Kamis, 27 April 2017

Cerita Silat Langka 15 To Liong To

Cerita Silat Langka 15 To Liong ToTag:Penelusuran yang terkait dengan cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf Cerita Silat Langka 15 To Liong To
kumpulan cerita silat cersil online
Cerita Silat Langka 15 To Liong To
Dalam mengucapkan doa itu, dari Yo Siauw yg
berkedudukan paling tinggi sampai pada pegawai dapur yg
berkedudukan paling rendah sedikitpun tidak mengujuk
rasa takut, suara mereka lantang dan sikap merekapun
angker.
Jie Lian Cioe mendengari dengan hati berduka. Ia
merasa bahwa mereka yg bisa bersikap tabah dalam
menghadapi kebinasaan dan bahkan masih bisa berkasihan
terhadap manusia yg hidup menderita, adalah orang2 gagah
yang mulia.
"Pendiri Beng Kauw seorang mulia, hanya sayang
pengikut2 nya yang belakangan menyeleweng dari jalan
yang benar!" katanya didalam hati.
Sementara Boe Kie yg semula merasa keder sebab
menghadapi begitu banyak orang, sekarang menjadi nekad.
Ia nekad karena Cong Wie Hiap sudah mendekati kakeknya
1393
dan Kong tie sudah mengeluarkan perintah untuk
membunuh sisa anggota Beng Kauw. Dengan sekali
melompat ia sudah menghadang di depang Cong Wie Hiap.
"Tahan!" bentaknya. "Kau ingin membunuh seorang yg
sudah terluka berat apa kau tidak takut ditertawai?" Ia
membentak dengan bernafsu, sehinga suara menggeledek
dan menggetarkan seluruh lapangan. Semua orang yang
sudah bergerak untuk menjalankan perintah Kong Tie,
serentak menghentikan serangannya dan mengawasi
pemuda itu.
Melihat, bahwa yang mencegatnya tak lebih daripada
seorang pemuda yg berpakaian compang camping, Cong
Wie Hiap bersenyum tawar dan segera mendorong Boe Kie,
yg lantas mengengos seraya menyampok dengan
tangannya.
"Plak!"
Cong Wie Hiap terhuyung tiga tindak. Secepat kilat ia
mengerahkan tenaga kedua kakinya supya bisa berdiri tetap.
Tapi diluar dugaan, gelombang tenaga Boe Kie terus
mendorongnya sehingga tubuhnya terjengkang. Sebagai
seorang ahli silat, dalam bahaya, buru2 ia menotol tanah
dnegan kaki kanannya dan badannya lantas saja melesak
kebelakang setombak lebih. Tapi, waktu kedua kakinya
hinggak ditanah, gelombang tenaga itu masih belum
mereda, sehingga ia kembali terhuyung tujuh delapan
tindak!
Itulah kejadian yg betul2 diluar dugaan. Semua orang
tidak mengerti sebab musababnya. Mereka mengira Cong
Wie Hiap sengaja main gila atau berguyon. Cong Wie Hiap
sendiri tak pernah mimpi, pemuda itu bertenaga sedemikian
besar.
Sesudah mengumpukan semangatnya, Cong Wie Hiap
1394
mengawasi Jie Lian Cioe dengan mata melotot. "Lelaki
harus berterang!" teriaknya. "Tak boleh menyerang orang
denga panah gelap!" Ia menaksir, bahwa tadi Jie Lian Cioe
memberi bantuan secara menggelap atau mungkin sekali
bantuan itu diberikan oleh kelima pendeta Boe tong dengan
serentak. Sebab tak bisa jadi seorang manusia mempunyai
tenaga yang begitu besar.
Jie Lian Cioe bingung, tapi karena tak merasa bersalah,
ia tak mempedulikan dan hanya balas melotot, "Gila betul!"
katanya dalam hati.
Sementara Cong Wie Hiap sudah maju mendekati Boe
Kie dan membentak seraya menuding, "Bocah siapa kau!"
"Aku Can A Goe," jawabnya seraya mengangsurkan
tangan dan menempelkannya di leng tay hiat di punggung
In Thian Ceng. Gelombang tenaga yang berhawa panas
lantas saja menerobos masuk kedalam tubuh si kakek. Jago
tua itu membuka kedua matanya yg mengawasi Boe Kie yg
membalas dengan senyuman sambil menambah tenaganya.
In Thian Ceng heran tak kepalang. Tenaga itu sangat
menakjubkan. Sebelum Cong Wie Hiap tiba
dihadapkannya, dada dan tantiannya yang menyesak sudah
lega kembali. Terima kasih sahabat kecil bisiknya.
Dengan gagah ia melompat bangun dan berkata dengan
suara lantang. "Orang she Cong! Apa jempolnya Cit Siang
Koen dari Khong tong pay? Mati! Aku bersedia untuk
menerima tiga serangmu."
Ceng Wie Hiap bangun. Ia tak nyana lawannya bisa
segera berangkat dengan semangat penuh. Bagaimana bisa
jadi begitu? Hatinya lantas saja merasa jeri, terutama
terhadap Eng Jiauw Kim Na Chioe yg sangat lihai
"Memang Cit siang koen tak dapat dikatakan jempol!:"
katanya. "Baik." Kau terimalah tiga tinjuku. I dalam hati ia
1395
mengambil keputusan untuk mengadu Lweekang, supaya
pertandingan yg lama, tenaganya yg masih segar akan dapat
mengalahkan lawan yg sudah payah.
Mendenger disebutkannya Cit "siangkoen", didepan
mata Boe Kie segera tebayang kejadian pada malam itu di
pulau Peng hweeto, dimana ayah angkatnya telah
menceritakan peristiwa kebinasaan Kong Kian Tayeoe
akibat pukulan Cit Siangkoen. Belakangan ia sendiri
disuruh menghafal teori Cit Siangkoen dan pernah digaplok
beberapa kali oleh ayah angkat itu sebab tidak bisa
menghafal lancar. Ia ingat pula teori ilmu pukulan tersebut
dan... ia sekarang mengerti artinya teori itu. Ia heran tak
kepalang. Mengapa ia jadi begitu cerdas!
Ia tak tahu, bahwa sebab musababnya terletak pada
kenyataan, bahwa ia sudah mahir dalam Kioe yang dan
Kim koen Tay lo ie Sing kang Kioe yang meliputi segala
rupa lweekang yg terdapat diseluruh Rimba Persilatan,
sedang Kiam koen tay lo ie yalah ilmu untuk mengerahkan
tenaga dalam dan menggunakannya. Dengan demikian,
sesudah dapat memahami kedua Sing kang yg tertinggi itu,
lain2 ilmu silat sudah tak jadi soal baginya.
"Jangankan tiga, tiga puluh tinjupun akan kuterima,"
kata In Thian Ceng. Ia berpaling pda Kong tie dan berkata
dengan suara lantang, "Kong Tie Taysoe, sebelum mati,
aku belum menyerah kalah! Apakah kau mau berbuat
sewenang wenag dengan mengunakan jumlah yang besar.
Ternyata pada waktu tiba di Kong Beng Teng melihat Yo
Siauw dan beberapa tokoh lain sudah terluka, dengan
menggunakan kata2 tajam In Thian Ceng berhasil
mencegah pengeroyokan kepada pihaknya. Sesuai dengan
kebiasaan dalam Rimba Persilatan, Kung tie Taysoe telah
menyetujui untuk mengadu kekuatan dengan satu melawan
satu. Tapi pada akhirnya jago2 Peh Bie Kauw dan Ngo
1396
heng Kie roboh semua, kalau tidak mati terluka hebat, dan
yg ketinggalan hanyalah si kakek sendiri. Tapi sebegitu
lama In Thian Ceng masih belum menyerah, Kong tie
memang tidak boleh memerintahkan pembasmian.
Boe Kie tahu, bahwa biarpun keadaannya sudah banyak
mendingan, kakeknya tidak boleh menggunakan terlalu
banyak tenaga. Kegagahan orang tua itu terhadap Cong
Wie hiap telah didorong oleh tekad untuk berkelahi sampai
binasa. Maka itu, ia segera berbisik, "In locianpwee, biarlah
aku yg maju lebih dahulu. Jika aku kalah, barulah
locianpwee maju."
Si kakek yakin, bahwa lweekang pemuda itu, tinggi luar
biasa dan dalam keadaan segar, ia tidak akan bisa
menandinginya. Akan tetapi merasa bahwa ia berkewajiban
untuk membela Beng kau dengan jiwanya, sedang pemuda
itu yang mungkin tak punya sangkut paut dengan Beng
Kauw tidak pantas untuk berkorban. Ia tahu bahwa biarpun
lihai Boe Kie tak akan bisa melayani lawan yg berjumlah
begitu besar. Mana bisa ia membiarkan seorang pemuda yg
begitu mulia membuang jiwa secara cuma2 diatas Keng
beng Teng? Memikir begitu, ia lantas saja bertanya,
"Sahabat kecil, bolehkah ku tahu partai atau rumah
perguruanmu? Kau kelihatannya bukan anggota agama
kami. Benarkah begitu?"
"Boanpwee memang bukan anggota Beng Kauw,"
jawabnya. "Tapi sudah lama boanpwee mengagumi
loocianpwee dan hai ini kita berdua akan melawan musuh
bersama sama."
In Thian Ceng heran tak kepalang, tapi sebelum ia
keburu menanya lagi, Cong Wie Hiap sudah maju sambil
berteriak, "Orang she In, sambutlah tinju pertama!"
"Tahan!" bentak Boe Kie, "In Loocianpwee mengatakan,
1397
bahwa kedudukanmu belum cukup tinggi untuk bertanding
dengannya. Kalau kau bisa menangkan aku, barulah ia
akan melayani kau."
"Siapa kau!" bentak Cong Wie Hiap dengan gusar.
"Bocah, kau sungguh tak menggenal mampus! Apa kau
mau berkenalan dengan kelihaian Cit Siang Koe dari
Khong tong pay?"
Tiba2 serupa pikiran berkelebat dalam otaknya Boe Kie.
"Untuk mendamaikan kedua belah pihak, jalan satu2 nya
ialah membuka rahasia kebusukan Goan Tin," pikirnya.
"Kalau menggunakan kekerasan, mana dapat aku melawan
jago2 dari enam parti. Apapula para pamanku juga berada
disini. Mana bisa aku berhadapan dengan mereka sebagai
musuh?"
Sesudah memikir sejenak, ia segera berkata dengan suara
nyaring. "Kelihaian Cit Siang koang dari Khong tong pay
sudah diketahui olehku lama sekali. Bukankah pendeta suci
Siauw Lim Pay, Kong Kian Tay soe, juga binasa karena
pukulan itu?"
Pernyataan itu menggemparkan barisan Siauw Lim Pay.
Sepanjang pengetahuan mereka, Kong Kian Tay soe binasa
dalam tangan Cia Soen. Turut sertanya Siauw Lim Pay
dalam gerakan membasmi Beng Kauw juga bertujuan untuk
membalas sakit hati ini. Tapi dalam pemeriksaan jenazah
Kong Kian yg bebas dari tanda2 luka, urat2nya terputus
dan tulang2nya patah, seperti dipukul Cit siang koen dari
Khong tong pay.
Waktu itu, selama beberapa hari Kong Beon, Kong Tie
dan Kong Seng mengadakan perdamaian rahasia. Mereka
menganggap bahwa Khong tong pay tidak mempunyai jago
yang berkepandaian begitu tinggi, sehingga dapat
membinasakan Kong kian yang sudah berhasil dalam
1398
latihan Kim Kong Poet hoay tei Sin Kang. Maka itu
biarpun tanda2 sangat mencurigakan mereka merasa bahwa
pendeta suci itu bukan dibinasakan oleh orang Khong tong
pay. Belakangan dengan membawa murid2nya Kong Seng
membuat penyelidikan. Dari penyelidikan itu, mereka
mendapat kepastian, bahwa waktu Kong kian meninggla
dunia di Lok Yang, Khong tong Ngo Loo berada di dearah
barat daya, sehingga pembunuh itu sudah tentu bukan
dilakukan oleh kelima tetua tersebut. Sebab dalam Khong
tong pay, hanya Ngo Loo yang sekiranya bisa melukakan
Kong Kian, maka kecurigaan Siam Lim pay lantas saja
hilang.
Disamping itu, pada tembok rumah pengindapan di Lok
Yang jg terdapat tulisan yg berbunyi "membinasakan Kong
Kian Taysoe dan bawah tembok ini." Belakangan Siauw lim
pay tahu, bahwa orang yg menggunakan nama Seng Koen
adalah Cia Soen.
Sesudah lewat banyak tahun, tiba2 Boe Kie
menyebutkan lagi kejadian itu, sehingga dapatlah
dimengerti jika orang2 Siauw Lim Pay menjadi kaget.
"Kong kian Taysoe telah dibunuh oleh bangsat Cia Soen
dan kenyataan ini diketahui diseluruh kalangan kang ouw,"
kata Cong Wie Hiap dengan gusar. "Dengan Khong tong
pay, kejadian itu tiada sangkut pautnya."
"Apakah kau menyaksikan dengan mata sendiri pada
waktu Cia Cianpwee membinasakan Kong kian Seng
ceng?" tanya Boe Kie. "Apakah kau berada ditempat itu?"
Mendengar pertanyaan itu, Cong Wie lantas saja
menduga, bahwa Boe Kie disuruh Boe Tong pay untuk
merenggangkan perhubungan antar Khong tong dan Siauw
lim pay. Karena itu, ia lantas saja berhati2.
"Waktu Kong tian Seng Ceng meninggal dunia, Lok
1399
yang Khong thong Ngo Loo berada di Inlam, sebagai tamu
Lioe Tayhiap dari Tiam Cong pay," jawabnya dengan
sungguh2. "Cara bagaimana bisa berada di tempat
pembunuhan?"
"Maka itu," teriak Boe Kie, "Kalau benar waktu itu kau
berada di In lam, cara bagaimana kau bisa mengatakan
dengan pasti, bahwa Kong kian Seng Ceng dibunuh Cia
Cianpwee? Adalah sebuat kenyataan yg tidak bisa dibantah
lagi, bahwa Kong kian Taysu binasa karena pukulan Cit
siang koen. Cia Cianpwee bukan orang Khong tong pay.
Mana boleh kau menuduh orang secara serampangan?"
Cong Wie Hiap merasa dadanya seolah olah mau
meledak. "Tutup mulut!" bentaknya. "Sesudah membunuh
Kong Kian taysoe, diatas tembok binatang Cia Soen
menulis huruf2 seperti berikut. 'Seng Koen membinasakan
Kong kian Taysoe' dibawah tembok ini huruf2 itu ditulis
dengan darah. Sesudah diketahui umum, bahwa dengan
menggunakan nama gurunya, Cia Soen sudah melakukan
pembunuhan diberbagai tempat."
Boe Kie terkejut karena ia tak tahu bahwa sesudah
membunuh Kong kian, ayah angkatnya menulis kata2 itu
ditembok. Tapi ia lantas saja mendongak dan tertawa
terbahak bahak, "perkataan itu bisa ditulis oleh siapapun
jua," katanya.
"Siapa yg lihat bahwa huruf2 itu ditulis oleh Cia
Cianpwee? Akupun bisa mengatakan bahwa huruf2 itu
ditulis oleh orang Khong tong pay. Tapi belajar Cit siang
koan tidak semudah menulis." Ia menengok ke arah Kong
tie and berkata pula," Kong tie taysoe bukankah soohengmu
binasa karena pukulan Cit siang koen? Apakah tidak benar
jika aku mengatakan, bahwa Cit Siang koen serupa ilmu
yang tidak pernah diturunkan oleh orang partai Kong tong
pay?"
1400
Sebelum Kong tie menjawab seorang pendeta yg
bertubuh besar tinggi dan mengenakan jubah warna merah
tiba2 melompat keluar dari barisan Siauw Lim Pay. Seraya
mengetrok sianthungnya (tongkat pertapaan) yg bersinar
keemas2an dibumi, ia membentak, "Bocah suruhan siapa
kau? Apakah manusia serendah kau mau coba mengadu
lidah dengan guruku?"
Boe Kie mengawasi dan segera mengenali, bahwa
pendeta itu adalah salah seorang dari delapan belas loo han
yg bernama Goan Im. Dahulu, pada waktu Siauw Lim pay
turut datang di Boe Tong untuk mendesak orang tuanya,
pendeta itulah yg sudah memberi kesaksian, bahwa
beberapa murid Siauw lim sie telah dibinasakan oleh
mendiang ayahnya. Waktu itu, dalam kedukaan yg sangat
besar, ia memperhatikan muka setiap orang dan
menyimpan didlm otaknya. Sekarang begitu melihat Goan
Im darahnya bergolak golak, paras mukanya merah padam
dan badannya gemetaran. Sekuat tenaga ia menindih
kegusarannya yg sudah mendekat kekalapan. "Boe Kie! Boe
Kie!" serunya didalam hati. "Tugasmu di hari ini adalah
mendamaikan permusuhan diantara enam partai dan Beng
Kauw. Kau tak boleh merusak segala apa karena
kepentingan pribadi. Sakit hati terhadap Siauw Lim pay
dapat dibereskan dihari kemudian."
Karena pertanyaannya tidak segera dijawab, Goan Im
membentak pula. "Bocah! Jika kau kaki tangan Mo Kauw,
panjangkan lehermu untuk menerima kebinasaan! Tapi
kalau kau tiada sangkut pautnya dengan agama siluman itu,
menyingkirlah dari gunung ini secepat mungkin. Sebagai
orang pertapaan, kami takkan mencelakai kau." Ia berkata
begitu sebab melihat Boe Kie tak mengenakan seragam
Beng Kauw dan jg krena pemuda itu bergemetaran
badannya yg di tafsirkan olehnya sebagai rasa ketakutan.
1401
"Bukankah kau Goan Im Taysoe?" tanya Boe Kie.
"Dalam partaimu terdapat seorang yg dikenal sebagai Goan
Tin Taysoe. Cobalah minta keluar. Aku ingin ajukan
beberapa pertanyaan."
"Goan tin Soeheng tidak turut datang kesini" jawabnya.
"Jika kau ingin bicara lekaslah. Kami tak punya banyak
waktu untuk mendengari segala obrolanmu. Siapakah
gurumu?" Ia menanya begitu karena turut menyaksikan
terhuyungnya Cong Wie Hiap karena sampokan Boe Kie.
Ia tahu, bahwa guru pemuda itu bukan sembarangan orang.
Kalau bukan memikir begitu, ia tentu tak sudi rewel2 pada
saat berhasilnya usaha keenam partai.
"Aku bukan mengikut Beng kauw dan jg bukan murid
dari sesuatu partai di daerah Tionggoan," kata Boe Kie.
"Akan tetapi, aku mempunyai sangkut paut dengan Beng
Kauw, Boe Tong, Siauw Lim, Go Bie, Koen Loen dan Hwa
san pay. Untuk bicara terus terang, gerakan enam partai
untuk membalas Beng Kauw adalah karena perbuatan
seorang jahat. Didalam itu terselip suatu salah mengerti
yang sangat hebat. Biarpun masih berusia muda, aku tahu
seluk beluk persoalannya. Maka itu, dengan memberanikan
hati aku minta kedua belah pihak menghentikan
pertempuran, menyelidiki soal ini sampai kedasar2nya,
supaya siapa yang salah, siapa yg benar menjadi terang dan
kemudian membereskan permusuhan ini seadil2nya."
Pernyataan Boe Kie itu disambut dengan gelak tertahan,
ejekan dan jengekan. "Ha,ha,ha... He, he,he,he....
Hi,hi,hi....." mereka tertawa terbahak2, dan ejekan2
berkumandang diseluruh lapangan.
"Bocah itu tentunya sudah gila!"
"Otaknya miring! Dia rupanya mengganggap dirinya
seperti Thio Cinjin dari Boe Tong pay atau Kong Beon Seng
1402
ceng dari Siauw Lim Pay!"
"Dia mimpi memperoleh To Ling To dan menjadi yg
termulia dalam Rimba Persilatan!"
"Ha ha ha! Dia anggap kita seperti anak kecil. Aduh!
Aku tertawa sampai perutku sakit."
"Ho ho ho.... Hi hi hi....!"
Dalam Go Bie Pay hanya seorang, yaitu Cioe Cie Jiak,
yg tidak membuka mulut. Dengan rasa duka, ia
mengerutkan alis. Semenjak bertemu dengan Boe Kie
digurun pasir, ia merasa rapat hati dengan pemuda itu.
Mendengar ejek2an, ia turut merasa malu. Tapi waktu ia
melirik, pemuda itu berdiri tegak sambil mengangkat
kepala. Sikapnya angker dan tenang.
Tiba2 Boe Kie berkata dengan suara nyaring. "Asal saja
Goan Tin Taysoe dari Siauw Lim pay mau munculkan diri
dan bicara beberapa patah kata denganku segala tipu
jahatnya, segera akan bisa diketahui oleh kalian." Ia berkata
sepatah demi sepatah dan meskipun suara tertawa dan
ejekan masih belum mereda, setiap perkatannya dpt
didengar jelas sekali oleh setiap orang yang dilapangan yg
luas itu. Semua orang terkejut dan suara ramai lantas saja
mereda. Mereka tak nyana bahwa pemuda itu mempunyai
Lweekang yang begitu tinggi.
"Bocah, kau sungguh licin!" bentak Goan Im. "Kau tahu,
bahwa Goan tin Soeheng tidak berada disini dan kau
sengaja menyeretnya. Mengapa kau tidak mengambil Thio
Coei San dari Boetong untuk dijadiakan kesakitan?"
Ejekan menusuk itu disambut dengan segalak tertawa
oleh orang banyak, sedang murid2 Boe tong serentak saja
berubah paras mukanya.
"Goan Im, hati2 bila bicara!" bentak Kong tie.
1403
Mengapa Goan Im mengejek Thio Coei San? Karena ia
merasa sakit hati terhadap Thio Ngo hiap. Ia menganggap
Thio Ngo hiap yg sudah membutakan mata kanannya
dengan senjata rahasia dipinggir telaga, padahal perbuatan
itu dilakukan oleh In So So.
Mendengar cacian terhadap mendiang ayahnya, tak
kepalang gusarnya Boe Kie.
"Apa kau dapat menodai nama baiknya Thio Ngo
Hiap?" bentaknya. "Kau... kau..."
Goan Im tertawa dingin. "Thio Coei San cari penyakit
sendiri dan dibikin mabuk oleh perempuan siluman,"
katanya. "Dia mendapat pembalasan setimpal karena paras
cantik..."
Itulah melampai batas!
Sekuat tenaga Boe Kie menindih amarahnya. Berulang
kali ia berkata didalam hati.
"Boe Kie! Boe Kie! Ingatlah tugasmu yg suci!" Tapi ia
gagal (matanya berkunang kunang dan ia kalap)
Dengan sekali melompat, tangan kirinya sudah
mencengkram pinggang si pendeta yg lalu diangkat keatas,
sedang tangan kanannya merampas sian thung!
Menghadapi Boe Kie, Goan Im seolah olah anak itik
menghadapi elang - sedikitpun ia tak bisa melawan.
Hampir berbareng, dua pendeta melompat dari barisan
Siauw Lim Pay dan menyabet Boe Kie dari kiri kanan
dengan sin thung mereka. Itulah cara terbaik untuk
menolong orang, serupa siasat yg dikenal sebagai,
"Menyerang Goei untuk menolong Toi". Dengan siasat itu,
musuh yang diserang harus menolong diri dan sebab musuh
harus menolong diri, maka kawan yg menghadapi bencana
dengan sendirinya dapat ditolong. Kedua pendeta itu
1404
adalah Goan tin dan Goan hiap.
Tapi Boe Kie lihai luar biasa. Begitu merasai kesiuran
angin, dengan tangan kiri ia menenteng Goan Im dan
tangan kanan mencekal sin thung, ia melompat tinggi dan
menotol sin thung Goan tin dan Goan hiap dengan kedua
ujung kakinya. Sungguh dahsyat totolan itu! Goan Tin dan
Goan Hiap serentak jatuh terjengkal! Untung juga
tongkatnya tak menghantam kepala sendiri.
Semua org mengeluarkan teriakan tertahan!
Dilain saat, bagaikan daun kering yg melayang, Boe Kie
hinggap di muka bumi.
"Tee in ciong dari Boe tong pay!" seru beberapa orang
(Tee in cion - Lompatan Tenaga Awan)
Memang benar lompatan Boe Kie adalah Tee In Ciong
yg tersohor dalam Rimba Persilatan. Diwaktu kecil Boe Kie
mengikuti ayah, Thay soehoe dan para pamannya.
Sehingga biarpun belum pernah belajar ilmu silat Boe
tong secara resmi, ia sudah banyak mendengar dan melihat.
Sesudah memiliki Kian koen tay lo ie sin kang, dengan
mudah ia mengolah segala rupa ilmu silat. Tadi, secara
mendadak ia ingat lompatan Tee in ciong dan waktu
menjajalnya, ia berhasil secara wajar.
Pendekar2 Boe Tong, spt Jie Liao Cioe, Boh Seng Kok
dan yang lain2, tentu saja mahir dalam ilmu ringan badan
itu. Mereka bisa melayang2 ditengah udara, bagaikan
burung. Tapi melakukan lompatan Tee in ciong sambil
menenteng seorang dewasa yg bertubuh besar berat, adalah
diluar kemampuan mereka.
Sementara itu, sambil menahan napas orang2 Siauw Lim
Pay mengawasi Goan Im yg berada dalam tangan Boe Kie.
Dengan sekali mengemplang, pemuda itu bisa
1405
menghancurkan kepala si pendeta. Mereka tidak akan
keburu menolong sebab Goan Im berada dalam jarak tujuh
delapan tombak. Jalan satu2nya yalah menimpuk dengan
senjata rahasia. Tetapi jalan itupun tak mungkin digunakan,
sebab Boe Kie bisa menggunakan tubuh Goan Im sebagai
tameng, sehingga senjata rahasia akan berbalik mencelakai
pendeta itu sendiri. Demikianlah, meskipun didalam
barisan Siauw Lim terdapat Kong tie dan Kong Seng yg
berkepandaian tinggi, mereka tidak berdaya.
Dengan mata menyala dan menggertak gigi Boe Kie
menggangkat Sian Thung. Hati semua murid Siauw Lim
mencelos, beberapa diantaranya meramkan mata krena tak
tega menyaksikan kebinasaan Goan Im.
Diluar dugaan, tongkat yg sudah terangkat berhenti
ditengah udara. Untuk beberapa saat, Boe Kie mengawasi
korbannya dengan paras muka yg sukar dilukiskan.
Perlahan lahan kegusarannya mereda dan perlahan lahan
pula ia melepaskan Goan Im dari cekalannya.
Ternyata, pada detik yg sangat genting tiba2 pemuda itu
dapat menguasai dirinya. "Begitu lekas aku bunuh salah
seorang dari rombongan enam partai itu, aku bermusuhan
dengan mereka semua dan aku tak dapa memainkan
peranan sebagai pendamai lagi." Pikirnya. "Jika aku gagal,
permusuhan hebat ini tidak akan bisa dibereskan lagi."
“Dengan demikian, aku justru terjerumus ke dalam
jebakan yang dipasang oleh binatang Seng Koen. Sudahlah!
Aku harus menelan semua hinaan. Hanya dengan begitu
barulah aku bisa membalas sakit hati kedua orang tuaku
dan Gie-hoe.”
Sesudah melepaskan Goan im, ia berkata dengan suara
perlahan, “Matamu bukan dibutakan oleh Thio Ngo Hiap.
Janganlah mendendam begitu hebat. Apalagi sesudah Thio
1406
Ngo Hiap bunuh diri, semua sakit hati sebenarnya sudah
harus habis. Taysoe adalah seorang pertapa yang tentu
tahu, bahwa dunia ini penuh dengan kekosongan. Perlu apa
Taysoe begitu sakit hati?”
Sesudah lolos dari lubang jarum, Goan im berdiri
terpaku dan mengawasi Boe Kie dengan mata membelalak
tanpa bisa mengeluarkan sepatah katapun. Melihat pemuda
itu mengangsurkan sian-thungnya seperti orang linglung ia
menyambut dan sesaat kemudian ia mengundurkan diri
dengan menundukkan kepala.
Melihat hebatnya Boe Kie, Cong Wie Hiap kaget
bercampur heran. Tapi sebab ia sudah turun ke dalam
gelanggang tak dapat ia memperlihatkan kelemahannya.
“Orang she Can!” teriaknya. “Siapa sebenarnya yang sudah
menyuruh kau berbuat begini?”
“Aku bukan suruhan orang,” jawabnya. “Aku bertindak
demi keadilan dengan harapan agar enam partai dan Beng
Kauw bisa berdamai.”
Cong Wie Hiap mengeluarkan suara di hidung, “Tak
mungkin aku berdamai dengan Beng Kauw,” katanya
dengan kaku. “Bangsat tua she In itu hutang tiga pukulan
Cit siang koen. Sesudah aku menghajar dia, kita boleh
bicara lagi.” Seraya berkata begitu ia menggulung tangan
bajunya.
“Cong Cianpwee tak henti-hentinya menyebut Cit siang
koen,” kata Boe Kie. “Tapi menurut penglihatan boanpwee,
latihan Cianpwee dalam ilmu itu masih jauh dari cukup.
Dalam tubuh manusia terdapat Ngo heng. Jantung berarti
“Api”, paru-paru berarti “Emas”, ginjal berarti “Air”, nyali
berarti “Tanah” dan hati berarti “Kayuz”. Disamping itu
terdapat dua macam Khie (hawa), yaitu Im dan Yang
(negative dan positif) sehingga semuanya berjumlah tujuh
1407
unsur. Begitu seseorang terburu-buru melatih diri dalam
ilmu Cit siang koen maka ketujuh unsur itu akan terluka
semua. Makin tinggi latihannya makin hebat luka di dalam
badannya. Sebelum ilmu itu dapat melukai musuh, ilmu
tersebut lebih dulu melukai diri sendiri. Untung juga latihan
Cianpwee masih belum tinggi sehingga luka Cianpwee
masih dapat diobati.” (Cit siang koen berarti ilmu pukulan
tujuh luka)
Cong Wie Hiap terkejut. Keterangan pemuda itu sesuai
dengan apa yang tertulis di dalam kitab Cit siang koen! Di
dalam kitab itu diperingatkan keras bahwa seseorang yang
mau melatih Cit siang koen harus mempunyai Lweekang
yang sangat tinggi harus mencapai di mana Khie (hawa)
yang dikerahkan bisa menerobos masuk ke dalam semua
jalan darah yang terdapat di dalam tubuh manusia. Siapa
yang belum mencapai tingkat setinggi itu dilarang
mempelajarinya. Tapi Cong Wie Hiap tak menggubris.
Begitu ia merasa tenaga dalamnya sudah cukup kuat, ia
segera melakukan latihan Cit siang koen. Latihan itu benar
saja banyak menambah tenaganya, karena belum
merasakan bahaya, ia lupa daratan. Sekarang mendadak ia
mendengar perkataan Boe Kie dan lantas saja ia jadi kaget.
“Mengapa kau tahu?” tanyanya tanpa sadar.
Sebaliknya dari menjawab pertanyaan itu, Boe Kie
berkata, “Cong Cianpwee, bukankah kau sering merasa
sakit pada In boen hiat di pundakmu? In boen hiat
berhubungan dengan paru-paru. Itu berarti paru-paru
Cianpwee sudah terluka. Bukankah Ceng leng hiat
Cianpwee di lengan terasa gatal-gatal? Ceng leng hiat
berhubungan langsung dengan jantung dan itu berarti
bahwa jantung Cianpwee telah terluka. Setiap hawa lembab
dan turun hujan, betis Cianpwee di bagian Ngo lie hiat
terasa lemas. Bukankah begitu? Ngo lie hiat berhubungan
1408
dengan hati dan aku berani mengatakan bahwa hati
Cianpwee juga ikut terluka. Makin lama Cianpwee berlatih,
tanda-tanda itu akan makin terasa. Kalau Cianpwee berlatih
terus enam tujuh tahun lagi, maka sekujur tubuh Cianpwee
akan menjadi lumpuh.”
Cong Wie Hiap mendengar keterangan itu dengan
keringat dingin turun menetes dari dahinya.
Boe Kie mengerti seluk beluk Cit siang koen sebab ia
pernah mendapat teorinya dari Cia Soen. Belakangan,
sesudah mahir dalam ilmu ketabiban, ia mengerti juga
bahaya-bahaya dari ilmu pukulan itu, hingga demikian ia
dapat menyebutkan tanda-tandanya secara tepat sekali.
Dilain pihak, selama beberapa tahun Cong Wie Hiap
pun sudah merasa bahwa ada sesuatu yang kurang beres
dalam tubuhnya. Tapi lantaran penyakit itu enteng rasanya
dan juga seperti lumrahnya manusia kebanyakan, ia takut
menghadapi tabib maka sejauh ini ia belum pernah
berusaha mengobati ketidak beresan itu. Sekarang ia takut
setengah mati dan parasnya berubah pucat. Ia mengawasi
Boe Kie dengan mata terbuka lebar dan beberapa saat
barulah ia bisa membuka mulut, “Kau bagaimana…kau
tahu?”
Pemuda itu tertawa tawar. “Boanpwee mengenal ilmu
ketabiban,” sahutnya. “Jika Cianpwee percaya, sesudah
urusan ini beres, boanpwee bersedia mengobati. Tapi bagi
Cianpwee Cit siang koen banyak bahayanya dan tiada
gunanya. Sebaiknya Cianpwee tidak berlatih ilmu itu lagi.”
Si tua coba ngotot terus. “Cit siang koen adalah ilmu
terhebat dari Khong tong-pay sehingga bagaimana bisa kau
katakana bahwa ilmu itu banyak bahaya dan tiada
gunanya?” tanyanya. “Dahulu Ciang boen Soe cow kami,
yaitu Bok Leng Coe telah mengguncang seluruh Rimba
1409
Persilatan. Nama harumnya dikenal di empat penjuru dan
ia berusia sampai sembilan puluh satu tahun. Inilah bukti
bahwa Cit siang koen tidak mencelakai orang yang
mempelajarinya. Bocah! Kau jangan bicara sembarangan!”
“Kalau begitu, bisalah dipastikan bahwa Lweekang Bok
Leng Coe cianpwee sudah mencapai taraf yang cukup,”
kata Boe Kie. “Seseorang yang tenaga dalamnya cukup
tentu saja boleh berlatih ilmu tersebut. Ia bukan saja tidak
akan mendapat bahaya malah akan memperoleh
keuntungan besar karena Cit siang koen dapat memperkuat
isi perut manusia. Kalau Cianpwee tidak percaya
omonganku, terserahlah. Tapi boanpwee tetap berpendapat
bahwa Lweekang Cianpwee belum cukup tinggi untuk
berlatih Cit siang koen.”
Cong Wie Hiap adalah salah seorang tetua Khong tongpay
dan jago ternama dalam Rimba Persilatan. Tapi
sekarang, di hadapan tokoh-tokoh berbagai partai, ia
didesak oleh seorang pemuda yang tidak dikenal. Bukan
saja terdesak, tapi ilmu terhebat partainya dikatakan sebagai
ilmu tak berguna. Dapatlah dimengerti kalau darahnya
langsung mendidih.
“Bocah!” bentaknya dengan mata melotot. “Kalau kau
bilang Cit siang koen tidak berguna, cobalah jajal!”
Boe Kie kembali tertawatawar. “Cit siang koen memang
ilmu yang hebat,” katanya. “Aku tidak mengatakan bahwa
ilmu itu tak berguna. Maksudku hanya bahwa jika
Lweekang seseorang belum cukup tinggi, biarpun dia
berlatih lama, latihan itu tiada gunanya.”
Dengan berdiri di belakang para soecinya, Cioe Cie Jiak
mengawasi pemuda itu. Di dalam hati ia merasa geli. Paras
muka Boe Kie masih agak kekanak-kanakan tapi dengan
sikap seperti orang tua yang berpengalaman, ia memberi
1410
nasehat pada salah seorang tetua dari Khong tong-pay dan
hal itu seolah-olah gurauan.
Murid-murid Khong tong-pay yang berusia muda merasa
gusar dan ingin sekali menghajar Boe Kie. Tapi karena
melihat Cong Wie Hiap mendengarkan setiap perkataan
pemuda itu dengan penuh perhatian, mereka tidak berani
bertindak sembrono.
“Apakah kau berpendapat bahwa Lweekangku belum
cukup?” tanya Cong Wie Hiap.
“Cukup atau tak cukup, aku tak tahu,” jawabnya. “Tapi
menurut penglihatanku, waktu berlatih Cit siang koen,
Cianpwee telah terluka sehingga sebaiknay latihan itu tidak
diteruskan….”
“Jiako tak usah meladeni semua omong kosong!” tibatiba
terdengar suara bentakan seseorang di belakangnya.
“Dia menghina Cit siang koen kita, biarlah dia rasakan
pukulanku.” Hampir berbarengan, satu pukulan yang hebat
menyambar Leng tay hiat di punggung Boe Kie. Leng tay
hiat adalah salah satu “hiat” penting yang membinasakan.
Jangankan Cit siang koen, pukulan yang biasa sekalipun
bisa membinasakan jika kena tepat di bagian itu.
Dalam tekadnya untuk menaklukan keenam partai
dengan Kioe yang Sin kang, biarpun tahu sedang dibokong
orang, Boe Kie tidak memutar badan dan membalas, ia
berkata pula kepada Cong Wie Hiap, “Cong Cianpwee….”
Mendadak terdengar kerincingan rantain disusul dengan
bentakan, “Tua bangka! Jangan bokong orang!” Itulah
bentakan Siauw Ciauw yang segera meninju kepala si
pembokong. Orang itu menangkis dengan tangan kirinya
sedang tinju kanannya sudah mampir tepat di Leng tay hiat
Boe Kie. Semua orang terkesiap tapi pemuda itu sendiri
tidak bergeming. Ia mengambil sikap acuh tak acuh bahkan
1411
tidak mengerahkan tenaga dalam untuk menolak tenaga
pukulan itu. “Siauw Ciauw,” katanya seraya tertawa. “Kau
tak usah khawatir. Pukulan Cit siang koen itu sedikitpun
tiada gunanya.”
Muka si nona yang putih lantas saja bersemu merah.
Dengan jengah ia berkata, “Aku lupa…aku lupa kau sudah
belajar….” Ia tidak meneruskan perkataannya dan buruburu
meloncat mundur sambil menyeret rantai.
Boe Kie memutar tubuh dan melihat si pembokong
adalah seorang kakek yang batok kepalanya besar dan
tubuhnya kurus. Dia adalah tetua keempat dari Khong
tong-pay namanya Siang Keng Cie. Mukanya sudah
berubah pucat dan ia berkata dengan suara tergugu.
“Kau…memiliki Kim kong Poet-hoay tee Sin-kang…Apa
kau murid Siauw lim sie?”
Sambil tersenyum pemuda itu menjawab, “Aku bukan
murid Siauw lim sie tapi benar aku pernah belajar ilmu di
kuil Siauw lim sie.”
“Buk!” Selagi ia bicara, tinju Siang Keng Cie mampir
tepat di dadanya. Sepanjang pengetahuan tetua Khong tong
itu, Kim kong Poet hoay tee hanya dapat dipertahankan
sambil menahan nafas.
Boe Kie tertawa dan berkata, “Kalau seseorang sudah
melatih diri dalam Kim kong Poet hoay tee sampai pada
puncak kesempurnaan, ia tak akan bisa diserang walaupun
ia sedang bicara. Tanpa menggunakan Lweekang, tubuhnya
tidak bisa kena segala pukulan. Jika kau tidak percaya kau
boleh memukul lagi.”
Bagaikan kilat Siang Keng Cie mengirimkan empat tinju
geledek. Pemuda itu menerima dengan paras muka berseriseri.
1412
Siang Keng Cie dijuluki It-koen Toan gak (satu tinju
mematahkan gunung). Meskipun julukan itu terlalu
mencolok tapi orang-orang yang berusia agak lanjut
mengetahui bahwa tetua Khong tong itu memang
mempunyai pukulan dahsyat. Bahwa Boe Kie bisa
menerima keempat pukulan itu sambil tersenyum-senyum
telah mengejutkan semua orang.
Sesudah lama Koen loen dan Khong tong-pay tak begitu
akur dan meskipun sekarang mereka bersatu untuk
membasmi Beng-kauw, tapi di dalam hati, banyak anggota
kedua partai itu masih mengambil sikap bermusuhan. Maka
itu, dari barisan Koen loen-pay segera saja terdengar
beberapa ejekan.
“Lihat, sungguh tinju It-koen Toan gak!”
“Apakah yang telah dipatahkan Sie koen (empat tinju).”
Untung juga Siang Keng Cie berkulit hitam sehingga
warna merah pada mukanya tak begitu menyolok.
Dilain pihak, anggota-anggota Siauw lim-pay merasa
heran dan banyak pertanyaan muncul dalam hati mereka.
“Pemuda itu mengatakan bahwa dia sudah pernah
belajar ilmu Siauw lim sie. Siapa dia?”
“Kim kong Poet hoay tee tak pernah diturunkan kepada
orang luar. Disamping itu, Tong kian Taysoe dalam partai
kita, tiada orang lain memiliki ilmu tersebut. Pemuda itu
masih begitu muda. Mana bisa dia mempunya ilmu yang
harus dilatih selama empat puluh tahun.”
“Sungguh mengherankan. Siapa dia?”
“Siapa dia?....”
Dilain saat, Cong Wie Hiap mengangkat tangannya dan
berkata dengan suara menyeramkan, “Can heng, aku
1413
merasa sangat kagum akan Sin-kangmu. Apa boleh aku
menerima pelajaran darimu dalam tiga jurus?” Ia
menantang karena tahu bahwa tenaga Cit siang koen yang
dimilikinya lebih kuat banyak daripada Siang Keng Cie
sehingga mungkin sekali ia akan berhasil merobohkan
pemuda itu.
“Jika nanti Cianpwee sudah berhasil, boanpwee pasti
akan menolak,” jawabnya. “Tapi sekarang, bolehlah
boanpwee menerima pukulan Cianpwee.”
Dengan gusar Cong Wie Hiap mengerahkan Cin-khie
sehingga tulang-tulangnya di dalam tubuh berkerotokan. Ia
maju selangkah dan menghantam dada Boe Kie sekuat
tenaga.
Begitu tinju menyentuh dada, ia terkesiap sebab tersedot
dengan semacam tenaga dan tak mampu menarik kembali
tangannya. Dilain saat, dari tinjunya masuk semacam hawa
hangat yang terus menerobos ke dalam isi perutnya. Waktu
menarik kembali tangannya ia merasa semangatnya
terbangun dan sekujur badannya nyaman luar biasa. Ia
tertegun sejenak dan lalu mengirimkan tinju kedua ke Boe
Kie. Kali ini pemuda itu mengerahkan sedikit Lweekang
sehingga ia terhuyung beberapa langkah.
Melihat paras muka kawannya yang sebentar pucat dan
sebentar merah. Siang Keng Cie yang berdiri di samping
Boe Kie menduga bahwa kawan itu terluka berat. Maka itu
waktu Cong Wie Hiap mengirimkan tinju ketiga, iapun
menghantam dari belakang sehingga dengan bersamaan dua
tinju mampir telak di tubuh Boe Kie, satu di dada satu di
punggung.
Semua orang melihat bahwa dua pukulan itu disertai
dengan Lweekang yang sangat tinggi. Tapi begitu
menyentuh tubuh si pemuda, semua tenaga dalam amblas
1414
bagaikan batu yang masuk ke dalam lautan.
Siang Keng Cie tahu bahwa dengan kedudukannya yang
tinggi, dalam pembokongannya yang pertama saja, ia sudah
melakukan perbuatan tak pantas. Tapi bokongan pertama
itu bisa dimengerti dan dimaafkan. Orang bisa menganggap
ia berbuat begitu sebab terlalu gusar karena partainya dihina
orang. Tapi pembokongan yang kedua merupakan
perbuatan hina dan yang tak bisa dibela dengan cara
apapun juga.
Waktu memukul ia percaya bahwa Boe Kie akan binasa
dengan pukulan itu. Kalau pemuda itu dapat dibinasakan
maka menurut jalan pemikirannya ia telah berjasa terhadap
keenam partai dalam menyingkirkan seorang pengacau.
Mungkin orang akan mencela dia tapi dia bisa menebus
ketidak layakan itu dengan jasanya.
Betapa kagetnya karena bokongannya tidak berhasil,
dapatlah dibayangkan sendiri.
“Bagaimana rasanya badan Cianpwee?” tanya Boe Kie
kepada Cong Wie Hiap.
Si tua kelihatan terkejut. Sesaat kemudian ia mengangkat
tangannya dan berkata dengan suara jengah. “Terima kasih
atas budi Can-heng yang sudah membalas kejahatan dengan
kebaikan, sungguh-sungguh aku merasa malu dan berterima
kasih tidak habisnya.”
Pengakuan itu mengejutkan semua orang.
Ternyata waktu menerima tiga pukulan, Boe Kie telah
mengirim Kioe-yang Cin-khie disalurkan ke dalam tubuh si
tua. Meskipun pengiriman “hawa tulen” itu hanya
dilakukan dalam waktu sedetik tapi karena Kioe-yang Cinkhie
bertenaga dahsyat maka Cong Wie Hiap sudah
mendapat keuntungan yang tidak kecil. Jika dalam pukulan
1415
ketiga Siang Keng Cie tidak mengadu tinju maka
keuntungan yang didapat olehnya akan lebih besar lagi.
“Pujian Cianpwee yang begitu tinggi tak dapat diterima
olehku,” kata pemuda itu dengan suara merendah.
“Barusan Kie keng Pat meh (pembuluh darah) Cianpwee
telah mendapat sedikit bantuan dan sebaiknya Cianpwee
mengaso sambil mengerahkan hawa. Dengan demikian
racun yang berkumpul dalam tubuh sebagai akibat latihan
Cit siang koen akan dapat disingkirkan dalam waktu dua
atau tiga tahun.”
Cong Wie Hiap yang tahu penyakitnya sendiri buru-buru
menyoja dan berkata, “Terima kasih, banyak-banyak terima
kasih.”
Boe Kie berjongkok dan menyambung tulang Tong Boen
Liang. Seraya menengok ke Siang Keng Cie, ia berkata,
“Berikanlah koyo Hwee-yang Giok-liong kepadaku.”
Siang Keng Cie segera menyerahkan apa yang
dipintanya.
“Cobalah Cianpwee minta Sam hong Po la wan dari Boe
tong-pay dan bubuk Giok Cin-san dari Hwa san-pay,” kata
Boe Kie pula.
Permintaan itu lantas dituruti.
“Dengan menggunakan rumput Co o koyo Hwee-yang
Giok-liong dari partai Cianpwee, sangat mujarab,” kata
pemuda itu.
“Dalam Sam hong Po la wan dari Boe tong-pay terdapat
Thiun tiok-hong, Hiong hong dan Tang hong. Ditambah
dengan Giok Cin-san maka dalam waktu dua bulan saja
kesehatan Tong Cianpwee akan pulih seperti biasa lagi.”
Seraya berkata begitu dengan cepat ia membalut tulangtulang
Tong Boen Liang yang sudah disambung dan dalam
1416
sekejap pekerjaan itu sudah selesai.
Perbuatan Boe Kie kian lama kian mengherankan.
Kepandaiannya dalam menyambung tulang tidak akan
dapat ditandingi oleh tabib manapun juga. Disamping itu,
iapun tahu obat-obat istimewa yang dipunyai oleh setiap
partai.
Dengan rasa malu Siang Keng Cie mendukung Tong
Boen Liang dan mundur dari gelanggang. Mendadak Tong
Boen Liang berteriak, “Orang she Can! Bahwa kau telah
menyambung tulangku, aku merasa sangat berterima kasih
dan di kemudian hari nanti, aku pasti akan membalas
budimu. Tapi permusuhan antara Khong tong-pay dan Mokauw
sedalam lautan. Tak bisa kami sudahi karena budimu.
Jika kau anggap melupakan budi, kau boleh mematahkan
lagi tulang kaki tanganku.”
Mendengar pernyataan itu, hati semua orang timbul
perasaan hormat terhadap Tong Boen Liang yang bersifat
lebih ksatria daripada Siang Keng Cie.
“Cara bagaimanakah baru Cianpwee bisa merasa puas
dan sudi menyudahi permusuhan ini?” tanya Boe Kie.
“Cobalah kau perlihatkan ilmu silatmu,” jawabnya.
“Jika Khong tong-pay merasa tak bisa menandingi, barulah
kami tak bisa berkata apa-apa lagi.”
“Dalam Khong tong-pay terdapat banyak sekali orang
pandai sehingga biar bagaimanapun juga boanpwee takkan
bisa menandingi,” sahut Boe Kie sambil tertawa. “Tapi
karena telah terlanjur, biarlah boanpwee memperlihatkan
kebodohannya.” Seraya berkata begitu, matanya
mengawasi seluruh lapangan. Di sebelah timur terdapat
pohon siong yang tingginya tiga tombak lebih dan rindang
daunnya. Perlahan-lahan ia mendekati pohon itu dan
berkata dengan suara nyaring, “Boanpwee pernah belajar
1417
Cit siang koen dan kini boanpwee ingin memperlihatkan
kebodohan sendiri. Boanpwee mohon para Cianpwee
supaya tidak menertawai.” Semua orang merasa heran.
“Dari mana bocah itu belajar Cit siang koen?” tanyanya di
dalam hati. Sesudah berdiam sejenak, tiba-tiba Boe Kie
menghafalkan sesuatu yang menyerupai sajak:
“Hawa Ngo-heng dicampur Im-yang,
Merusak jantung, melukai paru-paru, hati dan usus,
Tenaga hilang, pikiran kalang kabut,
Semangat terbang!”
Tak kepalang kagetnya kelima ketua Khong tong-pay!
Mengapa? Karena apa yang dihafal pemuda itu adalah
bagian terakhir dari kitab Cit siang koen, suatu rahasia yang
belum pernah diturunkan ke orang luar. Dalam kagetnya,
mereka tentu saja belum bisa menduga bahwa pelajaran itu
telah diturunkan oleh Cia Soen yang telah merampas kitab
tersebut kepada Boe Kie.
Sementara itu, setelah mengerahkan tenaga dalam,
bagaikan kilat Boe Kie meninju pokok pohon.
“Krreek!....” Sebatas pokok yang ditinju, pohon itu
terbang dan … dubrak! Roboh dalam jarak dua tombak
lebih! Di atas tanah hanya berdiri pohon yang tingginya
kira-kira empat kaki.
“Pukulan…pukulan itu…bukan Cit siang koen,” kata
Siang Keng Cie dengan suara tak puas.
Cit siang koen adalah semacam pukulan yang di dalam
kekerasannya terdapat kelembekan dan di dalam
kelembekannya terdapat kekerasan. Pukulan Boe Kie itu
biarpun dahsyat luar biasa hanyalah pukulan yang
menggunakan tenaga “keras”
1418
Tapi waktu Siang Keng Cie menghampiri pangkal pohon
yang masih berdiri dan memeriksanya, ia terpaku dan
mengawasi dengan mulut ternganga. Ia lihat bahwa uraturat
pohon yang terpukul hancur semuanya! Itulah Cit
siang koen yang sudah mencapai puncak kesempurnaan!
Ternyata dalam pukulannya itu, Boe Kie telah
menggunakan dua macam tenaga. Untuk mencapai
maksudnya, mereka harus memperlihatkan hasil dengan
segera. Jika ia hanya menggunakan Cit siang koen maka
sesudah berselang sepuluh hari atau setengah bulan, barulah
pohon itu mati berdiri. Maka itu ia meningju dengan tenaga
Cit siang koen yang disertai dengan Yang-kang (tenaga
“keras”) sehingga batangnya patah dan terbang.
Kehebatan Boe Kie disambut dengan sorak-sorai gegapgempita.
“Bagus!” seru Tong Boen Liang. “Itulah Cit siang koen
yang tertinggi. Aku merasa takluk! Tapi bolehkah aku
bertanya, dari mana Can Siauw hiap belajar ilmu itu?”
Boe Kie tidak menjawab. Ia hanya tersenyum.
Tiba-tiba si tua berteriak, “Di mana adanya Kim mo Sayong
Cia Soen! Beritahukanlah!”
Pemuda itu terkejut. “Celaka!” ia mengeluh di dalam
hati. “Dengan memperlihatkan Cit siang koen, aku
menyeret Gie-hoe. Jika aku bicara terus terang, peranan
damai tidak dapat dipegang lagi olehku.”
Sesudah berpikir sejenak, ia bertanya dengan suara
lantang, “Apakah Cianpwee menganggap kitab Cit siang
koen dirampas oleh Kim mo Say-ong? Ha-ha! Cianpwee
salah, salah besar! Kitab itu dicuri oleh Hoen goan Pek lek
chioe Seng Koen. Malam itu, ketika terjadi pertempuran di
kuil Ceng yang koen, gunung Khong tong san bukankah
1419
ada dua orang yang kena pukulan Hoen goan kang?
Katakanlah, boanpwee benar atau salah.”
Ternyata pada waktu Cia Soen bertempur di Khong tong
san dalam usahanya merampas kitab Cit siang koen, Seng
Koen yang ingin memperhebat kekacauan dalam Rimba
Persilatan, diam-diam memberi bantuan. Ia melukai Tong
Boen Liang dan Siang Keng Cie dengan pukulan Hoen
goan kang. Waktu itu Cia Soen sendiri masih belum tahu.
Belakangan, atas petunjuk Kong kian Taysoe, barulah ia
tahu adanya bantuan itu.
Mengingat kejahatan Seng Koen, tanpa ragu lagi Boe Kie
sudah menimpakan kesalahan padanya. Apalagi, pada
hakekatnya Boe Kie tidak berdusta seluruhnya sebab
memang benar Seng Koen sudah membokong kedua tetua
Khong tong dengan maksud tidak baik.
Selama dua puluh tahun lebih Tong Boen Liang dan
Siang Keng Cie dihinggapi perasaan ragu. Mendengar
keterangan Boe Kie, mereka saling melirik tapi tidak
mengatakan apapun juga.
“Apakah Can Siauw hiap tahu di mana adanya Seng
Koen sekarang?” tanya Cong Wie Hiap.
“Dengan menggunakan semua kepandaiannya Seng
Koen mengadu domba enam partai besar dan Beng-kauw,”
terang Boe Kie. “Belakangan ia menjadi murid Siauw lin
dan sebagai seorang pertapa ia memakai nama Goan-tin. Di
kuil Siauw lim sie, dia pernah mengajar ilmu silat kepada
boanpwee. Jika dusta, boanpwee rela menerima hukuman
seberat-beratnya di akhirat dan biarlah boanpwee tidak bisa
lahir lagi di dunia.”
Barisan Siauw lim-pay lantas saja gempar. Goan-tin
adalah murid Kong kiang Seng Ceng dan sesuai dengan
peraturan yang sangat keras, kecuali di kuil ini, pendeta1420
pendeta Siauw lim belum pernah keluar dari pintu kuil.
Keterangan Boe Kie bahwa Goan-tin adalah Seng Koen
sedikit pun tidak dipercaya oleh mereka.
Tiba-tiba terdengar pujian kepada Sang Buddha dan
seorang pendeta yang mengenakan jubah pertapa warna
abu-abu berjalan keluar dari barisan Siauw lim. Pendeta itu
berparas angker dan tangan kirinya mencengkram tasbih,
tidak lain daripada Kong seng, salah seorang dari ketiga
pendeta suci. “Can Sie-coe, bagaimana kau bernai
menuduh murid Siauw lim sie secara sembarangan?”
tanyanya. “Kapan kau belajar silat di kuil kami? Di
hadapan orang-orang gagah di seluruh Rimba Persilatan,
aku tak bisa membiarkan kau menodai nama harumnya
Siauw lim.”
Boe Kie membungkuk seraya berkata, “Taysoe,
janganlah kau gusar. Jika Taysoe bisa memanggil Goan-tin.
Taysoe akan segera tahu duduk persoalannya.”
Paras muka Kong seng lantas saja berubah
menyeramkan. “Can Sie-coe, sekali lagi kau menyebut
nama soetitku,” katanya dengan suara kaku. “Kau masih
begitu muda, mengapa hatimu begitu kejam?”
“Mengapa Taysoe mengatakan hatiku kejam?” tanya
Boe Kie. “Aku minta Goan-tin Hweeshio keluar hanya
untuk menjelaskan persoalan ini di hadapan para orang
gagah.”
“Goan-tin soetit telah berpulang ke alam baka,” kata
Kong seng dengan suara perlahan. “Ia mengorbankan jiwa
untuk partai kami. Sesudah meninggal dunia, nama baiknya
tak dapat….” Begitu mendengar perkataan “Goan tin soetit
sekarang sudah berpulang ke alam baka” kepala Boe Kie
pusing dan paras mukanya berubah pucat. Perkataan Kong
seng yang selanjutnya tak dapat ditangkap lagi olehnya.
1421
“Apa…apa benar dia mati?” tanyanya dengan suara
terputus-putus. “Tidak…tak mungkin.”
Kong seng menunjuk sesosok tubuh yang tergeletak di
sebelah barat dan berkata dengan suara keras, “Kau lihat
sendiri.”
Boe Kie mendekati. Mayat itu mukanya melesak dan
matanya terbuka lebar ternyata memang mayat Goan-tin
atau Hoen-goan Pek lek chioe Seng Koen. Ia membungkuk
dan meraba dada mayat yang dingin itu, suatu tanda bahwa
Goan-tin sudah mati lama juga.
Boe Kie berduka campur girang. Ia tak menyangka
bahwa musuh besar ayah angkatnya binasa di tempat itu.
Biarpun bukan ia sendiri yang membinasakannya, sakit hati
sudah terbalas. Darahnya bergolak-golak dan sambil
mendongak, ia tertawa terbahak-bahak. “Bangsat! Oh,
bangsat terkutuk!” teriaknya. “Selama hidup kau
melakukan berbagai kejahatan tapi kau mendapat juga
bagianmu di hari ini!” Suara tawanya yang dahsyat seolaholah
menggetarkan seluruh lembah. Sesudah berteriak, ia
menengok ke arah Kong seng dan bertanya, “Siapa yang
membinasakan Goan-tin?”
Kong seng tidka menyahut. Ia melirik pemuda itu
dengan mata menyala dan mukanya bersinar dingin
bagaikan es.
Yang menjawab Boe Kie adalah In Thian Ceng, “Dia
telah bertempur dengan anakku, Ya Ong,” katanya. “Dia
mati, anakku terluka.”
Boe Kie membungkuk. Di dalam hati ia berkata,
“Sesudah kena pukulan Han-peng Bian-ciang dari Ceng-ek
Hok ong, Goan-tin terluka berat. Karena itu paman berhasil
membinasakannya. Sungguh menyenangkan bahwa paman
sudah berhasil membalas sakit hati ini.” Ia menghampiri In
1422
Ya Ong dan memegang nadinya. Hatinya lega sebab ia tahu
bahwa luka sang paman tidak berbahaya bagi jiwanya.
Makin lama Kong seng jadi makin gusar. Tiba-tiba ia
berteriak, “Bocah! Kemari kau untuk menerima
kebinasaan!”
Boe Kie terkejut, ia menengok dan menegaskan, “Apa?”
“Jelas-jelas kau tahu bahwa Goan-tin soetit sudah binasa
tapi kau masih juga berusaha untuk menimpakan segala
dosa di atas pundaknya,” kata Kong seng. “Kau terlalu
jahat, dan aku tidak dapat mengampuni kau. Hari ini aku
terpaksa membuka larangan membunuh. Pilihlah, kau mati
bunuh diri atau dibinasakan olehku.”
Pemuda itu jadi bingung. “Kebinasaan Goan-tin
merupakan ganjaran setimpal bagi dirinya dan kejadian ini
sangat menggirangkan,” pikirnya. “Tapi dengan binasanya
pendeta itu, aku tak punya saksi lagi dan urusan jadi makin
susah dipecahkan. Bagaimana baiknya?”
Selagi ia mengasah otak, Kong seng sudah menerjang.
Tangan kanannya menyambar ke leher dengan jari-jari yang
dipentang lurus.
“Hati-hati! Itu Liong Jiauw chioe!” seru In Thian Ceng.
(Liong Jiauw chioe ilmu pukulan cakar naga)
Dengan sekali berkelit Boe Kie menyelamatkan dirinya,
tapi Kong seng adalah salah seorang dari tiga pendeta suci
Siauw lim sie dan Liong Jiauw chioe merupakan salah satu
pukulan terhebat dari Siauw lim-pay. Baru saja cengkraman
pertama gagal, cengkraman kedua yang lebih cepat dan
lebih dahsyat sudah menyusul. Boe Kie melompat ke
samping. Cengkraman ketiga, keempat, kelima menyambarnyambar
bagaikan hujan dan angin dalam sekejap, pendeta
itu seolah-olah seekor naga yang terbang di angkasa sambil
1423
mementangkan cakarnya sehingga semua gerakan Boe Kie
di bawah kekuasaannya.
Mendadak berbarengan dengan mengapungnya tubuh
Boe Kie terdengar suara “brett!” Di lain saat barulah orang
tahu bahwa tangan baju pemuda itu robek dan lengan
kanannya tercakar sehingga mengucurkan darah. Di antara
sorak-sorai orang Siauw lim-pay terdengar teriakan kaget
dari seorang wanita, Boe Kie melirik dan melihat Siauw
Ciauw tengah mengawasinya dengan paras muka
ketakutan. “Thio Kongcoe, hati-hati!” teriak si nona.
“Sungguh baik nona kecil itu,” piker Boe Kie sambil
melompat ke belakang karena dengan kecepatan luar biasa
Kong seng sudah menubruk lagi.
Begitu cengkraman pertama gagal, cengkraman kedua
menyusul dan Boe Kie kembali melompat ke belakang.
Selagi yang satu menubruk dan yang satu melompat,
mereka tetap berhadapan satu sama lain. Sesudah
menubruk delapan sembilan kali, Kong seng masih juga
belum berhasil. Jarak antara mereka tetap tidak berubah,
yaitu dua kaki lebih. Maka dengan demikian, meskipun Boe
Kie masih belum balas menyerang, tinggi rendahnya ilmu
ringan badan antara kedua lawan itu sudah bisa dilihat
nyata.
Kita tahu bahwa Kong seng menubruk ke depan sedang
Boe Kie melompat ke belakang. Tidak dapat disangkal lagi
bahwa menubruk ke depan lebih mudah daripada melompat
ke belakang. Meskipun begitu Kong seng masih tidak bisa
menyentuh badan pemuda itu. Dengan demikian dapatlah
ditarik kesimpulan bahwa dalam ilmu meringankan badan,
pendeta itu sudah kalah setingkat. Kalau mau, dengan
mudah Boe Kie bisa menyingkir jauh-jauh dari Kong seng.
Mengapa Boe Kie tetap mempertahankan jarak dua tiga
1424
kaki dari pendeta itu? Karena ia ingin mempelajari rahasia
pukulan Liong Jiauw chioe. Ia menyadari bahwa sesudah
mengeluarkan tiga puluh enam macam pukulan, si pendeta
menyerang pula dengan pukulan ke delapan yaitu Na na sit
(Gerakan mencengkram) yang tadi sudah digunakan.
Sesudah itu kedua tangan Kogn seng menyambar dari atas
ke bawah. Itulah Chio coe sit (Gerakan merebut mutiara),
pukulan kedua belas. Melihat itu, Boe Kie segera
mengetahui bahwa Liong Jiauw chioe hanya terdiri dari
tiga puluh enam pukulan atau gerakan.
Selama hidup, Kong seng jarang sekali bertempur
melawan musuh. Waktu mencapai usia setengah tua,
walaupun musuh beberapa kali ia pernah bertemu dengan
lawan berat, tapi begitu mengeluarkan Liong Jiauw chioe,
pihak lawan segera keteteran. Sejauh itu, ia belum pernah
bertempur dengan lawan yang bisa bertahan lebih dari dua
belas pukulan. Maka itu, pukulan ketiga belas sampai ketiga
puluh enam belum pernah digunakan untuk menghadapi
musuh. Sungguh tak disangka, sesudah mengeluarkan tiga
puluh enam pukulan, ia masih juga belum bisa merobohkan
Boe Kie. Mau tak mau ia terpaksa mengulangi pukulanpukulan
yang tadi sudah digunakan. “Ilmu ringan badan
bocah ini memang sangat hebat,” pikirnya. “Dengan
mengandalkan kegesitannya, ia berhasil menyelamatkan
diri dari pukulan-pukulan. Tapi kalau bertempur
sungguhan, belum tentu ia bisa melayani dua belas pukulan
Liong Jiauw chioe.”
Sementara itu, Boe Kie sudah dapat menyelami
kehebatan Liong Jiauw chioe. Memang Jiauw hoat (Ilmu
mencengkram) yang terdiri dari tiga puluh enam gerakan itu
tidak ada cacatnya. Akan tetapi, sesudah memiliki Kian
koen Tay lo ie Sin-kang, dengan mengandalkan Sin-kang
tersebut, pemuda itu dapat memecahkan pukulan apapun
1425
juga. Sekarang juga ia bisa menghancurkan Liong Jiauw
chioe. Tapi ia ragu dan berkata dalam hati, “Tidak sukar
bagiku mengambil jiwanya, tapi Siauw lim-pay mempunyai
nama besar sedangkan Kong seng Taysoe adalah salah
seorang dari ketiga pendeta suci. Apabila dengan gegabah
lalu aku merobohkannya di hadapan orang banyak, di
mana Siauw lim-pay mau menaruh muka? Tapi bila tidak
dirobohkan, dia pasti tak akan mau mundur.” Ia jadi serba
salah.
Tiba-tiba Kong seng membentak, “Bocah! Kau kabur
bukan Pie Boe!”
Boe Kie menjawab, “Mau Pie Boe….” Dengan
menggunakan kesempatan selagi pemuda itu bicara, Kong
seng mengirim dua pukulan berantai. Di luar dugaan,
seraya melompat Boe Kie terus bicara dengan suara tenang.
“…juga boleh. Tapi bagaimana kalau aku menang?”
Suaranya bukan saja tenang, tapi juga tak terputus. Kalau
seseorang memeramkan kedua matanya, ia tak akan
menduga bahwa selama mengucapkan perkataan-perkataan
itu, Boe Kie sudah menyelamatkan diri dari tiga serangan
Kong seng yang cepat dan dahsyat.
“Ilmu ringan badanmu benar-benar hebat,” puji si
pendeta itu. “Tapi kamu jangan harap bisa menandingi aku
dalam suatu pertempuran yang sungguh-sungguh.”
“Dalam Pie Boe, tak seorangpun bisa meramalkan siapa
bakal menang, siapa bakal kalah,” kata Boe Kie. “Usia
boanpwee lebih muda daripada Taysoe. Tapi biarpun kalah
ilmu, boanpwee mungkin menang tenaga.”
“Kalau aku kalah, kau boleh bunuh aku!” bentak Kong
seng dengan gusar.
“Hal ini tak akan berani boanpwee lakukan,” kata
pemuda itu. “Apabila boanpwee kalah, Taysoe boleh
1426
berbuat sesuka hati. Tapi jika secara kebetulan boanpwee
menang sejurus atau setengah jurus maka boanpwee hanya
berharap supaya Siauw lim-pay mundur dari Kong Bengteng.”
“Urusan Siauw lim-pay harus diputuskan oleh
Soehengku,” kata Kong seng. “Aku hanya bicara secara
pribadi. Aku tak percaya Liong Jiauw chioe tak bisa
membereskan kau.”
Sebuah gagasan lewat di otak Boe Kie dan ia segera
mengambil keputusan, “Liong Jiauw chioe dari Siauw limpay
memang tiada cacatnya,” katanya. “Ilmu itu adalah
Kim na Chioe hoat (Ilmu mencengkram) yang tiada duanya
dalam dunia. Hanya sayang latihan Taysoe belum
sempurna.”
“Baiklah!” kata Kong seng dengan gusar. “Jika kau
dapat memecahkan Liong Jiauw chioe-ku, aku akan segera
pulang ke Siauw lim sie dan seumur hidup aku tidak akan
keluar dari pintu kuil lagi!”
“Itu boleh tidak usah!” kata Boe Kie.
Selagi mereka bertanya jawab, sorak-sorai di seputar
lapangan tak henti-hentinya. Semua orang merasa kagum
sebab ketika mulut mereka bicara, kaki dan tangan bekerja
terus. Waktu mengatakan “ilmu ringan badanmu benarbenar
hebat” Kong seng mengirimkan dua serangan
beruntun dan selagi mengatakan “tapi kau jangan harap
bisa menandingi aku dalam suatu pertempuran yang
sungguh-sungguh” ia sudah mengirimkan tiga serangan
lain. Di antara sorak-sorai yang riuh rendah, setiap
perkataan mereka terdengar nyata sekali.
Mendadak sesudah berkata “itu boleh tidak usah”, tubuh
Boe Kie mencelat ke atas, berputar empat kali dan pada
setiap putaran badannya mengapung makin tinggi dan
1427
kemudian bagaikan daun kering ia melayang-layang ke
bawah dan kedua kakinya hinggap di bumi dalam jarak
beberapa tombak jauhnya dari tempat semula.
Semua orang mengawasi dengan mata membelalak dan
sesaat kemudian, tampik sorak gegap-gempita memecah
angkasa. Belum pernah jago-jago itu melihat ilmu ringan
badan yang setinggi itu.
Hampir bersamaan dengan hinggapnya Boe Kie, Kong
seng sudah berada di hadapannya. “Apa kita sekarang
boleh mulai Pie Boe?” tanyanya.
“Baiklah. Taysoe boleh menyerang,” jawab Boe Kie.
“Apakah kau akan menggunakan lagi siasat kabur?”
tanya Kong seng pula.
Pemuda itu tersenyum, “Jika boanpwee mundur
setengah langkah saja, boanpwee sudah boleh dihitung
kalah,” jawabnya.
Walaupun badannya tidak dapat bergerak, Yo Siauw,
Leng Kiam, Cioe Tiam, Swee Poet Tek dan yang lain-lain
bisa melihat dan mendengar. Perkataan Boe Kie yang
terakhir itu mengejutkan mereka. Mereka berpengalaman
luas, setiap pukulan Kong seng hebat luar biasa dan untuk
menyambut satu pukulan saja sudah bukan urusan
gampang. Menurut pendapat mereka, walaupun hebat tapi
kalau mau mengharap menang, Boe Kie setidaknya harus
bertempur dalam seratus jurus. Selama pertempuran itu,
mana bisa ia tidak mundur setengah langkah?
“Boleh tak usah begitu,” kata Kong seng. “Yang
menang, biarlah menang secara adil. Yang kalah, biarlah
kalah dengan tidak merasa penasaran.” Ia terdiam sejenak
dan kemudian membentak, “Sambutlah!” Tangan kirinya
mengirimkan pukulan gertakan disusul dengan sambaran
1428
tangan kanan yang meluncur ke arah Koat poen hiat di
pundak Boe Kie. Itulah pukulan Na in sit. (Gerakan
menjambret awan)
Begitu tangan kiri Kong seng bergerak, Boe Kie sudah
tahu pukulan apa yang bakal dikeluarkan. Iapun segera
membuat serangan gertakan dengan tangan kirinya dan
tangan kanannya menyambar ke Koat poen hiat di pundak
Kong seng.
Kedua lawan itu menyerang dengan pukulan yang
bersamaan. Tapi dalam persamaan itu ada juga bedanya.
Bedanya Boe Kie menyerang belakangan tapi tangannya
sampai lebih dahulu. Pada detik jari tangan Kong seng
masih terpisah dua dim dari pundak Boe Kie, jari tangan
pemuda itu sudah mencengkram Koat poen hiat Kong seng
yang segera saja merasa jalan darahnya kesemutan dan
tangan kanannya tidak bertenaga lagi, tapi Boe Kie segera
menarik kembali tangannya.
Untuk sejenak kemudian Kong seng jadi terpaku. Tibatiba
kedua tangannya menyambar ke Tay yang hiat kiri dan
kanan dengan gerakan Chio coe sit. Kejadian tadi terulang
lagi, Boe Kie pun menyerang sepasang Tay yang hiat Kong
seng dengan Chio coe sit dan seperti tadi biarpun ia
menyerang belakangan, kedua tangannya sampai lebih
dulu. Tay yang hiat adalah “hiat” besar yang bila terpukul
segera mati. Dengan perlahan Boe Kie mengebut kedua Tay
yang hiat lawan dan kemudian dengan sekali berbalik
tangan, ia menyentuh Hong hoe hiat di belakang kepala
Kong seng dengan gerakan Lo goat sit (Gerakan menjemput
rembulan), yaitu pukulan ketujuh belas dari Liong Jiauw
chioe.
Begitu Tay yang hiat-nya dikebut, hati Kong seng
mencelos dan melihat gerakan Lo goat sit itu ia kaget tak
kepalang. “Kau…kau mencuri Liong Jiauw chioe Siauw
1429
lim-pay!” teriaknya.
Boe Kie tersenyum, “Semua ilmu silat dalam dunia ini
diubah oleh manusia,” katanya. “Belum tentu Liong Jiauw
chioe hanya dimiliki oleh Siauw lim-pay.”
Kong seng mengawasi pemuda itu dengan mata
membelalak. Ia bingung bukan main. Dalam ilmu Liong
Jiauw chioe, kepandaiannya lebih tinggi daripada Kong
boen dan Kong tie. Bagaimana caranya pemuda itu bisa
memiliki salah satu ilmu terhebat dari Siauw lim-pay?
Bukan saja memiliki, ia bahkan lebih unggul daripada
dirinya sendiri. Bagaimana bisa begitu? Untuk sejenak ia
berdiri terpaku tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata.
Dengan hari berdebar-debar, ratusan orang mengawasi
kedua lawan itu. Mereka merasa heran karena baru saja dua
gerakan, kedua lawan itu sudah berhenti. Kecuali beberapa
tokoh yang berkepandaian sangat tinggi, yang lain tak tahu
siapa menang, siapa kalah. Tapi dengan melihat sikap Boe
Kie yang tenang-tenang saja dan alis Kong seng yang
berkerut, mereka menarik kesimpulan bahwa pendeta itulah
yang jatuh di bawah angin.
Selama ratusan tahun, Liong Jiauw chioe sudah menjadi
ilmu silat Siauw lim-pay yang tidak terkalahkan. Jika Boe
Kie menggunakan ilmu lain, tak gampang ia memperoleh
kemenangan.
Mendadak Kong seng membentak keras sambil
melompat dan kedua tangannya menyambar bagaikan
hujan dan angin. Dengan beruntun bagaikan kilat cepatnya
ia menyerang dengan delapan pukulan yaitu Po hong sit,
To eng sit, Boe khim sit, Kouw sek sit, Pi kong sit, To hie
sit, Po cam sit dan Sioe koat sit. Boe Kie mengempos
semangat dan menyambut dengan delapan pukulan yang
sama.
1430
Delapan pukulan berantai yang dikirim Kong seng
sedemikian cepatnya sehingga seolah-olah merupakan satu
pukulan tunggal yang berisi delapan perubahan. Tapi kalau
Kong seng cepat, Boe Kie lebih cepat. Apa yang paling
menakjubkan adalah biarpun pemuda itu bergerak
belakangan, setiap pukulannya tiba lebih dulu sehingga
setiap kali memukul Kong seng harus mundur selangkah.
Dalam sekejap, sambil melangkah mundur untuk ketujuh
kalinya, Kong seng mengirimkan Po cam sit dan Sioe koat
sit, yaitu pukulan ketiga puluh lima dan ketiga puluh enam.
Dilihat dari luar, Po cam sit dan Sioe koat sit banyak
cacatnya, tapi sebenarnya kedua pukulan itu adalah yang
terhebat dalam Liong Jiauw chioe. Dalam cacatnya
tersembunyi jebakan yang membinasakan. Pada hakikatnya
Liong Jiauw chioe adalah ilmu silat “keras”, akan tetapi
dalam kedua pukulan yang terakhir itu, di dalam
“kekerasan” tersembunyi Im jioe. (“Kelembekan”)
Sambil membentak keras Boe Kie maju selangkah dan
menyambut dengan Po cam sit dan Sioe koat sit juga, tapi
mendadak ia mengubah gerakannya menjadi gerakan Na in
sit dan tangannya menerobos masuk ke dalam garis
pertahanan Kong seng.
Kong seng girang. “Lihat kehebatanku,” katanya dalam
hati. Saat itu, lengan kanan Boe Kie sudah masuk ke dalam
garis pertahanan Kong seng dan ia tidak bisa segera mundur
kembali. Bagaikan kilat, si pendeta mengangkat kedua
tangannya dan menghantam lengan pemuda itu.
Kong seng adalah seorang taat yang punya
perikemanusiaan. Melihat Boe Kie mahir dalam ilmu Liong
Jiauw chioe, ia kuatir pemuda itu mempunyai sangkut paut
dengan Siauw lim sie. Di samping itu, dalam gerakangerakan
yang lalu, beberapa kali jalan darahnya sudah
tercengkram tapi Boe Kie sengaja melepaskan. Maka itu,
1431
dalam pukulan ini iapun tidak turunkan tangan jahat. Ia
hanya ingin mematahkan lengan pemuda itu.
Tapi di luar dugaan, begitu lekas kedua telapak
tangannya menyentuh lengan Boe Kie, ia merasakan
dorongan semacam tenaga yang halus tapi dahsyat yang
dengan mudah dapat menolak tenaga pukulannya. Hampir
bersamaan, kelima jari tangan pemuda itu sudah menempel
di dadanya di bagian Tan tiong hiat.
Kong seng runtuh semangatnya, ia merasa bahwa
latihannya selama berpuluh tahun sedikitpun tiada
gunanya. Ia manggut-manggut dan berkata dengan suara
perlahan, “Can Sie-coe berkepandaian lebih tinggi daripada
Loo-lap.” Seraya berkata begitu, lima jari tangan kirinya
mencengkram lima jari tangan kanannya. Tapi sebelum ia
keburu mengerahkan Lweekang untuk mematahkan jari
tangan sendiri, mendadak pergelangan tangan kirinya
kesemutan dan tenaganya habis. Ternyata jalan darahnya
telah dikebut Boe Kie.
“Dengan menggunakan Liong Jiauw chioe dari Siauw
lim-pay, boanpwee telah mengalahkan Taysoe,” kata Boe
Kie dengan suara nyaring. “Kerugian apakah yang diderita
oleh Siauw lim-pay? Jika boanpwee tidak menggunakan
Liong Jiauw chioe, ilmu dari Siauw lim-pay sendiri, dalam
dunia yang lebar ini tidak ada ilmu lain yang akan dapat
menjatuhkan Taysoe.”
Tadi karena gusar dan malu, Kong seng ingin
mematahkan jari tangannya sendiri supaya seumur hidup ia
tidak bisa bersilat lagi. Sekarang, sesudah mendengar
perkataan Boe Kie, hatinya jadi lega. Dilain saat ia
mengaku bahwa sepak terjang pemuda itu selalu mencoba
melindungi nama baik Siauw lim-pay. Memang benar,
kalua Boe Kie tidak menggunakan Liong Jiauw chioe maka
nama baik Siauw lim sie akan jatuh di dalam tangannya
1432
dan ia akan menjadi orang yang berdosa. Mengingat begitu,
ia merasa berterima kasih dan terharu. Sejenak kemudian
dengan air mata berlinang ia merangkap kedua tangannya
dan berkata, “Can Sie-coe mempunyai budi yang sangat
tinggi, Loo-lap merasa berterima kasih dan takluk.”
Buru-buru Boe Kie membalas hormat sambil
membungkuk. “Janganlah Taysoe memuji begitu tinggi,”
katanya. “Boanpwee berharap supaya Taysoe suka
mengampuni segala kekurang ajaran boanpwee.”
Kong seng tersenyum. “Waktu digunakan oleh Sie-coe,
Liong Jiauw chioe dahsyat luar biasa,” katanya. “Loo-lap
belum pernah bermimpi bahwa ilmu silat itu sedemikian
hebatnya. Jika di lain hari nanti Sie-coe mempunyai waktu
luang, Loo-lap harap Sie-coe suka mampir di kuil kami,
Loo-lap ingin menjadi tuan rumah dan meminta pengajaran
dari Sie-coe.”
Menurut kebiasaan di dalam Rimba Persilatan, kata-kata
“meminta pengajaran” mengandung maksud mengajukan
tantangan. Tapi kali ini, perkataan itu jujur. Dengan
sejujurnya Kong seng ingin meminta pengajaran dari Boe
Kie.
Cepat-cepat Boe Kie menyoja dan berkata dengan suara
merendah, “Tidak! Boanpwee tidak berani menerima
perkataan Taysoe.”
Dalam Siauw lim-pay, Kong seng mempunyai
kedudukan yang sangat tinggi. Biarpun karena tak bisa
memimpin, ia tidak memegang tugas penting tapi sebab
berwatak mulia dan berkepandaian tinggi, ia dihormati
segenap pendeta Siauw lim sie. Sekarang, sesudah
pertandingan antara Kong seng dan Boe Kie berakhir,
semua anggota Siauw lim-pay merasa bhawa partai mereka
tak bisa menantang pemuda itu lagi.
1433
Dalam usaha membasmi Beng-kauw, Kong tie telah
diangkat sebagai pemimpin. Maka dapatlah dimengerti jika
perkembangan yang tak diduga-duga itu sangat
membingungkan hatinya. Urusan membasmi Mo-kauw
telah dirintangi dan dikacau oleh seorang pemuda yang tak
bernama. Bagaimana jika ditertawai oleh segenap orang
gagah dalam Rimba Persilatan?
Ia ragu dan tak dapat mengambil keputusan. Dalam
kebingungannya, ia melirik Sin soan-coe (si Malaikat
tukang hitung) Sian Ie Thong, Cian boen jin dari Hwa sanpay.
Sian Ie Thong dikenal sebagai seorang yang
mempunyai banyak tipu daya dan dalam usaha membasmi
Beng-kauw ia memegang peranan sebagai Koen-soe
(penasehat). Begitu dilirik Kong tie, ia segera bertindak
masuk ke tengah lapangan sambil menggoyang-goyangkan
kipasnya.
Melihat yang maju seorang sastrawan tampan yang
berusia empat puluh tahun lebih, Boe Kie mendapat kesan
yang baik. Ia menyoja dan berkata, “Pelajaran apakah yang
hendak diberikan oleh Cianpwee?”
Sebelum Sian Ie Thong menjawab, In Thian Ceng sudah
mendahului, “Dia bernama Sian Ie Thong, Cian boen jin
Hwa san-pay. Ilmu silat tidak tinggi tapi banyak akal
bulusnya.”
Mendengar “Sian Ie Thong”, Boe Kie kaget. Nama itu
sepertinya tidak asing baginya. Tapi di mana ia pernah
mendengar nama itu?
Dalam jarak setombak lebih, Sian Ie Thong
menghentikan langkahnya dan sambil menyoja ia berkata,
“Can Siauw-hiap selamat bertemu!”
Boe Kie membalas hormat. “Siang Ji Ciang boen,
selamat bertemu,” sahutnya.
1434
“Can Siauw-hiap mempunyai Sin-kang yang sangat
tinggi,” kata Sian Ie Thong.
“Kau sudah mengalahkan tetua dari Khong tong-pay dan
bahkan Siauw lim Seng Ceng pun jatuh di bawah angin.
Aku sungguh merasa sangat kagum, tapi apakah aku boleh
mengetahui, Cianpwee manakah yang mempunyai seorang
murid begitu gagah seperti Can Siauw-hiap?”
Boe Kie yang sedang mengingat-ingat nama Sian Ie
Thong, tidak menjawab. Ia pernah mendengar nama itu,
tapi di mana? Di mana?
Tiba-tiba Sian Ie Thong mendongak dan tertawa
terbahak-bahak. “Mengapa Can Siauw-hiap sungkan
memberitahukan nama gurumu?” tanyanya dengan suara
nyaring. “Orang jaman dulu sering berkata begini, Kianhian
soe-cee.…” (Melihat orang pandai teringat negeri Cee)
Mendengar “Kian-hian soe-cee” Boe Kie terkesiap dan
lantas saja teringat “Kian-sie Poet-kioe” (Melihat
kebinasaan tetap sungkan menolong, yaitu gelaran Tiap kok
Ie sian Ouw Ceng Goe)
Ia lantas saja ingat kejadian di Ouw tiap kok pada waktu
lima tahun berselang. Waktu itu Ouw Ceng Goe pernah
memberitahukan bahwa Sian Ie Thong dari Hwa san-pay
adalah manusia yang sudah menyebabkan kebinasaan adik
perempuannya. Di kala itu, ia masih kecil tapi di dalam hati
ia sudah memastikan bahwa Sian Ie Thong akan
mendapatkan pembalasan yang setimpal karena Tuhan adil.
Saat itu, perkataan Ouw Ceng Goe seolah-olah terdengar
pula di kupingnya, “Aku pernah menolong seseorang yang
mendapat tujuh belas lubang luka bacokan. Ia sebenarnya
sudah mesti mati. Tiga hari tiga malam aku tidak tidur dan
dengan segenap kepandaian aku bisa menyembuhkannya.
Belakangan aku mengangkat saudara dengannya. Tak
1435
disangka ia akhirnya membinasakan adik perempuanku,
adik kandungku….” Waktu berkata begitu, air mata Ouw
Ceng Goe mengucur deras sehingga iapun sangat berduka.
Belakangan istri Ouw Ceng Goe yaitu Tok sian Ong Lan
Kauw, meracuni Sian Ie Thong dengan racun yang sangat
hebat. Tapi manusia terkutuk itu ditolong oleh Ouw Ceng
Goe sendiri, kedua suami istri jadi bertengkar dan
pertengkaran itu telah mengakibatkan banyak penderitaan.
Pada akhirnya, suami istri Ouw Ceng Goe binasa secara
tidak wajar. Biarpun bukan dibunuh oleh Sian Ie Thong,
kebinasaan itu adalah karenanya.
Mengingat sampai di situ, Boe Kie mendekati. Dengan
sinar mata berapi, ia menyapu muka Sian Ie Thong. Ia juga
ingat satu manusia lain yang bernama Sie Kong Wan,
murid Sian Ie Thong. Sesudah dilukai oleh Kim hoa Po po,
jiwa Sie Kong Wan ditolong olehnya. Tak disangka,
manusia itu belakangan mau mencoba mengiris dagingnya!
Paras muka Boe Kie merah padam. Guru dan murid itu
adalah manusia yang membalas kebaikan dengan
kejahatan. Sie Kong Wan sudah mampus, tapi Sian Ie
Thong masih malang melintang di dunia dengan
berkedudukan tinggi. “Manusia ini harus diberi hajaran
keras,” pikirnya.
Sesudah mengambil keputusan apa yang akan
diperbuatnya, ia tersenyum dan berkata, “Di badanku tidak
ada 17 luka dan akupun belum pernah mencelakai jiwa adik
angkatku. Aku tak punya rahasia apapun jua yang harus
disembunyikan.”
Sungguh tajam kata-kata itu!
Sian Ie Thong menggigil! Keringat dingin mengucur dari
punggungnya.
Banyak tahun berselang, sesudah jiwanya ditolong oleh
1436
Ouw Ceng Goe, Sian Ie Thong dicintai oleh Ouw Cen Yo,
adik perempuan Ouw Ceng Goe. Nona Ouw menyerahkan
kehormatannya sehingga ia hamil. Tapi Sian Ie Thong yang
ingin menduduki kursi Ciang boen jin dari Hwa san-pay
sudah menyia-nyiakan nona itu, ia kabur dan menikah
dengan putrid tunggal dari Ciang boen jin Hwa san-pay
pada masa itu. Karena malu dan gusar, nona Ouw bunuh
diri, sehingga dua jiwa yaitu jiwa ibu dan anak menjadi
korban. Karena urusan memalukan itu, Ouw Ceng Goe
tidak pernah memberitahukan kepada orang luar. Sian Ie
Thong sendiri tentu saja menutup mulut rapat-rapat. Siapa
sangka, sesudah berselang belasan tahun rahasianya dibuka
Boe Kie. Bagaimana ia tidak kaget?
Saat itu juga dia mengambil keputusan untuk mengambil
jiwa pemuda itu. “Kalau Can Siauw-hiap tidak sudi
memberitahukan nama gurumu, maka aku mengambil
keberanian untuk meminta pengajaran dengan
menggunakan ilmu silat Hwa san-pay yang sangat cetek,”
katanya. “Sedang Kong seng ceng saja masih belum dapat
menandingi Can Siauw-hiap maka ilmu silatku tentu tidak
masuk hitungan. Biarlah pertandingan ini dibatasi sampai
salah satu pihak ada yang kena sentuh. Aku mengharap
dalam pertempuran Can Siauw-hiap suka menaruh belas
kasihan.” Sehabis berkata begitu tangan kirinya
menghantam pundak Boe Kie. Ia tidak mau memberi
kesempatan untuk pemuda itu bicara.
Boe Kie mengerti maksudnya. Sambil menangkis ia
berkata, “Ilmu silat Hwa san-pay sangat tinggi dan tidak
perlu meminta pelajaran dari orang luar. Yang menjadi soal
adalah ilmu Sian Ie Ciang boen sendiri yang sukar dicari
duanya dalam dunia ini. Ilmu itu bernama ilmu melupakan
budi, ilmu membalas kebaikan dengan kejahatan….”
Bagaikan kalap Sian Ie Thong menyerang untuk
1437
menutup mulut pemuda itu. Ia menyerang dengan silat Eng
coa Sang sie pek (Pertempuran mati hidup antara burung
elang dan ular), salah satu ilmu silat terhebat dari Hwa sanpay
yang terdiri dari tujuh puluh dua jurus. Ia menutup
kipas dan mencekalnya dalam tangan kanan sehingga
gagang kipas yang menonjol keluar merupakan kepala ular
yang digunakan untuk menotok dan menikam. Lima jari
tangan kirinya yang dipentang lebar seolah-olah cakar elang
yang menyambar-nyambar untuk mencoba mencengkram
Boe Kie.
Eng coa Sang sie pek adalah ilmu simpanan dari Hwa
san-pay. Pada seratus tahun yang lampau, waktu berada di
gunung Hok goe-san seorang pendekar Hwa san-pay yang
bernama In Pek Thian telah menyaksikan pertempuran
hidup mati antara seekor elang dan seekor ular. Ia
mendapat ilham dan belakangan mengubah ilmu tersebut.
Elang berkelahi dengan ular sebenarnya bukan kejadian
langka. Semenjak dulu banyak ahli sudah mengubah ilmuilmu
baru berdasarkan pertempuran antara binatang dan
binatang. Tapi Eng coa Sang sie pek agak beda dari yang
lain. Perbedaannya adalah ilmu itu gerakan elang dan ular
dikeluarkan bersama-sama dengan kecepatan luar biasa.
Terhadap orang biasa, ilmu ini sangat membingungkan
karena serangan menyambar dari kiri ke kanan dalam
gerakan yang berbeda-beda maka jika seseorang menjaga di
bagian kiri, ia tak akan bisa menjaga di bagian kanan.
Baru beberapa gebrakan Boe Kie sudah tahu, biarpun
mahir dalam ilmu itu, tenaga Sian Ie Thong masih jauh dari
cukup. Sesudah lewat beberapa jurus, ia berkata, “Sian Ie
Ciang boen, ada satu hal yang kurang dimengerti olehku
dan aku ingin meminta penjelasan. Dulu kau mendapat
tujuh belas luka dan keadaanmu lebih baik mati daripada
hidup. Ada orang yang tanpa tidur tiga hari tiga malam
1438
sudah menolongmu dan mengobati kau hingga kau
sembuh. Ia mengangkat saudara denganmu dan
memperlakukanmu seperti saudara kandungnya sendiri.
Tapi mengapa kau begitu jahat sehingga kau membinasakan
adik perempuan orang itu?”
Sian Ie Thong gusar bukan kepalang dan berteriak,
“Ouw….” Ia sebenarnya ingin mengatakan “Ouw swee Patto”
(omong kosong) dan berniat menjatuhkan tuduhan yang
tidak-tidak terhadap Boe Kie supaya pemuda itu gusar dan
konsentrasi pikirannya terpecah sehingga dengan mudah ia
bisa melaksanakan niat jahatnya. Di luar dugaan, baru saja
ia berkata “Ouw”, semacam tenaga yang lembek dahsyat
menindih dadanya yang lantas saja sesak sehingga ia tak
bisa meneruskan perkataannya. Mati-matian ia
mengerahkan Lweekang untuk melawan tenaga itu.
Sementara itu, Boe Kie sudah berkata pula dengan suara
nyaring. “Benar! Kau rupanya masih ingat orang she Ouw
itu. Mengapa kau tidak bicara terus? Sungguh mengenaskan
matinya nona Ouw. Apakah di dalam hatimu kau tidak
pernah merasa malu?”
Dengan napas mengap-mengap Sian Ie Thong
menyerang bagaikan kalap. Boe Kie sengaja mengendurkan
tekanan tenaganya dan Sian Ie Thong lantas saja merasakan
seakan-akan dadanya lega. Ia menarik napas dan
membentak. “Kau…” ia tidak dapat bicara lagi sebab Boe
Kie mendadak menekan lagi dengan lweekangnya.
Pemuda itu mengeluarkan suara di hidung. “Laki-laki
berani berbuat harus berani menanggung akibatnya,”
katanya dengan nada mengejek. “Ya bilang ya, tidak bilang
tidak. Mengapa kau tak berani buka suara? Bukankah Tiap
Kok Ie Sian Ouw Ceng Goe Sinshe binasa dalam
1439
tanganmu, benarkah begitu? Jawab!” Boe Kie sebenarnya
tidak tahu cara bagaimana adik Ouw Ceng Goe menemui
ajalnya. Maka itu, ia tidak bisa mengatakan secara jelas.
Tapi dalam bingungnya, Sian Ie Thong menganggap
pemuda itu sudah tahu rahasianya. Mukanya pucat pasi tak
sepatah katapun keluar dari mulutnya.
Orang-orang yang mengenal Sian Ie Thong tahu, bahwa
dia sangat pandai bicara. Maka itu, melihat dari paras
mukanya, sikap dan terkancingnya mulut pemimpin Hwa
San Pay itu, mau tak mau dia percaya apa yang dikatakan
Boe Kie. Bahwa pemuda itu sudah menindih jalan
pernapasan Sian Ie Thong dengan lweekang yang sangat
tinggi, tidak diketahui oleh siapapun jua kecuali mereka
berdua. Yang paling malu adalah orang-orang Hwa San
Pay. Pemimpin mereka dicaci oleh seorang pemuda tanpa
mampu membela diri. Dimana muka mereka harus ditaruh?
Tapi ada juga sejumlah orang yang berpendapat lain.
Mereka mengenal Sian Ie Thong sebagai manusia yang
banyak akalnya. Mungkin sikapnya itu hanya satu siasat
yang berisi tipu untuk membalas sehebat-hebatnya.
Sementara itu, Boe Kie sudah memaki lagi. “Menurut
kebiasaan, orang-orang rimba persilatan membalas budi
dengan budi, kejahatan dengan kejahatan. Tiap Kok Ie Sian
anggota Beng Kauw. Kau adalah seorang yang berhutang
budi terhadap Beng Kauw. Tapi lihatlah! Hari ini kau
mengajak orang-orang partaimu untuk menyerang Beng
Kauw. Orang menolong jiwamu, kau berbalik mencelakai
adik orang itu. Manusia rendah! Kau lebih rendah dari pada
binatang! Mukamu tebal, begitu punya tebal hingga kau
masih ada muka untuk menjadi Ciang Bun Jin dari sebuah
partai besar.”
Boe Kie mencaci sesuka hati, tanpa dibalas. “Kalau Ouw
Shinshe masih hidup dan berada di sini, ia pasti akan
1440
merasa puas,” pikirnya.
Sesudah memaki beberapa lama lagi, ia berkata di dalam
hati. “Sekarang cukuplah. Hari ini aku mengampuni
jiwanya. Biarlah dilain hari aku berhitungan lagi dengan
dia.” Memikir begitu, ia lantas saja menarik pulang tenaga
telapak tangannya yang digunakan untuk menekan Sian Ie
Thong. “Binatang! Hari ini aku menitipkan kepalamu di
atas lehermu untuk sementara waktu!”
Hampir berbareng dada Sian Ie Thong lega. “Bangsat
kecil! Rasakan ini!” teriaknya seraya menotok Boe Kie
dengan gagang kipas, sambil melompat ke samping.
Mendadak Boe Kie mengendus bebauan…… kepalanya
tiba-tiba pusing, kakinya lemas dan ia terhuyung-huyung. Ia
merasa matanya berkunang-kunang dan dunia seolah-olah
terbalik.
“Bangsat kecil!” caci Sian Ie Thong. Sekarang kau boleh
belajar kenal dengan lihainya Eng Coa Seng Sie Pek!” ia
melompat dan lima jari tangan kirinya sudah mencengkram
Yan Ie Hiat, di bawah ketiak Boe Kie. Tapi ia terkejut
karena tangannya seolah-olah mencengkram ikan yang licin
dan ia tak bisa menggunakan lweekangnya.
Melihat pimpinan mereka berada di atas angin, orangorang
Hwa San Pay bersorak-sorai dan teriak-teriak.
“Lihatlah lihainya Eng Coa Seng Sie Pek!”
“Sian Ie Ciang Bun, hajar!”
“Bangsat kecil! Akhirnya kau roboh juga!”
Diantara tampik sorak, tiba-tiba Boe Kie tersenyum dan
meniup muka Sian Ie Thong. Hampir berbareng Sian Ie
Thong mengendus bebauan wangi amis dan kepalanya
puyeng. Hatinya mencelos kagetnya seperti disambar
1441
geledek. Baru saja ia mau beteriak, Boe Kie sudah
mengebut kedua lututnya dengan tangan baju sehingga dia
roboh berlutut dihadapan pemuda itu.
Kejadian ini diluar dugaan semua orang. Terang-terang
mereka lihat Boe Kie terluka berat dan badannya
bergoyang-goyang. Mengapa terjadi perubahan itu? Apakah
pemuda itu mempunyai ilmu siluman?
Sementara itu sesudah mengambil kipas dari tangan Sian
Ie Thong. Boe Kie tertawa terbahak-bahak. “Kalian
lihatlah!” teriaknya sambil mengacungkan kipas itu. “Hwa
San Pay menamakan diri sebagai partai yang lurus bersih.
Siapa nyana pmemimpin partai itu memiliki ilmu penyebar
racun?” Dengan sebelah tangan ia membuka kipas itu yang
di atasnya terdapat lukisan puncak gunung Hwa San
dengan beberapa baris sajak yang indah bunyinya dan indah
pula huruf-hurufnya. Tak seorangpun akan menduga,
bahwa dalam kipas yang seindah ini bersembunyi alat
rahasia untuk melepaskan racun yang hebat,” katanya
seraya menghampiri sebuah pohon bunga dan menotok
batangnya dengan gagang kipas. Dalam sekejab semua
bunga layu dan rontok, sedang warna daunnya pun segera
berubah kuning. Semua orang kaget, di dalam hati mereka
bertanya-tanya? Racun apa yang disimpan di kipas itu?
Dengan mendekam di muka bumi, Sian Ie Thong
menjerit-jerit seperti babi dipotong. “Ah!..... ah,….”
Suaranya menyayat hati. Menurut pantas, biarpun dipotong
sungguhan seorang yang berkedudukan seperti dia harus
bisa menahan sakit. Tak boleh ia menjerit-jerit di hadapan
banyak orang. Setiap jeritan berarti digaploknya muka
orang-orang Hwa San Pay.
“Lekas… lekas bunuh aku!” teriaknya. “Lekas!...
lekas!...”
1442
“Aku bisa menghilangkan rasa sakitmu,” kata Boe Kie.
Tapi sebelum tahu racun apa yang digunakan olehmu, aku
tidak berdaya.”
“Racun… racun… Kim Cam Kouw Tok… aduh!
Bunuhlah aku… lekas!” ia sesambat.
Kata-kata “Kim Cam Kouw Tok” tidak mempengaruhi
orang-orang muda, tapi orang-orang yang lebih tua lantas
berubah paras mukanya. Mereka yang mempunyai rasa
keadilan lantas mencaci.
Kim Cam Kouw Tok, keluaran propinsi Kwi Cioe,
adalah salah satu racun terhebat di dunia. Penderitaan
orang yang kena racun itu tak mungkin dilukiskan, sekujur
badannya seperti digigit oleh berlaksa kutu beracun. Racun
itu memuakkan orang-orang rimba persilatan yang baikbaik.
Karena sukar didapat, banyak orang hanya pernah
mendengar namanya. Sekarang, dengan menyaksikan
penderitaan Sian Ie Thong, mereka baru tahu lihainya Kim
Cam Kouw Tok.
“Apa kau tahu cara bagaimana racunmu berbalik makan
tuan?” Tanya Boe Kie.
“Bunuh aku! Bunuhlah…! Aku tak tahu,” teriaknya
sambil bergulingan.
“Kau melepaskan racun itu kepadaku, tapi aku berhasil
menolaknya dengan menggunakan lweekang dan lalu balas
menghantam kau,” kata Boe Kie. “Sekarang apa lagi yang
mau dikatakan olehmu?”
“Ya! Pembalasan…! Pembalasan…!” jeritnya seraya
mencengkram tenggorokannya untuk mencoba bunuh diri.
Tapi tenaganya habis. Sekuat tenaganya ia coba
membenturkan kepala di tanah, tapi ia gagal lagi. Disinilah
lihainya Kim Cam Kouw Tok. Pancaindera si korban
1443
makin tajam, tapi tenaganya habis, sehingga mau hidup
tidak bisa, mau matipun tidak mungkin.
Darimana Sian Ie Thong mendapat racun itu?
Pada waktu mau menghembuskan napasnya yang
penghabisan, karena cintanya yang tiada terbatas, Ouw
Ceng Yo telah memohon kepada Ouw Ceng Goe, supaya
kakak itu suka melindungi Sian Ie Thong. Karena terpaksa,
sang kakak memberi janjinya. Isteri Ouw Ceng Goe, Ouw
Lan Kouw, gusar dan diam-diam meracuni Sian Ie Thong
dengan Kim Cam Kouw Tok. Belakangan, sebab sudah
berjanji, Ouw Ceng Goe menolong juga manusia itu. Sian
Ie Thong ternyata licik luar biasa. Waktu berobat di rumah
Tiap Kok Ie Sian, selagi orang meleng, ia mencuri dua
pasang ulat sutera emas yang lalu dipiara menurut
peraturan dan dibuat menjadi bubuk racun. Kemudian ia
memasang alat rahasia di kipasnya untuk menyimpan racun
itu, yang bisa disembur keluar dengan bantuan tenaga
dalamnya.
Tadi, karena ditindih dengan lweekang Boe Kie, ia tak
bisa bergerak. Tapi begitu lekas pemuda itu menarik pulang
tekanannya, ia segera saja melepaskan racun. Untung besar
Boe Kiememiliki lweekang yang sangat kuat. Pada detik
yang berbahaya, mereka menahan napas, mengerahkan
semua hawa tulen dan bahkan bisa menyembur balik racun
itu ke badan Sian Ie Thong. Kalau badannya kurang kuat,
maka yang akan menjerit-jerit bukannya Sian Ie Thong, tapi
ia sendiri.
Sesudah mempelajari Tok Kang dari Ong Lan Kouw,
Boe Kie tahu lihainya Kim Cam Kouw Tok. Diam-diam ia
mengalirkan hawa tulen di seluruh badannya dan setelah
merasakan sesuatu yang luar biasa, barulah hatinya lega.
Melihat penderitaan Sian Ie Thong, di dalam hatinya
merasa kasihan.
1444
“Menolong, aku akan menolong, tapi dia harus lebih
dahulu mengakui segala kedosaannya,” pikirnya. Maka itu
ia lantas saja berkata, “Aku tahu cara mengobati orang
yang kena racun Kim Cam Kouw Tok. Tapi sebelum
ditolong, kau harus menjawab sejujurnya setiap
pertanyaanku. Jika kau berdusta aku takkan
memperdulikan kau lagi. Kau akan menderita tujuh hari
tujuh malam, sehingga dagingmu rusak dan tulangtulangmu
kelihatan.”
Walaupun terpaksa, otak Sian Ie Thong tetap tenang.
“dahulu Ong Lan Kouw pernah mengatakan dagingku akan
rusak dan tulang-tulangku kelihatan, sesudah aku menderita
tujuh hari tujuh malam,” Katanya di dalam hati.
“Bagaimana bocah itu bisa tahu?” Tapi ia tak percaya Boe
Kie mempunyai kepandaian yang menyamai kepandaian
Ouw Ceng Goe. “Kau… kau… , takkan bisa menolongku,”
katanya terputus-putus.
Boe Kietersenyum. Dengan gagang kipas, ia menotok
Sian Ie Thong. “Aku akan membuat lubang di sini dan akan
memasukkan obat ke dalam lobang,” katanya.
“benar! Kau benar!” teriak Sian Ie Thong.
“Nah! Kalau kau mau hidup, lekaslah ceritakan segala
kedosaanmu,” kata Boe Kie.
Sambil menggigit bibir, Sian Ie Thong mengawasi
pemuda itu. “Ti…. Dak!” katanya dengan suara gemetar.
“Baiklah,” kata Boe Kie seraya mengibas tangannya.
“Kau rebahkan di sini tujuh hari tujuh malam.”
“Ya! … Ya! … aku… aku cerita… “ sesambat Sian Ie
Thong. Tapi, mulutnya tetap terkancing. Biar
bagaimanapun jua, terutama mengingat kedudukannya
sebagai Ciang Bun Jin dari sebuah partai besar, ia merasa
1445
tak sanggup untuk menceritakan perbuatan-perbuatannya
yang terkutuk di hadapan ratusan tokoh rimba persilatan.
Tiba-tiba, berbareng dengan siulan nyaring, dua orang,
satu jangkung dan satu kate, melompat keluar dari barisan
Hwa San Pay dan berdua di depan Boe Kie. Mereka berusia
lima puluh tahun lebih dan masing-masing mencekal
sebatang golok.
“Orang she Can,” kata si kate, “orang Hwa San Pay
boleh dibunuh, tidak boleh dihina. Perbuatanmu terhadap
Ciang Bun Jin kami bukan perbuatan seorang gagah.”
Boe Kie merangkap kedua tangannya dan bertanya:
“Bolehkah aku mendapat tahu she dan nama besar kedua
Cianpwee?”
“Derajatmu masih belum cukup untuk mengetahui nama
kami berdua,” kata si kate seraya membungkuk untuk
mendukung Sian Ie Thong.
Boe Kie mendorong si kate dan si kate terhuyung, “hatihati
kau!” katanya. “Badannya penuh racun dan kalau kena
sedikit saja, kau akan menderita seperti dia.”
Si kate terkejut dan berdiri terpaku.
“Tolong!... Tolong aku!” jerit Sian Ie Thong. Pek Goan,
Pek Soeko! Hanya Pek Soeko yang dibinasakan olehku
dengan Kim Cam Kauw Tok! Tidak ada orang lain lagi…
Tidak ada..”
“Pek Goan dibinasakan olehmu?” menegas si kate. “Apa
benar? Tapi mengapa kau mengatakan bahwa ia mati dalam
tangan orang-orang Beng Kauw?”
“Pek Soeko!... ampun… “ jerit Sian Ie Thong sambil
manggut-manggutkan kepalanya. “Pek Soeko.. kau mati
secara mengenaskan. Tapi siapa suruh kau memaksa aku
1446
untuk mengakui urusan nona Ouw? Suhu pasti tak akan
mengampuni aku, tiada jalan lain… aku… aku terpaksa..
Pek Suheng! Ampun!.... “ ia mencengkram
ternggorokannya, tapi tenaganya habis. Dengan napas
tersengal-sengal, ia berkata pula. “Sesudah mencelakai kau,
jalan satu-satunya untukku adalah menumplak kedosaan di
atas pundak Beng Kauw. Tapi… tapi.. aku sudah
membakar banyak uang-uangan untuk rohmu… aku sudah
membikin sembahyangan besar.. aku terus menunjang
penghidupan anak isterimu. Mengapa kau masih minta
ganti jiwa… ampun!...”
Ketika itu langit cerah dan matahari memancarkan
sinarnya yang gilang gemilang. Tapi mendengar jerit-jeritan
Sian Ie Thong, banyak orang menggigil seperti kedinginan.
Roh Pek Goan seolah-olah berada di tempat itu.
Pengakuan yang tak diduga-duga itu sudah keluar dari
mulut Sian Ie Thong sebab dalam penderitaannya, ia ingat
penderitaan Pek Goan. Biarpun Ouw Ceng Yo mati, nona
itu bukan mati dalam tangannya, ia mati bunuh diri. Tapi
Pek Goan binasa karena diracuni olehnya sendiri. Maka itu
ia merasa tak ada kedosaannya terhadap Nona Yo. Dalam
penderitaannya yang maha hebat itu di dalam otaknya
hanya teringat “Pek Goan” dan roh Suheng itu seolah-olah
berdiri di depannya untuk menagih utang.
Boe Kie tak mengenal Pek Goan. Tapi dari pengakuan
Sian Ie Thong, ia tahu bahwa segala kedosaan telah
ditimpakan ke pundak Beng Kauw. Mungkin sekali turut
sertanya Hwa San Pay dalam gerakan membasmi Beng
Kauw adalah untuk balas sakit hatinya Pek Goan. Memikir
begitu, ia lantas berkata dengan suara nyaring. “Para
Cianpwee dari Hwa San Pay, dengarlah! Pek Goan Suhu
bukan dicekali oleh orang Beng Kauw kalau sudah salah
mereka orang.”
1447
Tiba-tiba bagaikan kilat orang tua yang bertubuh
jangkung mengangkat goloknya dan membacok leher Sian
Ie Thong. Tapi Boe Kie mendahului, dengan gagang kipas
ia menotol badan golok yang lantas saja terpental dan
menancap di tanah.
“Perlu apa kau camput tangan?” bentak si jangkung
dengan gusar. “Dia pengkhianat partai. Siapapun juga
boleh membinasakannya.”
“Aku sudah berjanji untuk mengobati dia,” kata Boe Kie.
“Perkataan yang sudah diucapkan tidak bisa diabaikan
dengan begitu saja. Urusan dalam partai bisa dibereskan
sesudah kalian pulang ke Hwa San.”
“Soetee, perkataan dia ada benarnya juga,” kata si kate
sambil menendang punggung Sian Ie Thong. Tendangan
yang sangat keras itu bukan saja mampir tepat di Toa Toei
Hiat, tapi juga telah melontarkan tubuh Sian Ie Thong yang
kemudian ambruk di depan barisan Hwa San Pay. Pukulan
pada Toa Toei Hiat sakit bukan main, tapi Sian Ie Thong
sudah tidak bisa berteriak lagi. Ia berguling-guling sambil
menahan sakit, tapi tak seorangpun berani menolong, sebab
mereka takut ketularan racun.
“Kami berdua adalah paman guru Sian Ie Thong,” kata
si kate kepada Bu Ki. “Bahwa kau sudah membikin terang
satu perkara besar dalam partai kami, sehingga sakit hatinya
Pek Goan Soetit bisa terbalas, aku merasa sangat berterima
kasih,” sehabis berkata begitu, ia menyoja sambil
membungkuk. Si jangkung buru-buru ikut menyoja.
Mendadak si kate mengibas goloknya dan berkata, “tapi,
sebab kau sudah merusak nama harumnya Hwa San Pay,
maka tak ada jalan lain bagi kami berdua daripada
mengadu jiwa dengan kau.”
…….. yang bersih tetap bersih, yang kotor tinggal kotor.
1448
Kalau dalam sebuah partai muncul seorang jahat, nama
partai tersebut tidak rusak karena adanya orang jahat itu.
Mengapa kalian berpandangan begitu sempit?”
“Bagaimana pendapatmu? Apakah kejadian itu tidak
menodai nama Hwa San Pay?” Tanya si jangkung.
“Tidak, tentu saja tidak,” jawabnya.
“Soeko,” kata si jangkung. “Bocah itu mengatakan tidak
menodai partai kita.” Kurasa lebih baik kita bikin habis
urusan ini.
Si jangkung adalah seorang jujur terhadap Boe Kie, ia
agak jeri.
“Tidak! Tidak!” bentak si kate. “lebih dahulu singkirkan
hinaan dari luar, kemudian barulah menyapu bersih pintu
kita. Kalau hari ini Hwa San Pay tidak berhasil
menjatuhkan bocah itu, kita tidak bisa berdiri lagi dalam
rimba persilatan.”
“Baiklah,” kata si jangkung. “Eh, bocah! Kami berdua
mau mengerubuti kau. Jika kaur rasa tidak cukup adil,
paling benar siang-siang kau mengaku kalah.”
Si kate mengerutkan alisnya dan membentak,
“Soetee!...”
Si jangkung girang tak kepalang, “Kalau kami
mengerubuti kau, kau pasti tak bisa hidup lagi,” teriaknya.
Katanya, “kami berdua mempunyai ilmu golok yang
dinamakan Liang Gie To Hoat. Kau pasti kalah. Aku harap
kau tidak menyesal.”
“Aku hanya mengharap kedua cianpwee suka menaruh
belas kasihan.”
“Golok tidak mengenal belas kasihan,” kata si jangkung.
“Begitu bertempur golok kami tak mau main sungkan1449
sungkan lagi. Kulihat kau seorang yang baik. Aku tidak
sampai hati jika pasti membacok kau…”
“Soetee, jangan rewel!” bentak si kate.
“Aku hanya minta supaya ia berhati-hati,” kata si
jangkung. “Liang Gie To Hoat kita lain dari yang lain… “
“tutup mulut!” bentak si kate. Ia berpaling kepada Boe
Kie dan berteriak. “sambutlah!” Hampir berbareng,
goloknya menyambar.
Boe Kie mengangkat kipas Sian Ie Thong dan
mendorong belakang golok.
“Tidak bisa! Teriak si jangkung. Kalau begini, aku lebih
suka tidak bertempur.”
“Mengapa?” tanya Boe Kie.
“Kipas itu ada racunnya, bisa-bisa kita celaka semua,”
jawabnya.
“Benar,” kata Boe Kie. “Benda yang begini beracun
tidak boleh dibiarkan lama-lama di dunia.” Ia menjepit
kipas itu dengan telunjuk dan jari tengah menimpuk ke
bawah. “Blas!” kipas amblas ke dalam tanah dan apa yang
terlihat hanyalah lubang kecil. Sin kang sehebat itu tak akan
dapat dilakukan oleh siapapun jua yang berada di lapangan
itu. Tanpa merasa semua orang bersorak-sorai.
Sambil menjepit golok di bawah ketiaknya si jangkung
menepuk tangan. “Ambillah senjata,” katanya.
Boe Kie berwatak sederhana dan ia sebenarnya tak ingin
menonjol-nonjolkan kebenarannya di hadapan orang. Tapi
keadaan sekarang sangat luar biasa. Jika ia tak
memperlihatkan Sin Kang dan menaklukkan semua orang,
ia takkan bisa mencapai tujuannya untuk menghentikan
permusuhan. “Senjata apa yang cianpwee anggap pantas
1450
digunakan olehku?” tanyanya.
Si jangkung menepuk pundak Boe Kie dua kali. “Bocah,
kau mempunyai sifat yang menarik,” katanya sambil
tertawa, “Kau boleh menggunakan senjata apapun jua,
perlu apa kau tanya aku.”
Boe Kie tahu, bahwa tepukan itu tak bermaksud jahat,
tapi orang yang menonton kaget bukan main, sebab kalau si
jangkung menggunakan tenaga dalam, pemuda itu bisa
terluka berat. Mereka tak tahu, bahwa Boe Kie sudah
melindungi sekujur tubuhnya dengan Sin Kang, sehingga
andaikata si jangkung berlaku curang, ia takkan berhasil.
Karena pemuda itu tak lantas menjawab, kakek itu
berkata pula. “Apakah kau akan turut perkataanku, jika aku
menyebut senjata.”
“Ya,” jawabnya sambil tersenyum.
“Bocah, kau memiliki ilmu silat yang sangat tinggi dan
kau tentu mahir dalam delapan belas senjata,” kata si
jangkung. “Tapi sangat keterlaluan jika kau meladeni kami
berdua dengan tangan kosong.”
“Tangan kosong juga boleh,” kata Boe Kie.
Si jangkung menyapu seluruh lapangan matanya. Ia
ingin cari senjata yang aneh. Tiba-tiba ia lihat beberapa
buah batu besar di sudut sebelah kiri, berat setiap batu kirakira
dua ratus atau tiga ratus kati. “Aku bersedia untuk
mengalah terhadapmu dan kau boleh menggunakan senjata
yang sangat berat itu,” katanya seraya menuding beberapa
batu itu. Sehabis berkata begitu, ia mendongak dan tertawa
terbahak-bahak. Ia hanya berguyon. Batu-batu itu bukan
saja sangat berat dan takkan bisa diangkat oleh manusia
biasa, tapi juga tak ada pegangannya, tidak bergagang
seperti senjata biasa, sehingga sangat mustahil bisa
1451
digunakan sebagai senjata.
Tapi di luar dugaan sambil tersenyum Boe Kie berkata,
“Senjata itu agak luar biasa, Loocianpwee kelihatannya
ingin menjajal kepandaianku.” Seraya berkata begitu, ia
menghampiri batu itu.
Si jangkung menggoyang-goyangkan tangannya, “Aku
hanya main-main!” teriaknya. “Ambillah pedang untuk
melayani kami!”
Pemuda itu tak menjawab dan berjalan terus. Sekali
menggerakkan tangan kirinya, ia menyangga sebuah batu
yang paling besar dan sesudah memutar badan, ia berseru.
“Jie Wie, ayolah!” Ia melompat tinggi dan dilain saat sudah
berhadapan dengan kedua kakek itu.
Semua orang mengawasi dengan mulut ternganga.
Mereka begitu kaget sehingga mereka lupa untuk menepuk
tangan.
“Hebat! Sungguh hebat,” kata si jangkung seraya
mengurut jenggotnya.
Si kate tahu bahwa hari ini mereka bertemu dengan
lawan terberat. Apa nama besar mereka berdua akan dapat
dipertahankan masih merupakan satu pertanyaan. Sesudah
menarik napas dalam-dalam, ia maju, “sambutlah!”
katanya seraya membacok dengan golok yang bersinar
putih.
“Soeko, apa benar-benar kita berkelahi?” tanya si
jangkung.
“Kau kira main-main?” si kate balas menanya.
Bacokannya yang pertama dengan mudah sudah dikelit Boe
Kie.
Mendengar jawaban soekonya, si jangkung segera
1452
menyabet dengan golok Ceng Kong To yang bersinar hijau.
“Bagus!” seru Boe Kie sambil memapaki dengan
batunya.
“Trang!” Letupan api berhamburan. Hampir berbaring,
Boe Kie mendorong batu ke depan.
“Soen Soei Toei Couw!” teriak si jangkung. “Bocah,
senjata batu juga ada jurus-jurusnya?” (Soen Soei Toei
couw dengan mengikuti aliran air mendorong perahu)
Soetee, Hoen Toen It Po!” bentak si kate seraya
membuat setengah lingkaran dengan goloknya dan
membabat Boe Kie.
“Tay it Seng Beng. Liang Gie Hop Tek…” menyambung
si jangkung sambil mengirim beberapa serangan.
“Jit Goat Hoei Beng,” menyambut si kate. Dengan saling
sahut menyebutkan namanya pukulan, mereka menyerang.
Sambil mengerahkan Kioe Yang Sin Kang. Boe Kie
memutar-mutar batu itu seperti sebutir peluru. Tenaga
serangan Liang Gie To Hoat sangat besar, tapi walaupun
tenaga pemuda itu lebih besar lagi. Dengan melompat kian
kemari, ia menyambut setiap serangan dean tiap bacokan
menghantam batu sehingga letupan api berhamburan tak
henti-hentinya.
Sesudah bertempur beberapa lama, mendadak Boe Kie
melontarkan batu itu ke tengah-tengah udara dan kedua
tangannya menyambar leher si kate dan si jangkung.
Sesudah mencengkram jalan darah kedua kakek itu
sehingga mereka tak bisa bergerak lagi, ia melompat ke
belakang. Di lain saat batu yang beratnya kira-kira tiga ratus
kati itu meluncur ke bawah, ke arah kepala kedua jago Hwa
San Pay.
1453
Semua orang terkesiap.
Pada detik berbahaya, Boe Kie melompat maju dan
menepuk batu itu yang lantas saja terpental dan jatuh
amblas di dalam tanah. Ia tertawa dan sambil menepuk
pundak kedua kakek itu, ia berkata, “Jie Wie Loo
Cianpwee jangan bingung, Boanpwee hanay main-main.”
Paras muka si kate pucat bagaikan kertas. “Sudahlah!”
katanya dengan suara parau.
Tapi si jangkung menggelengkan kepalanya. “Tidak, ini
tidak masuk hitungan.” Katanya.
“Mengapa tidak masuk hitungan?” tanya Boe Kie. “Kau
mengalahkan kami dengan mengandalkan tenagamu yang
besar,” jawabnya. “Kau bukan menjatuhkan kami dengan
menggunakan ilmu silat.”
“Kalau begitu kita boleh bertanding pula.” Kata Boe Kie.
“Boleh,” kata si jangkung, “tapi kita harus menggunakan
satu cara baru. Kalau kau menang karena tenagamu yang
besar, biarpun kalah, kami kalah dengan penasaran.
Bukankah demikian?”
Pemuda itu mengangguk, “benar,” katanya.
Tiba-tiba SC berteriak, “Malu! Benar-benar malu! Kakek
jenggotan yang main padan berbalik mengatakan orang lain
curang.”
Si jangkung tertawa terbahak-bahak. “Bocah,” katanya.
“Orang sering kata: yang rugi ialah yang untung. Garam
yang ditelan olehku lebih banyak daripada beras yang
ditelan olehmu. Jembatan yang dilewati olehku lebih
panjang daripada jalanan yang pernah dilalui olehmu.
Bocah, tahu apa kau!” Ia menengok kepada Boe Kie dan
berkata pula, “Kalau kau tidak setuju, kita boleh tidak usah
1454
bertanding lagi. Dalam pertandingan tadi, kau tak kalah
dan kamipun tak menang. Seri saja! Tigapuluh tahun
kemudian, kita boleh berjumpa kembali.”
Mendengar perkataan Soeteenya yang makin lama jadi
makin gila, si kate buru-buru membentak. “Orang she Can!
Kami mengaku kalah, kau boleh berbuat sesuka hati
terhadap kami.”
“Boanpwee sama sekali tidak mengandung niat kurang
baik,” kata Boe Kie. “Dengan memberanikan hati
boanpwee hanya ingin mendamaikan permusuhan antara
partai cianpwee dengan Beng Kauw.”
“Tak bisa!” teriak si jangkung. “Aku belum ajukan
usulku. Mengapa kau lantas mundur?”
Si kate mengerutkan alisnya, tapi tidak mengatakan apaapa.
Ia tahu, bahwa biarpun gial-gilaan, dengan
mengandalkan ketebalan mukanya dan lidahnya, soetee itu
sering membuat musuh menjadi pusing dan mengubah
kekalahan menjadi kemenangan. Hari ini, dihadapan tokohtokoh
rimba persilatan, cara-cara itu memang tidak bagus.
Tapi jika ia dapat menjatuhkan Boe Kie, maka kemenangan
itu sekiranya dapat juga digunakan untuk menebus dosa.
“Bagaimana usul cianpwee?” tanya Boe Kie.
“Ilmu golok yang terlihai dari Hwa San Pay dinamakan
Hoan Liang Gie To Hoat,” jawabnya. “Lihainya To Hoat
itu sudah dirasai olehmu. Tapi kau tak tahu, bahwa Koen
Loen Pay mempunyai ilmu pedang yang dinamakan Ceng
Liang Gie Kiam Hoat. Kelihaian ilmu ini dikatakan
berendeng dengan To Hoat dari Hwa San Pay. Masingmasing
mempunyai keunggulan sendiri-sendiri. Manakala
dua golok dan dua pedang dipersatukan menjadi satu, maka
im (negatip) akan mendapat imbangan dari yang (positip)
dan air akan membantu api. Hai!....” berkata sampai di sini,
1455
ia menggoyangkan kepalanya dan kemudian menambah
dengan perlahan. “Hebat! Terlalu hebat!... kau tak akan bisa
melawan.”
Mendengar begitu, Boe Kie lantas saja menengok ke
barisan Koen Loen Pay dan berkata, “Apakah cianpwee
dari Koen Loen Pay sudi memberi pelajaran kepadaku?”
“Dalam Koen Loen Pay kecuali Thie Khim Sian Seng
suami isteri, tak ada lain orang yang bisa bekerja sama
dengan kami berdua,” kata si jangkung. “Kutak tahu
apakah Ho Ciang Boen bernyali cukup besar atau tidak.”
Seorang yang ingin menonton keramaian jadi girang
sekali. Dalam omongannya yang gila-gilaan, si jangkung
ternyata bukan manusia tolol.
Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham mengawasi si
jangkung. Mereka tak kenal dua kakek itu. Sebagai paman
guru Sian Ie Thong, kedua orang tua itu mempunyai
kedudukan yang sangat tinggi dan sudah tentu jarang
berkelana dalam dunia Kang Ouw See Hek yang jauh,
meka tidaklah heran jika mereka belum pernah bertemu
dengan kedua kakek itu.
Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham sangat bersangsi.
Mereka tahu, bahwa kedua kakek itu mau menyeret mereka
ke dalam gelanggan. Kalau menang, muka si jangkung dan
si kate akan terang kembali. Tapi kalau kalah… Huh! Tak
mungkin. Mana bisa Liang Gie Kim Hoat dari Koen Loen
Pay kalah dari pemuda yang tak dikenal itu?”
Melihat suami isteri Ho Thay Ciong tidak lantas
bergerak, si jangkung lantas saja berteriak. “Oooh! Suami
isteri Ho dari Koen Loen Pay tidak berani bertempur
dengan kau. Kau tak usah heran. Biarpun boleh juga, Ceng
Liang Gie Kam Hoat masih banyak cacatnya.
Dibandingkan dengan ilmu golok kami Hoan Liang Gie To
1456
Hoat masih lebih unggul setingkat dua tingkat.”
Pan Siok Ham gusat tak kepalang. Dengan sekali
melompat, ia sudah berada di tengah gelanggang. “Siapa
she dan nama tuan yang besar?” tanyanya seraya menuding
si jangkung.
“Akupun she Ho,” jawabnya. “Ho Hoe jin silahkan.”
Perkataan itu disambut dengan gelak tertawa ejek
sejumlah penonton.
Pan Siok Ham dikenal sebagai “tay Siang Ciang Boen
Jin” dari Koen Loen Pay. Selama puluhan tahun di daerah
yang luasnya beberapa ratus li persegi ia berkuasa bagaikan
ratu. Maka itu, mana bisa ia menerima ejekan di hadapan
orang banyak.
“srt!” bagaikan kilat ia menikam sijangkung.
Di detik ini masih bertangan kosong, di lain detik
pedangnya sudah menyambar dan ujung pedang hanya
terpisah setengah kaki dari pundak lawan.
Si jangkung terkesiap dan menyampok dengan goloknya.
“Trang!” pada saat terakhir berhasil memapaki bacokan
jago betina itu. Pan Siok Ham menyerang dengan pukulan
Kim ciam Touw Ciat (jarum emas melewati merah bahaya)
sedangkan si jangkung menyambut dengan Ban Ciat Pot
Hok (laksana merah bahaya tidak datang lagi) Kedua
pukulan itu yang satu “Ceng” yang lain “hoan” merupakan
ilmu silat Liang Gie yang indah luar biasa. Kalau tadi
dalam menghadapi Kiu Yang Sin Kang, si kakek tidak
berdaya sekarang ia memperlihatkan kepandaiannya yang
sangat tinggi, sebab pada hakekatnya, ia memang
merupakan seorang ahli silat dari kelas utama.
Sesudah gebrakan pertama, masing-masing mundur
setindak. Mereka terkejut dan merasa kagum. Mereka
1457
berlainan partai, berlainan ilmu dan belum pernah bertemu
muka. Tapi sesudah gebrakan itu, masing-masing yakin
bahwa jika Liang Gie To Hoat bekerja sama, maka kerja
sama itu akan menciptakan serupa ilmu silat yang tiada
bandingannya dalam dunia. Ketika itu, Pan Siok Ham
merasa seperti juga seorang yang selama hidupnya hidup
kesepian, tiba-tiba bertemu dengan sahabat akrab. Ia
menengok kepada suaminya dan berkata, “eh, kemana
kau!”
Ho Thay Ciong adalah seorang suami yang selalu
menurut perintah sang isteri. Tapi di hadapan orang banyak
ia merasa jengah juga dan berusaha untuk menolong muka
dengan memperlihatkan keangkerannya sebagai seorang
Ciang Boen Jin. Sambil mengeluarkan suara di hidung,
perlahan-lahan ia menghampiri sang isteri dengan didahului
oleh empat kacung. Satu membawa pedang, satu
menyangga khim besi dan dua orang memegang hudtim
(kebutan) Begitu tiba di tengah gelanggang, keempat kacung
itu membungkuk dan mundur, akan kemudian berdiri di
belakang Ho Thay Ciong.
Pan Siok Ham melirik suaminya dan berkata, “kita
berempat coba main-main dengan bocah itu supaya dia
mengenal lihainya ilmu silat Hwa San dan Koen Loen.” Ia
menengok dan mendadak mengeluarkan seruan tertahan.
Sambil mengawasi Boe Kie dengan mata membelalak, ia
berkata, “kau… kau…. “
Sebagaimana diketahui, pada empat tahun berselang, ia
pernah bertemu dengan Boe Kie. Walaupun sekarang dari
kanak-kanak Boe Kie sudah menjadi seorang pemuda,
badannya sudah berubah dan di atas bibirnya sudah tumbuh
sedikit kumis, ia masih mengenali pemuda itu.
“Apa tak baik jika kita melupakan kejadian yang dulu?”
kata Boe Kie. “Aku Can A Goe.”
1458
Pan Siok Ham mengerti maksud pemuda yang tidak mau
memperkenalkan namanya yang sejati. Ia mengerti, bahwa
jika ia membuka rahasia, Boe Kie pun akan melucuti
kedoknya akan mengumumkan cara bagaimana ia dan
suaminya sudah membalas kebaikan dengan kejahatan.
Maka itu, seraya mengangkat pedang, ia berkata, “Can
Siauw Hiap telah mendapat kemajuan pesat sekali. Dengan
jalan ini, aku memberi selamat, aku ingin minta
pengajaranmu.”
Boe Kie tersenyum. “Sudah lama kudengar Kiam Hoat
kalian berdua yang sangat lihai,” katanya. “Boanpwee
hanya mengharap cianpwee suka menaruh belas kasihan.”
Sementara itu, Ho Thay Ciong sudah mengambil pedang
yang dipegang kacungnya. “Senjata apa yang ingin
digunakan Can siauw Hiap?” tanyanya.
Melihat Ho Thay Ciong, Boe Kie lantas saja ingat
kejadian-kejadian pada empat tahun berselang. Ia ingat Kim
Koan dan Cin Koan yang bisa mengisap racun dan yang
kemudian mati sebab tiada makanan. Hal ini sangat
disayangkanolehnya. Iapun ingat, bahwa Ho Thay Ciong
dan isterinya pernah naik ke Boe tong untuk mendesak
kedua orang tuanya, sehingga ayah dan ibu itu mati bunuh
diri. Ia ingat pula, bahwa ia pernah dipaksa minum arak
beracun, dipukul sampai babak belur dan dilemparkan ke
batu gunung. Kalau tidak ditolong Yo Siauw, jiwanya pasti
sudah melayang.
Mengingat itu darah Boe Kie meluap. “Ho Thay Ciong,
Ho Thay Ciong!” katanya di dalam hati. “Hari itu kau
menghajar aku sepuas hati, hari ini meskipun tidak
mengambil jiwamu, aku akan memberi pelajaran setimpal
kepadamu.
Ketika itu kedua pemimpin Koen Loen dan kedua ratus
1459
Hwa San Pay sudah berdiri di empat sudut sambil mencekal
senjata mereka yang berkeredepan. Sekonyong-konyong
Boe Kie bersiul dan bagaikan sebatang pit badannya
meluncur ke atas, akan kemudian, dengan tiba-tiba
mengubah arah ke jurusan sebuah pohon bwee. Dengan
sekali menggerakkan tangan, ia sudah mematahkan
sebatang ranting yang penuh bunga dan sesudah itu,
barulah badannya melayang kembali ke bumi.
Ilmu ringan badan Boe Kie sudah dilihat orang. Tapi
gerakannya dalam memetik ranting bwee itu indah luar
biasa, sehingga semua orang menggeleng-gelengkan kepala,
bahkan kagumnya.
Sementara itu, Boe Kie sudah bertindak ke tengah
gelanggang dan sambil mengangkat ranting pohon itu. Ia
berkata, “biarlah dengan menggunakan ini, boanpwee
menerima pelajaran dari Hwa San Koen Loen.”
Semua orang kaget. Cara bagaimana pemuda itu
melawan keempat ahli silat dengan menggunakan ranting
pohon yang dihias dengan kurang lebih sepuluh kuntum
bunga? Biarpun memiliki lweekang yang sangat tinggi,
cabang kayu itu takkan bisa melawan golok dan pedang.
Pan Siok Ham tertawa dingin, “Bagus,” katanya.
“Bocah! Kau sedikitpun tidak memandang sebelah mata
kepada ilmu silat Hwa San dan Koen Loen.”
Boe Kie tersenyum dan menjawab, “Boanpwee pernah
dengar cerita seorang Sian Hoe (mendiang ayah) bahwa
seorang cianpwee dari Koen Loen Pay yaitu, Ho Ciok To
Sian Seng, mempunyai kepandaian luar biasa dalam ilmu
memetik khim, bersilat dengan pedang dan main catur,
sehingga beliau dikenal sebagai Koen Loen Sam Seng.
Hanya sayang kita terlahir terlalu lambat dan tak mendapat
kesempatan untuk bertemu dengan orang tua itu.”
1460
Semua orang mengerti maksud pemuda itu, dengan
memuju Ho Ciok Too, Boe Kie menghargai Koen Loen
Pay yang mempunyai leluhur jempolan, tapi ia memang tak
memandang sebelah mata kepada Cian Boen Jin yang
sekarang bersama isterinya.
Sekonyong-konyong dalam barisan Koen Loen Pay
terdengar bentakan menggeledek. “Anak haram! Betapa
tingginya kepandaianmu sehingga kau begitu kurang ajar
terhadap guruku?” cacian itu disusul dengan melompatny
seorang pria bewokan yang mengenakan jubah imam warna
kuning. Berbareng lompatan itu, pedangnya menikam
punggung Boe Kie, biarpun sebelum menyerang ia mancaci
tapi sebab gerakannya cepat luar biasa, maka serangan itu
tiada bedanya seperti bokongan.
Pada detik ujung pedang hampir menyentuh
punggungnya, tanpa memutar badan, kaki kiri Boe Kie
menyambar ke belakang dan dengan gerakan yang tak
dapat dilihat orang, kakinya sudah menginjak pedang itu di
atas tanah. Dengan menggunakan seantero tenaganya, si
imam membetot pedang itu, tapi sedikitpun tidak
bergeming.
Perlahan-lahan Boe Kie menengok dan ia segera
mengenali, bahwa penyerang itu bukan lain daripada See
Hoa Coe yang pernah ditemui di tengah lautan. Imam itu
yang sangat berangasan pernah mengeluarkan perkataan
kurang ajar terhadap mendiang ibunya In So So. Mengingat
itu Boe Kie berduka dan lalu bertanya, “Apakah kau See
Hoa Coe Tootiang?”
See Hoa Coe tidak menyahut. Dengan muka kemerahmerahan,
ia terus membetot pedangnya dengan sekuat
tenaga.
Tiba-tiba sesudah menotol badan pedang dengan tumit
1461
sepatu. Boe Kie mengangkat kakinya. Sebab tidak mendug,
si imam terhuyung setindak, tapi berkat kepandaiannya
yang tinggi, dengan mengerahkan lweekang, ia segera dapat
mempertahankan diri. Tapi, baru saja menggunakan Cian
Kin Toei (ilmu memberatkan badan supaya bisa berdiri
tetap) semacam tenaga yang datang dari badan pedang
mendorongnya. Tenaga itu adalah begitu hebat, hingga
tanpa berdaya ia jatuh duduk. Hampir berbareng, terdengar
suara “tang!” dan pedang patah dan ia hanya mencekal
gagangnya saja.
Bukan main malunya See Hoa Coe, Sang Soe Nio (isteri
guru) mengawasinya mencorong dengan sorot mata yang
gusar dan ia tahu bahwa ia akan mendapat hukuman.
Dengan bingung dan ketakutan, buru-buru ia berbangkit,
“anak haram!... “ bentaknya.
Sebenarnya Boe Kie sudah merasa cukup, tapi begitu
mendengar cacian “anak haram” yang mencaci juga kedua
orang tuanya, darahnya lantas saja meluap. Bagaikan kilat,
ia mengibas ranting bwee dan tiga “hiat” di dada See Hoa
Coe sudah tertotok. Tapi dengan berlagak pilon ia segera
berkata kepada empat lawannya, “para cianpwee boleh
lantas mulai!”
“Minggir kau!” bentak Pan Siok Ham.
“Apa belum cukup?”
“Baik,” jawab See Hoa Coe, tapi badannya tak bergerak.
Pan Siok Ham jadi makin gusar, “aku suruh kau
minggir, apa kau tak dengar!” teriaknya.
“Baik… baik… soe nio… baik” jawabnya terputus-putus.
Tapi ia tetap berdiri tegak.
Tak kepalang marahnya si jago betina. Dia sungguh tak
mengerti, mengapa murid itu sungguh kurang ajar. Ia belum
1462
tahu, bahwa beberapa jalan darah See Hoa Coe sudah
ditotok Boe Kie. Dengan mata mendelik, ia mendorong
keras murid yang dianggapnya bandel itu.
Badan si imam terdorong beberapa kaki, tapi badan dan
kaki tangannya tetap tidak berubah.
Sekarang barulah Pan Siok Ham berdua suami tahu
sebab musababnya. Mereka heran bercampur kagum.
Mereka tak mengerti, bagaimana Boe Kie bisa menotok
jalan darah tanpa diketahui mereka. Buru-buru Ho Thay
Ciong menotok beberapa hiat di pinggang muridnya untuk
membuka jalan darah yang tertutup. Diluar dugaan, See
Hoa Coe masih tetap tidak bisa bergerak.
Sambil menunjuk tubuh PH yang bersandar pada YS,
Boe Kie berkata, “Beberapa tahun yang lalu, nona kecil itu
sudah pernah ditutup jalan darahnya dan mereka dipaksa
untuk minum arak beracun, sedang aku sendiri tidak
berdaya untuk membuka hiat to yang tertotok. Sekarang
muridmu pun mendapat pengalaman yang sama. Kau tak
usah heran, ilmu Tiam Hiat kita berdua memang berlainan.
Melihat berubahnya paras muka para hadirin, Pan Siok
Ham merasa jengah dan untuk menutup rasa malunya,
tanpa mengeluarkan sepatah kata, ia segera menikam alis
Boe Kie. Hampir berbareng, pedang Ho Thay Ciong
menyambar punggung pemuda itu, dan kedua kakek Hwa
San Pay-pun lantas mulai menyerang.
Dengan sekali melompat Boe Kie menyelamatkan diri
dari empat senjata. Ho Thay Ciong segera mengirim
tikaman ke kedua pinggang Boe Kie untuk memaksa
pemuda itu menangkis dengan ranting bwee. Sambil
mementil golok si kate dengan telunjuk kiri, Boe Kie
menotol badan pedang Ho Thay Ciong memutar senjatanya
dan memapas cabang yang kecil itu. Ia berpendapat, bahwa
1463
biarpun lawan memiliki kepandaian tinggi, ranting itu
takkan bisa melawan tajam dan kerasnya pedang. Diluar
dugaan, Boe Kie pun memutar rantingnya dan memukul
badan pedang. Tiba-tiba Ho Thay Ciong merasa dorongan
dari semacam tenaga lembek sehingga pedangnya terpental
dan menghantam golok si jangkung.
“Aha, Ho Thay Ciong!” seru kakek itu. “Mengapa kau
membantu lawan?”
Paras muka Ho Ciang Boen berubah merah, tapi ia tentu
saja tidak mau mengaku bahwa pedangnya telah dipukul
terpental oleh pemuda itu.
“Omong kosong!” bentaknya seraya menikam Boe Kie.
Pertempuran lantas berubah dengan hebatnya.
Bagaikan hujan gerimis, Ho Thay Ciong mengirim
tikaman-tikaman berantai, sedang isterinya yang bergerak di
belakang Boe Kie berusaha menutup jalan mundur pemuda
itu. Dari kedua samping kedua kakek Hwa San Pay
mencecer dengan pukulan-pukulan terhebat dari Liang Gie
To Hoat.
Kedua macam ilmu silat itu yang satu “ceng” yang lain
“hoan” berasal dari pat kwa dan pulang ke pat kwa.
Dengan lain perkataan, karena sumbernya sama maka
meskipun jurus-jurusnya berlainan pada hakekatnya kedua
ilmu silat itu bersatu padu. Makin lama keempat tokoh
makin saling mengerti dan kerja sama juga jadi makin erat.
Sebelum bergebrak, Boe Kie pun tahu, bahwa keempat
lawannya tak boleh dibuat gegabah. Ia hanya tidak
menduga, bahwa kerja sama antara Hoan Liang Gie To
Hoat dan Ceng Liang Gie Kim Hoat bisa sedemikian hebat
dan berkat bantuan antara “yang” dan “Im” kerjasama itu
dikatakan tiada cacatnya. Tak ada bagian yang lemah, baik
1464
dalam serangan maupun dalam pembelaannya. Kalau
menggunakan senjata biasa, ia masih bisa mendapat
bantuan dari senjata itu. Apa mau secara temberang, ia
memilih ranting bwee dan sekarang ia menghadapi bahaya
besar.
Sesudah bertempur lagi beberapa lama, si kakek kate
mendadak menyerang kaki Boe Kie dengan menggulingkan
badan di tanah. Boe Kie berkelit ke samping, ia dipaki Pan
Siok Ham, “kena!” bentak jago betina itu dan paha Boe Kie
sudah tertikam!
Baru saja ia mementil senjata lawan, pedang Ho Thay
Ciong sudah menyambar dan golok kedua kakek itu
membabat kakinya. Dilain detik, Pan Siok Ham sudah
lantas saja menikam pula dengan serentak. Keadaan Boe
Kie terdesak.
Dalam bahaya, mendadak ia mendapat serupa ingatan.
Laksana kilat ia melompat dan bersembunyi di belakang
See Hoa Coe. Pan Siok Ham menikam dengan tujuan
membinasakan dan bukan hanya untuk menjajal
kepandaian. Ujung pedang yang menyambar dengan
disertai lweekang, hampir amblas di badan muridnya.
Untung juga ia keburu menarik pulang senjatanya, tapi See
Hoa Coe sudah berteriak dan mengeluarkan keringat
dingin.
Boe Kie jengkel dan bingung. Sesudah bertempur
beberapa lama, ia masih juga belum bisa menangkap intisari
daripada kedua ilmu silat itu. Sebelum dapat menyelam
isinya, ia tak akan bisa memecahkannya. Maka itu, jalan
satu-satunya ialah berkelit kian kemari dengan
menggunakan See Hoa Coe sebagai tameng. Sambil
menggunakan siasat main petak ini, pemuda itu mengeluh,
“Boe Kie! Boe Kie! Kau terlalu memandang enteng kepada
orang gagah di kolong langit. Sekarang kau menghadapi
1465
bencana. Jika bisa keluar dengan selamat, kau harus ingat
baik-baik pelajaran yang pahit ini. Benar juga kata orang, di
luar langit masih ada langit, di atas manusia masih ada
manusia.”
Pan Siok Ham merasa dadanya seperti mau meledak.
Kalau tidak dihadang See Hoa Coe, beberapa kali ia bisa
menikam pemuda itu. Kalau menuruti napsu, ia ingin
membuat putus badan si imam, tapi dengan adanya
kecintaan antara guru dan murid, ia tentu saja tidak tega
turunkan tangan jahat.
“Ho Hoe jin!” teriak si jangkung. “Kalau kau tidak mau
turun tangan terhadap orangmu, biarlah aku yang turun
tangan.”
“Sesudahmu!” bentaknya dengan gusar.
Si jangkung lantas saja mengangkat goloknya dan
menyabet pinggang See Hoa Coe.
Boe Kie terkejut. Jika kakek itu benar-benar membunuhi
imam, maka bukan saja ia sendiri terancam kebinasaan, tapi
dalam persoalan ini juga akan timbul sengketa baru. Maka
itu, dengan menggunakan sinkang, ia mengebut dengan
tangan bajunya dan golok si jangkung terpental.
Hampir berbareng si kate membacok. Boe Kie berkelit ke
kanan, tapi ia tidak mengubah arah goloknya yang terus
menyambar ke pundak See Hoa Coe. Ia membuat
gerakannya sedemikian rupa, sehingga seolah-olah tidak
keburu mengubah arah atau menarik pulang senjatanya.
Tapi di mulut ia berteriak, “See Hoa Coe Tooheng, hatihati!”
Dengan berbuat begitu, si kate coba menyebar bibit
penyakit kepada Boe Kie. Ia mengerti, bahwa jika ia
membinasakan See Hoa Coe, Ia akan bermusuhan dengan
1466
Koen Loen Pay. Tapi dengan pura-pura tidak keburu
menarik pulang senjata, ia bisa memindahkan kedosaan ke
atas pundak Boe Kie.
Boe Kie memutar badan dan mendorong dada si kate
dengan telapak tangannya. Napas kakek itu menyesak.
Buru-buru ia menyambut dengan tangan kiri, tapi goloknya
menyambar terus. Untung sungguh, sebelum golok mampir
di pundak See Hoa Coe, kedua tangan itu kebentrok dan si
kate terhuyung ke belakang, sehingga goloknya pun
membacok angin.
Sesudah jiwanya ditolong dua kali, si imam merasa
sangat berterima kasih kepada Boe Kie dan berbalik
membenci kedua kakek itu. “Kalau bisa hidup terus, aku
pasti akan berhitungan dengan bangsat kate dan jangkung
itu.” Katanya di dalam hati.
Dilain pihak, melihat pemuda itu melindungi muridnya.
Ho Thay Ciong dan Pan Siok Ham merasa girang. Mereka
bergirang sebab dalam usahanya melindungi See Hoa Coe,
Boe Kie jadi lebih sukar untuk membela diri. Mereka
sedikitpun tidak merasa berterima kasih terhadap lawan
yang sudah menolong muridnya dan mereka menyerang
makin hebat.
Melihat begitu, tokoh-tokoh Siauw Lim, Boe Tong, dan
Go Bie menggeleng-gelengkan kepala dan di dalam hati
kecil, mereka merasa malu. Kalau pemuda itu binasa,
sedikit banyak mereka turut berdosa.
Kedua kakek Hwa San Pay terus menyerang dengan
hebatnya, sebentar membabat Boe Kie, sebentar membacok
See Hoa Coe. Makin lama Boe Kie makin terdesak. “Tak
apa jika aku sendiri yang binasa,” pikirnya. “Tapi sangat
tidak pantas kalau aku menyeret juga imam ini.” Memikir
begitu, sambil menghantam si jangkung ia mengibas ranting
1467
bwee dan dengan kibasan itu, ia membuka jalan darah See
Hoa Coe.
Sesaat itu, si kate membabat kaki See Hoa Coe dan Boe
Kie menendang pergelangan tangannya. Dengan cepat
kakek itu menarik pulang tangannya. Mendadak si imam
yang sudah merdeka mengirim tinju yang tepat mampir di
batang hidung si kate, yang lantas saja mengucurkan darah.
Kepandaian jago Hwa San Pay itu banyak lebih tinggi
daripada si imam. Tapi sebab diserang sedari tidak didugaduga,
ia tidak keburu berkelit lagi.
Kejadian yang lucu itu disambut dengan gelak tertawa.
“See Hoa Coe, mundur kau!” bentak Pan Siok Ham
sambil menahan tertawa.
“Baiklah,” jawabnya, “Bangsat jangkung itu masih
hutang satu tinju,” tiba-tiba si kate menyapu kaki See Hoa
Coe, membacok dan menyikut. “Duk!” sikut kirinya
mampir di dada si imam. Tiga gerakan berantai itu adalah
salah satu jurus terlihai dari Hwa San Pay. Tubuh See Hoa
Coe bergoyang-goyang dan tanpa tercegah lagi, ia muntah
darah.
Bagaikan kilat, Ho Thay Ciong menempelkan telapak
tangan kirinya di pinggang si murid dan dengan sekali
mendorong, tubuh yang tinggi besar itu sudah terpental
beberapa tombak jauhnya. Sungguh indah pukulan itu!
Katanya, seraya mendongak si kate dan “sret!” pedangnya
menikam Boe Kie merupakan bukti bahwa Ciang Boen Jin
Koen Loen Pay memang bukan sembarang orang.
Sesudah penghalang menyingkir, keempat jago itu
menyerang makin hebat. Dua golok dan pedang berkelabatkelebat
bagaikan titiran dan Boe Kie seolah-olah dikurung
dengan sinar senjata. Dengan tenaga dalam yang sangat
kuat, ia tidak merasa lelah. Tapi serangan-serangan itu
1468
dengan perubahan-perubahannya yang aneh-aneh dengan
sesungguhnya terlampau hebat. Ia mengerti bahwa dalam
dua ratus atau tiga jurus lagi, ia akan binasa.
KIOE YANG SIN KANG yang dimiliki Boe Kie
didapat dari Kioe Yang Cin Kang gubahan Tat Mo Couw
Soe dari India, sedang KIAN KOEN TAY LO IE berasal
dari Iran. Kedua ilmu ini boleh dikatakan puncaknya
kepandaian manusia. Dilain pihak, kedua ilmu silat Liang
Gie itu digubah dari macam-macam ilmu Tiongkok asli
yang dicampur dengan kedudukan-kedudukan Pat Kwa dari
Boe Ong. Jika seseorang sudah melatih diri sampai pada
tingkat tertinggi dari ilmu tersebu maka ia akan banyak
lebih lihai daripada orang yang mempunyai KIAN KOEN
TAY LO IE Sin Kan. Tapi sebab Kitab Yan Keng (kitab
tentang Pat Kwa) sangat sukar dipelajari, maka keempat
jago itu baru mengenal kulitnya saja. Kalau bukan begitu,
siang-siang Boe Kie sudah binasa.
Sambil bertempur, pemuda itu terus mengasah otak.
Kalau mau dengan menggunakan ilmu pengenteng badan
dengan mudah ia bisa meloloskan diri dari kepungan.
Keempat tokoh itu tak akan mampu mengejarnya. Akan
tetapi jika ia lari, tujuannya yaitu mendamaikan
permusuhan antara enam partai dan Beng Kauw akan gagal
sama sekali. Sesudah memikirkan bolak-balik, ia
mengambil keputusan untuk bertahan terus dan baru
menyerang sesudah keempat lawannya lelah. Tapi diluar
dugaan, keempat orang tua itu memiliki tenaga dalam yang
sangat kuat dan aneh sampai kapan baru menjadi letih.
Biarpun sudah berada di atas angin, di dalam hati
keempat jago itu merasa sangat tidak enak. Mereka merasa
malu pada diri sendiri. Dengan mengingat kedudukan dan
nama mereka, jangankan empat lawan satu, sedang satu
lawan satupun sudah sangat hilang muka. Lebih daripada
1469
itu, sesudah bertempur tiga empat ratus jurus, mereka
belum juga bisa merobohkan Boe Kie. Untung juga,
pemuda itu sudah lebih dahulu menjatuhkan pendeta suci
Kong Seng. Sehingga kalau malu, malu beramai-ramai.
Makin lama Boe Kie makin terdesak, tapi tak gampanggampang
ia bisa dilukai. Pada detik-detik yang berbahaya ia
selalu dapat menyelamatkan diri dengan berkelit atau
menangkis dengan ranting bwee yang disertai sin kang.
Dilain pihak, keempat tokoh itu mempunyai pengalaman
luas dan kenyang menghadapi lawan berat. Makin lama
bertempur, mereka makin tidak berani berlaku sembrono.
Seraya mengempos semangat, mereka mendesak setingkat
demi setingkat.
Para tetua keempat partai mengikuti jalan pertandingan
dengan penuh perhatian dan saban-saban memberi
penjelasan serta petunjuk kepada murid-murid mereka yang
berdiri di sekitar lapangan.
“Lihatlah kamu semua,” kata Biat Coat Suthay kepada
murid-muridnya. “Ilmu silat pemuda itu sangat luar biasa.
Tapi keempat pemimpin dari Koen Loen Pay dan Hwa San
Pay sudah menjepitnya, sehingga ia tidak bisa bergerak lagi.
Ilmu silat dari Tiong Goan tak akan bisa ditandingi oleh
segala ilmu siluman dari See Hek. Liang Gie berubah
menjadi Soe siang dan Soe siang berubah menjadi Pat Kwa.
Dalam ilmu silat itu terdapat 8 kali delapan 64 kie pian
(perubahan yang luar biasa) dan kali empat puluh empat
teng pian (perubahan yang sudah tetap) enam puluh empat
dikali dengan enam puluh empat sehingga sama sekali ada
empat ribu sembilan puluh enam perubahan. Diantara
macam-macam ilmu silat di kolong langit, ilmu silat Liang
Gie lah yang mempunyai banyak perubahan.”
Sedari Boe Kie turun ke gelanggang. Cioe Coe Jiak
1470
sangat berkhawatir akan keselamatannya. Karena sangat
disayang oleh sang guru, nona itu sudah diberi pelajaran
kitab Ya keng. Sekarang dengan mengggunakan
kesempatan baik, ia segera berkata dengan suara nyaring.
“Soe hoe, menurut pendapat teecoe, biarpun jurus-juruanya
sangat beraneka warna, intisari dari Cong Han Siang Gie
ialah Thay Kek menjadi Im Yang Liang Gie. Yang terdiri
dair Thay Yang dan Siauw Im. Inilah yang dinamakan
Siauw Yang dan Thay Im. Inilah yang dinamakan Soe Sian.
Kalau tidak salah meskipun pukulan-pukulan keempat
cianpwee itu hebat luar biasa, tetapi yang paling lihai
adalah po hoatnya (tindakannya).” Karena ia menggunakan
bicara dengan menggunakan tenaga dalam tanpa merasa
semua orang menengok kepadanya.
Meskipun sedang bertempur mati-matian, kuping dan
mata Boe Kie tetap berwaspada terhadap keadaan di luar
gelanggang dan setiap perkataan nona Cioe didengar tegas
olehnya. “mengapa ia bicara begitu keras?” tanyanya di
dalam hati. “Apakah ia sengaja ingin memberi petunjuk
kepadaku?”
“Penglihatanmu sedikitpun tak salah,” kata Biat-Coat.
“Aku merasa girang, bahwa kau bisa menangkap intisari
dari ilmu silat para cianpwee.”
“Ya,” kata pula si nona pada diri sendiri. “Kian di
selatan, koen di utara, loodi di timur, kan di barat, cin di
timur laut, twie di tenggara, soen di barat daya, gin di barat
laut. Dari cin sampai Kian dinamakan soen (menurut) dari
soen sampai koen dinamakan gek (melawan).” Sesudah
berdiam sejenak, ia berkata lagi dengan suara lebih keras.
“Soehoe, tak salah, tepat seperti yang diajar olehmu, Ceng
Liang Gie Kiam Hoat dari Koen Loen Pay adalah Soen
yang meliputi kedudukan dari Cin sampai pada Kian. Hoan
Liang Gie To Hoat dari Hwa San Pay ialah Gek yang
1471
meliputi kedudukan dari Soen sampai papa Koen. Soehoe,
bukankah begitu?”
Mendengar perkataan muridnya, Biat-coat jadi girang
sekali. Ia mengangguk beberapa kali dan berkata. “Anak,
kau tidak menyia-nyiakan capai lelahku.” Nenek itu adalah
manusia yang paling jarang memuji orang. Perkataannya
itu adalah pujian tertinggi yang dapat diberikan olehnya.
Dalam girangnya, Biat-coat sedikitpun tidak
memperhatikan suara Cie Jiak yang sebenarnya terlampau
nyaring. Tapi banyak orang sudah melihat keluarbiasaan
itu.
Melihat banyak mata ditujukan kepadanya, Cie Jiak
lantas saja pura-pura tergirang-girang dan berkata sambil
menepuk-nepuk tangan. “Soehoe, benar, Soe-siang ciang
dari Go bie pay kita, dalam bundarnya terdapat persegi, Im
dan Yang saling bantu membantu. Yang bundar yang
berada di luar, adalah “Yang”. Yang persegi, yang di
tengah-tengah, ialah “Im”. Yang bundar, yang bergerak
dinamakan “Thian” (langit). Yang persegi, yang diam
(tenang), dinamakan “Tee” (bumi). Dengan demikian,
dalam ilmu silat kita itu terdapat Langit, Bumi, Im, Yang,
persegi, bundar, bergerak dan diam. Menurut pendapatku,
Soesiang ciang lebih unggul setingkat daripada Ceng hoan
Liang gie.”
Biat coat yang memang selalu merasa bangga akan
kelihayannya Soe siang ciang jadi makin girang, “Tak salah
apa yang dikatakan olehmu” katanya selalu bersenyum.
“Akan tetapi, kelihayan ilmu silat itu tergantung atas
kepandaian dan tenaga dalam diri orang yang
menggunakannya.
Diwaktu kecil, Boe Kie sering mendengar ceramahceramah
mengenai pelajaran kedudukan Pat-kwa, karena
1472
Ya-keng adalah kitab yang terutama dipelajari oleh murid2
Boe tong dan lweekang Boe tong pay juga berdasarkan kitab
itu.
Mendengar perkataan nona Cioe mengenai Soe siang
ciang, Soen dan Gok, ia terkejut. Ia segera memperhatikan
po hoat (tindakan) dan jurus2 keempat lawannya dan benar
saja, semua itu berdasarkan perubahan2 dari Soe siang Pat
kwa. Sekarang ia mengerti, mengapa Kian koen Tay lo ie
tidak bisa bergerak.
Pada hakekatnya, kalau sama-sama sudah mencapai
puncak kesempurnaan, ilmu silat See hek tidak akan bisa
menandingi ilmu dari Tiong goan. Bahwa Boe Kie masih
terus bisa mempertahankan diri adalah karena ia sudah
memiliki ilmu See hek sampai pada tingkat yang tertinggi,
sedang keempat lawannya baru mengenal kulit-kulit dari
ilmu silat Tionggoan itu. (See hek Daerah barat).
Dalam sekejap ia sudah dapat memikir beberapa cara
untuk merobohkan lawannya itu. Tapi ia masih bersangsi.
“Kalau kini aku menjatuhkan mereka, Biat coat akan
mendusin dan menggusari nona Cioe,” pikirnya. “Nenek
itu sangat kejam. Ia dapat melakukan perbuatan apapun
jua.”
Maka ia tak lantas mengubah cara bersilatnya. Tapi
sekarang, berbeda daripada tadi, ia bisa melayani dengan
tenang sambil memperhatikan jurus-jurus lawan. Makin
lama ia makin tahu seluk-beluk Ceng-hoan Liang gie.
Sementara itu, melihat keadaan Boe Kie tak berubah, Cie
Jiak jadi makin bingung.
“Dalam repotnya melayani musuh, ia tentu tak bisa
lantas menangkap ilmu silat yang sangat tinggi itu,”
pikirnya. Melihat Boe Kie makin terdesak, ia jadi nekat.
1473
Sambil menghunus pedang, ia melompat masuk ke
dalam gelanggang. “Soe wie Cianpwee!” serunya. Jika
kalian tidak bisa merobohkan bocah itu, biarlah aku yang
mencoba-coba.”
Ho Thay Ciong jadi gusar. “Jangan rewel! Minggir kau!”
bentaknya.
Alis Pan Siok Ham berdiri. “Pernah apa kau dengan
bocah itu?” tanyanya dengan suara keras. “Kau mau
melindungi dia? Koen loen pay tak boleh dibuat
permainan.”
Karena topengnya dilucuti, paras muka Cie Jiak lantas
saja berubah merah.
“Cie Jiak balik!” bentak Biat-coat.
“Koen-loen-pay tidak boleh dibuat permainan. Apa kau
tidak mendengar?”
Boe Kie merasa sangat berterima kasih. Dia merasa,
bahwa mereka terus berlagak terdesak, si nona pasti akan
mencari lain daya upaya untuk membantu dirinya. Kalau
hal itu dilihat oleh Biat-coat, Cie Jiak bisa celaka. Maka itu,
ia lantas tertawa terbahak-bahak. “Aku adalah pecundang
dari Go-bie-pay”, katanya. “Aku pernah ditawan Biat-coat
Soethay, memang benar Go-bie-pay lebih unggul daripada
Koen-loen pay”. Seraya berkata begitu, ia maju dan tidak ke
kiri. Kini tangan kanannya yang memegang ranting bwee
membabat ke bawah.
Kesiuran angin yang dahsyat itu, lantas saja
menghantam punggung si kate. Pukulan dan tindakan Boe
Kie dilakukan dengan tenaga dan waktu yang tepat,
sehingga tanpa merasa, golok si kate menyambar ke arah
Pan Siok Ham. Pemuda itu ternyata memukul dengan Kian
koen Tay-lo-ie Sin-kang dan bertindak menurut kedudukan
1474
Pat kwa. Dalam kagetnya, si jago pedang betina menangkis
dengan pedangnya. “Trang!”, tangkisannya berhasil, tapi
golok si jangkung sudah menyusul.
Untuk menolong istrinya, Ho Thay Ciong melompat dan
menangkis golok si jangkung.
Boe Kie menepuk dengan telapak tangannya dan golok si
kate membacok kempungan Ho Thay Ciong. Pan Siok
Ham gusar. Dengan beruntun ia mengirim tiga serangan
berantai, sehingga si kate repot. “Hei! Jangan kena diakali si
bangsat kecil itu!” teriaknya.
Kini Ho Thay Ciong mendusin. Seraya menikam Boe
Kie. Dengan Tay-lo-ie Sin kang, pemuda itu menyambut
pedang Ho Thay Ciong yang lantas saja berubah arah dan
menyambar pundak si jangkung.
Si jangkung berteriak-teriak bahna gusarnya. Dengan
sekuat tenaga ia membacok kepala Ho Thay Ciong.
Si kate buru-buru berteriak, “Soetee, jangan kalap! Itu
semua perbuatan si bocak. Celaka!” Pada detik itu, pedang
Pan Siok Ham berkelebat di pundaknya.
Dalam sekejap kedua kakek Hwa san pay sudah terluka
enteng, digores pedang kawan sendiri. Gerakan-gerakan
kedua golok dan kedua pedang jadi kalang kabut. Bacokan,
babatan, papasan, tikaman yang ditujukan ke tubuh Boe
Kie selalu berubah arah dan menghantam kawannya
sendiri.
Kini semua orang bisa lihat, bahwa itu semua perbuatan
Boe Kie. Tapi ia tak tahu, ilmu apa yang digunakan
pemuda itu. Yang tahu hanyalah Yo Siauw seorang. Tapi
iapun hampir tidak percaya, bahwa seorang manusia bisa
memiliki Kian koen Tay-lo-ie Sin-kang sampai pada taraf
yang begitu tinggi.
1475
Untuk melawan, Pan Siok Ham memberi isyarat dengan
teriakan. “Mutar ke Boe-bong wie!...” Tapi itu semua tak
menolong sebab Kian-koen Tay-lo ie Sin-kang sudah
menguasai mereka dari delapan penjuru. Mati-matian ia
coba memberontak. Tapi semua sia-sia saja setiap gerakan
atau bacokan pasti menikam kawannya sendiri.
“Soeko, apa tak baik kau mengurangi sedikit tenagamu?”
teriak si jangkung sambil menangkis golok kakak
seperguruannya.
“Aku bacok bangsat kecil itu, bukan kau?” kata si kate.
“Soeko, hati-hati!” teriak si jangkung. “Bacokan ini
mungkin akan berbalik…” Benar saja goloknya menyambar
sang kakak.
Tiba-tiba dengan paras muka menyeramkan, Pan Siok
Ham melemparkan pedangnya. “Ini benar,” pikir si kate
yang lantas saja turut membuang senjatanya dan kemudian
menendang Boe Kie. Mendadak pedang Ho Thay Cong
menyambar mukanya dan sebab telah tak bersenjata, buru2
ia menundukkan kepala. “Lepaskan senjata!” teriak Pan
Siok Ham. Mendengar perintah sang isteri, Ho Ciang-boen
segera melontarkan pedangnya jauh2. Sambil membuang
goloknya, si jangkung menjambret leher Boe Kie. Ia merasa
telapak tangannya menyentuh benda keras dan ia segera
mencengkeram. Sedetik kemudian ia terkesiap, sebab yang
dicengkeramnya bukan lain daripada gagang goloknya
sendiri yang dipulangkan oleh Boe Kie dengan
menggunakan Kian-koen Tay-lo-ie Sin Kang.
“Aku tak mau menggunakan senjata!” teriak si jangkung
seraya melemparkan lagi goloknya. Boe Kie miringkan
badan dan menangkap pula senjata itu yang sekali lagi
dipulangkan ke tangan lawan. Kejadian itu terulang
beberapa kali. Dalam kaget dan kagumnya si jangkung
1476
tertawa terbahak-bahak. “Bangsat bau, kau benar-benar
mempunyai ilmu siluman!” teriaknya.
Sementara itu, si kate dan suami isteri Ho sudah
menyerang dengan tangan kosong. Ilmu silat tangan kosong
dari Hwa san dan Koen loen tidak kalah hebatnya dari ilmu
silat dengan memakai senjata. Tapi pemuda itu licin
bagaikan ikan di air. Pada detik-detik berbahaya, ia selalu
bisa menyelamatkan diri, akan kemudian balas menyerang.
Sampai di situ, keempat jago mengerti bahwa mereka tak
akan bisa mendapat kemenangan.
“Bangsat bau! Awas senjata rahasia!” teriak si jangkung.
Ia mendehem dan menyembur Boe Kie dengan riaknya.
Boe Kie berkelit dan dengan menggunakan kesempatan itu,
si jangkung melontarkan goloknya. Tiba-tiba ia berteriak,
“Celaka! Maaf!” Apa yang sudah terjadi? Dengan tangan
kiri Boe Kie mengibas riak itu yang berbalik dan mampir di
dahi Pan Siok Ham.
Si ratu Koen loen jadi kalap. Sekarang ia nekad. Ia
mengambil keputusan untuk mati bersama-sama Boe Kie.
Sambil mementang sepuluh jarinya dan berdiri di belakang
Boe Kie untuk mencegat jalan mundur pemuda itu. Melihat
kesempatan baik, Ho Thay Ciong juga menubruk. Ia
merasa pasti kali ini bocah bau itu tak akan bisa meloloskan
diri.
Seraya bersiul nyaring, badan Boe Kie mendadak
melesat ke atas dan begitu berada di tengah udara, ia
mengerahkan Kian koen Tay lo Ie Sin kang dan mengibas
kedua tangannya dengan gesit dan cekatan. Sesudah itu ia
lantas memutar badan dan dengan gerakan yang sangat
indah tubuhnya melayang ke muka bumi dan hinggap pada
jarak kurang lebih setombak dari tempat semula.
Hasil perbuatan Boe Kie sangat menakjubkan!
1477
Ho Thay Ciong memeluk pinggang isterinya, Pan Siok
Ham mencengkeram pundak sang suami, sedang si kate dan
si jangkung juga saling peluk erat-erat. Sesudah berkutat
sejenak, keempat jago itu sama-sama roboh.
Dilain detik suami isteri Ho mendusin dan dengan paras
muka kemerah-merahan mereka melompat bangun.
“Mampus kau!” teriak si jangkung. Celaka! … sial!...
“Lepas!” seru si kate.
Dengan malu bercampur gusar, kedua kakek itu pun
berbangkit.
“Bangsat bau!” teriak si jangkung. “Ini bukan pieboe.
Kau menggunakan ilmu siluman. Kau bukan enghiong.”
Si kate mengerti, bahwa pertempuran tak guna
dilangsungkan lagi. Makin lama mereka akan menderita
makin hebat. Sambil mengangkat kedua tangannya ia
berkata, “Sin kang tuan tinggi luar biasa, aku si tua belum
pernah melihat kepandaian yang semacam itu. Hwa san pay
menyerah kalah.”
“Maaf”, jawab Boe Kie sambil membalas hormat.
“Boanpwe menang sebab kebetulan. Kalau tadi para
Cianpwee tak menaruh belas kasihan, siang-siang
Boanpwee sudah binasa di bawah golok dan pedang Cenghoan
Liang gie.” Dengan berkata begitu Boe Kie bicara
sejujurnya. Kalau tak dibantu Cie Jiak, ia memang bakal
celaka.
Si jangkung girang. “Bagus! Kau tahu, bahwa kau
menang sebab kebetulan,” katanya.
“Apakah aku boleh tahu she dan nama Jie wie Cianpwee
yang mulia?” tanya Boe Kie. “Kalau belakang hari kita
bertemu pula, boanpwee bisa memanggil dengan panggilan
1478
yang benar.”
Si jangkung tertawa lebar dan menjawab. “Soeko ku
ialah Wie…”
“Tutup mulut!” bentak si kate. Ia menengok kepada Boe
Kie dan berkata pula. “Sebagai jenderal yang keok kami
merasa sangat malu. Tuan tak perlu tahu nama kami yang
hina dina.” Sesudah berkata begitu, ia masuk ke dalam
barisan Hwa san pay. Si jangkung tertawa nyaring. “Dalam
peperangan, menang atau kalah adalah kejadian lumrah,”
katanya. “Bagiku tak menjadi soal.” Ia menjemput dua
batang golok yang menggeletak di tanah dan kemudian
balik ke barisannya sendiri.
Sementara itu Boe Kie sudah menghampiri Sian Ie
Thong dan menotok jalan darahnya. “Sesudah pertempuran
selesai, aku sekarang mau mengobati kau,” katanya. “Aku
menotok jalan darahmu untuk mencegah naiknya racun ke
jantung.” Di detik itu, mendadak ia merasai kesiuran angin
dingin di belakangnya dan rasa perih di punggungnya. Ia
terkesiap, kakinya menotol bumi dan badannya melesat ke
atas.
“Cres… cress…” disusul dengan teriakan menyayat hati.
Di tengah udara ia memutar badan dan ia mendapat
kenyataan dua batang pedang suami isteri Ho Thay Ciong
sudah amblas di dada Sian Ie Thong!
Sebagai orang yang mempunyai kedudukan dan
kepandaian tinggi dan sebagai orang yang selalu bangga
akan kepandaiannya, Ho Thay Ciong dan Pak Siok Ham
merasa penasaran, bahwa mereka telah roboh dalam
tangannya seorang pemuda yang tak dikenal dalam rimba
persilatan. maka itu, tanpa memperdulikan pantas atau
tidak pantas selagi Boe Kie membungkuk untuk menotok
jalan darah Sian Ie Thong, ia membokong dengan pukulan
1479
yang dinamakn “Boe seng Boe sek” (tak ada suaranya, tak
ada warnanya).
Boe seng Boe sek adalah salah satu pukulan terhebat dari
Koen loen pay. Pukulan itu harus didalami oleh dua orang
yang tenaga dalamnya kira-kira bersama. Dua tenaga yang
keluar dari pukulan itu saling bertentangan, sehingga
sebagai akibatnya, suara yang bisa terdengar dalam
menyambarnya senjata menjadi hilang. Itulah sebabnya
mengapa jurus ini dinamakan “Boe seng Boe sek.”
Diluar dugaan, sesudah memiliki Kioe yang Sin kang,
panca indera Boe Kie lebih tajam dan gerakannya cepat luar
biasa. Tapi meskipun begitu, bajunya robek dan kulitnya
kena juga digores pedang. Karena suami isteri Ho tidak
keburu menarik pulang senjata mereka, maka yang menjadi
korban adalah Sian Ie Thong.
Semua orang menjadi gempar.
Sebab sudah ketelanjur, bagaikan kalap kedua pemimpin
Koen loen pay itu segera menerjang Boe Kie. Sesudah
mendapat malu besar mereka mengambil keputusan untuk
mengadu jiwa. Pedang mereka menyambar-nyambar dan
setiap serangan adalah serangan untuk binasa bersamasama
musuh.
Tiba2 Boe Kie mendapat serupa ingatan. Ia berjongkok
dan menjemput sedikit tanah yang sesudah dicampur
dengan keringat pada telapak tangannya, lalu dibuat
menjadi dua butir pel. Di lain saat Ho Thay Ciong dan Pan
Siok Ham menyerang dari kiri kanan. Boe Kie melompat ke
samping mayat Sian Ie Thong dan berlagak mengambil
sesuatu dari saku mayat. Kemudian ia memutar badan dan
menghantam kedua lawan itu dengan telapak tangan,
dengan menggunakan tujuh bagian tenaga. Dengan
berbareng suami-isteri Ho merasai tekanan hebat pada dada
1480
mereka dan napas mereka menyesak. Cepat-cepat mereka
membuka mulut untuk menyedot hawa segar. Tiba-tiba Boe
Kie mengayun kedua tangannya dan kedua pel tanah itu
masuk ke dalam tenggorokan Ho Thay Ciong dan Pan Siok
Ham. Mereka batu-batuk, tapi kedua “yo-wan” sudah
masuk ke dalam perut.
Paras muka kedua suami isteri itu lantas saja berubah
pucat. Mereka melihat Boe Kie mengambil sesuatu dari
saku Sian Ie Thong. Apalagi kalau bukan racun?
Mengingat penderitaan Sian Ie Thong, bulu roma
mereka bangun semua. Pan Siok Ham sudah lantas merasa
pusing dan badannya bergoyang-goyang.
“Di dalam sakunya Sian Ie Thong selalu membawabawa
ulat sutera emas yang dibungkus dengan lilin,” kata
Boe Kie dengan suara tawar. “Kalian masing-masing sudah
menelan sebutir lilin, kalau Jie wie cianpwee bisa
memuntahkannya sebelum lilin melumer di dalam perut,
mungkin sekali jiwa kalian masih bisa ditolong.
Sambil mengerahkan lweekang, Ho Thay Ciong dan
isterinya segera berusaha untuk memuntahkan “yo-wan”
itu. Dengan tenaga dalamnya yang sangat kuat, beberapa
saat kemudian mereka berhasil mengeluarkan tanah itu
yang sudah tercampur dengan cair kantong nasi.
Si kakek jangkung dari Hwa san pay lantas saja
mendekati dan setelah melihat apa yang keluar dari perut,
ia tertawa dan berkata, “Aduh! Itulah tai ulat sutera emas.
Ulat itu mengeram dalam perutmu dan berak.”
Kaget dan gusarnya ratu Koen loen pay sukar dilukiskan.
Dengan sekuat tenaga ia menghantam si jangkung yang
iseng mulut. Kakek nakal itu melompat balik ke barisannya
dan seraya menuding Pan Siok Ham, ia berteriak,
“Perempuan galak! Kau sudah membunuh Ciang bun jin
1481
dari partai kami dan Hwa san pay pasti tak akan menyudahi
perbuatanmu itu.”
Suami isteri Ho terperanjat. Meskipun berdosa besar,
Sian Ie Thong adalah seorang Ciang bun jin. Mereka
mengerti bahwa kesalahan tangan itu akan berekor panjang
dan hebat, tapi dalam menghadapi kebinasaan segera,
mereka tak sempat menghiraukan lagi bahaya di belakang
hari. Mereka tahu bahwa di dalam dunia hanyalah Boe Kie
yang bisa menolong mereka. Tapi mengingat perbuatan
mereka dahulu hari, apakah pemuda itu sudi
mengangsurkan tangan?
Boe Kie tertawa tawar dan berkata dengan suara tawar
pula. “Jie wie tak usah takut, walaupun Kim-can sudah
berada dalam perut enam jam kemudian barulah racunnya
mengamuk. Sesudah membereskan urusan besar ini,
boanpwee pasti akan menolong. Boanpwee hanya berharap
Ho Hoejin jangan memaksa aku minum arak beracun.”
Biarpun disindir, kedua suami isteri itu menjadi bingung.
Tapi mereka merasa malu hati untuk mengucapkan terima
kasih dan sambil menundukkan kepala, mereka lalu
kembali ke barisan sendiri.
“Cobalah Jie wie minta empat butir Giok tong Hek seng
tan dari Khong tong pay, kata Boe Kie. “Obat itu bisa
menahan naiknya racun ke jantung.”
Ho Thay Ciong mengangguk dan segera memerintahkan
salah seorang muridnya minta pel itu dari pemimpin Khong
tong pay.
Dalam hati Boe Kie tertawa geli. Giok tong Hek sek tan
memang obat pemunah racun, tapi obat itu mengakibatkan
sakit perut selama dua jam. Sesudah menelannya, perut
suami isteri Ho sakit bukan main. Mereka makin ketakutan
dan menduga racun sudah mulai mengamuk. Mereka tak
1482
pernah mimpi bahwa mereka dikelabui oleh pemuda itu.
Sementara itu Biat coat Soethay berkata kepada Song
Wan Kiauw. “Song Thay hiap, antara enam partai hanya
ketinggalan dua partaimu dan partai kami. Partai kami
kebanyakan terdiri dari kaum wanita. Maka itu Song
Tayhiap lah yang harus bertindak.”
“Siauw too sudah dikalahkan oleh In Kouwcoe,” jawab
Wan Kiauw. “Kiam-hoat Soethay tinggi luar biasa dan
Soethay pasti bisa menakluki bocah itu.”
Biat-coat tersenyum tawar dan seraya menghunus Ie
thian kiam, ia bertindak masuk ke dalam gelanggang.
Se-konyong2 Jie hiap Jie Lian Cioe keluar dari barisan
Boe tong pay. Sedari tadi dengan rasa kagum dan heran ia
memperhatikan ilmu silat Boe Kie. “Walaupun lihay belum
tentu Biat-coat Soethay bisa melawan empat jago dari Hwa
san dan Koen-loen,” pikirnya. “Kalau ia kalah Boe tong
pay jua kalah, maka usaha enam partai akan gagal sama
sekali. Biarlah aku yang menjadi lebih dulu.” Memikir
begitu ia segera menyusul Biat-coat dan berkata. “Soethay,
biarlah kami berlima saudara yang lebih dulu mengadu
ilmu dengan pemuda itu. Paling belakang barulah Soethay
maju dan aku merasa pasti Soethay akan memperoleh
kemenangan.”
Maksud Jie Lian Cioe cukup terang. Boe tong pay
dikenal sebagai partai yang mengutamakan latihan
lweekang. Kalau ilmu pendekar Boe tong dengan bergiliran
melayani pemuda itu, maka andai kata mereka tak
mendapat kemenangan, pemuda itu pasti akan lelah sekali.
Sesudah dia lelah, Biat coat maju untuk merobohkannya.
Si nenek mengerti maksud Jie Lian Cioe. Ia mendongkol
dan berkata dalam hati. “Siapa sudi menerima budi Boe
tong pay? Dengan cara begitu biarpun menang,
1483
kemenangan itu bukanlah kemenangan gemilang!” Ia
sombong memandang rendah kepada semua manusia.
Meskipun sudah menyaksikan kelihayan Boe Kie, di dalam
hati ia merasa bahwa jago dari lain-lain partai adalah
manusia-manusia tolol. Ia tak percaya bahwa ia tak bisa
merobohkan pemuda itu.
Maka itu seraya mengibaskan tangan jubah ia berkata,
“Jie Jie hiap balik saja! Sesudah dihunus, Ie thian kiam tak
bisa dimasukkan lagi ke dalam sarungnya sebelum
bertempur.”
“Baiklah,” kata Jie Lian Cioe yang segera kembali ke
barisannya.
Sambil melintangkan pedang mustika di dadanya, Biat
coat menghampiri Boe Kie. Ie thian kiam dibenci dan
ditakuti Beng kauw. Anggota Beng kauw yang binasa
karena pedang itu sukar dihitung jumlahnya. Sekarang,
melihat si nenek maju dengan pedang terhunus, mereka
semua berkuatir tercampur gusar dan beramai-ramai
mereka mencaci Biat coat.
Si nenek tertawa dingin, “Jangan rewel kalian!”
bentaknya. “Kalian tunggulah! Sesudah membereskan
bocah itu, aku akan segera membereskan kalian semua.”
In Thian Ceng tahu Ie thian kiam sukar dilawan. “Can
Siauw hiap, senjata apa yang ingin digunakan olehmu?”
tanyanya.
“Aku tak punya senjata,” jawabnya. “Bagaimana pikiran
Loo ya coe?” Di dalam hati ia memang merasa jeri
terhadap pedang mustika itu.
Perlahan-lahan sang kakek menghunus pedang yang
tergantung di pinggangnya. “Terimalah Pek hong kiam ini,”
katanya. “Meskipun tidak bisa menandingi Ie thian kiam
1484
dari bangsat perempuan itu, pedang ini senjata yang jarang
terdapat dalam dunia Kangouw.” Seraya berkata begitu, ia
menyentil badan pedang yang lantas saja membengkok
karena lemas seperti ikat pinggang. Satu suara “uunng !”
yang nyaring bersih lantas saja terdengar dan badan pedang
pulih kembali seperti sedia kala. (Pek hong kiam – Pedang
bianglala putih).
Dengan sikap menghormat Boe Kie menyambuti pedang
itu. “Terima kasih,” katanya sambil membungkuk.
“Pedang itu sudah mengikuti aku selama puluhan tahun
dan sudah membunuh banyak sekali manusia rendah,” kata
In Thian Ceng. “Kalau hari ini dia bisa membunuh bangsat
perempuan itu, biarpun mati loohoe merasa puas.”
“Boanpwee akan perbuat apa yang boanpwee bisa,” kata
Boe Kie.
Sambil menundukkan ujung pedang ke muka bumi dan
memegan gagang pedang Pek hong kiam dengan kedua
tangan, pemuda itu berkata kepada Biat coat. “Kiam hoat
boanpwee sudah pasti bukan tandingan Soethay dan
sebenar-benarnya boanpwee tidak berani melawan
Cianpwee. Cianpwee pernah menaruh belas kasihan kepada
para anggota Swie kim kie, mengapa sekarang Cianpwee
tidak bisa menaruh belas kasihan kepada boanpwee?”
Alis si nenek lantas saja turun. “Kawanan setan Swie
kim kie ditolong olehmu,” katanya dengan suara
menyeramkan. “Biat coat Soethay belum pernah
mengampuni orang. Sesudah menang baru kau boleh
membuka bacot.”
Para anggota Lima Bendera Beng kauw, yang sangat
membenci nenek itu, lantas saja berteriak-teriak.
“Bangsat tua! Kalau kau benar-benar jagoan coba kau
1485
bertanding dengan tangan kosong melawan Can
Siauwhiap.”
“Kiam hoatmu cetek sekali. Yang diandalkan olehmu
hanyalah pedang Ie thian kiam.”
“Apa kau rasa kau bisa menang?”
Dan sebagainya.
Biat coat tidak memperdulikan cacian dan ejekan itu.
“Hayo mulai!” katanya dengan nyaring.
Boe Kie sebenarnya belum pernah belajar ilmu pedang.
Mendengar undangan si nenek ia bersangsi. Tiba-tiba ia
ingat Liang gie Kiam-hoat dari Ho Thay Ciong yang lihay
dan indah. Ia segera mengangkat pedang dan membabat.
“Siauw Pek Toan in dari Hwa san pay!” seru Biat coat
dengan heran (Siauw pek Toan in – memapas tembok
memotong awan).
Bagaikan kilat si nenek menikam dari samping. Dalam
gebrakan pertama itu, tanpa menangkis serangan, ia balas
menyerang. Dengan lweekang yang hebat, ujung Ie thian
kiam menyambar pusar pemuda itu.
Boe Kie berkelit ke samping, tapi sebelum ia berdiri tegak
pedang Biat coat sudah meluncur di tenggorokannya. Boe
Kie terkesiap. Dengan bingung ia menggulingkan diri di
tanah. Tapi sebelum ia melompat bangun, angin dingin
sudah menyambar-nyambar di lehernya. “Celaka!” ia
mengeluh, ujung kakinya menotol tanah dan badannya
melesat ke atas. Ia berhasil menyelamatkan jiwa dari satu
kedudukan yang hampir tidak mungkin dilakukan oleh
seorang manusia. Baru saja hadirin mau bersorak, si nenek
sudah melompat dan pedangnya diangkat untuk memapaki
tubuh pemuda itu.
Detik itu tubuh Boe Kie sedang melayang turun ke
1486
bawah. Karena berada di tengah udara, ia tidak bisa berkelit
lagi. Ie thian kiam menyambar! Hati Boe Kie mencelos.
Satu diantara dua: kalau bukan kedua kakinya, badannya
akan terbabat kutung!
Pada saat yang sangat berbahaya, Kian koen Tay lo ie
memberi reaksi yang wajar. Tanpa memikir lagi, ia
menyentuh ujung Ie thian kiam dengan ujung Pek hong
kiam. “Trang!” Pek hong kiam melengkung dan membal.
Dan dengan menggunakan tenaga membal itu, badan Boe
Kie sekali lagi melesat ke atas!
Biat coat benar-benar tidak mengenal kasihan. Ia
melompat dan membabat tiga kali beruntun. Badan Boe Kie
sudah melayang ke bawah. Ia tidak bisa berbuat lain
daripada menangkis “Trang.” Pek-hong kiam kutung dua!
Dengan hati mencelos ia menepuk ubun-ubun (embunembunan)
segera membabat pergelangan tangannya. Sebab
babatan itu cepat luar biasa, ia tidak keburu menarik pulang
tangannya. Dalam keadaan demikian, ia hanya bisa
menolong diri dengan satu jalan. Dengan kecepatan yang
hampir tiada taranya, ia menyentil badan Ie thian kiam dan
berbareng dengan meminjam tenaga sentilan itu, tubuhnya
terbang ke tempat yang lebih selamat.
Lengan Biat coat kesemutan, telapak tangannya seperti
juga terbeset dan Ie thian kiam hampir terlepas dari
tangannya! Ia terkesiap. Ia menengok dan Boe Kie dengan
tangan mencekal peang buntung, berarti dalam jarak dua
tombak lebih.
Itulah gebrakan-gebrakan yang sungguh jarang terlihat
dalam Rimba Persilatan!
Dalam sekejap mata itu, Biat coat menyerang delapan
kali setiap jurus, jurus membinasakan. Delapan kali Boe
Kie memunahkan serangan itu, delapan kali ia melolos dari
1487
lubang jarum. Baik serangan, maupun pembelaan diri,
sama-sama mencapai puncak kehebatan, puncak
keindahan. Semua orang menahan napas. Mereka hampir
tak percaya, bahwa apa yang dilihat mereka adalah suatu
kenyataan.
Sesudah lewat sekian lama barulah terdengar sorak sorai
gegap gempita.
Bagaikan patung Boe Kie berdiri tersu sambil memegang
pedang buntung. Ia merasa sudah jatuh di bawah angin. Ia
tak tahu, bahwa Ie thian kiam disentil, lengan si nenek
kesemutan dan kalau ia menyerang terus, ia sudah
mendapat kemenangan. Memang Boe Kie kurang
pengalaman.
Walaupun beradat tinggi, Biat coat sekarang mengakui
kelihayan pemuda itu. “Tukar senjatamu dan mari kita
bertempur lagi,” katanya.
Dengan rasa menyesal Boe Kie mengawasi pedang
buntung itu. Di dalam hati ia berkata, “Gwakong
menghadiahkan pedang mustika ini kepadaku dan aku
sudah merusakkannya. Sungguh tak enak… senjata apalagi
yang bisa melawan Ie thian kiam?”
Selagi bersangsi, tiba-tiba Cioe-Tian berteriak. “Aku
punya sebuah golok mustika. Kau ambillah!”
“Ie thian kiam terlalu hebat, sahut Boe Kie. “Boanpwee
kuatir senjata Cianpwee akan menjadi rusak.”
“Biar dirusak”, kata Cioe-Tian. “Kalau kau kalah, kami
semua mati. Perlu apa golok mustika itu?”
Boe Kie anggap perkataanitu memang tak salah, maka
tanpa berkata apa-apa lagi ia menghampiri Cioe Tian untuk
mengambil goloknya.
1488
“Thio Kongcoe, kau harus menyerang, tak boleh hanya
membela diri,” bisik Yo Siauw ketika Boe Kie lewat di
depannya.
Mendengar panggilan “Thio Kongcoe” Boe Kie kaget,
tapi ia segera mengetahui mengapa Yo Siauw
menggunakan istilah itu. Yo Poet Hwie sudah mengenali
dirinya dan memberitahukan kepada ayahandanya. Terima
kasih atas petunjuk Cianpwee,” jawabnya.
Waktu lewat di samping Wie It Siauw, Ceng ek Hok ong
juga berbisik, “Gunakanlah ilmu peringan badan terus
menerus.”
Boe Kie girang. “Terima kasih” jawabnya.
Kong beng Soe cia Yo Siauw adalah ahli-ahli silat kelas
utama dan mereka belum tentu kalah dari Biat coat
Soethay. Hanya sayang, sebelum bertempur mereka
dibokong Goan tin sehingga badan mereka menajdi
lumpuh. Tapi kecerdasan otak dan ketajaman mata mereka
tidak pernah sama sekali berubah dan bisik-bisikan itu
memang siasat tepat untuk menghadapi Biat coat.
Berat golok mustika itu yang sudah dipegang Boe Kie
kira-kira empat puluh kati. Warnanya hitam, bentuknya
aneh dan tidak usah dikatakan lagi, senjata itu barang
pusaka yang sudah berusia tua sekali. Di dalam hati ia
masih merasa menyesal, bahwa pedang kakeknya sudah
rusak dalam tangannya. Tapi pedang itu sudah dihadiahkan
kepadanya. Golok ini masih menjadi milik Cioe Tian yang
meminjamkannya. “Golok mustika ini tidak boleh dirusak,”
pikirnya.
Ia maju mendekati lawan dan sesudah menarik napas
dalam-dalam, ia berkata. “Soethay, boanpwee mulai!”
Bagaikan asap, badannya melayang ke belakang Biat coat
dan mengirim bacokan pertama. Sebelum si nenek itu
1489
memutar badan, ia sudah melompat ke samping dan
mengirim bacokan kedua. Badannya lantas berkelebatkelebat,
goloknya menyambar-nyambar tak henti-hentinya.
Yang sekarang digunakan Boe Kie adalah ilmu ringan
badan tercepat yang pernah dikenal dalam Rimba
Persilatan. Ilmu ringan badan itu adalah hasil dari
pengerahan Kioen yan Sin kang dan Kian koen Tay lo ie
Sin kang. Ilmu ringan badan Ceng ek masih kalah jauh.
Sesudah lari beberapa puluh putaran, Kioe yang Sin kang
mengamuk makin hebat dalam tubuhnya dan ia sekarang
seolah-olah terbang di atas bumi.
Melihat begitu, murid2 Go bie pay jadi bingung. Mereka
tahu guru mereka bakal kalah.
Sekonyong-konyong Teng Bin Koen berteriak. “Hari ini
tujuan kita adalah membasmi Mo kauw. Kita datang bukan
untuk pie bu. Saudara-saudara, mari kita gempur bocah
itu!” Ia menghunus senjata dan melompat ke dalam
gelanggang. Seluruh murid Go bie lantas saja mengikuti
dan segera mengambil kedudukan di delapan penjuru. Cioe
Cie Jiak berdiri di sudut barat daya. “Cioe soe moay, kau
turut serta atau tidak terserah kepadamu,” ejek perempuan
she Teng itu.
Cie Jiak gusar bercampur malu. “Perlu apa kau berkata
begitu?” tanyanya.
Mendadak Boe Kie melompat ke hadapan Teng Bin
Koen yang segera menikam. Dengan sekali menggerakkan
tangan kirinya pemuda itu sudah merampas pedang lawan
yang lalu ditimpukkan kepada Biat coat. Si nenek
membabat dan memutuskan pedang itu, tapi tangannya
kesemutan sebab Boe Kie menimpuk dengan lweekang
yang hebat.
Pemuda itu bekerja cepat. Badannya berkelebat-kelebat,
1490
tangannya menyambar-nyambar merampas pedang-pedang
para murid Go bie yang dengan beruntun-runtun
ditimpukkan kepada Biat coat. Murid-murid Go bie ratarata
berkepandaian tinggi, tapi berhadapan dengan Boe Kie,
mereka tidak berdaya.
Puluhan pedang terbang menyambar Biat coat bagaikan
hujan gerimis. Dengan paras muka pucat pasi si nenek
memutar Ie thian kiam dan memutuskan pedang2 itu. Tak
lama kemudian sebab pegal lengan kanannya tak bisa
digunakan lagi dan ia lalu memutar senjata dengan tangan
kiri. Semua barisan mundur ke belakang karena potongan2
pedang menyambar kian kemari.
Tak lama kemudian, semua murid Go bie kecuali Cioe
Cie Jiak seorang sudah bertangan kosong.
Boe Kie ingin membalas budi si nona, tapi dengan
demikian perbedaan itu jadi sangat menyolok. Cie Jiak tahu
hal ini bakal berekor. Ia melompat untuk menyerang, tapi
pemuda itu selalu menyingkirkan diri.
“Cioe soemoay, benar saja ia memperlakukan kau secara
istimewa sekali” ejek Teng Bin Koen.
Paras muka nona Cioe lantas saja berubah merah.
Dengan jengah ia berdiri terpaku.
“Cioe soemoay, Soehoe sedang diserang musuh,
mengapa kau berdiri seperti patung?” kata pula perempuan
she Teng itu. “Mungkin sekali di dalam hati kau mengharap
bocah itu mendapat kemenangan.”
Biarpun sedang kebingungan, setiap perbuatan Teng Bin
Koen didengar tegas oleh si nenek. Tiba-tiba dalam otaknya
berkelebat satu ingatan, “Cie Jiak!” bentaknya. “Apa benar
kau mau menghina guru?” Seraya membentak, ia menikam
dada si nona!
1491
Hati nona Cioe mencelos. Tentu saja ia tidak berani
menangkis. “Soehoe!...” teriaknya. Ia tidak dapat
meneruskan perkataannya sebab hampir menyentuh dada!
Boe Kie tak tahu, dalam tikaman itu Biat Coat hanya
mau menjajah. Pada detik terakhir, si nenek menarik pulang
senjatanya. Karena tak bisa menebak jalan pikiran orang
yang juga sebab sudah menyaksikan kekejaman Biat coat
terhadap Kie Siauw Hoe, tanpa memikir panjang lagi ia
melompat, memeluk pinggang Cie Jiak dan melompat ke
tempat yang lebih selamat.
Kedudukan Biat coat segera berubah dari pihak yang
diserang, ia sekarang bisa menyerang. Ia segera menikam
punggung Boe Kie. Sebab lagi menolong orang, gerakan
Boe Kie agak terlambat dan terpaksa ia menangkis dengan
goloknya. “Tang!” golok mustika itu putus. Biat coat
mengudak dan menikam pula. Boe Kie menimpuk dengan
golok buntung, kali ini dengan menggunakan seantero
lweekang. Hampir berbareng dada si nenek menyesak
karena tekanan angin timpukan. Ia tidak berani menyambut
dengan pedangnya dan secepat kilat ia membanting diri di
tanah. Tapi biarpun begitu, ratusan lembar rambutnya
terpapas putus!
Melihat kesempatan baik, tanpa melepaskan Cie Jiak,
Boe Kie melompat dan menghantam dengan telapak
tangannya. Karena darahnya meluap, ia menghantam
dengan sepenuh tenaga. Sambil berlutut Biat coat coba
membabat pergelangan tangan Boe Kie. Pemuda itu segera
mengubah gerakan tangannya, dari menepuk jadi
mencengkeram dan… tahu tahu tangannya sudah mencekal
Ie thian kiam!
Cengkeraman itu yang dilakukan dengan Sin kang Kian
koen Tay lo ie tingkat ketujuh, tak dapat dilawan oleh Biat
coat.
1492
Walaupun sudah menang, Boe Kie tidak berani berlaku
sembrono. Seraya menudingkan ujung Ie thian kiam ke
tenggorokan si nenek, perlahan2 ia mundur dua tindak.
“Lepaskan aku!” teriak Cie Jiak sambil memberontak.
“Ah…! Ya…!” katanya. Dengan paras muka merah, ia
melepaskan nona Cioe. Ia mengendus bebauan wangi yang
sangat halus dan waktu melepaskan, beberapa lembar
rambut si nona menyentuh pipinya. Tanpa terasa ia melirik.
Muka Cie Jiak bersemu dadu. Meskipun parasnya
mengunjukkan perasaan takut, sinar matanya
memperlihatkan rasa bahagia.
Perlahan-lahan Biat coat berbangkit. Tanpa
mengeluarkan sepatah kata, ia mengawasi Boe Kie.
Mukanya sangat menyeramkan.
Seraya mengangsurkan gagang pedang, Boe Kie berkata,
“Cioe Kauw-nio, tolong serahkan pedang ini kepada
gurumu.”
Cie Jiak berdiri bengong. Macam2 pikiran berkelabat
dalam otaknya. Sesudah terjadi apa yang sudah terjadi, ia
merasa pasti dirinya akan dipandang sebagai pengkhianat
partai, seorang yang menghina guru sendiri. Apakah ia
benar-benar harus berkhianat kepada gurunya sendiri? Boe
Kie memperlakukannya secara baik sekali. Tapi, biar
bagaimanapun juga, ia seorang anggota Mo kauw, anggota
dari agama “siluman”.
Sekonyong-konyong kupingnya mendengar bentakan
gurunya, “Cie Jiak, bunuh dia!”
Tahun itu, sesudah mengajak Cie Jiak pulang ke Boe
tong san, Thio Sam Hong lalu menyerahkan muridnya,
yaitu Cie Jiak kepada Biat coat Soethay sebab di dalam kuil
Siauw Lim Sie tak pernah bernaung murid wanita. Nona
1493
Cioe berbakat baik. Dengan mengingat dirinya seorang
yatim piatu, ia belajar giat-giat dan kemajuannya pesat
sekali. Biat coat sangat menyayangnya dan selama delapan
tahun, belum pernah ia berpisahan dengan gurunya itu. Di
mata Cie Jiak, Biat coat bagaikan seorang ratu.
Perkataannya merupakan undang-undang yang tak pernah
dibantah.
Kini mendengar bentakan sang guru yang angker dan
berpengaruh, tanpa merasa dalam bingungnya ia
mengangkat Ie thian kiam dan menikan dada Boe Kie.
Karena tak menduga bakal diserang, pemuda itu tidak
berwaspada. Tiba-tiba pedang menyambar. Ia terkesiap tapi
sudah tidak keburu menangkis atau berkelit lagi. Untung
juga waktu menikam tangan Cie Jiak bergemetaran,
sehingga ujung pedang mencong ke samping dan amblas di
dada sebelah kanan.
Dengan berteriak, si nona menarik pulang Ie thian kiam.
Pedang berlepotan darah dan darah mengucur dari dada
Boe Kie. Hal itu mengejutkan semua orang. Keadaan
berobah kalut, di empat penjuru terdengar teriakan.
Boe Kie mendekap dada dengan tangannya. Tubuhnya
bergoyang-goyang sedaun paras mukanya mengunjuk
perasaan gegetun, menyesal dan heran seakan ia mau
bertanya. “Apa sungguh-sungguh kau mau mengambil
jiwaku?”
Cie Jiak sendiri mengawasi hasil perbuatannya dengan
mata membelalak dan mulut ternganga. Dengan suara
parau ia berkata, “Aku… “ Di dalam hati ia ingin
menubruk Boe Kie, tapi ia tidak berani. Sesaat kemudian,
sambil menutup muka dengan kedua tangannya, ia
memutar badan dan lari balik ke barisannya.
Peristiwa itu tak pernah diduga oleh siapapun jua.
1494
Dengan paras muka pucat pasi, Siauw Ciauw memapah
Boe Kie. “Thio Kongcoe… kau…” katanya terputus-putus.
Luka pemuda itu amat berat, tapi untung, sebab moncong
ujung pedang tidak melanggar jantung.
Dengan mengawasi Siauw Ciauw, Boe Kie berkata,
“Mengapa kau menikam aku.” Ia tidak bisa meneruskan
perkataannya, napasnya tersengal sengal dan seraya
membungkuk ia batuk-batuk. Matanya berkunang-kunang,
kepalanya pusing, sehingga ia tak dapat membedakan
Siauw Ciauw dari Cie Jiak. Darah mengucur terus dan
pakaian si nona turut basah.
Sesaat kemudian, sesudah teriakan mereda, lapangan
yang penuh manusia itu berubah sunyi senyap. Tak
seorangpun baik anggota 6 partai, maupun anggota Beng
kauw atau Peh bie kauw mengeluarkan sepatah katapun.
Apa yang tadi dilakukan oleh pemuda itu kelihayannya
dalam menjatuhkan sejumlah tokoh ternama dan cara
caranya yang mengunjuk perasaan kemanusiaan sudah
membangkitkan rasa kagum dan hormat dalam hatinya
semua orang. Maka itu, baik kawan maupun lawan berduka
atas kejadian itu. Di dalam hati, mereka mengharapkan
keselamatannya.
Dengan dipeluk Siauw Ciauw, perlahan-lahan Boe Kie
duduk di tanah. “Siapa yang punya obat luka yang paling
manjur?” seru si nona.
Kong seng segera mendekati dan mengeluarkan
sebungkus obat bubuk dari sakunya. “Giok leng san kami
sangat mutajab,” katanya seraya membuka baju Boe Kie.
Luka itu beberapa dim dalamnya. Ia segera memborehi
bubuk obat di lubang luka, tapi sebab darah mengucur, obat
itu tidak bisa menempel dan turun ke bawah tersiram darah.
Kong seng jadi bingung. “Hai! Bagaimana baiknya?...
bagaimana baiknya?” katanya.
1495
Yang paling bingung adalah suami isteri Ho Thay Ciong.
Mereka menganggap bahwa mereka telah menelan ulat
sutera emas. Kalau pemuda itu mati, jiwanya pun takkan
tertolong. Dengan hati berdebar-debar Ho Ciong boen
berjongkok di samping Boe Kie dan bertanya, “Bagaimana
mengobati orang kena Kiam cam Kouw tok bagaimana?
Hayo, lekas terangkan!”
“Pergi!” bentak Siauw Ciauw sambil menangis. “Kalau
Thio Kongcoe mati, kita mampus bersama-sama!”
Di waktu biasa, mana mau Ho Thay Ciong dibentakbentak
oleh seorang wanita macam Siauw Ciauw. Tapi
keadaan kini bukan keadaan biasa. Tanpa memperdulikan
si nona, ia bertanya lagi. “Bagaimana mengobati Kiam cam
Kouw tok? Hayo! Bagaimana?”
Kong seng meluap darahnya, “Thie-khim Sian seng!”
bentaknya, “Jika kau tak minggir, loolap takkan berlaku
sungkan2 lagi terhadapmu.”
Tiba-tiba Boe Kie membuka matanya dan mengawasi
semua orang yang berdiri di sekitarnya. Kemudian, ia
mengangkat tangan kirinya dan menotok tujuh delapan
“hiat” di seputar luka. “Sesaat kemudian, mengalirnya
darah jadi terlebih perlahan, Kong-seng girang. Buru-buru
pendeta suci itu memborehi Giok leng san di dada yang
terluka. Siauw Ciauw segera merobek tangan bajunya yang
lalu digunakan untuk membalut luka. Muka Boe Kie pucat
seperti kertas. Ia terlalu banyak mengeluarkan darah.
Per-lahan2 otak Boe Kie menjadi terang lagi. Ia segera
mengerahkan tenaga dalam dan lantas saja merasa bahwa
hawa tak bisa jalan di dada sebelah kanan. Dalam keadaan
setengah mati, tekadnya tetap tak berubah. “Sebegitu lama
masih bernapas, aku takkan mengizinkan enam partai
membasmi semua anggota Beng-kauw,” katanya di dalam
1496
hati. Sambil meramkan kedua matanya, mengerahkan Cinkhie
yang lalu dialirkan beberapa kali di seputar dada
bagian kiri.
Sesudah itu, perlahan-lahan ia berbangkit dan berdiri.
Dengan matanya, ia menyapu seluruh lapangan dan berkata
dengan suara perlahan. “Kalau dalam Go bie dan Boe tong
pay masih ada orang yang tidak setuju dengan
permintaanku, ia boleh segera keluar untuk bertanding.”
Perkataan itu disambut dengan rasa heran juga kagum
yang sukar dilukiskan. Semua orang lihat, bahwa pemuda
itu terluka berat. Tapi, baru saja darahnya berhenti
mengalir, ia sudah bisa berdiri dan menantang pula. Apa ia
manusia? Manusia biasa tak akan bisa berbuat begitu.
“Go bie pay sudah kalah,” kata Biat coat dengan suara
dingin. “Jika kau tidak mati, di belakang hari kita bisa
perhitungkan lagi. Kini hanya ketinggalan Boe tong pay.
Kalah menang harus diputuskan oleh Boe tong pay.”
Maksud Biat coat Soethay dimengerti oleh tokoh-tokoh
semua partai.
Dalam usaha untuk mengepung Kong beng teng, jago2
Siauw lim, Khong tong, Koen loen, Hwa san dan Go bie
sudah dirobohkan Boe Kie. Hanya Boe tong pay yang
belum bergebrak dengan pemuda itu.
Tapi sekarang Boe Kie terluka berat. Jangankan
pendekar Boe tong, sedang seorang biasapun sudah cukup
untuk menjatuhkannya. Mungkin sekali, tanpa bertempur,
Boe Kie akan mati sendiri. Setiap pendekar Boe tong bisa
segera membinasakannya dan sesudah ia binasa, keenam
partai bisa mewujudkan keputusan untuk membunuh
semua anggota Beng kauw.
Tapi Boe tong pay sangat mengutamakan “Hiap sie”.
1497
Menyerang seorang yang terluka berat memang bukan
perbuatan bagus, sehingga mungkin sekali kelima pendekar
Boe tong merasa keberatan untuk turun tangan. Tapi kalau
Boe tong pay berpeluk tangan, apakah keenam partai harus
pulang dengan tangan hampa, dengan kegagalan?
Membasmi Beng kauw adalah usaha besar yang sudah
menggetarkan seluruh Rimba Persilatan. Kalau mereka
gagal, apakah mereka masih ada muka untuk tampil lagi
dalam kalangan Kang ouw? Serba susah maju salah,
mundur salah. (Hiap gie – kesatriaan)
Maksud perkataan Biat coat ialah dipertahankan atau
tidaknya kehormatan keenam partai terserah atas keputusan
Boe tong pay.
Jalan mana yang akan ditempuh partai itu?
Song Wan Kiauw, Jie Lian Cioe, Thio Siong Kie, In Lie
Heng dan Boh Seng Kok saling mengawasi. Mereka tak bisa
segera mengambil keputusan. Tiba-tiba Song Ceng Soe,
putera Song Wan Kiauw, berkata, “Thia-thia, Soe wie Sioksiok,
biarlah anak saja yang membereskan dia.”
“Tak bisa,” kata Jie Lian Cioe. “Kau turun tangan tiada
bedanya dengan kami yang turun tangan.”
“Menurut pendapat Siauw tee, kepentingan umum
adalah lebih penting daripada kepentingan pribadi dari pada
soal nama kita,” kata Thio Siong Kee.
“Nama adalah sesuatu yang berada di luar badan
manusia,” Boh Seng Kok menjawab. “Biar bagaimanapun
jua siauw tee merasa berat untuk mencelakai seorang
manusia yang sudah terluka berat.”
Keempat pendekar mengawasi Song Wan Kiauw.
Sebagai kakak seperguruan yang paling tua, ialah yang
harus mengambil keputusan terakhir.
1498
Song Tay hiap melirik In Lie Heng. Adiknya itu tak
mengeluarkan sepatah kata, tapi mukanya mengunjukkan
sinar kegusaran. Ia mengerti, bahwa si adik ingat nasib
tunangannya, Kie Siauw Hoe yang telah dinodai Yo Siauw
dan akhirnya binasa karena gara-gara perbuatan Kong ben
Soe cia itu. Ia tahu bahwa si adik menaruh dendam yang
sangat mendalam. Jika sakit hati itu tidak terbalas, jika
Beng kauw tidak dimusnahkan rasa penasaran In Lie Heng
takkan hilang. Maka itu, ia lantas saja berkata dengan suara
perlahan. “Mo kauw kedosaannya. Memerangi yang jahat
adalah kewajiban orang-orang sebangsa kita. Dalam dunia
ini tiada yang sempurna. Orang tak bisa mendapat
semuanya. Kita harus memilih yang paling penting, Ceng
Soe, dan berarti hati-hatilah.”
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru