-lokai yang ditendang pantatnya itu tiba-tiba merasa betapa serangkum tenaga yang berhawa panas
memasuki tubuhnya dan berkumpul di pusar. Sebagai seorang ahli silat tinggi tentu saja Hoan-lokai
maklum bahwa ada orang yang membantunya, maka cepat ia mengerahkan tenaga panas itu dari pusar
terus ke atas, keluar dari kepalanya untuk melawan gencetan perut Bu-tek Siu-lam yang hebat.
Kaget sekali Bu-tek Siu-lam. Hawa panas yang keluar dari kepala Hoan-lokai itu amat hebat dan kalau ia
melawannya keras sama keras, dia terancam bahaya karena perut merupakan bagian tubuh yang lemah
dan gawat. Kalau sampai sebuah di antara isi perutnya terluka, hebatlah akibatnya. Tentu saja ia tidak mau
mengambil resiko berat ini dan sambil berseru keras ia membusungkan perutnya sehingga tubuh Hoanlokai
bagaikan sebuah peluru meluncur ke arah manusia kate yang lihai itu.
Sambil tertawa-tawa Siauw-bin Lomo menggerakkan tangan kirinya dan sekali tangan ini bergerak entah
bagaimana, tubuh Hoan-lokai yang menyambar ke arahnya itu tiba-tiba membalik dan kini dengan
kecepatan yang tak kalah besarnya meluncur dan menyambar kembali ke arah Bu-tek Siu-lam! Kiranya
sekarang ternyata bahwa si Kecil ini sama sekali tidak bermaksud menolong Hoan-lokai, melainkan tadi
melalui tubuh Hoan-lokai hendak mencoba-coba kepandaian si Iblis Banci!
Kasihan sekali nasib Hoan-lokai. Dia boleh jadi tergolong seorang tokoh yang berkepandaian tinggi di
antara para anggota Hek-coa Kai-pang, akan tetapi di tangan dua orang aneh ini, ia seolah-olah menjadi
seekor kelinci di antara dua ekor harimau buas! Sama sekali tidak berdaya. Kepalanya pening dan
pandang matanya berkunang-kunang ketika tubuhnya kini menjadi semacam bola yang ditendang pergi
datang oleh hawa pukulan kedua orang aneh itu. Tanpa menyentuh tubuhnya, hanya dengan dorongan
tangan dari jauh, dua orang aneh itu dapat membuat tubuhnya terlempar ke sana ke mari! Sambil
mempermainan tubuh Hoan-lokai yang beterbangan pulang pergi di udara, dua orang itu sudah bercakapcakap
seenaknya!
“Heh manusia kerdil, melihat bahwa kau sudah mengenal namaku dan memiliki kepandaian yang tidak
buruk, kau tentu bukan sembarang orang. Siapakah kau dan apakah nyawamu rangkap maka kau berani
mencoba untuk main-main dengan aku?” Bu-tek Siu-lam bertanya, sikapnya masih memandang rendah
dan mengejek.
“Hoh-hoh-huh-huh, manusia pesolek, Bu-tek Siu-lam. Kau boleh. jadi merupakan setan di barat dan ditakuti
orang, akan tetapi jangan mengira bahwa aku si Tua Bangka yang sudah terlalu tua takut kepadamu. Haha-
hah, alangkah lucunya kalau seorang tokoh muda hijau seperti Bu-tek Siu-lam mengira bisa membikin
dunia-kangouw.blogspot.com
gentar Siauw-bin Lo-mo!” Kakek kecil itu tertawa terus, akan tetapi mulutnya tidak bergerak dan kini
dorongannya membuat tubuh Hoan-lokai makin cepat dan kuat meluncur ke arah Bu-tek Siulam.
“He-he-hi-hi-hik! Kiranya Siauw-bin Lo-mo si Iblis Tua Bangka. Pantas, pantas sekali! Orangnya ternyata
lebih buruk dari pada namanya!” Bu-tek Siu-lam tidak menanti sampai tubuh Hoan-lokai menyambar dekat.
Ia memapaki dengan dorongan jarak jauh sambil mengerahkan tenaga.
Dua tenaga sinkang raksasa bertemu di udara, menggencet tubuh Hoan-lokai dan... tubuh kakek pengemis
itu terhenti di udara, di tengah-tengah antara mereka seakan-akan tertahan oleh dua tenaga besar yang
saling bertemu di udara! Kini setelah saling memperkenalkan diri dan tahu bahwa lawan masing-masing
adalah seorang yang memiliki kepandaian hebat, kedua orang ini tidak main-main lagi. Dengan berdiri
tegak, tangan kanan mereka diulur ke depan dengan jari tangan terbuka dari mana meluncur tenaga sakti
yang tak tampak, yang ‘menahan’ bahkan mendorong tubuh Hoan-lokai di tengah udara. Wajah mereka
berkeringat, tekanan makin hebat dan keduanya tidak mau saling mengalah.
Celaka sekali adalah Hoan-lokai. Tadi ia diperlakukan seperti sebuah bola dilontarkan ke sana ke mari
sehingga kepalanya pening, pandang matanya berkunang dan kini ia merasa tubuhnya terjepit dan sukar
bernapas akibat tertahan oleh gencetan dua tenaga dahsyat itu. Makin lama makin hebat dan akhirnya ia
mengeluarkan teriakan menyeramkan, tubuhnya lalu menjadi lemas dan dari hidung, mulut dan telinganya
bercucuran darah! Hoan-lokai tewas dalam keadaan masih mengapung di tengah udara!
Melihat ini, kedua orang aneh itu menarik kembali tangannya dan tubuh Hoan-lokai terbanting berdebuk ke
atas tanah.
Bu-tek Siu-lam tertawa terkekeh-kekeh dan berkata, “Iblis tua bangka kurus kering benar-benar
mengagumkan!”
Siauw-bin Lo-mo tertawa juga. “Engkau hebat, akan tetapi belum tentu aku kalah. Bangkai ini tak
menyenangkan, lebih baik disingkirkan saja!” Mendengar ucapan datuk mereka, orang-orang Thian-liongpang
maju hendak menyeret mayat Hoan-lokai, akan tetapi Siauw-bin Lo-mo mencegah dengan gerakan
tangan, lalu berkata. “Tak usah, tak usah, kenapa banyak repot untuk menyingkirkan bangkai ini?”
Anak buah Thian-liong-pang mundur kembali dan memandang heran. Kakek kecil itu sambil mengeluarkan
suara tertawa-tawa lalu meraba bumbung bambu di punggungnya, mengambil sebuah botol kecil dan
membuka tutup botol, menuangkannya beberapa tetes cairan berwarna kuning ke atas mayat Hoan-lokai.
Tampak asap mengebul dan bau sangit. Ketika semua orang memandang ke arah mayat itu, mereka
membelalakkan mata saking kaget dan herannya.
Bahkan Bu-tek Siu-lam sendiri bergidik. Mayat itu berikut pakaiannya mulai lenyap, melumer menjadi
cairan berwarna kuning! Bukan main kakek ini, pikir Bu-tek Siu-lam. Racun cairan di dalam botol tadi
benar-benar amat hebat. Dengan racun seperti itu saja, kakek ini sudah dapat menebus kekalahan ilmu
silat dan merupakan lawan yang amat berbahaya dan harus diperhatikan.
Dalam waktu singkat saja lenyaplah mayat Hoan-lokai. Cairan kuning lenyap pula, masuk ke dalam tanah.
Siauw-bin Lo-mo masih tertawa-tawa, kemudian menghadapi Bu-tek Siu-lam sambil berkata.
“Bagaimana, bocah tampan? Apakah kau masih belum mau mengakui kelihaian kakekmu?”
Bu-tek Siu-lam mengangguk-angguk. “Memang hebat! Patut kau menjadi iblis bangkotan dari selatan. Akan
tetapi, tentang kedudukan bengcu, nanti dulu. Belum mau aku menyerahkannya kepadamu sebelum kau
mengalahkan aku dan agaknya takkan mudah bagimu untuk mengalahkan guntingku ini, orang tua, biar
pun kau mempunyai racun neraka itu!”
“Huah-hah-hah, bocah muda omongannya besar! Apakah hanya engkau saja yang menjadi sainganku?
Ataukah masih ada yang lain? Kalau masih ada, lebih baik suruh mereka maju semua agar tidak kepalang
tanggung aku turun tangan membuang keringat menghadapi mereka!” Ucapan kakek kecil ini membuat Butek
Siu-lam mendongkol. Wah, tua bangka ini benar-benar sombong bukan main, pikirnya, tentu memiliki
ilmu simpanan yang ampuh.
Sebelum Bu-tek Siu-lam sempat menjawab, dari utara terdengar bunyi pekik seperti lolong serigala. Lolong
ini hebat bukan main, menggetarkan tanah dan pohon-pohon di puncak itu, dan bergema di sekeliling
dunia-kangouw.blogspot.com
puncak. Belum lenyap gema suara melolong mengerikan ini, orangnya sudah muncul. Kakek yang muncul
kali ini sama anehnya dengan dua orang pertama, akan tetapi lebih lucu lagi agaknya.
Tubuhnya tinggi kurus, mukanya seperti tengkorak, kepalanya ditutupi sebuah topi yang tinggi, sepasang
matanya hanya tampak dua lubang hitam yang amat dalam sehingga tak tampak biji matanya. Tangan
kanannya memegang sebuah senjata yang aneh, berbentuk seperti pedang, ujungnya berkait dan bergigi
seperti gergaji! Tangan kirinya memegang segulung tali kecil yang ujungnya mengikat sebuah pancing
bermata kail pula! Benar-benar seorang aneh, akan tetapi pakaiannya tidak kalah mewah oleh pakaian Butek
Siu-lam.
Berbareng dengan munculnya tokoh aneh ini, muncul pula serombongan orang tinggi besar yang galak
sikapnya dan aneh pakaiannya. Kiranya mereka ini adalah orang-orang Khitan dan Mongol, orang-orang
dari utara. Melihat rombongan ini, mudah saja diduga siapa tokoh aneh itu.
“Heh-heh-hik-hik! Siapa lagi badut ini kalau bukan Jin-cam Khoa-ong (Raja Algojo Manusia)!” kata Bu-tek
Siu-lam.
Mendengar ini, Siauw-bin Lo-mo memandang penuh perhatian dan amat tertarik, kemudian sambil tertawatawa
ia pun berkata, “Aha, kiranya yang hadir adalah Pak-sin-ong yang terkenal! Bagus, tidak percuma
kalau begini kedatanganku, bertemu dengan orang-orang yang bernama besar!”
Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang cerdik. Tadi, sungguh pun hanya mengukur kekuatan sinkang masingmasing,
ia telah mencoba kelihaian Siauw-bin Lo-mo dan maklum bahwa betapa pun lihai kakek kecil itu, ia
sanggup menandinginya. Kini muncul lagi seorang saingan yang namanya telah terkenal sekali, maka ia
pun tak mau menyia-nyiakan waktu dan ingin mencobanya sebelum bertanding memperebutkan
kedudukan bengcu. Sambil tersenyum mengejek ia lalu menghadapi Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong
dan berkata.
“Pak-sin-ong terkenal sebagai seorang algojo, maka ke mana-mana membawa gergaji. Agaknya tali itu
untuk mengikat korban selain untuk mancing, dan gergaji itu jelas untuk menggorok leher. Hi-hi-hik!
Senjatamu lucu sekali, Pak-sin-ong akan tetapi aku sangsi apakah cukup kuat menandingi gunting dan
jarum benangku!” Sambil berkata demikian, Bu-tek Siu-lam sudah mencabut guntingnya yang dipegang di
tangan kiri sedangkan tangan kanannya sudah mengeluarkan sebatang jarum besar dengan gulungan
benangnya!
Pak-sin-ong mengerutkan keningnya. Dia memang aneh dan lucu pakaiannya, akan tetapi sikapnya sama
sekali tidak ramah apa lagi lucu. Ia seorang yang sikapnya angkuh. Tadi begitu muncul dan menghadapi
teguran-teguran Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo, ia hanya berdiri dengan kedua kaki terbuka lebar,
dada dibusungkan dan kepala dikedikkan, muka agak berdongak memandang kedua orang itu dengan
sikap angkuh sekali. Hal ini tidak aneh karena di dunia utara, ia mengangkat diri sendiri menjadi raja,
bahkan diperlakukan sebagai raja oleh anak buahnya, yaitu segolongan bangsa Khitan dan Mongol. Kini
mendengar ucapan Bu-tek Siu-lam yang tidak hanya amat menghina, akan tetapi juga terang-terangan
menantangnya itu, mukanya seketika menjadi merah sekali dan dari dua lubang matanya menyambar sinar
berapi.
Mulut yang seperti tengkorak hidup itu agak tersenyum mengejek, kemudian terdengar suaranya, “Bu-tek
Siu-lam, sudah lama kudengar namamu. Ternyata memang kau pesolek, genit, sombong dan
menjemukan. Nah, rasakan kelihaian Pak-sin-ong!”
Begitu kata-katanya berhenti, sinar putih yang menyilaukan mata sudah menyambar ke depan. Itulah
senjata gergajinya yang sudah ia gerakkan membacok dengan gerakan menarik ke arah perut Bu-tek Siulam.
Kecepatan gerak dan angin yang didatangkan oleh serangan ini cukup dahsyat dan agaknya kalau
perut orang kena disambar gigi-gigi gergaji dengan kekuatan sehebat itu, tentu akan terbelah dan isi
perutnya akan cerai-berai!
“Traanggg...!” Pak-sin-ong terhuyung mundur tiga langkah, juga Bu-tek Siulam terdorong ke belakang
ketika senjata gergaji itu bertemu dengan gunting besar di tangan si Tokoh Genit. Mereka memandang
kagum dan muka mereka berubah sedikit. Pertemuan kedua senjata ini cukup bagi mereka untuk
mengetahui bahwa lawan tak boleh dipandang ringan.
“Siuuuuutttt...!” Kini sinar yang kecil panjang menyambar dari tangan kiri Pak-sin-ong, sinar ini melengkung
dan melayang ke atas, lalu dari atas menyambar ke arah kepala Bu-tek Siu-lam.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Cringgg...!”
Sinar kecil putih itu terpental kembali ketika tertumbuk oleh sinar kecil kuning yang meluncur dari tangan
kanan Bu-tek Siu-lam. Ternyata tali yang ujungnya terdapat sebuah pancing itu tertangkis oleh jarum besar
yang diikat benang. Kembali kedua orang ini mendapat kenyataan bahwa lawan masing-masing selain
memiliki tenaga yang kuat, juga sama-sama ahli dalam menggunakan senjata rahasia bertali itu.
Melihat betapa dua orang yang sudah bergebrak dua kali itu kini saling pandang dan kelihatan ragu-ragu,
Siauw-bin Lo-mo tertawa terpingkal-pingkal tanpa menggerakkan mulutnya. Melihat ini, diam-diam bulu
tengkuk Pak-sin-ong meremang. Benar-benar kakek kecil itu menyeramkan sekali, pikirnya.
“Huah-ha-ha-ha, belum juga lecet kulitnya, kenapa sudah ragu-ragu dan takut-takut? Setelah kita datang,
hayo kita putuskan siapa di antara kita bertiga yang patut menjadi Bengcu, ha-ha-ha!” Kakek kecil itu kini
sudah melangkah maju di antara kedua orang calon lawannya, memasang kuda-kuda dan siap untuk
menerjang. Dua orang lawannya yang maklum bahwa kakek kecil ini biar pun bertangan kosong namun
amat berbahaya, sudah siap menanti serangan untuk menjaga diri.
Pada saat itu, datang angin besar bersuitan yang membuat pohon-pohon di sekitar tempat itu tergoncang
hebat. Seakan-akan datang angin taufan mengamuk dan di antara angin besar ini terdengar jelas langkah
kaki seorang manusia yang terdengar berat seperti langkah kaki gajah! Tiga orang itu saling pandang dan
karena mereka semua adalah orang-orang yang berilmu tinggi serta maklum akan datangnya seorang
yang lihai, maka mereka menunda gerakan saling serang, menanti penuh kewaspadaan.
Tak lama kemudian benar saja, orang yang mendatangkan angin taufan dahsyat itu muncul dengan
langkah lebar. Dia seorang tinggi besar berkepala gundul, berpakaian seperti hwesio, mukanya seperti
seekor monyet besar, nampaknya kuat sekali. Mukanya yang menyeramkan selalu tersenyum, matanya
liar, dan kedua tangannya membawa sepasang gembreng, yaitu sepasang alat tetabuhan yang saling
dipukulkan hingga berbunyi nyaring dan berisik.
“Tak salah lagi, engkau tentulah Thai-lek Kauw-ong!” seru Bu-tek Siu-lam sambil memandang penuh
perhatian.
“Ha-ha, bagaimana kau bisa tahu bahwa dia adalah Si Raja Monyet?” tanya Siauw-bin Lo-mo, juga
memandang penuh perhatian karena nama besar Thai-lek Kauw-ong sudah menjulang tinggi di dunia
kang-ouw.
“Hi-hik! Lihat saja mukanya, tiada ubahnya seekor monyet. Ini tentu datuk monyet-monyet, dan jelas
tenaganya besar sekali. Pantas dijuluki Thai-lek Kauw-ong!”
“Bagus, kebetulan sekali!” kata Pak-sin-ong yang biar pun di dalam hatinya terkejut menyaksikan
kedatangan orang yang mendatangkan angin ribut, namun di luarnya ia tetap bersikap angkuh dan
memandang rendah. “Sekarang sudah lengkap empat tokoh besar yang dicalonkan menjadi Bengcu. Kita
menanti apa lagi? Mari mengeluarkan kepandaian menentukan siapa yang lebih unggul!”
Mendengar ini Bu-tek Siu-lam dan Siauw-bin Lo-mo mengangguk-angguk. Bu-tek Siu-lam sudah meloncat
mundur tiga langkah sambil mencabut gunting dan jarum benangnya, sedangkan Pak-sin-ong sudah
mencabut gergaji dan pancingnya. Ada pun Siauw-bin Lo-mo juga meloncat mundur memasang kudakuda,
kedua tangannya dekat dengan dompet-dompet yang berbaris di pinggang. Namun raksasa gundul
yang baru datang, setelah berganti-ganti memandang tiga orang aneh di depannya, menggeleng
kepalanya yang besar, mulutnya tersenyum-senyum, matanya bersinar-sinar, akan tetapi sampai lama
baru keluar suara dari mulutnya.
“Tidak bertempur!”
Kakek gundul ini memang benar Thai-lek Kauw-ong. Ia tidak mempunyai pengikut sungguh pun banyak
kaum sesat di Pantai Timur menjagoinya karena kakek ini muncul dari pulau-pulau di laut timur. Akan tetapi
kakek ini memang tidak mau mempunyai anak buah, juga tidak ingin menjadi bengcu. Ia hanya tertarik
mendengar nama besar Bu-tek Siu-lam, Siauw-bin Lo-mo, Pak-sin-ong dan yang lain-lain, dan ingin sekali
bertemu dan berkenalan dengan mereka untuk diajak mengadu ilmu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Thai-lek Kauw-ong ini bukan orang jahat, juga bukan orang baik-baik, karena ia tidak peduli lagi tentang
kebaikan mau pun kejahatan. Ia hidup sesuka hatinya sendiri, tidak mengenal hukum-hukum dan bertindak
seenak hatinya sendiri tanpa mempedulikan orang lain. Karena ini, banyak ia melakukan hal-hal yang bagi
umum dianggap amat kejam dan jahat, juga tidak jarang ia melakukan hal yang menurut anggapan umum
amat baik. Padahal ia melakukan semua itu sama sekali tidak berdasarkan baik atau jahat, hanya menurut
perasaan dan sesuka hatinya saja. Kalau hatinya lagi mengkal, tiada hujan tiada angin bisa saja ia turun
tangan secara kejam melebihi iblis, membunuh-bunuhi orang-orang yang sama sekali tidak salah. Kalau
hatinya lagi senang, biar orang bersikap keterlaluan kepadanya, ia akan tertawa saja. Ia seorang aneh, dan
tidak pandai bicara.
Mendengar ucapan kakek gundul itu, tiga orang aneh lainnya menjadi heran sekali. “Apakah kau tidak ingin
menjadi Bengcu?” tanya Bu-tek Siu-lam yang suka bicara.
“Tidak ada Bengcu” jawab si Kakek Gundul singkat.
“Huah-ha-ha-ha! Ucapan Kauw-ong benar-benar mengherankan sekali. Bukankah kita berempat ini datang
di sini untuk menentukan siapa yang lebih unggul dan lebih pantas menjadi Bengcu di antara kita? Kalau
tidak bertempur, mana bisa ada ketentuan?”
“Tidak bertempur. Dulu Thian-te Liok-kwi menjagoi, apa salahnya kini Bu-tek Su-kwi (Empat Iblis Tak
Terlawan)?”
Ucapan itu singkat namun jelas maksudnya. Agaknya Thai-lek Kauw-ong ini hendak menyatakan bahwa
seperti dulu di jaman Thian-te Liok-kwi, juga tidak ditentukan siapa menjadi bengcu dan keenam orang iblis
itu menjagoi di dunia hitam dan menjadi sandaran kaum sesat. Sekarang, apa salahnya kalau mereka
berempat pun tidak saling bersaing dan hidup sebagai Empat Iblis Tak Terlawan menjagoi dunia hitam?
Namun tiga orang aneh yang mendengar usulnya ini mengerutkan kening, tidak setuju. Hal itu adalah
karena mereka bertiga ini semua mempunyai anak buah atau golongan yang mendukung mereka. Bu-tek
Siu-lam sudah dianggap sebagai locianpwe atau raja oleh para pengemis golongan hitam dan tentu saja
jagoan ini ingin terangkat lebih lagi, menjadi bengcu atau pemimpin besar kaum sesat.
Demikian pula Pak-sin-ong yang sudah menganggap dirinya sebagai raja kecil sebagian orang-orang
Khitan dan Mongol. Ia selalu rindu untuk merampas kedudukan raja di Khitan dan Mongol, maka tentu saja
ingin sekali ia merampas kedudukan bengcu. Kalau ia menjadi bengcu, berarti ia menjadi raja sekalian
kaum sesat dan dengan mengandalkan bantuan kaum sesat di dunia persilatan tentu akan lebih mudah
baginya untuk merampas kekuasaan di Kerajaan Khitan.
Orang ke tiga, Siauw-bin Lo-mo juga mempunyai pendukung, yaitu Thian-liong-pang dan semua bajak
serta perampok di daerah selatan. Sudah lama ia menjadi musuh besar dari Beng-kauw, maka kini ia ingin
sekali menjadi bengcu untuk mengerahkan tenaga menyerbu dan mengalahkan Beng-kauw serta
merampas Kerajaan Nan-cao yang kecil namun makmur dan jaya. Inilah sebabnya mengapa tiga orang
aneh itu tidak setuju akan usul Thai-lek Kauw-ong yang tak banyak bicara.
“Pemilihan Bengcu harus diadakan!” seru Bu-tek Siu-lam.
“Setelah jauh-jauh datang ke sini, untuk apa kalau tidak menjadi Bengcu?” kata pula Pak-sin-ong
penasaran.
“Terpilih menjadi Bengcu atau tidak, harus diputuskan dalam adu kepandaian!” Siauw-bin Lo-mo juga
berkata.
“Bodoh!” Thai-lek Kauw-ong membentak. “Kita menjadi sahabat, saling bantu. Kalau mau bertanding,
ayolah! Yang jatuh paling dulu menjadi adik termuda, yang menang menjadi kakak tertua. Mari main-main!”
Setelah berkata demikian, kakek gundul ini mengadukan gembrengnya.
“Brenggg!” terdengar bunyi yang nyaring sekali menulikan telinga.
Tiga rombongan pengikut yang tadinya sudah muncul menjadi terkejut, menutupi telinga dan cepat-cepat
mereka itu lenyap menyembunyikan diri dan mundur. Hanya beberapa orang yang menjadi pimpinan
mereka saja berani menonton pertemuan empat orang aneh itu dari tempat yang agak jauh dan aman.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiga orang aneh itu segera bergerak. Karena mereka bertiga masih ingin sekali menjadi bengcu sesuai
dengan cita-cita mereka semula, dan menentang usul Thai-lek Kauw-ong yang dikeluarkan melalui ucapan
singkat, otomatis mereka bertiga menujukan serangan mereka kepada Thai-lek Kauw-ong seorang!
Padahal menurut kemauan Raja Monyet ini, mereka berempat bertanding tanpa pilih kawan atau lawan
untuk melihat siapa di antara mereka yang paling kuat untuk dipilih dan ditentukan jago pertama sebagai
kakak tertua, ke dua, ke tiga dan ke empat. Kini melihat betapa tiga orang itu menyerbu kepadanya
seorang, kakek gundul ini mengeluarkan pekik dahsyat seperti jerit seekor kera marah!
Gergaji di tangan Pak-sin-ong yang menyambar cepat ke arah perutnya yang gendut itu ia elakkan dengan
melesat ke kanan, kemudian sebelum gunting Bu-tek Siu-lam yang juga menggunting ke arah lehernya itu
tiba, ia sudah mendahului menggerakkan sepasang gembrengnya menggencet ke arah gunting itu dengan
kekuatan dahsyat, sedangkan pada saat itu juga, kaki kirinya menendang dengan gerakan tiba-tiba dan
tidak terduga-duga ke arah Siauw-bin Lo-mo yang menerjang maju dan menyerangnya dengan totokan jari
telunjuk kanan. Karena kaki Thai-lek Kauw-ong tentu saja jauh lebih panjang dari pada lengan Siauw-bin
Lo-mo, maka kakek gundul ini hendak sekaligus memunahkan totokan dan balas menyerang dengan
tendangannya yang mendatangkan angin bersiutan itu! Sekaligus kakek gundul ini telah melayani
serangan tiga orang lawannya!
Bu-tek Siu-Iam terkejut. Biar pun ia lihai dan guntingnya merupakan senjata yang kuat, namun melihat
betapa sepasang gembreng itu mengancam hendak menjepit, ia merasa khawatir juga dan cepat-cepat
menarik kembali serangan guntingnya. Akan tetapi melihat betapa cepatnya gerakan sepasang gembreng,
ia lalu menggerakkan tangan kanannya.
“Wiirr...!” Jarum besar yang diikat benang di tangan kanannya menyambar ke tenggorokan Kauw-ong.
“Tranggg...!” Thai-lek Kauw-ong tentu saja tidak membiarkan tenggorokannya ditusuk jarum, maka
terpaksa menangkis dengan gembreng kirinya dan usahanya menjepit gunting menjadi gagal.
Siauw-bin Lo-mo kaget bukan main. Angin yang menyambar keluar dan tendangan kakek gundul itu
dahsyat sekali dan tahulah ia bahwa si Gundul itu tidak percuma mempunyai julukan Thai-lek yang
menyatakan betapa tenaganya amat besar. Cepat ia miringkan tubuh mengelak.
Dari keadaan diserang, dalam segebrakan saja Thai-lek Kauw-ong mampu merubah menjadi keadaan
menyerang. Hal ini membuktikan bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi dan agaknya kalau dibandingkan
dengan tiga orang itu masing-masing, kakek gundul ini masih menang setingkat. Namun tentu saja tiga
orang aneh yang sudah biasa dengan kemenangan-kemenangan, tidak suka melihat kenyataan ini dan
sekarang mereka bertiga sudah siap-siap lagi untuk menerjang Thai-lek Kauw-ong!
“Hemm, kalian seperti bajingan-bajingan kecil hendak mengeroyok? Boleh!” Biar pun ia tidak pandai bicara,
namun kata-kata singkat yang keluar dari mulut kakek gundul itu cukup menusuk perasaan.
Tiga orang tokoh besar itu tentu saja menjadi malu sekali dan biar pun di dalam hati mereka itu diam-diam
bermaksud mengeroyok kakek gundul yang kosen ini, namun di luarnya mereka tak sudi mengakuinya.
Tuduhan yang tepat mengenai hati ini membuat mereka tiba-tiba meloncat mundur ke belakang dengan
muka merah.
“Siapa mengeroyokmu? Sombong! Lihat kelihaian Pak-sin-ong!” seru Pak-sin-ong atau Ji-cam Khoa-ong.
Gerakannya amatlah cepat dan karena tokoh ini lebih mengandalkan tenaga dalam, maka gerakannya
tidak mengeluarkan suara. Dengan kecepatan seperti kilat menyambar, sinar putih dari tangan kirinya
sudah meluncur cepat dan itulah pancing bertali yang menyambar ke arah muka Thai-lek Kauw-ong.
Kakek gundul ini cepat mengelak karena ia belum mengenal senjata ini, akan tetapi pancing itu dapat
mengikutinya ke mana pun ia mengelak dan tetap mengancam mukanya. Sambil mendengus marah Thailek
Kauw-ong menggerakkan gembreng kanannya menangkis.
“Cringgg!” terdengar suara keras sekali dan pancing itu menyambar kembali, bahkan menyerang Pak-sinong
sendiri!
Pak-sin-ong kaget dan cepat menghentak tali di tangan kirinya sehingga pancing itu berputaran di udara
kemudian meluncur lagi ke arah Thai-lek Kauw-ong. Ketika kakek gundul ini menghindar ke kiri sambil
mengibaskan gembreng kanan, Pak-sin-ong sudah menerjang maju dan menyerang dengan gergajinya
yang menusuk terus mengait ke arah perut dan lambung kiri lawan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Apa yang dilakukan Pak-sin-ong ini sama sekali bukan serangan ringan karena selain gergajinya bergerak
amat cepat serta mengandung tenaga dalam yang dahsyat, juga gerakan gergaji ini melengkung
membentuk setengah lingkaran yang merupakan pintu penutup bagi jalan ke luar lawan! Thai-lek Kauwong
berseru memuji dan juga kaget, maka ia cepat menghantamkan gembrengnya yang kiri untuk
menangkis sambil mengerahkan tenaganya.
“Brenggg...!”
Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika gembreng itu berhasil menangkis gergaji. Pak-sin-ong
mengeluarkan suara kaget dan terpaksa meloncat cepat ke belakang untuk mematahkan tenaga tangkisan
yang sedemikian kuatnya sehingga kalau ia mempertahankan kuda-kudanya, tentu ia akan terhuyunghuyung!
Pada saat itu, Bu-tek Siu-lam meloncat maju menerjang Raja Monyet itu sambil berseru keras.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Klik-klik!” guntingnya yang besar berbunyi dua kali.
Dengan amat cepatnya Thai-lek Kauw-ong menghindar sehingga guntingan itu tidak mengenai sasaran,
sungguh pun hanya sedikit selisihnya dari leher dan pundaknya. Karena melihat majunya tokoh banci ini,
Pak-sin-ong cepat mundur menjauhi karena ia tidak sudi jika dianggap mengeroyok. Namun dalam hatinya
ia merasa lega karena ia sudah tertolong dari keadaan kehilangan muka. Betapa pun juga harus diakui
bahwa si Raja Monyet itu benar-benar lihai sekali.
“Klik... brenggg!” kembali seperti keadaan Pak-sin-ong tadi, gunting di tangan Bu-tek Siu-lam kena
ditangkis sehingga api berpijar dan disusul suara gembreng itu berbunyi susul-menyusul nyaring sekali.
Wajah Bu-tek Siu-lam sampai menjadi pucat. Ia dapat menangkis dan mengelak sambaran dan gencatan
senjata lawan, namun ia tak dapat mencegah suara yang nyaring hebat itu menerjang memasuki kedua
telinganya. Hal ini benar-benar amat mengacaukan perasaan dan ketenangannya sehingga ia segera
terdesak hebat!
“Breng... brenggg...!” Hampir saja ujung baju depan Bu-tek Siu-lam kena terjepit, masih untung ia dapat
membuang diri ke belakang dan kini dari tangan kanannya menyambar sinar kecil kuning tepat pada saat
ia membuang diri ke belakang ini.
“Hehh...!” Thai-lek Kauw-ong terkejut sekali, tidak mengira bahwa tokoh banci itu dalam keadaan terdesak
dan membuang diri ke belakang dapat mengirim serangan dengan senjata rahasia yang demikian
berbahaya. Terpaksa ia mengibaskan gembrengnya sambil loncat ke belakang. Jarum itu terpukul
menyeleweng oleh angin yang menyambar dari gembreng yang dikibaskan dengan tenaga besar.
Akan tetapi di lain pihak, Bu-tek Siu-lam juga terkejut dan mengeluarkan keringat dingin. Kalau ia tidak
berlaku cepat, jangankan sampai terkena himpitan sepasang gembreng itu, baru terjepit ujung bajunya saja
berarti ia sudah mendapat malu. Maka berbareng dengan elakan Thai-lek Kauw-ong ke belakang, ia pun
melangkah mundur sambil memasang kuda-kuda dengan sikap waspada.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Siauw-bin Lo-mo untuk memperlihatkan ilmunya dan menguji
kepandaian si Raja Monyet. “Huah-hah-hah, Kauw-ong, kau terimalah senjataku!” bentaknya dan ketika
tangannya bergerak, sebuah benda hitam menyambar, bukan ke arah tubuh Kauw-ong, melainkan ke
depan kakinya.
Melihat ini Thai-lek Kauw-ong, mengeluarkan seruan panjang dan tubuhnya sudah mencelat ke atas tinggi
sekali, agaknya ia ketakutan. Bu-tek Siu-lam dan Pak-sin-ong terheran mengapa orang kosen itu takut
menghadapi senjata rahasia yang dilemparkan ke depan kaki, sedetik kemudian mereka tahu sebabnya
ketika benda itu menyentuh tanah dan meledak keras mengeluarkan api berpijar ke sekelilingnya. Andai
kata Thai-lek Kauw-ong tadi tidak meloncat tinggi ke atas, tentu akan kena sambaran api yang muncratmuncrat
dari ledakan itu!
Thai-lek Kauw-ong marah. Dari atas udara tubuhnya menyambar turun ke arah Siauw-bin Lo-mo,
sepasang gembrengnya menyambar karena ia lontarkan ke bawah! Hebat bukan main sepasang
gembreng ini. Bukan hanya dapat dipergunakan sebagai senjata, malah kini dipergunakan sebagai senjata
lontar yang ampuh. Dua benda itu kini seperti dua buah piring terbang menyambar tubuh Siauw-bin Lo-mo,
yang sebuah menyambar leher, yang sebuah lagi menyambar perut!
Namun biar Siauw-bin Lo-mo bertangan kosong dan bertubuh kecil, kegesitannya ternyata tidak kalah oleh
yang lain-lain, bahkan mungkin melebihi. Tubuhnya tiba-tiba lenyap dan hanya tampak bayangan
berkelebat menyelinap di antara dua benda yang menyambarnya. Sepasang gembreng itu berputaran
terus kembali ke arah Thai-lek Kauw-ong yang sudah turun ke atas tanah. Raksasa gundul ini menyambut
sepasang gembrengnya dengan mudah.
Empat orang sakti itu kini saling berhadapan, atau lebih tepat lagi, Thai-lek Kauw-ong dengan sepasang
gembrengan siap menghadapi tiga orang itu. Dalam gebrakan-gebrakan perorangan tadi dapat terlihat
bahwa betapa pun juga tingkat ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong yang paling hebat, maka kini timbul
kecenderungan hati tiga yang lain untuk mengeroyok dan menundukkan lebih dulu lawan yang paling kuat
ini. Thai-lek Kauw-ong tersenyum mengejek, kedua gembreng siap di tangan dan ia gembira sekali bahwa
hari ini ia menghadapi tiga orang lawan yang akan merupakan makanan yang keras baginya! Inilah baru
kesempatan mengadu ilmu yang memuaskan hatinya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara melengking nyaring. Lengking ini selain nyaring memekakkan
telinga, juga membuat jantung empat orang tokoh besar itu tergetar dan ini saja sudah menjadi tanda
bahwa lengking itu dikeluarkan dengan pengerahan khikang yang tinggi. Tentu saja empat orang itu
terkejut dan seketika menghentikan gerakan mereka yang tadi sudah siap bertanding.
Ketika Thai-lek Kauw-ong memutar tubuh dan tiga orang lainnya juga memandang, mereka melihat
seorang wanita duduk di atas ranting pohon. Entah kapan wanita itu berada di situ. Kedatangannya yang
tak diketahui empat orang itu saja sudah membuktikan ginkang yang luar biasa, apa lagi wanita itu duduk
di atas ranting yang kecil dan kiranya akan patah kalau diduduki orang biasa. Akan tetapi wanita itu duduk
dengan enak, membelakangi mereka dengan tubuh diputar dan kepala dipalingkan ke arah mereka.
Melihat muka wanita itu, empat orang tokoh besar itu kaget dan heran. Tubuh wanita itu padat dan indah
bentuknya, pakaiannya indah, akan tetapi kepala wanita itu tertutup kerudung! Biar pun kerudung itu tipis
dan membayangkan sebuah muka yang cantik, namun tetap saja menyeramkan dan menimbulkan bayangbayang
gelap pada muka, terutama pada kedua matanya sehingga sepasang mata itu tampak hitam dan
hanya kelihatan kilauan seperti titik api bersinar-sinar! Kedua tangan yang berkulit putih halus dan
berbentuk kecil itu mempunyai jari-jari mungil, akan tetapi semua jari-jarinya berkuku panjang dan hitam
mengkilap!
Empat orang laki-laki tua itu adalah empat tokoh besar yang hampir dapat dikatakan belum pernah
bertemu tanding. Mereka itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan amat percaya akan ketangguhan sendiri
sehingga mereka menjadi angkuh dan sombong. Mereka belum pernah bertemu dengan wanita ini, bahkan
belum pernah mereka mendengar di dunia kang-ouw terdapat tokoh wanita berkerudung seperti ini.
Sebagai orang-orang berilmu mereka dapat menduga bahwa wanita yang dapat muncul seaneh itu dan
mengeluarkan lengking seperti tadi tentu memiliki kepandaian yang tak boleh dipandang ringan, akan tetapi
mereka sama sekali tidak takut. Terutama sekali Pak-sin-ong yang berwatak angkuh. Ia menjadi marah
sekali melihat datangnya orang tak ternama yang berani mengganggu mereka berempat.
“Hemm, biar kubuka kedok perempuan itu, siapa gerangan dia berani bersikap kurang ajar!” Tangan kirinya
bergerak dan sinar putih menyambar ke arah kepala wanita yang berkerudung itu.
Pak-sin-ong atau Jin-cam Khoa-ong ini memang mempunyai semacam hobby, yaitu memancing ikan! Hal
ini bukan aneh atau lucu karena memang memancing ikan merupakan kesenangan banyak orang sejak
jaman dahulu sampai sekarang, terutama sekali orang-orang tua. Akan tetapi bagi Pak-sin-ong, alat
pancing dan talinya bukan hanya untuk memancing ikan, melainkan ia manfaatkan menjadi senjata yang
amat ampuh. Ia menciptakan ilmu silat yang khas dengan tali dan pancing ini sehingga di samping
gergajinya, senjata pancing ini amat berbahaya karena dapat dipergunakan untuk menyerang dari jarak
jauh dengan tali yang panjang itu.
Ketika Pak-sin-ong menggerakkan tangan kirinya, pancing itu meluncur merupakan sinar putih, menyambar
ke arah muka wanita itu dengan kecepatan yang tak dapat diikuti dengan pandangan mata biasa. Namun
wanita itu yang hanya dapat melihat datangnya serangan ini dari lirikan mata karena mukanya hanya
menoleh sedikit, agaknya tidak melihat datangnya pancing yang hendak mengait dan merenggut kerudung
yang menutupi mukanya. Ia hanya kelihatan mengangkat tangan kanannya ke atas dekat pipinya dan pada
saat pancing itu hampir menyentuh kerudung, ia menggerakkan telunjuknya menyentil dengan kuku
telunjuk.
“Cringg...!”
Sinar putih itu mencelat kembali dan kini pancing menyerang berbalik ke arah pemiliknya. Pak-sin-ong
mengeluarkan suara kaget akan tetapi dengan menarik talinya ia dapat menghindarkan diri dengan mudah.
“Huh, tua-tua bangka sombong yang tak memandang mata lain orang. Kalian lihat, apakah aku tak cukup
pantas untuk menghadiri pertemuan di puncak ini!” terdengar suara wanita itu. Suaranya halus merdu,
akan tetapi amat dingin.
Kedua tangannya bergerak ke depan mencengkeram daun-daun pohon. Daun-daun kecil memenuhi kedua
tangannya dan sekali wanita itu mengeluarkan suara melengking panjang sambil menggerakkan kedua
tangan, daun-daun kecil itu melayang turun seperti tawon-tawon kecil menyambar ke arah empat orang itu.
Bahkan sebagian terbang lebih jauh lagi, menyambar ke arah beberapa orang pimpinan rombongan
dunia-kangouw.blogspot.com
pengemis, rombongan Thian-liong-pang serta rombongan orang-orang Khitan yang tadi berani keluar dari
tempat persembunyian untuk menonton datuk-datuk mereka yang sedang mengadu ilmu.
Melihat datangnya daun-daun ini, empat orang berilmu itu terkejut. Itulah tenaga sinkang yang sudah tinggi
sekali!
Dapat mempergunakan daun-daun sebagai senjata rahasia bukanlah ilmu yang aneh atau patut dipuji
karena dapat dilakukan oleh ahli-ahli rendahan. Akan tetapi dapat melontarkannya sehingga daun-daun itu
hanya melayang-layang seolah-olah tidak bertenaga padahal mengandung tenaga yang dahsyat, hanya
dapat dilakukan oleh ahli-ahli yang sudah amat tinggi ilmunya.
Karena maklum akan bahayanya daun-daun kecil itu, apa lagi mereka sebagai orang-orang pandai melihat
sinar hitam pada daun-daun itu, tanda bahwa ada racunnya, keempat orang itu cepat menggerakkan
tangan dan mengerahkan tenaga sinkang memukul ke arah daun-daun yang datang menyambar sehingga
daun-daun itu menyeleweng ke samping, namun daun-daun itu tidak terpental jauh sehingga empat orang
itu makin kagum karena hal ini berarti bahwa daun-daun itu digerakkan dengan tenaga sinkang yang amat
kuat.
Jerit-jerit mengerikan membuat empat orang tokoh itu semakin kaget lagi. Ketika mereka berempat
memandang, ternyata beberapa orang dari tiga golongan tadi telah roboh berkelojotan dan seluruh tubuh
mereka berubah hitam. Beberapa helai daun menempel pada muka dan leher mereka. Empat orang
pengemis, tiga orang anggota Thian-liong-pang, dan lima orang Khitan yang roboh terkena sambaran
daun-daun terbang dan berkelojotan dalam keadaan sekarat!
Setelah kawan-kawan dari beberapa orang yang menjadi korban sambaran daun itu menarik para korban
ke tempat tersembunyi, empat orang itu kembali menghadapi wanita aneh dan kini mereka memandang
dengan kagum, tidak lagi memandang rendah seperti tadi.
Thai-lek Kauw-ong yang paling suka bertemu dengan lawan tangguh dan menjadi kagum, segera berkata,
“Twanio (Nyonya) siapakah, harap turun!” Sambil berkata demikian, raksasa gundul ini lalu menekuk kedua
lututnya, berjongkok sambil mengerahkan ilmunya yang hebat, yaitu tenaga Thai-lek yang membuat
namanya terkenal. Makin lama perutnya menjadi makin melembung besar sekali seperti hendak pecah.
Untung bahwa ia memakai celana yang longgar, demikian pula bajunya. Kalau tidak tentu sudah pecahpecah
pakaiannya. Tak lama kemudian ia mengeluarkan suara di kerongkongan seperti suara seekor katak
jantan dan kedua tangannya mendorong ke arah wanita yang duduk di atas ranting itu.
“Siuuuuutttt... krakkk... !” Ranting itu berikut beberapa cabang besar seketika patah dan roboh ke bawah
berikut daun-daunnya, mengeluarkan suara hiruk-pikuk. Akan tetapi wanita itu sudah melayang turun
dengan loncatan melengkung ke atas sehingga tidak tersentuh hawa pukulan dahsyat itu,
Melihat kehebatan ilmu Thai-lek-kang ini, tiga orang tokoh yang lain terkejut dan amat kagum. Tak salah
lagi, kalau mereka bertiga maju seorang demi seorang, takkan dapat menandingi raksasa gundul yang
hebat ini! Juga wanita berkerudung itu diam-diam amat kaget karena tak disangkanya bahwa si Gundul
yang wajahnya buruk seperti monyet ini benar-benar amat lihai.
Jarak antara kakek gundul dan pohon di mana ia duduk cukup jauh, dari tempat ia duduk tadi tidak kurang
dari sepuluh meter jauhnya, namun hawa pukulan itu masih mampu merobohkan cabang-cabang pohon,
benar-benar seperti angin taufan! Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan orang-orang yang sakti,
wanita itu lalu mengangguk sedikit dan berkata, suaranya tetap halus dan merdu namun empat orang lakilaki
itu yang mendengarnya, bergidik karena suara itu begitu dingin seperti suara setan dari balik kubur
saja.
“Namaku Sian dari Istana Bawah Tanah. Baru sekarang keluar dari bumi memasuki dunia ramai, tertarik
hendak melihat macam apa adanya orang yang berani mengangkat diri menjadi Bengcu dari kaum kangouw.
Siapakah di antara kalian yang menjadi Bengcu? Aku ingin sekali mencoba kepandaiannya!”
Sambil berkata demikian, sepasang mata di balik kerudung hitam itu menyambar ke kanan kiri, mata yang
liar dan gerakannya cepat, mata orang yang tidak waras otaknya! Bibir itu tampak tersenyum di balik
kerudung, manis bukan main, dan harus diakui bahwa wajah di balik kerudung hitam itu cantik jelita dan
sukar ditaksir usianya, karena kecantikannya sudah matang, bukan seperti kecantikan seorang gadis
remaja. Akan tetapi, bentuk tubuh yang membayang di balik pakaian sutera putih yang tipis itu benar-benar
amat indah, tiada ubahnya bentuk tubuh seorang gadis remaja!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja empat orang laki-laki tua itu makin terheran-heran dan sejenak mereka saling bertukar pandang.
Memang tidak mengherankan kalau mereka belum pernah bertemu atau mendengar tentang wanita ini.
Wanita ini bukan lain adalah Kam Sian Eng. Semenjak dua puluh tahun yang lalu wanita ini tak pernah
muncul di dunia ramai sehingga tak seorang pun mengenalnya. Apa lagi karena ilmu silat yang dimiliki Kam
Sian Eng amatlah aneh, campur aduk tidak karuan dan caranya mempelajari kitab-kitab peninggalan iblis
betina Tok-siauw-kwi Liu Lu Sian juga seenak perutnya sendiri.
Seperti tadi saja, sambitan menggunakan daun adalah bukti dari penggunaan tenaga sinkang yang amat
tinggi, akan tetapi nyatanya, dia tidak berani menerima sambaran hawa pukulan Thai-lek-kang, bahkan
ketika meloncat turun ke depan empat orang tokoh itu, oleh mereka yang berpandangan tajam tampak
betapa ginkang-nya biar pun cukup tinggi namun tidaklah sehebat yang mereka duga dan setidaknya
tidaklah lebih tinggi dari pada tingkat mereka!
“Huah-hah-hah!” Siauw-bin Lo-mo tertawa tanpa menggerakkan bibirnya sehingga Kam Sian Eng
memandang dengan hati terheran-heran. “Sian-Toanio (Nyonya Sian) mengapa masih pura-pura bertanya
lagi? Bukankah sudah lama berada di sana tadi mendengar semua persoalan kami? Belum ada ketentuan
siapa yang bakal menjadi Bengcu!”
Kam Sian Eng mengangguk. “Hemm, kalian berempat memiliki kepandaian yang boleh juga, dan memang
tadi aku sudah mendengar semua. Karena kalian bukan orang-orang sembarangan, aku bersedia untuk
berkenalan. Aku setuju dengan usul Thai-lek Kauw-ong, bukankah kau yang bernama Thai-lek Kauw-ong?”
tanya Sian Eng kepada Si Raja Monyet yang berkepala gundul. Kakek ini mengangguk-angguk, hatinya
senang karena wanita ini cocok dengan usulnya.
“Memang tak perlu ada Bengcu, lebih penting lagi mencari pengganti Thian-te Liok-kwi yang dulu menjagoi
dunia. Apa salahnya kalau sekarang terdapat Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tanpa Tanding)?” Kam Sian
Eng tidak suka akan sebutan Kwi atau Setan, maka ia sengaja memilih sebutan Sian (Dewa), yang selain
lebih gagah dan baik, juga sama dengan namanya!
Wanita ini di waktu mudanya dahulu sudah banyak melihat lawan yang amat tangguh, oleh karena itu
setelah sekarang keluar dari tempat sembunyi, ia merasa lebih aman jika berkawan dengan empat orang
yang berkepandaian tinggi, berwatak aneh dan cocok dengan wataknya sendiri ini. Empat orang ini tidak
segan-segan membunuh orang, seenaknya saja, dan ini pun cocok dengan pendapatnya. Orang yang tidak
menyenangkan hati, orang yang lemah, memang boleh saja dibunuh!
“Kalau begitu tidak bertanding?” Thai-lek Kauw-ong bertanya kecewa.
“Perlu apa bertanding kalau di antara kita bukan musuh?” tanya Kam Sian Eng.
Biar pun wanita ini mengalami gangguan jiwa dan wataknya sudah berubah karena kehancuran hati di
waktu mudanya, ditambah dengan latihan-latihan semedhi dan lweekang yang menyeleweng, namun ia
tidak kehilangan kecerdikannya, bahkan menjadi makin cerdik. Sian Eng tahu bahwa bertanding
menghadapi empat orang ini, biar pun ia tidak takut, namun bukan merupakan hal yang ringan dan tidak
akan mudah mencapai kemenangan. Selain itu juga tidak ada gunanya.
“Huah-ha-ha-ha, betul sekali ucapan Sian-toanio. Cocok... cocok!” kata Siauw-bin Lo-mo yang diam-diam
merasa jeri terhadap Thai-lek Kauw-ong, apa lagi setelah muncul wanita yang aneh ini dan memiliki
kepandaian yang menggiriskan hati.
“Betul! Memang kita segolongan, perlu apa bertempur?” kata pula Pak-sin-ong yang cita-citanya memang
ingin mencari teman-teman yang kuat untuk membantunya melanjutkan cita-cita merampas Kerajaan
Khitan.
“Segolongan?” Sian Eng bertanya. “Golongan apa?”
“Hi-hik, sahabatku yang manis. Golongan apa lagi? Tentu saja golongan kaum sesat, hi-hik!” kata Bu-tek
Siu-lam sambil mesam-mesem genit.
Sian Eng sudah banyak melihat orang aneh, akan tetapi melihat sikap genit laki-laki gagah dan tampan ini,
ia menjadi muak dan geli. Ia juga tersenyum dari balik kerudungnya, senyum geli.
dunia-kangouw.blogspot.com
Senyum ini oleh Thai-lek Kai-ong dikira senyum karena setuju disebut golongan sesat, maka kakek gundul
yang kosen ini lalu menepuk-nepuk dadanya. “Huh, memang benar! Banyak orang menyebut aku seorang
sesat. Memang aku sesat! Biarlah mereka menyebutku begitu dan hendak kulihat, bagaimanakah
macamnya orang yang tidak sesat?”
“Hemm, mau tahu orang yang tidak sesat? Di antaranya, yang paling menonjol namanya adalah Suling
Emas! Dia menganggap jagoan nomor satu di dunia, memandang rendah golongan kita! Aku paling benci
kepada Suling Emas dan mengharap bantuan kalian berempat untuk menandinginya karena memang ia
memiliki ilmu kepandaian yang lihai sekali.” Berkata demikian, Jin-cam Khoa-ong atau Pak-sin-ong
mengepal kedua tinju dan mukanya membayangkan kebencian hebat.
Mengapa Pak-sin-ong membenci Suling Emas? Bukan lain karena Pak-sin-ong masih saudara sepupu
Hek-giam-lo, seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang menjadi musuh besar Suling Emas. Bahkan
beberapa kali Hek-giam-lo dikalahkan Suling Emas sehingga terjadi permusuhan antara kedua tokoh ini
(baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Selain menaruh dendam karena saudara sepupunya ini, juga
pasukan Pak-sin-ong pernah dipukul mundur ketika pasukan ini menyerang Khitan dan pada waktu itu
Suling Emas masih berada di Khitan.
Sejenak wajah cantik di balik kerudung itu menjadi merah, sepasang mata yang aneh itu mengeluarkan
sinar berapi. Akan tetapi hanya sebentar. Tadinya Sian Eng marah mendengar orang bertopi itu memusuhi
Suling Emas. Suling Emas adalah Kam Bu Song, kakak tirinya. Akan tetapi ia sudah tidak merasai lagi
cinta kasih antara saudara, apa lagi karena semenjak kecil memang tak pernah bertemu dengan kakak
tirinya itu (baca cerita CINTA BERNODA DARAH). Maka ia hanya tersenyum dingin dan diam-diam di
dalam hatinya ia menertawai Pak-sin-ong karena mana mungkin orang ini dapat melawan kakak tirinya itu!
“Huah-ha-ha-ha, memang sekeluarga itu orang-orang sombong, menganggap diri sendiri bersih dan orang
lain kotor! Suling Emas disebut sebagai pendekar sakti, padahal ibunya adalah Tok-siauw-kwi yang
jahatnya melebihi Thian-te Liok-kwi! Dari manakah datangnya Toksiauw-kwi? Bukan lain dia adalah
seorang gadis puteri pendiri Beng-kauw di selatan. Perkumpulan Agama Beng-kauw juga merupakan
perkumpulan yang menamakan dirinya kaum putih atau kaum lurus, lawan kaum sesat. Aku menghormat
mendiang Tok-siauw-kwi yang tidak suka berpura-pura seperti tokoh-tokoh Beng-kauw! Kuharap kalian
berempat suka membantuku kelak mengobrak-abrik Beng-kauw yang sombong!” kata Siauw-bin Lo-mo
yang mendendam sakit hati terhadap Beng-kauw.
“Hemm, aku setuju membantumu, Siauw-bin Lo-mo. Aku pun benci kepada Beng-kauw,” kata Sian Eng.
Dia pernah mendengar dahulu betapa antara Beng-kauw dan Tok-siauw-kwi terdapat hal-hal yang
bertentangan sehingga hidup iblis betina itu menjadi sengsara (baca cerita SULING EMAS). Karena ia
mendapatkan ilmu-ilmunya dari kitab-kitab peninggalan Tok-siauw-kwi, maka ia mengganggap iblis betina
itu sebagai gurunya dan ia pun merasa tidak suka kepada Beng-kauw, sungguh pun kakak kandungnya
Kam Bu Sin, menjadi mantu ketua Beng-kauw! Memang pikiran Sian Eng sudah menjadi aneh sekali dan
pertimbangannya sudah kacau balau. Ia hanya menurutkan perasaannya saja tanpa memperdulikan halhal
lain lagi.
“Hemm, kalau semua setuju dengan pendapat Sian-toanio, biarlah kita tidak saling bertanding. Untuk
menentukan siapa di antara kita yang lebih berjasa dan lebih unggul, mari dalam setahun sejak saat ini kita
berlomba, berbanyak-banyak membasmi orang-orang yang memusuhi golongan kita. Setahun
kemudian kita berkumpul lagi di sini dan dia yang paling banyak membasmi orang-orang yang memusuhi
kita, dialah yang berhak menjadi tokoh pertama!” Thai-lek Kauw-ong berkata.
Tiga orang kakek yang lain mengangguk-angguk. Biar pun Sian-Eng tidak ikut mengangguk, ia sudah
menjawab cepat-cepat. “Baiklah, dan sekarang aku pergi lebih dulu!” Baru saja habis kata-katanya,
tubuhnya sudah berkelebat dan lenyap dari situ dengan cepat sekali. Empat orang kakek itu tidak
mencegah, hanya memandang sampai bayangan Sian Eng lenyap dari pandang mata mereka. Sunyi
sejenak, kemudian terdengar suara Bu-tek Siu-lam.
“Hi-hik, aku tak begitu percaya kepada perempuan itu. Pandang mata dan sikapnya menunjukkan bahwa
dia bukan seorang yang waras otaknya. Akan tetapi dia cantik, dan bentuk tubuhnya... hemm...!” ia
terkekeh genit.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ilmu kepandaiannya lumayan,” kata Siauw-bin Lo-mo yang dalam hatinya suka pada Sian Eng karena
wanita itu tadi menyatakan sanggup membantunya menghadapi Beng-kauw. Mendapat seorang pembantu
seperti wanita aneh itu sungguh amat menyenangkan dan berharga.
“Biar pun tidak ada Bengcu, namun kita berempat, berlima dengan Sian-toanio tadi, sudah berjanji untuk
saling bantu. Karena itu, kuharap saja kelak apa bila aku membutuhkan bantuan, Sam-wi (Tuan Bertiga)
tidak akan segan-segan untuk turun tangan membantuku, termasuk golongan yang mendukung Sam-wi,”
kata Pak-sin-ong. “Tentu saja Sam-wi dapat mengandalkan aku dan pasukan-pasukanku di utara apa bila
Sam-wi sewaktu-waktu perlu bantuan.”
Berbeda dengan yang lain-lain, Pak-sin-ong ini memiliki cita-cita yang lebih besar, yaitu merampas
kerajaan. Oleh karena itu tentu saja yang penting baginya adalah kuatnya pasukan untuk melaksanakan
cita-citanya menggempur Kerajaan Khitan. Urusan pribadi baginya adalah urusan kecil.
Pada saat itu, tiba-tiba empat orang sakti ini berdiam dan mengerling ke arah selatan karena pendengaran
mereka yang tajam dapat menangkap langkah kaki yang halus dari arah ini. Tak lama kemudian,
muncullah seorang wanita yang usianya kira-kira dua puluh tujuh sampai tiga puluh tahun.
Wanita ini memakai pakaian serba merah dari sutera tipis sehingga membayangkan bentuk tubuhnya yang
menggairahkan dan wajahnya berbentuk lonjong manis. Apa lagi sepasang matanya amat indah,
bentuknya lebar dan sinarnya penuh semangat. Sayang bahwa wajah yang manis ini membayangkan
kekerasan hati dan tak pernah tersenyum.
Yang amat menarik perhatian adalah rambutnya, rambut yang amat hitam mengkilap dan panjang tebal
dibiarkan terurai begitu saja di belakang punggungnya sampai ke pinggulnya yang besar. Sebatang
pedang tampak tersembul gagangnya dari balik rambut di punggung. Wanita itu lebih kelihatan agung dan
gagah dari pada cantik, sungguh pun kemanisan wajahnya tidak akan dilewatkan begitu saja oleh setiap
orang laki-laki.
“Maaf, saya mewakili guruku untuk menghadiri pertemuan di hari ini dan belajar kenal dengan Bengcu
baru!” kata wanita itu sambil berdiri tegak dan mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai tanda
penghormatan.
“Hi-hik, kalau gurumu secantik engkau, mengapa tidak kau ajak sekalian datang ke sini, manis?” kata Butek
Siu-lam sambil tertawa dan pandang matanya seperti hendak menelan wanita berpakaian merah itu.
Tiga orang kakek yang lain hanya tersenyum mengejek, dan wanita itu mulai merah kedua pipinya yang
putih sehingga menyaingi pakaiannya. Sepasang matanya yang lebar itu terbuka makin lebar dan sinar
matanya menyambar penuh selidik ke arah Bu-tek Siu-lam, kemudian terdengar suaranya yang nyaring.
“Kalau saya tidak keliru sangka, Locianpwe ini tentulah yang berjuluk Bu-tek Siu-lam, bukan? Terimalah
hormat saya Po Leng In mewakili guru saya Siang-mou Sin-ni!” Sambil berkata demikian ia melangkah
maju dan kembali mengangkat kedua tangan ke depan dada.
Bu-tek Siu-lam yang memang memandang rendah semua orang tertawa mengejek, lalu berkata, “Ah,
kiranya murid Siang-mou Sin-ni. Aku mendengar bahwa Siang-mou Sin-ni orangnya cantik jelita dan
rambutnya harum, suka bersahabat dengan laki-laki tampan. Nah, cocok mempunyai murid seperti engkau.
Siapa namamu tadi? Po Leng In? Nama yang indah, seindah orangnya dan seperti juga gurumu, engkau
tentu suka bersahabat dengan aku, bukan?” Berkata demikian, Bu-tek Siu-lam menggerakkan tangannya
menyambar ke depan.
Wanita yang bernama Po Leng In itu terkejut sekali dan berusaha menghindar, namun ia kalah cepat dan
tangan kirinya sudah tertangkap. Sejenak wanita itu menyambarkan sinar matanya ke arah muka Bu-tek
Siu-lam yang hanya tertawa-tawa mengejek, bahkan kemudian Bu-tek Siu-lam membuka mulut bernyanyi
dan... suaranya adalah suara wanita atau suara yang sengaja dikecilkan seperti suara wanita!
Wanita adalah bunga harum,
alangkah sayang kalau tidak dicium!
Wanita adalah intan gemilang,
alangkah sayang kalau tidak ditimang!
Baru saja berhenti suara nyanyiannya, mukanya sudah bergerak ke depan dan....
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ngokk!” pipi kiri Po Leng In tahu-tahu sudah diciumnya sampai mengeluarkan suara keras.
Po Leng In adalah murid terkasih Siang-mou Sin-ni, murid nomor satu yang paling pandai di antara semua
saudara seperguruannya. Karena itu dia memiliki ilmu kepandaian yang paling tinggi di antara murid-murid
Siang-mou Sin-ni dan karena kepandaiannya ini, di mana-mana ia disegani dan ditakuti orang. Tak pernah
ada orang laki-laki berani mengganggunya setelah banyak di antara mereka dia bunuh secara kejam dan
ganas karena berani kurang ajar terhadap dirinya. Sekarang ia mengalami perlakuan seperti ini dari Bu-tek
Siu-lam, tentu saja seketika mukanya yang tadinya merah kini berubah pucat dan sepasang matanya
seperti mengeluarkan cahaya berkilat.
“Lepas...!” jeritnya dengan suara melengking nyaring dan dari belakang punggungnya menyambar sinar
hitam melalui atas kepalanya ke depan.
“Siuuuuttt... plakkk!” Itulah rambut hitam yang menyambar dan melecut, cepat dan tak terduga-duga
datangnya, menyambar ke depan mengenai tangan Bu-tek Siu-lam yang memegang pergelangan tangan
kirinya.
Bu-tek Siu-lam adalah seorang yang lihai dan tinggi ilmu silatnya. Akan tetapi karena ia tadi memandang
rendah dan sama sekali tidak menduga akan diserang dengan lecutan rambut, ia tidak sempat menghindar
dan kulit punggung tangan kanannya yang putih mulus dan memakai gelang emas itu terkena lecutan
ujung rambut sehingga kelihatan jalur-jalur merah biru! Kalau saja ia tidak cepat-cepat mengerahkan
kekuatan ke punggung tangannya, tentu kulit punggung tangan itu sudah mengeluarkan darah karena luka.
Ia berseru kaget dan menarik tangannya sambil melangkah mundur setindak, kesempatan ini dipergunakan
Po Leng In untuk menarik kembali tangan kirinya yang tadi terpegang.
Po Leng In kini sudah menggerakkan kepalanya sehingga rambut panjang yang tadinya tergantung di
belakang punggung, kini pecah menjadi dua gumpalan dan tergantung di depan, melengkung pada
dadanya, dan begitu tangan kanan bergerak, ia sudah memegang sebatang pedang yang kecil panjang
dan amat tajam sehingga mengeluarkan sinar berkilauan. Sikapnya galak, matanya penuh kemarahan, dan
biar pun ia maklum bahwa lawannya adalah seorang cianpwe yang ilmunya amat tinggi, namun sinar mata
wanita ini menyatakan bahwa ia akan melawan dengan nekat.
Bu-tek Siu-lam hanya terenyum, matanya bersinar-sinar dan ia berkata, “Hi-hi-hik! Kau berani melawan
aku? Hi-hik, murid Siang-mou Sin-ni cantik manis dan berhati baja! Hendak kulihat apakah benar-benar
hatimu terbuat dari pada baja!”
Tiga orang kakek yang lain hanya menonton tidak mau mencampuri urusan ini. Selain mengingat bahwa
baru saja mereka mengaku telah ‘bersaudara’ atau bersahabat dengan Bu-tek Siu-lam, juga mereka
bertiga tidak peduli akan Siang-mou Sin-ni yang menjadi seorang di antara Thian-te Liok-kwi yang sudah
‘jatuh’ itu. Kini yang menguasai dunia kaum sesat adalah Bu-tek Ngo-sian (Lima Dewa Tak Terlawan),
bukan lagi Thian-te Liok-kwi (Enam Iblis Bumi Langit)!
Di samping itu, mereka bertiga bukanlah orang-orang yang berwatak lemah dan perasa sehingga melihat
kejadian yang bagi orang lain mengerikan, menyeramkan, jahat atau tidak adil, bagi mereka ini adalah
biasa saja! Kalau Bu-tek Siu-lam suka kepada wanita dan bisa mendapatkannya, biarlah
ia mendapatkannya dan memperlakukannya sesuka hati, apa lagi wanita itu tiada sangkut pautnya dengan
mereka bertiga!
Bahkan Pak-sin-ong sudah mencibirkan bibirnya dan meninggalkan tempat itu, turun dari puncak diikuti
oleh pasukannya yang terdiri dari orang-orang Khitan dan Mongol. Juga Siauw-bin Lo-mo yang tidak suka
lagi bermain perempuan, menjadi jemu dan meninggalkan puncak untuk kembali ke sini setahun kemudian
seperti yang telah mereka janjikan.
Thai-lek Kauw-ong seorang yang masih berada di situ, malah kini raksasa gundul ini duduk di atas batu
hitam menonton sambil menyeringai lebar. Dia seorang perantau yang tidak mempunyai pengikut, tentu
saja ia seenaknya dan tidak tergesa-gesa. Apa lagi, ia pun sudah mendengar akan nama besar Siang-mou
Sin-ni sehingga ia ingin menyaksikan sampai di mana kelihaian murid iblis betina itu.
Ada pun para pengemis yang menjadi pengikut Bu-tek Siu-lam masih belum hilang kagetnya karena
beberapa orang teman mereka tadi tewas menjadi korban sambaran daun-daun secara mengerikan
dunia-kangouw.blogspot.com
sehingga mereka masih menggerombol di belakang pohon besar, tidak berani lagi sembrono
memperlihatkan diri, hanya menanti sampai datuk mereka muncul.
Po Leng In adalah seorang murid terkasih Siang-mou Sin-ni, selain lihai juga sudah banyak pengalaman.
Sebagai ‘orang muda’, ia bersikap tahu diri dan tidak mau turun tangan lebih dulu melakukan penyerangan.
Ejekan Bu-tek Siu-lam tadi dijawabnya dengan singkat dan tenang. “Saya yang muda tidak berani terhadap
Cianpwe, akan tetapi sebagai wakil Guru, perbuatan Cianpwe terhadap saya seperti terhadap Guru dan
saya harus membela kehormatan Guru saya.”
Sebagai murid Siang-mou Sin-ni yang cabul dan genit, tentu saja Po Leng In sedikit banyak mewarisi
watak gurunya. Dia bukanlah seorang gadis baik-baik yang menjunjung tinggi serta menghargai
kesusilaan. Tidak, Po Leng In yang manis ini sudah banyak mengalami hubungan dengan pria, akan tetapi
tentu saja ia selalu memilih pria tampan dan menyenangkan hatinya. Bu-tek Siu-lam memang tampan dan
gagah, akan tetapi sikapnya yang genit dan banci itu menjijikkan hati Po Leng In.
Tiba-tiba wajah Bu-tek Siu-lam yang tadinya tertawa-tawa itu berubah beringas. Matanya seperti mata
harimau marah, lebih lagi, seperti mata iblis, kulit mukanya yang kini menjadi menyeramkan itu berubah
dan suaranya penuh wibawa ketika ia memberi perintah. “Buka bajumu!”
Muka Po Leng In menjadi pucat sekali, matanya terbelalak memandang sejenak. Ia tak bergerak seperti
berubah menjadi arca, kemudian ia dapat memaksakan lehernya bergerak, kepalanya menggeleng.
Mereka berdiri berhadapan, beradu pandang dan makin lama Po Leng In menjadi makin pucat.
“Buka! Buka bajumu!”
Po Leng In menggeleng kepala keras-keras tanpa dapat mengeluarkan suara. Rasa ketakutan mencekik
lehernya.
“Hemm... hemm...!” terdengar suara Thai-lek Kauw-ong yang agaknya merasa tertarik dengan permainan
kawannya ini. Ini adalah permainan yang baru, belum pernah dilihatnya. Matanya terbuka lebar-lebar
memandang dan hatinya bertanya-tanya maukah wanita itu melakukan perintah Bu-tek Siu-lam atau tidak.
“Perempuan muda, dengar baik-baik. Sebetulnya sudah sejak tadi kau menggeletak tanpa nyawa dengan
rongga dada kehilangan hati kalau saja aku tidak tertarik melihat matamu yang indah. Hayo buka bajumu
agar kulihat. Kalau tubuhmu seindah matamu, aku suka mengampunimu dan membiarkan hatimu tetap di
dalam dada.”
Mungkin karena Bu-tek Siu-lam sudah mulai bicara dan tertawa lagi, berkurang rasa takut di hati Po Leng
In, bahkan timbul lagi kemarahan dan kenekatannya. “Bu-tek Siu-lam engkau terlalu menghina orang!
Biarlah aku mewakili Guruku memberi hajaran kepadamu!”
Kata-kata itu tertutup dengan gerakan pedang. Cepat sekali gerakan pedangnya, sehingga tak tampak
bentuk pedangnya, berubah menjadi sinar kehijauan yang dibarengi hawa dingin meluncur cepat menuju
ke leher Bu-tek Siu-lam. Itulah tanda bahwa pedang itu tajam luar biasa dan digerakkan oleh tenaga
sinkang yang tak boleh dipandang ringan!
Bu-tek Siu-lam cukup ahli untuk mengenal serangan berbahaya. Ia mengeluarkan suara terkekeh
mengejek sambil menggeser langkah menarik tubuh atas mengelak. Akan tetapi sebelum ia sempat turun
tangan membalas, tangan kiri Po Leng In yang kecil sudah menyambar dari bawah. Tentu saja gerakan ini
amat cepat karena memang merupakan kelanjutan dari pada jurus serangan pertama tadi. Kini tangan kiri
itu dengan jari-jari terbuka mencengkeram ke arah bawah pusar. Sebuah serangan yang keji, dahsyat dan
jika berhasil mendatangkan maut!
Memang hebat dan keji jurus ini karena jurus ini adalah ciptaan Tok-siauw-kwi si Iblis Betina dan yang
diajarkan kepada Siang-mou Sin-ni. Siang-mou Sin-ni dahulu memang pernah bersahabat dengan Toksiuw-
kwi dan menerima pelajaran beberapa macam ilmu silat tinggi, di antaranya adalah penggunaan
rambut panjang sebagai senjata.
Akibat serangan tangan kiri yang berjari kecil halus itu mengagetkan kedua pihak. Bu-tek Siu-lam terkejut
akan tetapi celana di bawah pusar sudah kena dicengkeram dan Po Leng In terkejut karena keadaan
lawannya itu tidak seperti laki-laki biasa! Kalau lawannya seorang laki-laki biasa, tentu saat itu sudah tewas
oleh cengkeramannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Bu-tek Siu-lam kaget dan marah, akan tetapi ia terkekeh dan tahu-tahu tangannya sudah menerkam ke
arah leher Po Leng In. Hebat terkaman ini. Po Leng In cepat menarik tangan kirinya yang mencengkeram
celana kosong itu, merendahkan tubuh dan menggerakkan kepalanya sehingga dua gumpalan rambut
panjang menyambar dari kanan kiri dadanya, gumpalan rambut kiri menotok jalan darah di iga kanan lawan
sedangkan gumpalan rambut kanan menyambar ke arah muka Bu-tek Siu-lam!
“Hemm, boleh juga murid Siang-mou Sin-ni!” terdengar Thai-lek Kauw-ong berseru memuji.
Pujian itu memanaskan perut Bu-tek Siu-lam. Dan memang ia sendiri pun sudah marah dan penasaran.
Kalau ia sebagai seorang di antara lima ‘dewa’ yang menggantikan kedudukan enam ‘iblis’ kini tak dapat
cepat mengalahkan murid dari seorang di antara enam iblis, ke mana ia harus menaruh mukanya?
Kini melihat serangan dua gumpalan rambut disusul dengan sinar hijau pedang lawan membabat kaki, ia
mengeluarkan suara ketawa. Ia membiarkan gumpalan rambut kiri menotok iganya yang sudah ia ‘tutup’
jalan darahnya, kemudian secepat elang menyambar kelenci, ia sudah menangkap gumpalan rambut yang
menyambar ke arah mukanya lalu mengangkat tangan kiri yang menangkap rambut itu tinggi-tinggi di atas
kepalanya. Karena iblis banci ini memang bertubuh tinggi sekali dan Po Leng In hanya setinggi pundaknya,
tentu saja Po Leng In terangkat ke atas!
Po Leng In kaget dan mengenali bahaya. “Lepaskan!” Sambil berseru kedua kakinya bergantian
menendang, namun didahului jari tangan kanan Bu-tek Siu-lam yang menyambar pinggang menggencet
jalan darah pusat sehingga seluruh tubuh wanita itu seketika menjadi lemas! Dengan amat mudah
pedangnya yang tajam itu kini sudah pindah ke tangan Bu-tek Siu-lam.
“Hi-hi-hi-hik! Kau lihat, Kauw-ong! Apakah murid Siang-mou Sin-ni ini amat hebat?”
“Hemm, tak ada gunanya!” Thai-kek Kauw-ong menjawab sebal.
“Hi-hik, siapa bilang tidak ada gunanya? Rambutnya harum sekali!” Bu-tek Siu-lam mencium rambut yang
panjang itu, menyedot-nyedot dengan lagak genit. “Dan kita lihat apakah jantungnya terbuat dari pada
baja!” Pedang di tangan kanannya bergerak dan....
“Brettt!” pedang itu berubah menjadi sinar hijau yang mengitari tubuh atas Po Leng In dan di lain saat baju
atas wanita itu sudah robek-robek dan berjatuhan ke bawah, membuat tubuh bagian atas sebatas
pinggang tidak berpakaian lagi!
Diam-diam Thai-lek Kauw-ong yang menonton permainan ini memuji. Hebat juga si Banci ini.
Menggerakkan pedang sedemikian cepat sehingga merobek semua baju luar dan dalam tanpa sedikit pun
menggores kulit orang!
Po Leng In sudah tertotok lemas, akan tetapi ia masih sadar dan tahu bencana hebat yang menimpa
dirinya. Sebagai seorang murid kepala Siang-mou Sin-ni yang biasa mempermainkan pria sesuka hatinya,
kali ini ia dipermainkan orang, mengalami penghinaan seperti itu, tentu saja hebat penderitaan ini.
Mukanya menjadi merah sampai terus ke leher dan dadanya yang tidak tertutup apa-apa, matanya
memandang penuh kebencian dan sama sekali tidak membayangkan rasa takut.
Hal ini membikin Bu-tek Siu-lam marah sekali. Biasanya kalau iblis ini mempermainkan orang dan sebelum
membunuhnya, ia senang sekali melihat orang itu menggeliat-geliat ketakutan atau karena nyeri. Itulah
sebabnya ketika tadi membunuh orang menggunakan guntingnya, ia tidak segera menggunting leher,
melainkan menggunting kaki tangan. Iblis ini memang seorang yang kejam sekali dan hatinya senang kalau
melihat orang lain menderita. Ketika melihat betapa Po Leng In sama sekali tidak takut dan bahkan
memandangnya penuh kemarahan dan kebencian, tentu saja ia menjadi marah dan merasa terhina!”
“Hendak kulihat sampai di mana ketabahanmu!” gumamnya dan sekali pedangnya bergerak, ia telah
membabat putus rambut yang panjang itu!
Po Leng In adalah seorang wanita yang seperti gurunya, amat menyayang rambut panjangnya, maka
tanpa disadarinya ia menjerit ketika rambutnya terpotong dan tubuhnya terbanting ke atas tanah dalam
keadaan telentang!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hi-hik! Kauw-ong, mari kita lihat bagaimana macam hati perempuan ini!” Sambil berkata demikian, Bu-tek
Siu-lam berjongkok dan mendekatkan ujung pedang ke dada kiri Po Leng In yang berkulit halus putih.
Alangkah marahnya tokoh banci ini ketika melihat jeritan tadi hanya dilakukan karena tak sadar, buktinya
kini wanita itu masih memandangnya penuh kebencian dan sedikit pun tidak memperlihatkan rasa takut
biar pun ujung pedang sudah menempel di kulit dada!
“Hi-hi-hik, akan kuiris perlahan-lahan, kukupas dulu kulit luarnya, baru dagingnya dan kubuat lubang yang
cukup untuk tanganku merogoh dan mencabut jantungnya!”
Kembali Thai-lek Kauw-ong kagum. Teman barunya itu benar-benar hebat, mempunyai perasaan dan hati
yang dingin membeku sehingga dapat melakukan kekejaman yang tiada batasnya. Hal ini membuktikan
bahwa Bu-tek Siu-lam sudah melakukan latihan yang amat tinggi dalam menguasai hati dan perasaannya.
Pada saat maut sudah siap mencabut nyawa Po Leng In, tiba-tiba terdengar suara bentakan nyaring.
“Makhluk keji tak berjantung! Kau ini terang bukan manusia karena tidak mempunyai peri-kemanusiaan
yang akan mencegah manusia berbuat serendah itu. Juga bukan binatang karena tidak mempunyai peri
kebinatangan yang membuat binatang hanya membunuh untuk dimakan. Kau ini tentu iblis! Iblis pengecut
yang hanya berani menghina seorang lawan yang lemah dan tak mampu melawan. Ih, si Muka Tebal tak
tahu malu! Lebih baik mampus saja dari pada hidup tidak tahu malu!”
Selama hidupnya, baru kali ini Bu-tek Siu-lam dimaki orang, apa lagi makian demikian hebatnya. Saking
heran dan kagetnya, ia urung menusuk dada kiri Po Leng In. Tadinya ia mengira bahwa tentu guru wanita
ini yang datang, akan tetapi ketika ia memandang ke kanan kiri dari mana suara itu datang, ia melihat
bahwa yang datang itu seorang gadis muda remaja yang amat cantik jelita dan yang memandangnya
dengan mata berapi-api. Lebih-lebih lagi kagetnya ketika pada saat yang hampir sama, tiba-tiba tangannya
yang memegang pedang menjadi tergetar hebat sehingga secara terpaksa ia harus melepaskan pedang itu
yang jatuh ke tanah didekat tubuh Po Leng Ini
Kwi Lan, gadis remaja yang baru datang itu, tentu saja tidak tahu bahwa pedang di tangan Bu-tek Siu-lam
terlepas dan jatuh karena lengan tangan tokoh itu disambar sebuah batu kerikil, dan mengira bahwa orang
aneh itu melepaskan pedang karena gentar akan tegurannya tadi. Ya, gadis yang menegur Bu-tek Siu-lam
dengan kata-kata pedas itu bukan lain adalah Kwi Lan.
Sayang ia datang terlambat, kalau lebih pagi sedikit saja ia tentu akan bertemu dengan bibi dan gurunya, si
Wanita Berkerudung. Biar pun sejak masih kanak-kanak ia dilatih ilmu silat yang aneh-aneh dan tinggi,
namun gadis ini tidak pernah mendapat gemblengan untuk menjadi seorang pendekar sehingga segala
sepak terjangnya hanya menurutkan perasaan saja. Akan tetapi oleh karena Kwi Lan adalah keturunan
pendekar maka dasar wataknya juga tidak suka melihat si lemah tertindas dan si kuat sewenang-wenang.
Di samping ini, ia suka dan kagum melihat kegagahan. Oleh karena inilah, melihat sikap Po Leng In yang
sama sekali tidak takut menghadapi ancaman maut itu, ia menjadi kagum dan tanpa mempedulikan bahwa
wanita itu adalah murid Siangmou Sin-ni yang ia pernah dengar dari gurunya adalah seorang di antara
Thian-te Liok-kwi, ia segera melompat maju dan memaki-maki Bu-tek Siu-lam untuk menolong wanita itu.
Bu-tek Siu-lam tidak memandang kepadanya dan hal ini mengherankan hati Kwi Lan. Laki-laki yang tinggi
besar dan tampan itu kini sudah meloncat berdiri dan membelakanginya, sama sekali tidak mempedulikan
dia dan caci makinya tadi. Setelah laki-laki tinggi besar itu bangkit berdiri dan melihat gunting besar terselip
di ikat pinggangnya, barulah Kwi Lan dapat menduga dengan pasti siapa orang itu.
“Hei, bukankah kau si iblis Bu-tek....” Akan tetapi ia tidak melanjutkan teriakannya karena tiba-tiba sekali
Bu-tek Siu-lam sudah meloncat ke depan dan tahu-tahu gunting besar itu sudah berada di tangannya,
menyambar ke arah rumpun bunga di bawah pohon.
“Klik-klik!” hanya dua kali guntingan dan tetumbuhan itu terbabat habis!
Akan tetapi Bu-tek Siu-lam terbelalak heran karena di belakang gerombolan itu tidak tampak bayangan
manusia. Padahal tadi ia tahu jelas bahwa orang yang menyambit kerikil ke arah lengannya bersembunyi di
balik rumpun ini! Ke mana perginya orang itu dan bagaimana dapat pergi tanpa ia ketahui?
Tiba-tiba terdengar suara ketawa bergelak, suara ketawa yang nyaring dan terbahak keras. Kwi Lan
terkejut dan menengok ke kiri. Suara ketawa itu ia kenal benar dan ternyata dugaannya tidak keliru. Dari
balik sebatang pohon besar muncul seorang pemuda tampan dan tertawa-tawa dengan wajah berseri.
dunia-kangouw.blogspot.com
Siapa lagi kalau bukan Tang Hauw Lam! Golok besar sudah tercabut di tangan kanan dan ia berdiri dengan
gagah, kedua kakinya terpentang lebar dan ia menudingkan telunjuknya ke arah Bu-tek Siu-lam.
“Huh, kiranya Bu-tek Siu-lam hanya seorang laki-laki yang suka mengganggu wanita. Alangkah jauh
bedanya dengan namanya yang menjulang tinggi!” Hauw Lam mengejek.
“Eh kau Berandal...!” Tiba-tiba Kwi Lan berseru saking gembiranya bertemu dengan pemuda itu yang sama
sekali tidak disangka-sangkanya.
Pemuda itu mengerling ke arahnya, bibirnya tersenyum lebar. “Heiii, kau... Mutiara Hitam...?” Kiranya
pemuda itu baru saja tiba dan sama sekali tidak tahu bahwa Kwi Lan berada di situ. Sejenak mereka saling
pandang.
“Awas...!” tiba-tiba Kwi Lan berseru.
Akan tetapi Hauw Lam bukanlah pemuda yang sembrono, sungguh pun ia suka berkelakar. Sambaran
gunting yang hebat itu telah diketahuinya dan ia cepat meloncat ke kiri sambil menyabetkan goloknya
dengan kuat ke arah lengan lawan yang memegang gunting. Bu-tek Siu-lam yang tak berhasil menggunting
leher pemuda itu, kini melihat betapa orang muda itu malah mengancam lengannya segera menekuk siku
dan guntingnya segera membalik menyambut golok.
“Traaanggg...!” Bunga api berpijar menyilaukan mata, akan tetapi alangkah kaget dan heran hati Bu-tek
Siu-lam bahwa golok itu tidak patah-patah, juga tidak terlepas dari pegangan tangan pemuda itu. Hal ini
benar-benar amat aneh. Jarang ada orang sanggup menahan senjata yang terpukul, apa lagi tergunting
oleh senjatanya. Pemuda ini bukan orang sembarangan!
“Bocah, engkau siapa dan murid siapa? Mengapa kau berani main-main dengan aku dan menyerang
secara menggelap?” Bu-tek Siu-lam menahan guntingnya dan bertanya marah. Ia merasa penasaran
sekali melihat ada seorang pemuda berani menandinginya, akan tetapi karena ia tahu bahwa pemuda ini
memiliki ilmu kepandaian yang tidak sembarangan, tentu murid orang pandai dan cukup berharga untuk
ditanya.
Hauw Lam menyeringai. Padahal di dalam hatinya, pertemuan senjata yang menggetarkan lengan dan
membuat bahunya terasa akan patah itu telah mengagetkan hatinya. Namun ia masih tertawa-tawa untuk
mengelabui lawan. “Heh-heh, siapa tidak mengenal Bu-tek Siu-lam? Biar pun belum melihat orangnya,
namanya sudah dikenal semua orang termasuk aku. Siapa aku? Kau tanyalah kepada Nona itu, namaku
Berandal karena aku suka berandalan! Kau tanya guruku? Ada ratusan orang, terlalu panjang kalau
disebut satu demi satu!”
“Bocah ingusan! Tak kau sebut juga apa kau kira aku tidak bisa mengenal ilmu silat ceker ayammu? Kau
bergeraklah...!” Setelah berkata demikian, sambil terkekeh genit Bu-tek Siu-lam sudah menerjang maju
lagi, kini ia menyerang dengan gerakan yang amat lihai. Gerakan guntingnya membentuk lingkaran lebar
yang melingkari tubuh Hauw Lam dan menutup semua jalan ke luar!
“Aiihhh, hebat! Eh, Siu-lam, kau memang tampan, biar pun sudah tua bangka! Kau ini laki-laki atau
wanita?” Tang Hauw Lam biar pun harus cepat mengelak dengan repot karena gunting itu menyambarnyambar
dari segala jurusan, namun masih sempat berkelakar untuk memanaskan hati lawan.
Di samping ini, memang pemuda ini cerdik luar biasa. Ia kini maklum bahwa ejekan-ejekannya tadi berhasil
membuat lawannya panas hati dan penasaran dan tentu tokoh aneh ini akan berusaha sedapat mungkin
mengenal ilmu silatnya dengan cara menyerang dan mengurung agar ia mengeluarkan ilmu silat
simpanannya untuk dikenal. Ia dapat menduga bahwa kakek tampan itu tentu segan membunuhnya
sebelum berhasil mengenal ilmu silatnya.
Karena inilah Hauw Lam lalu menyambut serangan-serangannya dengan ilmu silat yang ia peroleh dari
petunjuk-petunjuk gurunya yang terakhir, kakek sakti yang luar biasa, yang muncul dari dalam kuburan,
yaitu Bu-tek Lojin! Karena itu, gerakan-gerakannya amat aneh dan betapa pun gunting di tangan Bu-tek
Siu-lam menerjang dan mengurungnya, namun pemuda itu dapat membebaskan diri dari pada lingkaran,
bahkan membalas dengan sambaran goloknya yang bukan tak berbahaya bagi tokoh barat itu.
Sementara itu, melihat munculnya Tang Hauw Lam, Kwi Lan menjadi gembira dan ia cepat-cepat
menghampiri Po Leng In. Begitu jari tangan Kwi Lan menggerayang dan menotok atau mengusap, jalan
dunia-kangouw.blogspot.com
darah di tubuh Po Leng In pulih kembali. Wanita murid Siang-mou Sin-ni ini merasa malu sekali.
Rambutnya terbabat separuh, tinggal segumpal lagi. Kini ia menggunakan tangan kiri memegang rambut
berusaha menutupi dadanya yang telanjang, tangan kanannya mengambil pedangnya, lalu sejenak ia
memandang wajah Kwi Lan. Kemudian ia membungkuk dan berbisik. “Terima kasih banyak, mudahmudahan
aku akan dapat membalas budimu. Kau lihai sekali dengan kerikil kecil sanggup memukul runtuh
pedangku dari tangan Bu-tek Siu-lam.”
“Kerikil? Meruntuhkan pedang? Aku tidak... ah, agaknya si Berandal yang melakukannya.”
“Si Berandal?”
“Yang bertempur melawan Bu-tek Siu-lam itu.”
Wanita itu menengok dan mengerutkan keningnya. Biar pun pemuda yang disebut Berandal oleh
penolongnya ini cukup lihai, namun jelas terdesak hebat oleh Bu-tek Siu-lam. Tiba-tiba pandang mata Po
Leng In yang tajam melihat berkelebatnya bayangan putih, dan seorang pemuda pakaian putih telah berdiri
di bawah pohon, tidak berapa jauh dari tempat itu. Ia memandang tajam, dan pada saat itu terdengar suara
pemuda yang melawan Bu-tek Siu-lam, yang biar pun terdesak masih tertawa-tawa.
“Eh, eh, aku dengar kau ini bukan pria bukan wanita, kau banci! Heh-heh, lucu sekali! Apa kau sudah
mengenal ilmu silatku?”
Bu-tek Siu-lam makin marah. Memang harus ia akui bahwa sampai belasan jurus pemuda itu melawannya,
ia sama sekali belum dapat mengenal gerakan lawan, bahkan dasar gerakannya pun belum dapat
menduganya dari cabang persilatan mana. Aneh, namun begitu cepat dan bertenaga! Saking panas
hatinya, Bu-tek Siu-lam mengeluarkan senjatanya yang ke dua, yang biasanya hanya ia pergunakan kalau
menghadapi lawan tangguh. Pemuda ini sebenarnya bukan lawan yang terlalu tangguh baginya, akan
tetapi karena ia ingin memaksa si Pemuda mengeluarkan ilmu silat simpanan agar dapat ia kenal asalnya,
maka terpaksa ia mengeluarkan senjatanya jarum besar diikat benang. Dengan dua jari tangan kiri ia
menjepit jarum itu, siap dipergunakan bila perlu.
“Heh-heh, memang kau bertubuh pria berhati wanita, maka selalu main-main dengan jarum dan gunting.
Eh, kau sendiri tukang menggunakan senjata gelap berupa jarum, kenapa kau tuduh aku yang bukanbukan
menyerangmu secara menggelap?”
“Bocah setan! Kau tadi menyambitku dengan kerikil, sekarang tunggulah, setelah mengenal ilmu silatmu,
aku akan menggunting-gunting tubuhmu kemudian menjahitnya kembali dengan jarumku ini!”
“Heh-heh, tak mudah, sobat! Katanya kau suka sekali dengan laki-laki muda, apakah kau akan menjahit
tubuhku lalu kau jadikan barang mainan? Cih, tidak tahu malu. Jika laki-laki, kau tua bangka dan kakekkakek,
kalau wanita, kau juga sudah nenek-nenek. Siapa sudi... aiiiihhh...!” Hauw Lam berseru terkejut dan
cepat ia melemparkan tubuh ke belakang dan berguling sambil memutar golok melindungi diri.
Gerakan memutar golok sambil bergulingan ini berasal dari ilmu golok Bu-tong, akan tetapi gerakannya
membabat berlainan, kalau biasanya diputar dari kiri ke kanan, sekarang dari kanan ke kiri. Karena itu
sungguh tidak tepat kalau dikatakan ilmu golok itu dari partai Bu-tong-pai! Pemuda itu menyelamatkan diri
dari sambaran jarum dan gunting yang amat cepat dan bertubi-tubi.
“Aihhh, bukan berandal yang menyambitkan kerikil!” Kwi Lan berkata.
Akan tetapi Po Leng In sudah melihat pemuda baju putih dan mengangguk-angguk, kemudian sekali lagi ia
memberi hormat kepada Kwi Lan lalu berlari cepat meninggalkan tempat itu. Ia sudah dihina dan mendapat
malu, kemudian tertolong oleh orang-orang muda yang memiliki kepandaian jauh lebih tinggi dari pada ilmu
kepandaiannya sendiri, maka Po Leng In merasa tidak ada gunanya berada di situ lebih lama lagi. Ia harus
cepat pulang untuk melapor kepada gurunya!
Kwi Lan belum melihat pemuda yang muncul itu, pemuda berpakaian serba putih, karena perhatiannya
tertuju kepada Hauw Lam yang mulai payah menghadapi lawan tangguh itu. Ketika ia bergerak hendak
mencabut pedangnya dan meloncat membantu Hauw Lam, tiba-tiba berkelebat bayangan putih di
depannya dan tahu-tahu seorang pemuda berpakaian putih berkata halus dengan ucapan serius dan
telunjuk kanannya menuding ke arah pertempuran.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Tahan, Nona. Lihat Bu-tek Siu-lam amat lihai. Kalau ia menghendaki, apakah tidak sejak tadi pemuda
sembrono itu menjadi korban guntingnya? Bu-tek Siu-lam masih belum dapat mengenal ilmu goloknya
yang aneh dan selama pemuda itu tetap dapat merahasiakan ilmu silatnya, ia takkan dirobohkan. Kalau
Nona maju membantu, menjadi lain lagi halnya dan engkau bahkan membahayakan keselamatannya dan
keselamatanmu sendiri.”
Kwi Lan terkejut dan memandang orang yang tiba-tiba muncul dan mencegahnya membantu Hauw Lam
itu. Ia seorang laki-laki muda yang berwajah serius, bahkan wajahnya membayangkan kematangan jiwa
sehingga tampak guratan-guratan nyata. Wajah yang tampan dan penuh kesabaran, penuh pengertian,
namun sinar matanya amat kuat berwibawa. Pakaiannya sederhana serba putih dari kain yang kasar,
pakaian dan topinya seperti seorang pelajar. Usianya tentu sudah dua puluh lima atau dua puluh enam
tahun. Ada sesuatu yang amat menarik hati Kwi Lan pada wajah orang ini. Namun hatinya mendongkol
karena ia dicegah membantu Hauw Lam.
“Justru karena Si Berandal terdesak maka aku akan membantunya!” bentaknya penasaran karena ia
anggap orang ini aneh, sudah tahu Hauw Lam terdesak mengapa malah melarangnya membantu? “Apa
kau kira aku tidak mampu menandingi tua bangka genit itu?”
Tanpa menoleh kepadanya laki-laki itu berkata, suaranya tetap halus namun penuh kesungguhan. “Dia itu
lihai sekali dan keji, harap Nona jangan mendekat. Akulah lawannya dan biar aku membantu temanmu itu!”
Sebelum Kwi Lan sempat membantah laki-laki itu sudah berkelebat ke depan, gerakannya ringan sekali
sehingga mau tidak mau Kwi Lan menjadi kagum dan heran. Apa lagi ketika pemuda itu menyerbu ke
dalam pertempuran, terdengar Bu-tek Siu-lam berseru kaget dan meloncat mundur, ia makin kagum.
Pemuda itu telah mengeluarkan sepasang senjatanya yang aneh, yaitu sebatang pensil bulu dan pensil
kayu di kedua tangannya. Senjata ini amat pendek dan amat kecil, juga lemah, akan tetapi mengapa Butek
Siu-lam terkejut dan menghindar sambil meloncat mundur? Ia tidak tahu bahwa tadi dalam segebrakan
saja pemuda itu telah menotok tujuh belas jalan darah terpenting dengan sepasang senjatanya, dan kalau
mengenai sasarannya akan cukup kuat merobohkan lawan sekuat Bu-tek Siu-lam! Karena inilah Bu-tek
Siu-lam terkejut dan terpaksa meloncat mundur menghindarkan diri.
Selagi Kwi Lan menonton dengan wajah tegang karena kini Bu-tek Siu-lam digempur oleh dua orang
pemuda itu dan pertandingan berjalan amat cepat dan seru, tiba-tiba ada angin dahsyat menyambar ke
arahnya dari belakang. Kwi Lan terkejut dan cepat membalikkan tubuhnya sambil menangkis, akan tetapi
inilah kekeliruannya. Gadis ini tidak menduga dan tidak tahu siapa yang menyerangnya, maka ia yang
amat percaya akan kekuatan sendiri lalu menangkis. Ia sama sekali tidak tahu bahwa yang menyerangnya
dari belakang adalah Thai-lek Kauw-ong, tokoh yang paling lihai di antara kelima ‘dewa’, jadi lebih lihai dari
pada gurunya sendiri!
Tangkisannya tidak ada artinya. Kalau ia mengelak, mungkin ia masih dapat menghindar dari bahaya, akan
tetapi karena ia menangkis, lengannya ditangkap dan di lain saat pundaknya sudah dipencet, membuat
gadis ini lemas kehilangan semua tenaga, bahkan tak dapat mengeluarkan suara lagi! Dengan mudah saja
Thai-lek kauw-ong mengempit tubuh gadis itu di lengan kiri, lalu kedua kakinya berloncatan cepat sekali
meninggalkan puncak.
“Heh-heh, biar dirasakan oleh Bu-tek Siu-lam. Dua orang itu akan membuatnya sibuk. Kalau aku
membantu keenakan untuk dia!” gerutu kakek gundul tinggi besar ini yang sama sekali tidak mempedulikan
kesetia-kawanan.
Sementara itu, Bu-tek Siu-lam yang tadinya merasa penasaran bukan main karena sebegitu lama belum
juga dapat membuka rahasia ilmu silat Hauw Lam, tiba-tiba diserang pemuda baju putih dengan dua
macam pensilnya. Ia kaget melihat gerakan ini karena mendatangkan dua macam angin pukulan yang
berlawanan, juga gerakannya amat halus seperti orang mencorat-coret membuat tulisan, namun di dalam
kehalusan gerak ini tersembunyi tenaga yang amat dahsyat. Tahulah ia bahwa pemuda baju putih ini
bukan orang sembarangan pula.
Diam-diam ia mengeluh. Pemuda berandalan yang bergolok besar itu sudah memiliki tingkat kepandaian
yang jauh melampaui pemuda-pemuda sebayanya, bahkan memiliki ilmu silat aneh yang tak dikenalnya
sama sekali. Sekarang muncul pemuda lain yang demikian dahsyat ilmunya. Benar di dunia telah muncul
jago-jago muda yang amat hebat!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hi-hi-hik, bocah tampan dan halus. Kau siapakah dan mengapa menyerangku? Apakah kau sahabat dia...
eh, si Berandal mentah ini?”
Sebelum pemuda baju putih yang pendiam dan berwajah serius itu menjawab, Hauw Lam yang dimaki
berandal mentah sudah mendahului dan mengejek. “Ha-ha-ha! Manusia banci yang tak tahu malu! Makin
banyak datang pemuda tampan kau makin hendak bergenit! Ataukah engkau hendak menggunakan lagak
perempuan lacur untuk merayu dan menyembunyikan rasa takutmu? Tentu saja Enghiong (Pendekar) ini
membantuku dan menyerangmu karena semua orang gagah di dunia maklum belaka bahwa Bu-tek Siulam
adalah seorang manusia iblis yang selain jahat, juga banci cabul tak bermalu dan patut dibasmi...”
“Siuuutt... klik-klik...!” gunting besar itu menyambar hebat dan dua kali menggunting ke arah leher dan
pinggang Hauw Lam.
“Haya... sayang tidak kena...!” Hauw Lam berhasil menangkis guntingan pertama ke arah lehernya dengan
goloknya, namun goloknya sempat terlepas dari tangannya yang terasa panas. Karena itu, pada saat
guntingan ke dua ke arah pinggangnya mengancam, jalan satu-satunya baginya untuk menyelamatkan diri
hanya membuang diri ke belakang dan bergulingan, hal yang pada saat seperti itu amat memalukan
karena berarti ia kalah. Mendadak pensil bulu di tangan pemuda baju putih itu menolongnya, menangkis
gunting sehingga pemuda nakal yang biar pun mukanya pucat dan dahinya mengeluarkan keringat dingin,
masih sempat mengejek juga!
Kembali Bu-tek Siu-lam tercengang. Tangkisan Hauw Lam tadi, sungguh pun cukup kuat, akan tetapi tidak
mengherankan karena senjata pemuda itu adalah sebatang golok besar yang berat. Akan tetapi, biar pun
hanya ditangkis dengan pena bulu, guntingnya terpental dan ia merasa tenaga yang tersalur pada
guntingnya membalik sehingga lengannya terasa kesemutan! Inilah hebat! Ia makin kagum dan sinar
matanya memandang wajah pemuda itu dengan penuh perhatian.
Perlu diketahui bahwa tokoh aneh ini sebetulnya berasal dari barat. Di negara Nepal, ia pernah menjadi
orang kepercayaan Raja di sana, yaitu menjadi kepala thaikam (pembesar kebiri) yang dipercaya untuk
mengurus segala urusan rumah tangga dan keluarga raja. Akan tetapi karena sebelum menjadi thaikam,
Bu-tek Siu-lam telah memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka biar pun dikebiri, ia tetap menjadi seorang lakilaki
yang kuat. Kalau orang lain dikebiri lalu kehilangan kemampuannya sebagai laki-laki, sebaliknya Bu-tek
Siu-lam makin bertambah nafsunya, karena pengebirian yang dilakukan terhadap dirinya sebagai syarat
menjadi thaikam itu hanya melenyapkan kemampuannya mendapat keturunan saja.
Biar pun dengan kenyataan ini diam-diam ia dapat merajalela dan merusak kesusilaan yang dijaga keras di
dalam istana dengan melakukan hubungan-hubungan gelap dengan para puteri dan selir raja, namun
pergaulannya dengan para thaikam lainnya, juga mungkin akibat pengebirian, mendatangkan sifat
kewanita-wanitaan kepada dirinya seperti kepada thaikam-thaikam lain. Seperti juga thaikam-thaikam lain,
timbullah kesukaan aneh pada diri Bu-tek Siu-lam, yaitu ia suka sekali kepada pemuda-pemuda tampan,
hampir sama besarnya dengan rasa suka terhadap gadis-gadis cantik!
Kebiasaan seperti inilah yang membuat makin lama tokoh banci ini menjadi makin tidak normal dan boleh
dibilang mendekati gila! Dan akhirnya, karena dia tampan dan telah berhasil melakukan hubunganhubungan
gelap dengan para selir, ia ketahuan dan terpaksa melarikan diri karena akan dihukum gantung
oleh raja yang marah! Demikianlah akhirnya bekas thaikam yang sakti ini melarikan diri ke timur dan
berhasil mempengaruhi para kaum sesat yang menyelundup dalam dunia pengemis.
Kini bertemu dengan Hauw Lam yang memang tampan, hatinya sudah tertarik, sama dengan tertariknya
hati seorang kakek mata keranjang melihat gadis ayu. Akan tetapi sikap Hauw Lam yang mengejek dan
menghinanya membuat rasa sukanya berubah kebencian. Kemudian muncul pemuda baju putih yang
pendiam dan juga amat tampan wajahnya. Maka ia menjadi tertarik dan suka sekali, apa lagi mendapat
kenyataan bahwa pemuda ini memiliki kepandaian yang hebat, lebih lihai dari pada si Pemuda Berandalan,
bahkan ia merasa sangsi apakah ia dapat mengalahkan pemuda ini dengan mudah.
“Orang muda, boleh juga kepandaianmu. Siapakah engkau dan mengapa engkau memusuhi Bu-tek Siulam
tanpa alasan?”
Pemuda baju putih itu menjawab, suaranya tenang sekali. “Bu-tek Siu-lam, sudah lama aku mendengar
tentang namamu yang besar di dunia kang-ouw, juga tentang sepak terjangmu. Aku she Kiang bernama
Liong dari kota raja. Memang tak ada permusuhan di antara kita, aku hanya tidak ingin kau mencelakai
orang lain. Sobat muda ini benar karena telah menolong seorang Nona yang hendak kau perhina....“
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hi-hik, jadi engkaukah yang menyambitkan kerikil tadi? Sudah kuduga tentu bukan bocah berandal
sombong ini, dan....”
“Ah...!” Tiba-tiba Hauw Lam memotong, memandang pemuda baju putih itu tanpa menghiraukan Bu-tek
Siu-lam lagi. “Kiranya Kiang Kongcu...! Namamu amat terkenal sebagai pendekar muda di kota raja Sung,
putera Pangeran Kiang dan murid Suling Emas...!”
Pemuda baju putih yang mengaku bernama Kiang Liong itu menahan senyum. Memang tidak salah
dugaan Hauw Lam. Pemuda baju putih ini memang benar Kiang-kongcu, putera Pangeran Kiang yang
sulung. Para pembaca cerita CINTA BERNODA DARAH tentu masih ingat bahwa ibu pemuda ini bernama
Suma Ceng dan sebelum Suma Ceng menikah dengan Pangeran Kiang, ia telah mengandung anak sulung
ini! Jadi siapakah ayah pemuda ini? Bukan lain adalah Suling Emas!
Sebelum menikah, puteri Pangeran Suma ini telah saling cinta dengan Suling Emas dan karena kedudukan
mereka tak memungkinkan perjodohan di antara mereka, maka dengan nekat mereka melakukan
hubungan gelap yang mengakibatkan Suling Emas disiksa (ketika itu belum sakti) dan Suma Ceng
dikawinkan dengan Pangeran Kiang. Tentu saja Kiang Liong sendiri tidak tahu akan hal ini yang menjadi
rahasia besar dan hanya diketahui oleh dua orang saja, yaitu tentu saja Suling Emas dan Suma Ceng.
Bagi Kiang Liong, Suling Emas adalah pendekar sakti yang ia kasihi, hormati dan taati, karena Suling
Emas adalah gurunya yang menggemblengnya sejak ia masih kecil. Masih teringat olehnya betapa ketika
ia berusia sepuluh tahun, pada suatu malam Suling Emas memasuki kamarnya, dengan sikap manis
mengajaknya bercakap-cakap kemudian mengajaknya ke luar, dan mulai malam hari itulah ia menjadi
murid Suling Emas.
Murid terkasih dalam rahasia, bahkan ibu kandungnya sendiri tidak mengetahui akan hal yang dirahasiakan
ini. Lima tahun kemudian, setelah ia berusia lima belas tahun, barulah ayah ibunya tahu akan hal ini.
Ayahnya marah-marah, akan tetapi setelah mendapat penjelasan ibunya, marahnya mereda dan sejak itu
ia menjadi murid Suling Emas secara berterang. Hanya anehnya, gurunya tidak pernah mau bertemu
dengan ayah kandungnya, dan selalu datang menemuinya dalam kamar, lalu mengajaknya berlatih di
dalam taman bunga.
“Sobat baik, engkau terlalu memuji. Akan tetapi sungguh tajam penglihatanmu sehingga engkau segera
dapat mengenalku “
Ada pun Bu-tek Siu-lam ketika mendengar bahwa pemuda itu adalah murid Suling Emas, menjadi kaget
dan kagum sekali, di samping perasaan tidak enak di hatinya. Dari sambaran batu kerikil yang mengenai
lengannya dan tangkisan pensil terhadap guntingnya saja sudah membuktikan betapa tinggi ilmu
kepandaian pemuda itu. Kalau muridnya sepandai ini, betapa hebat kepandaian gurunya yang dianggap
musuh oleh Bu-tek Ngo-sian!
“Heh-heh, kiranya engkau murid Suling Emas? Bagus sekali! Orang muda yang tampan, kau katakan
kepada gurumu bahwa kalau dia memang seorang pendekar sakti, boleh dia menghadapi Bu-tek Ngo-sian
(Lima Dewa Tanpa Tanding)!”
Kiang Liong mengerutkan keningnya. “Hemmm, Bu-tek Ngo-sian, siapa saja gerangan mereka itu?”
“Hi-hik, pantas sekali engkau belum tahu karena nama itu baru tadi dilahirkan. Dengarkan baik-baik dan
kau ceritakan kepada mereka yang menganggap diri sebagai pendekar-pendekar kang-ouw. Bu-tek Ngosian
mulai hari ini menguasai dunia persilatan yang kalian sebut kaum sesat sebagai pengganti Thian-te
Liok-kwi yang telah lenyap! Pertama-tama adalah aku sendiri, Bu-tek Siu-lam, ke dua adalah Thai-lek
Kauw-ong, kemudian Siauw-bin Lo-mo, Pak-sin-ong, dan Sian-twanio. Sayang kau datang terlambat, kalau
tidak tentu dapat berjumpa dengan mereka. Akan tetapi, dapat kuperkenalkan Thai-lek Kauw-ong...!” ia
menoleh ke arah raksasa gundul tadi duduk lalu berseru, “...ehhh... kemana Kauw-ong?”
“Heeeiii, mana dia Mutiara Hitam...?” Hauw Lam juga berseru sambil memandang ke sana ke mari. “Kiangkongcu,
tentu dia dibawa lari setan gundul tadi. Mari kau bantu aku mengejarnya!”
Kiang Liong adalah seorang pemuda yang tenang dan tidak gugup seperti Hauw Lam, akan tetapi ia pun
merasa khawatir karena tidak melihat bayangan dua orang itu. Ia merasa heran betapa kakek gundul itu
dapat bergerak sedemikian cepatnya dan tanpa ia ketahui. Hal itu saja sudah jelas membuktikan bahwa
dunia-kangouw.blogspot.com
kakek gundul itu tentu lihai bukan main. Ia mengangguk lalu mengejar Hauw Lam yang sudah lari terlebih
dahulu.
Bu-tek Siau-lam terkekeh ketawa. “Hi-hi-hik, Kauw-ong, engkau mencari penyakit! Tidak membantuku
malah membawa lari gadis galak tadi. Biar kau rasakan betapa lihainya orang-orang muda sekarang, hi-hihik!”
Ia lalu turun dari puncak, memberi isyarat kepada anak buahnya yang segera bergerak mengikuti
datuk itu turun gunung.
********************
“Hei, kakek gundul! Mau apa kau bawa-bawa aku, dan ke mana?”
Thai-lek Kauw-ong tercengang. Suara gadis yang dikempitnya itu tenang dan ketus, sedikit pun tidak
membayangkan rasa takut. Di samping ketabahan ini, juga menurut perhitungannya, gadis yang sudah ia
lumpuhkan syarafnya ini belum tiba saatnya dapat bicara lagi. Kemudian rasa kagetnya bertambah ketika
secara tiba-tiba tubuh yang ramping itu meronta dan tangan kanan Kwi Lan menyambar dahsyat ke arah
lambungnya.
Thai-lek Kauw-ong adalah seorang ahli Thai-lek-kang, seorang yang memiliki tenaga hebat dan kuat sekali,
maka tentu saja ia pun mengenal pukulan yang mengandung tenaga sinkang amat berbahaya ini. Untuk
menghindarkan diri dari ancaman maut, tiada lain jalan baginya kecuali melepaskan kempitannya dan
menggunakan pinggulnya yang digerakkan tiba-tiba untuk melemparkan gadis itu. Usahanya berhasil, Kwi
Lan terlempar dan pukulan dahsyat ke arah lambung gagal. Namun tamparan tangan kiri Kwi Lan pada
pundak kakek itu sebelum tubuhnya terpental, tidak gagal sama sekali.
“Plakk!” dan tubuh Thai-lek Kauw-ong terhuyung sedikit.
Thai-lek Kauw-ong terheran dan kagum sekali, kini berdiri memandang Kwi Lan yang sudah berdiri dengan
sikap gagah dan muka mengandung kemarahan. Tentu saja kakek kosen ini sama sekali tidak tahu akan
latar belakang peristiwa ini. Kwi Lan adalah murid terkasih Kiam Sian Eng yang menurunkan ilmu aneh,
ilmu-ilmu silat tinggi yang dipelajari secara sesat sehingga menghasilkan ilmu yang lain sekali dari ilmu silat
tinggi biasa, bahkan telah berubah sama sekali dari pada aslinya.
Demikian pula dalam melatih lweekang dan memperkuat sinkang. Kwi Lan mempunyai cara berlatih yang
amat aneh sehingga hasilnya pun luar biasa dan kadang-kadang ia dapat melakukan hal dengan sinkang
yang takkan dapat dilakukan oleh ahli lweekeh yang sudah lebih tinggi tingkatnya! Inilah sebabnya
mengapa dalam berusaha mengerahkan tenaga, dalam waktu singkat saja Kwi Lan sudah mampu
membebaskan diri. Menurut perhitungan Thai-lek Kauw-ong, totokannya itu akan melumpuhkan lawan
selama dua belas jam. Akan tetapi, baru tiga empat jam ia lari turun gunung, gadis itu sudah mampu
membebaskan diri, bahkan sekaligus menyerangnya dengan pukulan maut!
“Hemm, kau boleh juga, patut menjadi murid Thai-lek Kauw-ong!” Kakek gundul yang tidak pandai bicara
itu berkata sambil mengangguk-angguk.
Selain pemberani, Kwi Lan juga amat cerdik. Ia kini tidak berani memandang rendah orang lain. Sudah
terlalu banyak ia melihat orang-orang pandai yang ilmunya luar biasa seperti Pak-kek Sin-ong, Lam-kek
Sian-ong, Bu Kek Siansu, dan tadi pun ia melihat betapa lihainya Bu-tek Siu-lam. Kakek gundul tinggi
besar ini tentu sahabat Bu-tek Siu-lam dan jelas memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Buktinya, tanpa
dapat ia cegah tadi telah menawahnya sedemikian mudahnya. Setelah kini mendengar bahwa kakek itu
menawannya dengan niat mengambilnya sebagai murid, Kwi Lan menjadi lega hati dan tersenyum
mengejek.
“Kakek gundul, jangan kau mimpi pada siang hari! Kau ingin menjadi guruku? Sungguh lamunan kosong!
Sampai di manakah tingginya ilmu kepandaianmu maka kau mempunyai keinginan seperti itu? Apakah kau
mampu menandingi... Bu Kek Siansu?”
Thai-lek Kauw-ong membelalakkan kedua matanya dan mulutnya terbuka. Sejenak ia tidak mengeluarkan
suara. Sudah terlalu lama ia mendengar tentang nama besar Bu Kek Siansu yang disebut oleh segala
macam golongan dengan sikap hormat dan kagum, bahkan dianggap sebagai dewa! Melihat betapa orangorang
pandai demikian menghormat, biar pun ia sendiri belum pernah jumpa, sedikit banyak ia merasa
segan juga. Akan tetapi kini mendengar ucapan gadis ini yang mengandung tantangan ia segera
menjawab. “Aku ingin mencoba kepandaiannya? Apakah dia gurumu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bukan. Sayang aku bukan muridnya karena kalau aku muridnya, tentu sejak tadi kau sudah menggeletak
tanpa nyawa lagi. Kau belum cukup pandai untuk menjadi guruku kalau kau belum mampu menandingi Bu
Kek Siansu!”
Panas hati kakek itu. Selama ini, sudah puluhan tahun ia tidak pernah menemui lawan yang sanggup
mengalahkannya. Selama puluhan tahun bertapa di pulau-pulau kosong di laut timur telah menghasilkan
ilmu yang hebat-hebat pada dirinya. Di samping himpunan tenaga Thai-lek-kang yang dahsyat, juga ia
telah menciptakan ilmu silat tangan kosong yang ia namakan Soan-hong-sin-ciang. Ilmu ini ia ciptakan
dengan mengambil dasar gerakan pusaran angin diwaktu badai mengamuk di pulau-pulau kosong.
Di samping Sian-hong-sin-ciang ini, juga senjatanya sepasang gembreng amat hebat. Suaranya saja
sudah dapat merobohkan seorang lawan tangguh. Tidak mengherankan apa bila kakek ini tidak pernah
bertemu tanding dan kemenangan-kemenangan itu membuatnya haus, haus akan pertandinganpertandingan
baru dan kemenangan-kemenangan baru.
“Boleh coba! Hayo siapa yang dapat mengalahkan aku?” seru kakek itu sambil berdiri tegak, agak
membungkuk seperti seekor monyet besar.
Kwi Lan tertawa lalu berkata, “Wah, lagaknya! Tentu saja, karena tahu di sini tidak ada siapa-siapa lalu
mengeluarkan ucapan besar dan bersumbar! Sekarang begini saja, eh... siapa namamu tadi?”
Thai-lek Kauw-ong menyipitkan matanya, memandang penuh perhatian. Masih terbayang ia akan Bu-tek
Siu-lam yang mempermainkan Po Leng In tadi dan diam-diam ia membayangkan bahwa gadis di depannya
ini jauh lebih cantik, jauh lebih indah bentuk tubuhnya dari pada Po Leng In! Thai-lek Kauw-ong bukan
seorang bermata keranjang, bahkan sudah puluhan tahun ia tidak pernah mau mendekati wanita. Namun,
perbuatan Bu-tek Siu-lam tadi membuat hatinya bergerak dan nafsu yang sudah lama tidur kini ikut
bergerak hendak bangkit kembali.
“Orang menyebutku Thai-lek Kauw-ong,” jawabnya singkat.
“Wah, cocok. Memang mukamu seperti raja monyet! Dan melihat nama julukanmu, tentu engkau memiliki
tenaga besar. Nah, sekarang coba kau perlihatkan kepandaianmu agar dapat kubandingkan dengan ilmuilmu
yang pernah kusaksikan dari Bu Kek Siansu.”
Thai-lek Kauw-ong berpikir sejenak. Ia harus mendemonstrasikan kepandaian, terutama tenaganya untuk
menundukkan gadis yang berani ini. Ia melihat sebatang pohon tak jauh dari tempat itu, maka ia mendapat
pikiran baik. Ia menudingkan telunjuknya ke arah pohon sambil berkata, “Kau lihat, dari tempat ini aku
sanggup sekali pukul, membikin rontok semua daun dari atas pohon itu!”
Kwi Lan memandang dan ia tercengang. Betulkah itu? Seorang yang memiliki sinkang amat hebat sekali
pun, sekali memukul dari jarak jauh paling-paling hanya akan membikin rontok puluhan helai daun. Pohon
itu daunnya amat lebat, tidak hanya puluhan, bahkan ratusan dan ribuan helai daunnya! Mungkinkah kakek
ini akan mampu memukul rontok semua daun itu hanya dengan sekali pukul? Ia tidak percaya dan
menggeleng kepala, tersenyum lebar dan berkata.
“Kakek sombong, bagaimana aku bisa percaya kalau tidak melihat buktinya sendiri? Akan tetapi kau harus
merontokkan semua daunnya, sehelai pun tak boleh ketinggalan.”
“Hemm, kau lihat baik-baik!” Thai-lek Kauw-ong berseru, panas juga hatinya diejek dan digoda oleh nona
yang pandai bicara itu.
Thai-lek Kauw-ong lalu menekuk kedua lututnya sampai hampir berjongkok, tubuhnya merendah dan ia
mengumpulkan tenaga Thai-lek-kang. Kedua tangannya, dengan jari-jari terbuka dan agak ditekuk, ujung
menempel di kedua pangkal paha, matanya mencorong memandang ke arah pohon itu, kemudian dari
kerongkongannya keluar suara kasar dan parau seperti suara burung gagak dan kedua tangannya
didorong ke depan, agak ke atas mengarah pohon. Hebat bukan main akibatnya. Dari kedua lengan tangan
raksasa gundul ini menyambar angin yang dahsyat ke arah pohon, membuat batang pohon seperti
didorong tenaga raksasa sehingga miring dan cabang-cabangnya bergoyang-goyang sehingga semua
daunnya rontok dan melayang turun bagaikan hujan lebat! Itulah ilmu pukulan Thai-lek-kang yang luar
biasa dahsyatnya dan sukar dilawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Lan terkejut sekali. Sekilas pandang saja ia dapat melihat bahwa kakek itu benar-benar telah berhasil
merontokkan semua daun pohon sekali pukul! Ketika ia melihat daun-daun rontok berhamburan sebagian
melayang ke arah tubuhnya, gadis ini cepat mengerahkan tenaga, menggerakkan kedua tangan cepat
sekali, menyambar dan menangkap beberapa helai daun, lalu mengerahkan tenaga sinkang menyambitkan
daun-daun itu ke arah dahan pohon. Daun itu masih melayang-layang akan tetapi melayang ke atas dan
dengan tepat tangkai daun-daun itu menancap pada ranting pohon!
“Hi-hik, Thai-lek Kauw-ong, masih ada beberapa helai daun yang tinggal, tidak rontok semua!” Kwi Lan
mengejek. Gadis ini tidak peduli apakah kakek itu tahu akan perbuatannya atau tidak karena ia memang
hanya berniat menggangu sambil memperlihatkan pula kepandaiannya untuk membuktikan bahwa ia pun
bukan tidak memiliki kepandaian.
Dan sebetulnyalah bahwa kakek itu telah melihat dan tahu apa yang dilakukan Kwi Lan. Napas raksasa
gundul yang sudah berdiri tegak kembali itu agak terengah karena tadi ia telah mempergunakan tenaga
besar sekali. Ia merasa yakin bahwa semua daun pohon akan rontok dan tentu saja ia tadi melihat gerakan
Kwi Lan. Alangkah heran hatinya karena ia segera mengenal gerakan ini yang tiada bedanya dengan
gerakan Sian-twanio ketika menyambitkan daun-daun dari atas pohon!
“Eh, Nona... apa hubunganmu dengan Sian-twanio...?”
Kini Kwi Lan yang menjadi tercengang. Ia cukup cerdik untuk menghubung-hubungkan sesuatu persoalan.
Kakek gundul ini agaknya mengenal ilmunya menyambitkan daun sebagai senjata rahasia maka
menyinggung nama Bibi Sian, gurunya.
“Bibi Sian adalah guruku. Apakah kau kenal dengan guruku?”
Kakek gundul itu mengangguk-angguk. Dia tidak banyak cerita, hanya mukanya yang menjadi berseri
gembira. “Hemm, dia itu adik termuda dari Bu-tek Ngosian. Aku yang paling tua. Kau sebut aku Twa-supek
(Uwa Guru Tertua)!”
Kwi Lan mengerutkan keningnya. “Ah, mana ada hubungan ini? Siapa dan apakah Bu-tek Ngo-sian itu?
Guruku tidak pernah bercerita tentang itu kepadaku,“ bantahnya meragu.
Thai-lek Kauw-ong mengangguk. “Tentu saja. Baru pagi tadi terbentuk. Aku orang pertama. Kedua adalah
Pak-sin-ong. Ke tiga Siauw-bin Lo-mo. Ke empat Bu-tek Siu-lam. Ke lima gurumu. Bu-tek Ngo-sian
menggantikan kedudukan Thian-te Liok-kwi.”
Kwi Lan tidak puas. Biar pun ia tahu bahwa gurunya orang yang amat aneh dan harus ia akui kadangkadang
tidak waras jalan pikirannya, akan tetapi ia pun tahu akan watak angkuh gurunya. Mana mungkin
gurunya sudi bersekutu dengan orang-orang jahat macam ini? Betapa pun juga, hal itu merupakan
pertolongan baginya, karena setelah kakek itu tahu bahwa dia murid Sian-twanio, tentu tidak akan
diganggunya.
“Nah, biarlah kau kusebut Twa-supek, boleh saja. Setelah kau tahu bahwa aku murid Sian-twanio, tentu
saja aku tidak dapat menjadi muridmu.”
Sejenak kakek itu termenung. Memang ia tadi menawan gadis ini sama sekali bukan karena ingin
mengambil murid, hanya terdorong oleh rangsangan hati yang timbul setelah melihat Bu-tek Siu-lam
mempermainkan Po Leng In. Maka ia lalu menjawab, “Bukan murid. Kita orang sendiri. Kau temani aku
beberapa hari. Keponakan harus bersikap manis kepada Supek-nya.” Sambil berkata demikian, sepasang
mata itu memandang Kwi Lan seolah-olah hendak menelan tubuh gadis itu bulat-bulat dengan pandang
matanya.
Kwi Lan bergidik. Sudah terlalu sering ia melihat pandang mata laki-laki seperti ini. Akan tetapi biasanya ia
hanya memandang rendah, tidak mempedulikan, atau kalau hatinya terlalu jengkel, menghajar si
pemandang. Kini melihat pandang mata si Kakek Gundul yang memiliki ilmu kepandaian amat tinggi itu, ia
merasa ngeri, sungguh pun hal ini belum menimbulkan rasa takut.
Pada saat itu terdengar derap kaki dua ekor kuda. Hal ini bagi Kwi Lan amat kebetulan karena seolah-olah
membebaskan dia pada saat yang tegang. Mereka berdua menengok dan tampaklah dua orang
penunggang kuda. Mereka itu adalah dua orang laki-laki tua yang berpakaian indah dan gagah, penuh
dunia-kangouw.blogspot.com
hiasan yang berkilauan. Pakaian dua orang panglima Khitan. Kepala mereka memakai topi yang
berhiaskan bulu burung yang amat indah, sikap mereka angker dan gagah.
Melihat sikap mereka dan cara mereka duduk di atas kuda mudah diduga bahwa dua orang panglima asing
ini tentu memiliki ilmu kepandaian tinggi, apa lagi gagang dan sarung senjata yang tergantung di pinggang
mereka berhiaskan emas permata! Kwi Lan sama sekali tidak tahu panglima-panglima dari mana mereka
itu, akan tetapi ia dapat menduga bahwa mereka adalah orang-orang berkepandaian. Oleh karena inilah,
otaknya yang cerdik segera bekerja dan ia berseru kepada Thai-lek Kauw-ong.
“Twa-supek! Kepandaianmu tadi sama sekali tidak mengesankan hatiku. Kalau engkau bisa mengalahkan
dua orang penunggang kuda itu, barulah aku mau mengaku bahwa kau memang gagah perkasa!”
Thai-lek Kauw-ong boleh jadi telah memperoleh tingkat ilmu silat yang amat tinggi, akan tetapi karena
terlalu lama bertapa mengasingkan diri, agaknya jalan pikirannya menjadi amat sederhana dan tentu saja
ia tidak dapat menandingi Kwi Lan dalam hal kecerdikan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa gadis itu
sengaja memanaskan hatinya untuk mengalihkan perhatian yang tercurah pada pandang matanya yang
penuh nafsu birahi tadi, dan menganggap gadis itu sebagai murid Sian-twanio besar-benar belum merasa
yakin akan kelihaiannya. Oleh karena itu ia segera menjawab.
“Baik, kau lihatlah!”
Sambil berkata demikian tubuhnya yang tinggi besar itu sudah berkelebat membuat loncatan tinggi
melayang ke arah dua orang penunggang kuda yang sudah datang dekat. Sekali berjungkir balik di tengah
udara, kakek itu sudah menyambar ke depan dan kedua tangannya mencengkeram ke arah pundak dua
orang panglima itu sambil berseru keras.
“Turun kalian...!” Suaranya keras, sambarannya cepat.
Akan tetapi biar pun merasa ngeri, dua orang panglima itu ternyata benar-benar bukan orang
sembarangan. Tampak bayangan tubuh mereka berkelebat dan cepat sekali mereka sudah bergerak
dengan jalan melakukan gerakan meluncur turun dari atas kuda dengan loncatan miring. Terdengar suara
keras dari patahnya tulang-tulang punggung kedua ekor kuda itu disusul meringkiknya kuda dan robohnya
tubuh dua ekor kuda besar yang kini berkelojotan di atas tanah dalam keadaan sekarat! Dapat
dibayangkan betapa hebatnya tenaga Thai-lek-kang di kedua tangan Thai-lek Kauw-ong yang sekali pukul
dapat merobohkan dua ekor kuda besar dengan tulang-tulang punggung patah-patah
Dua orang Panglima Khitan yang bertubuh tinggi besar, hampir sama dengan bentuk Thai-lek Kauw-ong itu
sesungguhnya bukanlah orang-orang biasa. Mereka itu keduanya adalah dua orang panglima yang
berkedudukan tinggi di kerajaan Khitan. Yang mukanya brewok dengan jenggot panjang adalah panglima
barisan berkuda di Khitan dan sebagai tanda pangkatnya antara lain adalah lukisan kepala kuda di baju
depan dada. Nama kakek ini adalah Hoan Ti Ciangkun. Ada pun orang ke dua yang bermuka bengis
adalah Loan Ti Ciangkun, panglima barisan penjaga benteng, seperti dapat dikenal pada lukisan pilar
benteng di depan dadanya.
Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun inilah adanya dua orang panglima yang belum lama ini telah
menyampaikan surat dari Ratu Yalina di Khitan untuk Suling Emas. Selain ilmu kepandaian kedua orang
panglima ini lihai, juga mereka berdua merupakan utusan-utusan ratu setiap kali pemerintah Khitan
mengadakan hubungan dengan raja-raja di selatan. Oleh karena itu keduanya amat mahir berbahasa
selatan dan untuk memudahkan perkenalan, mereka pun memakai nama Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti
Ciangkun. Mereka merupakan panglima-panglima Kerajaan Khitan yang setia karena semenjak muda
mereka sudah menjadi prajurit yang kemudian makin menanjak kedudukan mereka berkat ilmu kepandaian
mereka yang tinggi.
Kini mereka dalam perjalanan pulang ke Khitan, tanpa sebab sama sekali telah diserang Thai-lek Kauwong
sehingga kuda mereka berkelojotan hampir tewas. Tentu saja mereka menjadi marah sekali di
samping rasa heran dan kaget. Namun sebagai orang-orang berpengalaman, mereka maklum akan
keanehan tokoh-tokoh kang-ouw di dunia selatan ini, maka mereka menindih perasaan amarah. Hoan Ti
Ciangkun yang jenggotnya panjang dan halus menoleh ke arah dua ekor kuda yang berkelojotan,
mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang.
“Kasihan, kalian menderita tanpa dosa.” Setelah berkata demikian, Hoan Ti Ciangkun melangkah maju
setindak dan tangan kanannya memukul ke arah dua ekor kuda dua kali berturut-turut. Pukulan jarak jauh
dunia-kangouw.blogspot.com
yang cukup dahsyat, karena seketika dua ekor kuda itu berhenti berkelojotan akibat pukulan yang tepat
mengarah kepala itu membuat dua ekor binatang ini tewas seketika! Kemudian Hoan Ti Ciangkun bersama
kawannya mengangkat kedua tangan dirangkapkan ke dada memberi hormat.
“Maaf, kami berdua Hoan Ti dan Loan Ti dari Khitan merasa belum pernah kenal dengan Lo-suhu, juga
tidak merasa melakukan sesuatu kesalahan, apa sebabnya Lo-suhu menyerang kami? Siapakah Losuhu?”
Ucapan ini benar-benar merupakan sikap yang amat merendahkan diri, sikap yang amat terpuji dari dua
orang panglima itu sehingga tidak mengherankan apa bila Ratu Khitan mengangkat mereka sebagai
utusan-utusan negara. Memang pada masa itu, Kerajaan Khitan di bawah pimpinan Ratu Yalina selalu
berusaha untuk menjauhi permusuhan dengan rakyat selatan. Sikap ini ditambah kekuatan Khitan agaknya
membuat Kerajaan Sung tidak berdaya dan selama itu belum juga mau menaklukkan Khitan, padahal
kerajaan-kerajaan lain telah ditaklukkannya.
Siapa kira, ucapan yang halus dan merendah itu malah membuat Thai-lek Kauw-ong marah-marah. Hal ini
karena dua orang panglima itu salah duga dan menyebutnya Lo-suhu, sebutan bagi seorang hwesio.
Agaknya karena ia berkepala gundul maka orang Khitan itu menyangkanya hwesio, tidak tahu bahwa
gundulnya adalah gundul asli, bukan karena dicukur, melainkan gundul sebagai akibat dari latihan Thai-lekkang!
“Aku Thai-lek Kauw-ong bukan pendeta. Aku orang pertama Bu-tek Ngo-sian. Tidak ada permusuhan.
Hanya kalian harus mengakui keunggulanku. Lihat seranganku!” Setelah berkata demikian, kakek gundul
itu sudah menerjang maju kalang-kabut, menggunakan kedua lengannya yang besar dan kuat.
Dua orang panglima Khitan itu mendongkol bukan main. Tiada hujan tiada angin kakek gundul yang bukan
hwesio ini telah membunuh kuda mereka, dan menyerang mereka secara membabi buta hanya karena
ingin diakui keunggulannya! Kalau saja permintaan itu dilakukan secara baik-baik, mereka berdua yang
mentaati pesan ratu tentu akan suka mengakui keunggulan si Gundul gila ini. Akan tetapi karena mereka
diserang, maka keduanya cepat mengelak dan bahkan kini balas menyerang.
“Ji-wi Ciangkun, kakek gundul itu sombong sekali. Harap Ji-wi suka kalahkan dia!” Tiba-tiba Kwi Lan
berteriak dan kini kedua orang panglima itu dapat menduga sebabnya mengapa si Gundul ini bertindak
secara edan-edanan.
Kiranya karena gadis cantik itu. Tentu saja si Gundul ini hendak memamerkan kepandaian kepada si Gadis
Cantik! Keparat, sudah tua bangka, mukanya seperti monyet, masih hendak berlagak di depan seorang
gadis remaja! Pikiran ini membuat kedua orang panglima Khitan ini makin marah dan mereka lalu bergerak
dan menyerang sungguh-sungguh.
Dua orang panglima itu adalah orang-orang gagah. Hal ini dapat dilihat dari cara mereka melakukan
penyerangan. Biar pun mereka berdua adalah ahli-ahli bermain senjata tajam, namun melihat bahwa lawan
mereka tidak memegang senjata, mereka juga tidak mencabut senjata, melainkan maju menerjang dengan
kepalan. Melihat gerakan mereka, jelas bahwa biar pun mereka berdua adalah panglima-panglima Khitan,
namun mereka memiliki ilmu silat selatan yang amat kuat. Terutama mereka amat kuat dalam daya tahan,
juga memiliki tenaga dalam yang tak boleh dipandang ringan.
Thai-lek Kauw-ong memang sudah menyangka bahwa dua orang ini bukan orang sembarangan, akan
tetapi tidak mengira bahwa mereka memiliki lweekang demikian kuatnya. Maka karena ia merasa khawatir
kalau-kalau tidak dapat merobohkan kedua orang lawannya secara cepat sehingga akan diremehkan Kwi
Lan, kakek ini segera mengeluarkan seruan keras sekali dan tubuhnya lalu bergerak berpusingan dengan
kedua lengan dikembangkan.
Hebat bukan main akibat gerakan ini karena dari kedua lengan itu timbul angin menyambar-nyambar ke
kanan kiri dengan luar biasa, kemudian makin lama tubuh kakek itu makin cepat berputaran, angin pun
makin hebat pula berpusingan. Inilah ilmunya yang amat ia andalkan, yaitu Soan-hong-sin-ciang! Jarang
sekali Thai-lek Kauw-ong mengeluarkan ilmunya yang ampuh ini. Sekarang karena dalam hatinya timbul
dorongan nafsu dan ingin sekali ia membuat Kwi Lan kagum akan kepandaiannya, ia hendak merobohkan
kedua lawannya itu dalam waktu sesingkat-singkatnya!
Dua orang panglima itu terkejut bukan main. Tak pernah mereka menyangka bahwa kakek gundul itu
sedemikian lihai. Betapa pun dia mempertahankan diri, kedua kaki mereka mulai menggigil dan perlahandunia-
kangouw.blogspot.com
lahan tubuh mereka mulai mendoyong dan akhirnya, makin cepat Thai-lek Kauw-ong berputar, makin hebat
tenaga angin berpusing yang menyedot, mereka tak dapat mempertahankan diri lagi dan terhuyunghuyung
ikut dengan pusaran angin yang amat kuat itu.
Terlambat mereka sadar akan bahayanya ilmu kakek gundul itu dan selagi mereka berdua mengerahkan
tenaga mempertahankan diri, topi terhias bulu yang berada di atas kepala mereka telah terlepas dan
terlempar entah ke mana, dibawa angin yang timbul dari ilmu pukulan Soan-hongsin-ciang yang hebat itu.
Hoan Ti Ciangkun dan Loan Ti Ciangkun berusaha mencabut senjata mereka, namun terlambat. Pada saat
itu, sambil memutar-mutar tubuhnya kedua lengan Thai-lek Kauw-ong menyambar, dua tamparan
mengenai pundak Hoan Ti Ciangkun dan dada Loan Ti Ciangkun. Dua orang panglima itu mengeluh dan
terlempar ke belakang, masih berputar karena kini mereka terbawa angin, kemudian roboh terguling-guling!
Pada saat itu terdengar suara melengking merdu sekali dan jelas bahwa itu adalah suara suling yang ditiup
dengan indahnya. Namun ketika dua orang panglima itu roboh pingsan, suara suling yang masih merdu itu
kini mengandung nada kemarahan dan mengandung pula pengaruh yang membuat jantung Kwi Lan
berdetak keras. Seketika tubuhnya menjadi lemas dan lesu, seperti orang kehilangan tenaga. Terkejut
sekali gadis ini.
Sebagai murid Kam Sian Eng, tentu saja ia maklum bahwa suara melengking yang merupakan nyanyian
suling ini mengandung khi-kang yang amat kuat. Gurunya malah pernah mengajarkan kepadanya tentang
ilmu menyerang lawan menggunakan suara ini, akan tetapi selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan
pengaruh yang begini hebat sehingga secara langsung merampas tenaganya! Gurunya sendiri tidak akan
mampu mengeluarkan suara sekuat ini pengaruhnya. Karena maklum bahwa hal ini amat berbahaya
baginya, Kwi Lan cepat menjatuhkan diri, duduk bersila dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk
melindungi jantungnya.
Juga Thai-lek Kauw-ong menjadi terkejut sekali ketika tiba-tiba mendengar suara melengking tinggi
sehingga tubuhnya yang masih berpusing itu menjadi terhuyung. Terpaksa ia mengurungkan niat hatinya
untuk mengirim pukulan susulan untuk membunuh dua orang panglima Khitan itu dan menghentikan
gerakannya sambil mengerahkan tenaga sinkang untuk melawan suara itu.
Tiba-tiba suara melengking itu berhenti dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar yang
bagian bawah mukanya tertutup sehelai sapu tangan. Di tangan kiri laki-laki ini tampak sebatang suling dan
kepalanya terlindung sebuah topi lebar yang pinggirannya yang sudah butut.
Thai-lek Kauw-ong memandang penuh perhatian dan matanya bersinar-sinar girang. Inilah seorang lawan
yang tangguh, pikirnya. Ia boleh mengharapkan perlawanan gigih, pertandingan yang seru, tidak seperti
dua orang Panglima Khitan yang tiada guna itu.
“Eh, permainanmu boleh juga. Kau siapakah?”
“Thai-lek Kauw-ong, sejak engkau turun ke dunia ramai, engkau telah mengangkat nama besar dengan
perbuatan-perbuatan keji dan ganas. Kini secara kebetulan kita bertemu di sini dan kembali engkau telah
berlaku sewenang-wenang mengandalkan kepandaianmu. Andai kata aku tidak mengambil pusing,
sulingku ini tentu saja takkan membiarkan engkau melakukan segala macam keganasan sekehendak
hatimu sendiri!” Sambil berkata demlkian, orang itu menggerakkan sulingnya di depan dada dan tampak
sinar kuning emas berkelebatan menyilaukan mata.
“Ahhh... engkau... Suling Emas?” Thai-lek Kauw-ong kaget ketika melihat suling yang berubah menjadi
sinar kuning emas itu.
Sebelum Suling Emas menjawab, Kwi Lan sudah berkata cepat, “Thai-lek Kauw-ong, engkau mengalahkan
dua panglima itu masih tidak aneh. Kalau kau bisa mengalahkan Suling Emas, barulah kau boleh
menyebut orang pertama dari Bu-tek Ngo-sian.”
Suling Emas mengerutkan keningnya. Bocah itu benar-benar bersikap berandalan dan nakal. Ia tahu
bahwa gadis ini mulutnya amat berbahaya dan sekarang pun dia sedang berusaha mengadu kakek gundul
ini dengannya. Benar-benar gadis yang binal dan nakal, dan teringatlah ia kepada Lin Lin atau Ratu Yalina,
dahulu di waktu mudanya juga seperti gadis ini. Ataukah seperti Kam Sian Eng?
Kalau gadis ini murid Sian Eng, agaknya dia adalah puteri adik tirinya itu. Ia tahu bahwa Sian Eng telah
menjadi korban cinta kasihnya kepada Suma Boan, putera pangeran yang jahat itu dan setelah Suma Boan
dunia-kangouw.blogspot.com
tewas di tangan Sian Eng dan Lin Lin, Sian Eng lalu lari, ingatannya seperti berubah gila dan secara aneh
dan mendadak telah memiliki ilmu kepandaian yang dahsyat! Puteri Sian Eng-kah gadis cantik yang liar
dan nakal ini?
“Hemm, kebetulan sekali. Pak-sin-ong mengatakan kau lihai, ingin aku mencobanya. Suling Emas, kau
sambutlah seranganku ini!” Setelah berkata demikian, tiba-tiba tubuh kakek gundul itu kembali berputarputar
amat cepatnya, seperti ketika ia menyerang dua orang Panglima Khitan tadi. Makin lama makin cepat
gerakannya dan mulai terdengar angin berdesing menyambar ke luar dari kedua lengan tangannya yang
dipentang lebar. Karena dapat menduga bahwa lawannya ini lihai sekali maka begitu menyerang, Thai-lek
Kauw-ong sudah mengeluarkan ilmu simpanannya, yaitu Soan-hong-sin-ciang!
“Aahhh, sayang sekali ilmu yang begini hebat menjadi milik seorang yang gila nama dan kemenangan,”
kata Suling Emas sambil menarik napas panjang.
Menghadapi angin yang mulai berpusingan itu Suling Emas bersikap tenang sekali, menyelipkan sulingnya
di pinggang kemudian berdiri tegak menghadapi lawan yang kini sudah berpusingan amat cepatnya itu.
Makin cepat tubuh Thai-lek Kauw-ong berputar dan angin yang berpusing di sekeliling tubuhnya amat kuat.
Dengan angin kedua lengannya ini saja ia sudah berhasil membuat dua orang Panglima Khitan terhuyunghuyung.
Kini melihat sikap Suling Emas yang berdiri tenang dan biar pun pakaian pendekar sakti ini
berkibar tertiup angin yang berpusing, namun tubuhnya tetap tegak, sedikit pun tidak bergeming.
Thai-lek Kauw-ong lalu berseru keras dan tubuhnya yang berputar itu mulailah bergerak menyerang. Inilah
ilmu Soan-hong Sin-ciang yang dimainkan dengan sepenuhnya. Tubuh itu berpusingan sukar dlikuti
pandang mata saking cepatnya, bagaikan telah berubah menjadi asap bergumpal-gumpal dan dari asap
berpusingan ini secara tak tersangka-sangka melayang ke luar dua buah lengan tangan yang melakukan
pukulan-pukulan dahsyat.
“Hebat...!” Suling Emas memuji. Ia kagum sekali.
Kecuali Pak-kek Sian-ong dan Lam-kek Sian-ong yang tiba-tiba muncul kembali dan yang ia ketahui
memang memiliki ilmu kepandaian luar biasa, sejak mati atau mundurnya Thian-te Liok-kwi, belum pernah
ia bertemu tanding yang memiliki ilmu kepandaian seperti ini. Harus ia akui bahwa ilmu silat yang
dimainkan kakek gundul ini lain dari pada ilmu silat tinggi lainnya. Baru angin yang berpusing itu saja sudah
mempunyai daya tarik sukar ditahan, seakan-akan angin taufan mengamuk, atau pusaran angin yang
menghanyutkan. Kalau saja ia tidak memiliki sinkang yang sudah sempurna sehingga tubuhnya terseret
dan kuda-kuda goyah, berarti ia sudah setengah kalah dan tentu takkan dapat menghindarkan diri dari
serangan kedua tangan yang seakan-akan dua ekor naga menyambar ke luar dari awan tebal itu.
Memang lihai sekali Thai-kek Kauw-ong dan ia patut menjadi seorang pertama dari Bu-tek Ngo-sian. Ilmu
silatnya Soan-hong Sin-hoat jarang bertemu tanding. Akan tetapi sekali ini ia bertemu dengan Suling Emas,
seorang pendekar sakti yang sudah matang ilmunya. Tadi pun ketika Thai-lek Kauw-ong merobohkan dua
orang Panglima Khitan dan mengirim pukulan maut hanya dengan suara sulingnya saja Suling Emas
sudah mampu ‘menangkis’ atau mengurungkan niat keji kakek gundul ini. Tiupan suling tadi pun bukan
sembarang tiupan, melainkan semacam ilmu yang sangat tinggi, yang diperoleh Suling Emas yaitu yang
disebut Kim-kong Sin-kiam.
Kini menghadapi Soan-hong Sin-ciang yang dimainkan dengan sungguh-sungguh serta disertai tenaga
dalam amat kuat itu, Suling Emas menghadapinya dengan tenang. Ia maklum akan lihainya kakek ini dan
ia juga merasa sayang. Biar pun belum jelas mengenal kakek ini orang macam apa, akan tetapi sepanjang
pendengarannya, kakek ini semenjak muncul dari pulau di lautan timur, selalu mencari perkara dan suka
sekali berkelahi, namun tidak ia dengar kakek ini mempunyai anak buah penjahat. Maka ia pun tidak ingin
membunuhnya, merasa sayang melihat ilmu kepandaian yang amat tinggi itu.
Dengan tenang namun waspada, Suling Emas lalu menggerakkan kedua tangannya. Jari-jarinya terbuka
dan telunjuk kedua tangannya membuat gerakan mencorat-coret di udara kosong. Hanya tampaknya saja
mencoret-coret menulis huruf dengan telunjuk di udara, namun sesungguhnya inilah ilmu sakti Hong-in
Bun-hoat dimainkan oleh seorang ahli yang sudah matang!
Thai-lek Kauw-ong terkejut setengah mati. Kedua tangan lawannya hanya mencorat-coret, namun semua
pukulannya terpental membalik, dan dua buah telunjuk itu sedemikian kuatnya sehingga menembus
pusaran angin, langsung melakukan totokan-totokan pada jalan darah di seluruh tubuhnya. Karuan saja
kakek gundul ini menjadi sibuk sekali, menangkis dan mengelak. Biar pun ia menangkis dengan kedua
dunia-kangouw.blogspot.com
tangannya dan mengelak cepat-cepat, agaknya kedua tangan dan elakannya masih belum cukup untuk
melindungi tubuhnya karena yang menyerangnya bukan lagi dua buah telunjuk, melainkan puluhan buah
telunjuk!
Demikian cepatnya gerakan Suling Emas. Selain terkejut, juga kakek gundul ini kagum sekali. Timbul
kegembiraan hatinya karena baru kali ini ia bertemu tanding yang hebat. Ia segera menghentikan pusingan
tubuhnya dan melayani gerakan Suling Emas dengan sama cepatnya. Setelah tubuhnya tidak berpusing
lagi, ia tidaklah begitu terdesak karena kini ia dapat mencurahkan seluruh perhatiannya ke satu jurusan
saja, yaitu ke depan.
Ia masih mengandalkan besarnya tenaga dan beberapa kali ia sengaja mengadu lengan sambil
mengerahkan tenaga. Namun ternyata bahwa lawannya itu sama sekali tidak takut beradu tangan. Setiap
kali kedua lengan mereka bertemu, Suling Emas terpental mundur dua langkah, akan tetapi biar pun tubuh
Thai-lek Kauw-ong tidak terpental mundur, ia merasa lengannya seperti lumpuh dan dadanya panas. Hal
ini berarti bahwa Suling Emas kalah setingkat dalam hal tenaga keras, namun menang seusap dalam
tenaga lemas. Dan kalau hal ini dilanjutkan, yang menderita rugi besar adalah Thai-lek Kauw-ong sendiri!
“Suling Emas, kau hebat!” Kakek gundul itu biar pun merasa penasaran, namun ia tidak marah melainkan
kagum dan gembira. “Kau sambutlah ini!” Sambil berkata demikian, tubuhnya yang sudah mencelat
mundur itu kini berjongkok dan dari kerongkongannya keluar bunyi burung gagak, kemudian kedua
tangannya yang terbuka jari-jari tangannya itu mendorong ke arah Suling Emas!
Suling Emas belum pernah mendengar akan ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong, maka tadi ia kagum dan
mengira bahwa Soan-hong Sin-ciang itu adalah ilmu simpanan atau ilmu yang diandalkan kakek gundul itu.
Ketika melihat kakek itu mencelat mundur dan berjongkok, ia sudah menduga bahwa kakek ini tentu
mengeluarkan ilmu lain macam lagi, maka ia waspada dan memasang kuda-kuda.
Ketika mendengar suara seperti burung gagak keluar dari kerangkongan kakek itu, ia terkejut bukan main.
Ia pernah mendengar... tentang ilmu yang amat dahsyat dan yang sukar dimiliki orang, kecuali oleh mereka
yang sudah mencapai kesempurnaan dalam ilmu lweekang, yaitu Ilmu Hoa-mo-kang, semacam ilmu yang
dimiliki seekor katak. Dengan ilmu ini, katak yang demikian kecil dapat mempunyai tenaga yang dahsyat
sekali. Ia pernah mendengar penuturan tentang Hoa-mo-kang dan si pemilik ilmu Hoa-mo-kang kabarnya
juga mengeluarkan suara dari kerongkongannya seperti suara katak.
Kini kakek gundul ini berjongkok mengerahkan tenaga dari tangan dan mengeluarkan suara dari
kerongkongannya seperti suara gagak, ilmu apakah ini? Suling Emas yang cerdik itu segera teringat akan
julukan kakek gundul itu. Tak salah lagi, tentulah ilmu pukulan yang menggunakan dasar tenaga tian-tan
inilah yang membuat kakek itu dijuluki Thai-lek.
Setelah dengan cepat dapat menduga akan dasar ilmu pukulan ini, timbul keinginan hati Suling Emas
untuk mencoba pukulan lawan tangguh ini sampai di mana batas kekuatannya. Karena ia tidak mau
sembrono dan membahayakan diri sendiri, maka ia hanya mempergunakan tenaga sebanyak tiga
perempat bagian saja, sedangkan sisa tenaganya ia persiapkan untuk dipakai meringankan tubuhnya dan
meloncat menghindarkan diri.
Kakek itu menjadi girang melihat Suling Emas berani menyambut Thai-lek-kang dengan dorongan kedua
tangan dari atas ke bawah. Ia merasa yakin bahwa kali ini ia akan menang. Boleh jadi ia tidak mampu
menandingi ilmu silat Suling Emas yang demikian ajaib, akan tetapi dalam hal pertandingan mengadu
tenaga, tak mungkin ia kalah kuat. Selama hidupnya, belum pernah ada orang yang sanggup mengalahkan
Thai-lek-kang. Sekali ini pun ia harus dapat menangkan lawan tangguh ini dengan pukulan Thai-lek-kang,
maka sambil mendorongkan kedua lengannya, ia mengerahkan seluruh tenaganya. Hawa panas mengalir
bagaikan banjir keluar dari pusarnya melalui kedua lengan.
Bagi pandangan orang lain, pertemuan dua tenaga sakti di udara itu tidak kelihatan dan seakan-akan tidak
ada apa-apa. Namun bagi kedua orang sakti ini, seakan-akan halilintar menyambar dan meledak di atas
kepala mereka. Akibatnya hebat sekali. Dua pasang tangan itu hanya saling menyentuh ketika keduanya
mendorong ke depan, namun keduanya merasa seperti diseruduk gajah. Tubuh Suling Emas terdorong
dari bawah dan karena pendekar ini memang sudah waspada, ia segera menggunakan sisa tenaganya
untuk meringankan tubuh sehingga ia berhasil ‘mematahkan’ tenaga dorongan dari kedua tangan lawan
dengan cara membiarkan tubuhnya terlempar ke atas sampai hampir empat meter tingginya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tidak demikian dengan Thai-lek Kauw-ong. Karena raksasa gundul ini menggunakan seluruh tenaganya
dan ia berdiri kokoh kuat di atas tanah, biar pun ia menang posisi dan dibantu oleh kerasnya tanah, akan
tetapi ia seperti tergencet dan begitu dua tenaga sakti itu bertemu, kedua kakinya amblas ke dalam tanah
sampai ke lutut! Selain ini, juga kakek gundul ini merasa napasnya sesak dan seakan-akan dadanya
hendak meledak.
Thai-lek Kauw-ong terkejut dan maklumlah ia bahwa lawannya benar-benar amat lihai sehingga kalau ia
terus menggunakan Thai-lek-kang untuk melawannya, akan terancam bahaya dan bisa menderita luka
parah di dalam tubuh. Sebagai seorang ahli ia tidak bodoh dan tidak mau mengulangi penggunaan ilmu
pukulan Thai-lek-kang yang biasanya amat dia andalkan itu. Sekali ia mengeluarkan seruan keras,
tubuhnya sudah meloncat ke atas, kedua kakinya yang amblas ke tanah sudah tercabut ke luar dan di
kedua tangannya tampak senjatanya yang ampuh, yaitu sepasang gembreng.
“Aha, kiranya kepandaianmu hanya sebegitu, saja, Thai-lek Kauw-ong? Belum lecet kulitmu belum patah
tulangmu, kau sudah mengeluarkan senjata. Heh, kalau hanya sebegitu kepandaianmu, mana boleh
engkau mengangkat dirimu sebagai orang pertama Bu-tek Ngo-sian? Melawan guruku saja kau belum
tentu menang!”
Panas rasa perut Thai-lek Kau-ong mendengar ejekan Kwi Lan ini. Suling Emas juga mengerutkan kening.
Benar-benar seorang gadis yang bermulut tajam dan berbahaya. Bocah seperti itu patut ia telungkupkan di
atas pangkuannya dan dipukuli punggungnya sampai minta-minta ampun dan bertobat! Ia tahu bahwa
kakek gundul ini merupakan lawan yang tangguh dan sudah merupakan ahli tingkat atasan yang sukar
dicari tandingnya.
“Suling Emas, coba kau sambut senjataku ini!” Thai-lek Kauw-ong yang kini menjadi penasaran dan marah
oleh ejekan Kwi Lan, bergerak maju, sepasang gembrengnya mengeluarkan bunyi nyaring sekali ketika ia
adu-adukan. Tubuh Suling Emas berkelebat dan di depan tubuhnya tampak bergulung sinar kuning emas,
yaitu sinar senjata sulingnya yang sudah ia cabut dan gerakkan untuk menangkis datangnya senjata lawan
yang hebat.
“Trangg... trangggg...!”
Mata Kwi Lan menjadi silau karena bunga api yang berpijar ke luar amat terang, kemudian disambung oleh
suara beradunya sepasang gembreng yang membuat jantungnya tergetar. Gadis ini menjadi kagum dan
kaget, apa lagi ketika dari suling yang digerakkan tangan Suling Emas itu keluar pula lengkingan tinggi
nyaring yang menandingi bunyl nyaring sepasang gembreng. Riuh-rendah suara suling dan gembreng ini
dan Kwi Lan segera menjatuhkan diri duduk bersila. Ia menyatukan semangat dan mengatur pernapasan
sambil memandang penuh perhatian.
Dua orang itu tampak bergerak makin lama makin cepat. sehingga sukar dibedakan lagi mana Suling Emas
mana Thai-lek Kauw-ong. Ada pun suara gembreng dan suling amat aneh. Makin lama makin terasa oleh
Kwi Lan betapa dua macam alat tetabuhan yang kini digunakan sebagai senjata itu mulai membentuk
irama tertentu seakan-akan dua orang itu tidak sedang bertanding, melainkan sedang mainkan lagu
bersama!
Akan tetapi, makin merdu suara suling dan makin nyaring suara gembreng, makin hebat pula pengaruhnya
sehingga akhirnya Kwi Lan tidak dapat menahan lagi untuk memandang pertempuran itu. Ia makin
mengerahkan tenaganya dan membatasi diri hanya menggunakan telinganya saja untuk mendengarkan
suara suling dan gembreng. Kini diam-diam ia mengakui kehebatan ilmu kepandaian Thai-lek Kauw-ong
dan ia merasa sangsi apakah gurunya akan dapat menandingi kakek gundul yang perkasa itu.
Makin besar pula kagumnya terhadap Suling Emas yang agaknya malah jauh lebih sakti dari pada Thai-lek
Kauw-ong. Biar pun tingkat kedua orang ini lebih tinggi dari padanya, namun pertandingan tangan kosong
disusul pertandingan adu tenaga dalam tadi dapat ia ikuti dengan seksama dan ia tahu bahwa dalam dua
pertandingan terdahulu itu Suling Emas berada di pihak unggul.
Makin lama suara suling dan gembreng saling serang dengan irama yang cocok, jalin-menjalin, selingmenyeling,
dan kadang malah ganas dan marah saling menghimpit, akan tetapi ada kalanya merdu merayu
seperti sepasang orang muda bercumbu rayu. Akan tetapi kurang lebih seperempat jam kemudian, suara
suling makin nyaring melengking, sebaliknya suara gembreng makin kacau balau dan menyeleweng dari
pada irama, bahkan terdengar parau tidak keras lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mendengar ini Kwi Lan maklum bahwa kembali Suling Emas unggul, maka ia mengangkat muka
memandang. Betul saja dugaannya, permainan Thai-lek Kauw-ong mulai kacau-balau, sepasang
gembrengnya yang berubah menjadi dua gulungan sinar kebiruan menjadi makin ciut dan kecil, sebaliknya
sinar kuning emas menjadi makin besar dan panjang, bergulung-gulung menekan dan menghimpit dua
gulungan sinar kebiruan. Namun gerakan mereka masih sama cepatnya sehingga tubuh mereka tertutup
oleh gulungan sinar senjata.
“Cukuplah!” tiba-tiba terdengar suara Suling Emas yang meloncat ke belakang sambil menarik kembali
sulingnya yang sudah menekan dan membuat lawan hampir tak dapat menangkis lagi. Ia berdiri dengan
sepasang mata bersinar dan mulut di balik sapu tangan ia berkata, “Thai-lek Kauw-ong, ilmu
kepandaianmu hebat sekali. Kau akan dapat membuat banyak jasa terhadap kemanusiaan dengan ilmu
kepandaianmu.”
Thai-lek Kauw-ong juga menghentikan gerakannya. Matanya terbelalak lebar, mulutnya agak ternganga
dan napasnya terengah-engah. Mukanya agak pucat penuh peluh, juga pakaiannya basah semua, tangan
kakinya nampak lemas tanda bahwa ia lelah bukan main. Setelah mengatur napas dan tidak begitu
terengah-engah lagi ia berkata.
“Suling Emas memang lihai. Lain kali bertemu dan bertanding lagi!” Setelah berkata demikian, kakek itu
mengebutkan lengan bajunya menyimpan gembrengnya, lalu pergi dari situ dengan langkah lebar.
“Heeei! Kauw-ong, tentu lain kali kau mengajak teman-temanmu mengeroyok, ya?” Kwi Lan mengejek.
Kakek gundul itu tidak menjawab, terus melangkah pergi.
“Eh, Twa-supek! Apakah kau tidak ingin kusebut Twa-supek lagi? Tidak mau mengambil murid kepadaku?
Heeei...!”
Akan tetapi Thai-lek Kauw-ong berjalan terus, menengok satu kali pun tidak, sampai tubuhnya lenyap di
sebuah tikungan jalan. Kwi Lan tertawa-tawa dengan nada mengejek, dan baru berhenti tertawa ketika
bayangan kakek itu lenyap.
Suling Emas berdiri tegak, mengerutkan keningnya memandang gadis itu. Melihat gadis itu mengejek dan
tertawa-tawa bebas, ia menggeleng-geleng kepalanya. Gadis ini mirip Lin Lin di waktu muda, akan tetapi
ada keanehan yang luar biasa, cara ketawanya yang bebas tanpa sungkan, akalnya mengadu domba,
semua ini condong ke arat watak yang liar dan tidak baik.
“Nona, apakah dia itu Twa-supek-mu (Uwa Gurumu)?” ia bertanya ketika gadis itu menghentikan tawanya
dan kini berdiri di depannya, memandangnya penuh perhatian.
Kekaguman memancar dari mata gadis itu, dan entah bagaimana, rasa hati Suling Emas berdebar dan ia
agak gugup melihat pandang mata seperti itu!
“Dia? Twa-supek-ku? Ah, hanya menurut pengakuan dia saja. Dia bilang bahwa kini telah terbentuk Bu-tek
Ngo-sian dan ia menjadi orang nomor satu sedangkan guruku menjadi orang nomor lima, malah dia
menyuruh aku menyebutnya Twa-supek-ku. Mana aku percaya? Guruku mana sudi bersekutu dengan
dia?”
Suling Emas mengerutkan keningnya lebih ke bawah. “Bukankah gurumu yang bernama Kam Sian Eng?”
Kini Kwi Lan yang menjadi heran sekali. Bagaimana Suling Emas tahu akan nama gurunya? Ia sendiri baru
satu kali mendengar gurunya menyebutkan namanya, yaitu ketika gurunya bicara dengan anggota partai
pengemis yang berani mendatangi tempat tinggal gurunya dan menerima hajaran. Ia mengangguk heran
dan bertanya.
“Eh, bagaimana kau bisa tahu namanya?”
Kini Suling Emas tersenyum di balik sapu tangannya. Kalau sudah bertanya sambil memandang seperti itu,
benar-benar gadis ini tiada ubahnya dengan Lin Lin dahulu! “Tentu saja aku tahu karena sebenarnya aku
adalah kakak gurumu! Karena itu, akulah yang sebetulnya harus kau panggil Twa-supek!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kwi Lan kembali melengak. Hal ini sama sekali tidak pernah disangka-sangkanya. Gurunya adik Suling
Emas? Akan tetapi mendengar bahwa Suling Emas pernah menjadi kekasih Ratu Khitan, kekasih ibu
kandungnya! Mengapa begini kebetulan?
“Harap... harap kau suka membuka sapu tangan itu!”
“He? Apa... mengapa?”
“Kalau memang betul kata-katamu tadi, aku ingin menyaksikan wajah Twa-supek-ku, bukan hanya orang
berkedok sapu tangan.”
Suling Emas tersenyum geli, kemudian perlahan ia merenggut sapu tangan yang menutupi bagian bawah
mukanya. “Bukankah kau pernah melihat wajahku di Kang-hu?”
“Benar, akan tetapi hanya sebentar saja,” jawab Kwi Lan sambil menatap wajah yang tampan dan penuh
garis-garis pengalaman pahit itu. “Hemmm, aku tidak suka mempunyai Twa-supek yang kurang ajar!”
Kata-kata terakhir ini keluar dari mulutnya seperti makian, penuh kemarahan dan penyesalan. Pada saat itu
Kwi Lan tidak hanya mendongkol teringat akan sikap Suling Emas yang dianggapnya kurang ajar ketika
menyuruh ia membuka baju, juga bahkan terutama sekali karena ia mendengar bahwa tokoh ini adalah
kekasih ibu kandungnya! Kalau memang kekasihnya, mengapa Suling Emas meninggalkan Ratu Khitan?
Suling Emas terkejut, akan tetapi segera tersenyum, “Hemmm, kau masih salah sangka agaknya. Engkau
menganggap aku kurang ajar karena di Kang-hu tempo hari aku menyuruh engkau membuka bajumu? Ah,
anak nakal. Jangankan kini mengetahui bahwa engkau murid Sian Eng dan masih murid keponakanku
sendiri. Andai kata tidak tahu sekali pun, aku bukanlah seorang laki-laki tua yang suka berlaku kurang ajar
kepada seorang gadis remaja. Memang kusuruh engkau membuka baju, akan tetapi kata-kataku belum
selesai engkau sudah terburu-buru lari dan marah. Tentu saja maksudku agar engkau membuka baju
memeriksa dadamu sendiri apakah tidak mengalami luka seperti yang diderita Yu Siang Ki sebagai akibat
pukulan lihai dari Pak-kek Sian-ong.”
Merah wajah Mutiara Hitam. Memang setelah ia lari dengan marah-marah, di tengah jalan ia mengenang
kembali peristiwa itu dan ia pun mengerti apa yang dimaksudkan oleh pendekar ini. Akan tetapi dasar
wataknya yang keras, ia tidak mau mengakui begitu saja tentang kekeliruan dugaannya.
“Huh, kakek gila tua bangka itu mana mampu begitu mudah melukai aku? Yu Siang Ki bodoh dan kurang
waspada maka dapat terluka. Aku tidak luka apa-apa!”
Suling Emas mula-mula heran dan kagum mendengar ini, kemudian ia mengangguk-angguk. “Agaknya
engkau telah mewarisi ilmu kepandaian Sian Eng yang amat aneh maka engkau dapat terhindar dari
pukulan jarak jauh Pak-kek Sian-ong. Gurumu telah mewariskan ilmu kepandaian yang hebat, akan tetapi
sayang kurang memperhatikan pelajaran sopan santun sehingga terhadap uwa guru sendiri engkau
berlaku kurang hormat.” Biar pun mulut Suling Emas masih tersenyum namun sepasang matanya
memandang penuh teguran.
Sepasang mata yang bening tajam tiba-tiba memandang Suling Emas dengan penuh selidik, kemudian
terdengar gadis itu bertanya, suaranya lantang dan agak menggetar perasaan. “Suling Emas... ada
hubungan apakah antara engkau dan... Ratu Khitan...?”
Seketika wajah yang tenang dan sudah agak pucat itu menjadi makin pucat. Sepasang mata pendekar itu
menyipit dan keningnya berkerut, alisnya yang tebal hampir bersambung setelah dikerutkan seperti itu.
Pertanyaan yang tak disangka-sangkanya sama sekali ini datangnya terlalu tiba-tiba, lebih mengagetkan
dari pada tusukan sebuah pedang yang tajam.
“Apa...? Apa... maksudmu...?” Ia tergagap sambil menatap wajah gadis itu yang kini membayangkan
kekerasan dan kesungguhan.
“Adakah Ratu Khitan itu dahulu pernah menjadi kekasihmu?” Kwi Lan menyerangnya dengan langsung dan
tajam.
Kalamenjing di leher Suling Emas bergerak-gerak naik turun ketika ia menelan ludah seperti menelan
kembali jantungnya yang meloncat naik ke tenggorokannya. Tak kuasa ia menjawab dan tanpa ia sadari, ia
dunia-kangouw.blogspot.com
mengangguk sungguh pun hatinya mulai dikuasai kemarahan mendengar akan pertanyaan-pertanyaan
yang lancang kurang ajar ini.
Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat gadis ini membanting-banting kaki seperti orang marah
sekali dan suara gadis itu bercampur isak. “Kalau kau sudah merayunya sehingga dia menjadi kekasihmu,
kenapa sekarang kau berada di sini dan meninggalkan dia?” Ucapan ini disertai pandang mata yang tajam
menusuk melebihi sepasang pedang pusaka sehingga Suling Emas melangkah mundur setindak.
Akan tetapi pendekar besar ini sudah dapat menguasai kekagetan hatinya dan kini kemarahan membuat
wajahnya yang pucat menjadi agak merah kembali, sepasang matanya memancarkan sinar berpengaruh,
kedua tangannya dikepalkan. Gadis ini terlalu lancang, terlalu kurang ajar. Biar pun gadis ini murid Sian
Eng, atau anak Sian Eng sekali pun, terutama sekali kalau anak Sian Eng, bocah ini tidak berhak bersikap
seperti itu dan mengorek-ngorek urusan pribadinya secara demikian kurang ajar!
“Bocah kurang ajar tak tahu kesopanan!” bentaknya marah, melangkah maju setindak, telunjuknya
ditudingkan ke arah muka Kwi Lan yang memandang dengan tajam penuh tantangan. “Lancang benar
mulutmu. Apa pedulimu dengan semua urusanku dan urusan Ratu Khitan? Ada sangkut-paut apakah
dengan dirimu?”
Suling Emas yakin akan kewibawaan suara dan pandang matanya, apa lagi pada saat itu setelah
kemarahannya bangkit dan semua tenaga sinkang terkumpul di dadanya. Lawan yang tangguh sekali pun
akan tergetar. Tapi gadis ini sama sekali tidak keder atau takut, malah kalau tadi ia melangkah maju
setindak, gadis itu kini melangkah maju dua tindak dan kalau ia menudingkan telunjuk ke arah muka gadis
itu, kini gadis itu menudingkan telunjuknya ke hidung sendiri sambll menjawab ketus.
“Huh, mau tahu? Dia adalah ibu kandungku!” Setelah berkata demikian, sambil mendengus seperti sapi
betina marah, Kwi Lan membalikkan tubuhnya dan meloncat pergi dari tempat itu.
Jawaban ini seperti halilintar menyambar di atas kepala. Begitu hebat keheranan dan kekagetan hati Suling
Emas sehingga ia berdiri terlongong dengan muka pucat, memandang ke arah lenyapnya bayangan gadis
itu. Setelah bayangan Kwi Lan lenyap, barulah Suling Emas dapat menguasai hatinya dan ia berseru. “Heii,
tunggu jangan lari...!”
Akan tetapi baru saja ia menggerakkan kaki hendak lari mengejar, ia mendengar suara dua orang
Panglima Khitan yang tadi pingsan oleh pukulan Thai-lek Kauw-ong dan yang kini sudah siuman kembali,
“Tai-hiap...!”
Suling Emas menahan kakinya dan menengok. Benar juga, pikirnya. Mereka ini adalah panglima-panglima
Khitan, utusan Lin Lin, dari mereka ini pun aku akan dapat mendengar keterangan tentang Lin Lin dan...
gadis yang mengaku anaknya itu. Maka ia urungkan niatnya mengejar Kwi Lan karena dari sikap gadis itu
ia pun merasa sangsi apakah jika dapat menyusulnya ia akan dapat memaksa gadis itu memberi
penjelasan.
Hatinya tenang kembali dan karena kini tidak ingin menyembunyikan diri lagi terhadap mereka, ia
membuka sapu tangan yang menutupi mukanya dan menghadapi mereka. Begitu melihat wajah di balik
sapu tangan, dua orang Panglima Khitan itu menjadi girang. Dahulu pernah mereka melihat Suling Emas
menjadi tamu ratu mereka di Khitan dan kini mereka mengenal muka ini. Serta-merta mereka menjatuhkan
diri berlutut.
“Terima kasih kami haturkan atas pertolongan Taihiap, terutama sekali karena hal ini membuktikan bahwa
Taihiap masih belum melupakan sahabat-sahabat dari Khitan,” kata Hoan Ti Ciangkun yang berjenggot
panjang.
Suling Emas cepat-cepat mengangkat bangun kedua panglima tua itu. “Ji-wi Ciangkun harap bangun, aku
ingin membicarakan hal penting.”
Setelah mereka bangkit kemudian bersama mencari tempat duduk di tempat yang teduh, mulailah Suling
Emas menceritakan maksud hatinya.
“Pertama-tama kuharap Ji-wi berjanji bahwa Ji-wi tidak akan membuka rahasiaku kepada siapa pun juga.
Hanya kepada Ji-wi saja aku suka memperlihatkan muka karena aku ingin minta pertolongan Ji-wi. Maukah
Ji-wi berjanji takkan membuka rahasiaku sebagai Suling Emas?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Dua orang panglima itu saling pandang, kemudian mengangguk. “Kami berjanji,” kata mereka berbareng.
“Juga takkan membuka rahasia kepada ratu kalian?”
Mereka bersangsi sejenak. Kesetiaan mereka terhadap ratu mereka mutlak, akan tetapi, mengingat bahwa
mereka tadi tertolong nyawa mereka oleh Suling Emas dan permintaan itu pun tidak melanggar sesuatu,
mereka kembali menyatakan setuju.
Lega hati Suling Emas. Ia ingat kembali siapa dua orang ini dan ia merasa yakin bahwa dua orang ini
takkan mungkin mau melanggar janji. Demikianlah sikap seorang gagah dari Khitan, jujur dan setia.
“Sekarang aku ingat kepada Ji-wi. Bukankah Ji-wi ini Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun, pembantupembantu
utama Panglima Kayabu?”
Kembali dua orang panglima itu mengangguk. Mereka pun tahu bahwa di antara ratu mereka, Panglima
Besar Kayabu, dan Suling Emas terdapat hubungan yang amat erat, bahkan mereka pun tahu bahwa
Suling Emas ini adalah kakak angkat ratu mereka. Karena itu kedudukan Suling Emas di mata mereka
seperti seorang Pangeran Khitan yang harus mereka hormati. Hanya saja mereka tidak menyebut
pangeran karena maklum bahwa pendekar besar ini tentu tidak suka disebut demikian.
“Ji-wi Ciangkun,” katanya. “Semenjak meninggalkan Khitan, aku tidak tahu sama sekali akan keadaan di
istana. Sukakah kalian memberi penjelasan kepadaku tentang keadaan ratu kalian? Tentu kalian tahu
bahwa ratumu adalah adik angkatku. Bagaimanakah keadaannya? Apakah ratumu itu sudah mempunyai
putera?”
Dua pasang mata itu berseri gembira. “Ah, sayang bahwa Tai-hiap tidak pernah datang berkunjung ke
Khitan. Ratu kami kini mempunyai seorang putera yang gagah perkasa dan tampan yaitu, Pangeran Talibu
yang kami hormati dan cinta.”
Rasa panas menjalar ke dalam dada Suling Emas. Jantungnya seperti terbakar, kepalanya pening,
pandang matanya berkunang. Berbagai macam dugaan dan pertanyaan muncul dalam hatinya. Mengapa
Lin Lin menikah? Kapan dan dengan siapa? Rasa cemburu dan iri menyesak di dalam dadanya dan
menurutkan perasaan ini, ingin ia sekali bergerak merobohkan dua orang utusan Lin Lin ini, kemudian pergi
ke Khitan untuk memaki-maki bekas kekasihnya yang selalu tak pernah ia lupakan dan yang
mengakibatkan ia hidup menderita, merana dan berpenyakitan. Kalau perlu membunuh suami Lin Lin!
Akan tetapi seperti biasa, kesadaran lebih kuat dalam batin pendekar besar ini. Sebentar saja ia sudah
menguasai kembali hatinya, mengusir iri dan cemburu dan karena perang yang semacam ini terlalu sering
terjadi di hatinya yang selalu dirundung kedukaan dan rindu dendam, biar pun Suling Emas berhasil
menguasai hatinya, namun ia tidak dapat mencegah rangsangan batuk yang tiba-tiba datang. Ia terbatukbatuk
dan menggunakan sapu tangan menutupi mulutnya. Setelah reda, ia menarik napas panjang dan
menatap wajah dua orang Panglima Khitan itu yang tadi memandangnya dengan terheran. Siapa takkan
menjadi heran melihat seorang pendekar sakti seperti Suling Emas terserang batuk-batuk sedemikian
parah seperti keadaan seorang yang lemah saja?
“Ji-wi Ciangkun (Saudara Panglima Berdua), maafkan aku. Beritamu ini benar-benar mengagetkan hatiku.
Ah, betapa sudah amat lamanya aku tidak pernah mendengar tentang ratu kalian, adik angkatku itu
sehingga aku tidak tahu siapa yang telah menjadi adik iparku. Apakah dia seorang Pangeran Khitan yang
gagah perkasa?”
Kini tiba giliran dua orang Panglima Khitan itu yang kaget dan melongo, saling pandang dan kemudian
kembali memandang Suling Emas. “Apa yang Taihiap maksudkan?” kata Hoan Ti Ciangkun. “Ratu kami tak
pernah... tak pernah menikah!” Dalam kata-katanya, panglima ini jelas marah mendengar ratunya
dikatakan menikah karena hal ini dianggapnya suatu penghinaan.
Akan tetapi Loan Ti Ciangkun sudah dapat lebih dulu mengerti mengapa Suling Emas menduga demikian,
maka ia juga cepat menyambung. “Ah, kami yang keliru, Taihiap. Harap Taihiap maklum bahwa ratu kami
tidak menikah dan ada pun putera beliau itu adalah putera angkat. Sesungguhnya, Pangeran Talibu itu
dahulu adalah putera dari Panglima Kayabu yang dalam usia lima tahun diangkat anak secara resmi oleh
ratu kami.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Keterangan ini membuat hati Suling Emas terasa lapang, seakan-akan sebongkah batu besar yang tadi
menindih jantungnya kini terangkat. Demikian lega dan senang hatinya sehingga tanpa ia sadari sendiri ia
tertawa bergelak, “Ha-ha-ha-ha...!” Dan dua titik air mata meloncat ke atas pipinya.
Dua orang Panglima Khitan itu saling pandang, terheran-heran. Akan tetapi karena mereka tahu bahwa
banyak orang sakti berwatak dan bersikap aneh-aneh, maka mereka tidak berkata sesuatu.
“Ji-wi Ciangkun, aku girang bahwa adik angkatku itu kini mempunyai seorang putera yang bernama
Pangeran Talibu. Dan... siapakah namanya puterinya?”
Kini dua orang panglima itu benar-benar heran. “Puterinya? Puteri siapakah, Taihiap? Ratu kami tidak
mempunyai seorang anak lain kecuali Pangeran Talibu!”
“Hee...? Ada seorang gadis bernama Mutiara Hitam... dan... ah, sudahlah. Kalian tidak mengenal Mutiara
Hitam?”
Dua orang panglima itu menggeleng kepala dan mulai meragukan kewarasan otak pendekar besar ini.
Suling Emas termenung, mengerutkan keningnya. Ada banyak rahasia aneh meliputi diri Lin Lin, pikirnya.
Kalau Lin Lin tidak menikah lagi, itu tidak aneh karena ia juga selalu percaya akan kesetiaan dan kecintaan
hati ratu itu kepadanya. Kemudian tentang pengangkatan seorang anak, anak Panglima Kayabu yang
perkasa sebagai pangeran, juga hal yang tidak mengherankan.
Akan tetapi gadis itu, Mutiara Hitam yang mempunyai kepandaian seperti Sian Eng, yang mengaku murid
Sian Eng, yang berwajah dan berwatak seperti Lin Lin di waktu muda, mengapa mengaku sebagai anak Lin
Lin? Kemudian surat Lin Lin kepadanya. Bagaimana pula bunyi kalimat itu? TERLALU LAMA MENYIMPAN
RAHASIA BESAR. Rahasia apa gerangan yang dimaksudkan Lin Lin?
Sampai lama Suling Emas termenung, menimbang-nimbang, mencari-cari namun tetap saja ia tidak dapat
menduga rahasia apa gerangan yang disembunyikan kekasihnya dan mengapa pula sekarang setelah
berpisah dua puluh tahun, Lin Lin minta agar ia suka datang berkunjung ke Khitan? Kalau tidak ada urusan
penting sekali, mengapa harus saling jumpa kembali? Untuk merobek kembali luka yang sudah hampir
kering? Betapa pun besar keinginan hatinya untuk bertemu dengan orang yang dicintanya, ia tetap hendak
menjaga nama baik kekasihnya itu, menjaga nama baik seorang ratu yang dijunjung tinggi rakyatnya.
“Ji-wi Ciangkun, masih ingatkah janji-janji Ji-wi tadi kepadaku?”
Dua orang panglima itu mengangguk.
“Baiklah, kalau begitu aku akan memenuhi surat undangan ratu kalian yang Ji-wi serahkan kepadaku. Aku
akan berkunjung ke Khitan, akan tetapi tidak secara berterang dan selain Ji-wi, tidak boleh ada orang lain
mengenalku. Maukah Ji-wi membantuku?”
Dua orang panglima itu kelihatan ragu-ragu, “Tentu saja kami suka membantu Taihiap,” jawab Hoan Ti
Ciangkun, “akan tetapi..., bagaimana caranya?”
“Aku ingin sekali mengunjungi adik angkatku, akan tetapi aku tidak menghendaki sebagai Suling Emas.
Jalan satu-satunya hanya menyamar. Kalian ceritakan kepada ratu kalian tentang penyerangan Thai-lek
kauw-ong dan bahwa aku telah membantu kalian. Aku akan menyamar sebagai seorang kakek berjuluk
San-siang Lojin (Kakek Pegunungan). Maukah kalian membantuku?”
Dua orang panglima itu mengangguk-angguk tanda setuju.
“Dan untuk menghilangkan kecurigaan, harap Loan Ti Ciangkun mengangkat aku sebagai pembantu,
menjadi seorang perwira penjaga benteng.”
Loan Ti Ciangkun mengangguk-angguk, sungguh pun di dalam hatinya merasa heran. Memang aneh sikap
orang-orang sakti di selatan ini, pikirnya. Hendak mengunjungi adik angkat saja mengapa mesti menyamar
seperti ini? Namun karena ia tahu bahwa ratunya sudah lama mencari kakak angkatnya ini dan yakin
bahwa Suling Emas bukan musuh yang patut dicurigai, maka ia tidak membantah dan menganggap hal ini
sebagai lelucon.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah berunding, kedua orang panglima itu mencarikan alat-alat yang dibutuhkan untuk penyamaran
Suling Emas dan ketika mereka bertiga berangkat ke Khitan, Suling Emas sudah berubah menjadi seorang
kakek berjenggot panjang, seorang kakek yang berusia enam puluh tahun lebih.
********************
Kita tinggalkan dulu Suling Emas yang ikut bersama Loan Ti Ciangkun dan Hoan Ti Ciangkun menuju ke
Khitan dengan hati berdebar tegang karena akan berjumpa dengan wanita yang dicinta dan selama dua
puluh tahun tak pernah ia jumpai namun tak pernah pula ia lupakan itu. Dan mari kita mengikuti perjalanan
dua orang pemuda perkasa yang melakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari
Kwi Lan.
Seperti telah dituturkan di bagian depan. Tang Hauw Lam terkejut ketika ia tidak melihat Kwi Lan dan Thailek
Kauw-ong di situ, lalu berseru dan mengajak Kiang-kongcu atau nama lengkapnya Kiang Liong,
pemuda perkasa murid Suling Emas itu untuk melakukan pengejaran. Kiang Liong tidak mengenal siapa
gerangan gadis remaja yang cantik jelita tadi, akan tetapi ia pun merasa khawatir mendengar gadis itu
diculik Thai-lek Kauw-ong yang diperkenalkan Bu-tek Siu-lam sebagai tokoh pertama Bu-tek Ngo-sian.
Maka ia pun tidak mempedulikan lagi tokoh banci itu dan ikut bersama Hauw Lam melakukan pengejaran
setelah ia mengambil alat musik yang-khim yang tadi ia gantungkan pada sebatang pohon.
Kiranya Kiang Liong ini pun suka akan seni musik, hanya bedanya kalau gurunya suka meniup suling, dia
lebih suka bermain yang-khim. Yang-khim itu buatannya sendiri, berbentuk seekor binatang yang
menyeramkan dan jangan dikira bahwa yang-khim ini hanya untuk menciptakan suara merdu karena
pemuda itu dapat mempergunakan sebagai sebuah senjata yang amat ampuh.
Biar pun Kiang Liong seorang putera pangeran yang mempunyai kedudukan cukup tinggi di kota raja Sung,
akan tetapi perjalanannya kali ini bukan merupakan perjalanan seorang pemuda bangsawan pergi
melancong, akan tetapi lebih merupakan perjalanan seorang pendekar muda yang mendukung sebuah
tugas yang berat. Kiang Liong bertugas melakukan penyelidikan ke perbatasan barat, dari mana muncul
ancaman baru bagi keselamatan Kerajaan Sung.
Keadaan pemerintah Kerajaan Sung ternyata mengalami kemunduran besar. Pada permulaan Kerajaan
Sung didirikan oleh Cao Kuang Yin, seorang panglima besar yang pandai akan siasat perang, Kerajaan
Sung memang kelihatan kuat, bala tentaranya kuat sehingga berhasil menundukkan dan menaklukkan
banyak kerajaan-kerajaan kecil. Hanya dua buah kerajaan yang tidak ditaklukkan, yaitu Kerajaan Nan-cao
di Yu-nan dan Kerajaan Khitan di timur laut dan utara.
Selama Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar pertama dan ke dua, kerajaan ini masih memperlihatkan
kemajuan. Akan tetapi keadaannya makin lama makin mundur dan mulai masa pemerintahan kaisar ke
dua, yaitu Kaisar Sung Thai Cung menjelang hari tuanya, Kerajaan Sung sudah kurang memperhatikan
tentang kekuatan tentaranya. Perhatian lebih dikerahkan dan ditujukan kepada urusan dalam, kepada
kebudayaan dan kesenian, lebih cenderung memperindah kerajaan dan tenggelam dalam kesenangan.
Sikap atau politik inilah yang menyebabkan Kerajaan Sung menjadi semakin lemah, bahkan sedemikian
lemahnya sehingga kerajaan ini tidak lagi mempergunakan senjata untuk menjaga keselamatan negara,
melainkan menggunakan emas dan perak untuk ‘menyogok’ dan menawan hati calon musuh sehingga si
musuh tidak tega atau segan untuk menyerang Kerajaan Sung. Maka timbullah kebiasaan mengirim upeti
kepada kerajaan-kerajaan lain, terutama Kerajaan Khitan.
Pada waktu cerita ini terjadi, Kerajaan Sung dipimpin oleh kaisar yang ke tiga, yaitu Kaisar Chen Cung
(998-1022). Dia adalah keponakan dari kaisar pertama dan terkenal sebagai seorang yang anti kekerasan,
anti perang dan berusaha mempengaruhi dan merubah atau membelokkan Agama Buddha dan Tao demi
keuntungan pribadinya. Ia menyatakan bahwa dia seketurunannya adalah orang-orang pilihan Tuhan yang
bertugas sebagai wakil Tuhan menjadi kaisar di bumi! Ia lebih tenggelam kepada perkembangan
kebudayaan dan sama sekali tidak becus mengatur pemerintahan, apa lagi menyusun kekuatan untuk
melindungi negara dari ancaman dan bahaya dari luar. Bahkan dinyatakan oleh Kaisar Chen Cung bahwa
kerajaannya tidak membutuhkan kekuatan militer, akan tetapi membutuhkan kekuatan gaib yang timbul
dari kemajuan batin, terutama berkat wibawa Sang Kaisar!
Kaisar ke tiga dari Kerajaan Sung ini sama sekali buta terhadap ancaman-ancaman yang selalu
mengelilingi kerajaannya, tidak melihat betapa banyak kekuatan-kekuatan yang mengilar menginginkan
kerajaannya. Karena itu ia pun tidak melihat atau tidak acuh terhadap munculnya bangsa Hsi-hsia di
dunia-kangouw.blogspot.com
perbatasan barat. Bangsa Hsi-hsia ini adalah bangsa perantauan seperti keadaan bangsa Khitan, yang
muncul dari barat. Sebagai bangsa perantau mereka ini ulet dan tahan uji.
Mereka melihat akan kelemahan Kerajaan Sung, melihat pula akan politik Kaisar Sung yang selalu
mengalah serta murah hati, oleh karena itu mereka mulai dengan petualangannya ke pedalaman. Di antara
para pimpinan bangsa Hsi-shia ini terdapat banyak orang pandai dan sakti dari barat dan mereka ini sudah
mulai memperlihatkan kepandaiannya untuk mencari pengaruh dan kekuasaan di antara penduduk
pedalaman di sekitar tapal batas sebelah barat.
Hanya karena desakan dan peringatan para panglima dan menteri yang setia kepada kerajaan dan yang
masih ingat akan kewaspadaan saja maka akhirnya Kaisar Chen Cung menaruh perhatian dan akhirnya
diperintahkan kepada Kiang Liong untuk melakukan penyelidikan. Inilah sebabnya maka Kiang Liong
melakukan perjalanan keluar kota raja dan secara kebetulan pemuda ini bertemu dengan Tang Hauw Lam
dan Kwi Lan yang hampir celaka dalam tangan Bu-tek Siu-lam.
Kini Kiang Liong dan Hauw Lam melakukan pengejaran terhadap Thai-lek Kauw-ong yang membawa lari
Kwi Lan. Akan tetapi sampai jauh mereka mengejar, belum juga mereka dapat menyusul Thai-lek Kauwong.
Sudah terlalu lama kakek gundul itu pergi sehingga mereka terlambat dan tidak tahu betul arah mana
yang diambil kakek itu. Kiang Liong yang tadi terpaksa menahan kecepatan geraknya untuk mengimbangi
kecepatan Hauw Lam akhirnya menarik napas panjang dan berkata.
“Sobat, tiada gunanya mengejar lagi kalau kita belum tahu betul ke mana iblis itu pergi. Lebih baik kita
berpencar saja. Aku sedang melakukan perjalanan ke barat, biarlah aku mengejar ke barat dan kau boleh
melanjutkan pengejaranmu ke mana kau suka. Kalau aku bertemu dengan iblis itu, jangan khawatir, tentu
aku akan turun tangan membantu... eh, siapa nama Nona tadi?”
“Mutiara Hitam.”
“Mutiara Hitam..., tentu dia bukan sembarang orang dan biar pun dia sudah tertawan, kurasa tidak akan
mudah bagi kakek iblis itu untuk mencelakainya.”
“Kau betul, Kiang-kongcu. Dengan berpencar kita akan lebih berhasil. Terima kasih atas bantuanmu dan
sampai jumpa!” kata Hauw Lam yang juga tidak mau membuang waktu lagi karena ia amat
mengkhawatirkan nasib gadis lincah yang telah menjatuhkan hatinya itu. “Agar Kongcu tidak lupa, namaku
adalah Tang Hauw Lam, akan tetapi Mutiara Hitam menyebutku si Berandal!” Setelah menjura, Hauw Lam
lalu melompat dan melanjutkan pengejaran ke utara.
Kiang Liong berdiri dan tersenyum, menggeleng-geleng kepalanya dan berkata lirih kepada diri sendiri.
“Bocah itu mabok asmara, tak salah lagi. Mudah-mudahan tidak akan gagal, dia anak baik...” Sambil bicara
seorang diri pemuda yang tenang ini lalu melanjutkan perjalanannya ke barat sambil memasang mata
penuh perhatian ke sekelilingnya kalau-kalau kakek gundul yang melarikan Mutiara Hitam itu lewat di situ
dan meninggalkan jejak.
Sambil melanjutkan perjalanan untuk melakukan penyelidikan, Kiang Liong mengingat-ingat akan segala
keterangan yang diperolehnya tentang bangsa Hsi-hsia ini. Menurut keterangan yang ia kumpulkan,
bangsa yang menjadi ancaman baru ini dipimpin oleh pendeta-pendeta Tibet yang mendirikan Kerajaan
Tangut. Pendeta-pendeta berjubah merah dari Tibet ini memang banyak yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi. Ada pun bangsa Hsi-hsia yang mereka pimpin merupakah bangsa berdarah campuran.
Setelah melanjutkan perjalanannya selama beberapa hari, Kiang Liong tidak menemukan jejak Mutiara
Hitam dan penculiknya, juga tidak melihat adanya gerakan-gerakan bangsa Hsi-hsia. Akan tetapi ia
memperoleh keterangan bahwa beberapa bulan yang lalu barisan besar bangsa Hsi-hsia berbondongbondong
menuju ke selatan.
Tak seorang pun di antara penduduk dusun yang ia tanya dapat menjelaskan apa yang hendak dilakukan
barisan itu dan ke mana perginya. Hanya yang jelas, tampak bekas amukan mereka pada setiap dusun
yang mereka lalui. Tidak ada harta benda dan wanita muda yang mereka lepaskan begitu saja. Tidak ada
dusun yang mereka lalui tanpa mengalami korban yang amat banyak, pembunuhan sewenang-wenang,
perampokan, perkosaan dan penculikan.
Kiang Liong menghela napas panjang menyaksikan ini semua. Selama ia mengikuti jejak barisan bangsa
Hsi-hsia, entah sudah berapa puluh kali ia berhenti untuk mengubur jenazah-jenazah wanita muda yang
dunia-kangouw.blogspot.com
menggeletak begitu saja di pinggir jalan, ditinggalkan oleh bangsa Hsi-hsia. Melihat wanita-wanita muda
tewas tanpa pakaian itu, ada di antaranya yang sudah menjadi korban binatang buas sehingga mayatnya
tidak utuh lagi, Kiang Liong teringat akan bunyi sajak tentang bunga-bunga yang dicampakkan begitu saja
ke dalam lumpur setelah habis diisap madunya dan dinikmati harumnya.
Karena banyaknya mayat-mayat itu dan karena terlalu sering berhenti di dusun-dusun yang menjadi korban
keganasan bangsa Hsi-hsia untuk menolong mereka yang terluka, perjalanan Kiang Liong amat lambat.
Dan memang bukan kehendaknya untuk mengejar barisan yang menurut taksiran penduduk berjumlah
puluhan ribu orang itu. Ia hanya ingin menyelidiki apa yang hendak mereka lakukan dan sampai berapa
jauhnya gerakan mereka mengancam Kerajaan Sung.
Ia dapat mengumpulkan makin banyak keterangan dari para penduduk dusun-dusun yang dilalui. Menurut
berita itu, barisan ini dipimpin oleh perwira-perwira yang perkasa dan para perwira ini dikepalai oleh
serombongan pendeta berjubah merah. Di tengah-tengah para pendeta berjubah merah ini terdapat
sebuah tandu yang tertutup sutera-sutera merah. Di dalamnya tentu ada orang karena menurut para
penduduk, ada suara orang yang halus dan rendah keluar dari tandu, dalam bahasa asing, dan ada
kalanya gadis tercantik yang terampas dimasukkan ke dalam tandu secara paksa.
Namun tidak ada seorang pun pernah melihat siapa gerangan orangnya yang berada di dalam tandu dan
seperti apa macamnya. Yang jelas bagi Kiang Liong kini adalah bahwa semua pendeta jubah merah
menyembah-nyembah penghuni tandu seperti menyembah dewa, sedangkan para perwira tunduk dan taat
kepada perintah para pendeta, sebaliknya para anggota barisan juga taat kepada pimpinan para perwira.
Pendeknya, barisan ini merupakan barisan yang amat kuat.
Makin jauh ke selatan ia mengikuti jejak barisan itu, makin heran dan akhirnya khawatir hati Kiang Liong.
Kini ia telah memasuki wilayah Kerajaan Nan-cao! Mau apa barisan orang-orang Hsi-hsia ke Nan-cao?
Kerajaan Nan-cao adalah kerajaan ke dua yang bersahabat dengan Kerajaan Sung, setelah Kerajaan
Khitan. Dan dia sendiri bersahabat dengan kaum Beng-kauw yang berkuasa di Nan-cao. Sudah dua kali ia
mewakili gurunya, Suling Emas, berkunjung ke Nan-cao untuk menghadiri perayaan Beng-kauw. Karena ia
sudah hampir sebulan ketinggalan oleh barisan Hsi-hsia, kini Kiang Liong mempercepat perjalanannya.
Begitu memasuki dusun yang termasuk wilayah Kerajaan Nan-cao, mulailah ia mendengar berita tentang
perang yang mencemaskan hal itu. Perang penyerbuan barisan Hsi-hsia ke kota raja Nan-cao dan betapa
bala tentara Nan-cao menyambut musuh di luar kota raja dan di mana terjadi perang sampai hampir
sebulan lamanya. Akan tetapi akhirnya barisan Hsi-hsia dapat dipukul mundur, demikian menurut berita
yang didengarnya.
Pada hari itu ketika Kiang Liong menuruni lereng pegunungan kecil, memasuki daerah yang tandus
berbatu, tiba-tiba ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah depan. Ia merasa curiga. Daerah tandus ini
tidak ditinggali manusia, tanahnya terlalu tandus dan dari puncak pegunungan tadi ia tidak melihat adanya
dusun. Akan tetapi suara di depan itu menandakan banyak orang berada disana, diseling suara tertawatawa
dan suara wanita marah-marah.
Ia mempercepat jalannya dan setelah membelok di sebuah tikungan yang tertutup batu besar, ia melihat
sedikitnya ada dua puluh orang laki-laki yang buas dan asing mengurung dua orang wanita muda yang
cantik jelita dan bersikap gagah. Begitu melihat dua orang gadis itu, Kiang Liong menjadi kaget dan
menurutkan kata hatinya, ingin ia sekali bergerak melemparkan dua puluh orang laki-laki kasar itu. Akan
tetapi ia bukan seorang yang sembrono dan ia cukup tahu bahwa dua orang gadis itu bukanlah gadis-gadis
lemah, maka ia menyelinap dan mengintai untuk melihat dan mendengar sebelum menentukan apakah ia
perlu turun tangan menolong.
Dua orang gadis itu cantik sekali, kecantikan daerah selatan yang panas. Seorang di antara mereka, yang
wajahnya lembut dan agak lebih tua, berusia kurang lebih dua puluh tahun, pakaiannya berwarna kuning
dan rambutnya yang hitam digelung ke atas. Gadis ke dua paling banyak delapan belas tahun, pakaiannya
serba merah, gagang pedang tersembul di belakang punggungnya, membuat ia tampak gagah sekali.
Wajahnya lebih manis dan galak! Dan gadis yang lebih muda inilah yang kini membentak dan memaki.
“Anjing-anjing Hsi-hsia, kalian sudah terusir ke luar dari negeri kami, tapi masih berani berkeliaran di sini.
Hemm, sungguh kebetulan sekali, sebelum membasmi seribu ekor anjing Hsi-hsia, takkan puas hatiku!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Betul, Adikku. Kita harus bunuh anjing-anjing ini agar tidak penasaran arwah orang tua kita,” kata gadis
yang berpakaian kuning. Mereka berdua menggerakkan tangan dan sudah mencabut pedang masingmasing.
“Huah-ha-ha-ha, bidadari-bidadari cantik manis, kenapa galak amat? Mari bersenang dengan kami, jagojago
dari Hsi-hsia!” Seorang di antara dua puluh laki-laki kasar itu, yang berambut merah, berkata sambil
menyeringai lebar. Teman-temannya tertawa bergelak dan mereka mengurung dua orang gadis itu dengan
sikap menjemukan, seperti segerombolan harimau mengurung dua ekor kelinci yang hendak dipermainkan
lebih dulu sebelum dijadikan mangsa.
Tiba-tiba tampak dua gulungan sinar putih yang menyilaukan mata. Terdengar jerit-jerit kesakitan disusul
robohnya dua orang Hsi-hsia, seorang di antaranya adalah si Rambut Merah. Ternyata dua orang gadis itu
sudah mulai turun tangan. Gerakan pedang mereka amat cepat sehingga dalam sekejap mata saja dua
orang laki-laki kasar yang nampak kuat itu sudah roboh binasa.
Hal ini sama sekali tidak tersangka-sangka oleh gerombolan orang Hsi-hsia itu sehingga mereka menjadi
kaget sekali. Kalau tadinya mereka bergembira hendak mengganggu dan berkurang ajar, kini mereka
menjadi marah. Tampak kilatan senjata ketika mereka semua mencabut golok melengkung lebar dari
pinggang.
Kiang Liong yang menonton dari tempat pengintaiannya tidak bergerak. Ia maklum bahwa menghadapi
pengeroyokan orang-orang kasar itu, dua orang gadis ini tentu tidak akan kalah dan tidak membutuhkan
bantuannya. Ia tersenyum dan memandang kagum. Lima enam tahun yang lalu ketika ia berkunjung ke
Nan-cao, dua orang gadis itu masih amat muda, masih remaja. Kini mereka telah menjadi dewasa yang
selain cantik manis, juga memiliki ilmu silat yang cukup mengagumkan, tidak mengecewakan kalau mereka
menjadi cucu Ketua Beng-kauw. Ia masih ingat betapa enam tahun yang lalu, dua orang gadis yang dulu
masih cilik, tanpa malu-malu menemuinya dan mendengar pujian ayah mereka tentang diri Kiang Liong,
mereka tanpa sungkan-sungkan minta petunjuk-petunjuk ilmu silat.
Dua orang gadis itu adalah puteri-puteri dari adik tiri gurunya yang bernama Kam Bu Sin, mantu ketua
Beng-kauw. Yang tua bernama Kam Siang Kui sedangkan adiknya, dua tahun lebih muda, bernama Kam
Siang Hui. Kiang Liong masih ingat betul betapa sejak enam tahun yang lalu, Siang Hui lebih berani dan
lebih galak. Kini ia dapat mengenal dua orang gadis itu. Tentu nona baju merah itulah Kam Siang Hui,
sedangkan yang berpakaian kuning dan bersikap lebih tenang adalah Kam Siang Kui.
Akan tetapi, ketika tadi ia mendengar ucapan dua orang gadis itu, hati Kiang Liong berdebar gelisah. Ia
cerdik dan sekali mendengar kata-kata kedua orang kakak beradik itu, ia sudah dapat menduganya. Tentu
dua orang gadis itu kehilangan orang tua mereka dalam perang melawan bangsa Hsi-hsia yang menyerbu
Nan-cao. Dan ia menjadi heran dan juga gelisah. Paman gurunya, Kam Bu Sin, memiliki kepandaian tinggi,
juga ibu kedua orang gadis itu, yang bernama Liu Hwee, adalah puteri tunggal ketua Beng-kauw dan
memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi lagi. Kalau mereka berdua sampai gugur di medan perang,
berarti bahwa fihak musuh memiliki orang-orang yang sakti.
Betapa pun cemas dan gelisah hati Kiang Liong namun ia tidak mau keluar untuk membantu Siang Kui dan
Siang Hui. Sebagai seorang pendekar ia tentu saja mengerti bahwa membantu orang-orang gagah yang
sama sekali tidak perlu dibantu mendatangkan kesan yang tidak baik dan dapat menyinggung perasaan.
Maka ia hanya menonton, walau pun siap untuk turun tangan kalau-kalau dua orang gadis itu terancam
bahaya.
Dua orang gadis itu mengamuk seperti dua ekor naga. Gulungan sinar pedang mereka yang berwarna
putih berkilauan seperti perak menyambar-nyambar dan para pengeroyok yang hanya terdiri dari orangorang
kasar yang mengandalkan tenaga itu mulai roboh seorang demi seorang. Dalam waktu singkat saja
belasan orang roboh mandi darah dan sisanya mulai gentar, bahkan ada yang sudah membalikkan tubuh
hendak melarikan diri.
“Cici, jangan biarkan anjing-anjing itu lari!” seru Siang Hui sambil memutar pedang mendesak maju,
merintangi mereka yang hendak lari.
Siang Kui mengejar ke depan, kedua tangannya bergerak dan robohlah tiga orang lawan yang sudah lari
itu, punggung mereka tertusuk senjata rahasia yang berbentuk anak panah. Sisa gerombolan yang hanya
tinggal enam orang itu menjadi nekat. Sambil berteriak-teriak liar mereka menyerbu mati-matian, namun
dunia-kangouw.blogspot.com
kenekatan mereka tiada gunanya karena dengan mudah saja Siang Kui dan Siang Hui merobohkan
mereka.
Dua puluh satu orang menggeletak malang-melintang di depan dua orang gadis itu yang seakan-akan telah
menjadi gila saking marah dan sakit hatinya sehingga kini mereka membacok dan menusuki korban yang
masih dapat bergerak-gerak dan berkelojotan sampai semua lawan mereka rebah tak bernyawa lagi!
Biar pun Kiang Liong maklum bahwa semua itu terdorong oleh rasa duka kehilangan ayah bunda, namun
tetap saja ia menganggapnya terlalu kejam dan tidak baik. Maka kini ia melompat keluar dan berseru,
“Adik-adik...! Cukuplah...!”
Siang Kui dan Siang Hui yang mukanya masih kemerahan dan beringas membalikkan tubuh dengan
sigapnya, siap menghadapi lawan baru. Mula-mula mereka pangling melihat seorang pemuda berpakaian
putih yang berdiri di depan mereka dengan sikap tenang dan pandang mata penuh teguran itu sehingga
mereka makin mempererat genggaman tangan pada gagang pedang. Akan tetapi ketika mereka melihat
alat musik yang-khim tergantung di belakang punggung dan tampak tersembul di belakang pundak pemuda
itu, mereka segera mengenal orangnya.
“Liong-twako (Kakak Liong)...!” mereka berseru bergantian sambil berlari maju menghampiri Kiang Liong.
Wajah mereka yang tadinya merah beringas itu berubah lembut, bahkan agak berseri ketika dua pasang
mata itu memandang Kiang Liong dan mereka cepat-cepat menyimpan kembali pedang yang tadi dipakai
mengamuk.
“Ji-wi Siauw-moi (Kedua Adik) mengapa berada di sini dan membunuhi orang-orang ini? Ji-wi hendak pergi
ke manakah?”
Ditanya begini, tiba-tiba Siang Hui menubruk Kiang Liong sambil menangis. Ketika Kiang Liong berkunjung
ke rumah gadis itu enam tahun yang lalu, Siang Hui baru berusia dua belas tahun maka kini bertemu
pemuda ini ia seperti lupa bahwa ia kini sudah berusia delapan belas tahun. Ia sesenggukan di dada Kiang
Liong yang menepuk-nepuk pundaknya.
Melihat adiknya menangis tersedu-sedu, Siang Kui juga menangis, akan tetapi gadis yang lebih tua ini
hanya berani memegang lengan Kiang Liong sambil berkata, “Ah, engkau tidak tahu, Liong-twako...!
Mereka ini adalah musuh-musuh Nan-cao, mereka ini anjing-anjing Hsi-hsia yang telah menyerbu Nancao...
dan... dan... dalam pertempuran... Ayah dan Ibu kami telah gugur....”
Kiang Liong mengangguk-angguk. Untung tadi ia sudah mendengar dan dapat menduga, kalau tidak, tentu
ia akan terkejut sekali. Karena ia sudah tahu, maka kini ia dapat mengeluarkan kata-kata hiburan untuk
membangkitkan semangat.
“Ah, Adik-adikku. Aku juga ikut berduka sekali atas kematian Ayah Bunda kalian. Akan tetapi ingatlah
bahwa mati hidup manusia berada di tangan Thian Yang Maha Kuasa. Dan kalau diingat, kematian Ayah
Bunda kalian dalam tugas membela negara adalah kematian pahlawan yang amat terhormat dan sungguh
pun kehilangan ini amat mendukakan hati, namun kematian beliau berdua itu patut dibuat bangga! Aku
sudah mendengar bahwa bangsa Hsi-hsia yang menyerbu ke Nan-cao dapat dipukul mundur.
Pengorbanan orang tua kalian bukan sia-sia kalau begitu.”
Ucapan pemuda itu tentu akan menjadi hiburan yang manjur dan dapat membangkitkan semangat, apa lagi
kalau diingat bahwa dua orang gadis ini bukan keturunan sembarangan, melainkan keturunan suami isteri
yang gagah perkasa dan masih cucu ketua Beng-kauw yang sakti. Akan tetapi sungguh di luar dugaan
Kiang Liong. Mereka itu hanya sebentar saja terhibur dan sinar mata mereka bercahaya penuh semangat,
akan tetapi di lain saat mereka telah menangis lagi tersedu-sedu.
Kemudian Siang Hui yang kini berkata dengan suara penuh duka, “Liong-twako, mala-petaka itu lebih
hebat dari pada yang kau duga. Tidak hanya Ayah Bunda kami yang gugur, bahkan Han Ki, adik kami yang
baru berusia sebelas tahun terculik dan... Kong-kong (Kakek) serta sebagian besar pimpinan Beng-kauw
juga tewas di tangan musuh....“
“Apa...?!” Kini Kiang Liong tak dapat menahan kekagetan hatinya. Berita ini terlalu hebat. “Bagaimanakah
orang Hsi-hsia mampu menewaskan orang-orang seperti Beng-kauwcu (Ketua Beng-kauw) dan para
pimpinan Beng-kauw?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Di antara barisan Hsi-hsia terdapat orang-orang sakti, dan agaknya mereka ini memang menyelundup
bersama barisan Hsi-hsia untuk menyerbu Beng-kauw. Buktinya mereka tidak peduli akan kekalahan
barisan Hsi-hsia dan lebih mengutamakan penghancuran pimpinan Beng-kauw. Mereka adalah pendetapendeta
berjubah merah yang rata-rata memiliki ilmu kepandaian lihai, dipimpin oleh seorang wanita
setengah tua yang cantik dan berambut panjang dan seorang kakek pendeta jubah merah yang kaki kirinya
buntung sebatas lutut. Dua orang inilah yang lihai sekali dan yang berhasil menewaskan Kong-kong dan
para pimpinan Beng-kauw, termasuk Ayah Bunda kami. Liong-twako, kau tolonglah, bantulah kami untuk
membalas dendam dan menolong adik kami Han Ki.”
“Tentu aku suka membantu kalian. Akan tetapi, ke mana kita akan mencari? Dan ke mana pula kalian
hendak pergi sebelum bertemu dengan pasukan musuh ini?”
“Tadinya kami hendak pergi menghadap Kakek Kauw Bian Cinjin untuk minta pertolongannya.” jawab
Siang Kui.
Wajah Kiang Liong yang tadinya menjadi muram karena berita duka yang hebat itu agak berseri, “Ahhh,
jadi Locianpwe Kauw Bian Cinjin tidak gugur bersama pimpinan Beng-kauw?”
Siang Kui menggeleng kepala dan menghapus air matanya. “Kakek Kauw Bian Cinjin sudah tiga tahun
lebih mengundurkan diri dari Beng-kauw dan pergi bertapa di puncak Tai-liang-san, maka terhindar dari
mala-petaka. Hanya beliau yang dapat membantu kami, dan untung kami bertemu denganmu di sini, Liongtwako.
Musuh amat kuat dan biar pun tentara Hsi-hsia sudah terpukul mundur dari Nan-cao, namun
mereka masih berkeliaran di sekitar tapal batas barat. Buktinya di sini kami bertemu dengan anjing-anjing
ini yang agaknya memang menghadang perjalanan kami. Menurut para penyelidik, kakek dan nenek sakti
bersama para pendeta berjubah merah bersembunyi di pegunungan Kao-likung-san di lembah Sungai Nukiang.”
Tiba-tiba Kiang Liong menggerakkan kedua tangannya mendorong pundak kedua orang gadis itu sehingga
mereka itu terlempar dua meter lebih, terhuyung-huyung.
“Eh, ada apa, Twako...?” Siang Hui menegur, juga Siang Kui terkejut sekali.
Akan tetapi Kiang Liong sudah meloncat sambil membalikkan tubuhnya. Kedua tangannya menangkis dan
runtuhlah beberapa buah peluru hitam yang menyambar ke arah tubuhnya. Kini barulah dua orang gadis itu
tahu bahwa tadi pun ada beberapa buah peluru hitam menyambar ke arah mereka dan kalau tidak ada
Kiang Liong yang mendorong mereka, tentu mereka menjadi korban. Mereka memandang dengan mata
terbelalak, merasa ngeri betapa ada orang dapat membokong mereka tanpa mereka ketahui. Hal ini saja
sudah menjadi bukti bahwa orang yang melepas senjata rahasia itu tentulah orang yang amat lihai.
“Huah-ha-ha-heh-heh! Orang muda, kau tangkas juga!” Terdengar suara terkekeh-kekeh dan muncullah
seorang kakek bertubuh kecil dari balik sebatang pohon besar yang tiada berdaun lagi.
Kakek ini amat kurus dan tua, hanya rangka terbungkus kulit keriput. Bajunya tak berlengan, kedua
pergelangan lengannya terlindung selubung hitam, entah dari bahan apa. Kuku tangannya panjangpanjang
seperti kuku setan, melengkung dan runcing. Kumisnya kecil menjuntai lesu. Kakinya telanjang
pula. Pinggangnya memakai sabuk yang ada dompet-dompetnya kecil berjajar. Punggungnya
menggendong bambu besar dan bambu kecil, dan sepasang mata orang aneh ini kelihatan menghitam
menakutkan. Mulutnya bergerak-gerak tertawa terpingkal-pingkal dan terbahak-bahak, akan tetapi
mukanya, terutama matanya, sama sekali tidak membayangkan tawa, bahkan amat serius dan sungguhsungguh.
Kiang Liong bersikap tenang. Ia maklum bahwa orang didepannya ini adalah seorang berilmu tinggi dan
agaknya termasuk golongan hitam. Maka ia menjura dan bertanya, “Agaknya saya berhadapan dengan
seorang Cianpwe. Selamanya belum pernah saya, Kiang Liong, dan kedua orang adik saya ini bertemu
dengan Cianpwe, mengapakah begitu bertemu Locianpwee lalu menyerang kami dan siapakah julukan
Locianpwe?”
“Ha-ha-ha, heh-he-heh! Girang sekali hatiku mendengar orang-orang Beng-kauw terutama sekali si
bedebah Liu Mo si mata keranjang yang banyak bininya itu mampus! Ha-ha-ha! Dan untungku bertemu
dengan dua orang cucunya. Heh, orang muda, apakah kau orang Beng-kauw? Kalau bukan, lekas pergi
jangan mencampuri urusan Siauw-bin Lo-mo! Serahkan dua orang bocah ini kepadaku agar puas hatiku
dan lunas perhitunganku dengan Beng-kauw!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiang Liong mengerutkan keningnya dan diam-diam menjadi marah sekali. Kiranya inilah yang berjuluk
Siauw-bin Lo-mo, seorang di antara Bu-tek Ngo-sian?
“Hemm, Locianpwe yang berjuluk Siauw-bin Lo-mo dan menjadi seorang di antara Bu-tek Ngo-sian?
Pantas saja tidak segan bersikap keji, tidak jauh bedanya dengan Bu-tek Siu-lam yang pernah saya jumpai.
Saya tidak mempunyai kehormatan untuk menjadi anggota Beng-kauw yang terkenal, akan tetapi para
pimpinan Beng-kauw adalah orang-orang tua yang saya hormati, sedangkan yang muda-muda adalah
saudara-saudara saya. Locianpwe baru dapat mengganggu kedua orang adik saya ini setelah melalui
mayat saya!”
“Ha-ha-ha, heh-heh, orang muda yang bernyali besar! Kau sudah bosan hidup?” Sambil terkekeh-kekeh
ketawa mengejek Siauw-bin Lo-mo menerjang maju.
Gerakan Siauw-bin Lo-mo amatlah cepatnya dan senjata-senjatanya hanyalah jari-jari kuku tangannya.
Akan tetapi, kuku jari tangan ada sepuluh buah banyaknya dan setiap kuku runcing tajam mengandung
racun sehingga sama dengan memegang sepuluh buah senjata yang amat berbahaya! Tubrukannya liar
ganas, gerakannya cepat laksana burung menyambar. Ia menerjang sambil tertawa, mengira bahwa sekali
tubruk ia akan mampu merobohkan lawannya yang masih muda.
Akan tetapi perkiraannya jauh meleset dan ia terheran-heran ketika ternyata menubruk tempat kosong dan
pemuda yang tampan dan tenang itu tahu-tahu telah lenyap. Ia hanya mendengar angin berseliwer di
samping kanannya, maka cepat Siauw-bin Lo-mo membalikkan tubuhnya. Benar saja, pemuda itu sudah
berdiri di belakangnya dan kini kedua tangan pemuda itu sudah memegang dua buah senjata yang lucu
dan aneh. Tangan kanannya memegang sebatang pensil bulu sedangkan tangan kirinya memegang pensil
kayu!
Sebetulnya kalau menurutkan wataknya sebagai seorang pendekar yang enggan bersikap curang, melihat
lawan bertangan kosong, Kiang Liong hendak melayani dengan tangan kosong pula. Akan tetapi serangan
pertama tadi membuat ia terkejut karena kuku-kuku jari tangan lawan mengeluarkan sinar hitam dan ia
mencium bau amis, maka tahulah ia bahwa lawannya ini seorang tokoh jahat yang mempunyai keahlian
tentang racun, maka ia tidak segan-segan lagi untuk mencabut ke luar sepasang pensilnya. Juga gerakan
kakek ini amat cepat, menandakan bahwa lawan ini benar-benar seorang lawan yang amat tangguh, tidak
di sebelah bawah tingkat Bu-tek Siu-lam yang lihai itu!
Di lain pihak, Siauw-bin Lo-mo juga terkejut bukan main ketika melihat betapa gerakan pemuda itu
sedemikian cepatnya dan kemudian melihat sepasang senjata di tangan si Pemuda. Senjata itu saja sudah
merupakan bukti bahwa pemuda ini benar-benar bukan lawan sembarangan karena hanya orang yang
tinggi tingkat kepandaiannya saja dapat mempergunakan senjata sekecil dan seringan itu. Makin kecil
ringan serta lemah senjatanya, makin tinggilah kepandaian orang.
Siauw-bin Lo-mo adalah seorang tokoh yang belum pernah bertemu tanding, kecuali ketika ia terpaksa
mengakui keunggulan Kauw Bian Cinjin beberapa tahun yang lalu. Karena kekalahannya dari tokoh Bengkauw
inilah maka ia mendendam sakit hati kepada Beng-kauw. Karena merasa dirinya memiliki kepandaian
tinggi jarang ada tandingnya, maka tentu saja kini ia tidak gentar menghadapi lawan yang masih muda,
sungguh pun ia maklum bahwa lawan ini tak boleh dipandang ringan.
“Ho-ho-ha-ha, sayang kalau seorang muda seperti engkau mampus di tanganku. Kau lihat kelihaianku! Haha-
ha!” Kini ia menerjang maju dengan gerakan teratur, tidak asal tubruk lagi seperti tadi.
Ternyata ilmu silat tangan kosongnya dahsyat, mengeluarkan angin pukulan yang bersuitan dan gerakan
kedua tangannya cepat sekali. Kuku panjang itu terpentang dan menyambar-nyambar dari segala jurusan
secara tidak terduga-duga. Agaknya kakek ini sudah tidak sabar lagi untuk cepat-cepat menjatuhkan lawan
mudanya, maka ia sudah mengerahkan tenaga dan mengeluarkan ilmunya yang dahsyat dengan
keyakinan bahwa seorang muda seperti Kiang Liong tak mungkin dapat mengatasi serangannya ini.
Akan tetapi kenyataannya jauh berbeda dengan keyakinan hatinya. Pemuda itu dengan gerakan sigap dan
amat indah dapat mengelak dan menghindarkan diri dari rangsekan serangannya, bahkan balas
menyerang karena sepasang pensil itu menyambut serangan-serangannya dengan totokan-totokan pada
jalan darah di pergelangan, telapak tangan, dan dekat siku.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan cara ini, dari keadaan terserang Kiang Liong berbalik menyerang karena sebelum setiap pukulan
dan cakaran lawan mendekati tubuhnya, ia telah mendahului dengan totokan yang amat kuat dan tepat
sasarannya. Keyakinan Siauw-bin Lo-mo untuk mendesak pemuda itu menjadi berbalik kenyataannya
sehingga dia sendiri yang terdesak dan kalau saja ia tidak lihai mainkan gelang baja pelindung
pergelangan tangan, tentu ia siang-siang sudah menjadi korban totokan!
“Heh-heh, kau berani mati!” bentaknya sambil bergelak dan tubuhnya tiba-tiba merubah gerakan.
Kini kuku-kukunya yang runcing itu tidak langsung menyerang tubuh lawan, melainkan berusaha
mencengkeram pensil lalu disusul cengkeraman ke arah lengan atau bagian tubuh terdekat apa bila Kiang
Liong menarik senjatanya karena khawatir terkena cengkeraman yang kuat itu. Dengan siasat gerakan
macam ini, keadaan kembali menjadi terbalik dan kini pemuda itulah yang tampaknya terdesak. Kuku-kuku
yang panjang runcing berbisa, ditambah baja pelindung pergelangan tangan kakek itu benar-benar amat
menyulitkan sasaran totokan kedua pensilnya. Kini bahkan kakek itu mulai berloncatan seperti monyet,
akan tetapi secara tidak terduga-duga kedua kakinya kadang-kadang melakukan tendangan-tendangan
berantai, bukan tendangan biasa, melainkan tendangan disertai cengkeraman jari kaki yang dapat
membentuk cakar garuda!
Lima jari kuku tangan kiri yang runcing itu mencengkeram dengan gerakan cepat ke arah pensil bulu di
tangan kanan Kian Liong. Pemuda ini mengelakkan pensil bulunya dan cepat menotok dengan pensil kayu
di tangan kiri mengarah ke leher lawan. Akan tetapi terdengar suara keras ketika pensil kayu itu tertangkis
oleh pelindung pergelangan kanan kakek itu yang melanjutkan gerakan tangan kanan dengan
cengkeraman ke arah lengan kiri Kiang Liong.
Pemuda ini tidak membiarkan dirinya dicengkeram. Cepat ia menggeser kaki ke kanan sehingga tubuhnya
miring dan cengkeraman itu luput. Pada detik itu secara tak tersangka-sangka kaki kiri lawannya bergerak
menendang ke arah perut. Tendangan yang keras dan cepat sekali datangnya. Kiang Liong kaget dan
menggerakkan pensil bulu ke arah kaki itu, menotok ke arah mata kaki, kemudian pensil kayunya secepat
kilat menotok ke leher kanan lawan.
“Breettt...! Takkk...!”
Siauw-bin Lo-mo berseru kaget dan terhuyung. Kiang Liong juga berseru kaget dan cepat memutar kedua
senjatanya di depan tubuh untuk membentuk gaya bertahan. Kiranya tadi secara tak terduga-duga, kakek
itu hanya mengelak sedikit dan membiarkan pundaknya mewakili leher menerima totokan sambil
mengerahkan sinkang dan tangan kirinya cepat-cepat mencengkeram ke arah pinggang kanan Kiang
Liong. Pemuda ini kaget bukan main, cepat ia mendoyongkan tubuh ke belakang sehingga otomatis
totokannya yang semula ditujukan ke leher lawan kemudian oleh lawannya sengaja diterima dengan
pundak itu tidak mengenai secara tepat sekali. Namun karena tenaga yang tersalur melalui pensil kayu itu
adalah tenaga sinkang murni dan kuat, maka akibatnya cukup membuat Siauw-bin Lo-mo terhuyung ke
belakang dengan muka berubah.
Kiang Liong juga kaget. Tahulah ia bahwa lawannya adalah seorang yang amat lihai, maka tanpa raguragu
lagi Kiang Liong lalu merubah gerakan. Kini ia menerjang maju dan sepasang senjatanya itu dipegang
seperti orang hendak menulis, kemudian mulailah ia menggerakkan sepasang pensil seperti menulis hurufhuruf
di udara, mencorat-coret ke arah lawan. Gerakannya wajar, seperti hendak menuliskan pensilpensilnya
di atas tubuh lawan. Akan tetapi akibatnya hebat sekali.
Silau rasanya mata Siauw-bin Lo-mo menghadapi coretan-coretan itu karena ia menjadi bingung sekali.
Berkali-kali ia menangkis dengan kedua tangannya, bahkan berusaha merampas sepasang pensil yang
amat lihai itu, namun hasilnya sia-sia, malah hampir saja ia terkena totokan yang sama sekali tak
disangkanya. Gerakan mencorat-coret seperti orang menulis itu ternyata merupakan serangan-serangan
maut dan setiap gerakan mengandung tenaga yang amat kuat. Lebih hebat lagi tenaga yang keluar dari
gerakan sepasang pensil itu berbeda, bahkan berlawanan sehingga amat membingungkan kakek yang
tadinya merasa bahwa di dunia ini jarang ada orang mampu menandinginya. Kini menghadapi seorang
pemuda saja ia sudah kewalahan, apa lagi hendak mengalahkannya atau mengenal ilmu silatnya yang luar
biasa itu.
Hal ini tidaklah aneh kalau diketahui bahwa ilmu silat yang dimainkan Kiang Liong itu adalah ilmu silat
simpanan yang diturunkan oleh Suling Emas kepadanya! Itulah ilmu silat Hong-in Bun-hoat yang dahulu
diciptakan oleh manusia dewa Bu kek Siansu dan kemudian diturunkan kepada Suling Emas. Ilmu silat ini
adalah gerakan silat tinggi yang disesuaikan dengan ilmu kesusastraan. Hanya orang yang sudah
dunia-kangouw.blogspot.com
menguasai sastra secara mendalam, yang dapat menulis huruf-huruf indah dan kuat saja akan mampu
menguasai Hong-in Bun-hoat.
Tentu saja ia harus memiliki dasar ilmu silat tinggi yang sudah matang pula. Biar pun Kiang Liong adalah
seorang pelajar yang pandai ilmu sastra dan juga sudah digembleng ilmu silat tinggi oleh gurunya, namun
ia hanya mampu menguasai delapan bagian saja dari ilmu yang sakti ini. Untuk dapat menguasai ilmu ini
sampai sepuluh bagian atau seluruhnya membutuhkan pengalaman bertahun-tahun seperti Suling Emas.
Betapa pun, yang delapan bagian ini sudah cukup membuat seorang tokoh besar seperti Siauw-bin Lo-mo
menjadi sibuk dan terdesak hebat.
Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui menonton pertempuran ini dengan pandang mata kagum. Menyaksikan
kehebatan sepak terjang kakek aneh itu, mereka berdua tahu diri dan tidak berani maju membantu Kiang
Liong. Mereka maklum bahwa tingkat kepandaian mereka masih jauh di bawah tingkat kakek itu, maka jika
mereka membantu, hal ini tidak akan menguntungkan Kiang Liong. Betapa kagum hati mereka melihat
Kiang Liong mendesak kakek itu dengan sepasang pensilnya.
Siauw-bin Lo-mo masih berusaha mempertahankan diri, namun makin lama ia makin terkurung dan tak
dapat keluar dari lingkaran ujung pensil yang bergerak-gerak secara aneh itu. Dalam pandang matanya,
kini ada banyak sekali ujung pensil yang menyerang jalan-jalan darah terpenting di tubuhnya, membuat ia
sibuk dan akhirnya ia bergulingan di atas tanah untuk menghindarkan diri.
Siauw-bin Lo-mo tak dapat tertawa lagi dan agaknya baru kali ini selama hidupnya ia bertanding melawan
seorang pemuda tanpa ketawa mengejek. Rasa penasaran dan malu membuat ia menjadi marah. Tiba-tiba
ia meloncat dari keadaan bergulingan itu, tangan kanan kiri sudah merenggut keluar dua buah benda hitam
sebesar telur angsa, kemudian ia membanting dua ‘telur’ itu ke atas tanah di sebelah depannya. Terdengar
suara meledak dua kali dan asap putih tebal menyelimuti sekelilingnya.
Kiang Liong terkejut dan dapat menduga bahwa asap putih tebal bergulung-gulung ini tentu mengandung
racun, maka ia cepat mengumpulkan napas dalam dada lalu menahan napas dan menerjang maju dengan
totokan-totokan maut dalam bentuk tulisan. Dengan ketabahan luar biasa Kiang Liong menyerbu lawan
yang bersembunyi dalam asap putih. Makin lama asap mengepul makin banyak dan tebal sehingga kedua
orang itu lenyap ditelan gumpalan-gumpalan asap. Akan tetapi kakek aneh ini sekarang sudah mengambil
bambu kecil yang tadinya ia gendong di punggung dan begitu ia membuka sumbat bambu itu, dari dalam
bambu keluar asap hitam yang amat busuk baunya.
Kiang Liong terkejut bukan main. Inilah semacam asap beracun yang luar biasa jahatnya. Jangankan
tercium dan memasuki paru-paru, baru mengenai kulit saja sudah dapat menimbulkan keracunan hebat.
Maka ia cepat menggerakkan lengan-lengan bajunya yang dikebutkan dengan pengerahan tenaga sinkang
sehingga asap itu buyar tidak jadi menyerangnya. Keadaan di sekeliling gelap pekat dan ia tahu bahwa
dirinya dikurung asap-asap beracun.
Kiang Liong cepat mengerahkan ginkangnya karena pada saat itu ia sudah tidak dapat melihat lagi ke
mana perginya lawan. Ia meloncat cepat ke luar dari kurungan asap. Setelah tiba di luar kurungan asap, ia
dapat melihat betapa lawannya sudah lenyap dari tempat itu dan ketika ia menengok ke belakang, ternyata
dua orang gadis itu pun sudah lenyap tak tampak bayangannya lagi!
“Kui-moi...! Hui-moi...!” Ia memanggil dengan suara nyaring. Namun tidak ada jawaban sehingga hatinya
menjadi khawatir sekali.
Mungkinkan si Kakek sakti itu ketika menghilang di dalam gumpalan asap berkesempatan pula untuk
menawan dua orang gadis itu? Ah, tidak mungkin rasanya. Betapa pun lihainya Siauw-bin Lo-mo, tidak
mungkin dapat melarikan diri sambil menculik dua orang gadis itu sedemikian cepat dan di luar tahunya.
Apa lagi kalau diingat bahwa dua orang kakak beradik itu bukanlah gadis-gadis lemah dan tentu akan
melawan kalau akan diculik sehingga tidak mudah tertawan. Kiang Liong menyelidiki keadaan sekeliling
tempat itu, bahkan memeriksa tanah dan rumput di mana Siang Kui dan Siang Hui tadi berdiri. Namun tidak
terdapat tanda-tanda atau jejak-jejak yang mencurigakan. Ia mendongkol sekali, merasa ditipu dan
dipermainkan lawan.
“Siauw-bin Lo-mo kakek iblis!” teriaknya marah. “Kalau engkau memang laki-laki, hayo maju dan lanjutkan
pertandingan. Tak ada gunanya bersikap pengecut dan melarikan gadis-gadis itu!” Betapa pun kerasnya ia
berteriak, tiada jawaban kecuali tiupan angin yang membawa hawa panas terik matahari.
dunia-kangouw.blogspot.com
Dengan pandang mata seperti harimau marah, Kiang Liong lalu meloncat dan berlari-lari cepat. Tujuannya
sudah tetap. Pergi ke Kao-likung-san di lembah sungai Nu-kiang. Kalau tidak salah dugaannya, tentu kakek
iblis tadi merupakan sekutu para pendeta Tibet yang memimpin pasukan Hsi-hsia menyerbu Nan-cao.
Tentu ada permusuhan di antara Beng-kauw. Kalau ia harus pergi dulu mencari Kauw Bian Cinjin seperti
yang direncanakan Siang Kui dan Siang Hui, ia khawatir kalau-kalau akan terlambat. Ia harus pergi
menolong dua orang gadis itu dan adiknya.
Wajah yang tampan itu menjadi muram. Ia berduka kalau teringat akan nasib malang yang menimpa
keluarga Kam Bu Sin, adik gurunya dan nasib para pimpinan Beng-kauw. Mereka tewas dan setelah
pimpinan Beng-kauw terbasmi, siapa lagi yang dapat menggantikan mereka? Hanya tinggal Kauw Bian
Cinjin seorang diri! Ah, betapa akan marah dan berduka hati gurunya kalau mendengar berita tentang
mala-petaka ini. Gurunya mempunyai hubungan yang amat erat dengan Beng-kauw. Di samping semua
itu, kekuatan Nan-cao terletak kepada Beng-kauw. Kalau Beng-kauw runtuh, apa jadinya Kerajaan Nancao
kelak?
Teringat akan ini, Kiang Liong mempercepat larinya. Ia maklum bahwa tugasnya menolong Siang Kui,
Siang Hui dan Han Ki, adik kedua orang gadis itu, bukanlah tugas ringan, bahkan merupakan tugas
berbahaya sekali. Yang akan ia hadapi bukanlah lawan-lawan biasa, melainkan kekuatan yang amat besar,
kekuatan yang telah membasmi Beng-kauw. Kalau tokoh-tokoh besar, terutama sekali ketua Beng-kauw
yang amat sakti sampai tewas menghadapi kekuatan ini, terang bahwa dia seorang diri tidak akan mampu
mengalahkan mereka. Akan tetapi, betapa pun juga Kiang Liong tidak menjadi gentar. Ia harus cepat-cepat
mengejar dan berusaha menolong anak-anak pamannya, Kam Bu Sin, kalau perlu dengan taruhan nyawa!
Girang dan juga bingung Kiang Liong ketika akhirnya ia dapat mengikuti jejak Siauw-bin Lo-mo. Dari para
penduduk pegunungan ia mendengar bahwa kakek kurus kecil yang selalu tertawa itu melakukan
perjalanan menuju ke pegunungan Kao-likung-san! Tepat seperti yang diduganya. Akan tetapi ia merasa
bingung mendengar bahwa kakek itu melakukan perjalanan seorang diri saja. Kalau begitu, ke manakah
perginya Siang Kui dan Siang Hui? Siapakah yang menculik mereka? Kalau yang menculik itu temanteman
Siauw-bin Lo-mo, kenapa kakek ini melakukan perjalanan seorang diri saja? Karena penasaran ia
mengejar terus sampai ke kaki pegunungan Kao-likung-san.
Sampai di kaki gunung ini ia menjadi bingung karena kehilangan jejak kakek yang dikejarnya. Daerah itu
amat sunyi tidak ada penduduk, dan ia tidak dapat menduga ke arah mana kakek itu pergi, juga tidak tahu
di mana adanya markas para pendeta Tibet yang telah membasmi Beng-kauw. Menurut penuturan kedua
orang gadis itu, katanya para pendeta Tibet bermarkas di pegunungan Kao-likung-san di lembah sungai
Nu-kiang.
Mulailah ia pergi mencari sungai yang dimaksudkan. Dua hari lamanya ia berputaran, akhirnya ia dapat
melihat sungai itu. Dari sebuah lereng yang tinggi dan terjal, ia melihat sungai itu jauh di bawah, tampak
kecil berliku-liku dan airnya berwarna biru dengan buih putih menabrak batu-batu.
Tiba-tiba terdengar suitan nyaring dan Kiang Liong cepat melempar diri ke bawah. Beberapa batang anak
panah menyambar dan lewat di atas tubuhnya. Ketika ia meloncat bangun, tempat itu sudah terkepung
oleh tujuh orang laki-laki tinggi besar dipimpin oleh seorang hwesio berkepala gundul dan berjubah merah.
Keadaan tujuh orang laki-laki itu sama dengan dua puluh orang yang mengeroyok Siang Kui dan Siang
Hui, maka Kiang Liong cepat menduga bahwa mereka ini tentulah orang-orang Hsi-hsia dan hwesio itu
tentulah seorang di antara pendeta Tibet yang memimpin barisan itu. Maka ia bersikap waspada dan juga
girang karena tanpa disangka-sangka ia mendapatkan jejak markas yang dicarinya. Dengan sikap tenang
ia menghadapi hwesio itu dan berkata.
“Bukankah kalian ini orang-orang Hsi-hsia dan Lo-suhu ini seorang pendeta Tibet?”
Pertanyaan Kiang Liong menimbulkan kekagetan kepada mereka. Hwesio itu pun membelalakkan matanya
yang bundar dan memandang penuh selidik, kemudian terdengar suaranya yang nyaring dengan logat
kaku.
“Orang muda, engkau siapakah dan bagaimana engkau dapat mengenal kami? Apakah engkau ada
keperluan menghadap pimpinan kami?”
“Aku she Kiang bernama Liong dan aku dapat mengenal Lo-suhu sekalian karena sudah banyak aku
mendengar tentang pasukan Hsi-hsia. Memang aku ingin bertemu dengan pimpinan kalian, terutama sekali
dunia-kangouw.blogspot.com
untuk minta kembali seorang anak kecil bernama Kam Han Ki dan dua orang nona yang beberapa hari
yang lalu kalian culik.”
“Keparat! Orang Beng-kauw mencari mampus. Serbu!” teriak pendeta itu yang mendadak berubah
sikapnya menjadi galak sekali. Tujuh orang laki-laki tinggi besar itu serentak mentaati komando ini dan
bagaikan harimau-harimau kelaparan mereka menubruk Kiang Liong dengan serangan-serangan ganas.
Kini mengertilah Kiang Liong mengapa Siang Kui dan Siang Hui mengamuk dan membunuhi semua orang
Hsi-hsia yang mengeroyok mereka. Kiranya selain dua orang gadis itu mendendam karena kematian
keluarga mereka dan terculiknya adik mereka, juga orang-orang Hsi-hsia ini amat kejam dan ganas, seperti
iblis-iblis yang haus darah. Bahkan gerakan tujuh orang ini berbeda dengan para pengeroyok Siang Kui
dan Siang Hui. Gerakan tujuh orang Hsi-hsia ini biar pun sama ganas dan kasar, namun lebih dahsyat dan
jelas bahwa mereka ini memiliki kepandaian ilmu silat yang lumayan dan keberanian yang nekat.
Kiang Liong tidak menyia-nyiakan waktu. Tubuhnya bergerak ke kiri dan begitu kaki tangannya
menyambar, empat orang pengeroyok sudah roboh, tak mampu bangkit kembali! Tiga orang Hsi-hsia yang
lain kaget setengah mati, mata mereka sampai terbelalak kaget, akan tetapi hal ini sama sekali tidak
disusul oleh rasa takut karena buktinya mereka berteriak parau dan menyerbu makin dahsyat lagi dengan
golok mereka. Pendeta berkepala gundul itu juga terkejut dan kini menghunus pedangnya lalu ikut
menyerbu, gerakannya amat kuat dan pedangnya mendatangkan angin.
Kiang Liong kembali meloncat ke kanan, sengaja agak jauh untuk memancing para pengeroyoknya. Tiga
orang Hsi-hsia menyerbu, agaknya tidak peduli akan sesuatu. Mereka ini benar-benar merupakan prajuritprajurit
yang tak kenal takut sehingga orang-orang seperti ini kalau dipakai berperang tentu amat kuat.
Kiang Liong sudah siap. Begitu tiga orang ini maju diikuti oleh hwesio jubah merah yang lebih berhati-hati
sikapnya, ia menerjang maju, jari tangannya menyambar dan hampir berbareng tiga orang Hsi-hsia ini pun
roboh! Hwesio itu cepat memutar pedang ketika melihat kaki Kiang Liong menyambar ke arahnya. Akan
tetapi ternyata pemuda lihai ini hanya menggertak dengan tendangannya. Begitu pedang membabat ke
arah kakinya, ia menahan kaki itu dan tangan kirinya menotok ke arah pundak dengan totokan maut.
Hwesio itu terkejut, berseru keras dan berusaha menyelamatkan diri dengan melempar tubuh ke kanan,
begitu keras gerakannya sehingga ia tidak melihat bahwa di sebelah kanannya adalah tebing yang curam.
Tanpa dapat dicegah lagi tubuhnya terjerumus ke bawah. Hwesio itu mengeluarkan suara bersuit nyaring
sekali dan diam-diam Kiang Liong menjadi kagum. Sudah jelas bahwa nyawa hwesio itu berada dalam
cengkeraman maut, akan tetapi dalam usaha terakhir, hwesio itu bukan berteriak minta tolong melainkan
mengeluarkan suara suitan nyaring memberi peringatan teman-temannya! Sampai dekat ajal pun hwesio
ini masih melakukan tugasnya!
Benar saja dugaannya, karena dari atas lereng kini muncul puluhan orang yang berlari-lari ke bawah
dipimpin oleh beberapa orang hwesio berjubah merah. Dari jauh mereka itu sudah menghujankan anak
panah sehingga terpaksa ia mencabut pensil dan memukul setiap anak panah yang mengancam dirinya. Ia
sudah bersiap untuk melayani mereka semua, sungguh pun ia merasa sangsi apakah ia sendirian saja
akan sanggup menghadapi pengeroyokan demikian banyak orang.
Pada saat itu dari sebelah kanan menyambar sinar merah. Kiang Liong kaget, tak menyangka bahwa dari
tempat dekat ada orang membokongnya. Untuk membikin gentar hati lawan, Kiang Liong mengeluarkan
kepandaiannya. Tangan kirinya berputar dan dengan dua buah jari tangannya, ia menjepit senjata rahasia
itu yang ternyata adalah sebatang piauw beronce merah dan ketika ia memandang terdapat sepotong
kertas dibelitkan pada piauw ini! Ia makin heran, cepat ia membuka kertas itu dan membaca tulisan tangan
halus indah.
‘Lekas mundur, dari bawah pohon Siong turun ke bawah sampai di sungai. Cepat sebelum terlambat!’
Kiang Liong merasa heran, akan tetapi sebagai seorang cerdik ia tidak ragu-ragu lagi. Siapa pun orang
yang mengirim surat secara aneh ini, belum tentu mempunyai niat buruk. Ada pun puluhan orang yang
berlari-lari turun dari atas itu sudah jelas berniat mengeroyok dan membunuhnya. Maka ia pun cepat
membalikkan tubuhnya dan mundur sampai ke pohon siong yang dimaksudkan dalam surat. Ketika ia
menjenguk ke bawah, ternyata bagian ini berbatu-batu sehingga memungkinkan dia untuk merayap turun.
Ia menahan napas mengumpulkan semangat, lalu turun melalui cabang-cabang pohon itu ke bawah, dari
cabang yang melengkung ke bawah itu ia merayap terus berpegangan dan berpijak pada batu-batu gunung
dan akar-akaran, terus merayap ke bawah dengan cepatnya. Sebelum ia mencapai dasar jurang yang
dunia-kangouw.blogspot.com
amat curam dan seolah-olah tiada batasnya ini, ia mendengar suara ramai-ramai di sebelah atas
kepalanya. Agaknya puluhan orang yang mengejar dari atas tadi sudah lewat di dekat pohon dan karena
tidak melihatnya maka terus berlari melewati pohon.
Akan tetapi Kiang Liong masih tetap hati-hati dan ia terus merayap turun secepatnya. Ia khawatir kalaukalau
ada yang mengejarnya sebelum ia sampai di dasar jurang. Kekhawatirannya ternyata terbukti ketika
tiba-tiba terdengar sambaran angin dari atas. Ia cepat bergantung kepada sebatang akar dan mengayun
tubuhnya mengelak. Sebuah panah tangan yang hitam meluncur dekat pundaknya. Ketika ia berdongak, ia
melihat lima orang hwesio berjubah merah sudah merayap turun pula mengejarnya. Kemudian hwesiohwesio
itu mengayun tangan dan kini belasan batang senjata rahasia menyambar ke bawah. Suara
senjata-senjata itu bercuitan mengerikan dan sambarannya amat cepat.
Terpaksa Kiang Liong menggunakan kekuatan kakinya untuk berdiri di atas akar melintang dan ia
menggunakan ujung lengan bajunya yang digerakkan kuat-kuat untuk memukul runtuh semua senjata
rahasia. Namun alangkah kagetnya ketika ia merasa betapa senjata-senjata rahasia ini mengandung
tenaga yang jauh lebih kuat dari para pengeroyok yang telah ia robohkan tadi. Jelas bahwa tingkat
kepandaian lima orang hwesio berjubah merah yang mengejarnya ini cukup tinggi dan tidak boleh
dipandang ringan. Apa lagi ketika ia melihat betapa kini banyak sekali orang Hsi-hsia mulai pula menuruni
tebing itu sambil berteriak-teriak. Dengan pengerahan ilmu meringankan tubuhnya, Kiang Liong
mempercepat gerakannya merayap turun dan akhirnya dengan hati lega ia sampai juga di atas tanah.
Sungai Nu-kiang kini berada tak jauh di depan dan ia lalu lari ke tepi sungai. Akan tetapi ia tidak melihat
tempat sembunyi yang baik.
Tiba-tiba ia mendengar suara halus memanggilnya dari sebelah kiri. Ketika ia menoleh, ia melihat seorang
wanita cantik melambaikan tangannya, dan wanita itu berdiri di balik sebuah batu besar. Memang banyak
terdapat batu-batu besar sepanjang sungai sebelah kiri, agaknya batu-batu besar ini adalah batu-batu yang
gugur dan longsor dari lereng gunung.
Ia tidak tahu siapa wanita itu, akan tetapi mengingat akan tulisan surat yang ia terima di atas tadi, sangat
boleh jadi wanita inilah yang memberi petunjuk kepadanya. Maka tanpa ragu-ragu lagi Kiang Liong lalu lari
ke sebelah kiri dan sebentar saja ia sudah lenyap dari pandang mata para pengejarnya yang masih
merayap turun hati-hati dari atas tebing, karena ia terlindung dan tertutup oleh batu-batu besar. Wanita itu
sudah lenyap dan ketika Kiang Liong mencari-cari dengan pandang matanya, terdengar suara halus.
”Ke sini... masuk ke goa ini...!”
Suara itu datang dari sebuah goa yang terbentuk oleh tumpukan batu-batu besar. Sebetulnya bukan goa
melainkan batu-batu besar yang bertumpuk-tumpuk dan di antara batu-batu besar itu terdapat celah-celah
yang sebesar tubuh manusia. Kiang Liong berlari dan memasuki celah-celah itu. Ternyata agak dalam juga
celah-celah itu dan di sebelah dalam makin lebar, ada semeter lebarnya. Tempat ini remang-remang dan
tampaklah sesosok bayangan wanita yang bertubuh ramping, memberi isyarat dengan tangan agar ia
masuk terus. Dalam keadaan remang-remang mereka berhadapan dan Kiang Liong dapat melihat wajah
wanita itu yang cantik manis. Kiang Liong merasa pernah melihat wajah ini, akan tetapi ia lupa lagi di mana
dan kapan.
“Nona siapakah dan mengapa....”
“Ssstt... belum waktunya bicara,” wanita itu berbisik, suaranya halus dan lirih, kemudian untuk dapat
diterima oleh pendengarannya, ia mendekatkan mulutnya di telinga Kiang Liong. “Kongcu, kau
sembunyilah di sini. Musuh terlalu banyak dan lihai....“
Berdebar jantung pemuda itu. Sejak memasuki tempat yang sempit itu tadi, bau yang amat harum telah
menyengat hidungnya dan kini setelah nona itu berdiri begitu dekat, bau harum semerbak itu lebih nyata
lagi keluar dari rambut yang terurai panjang. Rambut panjang! Kini teringatlah ia! Nona ini adalah gadis
cantik yang pernah diganggu Bu-tek Siu-lam, yang kemudian ditolong oleh Mutiara Hitam dan si Berandal
atau Tang Hauw Lam! Ketika hal itu terjadi, ia bersembunyi maka ia mengenal siapa gadis ini. Namanya Po
Leng In, wanita berpakaian merah yang berambut panjang, murid dari Siang-mou Sin-ni!
“Kau... kau... murid Siang-mou Sin-ni....”
“Sstt, mereka tentu sudah dekat...!” Wanita itu berbisik lagi dan kini hawa yang hangat dari mulut wanita itu
menyentuh pipinya. Agaknya saking tegang wanita itu mendekatkan mulutnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiang Liong teringat lagi akan keadaannya yang terancam pengeroyokan puluhan orang. “Bersembunyi
pun percuma, tentu mereka akan dapat menemukan kita,” ia pun berbisik dan siap untuk menerjang ke
luar.
Dua buah tangan yang kecil dan berkulit halus menahan dadanya. “Jangan bergerak, Kongcu. Kau tetaplah
di sini, aku yang akan menahan mereka. Kau lihat saja, jangan khawatir!” Setelah berkata demikian, wanita
itu melangkah ke luar.
Karena tadinya berada di sebelah dalam, untuk keluar ia harus melewati Kiang Liong. Tempat itu sempit,
jadi tentu saja tubuh mereka saling merapat. Merasa betapa tubuh padat penuh tonjolan yang halus dan
keras mepet di tubuhnya, Kiang Liong terpaksa memejamkan mata! Untung hanya sebentar saja godaan
hebat ini dan kini Po Leng In sudah menyelinap ke luar. Karena betapa pun juga ia belum mengenal betul
wanita itu dan belum tahu akan wataknya, apa lagi kalau diingat bahwa wanita itu murid iblis betina Siangmou
Sin-ni, maka dengan hati-hati Kiang Liong lalu bergerak mendekati mulut celah-celah batu untuk
mengintai ke luar.
Ia melihat Po Leng In bersembunyi dibalik batu besar dan ia melihat pula lima orang pendeta berjubah
merah memimpin hampir lima puluh orang Hsi-hsia berdiri mendekati tempat itu. Jantung Kiang Liong
berdebar dan kedua tangannya sudah siap meraba sepasang senjatanya, matanya tajam memandang ke
depan. Tiba-tiba ia melihat Po Leng In menggerakkan tubuh dan bagaikan seekor burung berbulu merah,
gadis cantik manis itu melayang naik ke atas batu besar, bertolak pinggang dan dengan suara nyaring
menegur ke bawah,
“Ngo-wi Suhu (Pendeta Berlima) membawa pasukan ke sini ada kepentingan apakah?”
Aneh sekali, lima orang pendeta yang usianya sudah setengah abad kurang lebih dan yang bersikap
garang dan jelas memperlihatkan tanda bahwa mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi itu, tiba-tiba
bersikap hormat ketika melihat bahwa yang menegur mereka adalah nona baju merah itu. Mereka
mengangkat kedua tangan di depan dada sebagai tanda menghormat, kemudian seorang di antara mereka
menjawab.
“Kiranya Kouwnio (Nona) yang berada di sini. Pinceng berlima dan pasukan sedang mengejar seorang
pemuda berpakaian putih. Dia telah membunuh seorang saudara kami dan sudah membunuh beberapa
orang anggota pasukan. Kami melihat dia tadi lari turun ke bawah dan agaknya lewat di sini....” Pendeta itu
agak sangsi lalu memandang kepada nona baju merah itu dengan pandang mata tajam penuh selidik.
“Tidak ada orang lewat di sini, Twa-suhu,” kata Po Leng In, suaranya bersungguh-sungguh dan kini ia
sudah melayang turun di depan lima orang hwesio itu, menghadang jalan masuk melalui dua bongkah batu
besar.
Lima orang itu saling pandang, kemudian yang tertua bicara lagi, “Akan tetapi, Kouwnio. Ada di antara kami
yang tadi melihat bayangan putih berlari menuju ke jurusan ini....“
“Twa-suhu! Hanya karena memandang muka ketua kalian maka aku masih bersikap sabar. Hemmm!
Guruku dan kepala kalian bersahabat dan sederajat. Aku sebagai murid kepala dari guruku berarti
mempunyai derajat lebih tinggi dari pada kalian yang hanya menjadi anak buah Bouw Lek Couwsu! Apakah
kalian berani mengatakan bahwa aku bersekongkol dengan musuh? Apakah kalian tidak percaya
kepadaku? Beranikah kalian menghina murid guruku?” Ucapan itu ketus dan keras, penuh wibawa dan
pengaruhnya benar-benar hebat. Lima orang hwesio itu menjadi pucat wajahnya dan mereka
menundukkan muka.
Akan tetapi pasukan yang terdiri dari orang Hsi-hsia yang kasar itu agaknya merasa penasaran. Mereka
menganggap wanita muda ini sebagai tamu. Sungguh pun para pimpinan, yaitu para pendeta Tibet
berjubah merah amat menghormatinya, namun belum pernah mereka menyaksikan kelihaian wanita muda
yang cantik ini. Bahkan diam-diam sering kali mereka membicarakan wanita ini dalam senda gurau yang
kotor. Kini melihat betapa gadis ini berani menghadang, padahal mereka percaya bahwa musuh yang
dikejar lari ke jurusan ini, beberapa orang di antara mereka mulai bersungut-sungut
“Musuh tadi lari ke sini!”
“Masa harus membiarkan dia lari?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dia sudah membunuh banyak teman kita!”
Melihat betapa anak buah pasukan itu mulai ribut-ribut, diam-diam Po Leng In mendongkol dan juga
khawatir sekali. Kalau mereka nekat dan kemudian dapat menemukan pemuda baju putih itu, selain ia
mendapat malu, juga tentu akan mendapat teguran, mungkin hukuman keras dari gurunya. Akan tetapi,
apa pun yang terjadi, tak mungkin ia dapat membiarkan pemuda itu terancam bahaya maut.
“Berhenti!” bentaknya ketika melihat pasukan itu bergerak maju. “Tidak percaya kepadaku berarti menghina
guruku! Siapa menghina guruku berarti akan mampus di tanganku! Lihat, siapa yang kepalanya lebih keras
dari pada batu ini?”
Setelah berkata demikian, Po Leng In menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang panjang dan halus serta
berbau harum itu menyambar ke depan, tampak sinar hitam dan terdengar suara meledak kecil seperti
pecut. Ujung rambut menghantam batu dengan lecutan keras dan... pinggir batu yang dihantam rambut ini
pecah dan remuk berhamburan seakan-akan dipukul dengan senjata tajam!
Orang-orang Hsi-hsia itu boleh jadi merupakan orang-orang yang ganas dalam perang serta kuat, namun
selama hidup mereka baru kali ini menyaksikan betapa rambut, apa lagi rambut wanita yang halus lemas
dan harum dapat menghancurkan batu! Mereka menjadi takjub memandang dengan mata terbelalak,
bahkan ada yang mengeluarkan lidah.
Lima orang pendeta itu bukan orang-orang biasa. Andai kata mereka tidak merasa segan terhadap tamu
yang dihormati kepala mereka dan andai kata Po Leng In seorang lawan, mereka pasti akan melawannya
dan tidak menjadi gentar. Karena tidak ingin timbul keributan di antara mereka, maka pendeta-pendeta itu
lalu menjura.
“Maaf, Kouwnio. Bukan sekali-sekali kami tidak percaya, hanya kami mohon petunjuk. Ke mana gerangan
larinya buronan kami tadi?”
“Entahlah. Kalian cari ke tempat lain. Kalau di sini terang tidak ada karena sejak tadi aku pun berada di sini
dan kalau ia lewat di sini, apa kalian kira aku akan membiarkannya lewat begitu saja? Huh!”
“Sekali lagi maaf, Kouwnio,” kata pendeta itu yang segera memberi komando kepada pasukannya. “Hayo
kita cari ke jurusan lain. Tak mungkin ia akan dapat menghilang begitu saja!”
Setelah lima orang pendeta itu bersama pasukannya beramai-ramai pergi mencari ke jurusan lain, barulah
Po Leng In berani memasuki goa kecil itu. Ia tersenyum kecil ketika melihat Kiang Liong berdiri. dengan
sikap tegang.
“Terpaksa untuk sementara waktu engkau bersembunyi dulu di sini, Kongcu. Biarlah aku menjaga di luar
goa ini dan kita dapat bercakap-cakap tanpa khawatir didengar atau diintai orang.” Sambil tersenyum
manis ia keluar lagi, lalu duduk di luar celah batu. Dari tempat itu ia dapat melihat ke sekelillng sehingga ia
akan dapat melihat lebih dulu kalau ada orang datang. “Duduklah Kongcu dan mari kita bercakap-cakap.”
Sambil menarik napas panjang Kiang Liong duduk di mulut goa, agak ke dalam. Dari tempat ia duduk itu ia
dapat melihat wajah Po Leng In yang cantik manis, wajah yang ditimpa cahaya matahari, dan bentuk tubuh
yang membayang di dalam pakaian merah yang tipis.
“Nona, mengapa engkau menolongku? Bukankah engkau murid Siang-mou Sin-ni dan kalau tidak keliru
dugaanku, mendengar percakapan tadi agaknya gurumu Siang-mou Sin-ni yang membantu Bouw Lek
Couwsu, kepala para pendeta Tibet berjubah merah. Bukankah gurumu dan Bouw Lek Couwsu itu yang
telah membasmi tokoh-tokoh Beng-kauw?”
Po Leng In mengangguk dan sepasang mata yang tajam itu menatap wajah Kiang Liong. “Benar
dugaanmu, Kongcu.”
“Dan tahukah engkau siapa aku?”
Po Leng In menggeleng kepala. “Aku tidak tahu engkau siapa, Kongcu. Hanya aku tahu engkau bukan
orang-orang Beng-kauw. Ilmu silatmu sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa engkau anak murid Bengdunia-
kangouw.blogspot.com
kauw. Yang aku tahu hanya bahwa engkau seorang pria yang gagah perkasa dan terutama sekali bahwa...
bahwa, engkau telah menyelamatkan nyawaku dengan sambitan kerikil dari tangan Bu-tek Siu-lam.”
Kiang Liong berpikir sejenak, kemudian berkata. “Nona, tentang perbuatanku mencegah Bu-tek Siu-lam
membunuhmu adalah kewajiban setiap orang, tak perlu kau berterima kasih. Sebaliknya, kau berusaha
menolongku dari pengeroyokan para pendeta Tibet dan anak buahnya. Sungguh pun aku merasa
bersyukur dan berterima kasih kepadamu, namun hal itu sebetulnya tidak begitu perlu kau lakukan karena
aku tidak takut menghadapi mereka.”
“Aku tahu akan kelihaianmu, Kongcu. Akan tetapi... tanpa petunjukku bagaimana mungkin kau akan dapat
pergi memasuki markas para pendeta Tibet dan menolong tiga orang cucu ketua Beng-kauw itu?”
Kiang Liong terkejut dan juga girang sekali sehingga tanpa ia sadari lagi tangannya bergerak memegang
tangan gadis itu yang berkulit halus dan hangat.
“Bagaimana kau bisa tahu? Betulkah kau mau menolongku?”
Po Leng In tersenyum. Ketika ia memandang ke arah tangan Kiang Liong yang memegang tangannya,
kedua pipinya merah dan matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri dan jari-jari tangannya bergerak balas
menggenggam tangan pemuda itu. Ketika jari-jari tangan gadis itu memijit-mijit dan menggetar, barulah
Kiang Liong sadar dan perlahan-lahan ia menarik kembali tangannya, bibirnya tersenyum.
Kiang Liong adalah seorang pemuda tampan, putera pangeran pula. Di kota raja namanya sudah amat
terkenal, bukan hanya terkenal karena keampuhannya dan kegagahannya, juga terkenal sebagai pemuda
yang tak pernah menolak perhatian wanita-wanita cantik! Dia bukan seorang mata keranjang yang suka
mengganggu wanita, apa lagi menggunakan kepandaian dan ketampanan memaksa wanita, sama sekali ia
tidak pernah melakukan hal buruk ini.
Akan tetapi ia seorang yang mempunyai watak amat romantis dan karena ini agaknya maka setiap kali ada
wanita cantik tergila-gila kepadanya dan memperlihatkan tanda-tanda mencinta, ia akan menerima dengan
kedua lengan terbuka. Dan amat banyaklah wanita cantik tergila-gila kepadanya sehingga ia amat terkenal
di kota raja. Bahkan kenalan-kenalan keluarga orang tuanya, mereka yang mempunyai isteri-isteri cantik
amat berhati-hati dan tidak memberi kesempatan kepada isteri-isteri mereka untuk bertemu dengan
pemuda ganteng ini!
“Aku tahu, Kongcu, karena selama ini aku mengikutimu. Apa kau kira aku dapat melupakan engkau begitu
saja setelah kau menyelamatkan nyawaku? Aku tahu tentang cucu laki-laki ketua Beng-kauw yang
tertawan, juga tentang dua orang gadis yang terculik ketika kau bertanding melawan Siauw-bin Lo-mo.
Tanpa bantuanku, jangan harap kau akan dapat menolong mereka, karena selain amat sukar untuk
menyelundup ke dalam markas, juga Bouw Lek Couwsu dan para pembantunya amat kuat, belum lagi
kalau diingat bahwa guruku juga berada di sana! Nah, apakah kau sekarang tidak perlu dengan
bantuanku?” Sepasang mata yang bening dan genit itu memandang penuh arti, bibir yang merah itu
tersenyum menantang.
“Ah, sungguh kau baik sekali, Nona. Tentu saja aku membutuhkan bantuanmu! Kalau aku berhasil
menolong mereka, budimu amat besar dan aku Kiang Liong takkan melupakan budi pertolonganmu itu!”
“Betulkah itu, Kongcu? Sampai berapa besarnya kau akan ingat budiku? Ah, Kongcu, aku murid Siang-mou
Sin-ni, ingat? Apakah kau betul telah percaya kepadaku dan tidak khawatir kalau aku menipu dan
menjebakmu?”
“Aku memang merasa heran sekali mengapa engkau melakukan semua ini untukku. Tak mungkin kalau
hanya untuk membalas budi saja. Aku sudah cukup banyak mendengar tentang Siang-mou Sin-ni. Biar pun
baru sekarang aku berjumpa denganmu, namun sebagai murid Siang-mou Sin-ni, janggallah kalau kau
begitu ingat budi, bahkan akan membelakangi gurumu sendiri demi untuk membantuku. Nona, katakanlah
terus terang, apa yang kau kehendaki dan mengapa kau membantuku?” Sekarang Kiang Liong
memandang tajam penuh selidik.
Po Leng In tertawa manis, giginya yang putih berkilauan dan berderet rapi tampak menarik sekali. Tanpa
ragu-ragu Po Leng In menaruh tangannya di pundak pemuda itu dan sekali menggerakkan kepala,
rambutnya yang panjang hitam dan harum itu berpindah ke depan dada. Bau harum menyambar ke hidung
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiang Liong yang tidak dapat menahan diri lagi, tangannya memegang dan membelai rambut yang panjang
halus dan harum itu.
“Kata-katamu betul, Kongcu. Memang orang-orang seperti guruku dan aku, kami sama sekali tidak peduli
tentang budi. Andai kata yang menolongku tempo hari bukan kau, aku pun tidak akan peduli lagi. Akan
tetapi, engkau lain lagi. Begitu bertemu, aku tahu bahwa engkau seorang pemuda yang selain ganteng,
juga gagah perkasa dan kuat lahir batin. Engkau tenang, tidak ceroboh, berpengalaman dan berhati teguh
seperti gunung. Anehkah kalau aku jatuh cinta kepadamu? Koko (Kanda), aku cinta kepadamu, bersikaplah
manis kepadaku dan aku akan menyerah kepadamu, akan membantumu dan kalau perlu bertaruh nyawa
untukmu!”
Dengan sikap manja dan memikat, tangan kecil halus yang tadinya berada di pundak itu kini bergerak
merayap, lengan itu merangkul leher Kiang Liong. Biar pun muka mereka sudah saling berdekatan
sehingga napas wanita itu sudah menyentuh hidung dan mulutnya, namun Kiang Liong masih tenang dan
tersenyum sambil menatap tajam. Tangannya yang tadi membelai kini menjambak rambut, menarik sedikit
sehingga muka yang tadi berkulit halus kemerahan, mata yang merayu-rayu, bibir yang menggetar itu agak
tertarik menjauh.
Keteguhan hati Kiang Liong inilah yang membuat banyak wanita tergila-gila kepadanya. Menghadapi wajah
cantik jelita dan cumbu rayu yang akan mencairkan hati seorang pendeta, ia tetap teguh dan tenang, tak
pernah ia dirobohkan oleh keteguhan hatinya sehingga selalu si wanita yang terpikat. Biar pun Kiang Liong
seorang pria yang romantis dan tidak menolak cinta kasih wanita cantik, namun ia bukan seorang lemah.
“Betulkah semua kata-katamu ini? Leng In, betulkah kau akan membantuku menolong Siang Kui, Siang
Hui, dan Han Ki dari tangan mereka setelah aku melayani cinta kasihmu?”
“Betul... betul..., aku bersumpah...” Po Leng In terengah-engah, napasnya diburu nafsu sendiri.
“Dan kau benar-benar menghendaki aku...?”
Po Leng In mengangguk-angguk dan seluruh tubuhnya lemas. Ketika Kiang Liong melepaskan
jambakannya, dia menjatuhkan mukanya di atas dada Kiang Liong yang tersenyum mengejek sambil
memeluknya.
Semalam itu mereka berdua tidak keluar dari dalam goa yang lebarnya hanya satu meter itu. Po Leng In
yang mabuk cinta seolah-olah menjadi makin lemas di tangan Kiang Liong sehingga ia menceritakan
semua keadaan orang Hsi-hsia. Kiranya orang-orang Hsi-hsia itu diperalat oleh para pendeta Tibet jubah
merah yang dikepalai oleh Bouw Lek Couwsu.
Pendeta jubah merah Bouw Lek Couwsu ini memiliki kepandaian yang dahsyat dan merupakan pendeta
yang murtad di Tibet sehingga ia dimusuhi oleh para pendeta lain. Untuk menyelamatkan diri karena tidak
kuat menentang pendeta-pendeta Tibet yang banyak di antaranya amat sakti, Bouw Lek Couwsu melarikan
diri dari Tibet bersama murid-murid dan pengikut-pengikutnya, yaitu para pendeta jubah merah. Dengan
ilmu kepandaiannya, Bouw Lek Couwsu akhirnya dapat menalukkan Hsi-hsia yang gagah berani dan ulet,
bahkan berhasil melatih mereka menjadi pasukan yang kuat. Setelah memiliki pasukan kuat, mulailah
Bouw Lek Couwsu mencari kesempatan memukul musuh-musuhnya.
Ia menganggap Kerajaan Sung masih terlampau kuat untuk dipukul, maka ia lalu mengalihkan perhatian
kepada Kerajaan Nan-cao yang kecil dengan maksud menalukkan kerajaan ini untuk memperbesar
pengaruh dan kekuasaan. Dalam usahanya ini Bouw Lek Couwsu teringat akan sahabat baiknya, juga
bekas kekasihnya, yaitu, Siang-mou Sin-ni!
Kalau Siang-mou Sin-ni adalah seorang wanita yang tak pernah tua lahir batinnya, maka Bouw Lek
Couwsu biar pun berpakaian pendeta, juga merupakan seorang laki-laki tampan gagah yang tak pernah
tua lahir batinnya pula. Karena terlalu suka mengganggu wanita cantik inilah maka ia dimusuhi di Tibet
sehingga ia kehilangan sebelah kakinya. Ia segera mengunjungi Siang-mou Sin-ni yang sudah bertahuntahun
tak pernah turun di dunia kang-ouw semenjak Thian-te Liok-kwi dihancur-binasakan oleh Suling
Emas dan para orang gagah (baca cerita CINTA BERNODA DARAH).
Karena pada dasarnya memang berwatak rendah, bekas selir kaisar yang lebih terkenal dengan julukan
Siang-mou Sin-ni dan yang sudah bertahun-tahun bertapa di pulau kosong di laut selatan ini tertarik oleh
bujukan Bouw Lek Couwsu bekas kekasihnya, lalu ikut membantu dan tentu saja kesempatan ini tidak
dunia-kangouw.blogspot.com
disia-siakan oleh mereka berdua untuk mengikat kembali hubungan mereka yang telah putus selama
bertahun-tahun.
“Beng-kauw boleh jadi amat kuat dan banyak terdapat orang pandai, akan tetapi menghadapi serbuan
Bouw Lek Couwsu dibantu oleh guruku, mana mereka mampu mempertahankan diri? Di antara para
pendeta jubah merah banyak pula yang memiliki kepandaian tinggi. Itulah sebabnya mengapa ketua Bengkauw
dan beberapa orang pimpinan Beng-kauw dapat ditewaskan dan anak laki-laki itu amat disuka oleh
guruku, maka diculik. Penyerbuan untuk menjatuhkan Kerajaan Nan-cao tentu saja gagal karena
sesungguhnya bukan itulah yang diutamakan Bouw Lek Couwsu, melainkan memukul Beng-kauw yang
menjadi musuh besarnya.”
Semua diceritakan oleh Po Leng In dan ia menjadi makin tergila-gila kepada Kiang Liong. Selama hidupnya
belum pernah Po Leng In bertemu dan mendapatkan seorang pemuda seperti ini, penuh kegagahan,
penuh kejantanan. Semalam suntuk sambil bercerita, Po Leng In mempergunakan segala bujuk rayu dan
keahliannya dalam bercinta untuk menjatuhkan hati Kiang Liong, namun sebaliknya dia sendirilah yang
jatuh dan menjelang pagi, ia menjadi penurut dan patuh kepada laki-laki itu seperti seekor domba yang
lemah.
“Koko..., akan kubantu kau menolong kedua orang nona dan anak laki-laki itu... biar pun untuk itu aku
harus mempertaruhkan nyawa...,“ bisiknya sambil merangkul.
Setelah matahari mulai menyinarkan cahayanya di permukaan bumi, barulah mereka berdua keluar dari
dalam goa batu. Wajah Po Leng In yang pucat itu kini berseri gembira, rambutnya kusut namun menambah
kecantikan wanita yang berambut panjang ini. Sambil melangkah ke luar ia menggandeng tangan Kiang
Liong yang sikapnya masih tenang dan sama sekali tidak tampak perubahan.
“Mari, Koko. Mari kita berangkat. Akan tetapi berhati-hatilah. Jangan kau pandang rendah kepandaian
Bouw Lek Couwsu, apa lagi kepandaian guruku.”
Kiang Liong mengangguk. “Aku sudah banyak mendengar tentang kepandaian gurumu dan aku tidak
takut.”
Po Leng In menghentikan langkahnya, merangkul dan mengusap-usap dagu yang membayangkan
kekerasan dan kekuatan itu sambil tersenyum. “Aku tahu bahwa engkau lihai sekali, Koko. Akan tetapi
guruku sekarang bukan seperti dahulu ketika masih suka muncul di dunia kangouw. Engkau tentu tidak
pernah mendengar bahwa guruku kini telah dan sedang memperdalam ilmu mukjijat Hun-beng-to-hoat
(Ilmu Patahkan Semangat) dan untuk menyempurnakan ilmu itulah maka ia menculik Han Ki itu....“
Kiang Liong yang sedang dicium itu lalu memegang kedua pundak Po Leng In, dan mendorongnya agak
menjauh, memandang wajahnya penuh selidik dan bertanya, suaranya keras. “Apa kau bilang? Diculik
untuk... kau maksudkan...?”
“Ya, Koko. I-kin-hoan-jwe (Ganti Urat Pindahkan Sumsum)!”
“Celaka! Mari kita cepat-cepat menolongnya!” Setelah berkata demikian, Kiang Liong menyambar lengan
Po Leng In dan secepat terbang mereka berdua lalu lari menuju ke tempat persembunyian Siang-mou Sinni
dan Bouw Lek Couwsu.
Kiang Liong bukan tidak maklum bahwa ia sedang menuju ke tempat yang amat berbahaya, seperti goa
singa dan telaga naga, akan tetapi mendengar akan bahaya yang mengancam Han Ki, ia tidak pedulikan
itu semua. Lebih-lebih lagi ketika di tengah jalan ia mendengar Po Leng In bercerita bahwa Bouw Lek
Couwsu adalah seorang tokoh tua yang percaya akan ilmu menambah semangat dan tenaga yang didapat
dari gadis-gadis muda, maka tahulah ia mala-petaka hebat sekali mengancam pula keselamatan Siang Hui
dan Siang Kui!
Yang dimaksudkan oleh Po Leng In tentang I-kin-hoan-jwe memang merupakan latihan ilmu hitam yang
amat keji. Untuk melatih ilmu ini guna memperdalam Hun-beng-to-hoat yang mukjijat, diperlukan seorang
anak laki-laki yang bertulang bersih dan berdarah murni. Siang-mou Sin-ni yang melatih ilmu ini telah lama
sekali mencari-cari dan entah sudah berapa banyaknya anak laki-laki menjadi korbannya, namun ilmunya
masih kurang sempurna karena belum pernah ia mendapatkan seorang anak laki-laki yang benar-benar
memenuhi syarat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Ki adalah putera Kam Bu Sin dan Liu Hwee, dua orang yang berdarah pendekar, maka Han Ki
merupakan seorang anak laki-laki yang benar-benar memenuhi syarat. Begitu melihat anak ini, Siang-mou
Sin-ni sudah menjadi girang sekali dan ia lalu menculik Han Ki. I-kin-hoan-jwe dilakukan dengan cara yang
amat mengerikan, yaitu perlahan-lahan, sedikit demi sedikit, setiap hari anak itu akan disedot darah dan
sumsumnya. Tidak disedot sekaligus sampai mati, melainkan sedikit demi sedikit sambil setiap hari diberi
makan obat-obat penambah darah dan sumsum. Tentu saja akhirnya anak ini akan mati juga, karena
selain kehabisan darah dan sumsum, terutama sekali karena hawa murni dalam tubuhnya sedikit demi
sedikit tersedot ke luar dan pindah ke tubuh orang yang melatih diri dengan ilmu hitam itu!
Kiang Liong yang sudah pernah mendengar penuturan suhu-nya tentang pelbagai ilmu hitam tentu saja
menjadi ngeri dan mempercepat larinya untuk segera menolong tiga orang anak paman gurunya. Kalau
perlu ia akan mempertaruhkan nyawanya!
********************
Kwi Lan lari sambil menggigit bibir, menahan tangis. Hatinya mengkal bukan main. Ia marah, kecewa, duka
dan penasaran. Ia telah bertemu dengan pendekar sakti Suling Emas dan makin kagumlah hatinya
menyaksikan sepak terjang pendekar sakti itu. Makin banggalah hatinya bahwa pendekar sakti yang hebat
itu, hebat kepandaiannya dan hebat pula orangnya, adalah kekasih ibu kandungnya! Akan tetapi justru hal
inilah yang selain mendatangkan kebanggaan hati, juga mendatangkan penyesalan, kekecewaan,
kemarahan dan penasaran.
Kalau pendekar sakti ini kekasih ibu kandungnya, mengapa mereka saling berpisah? Mengapa Suling
Emas meninggalkan ibu kandungnya yang menjadi Ratu Khitan? Dan mengapa pula ia menjadi anak Ratu
Khitan? Kalau ibu kandungnya itu bukan isteri Suling Emas, berarti dia adalah anak Ratu Khitan dengan
orang lain. Alangkah akan bahagia hatinya kalau Suling Emas menjadi suami ibu kandungnya. Ia berayah
Suling Emas! Alangkah hebatnya! Dan sebaliknya, kalau Suling Emas itu bukan bekas kekasih ibunya,
tentu ia akan suka menjadi sahabatnya, sahabat baik!
Kwi Lan menghela napas panjang dan berhenti lari, menghempaskan dirinya di atas rumput. Ia sudah
berlari lama dan jauh, lega bahwa pendekar sakti itu tidak mengejarnya karena kalau mengejarnya, ia tidak
tahu bagaimana akan dapat melarikan diri. Hatinya tertarik sekali oleh Suling Emas. Ia sendiri merasa
heran mengapa begitu.
Dalam pandangannya, Suling Emas yang sudah tua dan yang rambutnya sudah bercampur uban itu lebih
menarik dan menyenangkan dari pada orang-orang muda gagah perkasa yang pernah ditemuinya. Lebih
menarik dari pada Yu Siang Ki si Pengemis Muda yang halus, lebih menang dari pada Tang Hauw Lam
yang berandalan dan lucu, lebih hebat dari pada Siangkoan Li yang gagah dan tampan! Alangkah akan
senangnya melakukan perjalanan bersama Suling Emas, tentu akan terasa aman dan tenteram di samping
seorang pendekar yang demikian saktinya, sebagai seorang sahabat baik! Atau sebagai anak, atau murid!
“Ah, tapi dia sudah menghina ibuku...! Katanya dia kakak angkat ibu kandungku yang menjadi Ratu di
Khitan, akan tetapi juga sebagai kekasih... hemmm, tentu kekasih yang tidak setia, buktinya ibuku telah
ditinggalkannya!”
Kwi Lan meloncat bangun, membanting-banting kakinya lalu berjalan pergi. Ia akan mencari ibunya ke
Khitan dan bertanya tentang Suling Emas! Kemudian ia teringat akan Tang Hauw Lam dan seketika
wajahnya yang muram menjadi berseri gembira. Tak mungkin ia bermuram kalau teringat kepada si
Berandal itu. Bagaimana Hauw Lam dapat muncul ketika ia hendak menolong Po Leng In dari tangan Butek
Siu-lam? Dan ketika ia dibawa lari Thai-lek Kauw-ong, ke mana perginya si Berandal itu?
Sambil bertanya-tanya arah perjalanan ke Khitan, Kwi Lan melanjutkan perjalanannya dan beberapa hari
kemudian ia melihat banyak orang menunggang kuda memasuki sebuah dusun yang ramai. Karena Kwi
Lan juga bermaksud menuju ke dusun itu yang menurut keterangan adalah dusun Ci-chung yang terletak di
tepi sungai, maka ia pun mempercepat langkahnya memasuki dusun itu. Debu masih mengebul di atas
jalan yang baru saja dilalui rombongan orang sebanyak belasan orang tadi.
Hati Kwi Lan tertarik karena ia melihat betapa seorang di antara mereka di dahinya terhias mutiara.
Seorang anggota Thian-liong-pang, seorang di antara dua belas Cap-ji-liong! Mau apakah orang-orang
Thian-liong-pang itu datang ke tempat ini, pikirnya. Ia tahu bahwa kalau bertemu dengan mereka tentu
akan terjadi keributan, akan tetapi tentu saja Kwi Lan tidak takut. Ia bukan mencari perkara, melainkan ia
dunia-kangouw.blogspot.com
bermaksud melanjutkan perjalanan dengan perahu melalui sungai di dusun itu. Untuk memenuhi
maksudnya, ia tidak peduli apakah ada setan atau iblis yang menghadangnya!
Dusun itu ternyata ramai karena merupakan pelabuhan perahu-perahu yang berlayar di sepanjang sungai.
Di dekat pantai terdapat sebuah kelenteng. Kwi Lan merasa heran karena tidak melihat belasan orang
Thian-liong-pang tadi di dalam dusun. Apakah mereka itu hanya lewat saja di dalam dusun lalu
melanjutkan perjalanan melalui pintu sebelah sana? Mungkin sekali dan ia tidak peduli, juga tidak bertanyatanya
tentang mereka.
Karena dusun itu banyak dilewati orang-orang asing yang melakukan perjalanan, dan karena pada masa di
mana perang selalu mengancam daerah perbatasan, maka semua orang, juga wanita-wanita membawa
pedang. maka munculnya Kwi Lan tidaklah amat mengherankan orang. Kalau orang memandangnya,
adalah karena terpesona oleh kecantikannya saja, bukan mengherankan pedangnya dan kejanggalan
seorang wanita muda melakukan perjalanan sendirian saja. Kwi Lan yang tidak bermaksud menginap di
dalam dusun ini langsung pergi ke pantai untuk mencari perahu.
Dalam perjalanan mencari perahu inilah ia lewat di depan kuil dan melihat tiga huruf Ban Hok Tong di
depan kelenteng, juga melihat beberapa orang hwesio sibuk melayani orang-orang yang bersembahyang
di kelenteng. Sebetulnya Kwi Lan tidak akan mempedulikan kelenteng ini, akan tetapi tiba-tiba ia
mendengar ringkik kuda di sebelah belakang kelenteng sehingga hatinya tertarik dan teringatlah ia akan
belasan orang Thian-liong-pang tadi. Hemm, agaknya mereka itu tadi masuk ke dalam kelenteng ini,
pikirnya. Mengapa orang-orang Thian-liong-pang yang jumlahnya belasan, orang itu bermalam di dalam
sebuah kelenteng?
“Ah, peduli amat dengan mereka!” Akhirnya ia berkata dalam hati dan kembali melangkahkan kaki
meninggalkan depan kelenteng menuju ke pelabuhan di mana terdapat banyak perahu-perahu besar kecil
dan kesibukan orang-orang yang mengangkut dan membongkar muatan. Mereka yang sibuk di pelabuhan
itu semua adalah laki-laki dan mulailah Kwi Lan dihujani pandang mata yang seolah-olah hendak
menelannya bulat-bulat. Di dalam dusun seperti itu memang jarang terdapat wanita cantik seperti Kwi Lan
dan kalau pun ada di antara para tamu, mereka itu tidak datang seorang diri dan secara berterang seperti
ini, memberi kesempatan kepada setiap orang untuk memandangnya.
Kwi Lan tidak peduli dan selagi ia hendak bertanya untuk mencari perahu sewaan, tiba-tiba terdengar
bentakan keras, “Minggir! Heiii, kau... minggir!”
Dua orang laki-laki tinggi besar berjalan cepat dan mendorong seorang yang sedang sibuk bekerja untuk
membuka jalan. Para pekerja itu adalah orang-orang kasar yang kuat, maka mereka menjadi marah.
Seorang di antara nelayan yang kena dorong hampir jatuh tertimpa keranjang ikan yang dipanggulnya.
Segera ia meloncat bangun.
“Dari mana datangnya dua ekor kerbau...?” Akan tetapi hanya sampai di situ ia dapat membuka mulut
karena seorang di antara dua laki-laki tinggi besar itu sudah mengayun kakinya dan... si Nelayan terlempar
jatuh ke dalam sungai!
Dua orang laki-laki tinggi besar itu berdiri dengan kedua kaki terpentang lebar, bertolak pinggang dan
berkata, “Hayo, siapa lagi yang berani?”
Melihat betapa seorang temannya sampai terlempar ke sungai, empat orang nelayan menjadi marah.
Mereka ini juga tinggi besar dan kuat. Sambil memaki mereka ini serentak maju menyerang, akan tetapi
begitu dua orang itu menggerakkan kaki kanannya, terdengar jerit-jerit kesakitan dan empat orang nelayan
itu pun jatuh tersungkur dengan hidung berdarah dan muka meringis kesakitan. Demikian cepat gerakan
dua orang tinggi besar ini sehingga mereka tidak tahu bagaimana mereka tadi dapat dirobohkan.
“Masih ada lagi?” Mereka berdua menantang dan semua nelayan menjadi gentar.
Seorang di antara mereka yang sudah tua segera maju dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
“Maafkan kami, Tuan. Apakah yang dapat kami lakukan untuk Ji-wi (Anda Berdua) dan karena tidak
mengenal orang gagah maafkan kelancangan kawan-kawan kami. Apakah yang Ji-wi kehendaki?”
Dua orang laki-laki tinggi besar yang usianya empat puluhan tahun itu tersenyum menyeringai, tampak
puas dan bangga. Setelah memandang ke sekeliling lalu berkatalah seorang di antara mereka yang
brewok. “Sediakan perahu yang bercat merah itu untuk kami. Besok pagi-pagi kami pakai.” Dia menuding
dunia-kangouw.blogspot.com
ke arah sebuah perahu kosong. Perahu itu bercat merah dan kelihatan memang paling baik di antara
perahu-perahu yang berlabuh di situ. Perahu itu masih baru, agaknya belum lama diturunkan di sungai.
Share:
cersil...
Comments
0 Comments