Minggu, 28 Januari 2018

Kisah Si Pedang Kilat 4 Kho Ping Hoo

Kisah Si Pedang Kilat 4 Kho Ping Hoo
baca juga:


Perbuatannya ini diikuti empatbelas orang pengikutnya dan nampaklah senjata berkilauan di tangan
mereka dan otomatis merekapun membuat gerakan mengepung pangeran itu. Lima belas orang itu
adalah bekas para perwira kerajaan, masing-masing memiliki Ilmu silat yang tangguh dan merupakan
Jagoan-Jagoan Istana Kerajaan Liu-sung yang sudah jatuh.
Biarpun dia masih berdiri dengan kepala menunduk, namun bekas pangeran yang buta matanya itu
dapat mengikuti gerak-gerik lima belas orang itu dengan pendengarannya yang amat peka dan tajam.
Dia tahu bahwa limabelas orang itu telah mengepungnya dengan senjata tajam di tangan, siap
membunuh atau menawannya. Dia tersenyum getir. Tak di sangkanya bahwa setelah menyembunyikan
diri dan hidup tenteram di tempat-tempat sunyi, hari ini dia terpaksa turun gunung dan begitu turun, dia
sudah bertemu dengan belasan orang yang hendak menawan atau membunuhnya! Seolah g. makin
terasa olehnya betapa dunia ini menjadi panas dan kotor oleh nafsu yang lelah menguasai diri manusia.
Di mana terdapat manusianya, di mana terdapat kekerasan, nafsu bergelora dan manusia menjadi
hamba setan yang merajalela dalam hati dan akal pikiran. Nafsu iblis mengendalikan manusia. menyeret
manusia dalam segala macam perbuatan yang keras, kejam, kotor dan menyimpang dari sifat manusia
pada saat dia dilahirkan. Panas bumi semakin panas, dunia semakin kacau. Di tempat-tempat yang tidak
ada manusianya, segala sesuatu nampak penuh damai dan tenteram, margasatwa, bahkan pohonpohon,
hidup bebas dan begitu wajar. Namun, begitu dia tiba di tempat di mana ada manusianya,
kebebasan sirna, persaingan, perebutan kekuasaan, pengejaran kesenangan, pemaksaan kehendak
terhadap orang lain, penindasan, permusuhan, tiada hentinya menjadi permainan manusia.
"Kalian mau apa? Sadarlah, Yap Lok, engkau dan kawan-kawanmu telah menyimpang dari kebenaran.
Jangan biarkan nafsu setan menyeret kalian ke jalan sesat!” Bekas pangeran itu masih mencoba untuk
menyadarkan mereka.
"Engkau yang menyimpang dari kebenaran, engkau yang tersesat, Tiauw Sun Ong!” bentak Yap Lok.
"Menyerahlah atau terpaksa kami akan membunuhmu!"
"Hemm, seekor semutpun akan menggigit kalau diinjak. Aku manusia. tentu akan membela diri kalau
hendak dibunuh!” kata pangeran itu dengan sikap tenang.
Yap Lok memberi Isarat dengan pandang matanya dan seorang di antara pengikutnya, yang berdiri di
belakang pangeran itu, mengeluarkan bentakan nyaring dan menusukkan pedangnya ke arah punggung
Tiauw Sun Ong.
"Haiiiilitttt ...!"
Pedang meluncur bagaikan kilat menyambar dan agaknya tidak mungkin bekas pangeran itu akan
mampu menyelamatkan diri dari serangan tiba-tiba yang dilakukan dari belakangnya dan amat cepat
dan kuat itu. Namun, baru saja orang itu bergerak, Tiauw Sun Ong sudah dapat mengetahui dan
menangkap gerakannya dengan pendengaran. Dia hanya menggerakkan tubuhnya sedikit saja, memutar
tubuh atas ke belakang didahului sinar hitam menyambar dan tahu-tahu tongkat bututnya yang hitam
sudah bergerak ke belakang dan memakai pergelangan tangan yang menusukkan pedang. Gerakan
memutar tubuh itu membuat pedang yang menusuk lewat di samping tubuhnya dan pukulan
tongkatnya dengan tepat mengenai pergelangan tangan lawan yang memegang pedang.
"Dukkk! Aughhh ...!” Orang itu melepaskan pedangnya dan meloncat ke belakang sambil menggosok
pergelangan tangan kanan yang menjadi matang biru dan terasa nyeri bukan main. Masih untung bahwa
Tiauw Sun Ong tidak menggunakan seluruh tenaganya. Kalau demikian halnya, tentu tulang lengan itu
telah menjadi patah!”
Melihat ini, empat belas orang yang lain dipimpin Yap Lok segera menggerakkan senjata menyerang.
Hujan senjata menyambar dari segala jurusan ke arah tubuh Tiauw Sun Ong. Bekas pangeran ini dengan
amat lincahnya berloncatan ke sana-sini. didahului gulungan sinar hitam tongkatnya dan diapun
tenggelam dalam pengeroyokan yang amat ketat. Biarpun lima belas orang itu merupakan bekas jagoanjagoan
Istana, namun kalau dibandingkan, tak seorangpun di antara mereka yang mampu menandingi
tingkat kepandaian Tiauw Sun Ong. Akan tetapi karena mereka berjumlah banyak, rata-rata lihai dan
memiliki pengalaman bertempur, di lain pihak Tiauw Sun Ong tidak tega untuk membunuh atau melukai
berat, hanya membela diri, maka sebentar saja bekas pangeran itu terdesak hebat! Tiauw Sun Ong
menganggap mereka itu tidak jahat, walaupun dia tahu benar akan watak manusia yang selalu berbuat
dengan bimbingan nafsu. Mereka ini banya akan memperalat dia, karena kalau dia mau memimpin
"perjuangan" mereka itu, karena dia seorang bekas pangeran, tentu banyak bekas pasukan Liu-sung
yang suka bergabung. Di balik semua ini, tentu mereka ini mempunyai suatu cita-cita yang pada
hakekatnya mementingkan diri sendiri. Disebut dengan kata yang muluk bagaimanapun juga, pada
dasarnya, mereka itu nekat karena mengejar sesuatu hasil yang mereka bayangkan akan dapat
membuat mereka hidup mulia dan senang. Dan dia tahu bahwa ini memang kelemahan manusia. Nafsu
yang menguasai diri membuat manusia selalu mengejar sesuatu yang dianggap akan menyenangkan
dirinya, dan dalam pengejaran ini, manusia lupa diri, lupa akan kebenaran. Cara apapun yang
dipergunakan, dianggap benar demi mencapai cita-cita yang dikejarnya. Tujuan menghalalkan segala
cara selalu akan terjadi, lambat maupun cepat, disadari maupun tidak. Tiauw Sun Ong tidak
menyalahkan mereka. Mereka ini hanya manusia-manusia lemah, seperti yang lain. Karena itu, dia tidak
tega untuk membunuh atau melukai mereka, dan hal ini membuat dia sendiri menjadi repot dan
terdesak hebat, bahkan terancam bahaya maut!
Pada saat itu, tiba-tiba bagaikan ada badai mengamuk, sesosok bayangan tubuh orang terjun ke dalam
pertempuran. Dia menggerakkan kedua tangannya dan hanya dengan mendorong saja, para pengeroyok
itu terpelanting, terjengkang dan terlempar bagaikan sekumpulan daun kering tertiup angin.
"Suhu ... !” Bayangan itu berteriak girang.
"Ehh ... ? Kaukah itu, Bun Houw?”
"Suhu, biar tcecu (murid) yang mengusir anjing-anjing serigala yang jahat ini!" teriak pula Kwa Bun Houw
yang baru datang.
"Jangan lukai mereka, jangan bunuh. Mereka bukan perampok, bukan penjahat. Mereka bekas para
perwira Liu-sung." kata Tiauw Sun Ong.
Bun Houw terkejut dan juga merasa heran. Gurunya bekas pangeran kerajaan Liu-sung, berarti para
perwira Liu-sung adalah bawahannya. Kenapa menyerang bekas pangeran atasan mereka sendiri? Dan
melihat gerakan mereka, penyerangan itu bukan main-main, melainkan dimaksudkan untuk membunuh.
Lebih aneh lagi gurunya melarang dia untuk melukai mereka, apalagi membunuh. Akan tetapi, Bun
Houw amat menghormati dan mentaati gurunya, maka diapun berseru, "Baik, suhu. Harap suhu mundur
dan biar teecu sendiri menghadapi mereka."
Bun Houw mengamuk. Ketika bekas panglima Yap lok mendengar percakapan itu, dia tahu bahwa
pemuda itu adalah murid bekas pangeran itu. Dan memang pernah mendengar bahwa pangeran yang
menjadi buta dan meninggalkan istana sebelum kerajaan Liu-sung jatuh itu kabarnya telah menjadi
seorang yang lihai. Tadinya dia dan kawan-kawannya memandang rendah karena betapapun lihainya,
bekas pangeran itu telah menjadi seorang buta. Siapa kira, pangeran itu benar-benar lihai, buktinya tadi
pengeroyokan mereka tidak mampu merobohkan sang pangeran. Kini muncul muridnya, tentu tidak
selihai gurunya. Maka dengan marah karena putus harapan ditolak permintaannya oleh bekas pangeran
itu, Yap Lok berseru menyuruh anak buahnya untuk menyerang dan diapun memelopori mereka dengan
menusukkan pedangnya. diikuti oleh empat belas orang anak buahnya.
Akan tetapi Bun Houw menghadapi mereka dengan amat mudahnya. Pemuda ini hanya berdiri tegak
dan nampak dia menggerak-gerakkan kedua lengannya seperti orang menangkis dan mendorong. Akan
tetapi akibatnya sungguh luar biasa. Lima belas orang itu tidak mampu mendekat dan mereka terpental
atau terpelanting seperti dilanda badai yang dahsyat dan setiap kali mereka menyerang, dalam jarak dua
meter mereka seperti bertemu dengan dinding yang tidak nampak, yang membuat mereka terpental
kembali.
Akhirnya, setelah jatuh bangun tanpa tersentuh langsung oleh kedua tangan Bun Houw. Yap Lok
maklum bahwa kepandaian pemuda ini bahkan jauh lebih dahsyat dan mengerikan dibandingkan ilmu
Pangeran Tiauw Sun Ong! Maka, diapun memberi isyarat kepada anak buahnya dan mereka melarikan
diri dari tempat itu.
Bun Houw membalik, menghadapi gurunya dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya. "Suhu,
apakah selama ini suhu baik-baik saja?”
Akan tetapi kakek buta itu berdiri tegak, alisnya berkerut dan dia tidak segera menjawab, mukanya
terangkat ke atas seperti tidak perduli kepada pemuda yang berlutut di depan kakinya.
"Suhu ... “ Bun Houw merasa akan sikap yang dingin itu.
"Bun Houw, katakan, ilmu iblis apa yang kau pergunakan tadi?"
Kini mengertilah Bun Houw. Gurunya yang buta ini lebih waspada dibandingkan orang yang melek.
Sehingga gurunya tadi dapat mengikuti semua gerakannya ketika dia melawan empat belas orang itu.
"Suhu, tcecu mentaati perintah Suhu, tidak melukai mereka, bahkan tidak menyentuh mereka, hanya
mendorong dari jauh saja.”
"Itulah yang kumaksudkan. Tenaga doronganmu itu. Ilmu apa yang kaupergunakan dan dari mana
engkau mempelajari ilmu itu? Hayo katakan! Apakah selama ini engkau berguru kepada orang lain tanpa
minta ijin dariku?"
"Suhu, bagaimana teecu berani berguru kepada orang lain? Pula, di dunia ini mana ada guru lain yang
lebih baik dari pada suhu suhu? Tidak, teecu tidak berguru kepada orang, akan tetapi teecu telah
mengalami banyak hal yang aneh yang suhu tidak akan pernah mimpikan. Di antaranya, teecu telah
menelan habis mustika Akar Bunga Gurun Pasir."
Kini sepasang mata yang buta itu terbelalak. kedua tangan itu kini meraba-raba kepala pemuda yang
berlutut di depannya. "Apa ...? Kau ... kau makan seluruh Akar Bunga Gurun Pasir dan kau masih
hidup ...? Muridku, apa yang telah terjadi? Ceritakan semua kepadaku!”
Gembira sekali rasa hati Bun Houw melihat sikap gurunya yang sudah berubah ramah itu. Dia
memegang tangan gurunya, bangkit dan menuntun gurunya untuk dnduk di atas batu besar di bawah
pohon yang teduh. Setelah keduanya duduk, Bun Houw berkata, "Panjang sekali ceritanya, suhu. Selama
ini teecu telah mengalami banyak hal yang hebat dan aneh.” Pemuda itu lalu menceritakan semua
pengalamannya, betapa dia menerima pukulan yang dahsyat dari Bu-eng-kiam Ouwyang Sek yang
bahkan telah merampas pedangnya, Lui-kong-kiam dan membiarkan dia pergi dengan menderita luka
parah. Betapa kemudian dia bertemu dengan Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan karena tidak tahu di
mana adanya Akar Bunga Gurun Pasir, datuk majikan Bukit Kui-eng-san itu memukul punggungnya,
membuat dia semakin payah karena menerima dua kali pukulan beracun dari dua orang datuk sakti.
"Dalam keadaan hampir mati, teecu yang hampir telanjang karena semua pakaian dan bekal emas
pemberian suhu dirampas Suma Koan, teecu menerima pertolongan suami isteri pemburu ketika teecu
jatuh pingsan di depan pondok mereka. Dan entah bagaimana teecu sendiri tidak tahu, isteri pemburu
itu di luar pengetahuannya, telah memberi teecu obat minum. Teecu sendiri tadinya tidak tahu obat apa
yang diminumkan kepada teecu itu. Teecu merasa seperti terbakar dari dalam, akan tetapi selanjutnya
ternyata teecu telah mendapatkan tenaga sinkang yang dahsyat luar biasa. Dan tanpa disengaja, tanpa
diketahui pula oleh suami isteri itu, teecu telah menelan habis seluruh Akar Bunga Gurun Pasir!'
"Hemm, menarik sekali! Bagaimana pemburu itu dapat menemukan Akar Bunga Gurun Pasir?”
"Teecu tidak tahu bagaimana mustika yang dibuat perebutan oleh semua orang sakti di dunia itu
terjatuh ke tangan seorang pemburu yang lemah saja. Dan tanpa disengaja, mustika itu telah memasuki
perut teecu!"
"Teruskan ceritamu yang amat menarik itu, Bun Houw."
"Setelah teecu minum mustika aneh itu, terjadi keanehan dalam tubuh teecu. Agaknya hawa beracun
dari kedua orang datuk itu bercampur dengan mustika Akar Bunga Gurun Pasir, mendatangkan
semacam hawa yang dahsyat dan sukar dikendalikan." Bun Houw lalu menceritakan tentang
pertemuannya dengan perampok-perampok yang kemudian memberi tahu kepadanya tentang adanya
guha siluman yang telah menjatuhkan banyak korban.
"Banyak terdapat kerangka manusia dan senjata-senjata di depan guha itu, dan pada saat teecu datang
ke sana, teecu sempat melihat seorang korban terakhir. Dia seperti orang gila, menyerang teecu ketika
teecu melihat dia bersilat aneh dan terhuyung. Teecu menangkis dan diapun roboh tewas. Kemudian
teecu mendengar suara orang-orang di luar guha ketika teecu sudah berada di dalam bahwa yang batu
saja tewas itu adalah Toat-beng Kiam-ong."
"Hemm, Toat-beng Kiam-ong? Dia seorang tokoh sesat yang memiliki tingkat kepandaian cukup tinggi.
Kalau dia sampai tewas, tentu ada yang amat hebat di dalam guha itu dan engkau memasukinya, Bun
Houw? Manusia macam apakah yang berada di dalam guha dan telah membunuh banyak tokoh
persilatan tu?"
"Tidak ada seorangpun manusia di sana, suhu. Yang ada hanyalah pelajaran Ilmu silat dan ilmu itulah
yang telah membunuh banyak orang itu!”
"Ehh? Apa maksudmu? Ceritakan yang jelas!” Kakek buta itu semakin tertarik mendengar cerita
muridnya.
Bun Houw lain menceritakan dengan jelas tentang isi guha, tentang pelajaran ilmu Im-yang Bu-tek Cinkeng
dan tentang peringatan akan bahayanya mempelajari ilmu yang mujijat itu. Kemudian Bun Houw
menceritakan bahwa karena tertarik, dan karena ingin menguasai kekuatan dahsyat yang menggelora
dan meliar di dalam tubuhnya, dia lalu mempelajari Im-yang Bu-tek Cin-keng sampai berhasil baik dan
dia mampu menguasai dan mengendalikan hawa sakti yang meliar di dalam tubuhnya.
"Ahh, kiranya begitu? Engkau telah mewarisi Im-yang Bu-tek Cin-keng? Akan tetapi, aku sendiri hanya
pernah mendengar Ilmu itu yang dikabarkan telah musnah dari dunia ini. siapa tahu engkau malah yang
telah mewarisi, Bun Houw. Pantas saja engkau tadi menggunakan tenaga yang demikian dahsyat,
kiranya engkau telah menguasai Im-yang Bu-tek Cin-keng yang tadinya kukira hanya dongeng belaka.
Muridku yang baik. bersiaplah engkau!”
“Tapi, tuhu ... " Akan tetapi pada saat itu, Pangeran Tiauw Sun Ong telah menyerangnya dengan ganas
sekali, menggunakan tongkatnya dengan jurus maut dan bahkan menggunakan seluruh tenaganya
sehingga nampak kilat berkelebat dan bunyi berciutan ketika tongkat itu sudah melakukan totokan yang
bertubi-tubi terhadap jalan darah di bagian depan tubuh Bun Houw.
Bun Houw maklum bahwa gurunya tidak main-main dan ingin mengujinya, maka dia pun tahu bahwa
kalau dia mempergunakan Ilmu yang dia dapat dari gurunya, dia tidak akan mampu bertahan. Gurunya
menyerang dengan sepenuh tenaga dan kecepatan. Juga menggunakan jurus-jurus yang paling lihai.
Maka, diapun tidak ragu lagi, segera mengerahkan tenaga sakti dan bergerak menurut ilmu barunya,
yaitu Im-yang Bu-tek Cin-keng. Bagaikan air samudera digerakkan badai, datanglah tenaga yang
bergelombang dahsyat menyambut serangan Tiauw Sun Ong.
Terjadi benturan-benturan tanaga jarak jauh yang membuat semua serangan kakek buta itu membalik.
Tiauw Sun Ong terkejut akan tetapi juga girang sekali. Kini dia membuktikan sendiri bahwa Im-yang Butek
Cin-keng adalah ilmu yang amat hebat dan yang membuat dia girang dan bangga adalah bahwa
muridnya yang menjadi pewaris Ilmu itu! Dia menyerang lagi semakin hebat. Akan tetapi, makin keras
dia menyerang, semakin keras pula dia terpental dan akhirnya. ketika sarangan terakhir yang amat
dahsyatnya dia lakukan, ditangkis oleh Bun Houw. tubuh kakek itu terlempar dan terbanting keras.
"Suhu ... !” Bun Houw berteriak dan sekali meloncat dia sudah berada di dekat suhunya dan membantu
kakek itu bangkit berdiri.
"Suhu. maafkan teecu ... "
Tiauw Sun Ong tertawa girang dan menyusut keringat dari dahi dan lehernya. "Ha-ha-ha, bukan main!
Sungguh aku merasa girang dan bangga sekali, Bun Hoaw. Engkau kini lebih hebat dariku, jauh lebih kuat
dan aku bukanlah tandinganmu lagi! Ha-ha-ha!"
Wajah pemuda itu berubah kemerahan. "Aih, suhu! Tadi suhu hanya menguji tenaga teecu saja dan
mungkin karena teecu telah menelan Akar Bunga Gurun Pasir, dan karena suhu sudah tua, maka teecu
unggul dalam hal tenaga. Kalau suhu menggunakan tongkat pedang dan menyerang teecu tanpa
mengandalkan tenaga, mungkin teecu tidak akan mampu melawan."
"Hemm, memang baik sekali sikapmu merendahkan diri itu, tanda bahwa biar engkau telah mewarisi
ilmu yang dahsyat, engkau tidak menjadi sombong. Akan tetapi, sesungguhnya, Bun Houw. Ilmu pedang
kilat kita tidak akan mampu menandingi Im-yang Bu-tek Cin-keng. Apalagi kalau engkau sudah
melatihnya sampai matang. Aku yakin semua datuk di empat penjuru tidak akan mudah
mengalahkanmu kalau engkan menggunakan ilmu itu dan mengerahkan tenagamu yang timbul dari
Akar Bunga Gurun Pasir. Hemm, bagaimanapun juga, engkau harus berterima kasih kepada dua datuk
itu, Ouwyang Sek dan Suma Koan."
"Suhu, mereka berdua sudah memukul dan menyiksa teecu dengan pukulan beracun yang tentu akan
mematikan teecu kalau saja tidak secara kebetulan teecu diberi minum Akar Bunga Gurun Pasir!” Bun
Houw merasa penasaran.
"Justeru pukulan itulah yang membantu mustika itu bekerja dalam tubuhmu. Kalau hanya meminum air
masakan mustika itu saja, kuyakin tidak akan sehebat itu khasiatnya. Ingat, mustika itu adalah milik
Ouwyang Sek. Kalan mustika itu mendatangkan kekuatan sehebat itu. tentu sudah sejak dahulu dia
minum sendiri! Mustika itu tadinya hanya dikenal sebagai obat penyembuh saja. Baru setelah bertemu
dengan dua macam hawa beracun dalam tubuhmu, terjadi akibat yang luar biasa, yaitu menimbulkan
tenaga mujijat yang kini menjadi milikmu. Nah, bukankah mereka telah berjasa besar, walaupun mereka
melakukan tanpa sengaja, bahkan beriktikad buruk, yaitu untuk membunuhmu secara perlahan-lahan?”
Bun Houw mengangguk-angguk. "Sekarang barulah teecu mengerti akan kata-kata dan nasehat suhu
dahulu bahwa cara yang dipergunakan Tuhan untuk memberkahi manusia kadang berselubung rahasia
besar. Kini teecu mengerti apa artinya berkah terselubung. Dalam suatu peristiwa yang nampaknya
buruk merugikan, mungkin tersembunyi berkah yang amat besar seperti yang teecu alami sendiri.”
Kakek buta itu mengangguk sagguk. "Benar sekali, muridku. Aku sendiri, kalau tidak terjadi peristiwa
dengan selir kaisar sehingga akan membutakan mataku, yang membuat aku hampir tewas, tentu tidak
akau dapat menguasai ilmu seperti sekarang ini dan tidak akan berjumpa denganmu. Oleh karena itu,
seorang bijaksana pantang mengeluh apabila mengalami hal-hal yang tampaknya merugikan dan
mengecewakan, karena dalam setiap peristiwa itu selalu terdapat hikmatnya yang terselubung,"
"Suhu benar, akan tetapi teecu hanya seorang manusia biasa, bagaimana mungkin teecu. dapat
terbebas dari permainan rasa puas kecewa dan suka duka? Seperti kehilangan Lui-kong-kiam, hal itu
tetap saja membuat teecu merasa kecewa dan menyesal sekali. Sekarang teecu harus mengunjungi Bueng-
kiam Ouwyang Sek. untuk minta kembali pedang itu."
"Bun Houw, engkau tadi belum bercerita jelas tentang terampasnya Lui-kong-kiam dari tanganmu oleh
Ouwyang Sek. Nah, sekarang aku ingin mendengar ceritamu yang sejelasnya tentang itu."
Bun Houw mengulang ceritanya tentang pertemuannya dengan Ouwyang Hui Hong, kemudian
pertemuannya dengan Ouwyang Sek dan betapa nyaris dia dibunuh Ouwyang Sek kalau tidak ada Hui
Hong yang menyelamatkannya dan mencegah ayahnya dengan mempertaruhkan nyawanya sendiri!
Kakek buta itu mendengarkan dengan asyik dan wajahnya berubah-ubah, sebentar pucat sebentar
merah sehingga Bun Houw khawatir kalau-kalau suhunya terluka ketika bertanding dengan dia tadi.
"Kau kenapakah, suhu? Apakah suhu sakit?" tanyanya, menghentikan ceritanya yang sudah berakhir.
"Tidak, tidak, aku tidak apa-apa. Bun Houw, ceritakan kepadaku, bagaimana keadaan gadis bernama
Ouwyang Hui Hong itu? Bagaimana bentuk wajahnya, bentuk tubuhnya dan terutama bagaimana watak
dan perangainya ketika engkau bersamanya?"
Tentu saja Bun Hoiw merasa heran sekali kenapa gurunya bertanya tentang gadis yang tidak dikenalnya
itu. "Ia ... ia seorang gadis yang gagah perkasa, suhu, dan menurut pendapat teecu, wataknya baik
sekali, berbudi dan sederhana walaupun ia dapat bersikap keras dan galak."
"Wajahnya ... wajahnya bagaimana?"
Bun Houw menahan keheranannya, "Wajahnya! Ia cantik dan agung, suhu, dan bentuk tubuhnya,
ramping indah ... " Bun Houw teringat ketika sekilas dia melihat tubuh Hui Hong yang telanjang di dalam
guha.
"Usianya berapa?"
"Sekitar dua puluh satu tahun ... "
"Ceritakan bagaimana bentuk matanya, hidungnya, mulutnya dan bentuk wajahnya, satu demi satu,
yang jelas. ... " Kakek itu nampak tegang dan bergairah sekali sehingga Bun Houw merasa semakin
heran. Akan tetapi, merasa kasihan karena teringat bahwa gurunya tidak mampu melihat, dia lalu
menggambarkan keadaan Hui Hong sejelasnya dan dia semakin bingung mendengar mulut gurunya
berbisik-biiik.
"Mirip ia ... ah, mirip ia ... "
Kamudian tiba-tiba Tiauw Sun Ong menangkap kedua tangan muridnya dan kedua mata yang hanya
putih itu seperti hendak menatap wajah Bun Houw ketika mulutnya bertanya dengan suara gemetar,
"Bun Houw, bilang terus terang kepadaku. Apakah engkau mencinta Hui Hong?"
Bun Houw terkejut mendengar pertanyaan ini. Akan tetapi, dia amat sayang dan taat kepada gurunya,
dan tidak pernah berkata yang tidak benar. Dia menganggap gurunya sebagai pengganti orang tuanya,
maka mendengar pertanyaan itu, dia menjenguk isi hatinya sendiri. Dia memang tak pernah dapat
melupakan Hui Hong, hanya dia sendiri tidak yakin apakah dia mencinta Hui Hong, Dia pernah mencinta
seorang wanita, yaitu Ling Ay. mungkin cintanya terhadap Ling Ay hanyalah cinta remaja, hanya karena
ada ikatan perjodohan di antara mereka. Setelah perjodohan itu putus, dia tidak lagi memikirkan Ling
Ay, Ketika dia bertemu lagi dengan Ling Ay yang telah menjadi isteri Cun Hok Seng dan melihat
penderitaan wanita itu, yang ada dalam hatinya hanyalah iba. Dan sekarang, perasaannya terhadap Hui
Hong membuat dia bingung bagaimana harus menjawab pertanyaan suhunya.
"Bagaimana, Bun Houw? Katakan terus terang, apakah eugkau mencinta Hui Hong?”"
"Suhu, Justeru teecu masih bingung untuk menjawab yang sebenarnya kepada suhu. Teecu juga bingung
mengapa suhu menanyakan hal itu. Akan tetapi, suhu, terus terang saja, teecu merasa kagum, suka dan
iba kepadanya. Ia telah mempertaruhkan nyawanya demi keselamatan teecu. Bagaimana mungkin teecu
dapat melupakannya? Akan tetapi, teecu tidak berani memastikan bahwa teecu mencintanya karena
terus terang saja, teecu sendiri tidak mengerti, bagaimana dan apa cinta itu?"
Kakek itu tertawa. "Ha-ha-ha, cinta antar pria dan wanita penuh pengaruh nafsu berahi, cinta seperti itu
mementingkan kesenangan hati sendiri, karenanya hanya mendatangkan lebih banyak tangis dari pada
tawanya. Akan tetapi, cinta seperti itu mungkin diperlukan oleh manusia. Begini saja, apakah engkau
ingin selain berdekatan dengan Hui Hong, ingin melihat ia berada di sampingmu selalu ingin hidup
bersamanya, membagi susah dan senang berdua? Nah, jawablah sejujurnya."
Wajah Bun Houw berubah kemerahan. "Aih, suhu, siapa yang tidak mau? Ia pandai dan cantik jelita,
berbudi dan ... ah, apa gunanya semua itu? Seorang gadis seperti Hu Hong, mana mungkin mau
menjadi ... eh, maksud teecu, mana mungkin mau dekat dengan orang seperti teecu? Dari pada
mengharapkan lamunan kosong, lebih baik teecu melihat kenyataan. Ayahnya dan kakaknya amat
membenci teecu, bahkan menganggap teecu sebagai musuh,"
Akan tetapi, Tiauw Sun Ong tertawa, "Ha-ha-ha, Bun Houw, engkau seorang laki-laki yang bodoh.
Kautahu, Hui Hong itu amat mencintamu!”
"Eh-eh? Bagaimana mungkin suhu dapat mengetahuinya? Bakankah suhu belum pernah jumpa
dengannya? Bagaimana suhu dapat mengatakan demikian?"
"Bodoh! Seorang gadis yang sudah membela seorang laki-laki dengan taruhan nyawa, itu berarti bahwa
ia mencintamu. Bun Houw, mencintamu dengan tulus, bahkan lebih dari pada nyawanya sendiri."
"Akan tetapi, hal itu ia lakukau hanya untuk membatas budi, suhu. Teecu pernah menghindarkan ia dari
pada malapetaka diperkosa oleh Suma Hok!”
"Tidak ada bilas budi dengan mengorbankan nyawa sendiri. Aku yakin. Bun Houw, gadis itu mencintamu.
Dan akupun yakin bahwa engkau juga mencintanya! Tidak perlu kau membantah lagi, aku dapat
menjenguk isi hatimu dari suara dan kata-katamu. Nah, sekarang, bagaimana kalau kita pergi menemui
keluarga Ouwyang dan aku melamarkan Hui Hong untuk menjadi jodohmu?"
Berbagai macam perasaan mencengkeram hati Bun Houw. Dia merasa girang, akan tetapi juga terharu
dan diapun menjatuhan diri di depan kaki gurunya, "Suhu ... "
Tiauw Sun Ong meraba kepala muridnya. "Eh! Kau kenapa? Tidak girangkah hatimu kalau kulamarkan
Hui Hong untuk menjadi Jodohmu!”
"Suhu. tentu saja teecu gembira sekali dan terima kasih atas budi kecintaan suhu terhadap teecu. Akan
tetapi, suhu. keluarga Ouwyang amat membenci teecu, Teecu khawatir kalau lamaran suhu hanya akan
mendatangkan kemarahan kepada mereka dan akan menyusahkan suhu saja. Mengingat akan sikap Bueng-
kiam Ouwyang Sek kepada teecu, teecu hampir yakin bahwa dia tentu akan menolak lamaran itu."
Bun Houw merasa betapa jari-jari tangan gurunya yang kini berada di pundaknya itu mengeras dan
menegang. "Dia berani menolaknya, akan kubunuh dia! Perhitungan antara aku dan dia masih belum
lunas dan dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya!”
"Suhu, kenapa subu marah kepadanya? Apakah karena dia telah menganiaya teecu dan merampas Luikong-
kiam! Harap subu jangan membunuhnya, teecu kasihan kepada Hui Hong dan ... “
“Justeru karena Hui Hong aku hendak membunuhnya! Karena Hui Hong dan Ibunya!"
"Suhu ...!”
"Bun Houw, dengar baik-baik. Kalau engkau mencinta Hui Hong, dan Hui Hong mencintamu, tidak ada
seorang manusia atau iblis pun di dunia ini yang akan menghalangi kalian berjodoh. Cintamu terhadap
Hui Hong kuterima dan engkau kutarima menjadi calon suami Hui Hong. Ingin aku melihat siapa yang
akan berani mencampuri!”
"Akan tetapi, yang berhak menentukan tentu saja ayahnya, suhu."
"Tepat sekali! Ayahnya yang harus menentukan tentang pernikahan anaknya, dan ayah Hui Hong adalah
aku!”
Bun Houw hampir terjengkang saking kagetnya. Dia memandang kepada gurunya dengan mata
terbelalak dan bingung, khawatir lagi kalau-kalau suhunya terluka oleh pertandingan tadi dan
mengalami gangguan pada pikirannya karena terguncang hebat.
"Sudahlah, suhu, harap jangan pikirkan lagi urusan itu. Mari, suhu, silakan suhu beristirahat. Sebetulnya,
kenapa suhu meninggalkan pondok dan mengapa suhu berada di sini? Suhu hendak pergi ke manakah?"
Tiauw Sun Ong tertawa, maklum apa yang dikhawatirkan muridnya. "Ha-ha-ha, engkau mengira aku
gila? Bun Houw, justeru aku pergi nutuk mengunjungi Ouwyang Sek, dan kebetulan bertemu denganmu
di sini. Tidak ada berita yang lebih menggembirakan dari pada kenyataan bahwa engkau saling mencinta
dengan Hui Hong, saling mencinta dengan anakku.”
“Anak suhu? Siapakah anak suhu ...?”
“Hui Hong itu adalah puterikn, Bun Houw.”
“Akan tetapi bagaimana mungkin ...?"
"Bun Houw, ingatkah engkau akan ceritaku dahulu tentang sebab butanya kedua mataku?"
Bun Houw mengangguk, lupa bahwa gurunya tidak dapat melihatnya. Ketika ingat akan hal itu, dia cepat
berkata, "Teecu ingat, suhu. Bukankah karena suhu membutakan diri sendiri karena urusan ... eh, selir
kaisar itu?"
"Benar. Nah, selir itu bernama Pouw Co Lan dan setelah aku pergi meninggalkan Istana, kemudian aku
mendengar bahwa selir itu dihukum buang oleh kaisar, akan tetapi di dalam perjalanan ia dibebaskan
oleh seorang tokoh kang-ouw yang kemudian terkenal dengan julukannya Bu-eng-kiam ... "
"Ouwyang Sek ... ?”
"Benar. Pouw Cu Lan dibebaskan Ouwyang Sek dari tangan para perajurit pengawal, dan dia membunuh
semua perajurit dan membawa pergi wanita itu yang kemudian dia jadikan isterinya."
"Ibunya Hui Hong ...?" Bun Houw bertanya terkejut dan heran.
"Benar lekali. Pouw Cu Lan menjadi isteri Ouwyang Sek dan kemudian ia melahirkan Hui Hong, anakku!”
"Bagaimana ini, suhu? ia menjadi isteri Bu-eng-kiam Ouwyang Sek lalu melahirkan seorang anak, akan
tetapi suhu mengatakan bahwa anak itu, Ouwyang Hui Hong, adalah puteri suhu?"
"Karena kemudian kuketahui bahwa setelah enam bulan menikah dengan Ouwyang Sek, Pouw Cu Lan
melahirkan seorang anak perempuan. Hal ini berarti bahwa ketika menjadi Isteri datuk itu, ia telah
mengandung kurang lebih tiga bulan. Jelas bahwa Hui Hong adalah keturunanku, anakku, bukan
keturunan Ouwyang Sek. Maka, akulah yang berhak menentukan jodohnya, jodoh anakku. Nah, mari
kita berkunjung ke Lembah Bukit Siluman!”
Bun Houw masih bingung. Kiranya Hui Hong adalah puteri gurunya, walaupun sejak anak itu berada
dalam perut ibunya, sudah ditinggalkan ayah kandung. Bagaimana mungkin Hui Hong akan dapat
mengakui Tiauw Sun ong sebagai ayahnya kalan sejak lahir ia berada di rumah Ouwyang Sek yang tentu
dianggap ayahnya sendiri? Akan tetapi, kini dia berbesar hati. Kiranya gadis yang dikasihinya itu malah
puteri gurunya sendiri! Kalau begitu, bukan hal penting mengenai pendapat Ouwyang Sek tentang
hubungan batin antara dia dan gadis itu. Dengan hati dan langkah ringan, Bun Houw lalu berangkat
bersama gurunya, menuju ke Lembah Bukit Siluman, tempat tinggal datuk yang ditakuti orang itu.
***
Dengan sikap jengkel Ouwyang Sek melangkah ke arah kamar puterinya dan sekali ini dia bertekad
untuk memaksa Hui Hong keluar menemui kedua orang tamunya. Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan
puteranya, Tok-siauw-kui suma Hok yang hendak pamit. Akan tetapi ketika dengan kasar dia mendorong
daun pintu kamar itu terbuka, dia hanya mendapatkan isterinya yang sedang menangis di atas
pembaringan Hui Hong.
"Hem, kenapa engkau menangis di sini dan di mana Hui Hong?" tanya datuk itu dengan suara yang ketus
karena dia masih marah kepada isterinya yang membuka rahasia tentang ayah kandung Hui Hong. Dia
telah banyak mengalah terhadap wanita ini, yang memang amat dicintanya. Dia memenuhi permintaan
Pouw Cu Lan dan tidak mengganggunya sama tekali sebelum Hui Hong terlahir, kemudian, dia
menyayang Hui Hong seperti anak kandungnya sendiri walaupun dia tahu bahwa anak itu bukan
keturunannya. Dan kini tahu-tahu wanita itu sendiri yang membuka rahasia berkata di depan Hui Hong
bahwa gadis itu bukan anaknya!
Mendengar suara suaminya, Pouw Cu Lan bangkit duduk dan menghadapi suaminya. Kedua matanya
merah membengkak karena tangis. Kedua pipinya yang menjadi pucat basah air mata dan kedua mata
itu mengeluarkan sinar marah. Melihat pria tinggi besar bermuka hitam itu berdiri di situ dan teringat
akan kepergian Hui Hong, timbul sakit hati dan kemarahan yang hebat di dalam hati wanita itu. Teringat
ia betapa selama bertahun-tahun, demi keselamatan Hui Hong, ia rela dijadikan benda permainan oleh
pria yang sebetulnya amat dibencinya ini. Kini baru ia menyadari sepenuhnya betapa ia amat muak dan
benci kepada wajah yang kasar hitam dan bengis itu. Maka, Pouw Cu Lan lalu bangkit berdiri dan dengan
tangan gametar ia menudingkan telunjuknya ke arah muka itu dan suaranya terdengar lantang,
"Ouwyang Sek, engkan manusia jahat! Engkaulah yang membuat anakku pergi, tak dapat kucegah lagi!
Engkau hendak memaksanya menikah dengan seorang pemuda yang tidak disukainya!”
Ouwyang Sek mengerutkan alisnya yang tebal. "Apa Hui Hong pergi? ia berani minggat? Anak bedebah
itu!”
"Engkau yang bedebah! Engkau tidak berhak menentukan jodohnya akan tetapi engkau memaksanya
menjadi calon Isteri orang yang tidak disukainya!”
"Cu Lan, engkau tidak tahu diri! Bulankah selama ini aku selalu baik dan mencintamu? Bukankah selama
ini aku amat menyayang Hui Hong seperti anakku sendiri? Akan tetapi engkau malah yang membuka
rahasia itu, tentu membuat Hui Hong menjadi bingung. Dan aku memilihkan jodoh yang amat baik,
kenapa kau ribut-ribut? Suma Hok adalah seorang pemuda yang tampan, gagah perkasa dan kaya raya.
Kurang Apalagi? Ayahnya juga seorang sahabatku, seorang yang memiliki tingkat yang sama denganku!”
"Huh, pemuda jahat itu kaupuji-puji? Padahal, dia nyaris memperkosa Hui Hong! Sepatutnya engkau
marah dan membunuh pemuda itu, bukannya malah hendak manariknya sebagai mantu."
"Perbuatannya itu wajar saja, karena cintanya kepada Hui Hong ... "
"Busuk! Jahat! Tentu saja engkau tidak menyalahkan dia yang hendak memperkosa anakku, karena
engkau sendiri juga jahat seperti dia, karena engkau juga telah memperkosaku!”
"Cu Lan ... !" Wajah yang hitam itu menjadi semakin hitam karena marah. "Engkau perempuan tak
mengenal budi! Kalau tidak ada aku, kini tentu engkau telah mati bersama anak dalam kandunganmu,
atau menjadi seorang nenek terlantar, mungkin menjadi jembel, minta-minta bersama anakmu,
mungkin anak perempuanmu menjadi pelacur karena tidak ada yang menjamin kehidupannya. Engkau
kini menjadi wanita terhormat dan hidup mewah, anakmu menjadi seorang gadis yang berilmu dan
dihormati temua orang. Semua itu berkat jasaku, mengerti? Dan engkau berani bersikap seperti ini
kepadaku?”
Cu Lan merasa terpukul karena apa yang diucapkan pria itu memang tidak bohong. Karena mengingat
akan budi itulah ia rela menyerahkan hati dan tubuhnya kepada Ouwyang Sek, sekedar membalas budi,
demi kebahagiaan putrinya. Kalau kini ia marah adalah karena melihat anaknya dipaksa untuk berjodoh
dengan orang yang tidak disukai anaknya sehingga anaknya sekarang nekat pergi untuk mencari ayah
kandungnya.
"Bagaimanapun juga, engkau yang memaksa ia menerima laki-laki yang bahkan dibencinya dan sekarang
ia melarikan diri, ia pergi tanpa dapat kucegah." Cu Lan menangis dengan sedihnya, Ouwyang Sek
mengepal tinju, dia marah sekali. "Anak itu sungguh tak tahu diri! Sejak kecil kusayang dan kurawat,
kudidik akan tatapi sekarang bukan saja berani membantahku bahkan pergi tanpa pamit. Tentang
perjodohannya, bukan aku memaksanya! Bukankah ia telah mengajukan syarat yang cukup berat, yaitu
pertama agar yang menjadi calon suaminya menemukan kembali mustika Akar Bunga Guruu Pasir, dan
kedua agar calon suaminya dapat mengalahkannya dalam pertandingan? Nah, dengan adanya syarat itu,
apakah itu berarti aku memaksanya?”
Cu Lan juga tarpaksa membenarkan ucapan suaminya ini. Ia tahu bahwa suaminya memang sungguh
menyayang Hui Hong seperti anak sendiri, dan syarat yang diajukan Hui Hong itupun diterima, kecuali
syarat ke tiga, yaitu agar calon jodohnya dapat mempertemukannya dengan Bun Houw untuk minta
maaf tidak dipenuhi oleh Ouwyang Sek. Dilain hal itu, berarti suaminya memang sudah memberi
kelonggaran kepada Hui Hong, "Syarat itu harus ditambah, sekarang syarat dari aku sendiri! Kalau
syaratku itu tidak dipenuhi, sampai mati aku akan menentang perjodohan anakku!”
"Hemm, syarat apalagi? Dua syarat Hui Hong itu sudah cukup berat!" Ouwyang Sek mengomel.
"Syaratku adalah bahwa siapa yang dapat mengembalikan Hui Hong kepadaku, ialah yang patut menjadi
mantuku!”
Ouwyang Sek dapat menerima syarat isterinya, karena diapun maklum betapa akan duka hati isterinya
kalau Hui Hong tidak kembali lagi kepadanya. Akan tetapi tentu saja dia merasa sungkan kepada
rekannya, datuk dari Bukit Bayangan Iblis (Kui-eng-san). "Baik, kau katakan sendiri kepada ayah dan
anak itu agar tidak disangka aku yang sengaja mempersulit mereka."
"Huh, di mana kegagahanmu yang selama ini kau sombongkan? Demi membela anak, kenapa engkau
tidak berani menentang mereka? Baik, aku akan menemui mereka dan mengatakannya sendiri!” kata
Pouw Cu Lan dan diam-diam Ouwyang Sek memandang heran dan kagum, isterinya ini, bekas selir kaisar
dan bekas kekasih Pangeran Tiauw Sun Ong, selama ini bersikap sebagai seorang wanita lemah yang
suka melakukan segala perintahnya dengan patuh. Akan tetapi saat ini telah berubah menjadi seorang
wanita pemberani, bahkan berani untuk menentang keluarga Suma. Dan diapun menyadari bahwa
semua kelemahan dan kepatuhan Cu Lan ternyata hanya demi puterinya. Kini begitu puterinya
terganggu, iapun dapat berubah sebagai seekor harimau betina yang melindungi anaknya!”
Kui-siauw Giam-ong Suma Koan dan puteranya, Tok-siauw-kwi suma Hok telah siap untuk pergi dan
mereka berdua menanti di ruangan depan untuk berpamit dari keluarga Ouwyang, terutama sekali
Suma Hok ingin bertemu lagi dengan Hui Hong dan pamit kepada gadis yang dianggapnya sebagai
tunangan atau calon isterinya itu. Tentu saja mereka merasa heran, dan terutama Suma Hok merasa
kecewa ketika mereka melihat Ouwyang Sek muncul kembali hanya bersama isterinya. Tidak nampak
Hui Hong bersama mereka, juga tidak nampak Ouwyang Toan! Tidak munculnya Ouwyang Toan tidak
diambil pusing oleh Suma Hok, akan tetapi tidak adanya Hui Hong membuat dia merasa kecewa sekali
dan saking tidak dapat menahan kekecewaan hatinya, diapun menyambut Ouwang Sek dengan
pertanyaan tanpa sungkan lagi, "Paman Ouwyang, mana Hui Hong? Aku ingin berpamit kepada
tunanganku yang tercinta itu!”
Sebelum Ouwyang Sek yang merasa malu dapat menjawab, isterinya telah mendahului dan dengan
suara lantang Pouw Cu Lan berkata, "Orang muda. dengarlah baik-baik. Anakku Hui Hong telah pergi
tanpa pamit, entah ke mana kamipun tidak tahu, aku sebagai ibunya, kini menambahkan syarat sebagai
sayembara untuk menjadi calon suami anakku. Anakku Hui Hong sudah mengajukan tyarat bahwa calon
suami harus dapat menemukan kembali mustika Akar Bunga Gurun Pasir, dan harus pula dapat
mengalahkan ia dalam pertandingan. Sekarang kutambah dengan sebuah syarat lagi, yaitu siapa yang
dapat menemukan Hui Hong dan dapat mengajaknya pulang ke sini, dialah calon suami anakku, calon
mantuku!”
Tiba-tiba terdengar suara orang dari luar, "Bagus sekali! Syarat yang tiga itu cukup adil dan kami
sanggup memenuhi ketiganya!"
Tentu saja semua orang terkejut, terutama Ouwyang Sek dan Suma Koan karena kedua orang datuk ini
tidak dapat mengetahui atau mendengar kedatangan orang yang mengeluarkan suara itu. Tahu-tahu
orang itu telah berada di situ dan ketika mereka menengok, ternyata di pekarangan itu telah berdiri
seorang pemuda dan seorang kakek buta! Mereka itu bukan lain adalah Bun Houw dan gurunya, bekas
Pangeran Tiauw Sun Ong.
Sejenak semua orang memandang ke arah guru dan murid itu dan suasana menjadi sunyi sekali, sunyi
yang menegangkan. Akan tetapi tiba-tiba kesunyian itu dipecahkan oleh isak tangis dari Pouw Cu Lan
sudah menjatuhkan diri berlutut menghadap kepada Tiauw Sun Ong dan terdengar di antara isaknya ia
berkata lemah.
"Pangeran ...!” Dapat dibayangkan betapa hancur hati wanita itu. Dahulu, ketika ia menjadi selir terkasih
kaisar, ia telah saling jatuh cinta dengan Pangeran Tiauw Sun Ong. Adik suaminya. Mereka berdua telah
lupa diri, berdua sehingga akhirnya tertangkap basah dan biarpun kaisar tidak menghukum adiknya,
namun Pangeran Tiauw Sun Ong yang merasa berdosa dan malu, membutakan matanya sendiri di
depannyal Pangeran itu telah menjadi seorang buta karena iapun ketika itu tidak mengharapkan hidup
lagi, dihukum buang dan akhirnya dirampas oleh Ouwyang Sek. Andaikata Ia tidak mengandung, tentu ia
akan membunuh diri! Kini, setelah kesemuanya itu hanya tinggal kenangan belaka, tiba-tiba ia
berhadapan dengan Pangeran Tiauw Sun Ong, satu-satunya pria yang dicintanya, akan tetapi juga yang
menderita sengsara karenanya!”
"Pangeran ...!” Kembali ia memanggil dengan suara merintih, diiringi tangis mengguguk.
"Ha-ha-ha-ha!" Kui-siauw Giam-ong tertawa bergelak. "Saudara Ouwyang Sek. sungguh pertunjukan ini
lucu sekali, seperti di atas panggung wayang dan engkau membiarkan saja badut ini datang disambut
sembah dan tangis isterimu? Kalau perlu, aku dapat membantumu mengirimnya ke neraka!"
Ouwyang Sek yang mukanya hitam itu kini memandang kepada Tiauw Sun Ong dengan mata melotot
marah. "Tiauw Sun Ong, mau apa engkau datang ke sini?" Sungguh sama sekali tidak ramah ucapannya
itu, namun Tiauw Sun Ong menyambutnya dengan senyum. Kakek buta ini juga sama sekali tidak
memperdulikan bekas kekasihnya yang kini telah menjadi isteri datuk Bukit Siluman itu. Seperti orang
yang dapat melihat saja, dia mengangkat muka ke arah dua orang datuk itu dan suaranya terdengar
lembut namun berwibawa.
"Suma Koan, kebetulan sekati aku bertemu denganmu di sini. Dan Ouwyang Sek, aku juga girang bahwa
engkau berada di rumah sehingga aku dapat bertemu dengan kalian dua orang datuk besar. Aku ingin
menyampaikan terima kasih kepada kalian yang telah memukul muridku dengan pukulan beracun,
karena perbuatan kalian itu mendatangkan untung yang teramat besar dan tak ternilai harganya bagi
muridku."
Mendengar ucapan itu wajah kadua orang datuk itu berubah kemerahan karena tentu saja mereka
mengira bahwa ucapan bekas pangeran itu merupakan ejekan atau sindiran, sama sekali mereka tidak
tahu bahwa ucapan itu memang sungguh sungguh!
"Tiauw Sun Ong, tidak perlu banyak cakap. Cepat katakan mau apa kau ke sini sebelum kuusir engkau
yang tidak kuundang!" bentak Ouwyang Sek yang menjadi semakin marah karena mara ia diejek.
Bekas pangeran itu tetap tersenyum. "Ouwyang Sek, kami telah mendengar sayembara untuk
pencalonan suami bagi anakmu Hui Hong. Nah, aku datang bersama muridku untuk mengajukan
pinangan agar Hui Hong dapat menjadi jodoh muridku Bun Houw ... "
"Tidak boleh!" bentak Ouwyang Sek memotong.
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak bercakap begitu. Dengarkan dulu apa yang dikatakan pangeran!"
bentak Cu Lan dan kembali Ouwyang Sek merasa heran. Wanita ini sekarang sungguh amat berani! "Hui
Hong adalah anakku dan aku berhak pula memutuskan!” sambung pula Pouw Cu Lan.
"Kami sudah mendengar tentang tiga macam syarat itu. Pertama, menemukan Akar Bunga Gurun Pasir,
ke dua menandingi Hui Hong dalam ilmu silat, dan ke tiga, membawa kembali Hui Hong yang sekarang
pergi entah ke mana. Dan juga pedang Lui-kong-kiam milik muridku telah berada di tanganmu, Ouwyang
Sek, biarlah kami menganggap itu sebagal Ikatan jodoh!”
"Tidak, aku tidak menerima pinangan itu! Hui Hong telah kujodohkan dengan putera saudara Suma
Koan! Andaikata belum juga, aku tidak akan menjodohkan anakku dengan murid seorang buta!”
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak bicara seperti itu!” Pouw Cu Lan berteriak, lalu ia bangkit, lari ke
depan kaki Tiauw Sun Ong, menjatuhkan diri berlutut lagi dan berkata, "Pangeran, Hui Hong adalah
puteri pangeran, anak kita, dan saya setuju kalau ia dijodohkan dengan muridmu ... ,"
"Diam kau, perempuan binal!" bentak Ouwyang Sek marah, kemudian dia berkata kepada bekas
pangeran itu dengan pandang mata penuh kebencian karena cemburu. "Tiauw Sun Ong, pargilah engkau
dari sini atau terpaksa aku akan melakukan kekerasan!”
Akan tetapi bekas pangeran itu kini tidak memperdulikannya lagi. Dia menunduk dan memalingkan
muka ke arah bekas kekasihnya." Cu Lan, aku menysal sekali telah menyebabkan engkau menderita
dalam hidupmu. Aku pun cukup menderita dan agaknya memang Tuhan telah menghukum kita berdua
karena perbuatan kita yang tidak benar. Cu Lan, aku telah tahu tentang anak kita Hui Hong, sekarang
katakan, ke mana ia pergi?"
"Pangeran, saya menceritakan kepadanya tentang kita, dan ia ... ia pergi bersama seorang wanita yang
katanya mengetahui di mana engkau berada. Saya tidak dapat mencegahnya ... "
"Siapa wanita itu?" tanya Tiauw Sun Ong, sedangkan Ouwyang Sek juga mendengarkan dengan penuh
perhatian karena baru sekarang dia mendengar bahwa anaknya pergi bersama seorang wanita.
"Saya tidak melihatnya. hanya mendengar suaranya, dan menurut Hui Hong, ia seorang wanita cantik
yang usianya sekitar tiga puluhan. Pangeran, tolong carikan ia, carilah anakku, cari anak kita karena aku
merasa khawatir sekali ... "
"Ha-ha-ha, saudara Ouwyang, sebetulnya bagaimanakah ini? Hui Hong yang hendak diperisteri putraku
itu anak siapa! Anakmu, anak si buta ini, ataukah anak haram?" Suma Toan yang tidak sabar kini berseru
dengan suara mengejek.
"Tiauw Sun Ong, dengar baik-baik!" Ouwyang Sek kini membentak marah. "Engkau dan perempuan
binal ini sama sekali tidak berhak atas diri Hui Hong! Lihat perempuan ini. Ia selir kaisar yang telah
memberi segala galanya, kedudukan dan kemewahan, akan tetapi apa yang ia lakukan? Ia melakukan
penyelewengan, berkhianat dan berjina denganmu, adik suaminya sendiri. Setelah tertangkap basah,
kalian berpisah dan apa yang ia lakukaa? Ia mau menjadi isteriku dan ÃŒa melayaniku dengan sepenuh
hati sampai sekarang. Perempuan macam ini apakah berhak untuk menjadi seorang ibu yang berhak
penuh atas diri Hui Hong? Dan lihat dirimu sendiri! Engkau telah mengkhianati kakak sendiri, berjina
dengan isteri kakakmu. Setelah ketahuan, engkau tidak bertanggung jawab, malah melarikan diri, tidak
perduli kekasih gelapmu telah mengandung. Orang macam engkan ini apakah pantas menjadi ayah Hui
Hong? Sebaliknya, sejak kecil, sejak lahir, Hui Hong kupelihara, kudidik sampai menjadi seorang gadis
seporti sekarang keadaannya. Tidakkah sudah sepatutnya kalau aku yang berhak menentukan
jodohnya? Hayo jawab!"
Terdengar rintihan dan tangis keluar dari mulut Pouw Cu Lan. Wanita ini merasa betapa ucapan
suaminya itu seperti pedang beracun menancap di ulu hatinya. Ia tidak mampu membantahnya
walaupun semua itu ia lakukan demi Hui Hong! Juga bekas pangeran itu berdiri menunduk dan berulang
kali menghela napas panjang. Biarpun kasar dan keji, ucapan dari datuk sesat itu memang benar. diapun
mempunyai alasan, yaitu bahwa dia tidak tahu bahwa kekasihnya itu telah mengandung ketika dia
meninggalkannya. Andaikata dia tahu, mnngkin tidak akan begini jadinya. Akan tetapi alasan itupun
amat lemah dan dia tidak mau mengeluarkannya.
"Ouwyang Sek, aku datang bukan untuk merampas hakmu sebagai ayah atas diri Hui Hong. Bahkan aku
mengakui engkan sebagai ayahnya. Buktinya, aku datang sebagai wakil muridku ini untuk melakukan
pinangan atas diri Hui Hong sebagai puterimu. Dan kami akan memenuhi tiga syarat tadi, juga pedang
Lui-kong-kiam itu boleh kausimpan sebagai tanda ikatan jodoh atau tanda bahwa kami telah meminang
puterimu."
"Pedang Lui-kong-kiam ini kuambil dari tangan muridmu dengan kekerasan. Kalau memang dia
mempunyai kemampuan, boleh merampasnya kembali dari tanganku!" kata Ouwyang Sek sambil
menepuk pedang dengan sarungnya yang seperti tongkat dan yang tergantung di punggungnya itu.
Sementara itu Suma Koan juga melangkah maju menghampiri Tiauw Sun Ong dan tertawa dengan nada
mengejek. "Heii, orang buta. Sungguh lancang sekali engkau, berani meminang Ouwyang Hui Hong.
Anak perempuan itu telah menjadi calon mantuku, tahu? Siapa yang meminang calon mantuku, berarti
menghinaku. Engkau boleh mengajukan pinanganmu kalau mampu menghadapi suling mautku!"
Ditantang olah kedua orang datuk itu, Tiauw Sun Ong menoleh ke arah muridnya. "Bun Houw, tidak ada
jalan lain lagi. Kau rampaslah kembali Lui-kong-kiam dari Ouwyang Sek, dan biar aku yang akan melayani
Iblis Suling Maut ini."
Bun Houw yang merasa kasihan sekali kepada ibu kandung Hui Hong, mengangguk, lalu diapun
melangkah maju mengbampiri Ouwyang Sek. Bagaimaupun juga, dia tetap memandang kakek tinggi
besar muka hitam ini sebagai ayah Hui Hong. maka diapun bersikap sopan. "Lo-cian-pwe, aku menerima
tantanganmu untuk mencoba mengambil kembali Lui-kong-kiam yang kaudapat."
"Heh, bocah yang bosan hidup. Kebetulan sekali karena akupun ingin menyelesaikan niatku yang tidak
kulaksanakan dahulu, yaitu membunuhmu. Nah, majulah untuk menerima kematian!" Kakek itu
menggerakkan tangannya dan dia sudah menyerang dengan dahsyat, kedua tangannya menyambar dari
kanan kiri sehingga mendatangkan suara menyambar-nyambar ke arah tubuh Bun Houw. Pemuda ini
sudah maklum akan kelihaian lawan, maka dia pun sudah bersikap waspada, cepat dia meloncat ke
belakang untuk mengelak dan mencari tempat yang lebih luat agar jangan mengganggu gurunya. Juga
agar tidak terlalu dekat dengan ibu Hui Hong yang masih berlutut sambil menangis sedih.
Sementara itu, Suma Koan sudah menggunakan sulingnya untuk menyerang Tiauw Sun Ong Datuk dari
Bukit Bayangan Iblis ini berjuluk Kui-siauw Giam-ong (Iblis Suling Maut), tentu saja senjata sulingnya itu
dahsyat bukan main. Suling itu selain dapat dipergunakan sebagai senjata yang kokoh kuat karena
terbuat dari baja yang pilihan, juga ujungnya mengandung racun, dan suling itupun dapat dipergunakan
untuk meniupkan jarum-jarum beracun ke arah lawan. Senjata inilah yang mengangkat Suma Koan dan
membuat dia dijuluki Suling Maut.
Namun sekali ini, majikan Kui-eng-san itu berhadapan dengan Tiauw Sun Ong. Tadinya dia memang
memandang rendah kepada kakek buta itu karena diapun baru pernah mendengar saja nama bekas
pangeran ini. namun belum membuktikan sendiri kelihaiannya. Bagaimanapun juga, dia hanya seorang
buta,’ demikian pikir Suma Koan dan serangan-serangannya yang dahsyat itu, dia mengira akan mampu
merobohkan lawan buta itu dalam beberapa gebrakan saja. Akan tetapi, begitu Tiauw Sun Ong
menggerakkan tangannya, sebatang pedang berkilauan telah berada di tangannya dan dia melemparkan
tongkat yang menjadi sarung pedang itu kepada muridnya sambil berseru, "Bun Houw, kau pergunakan
ini!”
Tiauw Sun Ong menggerakkan pedangnya dan nampak sinar bergulung-gulung, menangkis suling dan
begitu kedua senjata itu bertemu, Kui-siauw Giam-ong Suma Koan terkejut bukan main karena dia
merasa betapa retapak tangannya yang memegang suling tergetar hebat, tanda bahwa lawan buta itu
memiliki tenaga sin-kang yang amat kuat, tidak berada di sebelah bawahnya! Maka, diapun berseru
keras dan sulingnya melakukan serangkaian serangan yang lebih dahsyat lagi. disambut dengan tenang
oleh Tiauw Sun Ong yang juga maklum bahwa dia melawan seorang datuk yang lihai.
Bun Houw menyambut sarung pedang berbentuk tongkat butut yang dilemparkan suhunya, akan tetapi
melihat betapa Ouwyang Sek menyerangnya dengan tangan kosong, diapun hanya menyelipkan tongkat
itu di ikat pinggangnya dan menghadapi serangan datuk Bukit Siluman itu dengan tangan kosong pula.
Sampai belasan jurus dia hanya mengelak dengan berloncatan dan dengan menggeser kedua kakinya
secara ringan dan lincah sekali sehingga semua serangan kakek itu hanya mengenai tempat kosong.
Bu-eng-kiam Ouwyang Sek menjadi penasaran bukan main, rasa penasaran yang mendatangkan
kemarahan. Belasan jurus dia menyerang dan pemuda itu hanya mengelak, akan tetapi tidak pernah
pukulannya mengenai sasaran. Diam-diam dia terkejut di samping kemarahannya. Pemuda ini dahulu
telah dia pukul dengan pukulan yang mengandung hawa beracun mematikan. Akan tetapi, kini bukan
saja pemuda itu sama sekali tidak kelihatan menderita oleh pukulannya, bahkan kini pemuda itu
sedemikian mudahnya menghindarkan diri dari belasan kali serangannya yang dahsyat.
"Bocah sombong, mampuslah!" Tiba-tiba dia membentak dan dia mengirim serangan dengan kedua
tangannya yang menghadang dari kanan kiri dengan cepat dan kuat. tidak memungkinkan pemuda itu
untuk mengelak lagi. Andaikata lawannya meloncat ke belakangpun tentu akan dilanda hawa pukulan
jarak jauh yang mengandung tenaga sin-kang dan hawa beracun itu.
Melihat serangan maut ini. Bun Houw tidak mau mengelak lagi. Diapun diam-diam mengerahkan tenaga
yang didapatnya dari latihan Im-yang Bu-tek Cin-keng, hanya dia mengatur dan membatasi tenaganya,
hanya untuk melindungi dirinya saja, tanpa niat untuk menyerang atau mencelakai lawan.
"Wuuuuttt, desss ...!” Kedua telapak tangan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek bertemu dengan dinding yang
tidak nampak dan demikian kuatnya benturan pada dinding tak nampak itu sehingga tubuh datuk itu
terdorong ke belakang.
Dia tidak mampu menguasai kuda-kudanya lagi sehingga terpaksa kakinya terhuyung melangkah ke
belakang sampai lima langkah! Dan yang membuat dia terbelalak adalah melihat pemuda itu masih
berdiri tegak dengan sikap tenang!
Ilmu apa ini, pikirnya kaget dan karena maklum bahwa dengan tangan kosong dia tidak akan mampu
menandingi pemuda yang memiliki tenaga mujijat yang tidak dikenalnya itu, Ouwyang Sek lalu
menggerakkan tangan kanan ke punggungnya dan di lain saat, nampak kilat berkelebat menyambar
ketika dia telah mencabut Lui-kong-kiam (Pedang Kilat) yang dahulu dirampasnya dari tangan Bun
Houw!”
Melihat pedangnya sendiri kini dipergunakan lawan untuk menyerangnya, Bun Houw segera mencabut
tongkat sarung pedang gurunya yang dia selipkan di pinggang. Dia tentu saja mengenal keampuhan Luikong-
kiam, dan biarpun dia belum pernah melihat ilmu pedang datuk itu, namun mengingat bahwa
datuk itu berjuluk Bu-eng-kiam (Pedang Tanpa Bayangan), dia dapat menduga bahwa Ouwyang Sek
tentu seorang ahli pedang yang amat lihai.
"Singgg ... wuuuut, singgg ...!” Lui-kong-kiam di tangan Ouwyang Sek diputar-putar di atas kepalanya
membentuk gulungan sinar yang menyilaukan mata. "Bocah sombong, biar pedangmu sendiri
menghirup darahmu!"
Pedang yang kalau digerakkan menimbulkan sinar berkilat itu menyambar ke arah leher Bun Houw.
Memang pantas Ouwyang Sek dijuluki Bu-eng-kiam karena dia memang seorang ahli pedang yang
mampu menggerakkan pedang dengan kecepatan luar biasa sehingga seolah-olah pedang itu tidak
mempunyai bayangan, tahu-tahu telah tiba disasaran yang dituju. Namun Bun Houw adalah murid
tersayang dari Tiauw Sun Ong yang memiliki ilmu pedang yang ampuh, yaitu ilmu pedang yang
mengandalkan ketajaman pendengaran dan perasaan naluri seorang buta. Gerakan pedang yang
betapapun dapat ditangkap oleh pendengaran dan perasaan itu, maka begitu pedang itu menyambar ke
arah lehernya, Bun Houw, sudah dapat menangkisnya dengan tongkat sarung pedang gurunya.
“Trangg ... !” Pedang terpental lalu menukik ke bawah, menusuk ke arah perut Bun Houw.
"Trangg ...!” Kembali pedang yang terpental itu membuat gerakan membalik dan kini sudah menyambar
lagi menusuk dada.
"Trangg ...!” Dan kini Bun Houw melanjutkan tangkisannya dengan serangan balasan yang meubuat
Ouwyang Sek harus cepat memutar pedangnya untuk membuat perisai gulungan sinar melindungi
dirinya karena dia dapat merasakan sambaran angin dahsyat ketika tongkat itu menyambar-nyambar ke
arah dirinya.
Terjadi perkelahian yang amat hebat antara Ouwyang Sek dan Bun Houw, dan makin lama, Ouwyang
Sek menjadi semakin terkejut dan terheran-heran. Belum lama, ketika dia untuk pertama kalinya
bertemu dengan pemuda ini, Bun Houw belumlah sepandai ini walaupun tingkat pemuda ini sudah
sedikit lebih tinggi dari pada tingkat Ouwyang Toan dan Hui Hong. Akan tetapi sekarang, bagaimana
mungkin pemuda ini sudah menjadi sedemikian lihainya sehingga dia sendiri selalu kalah kalau beradu
tenaga, dan ilmu pedangnyapun tidak mampu mendesak pemuda yang hanya bersenjatakan tongkat
pendek ini?
Sementara itu. perkelahian antara Tiauw Siauw Ong dan Suma Koan juga terjadi dengan hebatnya.
Namun, setelah beberapa kali meniupkan jarum beracun tanpa hasil karena selalu dapat dipukul runtuh
oleh gulungan sinar pedang di tangan lawan yang buta itu. mulailah Suma Koan terdesak oleh gulungan
sinar pedang yang dimainkan Tiauw Sun Ong. Melihat betapa ayahnya tidak mampu menang bahkan
terdesak oleh orang buta yang tadinya mereka pandang rendah itu. Suma Hok juga mencabut sulingnya
dan dia tanpa banyak cakap lagi sudah terjun ke dalam perkelahian membantu ayahnya mengeroyok
Tiauw Sun Ong! Sang ayah juga diam saja dan agaknya mereka tidak merasa malu harus mengeroyok
seorang lawan yang buta! Mengelahui bahwa dia dikeroyok oleh dua orang lawan tangguh. Tiauw Sun
Ong memutar pedangnya semakin cepat dan membentuk benteng pertahanan dari gulungan sinar
pedang yang berkilauan untuk melindungi dirinya.
Bun Houw hanya mengimbangi permainan Ouwyang Sek karena bagaimanapun juga, dia tidak ingin
membuat datuk yang menjadi ayah tiri Hui Hong ini merasa terhina kalau dia kalahkan. Akan tetapi, kini
dia melihat keadaan gurunya yang dikeroyok secara curang oleh ayah dan anak Suma, dia harus
membantu gurunya,’ pikir Bun Houw dan untuk dapat melakukan itu. dia harus menyudahi
perkelahiannya melawan Ouwyang Sek. Tiba-tiba Bun Bouw mengeluarkan bentakan nyaring, bentakan
yang membuat Ouwyang Sek merasa betapa jantungnya terguncang dan saat itu, pedang Lui-kong-kiam
di tangannya bertemu dengan tongkat di tangan Bun Houw dan melekat! Dia berusaha menarik kembali
pedang itu, namun tidak dapat dan karena marah dia lalu menghantamkan tangan kirinya dengan
telapak tangan terbuka ke arah muka Bun Houw. Hantaman ini dilakukan sekuat tenaga dengan
kandungan hawa beracun dan kalau sampai terkena pukulan ini. betapapun lihainya, tentu pemuda itu
akan roboh dan tewas.
Melihat pukulan tangan kiri ini, Bun Houw maklum betapa besar bahayanya, maka diapun mengerahkan
tenaga dari Im-yang Bu-tek Cin-keng dan menggerakkan tangan kiri menyambut hantaman ke arah
mukanya itu.
"Plakkk!" Dua telapak tangan bertemu dan akibatnya, Ouwyang Sek mengeluarkan seruan kaget dan
tubuhnya gemetar, terhuyung ke belakang. Kesempatan ini dipergunakan oleh Bun Houw untuk secepat
kilat melepaskan lekatan tongkatnya dari pedang, dan ujung tongkatnya sudah menotok pergelangan
tangan kanan Ouwyang Sek sehingga pedang itu terlepas dan dilain detik, Lui-kong-kiam telah kembali
kepada pemiliknya!”
Ouwyang Sek yang terhuyung ke belakang, terbelalak melihat pedang itu sudah terampas oleh Bun
Houw. Dia merata malu, penasaran dan kemarahannya memuncak. Dengan mengeluarkan gerengan
seperti seekor binatang buas dia menyambar sarung pedang yang masih tergantung di punggungnya,
lalu dia meloncat ke depan, dengan buas menerkam dan menggerakkan sarung pedang berbentuk
tongkat itu ke arah Bun Houw, menyerang dengan membabi-buta.
Bun Houw menyambut serangan sarung pedang itu. Melihat betapa Ouwyang Sek memegang ujung
sarung pedang sehingga bagian yang berlubang menghadap ke arahnya, diapun mengelebatkan Luikong-
kiam yang sudah dirampasnya, menarik ke depan dan tepat sekali Lui-kong-kiam masuk ke dalam
sarung pedang itu! Dan pada saat itu, sarung pedang milik gurunya yang masih dipegang tangan kirinya,
membuat gerakan menyerang ke arah leher Ouwyang Sek. Datuk ini terkejut, berusaha menarik sarung
pedang itu, namun sia-sia dan kalau dia tidak cepat mengelak, serangan sarung pedang lawan tentu
akan mengenai lehernya. Diapun dengan nekat menggunakan tangan kiri menangkap sarung pedang itu.
"Desss!” pada saat itu, Bun Houw sudah menendang, tepat mengenai perutnya dan biar pun dalam
menendang ini Bun Houw membatasi tenaganya, tetap saja Ouwyang Sek terlempar ke belakang dan
terpaksa melepaskan kedua sarung pedang tadi. Dia terbanting jatuh dan sakit di hatinya lebih hebat
dari pada rasa nyeri di pinggulnya yang terbanting.
Sementara itu, Bun Houw sudah meloncat ke arah gurunya dan sekali pedang Lui-kong-kiam
menyambar suling di tangan Suma Hok patah menjadi dua! Pemuda tampan pesolek itu tentu saja
terkejut bukan main, akan tetapi juga jerih. Dia meloncat ke belakang dan ayahnya yang bukan orang
bodoh, maklum bahwa kalau dilanjutkan dia akan kalah, cepat meloncat ke belakang pula, dekat
puteranya. Ayah dan anak ini selamat dari keadaan yang lebih memalukan, yaitu jatuh di tangan si buta
dan muridnya, Suma Koan memberi hormat ke arah Ouwyang Sek dan berkata. "Saudara Ouwyang,
kami berpamit. Kalau kami sudah memenuhi tiga syarat puterimu, kami akan kembali membicarakan
urusan perjodohan."
Setelah berkata demikian, ayah dan anak itu pergi tanpa menengok lagi kepada Tiauw Sun Ong dan Bun
Houw yang juga tidak memperdulikan mereka.
Dengan tenang Tiauw Sun Ong mengangkat mukanya ke arah Ouwyang Sek dan diapun berkata dengan
mara tegai. "Nah, muridku telah memenuhi tantanganmu dan berhasil mendapatkan kembali Lui-kongkiam
dari tanganmu. Kami berdua menyanggupi sayembara itu dan kalau kami yang dapat
memenuhinya, maka Bun Houw yang berhak untuk menjadi suami Hui Hong. Harap angkau sebagai
seorang datuk tidak akan menjilat ludah sendiri, Ouwyang Sek."
Ouwyang Sek yang sudah bangkit berdiri dengan kedua kaki gemetar saking marah dan tak berdaya, kini
melotot dan wajahnya yang hitam itu menyeramkan sekali, "Tidak! Lebih baik melihat Hui Hong mati
dari pada harus menjadi isteri muridmu! Lebih baik aku kawinkan Hui Hong dengan seorang jembel
busuk tanpa nama dari pada harus menikah dengan muridmu! Engkau tidak patut dan tidak berhak
menjadi ayahnya, dan Cu Lan juga hanya seorang perempuan hina, tidak berhak menentukan nasibnya.
Hanya aku seorang yang berhak, dan aku akan mempertahankan Hui Hong dengan nyawaku!"
"Ouwyang Sek, engkau tidak berhak berbicara demikian!" tiba-tiba terdengar suara Cu Lan memekik.
Wanita ini sudah berdiri dengan marah sekali. Wajahnya yang biasanya segar kemerahan, kini menjadi
pucat, rambutnya awut-awutan, matanya merah membengkak, pipinya masih basah air mata dan
mulutnya membayangkan kedukaan dan kemarahan yang teramat besar. "Aku rela menjadi isterimu,
rela menjadi barang permainanmu hanya untuk Hui Hong! Engkau tentu masih ingat bahwa aku
mengancam akan membunuh diri kalau engkau menjamah tubuhku sebelum Hui Hong terlahir.
Kemudian, akupun menyerahkan diri hanya dengan syarat bahwa engkau akan memperlakukan Hui
Hong sebagai anak sendiri dan bersikap baik kepadanya. Semua derita itu kupertahankan demi Hui
Hong. Sekarang, engkau hendak memaksakan kehendakmu atas diri Hui Hong, hendak kau jodohkan
dengan orang yang tidak disukainya. Akupun tidak sudi lagi menjadi isterimu, dan sekarang karena Hui
Hong telah mengetahui siapa ayah kandungnya yang sebenarnya, maka aku menyerahkan Hui Hong
kepada ayah kandungnya. Aku rela meninggalkannya karena ada ayah kandungnya yang akan
melindungi dan membelanya. Pangeran, aku pasrah anak kita kepadamu dan aku setuju kalau akan
kaujodohkan dengan muridmu. Selamat tinggal ...!”
“Cu Lan ... !” Tiauw Sun Ong berseru.
“Cu Lan ... !“ Ouwyang Sek juga berteriak sambil meloncat ke arah isterinya. Namun terlambat, karena
Cu Lan sudah menusukkan pisau yang tajam runcing itu ke dadanya, di bawah iga kiri dan iapun roboh
dalam rangkulan Ouwong Sek.
"Cu Lan ...! Cu Lan isteriku ...! Aihh, Cu Lan ...!” Ouwyang Sek mengguncang-guncang tubuh isterinya
dalam pelukannya, namun Cu Lan tidak dapat menjawab lagi karena ia sudah tewas seketika. Mengingat
ini. Pangeran Tiauw Sun Ong menghela napas panjang. Dia tahu bahwa bagaimanapun juga, Ouwyang
Sek mencinta isterinya, dan kini tentu Ouwyang Sek akan menderita tekanan batin dan kedukaan besar
yang akan menyiksa hidupnya. diapun merasa iba kepada datuk itu yang akan kehilangan pula anak tiri
yang dianggap anaknya sendiri dan disayangnya, telah kehilangan pula isterinya, walaupun kesayangan
dan kecintaan datuk ini penuh dengan nafsu mementingkan diri sendiri.
"Ouwyang Sek, engkau memetik buah dari hasil tanamanmu sendiri," katanya lirih.
Ouwyang Sek menghentikan keluhannya dan mengangkat muka memandang kepada bekas pangeran itu
dengan sinar mata penuh kebencian. "Tiauw Sun Ong aku akan membalas semua ini! Aku bersumpah
akan membalas semua ini kepada kalian berdua!”
Akan tetapi Tiauw Sun Ong tidak memperdulikannya. "Bun Houw, mari kita pergi." Guru dan murid
itupun pergi meninggalkan Lembah Bukit Siluman. Biarpun di situ terdapat banyak anak buah Ouwyang
Sek, namun tidak ada seorangpun berani bergerak untuk menentang mereka karena selain mereka tidak
berani, Juga tidak ada perintah dari majikan mereka. Ouwyang Sek dengan sedih memondong jenazah
isterinya, dibawa masuk ke dalam runah dan keluarga itu berkabung. Akan tetapi, Hui Hong tidak berada
di situ, bahkan Ouwyang Toan juga tidak ada karena pemuda ini setelah mengetahui bahwa Hui Hong
pergi tanpa pamit, segera pergi pula untuk mencarinya.
***
Semua orang yang berada di dalam rumah makan itu, terutama yang pria, memandang kepada dua
orang wanita yang baru memasuki rumah makan dengan pandang mata kagum. Lucu melihat gaya
setiap orang pria yang berada di situ. Ada yang memandang langsung dan menyeringai, ada yang
mengerling lalu membereskan letak pakaian dan rambut, ada yang melirik dengan sikap acuh namun
sesungguhnya perhatiannya tercurah kepada dua orang wanita itu. Bahkan tiga orang pelayan rumah
makan seperti berebut dulu menyambut mereka, dengan sikap hormat dan manis, dan mempersilakan,
mereka ke meja yang masih kosong, yang kebetulan berada di sudut sebelah dalam sehingga banyak
tamu yang dapat melihat mereka. Peristiwa seperti ini. datangnya tamu wanita-wanita cantik, amat
menguntungkan rumah makan dan hal ini diketahui benar oleh para pelayan, maka dua orang wanita itu
dipersilakan duduk di tempat yang mudah dilihat oleh para tamu di meja lain. Dengan adanya
"tontonan" gratis ini. para tamu akan lebih betah tinggal di situ dan pesanan makanan dan minuman
akan bertambah banyak.
Jilid 11
DUA orang wanita yang mamasuki rumah makan An-lok (Selamat Bahagia) di kota Ki-ciu itu memang
amat menarik hati, terutama kaum pria, karena keduanya amat cantik jelita. Orang pertama adalah
seorang wanita yang telah matang karena ia nampaknya berusia tiga puluh tahun lebih. Pada hal
sesungguhnya wanita ini sudah berusia empat puluh delapan tahun! Dalam usia mendekati setengah
abad itu, ia masih kelihatan muda dan cantik menarik. Wajahnya yang berkulit putih halus kemerahan
itu manis sekali, nampak masih segar dan tidak kelihatan tanda ketuaan sama sekali. Juga bentuk
tubuhnya masih padat dan ramping. Rambutnya digelung indah seperti sanggol rambut seorang puteri
bangsawan saja, dan pakaiannya juga indah dan mahal. Hal ini tidaklah mengherankan karena wanita ini
adalah Bwe Si Ni yang berjuluk Kwan-im sian-li (Dewi Kwan Im)! Ia adalah bekas dayang istana kerajaan
Liu-sung yang telah jatuhi, dan setelah kini keluar dari istana, ia meniru gaya dan dandanan seorang
pateri istana, bukan seorang dayang lagi!”
Wanita yang ke dua lebih menarik lagi walaupun pakaian dan dandanannya tidak semewah wanita
pertama. Ia seorang gadis yang juga berkulit putih mulus, namun pakaian dan dandanannya sederhana
sehingga ia nampak cantik manis dan agung, juga gagah karena di punggungnya terdapat gendongan
sebuah bantalan kain kuning dan di bawah buntalan itu terdapat pula sepasang pedang yang sarung dan
gagangnya terukir indah. Gadis berusia dua puluh satu tahun ini adalah Hui Hong.
Seperti kita ketahui, Hui Hong mendengar pengakuan ibu kandungnya bahwa ia bukanlah puteri
Ouwyang Sek, melainkan puteri bekas Pangeran Tiauw Sun Ong, ketika ia bertanya kepada ibunya di
mana ayah kandungnya itu berada, ibunya tidak mampu menjawab, dan Kwan-im Sian-li Bwe Si Ni yang
menjawabnya, bahwa ia tahu di mana adanya Tiauw Sun Ong. Maka Hui Hong lalu mau diajak pergi
untuk ditunjukkan di mana ayahnya tinggal. Dan mereka melakukan perjalanan jauh sampai pada pagi
hari itu mereka tiba di kota Ki-ciu dan memasuki rumah makan An-lok, menjadi pusat perhatian para
tamu yang pada pagi hari itu banyak yang sarapan di rumah makan itu.
Kedua orang wanita itu sama sekali tidak perduli akan sikap dan gaya para pria yang berada di rumah
makan itu. Hui Hong sendiri sudah sering melakukan perjalanan dan ia tahu benar bahwa semua pria di
manapun juga sama saja, selalu bergaya dan beraksi kalau melihat wanita cantik dan ia tahu bahwa
sahabat barunya ini yang mengaku bernama Bwe Si Ni dan mengetahui di mana adanya ayah
kandungnya, adalah seorang wanita yang amat cantik. Juga selain cantik, wanita ini tentu lihai, hal itu
pernah ia buktikan ketika ia mengejar wanita ini yang dapat berlari cepat bukan main. Biarpun belum
pernah ia menguji ilmu silatnya dan mereka berdua dalam perjalanan tidak banyak cakap dan tidak
pernah bicara tentang ilmu silat, namun Hui Hong dapat menduga bahwa wanita ini tentu lihai. Setelah
mengambil tempat duduk dan pelayan dengan sikap hormat bertanya makanan dan minuman apa yang
mereka pesan, Bwe Si Ni bertanya kepadanya. "Engkau ingin makan apa? Dan minum apa?"
Hui Hong tersenyum. Wanita cantik ini jarang sekali bicara. Kalau tidak perlu tidak pernah bicara dan
nampaknya acuh saja terhadap dirinya. Akan tetapi pagi ini kelihatan lebih ramah dari pada biasanya,
"Apa saja sesukamu, enci. Aku tidak ingin sesuatu yang istimewa, juga tidak menolak macam makanan."
jawabnya, ramah pula. Biarpun di lubuk hatinya, Hui Hong belum percaya sepenuhnya kepada wanita
ini, dan tidak begitu suka karena wanita ini dianggapnya pesolek dan dingin, namun karena ia
membutuhkan bantuannya untuk dapat bertemu dengan ayah kandungnya maka iapun berusaha untuk
bersikap baik dan ramah.
Bwe Si Ni tersenyum. "Aku ingin makan bebek panggang dan goreng burung dara. Minumnya ringan saja
sari buah, tidak enak minum yang keras sepagi ini."
"Terserah, pilihanmu terdengar enak. Enci." Bwe Si Ni lalu memesan masakan itu kepada kepala pelayan
yang sudah datang melayani sendiri. Ketika kepala pelayan sudah mencatat pesanannya, dan matanya
jelas menatap tajam dan penuh kagum kepada dua orang tamunya itu. Bwe Si Ni mengerutkan alisnya
dan suaranya mendesis ketus.
"Apa yang kaulihat! Matamu kurang ajar, hayo cepat sediakan pesanan kami!”
Kepala pelayan itu terkejut, membungkuk-bungkuk dan segera pergi. Sudah beberapa kali dalam
perjalanan mereka, Hui Hong melihat sikap galak dan ketus dari temannya itu terhadap pria. ia sendiri
juga membenci pria yang kurang ajar dan tidak sopan, akan tetapi tidak sehebat Bwe Si Ni. Baru melihat
saja sudah dapat membuat ia marah-marah. Sikapnya seolah wanita cantik ini amat membenci kaum
pria. Diam-diam ia merasa heran. Seorang wanita sehebat ini, mustahil kalau belum berumah tangga
dan ia menduga-duga siapa gerangan suami wanita ini dan di mana tempat tinggalnya, dari mana
asalnya. Akan tetapi ia belum sempat mendapatkan saat yang tepat untuk menanyakan hal itu tanpa
menyinggungnya.
Tak lama kemudian, pesanan mereka datang dan keduanya lalu makan minum tanpa memperdulikan
puluhan pasang mata yang seolah mengikuti setiap gerak gerik mereka. Hui Hong yang diam-diam
memperhatikan temannya, melihat betapa cara makan Bwe Si Ni juga anggun, seperti dibuat-buat dan
diatur. Pernah ia mendengar dari ayahnya, atau ayah tirinya, bahwa kehidupan para bangsawan tinggi
lain dari cara hidup orang biasa. Bahkan dalam hal bicara atau makan saja mereka mempunyai cara
sendiri, seperti diatur. Apakah wanita di depannya ini juga seorang wanita bangsawan?
Ketika kedua orang wanita ini hampir selesai makan, tiba-tiba mereka melihat para pelayan nampak
ketakutan, dan kepala pelayan bersama pimpinan rumah makan itu yang tadinya hanya duduk di dekat
kasir, dengan membungkuk-bungkuk dan senyum dibuat-buat menyongsong ke luar, seperti
menyambut datangnya tamu agung. Bahkan para tamu yang tadinya nampak gembira mengamati dua
orang wanita cantik itu, kini nampak khawatir, bahkan ada beberapa orang di antara mereka yang
tergesa-gesa membayar harga makanan dan meninggalkan meja mereka.
“Sediakan meja besar untuk kami! Yang di tengah itu, dan keluarkan hidangan yang kami sukai, seperti
biasa! Usir yang duduk di meja besar tengah itu dan bersihkan mejanya sampai mengkilap!” terdengar
suara dengan logat selatan, dan suara itu mengandung keangkuhan yang memuakkan hati Bwe Si Ni dan
Hui Hong.
Akan tetapi karena yang diusir dari meja bukan mereka, keduanya diam saja dan tidak ambil perduli.
Sekeluarga yang tadinya makan minum di meja itu, tanpa berani membantah lalu pindah ke meja lain
dan makanan mereka diusungi para palayan. Ada yang membersihkan meja itu.
"Hayo cepat hidangkan masakan buat kami. Kami sudah lapar dan keluarkan dulu arak yang paling baik!”
kembali terdengar suara orang, sekali ini bukan suara yang tadi, kemudian terdengar bangku diseret dan
terdengar pula orang yang membesihkan hidung dan tenggorokan dengan suara yang menjijikkan sekali.
"Jahanam!” Bwe Si Ni mendesis dan melepaskan sepasang sumpitnya di atas meja. Juga Hui Hong
merasa muak dan tidak melanjutkan makan. Untung mereka sudah kenyang. Kini dengan sinar mata
marah, ketuanya menoleh untuk melihat orang-orang macam apa yang demikian sombong dan tidak
mengenal sopan santun.
Kiranya meraka adalah tiga orang yang sikapnya kasar, berusia antara tiga puluh sampai empat puluh
tahun, potongan pakaian mereka ringkas seperti yang biasa dipakai orang-orang dari dunia persilatan,
dan di punggung mereka terselip golok telanjang yang berkilauan. Dari dandanan, senjata, dan sikap
mereka jelas dan mudah diketahui bahwa mereka tentu orang-orang kang-ouw golongan sesat yang
suka mempergunakan kekuatan bermain kasar dan keras memaksakan kehendak kepada orang lain. Hal
inipun tidak akan diperduli oleh Hui Hong maupun Bwe Si Ni kalau saja tiga orang itu tidak mencari
penyakit sendiri. Ketika dua orang wanita itu menoleh ke arah mereka, kebetulan sekali yang termuda,
berusia tiga puluh tahun dan mukanya kekuning-kuningan seperti penderita penyakit dan tubuhnya
tinggi kurus, memandang kepada mereka dan baru melihat bahwa dua orang wanita yang menoleh itu
amatlah cantiknya.
"Heiiii! Wah, sekali ini kita memang beruntung sekali, kawan-kawan!” Serunya gembira. "Siapa kira di
sini ada dua orang bidadari yang amat cantik jelita sudah menunggu dan siap menemani kita makan
minum dan bersenang-senang!"
Mendengar ucapan adik segerombolan mereka itu, dua orang yang lain juga memandang. Mereka tidak
semata keranjang adik mereka, akan tetapi sekali ini mereka menelan ludah karena jarang mereka
melihat dua orang wanita secantik yang ditunjukkan adik mereka itu.
"Heh-heh-heh. matamu awas sekali, sute (adik seperguruan)!" kata yang bertubuh pendek gendut
berperut besar sambil terkekeh. "Mereka memang cantik manis dan sekali ini aku tidak ingin pura-pura
alim."
Orang ke tiga yang paling tua, berusia empat puluhan tahun, juga terpesona. Akan tetapi dia lebih
berhati-hati dibandingkan dua orang sutenya karena dia melihat sepasang pedang yang tergantung di
pinggang Hui Hong. Bwe Si Ni sendiri menyembunyikan pedangnya di balik jubahnya yang lebar dan
panjang.
"Sute, mereka agaknya segolongan. Sebaiknya kalau kita mengundang mereka baik-baik untuk
berkenalan." katanya dan tiga orang itu seperti dikomando, telah bangkit berdiri dan menghampiri meja
di mana dua orang wanita itu sudah tidak makan lagi dan sedang membersihkan bibir dengan
saputangan.
Mereka memutari meja itu dan berdiri berjejer, menghadapi dua orang wanita itu dengan muka cengarcengir.
Si kumis lebat, yaitu orang tertua yang bertubuh sedang dan nampak kokoh kuat. mengangkat
kedua tangan dan memberi hormat kepada Si Ni dan Hui Hong, diikuti dua orang sutenya yang masih
menyeringai senang karena setelah kini mereka berhadapan dengan dua orang wanita itu, semakin jelas
nampak betapa cantik menariknya dua orang wanita di depan mereka itu.
"Nona berdua tentulah wanita wanita kang-ouw yang segolongan dengan kami, oleh karena itu, kami
ingin berkenalan dengan ji-wi (anda berdua). Kami adalah tiga orang di antara Ki-ciu Ngo-houw (Lima
Harimau Ki-ciu) ,yang mengusai daerah ini. Kami mengundang ji-wi untuk berkenalan sambil makan
minum di meja kami. Silakan!" Dengan sikap dibuat-buat si kumis lebat itu mempersilakan dua orang
wanita itu untuk pindah ke meja mereka dengan keyakinan bahwa dua orang wanita itu akan pasti suka
menerima undangannya karena kama berur Ki-elu Nf,o-houw ditakuti senni orang didsersb itu ... “
Bwe Si Ni mengerutkan alisnya dan matanya mencorong ketika ia menyapu tiga orang itu dengan
pandang matanya. "Tidak perduli kalian ini Lima Harimau atau Lima Anjing dari Ki-ciu, aku tidak perduli
dan aku tidak sudi berkenalan dengan kalian!"
Hui Hong tersenyum. "Hi-hik. kami sudah makan kenyang. Andaikata belum makanpun, kami tidak sudi
makan bersama kalian yang jorok dan menjijikkan!”
Kedua orang wanita itu bangkit, lalu menghampiri meja kasir dan membayar harga makanan dan
minuman tanpa memperdulikan tiga orang itu lagi, kemudian keluar dari rumah makan. Semua tamu
yang kebetulan melihat semua ini, terbelalak dan terheran-heran bagaimana ada dua orang, wanita lagi,
berani bersikap saperti itu terhadap tiga orang ini. Tiga orang jagoan itupun sudah marah sekali dan
mereka mengepal tinju.
"Mohon sam-wi tidak o en bikin ribut di sini ... " pemilik rumah makan menjura dan meratap kepada
mereka.
"Sediakan saja pesanan kami! Setelah kami menghajar dan menyeret dua orang perempuan itu, baru
kami akan makan!” kata si kumis tebal dengan marah dan bersama dua orang suteenya, dia lalu
melangkah lebar keluar dari rumah makan melakukan pengejaran. Tiga orang ini memang merupakan
tiga orang di antara Ki-ciu Ngo-houw yang terkenal memiliki kekuasaan dan pengaruh besar di daerah
Ki-ciu. Merekapun berhubungan baik dengan para pejabat setempat sehingga ada kerja sama diantara
mereka. Mereka tidak dimusuhi para pejabat, akan tetapi merekapun berjanji tidak akan membuat
kacau dan kerusuhan di kota Ki-ciu. Inilah sebabnya mengapa mereka tadi masih menahan sabar
walaupun marah sekali dengan sikap dua orang gadis di rumah makan An-lok. Ketika mereka
membayangi dua orang gadis itupun mereka masih tidak mau membikin ribut di dalam kota. Setelah Hui
Hong dan Si Ni tiba di luar kota Ki-ciu untuk melanjutkan perjalanan, barulah tiga orang itu dengan cepat
mengejar, kemudian mendahului mereka dan menghadang di jalan yang sunyi itu.
Tentu saja dua orang wanita perkasa itu sejak tadi tahu bahwa tiga orang yang menjemukan itu
membayangi mereka sejak dari rumah makan dan kini menghadang mereka di jalan sunyi luar kota.
"Enci biar aku yang menghadapi mereka," kata Hui Hong mendahului karena ia dapat menduga bahwa
kalau wanita cantik itu yang turun tangan mungkin saja ia akan membunuh ketiganya. Biarpun sejak
kecil ia dididik oleh Bu-eng-kiam Ouwyang Sek, seorang datuk besar yang tadinya ia anggap sebagai
ayahnya, bukan saja dididik dengan ilmu-ilmu yang hebat, akan tetapi juga melihat kekerasan
dipergunakan datuk itu, namun ia selalu diberi nasehat oleh ibunya agar ia tidak berwatak kejam dan
tidak sembarangan membunuh orang. Karena itu, dalam hati Hui Hong terbentuk watak yang tidak
kejam seperti ayahnya walaupun ia keras dan galak, dan tidak mau membunuh orang sembarangan saja.
sekarangpun ia menganggap bahwa tiga orang laki-laki yang kurang sopan itu hanya patut dihajar, tidak
seharusnya dibunuh seperti orang-orang jahat.
Bwe Si Ni mengangguk, lalu ia duduk di atas batu di tepi jalan, ingin menonton dan melihat sampai di
mana kehebatan puteri kandung Tiauw Sun Ong atau juga murid dari Bu-eng-kiam ini.
Melihat betapa yang menghadapi mereka adalah gadis yang lebih muda, sedangkan wanita yang ke dua
enak-enak duduk menonton, tiga orang itu menjadi semakin marah dan merasa dipandang ringan. Si
kumis tebal sudah melangkah maju dan menudingkan telunjuknya ke arah hidung Hui Hong sambil
berkata, "Gadis liar, tadi kami bertiga tidak ingin membikin ribut di rumah makan dan di kota, maka
kami menahan sabar. Sekarang, kami akan menghajar kalian dan menyeret kalian kembali ke rumah
makan An-lok untuk menemani kami! Kami harus menebus penghinaan yang kalian lakukan tadi yang
telah membikin malu kepada kami di depan orang banyak."
Hui Hong tersenyum dan tiga orang itu menelan ludah. Gadis yang mereka hadapi ini manis luar biasa!
"Enci itu tadi mengatakan kalian tiga ekor anjing, dan memang benar karena kalian pandai
menggonggong. Biasanya, anjing-anjing yang banyak menggonggong tidak menggigil. Pergilah, sekali ini
biar kuampuni. Pergi sebelum kalian menerima penghinaan lebih parah lagi!”
Tentu saja tiga orang itu menjadi marah bukan main. "Tangkap gadis liar ini! Bekuk dulu, baru kita bekuk
yang seorang lagi!” teriak si kumis tebal.
Tiga orang itu menerjang ke depan dan mereka memang memiliki gerakan yang tangkas, cepat dan kuat.
Namun, yang mereka hadapi adalah gadis puteri atau murid datuk besar majikan Lembah Bukit Siluman!
Tingkat kepandaian Hui Hong jauh lebih tinggi dibandingkan mereka, maka melihat mereka bertiga
sudah menerjang untuk menangkapnya, dengan ringan dan mudah saja Hui Hong menyelinap di antara
tangan-tangan mereka dan lolos dari terkaman. Tiga orang itu terkejut melihat gadis itu menjadi
bayangan berkelebat dan lenyap. Mereka membalik dan ternyata gadis itu telah berdiri di belakang
mereka dan menggunakan tangan menggapai dan menantang.
Dari gerakan gadis itu, mereka dapat menduga balwa gadis itu bukan orang lemah, maka kalau tadi
mereka hanya berebut untuk dapat menangkap Hui Hong, kini mereka menerjang dengan pukulan
pukulan!”
Kembali Hui Hong menggunakan kelincahannya untuk mengelak ke sana-sini. kemudian ketika lengan si
tinggi kurus muka kuning menyentuh pundaknya dari belakang, ia menangkap pergelangan tangan itu,
mengerahkan tenaga dan membungkuk, menarik tangan itu dan tubuh si tinggi kurus berputar dengan
kaki ke atas melewati tubuh Hui Hong dan terbanting keras di atas tanah.
"Ngekkk ... !" Si muka kuning mengaduh-aduh. lalu merangkak dan mencoba bangkit sambil memegangi
punggungnya yang rasanya seperti patah-patah tulangnya dan pinggulnya yang tipis tak berdaging itu
nyeri bukan main. Dia melangkah menjauh dengan terpincang, pincang, untuk sementara tidak maupu
menyerang lagi.
Dua orang kawannya tentu saja marah sekali melihat si muka kuning toboh. Mereka, menyerang
semakin nekat dan kini mereka bukan hanya ingin menghajar, bahkan kalau perlu membunuh karena
serangan-serangan mereka kini merupakan serangan maut yang dapat mematikan lawan. Melihat ini,
Hui Hong juga tidak mau membuang banyak waktu lagi. Ketika si perut gendut menerjang dari samping.
ia mundur dua langkah dan ketika tubuh gemuk itu terdorong ke depan, secepat kilat kaki kiri Hui Hong
mencuat dan ujung sepatunya memasuki perut yang bergajih itu dengan kerasnya.
"Ngekk ...!” Tubuh gendut itu terjengkang dan terbanting keras sampai bergulingan.
Si gendut berteriak-teriak kesakitan dan seperti juga sutenya tadi, dia merangkak dan dengan susah
payah mencoba bangkit sambil menekan perutnya yang tiba-tiba menjadi mulas.
Orang pertama yang selain marah juga terkejut melihat akibat perkelahian ini. mencabut goloknya yang
terselip di punggung, lalu menyerang Hui Hong dengan bacokan-bacokan goloknya. Terdengar suara
berdesing-desing ketika golok yang lebar dan tajam itu membelah udara kosong karena tidak pernah
dapat menyentuh sasarannya.
Hui Hong menjadi marah. Mungkin saja tiga orang ini bukan orang-orang yang suka berbuat jahat, akan
tetapi sudah jelas bahwa mereka, terutama si kumis tebal ini mempunyai hati yang kejam. Buktinya
mereka mengeroyok seorang lawan wanita, bahkan melakukan serangan untuk mematikan, pada hal
sebab perkelahian hanya sepele saja. Dan si kumis tebal ini malah tidak segan segan menggunakan golok
menyerang lawan yang tidak bersenjata.
Ketika untuk ke sekian kalinya golok itu menyambar, Hui Hong membiarkan golok itu lewat dengan
sedikit mengelak, dan pada saat gotok menyambar lewat, tangan kirinya bergerak menotok pergelangan
tangan yang memegang golok sehingga senjata tajam itu terlepas dan ia sudah merampasnya! Pada
detik yang lain, Hui Hong sudah menggerakkan lagi tangan kirinya, sekarang ke arah muka si kumis tebal.
Jari-jari tangannya mencengkeram, menarik dengan sentakan kuat dan si kumis tebal mengeluarkan
pekik kesakitan, terpelanting roboh dan dia melangkah bangun sambil menutupi muka dengan tangan.
Kulit di bawah hidungnya yang sebelah kanan berdarah karena kumisnya telah dicabut oleh tangan Hui
Hong. Kini kumis yang tebal itu tinggal sebelah saja, dan kulit di bagian kumis yang dijebol itu terluka
berdarah.
Hui Hong menggunakan kedua tangannya menekuk golok rampasan itu sambil mengerahkan tenaga.
Terdengar suara nyaring dan golok itupun patah menjadi dua potong. Ia melemparkannya ke atas tanah
sambil tersenyum mengejek.
“Hemm, kalian tiga ekor anjing masih juga tidak cepat merangkak pergi?"
Tentu saja tiga orang itu terkejut dan ketakutan, ekan tetapi juga penasaran dan marah. Peristiwa yang
amat memalukan dan menghina ini belum pernah mereka alami selama hidup. "Kau ... kau ... kalau
memang gagah, tunggu saja ... kami mengundang twa-suheng dan jisuheng ... " kata si kumis dengan
suara aneh karena mulutnya sakit digerakkan tanpa menimbulkan rasa perih di bibir atasnya. Kamudian
mereka bertiga melarikan diri ke arah kota.
Hui Hong hanya tersenyum ketika Bwe Si Ni menegurnya, "Hui Hong, kenapa engkau bermain-main
dengan jahanam-jahanam seperti mereka?"
“Enci, orang-orang sombong itu memang patut dihajar. Biar dua orang kakak mereka yang lain datang,
akan kuhajar sekalian di sini."
Bwe Si Ni bangkit berdiri. "Huh, aku tidak mempunyai waktu untuk main-main dengan mereka. Mari kita
melanjutkan perjalanan."
"Tapi, kita bisa dianggap takut!”
"Masa bodoh, biar mereka mencari kita kalau memang sudah bosan hidup. Mari kita pergi."
Karena ia memang sedang mengikuti wanita itu untuk diajak menemui ayah kandungnya, Hui Hong tidak
dapat membantah lagi dan ia pun mengikuti Bwe Si Ni pergi dari situ melanjutkan perjalanan.
Belum jauh mereka pergi, mereka mendengar derap kaki kuda dari belakang. Setelah beberapa ekor
kuda itu datang dekat, Hui Hong dan Si Ni minggir dan menanti untuk membiarkan mereka lewat. Akan
tetapi, segera mereka melihat bahwa yang datang adalah lima ekor kuda dengan lima orang
penunggangnya. Tiga di antara mereka bukan lain adalah tiga arang yang tadi dihajar oleh Hui Hong.
Yang dua orang lagi adalah dua orang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun, yang seorang
tinggi besar bermuka hitam dan yang ke dua, tegap dan berwajah tampan yang lelalu tersenyum
memikat. Wajah seorang penaluk wanita! Tanpa bertanyapun, dua orang wanita itu dapat menduga
bahwa dua orang itu tentulah sang twa-suheng dan ji-suheng dan sekarang lengkaplah sudah Ki ciu Ngohouw,
lima harimau yang mengaku berkuasa di daerah Ki-ciu itu.
Hui Hong segera melangkah maju dan bertolak pinggang, menghadapi lima orang yang kini sudah
berlompatan turun dari punggung kuda. Setelah membiarkan kuda mereka makan rumput di tepi jalan,
lima orang itu menghadapi Hui Hong yang tersenyum mengejek. "Mau apa kalian datang mengejar
kami? Apakah masih belum puas dan ingin dihajar lebih keras lagi?"
Si kumis tebal itu kini kehilangan semua kumisnya. Agaknya dia sudah memotong kumis sebelehnya
sehingga wajahnya yang tidak berkumis itu kini nampak lucu. Akan tetapi yang menjawab pertanyaan
Hui Hong bukan dia melainkan laki-laki tampan yang juga tersenyum dan melirik-lirik ke arah dua orang
wanita itu.
"Nona, engkaukah tadi yang telah menghajar tiga orang suteku? Bagus, ternyata engkau selain gagah
perkasa, juga cantik jelita. Engkau akan menjadi pasanganku yang cocok sekali!"
"Ji-sute (adik kedua), gadis-gadis ini sudah menghina tiga orang adik kita. Hajar saja. kalau perlu bunuh
untuk mengangkat kembali nama Ki-ciu Ngo houw!" kata yang tinggi besar bermuka hitam dengan sikap
bengis sekali.
"Suheng, sayang kalau dibunuh begitu saja. Mereka terlalu cantik, biar kuajak bersenang-senang barang
sepekan sebelum dibunuh!" kata pula si muka tampan.
Tiba-tiba Sin Ni memegang tangan Hui Hong dan menariknya ke belakang sambil berkata, suaranya lirih
mendesis seperti desis seekor ular cobra yang marah. "Mundurlah, Hui Hong. Sekarang giliranku!”
Hui Hong mundur karena ia sendiripun ingin menyaksikan sepak terjang sahabat baru yang aneh itu.
Suara mendesis itu cukup membuat ia bergidik dan kini Hui Hong yang duduk di atas sebuah akar pohon
yang menonjol keluar dari tanah. Kini, Bwe Si Ni yang berdiri menghadapi lima orang itu. Ia sudah
tersenyum-senyum seperti Hui Hong. Wajahnya yang cantik jelita itu nampak anggun dan dingin angkuh,
seperti sikap seorang putri menghadapi para abdi yang siap menaati semua perintahnya. Agaknya
wanita ini ingin menyesuaikan sikapnya dengan julukannya. Julukannya adalah Dewi Kwan Im, seorang
dewi yang dipuja orang karena terkenal sebagai Dewi Welas Asih.
"Wah, yang ini biar untukku saja, Ji-suheng!" kata orang ke empat yang gendut dan yang tadi perutnya
menjadi mulas oleh tendangan kaki Hui Hong. "Sejak semula bertemu di rumah makan, aku sudah jatuh
cinta padanya!”
"Singgg ... crattt ...!” Si perut gendut menjerit dan terjungkal, berkelojotan karena tepat di antara kedua
alis matanya tertntuk sebatang jarum hijau yang telah dilepaskan Kwan-Im sianli Bwe Si Ni tanpa ada
yang tahu saking cepatnya gerakan tangannya.
Tentu saja empat orang itu menjadi terkejut satengah mati. Terutama orang ketiga dan kelima yang
selalu bertiga dengan si gendut, merasa terkejut dan juga sedih bukan main. Dan kini di situ terdapat
kakak pertama dan ke dua mereka, membuat hati mereka bertambah berani. Dengan teriakan-teriakan
marah, keduanya sudah mencabut golok masing-masing dan menerjang ke arah Bwe Si Ni.
Wanita ini tidak bergerak sedikitpun untuk mengelak atau menangkis, melainkan nampak tangan
kanannya saja yang bergerak ke arah perutnya, disusul mencuatnya sinar yang menyilaukan mata ke
arah dua orang penyerangnya dan merekapun menjerit dan terjengkang roboh dengan golok masih di
tangan. Kiranya sebelum golok mereka mengenai sasaran, telah ada sepasang pedang yang digerakkan
secepat kilat menyambar dan menusuk dada kedua orang itu tanpa mereka mampu mengelak atau
menangkis lagi. Mereka roboh dan berkelojotan di dekat tubuh si gendut yang kini sudah tidak bergerak
lagi.
Si tinggi besar dan sutenya yang tampan itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat. Di samping
kemarahan yang hebat, merekapun terkejut dan gentar karena sebagai ahli-ahli silat pandai merekapun
dapat mengenal orang yang memiliki kesaktian, yang kiranya tidak mungkin dapat mereka lawan. Cara
wanita cantik itu membunuh tiga orang sute mereka sudah membaktikan betapa lihainya wanita itu,
membuat mereka mengingat dan menduga-duga siapa gerangan wanita itu. Merrka mulai mengamati Si
Ni dan akhirnya mereka dapat mengenal hiasan rambut berupa teratai di sanggul rambut yang tinggi itu,
mengenal pula jubah panjang lebar teperti jubah pendeta.
"Nona ... nona ... Kwan Im Sianli ... ?” tanya si muka hitam dan mendengar sebutan ini, sutenya menjadi
pucat dan kakinya gemetar.
Bwe Si Ni baru sekarang tersenyum, akan tetapi senyum yang dingin dan amat merendahkan, terdengat
dengus lirih dari hidungnya, "Huh, kalau sudah tahu, kenapa tidak cepat kalian membunuh diri?"
Dua orang itu dengan tubuh gemetar cepat mengangkat kedua tangan ke depan dada dan
membungkuk-bungkuk memberi hormat kepada Bwe Si Ni. Mendengar bahwa wanita cantik ini adalah
Kwan-im sianli, datuk besar golongan sesat yeng amal ditakuti, mereka seperti mati kutu.
"Ampunkan kami, Sianli (Dewi), tiga orang sute kami memang layak mati karena berani kurang ajar
terhadap Sian-li. Ampunkan kami berdua yang tidak mengenal sian-li dan bersikap kurang hormat." kata
si tinggi besar.
"Sian-li, kami kakak beradik seperguruan selalu menghormati dan memuja nama besar Sian-li. Karena
belum pernah berjumpa, hari ini kami telah berlaku kurang hormat. Mohon Sian-li sudi memberi ampun
kepada kami berdua." kata pula yang tampan dan kini dia sudah kehilangan gayanya sebagai pemikat
hati wanita, bersikap sedemikian rendah diri dan penuh rasa takut.
"Tidak perlu benyak cakap. Cepat kalian bunuh diri, atau menanti aku yang membunuh kalian?" suara Si
Ni terdengar dingin dan datar, membuat Hui Hong sendiri yang sudah biasa melihat kekejeman orangorang
dunia sesat, merasa ngeri. Wanita cantik jelita yang julukannya Dewi Kwan Im ini sungguh
merupakan Iblis betina yang amat kejam.
Dua orang itu saling pandang dengan muka pucat, kemudian secara tiba-tiba mereka sudah mencabut
golok dan menyerang dengan gerakan dahsyat, dengan serangan yang mematikan. Si tinggi besar
menyerangkan goloknya ke arah leher Si Ni sedangkan adik seperguruannya membabatkan golok ke
arah pinggang.
Akan tetapi. keduanya terkejut karena tiba-tiba saja wanita di depan mereka itu lenyap dan hanya
nampak bayangannya berkelebat ke atas kepala mereka. Keduanya cepat membalikkan tubuh karena
maklum, bahwa wanita itu tadi meloncati kepala mereka dan berada di belakang. Akan tetapi mereka
kalah cepat. Baru saja memutar tubuh, dua kali sinar berkilauan menyambar dan keduanya roboh tanpa
dapat mengeluarkan suara lagi karena leher mereka hampir putus terbabat sebatang pedang yang tadi
dicabut, digerakkan, lalu disimpan kembali secara cepat seperti kilat menyambar olah Kwan-im Sian-li
Bwe Si Ni! Tewaslah Ki-ciu Ngo-Houw yang biasanya merajalela di daerah itu, mati konyol di tangan
seorang datuk wanita tanpa dapat melawan sedikitpun.
Tak lama kemudian, nampak dua orang wanita itu sudah menunggang dua ekor kuda, melanjutkan
perjalanan. Mereka merampas dua di antara lima ekor kuda tadi, memilih yang terbaik dan kini mereka
dapat melakukan perjalanan cepat tanpa terlalu melelahkan diri. Ketika matahari sudah naik tinggi,
udara panas dan kuda mereka sudah mulai berpeluh dan terengah kelelahan, mereka berdua
menghentikan kuda mereka di luar sebuah hutan besar dan membiarkan dua ekor kuda itu mengaso
dan makan rumput. Dua ekor kuda itu nampak senang sekali ketika dituntun ke sebuah anak sungai
yang airnya jernih, minum dan makan rumput hijau segar yang tumbuh di tepi sungai. Dun orang wanita
itupun beristirahat, duduk di atas akar menonjol di bawah pohon besar yang teduh.
"Enci, kenapa engkau tadi membunuh kelima Ki-ciu Ngo-houw? Kesalahan mereka tidak terlalu besar,
hanya bersikap agak kurang ajar terhadap kita. Kenapa engkau begitu membenci mereka?"
"Huh, mereka memang layak dibunuh. Semua laki-laki, terutama yang tidak menghargai wanita, harus
dibunuh!" jawab Si Ni dan dari suaranya dapat diketahui bahwa ia memang bersungguh-sungguh dan
nampak kebenciannya terhadap pria.
"Enci, engkau agaknya amat membenci pria!”
“Memang benar. pria adalah mahluk yang paling jahat, paling kejam, suka menyiksa hati wanita!”
"Ehh? Akan tetapi, maafkan aku, enci. Apakah engkau tidak ingat kepada ayahmu, suamimu ... mereka
juga pria, belum lagi para pamanmu dan mungkin saudaramu laki-laki ... "
"Aku tidak mempunyai semua itu! Aku selamanya tidak pernah bersuami, dan semua ini kulakukan
karena kekejaman pria!”
Tentu saja Hui Hong terkejut sekali dan hatinya amat tertarik. Agaknya wanita cantik ini pernah
mengalami hal-hal yang amat mengecewakan atau mendukakan hatinya, akibat ulah seorang pria, maka
sampai sekarang ia tidak mau menikah dan apalagi berdekatan dengan pria, bahkan ia membenci pria.
"Akan tetapi engkau masih muda, enci, masih banyak harapan untuk kelak bertemu dengan seorang pria
yang cocok untuk menjadi suamimu ... "
"Diam, jangan ulangi lagi itu atau terpaksa aku akan menyerangmu!”
Hui Hong menghela napas panjang. "Enci, aku pernah mendengar namamu disebut oleh ayah ...
maksudku, oleh Bueng-kiam Ouwyang Sek bahwa yang berjuluk Kwan-im Sian-li adalah seorang datuk
persilatan yang amat lihai, dan menurut ceritanya, Kwan-Im Sian li adalah seorang wanita tua. Akan
tetapi, sekarang aku bertemu engkau yang berjuluk Kwan-im Sian li, dan memiliki kepandaian yang
tinggi, akan tetapi engkau masih muda ... "
"Hemm, siapa bilang aku masih muda? Ayah tirimu itu yang matanya sudah lamur barangkali. Usiaku
sudah mendekati setengah abad, bagaimana bisa dibilang muda?"
Hui Hong terbelalak, "Setengah abad? Ah, aku tidak percaya, enci! Engkau nampak berusia tiga puluhan
tahun lebih sedikit!”
Bagaimanapun keras hatinya, Bwe Si Ni hanya seorang perempuan yang selalu amat memperhatikan
riasan dan dandanannya, maka tentu saja ia merasa senang mendengar pujian bahwa ia awet muda,
apalagi pujian itu keluar dari mulut seorang wanita sehingga bukan merupakan rayuan pria yang
memuakkan hatinya.
"Usiaku sudah empat puluh delapan, Hui Hong."
"Ahhhh, sungguh tak disangka!" Hui Hong berseru, terkejut dan juga kagum sekali.
"Karena itu, mulai sekarang jangan sebut enci (kakak) kepadaku, melainkan bibi." Bwe Si Ni tersenyum.
Baru sekarang Hui Hong melihat senyum yang bukan senyum dingin mengandung ejekan dari wanita itu.
Manis sekali. Ia merasa yakin bahwa ketika mudanya, wanita ini amatlah cantiknya.
"Baiklah, Bibi Bwe Si Ni. Maafkan keberanianku bertanya karena aku merasa amat tertarik dan ingin
tahu sekali, bibi. Bibi adalah seorang wanita yang selain pandai, juga teramat cantik. Kalau wanita biasa
yang bodoh dan tidak cantik saja mendapatkan jodoh, kenapa bibi tidak pernah menikah? Maafkan
pertanyaanku."
"Hemm, kalau orang lain yang mengajukan pertanyaan itu, tentu sudah kubunuh seketika. Akan tetapi
engkau justeru merupakan satu-satunya orang yang harus mengetahui riwayatku. Nah, aku menjadi
pembenci pria dan tidak sudi lagi didekati pria manapun juga karena ulah seorang laki-laki, ketika aku
masih muda, dua puluh tahun lebih yang lalu." Wanita itu merenung dan beberapa kali menarik napas
panjang seolah undangan semua kenangan lama itu mendatangkan pula kedukaan yang mendalam di
hatinya.
"Hemm, tentu engkau mesih muda dan cantik jelita, bibi."
"Sudah sepatutnya aku cantik, karena ketika itu aku adalah seorang dayang di istana kaisar."
Hei Hong memandang kagum. Kukira bukan dayang melainkan puteri, pikirnya. Kalau dayang, kenapa
sekarang dandanan pakaian dan rambutnya seperti seorang puteri saja? Akan tetapi tentu saja ia diam
dan tidak berkata apa-apa, hanya menanti wanita itu melanjutkan ceritanya yang tentu akan menarik
sekali.
"Ketika itu, aku bertemu seorang pria dan kami saling mencinta. Akan tetapi, laki-laki itu seorang yang
mata keranjang. Bukan aku saja yang menjadi kekasihnya, melainkan banyak! Dan akhirnya dia
meninggalkan aku begitu saja!"
Hui Hong mengerutkan alisnya. "Bibi, laki-laki seperti itu tentu sudah bibi cari dan bibi bunuh!”
Si Ni menggeleng kepalanya dan wajahnya nampak muram, sedih, "Ada dua hal yang membuat hal itu
tidak mungkin kulakukan, Hui Hong. Pertama, aku ... aku masih mencintanya dan aku mengharapkan
dapat menghabiskan sisa hidupku di samping orang yang selamanya kucinta. Dan ke dua, kalaupun aku
hendak membalas dendam, aku tidak akan menang. Dia lihai sekali dan aku bukan tandingannya."
"Ahhh ...!” Hui Hong terkejut, dan kagum pula. Ia merasa kasihan kepada wanita ini.
"Hui Hong, ketika aku mendengar engkau menanyakan ayah kandungmu, aku yang mengetahui di mana
dia, segera menawarkan diri untuk menjadi penunjuk jalan agar engkau dapat bertemu dengan ayahmu.
Akan tetapi, aku mempunyai syarat, yaitu kalau aku sudah berhaail mempertemukan engkau dengan
ayahmu, aku ingin minta bantuanmu."
"Bantuan apakah itu, bibi? Kalau memang aku mampu, dan kuanggap tidak bertentangan dengan isi
hatiku, pasti aku akan membantumu."
"Begini, Hui Hong. Setelah engkau bertemu dengan ayahmu, aku minta agar engkau membujuk pria
yang kucinta itu agar dia mau menerima diriku, agar dia memperkenankan aku hidup di sampingnya,
melayaninya, merawatnya. Kemudian, kalau dia berkeras menolak dan tidak kasihan kepadaku, aku
minta engkau membantuku untuk mengalahkan dan membunuhnya!"
Hui Hong berpikir sebentar. Permintaan itu cukup pantas dan kalau pria yang tidak setia itu benar-benar
menolak dan mengandalkan kepandaiannya untuk merusak kehidupan Bwe Si Ni, memang sudah
selayaknya kalau dibasmi. "Baik, bibi, aku berjanji untuk membantumu melakukan dua hal itu."
Wajah wanita itu berseri. "Engkau ... engkau tidak akan melanggar janjimu, Hui Hong?"
Sepasang alis Hui Hong berkerut. “Bibi Bwe Si Ni, biarpun sejak kecil aku dididik oleh Ouwyang Sek,
namun Ibuku selalu menanamkan watak bertanggung jawab, adil dan dapat dipercaya. Kalau aku sudah
berjanji, pasti akan kupenuhi, dan kalau perlu mempertaruhkan nyawaku. Aku Juga mempunyai
kebanggaan dan harga diri, bibi. Apalagi karena permintaan bibi itu pantas, kalau laki-laki yang sudah
membuat bibi merana selama puluhan tahun itu tidak menaruh iba dan mau menerima bibi, dia
memang pantas untuk dihukum!”
Bwe Si Ni menjadi girang dan ia merangkul dan menciumi kedua pipi Hui Hong, membuat gadis ini
termangu dan terheran. Sungguh sikap ini berbeda sekali dengan sikap Bwe Si Ni selama ini, biasanya
dingin dan kaku, seperti mayat hidup. Dan kini tiba-tiba menjadi hangat, penuh gairah hidup.
"Terima kasih, Hui Hong, terima kasih ... " bisiknya. Memang wanita ini merasa gembira bukan main. Ia
sudah berhasil membuat puteri kekasihnya berjanji untuk membujuk ayah gadis itu sendiri untuk
menerimanya, dan kalau perlu membantunya mengeroyok!
"Tidak perlu berterima kasih, bibi. Akulah yang harus berterima kasih sebelumnya bahwa bibi mau
mempertemukan aku dengan ayahku. Dan akupun belum tentu berhasil membujuk pria pujaan hati bibi
itu. Kita lihat saja nanti."
"Ya, kita lihat saja nanti, Hui Hong."
Mereka lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke Hwa-san, sebuah pegunungan yang memiliki banyak
bukit dan puncak yang tinggi. Sikap kedua orang wanita itu memang tidaklah aneh. Setiap orang
manusia di dunia ini, seperti juga mereka berdua, selalu bertindak atau berbuat menurut pikiran
masing-masing. Dan hati akal pikiran membentuk gambaran si aku yang selalu mementingkan diri
pribadi, mementingkan kesenangan diri sendiri. Memang beginilah ulah nafsu dan dalam hati akal
pikiran kita semua sudah bergelimang nafsu yang memang disertakan kepada kita sebagai peserta yang
membantu jiwa dalam kehidupan dalam badan ini. Akan tetapi, karena sejak kecil kita membiarkan
nafsu makin lama semakin berkuasa dan merajalela, sehingga akhirnya mencengkeram dan menguasai
hati akal pikiran sepenuhnya, maka kehidupan ini sepenuhnya dikemudikan nafsu. Nafsu membentuk
aku yang ingin menang, ingin senang sendiri. Karena itu, muncullah segala macam kemunafikan, yaitu
yang pada luarnya nampak baik, namun sebenarnya palsu karena di sebelah dalamnya ternyata nafsu
yang berpamrih berkuasa dan segala yang tampaknya besar itu hanya merupakan suatu cara untuk
mendapatkan imbalan yang menyenangkan.
Keinginan si aku untuk enak sendiri inilah yang menimbulkan segala macam konflik. Kalau sudah terjadi
benturan antara si aku dan si-aku yang lain, maka bermusuhanlah kedua orang itu. Benturan
kepentingan, atau lebih tepat lagi benturan keinginan untuk senang selain mendatangkan pertentangan,
kebencian dan permusuhan. Bahkan cintapun menjadi sarang konflik karena pengaruh nafsu atau si aku
yang ingin menang sendiri.
Perjanjian antara Si Ni dan Hui Hong juga terdorong oleh kepentingan masing masing. Mereka seolah
saling memanfaatkan pihak lain demi keuntungan atau kesenangan diri sendiri, Si Ni hendak
mempertemukan Hui Hong dengan ayahnya karena di balik itu ia berpamrih agar Hui Hong
menolongnya membujuk ayah gadis itu agar menerimanya, atau kalau ditolak, membantunya
mengeroyoknya. Di lain fihak, Hui Hong mau berjanji karena ia ingin agar Si Ni menolongnya,
menemukan dan mempertemukan ia dengan ayah kandungnya. Betapa dalam kehidupan ini, kalau kita
mau membuka mata melihat kenyataan, kitapun selalu hanya saling mempergunakan dan saling
memanfaatkan orang lain demi keuntungan atau kesenangan kita! Terhadap keluarga, terhadap teman,
masyarakat, negara dan bangsa. Pernahkah terdapat suatu saat suci di mana kita tidak lagi
merenungkan apa yang dapat mereka lakukan demi keuntungan kita, dan mulai merenungkan apa yang
dapat kita lakukan demi kebaikan mereka? Pernahkah? Demi kebaikan mereka, sepenuhnya, bukan
hanya selubung yang menyembunyikan pamrih kita yang tersembunyi agar kita disenangkan oleh
perbuatan atau hasil perbuatan itu?
***
Hujan turun dengan lebatnya, dan air yang segar sejuk itu disambut dengan penuh syukur dan terima
kasih oleh pohon-pohon dengan daun-daunnya di pegunungan itu. Tanah yang bercampur batu kapar
juga menyambut dengan bahagia. Seluruh permukaan bumi yang disiram air hujan setelah selama
beberapa hari kekeringan, berpesta pora dengan bahagianya sehingga membubunglah segala hawa
kotor ke angkasa, dan bumi kembali segar dan bersih. Tanah menguap, bau tanah tersebar di manamana.
Daun-daun menari-nari tertimpa tetesan hujan, nampak berkilauan hijau segar.
Semua mahluk hidup yang berada di permukaan bumi, bahkan berada di bawah permukaan,
menyambut air dengan gembira dan sibuk. Namun, dua orang wanita itu bergegas memasuki sebuah
guha besar untuk berlindung dari siraman air hujan.
Mereka adalah Bi Moli Kwan Hwe Li dan muridnya, Cia Ling Ay. Setelah memasuki guha, Ling Ay cepat
membersihkan tanah guha, membeberkan kain pembungkus pakaian di lantai dan mempersilakan
gurunya duduk. Mereka duduk di atas lantai guha bertilamkan kain kuning itu.
Bi Moli Kwan Hwe Li duduk bersila dan tiba-tiba ia menutupi mukanya dengan kedua tangan dan
pundaknya bergerak-gerak. Ia menangis! Muridnya, Ling Ay, memandang saja dengan terbelalak. Selama
tiga tahun ia menjadi murid wanita cantik itu, baru sekali ini ia melihat gurunya bersedih, apalagi
menangis, walaupun tidak mengeluarkan suara, Ia tidak menegur atau bertanya. Ling Ay amat
menyayang gurunya, dan selain gurunya telah menyelamatkan ia dari perkosaan penjahat. Juga gurunya
telah mengambilnya sebagai murid, mendidiknya dan ia merasa berhutang budi kepada wanita itu. Ia
menyayang, menghormat dan amat patuh, walaupun kadang ia harus mengerutkan alisnya kalau
gurunya bertindak keras sekali terhadap orang yang dianggap musuhnya. Sudah sering kali ia melihat
gurunya menghukum penjahat, atau menghajar laki-laki iseng yang menggoda mereka. Gurunya dapat
membunuh orang tanpa berkedip. Walaupun wajah gurunya yang cantik itu selalu tersenyum, namun
kalau ia sudah marah, tidak lama kemudian, Kwan Hwe Li menurunkan kedua tangannya, dan jelas
nampak betapa kedua pipinya basah. Ia benar-benar telah menangis tadi!”
Ia menoleh kepada Ling Ay yang kebetulan menatapnya, akan tetapi muridnya itu cepat-cepat
menunduk, seolah tidak tahu bahwa gurunya habis menangis.
Ling Ay, tahukah engkau mengapa aku tadi menangis?"
Ling Ay mengangkat muka, memandang gurunya dan menggeleng kepala.
Gurunya tersenyum, manis sekali. Kadang Ling Ay merasa heran. Ia sendiri juga seorang wanita cantik,
akan tetapi ia masih muda walaupun sudah menjadijJanda tanpa anak, usianya baru dua puluh empat
tahun. Akan tetapi subonya pernah mengaku bahwa subonya sudah berusia lima puluh tahun. Setengah
abad. Akan tetapi, subonya masih nampak demikian cantiknya seperti seorang gadis berusia dua puluh
lima tahun saja. Mereka seperti enci adik dan tak seorangpun menyangkal bahwa mereka itu seperti
enci adik.
Dari senyum, merekahlah tawa kecil. "Hi-hi-hik, aku menangis karena bahagia. Heh-heh, Tiauw Sun Ong,
saat ini engkau pasti merana, berduka, menyesal, bingung dan gelisah. Nah, sekali-sekali engkau perlu
merasakan hukumanmu, hi-hik."
"Subo. mengapa subo mentertawakan bekas pangeran yang sudah menderita karena buta itu. Hati
teecu (murid) sudah merasa kasihan sekali melihat dia, seorang pria setengah tua yang buta, hidup
terasing seorang diri di pegunungan sunyi, masih dimusuhi pula oleh Kwan Im Sian li yang ingin
membunuhnya. Aih, subo, kenapa subo. tidak kasihan malah kini mentertawakan dia?"
"Ling Ay engkau sudah mendengar semua ceritaku tentang Pangeran Tiauw Sun Ong, tentang
hubungannya dengan aku, tentang Kwan-im sianli dayang tak tahu malu itu, dan tentang Pouw Cu Lan
selir kaisar yang menyeleweng itu. Akan tetapi, engkau tidak tahu apa yang sebenarnya terkandung
dalam hatiku.”
"Maaf, subo, teecu dapat menduga apa yang terkandung dalam hati sanubari subo. Ingatlah, subo,
teecu pernah menceritakan tentang riwayat teecu yang tidak jauh bedanya dengan riwayat subo. Teecu
juga pernah merasakan bagaimana hancurnya hati yang menderita karena kasih tak sampai,"
"Hemmm, apakah sampai sekarang engkau juga masih mencinta pemuda yang bernama ... eh, siapa lagi
namanya?"
"Kwa Bun Houw ... teecu tak pernah mencinta pria lain kecuali dia, subo. Teecu pernah mencoba untuk
belajar mencinta pria yang dipaksakan menjadi suami teecu, akan tetapi sama sekali tidak pernah
berhasil. Hanya Bun Houw seorang yang pernah teecu cinta, tetap dan akan teecu cinta selamanya."
Senyum di mulut Kwan Hwe Li melebar. "Heh.heh, bagaimana mungkin cinta dapat dipelajari atau
dilatih? Cinta adalah suatu keadaan hati. Yang ada hanya engkau mencinta seseorang itu ataukah tidak.
Akan tetapi, Ling Ay, setelah engkau mencinta mati-matian kepada pemuda yang bernama Bun Houw
itu, apakah engkau tidak mempunyai niat untuk mendapatkannya, agar engkau dapat selamanya hidup
di sampingnya?"
"Subo, tidak ada keinginan lain yang lebih besar dalam hati teecu kecuali hidup di sampingnya untuk
selamanya. Akan tetapi teecu membatasi diri, subo. Teecu tahu bahwa teecu tidak pantas untuk
menjadi jodohnya. Orang tua teecu pernah menolaknya dan menyakiti hatinya, teecu sendiri pernah
menjadi isteri orang. Teecu hanya seorang janda yang pemah menyakiti hatinya, dan dia seorang
pendekar yang budiman. Bagaimana mungkin teecu akan dapat berjodoh dengan dia?" Suara Ling Ay
mengandung rintihan batinnya. Ayah ibunya tewas dibunuh penjahat, ia sendiri sudah menjadi janda,
dan Bun Houw entah berada di mana. Tidak ada sedikitpun harapan baginya untuk dapat bertemu
dengan Bun Houw, apalagi hidup bersama reperti yang dikatakan subonya.
Kwan Hwe Li menghela napas panjang. "Engkau benar, Ling Ay. Keadaan kita memang tidak jauh
berbeda. Akupun hanya mencinta seorang pria saja, yaitu Pangeran Tiauw Sun Ong. Sampai sekarang
aku masih mencintanya dan satu-satunya keinginanku adalah sama dengan yang diinginkan Kwan-im
sian-li, yaitu ingin menghabiskan sisa hidupku di sampingnya. Akan terapi, kita mendengar sendiri
penolakannya terhadap Kwan-im Sian-li. Aku tidak ingin mendengar dia manolak ajakanku, maka
akupun tidak menyampaikan maksud hatiku. Andaikata dia menolak, mungkin akupun seperti Kwan-im
Sianli akan mengajaknya mati bersama!"
Ling Ay menggeleng-geleng kepala. "Teecu tidak dapat menyelami perasaan subo dan Kwan Im Sianli.
Kenapa harus memaksa seseorang untuk hidup bersama, dan kalau dia menolak akan diajak mati
bersama? Apakah dua orang tidk bisa hidup dalam keadaan saling terpisah walaupun hati saling
mencinta? Teecu bahkan tidak berani mengharapkan orang yang teecu cinta untuk menjadi teman
hidup, dan teecu hanya mendoakan semoga dia mendapatkan seorang jodoh yang baik dan dapat hidup
berbahagia selamanya.”
Bi Moli Kwan Hwe Li tertawa geli. "Heh-keh, kalau begitu engkau seorang munafik, Ling Ay!”
"Ehhh? Maaf, subo. Mengapa subo mengatakan teecu munafik?”
"Tentu saja engkau munafik. Dalam hatimu, tadi engkau mengatakan bahwa tidak ada keinginan yang
lebih besar dalam hatimu kecuali hidup bersama pria yang kau cinta. Akan tetapi di luarnya engkau
mendoakan dia hidup berbahagia dengan wanita lain. Bukankah itu munafik?”
"Tidak sama sekali, subo. Memang teecu mencintanya dan ingin hidup bersama dengan dia. Akan terapi,
kalau dia tidak menghendaki hal itu, teecu tidak akan memaksanya atau menyalahkannya, apalagi
membencinya. Dia berada di samping teecu ataukah tidak, teecu tetap mencintanya dan ingin melihat
dia hidup berbahagia."
"Hi-hi-hik, aku dapat membayangkan. Engkau ingin melihat dia hidup berbahagia, akan tetapi kalau
benar-benar engkau melihat dia hidup berbahagia di samping wanita lain, engkau akan merasa betapa
hatimu perih seperti ditusuk-tusuk, engkau akan menangis sendiri dalam kamarmu menyesali nasib dan
penuh iba diri. Tidakkah begitu? Nah, itu yang kumaksudkan dengan munafik, tidak samanya perasaan
hati dengan perbuatan,"
"Maaf, subo. Teecu rasa tidaklah demikian. Teecu hanyalah seorang manusia biasa yang serba lemah
dan tidak teecu sangkal, mungkin kalau teecu melihat doa teecu terkabul dan Bun Houw hidup
berbabagia dengan wanita lain. melihat dia bersanding dengan wanita lain, teecu akan teisiksa dalam
hati, akan menangis penuh iba diri. Akan tetapi hal itu wajar saja. bukan? Di samping itu. teecu akan
selalu sadar bahwa tidak selamanya orang harus menurutkan kata hati, tidak memenuhi keinginan hati.
Teecu mempunyai pertimbangan untuk menimbang, keinginan bagaimana yang boleh dilaksanakan dan
keinginan yang bagaimana yang harus dikekang. Dan keinginan memaksa Bun Houw hidup berdua
dengan teecu, keinginan untuk senang sendiri seperti itu, adalah satu di antara keinginan-keinginan
yang harus teecu kekang."
"Huh, itulah mengapa engkau selalu tertimpa kemalangan dalam hidupmu. Engkau terlalu lemah!
Engkau terlalu memikirkan orang lain dan lihatlah apa yang selama ini kaualami. Engkau menurut saja
dinikahkan dengan pria yang tidak kausukai, engkau terlalu lemah sehingga tidak berani menentang
orang tuamu. Kemudian, engkau rela saja dipermainkan laki-laki yang tidak kaucinta. Kalau yang
pertama kali engkau lebih mementingkan orang tuamu dari pada dirimu sendiri, kemudian engkau
mementingkan pria yang dipaksa menjadi suamimu. Kemudian engkau bertemu dengan bekas
tunanganmu itu, dan engkau tidak meraihnya sehingga dia lepas lagi. Huh, aku muak mempunyai murid
yang begini lemah!”
Melihat gurunya marah, Ling Ay terkejut.
Selama ini, belum pernah gurunya marah kepadanya! Dan ia merasa menyesal sekali. Ia belum dapat
membalas semua budi yang dilimpahkan gurunya itu kepadanya, dan sekarang ia malah membuat
gurunya kecewa dan marah. Ia segera berlutut di depan gurunya yang duduk bersila di dalam guha itu.
"Maafkan teecu, subo. Akan tetapi, apa yang harus teecu lakukan? Teecu tetap mentaati semua
perintah subo."
Bi Moli mengangkat mukanya dan meletakkan tangan kirinya ke atas pundak, muridnya. Ia menyayang
Ling Ay. Selama beberapa tahun ini, Ling Ay bukan saja menjadi muridnya, akan tetapi juga menjadi
sahabat baiknya, menjadi pelayannya dan bersikap amat baik kepadanya sehingga ia merasa sayang
sekali kepada murid yang juga amat berbakat ini.
"Yang harus kaulakukan, muridku yang baik, adalah seperti aku. Aku gurumu yang harus kautaati,
bukan? Nih, kita harus dapat menikmati hidup ini, kita harus bertindak sesuai dengan perasaan kita.
Seperti juga aku yang selalu mengharapkan dapat hidup berdampingan dengan pria yang kucinta, dan
menghancurkannya kalau dia menolak dan menyakiti hatiku, engkaupun harus mencari Bun Houw.
Engkau dahulu pernah menjadi tunangannya, saling mencinta, maka sudah sewajarnya kalau sekarang
engkau menuntut disambungnya kembali ikatan itu dan menjadi isterinya. Bukankah itu harapan dan
idaman hatimu?"
"Akan tetapi, subo. Teecu adalah seorang yang tadinya memutuskan hubungan itu, teecu yang
meninggalkannya dan menikah dengan pria lain."
"Itu adalah kehendak orang tuamu, bukan kehendakmu. Dan ketika itu engkau belum menjadi muridku.
Kalau engkau bertemu lagi dengan dia, dia harus menerimamu kembali dan engkau akan menjadi
isterinya, hidup berbahagia, dan akupun akan ikut gembira melihat engkau bahagia. Kalau dia menolak
dan memilih wanita lain, aku akan membantumu menghancurkannya. Daripada orang yang kita cinta
terjatuh ke tangan wanita lain lebih baik kita binasakan saja!”
"Tapi, subo ... " Ling Ay yang bergidik mendengar bahwa ia harus membunuh Bun Houw, mencari akal
dan tidak berani membantah lagi atau menolak, "bagaimana teecu akan dapat mencari dan
menemukannya. Teecu tidak tahu di mana dia berada. Dia sebatangkara dan tidak mempunyai tempat
tinggal yang tetap."
"Biar kita cari perlahan-lahan. Sekarang, kita lebih dulu pergi ke kota raja Nan-king. Sejak terjadinya
keributan dan perang saudara yang menjatuhkan kerajaan Liu Sung tiga tahun yang lalu. aku tidak
pernah melihat Nan-king. Sekarang, di sana yang berkuasa adalah Kerajaan Chi dan kaisarnya adalah
Siauw Bian Ong yang dahulunya adalah Pangeran Siauw Hui Kong. Tiga tahun telah lewat sejak kerajaan
baru itu menguasai daerah selatan Sungai Yang-ce. dan kabarnya sekarang keamanan telah pulih
kembali, tidak ada lagi terjadi pertempuran. Aku ingin berkunjung ke sana, menjenguk kota kelahiranku
dan kautahu, muridku, masih banyak keluarga bangsawan yang menjadi kerabatku."
Ling Ay menurut saja, di dalam hati ia masih bingung oleh perintah gurunya mengenai sikapnya
terhadap Bun Houw tadi. Ia memang mencinta Bun Houw, hal ini tidak disangkalnya. Ia memang
mengharapkan agar dapat hidup menjadi isteri Bun Houw, hal ini pun harus diakuinya. Akan tetapi
andaikata Bun Houw menolak, bagaimana mungkin ia akan tega untuk membunuhnya? Bun Houw telah
berbuat banyak untuknya. Rasanya ia akan rela mati untuk membela pria yang dikasihinya itu.
Bagaimana mungkin ia akan dapat membunuhnya, walaupun dia akan menolaknya sekalipun? Akan
tetapi ia tidak berani membantah, dan girang mendengar subonya mengajaknya pergi ke Nan-king.
Setidaknya, urusan baru di Nan-king akan membuat gurunya lupa akan Bun Houw dan diapun akan diam
saja. tidak akan membicarakan lagi tentang bekas kekasih dan tunangannya itu.
***
Guru dan murid itu berhenti di persimpangan jalan. "Suhu," kata Bun Houw, "biarlah teecu mengantar
suhu kembali dulu ke Hwa-san, sebelum teecu mulai mencari adik Tiauw Hui Hong sampai dapat. Teecu
berjanji akan mengajak puteri suhu itu menghadap suhu."
Tiauw Sun Ong tersenyum. Bekas pangeran yang usianya sudah lima puluh sembilan tahun itu masih
nampak tegap dan memang wajahnya tampan dan gagah, walaupun dia nampak lemah dengan
kebutaannya, "Bun Houw, tidak perlu engkau mengantarku. Aku masih kuat untuk mendaki Hwa-san
dan sebaiknya kalau engkau sekarang juga mulai pergi mencari Hui Hong dan kauceritakan semuanya
tentang dirinya, tentang hubungannya dengan aku sebagai ayah kandungnya. Kasihan sekali Hui Hong, ia
tidak tahu akan kematian ibu kandungnya yang amat menyedihkan. Aih, ulah nafsu selalu
mendatangkan akibat yang menyedihkan."
Bun Houw yang sudah mengenal baik watak suhunya yang sekali mengambil keputusan tidak akan
mengingkari lagi, tidak membantah dan diapun menghela napas panjang. Dia merasa iba kepada
suhunya. Biarpun suhunya tidak mengeluarkan ucapan yang menunjukkan kesedihannya, namun dia
tahu benar betapa hancur hati gurunya ketika pertemuannya dengan satu-satunya wanita yang pernah
dicintanya, yaitu Pouw Cu Lan, berakibat matinya wanita itu membunuh diri. Akan tetapi suhunya tidak
pernah melihatkan kesedihannya dan diapun kagum bukan main. Gurunya adalah seorang laki-laki
sejati!
"Baiklab, suhu. Kalau suhu menghendaki demikian, teecu akan mentaati keinginan suhu."
"Selain mencari Hui Hong. Juga ada sebuah tugas untukmu. Ketahuilah bahwa kini kerajaan Sung atau
Liu Sung telah jatuh dan yang berkuasa adalah kerajaan Chi yang dipimpin oleh Kaisar Siauw Bian Ong.
Perubahan ini hanya merupakan perebutan kekuasaan saja, karena yang memegang pimpinan tetap
masih keluarga sendiri. Bahkan ada baiknya, karena Kaisar Cang Bu yang masih remaja itu tidak pantas
untuk menjadi kaisar dan dia tentu mudah dikuasai para pejabat yang menjilat dan
menyelewengkannya. Bagaimanapun juga, kita harus mendukung kerajaan Chi di Nan-king karena kita di
selatan selalu diancam oleh kekuasaan dari utara, yaitu kerajaan Wei yang dipimpin oleh bangsa Toba
Tartar. Memang tidak perlu engkau memegang jabatan, akan tetapi kalau melihat negara diancam
bangsat Tartar, sudah menjadi kewajiban setiap orang warga negara untuk membelanya. Nah, tugas
yang kuberikan padamu adalah pergi ke Nan-king dan melihat suasana di sana. Kuberi waktu dua tahun
kepadamu untuk mencari Hui Hong dan melihat keadaan pemerintah kerajaan Chi yang baru. Satelah
dua tahun, bertemu Hui Hong atau tidak, engkau harus mencariku di Hwa-san dan memberi laporan
tentang semua hasil usahamu.”
“Baik, suhu."
Guru dan murid itu berpisah di persimpangan jalan. Tiauw Sun On melanjutkan perjalanan dengan
langkah tegap menuju ke Hwa-san. Bagaimanapun juga, hatinya terasa ringan. "Pouw Cu Lan, yang
dulunya sudah tidak dia pikirkan lagi, akan tetapi kemudian teringat kembali setelah dia mendengar
bahwa wanita yang pernah menjadi kekasihnya itu telah melahirkan seorang puteri darinya, kini telah
meninggal dunia. Hal itu berarti pula bahwa wanita itu telah terbebas dari penyiksaan diri berkorban
demi puteri mereka. Pouw Cu Lan telah mengambil jalan yang paling tepat. Adapun puterinya, Hui Hong,
dalam keadaan selamat dan sehat. Puterinya! Akan tetapi tiba-tiba dia mengerutkan alisnya. Menurut
keterangan mendiang Pouw Cu Lan sebelum membunuh diri. Hui Hong telah pergi untuk mencarinya
bersama seorang wanita cantik yang mukanya putih halus dan nampak masih muda. Kwan Im sianli Bwe
Si Ni! Siapa lagi kalau bukan bekas dayang itu? Menurut keterangan Bi Moli Kwan Hwe Li. Kwan Im Sianli
tentu bermaksud untuk membunuh Pouw Cu Lan dan puterinya, puteri mereka. Dan kini. Pouw Cu Lan
telah membunuh diri, dan Hui Hong pergi bersama Kwan Im Sianli! Nyawa puterinya berada dalam
bahaya!
Bagaimana mungkin dia dapat kembali ke Hwa-san dan dapat bertapa dengan hati tenang kalau Hui
Hong belum ditemukan? Dan biarpun dia yakin akan kemampuan muridnya, akan tetapi Bun Houw tidak
tahu ke mana harus mencari Hui Hong! Alangkah baiknya kalau dia sendiripun pergi mencari. Usaha dua
orang lentu jauh lebih baik dan mendatangkan lebih banyak harapan dari pada usaha seorang saja.
Maka, tanpa ragu lagi diapun mengubah arah perjalanannya, berlawanan dengan arah yang dituju Bun
Houw. Bun Houw menuju ke timur, ke Nan-king. dan dia sendiri akan pergi ke utara, ke Lok-yang.
Sementara itu, tanpa mengetahui perubahan arah perjalanan gurunya, Bun Houw melanjutkan
perjalanan dengan cepat. Nan-king masih jauh di timur dan perjalanan melalui daratan amatlah
sukarnya, juga amat melelahkan. Oleh karena itu. Bun Houw menyusuri tepi Sungai Yang-ce untuk
menyewa perahu. Dengan perahu melakukan perjalanan dapat lebih cepat dan tidak begitu meletihkan,
karena perahu akan terbawa arus sehingga tidak banyak membutuhkan tenaga untuk mendayung,
hanya mengemudikannya saja.
Banyak memang dia bertemu pemilik perahu, akan tetapi belum ada yang dapat menyewakan perahu
kepadanya. Tukang perahu tidak mau menyewakan perahu untuk perjalanan sejauh itu, ke Nan-king
yang akan makan waktu berhari-hari. Untuk membeli sebuah perahu, tentu saja Bun Houw tidak
mampu. Emas permata yang dimilikinya, yang dahulu diterimanya dari gurunya, telah dirampas oleh
Suma Koan dan puteranya. Suma Hok. Dan kini dia hanya mempunyai sedikit perak untuk bekal dalam
perjalanan. Juga pemberian gurunya.
Terpaksa Bun Houw membonceng perahu yang kebetulan ke hilir, sampai ke mana tujuan perahu itu
berhenti, lalu disambung lagi dengan perahu lain. Akan tetapi tentu saja perjalanan ini makan waktu
lebih lama karena dia harus menunggu setiap kali di suatu tempat pemberhentian untuk mencari perahu
yang melakukan pelayaran ke timur.
Pada suatu pagi, setelah melakukan perjalanan selama belasan hari, perahu yang ditumpangi Bun Houw
berhenti di sebuah kota di tepi sungai yang bernama Kui-cu, sebuah kota yang cukup ramai karena di
situ merupakan pusat perdagangan yang menjadi semacam bandar sungai pula. Banyak pedagang
mendirikan toko, rumah makan dan rumah-rumah penginapan karena banyaknya saudagar dari daerah
dan kota lain yang datang dan bermalam di Kui-cu, untuk memperjualbelikan barang dagangan mereka.
Ada sebuah perahu besar yang akau melakukan perjalanan ke timur, akan tetapi pemilik perahu
mengatakan bahwa dia harus menunggu muatan selama dua hari baru dapat berangkat. Karena perahu
itu merupakau perahu pertama yang akan berlayar ke timur, terpaksa Bun Houw menunggu dan diapun
mencari kamar di rumah penginapan yang kecil untuk menghemat biaya.
Setelah memperoleh sebuah kamar di rumah penginapan yang berada di ujung kota Kui-cu karena
penginapan lain yang berada di tengah kota sudah penuh dengan tamu, Bun Houw keluar berjalan-jalan
dan melihat-lihat kota Kui-cu. Kota yang sibuk sekali. Datang-banya banyak tamu pedagang yang berjualbeli
di kota itu, membuat kota itu menjadi pusat pasar, dan banyak orang memanfaatkan keramaian itu
dengan membuka bermacam tempat hiburan. Para pedagang itu mempunyai banyak uang, apalagi di
tempat itu seringkali para saudagar mendapatkan keuntungan yang banyak, maka uang berlimpahan
dan mereka itu. segera nencari hiburan untuk merayakan keuntungan yang mereka peroleh. Tempattempat
pelesir, rumah-rumah judi dan sebagainya dibuka orang.
Matahari telah naik tinggi dan Bun Houw memasuki sebuah rumah makan, tertarik oleh bau sedap
masakan yang keluar dari dalam rumah makan itu. Belasan orang sudah berada di situ dan Bun Houw
bingung juga memasuki rumah makan yang tidak terlalu besar itu. Tidak ada meja kosong, akan tetapi di
sudut sebelah dalam terdapat sebuah meja di mana hanya duduk seorang laki-laki muda saja yang
menghadapi meja itu. Seorang pelayan menyambut dan menggelengkan kepala.
"Maaf, tidak ada meja kosong, harap sebentar lagi saja kembali kalau sudah ada tamu yang keluar,"
katanya.
Bun Houw memandang kepada pria yang duduk seorang diri itu, dan pria inipun memandangnya, lalu
pria itu bangkit berdiri dan. berteriak kepada pelayan itu. "Disini aku hanya duduk sendiri, kalau sobat
itu mau, dia boleh, saja duduk makan di sini."
Tentu saja pelayan itu menjadi girang. Jarang ada tamu yang mau membagi mejanya dengan tamu lain
yang tidak dikenalnya. Bun Houw juga girang dan segera memberi hormat-ambil menghampiri meja itu.
"Terima kasih atas kebaikanmu, sobat." katanya.
"Ah, tidak, mengapa. Meja inipun terlalu besar untukku sendiri. Silakan!” kata orang itu dengan ramah.
Bun Houw lalu duduk di seberang orang itu, terhalang meja sehingga mau tidak mau mereka saling
pandang.
Pria itu berusia kurang lebih dua puluh dua tahun. Tubuhnya sedang saja, bahkan agak kewanitaan
karena tidak nampak otot-otot kekar di tangannya. Tubuhnya itu lebih condong tubuh wanita yang
termasuk besar. Wajahnya tampan dan matanya cerdik, senyumnya manis. Akan tetapi wajah itu adalah
wajah pria, dengan alis yang tebal dan hidung besar. Ada sesuatu dalam sikapnya yang agung dan
anggun.
Tentu saja Bun Houw hanya memandang sekalian dan dia menduga bahwa pemuda ini agaknya seorang
pemuda terpelajar, tidak miskin, akan tetapi juga bukan kaya-raya. Walaupun pakaiannya cukup baik,
akan tetapi dia bukan seorang pesolek dan pakaian itu tidak menyolok. Bahkan pemuda itu duduk dalam
rumah makan dengan menghadap ke sebelah dalam sehingga tidak dilihat wajahnya dari luar, seolah dia
hendak menyembunyikan wajahnya agar tidak terlihat banyak orang. Pada hal, dia tidak melihat sesuatu
yeng mencurigakan pada pemuda ini, "Kulihat engkau seperti bukan orang sini, sobat. Benarkah!" pria
itu agaknya merasa tidak enak kalau berdiam diri ia saja, maka dia bertanya, suaranya terdengar sambil
lalu saja.
"Benar, aku memang baru dalang hari ini, pagi tadi." jawab Bun Houw singkat. Dia tidak ingin berkenalan
dengan pemuda itu, dan tidak ingin menceritakan keadaan dirinya.
Hening sejenak dan pesanan makanan pemuda itu datang lebih dahulu karera memang dia telah
memesan sebelum Bun Houw masuk. Dia memesan nasi dengan dua macam sayur dan daging, juga air
teh. Tidak memesan arak. hal ini mengherankan Bun Houw. Hari itu hawanya cukup dingin sehingga
biasanya orang akan minum arak, walaupun sedikit. Dia sendiri memesan nasi dan semacam sayur yang
di sukainya.
"Silakan engkau makan lebih dulu, sobat," kata Bun Houw melihat betapa pemuda itu. memandangnya
tanpa menyentuh masakan di depannya. Pemuda itu mengangguk, kemudian makan, cara dia
makanpun sopan dan dengan hati-hati menggerakkan sumpitnya, mengunyah makananpun tanpa
mengeluarkan suara, bahkan jarang sampai membuka mulut, sungguh cara makan yang hati-hati dan
perlahan-lahan, sopan sekali. Bun Houw semakin tertarik dan senang. Dia sendiri merasa terganggu
kalau melihat orang makan dengan lahap seperti orang kelaparan, dengan mata melotot memandang ke
arah makanannya, kemudian mengunyah cepat-cepat dengan mulut terbuka dan mengeluarkan bunyi
berkecapan. Apalagi kalau menyeruput kuah dari mangkuk, mengeluarkan bunyi seperti seekor babi
sedang makan.
Pesanan makanan baginya datang. Pemuda di depannya itu tersenyum dan mengangguk tanpa
bersuara, seolah mempersilakan dia untuk makan. Bun Houw makan pula dan tentu saja dia makan
lebih hati-hati dan lebih sopan dari pada biasanya!”
Tiba-tiba masuk lima orang laki-laki yang bertubuh tinggi besar dan bersikap kasar. Mula-mula
kedatangan mereka tidak menarik perhatian, akan tetapi dua orang di antara mereka berdiri di depan
pintu rumah makan, menghadap ke luar dan seperti penguasa rumah makan, mereka berdua itu
menolak masuknya tamu-tamu baru dengan mengatakan bahwa rumah makan sudah penuh! Adapun
tiga orang lainnya, dengan sikap galak sudah menghampiri pemilik rumah makan dan memaksanya
untuk menyerahkan semua uang hasil penjualannya sejak pagi tadi! Seorang memaksa pemilik rumah
makan, dan dua orang lainnya mulai menggertak para tamu untuk menyerahkan uang mereka!
Melihat betapa di antara para tamu ada yang nampak penasaran dan marah, seorang diantara mereka
yang mukanya hitam membentak. "Hayo serahkan uang kalian kepada kami. Kalau ada yang
membantah, kepalanya akan kubikin seperti ini!" Tangan kanannya bergerak ke arah ujung sebuah meja.
"Krakkk!" Ujung meja terbuat dari papan tebal itu pecah berentakan. Tentu saja semua orang menjadi
ketakutan. Apalagi ketika tiga orang yang beroperasi di dalam itu mencabut golok mereka dan
mengamangkan golok, mereka menjadi semakin ketakutan. SI pemilik rumah makan terpaksa
membiarkan semua uang pendapat di laci mejanya dikuras oleh seorang perampok, sedangkan dua
orang lain mulai menguras isi saku para tamu. Hanya ada seorang tamu yang berusaha untuk menolak
dan tidak mau memberikan semua uangnya. Si muka hitam menamparnya dan beberapa buah giginya
rontok, mulutnya berdarah dan sejak itu, tidak ada lagi tamu yang berani membantah. Ketika si muka
hitam menghampiri meja di mana Bun Houw dan pemuda itu duduk, Bun Houw melihat betapa pemuda
itu sedikitpun tidak nampak khawatir. Bahkan dengan suka rela pemuda itu mengeluarkan semua
uangnya dari dalam saku, yang jumlahnya lima enam kali lebih banyak dari pada uang bekalnya sendiri.
Tentu saja Bun Houw sudah merasa mendongkol sekali kepada lima orang yang berani melakukan
perampokan di siang hari di tempat umum yang ramai itu. Akan tetapi, kalau dia menghajar mereka di
rumah makan, tentu akan merusak perabot di rumah makan itu dan dia tidak akan mampu mengganti
kerugian. Pula, di situ terdapat banyak tamu. Kalau lima orang itu mengamuk, dia khawatir ada tamu
yang akan terluka atau bahkan tewas. Maka, dengan tenang diapun mengeluarkan semua uang
bekalnya dan meletakkannya di atas meja. Perampok muka hitam mengambil uangnya dan uang
pemuda itu dari atas meja. memasukkannya ke dalam kantung hitam besar yang sudah dipersiapkan
sebelumnya.
Perampokan itu berlangsung cepat sekali dan agaknya lima orang itu memang sudah ahli dalam
pekerjaan ini. Setelah menguras semua uang terdapat di situ, mereka pergi dan si muka hitam yang
menjadi pimpinan meninggalkan ancaman. "Kalau ada di antara kalian yang berani berteriak setelah
kami berada di luar. kami akan masuk lagi dan memenggal lehernya di sini juga!” Goloknya berkelebat
dan sebuah bangku terbelah menjadi dua dengan mudahnya. Semua orang menjadi pucat dan mereka
berlima meninggalkan rumah makan itu dengan cepat. Bun Houw cepat menghampiri pemilik rumah
makan.
"Paman, aku akan mengejar mereka dan mencoba untuk mendapatkan kembali semua uang yang
dirampok!” Diapun keluar dari rumah makan itu dan melakukan pengejaran.
Para perampok itu telah keluar dari pintu gerbang kota Kui-cu sebelah selatan. Dan di luar kota itu, di
tempat yang sunyi, mereka bergabung dengan lima belas orang lain yang rata-rata bersikap kasar dan
bertubuh kuat. Dan mereka itu menyediakan pula lima ekor kuda untuk lima orang perampok itu. Lima
belas orang itu sedang duduk berkelompok di bawah pohon dan mereka bersorak ketika melihat lima
orang perampok itu datang membawa kantung hitam yang sudah penuh uang!”
"Ha-ha-ha. agaknya Hek-hin (Muka Hitam) berhasil baik!" kata beberapa orang dengan gembira.
Si muka hitam mengangkat kantong hitam itu tinggi-tinggi. "Penuh uang, cukup untuk kita pesta
beberapa hari!" serunya dan kembali semua orang bersorak gembira.
Bun Houw sudah sejak tadi mengintai. Setelah merasa yakin bahwa dua puluh orang itu adalah
gerombolan perampok atau penjahat, diapun segera melompat keluar dan menghampiri mereka.
Melihat tiba-tiba muncul seorang pemuda yang berpakaian sederhana, dua puluh orang itu memandang
heran. Lima orang perampok tadi mengenai Bun Houw sebagai seorang di antara para korban di rumah
makan. Si muka hitam sudah meloncat ke depan dan memandang rendah kepada pemuda yang
tingginya hanya sampai ke lehernya itu. Si muka hitam ini memang memiliki bentuk tubuh yang tinggi
besar.
"Mau apa kau? Bukankah engkau seorang dari tamu di rumah makan tadi? Sudah kukatakan, siapapun
tidak boleh membuat ribut. Eh, engkau, malah berani mengejar kami ke sini? Mau apa kau?”
"Tidak mau apa-apa," jawab Bun Houw dengan sikap tenang, "hanya ingin minta kembali semua uang
yang kalian rampas di rumah makan tadi. Kalian tidak berhak, semua uang itu harus dikembalikan
kepada pemilik masing-masing."
Sejenak hening sekali dan semua penjahat itu memandang kepada Bun Houw dengan mata terbelalak.
Mereka terheran-heran bagaimana mungkin ada seorang pemuda seperti itu berani bicara demikian
kepada mereka! Sungpuh sukar untuk dipercaya. Akan tetapi kemudian, bagaikan dikomando saja, dua
puluh orang itu tertawa bergelak-gelak, mereka geli dan lucu sampai ada yang perutnya besar terpaksa
memegangi perutnya karena tertawa terpingkal-pingkal membuat perutnya sakit dan terguncang keras.
"Heii, booh gila!" teriak seorang diantara lima perampok tadi. "Kalau sekarang engkau berlaku begini,
kenapa tadi di rumah makan engkau diam saja, malah menyerahkan pula uangmu tanpa melawan
sedikitpun?"
"Aku tidak ingin ribut-ribut di rumah makan, aku sengaja membayangi kalian sampai ke sini, dan di
sinilah kita membuat perhitungan.”
"Ha-ha-ha-ha!” Si muka hitam tertawa bergelak. "Kalau kami tidak mau mengembalikan uang itu, habis
engkau mau apa?"
"Terpaksa aku akan menggunakan kekerasan uutuk merampasnya kembali dari tangan kalian." kata Bun
Houw tenang dan kembali meledak utara tawa dua puluh orang itu.
Memang lucu dan seperti ocehan orang yang tidak waras mendengar pemuda itu bicara seperti itu.
Akan tetapi, biarpun mereka menertawakannya dan pandang mata mereka mulai marah, tak
seorangpun bergerak untuk menyertainya. Agaknya orang-orang ini taat kepada komando pimpinan dan
hanya menanti perintah. Dia ingin tahu siapa pemimpin mereka semua, karena jelas bahwa si muka
hitam itu pun hanya memimpin regu kecil perampok tadi.
Seorang diantara para perampok tadi yang juga tinggi besar akan tetapi perutnya gendut seperti
gentong. memandang kepada si muka hitam dan berkata, "Hek-bin twako (kakak muka hitam), biar
kubereskan pemuda nekat ini!"
Sebelum si muka hitam menjawab, terdengar suara yang kecil meninggi seperti suara perempuan, akan
tetapi suara itu keluar dari mulut seorang, yang tinggi kurus dan berkepala botak. "Tunggu! Pemuda ini
sudah berani bersikap seperti itu, berarti bahwa dia mempunyai andalan. Kalian berlima majulah
bersama menghadapinya!"
Si muka hitam dan empat orang anak buahnya, yang tadi melakukan perampokan, tersenyum masam.
Bagaimanapun juga, mereka merasa agak malu untuk mengeroyok seorang pemuda biasa reperti itu,
apalagi pemuda itu tidak memegang senjata, kalau saja tongkat butut yang terselip di pinggangnya itu
dapat dikatakan senjata! Mereka adalah orang-orang yang perkasa, bagaimana tidak akan malu dan
merasa rendah mengeroyoknya? Akan tetapi agaknya mereka adalah orang-orang yang mentaati
perintah si botak, maka mereka lalu melangkah maju dan menghadapi Bun Houw. Cara mereka
menghadapi Bun Houw. semua di depannya dan tidak mengepungnya, ini saja sudah membuktikan
bahwa mereka memandang rendah pemuda itu dan merasa malu untuk mengepung dari belakang. Hal
ini diketahui oleh Bun Houw, namun dia tidak perduli, kini dia tahu bahwa pemimpin gerombolan ini
adalah si botak tinggi kurus itu. Dan agaknya kalau lima orang ini hanya mengandalkan kekerasankekerasan
otot mereka, pemimpin mereka itu juga mengandalkan otak.
(Bersambung jilid 12)
Jilid 12
"BOCAH gila, apakah engkau masih hendak meneruskan kehendakmu, merampas kembali uang itu?"
tanya si muka hitam sambil menunjuk kantung uang yang kini dipegang oleh si botak.
"Tentu saja! Serahkan kembali uang itu dan aku tidak akan mengganggu kalian." kata Bun Houw dengan
sikap tenang.
"Haiiiitt, mampuslah kau!” bentak seorang di antara lima perampok itu dan diapun sudah menyerang
dengan tonjokan yang kuat ke arah muka Bun Houw. Dengan gaya petinju, agaknya dia ingin memukul
roboh Bun Houw dengan sekali tonjok. Dan memang dia bertenaga kuat sehingga orang biasa sekali
terkena tonjokan ini pada dagunya, pasti akan roboh dan pingsan atau setidaknya gegar otak!
Namun, pukulan itu mengenai angin kosong belaka dan sebelum dia sempat menarik kembali
kepalannya, lengan kanan itu tiba-tiba lumpuh disentuh jari telunjuk kiri Bun Houw dan tahu-tahu
tubuhnya terjengkang oleh sebuah tendangan kaki kanan pemuda perkasa itu.
Melihat betapa segebrakan saja penyerang itu terjengkang, barulah empat orang perampok lain terkejut
dan marah. Mereka berempat segera menerjang maju, bahkan orang yang tadi terkena tendangan,
untuk menebus malunya, melupakan perutnya yang mulas menendang, bangkit lagi dan ikut
mengeroyok! Akan tetapi, semua anggauta gerombolan itu tercengang-cengang ketika belum ada
sepuluh jurus, biarpun nampaknya lima orang perampok itu menghujankan pukulan dan tendangan,
akan tetapi buktinya, lima orang itulah yang terpelanting ke kanan kiri seorang demi seorang. Melihat
ini, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dengan suara tinggi dan si botak tinggi kurus itu sudah
menyerang Bun Houw dan memang dia memiliki ketangkasan yang lain dibandingkan anak buahnya. Dia
memiliki tenaga sinksng sehingga ketika menerjang, selain gerakannya cepat bagaikan seekor burung
menyambar. Juga pukulannya mendatangkan angin pukulan yang cukup kuat.
Namun, bagi Bun Houw, si botak ini bukan apa-apa. Diapun menangkap tangan yang memukulnya dan
sekali dorong, si botak itupun tak mampu menahan lagi dan terjengkang. Kasihan dia, karena kurus
maka pinggulnya tidak berdaging sehingga ketika terbanting, pantat tanpa daging itu menghantam
tanah dan rasanya seperti retak-retak tulang belakangnya. Dia meringis dan memberi aba-aba, "Bunuh
dia! Dia! berbahaya bagi kita!”
Anak buahnya, termasuk lima orang perampok tadi, kini mengepung dan mengeroyok dengan senjata
tajam di tangan! Melihat ini, Bun Houw memegang tongkat bututnya dan sekali tangan kanannya
bergerak, nampak sinar berkilat. Pedang Lui-kong-kiam telah tercabut dari sarung yang berbentuk
tongkat butut itu dan begitu pedang itu digerakkan, nampak gulungen sinar berkilauan yang membuat
semua pengetoyok terkejut. Segera disusul suara berkerontangan di sana-sini. Ke manapun sinar kilat itu
menyambar, tentu terdengar suara berkerontangan dan dalam waktu beberapa menit saja, dua puluh
orang itu, termasuk si botak yang tadi mencabut pedang, menjadi terlongong memandang tangan kanan
mereka yang kini hanya tinggal memegang gagang senjata berikut sedikit sisa potongan senjaia mereka.
Dua puluh batang senjata tajam telah terbabat buntung semua oleh Pedang Kilat!
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring, “Kalian semua mundur !" Dua puluh orang itu terkejut dan
nampak gentar, lalu dengan sikap hormat mereka mundur. Bentakan itu amat berwibawa dan
menggeledek, mengejutkan Bun Houw karena pemilik suara seperti itu tentulah seorang yang besar
pengaruhnya dan sudah biasa ditaati. Dia cepat menoleh ke kiri dan sinar matanya mengandung
keheranan ketika melihat munculnya dua orang. Seorang pria berusia lima puluh lima tahun, tinggi besar
gagah sekali yang agaknya pemilik suara tadi, dan seorang membuat Bun Houw tercengang yaitu
pemuda yang tadi ditemuinya di dalam rumah makan. Pemuda yang duduk semeja dengan dia!
Pemuda itu tersenyum kepadanya, senyum manis yang ramah dan pandang matanya kagum. "Aih sejak
pertama kali sudah kuduga bahwa engkau bukan seorang pemuda biasa, sobat! Ternyata engkau hebat,
pedangmu bergerak seperti kilat saja! Engkau patut kalau kunamakan Si Pedang Kilat!”
Bun Houw diam-diam kagum dan terkejut. Ini tentu bukan pemuda sembarangan pula. Dia sudah
menyimpan kembali pedangnya, dan dari sinarnya saja pemuda itu sudah dapat memberi nama yang
amat tepat. Memang pedangnya adalah Lui-kong-kiam (Pedang Kilat)! Akan tetapi Bun Houw
mengerutkan alisnya. Pemuda yang ramah dan tampan ini tentu ada hubungan dengan gerombolan
perampok ini! Tentu tadi hanya berpura-pura saja menyerahkan uangnya di rumah makan.
"Akan tetapi aku merasa heran melihatmu, sobat," kata Bun Houw dengan sinar mata penuh selidik.
"Engkau sendiri apa hubunganmu dengan gerombolan perampok ini? Engkau tadi hanya berpura pura?”
Pemuda itu tersenyum, "Ha, apa bedanya denganmu, sobat? Engkau tadipun berpura-pura,
menyerahkan uangmu kepada mereka. Kiranya engkau membayangi mereka dan menghajar mereka di
sini. Akan tetapi sebelum kita bicara, aku ingin melihat kemampuanmu lebih jauh. Paman Pouw, coba
kau tandingi Si Pedang Kilat ini!”
"Baik, kongcu (tuan muda)," kata pria tua gagah perkasa itu dengan sikap yang menghormat sekali.
Kemudian, dia melangkah maju berhadapan dengan Bun Houw.
"Orang muda, kita bukan musuh. Kami menghargai orang-orang gagah, dan mentaati perintah kongcu,
aku ingin mengenal ilmu silatmu. Nah, bersiaplah!"
Bun Houw senang dengan sikap yang tegas dan jujur dari orang gagah ini. Diapun ingin tahu sampai di
mana kepandaiannya, dan pemuda aneh yang begitu ditaati dan disebut tuan muda itu telah
mengatakan bahwa nanti saja mereka bicara setelah mengenal kepandandaiannya. Baik, dia akan
memperlihatkan kepandaiannya. "Silakan, aku sudah siap," katanya. Ketika dia melihat betapa orang
gagah itu memasang kuda-kuda dengan gaya aliran Siauw-lim-pai, Bun Houw semakin penasaran,
Bilamana ada murid siauw-lim-pai yang menjadi pimpinan perampok? Ayah kandungnya sendiri,
mendiang Kwa Tin, dikenal sebagai seorang pendekar Siauw-lim-pai dan dia sendiripun sejak kecil dilatih
ayahnya dengan ilmu silat aliran Siauw-lim-pai. Karena penasaran, maka diapun sengaja memasang
kuda-kuda Siauw-lim-pai untuk mengimbangi lawan.
Melihat pemuda itu memasang kuda-kuda Siauw-lim-pai, orang gagah itu mengeluarkan suara tertahan
dan pandang matanya terbelalak, "Murid Siauw lim pai?" tanyanya heran.
"Murid Siauw-lim-pai aseli karena selalu menentang kejahatan!” kata Bun Houw menyindir.
"Ah, engkau belum mengerti. Mari kita mengadu kepandaian dulu baru nanti engkau bicara dengan
Kongcu." kata orang itu. "Lihai serangan!” dan diapun mulai menyerap dengan ilmu silat Siauw-lim-pai
yang amat kuat. Melihat gerakannya, tahulah Bun Houw bahwa lawannya menggunakan ilmu Lo-han
kun (Silat Kakek Gagah), satu di antara llmu-ilmu Siauw-lim-pai. Diapun pernah mempelajari ilmu ini,
maka diapun mempergunakannya untuk melawan. Karena keduanya menggunakan ilmu yang sama,
maka mereka kelihatan seperti dua orang murid Siauw-lim-pai yang sedang melatih Lo-han-kun!
“Akan tetapi, Bun Houw segera menyadari bahwa dalam hal ilmu silat Siauw-lim-pai, dia masih kalah
jauh dibandingkan lawan. Bahkan mungkin ayahnya sendiri tidak akan mampu menandingi tingkat lawan
ini! Kalau dia bertahan dengan jurus-jurus Lo-han-kun, dia tentu akan kalah, maka diapun mengubah
gerakannya dan kini dia memainkan ilmu it-sin-ci (Satu Jari Sakti), ilmu yaitu ilmu silat yang
menggunakan totokan satu jari untuk menyerang, ilmu yang dipelajarinya dari Tiauw Sun Ong!
"Plak-plakkk" Dua kali totokannya ditangkis lawan, akan tetapi karena Bun Houw menggunakan tenaga
Im-yang Bu-tek Cin-keng, orang gagah itu tak dapat menahan dirinya dan terhuyung ke belakang.
"Ahhh, bukankah itu it-sin-ci ...?” Orang itu berseru kaget dan Bun Houw semakin kagum. Lawannya ini
benar-benar bermata tajam, dapat mengenal ilmu yang dipelajarinya dari gurunya. Diapun ingin
memperlihatkan kepandaiannya, maklum bahwa lawan memang lihai sekali sehingga tadi mampu
mengimbangi it-sin-ci, walaupun agak terhuyung.
"Coba lihat yang ini, apakah engkau juga mengenalnya?” Dan kini Bun Houw memainkan jurus-jurus
rahasia dan aneh dari Im-yang Bu-tek Cin-keng. Lawannya mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian
untuk melawan ilmu aneh itu. Mereka nampak saling pukul, saling elak dan tangkis, akan tetapi belum
sampai sepuluh jurus, orang tua yang gagah perkasa itu terdorong ke belakang, mencoba untuk
menahan diri, akan tetapi tetap saja dia terpelanting roboh! Dia cepat meloncat bangun dengan muka
merah dan mata terbelalak.
"Bukan main! Ilmu apakah itu tadi? Tenagamu amat dahsyat! Belum pernah selama hidupku melihat
tenaga yang sedemikian dahsyatnya! Engkau hebat, orang muda, aku mengaku kalah."
Terdengar tepuk tangan. Pemuda itu yang bertepuk tangan, wajahnya berseri dan senyumnya cerah, dia
nampak girang sekali. "Sobat, engkau memang hebat, jauh di luar persangkaanku semula. Engkau dapat
mengalahkan Paman Pouw. Bukan main! Mari, sobat, mari kita bicara, jangan di sini, tidak leluasa. Mari
ikut ke tempat kami."
Bun Houw memang ingin sekali mengetahui siapa pemuda itu dan mengapa mempunyai anak buah yang
melakukan perampokan di rumah makan itu, dan siapa pula ahli silat Siauw-lim-pai yang tangguh itu.
Maka, diapun mengangguk dan tidak menolak ketika seorang anak buah, atas isarat pemuda itu,
menuntun tiga ekor kuda untuk mereka bertiga. Bun Houw segera meloncat ke punggung kuda dan
mengikuti pemuda itu dan orang she Pouw yang baru saja mengadu kepandaian dengannya. Dua puluh
orang anak buah itu ternyata mengikuti mereka.
Setelah memasuki hutan dan mendaki sebuah bukit kecil, akhirnya mereka bertiga tiba di pekarangan
sebuah rumah terpencil. Rumah itu sederhana saja bentuknya, akan tetapi cukup besar dan
pekarangannya juga luas. Nampak beberapa orang laki-laki berpakaian pelayan menyambut tiga orang
itu. Mereka memberi hormat kepada pemuda itu dan menuntun tiga ekor kuda.
"Ini rumah kami. mari silakan masuk, sobat dan kita bicara."
Bun Houw mengikuti pemuda itu dan si tinggi besar she Pouw itu mengikuti di belakangnya. Mereka
memasuki rumah dan setelah masuk, baru Bun Houw mendapat kenyataan bahwa rumah yang dari luar
nampak bercahaya itu, di sebelah dalamnya penuh dengan perabot yang mewah sekali! Dan begitu
memasuki ruangan depan, nampak lima orang wanita muda yang usianya antara delapan belas sampai
dua puluh tahun, kelimanya cantik jelita dan manis, keluar menyongsong pemuda itu dengan sikap
mereka yang manja namun penuh hormat. Akan tetapi, kegembiraan mereka itu berubah menjadi sikap
yang alim dan pendiam ketika mereka melihat bahwa pemuda itu datang bersama seorang pemuda lain
yang asing bagi mereka. Pemuda itu tersenyum dan memberi isarat-kepada mereka berlima untuk
masuk ke dalam dan memesan agar dipersiapkan hidangan makan siang untuk dia dan tamunya. Sambil
tersenyum dan memberi hormat ke arah Bun Houw dengan malu-malu, lima orang itu berlari memasuki
rumah bagian dalam, dan pemuda itu mempersilakan Bun Houw untuk masuk ke dalam ruangan tamu
yang berada di bagian kiri.
Mereka bertiga duduk di ruangan tamu yang luas dan selain kursi-kursinya indah dan enak diduduki,
juga ruangan itu bersih dan dindingnya digantungi tulisan-tulisan dengan huruf indah dan beberapa
buah lukisan alam. Jendela-jendelanya terbuka ke taman sehingga hawa di dalam ruangan itu sejuk dan
nyaman sekali.
"Nah, sekarang kita berkenalan, sobat. Namaku Siauw Tek, dan ini adalah Paman Pouw, pembantuku
yang setia, juga pelindungku yang gagah perkasa. Seperti yang telah dikatakannya tadi, kami suka sekali
berkenalan dan bersahabat dengan orang-orang gagah di dunia, maka pertemuan kami denganmu
merupakan kebahagiaan besar bagi kami. Siapakah namamu dari mana dan dari aliran mana, juga apa
kedudukanmu?"
"Namaku Kwa Bun Houw, berasal dari Nan-ping. Aku hidup sebatang kara. yatim piatu, tidak mempunyai
tempat tinggal yang tetap, juga bukan dari aliran manapun dan tidak mempunyai kedudukan apapun. "
Pemuda yang bernama Siauw Tek itu kelihaian semakin gembira mendengar keterangan singkat Bun
Houw, terutama sekali karena Bun Houw tidak mempunyai kedudukan dan tidak terikat aliran apapun.
Akan tetapi orang yang nama lengkapnya Pouw Cin itu, memandang penuh selidik dan bertanya, "Maaf,
Kwa-enghiong (orang gagah Kwa). melihat dasar gerakan silatmu, tidak salah tapi bahwa engkau
setidaknya pernah mempelajari ilmu silat Siauw-lim-pai. Bukankah engkau murid Siauw-lim-pai?"
Bun Houw menggelengkan kepalanya, "Mendiang ayahku adalah murid Siauw-lim-pai, dan ketika masih
kecil aku pernah mempelajari ilmu silat aliran itu dari mendiang ayahku. Akan tetapi aku bukan murid
langsung dari Siauw-li m-pai."
"Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama mendiang ayahmu, murid Siauw-lim-pai yang tinggal di
Nan-ping itu?" Pouw Cin mendesak.
"Mendiang ayahku bernama Kwa Tin."
Pouw Cin terbelalak girang. "Ah, kiranya dia! Aku mengenalnya dengan baik, bahkan kami masih
terhitung saudara sekeluarga, sealiran. Dia seorang pedagang kita yang berhasil dan gagah perkasa,
seorang pendekar sejati. Akan tetapi ... aku tidak tahu bahwa dia sudah meninggal. Kalau tak salah, ...
usianya sebaya denganku, belum tua benar."
"Ayah dan ibu tewas oleh gerombolan penjahat yang menbalas dendam kepada ayah." kata Bun Houw
singkat. "Karena itu. aku selalu menentang para penjahat dan perampok." Setelah berkata demikian, dia
menatap wajah Siauw Tek dengan pandang mata tajam.
"Ha ha, sekali lagi kuyakinkan padamu bahwa kami bukanlah penjahat dan perampok. Engkau tadi sudah
mendengar bahwa Paman Pouw adalah murid Siauw-lim-pai. saudara seperguruan mendiang ayahmu.
Apakah orang seperti dia ini pantas menjadi perampok, dan apakah aku pantas pula menjadi kepala
perampok?"
"Akan tetapi di rumah makan tadi ... "
"Memang kami sengaja. Kwa-toako (kakak Kwa)!" kata Siauw Tek. "Sebaiknya aku menyebutmu toako
saja, lebih akrab. Kuulangi, kami memang sengaja membiarkan anak buah kami melakukan perampokan
secara menyolok.”
“Aneh sekali! Bukan perampok akan tetapi membiarkan anak buah perampok, Hemm ... Kongcu, harap
jangan mempermainkan aku!" kata Bun Houw tak senang, dan mengingat betapa semua orang
menyebut pemuda itu kong-cu, diapun ikut-ikutan. Dia masih merasa yakin bahwa pemuda ini bukan
orang biasa. "Melakukan perampokan akan tetapi bukan perampok, lalu apa?”
“Kami adalah pejuang!”
“Ehh? Pejuang? Berjuang untuk apa?”
“Untuk mengusir pemberontak dan pengkhianat!" kata pula Siauw Tek sambil mengepal tinju dan tibatiba
saja sikapnya penuh semangat, pandang matanya berapi-api dan mukanya kemerahan.
"Ehh? Aku ... aku sungguh tidak mengerti apa maksudnya semua ini, Kongcu. Lalu apa hubungannya
perjuangan dengan perampokan? Siapa pula pemberontak dan pengkhianat itu?"
Siauw Tek menghela napas panjang. "Sungguh sayang, betapa sedikit para pendekar yang gagah
memperdulikan urusan negara! Kwa-toako, kami sengaja menyuruh anak buah kami melakukan
perampokan di kota-kota, di tempat umum, pertama untuk menarik perhatian para pendekar dan orang
gagah agar dapat berhadapan dengan kami seperti halnya engkau sekarang ini. Dan ke dua perampokan
perampokan itu setidaknya akan menimbulkan kekacauan dan kesan buruk mengenai keamanan
terhadap pemerintah pemberontak."
"Pemerintah pemberontak?"
"Ya, bukankah kerajaan Chi sekarang ini merupakan pemberontak yang telah mengkhianati dan
menggulingkan kerajaan yang sah? Pemerintah yang sah adalah kerajaan Liu-sung!"
Bun Houw yang tidak pernah memperhatikan urusan kenegaraan, semakin bingung.
"Akan tetapi ... yang pernah kudengar, kerajaan Liu-sung telah jatuh dan sekarang yang menjadi
penguasa adalah kerajaan Chi, kalau tidak salah, hal ini telah terjadi beberapa tahun yang lalu ... eh, aku
sendiri tidak tahu benar, hanya mendengar-dengar saja karena bertahun-tahun aku sibuk belajar ilmu.
Kalau begitu, kalian ini adalah orang-orang yang. anti kerajaan Chi yang baru dan menentangr
pemerintah, sengaja menimbulkan kekacauan?"
"Tentu saja! Kami ... "
Akan tetapi tiba-tiba Pouw Cin memotong kata-kata pemuda itu. “Kwa-enghiong, harap jangan salah
paham. Yang jelas, kami bukanlah penjahat, dan untuk memberi penjelasan, nanti setelah makan, aku
akan. mengajakmu untuk melihat-lihat keadaan kami. Kami sedang menyusun pasukan dan
mengumpulkan orang-orang gagah pembela kebenaran dan keadilan. Kalau sudah melihat keadaan
kami, nanti engkau tentu akan mengerti."
"Ha-ha, benar sekali ucapan Paman Pouw! Kalau dijelaskan perlahan-lahan dan mengenal keadaan kami,
dapat saja engkau menjadi salah paham dan mengira kami gerombolan penjahat. Nah, sekarang
kupersilakan engkau untuk makan siang bersama kami, toako. Kita sudah saling berkenalan dan
bersahabat, harap engkau tidak merasa sungkan lagi. Paman Pouw, coba kaulihat apakah sudah siap
makan siang di dalam."
Pouw Cin keluar dan dua orang gadis pelayan cantik memasuki ruangan tamu itu, membawa suguhan
anggur dan teh. Dengan sikap gembira Siauw Tek lalu menyuguhkan anggur kepada Bun Houw dan
ketika meminum anggur itu, diam-diam Bun Houw kagum. Anggur yang lezat bukan main, manis, sedap
dan halus sekali. Tak lama kemudian Pouw Cin masuk dan memberi tahu bahwa makan siang telah siap.
Biarpun merasa sungkan, Bun Houw tidak menolak. Dia merasa semakin tertarik dan ingin sekali
mengenal tuan rumah lebih dekat. Banyak rahasia menyelubungi tuan rumah dan dia tentu selamanya
akan merasa menyesal dan penasaran kalau tidak dapat mengetahui dengan benar siapa sebenarnya
Siauw Tek ini dan apa maunya.
Ruangan makan itu lebih mewah daripada ruangan tamu. Meja yang terukir indah penuh dengan
hidangan yang masih mengepulkan uap yang sedap. Kursi-kursinya juga berukir dan Siauw Tek duduk di
kepala meja. Pouw Cin duduk di sebelah kanannya, dan Bun Houw dipersilakan duduk di sebelah kirinya.
Lima orang wanita muda yang cantik jelita dan yang tadi menyambut kedatangan mereka, juga berada
di situ dengan sikap yang genit dan ramah, penuh senyum manis dan kerling memikat. Mereka berlima
inilah yang melayani Siauw Tek makan minum, dan atas isarat Siauw Tek dua orang di antara mereka
kini melayani Bun Houw, menuangkan arak, mengambilkan dan menambahkan lauk pada mangkok Bun
Houw, Pouw Cin tidak dilayani mereka, dan hal ini membuat Bun Houw merasa sungkan bukan main!
Hidangan itu sungguh merupakan hidangan mewah yang lezat, yang belum pernah dimakan oleh Bun
Houw, tentu amat mahal harganya. Seperti makanan yang dihidangkan kepada raja-raja. Tiba-tiba Bun
Houw tertegun dan jantungnya berdebar. Apa hubungan Siauw Tek ini dengan raja? Dengan kaisar ?
Seorang pangerankah dia? Ah, sekarang dia dapat menduga. Siauw Tek tentulah seorang pangeran atau
setidaknya seorang bangsawan tinggi dari kerajaan Liu-sung yang telah jatuh dan dia bercita-cita untuk
merampas kembali tahta kerajaan dari pemerintah atau kerajaan Chi yang baru. Dan Pouw Cin tentu
juga seorang yang setia kepada kerajaan Liu-sung yang telah jatuh.
Selagi mereka makan minum, tiba-tiba terdengar suara merdu dan nyaring seorang-wanita dari luar
pintu ruangan itu. "Aihh sedapnya! Ada pesta apa sih? Kenapa koko (kakanda) tidak memberi tahu apaapa?
Kenapa aku ditinggal, tidak diajak ikut pesta? Tidak lucu, ah!” Dan muncullah orangnya di ambang
pintu.
Bun Houw yang duduknya tepat menghadap pintu itu, memandang dan terpesona. Gadis itu bukan
main! Lima orang wanita yang melayani mereka makan juga cantik jelita, akan tetapi dibandingkan
dengan gadis yang kini berdiri di ambang pintu, sungguh nampak sekali perbedaannya. Kalau lima orang
wanita itu hanya cantik dan lembut, namun gadis yang kini berdiri di depan pintu itu masih amat muda,
dan memiliki kesegaran yang tidak dimiliki wanita lain. Begitu segar, bebas dan gagah perkasa!
Pakaiannya ringkas, serba hitam, tidak mewah namun serasi dengan bentuk tubuhnya yang ramping
padat. Wajahnya manis sekali, dengan rambut digelung ke atas, diikat saputangan kuning dan agak
awut-awutan. mungkin baru pulang dari perjalanan sehingga pakaian itu agak berdebu dan rambut itu
diusik angin. Tangan kirinya masih memegang sebatang cambuk kuda dari kulit, dan sikapnya begitu
anggun, begitu gagah berwibawa, bahkan sedikit angkuh. Ia tidak pemalu seperti gadis lain, bahkan
pandang matanya langsung menatap wajah Bun Houw dan pemuda inilah yang akhirnya menundukkan
pandang matanya, seolah silau oleh sinar mata yang mencorong itu, atau setidaknya khawatir kalau
disangka tidak tahu susila.
Sepasang alis Siauw Tek berkerut ketika dia melihat gadis itu, akan tetapi dia tersenyum. "Aha,
kebetulan engkau pulang, siauw-moi! Pesta ini diadakan secara mendadak, jadi tidak keburu
memberitahu engkau yang sejak pagi sudah pergi. Hayo, ikutlah makan dan kenalkan, tamu kehormatan
kita ini adalah seorang pendekar yang memiliki ilmu silat hebat sekali. Namanya Kwa Bun Houw dan
kujuluki dia Si Pedang Kilat!" Siauw Tek bangkit dan menarik tangan adiknya yang sudah mendekat, lalu
memperkenalkannya kepada Bun Houw, "Kwa-toako, ini adalah adikku yang bengal dan manja,
namanya Kiok Lan."
Bun Houw cepat bangkit dan memberi hormat kepada gadis yang lincah itu dengan mengangkat kedua
tangan depan dada. Akan tetapi, gadis itu agaknya tidak perduli akan segala upacara perkenalan itu, lalu
bertanya kepada Pouw Cin, "Paman Pouw, benarkah, kepandaiannya hebat? Bagaimana kalau dibanding
dengan kepandaian paman?"
Wajah Pouw Cin berubah kemerahan dam hampir saja dia tersedak. Dia minum araknya, lalu menjawab,
"Kepandaian Kwa-enghiong jauh lebih tinggi dari pada ilmu silat saya. Siocia (nona)."
"Aih, kalau begitu hebat! Aku harus belajar silat darimu, Kwa-enghiong!" seru gadis itu dan tanpa
banyak ribut lagi iapun mengambil tempat duduk di sebelah Bun Houw.
Pemuda ini merasa seperti ada bunga mawar setaman mendekatinya, membuat jantungnya berdebar.
Padahal, ketika dua orang pelayan cantik tadi melayaninya, demikian dekat bahkan disengaja atau tidak
beberapa kali ujung lengan baju mereka menyentuhnya, dia sama sekali tidak merasa apa-apa, bahkan
merasa tidak enak sekali.
Ketika seorang pelayan menghampirinya untuk menuangkan arak, Kiok Lan menolak halus dan berkata,
ditujukan kepada Siauw Tek. "Koko, kurasa Kwa-enghiong dan Paman Pouw tidak perlu dilayani, dapat
menuangkan arak dan mengambil lauk sendiri. Kenapa harus dilayani? Sebaiknya koko tidak
menyusahkan kelima enci ini. Harap enci sekalian kembali saja ke dalam. Bukankah begitu. Kwaenghiong
dan kau, Paman Pouw?"
Lima orang wanita cantik itu saling pandang dan agak tersipu, akan tetapi Siauw Tek tertawa. "Ha-ha-ha,
engkau selalu jujur dan kasar, siauw-moi. Baiklah, kalian mengasolah. Nanti saja kalau sudah selesai
perintahkan para pelayan membersihkan meja."
Lima orang wanita cantik itu lalu berlari kecil meninggalkan ruangan makan itu. "Nah, begini lebih
leluasa, bukan? Kita dapat bicarakan apa saja, tentu saja kalau Kwa-enghiong ini telah menjadi sahabat
yang dapat dipercaya."
Tanpa sungkan lagi Kiok Lan mengambil masakan dengan sumpitnya, dan mulai makan. Sungguh jauh
bedanya dalam hal sopan santun antara gadis ini dan kakaknya. Siauw Tek makan dengan sikap yang
amat hati-hati dan selalu menjaga kesopananya cara makan seorang bangsawan tinggi yang tidak mau
tercela sedikitpun. Sebaliknya, gadis itu makan seperti seorang gadis kang-ouw, makan dengan enaknya
tanpa rikuh. Juga ia menuangkan dan minum arak bagaikan minum air saja!
"Apakah engkau membawa kabar penting siauw-moi? Kalau urusan negara, sebaiknya dibicarakan nanti
saja denganku. Kalau urusan pribadi, boleh saja dibicarakan sekarang.”
"Tidak ada urusan negara. itu kan urusanmu, koko. Dengar baik-baik, bukan hanya engkau yang
menemukan Kwa-enghiong ini sebagai seorang pendekar sakti. Akupun membawa seorang tamu,
seorang pendekar sakti yang berilmu tinggi, koko!"
"Ehh? Siapa dia? Bagaimana engkau bertemu dengan dia dan di mana dia sekarang?” Siauw Tek yang
agaknya amat penuh perhatian itu bertanya dan jelaslah bahwa pemuda ini memang ingin sekali
berkenalan dengan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
"Nanti dulu, koko. Biar dia menanti di ruangan tamu. Aku sudah menyuruh pelayan menghidangkan
minuman. Pertemuanku dengan dia menegangkan, koko. Aku dihadang orang-orang jembel
menjemukan itu. Akan tetapi ilmu silat para pimpinannya lihai dan aku hampir celaka. Untung tiba-tiba
muncul pendekar yang hebat ini sehingga aku tertolong."
Siauw Tek tertarik sekali. "Siauw-moi. ceritakanlah yang jelas. Apa yang telah terjadi? Jangan sepotongsepotong
membuat kami jadi penasaran sekali." tegur kakaknya.
Gadis itu tertawa, nampaknya puas sekali dapat membuat para pendengarnya tertarik. Kemudian, tanpa
menghentikan makan, sambil makan ia bercerita tentang apa yang baru saja dialaminya pagi hari itu.
Gadis itu memang merupakan adik kandung seayah berlainan ibu dengan Siauw Tek. Sejak kecil, Kiok
Lan memang memiliki watak yang lincah jenaka dan pemberani, apalagi karena sejak kecil ia suka
berlatih silat sehingga kini, dalam usia tujuh belas tahun, ia telah menjadi seorang gadis yang lihai.
Banyak sekali gurunya, yaitu para jagoan istana kerajaan Liu-sung yang telah jatuh. Dan, yang terakhir,
Pouw Cin yang lihai juga melatihnya sehingga ia menjadi semakin lihai.
Pagi hari itu, ia berpamit kepada kakaknya untuk pergi berburu ke hutan di Bukit Hijau yang dihuni
banyak binatang buruan. Siauw Tek yang mengetahui keberandalan adiknya, tidak dapat melarang, akan
tetapi dia percaya penuh akan kelihaian adiknya sehingga berkeliaran seorang diripun takkan ada yang
mampu mengganggunya. Adiknya itu tidak akan dapat dikalahkan oleh sepuluh orang pria kasar dan
kuat sekalipun!
Dengan bersenjatakan busur kecil dan banyak anak panah, Kiok Lan memasuki hutan di lereng Bukit
Hijau. Akan tetapi di tepi hutan itu, ia bertemu dengan tiga orang pengemis yang menghadang
perjalanannya. Mereka memandang kepadanya dan ketiganya menyodorkan tangan kanan minta
sedekah.
"Nona. tolonglah kami orang-orang miskin dan kelaparan!" kata mereka senada.
Kiok Lan berhenti melangkah dan berdiri di depan mereka, memandang penuh perhatian. Alisnya
berkerut dan mulutnya senyum mengejek. Hatinya merasa tak senang sekali. Tiga orang itu adalah lakilaki
bertubuh cukup sehat dan kuat, usia mereka antara tiga puluh-sampai empat puluh tahun. "lhhh,
apakah kalian ini tidak malu? Tiga orang laki-laki sehat dan kuat, belum kakek-kakek lagi, menjadi
pengemis yang minta-minta? Orang-orang macam kalian ini hanya membikin malu bangsa saja dan tidak
layak hidup! Pergilah, aku tidak sudi memberi apapun kepada kalian!"
Berubah sikap tiga orang laki-laki itu. Kalau tadi mereka memasang wajah menyedihkan, dengan suara
yang mohon belas kasihan, kini mereka melotot dengan muka berubah kemerahan. Mereka
memandang ke kanan kiri, dan kesunyian tempat itu agaknya menambah semangat dan keberanian
mereka. Yang termuda di antara mereka, matanya sipit hampir terpejam dan hidungnya pesek,
melangkah maju dan tersenyum mengejek.
"Nona manis, kalau engkau tidak mempunyai uang untuk diberikan kepada kami, berikan saja apa yang
kaumiliki. Kecantikanmu, heh-heh-heh, cukup untuk kami bertiga. Bukankah begitu, heh-heh, kawankawan?"
"Benar sekali!" kata dua orang kawannya.
Sepasang mata yang indah itu terbelalak, dan muka itu berubah kemerahan. "Memang kalian tidak
patut hidup! Jahanam busuk kalian, anjing kotor!"
"Ha-ha-ha, ia cantik dan galak pula!" kata si mata sipit dan diapun sudah menerjang ke depan untuk
meringkus dan memeluk gadis yang dianggapnya amat menggairahkannya itu.
Kiok Lan menyambutnya dengan sebuah tendangan yang ditujukan ke arah perutnya. Orang itu
mengenal gerakan silat yang dahsyat, dan agaknya si mata sipit juga ahli silat. maka dia cepat menangkis
dengan kedua tangannya yang disabetkan ke bawah, tidak jadi merangkul.
"Dukkk!!" dan akibat tangkisan ini, si mata sipit terjengkang dan terbanting sampai tiga meter jauhnya!
Dua orang temannya menjadi terkejut dan marah. Tahulah mereka mengapa gadis itu berani bersikap
kasar dan menghina mereka. Kiranya seorang gadis kang-ouw yang pandai silat! Mereka segera
mencabut tongkat besi yang terselip di pinggang, lalu menyerang, sekali ini bukan untuk berbuat
mesum, melainkan untuk melukai gadis yang dianggap lawan berbahaya itu, Juga yang terjengkang tadi,
setelah mengerang sebentar lalu bangkit, mencabut tongkat besinya dan tiga orang itu kini mengeroyok
Kiok Lan! Akan tetapi, segera mereka mendapatkan kenyataan pahit. Mereka telah bertemu batu keras!
Biarpun hanya bersenjatakan busurnya, Kiok Lan mampu menghajar tiga orang itu sampai babak belur
dan akhirnya mereka bertiga lari tunggang-langgang dengan kepala benjol dan luka-luka kecil yang
merobek baju dan kulit.
"Huh, belum bertemu binatang buruan, Bertemu tiga orang yang lebih jahat dari pada binatang!" kata
Kiok Lan sambil tersenyum mengejek. Karena mereka merupakan lawan yang lunak saja baginya, Kiok
Lan sudah melupakan peristiwa itu dan memasuki hutan. Dalam waktu kurang dari satu jam, ia telah
berhasil memanah roboh seekor kijang muda yang gemuk.
"Heh-heh, koko tentu akan senang sekali. Dia paling suka makan daging paha kijang dipanggang!"
katanya seorang diri sambil berlari menghampiri kijang yang roboh itu.
Akan tetapi, ia tiba di bawah pohon dekat semak belukar itu, ia mengerutkan alisnya. Kijang itu telah
dipanggul seorang yang dikenalnya sebagai si mata sipit tadi, yang tertawa-tawa membawa pergi
bangkai kijang itu.
"Hei, berhenti, kau anjing busuk! Kembalikan kijangku!" teriak Kiok Lan dan ia bergerak hendak
mengejar. Akan tetapi tiba-tiba ada angin menyambar dari samping. Suara senjata berdesing membuat
ia terkejut dan cepat melompat untuk mengelak. Kiranya yang menyerangnya adalah seorang laki-laki
berusia lima puluhan tahun yang memegang sebatang tongkat besi pula. Dan kakek inipun berpakaian
pengemis. Selain dia, di situ masih terdapat empat orang pengemis setengah tua lain lagi dan mereka
semua memandang kepadanya dengan sikap marah.
"Heii! Kalian ini lima orang pengemis tua, mengapa tiba-tiba saja menyerangku? Aku hendak mengejar
pencuri kijangku itu!” bentak Kiok Lan marah.
"Hemm, engkau seorang gadis yang masih, muda sekali, masih remaja akan tetapi sudah memiliki watak
yang keras dan kejam. Engkau telah mengandalkan kepandaianmu untuk menghina dan memukuli tiga
orang murid kami! Kalau engkau tidak mempunyai apa-apa untuk memberi sedekah kepada mereka
sudah saja jangan beri apa-apa. Kenapa engkau tidak mau memberi malah menghina mereka, kemudian
memukuli mereka?"
Baru sekarang Kiok Lan tahu bahwa ia berhadapan dengan lima orang jembel-jembel jagoan yang
menjadi guru dari para pengemis, kurang ajar tadi dan timbullah kemarahannya.
"Aha, kiranya kalian adalah guru-guru para pengemis busuk yang kurang ajar tadi. Bagus, bagus! Kalau
murid-muridnya jahat guru-gurunya tentu lebih jahat lagi! Kalian telah mengajarkan orang-orang yang
masih sehat dan kuat untuk mengemis, bahkan untuk bersikap kurang ajar. Kalau kalian mengajar orangorang
untuk mengemis, tentu kalian sendiri juga pengemis-pengemis besar!"
"Hemm, engkau memiliki mata akan tetapi seperti buta. Kami adalah Ngo-liong Sin-kai (Pengemis Sakti
Lima Naga), tentu saja pekerjaan kami mengemis. Para murid kami tadi juga adalah anggauta-anggauta
Tiat-tung Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Tongkat Besi). Engkau berani mati hendak menentang Tiattung
Kai-pang?"
"Orang masih sehat dan kuat mengemis, akhirnya tentu menjadi perampok. Kalau tidak diberi sedekah,
tentu akan mengandalkan kekuatannya untuk memaksa. Kalian ini orang-orang jahat, pergilah sebelum
kuhajar seperti tiga orang pengemis busuk tadi!"
"Bocah ingusan sombong! Makan tongkatku!" bentak pengemis setengah tua yang bertubuh kecil kurus
itu. Biarpun dia nampak kecil kurus, akan tetapi ketika tongkat besinya menyambar, terdengar angin
pukulan dahsyat sehingga Kiok Lan harus cepat melompat ke belakang untuk menghindarkan diri. Ia
tahu bahwa lawannya ini lihai, akan tetapi Kiok Lan adalah seorang gadis yang tak pernah mengenal
takut. Bahkan ia marah sekali dan begitu pukulan tongkat lawan itu luput, iapun langsung membalas
dengan serangan pedangnya. Ia telah mencabut pedangnya. Dengan pedang di tangan kanan dan busur
di tangan kiri, gadis itu bukan hanya membalas dengan serangan satu kali, melainkan secara bertubi-tubi
dan iapun mendesak lawan dengan penuh kemarahan. Akan tetapi pada saat itu, empat-arang pengemis
lainnya sudah menerjang dengan tongkat mereka dan ternyata setelah mereka maju berlima, gerakan
tongkat mereka menjadi lain. Mereka bergerak bagaikan barisan tongkat saling tunjang dan saling
melindungi sehingga dikeroyok barisan tongkat ini, Kiok Lan menjadi bingung dan terdesak. Sebetulnya,
tingkat kepandaian lima orang itu, kalau maju seorang demi seorang, masih belum mampu menandingi
Kiok Lan. Akan tetapi begitu maju bersama, apalagi mereka memiliki ilmu barisan tongkat yang amat
lihai, Kiok Lan menjadi kewalahan dan nyawanya terancam bahaya maut. Ia kini hanya, mampu
memutar pedang dan gendewanya untuk melindungi diri, namun kalau hal seperti itu dilanjutkan,
akhirnya ia tentu akan terpukul roboh.
Pada saat keadaan Kiok Lan amat gawat itu, tiba-tiba terdengar suara suling melengking yang semakin
lama semakin dekat. Dan tiba-tiba saja, terdengar bentakan setelah suara suling berhenti.
"Lima orang laki-laki mengeroyok seorang, gadis remaja! Sungguh tak tahu malu!"
Lima orang pengemis itu melihat munculnya seorang pemuda yang berusia dua puluh lima tahun,
bertubuh sedang dan gerak-geriknya halus dengan pakaian sasterawan yang indah dan mewah, seorang
pemuda tampan pesolek yang memegang sebatang suling yang panjangnya seperti pedang, dan suling
itu berkilauan putih seperti terbuat dari perak.
"Nona, mundurlah, biar aku yang menghajar orang-orang kotor itu!" kata si pemuda.
Kiok Lan yang sudah kewalahan dan napasnya terengah-engah, menggunakan kesempatan selagi lima
orang itu memandang si pemuda, melompat ke belakang dan iapun berdiri memandang dengan kagum.
Sikap pemuda itu yang mengagumkan hatinya, begitu tenang begitu penuh kepercayaan kepada diri
sendiri dan berani memandang rendah lima orang jagoan pengemis yang lihai itu.
"Keparat, jangan mencampuri urusan Tiat-tung Kai-pang!" bentak seorang pengemis, dan empat orang
kawannya sudah bergerak mengepung pemuda yang memegang suling itu. Melihat ini, diam-diam Kiok
Lan merasa khawatir. Jangan-jangan pemuda ini akan menjadi korban, pikirnya, ia merasa tidak enak.
Pemuda ini hendak menolongnya, akan tetapi ia meragukan apakah pemuda yang tampan halus ini akan
mampu mengalahkan Ngo-liong Sin-kai yang demikian lihai. Akan tetapi, kalau ia turun tangan
membantu, ia merasa tidak enak pula kepada penolongnya, seolah ia memandang rendah. Biarlah,
pikirnya, ia akan melihat perkembangannya dan kalau penolongnya itu terdesak dan terancam, baru ia
akan turun tangan membantunya.
Kini lima orang pengepung itu mulai menggerakkan tongkat besi mereka, mengeroyok dan menyerang
secara bertubi, Pemuda itu masih nampak tenang saja, dan tiba-tiba nampak gulungan sinar perak
berkilauan ketika dia menggerakkan sulingnya. Lenyaplah tubuh pemuda itu terbungkus gulungan sinar
senjatanya dan terdengar bunyi berdencingan ketika lima batang tongkat besi itu disambar sinar suling,
disusul serangan aneh yang membuat lima orang pengeroyok itu berturut-turut terjengkang ke
belakang! Kiok Lan sampai terbelalak saking heran dan kagumnya. Ternyata pemuda itu seorang
pendekar sakti yang amat hebat ilmu kepandaiannya!
Ketika lima orang tokoh pengemis itu merangkak bangun, seorang di antara mereka berseru cemas,
“Tok-siauw-kwi (Setan Suling Beracun)!”
Pemuda itu tersenyum mengejek, "Untuk membuktikan bahwa dugaan kalian itu benar, dalam waktu
setengah hari, kalian akan mati keracunan.”
Lima orang itu terkejut dan memeriksa tubuh masing-masing! Ada yang tadi terkena pukulan suling
pada lengannya dan di situ nampak noda menghitam sebesar ibu jari tangan, kalau disentuh nyeri bukan
main dan terasa panas di bagian dalamnya. Demikian pula dengan yang lain. Di bagian yang tadi
terpukul ujung suling, terdapat tanda menghitam itu. Keracunan! Tanpa mengenal malu lagi, mereka
lalu melempar tongkat besi dan menjatuhkan diri berlutut, berjajar menghadap pemuda itu.
"Kongcu, kami mohon kongcu sudi mengampuni nyawa kami ... " mereka meratap ketakutan.
Pemuda itu bukan lain adalah Suma Hok yang berjuluk Tok-siauw-kwi. Setelah menyanggupi syarat yang
diajukan Bu-eng-kiam Ouwyang Sek ketika dia dan ayahnya datang melamar Hui Hong, dia lalu pergi
untuk mencari gadis yang membuatnya tergila-gila itu. Juga dia akan menyelidiki tentang Akar Bunga
Gurun Pasir yang menjadi satu di antara syarat yang diajukan Ouwyang Sek. Ketika dia kebetulan lewat
di tempat itu, dia melihat Kiok Lan yang dikeroyok lima orang tokoh kai-pang itu.
Melihat betapa lima orang itu berlutut dan meratap minta ampun, Suma Hok tersenyum mengejek,
"Yang kajian ganggu adalah nona ini, maka kepadanyalah kalian harus mohon ampun." Suma Hok adalah
seorang mata keranjang yang selalu haus akan wanita cantik. Begitu melihat Kiok Lan dikeroyok tadi,
yang mendorong dia turun tangan menolong dan menentang lima orang pengemis adalah karena dia
melihat betapa cantik manisnya gadis yang dikeroyok itu. Andaikata gadis itu berwajah buruk, belum
tentu dia akan suka membantu perkelahian yang tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya.
Kini lima orang pengemis itu memberi hormat dan berlutut menghadap Kiok Lan. "Nona, ampunkanlah
kami ... ampunkanlah kami ... " mereka meratap.
Kiok Lan adalah seorang gadis yang lincah dan galak, juga keras, akan tetapi dara ini sama sekali tidak
memiliki hati yang kejam. Memang lima orang ini bersalah karena membela murid-murid mereka yang
kurang ajar terhadap dirinya. Akan tetapi kesalahan itu tidaklah sedemikian besarnya sehingga mereka
perlu dihukum mati! Maka, iapun berkata kepada Suma Hok.
"Tai-hiap (pendekar besar), ampunilah mereka, tidak perlu dibunuh. Mereka tentu sudah bertaubat dan
tidak akan berani sewenang-wenang lagi. Harap kau suka memberi obat penawarnya."
Suma Hok tersenyum, lalu merogoh saku bajunya, mengambil lima butir pel dari bungkusan. "Angkat
muka kalian dan buka mulut kalian!" katanya kepada lima orang pimpinan pengemis itu.
Lima orang itu mentaati perintah ini dan lima kali Suma Hok menggerakkan tangan dan setiap orang
menerima sebutir pel yang meluncur masuk ke dalam mulut. Mereka menelan pil itu dengan hati
merasa lega dan girang sekali. Suma Hok lalu menggerakkan kakinya, menendangi mereka berlima,
tepat di tempat yang terluka sambil berkata, "Sekarang, pergilah kalian!"
Lima orang itu terguling-guling, akan tetapi mereka merasa girang sekali karena tendangan itu agaknya
merupakan cara pengobatan pula. Mereka menjura dengan hormat ke arah Suma Hok, kemudian pergi
melarikan diri dari tempat itu, diiringi suara tawa Suma Hok.
Dengan girang dan kagum sekali Kiok Lan kini berhadapan dengan Suma Hok. Sejenak mereka saling
pandang dan saling mengamati, kemudian Kiok Lan bertanya, "Siapakah engkau yang begini lihai?
Benarkah bahwa julukanmu adalah Tok-siauw-kwi?"
Suma Hok mengangguk dan tersenyum, "Saya yang bodoh bernama Suma Hok dan memang orang di
dunia kang-ouw memberi julukan Tok-siauw kwi kepadaku. Kalau boleh aku mengetahui, siapakah nama
nona yang mulia?"
Sikap dan ucapan Suma Hok amat manis dan merendah-Memang pemuda ini terkenal sebagai seorang
pemuda yang pandai merayu dan mengambil hati wanita cantik, sikapnya lemah lembut.
Kiok Lan terbelalak kagum. "Aihh. kalau begitu, tentu engkau putera dari Kui-siauw Giam-ong Suma
Koan, bukan?"
Diam-diam Suma Hok heran. Gadis ini mengenal nama besar ayahnya! Kalau begitu bukan gadis
semharangan pula. "Bagaimana engkau dapat menduga sedemikian tepat, nona? Bolehkah aku
mengetahui siapa namamu dan mengapa pula nona berada di sini dikeroyok lima orang jembel busuk
tadi?"
"Namaku Kiok Lan, dan kakakku pernah menerima ayahmu sebagai tamunya! Pernah kakakku
menceritakan hal itu kepadaku dan mengatakan bahwa ayahmu adalah seorang di antara para datuk
persilatan yang amat sakti. Siapa kira, hari ini aku bertemu dengan puteranya. Suma Taihiap, kalau
begitu, marilah ikut denganku agar engkau dapat bertemu dengan kakakku. Dia tentu akan senang sekali
bertemu putera Suma lo-cian pwe (orang tua gagah Suma)! Marilah, taihiap!”
“Siapakah kakakmu itu, nona!”
Akan tetapi gadis itu sudah memegang tangannya dan menariknya pergi dari situ. "Kuberitahu juga
engkau tidak akan tahu. Namanya Siauw Tek. Nah, engkau tidak mengenal nama itu, bukan? Marilah.
Kakakku adalah seorang yang suka sekali berkenalan dengan orang pandai, dan dapat menghargainya.
Mari kita menghadap kakakku!"
Suma Hok tersenyum dan timbul keinginan tahunya, siapa dan orang macam apa adanya kakak dari
gadis cantik jelita ini. Dia pun lalu mengikuti saja ketika gadis itu mengajaknya keluar dari dalam hutan
dan mendaki sebuah bukit yang subur dan kehijauan. Akhirnya, gadis itu mengajaknya ke sebuah rumah
terpencil yang berada di lereng bukit itu. Rumah besar yang sederhana, akan tetapi ketika gadis itu
mengajaknya masuk ke dalam ruangan tamu, dia tercengang keheranan. perabot ruangan itu seperti
peabot ruangan rumah seorang bangsawan tinggi! Kiok lan menyuruh dia menunggu di situ.
"Aku akan memberitahu kakakku. Akan tetapi mungkin sekarang dia sedang makan siang. Kau tunggulah
di sini, taihiap, dan nikmatilah sekedar hidangan yarg, akan dikeluarkan pelayan nanti." Iapun memasuki
rumah itu dan Suma Hok menjadi semakin heran dan ingin tahu sekali. Dia menanti dengan sabar sambil
minum anggur sedap yang disuguhkan seorang pelayan.
Demikianlah. Kiok Lan menceritakan pengalamannya kepada Siauw Tek. Pouw Cin dan Bun Houw juga
ikut mendengarkan kisah yang diceritakan secara menarik sekali oleh gadis yang pandai bicara dan
lincah itu. Di dalam hatinya Bun Houw tentu saja kaget bukan main mendengar nama Suma Hok, akan
tetapi dia menahan perasaannya dan tidak memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya.
"Tok-siauw-kui Suma Hok?" kata Pouw Cin setelah mendengar penuturan Kiok Lan. Ketika terjadi
perebutan Akar Bunga Gurun Pasir dan saya memimpin rombongan untuk merampasnya, saya melihat
pula ayah dan putera Suma itu ikut pula berlumba untuk mendapatkan mustika itu. Kongcu."
Siauw Tek mengangguk-angguk, "Akupun masih ingat kepada datuk besar Suma Koan dan puteranya itu.
Sekarang puteranya telah berada di sini, kalau dia dapat bekerja sama dengan kita, alangkah baiknya,
Paman Pouw. Mari kita ke ruangan tamu menyambutnya, dan sebaiknya engkau ikut pula, Kwa-toako.
Ketahuilah bahwa keluarga Suma merupakan keluarga datuk besar yang lihai sekali ilmunya."
“Koko, kalau Kwa-enghiong ini demikian hebat kepandaiannya dan merupakan ahli silat yang dapat
menandingi Paman Pouw, tentu akan menarik sekali kalau dia bertemu dengan pendekar Suma Hok!"
Mendengar ini, Bun Houw tersenyum saja dan diapun merasa tegang hatinya karena tidak dapat
membayangkan bagaimana nanti sikap Suma Hok kalau berhadapan muka dengan dia! Baru beberapa
bulan yang lalu dia bertemu dengan Suma Hok di rumah Bu-eng-kiam Ouwyang Sek. ketika mereka
berdua mempunyai maksud yang sama, yaitu meminang Hui Hong! Dalam pertemuan itu, dia bahkan
sempat bertanding dan mematahkan suling Suma Hok.
Suma Hok yang duduk seorang diri minum arak di ruangan tamu yang indah itu, segera bangkit berdiri
ketika mendengar langkah kaki beberapa orang menuju ke ruangan itu. Dia tersenyum ketika melihat
Kiok Lan menggandeng tangan seorang laki-laki yang usianya kurang lebih dua puluh tahun, tampan
anggun dan berwibawa. Kemudian dia melihat Pouw Cin dan terkejut karena mengenal laki-laki
setengah tua itu sebagai seorang bekas panglima kerajaan Liu-sung yang telah jatuh, panglima yang
terkenal karena dahulu pernah memimpin rombongan utusun kerajaan Liu-sung untuk ikut berlumba
memperebutkan mustika Akar Bunga Gurun Pasir! Kemudian, wajahnya berobah kemerahan dan
matanya terbelalak ketika dia melihat orang yang muncul paling akhir. Hatinya saja yang berteriak kaget.
"Kwa Bun Houw ...!" akan tetapi mulutnya diam saja dan diapun kembali memandang kepada pemuda
yang digandeng Kiok Lan itu.
"Suma-taihiap, inilah kakakku," kata gadis itu.
Andaikata di situ tidak hadir Pouw Cin agaknya Suma Hok tidak akan mengenal pemuda kakak Kiok Lan
itu. Akan tetapi, kehadiran Pouw Cin mengingatkan dia akan sesuatu dan ketika dia memandang wajah
pemuda itu penuh perhatian, tiba-tiba dia teringat dan diapun segera menjatuhkan diri berlutut
menghadap pemuda itu.
"Sribaginda, mohon ampun karena hamba tidak tahu bahwa hamba akan menghadap paduka di sini ... "
Mendengar ucapan ini dan melihat sikap Suma Hok, Bun Houw sendiripun terkejut bukan main. Dia
belum pernah bertemu dengan Kaisar Cang Bu yang nama kecilnya Liu Tek dari kerajaan Liu-sung yang
telah jatuh, maka dia sama sekali tidak mengenalnya. Tentu saja dia terkejut ketika melihat sikap Suma
Hok, dan baru sekarang dia mengerti akan sikap pemuda yang mengaku bernama Siauw Tek itu.
Melihat sikap Suma Hok, wajah pemuda itu berseri akan tetapi hanya sebentar saja. Dia menghela
napas, melangkah maju dan memegang kedua pundak Suma Hok, menariknya agar bangun berdiri.
"Cukup, Suma-toako, jangan bersikap begitu. Saat ini, aku bukanlah kaisar dan tidak perlu engkau
bersikap begitu. Aku adalah seorang pemuda bernama Siauw Tek, dan engkau boleh menyebutku
Kongcu saja. Nah, duduklah, dan engkau juga, Kwa-toako!"
Mereka semua duduk mengelilingi meja besar dan sesaat pandang mata Bun Houw bertemu dengan
pandang mata Suma Hok. Kalau pandang mata Suma Hok nampak gelisah, Bun Houw bersikap tenang
saja. Tentu saja hati Suma Hok merasa gelisah. Pertama karena dia tahu benar betapa Bun Houw kini
telah menjadi seorang yang amat lihai, bahkan sedemikian lihainya sehingga pemuda itu mampu
mengalahkan Ouwyang Sek, juga mampu menandiugi ayahnya! Dan yang lebih menggelisahkan adalah
bahwa pemuda saingannya itu adalah murid Tiauw Sun Ong, seorang bekas pangeran yang tentu saja
masih ada hubungan keluarga dengan bekas Kaisar Cang Bu yang kini menjadi pemuda bernama Siauw
Tek itu. Tentu saja Suma Hok sama sekali tidak menduga bahwa saingannya itu bahkan sama sekali
belum tahu bahwa Siauw Tek adalah bekas Kaisar Cang Bu! Dan baru sekarang Bun Houw
mengetahuinya.
"Kwa-toako, engkau tidak kelihatan heran mendengar bahwa aku adalah bekas Kaisar kerajaan Liu-sung.
Apakah engkau sudah dapat menduga sebelumnya?" bekas kaisar itu bertanya kepada Bun Houw.
Bun Houw menggeleng kepala. "Tidak sama sekali, Kongcu. Baru sekarang aku mengetahui. Baru
sekarang aku tahu bahwa Kongcu adalah seorang bekas kaisar, dan tentu nona ini seorang puteri dan
Paman Pouw seorang bekas panglima."
Kini Suma Hok juga kelihatan heran, juga dia merasa lega. Setidaknya, kini dia menjadi jelas bahwa tidak
terdapat hubungan yang erat antara Bun Houw dan bekas kaisar itu yang dapat membahayakan dia.
Kembali dua orang pemuda yang bersaingan itu saling pandang tanpa mengeluarkan sepatah katapun.
"Apakah kalian berdua sudah saling mengenai?" tiba-tiba Kiok Lan bertanya dengan suara riang.
Bun Houw mengangguk. ‘Saya sudah mendapat kehormatan beberapa kali bertemu dengan saudara
Suma Hok," dalam suaranya, tidak terkandung sesuatu.
Suma Hok adalah seorang pemuda yang cerdik. Kalau tadi dia banyak berdiam diri adalah karena dia
khawatir kalau-kalau Bun Houw mempunyai hubungan dekat dengan tuan rumah. Sekarang, setelah dia
mengerti bahwa Bun Houw agaknya juga hanya seorang tamu baru, bahkan agaknya baru mengenal
Kiok Lan sekarang, hatinya merasa lega dan dia cepat dapat membawa diri. Dia bangkit berdiri dan
memberi hormat kepada Bun Houw.
“Ah, sungguh merupakan kejutan yang menggembirakan bahwa di sini aku dapat bertemu denganmu,
saudara Kwa Bun Houw! Saking kagetku, sampai beberapa lamanya aku kehilangan suara! Memang
benar apa yang telah dikatakan saudara Kwa Bun Houw tadi, kami memang pernah beberapa kali
bertemu, akan tetapi kami mempunyai jalan masing-masing. Eh, hampir aku lupa, Saudara Kwa Bun
Houw, sudah terlalu lama aku menyimpan benda yang pernah kautitipkan kepadaku harap kau suka
menerimanya kembali sekarang!" Dia mengambil sesuatu dari balik jubahnya dan ketika dia
menyerahkan benda itu kepada Bun Houw, diam-diam Bun Houw tersenyum geli dan juga kagum akan
kecerdikan orang ini. Yang dikeluarkan dan diserahkan kepadanya adalah pundi-pundi uang, bekalnya
dalam kantung pemberian gurunya tempo hari yang pernah dirampas oleh Suma Hok! Ternyata pundipundi
itu masih utuh!
Karena diapun tidak ingin melibatkan urusan pribadinya dengan keluarga bekas kaisar ini, maka diapun
menerima pundi-pundi itu dan berkata, "Terima kasih, saudara Suma Hok." dan menyimpan pundi-pundi
itu ke balik bajunya.
Biarpun kedua orang pemuda itu bersikap ramah dan saling merendah, namun sesuatu yang dirasakan
tidak wajar tertangkap oleh Kiok Lan yang memang amat cerdik dan berpemandangan tajam. Ia
memandang berganti-ganti kepada dua orang pemuda itu seperti hendak menembus dan menjenguk isi
hati mereka dengan mulut tersenyum penuh arti sehingga Suma Hok dan Bun Houw yang bertemu
pandang dengannya, terpaksa menundukkan mata. Tiba-tiba gadis itu berkata dengan suara nyaring,
mengejutkan hati kedua orang pemuda itu.
"Koko, bagaimana kalau kedua orang jago kita ini kita adukan? Aku berani bertaruh bahwa jagoku,
Suma-taihiap, akan menang melawan jagomu, yaitu Kwa-enghiong itu."
"Ah. jangan bicara yang bukan-bukan, siauw moi!" Siauw Tek berseru, kaget juga dengan gagasan
adiknya ini, walaupun hal itu sebenarnya menarik baginya. Akan tetap, dia tidak, ingin kehilangan kedua
orang ini ingin menarik mereka untuk bekerja dengan dia, memperkuat posisinya. Sebaiknya, bersama
Paman Pouw, engkau mengantarkan dua orang tamu kita untuk melihat-lihat kekuatan kita. Malam
nanti baru aku ingin bicara dan berbincang-bincang dengan mereka."
Bun Houw merasa tidak enak. "Maaf Kongcu. Aku tidak dapat tinggal lebih lama.”
"Kwa-twako! Kami mengharap dengan hormat dan sangat agar engkau suka tinggal beberapa hari di
sini, setidaknya malam ini engkau bermalam di rumah kami!" kata Siauw Tek dengan suara mengharap.
"Aih, kenapa Kwa-enghiong mau tergesa-gesa pergi saja setelah aku pulang? Apakah engkau tidak suka
dengan kehadiranku? Kalai begitu, aku akan menjauhkan diri darirnu ...
"Ah, sama sekali tidak, nona." Bun Houy cepat-cepat berseru, tidak tahu bahwa dia kena diakali oleh
gadis itu yang sengaja mengeluarkan ucapan itu untuk membuat dia menjadi serba salah dan tidak
dapat menolak lagi.
"Kalau begitu, tidak ada halangannya bagimu untuk bermalam di sini, toako." Siauw Tek mendesak pula.
"Kami ingin memperlihatkan keadaan kami padamu."
"Tapi, aku sudah memesan sebuah kamar di penginapan, di sudut kota, pakaianku juga masih
kutinggalkan di sana dan ... "
"Ah. jangan khawatir Kwa-enghiong. Kami akan menyuruh orang mengambilnya dan semua akan beres!"
kata Pouw Cin. "Marilah, Siocia, kita mengajak kedua orang tamu dan sahabat kita untuk melihat-lihat
keadaan dan kedudukan kita."
Terpaksa Bun Houw tak dapat menolak lagi. Bagaimanapun juga. dia memang ingin mengetahui apa
yarg sedang dilakukan oleb bekas kaisar itu, dan apa pula niatnya maka berkeras menahannya. Dan
gadis bekas puteri itu demikian cantik dan lincah, mengingatkan dia kepada Hui Hong! Banyak
persamaan antara kedua orang radis itu, keduanya berdarah bangsawan pula dan mengingat bahwa Hui
Hong adalah puteri kandung gurunya, seorang bekas pangeran kerajaan Liu-sung pula, maka tidak akan
mengherankan kalau di antara kedua orang gadis itu masih ada hubungan darah atau keluarga. Selain
itu, keadaan bekas kaisar ini amat menarik dan tentu akan merupakan, berita yang amat penting bagi
gurunya.
Mereka berempat menunggang kuda mendaki bukit-bukit di sepanjang Sungai Yang-ce dan dari puncak
bukit, Pouw Cin menunjuk ke arah bangunan seperti benteng. Ada empat tempat seperti itu dan Pouw
Cin menerangkan bahwa di setiap benteng terdapat pasukan yang tidak kurang dari seribu orang
jumlahnya! Pimpinan pasukan terdiri dari orang-orang kang-ouw yang pandai ilmu silat dan ilmu perang.
Kongcu masih terus menarik dan mengumpulkan orang-orang gagah untuk memperkuat pasukan kami
itu." demikian Pouw Cin memberi keterangan. Dua orang pemuda itu diam-diam terkejut. Tak mereka
sangka bahwa bekas kaisar yang muda itu dapat menyusun kekuatan seperti itu.
"Akan tetapi, untuk apa menyusun pasukan di perbentengan itu?" Bun Houw bertanya, walaupun di
dalam hatinya dia dapat menduga bahwa bekas kaisar itu tentu mengusahakan pemberontakan untuk
merampas kembali tahta kerajaan yang sudah lepas dari tangannya. Dia hendak membangun kembali
kerajaan Liu-sung yang telah jatuh, untuk menundukkan kerajaan baru Chi yang berkuasa.
"Nanti Kongcu akan memberi penjelasan serdiri kepada ji wi (kalian berdua) kalau kita sudah kembali ke
sana," Pouw Cin menjawab dengan singkat. Jelas bahwa dia tidak berani dan merasa tidak berwenang
untuk bicara tentang cita-cita bekas kaisar kerajaan Liu-sung itu.
Dalam perjalanan kembali ke tempat tinggal Siauw Tek, Suma Hok telah mengambil keputusan. Inilah
jalan yang amat luas baginya, kesempatan untuk mencapai apa yang dia inginkan. Kalau dia dapat
menjadi pembantu yang dipercaya oleh bekas kaisar itu, banyak sekali keuntungan yang akan
diperolehnya. Sebelum bekas kaisar itu berhasil dengan cita-citanya, dia tentu telah mendapatkan
kekuasaan atas pasukan, kalau dia menjadi pembantu utama. Apalagi kalau sampai bekas kaisar itu
berhasil dalam perjuangannya merampas kembali singgasana. Tentu dia akan menjadi seorang pejabat
tinggi, mungkin menteri, atau setidaknya panglima besar. Dia akan memegang, kekuasaan begitu
diterima menjadi pembantu bekas kaisar itu. Keuntungan ke dua, dia dapat berdekatan dengan Pouw
Kiok Lan, gadis bekas puteri istana yang cantik jelita itu. Kalau dia dapat memperisterinya, berarti dia
menjadi adik ipar bekas kaisar, ataukah calon kaisar baru? Puteri ini akan dikawini demi memperoleh
pangkat dan kekuasaan, sedangkan cintanya terhadap Hui Hong tidak akan berubah, bahkan
pernikahannya dengan Hui Hong semakin banyak harapan terlaksana. Dengan adanya pasukan, tentu
tidak sukar untuk mendapatkan Akar Bunga Gurun Pasir, dan dia-pun nanti dapat minta keterangan
Pouw Cin di mana akar itu sekarang. Diapun dapat menyebar anak buah pasukan itu untuk mencari Hui
Hong sampai dapat!
Sungguh berbeda sekali isi hati Suma Hok dengan isi hati Bun Houw. Dia tahu bahwa jatuhnya kerajaan
Liu-sung yang kemudian diganti kerajaan Chi merupakan perang saudara. Kini, bekas kaisar Liu-sung
yang kalah itu menyusun kekuatan. Perang saudara akan berlarut-larut, menimbulkan banyak korban di
antara anak buah pasukan dan rakyat. Dia tidak mau terlibat perang saudara, tidak ingin menjadi satu di
antara boneka-boneka yang disuruh saling bunuh demi kepentingan anggauta keluarga yang saling
berebutan kekuasaan itu. Apalagi, gurunya berkata bahwa penggantian kaisar yang terjadi itu bahkan
baik, karena menurut gurunya. Kaisar Cang Bu yang telah jatuh itu bukanlah kaisar yang cakap dan
bijaksana, terlalu muda dan mudah terpengaruh oleh menteri-menteri yang palsu dan korup. Juga
gurunya berkata bahwa penggantian kaisar itu bahkan lebih baik. Kalau kini dia melibatkan diri dalam
usaha perjuangan atau pemberontakan bekas kaisar itu, berarti dia ikut saling bunuh dengan saudara
sebangsa, demi kepentingan kaisar yang udah jatuh itu. Selain itu, menurut pendapatnya, usaha yang
lebih merupakan pembatasan atau perebutan kekuasaan yang diadakan bekas kaisar ini, tidak akan
berhasil. Apa artinya beberapa ribu orang pasukan dibandingkan dengan balatentara kerajaan Chi yang
tentu amat besar jumlahnya? Selain itu, perjuangan menentang kekuasaan yang ada baru akan berhasil
kalau dibantu oleh rakyat, dan rakyat baru akan mau membantu kalau kekuasaan itu dirasakan
menindas dan jahat bagi rakyat. Tanpa bantuan rakyat, usaha perjuangan tak mungkin berhasil. Dan Bun
Houw tidak melihat adanya dukungan rakyat jelata terhadap gerakan Siauw Tek ini, bahkan rakyat tidak
mengetahuinya karena gerakan itu dilakukan secara rahasia.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru