Minggu, 28 Januari 2018

Komik Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Kilat 5

Komik Kho Ping Hoo Kisah Si Pedang Kilat 5

baca juga

Perjalanan meninjau perbentengan itu cukup jauh sehingga ketika mereka kembali ke rumah besar itu,
matahari telah tenggelam ke barat dan cuaca sudah remang-remang, malam menjelang tiba. Rumah itu
telah diterangi banyak lampu, seolah dalam keadaan pesta menyambut dua orang tamu agung itu. Suma
Hok dan Bun Houw dipersilakan ke kamar masing-masing, dua buah kamar yang terpisah dan Bun Houw
mendapatkan bahwa buntalan pakaian yang tadinya dia tinggalkan di rumah penginapan itu telah
berada di dalam kamar itu. Seorang pelayan pria melayani keperluan Bun Houw, mempersiapkan air
untuk mandi dan setelah mandi dan berganti pakaian, Bun Houw menerima undangan tuan rumah
untuk makan malam di ruangan makan. Bun Houw memasuki ruangan itu dan ternyata Suma Hok telah
berada di situ. Seperti siang tadi, Pouw Cin menemani mereka yang dijamu oleh Siauw Tek dan Kiok Lan.
Wanita-wanita muda yang cantik kini diperkenankan melayani mereka makan minum dan suasana
makan malam itu cukup gembira. Apalagi karena Suma Hok sudah kelihatan akrab dengan Siauw Tek
dan terutama sekali dengan Kiok Lan. Pemuda, putera majikan Bukit Bayangan Iblis ini memang pandai
merayu, halus tutur sapanya, dan selain ilmu silat tinggi, juga dia mengenal baik kesusasteraan dan
pandai bermain suling dengan lagu-lagu merdu. Maka dengan mudah dia dapat menarik perhatian kakak
beradik bangsawan itu dan menjadi akrab dengan mereka.
Dengan caranya yang halus dan cerdik, tadi Suma Hok dapat mendahului Bun Houw menemui Siauw Tek
dan Kiok Lan, dan dengan pandai sekali dia memancing mereka untuk mendengar pendapat mereka
tentang aib yang terjadi di istana ketika Pangeran Tiauw Sun Ong berjina dengan seorang selir kaisar. Dia
mengatakan bahwa dia pernah mendengar peristiwa itu di luaran, dan apakah bekas kaisar itu tahu akan
hal itu?
Mendengar ini, kakak beradik itu saling pandang, kemudian Siauw Tek mengerutkan alis dan berseru,
"Ahh, jadi peristiwa itu sudah pula tersiar di luar istana? Memang aib yang amat memalukan. Terjadi
ketika aku masih kecil, berusia tiga tahun kurang lebih. Aku mendengar peristiwa aib itu dari cerita para
orang tua di istana."
"Jadi benarkah peristiwa itu, Kongcu? Tadinya saya kira hanya berita bohong belaka, karena di dunia
kang-ouw, Tiauw Sun Ong muncul sebagai seorang tokoh yang lihai.
Akan tetapi dia buta, bagaimana mungkin seorang selir kaisar ... maaf, dapat tertarik kepada seorang
pangeran buta?" Sebetulnya Suma Hok sudah tahu akan persoalannya, akan tetapi dia pura-pura tidak
tahu untuk memancing dan melihat bagaimana sikap bekas kaisar ini terhadap Tiauw Sun Ong.
"Tadinya Paman Pangeran Tiauw Sun Ong tidak buta. Dia seorang pangeran yang tampan dan selir ... eh,
selir mendiang ayahku itu tergila-gila kepadanya. Setelah perbuatan mereka ketahuan, Paman Tiauw
Sun Ong membutakan mata sendiri dan meninggalkan istana. Adapun selir ayah itu dihukum buang, Ah,
tidak perlu kita bicara tentang aib yang menjengkelkan itu!"
"Akan tetapi, kenapa yang melakukan aib menodai nama yang mulia dari Kaisar, tidak dihukum mati?"
Suma Hok memancing.
Siauw Tek mengepal tinju. "Sepatutnya memang dia dihukum mati! Akan tetapi dia adalah adik
mendiang ayah, dan dia sudah membutakan kedua matanya, ayah mengampuninya.”
"Ah, mendiang ayah memang terlalu lunak," kata Kiok Lan. "Dosa itu teramat besar, menodai nama dan
kehormatan seluruh keluarga. Karena kelemahan ayah, maka sampai sekarang dia masih hidup dan
tentu saja peristiwa itu menjadi dongeng dan diketahui banyak orang. Coba andaikata ketika itu dia dan
perempuan itu dihukum mati, mungkin berita itu tidak sampai tersebar."
"Engkau benar, adikku. Memang mendiang ayah terlalu lemah. Bahkan kabarnya, selir yang
menyeleweng itupun tidak sampai mati. di dalam perjalanan, para pengawalnya dibunuh orang dan ia
lenyap entah ke mana."
Kini yakinlah Suma Hok bahwa kakak beradik bangsawan ini tidak suka kepada Tiauw Sun Ong dan hal ini
menyenangkan hatinya. Setidaknya dia memiliki senjata ampuh untuk menarik kedua orang ini berpihak
kepadanya kalau dia bentrok dengan Bun Houw. Pada saat itulah, Bun Houw memasuki ruangan makan
dan tentu saja percakapan itu terhenti.
Setelah selesai makan minum, sekali ini Siauw Tek mengajak mereka bercakap-cakap di ruangan dalam,
tidak lagi di ruangan tamu. Hal ini saja sudah menunjukkan bahwa dia mulai percaya kepada kedua
orang tamunya.
Setelah duduk diruangan dalam yang lebih mewah keadaannya ini, Siauw Tek bertanya kepada kedua
orang tamunya. "Bagaimana, apakah kalian berdua sudah menyaksikan keadaan kami dan apa pendapat
kalian?"
Suma Hok cepat menjawab. "Wah, hebat sekali, Kongcu. Pasukan-pasukan dengan empat benteng itu
amat kuat, dan kalau mendapat pimpinan seorang ahli, tentu dapat menjadi kekuatan yang dahsyat!"
Siauw Tek senang dengan pendapat ini dan dia tersenyum bangga, akan tetapi melihat Bun Houw diam
saja, dia bertanya. Bagaimana pendapatmu, Kwa-toako? Cukup kuatkah pasukan yang sudah kami
himpun?”
Bun Houw menjawab dengan tenang, "Saya kira, tergantung dari penggunaannya, Kongcu."
"Apa maksudmu, toako?"
"Seperti sepotong pisau dapur, terlalu besar untuk mencukur jenggot dan terlalu kecil untuk bertempur
di medan perang.”
Siauw Tek mengangguk dan tersenyum. “Jawabanmu memang tepat akan tetapi terlalu berhati-hati,
Kwa-toako. Baiklah, sekarang kalian berdua dengarkan dulu tentang keadaan diriku semenjak kerajaan
Liu-sung dikhianati para pemberontak yang kini membangun kerajaan Chi itu."
Bekas kaisar itu lalu bercerita. Pemberontakan yang dilakukan oleh Siauw Hui Kong dan kawankawannya,
yaitu juga anggauta keluarga kaisar dari pihak wanita, menimbulkan perang saudara selama
tiga tahun, dimulai dari tahun 476 dan berakhir tiga tahun kemudian, yaitu pada tahun 479 dengan
jatuhnya kerajaan Liu-sung. Siauw Hui Kong mengangkat diri menjadi Kaisar Siauw Bian Ong kaisar yang
mendirikan dinasti atau kerajaan Chi. Dalam penyerbuan itu, Siauw Hui Kong dan sekutunya masih
memberi kelonggaran kepada keluarga kaisar untuk melarikan diri. Akan tetapi mereka yang melakukan
perlawanan, semua tertumpas dan binasa. Kaisar Cang Bu sendiri yang ketika itu berusia tujuh belas
tahun, melarikan diri dengan dikawal oleh Panglima Pouw Cin. Dalam pelarian ini terbawa pula
beberapa orang selir dan juga Kiok Lan yang baru berusia dua belas tahun ikut pula lari mengungsi
bersama kakak tirinya. Kiok Lan dan Kaisar Cang Bu seayah berlainan ibu, karena Kiok Lan beribu dari
seorang selir. Sesungguhnya, kalau pihak lawan, yaitu pihak keluarga Siauw yang memberontak,
menghendaki pelarian bekas kaisar itu tentu akan gagal dan akan mudah saja menangkapnya
rombongan pengungsi ini. Akan tetapi karena memang masih ada hubungan keluarga, agaknya pihak
yang menang memang sengaja bersikap longgar, membiarkan pihak yang kalah untuk mengungsi.
"Demikianlah, ji-wi tahu bahwa setelah, kehilangan mahkota, terpaksa aku menyamar sebagai orang
biasa, menggunakan nama kecilku, yaitu Liu Tek dan kusingkat menjadi Siauw Tek, agar selain tidak
dikenal orang, juga aku sengaja menggunakan nama keluarga kaisar yang sekarang. Tentu saja, setema
lima tahun ini, sejak keluar dari istana, aku tidak pernah melupakan kekalahan ini. Aku, dibantu oleh
Paman Pouw, mulai menghimpun kekuatan karena kami bercita-cita untuk merampas kembali
singgasana dan mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang telah dikhianati oleh keluarga Siauw yang
kini mendirikan dinasti Chi. Kami mengundang sebanyaknya orang-orang pandai seluruh negeri untuk
membantu kami. Karena itu, setelah bertemu dengan ji-wi, kami juga menawarkan kepada ji-wi agar
suka membantu kami. Percayalah, kalau sampai cita-cita kami terlaksana, dan kami dapat mendirikan
lagi kerajaan Liu-sung, kalian berdua akan menerima anugerah kedudukan yang tinggi dalam kerajaan
kami. Kami tidak minta jawaban sekarang. Sebaiknya, ji-wi (kalian) mempertimbangkan permintaan
kami itu semalam ini sambil beristirahat dalam kamar ji-wi masing-masing. Besok pagi kami
mengharapkan jawaban dan keputusan yang pasti."
Tadinya Bun Houw ingin menyatakan keputusannya pada malam itu juga, yaitu menolak tawaran bekas
kaisar itu untuk membantu gerakannya hendak memberontak. Akan tetapi karena Siauw Tek memberi
waktu semalam untuk mengambil keputusan, diapun merasa tidak enak kalau menolak seketika tanpa
dipertimbangkan dulu.
Di dalam kamarnya, Bun Houw duduk bersila di atas pembaringan, termenung. Dia dapat menduga
bahwa orang yang berjiwa petualang seperti Suma Hok, yang hendak mencari keuntungan bagi diri
sendiri saja, tentu tertarik oleh penawaran bekas kaisar itu. Apalagi dia melihat sinar mata pemuda
pesolek itu ketika memandang Kiok Lan, ia tidak ragu lagi bahwa Suma Hok pastikan menerima
penawaran itu. Akan tetapi dia tidak akan menerimanya, dia akan menolak dengan halus. Dia masih
mempunyai tugas, yaitu mencari Hui Hong. Dan pengalamannya dengan bekas kaisar ini sudah
merupakan suatu berita yang amat menarik bagi gurunya, selain itu, diapun akan melaksanakan pesan
gurunya menyelidiki keadaan pemerintahan Kerajaan Chi yang baru itu.
Daun pintu terketuk. Bun Houw merasa heran. Malam telah larut, mungkin sudah hampir tengah
malam. Siapa yang mengetuk pintu kamarnya? Ketukan itu lirih dan pendengarannya yang tajam
menangkap gerakan kaki ringan di luar pintu. Seorang wanita di depan pintu kamarnya! Siapa? Mau
apa? Dia memang mengunci daun pintu dari dalam. Dia berada di bawah satu atap dengan seorang
seperti Suma Hok, maka dia harus berhati-hati. Tidak dapat diduga apa yang akan dilakukan oleh
pemuda yang kejam dan licik bagaikan iblis itu.
"Siapa di luar?" Bun Houw bertanya sambil menghampiri pintu.
"Saya, Kwa-kongcu. Harap suka membuka pintu, saya mempunyai kepentingan untuk dibicarakan
denganmu." terdengar suara wanita yang merdu. Bukan suara Kiok Lan, pikir Bun Houw yang menjadi
semakin heran. Dia membuka kunci daun pintu dan masuklah seorang wanita muda yang cantik manis.
Begitu ia masuk, tercium bau yang harum dari pakaiannya. Bun Houw mengenal wanita ini sebagai
seorang di antara lima wanita cantik yang melayani ketika dia dan tuan rumah makan, lalu muncul Kiok
Lan menyuruh lima orang wanita yang disebutnya enci itu agar tidak melayani mereka lagi. Wanita ini
usianya tidak akan lebih dari dua puluh tahun, cantik manis dan di balik kerling mata dan senyumnya
tersembunyi kegenitan dan gairah.
"Eh, kenapa nona masuk ke sini? Ada urusan penting apa yang akan dibicarakan?” tanya Bun Houw,
alisnya berkerut karena tidak senang melihat seorang wanita muda memasuki kamarnya. Kalau
kelihatan tuan rumah, tentu akan menyangka yang bukan-bukan. Akan tetapi, kesopanan melarangnya
untuk mengusir begitu saja.
Gadis itu menundukkan mukanya, akan tetapi matanya mengerling ke samping atas, ke arah wajah Bun
Houw dan senyumnya dikulum. Memang gaya ini membuat ia nampak manis dan menarik sekali, sikap
jinak-jinak merpati! "Kwa-kongcu, saya bernama Yo Leng Liwa, biasa disebut Leng Leng, berusia
sembilan belas tahun ... "
“Ya, ya ... akan tetapi mau apa engkau masuk ke sini? Ada kepentingan apa ... ?” Bun Houw memotong
tak sabar.
Kembali kerling itu menyambar dan senyum itu melebar. Segumpal rambut jatuh berderai di leher yang
panjang dan berkulit putih mulus itu. "Kongcu, malam begini dingin dan sunyi dan kongcu berada
seorang diri saja di dalam kamar, saya pikir saya ... saya dapat menemani kongcu, menghibur kongcu
dan melakukan apa saja untuk melayani kongcu." katanya dengan suara setengah berbisik, dan katakatanya
berlagu seperti orang bersenandung.
Wajah Bun Houw berubah kemerahan. Tentu saja dia mengerti apa yang dimaksudkan wanita ini.
Wanita muda cantik genit ini merayunya. Akan tetapi dia menahan kemarahannya dan tidak
menghardiknya karena tiba-tiba timbul kecurigaan dalam hatinya. Dia baru pertama kali bertemu wanita
ini, di antara empat orang rekannya, itupun ketika mereka melayaninya makan. Tidak mungkin kalau
dalam pertemuan singkat itu, wanita ini lalu jatuh hati kepadanya! Dan kiranya, tidak akan mungkin
wanita ini berani begitu merayunya. Bukankah dia seorang tamu dihormati? Dan gadis ini juga bukan
pelayan? Ada pelayan lain dan agaknya orang itu mempunyai kedudukan yang cukup terhormat di
rumah itu. Bukankah Kiok Lan adik bekas kaisar itu sendiri juga menyebut mereka berlima itu dengan
sebutan enci? Dia menduga bahwa gadis ini, seperti empat yang lain tentulah semacam dayang atau
lebih tepat lagi, selir-selir dari bekas kaisar itu. Dan kini, kalau ia berani memasuki kamarnya,
menawarkan diri untuk melayani dan menghiburnya, jelas bahwa hal ini tentu merupakan tugas
baginya. Tentu ada yang memerintahnya?
(Bersambung jilid 13)
Jilid 13
TIBA-TIBA sinar matanya mencorong ketika dia berkata, "Nona, coba angkat mukamu dan kau pandang
aku!!"
Gadis itu mengangkat mukanya yang cantik dan memberanikan diri memandang. Dua pasang mata
bertemu dan gadis itu terkejut melihat mata yang mencorong penuh kekuatan itu. Ia ingin
menundukkan kembali mukanya, akan tetapi tidak mampu, serasa ada kekuatan dari sepasang mata
yang mencorong itu yang mengikat dan menahan pandang matanya sehingga tak dapat ditundukkan.
"Nona, engkau tentulah seorang selir dari Siauw Kongcu, bekas kaisar itu, bukan?" tanya Bun Houw.
"Benar, kongcu," jawab Leng Leng dengan lirih dan kini sikap rayuannya lenyap, berubah menjadi
khawatir.
"Hemm, kalau engkau sudah menjadi selirnya, kenapa malam-malam begini berusaha menggodaku?
Apakah engkau ini jenis isteri yang tidak setia dan suka melakukan penyelewengan dengan laki-laki
lain?"
Wajah yang cantik itu tiba-tiba berubah merah dan mata itu mengeluarkan sinar merah. "Kwa-kongcu,
jangan menuduh sembarangan! Aku adalah seorang isteri yang setia dan taat kepada suami. Andaikata
suamiku menyuruh aku menyerahkan nyawa sekalipun akan kutaati, apalagi hanya menyerahkan badan.
Aku hanya meliksanakan tugas, mentaati perintah."
Diam-diam Bun Houw merasa iba kepada gadis ini. Tahulah dia bahwa ini merupakan satu di antara cara
dan akal bekas kaisar itu untuk membujuk dan menarik seseorang menjadi pembantunya. Agaknya
bekas kaisar itu tahu bahwa dia tidak akan tergiur kedudukan atau harta, maka dipergunakanlah
seorang di antara selirnya untuk membujuk rayu. Dan dia percaya bahwa tentu banyak pria perkasa
yang jatuh oleh kecantikan selir-selir itu.
"Kalau begitu, kembalilah engkau kepada suamimu dan katakan kepadanya bahwa engkau adalah
seorang isteri yang baik dan mencinta suami, bahwa dia tidak sepatutnya menyuruh engkau membujuk
rayu seorang tamu. Katakan bahwa aku berterima kasih, akan tetapi aku tidak suka menghancurkan
martabat dan perasaan hati seorang wanita yang terpaksa demi cinta dan kesetiaannya kepada suami,
mau melakukan apa saja yang diperintahkan suami, bahkan menyerahkan diri dan kehormatannya
kepada laki-laki lain. Pergilah, nona."
Selir yang cantik itu menatapnya dengan sepasang matanya yang indah, kemudian kedua mata yang
tadinya bengong memandang heran, perlahan-lahan menjadi basah air mata.
"Baik. dan maafkan saya, kongcu." katanya dengan suara gemetar mengandung isak, lalu wanita itupun
keluar dari kamar dengan langkah-langkah gontai.
Seorang wanita yang memiliki daya tarik kuat sekali pada wajah dan bentuk tubuhnya, Bun Houw
menggumam sambil menutupkan daun pintu dan menguncinya kembali. Dia duduk bersila kembali ke
atas pembaringan dan tersenyum. Yang jelas, kalau tidak ada dua hal yang menolongnya, yang
mendatangkan kekuatan di batinnya, bukan hal aneh kalau tadi diapun bertekuk lutut dan terlena dalam
pelukan wanita cantik tadi. Dua hal itu pertama-tama adalah pengalaman gurunya yang pernah berjina
dengan seorang selir kakaknya dan yang kemudian mendatangkan akibat yang amat hebat dan pahit
dalam kehidupan gurunya. Selain itu juga pengalamannya sendiri dengan Cia Ling Ay yang
mendatangkan akibat pahit pula. Adapun hal kedua adalah cintanya terhadap Hui Hong membuat dia
tidak ingin dimiliki dan memiliki wanita lain.
***
Perasaan tidak enak dalam hati Bun Houw bahwa dia berada di bawah satu atap dengan Suma Hok,
ternyata bukan perasaan kosong belaka. Dia tidak dapat menduga apa yang akan dilakukan oleh
pemuda licik itu. Di luar tahunya, setelah mereka tadi saling berpisah dari ruangan dalam, Suma Hok
juga menerima kunjungan seorang selir bekas kaisar itu yang datang hendak membujuknya. Dan
pemuda yang amat cerdik ini, walaupun melihat selir itu seperti seekor kucing melihat dendeng yang
membuatnya mengilar, namun demi pengejaran yang lebih tinggi, dia bersikap sopan dan menolak
wanita yang disuguhkan kepadanya itu! Dan dia bahkan mengikuti wanita itu kembali ke kamar Siauw
Tek kemudian dia membisikkan hal yang penting bagi bekas kaisar itu.
"Saya menghaturkan terima kasih atas budi kebaikan Kongcu," katanya sambil mengantarkan kembali
selir itu. "Akan tetapi harap Kongcu maafkan, saya tidak suka berganti dengan wanita yang bukan milik
saya. Selain itu, saya ingin menyampaikan hal yang saya kira amat penting bagi kongcu, mengenai diri
Kwa Bun Houw."
Diam-diam Siauw Tek memuji pemuda ini. Seorang pemuda yang tidak lemah terhadap godaan wanita.
"Suma toako, ada urusan apakah? Apa yang hendak kau sampaikan mengenai diri Kwa-toako?"
"Hendaknya kongcu bersikap waspada karena Kwa Bun Houw itu adalah seorang yang berbahaya
sekali."
"Kaumaksudkan dia lihai? Hal itu kami sudah tahu, toako. Kami sudah menguji kepandaiannya dan dia
mampu mengalahkan Paman Pouw dengan mudah."
"Bukan itu saja, Kongcu. Akan tetapi ada satu hal yang Kongcu belum ketahui sehingga tidak melihat
bahaya yang mengancam diri kongcu sekarang. Ketahuilah bahwa Kwa Bun Houw adalah murid bekas
Pangeran Tiauw Sun Ong!"
"Ahhh ...?!?" bekas kaisar itu berseru kaget dan mukanya berubah agak pucat.
"Kalau begitu ... apa maunya dia mau menerima undanganku?"
"Hemm, tidak sukar diduga, Kongcu. Sepanjang pengetahuanku, bekas pangeran Tiauw Sun Ong sama
sekali tidak berbuat sesuatu ketika kerajaan Kongcu dijatuhkan oleh keluarga Siauw. Itu saja menjadi
bukti bahwa diam-diam Tiauw Sun Ong tentu mendendam kepada mendiang ayah Kongcu! Dan
sekarang muridnya berada di sini aku tidak akan heran kalau dia mewakili gurunya, melakukan tugas
mata-mata demi kepentingan kerajaan Chi."
“Ahh! Kalau begitu, kita hatus cepat turun tangan! Kita harus membunuhnya sekarang juga!” kata bekas
kaisar itu dan Suma Hok tersenyum. Bekas kaisar ini demikian lemah dan bodoh, pikirnya. Pantas saja
kerajaannya jatuh. Kalau orang ini berhasil menjadi kaisar kembali dan dia dapat menjadi perdana
menterinya, tentu dia akan mudah dapat menguasainya!
‘Harap paduka tenang dulu. Kita harus berhati-hati dan jangan mengagetkan ular dalam semak. Kita
pura-pura tidak tahu lebih dulu agar dia tidak curiga dan tidak melarikan diri. Ilmu silatnya lihai bukan
main. Kita harus mengatur siasat untuk dapat menangkap atau membunuhnya." Suma Hok berbisik-bisik
dan malam itu juga Pouw Cin di panggil untuk mengatur siasat. Siauw Tek merahasiakan siasat itu dari
adiknya karena dia maklum betapa aneh watak adiknya itu, kadang berani menentangnya.
Ketika selirnya yang tadinya diutus untuk membujuk-rayu Bun Houw kembali kepadanya dan melapor
bahwa Bun Houw menolak halus, makin besar kecurigaan Siauw Tek yang sudah dapat dibakar oleh
Suma Hok. Kini Suma Hok menambahkan, "Nah, jelas bahwa dia berniat buruk. Aku, pernah mendengar
bahwa Bun Houw seorang laki-laki mata keranjang, seperti juga gurunya. Kalau sekarang dia menolak
pelayanan seorang wanita cantik, hal ini patut dicurigai. Pasti dia tidak ingin terbujuk agar dapat
melakukan tugasnya memata-matai keadaan kongcu dengan baik."
Siauw Tek mengangguk-angguk, menyetujui pendapat pembantu barunya itu. Dia teringat akan bekas
pamannya, yaitu Pangeran Tiauw Sun Ong. Bekas pangeran itu dahulu terkenal sebagai seorang pria
yang menaklukkan hati banyak wanita, bahkan tidak segan berjina dengan selir ayahnya. Kini bekas
pangeran itu menjadi guru Kwa Bun Houw. Kalau gurunya seperti itu, muridnya dapat dibayangkan
wataknya.
Akan tetapi, Pouw Cin masih ragu-ragu. Bekas panglima ini adalah seorang yang sudah berpengalaman.
Setelah bertemu dengan Bun Houw dan menguji kepandaiannya, dia sudah dapat menilai pemuda itu
sebagai seorang pendekar yang gagah perkasa dan halus budi pekertinya. Sama sekali tidak kejam. Hal
ini terbukti ketika dia dikalahkan pemuda itu. tanpa sedikitpun menderita luka. Di samping ini, diapun
seorang yang amat setia kepada bekas kaisar itu, maka tentu saja dia tidak pernah membantah perintah
Siauw Tek, selalu mentaatinya dengan membuta. Dan diapun pernah mendengar nama ayah dan anak
Suma yang menjadi majikan Bukit Bayangan Iblis sebagai datuk sesat yang amat kejam dan curang.
Maka, diam-diam diapun mencurigai Suma Hok, bahkan hatinya merasa tidak enak melihat keakraban
hubungan antara Suma Hok dan nona majikannya, Kiok Lan. Diam-diam dia bersikap waspada.
"Paman Pouw, kenapa engkau diam saja? Bagaimana pendapatmu tentang Kwa Bun Houw itu? Amat
mencurigakan, bukan? Aku sungguh khawatir dia benar-benar mewakili gurunya, memata-matai kita
demi kepentingan kerajaan Chi."
"Jalan satu-satunya adalah besok pagi-pagi, di luar sangkaannya, kita mengepung dan membunuhnya.
Kita sudah mengatur barisan pendam, dan dia tidak akan mampu melarikan diri lagi. Bukanlah siasat kita
ini baik sekali, Paman Pouw?" kata Suma Hok dengan nada suara gembira. Kematian Bun Houw
merupakan hal yang amat menguntungkan dia. Pertama, dia dapat membalas kekalahannya tempo hari,
kedua dia akan kehilangan saingan dan lawan yang amat lihai dalam memperebutkan Hui Hong dan
akhirnya, dia tidak akan menghadapi rintangan dalam kerja samanya yang menguntungkan dengan para
pemberontak yang dipimpin oleh bekas kaisar Cang Bu.
Pouw Cin tidak menjawab pertanyaan Suma Hok, melainkan memandang majikannya dan berkata
dengan hati-hati, "Saya harap Kongcu teliti dalam hal ini. Biarpun andaikata benar dia murid bekas
pangeran Tiauw Sun Ong, belum tentu dia memata-matai kita. Hal itu harus dibuktikan dulu. Ilmu
kepandaiannya hebat, Kongcu, kalau kita dapat menariknya sebagai pembantu, tentu keadaan Kongcu
menjadi semakin kuat. Sebaiknya kita melihat sikapnya besok pagi. Tanpa bukti lalu menyerangnya
begitu saja amatlah tidak bijaksana. Bagaimana kalau kemudian terbukti dia bukan mata-mata dan kita
sudah terlanjur mencelakainya? Tentu orang-orang di dunia persilatan akan menentang kita!"
Siauw Tek mengangguk-angguk. "Hemm, kami rasa pendapatmu ini memang tepat. Bagaimana
pikiranmu, Suma-toako? Memang kita harus berhati-hati agar jangan salah sangka, kita harus dapat
membuktikan dulu kalau benar dia memata-matai kami."
"Saya harap Kongcu teliti dalam hal ini. Biarpun andaikata benar dia murid bekas pangeran Tiauw Sun
Ong belum tentu dia memata-matai kita."
Suma Hok juga bukan orang bodoh. Sebaliknya malah, dia cerdik dan licin bagaikan belut. Dia tidak mau
berkeras mempertahankan pendapatnya dan menentang pendapat Pouw Cin yang dia tahu merupakan
orang yang paling dipercaya oleh bekas kaisar itu! "Hebat! Pendapat Pouw-lo-enghiong memang hebat,
tanda bahwa Paman Pouw seorang yang bijaksana. Sesungguhnya, sayapun tidak hanya menuduh
sembarangan. Walaupun belum terbukti Kwa Bun Houw menjadi mata-mata kerajaan Chi, akan tetapi
prasangka buruk saya ini bukan tidak berdasar. Dasarnya kuat sekali, karena selain menjadi murid
tersayang bekas pangeran yang kini menjadi datuk lihai yang matanya buta itu, juga dia ingin menjadi
mantu bekas Pangeran Tiauw Sun Ong."
"Ahhhh ... " Siauw Tek berseru kaget.
Pouw Cin mengerutkan alisnya. "Bagaimana mungkin itu? Setahuku, Pangeran Tiauw Sun Ong tidak
mempunyai isteri dan tidak mempunyai anak !”
Suma Hok membungkuk sambil tersenyum. ”Paman Pouw, saya juga bukan seorang yang suka
berbohong. Akan tetapi, keterangan sepihak saja dari saya tentu tidak meyakinkan. Baiklah, besok di
waktu makan pagi saya akan bertanya kepada Kwa Bun Houw, dan biarlah dia sendiri yang akan
mengakui kebenaran apa yang saya kemukakan tadi." Dengan sikap hormat dan ramah, Suma Hok
memandang kepada Siauw Tek, lalu bertanya dengan halus. "Kalau Bun Houw sudah mengaku dengan
mulut sendiri bahwa dia ingin menjadi mantu gurunya, apakah Kongcu akan yakin dan percaya kepada
saya?"
Bekas kaisar itu mengangguk-angguk. "Kalau benar dia murid dan bahkan calon mantu Tiauw Sun Ong,
keadaannya sungguh amat mencurigakan!"
"Kalau dia sudah mengaku dengan mulut sendiri dan Kongcu sudah yakin bahwa dia tentu mematamatai
Kongcu, kita harus sudah siap." kata Suma Hok penuh kegembiraan karena merasa berhasil. "Dia
amat berbahaya dan lihai sekali, karena itu, jangan sampai kita kedahuluan olehnya. Siapa tahu, dia
bertugas untuk membunuh Kongcu! Karena itu, besok ketika kita makan pagi dan saya memancingnya
agar mengaku, di luar ruangan makan sebaiknya dilakukan penjagaan yang kokoh kuat dan begitu dia
mengaku bahwa memang calon mantu Tiauw Sun Ong, kita mengepung dan mengeroyoknya!"
Kembali Siauw Tek mengangguk dan memandang kepada Pouw Cin. Sejak dia dipaksa melarikan diri
karena singgasana dirampas oleh Souw Hui Kong lima tahun yang lalu, semangat dan harapannya
tergantung kepada bekas jenderal yang dahulu menjadi panglimanya yang setia itu. Maka, kinipun
segala keputusannya selalu ditanyakan dulu kepada pembantu setia ini.
"Bagaimana pendapatmu, Paman Pouw?"
Pouw Cin adalah seorang yang berpengalaman dan selalu bertindak dengan hati-hati, tidak mudah dia
mencurigai orang, juga tidak mudah percaya begitu saja. "Kongcu, sebaiknya kalau kita berhati-hati
dalam hal ini. Andaikata benar demikian, sedapat mungkin kita harus membujuk agar Kwa Bun Houw
suka membantu kita. Kalau dia mau bekerja sama, kita dapat memanfaatkan tenaganya karena pemuda
itu memang seorang ahli silat yang amat tangguh. Kalau dia menolak, barulah terpaksa kita
melenyapkannya, apalagi kalau dia benar-benar seorang mata-mata dari Chi. Akan tetapi, Kongcu, yang
membuat saya merasa ragu dan penasaran adalah keterangan dari Suma Kongcu tadi. Setahu kita.
Pangeran Tiauw Sun Ong tidak beristeri dan tidak mempunyai anak ketika meninggalkan istana,
bagaimana sekarang dia dapat mempunyai puteri yang akan dijodohkan dengan Kwa Bun Houw?" Dia
berhenti sebentar mengingat-ingat, "Dan selama ini, saya hanya mendengar bahwa bekas pangeran itu
menjadi seorang tokoh persilatan yang tidak pernah, mempunyai isteri."
Siauw Tek menoleh kepada Suma Hok.
"Bagaimana jawabanmu dengan pertanyaan itu, toako? Berilah keterangan agar hati Kami tidak menjadi
bimbang, dan meragukan keterangan itu."
Suma Hok tersenyum. "Pertanyaan Pouw-lo-enghiong memang tepat sekali, dan sudah sepatutnya kalau
kongcu dan lo-enghiong mengetahuinya. Ketahuilah. Kongcu bahwa selir yang menjadi kekasih Pangeran
Tiauw Sun Ong itu, ketika melaksanakan hukuman buang, dalam perjalanan ia dibebaskan oleh Bu-engkiam
Ouwyang Sek, majikan Lembah Bukit Siluman, kemudian menjadi isterinya. Ketika menjadi isteri
datuk itu, selir itu telah mengandung yang kemudian melahirkan seorang anak perempuan. Nah, anak
perempuan itu adalah anak kandung Pangeran Tiauw Sun Ong! Anak perempuan itulah yang akan
menjadi isteri Kwa Bun Houw, Kongcu."
Kalau bekas kaisar itu mengangguk-angguk, sebaliknya bekas panglima Pouw Cin mengerutkan alisnya,
"Kalau demikian, maka gadis itu bukan lagi puteri Pangeran Tiauw Sun Ong! Ia adalah puteri Bu-engkiam
Ouwyang Sek!"
"Memang tadinyapun begitu, Pouw-lo-enghiong. Bahkan gadis itu sendiri tidak tahu bahwa ayah
kandungnya adalah Tiauw Sun Ong. Akan tetapi akhir-akhir ini rahasia itu terbuka dan Tiauw Sun Ong
mendatangi keluarga Ouwyang, dan menuntut agar puteri kandungnya itu dijodohkan dengan
muridnya, yaitu Kwa Bun Houw itulah!”
“Nah, bagaimana, Paman, Pouw?" tanya Siauw Tek. "Kurasa memang pemuda itu berbahaya sekali,
apalagi mengingat bahwa dia amat lihai. Siapa tahu dia memang, ditugaskan oleh gurunya untuk
menyelidiki, atau mungkin untuk memata-matai kita."
"Bukan mustahil tugasnya lebih jahat lagi, yaitu membunuh Kongcu." kata Suma Hok. Mendengar ini,
Siauw Tek terkejut dan wajahnya berubah agak pucat.
"Kita tidak boleh terburu-buru menuduh orang, akan tetapi juga sebaiknya siap menjaga segala
kemungkinan. Biarlah kita melihat perkembangannya besok pagi di waktu makan pagi. Kalau dia sudah
mengaku sendiri bahwa dia akan berjodoh dengan puteri gurunya, kemudian kita bujuk agar dia suka
bekerja sama membantu kita. Kalau dia menolak, baru kita turun tangan menangkapnya. Saya akan
mempersiapkan pasukan untuk mengepung tempat di mana kita menjamunya makan pagi, Kongcu."
"Akan tetapi dia lihai bukan main, kalau hanya dikeroyok pasukan saja, mungkin dia akan dapat lolos."
kata Suma Hok. "Aku masih meragukan apakah Pouw-lo-enghiong akan mampu menangkapnya." Suma
Hok sengaja berkata demikian untuk membakar perasaan bekas panglima itu dan dia berhasil.
Wajah Pouw Cin berubah kemerahan dan dia mengepal tinju. "Boleh jadi dia lihai dan aku tidak dapat
menandinginya, akan tetapi kalau aku mempergunakan pasukan, jangan harap dia akan mampu
meloloskan diri, kecuali kalau dia membunuh diri terjun dari atas tebing!"
Mereka bertiga lalu mengatur siasat dan tentu saja diam-diam Suma Hok gembira bukan main. Orang
yang dibencinya, yang juga menjadi saingannya dalam memperebutkan Hui Hong, besok pagi-pagi akan
terbunuh atau tertawan! Diapun kembali ke kamarnya dan tidur dengan pulas karena kelegaan hatinya.
***
Kiok Lan cepat menyelinap di balik sudut tembok, mengintai ke depan, ke arah kamar seorang di antara
dua orang tamunya, yaitu Kwa Bun Houw. Ia merasa heran sekali melihat Yo Leng Hwa, seorang di
antara selir-selir kakaknya yang cantik, dengan langkah ringan seperti seekor kucing, menghampiri pintu
kamar Kwa Bun Houw. Kiok Lan merasa heran bukan main. Mau apa malam-malam begini selir kakaknya
itu menghampiri lalu mengetuk daun pintu kamar tamu mereka? Padahal, Kwa Bun Houw adalah
seorang tamu, seorang pemuda pula. Sungguh tidak pantas kalau selir kakaknya itu mengetuk pintu
pemuda itu malam-malam. Andaikata kakaknya mempunyai keperluan kepada tamunya, masih ada
pelayan lain yang dapat diutusnya untuk memberitahu pemuda itu, bukan selirnya. Kiok Lan
mengerutkan alisnya, hatinya tidak senang dan ia mengintai terus.
Wajah gadis bekas puteri istana ini menjadi kemerahan dan matanya bersinar penuh kemarahan ketika
ia melihat betapa daun pintu dibuka dan selir kakaknya itu memasuki kamar! Akan tetapi, daun pintu itu
tetap terbuka sehingga Kiok Lan masih dapat mengintai dan mendengarkan percakapan antara Bun
Houw dan Leng Leng. Mendengar betapa Leng Leng disuruh kakaknya untuk membujuk rayu Bun Houw,
bukau main marahnya hati gadis itu. Kakaknya sungguh keji dan, tidak tahu malu! Dan-melihat Bun
Houw menolak dengan sikap yang tegas, iapun merasa kagum sekali. Seorang pendekar muda yang
hebat, pikirnya, ia melihat betapa Leng Leng meninggalkan kamar Bun Houw, dengan air mata berlinang
sehingga ia diam-diam merasa kasihan kepada selir kakaknya itu yang dipaksa oleh kakaknya untuk
menyeleweng dengan tamu, dan kemarahannya tertuju kepada kakaknya. Daun pintu kamar Bun Houw,
ditutup kembali dan kini Kiok Lan membayangi Leng Leng yang meningalkan kamar Bun Houw ...!”
Kiok Lan, melihat selir itu memasuki ruangan dalam. Ia mengintai dari balik pintu dan melihat Leng Leng
melapor kepada Siauw Tek bahwa tugasnya telah dilaksanakan, akan tetapi gagal karena Bun Houw
menolaknya. Siauw Tek dengan sikap kecewa menyuruh Leng Leng keluar dari ruangan itu di mana dia
sedang bercakap-cakap dengan Pouw Cin dan Suma Hok. Dan iapun mengintai dan mendengarkan.
Gadis ini terkejut mendengar rencana kakaknya untuk mempersiapkan pasukan dan besok pagi-pagi
akan menangkap Bun Houw kalau pemuda itu tidak mau diajak bekerja sama, karena Bun Houw
dicurigai sebagai mata-mata setelah Suma Hok menceritakan siapa adanya pemuda itu. Murid Pangeran
Tiauw Sun Ong, bahkan calon mantunya! Cepat-cepat Kiok lan kembali ke kamarnya sendiri setelah
mendengar semua rencana itu.
Liu Kiok Lan duduk melamun. Ia tahu bahwa kakaknya menghimpun pasukan untuk dapat merebut
kembali tahta kerajaannya yang dirampas oleh Siauw Hui Kong yang kini menjadi Kaisar Siauw Bian Ong
dari kerajaan baru Chi. Sebagai seorang bekas puteri istana, tentu saja ia menyetujui rencana kakaknya
ini dan dengan sepenuh hati ingin membantunya. Hal ini dianggap sebagai kewajibannya pula. Akan
tetapi, kalaupun mereka harus merebut kembali kerajaan dan membangun kembali dinasti Liu-sung
yang sudah jatuh, harus dilakukan dengan cara yang gagah dan wajar. Ia selalu cocok dengan sikap yang
diambil oleh bekas Panglima Pouw yang selalu bertindak dengan gagah perkasa. Ia pulang tidak suka
dengan cara yang curang dan licik. Kini, melihat betapa kakaknya hendak menyuguhkan selirnya sendiri
kepada Kwa Bun Houw untuk menjatuhkan hati pendekar itu dari menariknya sebagai pembantu, tentu
saja ia merasa amat tidak senang. Apalagi mendengar rencana kakaknya yang agaknya terbujuk oleh
Suma Hok untuk menangkap atau membunuh, Kwa Bun Houw dengan pengeroyokan kalau pendekar itu
tidak mau membantu, sungguh amat mengganggu hatinya dan menekan perasaannya.
Akhirnya ia meneambil keputusan untuk menyelamatkan Bun Houw. Bukan karena ia merasa berat
kepada pemuda yang baru saja dikenalnya itu, melainkan ia hendak mencegah kakaknya bertindak
curang. Cepat ia bertukar pakaian yang ringkas dan membawa pedang. Ia harus dapat memabuki kamar
Bun Houw sebagai pencuri agar tidak sampai terlihat kakaknya, Kalau ia masuk sebagai pencuri,
andaikata ia ketahuan kakaknya, ia dapat mengambil alasan bahwa ia berniat untuk menyerang tamu
itu, karena ia sudah tahu bahwa tamu itu adalah murid Paigeran Tiauw Sun Ong dan ia mencurigainya.
Dengan ilmu kepandaiannya, tidak sukar bagi Kiok Lan untuk meloncat ke atas genteng dan berada di
atas kamar Bun Houw. Setelah membiarkan peronda lewat, ia melayang turun dan mencokel jendela
kamar dengan pedangnya. Ia tahu bagaimana bentuk jendela itu. maka tanpa banyak kesukaran ia dapat
mencokel jendela sehingga terbuka dan cepat ia meloncat ke dalam kamar, lalu menutupkan lagi daun
jendela dari dalam, ia merasa lapang dada karena agaknya tidak ada orang mengetahui perbuatannya,
dan agaknya tamu itupun sudah tidur. Ia menghampiri pembaringan yang kelambunya tertutup. Cuaca
dalam kamar itu remang-remang karena lilin di atas meja sudah dipadamkan, akan tetapi ada sinar
masuk dari luar melalui lubang-lubang angin di atas jendela, yaitu sinar lampu gantung di luar kamar!”
Tiba-tiba kelambu tersingkap dan sesosok tubuh meloncat keluar. Karena Kiok Lan tidak nenyerang,
maka Bun Houw juga hanya meloncat dan berdiri di tengah kamar, memandang kepada gadis yang
membawa pedang di tangan kanan itu.
"Kwa-twako ...!" bisik Kiok Lan yang mencontoh kakaknya, menyebut twako (kakak) kepada pemuda itu.
Baru sekarang Bun Houw tahu bahwa bayangan hitam membawa pedang yang mencokel daun jendela
dan memasuki kamarnya itu adalah Liu Kiok Lan, bekas puteri istana, adik bekas kaisar! Kalau tadinya dia
terkejut karena sudah tahu ada orang mencokel jendela kamarnya, kini kekagetan itu bertambah
dengan keheranan setelah mengetahui bahwa yang masuk seperti pencuri ke dalam kamarnya adalah
bekas puteri itu.
"Nona itu ... apa ... apa artinya ini ...?"
"Dia bertanya gagap, namun menahan suaranya sehingga berbisik karena dia sama sekali tidak ingin ada
orang lain melihat gadis, bangsawan ini memasuki kamarnya seperti itu. Sekilas lantas dia mengira
bahwa jangan-jangan bekas kaisar itu, setelah tadi usaha selirnya gagal, kini begitu tega mengutus
adiknya sendiri untuk merayunya! Akan tetapi segera dia mengusir prasangka ini karena biarpun dia
baru saja mengenal Kiok Lan ketika sama-sama makan di meja makan, dan ketika gadis itu bersama
Pouw Cin mengantar dia dan Suma Hok berkeliling melihat benteng yang disusun, namun dia sudah
dapat menduga bahwa gadis bangsawan ini memiliki kegagahan dan keangkuhan, memiliki harga diri
yang tinggi. Tidak mungkin gadis seperti itu sudi melaksanakan tugas yang sehina itu.
"Maafkan kalau aku mengejutkanmu, twako. Akan tetapi jawab dulu pertanyaanku. Benarkah engkau
murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong, dan benar pulakah bahwa engkau akan menjadi mantu Tiauw
Sun Ong? Jawab sejujurnya, ini mengenai mati-hidupmu!"
Tentu saja Bun Houw terbelalak. Mengenai mati hidupnya? Biarpun dia tidak ingin bercerita tentang
gurunya dan apalagi tentang Hui Hong, namun melihat betapa gawatnya keadaan dari sikap aneh bekas
puteri istana ini, diapun mengaku terus terang seperti yang dikehendaki gadis itu.
"Benar, nona. Aku murid suhu Tiauw Sun Ong dan dicalonkan menjadi mantunya. Lalu, kenapa?"
"Jawab lagi sejujurnya, demi iktikad baikku terhadap dirimu! Apakah engkau datang ke sini sebagai
mata-mata. diutus oleh suhumu atau oleh kerajaan Chi?"
Sekarang mengertilah Bun Houw. Dia dicurigai! Akan tetapi kalau gadis ini mencurigainya, kenapa
malam-malam datang mengajukan pertanyaan itu? Kalau benar dia mata-mata, sungguh tindakan gadis
ini bodoh sekali.
"Tidak sama sekali, nona! Secara kebetulan saja aku bertemu dengan kakakmu, lalu aku diundang ke
sini. Sebetulnya, aku tidak ingin berdiam di sini, akan tetapi kakakmu yang mendesakku sehingga aku
merasa sungkan, melihat sikapnya yang ramah. Kenapa nona menyangka yang bukan-bukan?"
"Nah, ada satu pertanyaan yang harus kaujawab sejujurnya. Kakakku menghendaki agar engkau suka
membantunya dalam perjuangannya merebut kembali tahta kerajaan. Bersediakah engkau
membantunya?"
Tanpa ragu lagi Bun Houw menggeleng kepala dan menjawab, "Tidak, nona. Aku tidak mau melibatkan
diriku dalam perang saudara memperebutkan kekuasaan."
"Nah, inilah sebabnya aku malam-malam-memasuki kamarmu seperti seorang pencuri. Besok pagi-pagi,
kakakku dalam perjamuan makan pagi akan meminta keputusanmu. Kalau engkau suka membantunya,
tentu tidak akan terjadi apa-apa. Akan tetapi sebaliknya, kalau engkau menolak, engkau akan ditangkap,
mungkin dibunuh karena mereka sudah tahu bahwa engkau murid Tiauw Sun Ong."
Bun Houw terkejut, akan tetapi tidak merasa heran. Tentu Suma Hok yang membuka rahasia dirinya dan
diapun tahu mengapa. Suma Hok membencinya, dan agaknya hendak mempergunakan kesempatan ini
untuk mencelakakannya. "Hemm, lalu apa maksudnya nona datang memberitahukan semua ini
kepadaku?"
"Aku tidak suka dengan cara yang diambil kakakku kepadamu. Enci Leng disuruh merayumu. Sungguh
tak tahu malu! Dan kalau engkau tidak mau membantunya, besok engkau akan dikepung pasukan dan
dikeroyok, inipun tindakan curang dan licik yang tidak kusukai. Karena itu, aku datang memberitahu
kepadamu agar malam ini juga engkau cepat melarikan diri dari tempat ini. Cepat!"
Pada saat itu, terdengar suara kaki orang di luar kamar dan melalui sinar lampu, nampak bayangan
beberapa orang seperti mendekati jendela.
"Cepat, akan kuserang kau!" bisik Kiok Lan dan gadis ini segera menendang daun jendela terbuka dan
berseru, "Mata-mata laknat, engkau akan mati di tanganku!"
Bun Houw sudah menyambar buntalan pakaiannya dan ketika diserang oleh Kiok Lan, tubuhnya sudah
mencelat ke belakang. Kemudian, dia membalik dan mengerahkan tenaga dari ilmu Im-yang Bu-tek cinkang,
mendorongkan kedua telapak tangannya ke arah daun pintu.
"Braaaakkk ...!!" Daun pintu jebol dan dia lalu meloncat ke luar, dan sebelum para peronda yang
terkejut dan tercengang itu dapat bergerak, Bun Houw sudah meloncat naik ke atas genteng.
"Mata-mata jahat, akan lari ke mana kau!" bentak Kiok Lan yang sudah meloncat keluar pula melalui
pintu yang jebol, dengan pedang di tangan dan iapun melayang naik ke atas genteng melakukan
pengejaran.
Namun, Bun Houw sudah menghilang dalam kegelapan malam. Kiok Lan merasa lega dan ia berpurapura
masih mencari-cari sambil berteriak-teriak, menyuruh para penjaga melakukan pencarian di sekitar
tempat itu. Tiba-tiba nampak Pouw Cin, Suma Hok dan tiga orang perwira dari pasukan yang dihimpun
Siauw Kongcu, berloncatan ke atas genteng.
"Nona, apa yang terjadi?" tanya Suma Hok dan Pouw Cin yang terkejut mendengar ribut-ribut itu.
Mereka keluar dari kamar dan mendengar ada mata-mata dari para penjaga yang berada dalam
keadaan panik.
Kiok Lan mengerutkan alisnya. "Sialan! Aku gagal menangkapnya! Dia telah berhasil melarikan diri.
Cepat kita kejar dan cari dia, tangkap! Bunuh!" Tanpa memberi kesempatan kepada lima orang itu untuk
bicara, Kiok Lan sudah meloncat jauh ke depan, lalu melakukan pengajaran ke sana sini. Tentu saja lima
orang itupun bingung. Mereka kini tahu bahwa yang melarikan diri adalah Kwa Bun Houw, akan tetapi
ke mana mereka harus mengejar?
Pengejaran dan pencarian itu gagal dan kini mereka semua sudah berada di ruangan depan menghadap
Siauw Tek yang sudah terbangun dan siap untuk mendengar laporan mereka.
"Paman Pouw, apa yang telah terjadi, kenapa ribut-ribut ini dan aku mendengar keterangan yang tidak
jelas dari para pengawal. Kwa Bun Houw melarikan diri? Bagaimana pula ini."
Pouw Cin memberi hormat dan nampak gelisah. "Maaf, Kongcu. Saya sendiri juga tidak mengetahui
dengan tepat apa yang telah terjadi. Ketika terdengar suara ribut-ribut, saya terbangun dan lari keluar
dari kamar bertemu dengan Suma-taihiap dan tiga orang perwira. Melihat Siocia berada di atas genteng,
kami berlompatan naik dan membantu Siocia melakukan pengejaran dan pencarian terhadap Kwa Bun
Houw, akan tetapi sia-sia. Dia telah lenyap."
"Siauw-moi, apa yang telah terjadi?”
“Begini, koko. Tadi ketika aku kebetulan lewat didepan kamar di mana koko bersama Paman Pouw dan
Suma-toako ini bicara, aku mendengar bahwa Kwa Bun Houw adalah murid dan calon mantu Pangeran
Tiauw Sun Ong dan bahwa dia memata-matai kita. Aku menjadi marah dan setelah kuanggap dia tidur
pulas, aku memasuki kamarnya untuk membunuhnya. Aku berhasil masuk, aku melihat dia sudah siap
dengan buntalannya untuk melarikan diri. Aku menyerangnya, kami berkelahi dalam kamar akan tetapi
dia terlalu lihai, koko. Dia menjebol pintu dan melarikan diri. Aku berusaha mengejarnya namun tidak
berhasil."
"Ahh, Siauw-moi, kenapa engkau begitu lancang? Kami sudah mengatur rencana untuk menangkapnya
besok pagi-pagi. Kenapa engkau telah mendahului kami sehingga dia berhasil melarikan diri?" tegur
bekas kaisar itu.
Adiknya memandang dengan alis berkerut dan bibir cemberut. "Aku tidak tahu akan rencana itu, koko.
Salahmu sendiri kenapa aku tidak diajak berunding? Begitu mendegar dia murid dan calon mantu Tiauw
Sun Ong dan bahwa dia memata-matai kita, aku sudah tidak sabar lagi dan aku ingin membunuhnya.
"Hemm, engkau lancang, siauw-moi. Dia memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, bagaimana mungkin
engkau mampu menandingi seorang diri saja? Kalau kau memberitahukan kami, tentu kita tidak akan
gagal untuk menangkapnya," kembali bekas kaisar itu mengomeli adiknya.
"Saya kira, belum tentu Kwa Bun Houw itu memata-matai kita, Kongcu. Siapa tahu, dia malah dapat kita
bujuk untuk membantu perjuangan kita," kata Pouw Cin.
"Itulah yang mengesalkan hatiku, paman! Kalau dia tidak melarikan diri karena diserang Kiok Lan, besok
kita dapat membujuknya dan kalau dia mau membantu, berarti kita mendapatkan tenaga yang boleh
diandalkan. Sekarang dia telah pergi, kita kehilangan seorang pembantu tangguh."
"Harap Kongcu tidak terlalu kecewa. Andaikata Bun Houw mau menjadi pembantu Kongcu, tetap saja
hal itu amat berbahaya. Sebagai murid dan calon mantu Tiauw Sun Ong, bagaimana dia dapat
dipercaya? Sekali waktu tentu akan menjadi pengkhianat. Sudahlah, ada baiknya dia pergi dan tidak
membahayakan kita lagi. Tentang tenaga bantuan, harap Kongcu tidak khawatir, Aku akan membujuk
agar ayahku bersama semua anak buah kami suka membantu Kongcu. dan tenaga bantuan ayahku dan
anak, buah kami tentu jauh lebih kuat dan boleh diandalkan dari pada tenaga Bun Houw."
Mendengar ucapan ini, wajah bekas kaisar itu berseri gembira dan dia memandang kepada Suma Hok
dengan mata bersinar-sinar. "Ah, benarkah itu, Suma toako? Alangkah baiknya kalau ayahmu suka
membantu kami. Aku sudah mengenal baik Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan sudah tahu akan
kehebatannya. Kami akan merasa gembira dan beruntung sekali kalau dia suka membantu kami!"
Suma Hok tersenyum. "Aku akan berusaha sedapatku Kongcu. Akan tetapi harus kuakui bahwa memang
tidak mudah membujuk ayah. Ayah memiliki watak yang keras dan kalau bukan keluarga sendiri, atau
orang yang memiliki hubungan erat atau hubungan keluarga dengan dia, agak sukar dia mau
membantu."'
"Hemm, kami mengenal siapa ayahmu. Kalau datuk besar itu mau membantu perjuangan kami, kelak
kalau kami berhasil tentu tidak akan melupakan jasanya dan kami akan memberi kedudukan yang
tinggi."
"Sebagai panglima besar, Kongcu?" cepat Suma Hok mendesak.
Siauw Tek tersenyum, akan tetapi senyumnya agak dingin dan dia menoleh kepada Pouw Cin.
"Kedudukan yang tinggi, akan tetapi tentu saja bukan panglima besar karena kami sudah memiliki
seorang panglima besar, yaitu Paman Pouw Cin."
"Hemm, saudara muda Suma Hok, belum juga jasa dibuat, bagaimana hendak bicara tentang pahala?
Harap jangan khawatir! Kongcu tidak akan melupakan jasa para pembantunya, dan aku sendiri yang
akan mencatat semua jasa agar kelak dapat dipertimbangkan, pahala apa yang patut diterima?” kata
Pouw Cin dengan nada suara menegur.
Tadi mendengar ucapan bekas kaisar yang sudah menentukan bahwa panglima besarnya adalah Pouw
Cin, hati Suma Hok sudah merasa iri dan tidak senang kepada bekas jenderal itu. Kini ditambah lagi
dengan ucapan Pouw Cin sendiri, dia merasa direndahkan, akan tetapi dia berpura-pura tidak merasa
tersinggung dan tersenyum saja. Pada saat itupun dia sudah mengambil keputusan untuk mencari jalan
lain agar derajatnya naik dalam pandangan bekas kaisar itu. Jalan itu adalah melalui Liu Kiok Lan! Kalau
saja dia dapat merayu gadis bekas puteri yang cantik jelita itu, dan dapat menarik gadis itu menjadi
isterinya, sudah pasti bekas kaisar yang menjadi kakak ipar itu akan lebih mementingkan dia dari pada
Pouw Cin!
***
Pagi yang cerah dan indah sekali, apalagi di dalam taman yang terpelihara baik-baik dan penuh dengan
bermacam bunga itu. Musim semi telah berumur sebulan lebih, telah memberi waktu cukup bagi para
tanaman untuk mengembangkan bunga-bunga yang indah dan harum. Kupu-kupu ikut bergembira ria,
beterbangan di antara bunga-bunga indah. Mereka hinggap dari satu ke lain bunga, dengan rajin
mencari dan menghisap madu yang manis dan wangi.
Kiok Lan duduk termenung seorang diri di dalam taman, duduk di atas bangku panjang dekat kolam ikan
emas. Ia baru saja memberi makan ikan emas dan kini ia melihat ikan yang berenang memperebutkan
makanan, kemudian termenung, tenggelam dalam lamunan.
Ia telah mengkhianati kakaknya sendiri! Ia telah membebaskan orang yang akan ditawan oleh kakaknya.
Lamunan membawanya kepada masa lampau, sejak lima tahun yang lalu ia ikut kakaknya melarikan diri
dari kota raja Nan-king karena kerajaan kakaknya, yaitu dinasti Liu-sung, diserbu dan dikalahkan oleh
Siauw Hui Kong yang kini menjadi Kaisar Siauw Bian Ong dan mendirikan kerajaan baru, yaitu dinasti Chi.
Ketika itu, ia baru berusia dua belas tahun. Kehancuran kekuasaan kakaknya yang membuat kakaknya
menjadi pengembara ini membuat ia bertekad untuk menjadi seorang wanita tangguh dengan
mempelajari banyak macam ilmu silat, bahkan gurunya yang terakhir adalah Paman Pouw, pembantu
setia kakaknya. Keluarga kerajaan Liu-sung cerai berai dan iapun selalu mengikuti kakaknya merantau
dan akhirnya menetap di daerah Kui-cu, di mana kakaknya mencoba untuk menghimpun kekuatan dan
membangun pasukan dengan bantuan Pouw Cin. Iapun dengan penuh semangat hendak membantu
kakaknya dan bertekad bahwa kalau kelak terjadi perang dalam usaha kakaknya merebut kembali tahta
kerajaan, ia akan membantu dan kalau perlu siap mengorbankan nyawa untuk kebangkitan kerajaan Liusung.
Akan tetapi, apa yang dilakukan kakaknya terhadap Kwa Bun Hou merupakan tamparan besar baginya,
tamparan yang membuat hatinya terasa sakit, yang menghimpit perasaannya dan menghancurkan
semua kebanggaan hatinya terhadap kakaknya, bekas kaisar yang sedang berusaha untuk merampas
kembali tahta kerajaan yang sudah hilang itu. Kakaknya melakukan hal-hal yang amat rendah, yang tidak
pantas dilakukan searang raja yang besar! Menyuguhkan selir sendiri kepada tamu! Hanya untuk
merayu dan membujuk tamu agar suka membantunya. Bahkan, kalau yang dibujuk menolak untuk
membantu, akan ditangkap, dibunuh! Betapa keji dan curangnya. Ia sama sekali tidak setuju, dan
kenyataan itu membuat ia merasa berduka sekali. Kakaknya telah berubah. Dalam usahanya mengejar
cita-cita, kakaknya telah tidak segan mempergunakan segala macam cara, yang kotor dan hina
sekalipun. Dan ia tahu bahwa Pouw Cin sudah pasti tidak menyetujui tindakan kakaknya itu. Ia tahu
benar betapa gagah dan jantan pembantu utama kakaknya yang juga menjadi gurunya itu. Ia merasa
bersedih sekali, dan juga khawatir.
Duka dan takut timbul dari pikiran yang mengenang masa lalu dan membayangkan masa depan. Kalau
kita membayangkan apa yang telah terjadi, apa yang telah lewat atau peristiwa masa lalu, membandingbandingkan
dan merasa betapa kita kehilangan, bahwa kita dirugikan, akan timbul duka, baik dari iba
diri, kecewa atau kesepian. Demikian pula dengan rasa khawatir atau takut, selalu timbul kalau kita
membayangkan masa depan, yang dihubungkan dengan saat ini, lalu kita merasa bahwa keadaan kita
akan tidak enak, tidak baik atau merugikan dan membahayakan kita. Tidak akan timbul duka dan takut
kalau kita hidup saat demi saat, menganggap yang sudah terjadi itu wajar saja dan sesuatu yang sudah
dikehendaki Tuhan, membiarkannya lalu seperti hembusan angin tanpa bekas, sebagai sesuatu yang
sudah lewat dan sudah mati, kalau kita tidak membayangkan hal yang belum terjadi, menganggap
bahwa masa depan hanya kelanjutan dari saat ini, masa depan adalah saat ini juga kalau saatnya tiba,
maka tidak perlu dibayangkan. Yang ada hanya berikhtiar sebaik mungkin dalam kehidupan ini, dalam
bekerja, dalam berhubungan dengan manusia lain, hubungan dengan masyarakat, dengan pemerintah.
Berikhtiar sebaik mungkin berarti bekerja sebaik mungkin, dengan didasari penyerahan diri kepada
Tuhan Yang Maha Kasih. Tugas kita hanyalah mengerjakan segala pemberian Tuhan berupa seluruh
anggauta badan termasuk hati akal pikiran, memanfaatkannya untuk hidup sebaik mungkin, dan dengan
dasar penyerahan kepada Tuhan berarti bahwa apapun yang kita lakukan adalah suatu persembahan
kepadaNya. Kalau sudah begini, penyerahan itu seperti menggerakkan kekuasaan Tuhan yang akan
membimbing kita sehingga nafsu kita sendiri tidak akan merajalela memperhamba kita, sehingga
apapun yang kita lakukan tentu baik dan benar, tidak menyeleweng!
"Nona Liu, selamat pagi." Kiok Lan terkejut, sadar dari lamunannya, dan menoleh. Dilihatnya Suma Hok
sudah nampak rapi sekali pagi itu, wajahnya yang tampan segar karena habis mandi, pakaiannya juga
indah dan rambutnya disisir mengkilap dan digelung ke atas dengan rapi, diikat kain sutera biru. Pemuda
ini memang tampan dan pesolek, dan wajahnya kini nampak berseri dengan senyum yang memikat.
"Ah, Suma-toako, selamat pagi. Pagi-pagi engkau sudah nampak rapi, hendak ke manakah?" tanya Kiok
Lan yang juga dapat bersikap lincah dan gembira.
"Ah, tidak kemana-mana, nona. Sehabis mandi, aku melihat betapa indahnya taman ini di pagi yang
cerah, maka aku memasukinya, dengan maksud mencari tempat sunyi untuk berlatih silat. Tidak tahu
bahwa engkau berada di sini, nona. Maafkanlah kalau aku mengganggu."
"Pemuda yang mengagumkan ini selalu bersikap sopan,” pikir Kiok Lan. Dan mendengar bahwa Suma
Hok hendak berlatih silat. Kiok Lan segera menjadi tertarik sekali.
"Toako, kebetulan sekali kalau engkau hendak berlatih silat. Aku ingin sekali belajar silat darimu toako!"
"Aih, nona. Engkau sudah cukup lihai dengan ilmu silat yang kau kuasai, bagaimana aku berani
mengajarmu?"
Kiok Lan cemberut, mengambil sikap seperti orang kecewa. "Hemm, engkau tidak mau mengajarkan
silat padaku, toako? Agaknya engkau menganggap aku terlalu bodoh dan tidak berharga untuk
menerima pelajaran silat darimu, ya?"
"Ah, sama sekali tidak, nona!” kata Suma Hok dengan melebarkan matanya, "Bukan begitu maksudku.
Aku hanya khawatir bahwa engkau akan kecewa, karena ilmu kepandaianku masih rendah ... "
"Nah-nah. ... sekarang engkau merendahkan diri. Kaukira aku belum tahu? Ketika engkau mengalahkan
Ngo-liong Sin-kai, aku sudah melihat betapa lihainya engkau! Bahkan aku merasa yakin bahwa guruku
terakhir, yaitu Paman Pouw seniiri tidak akan menang melawanmu. Bagaimana, toako, engkau, masih
tidak mau mengajarkan silat kepadaku?"
"Baiklah, nona. Aku akan mengajarkan apa yang aku bisa, akan tetapi dengan satu syarat bahwa aku
tidak mau kauanggap sebagai guru, apalagi kalau engkau menyebut suhu kepadaku, aku tidak mau
menerimanya!”
Kiok Lan tertawa dan Suma Hok terpesona. Dia seorang pemuda yang memiliki watak mata keranjang
dan gila kecantikan wanita, maka tentu saja Kiok Lan yang lincah dan cantik jelita, juga memiliki
pembawaan agung ini membuat dia mengilar. Akan tetapi dia memang pandai membawa diri dan
berpura-pura alim.
"Hi-hik, engkau lucu, toako! Bagaimana mungkin aku menyebut suhu kepadamu? Usiamu hanya
beberapa tahun saja lebih tua dariku. Bahkan kepada guruku terakhir, yaitu Paman Pouw Cin, aku
menyebut paman, tidak memanggilnya suhu. Akupun enggan kalau harus menyebut suhu kepadamu!”
Suma Hok tertawa pula, memperlihatkan giginya yang dia tahu berbaris rapi dan putih terpelihara.
"Sungguh aku merasa berbahagia sekali memperoleh seorang murid yang pandai, cerdik, dan cantik
jelita seperimu nona." Sebelum gadis itu terkesan oleh pujaan atau rayuannya, dia cepat menyambung.
“Nah, sebaiknya kita mulai sekarang, nona. Pagi ini cuaca baik sekali untuk berlatih."
Kegembiraan karena akan dilatih silat oleh pemuda itu membuat Kiok Lan tidak begitu memperhatikan
lagi rayuan tadi, dan iapun cepat mengajak Suma Hok ke belakang pondok di taman. Belakang pondok
itu, di tempat terbuka memang disediakan untuk berlatih silat. Lantainya dari ubin batu lebar yang rata
dan cukup luas.
Suma Hok yang cerdik ingin mengambil keuntungan sebanyaknya dari kesempatan ini. Dia memang
sudah mengambil keputusan untuk merayu gadis bekas puteri ini. Kalau gadis ini sudah jatuh ke
tangannya dan menjadi isterinya atau setidaknya menjadi tunangannya, maka barulah dia akan
membantu perjuangan bekas kaisar kerajaan Liu-sung dengan sepenuh tenaga, bahkan akan membujuk
ayahnya untuk membantu pula. Dan untuk dapat mencapai cita-citanya memperisteri bekas puteri ini,
terlebih dahulu dia harus dapat menjatuhkan hati Kiok Lan! Oleh karena dia telah memperhitungkan
segalanya dengan cepat, pemuda yang cerdik dan licik ini lalu berkata sambil tersenyum.
"Nona, karena engkau telah mempelajari banyak ilmu yang cukup tinggi, maka kiranya tidak perlu
mempelajari ilmu silat baru dariku. Sebaiknya kalau aku mencoba memberi petunjuk kepadamu dalam
ilmu silat yang sudah kaukuasai, menunjukkan kelemahan dan kekurangannya, dan menambah daya
serangannya sehingga engkau akan memperoleh kemajuan cepat. Caranya adalah engkau berlatih silat
denganku, engkau keluarkan jurus-jurus ilmu silatmu dan kalau aku melihat jurus yang lemah, akan
kuberi petunjuk. Dengan demikian maka engkau akan cepat maju."
Kiok Lan mengangguk. "Rencanamu itu baik sekali, toako. Nah, mari kita mulai. Aku akan menyerangmu
dengan ilmu silat yang paling kuandalkan."
"Baik, aku sudah siap. nona." kata pemuda itu. Dengan cara yang diambilnya itu, selain dia tidak perlu
mengajarkan ilmu-ilmunya kepada gadis ini, juga dalam latihan bersama, dia akan mendapat,
kesempatan lebih banyak untuk beradu lengan, untuk menyentuh gadis itu, dan berdekatan, juga untuk
memamerkan kepandaiannya membuat gadis itu tidak berdaya. Diapun memasang kuda-kuda dengan
gagahnya, kaki kiri ditekuk di depan, kaki kanan di belakang, tangan kiri diangkat ke atas dan tangan
kanan ditekuk di pinggang, mukanya menoleh ke kanan menghadap ke arah Kiok Lan.
"Toako, lihat seranganku! Haiiittt ...!!"
Kiok Lan yang kini merasa gembira karena mendapat kesempatan berlatih silat dengan pemuda yang ia
tahu amat lihai itu segera mengerahkan tenaganya. Cepat sekali tubuhnya bergerak ke depan dan ia
sudah menyerang dengan totokan-totokan kilat yang bertubi-tubi ke arah berbagai jalan darah di bagian
depan tubuh lawan.
"Bagus!” Suma Hok mengelak ke sana-sini, berloncatan dan kadang menangkis sambil mengamati
gerakan gadis itu. Ketika melihat kesempatan, pada saat jari tangan kanan gadis itu menotok ke arah
pundaknya, dia memutar tubuh ke kiri dan menangkap dengan tangan kanan pada pergelangan tangan
Kiok Lan yang kanan, lalu tangan kirinya menotok pundak kiri gadis itu sambil memuntir lengan kanan
Kiok Lan ke belakang. Gadis itu sama sekali tidak berdaya, lengan kanannya terbekuk ke belakang dan
kini lengan kiri Suma Hok melingkari lehernya dengan jari-jari tangan mengancam tenggorokannya!
Tentu saja hanya sebentar Suma Hok menelikung gadis itu, lalu melepaskannya lagi. "Nah, di sini engkau
melakukan gerakan yang lemah, nona, sehingga engkau mudah dapat tertekan," kata Suma Hok, dengan
lembut dan sopan dia memberi penjelasan, minta kepada gadis itu mengulang lagi serangannya yang
tadi dan menjelaskan bagian mana yang lemah dan harus diadakan perbaikan. Demikianlah, dengan
cerdiknya Suma Hok memberi petunjuk dan dia mendapat banyak kesempatan untuk meringkus,
merangkul dan memeluk tubuh gadis itu ketika menundukkannya, namun tidak membuat Kiok Lan
merasa rikuh karena semua itu dilakukan Suma Hok untuk memberi petunjuk kepadanya.
Kedua orang muda ini sama sekali tidak tahu betapa sepasang mata mengamati mereka dari jauh,
sepasang mata yang berkilat dan sepasang alis yang berkerut tanda bahwa si pemilik mata tidak
berkenan hatinya melihat apa yang mereka lakukan itu.
Sejak pagi hari itu, hubungan antara Suma Hok dan Liu Kiok Lan menjadi semakin akrab. Kiok Lan merasa
senang dan puas karena harus ia akui bahwa sejak ia diberi petunjuk oleh Suma Hok, ia memperoleh
kemajuan pesat sekali. Iapun menjadi semakin tertarik dan kagum saja kepada pemuda itu. Suma Hok
nampaknya memberi petunjuk dengan sungguh hati dan sikap pemuda itupun selalu sopan dan ramah,
membuat gadis itu terpikat dan senang sekali. Apalagi ketika Suma Hok berjanji akan mengajarkan suatu
cara menghimpun tenaga sin-kang (tenaga sakti) yang istimewa untuk memperkuat tubuh, Kiok Lan
menjadi semakin bersemangat.
"Latihan itu merupakan cara bersamadhi yang harus dilakukan dalam tempat tertutup dan tidak boleh
kelihatan orang lain! Kurasa latihan itu dapat dilakukan di dalam pondok taman, nona. Dan untuk dapat
melakukan latihan itu dengan baik, engkau harus minum ramuan obat dari keluarga Suma yang sengaja
dibuat untuk melengkapi latihan itu."
"Ah, aku senang sekali, toako. Mari kita lakukan latihan itu, aku telah siap. Kapan kita melakukannya,
Suma-toako?" tanya Kiok Lan penuh semangat.
Mereka baru habis berlatih dan beristirahat di belakang pondok. Kiok Lan menghapus keringatnya
dengan saputangan, wajahnya yang berkeringat nampak kemerahan dan segar seperti buah tomat yang
sedang ranum, matanya bersinar-sinar dan bibirnya yang merah basah itu tersenyum manis.
Suma Hok menelan ludah. "Secepatnya lebih baik, nona, akan tetapi aku khawatir kalau-kalau engkau
akan berkeberatan dan terutama kalau-kalau Kongcu akan tidak mengijinkan latihan itu kaulakukan ..."
"Eh, kenapa, toako? Koko sudah tahu, bahwa engkau memberi petunjuk ilmu silat kepadaku dan dia
sama sekali tidak berkeberatan, bahkan ikut bergembira melihat kemajuanku. Kalau latihan itu untuk
memperkuat sin-kang dalam tubuhku, kenapa dia tidak akan mengijinkan?" Sepasang mata yang bening
itu mengamati wajah Suma Hok dengan penuh selidik.
"Begini, nona. Latihan sin-kang dari keluarga kami itu merupakan latihan rahasia yang tidak boleh dilihat
atau diketahui orang lain. Dan si pelatih tidak akan berhasil tanpa bantuan seorang di antara kami yang
telah ahli, dan dalam hal ini, nona harus kubantu kalau ingin berhasil. Dan latihan ini baru dapat
dilakukan kalau matahari sudah tenggelam, yaitu pada malam hari, semalam suntuk. Inilah yang
membuat aku ragu apakah nona tidak akan berkeberatan, dan apakah Kongcu akan memberi ijin kalau
nona berlatih sin-kang dalam pondok dengan kutemani selama semalam suntuk. Karena itu, lebih baik
kalau engkau tidak berlatih sin-kang keluarga kami itu, nona."
Sepasang alis itu berkerut. Memang agak aneh cara latihan itu, pikirnya. Memang tentu saja kakaknya
tidak akan mengijinkan kalau ia berlatih sin-kang berdua saja semalam suntuk dengan Suma Hok dalam
tempat tertutup. Hal itu memang tidak semestinya dan tidak pantas. Akan tetapi, ia melihat
kesungguhan dalam cara Suma Hok mengajarkan ilmu kepadanya. Selama ini, Suma Hok mengajar
dengan sungguh hati dan tidak pernah pemuda itu memperlihatkan sikap atau melakukan perbuatan
yang tidak sopan kepadanya. Ia percaya sepenuhnya kepada Suma Hok dan ia merasa yakin bahwa
biarpun mereka berdua akan berlatih dalam pordok tertutup selama semalam suntuk, pasti pemuda itu
tidak akan melakukan hal-hal yang tidak pantas. Ia melihat betapa lihainya Suma Hok dan ia ingin sekali
mendapatkan kekuatan sin-kang yang hebat.
"Jangan khawatir, toako. Kalau latihan itu hanya dilakukan dalam waktu semalam suntuk, aku akan
dapat mengaturnya agar kita melakukan latihan itu tanpa diketahui oleh kakakku atau oleh siapapun
juga."
Diam-diam Suma Hok merasa girang bukan main. Dia sudah melihat tanda-tanda bahwa gadis itu mulai
tertarik dan percaya kepadanya dan sekali gadis itu menyerahkan diri, maka sudah dapat dipastikan
bahwa mau atau tidak mau, bekas puteri istana ini akan menjadi isterinya! Bagaikan seekor laba-laba
yang memasang jerat, dia telah melihat betapa kupu-kupu yang indah dan berdaging lunak itu sudah
mulai mendekati jeratnya!
"Akan tetapi, bagaimana caranya, nona? Dan aku ... sungguh aku merasa takut kalau-kalau kelak
mendapat marah dari Kongcu."
"Jangan takut, aku yang tanggung kalau sampai koko mengetahui dan memarahimu, akan kukatakan
bahwa aku yang menghendaki latihan itu, bukan engkau! Dan caranya mudah saja. Kita tentukan
waktunya, kemudian setelah semua orang tidur dan keadaan sunyi, kita ketemu di pondok dan
melakukan latihan itu sampai pagi. Mudah saja, bukan?"
"Tapi ... tapi ... benarkah engkau yang akan bertanggung jawab kalau sampai kakakmu mengetahui dan
marah?"
"Tentu saja. Dan pula, kita berdua hanya akan berlatih sin-kang, tidak melakukan hal-hal yang melanggar
garis kesopanan, andaikata ada yang mengetahui sekalipun, apa salahnya?"
Hemm, dia harus berhati-hati, pikir Suma Hok. Gadis ini ternyata lebih sukar ditundukkan dari pada yang
dia kira. Kalau menghadapi gadis lain, tentu tidak sesukar itu dia menundukkannya, Liu Kiok Lan ini
seorang gadis yang tegas, berani, memiliki harga diri yang tinggi. Seorang gadis seperti ini, walau
misalnya sudah tertarik dan jatuh cinta padanya sekalipun, belum tentu akan suka menyerahkan diri
begitu saja karena ia selalu menjunjung tiaggi adat istiadat dan kesusilaan, amat menghargai
kehormatannya sebagai seorang bekas puteri istana. Buktinya, gadis itu begitu benci kepada Tiauw Sun
Ong karena Tiauw Sun Ong pernah berjina dengan selir ayahnya, pada hal Tiauw Sun Ong adalah
pamannya sendiri. Dia harus berhati-hati dan dia harus mempersiapkan segalanya dengan sebaik
mungkin agar tidak sampai gagal. Gagal menundukkan gadis ini berarti akan gagal semua cita-citanya.
Mereka lalu menentukan waktu untuk melaksanakan latihan itu. Suma Hok memilih waktu tiga malam
lagi. Dia memperhitungkan bahwa malam itu cuaca akan gelap tanpa adanya bulan sedikitpun sehingga
tentu malam itu keadaan di luar akan sunyi sekali. Kiok Lan menyetujui dan mereka berjanji akan saling
bertemu di pondok itu yang oleh Kiok Lan akan dibiarkan tidak terkunci daun pintunya.
Tiga malam kemudian. Malam itu memang gelap seperti sudah diperhitungkan Suma Hok. Agaknya
keadaan malam itu membantu rencana siasatnya. Selain tidak ada bulan, langit pun tertutup mendung
sehingga bintang-bintangpun tidak nampak. Malam gelap pekat dan udara dingin, membuat orang
segan untuk keluar pintu. Taman rumah besar bekas kaisar itupun sunyi sekali. Yang terdengar hanya
bunyi kerik jangkerik dan belalang malam.
Karena sunyinya, tidak ada yang tahu bahwa kerik jangkerik itu sempat terhenti sejenak dua kali karena
adanya orang yang lewat memasuki taman menuju ke pondok dalam waktu yang sebentar saja
selisihnya, kemudian sekali lagi kerik jangkerik terganggu dan terhenti.
"Selamat malam, nona." kata Suma Hok dengan sikap hormat ketika dia melihat Kiok Lan memasuki
pintu pondok. Dia sudah berada di situ lebih dahulu. Ruangan pondok itu cukup luas, dengan sebuah
meja dan delapan buah kursi, juga sebuah dipan di sudut. Tidak banyak peabot di ruangan itu karena
memang pondok itu dibuat hanya untuk istirahat bagi Siauw Tek dan keluarganya kalau siang terlampau
terik.
Melihat pemuda yang menjadi guru tidak resmi itu sudah siap dan berada di situ, Kiok Lan tersenyum
manis dan legalah hatinya. Hadirnya Suma Hok lebih dahulu di situ berarti bahwa suasana aman dan
tidak ada seorangpun mengetahui rahasia mereka malam itu!
"Selamat malam, toako. Sukurlah, engkau sudah berada di sini. Nah, kita dapat segera mulai dengan
latihan kita, toako." Bagaimanapun juga, berada berdua saja dengan pemuda itu di dalam pondok yang
hanya diterangi lampu gantung dari luar sehingga keadaan ruangan itu remang-remang, pada malam
hari pula, mendatangkan perasaan rikuh di hatinya, maka ia pun hendak menutupi perasaan itu dengan
cepat-cepat melaksanakan latihan yang dijanjikan Suma Hok kepadanya.
"Nanti dulu, nona. Seperti telah kukatakan, ilmu ini merupakan ilmu keluarga Suma, ilmu rahasia atau
simpanan yang biasanya hanya diajarkan kepada anggauta keluarga turun temurun, dan yang melatih
ilmu ini haruslah minum ramuan obat untuk penguatnya, kalau tidak, dapat membahayakan kesehatan.
Oleh karena itu, untuk memenuhi syarat-syaratnya, nona harus berjanji dan mengakui keluarga seperti
lajimnya, lalu minum ramuan obat yang sudah kupersiapkan."
"Baik, toako, aku sudah siap."
Dengan tenang Suma Hok lalu mengeluarkan sebuah guci, sebuah cawan dan sebungkus obat bubuk.
Dia menuangkan isi guci yang menyiarkan bau anggur yang harum ke dalam cawan, kemudian
memasukkan bubuk putih dari bungkusan.
"Nona, mari kita berlutut untuk mengucapkan janji seperti yang diharuskan bagi anggauta keluarga yang
melatih ilmu ini.” Katanya dan dia sendiripun berlutut menghadap ke utara, arah Bukit Bayangan Setan
tempat tinggal keluarga Suma. Kiok Lan dengan patuh mengikutinya dan berlutut di sampingnya.
"Nah, peganglah cawan ini dan tirukan ucapanku, nona." katanya. Kiok Lan menerima cawan itu dan
sambil berlutut, ia menirukan ucapan Suma Hok.
"Saya Liu Kiok Lan, mengaku sebagai anggauta keluarga Suma, berjanji akan merahasiakan ilmu Lui-kong
ciang (Tangan Halilintar) dan tidak mengajarkan kepada orang lain kecuali anggauta keluarga Suma.
Bumi dan Langit menjadi saksi dan saya memperkuat janji ini dengan minum obat penguat dari keluarga
Suma!" Lalu Suma Hok memberi isarat kepada Kiok Lan untuk minum isi cawan sampai habis.
Kiok Lan meminumnya dengan taat. Anggur itu manis dan berbau harum bercampur bau yang aneh dan
keras, membuat ia tersedak, akan tetapi isi cawan itu sudah habis diminumnya. Suma Hok menerima
kembali cawan kosong dan berkata lembut.
"Engkau akan merasa pening sedikit, akan tetapi hanya sebentar. Duduklah di atas dipan itu, nona. Kalau
peningmu sudah lenyap, bersilalah di atas dipan, menghadap ke dalam.
Aku akan berdiri di tepi dipan dan mambantumu menghimpun sin-kang dari belakang. Sikapmu dalam
samadhi harus seperti ini, dan pernapasan harus begini." Pemuda itu memberi petunjuk dan penjelasan.
Kiok Lan memperhatikan petunjuk itu dengan seksama, kemudian benar saja, ia merasa agak pening
maka cepat ia bangkit dan menghampiri dipan, lalu duduk bersila di atas dipan, menghadap ke dalam. Ia
masih mendengar betapa Suma Hok juga bangkit dan pemuda itu agaknya duduk di kursi.
Tak lama kemudian, pemuda itu bertanya, "Apakah peningnya sudah hilang, nona?"
"Susudah ... toako ... " kata Kiok Lan dan mendengar suara gadis itu berbisik dan tersendat, dengan
napas memburu, Suma Hok tersenyum. Obat itu sudah mulai memperlihatkan pengaruhnya! Dia tahu
benar bahwa tidak lama lagi, paling lama sejam lagi, obat itu sudah mempengaruhi seluruh tubuh dan
juga hati dan pikiran gadis itu, membuatnya seperti dibakar gairah berahi, dan dia boleh berbuat apa
saja terhadap gadis itu yang tentu akan disambut dengan penuh semangat tanpa penolakan sedikitpun!
"Bagus!" katanya sambil menghampiri dipan, kemudian dengan lembut dia lalu menjulurkan kedua
lengannya, dan kedua telapak tangannya dia tempelkan punggung Kiok Lan sambil berkata, "Sekarang,
tariklah napas perlahan-lahan seperti kuterangkan tadi, dan terima saja penyaluran hawa dari kedua
tanganku, biarkan berkumpul di dalam tan-tian (titik tiga inci di bawah pusar), lalu gerakkan kedua
tangan seperti yang kuajarkan tadi, mulailah menghimpun tenaga sakti Lui-kong-ciang!”
Kiok Lan yang sudah tidak merasa pening kini merasa seperti dalam mimpi. Mula-mula tubuhnya seperti
terbang atau terapung tanpa bobot dan rasanya nikmat bukan main, seperti diayun-ayun, kemudian ia
merasa betapa dua telapak tangan yang menempel di punggungnya, mengeluarkan hawa yang hangat
dan mendatangkan getaran yang menggetarkan seluruh tubuhnya, membuat ia merasa seperti digelitik
dan mula-mula bulu tengkuknya meremang, lalu seluruh tubuh dan pikirannya mulai tidak karuan, tidak
dapat dikendalikan. Sedikit demi sedikit, bagaikan api yang mulai membakar, ia merasakan suatu
rangsmgan yang luar biasa, yang membuat ia merasa tubuhnya panas, makin lama semakin panas
seperti dibakar.
"Auhhh ... panas ... panas, ... gerah ... " ia mulai mengeluh, napasnya memburu dan suaranya seperti
merintih.
Dan suara yang halus lembut itu terdengar dekat sekali dengan telinganya, berbisik lembut. Ia tidak
ingat lagi suara siapa itu akan tetapi suara itu terdengar jelas dan halus, "Kalau panas dan gerah
mengganggumu engkau boleh membuka pakaianmu, agar terasa nyaman, agar tidak mengganggu
latihanmu ... "
Kiok Lan menggeleng-geleng kepala. Nalurinya membantah dan berkeras tidak mau memenuhi
keinginan hatinya yang timbul oleh bujukan itu, diperkuat oleh kegerahan yang membuat ia berkeringat.
Akan tetapi karena tubuhnya seperti dibakar, akhirnya ia tidak tahan dan mulailah ia merenggut dan
melepaskan pakaiannya bagian atas.
Pada saat yang amat gawat itu. tiba-tiba daun jendela ruangan dalam pondok itu terbuka dan sesosok
tubuh manusia meloncat masuk ke dalam.
"Keparat jahanam!" terdengar teriakan, “Nona Kiok Lan ...!" Bayangan itu bukan lain adalah Pouw Cin.
Tentu saja Suma Hok terkejut bukan main dan tubuhnya sudah mencelat ke belakang dan berjungkir
balik. Melihat keadaan Kiok Lan yang tubuh bagian atasnya hampir telanjang dan yang bergoyanggoyang
dan merintih-rintih, Pouw Cin yang sudah banyak pengalamannya itu dapat menduga. Gadis itu
terbius dan terangsang! Cepat dia meloncat dekat dan begitu tangannya menotok tengkuk Kiok Lan.
gadis itu mengeluh dan terguling jatuh roboh miring di atas dipan. Kemudian Pouw Cin membalikkan
tubuh karena dia mendengar angin menyambar dahsyat. Dia cepat membuat gerakan menangkis,
namun terlambat. Ketika dia tadi menotok tubuh Kiok Lan, tentu saja keadaannya dari belakang terbuka
dan perhatiannya masih tercurah kepada Kiok Lan sehingga tangkisannya agak terlambat.
"Dukkk!!" Suling di tangan Suma Hok telah menotok dadanya, tepat di ulu hatinya.
"Hukkk ...!!" Pouw Cin terjengkang. napasnya terasa sesak dan dadanya nyeri bukan main karena suling
itu memang mengandung racun yang amat hebat. Suling itu yang membuat Suma Hok di dunia kaugouw
dijuluki Tok-siauw-kwi (Suling Setan Kecil). Pouw Cin mengerahkan tenaganya bergulingan, lalu
melompat berdiri, matanya terbelalak, mukanya pucat, tangannya menuding ke arah Suma Hok.
"Kau ... kau ...!" Akan tetapi Suma Hok sudah menerjangnya lagi, menyerang dengan suling mautnya.
Pouw Cin mencoba untuk melawan sedapat mungkin, akan tetapi karena totokan pertama tadi telah
membuat dia terluka berat, membuat napasnya sesak dan dadanya sakit sekali, perlawanannya tidak
berarti bagi Suma Hok. Berulang kali ujung sulingnya menemui sasaran dan tubuh Pouw Cin kembali
terjengkang atau terpelanting beberapa kali. Akhirnya, sebuah hantaman suling yang mengenai
kepalanya membuat Pouw Cin roboh dan tidak mampu bangkit kembali. Mukanya berubah kehitaman
karena keracunan, dari mata, telinga, mulut dan hidungnya keluar darah. Akan tetapi matanya masih
melotot memandang kepada Suma Hok, dan bibirnya masih bergerak-gerak, "kau ... kau ... terkutuk
kau ... " dan diapun terkulai, seorang jenderal atau panglima besar yang amat setia kepada rajanya,
menemui kematian secara menyedihkan sekali.
Sejenak Suma Hok berdiri, bergantian memandang ke arah mayat Pouw Cin yang menggeletak telentang
di atas lantai, ke arah tubuh Kiok Lan yang rebah miring di atas dipan. Dia lalu mengganguk-angguk dan
mulutnya tersenyum. Senyum iblis! Dia masih tersenyum ketika menghampiri dipan sambil kedua
tangannya membuka kancing bajunya, matanya berkilat dan senyum di mulutnya semakin keji!
Menjelang pagi, gegerlah seluruh penghuni rumah besar milik bekas kaisar itu ketika Suma Hok
berteriak-teriak, "Ada pembunuh ...! Ada penjahat keji ...!!”
Semua orang berdatangan, dan tak lama kemudian Siauw Tek sendiri muncul bersama beberapa orang
yang bertugas menjadi pengawalnya. Mereka melihat Suma Hok berdiri di depan pondok dengan suling
di tangan dan muka babak belur, pakaian robek-robek dan pemuda ini kelihatan kebingungan. Begitu
melihat Siauw Tek, pemuda itu cepat maju dan berlutut di depan bekas kaisar itu.
"Ahh ... Kongcu, celaka ... sungguh celaka ...!"
Ketika melihat para pengikut Siauw Tek hendak memasuki pondok, dia meloncat dan menghalangi
mereka. "Jangan masuk! Tak seorangpun boleh masuk kecuali Kongcu!”
Ketika semua orang mundur, kembali Suma Hok menghampiri Siauw Tek dan dengan suara bercampur
tangis dia berkata, "Kongcu malapetaka telah menimpa orang yang paling Kongcu percaya ... "
"Suma toako, tenanglah dan ceritakan apa yang telah terjadi?" Siauw Tek memegang pundaknya dan
mengguncangnya tidak sabar. Guncangan ini agaknya membuat Suma Hok menjadi tenang.
"Kongcu, harap perintahkan semua orang mundur, dan marilah kongcu bersama saya saja yang masuk
melihat ... "
Biarpun merasa heran. Siauw Tek memberi isarat kepada semua pembantunya untuk menjauh,
kemudian diapun memasuki pondok bersama Suma Hok.
Dan apa yang dilihatnya di ruangan itu, yang kini nampak jelas karena Suma Hok membawa lampu
penerangan dari luar masuk, membuat bekas kaisar itu terbelalak dan hampir saja dia terhuyung jatuh.
Suma Hok cepat memegang lengannya.
"Kuatkan hati paduka, Kongcu ... " katanya hormat, "dan sebaiknya tidak membuat ribut agar tidak
semua orang mengetahui terjadinya aib ini, biar kita berdua saja yang mengetahuinya ... "
Dengan bergantung kepada lengan Suma Hok, bekas kaisar itu terbelalak melihat pemandangan
mengerikan di kamar itu. Pouw Cin menggeletak di lantai, tewas dengan mata melotot, dari telinga,
mata, hidung dan mulut keluar darah! Dan yang lebih mengejutkan hatinya lagi, pakaian bekas
panglimanya itu tidak karuan, celana turun dan dia hampir telanjang. Kemudian, ketika dia
mengarahkan pandang matanya ke arah dipan, dia mengeluh. Adiknya, Liu Kiok Lan, dengan pakaian
setengah telanjang pula, telentang di atas dipan dan sekilas pandang saja tahulah dia bahwa adiknya
telah diperkosa orang dan kini dalam keadaan mati, pingsan atau tidur.
"Apa ... apa yang telah terjadi ... teriaknya lirih karena dia masih ingat untuk tidak membuat ribut.
"Nanti kuceritakan, Kongcu. Sekarang yang terpenting menolong Nona Liu. Kita harus membereskan
letak pakaiannya agar tidak kelihatan orang lain sebelum ia sadar dari pingsannya."
"Ia ... ia tidak mati ... ?”
"Tidak, Kongcu. Hanya pingsan, tidak berbahaya." kata Suma Hok dan dibantu oleh Siauw Tek, dia lalu
membereskan pakaian di tubuh Liu Kiok Lan yang setengah telanjang itu.
Setelah pakaian gadis itu beres, Siauw Tek mengguncang-guncang pundak adiknya dan memanggilmanggil
namanya. Suma Hok berpura-pura ikut menggugah, akan tetapi diam-diam dia menotok
pungggung gadis itu dan Kiok Lan bergerak, sadar dan membuka matanya.
Begitu melihat dirinya rebah di atas dipan dan di situ nampak kakaknya, ia bangkit duduk dan terkejut,
memandang kepada Suma Hok. "Koko ...!" serunya bingung karena seingatnya, tadi ia melakukan latihan
Lui-kongciang, dipimpin dan dibantu oleh Suma Hok lalu tiba-tiba jendela terbuka, Pouw Cin masuk dan
iapun tidak ingat apa-apalagi. Dan kini tahu-tahu kakaknya telah berada di situ bersama Suma Hok.
"Tenanglah, adikku, tenanglah, jangan ribut agar orang-orang di luar tidak tahu apa yang telah terjadi.
Jahanam busuk itu ...!" Dia menuding ke arah tubuh Pouw Cin. Kiok Lan yang masih agak nanar itu
memandang dan iapun terbelalak.
"Dia ... dia kenapa ... ?" Ia menoleh kepada Suma Hok. "Toako, apa yang telah terjadi? Kuingat tadi dia
meloncat memasuki kamar dan sekarang ... dia ... dia mati ...?”
Kiok Lan meloncat turun, akan tetapi tiba-tiba ia menahan jeritnya dan wajahnya menyeringai kesakitan.
Ia merasa nyeri dan tahu bahwa ada yang tidak beres dengan dirinya!
"Ihhh ... aku ... kenapa ...? Toako, apa yang telah terjadi?" tanyanya, wajahnya tiba-tiba menjadi pucat.
"Benar, ceritakan, Suma-toako, apa yang telah terjadi tadi?" tanya pula Siauw Tek.
"Kongcu, nona, sebaiknya kalau kita suruh angkat dulu jenazah ini dan kita ceritakan bahwa dia tewas
karena perbuatan mata-mata. Semua orang tahu bahwa Kwa Bun Houw mempunyai ilmu silat tinggi dan
bahkan telah mengalahkan Paman Pouw, maka mereka tentu akan percaya kalau dikabarkan bahwa
yang membunuhnya adalah Kwa Bun Huow, mata-mata kerajaan Chi. Dengan demikian, tidak akan
terjadi banyak dugaan dan kecurigaan."
Kakak beradik itu hanya dapat mengangguk setuju, karena mereka masih terkejut dan tegang, apalagi
Kiok Lan yang kenyerian itu kini pucat sekali dan dapat menduga bahwa tentu telah terjadi hal
mengerikan pada dirinya!”
Suma Hok lalu membuka pintu pondok dan memanggil para penjaga, menerangkan bahwa Pouw Cin
tewas oleh mata-mata Kwa Bun Houw, dan agar jenazah itu dirawat baik-baik. Dia sendiri lalu mengajak
Siauw Tek dan Kiok Lan kembali ke dalam rumah. Di dalam ruangan sebelah dalam yang tertutup, di
mana tidak ada orang lain dapat mendengarkan percakapan mereka, mereka bertiga duduk dan kakak
beradik itu mendesak agar Suma Hok menceritakan apa yang telah terjadi.
Suma Hok memandang kepada Siauw Tek, lalu berkata dengan suara tenang. "Kongcu, sebelumnya saya
harap Kongcu suka memaafkan saya dan juga Nona Liu Kiok Lan. Malam tadi. Nona Liu sedang berlatih
semacam ilmu menghimpun tenaga sakti dari saya. Karena ilmu itu harus dilatih di waktu malam dan,
tidak boleh-dilihat orang lain, terpaksa kami melakukan di dalam pondok di taman itu. Selagi kami
berlatih, tiba-tiba Paman Pouw Cin menerobos masuk melalui jendela. Dia menotok roboh Nona Liu dan
saya demikian terkejut sehingga tidak dapat menjaga diri dan sayapun roboh tertotok dan tidak mampu
bergerak sama sekali." Dia memandang kepada Kiok Lan yang matanya terbelalak. "Ketika itu, saya
sedang menyalurkan tenaga sin-kang untuk membantu Nona Liu, maka tenaga saya tersalur dan tidak
mampu menahan ketika Pouw Cin menyerang dan merobohkan saya dengan totokan."
(Bersambung jilid 14)
Jilid 14
MELIHAT Suma Hok berhenti bercerita dan kelihatan sedih dan bingung Kiok Lan yang sudah menduga
hal terburuk menimpa dirinya, segera mendesaknya, "Lalu bagaimana, toako? Teruskan ...!!"
Kembali Suma Hok nampak kebingungan, sebentar memandang kepada gadis itu, lalu kepada Siauw Tek,
dan agaknya amat sukar baginya untuk bicara.
"Toako, ceritakan, apa yang selanjutnya terjadi?" Siauw Tek mendesak pula.
"Saya roboh tertotok, berusaha untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, akan tetapi tidak
berhasil karena saya tertotok ketika tenaga saya tersalur. Kemudian ... kemudian ... si jahanam itu ...
saya hanya dapat melihat saja, tidak berdaya sehingga akhirnya saya tidak kuasa melihatnya lagi, saya
memejamkan mata ... "
"Apa yang dia lakukan? Cepat, jawab!"
Suma Hok lalu membuka pintu pondok dan memanggil para penjaga, menerangkan bahwa Pouw Cin
tewas oleh mata-mata Kwa Bun Houw, dan agar jenazah itu dirawat baik-baik.
Kiok Lan membentak, mukanya sebentar merah, sebentar pucat, "Dia menggunakan kesempatan selagi
saya tidak berdaya, dan selagi engkau juga ditotoknya pingsan ... dia ... binatang itu telah melakukan hal
keji terhadap dirimu nona ... “
Kiok Lan menjerit dan menutupi mukanya dengan kedua tangan, menangis. " ... jahanam busuk, keparat
terkutuk ...?” ia memaki-miki dan merintih-rintih, hatinya hancur lebur.
Kakaknya cepat bangkit dan merangkulnya, mencoba untuk menghiburnya. Namun sia-sia, Kiok Lan
terus menangis tersedu-sedu. Dua orang laki-laki itu membiarkannya melepas kedukaannya melalui
tangisnya dan setelah agak mereda. Siauw Tek bertanya kepada Suma Hok yang sejak tadi hanya
menundukkan mukanya.
"Suma-toako, lalu apa yang terjadi? Bagaimana jahanam terkutuk itu dapat mampus?” Mendengar
pertanyaan kakaknya ini, biarpun masih terisak-isak, Kiok Lan ikut mendengarkan.
"Saya berusaha keras untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan, Kongcu. Akan tetapi memang
totokan itu kuat sekali sehingga saya tidak mampu menolong Nona Liu. Kemudian, jahanam busuk itu
mengakhiri perbuatannya yang terkutuk dan agaknya hendak membunuh saya agar rahasianya tidak
sampai bocor. Akan tetapi, tepat pada saat dia hendak membunuh saya dengan totokan maut, saya
dapat terbebas dari pengaruh totokan. Cepat saya lalu mencabut suling dan menyerangnya. Kami
berkelahi dan akhirnya saya dapat merobohkan dan menewaskan manusia berwatak iblis itu."
Kiok Lan mengeluarkan suara mengeluh, dan gadis ini lalu bangkit dan sambil menutupi muka dengan
kedua tangan, iapun berlari keluar dari ruangan itu.
"Siauw-moi ...!!" kakaknya berseru memanggil dan mengejar.
Akan tetapi gadis itu memasuki kamarnya sendiri dan menutupkan, daun pintu, memalangnya dari
dalam sehingga tidak ada orang lain dapat memasukinya.
"Kongcu, saya kira lebih baik kalau sementara ini kita biarkan saja Nona Liu melepaskan kedukaan dan
kekagetannya seorang diri saja dalam kamarnya." kata Suma Hok yang ikut pula mengejar dan kini
menyentuh lengan bekas kaisar itu.
Siauw Tek menarik napas panjang, lalu mengeluh. "Ahh, nasib ... kenapa begini buruk nasib kami
sekeluarga? Aih, aku dapat membayangkan betapa hancurnya hati adikku. Kini ia ternoda, lalu
bagaimana nanti masa depannya? Aihhhh ...!" Kembali bekas kaisar itu mengeluh panjang dan wajahnya
nampak bersedih sekali.
"Semua itu telah terjadi, Kongcu, tidak cukup hanya untuk disedihkan saja." Suma Hok menghibur.
Mereka berjalan kembali memasuki ruangan yang tadi. Siauw Tek menutupkan daun pintu dan kini
mereka berdua bercakap-cakap tanpa diketahui orang lain.
"Aih, Suma-toako, bagaimana aku tidak akan bersedih? Tanpa kusangka, malapetaka hebat menimpa
diri kami. Adikku menderita aib, diperkosa orang, dan pembantuku yang paling baik, ternyata seorang
jahanam dan kini telah tewas! Adikku kehilangan kebahagiaan dan aku kehilangan pembantu yang
setia.”
"Kongcu, memang sudah sepantasnya kalau Kongcu bersedih, akan tetapi terlalu bersedih tidak ada
gunanya, bahkan kalau berlarut-larut amat tidak baik, merugikan diri sendiri. Kongcu kehilangan
pembantu utama, akan tetapi saya siap untuk membantu Kongcu dengan kesetiaan yang tidak kalah
besar, dan saya rela mengorbankan jiwa raga untuk membantu Kongcu sampai tercapai cita-cita Kongcu
menumbangkan kerajaan Chi dan membangun kembali kerajaan Liu-sung!"
Wajah Siauw Tek yang tadinya muram itu kini agak berseri dan dia menatap tajam wajah Suma Hok.
"Terima kasih, Suma-toako. Agak terhibur hatiku dengan kesediaanmu ini. Apalagi kalau kelak ayahmu
suka pula untuk bekerja sama. Akan tetapi, ahhh ... hatiku tak mungkin dapat melupakan nasib yang
menimpa adikku! Bagaimana aku tidak akan bersedih?"
"Kongcu, kita sebagai laki-laki harus mampu bersikap tenang menghadapi segala peristiwa dan mencari
jalan keluarnya, memang sudah menjadi kenyataan, walaupun hanya kita bertiga yang mengetahuinya,
bahwa Nona Liu tertimpa aib yang akan menghancurkan masa depannya, akan tetapi hal itupun kiranya
masih dapat ditemukan jalan keluarnya."
Bekas kaisar itu memandang Suma Hok dengan sinar mata mengandung penuh pertanyaan. "Bagaimana
mungkin hal seperti itu dapat dicari jalan keluarnya, toako?"
"Kongcu, kalau Nona Liu menikah, tentu aib itu akan lenyap."
"Menikah? Toako, bagaimana kau dapat berkata demikian? Justeru di situlah letak persoalannya.
Adikku, juga aku, tentu akan menderita malu besar kalau ia menikah kemudian suaminya tahu ... "
"Toako, tidak akan ada keributan, tidak akan ada rasa malu kalau calon suami Nona Liu sudah
mengetahui akan aib itu dan suka menerima kenyataan yang ada,"
"Hemm, siapa yang akan mau? pria mana. yang akan suka berkorban seperti itu, menikahi seorang gaiis
yang sudah ... "
"Saya mau, Kongcu."
"Engkau ...?! !” Bekas kaisar itu memandang heran, akan tetapi ada sinar harapan terkandung dalam
pandang matanya. "Engkau, toako? Tapi ... engkau sendiri tahu. bahkan menjadi saksi tunggal ... "
"Toako, saya merasa kasihan sekali kepada Kongcu, juga kepada Nona Liu. Oleh karena itu, saya bersedia
untuk menutupi aib itu, dengan segala kerendahan hati, dengan suka rela. tentu saja kalau Nona Liu sudi
menerima saya dan kalau paduka menyetujui. ... "
"Aku? Tentu saja aku setuju sepenuhnya, bahkan aku akan berterima kasih sekali kepadamu, toako! Dan
tentang adikku, bagaimana mungkin ia akan menolak? Pengorbananmu ini akan menolongnya,
melepaskannya dari aib dan mendatangkan sinar terang yang baru bagi masa depannya. Aku akan
segera menyampaikan kepadanya, toako, agar terhibur hatinya dan tidak menjadi putus asa."
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekala Siauw Tek sudah menemui adiknya di dalam kamar adiknya.
Karena sudah agak reda, tangisnya, Liu Kok Lian membukakan pintu kamarnya dan begitu kakaknya
memasuki kamar. ia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Siauw Tek, merangkul kedua kaki bekas
kaisar itu dan menangis.
Siauw Tek mengangkat bangun adiknya, menuntunnya untuk duduk di pembaringan dan dia duduk di
tepi pembaringan. "Tenangkan hatimu, Kiok Lan, dan sudahlah, jangan bersedih lagi. Aku telah
menemukan jalan terbaik bagiku, yang akan menchindarkan engkau dari aib ini."
Gadis itu, dengan mata membengkak merah dan kedua pipi masih basah, memandang kakaknya. Ia
masih belum dapat mengeluarkan kata-kata akan tetapi pandang matanya sudah mengajukan
pertanyaan apa yang dimaksudkan kakaknya dengan ucapan itu.
"Adikku yang manis, hentikan tangismu dan dengarkan baik-baik. Kita telah mendapatkan bintang
penolong, yaitu seorang pemuda yang dengan suka rela akan menutupi aib pada dirimu. Dia bersedia
untuk menikah denganmu, menjadi suamimu yang sah."
"Koko! Bagaimana mungkin aku ... "
"Ssttt ... jangan kfrawatir. Dia sudah tahu akan keadaan dirimu, bahkan dia yang telah menyaksikan
semua itu. Dia adalah Suma Hok ... "
"Ahh ...!” Wajah gadis itu berubaha kemerahan, tentu saja ia merasa malu bukan main mengenangkan
bagaimana pemuda itu telah menjadi saksi yang tak berdaya ketika, ia dalam keadaan pingsan,
diperkosa oleh Pouw Cin!”
"Ingat, adikku. Dia kini menjadi pambantu utamaku, pengganti Paman Pouw Cin yang ternyata menjadi
jahat seperti kemasukan iblis, dan Suma-toako memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dan selain dari itu,
bukankah dia pula yang telah membalaskan sakit hatimu, telah membunuh jahanam yang berbuat keji
terhadap dirimu?"
"Akan tetapi ... koko, kenapa dia ... dia mau mengorbankan diri untuk menolongku?" Ia meragu karena
masih bimbang, tidak tahu harus mengambil keputusan bagaimana semua peristiwa ini terjadi demikian
tiba-tiba dan mengejutkan. Tadinya, ia sebagai seorang gadis yang lincah gembira, yang masih remaja
karena usianya baru tujuh belas tahun, tiba-tiba saja telah dipaksa untuk menjadi seorang gadis dewasa
yang dihadapkan pada pernikahan!
"Dia merasa iba kepadaku, dan kepadamu, siauw-moi, dan dia menawarkan diri selain untuk
menggantikan Pouw Cin menjadi, pembantuku yang setia, dia juga bersedia untuk menutupi aibmu dan
menjadi suamimu. Bukankah itu hebat sekali, siauw-moi? Dengan pengorbanan orang gagah itu, semua
menjadi beres, melapetaka ini bahkan menjadi berkah. Aku mendapatkan seorang pembantu yang amat
baik. dan engkau mendapatkan seorang suami yang baik pula."
"Tapi ... aku ... aku sebetulnya belum mempunyai keinginan untuk berumah tangga, koko, usiaku juga
baru tujuh belas tahun ... "
"Aku mengerti, adikku. Akan tetapi dalam keadaanmu seperti ini, kurasa ... ah, kita terpaksa ...!
Bagaimana, Kiok Lan, engkau setuju, bukan? Aku harus memberi keputusan kepada Suma-toako
sekarang juga agar dia tidak ragu-ragu dalam membantuku."
"Kiranya tidak ada jalan lain bagiku kecuali menyetujui jalan keluar yang satu-satunya ini, koko. Akan
tetapi, biarlah aku bicara dulu dengan dia, baru aku akan memberi keputusan."
"Baiklah, adikku. Aku menunggu dengan sabar, dan engkau harus ingat juga keadaanku, karena aku
amat membutuhkan bantuan Suma-toako dan kalau engkau menolak, mungkin dia akan merasa
tersinggung. Dia menawarkan diri untuk menolong, kalau ditolak, seolah kita memandang rendah
kepadanya."
"Aku mengerti. Biar aku yang bicara sendiri dengannya, koko."
Demikianlah, baru dua hari kemudian, setelah mata gadis itu tidak lagi membengkak dan merah, setelah
lenyap bekas-bekas tangis dukanya, ia memberi kesempatan kepada Suma Hok untuk bertemu
dengannya di ruangan tamu. Ia tidak mau mengadakan pertemuan dengan Suma Hok di taman.
Semenjak terjadinya peristiwa itu, taman dan pondoknya seolah menjadi tempat yang mengerikan bagi
Kiok Lan.
Mereka duduk berhadapan di dalam ruangan tamu itu. Hati Suma Hok merasa lega dan juga kagum
melihat betapa gadis itu kini sudah pulih, tidak lagi terbenam dalam duka. Namun ada suatu perubahan
terjadi, yaitu dalam sikapnya. Biasanya, Liu Kiok Lan adalah seorang gadis yang lincah jenaka dan
gembira, bahkan masih agak kekanak-kanakan. Akan tetapi kini sikapnya menjadi lain, begitu tenang
pendiam dan gerak geriknya halus, seolah gadis remaja itu kini telah menjadi seorang wanita dewasa
yang dapat menguasai dan mengendalikan diri.
"Nona Liu ... " kata Suma Hok setelah mereka berdua duduk berhadapan agak lama dan keduanya
berdiam diri saja. Liu Kiok Lan mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu pandang,
bertaut dan akhirnya Kiok Lan lebih dahulu menundukkan mukanya, kedua pipinya agak kemerahan
karena kembali ia teringat akan peristiwa, yang amat memalukan baginya itu dan betapa pemuda di
depannya ini yang menjadi saksi tunggal. Ia masih menundukkan mukanya ketika dengan suara lirih.
"Suma-toako, aku telah mendengar dari kakakku tentang niatmu untuk menolong aku. ... " Ia berhenti,
sukar agaknya untuk melanjutkan.
"Nona, maafkan kalau engkau menganggap aku lancang. Sesungguhnya, aku memang tidak cukup
berharga dan pantas untuk menjadi teman hidupmu ... “ Suma Hok dengan cerdik mengambil sikap
rendah hati.
"Toako, aku mendengar dari kakakku bahwa engkau bersedia melakukan itu karena engkau merasa iba
kepadaku dan karena engkau ingin membebaskan aku dari aib. Benarkah itu?"
"Benar sekali, nona!" kata Suma Hok cepat. "Aku merasa amat iba kepadamu, aku ingin membebaskan
engkau dari kedukaan dan keputus-asaan, juga ingin melenyapkan aib yang kauderita."
Hening sebentar dan setelah menghela napas beberapa kali, Liu Kiok Lan mengangkat muka menatap
wajah pemuda itu dan kini.!!
Sinar matanya tajam penuh selidik. "Hanya itu saja alasannya? Engkau hendak menikahiku hanya karena
ingin menolongku, hanya karena engkau merasa iba kepadaku?" Sepasang mata itu memandang tanpa
berkedip. “Tidak ada alasan lain?"
Suma Hok terkejut. Mata itu seolah dapat menjenguk hatinya. Tentu saja alasan utamanya bukan
menutup aib, bukan pula iba, melainkan sama sekali berlainan. Dia ingin memperisteri gadis itu selain
untuk mendapatkan seorang isteri yang cantik jelita bekas puteri istana, juga hal itu akan mengangkat
derajatnya dan akan memperbesar kemungkinan dia kelak menduduki jabatan tinggi! Sama sekali dia
tidak merasa iba, dan seujung rambutpun dia tidak perduli akan aib yang menimpa diri Kiok Lan atau
gadis yang manapun juga di dunia ini. Dia seorang yang cerdik dan licik bukan main. Biarpun pertanyaan
itu diam-diam mengejutkan hatinya, hanya sebentar saja dia tertegun. Segera dia tersenyum malu-malu
dan berkata dengan suara lirih menggetar.
"Nona. sebetulnya aku tidak berani mengatakan hal yang sejak dulu menjadi bisikan hatiku ini, akan
tetapi ... karena sekarang engkau bertanya, terpaksa aku memberanikan diri untuk mengaku terus
terang. Nona Liu Kiok Lan, sebelumnya maafkan aku, akan tetapi ... sejak pertama kali kita berjumpa,
sejak aku membantumu menghadapi Ngo-liong Sin-kai itu, aku ... telah jatuh cinta kepadamu! Nah, lega
hati ini telah mengeluarkan bisikan hatiku itu, nona. Sejak pertama kali bertemu, aku telah jatuh cinta
padamu. Akan tetapi ... siapakah aku ini? Nona adalah seorang bekas puteri istana, bahkan adik bekas,
kaisar, seorang puteri bangsawan, dan aku ... aku hanya seorang pendekar petualang, maka sampai
matipun aku tidak akan berani menyatakan cintaku kepadamu. Kemudian, sungguh jahanam Pouw Cin
itu! Kemudian terjadilah malapetaka itu menimpa dirimu, nona. Karena tidak melihat jalan keluar lain
untuk menolongmu, maka aku memberanikan diri untuk menyatakan kesediaanku menikahimu tentu
saja kalau nona sudi menerimaku."
Terjadi perubahan sedikit demi sedikit pada wajah yang masih agak pucat itu. Kedua pipi itu kemerahan,
mata itu bersinar dan wajahnya berseri, mulutnya dihias senyum yang ditahan-tahan. Pengakuan cinta
Suma Hok sungguh merupakan obat amat mujarab yang dapat mengurangi rasa nyeri, pedih dan perih
di hati gadis itu. Kalau pemuda itu hendak menikahinya hanya karena iba, hanya untuk menolongnya,
maka dalam hubungan itu tentu tidak ada ikatan batin, akan hambar dan seperti permainan sandiwara
belaka. Akan tetapi kalau ada cinta, itu lain lagi! Dan agaknya tidak akan sukar baginya untuk mencinta
pemuda itu, yang memang sudah dikaguminya sejak semula, walaupun saat itu ia belum merasakan
adanya kasih sayang itu. Melihat gadis itu hanya menundukkan mukanya yang kini kemerahan, mata itu
tadi bersinar-sinar, dan bibir itu kini agak merekah dengan senyum malu-malu, Suma Hok juga
tersenyum senang dan bangga, penuh kemenangan. Dia menanti sampai beberapa saat lamanya, dan
melihat gadis itu agaknya sukar untuk bicara, diapun benar ya lembut tanpa mendesak.
"Bagaimana jawabanmu, nona? Percayalah andaikata nona merasa terlalu tinggi untuk menjadi
jodohku, katakan saja terus terang dan aku tidak akan menyalahkan mu, hanya aku bersumpah
selamanya tidak akan menikah dengan wanita lain. Sebaliknya, kalau nona setuju, aku akan
membahagiakanmu, nona, dan aku akan membantu kakakmu sampai tercapai cita-cita kita bersama,
yaitu membangun kembali kerajaan Liu-sung.'
Betapa muluknya janji yang diucapkan pemuda itu. Kiok Lan sampai terbuai dan memejamkan mata
sejenak, kemudian ketika ia membuka matanya dan mengangkat muka memandang, Suma Hok melihat
betapa pandang mata kepadanya itu kini sudah berubah. Demikian indah, demikian mesra!
"Toako, aku menerima usulmu atau katakanlah pinanganmu dan aku berterima kasih kepadamu. Akan
tetapi, aku minta agar urusan perjodohan ini ditunda sampai setahun lagi. Setahun kemudian, barulah
aku bersedia untuk melangsungkan pernikahan denganmu, toako."
Diam-diam Suma Hok terkejut dan kecewa. "Maaf, nona, akan tetapi mengapa kita harus menanti
sampai satu tahun lagi? Apa yang menjadi halangannya?"
"Harap jangan salah paham, toako. Terus terang saja, sejak pertama akupun sudah kagum kepadamu,
walaupun belum ada cinta kasih seperti yang terdapat dalam perasaan hatimu kepadaku. Maka, kalau
aku sekarang menerima, hal itu kulakukan penuh kesadaran dan keikhlasan. Akan tetapi, aku pernah
mengambil keputusan bahwa sebelum usiaku delapan belas tahun, aku tidak akan menikah. Kita masih
mempunyai waktu setahun untuk saling bergaul sebagai tunangan, dan dalam waktu itu, aku juga ingin
dapat jatuh cinta kepadamu, kepada orang yang akan menjadi suamiku selama hidupku."
Bukan main girangnya hati Suma Hok. Tidak apa menanti setahun, karena bukan gairah berahi yang
mendorongnya memperisteri Kiok Lan. Biarpun belum menikah, kalau dia sudah menjadi tunangan gadis
ini, berarti dia sudah menjadi calon adik ipar bekas kaisar, berarti dia sudah menjadi keluarga dekat.
Apalagi kalau dia menjadi pembantu utama! Kedudukan tinggi sudah menanti di ambang pintu baginya!
"Baiklah, nona ... atau bolehkah aku menyebutmu moi-moi (adinda?) Lan-moi?" Dia tersenyum.
Kiok Lan juga tersenyum, kini senyum wajar yang timbul karena kelegaan dan kegembiraan hati. "Tentu
saja boleh, dan aku akan menyebutmu koko, Suma-koko. Dan kita akan lanjutkan latihan-latihan ilmu
silat, ya, koko?”
“Tentu saja. Lan-moi. Aku akan mengajarkan seluruh apa saja yang kumiliki kepadamu. Bukankah
engkau ini calon isteriku tersayang?"
Demikianlah, mulai hari itu, Suma Hok menjadi pembantu utama dari Siauw Tek, menggantikan
kedudukan Pouw Cin. Semua perwira diperkenalkan kepadanya, bahkan seluruh pasukan yang
jumlahnya tidak kurang dari lima ribu orang besarnya itu kini mengetahui bahwa panglima Pouw Cin
telah tewas oleh mata-mata musuh, dan kini yang menjadi panglima adalah seorang tokoh kang-ouw
yang terkenal dengan julukan Tok-siauw-kui, pu-tera dari Kui-siauw Giam-ong Suma Koan yang terkenal
sebagai datuk dari Kui-eng-san (Bukit Bayangan Setan). Para perwia juga sudah diberitahu bahwa
panglima atau komandan mereka adalah calon suami nona Liut Kiok Lan. Tentu saja kenyataan ini
membuat mereka lebih tunduk dan hormat kepada Suma Hok. Pemuda yang amat cerdik inipun dapat
bertahan, mengekang gairahnya. Dia tahu bahwa Kiok Lan adalah seorang gadis yang berbeda dari gadis
biasa. Ia seorang bekas puteri yang mempunyai harga diri amat tinggi. Dia tidak berani main-main dan
tidak pernah dia mencoba untuk membujuk calon isterinya itu menyerahkan diri kepadanya. Dia akan
bersabar sampai waktu setahun lewat, sampai mereka dinikahkan secara resmi.
Dan Suma Hok juga tidak tinggal diam sebagai pengganti Pouw Cin. Dia bahkan mengajarkan ilmu silat
tambahan kepada para perwira dan memerintahkan agar semua perajurit dilatih ilmu itu sehingga
setiap orang perajurit merupakan tenaga yang tangguh. Selain itu, Suma Hok juga memberi kabar
kepada ayahnya yang menjadi gembira sekali mendengar puteranya menjadi calon adik ipar bekas kaisar
Cang Bu yang kini sedang berusaha untuk mendirikan kembali kerajaan Liu-sung yang sudah jatuh lima
tahun yang lalu. Dengan senang hati diapun menyatakan siap untuk membentu, membuat Siauw Tek
semakin gembira dan bersemangat.
***
Kota raja Nan-king menjadi semakin ramai dan besar setelah kini menjadi kota raja dari kerajaan baru,
yaitu dinasti Chi (479-501) yang didirikan oleh Siauw Hui Kong yang kini menjadi kaisar pertama kerajaan
Chi dengan nama Kaisar Siauw Hian Ong. Berbeda dengan sikap kerajaan Liu-sung yang lebih condong
memihak Agama To dari pada Agama Buddha sehingga kerajaan Liu-sung tidak mendapatkan dukungan
dari Agama Buddha yang memiliki banyak pengikut, Kaisar Siauw Bian Ong membuka pintu lebar-lebar
bagi kedua agama itu. Apalagi pada masa itu, kerajaan Wei di utara, yaitu kerajaan Bangsa Toba atau
Tartar yang dipimpin oleh Kaisar Wei Ta Ong, mengambil sikap memusuhi para hwesio (pendeta
Buddha) yang dianggap sebagai orang-oran gasing. Banyak sekali hwesio yang dibunuh di kerajaan Wei
yang dipengaruhi oleh para pengikut agama To, dan banyak yang melarikan diri ke selatan,
menyeberangi Sungai Yang-ce dan mengungsi ke daerah kerajaan baru Chi. Di selatan ini. Agama
Buddha berkembang dengan pesat, dan kebijaksanaan Kaisar Siauw Bian Ong membuat permusuhan
yang terjadi antara para pengikut Agama To dan pengikut Agama Buddha tidak terbawa ke selatan. DI
kerajaan ini, kedua pengikut agama itu dihargai dan dihormati, penyebaran agama mereka diterima
secara bebas oleh rakyat.
Karena inilah, maka kota raja Nan-king nampak semakin meriah dan ramai. Keamanan jauh lebih baik
dari pada di utara, dan suasana aman ini tentu saja menumbuhkan perdagangan. Pedagang keluar
masuk kota raja Nan-king. dan tentu saja akibatnya banyak dibangun rumah-rumah penginapan dan
rumah-rumah makan yang besar dan yang setiap hari penuh dengan tamu. Pasukan keamanan kota raja
Nan-king juga. terkenal dengan jagoan-jagoan istana yang lihai, dan yang selalu melakukan perondaan
untuk menjaga ketertiban dan keamanan di kota raja itu. Tidak ada penjahat berani banyak lagak di kota
raja ini, dan suasana yang terjamin keamanannya itulah yang membuat para pedagang menjadi semakin
bersemangat melakukan perdagangan dan suasana di kota ini nampak meriah dan gembira. Apalagi
golongan penjahat kecil, bahkan para tokoh kang-ouw, baik golongan hitam atau putih, baik para
penjahat maupun pendekar, tidak ada yang berani malakukan kejahatan secara berterang di kota raja
Nanking. Kaisar Siauw Bian Ong adalah seorang kaisar yang bijaksana dan pandai, tidak seperti bekas
Kaisar Cang Bu dari kerajaan Liu-sung yang hanya mementingkan kesenangan diri pribadi belaka, kurang
memperhatikan nasib rakyat jelata sehingga pemerintahannya dicengkeram oleh para pembesar yang
korup. Para pembesar seperti itu, bukan hanya tidak memperhatikan nasib rakyat, bahkan lebih celaka
lagi, sebaliknya dari pada mengayomi rakyat, mereka bahkan menekan rakyat dengan berbagai cara
untuk memenuhi gudang harta mereka sendiri.
Kalau bapaknya penjahat, bagaimana mengharapkan anaknya menjadi baik? Kalau para penjahat tinggi
korup, bagaimana mungkin mengharapkan para penjahat rendahan akan bersikap jujur? Dan pembesar
tinggi yang menjadi pengawas sendiri bertindak korup, bagaimana mungkin dia berani meindak
hawahannya yang juga melakukan Korup seperti dia sendiri, dalam ukuran lebih kecil? Kalau yang di
atasan jujur, sudah, pasti yang di bawahan tidak berani curang karena yang di atasnya tentu akan
menghantamnya. Kaisar Siuw Bian Ong yang mengaku sebagai keturunan keluarga Siauw yang besar
yang terkenal sejak nenek moyang mereka yang bernama Siauw Ho menjadi perdana menteri kerajaan
Han (tahun 206 S.M. - 8 A.D.), maklum bahwa sebuah kerajaan baru akan kokoh kuat kalau
mendapatkan dukungan rakyat jelata. Biarpun memiliki kekuatan pasukan yang besar dan kuat. kalau
tidak mendapat dukungan rakyat dan lebih lagi kalau sampai dibenci rakyat, maka kekuatan pasukan itu
tidak akan banyak manfaatnya. Dan satu-satunya cara untuk memperoleh dukungan rakyat hanyalah
kalau pemerintah dapat mendatangkan kemakmuran bagi rakyat jelata. Kalau rakyat merasa puas.
dengan langkah yang diambil oleh pemerintah, kalau rakyat dapat memetik buah dari pohon tanaman
pemerintah, kalau rakyat dapat ditingkatkan taraf hidupnya, maka rakyat tentu akan mencintai
pemerintah dan akan membela mati-matian kalau pemerintah yang mendatangkan kebahagiaan itu
sampai terancam oleh kekuasaan lain. Dan satu-satunya cara untuk mendatangkan kemakmuran kepada
rakyat jelata hanyalah dengan pembangunan dalam segala bidang. memperluas lapangan pekerjaan,
menjaga ketertiban dan keamanan sehingga rakyat dapat bekerja dengan gembira karena merasa aman
dan tenteram, mengatur sedemikian rupa dengan segala kebijaksanaan agar setiap orang dari rakyat
jelata terpenuhi semua kebutuhan pokok hidup mereka. Dan kalau para cerdik pandai, mereka yang
memegang kemudi pemerintahan, terdiri dari orang-orang bijaksana yang tidak memetingkan diri
sendiri, tidak melakukan korupsi, tidak menekan rakyat, maka cita-cita untuk memakmurkan kehidupan
rakyat bukan sekedar menjadi slogan dan mimpi kosong belaka.
Kaisar Siauw Bian Ong berusaha ke arah itu. Maka, tidaklah mengherankan apabila kini, setelah lima
tahun dia mendirikan dinasti Chi, kota raja Nan-king menjadi sebuah kota kerajaan yang besar, ramai
dan perdagangan maju dalam segala bidang.
Juga kaisar baru ini bersikap lunak terharap bekas para pejabat tinggi, para bangsawan, bahkan keluarga
dari kerajaan Liu-sung yang telah dia jatuhkan. Dia tidak seperti penakluk-penakluk yang lain, yang
sering kali melakukan pembersihan, membunuhi seluruh keluarga raja yang ditaklukkan, bahkan
membunuhi para pejabat tinggi kerajaan yang kalah karena takut kalau-kalau mereka akan mengadakan
pembalasan dan pemberontakan.
Hal ini mungkin karena memang masih ada hubungan keluarga antara keluarga Siauw dan keluarga Liu,
yaitu keturunan raja-raja yang memerintah kerajaan Liu-sung. Akan tetapi terutama sekali karena Kaisar
Siauw Bian Ong ingin agar para cerdik pandai bekas pembesar kerajaan Liu-sung, kini membantu
pemerintahannya, dan melihat bahwa pemerintah yang baru jauh lebih baik dari pada pemerintah
kerajaan yang telah jatuh itu.
Satu di antara keluarga bangsawan yang tidak dibasmi, dihukum atau dibunuh oleh pemerintah yang
baru adalah keluarga bangsawan Kwan yang telah turun temurun menjadi bangsawan yang memegang
jabatan penting dalam kerajaan Liu-sung. Yang terakhir, ketika kerajaan Liu-sung jatuh, Kwan Jin Kun
memegang kedudukan tinggi, yaitu sebagai Menteri Kehudayaan. Kwan-taijin (Pembesar Kwan) adalah
seorang sasterawan dan seniman yang bijaksana dan lemah lembut. Karena dia seorang yang mencintai
pekerjaannya, mencintai kebudayaan, maka dia sejak dahulu tidak pernah menjadi seorang pembesar
yang korup dan sewenang-wenang seperti banyak pejabat lainnya. Dia tidak pernah menyalah-gunakan
kekuasaannya, apalagi karena jabatannya mengurus kebudayaan, maka jabatannya sendiri tidak
memberi banyak kesempatan kepadanya untuk melakukan tindakan yang menyimpang dari kebenaran.
Biasanya, kesempatan yang membuat orang melakukan penyelewengan.
Ketika kerajaan Liu-sung jatuh. Kwan-taijin tidak mengajak keluarganya melarikan diri seperti banyak
pembesar lainnya. Akan tetapi, diapun tidak lalu menyerah kepada penguasa baru. Dia bukan seorang
pengkhianat, bukan pula penakut. Kalau dia tidak mengikuti kaisarnya yang melarikan diri mengungsi,
hal itu bukan karena dia tidak setia kepada kerajaan Liu-sung, melainkan sudah hal suatu
ketidakcocokan antara dia dan kaisar Cang Bj, pernah dia memrotes kaisar dan para pejabat tinggi yang
hanya tenggelam dalam kesenangan tanpa memperdulikan keadaan rakyat, bahkan lengah terhadap
gejala pemberontakan yang timbul di mana-mana, akan tetapi protes ini bahkan membuat kaisar
marah-marah kepadanya. Oleh karena itu, ketika kerajaan Liu-sung jatuh, diapun tinggal saja di rumah
bersama keluarganya. Dia sama sekali tidak merasa takut, karena dia tidak pernah merasa bersalah.
Kalau penguasa baru akan membunuhnya, diapun sudah siap.
Kwan Jin ken mempunyai dua orang anak. Yang pertama adalah seorang puteri bernama Kwan Hwe Li,
akan tetapi keluarga itu telah kehilangan puteri ini sejak kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu! Sampai
sekarang, keluarga itu belum pernah bertemu kembali dengan puteri itu yang meninggalkan rumah.
Kwan-taijin dan isterinya merasa prihatin bukan main, apalagi ketika mereka mendengar bahwa puteri
mereka itu kini telah menjadi seorang datuk di dunia kang-ouw!
Anak ke dua mereka seorang putera yang kini telah berusia empat puluh delapan tahun dan telah
menjadi seorang hakim di kota Bi-ciu, dan setelah pergantian pemerintahan, di kerajaan Chi diapun
masih tetap menjadi hakim, karena dia terkenal sebagai seorang hakim yang bijaksana dan adil sehingga
pemerintah yang baru tetap mengangkat Kwan Hwe TJn ini menjadi hakim di Bi-ciu.
Kwan Jin Kun kini telah berusia tujuh puluh lima tahun, dan isterinya telah meninggal dunia lima tahun
yang lalu ketika terjadi perang saudara. Ketika kerajaan Liu-sung jatuh, wanita inipun jatuh sakit karena
kaget dan khawatir sehingga ia tidak sempat menyaksikan betapa semua kekhawatirannya bahwa
keluarganya akan tertimpa malapetaka sebetulnya tidak terjadi. Suaminya tidak diganggu oleh penguasa
baru. bahkan Kaisar Siauw Biang Ong tadinya menunjukkan untuk tetap memegang jabatan lamanya.
Akan tetapi, Kwan Jin Kun dengan hormat dan halus menolak, dengan alasan bahwa dia sudah terlalu
tua untuk bekerja, apalagi semenjak ematian isterinya, dia sudah tidak mempunyai semangat lagi, dan
hanya ingin menghabiskan sisa usianya untuk bersamadhi dan melepaskan diri dari semua ikatan
keduniawian.
Rumah gedung besar tempat tinggal Kwan Jin Kun kini nampak sepi. Yang tinggal di situ hanyalah kakek
Kwan, ditemani dua orang selir yang kini sudah berusia enam puluhan tahun akan tetapi misih setia
kepadanya, dan empat orang pembantu rumah tangga. Hanya kadang saja, beberapa bulan atau
setidaknya setahun sekali, kalau Kwan Hwe Un dari Bi-ciu bersama isteri dan anak-anaknya datang
berkunjung, rumah gedung itu menjadi ramai-Selebihnya, rumah itu selalu sunyi, hanya kadang
terdengar bunyi yang-kim (kecapi) yang dimainkan oleh seorang di antara selirnya.
Pada suatu pagi yang cerah, dua orang wanita memasuki pekarangan rumah gedung tua yang sunyi itu.
Mereka adalah dua orang wanita yang cantik, yang seorang berusia kurang lebih duapuluh tiga tahun,
wajahnya cantik jelita dengan mulut yang manis dan sikapnya penurut dan lembut. Adapun wanita yang
ke dua nampaknya berusia beberapa tahun lebih tua akan tetapi belum ada tiga puluh tahun, wajahnya
juga cantik, pesolek dengan pakaian indah, mulutnya selalu tersenyum mengejek dan sikapnya anggun
dan angkuh. Mereka ini adalah Cia Ling Ay, janda muda yang cantik itu bersama gurunya. Bi Moli Kwan
Hwe Li yang usianya sudah lima puluh tahun akan tetapi masih nampak muda dan cantik.
Seorang wanita pelayan keluar dari pintu depan menyambut mereka. Suasana dalam rumah itu sudah
jauh berbeda dengan ketika Kwan Hwe Li masih tinggal di situ sebagai seorang gadis. Tidak lagi seperti
rumah bangsawan dengan pengawal dan pelayan yang berpakaian keren. Kini melihat suasana rumah
itu, melihat pakaian pelayan wanita yang keluar menyambut, tiada bedanya dengan ramah orang biasa.
Pelayan wanita itu membungkuk-bungkuk menanyakan keperluan kedua orang wanita cantik itu datang
berkunjung.
"Ji-wi sio-cia (Nona berdua) hendak mencari siapakah?" tanyanya dengan sikap hormat.
Kwan Hwe Li tidak mengenal pelayan itu, tentu seorang pelayan baru. Dan memang, ketika ia
meninggalkan rumah ini, hal itu telah lewat kurang lebih tiga puluh tahun, dan ketika kerajaan Liu-sung
jatuh, semua pelayan dari keluarga Kwan ikut pula lari mengungsi bersama banyak penduduk Nan-king
yang lain, meninggalkan keluarga majikan mereka.
"Aku ingin bertemu dengan Kwan-loya (tuan tua Kwan)," kata Hwe Li, menahan getaran hatinya. Biarpun
selama ini ia telah menguasai ilmu yang hebat, bahkan telah menjadi datuk kang-ouw yang terkenal
sekali, keras hati dan berwibawa, tidak urung hatinya tergetar ketika ia berada di rumah keluarga orang
tuanya di mana ia dibesarkan, dan akan bertemu dengan ayah kandungnya. Ia sudah mendengar bahwa
ibu kandungnya meninggal dunia ketika terjadi perang saudara dan bahwa kini yang tinggal di rumah itu
tinggal ayahnya seorang diri. Ia tahu pula dari keterangan anak buahnya bahwa kakak tunggalnya kini
masih menjadi hakim di Bi-ciu.
"Maaf, nona. Saya tidak berani menggangu lo-ya, karena pada saat sepagi ini, lo-ya masih duduk
bersamadhi dalam kamarnya dan tak seorangpun dari kami diperbolehkan mengganggunya."
Hwe Li teringat bahwa menurut keterangan para anak buahnya yang pernah ia utus melakukan
penyelidikan, selain ayahnya, di situ masih tinggal dua orang selir ayahnya, atau ibu tirinya, akan tetapi
seingatnya, ayahnya dahulu mempunyai empat orang selir dan ia tidak tahu, selir yang mana yang
sekarang masih menemani ayahnya tinggal di situ.
"Kalau begitu, panggilkan saja nyonya besar, katakan bahwa aku ingin bicara." katanya tak sabar.
"Baik, nona. Silakan ji-wi (kalian) menunggu di ruangan tamu." pelayan itu mempersilakan dua orang
tamunya duduk di ruangan tamu yang berada di samping kiri. Bi Mo Li Kwan Hwe Li dan Cia Ling Ay
memasuki ruangan tamu itu dan duduk di atas kursi-kursi jang bentuknya kran. Diam-diam Kwan Hwe Li
terharu melihat keadaan kamar itu. Semua perabotnya adalah perabot lama yang kini sudah mulai
nampak tua dan butut. Ruangan itu, yang dahulu nampak mewah, kini kehilangan kemewahannya dan
bahkan membayangkan keadaan yang bangkrut. perabot yang semestinya minta ganti yang baru
dipertahankan, ruangan itu memberi kesan yang tua dan buruk.
Suara langkah kaki dengan sepatu diseret membuat kedua orang wanita itu menengok, memandang ke
arah pintu sebelah dalam yang terbuka. Seorang wanita berusia enam puluhan tahun muncul di ambang
pintu dan biarpun wanita itu sudah kelihatan tua sekali, namun Hwe Li segera mengepalnya. Inilah ibu
tirinya yang ke tiga, yang dahulu ketika ia pergi, merupakan seorang wanita berusia tiga puluhan tahun
yang selain cantik menarik, juga lincah dan genit! Namun, di antara para ibu tirinya, wanita inilah yang
sikapnya paling ramah dan akrab dan merupakan ibu tiri yang dahulu seperti sahabatnya sendiri.
"Ibu ke tiga ...!" kata Hwe Li sambil mengamati wajah itu dan seruannya merupakan bisikan penuh
keraguan.
Akan tetapi, wanita tua itu terbelalak. Kwan Hwe Li sudah pergi selama tiga puluh tahun, akan tetapi
seolah-olah wajah cantik itu sama sekali tidak berubah, masih tetap seperti dahulu, tiga puluh tahun
yang lalu!
"Kau ... kau ... Hwe Li ...!? Ah, tidak mungkin ...! Hwe Li hanya lebih muda sepuluh tahun dariku, tentu
sekarang telah menjadi seorang nenek. Ah, aku tahu! Engkau tentulah puterinya! Ya, engkau tentu anak
dari Hwe Li! Bagaimana ibumu sekarang, nak? Kenapa ia tidak ikut datang?" Wanita itu dengan
ramahnya menghampiri dan merangkul pundak Hwe Li. Wanita ini tersenyum dan diam-diam ia merasa
terharu. Wanita ini, biarpun sekarang sudah tua dan keluarganya jatuh miskin, masih tetap ramah dan
periang seperti dahulu. Pantas saja ayahnya masih mempertahankannya untuk menemanimu di situ.
"Ibu, akulah Hwe Li!" katanya sambil merangkul selir ayahnya yang ke tiga itu.
"Ehh ...??" Wanita itu memegang kedua pundak Hwe Li, mendorongnya ke belakang dan mengamati
wajah yang cantik itu. '"Kau ... kau memang tiada bedanya dengan Hwe Li. Akan tetapi tidak mungkin!
Engkau tentu sudah berusia lima puluhan tahun, dan engkau kelihatan seperti seorang gadis. Bagaimana
mungkin engkau Hwe Li?"
"Sungguh, ibu. Aku adalah Kwan Hwe Li dan aku datang untuk menengok ayah. Bagaimana dengan
ayah? Aku ingin sekali bertemu dengannya."
"Hwe Li ...! Engkau benar-benar Hwe Li? Kami sudah mendengar bahwa engkau menjadi seorang wanita
sakti, akan tetapi ... bagaimana mungkin engkau menjadi wanita yang selalu muda, tak pernah menjadi
tua?"
Hwe Li tersenyum, merangkul pinggang ibu tiri yang dahulu menjadi amat akrab seperti sahabat baik
dengannya. "Ibu, mari kita temui ayah. Kamarnya masih yang dahulu, bukan? Oh, aku sampai lupa, Ibu,
ini adalah Cia Ling Ay, ia muridku. Ling Ay, ini ibuku yang ke tiga, engkau boleh memanggilnya Bibi ke
Tiga."
Ling Ay cepat membungkuk dan memberi hormat. Wanita tua itu memandang, terheran-heran. "Kalau
engkau benar-benar Hwe Li sungguh luar biasa sekali! Engkau masih secantik dan semuda dahulu, dan
engkau bahkan seperti kakak beradik saja dengan muridmu ini."
“Sudahlah, ibu, mari kita temui ayah." kata Hwe Li dan ia menggandeng ibu tirinya keluar dari ruangan
tamu dan masuk ke ruangan dalam. Ia masih ingat di mana letak kamar ayahnya, kamar besar yang tak
jauh dari ruangan tengah. Setelah mereka berada di depan pintu kamar, ibu tirinya berbisik, "Hwe Li,
biasanya, pada saat seperti ini, ayahmu masih bersamadhi di dalam kamarnya. Aku tidak berani
mengganggunya."
"Ibu, biarlah aku yang memangil ayah." kala Hwe Li dan ia mengetuk daun pintu, lalu mengerahkan khi
kang sehingga biar suaranya hanya lirih, namun suara itu menembus ke dalam kamar dan akan
terdengar dengan jelas sekali oleh orang yang berada di dalam kamar. "Ayah, aku Kwan Hwe Li datang
untuk menengok ayah!"
Hanya sekali Hwe Li bicara dan terdengar suara kaget dari dalam. Suara Hwe Li yang didorong kekuatan
khi-kang itu terdengar jelas sekali oleh kakek Kwan yang bersamadhi di dalam kamar. Tentu saja dia
tersentak kaget mendengar kalimat itu.
"Ahhh ... “ Dan diapun turun dari atas pembaringan, menghampiri daun pintu kamar dan membukanya.
Sekeras-kerasnya hati Hwe Li, ia merasa seolah jantungnya diremas karena terharu melihat ayahnya kini
telah menjadi seorang kakek tua renta! Biarpun dahulu, tigapuluh tahun yang lalu, ayahnya juga hanya
seorang laki-laki yang lemah dan tidak pernah mempelajari ilmu silat, namun ayahnya yang lemah
lembut itu memiliki gairah hidup yang timbul karena jiwa seninya. Kini, hanya sepasang mata itu yang
masih nampak hidup bersemangat, akan tetapi tubuhnya sudah lemah dan gemetaran!
"Ayah ...!!" Hwe Li menubruk dan merangkul ayahnya. Ketika kedua lengannya merangkul, ia merasakan
betapa kedua lengannya memeluk kerangka, seolah tubuh itu hanyalah tulang tulang terbungkus kulit
saja.
Namun, kedua tangan kurus itu masih membelainya.
"Hwe Li ... kau Hwe Li ...! Engkau masih seperti dulu ...! Engkau masih Hwe Li yang dahulu!" Tiba-tiba
tangannya memegang pundak Hwe Li dan seperti yang dilakukan isterinya yang ke tiga tadi, dia
mendorong tubuh Hwe Li dan mengamati wajah dan seluruh tubuh wanita itu dengan penuh keheranan.
"Akan tetapi, engkau masih begini muda! Pada hal, usiamu tentu sudah ada lima puluh tahun sekarang!"
Sepasang mata yang masih indah itu basah air mata. Menangis merupakan kebiasaan kaum wanita.
Biasanya, perasaan wanita amatlah halus dan peka, dan hal ini membuat mereka emosionil dan air mata
mereka selalu siap untuk dicucurkan dalam tangis. Akan tetapi. Bi Moli Kwan Hwe Li bukan wanita biasa
lagi. Hatinya sudah mengeras dalam gemblengan pengalaman hidup yang serba keras dan pahit. Hatinya
tidak lagi mudah tergerak dalam keharuan, apalagi tangis. Namun kini, hampir ia tidak dapat menahan
untuk tidak terisak menangis dan hanya air matanya saja yang membasahi pelupuk matanya dan ada
sebutir dua air mata yang sempat meloncat keluar.
"Ayah, aku Hwe Li, ayah. Berkat ilmu yang kupelajari, aku dapat tetap awet muda seperti sekarang."
"Hwe Li, ahh ... Hwe Li ...!" Ayah itu merangkul, kemudian mereka keluar dari kamar itu, menuju ke
ruangan tengah di mana mereka duduk dengan penuh kegembiraan. Kakek Kwan meneriaki para
pembantunya dan memperkenalkan puterinya, lalu menyuruh mereka mempersiapkan pesta seadanya
untuk merayakan pulangnya puteri itu.
"Ayah, ini adalah Cia Ling Ay, muridku. Ling Ay, inilah ayahku, sekarang telah tua sekali." Ling Ay cepat
memberi hormat kepada orang tua itu.
Sejak tadi Kwan Jin Kun tiada hentinya mengamati wajah puterinya. kemudian dia berkata, "Hwe Li,
ketika kami mendengar berita bahwa engkau telah menjadi seorang tokoh dunia persilatan, dan kabar
itu amat menggelisahkan hatiku karena engkau dikabarkan menjadi seorang datuk kang-ouw yang
berwatak iblis. Aku membayangkan bahwa engkau tentu kini menjadi seorang wanita setengah tua yang
menakutkan. Akan tetapi ... ha-ha, kabar itu bohong semua! Mungkin disebar oleh mereka yang
membenci keluarga kita. Engkau ternyata masih tetap Hwe Li yang dahulu, dan engkau tidak seperti
iblis, bahkan seperti seorang dewi!"
Kwan Jin Kun lalu menceritakan apa yang dialaminya sejak puterinya pergi meninggalkan rumah itu.
"Kaisar Siauw Bian Ong dari kerajaan Chi yang baru ini cukup bijaksana, balikan aku harus mengakui dia
lebih bijaksana dibardingkan kaisar yang lalu. Beliau juga menawarkan kedudukan lama kepadaku, akan
tetapi aku sudah merasa terlalu tua untuk bekerja, Hwe Li. Aku lebih suka menghabiskan sisa hidupku
dengan mempelajari kitab-kitab agama dan bersamadhi. Aku tidak bersemangat lagi untuk mencampuri
urusan dunia yang penuh dengan pertentangan. Lalu sekarang ceritakan semua pengalamanmu setelah
engkau pergi meninggalkan rumah ini, anakku."
Hening sejenak. Diam-diam Ling Ay juga ingin sekali mendengarkan karena selama ini, gurunya belum
pernah menceritakan dengan jelas tentang latar belakang kehidupannya. Pada saat itu, selir ke dua dari
kakek itu memasuki ruangan itu. Tadi ia pergi berbelanja berbagai keperluan keluarga itu dan seperti
juga selir ke tiga, ia terheran-heran karena ia segera mengenali Hwe Li. Segera iapun ikut pula duduk di
ruangan itu dan mereka semua kini menanti Hwe Li menceritakan pengalamannya yang tentu akan
menarik sekali.
"Ayah tentu masih ingat mengapa aku pergi meninggalkan rumah ini tanpa pamit?" Setelah menghela
napas panjang Hwe Li bertanya dan memandang kepada ayahnya dan kedua orang ibu tirinya.
Ayahnya mengangguk dan diapun menarik napas panjang. "Siapa yang akan dapat melupakan peristiwa
itu? Gara-gara pangeran mata keranjang itu! Gara-gara tunanganmu. Pangeran Tiauw Sun Ong,
melakukan perbuatan yang memalukan itu, engkau menjadi marah dan malu, dan engkau pergi
meninggalkan keluargamu tanpa pamit!"
"Benar sekali, ayah. Gara-gara Tiauw Sun Ong maka aku menjadi seroang petualang, Hatiku sakit bukan
main. Tadinya aku berniat untuk mencari Tiauw Sun Ong yang sudah lolos dari sebagai seorang buta.
Tekadku untuk membunuhnya karena ia telah menghancurkan kebahagiaan hatiku, telah
mengkhianatiku, dan kami saling mencinta sejak remaja. Siapa kira, dia melakukan perbuatan tak
senonoh dengan selir kaisar. Dalam perantauanku, aku bertemu orang-orang pandai di dunia, kang-ouw,
aku mempelajari ilmu silat dengan tekun karena ada satu tujuan, yaitu membunuh Tiauw Sun Ong!"
Ayahnya menggeleng kepala dan menghela napas panjang. "Eehhh, kenapa engkau menuruti nafsu
amarah? Mengapa engkau meracuni hatimu sendiri dengan dendam sakit hati, anakku? Sekali kita
membiarkan nafsu merajalela di hati, nama kita akan diperhamba dan nafsu akan menjadi pembimbing
kita yang akan menyelewengkan jalan hidup kita.”
Kwan Hwe Li tersenyum simpul mendengar ucapan ayahnya, Ia sudah kenyang dengan segala macam
petuah dan nasihat ayahnya, bahkan sejak kecil sampai dewasa kepala dan hatinya sudah dijejali segara
macam pelajaran tentang kebatinan dan agama. Akan tetapi semua itu lenyap tanpa bekas sejak hatinya
hancur oleh perbuatan Tiauw Sun Ong. ia tidak perduli lagi. Lebih-lebih setelah ia berguru kepada
banyak datuk persilatan, tokoh-tokoh besar kaum sesat di dunia kang-ouw. ia makin jauh meninggalkan
segala yang berbau pelajaran kebatinan itu. Kini ia mendengas lagi petuah ayahnya, dan betapa
hambarnya semua itu. ia maklum bahwa ia telah terlalu jauh tersesat, telah terlalu banyak perbuatan
dilakukan tanpa memperhitungkan baik buruknya. Kalau perbuatannya dianggap kotor, maka kotoran
itu telah sedemikian tebalnya sehingga kalau hanya setitik air pencuci berupa petuah dan pengetahuan
kebatinan, tidak akan dapat membersihkannya! Bukannya ia tidak tahu bahwa ia telah menjadi seorang
datuk sesat, Ia tahu benar, tahu bahwa semua perbuatannya selama ini oleh umum dianggap jahat,
berdosa dan sebagainya. Akan tetapi ia tidak mampu meninggalkannya, tidak dapat dan tidak mau.
"Hwe Li, apakah engkau lalu berhasil membalas dendam sakit hatimu kepada Pangeran Tiauw Sun Ong?"
tanya ibu tirinya yang ke dua.
Wajah Hwe Li berubah muram dan iar menggeleng kepala. "Berkali-kali aku mencobanya, akan tetapi
jahanam itu ternyata setelah menjadi buta, memiliki ilmu kepandaian yang hebat bukan main sehingga
semua percobaanku gagal. Aku tidak pernah dapat menang dalam pertandingan melawannya. Dia
memang lihai bukan main. Akan tetapi satu hal yang membuat hatiku bertambah sakit adalah kenyataan
bahwa kalau aku menyerangnya dengan niat membunuh, sebaliknya dia yang selalu mengalahkan aku,
tidak pernah mencoba untuk membunuhku, bahkan melukaikupun belum pernah!"
"Siancai ...!” Kakek Kwan berseru dengan suara pujian. "Itu menandakan bahwa dia masih sayang
kepadamu, atau setidaknya, dia telah menyesali perbuatannya sehingga tidak mau melukaimu, anakku.
Engkau seharusnya berterima kasih karena ternyata pangeran yang telah kehilangan kedudukan dan
telah menjadi buta matanya itu ternyata tidak buta hatinya."
"Aku tidak perduli, ayah! Dan aku yakin bahwa dia melakukan itu sama sekali bukan karena dia
mencintaku, karena aku telah membujuknya untuk hidup bersama akan tetapi dia selalu menolak. Tidak,
dia sengaja memamerkan kepandaiannya untuk mengejek aku, membuat hatiku makin perih lagi. Akan
tetapi sekarang aku merasa puas, ayah. Aku telah menemukan jalan untuk membuat dia menderita
seperti aku, tanpa aku harus menyerangnya satu juruspun!" Wanita cantik itu tertawa dan biarpun suara
tawanya merdu, namun ayahnya dan dua orang ibu tirinya bergidik karena dalam suara tawa itu
terkandung sesuatu yang mengerikan.
"Siancai ... semoga Tuhan akan menyadarkanmu, anakku. Dan setelah engkau pulang, kami harap
engkau dan muridmu akan terus tinggal di sini. Engkau mau menemaniku ayahmu yang tidak akan lama
lagi berada di dunia ini, bukan?” Dalam suara itu terkandung permohonan. Kakek ini bukan
mengeluarkan ucapan itu karena rasa iba diri, melainkan mempunyai maksud lain. Dia menghendaki
agar puterinya itu selalu dekat dengannya sehingga lambat laun dia akan mampu membersihkan hati
puterinya dan menyadarkannya bahwa cara hidupnya yang lalu adalah suatu penyelewengan dari pada
kebenaran.
"Untuk sementara saja aku tinggal di sini, ayah. Aku pulang, pertama kali untuk menengok ayah dan
terutama sekali aku ingin mencoba mengisi hidupku dengan keadaan yang baru. Aku ingin berdekatan
lagi dengan istana. Mungkinkah itu, ayah? Mungkinkah aku dapat berdekatan dengan keluarga kaisar
yang baru dan dapatkah ayah membantuku, seperti dahulu ketika aku masih gadis muda?"
"Aih, mana mungkin itu, anakku? Dahulu, ayahmu ini masih mempunyai kedudukan, apalagi ayahmu ini
yang mengajarkan sastra kepada para pangeran dan putri istana. Sekarang aku tidak mempunyai
hubungan apapun dengan istana."
"Ayah tentu mempunyai kenalan pejabat di istana yang dapat membantu kami. Aku dan Ling Ay ingin
bekerja di dalam istana Kaisar Siauw Bian Ong."
"Akan tetapi, apa yang dapat kaukerjakan di istana?"
Bi Moli Kwan Hwe Li menertawakan ayahnya. "Ayah, dengan kepandaianku sekarang, aku dapat menjadi
pelatih ilmu silat dari para pengawal wanita, arau dapat menjadi pengawal permaisuri dan para puteri,
sedangkan Ling Ay dapat menjadi dayang atau pelindung para puteri. Kalau perlu, kami bersedia diuji
kepandaian kami untuk meyakinkan hati kaisar dan keluarganya."
Setelah dibujuk-bujuk, akhirnya kakek Kwan Jin Kun menyanggupi dan karena dia memang mempunyai
banyak kenalan di istana, yaitu para pembesar yang membutuhkan nasihatnya sebagai seorang
sasterawan yang berpengalaman dengan urusan istana, maka diapun berhasil. Kwan Hwe Li yang
biarpun usianya sudah lima puluh tahun masih nampak cantik itu diterima sebagai pelatih silat dan
tugasnya melatih para pengawal istana, sedangkan Ling Ay diterima sebagai seorang pengawal
permaisuri dan para puteri. Guru dan murid ini dengan mudah lulus dalam ujiaa yang dilakukan
komandan pasukan pengawal istana.
***
Biarpun usianya sudah lima puluh sembilan tahun, akan tetapi Tiauw Sun Ong masih tegap dan
tubuhnya kokoh kuat. Andaikata kedua matanya tidak buta, tentu dia akan mampu melakukan
perjalanan cepat sekali. Bekas pangeran ini memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi,
sepandai-pandainya dia, karena kedua matanya tidak mampu melihat, terpaksa dia melakukan
perjalanan sambil meraba-raba dengan tongkatnya dan perjalanan seperti ini tentu tidak dapat cepat ...
Belum lama dia berpisah dari muridnya, Kwa Bun Houw yang dia tugaskan untuk mencari puterinya,
Tiauw Hui Hong, dan melihat keadaan kerajaan Chi di Nan-king, baru kurang lebih dua li saja dia
melakukan perjalanan, tiba-tiba dari depan datang dua orang wanita yang larinya cepat sekali dan
mereka lewat dengan cepat seperti tidak memperdulikan orang buta yang berjalan dengan tongkat
meraba-raba jalan itu.
Sebagai seorang ahli silat tingkat tinggi, diam-diam Tiauw Sun Ong terkejut karena dari gerakan lari dua
orang itu, dia dapat mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Akan
tetapi karena mereka hanya berpapasan di jalan, diapun tidak memperdulikan lagi, tidak tahu bahwa
dua orang wanita itu tiba-tiba berhenti berlari dan kini berdiri dan memandang kepadanya dari
belakang.
Mereka adalah Kwan Im Sianli dan Hui Hong. "Bibi, kenapa berhenti?" tanya Hui Kong.
"Kau lihat dia? Itulah laki-laki yang kumaksudkan."
Hui Hong tertegun, mamandang pria itu dari belakang. Tadi ketika berpapasan, ia tidak memperhatikan
dan baru sekarang ia melihat betapa pria itu berjalan selangkah demi selangkah mempergunakan
tongkatnya untuh meraba jalan.
"Seorang buta?"
"Sekarang dia buta, dahulu tidak dan biarpun buta, dia lihai bukan main. Aku akan menyerangnya dan
aku tahu bahwa aku bukan tandingannya. Kau bantu aku membunuh keparat jahanam itu seperti yang
telah kaujanjikan dan setelah itu, aku akan membawamu kepada ayahmu. Tempatnya tidak jauh lagi
dari sini."
Biarpun masih ragu karena harus mengeroyok seorang laki-laki tua yang buta, namun karena dijanjikan
akan dipertemukan dengan ayahnya, Hui Hong mengangguk. Akan tetapi ia akan melihat dulu apakah
benar-benar Kwan Im Sianli tidak mampu mengalahkan laki-laki buta itu. Kalau ternyata wanita cantik
itu mampu mengalahkan si buta sendiri, ia tidak akan mau membantunya.
Kwan Im Sianli segera meloncat dan mengejar laki-laki buta sambil mencabut pedangnya. "Laki-laki yang
buta mata dan hatinya, saat ini engkau akan mati di tanganku!" bentak Kwan Im Sianli dan ia segera
menyerang dengan pedangnya, menusuk dada pria itu dengan kuat dan cepat.
"Tranggg ... !" Tiauw Sun Ong menggerakkan tongkatnya dan tusukan pedang itu tertangkis. "Kwan Im
Sianli ...? Bwe Si Ni, aku mau bicara denganmu!"
"Tidak perlu bicara lagi, mampuslah!”" bentak Kwan Im Sianli dan kini ia menyerang dengan sepenuh
tenaga, mengeluarkan jurus-jurus maut. Terpaksa Tiauw Sun Ong melayaninya, karena dia maklum
bahwa wanita bekas kekasihnya ketika masih menjadi dayang istana ini memiliki ilmu silat yang amat
hebat. Dan dia tidak mungkin hanya menangkis saja karena hal itu amat berbahaya. Menghadapi
seorang lawan sehebat Kwan Im Sianli yang menjadi seorang datuk persilatan harus balas menyerang,
kalau tidak, mungkin sekali dia akan roboh dan tewas. Tongkatnya bergerak cepat dan kini Kwan Im
Sianli mulai terdesak. Dia ingin mengalahkan wanita itu tanpa membunuhnya atau melukai berat,
karena kalau dia melukai berat, hal itu akan membuat ia menjadi semakin sakit hati kepadanya. Maka,
Tiauw Sun Ong juga mengerahkan seluruh tenaganya dan terus menghimpit lawan, sinar tongkatnya
bergulung-gulung dan tongkat itu bagaikan seekor naga yang bermain-main di angkasa, membuat sinar
pedang Kwan Im Sianli semakin menyempit. Melihat betapa wanita cantik itu benar-benar terdesak oleh
si buta, barulah Hui Hong percaya betapa lihainya orang buta itu. Melihat jalannya pertandingan, ia tahu
bahwa kalau dilanjutkan, wanita itu akan kalah. Ia pun mencabut siang-kiam (sepasang pedang) dari
punggungnya dan meloncat, terjun ke dalam medan perkelahian. Sepasang pedang menyambarnyambar
ganas.
"Trang-tranggg ...!!” Tiauw Sun Ong menangkis sepasang pedang itu dan dia terkejut sekali karena
maklum bahwa yang datang membantu Kwan Im Sianli ini memiliki ilmu pedang yang ganas dan tenaga
yang cukup kuat.
"Kwan Hwe Li, kaukah ini?" seru Tiauw Sun Ong sambil memutar tongkatnya karena kini dua orang
wanita itu menyerangnya dengan hebat. Akan tetapi karena tenaga kedua orang itu disatukan dalam
suatu serangan yang berbareng, tangkisannya membuat dia terpaksa harus meloncat ke belakang.
"Tidak perlu bertanya, bersiaplah untuk mampus!" bentak pula Kwan Im Sianli. Ia memang sudah
mengambil keputusan untuk membunuh pria yang pernah membuatnya tergila-gila ini. Lebih baik bekas
pangeran ini mati di tangannya dari pada ia selalu merindukannya tanpa ada harapan sedikitpun. pria
yang dicintanya ini tidak mau menjadi teman hidupnya, maka lebih baik melihat dia mati! Kwan Im Sianli
memperhebat serangannya dan Hui Hong juga mengerahkan tenaga karena ia tadi merasakan betapa
kuatnya tangkisan tongkat itu yang membuat sepasang pedangnya terpental.
Maklum bahwa bicara tidak ada gunanya terhadap Kwan Im Sianli yang berhati keras, terpaksa Tiauw
Sun Ong memutar tongkat membela diri. Dia maklum bahwa orang yang membantu Bwe Si Ni itu bukan
Kwan Hwe Li. Pertama karena Kwan Hwe Li masih mencintanya dan ke dua karena Kwan Hwe Li pasti
tidak mau bekerja sama dengan saingannya itu. Dahulupun ketika Bwe Si Ni datang menyerangnya,
Kwan Hwe Li muncul dan bahkan mengusir Bwe Si Ni.
Hui Hong bersungguh-sungguh membantu Kwan Im Sianli Bwe Si Ni sehingga Thiauw Sun Ong mulai
terdesak hebat. Dalam kemarahan dan sakit hatinya, Kwan Im Sianli sudah melukai Tiauw Sun Ong pada
pundak kirinya. Bajunya robek dan pundak itu berdarah. Maklum bahwa akhirnya dia akan roboh dan
tewas di tangan bekas kekasihnya itu, Thiauw Sun Ong melompat kebelakang, bukan untuk melarikan
diri melainkan mencari kesempatan untuk bicara.
"Bwe Si Ni, engkau boleh mendedam kepadaku dan boleh membunuhku, akan tetapi sebelum aku mati,
aku minta agar engkau tidak mengganggu Hui Hong anakku. Ia tidak bersalah apa-apa, jangan engkau
mengganggunya dan bebaskan Hui Hong!
Kwan Im Sianli terkejut mendengar ucapan itu, maka tanpa menjawab, ia sudah meloncat ke depan dan
memutar pedangnya menyerang dahsyat! Thiauw Sun Ong menangkis, akan tetapi tangan kiri wanita itu
menyambar dan mengenai dadanya.
"Plakk!" Tubuh bekas pangeran itu terjengkang, akan tetapi dia bergulingan menjauh, dikejar oleh Kwan
Im Sianli. Ketika wanita ini menggerakkan pedangnya untuk mengirim tusukan maut, dan Thiauw Sun
Ong yang belum bangkit itu terancam bahaya maut, tiba-tiba nampak sinar pedang berkelebat
menangkis dari samping.
"Tranggg ... ! "
"Kwan Im Sianli, kau menipuku! Kau mengajakku membunuh ayahku sendiri!" bentak Hui Hong dan kini
ia menyerang Kwan Im Sianli dengan marah.
Kwam Im Sianli menangkis dan melompat ke belakang, tertawa nyaring.
"Heh-heh-heh, aku memang amat membencinya. Aku ingin anaknya sendiri yang membunuhnya, hihik!"
"Iblis betina jahat!" bentak Hui Hong dan kembali ia menyerang dengan dahsyat, disambut oleh Kwan
Im Sianli dan begitu pedang mereka bertemu Hui Hong terhuyung ke belakang. "Bwe Si Ni, kalau kau
mengganggu anakku, demi Tuhan, kubunuh engkau!" Tiauw Sun Ong kini menerjang dengan
tongkatnya!“ dan karena sekali ini bekas pangeran itu benar-benar marah dan mengerahkan tenaganya,
Kwan Im Sianli terpental ke belakang! Namun, wanita ini sudah nekat dan ia menyerang lagi sehingga
terjadi perkelahian yang seru, Hui Hong tidak tinggal diam. Bermacam perasaan mengaduk hatinya.
Perasaan girang karena ia bertemu ayahnya, juga rasa haru melihat ayahnya buta, dan bangga karena
ternyata ayahnya seorang yang berilmu tinggi. Menghadapi Tiauw Sun Ong sendiri saja, Kwan Im Sianli
sudah repot dan terdesak, apalagi setelah Hui Hong mengeroyoknya.
Kwan Im Sianli sudah mencari kesempatan untuk melarikan diri ketika tiba-tiba terdengar suara orang
tertawa. "Ha-ha-ha-ha, Tiauw Sun Ong si buta tidak mengenal malu melakukan pengeroyokan! Dan
engkau Hui Hong, anak durhaka yang tidak mengenal budi orang, engkau patut dibunuh. Sejak kecil aku
merawatmu, mendidikmu, dan sekarang engkau melarikan diri tanpa pamit. Hayo cepat berlutut!"
Akan tetapi sebelum Hui Hong menjawab. Tiauw Sun Ong yang menegur orang itu, ”Ouwyang Sek.
engkau manusia busuk. Hui Hong adalah anakku, anak kandung, engkau tidak berhak atas dirinya!"
"Keparat buta, aku memang mencarimu untuk membalas atas kematian isteriku! Kwan Im Sianli, mari
kita bunuh ayah dan anak keparat ini! Ouwyang Sek menerjang Tauw Sun Ong dengan pedangnya.
Nampak pedang berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Memang datuk ini, lihai ilmu pedangnya
sehingga dia memperoleh julukan Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan). Kwan Im Sianli juga
menggerakkan pedangnya menyerang Tiauw Sun Ong sehingga bekas pangeran itu dikeroyok dua.
Sejenak Hui Hong terbelalak dengan muka pucat, Ibunya telah mati! Tadi Ouwyang Sek mengatakan
bahwa dia hendak membunuh, Tiauw Sun Ong untuk membalas atas kematian isterinya. Mungkin Tiauw
Sun Ong yang membunuh ibunya?
“Tahan ... !!” Ia berseru nyaring dan menggunakan sepasang pedangnya untuk melerai perkelahian itu
dengan menerjang ditengah antara mereka.
“Ayah ... “ Ia menghadapi Ouwyang Sek dan bertanya, “apa maksudmu dengan mengatakan kematian
ibu?”
Ouwyang Sek memandang kepada Tiauw Sun Ong dengan mata melotot marah, lalu pedangnya
ditudingkan ke arah si buta itu.
“Dia datang dan dia yang menyebabkan ibumu mati!”
Hui Hong memutar tubuh menghadapi Tiauw Sun Ong dan suaranya gemetar ketika ia bertanya,
"Benarkah itu? Engkau ... engkau menyebabkan ibuku mati?"
Biarpun tidak dapat melihat, Tiauw Sun Ong naklum bahwa gadis itu menunjukkan pertanyaannya
kepadanya. Dia menghela napas panjang, “Hui Hong, ibumu memang tewas, ia membunuh diri setelah
bertemu denganku, karena kini ia tidak lagi perlu menyiksa batin menjadi isteri iblis ini. Dahulu ibumu
terpaksa menjadi isterinya karena hendak menyelamatkan engkau."
“Tiauw Sun Ong, jahanam busuk engkau! Apapun alasanmu, engkau akan mampus di tanganku, dan
kalau anak haram darimu ini, anak yang durhaka dan tidak mengenal budi, hendak membelamu. iapun
akan kubunuh!"
Ouwyang Sek menerjang lagi, menyerang Tiauw Sun Ong dengan kemarahan meluap, dan Kwan Im
Sianli juga menggerakkan pedang membantunya mengeroyok.
Terdengar suara Tiauw Sun Ong yang menggeledek setelah dia memutar tongkat menangkis dan
membuat pedang kedua orang datuk itu terpental.
"Dengar, Ouwyang Sek dan Kwan Im Sianli! Kalau kalian mengganggu anakku, demi Tuhan, aku tidak
akan pantang membunuh kalian!"
Dua orang datuk itu kembali mengeroyoknya dan biarpun pundak kirinya sudah terluka, Tiauw Sun Ong
mengamuk dan menandingi mereka berdua dengan gigih. Sejenak Hui Hong bimbang, akan tetapi entah
mengapa, ia merasa kagum dan percaya kepada orang buta yang ia tahu adalah ayah kandungnya itu,
maka tanpa banyak cakap lagi iapun memutar siang kiam di kedua tangannya dan membantu ayahnya!
Kekurangan tingkat kepandaian Hui Hong dibandingkan kedua orang lawannya ditutup oleh kelebihan
tingkat Tiauw Sun Ong yang selalu melindungi dan membantu puterinya sehingga perkelahian itu terjadi
amat serunya. Namun, tanpa diketahui orang lain karena dia tidak pernah mengendurkan semangatnya
dan tidak pernah mengeluarkan keluhan, diam-diam Tiauw Sun Ong merasa khawatir karena luka di
pundaknya mengeluarkan banyak darah dan hal ini akan mempengaruhi kekuatannya. Oleh karena itu,
dia mengeluarkan suara melengking panjang ketika membentak dan tiba-tiba saja gerakannya amat
dahsyat menerjang ke arah Ouwyang Sek. Datuk ini terkejut, mencoba untuk mengelak, namun tetap
saja ujung tongkat Tiauw Sun Ong berhasil menotok dada kanannya dan datuk itupun terpelanting
roboh dan mengerang kesakitan. Dia mencoba untuk bangkit, akan tetapi terkulai kembali.
Kwan Im Sianli sedang mendesak Hui Hong, akan tetapi sambaran tongkat di tangan Tiauw Sun Ong
membuat ia terhuyung ke belakang. Kini, ayah dan anak itu berdiri berdampingan dan menghadap ke
arah Kwan Im Sianli yang tentu saja menjadi terkejut dan jerih melihat betapa kawannya, Ouwyang Sek,
sudah menggeletak dan tidak mampu bangkit berdiri lagi.
"Bwe Si Ni, pergilah dan jangan ganggu aku lagi. Di antara kita sudah tidak ada urusan apa-apalagi.
Pergilah!"
Kwan Im Sianli Bwe Si Ni mengerutkan alisnya, matanya yang mulai basah air mata itu memandang
penuh kebencian. "Tiauw Sun Ong, engkau boleh menganggap tidak ada urusan apa-apalagi, akan tetapi
dendam ini akan kubawa sampai mati." Setelah berkata demikian, ia membantu Ouwyang Sek bangun
berdiri, lalu menggandeng dan memapah datuk yang sudah dikenalnya dengan baik itu pergi dari situ,
diikuti pandang mata ayah dan anak itu. Setelah mereka pergi jauh. barulah Tiauw Sun Ong menghela
napas, kemudian dia duduk bersila dan mengatur pernapasan dan nampak terengah lemah.
"Kau ... terluka ... " Hui Hong berkata lirih, masih belum mantap dan merasa kikuk untuk menyebut
ayah. Akan tetapi, tanpa ragu lagi ia menghampiri orang tua buta itu, merobek baju di dadanya dan
memeriksa pundak yang terluka. Hanya luka daging, akan tetapi cukup parah dan mengeluarkan banyak
darah. Hui Hong menekan beberapa bagian di seputar luka untuk menghentikan keluarnya darah, lalu
mengeluarkan obat bubuk dan mengobati luka di pundak ayahnya itu. Kemudian ia mengeluarkan
sehelai kain ikat pinggang dari buntalan pakaian dan membalut pundak ayahnya. Setelah itu, ia duduk
bersila di dekat ayahnya. Semua itu dilakukannya tanpa sepatah katapun. Bahkan kini, duduk berdua di
atas tanah, merekapun tidak mengeluarkan kata-kata.
"Hui Hong ... ," akhirnya Tiauw Sun Ong berkata, suaranya gemetar tanda bahwa hatinya terharu.
"Engkau ... mau memaafkan aku?"
Hui Hong menatap wajah itu, dan ia merasa terharu. Pantas saja kalau ibunya mencinta orang ini.
Wajahnya masih nampak gagah dan tampan, masih berwibawa walaupun kedua matanya buta.
"Mengapa harus memaafkan?" Ia bertanya heran karena memang tidak mengerti.
"Apakah ibumu, Pouw Cu Lan, tidak pernah menceritakan kepadamu tentang aku, tentang kami
berdua?"
Hui Hong menggeleng kepala, akan tetapi ketika ingat bahwa orang yang diajak bicara itu buta, iapun
berkata, "Ibu hanya bercerita kepadaku ketika ayah ... eh, Ouwyang Sek itu hendak membunuhku,
bahwa aku bukan anak Ouwyang Sek, dan ibu hanya mengatakan bahwa ayah kandungku bernama
Tiauw Sun Ong. Ibu tidak tahu di mana ayahku itu, maka ketika Kwan Im Sianli mengajakku untuk
menunjukkan di mana Tiauw Sun Ong, aku ikut dengannya, dengan janji bahwa aku akan membantunya
membunuh laki-laki yang telah menghancurkan hidupnya. Aku sama sekali tidak tahu bahwa yang
hendak dibunuh itu adalah ... Tiauw Sun Ong yang oleh ibu dikatakan ayah kandungku itu. Apakah
engkau ini yang bernama Tiauw Sun Ong? Apakah engkau ini suami ibuku, dan engkau ini sebenarnya
ayah kandungku?"
Sebetulnya Hui Hong sudah mendengar cerita ibunya mengenai hubungan ibunya dengan Tiauw Sun
Ong, akan tetapi ia ingin mendengar penuturan pria buta ini untuk meyakinkan hatinya bahwa orang ini
benar ayah kandungnya.
“Aku Tiauw Sun Ong. dahulu pangeran kerajaan Liu-sung, dan ibumu Pouw Cu Lan, selir kakakku yang
menjadi kaisar. Kami berdua saling jatuh cinta. Namun, hubungan antara kami diketahui, dan Kaisar
memarahi kami. Aku merasa berdosa dan malu, maka di depan kakakku, aku membutakan kedua
mataku, diampuni dan aku lolos dari istana, menuntut ilmu. Aku mendengar bahwa ibumu dihukum
buang oleh Kaisar, sama sekali aku tidak tahu bahwa ia ditolong oleh Ouwyang Sek dan diperisteri. Ia
mau menjadi isteri Ouwyang Sek karena ketika itu ia telah mengandung engkau, Hui Hong. Ia ingin
menyelamatkanmu. Ah, betapa aku telah membuat Cu Lan menderita. Aku berdosa kepadanya, dan
ketika aku datang kesana untuk meminangmu, setelah aku mendengar semua itu dari Bi Moli Kwan Hwe
Li, aku bertemu dengan ibumu dan ia mengatakan bahwa engkau pergi bersama Kwan Im Sianli untuk
mencari aku. Ibumu begitu bertemu dengan aku, merasa malu dan menyesal, dan ia membunuh diri."
Hening sejenak, dan Tiauw Sun Ong mendengar suara isak tangis anaknya. Dia tidak dapat menahan
kesedihan hatinya dan iapun meraba-raba ke arah puterinya dan di lain saat mereka telah saling rangkul
dan bertangisan.
"Ayah ... " Hui Hong terisak-isak. Ia merasa bersedih sekali. Ia adalah anak dari hubungan gelap antara
pangeran Tiauw Sun Ong dan selir kaisar, dan hubungan itu mengakibatkan ayah kandungnya
membutakan mata sendiri, dan kini mengakibalkan ibunya membunuh diri! "Ayah, kasihan sekali ibu ... “
ia meratap.
Tiauw Sun Ong mengelus rambut kepala puterinya. "Sudah takdir demikikian, anakku. Aku membutakan
mata, ibumu membunuh diri, dan semoga Tuhan mengampuni dosa-dosa kami. Marilah, anakku, kita
kembali ke Hoa-san dan kita bicara di sana." Ayah dan anak itu lalu meninggalkan tempat itu, mendaki
Hoa-san. Hui Hong menuntun ayahnya dan setelah tiba di pondok ayahnya, iapun merawat luka
ayahnya. Ia sudah mendengar semua tentang Kwa Bun Houw dari ayah kandungnya, dan ketika ayah
kandungnya menyatakan bahwa dia setuju menjodohkan puterinya itu dengan Bun Houw, tentu saja Hui
Hong yang mencinta Bun Houw dengan sepenuh hati menyatakan kesediaannya. Mereka kini hanya
menanti kembalinya Bun Houw di puncak Hoa-san.
***
Bagaimana kereta kuda yang dikendalikan seorang kusir bijaksana dan pandai, bagaikan tanaman yang
digulawentah seorang petani yang bijaksana dan pandai, sebuah negara akan menjadi aman tenteram
dan subur makmur seperti jalannya kereta dan tumbuhnya tanaman apabila negara itu dipimpin oleh
penguasa yang bijaksana dan pandai pula.
Demikian pula dengan keadaan kerajaan Chi (479-501). Kaisar Siauw Bian Ong adalah seorang kaisar
yang bijaksana dan pandai, dan lebih dari itu pula, dia mencintai negara dan bangsanya, mementingkan
kebutuhan rakyat di atas kebutuhan pribadi. Dia, sejak kerajaan Chi berdiri dan dia diangkat menjadi
kaisar, selalu berusaha untuk memakmurkan kehidupan rakyat jelata, menggalakkan pembangunan
dalam segala bidang, mengulurkan tangan kepada yang miskin dan papa, menuntun dan membimbing,
memberi modal kepada yang miskin, memberi penyuluhan kepada yang bodoh, bertangan besi dan
mendidik kepada yang jahat. Bagi kaisar ini, yang menjadi kebutuhan mutlak bagi rakyat jelata pada
umumnya adalah kehidupan yang aman tenteram tanpa gangguan orang jahat, pengayoman dari alat
negara, lapangan pekerjaan yang luas sehingga memudahkan setiap orang mencari nafkah, dan murah
serta mudahnya mencukupi kebutuhan sandang pangan dan papan. Kaisar Siauw Bian Ong berusaha
sekuat tenaga untuk memenuhi semua ini dan dia terkenal sebagai seorang pemimpin negara yang
pandai merangkul orang-orang berilmu untuk diajak bekerja sama, pandai menghargai jasa orang, akan
tetapi juga keras dan adil tak mengenal ampun kepada para koruptor yang menjegal kebijaksanaannya,
menggerogoti harta negara dan rakyat, dan yang suka memeras dan menindas rakyat menyalahgunakan
kekuasaannya.
Jilid 15
TIDAK mengherankan kalau dalam waktu empat tahun saja sejak berdirinya, Kerajaan Chi telah
mengubah keadaan kehidupan rakyat menjadi jauh lebih baik dibandingkan dengan keadaannya ketika
kerajaan Liu-sung masih berdiri. Rakyat, seperti juga kanak-kanak memandang orang tua mereka,
membutuhkan contoh dari para pemimpin para pejabat pemerintah. Orang tua yang cerewet, hanya
memberi teguran dan nasihat tanpa memberi contoh, tidak akan ditaati anak-anaknya. Yang dicontoh
anak-anak adalah sikap dan perbuatan si orang tua. Demikian pula dengan rakyat yang tentu akan muak
kalau hanya dijejali slogan-slogan dan nasihat; akan tetapi melihat betapa para pejabat yang pidato
berapi-api memberi nasihat itu sendiri melanggar semua anjuran yang dipidatokan.
Kaisar Siauw Bian Ong memberi contoh, dengan mengubah cara hidup keluarga kerajaan Liu-sung yang
telah dijatuhkan, dari kehidupan bermewah-mewahan menjadi kehidupan yang jauh lebih sederhana.
Pengeluaran untuk kepentingan pribadi diperkecil, pajak rakyat diperingan, dan pembangunan dilakukan
di segala bidang. Tentu saja rakyat menyambut keadaan yang tumbuh dari peraturan-peraturan baru
yang amat menguntungkan ini dengan gembira dan tanpa dibujuk lagi, dengan sendirinya rakyat
mendukung pemerintahan baru yang bijaksana itu. Dan pemerintahan di negara manapun di dunia ini
akan menjadi kokoh kuat apa bila didukung oleh rakyatnya. Rakyat yang mencinta pemerintahnya pasti
akan taat dan setia. Namun kecintaan terhadap pemerintah ini bukan datang begitu saja.
Melihat kebijaksanaan kaisar kerajaan Chi, yang mengampuni dan tidak mengejar-ngejar sisa keluarga
kerajaan Liu-sung, bahkan membuka pintu lebar kalau mereka dan para bekas bangsawan Liu-sung mau
bekerja membantu kerajaan baru untuk memakmurkan kehidupan rakyat, dan pandai menghargai
orang-orang berilmu, maka mereka yang memiliki kepandaian merasa tertarik dan banyaklah kaum ahli
yang berbondong-bondong menanggapi undangan Kaisar Siauw Bian Ong untuk membantu pemerintah.
Perkembangan yang amat baik dari kerataan Chi yang masih muda ini tentu saja tidak lepas dari
pengamatan kerajaan Wei (386-532), yaitu kerajaan di sebelah utara yang didirikan oleh bangsa Toba
atau Tartar yang menguasai wilayah utara dari lembah Sungai Kuning ke utara. Adapun kerajaan Chi
mempunyai wilayah dari utara Sungai Yang-ce ke selatan. Daerah yang amat luas antara Sungai Yang-ce
dan Sungai Kuning, yang luasnya tidak kurang dari tiga ratus kali delapan ratus mil, merupakan daerah
tak bertuan, atau daerah yang selalu menjadi perebutan antara kerajaan Wei di antara dan kerajaan di
Selatan, sejak kerajaan Liu-sung sampai sekarang kerajaan Chi. Daerah tak bertuan ini dengan sendirinya
menjadi daerah penampungan para penjahat dan golongan sesat dunia kang-ouw. Pemerintah daerah di
wilayah ini terdiri dari orang orang kuat dan hukumnya adalah hukum rimba, siapa kuat dia menang dan
berkuasa.
Kerajaan Wei yang waktu itu (sekitar tahun 483) dipimpin oleh Kaisar Thai Wu sebagai pengganti Kaisar
Wei Ta Ong, tentu saja merasa cemas melihat perkembangan kerajaan baru Chi yang ternyata kelihatan
makmur dan didukung rakyat sehingga akan meupakan saingan yang lebih kuat dan berbahaya
dibandingkan kerajaan Liu-sung yang telah jatuh. Maka, Kaisar Thai Wu mengumpulkan para
pembantunya mengadakan rapat dan akhirnya diambil keputusan untuk mengirim orang-orang pandai
untuk melakukan penyelidikan dan kalau perlu menggagalkan usaha pemerintah kerajaan baru itu
dengan menimbulkan pengacauan atau menyulut api pemberontakan di mana-mana.
Rapat penting itu diadakan oleh Kaisar Thai Wu di dalam ruangan rahasia dalam istananya. Kaisar Thai
Wu sendiri, seorang pria berusia empat puluh lima tahun yang bertubuh tinggi besar dan berwajah
gagah, dengan mata yang lebar tajam dan suaranya yang tegas keras, memimpin rapat itu. Di sebelah
kanannya duduk seorang kakek yang usianyan sekitar enam puluh lima tahun bertubuh tinggi kurus dan
mukanya pucat, kelihatan lemah dan loyo, akan tetapi sesungguhnya, dialah yang merupakan Kok-su
(Guru Negara), penasihat dan juga guru dari kaisar sendiri. Kakek ini disebut Thian-te Seng-jin, seorang
tosu (pendeta agama To) yang terkenal sebagai seorang yang sakti, pandai ilmu silat dan ilmu sihir.
Selain beberapa orang panglima besar yang hadir, terdapat pula tiga orang yang berpakaian preman.
Mereka adalah murid-murid Thian-te Seng-jin, sehingga mereka itupun menjadi saudara-saudara
seperguruan kaisar sendiri yang telah mendapatkan kepercayaan penuh membantu kaisar dalam
pemerintahannya. Tiga orang tokoh yang demikian sombongnya sehingga berani menggunakan julukan
Bu-tek Sam-kwi (Tiga Setan Tanpa Tanding)! Orang pertama berjuluk Pek-thian-kwi (Setan Dunia Utara)
bertubuh gendut dan bundar, berusia lima puluh tahun. Yang ke dua berjuluk Huang-ho-kwi (Setan
Sungai Kuning) bertubuh tinggi kurus dan matanya sipit, adapun orang ke tiga yang wajahnya tampan
gagah dan pesolek berjuluk Toat-beng-kwi (Setan Pencabut Nyawa)!
Mereka sebagai suheng dan su-te dari kaisar, mendapat kepercayaan penuh dan dalam rapat ini, Kaisar
memberi tugas kepada mereka bertiga untuk melawat ke selatan dan membawa anak buah pilihan
mereka untuk mengguncang kerajaan Chi tanpa melalui perang, melainkan melalui pengrusakan dan
pengacauan.
Bu-tek Sam-kwi segera memilih anak buah mereka yang terdiri dari orang-orang yang tangguh,
mengumpulkan seratus orang dan membentuk kesatuan baru yang mereka namakan Thian-te-kwi pang
(Perkumpulan Setan Bumi Langit), nama yang dipakai untuk menghormati guru mereka, yaitu Thian-te
Seng-jin. Bagaikan segerombolan iblis yang menyeramkan, seratus orang ini bersama tiga orang
pemimpin mereka, melakukan perjalanan, menyusup ke selatan secara berpencar.
Gerakan yang dilakukan kerajaan Wei itu amat dirahasiakan, bahkan penyusupan itupun dilakukan
secara berpencar, maka tak seorang pun di kerajaan Chi mengetahui atau menduganya. Keadaan di kota
raja Nan-king tenang-tenang dan tenteram saja, tidak ada yang menduga bahwa saat itu, sekawanan
manusia iblis menyusup dan membawa tugas yang akan menghancurkan atau setidaknya mengacaukan
ketenangan hidup mereka.
Pagi itu memang udara cerah. Musim semi telah lewat dua bulan dan tumbuh-tumbuhan sedang segar
segarnya, sehingga waktu yang amat indah itu dipergunakan banyak orang untuk menghibur diri sambil
menikmati keindahan bumi yang dipenuhi tumbuh-tumbuhan yang segar. Di dalam sebuah hutan, di
luar kota raja Nan-king, nampak dua orang wanita sedang berburu binatang dengan anak panah mereka.
Keduanya menunggang kuda yang besar gagah, dan keduanya nampak cantik sekali. Dari pakaian
mereka, dapat diduga bahwa mereka berdua adalah wanita-wanita bangsawan, akan tetapi bukan
puteri-puteri yang lembut dan lemah karena pakaian mereka ringkas, seperti yang biasa dipakai oleh
para pengawal wanita dari istana kaisar. Dan memang sebenarnyalah. Wanita berusia lima puluhan
tahun yang masih cantik manis seperti berusia tiga puluh tahun saja itu adalah Bi Moli Kwan Hwe Li yang
kini menjadi guru yang mengajarkan silat kepada para perwira pasukan kerajaan, sedangkan yang muda,
berusia dua puluh tiga tahun dan cantik manis, adalah Cia Ling Ay, murid Bi Moli, yang kini bekerja di
istana sebagai pengawal pribadi permaisuri dan juga mengajarkan silat kepada para puteri istana dan
para pengawal wanita.
Hari itu mereka mendapat perkenan dari istana untuk berlibur dan memburu binatang. Guru dan murid
ini, yang telah memperoleh kedudukan lumayan, merasa gembira bukan main. Bi Moli Kwan Hwe Li
telah merobohkan seekor kijang dengan panahnya, sedangkan muridnya, Cia Ling Ay, telah merobohkan
dua ekor kelinci. Mereka manggantungkan tiga hasil buruan mereka itu di sebatang pohon besar di tepi
hutan, akan mereka ambil nanti kalau mereka sudah selesai berburu.
Akan tetapi, sudah setengah jam mereka menyusup-nyusup ke dalam hutan dengan kuda mereka,
mereka tidak lagi milihat binatang buruan. Ling Ay yang merasa perutnya lapar karena mereka tadi
berangkat pagi sekali dan ia belum makan apa-apa, teringat akan dua ekor kelinci hasil buruannya dan
seekor kijang hasil buruan gurunya.
"Subo, sebaiknya kita sudahi saja perburuan ini. Perut teecu (murid) lapar sekali dan sebaiknya daging
kelinci dan kijang itu dipanggang selagi masih segar."
Bi Moli tersenyum. "Aihh, begitu kau bicara tentang panggang daging, perutku mendadak saja bernyanyi
dan menagih!" katanya dan kedua orang wanita itu lalu membalikkan kuda mereka keluar dari dalam
hutan, menuju ke pohon besar di mana tadi mereka menyimpan hasil buruan mereka agar tidak
dimakan binatang hutan yang lain.
Ketika mereka tiba di tempat itu, mereka melihat ada tiga orang laki-laki sedang berdiri dan mengangkat
muka, memandang ke arah dua ekor kelinci dan seekor kijang yang tergantung di antara ranting pohon,
menuding-nuding dan membicarakannya. Mendengar kaki kuda tiga orang itu memandang dan mereka
terbelalak heran melihat bahwa penunggang dua ekor kuda itu adalah dua orang wanita cantik. Di lain
pihak, Bi Moli dan Ling Ay juga mengamati tiga orang itu dengan pandang mata penuh selidik. Mereka
bertiga itu berpakaian ringkas seperti pemburu dan kehadiran mereka di hutan menunjukkan bahwa
tentu mereka itu juga pemburu-pemburu yang hendak memburu binatang. Di punggung merekapun
terdapat gendewa dan anak panah.
Setelah meloncat turun dari atas punggung kuda dan membiarkan kuda mereka makan rumput, dua
orang yarita itu menghampiri tiga orang, dan Bi Moli langsung bertanya. "Sobat-sobat, apa yang kalian
tonton?"
Tiga orang itu bersikap sopan dan mereka memberi hormat kepada Bi Moli dan Ling Ay-"Maaf, toanio.
Kami adalah tiga orang pemburu yang hendak mencoba peruntungan berburu di hutan ini. Kami
biasanya berburu di sebelah selatan, akan tetapi di daerah selatan sudah terdpat terlalu banyak
pemburu sehingga hasil buruan hutan amatlah kurangnya. Kami ingin mencoba peruntungan di hutan ini
dan kami merasa heran melihat dua ekor kelinci dan seekor kijang di atas itu. Siapakah yang menyimpan
buruan itu di sana," tanya di antara mereka yang mukanya brewokan, suaranya lantang namun sikapnya
tegas dan sopan. Mereka memandang ke arah gendewa dan anak panah Bi Moli.
"Itu milik kami, hasil buruan kami." kata Bi Moli. "Kami akan mengambilnya sekarang dan akan
memanggang dagingnya karena kami sudah merasa lapar sekali. Ling Ay, ambillah kelinci dan kijang itu!"
"Baik, subo." kata Ling Ay dan sekali mengenjotkan kakinya, tubuh gadis itu sudah melayang naik ke atas
dan hinggap di cabang pohon, lalu mengambil bangkai kijang dan dua ekor kelinci itu, dan meloncat
turun dengan gerakan yang ringan dan gesit.
Tiga orang itu saling pandang dan seorang di antara mereka yang mukanya licin halus seperti wajah
perempuan, memuji, “Kepandaian nona sungguh hebat sekali. Kami kagum dan taluk.”
Orang ke tiga, yang pendek gemuk, tersenyum. "Pantas saja ji-wi sepagi ini telah merobohkan tiga ekor
binatang buruan yang gemuk dan lezat dagingnya, sedangkan kami bertiga belum mendapatkan apa-apa
sejak pagi, kiranya ji-wi adalah dua orang pemburu yang gagah perkasa dan berilmu tinggi!"
"Baru sekarang kami bertiga bertemu dengan dua orang wanita pemburu yang luar biasa!" kata pula si
brewok. Melihat betapa tiga orang itu memuji-muji tiada hentinya, Ling Ay mengerutkan alisnya. Ia tidak
senang mendengar rayuan pria, hal yang dianggapnya palsu, maka ia ingin menghentikan rayuan
mereka dan berkata dengan suara yang agak ketus.
"Kami bukanlah wanita pemburu! Kami hanya iseng-iseng dan kami tidak ingin berkenalan dengan para
pemburu."
Akan tetapi, ucapan yang agak ketus ini tidak membuat mereka mundur, bahkan si muka halus berseru
heran, "Aih, bukan pemburu? Kalau begitu, lebih mengagumkan lagi! Ji-wi tentulah wanita-wanita kangouw
yang bernama besar dan berilmu tinggi!"
Ling Ay semakin tak senang. Diberi tanda untuk menghentikan percakapan, malah menjadi-jadi! Untuk
membuat mereka jerih dan mundur, ia lalu berkata, "Kami adalah perwira-perwira pengawal istana!
Harap kalian tidak mengganggu kami lebih lama lagi, kami sibuk hendak memanggang daging!"
Bi Moli tersenyum saja melihat ulah muridnya yang tidak suka diganggu itu, dan iapun memilih batu
yang bersih lalu duduk di atasnya. Tiga orang pria itu saling pandang, dan nampak mereka terkejut
mendengar bahwa mereka berhadapan dengan dua orang perwira wanita dari pasukan pengawal
istana!
Kemudian, si brewok yang usianya sekitar empat puluh tahun dan agaknya menjadi pimpinan dari tiga
orang itu, segera mengangkat kedua tangan ke depan dada, diikuti dua orang kawannya. "Ah, mohon jiwi
sudi memberi maaf kepada kami yang lancang berani mengganggu ji-wi. Akan tetapi, karena jiwi
bukanlah pemburu, tentu kurang pengalaman, dan kurang perlengkapan untuk memanggang daging
binatang buruan. Kami membawa bekal bumbu yang lengkap dan kami sudah terbiasa membuat daging
binatang hutan menjadi hidangan lezat. Kalau ji-wi suka kami akan membantu ji-wi, menguliti hasil
buruan itu, memberi bumbu dan memanggang dagingnya, dan ji-wi tinggal menikmatinya saja."
Bi Moli sekarang memandang kepada si brewok dan bibir yang selalu dihias senyum itu kini melebar,
matanya mencorong. "Kalian bertiga adalah pemburu-pemburu yang sama sekali tidak kami kenal.
Mengapa kalian bersikap baik dan manis kepada kami?"
Si brewok itu juga tersenyum. "Toanio tentu mencurigai kami dan ingin mengetahui pamrih dari kami?
Memang ada pamrihnya. Pertama, kami juga sudah lapar, sejak malam tadi tidak makan apapun, dan
kedua, tidak mungkin ji-wi dapat menghabiskan semua daging ini, maka selain mengharapkan dapat ikut
makan, kamipun mengharapkan mendapat sisa daging untuk kami jadikan dendeng dan kami bawa
pulang."
Kini Bi Moli dan Ling Ay saling pandang, lalu tertawa. Bagaimanapun juga, menguliti dan memanggang
daging di tempat itu tanpa perlengkapan memang bukan merupakan pekerjaan mudah. Daging itu tidak
akan enak kalau hanya dipanggang dan diberi garam saja, satu-satunya bumbu yang mereka bawa
sebagai bekal dari rumah tadi.
"Baiklah, kami memang tidak suka ditolong orang tanpa imbalan. Nah, kalian panggangkan dagingdaging
itu dan semua sisanya boleh kalian ambil." kata Ling Ay. Iapun mencari tempat yang bersih untuk
duduk, tak jauh dari gurunya. Mereka hanya duduk dan melihat kesibukan tiga orang itu. Mereka itu
menguliti kijang dan dua ekor kelinci, membuang isi perutnya, membuat api, mengeluarkan bumbu yang
lengkap, dan ada yang mencari air dengan panci yang memang sudah mereka bawa sebagai
perlengkapan. Mereka dapat bekerja cepat dan nampak jelas bahwa ke tiga orang itu memang sudah
terbiasa menyiapkan makanan dalam hutan.
Sambil memanggang daging yang mengeluarkan aroma sedap karena diberi bumbu yang lengkap, tiga
orang itu tiada hentinya menceritakan keadaan mereka sebagai pemburu-pemburu yang miskin dan
tinggal jauh di dusun yang terletak di pegunungan sebelah barat Nan-king. Mereka juga memuji-muji
pemerintahan dari kerajaan Chi, dan seperti sambil lalu mereka juga menanyakan kedudukan dua orang
wanita itu di dalam istana kaisar. Karena sikap mereka yang biasa ramah dan tidak mencurigakan, Ling
Ay menceritakan dengan sejujurnya bahwa baru beberapa bulan saja gurunya bekerja menjadi pelatih
silat di istana, dan ia sendiri menjadi seorang perwira pengawal permaisuri.
Setelah panggang daging itu matang, tiga orang pemburu menghidangkan bagian-bagian yang paling
lunak dan lezat kepada Ling Ay dan gurunya, dan merekapun mengeluarkan seguci besar anggur yang
baunya harum sekali. Tentu saja guru dan murid itu menjadi gembira, dan mereka tidak menolak ketika
disuguhi anggur di dalam cawan-cawan bersih yang memang sudah dipersiapkan tiga orang pemburu
itu. Bi Moli sendiri tidak menaruh curiga karena tiga orang itu pun minum anggur dari guci yang sama.
Kalau anggur itu diberi racun, tentu tiga orang itu akan roboh lebih dahulu karena mereka yang lebih
dulu minum.
Tiga orang itu tidak membual. Panggang daging itu sungguh lezat sekali. Lunak dan ada rasa bumbu
asing yang aneh, namun yang membuat daging itu sedap. Guru dan murid itu makan sampai kenyang
dan mereka masing-masing menghabiskan tiga cawan anggur.
"Hemm, kalian memang pandai sekali memasak," kata Bi Moli dengan senang dan ia menyusut bibirnya
dengan saputangan. "Semua sisa dagingnya boleh kalian ambil, kami tidak memerlukan lagi. Ling Ay,
mari kita kembali, matahari sudah naik tinggi."
"Baik, subo," kata Ling Ay sambil bangkit berdiri dan menghampiri dua ekor kuda mereka yang masih
makan rumput. Akan tetapi, tiba-tiba pandang matanya berkunang dan sekelilingnya seperti berputar.
Ling Ay mengeluh dan menggunakan tangan untuk memegang kepalanya, namun ia terhuyung. Ia masih
sampat melihat betapa subonya meloncat berdiri dan gurunya itu membuat gerakan untuk menyerang
tiga orang pemburu tadi, akan tetapi gurunya mengeluh dan terguling roboh. Ling Ay tak dapat
menahan kemarahannya karena ia dapat menduga bahwa ia dan gurunya telah keracunan.
"Kalian ...!" Ia melompat untuk menyerang, namun iapun terguling karena pening dan roboh di dekat
gurunya. Ia masih sempat melihat munculnya belasan orang yang berpakaian serba hitam di tempat itu,
lalu semua menjadi gelap dan ia tidak ingat apa-apalagi.
Bi Moli Kwan Hwe Li adalah seorang datuk yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan pengalaman luas.
Kalau tadi ia sampai terkecoh dan minum anggur yang sudah dicampuri obat bius adalah karena ia
menaruh kepercayaan melihat tiga orang pemburu itu juga minum anggur dari guci yang sama. Tentu
saja ia tidak menduga bahwa tiga orang itu mempersiapkan segalanya, dan sebelum minum anggur,
sudah lebih dahulu minum obat penawar racun atau pembius itu sehingga mereka tidak terpengaruh.
Begitu ia bangkit dan merasa pening, ia pun maklum bahwa ia dan muridnya keracunan, maka ia hendak
menyerang tiga orang itu. Akan tetapi, ia segera teringat bahwa gerakan yang mengerahkan sin-kang
akan membuat racun di dalam perutnya bekerja lebih cepat, maka iapun sengaja membuat dirinya
terpelanting roboh. Diam-diam ia mengerahkan tenaga sakti dalam perutnya, dan menggunakan
telunjuknya untuk dimasukkan ke dalam mulut, menyentuh kerongkongannya. Seketika ia muntahmuntah,
dan dengan penambahan dorongan tenaga sin-kang, maka tenaga muntahan itu menjadi
senakin kuat dan semua yang berada di dalam pencernaannya tertuang keluar melalui mulutnya! Juga
anggur yang mengandung obat pembius itu.
Yang tinggal di dalam perutnya hanya sedikit dan yang sedikit itu tidak lagi mempengaruhi tubuhnya
yang sudah terlatih dan kuat.
Ia melihat betapa muncul belasan oraag yang berpakaian hitam-hitam maka iapun menanti sampai
mereka bergerak mendekatinya. Tiba-tiba ia meloncat dan mengeluarkan suara melengking panjang,
membuat belasan orang berpakaian hitam-hitam dan tiga orang pemburu tadi terkejut setengah mati
karena di dalam lengkingan itu terkandung getaran yang membuat mereka semua tergetar seperti
lumpuh!
Agaknya, belasan orang itu bukan orang-orang sembarangan. Terdengar seruan seorang di antara
mereka, "Sumbat telinga dan tangkap ia! Ia menggunakan tenaga sihir!"
Belasan orang itu menggunakan alat kecil penyumbat telinga, agaknya mereka memang sudah
mempersiapkan segala kemungkinan, dan kini mengepung Bi Moli Kwan Hwe Li dan dari gerakan dan
sikap mereka, datuk wanita ini maklum bahwa mereka bukanlah orang-orang lemah. Melihat ia
dikepung belasan orang laki-laki yang berpakaian serba hitam, Bi Moli Kwan Hwe Li segera
menggerakkan pedangnya. Ia tidak merasa perlu untuk bicara lagi karena mereka semua telah
menyumbat telinga mereka sehingga mereka tidak akan mendengar apa yang ia katakan. Dengan marah
ia memutar pedangnya dan para pengepungnya terkejut sekali melihat gulungan sinar pedang yang
menyelimuti tubuh wanita cantik itu. Mereka memperlebar kepungan dan mengeroyok dari
sekelilingnya sehingga Bi Moli terpaksa harus melindungi tubuhnya dari gulungan sinar pedang, tanpa
mendapat banyak kesempatan untuk menyerang. Ternyata bahwa belasan orang itu rata-rata memiliki
ilmu silat yang cukup tangguh.
Ketika seorang di antara mereka memberi isarat dengan mengeluarkan sebuah benda seperti gulungan
kain, yang lain juga segera mengeluarkan benda yang sama. Tiba-tiba, seorang yang berdiri di
belakangnya menggerakkan benda itu ke atas dan benda itu ternyata sehelai jaring hitam yang
menyambar dan menubruk ke arah Bi Moli. Wanita ini cepat mengelak ke samping dan biarpun ia dapat
menghindarkan diri dari terkaman jaring itu, ia disambut sambaran jaring lain. Ia mengelak dan
menggerakkan pedang untuk menangkis, akan tetapi akhirnya, sehelai jaring menerkamnya dari
belakang atas. Bi Moli mengerahkan tenaga menggerakkan pedangnya. Ternyata jaring itu terbuat dari
bahan yang kuat dan ulet, yang tidak menjadi putus oleh sabetan pedangnya. Ketika Bi Moli bagaikan
seekor ikan terjaring, menggerakkan tenaga meronta-ronta dan tangan kirinya yang menangkap jaring
itu berhasil merenggut putus beberapa helai tali jaring, jaring kedua sudah menerkam di atas jaring
pertama!
Bi Moli terkejut, maklum bahwa kalau banyak jaring menimpanya, ia tidak akan mampu lolos lagi. Akan
tetapi pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara mengaung-ngaung dan dua orang pengeroyok
terpelanting dan jaring-jaring itu ditarik kembali, hanya tinggal dua helai yang masih menyelimuti
dirinya. Akan tetapi karena dua orang pemegang tali jaring itu diserang oleh seorang pemuda yang
memegang sebatang pedang sehingga mereka terdesak mundur dan dengan mudah Bi Moli lalu
meronta melepaskan diri dari dua helai jaring itu.
Pemuda itu berusia kurang lebih dua puluh delapan tahun, bertubuh tinggi besar dan gagah. Dari
pakaiannya yang ringkas saja dapat diduga bahwa dia seorang pemuda kang-ouw yang perkasa. Pedang
di tangannya diputar membentuk sinar bergulung-gulung yang mengeluarkan bunyi mengaung-ngaung.
Melihat ini, Bi Moli menjadi gembira dan cepat iapun memutar pedangnya menerjang para pengeroyok.
Agaknya para pengepung maklum bahwa pemuda itu seorang yang lihai. Apalagi dua orang di antara
mereka telah roboh oleh pedang di tangan pemuda itu. Mereka mengangkat dua orang kawan mereka
yang terluka. dan melarikan diri menghilang ke dalam hutan.
Bi Moli tidak mengejar, dan pemuda itupun tidak melakukan pengejaran. Mereka berdiri saling
berhadapan dan berpandangan dengan penuh selidik. Bi Moli tersenyum, memandang kagum karena
pemuda itu memang gagah perkasa dan tampan.
"Aih, kalau aku tidak salah duga, bukankah engkau ini putera atau murid dari Bu-eng-kiam Ouwyang sek,
majikan Lembah Bukit Siluman?"
Pemuda itu memberi hormat. Dia memang benar Ouwyang Toan, putera tunggal Bu-eng-kim (Pedang
Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek. Dia meninggalkan Lembah Bukit Siluman dalam perjalanannya mencari
Tiauw Hui Hong, murid atau anak tiri ayahnya yang pergi meninggalkan lembah untuk mencari ayah
kandungnya. Ouwyang Toan ini jatuh cinta kepada adik seperguruan atau adik tirinya sendiri dan dia
bertekad untuk memperisteri Hui Hong. Dalam perjalanannya nenuju ke kota raja Nan-king dalam usaha
mencari Hui Hong, dia melihat betapa Bi Moli dikeroyok oleh belasan orang, maka diapun segera
memberi bantuan. Dia tidak mengenal wanita itu, akan tetapi melihat seorang wanita dikeroyok belasan
orang pria dan keadaannya terancam, tentu dia tidak dapat membiarkannya begitu saja. Apalagi wanita
itu demikian cantiknya, dan ada seorang nona cantik lain rebah pingsan di atas rumput.
"Toanio (nyonya) sungguh lihai dan bermata tajam, memang benar dugaan toanio, aku bernama
Ouwyang Toan dan ayahku adalah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Ayahku pernah bercerita tentang seorang
datuk wanita yang lihai dan selalu nampak cantik dan muda, juga ia seorang ahli sihir. Tadi toanio
menggunakan kekuatan sihir, apakah toanio yang bernama Bi Moli Kwan Hwe Li?”
Bi Moli tertawa girang. "Aih, engkau sungguh mengagumkan, tidak mengecewakan menjadi putera Bueng-
kiam! Engkau gagah perkasa, tampan dan cerdik."
"Bibi Kwan terlalu memuji," kata Ouwyang Toan merendah, kini tanpa ragu lagi menyebut bibi karena
ayahnya mengatakan bahwa ayahnya mengenal baik wanita yang dianggap setingkat dan segolongan
dengan ayahnya itu. "Akan tetapi, siapakah nona yang masih tak sadar itu, bibi?"
"Aih, aku sampai lupa! Ia adalah muridku dan tadi kami tertipu oleh tiga orang pemburu yang
mencampurkan racun pembius dalam anggur yang mereka suguhkan.” Bi Moli menghampiri muridnya
yang masih rebah terlentang dalam keadaan pingsan, diikuti oleh Ouwyang Toan yang diam-diam
memandang kagum kepada wanita muda yang cantik itu.
"Bibi, aku mempunyai obat penawar segala macam racun. Kalau boleh, biarkan aku yang
menyadarkannya,” kata Ouwyang Toan. Bi Moli memandang wajah pemuda itu dan mengangguk sambil
tersenyum! Sebagai seorang wanita berpengalaman, ia tahu bahwa pemuda putera datuk dari Lembah
Bukit Siluman ini tertarik kepada muridnya. Mengapa tidak, pikirnya! Kalau muridnya dapat menjadi
mantu Ouwyang Sek, berarti ia mempunyai sekutu yang amat kuat.
Setelah mendapatkan persetujuan Bi Moli Ouwyang Toan dengan girang lalu berlutut di dekat tubuh
yang terlentang itu. Jantungnya berdebar keras karena dengan berlutut di dekat tubuh itu, dia dapat
melihat dengan jelas bentuk tubuh yang ramping padat itu, wajah yang cantik manis. Dia bukan seorang
yang ber watak mata keranjang, akan tetapi Ling Ay memang memiliki kecantikan yang mampu menarik
hati pria yang pendiam sekalipun!
Ouwyang Toan mengambil dua butir pel merah dari sebuah bungkusan, lalu menghancurkan dua butir
pel itu ke dalam secawan arak. Setelah itu, dia menotok jalan darah di kedua pundak dan tengkuk Ling
Ay. Gadis itu belum siuman, akan tetapi sudah mengeluh dan dapat bergerak tanpa membuka mata
karena masih dipengaruhi racun pembius. Karena ia sudah mampu bergerak, Ouwyang Toan
merangkulnya dengan lengan kiri, membantunya bangkit duduk, lalu memaksanya minum obat penawar
racun dari cawan. Biarpun tidak mudah, namun setelah Ouwyang Toan meniup ke hidung Ling Ay,
wanita ini gelagapan dan terpaksa dapat menelan semua isi cawan. Ouwyang Toan merebahkannya
kembali dan dengan jari-jari tangan penuh gairah, dia memijit-mijit pundak dan tengkuk Ling Ay, merasa
betapa lembut kulit itu, betapa hangat dan berisi.
Tak lama kemudian, Ling Ay mengeluh dan membuka mata. Begitu melihat ada seorang laki-laki berlutut
di dekatnya dan laki-laki itu meraba-raba dan memijit-mijit tengkuk dan pundaknya, ia mengeluarkan
seruan nyaring dan sambil meloncat berdiri, ia mengirim pukulan ke arah muka laki-laki itu,
“Wuuuuttt ... plakkk!” Ouwyang Toan menangkis tamparan yang amat kuat itu dan diapun melompat
berdiri.
Ling Ay sudah siap untuk melanjutkan serangannya, akan tetapi gurunya segera melangkah maju dan
menangkap lengannya.
"Tenanglah, Ling Ay dan jangan salah mengerti. Pemuda ini tidak berniat buruk, bahkan dia yang telah
mengobatimu dan menyadarkanmu dari pengaruh racun pembius.” kata Bi Moli kepada muridnya.
Mendengar ini, Ling Ay terkejut dan mundur dua langkah, memandang kepada pemuda itu dan kedua
pipinya berubah kemerahan.
"Ahhh ... maafkan aku ... " katanya gagap dan malu telah menyerang orang tanpa bertanya dulu
sehingga hampir ia memukul penolongnya!
"Tidak mengapa, nona. "kata Ouwang Toan.
"Ling Ay, dia adalah Ouwyang Toan, putera dari Bu-eng kiam Ouwyang Sek. Kalau dia tidak datang, tentu
akupun tadi akan terancam bahaya dari tangan orang-orang berpakaian hitam itu. Ouwyang Toan,
kenalkan, muridku ini bernama Cia Ling Ay.”
Ling Ay yang menyadari kesalahannya tadi, segera memberi hormat dan berkata dengan suara lembut
dan ramah, "Terima kasih atas bantuan Ouwyang Tai-hiap."
Ouwyang Toan tersenyum. "Ahhh, harap nona jangan menyebutku taihiap (pendekar besar)!"
Bi Moli tertawa. "Engkau sendiri menyebut Ling Ay nona. Ketahuilah, ia bukan nona, melainkan nyonya
muda, ia sudah janda tanpa anak ... "
"Subo ... " kata Ling Ay dan mukanya berubah kemerahan. Ia menganggap memalukan untuk
memperkenalkan dirinya sebagai seorang janda muda tanpa anak.
"Aihh, Ling Ay. Ouwyang Toan ini adalah putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang kuanggap sebagai
segolongan dan sahabat sendiri, maka diapun dapat kita anggap orang serdiri. Engkau tidak perlu
sungkan dan sebut saja dia toako, dan engkau menyebut siauw-moi kepada Ling Ay, Ouwyang Toan.”
Kedua orang muda itu kembali saling pandang dan dengan sikap malu-malu karena mata pemuda itu
menjelajahi seluruh tubuhnya, Ling Ay berkata, "Ouwyang toako!"
"Cia-moi, di antara kita memang tidak perlu sungkan seperti apa yang dikatakan bibi Kwan."
"Kulihat Bibi Kwan dan Adik Ling Ay berpakaian seperti perwira kerajaan. Benarkah dugaanku ini?"
"Tidak salah, Ouwyang Toan. Aku bekerja di istana sebagai guru silat yang melatih para perwira dan para
puteri, sedangkan Ling Ay bekerja sebagai perwira pasukan pengawal permaisuri."
"Ah, kiranya bibi dan adik telah menjadi orang-orang penting di istana! Sungguh mengagumkan sekali!"
"Tidak perlu memuji, Ouwyang Toan. Kami hanya perwira-perwira kecil. Akan tetapi engkau sendiri,
hendak ke manakah dan bagaimana dengan keadaan ayahmu di Lembah Bukit Siluman?"
"Terima kasih, bibi. Ayah baik-baik saja. Dan aku sendiri sedang mencari ... adikku yang pergi dari
rumah.”
"Siapakah adikmu itu? Dan, kalau tidak salah, Bu-eng kiam mempunyai seorang anak perempuan. itukah
yang kaumaksudkan? Siapalagi namanya, aku sudah lupa."
"Benar, bibi. Namanya Hui Hong ... eh, ada apakah, adik Ling Ay? Kenalkah engkau dengan adikku, atau
apakah engkau melihat ia di kota raja !”
Ling Ay menggeleng kepala. "Aku ... rasanya aku pernah melihatnya dan mendengar namanya, yaitu
kurang lebih empat tahun yang lalu ... "
"Sebelum engkau menjadi muridku?" tanya gurunya.
Ling Ay sudah dapat menenangkan hatinya. ia ingat bahwa gadis bernama Hui Hong itu adalah gadis
yang membuat hatinya merasa tidak enak dan cemburu karena gadis itu datang bersama Bun Houw dan
mereka nampak demikian akrab, ia merasa tidak perlu bicara tentang itu dan iapun berkata tenang,
"Akan tetapi, sejak empat tahun yang lalu, aku tidak pernah lagi melihatnya."
"Mari ikut bersama kami, Ouwyang Toan. Kami akan membantu mencari keterangan. Kalau memang
benar adikmu berada di kota raja, kami tentu akan dapat menemukannya. Kami harus cepat kembali ke
kota raja untuk melaporkan tentang adanya gerombolan berpakaian hitam yang rata-rata memiliki
kepandaian tinggi itu. Mereka harus cepat dibasmi dan kami akan minta kepada panglima pasukan
keamanan untuk menggerebek mereka di hutan ini."
Ouwyang Toan merasa girang, bukan saja karena akan mendapat bantuan menemukan Hui Hong,
melainkan juga karena dia akan berdekatan dengan Ling Ay yang cantik manis, dan juga Bi Moli yang
biarpun usianya sudah setengah abad, masih nampak jelita itu. Mereka lalu berangkat ke Nan-king. Bi
Moli berboncengan satu kuda dengan muridnya dan kuda yang seekor lagi diberikan kepada Ouwyang
Toan ...!”
Karena yang membawanya Bi Moli dan Ling Ay, tentu saja Ouwyang Toan tidak dilarang memasuki
istana dan dia mendapatkan sebuah kamar dalam sebuah gedung di samping agak terpisah dari gedung
induk, yaitu gedung yeng memang disediakan bagi para tamu istana. Bi Mo-li sendiri segera
menghubungi panglima pasukan keamanan yang mengirim pasukan untuk menggerebek gerombolan
berpakaian hitam yang tadi mengeroyok Bi Moli. Akan tetapi, pasukan itu tidak menemukan apa-apa.
Pasukan itu tidak menemukan seorang pun anggauta gerombolan walaupun di tengah hutan didapatkan
pondok-pondok darurat dan ada tanda-tanda bahwa baru saja banyak orang meninggalkan tempat itu.
Memenuhi janjinya, Bi Moli juga menyebar penyelidik untuk mencari seorang gadis bernama Ouwyang
Hui Hong, namun sampai beberapa hari lamanya, pencarian mereka itu tidak berhasil menemukan gadis
yang dicari. Sementara itu, Ouwyang Toan tinggal sebagai tamu terhormat di lingkungan istana, dan
walaupun tempat itu dijaga para pengawal dan dia tidak dapat berkeliaran di dalam istana, namun di
sekeliling gedung tamu itu terdapat taman yang luas dan indah sehingga membuat pemuda ini merasa
betah tinggal di situ. Apalagi di waktu malam, seringkili Bi Moli dan Ling Ay datang berkunjung dan
hubungan mereka telah akrab.
Karena sikap Ouwyang Toan memang baik terhadap dirinya, dan ia tahu bahwa pemuda itu seorang
yang berkepandaian tinggi, maka ketika gurunya menyindirkan bahwa pemuda itu akan menjadi
jodohnya yang baik, Ling Ay tersipu dan menundukkan mukanya yang berubah kemerahan.
"Ling Ay, pemuda itu seorang yang baik dan akan sukarlah mencari seorang calon suami yang melebihi
dia. Dia lihai, tampan, gagah, putera seorang tokoh besar ... "
"Subo! Subo tahu bahwa aku seorang janda, dan aku ... aku hanya mencinta seorang ... “
"Bodoh! Jangan engkau meniru sikap hidupku yang membuat aku merana sampai setua ini! Apa artinya
mencinta seorang pria mati-matian, padahal pria itu sendiri tidak mencintamu? Engkau akan menderita!
Aku sudah bersikap bodoh ketika muda. Sebetulnya tidak seharusnya aku bersikap seperti itu,
mengharapkan seorang pria menjadi jodohku sampai aku harus mengorbankan diri, bersetia sampai
puluhan tahun, pada hal pria itu tidak mau menjadi jodohku! Seharusnya kita menempuh dua jalan,
pertama, kita harus menggunakan segala daya upaya untuk mendapatkan pria yang kita cinta itu, baik
secara halus maupun kasar. Kalau itu gagal, kita mencari pria lain dan melupakan yang pertama! Nah,
untuk apa engkau mengharapkan kekasih pertamamu itu. padahal dia tidak mencintamu lagi, bahkan
engkau pernah menikah dengan orang lain? Sekarang ada Ouwyang Toan, dan kurasa dia tidak kalah
dibandingkan dengan pria manapun."
"Subo, dia serdiri belum tentu mau denganku. Aku hanya seorang janda, dan dia putera seorang datuk
dan ... “
"Aku yakin dia pasti mau memperisteri dirimu."
"Bagaimana mungkin subo tahu?"
Bi Moli tersenyum. "Aku dapat melihat bahwa dia tertarik padamu, Ling Ay, baik dari pandang matanya
dan sikapnya kalau bicara denganmu."
"Aih, subo hanya menduga-duga saja."
Demikianlah, sejak percakapan itu, Ling Ay semakin memperhatikan Ouwyang Toan bahkan kalau kini
berhadapan dengan pemuda itu, ia merasa betapa jantungnya berdebar tegang dan ia merasa sungkan
dan tersipu. Pada suatu sore, beberapa hari setelah Ouwyang Toan tinggal di lingkungan istana sebagai
tamu, Ling Ay mencari gurunya. Ketika mendengar dari pelayan gurunya bahwa Bi Moli sejak tadi pergi,
Ling Ay menduga bahwa tentu subonya pergi mengunjungi Ouwyang Toan, seperti yang dilakukannya
setiap hari setiap kali ada kesempatan. Iapun pergi menyusul. Pada waktu itu, gedung tempat
penginapan tamu itu kebetulan kosong dan hanya ada sedikit saja tamu yang menginap di situ. Kamar
Ouwyang Toan berada di bagian belakang dan Ling Ay langsung saja menuju ke kamar pemuda itu. Para
penjaga di depan gedung itu tentu saja mengenal Ling Ay, dan mereka memberi hormat ketika perwira
pengawal wanita itu masuk.
Tentu saja Ling Ay tidak berani mengetuk kamar pemuda itu. Hal itu tidak sopan. Bahkan belum pernah
ia datang berkunjung sendirian saja, selalu bersama subonya. Kinipun ia bukan bermaksud datang
berkunjung, melainkan menyusul dan mencari subonya. Maka, iapun menghampiri kamar itu dengan
langkah ringan dan tidak menimbulkan suara sedikitpun. Tiba tiba, ketika ia berada di luar jendela, ia
menghentikan langkahnya. Ada suara percakapan berbisik-bisik keluar dari jendela itu dan ia mengenal
suara subonya! Subonya berada di dalam kamar seorang diri saja bersama pemuda itu, dan mereka
bicara berbisik-bisik, diselingi tawa lirih gurunya, tawa aneh karena terdengar genit! Iapun menahan
napas dan mengerahkan seluruh kekuatan pendengarannya, menangkap percakapan bisik-bisik itu.
"Bibi, kita telah berjanji, kuharap kelak engkau tidak akan melanggar janjimu kepadaku," terdengar
suara Ouwyang Toan berbisik.
"Ihh, anak bandel! Kaukira Bi Moli tukang bohong? Akan tetapi kau juga harus selalu ingat. Biarpun Ling
Ay telah menjadi milikmu, engkau harus tidak pernah menyia-nyiakan diriku. Kalau kelak engkau
melupakan aku, maka aku pasti akan membunuh engkau dan Ling Ay!"
Tentu saja Ling Ay yang mendengarkan dari luar, seketika menjadi pucat wajahnya dan matanya
terbelalak. Ingin ia meloncat dan pergi, akan tetapi kedua kakinya seperti lumpuh dan ia ingin
mendengarkan lagi, ingin tahu apa yang sebenarnya mereka rencanakan, "Aku melupakanmu? Ah,
engkau begini cantik, begini pandai menyenangkan hatiku, sampai matipun aku tidak akan
melupakanmu, bibi yang manis. Akan tetapi kalau engkau melanggar janji, tidak mengusahakan agar ia
menjadi milikku, aku akan meninggalkanmu dan mengadu kepada ayah dan kami akan memusuhimu."
"Jangan khawatir, laki-laki ganteng. Aku tidak begitu pelit untuk membagi dirimu dengan muridku
sendiri."
"Akan tetapi, ia kelihatan begitu pendiam dan angkuh. Rasanya aku tidak akan sanggup untuk berhasil
merayu dan memikatnya, bibi. Aku tidak pandai merayu."
"Apa sih sukarnya? Aku dapat mempergunakan kekuatan sihirku untuk menundukkannya."
"Dan aku mempunyai obat pembius dan racun perangsang untuk membantu kalau-kalau kekuatan
sihirmu kurang berhasil." Lalu terdengar kedua orang itu cekikikan menahan tawa. Ling Ay bergidik.
Ingin ia menjerit dan memaki, wajahnya sebentar merah sebentar pucat dan ia lalu memaksa diri untuk
berlari meninggalkan tempat itu, menuju ke kamarnya, mengambil pakaian dan sore hari itu juga
meninggalkan istana. Ketika ia berlari, karena ia marah sekali. ia kurang hati-hati dan kakinya
menimbulkan suara yang tentu saja mengejutkan dua orang yang, sedang berbuat mesum di dalam
kamar itu.
Ling Ay mendengar suaranya dipanggil, akan tetapi ia tidak perduli dan setelah berhasil membawa
buntalan pakaian, iapun keluar dari dalam istana, terus menuju ke pintu gerbang kota raja untuk
melarikan diri. Ia tidak akan sanggup melawan gurunya dan Ouwyang Toan, dan kalau ia tidak melarikan
diri. tentu ia akan menjadi korban niat yang hina dan kotor dari kedua orang itu. Lebih baik ia mati dari
pada menyerah kepada mereka!
Setelah keluar dari pintu gerbang bagian barat kota raja, Ling Ay terus melarikan diri secepatnya menuju
ke barat, ke arah sungai Yang-ce-kiang karena ia bermaksud melarikan diri dengan menyewa perahu
agar tidak mudah dapat dikejar dan ditangkap gurunya yang pasti akan melakukan pengejaran.
Matahari telah condong ke barat ketika akhirnya ia tiba di tepi sungai Yang-ce. Tempat itu sunyi sekali,
tidak nampak ada tukang perahu, bahkan tidak ada perahu di sungai yang dekat, semua yang nampak
adalah perahu-perahu nelayan yang jauh dari tepi itu. Akan tetapi tiba-tiba meluncur sebuah perahu
yang ditumpangi seorang laki-laki yang muka dan kepalanya tertutup sebuah caping lebar. Perahu itu
berhenti di sebuah belokan yang teduh dan laki-laki itu melempar kailnya.
Pada saat itu terdengar suara gurunya memanggilnya! Gurunya belum nampak, akan tetapi suaranya
sudah sampai di situ, tanda bahwa gurunya berteriak dengan kekuatan khi kang. Wajah Ling Ay menjadi
pucat. Kalau sampai ia terlihat gurunya, tidak akan ada harapan lagi!
"Paman tukang perahu ...!" teriaknya ke arah tukang perahu yang bercaping lebar dan sedang
memancing ikan itu. "Tolonglah aku, tukang perahu! Tolong seberangkan aku ke sana ... cepat, tolonglah
aku ...!!"
Akan tetapi, tukang perahu yang sedang memancing ikan itu agaknya tidak mendengarnya, atau
memang tidak perduli atau mungkin juga dia bukan tukang perahu yang suka menyeberangkan orang
melainkan seorang yang mempunyai kesenangan mengail.
"Tukang perahu ...!" Ling Ay berteriak lagi, akan tetapi terlambat. Tukang perahu itu tidak bergerak, dan
tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan subonya Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan telah
berdiri di depannya! Pemuda itu tersenyum mengejek, dan Bi Moli memandang dengan mata
mencorong marah.
"Ling Ay, apa yang kaulakukan ini? Engkau minggat, pergi meninggalkan istana tanpa pamit? Apa yang
kau kehendaki?" tanya Bi Moli dengan nada suara marah ... .
Ling Ay terkenang apa yang didengarnya dalam kamar tadi, maka ia bergidik. "Subo biarkan aku pergi,
aku tidak akan mengganggu kalian, akan tetapi harap kalian juga jangan menggangguku." kata Ling Ay,
suaranya gemetar.
"Ling Ay, gilakah engkau? Kenapa engkau hendak meninggalkan aku? Hayo kembali bersamaku!"
"Tidak, subo, aku tidak mau kembali. Harap subo jangan memaksaku untuk menjadi permainan
Ouwyang Toan!"
"Kau ... ?”
"Subo, aku sudah mendengar semua. Kalian hendak memaksaku, Ouwyang Toan hendak menggunakan
racun pembius dan perangsang, subo sendiri hendak mempengaruhi aku dengan sihir. Tidak, lebih baik
aku mati dari pada menuruti kemauan kalian yang kotor dan hina!" Kini Ling Ay marah, teringat betapa
subonya, orang yang selama ini dihormati dan disayangnya, ternyata telah berubah menjadi iblis betina
yang akan menjerumuskan murid sendiri, ia merasa heran mengapa subonya yang berdarah bangsawan
dan biasanya angkuh itu, bahkan yang selama ini setia mempertahankan cintanya kepada Tiauw Sun
Ong, telah berubah seperti itu!
"Ling Ay, engkau berani mengintai dan mendengar percakapan kami? Sungguh engkau murid durhaka!"
bentak Bi Moli, marah sekali karena merasa malu membayangkan betapa muridnya telah mengetahui
semua rahasianya dengan Ouwyang Toan.
Melihat kemarahan Bi Moli, Ouwyanng Toan berkata, "Bibi, kiranya tidak perlu ribut-ribut di sini. Kita
tangkap saja dan membawanya kembali ke istana. Biar kutangkap ia untukmu, bibi." Setelah berkata
demikian, Ouwyang Toan sudah menerjang ke depan, kedua lengannya dikembangkan, bagaikan seekor
biruang yang hendak menangkap kelinci.
Dengan marah Ling Ay mengelak dengan loncatan ke samping dan menggerakkan kakinya menendang
ke arah pusar pemuda itu. Tendangan itu cukup berbahaya, maka terpaksa Ouwyang Toan
menghindarkan diri dari tendangan itu dengan elakan ke belakang. Bi Moli marah melihat muridnya
melawan, maka iapun menerjang dari samping dan tangannya menyambar. Ling Ay berusaha mengelak,
akan tetapi pundaknya terkena sentuhan jari tangan gurunya dan iapun terpelanting! Akan tetapi,
kiranya gurunya hanya hendak menakut-nakutinya saja dan tidak melukainya maka iapun bangkit lagi,
mukanya pucat saking marahnya.
"Singg ...!!" Ling Ay mencabut pedangnya dan menghadapi kedua orang itu. "Subo, sudah kukatakan
bahwa aku lebih baik mati dari pada harus kembali ke sana. Dan terpaksa aku akan melawan matimatian
mempertahankan kehormatanku!" Ia mengangkat pedangnya, melintang di depan dada!
"Tahan pedangnya, biar aku merobohkan dan menangkapnya!" kata Bi Moli kepada Ouwyang Toan.
"Bibi, jangan bunuh Ling Ay ... " kata Ouwyang Toan. "Aku terlalu sayang padanya!"
"Aku tidak akan membunuhnya, melukai pun tidak asal engkau dapat menahan pedangnya dan
memberi kesempatan kepadaku untuk merobohkannya."
Ouwyang Toan mencabut pedangnya dan, diapun menyerang dengan putaran pedangnya cepat sekali.
Terpaksa Ling Ay menggerakkan pedang pula untuk membela diri. Ia berusaha untuk lebih banyak
mengelak sambil memutar pedang karena maklum bahwa sedikit saja ada lowongan karena ia harus
menghadapi pedang Ouwyang Toan, maka gurunya akan dengan mudah merobohkannya dengan
totokan.
"Trangg ...!” Kembali ia menangkis ketika pedang Ouwyang Toan membacok dari atas, akan tetapi
alangkah kagetnya ketika pedangnya melekat pada pedang pemuda itu, tidak dapat dilepaskan kembali.
Tentu saja ia dalam keadaan terbuka dan gurunya tentu akan mudah merobohkannya.
Bi Moli mergeluarkan suara tawa mengejek dan sudah bergerak ke depan, akan tetapi tiba-tiba nampak
bayangan dan sebuah caping menyambar sambil berputar seperti gasing, menyambar ke arah Bi Moli.
Tentu saja iblis betina yang cantik ini terkejut bukan main dan ia sudah mengurungkan totokannya
kepada muridnya, melainkan membalik dan menghantam ke arah caping yang menyambarnya dari
samping itu.
"Prakkk !" Caping itu hancur berkeping-keping, akan tetapi Bi Moli merasa betapa tangannya perih,
tanda bahwa caping itu dilontarkan dengan tenaga sin-kang yang kuat. Kini di depannya telah berdiri
seorang pemuda. Usia pemuda itu sekitar dua puluh lima tahun, tubuhnya sedang saja, wajahnya
tampan namun sederhana, tidak pesolek, bahkan pakaiannya juga bersahaja. Demikian pula sikapnya,
nampak ramah namun wajar bahkan agak acuh. Ling Ay terkejut dan juga wajahnya berubah
kemerahan. Kiranya ini adalah tukang perahu yang tidak menanggapi seruannya tadi, dan setelah tidak
bercaping lagi, ia melihat wajah yang amat dikenalnya, wajah yang selama bertahun-tahun ini tidak
pernah meninggalkan lubuk hatinya. Kwa Bun Houw!
Memang pemuda itu adalah Kwa Bun Houw, pemuda yatim piatu yang menjadi murid Tiauw Sun Ong.
Pemuda yang berbakat baik ini sudah mewarisi ilmu-ilmu dari Tiauw Sun Ong. akan tetapi kini tingkat
ilmu kepandaiannya bahkan melebihi gurunya karena secara kebetulan dia telah makan Akar Bunga
Gurun Pasir, obat mujijat yang pernah diperebutkan semua tokoh dunia persilatan. Obat mujijat itu yang
membuat tubuhnya menjadi kuat sekali. Baru pengaruh daya obat luar biasa itu saja sudah
mendatangkan kemajuan hebat dalam diri Bun Houw, apalagi secara kebetulan pula dia berhasil
mempelajari dan menguasai ilmu langka yang disebut Im-yang Bu-tek Cin-keng. maka dia memperoleh
kemajuan pesat sekali dalam ilmu silat. Kini Bun Houw sedang dalam perjalanan yang membawa dua
macam tugas yang diberikan gurunya kepadanya. Pertama, dia mencari Tiauw Hui Hong, puteri gurunya
yang tadinya menjadi anak yang diakui sebagai anak sendiri oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. Dia tidak
tahu ke mana Hui Hong pergi, maka dapat dibayangkan betapa sukarnya mencari seorang gadis tanpa
diketahui ke mana perginya. Adapun tugas kedua dari gurunya adalah agar dia mengamati dan meneliti
bagaimana perkembangan keadaan setelah kerajaan Lui-sung jatuh dan kaisarnya diganti kaisar Siauw
Bian Ong dari kerajaan Chi.
Dia sedang menuju ke Nan-king dengan perahu dan pada sore hari itu, secara kebetulan saja dia melihat
Ling Ay terancam oleh Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan.
Tentu saja dia segera mengenal Ling Ay ketika wanita itu tadi memanggilnya sebagai tukang perahu. Dia
mengenal suara Ling Ay, dan ketika dia mengerling dan mengintai dari bawah capingnya, dia mengenal
benar wajah wanita yang pernah menjadi kekasih dan tunangannya itu. Akan tetapi dia pura-pura tidak
perduli. Pertama, dia tidak ingin Ling Ay tahu bahwa dialah tukang perahu itu, dan ke dua, dia merasa
heran dan ingin melihat apa yang terjadi sehingga Ling Ay berada di tepi sungai itu dengan sikap yang
ketakutan. Ketika dia melihat Ouwyang Toan, dia terkejut, apalagi melihat sikap Ouwyang Toan dan
wanita cantik itu terhadap Ling Ay dan mendengar percakapan mereka. Dari percakapan itu dia tahu
bahwa wanita cantik itu guru Ling Ay yang kini mendadak saja menjadi seorang wanita yang memiliki
ilmu kepandaian silat. Bagaimana mungkin seorang guru hendak memaksa muridnya menjadi
permainan Ouwyang Toan seperti dikatakan Ling Ay tadi? Bun Houw sudah siap siaga, akan tetapi dia
masih ingin melihat perkembangannya dan mempertimbangkan apakah dia perlu melindungi dan
membantu Ling Ay.
Baru setelah dia melihat Ling Ay terancam dan nyaris dirobohkan, dia melempar capingnya untuk
menggagalkan serangan Bi Moli dan dia sendiri meloncat ke darat dan kini dia sudah berhadapan
dengan Bi Moli.
"Kakak Bun Houw ... !” Ling Ay tak dapat menahan mulutnya menyebut nama bekas tunangannya itu.
"Adik Ling Ay, tenanglah, biar aku menghadapi mereka." kata Bun Houw.
"Kwa Bun Houw, engkau berani mencampuri urusan kami!" bentak Ouwyang Toan marah sekali.
Andaikan dia seorang diri harus menghadapi Bun Houw, tentu dia merasa gentar karena dia tahu bahwa
dia tidak akan mampu menandingi pemuda itu. Akan tetapi di situ terdapat Bi Moli Kwan Hwe Li yang
lihai, maka tentu saja dia menjadi berani.
"Hemm, Ouwyang Toan, agaknya di mana-mana engkau hendak menyebar benih busuk dengan
perbuatanmu!" Berkata demikian, Bun Houw melangkah maju dan otomatis Ling Ay cepat mundur dan
berdiri di belakang bekas tunangan itu.
"Bibi, ini adalah Kwa Bun Houw, murid bekas pangeran Tiauw Sun Ong!"
"Ahhh ...!" Bi Moli tertegun. Tak disangkanya dia bertemu dengan seorang pemuda yang pernah
disebut-sebut muridnya sebagai bekas kekasih dan tunangan muridnya, juga yang menjadi murid Tiauw
Sun Ong, bekas kekasihnya.
“Bibi, dia musuh besarku sejak dahulu, bahkan dia mengajak gurunya untuk memusuhi ayahku. Bantulah
aku untuk membunuhnya, bibi. Baru kita dapat menangkap Ling Ay." kata pula Ouwyang Toan.
Mendengar bahwa pemuda itu murid bekas kekasihnya, hati Bi Moli merasa kurang enak. "Orang muda,
sebaiknya engkau tidak mencampuri urusan kami. Ini merupakan urusan, guru dan murid. Ling Ay adalah
muridku dan engkau sebagai orang luar tidak berhak mencampurinya. Ling Ay, hayo engkau ikut
enganku!"
"Tidak, subo. Sampai mati aku tidak akan suka ikut subo kembali ke istana!" kata Ling Ay berkeras, "Subo
telah bersekongkol dengan Ouwyang Toan untuk mempermainkan aku. Aku tidak sudi!”
“Locianpwe, saya tidak suka mencampuri urusan pribadi orang lain. Akan tetapi, sudah menjadi tugas
saya untuk mencampuri urusan yang menyangkut kejahatan yang menindas siapa saja, sudah menjadi
tugas saya untuk membela yang benar dan menentang yang salah. Adik Cia Ling Ay ini sudah jelas
menyatakan bahwa ia tidak mau ikut lo-cianpwe karena hendak dipaksa menjadi permainan Ouwyang
Toan. Kalau lo-cianpwe dan Ouwyang Toan hendak memaksanya, sudah tentu saya akan membelanya!”
kata Bun Houw dengan tegas.
Bi Moli tersenyum mengejek, “Engkau hanya murid Tiauw Sun Ong, berani bersikap begini kepadaku?
Berani engkau menentangku? Menentang aku sama saja dengan menentang gurumu sendiri!”
“Maaf, lo-cianpwe. Menurut pelajaran yang saya terima dari suhu, yang ditentang bukanlah orangnya,
melainkan perbuatannya yang keliru. Bahkan guru sendiri atau orang tua sendiripun kalau melakukan
perbuatan yang jahat, pernuatan itu harus ditentang, pelakunya harus disadarkan dari kesesatannya.”
“Bocah sombong! Engkau hendak mengatakan bahwa perbuatanku sesat?" bentak Bi Moli marah.
"Kalau lo-cian-pwe hendak memaksa Ling Ay untuk dipermainkan Ouwyang Toan di luar kehendaknya,
sudah jelas perbuatan itu sesat dan harus ditentang."
"Jahanam! Engkau tidak tahu siapa aku! Lihat baik-baik Kwa Bun Houw, aku adalah seorang yang harus
kau muliakan dan kau sembah. Berlututlah engkau!" Suaranya terdengar menggetar penuh wibawa dan
mata itu mencorong seperti menembus di dahi Bun Houw antara kedua alisnya.
Seketika Bun Houw merasa tubuhnya menggetar hebat dan ada tenaga yang amat kuat dalam suara itu
yang memaksanya untuk menjatuhkan diri berlutut. Akan tetapi, Bun Houw cepat mengerahkan tenaga
sin-kangnya yang kini menjadi amat kuat setelah dia makan obat Akar Bunga Gurun Pasir, dan
mengerahkan tenaga itu dari pusar ke atas sesuai dengan ilmu Im-yang Bu-tek Cin-keng yang
dikuasainya. Hawa yang hangat menjalar di seluruh tubuhnya sampai ke ubun-ubun dan dorongan
tenaga aneh yang memaksanya untuk berlutut tadi, lenyap bagaikan kabut ditimpa sinar matahari.
"Maaf kalau saya mengecewakan lo-cian-pwe, saya tidak akan pernah tunduk terhadap kejahatan.
Sebaliknya lo-cianpwe dan Ouwyang Toan segera meninggalkan adik Ling Ay dan jangan
mengganggunya lagi.”
Bi Moli Kwan Hwee Li menjadi semakin marah karena merasa penasaran dan malu bahwa kekuatan
sihirnya sama sekali tidak mempengaruhi pemuda iru. Ia mengeluarkan teriakan melengking dan
tubuhnya sudah ke depan dan ia mengirim pukulan dengan dorongan kedua tangannya ke arah dada
Bun Houw. Angin yang dahsyat menyambar ke arah Bun Houw yang maklum akan datangnya serangan
dahsyat itu maka diapun dengan jurus Im-yang Bu-tek Cin-keng menekuk kedua lututnya, kedua tangan
di rangkap depan dada seperti menyembah, lalu kedua tangan itu didorongkan ke depan dengan telapak
tangan di muka untuk menyambut serangan lawan.
"Wuunuttt ... dessss ...!” Dua pasang telapak tangan itu belum saling sentuh, akan tetapi di antara
mereka seperti ada angin kuat yang saling bertumbukan dan membuat keduanya terpental kebelakang.
Akan tetapi kalau Bun Houw terpental hanya mundur dua langkah, sebaliknya Bi Moli Kwan Hwe Li
terhuyung dan hampir roboh telentang kalau saja Ouwyang Toan tidak cepat menahannya dari
belakang. Bi Moli merasa terkejut dan malu, membuatnya marah dan ia menepaskan tangan Ouwyang
Toan yang menyangga punggung dan pinggulnya.
“Kwa Bun Houw, kalau aku menandingimu, sama dengan aku menghina gurumu. Baik akan kulaporkan
kelakuanmu yang kurang ajar kepadaku ini kepada Tiauw Sun Ong!” Setelah berkata demikian, Bi Moli
memberi isarat kepada Ouwyang Toan untuk meninggalkan tempat itu.
Ouwyang Toan tentu saja merasa terkejut dan heran. Dia memang tahu bahwa Bun Houw amat lihai.
Bahkan ayahnya pernah kalah oleh pemuda itu. Akan tetapi tadi di tidak melihat Bi Moli sudah
dikalahkan, hanya terhuyung ke belakang, kenapa wanita sakti yang menjadi datuk persilatan ini
nampak jerih untuk melanjutkan perlawanannya terhadap Kwa Bun Houw? Baru dia tahu setelah
mereka tiba diluar pintu gerbang kota raja dan melihat Bi Moli muntahkan sedikit darah, bahwa datuk
itu ternyata telah menderita luka dalam akibat adu tenaga sin-kang jarak jauh tadi! Tentu saja dia
terkejut, akan tetapi tidak berani bertanya-tanya.
Biarpun dalam hati ia marah dan membenci Ling Ay, akan tetapi pada lahirnya Bi Moli Kwan Hwe Li
terpaksa menghadap Permaisuri dan mohon maaf bahwa muridnya Cia Ling Ay pergi meninggalkan
istana tanpa pamit karena mendengar bahwa seorang pamannya meninggal dunia dan pengawal itu
malam-malam harus pergi meninggalkan kota raja dan tidak sempat mohon diri dari Permaisuri. Karena
yang mintakan maaf dan melaporkan adalah Bi Moli Kwan Hwe Li, guru silat istana dan juga guru diri
Ling Ay, maka Permaisuri menerima permintaan maaf itu dan tidak terjadi keributan apapun di dalam
istana. Bi Moli terpaksa menghadap permaisuri demi dirinya sendiri karena kalau Kaisar dan keluarganya
memarahi Ling Ay, ia sebagai gurunya tentu akan terlibat juga.
Atas permintaan Ouwyang Toan, Bi Moli akhirnya berhasil memperkenalkan Ouwyang Toan sebagai
murid keponakannya dan setelah melalui ujian ilmu silat, Ouwyang Toan diterima sebagai seorang
perwira pengawal pasukan penjaga keamanan istana. Dengan kedudukan ini. mereka berdua dapat
bekerjasama dan dapat selalu berhubungan, dan Ouwyang Toan mempergunakan kesempatan itu untuk
menyebar anak buahnya untuk mencari Hui Hong!
***
Mereka berdua, Bun Houw dan Ling Ay duduk di perahu kecil yang dibiarkan hanyut terbawa arus sungai
oleh Bun Houw yang menggunakan dayung untuk mengemudikan perahu yang meluncur perlahan-lahan
sambil bercakap-cakap dengan Ling Ay.
"Houw-ko, kalau tidak ada engkau yang menolong, tentu sekarang aku sudah mati membunuh diri
karena tidak mungkin aku mampu menandingi mereka dan aku tidak sudi dipaksa menjadi isteri
Ouwyang Toan.” Ling Ay berkata dengan terharu sambil menatap wajah bekas tunangannya.
Bun Houw menghela napas panjang, "Orang yang benar dan baik akan selalu dilindungi Tuhan, Ay-moi.
Betapa cepatnya waktu meluncur lewat. Rasanya baru kemarin dulu kita saling jumpa dalam peristiwa di
Nan-king itu dan sekarang, tahu-tahu engkau telah menjadi seorang ahli silat tangguh, murid Bi Moli!”
“Aih, nasib telah mempermainkan diriku sedemikian rupa, Hou-ko, bahkan sampai saat ini akupun masih
selalu dirundung nasib yang malang.”
“Adik Ling Ay, aku sudah mendengarkan malapetaka yang menimpa ayah ibumu. Ketika aku
meninggalkan rumah kalian untuk mencari Hui Hong, aku tidak dapat menemukan jejaknya dan ketika
aku kembali ke Nan-king, aku mendengar betapa ayah ibumu telah terbunuh oleh utusan pemberontak.
Aku mendengar pula bahwa engkau diculik penjahat yang berjuluk Hek-coa, akan tetapi engkau ditolong
oleh Bi Moli, semua keterangan itu kudapatkan dari Souw Ciangkun, panglima di Nan-king yang
kemudian menangkapi para pemberontak."
Ling Ay menghela napas panjang, "Ya, siapa tahu akan nasib kita? Akupun sama sekali tidak pernah
menduga bahwa guruku yang selamanya begitu baik kepadaku, menolongku dari penjahat yang
menculikku, kernudian melihat aku telah kehilangan segalanya lalu mengajakku merantau dan
mengambil aku sebagai murid, mengajarku ilmu dengan sungguh-sungguh, mendadak berubah sama
sekali setelah ia bertemu dengah Ouwyang Toan." Ling Ay lalu menceritakan semua pengalamannya,
tentang percakapan antara Bi Moli dan Ouwyang Toan yang melakukan hubungan gelap dan yang
merencanakan untuk memaksanya menjadi isteri Ouwyang Toan sehingan ia melarikan diri dan dikejar
sampai ke tepi-sungai.
"Hemm, akupun heran mengapa Ouwyang Toan ingin memperisterimu setelah dia menjadi kekasih Bi
Moli. Padahal, Ouwyang Toan juga agaknya ingin memaksa Hui Hong yang tadinya menjadi adik tirinya,
juga adik seperguruan, untuk menjadi isterinya. Mereka memang jahat sekali. Ouwyang Sek, ayahnya,
dahulu menolong ibu Hui Hong dalam perjalanan pembuangan, akan tetapi hanya untuk dipaksa untuk
menjadi isterinya. Untuk menyelamatkan anak dalam kandungannya, wanita itu terpaksa mau menjadi
isteri Ouwyang Sek. Ahh, para datuk itu agaknya terlalu mabok akan kekuatan sendiri sehingga mereka
menjadi sewenang-wenang, mengandalkan kepandaian untuk memaksakan kehendak mereka.
Sekarang, setelah engkau meninggalkan pekerjaanmu di istana, bahkan tidak berani kembali lagi ke kota
raja, lalu engkau akan pergi ke mana, Ay-moi?"
Ditanya demikian, tiba-tiba saja Ling Ay menangis. Ia sendiri merasa heran dengan tangisnya. Sejak ia
menjadi murid Bi Moli, ia tidak pernah menangis. Gurunya menganggap pantang untuk menangis,
karena tangis hanya kebiasaan orang-orang lemah. Akan tetapi kini, di depan Bun Houw, ia merasa
lemah sekali, lemah dan perasa sehingga begitu ditanya ke mana ia akan pergi, ia tidak dapat menahan
dirinya lagi dan tersedu-sedu.
Bun Houw tertegun. Dia sudah mengarahkan perahunya ke seberang. Tidak akan mudah dikejar dan
dicari orang, kalau-kalau Bi Moli mengerahkan pasukan mengejarnya, ia lalu minggirkan perahunya dan
menghentikan perahu itu di pinggir dengan mengikatkan tali perahu ke sebatang pohon. Tempat itu
sunyi. Mereka duduk di dalam perahu dan dia membiarkan Ling Ay menumpahkan semua perasaan
dukanya keluar melalui air matanya.
Setelah melihat wanita itu mereda tangisnya, dengan hati-hati Bun Houw bertanya, "Ling Ay, kenapa
engkau menangis? Apakah engkau tidak ingin kembali ke Nan-ping, ke kampung halamanmu?"
Wanita itu sudah berhenti menangis dan mendengar pertanyaan itu, ia mengangkat muka dan
memandang wajah pemuda itu dengan kedua mata basah. "Houw-ko, apakah engkau juga akan pulang
ke Nan-ping?" dalam ucapannya terkandung harapan yang memancar pula dari pandang matanya.
Bun Houw menggeleng kepala. "Aku masih harus melaksanakan tugas yang diberikan suhu kepadaku.
Akan tetapi kalau engkau ingin pulang ke Nan-ping, biar aku akan mengantarmu sampai ke sana
sebelum aku melanjutkan tugasku."
Kini sepasang mata itu seperti bergantung kepada mata Bun Houw, penuh harapan. "Kalau begitu, biar
aku menemanimu melaksanakan tugasmu, Houw-ko. Aku akan membantumu sekuat tenagaku! Ijinkan
aku ikut denganmu, Houw-ko!"
Bun Houw tersenyum dan menggeleng kepala. "Maaf, Ay-moi. Tugasku ini merupakan urusan pribadi,
tidak dapat dibantu oleh siapapun. Aku tidak dapat membawamu bersamaku, adik Ling Ay."
Hening sejenak. Bun Houw sebetulnya merasa iba sekali kepada bekas tunanganya ini, akan tetapi dia
tahu bahwa memang tidak mungkin dia mengajak Ling Ay, maka dia memutar tubuh membelakanginya
agar tidak melihat wajah cantik yang nampak amat berduka itu.
"Bunga itu kekeringan dan hampir layu," terdengar Ling Ay berkata lirih, "ia merindukan datangnya
embun yang akan membawa sedikit kesejukan, yang akan dapat menghidupkannya ... Houw-ko, aku ...
aku selalu mengharapkan uluran tangan dan hatimu, apakah ... apakah engkau tidak kasihan kepadaku
dan tidak teringat akan ... cinta kasih antara kita dahulu ...?" Ia sudah memberanikan diri sekuat hatinya,
mengenyahkan semua perasaan rikuh, sungkan dan malu. Ia telah menjadi seorang wanita yang tidak
tahu malu lagi, seperti membujuk agar pemuda itu mau menerimanya kembali sebagai kekasihnya!
"Adik Ling Ay, engkau masih muda, cantik, pandai, dan bahkan kini memiliki ilmu silat yang tinggi.
Engkau memang berhak untuk membentuk rumah tangga kembali, menemukan seorang suami yang
baik, akan tetapi ... bukan aku, Ay-moi. Sebaiknya aku berterus terang kepadamu. Aku telah dijodohkan
oleh suhuku dengan puteri suhu sendiri yaitu adik Tiauw Hui Hong dan kami berdua sudah saling
mencinta."
Bun Houw mengeluarkan ucapan lirih itu tanpa memutar tubuhnya, dan ia mendengar keluhan lirih dari
wanita itu.
"Adik Ling Ay, maafkanlah aku, agaknya memang kita tidak berjodoh ... " Akan tetapi dia mendengar
gadis itu meloncat pergi. Dia menoleh dan benar saja Ling Ay sudah lari meninggalkannya dengan cepat
sekali dan masih tertinggal suara isakan yang dibawa pergi. Dia merasa iba sekali, akan tetapi hanya
memandang dan menahan dirinya agar tidak memanggilnya. Memang beginilah yang terbaik, pikirnya.
Harus dia akui bahwa perasaan kasihnya terhadap Ling Ay tidak pernah lenyap, akan tetapi tidak
mungkin dia menuruti perasaan itu karena dia sudah terikat lahir batin dengan Hui Hong. Ikatan batin
yang timbul karena dia saling mencinta dengan gadis itu, dan ikatan lahirnya adalah karena dia sudah
menerima keputusan gurunya agar dia berjodoh dengan gadis itu.
***
Kui-siauw Giam-ong Suma Koan, datuk golongan sesat yang menjadi majikan dari Bukit Bayangan Setan,
dengan girang sekali menerima berita dari puteranya bahwa puteranya kini telah berhasil
menghambakan diri kepada bekas kaisar Cang Bu, bahkan di jodohkan dengan adik perempuan kaisar
atau bekas kaisar itu yang kini sedang menyusun kekuatan untuk mendirikan kembali kerajaan Liu-sung
yang telah dijatuhkan oleh kerajaan baru Chi. Dia segera datang berkunjung ke perkampungan di
lembah Yang-ce, tak jauh dari kota Kui-cu yang menjadi markas bekas kaisar itu menyusun kekuatan.
Suma Koan diterima dengan penuh penghormatan dan mulai saat itu, Suma Koan dan puteranya, Suma
Hok, bukan saja menjadi pembantu-pembantu utama bekas kaisar itu, melainkan juga menjadi anggauta
keluarga, karena Suma Hok segera menikah dengan Liu Kiok Lan, bekas puteri yang menganggap dirinya
telah diperkosa oleh mendiang Pouw Cin! Tentu saja ia sama sekali tidak tahu bahwa yang
memperkosanya adalah laki-laki yang kini menjadi suaminya itu.
Suma Koan menyarankan kepada bekas kaisar Cang Bu yang kini menggunakan nama samaran Siauw
Tek, agar suka bersekongkol dengan kerajaan Wei di utara yang sejak lama memusuhi kerajaan di
selatan.
"Ah, bagaimana paman Suma Koan mengusulkan hal seperti itu? Sejak puluhan tahun sejak kerajaan Liusung
berdiri, kerajaan Wei selalu menjadi musuh utama kami! Kerajaan Wei yang merupakan musuh
besar, musuh bebuyutan sejak dahulu, bagaimana mungkin kini kita ajak bekerja sama? Ini merupakan
suatu pengkhianatan cita-cita para pendahuluku!" Siauw Tek memrotes. Kalau mendiang Jenderal Pauw
Cin masih hidup, tentu panglima tua itupun akan memrotes keras.
Suma Koan tersenyum. Kakek yang kecil kurus ini lalu berkata dengan tenang, "Harap kongcu
pertimbangkan pendapatku ini," Dia menyebut kongcu sesuai dengan kehendak bekas kaisar itu yang
sedang menyamar, dan memang sudah menjadi watak datuk sesat ini untuk tidak memperdulikan
segala macam adat sopan santun maka diapun enak saja bersikap kasar kepada bekas kaisar itu. "Kita
haruslah dapat menyesuaikan diri dengan keadaan. Di waktu kita kuat, kita dapat mengandalkan
kekuatan kita untuk menundukkan musuh. Akan tetapi kalau keadaan tidak mengijinkan, kalau kita
kalah kuat, kita harus dapat mempergunakan daya lain, kita harus memakai kecerdikan untuk
memperoleh kemenangan. Kongcu hendak melawan sebuah kerajaan yang memiliki balatentara besar
dan kuat, kalau kita menggunakan pasukan, aku khawatir kita akan gagal. Karena itu, kita harus cerdik
dan kalau kita dapat bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, besar kemungkinan usaha kongcu akan
berhasil."
Bekas kaisar itu mengerutkan alisnya dan dia dapat melihat kebenaran ucapan itu. "Akan tetapi,
kerajaan Wei selama aku menjadi kaisar, adalah musuhku, bagaima mungkin mereka itu kini mau
bersekutu dengan kita?"
"Setiap kerajaan akan selalu mendasari gerakan mereka dengan perhitungan rugi untung. Kalau
sekarang bersekutu dengan kongcu untuk menentang kerajaan baru Chi dianggap menguntungkan
kerajaan Wei, kenapa mereka tidak akan mau? Kalau kita bersekutu dengan Wei, maka kedua pihak
akan mendapat untung. Kongcu harus cerdik."
"Hemm ... memang usulmu baik sekali. Akan tetapi, kalau kelak pasukan kerajaan Wei bersama
pasukanku berhasil menumbangkan kerajaan Chi, lalu mereka tidak mau kembali ke utara dan hendak
menguasai pula kerajaanku, bagaimana?"
"Harus diadakan dulu perjanjian yang menguntungkan mereka, kongcu. Selama ini, daerah yang luas
antara Sungai Huang-ho dan Sungai Yang-ce merupakan daerah tak bertuan yang selalu menjadi
perebutan dan medan pertempuran. Kalau kongcu menjanjikan bahwa kalau persekutuan ini berhasil
menumbangkan kerajaan Chi, dan kerajaan Liu-sung dapat dibangun kembali, aku akan menyerahkan
daerah itu kepada Wei, tentu mereka akan menerimanya dengan girang sekali."
"Tapi, bagaimana kalau mereka menolak dan mencurigai kita? Bagaimana kita akan dapat mengadakan
kontak dengan mereka? Belum apa-apa mereka tentu akan mencurigai kita."
"Harap kongcu jangan khawatir." kata Si Suling Setan. "Aku mengenal tokoh-tokoh kerajaan Wei dan
kalau kongcu memberi surat dengan tanda cap kekuasaan kongcu, aku yang akan menghubungi
mereka."
Bekas kaisar itu girang sekali dan ternyata Suma Koan tidak membual. Setelah membawa surat bekas
kaisar itu, dia segera melakukan perjalanan ke utara, memasuki daerah tak bertuan yang berbahaya itu.
Di daerah antara Huang-ho dan Yang-ce, dua batang sungai terbesar dan terpanjang di Cina, terdapat
kehidupan yang aneh. Daerah tak bertuan ini merupakan daerah yang selalu menjadi perebutan antara
kerajaan utara dan selatan, bahkan menjadi daerah pertempuran dan daerah di mana para mata-mata
ke dua pihak, para penjahat buruan, saling bersaing. Memang terdapat dusun-dusun di daerah ini, akan
tetapi di dusun-dusun inipun berlaku hukum rimba. Tidak ada pejabat pemerintah manapun yang duduk
sebagai pemimpin di dusun-dusun itu. Yang ada hanyalah para jagoan yang hidup sebagai raja kecil!
Karena kekuasaan yang didapat ini merupakan kekuasaan dari kekuatan badan, maka sering kali terjadi
perebutan kekuasaan, bentrokan dan perkelahian. Kepala dusun silih berganti, yang kalah tunduk atau
mati, yang menang menjadi pemimpin baru. Namun, karena para jagoan yang menjadi pemimpin ini
juga membutuhkan adanya penduduk, mereka tidak membunuhi para penduduk dusun. Apa artinya
berkuasa di sebuah dusun yang tidak ada penduduknya? Karena itu, mereka yang berkuasa bahkan
melindungi penduduk agar dia dapat memperoleh dukungan.
Dusun Tai-bun adalah sebuah di antara dusun-dusun yang berada di dalam wilayah tak bertuan itu. Taibun
berada di sebelah selatan, lebih dekat di perbatasan wilayah kerajaan Chi, dan dusun ini cukup
ramai karena Tai-bun merupakan satu di antara dusun-dusun yang penduduknya suka berkunjung ke
wilayah Chi untuk berdagang. Akan tetapi pada suatu pagi, serombongan orang yang jumlahnya dua
puluh orang lebih memasuki dusun itu. Yang menyolok pada dua puluh orang lebih ini adalah pakaian
mereka yang kesemuanya serba hitam! Dan yang lebih menggemparkan lagi adalah perbuatan mereka,
karena begitu memasuki dusun itu, mereka segera membunuh siapa saja yang mereka jumpai! Cara
mereka membunuh menunjukkan bahwa mereka terdiri dari orang-orang lihai. Sekali mereka
menggerakkan tangan, tentu seorang penduduk yang bertemu dengan mereka, roboh dan tewas
seketika!
Gegerlah dusun yang penduduknya hanya sekitar dua ratus orang itu. Para jagoan yang memimpin
dusun itu segera mengerahkan tenaga dan puluhan orang lalu mengeroyok para penyerbu pakaian
hitam itu. Akan tetapi, mereka yang melakukan penyerbuan itu amat lihai dan sebentar saja, orangorang
yang mempertahankan dusun mereka bergelimpangan, banyak yang tewas, ada yang luka-luka
dan tidak sampai dua jam kemudian, dusun itu telah kosong, ditinggal lari mengungsi mereka yang
belum menjadi korban! Dan sejak hari itu, dusun Tai-bun telah dikuasai kelompok orang yang
berpakaian serba hitam dan setelah mereka semua datang, jumlah mereka ada kurang lebih seratus
orang.
Gerombolan berpakaian hitam yang menguasai dusun Tai-bun ini bukan lain adalah orang-orang Thiante
Kui-pang, perkumpulan baru yang didirikan oleh Bu-tek Sam-kwi dan yang bertugas menimbulkan
kekacauan di kerajaan Chi yang baru. Mereka membutuhkan perkampungan yang dapat menjadi pusat
gerakan mereka ke selatan dan setelah memilih-milih, dusun Tai-bun mereka rebut untuk di jadikan
markas besar mereka. Dusun ini amat baik untuk di jadikan perkampungan mereka karena merupakan
dusun terdekat dengan daerah musuh yang tidak berada dalam kekuasaan kerajaan Chi, melainkan
wilayah daerah tak bertuan.
Serbuan yang menewaskan hampir seratus orang penduduk Tai-bun, dan mengalahkan para jagoan yang
memimpin di situ, segera tersiar ke seluruh daerah tak bertuan itu dan semua orang tahu bahwa di situ
kini berkuasa gerombolan yang menamakan diri mereka perkumpulan Thian-te Kui-pang. Ada beberapa
orang pemimpin gerombolan lain yang mencoba untuk merebut perkampungan itu namun satu demi
satu mereka dikalahkan oleh Thian-te Kui-pang sehingga akhirnya tak seorangpun berani mengganggu
gerombolan berpakaian hitam itu.
Beberapa pekan kemudian, pada suatu siang, para anggauta Thian-te Kui-pang yang melakukan
penjagaan di pintu gerbang dusun Tai-bun, menghadang dan menghentikan seorang laki-laki yang
hendak memasuki dusun itu. Semenjak dusun itu dikuasai Thian-te Kui-pang, tak seorangpun bukan
anggauta diperbolehkan memasukinya dan siang malam pintu gerbang dusun dijaga ketat. Dusun itu
berubah seperti sebuah benteng saja!
(Bersambung jilid 16)
Jilid 16
"BERHENTI! Harap melapor dulu siapa engkau dan ada keperluan apa hendak memasuki dusun kami."
kata kepala jaga dan sepuluh orang penjaga sudah mengepung pemuda itu dengan sikap yang galak.
Pemuda itu berusia sekitar dua puluh lima tahun. tubuhnya sedang dan wajahnya tampan, sikapnya
lembut, pakaiannya indah dan mewah seperti seorang pemuda hartawan. Dia bersikap tenang dan
tersenyum melihat sikap galak sepuluh orang itu.
"Kalian laporkan kepada Bu-tek Sam-kui bahwa Tok-siauw-kwi (Setan Suling Beracun) Suma Hok
mewakili ayahnya, Kui-siauw Giam-ong (Raja Maut Suling Setan) Suma Koan, ingin bertemu dengan
mereka bertiga."
Mendengar ucapan pemuda itu, sepuluh orang anggauta Thian-te Kui-pang terkejut dan sikap mereka
segera berubah sama sekali.
"Harap kongcu suka menanti sebentar." kata kepala jaga dan para anak buahnya mempersilakan
pemuda itu duduk di dalam gardu penjagaan, sementara menanti kepala jaga yang berlari masuk untuk
membuat laporan.
Tak lama kemudian, muncullah tiga orang pimpinan Thian-te Kui-pang, yaitu tiga orang kakak beradik
seperguruan yang disebut Bu-tek Sam-kui (Tiga Setan Tanpa Tanding) dengan sikap ramah. Tiga orang ini
adalah Pek-thian-kui yang bertubuh gendut bulat, Huang-ho-kui yang tinggi kurus, dan Toat-beng-kui
yang paling muda, berusia empat puluhan tahun dan wajahnya tampan.
"Kiranya Suma Kongcu yang datang, maafkan karena tidak tahu, kami terlambat menyambut."
Melihat sikap pimpinan mereka, para penjaga itupun berdiri tegak dengan sikap hormat. Suma Hok
tersenyum dan membalas penghormatan mereka.
"Ayahku mewakilkan kepadaku sebagai utusan Kaisar kami untuk membicarakan urusan kita."
"Silakan, kongcu, mari kita bicara di dalam." Bu-tek Sam-kui mempersilakan pemuda itu memasuki
dusun dan mereka segera mengadakan pembicaraan yang serius di dalam sebuah ruangan tertutup.
Sebelum Suma Hok, berkunjung ke dusun yang menjadi sarang Thian-te Kui-pang, sudah lebih dulu
ayahnya, Suma Koan, menghubungi Bu-tek Sam-kui dan dengan perantaraan Bu-tek Sam-kui, Suma
Koan menyampaikan uluran tangan bekas Kaisar Cang Bu untuk bekerja sama dengan kerajaan Wei di
utara. Kaisar Cang Bu yang sudah terguling tahtanya itu minta bintuan kerajaan Wei untuk menyerang
ke selatan dan merebut kembali tahta kerajaannya dari Kaiasar Siauw Bian Ong yang mendirikan
kerajaan Chi, dengan janji kalau berhasil akan menyerahkan daerah tak bertuan antara Huang-ho dan
Yang-ce-kiang kepada kerajaan Wei. Kaisar Thai Wu dari kerajian Wei menerima baik uluran tangan itu
dan akan memberi keputusan setelah itu diperbincangkan dahulu dengan para pembantunya. Dan hari
itu, Suma Hok ditugaskan ayahnya untuk mewakilinya minta berita keputusan Kaisir Thai Wu, sekalian
membicarakan rencana kerja bersama itu. "Paman bertiga tentu sudah maklum apa maksud
kunjunganku ini," kata Suma Hok setelah menerima hidangan selamat datang dari Bu-tek Sam-kui. "Atas
nama Sribaginda Kasar Cang Bu, ayah mengharapkan keputusan dari kerajaan Wei, dan juga ingin
mendengar rencana siasat yang akan kita atur bersama."
"Kami gembira sekali. Suma Kongcu," kata Pek-thian-kui. "Semula, kami membentuk Thian-te Kui-pang
untuk melaksanakan tugas mengacau kerajaan baru Chi di selatan. Ketika kaisar kami menerima surat
uluran tangan Kaisar Cang Bu, beliau merasa gembira dan menyatakan setuju. Ini kami membawa surat
dari kaisar kami untuk Kaisar Cang Bu mengenai persetujuan kerja sama itu."
Dengan girang Suma Hok menerima surat itu dan menyimpan di balik jubahnya. "Terima kasih, paman.
Nah, sekarang kita bicarakan tenting usaha kerja sama itu. Kami telah mempersiapkan sekitar lima ribu
orang pasukan yang siap tempur. Kaisar Cang Bu mengharapkan agar secepatnya kerajaan Wei
mengirim pasukan untuk minta bantuan pasukan kami menggempur Nan-ping."
Toat beng-kui, orang termuda dari Bu-tek Sam-kui, tersenyum dan dia yang menjawab, "Wah, tidak
semudah itu, kongcu! Apa artinya pasukan yang hanya lima ribu orang banyaknya? Kalau menyerang
kerajaan Chi begitu saja dengan kekuatan pasukan, maka akan terjadi perang besar yang menimbulkan
banyak kerugian di pihak kerajaan kami karena kami yang menjadi penyerang dari tempat jauh, pada hal
kekuatan antara kedua kerajaan berimbang. Belum tentu kita akan menang."
Suma Hok mengerutkan alisnya. "Hemm, kalau begitu, apa artinya persekutuan ini? Apa yang
direncanakan oleh Kaisar Wei Tay Wu untuk membantu kami?"
"Kongcu, kaisar kami telah menyerahkan kerja sama dengan Kaisar Cang Bu kepada kami. Kami yang
akan mengatur semua rencana, dan kami hanya akan mengacaukan kerajaan baru Chi dari dalam. Kalau
perlu, kami dapat membunuh kaisar dan seluruh keluarganya sehingga tidak ada pangeran yang
tertinggal. Dengan keadaan yang kacau, kerajaan Chi akan menjadi lemah dan mudah diserbu dan
dikalahkan. Selain mencoba membunuh Kaisar Siauw Bian Ong dan keluarga serta sekutunya, kitapun
harus dapat menguasai dunia kang-ouw sehingga kalau saatnya yang baik tiba, kita dapat mengerahkan
tenaga mereka untuk membantu kita. Bagaimana pendapat Suma Kongcu?"
Suma Hok mengangguk-angguk. Ayahnya sendiri sudah berpendapat bahwa kekuatan yang dihimpun
bekas Kaisar Cang Bu masih terlalu lemah untuk dapat merebut kembali tahta kerajaan, oleh karena itu
ayahnya menganjurkan Kaisar Cang Bu untuk bekerja sama dengan kerajian Wei di utara.
"Rencana itu baik sekali," katanya. "Dan tentang penguasaan dunia kang-ouw di daerah selatan, harap
jangan khawatir. Ayahku telah melakukan usaha itu dan sudah menghubungi banyak tokoh kang-ouw.
Bahkan kini Datuk wanita Kwan Im Sianli telah menjadi sahabat baik ayahku."
"Bagaimana dengan datuk yang menjadi majikan Lembah Bukit Siluman?" tanya Huang-ho-kui, orang ke
dua Bu-tek Sam-kui.
Suma Hok mengerutkan alisnya. Dia telah mendengar berita tentang datuk yang tadinya akan menjadi
ayah mertuanya, ketika dia mengharapkan Hui Hong, puteri angkat datuk itu, menjadi isterinya. Bahkan
sampai sekarangpun dia masih merindukan gadis itu. Akan tetapi, berita yang diterimanya sungguh
amat tidak menyenangkan, yaitu bahwa kini Ouwyang Toan, putera datuk itu, telah menjadi pengawal
anggauta pasukan keamanan di istana Kaisar Siauw Bian Ong, bersama Bi Moli yang telah menjadi
pengawal permaisuri kaisar itu. Dengan sendirinya Ouwyang Sek tentu akan berpihak kepada puteranya,
berarti berpihak kepada kerajaan Chi yang baru itu.
"Ah, sukar mengharapkan kerja sama dengan dia," katanya. "Puteranya, Ouwyang Toan, kini telah
menjadi pengawal kerajaan Chi, bersama Bi Moli Kwan Hwe Li. Dari kedua orang datuk itu, Bi Moli (Iblis
Betina Cantik) Kwan Hwe Li dan juga dari Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan) Ouwyang Sek kita tidak
dapat mengharapkan kerja sama, bahkan mereka akan menjadi penghalang karena mereka berpihak
kepada Kaisar Siauw Bian Ong."
Bu-tek Sam-kui tertawa dan Suma Hok memandang heran, juga penasaran. "Kenapa paman bertiga
malah tertawa?"
"Kenapa kongcu tidak dapat melihat kesempatan yang teramat baik ini? Kita harus dapat memanfaatkan
segala macam keadaan demi keuntungan kita! Kami juga sudah mendengar tentang Bi Moli dan
Ouwyang Toan bekerja di istana Kaisar Siauw Bian Ong. Dan itu justeru bagus sekali! Kami mengenal dua
orang datuk itu. Bi Moli dan Bu-eng-kiam, mereka bukanlah orang yang suka dianggap pahlawan atau
pendekar. Mereka akan bertindak demi keuntungan, mereka bukan orang bodoh. Kalau kita
menawarkan keuntungan yang lebih besar, kedudukan yang lebih baik, mustahil mereka akan memilih
menjadi pengawal kerajaan Chi saja. Ha-haha ha!" Pek-thian-kui tertawa bergelak, perutnya yang
gendut itu bergerak-gerak seperti hidup.
Kembali Suma Hok mengangguk-angguk setuju. "Baiklah, aku akan melaporkan hasil pertemuan kita ini
kepada ayah dan Sribaginda Kaisar Cang Bu. Sebaiknya kita membagi tugas. Paman bertiga yang
menghubungi Paman Ouwyang Sek dan Bi Moli Kwan Hwe Li, sedangkan kami akan menghubungi Kwan
Im Sianli dan tokoh-tokoh lain di daerah barat. Kami akan mengerahkan kepada para tokoh kang-ouw di
daerah kerajaan selatan agar mengadakan pemilihan seorang beng-cu (pemimpin rakyat) dunia kangouw.
Kalau beng-cu itu dapat kita kuasai, dan berpihak kepada kita, tentu mudah mengerahkan para
tokoh kang-ouw membantu kita kelak."
"Bagus Sekali!" Pek-thian-kui berkata girang, "Selain tugas itu, juga kami akan menyuruh orang-orang
kami untuk menundukkan perkumpulan-perkumpulan kang-ouw di wilayah Chi bagian utara ini,
sedangkan untuk menguasai begian selatan, kami serahkan kepadamu, kongcu. Sebaiknya kalau mareka
itu semua dapat dibujuk, kalau ada yang menentang, sebaiknya ditundukkan dengan kekerasan. Paling
lama dalam waktu setengah tahun, kita harus sudah berhasil membasmi kaisar Siauw Bian Ong
sekeluarganya dan termasuk semua sekutunya, lalu mengepung Nan-king dan membasmi pasukan yang
mempertahankan kerajaan Chi."
Setelah berunding matang dan bermalam semalam di dusun Tai-bun, pada keesokan harinya Suma Hok
meninggalkan tempat itu untuk kembali ke daerah Kui-cu, di lembah sungai di mana bekas kaisar Cang
Bu bersama adiknya tinggal.
Sebuah persekutuan telah diatur, persekutuan yang merupakan ancaman bahaya bagi kerajaan Chi,
karena persekutuan itu amat kuat. Di satu pihak bekas kaisar Cang Bu yang dibantu adik iparnya, Suma
Hok dan datuk sesat Suma Koan, telah menghimpun pasukan yang berjumlah lima ribu orang. Di lain
pihak ada kerajaan Wei di utara yang mau bekerja sama dan telah menyerahkan kerja sama itu kepada
Bu-tek Sam-kui yang membentuk pasukan Thian-te Kui-pang yang terdiri diri orang-orang
berkepandaian tinggi. Kalau rencana mereka berhasil dan mereka dapat membujuk Bi Moli dan
Ouwyang Toan bekerja sama, maka keselamatan Kaisar Siauw Bian Ong sekeluarganya memang
terancam bahaya maut, karena dua orang tokoh kang-ouw ini sekarang telih menduduki jabatan
pengawal dalam istana! “
Dua orang laki-laki itu bercakap-cakap dalam ruangan rumah ketua Thian-beng-pang. Tuan rumah, ketua
Thian beng-pang bernama Ciu Tek itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, bertubuh tinggi besar dan
pakaiannya sederhana dan ringkas seperti pakaian seorang pesilat, Wajahnya terhias brewok yang
membuat dia nampak gagah. Adapun tamunya, seorang pria berusia sebaya dengan tuan rumah,
bertubuh kurus dan pakaiannya penuh tambalan. Akan tetapi dia bukanlah seorang pengemis tua biasa,
karena dia adalah ketua Hek-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Hitam) yang terkenal di
wilayah Nan-king sebelah selatan sungai Yang-ce. Namanya Kam Cu dan sebutannya adalah Hek-tung
Lo-kai (Pengemis Tua Tongkat Hitam). Kumis dan jenggotnya sudah beruban dan biarpun tubuhnya
kurus dan tubuh itu nampak lemah, namun dari sinar matanya yang mencorong orang dapat menduga
bahwa dia bukanlah orang biasa.
"Menyebalkan sekali mereka itu! Suma Koan dan anaknya memaksa kita untuk menaluk kepada
mereka! Huh, siapa tidak tahu bahwa sejak dahulu Kui-siauw Giam-ong terkenal sebagai seorang datuk
sesat? Sekarang, setelah kerajaan Liu-sung jatuh dan Kaisar Cang melarikan diri, dia berpura-pura
muncul sebagai seorang ksatria yang hendak mendukung Kaisar Cang Bu."
"Kami juga menolak mentah-mentah bujukan mereka, bahkan kami juga mereka ancam. Akan tetapi
kami tidak takut," kata ketua Thian-beng-pang. "Kita semua melihat betapa bijaksananya Kaisar Siauw
Bian Ong. Bahkan beliau tidak menumpas orang-orang bekas pejabat Liu-sung dan menerima siapa saja
yang akan membantu pemerintah kerajaan Chi untuk menenteramkan dan memakmurkan kehidupan
rakyat. Bagaimana mungkin pemerintahan yang demikian bijaksana hendak kita tentang? Dan
mengembalikan Kaisar Cang Bu yang masih muda dan hanya mengejar kesenangan itu ke atas tahta?
Tidak, kami tidak mau dan sudah pasti Suma Koan mempunyai rencana busuk bagi keuntungan dirinya
sendiri dengan memperalat bekas kaisar muda itu."
"Inilah akibatnya kalau kaisar Siauw Bian Ong bersikap terlalu baik hati. Di samping segi baiknya
mendapat bantuan orang-orang pandai, juga ada segi buruknya, yaitu kelemahan karena kebaikan
beliau itu membuka pintu bagi orang-orang sesat untuk ikut menyelinap masuk. Apakah pang-cu tidak
mendengar berita bahwa orang-orang yang tadinya terkenal di kang-ouw sebagai golongan sesat. kini
ikut pula bekerja di dalam istana?"
Ciu Tek pang-cu dari Thian-beng-pang terkejut dan memandang kepada pencemis tua. "Lokai, siapa yang
engkau maksudkan?"
"Bi Moli Kwan Hwe Li dan Ouwyang Toan putera Bu-eng-kiam Ouwyang Sek."
"Ahh!" Ciu Tek membelalakkan matanya. "Kalau Bi Moli Kwan Hwe Li, bagaimanapun juga ia dahulu
adalah seorang puteri bangsawan, bahkan kini ayahnya masih tinggal di kota raja. dan adiknya, Kwan
Hwe Un menjadi hakim di Bi-ciu, tidak mengherankan kalau ia datang ke kota raja dan bekerja di istana
kaisar. Akan terapi Ouwyang Toan putera Bu-eng-kiam, majikan Lembah Bukit Siluman? Hemmm, ini
berbahaya sekali!"
"Harap pang-cu tenangkan diri. Kurasa biar seorang seperti Bu-eng-kiam sekalipun tidak akan begitu gila
untuk membuat kekacauan di istana. Kaisar memiliki banyak pengawal dan jagoan istana yang cukup
tangguh. Sekarang, bagaimana kita harus menghadapi ancaman dari Kui-siauw Giam-ong? Tiga hari lagi
dia akan datang untuk minta keputusan kita. Kalau kita menolak, tentu dia akan menyerang."
"Takut apa, Lo-kai? Kalau dia memaksa kita melawan untuk mempertahankan nama dan kehormatan."
kata ketua Thian-beng-pang itu.
"Akan tetapi kalau dia menantangmu perkelahian satu lawan satu? Kui-siauw Giam-ong lihai sekali, dan
siapa tahu dia juga membawa orang-orang yang lihai. Kabarnya sudah banyak tokoh kang-ouw yang
takluk padanya dan mau bekerja sama."
"Tidak usah khawatir, kita menjadi satu dan melawan! Sebaiknya pada hari yang ditentukan, engkau dan
anak buahmu berkumpul di sini dan kita bersatu padu menghadapinya, Lo-kai."
"Baik, pangcu. Kita bersatu menghadapi datuk sesat itu!" kata Hek-tung Lo-kai.
Pada hari yang ditentukan, pagi-pagi sekali Hek-tung Lo kai Kam Cu bersama sekitar dua ratus orang
anggauta Hek-tung Kai-pang telah berkumpul di rumah perkumpulan Thian-beng p.In! yang juga sudah
mengumpulkan anak buahnya sebanyak dua ratus orang lebih. Thian beng-pangcu Ciu Tek menyambut
sahabatnya itu dan dia juga sudah siap dengan anak buahnya untuk menghadapi serangan Suma Koan.
Suasana di pusat perkumpulan Thian-ben-;-pang itu nampak hening dan tegang biarpun di situ
berkumpul ratusan orang anak buah kedua perkumpulan. Baik Hek-tung Lo-kai Kam Cu maupun Thianbeng-
pangcu Ciu Tek tidak mau minta bantuan pasukan keamanan, pemerintah karena urusan ini
merupakan urusan mempertahankan kehormatan sehingga mereka akan merendahkan diri kalau
sampai minta bantuan pasukan pemerintah. Setelah matahari naik tinggi, semua anak buah kedua
perkumpulan telah berbaris di depan pusat perkumpulan Thian-ber g-pang yang berdiri di tereng sebuah
bukit. Dari tereng itu. kini nampak serombongan orang tidak begitu besar jumlahnya, hanya sekitar tiga
puluh orang, berjalan mendaki bukit. Yang berjalan di depan adalah Suma Koan lalu nampak Suma Hok
puteranya, dan seorang yang bertubuh gendut bulat. Yang ke tiga itu adalah Pak-thian-kui, orang
pertama dari Bu-tek Sam-kui yang ikut memperkuat rombongan Suma Koan karena mereka sudah
mendengar bahwa perkumpulan Thian-beng-pang dan Hek-tung Kai-pang agaknya hendak
membangkang terhadap perintah mereka.
Hek-tung Lo-kai Kam Cu dengan tongkat hitamya di tangan, berdiri di depan anak buahnya, didampingan
Thian-beng-pangcu Ciu Tek yang juga berdiri di depan anak buahnya, dengan golok besar siap di
pinggang.
Suma Koan tersenyum mengejek setelah dia berhadapan dengan kedua orang ketua itu. "Selamat pagi,
Hek-tung Kai-pangcu dan Thian-beng-pangcu. Kami melihat bahwa kalian berdua telah siap menyambut
kami. Langsung saja kami ingin mengetahui jawaban kalian terhadap keinginan kami yang telah kami
sampaikan tiga hari yang lalu."
"Kami tetap menolak kerja sama dengan pihakmu!" kata Tian-beng-pangcu dengan suara tegas.
"Kami juga menolak kerja sama itu. Kami ingin bebas menentukan langkah sendiri!" kata pula Hek-tung
Lo-kai.
"Ha-ha-ha, sudah kami sangka demikian. Kam Cu dan Ciu Tek, kalian sudah berani menolak uluran
tangan kami untuk menjadi sahabat, berarti kalian menganggap kami musuh. Kalau begitu, permusuhan
ini kita selesaikan secara laki-laki sejati. Kami menantang kalian untuk bertanding satu lawan satu.
Beranikah kalian menyambut tantangan kami, ataukah kalian begitu pengecut untuk mengerahkan anak
buah kalian melawan kami?"
Terdengar suara bergelak dan Pek-thian-kui yang gendut bulat sudah maju mendampingi Suma Koan.
"Ha-ha-ha, aku sudah mendengar nama besar Hek-tung Lo-kai dan ingin sekali mengenal tongkat
hitamnya!"
Beberapa orang murid Thian-beng-pang dan Hek-tung-kaipang maju untuk membela ketua mereka,
akan tetapi kedua orang ketua itu memberi isyarat agar mereka mundur.
"Musuh datang dan menantang secara laki-laki. Biar dengan taruhan nyawapun, kami adalah laki-laki
sejati untuk menyambut tantangan itu dalam pertandingan satu lawan satu," kata mereka.
"Ha-ha-ha, bagus! Majulah kalian berdua dan bersiaplah untuk mati!” Kata Suma Koan sambil mencabut
sebatang suling dari ikat pinggangnya.
“Tahan ...!!!" Tiba-tiba terdengar suara nyaring dan nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu di situ,
di sebelah kanan kedua orang ketua itu, telah berdiri seorang pemuda, yang usianya sekitar dua puluh
lima tahun. Melihat pemuda itu, Suma Koan dan Suma Hok terkejut, bahkan wajah Suma Hok berubah
agak pucat.
"Kau...! Kwa Bun Houw, apakah engkau tidak tahu malu mencampuri urusan kami? Kami hanya
berurusan dengan Thian-beng-pang dan Kek-tung Kai-pang, dan engkau tidak ada sangkut pautnya
dengan mereka atau kami! Heii, Kam-pangcu dan Ciu-pangcu, apakah kalian sudah begitu pengecut
untuk mengundang jagoan dari luar perkumpulan kalian untuk melindungi kalian?"
Disudutkan seperti itu, tentu saja kedua orang ketua itu merasa kehormatan mereka tersinggung. "Kuisiauw
Giam-ong, jangan sembarangan menuduh!" bentak Thian-bengcu Ciu Tek, "Kami sama sekali tidak
mengenal pemuda ini dan tidak mengundangnya untuk membantu kami!"
Sementara itu, Hek-tung Lo-kai sudah menghadapi Bun Houw dan dia memberi hormat. "Orang muda
yang gagah, harap engkau tidak mencampuri urusan kami. Kami ditantang oleh mereka, kami harus
menghadapi secara jantan!"
Bun Houw melangkah maju. "Ji-wi pang-cu, harap dengarkan sebentar, dan semua saudara anggauta
Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang, harap ikut dengarkan apa yang kukatakan. Ketahuilah bahwa
kedua pang-cu ini telah terjebak oleh kecurangan dan kelicikan Kui-siauw Giam-ong dan sekutunya!
Karena persekutuan itu tidak berhasil membujuk kedua orang pang-cu untuk bekerja sama, maka kini
mereka datang dan menantang, dengan perhitungan bahwa mereka pasti menang. Kalau kedua pang-cu
melawan dengan alasan menjaga kehormatan karena ditantang, maka berarti mereka terkena jebakan.
Mereka tentu akan tewas seperti banyak dialami oleh para pimpinan perkumpulan yang bernasib sama.
Karena itu, tidak semestinya kalau tantangan itu dilayani, bahkan sebaiknya kalau seluruh anggauta
kedua perkumpulan bergerak mengusir pengacau brengsek ini dari tempat ini, dan aku akan membantu
kalian menghadapi Kui-siauw Giam-ong dan sekutunya!"
Mendengar seruan ini, para anak buah Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang yang memang sejak tadi
sudah marah kepada para penyerbu, bersorak penuh semangat.
Pek-thian-kui, orang pertama di Bu-tek Sam-kui yang belum mengenal Bun Houw, memandang rendah
pemuda itu. "Bocah pengacau ini biar kusingkirkan lebih dulu!" bentaknya dan tubuhnya yang bulat itu
seperti sebuah bola besar menggelinding ke arah Bun Houw dan ternyata dia telah mengirim pukulan
jarak jauh dengan kedua tangan didorongkan ke arah pemuda itu dan angin dahsyat menyambar ke arah
Bun Houw.
Pemuda ini sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kakek gendut itu lihai sekali, maka diapun sudah
mengerahkan tenaga Im-yang Bu-tek Cin-keng, mendorong pula dengan kedua tangan terbuka untuk
menyambut serangan yang sepenuhnya mengandalkan hawa sin-kang (tenaga sakti) itu.
"Wuuuuttt ... desas ...!!” Dua tenaga sakti yang dahsyat bertemu dan akibatnya, tubuh yang gendut
bundar itu terlempar ke belakang dan bergulingan! Akan tetapi, orang pertama dari Bu-tek Sam-kui ini
memang kebal dan kuat. Dia tidak terluka, hanya terkejut dan sudah meloncat berdiri. Mukanya menjadi
merah sekali saking marahnya. Dia, orang pertama dari Tiga Setan Tanpa Tanding, sekali mengadu
tenaga, dalam segebrakan saja sudah terguling-guling oleh seorang pemuda tak ternama!
"Singg ...!!" Diapun sudah mencabut pedangnya yang mengeluarkan sinar hitam. "Bocah keparat,
pedangku akan minum darahmu!"
Akan tetapi Bun Houw tersenyum. "Bukankah engkau ini Pek-thian-kui, orang pertama dari Bu-tek Samkui.
Aku mendengar bahwa kok-su (guru negara) dari kerajaan Wei yang berjuluk Thian-te Seng-jin amat
lihai dan bahwa di antara para muridnya terdapat Bu-tek Sam-kui. Sebaiknya kalau engkau kembali saja
ke utara, tidak membuat kekacauan di daerah selatan sini!"
"Bocah sombong, majulah. Mari kita bertanding sampai seribu jurus!" Si gendut yang merasa malu
karena kekalahannya tadi, menantang untuk mengangkat kembali namanya yang tentu akan jatuh
karena di depan banyak orang dia dikalahkan dalam segebrakan! "Baik, aku menyambut tantanganmu.
Pek-thian-kui!" Dan begitu tangan kanan Bun Houw bergerak, nampak kilat menyambar dan semua
orang menjadi silau oleh sinar pedang Lui-kong-kiam!
Pek-thian-kui terbelalak, akan tetapi dia sudah menerjang dengan pedangnya yang bersinar hitam. Bun
Houw mengerahkan tenaga lagi dan menggerakkan Lui-kong-kiam, menangkis dan sengaja mengadu
tenaga lewat pedang.
"Trakkk ...!" terdengar suara nyaring dan si gendut kembali meloncat ke belakang dengan muka pucat
memandang pedang hitamnya yang sudah buntung, patah ketika bertemu dengan pedang di tangan Bun
Houw. Kini dia tidak ragu lagi.
"Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) ...!!" serunya gentar. Dahulu, pedang itu pernah menjadi rebutan para
tokoh persilatan, akan tetapi akhirnya terjatuh ke tangan Tiauw Sun Ong pendekar buta yang amat lihai.
Bun Houw tersenyum dan menyimpan kembali pedangnya. "Apakah engkau masih ingin melanjutkan
perkelahian, Pek-thian-kui? Atau engkau yang akan maju, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan? Dan
bagaimana dengan engkau, Suma Hok?” Bun Houw sengaja menantang untuk membikin panas hati ayah
dan anak itu.
Sementara itu, kedua orang pangcu hanya menonton dengan hati penuh kagum dan diam-diam
bersukur bahwa ada bintang penolong datang. Kalau tidak, mungkin mereka berdua akan tewas di
tangan masuh.
Suma Hok memandang dengan muka merah, akan tetapi tidak berani menyambut tantangan itu,
sedangkan Suma Koan yang melihat betapa mudahnya orang pertama Bu-tek Sam-kui dikalahkan Bun
Houw, juga menjadi ragu. Dia sendiri gentar terhadap Tiauw Sun Ong, akan tetapi tadinya masih
memandang remeh murid Tiauw Sun Ong ini. Setelah tadi dia melihat betapa Bun Houw dengan mudah
mengalahkan Pek-thian-kui, dia maklum bahwa dia tidak akan mampu menandingi Si Pedang Kilat.
"Hek-tung Kai-pang dan Thian-beng-pang telah mengundang murid hekas pangeran Tiauw Sun Ong,
mulai sekarang, kalian adalah musuh-musuh kami. Lain kali kami akan datang membikin perhitungan!"
satelah berkala demikian, Suma Koan memberi isarat dan bersama Suma Hok dan Pek-thian-kui yang
merasa tidak akan mampu menang, dia meninggalkan tempat itu, diikuti semua anak buah mereka yang
juga sudah merasa gentar melihat demikian banyaknya anak buah kedua perkumpulan itu yang agaknya
sudah dipanaskan hatinya oleh ucapan Bun Houw tadi.
Sebetulnya, tiga puluh orang anak buah penyerbu itu adalah orang-orang Thian-te Kui-pang, dan mereka
terdiri dari orang-orang yang lihai dan mereka tidak akan gentar melawan anak buah Hek-tung Kai-pang
dan Thian-beng-pang. Akan tetapi menyaksikan kelihaian Si Pedang Kilat, mereka menjadi gentar juga.
Pemimpin mereka saja, yang juga merupakan guru mereka, dalam segebrakan dikalahkan pemuda itu,
apa lagi mereka!
"Kejar mereka! Banuh!" Terdengar teriakan-teriakan anak buah kedua perkumpulan, akan tetapi Bun
Houw mengangkat tangan. "Jangan! Biarkan mereka pergi!"
Juga ketua dari dua perkumpulan itu mencegah anak buah mereka untuk melakukan pengejaran. Kara
Cu dan Ciu Tek maklum bahwa tanpa bantuan Kwa Bun Houw, mereka berdua bersama anak buah
mereka tidak akan mampu mengalahkan rombongan penyerbu itu. Keduanya lalu menghadapi Bun
Houw dan mengangkat kedua tangan memberi hormat.
'Terima kasih atas bantuan tai-hiap." kata Hek-tung Lo-kai.
"Kalau tidak tai-hiap yang muncul, pasti kami berdua telah tewas dan entah bagaimana jadinya dengan
perkumpulan kami." kata pula Thian-beng-pang Ciu Tek.
"Sudahlah, ji-wi pang-cu (ketua berdua) telah kena dijebak oleh Suma Koan. Dia memang licik sekali.
Kalau ji-wi tidak menghadapi tantangan mereka, akan tetapi mengerahkan semua anak buah ji-wi,
kiranya tidak, akan mudah bagi mereka untuk menggertak. Juga, kalau ji-wi menghubungi pasukan
keamanan, tentu akan mendapatkan bantuan karena pasukan keamanan pemerintah kini amat
memperhatikan keamanan daerahnya."
"Tai-hiap, mari kita bicara di dalam. Kami merasa kagum kepada tai-hiap yang masih begini muda telah
memiliki kepandaian tinggi. Pantas sekali julukan Si Pedang Kilat bagi tai-hiap." kata pula tuan rumah,
ketua Thian-beng-pang.
"Benar, silakan tai-hiap. Kami juga ingin sekali mendengar tentang keadaan sekarang ini dan apa pula
yang mendorong tindakan mereka tadi," kata Hek-tung Lo-kai.
Bun Houw merasa tidak enak untuk menolak dan diapun mengikuti mereka berdua memasuki pusat
perkumpulan Thian-beng-pang itu. Diam-diam dia tersenyum dalam hatinya. Kedua orang ketua ini tadi
mendengar seruan Pek-thian-kui nama pedangnya yaitu Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) dan menganggap
bahwa itu adalah nama julukannya. Akan tetapi dia diam saja dan tidak menyangkal. Apa salahnya kalau
dia dikenal sebagai Si Pedang Kilat?
Setelah mereka memasuki rumah Thian-beng-pangcu Ciu Tek, mereka lalu bercakap-cakap sambil
menikmati hidangan yang dikeluarkan tuan rumah untuk menyambut pemuda itu.
"Dapatkah Kwa-taihiap menerangkan mengapa seorang datuk seperti Suma Koan, tiba-tiba saja
menaklukkan banyak perkumpulan, bahkan memaksa mereka takluk kalau tidak mau dibujuk? Apa yang
tersembunyi di balik tindakannya itu?" tanya Ciu Tek.
"Tadinya aku menganggap bahwa dia hanya ingin mengangkat diri menjadi beng-cu di dunia persilatan,
akan tetapi setelah tadi aku melihat dia muncul bersama Pek-thian-kui, aku merasa curiga sekali.
Ketahuilah, ji-wi pangcu. sekarang Suma Koan dan puteranya, Suma Hok, membantu bekas kaisar Cang
Bu yang bersiap-siap untuk merampas kembali tahta kerajaan."
"Ahhh ...!!" kedua orang pang-cu itu berseru kaget. Bun Houw menghela napas panjang. "Sebetulnya,
orang-orang seperti kita ini yang hanya berkewajiban mempertahankan kebenaran dan keadilan,
membela rakyat kecil yang tertindas, tidak perlu mencampurkan diri ke dalam perebutan kekuasaan itu.
Adalah hak bekas kaisar Cang Bu untuk mencoba merampas kembali tahta kerajaan. Akan tetapi kalau
dia melakukan hal itu, berarti terjadi lagi perang dan kembali rakyat yang akan menderita sebagai akibat
perang. Apalagi mengingat betapa dahulu, ketika kaisar Cang Bu masih berkuasa, dia terlalu lemah
sehingga hampir semua pejabat menyelewengkan kekuasaan masing-masing dengan tindakan korupsi
dan kesewenang-wenangan, dan sekarang kita melihat sendiri betapa baiknya kaisar yang baru
memegang pemerintahan, tegas, adil dan juga memperhatikan nasib rakyat jelata. Aku sendiri tidak
ingin terlibat dalam perebutan kekuasaan itu, akan tetapi sekarang aku melihat gejala yang amat tidak
haik. Munculnya Suma Koan bersama Pek-Thian-kui sungguh mencurigakan. Pek-thian-kui adalah orang
pertama dari Bu-tek Sam-kui, yang merupakan tokoh-tokoh dan jagoan dari istana kerajaan Wei di
utara, sedangkan Suma Koan jelas membantu bekas kaisar Cang Bu. Besar kemungkinannya, bekas
kaisar Cang Bu agaknya kini bersekutu dengan kerajaan Wei di utara, dan mereka bermaksud menguasai
dunia kang-ouw untuk persiapan perang mereka terhadap kerajaan Chi yang baru.”
“Ah, kalau begitu berbahaya sekali, taihiap!" kata Ciu Tek ketua Thian-beng-pai. "Lalu, apa yang harus
kami lakukan untuk mencegah terjadinya hal itu?"
"Tidak ada jalan lain, kita harus menentang mereka menguasai dunia persilatan. Sebaiknya kalau ji-wi
mengusahakan agar dapat berhubungan dengan para ketua perkumpulan persilatan lain yang tidak mau
mereka peralat dan kita bersama mendirikan kubu yang kuat. Kalau perlu, kita mengadakan pemilihan
beng-cu tandingan."
"Bagus sekali itu !” kata Hek-tung Kai-pang. "Aku akan menghubungi seluruh kai-pang di negeri ini agar
mendukung Si Pedang Kilat untuk menjadi bengcu!”
"Benar, kamipun mendukung Kwa-taihiap menjadi bengcu!" kata pula Ciu Tek.
Bun Houw mengangkat tangan ke atas. "Harap ji-wi tidak salah duga. Aku sama sekali tidak ingin
menjadi beng-cu. Aku hanya ingin menentang dan menjaga agar kedudukan beng-cu tidak dipegang
orang yang dapat diperalat persekutuan antara bekas kaisar Cang Bu dan kerajaan Wei. Kalau kerajaan
Wei dari utara hendak menyerang selatan, bagaimanapun juga kita harus menentangnya!"
"Kami akan mengerjakan usul taihiap. Akan tetapi, bagaimana caranya kalau kami hendak menghubungi
taihiap? Kalau muncul suatu persoalan dan kami ingin minta petunjuk tai-hiap, bagaimana kami dapat
menghubungimu?"
"Aku yang akan datang ke sini, pang-cu. Aku akan berada di sekitar Nan-king dan kalau, ada keperluan
mendadak, mungkin aku bertemu dengan anak buah Hek-tung Kai-pang dan melalui mereka pang-cu
dapat menghubungiku."
Selagi mereka bercakap-cakap, seorang anggauta Thian-beng-pang mengetuk pintu ruangan itu. Ketika
dia disuruh masuk, dia memberi hormat, "Maafkan gangguan saya, pang-cu. Akan tetapi di luar datang
seorang tamu yang katanya mempunyai keperluan penting untuk Hek-tung Kai-pangcu."
"Hemm, siapakah dia dan dari mana?" tanya ketua perkumpulan pengemis itu.
"Mengatakan datang dari kota raja, diutus oleh Thai-kam (Sida-sida) Koan." jawab anggauta Thian-bengpang
itu.
Mendengar ini, ketua Hek-tung Kai-pang nampak bergairah. "Ah. kalau begitu, minta dia masuk
sekarang juga!" Setelah orang itu pergi, dia memberitahu kepada Ciu Tek dan Bun Houw, "Thai-kam
Koan adalah sahabatku yang bekerja di istana kaisar. Dari dialah aku dapat mengetahui semua keadaan
dalam istana, dan kini dia mengutus seseorang datang kepadaku, tentu ada berita penting dari istana."

Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru