Senin, 12 Juni 2017

Cerita Silat Cantik 2 Istana Pulau Es

Cerita Silat Cantik 2 Istana Pulau Es  Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Cantik 2 Istana Pulau Es
kumpulan cerita silat cersil online
Cerita Silat Cantik 2 Istana Pulau Es
“Subo, bagaimana kalau mereka pergi minggat?” Can Ji Kun bertanya kepada Mutiara Hitam.
“Benar, aku pun tidak percaya dua manusia iblis itu akan mampu membuat pedang dari dua buah logam
keramat itu!” Ok Yan Hwa juga berkata.
Mutiara Hitam menyapu wajah kedua orang muridnya dengan alis berkerut, kemudian ia berkata menegur,
“Camkanlah dalam kepala kalian bahwa di dunia orang gagah, baik pada golongan putih mau pun hitam,
golongan bersih mau pun sesat, terdapat semacam kehormatan yang takkan dilanggar biar berkorban
nyawa sekali pun. Aku percaya bahwa mereka akan memenuhi janji. Bagi seorang gagah, tidak ada sifat
yang lebih rendah dari pada tidak memenuhi janji!”
Dua orang murid itu mundur dengan takut dan tidak berani bertanya lagi. Akan tetapi makin lama makin
anehlah keadaan di sepasang goa itu didengar dari tempat mereka. Akhirnya, pada suatu malam
terdengarlah jeritan-jeritan anak kecil melengking berkali-kali dari sepasang goa itu.
“Keparat!” Tang Hauw Lam yang biasanya bersikap gembira dan tenang kini agaknya tak dapat menahan
kesabarannya lebih lama lagi “Mereka menculik anak-anak!”
Akan tetapi Mutiara Hitam hanya duduk bersila dengan tenang, sama sekali tidak bergerak, seolah-olah
jeritan-jeritan itu tidak didengarnya.
“Eh, masa kita harus mendiamkan saja mereka menggangu anak-anak? Mungkin juga mereka
membunuhnya!”
Mutiara Hitam menghela napas. “Bukankah kita sudah berjanji tidak akan mencampuri pekerjaan mereka
membuat pedang?”
”Memang tidak mencampuri pekerjaan membuat pedang. Akan tetapi kalau mereka membunuh anak-anak,
tak dapat aku membiarkan saja. Apa mereka boleh membunuhi anak-anak tak berdosa di depan hidung
Pek-kong-to? Hemm, sebelum aku mati, hal itu takkan terjadi!” Tang Hauw Lam yang biasanya bergembira
itu sudah bangkit berdiri dan membawa goloknya, siap untuk mendatangi sepasang goa itu dan menyerbu.
“Nanti dulu, Suamiku!” Mutiara Hitam berkata, suaranya penuh kesungguhan. “Apakah engkau mau
melanggar janji kita tidak akan mencampuri pekerjaan mereka membuat pedang?”
“Siapa mau mencampuri? Apa hubungannya penculikan anak-anak itu dengan pembuatan pedang?” Tang
Hauw Lam berhenti dan menoleh kepada isterinya dengan penasaran.
“Apakah engkau lupa tentang dongeng yang pernah kita dengar di dunia barat tentang logam mulia yang
hanya dapat dibikin cair dan lunak hanya dengan campuran-campuran tertentu?”
Tang Hauw Lam sejenak memandang isterinya dengan mata terbelalak, kemudian wajahnya berubah
pucat. “Kau... kau maksudkan... anak-anak itu...?”
Mutiara Hitam mengangguk. “Mereka itu biar pun mungkin saja membutuhkan anak-anak untuk
meyakinkan ilmu hitam mereka, takkan berani melakukan hal itu di dekat kita. Kalau mereka toh
melakukannya juga, tentu ada hubungannya dengan pembuatan pedang. Kalau kau penasaran, besok
boleh kau bertanya, kiranya takkan meleset dugaanku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah Hauw Lam makin pucat. “Kalau begitu... pedang-pedang itu... akan menjadi Sepasang Pedang
Iblis...!”
Mutiara Hitam mengangguk. “Kalau benar dugaan kita, begitulah. Maka kita harus lebih waspada lagi
menjaga agar sepasang pedang itu jangan jatuh ke tangan lain orang. Kalau benar sepasang pedang itu
menjadi Pedang Iblis, kita berkewajiban untuk membasminya sendiri agar tidak menimbulkan mala-petaka!”
Tang Hauw Lam mengangguk-angguk kemudian membentak dua orang muridnya agar tidur karena
mereka itu masih mendengarkan percakapan kedua orang guru mereka dengan penuh perhatian. Pada
keesokan harinya, Tang Hauw Lam yang merasa penasaran menghampiri sepasang goa itu. Dari jauh dia
sudah berteriak.
”Mahendra! Aku tidak akan mencampuri pekerjaanmu, akan tetapi keluarlah, aku bertanya kepadamu!”
Sunyi saja sepasang goa itu. Setelah Tang Hauw Lam mengulangi pertanyaannya, terdengar suara
Mahendra mengomel. “Keparat! Dengan mengganggu semedhiku, engkau membikin aku ketinggalan
sehari oleh Dewi, Pek-kong-to! Engkau mau tanya apa? Lekas!”
“Hanya tentang jeritan suara anak-anak semalam....”
“Pek-kong-to! Kalau tidak melihat muka Mutiara Hitam isterimu, pertanyaanmu ini bisa kuanggap bahwa
engkau mencampuri urusan pekerjaan kami dan engkau melanggar janji! Bodoh engkau! Di dalam tubuh
manusia yang sudah dicairkan terdapat semacam zat yang tidak terdapat pada tubuh makhluk lain. Dan
itulah yang dibutuhkan, karena hanya dengan campuran itulah logam ini dapat dicairkan! Apa lagi?”
Tang Hauw Lam merasa betapa kedua kakinya menggigil. “Sudah cukup!” katanya dan ia lari kembali ke
goa di mana isterinya masih duduk bersila dengan wajah yang muram.
”Benar sekali!” Hauw Lam berkata sambil menjatuhkan diri dekat isterinya.
“Sungguh tidak kebetulan sekali kita yang menemukan logam itu. Pedang sudah dibuat, sepasang pedang
yang sifatnya jahat sekali, sebelum dibentuk pun sudah minum darah dan nyawa dua orang anak. Kita
harus membasmi pedang-pedang itu!”
“Benar, kita hanya menanti sampai sepasang pedang itu jadi.”
Mulai hari itu, setiap hari terdengarlah bunyi besi ditempa nyaring di dalam sepasang goa, tanda bahwa
dua orang India itu sibuk sekali membuat pedang yang dipesan Mutiara Hitam. Kedua orang ini memang
aneh. Mereka sesungguhnya saling mencinta, akan tetapi juga selalu saling berlomba tidak mau kalah. Apa
lagi kini mereka berdua berlomba membuatkan pedang untuk Mutiara Hitam, pedang yang sama bahannya,
sama bentuknya pula. Tentu saja mereka mulai berlomba untuk membuatkan pedang yang sebagusbagusnya!
Memang cara mereka membuat pedang dari logam putih itu amat menyeramkan. Setelah beberapa hari
gagal membikin logam itu mencair atau melunak, akhirnya mereka berdua lalu pergi dan menculik anakanak
dari dalam dusun yang jauh letaknya dari situ. Mahendra menculik seorang anak perempuan
sedangkan Nila Dewi menculik seorang anak lakl-laki secara terpisah. Mengapa Mahendra menculik anak
perempuan dan Nila Dewl menculik anak laki-laki?
Sebetulnya keduanya salah mengira dan terdorong oleh nafsu bersaing, Mahendra mengira bahwa tentu
Nila Dewi membuat pedang yang bersifat betina, maka ia pun menculik seorang anak perempuan dan
mulai membuat sebatang pedang ‘betina’ dengan menggunakan darah dan tubuh seorang anak
perempuan. Demikian pula dengan Nila Dewi yang tidak mau kalah. Dia mengira bahwa Mahendra tentu
akan membuat sebatang pedang ‘jantan’ maka dia lalu membuat pedang ‘jantan’ untuk mengalahkan
saingannya itu! Tanpa mereka ketahui, terdorong oleh nafsu tidak mau kalah masing-masing. Mahendra
membuat pedang ‘betina’ sedangkan Nila Dewi membuat sepasang pedang ‘jantan’.
dunia-kangouw.blogspot.com
Anak yang mereka culik itu mereka gantung dengan kepala di bawah, kemudian mereka mengerat urat
nadi untuk mengeluarkan darah mereka. Dengan darah inilah logam itu ‘dicuci’ dan direndam, kemudian
tubuh yang masih hidup itu dimasukkan ke dalam kuali besar untuk direbus bersama-sama logam putih!
Cara yang mengerikan sekali, akan tetapi nyatanya, setelah menghisap hawa tubuh manusia dan terkena
darah anak-anak ini, logam putih itu dapat dibakar lunak dan dibentuk!
Kurang lebih tiga bulan kemudian, pagi-pagi sekali Mutiara Hitam dan suaminya terkejut mendengar suara
beradunya senjata yang menimbulkan suara berdesing nyaring sekali. Mereka cepat meloncat ke luar
menuju ke sepasang goa itu dan apakah yang mereka lihat? Mahendra dan Nila Dewi sedang bertanding
mati-matian mempergunakan dua batang pedang yang mengeluarkan sinar seperti kilat menyambarnyambar.
Dari jauh saja Mutiara Hitam dan suaminya yang sudah banyak pengalaman itu merasakan adanya
getaran pengaruh mukjizat yang keluar dari sinar pedang itu. Dua batang pedang yang amat indah
buatannya, persis seperti contoh yang dilukis di atas tanah oleh Mutiara Hitam tiga bulan yang lalu, hanya
pedang di tangan Mahendra agak kecil sedikit.
“Aihhh... mengapa kalian? Jangan berkelahi...!” Mutiara Hitam berseru dan melompat maju untuk melerai,
akan tetapi tiba-tiba sinar pedang yang seperti kilat itu menyambar ke arahnya dengan kecepatan luar
biasa sehingga Mutiara Hitam terkejut sekali dan melompat ke belakang.
“Jangan mencampuri!” Mahendra membentak. “Lihat, pedang siapa yang lebih lihai!”
“Manusia sombong! Pedang buatanku akan menghancurkan pedang buatanmu berikut kepalamu yang
sombong!” Nila Dewi juga menjerit dan menyerang lagi dengan hebatnya.
“Cring-sing-tranggg...!” Bunga api berhamburan menyilaukan mata dan kedua pedang itu terpental setiap
kali bertemu, lalu kedua orang itu saling serang dengan kecepatan kilat.
“Celaka..., tahan...!” Tang Hauw Lam berseru dan meloncat maju dengan golok di tangan.
“Trang-trangggg... aiihhh...!” Tang Hauw Lam terpaksa harus meloncat ke belakang karena ketika goloknya
tertangkis oleh dua pedang itu, ia merasa seolah-olah dibetot oleh dua tenaga bertentangan yang amat
kuat.
Mutiara Hitam juga menerjang maju, kini dengan pedang Siang-bhok-kiam di tangannya. Ketika ia
menerjang maju untuk memisahkan dua orang itu, tampak sinar pedangnya yang hijau, akan tetapi kembali
sepasang pedang yang tadinya saling serang itu secara aneh dan tiba-tiba sekali telah membalik dan
menghadapi pedang Mutiara Hitam dengan kekuatan mukjizat dan kerja sama yang mengherankan.
“Trak-trakkk!” Juga Mutiara Hitam menghadapi kenyataan mukjizat karena pedangnya yang jarang
menemui tanding itu kini tertolak dan tangannya tergetar ketika bertemu dengan sepasang pedang yang
sinarnya seperti kilat itu!
Terpaksa ia meloncat ke belakang dan berkata kepada suaminya, “Kalau mereka sudah gila untuk saling
bunuh, biarkanlah!”
Dan memang tidak ada jalan lain lagi bagi Mutiara Hitam dan suaminya. Dua orang itu seperti gila, kalau
dibiarkan, saling menyerang seperti hendak saling bunuh! Akan tetapi kalau hendak dipisahkan, mereka
berdua membalik dan mengeroyok lawan yang mengganggu mereka! Tentu saja Mutiara Hitam dan
suaminya tidak mau merobohkan mereka hanya untuk menghentikan pertandingan mereka!
Can Ji Kun dan Ok Yang Hwa juga sudah tiba di tempat itu dan dua orang anak ini memandang
pertandingan dengan pandang mata bersinar-sinar penuh kagum melihat sepasang pedang itu. Selama ini
kedua orang murid Mutiara Hitam telah mendengar percakapan antara guru mereka tentang sepasang
pedang yang sedang dibuat secara aneh oleh Nila Dewi dan Mahendra, dan diam-diam kedua orang anak
ini ingin sekali memiliki pedang yang luar biasa itu. Apa lagi setelah kini pedang-pedang itu jadi, mereka
makin kagum melihat sinar pedang yang seperti kilat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pertandingan Nila Dewi dan Mahendra sudah mencapai titik puncak yang berbahaya sekali. Mutiara Hitam
dan suaminya maklum bahwa seorang di antara mereka tentu akan roboh terluka, akan tetapi karena
mereka tidak dapat berbuat apa-apa, mereka hanya memandang dengan alis berkerut.
“Cringggg!” sepasang pedang itu bertemu di udara, tertolak keras dengan tiba-tiba dan....
“Blesss...! Blesss...!” pedang di tangan Mahendra menembus dada Nila Dewi, sebaliknya pedang wanita itu
menembus dada Mahendra. Keduanya terhuyung, melepaskan pedang masing-masing yang sudah
menancap di dada lawan, kemudian roboh terguling ke kanan kiri!
“Gila!” Mutiara Hitam dan Tang Hauw Lam meloncat menghampiri dua tubuh yang rebah telentang itu.
Mahendra memandang Mutiara Hitam dan tertawa! “Ha-ha-ha, sepasang pedang pesananmu telah
rampung, Mutiara Hitam! Sepasang Pedang Iblis! Disempurnakan dengan rendaman darah kami sendiri.
Sepasang Pedang Iblis, kelak masih akan banyak minum darah manusia, ha-ha-ha!”
Nila Dewi terbelalak dan juga tertawa. “Mahendra, kita berdua akan hidup terus, dalam sepasang pedang
ini. Sepasang Pedang Iblis... hi-hik, kita akan selalu haus darah, akan selalu bersaing... ha-ha-ha!”
Biar pun Mutiara Hitam dan Pek-kong-to adalah suami isteri pendekar yang sudah mengalami banyak halhal
aneh dan menyeramkan, akan tetapi melihat betapa dua orang itu berkelojotan dan tewas dengan
ucapan-ucapan seperti itu, keduanya merasa ngeri juga. Sejenak mereka berdua memandang kepada
pedang ‘jantan’ yang kini menancap di dada Mahendra, untuk kedua kalinya minum darah manusia, dan
kepada pedang ‘betina’ yang menancap di dada Nila Dewi.
“Haruskah kita mengambil pedang-pedang itu?” Tang Hauw Lam bertanya kepada isterinya dengan
perasaan jijik. “Tak enak rasanya memegang kedua pedang itu.”
Mutiara Hitam mengangkat muka memandang suaminya. “Apa? Engkau... takut?”
Suaminya tersenyum. “Takut sih tidak, hanya... hemm, ngeri!” Ia memandang kepada dua mayat itu.
“Sebaiknya kita kubur saja kedua jenazah ini berikut kedua pedangnya!”
“Tidak baik begitu!” Mutiara Hitam mencela. “Pedang ini tercipta karena kita, maka harus berada di tangan
kita. Kalau dikubur kemudian didapatkan orang lain, tidakkah celaka?”
“Apa...? Kau sebatang dan aku sebatang? Jangan-jangan setelah kita berdua masing-masing menyimpan
sebatang, kita pun akan menjadi gila dan saling menyerang seperti mereka.” Hauw Lam menggelenggeleng
kepala dan menggoyang-goyang tangan.
“Tahyul!” Mutiara Hitam mencela. ”Memang mereka ini sejak dulu sudah selalu tidak akur dan bersaing.
Akan tetapi, biarlah sepasang pedang ini aku yang menyimpannya.” Mutiara Hitam lalu mencabut
sepasang pedang itu dan ia memandang terbelalak kepada kedua pedang dan ke arah dada kedua buah
mayat itu.
“Benar-benar Sepasang Pedang Iblis yang suka minum darah...!” Tang Hauw Lam berseru dengan muka
pucat.
Ternyata setelah dicabut, kedua pedang itu tetap putih bersih tidak ada darahnya, bahkan dada yang
terluka dan ditembus pedang itu pun tidak berdarah, seolah-olah semua darahnya habis dihisap oleh kedua
pedang itu!
“Sepasang Pedang Iblis yang haus darah dan harus disingkirkan!” Mutiara Hitam juga berkata, lalu tiba-tiba
ia membentak dua orang murid yang datang mendekat, “Hei, kalian mau apa?”
“Subo, berikan pedang betina kepada teecu!” kata Ok Yan Hwa.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Dan yang jantan untuk teecu, Subo!” kata pula Can Ji Kun.
Dua orang suami isteri itu saling pandang. “Hemm, untuk apa pedang bagi kalian?” Kemudian Mutiara
Hitam berkata untuk membantah sendiri ketahyulannya terhadap sifat sepasang pedang itu. “Karena baru
saja jadi, agaknya di dalam tubuh pedang masih ada lubang-lubang dan hawa panas oleh api yang
membakarnya, membuat pedang-pedang ini mempunyai daya menghisap.”
Betapa pun juga, Mutiara Hitam bangkit berdiri dan meneliti sepasang pedang itu penuh perhatian.
Buatannya amat indah dan halus, bentuknya sama benar, hanya perbedaannya terletak pada tubuh
pedang yang berbeda sedikit besarnya. Ia mempertemukan ujung pedang yang runcing dan... kedua
pedang itu tertolak, seolah-olah tidak suka bertemu ujung dan tiba-tiba ada kekuatan aneh yang membuat
gagang kedua pedang itu saling menempel! Berkali-kali Mutiara Hitam mencoba dan mendapat kenyataan
bahwa ujung runcing kedua pedang itu saling menolak, akan tetapi ujung di gagang saling menarik.
“Hemm, mengandung sembrani yang kuat...,” katanya perlahan.
Mereka lalu mengubur jenazah Nila Dewi dan Mahendra, kemudian meninggalkan tempat itu untuk
merantau ke tempat lain karena Mutiara Hitam tidak suka lagi tinggal di situ setelah terjadi peristiwa
kematian dua orang India itu.
Tang Hauw Lam yang bijaksana dan amat mencinta isterinya maklum sepenuhnya betapa sikap isterinya
berubah banyak sekali semenjak menerima berita kematian Raja Khitan. Isterinya sekarang pemarah
sekali, bahkan kedua orang muridnya menjadi takut karena sering dibentak dan ditampar, pula sering kali
termenung-menung dan melihat matanya yang membengkak, tahulah dia bahwa sering kali isterinya itu
secara sembunyi-sembunyi suka menangis.
Pada suatu hari, selagi mereka beristirahat di atas lereng dan mereka membiarkan dua orang murid
bermain-main di padang rumput, Tang Hauw Lam tak dapat menahan lagi tekanan batinnya. Ia duduk
mendampingi isterinya dan berkata lirih.
“Kwi Lan Isteriku. Engkau kenapakah?”
Kwi Lan yang seperti orang termenung itu menoleh kepada suaminya dan berkata singkat, “Tidak apa-apa.”
Hauw Lam menghela napas, kemudian berkata halus dan lirih. “Kita telah menjadi suami isteri selama
belasan tahun, setiap harl kita berkumpul sehingga aku mengenal engkau seperti mengenal tubuhku
sendiri, Kwi Lan. Aku melihat perubahan hebat terjadi atas dirimu. Engkau membiarkan Nila Dewi dan
Mahendra membunuh dua orang anak kecil, kemudian saling bunuh sendiri. Engkau hampir saja
membunuh Raja Yucen, kulihat dari getaran tanganmu. Baru hal itu tidak terjadi setelah engkau
mendengar bahwa pembunuh Raja dan Ratu Khitan bukanlah bangsa Yucen, melainkan bangsa Mongol.
Aihh, Kwi Lan. Engkau tertekan kedukaan hebat atas kematian kakak kembarmu, bukan? Kedukaan yang
membuat engkau menjadi dingin, tak pedulian, kejam...”
Tiba-tiba Mutiara Hitam, wanita sakti yang hatinya sekeras baja itu menubruk suaminya, merangkul dan
menangis tersedu-sedu. “Aduhhh, Lam-ko... apakah yang harus kulakukan, Lam-ko...? Aihh...!”
Tang Hauw Lam memeluk isterinya penuh kasih sayang dan membiarkan isterinya menangis sepuasnya
untuk memberi jalan ke luar pelepasan kedukaan hatinya. Kemudian ia berkata, “Isteriku, kalau tidak salah
dugaanku, engkau tentu menaruh dendam benar di hatimu atas kematian Raja Talibu, bukan?”
Kembali Mutiara Hitam memandang suaminya dengan muka basah air mata, sejenak sepasang matanya
memandang penuh selidik. Akan tetapi ketika ia melihat betapa suaminya memandang kepadanya penuh
pengertian, ia tersedu dan menundukkan mukanya.
“Dugaanmu benar, Suamiku. Kalau aku tidak bisa membalas dendam ini, hidupku takkan dapat tenang lagi.
Aku bisa menjadi gila dikejar-kejar dendaml Aku... aku harus membalas dendam ini, aku harus membunuh
Raja Mongol!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tang Hauw Lam menarik napas, kemudian berkata suaranya penuh kedukaan. “Aku mengerti, Isteriku.
Biar pun keputusan hatimu ini sebenarnya keliru, namun tidak berani aku melarangmu karena aku tahu
betul apa yang terjadi dalam hatimu.”
Mutiara Hitam merangkul suaminya. “Aihhh, Lam-ko... selamanya engkau begini penuh pengertian
terhadap aku, penuh kasih sayang dan penuh kesabaran. Aku... aku memang selalu salah... ahhh, Lamko...
akan tetapi, kalau aku tidak membalas dendam kematian kakakku, agaknya aku akan menjadi gila!
Aku akan mati dalam hidup merana dan selalu digoda bayangan Kakak Talibu yang menuntut dlbalaskan
kematiannya. Aaahh, Lam-ko, betapa tersiksa hatiku selama beberapa malam ini... selalu didatangi
bayangan Kakak Talibu....“ Mutiara Hitam menangis lagi terisak-isak.
Diam-diam Hauw Lam terkejut sekali. Dia mengerti bahwa memang ada ikatan batin dan ikatan getaran
yang lebih halus dan lebih dekat antara saudara kembar. Maka ia mengeraskan hatinya dan bertanya,
“Janganlah engkau merasa bersalah kepadaku dan hendak menyembunyikan, Isteriku. Sekarang
katakanlah terus terang, apa yang menjadi kehendak hatimu yang selama ini kau tahan-tahan dan kau
tekan-tekan?”
Mutiara Hitam menyusut air matanya sampai kering dan kembali ia menghadapi suaminya, sekali ini seperti
biasa, tenang dan penuh kesungguhan. “Lam-ko, aku ingin pergi ke Mongol dan membunuh Raja Mongol.”
Biar pun jantung Hauw Lam berdebar karena maklum bahwa hal Itu sama saja artinya dengan membunuh
diri, namun ia mengangguk dan berkata, “Baik sekali! Kapan kita berangkat, aku siap, Isteriku.”
“Inilah persoalan yang mengganggu hatiku dan membuat aku selama ini tidak dapat berterus terang
kepadamu, Lamko. Aku harus pergi sendiri!”
Berkerut sepasang alis Tang Hauw Lam ketika ia memandang tajam wajah isterinya. “Mengapa demikian,
Lan-moi?”
“Urusan balas dendam terhadap Raja Mongol ini merupakan bahaya besar, seperti memasuki lautan api!”
Tang Hauw Lam tertawa bergelak. “Ha-ha-ha-ha! Mutiara Hitam! Apa kau kira aku ini orang yang takut
mati?”
“Jangan berkelakar, Lam-ko. Dalam urusan lain, tentu saja aku lebih suka sehidup semati di sampingmu.
Akan tetapi urusan ini lain lagi. lni merupakan urusan pribadi bagiku dan aku tidak mau menarik dirimu
menempuh bahaya besar. Aku tidak suka melihat suamiku juga menjadi korban dalam urusan ini. Selain itu,
kalau kita pergi berdua, bagaimana dengan murid-murid kita? Tidak, suamiku dan kuharap engkau suka
memenuhi permohonanku sekali ini, mati atau hidup aku akan berterima kasih sekali kepadamu.”
“Kwi Lan... !” Hauw Lam menjadi kaget terharu dan merangkul isterinya. Ia tahu bahwa sekali ini isterinya
tidak main-main dan sudah mengambil keputusan tetap yang takkan dapat dirubah lagi.
Kwi Lan merangkul dan membelai suaminya penuh kasih sayang. “Suamiku, dengarlah kata-kataku. Besok
pagi aku akan pergi sendiri. Engkau bawalah dua orang murid kita ke Gunung Merak di sebelah utara kota
raja Khitan. Kau ingat tempat yang disediakan untuk menjadi tempat perkuburan keluarga Ayahku Sullng
Emas? Nah, kau tunggulah aku di sana bersama dua orang murid dan semua kitab-kitabku, juga Sepasang
Pedang Iblis. Kalau selesai tugasku di Mongol dan aku dapat keluar dengan selamat, aku akan
menyusulmu ke sana. Kalau tidak..., andai kata aku tewas dalam tugas pribadi ini, hemm... kau pimpin
baik-baik kedua orang murid kita, dan aku... aku akan selalu menantimu dengan setia di pintu gerbang
akhirat, Suamiku.”
“Lan-moi...!” Sekali ini Hauw Lam yang mencucurkan alr mata.
Semalaman itu suami isteri ini mencurahkan kasih sayang sepenuhnya karena mereka merasa di dalam
hati bahwa mungkin sekali ini mereka saling menumpahkan kasih untuk penghabisan kali!
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada keesokan harinya, dengan mata bengkak dan merah, di samping suaminya yang kelihatan muram
dan lesu, Mutiara Hitam memanggil Ji Kun dan Yan Hwa lalu meninggalkan pesan.
“Aku mau pergi, mungkin lama sekali. Kalian adalah anak-anak yang nakal, akan tetapi kalian harus
mentaati semua perintah Suhu kalian, belajar dengan tekun dan rajin sehingga kelak dapat menjadi
pendekar-pendekar yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan. Jangan membikin malu nama guruguru
kalian. Mutiara Hitam dan Golok Sinar Putih adalah pendekar-pendekar yang terkenal. Hati-hati kalian,
kalau sepergiku kalian tidak menaati Suhu, kalau aku masih hidup, aku sendiri yang akan menghukum
kalian dan kalau aku sudah mati, arwahku yang akan menghukum kalian. Mengerti?”
Dua orang murid itu mengangguk-angguk sambil menangis sesenggukan karena mereka sudah
mendengar bahwa subo mereka hendak pergi jauh dan mungkin tidak kembali. Setelah berpelukan untuk
terakhir kali dengan suaminya, tanpa berkata-kata, hanya sinar mata mereka saja yang melepas seribu
janji bahwa dalam keadaan hidup atau pun mati mereka pasti akan saling berkumpul kembali, Mutiara
Hitam lalu berkelebat pergi meninggalkan tiga orang yang dikasihinya!
Tang Hauw Lam merasa seolah-olah jantungnya disayat-sayat. Semenjak menikah dengan Mutiara Hitam,
ia tidak pernah berpisah dari isterinya yang tercinta itu. Merantau ke negeri jauh berdua, menghadapi
bahaya-bahaya maut berdua, dalam keadaan suka mau pun duka selalu berdua dan bersatu hati. Kini tibatiba
isterinya pergi meninggalkannya untuk urusan yang amat berbahaya! Lemah seluruh tubuhnya, dan
kalau di situ tidak ada dua orang muridnya, tentu Tang Hauw Lam yang biasanya jenaka gembira ini akan
menangis menggerung-gerung.
Dia lalu mengajak kedua muridnya, mengumpulkan kitab-kitab milik isterinya, menyelipkan Sepasang
Pedang Iblis di pinggangnya, kemudian mengajak kedua orang muridnya itu pergi menuju ke Bukit Merak
di Khitan. Dunia ini tampak tidak menarik lagi bagi Hauw Lam. Matahari seolah-olah kehilangan sinarnya,
bunga-bunga kehilangan keindahannya dan hatinya selalu merasa gelisah dan tertekan. Namun ia tidak
pernah mengeluh di depan kedua orang muridnya.
Setelah tiba di Bukit Merak, Tang Hauw Lam mulai melatih kedua orang muridnya dengan tekun, akan
tetapi sementara itu, hatinya mengharap-harap siang malam akan kembalinya Mutiara Hitam. Dia hanya
makan sedikit sekali dan hampir tak pernah tidur karena kalau siang dia selalu menerawang ke kejauhan,
kalau malam telinganya seolah-olah mendengar langkah kaki isterinya pulang! Tubuhnya menjadi kurus
sekali dan wajahnya menjadi pucat. Menanti dalam keadaan tidak menentu itu benar-benar merupakan
siksaan yang paling berat bagi manusia. Kalau saja ia tahu bagaimana hasil pembalasan dendam isterinya!
Berhasilkah? Masih hidupkah isterinya? Ataukah sudah tewas?
Can Ji Kun dan Ok Yan Hwa adalah dua orang anak yang biasanya dimanja oleh Hauw Lam. Suhu mereka
ini adalah seorang yang selalu gembira, tidak pernah marah, maka mereka itu amat manja terhadap suhunya.
Hanya subo mereka yang berwatak keras terhadap mereka dan dua orang murid ini amat takut
kepada Mutiara Hitam. Di bawah asuhan suami isteri itu, mereka berdua akan menjadi murid-murid yang
baik karena dari Hauw Lam mereka mendapatkan kasih sayang yang diperlihatkan dan menerima
kegembiraan, ada pun dari Mutiara Hitam mereka mendapatkan tekanan agar rajin dan mengenal disiplin.
Kini setelah Mutiara Hitam pergi, tidak ada yang mereka takuti lagi dan biar pun mereka masih tekun
belajar di bawah asuhan Tang Hauw Lam, namun mereka itu kini sering kali bermain-main sendiri dan tidak
mempedulikan guru mereka. Hal ini adalah karena Tang Hauw Lam juga sudah seperti sebuah arca,
kehilangan semangatnya sehingga dia pun tidak mempedulikan muridnya kecuali dalam hal pelajaran ilmu
silat.
Setelah dua orang murid itu tahu bahwa subo mereka pergi hendak membunuh Raja Mongol dan
melakukan tugas yang berbahaya sekali, mereka kini pun ikut menanti-nanti sehingga tiga orang ini selain
belajar ilmu, juga sering kali duduk termenung menanti kembalinya Mutiara Hitam yang amat diharapharapkan.....
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
“Mengapa Paduka tidak suka ikut bersama bibi Paduka Mutiara Hitam saja? Bukankah dengan ikut beliau,
Paduka sama dengan ikut orang tua sendiri dan kelak dapat mempelajari ilmu silat tinggi yang dimiliki
pendekar sakti Mutiara Hitam?” Khu Tek San bertanya kepada Maya ketika mereka duduk beristirahat di
bawah pohon besar berlindung dari terik matahari.
Maya menarik napas panjang. “Paman Khu, harap jangan menyebut Paduka padaku. Sesungguhnya, aku
bukanlah puteri Khitan asli, dan aku hanyalah anak pungut Raja dan Ratu Khitan saja! Mereka tidak
mempunyai keturunan dan aku adalah seorang yang yatim piatu. Karena itulah maka aku tidak suka ikut
dengan Bibi Mutiara Hitam yang tentu tahu pula bahwa aku bukan keponakannya sesungguhnya. Aku
orang biasa, Paman Khu.”
Khu Tek San mengerutkan alisnya. Baru sekarang ia mendengar akan hal ini. Akan tetapi anak sendiri
ataukah anak angkat sama saja, anak ini adalah puteri Khitan yang harus dia lindungi dan ia hadapkan
kepada gurunya.
“Baiklah, Maya. Mulai sekarang, demi keselamatanmu sendiri, engkau kuakui sebagai keponakanku.
Marilah kita melanjutkan perjalanan. Di depan sana, lewat bukit itu adalah benteng bertahanan barisan
Sung, kawan-kawan sendiri. Setelah bertemu mereka, perjalanan ke selatan tentu lebih lancar. Kita dapat
menunggang kuda.”
Berangkatlah mereka berdua dan karena biar pun baru berusia sepuluh tahun, Maya telah memiliki
kepandaian lumayan. Apa lagi setelah ia makan buah-buah merah yang biar pun kini khasiatnya sudah
banyak berkurang namun telah mempertinggi ginkang-nya, maka perjalanan itu dapat dilakukan cepat.
Baru sekarang Maya tahu bahwa khasiat buah merah yang membuat tubuh ringan itu hanya sementara,
dan agaknya orang-orang aneh itu setiap waktu makan buah-buah itu. Pantas saja ketika pohon buah itu
ketahuan olehnya, mereka ribut-ribut takut kalau buahnya dihabiskan!
Mereka melewatkan malam di lereng bukit. Pada keesokan harinya, sebelum tengah hari mereka telah tiba
di daerah penjagaan bala tentara Sung. Hati Khu Tek San girang bukan main dan ia mengajak Maya untuk
mempercepat jalannya. Gembira hatinya akan bertemu dengan anak buah pasukan negaranya dan
panglima-panglima yang menjadi rekan-rekannya.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan penasaran hati panglima perkasa ini ketika ia tiba di
tempat penjagaan, ia segera dikurung oleh pasukan Kerajaan Sung dan muncullah beberapa orang
panglima berkuda yang menghadapinya dengan sikap kereng, bahkan seorang panglima yang bertubuh
tinggi besar dan penuh wibawa membentak nyaring.
“Khu Tek San! Atas perintah atasan, kami menangkapmu sebagai seorang pengkhianat!” Panglima itu lalu
memberi perintah kepada anak buahnya. “Belenggu kedua lengannya, bocah perempuan itu juga!”
“Apa artinya ini...?” Khu Tek San hampir tidak percaya akan mata dan telinganya sendiri.
“Hemmm, Khu Tek San! Apakah engkau hendak memberontak pula melawan pasukan negara?” tanya
panglima tinggi besar itu dengan alis berkerut. Wajahnya muram, agaknya dia tidak suka melakukan tugas
ini, juga dua orang panglima lain memandang tanpa banyak cakap dengan wajah murung.
“Aku tidak akan melawan. Silakan!” Khu Tek San memberikan kedua lengannya yang segera dibelenggu
dengan belenggu besi yang kuat. Juga Maya yang hanya dapat memandang Khu Tek San dengan mata
terbelalak tidak melawan ketika kedua tangannya dibelenggu dengan rantai besi yang lebih kecil. Hemm,
agaknya rantai-rantai itu telah dipersiapkan sebelumnya, pikir Khu Tek San.
Ia memandang kepada tiga orang panglima itu dan kemudian berkata lantang, “Ong Ki Bu! Cong Hai dan
engkau Kwee Tiang Hwat! Kalian bertiga telah mengenal orang macam apa adanya Khu Tek San! Kalian
adalah rekan-rekanku yang sudah mengenal watakku, sudah mengenal sepak terjangku! Mengapa kini
kalian menangkapku dengan tuduhan berkhianat?”
Sejenak tiga orang panglima itu tidak menjawab dan saling pandang, kemudian Ong Ki Bu, panglima tinggi
besar itu, berkata, “Khu Tek San, engkau tahu bahwa petugas-petugas seperti kita hanya mentaat perintah
dunia-kangouw.blogspot.com
atasan! Engkau dituduh telah berkhianat terhadap negara, telah menjadi kaki tangan bangsa Yucen,
bahkan engkau dituduh telah melindungi puteri Khitan. Jelas bahwa engkau tidak setia kepada Kerajaan
Sung, dan karena itu, kami akan menjalankan perintah atasan untuk menghukummu sekarang juga!”
“Apa...?” Khu Tek San membentak marah. “Aku bukannya orang yang takut menghadapi hukuman apa pun
juga! Akan tetapi, salah atau tidak, seorang panglima baru akan menjalani hukuman setelah diperiksa di
pengadilan tinggi di kota raja! Mengapa aku akan dihukum tanpa melalui pemeriksaan pengadilan?”
Kembali tiga orang panglima itu kelihatan tidak enak sekali, muka mereka berubah merah. Dengan suara
serak dan terpaksa Ong Ki Bu berkata, “Semua ini bukan kehendak kami, Khu Tek San, melainkan atas
perintah.”
“Atas perintah siapa? Apakah Hong Siang sendiri yang memerintahkan? Harap suka perlihatkan perintah
dari Kaisar!”
“Kaisar tidak mengurus hal-hal ketentaraan di perbatasan, kau tahu ini, Khu Tek San?” jawab Ong Ki Bu
yang agaknya benar-benar tidak enak hatinya menghadapi urusan ini dan ingin agar segera selasai. “Kalau
engkau hendak mendengar bunyi perintah atasan, nah, dengarlah!” Panglima tinggi besar itu lalu
mengeluarkan segulung kertas dan membaca dengan suara lantang.
‘Karena sudah jelas bahwa Panglima Khu Tek San telah melakukan pengkhianatan terhadap negara
dengan menjadi kaki tangan Kerajaan Yucen, maka kami memerintahkan kepada semua panglima yang
menjaga di tepi tapal batas untuk menangkapnya dan menjatuhkan hukuman mati gantung di tempat ia
ditangkap!’
Wajah Khu Tek San tidak berubah, sedikit pun ia tidak kelihatan gentar sungguh pun matanya
membayangkan penasaran dan amarah. “Itu fitnah belaka! Siapakah yang menjatuhkan perintah ini, Ongciangkun?”
“Perintah atasan harus ditaati dan kiranya tidak perlu kita perbantahkan lagi, Khu Tek San. Bersiaplah
untuk menjalani hukuman gantung.” Panglima itu memberi aba-aba kepada anak buahnya dan menunjuk
ke depan.
Khu Tek San memandang ke depan dan melihat bahwa di atas pohon bahkan telah tersedia tali gantungan
untuknya! Benar-benar hukuman yang telah direncanakan dan diatur terlebih dahulu. Akan tetapi ia
mengenal betul tiga orang panglima itu sebagai panglima-panglima yang gagah dan taat sehingga tidak
mungkin mereka itu melakukan fitnah dan mencelakakan dirinya. Tentulah ada orang lain yang
menjatuhkan perintah ini!
“Paman, kurasa ini pun hasil perbuatan manusia bernama Siangkoan Lee itu...,” tiba-tiba Maya berbisik.
Anak ini sama sekali tidak merasa ngeri melihat betapa maut mengancam Khu Tek San yang akan
digantung, bahkan mungkin mengancam dirinya sendiri. Dia tetap tenang dan menjalankan otaknya.
“Benar...! Kau benar...!” Panglima yang gagah perkasa itu mengepal kedua tinjunya di antara rantai
belenggunya, berdiri tak jauh dari tali gantungan yang sudah siap. Kemudian ia membalikkan tubuhnya dan
berkata dengan suara lantang.
“Aku Khu Tek San, sebagai seorang panglima yang selalu siap mengorbankan nyawa untuk negara, taat
akan bunyi perintah dan karena tidak diadakan pengadilan, maka aku pun tidak perlu untuk membela diri.
Hanya kuminta kepada kalian, pelaksana perintah yang taat, agar tidak mengganggu keponakanku ini
karena di dalam surat perintah itu tidak disebut untuk menghukumnya. Aku minta kepada Ong Ki Bu
sebagai bekas rekan yang baik, sukalah mengantar keponakanku ini kepada Menteri Kam Liong!”
“Permintaanmu kuterima, Khu Tek San!” Terdengar Ong-ciangkun mengguntur. “Dan kalau aku Ong Ki Bu
sudah menerima, tidak ada seekor setan pun akan boleh mengganggu anak itu!”
Khu Tek San tersenyum dan wajahnya berseri ketika ia memandang panglima tinggi besar itu. “Terima
kasih! Terima kasih, bukan hanya atas pertolonganmu terhadap anak ini, rekanku Ong, juga terima kasih
dunia-kangouw.blogspot.com
karena sikapmu ini membuktikan bahwa Panglima-panglima Sung masih merupakan laki-laki sejati yang
jantan dan gagah perkasa. Nah, aku siap menerima hukuman!”
Khu Tek San melangkah maju menghampiri tali gantungan. Maya memandang dengan mata terbelalak,
bukan karena ngeri melainkan karena kagum akan sikap yang gagah perkasa ini!
Seorang prajurit yang menerima perintah sudah maju dan menurunkan tali gantungan, dikalungkan ke
leher Khu Tek San, kemudian ia mundur untuk menarik ujung tali dari belakang batang pohon bersama tiga
orang temannya. Khu Tek San berdiri dengan sikap gagah, mata terbuka lebar, siap menerima datangnya
maut.
“Siaaappp!” terdengar aba-aba, lalu disusul perintah untuk menarik ujung tali sehingga lubang gantungan
akan menjerat leher Khu Tek San dan menggantungnya ke atas.
“Krekkk!” Bukan tubuh Khu Tek San yang tergantung ke atas, melainkan tali gantungan itu yang tiba-tiba
putus dan jatuh ke bawah kaki Khu Tek San!
Semua orang terheran, lalu memandang ke atas dan ributlah mereka ketika melihat seorang pemuda
tampan tahu-tahu telah duduk menongkrong di atas dahan pohon, di mana terdapat tali gantungan tadi.
Ong Ki Bu dan para panglima lainnya, juga Khu Tek San sendiri, terkejut sekali melihat betapa pemuda itu
dapat berada di situ tanpa ada yang tahu, padahal di situ terdapat banyak orang pandai!
Melihat, pemuda itu jelas datang hendak menolongnya, hati Khu Tek San menjadi khawatir dan tidak
senang, karena hal ini tentu saja berarti bahwa dia benar-benar akan memberontak dan melawan perintah
atasan. Maka ia berseru, “Hei, Enghiong muda yang lancang! Harap jangan mencampuri urusan
ketentaraan! Aku Khu Tek San dengan rela menjalani hukuman, mengapa engkau gatal tangan
mencampurinya?”
Pemuda itu tersenyum dan semua orang memandang heran. Dia masih muda sekali, paling banyak dua
puluh satu tahun umurnya, wajahnya tampan dan sikapnya gagah, pedangnya tergantung di punggung dan
biar pun menghadapi pasukan sekian banyaknya ia kelihatan tenang tenang saja.
“Khu-ciangkun, engkau adalah seorang gagah perkasa yang patut dipuji dan dikagumi semua orang.
Engkau contoh kegagahan. Akan tetapi yang kusaksikan ini bukanlah hukuman ketentaraan, melainkan
hukum rimba! Di mana ada aturannya seorang panglima yang sudah banyak jasanya seperti Khu-ciangkun,
tanpa diadili lalu dihukum begitu saja, digantung di dalam rimba? Tidak malukah para panglima yang
melakukan tugas rendah ini?”
“Heh, orang muda! Turunlah dan kita bicara yang benar! Aku adalah Ong Ki Bu yang bertanggung jawab
atas pelaksanaan hukuman ini. Engkau siapa?”
Pemuda itu melayang turun, gerakannya ringan dan indah. Ia sudah berdiri di depan Ong-ciangkun dengan
tersenyum tenang. “Aku bernama Kam Han Ki...”
“Ohhh...!” Khu Tek San tak dapat menyembunyikan kagetnya, ia memandang bengong dan terbelalak.
Tentu saja ia mendengar dari suhu-nya bahwa suhu-nya mempunyai seorang adik misan yang semenjak
kecil lenyap dan disangka sudah mati, bernama Kam Han Ki. Sekarang tahu-tahu muncul di situ sebagai
seorang pemuda tampan gagah yang berani menentang pasukan bala tentara Sung!
“Kami melaksanakan hukuman atas perintah atasan, hal ini sudah benar dan syah! Mengapa engkau
berani mengatakan hukum rimba?” Ong Ki Bu membentak marah.
“Sabarlah, Ong-ciangkun. Sejak tadi aku sudah mendengar semua dan aku pun tahu bahwa para panglima
adalah orang-orang gagah perkasa seperti Khu-ciangkun, yang setia akan tugas dan melaksanakan
perintah atasan tanpa ragu-ragu lagi. Akan tetapi, demi keadilan, perlu kau perlihatkan, atasan yang
manakah yang memerintahkan engkau menggantung Khu-ciangkun? Ketahuilah bahwa aku pun datang
sebagai utusan dari kota raja!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Semua orang terkejut. Dengan muka merah saking penasaran karena orang tidak mempercayai dirinya,
Ong Ki Bu mengeluarkan gulungan surat perintah dan membukanya di depan orang banyak sambil berseru
keras.
“Yang menjatuhkan perintah adalah Panglima Besar Suma Kiat! Apakah masih tidak dipercaya lagi?”
“Hemm, hemm... surat bisa dipalsukan. Dari siapa engkau menerima surat perintah ini, Ong-ciangkun?”
Han Ki bertanya.
Ong-ciangkun melotot kepada Han Ki dan membentak. “Orang muda, sudah puluhan tahun aku menjadi
panglima! Apa kau kira aku begitu sembrono untuk tidak meneliti surat perintah tulen atau palsu? Surat ini
tulen, apa lagi yang membawa ke sini adalah murid dan pembantu Suma-goanswe sendiri!”
“Di mana dia? Harap engkau suka memanggilnya!” Han Ki mendesak.
Panglima itu menyuruh anak buahnya, akan tetapi dicari-cari, utusan Suma Kiat itu tidak ada. “Wah, dia...
dia sudah pergi tanpa pamit. Sungguh aneh!” Ong-ciangkun berkata heran.
Kam Han Ki lalu berkata, “Ong-ciangkun, Khu-ciangkun dan semua saudara yang berada di sini, dengarlah.
Aku adalah adik misan dari Menteri Kam Liong, dan ketahuilah bahwa Khu-ciangkun adalah murid dari
Kakakku Kam Liong. Kini aku membawa surat perintah dari Menteri Kam Liong yang memiliki kedudukan
lebih tinggi dari pada Panglima Suma, harap kalian suka mengindahkan perintahnya!” Han Ki
mengeluarkan segulung surat pula.
Dengan tergesa-gesa Ong Ki Bu menerima dan membaca surat itu yang berbunyi:
MENTERI KAM LIONG MENGUTUS PETUGAS KAM HAN KI UNTUK MENJEMPUT DAN MEMANGGIL
PULANG PANGLIMA KHU TEK SAN KE KOTA RAJA.
Wajah panglima tinggi besar itu berseri-seri dan ia tertawa bergelak. “Ha-ha-ha! Lega hatiku sekarang!
Tentu saja aku lebih mentaati perintah Menteri Kam Liong! Siapa berani membantah perintah beliau? Dan
dengan adanya perintah Menteri Kam Liong, terpaksa aku membatalkan perintah Panglima Suma. Tak ada
yang akan menyalahkan aku. Ha-ha-ha, rekan Khu Tek San, dasar orang baik selalu dilindungi Thian!
Pemuda perkasa ini datang mengembalikan nyawamu, ha-ha-ha! Engkau tentu tahu betapa tak senang
hati kami semua melaksanakan perintah tadi, akan tetapi dia merupakan seorang yang kedudukannya
lebih tinggi dari kita, mana kami dapat membantah?”
“Aku mengerti, Sahabat Ong, dan terima kasih,” kata Khu Tek San.
Setelah dilepas belenggu tangannya dan tangan Maya, Khu Tek San lalu menjatuhkan diri berlutut di
depan Kam Han Ki sambil berkata, “Teecu Khu Tek San mengucapkan terima kasih atas bantuan Susiok
(Paman Guru)!”
Kam Han Ki cepat mengangkat bangun orang yang lebih tua akan tetapi karena menjadi murid kakak
misannya maka menjadi pula murid keponakannya itu. “Khu-ciangkun, harap jangan berlaku sungkan. Mari
kuantar ke kota raja bersama anak yang kau tolong itu. Maya namanya, bukan?”
Maya memandang kepada Kam Han Ki penuh perhatian, kemudian menegur Khu Tek San. “Paman Khu,
dia masih begini muda, kenapa Paman berlutut menghormatnya? Sungguh tidak layak, membikin dia besar
kepala dan sombong saja!”
“Hushh, Maya, jangan berkata demikian! Dia itu paman guruku!” kata Khu Tek San cepat-cepat.
“Hemm, aku berani bertaruh, kepandaiannya tidak seberapa hebat. Mana mampu menandingi Paman?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Khu Tek San merasa tidak enak sekali. Kam Han Ki memandang Maya dengan alis berkerut dan mata
marah, akan tetapi ia pun tidak berkata apa-apa, hanya mukanya berubah merah dan sinar matanya saja
yang memaki, “Bocah nakal cerewet kau!”
Akan tetapi, tentu saja di depan Khu Tek San dan para panglima dia tidak mau cekcok dengan seorang
anak perempuan! Maka untuk menutupi kemendongkolan hatinya ia berkata, “Khu-ciangkun, harap engkau
suka mengganti pakaian Panglima Yucen dengan pakaian rakyat biasa agar tidak menimbulkan hal-hal
yang tidak menyenangkan dalam perjalanan yang jauh ke kota raja.”
Khu Tek San membenarkan pendapat ini dan dengan suka hati para rekannya lalu mempersiapkan
pakaian sipil untuk Khu Tek San, bahkan menyediakan tiga ekor kuda yang baik untuk mereka. Setelah
berpamit dan mengucapkan terima kasih, berangkatlah Khu Tek San, Kam Han Ki dan Maya menunggang
tiga ekor kuda menuju ke selatan.
Di sepanjang perjalanan ke selatan ini, atas pertanyaan Khu Tek San, Han Ki bercerita bahwa dia diutus
oleh Menteri Kam Liong untuk menyelidiki keadaannya karena lama tidak ada berita. Kemudian setelah
menyelidiki ke Yucen, Han Ki terlambat karena Khu Tek San telah pergi bersama Maya.
“Aku mendengar cerita tentang Ciangkun dan Maya yang ditolong oleh Mutiara Hitam dan suaminya.
Hemm, ternyata hebat sekali kakakku itu!” kata Han Ki. “Karena mendengar bahwa engkau telah pergi ke
selatan, maka aku cepat menyusul dan untung bahwa Kam-taijin telah waspada dan membekali segulung
surat perintah untukku. Kalau tidak, agaknya terpaksa aku harus meniru perbuatan Kakakku Mutiara Hitam
dan memaksa mereka melepaskanmu!”
“Memang telah terjadi hal-hal yang amat aneh,” kata Khu Tek San yang menceritakan pengalamannya,
betapa kurirnya terbunuh oleh orang yang bernama Siangkoan Lee seperti terlihat oleh Maya dan betapa
rahasianya di Yucen terbuka sehingga dia hampir celaka kalau saja tidak ditolong Mutiara Hitam.
“Hebatnya, orang yang bernama Siangkoan Lee itu agaknya masih melanjutkan usahanya untuk
mencelakakanku! Akan tetapi... hemmmm, memang tidaklah aneh lagi kalau sudah diketahui bahwa dia
adalah murid dan pembantu Suma-goanswe...,” Khu Tek San mengakhiri ceritanya sambil menganggukangguk.
“Kenapakah, Khu-ciangkun? Apakah Suma-goanswe musuhmu?” Han Ki bertanya.
Tek San menggeleng kepala. “Sesungguhnya bukan aku yang mereka musuhi. Mereka memukul aku untuk
melukai Suhu.”
“Ah, begitukah? Jenderal Suma itu memusuhi Menteri Kam? Mengapa?”
Kembali Tek San menggeleng kepala dan menarik napas panjang. “Hal itu adalah urusan keluarga, aku
tidak berhak mencampuri. Susiok tentu dapat bertanya kepada Suhu.”
“Keluarga Suma adalah keluarga iblis! Tentu saja mereka selalu memusuhi orang baik-baik seperti Paman
Khu!” Maya yang sejak tadi mendengarkan percakapan mereka tiba-tiba berkata gemas.
Kam Han Ki yang masih marah kepada gadis cilik itu memandang dan berkata dengan suara dingin, “Huh,
kau bocah tahu apa?”
Maya membalas pandangan Han Ki dengan mata melotot dan suaranya tidak kalah dinginnya, “Kalau aku
bocah, apakah engkau ini seorang kakek? Sombongnya, merasa diri sendiri paling tua dan paling pandai!”
“Eh, Maya, jangan bersikap begitu kurang ajar!” Khu Tek San cepat mencela bekas puteri Khitan itu. “Kamsusiok
ini adalah adik dari Suhu, dengan demikian berarti masih saudara misan dari mendiang ayahmu,
Raja Khitan. Dia ini adalah pamanmu sendiri! Hayo cepat, memberi hormat dan minta maaf.”
Maya duduk di atas punggung kudanya, menoleh ke arah Han Ki dan mencibirkan bibirnya! Akan tetapi
karena ia tahu bahwa Khu Tek San memandangnya dengan mata terbelalak marah, ia lalu berkata, “Dia
dunia-kangouw.blogspot.com
bukan pamanku! Kulihat dia belum begitu tua untuk menjadi paman, hanya lagaknya saja seperti kakekkakek!”
“Maya! Bagaimana kau berani bersikap kurang ajar seperti ini?” Khu Tek San membentak dengan muka
merah.
“Paman Khu, aku tidak biasa bersikap menjilat-jilat, apa lagi terhadap seorang yang sombong seperti dia.”
“Maya!” Kembali Khu Tek San membentak, matanya mengerling penuh kekhawatiran ke arah Han Ki.
“Sudahlah Khu-ciangkun. Bocah seperti ini memang biasanya sukar diurus! Dia ini sudah rusak karena
terlalu dimanja,” Han Ki berkata dengan sikap tenang, akan tetapi sebenarnya pemuda ini merasa betapa
perutnya menjadi panas dan ingin sekali dia menempiling kepala gadis cilik yang menggemaskan itu.
Kedua pipi Maya menjadi merah saking marahnya. Ia membusungkan dada dan menegakkan kepala ketika
memandang Han Ki sambil berkata, “Aku sudah rusak karena dimanja, ya? Dan kau sudah bobrok karena
sombong!”
“Maya!” Khu Tek San membentak marah. “Kenapa sikapmu tiba-tiba berubah seperti ini? Engkau amat
sopan dan hormat kepadaku, mengapa kepada Kam susiok...”
“Karena engkau seorang yang baik dan gagah, Paman Khu. Dan dia ini... hemm....”
“Dia pamanmu sendiri!” Khu Tek San memperingatkan.
“Paman apa? Aku tidak mempunyai paman seperti dia!”
“Kalau engkau puteri Raja Khitan, berarti dia ini pamanmu sendiri!”
Maya mencibirkan bibirnya. “Aku pun bukan puteri Raja Khitan....”
“Apa...?” Khu Tek San berseru heran, bahkan Han Ki juga menoleh, memandang anak perempuan itu
dengan alis berkerut.
Memang pemuda ini merasa terheran-heran melihat Maya. Seorang anak perempuan yang ‘terlalu’ cantik
jelita, yang terlalu berani dan kini juga ternyata terlalu galak! Patutnya menjadi puteri Ratu Siluman!
“Sesungguhnyalah, Paman Khu. Tadinya aku tidak ingin membuka rahasia ini, akan tetapi untuk
membuktikan bahwa aku bukanlah keponakan dia ini, terpaksa kukatakan bahwa aku sebenarnya bukan
Puteri Raja dan Ratu Khitan! Aku hanyalah seorang keponakan luar saja yang diambil anak sejak kecil.
Aku hanyalah anak angkat saja!”
Khu Tek San mengangguk-angguk dan berkata, “Biar pun demikian, berarti engkau adalah puteri Raja
Khitan, Maya. Dan karena itu, engkau tidak boleh bersikap kurang ajar terhadap Kam-susiok. Dia adalah
adik misan Raja Khitan. Selain itu, kalau tidak ada Kam-susiok ini, apakah, kau kira kita dapat selamat?”
“Cukuplah, Khu-ciangkun. Di sebelah depan ada rombongan orang, sebaiknya kita melanjutkan perjalanan
dan menyusul rombongan itu. Aku ingin tahu siapakah mereka yang lewat di daerah sunyi ini,” kata Han Ki.
“Baiklah, Susiok.” Khu Tek San lalu mengajak Maya mengejar Han Ki yang sudah membalapkan kudanya.
Maya menurut dengan mulut cemberut. Entah mengapa, dia merasa tidak senang kepada Han Ki
semenjak pemuda itu muncul dengan gaya yang dianggapnya sombong dan angkuh, yang dianggapnya
tidak menaruh perhatian sama sekali terhadap dirinya! Pandang mata pemuda itu menyapu lewat begitu
saja seolah-olah dia hanyalah sebuah patung yang tiada harganya untuk dipandang dengan perhatian.
Pemuda itu sama sekali tidak memperhatikannya! Pemuda itu sombong dan dia membencinya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Khu Tek San diam-diam merasa kagum sekali ketika tak lama kemudian melihat bahwa benar-benar
terdapat serombongan orang di sebelah depan. Ia kagum akan ketajaman mata dan telinga pemuda yang
menjadi susiok-nya itu. Hal ini saja menebalkan dugaannya bahwa pemuda ini tentu memiliki kepandaian
yang luar biasa tingginya!
Mereka bertiga menahan kuda ketika melewati rombongan itu. Melihat pakaian dan bendera yang
terpasang di atas sebuah kereta, tahulah Khu-ciangkun dan Han Ki bahwa rombongan itu adalah
serombongan piauwsu yang mengawal barang-barang dalam kereta itu. Mereka terdiri dari tujuh orang
yang bersikap gagah dan bendera yang berkibar di atas kereta dihias lukisan sebatang golok dengan
sulaman benang perak, di bawah golok ditulisi huruf ‘Gin-to Piauw-kiok’ (Perusahaan Pengawal Golok
Perak).
Melihat datangnya tiga orang penungang kuda, tujuh orang piauwsu itu dengan sikap tenang dan waspada
sudah menjaga kereta dan mata mereka memandang ke arah Khu Tek San penuh selidik.
Panglima she Khu ini sudah mendengar akan kegagahan para piauwsu ‘Golok Perak’, maka ia cepat
menjura dan berkata, “Cu-wi Piauwsu hendak mengantar barang ke manakah?”
Kecurigaan tujuh orang itu berkurang ketika mereka menyaksikan sikap Khu Tek San yang ramah dan
sopan, juga Khu-ciangkun tampak gagah perkasa. Sedangkan Kam Han Ki biar pun membawa pedang di
punggungnya namun kelihatan halus sikapnya, halus dan tampan, tidak patut menjadi anggota perampok.
Apa lagi Maya, gadis cilik itu.
Pemimpin mereka, seorang yang dahinya lebar, membalas penghormatan Khu Tek San sambil berkata,
“Kami tujuh orang piauwsu dari Gin-to Piauw-kiok hendak pergi ke kota raja, mengantar barang-barang
sumbangan untuk istana Kaisar. Tidak tahu siapakah Sam-wi yang terhormat dan hendak pergi ke
manakah?”
Khu Tak San maklum bahwa orang itu sengaja mempergunakan nama ‘Istana kaisar’ untuk menggertak
kalau-kalau ada niat jahat hendak merampok kereta, maka ia tersenyum dan berkata, “Harap Cu-wi tidak
usah khawatir. Aku orang she Khu bukanlah perampok, maka tidaklah perlu Cu-wi menyebut nama istana
Kaisar. Ha-ha-ha!”
Akan tetapi pemimpin piauwsu itu cepat berkata dengan suara tegas, “Kami harap Khu-sicu tidak
mentertawakan kami karena sesungguhnyalah bahwa yang kami kawal adalah barang-barang sumbangan
dari para pedagang dan pembesar daerah kami untuk Kaisar.”
Tertariklah hati Khu Tek San. Ia adalah seorang panglima dan bahkan seorang yang mempunyai
kedudukan cukup penting di kota raja, sebagai pembantu Menteri Kam, maka cepat dia bertanya, “Maafkan
kalau tadi aku salah duga. Akan tetapi ada terjadi urusan apakah di kota raja maka para pedagang dan
pembesar mengirim sumbangan kepada Kaisar?”
“Aihhh! Agaknya Sam-wi telah lama meninggalkan selatan!” Pimpinan piauwsu itu berseru heran. “Kota raja
telah ramai dan dalam keadaan pesta-pora karena Kaisar akan merayakan pernikahan seorang di antara
puteri-puteri istana. Siapakah yang tidak mendengar bahwa Kaisar akan menghadiahkan puteri tercantik,
kembangnya istana, Puteri Song Hong Kwi kepada Raja Yucen?”
“Ouhhh...!”
“Susiok...! Kau.... kau... kenapakah....?”
Tiba-tiba Tek San meloncat turun dari kudanya dan menangkap kendali kuda yang diduduki Han Ki karena
tiba-tiba saja pemuda itu duduk miring di atas kudanya dan kudanya hendak lari karena kendalinya tidak
dikuasai Han Ki.
“Ahhh... tidak apa-apa...” Han Ki berkata. Ia sudah dapat menguasai kembali hatinya yang terguncang
hebat mendengar keterangan piauwsu itu. Akan tetapi wajahnya menjadi pucat sekali dan dahinya
berkeringat. “Mari... kita melanjutkan perjalanan secepatnya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Khu Tek San masih merasa heran menyaksikan pemuda itu yang tiba-tiba menjadi pucat dan muram
wajahnya. Akan tetapi dia tidak berani bertanya dan mendengar ajakan Han Kit dia berkata, “Rombongan
piauwsu ini mengawal barang-barang sumbangan untuk istana. Sudah menjadi kewajiban kita untuk
membantu mereka menyelamatkan barang-barang ini sampai ke istana. Sebaiknya kita melakukan
perjalanan bersama mereka.”
Alasan itu kuat sekall dan Han Ki yang tidak ingin terbuka rahasia hatinya mengangguk. Tujuh orang
piauwsu itu girang sekali ketika rmendengar pengakuan Khu Tek San bahwa dia adalah seorang Panglima
Sung dan hendak memperkuat pengawalan atas barang-barang yang hendak disumbangkan kepada
Kaisar. Maka berangkatlah rombongan yang kini terdiri dari sepuluh orang itu.
Di sepanjang perjalanan Maya mendapat kenyataan betapa terjadi perubahan besar sekali atas diri Han Ki.
Dia membenci pemuda yang dianggapnya sombong itu, akan tetapi entah mengapa dia selalu
memperhatikan Han Ki. Tanpa disadarinya, dia selalu memandang dan memperhatikan pemuda yang
‘dibencinya’ itu sehingga delapan orang teman seperjalan dan yang lain seolah-olah tidak tampak lagi
olehnya! Karena selalu menaruh perhatian secara diam-diam inilah yang membuat Maya dapat mellhat
perubahan hebat atas diri Han Ki.
Pemuda itu kelihatan murung sekali dan seperti bunga melayu dan mengering kekurangan air. Pemuda itu
tidak lagi mau bercakap-cakap, selalu menjauhkan diri di waktu mereka beristirahat, duduk menjauh lalu
termenung dengan alis berkerut. Bahkan Han Ki jarang sekali mau makan kalau tidak didesak-desak oleh
Tek San yang juga merasa heran dan khawatir akan keadaan pemuda itu yang selalu mengelak kalau
ditanya. Di waktu malam Maya melihat betapa Han Ki tidak pernah tidur, duduk melamun menggigit kuku
jari tangan atau menggigiti sebatang rumput yang dicabutnya dari dekat kaki.
Bahkan sering kali Maya mendengar dia menarik napas panjang dan mengeluh lirih, keluhan yang
mengandung rintihan seolah-olah pemuda itu merasa berduka sekali, rasa duka yang ditahan-tahan dan
hendak disembunyikan dari orang lain. Kadang-kadang Maya melihat pemuda itu mengusapkan punggung
tangannya ke depan mata sehingga ia dapat menduga bahwa pemuda itu telah menangis sungguh pun tak
pernah ia dapat melihat air matanya.
Memang amat berat penanggungan yang diderita di hati Han Ki. Ketika mendengar penuturan piauwsu
tentang hendak dinikahkannya Puteri Sung Hong Kwi, seolah-olah ada petir menyambar kepalanya,
langsung memasuki jantung, menghanguskan hati dan menghancurkan perasaannya. Hong Kwi,
kekasihnya itu akan dikawinkan dengan Raja Yucen! Membayangkan wanita satu-satunya di dunia ini yang
dicintanya sepenuh hati dan nyawanya menjadi isteri orang lain membuat Han Ki merasa tertusuk
perasaannya dan ia seolah-olah kehilangan gairah hidup.
Kalau saja Hong Kwi adalah seorang gadis biasa, tentu dia tidak akan segelisah itu. Kalau sudah sama
mencinta, tentu dia akan dapat mengajak Hong Kwi pergi jauh meninggalkan segala keruwetan dunia.
Akan tetapi Hong Kwi adalah seorang puteri Kaisar! Mencintanya saja sudah merupakan hal yang langka,
meminangnya akan merupakan hal yang amat sukar dan dia hanya dapat mengandalkan bantuan Menteri
Kam. Kini Hong Kwi sudah dijodohkan dengan orang lain, bukan sembarang orang melainkan Raja Yucen
sendiri! Bagaimana mungkin ia akan dapat berdaya memiliki kekasihnya? Mengajaknya lari? Tidak
mungkin! Habis, apa yang akan ia lakukan? Han Ki tidak dapat menjawab pertanyaannya sendiri dan dia
makin gelisah, berduka dan putus harapan.
Keadaan Han Ki yang makin pucat dan makin berduka serta wajahnya yang selalu murung itu
mendatangkan perasaan aneh sekali di hati Maya. Kini melihat keadaan pemuda itu, lenyap sama sekali
rasa benci di hati gadis cilik ini, berubah menjadi perasaan iba dan khawatir! Ia seakan-akan terseret ke
dalam lembah duka, terbawa oleh arus kedukaan yang ditimbulkan Han Ki. Berkali-kali secara berbisikbisik
ia bertanya kepada Khu Tek San, namun panglima ini pun tidak tahu apa yang menyebabkan pemuda
itu kelihatan begitu bersedih. Untuk bertanya, dia tidak berani.
Sebagai seorang yang berpengalaman Khu Tek San maklum bahwa seorang pemuda aneh seperti Han Ki,
kalau menyimpan rahasia, biar dipaksa sampai mati sekali pun tidak akan membuka rahasianya itu, dan
kalau ditanya, tentu akan menimbulkan ketidak-senangan. Maka dia hanya memandang dengan khawatir,
dunia-kangouw.blogspot.com
diam-diam mengambil keputusan untuk melaporkan sikap Han Ki yang penuh duka itu kepada gurunya
kelak.
Malam itu rombongan terpaksa bermalam di dalam sebuah hutan yang besar karena hujan turun sebelum
mereka dapat keluar dari hutan mencapai sebuah dusun. Untung bagi mereka bahwa di hutan itu terdapat
pegunungan karang yang banyak goanya sehingga mereka dapat berteduh di dalam goa sambil mengobrol
di dekat api unggun. Beberapa orang di antara mereka memasak air dan menghangatkan bekal makanan.
Hujan telah mereda dan akhirnya terhenti sama sekali ketika rombongan itu mulai makan. Seperti biasa,
Khu Tek San dan Maya mendapat bagian dari mereka, akan tetapi kembali Han Ki tidak mau makan,
malah keluar dari goa dan duduk menyendiri di atas batu di bawah pohon. Dia duduk melamun di bawah
sinar bulan yang mulai muncul setelah awan habis menimpa bumi menjadi air hujan dan angkasa menjadi
bersih membiru.
Hawa udara malam itu amat dingin sehingga hawa dingin masih terasa oleh mereka yang duduk dekat api
unggun di dalam goa. Namun Han Ki duduk termenung tanpa membuat api unggun dan dia tidak kelihatan
kedinginan. Hal ini adalah karena Han Ki telah memiliki sinkang yang amat kuat di tubuhnya sehingga dia
dapat membuat tubuhnya terasa hangat melawan hawa dingin dari luar tubuh.
Biar pun sedang melamun dan semangatnya seperti melayang-layang jauh, namun panca indranya yang
terlatih itu membuat Han Ki sadar bahwa ada orang melangkah mendekat dari belakangnya. Langkah yang
ringan namun bukan langkah seorang musuh, maka dia diam saja biar pun seluruh urat syaraf di tubuhnya,
seperti biasa siap menghadapi segala bahaya.
“Paman Han Ki...”
Alis Han Ki berkerut makin dalam sehingga sepasang alis itu seperti akan bersambung. Kiranya Maya yang
datang dan panggilan itu benar menambah panas hatinya yang sedang mengkal. Selama dalam perjalanan
semenjak ‘percekcokan’ mereka dahulu, gadis cantik itu tidak pernah menegurnya, bahkan tidak pernah
mau memandang langsung dan cepat-cepat membuang pandang matanya kalau kebetulan pandang mata
mereka bersilang. Anak yang manja, nakal, galak dan angkuh! Akan tetapi sekarang tiba-tiba datang dan
memanggilnya paman!
“Aku bukan pamanmu! Lupa lagikah engkau?” Han Ki berkata ketus, tanpa menoleh.
Akan tetapi Maya melanjutkan langkahnya dan kini berdiri di depan Han Ki yang duduk di atas batu,
menunduk. “Memang kita orang lain. Biarlah kusebut saja namamu. Han Ki, aku datang membawa
makanan untukmu. Makanlah!”
Han Ki terkejut dan terheran sehingga di luar kesadarannya ia mengangkat muka memandang. Gadis cilik
ini benar-benar amat cantik jelita. Masih kecil sudah jelas tampak kecantikannya. Wajah yang tertimpa
sinar bulan itu demikian cantik seperti bukan wajah manusia. Pantasnya seorang bidadari! Dan Maya
berdiri menunduk, memandangnya dangan sikap seorang ibu terhadap seorang puteranya dengan sikap
hendak menghibur!
Panas rasa perut Han Ki dan ia menjawab ketus. “Aku tidak mau makan! Kalau aku ingin makan, masa aku
menanti kau datang membawakan makanan untukku? Pergilah dan bawa makanan itu, kau makan sendiri!”
Han Ki merasa pasti bahwa jawaban ini tentu akan membuat marah gadis cilik yang galak itu dan memang
demikian yang ia kehendaki agar bocah ini segera pergi, tidak mengganggu dia yang sedang melamun.
Akan tetapi sungguh mengherankan, Maya tidak menjadi marah! Tidak melangkah pergi, masih berdiri di
situ memegang mangkok makanan, bahkan terdengar ia berkata lirih.
“Han Ki, engkau selalu berduka, tidak makan tidak tidur. Wajahmu pucat, tubuhmu kurus dan engkau selalu
muram dan layu. Mengapakah?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Ki merasa makin jengkel. Bocah ini benar-benar lancang mulut. Bocah seperti dia ini berani bertanyatanya
tentang urusan yang menjadi rahasia hatinya! Kalau dia tidak ingat bahwa anak perempuan yang
berdiri di depannya ini adalah puteri Raja Khitan, tentu sudah ditamparnya!
“Engkau cerewet benar! Pergilah dan jangan tanya-tanya hal yang tiada sangkut-pautnya dangan dirimu!”
la membentak lirih agar jangan terdengar oleh orang-orang lain di dalam goa.
“Hemmmm, di dunia ini tidak ada peristiwa yang aneh! Segala yang terjadi adalah wajar, siapa yang
memaksa kita harus bersuka atau berduka? Yang telah terjadi tetap terjadi, peristiwa yang sudah terjadi
merupakan hal yang telah lewat dan tidak mungkin dapat dirubah lagi, seperti lewatnya matahari dari timur
kemudian lenyap di barat. Tergantung kepada kita bagaimana menerima terjadinya peristiwa itu. Mau
diterima dangan duka atau dengan suka, tidak ada yang memaksa dan tidak akan mempengaruhi atau
merubah kejadian itu. Karena itu, mengapa berduka? Muka yang berduka tidak sedap dipandang! Dari
pada menangis, lebih baik tertawa! Dari pada berduka lebih baik bersuka kalau keduanya tidak merubah
nasib!”
Han Ki meloncat bangun seolah-olah kepalanya disiram air es! la memandang gadis cilik itu dangan mata
terbelalak dan mulut ternganga, hampir tidak percaya bahwa kata-kata yang keluar tadi adalah ucapan
Maya.
“Kau... kau... sekecil ini... sudah berpendapat sedalam itu??”
Maya tersenyum, girang melihat betapa ucapannya seolah-olah menyadarkan Han Ki dari alam duka. “Aku
hanya mendengar wejangan mendiang Ayah... eh, Pamanku Raja Khitan. Akan tetapi wejangan itu menjadi
peganganku ketika aku dilanda mala-petaka dan sengsara. Ayah bundaku telah tiada, Raja dan Ratu
Khitan yang menjadi ayah bunda angkat dan yang kucinta melebihi ayah bunda kandungku sendiri yang
tak pernah kukenal, telah gugur semua. Kerajaan Khitan hancur. Semua milikku, semua keluargaku
terbasmi habis. Adakah kesengsaraan yang lebih hebat dari pada yang kualami? Namun aku tidak
terpendam atau tenggelam kedukaan seperti engkau! Karena aku berpegang kepada wejangan Raja
Khitan tadi. Biar aku menangis dangan air mata darah, semua milikku takkan kembali, semua keluargaku
takkan hidup lagi. Maka, perlu apa menangis?”
Sejenak Han Ki memejamkan matanya dan teringatlah ia akan semua nasehat dan wejangan Bu Kek
Siansu, gurunya. Terbukalah mata hatinya dan sadarlah dia betapa selama ini ia benar-benar telah
bersikap bodoh dan lemah! Ia terharu sekali dan tiba-tiba ia memegang pinggang Maya dengan kedua
tangan, mengangkat tinggi-tinggi tubuh Maya sambil tertawa bergelak!
“Ha-ha-ha-ha! Seorang paman baru sadar setelah mendengar nasehat keponakannya! Betapa lucunya!
Terima kasih, Maya, anak manis! Terima kasih banyak!”
Akan tetapi tubuh Maya meronta dan kedua kakinya menendang-nendang marah. “Turunkan aku! Aku
bukan anak kecil!”
Han Ki tersenyum dan menurunkan tubuh Maya. Benar-benar anak ini luar biasa sekali. Sikapnya aneh,
kadang-kadang bersikap seperti orang dewasa!
“Dan aku bukan keponakanmu. Ingat Han Ki. Engkau bukan pamanku melainkan sahabatku. Sahabat baik!
Nah, makanlah!”
Han Ki duduk di atas batu sambil tersenyum, menerima mangkok itu dan makan dangan lahapnya. Maya
pergi dari situ dan kembali lagi membawa makanan lebih banyak yang semua disikat habis oleh Han Ki.
Pemuda itu baru sekarang merasa betapa lapar perutnya dan betapa tubuhnya amat membutuhkan
makanan. Kemudian, setelah minum air dan arak yang disediakan Maya sehingga perutnya terasa penuh
kekenyangan, dia merebahkan diri telentang dan tidur pulas! Dia tidak tahu betapa Maya duduk di
dekatnya, memandang wajahnya sambil tersenyurm puas! Tidak tahu betapa Maya membuat api unggun
tidak jauh dari situ sebelum meninggalkannya, masuk ke dalam goa untuk tidur ditemani Khu Tek San.
dunia-kangouw.blogspot.com
Semenjak malam itu Han Ki dapat menguasai dirinya lagi. Dia makan dan tidur seperti biasa sesuai dangan
kebutuhan tubuhnya, tidak lagi kehilangan semangat sehingga wajahnya tidak pucat lagi, tubuhnya juga
pulih. Kini hubungannya dangan Maya menjadi baik dan bahkan akrab, sering kali mereka duduk bercakapcakap
dan Han Ki menceritakan pengalaman-pengalamannya yang luar biasa di dunia kang-ouw, atau
kadang-kadang memberi petunjuk ilmu kepada gadis cilik itu.
Akan tetapi tak mungkin dia dapat melupakan hal yang mengecewakan hatinya, yaitu tentang Sung Hong
Kwi yang akan dikawinkan dangan Raja Yucen. Kalau teringat kepada kekasihnya, mau tidak mau Han Ki
termenung. Hanya kelincahan Maya saja yang selalu membuyarkan kedukaan ini dan mendatangkan
kegembiraan di hatinya.
Sementara itu, rombongan telah melakukan perjalanan jauh dan pada suatu hari mereka memasuki
sebuah hutan besar di sebelah utara tapal batas kota raja. Hutan ini sudah lama terkenal sebagai daerah
yang berbahaya karena di situ sering kali dihuni oleh perampok-perampok ganas yang menghadang
perjalanan yang menghubungkan kota raja dangan daerah utara. Khu Tek San yang mengenal daerah ini
segera memperingatkan para piauwsu.
Para piauwsu itu tertawa dan berkata, “Setelah kami ditemani oleh Khu-ciangkun, masa perlu takut
menghadapi gangguan perampok? Nama Gin-to Piauw-kiok bukan tidak terkenal di antara kaum liok-lim
dan kang-ouw. Sungguh kebetulan sekali kami bertemu dangan Ciangkun, pertemuan yang
menguntungkan kedua pihak, karena kita dapat bekerja sama saling bantu, bukan? Keselamatan barang
kawalan kami dan keselamatan dua orang keluarga Ciangkun dapat sama-sama kita lindungi!”
Mendengar ini Khu Tek San hanya mengangguk-angguk. Di hatinya merasa geli sebab ia tahu bahwa para
piauwsu ini memandang rendah kepada Kam Han Ki yang dianggapnya sebagai orang yang patut
dilindungi! Dengan pendengarannya yang tajam sekali, Han Ki yang berada agak jauh dari mereka juga
mendengar kata-kata pemimpin piauwsu, akan tetapi dia tidak peduli dan melanjutkan percakapannya
dangan Maya sambil menjalankan kuda perlahan-lahan.
Matahari telah naik tinggi ketika mereka tiba di sebuah tikungan dan tiba-tiba terdengar suara lengkinganlengkingan
panjang dari depan, kanan dan kiri tempat itu. Para piauwsu cepat menghentikan kereta
kawalan mereka, mencabut golok dan siap karena mereka maklum bahwa suara itu adalah tanda-tanda
yang dikeluarkan oleh para perampok. Dengan golok di tangan, tujuh orang piauwsu itu kelihatan gagah
sekali. Golok mereka terbuat dari pada perak, mengkilap putih tertimpa sinar matahari. Tangan kiri bertolak
pinggang, tangan kanan memegang golok melintang depan dada, kedua kaki berdiri tegak di kanan kiri
agak melebar, mata mereka bergerak-gerak mengerling ke kanan kiri penuh kewaspadaan.
Melihat semua piauwsu telah turun dari kuda, Khu Tek San juga meloncat turun dan menggiring semua
kuda mereka ke pinggir, mencancangnya pada pohon. Kam Han Ki bersikap tidak peduli, malah membawa
kudanya ke kanan, meloncat turun dan duduk di atas batu di bawah pohon dengan kepala menunduk.
Maya memandang tegang kepada para piauwsu. Gadis cilik ini pun maklum bahwa tentu akan terjadi
serbuan para perampok, maka dia juga turun dari kuda, mengikat kendali kudanya dan kuda Han Ki di
pohon, kemudian ia berdiri tak jauh dari Han Ki. Jantungnya berdebar karena dia ingin sekali melihat
bagaimana sepak terjang Khu Tek San dan Han Ki. Akan tetapi dia kecewa melihat Han Ki sama sekali
tidak ambil peduli, bahkan kini pemuda itu menundukkan mukanya seperti orang mengantuk!
Suara suitan melengking makin berisik dan dekat, kemudian muncullah dua puluh orang lebih yang
dipimpin oleh seorang laki-laki berjubah berwarna merah. Mukanya brewok, matanya lebar dan liar seperti
mata singa! Berbeda dengan para anak buahnya yang semua memakai topi kain dikerudungkan di atas
kepala sampai menutupi leher, pemimpin itu sendiri tidak bertopi. Rambutnya yang panjang diikat ke
belakang. Kalau semua anak buahnya memegang senjata pedang, golok atau tombak, Si Pemimpin ini
bertangan kosong dan sikapnya angkuh sekali.
Khu Tek San yang melihat dandanan para perampok segera dapat menduga bahwa mereka bukanlah
perampok-perampok biasa, melainkan pasukan yang terlatih, pasukan yang memakai pakaian seragam.
Dia tidak tahu dan tidak dapat menduga, entah dari mana datangnya pasukan itu yang kini telah menjadi
gerombolan perampok.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Maya dapat mengenal mereka sebagai suku bangsa Kerait yang terkenal ganas dan kejam
kalau sudah berperang melawan musuh! Dan memang dugaan Maya ini benar. Pasukan yang kini telah
berubah menjadi gerombolan perampok itu adalah bekas pasukan Kerait yang terpukul hancur oleh
pasukan Mongol. Sisa pasukan yang cerai-berai itu kemudian dipimpin oleh kakek brewok ini dan menjadi
gerombolan perampok yang ganas.
“Ha-ha-ha-ha! Segerobak benda-benda berharga yang berat! Dan dijaga oleh tujuh orang piauwsu Gin-to
Piauwkiok! Bagus! Bagus! Selain kami dapat bertanding secara menggembirakan, juga akan mendapat
hadiah segerobak harta!” Kakek Brewok berjubah merah itu tertawa bergelak.
Pemimpin piauwsu melangkah maju, menjura dan berkata. “Maaf, sobat. Kami adalah piauwsu-piauwsu
Gin-to Piauwkiok yang selamanya tidak permah bentrok dengan sobat-sobat dari liok-lim. Karena kami
tidak pernah mendengar namamu maka tidak tahu dan lewat tanpa memberi kabar lebih dulu. Harap suka
memaafkan dan suka memperkenalkan namamu agar kami dapat mengirim bingkisan kehormatan. Aku
yang memimpin rombongan ini dan namaku adalah Chi Kan.”
Si Brewok itu mengelus jenggotnya yang pendek akan tetapi memenuhi mukanya itu, tangan kirinya
bertolak pinggang. la mengangguk-angguk dan berkata dengan suara nyaring, matanya yang lebar meliriklirik
ke arah kereta, kemudian ke arah Maya yang berdiri tenang.
“Bagus! Bagus! Gin-to Plauw-kiok memang dapat menghargai persahabatan! Kami pun bukan orang-orang
yang tak tahu kebaikan orang, maka kami tidak akan mengganggu kalian asal kalian meninggalkan kereta
dan gadis itu untuk kami. Nyawa kalian sembilan orang di tukar dengan segerobak benda mati dan seorang
gadis kecil mungil. Sudah cukup adil dan menguntungkan bagi kalian, bukan?”
Jawaban ini tentu saja merupakan jawaban yang sengaja mencari perkara, maka Chi Kan, pemimpin
piauwsu itu menjadi merah mukanya. Dengan sikap gagah ia berkata, “Hemm, agaknya kalian hendak
memilih jalan keras. Baiklah perkenalkan namamu dan nama gerombolanmu sebelum kami mengambil
keputusan atas permintaanmu tadi.”
Si Brewok kembali tertawa sambil menengadahkan mukanya ke langit. “Ha-ha-ha! Pantas kalau kalian
belum mengenalku, memang perang dan kekacauan yang merubah kami menjadi begini! Aku adalah
bekas perwira pasukan Kerait dan mereka ini adalah anak buahku!”
“Ah, kalau begitu lebih baik lagi! Sebagai seorang perwira Kerait yang tidak memusuhi Kerajaan Sung,
tidak boleh engkau mengganggu barang kawalanku. Hendaknya diketahui bahwa barang-barang ini adalah
barang sumbangan dari pedagang dan pembesar setempat untuk pernikahan puteri Kaisar Dengan Raja
Yucen!” kata Chi Kan yang hendak menggunakan nama Kerajaan Sung dan Yucen untuk mengundurkan
orang-orang Kerait itu tanpa pertempuran.
Akan tetapi pemimpin rombongan piauwsu ini kecelik karena orang brewokan itu tertawa bergelak
mendengar ucapannya dan menjawab. “Kebetulan sekali kalau begitu! Bangsa Yucen adalah musuh kami,
dan Kerajaan Sung bukanlah sahabat kami. Serahkan saja gerobak dan gadis cilik itu, dan kalian boleh
pergi dengan aman!”
“Perampok busuk!” Chi Kan menjadi marah sekali dan tampak sinar berkilauan ketika golok peraknya
menyambar ke arah leher Si Brewok, mengeluarkan angin yang berdesingan bunyinya.
Kakek bangsa Kerait itu sambil tertawa miringkan tubuhnya dan tangan kirinya bergerak cepat menangkis
ke arah sinar putih itu dengan jari terbuka.
“Krekkk!!”
Chi Kan terkejut bukan main dan sambil berseru kaget ia meloncat ke belakang, memandang golok
peraknya yang sudah patah! Dia adalah murid kepala dari Gin-to Piauw-kiok, akan tetapi dalam
segebrakan saja orang Kerait itu telah mematahkan goloknya hanya dengan tangkisan tangan kosong!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sekarang dapat dimengerti mengapa bekas perwira Kerait itu berani maju dengan tangan kosong, kiranya
tangannya itu memiliki keampuhan melebihi golok atau pedang!
“Ha-ha-ha, bangsa piauwsu rendahan berani membantah perintahku?” orang brewok itu berkata sambil
tertawa. “Aku adalah Ganya, jagoan Kerait yang belum permah bertemu tanding!”
Para piauwsu menjadi gentar, akan tetapi mereka tentu saja tidak akan menyerahkan gerobak yang
mereka kawal dan akan melindunginya dengan nyawa mereka. Ada pun Khu Tek San yang menyaksikan
kelihaian orang Kerait yang bernama Ganya itu dan mendengar namanya, teringatlah ia karena ketika ia
menjadi panglima di Yucen, pernah ia mendengar nama ini yang kabarnya memiliki kepandaian hebat dan
tenaga yang luar biasa. la maklum bahwa para piauwsu takkan marmpu menang menghadapi orang kuat
itu, maka ia meloncat maju dan membentak.
“Manusia sombong, akulah lawanmu!” Sambil meloncat, Khu Tek San sudah mengeluarkan senjatanya
yang ampuh, yaitu sebuah kipas! Sebagai murid Menteri Kam Liong, tentu saja ia mewarisi ilmu silat yang
ampuh ini.
Di antara keturunan Suling Emas, yang menuruni kedua ilmu silat sakti pendekar itu hanyalah Menteri Kam
Liong, yaitu ilmu silat suling emas Pat-sian Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa) dan ilmu silat Lo-hai
San-hoat (Ilmu Kipas Pengacau Lautan). Karena kedua ilmu ini adalah ilmu yang hebat-hebat dan sukar
dipelajari, maka Khu Tek San hanya memperdalam ilmu kipasnya saja sehingga dia menjadi seorang ahli
ilmu silat kipas Lohai San-hoat.
Ilmu silat Lo-hai San-hoat ini bukanlah ilmu sembarangan. Biar pun hanya dimainkan dengan sebuah kipas,
namun kipas itu lebih berbahaya dari pada senjata tajam yang bagaimana pun juga. Gagang dan batangbatang
kipas itu merupakan alat-alat penotok jalan darah yang banyak jumlahnya, sedangkan kain
kipasnya sendiri dapat dikebutkan dan mendatangkan angin yang mengacaukan lawan. Terbuka mau pun
tertutup kipas itu dapat menjadi alat penyerang mau pun penangkis yang ampuh, apa lagi kalau dimainkan
oleh seorang ahli seperti Khu Tek San yang memiliki limu kepandaian hebat!
Begitu mellhat senjata aneh ini menyarmbar, Ganya berseru kaget. Sebagai seorang berilmu tinggi, dia pun
sudah mengerti akan kehebatan lawan. Maka tidak seperti tadi, kini dia sama sekaii tidak berani menangkis,
hanya mengelak kemudian kedua tangannya bergerak, yang kiri menangkis lengan lawan yang memegang
kipas karena dia tidak berani menangkis kipasnya, yang kanan mencengkeram ke arah muka lawan.
Gerakannya cepat dan mantap, tanda bahwa kepandaiannya memang tinggi dan tenaganya besar.
Melihat cara lawan mengelak dan balas menyerang, Khu Tek San berlaku hati-hati. Dia maklum bahwa
lawannya memang benar-benar hebat, maka ia membalikkan kipasnya dengan pemutaran pergelangan
tangan, menggunakan ujung cabang kipas menotok telapak tangan kiri Si Brewok, sedangkan lengan
kirinya sengaja ia gerakkan menangkis cengkeraman tangan kanan Ganya.
“Dukkk!” Ganya dapat menyelamatkan tangan kirinya yang tertotok, akan tetapi dia sengaja mengadu
lengan kanannya dengan lengan kiri lawan.
Dua buah lengan yang sama kuat dan mengandung getaran tenaga sinkang bertemu, membuat keduanya
terhuyung ke belakang! Ganya memandang terbelalak dan kaget, sebaliknya Khu Tek San memandang
kagum. Jarang ada orang yang dapat mengimbangi tenaga sinkang-nya, akan tetapi lawan ini agaknya
tidak kalah kuat olehnya. Maka ia menerjang lagi dan terjadilah pertandingan yang amat dahsyat dan seru
antara kedua orang gagah itu.
Melihat betapa pemimpin mereka sudah bertanding, anak buah perampok itu berteriak dan maju menyerbu,
disambut oleh Chi Kan yang sudah mengambil senjata baru dan enam orang temannya. Perang kecil
terjadi dengan ramainya. Senjata tajam berdencingan bertemu lawan, teriakan-teriakan dan maki-makian
saling susul menyeling suara berdebuknya kaki mereka yang sedang bertanding mengadu nyawa.
Maya berdiri memandang dengan kagum ke arah Khu Tek San. Hebat memang penolongnya itu,
permainan kipasnya indah sekali dan gerakannya amat kuat. Akan tetapi ia menjadi gemas dan penasaran
melihat betapa Kam Han Ki masih saja duduk di atas batu di bawah pohon seperti tadi, malah kini pemuda
dunia-kangouw.blogspot.com
itu menggigiti rumput yang dicabutnya dari dekat kakinya, duduk menggigiti batang rumput sambil
termenung dengan alis berkerut. Memang saat itu Han Ki kembali teringat akan kekasihnya yang makin
sering diingatnya setelah perjalanan mendekati kota raja.
“Eh, kenapa engkau malah melamun saja?” Maya yang tidak sabar lagi mendekati Han Ki, menegur dan
mengguncang pundaknya. “Lihat, Paman Khu Tek San melawan seorang yang lihai sekali sedangkan para
piauwsu dikeroyok banyak perarmpok!”
Han Ki seperti baru sadar dari alam mimpi. Akan tetapi ia hanya menoleh ke kanan memandang
pertandingan antara Khu Tek San dan Ganya. Pada saat itu seorang anggota perampok yang agaknya
ingin membantu pemimpinnya dan menyerbu Tek San dari belakang kena disambar dadanya oleh ujung
batang kipas sehingga perampok ini terbanting ke belakang, roboh dan merintih-rintih.
“Khu-Ciangkun tidak akan kalah!” kata Han Ki setelah memandang sebentar, lalu kembali menunduk
menggigiti batang rumput.
Memang di dalam hatinya pemuda ini merasa enggan untuk membantu para piauwsu menghadapi
perampok-perampok itu. Yang akan dirampok adalah benda-benda yang akan dijadikan barang
sumbangan atas menikahnya Raja Yucen dan... Sung Hong Kwi, kekasihnya! Karena itu dia tidak peduli.
Kalau mau dirampas para perampok barang-barang yang menyebalkan hatinya itu, biarlah!
Kembali Maya mengguncang pundaknya. “Han Ki, lihatlah! Para perampok hendak merampas gerobak!”
Han Ki menoleh dan benar saja, kini sebagian dari pada anak buah perampok ada yang mendekati
gerobak berisi barang-barang berharga, bahkan di antara mereka berkata nyaring sambil terkekeh, “Mari
kita naikkan gadis itu ke atas kereta dan sekalian kita bawa pergi!”
Kini lima orang perampok tinggi besar sambil tersenyum menyeringai datang menghampiri Maya yang
berdiri tegak dan siap melakukan perlawanan! Melihat ini. Han Ki menggerakkan tangan ke bawah,
menggenggam pasir kasar dan mengayun tangan itu ke arah para perampok. Akibatnya hebat!
Lima orang perampok yang sudah mendekati Maya itu roboh berpelantingan ke kanan kiri, mengaduh-aduh
karena pasir-pasir kasar itu menembus kulit dan menancap di dalam daging lengan-lengan mereka! Perih
pedih panas gatal rasanya. Teriakan-teriakan kesakitan ini disusul pula oleh tujuh orang perampok yang
berada di dekat gerobak sehingga dua kali mengayun tangan yang menggenggam pasir, Han Ki telah
berhasil membuat dua belas orang perampok roboh tak dapat berkelahi lagi!
Maya berdiri terbelalak. Dia menjadi heran dan bingung. Hanya melihat ada sinar kehitaman menyambar
dua kali dibarengi desingan angin yang datang dari arah Han Ki dan perampok-perampok itu sudah roboh!
Ilmu sihirkah ini? Gerakan Han Ki sedemikian cepatnya sehingga Maya tidak dapat mengikutinya dengan
pandang mata.
Menyaksikan robohnya dua belas orang kawan mereka secara aneh itu, para perampok yang lain menjadi
gentar dan marah. Demikian pula pimpinan perampok, Si Brewok yang lihai itu. Perhatiannya terpecah
ketika ia mendengar pekik-pekik kesakitan dan melihat robohnya banyak anak buahnya tanpa melakukan
pertandingan. Sebagai seorang ahli yang pandai, ia dapat melihat gerakan Han Ki dan diam-diam menjadi
terkejut bukan main. Kiranya orang muda yang duduk melamun itu memiliki kepandaian yang lebih dahsyat
lagi dari pada orang gagah yang dilawannya. Karena perhatiannya terpecah dan hatinya gentar, Khu Tek
San dapat melihat ‘lowongan’ dan memasuki lowongan itu dengan pukulan kipasnya ke arah leher lawan.
Ganya terkejut, cepat mengelak, akan tetapi terlambat.
“Krekk!” tulang pundak kiri kepala perampok ini patah dan ia mencelat mundur sambil bersuit keras
memberi tanda kepada anak buahnya untuk mundur!
Sebagai bekas pasukan yang berdisiplin, anak buah perampok yang masih bertempur itu segera melompat
ke belakang dan melarikan diri, meninggalkan dua belas orang teman yang masih mengaduh-aduh dan
bergulingan di atas tanah! Tujuh orang piauwsu menjadi lega sekali karena para perampok pergi dan di
dunia-kangouw.blogspot.com
antara mereka hanya ada dua orang yang terluka ringan. Melihat dua belas orang perampok bergulingan
itu, mereka menjadi gemas dan menggerakkan golok-golok perak mereka untuk membunuh.
“Cring-cring-cring...!”
Para piauwsu terkejut dan berteriak sambil terhuyung ke belakang. Kiranya golok-golok mereka telah
tertangkis oleh kerikil-kerikil kecil yang disambitkan secara tepat mengenai golok mereka dan dengan
tenaga yang amat kuat sehingga golok mereka tergetar! Ketika mereka menoleh, kiranya Han Ki yang tadi
mencegah mereka dan kini pemuda itu bangkit berdiri.
“Para piauwsu harap jangan melakukan pembunuhan! Barang-barang telah diselamatkan, lebih baik
melanjutkan perjalanan, mengapa mau membunuh orang?”
Mendengar teguran Han Ki ini, Chi Kan membantah. “Akan tetapi penjahat ini tadinya hendak merampok
gerobak dan Siocia, dan tentu akan membunuh kita semua. Mengapa sekarang tidak boleh kami bunuh?
Orang-orang jahat seperti mereka ini kalau tidak dibasmi, kelak tentu akan menimbulkan mala-petaka
kepada orang lain.”
Han Ki menggeleng kepala. “Belum tentu, Chi-piauwsu! Ada akibat tentu ada sebabnya. Mereka ini dulunya
bukan perampok dan kalau sekarang menjadi perampok tentu bersebab. Kalau saja pasukan mereka tidak
dipukul hancur, kalau saja mereka tidak dipengaruhi seorang pemimpin yang jahat, kalau saja Kaisar Sung
tidak menikahkan puterinya, kalau saja kalian tidak mengantar barang-barang berharga ke kota raja dan
masih banyak kalau-kalau lagi, kiranya mereka ini tidak menjadi perampok. Pula, aku yang merobohkan
mereka, karenanya aku pula yang berhak memutuskan. Mereka ini tidak boleh dibunuh!”
Melihat betapa para piauwsu masih penasaran, Khu Tek San segera berkata, “Cu-wi Piauwsu harap
jangan banyak membantah lagi. Kalau tadi Siauw-susiok tidak turun tangan, bukankah gerobak dan nyawa
kalian akan hilang? Mari kita melanjutkan perjalanan dan meninggalkan mereka yang terluka ini!’
Para piauwsu tadi sudah menyaksikan kegagahan Khu Tek San, maka biar pun mereka masih penasaran
karena tiada seorang pun menyaksikan bahwa Han Ki yang merobohkan dua belas orang perampok itu,
tidak banyak bicara lagi dan perjalanan dilanjutkan menuju ke kota raja.
Ketika rombongan itu memasuki kota raja, semua menjadi gembira, kecuali Han Ki. Terutama sekali Maya
menjadi gembira bukan main dan amat kagum menyaksikan rumah-rumah besar dan kota yang dihias
indah itu. Jelas bahwa kota raja menyambut pernikahan puteri Kaisar secara besar-besaran! Namun
keadaan kota raja itu membuat hati Han Ki terasa makin perih seperti ditusuk-tusuk pedang. Hiasan-hiasan
indah dengan bunga-bunga dan kertas-kertas berwarna-warni itu seolah-olah mengejeknya, mengejek atas
kepatahan hatinya dan terputusnya ikatan cinta kasih antara dia dan Sung Hong Kwi!
Setelah menghaturkan terima kasih, rombongan piauwsu memisahkan diri. Khu Tek San mengajak Maya
dan Han Ki langsung menghadap Menteri Kam. Dengan ramah dan gembira Menteri Kam menerima
kedatangan mereka bertiga itu di dalam ruangan sebelah dalam.
“Suhu.... !” Khu Tek San berlutut memberi hormat kepada gurunya.
Han Ki berdiri lesu dan Maya juga berdiri akan tetapi dia terbelalak memandang ke arah laki-laki tua yang
berpakaian seperti pembesar, kakek yang berwajah penuh kesabaran namun pandang matanya tajam
penuh wibawa. Dia segera mengenal kakek ini! Ketika dia dahulu ditawan sepasang iblis dari India, kakinya
digantung di pohon oleh Mahendra dan hampir saja ia disembelih seperti seekor ayam, kakek itulah yang
menolongnya! Jadi kakek inilah guru penolongnya? Dan kakek inikah saudara tua Raja Khitan, ayah
angkatnya?
“Bagus sekali, engkau dapat pulang dengan selamat, Tek San. Dan engkau telah melakukan tugasmu
dengan baik, Han Ki! Akan tetapi anak perempuan ini... siapakah dia?” Menteri Kam Liong memang tidak
ingat lagi akan anak perempuan yang dulu ditolongnya dari tangan Mahendra, sehingga kini tidak
mengenal Maya. Apa lagi dahulu ia hanya melihat wajah anak yang digantung itu dari jauh dan mengira
anak dusun biasa.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Maaf, Suhu. Hampir saja teecu mengalami kegagalan dan tewas dalam tugas kalau tidak tertolong oleh
Susiok yang amat lihai. Ada pun anak ini bukan lain adalah puteri dari mendiang Raja dan Ratu Khitan.”
Menteri Kam Liong terbelalak memandang Maya. “Aiihhh..., kasihan sekali engkau Anakku...!” Kam Liong
turun dari bangkunya, memegang lengan Maya, ditariknya dan dirangkulnya anak itu. “Aku adalah uwamu
sendiri, Maya.”
Akan tetapi Maya tidak merasa terharu. Dia memiliki hati yang keras, dan kini timbullah rasa tidak
senangnya kepada Menteri Kam. Kalau benar orang tua ini uwanya, kalau benar memiliki kepandaian
tinggi dan kedudukan tinggi berpengaruh, kenapa tidak sejak dahulu membantu dan melindungi
keselamatan keluarga Raja Khitan? Uwa macam apa ini?
“Tidak, aku tidak mempunyai uwa, tidak mempunyai saudara atau keluarga. Keluargaku habis terbasmi di
Khitan. Dan aku pun bukan puteri Raja Khitan, hanya anak angkat! Harap kau orang tua tidak mengaku
keluarga hanya untuk menghiburku.”
“Maya...!” Khu Tek San menegur kaget dan marah.
Akan tetapi Menteri Kam Liong tersenyum pahit. Dia mempunyai pandangan tajam dan dapat menyelami
hati bocah itu. Dia sendiri pun merasa nelangsa hatinya mengapa tidak dapat menyelamatkan saudarasaudaranya
di Khitan. Maka ia pun tidak tersinggung ketika Maya melepaskan pelukannya, melangkah
mundur dekat Han Ki dan tadi mengeluarkan ucapan seperti itu. Dia memandang kagum. Biar pun dia tahu
bahwa bocah ini memang bukan puteri kandung Raja dan Ratu Khitan, namun bocah ini patut menjadi
puteri mereka, patut menjadi keponakan Mutiara Hitam karena memiliki watak yang khas dimiliki wanita
gagah perkasa Mutiara Hitam, adik tirinya itu!
Hati Tek San tidak enak sekali menyaksikan sikap Maya terhadap gurunya. Dia cepat berkata, “Kalau Suhu
memperbolehkan, biarlah Maya tinggal di tempat teecu karena di sana dia dapat bermain-main dengan
anak teecu Siauw Bwee.”
Menteri Kam Liong mengangguk-angguk. “Sebaiknya begitu, kalau dia mau. Maukah engkau tinggal di
rumah Tek San, Maya? Apakah ingin tinggal di sini bersama uwamu?”
“Aku ingin tinggal bersama Paman Khu!” jawab Maya tegas.
“Kalau begitu, engkau pulanglah lebih dulu, Tek San dan bawa Maya bersamamu. Akan tetapi engkau
segera kembali ke sini karena banyak hal penting yang ingin kubicarakan dengan engkau dan Han Ki!”
Khu Tek San memberi hormat, lalu mengajak Maya keluar dari gedung itu menuju ke rumahnya sendiri.
Ternyata panglima itu pun memiliki sebuah rumah gedung yang cukup mewah. Maya mendapat kenyataan
pula bahwa penolongnya ini bukan sembarang orang, dan tentu memiliki kedudukan yang cukup tinggi. Hal
ini bukan hanya terbukti dari rumah gedungnya yang mentereng, melainkan juga terbukti dari sikap para
perwira yang bertemu di jalan. Semua menghormat kepada Panglima Khu yang masih berpakaian preman
itu.
Para pelayan menyambut kedatangan panglima ini penuh hormat, akan tetapi Khu Tek San yang sudah
tidak sabar untuk dapat segera bertemu dengan anak isterinya menggandeng tangan Maya dan setengah
berlari memasuki gedung. Di sebelah dalam disambutlah dia oleh seorang wanita cantik dan seorang anak
gadis cilik yang cantik jelita pula.
“Ayahhh...!” Anak perempuan yang usianya lebih muda dua tahun dari pada Maya itu dengan sikap manja
lari menghampiri ayahnya.
Tek San tertawa. Disambarnya anak itu dan diangkatnya tinggi-tinggi, lalu dipeluk dan dicium pipinya. “Haha-
ha, Siauw Bwee, engkau sudah begini besar sekarang!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kemudian suami ini saling pandang dengan isterinya, penuh kerinduan dan penuh kemesraan yang tak
dapat mereka perlihatkan di depan dua orang anak perempuan itu. Hanya pandang mata mereka yang
saling melekat mesra mewakili tubuh mereka.
“Maya, inilah bibimu!” kata Tek San yang melanjutkan. “Niocu, dia ini adalah Puteri Maya, puteri mendiang
Raja dan Ratu Khitan.”
“Aihhh...!” Isteri Khu-ciangkun menghampiri dan mengelus rambut kepala Maya.
Anak ini menahan-nahan air matanya yang hendak runtuh sejak tadi. Melihat betapa Siauw Bwee disambut
mesra oleh kasih sayang ayahnya, dia teringat akan nasib diri sendiri. Dahulu pun ayahnya, Raja Khitan,
amat cinta kepadanya. Akan tetapi sekarang? Dia tidak punya siapa-siapa! Ia menjadi makin terharu
setelah tangan halus bibinya mengusap rambutnya.
“Maya, inilah Siauw Bwee, anakku. Bermainlah dengan dia dan anggap dia adikmu sendiri. Siauw Bwee,
inilah Cici-mu, Maya.”
Siauw Bwee diturunkan dari pondongan ayahnya. Gadis cilik ini tersenyum manis dan ramah kepada Maya,
menghampirinya dan memegang tangannya. “Enci Maya...!”
Begitu bertemu hati Maya telah tertarik dan suka sekali kepada Siauw Bwee. Dia pun lupa akan
kedukaannya, merangkul pundak Siauw Bwee dan berkata, “Adik Siauw Bwee...!”
“Enci Maya, mari kita main-main di taman. Di kolam taman terdapat ikan baru. Lucu sekali, sisiknya seperti
emas, ekornya seperti selendang sutera, tubuhnya seperti katak dan kedua matanya membengkak dan
menjendol ke luar di atas selalu memandang langit!” Dua orang anak perempuan itu tertawa-tawa dan
berlarian menuju ke taman.
Setelah kedua orang anak itu pergi, barulah suami isteri yang saling mencinta dan sudah berpisah lama ini
dapat menumpahkan rasa rindu mereka. Mereka saling menubruk, berciuman, dan tanpa berkata-kata Tek
San melingkarkan lengan kanan di pinggang yang ramping itu kemudian mereka berdua berjalan
memasuki kamar.
Tak lama kemudian Khu Tek San sudah kembali ke gedung Menteri Kam yang duduk berdua dengan Han
Ki. Pemuda itu kelihatan lebih murung lagi, wajahnya pucat dan matanya sayu.
“Aku sudah mendengar penuturan Han ki tentang peristiwa yang terjadi dan menimpa kalian,” Menteri Kam
berkata setelah muridnya duduk. “Memang semua itu telah diatur oleh... hemmm, Suma Kiat!”
Khu Tek San mengangguk-angguk. “Suhu, kalau tidak salah dugaan teecu, semua perbuatan yang
dilakukan oleh Siangkoan Lee terhadap teecu hanyalah untuk memukul Suhu. Betulkah?”
Menteri itu menghela napas panjang dan mengangguk. “Benar demikian. Orang itu sampai kini masih saja
belum dapat melenyapkan rasa benci dan dendam yang meracuni hidupnya sendiri. Diam-diam dia telah
bersekongkol dengan pasukan-pasukan asing, berusaha memburukkan namaku di depan Kaisar dengan
bermacam cara. Untung tak pernah berhasil dan Kaisar masih tetap percaya kepadaku. Akan tetapi, Suma
Kiat masih belum puas juga dan siasatnya yang terakhir ini benar-benar menjengkelkan dan
membahayakan.”
“Siasat apa lagi, Suhu?” tanya Khu Tek San dengan kening berkerut dan hati khawatir. Mempunyai
seorang musuh seperti Jenderal Suma Kiat benar-benar amat berbahaya karena selain ia tahu betapa
tinggi ilmu kepandaian jenderal itu, juga Jenderal Suma Kiat amat licik, curang dan mempunyai pengaruh di
antara para thaikam dan menteri-menteri yang tidak setia.
“Dia berhasil membujuk Kaisar untuk menyerahkan puteri selirnya kepada Raja Yucen!” Menteri tua itu
menggeleng-geleng kepala dan memandang Han Ki yang menundukkan muka.
“Hal itu apa sangkut-pautnya dengan kita, Suhu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, kau tidak tahu, muridku, Suma Kiat amat cerdik dan pandai mengatur siasat untuk merobohkan lawanlawan
dan musuh-musuhnya. Ketika usaha muridnya yang bernama Siangkoan Lee itu gagal untuk
menangkap dan membunuhmu, muridnya cepat pulang ke kota raja. Raja Yucen marah-marah karena
dibakar hatinya oleh murid itu, mengirim protes kepada Kaisar mengapa seorang Panglima Sung
diselundupkan untuk menjadi mata-mata di Kerajaan Yucen! Dan kembali Suma Kiat yang memberikan
jasa-jasa baiknya untuk mengangkat diri sendiri di depan Kaisar sambil sekaligus berusaha menjatuhkan
aku! Dia menyalahkan aku mengenai kemarahan Raja Yucen kemudian membujuk Kaisar agar
menyerahkan puteri selirnya yang tercantik untuk menjadi isteri muda Raja Yucen. Sengaja dia
mengusulkan agar Puteri Sung Hong Kwi yang dihadiahkan!”
Khu Tek San mendengar tarikan napas panjang dari Han Ki dan ia mengerling ke arah permuda itu.
Heranlah hatinya mellhat pemuda itu mengepal tinju dan marah sekali. Sudah lama ia melihat sikap Han Ki
yang penuh duka, dan kini ia menjadi makin ingin tahu apa gerangan yang menyusahkan hati pemuda sakti
ini.
Menteri Kam agaknya tahu akan isi hati Khu Tek San, maka ia lalu berkata tenang. “Karena engkau
merupakan orang sendiri, kiranya Han Ki tidak perlu menyembunyikan lagi rahasianya. Ketahuilah, Tek
San. Puteri Sung Hong Kwi yang akan dijodohkan dengan Raja Yucen itu adalah kekasih Han Ki. Dia ingin
minta aku mengajukan pinangan kepada Kaisar, akan tetapi ternyata telah didahului Suma Kiat karena aku
yakin benar mengapa dia justeru mengusulkan agar puteri itu yang dihadiahkan kepada Raja Yucen.
Agaknya hubungan cinta kasih antara Han Ki dan puteri itu telah bocor dan diketahui Suma Kiat, maka
kembali dia melakukan hal itu untuk memukul Han Ki dan tentunya yang dijadikan sasaran terakhir adalah
aku sendiri karena Han Ki adalah saudara sepupuku!”
“Hemm, sungguh mengherankan sekali sikap Suma-goanswe itu. Bukankah beliau itu masih ada hubungan
keluarga dengan Suhu?” tanya Tek San penasaran.
Gurunya mengelus jenggot dan menghela napas panjang melihat betapa Han Ki juga memandangnya
dengan sinar mata penuh pertanyaan. “Memang begitulah, antara Suma Kiat dan aku terdapat pertalian
keluarga. Ibunya bernama Kam Sian Eng dan ibunya itu adalah adik kandung Kam Bu Sin, ayah Han Ki ini.
Mereka berdua adalah adik tiri ayahku, Kam Bu Song pendekar sakti Suling Emas. Memang ada hubungan
keluarga, dan dia itu masih misanku sendiri. Namun menurut riwayat nenek moyang, keluarga Suma
memang selalu memusuhi keluarga kami. Sungguh menyedihkan kalau diingat.”
“Habis bagaimana sekarang baiknya, Suhu?”
Menteri itu menggerakkan pundaknya. “Bagaimana baiknya? Kita menanti dan melihat saja bagaimana
perkembangannya. Kota raja sudah dalam keadaan pesta karena perjodohan itu telah diumumkan, bahkan
besok akan tiba utusan dari Raja Yucen, diikuti oleh panglima besar dan guru negara sendiri, yaitu utusan
untuk meresmikan hari pernikahan. Engkau harus hadir pula, Tek San, untuk memperlihatkan kepada
Kaisar bahwa engkau benar-benar berdiri di pihak Kerajaan Sung. Dan kehadiranmu malah merupakan
ujian bagi ketulusan sikap orang-orang Yucen. Kalau memang mereka menghendaki hubungan baik,
setelah Kaisar menyerahkan puterinya tentu mereka tidak akan berani bicara lagi tentang penyelundupan
di Yucen. Kalau terjadi sebaliknya, berarti mereka itu masih mendendam dan tidak mempunyai itikad baik
terhadap Kerajaan Sung. Dan engkau harus hadir pula dalam perjamuan menyambut para tamu agung itu,
Han Ki, sebagai pengawalku.”
Tek San dan Han Ki menyatakan persetujuan mereka, namun di dalam hatinya Han Ki merasa makin
berduka. Dia harus hadir dalam perjamuan menyambut utusan calon suami Hong Kwi! Bahkan tak salah
lagi, dia pun harus pula ikut minum arak untuk menghaturkan selamat kepada pengantin.....
********************
“Enci Maya, aku sudah minta perkenan Ayah, akan tetapi tetap tidak boleh! Katanya keramaian yang
diadakan di istana untuk menyambut dan menghormati utusan Raja Yucen, yang hadir adalah Kaisar
sendiri dan para menteri, para thaikam dan orang-orang besar saja. Anak-anak mana boleh turut?” Khu
dunia-kangouw.blogspot.com
Siauw Bwee berkata dengan muka kecewa kepada Maya yang membujuknya agar dia minta perkenan
ayahnya diperbolehkan ikut menonton keramaian di istana.
Khu Siauw Bwee adalah puteri tunggal Khu Tek San, lebih muda satu dua tahun dari Maya. Dia seorang
anak perempuan yang cantik mungil, dengan pandang mata lembut namun tajam sekali menandakan
bahwa dia memiliki kecerdikan. Sikapnya tidak manja karena memang ayah bundanya pandai mendidik.
Seperti juga Maya, sejak kecil Siauw Bwee digembleng ilmu silat dan ilmu sastra oleh ayah bundanya.
Berkat ketajaman otaknya, biar pun masih kecil, belum sepuluh tahun usianya, Siauw Bwee telah memiliki
ketabahan dan kepandaian silat yang membuat tubuhnya lincah dan kuat.
Maya merasa kecewa ketika mendengar mereka tidak boleh ikut. “Ahh, sayang sekali. Aku ingin melihat
bagaimana sih rupanya Kaisar Sung dan puteri-puterinya, juga ingin sekali melihat utusan Yucen.
Terutama sekali melihat puteri-puteri istana yang kabarnya cantik-cantik seperti bidadari.”
“Ihhhh, seperti apa sih kecantikan mereka? Kulihat mereka itu tidak ada yang lebih cantik dari pada engkau,
Enci Maya. Engkau barulah boleh disebut seorang gadis yang cantik!” Siauw Bwee berkata sungguhsungguh
sambil memandang wajah Maya yang amat mengagumkan hatinya.
“Aihhh, sudahlah jangan menggoda, Adikku. Dahulu di istana orang tuaku, aku boleh melakukan apa saja.
Sekarang melihat ayahmu melarang engkau padahal hanya ingin menonton keramaian, sungguh-sungguh
aku merasa penasaran sekali. Apa sih buruk dan ruginya kalau kita ikut menonton? Hemm, aku ada akal
baik, Moi-moi. Kalau kau suka, kita akan dapat bergembira sekali dan... hemm, kau dengar baik-baik....”
Maya lalu berbisik-bisik di dekat telinga Siauw Bwee.
Wajah Siauw Bwee berubah dan matanya terbelalak. “Ihh, Enci Maya! bagaimana kalau sampai ketahuan?”
Dengan ibu jari tangan kanannya, Maya menuding dadanya sendiri. “Akulah yang akan bertanggung jawab,
jangan engkau khawatir!”
Sambil tertawa terkekeh-kekeh kedua orang anak perempuan itu memasuki kamar mereka dan mengunci
pintu. Terdengar mereka berdua masih tertawa-tawa, entah apa yang mereka lakukan dan bicarakan.....
********************
Apa yang menjadi dugaan Menteri Kam ketika ia menceritakan kepada muridnya memang tepat. Peristiwa
yang menimpa diri Khu Tek San di Yucen, yaitu pecahnya rahasianya sebagai mata-mata kemudian
tertangkapnya oleh rekan-rekannya sendiri di perbatasan, adalah akibat perbuatan Siangkoan Lee yang
memenuhi perintah gurunya, Suma Kiat. Memang Jenderal Suma Kiat ini tidak pernah dapat melupakan
sakit hatinya dan kebenciannya terhadap keturunan Suling Emas.
Ketika ia mendapat laporan dari Siangkoan Lee betapa usaha muridnya itu semua gagal oleh Mutiara
Hitam, kemudian oleh Kam Han Ki, hatinya menjadi makin marah dan penasaran. Maka diaturnyalah siasat
baru untuk memukul Han Ki dan Menteri Kam Liong yaitu membujuk Kaisar agar mengambil hati Raja
Yucen dengan menyerahkan seorang di antara puteri selirnya.
“Puteri Paduka Sung Hong Kwi terkenal sebagai bunga istana, hal ini bahkan terkenal sampai ke Yucen.
Kalau Paduka menghadiahkan puteri itu kepada Raja Yucen, Paduka akan memetik tiga keuntungan,”
demikian antara lain bujukan yang diucapkan Suma Kiat yang didukung oleh para thaikam.
“Tiga keuntungan yang bagaimana engkau maksudkan?” Kaisar bertanya.
“Pertama, puteri Paduka akan terangkat sebagai seorang junjungan yang dihormati di Yucen dan
mengingat akan keadaan Permaisuri Yucen yang lemah dan sakit-sakit, banyak harapan beliau akan dapat
menjadi permaisuri. Kedua, dengan menarik Raja Yucen sebagai mantu paduka, mantu yang rendah
karena hanya menikah dengan puteri selir, berarti Paduka mengangkat kedudukan Paduka jauh lebih tinggi
dari pada Raja Yucen. Kemudian ketiga, dengan ikatan jodoh itu, tentu saja Yucen tidak akan memusuhi
Sung, bahkan setiap saat dapat diharapkan bantuan mereka.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tentu saja Jenderal Suma Kiat tidak menyatakan rahasia hatinya bahwa kalau perjodohan itu dilakukan,
terutama sekali karena ia ingin menghancurkan hati Kam Han Ki yang ia tahu dari para penyelidiknya
mempunyai hubungan cinta kasih dengan puteri itu, dan karenanya ingin pula ia menghantam Menteri Kam
melalui Han Ki!
Demikianlah, secara cepat sekali ikatan jodoh diadakan dan hari itu kota raja telah berpesta merayakan
perjodohan itu. Penduduk yang tidak tahu apa-apa hanya ikut merasa germbira bahwa Kaisar hendak
mantu, apa lagi yang akan mempersunting Puteri Sung Hong Kwi adalah Raja Yucen sehingga hal ini
dapat diartikan bahwa kota raja terhindar dari satu di antara bahaya serbuan musuh-musuhnya.
Rombongan utusan Raja Yucen tiba dan mendapat sambutan meriah, bahkan malamnya istana
mengadakan perjamuan meriah untuk menghormati mereka. Sesuai pula dengan kebiasaan di Yucen,
maka ruangan di istana diatur dengan bangku-bangku kecil tanpa tempat duduk karena memang mereka
itu biasa makan minum sambil duduk di lantai, menghadapi bangku kecil di mana terdapat makanan.
Mereka terdiri dari dua puluh orang lebih, dipimpin oleh guru negara dan panglima besar Yucen, duduk
berjajar-jajar menghadapi bangku masing-masing merupakan barisan keliling yang saling berhadapan.
Juga Kaisar sendiri bersama menteri-menteri yang berkedudukan tinggi hadir dalam perjamuan itu, di
antaranya tampak Menteri Kam Liong, Panglima Khu Tek San, Kam Han Ki pengawal pribadi Menteri Kam,
Jenderal Suma Kiat, dan lain pembesar penting lagi. Kaisar sendiri menghadapi bangkunya di tempat yang
lebih tinggi dan dilayani para thaikam dan pelayan.
Panglima-panglima yang pangkatnya belum cukup tinggi hanya dipersilakan duduk di ruangan sebelah, di
atas kursi-kursi berjajar, ada lima puluh kursi banyaknya. Mereka yang memenuhi ruangan ini hanya ikut
makan minum, ikut mendengarkan percakapan dan menonton pesta orang-orang besar di ruangan dalam,
akan tetapi tidak berhak ikut dalam percakapan.
Selagi perjamuan itu mulai ramai dan gembira karena pihak tamu mau pun dari pihak tuan rumah berkalikali
diadakan penghormatan dengan mengisi cawan arak dan minum demi keselamatan masing-masing
pihak, terjadi sedikit keributan di sebelah luar, di pintu ruangan para panglima rendahan. Enam orang
pengawal yang menjaga pintu sedang ribut mulut dengan seorang berpakaian panglima yang bertubuh
tinggi kurus berwajah tampan sekali. Para pengawal tidak mengenal panglima muda ini, maka mereka
menolaknya untuk memasuki ruangan itu. Si Panglima Muda marah-marah dan memaki-maki.
“Kalian ini serombongan pengawal berani menolak seorang panglima? Aku adalah seorang panglima
kerajaan, masa tidak boleh menonton keramaian menyambut utusan calon besan Kaisar? Apakah kalian
ingin dipecat dan dihukum?” Suara Panglima itu nyaring dan bening.
Pemimpin pengawal menjadi gugup, akan tetapi berusaha membantah, “Maaf, Ciangkun, akan tetapi
hamba... tidak mengenal Ciangkun, bahkan belum permah melihat Ciangkun.”
“Goblok! Mana mungkin kalian dapat mengenal semua panglima yang amat banyaknya dan yang banyak
bertugas di luar kota? Cukup kalau kalian mengenal pakaian dan tanda-tanda pangkat yang kupakai! Awas,
aku adalah panglima yang dipercaya oleh Menteri Kam!”
Mendengar disebutnya Menteri Kam, para pengawal mundur ketakutan dan terpaksa mempersilakan
panglima muda itu memasuki ruangan yang disediakan bagi para panglima rendahan yang tidak diundang
ke ruangan dalam ikut menyambut tamu-tamu agung! Enam orang pengawal ini saling pandang, kemudian
mereka berbisik-bisik, membicarakan panglima muda itu dengan hati heran. Panglima yang masih begitu
muda yang tampan sekali, bertubuh jangkung dan galaknya bukan main! Kalau saja para pengawal itu
berani mengikuti Si Panglima tampan ini, tentu keheranan mereka akan bertambah beberapa kali lipat
melihat Si Panglima itu kini telah berubah menjadi dua orang bocah yang duduk di baris terdepan!
Memang bukan orang lain, panglima itu sebenarnya adalah Maya dan Siauw Bwee! Akal bulus Maya
membuat mereka dapat memasuki istana melalui beberapa tempat penjagaan dengan menyamar sebagai
seorang panglima, menggunakan pakaian Khu Tek San! Dua orang gadis cilik ini sejak kecil digembleng
ilmu silat, maka bukan merupakan hal yang aneh dan sukar bagi mereka untuk penyamaran itu. Maya
berdiri di atas pundak Siauw Bwee sehingga tubuh mereka yang bersambung ini, setelah ditutup pakaian
dunia-kangouw.blogspot.com
Khu Tek San, berubah menjadi tubuh seorang panglima yang jangkung kurus dan berwajah tampan sekali,
wajah Maya.
Setelah berhasil mengelabui penjagaan terakhir di depan ruangan itu, Maya dan Siauw Bwee girang sekali.
Pakaian luar panglima itu segera mereka copot. Maya meloncat turun dan kedua orang anak perempuan
yang berani itu menyelinap dan memilih tempat duduk di bagian paling depan sehingga mereka dapat
menonton ke ruangan dalam di mana Kaisar sedang menjamu tamu-tamunya! Para panglima yang melihat
munculnya dua orang gadis cilik dekat mereka menjadi heran dan ada yang menegur.
Maya mendahului Siauw Bwee yang sudah mulai agak gelisah. “Dia adalah puteri Panglima Khu yang hadir
di situ, dan aku adalah keponakan Menteri Kam yang hadir pula di situ. Kami ikut dengan mereka dan
ditempatkan di sini. Apakah Cu-wi Ciangkun berkeberatan?”
Memang hebat sekali, amat tabah dan cerdik. Sekecil itu dia sudah dapat ‘berdiplomasi’ dan menggunakan
kata-kata yang menyudutkan para panglima itu. Tentu saja tidak ada seorang pun di antara mereka berani
menyatakan keberatan menerima puteri Panglima Khu yang terkenal, apa lagi keponakan Menteri Kam!
Bahkan mereka tersenyum-senyum gembira karena biar pun masih kecil, dua orang bocah itu merupakan
‘pemandangan’ yang menarik dan memiliki kecantikan yang mengagumkan.
Para utusan Kerajaan Yucen sudah mulai merah mukanya oleh pengaruh arak wangi dan percakapan
mulai lebih bebas dan berani. Menteri Kam yang duduk tak jauh dari Kaisar bersikap tenang saja dan
beberapa kali mengerling ke arah Jenderal Suma Kiat yang duduk dekat panglima besar dan Guru Negara
Yucen. Sejak tadi Jenderal Suma ini bercakap-cakap dan tertawa-tawa dengan kedua orang tamu agung,
bahkan sering kali berbisik-bisik, kelihatannya akrab sekali. Han Ki yang berdiri di belakang Menteri Kam
sebagai pengawal tidak bergerak seperti arca. Akan tetapi sinar matanya kadang-kadang layu, kadangkadang
berapi kalau memandang ke arah para utusan Raja Yucen. Khu Tek San juga duduk dengan
tenang.
Tiba-tiba panglima besar Kerajaan Yucen yang bertubuh tinggi besar, bercambang bauk, matanya tajam
dan sikapnya gagah sekali, berpakaian perang yang megah mewah, mengangkat tangan ke atas dan
memberi hormat dengan berlutut sebelah kaki ke arah Kaisar, suaranya terdengar garang dan kereng.
“Perkenankan hamba menghaturkan selamat kepada Kaisar yang ternyata memiliki banyak menteri dan
jenderal yang pandai dan setia. Kalau tidak demikian, hamba rasa kegembiraan malam ini takkan kita
rasakan bersama akibat perbuatan seorang Menteri Sung yang tidak patut terhadap Kerajaan Yucen.
Hamba sebagai utusan Sri Baginda di Yucen sama sekali tidak menyalahkan Kerajaan Sung, karena
hamba tahu bahwa yang menjadi biang keladi hanyalah seorang menteri yang bersikap lancang seolaholah
lebih berkuasa dari pada kaisarnya sendiri!”
Semua yang hadir menahan napas, menghentikan percakapan dan makan, menanti dengan jantung
berdebar karena utusan itu menginggung hal yang gawat. Semua orang mengerti siapa yang dimaksudkan
oleh panglima besar Yucen itu. Menteri Kam dan Khu Tek San saling pandang sejenak, akan tetapi
keduanya masih bersikap tenang-tenang saja.
Kaisar sendiri mengerutkan keningnya mendengar ucapan itu. Tak senang hatinya dan untuk menjawab,
lidahnya terasa berat. Tiba-tiba Jenderal Suma Kiat sudah membuka mulut berkata, “Tai-ciangkun dari
Yucen benar-benar seorang yang jujur dan berhati polos! Setelah Tai-ciangkun tidak menyinggung atau
menyalahkan Kaisar, sebaiknya menunjuk secara jujur menteri mana yang dimaksudkan agar tidak
membikin hati para menteri di sini menjadi tidak enak.”
“Ha-ha-ha, Suma-goanswe pun menyukai sikap jujur seperti kami. Bagus sekali! Yang kami maksudkan
adalah Menteri Kam Liong yang telah melakukan perbuatan tidak patut sekali, mengirim muridnya dan
menyelundupkannya menjadi panglima kerajaan kami untuk melakukan pekerjaan mata-mata! Bukankah
perbuatan itu amat busuk? Untung Sri Baginda Kerajaan Sung amat bijaksana, kalau tidak, bukankah
perbuatan licik Menteri Kam itu cukup berbahaya untuk mencetuskan perang?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali keadaan di ruangan itu sunyi sekali dan hati semua orang makin bimbang dan tegang. Sri Baginda
sendiri, yang tentu saja menyetujui akan penyelundupan Khu-ciangkun ke Yucen, kini hanya dapat
memandang kepada Menteri Kam Liong.
Sebelum ada yang menjawab, tiba-tiba tampak seorang panglima bertubuh jangkung memasuki ruangan
itu dan terdengar suaranya nyaring. “Rombongan utusan Yucen ini datang membawa perdamaian ataukah
mencari pertentangan? Menghina seorang menteri berarti menghina Kaisar dan kerajaan!”
Semua orang terkejut sekali melihat munculnya seorang panglima muda tinggi kurus yang tidak terkenal ini.
Seorang pengawal Yucen yang berdiri menjaga di belakang Sri Panglima Besar sudah menghadang ke
depan, melintangkan tombaknya memandang panglima tinggi kurus itu.
“Eh, eh, mau apa engkau?” Panglima tinggi kurus itu membentak Si Pengawal Yucen sambil melangkah
maju mendekat.
Pengawal itu mengira bahwa Panglima Sung ini akan menyerang majikannya, maka cepat menggerakkan
tombaknya menodong. Tiba-tiba kedua tangan panglima yang kurus itu bergerak menyambar tombak dan
semua orang memandang terbelalak ketika tiba-tiba bagian perut panglima kurus itu bergerak ke depan
seperti kaki tangan yang bertubi-tubi mengirim tendangan dan pukulan.
“Buk-buk...!” Pukulan-pukulan aneh yang keluar dari perut itu mengenai tubuh Si Pengawal yang sama
sekali tidak menduga. Siapa akan menduga lawan memukul dengan perut yang bisa bergerak seperti kaki
tangan itu? Biar pun pukulan-pukulan itu tidak keras, namun Si Pengawal terhuyung mundur saking
kagetnya dan tombaknya terlepas!
Panglima besar Yucen dan guru negara marah sekali. Mereka sudah bangkit berdiri memandang panglima
itu dan Koksu (Guru Negara) Yucen yang berjenggot panjang berambut putih berseru.
“Beginikah caranya menerima utusan kerajaan calon besan?”
Semua orang, termasuk Kaisar sendiri masih terlalu heran dan bingung menyaksikan munculnya panglima
tinggi kurus yang aneh itu sehingga mereka tak dapat menjawab. Kaisar sendiri mulai marah dan sudah
membuat gerakan memerintahkan pengawal menangkap panglima tinggi kurus itu ketika Menteri Kam tibatiba
meloncat dan menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar.
“Mohon Paduka sudi mengampunkan hamba dan mengijinkan hamba untuk menyelesaikan urusan ini agar
perdamaian tetap dipertahankan.”
Kaisar mengangguk.
“Cu-wi Ciangkun dan Taijin dari Yucen harap suka memaafkan karena dia ini hanyalah seorang anak kecil
yang bertindak menurutkan perasaan dan sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dengan kerajaan.
Mengenai urusan yang diajukan oleh Te-i-ciangkun dari Yucen tadi, biarlah saya akan memberi penjelasan.”
“Menteri Kam Liong! Apakah engkau hendak melindungi pula seorang panglima yang bersikap begitu
lancang dan membikin malu kerajaan?” Tiba-tiba Suma Kiat berkata marah.
“Pertanyaan yang tepat!” Panglima Besar Yucen berseru. “Dan siapa mau menerima alasan bahwa dia ini
masih seorang anak kecil? Alasan yang dicari-cari untuk menyelamatkan diri!”
Menteri Kam Liong dengan sikap tenang lalu bangkit dan menghampiri panglima kurus yang masih berdiri
tegak itu, tangannya meraih dan mulutnya menegur, “Maya, jangan kurang ajar, hayo cepat minta ampun
kepada Hong-siang!”
Panglima kurus itu mencoba menghindar, namun terlambat dan jubahnya telah direnggut robek oleh
tangan Menteri Kam Liong yang kuat. Berbareng dengan robeknya jubah, tampaklah penglihatan yang
aneh dan membuat semua orang menjadi geli. Kiranya panglima tinggi kurus itu adalah dua orang anak
dunia-kangouw.blogspot.com
perempuan, yang seorang berdiri di atas pundak temannya. Pantas saja tadi dari ‘perut’ panglima itu keluar
kaki tangan yang menyerang dari dalam jubah!
Maya segera meloncat turun dari pundak Siauw Bwee. Tadi sewaktu semua panglima menonton tegang,
dia dan Siauw Bwee diam-diam telah melakukan penyamaran mereka lagi, tentu saja atas desakan Maya
yang ingin menolong Menteri Kam! Sebagai seorang puteri Kerajaan Khitan, tentu saja Maya mengerti
akan tata susila istana, demikian pula Siauw Bwee yang menjadi puteri seorang panglima terkenal. Mereka
berdua lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Kaisar dan dengan suara halus mohon ampun.
Kam Han Ki tak dapat menahan ketawanya dan untung bahwa pada saat itu, Kaisar sendiri pun tertawa
disusul oleh para pembesar yang hadir di situ. Memang amat lucu setelah melihat bahwa yang berbuat
lancang kurang ajar itu ternyata hanyalah dua orang anak perempuan!
“Siauw Bwee... !” Khu Tek San menegur dan biar pun Panglima ini hanya memanggil namanya, Siauw
Bwee mengenal bahwa ayahnya amat marah dan dia menoleh ke arah ayahnya dengan muka pucat.
Akan tetapi Maya cepat berkata lantang, “Mohon Paman Khu, juga Sri Baginda dan semua orang tidak
menyalahkan adik Siauw Bwee atau siapa saja karena semua ini sayalah yang bertanggung jawab!”
Bukan main kagum rasa hati Kaisar melihat sikap Maya. Bocah ini bukan anak sembarangan, pikirnya.
Kepada Menteri Kam, Kaisar bertanya, “Siapakah mereka ini?”
“Ampunkan mereka, karena mereka itu adalah anak-anak yang tidak tahu apa-apa. Hamba bersedia
menerima hukumannya. Maya ini adalah anak keponakan hamba, sedangkan Khu Siauw Bwee adalah
puteri Khu Tek San.”
Kaisar mengangguk-angguk. Pantas, pikirnya. Dia sudah tahu bahwa menterinya, Kam Liong, adalah
seorang yang sakti, putera dari Pendekar Suling Emas, tidak aneh kalau kemenakannya sehebat bocah
cantik itu. Dan gadis cilik yang seorang lagi memang pantas menjadi puteri Panglima Khu Tek San yang
terkenal sebagai seorang panglima yang gagah perkasa dan setia, berkepandaian tinggi karena panglima
itu adalah murid Menteri Kam Liong!
Sambil tertawa Kaisar berkata, “Dua orang bocah yang bersemangat, tabah dan lucu sekali. Kami
memaafkan kenakalan mereka, Heii, kalian terimalah ini!”
Kaisar menyambar dua butir buah apel merah dan menyambitkan dua butir buah itu ke arah Siauw Bwee
dan Maya. Bukan sambitan biasa melainkan sambitan untuk menguji. Dengan cekatan sekali Siauw Bwee
dan Maya berhasil menangkap buah apel yang menyambar ke arah mereka. Kemudian mereka
menghaturkan terima kasih.
“Bagus! Mereka ini kelak akan menjadi pendekar-pendekar wanita yang hebat!” Kaisar berkata. “Akan
tetapi kalian sekarang harus pergi. Tidak boleh ada anak-anak kecil hadir dalam pertermuan yang penting
ini.”
Bukan main gembiranya hati Menteri Kam Liong. Kiranya Kaisar dapat mengampunkan sedemikian
mudahnya. Maka ia cepat memerintahkan Han Ki untuk mengantar kedua orang bocah itu pergi
meninggalkan ruangan. Keadaan menjadi tenteram kembali setelah Maya dan Siauw Bwee pergi, sungguh
pun para panglima di ruangan luar masih terheran-heran, terutama sekali para pengawal yang tadi kena
diakali oleh dua orang anak perempuan itu.
Biar pun pihak Kaisar dan para pembesar Sung telah menjadi tenang dan lega, sebaliknya para utusan
Yucen merasa terhina dan mendapat malu. Betapa pun juga, telah disaksikan semua orang betapa
seorang pengawal Yucen dengan mudah dapat dikalahkan oleh dua orang anak perempuan nakal! Juga
Suma Kiat menjadi tidak senang, maka diam-diam ia memberi tanda kedipan mata kepada Panglima Besar
Yucen. Panglima ini maklum dan berkata dengan suara lantang.
“Kami utusan Kerajaan Yucen merasa makin kagum menyaksikan kebijaksanaan Kaisar yang besar! Dan
kami bukanlah anak-anak kecil yang merasa tersinggung oleh perbuatan dua orang bocah. Akan tetapi,
dunia-kangouw.blogspot.com
kami yang menjunjung tinggi janji yang keluar dari mulut seorang gagah! Tadi kami mendengar akan
kesanggupan Menteri Kam Liong yang akan membereskan persoalan. Terus terang saja, kami seluruh
pembesar Yucen merasa penasaran kalau mengingat betapa Menteri Kam telah mempermainkan kami
dengan mengirimkan muridnya sebagai penyelundup dan memata-matai kami!”
Kam Liong dengan sikapnya yang masih tetap tenang, menjawab. “Tuduhan Tai-ciangkun dari Kerajaan
Yucen tidak dapat disangkal dan memanglah sesungguhnya saya mengaku bahwa saya telah mengutus
murid saya dan Panglima Sung yang bernama Khu Tek San untuk menyelundup ke Yucen dan menjadi
panglima di sana sambil mengawasi gerak-gerik dan mempelajari keadaan di Yucen untuk mengenal
kerajaan itu. Akan tetapi, bukankah hal ini sudah wajar dan lumrah, Ciangkun? Setiap negara tentu akan
mengirim penyelidik-penyelidik untuk mengetahui keadaan negara tetangga. Biar pun secara bersembunyi,
saya tahu bahwa banyak pula penyelidik-penyelidik dari Yucen yang menyelidiki dan bekerja sebagai matamata
di Kerajaan Sung. Muridku sedikit banyak berjasa bagi Yucen, dan tidak menimbulkan kerugian,
hanya memang benar dia menyelidiki keadaan Yucen dan melaporkan kepada saya. Tanpa mengenal
sedalam-dalamnya, bagaimana kami akan tahu tentang kerajaan lain terhadap kerajaan kami? Sekianlah
jawaban saya.”
Panglima Besar Yucen tertawa. “Kiranya Kam-taijin pandai bersilat lidah! Sejak dahulu semua orang tahu
siapakah Kerajaan Yucen, dan bagaimana macamnya, perlu apa mesti diselidiki dengan cara
menyelundupkan seorang panglima? Keadaan di Yucen sudah pasti, kerajaannya sudah ada dan
pemerintahannya berjalan terus seperti ini. Perlu apa diselidiki lagi?” Panglima Yucen itu mengeluarkan
sebuah bola besi sebesar kepalan tangan dan menyambung. “Bangsa kami terkenal sebagai bangsa besi
yang sudah ada beratus tahun yang lalu, seperti senjata peluru besi ini. Apakah Kam-taijin juga akan
menyelidiki bola besiku ini?”
Sambil tertawa Panglima Yucen itu melontarkan bola besi ke atas dan... semua orang memandang kaget,
heran dan kagum melihat betapa bola besi itu berputaran cepat sekali dan menyambar ke kanan kiri seperti
dikendalikan, kemudian menyambar ke arah Menteri Kam Liong!
Keahlian mempergunakan bola besi sebagai senjata itu membuktikan betapa kuatnya tenaga sinkang
Panglima Besar Yucen ini dan semua ahli yang hadir di situ menjadi khawatir akan keselamatan Menteri
Kam Liong. Hanya Khu Tek San seorang yang memandang dengan wajah tidak berubah karena panglima
gagah ini yakin bahwa permainan sinkang seperti itu hanya merupakan permainan kanak-kanak bagi
gurunya.
Memang demikianlah. Menteri Kam Liong bersikap tenang, tangan kanannya sudah tampak mermegang
sebuah kipas dan sekali ia menggerakkan kipasnya dan mengebut, bola besi itu berputaran di atas
kepalanya, dekat dengan kipas yang dikebut-kebutkan seperti seekor kupu-kupu mendekati bunga, seolaholah
ada daya tarik yang keluar dari gerakan kipas itu yang membuat bola besi ikut terputar-putar.
Sambil mempermainkan kipasnya menguasai bola besi, Kam Liong berkata, “Tai-ciangkun. Bola besi ini
memang sebuah bola besi, akan tetapi siapakah yang tahu akan keadaan dalamnya tanpa memeriksanya
lebih dulu? Apakah dalamnya kosong? Ataukah berisi? Serupa ataukah lain dengan keadaan luarnya?
Saya kira Ciangkun sendiri tak dapat menjawab tepat, bukan? Memang sukar menjawab tepat tanpa
melihat dalamnya. Marilah kita bersama melihat apa isi bola besi ini sesungguhnya!”
Setelah berkata demikian, kipas di tangan kanan Menteri Kam itu bergerak cepat sekali, menyambar tiga
kali ke arah bola besi. Terdengar suara keras tiga kali dan... bola besi itu telah terbabat malang-melintang
tiga kali sehingga. terpotong menjadi delapan, seperti sebuah jeruk dipotong-potong pisau tajam dan kini
delapan potong besi itu diterima tangan kiri Menteri Kam Liong yang dengan tenang lalu meletakkan
potongan potongan bola besi itu di atas meja depan panglima besar dari Yucen!
“Ah, ternyata isinya padat dan tetap besi, sama seperti di luarnya. Cocok sekali dengan keadaan Kerajaan
Yucen, bukan? Akan tetapi baru diketahui setelah diselidiki dalamnya seperti yang telah kami lakukan
dengan mengirimkan murid kami ke Yucen.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Wajah Panglima Yucen menjadi merah sekali, matanya terbelalak. Juga wajah Jenderal Suma Kiat menjadi
pucat. Yang diperlihatkan oleh Menteri Kam tadi adalah kesaktian yang amat luar biasa, tenaga sinkang
yang hebat dan keampuhan kipas pusaka yang keramat!
Koksu Negara Yucen maklum akan hal ini, maka dia lalu berkata, “Hebat sekali kepandaian Kam-taijin. Dan
keterangannya cukup jelas. Menurut pendapat saya tidak perlu memperpanjang urusan kecil itu selagi
urusan besar masih belum dibicarakan selesai.” Ucapan ini melegakan hati setiap orang dan perundingan
untuk menentukan hari pertemuan pengantin dilanjutkan sambil diseling makan minum dan hiburan tari
nyanyi oleh seniwati-seniwati istana.
Berkat sikap Menteri Kam yang bijaksana, pesta menyambut utusan Yucen itu berlangsung dengan
tenteram dan lancar. Menteri Kam sendiri kelihatan lega, akan tetapi di dalam hatinya, dia merasa amat
khawatir karena dia telah mendengar dari Han Ki akan hubungan pemuda itu dengan Sung Hong Kwi, dan
ia dapat menduga betapa hancur perasaan hati adik sepupunya itu. Kalau ia pikir-pikir dan kenangkan
segala peristiwa yang terjadi akhir-akhir ini, Menteri Kam merasa berduka sekali.
Kerajaan Khitan hancur, adik tirinya tewas, dan kini Kam Han Ki kembali mengalami nasib buruk,
kekasihnya direbut orang! Kalau teringat akan itu sermua, hati Menteri Kam menjadi dingin, semangatnya
mengendur dan timbul keinginannya untuk mengajak muridnya sekeluarga, Han Ki dan Maya pergi saja
mengundurkan diri menjauhi keramaian kota raja, bahkan sebaliknya menyusul ayahnya, Suling Emas
yang bertapa dengan ibu tirinya, bekas Ratu Yalina.
Makin menyesal lagi kalau ia memandang kepada Suma Kiat yang kini nampak makan minum dengan
gembira melayani para tamu. Suma Kiat itu sebenarmya masih merupakan keluarga dekat dengannya.
Tidak hanya keluarga karena terikat hubungan antara ayahnya, Suling Emas, dan ibu Suma Kiat yaitu Kam
Sian Eng yang menjadi adik Suling Emas. Juga dari pihak ibunya dan ayah Suma Kiat terdapat hubungan
dekat, yaitu kakak beradik. lbunya, Suma Ceng, adalah adik kandung Suma Boan, ayah Suma Kiat. Dia
dan Suma Kiat adalah keluarga dekat, namun Suma Kiat selalu membencinya dan selalu memusuhinya,
sungguh pun tidak berani berterang.
“Susiok-couw (Paman Kakek Guru), apakah perbuatan kami tadi akan menimbulkan bencana...?” ketika
diantar oleh Han Ki dalam perjalanan pulang bersama Maya, Siauw Bwee bertanya kepada pemuda itu.
“Aihhh! Kau benar-benar terlalu sekali, Siauw Bwee! Masa Han Ki yang masih muda, patut menjadi kakek
kita, kau sebut Susiok-couw? Benar-benar terlalu menyakitkan hati sebutan itu!” Maya mencela.
“Habis bagaimana?” Siauw Bwee membantah, “Memang dia itu paman guru ayahku, tentu saja aku
menyebutnya Susiok-couw! Atau Susiok-kong?”
“Wah, tidak patut! Tidak patut! Jangan mau disebut kakek, Han Ki!” Maya berkata lagi.
Mau tidak mau Han Ki tersenyum. “Kalian berdua ini seperti langit dengan bumi, jauh bedanya akan tetapi
sama anehnya! Maya terhitung masih keponakanku, menyebutku dengan nama begitu saja seperti kepada
seorang kawan. Sebaliknya, Siauw Bwee terlalu memegang peraturan sehingga aku disebut kakek guru!
Kalau benar kalian menganggap aku sebagai kakak, biarlah kalian menyebut kakak saja.”
“Bagus kalau begitu! Aku menyebutmu Han Ki Koko,” Maya berseru girang.
“Koko, engkau kelihatan begini berduka, apakah kesalahan aku dan Enci Maya tadi tertalu hebat sehingga
engkau khawatir kalau-kalau ayahku dan Menteri Kam akan tertimpa bencana akibat perbuatan kami?”
Siauw Bwee mengulang pertanyaannya, kini ia menyebut koko (kakak).
Han Ki menggeleng kepalanya. “Kurasa tidak. Kakakku, Menteri Kam bukanlah seorang yang dapat
dicelakakan begitu saja oleh lawan. Aku tidak khawatir...”
“Akan tetapi, mengapa wajahmu begini muram? Engkau kelihatan berduka sekali, tidak benarkah
dugaanku, Enci Maya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Maya mengangguk. “Memang hatinya hancur lebur, patah berkeping-keping dan luka parah bermandi
darah, siapa yang tidak tahu?”
Han Ki memandang Maya, alisnya berkerut dan ia membentak, “Engkau tahu apa?”
Maya tersenyum. “Tahu apa? Tahu akan rahasia hatimu yang remuk karena setangkai kembang itu akan
dipetik orang lain!”
Han Ki terkejut sekali, menghentikan langkahnya dan menghardik. “Maya! Dari mana kau tahu?!”
Siauw Bwee juga memandang dengan mata terbelalak, masih belum mengerti betul apa yang diartikan
oleh Maya dan mengapa Han Ki kelihatan kaget dan marah.
“Dari mana aku tahu tidak menjadi soal penting,” jawab Maya yang tidak mau berterus terang karena dia
mendengar tentang hal itu dari percakapan antara ayah bunda Siauw Bwee yang ia dengar dari luar
jendela kamar. “Yang penting adalah sikapmu menghadapi urusan ini. Kenapa kau begini bodoh,
menghadapi peristiwa ini dengan berduka dan meremas hancur perasaan hati sendiri tanpa mencari jalan
ke luar yang menguntungkan? Mengapa kau begini lemah, Koko?”
Han Ki terbelalak. “Bodoh? Lemah? Apa... apa maksudmu, Maya? Jangan kau kurang ajar dan
mempermainkan aku!”
“Siapa mempermainkan siapa? Engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, Koko, sungguh
pun aku belum yakin benar akan hal itu. Kalau engkau memiliki kepandaian, apa sukarnya bagimu untuk
pergi mengunjungi kekasihmu itu? Dan kalau benar dia itu mencintaimu seperti yang ku... eh, kuduga, tentu
dia akan lebih suka ikut minggat bersamamu dari pada menerima nasib menjadi permainan Raja Yucen
yang liar!”
Han Ki memandang Maya dengan mata terbelalak, terheran-heran. Akan tetapi harus ia akui bahwa
‘nasehat’ Maya itu cocok benar dengan isi hatinya. “Sudahlah jangan bicara lagi urusan itu. Mari kuantar
pulang cepat-cepat karena aku masih mempunyai banyak urusan lain.”
Maya bertolak pinggang. “Koko, engkau memang orang yang kurang penerima! Kalau engkau setuju
dengan omonganku, mengapa pakai pura-pura segala? Kau langsung pergilah menemui kekasihmu
sebelum terlambat. Ada pun kami berdua, kami bukanlah anak-anak kecil yang tidak bisa pulang sendiri.
Tadi pun kami pergi berdua, masa untuk pulang harus kau temani? Pergilah, kami dapat pulang sendiri.
Benar tidak, Adik Siauw Bwee?”
Siauw Bwee mengangguk. Han Ki menarik napas panjang. “Baiklah, kalian pulang berdua, akan tetapi
harus langsung pulang dan jangan berkeliaran lagi. Siauw Bwee, jangan engkau selalu menuruti
permintaan Maya. Bocah ini memang liar!” Setelah berkata demikian, Han Ki cepat-cepat meloncat pergi,
tidak memberi kesempatan kepada Maya untuk membalas makiannya.
“Awas dia kalau bertemu lagi denganku!” Maya membanting-banting kaki dengan gemas.
“Dia... dia hebat sekali, ya Enci Maya?” Siauw Bwee berkata lirih memandang ke arah lenyapnya bayangan
Han Ki.
“Hebat apanya, manusia sombong itu!” Maya mendangus marah. “Mari kita pergi, Siauw Bwee.”
Malam telah larut dan sunyi sekali di sepanjang jalan. Semua rumah telah menutup daun pintu dan
sebagian besar penghuni kota raja sudah tidur nyenyak. Ketika mereka tiba di jembatan Ayam Putih yang
panjang menyeberangi sungai yang menghubungkan kota raja dengan saluran besar ke selatan, mereka
melihat seorang laki-laki tua di tengah jembatan yang sunyi. Maya dan Siauw Bwee adalah anak yang
tabah sekali. Akan tetapi ketika mereka melihat dan mengenal kakek yang menghadang itu, mereka
menjadi terkejut juga. Kakek itu adalah kakek berambut putih berjenggot panjang yang hadir di istana, yaitu
Koksu Negara Kerajaan Yucen!
dunia-kangouw.blogspot.com
Maya menggandeng tangan Siauw Bwee dan berjalan terus tanpa memandang seolah-olah dia tidak
mengenal kakek ltu.
Akan tetapi kakek itu tertawa dan berkata, “Anak-anak setan kalian hendak ke mana? Hayo ikut bersama
kami!”
Maya sudah menaruh curiga bahwa tentu kakek itu tidak mengandung niat baik, maka begitu kakek itu
melangkah datang, ia sudah membalikkan tubuh dan mengirim pukulan ke arah lambungnya! Siauw Bwee
juga memiliki reaksi yang cepat sekali karena tanpa berunding lebih dulu dia sudah dapat cepat menyusul
gerakan Maya, mengirim pukulan ke arah perut kakek itu.
“Buk! Bukk!” Kakek itu sama sekali tidak mengelak dan membiarkan dua orang anak perempuan itu
memukulnya.
Maya dan Siauw Bwee berseru kaget karena lambung dan perut yang mereka pukul itu seperti bola karet
yang membuat pukulan mereka membalik. Sebelum mereka dapat mengelak, kakek itu telah
mencengkeram pundak mereka, membuat mereka menjadi lemas. Kemudian Koksu dari Yucen itu sambil
tertawa melemparkan tubuh Maya dan Siauw Bwee melalui langkan jembatan melemparkannya ke sungai!
Maya dan Siauw Bwee terkejut setengah mati. Tubuh mereka tak dapat digerakkan dan kini melayang
menuju ke sungai yang amat dalam. Akan tetapi tiba-tiba tubuh mereka disambar tangan yang kuat dan
kiranya di bawah jembatan telah menanti dua orang laki-laki di atas perahu. Mereka inilah yang
menyambar tubuh Maya dan Siauw Bwee.
“Bawa mereka pergi sekarang juga!” terdengar Koksu Yucen berteriak dari atas jembatan kepada dua
orang itu. “Dia merupakan hadiah sumbanganku untuk Coa-bengcu yang berulang tahun. Ha-ha-ha!”
Maya dan Siauw Bwee yang tadinya merasa girang karena mengira bahwa mereka tertolong, menjadi
makin marah karena kini mereka tahu bahwa dua arang di perahu ini adalah pembantu-pembantu koksu
itu! Malam gelap, perahu itu pun gelap dan mereka tidak dapat melihat muka dua orang laki-laki itu. Perahu
digerakkan meluncur ke selatan. Maya dan Siauw Bwee dibelenggu kaki tangannya sehingga setelah
mereka terbebas dari totokan, mereka tetap saja tidak mampu bergerak, hanya rebah miring di atas perahu
dengan hati penuh kemarahan.
Setelah malam berganti pagi barulah kedua orang anak perempuan itu dapat itu melihat wajah dua orang
laki-laki yang menawan mereka. Maya memperhatikan wajah kedua orang itu dan menurut penglihatannya
dua orang itu bukanlah orang jahat, maka timbullah harapannya.
“Eh, Paman yang baik. Kalian adalah orang baik-baik, melihat wajah, pakaian dan sikap kalian. Mengapa
kalian mau membantu koksu jahat yang menangkap kami dua orang anak perempuan yang tidak berdosa?”
Dua orang laki-laki itu berusia kurang lebih empat puluh tahun, bersikap gagah dan golok besar tergantung
di punggung mereka. Mendengar ucapan Maya, mereka saling pandang, kemudian seorang di antara
mereka yang mempunyai tahi lalat di pipi kanan, berkata, “Kami hanyalah pelaksana-pelaksana tugas yang
dibebankan kepada kami. Kami tidak tahu siapa kalian dan mengapa kalian ditawan, akan tetapi kami
harus menaati perintah atasan.”
Maya belum cukup dewasa, akan tetapi dia memiliki kecerdikan luar biasa dan ia dapat menangkap rasa
tidak senang dan sungkan di balik ucapan laki-laki bertahi lalat itu. Maka ia menjadi makin berani dan
berkata. “Ah, kiranya Paman berdua juga menjadi anak buah Yucen?” la berhenti sebentar, lalu mengirim
serangan halus dengan kata-kata, “Heran sekali, bukankah Paman berdua ini orang-orang Han? Mengapa
kini membantu kerajaan asing?”
“Kau anak kecil tahu apa!” Tiba-tiba orang kedua yang mukanya kuning membentak. Ucapan ini sama
benar dengan ucapan Han Ki yang pernah menjengkelkan hati Maya, akan tetapi sekali ini ia menangkap
rasa sakit hati di balik kata-kata itu, rasa hati yang tersinggung dan yang menyatakan betapa tepatnya
ucapannya tadi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Biar pun aku anak kecil, akan tetapi aku tahu betapa seorang gagah selalu mengutamakan kegagahan,
membela negara dan menentang yang lalim,” Maya melanjutkan.
Si Tahi Lalat kini berkata, “Hemm, kulihat engkau bukan anak sembarangan. Ketahuilah bahwa kami
berdua telah dibikin sakit hati oleh perbuatan anak buah Jenderal Suma Kiat sehingga keluarga kami
terbasmi habis. Karena itu, apa perlunya kami mengabdi pemerintah Sung? Pula kami menjadi anak buah
dari Koksu Negara Yucen yang memiliki ilmu kesaktian tinggi, sehingga tidaklah memalukan di dunia kangouw
karena kami mengabdi kepada seorang tokoh besar yang jarang ada bandingannya.”
Biar pun tubuhnya masih terbelenggu dan ia rebah miring, Maya mengangguk-angguk dan berkata
mengejek “Hemm... bicara tentang kesaktian dan kegagahan ya? Buktinya, koksu itu pengecut hanya
berani melawan dua orang anak perempuan. Dan sukar bagiku untuk mengatakan kalian ini orang gagah
macam apa, menawan dua orang anak perempuan kecil masih perlu membelenggu seperti ini! Apakah
kalau kami tidak dibelenggu kalian takut kalau-kalau kami akan membunuh kalian?”
Maya memang pandai sekali bicara dan amat cerdik. Kata-katanya lebih runcing dari pada pedang dan
lebih tajam dari pada golok, secara tepat menusuk perasaan dan kegagahan dua orang laki-laki itu.
“Bocah, engkau benar-benar bermulut lancang!” bentak yang bermuka kuning.
“Aku tentu tidak berani bicara kalau tidak ada kenyataannya. Coba, kalau berani membebaskan belenggu
kami, barulah aku percaya bahwa kalian tidak takut kepada kami.”
Si Tahi Lalat segera mencabut goloknya yang berkelebat empat kali, dan semua belenggu pada kaki
tangan Maya dan Siauw Bwee menjadi putus. “Nah, apakah kalian sekarang hendak menyerang kami?”
tanyanya menyeringai.
Maya dan Siauw Bwee bangun, duduk dan menggosok-gosok pergelangan kaki tangan yang terasa nyeri.
“Terima kasih,” kata Maya. “Kami tidak akan menyerang karena tak mungkin kami dapat menang.”
“Kami pun tidak suka membelenggu kalian dua orang anak perempuan, akan tetapi disiplin di pasukan
kami keras sekali. Kalau sampai kami tidak berhasil mengantar kalian sampai di tempat yang ditentukan,
tentu kami berdua harus menebus dengan nyawa kami. Itulah sebabnya kami membelenggu kalian, tidak
ada maksud lain!”
Maya mengangguk-angguk. “Ahh, sekarang aku percaya bahwa kalian adalah orang-orang gagah yang
terdesak oleh keadaan dan nasib buruk, seperti yang kami alami sekarang ini. Eh, Paman yang baik. Kami
akan kau bawa ke manakah?”
“Nasib kalian tidaklah seburuk yang kalian khawatirkan,” kata Si Tahi Lalat. “Entah apa sebabnya sampai
kaliah dimusuhi oleh Koksu, akan tetapi tentu kalian telah melakukan hal-hal yang amat tidak
menyenangkan hatinya maka kalian ditangkap dan diserahkan kepada kami untuk membawa kalian pergi.
Akan tetapi kalian sekarang merupakan sumbangan-sumbangan yang amat berharga karena kalian
dijadikan sumbangan oleh Koksu, diberikan kepada seorang bengcu yang terkenal sakti dan berpengaruh
di pantai Lautan Po-hai.”
“Sungguh lucu! Mengapa menyumbangkan dua orang anak perempuan? Apa maksudnya? Dan apa
maksudmu mengatakan bahwa nasib kami tidak buruk? Apakah kalau kami diberikan sebagai sumbangan
begitu saja merupakan nasib baik?” Maya mendesak terus.
”Sudahlah, kalian akan mengerti sendiri kalau kita sudah tiba di istana!” kata Si Tahi Lalat yang sikapnya
segan menceritakan keadaan bengcu itu. “Hanya aku dapat memastikan bahwa kalian tidak akan dibunuh
dan bahkan akan hidup dengan senang dan terhormat. Percayalah dan harap saja jangan kalian mencoba
untuk memberontak karena kalau sampai terpaksa kami berdua menggunakan kekerasan, hal itu
sesungguhnya bukan kehendak kami.”
“Kami tidak akan memberontak, kecuali kalau kami menghadapi bahaya. Bukankah begitu, Adik Siauw
Bwee?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siaw Bwee mengangguk, kemudian anak yang lebih pendiam dibandingkan dengan Maya itu berkata,
“Agaknya kedua Paman tidak tahu siapa kami, ya? Kalau tahu, kukira kalian berdua tidak akan lancang
menawan kami, biar pun kalian melakukannya atas perintah Koksu Yucen.”
Dua orang laki-laki itu kini memandang penuh perhatian. “Siapakah kalian ini?”
“Aku sih hanya puteri Panglima Khu Tek San yang tidak ada, artinya, akan tetapi enciku ini adalah Puteri
Khitan, puteri Raja Khitan!” Siauw Bwee berkata tidak peduli akan tanda kedipan mata dari Maya yang
hendak mencegahnya.
Dua orang itu kelihatan kaget sekali, saling pandang dan berkatalah Si Tahi Lalat. “Kami hanya melakukan
perintah!” dengan kata-kata itu agaknya dia hendak membela diri.
Semenjak saat itu kedua orang itu tidak banyak bicara lagi melainkan bergegas mempercepat gerakan
dayung mereka sehingga perahu meluncur cepat. Perahu itu keluar dari Terusan Besar, membelok ke kiri,
yaitu ke timur memasuki sungai yang mengalir ke arah Lautan Po-hai.
Tidak jauh dari pantai Lautan Po-hai, mereka mendarat dan mengajak Maya dan Siauw Bwee memasuki
sebuah hutan besar. Setelah melalui daerah pegunungan yang penuh hutan liar, tibalah mereka di sebuah
pedusunan besar yang pada waktu itu sedang menampung banyak tamu dari empat penjuru, tamu-tamu
penting karena mereka adalah tokoh-tokoh kang-ouw dan liok-lim. Tokoh-tokoh golongan putih dan hitam,
atau kaum bersih dan sesat, yang pada saat itu dapat berkumpul dan saling jumpa karena mereka itu
kesemuanya menghormati ulang tahun seorang tokoh besar yang pada hari itu merayakannya di dusun itu.
Tokoh besar ini lebih terkenal dengan sebutannya, yaitu Coa-bengcu (Pemimpin she Coa), tokoh yang
sudah lama dikenal sebagai seorang pemimpin rakyat dan tidak mengakui kedaulatan Kaisar dengan
alasan bahwa Kaisar amat lemah dan tidak memperhatikan keadaan rakyat yang makin menderita
keadaannya. Coa-bengcu ini amat terkenal dan biar pun jarang ada tokoh kang-ouw yang pernah
menyaksikannya sendiri, namun menurut berita, ilmu kepandaian Coa-bengcu ini hebat sekali, baik
kepandaian ilmu silatnya. mau pun ilmu perangnya. Dan perjuangannya yang gigih untuk membela rakyat
membuat namanya menjulang tinggi sehingga para pembesar setempat tidak berani mengganggunya,
bahkan tokoh-tokoh di seluruh dunia kang-ouw dan liok-lim menghormatinya.
Demikianlah, ketika Bengcu ini merayakan hari ulang tahunnya yang ke enam puluh, bukan hanya tokohtokoh
golongan bersih dan kaum sesat yang datang untuk memberi hormat dan memberi selamat, bahkan
Koksu Negara Yucen sendiri sampai berkenan mengirim utusan memberi selamat dan mempersembahkan
dua orang gadis cilik! Dan sudah terkenal pula bahwa Coa-bengcu amat suka kepada orang-orang muda,
baik laki-laki mau pun perempuan, terutama yang tampan-tampan dan yang cantik-cantik, untuk dididik
menjadi murid-murid atau seperti dikatakannya sendiri, sebagai anak-anak angkatnya!
Siapakah sebenarnya Coa-bengcu ini? Dia adalah seorang pelarian bekas tokoh Im-yang-kauw yang
dahulu berpusat di perbatasan barat dan telah dihancurkan oleh pemerintah. Biar pun mengadakan
perlawanan gigih, para tokoh Im-yang-kauw terbasmi kocar-kacir dan lenyaplah perkumpulan Im-yangkauw,
yang tersisa hanya namanya saja sebagai perkumpulan yang menentang pemerintah pada waktu itu.
Coa Sin Cu adalah seorang tokoh kelas dua dari Im-yang-kauw. Dia berhasil menyelamatkan diri dan lari
ke timur. Untuk belasan tahun ia menggembleng diri dan berguru kepada orang-orang sakti sehingga
kepandaiannya meningkat secara hebat. Setelah ilmu kepandaiannya meningkat tinggi, Coa Sin Cu mulai
dengan gerakannya memimpin rakyat yang tertindas, menentang mereka yang mengandalkan kekuasaan
memeras rakyat. Pengaruhnya makin besar, pengikutnya makin banyak, sehingga akhinya terkenallah
sebutannya Coa-bengcu sampai ke seluruh pelosok. Hanya tokoh-tokoh lama saja yang mengenal Coabengcu
ini sebagai Coa Sin Cu yang dulu menjadi tokoh Im-yang-kauw.
Di tengah dusun yang terletak di pegunungan tak jauh dari pantai Lautan Po-hai, terdapat sebuah
bangunan yang tidak mewah, bahkan sederhana, namun kokoh kuat dan besar sekali. Mempunyai
halaman yang amat luas dan yang terkurung dinding tembok tinggi seperti benteng atau asrama pasukan!
dunia-kangouw.blogspot.com
Inilah tempat tinggal Coa-bengcu dan di situ pula pada hari itu diadakan keramaian merayakan hari ulang
tahun Coa-bengcu.
Tuan rumah Coa-bengcu sendiri telah berada di ruangan depan menyambut datangnya para utusan atau
wakil berbagai partai, juga para tokoh kang-ouw dan liok-lim yang datang sendiri untuk memberi selamat
dan sumbangan-sumbangan. Isteri Bengcu adalah seorang wanita yang usianya setengah dari usia
suaminya, kurang lebih tiga puluh tahun. Wanita ini cantik dan sikapnya gagah pula karena nyonya Bengcu
ini pun bukan orang sembarangan, melainkan seorang murid Hoa-san-pai. Kini ia duduk di samping
suaminya sambil tersenyum-senyum bangga menyaksikan pengaruh suaminya yang menarik datangnya
semua orang gagah dari dua golongan itu.
Ada pun putera tunggal Coa-bengcu yang bermama Coa Kiong, seorang pemuda berusia dua puluh lima
tahun, anak tiri nyonya Bengcu yang sudah ditinggal mati ibu kandungnya, sibuk menerima barang-barang
sumbangan yang ditumpuk di atas belasan buah meja besar di sudut ruangan. Tidak kurang dari lima puluh
orang utusan pelbagai partai telah hadir dan duduk di atas kursi-kursi yang telah disediakan, menerima
hidangan yang dilayani oleh anak-anak buah Coa-bengcu, pemuda-pemuda dan pemudi-pemudi yang
tampan-tampan dan cantik-cantik serta memiliki gerakan yang cekatan sekali.
Biar pun di antara para tamu itu terdapat banyak tokoh liok-lim, golongan bajak, perampok dan orang-orang
yang biasa melakukan kejahatan, namun mereka tidak berani bersikap kurang ajar terhadap pelayanpelayan
wanita yang cantik-cantik itu karena semua orang maklum belaka bahwa pelayan-pelayan itu
adalah anak buah atau murid-murid Coa-bengcu.
Banyak sekali barang sumbangan yang serba indah, perhiasan-perhiasan emas dan perak, ukiran naga
dan burung hong terbuat dari batu-batu kemala, sutera-sutera yang indah sekali warnanya, bahkan ada
pula senjata-senjata pusaka yang ampuh. Akan tetapi semua itu masih belum mengherankan karena ada
pula orang-orang yang menyumbangkan benda-benda luar biasa anehnya.
Seorang tamu yang baru tiba, bertubuh tinggi besar dan bercambang bauk, mukanya lebar, berseru
dengan suara nyaring, “Saya Kiang Bu adalah seorang miskin, karena itu selain ucapan selamat kepada
Coa-bengeu, tidak dapat menyumbangkan benda berharga kecuali barang hina tak berharga ini. Sudilah
Bengcu menerimanya!”
Coa-bengcu memandang orang itu lalu tertawa. “Ha-ha-ha, Tho-tee-kong (Malaikat Bumi) sungguh berlaku
sungkan sekali. Terima kasih atas ucapan selamat dan sumbangan yang amat berharga, harap
menyerahkan sumbangan itu kepada Puteraku.”
Kiang Bu yang berjuluk Tho-tee-kong segera melangkah lebar dan menyerahkan sebuah bungkusan
kepada Coa Kiong putera tuan rumah yang menerimanya dan meletakkannya di atas meja.
“Karena sumbanganku ini tidak berharga dan lain dari pada yang lain, harap Siauw-enghiong suka
membukanya agar semua tamu dapat melihatnya,” kata pula Kiang Bu.
Ketika memandang ayahnya dan melihat ayahnya mengangguk tanda setuju, barulah Coa Kiong berani
membuka bungkusan kain itu. Tiba-tiba wajahnya berubah dan matanya memandang Si Malaikat Bumi
dengan marah, juga banyak tamu mengeluarkan seruan tertahan setelah melihat isi bungkusan. Siapa
yang tidak akan menjadi kaget melihat bahwa bungkusan itu terisi sebuah kepala manusia yang masih
belepotan darah?
“Apa... apa maksudmu ini?” Coa Kiong membentak dan tangan kanan pemuda ini sudah meraba gagang
pedang, matanya terbelalak memandang kepala orang yang kini terletak di atas meja.
Tiba-tiba Coa-bengcu tertawa girang,”Ha-ha-ha! Barang hina tak berharga itu ternyata merupakan
sumbangan yang tak ternilai harganya bagiku. Terima kasih, Tho-tee-kong. Aku telah mengenal kepala
Bhe-ciangkun dan memang sudah lama aku ingin melihat orang kejam dan penindas laknat itu kehilangan
kepalanya! Kiong-ji, suruh pelayan membuang kepala itu dan memberikan kepada anjing-anjing agar
digerogoti habis!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Barulah semua orang termasuk Coa Kiong sendiri, tahu bahwa sumbangan itu benar-benar amat berharga
karena Si Malaikat Bumi telah membunuh orang yang dibenci Coa-bengcu! Perwira she Bhe yang
berkuasa di pantai Po-hai memang terkenal ganas dan kejam kekuasaannya seolah-olah melampaui
kekuasaan Kaisar sendiri dan dia menjadi raja tanpa mahkota di daerah pantai Po-hai!
Dua orang yang membawa Maya dan Siauw Bwee tiba di tempat itu dan langsung mereka menghadap
Coa-bengcu, memberi hormat dan berkata, “Kami berdua diutus oleh Koksu Kerajaan Yucen untuk
menyampaikan ucapan selamat beliau kepada Bengcu, dan menyerahkan sumbangannya.”
Sejenak kakek yang dihormati itu memandang kepada dua orang itu, akan tetapi pandang matanya segera
terarah kepada Maya dan Siauw Bwee, seolah-olah melekat dan tidak menyembunyikan rasa
kekagumannya. Isterinya yang melihat keadaan suami itu lalu berbisik, “Mereka menanti jawaban!”
Barulah Coa-bengcu sadar dan ia tertawa bergelak sambil merangkap kedua tangan di depan dada. “Haha-
ha, sungguh Pek-mau Seng-jin mencurahkan kehormatan besar sekali kepada kami! Seorang koksu
negara masih mau memperhatikan orang tiada harganya seperti aku benar-benar menunjukkan perbedaan
antara Permerintah Yucen dan Permerintah Sung! Terima kasih, terima kasih. Tidak tahu, sumbangan
apakah yang dikirim Pek-mau Seng-jin, Koksu Kerajaan Yucen itu yang akan membuat kami sekeluarga
bahagia bukan main?”
“Sumbangan atau hadiah yang harus kami sampaikan kepada Bengcu adalah dua orang anak perempuan
inilah!” kata Si Tahi Lalat.
Semua tamu kembali menjadi terheran dan keadaan menjadi tegang karena mereka menganggap bahwa
sumbangan ini sama sekali tidak dapat dianggap berharga. Melihat sikap para tamu itu, dua orang utusan
itu menjadi tidak enak hati, maka Si Muka Kuning cepat menyambung keterangan temannya.
“Hendaknya Bengcu mengetahui bahwa dua orang anak perempuan ini bukanlah anak sembarangan.
Yang lebih besar ini bernama Maya, dia adalah puteri dari Raja dan Ratu Khitan, sedangkan yang lebih
kecil bernama Khu Siauw Bwee, puteri Khu Tek San seorang panglima yang terkenal di Kerajaan Sung!”
Terdengar seruan-seruan kaget di sana-sini, dan wajah Coa-bengcu yang tadinya memang sudah berseri
gembira, kini menjadi makin berseri penuh kagum. “Sungguh merupakan hadiah yang tak ternilai harganya!”
katanya. Kemudian seperti kepada diri sendiri ia berkata, “Puteri Raja Khitan...? Puteri Panglima Khu...?”
Tiba-tiba seorang tamu meloncat bangun sambil berseru keras. “Mohon kebijaksanaan Bengcu agar saya
boleh membunuh bocah she Khu itu untuk membalas anak buah saya yang dahulu dibasmi oleh Khu Tek
San ayahnya!” Yang bicara ini adalah bekas kepala rampok yang kenamaan di Lembah Huang-ho
perbatasan Propinsi Shan-tung.
“Puteri Khitan itu patut dibunuh!” Tiba-tiba seorang lain meloncat dan berseru nyaring memandang ke arah
Maya dengan mata terbelalak marah.
“Kalau dia puteri Raja Khitan, berarti dia itu cucu Suling Emas yang sudah banyak menimbulkan malapetaka
di kalangan kamil!” Yang bicara kali ini adalah seorang pendeta berambut panjang yang usianya
kurang lebih lima puluh tahun, pakaiannya hitam dan kotor seperti tubuhnya.
Dia adalah seorang tokoh dunia hitam yang tekenal dengan julukannya. saja, yaitu Pat-jiu Sin-kauw
(Monyet Sakti Tangan Delapan). Dia amat terkenal dan ditakuti karena Pat-jiu Sin-kauw ini adalah murid
dari seorang datuk hitam yang amat terkenal, yaitu Thai-lek Kauw-ong, seorang di antara lima datuk besar
golongan sesat puluhan tahun yang lalu.
“Benar! Puteri Khu Tek San harus dibunuh! Khu Tek San adalah murid Menteri Kam Liong dan siapakah
menteri itu? Bukan lain putera Suling Emas pula!” teriak yang lain.
“Harap Bengcu serahkan saja puteri Khitan kepada saya!” teriak yang lain.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ributlah keadaan di ruangan itu karena banyak sekali tokoh dunia hitam yang ingin mendapatkan dua
orang anak perempuan itu setelah mereka ketahui bahwa Maya adalah cucu Suling Emas sedangkan
Siauw Bwee adalah cucu murid pendekar sakti itu.
Coa-bengcu bangkit berdiri dan mengangkat kedua lengannya ke atas untuk minta para tamunya agar
jangan membuat gaduh. Setelah suasana meredup terdengarlah suaranya lantang, “Aku mengerti apa
yang terkandung di hati Saudara-saudara yang menaruh dendam. Akan tetapi dua orang anak perempuan
ini adalah sumbangan dari Koksu Yucen kepadaku, bagaimana aku dapat memberikan begitu saja kepada
orang lain? Bukannya aku orang she Coa bersikap kukuh, melainkan aku harus menghormat kepada
Koksu Yucen. Kalau aku menyerahkan begitu saja dua orang anak ini, bukankah berarti aku kurang
menaruh penghargaan? Karena itu, biarlah dua orang anak ini kuanggap benda-benda yang amat
berharga dan sudah sewajarnyalah kalau untuk dapat memiliki benda amat berharga, diadakan
sayembara!” Memang Coa-bengcu ini orangnya cerdik sekali.
Dia memiliki kedudukan yang tinggi dan berpengaruh, namun dia tahu bahwa kalau terjadi bentrokan
antara dia dengan pemerintah, dia harus mengandalkan bantuan orang-orang pandai ini, baik dari
golongan putih mau pun dari golongan hitam terutama sekali. Dia sayang kepada dua orang gadis cilik
yang jelas memiliki kelebihan mencolok kalau dibandingkan dengan murid-muridnya perempuan yang
mana pun juga. Kalau dia berkukuh menahan, tentu dia akan menimbulkan rasa tidak senang kepada para
tamunya.
Kalau dia berikan begitu saja, selain dia merasa tidak enak kepada Koksu Yucen, juga dia merasa sayang
sekali. Maka dia mengusulkan diadakan sayembara, karena dengan demikian masih ada harapan baginya
untuk mendapatkan dua orang gadis itu tanpa menimbulkan rasa tidak suka di hati orang lain.
“Apakah yang Bengcu maksudkan dengan sayembara?” beberapa suara terdengar dan semua orang
menanti jawaban dengan dugaan yang sama.
Coa-bengcu tertawa. “Perlukah kujelaskan lagi? Apakah yang paling diandalkan orang-orang golongan kita
kecuali sedikit ilmu sliat? Maka hanya orang terpandai di antara kita sajalah yang berhak memiliki dua
orang anak ini. Yang minta begini banyak bagaimana dapat kuberikan kecuali dengan jalan beradu menguji
kepandaian? Pula dua orang anak ini bukan anak sembarangan, melainkan keturunan orang-orang pandai
seperti Menteri Kam Liong dan Panglima Khu. Kalau yang bertanggung jawab atas diri kedua orang bocah
ini tidak memiliki kepandaian tinggi, mana mungkin dapat menghadapi mereka? Setujukah Cu-wi sekalian?”
“Setuju! Akur! Tepat sekali!” Para tamu berteriak, yaitu mereka yang ingin sekali mendapatkan Maya dan
Siauw Bwee.
Ada pun tokoh-tokoh wakil partai-partai yang termasuk golongan bersih atau putih, diam saja karena
mereka ini tidak ingin mendapatkan kedua orang anak perempuan, juga tidak ingin mencampuri urusan
mereka yang menaruh dendam kepada nenek moyang anak-anak itu.
Kembali Coa-bengcu mengangkat kedua tangan minta agar semua orang tidak berteriak-teriak membuat
berisik. Setelah semua orang diam, tiba-tiba terdengar Maya berkata.
“Kalian ini orang-orang gagah macam apa? Berunding seenak perut sendiri untuk memperebutkan aku dan
adikku tanpa bertanya persetujuan kami yang tersangkut! Sudah jelas bahwa kami adalah dua orang
manusia pula, masa kalian hendak menganggap sebagai benda mati? Beginikah sikap orang-orang
gagah? Ataukah kalian ini semua bangsa penjahat yang tidak mengenal peri-kemanusiaan?”
Semua orang menjadi merah mukanya dan kembali mereka membuat gaduh dengan teriakan-teriakan
memaki Maya, yaitu mereka yang membenci keluarga Raja Khitan dan keluarga Suling Emas.
Setelah mereka mereda, Coa-bengcu berkatat “Kita tidak perlu mendengarkan ucapan bocah ini. Sebagai
tawanan tentu saja mereka berdua tidak berhak untuk bicara. Kita semua menerima sebagai pemberian
hadiah Koksu Yucen! Cu-wi sekalian. Karena jumlah kita terlalu banyak, maka untuk mempersingkat waktu
dan mempermudah jalannya pibu kami akan mengadakan syarat-syarat yang berat lebih dulu. Hanya
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka yang memenuhi syarat-syarat itu barulah dapat memasuki pibu. Syaratnya dua macam dan akan
kulakukan untuk memberi contoh.”
Setelah semua orang menyatakan setuju, Coa-bengcu membisikkan perintah kepada murid-muridnya. Tak
lama kemudian, dari pintu belakang tampak dua belas orang murid laki-laki yang muda-muda dan bertubuh
kuat memikul sebuah arca besi berupa seekor singa.
Pemuda-pemuda itu adalah orang-orang yang kuat, namun mereka membutuhkan tenaga dua belas orang
untuk menggotong arca itu, dapat dibayangkan betapa beratnya singa besi itu. Ketika singa besi itu
diturunkan di atas lantai ruangan, lantai itu tergetar sehingga sebagian besar para tamu baru melihat saja
sudah ngeri dan di dalam hatinya mundur teratur. Mereka maklum bahwa tuan rumah yang lihai itu tentu
hendak menggunakan benda berat ini untuk mengukur calon pengikut sayembara memperebutkan dua
orang gadis cilik.
Memang benar dugaan para tamu itu. Coa-bengcu melangkah maju mendekati arca besi itu lalu berkata
sambil tersenyum. “Nama besar Suling Ermas sudah terkenal di seluruh dunia, juga puterinya yang
berjuluk Mutiara Hitam. Sayang sekali bahwa puluhan tahun pendekar ini mengasingkan diri, juga di dunia
kang-ouw tidak pernah lagi terdengar Mutiara Hitam. Sudah amat lama aku ingin sekali dapat bertemu dan
menguji mereka, sungguh pun aku benar-benar meragukan kebisaan sendiri untuk menandingi mereka.
Kini secara kebetulan, dua orang keturunannya berada di sini dan menjadi rebutan. Maka, hanya mereka
yang benar-tenar pandai saja yang dapat diharapkan akan dapat mampu menandingi Suling Emas dan
keturunannya apa bila kelak keluarganya datang mencari dua orang anak ini. Nah, untuk memilih calon
pengikut sayembara, syarat pertama adalah mengangkat singa besi ini sampai ke atas pundak seperti
yang akan kulakukan sekarang!”
Setelah berkata demikian dan memberi hormat kepada para tamu, Coa-bengcu yang pada hari itu tepat
berusia enam puluh tahun itu menggulung lengan baju lalu membungkuk memegang singa besi pada kaki
depan dan belakang, kemudian mengeluarkan seruan keras sekali dan... ia telah berhasil mengangkat
singa besi itu, bukan hanya sampai ke pundak, bahkan sampai ke atas kepala! Kedua tangannya tergetar,
kedua kakinya menggigil sedikit, dan kembali kakek yang kuat itu berseru keras lalu menurunkan singa
besi ke bawah sehingga lantai tergetar ketika benda berat itu jatuh berdebuk di atas lantai sampai melesak
ke bawah sedalam beberapa senti meter! Tepuk sorak para tamu menyambut demonstrasi tenaga yang
amat kuat itu.
“Cu-wi sekalian, silakan kalau ada yang merasa sanggup mengangkat singa besi ini. Ada pun syarat kedua
adalah mengambil sebatang paku yang kutancapkan di balok melintang penyangga langit-langit itu!”
Setelah berkata demikian, tangan kakek itu merogoh saku dan bergerak.
“Cuat-cuat-cuat...!” Sinar hitam tampak berkelebatan menyambar ke atas dan ternyata di atas balok yang
amat tinggi itu telah menancap belasan batang paku yang berjajar rapi!
Kemudian kakek itu menggerakkan kakinya, tubuhnya ringan sekali melayang ke atas dan tangannya
mencabut sebatang di antara paku-paku itu lalu ia turun kembali, kakinya menginjak lantai tanpa
mengeluarkan sedikit pun suara. Kembali semua orang bertepuk tangan memuji karena kakek itu telah
mendemonstrasikan ilmu ginkang yang amat tinggi. Balok melintang di atas itu amat tinggi sehingga
seorang yang tidak memiliki kepandaian tinggi tentu tidak akan dapat mencabut paku itu.
“Sekarang kami mempersilakan Cu-wi mencoba,” kata Coa-bengcu sambil melangkah kembali ke tempat
duduknya.
Maya membanting kakinya dengan marah dan gemas, akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan dapat
melarikan diri. Setelah dilepas ia lalu menarik tangan Siaw Bwee dan kembali ke tempat tadi, malah kini
mengajak Siauw Bwee duduk di atas kursi yang masih kosong dekat Coa-bengcu. Kalau tidak bisa lari dan
terpaksa menonton biarlah mereka berdua menonton yang enak dan mengaso di atas kursi, demikian
Maya menghibur diri sendiri. Bahkan ketika melihat di meja terdapat hidangan, tanpa malu-malu dan tanpa
permisi Maya menyambar dua potong roti, juga memberikan sebuah kepada Siauw Bwee lalu makan roti,
juga menuangkan minuman pada dua buah cawan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang-orang yang menyaksikan sikap Maya ini diam-diam menjadi kagum dan di dalam hati memuji
ketabahan anak perempuan itu yang jelas amat berbeda dengan anak-anak biasa. Akan tetapi para tamu
itu lebih tertarik untuk melihat siapa kiranya di antara mereka yang akan dapat mengangkat singa besi dan
meloncat setinggi itu.
Suara ketawa mereka riuh-rendah menyambut kegagalan empat orang yang berturut-turut mencoba untuk
mengangkat singa besi. Jangankan sampai terangkat melewati pundak, yang dua orang hanya dapat
mengangkat singa besi itu setinggi lutut dan melepas kembali, sedangkan yang dua setelah mengelurkan
suara ah-ah-uh-uh dan menarik-narik singa besi itu, sedikit pun tak dapat menggerakkannya!
Menyaksikan kegagalan empat orang berturut-turut, empat orang yang kelihatan kuat sekali, hati para tamu
menjadi keder dan banyak yang tidak berani mencoba, khawatir gagal dan hal itu sedikit banyak akan
menurunkan derajat nama mereka. Dan memang inilah yang dikehendaki oleh Coa-bengcu, yaitu agar pibu
dapat diselesaikan dengan singkat dan mudah di antara sedikit orang-orang yang memang memiliki
kepandaian tinggi!
“Hemm? biarkan aku mencobanya!” terdengar suara keras dan ketika bayangan orang itu berhenti
bergerak di dekat singa besi, kiranya dia adalah bekas kepala perampok di lembah Huang-ho yang dahulu
gerombolannya dibasmi oleh Khu Tek San.
Kepala rampok ini bertubuh tinggi kurus. Kini dia sudah membungkuk memegang singa besi dengan kedua
tangan, mengerahkan tenaganya dan terangkatlah singa besi itu sampai ke atas pundaknya, kemudian
cepat ia melepaskannya kembali hingga singa besi itu jatuh berdebuk di atas lantai depan kakinya.
Biar pun demikian, bekas kepala rampok ini telah lulus dalam ujian pertama karena dia telah berhasil
mengangkat benda itu sampai ke pundak. Tepuk sorak menyambut hasil orang pertama yang memasuki
sayembara itu dan Siauw Bwee memandang dengan mata penuh kekhawatiran. Tadi dia sudah
mendengar bahwa orang ini adalah musuh ayahnya, maka kalau orang ini sampai menang dan dia terjatuh
ke tangannya, tentu akan celaka nasibnya.
Melihat sikap Siauw Bwee ini, Maya berbisik, “Dia memang kuat, akan tetapi tidak sekuat Coa-bengcu,
harap kau jangan khawatir.”
Kini kepala rampok itu mengeluarkan pekik nyaring, tubuhnya meloncat tinggi akan tetapi hampir saja ia
gagal kalau tidak cepat-cepat mengulur tangan dan dua ujung jari tengah dan telunjuknya berhasil menjepit
dan mencabut sebatang paku. Kembali ia disambut dengan sorakan memuji.
Setelah kepala perampok ini, maju seorang laki-laki gendut pendek yang melangkah penuh gaya. Usianya
kurang lebih empat puluh tahun dan mukanya berseri-seri, mulutnya tersenyum-senyum penuh aksi, apa
lagi kalau dia memandang ke arah gadis-gadis cantik murid Bengcu yang melayani para tamu dan kini
menonton sambil berdiri berjajar di pinggir. Terang bahwa langkahnya dibuat-buat, berlenggang-lenggok
meniru langkah seekor harimau supaya kelihatan gagah menyeramkan. Akan tetapi karena tubuhnya
gemuk sekali dan agak pendek, langkahnya tidak mendatangkan kegagahan melainkan mendatangkan
pemandangan yang lucu, bukan seperti langkah harimau melainkan seperti langkah seekor babi buntung!
“Heh-heh-heh, maafkan...! Sebetulnya saya tidak berani berlaku lancang. Akan tetapi karena sayembara ini
memperebutkan hadiah yang luar biasa, dua orang nona kecil mungil yang jelita itu, tak dapat saya
menahan hasrat hati saya untuk meramaikan sayembara. Ehemm, saya hanya memiliki sedikit
kermampuan, dan kalau nanti mengecewakan, harap Cu-wi tidak mentertawakan saya. Nama saya Ngo
Kee, julukan saya adalah Tai-lek Siauw-hud (Babi Tertawa Bertenaga Besar).”
Melihat semua tamu tersenyum dan ada yang tertawa karena memang lagaknya amat lucu seperti seorang
badut, Si Gendut yang berjuluk hebat itu kelihatan makin senang, mengerling ke arah Maya dan Siauw
Bwee dengan lagak memikat, membasahi bibir bawah dengan lidahnya yang bundar sehingga makin lucu
tampaknya. Ia kemudian membungkuk dan memegang kedua kaki singa besi, kemudian mengerahkan
tenaga dan... kiranya orang lucu ini bukan membual kosong karena singa besi itu telah dapat diangkatnya!
Semua orang tercengang dan bertepuk tangan. Hal ini membuat Si Gendut makin bangga. la mengerahkan
dunia-kangouw.blogspot.com
seluruh tenaganya, tidak mau mengangkat sampai di situ saja, menahan napas dan mendorongkan kedua
lengannya ke atas!
“Uhhh... brooooottt!!”
Si Gendut cepat menurunkan singa besi ke atas lantai dan semua tamu tertawa geli. Para pelayan murid
Bengcu menutupi mulut dengan tangan agar jangan tampak mereka tertawa. Maya sendiri terpingkalpingkal
dan Siauw Bwee juga tertawa, memijat hidung sendiri sehingga membuat Maya makin terpingkalpingkal.
Kiranya karena terlalu mengerahkan tenaga sebagian hawa yang memenuhi perut gendut itu
menerobos ke luar melalui pintu belakang tanpa dapat dicegah lagi. Si Gendut mengeluarkan kentut besar.
Biar pun merasa jengah dan mukanya menjadi merah, namun Ngo Kee ini tertawa-tawa dan menyoja ke
kanan kiri sebagai tanda terima kasih atas pujian semua orang dengan lagak merendah seperti seorang
jagoan keluar kalangan dengan kemenangan! Kemudian ia memandang ke atas, ke arah paku-paku yang
menancap di balok melintang. la lalu melepas sepatunya, menghampiri dinding dan... mulailah ia merayap
naik melalui dinding seperti seekor cecak!
Ia menggunakan kedua telapak kaki telanjang itu merayap cepat melalui dinding sampai ke atas, kemudian
dengan mudah menggunakan tangan kirinya mencabut sebatang paku. Setelah tercabut, Si Gendut ini
bukan merayap turun kembali, melainkan melepaskan dirinya jatuh ke bawah seperti sebongkah batu!
Semua orang terkejut sekali, menduga bahwa tubuh itu tentu akan terbanting remuk. Akan tetapi sungguh
aneh, ketika tubuh itu tiba di atas lantai, tubuh itu terus menggelundung dan sama sekali tidak terbanting
keras, bahkan kini dia sudah meloncat bangun sambil mengangkat paku itu tinggi-tinggi!
Para tokoh berilmu tinggi yang hadir di situ mengangguk-angguk. Si Gendut itu biar pun tingkahnya seperti
badut, namun memiliki tenaga kuat dan kepandaian tinggi. Mungkin ginkang-nya tidak setinggi Coa-bengcu,
namun dia telah mampu mempergunakan ilmu merayap di tembok seperti cecak, hal ini menandakan
bahwa sinkang di tubuhnya sudah kuat sekali sehingga ia dapat menggunakan telapak kaki dan tangannya
untuk melekat pada dinding seperti telapak kaki cecak!
“Aihh, aku suka kalau dia yang menang Enci Maya. Setiap hari dia akan kusuruh membadut,” bisik Siauw
Bwee yang masih tertawa-tawa ditahan.
“Hussh, siapa sudi? Jangan-jangan ketika melepas kentut tadi ada ampasnya yang ikut terbawa ke luar!”
jawab Maya.
“Ihhh... Jijik...!” Keduanya tertawa-tawa lagi dan hal ini memang amat mengherankan.
Dua orang anak perempuan yang masih kecil dalam keadaan menjadi tawanan, bahkan dijadikan barang
sumbangan dan kini dijadikan hadiah perebutan sayembara, namun masih enak-enak makan minum dan
tertawa-tawa melihat kelucuan Thai-lek Siauw-hud Ngo Kee! Sedikit pun mereka tidak kelihatan takut atau
putus asa, padahal kalau anak-anak lain yang mengalami hal seperti mereka tentu sudah ketakutan
setengah mati!
Puluhan tamu maju mencoba setelah melihat hasil baik kepala rampok dan Si Gendut, akan tetapi yang
berhasil hanya tujuh orang lagi saja, termasuk Pat-jiu Sin-kauw, Si Monyet Sakti berpakaian hitam itu. Dan
hanya Pat-jiu Sin-kauw seorang yang dapat mengangkat singa besi semudah yang dilakukan Bengcu,
kemudian menurunkan semua paku dengan kebutan lengan bajunya dari bawah, menerima sebatang
kemudian melontarkan paku-paku lainnya kembali ke atas dengan sapuan lengan bajunya! Ternyata lihai
sekali pendeta rambut panjang ini!
Memang masih banyak tokoh yang pandai hadir di situ, yang kiranya akan dapat melakukan dua syarat itu
tanpa kesukaran, akan tetapi mereka ini tidak mempunyai niat untuk mengikuti sayembara. Para tokoh
partai memang tidak mau mencampuri urusan mereka, sedangkan tokoh-tokoh kaum sesat tidak mau ikut
karena tidak tertarik kepada hadiahnya!
Kini terkumpul sepuluh orang bersama Coa-bengcu yang telah lulus dan berhak mengadu kepandaian
untuk menentukan siapa yang paling pandai di antara mereka dan berhak memiliki dua orang gadis cilik.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka itu telah berkumpul di tengah dan hendak merundingkan dengan Coa-bengcu bagaimana pibu
akan diatur. Saat itu kembali dipergunakan oleh Maya yang menggandeng tangan Siauw Bwee, sekali ini
tidak lari melainkan berjalan perlahan ke pintu.
“He, ke mana kalian mau lari?!” tiba-tiba seorang murid Coa-bengcu berseru.
Mendengar ini Maya mengajak Siauw Bwee lari secepatnya ke pintu. Coa-bengcu, puteranya dan muridmuridnya,
juga tamu-tamu yang lulus ujian, meloncat dan mengejar pula. Akan tetapi betapa heran hati
mereka ketika melihat bahwa kedua orang anak perempuan itu telah lenyap! Mereka mengejar ke luar dan
tampaklah dua orang anak perempuan itu berjalan pergi, digandeng oleh seorang kakek tua yang hanya
kelihatan tubuh belakangnya oleh semua orang. Mereka semua mengejar dan berteriak-teriak.
Akan tetapi dua orang anak perempuan itu berlari di kanan kiri Si Kakek yang rambutnya panjang dan
sudah putih semua, sama sekali tidak mempedulikan teriakan-teriakan mereka. Yang amat luar biasa dan
membuat Coa-bengcu dan para tokoh pandai mengkirik (bulu tengkuk meremang) adalah kenyataan
bahwa betapa pun cepat mereka mengejar sambil mengerahkan ilmu lari cepat, mereka tidak juga dapat
menyusul kakek dan kedua orang anak perempuan itu!
Mereka mulai penasaran dan marah, mencabut senjata rahasia dan menyerang. Berhamburan senjata
rahasia bermacam-macam, ada piauw, paku, jarum, uang logam, peluru besi, pisau terbang, kesemuanya
menyambar dengan cepat ke arah punggung Si Kakek rambut putih. Semua senjata rahasia itu mengenai
tubuh belakang kakek itu, tepat sekali, dan aneh nya, tidak sebatang pun mengenai punggung Maya dan
Siauw Bwee. Dan lebih aneh lagi, semua senjata rahasia yang dilontarkan dengan tenaga sinkang dan
yang tepat mengenai tubuh belakang Si Kakek runtuh tak meninggalkan bekas pada tubuh belakang itu!
Akhirnya semua tokoh kang-ouw dan liok-lim yang melakukan pengejaran menjadi gentar dan ngeri.
Mereka adalah tokoh-tokoh kelas tinggi, ahli-ahli senjata rahasia, dan senjata rahasia mereka itu sebagian
besar mengandung racun. Namun tak seorang pun di antara mereka dapat menyusul kakek itu, dan tak
sebuah pun senjata rahasia melukai punggungnya. Kini para tokoh itu menghentikan pengejaran, saling
pandang dengan mata terbelalak.
“Siancai.... Kiranya di dunia ini hanya satu orang saja yang memiliki kepandaian seperti itu...!” Seorang
tosu yang menjadi tamu berkata lirih.
Ucapannya ini menyadarkan semua orang dan mereka menjadi gentar sekali. Mereka menduga-duga
siapa gerangan tokoh itu.
“Suling Emaskah...?”
Tosu itu, seorang tokoh dari Kun-lun-pai, menggeleng kepala. “Kalau tidak salah dugaan pinto, hanyalah
manusia dewa yang dapat memiliki kepandaian sehebat itu. Beliau adalah... Bu Kek Siansu....”
“Aihhh...” Mana mungkin? Mana mungkin tokoh yang sudah ratusan tahun itu masih hidup? Aku lebih
percaya kalau dia tadi adalah Bu-beng Lojin, julukan Suling Emas setelah mengasingkan diri!”
“Akan tetapi, biasanya pendekar itu bergerak secara berterang dan merobohkan semua lawan dengan
berdepan. Sebaliknya kakek itu seolah-olah hendak menghindarkan bentrokan. Agaknya memang benar
dugaan Totiang, beliau adalah Bu Kek Siansu....”
Demikianlah, para tokoh itu menjadi ribut membicarakan peristiwa aneh itu dan tentu saja otomatis
sayembara ditiadakan. Betapa pun juga, tidak ada yang merasa penasaran karena kalau memang benar
bahwa yang membawa pergi dua orang anak perempuan itu adalah Bu Kek Siansu seperti yang mereka
duga, tentu saja mereka tak dapat berbuat apa-apa. Siapakah orangnya di dunia ini yang akan mampu
menandingi manusia dewa itu?
Maya dan Siauw Bwee masih terheran-heran dan mereka melongo memandang wajah kakek berambut
panjang putih yang menggandeng tangan mereka. Tadi ketika mereka ketahuan dan dikejar, mereka tiba di
dunia-kangouw.blogspot.com
pintu dan tahu-tahu tubuh mereka seperti ditarik ke luar. Tahu-tahu mereka telah digandeng oleh seorang
kakek dan mereka meluncur ke depan dengan kecepatan yang mengerikan.
Tentu saja Maya dan Siauw Bwee tahu bahwa mereka dikejar-kejar, bahkan telinga mereka yang terlatih
telah mendengar menyambarnya banyak senjata rahasia dari belakang, akan tetapi kakek tua renta itu
masih enak-enak saja berjalan! Langkah kakek ini biasa saja, akan tetapi mengapa tubuh mereka meluncur
ke depan seperti angin cepatnya?
Mereka berdua adalah anak-anak yang sejak kecil digembleng ilmu silat dan banyak mendengar akan
orang-orang sakti, maka mereka dapat menduga bahwa tentu mereka tertolong oleh seorang kakek yang
sakti. Akan tetapi, mereka tidak tahu orang macam apakah kakek yang menolong ini. Seorang baikbaikkah?
Ataukah jangan-jangan seorang manusia iblis yang lebih jahat dari pada sekumpulan manusia
sesat tadi!
“Kong-kong (Kakek), engkau siapakah?” tanya Siauw Bwee, agak sesak napasnya karena gerakan yang
amat cepat meluncur ke depan seperti terbang itu membuat orang sukar bernapas.
Akan tetapi kakek itu tidak menjawab, seolah-olah tidak mendengar pertanyaan ini. Masih melangkah satusatu
dan wajahnya tegak memandang ke depan, kedua tangan menggandeng tangan Siauw Bwee dan
Maya. Kedua orang anak perempuan itu menengadah, menanti jawaban yang tak kunjung datang.
Maya menjadi curiga dan tidak sabar. “Kakek yang aneh, kalau engkau tidak suka bicara dengan kami,
mengapa engkau membawa kami lari dari mereka?”
Kembali kakek itu tidak menjawab sama sekali.
“Enci Maya, jangan-jangan dia tuli!” Siauw Bwee berkata, tak lama kemudian setelah dinanti-nanti tetap
tidak ada jawaban dari kakek tua renta itu.
“Hemm, kalau hanya tuli masih untung! Jangan-jangan dia ini malah lebih jahat dari pada Bengcu dan
kawan-kawannya tadi. Celaka, kita terjatuh ke tangan manusia iblis!” kata Maya, suaranya mulai ketus
karena marah.
“Anak-anak, kalian menghadapi urusan besar, harap jangan lengah dan bergantunglah kepada tanganku.
Kalau kalian ingin tahu, orang-orang menyebut aku orang tua Bu Kek Siansu.”
“Ohhh...!” Siauw Bwee melongo.
“Ahhh...!” Maya juga berseru dengan mata terbelalak!
Kedua orang anak perempuan ini sudah mendengar penuturan orang tua masing-masing akan seorang
manusia dewa yang kesaktiannya luar biasa bernama Bu Kek Siansu yang muncul dan lenyap tanpa ada
yang tahu bagaimana caranya. Bahkan ilmu-ilmu silat keluarga Suling Emas, yaitu sebagian kecil yang
pernah mereka pelajari, bersumber dari pada pemberian manusia dewa ini. Tak terasa lagi hati mereka
menjadi besar, akan tetapi juga dengan hormat dan takut.
Mereka menaati permintaan kakek itu, mencurahkan perhatian ke depan dan tidak bertanya-tanya lagi!
Bahkan Maya yang biasanya liar ini kini menjadi jinak! Mereka menyerahkan nasib mereka sepenuhnya
kepada kakek itu dan ketika kakek itu mempercepat langkahnya sehingga mereka merasa pening, dua
orang anak perempuan ini lalu memejamkan mata.....
********************
Dengan ilmu kepandaian yang tinggi, Han Ki berhasil menyelinap ke dalam taman bunga di istana,
melompati pagar tembok yang tinggi setelah memancing perhatian para peronda dengan melemparkan
batu ke sebelah barat. Ketika perhatian para peronda itu terpecah, kesempatan itu dipergunakan Han Ki
melompati pagar tembok dan menyelinap ke bawah pohon-pohon menuju ke taman bunga. Jantungnya
berdebar keras dan ia tahu bahwa dia melakukan hal yang amat berbahaya dan gawat.
dunia-kangouw.blogspot.com
Puteri Sung Hong Kwi, kekasihnya, kini telah diputuskan menjadi jodoh orang lain. Bahkan di halaman
tamu istana, Kaisar sendiri sedang menjamu utusan-utusan Raja Yucen calon suami Hong Kwi. Akan tetapi
dengan nekat dan berani mati dia menyelundup ke dalam taman untuk menemui kekasihnya itu seperti
biasa dahulu ia lakukan. Hal ini adalah karena dorongan ucapan Maya yang membesarkan semangat.
Hebat bukan main bocah itu, pikir Han Ki sambil tersenyum. Besar hatinya. Dia harus bertemu dengan
Hong Kwi. Benar kata Maya, biar pun dia itu masih belum dewasa. Kalau memang Hong Kwi mencintainya,
mengapa mereka tidak melarikan diri saja berdua? Urusan perjodohan adalah selama hidup, bagaimana ia
dapat dipaksa?
Jantungnya berdebar makin tegang ketika dari tempat sembunyinya di balik sebatang pohon besar dia
melihat kekasihnya yang mengenakan pakaian indah sekali, pakaian baru calon mempelai, dari sutera
berwarna-warni, dengan hiasan rambut terbuat dari permata terhias mutiara yang membuat kekasihnya
nampak makin cantik gilang-gemilang sehingga mendatangkan keharuan di hati Han Ki.
Puteri Sung Hong Kwi sedang duduk di atas bangku marmer di dekat kolam ikan yang penuh dengan
bunga teratai putih. Ikan-ikan emas berenang ke sana ke mari, berpasang-pasangan. Melihat ini,
teringatlah Hong Kwi akan pertemuan-pertemuannya yang penuh kasih sayang, penuh kemesraan dengan
pemuda idamannya, Kam Han Ki!
Dia mendengar betapa kekasihnya itu melakukan tugas keluar, tugas yang amat berbahaya. Kekasihnya
belum juga pulang dan tahu-tahu ia akan diberikan kepada Raja Yucen yang belum pernah dilihatnya.
Teringat akan ini, dan melihat betapa ikan-ikan emas itu berenang berpasangan, kadang-kadang bercumbu
dan berkasih-kasihan, tak tertahan pula kesedihannya dan Puteri Sung Hong Kwi menutup mukanya
dengan ujung lengan bajunya yang panjang, menangis tersedu-sedu!
“Han Ki-koko...!” Gadis bangsawan itu menjerit lirih, lirih sekali tertutup isaknya, namun masih dapat
ditangkap oleh telinga Han Ki dan tak terasa lagi dua butir air mata terloncat ke atas pipi pemuda itu.
Seorang pelayan wanita yang Han Ki kenal sebagal satu-satunya pelayan yang paling dikasihi dan setia
kepada nona majikannya berlutut dan mengelus-elus pundak nona majikan itu sambil ikut menangis.
Han Ki tak dapat menahan keharuan dan kerinduan hatinya lebih lama lagi menyaksikan kekasihnya
menangis sedemikian sedihnya. Ia meloncat ke luar dan berlutut di depan kaki Sung Hong Kwi. “Dewi
pujaan hatiku... kekasihku... Hong Kwi...!”
Pelayan itu cepat bangkit berdiri dan pergi dari tempat itu, kedua pipinya masih basah air mata dan
dadanya masih terisak-isak. Hong Kwi mengangkat mukanya perlahan. Ketika ia memandang wajah Han
Ki yang berada dekat di depannya, matanya yang basah terbelalak, ia takut kalau-kalau pertemuan ini
hanya terjadi dalam alam mimpi. Kemudian ia menjerit lirih dan menubruk, merangkul leher pemuda itu.
“Koko... ah, Koko.... Aku... aku telah....”
Han Ki mengangkat tubuh kekasihnya dan memangkunya. Sambil duduk di atas bangku Hong Kwi
menyandarkan pipinya di dada Han Ki sambil menangis tersedu-sedu. Han Ki membelai rambutnya,
dahinya, kemudian menunduk dan menciumi wajah kekasihnya, menghisap air mata yang mengalir deras
sambil berbisik.
“Aku tahu, Dewiku. Aku tahu kesemuanya yang telah menimpa dirimu. Karena itulah aku datang
mengunjungimu malam ini....”
“Aduh, Koko... bagaimana dengan nasibku...? Bagaimana cinta kasih kita? Kita sudah saling mencinta,
saling bersumpah sehidup semati di bawah sinar bulan purnama! Bagaimana...?” Ia tersedu kembali.
“Jangan berduka, Hong Kwi. Aku datang untuk mengajakmu pergi. Mari kita pergi dari sini sekarang juga!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Aihhh...!” Puteri bangsawan itu terkejut sekali, tersentak duduk dan memandang wajah kekasihnya penuh
selidik, “Kau maksudkan... minggat?”
“Mengapa tidak? Bukankah kita saling mencinta?” Han Ki teringat akan ucapan Maya, seolah-olah
bergema suara anak perempuan itu di telinganya di saat itu. “Kita pergi bersama, takkan saling berpisah
lagi selamanya. Kita pergi jauh dari sini dan aku akan melindungimu sebagai suami yang mencintamu
dengan seluruh jiwa ragaku. Marilah, Hong Kwi...!”
“Tidak! Tidak bisa begitu, Koko... Aku lebih baik mati. Lebih baik kau bunuh saja aku sekarang ini. Aahhh,
untuk apa aku hidup lebih lama lagi...? Koko, kau bunuhlah aku...!”
Han Ki memeluk kekasihnya dan dia menjadi bingung. Ia dapat memaklumi isi hati kekasihnya. Kekasihnya
adalah seorang puteri Kaisar, tentu saja tidak bisa lari minggat begitu saja karena hal ini selain akan
menyeret namanya ke dalam lumpur hina, juga akan mencemarkan nama Kaisar dan karenanya membikin
malu kerajaan!
“Hong Kwi, aku tidak melihat jalan lain kecuali membawamu lari dari sini menjauhi segala kesusahan ini.
Apakah engkau melihat jalan lain yang lebih baik, Hong Kwi kekasihku?”
“Ada jalan yang lebih baik, Koko!” tiba-tiba gadis bangsawan itu kelihatan bersemangat. Biar pun kedua
pipinya masih basah, namun sepasang pipi itu sekarang menjadi kemerahan, merah jambon berbeda
sekali dengan bibirnya yang merah segar, dan matanya berseri-seri aneh.
“Koko, aku telah bersumpah hanya mencinta kau seorang, mencinta dengan seluruh jiwa ragaku. Jiwa dan
hatiku selamanya adalah kepunyaanmu, tidak dapat dirampas oleh siapa pun juga. Akan tetapi tubuh ini...
ah, bagaimana aku dapat membiarkan tubuhku dimiliki orang lain? Engkaulah yang berhak memiliki, Koko!
Aku menyerahkan tubuhku kepadamu, ahhh... kalau tak terhimpit seperti ini, sampai mati pun aku tidak
akan dapat bicara seperti ini. Koko... ambillah tubuhku... barulah aku akan dapat menahan hatiku kalau
tubuhku dimiliki orang lain secara paksa!”
Han Ki meloncat turun dari bangku dan melangkah mundur dua tindak. Mukanya pucat sekali dan bulu
tengkuknya berdiri! Sampai lama dia tidak dapat berkata apa-apa dan hanya memandang wajah gadis
yang dicintanya itu.
“Bagaimana, Koko...? Apakah... apakah cintamu tidak cukup besar untuk memenuhi permintaan terakhirku
ini?” Hong Kwi juga bangkit berdiri dan menghampiri Han Ki, merangkul pinggangnya sehingga tubuh
mereka merapat.
“Tidak, Hong Kwi! Tidak mungkin itu! Aku... ah..., janganlah mengajak aku menjadi seorang pria yang keji
dan kotor! Lebih baik aku mati dari pada mengotori dirimu yang murni! Tidak, betapa pun besar hasrat
hatiku, betapa darahku telah mendidih bergolak pada saat ini dengan kerinduan dan kemesraan
sepenuhnya, betapa nafsu birahiku terhadapmu sudah hampir menggelapkan mataku, namun... aku... aku
tidak akan melakukan hal itu, Hong Kwi!”
“Kalau begitu, bagaimana baiknya... Koko? Ahhh, engkau membuat aku makin putus asa dan menderita...”
Gadis bangsawan itu terisak-isak lagi sambil berpelukan dengan Han Ki.
Han Ki mengelus-elus rambut yang halus hitam dan harum itu. “Kekasihku, pujaan hatiku, nasib kita boleh
buruk, hati kita boleh tersiksa, namun semua itu tidak boleh menggelapkan kesadaran kita. Kalau engkau
suka pergi denganku, biar pun hal ini merupakan pelanggaran besar, namun kita akan dapat hidup
bersama menanggung semua akibat bersama pula, maka aku mengajakmu minggat. Ada pun kalau
menurutkan permintaanmu tadi, aku menjadi seorang lakl-laki hina dina, setelah melakukan pelanggaran
susila, menikmati pelanggaran, mencemarkan dan menodaimu, lalu pergi begitu saja, membiarkan engkau
yang akan menanggung semua akibatnya! Betapa hina dan rendahnya apa lagi terhadap engkau satusatunya
wanita yang kucinta didunia ini!”
“Aduhhh, Koko... bagaimana baiknya...?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hong Kwi kelahiran, perjodohan dan kematian merupakan tiga hal yang tidak dapat diatur oleh manusia
karena sudah ada garisnya sendiri. Keadaan sekarang ini membuktikan bahwa Thian tidak menghendaki
kita menjadi suami isteri, atau jelasnya, kita tidak saling berjodoh, betapa pun murni cinta kasih yang
terjalin antara kita. Memang sudah nasib kita... ah, Hong Kwi...” Dua orang yang dimabok cinta dan
kedukaan itu, seperti tergetar oleh sesuatu, tertarik oleh tenaga gaib, saling mencium dengan perasaan
penuh duka, haru dan cinta tercampur menjadi satu.
“Aduhhh... Sri Baginda datang...” Bisikan yang keluar dari mulut pelayan itu membuat sepasang orang
muda yang sedang berpelukan dan berciuman itu terkejut sekali dan saling melepaskan pelukannya.
“Koko... cepat... bersembunyi...” Hong Kwi berseru lirih.
“Di mana...? Lebih baik aku pergi saja...”
“Jangan! Kau bisa ketahuan dan... dan kita celaka! Lekas... kolam itu, kau masuklah dan bersembunyi di
bawah daun teratai...”
Karena kini sudah tampak rombongan pengawal Kaisar datang memasuki taman membawa lampu, Han Ki
tidak melihat jalan lain. Ia meloncat dan air muncrat ke atas ketika pemuda itu menyelam ke bawah
permukaan air yang dalamnya hanya sampai ke pinggang, bersembunyi di bawah daun-daun teratai yang
lebar. Dia menengadahkan mukanya, mengeluarkan hidungnya saja di bawah daun teratai agar dapat
bernapas, sedangkan matanya kadang-kadang ia buka untuk melihat melalui air yang bening.
“Hong Kwi, mengapa malam-malam begini engkau masih berada di taman... eh, kau... habis menangis?”
Kaisar menegur puterinya dengan suara kereng dan marah.
Memang Kaisar tahu bahwa puterinya ini tidak suka dijodohkan dengan Raja Yucen, maka hati Kaisar
menjadi mengkal dan penasaran. Apa lagi ketika ia tadi mendengar bisikan Jenderal Suma Kiat yang
mendengar dari muridnya, Siangkoan Lee, bahwa mulai saat itu keadaan Sang Puteri harus dijaga karena
ada kemungkinan masuknya seorang ‘pengganggu kesusilaan’!
Sung Hong Kwi yang berlutut tidak menjawab, hanya menundukkan mukanya.
“Apakah ada orang luar masuk ke sini malam ini?” kembali Sri Baginda bertanya dengan suara kereng.
Hong Kwi menggeleng kepala tanpa menjawab.
“Heh, pelayan! Apakah ada orang datang ke sini tadi?” Kaisar bertanya kepada pelayan yang berlutut di
belakang nonanya.
“Ham... hamba ti... tidak melihatnya...” Pelayan itu menjawab lirih sambil membentur-benturkan dahi di atas
tanah di depannya.
“Periksa semua tempat di sekitar sini!” Kaisar memerintahkan para pengawalnya yang segera berpencar ke
segala sudut, mencari-cari dan menerangi tempat gelap dengan lampu-lampu yang mereka bawa. Jantung
Sung Hong Kwi dan pelayan itu hampir copot saking tegang dan takutnya.
“Mulai saat ini, engkau harus selalu berada dalam kamar, tidak boleh sekali-kali keluar. Mengerti?” Kaisar
membentak dan kembali Hong Kwi mengangguk.
Para pengawal selesai menggeledah dan melapor bahwa tidak ada orang luar di dalam taman itu. Dengan
uring-uringan karena sikap puterinya, Kaisar lalu mendengus dan meninggalkan taman itu diiringkan para
pengawalnya.
Setelah rombongan Kaisar lenyap memasuki pintu belakang, barulah Hong Kwi dan pelayannya berani
bangkit berdiri. Han Ki yang juga melihat semua kejadian itu dari dalam air, berdiri dengan muka, rambut
dan seluruh pakaian basah kuyup! Ia bergidik ketika merasa sesuatu menggelitik lehernya. Ditangkapnya
ikan emas yang berenang di leher bajunya dan dilepaskannya kembali ke air.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hong Kwi...!” Ia berkata lalu meloncat ke luar.
“Koko... ahhh... hampir saja... Aku harus segera masuk. Han Ki Koko, selamat berpisah, selamat tinggal...
sampai jumpa pula di akherat kelak...,” puteri itu terisak dan lari pergi diikuti pelayannya yang juga
menangis, meninggalkan Han Ki yang berdiri melongo di tepi kolam dalam keadaan basah kuyup dan
tubuh seolah-olah kehilangan semangat.
“Hong Kwi...,” ia mengeluh, kemudian membalikkan tubuh dan... kiranya dia terkurung sepasukan
pengawal istana yang dipimpin oleh... Jenderal Suma Kiat sendiri bersama muridnya Siangkoan Lee dan
masih banyak panglima tinggi istana!
“Kam Han Ki! Engkau manusia rendah budi, engkau membikin malu keluargamu saja! Membikin malu aku
pula karena biar pun jauh engkau terhitung keluargaku juga. Cihh! Sungguh menyebalkan. Berlututlah
engkau menyerah agar aku tidak perlu menggunakan kekerasan!”
Han Ki pernah jumpa dengan Suma Kiat yang masih terhitung kakak misannya sendiri, karena ibu Suma
Kiat ini adalah adik kandung mendiang ayahnya. Akan tetapi dalam perjumpaan yang hanya satu kali itu,
Suma Kiat bersikap dingin kepadanya, maka kini ia menjawab.
“Goanswe, perbuatanku tidak ada sangkut-pautnya dengan siapa pun juga. Ini adalah urusan pribadi,
biarlah semua tanggung jawab kupikul sendiri, dan aku tidak akan menyeret nama keluarga, apa lagi
namamu!”
Wajah Suma Kiat menjadi merah saking marahnya. Dia gentar menghadapi Menteri Kam Liong karena
maklum akan pengaruh kekuasaan dan kelihaian menteri itu. Akan tetapi dia tidak takut menghadapi Han
Ki. Biar pun ia tahu bahwa Han Ki yang lenyap selama belasan tahun itu kini kabarnya telah memiliki
kepandaian tinggi, akan tetapi dia belum membuktikannya sendiri dan pula pemuda yang hanya dijadikan
pengawal Menteri Kam itu kini melakukan kesalahan yang amat berat, yaitu berani menyelundup ke dalam
taman istana dan melakukan hubungan gelap dengan puteri Kaisar, calon isteri Raja Yucen. Pula, saat ini
dia sudah mengirim laporan kepada Kaisar bahwa pemuda itu benar-benar berada di taman sehingga
menangkap atau membunuhnya bukan merupakan kesalahan lagi.
“Kam Han Ki manusia berdosa! Setelah engkau melakukan pelanggaran memasuki taman seperti maling,
apakah kau tidak lekas menyerahkan diri dan hendak melawan petugas negara?” Kembali Suma Kiat
membentak sambil mencabut pedangnya. Melihat gerakan jenderal ini, semua anak buah pasukan dan
para panglima juga mencabut senjata masing-masing.
Han Ki tidak mau banyak bicara lagi karena ia maklum bahwa tidak ada pilihan lain bagi dia yang sudah
‘tertangkap basah’ ini, yaitu menyerahkan diri atau berusaha untuk melarikan diri. Tidak, dia tidak akan
menyerahkan diri karena dia tidak merasa bersalah! Dahulu pernah ia mendengar wejangan gurunya Bu
Kek Siansu yang pada saat itu bergema di dalam telinganya.
“Jika engkau dengan pertimbangan hati nuranimu merasa bahwa engkau melakukan sesuatu yang salah,
engkau harus mengalah terhadap seorang yang lemah pun. Sebaliknya, jika engkau yakin benar bahwa
engkau tidak bersalah, tidak perlu takut mempertahankan kebenaranmu menghadapi orang yang lebih kuat
pun.”
Kini Han Ki tidak merasa bersalah. Berasalah kepada siapa? Dia dan Hong Kwi sudah saling mencinta
dengan murni dan tulus. Kaisarlah yang salah karena hendak memberangus kemerdekaan hati puterinya
sendiri! Tidak, dia tidak bersalah, karena itu dia tidak akan menyerahkan diri. Dia akan melarikan diri dan
tidak akan mencampuri urusan kerajaan lagi, dia tidak akan dekat dengan istana! Berpikir demikian, Han Ki
lalu membalikkan tubuh dan meloncat ke arah pagar tembok taman itu.
Akan tetapi, ia berseru keras dan cepat berjungkir-balik dan meloncat kembali ke depan Suma-goanswe
karena di dekat pagar tembok telah menghadang banyak pengawal dan tadi ketika ia meloncat hendak lari,
mereka telah melepas anak panah ke arah tubuhnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
”Ha-ha-ha! Kam Han Ki, engkau maling cilik sudah terkurung. Lebih baik menyerah untuk kuseret ke depan
kaki Hong-siang agar menerima hukuman!” Suma Kiat tertawa mengejek.
Hati pemuda itu menjadi panas, akan tetapi dia tidak melupakan kakak sepupunya, Menteri Kam. Kalau dia
melakukan perlawanan, mengamuk sehingga membunuh para pengawal, panglima atau Jenderal Suma,
tentu Menteri Kam Liong akan celaka karena bukankah dia menjadi pengawal Menteri Kam? Dia akan
mencelakakan orang yang dihormatinya itu kalau dia mengamuk, maka dia mengambil keputusan untuk
mencari jalan ke luar tanpa membunuh orang.
“Sampai mati pun aku tidak akan menyerah kepadamu, Suma-goanswe!” katanya gagah sambil mencabut
pedangnya juga.
“Apa? Kau hendak melawan? Serbu!” Suma Kiat berseru dan mendahului kawan-kawannya menerjang
maju dengan pedangnya berkelebat melengkung ke arah pusar Han Ki, sedangkan tangan kirinya sudah
mengirim totokan maut yang amat berbahaya ke arah pangkal leher.
Ilmu kepandaian Suma Kiat amatlah dahsyat dan ganas. Jenderal ini mewarisi ilmu-ilmu yang tinggi dan
aneh dari ibu kandungnya. Ibunya adalah Kam Sian Eng, adik tiri Suling Emas yang pernah menjadi tokoh
yang menggemparkan para datuk golongan hitam karena selain sakti juga aneh dan setengah gila,
membuat sepak terjangnya aneh-aneh mengerikan dan ilmu silatnya juga dahsyat menyeramkan.
Melihat serangan Jenderal itu diam-diam Han Ki terkejut. Sinar pedang yang menyerang ke arah pusarnya
itu membuat lingkaran melengkung yang sukar diduga dari mana akan menyerang sedangkan totokan jari
tangan kiri itu dikenalnya sebagai totokan yang bersumber dari ilmu menotok jalan darah dari Siauw-lim-pai
yang amat lihai dan berbahaya, yaitu Im-yang Tiam-hoat!
“Cringgg...” Dukkk!”
Han Ki yang sudah mendengar dari Menteri Kam akan kelihaian Jenderal yang masih keluarga sendiri ini,
sengaja menangkis pedang lawan dan menangkis pula totokannya sehingga dua pedang dan dua lengan
bertemu susul-menyusul. Suma Kiat terkejut karena pedang dan lengan kirinya gemetar dan tubuhnya
tertolak ke belakang, tanda bahwa pemuda ini memiliki sinkang yang amat kuat. Namun ia berseru keras
dan menyerang lagi dibantu para panglima dan pengawal sehingga di lain saat Han Ki telah terkurung
rapat dan dihujani senjata dengan gencar sekali.
Pemuda ini terpaksa memutar pedangnya dengan cepat, membentuk lingkaran sinar pedang yang
menyelimuti seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah sehingga semua senjata para pengeroyok terpukul
mundur oleh sinar pedangnya yang berkilauan. Namun pemuda ini harus mengerahkan seluruh tenaganya
karena sekali saja pedangnya terpukul miring, tentu akan terdapat lowongan dan tubuhnya akan menjadi
sasaran senjata para pengeroyok yang rata-rata memiliki kepandaian tinggi itu.
Tiba-tiba Han Ki mengeluarkan lengkingan dahsyat yang menggetarkan jantung para pengeroyoknya dan
membuat sebagian dari mereka ragu-ragu dan menunda gerakan senjata. Kesempatan ini dipergunakan
oleh Han Ki untuk memutar pedangnya membalas dengan ancaman serangan ke arah kepala para
pengeroyoknya. Demikian ganas dan cepat sambaran pedangnya itu sehingga para pengeroyoknya
menjadi terkejut, cepat mengelak dengan merendahkan tubuh atau meloncat ke belakang.
“Kesempatan yang amat baik,” pikir Han Ki. Sekali ia menggenjot tubuhnya sambil menangkis serangan
susulan pedang Suma Kiat dan golok di tangan Siangkoan Lee, ia telah meloncat jauh ke kiri, ke atas
wuwungan bangunan kecil di tengah taman di mana ia sering kali mengadakan pertemuan rahasia dengan
Sung Hong Kwi.
“Penjahat cabul hendak lari ke mana?” terdengar bentakan keras dan sebatang tombak menusuknya dari
kanan, sebatang pedang dari depan sedangkan dari kiri menyambar sehelai cambuk besi.
“Cringg... tranggg... wuuuttt!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Ki terkejut bukan main dan untung dia masih dapat menangkis tombak dan pedang serta mengelak
dari sambaran pecut besi. Kiranya di tempat itu telah menjaga tiga orang panglima yang kepandaiannya
cukup tinggi, terbukti dari serangan-serangan tadi yang amat kuat dan cepat. Ia melempar diri ke bawah,
berjungkir-balik dan langsung meloncat ke bawah, makin ke tengah mendekati istana karena untuk lari ke
pagar tembok tidak mungkin lagi, terhalang oleh pengejarnya.
“Siuuttttt...!”
Kembali Han Ki harus meloncat ke atas menghindarkan diri dari sambaran toya yang amat kuat, yang tadi
datang menyambutnya dari bawah. Ia mencelat mundur sambil memandang. Kiranya di situ telah berjaga
seorang panglima pengawal yang bertubuh tinggi besar dan memegang sebatang toya kuningan yang
berat. Kini panglima itu terus menerjangnya dan toyanya yang diputar menimbulkan angin bersuitan. Han
Ki mengelak ke kanan kiri dan mengerahkan tenaga, lalu membabat dari samping.
“Trangggg...!” bunga api berhamburan dan panglima tinggi besar itu berseru kaget.
Tubuhnya terguling, lalu ia bergulingan dan baru meloncat bangun setelah agak jauh, memandang ujung
toyanya yang buntung oleh sambaran pedang di tangan Han Ki tadi! Sementara itu Suma Kiat, Siangkoan
Lee dan para panglima yang tadi mengeroyoknya telah mengejar sampai di situ dan kembali Han Ki
dikurung dan dikeroyok. Makin lama makin bertambah banyak jumlah pengeroyok karena tanda bahaya
telah dipukul sehingga panglima dan pengawal yang berada di istana muncul semua!
Betapa pun tinggi ilmu kepandaian Han Ki, namun menghadapi pengeroyokan begitu banyak orang lihai,
sedangkan dia menjaga agar jangan sampai membunuh lawan, tentu saja Han Ki menjadi kewalahan. Dia
memang menerima gemblengan seorang manusia sakti seperti Bu Kek Siansu, menerima pelajaran ilmu
silat yang amat tinggi, bahkan telah mempelajarl inti sari ilmu silat sehingga segala macam ilmu silat yang
dimainkan lawan dapat ia kenal sumber dan gerakan dasarnya. Akan tetapi selama belasan tahun ini
waktunya habis untuk berlatih dan belajar. Dia belum mempunyai banyak pengalaman dalam pertempuran,
apa lagi dikeroyok begini banyak panglima dan pengawal yang pandai!
Namun harus dipuji keuletan pemuda ini. Biar pun tubuhnya dihujani serangan senjata dari segenap
penjuru, ia masih dapat mempertahankan diri, memutar pedang menangkis dengan gerakan lincah ke sana
ke mari, bahkan masih sempat menggunakan tangan kirinya kadang-kadang untuk menyampok senjata
lawan dan kadang-kadang menggunakannya dengan pengerahan sinkang untuk mendorong pengeroyok
sampai terjengkang atau terhuyung mundur. Entah berapa belas orang pengeroyok yang ia robohkan
dengan tendangan kedua kakinya, merobohkan mereka tanpa membunuh, hanya mematahkan tulang kaki
dan mengakibatkan luka ringan saja.
Jenderal Suma Kiat yang memimpin pengeroyokan ini berulang-ulang menyumpah-nyumpah. Dia dibantu
oleh pasukan pengawal, bahkan para panglima yang menjadi rekan-rekannya, yang ia tahu memiliki
kepandaian tinggi, dengan jumlah seluruhnya tidak kurang dari lima puluh orang, masih belum mampu
membekuk pemuda itu setelah mengeroyok selama tiga empat jam! Bahkan ada belasan orang anak buah
pengawal yang roboh tertendang atau terdorong oleh pemuda itu! Benar-benar amat memalukan!
“Panggil semua panglima yang berada di luar istana! Datangkan bala bantuan pengawal luar istana!”
bentak Suma Kiat kepada anak buahnya yang cepat melaksanakan perintah itu.
Han Ki masih memutar pedangnya dan makin lama makin mendekati istana. Dia tahu bahwa tidak mungkin
dia dapat bertahan terus. Tubuhnya basah kuyup, bukan oleh air kolam ikan tadi yang sudah menjadi
kering kembali, melainkan dari keringatnya sendiri. Tubuhnya mulai terasa lelah dan lemas, juga amat
panas seolah-olah dari dalam tubuhnya timbul api yang membakarnya. Tubuhnya sudah menerima banyak
pukulan dan bacokan senjata lawan dan biar pun sinkang-nya telah melindungi tubuh sehingga luka-luka
itu tidak berat, namun membuat kaki tangannya terasa linu dan berat.
“Habis aku sekali ini...,” keluhnya diam-diam, namun ia tidak putus asa dan masih terus melawan sampai
malam terganti pagi!
dunia-kangouw.blogspot.com
Telapak tangannya yang memegang gagang pedang sampai kehilangan rasa, seolah-olah telah menjadi
satu dengan gagang pedangnya. Tak mungkin aku melarikan diri melalui pagar tembok, pikirnya. Pagar
tembok itu tentu telah terkepung ketat. Jalan satu-satunya hanyalah sekalian masuk ke dalam istana!
Kalau berada di taman terbuka ini, dia dapat dikeroyok banyak orang, akan tetapi kalau dia main kucingkucingan
di dalam istana yang banyak kamar-kamarnya dan tidak terbuka seperti di taman, tentu dia dapat
membatasi jumlah pengeroyok. Siapa tahu dia dapat menyelinap dan melarikan diri, atau setidaknya
bersembunyi di dalam istana yang amat besar itu. Bukankah dahulu pernah dikabarkan ada orang sakti
mengacau istana hanya untuk ‘menyikat’ hidangan Kaisar dan orang itu dapat bersembunyi di dapur
sampai berpekan-pekan?
Dia harus dapat menyelinap ke istana sebelum keadaan cuaca menjadi terang, pikirnya. Dengan penuh
semangat Han Ki memutar pedang, berloncatan ke sana sini seperti orang nekat. Semenjak dikeroyok tadi,
Han Ki selalu melindungi dirinya, dan hanya merobohkan pengeroyok yang tidak terlalu kuat dengan
tendangan atau dorongan kaki kiri, dan hal ini agaknya dimengerti oleh Suma Kiat dan kawan-kawannya.
Akan tetapi kini pemuda itu menggerakkan pedangnya sedemikian hebat seolah-olah hendak mengamuk
dan membunuh, maka para pengepungnya menjadi kaget dan jeri, otomatis meloncat mundur. Han Ki
membuat gerakan ke bawah cepat sekali, tangannya menyambar segenggam pasir dan sambil berseru
keras ia menyambitkan pasir itu ke depan, ke arah para pengepungnya.
“Awas senjata rahasia!” bentaknya.
Suma Kiat dan para panglima yang berilmu tinggi dapat menyampok pasir-pasir itu runtuh tanpa berkedip.
Akan tetapi pengeroyok-pengeroyok yang kurang pandai menjadi kaget dan cepat membuang diri ke
bawah. Yang kurang cepat segera memekik kesakitan karena biar pun hanya butiran-butiran pasir, jika
dapat menembus kulit mendatangkan rasa nyeri dan perih sekali!
Ketika semua orang memandang ke depan, pemuda yang luar biasa itu telah lenyap karena Han Ki telah
meloncat cepat sekali dan menerobos masuk melalui pintu yang menuju ke kompleks bangunan istana
dengan merobohkan dua orang penjaga pintu itu sambil berlari. Penjaga penjaga itu terpelantlng ke kanan
kiri sedangkan tombak panjang mereka patah-patah!
“Kejar! Tangkap dia, mati atau hidup!” Suma Kiat membentak para pengawal yang sejenak melongo penuh
rasa kaget dan gentar menyaksikan sepak terjang Han Ki yang benar-benar amat hebat itu. Dikeroyok
begitu banyak orang pandai sampai setengah malam, masih belum dapat ditangkap, bahkan kini berani
memasuki istana.
Tentu saja semua orang cepat menyerbu, berlomba memasuki istana. Ada yang menerobos dari pintupintu
belakang, ada pula yang meloncat naik ke atas wuwungan. Mereka harus cepat-cepat menangkap
pemuda itu karena setelah kini pemuda itu menyelinap masuk ke istana, keadaan Kaisar dan keluarganya
dapat diancam bahaya! Bala bantuan dari luar istana sudah datang dan kini puluhan orang pengawal
dipimpin sendiri oleh panglima-panglima kerajaan mulai mengadakan pengejaran dan mencari Han Ki yang
lenyap! Ke manakah perginya Han Ki?
Han Ki yang berhasil menerobos memasuki istana terus berlari melalui lorong-lorong di antara kamarkamar
dan bangunan-bangunan kecil, ruangan-ruangan yang luas. Dia tidak mengenal jalan, hanya lari ke
arah yang sunyi tidak ada orangnya. Napasnya terengah-engah, mukanya berkilat penuh keringat, seluruh
tubuhnya berdanyut-danyut saking lelahnya. Setelah tidak bertempur lagi, terasa betapa perihnya luka-luka
bekas gebukan-gebukan senjata lawan.
Tiba-tiba ia berhenti di luar sebuah kamar besar dan menyelinap di balik jendela. Ia mendengar suara
wanita ber-liamkeng (berdoa), membaca kitab suci di dalam kamar itu. Ketika ia mengintai, tampak olehnya
seorang nenek tua di kamar itu, duduk membaca kitab dihadapan seorang pelayan wanita. Han Ki menjadi
tegang hatinya. Ia tahu bahwa nenek itu adalah ibu suri, Ibu dari Kaisar, seorang nenek yang sudah
keriputan dan tua, yang seolah-olah kini telah mengasingkan diri bersembunyi di dalam kamarnya siang
malam dan kerjanya hanya membaca kitab-kitab suci.
dunia-kangouw.blogspot.com
Selagi Han Ki hendak melanjutkan larinya, tiba-tiba ia mendengar suara para pengawal yang mengejarnya.
Ada serombongan pengawal yang datang dari kanan. Han Ki sudah menggerakkan kaki untuk lari ke kiri,
akan tetapi dari arah kiri terdengar pula suara pengawal-pengawal yang menuju ke tempat itu!
“Kita harus mengepung seluruh jalan dalam istana, memeriksa seluruh kamar. Tak mungkin dia bisa
menghilang seperti setan!” Suara itu adalah suara Suma Kiat yang sudah datang mendekat!
Celaka, pikir Han Ki. Dia sudah amat lelah, tidak mungkin kuat melawan terus kalau tempat sembunyinya
diketahui mereka. Dan kini, jalan dari kanan kiri sudah tertutup. Untuk meloncat ke atas menerobos langitlangit,
ia tahu merupakan hal berbahaya sekali, karena para pengawal tentu tidak melupakan penjagaan di
atas sehingga begitu dia muncul tentu akan disambut serangan yang berbahaya sekali.
Tiba-tiba ia mendapat akal dan didorongnya daun jendela, kemudian ia meloncat ke dalam, menutup daun
jendela dan menggunakan sapu tangan yang tadi dipakai mengusap peluh menutupi bagian bawah
mukanya agar Ibu suri tidak mengenal dia! Gerakannya begitu ringan sehingga Ibu suri yang sedang asyik
membaca kitab itu tidak mendengarnya. Akan tetapi pelayan wanita yang berlutut di depannya tentu saja
dapat melihat Han Ki yang muncul dari jendela di belakang Ibu suri, maka pelayan itu bangkit berdiri
dengan mata terbelalak.
“Jangan menjerit!” Han Ki berkata, lalu menodongkan pedangnya di belakang Ibu suri. “Kalau menjerit,
pedangku akan merampas nyawa!”
Pucatlah muka pelayan itu, kedua kakinya menggigil, tubuhnya gemetar dan tak terasa lagi ia menjatuhkan
diri berlutut. Ibu suri yang sedang membaca kitab itu menghentikan bacaannya lalu menoleh. Ketika
melihat seorang pemuda bertopeng sapu tangan memegang sebatang pedang telanjang di belakangnya,
nenek ini tidak menjadi kaget atau takut, hanya terheran lalu bertanya lirih sambil bangkit berdiri. “Engkau
siapakah dan apa artinya perbuatanmu ini?”
Hati Han Ki sudah lemas menyaksikan sikap tenang nenek itu. Kalau nenek itu menjadi panik dan
mencoba berteriak, tentu akan ditotoknya dan dipaksanya diam. Akan tetapi nenek itu sama sekali tidak
kelihatan takut, bahkan menegurnya dengan suara halus dan sikap tenang penuh wibawa dan keagungan.
Tanpa dapat ditahan lagi, Han Ki menjatuhkan diri berlutut dan berkata, “Hamba dikejar-kejar pengawal
dan mohon perlindungan...”
Sejenak nenek itu menunduk, memandang wajah yang setengahnya tertutup sapu tangan itu. “Hemm,
apakah engkau yang diributkan semalam, engkau yang berani memasuki taman istana dan mengadakan
pertemuan dengan Hong Kwi?”
“Benar, hambalah orang itu!”
“Siapa namamu?”
“Hamba Kam Han Ki...”
“She Kam? Ada hubungan apa engkau dengan Kam Bu Song?”
“Paduka maksudkan Suling Emas? Dia adalah Pek-hu (uwa) hamba...”
“Hemmm...! Seorang pemuda gagah perkasa yang menghadapi bahaya sebagai akibat perbuatan sendiri,
mengapa menjadi begini lemah? Mengapa tidak menghadapi bahaya itu sendiri, bahaya yang amat
berharga kalau memang hatimu terdorong cinta kasih? Mengapa membawa-bawa aku seorang tua untuk
ikut terseret akibat perbuatanmu? Kam Han Ki, benarkah sikapmu ini?”
Han Ki terkejut bukan main. Mukanya seperti ditampar dan ia merasa malu sekali. Memang, apakah
tujuannya bersembunyi di kamar nenek ini? Paling-paling dia akan menyeret nenek ini ke dalam
kecemaran, seorang nenek yang begitu luhur budinya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Han Ki terkejut, akan tetapi, nenek itu sambil berdiri dan masih
memegangi kitabnya, menegur halus, “Siapa di luar?”
“Hamba Jenderal Suma dan pengawal hendak mencari seorang buronan. Harap Paduka suka mengijinkan
hamba memeriksa di dalam!” terdengar jawaban dari luar.
“Masuklah, daun pintu tidak dikunci,” jawab Si Nenek dengan tenang.
Daun pintu didorong terbuka dari luar dan Han Ki sudah bertindak cepat. Ia melompat bangun dan
mengancam dengan pedangnya di dekat leher nenek itu. Hal ini ia lakukan sekali-kali bukan untuk
mengancam Si Nenek, melainkan untuk menolong nenek itu dari kecemaran. Kalau dia menodong dan
seolah-olah memaksa nenek itu, berarti bahwa Ibu Suri sama sekali tidak melindunginya, tidak
menyembunyikannya!
Akan tetapi maksudnya ini agaknya tidak dimengerti oleh Si Pelayan yang terbelalak ketakutan dan
menubruk kaki nyonya majikannya. Pada saat itu muncullah Jenderal Suma Kiat bersama dua orang
panglima pengawal. Mereka memandang tajam ke arah Han Ki dan sejenak menjadi bingung melihat
betapa Ibu Suri ditodong oleh Han Ki yang memakai kedok sapu tangan menutupi separuh mukanya.
“Kam Han Ki, apakah engkau sudah menjadi pengecut, mengancam seorang wanita yang tak berdaya?”
tegur Suma Kiat dengan suara marah sekali dan pedangnya sudah tergetar di tangannya, demikian pula
kedua orang panglima sudah mencabut senjata dan di belakang mereka. Di luar pintu terdapat banyak
pengawal, berdesakan untuk melihat dan siap mengeroyok ketika mendengar bahwa orang buronan itu
bersembunyi di kamar Ibu Suri dan menodong nenek itu!
Han Ki tidak menjawab dan kini nenek itu berkata, “Goanswe dan para Ciangkun, harap jangan membikin
ribut di dalam kamarku. Kalian boleh saja hendak menangkap orang ini, akan tetapi jangan sekali-kali di
dalam kamarku. Keluarlah dan lakukan apa saja kalau orang ini sudah keluar kamar.” Suara nenek itu
halus, akan tetapi mengandung kepastian yang tidak boleh dibantah lagi.
Suma Kiat dan dua orang panglima pengawal memberi hormat, dan setelah melempar pandang mata
marah sekali lagi ke arah Han Ki, mereka lalu keluar dari kamar itu.
“Orang muda yang gagah, sekarang keluarlah dan hadapi segala akibat perbuatanmu dengan gagah
seperti pek-hu-mu Suling Emas. Bagi seorang gagah, pilihan hanya dua, mati atau hidup, akan tetapi
keduanya tiada bedanya asal bersandar kebenaran dan kegagahan. Hidup sebagai seorang pendekar,
mati sebagai seorang gagah, itulah kemuliaan terbesar dalam kehidupan seorang jantan.”
“Terima kasih dan hamba mohon maaf sebanyaknya!” kata Han Ki. Semangatnya timbul kembali oleh
nasehat nenek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah mencelat ke luar menerobos jendela kamar itu.
Baru saja ia turun di luar kamar, lima orang pengawal sudah menerjangnya dari kanan kiri. Akan tetapi
dalam beberapa gebrakan saja lima orang pengawal ini roboh dan mengalirlah darah pertama sebagai
akibat gebrakan pedang Han Ki! Dia didesak hebat, maka sekarang dia tidak berlaku sungkan lagi.
Pedangnya dikerjakan, dan biar pun tidak membunuh mereka, kini Han Ki merobohkan orang dengan niat
agar yang dirobohkan tak dapat mengeroyoknya lagi!
Ia meloncati tubuh lima orang itu dan lari, akan tetapi setibanya di ruangan yang besar di mana Suma Kiat
dan para panglima telah menanti, dia dikurung dan kini dikeroyok oleh Suma Kiat, Siangkoan Lee dan
belasan orang panglima pilihan yang kesemuanya berkepandaian tinggi! Di antara para panglima itu ada
yang mengenal dia, bahkan ada yang menjadi rekan Panglima Khu Tek San. Mereka itu hanya
melaksanakan tugas, dan pada saat itu Han Ki tidak lagi dianggap sebagai rekan, melainkan sebagai
seorang buronan yang telah mengacaukan istana dan menghina Kaisar, maka harus ditangkap atau
dibunuh!
Han Ki mengamuk dengan hebat. Pedangnya lenyap menjadi sinar yang bergulung-gulung seperti seekor
naga sakti bermain di angkasa, mengeluarkan suara berdesing dan kadang-kadang bercuitan
menyeramkan para pengeroyoknya. Akan tetapi sekali ini para pengeroyoknya adalah orang-orang yang
dunia-kangouw.blogspot.com
pandai, yang hanya kalah dua tiga tingkat dibandingkan dengan dia, ditambah lagi keadaan tubuhnya yang
penuh luka dan lelah sekali, maka mulailah Han Ki terdesak hebat!
Setengah malam suntuk ia telah bertanding dikeroyok banyak orang pandai. Kini di ruangan terbatas ia
dikeroyok oleh tujuh belas orang pandai, tentu saja Han Ki menjadi repot sekali. Betapa pun juga, ucapan
nenek di dalam kamar tadi telah menggugah semangatnya.
“Aku tidak bersalah! Aku datang menemui wanita yang kucinta! Apa dosaku? Kalian semua tahu bahwa
aku tidak melakukan kejahatan, dan aku sudah banyak mengalah. Kalau kalian tidak mau mundur,
terpaksa aku mengadu nyawa!”
“Pemberontak keji, maling cabul tak tahu malu!” Suma Kiat membentak dan menerjang hebat.
“Rrrrtt... cring-cring...!”
Han Ki menangkis sekian banyaknya senjata dan tangan kirinya menggunakan pukulan ke samping secara
aneh dan tak terdaga-duga. Biar pun pukulan dengan tangan kiri ini tidak mungkin dapat mengenai tubuh
lawan, namun angin pukulan yang mengandung sinkang kuat itu membuat dua orang pengeroyok
terlempar ke belakang dan terbanting pada dinding! Sejenak kedua orang pengeroyok itu menjadi pening
dan semua pengeroyok diam-diam merasa kagum, lalu mengeroyok lebih hati-hati. Mereka semua maklum
bahwa adik sepupu Menteri Kam ini hebat sekali kepandaiannya.
Kembali Han Ki terkena pukulan-pukulan, bahkan bajunya robek-robek termakan senjata tajam para
pengeroyoknya. Darahnya mulai mengalir dari kedua bahu, pundak dan kedua pahanya. Darahnya sendiri
membasahi tubuh, akan tetapi dalam seratus jurus lamanya dia hanya terluka dan belum tertangkap.
Sebaliknya ia telah merobohkan empat orang pengeroyok dengan pedangnya sehingga mereka tidak
mampu mengeroyok lagi, dan melukai ringan tujuh orang lain! Di antara yang terluka ringan adalah
Siangkoan Lee, murid Suma Kiat yang dadanya tergores pedang sehingga kulit dadanya robek berdarah!
Akan tetapi kehilangan darah dan kelelahan membuat Han Ki merasa pening dan sering kali terhuyung.
Keadaannya sudah payah sekali dan tiba-tiba sebatang toya berhasil mengemplang pergelangan tangan
yang memegang pedang. Pukulan yang keras sekali dan hanya berkat sinkang-nya saja maka tulang
lengan itu tidak remuk, akan tetapi pedangnya terlepas dari pegangan. Detik-detik lain merupakan hujan
pukulan yang diakhiri dengan totokan Suma Kiat membuat tubuh Han Ki roboh mandi darah dan tak
berkutik lagi, pingsan!
Suma Kiat melarang para panglima itu membunuh Han Kt. Hal ini bukan sekali-kali karena rasa sayang
terhadap anggota keluarga, bahkan sebaliknya. Saking bencinya, Suma Kiat tidak ingin melihat Han Ki
dibunuh begitu saja. Ia ingin melihat pemuda itu dijatuhi hukuman gantung atau penggal leher disaksikan
orang banyak sehingga puaslah hatinya. Kalau dibunuh sekarang dalam keadaan pingsan, terlalu ‘enak’
bagi Han Ki yang dibencinya!
Tubuh Han Ki dibelenggu lalu diseret dan dilempar ke dalam kamar tahanan di belakang istana, dijaga kuat
oleh pengawal yang diatur oleh Suma Kiat sendiri. Selain tidak ingin melihat Han Ki tewas secara enak,
juga dia menahan pemuda itu dengan niat lain, dengan siasat untuk memancing Menteri Kam melakukan
pelanggaran sehingga ia dapat pula mencelakakan Menteri Kam Liong yang amat dibencinya!
Dalam keadaan pingsan dan terbelenggu kaki tangannya, Han Ki dilemparkan ke atas pembaringan batu
dalam kamar tahanan yang sempit, kemudian pintu beruji besi yang kokoh kuat dikunci dari luar dan di luar
kamar tahanan dijaga ketat oleh pasukan pengawal.
Ketika Han Ki siuman dari pingsannya dan membuka mata, ia tidak mengeluh. Ia sadar benar dan maklum
bahwa dia telah ditawan. Dia tidak menyesal. Mati bukan apa-apa bagi seorang gagah, apa lagi kalau ia
teringat akan Hong Kwi, kematian hanya merupakan kebebasan dari pada penderitaan batin akibat kasih
tak sampai. Namun hatinya diliputi penyesalan dan kekhawatiran kalau ia teringat akan Menteri Kam Liong,
kakak sepupunya itu. Dia maklum bahwa semua perbuatannya tentu dianggap mengacau istana dan
dianggap berdosa besar, pasti pula akan mengakibatkan hal yang tidak baik terhadap Menteri Kam,
padahal ini sungguh tidak ia kehendaki sehingga membuat dirinya merasa menyesal sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Betapa pun juga, dia lalu mengerahkan tenaga sehingga tubuhnya dapat rebah telentang, matanya
memandang langit-langit kamar tahanan. Sedikit pun tidak ada keluhan keluar dari mulutnya, dan dengan
kepandaiannya yang tinggi, Han Ki dapat ‘mematikan rasa’ sehingga tubuhnya tidaklah terlalu menderita.
Ia menyerahkan nyawanya kepada Tuhan dan siap menerima datangnya maut dalam bentuk apa pun juga.
Dugaan Han Ki memang sama sekali tidak meleset. Peristiwa yang terjadi itu membawa akibat yang amat
jauh dan hebat. Dia pun tidak tahu nasib apa yang menimpa Maya dan Siauw Bwee yang ia tinggalkan di
tengah jalan.....
********************
Ketika Menteri Kam Liong dan muridnya, Panglima Khu Tek San meninggalkan istana yang mengakhiri
pesta penyambutan tamu agung sampai tengah malam, hati guru dan murid ini lega karena semenjak
munculnya Maya dan Siauw Bwee tadi membuat hati mereka amat tidak enak. Mereka pun berpisah.
Panglima Khu pulang ke gedungnya sendiri dengan tergesa-gesa. Dia ingin segera sampai di rumah dan
menegur puterinya yang telah berbuat lancang menggegerkan istana bersama Maya.
Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget hatinya ketika sampai di rumah dia disambut teguran isterinya,
mengapa Siauw Bwee dan Maya tidak diajak pulang?!
“Apa...?! Mereka sudah pulang lebih dulu, malah diantar oleh Kam-susiok!” Panglima ini berkata dengan
suara keras.
Maka paniklah keluarga Khu dan Panglima itu pun segera menyuruh anak buahnya untuk berpencar
mencari puterinya dan Maya. Juga dia sendiri ikut mencari, karena sungguh pun ia tidak usah merasa
khawatir akan keselamatan dua orang anak perempuan yang diantar oleh susioknya itu, namun peristiwa
yang terjadi di istana sebagai akibat kelancangan Maya dan Siauw Bwee membuat hatinya tidak enak. Apa
lagi karena utusan Yucen dan Jenderal Suma jelas memperlihatkan sikap bermusuhan dengan gurunya.
Akan tetapi malam itu ternyata terjadi hal yang amat menggelisahkan hati panglima ini secara susulmenyusul.
Waktu ia meninggalkan rumahnya lagi untuk mencari jejak puterinya dan Maya, ia dikejutkan
oleh berita bahwa Kam Han Ki mengamuk di taman istana dan dikeroyok oleh para pengawal! Tentu saja ia
terkejut sekali, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan? Ia dapat menduga bahwa tentu hal itu ada
hubungannya dengan pertalian cinta kasih antara Kam Han Ki dan Puteri Sung Hong Kwi.
Panglima Khu menjadi bingung karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya, sedangkan kedua orang
anak perempuan itu belum didapatkan, kini mendengar Han Ki menggegerkan istana! Apakah yang terjadi
dengan puterinya dan Maya?
Tiada jalan lain bagi Panglima Khu selain bergegas mendatangi gurunya di gedung Menteri Kam Liong.
Seperti telah diduganya, gurunya telah mendengar perihal Han Ki di istana, tentu mendapat pelaporan dari
anak buah yang setia. Kini Menteri yang tua itu duduk termenung dan menyambut kedatangan Tek San
dengan muka gelisah.
“Kau tentu datang untuk melaporkan tentang Han Ki, bukan? Aku sudah mendengar semua dan... ah,
betapa pun juga, dia seorang pemuda yang tentu saja belum cukup kuat untuk menahan pukulan cinta
terputus. Bagaimana aku dapat menyalahkan dia?”
“Bukan hanya urusan Kam-susiok saja yang menggelisahkan teecu dan membuat teecu menjelang pagi
begini mengunjungi Suhu, melainkan juga lenyapnya kedua orang anak itu....”
“Apa...?!” Menteri tua itu menjadi terkejut.
“Seperti Suhu ketahui, Maya dan Siauw Bwee pulang lebih dulu diantar oleh Kam-susiok. Akan tetapi
ternyata kedua orang anak itu belum sampai ke rumah teecu dan tahu-tahu ada berita Kam-susiok
mengamuk di taman istana. Teecu bingung dan tidak tahu harus berbuat apa, maka teecu datang
menghadap Suhu mohon petunjuk.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Menteri Kam Liong mengelus jenggotnya dan menarik napas panjang berkali-kali. Khu Tek San mendengar
gurunya berkata lirih, “Mengapa... mengapa...?”
Ia tidak mengerti apa yang dimaksudkan gurunya itu. Memang yang mengerti hanya Menteri Kam Liong
sendiri. Di dalam hatinya ia merasa berduka dan bertanya, mengapa keturunan keluarga Suling Emas
selalu ditimpa kemalangan?
“Kita harus bersabar, Tek San. Urusan Han Ki adalah urusan yang gawat dan biarlah besok aku
menghadap Kaisar minta keterangan, dan akan kuusahakan agar aku dapat bertemu Han Ki dan bertanya
tentang dua orang anak itu. Aku harus membela Han Ki yang kabarnya masih belum tertangkap.
Sebaiknya sekarang juga aku melihat keadaan.”
Khu Tek San mengerti betapa gurunya bingung dan berduka, maka ia cepat berkata, “Harap Suhu tunggu
saja di rumah karena kalau Suhu yang datang ke sana, tentu akan terjadi salah paham, disangka Suhu
akan membantu Kam-susiok. Sebaiknya teecu saja yang menyelidiki ke sana dan melihat keadaan.”
Menteri Kam Liong mengangguk-angguk dan membiarkan muridnya keluar. Dia memang bingung sekali
menghadapi urusan yang sulit itu. Tidak mungkin ia tidak membantu Han Ki karena di antara semua
keluarganya, hanya Han Ki seorang yang paling dekat. Kalau membantu berarti ia terancam bahaya
bermusuhan dengan istana!
Sampai Han Ki tertawan dan dimasukkan dalam penjara, Khu Tek San menyaksikan semua pertandingan
itu. Dia tidak berani turun tangan membantu. Setelah mendapat kenyataan betapa Han Ki tertawan dan
dijebloskan ke kamar tahanan, ia bergegas pulang ke rumah Menteri Kam untuk membuat laporan.
Menteri Kam Liong mengurut jenggotnya yang panjang, wajahnya agak pucat dan ia berkata lirih, “Aku
harus menolongnya! Harus membebaskannya, kalau perlu dengan mengorbankan diriku...”
“Suhu...!” Tek San berseru kaget.
Menteri Kam Liong memandang muridnya yang setia. “Tek San, engkau muridku yang amat baik, seperti
keluargaku sendiri, maka tak perlu aku menyimpan rahasia. Saudara-saudaraku cerai-berai tidak karuan,
dan keturunan ayahku yang laki-laki hanya ada tiga orang, yaitu aku sendiri, mendiang Raja Khitan dan
Han Ki. Raja Khitan telah tewas dan aku sendiri tidak berdaya menolong adikku itu. Aku sendiri sudah tua
dan tidak mempunyai anak. Kalau Han Ki tewas, bukankah keluarga Kam akan kehilangan turunan? Aku
harus menyelamatkan dia, apa pun yang akan menimpa diriku. Tentu saja aku akan mempergunakan jalan
halus membujuk Kaisar untuk mengampuni Han Ki, akan tetapi apa bila tidak berhasil, aku akan
mempergunakan kekerasan membebaskannya. Juga kalau kedua orang anak perempuan itu benar-benar
lenyap di luar pengetahuan Han Ki, aku akan mendatangi Suma Kiat dan demi Tuhan, sekali ini aku tidak
akan segan-segan untuk memukul pecah kepalanya kalau sampai dia berani mengganggu Maya dan
Siauw Bwee. Kau pulanglah!”
Dengan hati berat dan penuh kekhawatiran karena hal-hal yang amat tidak enak menimpa secara bertubitubi,
Tek San lalu mengundurkan diri. Puterinya hilang, paman gurunya ditawan, dan gurunya menghadapi
kesukaran yang amat berat sedangkan dia sendiri tidak berdaya menolong!
Lebih gelisah lagi hati Khu Tek San setelah lewat tiga hari, tidak ada seorang pun di antara anak buahnya
yang disuruh menyelidik mengetahui ke mana perginya dua orang anak perempuan itu! Han Ki yang
berhasil dihubungi Menteri Kam hanya menceritakan bahwa dia berpisah dengan dua orang anak itu yang
pulang berdua, sedangkan dia langsung menuju ke taman istana sampai tertawan.
Ketika gurunya memanggilnya, Tek San mendapatkan gurunya itu menjadi kurus dan pucat. Betapa hebat
penderitaan batin menteri itu selama tiga hari ini.
“Tek San, aku gagal mintakan ampun untuk Han Ki. Bahkan Kaisar menetapkan hukuman mati untuk Han
Ki yang dilaksanakan besok. Si Bedebah Suma Kiat! Dialah yang membakar hati Kaisar sehingga Han Ki
tak dapat diampuni, bahkan Kaisar marah kepadaku mengapa tidak dapat mencegah perbuatan Han Ki
dunia-kangouw.blogspot.com
yang mencemarkan nama baik keluarga Kaisar! Aku sudah mengambil keputusan, muridku. Malam ini,
menjelang pagi, aku harus turun tangan membebaskan Han Ki dan kalau berhasil, aku akan pergi bersama
dia menyusul ayahku di Gobi-san. Aku hidup seorang diri, perbuatanku ini tentu akan menggegerkan, akan
tetapi tidak ada keluargaku yang menderita akibatnya. Ada pun tentang dirimu sebaiknya engkau
mengundurkan diri saja setelah keributan yang kusebabkan mereda.”
Tek San kaget sekali. “Akan tetapi... bagaimana dengan puteri teecu dan Maya?”
“Aku sudah mendatangi Suma Kiat dan dia bersumpah tujuh turunan bahwa dia tidak mencampuri urusan
lenyapnya dua orang anak itu. Aku percaya kepadanya. Kurasa orang-orang Yucen mengambil bagian,
bahkan mungkin pelaku-pelaku terpenting atas hilangnya dua orang anak itu. Mungkin mereka hendak
membalas penghinaan yang dilakukan dua orang anak itu di dalam pesta. Kalau aku sudah berhasil
menyelamatkan Han Ki, aku sendiri yang akan mencari mereka, menyelidik di antara tokoh Yucen yang
hadir pada malam hari itu.”
“Suhu, teecu akan membantu Suhu menolong Susiok!”
Kam Liong terkejut dan memandang wajah muridnya yang berdiri tegak penuh keberanian. Ia tidak raguragu
akan keberanian dan kegagahan muridnya, akan tetapi sekali ini mereka bukan melakukan tugas
demi kepentingan negara yang tidak perlu memperhitungkan untung rugi pribadi, melainkan melakukan
urusan pribadi! Tentu saja amat jauh bedanya.
“Jangan, Tek San. Urusan pada malam nanti adalah urusan pribadi. Aku tidak ingin melihat engkau
terbawa-bawa dan keluargamu menjadi celaka karena keluarga kami. Biarlah kulakukan sendiri sehingga
kalau gagal, tidak mengorbankan pula keselamatanmu.”
“Maaf, Suhu. Mengapa Suhu berkata demikian? Teecu telah menerima budi besar dari Suhu, bahkan
semua kemuliaan yang teecu nikmati sekarang ini adalah berkat pertolongan Suhu. Ketika teecu ditawan di
perbatasan, kalau tidak muncul Kam-susiok yang menolong, tentu teecu sudah mati pula. Kini Kam-susiok
membutuhkan bantuan, bagaimana teecu dapat tinggal diam saja? Apa lagi melihat Suhu terjun ke dalam
bahaya, masa teecu harus diam menonton saja? Tidak, teecu mohon agar diperbolehkan membantu Suhu.
Dengan tenaga dua orang, kiranya akan lebih mudah menolong Kam-susiok.”
“Akan tetapi... keluargamu?”
“Siauw Bwee telah lenyap dan yang menjadi tanggungan teecu hanyalah isteri teecu. Hari ini juga teecu
akan menyuruh dua orang kepercayaan teecu untuk mengantarkan isteri teecu lolos dengan diam-diam
dari kota raja. Hal itu mudah dilakukan.”
“Tapi... ah, tugas malam nanti amat berbahaya, Tek San. Kalau ketahuan, tentu kita akan menghadapi
pengeroyokan banyak sekali panglima yang pandai...”
“Justeru karena itulah maka sebaiknya kalau Suhu mengajak teecu. Biar pun kekuasaan Suhu lebih besar
dari pada teecu karena memang pangkat Suhu lebih tinggi, akan tetapi sebagai seorang panglima,
agaknya teecu dapat mempengaruhi para pengawal yang akan lebih taat pada seorang panglima dari pada
seorang menteri seperti Suhu. Ijinkan teecu pulang untuk mengatur kepergian isteri teecu keluar kota raja
dan menentukan tempat yang akan dijadikan tempat sembunyi, kemudian teecu akan kembali ke sini untuk
mengatur siasat malam nanti.”
Karena maklum akan kekerasan hati muridnya yang amat setia dan gagah perkasa sehingga makin
dilarang tentu makin penasaran, apa lagi memang dia amat membutuhkan tenaga Tek San, akhimya
Menteri Kam Liong hanya dapat mengangguk menyetujui. Tek San menjadi girang dan cepat ia pulang ke
gedungnya, berbisik-bisik mengatur kepergian isterinya. Wajah isterinya pucat dan matanya merah karena
terlalu banyak menangis memikirkan lenyapnya puteri mereka.
Hari itu juga, menjelang senja nyonya Khu menyamar sebagai seorang wanita biasa, dikawal oleh dua
orang pengawal kepercayaan Khu Tek San keluar kota raja menuju ke selatan. Tidak ada orang yang tahu
akan hal itu, bahkan para pelayan di gedung itu sendiri tidak tahu!
dunia-kangouw.blogspot.com
Malam itu Menteri Kam dan Panglima Khu berunding di ruangan dalam. Menteri Kam memanggil
pelayannya yang setia, pelayan yang juga dapat disebut sebagai muridnya karena pelayan ini amat tekun
mempelajari ilmu silat yang dilihatnya setiap kali Menteri Kam mengajar Tek San. Pelayan ini bernama Gu
Toan, semenjak kecil sudah cacat tubuhnya, yaitu punggungnya bongkok dan wajahnya buruk, namun dia
mempunyai kesetiaan yang amat luar biasa. Laki-laki bongkok ini pendiam, namun cerdik sekali sehingga
apa saja yang dilihatnya akan selalu teringat olehnya dan setiap perintah majikannya selalu dilakukan
penuh ketaatan sehingga setiap perintah akan ia laksanakan dengan taruhan nyawanya!
“Gu Toan,” kata Menteri Kam kepada pelayannya yang memandang penuh duka karena ia maklum bahwa
majikannya yang dijunjung tinggi, dihormati dan dikasihinya itu sedang menderita tekanan batin karena
urusan yang amat hebat itu. “Engkau sudah mendengar semua, bukan? Nah, malam nanti menjelang pagi
aku akan melaksanakan rencanaku bersama Tek San. Kepadamulah kupercayakan untuk menyimpan
peninggalanku, kitab-kitab yang sudah kubungkus itu. Hanya engkau seorang yang kupercaya untuk
menyelamatkan benda-benda pusaka itu agar tidak terjatuh ke tangan orang lain karena aku khawatir
sekali kalau-kalau ilmu keturunanku akan dipergunakan orang untuk perbuatan jahat.”
“Hamba mengerti, Taijin.”
“Dan sepergiku, engkau tidak boleh berada di gedung ini lagi, siap untuk menantiku di pintu gerbang
sebelah selatan. Engkau mencari tempat sembunyi di sana, menanti aku dan membawa benda-benda
pusaka itu. Kalau aku berhasil menolong Han Ki, tentu aku akan keluar dari pintu gerbang selatan itu dan
engkau boleh pergi bersamaku. Akan tetapi kalau sampai pagi aku tidak muncul, berarti aku gagal dan kau
boleh cepat-cepat memberi kabar ke Gobi-san. Kau carilah tempat pertapaan Ayah, Suling Emas dan
ceritakan semua peristiwa yang terjadi di sini. Mengertikah?”
Pelayan setia itu mengangguk-angguk dan dua titik air mata menetes turun ketika ia menggerakkan kepala.
“Nah, kau berkemaslah,” kata Menteri Kam, diam-diam berterima kasih dan lega hatinya bahwa dia
mempunyai seorang pelayan demikian setia.
Malam itu, guru dan murid ini tidak tidur. Setelah makan minum, mereka berdua hanya duduk bersemedhi,
mengumpulkan tenaga sambil menanti datangnya saat yang mereka tentukan, yaitu antara tengah malam
dan pagi, waktu yang paling sunyi karena para penjaga pun sudah banyak yang tertidur dan sisanya tentu
sudah mengantuk berjaga sampai hampir pagi.
Menjelang pagi, pada saat seluruh kota raja tertidur dan keadaan sunyi senyap, tampak tiga bayangan
orang berkelebat ke luar dari gedung Menteri Kam Liong. Mereka itu bukan lain adalah Menteri Kam Liong
sendiri, Panglima Khu Tek San, dan si bongkok Gu Toan yang membawa bungkusan besar di
punggungnya yang berpunuk dan bongkok itu.
Setelah memberi hormat untuk terakhir kalinya kepada majikannya, Gu Toan memisahkan diri, membelok
ke selatan dan terus berlari menuju pintu gerbang selatan. Bagi dia tidaklah sukar untuk keluar dari pintu
gerbang pada saat seperti itu karena ketika ia memperlihatkan surat perintah Menteri Kam kepada penjaga
yang memandangnya dengan mata mengantuk, dia lalu dibukakan pintu gerbang dan berlarilah Si Bongkok
ini keluar pintu gerbang, mencari tempat persembunyian di luar tembok kota raja di sebelah selatan,
menanti dengan hati penuh gelisah.
Menteri Kam Liong dan muridnya bergerak cepat sekali, bayangan mereka melesat ke depan sehingga di
malam gelap itu sukarlah mengikuti gerakan mereka. Kalau kebetulan ada yang melihat tentu tidak
menduga bahwa berkelebatnya dua sosok bayangan itu adalah dua orang manusia. Mereka mengenakan
pakaian ringkas, sungguh pun sengaja memakai pakaian kebesaran mereka.
Menteri Kam Liong memakai pakaian yang biasa ia pakai di rumah, dengan lengan baju lebar akan tetapi
kedua celananya bagian bawah ditutup dengan sepasang sepatu kulit yang panjang menutupi betisnya.
Kepalanya diikat dengan kain pembungkus kepala ringkas sehingga biar pun pakaiannya adalah pakaian
menteri, namun karena ringkas sederhana, ia tampak sebagai seorang tokoh kang-ouw!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ada pun Khu Tek San memakai pakaian panglima, bahkan mengenakan baju perang yang terlindung kulit
tebal di bagian bahu, lengan, dada, perut dan kaki di bawah lutut. Pedang panjang tergantung di
pinggangnya. Rambutnya tidak dibungkus, hanya diikat ke atas dengan sehelai sutera pengikat rambut.
Panglima dengan kumisnya yang meruncing ke kanan kiri ini kelihatan gagah perkasa!
Mereka berdua langsung memasuki daerah istana dari tembok belakang. Tembok itu amat tinggi, dan
kalau gurunya tidak membantunya dengan dorongan kuat dari bawah agaknya Khu Tek San takkan
mampu melompatinya, apa lagi dengan pakaiannya yang berat itu. Keduanya berhasil meloncat turun ke
sebelah dalam dan mulailah mereka berjalan menuju ke bangunan penjaga di belakang istana yang terjaga
ketat.
Tepat seperti yang diduga dan diperhitungkan Menteri Kam Liong, sebagian besar para penjaga tertidur
pulas, sebagian lagi melenggut saking mengantuk. Hanya ada belasan orang saja yang dapat bertahan,
menjaga sambil main kartu. Mereka terkejut melihat munculnya dua orang dari dalam gelap, akan tetapi
mereka tidak jadi menyambar senjata atau berteriak ketika mengenal bahwa yang muncul adalah Panglima
Khu Tek San dan Menteri Kam Liong. Mereka yang tidak tidur atau mengantuk cepat-cepat bangkit berdiri
dan memberi hormat kepada dua orang berpangkat itu.
“Maaf... hamba... hamba tidak tahu...” Kepala pengawal berkata gugup karena munculnya dua orang itu,
terutama sekali Menteri Kam, benar-benar mengejutkan hatinya.
“Tak perlu ribut-ribut. Buka pintu untuk kami!” kata Panglima Khu dengan suara penuh wibawa.
“Bu... buka pintu... tapi... hamba tak boleh...” Kepala pengawal menjadi bingung memandang kepada pintu
besi yang terkunci dengan gembok kuat sekali itu.
“Aku memerintahkan, dan di sini hadir pula Kam-taijin yang ingin memeriksa tawanan, engkau masih berani
banyak cerewet?” Panglima Khu membentak dan melangkah maju dengan sikap mengancam.
“Maaf... hamba tidak membantah, Ciangkun... hanya hamba telah dipesan oleh Suma-goanswe....”
“Bukalah!” kata Menteri Kam Liong dengan suara halus namun lebih mantap dari pada suara Khu-ciangkun.
“Kalau ada kemarahan dari Suma-goanswe, aku yang bertanggung jawab.”
Mendengar ini penjaga itu tidak berani rewel lagi dan ia lalu membuka kunci pintu besi yang
menghubungkan tempat penjagaan dengan bangunan penjara. Menteri Kam dan Khu Tek San saling
memberi tanda dengan kedipan mata, segera tubuh mereka bergerak seperti terbang menerjang para
penjaga itu dan dalam beberapa detik saja para penjaga itu telah terpelanting roboh karena tertotok
sehingga dipandang sepintas lalu keadaan mereka seperti kawan-kawan mereka yang tidur pulas.
Guru dan murid itu cepat memasuki pintu besi dan kembali mereka bertemu dengan serombongan penjaga
di depan penjara. Penjaga di situ ada sepuluh orang, akan tetapi yang masih berjaga hanya tiga orang saja.
Tanpa banyak cakap, selagi tiga orang ini memandang kaget dan bengong sehingga lupa memberi hormat,
tiga kali lengan baju Menteri Kam mengebut dan tiga orang penjaga itu pun roboh ‘pulas’ di tempatnya.
Setelah melampaui penjagaan-penjagaan dengan mudah, akhirnya mereka berdua tiba di depan kamar
tahanan Han Ki dan melihat pemuda itu menggeletak pingsan di atas pembaringan batu dalam keadaan
kaki tangan terbelenggu dan pingsan! Ternyata bahwa luka-lukanya yang tidak dirawat, dan tiga hari tidak
diberi makan minum, akhirnya membuat pemuda yang sudah tidak peduli akan keselamatannya itu
pingsan!
Di depan pintu kamar tahanan ini terdapat dua orang penjaga yang berbeda dengan para penjaga di depan
karena mereka ini adalah dua orang panglima kaki tangan Suma Kiat. Begitu melihat munculnya Menteri
Kam Liong dan Panglima Khu, dua orang itu meloncat kaget. Seorang di antara mereka memutar golok
menerjang Menteri Kam Liong dan yang seorang lagi meloncat ke sudut ruangan itu.
“Plakkk...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Panglima muda yang menerjang Menteri Kam dengan pedangnya itu terbanting roboh dan pedangnya
patah menjadi dua, sedangkan Panglima Khu yang melihat panglima kedua lari ke sudut ruangan dan
menarik sebuah tali yang tergantung di situ, cepat menubruk dan sekali pukul ia merobohkan panglima itu.
Akan tetapi terlambat. Kiranya tali yang ditarik itu menghubungkan sebuah tempat rahasia dan
terdengarlah bunyi berkerincing yang nyaring sekali. Suara itu segera disusul oleh bunyi kentung tanda
bahaya yang membangunkan semua penjaga sehingga mereka berteriak-teriak dan membunyikan tanda
bahaya pula.
“Tek San! Cepat kau pondong Han Ki, biar aku yang melindungimu keluar!” Menteri Kam yang biasanya
amat halus gerak-geriknya, kini dengan sigapnya meloncat ke depan.
Sekali renggut saja putuslah rantai yang mengikat pintu, lalu ia mendorong daun pintu dan meloncat ke
dalam kamar tahanan diikuti oleh muridnya. Menteri Kam Liong kembali menggunakan jari-jari tangannya
yang kuat, mematahkan belenggu kaki tangan Han Ki yang masih pingsan. Dengan cepat Khu Tek San lalu
memondong tubuh Han Ki yang lemas, dan pada saat itu terdengar bunyi alat tanda bahaya dipukul gencar
di luar pintu kamar tahanan.
“Suma Kiat, engkau benar-benar orang yang tak tahu diri!” Menteri Kam Liong membentak marah ketika
melihat bahwa yang memukul tanda bahaya itu adalah Jenderal Suma Kiat yang sudah mengejar ke situ
bersama pasukan panglima pilihan dari istana.
Kiranya Jenderal ini sudah menduga bahwa Menteri Kam tentu akan turun tangan sebagaimana yang
diduga dan diharapkan, maka ia sengaja membiarkan pengawal biasa menjaga tempat tahanan,
sedangkan dia sendiri bersama panglima-panglima pilihan yang berkepandaian tinggi menanti di dalam
ruangan tersembunyi yang dihubungkan dengan tempat tahanan melalui sebuah tali. Dia menempatkan
dua orang panglima pilihannya secara bergilir di depan kamar tahanan, dan begitu ada bahaya, mereka
disuruh menarik tali itu. Di ruangan tersembunyi, Jenderal Suma Kiat dan para panglima melakukan
penjagaan secara bergilir sehingga menjelang pagi itu, begitu alat rahasia berbunyi, mereka semua
dibangunkan dan menyerbu ke tempat tahanan!
“Ha-ha-ha, Kam Liong, sudah kuduga bahwa akhirnya engkau menjadi pemberontak juga! Kalian terjebak
seperti tiga ekor tikus, ha-ha-ha!”
“Tek San, ikuti aku!” Kam Liong membentak sambil mencabut sepasang senjatanya yang ampuh dan
menggiriskan hati semua lawannya, yaitu sebatang suling emas dan sebuah kipas! Dengan gerakan kilat
Kam Liong sudah keluar dari dalam kamar tahanan, diikuti oleh Tek San yang memanggul tubuh Han Ki
dengan lengan kirinya, sedangkan tangan kanannya sudah mencabut pedang, siap untuk membela Han Ki
dan dirinya sendiri.
Setibanya di luar, Kam Liong sudah disambut serangan-serangan dahsyat yang dilancarkan oleh Suma
Kiat, Siangkoan Lee dan lima orang panglima kelas satu dari para tokoh pengawal Kaisar. Melihat ini makin
gemas hati Kam Liong karena hadirnya pengawal-pengawal pribadi Kaisar ini membuktikan bahwa
pengeroyokan ini telah direncanakan dengan seijin Kaisar sendiri!
Dia tahu bahwa panglima-panglima pengawal pribadi Kaisar adalah orang-orang yang memiliki tingkat
kepandaian tinggi, hanya sedikit saja di bawah tingkat kepandaian Tek San, maka ia tahu bahwa keadaan
mereka bertiga berbahaya sekali. Cepat ia memutar sulingnya dan tampak sinar yang gemilang
menyilaukan mata disusul bunyi nyaring beradunya senjata. Di antara tujuh buah senjata lawan yang
mengeroyoknya, sebatang pedang dan sebatang golok terlepas dari pegangan pemiliknya!
Kam Liong membarengi tangkisannya dengan mengebutkan kipasnya ke arah muka mereka. Kebutan ini
mendatangkan angin dahsyat yang menyambar ke arah tujuh orang pengeroyok. Saking hebatnya
sambaran angin kipas, tujuh orang itu cepat mundur dan mereka memutar senjata melindungi tubuh
mereka ketika kembali ada sinar kuning emas menyambar merupakan lingkaran sinar yang menyilaukan
mata.
“Trangggg, tringg... cringggg...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kembali para pengeroyok berteriak kaget dan hanya Suma Kiat dan Siangkoan Lee saja yang mampu
mempertahankan diri dengan tangkisan senjata mereka, sedangkan para panglima pengawal lainnya
terhuyung ke belakang.
“Tek San, bawa dia lari, aku menjaga di belakang!” Menteri Kam Liong berteriak sambil memutar suling
emasnya, menangkis datangnya sinar bekeredepan dari senjata-senjata rahasia yang dilepas oleh para
pengawal.
Mereka maklum bahwa kini pasukan pengawal yang menyerbu amat banyaknya. Jika mereka tidak cepatcepat
dapat keluar dari kota raja tentu mereka terancam bahaya hebat. Khu Tek San mengerti akan
maksud suhu-nya, maka ia pun lalu meloncat sambil memutar pedang melindungi tubuh Han Ki yang
dipanggulnya. Pemuda itu masih pingsan dan sama sekali tidak bergerak. Hal ini amat merugikan. Tek San
mengerti benar bahwa apa bila pemuda perkasa ini tidak pingsan dan ikut melawan, agaknya tidaklah amat
sukar bagi mereka bertiga untuk menyelamatkan diri lari keluar dari kota raja!
Sepak terjang Kam Liong dan Tek San menggentarkan hati para pengeroyok. Kini Kam Liong tidak lagi
berlaku sungkan karena dia maklum bahwa persoalannya menjadi gawat, persoalan mati atau hidup. Dia
mengerti bahwa kalau sampai mereka tertawan, tentu akan menerima hukuman mati dan yang lebih
menggelisahkan hatinya adalah tercemarnya nama keluarganya sebagai pemberontak. Demi keselamatan
Han Ki, karena kalau kali ini mereka tertawan dan mati semua, akan habislah keturunan keluarga ayahnya.
Maka diputarnya senjata suling dan kipasnya dengan hebat menghadang para pengeroyok yang hendak
mengejar Khu Tek San yang menggendong tubuh Han Ki yang masih pingsan.
Melihat betapa orang-orang yang dibencinya dapat lolos ke luar dari penjara, bahkan kini telah menyerbu
ke luar dari dinding tembok istana, Suma Kiat marah sekali dan menambah jumlah pasukan, juga
memerintahkan agar pasukan-pasukan keamanan dikerahkan untuk memblokir semua jalan ke luar dari
kota raja! Sementara itu dia sendiri memimpin para panglima yang makin banyak jumlahnya, tetap
mengeroyok Kam Liong yang mengamuk bagaikan seekor naga yang bermain-main di angkasa,
mengamuk sehingga kipasnya menimbulkan angin bersuitan dan suling emasnya merupakan gulungan
sinar kuning emas yang menyambar ke sana ke mari. Karena kini Kam Liong benar-benar mengamuk,
bukan hanya untuk membela diri namun terutama sekali untuk melapangkan jalan bagi Khu Tek San untuk
menyelamatkan Han Ki, maka sinar suling emasnya mulai merobohkan para pengeroyok tanpa mengenal
ampun lagi.
“Suma Kiat! Jika kau tidak ingin melihat kota raja banjir darah, biarkan kami pergi!” bentaknya berulangulang
sambil mengamuk karena di dalam hatinya, menteri tua ini tidak senang harus membunuhi para
pengawal. Hal ini amat berlawanan dengan hatinya yang sebetulnya penuh kesetiaan kepada kerajaan.
“Pengkhianat dan pemberontak laknat! Tak mungkin kalian dapat meninggalkan kota raja dengan tubuh
bernyawa!” Suma Kiat membentak sambil menyerang lebih ganas lagi.
Kam Liong berduka dan juga marah sekali. Dia terpaksa harus menjadi seorang pengkhianat dan
pemberontak rendah, akan tetapi dia siap mengorbankan nyawa dan kehormatannya untuk
menyelamatkan keturunan terakhir dan keluarganya.
“Aku dan muridku akan menyerahkan nyawa asal Han Ki kau bebaskan!” teriaknya pula. Akan tetapi, baik
Suma Kiat mau pun temannya yang sebagian memang tidak suka kepada menteri yang setia dan jujur
yang selalu menentang kelaliman para pembesar, malah mengurungnya dengan ketat.
“Tek San! Lari...!” Kam Liong berteriak, mencurahkan tenaganya menerjang Suma Kiat.
Suma Kiat yang amat lihai itu kewalahan menghadapi sambaran sinar kuning emas dan dia tentu menjadi
korban kalau saja lima orang temannya tidak melindunginya dengan tangkisan-tangkisan senjata mereka.
Enam orang itu sampai terpental ke belakang dan terhuyung-huyung ketika senjata mereka bertemu
dengan sinar kuning emas yang amat kuat itu. Kesempatan ini dipergunakan Kam Liong untuk meloncat ke
dekat Tek San, sinar sulingnya merobohkan tiga orang pengeroyok muridnya sehingga Tek San dapat
melarikan diri. Menteri tua yang sakti itu pun lalu mengejar dan melindungi larinya Tek San dari belakang.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Wirrr... wirrr...!” Hujan anak panah mulai berdatangan, menyambar dari belakang, kanan dan kiri ke arah
tiga orang pelarian itu.
Namun pedang di tangan Tek San dan suling di tangan Kam Liong diputar cepat, meruntuhkan semua
anak panah yang menyambar, juga kebutan kipas membuat anak-anak panah terlempar dan menyeleweng
ke kanan kiri. Mereka berdua menangkis sambil berlari terus menuju ke selatan karena mereka bermaksud
melarikan diri ke luar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan.
Akan tetapi dari segala sudut dan lorong di kota raja, berbondong-bondong muncul pasukan-pasukan yang
menghujankan anak panah dan mengeroyok, seperti semut banyaknya sehingga usaha melarikan diri dua
orang guru dan murid itu selalu terhalang dan sukar, hanya dapat maju dengan lambat.
“Kita harus dapat keluar sebelum terang cuaca!” Kam Liong berkata kepada muridnya. “Larilah cepat, biar
aku yang menghadapi semua rintangan!” Kam Liong bicara sambil melakukan gerakan, seperti burung
garuda menyambar di sekeliling tubuh muridnya, dengan demikian merobohkan lima orang pengeroyok
dan membuka jalan bagi murid-muridnya.
“Suhu...!” Tek San berkata, suaranya menggetar dan pedangnya merobohkan dua orang pengeroyok.
“Hemm, bicaralah!” Kam Liong berkata nyaring, suaranya penuh wibawa karena jago tua yang banyak
pengalaman ini dapat menangkap keraguan dan kedukaan di dalam suara muridnya yang amat dikenalnya
itu.
“Cet-cet cettt...!” belasan batang senjata piauw menyambar dari atas.
“Keparat!” Kam Liong berseru, sulingnya diputar menangkis dan kipasnya berhasil menangkap atau
menjepit tiga batang senjata piauw. Kemudian sekali kipas digerakkan, tiga sinar meluncur menuju ke atas
genteng rumah di pinggir jalan disusul jerit mengerikan dan robohnya dua orang pengawal dari atas
genteng itu, dahi mereka ‘termakan’ piauw mereka sendiri.
“Suhu... kalau sampai gagal... harap Suhu maafkan teecu...!”
Kam Liong merasa hatinya tertusuk karena keharuan. Muridnya ini benar-benar seorang jantan yang
mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi muridnya. Dalam keadaan seperti itu, Khu Tek San tidak
mengkhawatirkan keselamatan nyawa sendiri yang terancam maut, melainkan berkhawatir kalau-kalau
tugasnya akan gagal sehingga dia akan mengecewakan hati gurunya.
“Jangan cerewet! Cepat lari!” Kam Liong membentak.
Akan tetapi biar pun dia membentak, muridnya dapat menangkap getaran suara penuh haru dan bangga
sehingga besarlah hati Tek San, maklum bahwa kalau toh mereka gagal, gurunya tidak akan menyalahkan
dia, atau jelas akan memaafkannya. Maka ia pun berseru keras, pedangnya berkelebat merobohkan dua
orang pengeroyok di depannya, disusul dengan luncuran tubuhnya yang meloncat tinggi melampaui kepala
para pengeroyok dan lari secepatnya, memondong tubuh Han Ki yang pingsan.
“Kejar...”
“Tangkap...!”
“Bunuh mereka semua...!” Teriakan terakhir ini keluar dari mulut Suma Kiat yang meninggalkan Kam Liong
dan mengejar larinya Tek San!
Khu Tek San sedang berlari cepat ketika tiba-tiba ia mendengar suara angin senjata dari sebelah belakang.
Cepat ia miringkan tubuhnya dan menggerakkan pedang menangkis ke belakang, diputar melindungi tubuh
belakang.
“Tring-tranggg...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Khu Tek San terkejut karena tangannya yang memegang pedang menjadi tergetar hebat. Cepat ia
membalik dan menggerakkan pedang untuk menjaga diri.
“Suma Kiat, engkau orang tua yang tidak patut dihormati!” Tek San membentak marah dan memutar
pedangnya.
Suma Kiat adalah adik misan gurunya, akan tetapi dia mengerti betul bahwa pembesar ini selalu membenci
dan memusuhi gurunya, bahkan dia tahu pula bahwa yang mengatur pengeroyokan kali ini pun
sesungguhnya adalah Suma Kiat.
“Cringgg...!” dua batang pedang bertemu dan Tek San terhuyung mundur.
Jangankan sedang memondong tubuh Han Ki dan sudah amat lelah karena terus menerus dikeroyok, biar
pun tidak memondong tubuh orang dan dalam keadaan segar pun, tingkat kepandaian Khu Tek San tentu
saja tidak dapat menandingi tingkat Suma Kiat yang sudah tinggi. Suma Kiat memiliki kepandaian yang
hebat dan aneh-aneh sehingga kiranya hanya Menteri Kam Liong seoranglah yang dapat
menundukkannya. Kini menghadapi Khu Tek San, Suma Kiat tertawa mengejek.
“Khu Tek San, lebih baik menyerah dan menjadi tawanan dari pada mampus dan menjadi setan penasaran
di ujung pedangku. Berlututlah!”
“Suma Kiat, lebih baik seribu kali mati dari pada berlutut dan menyerah kepada saorang seperti engkau!”
Khu Tek San berseru marah dan menyerang.
Sambil tersenyum-senyum mengejek Suma Kiat menggerakkan pedangnya dan dalam beberapa jurus saja
Tek San sudah terdesak hebat. Akan tetapi pedang Suma Kiat itu selalu mengancam tubuh Han Ki yang
dipondong oleh Tek San dan hal inilah yang membuat Tek San menjadi bingung sekali, terpaksa selalu
menangkis tanpa dapat balas menyerang. Memang Suma Kiat amat cerdik.
Dia maklum bahwa kalau Kam Liong dan Tek San sudah begitu nekat melarikan seorang tahanan istana,
hal ini berarti bahwa guru dan murid itu sudah tidak mempedulikan lagi akan keselamatan diri mereka
sendiri dan hanya mempunyai satu tujuan, yaitu menyelamatkan Han Ki. Maka kini dia menyerang Han Ki
yang dipondong Tek San sehingga bekas panglima itu menjadi benar-benar repot sekali.
Ketika pedang Suma Kiat membacok ke arah kepala Han Ki yang bergantung di belakang pundak kanan
Tek San, panglima ini cepat menagkis.
“Tranggg...!”
Pedang Suma Kiat yang terpental itu dilanjutkan ke bawah, membacok ke arah kaki Han Ki yang
tergantung di depan tubuhnya. Tek San terkejut sekali. Karena ketika menangkis tadi pedangnya sendiri
yang terpental, maka kini tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menggunakan pedang menangkis,
sedangkan kaki Han Ki terancam bahaya. Maka ia cepat menggerakkan tubuhnya mengelak dan pedang
lewat menyambar ke bawah. Dia dapat menyelamatkan kaki Han Ki, akan tetapi ujung pedang masih
menyerempet pahanya sendiri yang kanan.
“Cett!” Darahnya muncrat ke luar dari luka di pahanya, namun tidak dirasakan oleh Tek San yang sudah
membarengi dengan tusukan kilat ke dada Suma Kiat.
Ketika Suma Kiat mengelak dengan loncatan ke belakang karena tusukan itu berbahaya sekali, Tek San
sudah meloncat pergi sejauh mungkin. Dua orang panglima menghadangnya, akan tetapi sekali
menggerakkan pedang menjadi gulungan sinar panjang, dua orang panglima itu memekik dan roboh
terluka. Tek San berlari terus.
“Keparat, hendak lari ke mana kau?!” Suma Kiat menggerakkan tangan kiri dan dua sinar merah meluncur
ke arah Tek San.
dunia-kangouw.blogspot.com
Panglima perkasa ini terancam bahaya maut karena sinar itu adalah dua batang jarum Siang-tok-ciam
(Jarum Racun Wangi), semacam senjata rahasia maut yang hebat, yang diwarisi oleh Suma Kiat dari
ibunya. Kalau dilepas oleh tangan yang ahli seperti tangan Suma Kiat, jarum-jarum ini meluncur cepat
tanpa mengeluarkan suara dan sekali mengenai tubuh akan menyusup-nyusup dan racunnya akan
terbawa oleh darah sehingga seketika korbannya akan tewas. Dan saat itu, Tek San yang sudah terluka
dan sedang berlari cepat tidak tahu bahwa tubuhnya terancam bahaya maut!
“Trik-trik!” dua buah jarum merah kecil itu runtuh dan sinar kuning emas menyambar ke arah Suma Kiat.
“Suhu, awas...!” Siangkoan Lee berseru.
Suma Kiat cepat membuang tubuhnya ke belakang terus bergulingan. Untung bahwa Siangkoan Lee
memperingatkan gurunya, nyaris dia menjadi korban suling emas yang ampuh. Kiranya yang menolong
Tek San adalah Kam Liong yang sudah berhasil membubarkan pengeroyokan atas dirinya yang dilakukan
oleh Siangkoan Lee dan para panglima, menghadang menteri sakti ini membantu muridnya.
“Tek San, lari...!” Kembali Kam Liong berteriak dan Tek San sudah meloncat lagi sambil lari terus ke
selatan. Kam Liong mengikuti dari belakang sambil melindungi muridnya itu.
Biar pun dihadang, dikepung dan dihujani senjata-senjata rahasia, dikeroyok oleh puluhan orang
banyaknya, guru dan murid ini tetap dapat maju terus ke selatan, merobohkan banyak sekali pengawal dan
panglima. Kota raja menjadi geger seolah-olah kedatangan serbuan pasukan musuh yang kuat dan banyak
jumlahnya.
Ketika para penduduk mendengar bahwa kegegeran itu disebabkan oleh Menteri Kam Liong dan Panglima
Khu Tek San yang melarikan tawanan, mereka menjadi ketakutan dan tidak berani keluar dari pintu, diamdiam
sebagian besar dari mereka berdoa untuk keselamatan Menteri Kam Liong yang dicinta dan disegani
rakyat! Panglima-panglima dan pembesar yang bersimpati kepada Menteri Kam Liong merasa berduka dan
gelisah sekali.
Mereka bersimpati kepada menteri itu, akan tetapi kalau menteri itu kini tiba-tiba menjadi pemberontak dan
melarikan tawanan, bagaimana mereka berani mencampuri? Mereka dapat dicap pemberontak dan malapetaka
besar akan menimpa keluarga mereka.
Sinar matahari pagi telah menerangi bumi ketika akhirnya Kam Liong dan Tek San yang berlari sambil
bertempur itu mendekati pintu gerbang selatan di mana telah berjaga seratus orang prajurit, bahkan Suma
Kiat, Siangkoan Lee dan puluhan orang panglima telah pula mendahului para pelarian ini memperkuat
penjagaan di pintu gerbang ini!
“Tek San, saat terakhir yang menentukan telah tiba. Kita mati atau selamat di sini! Terowongan pintu
gerbang itu sempit, tidak akan lebih dari dua puluh orang dapat mengepung kita di sana. Kita membuka
jalan darah, harus dapat memasuki terowongan. Kau di depan terus langsung mendobrak dan membuka
pintu, aku yang mempertahankan kejaran mereka dari belakang. Cepat!”
Tek San terpincang-pincang, paha kanannya terluka dan punggungnya juga sakit tertusuk tombak
pengeroyok, akan tetapi semua rasa nyeri tidak dipedulikan. Sambil mengangguk ia memutar pedangnya,
membuka jalan darah merobohkan empat orang panglima, lalu memasuki terowongan pintu gerbang.
Menteri Kam Liong juga sudah terluka. Ketika tadi ia dikeroyok oleh Siangkoan Lee dan belasan orang
panglima, ia mengamuk, merobohkan belasan orang panglima dan puluhan orang prajurit pengawal. Akan
tetapi pundak kirinya kena totokan golok, dan daun kipasnya robek ketika menangkis lima pedang
sekaligus mematahkan semua pedang itu. Biar pun demikian menteri tua putera pendekar sakti Suling
Emas ini masih tetap kuat dan mengamuk terus dengan sepasang senjatanya yang mengerikan. Suling
emas di tangannya seolah-olah menjadi makin berkilauan ‘tercuci’ darah puluhan orang lawan yang
dirobohkannya, kipasnya yang robek menjadi dua itu seolah-olah menjadi makin lihai.
Akan tetapi karena kini ia bergerak di depan mulut terowongan pintu gerbang, ia menghadapi
pengeroyokan yang amat banyak. Seluruh serbuan kini dia tahan seorang diri. Di dalam hatinya Menteri
dunia-kangouw.blogspot.com
Kam Liong sudah mengambil keputusan nekat. Ia akan mempertahankan mulut terowongan pintu gerbang
itu sampai napas terakhir untuk memberi kesempatan muridnya melarikan Han Ki.
Dia sudah tua, tidak ada seorang pun keluarganya, maka kematian bukan apa-apa baginya, juga tidak
akan menyedihkan hati orang lain. Akan tetapi muridnya belum begitu tua, mempunyai anak isteri pula,
sedangkan Han Ki masih seorang pemuda remaja. Mereka itu harus hidup, dan dia rela mengorbankan
nyawanya demi dua orang yang disayangnya itu.
Setelah merobohkan tiga orang penjaga lagi yang merupakan orang-orang terakhir penjaga pintu gerbang,
Khu Tek San terpincang-pincang menghampiri pintu gerbang. Tenaganya sudah hampir habis dan darah
yang mengucur dari luka di pahanya terlalu banyak, membuat ia menjadi lemas dan pandang matanya
berkunang. Ada pun Kam Liong menghadapi pengeroyokan terlalu banyak orang, tidak sempat
memperhatikan muridnya. Dia seorang yang sakti, akan tetapi dia pun hanya seorang manusia dari darah
daging sehingga melakukan pertempuran menghadap pengeroyokan orang-orang pandai terus menerus
semenjak malam sampai pagi benar-benar amat melelahkan.
Apa lagi setelah pundaknya terluka, maka dalam pengeroyokan terakhir yang merupakan pengepungan
paling hebat ini, biar pun ia telah berhasil melukai pangkal lengan Suma Kiat dengan gagang kipasnya,
merobohkan Siangkoan Lee yang patah tulang pundaknya karena pukulan suling, membinasakan banyak
sekali pengeroyok lain, namun kakek sakti ini sendiri menerima hantaman-hantaman yang cukup banyak,
membuat ia terluka di beberapa tempat dan seluruh tenaganya diperas hampir habis, napasnya terengahengah
dan pandang matanya menjadi kabur.
Khu Tek San dengan terengah-engah sudah dapat mendekati pintu gerbang. Cepat ia mempergunakan
tangannya untuk merenggut palang pintu, akan tetapi betapa kagetnya ketika pintu itu sama sekali tidak
dapat dibukanya. Palang pintu yang terbuat dari baja itu seolah-olah melekat atau berkerut.
Memang palang pintu itu amat berat, biasanya ditarik oleh empat orang penjaga. Akan tetapi apa artinya
bagi Khu Tek San benda seberat itu? Biasanya kekuatannya melebihi kekuatan sepuluh orang biasa.
Agaknya tanpa ia sadari, tenaganya sudah hampir habis, tubuhnya sudah lemas karena kehilangan darah
dan kelelahan hingga membuat dia hampir pingsan. Hanya berkat semangatnya yang tak kunjung padam
sajalah yang membuat orang gagah ini masih mampu bertahan selama ini.
Guru dan murid itu tidak pernah putus asa, apa lagi sekarang setelah mereka tiba di pintu gerbang. Sekali
lolos dari pintu gerbang, akan lebih mudah bagi mereka untuk melarikan diri. dengan ilmu lari cepat mereka,
hanya ada beberapa orang saja yang akan dapat mengejar mereka dan beberapa orang itu tentu saja tidak
ada artinya bagi mereka berdua. Setelah melakukan pertempuran selama setengah malam dan dapat tiba
di pintu gerbang, hati guru dan murid ini sudah menjadi lega dan mulailah timbul harapan besar di hati
mereka untuk akhirnya dapat lolos dengan selamat.
Akan tetapi Kam Liong kurang memperhitungkan kelicikan dan kecerdikan Suma Kiat. Biar pun sudah
terluka dan merasa jeri untuk ikut mengeroyok kakak misannya yang benar-benar amat sakti itu, Suma Kiat
masih memimpin pengepungan dan melihat betapa Khu Tek San sudah berusaha membuka pintu gerbang,
hatinya menjadi gelisah sekali. Suma Kiat juga sudah memperhitungkan bahwa kalau sampai mereka
berdua itu berhasil keluar tembok kota raja, akan sukarlah mengejar dua orang yang berilmu tinggi itu.
Maka diam-diam ia lalu memberi perintah kepada pasukan pemanah yang pilihan untuk naik ke atas pintu
gerbang. Di bawah pimpinannya sendiri, Suma Kiat menanti saat baik. Selagi Khu Tek San berkutetan
membuka palang pintu, dia memberi aba-aba.
Terdengarlah bunyi nyaring bercuitan ketika belasan batang anak panah meluncur dari atas menuju ke
tubuh Han Ki dan Khu Tek San.
“Tek, San awas anak panah...!” Kam Liong yang sudah mulai payah saking lelahnya itu masih sempat
memperingatkan muridnya.
Tek San terkejut sekali. Kalau tidak diperingatkan, tentu ia menjadi korban karena seluruh perhatian dan
tenaganya ia kerahkan untuk membuka daun pintu gerbang. Mendengar suara gurunya, cepat ia memutar
pedang dan berhasil menangkis runtuh semua anak panah yang menyambar ke arah tubuhnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, begitu semua anak panah runtuh dan Tek San dengan terengah-engah menghentikan gerakan
pedangnya, tiba-tiba sebatang anak panah yang amat cepat meluncur datang, hampir tidak bersuara
saking cepatnya dan tahu-tahu anak panah itu sudah menancap di leher kiri Khu Tek San. Itulah anak
panah yang dilepas hebat sekali, tepat dan kuat oleh tangan Suma Kiat sendiri!
“Suhu...!” Khu Tek San berseru, pedangnya terlepas dan ia terhuyung ke depan.
Teriakan maut itu mengejutkan Kam Liong dan di luar kesadarannya, menteri sakti itu menengok dan
seperti juga muridnya yang memandang terbelalak ke depan, ia pun memandang penuh keheranan karena
tiba-tiba pintu gerbang yang tadi amat sukar dibuka oleh Khu Tek San itu kini telah terpentang lebar dan
tampaklah pemandangan di luar pintu gerbang yang amat aneh.
Puluhan orang prajurit penjaga seperti telah berubah menjadi arca, ada yang berdiri, ada yang rebah, akan
tetapi kesemuanya tidak bergerak dan hanya melotot memandang ke arah seorang kakek tua renta yang
berdiri di depan pintu gerbang itu, menggandeng dua orang anak perempuan di kedua tangannya. Dua
orang anak itu adalah Maya dan Khu Siauw Bwee!
Pada saat itu Kam Liong berteriak keras karena tiba-tiba sebatang tombak menusuk perutnya! Tusukan
maut yang dilakukan tepat sekali oleh seorang panglima, menggunakan kesempatan selagi Menteri Kam
Liong menengok dan terkejut, bukan hanya menyaksikan muridnya yang terpanah lehernya, juga
menyaksikan munculnya kakek tua renta yang amat aneh itu.
“Ayahhhh...!” Khu Siauw Bwee menjerit melepaskan tangan Si Kakek dan lari masuk menubruk ayahnya
yang sudah terjungkal sehingga tubuh Han Ki juga terlempar ke atas tanah.
“Pek-hu...!” Maya menjerit ketika melihat Kam Liong terhuyung ke belakang dengan sebatang tombak
menancap di perut hampir menembus punggung.
Akan tetapi guru dan murid yang gagah perkasa itu tak dapat bertahan lama. Setelah melihat Maya dan
Siauw Bwee, keduanya memandang dengan wajah berseri, kemudian hampir berbareng, guru dan murid
ini menghembuskan napas terakhir, ditangisi oleh dua orang anak perempuan itu. Para panglima dan
pengawal yang tadinya terbelalak dan terheran-heran menyaksikan munculnya kakek tua renta itu, kini
sadar kembali dan mereka cepat bergerak maju hendak menyerang.
“Cukuplah pembunuhan-pembunuhan ini...!” Tiba-tiba kakek tua renta itu berkata halus dan tubuhnya
seolah-olah digerakkan angin melayang ke depan, kedua tangannya dikembangkan dan pergelangan
tangannya digoyang-goyang seperti orang mencegah. Anehnya, dari kedua tangan itu menyambar angin
halus yang amat kuat sehingga semua panglima dan pengawal yang menerjang maju itu terpelanting ke
kanan kiri, ada pula yang terjengkang ke belakang, seolah-olah ada tenaga mukjizat yang mendorong
mereka mundur. Dengan tenang kakek itu menghampiri Maya dan Siauw Bwee, lalu berkata lirih.
“Orang hidup mesti mati. Hal yang sudah wajar dan semestinya, mengapa ditangisi?” Sungguh
mengherankan, dua orang perempuan yang dilanda duka itu, terutama sekali Siauw Bwee yang melihat
ayahnya tewas, seolah-olah lupa akan kedukaan mereka dan bangkit berdiri, memandang kakek itu
dengan wajah sayu. Kakek itu membungkuk, mengangkat tubuh Han Ki, disampirkan di atas pundaknya.
Pada saat itu terdengar teriakan yang diseling isak tangis dan dari luar pintu gerbang. Masuklah seorang
laki-laki bongkok, langsung meloncat ke dekat jenazah Kam Liong, berlutut dan menangis. Orang itu bukan
lain adalah Gu Toan, pelayan dan juga murid Kam Liong yang amat setia.
Kakek tua renta itu mengangguk-angguk. “Bahagialah orang yang memeiliki kesetiaan seperti engkau.
Akan tetapi, menangis tiada gunanya. Lebih baik urus jenazah majikanmu dan muridnya, kuburkan abunya
di kuburan keluarga mereka.”
Gu Toan menengok. Begitu pandang matanya bertemu dengan pandang mata kakek itu ia lalu
menjatuhkan diri berlutut di depan kaki kakek tua renta sambil berkata, “Hamba mohon petunjuk.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kakek itu tersenyum, menggerakkan tangan dan telapak tangannya menekan kepala Gu Toan. Pelayan
Menteri Kam merasa hawa yang hangat dan makin lama makin panas memasuki kepalanya, terus menjalar
ke seluruh tubuhnya. Sebagai seorang pelayan yang dapat dikatakan juga murid seorang sakti seperti Kam
Liong, Si Bongkok Gu Toan ini maklum bahwa kakek tua renta yang memiliki sinar pandang mata yang luar
biasa seolah-olah menyinarkan sesuatu yang mujijat, adalah seorang maha sakti yang kini sedang
memasukkan tenaga gaib ke dalam tubuhnya.
Tentu saja ia menjadi girang sekali dan ‘membuka’ semua pintu jalan darahnya untuk menerima kekuatan
sakti itu. Setelah kakek itu melepaskan telapak tangannya, Gu Toan merasa betapa dadanya hangat dan
nyaman, dan ketika ia menghaturkan terima kasih lalu bangkit berdiri, ia merasa tubuhnya ringan dan
penuh semangat. Maka ia tidak mau membuang waktu lagi. Maklum bahwa dalam saat yang penuh
mukjizat itu semua penjaga tidak ada yang dapat bergerak, cepat ia mengangkat jenazah Kam Liong dan
Khu Tek San, kemudian melangkah lebar meninggalkan pintu gerbang itu dengan kedua jenazah di
pundaknya. Suling dan kipas milik Kam Liong dia bawa pergi pula, diselipkan di pinggangnya.
Kelak akan ternyata bahwa Si Bongkok Gu Toan ini menguburkan abu jenazah kedua orang gagah itu di
tanah perkuburan keluarga Suling Emas di Khitan, kemudian menjaga kuburan itu sampai menjadi kakekkakek
dengan penuh kesetiaan. Sementara itu, ilmu-ilmu yang terdapat dalam kitab-kitab peninggalan Kam
Liong ikut pula disimpannya dan sebagian dipelajarinya. Setelah ia menerima tenaga sakti yang diberikan
kakek itu kepadanya, Gu Toan menjadi seorang yang amat lihai.
Kakek tua renta itu menarik napas panjang penuh kekaguman atas sikap Gu Toan. Seorang pelayan dapat
mempunyai kesetiaan seperti itu, patut dicontoh oleh orang-orang yang merasa dirinya ‘besar’, namun
sesungguhnya yang besar hanyalah pangkatnya atau keadaan lahiriah saja, sedangkan keadaan batinnya
amatlah kecil dan rendahnya.
Siapa kakek tua renta yang memiliki kesaktian luar biasa ini? Dan bagaimana ia dapat datang di situ
bersama Maya dan Siauw Bwee? Telah diceritakan di bagian depan betapa Maya dan Siauw Bwee yang
dijadikan perebutan di dalam pesta Coa-bengcu telah ditolong oleh kakek aneh berambut putih. Kakek ini
bukan lain adalah Bu Kek Siansu, tepat seperti yang telah disangka oleh tokoh-tokoh kang-ouw di dalam
pesta ulang tahun Coa Sin Cu atau juga disebut Coa-bengcu. Memang sukar untuk dipercaya bahwa kakek
itu adalah Bu Kek Siansu, karena nama besar manusia dewa Bu Kek Siansu sudah ada semenjak puluhan
tahun yang lalu.
Akan tetapi memang sesungguhnyalah kakek itu adalah manusia dewa yang amat sakti, Bu Kek Siansu
yang usianya sukar ditaksir bahkan tidak ada yang tahu berapa banyaknya. Tokoh penuh rahasia yang
kabarnya bertempat tinggal di Pulau Es itu muncul dan pergi seperti dewa, atau seperti setan bagi mereka
yang hidup di dunia hitam, memiliki kesaktian yang sulit dilukiskan dengan kata-kata karena memang
kakek itu tidak pernah bertempur, akan tetapi belum pernah ada tokoh kang-ouw yang bagaimana sakti
pun dapat merobohkannya!
Dengan langkah tenang Bu Kek Siansu yang memanggul tubuh muridnya, yaitu Kam Han Ki,
menggandeng tangan Maya dan Siauw Bwee, kemudian meninggalkan tempat itu seperti tidak pernah
terjadi sesuatu, diikuti pandang mata para penjaga yang seperti dalam mimpi, tidak mampu bergerak. Yang
dapat bergerak pun tidak berani berkutik karena getaran aneh dan wibawa yang keluar dari kakek itu amat
luar biasa dan menimbulkan rasa seram di hati mereka.
Setelah kakek bersama dua orang anak perempuan itu lenyap dari pandang mata, barulah keadaan
menjadi geger karena Suma Kiat memaki-maki anak buahnya, marah-marah dan mencak-mencak. Kalau
saja dia bukan seorang yang mempunyai pengaruh besar, tentu dia menerima kemarahan dan mungkin
hukuman berat dari Kaisar karena dia tidak berhasil menangkap Kam Han Ki yang lolos dari tempat
tahanan.
Biar pun hati Suma Kiat menjadi lega dan girang karena kematian Kam Liong yang membawa arti bahwa
dia tidak mempunyai penghalang yang ditakutinya lagi, namun kalau teringat akan Bu Kek Siansu dan dua
orang anak perempuan, terutama teringat akan Kam Han Ki, kadang-kadang ia bergidik dan merasa ngeri.
Apa lagi karena semenjak melarikan diri, putera tunggalnya, Suma Hoat tidak pernah mengabarkan diri lagi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Karena itu maka semua kepandaiannya ia turunkan kepada muridnya yang ia percaya, yaitu Siangkoan
Lee.
Dalam keadaan berduka, ia membenamkan diri dalam pelukan dan hiburan selirnya yang paling cantik dan
yang paling ia cinta, yaitu selirnya termuda dan terbaru Bu Ci Goat. Betapa pun juga Suma Kiat tidak dapat
melupakan kenyataan bahwa persoalannya dengan Kam Liong membuat namanya menjadi tersohor dan
dibenci oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang merasa kagum kepada Kam Liong.
Pada suatu pagi yang cerah, di tepi pantai paling utara dari Lautan Po-hai, tampak Bu Kek Siansu bersama
Han Ki, Maya dan Siauw Bwee berdiri sambil menikmati pemandangan yang luar biasa indahnya, yaitu
munculnya matahari pagi di timur. Matahari tampak sebagai sebuah bola besar yang merah seperti bulan
purnama, sedikit demi sedikit muncul dari permukaan laut, tidak tampak gerakannya akan tetapi makin
lama makin naik sehingga akhirnya mengambang di atas air laut. Makin tinggi matahari muncul, makin
terang sinarnya. Mula-mula sinar merah, makin lama makin kekuningan seperti keemasan dan akhirnya
membakar seluruh permukaan laut dan tidak lama kemudian, mulailah sinar itu menyilaukan mata dan
mata manusia tidak dapat pula memandang matahari secara langsung saking gemilangnya.
Bu Kek Siansu berdiri seperti patung, memandang ke arah air laut yang kini diselaput emas. Dia seperti
terpesona dan akhirnya terdengar kakek itu menarik napas panjang dan berkata halus, “Han Ki...”
Pemuda itu memandang kakek itu dengan jantung berdebar. Dia belum dapat menyelami dan mengenal
watak kakek itu yang penuh rahasia dan amat aneh, akan tetapi dalam suara itu ia merasakan semacam
getaran yang aneh dan mengharukan, seolah-olah suara kakek itu membayangkan sesuatu yang berbeda
dari biasanya dan amat aneh. Semenjak dibawa pergi kakek itu kesehatannya cepat pulih kembali dan ia
melakukan perjalanan bersama Maya dan Siauw Bwee, mengikuti kakek itu sampai ke pantai ini. Dan
setelah berjam-jam kakek itu berdiri mengagumi keindahan sinar matahari pagi, kini tiba-tiba
memanggilnya dengan suara penuh getaran luar biasa.
“Suhu...!” Ia menjawab sambil menghampiri dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Bu Kek Siansu,
dipandang oleh Maya dan Siauw Bwee.
Kedua orang anak perempuan ini tidak berani banyak bertanya selama melakukan perjalanan bersama Bu
Kek Siansu. Seolah-olah ada sesuatu yang keluar dari sikap kakek itu yang membuat mereka tidak berani
banyak bicara, karena ada wibawa yang menyeramkan namun juga mengharukan dari kakek itu. Bahkan
Maya yang biasanya amat cerewet dan rewel, ketika berada di dekat kakek itu berubah menjadi pendiam
dan tidak banyak bicara.
“Han Ki, dangarlah baik-baik kata-kataku karena saat ini merupakan saat terakhir engkau mendengar
pesanku.”
“Suhu...! Apa... apa maksud Suhu?” Han Ki bertanya, hatinya makin tidak enak.
Kakek itu menoleh dan menunduk, tersenyum. “Lepaskan kegelisahan dari hatimu. Saat ini sudah kunantinanti
selama puluhan, bahkan ratusan tahun. Saat ini merupakan saat yang paling bahagia bagiku, karena
aku akan terbebas! Sudah tiba saatnya bagiku untuk mengundurkan diri dari dunia ini, Han Ki. Hanya ada
satu hal yang kuanggap sebagai kewajiban terakhir, yaitu memperingatkan kepadamu bahwa engkau
memikul tanggung jawab dan tugas yang amat berat. Dua orang anak itu, dia kini sepenuhnya menjadi
tanggunganmu....”
“Engkaulah yang harus memimpin mereka, dan... engkau hati-hatilah karena bukan hal ringan yang kau
hadapi. Kulihat hal-hal yang amat meresahkan, akan tetapi... biarlah Tuhan yang akan mengaturnya dan
semua tergantung dari kalian bertiga sendiri. Tak perlu kujelaskan lagi karena aku tidak dapat
menerangkan lebih jeias. Yang penting, engkau harus mengajarkan ilmu-ilmu yang kutinggalkan di Pulau
Es, tidak saja mengajarkannya kepada kedua orang sumoi-mu ini. Yaaa, mereka adalah sumoimu, Han Ki,
karena aku mengangkat mereka sebagai murid pula dengan meninggalkan kitab-kitab pelajaran untuk
mereka. Juga engkau dapat memperdalam ilmumu dari kitab-kitab yang kutinggalkan....”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kurang lebih lima li dari sini, di sebelah utara, ada kutinggalkan sebuah perahu yang kuat di dalam goa
batu karang di tebing laut. Bawalah kedua sumoi-mu itu ke sana, kemudian berlayarlah engkau ke Pulau
Es. Kalau dari tempat perahu itu engkau berlayar lurus menuju ke matahari terbit, engkau akan tiba di
Pulau Es. Sekarang ini saatnya karena laut sedang tenang dan tidak ada penghalang sehingga jika engkau
mendayung kuat-kuat, dalam waktu setengah hari engkau akan tiba di Pulau Es.”
“Pulau Es...?” Han Ki berdebar tegang.
“Pulau tempat kerajaan nenek moyangku yang sudah musnah. Akulah yang terakhir. Istana Pulau Es itu
kutinggalkan untuk kalian bertiga. Hati-hatilah engkau terhadap ular-ular merah di pulau itu, hati-hati pula
terhadap orang-orang aneh yang mengaku datang dari Pulau Neraka. Kalau kalian sudah berhasil tiba di
sana, pelajarilah ilmu dengan tekun dan jangan sekali-kali meninggalkan pulau kalau ilmu kalian belum
cukup masak. Dunia ini banyak terdapat orang aneh, pandai dan menyeleweng, maka kalian harus hati-hati
menghadapi mereka. Akan tetapi... yang paling berbahaya adalah menghadapi diri kalian sendiri...,” kakek
itu berhenti bicara dan menghela napas panjang.
Tiba-tiba Maya menjatuhkan diri berlutut di depan Bu Kek Siansu di dekat Han Ki, diturut pula oleh Siauw
Bwee.
“Suhu hendak ke manakah?” tanya Siauw Bwee, kini menyebut suhu setelah mendengar bahwa dia dan
Maya diaku sebagai murid oleh kakek aneh itu.
Kakek itu tersenyum dan menggeleng kepala. “Kuberi tahu juga engkau tidak mengerti, Siauw Bwee.”
“Suhu, setelah kami diterima sebagai murid, bolehkah teecu bertanya?” Maya berkata, suaranya nyaring,
matanya yang seperti bintang itu bersinar-sinar memandang gurunya.
“Bertanyalah selagi ada kesempatan, Maya.”
“Suhu tadi mengatakan bahwa paling berbahaya menghadapi diri sendiri. Apa yang Suhu maksudkan?”
Kakek itu tersenyum dan memandang kepada Han Ki. “Jawabannya boleh kau dengar dari Suheng-mu.
Mulai saat ini, segala hal dapat kau tanyakan kepada Suheng-mu, karena dialah yang mewakili aku
mengajar kalian berdua. Han Ki, jawablah pertanyaan Maya tadi.”
Dengan suara tenang dan tetap Han Ki menjawab kepada Maya sambil memandang anak perempuan itu.
“Sumoi, yang dimaksudkan oleh Suhu adalah bahwa menaklukkan orang lain hanya membutuhkan tenaga
kasar dan kepandaian, akan tetapi amatlah berbahaya melawan diri sendiri karena diri sendiri memiliki
nafsu-nafsu yang amat kuat dan nafsu-nafsu ini dapat membuat kita terpengaruh dan melakukan
penyelewengan. Menghadapi nafsu jasmani diri sendiri tidak dapat dilawan dengan ilmu silat atau dengan
tenaga kuat, melainkan dengan kesadaran dan dengan tenaga batin. Karena itu Suhu memperingatkan
agar kita selalu waspada terhadap diri sendiri.”
Pelajaran ini adalah pelajaran kebatinan yang masih terlampau dalam untuk anak-anak seperti Maya dan
Siauw Bwee, akan tetapi karena semenjak kecil kedua orang anak itu sudah mengerti kitab-kitab yang
diharuskan mereka baca ketika mereka mempelajari kesusastraan, maka biar pun belum jelas benar, Maya
dapat menangkap maksudnya dan ia terdiam.
“Maya dan Siauw Bwee, selanjutnya, mulai saat ini, kalian tidak saja harus belajar ilmu silat di bawah
pimpinan Han Ki, akan tetapi kalian juga harus selalu taat akan nasehat dan pesanan Suheng kalian yang
mewakili aku. Nah, murid-muridku, saatnya sudah terlalu mendesak. Selamat tinggal dan selamat berpisah,
semoga Tuhan senantiasa melindungi kalian dan memperkuat batin kalian. Han Ki, hati-hatilah muridku,
terutama terhadap... Cinta...!” Kakek itu tidak melanjutkan kata-katanya dan tiba-tiba ia meloncat ke... laut
di bawah tebing!
“Suhu...!” Han Ki berteriak kaget
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suhu...!” Maya dan Siauw Bwee juga berteriak dan meloncat berdiri, menjenguk ke bawah tebing dengan
hati tegang bercampur gelisah. Dan tiga orang itu memandang dengan mata terbelalak menyaksikan hal
yang amat luar biasa. Mereka melihat kakek itu... berjalan di atas permukaan air laut, seolah-olah berjalan
di atas tanah saja, terus ke timur.
“Suhu...!!” mereka berteriak.
Bu Kek Siansu menoleh, tersenyum dan melambaikan tangan. Hanya itulah yang tampak oleh tiga orang
anak itu, pemandangan yang tak mungkin dapat mereka lupakan selamanya. Air laut mulai bergerak,
gelombang mulai berdatangan dan tak lama kemudian lenyaplah tubuh kakek sakti itu tertutup ombak.
Sampai lama ketiganya berdiri tertegun dan akhirnya Han Ki memecahkan kesunyian dengan suaranya
yang terdengar menggetar. “Sumoi, marilah ikut aku pergi mencari perahu seperti yang dipesankan Suhu.”
Maya dan Siauw Bwee mengangguk, lalu mengikuti Han Ki sambil kadang-kadang menengok ke arah laut
di mana tadi kakek itu menghilang. Siauw Bwee memegang tangan Han Ki dan bertanya lirih, “Suheng...
Suhu pergi ke manakah?”
Han Ki tidak dapat menjawab dan tiba-tiba Maya berkata, suaranya agak ketus. “Sumoi, mengapa engkau
bertanya yang bukan-bukan? Seorang sakti seperti Suhu, pergi ke mana siapa yang tahu?”
Siauw Bwee tidak membantah dan Han Ki diam-diam melirik ke arah Maya yang berjalan di sebelah kirinya.
Ia melihat wajah Maya muram dan mulut yang bentuknya indah itu cemberut seperti orang marah. Diamdiam
Han Ki merasa heran dan untuk menyenangkan hati Maya, ia lalu memegang tangan Maya itu seperti
ia memegang dan menggandeng tangan Siauw Bwee.
Akan tetapi tiba-tiba Maya merenggut lepas tangannya sambil berkata, ”Suheng, aku bukan anak kecil
yang harus digandeng-gandeng!”
Han Ki tersenyum dan tidak berkata apa-apa, akan tetapi di dalam hatinya timbul kekhawatiran bahwa
kelak bila sampai terjadi hal-hal yang memusingkan, tentu dari Maya datangnya. Anak ini memiliki watak
yang aneh dan keras, berbeda dengan Siauw Bwee yang wataknya halus dan sabar.
“Kuharap saja kalian akan selalu taat kepadaku seperti yang dipesankan Suhu agar semua berjalan beres,”
katanya perlahan.
“Engkau adalah Suheng kami, pengganti Suhu, tentu saja aku akan taat kepadamu, Suheng. Akan tetapi
Khu-sumoi yang lebih muda harus pula taat kepadaku karena aku suci-nya.”
Han Ki mengerutkan kening. Dia tidak mengerti mengapa Maya berkata begitu. Ketika ia melirik ke arah
Siauw Bwee, ia melihat sumoi-nya ini hanya menunduk dan wajahnya tetap tenang tidak membayangkan
sesuatu. Diam-diam ia kagum kepada Siauw Bwee dan heran akan sikap Maya yang sukar diselami itu.
“Sumoi, seorang saudara tua tidak hanya ingin ditaati oleh adik seperguruannya, melainkan juga harus
melindunginya.”
“Tentu saja!” jawab Maya cepat. “Suheng melindungi aku, dan aku melindungi Sumoi, itu sudah
semestinya.”
“Hemm..., melindungi yang bagaimana maksudmu, Sumoi?”
“Melindungi dan membela. Kalau ada orang jahat menggangguku, Suheng akan membelaku. Kalau ada
orang mengganggu Khu-sumoi aku yang akan membelanya. Tentu saja masih ada Suheng yang
melindungi kami berdua.”
Han Ki mengangguk-angguk. Kiranya Maya ini agaknya hanya tidak mau kalah oleh Siauw Bwee karena
merasa lebih tua! Ia menoleh ke arah Siauw Bwee dan bertanya, “Siauw Bwee Sumoi, bagaimana
pendapatmu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Siauw Bwee menoleh dan memandang sebentar kepada Han Ki. Mengerutkan alisnya yang kecil hitam,
kemudian memandang Maya dan menjawab halus, “Aku adalah seorang saudara muda, sudah tentu dalam
segala hal aku akan mendengar dan taat akan petunjuk Suheng dan Suci, karena aku yakin bahwa
petunjuk dari Suci, terutama dari Suheng, tentu baik dan tidak akan mencelakakan aku.”
Mendengar ucapan ini, Han Ki memandang penuh perhatian, hatinya kagum karena dari jawaban itu dia
dapat mengerti bahwa gadis cilik ini berwatak halus, suka mengalah, tahu diri akan tetapi juga cerdik sekali,
dapat mempergunakan keadaan yang tadinya merugikan menjadi menguntungkan! Mulailah hati pemuda
ini tertarik sekali kepada dua orang sumoi-nya.
Keduanya merupakan keturunan orang-orang luar biasa dan gagah perkasa. Maya adalah puteri Khitan,
anak atau anak angkat kakak sepupunya, yaitu Raja Talibu putera supek-nya, Suling Emas. Ada pun
Siauw Bwee juga bukan anak sembarangan, melainkan puteri tunggal Khu Tek San yang telah tewas
mengorbankan nyawa untuk menyelamatkan dia! Kalau teringat akan ini, mau tidak mau timbul perasaan
kasihan dan berterima kasih di dalam hati Han Ki kepada Siauw Bwee.
Anak ini telah ditinggal mati ayahnya, ditinggal pergi ibunya tanpa diketahui ke mana. Keluarganya
berantakan. Bukankah semua itu terjadi karena dia? Karena ayahnya membela dia? Dia harus membalas
semua kebaikan itu, dia harus memimpin Siauw Bwee dan kalau perlu menyediakan nyawa untuk membela
dan melindungi Siauw Bwee seperti telah dilakukan ayah anak ini kepadanya.
“Kalian berdua benar. Memang kita bertiga harus saling mencinta dan membela seperti tiga kakak beradik
yang baik, memenuhi pesan Suhu. Akan tetapi marilah kita mempercepat perjalanan agar dapat
menemukan perahu itu. Kalian harus tahu bahwa Pulau Es yang disebut Suhu merupakan sebuah pulau
rahasia yang tadinya hanya terkenal dalam sebuah dongeng saja. Marilah, kedua Sumoi-ku yang baik,
mudah-mudahan saja semangat Suhu akan membimbing kita sehingga dapat menemukan Pulau Es yang
dimaksudkan Suhu.”
“Mari kita lari cepat. Sumoi, mari kita berlomba!” Maya berkata dan menantang Siauw Bwee.
“Baik, marilah, Suci!” Siauw Bwee menjawab tegas dan larilah kedua orang gadis cilik itu di sepanjang
pantai laut ke utara, secepat mungkin.
Melihat ini Han Ki menggeleng-geleng kepala dan tersenyum. Kiranya mereka itu masih seperti anak-anak,
pikirnya, sama sekali tidak sadar bahwa perlombaan lari itu merupakan pertanda bahwa di dalam hati
kedua orang gadis cilik itu telah terpendam bibit persaingan yang akan menimbulkan banyak keruwetan
dalam hidupnya! Han Ki tersenyum dan ia pun berkelebat mengejar, membayangi kedua orang sumoi-nya
dari belakang sambil memperhatikan cara mereka berlari cepat.
Kedua orang gadis cilik itu dapat beriari cukup baik, dan kecepatan mereka berimbang. Han Ki yang
memperhatikan dari belakang melihat bahwa dasar ilmu lari cepat mereka adalah dari satu sumber, yaitu
ilmu lari cepat Liok-te-hui-teng. Akan tetapi jelas tampak olehnya bahwa Maya lebih terlatih dan agaknya
bekas Puteri Khitan itu memang sering kali mempergunakan ilmu lari cepat sehingga setelah Siauw Bwee
mulai tampak lelah, Maya masih dapat berlari dengan seenaknya.
Han Ki melihat betapa Siauw Bwee dengan nekat mempercepat larinya agar dapat mengimbangi
kecepatan Maya. Ia merasa kasihan karena maklum bahwa sebentar lagi Siauw Bwee tentu akan
kehabisan napas dan akan kalah. Maka ia lalu mempercepat gerakan kakinya, melampaui mereka dan
berkata tertawa.
“Wah, kalau kalian beriari begini lambat, sampai kapan kita bisa menemukan perahu itu? Mari kugandeng
tangan kalian, Sumoi!” Han Ki menyambar tangan Maya dan Siauw Bwee dengan kedua tangannya,
kemudian mengerahkan ginkang-nya dan berlari cepat sekali, membuat Maya dan Siauw Bwee kagum
bukan main sehingga mereka melupakan perlombaan mereka tadi.
“Suheng, larimu cepat sekali!” Maya berseru kagum.
“Seperti Suhu ketika membawa lari aku dan Suci. Suheng ilmu lari apakah ini?” Siauw Bwee juga berkata.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Inilah yang disebut Cio-siang-hui!” jawab Han Ki.
“Suheng, kau harus ajarkan ilmu ini kepadaku!” Maya berseru dengan kagum karena ilmu ‘terbang di atas
rumput’ ini hanya ia dengar saja dan baru sekali ini dia melihatnya.
“Tunggu sampai kita dapat menemukan Pulau Es. Tidak ada ilmu yang takkan kuajarkan kepada kalian
berdua. Sekarang diamlah dan tutup matamu agar jangan merasa ngeri.”
Setelah berkata demikian, tiba-tiba gerakan kaki Han Ki berubah dan larinya makin cepat karena tidak
seperti tadi hanya lari biasa, melainkan kadang-kadang melompat jauh ke depan sehingga larinya menjadi
cepat bukan main. Maya dan Siauw Bwee tadinya menaati pesan suheng-nya dan memejamkan mata.
Mereka mendengar angin berdesir di kanan kiri telinga dan merasa betapa tubuh mereka terangkat
sehingga kedua kaki mereka kadang-kadang melayang dan kadang-kadang hanya menyentuh tanah
sedikit saja. Rasa ingin tahu membuat dua orang gadis cilik itu membuka mata dan akhirnya mereka
membelalakkan mata dan memandang penuh kagum, bahkan Maya berteriak girang.
“Suheng, ajarkan ilmu ini kepadaku!”
Melihat betapa kedua orang sumoi-nya sama sekali tidak merasa ngeri, bahkan membuka mata dan
kegirangan, diam-diam Han Ki menjadi girang sekali. Memang pilihan suhu-nya untuk mengambil murid
dua orang anak perempuan ini benar-benar tepat. Keduanya memiliki bakat yang amat baik, dan lebih-lebih
lagi, keduanya memiliki ketabahan yang merupakan syarat terpenting bagi seorang calon ahli silat.
Ketabahan mendatangkan ketenangan dan betapa pun pandai seseorang dalam ilmu silat, kalau dia tidak
memiliki ketabahan dan tidak dapat bersikap tenang, berarti dia sudah kehilangan setengah ilmunya.
“Bersabarlah engkau, Maya-moi. Lihat, di depan itulah agaknya tebing yang dimaksudkan Suhu. Mari kita
mencari perahu itu!”
Ucapan ini membuat Maya dan Siauw Bwee tertarik sekali. Mereka bertiga lalu menuruni tebing yang terjal
dan Han Ki tetap menggandeng tangan kedua orang sumoi-nya karena menuruni tebing itu merupakan
pekerjaan yang cukup berbahaya. Namun ginkang yang dimiliki Han Ki telah mencapai tingkat tinggi. Biar
pun menggandeng dua orang sumoi-nya, ia dapat mengajak mereka turun dengan cepat.
Tak lama kemudian mereka tiba di bawah tebing, di bagian pantai di mana terdapat banyak goa yang
tercipta oleh gempuran ombak setiap hari ke arah dinding karang. Dan di sebuah di antara goa-goa ini,
tampaklah perahu yang dimaksudkan Bu Kek Siansu, sebuah perahu kecil yang terbuat dari kayu yang
kuat, bentuknya meruncing dan di tengahnya terdapat atap yang membuat ruangan kecil itu cukup untuk
tempat berteduh dari terik matahari.
“Ini perahu Suhu!” Han Ki berseru girang. “Marilah!”
Maya dan Siauw Bwee ikut menjadi girang melihat perahu itu dan mereka membantu Han Ki melepaskan
ikatan perahu pada batu karang, kemudian melihat Han Ki menarik ke luar perahu dari dalam goa dan
mendorongnya ke atas air laut.
Setelah kedua orang sumoi-nya naik ke atas perahu dan duduk di bangku bawah atap, Han Ki mulai
mendayung perahunya, mengambil arah ke timur. Perahu yang ujungnya runcing itu meluncur cepat sekali.
Air laut tenang sehingga mereka merasa nyaman duduk di atas perahu, sedikit pun tidak terguncang,
hanya meluncur cepat ke depan seperti terbang.
Maya dan Siauw Bwee tertarik melihat Han Ki mendayung perahu. Mereka minta belajar dan tak lama
kemudian, dua orang gadis cilik itu menggantikan Han Ki mendayung. Perahu meluncur dikemudikan oleh
Han Ki dan mereka bercakap-cakap.
“Suheng, kelak kalau aku sudah tamat belajar, aku akan pergi mencari Ibu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Han Ki memandang sumoi-nya yang kecil itu. Ah, kiranya diam-diam anak ini selalu memikirkan ibunya.
Betapa kuat hatinya karena dapat menutupi kerinduannya. Ia mengangguk. “Tentu saja, Sumoi. Dan aku
akan membantumu mencari sampai dapat. Kurasa kalau kelak kita menyelidiki ke kota raja, akan ada
kenalan orang tuamu yang tahu akan rahasia itu, tahu ke mana Ibumu pergi mengungsi dengan sembunyi.”
“Suheng, kalau aku sudah pandai kelak, aku akan membalas dendam kematian Raja dan Ratu Khitan!”
Kini Han Ki mengerutkan alis ketika memandang Maya. “Hemmm... orang tuamu gugur dalam perang.
Kepada siapakah engkau akan membalasnya, Sumoi?”
“Kepada siapa lagi kalau tidak kepada Kerajaan Yucen, Sung dan kerajaan Mongol!”
Diam-diam Han Ki terkejut. Dendam yang begitu hebat, ditujukan kepada kerajaan-karajaan tiga negara,
bagaimana akan membalasnya? Kiranya cara membalasnya hanya satu, yaitu dalam perang! Diam-diam ia
merasa ngeri, akan tetapi tidak mau bertanya lagi karena maklum bahwa sumoi-nya yang seorang ini amat
keras hati dan mudah tersinggung, apa lagi dalam urusan membalas dendam. Karena ayah puteri ini
merupakan saudara sepupunya pula, maka ia hanya berkata tenang, “Cita-citamu itu amat sukar
dilaksanakan, akan tetapi kau belajarlah yang tekun, Sumoi.”
“Dan engkau sendiri, bagaimana urusanmu dengan puteri Kaisar yang dipaksa kawin dengan Raja Yucen
itu, Suheng?” tiba-tiba Maya bertanya.
Han Ki tersentak kaget, memandang terbelalak dengan wajah pucat. Tak disangkanya bahwa sumoi-nya
tahu akan hal itu. Dia tidak mengerti bahwa berita-berita tentang hubungan-hubungan gelap, apa lagi yang
menimpa diri puteri Kaisar, merupakan berita yang tak dapat ditutup tutupi karena setiap mulut suka
membicarakannya.
Siauw Bwee diam-diam menyentuh tangan suci-nya. Ketika suci-nya memandang, ia berkedip dan
menggerakkan muka ke arah Han Ki yang menundukkan muka. Maya mengerti bahwa pertanyaannya tadi
menyinggung Han Ki, maka ia pun tidak bertanya lagi, hanya mengangkat sedikit pundaknya kemudian
melanjutkan gerakan tangannya mendayung. Mulutnya yang kecil mulai bersenandung, menyanyikan
sebuah lagu Khitan dengan lirih. Siauw Bwee memandang dan mendengarkan dengan kagum karena
suara Maya memang merdu sekali, apa lagi menyanyikan sebuah lagu asing yang terdengar makin aneh
mempesonakan, dinyanyikan di atas perahu yang berada di tengah lautan dan dalam keadaan seperti itu.
Ketika mendengar nyanyian ini, Han Ki yang perasaannya mendapat pukulan hebat oleh pertanyaan tibatiba
tadi merasa makin nelangsa. Pikirannya melayang-layang dan teringatlah ia akan segala yang terjadi
semenjak mengadakan pertemuan dengan Sung Hong Kwi sampai dia ketahuan, dikeroyok, ditangkap dan
akhirnya ditolong dengan pengorbanan nyawa oleh Kam Liong dan Khu Tek San, kemudian dibawa pergi
suhu-nya.
Teringatlah dia akan nasehat dan wejangan suhu-nya yang membuka matanya dan menyadarkannya
sehingga dia dapat menerima peristiwa itu dengan hati tidak terlalu menderita. Akan tetapi, pertanyaan
tiba-tiba dari Maya membuat ia terkejut dan terpukul. Terbayang wajah Sung Hong Kwi yang dicintanya,
timbullah rasa rindu yang tak tertahankan dan rasa sakit di hati mengingat betapa kekasihnya itu dirampas
oleh orang lain!
“Hong Kwi...!” Hatinya mengeluh akan tetapi mulutnya berkata dengan suara dingin seperti suara yang
keluar dari balik kubur, sama sekali tidak mengandung semangat kehidupan. “Maya dan Siauw Bwee,
kuminta kalian selamanya jangan menyebut-nyebut lagi namanya....”
Melihat keadaan Han Ki, Maya menjadi terkejut dan menyesal mengapa tadi ia bertanya-tanya tentang
Puteri Sung Hong Kai itu. “Baik, Suheng,” jawabnya.
“Baik, Suheng,” kata pule Siauw Bwee.
Dengan kekuatan batinnya sebentar saja Han Ki sudah dapat mengatasi perasaan hatinya yang tertekan,
maka perahu kembali meluncur dengan lancar dan cepatnya ke timur. Suara ujung perahu memecah air
dunia-kangouw.blogspot.com
laut, mengumandangkan nasehat Bu Kek Siansu kepada Han Ki bahwa pemuda itu sebaiknya
mengasingkan diri ke Pulau Es bersama dua orang sumoi-nya. Kalau dia muncul di dunia ramai, tentu akan
teringat terus akan peristiwa di Kerajaan Sung dan dia akan selalu menjadi seorang buronan.
Kini Han Ki dapat memikirkan dan merasai tepatnya nasehat itu. Dia masih muda dan berdarah panas,
mudah dikuasai nafsunya sehingga kalau dia bertemu lagi dengan Hong Kwi, agaknya tidak akan dapat
menahan diri dan akan menimbuikan kegemparan-kegemparan baru, mungkin pelanggaran-pelanggaran
yang tidak semestinya dilakukan orang baik-baik. Hong Kwi telah menjadi milik orang lain, dan dia harus
dapat melupakannya. Satu-satunya jalan untuk melupakannya secara baik adalah tinggal di pulau yang
terasing dan menggembleng diri dengan ilmu-ilmu yang lebih tinggi.
“Hei...! Ikan banyak sekali...!” tiba-tiba Maya berseru sambil menuding ke air. Siauw Bwee dan Han Ki
cepat memandang, dan memang benar.
Di dalam air, bersinar bagai matahari tampak ikan sebesar paha berenang ke sana ke mari banyak sekali.
Pemandangan ini amat menarik hati. Ketiganya tak menggerakkan dayung, membuat perahu terhenti dan
mereka menikmati pemandangan yang memang indah itu. Matahari sudah naik tinggi dengan sinar
cemerlang dan air laut tenang, maka melihat ikan-ikan dengan sisik mengkilap itu berenang di sekitar
perahu amatlah mempesonakan.
“Ah, kalau ada alat pancing, tentu menyenangkan sekali memancing di sini,” kata Siauw Bwee.
“Itu ada perahu datang!” Han Ki berkata.
Mereka memandang dan dari jauh tampak sebuah perahu kecil meluncur datang dengan cepat sekali.
Setelah dekat tampak oleh mereka bahwa perahu itu ditumpangi seorang laki-laki yang berkepala gundul.
“Seperti seorang hwesio!” kata Siauw Bwee.
“Bukan,” bantah Maya. “Lihat, biar pun gundul, dia tidak memakai baju! Mana ada hwesio tidak berjubah?”
Han Ki sudah berdiri di atas papan perahunya dan memandang tajam penuh perhatian. “Bukan hwesio,
akan tetapi dia aneh sekali. Kepalanya gundul, pakaiannya hanya cawat, kumisnya kecil melintang. Heran,
orang apakah dia? Melihat perahunya, tentu perahu nelayan dan melihat cara dia mendayung, tentu dia
bukan orang sembarangan. Harap kalian hati-hati, jangan-jangan dia bukan orang baik-baik.”
Perahu itu kini telah datang dekat dan orang yang berada di perahu agaknya tidak mempedulikan mereka,
melainkan memandang ke air di mana terdapat banyak ikan. Tiba-tiba ia mengeluarkan seruan girang,
perahunya dihentikan dan ia membuang jangkar besi yang diikat dengan tali panjang. Kemudian, setelah
memandang ke air penuh perhatian sampai tubuhnya yang hanya bercawat itu membungkuk di luar bibir
perahu, tiba-tiba orang itu meloncat ke dalam air dengan gerakan indah. Air hanya muncrat sedikit saja dan
tubuhnya sudah lenyap ditelan air.
“Wah, dia gila...!” Maya berseru.
“Dia bisa celaka...!” Siauw Bwee berkata penuh keheranan.
“Hemm, kurasa tidak. Melihat cara dia meloncat, dia adalah seorang yang ahli dalam air dan loncatannya
tadi membayangkan bahwa dia memiliki ilmu kepandaian tinggi. Hanya aneh sekali, aku heran apa yang
dicarinya di dalam air? Dan bagaimana ia dapat bertahan menyelam sampai begini lama?”
Pertanyaan Han Ki itu segera mendapat jawaban yang merupakan pemandangan aneh sekali. Tiba-tiba air
bergelombang dan... dari dalam air tadi meloncatlah orang tadi ke dalam perahunya, tangannya
memondong seekor ikan sebesar tubuhnya sendiri! Ikan itu dilemparnya ke dalam perahu, menggelepargelepar
dan Si Gundul yang luar biasa itu sudah meloncat lagi ke dalam air. Tak lama kemudian, kembali ia
meloncat ke perahu membawa seekor ikan besar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika untuk ketiga kalinya ia meloncat ke air, Han Ki berkata, “Bukan main! Selama hidupku, mendengar
pun belum apa lagi menyaksikan seorang nelayan menangkap ikan secara itu! Dia benar-benar hebat luar
biasa. Mari kita dekati, aku ingin berkenalan dengan dia!” Han Ki berseru dan mendayung perahu
mendekat.
Pada saat itu air kembali bergelombang, kini lebih hebat dari tadi, dan Maya berteriak sambil menuding ke
bawah, “Lihat...!”
Mereka terbelalak ketika tiba-tiba muncul kepala yang gundul akan tetapi tenggelam lagi. Ternyata bahwa
orang aneh itu sedang bergumul melawan seekor ikan yang besar, lebih besar dari pada tubuhnya dan dua
kali lebih besar dari ikan-ikan yang telah ditangkapnya tadi. Han Ki, Maya dan Siauw Bwee memandang
penuh kekhawatiran melihat orang itu bergulat dan bergulung-gulung di air yang makin keras berombak
karena kibasan-kibasan ekor ikan yang amat kuat.
“Suheng, bantulah dia...!” Siauw Bwee berteriak sambil menuding ke air dengan hati penuh kekhawatiran
akan keselamatan orang gundul itu, sedangkan Maya menonton dengan amat tertarik sampai berdiri
membungkuk di pinggir perahu.
“Tidak perlu, Sumoi. Lihat!”
Ketika Siauw Bwee memandang, ia kagum sekali melihat Si Gundul itu kini telah meloncat ke atas
perahunya, mengempit kepala ikan besar itu yang memukul-mukul dengan ekornya. Begitu melempar ikan
besar ke perahu, orang itu sekali pukul membikin pecah kepala ikan itu yang berhenti memukul-mukul
dengan ekornya, akhirnya hanya dapat menggelepar lemah.
“Lopek, kepandaianmu mengagumkan sekali!” Han Ki berseru ke arah orang gundul itu, dan ketika orang
gundul itu membalikkan tubuh memandang, Han Ki cepat merangkapkan kedua tangannya di depan dada
memberi hormat.
Akan tetapi orang itu tidak membalas penghormatannya, memandang tak acuh lalu berkata dengan logat
asing, setengah Mongol akan tetapi jelas bahwa dia pandai menggunakan bahasa Han. “Kepandaian
begitu saja apa artinya? Kalau kalian tidak mempunyai kepandaian, perlu apa berkeliaran di sini mencari
mampus?” Setelah berkata demikian, dia sudah terjun kembali ke dalam air.
“Celaka! Orangnya sombong seperti setan!” Maya memaki marah. “Hayo kita pergi saja, Suheng. Buat apa
berkenalan dengan orang macam itu?”
“Lopek, awas...! Ikan hiu...!” Tiba-tiba Han Ki berteriak ke arah orang yang masih berenang dan agaknya
sedang mencari-cari dan memandang ke dalam air itu.
“Suheng... dia bisa celaka...!” Siauw Bwee berseru.
“Biarkan saja, Suheng. Orang sombong biar tahu rasa!” Maya juga berseru.
Seekor ikan hiu yang ganas dan liar sebesar manusia menyambar dari belakang orang gundul itu. Dia ini
cepat sekali membalik dan dengan gerakan indah telah membuang diri ke kiri sehingga serangan ikan liar
itu luput. Cepat Si Gundul menangkap ekor ikan dan mencengkeram sirip ikan, kemudian memutar dengan
kekuatan luar biasa sehingga tubuh ikan itu membalik. Orang gundul itu menangkap moncong ikan dengan
kedua tangan, membetot dan... robeklah mulut ikan hiu itu yang setelah dilepas lalu berkelojotan sekarat,
air di sekitarnya menjadi merah oleh darahnya.
“Lopek, naiklah ke perahu. Banyak ikan hiu...!” Han Ki berteriak lagi ketika melihat banyak sekali sirip atas
ikan hiu meluncur datang.
Ikan-ikan hiu amat tajam penciumannya akan darah, maka begitu ada darah di air, mereka berdatangan
seperti berlomba! Sebentar Si Gundul dan bangkai ikan hiu itu telah dikurung belasan ekor ikan hiu yang
besar-besar. Sebagian ikan ini menyerbu bangkai kawannya dengan ganas, dan ada tiga ekor yang
menyerang Si Gundul!
dunia-kangouw.blogspot.com
Siauw Bwee menjerit ngeri menyaksikan bangkai ikan hiu itu hancur lebur dan robek-robek, ngeri karena
tubuh orang gundul itu pasti akan disayat-sayat oleh gigi ikan-ikan buas itu. Sedangkan Maya memandang
dengan wajah berseri, agaknya ia girang melihat orang sombong itu terancam bahaya.
Akan tetapi orang gundul itu benar-benar amat lihai. Biar pun diserang oleh tiga ekor ikan buas, ia tidak
mau naik ke perahu, dan memang untuk kembali ke perahunya sudah tidak keburu lagi. Dengan gerakan
tangkas ia memukul ikan terdekat.
“Desss!” Pukulan itu amat hebat. Biar pun tubuh ikan yang kuat dan licin tidak remuk dan ikannya tidak
mati, namun terlempar sampai dua meter jauhnya.
“Pukulan Pek-lek Sin-jiu (Pukulan Halilintar)! Dari mana dia mempelajarinya?” Han Ki makin terheran-heran
ketika mengenal pukulan itu, sebuah pukulan sakti yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu!
Akan tetapi tidak ada yang dapat menjawabnya dan perhatian Han Ki tertarik oleh bahaya maut yang
mengancam diri kepala gundul itu. Ikan yang dipukulnya tidak tewas, dan sudah berbalik menerjang
didahului oleh dua ekor ikan lain yang menerjang dari kanan kiri. Orang gundul itu berhasil memukul dua
ekor ikan, tetapi terjangan ikan yang pertama tadi tak mungkin dapat ia hindarkan.
Melihat ini Han Ki mengeluarkan pekik melengking, tubuhnya mencelat ke depan, tangan kirinya
menyambar lengan orang gundul, kakinya menginjak kepala ikan hiu yang menyerang dari belakang.
Sekali menggerakkan tangan, dengan menginjak kepala ikan sebagai landasan, Han Ki berhasil
melontarkan tubuh laki-laki itu ke perahunya, sedangkan dia sendiri kembali mengenjotkan kakinya
meloncat ke perahu terdekat, yaitu perahu Si Gundul di mana pemiliknya sudah berdiri dengan mata
terbelalak, heran memandang ke arah Han Ki.
“Kau... kau siapa?” Kini orang gundul itu hilang kesombongannya dan memandang Han Ki dengan sinar
mata penuh heran dan kagum.
Han Ki tersenyum, kembali memberi hormat yang tak juga dibalas oleh Si Gundul sambil memperkenalkan
diri! “Namaku Han Ki, dan mereka itu adalah dua orang sumoi-ku, Maya dan Khu Siauw Bwee. Siapakah
Lopek yang pandai ini dan di mana tampat tinggal lopek?”
Laki-laki tua yang usianya sudah ada lima puluh tahun lebih, akan tetapi masih nampak kuat itu,
memandang Han Ki dengan penuh perhatian, kemudian menghela napas panjang dan berkata, “Sungguh
tak kusangka di dunia ini ada seorang pemuda yang begini lihai! Orang muda, engkau telah menolong
nyawaku, maka sudah sepatutnya menjadi tamu agung dari Pulau Nelayan kami. Aku hanyalah seorang
nelayan biasa dari keluarga kami di Pulau Nelayan. Kebetulan aku berhasil menangkap tiga ekor ikan yang
besar dan lezat dagingnya. Kalau engkau dan dua orang sumoi-mu suka, aku undang kalian untuk
mengunjungi pulau kami dan ikut berpesta menikmati daging ikan.”
“Baiklah dan terima kasih, Lopek. Aku akan senang sekali bertemu dengan keluargamu.” Han Ki amat
tertarik untuk mengetahui keadaan nelayan gundul itu karena tadi ia menyaksikan bahwa nelayan itu
memiliki ilmu pukulan yang ia kenal sebagai ilmu pukulan gurunya.
Ia mengenjotkan kakinya dan tubuhnya melayang ke arah perahunya sendiri. Gerakan ini hanya membuat
perahu Si Nelayan tergoyang sedikit sehingga nelayan itu makin kagum karena perbuatan pemuda itu
membuktikan kepandaian yang tinggi.
“Suheng, buat apa kita mengunjungi pulaunya?” Maya menegur Han Ki dengan mulut cemberut.
“Sumoi, dia memiliki ilmu pukulan yang sama dengan yang pernah kupelajari. Aku ingin sekali mengetahui
keadaan keluarganya. Tentu ada hubungannya antara mereka dengan Suhu,” Han Ki berkata lirih.
“Orang muda she Kam! Marilah ikut perahuku!” Nelayan itu berseru dan tanpa menengok lagi ia sudah
mendayung perahunya meluncur cepat sekali karena dia memang mengerahkan tenaganya dan agaknya
dia hendak menguji Han Ki.
dunia-kangouw.blogspot.com
Melihat ini Han Ki cepat menyambar dua batang dayung sambil mengerahkan tenaga pula mengejar
perahu Si Nelayan itu menuju ke utara. Kurang lebih dua jam kemudian perahu itu mendarat di sebuah
pulau kecil yang ditumbuhi pohon-pohon besar dan sekelilingnya merupakan tebing batu karang yang
curam. Nelayan itu mendaratkan perahu di bawah tebing dan mengikat perahunya.
Ketika ia menoleh dan melihat betapa Han Ki juga sudah mendarat dan mengikatkan perahu, ia berkata,
“Engkau memang orang muda hebat dan pantas menjadi tamu kami! Mari ikut aku!” Ia mengikat mulut tiga
ekor ikan besar tadi, memanggulnya dan mulai mendaki tebing.
“Benar-benar seorang yang aneh dan ilmunya cukup hebat,” Han Ki memuji. “Kalian berpeganglah pada
tali ini baik-baik karena tebing itu berbahaya.”
Han Ki menggunakan sebagian tali perahu yang dipegang kedua ujungnya oleh Maya dan Siauw Bwee,
kemudian ia sendiri memegang tengah-tengah tali dan dengan demikian ia menuntun kedua orang sumoinya
mendaki tebing mengikuti nelayan gundul itu. Kagum ia melihat nelayan itu mendaki tebing sambil
memanggul tiga ekor ikan yang amat berat itu.
Ketika tiba di atas tebing, ternyata pulau itu cukup subur dan mereka itu disambut oleh dua puluh orang
lebih terdiri dari laki-laki dan wanita yang kesemuanya berpakaian sederhana. Yang laki-laki sebagian
besar bercawat atau memakai celana yang sudah robek-robek tanpa baju, sedangkan yang wanita
memakai pakaian dari kulit batang pohon atau kulit ikan yang dikeringkan dan dilemaskan. Anehnya, yang
laki-laki semua botak atau gundul, agaknya kepala botak dan gundul merupakan ‘mode’ bagi mereka!
Ketika melihat Han Ki dan dua orang sumoi-nya, mereka menjadi gempar dan mengurung tiga orang muda
ini, memandang seperti sekumpulan anak-anak mengagumi barang mainan baru! Apa lagi ketika nelayan
gundul itu menceritakan betapa Han Ki menolongnya dan betapa pemuda itu memiliki kepandaian tinggi,
orang-orang itu makin tertarik dan memuji-muji.
“Karena kulihat dia patut menjadi tamu kita, maka dia kuundang untuk berpesta bersama kita,” demikian Si
Nelayan Gundul menutup ceritanya.
Setelah membiarkan dia dan kedua orang sumoi-nya menjadi barang tontonan beberapa lama sambil
memperhatikan orang-orang itu yang kehidupannya amat sederhana, Han Ki lalu berkata, “Siapakah di
antara Cu-wi yang menjadi Tocu (Majikan Pulau)?”
“Apa Tocu? Tidak ada tocu di sini,” jawab Si Nelayan Gundul.
“Kumaksudkan ketua kalian. Pemimpin. Siapakah pemimpin kalian? Aku ingin menyampaikan hormatku
dan ingin bicara.”
Orang-orang yang berada di situ tertawa dan Si Nelayan Gundul menjawab, “Kami sekeluarga tidak
mempunyai pemimpin, kami memimpin diri kami masing-masing. Siapa membutuhkan pemimpin?”
Han Ki terheran-heran. “Kalau begitu kalian dahulu datang dari manakah? Apakah turun temurun terus
berada di sini?”
Si Nelayan Gundul mengangkat pundak, kemudian menuding ke arah seorang laki-laki tua yang berkepala
botak. “Aku tidak tahu. Dia mungkin tahu.”
Laki-laki berkepala botak itu menggerakkan tongkatnya, jalan terpincang menghampiri Han Ki. Tiba-tiba
tongkatnya membuat beberapa gerakan berputar dan tongkat itu lenyap berubah menjadi gulungan sinar
yang mengurung tubuh Han Ki. Pemuda ini terkejut bukan main, bukan karena penyerangan yang tak
disangka-sangka itu, melainkan karena mengenal bahwa gerakan tongkat ini sebenarnya adalah gerakan
ilmu pedang yang amat dikenalnya, yaitu ilmu Pedang Thian-te It-kiam yang juga merupakan ilmu pedang
yang pernah ia pelajari dari Bu Kek Siansu! Cepat ia mengelak dan berseru.
“Apakah kalian murid Bu Kek Siansu? Aku adalah muridnya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi kakek bertongkat tidak menjawab, juga di antara dua puluh orang lebih itu tidak ada yang
menjawab, seolah-olah nama Bu Kek Siansu belum pernah mereka mendengarnya. Dan kini ujung tongkat
kakek itu meluncur dengan kecepatan kilat menotok ke arah jalan darah di pundak Han Ki!
Han Ki cepat mengelak dan tahulah ia bahwa kakek ini benar-benar telah menguasai Thian-te It-kiam
dengan sempurna dan bahwa kakek itu hanya ingin mengujinya karena gerakan asli dari jurus itu adalah
menusuk tenggorokan yang berarti merupakan serangan maut, akan tetapi oleh kakek itu diubah menjadi
gerakan yang hanya menotok pundak. Timbul kegembiraannya dan ia cepat mencabut pedangnya.
“Srattt!” tampak sinar berkilau ketika pedang pemuda itu tercabut dan ia lalu memutar pedangnya sambil
berseru. “Baiklah, orang tua yang gagah. Mari kita menguji ilmu Pedang Thian-te It-kiam!”
Ia lalu mainkan jurus Thian-te It-kiam yang amat lihai. Kakek itu berseru girang, juga semua orang yang
berada di situ berseru, kaget karena segera mengenal gerakan pedang pemuda itu. Kakek itu nampak
makin bersemangat dan terjadilah adu ilmu pedang yang lebih menyerupai latihan karena selalu keduanya,
mainkan jurus-jurus yang sama, juga keduanya jelas tidak ingin saling bunuh!
Han Ki menjadi makin kagum ketika mendapat kenyataan bahwa kakek itu benar-benar telah menguasai
ilmu pedang itu, bahkan tidak kalah baiknya oleh dia sendiri. Juga sinkang kakek itu amat hebat! Dia pun
mengerti bahwa orang-orang yang mengaku penghuni Pulau Nelayan dan kelihatannya liar dan biadab ini
ternyata bukanlah orang-orang kejam dan tidak mempunyai niat membunuhnya.
Seratus jurus lebih mereka bertanding. Akhirnya kakek itu meloncat mundur dan berseru, “Pemuda ini
adalah keluarga sendiri!”
Diam-diam Han Ki menjadi terharu dan ia maklum bahwa sekumpulan keluarga aneh ini telah memiliki
tingkat ilmu kepandaian yang hebat, yang kalau diberi kesempatan di dunia ramai, mereka akan menjadi
jago-jago kang-ouw yang sukar ditandingi. Maka ia cepat menyimpan pedangnya, kembali dan menjura.
“Locianpwe, maafkan kekurang-ajaranku. Seperti telah kukatakan tadi, aku adalah murid Bu Kek Siansu,
demikian pula kedua orang sumoi-ku itu. Locianpwe yang memiliki Ilmu Pedang Thian-te It-kiam dan
saudara nelayan yang memiliki pukulan Pek-lek Sin-jiu tadi tentu mempunyai hubungan dengan Bu Kek
Siansu guruku.”
“Kami tidak mengenal Bu Kek Siansu,” kata kakek itu.
Han Ki makin terheran karena menduga bahwa kakek itu agaknya tidak membohong. “Kalau begitu, dari
manakah kalian mendapatkan ilmu-ilmu itu?”
Kakek itu mengangkat pundak. “Dari nenek moyang kami yang tinggal di pulau ini.”
“Locianpwe, sukakah Locianpwe menceritakan siapa nenek moyang Locianpwe, dan bagaimana dapat
tinggal turun-temurun di tempat seperti ini?”
Wajah kakek itu kelihatan jemu akan percakapan mengenai nenek moyangnya.
“Aku tidak tahu, aku yang paling tua tidak tahu, tentu saja mereka semua pun tidak tahu. Sudahlah, orang
muda. Kami adalah nelayan-nelayan di Puau Nelayan ini, selama turun-temurun menjadi nelayan dan tidak
mau mencampuri urusan manusia-manusia lain. Tempat ini jarang didatangi orang asing dan engkau
sekarang menjadi tamu kami. Marilah kau menikmati penyambutan kami seadanya. Kau boleh tinggal di
sini selama kau dan sumoi-sumoi-mu menyukai, dan boleh pergi ke mana saja. Hanya pesanku, engkau
dan sumoi-mu sama sekali tidak boleh melanggar batas puncak batu karang sana itu. Tempat itu adalah
tempat keramat bagi kami, tak seorang pun boleh mengunjunginya. Mengertikah, orang muda?”
Han Ki mengangguk dan memandang ke arah bukit karang di ujung timur pulau itu dengan hati penuh ingin
tahu. Tempat itu disebut tempat keramat dan tidak boleh didatangi orang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Maya berkata kepada kakek itu, “Kakek, tempat apakah itu yang kau sebut tempat keramat?”
Han Ki terkejut akan kelancangan Maya dan merasa khawatir kalau-kalau kakek dan keluarganya yang
aneh itu akan marah. Akan tetapi kakek itu agaknya berwatak sabar sekali, malah menjawab halus, “Anak
perempuan yang cantik jelita, kalau engkau mau tahu, tempat itu adalah kuburan nenek moyang kami.
Sudahlah, aku sudah tidak bisa bercerita banyak, dan aku tidak berani bicara banyak pula mengenai
tempat yang kami anggap suci itu. Mari kita berpesta!”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments