Senin, 29 Januari 2018

Suling Pusaka Kumala 5 Cersil Hot

Suling Pusaka Kumala 5 Cersil Hot
baca juga

"Bagus, Eng Eng. Engkau telah mampu mengalahkannya!"
teriak Suma Kiang dengan girang.
"Akan tetapi aku belut dapat membunuhnya, ayah!" kata
Suma Eng menyesal.
"Siapa bilang? Tusukan pedangmu tadi sudah cukup dalam
untuk melukai bagian dalam dadanya. Dia tentu akan mati di
tempat persembunyiannya."
"Ayah, ada lagi!" Tiba-tiba Suma Eng berteriak sambil
menuding ke depan dengan mata terbelalak. Suma Kiang
membalikkan tubuhnya dan diapun terbelalak kaget karena di
sana berdiri seekor biruang kulit putih yang besarnya luar
biasa! Ada dua kali tubuhnya besar biruang itu.
"Wah, hati-hati, Eng Eng, dia berbahaya sekali!" seruanya
lirih. "Mari kita pergi saja dari sini!"
"Tidak, ayah. Aku akan melawannya!" kata gadis remaja
yang tidak mengenal takut Itu. Suma Kiang memandang
dengan khawatir sekali dan diapun mencabut sepasang
pedangnya.
Suma Eng sudah tiba di depan biruang putih itu. Tiba-tiba
ia mendapat akal yang berani sekali. Sambil mengeluarkan
teriakan keras, gadis itu menggulingkan tubuhnya ke depan,
bergulingan cepat dan pedangnya menyerang ke arah kedua
kaki belakang yang berdiri itu!
Akan tetapi ternyata biruang itu, biarpun memiliki tubuh
yang amat besar, dapat bergerak lincah. Dia dapat mengelak
dari sambaran pedang itu dan melompat ke atas, kemudian
menurunkan kedua kaki depannya dan menubruk ke arah
Suma Eng!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Awas, Eng Eng!" Suma Kiang berseru kaget. Akan tetapi
Suma Eng yang masih rebah di atas tanah sudah
menggulingkan tubuhnya dengan cepat bagaikan seekor
binatang trenggiling dan tubrukan biruang itu pun mengenai
tempat kosong! Sebelum binatang itu mampu menyerang lagi,
Suma Eng sudah melompat berdiri pula dan memasang kudakuda,
siap untuk menghindarkan diri dari serangan biruang
itu. Ia hendak menggunakan siasat yang sama dengan ketika
mengalah-kan biruang hitam tadi, yaitu membiarkan binatang
itu menyerang terus sampai terlengah sehingga ia dapat
menusukkan pedangnya ke arah perut atau dada.
Akan tetapi biruang itu kini sudah berdiri lagi di atas kedua
kaki belakangnya dan kedua kaki depan yang menjadi seperti
sepasang tangan itu siap untuk menyerang. Dia melangkah
perlahan ke depan, kedua kaki depan siap di kanan kiri dan
setelah dekat, kedua kaki itu menyambar dan kanan kiri
dengan kuat dan cepat. Suma Eng mengelak mundur dan
ketika tangan atau kaki depan yang kanan menyambar lagi, ia
menyusup ke bawah kaki yang menyambar itu dan dari situ ia
menusukkan pedangnya.
"Cessss.....!" Pedangnya menusuk dada bawah lengan,
akan tetapi tidak terjadi apa-apa. Ia merasa seperti menusuk
setumpuk kapas saja dan ketika pedang dicabut, tidak tampak
binatang itu terluka, bahkan kaki depan kanan kembali
menyambar disusul pula dengan kaki depannya yang kiri dan
hampir saja kepala Suma Eng kena disambar kaki depan kiri
yang lebih besar dari kepalanya! Akan tetapi gadis remaja itu
memang memiliki kecepatan gerakan yang cukup hebat, maka
ia masih berhasil menghindarkan diri dari kaki depan itu. Suma
Eng terkejut bukan main. Pedangnya sudah jelas menusuk
dada sampai hampir setengahnya, akan tetapi mengapa
biruang itu tidak terluka? Seperti menusuk kapas, atau seperti
menusuk bayangan saja! Dengan marah ia lalu melompat ke
atas dan mengayunkan pedangnya, dengan cepat sekali
sambil melompat itu ia menebas leher biruang itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Singgg.... wusssshhhh.....!" Kembali pedangnya mengenai
leher, akan tetapi biruang itu tidak apa-apa dan pedangnya
seperti menembus leher tanpa merasakan apa-apa seolah
leher itupun hanya bayangan saja!
"Ayah.....!!" Suma Eng berseru, kini terkejut dan gentar.
Kalau binatang itu tidak dapat terluka oleh pedangnya, tentu
ia berada dalam bahaya besar sekali.
Sejak tadi Suma Kiang juga sudah memperhatikan
perkelahian antara puterinya dan biruang itu dan melihat pula
keganjilan itu. Biruang itu tidak dapat terluka oleh pedang,
Kalau tidak terluka karena kebal, hal itu masil tidak
mengejutkan. Akan tetapi ini bukan karena ketebalan kulit
atau kekebalan karena pedang itu tembus dan seperti
mengenai bayangan belaka.
"Eng Eng! Mundur kau....!" Serunya. Akan tetapi biruang itu
telah menerkam ke arah Suma Eng dan gadis itupun cepat
menghindarkan diri dengan lompatan ke samping.
Suma Kiang berkemak-kemik dan menudingkan telunjuknya
ke arah biruang itu. Dia menggunakan sihirnya karena
menduga bahwa ini tentu permainan sihir. Mendadak biruang
itu terpecah menjadi dua dan muncul dua biruang yang sama
besarnya! Suma Eng menjerit kecil dan cepat ia melompat
mendekati ayahnya. Suma Kiang juga terbelalak. Sihirnya
tidak dapat mempengaruhi biruang jadi-jadian itu bahkan kini
berubah menjadi dua, menggereng dan mengancam dengan
buasnya. Tiba-tiba dia teringat dan cepat Suma Kiang
menjatuhkan diri berlutut.
"Supek yang mulia, maafkan teecu berdua yang datang
untuk menghadap supek!"
Mendengar ini, Suma Eng terkejut sekali dan baru
menyadari bahwa biruang itu adalah binatang jadi-jadian yang
diciptakan oleh uwa kakeknya yang menurut ayahnya
merupakan seorang yang memiliki kesaktian hebat. Ia adalah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang anak yang cerdik sekali, maka tanpa diperintah iapun
sudah menjatuhkan diri berlutut meniru perbuatan ayahnya.
Sambil berlutut ia melirik ke depan, ke arah dua ekor biruang
putih itu dan tiba-tiba ada asap mengepul dan dua ekor
biruang itupun lenyap. Di tempat binatang-binatang itu kini
berdiri seorang kakek yang sudah tua sekali. Usianya tentu
lebih dari tujuh puluh tahun, jenggotnya panjang putih,
matanya mencorong tajam dan tubuhnya tinggi kurus sekali
seperti tengkorak. Pakaian kakek itu serba kuning potongan
pakaian tosu (pendeta To) atau pertapa. Kedua ujung
jubahnya amat panjang sehingga hampir menyentuh tanah
kalau tangannya tergantung lepas-lepas. Rambutnya yang
sudah putih itu digelung dan diikat dengan kain berwarna
putih.
"Ha-ha-ha-ha! Kiranya engkau Suma Kiang! Aku tertarik
sekali kepada bocah perempuan itu, maka aku sengaja ingini
melihat ketabahan dan kelincahannya lalu menggodanya. Haha,
ternyata ia sama sekali tidak takut bahkan melawan mati
matian. Siapakah anak ini, Suma Kiang? Apakah ia muridmu?"
"Bukan hanya murid, supek. Akan tetapi juga anak. Ia anak
tecu, namanya Suma Eng. Hayo, Eng Eng, beri hormat kepada
uwa-kakek gurumu!"
"Teecu Suma Eng menghaturkan hormat kepada su-pekkong
(uwa kakek guru)!"
"Ha-ha, bagus! Suma Eng. Kalau engkau mendapat latihan
yang baik, kelak engkau bahkan lebih hebat daripada ayah
mu. Ha-ha-hal"
Tentu saja ayah dan anak itu gembira sekali mendengar ini,
karena memang kedatangan mereka ke tempat tinggal kakek
ini adalah untuk minta digembleng ilmu-ilmu yang tinggi.
"Supek, sesungguhnya kunjungan teecu berdua ini adalah
untuk minta petunjuk supek."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mari kita bicara di pondokku. Aku-pun ingin bicara, sudah
bertahun-tahun aku tidak pernah bicara dengan siapapun
juga!" kata kakek itu gembira dan tanpa menoleh lagi dia lalu
melangkah pergi dari situ mendaki puncak. Suma Kiang
bergegas mengajak putennya untuk mengikuti. Agaknya kakek
itu memang sengaja hendak melihat bagaimana mereka,
terutama gadis remaja itu, mengejarnya, maka dia melangkah
dengan cepat, tentu saja tidak terlalu cepat karena dia hanya
ingin menguji Suma Eng.
Suma Kiang tentu saja dengan mudah mengikuti supeknya
yang berjalan tidak terlalu cepat. Akan tetapi bagi Suma Eng,
langkah uwa-kakeknya itu sudah cepat sekali sehingga ia
harus mengerahkan tenaga untuk mengejarnya sehingga ia
tidak sampai tertinggal jauh.
Siapakah kakek tua renta yang aneh itu? Kalau kita tahu
bahwa Suma Kiang seorang datuk yang sudah memiliki ilmu
kepandaian tinggi, tentu saja kakek itu sebagai uwa gurunya
memiliki kesaktian yang amat hebat. Kakek itu menyebut
dirinya sebagai Hwa Hwa Cinjin dan puluhan tahun yang lalu
dia adalah seorang datuk yang amat terkenal dengan
wataknya yang aneh. Akan tetapi dia terkenal pula sebagai
tokoh golongan yang tidak bersih. Usianya sudah tujuh puluh
lima tahun dan di antara saudara-saudara seperguruannya,
yaitu guru Suma Kiang dan para paman-gurunya, hanya dia
seorang yang masih hidup. Selama belasan tahun ini, Hwa
Hwa Cinjin bertapa di Puncak Ekor Naga di Cin-ling-san dan
tidak pernah terdengar namanya di dunia persilatan. Bahkan
dunia ramai tidak mengenalnya dan tidak pernah melihatnya
karena kakek ini memang menjauhkan diri dari dunia ramai
dan hanya bertapa. Akan tetapi dasar seorang datuk yang
tidak bersih, dia bertapa bukan untuk menebus dosa dan
mencari jalan terang, melainkan untuk memperdalam ilmuilmu
nya, yaitu ilmu silat dan ilmu sihirnya!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Setelah tiba di depan pondoknya, sebuah pondok bambu
dan kayu sederhana yang berada di purcak itu, Hwa Hwa
Cinjin berhenti dan membalikkan tubuhnya, tertawa senang
melihat Suma Eng dapat tiba pula di situ tidak tertinggal jauh
walaupun mukanya kemerahan dan lehernya basah oleh
keringat. Diam-diam dia menjadi semakin senang dengan
anak perempuan itu.
"Supek-kong tampaknya berjalan dan melangkah biasa
saja, akan tetapi bagaimana dapat demikian cepatnya melebihi
orang lari?" Suma Eng bertanya kepada kakek itu setelah ia
tiba di depannya.
"Itulah Ilmu Liok-te Hui-teng (Lari Terbang di Atas Bumi),
kalau sudah kau-kuasai engkau dapat berlari secepat terbang.
Maukah engkau mempelajarinya?"
Tiba-tiba Suma Eng menjatuhkan dirinya berlutut di depan
kakek Hwa Hwa Cinjin. "Tentu saja teecu suka
mempelajarinya!"
"Ha-ha-ha, Suma Kiang. Anakmu ini cocok dengan aku!"
"Teecu merasa beruntung sekali, supek. Memang
kunjungan teecu berdua ini untuk memohon kepada supek
agar sud memberi bimbingan kepada Suma Eng."
"Eh? Kenapa engkau mempunyai pikiran begitu? Bukankah
kepandaianmu sendiri sudah memadai untuk mendidik puteri
mu sendiri?"
"Itulah, supek. Teecu merasa bahwa kepandaian yang
teecu miliki tidak ada artinya. Berkali-kali teecu dikalahkan
orang, dan teecu menginginkan agar kepandaian puteri teecu
melebihi teecu, agar kelak dapat membalaskan kekalahan
teecu dari orang-orang itu."
"Oho! Ada yang dapat mengalahkan-mu? Engkau yang
sudah menguasai Ciu-sian Tung-hoat (Ilmu Tongkat Dewa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Arak) dan Coa-tok Siang-kiam (Sepasang Pedang Racun Ular)?
Siapa mereka yang dapat mengalahkanmu itu?"
Suma Kiang menghela napas panjang. Hatinya masih
merasa penasaran sekali mengingat betapa dia kehilangan
Chai Li dan Cheng Lin, karena dikalahkan orang.
"Pertama tecu kalah ketika bertanding melawan Toa Ok."
"Toa Ok? Kau maksudkan Toat-beng-kui (Setan Pencabut
Nyawa) itu? Hemm, dia memang lihai, akan tetapi tidak
semestinya engkau kalah oleh dia. Lalu siapa lagi yang dapat
mengalahkanmu?"
"Menghadapi Toa Ok, teecu masih dapat melakukan
perlawanan. Akan tetapi menghadapi hwesio tua yang bertapa
di Puncak Awan Putih di Thai-san itu, sungguh teecu merasa
seperti seorang anak anak yang tidak berdaya, Dalam
beberapa gebrakan saja teecu telah tertotok dan tidak
berdaya!"
Hwa Hwa Cinjin membelalakkan mata nya. "Hemm,
begitukah? Dan siapa hwe-sioa tua yang amat sakti itu?"
"Teecu tidak tahu siapa dia, hanya dua orang pembantunya
mempunyai ciri yang khas. Yang seorang adalah seorang
nelayan yang membawa dayung baja dan orang kedua adalah
seorang petani yang membawa cangkul sebagai senjata."
"Ahhh....! Hwesio yang mempunyai pembantu seperti
pengawal Aku dapat menduga siapa dia. Dia tentu Cheng Hian
Hwesio! Tidak aneh kalau engkau, kalah menghadapi dia,
karena dia adalah seorang yang menguasai ilmu sakti It-yangci.
Aku sendiri, biarpun tidak akan kalah olehnya, setidaknya
juga tidak mudah untuk mengalahkannya. Sudahlah, aku akan
menurunkan semua ilmu simpananku kepada Suma Eng agar
kelak ia dapat menjunjung tinggi nama kita. Tinggalkan ia di
sini bersamaku selama lima tahun."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Baik, dan terima kasih, supek." Kemudian kepada
puterinya dia berkata, "Eng Eng, engkau baik-baiklah belajar
kepada supek. Hari ini juga aku akan meninggalkanmu di sini."
"Akan tetapi, ayah hendak pergi ke manakah? Apakah ayah
tidak bisa tinggal di sini pula bersama supek-kong dan aku?"
"Tidak bisa. Supek menghendaki aku pergi dan aku hanya
akan mengganggu ketekunanmu kalau aku berada di sini. Aku
akan mengembara dan lima tahun kemudian aku akan
menjemputmu di sini."
Mereka memang orang-orang yang memiliki watak aneh.
Murid keponakannya baru saja tiba dan sudah disuruhnya
pergi lagi meninggalkan putennya di situ, demikian anehnya
watak Hwa Hwa Cinjin. Suma Kiang juga tidak keberatan dan
dengan mudah saja dia meninggalkan puteri yang dicintanya.
Bahkan Suma Eng juga sudah menunjukkan watak yang keras
dan aneh. Ia tidak tampak sedih atau terharu ditinggal
ayahnya di tempat yang asing baginya itu, apalagi mereka
akan berpisah selama lima tahun! Dari sini saja dapat
dibayangkan betapa keras dan tabahnya hati gadis remaja ini.
Demikianlah, mulai hari itu Suma En tinggal di Puncak Ekor
Naga di Cin-ling-san, menerima gemblengan ilmu-ilmu dari
uwa-kakek gurunya. Dua ilmu yang dipelajarinya dari ayahnya,
yaitu Ciu-sian Tung-hoat dan Coa-tok Kiam-hoat (Ilmu Pedang
Racun Ular), disempurnakan oleh Hwa Hwa Cinjin menjadi
ilmu yang amat ampuh. Di samping menyempurnakan dua
ilmu yang telah dikuasai Suma Eng, diapun menurunkan ilmu
pukulan Pek-Lek ciang-hoat (Ilmu Silat Halilintar) dan juga
ilmu sihir yang mengandalkan tenaga khi-kang. Selama lima
tahun Suma Eng belajar dengan giat dan tekun sekali
sehingga ia memperoleh kemajuan yang hebat.
Akan tetapi ada sesuatu kesedihan yang kadang
mengganjal hati Suma Eng, yaitu kalau ia teringat akan
ibunya. Seperti anak-anak biasa, sejak kecil ia merindukan
ibunya. Akan tetapi setiap kali ia bertanya kepada ayahnya di
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
mana ibunya, ayahnya selalu mengatakan bahwa ibunya telah
mati. Kalau ia mendesak kepada ayahnya agar menceritakan
tentang ibunya, ayahnya bahkan membentaknya dengan
marah, dan ketika ia menanyakan dari mana ibunya berasal,
ayahnya hanya mengatakan dengan singkat bahwa ibunya
orang dari dusun Ban-Li-cung di kaki pegunungan Thai-san.
Nama dusun ini tak pernah terlupakan oleh Suma Eng dan
timbul niatnya bahwa sekali waktu ia pasti akan berkunjung ke
dusun itu untuk mencari keterangan tentang ibunya.
Hwa Hwa Cinjin yang sudah tua renta itu agaknya senang
sekali kepada Suma Eng. Melihat ketekunan dan juga
kecerdikan gadis itu, yang dengan mudah mampu menerima
pelajaran ilmu yang tinggi-tinggi, kakek itu lalu menurunkan
semua ilmunya. Agaknya sebelum dia mati, dia ingin
mewariskan ilmu-ilmunya kepada seseorang dan sekarang dia
telah menemukan ahli warisnya, yaitu Suma Eng.
Dengan amat cepatnya waktu berlalu dan tahu-tahu Suma
Eng sudah tinggal di Puncak Ekor Naga selama lima tahun!
Pada suatu hari, di kebun belakang pondok di Puncak Ekor
Naga itu tampak seorang gadis yang sedang duduk bersila di
atas sebuah batu datar. Gadis itu berusia delapan belas tahun,
cantik jelita wajahnya, manis dengan tahi lalat di pipi kiri,
matanya yang terpejam itu dilindungi bulu mata yang panjang
lentik, tubuhnya yang duduk bersila dengan punggung tegak
lurus itu ramping padat mempesona. Pakaiannya berwarna
nrerah muda dan tampak ringkas. Di punggungnya tergantung
sebatang pedang sehingga gadis itu tampak cantik jelita dan
juga gagah sekali. Gadis itu bukan lain adalah Suma Eng yang
kini telah menjadi seorang gadis berusia delapan belas tahun.
Pagi itu dia sudah berlatih silat dan setelah lelahi berlatih silat
tangan kosong, silat pedang dan silat tongkat, ia lalu duduk
bersila di situ untuk menghirup hawa murni dan memulihkan
tenaga menghilangkan kelelahan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tiba-tiba telinganya yang memiliki pendengaran amat
tajam dan terlatih, dapat menangkap suara yang tidak wajar
yang datang dari depan pondok. Cepat ia meloncat turun dari
atas batu dan dengan gerakan seperti seekor burung terbang,
ia sudah lari menuju depan pondok. Ketika tiba di depan
pondok, ia tertegun.
Uwa-kakek gurunya, Hwa Hwa Cinjin yang sudah tua renta
itu, sedang berdiri di luar pintu dan sedang mengadu tenaga
sakti melawan empat orang! Hwa Hwa Cinjin berdiri dengan
tubuh direndahkan dan kedua tangannya didorongkan ke
depan, bertemu dengan dua tangan yang juga didorongkan
menyambut tangan Hwa Hwa Cinjin. Dua tangan ini milik
seorang kakek berusia tujuh puluh tahun yang bertubuh tinggi
besar dan berpakaian mewah. Di belakang kakek tinggi besar
ini masih berdiri secara berbaris tiga orang lagi. Seorang
berusia enam puluhan tahun yang bertubuh sedang juga
mendorongkan kedua tangan ke depan menempel pada
punggung laki-laki tinggi besar tadi. Di belakang laki-laki ke
dua ini berdiri seorang wanita cantik berusia hampir empat
puluh tahun juga menempelkan kedua tangan di punggung
laki-laki ke dua, dan di belakang sendiri berdiri seorang wanita
pula yang berusia enam puluh tahun namun masih nampak
cantik jelita dan mewah. Mereka semua mengerahkan tenaga
sin-kang dan di kepala mereka mengepul uap putih.
Sekali pandang saja tahulah Suma Eng apa yang sedang
terjadi. Empat orang itu sedang mengadu tenaga sin-kang
melawan kakek gurunya! Mereka berempat menyatukan
tenaga sin-kang dan melalui kakek terdepan mereka berusaha
sekuatnya untuk mengalahkan Hwa Hwa Cinjin. Dan melihat
keadaan kakek gurunya yang sudah berpeluh dan seluruh
tubuhnya gemetar, mengerti pula Suma Eng bahwa kakek
gurunya terdesak dan dalam bahaya besar. Tanpa membuang
waktu lagi ia melompat ke belakang gurunya lalu
mendorongkan kedua tangannya, ditempelkan ke punggung
gurunya dan nengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akibat bantuan Suma Eng ini hebat sekali. Empat orang
yang sedang mengeroyok Hwa Hwa Cinjin itu terpental ke
belakang dan roboh tunggang langgang saling tindih! Tentu
saja mereka terkejut sekali dan hampir tidak percaya bahwa
tenaga yang luar biasa besarnya itu datang dari seorang gadis
muda belia. Mereka maklum bahwa kalau gadis itu membantu
Hwa Hwa Cinjin, mereka tidak akan menang. Apalagi Hwa
Hwa Cinjin yang biarpun sudah terdesak, kini masih tampak
segar dan kokoh kuat.
"Pergi......!" kata kakek pertama yang paling tua dan empat
orang itu lalu melompat jauh dengan cepat sekali dan pergi
meninggalkan Puncak Ekor Naga. Suma Eng yang merasa
penasaran hendak mengejar, akan tetapi tidak jadi karena ia
melihat betapa uwa-kakek gurunya terhuyung dan dari
mulutnya keluar darah segar!
"Supek-kong (uwa kakek guru).....!"
katanya khawatir. Akan tetapi kakek itu terhuyung dan
roboh. Cepat Suma Eng menangkap tubuh itu dan
merangkulnya sehingga tidak jatuh akan tetapi ternyata kakek
itu telah pingsan! Suma Eng lalu memondong tubuh Hwa Hwa
Cinjin dan membawanya memasuki pondok. Dia merebahkan
tubuh kakek itu ke atas pembaringan kayu dalam kamar Hwa
Hwa Cinjin dan cepat melakukan pemeriksaan. Melihat
keadaan kakek itu berbahaya sekali, isi dadanya terguncang
dan tampak tanda-tanda bahwa dalam dada itu penuh hawa
beracun, ia lalu menotok beberapa jalan darah di pundak dan
leher untuk menghentikan pendarahan. Kemudian setelah
membuka baju kakek itu, ia menempelkan kedua telapak
tangannya ke atas dada yang berwarna agak kehitaman itu
dan mengerahkan sinkang untuk mengukir hawa beracun dan
dalam dada Hwa Hwa Cinjin. Tiba-tiba Suma Eng terkejut dan
melepaskan kedua telapak tangannya dari dada kakek itu. Ada
hawa yang amat panas menyambut kedua tangannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jilid IX
HWA HWA CINJIN membuka kedua matanya dan mengeluh
lirih. Suma Eng segera mendekatkan mukanya dan bertanya,
"Supek-kong, bagaimana rasanya badan supek-kong?"
Kakek itu memandang kepada Suma Eng, mulutnya
menyeringai seperti kalau dia tertawa. Biasanya, kakek ini
memang suka sekali tertawa, dalam keadaan bagaimanapun
dia selalu tertawa. Akan tetapi sekarang agaknya rasa nyeri
membuat dia tidak dapat mengeluarkan suara tawa.
"Mereka menyerangku dengan Ban-tok-ciang (Tangan
Selaksa Racun), dalam tubuhku penuh hawa beracun...."
"Siapakah mereka yang menyerangmu tadi, supek-kong?"
Kakek itu agaknya berdaya mengumpulkan semua tenaga
yang tersisa untuk dapat bicara, "..... mereka itu.... Thian-te
Sam-ok (Tiga Jahat Bumi Langit) dan yang seorang wanita
mungkin murid mereka."
"Hemm, Thian-te Sam-ok? Mengapa mereka
menyerangmu, supek-kong?"
"Ha-ha-ha..... uh-uh-uhhh.....!" Karena tertawa ini, kakek
itu terbatuk-batuk dan darah segar keluar dari mulutnya.
Suma Eng cepat membersihkan bibir kakek itu dengan sehelai
saputangan.
"Mereka memang musuh lama. Tidak pernah menang
melawanku dan tadi mereka muncul setelah berhasil
menemukan tempat pertapaanku ini. Aku sudah terlalu tua,
tenagaku banyak berkurang namun aku masih dapat bertahan
menghadapi mereka. Akan tetapi mereka mempergunakan
Ban-tok-ciang yang penuh dengan hawa beracun yang
busuk......" dia terengah-engah.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Supek-kong....!" seru Suma Eng dengan khawatir.
"Sudahlah, jangan banyak bercakap, supek-kong harus
beristirahat untuk memulihkan tenaga."
Kakek itu menggeleng-geleng kepalanya. "Tidak ada
gunanya..... seluruh tubuhku telah keracunan..... tak mungkin
disembuhkan lagi. Dengar baik-baik pesan ku, Eng Eng......"
Dengan alis berkerut dan sikap bersungguh-sungguh, Suma
Eng mengangguk. "Teecu mendengarkan, supek-kong!"
"Setelah aku mati, bakar pondok ini dan biarkan jenazahku
terbakar di dalamnya. Lalu taburkan dan biarkan hanyut abu
jenazahku ke Sungai Huang-ho di bawah lereng itu...."
"Baik, supek-kong." kata Suma Eng tegas.
"Kemudian jangan lupa, kelak carilah Thian-te Sam-ok dan
bunuh mereka......"
"Baik, supek-kong. Akan teecu bunuh mereka satu demi
satu " kata pula Suma Eng sambil mengepal tangan kanan.
"Ha-ha, aku puas sudah.... bantulah aku bangkit duduk...."
Suma Eng membantu kakek itu duduk bersila di atas
pembaringannya. Setelah duduk bersila dengan tegak, kakek
itu mengambil napas dalam sekali dan tubuhnya menjadi
kaku, masih duduk bersila akan tetapi matanya terpejam dan
napasnya putus! Kiranya tadi dia mengerahkan seluruh sisa
tenaganya untuk bicara dan setelah berhenti bicara, tenaga
dan daya tahannyapun habis dan dia menghembuskan napas
terakhir dalam keadaan masih duduk bersila.
"Supek-kong.....!" Suma Eng memanggil, lalu menyentuh
nadinya dan mendekatkan tangannya ke depan hidung kakek
itu. Maka tahulah ia bahwa gurunya itu telah tewas.
Biarpun hatinya merasa sedih, Suma Eng tidak menangis,
hanya memandang kepada jenazah yang duduk bersila itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan mata penasaran. "Supek-kong, tenangkan arwahmu,
teecu pasti akan membunuh Thian-te Sam-ok!"
Kemudian ia teringat akan pesan kakek itu untuk
membakar pondok, la lalu berkemas, mengumpulkan semua
miliknya yang kiranya dapat ia bawa merantau, membungkus
semua pakaian dalam sebuah buntalan kain biru. Setelah itu,
ia mengumpulkan daun dan kayu kering, menumpuknya di
dalam dan di luar sekitar pondok kemudian membakar pondok
itu.
Api berkobar melahap pondok, menimbulkan suara
berkerotokan. Suma Eng menjauhi pondok dan duduk di
bawah pohon memandang api yang bernyala besar, dan pada
saat itu terbayang olehnya semua kebaikan Hwa Hwa Cinjin
selama ia berguru kepada kakek tua renta itu. la mengepal
tangan kanannya dan mulutnya mengeluarkan bisikan lirih.
"Awas kalian, Thian-te Sam-ok. Aku akan membalaskan
kematian supek-kong!"
Berjam-jam ia menunggu sampai seluruh pondok terbakar
habis. Setelah semua api padam, la lalu mencari di antara
puing dan menemukan abu putih setumpuk, abu jenazah Hwa
Hwa Cinjin. Dengan hati-hati ia mengumpulkan abu itu dan
memasukkan dalam buntalan kain kuning yang memang
sudah ia persiapkan, lalu membungkus abu itu dalam kain
kuning. Setelah itu, ia menggendong dua buntalan itu, yang
sebuah buntalan pakaiannya dan yang sebuah lagi dan kecil
adalah buntalan abu jenazah gurunya. Maka berangkatlah ia
meninggalkan Puncak Ekor Naga, menuruni puncak menuju ke
Sungai Huang-ho yang mengalir di bawah lereng sebelah
selatan.
Suma Eng berjalan seenaknya sambil melamun. Ia teringat
akan ayahnya. Di mana ayahnya berada? Dahulu ayahnya
mengatakan bahwa setelah lewat lima tahun, ayahnya akan
datang ke Puncak Ekor Naga untuk menjemputnya.
Bagaimana kalau nanti ayahnya datang dan melihat pondok
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah terbakar habis dan ia sudah tidak berada di sana? Ia
terpaksa harus membakar pondok untuk menaati pesan
supek-kongnya, dan sekarang ia harus pergi menebarkan abu
jenazah itu ke Sungai Huang-ho. Teringat akan ayahnya, ia
merasa rindu juga dan segera ia kembali ke Puncak Ekor Naga
yang belum jauh ia tinggalkan. Di depan pondok itu terdapat
sebuah pohon besar dan Suma Eng lalu mencabut pedangnya.
Sinar kehijauan tampak ketika ia mencabut Ceng-liong-kiam
(Pedang Naga Hijau), kemudian ia mencorat-coret dengan
ujung pedangnya pada batang pohon. Ia meninggalkan
beberapa huruf untuk memberitahu kepada ayahnya kalau
ayahnya datang ke Puncak Ekor Naga.
"Supek-kong telah meninggal dunia. Aku membawa abunya
untuk dihanyutkan di Sungai Huang-ho dan setelah itu aku
akan merantau ke selatan."
Demikianlah coretan-coretan berupa huruf-huruf yang
dibuat di batang pohon itu. Kalau ayahnya datang ke Puncak
Ekor Naga, ayahnya tentu akan melihat tulisan itu dan akan
mengerti. Setelah elesai meninggalkan pesan lewat coretan di
belakang pohon, Suma Eng lalu menuruni kembali puncak itu
dan kini ia mempergunakan ilmu berlari cepat dan sebentar
saja sudah tiba di lereng. Tiba-tiba muncul belasan orang yang
keluar dari balik semak belukar dan pohon-pohon yang banyak
terdapat di luar hutan itu. Mereka terdiri dari laki-laki berusia
antara dua puluh lima sampai empat puluh tahun, sikap
mereka kasar dan bengis dan tangan mereka memegang
sebatang golok yang tajam.
Biarpun Suma Eng belum pernah mengalami hal seperti ini,
namun dari cerita ayahnya ia dapat menduga bahwa ia
berhadapan dengan segerombolan perampok yang biasa
menghadang orang lewat dan merampas barangnya.
Melihat belasan orang itu sengaja menghadang di
depannya, Suma Eng bertanya dengan suara nyaring,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Siapakah kalian dan mau apa kalian menghadang
perjalananku?"
"Mau apa? Ha-ha-ha, apa-apa kami mau! Terutama
buntalan di punggungmu itu!" kata seorang yang brewokan
dan berkulit hitam.
"Orangnya kami juga mau!" terdengar orang lain dan
semua laki-laki itu tertawa bergelak. Mereka menyeringai dan
sikap mereka kurang ajar sekali.
"Hushh!" kata si brewok yang tampak nya adalah pemimpin
mereka. "Sekali ini orangnya untukku dan barang-barangnya
kita bagi rata!"
Suma Eng mengangguk-angguk dan senyumnya melebar.
Orang-orang itu tidak tahu betapa bahayanya kalau Suma Eng
sudah tersenyum lebar seperti itu. Ini tandanya bahwa ia
marah sekali. Ia marah bukan karena dihadang hendak
dirampok, melainkan marah karena kata-kata mereka yang
kurang ajar terhadap dirinya.
"Hemm, mengerti aku sekarang! Jadi kalian ini adalah
anjing-anjing perampok yang tak tahu diri dan kurang ajar?
Bagus, kebetulan sekali, nonamu juga sedang gatal tangan
dan akan mengirim nyawa kalian ke neraka! Kalian mau
mengambil buntalan- buntalan ini?" la menurunkan dua
buntalannya dan meletakan di atas tanah.
"Nah, siapa mau boleh ambili" katanya.
Setelah buntalan itu turun dari punggungnya, baru tampak
oleh para perampok itu bahwa gadis itu membawa sebatang
pedang di punggung mereka. Akan tetapi tentu saja mereka
tidak gentar oleh ucapan Suma Eng. Gadis muda seperti itu,
akan mampu berbuat apakah terhadap mereka? Maka, dua
orang segera menubruk hendak mengambil buntalan itu.
"Plak! Plak!" Dua kali tangan kiri dan kanan Suma Eng
bergerak menampar dan tepat mengenai muka dua orang itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tanpa dapat dielakkan atau ditangkis karena perhatian mereka
ditujukan kepada buntalan itu dan tamparan yang dilakukan
Suma Eng cepat seperti kilat. Dua orang itu terpelanting
roboh, berkelojotan dan tewas dengan mata mendelik. Semua
orang terkejut melihat betapa di muka dua orang rekan
mereka itu terdapat tanda telapak tangan hitam.
"Dan siapa mau memiliki aku? Boleh ambil!" Suma Eng
membusungkan dadanya seperti hendak menyerahkan dirinya.
Kepala perampok yang brewokan dan berkulit hitam itu
menjadi marah sekali. Dia membuka bajunya sehingga tampak
dadanya yang berbulu dan membentak, "Gadis setan berani
engkau membunuh anak buahku?" Dia lalu menubruk, seperti
seekor biruang yang menubruk sambil mengembangkan kedua
lengan seperti hendak menerkam Suma Eng. Gadis itu
menggerakkan kedua tangan menangkis dan ketika lengan
tangan kepala rampok itu terpental ke kanan kiri dan dadanya
terbuka lebar, tangan kirinya menghantam dengan telapak
tangan terbuka kearah dada itu.
"Bukk.....!!" Tubuh kepala perampok Itu terpental ke
belakang dan roboh terjengkang, berkelojotan lalu tewas. Di
dadanya yang hitam itu tampak bekas telapak tangan yang
lebih hitam lagi!
Melihat pimpinan mereka roboh dan tewas, para perampok
itu terbelalak dan menjadi marah sekali. Mereka adalah orangorang
yang busa mengandalkan kekuatan tidak
mempergunakan pikiran sehingga mereka tidak menyadari
bahwa mereka berhadapan dengan orang yang memiliki
kesaktian. Belasan orang itu lalu menggerakkan golok mereka
dan menerjang Suma Eng dari berbagai jurusan.
Suma Eng maklikn bahwa biarpun ilmu kepandaian para
perampok itu tidak seberapa, namun karena belasan orang
maju bersama, maka dapat membahayakan keselamatannya
juga. Hal ini membuatnya makin marah dan dengan
mempergunakan kecepatan gerakannya, ia berloncatan dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyusup di antara mereka, menggunakan ilmu silat yang
disebut Kong-jiu-jip-pek-to (Tangan Kosong Memasuki
Serbuan Ratusan Golok). Tubuhnya berkelebatan, lenyap
bentuknya hanya tampak bayangan yang berkelebatan di
antara golok-golok itu dan kedua tangannya sibuk membagibagi
tamparnn yang dilakukan dengan ilmu Toat-beng Tokciang
(Tangan Beracun Pencabut Nyawa). Hanya terdengar
suara piok-plak plak dan disusul jeritan dan robohnya para
perampok. Satu demi satu mereka roboh dan semua tewas
dengan tanda telapak jari tangan hitam dan mata mendelik!
Setelah hampir semua dari mereka roboh dan tewas,
tinggal dua orang yang masih hidup, barulah mereka
menyadari dan dua orang itu lalu membalikkan tubuh dan lari
tunggang-langgang
Suma Eng tertawa mengejek, memungut dua batang golok
dari atas tanah dan sekali ia lontarkan golok itu, dua sinar
menyambar ke arah orang yang melarikan diri dan di lain saat
mereka berteriak dan roboh menelungkup dengan punggung
ditembusi golok.
Suma Eng menepuk-nepuk kedua tangan seperti hendak
membersihkan dari debu sambil tersenyum puas. Matanya
bersinar-sinar dan ia merasa bangga sekali atas kemampuan
dirinya. Kalau saja ayahnya dan supek-kongnya menyaksikan
apa yang baru saja ia lakukan, mereka tentu akan merasa
senang dan bangga sekali.
Ia memandang belasan mayat yang berserakan itu dan
menggumam sendiri, " Anjing-anjing perampok hina, baru
kalian tahu sekarang akan kelihaian nonamu!" Dia mengambil
buntalannya, menggendong lagi buntalan pakaian dan
buntalan abu jenazah gurunya, lalu melanjutkan
perjalanannya.
Hari telah jauh siang ketika ia tiba di kaki pegunungan dan
memasuki sebuah dusun yang cukup ramai. Ketika melihat
sebuah warung makan di tepi jalan, barulah terasa olehnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
betapa perutnya lapar sekali dan teringatlah ia bahwa sejak
pagi ia belum makan apapun atau minum apapun. Bau sedap
masakan yang memakai bawang menusuk hidungnya dan
membuat perutnya menjadi semakin lapar. Ia lalu memasuki
warung itu. Sebuah warung makan yang sederhana namun
cukup besar dan mempunyai tujuh meja. Tiga buah meja telah
dihadapi tamu, dan ia lalu memilih meja kosong dan duduk di
bangku. Buntalannya ia lepas dari punggung dan ia letakkan di
atas meja, tanpa melepas pedangnya dari punggung. Seorang
pelayan, satu-satunya pelayan di warung itu, seorang yang
usianya sudah setengah tua, lima puluhan tahun,
menghampirinya.
"Nona hendak memesan makanan dan minuman?"
"Ambilkan air teh cair, arak lunak setengah guci kecil dan
nasi serta dua macam masakan yang enak dari dagingi ayam
dan sapi."
"Baik, nona."
Pada saat itu, tamu yang makan di meja sebelah, tiga
orang banyaknya, telah selesai dengan makanan mereka dan
mereka sudah hendak meninggalkan meja. Seorang di antara
mereka mengeluarkan sebuah pundi-pundi kecil untuk
mengeluarkan uang. Pada saat itu barulah Suma Eng teringat
bahwa membeli makanan dan minuman haruslah membayar,
padahal ia sama sekali tidak mempunyai uang sepeserpun! Ia
memandang orang yang memiliki pundi-pundi uang itu.
Pemilik pundi-pundi uang itu mengeluarkan beberapa potong
uang dan dibayarkan kepada pelayan, kemudian menyimpan
kembali pundi-pundi uangnya di dalam saku bajunya yang
longgar. Suma Ing tersenyum. Ada jalan untuk dapat
membayar harga makanan dan minuman, pikirnya.
Ia menanti sampai tiga orang itu bangkit berdiri dan
melangkah melewati dekat mejanya. Tiba-tiba ia berdiri dan
menghadang laki-laki yang memiliki pundi-pundi uang itu dan
menepuk pundaknya sambil tersenyum girang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Heii! Tan-twako (kakak Tan), engkau hendak pergi ke
manakah?"
Laki-laki itu memandang dengan bingung akan tetapi
tersenyum girang karena yang menegurnya adalah seorang
gadis yang amat cantik.
"Aku.... aku bukan orang she (marga) Tan....." katanya
ragu. "Nona siapakah?"
"Ah, maafkan aku. Wajahmu mirip sekali dengan Tantwako."
kata Suma Eng, tersipu lalu kembali duduk di
kursinya. Tiga orang itu melanjutkan langkah mereka sambil
tertawa-tawa. Orang yang ditegurnya tadi berkata kepada dua
orang temannya.
"Sungguh sayang aku bukan orang she Tan, kalau iya,
alangkah senangnya mengobrol dengan si cantik jelita itu."
Dan tiga orang itu tertawa-tawa lagi sambil keluar dari warung
makan. Sementara itu, sambil mengulum senyum, Suma Eng
menyelipkan pundi-pundi uang yang telah diambilnya dari
kantung orang tadi ke dalam buntalannya.
Suma Eng lalu makan dengan enaknya. Setelah selesai
makan dan membayar harga makanan dan minuman, ia lalu
menggendong lagi buntalannya dan beranjak meninggalkan
warung makan itu. Akan tetapi baru saja ia tiba di depan
warung, terdengar teriakan orang dan tiga orang laki-laki tadi
datang berlarian. Pemilik pundi-pundi tadi menuding-nuding
kepadanya.
"Itu ia! Cepat jangan sampai ia lari!" Akan tetapi Suma Eng
tidak lari dan memandang kepada mereka dengan sikap he
ran. la melirik ke keranjang sampah di depan warung, di mana
baru saja ia melemparkan pundi-pundi kosong itu dan semua
uang yang tadi berada di pundi-pundi kini telah berada dalam
buntalan pakaiannya dengan aman.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Hei, nona. Kembalikan pundi-pundi uangku!" Laki-laki itu
menghampiri Suma Eng dan menudingkat telunjuknya ke arah
muka gadis itu.
"Hemm, apa maksudmu? Aku tidak tahu tentang pundipundi
uangmu!" jawab Suma Eng dengan tenang.
"Engkau tentu yang mengambil pundi-pundi uangku. Sejak
aku keluar dari warung ini, selain engkau tidak ada orang lain
lagi yang mendekati aku. Hayo turun kan dan buka
buntalanmu, akan kuperiksa. Pundi-pundi uangku tentu
berada dalam buntalanmu itu!" kata pula pemilik pundi-pundi.
"Asalkan engkau mau melayani kami bertiga selama sehari
semalam, biarlah pundi-pundi itu tidak usah kau kembali-kan!"
kata seorang di antara mereka ber tiga sambil menyeringai.
Ucapan dan sikap inilah yang membuat Suma Eng menjadi
marah, Ia melepaskan buntalannya dan membuka buntalan itu
di atas tanah di depan mereka. "Nah, kalian lihat. Mana pundipundi
itu? Kau kira aku tidak punya uang dan mencuri pundipundimu?
Lihat, akupun mempunyai cukup banyak uang."
katanya sam bil memperlihatkan uang dalam buntalan, uang
pindahan dari pundi-pundi. Tentu saja orang tidak akan
mampu mengenali uang, karena uang itu di mana-manapun
sama saja. Pundi-pundi yang menjadi tanda milik orang itu
sudah tidak ada!
Banyak orang berdatangan dan merubung tempat itu untuk
menonton apa yang terjadi. Tiga orang itu tidak menemukan
pundi-pundi dalam buntalan dan si pemilik pundi-pundi
berkata, "Tentu kau-sembunyikan dalam bajumu!"
"Kita geledah saja pakaiannya!" kata pula yang tadi
mengeluarkan ucapan kurang ajar.
Suma Eng menggendong lagi buntalannya dan nenghadapi
tiga orang yang sudah siap untuk menggeledah pakaiannya itu
ia berkata, "Kalian hendak menggeledah pakaianku. Silakan,
kalau kalian mampu!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Seperti tiga ekor anjing berebutan tulang, tiga orang lakilaki
itu menjulurkan tangan-tangan yang penuh gairah hendak
mengerayangi tubuh Suma Eng. Gadis itu mengelak ke
belakang dan ketika tiga orang itu mengejar, kedua tangannya
bergerak cepat sekali.
"Plak-plak-plak-plak-plak-plak!" Dengan kecepatan yang
tidak dapat diikuti pandang mata, tiga orang itu masingmasing
telah kena ditampar pipi kiri dan kanan mereka.
Mereka mengaduh-aduh dan terhuyung sambil menggunakan
kedua tangan memegangi kedua pipi mereka yang bengkakbengkak
dan bibir mereka yang berdarah karena gigi mereka
banyak yang copot!
"Masih ingin menggeledahku?" tanya Suma Eng yang hanya
menggunakan tenaga ketika menampar, tidak mengerahkan
pukulan beracun. Biarpun ayahnya selalu menasihatkan
padanya agar membunuh setiap orang yang berani
menentangnya, namun gadis ini tidaklah sekejam ayahnya.
Para perampok itu memang dibunuhnya karena kesalahan
mereka sudah jelas. Akan tetapi tiga orang ini tidak bersalah
apa-apa kecuali bersikap kurang ajar, bahkan uang mereka
telah ia curi. Karena itulah maka ia hanya menghajar mereka
dengan tamparan itu saja. Tiga orang itu merasa kesakitan
dan juga ketakutan. Mereka lalu melarikan diri sambil
memegangi kedua pipi mereka. Para penonton banyak yang
tertawa melihat peristiwa yang mereka anggap lucu. itu. Akan
tetapi banyak pula yang memandang kepada Suma Eng
dengan jerih, apalagi melihat sebatang pedang tergantung di
punggung gadis itu.
Suma Eng tidak memperdulikan pandang mata semua
orang itu dan ia melanjutkan perjalanan dengan cepat
meninggalkan dusun itu. Setelah senja tiba, belum juga ia
bertemu dusun lain dan terpaksa ia berhenti di luar sebuah
hutan, membuat api unggun di bawah sebatang pohon besar
dan melewatkan malam di tempat itu. Ia tidak dapat tidur
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pulas membiarkan dirinya terancam bahaya di tempat terbuka
itu, akan tetapi hal ini bukan merupakan persoalan baginya, la
sudah dilatih oleh Hwa Hwa Cinjin dan sudah biasa duduk
bersila dalam samadhi. Dalam keadaan seperti ini, tidak
bedanya dengan orang tidur karena semua urat syaraf di
tubuhnya beristirahat sepenuhnya, namun kesadarannya
selalu siap sehingga sedikit saja terdengar suara yang tidak
wajar akan cukup untuk membangunkannya. Dapat dikata
bahwa ia tidur dalam keadaan sadar! Demikian pula, kalau api
unggun hampir padam, ia dapat merasakannya, terbangun
dan menambahkan kayu bakar pada api unggun. Dan1
panasnya api unggun itu mengusir nyamuk dan hawa dingin.
Suma Eng membuka matanya. Api unggun sudah hampir
padam dan hawa udara masih dingin. Akan tetapi karena sinar
matahari pagi sudah mulai menerangi tanah, iapun tidak
membesarkan api unggun. Pagi telah tiba. Sejenak ia enikmati
suasana pagi yang cerah itu. Kicau burung di atas pohon,
diseling kuruyuk ayam jantan dari hutan, mendatangkan
suasana yang tenteram dan penuh emangat hidup. Suma Eng
bangkit berdiri, menggendong buntalannya dan meninggalkan
bawah pohon untuk mencari anak sungai atau sumber air.
Akhirnya ia enemukan pancuran air di dalam hutan itu segera
ia membersihkan dirinya degan air yang jernih itu. Segar sejuk
rasanya. Kemudian ia lalu mengikuti aliran air dari pancuran
itu karena maklum bahwa Sungai Huang-ho tentu sudah dekat
dan air yang mengalir dari pancuran itu akhirnya tentu akan
terjun ke dalam Sungai Huang-ho. Ternyata air itu masuk ke
dalam sebatang anak sungai yang lumayan besarnya dan ia
lalu menyusuri tepi anak sungai ini, mengikuti jalannya yang
menuju ke barat. Perutnya terasa lapar. Melihat betapa
banyaknya ikan yang berenang di anak sungai itu, ia lalu
mengambil sebatang ranting, diruncingkannya ujungnya dan
dengan senjata ini ia menuruni tepi sungai. Sebentar saja,
dengan rantingnya, ia telah dapat menangkap dua ekor ikan
sebesar tangannya. Lalu dibuatnya api unggun dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dipanggangnya ikan itu. Akan tetapi ketika dimakannya, ia
menyeringai. Rasa daging ikan itu hambar. Tentu saja
hambar. Segala macam daging akan terasa hambar dan tidak
enak kalau dipanggang atau dimasak tanpa bumbu terutama
garam, la sama sekali tidak berpengalaman melakukan
perjalanan seorang diri, maka iapun tidak membawa garam
maupun bumbu masak lainnya. Dibuangnya ikan-ikan itu dan
setelah mencuci tangannya, ia melanjutkan perjalanannya.
Setelah hari menjadi siang, barulah anak sungai itu terjun
ke dalam Sungai Huang-ho. Suma Eng menjadi girang sekali.
Inilah tempatnya di mana ia harus menaburkan abu jenazah
Hwa Hwa Cinjin seperti yang dipesan oleh kakek itu.
Akan tetapi ia tidak mempunyai perahu. Bagaimana dapat
menaburkan abu itu? Dari tepi? Penaburan itu tentu tidak
sempurna, dan abunya akan banyak yang terjatuh di tepi
sungai karena terbawa angin ketika ia taburkan. Suma Eng
menjadi bingung dan duduk di atas sebuah batu besar.
Tempat itu sunyi, dari mana ia akan dapat menyewa perahu?
Tiba-tiba ia bangkit berdiri dan wajahnya berseri, la melihat
sebuah perahu hitam didayung oleh seorang laki-laki setengah
tua.
"Paman.....1 Paman tukang perahu! Kesinilah, aku ingin
menyewa perahumu!" Teriak Suma Eng sambil mengerahkan
tenaga dalamnya sehingga suaranya melengking nyaring dan
dapat terdengar dari jauh.
Tukang perahu itu juga mendengarnya dan berdiri di
perahunya sambil memanjang ke arah pantai di mana Suma
Eng melambai-lambaikan tangannya.
"Ke sinilah, paman! Aku akan menyewa perahumu
menyeberang, berapa saja sewanya akan kubayar!" kembali
Suma Eng berseru. Agaknya tukang perahu itu mengerti baik
dan iapun duduk kembali mendayung perahunya menuju ke
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pantai di mana Suma Eng berdiri. Gadis itu men jadi girang
bukan main.
Setelah perahu itu tiba di pinggir, Suma Eng melihat bal
tukang perahu itu bertubuh tinggi besar dan biarpun usianya
sudah setengah tua, tampak sehat dan kokoh kuat. Sebuah
caping besar menutupi kepalanya. Tidak tampak alat jala atau
pancing di perahu seperti dimiliki tukang perahu yang
pekerjaannya sebagai nelayan. Akan tetapi Suma Eng tidak
memperhatikan hal ini. Ia sudah terlalu girang ada perahu di
situ dan si tukang perahu mau mendatanginya untuk disewa
perahunya.
"Paman, aku hendak menyeberang dan sekalian hendak
menaburkan abu jenazah) di tengah sungai. Seberangkan aku
dan aku akan membayar berapapun yang engkau minta."
Tukang perahu itu mengamati wajah dan tubuh Suma Eng,
juga mengamati buntalan yang berada di punggung gadis itu.
Akhirnya dia mengangguk. "Baiklah nona. Naiklah ke
perahuku. Akan tetapi maklumlah, tidak ada pelindung dari
panas matahari di perahuku."
"Tidak mengapa, paman." kata Suma Eng yeng segera
melangkah ke atas perahu. "Pinjamkan saja capingmu itu
kepadaku."
Tukang perahu menyerahkan capingnya dan ketika dia
menanggalkan capingnya, baru tampak bahwa rambutnya
diikat bagian atasnya dengan sehelai pita merah dari sutera.
Akan tetapi hal ini tidak menarik perhatian Suma Eng yang
sudah memakai caping dan duduk di atas perahu. Tukang
perahu lalu mendayung perahunya ke tengah sungai yang
lebar itu. Perahu meluncur cepat ke tengah sungai. Akan
tetapi perahu itu tidak langsung menyeberang, melainkan
menghilir-milir dengan cepatnya. Melihat ini, Suma Eng
berkata, "Paman, aku ingin menyeberang, bukan ingin ke
hilir."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Akan tetapi, nona. Di seberang sana terdapat tepi sungai
yang terjal dan melupakan bagian dari bukit berhutan yang
liar. Aku membawa nona sedikit ke hilir karena di sana
terdapat pedusunan. Apakah nona tidak lebih senang
mendarat di pedusunan itu?"
"Ah, begitukah? Baik, teruskan mendayung. Tentu saja aku
lebih suka menyeberang ke pedusunan itu."
Perahu meluncur terus. Karena mengikuti aliran air
ditambah kekuatan dayung, perahu itu meluncur cepat sekali.
Tak lama kemudian, tiba-tiba dari tepi sungai sebelah sana,
muncul tiga buah perahu besar yang masing-masing
ditumpangi sedikitnya sepuluh orang. Melihat ini, Suma Eng
tidak menduga buruk karena perahu mereka sudah tiba dekat
pantai. Pantai sana sudah dekat walaupun ia belum melihat
ada pedusunan di sana, melainkan pohon-pohon dan semaksemak
belukar.
Mendadak tukang perahu itu bersuit nyaring tiga kali dan
dia mendayung perahunya menyongsong tiga buah perahu
besar itu. Melihat ini, barulah Suma Eng merasa heran. Akan
tetapi ia mengira bahwa perahu mereka itu sudah hampir tiba
di tempat tujuan dan si tukang perahu hendak mendayung
perahu mendekati daratan. Akan tetapi tiga perahu besar itu
bergerak mengepung perahu kecil yang ditumpanginya
"Hei, apa artinya ini, paman?" tanya Suma Eng sambil
bangkit berdiri, Ia memandang ke arah tiga perahu besar dan
para penumpangnya terdiri dari laki-laki kasar yang
menyeringai memandang ke arahnya dan apa yang tampak
menyolok dari mereka adalah pita rambut mereka yang
kesemuanya merah!
"Artinya, nona, bahwa engkau kini sudah dikepung oleh
kawan-kawanku. Menyerahlah dan berikan semua milikmu
agar kami tidak perlu melakukan kekerasan." kata tukang
perahu yang kini sikapnya berubah sama sekali. Diapun
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bangkit berdiri dan tahu-tahu sudah memegang sebatang
golok yang tajam mengkilat.
Seorang laki-laki tinggi besar yang berdiri di kepala perahu
besar yang berada terdekat dengan perahu kecil itu berseru
dengan suaranya yang lantang, "A-sam, jangan lukai gadis itu!
Tangkap dan bawa ke sini!"
Suma Eng menjadi marah bukan main. Kini mengertilah ia
bahwa ia berhadapan dengan bajak sungai seperti yang sering
ia dengar dari ayahnya. Ayahnya adalah seorang datuk Sungai
Huang-ho, dan semua bajak sungai di situ tunduk belaka!
kepada ayahnya. Biarpun demikian ia tidak mau menggertak
mereka dengan nama ayahnya, la sudah terlampau marah dan
mengambil keputusan untuk memberi, hajaran kepada para
bajak sungai itu.
"Hemm, kiranya kalian ini adalah anjing-anjing bajak sungai
yang tidak tahu diri dan sudah bosan hidup!" la melepaskan
buntalan abu jenazah gurunya, menaburkan abu itu ke dalam
sungai sampai habis, melepaskan buntalan pakaiannya ke atas
perahu dan mencabut pedangnya. Melihat gadis itu
menaburkan abu dari buntalan, A-sam, tukang perahu itu,
tidak mencegahnya. Akan tetapi ketika melihat gadis itu
mencabut pedang yang mengeluarkan sinar kehijauan dia
terkejut. Apalagi ketika tiba-tiba sinar kehijauan itu meluncur
ke arahnya. Dia cepat menggerakkan goloknya untuk
menangkis sambil mengerahkan tenaga untuk membuat
pedang itu terpental dari tangan pemegangnya.
"Singgg..... trang......!" Golok itu patah menjadi dua,
disusul leher A-sam yang putus terbabat sinar kehijauan dan
kepalanya terpental dalam air sungai! Suma Eng menendang
dengan kaki kirinya dan tubuh itupun terlempar dari tercebur
ke dalam sungai. Perahu bergoyang goyang keras dan perahu
besar yang ditumpangi kepala bajak yang tinggi besar itu
sudah menempel dekat perahu kecil, bahkan hendak
menabraknya. Suma Eng maklum bahwa kalau perahunya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ditabrak, tentu akan terguling dan iapun akan terjatuh ke
dalam air. Maka sebelum perahu kecil itu tertabrak, ia sudah
mengenjot tubuhnya, melompat ke atas perahu besar!
Kepala bajak itu bersama anak buahnya segera
menyambutnya dengan juluran tangan, seolah sekumpulan
kanak-kanak lendak memperebutkan seekor burung. Akan
tetapi sinar hijau berkelebat dan empat orang roboh mandi
darah dan tewas seketika. Melihat ini, semua bajak itu terkejut
dan mereka lalu menyerang dengan golok mereka, dipimpin
oleh kepala bajak yang memegang sebatang pedang.
Menghadapi hujan serangan golok ini, Suma Eng mengenjot
tubuhnya dan meloncat ke atas atap perahu besar itu, dan
dari atas atap ia menerjang lagi ke bawah. Bagaikan seekor
burung walet tubuhnya menyambar dan empat orang kembali
roboh mandi darah. Sisanya, tiga orang termasuk kepala
bajak, menjadi jerih menyaksikan kehebatan gerakan Suma
Eng dan tanpa dikomando lagi mereka melompat ke dalam air,
meninggalkan perahu mereka.
Akan tetapi mereka bukan hanya mencebur sekedar untuk
melarikan diri. Mereka lalu memegang perahu dari bawah dan
mengguncang perahu itu, berusaha untuk menggulingkan
perahu!
Suma Eng terkejut sekali ketika perahu yang sudah
ditinggalkan para bajak itu terguncang hebat, la berusaha
mengatur keseimbangan tubuhnya agar jangan terlempar dari
perahu, akan tetapi perahu terguncang semakin keras, la
melihat betapa perahu kecil yang ditumpanginya tadi telah
terbalik. Maka ia menoleh ke kanan, ke arah perahu besar
kedua yang sudah mulai mendekat. Setelah memperhitungkan
jaraknya, ia mengenjot tubuhnya lagi, dengan cepat dan
ringan tubuhnya melompat ke atas perahu besar kedua. Para
bajak sungai di perahu itupun menyambutnya dengan
serangan golok. Akan tetapi sambil melompat Suma Eng
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sudah memutar pedangnya sehingga pedang itu lenyap
berubah menjadi sinar kehijauan yang bergulung-gulung.
"Trang-trang.... trak-trakk!" Empat batang golok patahpatah
begitu bertemu gulungan sinar kehijauan itu disusul
suara jeritan empat orang dan robohnya empat tubuh mereka
yang mandi darah. Lima orang yang lain terkejut dan
merekapun berlompatan ke dalam air sungai. Mereka melihat
betapa hebatnya gadis itu memainkan pedang, hal yang sudah
mereka saksikan ketika Suma Eng mengamuk di perahu
pertama tadi. Mereka berlima lalu mengguncang perahu itu
dan kembali Suma Eng harus mempertahankan keseimbangan
tubuhnya yang ikut terguncang. Ketika ia sudah tidak dapat
bertahan lagi, ia melompat ke perahu ke tiga yang tidak
berapa jauh dari perahu ke dua itu.
Bagaikan seekor burung terbang, ia melayang ke perahu ke
tiga. Akan tetapi di sini ia tidak disambut dengan golok,
karena semua yang berada di perahu itu sudah melihat sepak
terjang gadis itu di perahu pertama dan ke dua. Mereka
semua lalu melompat keluar dari perahu, terjun ke dalam air
dan mengguncang perahu ke tiga!
Sedapat mungkin Suma Eng mempertahankan diri agar
jangan sampai jatuh keluar perahu. Akan tetapi guncangan itu
semakin kuat, membuat perahu miring dan hampir terbalik.
Suma Eng menyarungkan lagi pedangnya di punggung dan
dengan susah payah ia mengatur keseimbangannya,
melompat ke sana -sini di atas perahu itu dan akhirnya
kakinya terpeleset dan iapun terjatuh ke dalam air sungai.
Pada saat itu tampak meluncur perahu kecil.
Penumpangnya hanya seorang. seorang pemuda berpakaian
serba kuning. Pemuda ini melihat betapa Suma Eng berada di
atas perahu besar kosong yang digoncang dari bawah oleh
banyak laki-laki. Dan dia melihat pula betapa gadis itu terjatuh
ke dalam air Ia gelagapan timbul tenggelam, tanda hahwa
gadis itu tidak pandai berenang!
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Melihat ini, pemuda itu lalu meloncat ke dalam air lalu
berenang dengan amat cepatnya ke arah Suma Eng. Gadis itu
telah menjadi lemas dan banyak menelan air. Ketika akhirnya
pemuda itu dapat meraih dan merangkulnya, Suma Eng jatuh
pingsan sehingga dengan mudah pemuda itu dapat
mengangkat dan membawanya berenang tanpa perlawanan.
Beberapa orang bajak yang melihat ini, segera berenang
mendekati dan mereka menjulurkan tangan untuk merampas
tubuh Suma Eng. Namun, biarpun lengan lengannya
memanggul tubuh Suma Eng, tangan kiri pemuda itu dapat
digerakan ke sana-sini membagi-bagi pukulan dan semua
pukulannya mengenai sasaran, membuat para pengeroyoknya
terpelanting! Pemuda itu lalu berenang dengan tepat ke arah
perahunya yang hanyut terbawa air. Cepat dia menangkap
perahunya, melepaskan tubuh Suma Eng ke dalam perahu dan
dia sendiri lalu naik dan masuk ke dalam perahunya,
menyambar dayung perahunya. Pada saat itu, berapa orang
bajak sungai sudah berenang mendekati perahunya. Pemuda
itu lalu mengayun dayungnya ke kanan kiri, memukul para
bajak sehingga mereka terpaksa menjauh.
Dengan cekatan pemuda itu lalu mendayung perahunya ke
tepi sungai. Cepat sekali perahu itu meluncur, menandakan
betapa kuatnya pemuda itu mendayung perahu. Setelah tiba
di tepi, dia menarik perahunya naik dan mengikat tali
perahunya ke sebatang pohon. Setelah itu baru ia
menghampiri Suma Eng yang masih telentang pingsan di
dalam perahu. Melihat betapa perut gadis itu agak
menggembung, tahulah dia apa yang harus dilakukannya. Dia
mengangkat tubuh Suma Eng dan dijungkir balikkan tubuh
gadis itu sehingga air mengalir keluar dari mulut dan hidung
Suma Eng! Semua air yang tadi tertelan masuk ke perutnya
kini mengalir keluar.
Setelah itu, dia merebahkan kembali Suma Eng telentang,
kini memindahkan ke atas rumput di tepi sungai. Gadis itu
menggeletak dengan wajah pucat dan tidak bergerak sama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekali. Pemuda itu mendekatkan jari tangannya ke depan
mulut dan hidung Suma Eng dan dia terkejut. Celaka, pikirnya.
Gadis ini napasnya terhenti!
Sebagai seorang yang sering melihat korban yang
tenggelam dalam air dan tahu akan cara pengobatannya, dia
mengambil keputusan tetap. Dia menyingkirkan semua rasa
rikuh, dan tekadnya hanya untuk menyelamatkan nyawa
seorang manusia tanpa memperdulikan lagi akan sopan
santun dan kesusilaan. Dengan tangan kirinya dia mengangkat
leher gadis itu, dengan tangan kanan membuka mulutnya dan
menutup hidungnya, kemudian melupakan segalanya kecuali
niatnya hendak menolong, diapun mempertemukan mulutnya
dengan mulut gadis yang ternganga itu dan meniup
sekuatnya! Dia mengangkat mulutnya, lalu menempelkan lagi
dan meniup lagi. Perbuatan ini diulanginya sampai lima kali
dan dengan girang dia melihat betapa gadis itu sudah dapat
bernapas kembali!
Dia merebahkan lagi kepala Suma Eng yang terbatuk-batuk
dan gadis itu cepat meloncat bangkit. Wajahnya menjadi
merah sekali, sambil berbatuk-batuk ia memandang kepada
pemuda itu dan menudingkan telunjuknya ke arah muka
orang. Bagaimana ia tidak akan marah. Pada ciuman keempat
tadi saja ia sudah siuman dari pingsannya dan melihat serta
merasakan dengan penuh kesadaran betapa pemuda itu
kembali "mencium"nya untuk terakhir kalinya! Ia hendak
meronta ketika dicium dan mulut pemuda itu meniup kuat
sehingga ia terbatuk-batuk, akan tetapi entah mengapa,
mungkin saking kaget dan marahnya, ketika dicium untuk
terakhir kalinya tadi, ia tidak mampu bergerak, semangatnya
seperti tenggelam. Baru setelah ia meloncat bangun, ia
menjadi marah sekali.
"Jahanam keparat engkau!!" Bentaknya dan tangannya
sudah menampar ke arah muka pemuda itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi dengan sigapnya pemuda itu mengelak
mundur. Cepat sekali gerakannya sehingga tamparan itu
luput. "Nona, mengapa engkau menyerangku?"
Pemuda itu bertanya dengan heran dan terkejut. Suma Eng
menatap wajah itu. Wajah yang tampan dan gagah, tubuh
yang tegap dan sedang besarnya. Akan tetapi hal Ini tidak
mengurangi kemarahannya.
"Jahanam engkau!" Dan ia menyerang lagi dengan
tamparan, sekali ini lebih cepat lagi. Akan tetapi kembali
pemuda itu melompat ke belakang dan ketika Suma Eng
menyambung serangannya dia menangkis.
"Dukkk!" Pertemuan dua lengan itu membuat si pemuda
terhuyung dan hal ini membuat dia terkejut bukan main. Dia
merasakan betapa kuatnya tenaga yang ada pada lengan kecil
mungil itu.
"Nanti dulu, nona. Dengarkan dulu kata-kataku, setelah itu
kalau engkau tetap hendak menyerangku, silakan!"
Suma Eng menahan serangannya. "Engkau hendak bicara
apa lagi? Engkau berani..... men.....ciumku selagi aku
pingsan!" Kemarahan membuat suaranya tergagap, juga ia
merasa malu bukan main 1an merasa terhina.
"Nona, kalau nona sudah mengetahui ahwa nona pingsan,
bagaimana dalam keadaan pingsan nona dapat berada di tepi
sungai ini? Lihat, pakaian nona basah kuyup seperti juga
pakaianku. Aku telah menolongmu dari bahaya tenggelam
dalam sungai setelah engkau terjatuh dari perahu, dan aku
yang menghalau para bajak yang hendak menyerangmu selagi
engkau akan tenggelam. Aku menaikkan engkau ke perahuku
dan membawamu sampai ke tepi sungai ini....."
"Apakah untuk semua itu engkau harus menciumku?
Apakah engkau merasa berhak melakukan apa saja terhadap
diriku setelah engkau menolongku? Engkau harus menebus
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan nyawamu!" Suma Eng sudah hendak bergerak
menyerang lagi, akan tetapi pemuda itu berseru.
"Nanti dulu, untuk itupun aku mempunyai penjelasan.
Ketahuilah nona. Setelah engkau kubawa ke tepi, aku melihat
perutmu kembung penuh air. Maka aku terpaksa harus
menjungkirbalikkan tubuhmu sehingga semua air keluar dari
mulutmu. Akan tetapi kemudian aku melihat bahwa napasmu
terhenti! Engkau terancam maut karena paru-parumu tidak
bekerja. Dan aku tahu bahwa untuk menyelamatkanmu dari
ancaman maut, jalan satu-satunya hanya meniupkan hawa
melalui mulut ke dalam paru-parumu sehingga paru-paru itu
bekerja kembali dan engkau dapat bernapas lagi. Sama sekali
aku tidak berniat berbuat tidak sopan atau melanggar susila.
Yang teringat olehku hanya untuk menyelamatkan sebuah
nyawa, tidak ada apa-apa lagi. Kalau engkau tidak percaya
kepadaku dan hendak mem bunuhku, silakan!"
Pada saat itu, tampak banyak orang muncul dari sungai
dan berteriak-teriak, "Itu mereka! Tangkap! Bunuh!" Dua
puluh lima bajak berloncatan ke tepi sungai dengan golok di
tangan, dipimpin oleh kepala bajak yang tinggi besar itu.
Mereka semua marah bukan main karena gadis itu telah
membunuh banyak kawan mereka.
Suma Eng menjadi marah kepada para bajak sungai itu.
Tanpa banyak cakap lagi ia mencabut pedang Ceng-liong-kiam
dari punggungnya dan menyambut para bajak sungai yang
menyerang. juga pemuda itu mencabut sebatang pedang lalu
melawan ketika dia dikeroyok banyak bajak sungai.
Ternyata pemuda itu lihai juga. Gerakan pedangnya indah
dan bagi ahli pedang kalau melihat gerakan pedangnya tentu
akan mengetahui bahwa dia memainkan ilmu pedang dari
partai persilatan Kun-lun-pai. Pedangnya bergerak naik turun
seperti seekor naga bermain di angkasa dan banyak golok
terpental ketika bertemu dengan pedangnya, bahkan
beberapa batang golok terlepas dari pemegangnya. Akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tetapi, pemuda itu tidak menggunakan pedangnya untuk
merobohkan para pengeroyok, melainkan menggunakan
kedua kaki dan tangan kiri nya untuk merobohkan mereka
tanp membunuh. Dalam beberapa gebraka saja sudah ada
empat orang bajak sunga yang roboh oleh tendangan atau
tamparannya.
Gerakan Suma Eng jauh lebih ganas Ketika pedangnya
berdesing dan membentuk sinar kehijauan yang bergulunggulung,
cepat sekali pedang itu mendapatkan korban.
Berturut-turut lima orang pengeroyok sudah roboh dan tewas
seketika, terbacok atau tertusuk pedang.
Melihat betapa lihainya gadis dan pemuda itu, kepala bajak
sungai berteriak memberi aba-aba dan mereka semua lalu
berloncatan ke dalam air sungai, menyelam dan berenang
melarikan diri.
Suma Eng berdiri di tepi sungai, pedang di tangan dan ia
membanting kaki dengan gemas. "Sayang mereka melarikan
diri lewat air. Kalau lewat darat, mereka akan kubunuh
semua!" katanya.
Pemuda berbaju kuning Itu menyarungkan pedangnya dan
menghampiri Suma Eng. "Nona, kalau ada kesempatan, jauh
lebih baik memberi ampun kepada mereka daripada
membunuh mereka. Berilah kesempatan kepada mereka untuk
bertaubat dan hidup melalui jalan benar."
Suma Eng memutar tubuhnya dan memandang kepada
pemuda itu. Ia kini tidak marah lagi. Ia telah ditolong, bahkan
diselamatkan nyawanya. Bagaimana ia dapat marah? Tentang
"ciuman" itu, karena itu perlu untuk menyelamatkan nyawa,
sebaiknya akan ia lupakan saja, kalau dapat.
"Mereka bertaubat? Jangan mimpi, sobat. Tidak ingatkah
engkau, berapa anyak orang yang tidak berdosa mereka
bunuh, wanita lemah mereka hina? Orang orang seperti itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak akan mau bertaubat, dan sudah saatnya nereka itu
dihukum mati!"
Pemuda itu menghela napas panjang akan tetapi tidak
membantah. "Nona, bajumu basah kuyup, aku khawatir kalau
engkau akan masuk angin dan sakit."
Hampir Suma Eng tertawa. Ia masuk angin? Betapa
lucunya ucapan itu. Tubuhnya yang terlatih dan kuat, sehat
dan segar bugar, tidak mungkin masuk angin. Akan tetapi ia
segera merasakan betapa tidak enaknya mengenakan pakaian
yang basah kuyup! Ia menoleh ke arah sungai dan berkata
dengan gemas. "Keparat-keparat itu! Buntalan pakaianku
hanyut dan hilang entah ke rnana! Berikut uangku! Aku tidak
dapat berganti pakaian, keparat!"
Pemuda itu tampak bengong melihat gadis itu marahmarah
dan maki-makian demikian mudahnya meluncur dari
sepasang bibirnya yang manis dan merah basah itu.
"Nona......" dia menahan kata-katanya, takut kalau-kalau
gadis itu akan marah.
Suma Eng menengok dan memandang kepadanya dengan
alis berkerut. "Engkau mau bicara apa sih? Katakan, apa
maumu?"
Pemuda itu semakin gugup. "Nona, kalau sudi, engkau
dapat berganti pakaian dan pakailah satu stel pakaianku yang
kering dan bersih." Tanpa menanti jawaban dia lalu
mengambil buntalan pakaiannya dari perahu, membuka dan
mengeluarkan sestel baju dan celana yang baru dan bersih
berwarna kuning. Tanpa berkata-kata lagi dia menyerahkan
setumpuk pakaian itu kepada Suma Eng.
Gadis itu ragu-ragu akan tetapi menerima juga ketika
melihat bahwa pakaian itu bersih dan kering. Akan tetapi ia
ragu-ragu lagi. Bagaimana ia dapat berganti pakaian?
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Agaknya pemuda itu maklum akan hal ini. "Nona, di sana
ada batu besar. Engkau dapat berganti pakaian di balik batu
itu."
Suma Eng menoleh dan benar saja. Tak jauh dari situ
terdapat sebuah batu besar dan ia sama sekali tidak akan
tampak kalau berada di balik batu itu. Ia mengangguk lalu
melangkah ke arah batu besar dan menghilang di balik batu.
Pemuda itu lalu duduk menghadap ke arah air sungai sambil
melamun. Dia merasa betapa hatinya terpikat dan jatuh
terhadap gadis itu. Betapa cantik jelitanya, manis menarik. Dia
tertarik sekali dan timbul rasa sayang kepada gadis itu. Gadis
yang lihai bukan main. Melihat sepak terjangnya tadi ketika
menghadapi pengeroyokan para bajak, dia dapat menduga
bahwa gadis itu memiliki ilmu kepandaian silat yang amat
hebat namun juga ganas sekali!
Akan tetapi sayang, gadis itu liar dan ganas sekali! Begitu
mudahnya membunuh orang! Gadis ini membutuhkan
bimbingan karena kalau tidak ia dapat terjerumus ke dunia
sesat yang penuh kekejaman. Sayang sekali kalau sampai
terjadi demikian. Gadis itu masih demikian muda.
"Wah, aku menjadi seperti laki-laki!" terdengar suara dan
pemuda itu memutar tubuh. Dia melihat gadis tadi sudah
mengenakan pakaian miliknya, agak kebesaran dan tampak
lucu karena pakaian itu pakaian pria sedangkan tata-rambut
itu masih menujukkan bahwa ia seorang wanita.
"Nona, kurasa itu bahkan baik sekali. Kenapa engkau tidak
menyamar saja sebagai pria? Atur rambutmu itu agar tata
rambutnya seperti tata-rambut pria. Sebagai pria engkau tentu
tidak akan mengalami gangguan dalam perjalanan, lebih
leluasa."
Wajah Suma Eng berseri dan matanya bersinar-sinar. "Ah,
bagus juga pendapat-rnu itu! Akan tetapi bagaimanakah
dandanan rambut seorang pria? Aku tidak bisa...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Maaf, kalau boleh aku membantumu. Rambutmu itu harus
diikat ke atas dengan pita rambut. Aku masih mempunyai
beberapa helai pita rambut." Pemuda itu mencari-cari dalam
buntalannya dan mengeluarkan sehelai pita rambut berwarna
biru. "Maaf, kalau boleh, aku dapat menata rambutmu seperti
seorang pria, nona."
"Tentu saja boleh. Lakukanlah!" Suma Eng lalu duduk di
atas batu dan pemuda itu lalu menata rambutnya. Dia
mengedarkan sebuah sisir dan menyisir rambut Suma Eng ke
atas, lalu mengikatnya dengan pita rambut biru.
"Untung engkau tidak biasa memakai hiasan telinga dan
daun telingamu juga tidak dilubangi sehingga engkau kini
tampak sebagai seorang pemuda remaja aseli. Kalau engkau
dapat membesarkan sedikit suaramu, tentu tidak ada seorang
pun yang menduga bahwa engkau seorang wanita."
Suma Eng merasa gembira sekali Seperti seorang anak
kecil ia lalu turun dari atas batu, berlagak dan mengambil
sikap seperti seorang pria tulen dan berkata dengan suara
dibesarkan, "Aku Suma Kongcu (Tuan Muda Suma) dari kota
raja Peking, perkenalkanlah!" Lagaknya dibuat buat seperti
seorang pria tulen dan pemuda itu mau tidak mau tertawa
dibuatnya karena tingkah gadis yang lucu itu.
Melihat pemuda itu tertawa, Suma Eng baru ingat bahwa
pemuda itu telah menolongnya dan bahwa ia sama sekali
belum mengenalnya, maka lapun bertanya. "Sobat, siapakah
namamu?"
"Aku she (marga) Gui bernama Song Cin. Aku berasal dari
Lok-yang di Propinsi Ho-nan dan baru saja aku turun gunung
setelah beberapa tahun belajar ilmu silat di Kun-lun-pai."
"Hemm, jadi engkau murid Kun-lun-pai? Pantas engkau
lihai. Akan tetapi bagaimana engkau pandai bermain di air?"
"Kampung halamanku di dusun Si-tek-bun daerah Lok-yang
di tepi sungai Huang-ho dan ayahku menjadi pedagang ikan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Aku sejak kecil sudah biasa bermain di Sungai Huang-ho,
maka aku pandai berenang."
"Saudara Gui Song Cin, aku berterima kasih atas
pertolongan tadi, juga atas pemberian pakaian ini. Aku
bernama...."
"Engkau she Suma......" potong Song Cin dan Suma Eng
tersenyum.
"Benar, aku she Suma dan namaku Eng. Aku biasa
dipanggil Eng Eng."
"Dari manakah asalmu, Eng-moi (adik Eng). Aku boleh
menyebutmu Eng-moi, bukan?"
"Hemm, boleh saja karena engkau tentu lebih tua. Usiaku
baru delapan belas tahun. Engkau tentu lebih tua."
"Aku sudah dua puluh satu tahun. Dari mana engkau
berasal dan siapakah erang tuamu, Eng-moi?"
"Orang tuaku tinggal ayahku saja. akan tetapi dia seorang
perantau yang tidak diketahui di mana dia sekarang, Aku juga
baru saja turun gunung, dari Puncak Ekor Naga di Cin-lingsan."
"Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama besar
gurumu di sana, Eng-moi?" tanya Song Cin sambil
menggantungkan matanya pada bibir gadis itu. Betapa
manisnya bibir itu, apalagi kalau tersenyum.
"Kuberitahu juga engkau tidak akan mengenalnya, Cin-ko
(kakak Cin). Almarhum guruku itu berjuluk Hwa Hwa Cinjin,
seorang pertapa di Puncak Ekor Naga di pegunungan Cin-lingsan."
"Hwa Hwa Cinjin? Aku belum pernah mendengar nama itu.
Mungkin kalau para suhu di Kun-lun-pai sudah
mendengarnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tentu saja. Guruku itu dahulu terkenal sekali di dunia
persilatan."
"Tentu gurumu itu sakti dan memiliki kepandaian yang
sangat tinggi."
"Tentu saja, Cin-ko. Kurasa tidak ada orang di dunia ini
yang mampu menandingi mendiang guruku itu. Ayahku juga
seorang yang terkenal di dunia kang-ouw. Ayah adalah murid
keponakan dari mendiang Hwa Hwa Cinjin. Julukan ayah ku
adalah Huang-ho Sin-liong, namanya Suma Kiang." Suma Eng
memperkenalkan dengan nada penuh kebanggaan.
Gui Song Cin mengerutkan alisnya. "Huang-ho Sin-liong?
Ah, aku pernah mendengar julukan itu dari guruku. Kabarnya
dia seorang datuk yang menguasai Lembah Sungai Huang-ho,
akan tetapi telah bertahun-tahun tidak pernah muncul !agi."
"Memang selama bertahun-tahun Itu ayahku merantau ke
utara. Sekarang aku pun sedang mencarinya."
Percakapan terhenti dan suasana menjadi hening. Song Cin
menatap wajah gadis itu dan ketika Suma Eng kebetulan juga
memandangnya, dua pasang mata bertemu dan jantung Song
Cin terguncang. Betapa indahnya sepasang mata itu! Dalam
pandangannya, segala gerak gerik gadis itu amat mempesona,
begitu cantik jelita dan manisnya seperti gambaran seorang
bidadari! Terasa benar oleh Song Cin betapa dia sudah jatuh
cinta ada gadis itu.
Cinta mendatangkan khayalan yang muluk-muluk dan
indah-indah. Padahal, pada hakekatnya cinta asmara adalah
Nafsu yang terselubung pakaian yang svrba indah dan halus
sehingga tampak bersih dan mengharukan. Cinta adalah Nafsu
sex yang wajar, dan seperti biasanya nafsu selalu berpamrih.
Pamrihnya adalah kesenangan bagi dirinya sendiri, nafsu
adalah aku yang ingin memiliki, ingin senang sendiri. Kalau
kita meneliti kepada diri sendiri, mengamati dengan waspada
"cinta" kita yang kita anggap suci dan mulia, maka akan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tampaklah bahwa di balik semua kehalusan dan keindahan itu
bersembunyi nafsu yang mengerikan. Kita mencinta pacar
kita, bahkan isteri kita. Akan tetapi cinta kita itu berpamrih
untuk kesenangan diri kita sendiri. Kalau si pacar atau isteri itu
tidak mencinta kita, tidak melayani kita dengan baik, kalau
tidak setia, ke manakah larinya cinta kita yang kita dengungdengungkan
itu? Bukan hanya akan lenyap, bahkan mungkin
berganti benci! Cinta kita itu hanya seperti jual beli di pasar
saja. Kita beli dengan cinta kita, akan tetapi kita minta balasan
yang lebih lagi. Memang sebuah kenyataan yang pahit sekali.
Cinta asmara yang sejak dahulu dipuja-puja semua orang,
sehingga nuncul istilah-istilah cinta suci, cinta murni dan
sebagainya, setelah diamati benar-benar, ternyata hanyalah
harimau berbulu domba! Cinta asmara tidak lain hanyalah
gairah berahi, tidak lain hanyalah nafsu sex yang berpakaian
indah.
Apakah kalau begitu kita harus meniadakan cinta jelmaan
nafsu sex ini? Tentu saja tidak, karena hal Itu tidak mungkin.
Sejak kita lahir, kita telah disertai nafsu nafsu, di antaranya
nafsu sex. Akan tetapi nafsu ini hanyalah peserta, hanya
pelayan, untuk melengkapi hidup ini karena tanpa adanya
nafsu sex, manusia tidak akan berkembang biak. Kita dapat
mempergunakan nafsu sex ini pada tempatnya yang wajar,
misalnya dalam hubungan suami isteri. Akan tetapi kalau kita
lengah, dan nafsu sex ini menguasai kita, mencengkeram hati
akal pikiran kita, maka nafsu sex dapat menjerumuskan kita
ke dalam perbuatan-perbuatan yang sesat, seperti misalnya
pelacuran, perjinahan, perkosaan.
Seperti dengan nafsu-nafsu lain, nafsu sex merupakan
peserta yang teramat penting bagi kehidupan, akan tetapi di
lain pihak dia juga dapat menjerumuskan kita ke dalam
malapetaka kalau kita sampai dicengkeramnya. Lalu
bagaimana baiknya? Nafsu itu lawan akan tetapi juga kawan.
Nafsu itu kawan kalau kita mampu mengendalikannya, dan
menjadi lawan kalau kita dikuasainya. Jadi jalan keluarnya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kita hanya dapat mengendalikannya. Akan tetapi mampukah
kita? Mengendalikan nafsu apapun merupakan pekerjaan yang
teramat sukar sekali, bahkan hampir tidak mungkin. Kalau kita
hanya mempergunakan hati akal pikiran saja untuk
mengendalikan, kebanyakan kita akan gagal karena hati-akalpikiran
sendiri sudah bergelimang nafsu sehingga bukannya
mengendalikan nafsu, bahkan membela dan membenarkan
nafsu. Semua pencuri di seluruh dunia ini tahu belaka bahwa
mencuri itu tidak baik, akan tetapi mereka tidak dapat
menghentikan perbuatan mereka karena hati akal pikiran
mereka bahkan membela perbuatan mencuri itu dengan
berbagai dalih. Karena terpaksa, karena ingin menghidupi
keluarga, dan sebagainya lagi.
Satu-satunya jalan untuk dapat menguasai nafsu sendiri
hanyalah datang dari Tangan Tuhan. Kita serahkan segalanya
kepada Tuhan dan mohon bimbinganNya dan atas
kehendakNya sajalah nafsu dalam diri kita dapat kita kuasai.
Hati akal pikiran, yaitu kesatuan dari aku, hanya mengamati
saja sambil pasrah kepada Kekuasaan Tuhan. Si aku tidak
bergerak lagi, yang ada hanyalah Kewaspadaan, yaitu
waspada dalam mengamati diri sendiri luar dalam, dengan
mawas diri.
Dalam menghadapi segala kepalsuan sebagai ulah nafsu
ini, ada satu pegangan hagi batin untuk memperkuat diri.
Pegangan itu ialah Kewajiban. Kalau kita memegang teguh
dan melaksanakan kewajiban dalam kehidupan, maka batin
kita kuat menghadapi segala godaan dan serangan yang
datangnya dari nafsu kital sendiri. Kewajiban itu ada di segala
waktu. Kewajiban sebagai seorang anak, kewajiban sebagai
seorang sahabat, kewajiban sebagai seorang kekasih, sebagai
seorang suami atau isteri, sebagai se-orang ayah atau ibu,
dan seterusnya.
Memenuhi semua kewajiban sambil menyerahkan diri
kepada Kekuasaan Tuhan akan membuat kita menjadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
manusiai seutuhnya, menjadi manusia yang selalu memenuhi
kewajiban, kewajiban sebagai manusia, sebagai warga negara
dan bang-sa.
Gui Song Cin jatuh dalam perangkap cinta. Tidaklah aneh
kalau dia jatuh cinta kepada Suma Eng. Sembilan dari sepuluh
orang pria tentu akan mudah jatuh cinta kepada gadis itu
karena gadis itu memang cantik jelita! Andaikata gadis itu
buruk rupa, belum tentu Song Cin! akan jatuh cinta. Begitu
perasaannya jatuh cinta, berarti dia telah memberi beban
duka kepada batinnya.
Melihat gadis itu bangkit berdiri dan berkata, "Nah, aku
harus pergi sekarang', dia merasa terkejut dan juga khawatir.
Dia akan ditinggalkan oleh orang yang membuatnya tergila
gila ini! Dan hal ini, perpisahan ini, agaknya tidak mungkin
dapat dicegah lagi. Dia akan merasa kesepian, rindu dan
kehilangan!
"Eng-moi, engkau hendak pergi ke lanakah?" tanyanya
cepat seolah hendak mencegah kepergian gadis itu dengan
pertanyaan ini.
"Aku hendak mencari sarang dari para bajak sungai bertali
rambut merah itu. Semua pakaian dan uangku habis, hanyut
di sungai karena ulah mereka. Mereka arus membayar untuk
semua kehilangan nu!" kata Suma Eng tegas.
Wajah Song Cin berseri penuh harapan. "Apakah engkau
sudah tahu di mana sarang bajak sungai itu, Eng-moi?"
Suma Eng memandang bingung dan nenggeleng
kepalanya. "Apakah engkau tahu, Cin-ko?"
Song Cin mengangguk. "Aku tahu. Aku pernah mendengar
tentang Bajak Ikat Rambut Merah ini. Mari kutunjukkan!"
"Bagus! Mari kita berangkat, Cin ko."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dua orang itu segera pergi dari sit mendorong perahu dan
naik ke perahu kecil itu, kemudian Song Cin mendayuni
perahu itu ke barat.
"Agaknya engkau mengenal daerah ini dengan baik, Cinko."
kata Suma Eng.
"Tentu saja aku banyak mengenal tempat di sepanjang
Sungai Huang-ho ini Kampung halamanku, dusun Si-tek-hui
berada di tepi Huang-ho, tidak begitu jauh dari sini, dua hari
perjalanan dengai perahu ke hilir."
"Jauhkah sarang bajak itu, Cin-ko?"
"Kalau aku tidak salah duga, sebelum sore kita sudah akan
tiba di sana. Mereka mempunyai sebuah perkampungan bajak
di tepi sungai. Akan tetapi setelah kita tiba di sana, apa yang
hendak kau lakukan Eng-moi?"
"Apa yang hendak kulakukan terhadaf anjing-anjing itu?
Tentu akan kubasmi mereka sampai habis, terutama pemimpin
mereka, akan kubunuh!"
Song Cin merasa bulu tengkuknya berdiri. Alangkah
ganasnya gadis ini. "Akan tetapi, Eng-moi, engkau tidak boleh
membunuh mereka semua!"
"Mengapa tidak boleh? Mereka itu teluh menggangguku,
melenyapkan pakaian lan uangku, dan hampir saja
membunuhku!" kata Suma Eng dengan penasaran.
"Memang mereka jahat dan pekerjaan ereka memang
merampok. Akan tetapi ingatlah, mungkin mereka itu juga
mempunyai anak isteri yang tentu akan menderita kalau
engkau membunuhi ayah dan uami mereka."
"Hemm, kalau menurut engkau bagaimana?"
"Sebaiknya suruh saja mereka menyerah, mengembalikan
atau mengganti milik mu yang hilang, kemudian mereka
disuruh berjanji untuk bertaubat, sarangnya bakar dan mereka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
diharuskan kembali hidup sebagai rakyat yang baik. Kiranya tu
sudah lebih dari cukup, Eng-moi."
"Kita lihat saja bagaimana sikap mereka nanti. Kalau
mereka tidak mau menyerah dan menyerangku, tentu mereka
akan kubunuh."
"Aku mendengar bahwa Bajak Ikat Rambut Merah memiliki
seorang ketua yang lihai sekali, Eng-moi. Kita harus berhatihati."
"Wah, aku tidak takut! Dan setelah aku menyamar sebagai
pria, sebaiknya tempat umum engkau tidak menyebut aku
Eng-moi. Sebutan itu tentu akan membuat semua orang
terheran dan kemudian tahu bahwa aku seorang wanita Maka
percuma saja penyamaranku."
Jilid X
SONG CIN tersenyum dan mengangguk. "Maafkan aku,
engkau benar juga, Eng-moi...... eh, maksudku siauw-te (adik
laki-laki)."
"Bagus, engkau harus menyebutku siauw-te. Aku mulai
senang dengan penyamaranku ini. Mari kita percepat lajunya
perahu agar cepat tiba di tempat tujuan."
Benar saja dugaan Song Cin. Matahari baru mulai condong
ke barat ketika perahu mereka tiba di sebuah perkampungan
yang berada di tepi sungai. Mereka melihat betapa
perkampungan itu dikelilingi tembok yang tinggi dan ada pintu
pagar yang besar menghadap ke sungai. Song Cin mendayung
perahunya ke tepi dan menarik perahu itu ke darat, lalu
mengikatkan tali perahu kepada sebuah batu besar. Kemudian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kedua orang muda itu melangkah menghampiri pintu gerbang
pagar itu.
Baru saja mereka tiba di situ, enam orang yang memakai
ikat kepala merah menyambut mereka dengan sikap garang.
Mereka semua memegang sebatang golok dan memandang
kepada dua orang itu itu dengan sinar mata mengancam.
Akan tetapi, seorang di antara mereka tadi ikut membajak dan
biarpun ia tidak mengenal Suma Eng yang kini berpakai pria,
dia masih mengenal Song Cin yang tadi menolong gadis itu
dan merobohkan beberapa orang anak buah bajak sungai.
Maka, dengan panik orang itu lalu kembali ke dalam pintu
gerbang dan terdengarlah kentungan dipukul gencar sebagai
tanda bahaya! Suma Eng dan Song Cin melihat betapa banyak
orang berlari lari dari dalam pintu gerbang menuju keluar dan
sebentar saja mereka berdua telah dikepung oleh kurang lebih
tiga puluh orang anak buah bajak sungai, Akan tetapi agaknya
para bajak sungai itu masih menunggu komando, karena
mereka tidak segera mengeroyok dan menyerang, melainkan
mengepung saja dengan ketat.
Suma Eng bersikap tenang saja. Ia bnhkan tersenyumsenyum
melihat pengepungan itu dan ia membiarkan Song Cin
yang menghadapi mereka. Ia hendak melihat bagaimana
pemuda itu akan menghadapi para bajak. Kalau menurut ia,
ingin rasanya ia bergerak mengamuk membunuhi para bajak
yang mengepungnya ini, akan tetapi karena ada Song Cin di
situ iapun menyerahkan saja kepada pemuda itu.
"Kami berdua hendak bicara dengan ketua kalian!" kata
Song Cin dengan sikap gagah.
"Akulah ketuanya!" Terdengar suara parau dan muncul
seorang laki-laki yang bertubuh pendek gendut, bermuka
bundar dan tampaknya lucu dan kekanak-kanakan, akan tetapi
melihat sepasang mata-yang bersinar tajam, dapat diduga
bahwa dia adalah seorang yang memiliki kepandaian dan
kecerdikan. Hal inipun dapat diduga melihat kenyataan bahwa
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ia dapat menjadi kepala dari segerombolan bajak sungai yang
ganas. Tanpa memiliki ilmu kepandaian tinggi bagaimana
mungkin dia dapat memimpin segerombolan bajak yang terdiri
dari puluhan orang? Pakaian kepala bajak itu terbuat dari kain
tebal dan bersih, berwarna biru, Rambutnya digelung ke atas
dan diikat dengan pita merah. Di punggungnya tampak
sebatang pedang dengan ronce-ronce merah. Kakinya
memakai sepatu satin sebatas bawah lutut dan di
pinggangnya terdapat sederetan senjata rahasia pisau pendek
atau belati, berjumlah tiga belas batang. Penampilannya lucu,
akan tetapi juga menyeramkan.
Song Cin mengamati kepala bajak itu, Dia sudah
mendengar bahwa bajak sungai Ikat Kepala Merah
mempunyai seorang pemimpin yang lihai. Agaknya inilah
orangnya.
"Sobat," kata Song Cin. "Kami berdua datang untuk
berdamai dengan kalian."
Kepala bajak sungai itu berjuluk Huang-ho Tiat-go (Buaya
Besi Sun Huang-ho) dan bernama Lo Kiat. Mendengar ucapan
Song Cin, dia memandang heran lalu tertawa bergelak sambil
menengadah sehingga tampak perut gendut di balik baju itu
bergoyang-goyang. Dia telah mendengar tentang kegagalan
anak buahnya membajak seorang wanita, dan tadi menerima
laporan bahwa pemuda yang bicara itu adalah orang yang
menolong wanita yang terbajak itu. Tentu saja dia merasa
heran mengapa orang itu kini datang mengajak berdamai!
"Ha-ha-ha, kalian datang mengajak berdamai? Apa
maksudmu?"
"Maksudku begini. Pagi tadi anak buahmu telah mencoba
untuk merampok orang nona dan anak buahmu dihajar ampai
kocar-kacir. Akan tetapi nona itu kehilangan buntalan berisi
pakaian dan uangnya. Sekarang, saudara ini, adik dari nona
itu, bersama aku datung untuk minta kerugian kepada kalian
yang telah membuat buntalan itu hilang. Kalau kalian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
menyerah dan mengganti kerugian itu, kamipun tidak akan
mengganggu kalian."
"Ha-ha-ha, enak saja engkau bicara, telah membunuhi
beberapa orang anak buah kami, sekarang datang malah
menuntut kerugian! Kalau kami menolak bagaimana?"
"Kalau menolak kami akan membasmi dan membunuh
kalian semua!" T1K7 tiba Suma Eng yang sudah tidak sabar
lagi berkata dengan suara dibesarkan.
Mendengar ucapan ini, kepala bajak itu menjadi marah
sekali. Sepasang matanya seperti memancarkan sinar berapi
mukanya berubah merah dan kedua tangannya dikepal. Juga
para bajak yan mengepung menjadi marah dan mereka
mengacung-acungkan goloknya dengan sikap mengancam.
"Singgg.....!" Huang-ho Tiat - go Lo Kiat mencabut
pedangnya yang berkilauan saking tajamnya, jari telunjuk
kirinya ditudingkan ke arah muka Suma Eng.
"Bocah lancang mulut! Agaknya engkau telah bosan hidup
maka berani mengeluarkan kata-kata sombong! Berani engkau
mengancam Huang-ho Tiat-go Lo Kiat yang menguasai
seluruh Lembah Huang-ho ini!"
"Hah, segala Bo-bwe Jau-go (Buaya Jahat Tanpa Ekor)
berani bicara besar! Engkaulah yang bosan hidup dan biarlah
yang akan mengantarmu ke dasar neraka!" kata pula Suma
Eng sambil tersenyum lebar mengejek.
Dapat dibayangkan betapa marahnya Huang-ho Tiat-go Lo
Kiat. Dia merasa dipandang rendah sekali, dimaki-maki di
depan anak buahnya!
"Serbuu! Bunuh.....!!" Dia membentak memberi aba-aba
kepada anak buahnya dan dia sendiri sudah menerjang Suma
Eng, diturut oleh anak buahnya. Sekali- tidak kurang dan
enam orang menyerang Suma Eng dengan golok mereka.
Sedangkan Song Cin pun tidak terluput dari pengeroyokan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebetulnya Lo Kiat ingin menghadapi Song Cin yang menurut
anak buahnya merupakan seorang yang lihai, akan tetapi
karena panas dan marah sekali terhadap Suma Eng, dia
menyerang gadis yang menyamar pemuda itu yang belum
diketahui bagaimana kepandaiannya. Melihat tujuh orang
menyerangnya itu Lo Kiat dan enam orang anak buahnya,
Suma Eng bersikap tenang saja. lalu mempergunakan
kecepatan gerakan tubuhnya, berkelebat dan lenyap dari
depan mereka yang mengeroyoknya! Selagi tujuh orang itu
terkejut dan bingun Suma Eng telah berada di belakang
mereka dan sekali kedua tangannya menyambar, dua orang
pengeroyok roboh dan berkelojotan karena mereka terkena
pukulan Toat-beng Tok-ciang (Tangan Deiaci Pencabut
Nyawa)'
Huang-ho Tiat-go Lo Kiat menjadi terkejut setengah mati
nelihat ini. Tak disangkanya bahwa pemuda itu sedemikian
lihai dan ganasnya. Maka diapun Ia menyerang dengan
pedangnya. Serangannya seperti kilat menyambar dan bukan
saja cepat melainkan juga mengandung tenaga sin-kang yang
amat kuat. Melihat serangan ini berbahaya juga, Suma Eng
melompat ke belakang sambil meraba pedangnya.
"Singgg.....!" Sinar kehijauan berkelebat ketika Ceng-liong
kiam tercabut dari sarungnya. Lo Kiat cepat mengejar dan
menyerang lagi dengan dahsyat. Suma Eng menangkis dengan
pedangnya.
"Tranggg......"' Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika
dua pedang bertemu. Ternyata pedang di tangan Lo Kiat tidak
rusak dan hal ini saja membuktikan bahwa pedangnyapun
sebatang pedang yang ampuh dan baik. Suma Eng balas
menyerang namun dapat dielakkan pula oleh si gendut
pendek. Ternyata, biarpun tubuhnya gendut pendek, Lo Kiat
dapat bergerak dengar cepat sekali. Para anak buahnya kini
mengepung Suma Eng dan menyerang dari segala penjuru.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tranggg.....!" Pedang Suma Eng membabat berputar
menangkis banyak golok dan dua batang golok menjadi patah
karenanya. Patahnya golok disusul menyambarnya sinar hijau
dan dua orang anggauta bajak yang kehilangan golok itu
berteriak dan roboh mandi darah, tewas seketika! Para
pengeroyok menjadi gentar. Hanya Lo Kiat yang masih
menyerang dengan dahsyat, sedangkan yang lain hanya
mengepung sambil mengacung-acungkan golok saja.
Song Cin sibuk sekali. Dia dikeroyok oleh belasan orang
anak buah bajak! Pemuda ini memainkan pedangnya dengan
hati-hati dan dengan tenaga terbatas karena dia tidak mau
main bunuh. Sudah ada empat orang roboh oleh pedangnya
akan tetapi tidak satnpun mati, akan tetapi pengeroyokan
masih saja ketat dan di dihujani serangan golok. Terpaksa
pemuda tokoh Kun-lun-pai ini memutar pedangnya melindungi
diri. Sinar pedangnya bergulung-gulung menjadi perisai,
seolah-olah tubuhnya terlindung benteng baja yang
mengelilinginya sehingga dari arah manapun golok
menyerang, golok itu selalu bertemu dengan tangkisan
pedang yang kokoh kuat. Akan tetapi karena pengereyoknya
banyak sekali, bahkan kini yang tadinya membantu Lo Kiat
juga ikut mengeroyok Song Cin sehingga jumlah mereka
hampir tiga puluh orang, Song Cin menjadi repot juga. Kalau
dia mempergunakan kekejaman membunuh mereka, kiranya
dia masih akan merobokan sebanyak -banyaknya pengeroyok.
Namun pemuda tokoh Kun - lun - pai itu sudah menerima
gemblengan dari para tosu Kun-lun-pai, bukan hanya
gemblengan ilmu silat, akan tetapi juga gemblengan batin
maka dia tidak tega untuk sembarangan membunuhi para
anak buah para bajak sungai. Sedapat mungkin dia hanya
merobohkan mereka dengan tendangan, tamparan tangan kiri
atau kalau merobohkan dengan pedangnya, dia tidak melukai
bagian tubuh yang membahayakan nyawa, hanya melukai
paha, pundak dan sebagainya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pertandingan antara Suma Eng dan Lo Kiat berjalan
semakin seru. Kepala bajak itu merasa semakin terkejut bukan
main ketika mendapat kenyataan betapa lihainya "pemuda"
itu. Dia sudah mengerahkan seluruh tenaganya, bahkan
mengeluarkan semua ilmu pedangnya, namun sama sekali dia
tidak mampu mendesak lawannya yang amat muda itu. Ilmu
pedang pemuda itu amat aneh dan memiliki perubahanperubahan
yang sama sekali tidak dapat dia menduganya.
Beberapa kali hampir saja dia menjadi korban pedang bersinar
hijau itu dan yang menggemasan hatinya, setiap kali dia
nyaris terkena pedang, pemuda itu tertawa mengejek, Lo Kiat
mengerahkan tenaganya dan membacok dari kanan ke kiri.
Pedangnya membabat ke arah pinggang lawan dan gerakan
ini dilakukan cepat sekali karena dia mengerahkan seluruh
tenaganya. Melihat serangan yang berbahaya ini, Suma Eng
mengelak ke belakang sehingga babatan pedang Lo Kiat luput.
Akan tetapi pada saat itu yang memang sudah diperhitungkan
oleh kepala bajak sungai itu Lo Kiat menggunakan tangan
kirinya, berulang-ulang mencabut pisau belati dan setiap kali
tangan kirinya bergerak, sebatang hui-to (pisau terbang)
menyamba ke arah bagian tubuh yang mematikan dari Suma
Eng. Mula-mula pisau pertama menyambar ke arah muka.
Ketika Suma Eng mengelak, pisau kedua sudah menyambar ke
arah lehernya! Kembali gadis itu mengelak dan pisau ke tiga
dan ke empat sudah cepat menyambar ke arah kedua pundak,
lalu pisau ke lima menyambar ke ulu hati! Suma Eng menjadi
gemas dan kini ia memutar pedangnya menangkis. Biarpun
tiga belas batang pisau menyambar secara bertubi-tubi dan
mengarah bagian tubuh yang berbahaya, tapi Suma Eng dapat
menghindarkan diri dengan elakan dan tangkisan. Marahlah
gadis itu.
"Buaya darat, sudah habiskah pisau terbangmy? Nah,
sekarang nyawamu yang habis!" bentak Suma Eng dan
tubuhnya meluncur bagaikan terbang, pedangnya menyerang
ke arah dada lawan dengan kecepatan kilat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Wuuuuuuttt...... trang.....!!" Pedang Suma Eng ditangkis
sehingga terpental, akan tetapi cepat sekali pedang itu
membalik dan kini dari menusuk menjadi membabat
pinggang!
Lo Kiat cepat melompat ke belakang sehingga babatan
pedang itu luput, akan tetapi kembali pedang itu sudah
menyambar ke arah lutut kanan! Diserang serara bertubi-tubi
itu, Lo Kiat menjadi terdesak juga. Dengan pedangnya dia
menangis pula, akan tetapi karena keadaannya udah terdesak,
dia tidak mampu menghindar lagi ketika tangan kiri Suma Eng
membarengi serangan pedang ke lutut itu dan menampar ke
arah dadanya.
"Tranggg...... plakkk..... auughhh.....!!"
Tubuh Lo Kiat terjengkang, mulutnya muntahkan darah
segar dan matanya mendelik. Dia tewas seketika terkena
pukulan Toat-beng Tok-ciang yang amat ampuh dan keji.
Suma Eng memandang kepala bajak itu, kemudian ia
mendengar ribut-ribut dari belakangnya. Ketika ia menengok,
ia melihat Song Cin dikeroyok banyak sekali orang yang
mengeroyoknya sambil berteriak-teriak dan ternyata Song Cin
terdesak oleh pengeroyokan demikian banyaknya orang.
Melihat ini, Suma Eng lalu melompat ke depan, ringan dan
cepat sekali lompatannya. Begitu tiba di luar kepungan, ia
mengamuk dengan pedangnya dan dalam beberapa detik saja
empat orang telah roboh mandi darah dan tewas seketika!
Para pengeroyok itu terkejut sekali dan ketika mereka
melihat betapa ketua mereka telah roboh dan tewas,
pembantu ketua yang bertubuh tinggi besar itu segera berseru
nyaring.
"Lari.....!" Akan tetapi baru saja mulutnya mengeluarkan
teriakan itu, diapun mengaduh dan roboh mandi darah,
lehernya kena disambar pedang di tangan Suma Eng. Melihat
ini, para anak buah bajak sungai menjadi semakin panik dan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tanpa dikomando lagi mereka lalu melarikan diri cerai berai
tanpa menoleh lagi. Sebagian besar dari mereka lari ke arah
sungai dan menceburkan diri, selanjutnya mereka menjauhkan
diri dengan berenang dan ada yang sempat menaiki perahu
mereka yang bercat hitam.
"Mari kita geledah sarang mereka lalu basmi sarang itu!"
ajak Suma Eng ke pada Song Cin yang hanya menurut saja,
Masih mending bahwa gadis itu tidak membunuh semua
bajak, pikirnya. Ngeri juga hatinya membayangkan keganasan
gadis yang telah menjatuhkan hatinya itu.
Mereka memasuki perkampungan bajak dan tercenganglah
hati Suma Eng ketika melihat bahwa di situ terdapat banyak
wanita dan kanak-kanak. Ternyata apa yang dikatakan Song
Cin benar. Para bajak itu ada yang mempunyai isteri dan
anak-anak. Anak-anak yang tidak berdaya! Melihat para isteri
bajak itu memandang dengan wajah pucat dan ketakutan,
Suma Eng berkata kepada mereka.
"Jangan takut, kami tidak akan mengganggu kalian. Kalau
ada suami kalian yang tewas dalam pertempuran, itu adalah
kesalahan suami kalian sendiri yang menjadi bajak sungai.
Yang suaminya belum tewas, bujuklah suami kalian agar
jangan menjadi bajak lagi, sedangkan yang suaminya tewas,
kuburkan dengan baik-baik dan hiduplah sebagai orang baikbaik.
Sekarang katakan di mana rumah yang ditinggali kepala
bajak Huang-ho Tiat-go Lo Kiat."
Para wanita itu menunjuk sebuah rumah yang terbesar di
perkampungan itu. Suma Eng lalu memasuki rumah itu dan
tiga orang isteri kepala bajak itu menjatuhkan diri mereka
berlutut.
"Ampunkan kami, tai-hiap (pendekar besar).....!" Mereka
memohon kepada Suma Eng dan Song Cin.
"Jangan takut, kalian tidak bersalah, kami tidak akan
mengganggu kalian. Sekarang tunjukkan tempat penyimpanan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
harta Lo Kiat, dia mempunyai hutang padaku yang harus
dibayarnya."
Tiga orang wanita itu lalu menunjukkan kamar suami
mereka dan harta itu disimpan dalam sebuah peti besar. Suma
Eng membuka peti itu dan ternyata berisi si emas, perak dan
permata yang banyak sekali.
"Jangan khawatir, aku bukan perampok! Akan tetapi ketika
aku diganggu anak buah suamimu, barang milikku hanyut di
sungai. Karena itu suamimu harus membayar kembali barangbarangku
yang hilang!" Suma Eng lalu mengambil beberapa
potong emas untuk mengganti uangnya yang hilang dan
mengambil beberapa potong perak untuk membeli pakaian
pengganti pakaiannya yang hilang. Dibuntalnya emas dan
perak itu ke dalam sehelai kain berwarna biru dan ia lalu
menoleh kepada Song Cin.
"Cin-ko, engkau boleh mengambil sebagian dari harta ini
kalau engkau membutuhkannya untuk bekal dalam perjalanan.
Wajah Song Cin berubah kemerahan dia menggeleng
kepalanya. "Aku masih mempunyai bekal, Eng..... siauwte,"
Jawabnya cepat karena hampir dia menyebut Eng-moi lagi,
"dan para bajak itu tidak berhutang apapun kepadaku."
"Hei, kalian bertiga," kata Suma Eng kepada tiga orang
isteri Lo Kiat. "Ada beberapa orang bajak yang mati dan
karena mati dalam membela suami kalian, maka sudah
sepatutnya kalau kalian mengeluarkan biaya untuk membantu
penguburan mereka. Kuharap kalian dapat membujuk para
bajak yang masih hidup agar mereka mengubah jalan hidup
mereka. Menjadi petani tersedia tanah yang amat subur di
Lembah Huang-ho, menjadi nelayanpun Sungai Huang-ho
menyediakan ikan yang amat banyak. Mengertikah kalian?"
"Baik, baik, tai-hiap." kata tiga orang isteri Lo Kiat itu
dengan berbareng. Di sebelah Suma Eng, Song Cin
mendengarkan dan wajahnya berseri. Gadis ini pada dasarnya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bukan seorang yang berhati kejam dan ganas, pikirnya. Dapat
memaafkan para isteri bajak, bahkan menasihatkan mereka
agar membujuk para bajak yang masih hidup agar menjadi
orang baik-baik. Dan ketika mengambil sebagian uang, iapun
hanya mengambil sebagia kecil saja sesuai dengan uangnya
yang hilang, tidak mempergunakan kesempatan itu untuk
mengambil sebanyaknya. Bahkan tidak sepotongpun perhiasan
permata ia ambil. Gadis itu tidaklah sekeras seperti yang
diperlihatkannya. Agaknya ia hanya terpengaruh lingkungan,
seperti batu permata di antara batu-batu biasa berdebu. Kalau
digosok, tentu debunya hilang dan akan tampak
kecemertangnya.
"Tadinya kami bermaksud hendak membakar sarang para
bajak ini, akan tetapi melihat kalian para wanita dan kanakkanak,
kami tidak melakukan pembakaran. Akan tetapi kalau
lain kali kami lewat di sini dan para bajak masih melakukan
pekerjaan jahat itu, terpaksa kami akan membakar
perkampungan ini!" kata lagi Suma Eng kepada para wanita
itu yang hanya mampu mengangguk-angguk ketakutan.
"Mari, Cin-ko, kita pergi dari sini." kata pula Suma Eng dan
Song Cin mengangguk. Dua orang muda itu lalu pergi dari
perkampungan itu. Setelah tiba di dekat sungai dan melihat
gadis itu menanti, Song Cin berkata.
"Eng-moi," dia berani menyebut demikian karena di situ
tidak terdapat orang lain. "Silakan naik ke perahuku." Dia
mendorong perahunya memasuki air, dan memegangi tali
perahunya.
"Tidak, Cin-ko. Kita berpisah di sini. Kita mempunyai urusan
masing-masing."
Song Cin memandang dengan wajah berubah agak pucat.
Mendengar bahwa ia harus berpisah dari gadis itu membuat
perasaannya terasa nyeri dan begitu tiba-tiba datangnya.
Sebelumnya dia tidak pernah membayangkan akan berpisah
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dari gadis yang dicintanya itu. "Tapi..... tapi, Eng-moi. Tidak
dapatkah kita melakukan perjalanan bersama?"
"Tidak, Cin-ko. Aku akan pergi mencari ayah dan mencari
pengalaman, sedangkan engkau tentu mempunyai urusanmu
sendiri."
"Akan tetapi, aku juga sedang merantau dan akan kubantu
engkau mencari ayahmu, Eng-moi." Song Cin membantu
karena dia tidak ingin berpisah.
Akan tetapi Suma Eng menggeleng kepalanya. "Terima
kasih, Cin-ko. Akan tetapi aku hendak mencarinya sendiri. lagi
Pula, aku ingin mencari pengalaman se-orang diri. Juga
apabila aku bertemu dengan ayah dan dia melihat aku
melakukan perjalanan denganmu, mungkin dia akan marah
kepadaku."
Song Cin menghela napas panjang. Baru teringat dia
sekarang bahwa sesungguhnya memang tidak pantas bagi
Suma Eng, seorang gadis belia, melakukan perjalanan berdua
saja dengan seorang pria yang bukan anggauta keluarganya,
bahkan baru saja dikenalnya! Baru dia melihat kejanggalan itu
dan sebagai seorang yang terdidik baik, dia maklum dan
mengerti akan penolakan Suma Eng untuk melakukan
perjalanan bersama.
"Eng-moi, aku..... tidak akan melupakanmu."
Suma Eng adalah seorang gadis yang masih hijau dan ia
tidak dapat menangkap getaran suara pemuda itu,
menganggap ucapan itu seperti ucapan biasa saja. Maka iapun
menjawab dengan senyum ramah.
"Akupun tidak akan melupakanmu, Cin-ko."
Bagi Song Cin, jawaban ini menyenangkan sekali. Dia
sendiripun seorang pemuda yang belum pernah jatuh cinta
dan sama sekali tidak mempunyai pengalaman dalam bercinta.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Akan tetapi mendengar betapa gadis yang dicintainya itu tidak
akan melupakannya, dia merasa gembira sekali!
"Aku akan mengenangmu sebagai seorang gadis yang
cantik jelita dan gagah perkasa, dan aku akan merindukanmu,
Eng-moi." ucapan yang jelas menunjukkan perasaan cinta
inipuu tidak dimengerti oleh Suma Eng yang menganggapnya
bagai ucapan ramah dan biasa. "Akupun akan mengenangmu
sebagai eorang yang baik sekali dan sudah menyelamatkan
aku diri ancaman maut, Cin-ko."
"Eng-moi, kalau hari ini kita berpisah, kapankah kita dapat
bertemu kembali?"
"Sekali waktu kita pasti akan dapat bertemu kembali, Cinko.
Nah selamat tinggal, aku hendak melanjutkan
perjalananku."
"Selamat jalan dan selamat berpisah Eng-moi......" suara
Song Cm terdengar hampa dan lirih. Suma Eng membalikka
tubuh dan dengan langkah lebar meninggalkan pemuda itu.
Akan tetapi baru belasan langkah ia berjalan, Song Cin
memanggilnya.
"Eng-moi......!" Suma Eng menoleh dan ia melihat Song Cin
berlari menghampirinya.
"Ada apakah, Cin-ko?"
"Eng-moi, engkau jagalah dirimu baik-baik, Eng-moi. Dan
jangan sekali-kali membiarkan dirimu terpancing naik perahu.
Engkau tidak pandai bermain di air sedangkan orang-orang
jahat itu licik sekali." kata Song Cin dengan nada suara penuh
kekhawatiran.
Suma Eng tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Tidak
lagi, Cin-ko. Sekali saja sudah cukup bagiku. Aku tidak akan
naik perahu dengan orang yang belum kukenal keadaannya.
Nah, selamat tinggal."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Selamat jalan, Eng-moi." Song Cin memandang gadis itu
dengan wajah muram dan pandang matanya sayu. Dia merasa
seolah-olah sukmanya terbawa pergi oleh gadis itu. Dia
mengikuti bayangan gadis itu dengan pandang matanya
sampai gadis itu lenyap di sebuah tikungan. Dan dia merasa
begitu kehilangan, begitu kesepian seolah-olah hanya hidup
seorang diri saja di dunia yang mendadak menjadi sepi ini.
Kalau dia seorang anak-anak, tentu dia akan menangis sedih.
Dengan langkah gontai dia kembali menghampiri perahunya,
mendorong lagi perahunya ke air, kemudian duduk di dalam
perahu, tanpa menggerakkan dayung dan duduk saja di situ
sambil melamun. Perahunya bergoyang-goyang lirih dan Song
Cin memejamkan mata karena di depan matanya yang
terbayang hanyalah wajah Suma Eng dengan matanya yang
bening indah, mulutnya yang bibirnya merah basah berbentuk
gendewa terpentang itu.
Semakin dikenang, semakin rindu rasa hatinya. Kini teringat
dan terbayanglah semua kenangan itu, terutama sekali di
waktu dia menolong gadis itu dengan pernapasan,
merapatkan mulutnya dengan mulut gadis itu dan meniup
kuat-kuat! Kalau dulu di waktu melakukannya dia tidak
membayangkan yang bukan-bukan,! kini ketika perbuatan itu
dikenangnya, teringatlah dia akan peristiwa itu sampai hal
yang sekecil-kecilnya, betapa hangat dan lunak bibir itu!
Betapa manis kenangan itu dan timbullah berahinya terhadap
Suma Eng.
"Ahhh, Eng-moi.....!" Dia mengeluh berkali-kali sambil
membisikkan nama itu dengan mesra.
Sumber segala macam perasaan, malu, senang, sedih,
marah, duka timbul dari pikiran yang mengenang-ngenangkan
masa lalu dan membayangkan masa depan. Mengenangkan
masa lalu menimbulkan duka, kemarahan atau rasa malu.
Membayangkan masa depan menimbulkan rasa takut atau
khawatir.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena itu, tidak ada gunanya mengenangkan masa lalu
dan membayangkan masa depan. Yang terpenting adalah
masa kini, sekarang, saat ini. Hidup adalah saat demi saat
yang kita hadapi, seperti apa adanya, kesunyataannya. Kalau
kita menghadapi segala sesuatu yang datang pada saat ini
dengan penuh kewaspadaan, dengan mawas diri dan dengan
penuh kepasrahan kepada Tuhan di samping tindakan kita
yang keluar secara spontan, maka kita akan dapat
menanggulangi setiap masalah yang timbul. Suka dukanya
sebab dari timbulnya pikiran yang mengunyah-ngunyah
permasalahan. Kita harus berani menghadapi segala
permasalahan yang timbul dengan penuh ketabahan, tidak
melarikan diri, melainkan menghadapinya dan mengatasinya.
Itulah seni kehidupan. Menghadapi kenyataan dan
mengatasinya! Kenyataan hidup adalah suatu kewajaran, tidak
baik maupun untuk selama si-aku tidak muncul dan menilai -
nilai, membanding - bandingkan, menyesuaikan dengan
kepentingan diri sendiri, dengan dasar diuntungkan atau
dirugikan, disenangkan atau tidak disenangkan.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru