Selasa, 23 Januari 2018

Cersil Pendekar Remaja 5

baca juga:
----
Cersil Pendekar Remaja 5
Untuk menyenangkan hati Lo Sian yang telah menolong jiwanya dan telah melepas budi besar, Lili lalu
menyuruh pelayan membeli arak terbaik dari Hang-ciu sehingga Lo Sian merasa girang bukan main.
Dengan ditemani oleh Lili, sering kali ia minum arak di loteng belakang sambil menikmati keindahan taman
bunga yang dirawatnya dan yang berada di bawah loteng itu.
Pada malam hari itu, Lo Sian nampak masih duduk di atas loteng pada bagian belakang rumah, minum
arak seorang diri. Baru saja datang seguci besar arak wangi yang dibeli oleh Lili dan gadis itu bahkan
membuat kue yang diberikan kepada suhu-nya. Pengemis Sakti ini makan minum seorang diri sambil
bernyanyi-nyanyi.
Ketika Lili yang berada di bagian bawah mendengar suara nyanyian suhu-nya, ia merasa heran. Suara
pengemis Sakti itu tidak seperti biasanya, kini terdengar bernada sedih. Dia segera naik ke atas loteng dan
melihat betapa bekas suhu-nya itu minum arak langsung dari guci dan kaki kirinya ditumpangkan di atas
meja!
“Pek-pek, kau kenapakah?” tanya Lili sambil menghampiri kakek itu.
Lo Sian menunda minumnya dan pada saat dia menengok kepada Lili, gadis ini terkejut melihat pipi Lo
Sian telah basah dengan air mata!
“Pek-pek, mengapa kau bersedih?”
Lo Sian terpaksa tersenyum ketika ia memandang wajah Lili. Alangkah sukanya ia pada gadis ini, seperti
kepada puterinya sendiri.
“Tidak, Lili, aku tidak merasa bersedih. Dengan kau dan orang tuamu yang mulia berada di dekatku,
bagaimana aku dapaf bersedih? Hanya aku menyesal sekali, Lili, menyesal bahwa sekarang aku sudah
menjadi seorang yang begini tiada guna! Aku hanya menjadi pengganggu orang tuamu, aku telah banyak
mengecewakan kau dan orang tuamu sebab tidak mampu mengingat-ingat hal yang telah terjadi. Terutama
sekali aku tak dapat ingat lagi di mana dan bagaimana Lie Kong Sian Taihiap meninggal dunia! Ahh, aku
menjadi sebuah boneka hidup!”
“Pek-pek, kenapa hal begitu saja dibuat menyesal? Kau tak berdaya dan bukan salahmu kalau kau
kehilangan ingatanmu. Lebih baik menghibur hati, agar tubuhmu menjadi sehat dan siapa tahu kalau
kesehatanmu akan dapat memulihkan ingatanmu. Dengan banyak berpikir serta banyak pusing, kurasa
tidak akan mendatangkan manfaat bagi ingatanmu, Pek-pek.”
“Kau betul, Lili. Kau selalu benar, sungguh aneh seorang gadis muda seperti kau dapat mengeluarkan
ucapan yang begini bijaksana. Pantas benar kau menjadi puteri Pendekar Bodoh...”
Lili tidak menjawab, hanya tersenyum sambil menghampiri meja dan menyalakan lilin di atas meja yang
belum dipasang oleh Lo Sian. Melihat kue-kue di atas piring belum ada yang termakan oleh Lo Sian, Lili
bertanya,
“Ehh, kenapa kue-kue ini belum kau makan, Pek-pek?”
“Nanti dulu, aku lebih senang minum arak yang wangi dan enak ini! Kau sungguh pandai memilih arak yang
baik!” Setelah berkata demikian, Lo Sian lalu mengangkat guci besar itu dengan kedua tangannya,
menuangkan isinya yang masih setengah itu langsung ke mulutnya dengan sikap seperti tadi, yaitu kaki kiri
di atas meja!
Lili hanya berdiri di belakang Pengemis Sakti itu sambil tersenyum geli, karena dia dapat menduga bahwa
Lo Sian tentu sudah setengah mabuk. Akan tetapi pada saat itu pula, Lili terkejut sekali melihat
berkelebatnya sesosok bayangan hitam yang melayang turun laksana seekor burung besar dari atas
wuwungan! Bayangan itu gerakannya gesit sekali dan melihat betapa ia melayang dengan dua lengan
dikembangkan, dapat diduga bahwa dia memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Lo Sian yang sedang enak minum arak, tidak melihat berkelebatnya bayangan itu, akan tetapi Lili yang
dunia-kangouw.blogspot.com
bermata tajam tentu saja dapat melihatnya. Dengan amat kuatir, gadis ini lalu meninggalkan Lo Sian,
berlari turun ke bawah melalui anak tangga untuk mencegat bayangan tadi di bawah. Lo Sian masih saja
minum arak, kakek ini tidak heran melihat Lili berlari-larian karena hal ini sudah menjadi kebiasaan gadis
jenaka ini
Ketika tiba di bawah, Lili tidak melihat bayangan orang. Cepat-cepat dia melompat keluar dan mengelilingi
rumahnya. Bayangan tadi dilihatnya melompat ke bawah ke arah depan rumah, akan tetapi mengapa
sekarang tidak nampak lagi? Apakah dia salah lihat? Tidak mungkin, pikirnya, dan dengan penasaran
sekali ia kemudian menyelidiki seluruh pinggir rumahnya.
Ketika tidak menemukan sesuatu, dia cepat masuk lagi ke dalam rumah dan tiba-tiba dia teringat bahwa
ayah bundanya mempunyai banyak musuh. Cepat dia menuju ke kamar ayah dan ibunya yang berada di
sebelah dalam. Kagetlah ia ketika melihat bahwa kamar ayah bundanya ternyata telah dimasuki orang,
karena pintu kamar yang tadinya terkunci kini sudah dibuka dengan paksa!
Cepat dia ke dalam dan di situ kosong saja. Hanya sebuah lemari kayu, tempat pakaian ayah bundanya
telah dibongkar orang secara paksa dan sekarang terbuka dengan isinya berantakan ke bawah. Ia merasa
heran, karena pakaian itu masih utuh, tidak ada yang hilang, demikian pula tempat uang tidak diganggu.
Siapakah bayangan tadi dan apa maksudnya membongkar lemari dan memasuki kamar ayah bundanya?
Dia cepat mengejar lagi keluar dari kamar. Lili marah sekali dan ingin ia menangkap maling itu. Kini dia
berlari menuju ke belakang.
Makin marah dan gemas hatinya melihat tiga orang pelayan rumahnya, seorang pelayan laki-laki dan dua
orang pelayan wanita sudah berada dalam keadaan tertotok di ruangan belakang. Ketika dia menghampiri
mereka untuk membebaskan mereka dari totokan, dia mendapat kenyataan yang mengejutkan hatinya
pada waktu melihat bahwa ketiga orang pelayan ini terkena totokan yang sama dengan ilmu totok yang
dipelajarinya sendiri yakni ilmu totok dari Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na!
Tiba-tiba teringatlah dia akan sesuatu dan mukanya menjadi merah padam. Siapa lagi kalau bukan
pemuda kurang ajar yang telah merampas sepatunya dulu? Pemuda yang mengaku putera Ang I Niocu?
Hanya pemuda itu saja yang pandai Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na!
Kalau memang betul bayangan orang yang menjadi maling ini ternyata adalah pemuda putera Ang I Niocu
yang belum diketahui namanya itu, kenapa ia datang seperti seorang maling? Tak mungkin putera Ang I
Niocu melakukan hal ini!
Tiba-tiba ia teringat kepada Lo Sian yang berada di atas loteng dan wajahnya menjadi pucat ketika dia
teringat betapa dahulu di rumah Thian Kek Hwesio, pemuda itu pernah menyerang Lo Sian karena marah
mendengar Pengemis Sakti itu menyatakan bahwa Lie Kong Sian telah mati!
Dia cepat berlari-lari melalui anak tangga menuju ke loteng dan alangkah kagetnya ketika ia melihat guci
arak yang tadi diminum oleh Lo Sian, kini telah menggeletak di atas lantai dan isinya mengalir keluar. Lo
Sian sendiri tidak kelihatan pergi ke mana!
Lili menjadi bingung. Dia mencari ke sana ke mari, akan tetapi biar pun dia memanggil-manggil, tetap saja
ia tidak dapat menemukan Lo Sian. Hati gadis ini marah bukan main. Segera diambilnya Pedang Liongcoan-
kiam dan kipasnya, kemudian dengan amat cepat dia lalu melompat keluar rumah dan mencari di
sekitar rumah itu.
Tiba-tiba dia melihat bayangan dua orang sedang bertempur dengan hebatnya. Karena malam itu sangat
gelap, Lili hanya dapat melihat bahwa yang bertempur itu adalah dua orang laki-laki yang masih muda.
“Bangsat rendah, berani sekali kalian mengganggu rumahku!” berseru Lili dengan marah sekali.
Dia tidak tahu yang mana di antara kedua orang ini yang tadi datang ke rumahnya, akan tetapi dia lalu
menyerbu mereka! Akan tetapi, kedua orang muda itu ketika mendengar suaranya, tiba-tiba mereka lalu
menghentikan pertempuran, bahkan keduanya lalu berlari pergi meninggalkan tempat itu.
Kebetulan sekali, sinar lampu dari dalam rumahnya masih menerangi sedikit tempat itu sehingga ketika dia
melihat orang yang berlari menerjang sinar penerangan ini, ia melihat bahwa orang itu adalah Song Kam
Seng! Bukan main marahnya hati Lili. Ia pun maklum bahwa pemuda ini tentu datang untuk mencari
dunia-kangouw.blogspot.com
ayahnya, karena bukankah Kam Seng sudah berjanji hendak membalaskan dendam hatinya karena
ayahnya dulu dibunuh oleh Pendekar Bodoh?
“Kam Seng, manusia pengecut! Jangan berlaku sebagai maling hina dina! Apa bila kau berani, mari kita
mengadu nyawa!” teriak Lili sambil mengejar cepat.
Akan tetapi Kam Seng tidak menjawab bahkan berlari makin cepat, dikejar terus oleh Lili. Pemuda ini
memang maklum akan kepandaian Lili dan kalau dia melawan juga, ia takkan menang. Apa lagi, betapa
pun juga, tak dapat dia bertempur melawan Lili, gadis musuh besarnya, gadis yang sesungguhnya amat
dicintainya itu. Maka ia lalu melarikan diri lebih cepat lagi. Bukan saja karena ginkang dari Kam Seng
sudah sangat maju, akan tetapi terutama sekali karena malam itu gelap, sebentar saja pemuda itu sudah
meninggalkan Lili dan menghilang di dalam gelap!
Lili menjadi jengkel sekali. Ia memaki-maki, memanggil-manggil nama Kam Seng sambil menantangnantang,
akan tetapi karena tidak memperoleh jawaban, akhirnya dia kembali ke rumahnya. Dan ternyata
Lo Sian masih belum kelihatan sehingga gadis ini menjadi makin bingung.
Sebetulnya, ke manakah perginya Lo Sian? Ketika dia sedang minum arak dan Lili telah berlari ke bawah,
tiba-tiba dari atas wuwungan menyambar turun bayangan yang cepat masuk loteng itu. Lo Sian terkejut
sekali ketika melihat seorang pemuda sudah berdiri di hadapannya. Dia mengenal pemuda ini sebagai
pemuda yang pernah menyerangnya di rumah Thian Kek Hwesio, yaitu pemuda yang mengaku sebagai
putera Lie Kong Sian.
Sebelum ia sempat bertanya, Lie Siong, pemuda itu, telah mengulurkan tangan menotok jalan darah thianhu-
hiat di pundaknya. Totokan ini berdasarkan gerakan serangan dari Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na, ilmu silat
warisan Bu Pun Su yang dulu dia pelajari dari Ang I Niocu, maka bukan main cepat dan hebatnya.
Lo Sian sedang memegang guci arak dan dia berada dalam keadaan setengah mabuk, bagaimana dia
mampu menghindarkan diri dari serangan ini? Tiba-tiba tubuhnya menjadi lemas terkena totokan itu dan
guci arak itu tertepas dari pegangannya.
Lie Siong cepat menyambar guci arak itu dan meletakkannya di atas lantai. Akan tetapi oleh karena dia
tidak memperhatikan guci itu, dia meletakkan guci dalam keadaan miring sehingga isinya mengalir keluar.
Kemudian, secepat kilat pemuda ini segera mengempit tubuh Lo Sian dan membawanya melompat turun!
Supaya tidak membingungkan, baiknya diceritakan secara singkat bahwa sejak berpisah dari Lo Sian dan
Lili, pikiran Lie Siong sangat terganggu akibat ucapan Lo Sian yang menerangkan tentang kematian
ayahnya. Oleh karena itu, ia menunda niatnya mengajak Lilani ke utara mencari rombongan suku bangsa
Haimi untuk mengembalikan gadis itu kepada bangsanya, sebaliknya lalu mengajak gadis itu menuju ke
Pulau Pek-le-to untuk mencari ayahnya! Akan tetapi, ia mendapatkan pulau itu berada dalam keadaan
kosong!
Hatinya menjadi gelisah sekali, keadaan pemuda ini makin menderita batinnya. Pertama dia merasa
menyesal akibat telah mengikat diri dengan Lilani, gadis yang amat mencinta dirinya. Kedua, dia merasa
menyesal dan bingung karena mendengar bahwa ayahnya telah meninggal dunia seperti yang dikatakan
oleh Lo Sian Si Pengemis Sakti.
Dia harus dapat mencari orang tua itu untuk mencari keterangan tentang ayahnya. Akan tetapi kalau
teringat betapa dia telah bertempur dan bentrok dengan Lili, puteri Pendekar Bodoh, dia menjadi bingung.
Semenjak dia dapat mencabut sepatu Lili, sepatu yang kecil mungil itu selalu tersimpan dalam saku
bajunya sebelah dalam, disembunyikan sebagai sebuah jimat!
Ada pun Lilani, gadis yang bernasib malang itu, semakin lama semakin merasa hancur hatinya. Dia amat
mencinta Lie Siong, bersedia menyerahkan jiwa raganya, akan tetapi melihat pemuda itu sama sekali tidak
mengacuhkannya, dia menjadi sedih sekali.
Bila teringat betapa dia telah kehilangan ayah bundanya, kehilangan kakeknya, dan kini dia menderita
karena mencinta seorang pemuda yang tak mengacuhkannya, ahhh, gadis ini sering kali mengucurkan air
mata di waktu malam. Tetapi betapa pun juga, dia selalu menyembunyikan perasaan dukanya dari mata
Lie Siong.
Sesudah mendapatkan Pulau Pek-le-to kosong dan tidak mengetahui ke mana perginya ayahnya, Lie
dunia-kangouw.blogspot.com
Siong lalu berkata kepada Lilani,
“Lilani, terpaksa aku harus menyusul ke Shaning...”
“Ahh, ke rumah nona cantik jelita yang galak itu? Kau dahulu bilang bahwa dia adalah puteri Pendekar
Bodoh, sungguh cocok sekali...”
Lie Siong memandang tajam. “Apa maksudmu, Lilani? Kau cemburu?”
“Tidak, Taihiap, mengapa aku cemburu? Ada hak apakah maka aku dapat cemburu? Aku seorang tak
berharga, tidak seperti nona puteri Pendekar Bodoh itu, yang cantik, pandai, lihai... dan...”
“Sudahlah, jangan kau berbicara tidak karuan! Hatiku sedang bingung memikirkan ayah. Siapa yang peduli
gadis liar itu?” kata Lie Siong sambil mengajak gadis itu melanjutkan perjalanan. “Sekarang aku terpaksa
harus pergi menyusul ke Shaning untuk menangkap pengemis gila itu. Agaknya dari dia saja aku akan
mengetahui di mana adanya ayahku. Terpaksa urusan mencari suku bangsamu di utara ditunda dulu.”
Lilani tidak membantah, hanya merasa dadanya sesak oleh cemburu. Cinta orang muda manakah yang
tidak terhias oleh rasa cemburu? Bukan cinta tulen kalau tidak ada rasa cemburu di dalamnya, kata orang
tua.
Pada malam harinya, Lie Siong dan Lilani bermalam di sebuah hotel. Dan tidak seperti biasanya, Lie Siong
berkeras tidak mau tidur sekamar dan minta kepada pelayan untuk menyediakan dua kamar yang
berdampingan.
Lilani makin merasa tidak enak, gelisah dan berduka. Sampai tengah malam gadis ini tidak dapat tidur dan
karena hatinya selalu teringat kepada Lie Siong, tak tertahan lagi ia lalu keluar dari kamarnya dengan
perlahan. Ia sengaja membuka kedua sepatunya agar tindakan kakinya tak sampai mengagetkan Lie Siong
yang ia tahu pendengarannya amat tajam itu. Ia ingin melihat apakah pemuda pujaan hatinya itu telah tidur.
Dengan kaki telanjang ia berjalan menghampiri jendela kamar Lie Siong, lalu mengintai ke dalam setelah
dia mendapatkan sebuah lubang di antara celah-celah jendela itu. Dia melihat kamar itu masih terang dan
ternyata pemuda pujaannya itu masih belum tidur.
Lie Siong nampak tengah duduk melamun di atas kursi dan kedua tangannya memegang sebuah benda
kecil. Jari-jari tangannya mempermainkan benda itu dan ketika Lilani memandang dengan tegas, ternyata
bahwa benda itu adalah sebuah sepatu yang bagus dan kecil mungil bentuknya! Bukan main panas dan
perihnya hati Lilani.
Itu adalah sepatu wanita, pikirnya, dan terang bukan sepatunya. Sepatunya tidak sekecil itu! Ah, sepatu
siapa lagi kalau bukan sepatu gadis puteri Pendekar Bodoh itu? Biar pun Lie Siong tidak menceritakan
mengenai hasil pertempurannya melawan Lili namun Lilani dapat menduga dengan tepat.
Hal ini mudah saja bagi seorang wanita yang berada dalam keadaan cemburu, karena wanita yang sedang
cemburu mempunyai kecerdikan luar biasa dalam hal menyelidiki segala sesuatu mengenai hubungan lakilaki
yang dicintainya dengan wanita lain!
Bagaikan terpukul, Lilani terhuyung ke belakang dan ia menahan isak tangisnya. Karena tangisnya tak
dapat tertahan lagi, maka ia tidak berani kembali ke kamarnya, takut kalau nanti Lie Siong akan mendengar
suara tangisnya. Sebaliknya dia malah lari ke belakang dan keluar dari pintu belakang hotel itu menuju ke
kebun belakang yang sunyi dan gelap!
Di situ dia menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil
kehilangan ibunya. Ia merasa sedih, gemas, dan marah. Sedih karena merasa kehilangan seorang kekasih
yang dicinta sepenuh hatinya. Juga gemas melihat Lie Siong yang tak mengacuhkannya, sebaliknya
tergila-gila kepada sebuah sepatu wanita lain dan marah kepada diri sendiri mengapa ia sampai demikian
dalam jatuh dalam jurang asmara terhadap pemuda itu.
Di dalam kesedihannya itu, Lilani sampai tidak tahu bahwa ia tidak berada seorang diri di dalam taman itu.
Dia tidak tahu bahwa di situ duduk dua orang laki-laki pemabukan yang sudah lama duduk minum arak
berdua saja di situ dan keadaan mereka sudah setengah mabuk ketika Lilani datang ke situ dan menangis.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lilani yang sedang menangis itu tiba-tiba merasa lehernya dipeluk orang dan terdengar suara parau,
“Nona manis, kenapa kau menangis? Marilah kuhibur kau…”
Lilani melompat berdiri dengan mata terbelalak. Dengan penuh kebencian dan kengerian dia melihat dua
orang laki-laki menyeringai dan memandangnya seperti orang kelaparan, kemudian tangan kedua orang itu
terulur maju hendak menangkapnya!
Lilani sedang merasa sedih, marah, kecewa dan perasaan yang sudah amat menggencet batinnya ini
ditambah lagi oleh kebencian dan kengerian yang amat besar melihat lagak dua orang laki-laki ini. Hampir
saja Lilani menjerit sekerasnya kalau ia tidak ingat bahwa jeritannya akan terdengar oleh Lie Siong dan dia
tidak mau keadaannya diketahui oleh pemuda itu.
Maka sambil menahan berdebarnya hati yang membuat dadanya terasa sakit itu, ia lalu mengelak ke kiri
dan tak disangkanya sama sekali, seorang di antara mereka itu memiliki gerakan yang cepat juga. Lilani
sedang menderita dan keadaan malam itu agak gelap, maka gadis ini kurang cepat elakannya dan tahutahu
lengannya sudah tertangkap oleh seorang di antara dua pemabukan itu.
“Ha-ha-ha-ha, lenganmu lemas dan halus seperti sutera, Nona... ha-ha-ha!” Orang ini lalu merangkulnya
dan hendak menciumnya.
“Bukk!”
Terdengar suara orang terpukul dan disusul oleh pekik mengerikan dari laki-laki itu yang segera roboh
tersungkur dalam keadaan tak bernyawa lagi! Pukulan Lilani amat hebat karena selain gadis ini memiliki
kepandaian silat yang lumayan, dan kini lebih lihai karena sering kali mendapat latihan dari Lie Siong, juga
pukulan dari jarak dekat ini tepat sekali mengenai ulu hati lawan sehingga jantung di dalam dada orang itu
menjadi terluka!
Orang ke dua yang masih mabuk tidak tahu bahwa kawannya sudah mati, bahkan terus tertawa-tawa dan
berkata kepada kawannya itu, “A-siok, terlalu sekali kau... nona manis ditinggal tidur...” Dan ia maju pula
hendak merangkul Lilani.
Gadis ini sekarang sudah seperti seorang gila dan gelap mata. Sebelum tangan orang ke dua ini dapat
menyentuh bajunya dia kembali mengirim serangan dengan pukulan keras ke arah dada disusul dengan
tendangan ke arah lambung pemabukan ini. Terdengar jerit keras dan pemabukan ke dua ini pun roboh
dalam keadaan mati!
“Eh, eh, eh, apakah yang terjadi di sini?” Seorang pelayan hotel datang berlari-lari sambil membawa
sebuah lampu minyak. Akan tetapi, jawaban yang didapat hanyalah sebuah pukulan tiba-tiba yang tepat
mengenai lehernya. Pelayan ini terputar di atas kakinya lalu roboh. Celaka baginya, lampu yang dibawanya
itu jatuh menimpanya hingga terbakarlah pakaiannya!
Melihat betapa pelayan itu berkelojotan di dalam cahaya api, Lilani memandang dengan muka sepucat
mayat dan kedua mata terbuka lebar, ada pun kedua tangannya menutup mulutnya menahan jeritannya.
Alangkah ngerinya!
Dan kemudian, seperti baru sadar, dia melihat pula dua orang pemabukan yang sudah dibunuhnya di
tempat itu juga. Dengan perasaan sangat tergoncang gadis yang masih bertelanjang kaki ini lalu lari
secepatnya, kembali ke dalam kamarnya!
Dia berdiri di tengah kamarnya sambil terengah-engah dan meramkan kedua matanya. Kepalanya terasa
pening sekali, dadanya berdetak-detak seakan-akan ada orang sedang memukul-mukulkan palu di
dalamnya. Tubuhnya lemas kedua kaki menggigil dan kedua tangan gemetar. Telinganya mendengar
suara gaduh yang tak karuan terdengarnya, ada pun pemandangan yang mengerikan dari ketiga mayat itu,
terutama sekali pelayan yang terbakar, selalu terbayang di depan matanya.
“Aku harus tenang... harus tenang…” pikirnya dan dia lantas menjatuhkan diri di tengah kamar itu juga,
duduk bersila lalu untuk menenangkan pikiran dengan bersemedhi. Untuk memperdalam lweekang-nya,
memang gadis ini telah mempelajari siulian (semedhi) dari Lie Siong.
Suara ribut-ribut di luar kamarnya itu mengagetkan Lie Siong. Pemuda ini cepat-cepat menyalakan lilin di
dunia-kangouw.blogspot.com
dalam kamarnya, lalu berjalan keluar hendak melihat apa gerangan yang ribut-ribut di tengah malam
seperti itu. Ketika ia mendengar bahwa ada tiga orang terbunuh oleh seorang gadis, ia terkejut sekali.
Cepat dia menuju ke kamar Lilani dan alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa pintu kamar
gadis itu setengah terbuka! Dia cepat melangkah masuk dan biar pun kamar itu gelap, dia masih dapat
melihat bayangan gadis itu duduk bersila di atas lantai.
Sungguh cara siulian yang aneh, pikirnya. Kenapa tidak di atas pembaringan saja? Akan tetapi, ia tidak
berani mengganggu seorang yang sedang semedhi dan secara diam-diam hendak meninggalkan kamar itu
lagi kalau saja tidak mendengar isak tertahan dari gadis itu.
“Lilani, kau kenapakah?” tanyanya heran dan kuatir.
Gadis itu tidak menjawab sama sekali. Lie Siong menjadi heran dan segera menyalakan sebatang lilin di
dalam kamar itu. Pada saat sinar lilin di atas meja itu sudah menerangi seluruh kamar dan ia memutar
tubuh memandang, Lie Siong pun menjadi terkejut sekali. Dilihatnya Lilani dengan sepasang kaki telanjang
duduk bersila di atas lantai, pakaiannya kusut, pipinya yang amat pucat itu basah dengan air matanya.
“Lilani...!” Lie Siong melangkah maju, berlutut dekat gadis itu dan tangannya memegang pundak kanan
Lilani. “Kau kenapakah...?” Akan tetapi Lie Siong terpaksa memutuskan kata-katanya karena tiba-tiba
kedua tangan Lilani mendorong dadanya dengan gerakan cepat dan amat kuat.
Lie Siong yang sama sekali tak pernah menyangka bahwa gadis ini akan menyerangnya, tidak mengelak
atau menangkis sama sekali. Dadanya terdorong ke belakang dan ia pun langsung terlempar ke belakang
dengan cepatnya sampai membentur bangku! Lie Siong membelalakkan matanya.
Tenaga dorongan dan tarikan muka Lilani lebih mengherankannya dari pada sikap gadis itu sendiri.
Dorongan tenaga Lilani tak seperti biasanya, akan tetapi mengandung tenaga yang amat kuat dan aneh,
sedangkan ketika gadis itu mendorongnya, gadis memandang dengan penuh kebencian, akan tetapi
bibirnya tersenyum!
“Ha, kau takkan dapat mendekatiku... kau akan mampus....” bisik gadis ini dengan suara aneh. Ternyata
bahwa pukulan batin yang datang secara bertubi-tubi dan hebat itu sudah membuat pikiran gadis ini
terganggu dan berubah!
“Lilani...” Lie Siong melompat bangun, “apa maksudmu? Kau kenapakah...?”
Melihat Lie Siong melompat bangun, gadis itu turut melompat bangun pula, menunduk dan memandangi
kedua kakinya yang telanjang, kemudian berkata sambil menyeringai, “Ha-ha-ha, sepatu itu... sepatuku!
Lihat, Taihiap, bukankah kedua kakiku telanjang? Aku perlu sepatu... akan tetapi sepatu itu terlalu kecil...
terlalu kecil...” dan ia lalu menangis! Tiba-tiba dia menghentikan tangisnya dan berkata lagi dengan mata
bersinar dan mulut tersenyum, “Aku bunuh dia! Aku bunuh mereka! Berani sekali main gila terhadap Lilani,
puteri kepala suku bangsa Haimi!”
Sejak tadi, Lie Siong memandang keadaan gadis ini dengan bengong. Melihat senyum di bibir Lilani,
pemuda ini merasa bulu tengkuknya meremang. Ini tak sewajarnya, pikirnya. Lebih-lebih terkejutnya ketika
dia mendengar ucapan terakhir tentang pembunuhan yang keluar dari mulut Lilani.
“Lilani, jadi yang membunuh tiga orang di belakang hotel itu... kaukah orangnya?”
Lilani tertawa terkekeh. “Ya, memang aku!” teriaknya keras. “Aku Lilani sekali mencinta orang, akan
berlaku setia selama hidup! Aku takkan sudi main gila dengan laki-laki lain, lebih baik aku mati! Kubunuh
mereka itu, kubakar dia hidup-hidup!” Dan tiba-tiba gadis ini lalu menjatuhkan diri di atas pembaringan
sambil tersedu-sedu.
Lie Siong berdiri tertegun, hatinya terharu bukan main ketika ia mendengar Lilani berkata seperti keluhan
menyedihkan, “Taihiap... Taihiap... aku cinta padamu...”
Teriakan Lilani telah terdengar oleh orang-orang yang berada di luar kamar sehingga kini mereka
menyerbu ke arah kamar Lilani sambil berteriak-teriak,
“Tangkap pembunuh! Tangkap siluman perempuan...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Memang tadi ketika Lilani berlari kembali ke kamarnya, kebetulan sekali ada seorang tamu yang
menjenguk dari jendelanya karena ia tertarik oleh teriakan-teriakan dua orang pemabukan yang terpukul
oleh Lilani. Maka sesudah terjadi geger, dia lalu menceritakan pengalamannya dan kini mendengar
teriakan-teriakan Lilani yang mengaku bahwa dia yang membunuh tiga orang itu, semua orang lalu
menyerbu ke arah kamar Lilani!
Pada saat belasan orang itu sudah berada di depan pintu kamar Lilani, mereka tiba-tiba berhenti karena
siapa orangnya yang tidak merasa gentar menghadapi seorang siluman wanita yang dalam waktu sebentar
saja sudah membunuh tiga orang laki-laki dengan keadaan mengerikan?
“Siluman perempuan, menyerahlah untuk kami bawa ke depan pengadilan! Apa bila kau melawan kami
akan mengeroyok dan membakarmu!” seorang di antara para penyerbu itu berteriak.
Lilani yang mendengar ini segera bangkit berdiri, wajahnya nampak amat menyeramkan. “Akan kubunuh
kalian semua!” katanya.
Lie Siong merasa gelisah sekali. “Lilani, jangan...” katanya.
Akan tetapi Lilani tidak peduli dan hendak melompat menerjang keluar. Lie Siong segera mendahuluinya,
cepat mengirim serangan kilat dan robohlah gadis itu dalam pelukannya dengan tubuh lemas tak berdaya
sedikit pun juga.
“Serahkan dia kepada kami!” terdengar teriakan berulang-ulang dari para penyerbu itu.
Lie Siong maklum bahwa mereka itu sedang marah sekali, jadi tidak perlu bicara dengan mereka. Maka ia
lalu menyambar pakaian gadis itu, dan sekali ia berkelebat keluar pintu, ia telah melompat keluar sambil
menggendong Lilani.
Beberapa orang yang berdiri menghalangi pintu terlempar ke kanan kiri ketika terdorong oleh sebelah
tangannya! Lie Siong tidak mempedulikan teriakan-teriakan mereka, dan ia langsung memasuki kamarnya,
menyambar pedang serta buntalannya, sambil dikejar beramai-ramai oleh orang-orang itu.
Akan tetapi ketika mereka sampai di depan kamar pemuda ini, Lie Siong telah berkelebat keluar dan orangorang
itu hanya berdiri sambil melongo ketika melihat betapa pemuda yang menggendong gadis itu sekali
mengenjotkan tubuh, telah dapat melompat ke atas genteng dan menghilang di dalam gelap!
Pada waktu Lie Siong melihat betapa keadaan gadis itu makin lama semakin tidak beres pikirannya, dia
menjadi bingung sekali. Dia tidak tega dan merasa amat kasihan kepada Lilani, sungguh pun harus dia
akui bahwa dia tidak mencinta gadis ini seperti cinta Lilani kepadanya. Dia hanya merasa kasihan dan
bertanggung jawab.
Kini melihat keadaan Lilani yang demikian, dia merasa makin kasihan. Hatinya tidak tega untuk
meninggalkan gadis ini, sungguh pun dia tahu kalau dia terus menerus berada di dekat gadis ini, dia takkan
dapat bergerak bebas. Sekarang dia hendak mencari Lo Sian untuk bertanya tentang keadaan ayahnya,
akan tetapi dengan Lilani yang sudah menjadi gila ini di dekatnya, bagaimana ia dapat mencapai
maksudnya? Untuk membiarkan gadis ini terlepas seorang diri saja, dia juga tak sampai hati.
Akhirnya ia teringat kepada Thian Kek Hwesio di kuil Siauw-lim-si di kota Kiciu. Bukankah dulu pendeta
gundul yang gemuk itu pernah mengobati Lo Sian? Pikiran ini membuat dia merubah niatnya untuk ke
Shaning, dan ia langsung membawa Lilani ke Ki-ciu.
Ketika ia memasuki kuil itu, mau tak mau ia berdebar dan mukanya berubah merah. Dia teringat betapa di
sini ia bertempur melawah Lili, puteri Pendekar Bodoh itu dan betapa ia terluka pundaknya akan tetapi
berhasil merampas sebuah sepatu gadis itu yang sampai kini masih disimpannya baik-baik di dalam
kantong bajunya!
Thian Kek Hwesio menerimanya dengan muka dan sikap ramah tamah. Hwesio ini segera mengenalnya
sebagai pemuda yang mengaku menjadi putera Lie Kong Sian, maka dia segera menyambut dengan
ucapan halus,
“Anak muda, keperluan apakah yang membawamu datang ke tempatku yang buruk ini? Jangan kau
dunia-kangouw.blogspot.com
menghunus pedangmu, pinceng sama sekali tidak pandai melayanimu dan pinceng paling takut melihat
berkelebatnya pedang!”
Makin merah wajah Lie Siong mendengar sindiran ini. Betapa pun kerasnya hatinya, dia masih mempunyai
perasaan juga dan kalau perlu, dia dapat menjadi seorang pemuda yang ramah tamah, sopan santun, dan
halus. Memang pemuda ini merupakan bayangan ke dua dari sifat ibunya, Ang I Niocu, Pendekar Baju
Merah yang aneh itu. Ia pun cepat menjura dengan hormat sekali dan berkata,
“Lo-suhu, mohon kau orang tua sudi memberi maaf sebesarnya kepada aku yang muda, kasar dan bodoh.
Kedatanganku ini tidak lain hendak mohon pertolonganmu. Sahabatku, Nona ini, entah mengapa tiba-tiba
menjadi aneh sekali dan pikirannya berubah, mohon kau orang tua sudi mengobatinya.”
Thian Kek Hwesio memandang kepada Lilani dengan mata tajam, sedangkan gadis itu berdiri bengong dan
sama sekali tidak melihatnya, melainkan menatap ke arah patung-patung batu sambil melamun.
“Nona, kau kenapakah?” tanya hwesio itu dengan suara halus, akan tetapi Lie Siong merasa kagum sekali
karena di dalam suara yang halus ini timbul pengaruh yang kuat sekali, yang dapat membuat orang
menjadi tunduk.
Mungkin dikarenakan suara ini, atau memang jalan pikiran Lilani sedang teringat kepada kakeknya ketika
melihat betapa hwesio itu memandangnya dengan mata mengasihani, karena tiba-tiba saja gadis ini lalu
menjatuhkan diri berlutut dan menangis tersedu-sedu. Kemudian Lilani berkata-kata dalam bahasa Haimi
yang sama sekali tak dimengerti oleh Lie Siong, akan tetapi ia menjadi kagum sekali karena Thian Kek
Hwesio ternyata dapat mengerti ucapan gadis ini, bahkan lalu menjawab dalam bahasa Haimi pula!
“Sicu, sahabatmu ini menderita tekanan batin yang sangat hebat sehingga mengganggu urat syarafnya.
Pinceng tidak tahu mengapa dia mengalami kedukaan dan kekecewaan sedemikian rupa, akan tetapi
mudah sekali untuk menyembuhkannya asal saja dia mau beristirahat di sini.”
Dengan girang sekali Lie Siong lalu menjura dan menghaturkan terima kasih. “Lo-suhu, sesungguhnya aku
mempunyai urusan yang amat penting, maka kalau kiranya Lo-suhu sudi menolong, aku hendak
meninggalkannya untuk sementara waktu di sini.”
“Boleh saja, Sicu. Pinceng percaya bahwa kau tentu kelak akan datang mengambilnya kembali setelah dia
menjadi sembuh. Pinceng merasa bahwa gadis ini tak dapat ditinggal begitu saja olehmu.”
“Tentu, Lo-suhu. Aku takkan pergi lama dan pasti akan kembali mengambil Lilani, karena memang tujuan
kami hendak ke utara.”
“Pinceng percaya penuh kepada omongan putera Lie Kong Sian Taihiap.”
Lie Siong memandang dengan penuh terima kasih, kemudian ia pun menghampiri Lilani. “Lilani, harap kau
beristirahat di sini dulu dan aku akan kembali mengambilmu lagi apa bila urusanku sudah selesai.”
Akan tetapi gadis itu tidak menjawabnya, hanya berkata-kata dalam bahasa Haimi yang tidak dimengerti
oleh Lie Siong. Akan tetapi Thian Kek Hwesio terharu ketika mendengar gadis itu berkata, “Taihiap, hanya
engkau seorang yang kucinta, dan aku akan menurut segala kata-katamu.”
Ucapan yang tak dimengerti oleh Lie Siong akan tetapi dapat dimengerti baik oleh hwesio ini membuat
Thian Kek Hwesio dapat menduga bahwa gadis ini tentulah sudah menderita asmara tak terbalas! Lie
Siong lalu meninggalkan kuil dan segera menuju ke Shaning.
Demikianlah, pada malam hari itu, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Lie Siong melompat
ke atas wuwungan rumah keluarga Pendekar Bodoh. Siangnya dia telah mendapat keterangan bahwa Lo
Sian masih tinggal di rumah Sie Cin Hai dan bahwa Pendekar Bodoh beserta isterinya tidak berada di
rumah. Yang ada hanya Lo Sian dan Lili, puteri Pendekar Bodoh.
Hal ini menggirangkan hatinya, karena betapa pun juga, Lie Siong merasa gentar juga menghadapi
Pendekar Bodoh suami isteri. Kepandaian puterinya saja sudah sedemikian hebat, apa lagi mereka!
Ia sama sekali tidak mengira bahwa kedatangannya pada malam hari itu kebetulan sekali bertepatan
dengan kedatangan seorang pemuda lain, yakni Song Kam Seng! Berbeda dengan Lie Siong, maksud
dunia-kangouw.blogspot.com
kedatangan ini adalah hendak membalas dendamnya kepada Pendekar Bodoh!
Akan tetapi dengan kecewa Kam Seng mendengar keterangan bahwa Pendekar Bodoh dan isterinya
sedang keluar kota, maka dia lalu datang dengan maksud mencuri pedang Liong-cu-kiam, pedang yang
dulu telah mengalahkan mendiang ayahnya, Song Kun!
Kedatangan Kam Seng di malam hari itu lebih dulu dari Lie Siong. Kam Seng langsung masuk ke dalam
dan berhasil mencari kamar Pendekar Bodoh yang digeledahnya, akan tetapi dia tidak dapat menemukan
pedang itu karena pedang itu dibawa oleh Pendekar Bodoh.
Ada pun Lie Siong yang masuk dari kebun belakang, melihat tiga orang pelayan yang cepat ditotoknya
sehingga mereka itu tidak berdaya lagi. Kemudian pemuda ini melayang naik ke atas loteng ketika dia
melihat berkelebatnya bayangan Lili yang mencari-cari di luar rumah! Saat yang baik itu merupakan
kesempatan baginya. Ia merobohkan Lo Sian dengan totokan dan membawa orang tua itu melompat turun.
Akan tetapi, tiba-tiba ia mendengar seruan perlahan,
“Bangsat, jangan kau berani menculik Suhu!” Tiba-tiba sesosok bayangan yang cukup gesit telah
menyerangnya dari samping.
Lie Siong menjadi kaget dan juga heran. Siapakah adanya pemuda yang menjadi murid Lo Sian ini? Dia
cepat mengelak dan meloncat jauh, kemudian melarikan diri dengan ilmu lari cepatnya, akan tetapi
ternyata bahwa ilmu lari larinya hanya menang sedikit saja dari pemuda yang mengejarnya itu. Mudah saja
kita menduga bahwa pemuda ini bukan lain adalah Song Kam Seng yang juga sudah keluar dari gedung itu
dengan tangan hampa.
Melihat pengejarnya juga mampu berlari cepat, Lie Siong lalu menyembunyikan Lo Sian yang tidak dapat
bergerak itu di dalam serumpun tetumbuhan, kemudian dia keluar dan menghampiri Song Kam Seng.
Tanpa banyak cakap lagi keduanya lantas bertempur dan ternyata kepandaian mereka berimbang.
Harus diketahui bahwa Song Kam Seng sekarang bukan seperti dulu ketika ia dikalahkan oleh Lili. Kam
Seng telah melatih diri dengan hebat dan tekunnya, telah banyak mewarisi kepandaian Wi Kong Siansu,
maka tidak mudah bagi Lie Siong untuk mengalahkannya.
Dan ketika mereka bertempur dengan serunya, datanglah Lili yang mengejar. Keduanya takut kepada
gadis ini, bukan takut kalah bertempur, akan tetapi Lie Siong tidak mau usahanya membawa Lo Sian akan
terganggu, ada pun Song Kam Seng betapa pun juga tidak mau bertempur dengan gadis yang lihai dan
yang dicintainya ini. Maka keduanya lalu berlari dan kebetulan sekali Lili mengejar Kam Seng, mendiamkan
Lie Siong yang dengan enaknya lalu dapat membawa lari Lo Sian!
Demikianlah, seperti sudah kita ketahui, Lili menjadi bingung dan sedih sekali. Ketika ia mendengar
keterangan para pelayannya yang dibuat tak berdaya oleh totokan Lie Siong, barulah gadis ini dapat
menduga bahwa yang datang di rumahnya malam itu adalah dua orang, yaitu Kam Seng dan Lie Siong!
Tak salah lagi, pikirnya, yang mencuri Lo-pek-hu tentulah manusia kurang ajar yang dulu mengaku putera
Ang I Niocu itu! Ia setengah dapat menduga bahwa penculikan ini tentu ada hubungannya dengan ucapan
Lo Sian mengenai kematian Lie Kong Sian. Rupanya ucapan itu ada betulnya dan kini pemuda yang
mengaku putera Lie Kong Sian itu tentu menculik Lo Sian untuk mendapat keterangan tentang ayahnya.
Hanya perbuatan Kam Seng yang membongkar kamar dan membuka lemari ayahnya itu masih
membingungkannya. Munculnya Kam Seng di malam hari di rumahnya tidak aneh, karena memang
pemuda itu pernah mengancam hendak membalas dendam terhadap ayahnya, akan tetapi mengapa
pemuda itu membongkar-bongkar lemari seperti seorang maling biasa? Benar-benar ia tidak mengerti.
Pada keesokan harinya, Lili lalu menyerahkan perawatan rumah kepada para pelayan, sedangkan ia
sendiri lalu pergi menyusul orang tuanya di Tiang-an. Tak enak ia berdiam di rumah saja, maka sambil
mencoba untuk mengejar ‘pemuda kurang ajar’ yang sudah menculik Lo Sian, dia menuju ke Tiang-an
untuk menyusul ayah-bundanya dan memberi laporan tentang terjadinya peristiwa itu…..
********************
Mari kita mengikuti perjalanan Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh dengan Lin Lin isterinya yang menuju ke
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiang-an untuk mengunjungi Kwee An dan Ma Hoa untuk membicarakan tentang perjodohan putera
mereka.
Mereka melakukan perjalanan berkuda dan seperti biasa, Lin Lin amat gembira di dalam perjalanan itu
sehingga suaminya sering kali memandang dengan kagum karena merasa seakan-akan isterinya ini masih
seperti dulu saja! Baginya, Lin Lin sampai sekarang tidak berubah, masih seperti Lin Lin pada waktu
remaja puteri, lincah dan jenaka.
Pada suatu hari, ketika sepasang suami isteri pendekar ini berada di sebelah selatan kota Tiang-an, kurang
lebih tiga puluh lie lagi dari Tiang-an, dan mereka sedang menjalankan kuda dengan cepatnya, tiba-tiba
pada sebuah tikungan jalan, hampir saja kuda mereka beradu dengan seekor kuda yang dilarikan cepat
dari depan!
Penunggang kuda itu seorang pemuda yang tampan dan gagah, cepat menarik kendali kudanya dan
sambil mengeluarkan suara keras, kudanya yang besar itu berhenti dengan tiba-tiba, mengangkat kedua
kaki depan ke atas dan meringkik-ringkik!
Pemuda ini adalah Kam Liong, panglima muda yang sedang menuju ke selatan untuk mengadakan
pemeriksaan pada penjagaan di selatan, serta sekaligus hendak singgah di Shaning untuk mewartakan
kepada Pendekar Bodoh tentang mala petaka yang menimpa diri puteranya.
Kam Liong membelalakkan matanya dan tadinya dia hendak marah terhadap dua orang penunggang kuda
itu, akan tetapi akhirnya dia menjadi heran dan terkejut sekali betapa dua orang penunggang kuda itu pun
dapat menghentikan kuda mereka dengan tiba-tiba dan tenang saja, seakan-akan tidak pernah terjadi
sesuatu.
Ia sendiri yang terkenal sebagai seorang ahli penunggang kuda hanya bisa menghentikan larinya kuda
dengan kekerasan sampai kudanya merasa sakit pada hidungnya sehingga berjingkrak-jingkrak, akan
tetapi bagaimanakah dua orang itu demikian tenang dan kuda mereka berhenti seakan-akan empat kaki
kuda mereka tiba-tiba berakar pada tanah?
Dia dapat menduga bahwa dua orang yang nampaknya gagah ini tentulah orang-orang berkepandaian
tinggi, maka cepat Kam Liong melompat turun dari kudanya dan menjura dengan hormatnya.
“Harap Ji-wi sudi memberi maaf kepada siauwte kalau siauwte mendatangkan kekagetan kepada Ji-wi.”
“Siapa yang kaget?” Lin Lin menjawab sambil tersenyum manis karena dia merasa suka kepada pemuda
yang nampak sopan ini. “Kalau ada yang kaget, agaknya kudamu itulah yang kaget.”
Merah muka Kam Liong mendengar ucapan nyonya setengah tua yang cantik itu. Walau pun nyonya itu
mengatakan bahwa yang kaget adalah kudanya, akan tetapi tentu mereka itu telah melihat bahwa yang
kaget sebenarnya adalah dia sendiri!
“Siauwte she Kam bernama Liong,” ia memperkenalkan diri, “karena siauwte mempunyai urusan penting,
maka buru-buru membalapkan kuda. Sungguh sangat hebat kepandaian Ji-wi menunggang kuda, benarbenar
membuat siauwte tunduk sekali.”
Cin Hai dan Lin Lin memandang tajam. Jadi inikah pemuda putera Panglima Hong Sin seperti yang telah
diceritakan oleh Lili itu? Tentu saja mereka tidak menduga sama sekali oleh karena Kam Liong memang
selalu berpakaian biasa saja apa bila sedang melakukan pemeriksaan.
“Kaukah putera dari Panglima Kam Hong Sin?” tanya Cin Hai tiba-tiba dengan langsung, sesuai dengan
wataknya yang jujur.
Kam Liong tertegun. “Benar, Lo-enghiong, tidak tahu siauwte sedang berhadapan dengan siapakah?”
“Ayahmu adalah seorang yang jujur dan baik,” kata Cin Hai tanpa menjawab pertanyaan pemuda itu, “kami
kenal baik dengan ayahmu itu. Sayang kami belum dapat bertemu lagi sebelum dia gugur dalam
peperangan.”
Kam Liong memandang semakin tajam dan tiba-tiba dia teringat akan sesuatu. Cepat dia mengerling ke
arah nyonya itu, dan sekilas melihat saja maka lenyaplah keraguannya. Wajah nyonya itu sama benar
dunia-kangouw.blogspot.com
dengan wajah Lili, gadis yang dirindukannya!
Dengan hati berdebar gembira dia menjura lagi sambil berkata, “Salahkah kalau siauwte mengatakan
bahwa Sie-taihiap, Pendekar Bodoh yang terhormat bersama dengan isteri yang siauwte hadapi ini?”
“Pandangan matamu tajam juga, orang muda. Kau tidak menduga salah,” jawab Lin Lin.
Mendadak Kam Liong menjatuhkan diri berlutut di atas tanah. Cin Hai dan Lin Lin saling pandang dengan
senyum di bibir, kemudian terpaksa mereka pun melompat turun dari kuda. Cin Hai cepat memegang
pundak Kam Liong untuk mengangkatnya bangun.
Pemuda ini amat cerdik. Dia tertarik oleh Lili dan ingin sekali meminang gadis itu menjadi isterinya, maka
kini bertemu dengan orang tua gadis itu, cepat ia memberi hormat. Ketika merasa betapa kedua tangan Cin
Hai menyentuh pundaknya, Kam Liong secara sengaja mengerahkan tenaga Jeng-kin-kang (Tenaga
Seribu Kati) supaya dapat memperlihatkan kemampuannya.
Akan tetapi, alangkah kagetnya saat pundaknya yang tadinya dikeraskan dengan tenaga Jeng-king-kang
itu begitu tersentuh dan tertekan oleh jari-jari tangan Cin Hai, mendadak tenaganya lenyap sama sekali dan
tubuhnya berubah menjadi lemas hingga dia terpaksa menurut saja ketika dia diangkat bangun.
“Mohon ampun sebanyaknya bahwa siauwte yang bodoh bermata buta, tidak melihat dan mengenal
pendekar-pendekat besar! Sebenarnya pertemuan ini sangat membahagiakan hatiku, karena
sesungguhnya siauwte memang hendak pergi ke Shaning ingin bertemu dengan Ji-wi.”
“Ada keperluan apakah Ciangkun hendak bertemu dengan kami?” tanya Cin Hai sambil memandang
dengan penuh perhatian, karena sesungguhnya ia tidak begitu suka untuk berhubungan dengan segala
perwira atau panglima kerajaan. Hatinya masih terluka oleh sepak terjang para perwira kerajaan yang
banyak menyusahkan hidupnya pada waktu ia muda dulu (baca cerita Pendekar Bodoh).
Akan tetapi, hati Lin Lin sudah tertarik oleh kesopanan pemuda ini. Biar pun dia memiliki kedudukan tinggi,
akan tetapi pandai sekali membawa diri, tidak sombong dan bersikap sopan santun. Bagi para pembaca
yang sudah pernah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa Lin Lin sendiri adalah puteri
dari seorang perwira, maka tentu saja dia tidak merasakan ketidak sukaan terhadap kaum perwira seperti
yang dirasakan oleh suaminya.
“Tentu ada keperluan yang amat penting sehingga Ciangkun sampai meninggalkan kota raja untuk mencari
kami,” kata Lin Lin dengan suara lebih halus.
“Sesungguhnya, siauwte membawa berita yang amat penting mengenai keadaan putera Ji-wi, yaitu Sie
Hong Beng.”
“Dia di mana? Apa yang terjadi?” Lin Lin mendesak dengan muka berubah mengandung kekuatiran.
Sudah lajimnya para lbu selalu menguatirkan keadaan puteranya. Cin Hai tetap tenang saja dan hanya
sinar matanya yang mendesak kepada Kam Liong supaya cepat-cepat menceritakan apa yang telah terjadi
atas diri Hong Beng.
Kam Liong lalu menuturkan dengan sejelasnya betapa Goat Lan dan Hong Beng dengan cara kekerasan
telah berhasil menolong Putera Mahkota, dan betapa kemudian Goat Lan diberi karunia, diangkat menjadi
selir pertama untuk Putera Mahkota yang ditolak dengan tegas oleh Giok Lan sehingga gadis itu dihukum
buang ke utara dan dikawani oleh Hong Beng! Tentu saja ia tidak lupa untuk menuturkan betapa ia telah
menyusul kedua orang muda itu dan memberi kuda serta memberi petunjuk.
“Siauwte sudah memberi tahu kepada Saudara Hong Beng dan Nona Kwee agar supaya mereka dan para
pengawal mereka mengambil kedudukan di lereng Gunung Alkata-san, di mana siauwte dahulu
mempunyai sebuah benteng yang cukup baik kedudukannya dan kuat. Bila sudah selesai tugas siauwte ke
selatan, siauwte juga akan memimpin pasukan ke utara. Hal ini penting sekali karena bukan hanya bangsa
Tartar saja yang mengacau, akan tetapi ada desas-desus yang mengabarkan bahwa kini bangsa Mongol di
utara di bawah pimpinan raja mereka, Malangi Khan, juga hendak menyerbu ke selatan!”
Mendengar penuturan pemuda ini, Cin Hai hanya menggigit bibirnya, akan tetapi Lin Lin membantingbanting
kedua kakinya dengan gemas.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kaisar bu-to (tiada pribudi)! Sudah ditolong nyawa anaknya, masih tidak berterima kasih, bahkan hendak
menjadikan calon mantuku sebagai selir Putera Mahkota! Dia kira orang macam apakah Goat Lan itu?
Sungguh tak tahu membedakan orang!”
Kam Liong adalah seorang panglima muda yang mempunyai kesetiaan terhadap Kaisar, seperti ayahnya
dahulu. Oleh karena itu, mendengar betapa Lin Lin memaki Kaisar, dia menjadi tidak senang juga. Ia pun
terkejut mendengar bahwa Goat Lan adalah tunangan Hong Beng sebagaimana baru saja disebut oleh Lin
Lin bahwa Goat Lan adalah calon mantunya. Untuk membela nama Kaisar, Kam Liong berkata,
“Sayang sekali bahwa Nona Kwee Goat Lan atau Saudara Sie Hong Beng tidak berterus terang saja
kepada Hong-siang bahwa mereka berdua sudah bertunangan. Kalau Kaisar mengetahui akan hal ini,
siauwte merasa pasti Nona Kwee tak akan dipaksa menjadi selir Putera Mahkota. Sebenarnya, menjadi
selir pertama dari Putera Mahkota adalah suatu kehormatan yang tinggi sekali, karena siapa tahu kalau
Putera Mahkota kelak menjadi kaisar dan selir pertama sangat dicintanya, wanita itu mempunyai harapan
untuk menjadi permaisuri? Dengan penolakan Nona Kwee, penolakan secara langsung di hadapan para
menteri serta pembesar tinggi, sudah tentu saja Kaisar merasa terhina sekali sehingga menjatuhkan
hukum buang. Siauwte menjelaskan hal ini supaya Ji-wi tidak menjadi salah mengerti.”
Cin Hai dan Lin Lin mengangguk-angguk, bahkan Cin Hai lalu menarik napas panjang dan berkata,
“Semenjak dahulu sampai sekarang, selalu kaum bangsawan dan pembesar mempunyai kekuasaan dan
kebenaran tersendiri, tanah yang mereka injak pun berada di atas kepala rakyat kecil!”
“Kita harus menyusul Beng-ji ke utara!” kata Lin Lin. “Baiknya kita memberi tahu kepada Engko An dan
Enci Ma Hoa tentang hal ini. Mereka juga berhak mendengar berita perihal puteri mereka.”
“Ke utara bukan tempat dekat dan tidak dapat dilakukan dalam waktu pendek. Kalau kita langsung ke sana,
bagaimana dengan Lili? Apakah dia takkan gelisah dan menanti-nanti kita?” kata Cin Hai. Kedua suamiisteri
ini dalam ketegangannya sampai lupa bahwa di situ masih ada Kam Liong yang diam-diam
mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Maaf, Ji-wi harap jangan mengira siauwte hendak kurang ajar. Akan tetapi sesungguhnya perjalanan
siauwte ke selatan akan melalui Shaning. Jika kiranya Ji-wi tak berkeberatan, siauwte dapat
menyampaikan berita ini ke rumah ji-wi, karena siauwte pernah mendapat kehormatan bertemu dengan
puteri Ji-wi.”
Cin Hai mengerutkan keningnya, akan tetapi Lin Lin menjawab dengan girang,
“Bagus, kau baik sekali, Ciangkun. Lili juga telah menceritakan pertemuannya denganmu. Baiklah, apa bila
kau melalui Shaning, tolong kau beritahukan kepada puteri kami bahwa kami mungkin akan terus ke utara
untuk menyusul Hong Beng.”
Kam Liong merasa girang sekali, akan tetapi dia tidak memperlihatkan perasaan hatinya pada wajahnya,
hanya menyatakan kesanggupannya dengan sikap sopan. Mereka lalu berpisah, kedua suami-isteri
pendekar itu cepat mengaburkan kudanya ke Tiang-an, ada pun Kam Liong dengan hati girang lalu menuju
ke Shaning.
Ketika tiba di halaman depan rumah gedung yang ditinggali oleh Kwee An di Tiang-an, seorang pelayan
tua yang segera mengenal mereka cepat menyambut dan memegang kendali kuda mereka untuk dibawa
ke kandang kuda.
“Selamat datang, Sie-taihiap berdua, selamat datang!” katanya girang.
Terdengar suara teriakan girang dan nampak seorang anak laki-laki yang bermuka putih dan bundar
berusia kurang lebih sembilan tahun berlari keluar dari pintu depan.
“Kouw-kouw dan Kouw-thio datang...!” serunya.
“Cin-ji (Anak Cin), engkau sudah besar sekarang!” seru Lin Lin yang segera menyambut anak itu dengan
kedua tangan terbuka. Dipeluknya Kwee Cin, anak ke dua dari Kwee An dan Ma Hoa dengan girang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Pada waktu Cin Hai memeluknya pula, anak itu berbisik kepadanya, “Kouw-thio (Paman, suami Bibi),
kapan kau mau mengajarku Liong-cu Kiam-sut?”
Cin Hai tertawa. Ketika anak ini baru berusia lima tahun, anak ini telah pula mengajukan permintaan untuk
belajar ilmu pedang darinya. Dan sekarang anak ini menanyakan hal itu pula, sungguh seorang anak yang
teguh kehendaknya.
“Bukankah ilmu pedang ayahmu juga bagus sekali? Dan ilmu bambu runcing ibumu tiada keduanya di
dunia ini!” kata Cin Hai.
Kwee Cin berkata bangga, “Memang ilmu bambu runcing Ibu tidak ada bandingannya di atas dunia ini,
akan tetapi kata Ayah, dalam hal ilmu pedang, tak ada yang melebihi Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut dari
Kouw-thio!”
“Baiklah, Cin-ji, kelak kalau ada waktu, kau boleh mempelajari ilmu pedang dariku.”
Kwee Cin menjadi girang sekali dan ia lalu menarik tangan bibi dan pamannya itu, diajak masuk ke dalam
rumah. Akan tetapi, sebelum mereka melangkah ke ambang pintu, dari dalam keluarlah Kwee An dan Ma
Hoa dengan wajah girang sekali. Kedua suami isteri ini telah mendengar dari pelayan akan kedatangan
kedua orang tamu dari Shaning ini.
Mereka segera bercakap-cakap dengan gembira sekali, akan tetapi kegembiraan mereka itu tidak
berlangsung lama, terutama bagi pihak tuan rumah. Ketika Lin Lin menceritakan lagi penuturan Kam Liong
mengenai peristiwa yang terjadi di istana kaisar dan hukuman yang dijatuhkan Kaisar kepada Goat Lan,
wajah Ma Hoa menjadi pucat.
Seperti juga suaminya, Ma Hoa juga puteri seorang perwira, maka ia tahu betul akan arti semua peristiwa
ini.
“Keputusan Kaisar tidak dapat diubah. Tidak ada jalan lain, kita harus menyusul ke utara untuk membantu
tugas yang diberikan kepada anak kita!” kata Ma Hoa sesudah dapat menenteramkan hatinya dari berita
mengejutkan ini.
“Memang kami berdua pun telah mengambil keputusan hendak menyusul ke sana,” kata Lin Lin yang
kemudian menceritakan bahwa Hong Beng dan Goat Lan sudah mendapat pertolongan Kam Liong bahkan
telah diberi nasehat untuk menempati bekas benteng di lereng Bukit Alkata-san.
“Biar aku saja yang pergi bersama Lin Lin dan Cin Hai,” kata Kwee An kepada isterinya. “Kita tidak dapat
pergi berdua meninggalkan Cin-ji seorang diri di rumah. Begitu banyak orang-orang jahat sedang
memusuhi kita, maka tidak baik kalau rumah ditinggalkan, apa lagi jika meninggalkan Cin-ji seorang diri
tanpa ada yang menjaganya.”
“Ayah, aku juga mau pergi! Aku mau ikut pergi menyusul Enci Lan dan membantu dia menghancurkan para
pengacau yang mengganggu orang-orang di daerah perbatasan!” tiba-tiba Kwee Cin berkata dengan
penuh semangat. Anak ini nampak lucu sekali, kedua tangannya dikepal dan sepasang matanya bersinarsinar!
“Tidak boleh, sama sekali tidak boleh!” ayahnya berkata. “Perjalanan ke utara bukanlah perjalanan mudah.
Kau tinggal di rumah dengan ibumu!”
Kwee Cin tampak murung, akan tetapi Ma Hoa yang dapat merasakan kebenaran ucapan suaminya ini,
lalu menghibur puteranya dan berkata, “Ayahmu berkata benar, Cin-ji. Kau tak boleh ikut dan kita berdua
tinggal di rumah menjaga kalau-kalau ada musuh datang.”
“Kalau ada musuh datang, jangan sembunyikan aku di dalam kamar, Ibu. Biarkan aku ikut menghadapi
mereka!”
Sesudah ibunya menyanggupi, barulah Kwee Cin tidak murung lagi. Cin Hai dan Lin Lin hanya bermalam
satu malam saja di rumah Kwee An, dan pada keesokan harinya, Kwee An, Cin Hai dan Lin Lin berangkat
naik kuda menuju ke utara…..
********************
dunia-kangouw.blogspot.com
Kam Liong yang merasa senang sekali, membalapkan kudanya menuju ke kota Shaning. Ia merasa amat
bahagia, karena dapat bertemu dengan Pendekar Bodoh dan isterinya dan bisa membantu mereka. Tak
dapat tidak, dia tentu telah mendatangkan kesan baik di dalam hati mereka. Akan lebih licinlah jalan
menuju kepada cita-citanya, yaitu melakukan pinangan terhadap Lili. Dan sekarang ia bahkan telah
mendapat perkenan mereka untuk menyampaikan berita tentang Hong Beng dan tentang kedua suami
isteri itu kepada Lili, gadis yang membuatnya tidak nyenyak tidur setiap malam.
Akan tetapi, ketika ia teringat akan sesuatu, tak terasa pula ia menahan lari kudanya. Ia duduk di atas kuda
yang kini tak lari lagi itu dengan bengong dan wajahnya menjadi amat muram. Bagaimana kalau ternyata
bahwa Lili juga telah ditunangkan dengan lain orang? Seperti halnya Hong Beng dan Goat Lan, tanpa ia
duga mereka ini sudah bertunangan! Siapa tahu kalau-kalau Lili juga sudah ditunangkan! Tidak, tidak, tidak
mungkin! Ia cepat membantah jalan pikirannya sendiri dan kembali ia mengaburkan kudanya.
Ketika ia memasuki kota Shaning, tiba-tiba ia melihat seorang gadis berjalan seorang diri dari depan. Ia
menjadi terkejut dan juga girang karena ia mengenal gadis itu yang bukan lain adalah Lili yang berjalan
sambil menggendong buntalan, ada pun gagang pedangnya nampak pada balik punggungnya. Meski pun
gadis itu berada di tempat yang jauh, sekali melihat bayangannya saja, Kam Liong akan mengenalnya!
Ia cepat melompat turun dari kudanya dan kini ia berjalan kaki sambil menuntun kuda, menyongsong
kedatangan Lili. Gadis ini pun ternyata sudah mengenalinya, maka segera menghampirinya. Lili bukan
seorang gadis pemalu dan dia ramah tamah pula. Panglima muda ini telah berlaku ramah kepadanya,
bahkan telah memberi surat tentang kakaknya, maka tidak dapat dia membiarkan pemuda itu berlalu begitu
saja. Sesudah berhadapan keduanya saling memberi hormat sambil menjura.
“Sie-siocia (Nona Sie), sungguh kebetulan sekali kita dapat bertemu di sini! Aku sedang menuju ke
rumahmu untuk menyampaikan pesan orang tuamu!”
Lili tertegun. Bagaimana ayah bundanya dapat menyampaikan pesan kepadanya melalui Panglima Muda
ini? Akan tetapi, setelah membalas penghormatan pemuda itu ia berkata,
“Di manakah kau berjumpa dengan ayah ibuku, Kam-ciangkun?”
“Di luar kota Tiang-an. Akan tetapi, marilah kita duduk di sana karena ceritaku panjang, Nona.” Kam Liong
menunjuk ke arah sebatang pohon besar yang berada di pinggir jalan, maka Lili lalu mengikuti pemuda ini
ke tempat itu.
Setelah mengikat kudanya pada akar pohon dan membiarkan binatang itu makan rumput di bawah pohon,
Kam Liong lalu mengajak gadis itu duduk di atas batu besar dan dia pun mulai menceritakan semua hal
yang telah terjadi. Ia menuturkan tentang Goat Lan dan Hong Beng, kemudian menuturkan pula tentang
pertemuannya dengan Pendekar Bodoh dan isterinya.
“Kalau begitu, ayah dan ibuku telah berangkat dan menyusul ke utara, Kam-ciangkun?”
Kam Liong mengangguk. “Mungkin ayah bundamu telah pergi dengan Kwee Lo-enghiong, karena menurut
mereka, sebelum berangkat hendak pergi ke Tiang-an mengajak orang tua gagah she Kwee itu.”
Lili nampak kecewa. “Ahh, kalau begitu mereka tentu telah berangkat. Aku harus segera menyusul mereka
ke utara! Ahh, kasihan sekali Engko Hong Beng dan Enci Goat Lan!” Kemudian ia bangkit berdiri, menjura
kepada Kam Liong dan berkata,
“Kam-ciangkun, banyak terima kasih untuk semua jerih payahmu menyampaikan berita penting ini
kepadaku. Aku harus berangkat sekarang juga untuk menyusul mereka di utara!”
“Nanti dulu, Nona Sie. Ketahuilah bahwa aku sendiri pun hendak memimpin pasukan menuju ke utara. Aku
telah berjanji kepada kakakmu untuk membantu mereka menghalau para pengacau dan membuat
penjagaan kuat di perbatasan utara untuk menolak bahaya yang datang dari pihak Mongol. Perjalanan ke
utara bukanlah perjalanan mudah, selain di daerah itu amat tidak aman dan banyak sekali penjahat, juga
bagi yang belum pernah melakukan perantauan ke daerah itu, akan sukar mencari jalan ke Alkata-san.
Tentu saja aku percaya penuh bahwa kau tak akan gentar menghadapi para penjahat, akan tetapi, kalau
kau sudi, lebih baik kau melakukan perjalanan bersama aku dan pasukanku. Selain tidak membuang
banyak waktu untuk mencari-cari, juga di tempat berbahaya itu lebih baik berkawan dari pada seorang diri
dunia-kangouw.blogspot.com
saja. Daerah itu amat dingin dan kalau sampai kau terserang hawa dingin kemudian jatuh sakit, siapakah
yang akan menolongmu? Dengan bergabung, kita lebih kuat menghadapi bahaya. Tentu saja aku tidak
memaksamu, yakni kalau kau sudi melakukan perjalanan dengan orang bodoh seperti aku ini.”
Lili berpikir sejenak. Panglima Muda ini cukup sopan dan pemurah, juga seorang kawan seperjuangan
yang tidak menjemukan. Dan dia sudah banyak menolongnya, maka apa salahnya melakukan perjalanan
bersama? Kalau dipikir-pikir memang betul juga ucapan Panglima Muda ini, karena bukankah Sin Kong
Tianglo, guru dari Goat Lan yang sangat sakti pun terkena bencana di daerah dingin itu? Selain dari pada
semua itu, dia masih ingin banyak bertanya kepada panglima ini, baik mengenai pengalaman Goat Lan dan
Hong Beng, mau pun penjelasan tentang isi suratnya dahulu, yaitu surat dari Kam Liong yang
memberitahukan bahwa kakaknya telah menjadi orang buruan!
“Baiklah, Kam-ciangkun, dan untuk kedua kalinya, terima kasih atas kebaikan hatimu.”
Kam Liong merasa girang sekali, seakan-akan kejatuhan bulan. Akan tetapi tentu saja ia tak mengutarakan
kegirangannya ini, hanya nampak senyumnya melebar dan wajahnya berseri.
“Marilah kita ke kota Shaning dulu, Nona. Aku perlu memberi pesan kepada pembesar di Shaning agar
pekerjaanku memeriksa penjagaan di selatan dapat diwakili oleh seorang perwira lain.”
Demikianlah, kedua orang muda ini masuk kota Shaning dan Kam Liong cepat memberi perintah pada
pembesar setempat untuk menyampaikan surat-surat perintahnya kepada komandan barisan yang
menjaga di daerah selatan. Ketika melihat tanda pangkat yang dikeluarkan oleh Kam Liong, pembesar itu
segera menghormatinya sebagai seorang panglima kerajaan yang berkedudukan tinggi. Pemuda ini lalu
meminta seekor kuda yang baik untuk Lili, dan pada hari itu juga, berangkatlah keduanya keluar dari kota
Shaning, langsung menuju ke utara!
Sungguh sangat sedap dipandang melihat sepasang orang muda ini membalapkan kuda mereka. Yang
laki-laki muda, tampan, dan gagah sekali. Yang wanita cantik jelita dan juga amat gagah. Mereka seakanakan
merupakan dua orang pembalap yang melarikan kuda untuk berlomba.
Diam-diam Kam Liong makin merasa kagum kepada Lili yang ternyata selain memiliki kepandaian tinggi,
juga pandai sekali naik kuda. Ingin sekali dia menyaksikan sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian
puteri dari Pendekar Bodoh ini. Dia telah menyaksikan kepandaian Hong Beng dan merasa kagum sekali.
Apakah Lili juga sepandai kakaknya?
Di sepanjang jalan, Kam Liong selalu disambut dengan penuh penghormatan oleh para perwira dan
pembesar setempat sehingga diam-diam Lili juga mengagumi pemuda yang masih muda sudah menduduki
tempat tinggi ini. Juga Kam Liong selalu memperlihatkan sikap sopan santun, jauh sekali bedanya dengan
pemuda kurang ajar yang dulu mencuri sepatunya itu! Lebih-lebih kalau ia teringat betapa pemuda kurang
ajar itu telah menculik Lo Sian, makin gemaslah hatinya!
Pada saat Kam Liong ditanya oleh Lili mengenai pengalaman Goat Lan dan Hong Beng, Panglima Muda ini
lalu menceritakannya dengan sejelasnya, diiringi dengan pujian-pujian kepada Goat Lan dan Hong Beng
sehingga Lili makin suka kepada pemuda ini.
“Dan ketika aku melihatmu, kau nampak murung. Sebenarnya, kalau boleh kiranya aku mengetahui, kau
sedang menuju ke manakah, Nona?”
Apa bila pertanyaan ini diajukan oleh Kam Liong pada saat mereka bertemu, belum tentu Lili mau
menceritakannya. Akan tetapi oleh karena gadis ini melihat betapa Kam Liong sungguh-sungguh seorang
pemuda yang baik, gagah, dan boleh dijadikan kawan, ia lalu berkata sambil menarik napas panjang.
“Ahh, di rumah telah terjadi peristiwa yang cukup menggemparkan dan membingungkan hatiku.”
Kam Liong segera memandang dengan penuh perhatian. “Apakah yang terjadi, Nona? Siapa kiranya orang
gila yang berani main-main di rumah orang tuamu?”
“Ada orang jahat yang telah menculik Sin-kai Lo Sian bekas suhu-ku.”
“Apa...? Kau maksudkan Sin-kai Lo Sian, orang tua gagah yang kujumpai bersamamu dulu, orang tua yang
menuliskan kata-kata bersemangat di dinding makam panglima itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Lili mengangguk. “Benar, dia yang diculik orang.”
Ia lalu menuturkan peristiwa yang terjadi di rumahnya, betapa seorang pemuda bernama Song Kam Seng
masuk ke dalam rumah seperti maling dan betapa tahu-tahu Lo Sian telah lenyap. Ia tidak menceritakan
kepada Kam Liong bahwa ia tahu siapa penculik itu. Hatinya segan menuturkan siapa adanya orang yang
menculik Lo Sian, karena kalau memang betul pemuda kurang ajar itu adalah putera Ang I Niocu,
bukankah itu berarti ia memburukkan nama Ang I Niocu yang amat dikasihi oleh ayah bundanya?
Kam Liong menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aneh sekali. Orang yang bernama Song Kam Seng itu,
mengapa dia masuk rumah seperti pencuri? Apakah yang dicurinya?”
“Entahlah, hanya kutahu bahwa dia menaruh hati dendam terhadap ayah, dan rupanya karena ayah tidak
berada di rumah dia hendak mencuri sesuatu.”
“Yang lebih aneh lagi adalah lenyapnya Sin-kai Lo Sian. Siapa orangnya yang berani dan dapat
menculiknya? Dia adalah seorang tua yang memiliki kepandaian tinggi, bagaimana bisa diculik begitu saja?
Aku masih meragukan apakah betul-betul diculik orang. Siapa tahu kalau memang dia sengaja pergi?
Orang-orang kang-ouw memang banyak yang mempunyai watak aneh,” kata- pemuda itu.
Setelah diam sejenak, Lili teringat akan surat dulu itu, maka tanyanya, “Dan sekarang, Kam-ciangkun,
maukah kau menjelaskan isi suratmu kepadaku dahulu itu? Kesalahan apakah yang telah diperbuat oleh
kakakku Hong Beng sehingga kau menyatakan bahwa dia menjadi orang buruan?”
Merahlah wajah Kam Liong mendengar pertanyaan ini. “Aku telah salah sangka, Nona. Ketika itu, aku
memang mengira bahwa pemuda itu putera Pendekar Bodoh, karena dia pandai sekali dan dia dapat
mainkan ilmu-ilmu silat yang menjadi kepandaian ayahmu. Akan tetapi ketika aku bertemu dengan Saudara
Hong Beng barulah aku tahu bahwa sesungguhnya pemuda itu bukanlah putera ayahmu.” Ia lalu
menceritakan pertemuannya dengan Lie Siong ketika Lie Siong menolong Lilani dari tangan Gui Kongcu.
Mendengar penuturan ini, diam-diam Lili merasa dadanya tidak enak sekali. Hemm, tidak tahunya ‘pemuda
kurang ajar’ yang telah merampas sepatunya itu telah menolong gadis cantik yang dulu dilihatnya
mengejar-ngejar pemuda itu dan agaknya hubungan mereka menjadi demikian eratnya sehingga mereka
tidak dapat berpisah lagi!
Mendengar penuturan Kam Liong bahwa pemuda yang disangka saudaranya itu memiliki pedang yang
berbentuk naga dan lidah merah dari pedang naga itu lihai sekali, dia tidak sangsi pula bahwa pemuda
yang menolong Lilani itu tentulah pemuda kurang ajar yang mengaku-putera Ang I Niocu.
“Tahukah kau, Kam-ciangkun, siapa nama pemuda yang kau sangka saudaraku itu?”
“Dia berwatak aneh, keras dan tinggi hati sekali, Nona. Dia tidak mau memperkenalkan namanya. Akan
tetapi ilmu pedangnya sungguh-sungguh hebat sekali. Kalau melihat ilmu silatnya, kurasa kepandaiannya
tak berada di sebelah bawah dari kepandaian kakakmu, Saudara Hong Beng.”
Lili mencibirkan bibirnya sehingga dalam pandangan Kam Liong nampak manis sekali. “Huh, kepandaian
macam itu saja mengapa dikagumi? Kalau aku bertemu dia, pedang naganya pasti tak akan berkepala
lagi!”
Kam Liong merasa heran sekali mengapa gadis ini agaknya amat marah dan membenci pemuda
berpedang naga itu, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya. Makin besar keinginan hatinya untuk
menyaksikan kepandaian gadis yang agaknya jumawa sekali ini. Dia tidak percaya apa bila kepandaian
gadis ini akan lebih tinggi dari pada kepandaian pemuda yang menolong Lilani itu.
Pada waktu mereka tiba di kota raja, Kam Liong segera mengajak Lili singgah di rumah gedungnya dan ia
memperkenalkan gadis ini kepada ibunya yang sudah janda. Nyonya Kam ternyata adalah seorang wanita
terpelajar yang halus dan ramah-tamah, dan terus mengajak Lili bercakap-cakap.
Sementara itu Kam Liong lalu membuat laporan kepada Kaisar, dan kemudian menerima perintah untuk
memimpin sepasukan besar tentara pilihan untuk menuju ke utara dan menggempur para pengacau serta
memperkuat penjagaan tapal batas karena terdengar berita akan adanya serangan dari Malangi Khan, raja
bangsa Mongol.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kam Liong membutuhkan waktu selama tiga hari di kota raja untuk membuat persiapan, kemudian
berangkatlah pasukan di bawah pimpinannya. Kini pemuda itu mengenakan pakaian panglima dan makin
gagah saja. Lili minta diri dari Nyonya Kam yang baik hati, kemudian gadis ini pun ikut dengan pasukan itu,
naik kuda di depan bersama Kam Liong.
Ketika mendengar bahwa gadis itu adalah puteri Pendekar Bodoh, semua perwira dalam barisan itu
menjadi kagum dan diam-diam mereka tersenyum karena menaruh harapan bahwa komandan mereka,
Kam-ciangkun, akan berjodoh dengan pendekar wanita yang lincah dan jelita ini.
Lima hari setelah pasukan ini berangkat ke utara, mereka mulai melewati daerah yang amat sukar dan
dingin. Diam-diam Lili merasa bersyukur bahwa ia ikut dalam rombongan ini, karena memang harus
diakuinya bahwa kalau dia melakukan perjalanan seorang diri tentu dia akan menempuh kesukaran besar
sekali.
Pada suatu hari, ketika pasukan itu dengan susah payah mendaki sebuah lereng gunung yang tertutup
salju, tiba-tiba saja Kam Liong dan Lili yang berkuda di depan, melihat dua orang tua berlari cepat dari arah
kanan.
“Hei...! Bukankah itu Kam-ciangkun yang memimpin pasukan?” tiba-tiba salah seorang di antara kedua
kakek itu berseru girang sambil berlari menghampiri.
Ketika kedua orang ini sudah dekat, hampir saja Lili tidak dapat menahan ketawanya. Dia melihat dua
orang pendeta, seorang tosu dan seorang hwesio yang keadaannya sangat lucu.
Mereka sudah tua dan tosu itu bertubuh tinggi kurus, mukanya yang keriputan saking tuanya itu nampak
makin menyedihkan karena selalu dia bermuka seperti orang hendak menangis! Ada pun hwesio yang
menjadi kawannya itu pun lucu sekali. Tubuhnya gemuk seperti tong besar, bajunya terbuka sehingga biar
pun berada di tempat dingin, perutnya yang gendut selalu nampak. Mukanya bundar seperti bal dan selalu
menyeringai seperti orang yang merasa gembira sekali.
“Kam-ciangkun, apakah kau hendak memimpin pasukanmu ke Alkata-san?” bertanya Si Tosu yang mau
menangis itu.
Sebelum Kam Liong menjawab dan berkata dengan dua orang pendeta itu, Lili tak dapat menahan hatinya
lagi dan bertanya girang,
“Apakah dua orang pendeta ini bukan Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio?”
Kedua orang pendeta itu terkejut dan memandang kepada Lili dengan penuh perhatian.
“Kam-ciangkun, siapakah Nona yang cantik dan gagah ini?” Si Hwesio bertanya sambil tersenyum-seyum.
“Kawan lama, Ji-wi Losuhu (Dua Orang Pendeta). Kawan lama!” Kam Liong menjawab gembira. “Tentu Jiwi
takkan dapat menduga siapa dia, karena dia ini adalah Nona Sie Hong Lie, puteri dari Sie Cin Hai
Taihiap Pendekar Bodoh!”
“Apa...?!” Ceng To Tosu dengan mewek-mewek mau menangis lalu menghampiri Lili dan memegang
tangan kirinya, sedangkan Ceng Tek Hwesio yang semakin lebar ketawanya juga menghampirinya dan
memegang tangan kanannya.
Lili menjadi gembira sekali. Sering kali ayah dan ibunya terkekeh-kekeh kalau bercerita tentang kedua
orang ini yang muncul pada masa ayah ibunya masih muda. Kini melihat mereka, walau pun sudah
nampak tua sekali namun keadaan mereka masih tetap tidak berubah, persis seperti yang digambarkan
oleh ayah dan ibunya, mau tidak mau Lili lalu tertawa terpingkal-pingkal sehingga dia menggunakan tangan
yang dipegang lengannya itu untuk menutupi mulutnya. (baca cerita Pendekar Bodoh)
“Ji-wi Losuhu,” akhirnya dia berkata sesudah dapat menahan geli hatinya. “Jiwi hendak pergi kemanakah?
Apakah Jiwi telah bertemu dengan ayah bundaku?”
“Di mana ayahmu? Di manakah Sie Taihiap? Sudah bertahun-tahun kami tidak bertemu dengan dia,” jawab
Ceng To Tosu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ayah dan Ibu juga berada di daerah utara ini,” kata Lili.
“Apa...? Betulkah?” tanya Ceng Tek Hwesio.
Kemudian Kam Liong lalu menuturkan kepada kedua orang pendeta ini tentang semua peristiwa yang
terjadi sehingga kedua orang pendeta itu menjadi girang sekali.
“Ahh, usiaku yang tinggal sedikit ini ternyata penuh dengan kebahagiaan,” kata Ceng To Tosu. “Berjumpa
dengan Nona Sie Hong Li puteri Sie Taihiap sudah merupakan hal yang membahagiakan, apa lagi
sekarang ada kemungkinan bertemu lagi dengan Sie Taihiap sendiri dan puteranya!”
“Akan tetapi Ji-wi Losuhu mengapa sampai berada di tempat ini? Ada keperluan penting apakah?” tanya
Kam Liong.
Kini Ceng Tek Hwesio yang menceritakan dengan muka berseri-seri seakan-akan cerita itu merupakan
sebuah cerita yang menggirangkan hati. Padahal cerita itu amat hebat dan seharusnya patut dibuat
gelisah.
Ternyata bahwa Malangi Khan, raja bangsa Mongol, sudah membuat persiapan perang besar-besaran dan
bala tentaranya dipecah menjadi dua, satu barisan menyerang dari utara dan barisan ke dua menyerang
dari barat. Pertempuran-pertempuran kecil sudah pecah antara barisan Mongol yang di bagian barat
sebagian besar sudah menggabung dengan tentara Tartar, melawan pasukan-pasukan penjaga kerajaan
yang tidak berapa kuat.
“Sudah demikian hebat keadaannya?” kata Kam Liong dengan kaget.
“Itu masih belum hebat, Kam-ciangkun. Yang paling menggemaskan adalah terdapatnya banyak sekali
orang-orang kang-ouw yang menggabungkan diri dan membantu Malangi Khan!”
“Hebat, siapakah pengkhianat-pengkhianat bangsa itu?”
“Belum diketahui, Ciangkun. Akan tetapi menurut laporan-laporan para prajurit yang dulu menjaga di
perbatasan dan telah dipukul mundur, di antara pemimpin-pemimpin pasukan Tartar dan Mongol, banyak
sekali terdapat orang-orang bangsa kita sendiri yang memiliki kepandaian tinggi. Oleh karena itu kami
sengaja mencarimu atas perintah suhu-mu dan siok-humu (pamanmu) yang telah mengumpulkan
beberapa orang gagah untuk menjadi sukarelawan menghadapi serbuan musuh.”
Berseri wajah Kam Liong mendengar berita ini. “Suhu dan Siok-hu? Di mana mereka?”
“Tidak jauh dari sini, di hutan sebelah barat itu, Ciangkun. Marilah kau ikut bersama kami menjumpainya
dan kau juga, Nona Sie. Kau akan bertemu dengan orang-orang gagah di sana.”
Tentu saja Lili tidak menolak. Sesudah berpesan kepada para perwira untuk memberi kesempatan kepada
pasukan beristirahat di situ, Kam Liong beserta Lili lalu berjalan kaki mengikuti dua orang pendeta itu.
Mereka mempergunakan ilmu lari cepat, maka tak lama kemudian sampailah mereka di hutan yang
nampak dari tempat pemberhentian tadi.
Suhu dari Kam Liong adalah seorang tosu yang bertubuh tinggi besar berwajah galak. Sungguh pun
usianya telah mendekati empat puluh tahun, akan tetapi rambut kepalanya masih subur dan hitam
sehingga ia nampak lebih muda dari usia sebenarnya! Tiong Kun Tojin masih terhitung suheng (kakak
seperguruan) yang ilmu kepandaiannya lebih tinggi dari pada mendiang Kam Hong Sin.
Ada pun yang disebut paman atau siok-hu dari Kam Liong, adalah adik misan dari ayah Kam Liong dan
bernama Kam Wi. Kam Wi juga bukan orang sembarangan, karena dia memiliki kepandaian yang tinggi
pula. Ia menjadi sute (adik seperguruan) dari Tiong Kun Tojin. Selain sudah mewarisi ilmu silat Kun-lun-pai,
juga Kam Wi telah mempelajari Ilmu Houw-jiauw-kang yang lihai, semacam ilmu silat tangan kosong yang
amat berbahaya.
Oleh karena itu, Kam Wi jarang sekali mempergunakan senjata, sungguh pun dia pandai pula memainkan
pedang. Dia selalu menghadapi lawannya hanya dengan tangan kosong, mengandalkan Ilmu Silat Houwjiauw-
kang yang sempurna. Dan oleh karena Ilmu Silat Houw-jiauw-kang (Cengkeraman Kuku Harimau)
dunia-kangouw.blogspot.com
inilah maka dia sudah mendapat julukan Sin-houw-enghiong (Pendekar Harimau Sakti)!
Tiong Kun Tojin dan Kam Wi mempunyai watak yang cocok. Keduanya beradat keras, berangasan, akan
tetapi jujur serta gagah perkasa, pembela kebenaran dan keadilan. Kalau Tiong Kun Tojin sudah berusia
empat puluh tahun, adalah Kam Wi baru berusia tiga puluh tahun lebih. Juga ia mempunyai tubuh tinggi
besar seperti suheng-nya.
Pada waktu mendengar tentang penyerbuan dan pengacauan bangsa Mongol dan Tartar di daerah
perbatasan negaranya, maka kedua orang gagah ini timbul semangat dan jiwa patriotnya. Mereka segera
meninggalkan Gunung Kun-lun-san dan menuju ke utara.
Di sepanjang perjalanan mereka mengajak para tokoh kang-ouw. Kemudian mereka lalu berkumpul di
hutan itu, hutan yang hanya dilindungi oleh pohon-pohon gundul karena daunnya telah rontok semua.
Dahan-dahannya kini penuh oleh salju yang menggantikan kedudukan daun-daun yang sudah lenyap.
Di tengah-tengah hutan yang berada di lereng gunung itu terdapat sebuah goa besar dan karena adanya
goa besar inilah maka tokoh-tokoh Kun-lun-pai itu memilih tempat ini.
Ketika Kam Liong dan Lili yang mengikuti dua orang pendeta itu tiba di luar goa, mereka melihat sinar api
dari dalam goa. Ternyata bahwa di dalam goa itu duduk lima orang yang mengelilingi api unggun yang
bernyala besar. Hawa panas keluar dari goa itu dan karena hawa di luar goa demikian dinginnya, maka
panas ini mendatangkan udara yang nyaman sekali.
“Aduh, enak... enak...!” kata Ceng Tek Hwesio sambil tersenyum-senyum dan mendekati mulut goa.
“Kam-ciangkun, kalau kau dan Nona Sie kuat menghadapi panas yang hebat itu, maka masuklah,
berjumpa dengan suhu-mu. Kami berdua tidak kuat bertahan terlalu lama di dalam neraka itu!” kata Ceng
To Tosu.
Dari luar Kam Liong sudah melihat suhu-nya dan pamannya duduk bersama tiga orang lain yang tidak
dikenalnya. Nampak mereka sedang bercakap-cakap dengan asyiknya. Kam Liong maklum bahwa tanpa
mempunyai tenaga lweekang yang tinggi, tak mungkin orang akan dapat bertahan duduk di goa yang
panas itu sampai lama.
Ia telah maklum akan kepandaian Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu, namun kedua orang pendeta itu
masih tidak kuat tinggal lama-lama di dalam goa dan kini hanya duduk di luar goa! Akan tetapi, tidak
percuma ia menjadi murid Tiong Kun Tojin, tokoh luar biasa dari Kun-lun-pai. Ia maklum bahwa untuk kuat
bertahan di dalam goa yang panas itu, dia harus mengerahkan lweekang-nya guna memperkuat daya Imkang
di dalam tubuh untuk melawan daya Yang-kang. Ia lalu melirik kepada Lili yang memandang ke
dalam dengan sikap acuh tak acuh.
“Nona, kalau terlalu panas untukmu, biarlah aku masuk menjumpai Suhu dan siok-hu.”
“Siapa bilang terlalu panas? Aku pun ingin sekali berjumpa dengan orang-orang yang suka mendekati api
itu,” jawab Lili, karena diam-diam gadis ini pun amat tertarik hatinya melihat lima orang yang seakan-akan
mendemonstrasikan kepandaian mereka itu.
Mendengar jawaban ini, selain tertegun Kam Liong juga kagum dan gembira, karena kali ini ia akan dapat
menyaksikan dan membuktikan hingga di mana keunggulan kepandaian gadis ini. Ia lalu melangkah masuk
diikuti oleh Lili.
Bukan main panasnya hawa di dalam goa itu. Baiknya di langit-langit goa terdapat lobang di antara batu
karang sehingga asap api unggun itu dapat keluar dan tidak menyesakkan napas di dalam goa. Akan tetapi
api yang besar itu benar-benar membuat kulit serasa hampir terbakar.
Ketika melihat kedatangan Kam Liong dan Lili, lima orang yang sedang bercakap-cakap itu segera
menunda percakapan mereka dan kini semua mata tertuju kepada dua orang muda ini.
“Suhu, sungguh menggembirakan dapat bertemu dengan Suhu di sini!” kata Kam Liong setelah berlutut,
kemudian ia berpaling kepada pamannya dan berkata, “Siok-hu, apakah Siok-hu baik-baik saja?”
Kedua orang tua itu girang melihat Kam Liong.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ah, kebetulan sekali. Kau baru datang?” tanya suhu-nya. “Memang kami sedang bicara tentang
penyerbuan musuh. Kebetulan kau datang, karena sesungguhnya secara resmi, kaulah yang bertanggung
jawab menghadapi mereka.”
Sebaliknya, pada saat Kam Wi melihat Lili yang masih muda dan cantik itu dapat pula bertahan memasuki
goa dan sama sekali tidak nampak kepanasan, diam-diam ia merasa kagum sekali.
“Eh… Liong-ji (Anak Liong), siapakah Nona yang gagah ini?”
“Dia adalah Nona Sie Hong Li, puteri dari Sie Taihiap!”
“Kau maksudkan Sie Taihiap Pendekar Bodoh?” tanya Kam Wi setengah tidak percaya.
Ketika Kam Liong mengangguk membenarkan pertanyaan ini, tidak saja Kam Wi yang memandang dengan
penuh perhatian bahkan Tiong Kun Tojin dan ketiga orang lain itu memandang dengan penuh perhatian.
Terdengar seorang di antara ketiga kakek yang duduk di situ mengeluarkan seruan heran dan berkata,
“Ah, kebetulan sekali! Telah lama sekali kami merindukan untuk menyaksikan kepandaian Pendekar Bodoh
yang telah amat terkenal namanya. Hari ini bertemu dengan puterinya, setidaknya kami akan dapat menilai
sampai di mana tingkat kepandaian Pendekar Bodoh yang terkenal itu!”
Mendengar nama ayahnya disebut-sebut oleh suara orang yang agaknya sombong ini, Lili segera
mengangkat mukanya memandang dengan penuh perhatian. Suhu dari Kam Liong dan juga pamannya,
memang patut menjadi orang gagah.
Wajah mereka kereng dan tubuh mereka pun tinggi besar, terutama sekali pandang mata dua orang tokoh
Kun-lun-pai ini amat tajam dan memandang dengan jujur dan langsung. Akan tetapi, tiga orang kakek
lainnya yang duduk di situ betul-betul membuat Lili hampir tertawa geli. Orang-orang macam ini pantas
sekali kalau menjadi sahabat Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio, karena mereka ini pun mempunyai
bentuk tubuh yang aneh.
Yang bicara tadi adalah seorang yang tubuhnya seperti anak-anak, kepalanya botak dan jenggotnya sudah
putih semua. Dia mengempit sebuah payung butut. Orang yang ke dua bertubuh gemuk pendek dengan
muka lebar dan mulut serta mata besar. Kepalanya tertutup kopyah pendeta yang bertuliskan huruf
‘Buddha’. Orang ini selalu tersenyum lebar dan di pinggangnya terlilit rantai yang panjang dan besar. Orang
ke tiga bertubuh tinggi kecil dan kepalanya yang kecil tertutup kopyah. Kumisnya hanya beberapa lembar
di kanan kiri, ada pun jenggotnya yang hitam berbentuk jenggot kambing. Ia memegang sebatang tongkat
sederhana.
Lili sama sekali tak pernah menduga bahwa tiga orang ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis
Geledek dari Hailun) yang amat tersohor namanya. Seperti pernah dituturkan di bagian depan, pada waktu
mencarikan obat untuk putera pangeran, Goat Lan pernah bertemu dengan tiga orang kakek itu. Juga
pernah dituturkan bahwa ketiga orang kakek ini setelah mendengar dari Ban Sai Cinjin bahwa
pertandingan pibu melawan rombongan Pendekar Bodoh akan diadakan setahun lagi, yaitu pada
permulaan musim semi, lalu meninggalkan Ban Sai Cinjin untuk melanjutkan perantauan mereka.
Sungguh pun ketiga orang kakek ini memiliki kegemaran yang buruk, yaitu suka sekali berkelahi dan
mencoba ilmu kepandaian serta tidak mau kalah, namun mereka masih tetap merupakan orang-orang
gagah yang tak mau melakukan kejahatan. Bahkan orang pertama, Thian-he Te-it Siansu yang bertubuh
kate, dan Lak Mau Couwsu yang pendek gemuk, mempunyai jiwa pahlawan.
Mereka berdua ini merasa tak senang mendengar betapa bangsanya banyak yang diculik dan dirampok
oleh orang-orang Mongol dan Tartar. Orang ke tiga, yang bernama Bouw Ki, sebetulnya adalah seorang
keturunan Mongol, akan tetapi ketika mendengar betapa kedua orang suheng-nya hendak membantu
tentara kerajaan mengusir para pengacau bangsa Tartar dan Mongol, dia segera menyatakan
kesediaannya untuk membantu pula!
Dahulu Bouw Ki menjadi tokoh di negara Mongol. Akan tetapi semenjak Malangi Khan merebut tahta
kerajaan, dia melarikan diri dan mendendam kepada Malangi Khan yang sudah banyak membunuh
keluarganya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah, ketika Hailun Thai-lek Sam-kui bertemu dengan Tiong Kun Tojin dan Kam Wi, kedua orang
tokoh Kun-lun-pai ini, mereka segera mengadakan pertemuan di dalam goa itu untuk merundingkan
maksud mereka membantu gerakan tentara pemerintah yang hendak mengusir bangsa Tartar dan Mongol.
Inilah sebab mengapa Lili menjumpai mereka di dalam goa.
Ketika kelima orang tua itu mengadakan pertemuan di dalam goa, dengan jujur Kam Wi menyatakan
bahwa hawa sangat dingin. Mendengar ini, Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak dan ia mengusulkan
membuat api unggun di dalam goa. Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu disuruh mengumpulkan kayu
kering dan tidak lama kemudian bernyala api unggun besar di dalam goa itu.
Karena panasnya tak tertahankan lagi oleh Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu, maka kedua orang ini
lalu keluar dan kemudian disuruh oleh Tiong Kun Tojin untuk mencegat perjalanan barisan dari kerajaan
hingga kebetulan bertemu dengan Kam Liong.
Ada pun kelima orang pandai itu, sesudah menyalakan api unggun, timbullah sifat Hailun Thai-lek Sam-kui
untuk menguji kepandaian orang. Mereka dengan sengaja menambah bahan bakar sehingga kini api
unggun itu diadakan tidak lagi untuk mengusir hawa dingin, melainkan diadakan untuk menguji kepandaian
masing-masing!
Tentu saja kedua orang tokoh Kun-lun-pai yang mengerti maksud tiga orang tamunya, tidak mau menyerah
kalah begitu saja dan seakan-akan tidak mengerti maksud mereka. Kedua orang ini bahkan mengajak
Hailun Thai-lek Sam-kui bercakap-cakap sampai Kam Liong dan Lili datang.
Lili yang merasa mendongkol juga ketika mendengar ucapan Thian-he Te-it Siansu yang menyinggung
nama ayahnya, lalu berkata,
“Siapakah gerangan Sam-wi Lo-enghiong (Tiga Orang Tua Gagah) yang telah mengenal nama ayahku?”
Ketiga orang aneh itu tidak menjawab, melainkan hanya tertawa-tawa saja dan Bouw Ki sekarang
menambah lagi kayu bakar pada api unggun itu sehingga kini makin besarlah nyalanya dan makin panas
hawanya.
Tiong Kun Tojin merasa tak enak melihat sikap tiga orang kakek itu, karena menghadapi puteri Pendekar
Bodoh ia tak berani memandang rendah, maka ia lalu memperkenalkan,
“Kam Liong, dan kau juga Nona Sie. Ketahuilah bahwa tiga orang tua ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui
yang sangat terkenal. Mereka datang untuk membantu kita mengusir pengacau di perbatasan.”
Kam Liong terkejut dan menjura dengan hormat kepada tiga orang kakek itu, akan tetapi Lili tiba-tiba
tertawa mengejek.
“Ahh, tidak tahunya aku berhadapan dengan tiga orang kakek gagah perkasa, demikian gagah perkasanya
sehingga suka mengeroyok seorang gadis yang bernama Goat Lan!”
Tiong Kun Tojin dan Kam Wi, juga Kam Liong menjadi tertegun mendengar ucapan ini, dan mereka merasa
khawatir sekali melihat gadis itu berani mengejek tiga orang kakek itu. Akan tetapi, Hailun Thai-lek Sam-kui
memang memiliki watak yang aneh, mereka ini tidak pernah marah, dan hanya satu kesukaannya, yaitu
berkelahi mencari kemenangan! Kini mendengar ejekan Lili, mereka sama sekali tidak marah. Lak Mau
Couwsu berkata sambil memperlebar senyumnya,
“Ah, murid Sin Kong Tianglo itu telah menceritakan tentang perjumpaannya dengan kami bertiga? Bagus,
katakan kepadanya bahwa lain kali dia tak akan kami lepaskan sebelum mengaku kalah. Ha-ha-ha!”
Tiong Kun Tojin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang dikenal berwatak keras, jujur dan suka berterus
terang. Melihat betapa di antara ketiga orang kakek itu dan Lili terdapat pertentangan, dia lalu berkata terus
terang,
“Dalam waktu seperti ini, di mana negara dan bangsa sedang terancam oleh musuh dari luar, sungguh
sangat disesalkan kalau di antara kita saling cakar-cakaran! Lebih baik kita melupakan untuk sementara
waktu urusan lama yang terjadi di antara kita, dan mari kita mempersatukan tenaga untuk menolong
negara! Ada pun tentang pengujian kepandaian, dapat dilakukan di sini tanpa membahayakan nyawa!
Biarlah kutambah lagi api ini untuk melihat siapa yang paling kuat di antara kita.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil berkata demikian, tokoh Kun-lun-pai ini lalu menambahkan kayu bakar lagi pada api unggun yang
sudah sangat besar itu. Kam Liong hampir tak dapat menahannya lagi. Peluhnya telah mulai keluar
membasahi jidatnya. Pada waktu ia mengerling ke arah Lili, ternyata bahwa gadis ini masih tersenyumsenyum
seakan-akan tak merasa panas sama sekali!
“Kam Liong, kau keluarlah. Kau tak usah ikut serta dalam ujian ini!” kata suhu-nya untuk menolong
muridnya ini, karena dia maklum bahwa kepandaian Kam Liong masih belum cukup matang untuk dapat
menahan panas yang demikian hebatnya.
Kam Liong lalu menjura dan setelah mengerling sekali kepada Lili, ia lalu keluar dari situ, disambut oleh
Ceng Tek Hwesio dan Ceng To Tosu.
“Aduh, kukira kau tak akan keluar, Kam-ciangkun. Kalau aku yang berada di dalam, bisa kering seluruh
tubuhku!” kata hwesio gemuk itu.
“Ehh, apakah Nona Sie masih bertahan di dalam?” tanya Ceng To Tosu heran.
Kam Liong mengangguk. Ia belum berani mengeluarkan suara, karena pergantian hawa dari dalam yang
panas menjadi dingin sekali di luar, membutuhkan pengerahan tenaga lweekang untuk mengatur aliran
darahnya.
Ada pun Lili yang menghadapi kelima orang itu, sambil tersenyum-senyum memandang kepada mereka.
Dilihatnya betapa muka kelima orang itu merah sekali tersorot oleh api unggun dan betapa mereka
mempertahankan dengan sinkang mereka yang tinggi, tetap saja nampak betapa mereka itu telah mulai
terserang rasa panas yang luar biasa ini.
Lili sendiri juga merasakan serangan hawa panas itu, akan tetapi dia bukanlah puteri Pendekat Bodoh dan
cucu murid Bu Pun Su kalau harus kalah sedemikian mudahnya. Ia sudah mempelajari latihan sinkang
yang luar biasa dari ayahnya, yaitu latihan sinkang pokok yang dahulu diajarkan oleh Bu Pun Su kepada
ayahnya. Pengerahan sinkang-nya membuat tubuhnya sebentar-sebentar terasa dingin sekali, maka dia
berseru,
“Aduh dinginnya...”
Thian-he Te-it Siansu memandangnya dengan kagum dan heran, lalu menganggukkan kepalanya dan
berkata, “Memang dingin sekali! Biar kutambah lagi kayu bakarnya!” Kakek botak yang kecil ini lalu
menambah kayu bakar lagi sehingga api berkobar semakin tinggi dan hawa panas makin menghebat!
Melihat hal ini, diam-diam Lili terkejut sekali. Sinkang dari lima orang tua ini benar-benar hebat sekali, dan
karena ia kalah latihan, kalau dilanjutkan akhirnya ia sendiri yang akan mundur dan mengaku kalah. Akan
tetapi, Lili adalah puteri Pendekar Bodoh dan ibunya terkenal amat cerdik. Gadis ini pun mempunyai
kecerdikan, ketabahan, dan ketenangan yang luar biasa sekali.
Dia lalu berpikir dan mengingat-ingat dongeng yang dulu sering ia dengar dari kakeknya, yaitu Yousuf.
Sesudah mengingat sebuah dongeng tentang padang pasir, dia kemudian tersenyum, menghafalkan sajak
tentang Abdullah yang terserang panas di padang pasir. Setelah hafal betul di luar kepala, gadis ini lalu
tersenyum-senyum girang. Dia lalu berdiri dan mengumpulkan semua kayu bakar, dan dilemparkannya
kayu bakar itu ke dalam api unggun. Api kini menyala hebat sekali sampai menyundul pada langit-langit
goa!
Lima orang tua itu kaget sekali dan cepat mereka mengerahkan tenaga dalam, karena kini hawa panas luar
biasa hebatnya. Lili sendiri lalu duduk bersila, mengatur napas dan duduk bagaikan orang bersemedhi,
seluruh perasaannya melupakan adanya api unggun, bahkan kini membayangkan keadaan di luar goa
yang tertutup salju dan dingin sekali.
Sesudah hawa panas sedikit mereda, tiba-tiba gadis ini lalu menyanyikan sajak yang tadi dihafalnya di luar
kepala. Dia bernyanyi tanpa mempergunakan perasaannya sehingga ia tidak terpengaruh oleh
nyanyiannya sendiri.
Lima orang tua itu mendengar suara yang merdu dan indah, tak dapat bertahan lagi lalu memperhatikan
kata-kata nyanyian itu. Memang Lili mempunyai suara yang amat merdu, dan terdengarlah dia bernyanyi
dunia-kangouw.blogspot.com
keras,
Abdullah kelana sengsara.
Haus, lapar, lelah tak berdaya.
Tersesat di gurun pasir tandus.
Matahari membakar, panas... haus!
Tak tertahankan panasnya, serasa dibakar.
Mata silau, terasa pedas, perih, nanar.
Kulit mengering.
Kepala pening...
Aduh panasnya, panas tak tertahankan...!
Dahulu ketika Yousuf menyanyikan sajak ini ketika mendongengkannya tentang Abdullah si musafir kelana,
Lili sering kali merasa ikut kepanasan dan seolah-olah dia merasakan betapa sengsaranya berada di
padang pasir yang kering itu. Kini dia bernyanyi dengan suaranya yang merdu, didengarkan dengan penuh
perhatian oleh lima orang tua itu. Dan akibatnya sungguh hebat!
Ketika dia bernyanyi sampai di bagian ‘mata silau, terasa pedas, perih, nanar’, terdengar keluhan Kam Wi
yang tidak kuat lagi membuka matanya, seakan-akan api unggun yang bernyala itu berubah menjadi
matahari yang luar biasa panas dan menyilaukan matanya. Kepalanya menjadi pening dan betapa pun
ditahan-tahannya, ia tidak kuat lagi sehingga untuk berjalan keluar saja dia tidak kuat lagi.
Suheng-nya, Tiong Kun Tojin, yang melihat keadaan sute-nya ini, segera menggerakkan kaki kanannya
mendorong tubuh sute-nya itu yang lalu terpental dan bergulingan keluar sampai di pintu goa. Setelah
mendapatkan hawa segar dari luar, barulah Kam Wi dapat mengerahkan tenaga dan melompat keluar
dengan terengah-engah!
Tiong Kun Tojin menolong sute-nya tanpa berani mengeluarkan sepatah kata pun, sebab dia sendiri juga
sudah hampir tidak kuat, apa lagi ketika Lili mengulang nyanyiannya dan menambahkan semua sisa kayu
bakar pada api unggun itu!
Juga Hailun Thai-lek Sam-kui dengan susah payah berusaha untuk menahan serangan hawa panas yang
luar biasa dan yang sekarang menjadi berlipat ganda hebatnya setelah mereka mendengarkan nyanyian
Lili.
“Tutup mulut...! Jangan menyanyi...!” Thian-he Te-it Siansu membentak.
Akan tetapi bentakannya ini membuat dia semakin lemah dan pertahanannya tidak dapat melawan
pengaruh panas yang mendesak. Sambil berseru keras tubuhnya berkelebat keluar dari situ dan langsung
diikuti oleh kedua orang sute-nya. Sesampai di luar, mereka terengah-engah dan cepat-cepat duduk
bersemedhi untuk mengatur napas.
Tiong Kun Tojin berusaha mencoba untuk mempertahankan diri. Sebagai seorang tokoh Kun-lun-pai yang
sudah ternama, dia merasa malu kalau harus mengaku kalah dalam hal menghadapi api unggun oleh gadis
yang cerdik dan banyak akal ini. Akan tetapi gema nyanyian Lili betul-betul membuat dia bohwat
(kehabisan akal) dan terpaksa ia lalu berdiri dari tempat duduknya, memandang ke arah Lili yang ternyata
sekarang bernyanyi sambil duduk bersemedhi meramkan matanya itu.
Lili memang sedang memusatkan tenaganya dan biar pun mulutnya bernyanyi, tetapi dia bernyanyi tanpa
menggunakan perasaan atau pikiran. Tahulah Tiong Kun Tojin akan akal bulus gadis ini dan diam-diam ia
menjadi kagum sekali. Ia tidak kuat berdiam di situ lebih lama lagi dan dengan tindakan perlahan ia keluar
dari goa.
Berbeda dengan yang lain-lain, dia keluar dengan tenang dan sambil berjalan. Dia sudah mengatur
napasnya sehingga ketika tiba di luar goa, keadaannya tidak apa-apa, hanya mukanya saja telah penuh
dengan peluh!
Baru saja tiba di luar, berkelebatlah bayangan Lili. Gadis ini hanya nampak merah saja mukanya, tanpa
peluh setitik pun. Kemerahan mukanya menambah kemanisan gadis ini sehingga semua orang
memandangnya dengan penuh kekaguman.
“Ahh, tidak mengecewakan kau menjadi puteri Pendekar Bodoh!” Tiong Kun Tojin memuji dengan setulus
dunia-kangouw.blogspot.com
hati.
Juga Sin-houw-enghiong Kam Wi yang berwatak kasar dan jujur lantas berkata kepada Kam Liong,
“Liong-ji, apa bila kau dapat berjodoh dengan Nona ini, hatiku akan puas sekali dan roh ayahmu akan
tersenyum bahagia! Aku akan mencari Pendekar Bodoh untuk mengajukan pinangan!”
Kam Liong menjadi kaget sekali dan menyesal akan kelancangan pamannya yang kasar itu. Diam-diam dia
mengerling ke arah Lili yang menjadi merah sekali mukanya, bukan merah akibat panasnya api, akan tetapi
merah sampai ke telinga-telinganya saking malu, jengah dan marahnya.
Dia memandang dengan mata bersinar tajam kepada pembicara itu, agaknya siap untuk memaki. Akan
tetapi Kam Liong buru-buru menghampirinya dan menjura amat dalam lalu berkata,
“Nona Sie, mohon maaf sebanyaknya apa bila ucapan pamanku menyinggung hatimu. Percayalah, Siok-hu
(Paman) tidak bermaksud buruk dan dia sama sekali bukan hendak menghinamu. Harap kau sudi
memaafkannya.”
Mendengar ucapan dan melihat sikap pemuda ini, Lili merasa tidak enak hati kalau terus melanjutkan
kemarahannya terhadap orang tinggi besar yang kasar itu. Akan tetapi tetap saja dia mengomel,
“Agaknya orang di sini tidak tahu aturan dan boleh bicara apa saja seenak hatinya, tanpa mempedulikan
orang lain seolah-olah dia yang lebih tinggi dan lebih pintar. Kam-ciangkun, marilah kita melanjutkan
perjalanan, aku hendak mencari keluargaku. Untuk apa kita lama-lama di sini? Kalau kau masih hendak
lama berdiam di tempat ini, terpaksa aku akan pergi lebih dulu!”
Kam Liong menjadi serba salah dan memandang kepada suhu serta pamannya. Akan tetapi sebelum tiga
orang ini dapat mengeluarkan kata-kata, Thian-he Teit Siansu, orang pertama dari Thai-lek Sam-kui itu,
berkata sambil tertawa,
“Nona Sie, kau telah mengakali kami bertiga. Kau cerdik sekali! Akan tetapi hatiku belum puas karena
belum melihat kepandaianmu yang sebenarnya. Marilah kau melayani kami sebentar, hendak kulihat
apakah kepandaianmu sama tingginya dengan akal bulusmu!” Sambil berkata demikian, kakek kate ini
menggerak-gerakkan payungnya.
Pada waktu itu Lili sedang merasa jengkel dan marah karena ucapan Kam Wi tadi, maka kini mendengar
orang menantangnya, ia menjawab marah,
“Kalian ini tiga orang iblis tua ternyata jahat dan sombong. Kalian kira aku takut kepada kalian? Di dalam
waktu seperti ini, kalian datang katanya hendak membantu perjuangan dan mengusir para pengacau, akan
tetapi siapa tahu bahwa ternyata kalian hanya hendak mencari permusuhan dengan setiap orang yang
kalian jumpai. Kalian hendak mengajak berkelahi? Baik, majulah aku Sie Hong Li tidak takut sedikit pun!”
Sambil berkata begitu sekali ia menggerakkan kedua tangannya, pedang Liong-coan-kiam sudah berada di
tangan kanan dan kipas maut telah berada di tangan kirinya! Dia berdiri dengan sikap gagah sekali,
mukanya merah matanya menyala.
Melihat sikap ini, Tiong Kun Tojin lalu cepat melangkah maju dan berkata kepada Hailun Thai-ek Sam-kui,
“Sam-wi sungguh tidak dapat membedakan orang. Bicara terhadap seorang gadis muda seperti Nona Sie,
seharusnya jangan disamakan dengan pembicaraan terhadap seorang yang telah masak oleh api
pengalaman.” Kemudian tosu ini lalu berpaling kepada Lili dan berkata,
“Nona Sie, sesungguhnya memang sudah menjadi watak Hailun Thai-lek Sam-kui untuk menguji
kepandaian tiap orang yang dijumpainya. Ini adalah cara penghargaan mereka. Kalau yang dijumpainya itu
adalah seorang yang mereka anggap tidak cukup sempurna kepandaiannya dan tidak cukup berharga,
walau dipaksa-paksa sekali pun jangan harap akan dapat membuat mereka turun tangan mengajak
bertanding! Tantangannya ini ialah suatu cara penghormatan yang aneh, Nona. Oleh karena itu, harap kau
jangan marah dan lakukanlah pertandingan ini secara persahabatan saja, yaitu hanya merupakan pibu
(pertandingan kepandaian) biasa untuk menentukan siapa yang tingkatnya lebih unggul!”
Lili tersenyum menyindir saat menjawab, “Totiang, aku pun bukan seorang kanak-kanak, sungguh pun
dunia-kangouw.blogspot.com
harus aku akui bahwa pengalamanku belum banyak. Ketiga orang tua ini termasuk tokoh-tokoh kang-ouw
yang terkenal dan sudah mencapai tingkat tinggi. Akan tetapi mengapa hanya untuk menghadapi aku
seorang saja mereka bertiga hendak maju berbareng? Bukan aku merasa takut, akan tetapi bukankah
kalau hal ini hanya sebuah pibu biasa maka nama mereka akan merosot turun?”
Bouw Ki orang ke tiga dari Thailek Sam-kui tertawa bergelak.
“Nona Sie, kami bertiga disebut Tiga Setan, mengapa takut nama merosot? Kami tidak mempedulikan
nama dan juga telah menjadi kebiasaan kami untuk maju bersama, hidup bertiga mati bertiga! Nona, bila
mana seorang di antara kami menang, kami tidak dapat memperebutkan kemenangan itu dan kalau kalah,
harus kami pikul bertiga. Ha-ha-ha!”
Lili adalah seorang gadis yang keras hati, mendengar omongan ini dia menjadi semakin marah.
“Majulah, majulah! Siapa takut padamu?”
Thian-he Te-it Siansu, orang pertama dari Hailun Thai-lek Sam-kui mengeluarkan suara aneh dan
payungnya menyambar ke arah pinggang Lili.
“Anak Pendekar Bodoh, awaslah!” serunya.
Lili melihat bahwa biar pun payung itu merupakan benda sederhana saja, namun dia tahu bahwa itu adalah
sebuah senjata luar biasa. Tidak saja gagang payung dapat mewakili sebuah tongkat, juga setiap jari-jari
payung itu merupakan tongkat-tongkat kecil yang dapat dipergunakan untuk menotok jalan darah. Maka ia
tidak berlaku ayal lagi dan cepat ia mengebutkan kipas di tangan kirinya menangkis. Terdengar suara
keras ketika kipas dan payung beradu dan ketika dari kipas ini datang angin pukulan yang aneh, Thian-he
Te-it Siansu menjadi kagum sekali.
Begitu pukulan pertama dari payung Thian-he Te-it Siansu dapat tertangkis oleh Lili, lalu menyusullah
serangan-serangan dari Bouw Ki yang menggerakkan tongkatnya dan Lak Mou Couwsu yang mainkan
rantai besarnya. Sebentar saja Lili telah terkurung oleh tiga orang tokoh besar itu dengan rapat sekali.
Akan tetapi, gadis yang berhati tabah dan berani sekali ini tidak menjadi gentar seujung rambut pun,
bahkan ia lalu mempercepat permainan kipas San-sui San-hoat peninggalan dari Swi Kiat Siansu dan
memperhebat pula serangan pedang di tangan kanannya yang memainkan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut
ciptaan ayahnya.
Ketika Thian-he Te-it Siansu menyerang dengan payung dikembangkan ke arah lambung Lili, gadis ini lalu
berseru keras dan cepat mengembangkan kipasnya pula, dikebutkan ke arah payung sedangkan
pedangnya tidak tinggal diam, melainkan menahan datangnya rantai dan tongkat!
“Nanti dulu!” seru Thian-te Te-it Siansu pada saat merasa betapa kebutan kipas itu telah menolak hawa
pukulan dari payungnya. “Bukankah yang kau mainkan ini ilmu kipas maut San-sui San-hoat dari Swi Kiat
Siansu?”
Lili tidak mau menahan senjatanya dan sambil menyerang terus dia berseru, “Kalau betul kau mau apa?”
“Ha-ha-ha! Katanya kau puteri Pendekar Bodoh, kenapa menghadapi dengan Ilmu Kipas Maut dari Swi
Kiat Siansu? Mana kepandaian dari Pendekar Bodoh, ayahmu?” Thian-he Te-it Siansu yang paling pandai
bicara di antara kedua mengejek Lili.
Memang sesungguhnya, Thian-he Tiat Siansu agak jeri menghadapi ilmu kipas maut dari Swi Kiat Siansu,
karena ia pernah jatuh bangun oleh Swi Kiat Siansu yang mainkan ilmu silat ini. Ketiga orang Iblis Geledek
dari Hailun ini memang pernah mengadu kepandaian dengan Swi Kiat Siansu dan biar pun tokoh terbesar
dari utara ini hanya mainkan sebuah kipas butut, namun ketiga orang iblis ini terpaksa mengakui
keunggulan Swi Kiat Siansu!
Kini melihat bahwa gadis muda ini pandai pula memainkan ilmu Kipas San-sui San-hoat, di samping jeri
terhadap ilmu kipas itu sendiri, juga Thian-he Te-it Siansu merasa jeri apa bila menghadapi nama kakek
jagoan dari utara itu. Maka dia sengaja mengejek Lili agar mengeluarkan kepandaian yang dipelajarinya
dari Pendekar Bodoh.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lili adalah seorang gadis muda yang betapa pun cerdik dan tabahnya, akan tetapi masih kurang
pengalaman. Dalam sebuah pibu, sebetulnya ia boleh saja mengeluarkan segala kepandaian yang pernah
dia pelajari, karena namanya juga pibu (mengadu kepandaian). Kalau dia menyimpan dan tidak
mempergunakan sesuatu kepandaiannya, kalah menang justru tak dapat dipergunakan sebagai ukuran.
Mendengar ejekan Thian-he Te-it Siansu itu, dia menjadi marah sekali.
“Tua bangka, kau kira aku hanya mengandalkan pelajaran dari Swi Kiat Siansu belaka? Untuk
mengalahkan orang-orang macam kalian ini cukup dengan pedang beserta tangan kiriku saja.” Sambil
berkata demikian, Lili cepat menyelipkan kipas mautnya di pinggang, kemudian ia menyerang lagi sambil
memutar pedang Liong-coan-kiam sehingga pedang itu berubah menjadi segulung sinar putih yang
menyilaukan mata.
“Bagus sekali. Aku tidak pernah menyaksikan ilmu pedang seperti ini, akan tetapi ilmu ini betul-betul
hebat!” seru Lak Mou Couwsu yang jujur.
Memang Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut merupakan ciptaan dari Pendekar Bodoh sendiri, yaitu sebagian
dari Ilmu Pedang Daun Bambu yang amat sulit dipelajarinya, maka jarang ada orang yang pernah
menyaksikannya. Ilmu Pedang Daun Bambu adalah ilmu pedang yang baru dapat dimainkan oleh orang
yang telah memiliki kepandaian pokok segala ilmu silat dan dasar-dasar gerakan tubuh seperti yang telah
dimiliki oleh Pendekar Bodoh.
Meski pun Lili sudah dilatih oleh ayahnya semenjak kecil, akan tetapi tetap saja gadis ini belum sanggup
menangkap pelajaran mengenal pokok dan dasar ilmu silat seperti yang dimiliki ayahnya, maka sukarlah
baginya untuk mempelajari Ilmu Pedang Daun Bambu. Dan sebagai gantinya, Pendekar Bodoh lalu
menciptakan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut untuk puterinya.
Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut ini memang benar-benar hebat, tepat sebagaimana yang dikatakan oleh
Lak Mou Couwsu yang jujur. Apa bila sekiranya yang menghadapi ilmu pedang ini hanya seorang di antara
Hailun Thai-lek Sam-kui, belum tentu mereka akan kuat menahan. Gerakan pedang ini sama sekali tidak
pernah terduga dan pergerakannya amat wajar, tetapi tepat dan sesuai dengan gerakan lawan.
Ilmu pedang ini menjadi ‘hidup’ apa bila digunakan menghadapi serangan lawan, karena sambil
menangkis, pedang Liong-coan-kiam itu akan terus bergerak dan secara otomatis menyerang bagian yang
paling lemah dari lawan yang masih berada dalam kedudukan menyerang itu.
Pernah dituturkan di dalam cerita Pendekar Bodoh betapa pendekar ini menciptakan Ilmu Pedang Daun
Bambu dengan menjadikan daun-daun bambu yang bergerak-gerak tertiup angin sebagai ‘lawan-lawan’
yang ratusan jumlahnya. Apa bila daun-daun bambu itu tak bergerak tertiup angin, agaknya Sie Cin Hai si
Pendekar Bodoh juga tidak akan berhasil menciptakan ilmu pedang yang lihai ini. Akan tetapi dengan
ratusan daun bambu yang bergerak-gerak, maka gerakan pedangnya menjadi ‘hidup’ sehingga sungguh
pun batang bambu terlindung oleh ratusan daunnya yang bergerak-gerak, namun tetap saja ujung
pedangnya dapat melukai batang-batang bambu tanpa melanggar sehelai pun daun!
Tentu saja dalam hal ilmu pedang, Lili masih jauh di bawah kepandaian ayahnya. Selain belum matang
betul, juga pengertiannya mengenai pokok dasar gerakan masih belum sepandai ayahnya. Ditambah pula
sekarang dia menghadapi keroyokan tiga tokoh besar di dunia kang-ouw yang telah menggemparkan dunia
persilatan dengan ilmu silat mereka yang aneh pula, maka sesudah bertempur puluhan jurus, Lili mulai
terkurung rapat dan terdesak.
Sementara itu, tidak saja Tiong Kun Tojin dan Kam Wi memandang dengan amat kagum menyaksikan ilmu
kepandaian Lill, akan tetapi terutama sekali Kam Liong menjadi sangat terkejut. Sedikit pun tidak pernah
disangkanya bahwa gadis ini memiliki kepandaian yang sedemikian hebatnya sehingga mampu
menghadapi keroyokan Hailun Thai-lek Sam-kui! Akan tetapi dia merasa bukan main cemasnya pada saat
melihat betapa gulungan sinar pedang gadis itu semakin menjadi kecil karena terdesak oleh tiga senjata
istimewa yang dimainkan oleh tiga iblis tua itu.
“Liong-ji,” tiba-tiba saja Kam Wi berkata dengan penuh kekaguman, “Nona ini betul-betul patut menjadi
isterimu! Aku akan melamarnya untukmu kepada Pendekar Bodoh!”
Ucapan ini dikeluarkan dengan keras sehingga terdengar pula oleh Lili yang menggigit bibirnya dengan
muka makin merah. Akan tetapi dia tidak sempat untuk melayani orang kasar yang jujur ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Memang mengagumkan sekali,” Tiong Kun Tojin berkata, “pinto sendiri pun sepenuhnya setuju kalau Kam
Liong dapat berjodoh dengan Nona Sie yang gagah perkasa ini.” Akan tetapi ucapan tosu ini hanya
perlahan dan terdengar oleh Kam Liong dan Kam Wi saja. Tentu saja Kam Liong merasa amat gembira
mendengar ucapan dua orang ini.
“Sungguh pun teecu merasa setuju sekali akan tetapi orang seperti teecu mana berharga untuk menjadi
jodohnya?” kata pemuda ini dengan hati berdebar.
Ucapan terakhir dari pemuda ini terdengar oleh Lili maka ia menjadi makin tak enak hati. Dia ingin sekali
mengalahkan ketiga orang lawannya dan segera pergi dari mereka yang membuatnya amat jengah dan
malu, akan tetapi bagaimana ia dapat lolos dari kepungan tiga orang lawan yang hebat ini?
Dia telah mendengar penuturan Goat Lan betapa gadis kosen itu pun kalah menghadapi keroyokan Thailek
Sam-kui, maka teringatlah dia akan cerita Goat Lan bahwa tiga iblis tua ini tak bermaksud
mencelakakan lawannya dan hanya bertempur mati-matian karena haus akan kemenangan belaka!
Mereka tidak akan melukaiku, pikir Lili, dan gadis ini memutar otaknya yang cerdik. Kalau aku tidak
menggunakan senjata, mereka tentu takkan mendesak hebat dalam kekuatiran mereka melukaiku dan apa
bila mereka memperlambat gerakan, maka dengan ilmu silat Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung Merak)
apakah aku takkan dapat merampas senjata mereka? Setelah berpikir demikian gadis ini kemudian
menyimpan pedangnya dan kini ia bersilat dengan Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na, ilmu silat tangan kosong
ciptaan Bu Pun Su kakek gurunya yang khusus untuk menghadapi lawan bersenjata!
Tubuh gadis yang lincah ini menjadi makin ringan dan dia lalu melompat ke sana ke mari bagai burung
merak indah yang menyambar-nyambar di antara sambaran senjata lawan sambil mencari kesempatan
untuk mengulur tangan dan mencengkeram senjata lawan untuk dirampasnya.
“Aduh, hebat! Inilah agaknya Kong-ciak Sin-na dari Bu Pun Su yang lihai!” Thian-he Te-it Siansu berseru.
“Dia mau merampas senjata, lekas kita menghadapinya dengan tangan kosong pula!”
Ternyata kakek kate ini cerdik sekali dan ia telah tahu akan maksud gadis itu. Lili menjadi semakin gelisah
dan gemas. Karena sekarang ketiga orang lawannya bertangan kosong dan mereka ternyata adalah ahliahli
lweekeh yang tenaganya hebat, harapannya untuk dapat lolos menjadi tipis sekali. Di dalam
kemarahannya, Lili kemudian merubah gerakan tubuhnya dan kini dua lengannya mengebulkan uap putih
dan hawa pukulan yang hebat keluar dari lengan yang berkulit putih halus itu!
“Hebat sekali, inilah Pek-in Hoat-sut dari Bu Pun Su!” teriak Thian-te Te-it Siansu dengan gembira.
Dia sudah mencabut payungnya lagi yang segera dikembangkan untuk menangkis hawa pukulan yang luar
biasa dari Lili. Juga kedua orang adiknya lalu mengeluarkan senjata masing-masing karena dengan
bertangan kosong, mereka tidak akan berani menghadapi Pek-in Hoat-sut yang lihai.
Bukan main gemasnya hati Lili. Dia berseru nyaring, “Baiklah, aku akan mengadu jiwa dengan kalian!”
Dan sekejap mata kemudian, kipas dan pedangnya sudah berada di kedua tangannya. Inilah keputusan
terakhir yang berarti bahwa gadis ini bukan hendak pibu lagi, melainkan hendak bertempur mati-matian
dengan maksud membunuh!
Akan tetapi, ketiga orang iblis tua itu tidak takut sama sekali, bahkan terdengar mereka tertawa-tawa
mengejek sambil mengurung Lili. Memang mereka bertiga tentu saja lebih kuat dari pada Lili, dan betapa
pun gadis ini mainkan kipas dan pedangnya, tetap saja ia terkurung dan tak dapat lolos!
Tiba-tiba saja berkelebat bayangan yang gesit sekali dan tahu-tahu tanpa dapat dicegah lagi oleh Tiong
Kun Tojin mau pun Kam Wi, Kam Liong telah meloncat masuk ke dalam gelanggang pertempuran dengan
pedang di tangan.
“Sam-wi Totiang, harap suka melepaskan Nona Sie!” Panglima Muda ini berteriak sambil memutar
pedangnya, membantu Lili menangkis serangan lawan.
Thai-lek Sam-kui lalu menunda serangannya, “Ha-ha-ha, Kam-ciangkun, tentu saja kami akan
menghentikan serangan kalau Nona Sie suka mengaku bahwa kepandaian Hailun Thai-lek Sam-kui masih
lebih tinggi dari pada kepandaian Pendekar Bodoh!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Jangan ngacau!” bentak Lili. “Biar pun ada sepuluh orang seperti kalian, ayahku takkan kalah!” Dengan
gemas sekali, gadis ini lalu menyerang lagi dan disambut oleh Thai-lek Sam-kui sambil tertawa-tawa.
“Sam-wi Totiang, jangan serang dia!” Kam Liong kembali mencegah.
“Kam-ciangkun, kau sayang kepada Nona ini? Boleh kau bantu padanya agar permainan ini lebih gembira.
Ha-ha-ha!” Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak.
Demikianiah, pertempuran kini menjadi lebih ramai lagi dengan adanya Kam Liong yang membantu Lili. Lili
menjadi makin gemas. Bantuan dari Kam Liong tidak menyenangkan hatinya, karena hal itu dianggap
merendahkannya. Akan tetapi apa pula yang dapat dia lakukan? Betapa pun juga, harus ia akui bahwa
seorang diri saja tak mungkin ia akan dapat lolos dan kini bantuan Kam Liong, biar pun tak dapat
mendatangkan kemenangan baginya namun dapat membuat ia agak bernapas lega, tidak repot seperti
tadi.
Melihat betapa pertempuran itu, terutama dari pihak Lili, dilakukan dengan mati-matian dan sungguhsungguh,
timbul hati khawatir pada Tiong Kun Tojin dan Kam Wi. Keduanya saling memberi tanda dengan
mata dan sekali mereka menggerakkan tubuh, mereka pun telah melompat ke dalam gelanggang
pertempuran.
“Sam-wi Beng-yu, harap suka mengalah dan mundur!” Tiong Kun Tojin berkata sambil menggerakkan
tangannya ke arah payung yang dipegang oleh Thian-he Te-it Siansu. Si Kakek Kate ini merasa betapa
angin pukulan yang amat hebat keluar dari tangan tokoh Kun-lun-pai itu, maka cepat dia menarik kembali
payungnya dan melompat mundur.
Juga Kam Wi sebagai tokoh Kun-lunpai ke dua, lalu memperlihatkan kepandaiannya. Dia hanya
mengebutkan kedua ujung lengan bajunya, akan tetapi kedua ujung baju itu sudah cukup untuk
menggempur tongkat dan rantai di tangan Bouw Ki dan Lak Mou Couwsu sehingga senjata mereka
terpental ke belakang!
Hailun Thai-lek Sam-kui melompat mundur dan Thian-he Te-it Siansu tertawa bergelak. “Nona Sie,
sekarang sudah sepantasnya kalau kau mengakui bahwa kepandaian Hailun Thai-lek Sam-kui masih lebih
unggul dari pada kepandaian Pendekar Bodoh!”
“Manusia sombong, kalau sewaktu-waktu kalian mendapat kehormatan bertemu dengan ayah, kalian ini
seorang demi seorang tentu akan mendapat tamparan agar melenyapkan kesombonganmu!” Setelah
berkata demikian, Lili lalu mengangguk kepada Kam Liong dan berkata,
“Kam-ciangkun, maafkan, aku tidak dapat berdiam di sini lebih lama lagi!” Dia kemudian melompat jauh
dan tidak pedulikan lagi seruan Kam Liong yang hendak menahannya.
Tiong Kun Tojin menarik napas. “Seorang gadis yang gagah. Aku setuju usul Sute untuk menjodohkannya
dengan Kam Liong.”
Kam Wi menegur Thai-lek Sam-kui mengapa mereka ini sebagai orang-orang tua masih suka mengganggu
seorang gadis muda seperti itu. Ada pun Kam Liong, betapa pun mendongkolnya terhadap Thai-lek Samkui,
namun ia tidak berani menegur. Mereka lalu masuk kembali ke dalam goa yang kini telah padam api
unggunnya, lalu merundingkan cara untuk mencegah penyerbuan tentara musuh, yaitu bala tentara Mongol
dan Tartar.
“Pinto mendengar berita bahwa pasukan Mongol dibantu oleh orang-orang pandai dari pedalaman, entah
siapa-siapa orangnya. Oleh karena inilah maka pinto dan Siok-hu-mu sengaja mengumpulkan temanteman
untuk menghadapi pengkhianat-pengkhianat bangsa yang tak tahu malu itu,” kata Tiong Kun Tojin
kepada muridnya. “Baiknya kau pimpin dulu pasukanmu untuk menjaga garis depan di sepanjang tembok
besar, pinto akan menanti dahulu di sini sampai kawan-kawan kita tiba di sini, baru kami akan menyusul ke
garis depan.”
Setelah berunding, Kam Liong lalu kembali ke tempat di mana pasukannya berhenti dan kemudian
memimpin pasukannya maju terus ke utara. Di dalam hatinya ia merasa amat menyesal dan kecewa sekali
karena Lili telah meninggalkannya sehingga diam-diam dia menyumpahi Hailun Thai-lek Sam-kui yang
telah menyebabkan gadis itu menjadi marah-marah dan pergi.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi secara diam-diam dia juga merasa girang dan bersyukur sekali karena suhu dan siok-hu-nya
sudah berjanji hendak meminang Lili untuknya kepada Pendekar Bodoh! Maklum bahwa gadis itu pasti
akan pergi ke Gunung Alkata-san dimana Hong Beng dan Goat Lan berada, maka dia pun tidak merasa
khawatir. Dia lalu mempercepat perjalanan pasukannya ke Gunung Alkata-san…..
********************
Mari kita sekarang mengikuti perjalanan Lie Siong putera Ang I Niocu, pemuda remaja yang gagah perkasa
dan berwatak sukar dan aneh itu. Sebagaimana telah diketahui, Lie Siong berhasil menotok Lo Sian hingga
tidak berdaya dan membawa Pengemis Sakti itu. Ia menculik Lo Sian bukan karena ia benci kepada
pengemis ini, akan tetapi sebenarnya karena dia ingin sekali mengetahui keadaan ayahnya, yakni
pendekar besar Lie Kong Sian.
Setelah membawa Lo Sian jauh dari Shaning malam hari itu, Lie Siong lalu menurunkan Lo Sian dari
pondongannya dan meletakkannya di atas rumput. Dia tidak membebaskan Lo Sian dari totokan,
sebaliknya bahkan lalu merebahkan diri di bawah pohon dan tidur. Pemuda ini telah melakukan perjalanan
jauh dan merasa lelah sekali.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia telah bangun dan ketika melihat ke arah Lo Sian, dia melihat
pengemis tua itu masih berbaring tanpa dapat bergerak. Timbullah rasa kasihan dalam hatinya, maka dia
lalu menghampiri Lo Sian dan melepaskan totokannya. Beberapa kali urutan dan tepukan pada tubuh
pengemis itu, terbebaslah Lo Sian. Akan tetapi oleh karena selama setengah malam Lo Sian berada dalam
keadaan tertotok, dia masih merasa lemas dan hanya dapat bangun duduk dengan payah sekali.
Pengemis ini segera meramkan mata bersemedhi untuk menyalurkan tenaga dalamnya dan mengatur
napasnya agar supaya jalan darahnya bisa normal kembali. Lie Siong lalu menempelkan telapak
tangannya pada telapak tangan pengemis itu dan membantunya dengan menyalurkan hawa dan tenaga
dalamnya hingga sebentar saja Lo Sian merasa tubuhnya hangat dan kuat.
Diam-diam Lo Sian merasa heran melihat pemuda ini. Baru saja menotok, menculik dan menyiksanya
dengan membiarkannya dalam keadaan tertotok sampai setengah malam, akan tetapi sekarang bahkan
membantunya melancarkan jalan darahnya sehingga cepat menjadi baik kembali. Sungguh pemuda yang
aneh sekali!
Ia membuka matanya dan menggerakkan tangannya. Lie Siong lalu menjauhkan diri dan duduk
menghadapi pengemis itu.
“Anak muda, apa maksudmu menculik kemudian membawaku ke tempat ini?” kata-kata pertama yang
keluar dari mulut Lo Sian ini terdengar tenang sekali.
Pandangan mata pengemis ini yang begitu tenang dan mengandung tenaga batin yang tinggi, membuat Lie
Siong tiba-tiba merasa malu kepada diri sendiri sehingga mukanya menjadi kemerah-merahan. Pandang
mata ini mengingatkan dia pada ayahnya. Seperti itulah pandang mata ayahnya, kalau dia tak salah ingat.
“Maaf, Lopek. Sebenarnya aku tidak mempunyai permusuhan sesuatu dengan kau, dan sungguh tidak ada
alasan sama sekali bagiku untuk menyusahkan kau orang tua. Akan tetapi ucapanmu yang kudengar di
rumah Thian Kek Hwesio di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu dahulu itu selalu tidak pernah dapat terlupakan
olehku. Ketahuilah, terus terang saja aku adalah putera tunggal dari Lie Kong Sian, Ang I Niocu adalah
ibuku, dan namaku Lie Siong. Cukup sekian keterangan mengenai diriku. Sekarang yang paling penting,
apakah maksud kata-katamu dahulu itu yang menyatakan bahwa ayahku telah meninggal dunia?
Ketahuilah bahwa aku sedang mencari ayahku dan di Pulau Pek-le-to aku tidak dapat menemukannya.
Karena kau mengenal ayahku, maka aku ingin agar kau menceritakan apa maksud kata-katamu tentang
kematian ayah itu.” Setelah berkata demikian, pemuda itu memandang tajam.
Lo Sian merasa ngeri melihat mata yang berbentuk bagus itu mengeluarkan sinar yang amat tajam,
seakan-akan hendak menembus dadanya. Ia tidak tahu bahwa seperti itulah mata Ang I Niocu, Pendekar
Wanita Baju Merah yang dulu telah menggemparkan dunia persilatan.
“Sayang sekali, orang muda. Aku tak dapat menjawab pertanyaanmu, karena sebetulnya aku sendiri pun
tidak tahu apa yang telah terjadi dengan ayahmu itu.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lopek, harap kau orang tua jangan main-main! Kau pernah berkata bahwa Ayah mati, akan tetapi
sekarang kau menyatakan tidak tahu apa-apa. Apa artinya ini?”
“Aku bicara sebenarnya, anak muda, dan sama sekali aku tidak mempermainkanmu atau juga membohong
kepadamu. Aku telah kehilangan ingatan sama sekali, aku tidak tahu apa yang telah terjadi dahulu.
Ingatanku hanya terbatas semenjak di tempat Thian Kek Hwesio sampai sekarang. Sebelum itu, yang
teringat olehku hanya bahwa ayahmu telah meninggal dunia.”
“Di mana matinya dan bagaimana? Di mana makamnya.” Lie Kong mendesak.
Lo Sian menarik napas panjang. “Percayalah, anak yang baik. Satu-satunya hal yang akan kukerjakan
pertama-tama kalau ingatanku dapat kembali adalah mengingat tentang ayahmu itu. Akan tetapi apa daya,
pikiranku hampir menjadi rusak dan harapanku untuk hidup hampir musnah karena aku telah berusaha
mengingat-ingat tanpa hasil sedikit pun juga. Kau tenanglah dan coba dengar penuturanku.”
Lo Sian lalu menceritakan semua pengalamannya, yaitu semenjak tahu-tahu dia merasa berada di tempat
tinggal Thian Kek Hwesio yang menyembuhkannya dan menceritakan pula semua pengalamannya yang
didengarnya kembali dari Lili, yaitu pada waktu ia dulu menolong Lili.
“Ahh, sampai sekarang aku tidak bisa mengingat kembali hal yang terjadi sebelum aku disembuhkan oleh
Thian Kek Hwesio. Hanya ada dua hal yang masih terbayang di depan mataku, yaitu ayahmu yang telah
meninggal dan ucapan pemakan jantung yang selama ini membuatku tak dapat tidur.”
Lie Siong mengerutkan alisnya. Dapatkah dia mempercaya omongan seorang yang baru saja sembuh dari
sakit gila?
“Betapa pun juga, anak muda. Aku mempunyai perasaan bahwa ayahmu itu pasti mati dalam keadaan
yang mengerikan, dan aku juga merasa yakin bahwa kalau aku melihat kuburannya, tentu akan mengenal
tempat itu.”
Timbul kembali harapan Lie Siong. Ia berpikir sejenak, kemudian berkata,
“Kalau begitu, Lopek. Terpaksa kau harus ikut dengan aku mencari makam ayah, kalau benar-benar dia
telah meninggal dunia seperti yang kau katakan tadi.”
“Boleh, boleh! Hanya saja... bagaimana dengan Lili?”
“Lili siapa?”
“Sie Hong Li, nona yang kutinggalkan seorang diri. Dia adalah anak baik, seperti anak atau keponakanku
sendiri. Dia tentu akan gelisah sekali.”
“Biar saja, dia bukan anak kecil lagi dan kepandaiannya cukup tinggi untuk menjaga diri sendiri,” jawab Lie
Siong tegas.
“Ke mana kita akan pergi?”
“Sudah kukatakan tadi, mencari makam ayah.”
“Setelah itu?”
“Aku akan mengantarkan seorang gadis ke utara untuk mencarikan suku bangsanya.”
Lo Sian teringat akan cerita Lili. “Ahh, gadis yang dulu kau ganggu itu?”
Merah muka Lie Siong. “Jangan berbicara sembarangan, Lopek! Gadis itu adalah Lilani, seorang gadis
Haimi yang kutolong dari gangguan orang jahat. Sekarang dia menderita penyakit pikiran dan kutinggalkan
di rumah Thian Kek Hwesio. Kita sekarang menuju ke sana untuk melihat keadaannya.”
Lo Sian tertegun mendengar kekerasan hati pemuda ini. Lili boleh disebut seorang gadis yang berhati
keras, akan tetapi pemuda ini lebih-lebih lagi!
dunia-kangouw.blogspot.com
“Baiklah, aku menurut saja, karena aku merasa kagum dan menghormat pada ayahmu, seorang pendekar
besar. Biar pun aku tidak ingat lagi, namun aku merasa yakin bahwa aku dahulu tentu pernah ditolong oleh
ayahmu. Maka sudah menjadi kewajibanku kalau sekarang aku membantumu mencarikan makamnya.
Jangan sekali-kali kau menganggap kepergianku denganmu ini sebagai tanda bahwa aku takut kepadamu,
anak muda. Ahh, bukan sekali-kali. Biar pun kepandaianmu boleh lebih tinggi dariku, namun aku Sin-kai Lo
Sian bukanlah seorang yang takut mati. Aku menuruti kehendakmu karena aku pun ingin sekali
mendapatkan makam pendekar besar Lie Kong Sian ayahmu.”
Lie Siong mengangguk-anggukkan kepalanya. Ia sangat suka melihat sikap pengemis ini yang
dianggapnya cukup gagah dan patut dijadikan kawan seperjalanan. Berangkatlah kedua orang ini menuju
ke Ki-ciu untuk melihat keadaan Lilani gadis Haimi yang bernasib malang itu. Tentu saja sebagai seorang
yang pendiam dan tidak banyak bicara, Lie Siong tidak menceritakan hubungannya dengan Lilani itu.
Dengan hati girang Lie Siong mendapatkan Lilani telah sembuh dari sakitnya, hanya saja gadis ini
sekarang berubah menjadi pendiam sekali. Dia telah mendapat banyak nasehat dan petuah dari Thian Kek
Hwesio, karena setelah diobati, gadis ini menganggap Thian Kek Hwesio sebagai satu-satunya orang yang
dapat diajak bertukar pikiran. Pendeta tua yang sudah banyak sekali pengalamannya ini dan yang paham
dengan bahasa Haimi, mendengarkan pengakuan dan penuturan Lilani dengan wajah tenang dan sabar.
“Itulah salahnya bila orang-orang muda kurang memperhatikan tentang kesopanan yang sudah jauh lebih
tua dari pada kita umurnya. Amat tidak sempurna kalau seorang gadis seperti engkau melakukan
perjalanan berdua dengan seorang pemuda seperti Lie Siong yang tampan dan gagah. Mudah sekali bagi
iblis untuk mengganggu kalian.” Hwesio itu menarik napas panjang. “Akan tetapi tak perlu hal itu
dibicarakan lagi. Yang terpenting sekarang, dengarlah nasehatku. Apa bila kau memang benar-benar
sudah merasa yakin bahwa cintamu tidak terbalas oleh pemuda itu, jalan satu-satunya bagimu adalah
kembali ke bangsamu sendiri! Kebiasaanmu dan kebiasaan Lie Siong, sebagai seorang gadis Haimi dan
seorang pemuda Han tidak cocok sekali. Kau biasa hidup bebas, sedangkan orang Han selalu terikat oleh
peraturan-peraturan kesusilaan dan kesopanan sehingga kalau ikatan itu terlepas sedikit saja, akan
membahayakan. Memang baik sekali kalau dia mau menikah denganmu, akan tetapi kalau hal demikian
tidak terjadi, jalan satu-satunya adalah seperti yang kukatakan tadi. Nah, terserah kepadamu.”
Lilani mendengarkan nasehat ini sambil meramkan mata untuk menahan air mata yang mulai mengucur.
Alangkah besamya cinta hatinya terhadap Lie Siong. Akan tetapi ia juga dapat merasakan bahwa pemuda
itu tidak mencintainya. Sebelum mendengar nasehat dari Thian Kek Hwesio, memang dia sudah
mengambil keputusan untuk kembali kepada bangsanya, dan dia sekarang makin tetap lagi hatinya.
Demikianlah, ketika Lie Siong datang, Thian Kek Hwesio lalu memanggil pemuda itu ke dalam kamarnya
dan berkata,
“Anak muda she Lie. Pinceng telah mendengar semua penuturan Lilani tentang hubungan kalian. Katakan
saja terus terang kepada pinceng, apakah ada niat dalam hatimu untuk mengawininya?”
Lie Siong menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali dan kemudian menggeleng kepalanya. Akan
tetapi pernyataan dengan gelengan kepala ini segera disusulnya dengan berkata, “Betapa pun juga,
Losuhu, aku takkan membuatnya sengsara dan meninggalkan dia begitu saja. Aku akan menjaganya,
kalau perlu mengambilnya sebagai adik angkat, atau… bagaimana saja menurut sekehendak hatinya
asalkan... asalkan jangan menjadi suaminya!”
“Pinceng maklum akan isi hatimu. Kau sudah bersalah, akan tetapi kalau kau sudah mau mengakui
kesalahanmu dan kini mau bertanggung jawab memperhatikan nasib gadis itu, kau boleh disebut orang
baik.”
“Aku akan mencari suku bangsa Haimi dan membawa Lilani kembali kepada bangsanya. Tentu saja aku
tidak akan memaksanya, hanya saja inilah kehendakku.”
Thian Kek Hwesio mengangguk-angguk. “Baik, itulah jalan yang terbaik. Pinceng merasa girang sekali
mendengar kau mempunyai ketetapan hati seperti itu. Dengar, anak muda. Kalau kau bukan putera
pendekar besar Lie Kong Sian dan Ang I Niocu yang keduanya sudah memupuk perbuatan baik dan
kebajikan, kiranya pinceng tak akan mau bersusah payah memberi nasehat dan mencampuri urusanmu.
Akan tetapi, sebagai seorang lelaki yang gagah, kau harus berani bertanggung jawab atas segala
perbuatanmu. Di dalam kegelapan pikiran kau sudah melakukan pelanggaran bersama Lilani dan sungguh
pun kau tidak dapat mengawininya, akan tetapi kau harus penuh tanggung jawab mengatur kehidupannya
dunia-kangouw.blogspot.com
dan sekali-kali jangan menyia-nyiakan dia sehingga gadis yang malang itu hidup dalam kesengsaraan.
Kalau kau meninggalkannya begitu saja tanpa persetujuan hatinya, kau akan menjadi seorang siauw-jin
(orang rendah). Mengertikah kau?”
Kalau sekiranya yang bicara itu bukan Thian Kek Hwesio yang memiliki daya pengaruh luar biasa
memancar keluar dari wajahnya yang tenang, sabar dan berwibawa itu, pasti Lie Siong akan menjadi
marah sekali. Akan tetapi kali ini pemuda itu hanya menundukkan kepala dan menyatakan
kesanggupannya.
Ketika Lilani bertemu dengan Lie Siong, gadis itu memandang dengan mata sayu, lalu bertanya perlahan,
“Taihiap, bilakah kita akan mencari suku bangsaku?”
“Sekarang juga, Lilani. Hari ini juga!” jawab Lie Siong dengan hati diliputi keharuan besar.
Ada pun Lo Sian begitu bertemu dengan Thian Kek Hwesio, cepat-cepat dia memberi hormat. Hwesio
sangat tua itu mengangguk-angguk lagi dengan senang.
“Adanya Sin-kai Lo Sian bersama Lie Siong, menandakan bahwa pemuda itu betul-betul seorang yang
boleh dipercaya,” pikir hwesio ini, karena dia tahu betul orang macam apa adanya Sin-kai Lo Sian.
“Lebih baik kita mengantar dulu Nona Lilani ke utara. Setelah kita dapat bertemu dengan rombongan suku
bangsa Haimi dan mengembalikan Nona itu kepada bangsanya, baru kita mencoba untuk mencari
keterangan perihal ayahmu,” kata Lo Sian sesudah mereka bertiga mulai melakukan perjalanan.
Lie Siong menyetujui pikiran ini, akan tetapi dia hendak mengetahui pendirian Lilani yang kini nampak
demikian pendiam dan wajahnya selalu diliputi kemurungan.
“Taihiap tahu bahwa aku selalu hanya menurut saja. Sesuka hatimu sajalah, aku hanya ikut, karena
apakah daya seorang seperti aku?” jawaban ini tak saja membuat Lie Siong menjadi amat terharu, bahkan
Lo Sian yang tidak tahu apa-apa tentang urusan mereka, menjadi kasihan sekali melihat Lilani. Dia lalu
bersikap ramah tamah dan baik terhadap gadis ini sehingga Lilani merasa agak terhibur dan suka kepada
Pengemis Sakti ini.
Beberapa hari kemudian, sampailah mereka di kota Ciang-kou, dekat dengan tapal batas Mongolia di
Propinsi Ho-pak. Mereka melihat kota itu sunyi seperti kota-kota dan dusun lainnya di dekat tapal batas,
karena penduduknya sebagian besar telah pergi mengungsi ke selatan, takut akan penyerbuan dan
gangguan tentara-tentara.
Di sepanjang jalan, Lie Siong dan Lo Sian mendengar tentang kekacauan dan gangguan para tentara
Mongol dan Tartar. Lo Sian yang berjiwa patriot itu menjadi marah sekali dan beberapa kali dia
menyatakan kepada Lie Siong bahwa kalau dia bertemu dengan tentara musuh, dia tentu akan menyerang
mereka! Sebaliknya, pemuda itu hanya diam saja tidak menyatakan perasaannya hingga sukar bagi Lo
Sian untuk mengetahui isi hati pemuda aneh ini.
Seperti biasa, di dalam kota Ciang-kou mereka mencari tempat bermalam di dalam kuil yang sudah
ditinggal pergi oleh para hwesio-nya, dan di sana hanya terdapat dua orang hwesio penjaga kuil yang
ramah tamah.
“Sicu, sungguh amat berani sekali Ji-wi Sicu datang ke tempat ini. Setiap waktu kota ini dapat diserbu oleh
gerombolan musuh yang jahat. Tentu saja untuk Nona ini tidak ada bahayanya.” Kedua hwesio ini
memandang kepada Lilani dengan kening dikerutkan.
Betapa pun Lilani bersikap sebagai seorang gadis Han, tetap saja kecantikannya yang berbeda dengan
gadis-gadis Han itu mudah menimbulkan dugaan bahwa dia bukanlah gadis bangsa Han. Kulit seorang
gadis Haimi berbeda dengan gadis Han yang kulitnya kekuning-kuningan. Sebaliknya kulit tubuh gadis ini
putih kemerah-merahan.
“Biarkan mereka datang, akan kami sikat!” kata Lo Sian dengan marah sekali.
Kedua orang hwesio itu diam saja, akan tetapi di dalam hatinya mengejek orang yang berpakaian
pengemis itu. Siapa berani bersikap sombong terhadap gerombolan Mongol yang mempunyai banyak
perwira pandai?
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, ketika Lie Siong minta tolong kepada hwesio itu untuk membelikan makanan dan
mengeluarkan uang perak, pendeta-pendeta itu bersikap manis dan membantu serta melayani mereka
dengan ramah. Lie Siong dan kawan-kawannya tidak mengira bahwa diam-diam kedua orang hwesio itu
telah melaporkan hal keadaan mereka, terutama Lilani kepada seorang gagah yang selalu melakukan
pengawasan terhadap mata-mata Mongol di tempat itu. Orang gagah ini bukan lain adalah Kam Wi, paman
dari Kam Liong!
Di dalam usahanya mencari kawan-kawan yang hendak membantu pertahanan tapal batas dari serangan
musuh, Kam Wi memisahkan diri dari suheng-nya, Tiong Kun Tojin dan pergi sampai ke kota Ciang-kou. Di
sepanjang jalan dia selalu berlaku waspada. Apa bila dia melihat ada orang-orang kang-ouw yang hendak
menyeberang ke utara untuk bersekutu dengan orang-orang Mongol, tentu orang-orang kang-ouw itu akan
dibujuknya, baik dengan jalan halus atau pun dengan cara kasar!
Mendengar laporan kedua orang hwesio itu bahwa ada dua orang gagah yang sikapnya mencurigakan
bersama seorang gadis Haimi hendak bermalam di kuil, diam-diam Kam Wi merasa curiga sekali. Pada
keesokan harinya, ketika Lie Siong, Lo Sian dan Lilani melanjutkan perjalanan mereka, sebelum
meninggalkan kota yang sunyi itu, tiba-tiba saja mereka sudah berhadapan dengan seorang laki-laki tinggi
besar yang melompat keluar dari sebuah tikungan jalan. Orang ini bukan lain adalah Kam Wi.
Begitu melihat keadaan Lilani, maka tahulah Kam Wi tokoh Kun-lun-pai itu bahwa gadis ini memang
seorang gadis Haimi. Maka, untuk mencari bukti, dia segera menegur Lilani dalam bahasa Haimi,
“Apakah kau orang Haimi?”
Ditegur demikian tiba-tiba dalam bahasanya sendiri, Lilani menjadi terkejut, akan tetapi dia menjawab juga,
“Betul! Saudara siapakah?”
Akan tetapi Kam Wi tak banyak cakap lagi, segera membentak dan mengulur tangannya hendak
menangkap pundak kiri Lilani, “Mata-mata Mongol! Jangan harap kau akan dapat melepaskan diri dari Sinhouw
Enghiong!”
Akan tetapi Lilani bukanlah seorang gadis yang lemah. Ia pun telah mendapat tambahan pelajaran silat dari
Lie Siong, maka kegesitannya bertambah. Melihat betapa orang tinggi besar yang berwajah galak itu tibatiba
menyerang dan hendak menangkap pundaknya, dia cepat mengelak dan melompat mundur.
Bukan main marahnya hati Kam Wi melihat cengkeramannya dapat dielakkan oleh gadis itu. Sekarang
kecurigaannya makin bertambah. Seorang gadis Haimi dapat mengelak dari cengkeramannya pastilah
bukan orang sembarangan dan patut kalau menjadi mata-mata Mongol atau setidaknya pencari orangorang
kang-ouw untuk membantu gerakan bangsa Mongol.
“Bagus, kau berani mengelak? Cobalah kau mengelak lagi kalau dapat!” Sambil berkata demikian, Kam Wi
mengeluarkan kepandaiannya yang sangat diandalkan, yaitu Ilmu Silat Houw-jiauw-kang! Tangannya
terulur maju merupakan cengkeraman atau kuku harimau dan dia menubruk ke depan untuk menangkap
atau mencengkeram pundak gadis itu!
Lilani benar-benar menjadi bingung dan gugup. Serangan kali ini hebat bukan main dan kedua tangan Kam
Wi yang merupakan kuku harimau itu betul-betul sulit untuk dielakkan lagi. Jalan ke kanan kiri atau ke
belakang telah tertutup sehingga Lilani hanya akan dapat menghindarkan serangan ini kalau ia dapat ke
atas atau amblas ke dalam bumi!
Tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras dan tahu-tahu tubuh gadis itu benar-benar mumbul ke atas!
Kam Wi sampai membelalakkan matanya ketika tiba-tiba yang hendak ditangkapnya itu lenyap dari depan
matanya dan telah melompati tubuhnya, melalui atas kepala dan tiba di belakangnya! Ia cepat menengok
dan ternyata bahwa yang menolong gadis itu adalah pemuda yang tadi bersama gadis itu datang dengan
tenangnya.
Memang sesungguhnya adalah Lie Siong yang telah menolong Lilani dari cengkeraman Kam Wi tadi.
Ketika tadi pemuda itu melihat betapa Lilani terancam bahaya cengkeraman yang demikian lihainya, cepat
dia melompat sambil menyambar pinggang Lilani, dibawa lompat melewati atas kepala Kam Wi dengan
gerakan Hui-niau Coan-in (Burung Terbang menerjang Mega)! Dengan gerakan ginkang yang luar biasa ini
ia pun berhasil menolong gadis itu sehingga kini Kam Wi memandang dengan tertegun dan penuh
dunia-kangouw.blogspot.com
kekaguman.
“Siapa Saudara muda yang gagah ini? Mengapa dapat bersama dengan seorang gadis Haimi yang
menjadi mata-mata Mongol? Apakah mungkin seorang enghiong yang gagah perkasa sampai tersesat dan
hendak mengkhianati bangsa sendiri?”
Sebelum Lie Siong sempat menjawab, Lo Sian sudah mendahuluinya. Pengemis tua ini mengangkat kedua
tangan menjura sambil berkata,
“Orang gagah, harap kau suka bersabar dahulu, agaknya kau sudah salah sangka! Kami sekali-kali
bukanlah pengkhianat-pengkhianat seperti yang kau kira!”
Kam Wi berpaling kepada Lo Sian dan ketika melihat pengemis ini ia memandang penuh perhatian dan
berkata,
“Ahh, bukankah aku berhadapan dengan Sin-kai Lo Sian?”
Lo Sian tertegun dan ia mengerti bahwa dulu tentu orang yang gagah ini pernah bertemu atau bahkan
kenal dengannya, akan tetapi dia telah lupa sama sekali. Karena itu dengan senyum ramah ia berkata,
“Maaf, memang benar siauwte adalah Lo Sian orang yang bodoh. Akan tetapi sungguh otakku yang tumpul
tidak ingat lagi siapa adanya orang gagah yang berdiri di hadapanku sekarang.”
Kam Wi tertawa bergelak. “Ah, ahh, Sin-kai Lo Sian benar-benar suka bergurau! Kini aku sudah tak raguragu
lagi bahwa kawan-kawanmu ini pasti bukan orang jahat, akan tetapi sungguh sangat mengherankan
apa bila seorang Sin-kai Lo Sian sampai lupa kepadaku. Aku adalah Kam Wi, sudah lupa lagikah kau akan
Sin-houw-enghiong dari Kun-lun-pai?”
Akan tetapi Kam Wi tidak tahu bahwa benar-benar Lo Sian tidak ingat lagi kepadanya. Bagaimanakah
pengemis ini dapat ingat kepadanya sedangkan terhadap diri sendiri saja sudah lupa? Akan tetapi Lo Sian
tidak mau berpanjang lebar, maka cepat ia menjura lagi sambil berkata,
“Ah, tidak tahunya Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh dari Kun-lun-pai! Maaf, maaf, kami tidak tahu
sebelumnya maka sudah berani bertindak kurang ajar. Harap Enghiong suka melepaskan kami, karena
sesungguhnya kami bukanlah orang-orang jahat. Kami hendak mengantar Nona ini kembali ke bangsanya
maka bisa sampai di tempat ini.”
Kam Wi berdiri ternganga. Lo Sian sama sekali tidak menyangka bahwa ucapannya ini benar-benar
mengherankan hati Kam Wi karena dahulu Lo Sian tidak sedemikian ‘sopan santun’ sikapnya. Mengapa
pengemis ini begini berubah?
“Sungguh aneh!” Kam Wi berkata. “Kalian tidak bermaksud menggabungkan diri dengan para pengkhianat
bangsa, akan tetapi ingin mencari suku bangsa Haimi, sedangkan suku bangsa Haimi sudah bersekutu
dengan orang-orang Mongol! Bangsa Haimi dan bangsa Mongol sudah menjadi sekutu untuk menyerang
dan mengganggu negara kita!”
“Kau bohong!” tiba-tiba Lilani berseru keras. “Bangsaku tidak pernah berlaku seperti itu! Selamanya
bangsaku bahkan selalu diganggu oleh orang-orang Mongol, dan sebaliknya selalu mendapat pertolongan
bangsa Han. Tak mungkin sekarang bisa bersekutu dengan perampok-perampok Mongol!”
“Nona, baiknya kau datang bersama Sin-kai Lo Sian sehingga aku percaya bahwa kau bukanlah orang
jahat. Apa bila tidak demikian halnya, tuduhan bohong kepada Sin-houw Enghiong Kam Wi sudah
merupakan alasan yang cukup untuk membuatku turun tangan. Aku Kam Wi selama hidup tak pernah
berbohong. Agaknya kau telah lama meninggalkan bangsamu sehingga kau tidak tahu betapa
pemimpinmu yang bernama Saliban itu sudah membawa bangsamu bersekutu dengan orang.-orang
Mongol!”
Lilani kaget sekali. Saliban adalah seorang di antara sekian banyak pamannya. Memang dia tahu bahwa di
antara paman-pamannya, Saliban adalah seorang yang jahat. Menurut cerita mendiang ibunya, Meilani,
dulu Saliban pernah memberontak bahkan hampir saja membunuh kakeknya karena pamannya itu ditolak
cintanya oleh ibunya yang pada masa itu sudah bertunangan dengan Manako, mendiang ayahnya
(diceritakan dengan rnenarik di dalam cerita Pendekar Bodoh).
dunia-kangouw.blogspot.com
Lilani berpaling kepada Lie Siong, “Taihiap, bantulah aku untuk menolong bangsaku dan melenyapkan
Saliban yang memang jahat itu! Mari kita pergi mencari mereka.”
Lie Siong tidak membantah dan kedua orang muda ini tanpa melirik lagi kepada Kam Wi lalu pergi dari situ.
Ada pun Sin-kai Lo Sian cepat memberi hormat kepada Kam Wi dan berkata,
“Sin-houw-enghiong, terima kasih atas kepercayaanmu. Biarlah lain waktu kita berjumpa lagi.” Setelah
berkata demikian, Sin-kai Lo Sian hendak pergi.
Akan tetapi Kam Wi menahannya dengan kata-kata, “Nanti dulu, kawan. Negara sedang terancam oleh
penyerbuan pengacau-pengacau Mongol dan Tartar. Apakah kau sebagai seorang gagah mau berpeluk
tangan saja?”
“Siapa bilang aku hendak peluk tangan saja? Dimana saja aku bertemu dengan mereka, aku akan
mengerahkan sedikit kebodohanku untuk menghancurkan mereka.”
“Bagus, kalau begitu kau benar-benar seorang sahabat. Ketahuilah bahwa aku sedang mengumpulkan
kawan-kawan seperjuangan. Jika kau bermaksud membantu, pergilah ke Gunung Alkata-san dan bantulah
tentara kerajaan di sana.”
“Aku akan memperhatikan omonganmu, Sin-houw-enghiong. Akan tetapi terlebih dahulu aku akan
membantu Nona Lilani mencari bangsanya!” Maka pergilah Lo Sian menyusul Lie Siong dan Lilani yang
telah berangkat lebih dulu.
Setelah mengalami peristiwa yang tidak enak itu, dan yang disebabkan oleh keadaannya sebagai seorang
gadis Haimi, Lilani lalu berganti pakaian. Ia merasa malu dan menyesal sekali mendengar betapa
bangsanya sudah dibawa tersesat oleh Saliban sehingga suku bangsa Haimi kini dipandang sebagai
musuh oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Untuk mencegah terjadinya hal seperti yang tadi
dialami saat bertemu dengan Sin-houw-enghiong Kam Wi, Lilani lalu mengenakan pakaian seperti seorang
gadis Han, bahkan rambutnya juga diubah susunannya sehingga kini dia benar-benar merupakan seorang
gadis Han yang cantik.
Mereka bertiga melanjutkan perjalanan dengan cepat, sama sekali tidak menduga bahwa diam-diam Sinhouw-
enghiong Kam Wi tokoh Kun-lun-pai itu masih membayangi mereka. Kam Wi merasa curiga kepada
mereka yang disangkanya mata-mata bangsa Mongol.
Kehadiran Lo Sian memang menimbulkan kepercayaannya, akan tetapi sebaliknya sikap Lo Sian yang
amat berbeda dengan dahulu, mengembalikan kecurigaannya. Ia tadi telah menyaksikan kelihaian pemuda
tampan yang mengawani gadis itu, maka khawatirlah dia kalau-kalau mereka itu benar-benar akan
menggabungkan diri dengan kaum pengacau.
Pada suatu pagi, tibalah mereka di dusun yang berada di sebelah selatan kaki Gunung Alkata-san. Dusun
itu cukup ramai dan di situ banyak sekali orang gagah dari berbagai golongan. Memang amat
mengherankan apa bila melihat di tempat yang jauh di sebelah utara itu begitu banyak terdapat orangorang
dari selatan. Mereka ini adalah orang-orang yang biasa melakukan perdagangan dengan orangorang
Mongol dan biar pun keadaan amat mengkhawatirkan dengan timbulnya bahaya perang, namun
orang-orang yang ulet ini masih saja mencari-cari kesempatan untuk mendapatkan keuntungan besar.
Pada saat Lo Sian dan kedua orang kawannya sedang enak berjalan, tiba-tiba terdengar bentakan keras,
“Ha, bangsat muda, kebetulan sekali aku bertemu dengan kau di sini!” Orang ini ketika dilihat ternyata
adalah Ban Sai Cinjin!
Seperti telah diketahui, Ban Sai Cinjin pernah bentrok dengan Lie Siong dan pemuda itu mengamuk dan
telah membunuh beberapa orang murid dan kawan Ban Sai Cinjin ketika orang-orang muda itu
mengganggu Lilani dahulu. Kini melihat pemuda ini, bukan main marahnya Ban Sai Cinjin sehingga dia
langsung menegur di jalan raya.
Ban Sai Cinjin bukan seorang diri di situ, akan tetapi ditemani oleh seorang pengemis tua yang sangat
menyeramkan. Rambutnya dipotong pendek dan berdiri kaku seperti kawat. Pengemis menyeramkan ini
sesungguhnya bukan lain adalah Coa-ong Lojin, ketua dari perkumpulan Coa-tung Kai-pang!
dunia-kangouw.blogspot.com
Sebagaimana sudah dituturkan, dua orang pengurus kelas satu dari Coa-tung Kai-pang pernah bertempur
dan dikalahkan oleh Hong Beng yang telah diangkat menjadi ketua dari Hek-tung Kai-pang. Dalam
usahanya mencari kawan-kawan, Ban Sai Cinjin berhasil pula menempel raja pengemis yang terkenal
galak dan ganas ini dan kini mereka berada di utara karena memang Ban Sai Cinjin sudah mengadakan
persekutuan dengan Malangi Khan. Yang menjadi perantara adalah muridnya sendiri yaitu Bouw Hun Ti
yang sudah lebih dahulu menggabungkan diri dengan tentara Mongol dan membantu mereka.
Setelah Ban Sai Cinjin tidak berhasil mengadakan persekutuan jahat dengan Perwira Bu Kwan Ji, maka
kakek jahat ini lalu pergi dan langsung menuju ke utara. Dia mengubah cita-citanya.
Kini dia berusaha menggunakan kekuatan tentara Mongol dan berpura-pura membantu Malangi Khan dan
kemudian setelah mendapat kemenangan, akan merampas kedudukan tinggi di kerajaan! Dia terkenal
hartawan dan dengan mempergunakan hartanya, banyak orang yang gagah-gagah yang terbujuk oleh Ban
Sai Cinjin untuk membantu usahanya yang penuh khianat ini.
Ketika secara tiba-tiba Ban Sai Cinjin melihat Lie Siong, maka tak tertahan lagi ia segera membentak
sambil memandang dengan penuh kebencian. Demikian pula sebaliknya, Lie Siong yang sudah pernah
melihat Ban Sai Cinjin juga timbul marahnya.
“Setan tua, kau berada di sini? Orang macam kau tentu tidak mempunyai maksud baik!” bentak Lie Siong
sambil mencabut pedangnya.
Akan tetapi pada saat itu Ban Sai Cinjin telah melihat Lo Sian dan kakek ini memandang dengan wajah
berubah. Ketika kakek mewah ini melihat betapa Lo Sian seolah-olah tidak mengenalnya, dia menjadi lega
dan bertanya,
“Pengemis tua ini bukankah gurumu?” kata-kata ini mengandung sindiran sekaligus juga mencoba untuk
menguji apakah Lo Sian masih belum sembuh dari pengaruh racun yang dulu ia jejalkan ke mulutnya.
“Bangsat tua tak usah banyak mulut! Minggirlah dan beri kami jalan sebelum kesabaranku habis!” kata Lie
Siong.
Kalau menurutkan kata hatinya, ingin sekali Lie Siong rnenyerang saja kakek itu. Akan tetapi ia bukan
seorang yang sembrono dan bodoh. Ia sudah maklum akan kepandaian Ban Sai Cinjin, dan dengan
adanya Lo Sian dan Lilani di situ, maka tugasnya akan lebih berat.
Kepandaian kedua orang ini masih jauh untuk dapat menghadapi Ban Sai Cinjin dan jika kakek mewah ini
mengganggu mereka, akan sukarlah baginya untuk melindungi mereka. Oleh karena ini maka Lie Siong
menahan kesabarannya dan bila mana mungkin hendak segera menjauhi kakek lihai ini tanpa
pertempuran.
Akan tetapi pada saat pengemis yang menyeramkan itu melihat Lo Sian, rambutnya dan jenggotnya yang
kaku seakan-akan menjadi makin kaku, sepasang matanya memandang marah.
“Bukankah kau yang bernama Sin-kai Lo Sian?” dia bertanya sambil menudingkan jari telunjuknya ke arah
Lo Sian.
Sesungguhnya pada saat itu Lo Sian sedang memandang kepada Ban Sai Cinjin dengan sepasang mata
terbelalak. Ia merasa seperti pernah melihat orang tua yang berpakaian mewah dengan baju bulu itu, akan
tetapi dia lupa lagi di mana. Ketika mendengar orang menyebutkan namanya, dia lalu memandang kepada
pengemis yang menyeramkan itu sambil menjawab,
“Benar, kawan. Aku adalah Lo Sian.”
“Bagus!” seru Coa-ong Lojin dengan marah. “Kaulah yang menjadi biang keladi dan telah mengacau
perkumpulanku ketika aku pergi. Tidak ingatkah kau?”
Memang dahulu di waktu mudanya, pernah Lo Sian mengobrak-abrik Coa-tung Kai-pang, akan tetapi tentu
saja ia tidak ingat lagi akan hal itu. Dia hendak menjawab, akan tetapi tak diberi kesempatan oleh Coa-ong
Lojin yang langsung menyerangnya dengan tangan kosong. Ilmu silat dari raja pengemis ini benar-benar
hebat. Kedua lengannya bergerak bagaikan dua ekor ular dan mengarah kepada leher dan lambung Lo
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian.
Lie Siong melihat hebatnya serangan ini, maka cepat dia melompat dan menggerakkan pedangnya
menahan serangan itu sambil membentak, “Pengemis hina, jangan berlaku sombong di depan kami!”
Coa-ong Lojin terkejut sekali melihat berkelebatnya sinar pedang di tangan Lie Siong. Sungguh pun
pedang itu tidak diserangkan kepadanya, hanya digunakan untuk menjaga Lo Sian, namun lidah pedang
naga yang panjang berwarna merah itu menyambar ke jurusan urat nadi tangan kanannya.
Sambil berseru keras ia menarik kembali tangannya dan kemudian menyerang Lie Siong dengan hebat.
Dengan gerakan cepat sekali tahu-tahu sebatang tongkat yang bengkak-bengkok seperti ular telah berada
di tangannya dan tongkat itu lalu dipergunakan untuk menyerang dada Lie Siong.
Tentu saja pemuda ini tidak berlaku lambat dan cepat menangkis dengan keras untuk mematahkan tongkat
itu. Akan tetapi dia kaget sekali karena ternyata bahwa tongkat itu sama sekali tidak menjadi rusak pada
saat beradu dengan pedangnya dan ketika mereka bertempur, Lie Siong mendapat kenyataan bahwa ilmu
tongkat pengemis ini hebat luar biasa!
Memang, Coa-ong Lojin adalah seorang berilmu tinggi dan dia sendiri yang menciptakan Ilmu Tongkat
Coa-tung-hoat ini. Seorang yang telah dapat menciptakan ilmu silat tentu dapat dibayangkan betapa tinggi
dan mahir dia dalam hal ilmu silat.
Tentu saja Lie Siong tidak mau kalah, untungnya ia telah mempelajari ginkang luar biasa dari ibunya, dan
dalam hal ilmu silat, ibunya sudah menggemblengnya semenjak kecil sehingga kini dia telah memiliki
kepandaian yang tinggi.
Ketika melihat betapa Lie Siong telah bertempur dengan hebat, Lo Sian tidak mau tinggal diam dan
demikian pula Lilani. Mereka berdua maju bersama untuk membantu Lie Siong. Akan tetapi dari samping
segera berkelebat bayangan huncwe maut dari Ban Sai Cinjin dibarengi suaranya yang parau.
“Ha-ha-ha, Lo Sian pengemis jembel. Kau masih belum melupakan ilmu silatmu?” Sambil tertawa-tawa Ban
Sai Cinjin lalu menghadapi Lilani dan Lo Sian.
Tentu saja kedua orang itu bukan lawannya dan sebentar saja ujung huncwe-nya telah dapat menotok
roboh Lilani dan Lo Sian! Kemudian sambil berseru keras, Ban Sai Cinjin menyerbu dan membantu Coaong
Lojin mengeroyok Lie Siong!
Kalau hanya menghadapi Coa-ong Lojin atau Ban Sai Cinjin seorang saja Lie Siong pasti akan mampu
mempertahankan diri dan belum tentu kalah. Akan tetapi kini dia dikeroyok oleh dua orang kakek yang lihai
itu, tentu saja ia menjadi repot sekali. Apa lagi ia merasa amat gelisah pada saat melihat betapa Lo Sian
dan Lilani telah dirobohkan oleh Ban Sai Cinjin.
Kebenciannya terhadap Ban Sai Cinjin meluap-luap dan pedang naganya ditujukan terus untuk
merobohkan kakek mewah ini. Oleh karena perhatiannya terutama ditujukan untuk menghadapi kakek ini,
maka setelah pertempuran berjalan hampir lima puluh jurus, ujung tongkat ular dari Coa-ong Lojin dengan
tepat menotok pundaknya dari kanan. Lie Siong mengeluarkan seruan keras, tubuhnya terhuyung-huyung,
lantas pedangnya terlepas dari pegangan dan robohlah dia tak sadarkan diri lagi!
Ban Sai Cinjin tertawa bergelak-gelak. “Kita bawa mereka ke rumahku!” katanya setelah mengambil
pedang Lie Siong, dan bersama Coa-ong Lojin lalu berlari cepat menuju ke rumah gedung milik Ban Sai
Cinjin.
Di kota ini Ban Sai Cinjin amat berpengaruh. Kota ini telah ditinggalkan oleh para petugas dan penjaga,
maka siapa yang berani menghalangi kakek mewah yang kaya dan lihai ini? Ketika tadi terjadi
pertempuran, orang-orang sudah meninggalkan jalan itu sehingga keadaan menjadi sepi sekali.
Setelah tiba di dalam gedung, Ban Sai Cinjin lalu melemparkan tubuh Lie Siong ke dalam sebuah kamar.
“Dia yang paling berbahaya,” katanya.
Kemudian dia membawa Lo Sian dan Lilani ke dalam ruang depan. Dengan sekali tepuk saja Lilani dan Lo
Sian siuman kembali dari keadaan yang tidak berdaya. Lilani segera menghampiri Lo Sian dan memegang
tangan kanan pengemis ini dengan wajah pucat dan penuh kekuatiran. Sebaliknya Lo Sian tetap tenang,
dunia-kangouw.blogspot.com
berdiri memandang kepada Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin.
“Ban Sai Cinjin, apakah yang hendak kau lakukan kepada dua orang ini?” tanya Coa-ong Lojin sambil
tertawa-tawa dan menenggak arak yang telah tersedia di atas meja. Matanya yang besar itu mengerling ke
arah Lilani penuh gairah.
Ban Sai Cinjin tersenyum. “Kalau kau suka bunga Haimi ini, ambillah,” katanya kepada kawannya itu yang
hanya tertawa saja. “Dia sudah menyebabkan kematian banyak orang tamuku, bahkan rumahku sampai
dibakar oleh pemuda tadi! Ada pun pengemis ini... ahh, lihat, bukankah dia mirip seperti boneka hidup?”
Dia mendekati Lo Sian yang menentang pandang matanya dengan berani.
“Lo Sian, kau benar-benar sudah lupa kepadaku?”
Sesungguhnya Lo Sian sama sekali tidak ingat lagi kepada Ban Sai Cinjin, akan tetapi ia telah mendengar
banyak dari Lili mengenai kakek mewah ini. Karena itu dengan senyum mengejek dia pun berkata,
“Sungguh pun ingatanku sudah banyak berkurang dan aku tak pernah bertemu kau, akan tetapi aku sudah
cukup banyak mendengar namamu, Ban Sai Cinjin! Kau seorang pandai yang jahat dan tidak berperi
kemanusiaan. Kalau kau hendak membunuh aku, bunuhlah. Akan tetapi jangan kau mengganggu Nona ini,
karena dia hendak mencari dan kembali kepada bangsanya, orang-orang Haimi. Dan pula, pemuda tadi itu
harap kau bebaskan, jangan kau mengganggu putera seorang pendekar besar yang berjiwa bersih. Dia
adalah putera dari pendekar besar Lie Kong Sian, harap kau mengingat nama ayahnya dan suka
melepaskannya!”
Tadi pada saat mendengar bahwa Lilani sedang mencari suku bangsanya, Ban Sai Cinjin dan Coa-ong
Lojin saling pandang dengan muka berubah. Akan tetapi ketika mendengar bahwa pemuda yang
ditawannya itu adalah putera Lie Kong Sian, tiba-tiba wajah Ban Sai Cinjin menjadi pucat dan kaget sekali.
“Apa...? Dia putera Lie Kong Sian... Kalau begitu kau... kau ingat kembali akan peristiwa dahulu...?”
Lo Sian sebetulnya tidak mengerti maksud pertanyaan ini, akan tetapi dia adalah seorang yang banyak
pengalaman dan cerdik. Sengaja dia mengangguk dan berkata, “Mengapa tidak ingat? Kau maksudkan
peristiwa dulu tentang Lie Kong Sian Taihiap? Tentu saja!”
“Bangsat rendah! Jadi kau sengaja membawa puteranya untuk mencariku? Ahhh, kalau begitu kalian harus
mampus!”
Kakek mewah ini bangkit berdiri dan huncwe mautnya sudah dipegang erat-erat di dalam tangannya.
“Nanti dulu, sahabat,” tiba-tiba Coa-ong Lojin mencegahnya. “Kau boleh saja membunuh Lo Sian, akan
tetapi gadis ini...” dia menghampiri Lilani yang menjadi ketakutan. “Ehh, Nona, benar-benarkah kau hendak
pergi mencari bangsamu?”
Lilani mengangguk tanpa dapat mengeluarkan suara jawaban.
“Kenalkah kau kepada Saliban?”
“Dia adalah pamanku.”
Kembali Coa-ong Lojin dan Ban Sai Cinjin saling pandang.
“Biar aku yang membawamu kepada pamanmu, Nona!” kata Ban Sai Cinjin. “Pamanmu itu adalah kawan
baik kami, jangan kuatir, kami tidak akan mengganggumu. Akan tetapi pengemis ini dan pemuda tadi harus
mampus!”
“Jangan bunuh mereka!” Lilani menjerit dengan bingung dan ia bersikap untuk melawan mati-matian guna
membela Lo Sian dan Lie Siong.
“Kau tidak tahu, Nona. Mereka ini adalah orang-orang berbahaya yang kelak hanya akan menggagalkan
rencana kita, rencana kami dan pamanmu. Nah, Lo Sian, kau bersiaplah untuk mampus!” Sambil berkata
demikian, Ban Sai Cinjin menghampiri Lo Sian.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sementara itu, Lo Sian semenjak tadi telah memutar otaknya. Ahh, pasti ada apa-apanya dalam ucapan
Ban Sai Cinjin tadi. Kakek mewah ini pasti tahu akan kematian Lie Kong Sian dan menurut ucapannya tadi,
sangat boleh jadi Lie Kong Sian terbunuh oleh Ban Sai Cinjin.
“Ban Sai Cinjin!” katanya sambil memandang tajam sama sekali tidak gentar menghadapi saat-saat maut
iu. “Jadi kaukah yang membunuh Lie Kong Sian?”
Terdengar suara ketawa yang parau dan menyeramkan dari kakek mewah itu. “Ha-ha-ha! Kau kini berpurapura
tidak tahu? Sebentar lagi kau boleh menyusul dia!”
Huncwe-nya terayun, akan tetapi tiba-tiba Lilani menubruk Lo Sian, melindunginya dan berteriak keras,
“Jangan bunuh dia!”
“Lilani, minggirlah, biar aku menghadapinya. Aku tidak takut mati,” Lo Sian berkata. “Kini puaslah hatiku
karena aku sudah tahu siapa yang membunuh Lie Kong Sian Taihiap.”
Akan tetapi Lilani memegangi tangan Lo Sian dan tidak mau melepaskannya. Ban Sai Cinjin kembali
mengangkat huncwe-nya, siap untuk dipukulkan. Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan keras dan
sesosok bayangan melompat masuk dari pintu depan.
“Ban Sai Cinjin, manusia rendah! Jadi kaukah yang mendalangi semua pemberontakan dan
pengkhianatan?”
Ketika Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin menengok, mereka melihat seorang lelaki tinggi besar yang
berwajah kasar berdiri sambil bertolak pinggang.
“Sin-houw-enghiong Kam Wi!” berkata Ban Sai Cinjin dengan alis dikerutkan. “Kau yang kudengar sudah
bertapa mengasingkan diri di Kun-lun-san, datang ke sini mau apakah? Aku mempunyai perhitungan lama
dengan Sin-kai Lo Sian, apakah kau mau mencampuri urusan orang lain?”
“Ban Sai Cinjin, janganlah kau memutar-mutar persoalan. Urusan dengan segala macam pengemis tak ada
sangkut pautnya dengan aku. Akan tetapi, tadi mendengar bahwa kau adalah sahabat dari Saliban, maka
mudah saja diduga bahwa tentu kau pula yang telah membujuk banyak orang-orang gagah di kalangan
kang-ouw untuk menjadi pengkhianat-pengkhianat yang amat rendah. Dan hal ini, aku Sin-houw-enghiong
Kam Wi tidak dapat membiarkannya begitu saja!”
Sambil berkata demikian ia melirik ke arah Coa-ong Lojin, karena sesungguhnya ketika tadi menyatakan
bahwa urusan ia tidak mempunyai sangkut paut dengan segala macam pengemis, diam-diam dia telah
menyindir Coa-ong Lojin.
Merah muka Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. “Kam Wi, kau manusia macam apa berani berlagak
besar-besaran di hadapanku? Sepak terjangku yang mana pun juga, kau tidak boleh tahu dan tidak boleh
mencampuri. Urusan hubunganku dengan Saliban, baik kita bicarakan nanti sesudah aku bikin mampus
pengemis hina ini!” Dia kembali hendak menghampiri Lo Sian yang masih dipegangi lengannya oleh Lilani.
“Tahan dulu! Tidak boleh kau mengabaikan aku begitu saja, Ban Sai Cinjin! Kau kira aku orang macam apa
maka tidak kau layani lebih dulu?”
Kini Ban Sai Cinjin benar-benar menjadi marah. “Kam Wi, biar pun orang lain boleh takut mendengar
kepandaianmu Houw-jiauw-kang, akan tetapi aku Ban Sai Cinjin tidak takut! Sebetulnya apakah
kehendakmu?”
“Kau harus ikut dengan aku ke kota raja untuk menerima hukuman atas semua perbuatan
pengkhianatanmu!”
“Ho-ho-ho! Sejak kapan tokoh Kun-lun-pai menjadi kaki tangan kaisar?” Ban Sai Cinjin menyindir.
“Ban Sai Cinjin, dengan membawamu ke kota raja, berarti aku masih mau memandang mukamu sebagai
orang kang-ouw. Aku selamanya tidak peduli akan urusan pemerintah, akan tetapi kalau negara sedang
dikacau musuh dan timbul pengkhianat seperti engkau, aku harus turun tangan. Tinggal kau pilih, kubawa
ke kota raja atau kau minta diadili oleh orang-orang kang-ouw sendiri!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kalau aku memilih yang terakhir?” tantang Ban Sai Cinjin.
“Hukuman dunia kang-ouw bagi seorang pengkhianat bangsa hanyalah kematian!”
“Bagus, Kam Wi! Kau hendak menghukum mati padaku? Ha-ha-ha! Aku merasa seperti mendengar seekor
kucing hendak membunuh harimau! Majulah, biar aku membereskan jiwa anjingmu dulu sebelum aku bikin
mampus Lo Sian!”
Sambil berkata demikian, Ban Sai Cinjin segera menggerakkan huncwe-nya, akan tetapi Coa-ong Lojin
yang semenjak tadi sudah menjadi marah sekali kepada Kam Wi yang dia anggap sombong sekali, segera
mendahuluinya berkata,
“Sahabat Ban Sai Cinjin, biarlah aku sendiri yang membereskan cacing dari bukit Kun-lun ini!”
Karena melihat bahwa Kam Wi tidak bersenjata, Coa-ong Lojin tidak mau merendahkan diri dengan
menyerang dan menggunakan senjata tongkatnya. Ia maju memukul dengan tangan kosong.
Kam Wi cepat mengelak. “Ha-ha, sejak tadi aku sudah menduga bahwa kau tentulah raja pengemis Coatung
Kai-pang yang jahat dan hina dina! Hayo keluarkan tongkatmu yang lapuk itu, hendak kulihat betapa
jahatnya tongkat ularmu.”
“Bangsat she Kam! Sudah semenjak lama aku mendengar bahwa Houw-jiauw-kang dari Kun-lun-pai
adalah hebat sekali. Kebetulan sekali kau datang membawa kesombonganmu di sini, biarlah kini kucoba
sampai di mana sih kepandaianmu maka kau berani bersikap sesombong ini!” Setelah berkata demikian,
Coa-ong Lojin lalu menyerang dengan kedua tangan dibuka dan jari-jari tangannya mengeras dan
menegang.
Melihat betapa kedua tangan pengemis itu sekarang tergetar dan mengeluarkan cahaya kehitaman,
tahulah Kam Wi bahwa lawannya ini memiliki ilmu pukulan yang dia dengar disebut Hek-coa Tok-jiu
(Tangan Racun Ular Hitam) yang amat berbahaya. Akan tetapi ia tidak takut dan cepat dia mengelak
kemudian mengirim serangan balasan yang tak kalah hebatnya. Tangan kanannya mencengkeram ke arah
lambung lawan hingga hampir saja lambung Coa-ong Lojin menjadi korban.
Harus diketahui bahwa tidak saja Ilmu Silat Houw-jiauw-kang ini amat hebat, akan tetapi juga tenaga
lweekang dari Kam Wi sudah mencapai tingkat tinggi sehingga walau pun cengkeramannya tidak
mengenai sasaran, akan tetapi angin pukulannya sudah membuat lawannya merasa lambungnya bagaikan
terlanggar benda tajam! Coa-ong Lojin menjadi terkejut sekali dan tahulah dia bahwa tokoh Kun-lun-pai ini
benar-benar tak boleh dibuat permainan! Dia lalu bersilat dengan amat hati-hati.
Namun segera ternyata bahwa kepandaian Kam Wi benar-benar lebih menang setingkat. Di samping ia
menang tenaga, juga ginkang-nya amat mengagumkan. Sepasang kakinya berlompatan bagaikan seekor
harimau dan kedua tangannya sangat ganas. Sekali saja Coa-ong Lojin kena sampok atau diterkam, pasti
akan celakalah dia.
Hal ini dimaklumi sedalamnya oleh Coa-ong Lojin. Maka, sesudah bertempur dua puluh jurus lebih, raja
pengemis yang berlaku hati-hati ini mulai terdesak dan main mundur.
“Ha-ha-ha-ha, begini sajakah kepandaian raja pengemis dari Coa-tung Kai-pang? Hayo, jembel busuk,
keluarkan kepandaianmu! Mana tongkatmu pemukul anjing itu?” Kam Wi mengejek sambil menyerang
makin hebat.
Sementara itu, Lo Sian dan Lilani menyaksikan pertempuran itu dengan hati gelisah. Lo Sian maklum
bahwa meski pun kepandaian tokoh Kun-lun-pai ini lebih tinggi, namun apa bila Ban Sai Cinjin ikut maju
mengeroyok, maka akan celakalah dia. Dia merasa bingung sekali. Untuk membantu, dia maklum bahwa
kepandaiannya masih kalah jauh.
Tiba-tiba terdengar Lo Sian berseru keras, “Sin-houw-enghiong, awas belakang!”
Sebetulnya seruan ini tidak perlu lagi, karena Kam Wi yang berkepandaian tinggi sudah mendengar
adanya suara angin pukulan yang sangat hebat menyambar dari belakang. Pada saat itu ia sedang
mendesak Coa-ong Lojin, maka ketika mendengar suara pukulan dari belakang dan melihat berkelebatnya
huncwe maut yang berkilauan, cepat ia berseru keras sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tubuhnya mumbul ke atas dan kaki kanannya menendang ke depan untuk menghalangi serangan gelap
yang dilakukan Ban Sai Cinjin. Dengan lompatan tinggi yang dilakukan dengan ginkang hebat ini,
selamatlah ia dari penyerangan Ban Sai Cinjin yang dilakukan dengan cara pengecut sekali itu.
Sesampainya tubuhnya di atas, Kam Wi lalu menukar kedudukan kakinya. Kaki kiri yang ditekuk ke
belakang itu tiba-tiba ditendangkan pula ke arah Coa-ong Lojin, ada pun kaki kanan bagaikan halilintar
menyambar dengan sepakan ke belakang sehingga kedua kaki itu menggunting dengan kaki kanannya
menyerang ke arah pergelangan tangan Ban Sai Cinjin! Inilah gerakan tendangan berantai yang disebut
Soan-hoang-twi yang sangat lihai karena sepasang kaki itu melakukan tendangan dengan tenaga seribu
kati beratnya!
“Bangsat Ban Sai Cinjin, kau benar-benar curang sekali!” seru Kam Wi yang kini sudah turun lagi ke
bawah.
Akan tetapi Ban Sai Cinjin tidak mempedulikan makian ini, Dengan muka merah saking marah dan
malunya dia lalu menyerang dengan huncwe mautnya, sedangkan Coa-ong Lojin juga sudah mencabut
tongkat ularnya!
Kam Wi, tokoh Kun-lun-pai itu benar-benar tangguh karena selain ilmu silatnya sudah tinggi, dia memiliki
banyak sekali pengalaman bertempur melawan orang-orang pandai. Akan tetapi kali ini ia menghadapi dua
orang jago kawakan yang tingkat kepandaiannya sudah sama dengan dia, karena itu dengan bertangan
kosong saja menghadapi mereka, bagaimana ia dapat bertahan?
Lo Sian dan Lilani yang telah menjadi bingung itu baru teringat bahwa kalau Lie Siong dapat membantu,
tentu Kam Wi akan dapat menghadapi dua orang lawan jahat itu, maka ketika melihat betapa dua orang
kakek itu sedang mengeroyok Kam Wi, Lo Sian dan Lilali cepat berlari ke dalam kamar di mana Lie Siong
tadi dilempar oleh Ban Sai Cinjin.
Mereka melihat pemuda ini masih rebah tak bergerak, hanya napasnya saja yang masih ada seperti orang
pingsan. Cepat Lo Sian menepuk pundak pemuda itu dan mengurut jalan darahnya. Akan tetapi ia tidak
dapat membebaskan Lie Siong dari totokan Coa-ong Lojin yang selain lihai, juga berbeda dengan totokan
biasa.
Betapa pun Lo Sian mengurut-urut pundak Lie Siong, tetap saja pemuda itu tidak sadar dan pundaknya
bahkan ada tanda titik merah sebesar kacang kedelai. Lo Sian menjadi gelisah sekali sedangkan Lilani lalu
mulai menangis sambil memeluki tubuh Lie Siong.
“Mari kita bawa dia lari keluar dari sini saja!” kata Lilani.
“Kau boleh membawa dia lari, Lilani. Akan tetapi aku tak dapat meninggalkan Sin-houw-enghiong begitu
saja. Aku harus membantunya, biar pun untuk usaha ini aku akan tewas. Tidak selayaknya aku
meninggalkan seorang penolong begitu saja mati sendiri!”
Lilani dapat memaklumi sifat gagah dari Lo Sian ini. Dia sendiri pun apa bila tidak ingat akan keselamatan
Lie Siong yang dicintanya, belum tentu sudi meninggalkan Kam Wi dalam keadaan terancam bahaya
seperti itu. Maka gadis ini lalu memondong tubuh Lie Siong dan berkata, “Lo-enghiong, berlakulah hatihati!”
kemudian ia melompat keluar dari pintu belakang.
Lo Sian segera kembali ke ruang depan dan ia melihat betapa Kam Wi kini telah terdesak hebat sekali.
Sungguh sangat lucu dan harus dikasihani melihat orang tinggi besar yang bertangan kosong ini melompat
ke kanan kiri untuk menghindarkan diri dari sambaran tongkat dan huncwe maut. Ia sama sekali tidak
mempunyai kesempatan untuk membalas serangan kedua orang lawannya.
“Sin-houw-enghiong, biar siauwte membelamu dengan nyawaku!” tiba-tiba saja Lo Sian berseru keras.
Pengemis Sakti ini telah melepaskan ikat pinggangnya dan dia menyerbu bersenjatakan ikat pinggang ini.
Biar pun ikat pinggang itu hanya terbuat dari sehelai kain, akan tetapi di dalam tangan seorang ahli dapat
menjadi senjata yang cukup berbahaya.
Dan sesungguhnya, kepandaian Lo Sian sudah mencapai tingkat tinggi juga, hanya saja apa bila
dibandingkan dengan tingkat kepandaian Ban Sai Cinjin, Coa-ong Lojin, mau pun Sin-houw-enghiong Kam
dunia-kangouw.blogspot.com
Wi, dia masih ketinggalan amat jauh!
Lo Sian amat benci kepada Ban Sai Cinjin, biar pun dia tidak ingat lagi akan perlakuan kejam kakek mewah
ini terhadapnya belasan tahun yang lalu. Mungkin perasaan hatinya membisikkan sesuatu karena baru
melihatnya saja, Lo Sian sudah merasa benci sekali. Oleh karena itu, begitu ia menyerbu ia tujukan ikat
pinggangnya untuk menyerang Ban Sai Cinjin.
Ban Sai Cinjin menjadi marah sekali. “Jembel kelaparan! Aku tidak akan mengampuni jiwamu untuk kedua
kalinya!” Sambil berkata demikian, huncwe-nya bergerak cepat dan ia sengaja menangkis ikat pinggang itu,
terus memutar huncwe-nya sedemikian rupa.
Sebenarnya ikat pinggang itu ketika digunakan oleh Lo Sian, sudah menjadi kaku seperti besi. Akan tetapi
begitu beradu dengan huncwe di tangan Ban Sai Cinjin, seluruh tenaga lweekang yang disalurkan oleh Lo
Sian ke dalam ikat pinggangnya menjadi buyar karena dia memang kalah tenaga sehingga ikat pinggang
menjadi lemas lagi.
Karena ikat pinggang itu kini telah melibat huncwe, ketika Ban Sai Cinjin mengerahkan tenaga
membetotnya, terlepaslah ikat pinggang itu dari tangan Lo Sian. Dalam keadaan terhuyung-huyung Lo Sian
hendak mempertahankan diri, akan tetapi tangan kiri Ban Sai Cinjin cepat meluncur maju dan sekali totok
saja robohlah Lo Sian dengan tubuh lemas. Jalan darah kin-hun-hiat di bagian iganya telah kena ditotok
sehingga biar pun pikirannya masih terang dan panca inderanya masih dapat dipergunakan, namun
seluruh tubuhnya lemas tak bertenaga lagi.
Ban Sai Cinjin tertawa bergelak-gelak, akan tetapi cepat ia kembali mengeroyok Kam Wi, karena sebentar
saja dia meninggalkan Kam Wi untuk menghadapi Lo Sian, keadaan Coa-ong Lojin menjadi terdesak hebat
oleh jagoan dari Kun-lun-pai itu. Kini kembali Kam Wi terkurung dan jago Kun-lun yang sudah lelah ini pun
akhirnya kena ditendang roboh oleh Ban Sai Cinjin!
“Ha-ha-ha!” Ban Sai Cinjin tertawa bergelak, kemudian dengan amat tenangnya dia lalu memasang
tembakau pada kepala pipanya yang panjang, menyalakan tembakaunya dan mengebulkan asap yang
wangi. Ia nampak puas sekali, demikian pun Coa-ong Lojin.
“Kita bereskan saja mereka sekarang juga agar jangan merupakan gangguan lagi!” kata pengemis tongkat
ular itu.
“Nanti dulu, aku mau bicara sedikit kepada mereka,” jawab Ban Sai Cinjin yang segera menghampiri Kam
Wi yang sekarang sudah menggeletak di lantai dengan mata melotot memandangnya penuh keberanian.
“Orang she Kam! Sesungguhnya tidak ada permusuhan di antara kita, akan tetapi kau sendiri yang datang
mencari mampus, maka jangan menjadi penasaran kalau hari ini kau menemui maut. Kalau engkau
mempunyai kepandaian lebih tinggi, tentu bukan engkau melainkan kami yang menggeletak di sini tak
bernyawa lagi! Sebelum aku membunuhmu, ketahuilah bahwa memang sesungguhnya aku yang
mengadakan persekutuan dengan bangsa Mongol! Kau tahu mengapa? Karena Kaisar amat lemah, tidak
pantas menjadi seorang junjungan! Aku tahu, kau membela Kaisar karena keponakanmu, Kam-ciangkun,
menjadi panglima kerajaan. Karena itu aku harus membunuhmu!”
Kemudian Ban Sai Cinjin menghampiri Lo Sian dan berkata, “Kau pengemis jembel hina dina, selalu kau
mencampuri urusanku dan selalu pula kau menghalangi jalanku. Agaknya memang dulu di dalam
penjelmaan yang lalu kau telah berhutang nyawa kepadaku maka sekarang kau takkan mampus kalau
tidak di tanganku. Dahulu aku sudah mengampuni nyawamu dan hanya merampas ingatanmu, akan tetapi
agaknya kau iri hati kepada Lie Kong Sian dan suheng-mu Mo-kai Nyo Tiang Le. Kau juga harus mampus!”
Bukan main kagetnya hati Lo Sian mendengar ini. Baru sekarang dia tahu bahwa yang membuat dia
menjadi gila dan kehilangan pikiran adalah Ban Sai Cinjin, yang membunuh Lie Kong Sian. Bahkan
suheng-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le seperti yang telah diceritakan oleh Lili kepadanya, agaknya juga telah
terbunuh oleh penjahat besar ini!
Akan tetapi apa dayanya? Dia telah berada di dalam tangan orang ini dan agaknya tak lama lagi dia akan
mati. Maka seperti juga Kam Wi, Lo Sian hanya memandang dengan mata melotot, sedikit pun tidak
merasa takut.
“Coa-ong Lojin, kau habiskan nyawa manusia she Kam itu, biar aku bereskan pengemis jembel ini!” kata
dunia-kangouw.blogspot.com
Ban Sai Cinjin sambil mengangkat huncwe-nya, hendak diketokkan ke arah kepala Lo Sian, sedangkan
Coa-ong Lojin juga telah mengangkat tongkatnya untuk ditotokkan ke arah jalan darah atau urat kematian
dari Kam Wi!
Akan tetapi pada saat itu dari luar berkelebat dua bayangan orang didahului oleh sinar pedang yang luar
biasa sekali bagaikan halilintar menyambar dan…
“Trangg…! Trangg…!”
Tongkat dan huncwe itu telah tertangkis oleh pedang dan baik Ban Sai Cinjin mau pun Coa-ong Lojin
merasa telapak tangan mereka tergetar hebat. Tak terasa lagi mereka lalu melangkah mundur sampai lima
tindak.
Ketika dua orang ini mengangkat muka memandang, maka berubahlah air muka mereka, bahkan Coa-ong
Lojin nampak pucat, sedangkan Ban Sai Cinjin si setan yang tak kenal takut itu kali ini nampak gentar juga.
Dua orang yang menggerakkan pedang secara luar biasa sekali dan berhasil mencegah Ban Sai Cinjin dan
Coa-ong Lojin membunuh Lo Sian dan Kam Wi, adalah seorang lelaki dan seorang wanita yang berusia
kurang lebih empat puluh tahun. Yang laki-laki gagah sekali, bertubuh tegap dan berwajah tampan, kedua
matanya membayangkan kejujuran hati yang tulus dan pada tangannya nampak sebatang pedang yang
berkilau cahayanya. Yang wanita biar pun telah setengah tua, nampak cantik sekali dengan bibir
mengandung senyum jenaka dan sepasang mata bintang yang bersinar penuh keberanian.
Pantas saja Ban Sai Cinjin dan Coa-ong Lojin merasa amat gentar menghadapi sepasang orang gagah ini,
karena mereka bukan lain adalah suami isteri yang amat terkenal yaitu Pendekar Bodoh dan isterinya! Sie
Cin Hai Si Pendekar Bodoh bersama Lin Lin, isterinya yang berkepandaian tinggi, datang pada saat yang
amat tepat untuk menolong nyawa Lo Sian dan Kam Wi.
“Pendekar Bodoh…,” dengan bibir gemetar Ban Sai Cinjin masih sempat mengeluarkan kata-kata yang
membayangkan kegelisahannya.
Cin Hai terseyum, senyum yang amat dingin. “Ban Sai Cinjin, telah lama aku mendengar namamu. Dan
telah lama aku ingin sekali bertemu dengan muridmu yang bernama Bouw Hun Ti untuk menagih hutang.
Hari ini kebetulan sekali kami berdua sempat menghalangi terjadinya sebuah di antara kekejamanmu. Akan
tetapi oleh karena aku sudah menerima tantangan suheng-mu, Wi Kong Siansu, dan karena kau tidak
mempunyai permusuhan pribadi dengan aku, kali ini aku tak akan mengganggumu! Pergilah!”
Bukan main malu dan marahnya Ban Sai Cinjin mendengar ucapan ini. Ia sedang berada di rumah sendiri,
bagaimana Pendekar Bodoh ini berani mengusirnya begitu saja seperti seekor anjing? Biar pun dia sudah
mendengar nama besar Pendekar Bodoh dan tentang kelihaiannya, akan tetapi belum pernah merasakan
kelihaian itu dan lagi pula dia, Ban Sai Cinjin, Si Huncwe Maut, bukanlah seorang bu-beng-siauw-cut
(orang rendah tak terkenal) juga bukan orang biasa.
“Pendekar Bodoh, lagakmu benar-benar sama besarnya dengan namamu, akan tetapi aku masih
meragukan apakah kepandaianmu juga sebesar itu. Aku berada di rumahku sendiri, bagaimana kau bisa
mengusirku?” lagak Ban Sai Cinjin menantang.
“Aku tidak mengusirmu pergi dari rumahmu, hanya minggatlah dari depan mataku. Sebal aku melihatmu!”
kata Lin Lin yang mewakili suaminya.
Makin merah muka Ban Sai Cinjin. Kedua kaki tangannya berbunyi karena dia berusaha keras menahan
kemarahannya sambil mengepalkan tinju hingga pipa yang digenggamnya hampir remuk!
“Kalau aku tidak mau pergi?” tantangnya.
“Mau atau tidak, pergilah!” Pendekar Bodoh membentak sambil melangkah cepat ke arah kakek mewah itu.
Ban Sai Cinjin ketika melihat betapa Pendekar Bodoh menghampirinya tanpa memegang pedang, timbul
sifat pengecut dan liciknya. Tiba-tiba dia menggerakkan huncwe mautnya yang dipukulkan sehebatnya ke
arah kepala Cin Hai!
Akan tetapi Ban Sai Cinjin kecelik besar kalau mengira bahwa serangan tiba-tiba secara pengecut ini akan
dunia-kangouw.blogspot.com
dapat menghancurkan kepala Pendekar Bodoh. Dia tidak tahu bahwa Cin Hai telah memiliki kepandaian
yang luar biasa sekali yang diwarisinya dari suhu-nya, yaitu Bu Pun Su. Kepandaian yang luar biasa sekali,
yaitu pengertian tentang dasar dan pokok segala macam gerakan tubuh manusia pada waktu melakukan
gerakan silat. Oleh karena itu, menyerang Pendekar Bodoh dengan tiba-tiba dan tidak tersangka, sama
saja sukarnya dengan menyerang angin!
Belum juga huncwe itu bergerak, baru gerakan pundak Ban Sai Cinjin saja sudah dapat dilihat dan
diketahui oleh Cin Hai, sehingga sebelum huncwe melayang ke kepalanya, dia sudah tahu bahwa huncwe
itu akan melayang dan menyerangnya. Dengan tenang sekali Cin Hai mendiamkan saja. Akan tetapi
setelah huncwe itu melayang dekat dan Ban Sai Cinjin sudah merasa girang sekali, mendadak terdengar
seruan kaget dari Ban Sai Cinjin dan tubuh kakek ini terlempar kemudian melayang keluar dari pintu
ruangan itu! Suara tubuhnya jatuh berdebuk disusul berkelontangnya huncwe yang menyusulnya!
Bukan main terkejut dan herannya hati Ban Sai Cinjin. Bagaimana bisa terjadi hal seperti itu? Ia tak melihat
Pendekar Bodoh bergerak, dan tadi sudah jelas sekali terlihat olehnya betapa huncwe-nya sudah mampir
mengenai kepala lawannya. Ia hanya melihat tangan kiri dan kaki kanan lawannya bergerak sedikit saat
huncwe-nya sudah hampir mengenai sasaran dan tahu-tahu ia telah terdorong sedemikian hebatnya!
Sebenarnya, ketika tadi Cin Hai melihat serangan Ban Sai Cinjin, ia berlaku tenang saja. Ia tahu dengan
pasti bagaimana serangan itu akan dilanjutkan, maka ia mendiamkannya saja dan pada saat tangan yang
memegang huncwe sudah hampir mengenai kepalanya, secepat kilat akan tetapi tetap tenang tangan kiri
Cin Hai melayang dibarengi uap putih mengebul darl tangannya. Inilah sebuah gerak tipu dari Ilmu Silat
Pek-in Hoat-sut!
Sambaran hawa putih yang keluar dari pukulan ini lantas membuat tangan Ban Sai Cinjin terdorong
sehingga pukulannya menjadi melenceng dan tidak mengenai kepala Cin Hai, dan berbareng dengan saat
itu juga, kaki kanan Cin Hai telah melayang dan mendorong tubuh lawannya yang sama sekali tak mengira
akan hal ini. Demikianlah, dengan mudah Cin Hai telah membuktikan omongannya tadi, yaitu memaksa
Ban Sai Cinjin pergi dari hadapannya.
Sementara itu, Coa-ong Lojin melihat hal itu dengan mata terbelalak. Dia melihat dengan jelas betapa
dengan mudahnya Pendekar Bodoh mengalahkan Ban Sai Cinjin. Hampir ia tidak percaya dengan
pandangan matanya sendiri. Akan tetapi dia dapat melihat bahwa kekalahan yang demikian mudah dari
Ban Sai Cinjin terjadi karena kesalahan kakek itu sendiri.
Dalam pandang matanya, Ban Sai Cinjin terlalu mencurahkan perhatian penjagaan diri. Memang serangan
balasan dari Pendekar Bodoh tadi terjadi sangat di luar sangkaan dan mungkin di sinilah letaknya kekuatan
dan kelihaian Pendekar Bodoh.
Coa-ong Lojin merasa bahwa ia dapat menghadapi Pendekar Bodoh. Sungguh pun tidak akan menang,
akan tetapi dia mungkin sanggup bertahan sampai beberapa lama, tidak seperti Ban Sai Cinjin, baru
segebrakan saja sudah terlempar keluar pintu.
Semenjak tadi Lin Lin sudah memperhatikan Coa-ong Lojin dan juga Kam Wi yang masih menggeletak di
bawah dan tadi hendak dibunuh oleh pengemis itu. Kini nyonya ini maju menghampiri Coa-ong Lojin dan
berkata,
“Kalau aku tidak salah sangka, kau tentu Coa-ong Lojin ketua dari Coa-tung Kai-pang. Tongkat ularmu itu
mengingatkan aku siapa adanya kau ini. Akan tetapi, mengapa kau hendak membunuh orang ini?”
“Isteriku, dia itu adalah Sin-houw-enghiong Kam Wi, tokoh besar dari Kun-lun-pai!” kata Cin Hai kepada Lin
Lin.
“Hemm, Sin-houw-enghiong terkenal sebagai orang gagah yang berpribudi tinggi, kenapa hendak kau
bunuh?” kembali Lin Lin bertanya kepada Coa-ong Lojin yang untuk sesaat menjadi pucat tidak dapat
menjawab.
“Aku hanya terbawa-bawa oleh Ban Sai Cinjin, akan tetapi...,” dia mengangkat dadanya memberanikan
hatinya, “peduli apakah kalian dengan urusanku?”
Diam-diam Ketua Coa-tung Kai-pang ini menyangka bahwa Pendekar Bodoh tentu akan membela
puteranya yang sudah menjadi Ketua Hek-tung Kai-pang, padahal sebenarnya Cin Hai dan Lin Lin belum
dunia-kangouw.blogspot.com
mengetahui bahwa putera mereka, Hong Beng, telah diangkat menjadi ketua Hek-tung Kai-pang dan sudah
pernah menanam bibit permusuhan dengan Coa-tung Kai-pang.
“Burung gagak tentu memilih kawan burung mayat!” kata Lin Lin. “Sudahlah, kami tidak ingin lebih lama lagi
bicara denganmu. Pergilah!”
Biar pun merasa mendongkol dan marah, namun Coa-ong Lojin lebih hati-hati dari pada Ban Sai Cinjin dan
dia tidak berani melawan.
“Pendekar Bodoh, kali ini aku Coa-ong Lojin mengalah kepadamu, karena tak ada sebab bagiku untuk
mengadu nyawa. Akan tetapi lain kali aku tidak akan sudi menelan hinaan macam ini lagi!” Setelah berkata
demikian, Coa-ong Lojin lalu berjalan pergi.
Akan tetapi pada saat itu pula terdengar bentakan, “Pengemis kelaparan, jangan kau pergi dulu!”
Dari luar menyambar bayangan orang yang sekali mengulur tangan sudah menerkam ke arah pundak Coaong
Lojin! Raja pengemis ini kaget sekali dan cepat menyabet dengan tongkatnya, akan tetapi dengan
gerakan yang indah dan gesit sekali, orang itu mengelak dan sekali tangannya bergerak, tongkat ular itu
telah kena dirampasnya!
Orang ini bukan lain adalah Kwee An, murid Eng Yang Cu tokoh Kim-san-pai, juga murid dari Pek Mo-ko Si
Iblis Baju Putih, dan sekaligus menjadi murid dari Kong Hwat Lojin Si Nelayan Cengeng (baca cerita
Pendekar Bodoh).
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin sebelum berangkat ke utara menyusul
Hong Beng dan Goat Lan, mereka lebih dulu mampir di Tiang-an dan Kwee An lalu ikut dengan mereka
untuk mencari puterinya, Goat Lan. Perjalanan tiga orang pendekar besar ini dilakukan dengan cepat dan
lancar sekali. Dan pada suatu hari, mereka bertemu dengan Lilani yang sedang menggendong Lie Siong
sambil mengalirkan air mata!
Tentu saja melihat keganjilan ini, ketiga orang pendekar itu berhenti dan menahan Lilani. Melihat wajah
Lilani, Kwee An memandang dengan bengong. Dia merasa seperti pernah melihat gadis cantik ini, akan
tetapi tidak ingat lagi, entah di mana. Lin Lin segera maju menghampiri Lilani dan bertanya,
“Nona yang manis, apakah yang telah terjadi dengan pemuda itu? Siapa kau dan siapa pula dia?”
Melihat sikap dan wajah ketiga orang setengah tua yang gagah itu, Lilani merasa kagum. Akan tetapi gadis
ini masih merasa ragu-ragu untuk menceritakan keadaan dirinya. Siapa tahu kalau-kalau mereka ini juga
kawan-kawan dari Ban Sai Cinjin?
Pendekar Bodoh dapat melihat keraguan gadis itu, maka ia lalu berkata, “Nona tak perlu kau mencurigai
kami, karena kami biasanya hanya menolong orang, dan tak pernah mau mengganggu orang.”
“Siapakah Sam-wi yang mulia? Kenapa pula menahan perjalananku? Kawanku ini sedang terluka hebat
dan perlu segera dicarikan obat, maka harap Sam-wi suka melepaskan aku yang malang ini.”
Kwee An yang sejak tadi memandang kepada gadis itu dengan penuh perhatian karena merasa sudah
pernah bertemu dengan muka ini, lalu maju dan begitu melihat keadaan Lie Siong dia pun berseru kaget,
“Nona, kawanmu ini terluka oleh senjata berbisa! Lekaslah kau ceritakan keadaanmu dan jangan
meragukan kami. Ketahuilah bahwa kau berhadapan dengan orang-orang baik. Pendekar di hadapanmu ini
adalah Pendekar Bodoh dan kau tidak boleh mencurigainya lagi.”
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba wajah Lilani menjadi berseri. Dia menurunkan tubuh Lie Siong yang
dipondongnya, kemudian serta merta ia menjatuhkan diri berlutut di hadapan Cin Hai sambil berkata,
“Sie Taihiap, tolonglah aku yang sengsara ini, tolonglah aku demi orang tuaku yang telah Taihiap kenal.
Aku adalah Lilani, anak dari Manako dan Meilani!”
“Kau anak Meilani...?” Kwee An yang berseru kaget dan barulah kini dia teringat bahwa wajah gadis ini
bagaikan pinang dibelah dua, serupa benar dengan wajah Meilani, gadis Haimi yang dahulu telah menjadi
‘isterinya’ di luar kehendaknya itu! Juga Lin Lin dan Cin Hai terkejut dan mereka teringat akan Meilani yang
dunia-kangouw.blogspot.com
pernah mereka jumpai. (baca cerita Pendekar Bodoh)
“Bangunlah, Nak. Kau kenapakah dan siapa pula kawanmu ini?” Lin Lin bertanya sambil membangunkan
gadis itu. “Tentu saja kami kenal baik dengan ayah bundamu, bahkan ini adalah Kwee Taihiap saudara
tuaku yang boleh kau sebut sebagai ayah tirimu!”
Sungguh keterlaluan Lin Lin, dalam keadaan begini ia masih dapat menggoda kakaknya. Tentu saja Kwee
An menjadi jengah sendiri ketika Lilani mendadak menjatuhkan diri dan berlutut pula di depannya.
“Bangunlah, bangunlah, dan lekas kau bercerita. Siapa pemuda ini dan kenapa ia sampai terluka begini
hebat?”
“Dia bernama Lie Siong, putera dari Lie Kong Sian Taihiap dan...”
“Apa katamu?” Lin Lin hampir menjerit. “Kau bilang pemuda ini putera Lie-suheng... jadi dia... dia putera
Ang I Niocu?!”
Lilani mengangguk dan dengan singkat dia menceritakan pertemuannya dengan Ban Sai Cinjin dan Coaong
Lojin. Ketika mendengar betapa Lo Sian dan Kam Wi masih berada di dalam bahaya hebat, Pendekar
Bodoh tidak mau membuang banyak waktu lagi. Dia minta tolong kepada Kwee An untuk merawat Lie
Siong karena sedikit-sedikit Kwee An juga tahu cara pengobatan orang yang terluka, sedangkan ia sendiri
lalu menarik tangan isterinya dan diajak berlari cepat sekali menuju ke rumah yang ditunjuk oleh Lilani.
Ada pun Kwee An setelah memeriksa luka Lie Siong dengan teliti, dengan amat terkejut dia melihat bahwa
bisa yang masuk ke dalam tubuh pemuda melalui luka kecil itu amat berbahaya dan dia tidak sanggup
mengobatinya. Ia lalu bertanya lagi kepada Lilani siapa yang melukai pemuda itu, dan ketika mendengar
bahwa Lie Siong terluka oleh tongkat Coa-ong Lojin, dia segera memondong tubuh Lie Siong dan berkata,
“Hayo kita kejar mereka! Hanya Coa-ong Lojin saja yang dapat menolong nyawa pemuda ini!” Dan
bersama Lilani mereka kemudian berlari cepat menyusul Pendekar Bodoh dan isterinya.
Demikianlah, ketika Kwee An tiba di situ dan melihat Coa-ong Lojin hendak pergi, dia lalu memberikan Lie
Siong kepada Lilani dan dia sendiri lantas menyerang Coa-ong Lojin dan berhasil merampas tongkatnya.
“Pengemis ular,” kata Kwes An dengan sikap mengancam. “Jangan kau pergi dulu. Kalau kau tidak mau
memberi obat untuk menyembuhkan luka Lie Siong, jangan harap kau akan dapat pergi dari sini dengan
kepala masih menempel di lehermu!”
Coa-ong Lojin berdiri bengong karena terkajut serta herannya. Bagaimana orang dapat merampas
tongkatnya dengan sedemikian mudahnya?
“Siapakah kau?” tanyanya.
“Kau berhadapan dengan orang she Kwee dari Tiang-an. Sudah tak perlu banyak cakap, lekas kau
keluarkan obat untuk menyembuhkan lukanya,” berkata pula Kwee An sambil menunjuk ke arah Lie Siong
yang dipondong masuk oleh Lilani.
“Kalau aku tidak mau dan tidak takut mampus?” tantang Coa-ong Lojin sambil tersenyum mengejek.
Kwee An menjadi gemas. “Bangsat rendah! Tahukah kau bahwa aku pernah menerima pelajaran dari Pek
Mo-ko? Tahukah kau artinya ini? Aku dapat membuat kau menderita selama hidup, hidup tidak mati pun
tidak! Di samping itu, aku akan pergi mencari kawan-kawanmu, semua anggota Coa-tung Kai-pang akan
kubasmi habis sampai bersih!”
“Engko An, biarkan aku mencokel kedua matanya kalau dia tidak mau menyembuhkan putera Enci Im Giok
(Ang I Niocu)!” kata Lin Lin dengan gemas sekali.
“Dan aku pun harus mematahkan kedua lengannya kalau dia tetap berkukuh tidak mau mengobati Lie
Siong!” kata Cin Hai.
Mau tidak mau ngeri juga hati Coa-ong Lojin mendengar ancaman-ancaman ini, apa lagi dia pernah
mendengar nama Pek Mo-ko sebagai tokoh besar yang memiliki kepandaian mengerikan sekali. Tadi pun
dunia-kangouw.blogspot.com
dia telah menyaksikan kepandaian Kwee An yang demikian mudah merampas tongkatnya.
Ia menarik napas panjang, merasa tidak sanggup menghadapi tiga orang pendekar besar yang lihai ini.
Dikeluarnya sebungkus obat bubuk putih dari saku bajunya dan berkatalah dia dengan gemas,
“Biarlah sekali ini aku Coa-ong Lojin mengaku kalah dan menuruti kehendak orang lain. Akan tetapi lain kali
aku akan membikin pembalasan!” Dia melemparkan bungkusan obat kepada Kwee An dan hendak pergi.
“Nanti dulu!” seru Cin Hai. “Obat itu belum dibuktikan kemanjurannya!” Sambil berkata demikian Pendekar
Bodoh menggerakkan tubuhnya yang melesat ke arah pengemis itu dan sekali ia menggerakkan
tangannya tidak ampun lagi Coa-ong Lojin roboh tertotok.
Sementara itu, Lin Lin sudah menghampiri Lo Sian dan cepat memulihkan kesehatannya setelah menotok
dan mengurut pundaknya. Sin-kai Lo Sian merasa gembira sekali dan ucapan pertama yang keluar dari
mulutnya adalah,
“Dia harus disembuhkan, dia adalah putera Ang I Niocu!”
Cin Hai juga membebaskan totokan pada diri Kam Wi yang cepat melompat berdiri dan tanpa berkata
sesuatu, orang yang kasar dan jujur ini langsung mengangkat tangan dan memukul ke arah Coa-ong Lojin
yang telah duduk bersandar tembok tanpa berdaya lagi! Akan tetapi cepat-cepat Cin Hai menangkap
tangannya. Pukulan Kam Wi ini dilakukan dengan keras sekali, akan tetapi dia tertegun ketika merasa
betapa dalam tangkapan Cin Hai, dia tak kuasa menggerakkan tangannya itu.
“Dia orang jahat, harus dibunuh!” katanya dengan keras.
“Sabar dulu, Sin-houw-enghiong! Dia harus membuktikan terlebih dulu bahwa obat yang diberikan untuk
menyembuhkan Lie Siong benar-benar manjur,” kata Cin Hai.
Sesudah dihibur-hibur oleh Cin Hai dan Lin Lin, akhirnya Kam Wi menjadi sabar dan mereka semua lalu
menyaksikan betapa Kwee An mengobati Lie Siong. Atas petunjuk dari Coa-ong Lojin yang masih dapat
bicara dengan lemah, luka di pundak kanannya itu lalu dicuci bersih dan dibubuhi obat bubuk yang sudah
dicairkan dengan air. Kemudian, dengan obat bubuk itu pula, Lie Siong diberi minum obat dicampur sedikit
arak. Setelah pengobatan ini, semua orang berdiam, menanti hasil pengobatan itu.
“Sebentar lagi dia akan siuman dan sembuh,” kata Coa-ong Lojin dengan perlahan.
“Awas, kalau kata-katamu tak terbukti, aku sendiri yang akan memukul hancur kepalamu yang jahat!” kata
Kam Wi dengan melototkan kedua matanya yang lebar.
Akan tetapi, tepat sebagaimana yang dikatakan oleh Coa-ong Lojin, tidak lama kemudian terdengar Lie
Siong mengeluh dan pemuda ini membuka matanya. Wajahnya yang pucat telah menjadi merah kembali,
sebaliknya luka di pundak yang tadinya merah telah mulai menjadi pulih.
“Baiknya kau tidak membohong sehingga jiwamu masih tertolong!” kata Pendekar Bodoh. Sebagai seorang
budiman, ia tidak mau melanggar janji dan melihat Lie Siong betul-betul dapat disembuhkan, dia lalu
menghampiri Coa-ong Lojin dan membebaskan totokannya sehingga pengemis itu dapat melompat berdiri.
“Baiklah sekali ini aku Coa-ong Lojin sudah menerima penghinaan berkali-kali. Kelak di puncak Thian-san
aku akan memperkuat rombongan Wi Kong Siansu untuk menghadapi kalian!”
Setelah berkata demikian, pengemis bertongkat ular ini hendak pergi. Akan tetapi Kam Wi sudah melompat
ke depannya dan sekali menendang, tubuh pengemis itu terlempar keluar dari pintu.
“Ha-ha-ha! Pengemis ular, lain kali bukan pantatmu yang kutendang tetapi kepalamu!”
Setelah Coa-ong Lojin pergi, Lie Siong memandang semua orang itu dengan heran. Dia menoleh kepada
Lo Sian dengan mata mengandung pertanyaan, sehingga Sin-kai Lo Sian tersenyum dan berkata,
“Lie Siong, kau berhadapan dengan orang-orang sendiri. Sungguh bagus sekali nasibmu sehingga hari ini
kau dapat bertemu dan ditolong oleh mereka ini. Ketahuilah bahwa dia ini adalah Pendekar Bodoh dan
isterinya, sedangkan orang gagah itu adalah Kwee An Taihiap dari Tiang-an!” Memang sebelumnya Lo
dunia-kangouw.blogspot.com
Sian sudah mendapat keterangan dari Lilani yang memperkenalkan tiga orang besar itu.
Tentu saja Lie Siong menjadi terkejut bukan main. Akan tetapi pemuda ini dapat menekan perasaannya,
dan tidak memperlihatkan perubahan pada wajahnya yang tampan.
“Siong-ji (Anak Siong), ayah dan ibumu adalah seperti kakak kami sendiri,” kata Lin Lin dengan terharu
sambil menatap wajah yang tampan itu.
Lie Siong lalu memandang kepada Lin Lin. Alangkah cantiknya nyonya ini, hampir sama dengan Lili, yang
tak pernah lenyap bayangannya dari depan matanya itu. Alangkah jauh bedanya dengan ibunya yang
nampak tua. Tiba-tiba saja ia menjadi terharu sekali ketika teringat akan ibunya yang telah ditinggalkannya.
Ibunya mempunyai sahabat-sahabat baik seperti ini, mengapa ibunya hidup menderita? Mengapa ayahnya
sampai mati tanpa ada pembelaan dari mereka ini? Mereka ini adalah pendekar-pendekar besar seperti
yang sudah sering kali disebut-sebut oleh ibunya, akan tetapi mengapa ibunya dan dia sampai hidup di
tempat asing?
Hatinya menjadi dingin sekali. Keangkuhan hati pemuda ini tersinggung karena dalam keadaan tertimpa
mala petaka, justru orang-orang ini yang telah menolongnya. Alangkah bodoh, lemah, dan tak berdaya dia
nampak dalam pandangan mata ketiga orang ini! Padahal dia ingin sekali memperlihatkan kepada
Pendekar Bodoh dan isterinya, bahwa keturunan Ang I Niocu tidak kalah oleh mereka!
Akan tetapi oleh karena telah ditolong oleh mereka, terpaksa Lie Siong lalu maju menjura memberi hormat
dan berkata,
“Sungguh siauwte harus menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Sam-wi yang gagah perkasa.
Semoga Thian akan memberi kesempatan kepada siauwte untuk kelak membalas budi ini. Maafkan bahwa
siauwte harus melanjutkan perjalanan mencari ayah, karena selain siauwte siapa lagi yang akan
mencarinya?”
Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban, Lie Siong lalu menoleh kepada Lilani, “Mari kita pergi!”
Gadis itu memandang dengan perasaan terheran-heran, akan tetapi bagaimana ia dapat membantah
ajakan pemuda yang menjadi pujaan hatinya? Ia hanya memandang kepada Lin Lin dengan sedih,
kemudian sambil menahan isak, dia lalu melompat dan menyusul Lie Siong yang sudah lari terlebih dahulu.
“Eh, ehh, Lie Siong tunggu dulu! Aku akan menunjukkan tempatnya kepadamu!” Lo Sian berseru keras dan
segera mengejar pula.
Ada pun Kwee An, Lin Lin, dan Cin Hai menjadi melengak dan tak dapat mengeluarkan kata-kata saking
herannya. Kemudian mereka saling pandang dengan perasaan aneh. Bagaimanakah pemuda itu dapat
bersikap sedemikian dinginnya?
“Dia seperti orang marah,” kata Cin Hai.
“Tidak, seperti orang malu,” kata Lin Lin.
“Menurut pandanganku, seperti orang yang merasa sangat penasaran. Sungguh aneh!” kata Kwee An.
Selagi ketiga orang itu merasa terheran-heran, suasana yang tidak enak itu dipecahkan oteh suara Kam Wi
yang keras,
“Ah, sungguh beruntung sekali hari ini aku dapat bertemu, bahkan mendapat pertolongan dari tiga orang
pendekar besar! Ha-ha-ha-ha, Pendekar Bodoh, memang agaknya Thian telah menyetujui usulku. Aku
memang hendak bertemu dengan kau, Sie Taihiap!”
Cin Hai membalas penghormatan tokoh Kun-lun-pai itu. “Kam-enghiong, harap kau tidak berlaku sungkan.
Saling bantu dan memberantas kejahatan di antara kalangan kita telah merupakan kewajiban yang tidak
perlu dikotori oleh sebutan pertolongan atau pun budi. Kehormatan apakah yang hendak kau berikan
kepada kami maka kau hendak mencari kami dan usul apakah yang kau maksudkan itu?”
“Harap kau dan isterimu tidak menganggap aku berlaku kurang ajar apa bila kesempatan ini kukemukakan
dunia-kangouw.blogspot.com
maksud hatiku. Ketahuilah, aku mempunyai seorang anak keponakan yang bernama Kam Liong, yang
sekarang menjabat pangkat sebagai panglima muda di kerajaan. Tentu kalian masih ingat pada Kam Hong
Sin saudara tuaku, nah, Kam Liong adalah putera satu-satunya.”
“Kami sudah pernah bertemu dengan Kam Liong itu, Kam-enghiong. Dia adalah seorang pemuda yang
gagah dan baik.”
Berseri wajah Kam Wi mendengar ucapan Lin Lin ini. “Bagus sekali, agaknya memang Thian telah menjadi
penunjuk jalan! Toanio, seperti juga kau dan suamimu, aku pun telah melihat puterimu yang bernama Sie
Hong Li! Juga suheng-ku, Suhu dari Kam Liong yang kau kenal sebagai tokoh pertama dari Kun-lun-pai,
yaitu Tiong Kun Tojin, sangat suka melihat puterimu yang cantik dan gagah itu! Oleh karena itu, kami
sudah sependapat, yaitu aku, Kam Liong, serta suhu-nya, untuk mengajukan pinangan kepada Sie Taihiap
untuk menjodohkan Kam Liong dengan Nona Sie Hong Lie!”
Mendengar pinangan yang tiba-tiba dan terus terang di tempat yang tidak semestinya ini, kedua orang tua
itu terkejut dan tersipu-sipu. Wajah Lin Lin menjadi merah akibat jengah. Belum pernah terpikir olehnya
akan menerima lamaran orang dan sungguh pun di dalam hatinya ia amat suka kepada Kam Liong, akan
tetapi mulutnya tak dapat berkata sesuatu.
Dia hanya memandang kepada suaminya yang kebetulan juga memandang kepadanya dengan mata
bodoh. Sampai lama suami isteri ini hanya saling memandang, tidak dapat menjawab, bahkan tidak berani
pula memandang pada Sin-houw-enghiong Kam Wi yang masih menanti jawaban mereka.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa geli, dan ternyata yang tertawa itu adalah Kwee An.
“Ha-ha-ha, bagaimanakah kalian ini? Anak perempuan dilamar orang, kok hanya saling pandang seperti
pemuda-pemudi yang main mata?”
Kwee An biasanya pendiam dan tidak banyak berkelakar, akan tetapi sekali ini ia sedang berkumpul
dengan Lin Lin yang suka menggodanya, ia selalu mencari kesempatan untuk balas menggoda adiknya ini!
Tentu saja Lin Lin menjadi makin bingung dan akhirnya Cin Hai yang dapat mengeluarkan kata-kata sambil
menjura kepada Kam Wi,
“Kami menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas kehormatan yang Kam-enghiong berikan kepada
kami. Sungguh merupakan kehormatan besar sekali bahwa anak kami Hong Li yang bodoh dan buruk rupa
itu mendapat perhatian dari keponakanmu, juga dari Tiong Kun Tojin dan dari kau sendiri. Sesungguhnya
puteri kami yang bodoh itu terlalu rendah, apa bila dibandingkan dengan Kam-ciangkun yang biar pun
masih muda sudah menduduki pangkat sedemikian tingginya, selain lihai juga menjadi anak murid dari
tokoh Kun-lun-pai yang terkenal.”
“Bagus, bagus! Jadi kalian sudah setuju? Kalian menerima pinanganku?” Kam Wi yang jujur dan kasar itu
segera memutuskannya.
“Bukan begitu, Kam-enghiong. Harap jangan tergesa-gesa, tak dapat kami memutuskan begitu saja...” kata
Cin Hai.
“Hemmm, jadi Sie Taihiap menolak?” kembali Kam Wi memutuskan omongan Pendekar Bodoh.
Cin Hai tersenyum, ia maklum bahwa Kam Wi memiliki watak yang amat kasar, polos, dan tidak sabaran.
“Tenanglah, Kam-enghiong. Urusan perjodohan bukanlah seperti urusan jual beli barang murahan saja. Hal
ini tentunya harus dipertimbangkan dengan sebaik-baiknya. Sekarang kami tidak dapat memberi
keputusan, berilah waktu kepada kami untuk memikirkan serta mempertimbangkannya dan terlebih dulu
kami harus bertemu dan bicara dengan Lili puteri kami itu.”
“Pendekar Bodoh, kita adalah golongan orang-orang yang tak pandai bicara, karena lebih mudah bicara
dengan kepalan tangan dari pada dengan bibir dan lidah. Kalau kiranya kalian berdua menolak pinangan
ini, tak usah banyak sungkan, nyatakan saja sekarang. Aku takkan merasa penasaran atau marah, karena
sudah semestinya sesuatu pinangan akan mengalami dua hal, diterima atau tidak.”
“Bagaimana kami dapat menolak pinanganmu? Kami berlaku sombong dan kurang ajar kalau menolaknya.
Sesungguhnya kami tidak melihat sesuatu yang mengecewakan pada diri Kam Liong, akan tetapi...”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ha-ha-ha, jadi kau suka? Bagus, aku yang menanggung bahwa Kam Liong benar-benar akan merupakan
seorang suami yang baik serta bijaksana, seorang anak menantu yang berbakti! Terima kasih atas
penerimaanmu, Pendekar Bodoh, segera kita akan mencari hari yang baik untuk melangsungkan
pernikahan.”
“Nanti dulu, Kam-enghiong. Harap jangan tergesa-gesa. Jika tadi kunyatakan bahwa aku tidak menolak, itu
bukan berarti bahwa aku menerimanya. Seperti telah kukatakan tadi, berilah waktu. Kita sedang
menghadapi masa sulit, tugas dan kewajiban menghadang di depan mata, siapa mempunyai kesempatan
untuk bicara tentang perjodohan? Tunggulah sampai musuh terusir semua, sampai kami dapat bertemu
dengan putera dan puteri kami dalam keadaan selamat, barulah kita akan bicara tentang perjodohan ini!”
“Baik, baik. Betapa pun juga aku merasa yakin bahwa kau tidak menolak dan ucapan itu sudah setengah
menerima. Baik, kita menanti sampai selesai tugas kami membela tanah air. Bila keadaan sudah aman,
aku akan membawa Kam Liong datang ke Shaning untuk menentukan hari baik! Nah, selamat tinggal, dan
terima kasih atas pertolongan kalian tadi!” Setelah berkata demikian dengan wajah berseri gembira Kam Wi
lalu meninggalkan rumah itu.
Pendekar Bodoh menarik napas panjang. “Alangkah kasar dan jujurnya orang itu! Urusan perjodohan
dianggap mudah begitu saja. Itulah jika orang tidak mempunyai anak sendiri, tidak merasa betapa
sukarnya menetapkan jodoh bagi anak perempuan.”
“Sesungguhnya orang itu gegabah sekali,” kata Kwee An, “belum juga diberi keputusan, dia sudah
menetapkan dengan yakin bahwa lamarannya diterima. Orang seperti itu kelak akan dapat menimbulkan
keributan karena kebodohan, kejujuran, dan kekasarannya.”
“Terus terang saja, aku sendiri sudah setuju apa bila Lili mendapatkan jodoh seperti Kam Liong,” kata Lin
Lin. “Kita sudah menyaksikan sendiri betapa pemuda itu sopan santun, lemah lembut, dan juga sudah
menyatakan jasanya dengan membantu Hong Beng dan juga kita. Bukankah perbuatannya itu saja sudah
memperlihatkan bahwa ia suka kepada Lili dan bahwa ia tidak hendak main-main dalam urusan perjodohan
ini?”
“Betapa pun juga, keputusannya harus kau serahkan kepada Lili sendiri, karena urusan ini menyangkut
kebahagiaan seumur hidupnya. Aku tidak akan merasa puas apa bila dia sendiri tidak menyetujui
perjodohan ini. Dia yang akan menikah, dan dia pula yang akan menanggung segala akibatnya, dia yang
akan sengsara atau senang kalau sudah terjadi perjodohan itu. Maka aku menyesal sekali kenapa Sinhouw-
enghiong merasa demikian pasti dan tergesa-gesa menganggap kita sudah menerima pinangannya.”
Demikianlah, mereka kemudian melanjutkan perjalanan ke utara sambil tak ada hentinya membicarakan
urusan pinangan yang dilakukan oleh Kam Wi dengan cara yang kasar itu…..
********************
Dengan hati mengkal Lie Siong berlari, akan tetapi dia tidak berlari terlalu cepat karena bila ia melakukan
hal ini, tentu Lilani akan tertinggal jauh. Oleh karena itu, maka sebentar saja ia telah tersusul oleh Lo Sian
yang mengejarnya.
“Perlahan dulu, Anak Siong!” kata Sin-kai Lo Sian sesudah dapat menyusul pemuda itu. Lie Siong berhenti
karena Lilani telah mendahuluinya berhenti untuk menanti datangnya pengemis tua itu.
“Mengapa kau meninggalkan mereka begitu saja? Bukankah mereka itu kawan-kawan baik ibu dan
ayahmu? Kau sudah mereka tolong, akan tetapi kau meninggalkan mereka seakan-akan seorang yang
sedang marah, mengapakah?” Lo Sian menegur Lie Siong yang mendengar dengan kepala ditundukkan.
“Alangkah rendah pandangan mereka terhadapku,” hanya inilah yang diucapkan oleh Lie Siong karena
sebetulnya dia tidak suka hal itu dibicarakan lagi. “Lopek, kau menyusulku ada apakah? Karena kau sendiri
tidak tahu dan tidak ingat lagi apa yang sudah terjadi dengan mendiang ayahku, aku tidak perlu
mengganggumu lagi. Kembalilah kau kepada mereka dan ceritakan bahwa aku adalah seorang pemuda
yang tidak tahu diri dan tidak tahu menerima budi. Biarlah mereka lupakan namaku, nama ibu dan ayahku!”
Lo Sian tertegun melihat sikap yang dingin dan kaku ini. Dia benar-benar merasa heran sekali melihat
keadaan dan watak pemuda yang aneh ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lie Siong, sesudah beberapa lama aku melakukan perjalanan bersamamu, belum juga aku dapat mengerti
watakmu, sungguh pun harus kuakui bahwa aku suka kepadamu. Aku menyusulmu bukan untuk
mengganggumu, akan tetapi karena aku kini sudah dapat menduga siapa adanya pembunuh ayahmu dan
di mana kiranya kita dapat menemukan makam ayahmu.”
“Siapa pembunuhnya? Di mana makamnya?” suara Lie Siong terdengar menggetar dan wajahnya
memucat. Lo Sian lalu menceritakan tentang ucapan dan sikap Ban Sai Cinjin ketika tadi hendak
membunuhnya.
“Tak salah lagi,” katanya sebagai penutup ceritanya, “pembunuh ayahmu pasti bukan lain orang, akan
tetapi Ban Sai Cinjin sendiri! Dan kurasa, untuk mencari jejak ayahmu atau makamnya, kita harus pergi ke
tempat tinggal Ban Sai Cinjin, yaitu dusun Tong-sin-bun!”
“Di tempat di mana aku pernah membakar rumahnya?”
Lo Sian mengangguk. “Di dekat dusun itu terdapat sebuah kuil milik Ban Sai Cinjin dan kalau tidak salah, di
situlah kita akan dapat menemui jejak-jejak ayahmu atau makamnya. Kalau kau kehendaki, mari
kuantarkan kau ke sana untuk menyelidiki.”
“Kembali ke Tong-sin-bun?” Lie Siong berkata ragu-ragu. “Kita telah tiba sejauh ini…” Dia lalu menengok
ke arah Lilani. “Kita sudah sangat dekat dengan tempat di mana kita akan menemukan rombongan suku
bangsa Haimi. Lebih baik kita mencari suku bangsa itu lebih dulu untuk mengembalikan Lilani kepada
bangsanya. Setelah itu, baru kita kembali ke selatan untuk menyelidiki hal ini.”
Lo Sian menyatakan setuju dan demikianlah, mereka melanjutkan perjalanan ke utara menuju ke kaki
Gunung Alaka-san di sebelah barat. Di sepanjang jalan Lie Siong berkata bahwa kalau memang betul
ayahnya telah terbunuh oleh Ban Sai Cinjin, dia bersumpah untuk membalas dendam dan akan mencari
serta membunuh Ban Sai Cinjin, walau pun untuk itu dia harus mengorbankan nyawanya sendiri…..
********************
Pada masa itu, keadaan tapal batas sebelah utara memang amat genting. Pertempuran-pertempuran telah
pecah dan terjadi di mana-mana, di mana saja rombongan pengacau bangsa Tartar dan Mongol bertemu
dengan rombongan barisan pemerintah yang menjaga di perbatasan.
Malangi Khan sangat pandai mengatur siasatnya. Tidak saja dia membujuk dan menarik bangsa Tartar
untuk bergabung dengan pasukannya untuk bersama-sama memukul ke selatan dengan janji-janji muluk,
akan tetapi juga dia telah membujuk suku-suku bangsa Tiongkok yang tinggal di perbatasan utara untuk
secara bersama-sama menggulingkan pemerintahan Kaisar Tiongkok.
Juga ia masih berusaha untuk menghubungi orang-orang gagah di dunia kang-ouw untuk membantu usaha
penyerbuannya, dengan pancingan-pancingan berupa harta benda dan janji kedudukan. Bahkan dengan
Ban Sai Cinjin dia sudah mengadakan hubungan yang erat, dan menjanjikan bahwa apa bila kelak
pemerintah kaisar telah terguling, dia hendak mengangkat Ban Sai Cinjin menjadi kaisar!
Ban Sai Cinjin sendiri bukan seorang bodoh, dan tidak dapat ia menelan mentah-mentah janji muluk ini,
akan tetapi dengan kerja sama ini Ban Sai Cinjin sendiri pun mempunyai rencana. Bila mana mereka
bersama sudah berhasil menyerbu ke selatan dan mendapat kemenangan, dengan mudah saja dia akan
menggunakan pengaruhnya untuk berkhianat terhadap orang-orang Mongol itu sehingga dia akan dapat
berkuasa di kota raja.
Sudah lama suku bangsa Haimi dikuasai oleh Malangi Khan. Sejak dia memukul bangsa Haimi ini hingga
kepalanya, yaitu Manako melarikan diri dengan puterinya, maka bangsa ini menjadi semacam bangsa
jajahan. Saliban, yang tadinya menjadi pembantu Manako, dengan sikapnya yang pandai menjilat, akhirnya
terpakai oleh Malangi Khan dan orang ini diangkat menjadi kepala dari suku bangsa Haimi dan boleh
dibilang dia menjadi kaki tangan bangsa Mongol.
Saliban mengumpulkan orang-orangnya baik dengan halus mau pun secara paksa, untuk bergabung
kembali kemudian bersama-sama merupakan sebuah kesatuan yang cukup kuat untuk membantu usaha
kaum Mongol itu menyerbu ke selatan, atau setidaknya bisa mengacaukan pertahanan tentara kerajaan di
selatan. Berkat usaha Saliban ini, bangsa Haimi banyak yang ditangkap dan dijadikan anggota pasukan
dunia-kangouw.blogspot.com
secara paksa, sehingga sungguh pun di dalam hati orang-orang Haimi ini tidak suka membantu orang
Mongol dan memusuhi tentara Han, namun terpaksa mereka maju juga.
Pada suatu hari, barisan suku bangsa Haimi yang berjumlah lima puluh orang lebih dan dipimpin sendiri
oleh Saliban, sambil berteriak-teriak menyeramkan, sedang mengurung sepasukan penjaga tapal batas
yang hanya berjumlah tiga puluh orang. Sungguh amat menyeramkan orang-orang Haimi ini. Mereka ratarata
berkumis panjang, kecuali Saliban sendiri yang semenjak muda sudah membuang kumisnya,
bersenjata golok dan pedang lalu menyerbu sambil berteriak-teriak menyeramkan.
Sebentar saja, pasukan kerajaan yang jumlahnya jauh lebih kecil itu sudah rapat-rapat terkurung dan
sudah banyak korban yang jatuh di pihak pasukan ini. Seorang perwira tua dari pasukan kerajaan ini
dengan mati-matian bertempur mainkan sepasang pedangnya. Luka-luka telah membuat seluruh tubuhnya
mandi darah, akan tetapi perwira ini harus dipuji ketabahan dan keuletannya, karena dia tidak hendak
menyerah sebelum titik darah terakhir!
Pada saat itu, tiba-tiba keadaan pihak orang-orang Haimi menjadi kacau-balau. Ternyata bahwa entah dari
mana datangnya, di gelanggang peperangan itu telah datang seorang gadis cantik yang memainkan
pedangnya secara luar biasa sekali. Pedang tunggal pada tangannya berkilauan dan setiap kali tangannya
menggerakkan pedang, maka robohlah seorang lawan!
Gadis muda ini bukan lain adalah Sie Hong Li atau Lili! Sebagaimana telah diceritakan di bagian depan,
setelah mendengar lamaran yang terus terang dan kasar dari Kam Wi, paman dari Kam Liong, gadis ini lalu
melarikan diri meninggalkan rombongan Kam Liong. Karena dia memang tidak tahu jalan dan di sepanjang
perjalanannya dia tidak bertemu dengan seorang manusia pun, dia telah salah mengambil jalan dan yang
disangkanya ke utara sebetulnya membelok ke barat!
Demikianlah, pada saat dia melihat betapa serombongan tentara kerajaan dikeroyok dan dikurung oleh
pasukan berkumis yang jauh lebih besar jumlahnya, tanpa diminta dan tanpa mengeluarkan kata-kata Lili
lalu membantu pasukan kerajaan itu dan menyerang barisan berkumis dengan hebatnya.
Akan tetapi, ketika Lili datang membantu, pasukan kerajaan telah habis, bahkan perwira tua itu hanya
sempat melihat Lili sebentar saja, karena perwira ini lalu roboh saking lelah dan banyak mengeluarkan
darah. Beberapa bacokan golok lalu menamatkan riwayatnya. Sebentar kemudian hanya tersisa Lili
seorang saja yang masih dikeroyok oleh puluhan orang berkumis.
Saliban yang melihat seorang gadis cantik jelita dan gagah perkasa, merasa sayang apa bila gadis ini
sampai mengalami kematian, maka ia lalu berseru,
“Kawan-kawan, jangan bunuh gadis ini. Tangkap hidup-hidup!”
Akan tetapi, perintah ini lebih mudah diucapkan dari pada dijalankan, karena jangan kata hendak
menangkap hidup-hidup, untuk mendekati gadis itu saja sukarnya bukan main! Setiap orang yang terlalu
berani mendekati Lili, tanpa dapat dicegah lagi roboh terkena tendangan atau kena sambaran hawa
pukulan dari tangan kiri gadis itu, atau juga roboh karena keserempet pedang! Lili sengaja tak mau
membunuh orang. Melihat orang-orang berkumis ini, teringatlah dia akan cerita ayah bundanya tentang
bangsa Haimi, maka dia tidak tega untuk membunuh seorang pun di antara mereka.
“Bukankah kalian ini orang-orang Haimi? Kenapa memusuhi tentara kerajaan? Dengarlah, aku adalah
puteri Pendekar Bodoh. Ayah ibuku kenal baik dengan kepala kalian, Manako dan Meilani!” seru Lili di
antara amukannya.
Benar saja, mendengar seruannya ini, sebagian besar orang Haimi cepat mengundurkan diri. Mereka
sudah pernah mendengar nama Pendekar Bodoh yang menjadi sahabat baik dari pada kepala mereka
yang dulu, Manako. Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan Saliban yang mendorong mereka untuk maju
lagi dan mengadakan pengeroyokan.
Lili menjadi kewalahan juga. Tidak mungkin ia akan dapat melepaskan diri dari kepungan tanpa
merobohkan atau menewaskan beberapa orang di antara mereka.
“Mana Manako atau Meilani? Suruh mereka keluar dan biar aku bicara dengan mereka!” teriaknya lagi.
Akan tetapi siapakah yang berani melayaninya? Walau pun semua orang Haimi itu timbul hati simpatinya
terhadap gadis ini, namun mereka takut kepada Saliban.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sungguh celaka bagi Lili pada saat itu, serombongan pasukan Mongol yang lihai datang! Ketika melihat
betapa sepasukan orang Haimi sedang mengeroyok seorang gadis Han, orang-orang Mongol ini cepat
menyerbu dan mengeroyok Lili.
Keadaan Lili menjadi lebih berbahaya lagi. Walau pun dia mengamuk hebat, akan tetapi bagaimana dia
dapat melayani ratusan orang musuh yang mengeroyoknya? Mereka itu kini mulai mempergunakan kaitan
dan tambang sehingga gerakan Lili menjadi terhalang.
Lili melawan terus dan pertempuran luar biasa ini sungguh hebat. Seorang gadis muda jelita dikeroyok oleh
ratusan orang Mongol dan Haimi, dan biar pun sudah ribuan jurus, belum juga gadis ini kalah! Mayat sudah
bertumpuk, dan pandangan mata Lili pun sudah menjadi kabur.
Kepalanya pening, peluh membasahi seluruh tubuhnya dan tenaganya mulai berkurang. Tak mungkin
baginya untuk keluar dari kepungan, maka dengan nekat dia lalu menyerbu, maksudnya hendak
membunuh sebanyak-banyaknya musuh sebelum dia roboh.
Mendadak terdengar sorak-sorai bergemuruh dari jauh. Sepasukan tentara kerajaan yang lain datang
menolong!
Orang-orang Mongol lalu memisahkan diri dan menyambut datangnya pasukan kerajaan yang terdiri dari
seratus orang itu. Pertempuran makin hebat dan besar, akan tetapi Lili sudah lelah sekali sehingga pada
saat kakinya terjirat tambang, tubuhnya terhuyung lalu terguling. Banyak tangan yang kuat menubruknya
dan dalam sekejap mata saja dia telah diikat kuat-kuat oleh orang-orang Haimi, lalu Saliban mengempitnya
dan membawanya lari bersama orang-orangnya.
Lili yang roboh pingsan saking lelahnya tak ingat sesuatu. Ketika ia telah siuman kembali ternyata dia telah
berada di dalam sebuah hutan dan waktu itu telah malam. Kegelapan malam di dalam hutan itu terusir oleh
cahaya api unggun besar yang sudah dibuat oleh orang-orang Haimi di tempat itu. Di sini agaknya
memang menjadi tempat beristirahat, karena pohon-pohon telah ditebang sehingga merupakan tempat
terbuka yang dikelilingi pohon-pohon besar.
Lili didudukkan menyandar batu karang dan ia tidak dapat menggerakkan tubuhnya yang terikat erat-erat.
Ketika dia membuka matanya, dia melihat banyak sekali orang Haimi mengelilingi api, duduk bercakapcakap
dalam bahasa Haimi.
Dulu secara iseng-iseng ayah bundanya yang sedikit mengerti bahasa ini, telah memberi tahu dan
memberi pelajaran kepadanya mengenai bahasa Haimi, maka biar pun hanya sedikit, Lili dapat menangkap
percakapan mereka.
“Jangan, Saliban, dia adalah puteri Pendekar Bodoh, pendekar besar sahabat baik Kwee Taihiap yang
telah banyak berjasa terhadap kita. Jangan ganggu dia!” terdengar seorang Haimi yang sudah tua berkata
terhadap orang Haimi yang tak berkumis.
Ucapan ini agaknya diterima dan dinyatakan setuju oleh sebagian besar orang-orang di situ, karena
mereka nampak menganggukkan kepala. Akan tetapi orang Haimi yang tidak berkumis itu menjadi marah.
“Siapa takut pada Pendekar Bodoh? Tak tahukah kalian bahwa Pendekar Bodoh adalah musuh orangorang
Mongol? Kita harus memperlihatkan jasa, dan sekarang kesempatan yang amat baik ini jangan kita
lewatkan begitu saja. Gadis ini demikian cantik jelita dan berkepandaian tinggi pula. Apa bila kita
membawanya kepada Malangi Khan kemudian mempersembahkannya, tentu dia akan berterima kasih dan
girang sekali. Kalau dia tidak mau, aku sendiri pun membutuhkan seorang isteri segagah dan secantik ini.”
Kembali terdengar suara menggumam dari pada hadirin, akan tetapi kali ini menyatakan tidak setuju.
Semua ini tidak terlepas dari pandangan mata Lili yang tajam. Dia mendapat kesimpulan bahwa orangorang
Haimi ini bagaimana pun juga masih menaruh hati setia kawan terhadap ayahnya, akan tetapi
mereka semua agaknya takut kepada orang yang bernama Saliban, orang Haimi yang tidak berkumis itu.
Diam-diam Lili mengeluh. Alangkah buruk nasibnya. Melakukan perjalanan bersama Kam Liong,
mendengar lamaran yang kasar hingga membuat mukanya selalu menjadi merah kembali kalau
mengingatnya. Setelah meninggalkan rombongan itu, belum juga bertemu dengan Hong Beng dan Goat
Lan bahkan kini terjatuh pula dalam tangan serombongan orang Haimi yang telah berubah dan telah
dunia-kangouw.blogspot.com
menjadi kaki tangan Mongol! Bila ia diserahkan kepada bangsa Mongol itu, akan celakalah dia!
Akan tetapi Lili tak pernah berputus asa. Selama hayat masih dikandung badan, gadis ini tidak akan mati
putus asa. Ia masih hidup, kepandaiannya masih ada. Betapa pun hebat mala petaka mengancam, ia akan
dapat menolong diri sendiri.
Dengan pikiran ini, hati Lili menjadi tetap dan ia segera meramkan mata dan tertidur. Ia menganggap perlu
sekali beristirahat dan tidur melepaskan lelahnya. Besok pagi-pagi ia akan berusaha untuk melepaskan
ikatan kaki tangannya.
Memang cerdik sekali pikiran Lili ini. Apa bila ia berusaha atau berkuatir hati, mungkin ia tidak akan dapat
tidur dan hal ini berbahaya sekali. Ia amat penat dan kehabisan tenaga, kalau ditambah lagi dengan
kegelisahan dan tidak dapat tidur, keadaannya tentu akan menjadi lebih buruk lagi.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lili telah bangun dari tidurnya. Meski pun kaki tangannya terasa
kaku dan kesemutan, namun dia merasa tubuhnya sehat dan segar, tidak lemas seperti malam tadi. Dan ia
merasa heran sekali ketika melihat betapa semua orang Haimi masih duduk mengelilingi api. Mereka tak
bercakap-cakap lagi, hanya duduk melenggut.
Melihat keadaan orang-orang ini, maka timbul hati kasihan di dalam dada Lili. Alangkah sengsaranya hidup
seperti orang-orang ini. Agaknya tak berumah, tidak bebas, dan hidup hanya sebagai budak belian, di
bawah perintah orang Haimi tak berkumis yang kini telah diperbudak pula oleh orang-orang Mongol itu.
Kemanakah perginya Manako dan Meilani, kepala suku bangsa Haimi yang menjadi sahabat baik ayah
bundanya?
Pada saat Lili termenung sambil memandang ke arah Saliban yang juga sudah bangun dan sedang
menendangi kawan-kawannya memerintahkan mereka bangun, nampaklah oleh Lili berkelebatnya
bayangan merah yang luar biasa sekali gerakannya. Bayangan ini berkelebat bagaikan bintang jatuh dan
tiba-tiba tanpa diketahui oleh orang-orang Haimi itu, di depannya telah berdiri seorang wanita.
Cuaca pagi hari di dalam hutan itu masih agak gelap, remang-remang tertutup halimun. Di dalam
pandangan Lili, wanita yang berdiri di depannya itu demikian cantiknya seperti seorang bidadari dari
kahyangan. Pakaiannya berwarna merah dan biar pun di sana-sini sudah ditambal, namun tidak
mengurangi potongan bentuk tubuhnya yang langsing.
Tangan wanita itu memegang pedang yang mengeluarkan cahaya mencorong bagaikan bintang pagi,
mengingatkan Lili kepada pedang Liong-cu-kiam dari ayahnya. Akan tetapi pedang di tangan wanita baju
merah itu lebih pendek dari pada Liong-cu-kiam ayahnya.
Wanita itu tidak mengeluarkan sepatah pun kata, akan tetapi tangannya yang memegang pedang bergerak
membacok ke arah Lili! Sungguh aneh dan hebat gerakan bacokan ini sehingga Lili sendiri menjadi ngeri
mengira bahwa wanita ini akan membunuhnya. Tanpa terasa lagi gadis ini meramkan matanya.
Akan tetapi tiba-tiba ia merasa betapa tangan dan kakinya sudah terlepas dari belenggu! Ternyata bahwa
wanita itu bukan membacok tubuhnya, melainkan membacok belenggu-belenggu yang mengikat kaki
tangannya! Cepat ia melompat berdiri dan karena tubuhnya masih kaku dan kesemutan, Lili menjadi
limbung!
Cepat-cepat dia melakukan gerakan bhesi yang disebut Sepasang Gunung Menembus Awan, sebuah
bhesi dari Ilmu Silat Pek-in Hoat-sut. Kedua tangannya ia gerak-gerakkan sehingga mengeluarkan uap
putih. Lili melakukan gerakan ini di samping untuk mencegah tubuhnya limbung dan jatuh, juga untuk
melemaskan urat-urat tangannya dan mencegah masuknya hawa atau angin jahat ke dalam tubuhnya.
Akan tetapi wanita itu nampak terkejut sekali. Sekali kedua kakinya bergerak, wanita itu telah melesat dan
berdiri dekat sekali di depan Lili. Dipegangnya pundak Lili, digoncang-goncangnya beberapa kali sambil
bertanya,
“Siapa kau? Dari mana kau mempelajari Pek-in Hoat-sut?”
Ketika wanita baju merah itu menggoncang-goncang pundak Lili, gadis ini dapat melihat wajah wanita itu
dengan jelas sekali dan terkejutlah dia. Sesudah terlihat jelas wajah ini ternyata merupakan wajah seorang
nenek-nenek yang sudah tua sekali! Rambutnya sudah putih semua dan seluruh kulit mukanya sudah
dunia-kangouw.blogspot.com
penuh keriput. Sekaligus lenyaplah sifat-sifat kecantikan wanita itu. Pada saat itu juga teringatlah Lili
dengan hati berdebar siapa adanya wanita di depannya itu.
“Ang... Ang... I Niocu....,” katanya dengan suara gemetar.
Dua tangan yang halus dan amat kuat, yang tadi menggoncang-goncangkan pundaknya dengan kekuatan
luar biasa itu kini terhenti tiba-tiba.
“Kau siapakah? Lekas mengaku, kau siapa dan anak siapa!” kata pula wanita itu yang memang betul Ang I
Niocu adanya.
“Ahh... Ie-ie (Bibi) Im Giok...!” Tak terasa pula Lili lalu merangkul wanita itu.
Semenjak kecilnya, ibunya sering kali menceritakan tentang Kiang Im Giok atau Ang I Niocu yang amat
dicinta oleh ayah ibunya ini, wanita perkasa yang telah banyak melepas budi kepada Pendekar Bodoh
suami isteri. Pertemuan ini amat menggirangkan hatinya juga amat mengharukan karena selalu terbayang
olehnya bahwa Ang I Niocu merupakan seorang wanita tercantik di dunia ini. Sungguh pun ia telah
mendengar dari ibunya bahwa kini Ang I Niocu telah tertimpa mala petaka dan menjadi tua sekali, namun
tidak pernah terduga bahwa wanita ini akan menjadi setua itu, maka ia menjadi amat terharu. Air mata tak
tertahan pula mengalir di atas pipinya. (baca cerita Pendekar Bodoh)
Sementara itu, melihat wajah dan watak gadis ini, Ang I Niocu tidak ragu-ragu lagi. “Kau puteri Lin Lin,
anak Cin Hai...?” bisiknya.
“Betul, Ie-ie Im Giok, aku bernama Sie Hong Li atau Lili. Masih ada saudaraku, yaitu kakakku bernama Sie
Hong Beng.”
Ang I Niocu memegang kedua pundak Lili, menjauhkan tubuh gadis itu dari padanya dan memandang
wajah cantik itu dengan air mata mengalir turun di pipinya yang kisut. Ang I Niocu, wanita yang keras hati
seperti baja ini tidak dapat lagi menahan keharuan hatinya melihat puteri dari kawan-kawannya yang
tercinta!
Pada saat itu, Saliban dan kawan-kawannya telah melihat Ang I Niocu dan ketika Saliban melihat betapa
Lili telah terlepas ikatan kaki tangannya, ia menjadi marah sekali. Cepat ia mencabut pedangnya dan
memerintahkan kawan-kawannya untuk menyerbu.
“Tangkap Nona itu dan bunuh wanita baju merah itu!” teriaknya.
Berubah wajah Ang I Niocu ketika ia mendengar seruan ini. Cepat ia melepaskan pundak Lili sambil
berkata, “Apakah mereka ini yang menangkapmu? Ha-ha-ha, lihatlah anakku, lihat betapa Ie-ie-mu, meski
pun sudah tua masih sanggup membuat puluhan orang ini menjadi setan tak berkepala lagi dalam sekejap
mata!” Sambil berkata demikian, tangan kanannya meraba pinggang dan tahu-tahu pedang yang tajam
berkilau itu telah tercabut dan berada di tangannya!
Pedang ini sesungguhnya juga pedang Liong-cukiam dan asalnya merupakan siang-kiam (pedang
pasangan), sebatang panjang dan sebatang pula pendek. Ang I Niocu dan Cin Hai yang mendapatkan
pedang ini di dalam goa, dan kemudian menurut pesan Bu Pun Su guru Cin Hai, pedang yang panjang
diberikan kepada Cin Hai ada pun yang pendek jatuh pada Ang I Niocu. Oleh karena itu, pedang yang
berada di tangan Ang I Niocu ini hebat sekali dan tajam luar biasa!
Melihat kemarahan Ang I Niocu, Lili menjadi kuatir sekali. Ia pun dapat menduga bahwa kalau wanita baju
merah ini benar-benar melakukan ancamannya, semua orang Haimi itu tentu akan mati di tangan Ang I
Niocu. Ia pernah mendengar dari ibunya betapa ganas wanita ini kalau sedang marah.
“Ie-ie Im Giok, tahan dulu...!” teriaknya sambil melompat maju dan memegang tangan kanan Ang I Niocu
yang memegang pedang. “Orang-orang ini adalah suku bangsa Haimi yang tidak jahat, hanya kepalanya
saja yang memaksa mereka menjadi penjahat. Biarlah aku menghadapi mereka, Ie-ie Im Giok.
Ampunkanlah mereka, dan tentang kepalanya yang jahat itu, biarkan aku sendiri yang menghajarnya!”
Ang I Niocu memandang kepada Lili dengan matanya yang amat tajam. Lili sudah kuatir kalau nyonya luar
biasa ini akan marah, akan tetapi ternyata tidak. Ang I Niocu bahkan tersenyum dan berkata perlahan, “Kau
seperti ayahmu, berbudi dan pengasih, dan berani seperti ibumu. Nah, kau pakailah pedangku untuk
dunia-kangouw.blogspot.com
menghadapi kepala mereka.”
“Terima kasih, Ie-ie, tidak usah!” jawab Lili gembira. “Untuk membunuh seekor anjing, tak patut
mengotorkan pedang Liong-cu-kiam!” Ia kini tak ragu-ragu lagi menyebutkan nama pedang ini karena
memang ia telah tahu dari ayahnya bahwa pedang Ang I Niocu adalah pedang Liong-cu-kiam juga.
Dengan kedua tangan di pinggang, Lili berdiri dengan gagahnya, menunggu datangnya serbuan puluhan
orang Haimi itu. Orang-orang ini memang sudah merasa kagum dan segan untuk memusuhi gadis itu,
maka kini mereka menjadi ragu-ragu. Mereka maju hanya atas perintah dan desakan Saliban, maka kini
setelah berada di depan gadis yang gagah itu, mereka berdiri ragu-ragu, mundur tidak maju pun gentar.
“Saudara-saudara suku bangsa Haimi, dengarlah kata-kataku! Dengarlah ucapan puteri Pendekar Bodoh
yang sejak dahulu menjadi sahabat dan pembela Manako dan Meilani! Agaknya sekarang kalian telah
diselewengkan oleh kepalamu yang baru, yang mengekor dan menjadi kaki tangan bangsa Mongol yang
sangat jahat! Kalian hidup dalam bahaya akan kehancuran seluruh bangsamu. Jangan takut kepada
kepalamu yang jahat itu, dan jangan takut kepada orang Mongol yang menindasmu. Aku akan
melindungimu, aku dan ayah ibuku. Pendekar Bodoh dan kawan-kawan kami akan melindungimu, akan
memukul hancur bangsa Mongol! Lebih baik tinggalkan pemimpinmu yang jahat itu dan kembalilah kepada
keluargamu masing-masing!”
Tak seorang pun di antara orang-orang Haimi itu berani menjawab dan tiba-tiba Saliban melompat ke
depan dengan pedang di tangan.
“Perempuan sombong! Kau kemarin telah tertawan dan kami tidak membunuhmu karena sayang
kepadamu yang masih muda. Dan sekarang kau berani mengeluarkan ucapan sesombong itu? Terpaksa
sekarang kami harus membunuhmu karena mulutmu itu jahat sekali!”
“Ha-ha-ha, kau bernama Saliban? Tidak tahu entah dari mana datangnya harimau tak berkumis yang telah
berhasil membujuk dan menipu harimau-harimau Haimi yang gagah perkasa. Kau mau membunuhku?
Aduh sombongnya! Kemarin juga kalau tidak dengan cara pengeroyokan yang pengecut sekali, agaknya
kau telah mampus dalam tanganku!”
Saliban memang gentar menghadapi kegagahan Lili yang kemarin sudah disaksikannya. Akan tetapi oleh
karena sekarang pedang gadis itu berada di dalam tangannya dan gadis itu sendiri bertangan kosong, ia
menjadi berani. Ia berseru keras, “Kawan-kawan, serbu dan bunuh perempuan sombong ini!”
Akan tetapi tiada seorang pun di antara orang-orang Haimi itu yang mau menggerakkan senjata. Ucapan
Lili tadi telah mempengaruhi mereka dan kini mereka sudah mengambil keputusan hendak berdiam diri
dulu, kemudian menyaksikan bagaimana gadis ini akan mengalahkan Saliban yang gagah perkasa dan
yang mereka takuti. Sebelum Saliban dapat mengulangi perintahnya, tiba-tiba Lili telah menggerakkan
kakinya dan tubuhnya melesat cepat ke arah Saliban.
Saliban mengangkat pedang Liong-coan-kiam, pedang Lili yang sudah dirampasnya lalu membacok
dengan kuat dan hebat ke arah kepala gadis itu. Akan tetapi, dengan sangat mudahnya Lili mengelak ke
kiri dan dengan lincahnya ia lalu mempermainkan Saliban. Serangan kepala Suku bangsa Haimi yang
dilakukan secara bertubi-tubi itu sama halnya dengan serangan yang ditujukan kepada angin belaka.
Sedikit pun belum pernah pedang itu dapat menyentuh ujung pakaian Lili.
Ang I Niocu mau tidak mau tersenyum geli melihat betapa Lili mempermainkan lawannya sambil mainkan
Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na. Hebat sekali gadis ini, pikirnya. Lincah dan tabah seperti ibunya, akan tetapi
tenang dan penuh perhitungan seperti ayahnya.
Ahh, ia merasa menyesal mengapa dia telah menjauhkan diri dari mereka ini. Kalau saja ia tahu bahwa Cin
Hai dan Lin Lin mempunyai seorang puteri secantik dan segagah ini, dari dahulu tentu sudah dipinangnya
gadis ini untuk puteranya, Lie Siong!
Kalau dibuat perbandingan, ilmu silat Saliban jauh kalah oleh Lili sehingga pertempuran itu bagaikan
seekor kucing mempermainkan tikus. Pada jurus ke dua puluh, mulailah Lili membalas serangan lawan.
Dia mengelak cepat dari sebuah tusukan dan begitu tangan kirinya bergerak…
“Plokk!” terdengarlah suara yang keras sekali karena pipi Saliban telah kena ditampar.
dunia-kangouw.blogspot.com
Saliban merasa seakan-akan kepalanya disambar petir, matanya berkunang dan bumi yang dipijaknya
serasa beralun. Akan tetapi dia masih mampu mempertahankan dirinya. Walau pun ia merasa betapa
separuh mukanya menjadi panas dan bengkak membesar, ia tetap saja maju menyerang dengan matimatian!
Saliban memekik kesakitan pada waktu pukulan Pek-in Hoat-sut itu mengenai dadanya. Pedangnya
terampas dengan amat mudahnya dan akibat pukulan yang lihai itu, tubuhnya terpental sampai beberapa
tombak jauhnya dan tiba di tengah-tengah kumpulan kawan-kawannya yang memandang dengan mata
terbelalak kagum.
Lili memang betul berhati pengasih dan pengampun seperti ayahnya. Tadinya dia tidak punya niat
membunuh Saliban, hanya hendak mengalahkannya, memberi hajaran keras, merampas pedangnya dan
menginsyafkan orang-orang Haimi yang disesatkannya.
Karena itu dia terkejut sekali melihat betapa tiba-tiba rombongan orang-orang Haimi yang berkumis
panjang itu kini menghujani tubuh Saliban yang sudah tak bergerak itu dengan golok dan pedang mereka.
Tentu saja dalam sekejap mata tubuh Saliban menjadi hancur lebur tercacah oleh puluhan batang golok
dan pedang.
Lili melompat ke tempat itu hendak mencegah, akan tetapi telah terlambat. Tubuh Saliban sudah hancur
tidak karuan lagi dan ketika orang-orang Haimi itu melihat Lili melompat dekat, mereka lalu melepaskan
senjata dan menjatuhkan diri berlutut di hadapan gadis gagah itu.
“Lihiap, jahanam ini sudah terlampau banyak mendatangkan kesusahan kepada kami,” kata seorang Haimi
tua yang malam tadi menyatakan tidak setuju terhadap kehendak Saliban. “Semenjak bangsa kami
diserang dan dikalahkan oleh bangsa Mongol sehingga kepala kami yang bernama Manako melarikan diri
dan Meilani telah tewas, kami hidup seperti budak-budak belian yang tidak berkuasa atas pikiran dan hati
sendiri. Bangsat rendah Saliban ini menambah mala petaka, karena dia pandai bermuka-muka sehingga
diangkat oleh Malangi Khan sebagai pemimpin kami. Hari ini, Lihiap sudah datang dan membebaskan kami
dari tindasan Saliban, akan tetapi hal ini belum berarti bahwa Lihiap telah membebaskan kami dari
tindasan orang-orang Mongol. Bahkan kematian Saliban ini tentu akan mendatangkan mala petaka yang
lebih besar lagi dan mungkin sebentar lagi seluruh anak isteri kami dibunuh oleh orang Mongol!” Sesudah
orang tua ini berkata demikian, kemudian terdengar isak tangis karena sebagian besar orang-orang Haimi
itu telah menangis sedih.
Ang I Niocu yang datang berdiri di dekat Lili, lalu berkata kepada orang-orang Haimi itu dengan suara
mengejek, “Hmm, kalian ini orang-orang bodoh hanya kumisnya saja yang panjang, akan tetapi pikiranmu
pendek sekali. Hanya tampangnya saja yang gagah akan tetapi hatinya lemah dan pengecut melebihi
wanita yang selemah-lemahnya! Kesukaran tak dapat diatasi hanya dengan cucuran air mata. Persoalan
tak mungkin bisa dipecahkan hanya dengan keluh kesah belaka! Apa bila kalian mempunyai kesulitan,
lebih baik cepat ceritakan kepada Nona ini, karena sekali Nona ini telah mengeluarkan kesanggupan pasti
akan dipenuhi.”
Orang-orang Haimi yang mendengar kata-kata ini, menjadi merah mukanya karena malu dan jengah.
Mendengar nasehat mengenai kegagahan dari seorang wanita tua, sungguh amat memalukan sekali.
“Siapakah kau, Toanio, yang mengeluarkan kata-kata segagah ini?” tanya orang Haimi tua tadi.
Dengan suara bangga, Lili segera memperkenalkan Ang I Niocu kepada mereka. “Kalian tentu sudah
pernah mendengar nama Ang I Niocu, bukan? Nah, inilah dia Ang I Niocu, pendekar wanita terbesar di
segala jaman! Dia adalah Twa-ie-ku yang tercinta. Dengan adanya dia di sini, apakah kalian masih raguragu
lagi bahwa aku takkan dapat menolong kalian? Jangankan baru Malangi Khan, Raja Mongol yang
hanya seorang manusia biasa itu, biar pun orang-orang Mongol mempunyai raja seorang dewata, dengan
Ie-ie-ku ini di sampingku, aku sanggup menghadapinya!”
Nama besar Ang I Niocu memang sudah amat terkenal dari selatan sampai ke utara, dari barat sampai ke
timur, maka sebagian besar orang-orang Haimi itu, terutama sekali yang tua-tua, juga telah mendengar dan
mengenal nama ini. Maka serentak mereka memberi hormat sambil berlutut dan mengangguk-anggukkan
kepala.
“Kalau begitu, mulai hari ini juga kami mengangkat Lihiap serta Niocu sebagai pemimpin-pemimpin kami.
Hanya kepada Lihiap dan Niocu kami menyerahkan nasib bangsa kami. Ketahuilah, Lihiap dan Niocu,
dunia-kangouw.blogspot.com
sesudah kami dikalahkan oleh bangsa Mongol, keluarga kami yaitu isteri, orang-orang tua dan anak-anak
kami semua dikumpulkan dalam sebuah kampung dan dijaga oleh pasukan Mongol. Hanya beberapa hari
sekali kami dibolehkan menjumpai mereka. Hal itu dilakukan oleh bangsa Mongol yang jahat untuk
merantai kaki kami, karena dengan demikian, mau tidak mau kami tidak berani membantah perintah
mereka yang dikeluarkan melalui mulut Saliban yang khianat!”
Mendengar penuturan ini, baik Lili mau pun Ang I Niocu menjadi marah sekali.
“Di mana tempat keluarga kalian itu terkurung?” tanya Ang I Niocu.
“Tidak jauh dari sini, di sebuah dusun di kaki Gunung Alkata-san,” jawab orang Haimi tua tadi.
“Nah, kita tunggu apa lagi? Mari berangkat ke sana untuk menolong mereka,” kata pula Ang I Niocu.
Orang-orang Haimi itu terkejut sekali. “Akan tetapi... tempat itu sudah dijaga oleh seratus orang-orang yang
jahat.”
Lili menjadi hilang sabar. “Pengecut! Kalian tadi sudah mengakui kami berdua sebagai pemimpin, kenapa
sekarang masih banyak membantah lagi? Apakah kalian tak percaya kepada Ie-ie-ku? Kalau tidak percaya,
sudah saja, kami pergi meninggalkan kalian!”
Mendengar ini buru-buru orang-orang Haimi itu berlutut lagi dan minta maaf. Kemudian dengan wajah
girang orang tua itu lalu mengumpulkan kawan-kawannya yang jumlahnya masih ada empat puluh dua
orang, lalu beramai-ramai mereka pergi menuju ke dusun di mana keluarga mereka yang jumlahnya hampir
seratus orang wanita, orang-orang tua, dan anak-anak itu ditahan dan dikurung.
Tempat di mana keluarga Haimi itu dikurung adalah sebuah dusun yang telah kosong. Di sana hanya
terdapat gubuk-gubuk yang sangat sederhana dan miskin, dan penghidupan keluarga Haimi itu tak lebih
baik dari pada penghidupan sekelompok ternak. Benar saja, di sekeliling kampung itu dijaga oleh orangorang
Mongol yang bersenjata lengkap, dan tidak jarang orang-orang wanita keluarga Haimi itu mendapat
gangguan yang kurang ajar dari para penjaganya.
Ang I Niocu dari Lili yang mengepalai empat puluh dua orang Haimi itu berjalan menuju ke kampung itu. Di
sepanjang perjalanan, kedua orang ini selalu bercakap-cakap seperti dua orang keluarga yang telah lama
berpisah.
“Ie-ie, aku pernah bertemu dengan puteramu,” kata Lili.
Ang I Niocu cepat menengok dan memandang dengan wajah berseri-seri. “Betulkah? Kau sudah bertemu
dengan Siong-ji? Di mana? Bagaimana dia?”
Lili adalah seorang gadis yang jujur seperti ayahnya. Biar pun ia gemar sekali berjenaka, akan tetapi pada
saatnya ia dapat berlaku sungguh-sungguh dan jujur sekali.
“Menyesal sekali harus kukatakan bahwa puteramu itu amat aneh dan juga... kurang ajar sekali, Ie-ie!”
Bukan main terkejutnya hati Ang I Niocu mendengar ini, sehingga dia lalu menoleh ke belakang dan
membentak semua orang Haimi agar berhenti untuk beristirahat! Kemudian dia menarik tangan Lili ke
bawah batang pohon dan berkata, suaranya sungguh sangat menyeramkan, “Nah, katakanlah terus terang,
mengapa kau menganggap dia demikian? Apakah yang telah dia perbuat?”
“Perjumpaanku yang pertama adalah ketika ia… ia mengganggu seorang gadis cantik!” Kembali Ang I
Niocu terkejut sekali.
“Tak mungkin! Siong-ji tidak akan melakukan perbuatan seperti itu!”
Akan tetapi Lili lalu menceritakan pertemuannya dengan Lie Siong pada waktu pemuda ini hendak
meninggalkan Lilani sehingga gadis Haimi itu menangis sambil mengejarnya sehingga kemudian dia
bertempur dengan Lie Siong.
“Agaknya puteramu itu... mencinta gadis itu atau sebaliknya.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapa gadis itu, Lili? Dan mengapa puteraku bisa bersama dengan dia dan melakukan perjalanan
bersama?”
“Bagaimana aku dapat menjawab pertanyaan ini, Ie-ie? Aku hanya bertemu sebentar dan pertemuan itu
pun bukan pertemuan ramah tamah, bahkan kami telah bertempur karena tidak saling mengenal.”
“Hemm, sudahlah, dan kemudian di mana lagi kau berjumpa dengan dia?”
“Yang kedua kalinya, kami berjumpa di kuil Siauw-lim-si di Ki-ciu, tempat tinggal Thian Kek Hwesio yang
mengobati penyakit Sin-kai Lo Sian. Juga di tempat itu... puteramu dan aku telah bertempur karena
puteramu hendak menyerang Lo Sian. Dalam pertempuran ini... ia...” Lili berhenti sebentar karena
wajahnya menjadi merah sekali dan untuk sejenak ia menundukkan mukanya, “dia telah... berlaku amat
kurang ajar terhadap aku, Ie-ie...”
“Ia berbuat apakah? Lekas, lekas ceritakan, aku tak sabar lagi.”
“Dia telah merampas sebelah sepatuku!”
“Apa...??” Kini Ang I Niocu memandang dengan mata terbelatak. “Merampas sepatumu? Untuk apakah?”
Makin merah wajah Lili. “Entahlah, siapa tahu?”
Lili cemberut sehingga hampir Ang I Niocu tertawa. Gadis ini sama benar dengan Lin Lin, ibunya.
“Aku tidak dapat mengejar karena kakiku telanjang. Dia pergi sambil membawa sepatuku dan luka di
punggungnya.”
“Hmm, aneh... aneh, mengapa Siong-ji menjadi begitu aneh?”
“Masih belum hebat, Ie-ie. Belum lama ini, dia bahkan berani datang ke rumah dan selagi ayah bundaku
pergi ke Tiang-an, puteramu itu telah menculik Sin-kai Lo Sian!”
“Gila! Apa artinya semua ini, Lili? Ada hubungan apakah antara puteraku dengan Sin-kai Lo Sian? Kalau
misalnya ia bermusuhan dengan pengemis itu, tentu ia akan membunuh Sin-kai Lo Sian. Akan tetapi
menculik pengemis, untuk apa?”
Sebetulnya Lili merasa enggan untuk menceritakan sebabnya, akan tetapi oleh karena pandang mata Ang I
Niocu demikian tajamnya sehingga seakan-akan hendak menembus dadanya, maka ia tidak berani
menyembunyikannya lagi.
“Harap Ie-ie mendengar dengan tenang. Sesungguhnya Sin-kai Lo Sian mengetahui satu hal yang amat
penting dan mengejutkan hati. Dia pernah menyatakan dan terdengar oleh puteramu bahwa... bahwa...
suamimu telah meninggal dunia.”
Lili melihat betapa wajah Ang I Niocu yang sudah keriputan itu menjadi pucat sekali, akan tetapi tidak
sebuah pun seruan kaget keluar dari mulutnya.
“Di mana matinya? Bagaimana dan oleh siapa?” hanya demikian tanyanya.
“Inilah soalnya, Ie-ie. Ini pula agaknya yang membuat puteramu melakukan penculikan terhadap diri Sin-kai
Lo Sian, untuk memaksanya memberi penjelasan. Ah, kasihan orang tua itu, dia sesungguhnya tidak dapat
memberi keterangan itu karena ingatannya sudah hilang.”
“Apakah maksudmu?”
Dengan jelas Lili lalu menceritakan keadaan Lo Sian. Mendengar semua ini Ang I Niocu lalu bangkit berdiri.
Ia berdiri diam bagaikan patung, tak sedikit pun kata-kata keluar dari mulutnya lagi.
Lili memandang dengan terharu dan amat kagum. Beginilah sikap seorang wanita gagah. Menderita
pukulan batin yang hebat, mendengar kematian suaminya, tapi tidak mencak-mencak atau menangis
seperti biasa dilakukan oleh wanita, akan tetapi berdiri mengatur napas dan termenung menenteramkan
batin untuk mengatasi pukulan itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tanpa bergerak atau menoleh, tiba-tiba Ang I Niocu berkata, “Lili, bencikah kau kepada anakku?”
Lili terkejut sekali. Tak pernah disangkanya bahwa ia akan mendapat pertanyaan seperti ini. Ia seorang
gadis yang jujur, apa lagi terhadap Ang I Niocu, ia tidak ingin membohong. Bencikah ia terhadap Lie Siong
pernuda kurang ajar itu? Wajah pemuda itu sering kali terbayang kembali dengan segala kekasaran dan
kekurang ajarannya.
“Tidak, Ie-ie. Penuturanku tadi adalah sesungguhnya, bukan berdasarkan kebencianku. Mengapa aku
harus membencinya? Biar pun ia telah berlaku kurang ajar merampas dan membawa lari sepatuku...”
“Itu tanda dia suka kepadamu, anak bodoh!”
Lili tertegun. “Aku... aku tidak benci kepadanya Ie-ie,” katanya dengan hati tetap karena ia tidak membenci
ketika mengatakan hal ini.
“Dan kau suka kepadanya?” Ang I Niocu bertanya pula, masih belum bergerak dan tidak menoleh.
Berdebar jantung Lili. Sungguh hebat sekali Ang I Niocu ini, langsung menyerang dengan pertanyaanpertanyaan
yang demikian jitu dan terus terang, betul-betul menyulitkannya. Agaknya demikian pula jika
pendekar wanita ini menyerang lawan dengan pedang. Jitu, hebat, dan langsung!
“Ie-ie, bagaimana aku dapat menjawab pertanyaanmu ini? Sungguh sukar bagiku untuk menjawab. Apakah
maksudmu dengan pertanyaan ini, Ie-ie yang baik?”
“Masudku, Lili,” kata Ang I Niocu yang kini tiba-tiba menoleh lantas memandang tajam kepada gadis itu,
“karena kalau sudah tiba masanya puteraku memilih jodoh, engkaulah yang akan menjadi jodohnya! Dulu
ketika aku bertemu dengan puteri Kwee An dan Ma Hoa yang bernama Goat Lan, aku berpikir bahwa
dialah yang patut menjadi mantuku.”
“Enci Goat Lan adalah tunangan Engko Hong Beng,” Lili memprotes.
“Lebih-lebih begitu. Setelah aku melihatmu, telah tetap dalam hatiku takkan mengijinkan Siong-ji menikah
selain dengan engkau!”
Bukan main jengahnya perasaan Lili mendengar ini. Mukanya menjadi merah sampai ke telinganya dan
dadanya berdebar. Ia tidak tahu apakah debar jantungnya itu tanda girang atau marah.
“Tidak mungkin, Ie-ie. Puteramu itu sudah mencintai seorang gadis lain yang melakukan perjalanan
bersama dia!”
“Apakah kau yakin bahwa Siong-ji mencintainya?”
“Aku tidak mau tahu urusan orang lain,” jawab Lili dan kembali ia cemberut seperti ibunya kalau marah.
“Yang sudah pasti, gadis itu amat mencintainya.”
“Tidak mungkin Siong-ji menjatuhkan hatinya pada seorang gadis kecuali gadis seperti engkau. Ah,
sudahlah, hal itu akan mudah dilihat nanti. Pendeknya sukakah kau menjadi mantuku?”
“Ie-ie, dalam hal ini, aku hanya dapat menyerahkannya kepada ayah ibuku. Bagaimana aku dapat
memutuskannya sendiri?”
Ang I Niocu memberi tanda ke belakang agar rombongan itu bergerak lagi, tanda bahwa percakapan
dengan Lili telah dihabisinya. Kali ini, di sepanjang perjalanan Lili tak banyak bercakap lagi. Dia merasa
kikuk dan malu-malu terhadap Ang I Niocu sesudah pendekar wanita itu menyatakan hendak mengambil
mantu padanya.
Terbayang berganti-ganti wajah Kam Liong, Song Kam Seng, dan Lie Siong. Kam Liong dan Song Kam
Seng tidak dapat disangkal lagi tentu mencintainya, jelas nampak dalam sikap mereka. Akan tetapi Lie
Siong? Benarkah ucapan Ang I Niocu bahwa perampasan sepatu itu menjadi tanda bahwa pemuda itu
suka kepadanya? Apakah bukan sekedar hendak menghinanya belaka?
dunia-kangouw.blogspot.com
Ketika rombongan itu sudah tiba di depan pintu gerbang dusun di mana keluarga Haimi itu ditahan, para
penjaga menghardik orang-orang Haimi itu.
“Siapa menyuruh kalian datang pada waktu ini? Belum tiba waktunya kalian dibolehkan masuk ke sini!
Mana Saliban? Panggil ia maju, agar dia yang bicara dengan kami,” kata kepala penjaga, seorang Mongol
yang tinggi besar dan berwajah menyeramkan.
“Bangsat Mongol, tidak usah banyak buka mulut! Lebih baik buka pintu gerbang lantas minggatlah kau dan
orang-orangmu dari sini!” Lili melompat maju sambil menudingkan kipasnya.
Sejak tadi gadis ini sudah mencabut kipasnya dan mengipasi tubuhnya yang berkeringat karena perjalanan
itu. Di sepanjang jalan keadaan gadis ini dan Ang I Niocu memang menimbulkan keheranan para orang
Haimi.
Hawa udara amat dinginnya akan tetapi kedua orang wanita itu berpeluh dan nampaknya kepanasan!
Mereka tidak tahu bahwa memang Lili dan Ang I Niocu mengerahkan hawa dalam tubuh untuk membikin
panas tubuhnya, melawan hawa dingin sambil melancarkan peredaran darah, maka mereka merasa
kepanasan sampai berkeringat. Ada pun kipas Lili ini dahulu tidak dirampas oleh Saliban karena tak
seorang pun menduga bahwa kipas itu adalah sebuah senjata yang ampuh dari Lili.
Orang Mongol tinggi besar yang mendengar bentakan ini, tertawa bergelak gelak-gelak. “Ha-ha-ha! Mana
Saliban? Bagus benar, dia sudah membawa seorang tawanan wanita yang sedemikian cantiknya! Sayang
otaknya agak miring! Akan tetapi aku suka memberi dia sepuluh potong uang emas untuk ditukar
denganmu! Ha-ha-ha!”
Akan tetapi suara ketawanya segera disusul dengan pekik mengerikan pada waktu Lili menggerakkan
kipasnya yang gagangnya dengan telak menotok leher orang Mongol itu. Pekik mengerikan ini hanya
keluar untuk mengantar nyawanya meninggalkan raganya.
Gegerlah seketika karena orang-orang Haimi juga sudah menyerbu dan menyerang para penjaga Mongol
itu. Juga Ang I Niocu segera bergerak, pedangnya merupakan halilintar menyambar-nyambar dan di mana
sinar pedangnya berkelebat, pasti ada sebuah kepala orang Mongol terpisah dari lehernya! Amukan Lili
dan Ang I Niocu sedemikian hebatnya sehingga sebentar saja sisa-sisa para penjaga Mongol itu melarikan
diri sambil berteriak-teriak ketakutan, pergi meninggalkan kawan-kawan mereka yang telah tewas
bertumpuk-tumpuk di luar pintu gerbang.
Pertemuan antara keluarga Haimi dengan para prajurit Haimi itu sungguh mengharukan sekali. Akan tetapi
Ang I Niocu segera memberi perintah agar semua orang segera pergi meninggalkan kampung itu dan
beramai-ramai menuju ke timur. Di sebelah timur terdapat sebuah hutan lebat di lereng Bukit Alkata-san
dan di sinilah mereka berhenti.
Ang I Niocu tidak takut akan pembalasan orang-orang Mongol, akan tetapi tentu saja sulit baginya untuk
melindungi sekian banyaknya orang apa bila terjadi pertempuran dengan orang-orang Mongol. Setelah
berada di tengah hutan, orang-orang Haimi lalu membuat pagar dan pondok-pondok darurat, kemudian
diadakan penjagaan yang kuat.
Sesudah itu, orang Haimi yang tua itu lalu memimpin kawan-kawannya untuk berlutut menghaturkan terima
kasih kepada Lili dan Ang I Niocu.
“Lili, kau pimpinlah orang-orang ini. Kasihan mereka. Aku mendengar bahwa bala tentara kerajaan dan
orang-orang gagah sedang melakukan penjagaan untuk memukul mundur orang-orang Mongol. Kalau
keadaan sudah aman, barulah kau tinggalkan orang-orang ini, atau boleh kau serahkan kepada penjagaan
tentara kerajaan.”
“Aku akan memimpin mereka mencari benteng tentara kerajaan di mana terdapat pula Engko Hong Beng,
Enci Goat Lan dan mungkin kedua orang tuaku, Ie-ie.”
“Hemm, jadi Cin Hai dan Lin Lin juga sudah turun tangan untuk mengusir orang-orang Mongol? Bagus!
Sayang sekali aku tidak ada nafsu untuk mencampuri pertempuran ini. Aku hendak mencari puteraku, dan
ingin mencari pembunuh suamiku pula. Kau bawalah mereka ke mana kau suka, Lili, akan tetapi berhatihatilah.
Melihat ilmu silatmu aku bisa percaya sepenuhnya bahwa kau akan dapat melakukan tugas ini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah berkata demikian dan memeluk Lili, Ang I Niocu lalu berkelebat pergi. Dalam pandangan mata
orang-orang Haimi yang berada di situ, nyonya merah ini sama saja dengan menghilang karena
lompatannya demikian cepat sehingga tidak kelihatan lagi. Mereka diam-diam merasa kagum sekali.
“Untuk sementara, dalam beberapa hari ini, biar kita beristirahat dulu di sini,” kata Lili kepada orang-orang
Haimi itu, “kita mengumpulkan tenaga dan menjaga kalau-kalau ada pasukan Mongol yang menyerang.
Kemudian, kita harus pergi ke lereng Alkata-san untuk mencari benteng pertahanan tentara kerajaan.”
“Lihiap, aku tahu di mana adanya benteng itu, hanya kurang lebih seratus li dari sini!” kata orang Haimi tua
yang ternyata kemudian bernama Nurhacu itu.
“Bagus sekali, Paman Nurhacu. Baiklah, kelak kau yang menjadi penunjuk jalan. Tetapi sekarang
perkuatlah penjagaan, aku pun perlu sekali beristirahat. Kita tunggu sampai lima hari, kalau keadaan sudah
nampak aman, baru kita membawa keluarga ini menuju ke benteng itu.”
Lili diperlakukan sebagai kepala atau ratu mereka. Semua orang menghormati gadis ini yang dianggap
sebagai dewi penolong mereka. Segala macam keperluan gadis ini telah disediakan pula dan para wanita
juga melayaninya dengan penuh kebaktian sehingga diam-diam Lili merasa terharu. Kalau saja tidak ada
orang tuanya dan kawan-kawan lain, agaknya ia akan suka sekali hidup sebagai kepala suku Haimi yang
ternyata selain jujur, juga amat manis budi ini.
Tiga hari kemudian, pada siang hari, seorang penjaga dengan wajah khawatir datang melapor kepada Lili.
“Lihiap, dari arah selatan datang tiga orang. Mereka itu adalah seorang wanita dan dua orang laki-laki. Dan
yang wanita kami kenal sebagai puteri dari kepala suku bangsa kami yang dulu, yaitu Lilani, puteri Manako
dan Meilani! Menanti keputusan Lihiap apakah yang harus kami lakukan karena mereka itu sedang menuju
ke sini!”
Berdebar hati Lili mendengar laporan ini, Lilani, puteri Manako dan Meilani? Gadis Haimi dan dua orang
laki-laki?
“Bagaimana macamnya dua orang laki-laki itu?” tanyanya.
“Yang seorang adalah seorang pemuda yang tampan dan gagah, agaknya seorang ahli silat karena
pedangnya tergantung pada pinggang. Yang ke dua adalah seorang laki-laki tua berpakaian tambaltambalan.”
Makin berdebar dada Lili mendengar ini. Tidak salah lagi, mereka tentulah Lie Siong dan Lo Sian! Jadi
wanita yang melakukan perjalanan bersama Lie Siong itu adalah puteri dari Manako dan Mellani? Ahh,
bagaimana ada hal yang demikian kebetulan?
“Jangan menggunakan kekerasan,” katanya dengan suara tetap setelah berpikir sejenak, “akan tetapi
tawan mereka dan bawa menghadap kepadaku!”
“Ditawan...??” penjaga itu ragu-ragu. “Akan tetapi wanita itu adalah Lilani, puteri dari...”
“Cukup! Jangan membantah. Bawa mereka menghadap ke sini! Dan apa bila mereka melakukan
perlawanan, datang lapor lagi, aku sendiri yang akan menawan mereka!”
Sementara itu, Nurhacu yang mendengar bahwa Lilani sudah datang, dengan girang dia bersama kawankawannya
lalu berlari-lari menyambut kedatangan puteri kepala mereka itu.
Yang datang memang benar Lilani, Lie Siong dan Lo Sian. Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan,
mereka ini sengaja melanjutkan perjalanan ke utara untuk mencari suku bangsa Haimi. Pada hari
kemarinnya, tiga orang ini bertemu dengan sepasukan orang Mongol yang terdiri dari belasan orang.
Lie Siong segera menyerbu dan menangkap seorang di antara mereka, lalu memaksanya memberi
keterangan di mana adanya suku bangsa, Haimi. Orang Mongol yang sudah tak berdaya lagi itu memberi
tahu bahwa bangsa Haimi yang dipimpin oleh Saliban berada di sekitar kaki Bukit Alkata-san di sebelah
barat, maka Lie Siong segera mengajak kawan-kawannya untuk mencari di daerah itu.
Ketika Lilani mendengar suara bersorak dan melihat serombongan orang Haimi datang berlari-lari
dunia-kangouw.blogspot.com
menyambutnya, ia lalu berlari maju dengan air mata berlinang.
“Paman Nurhacu...!” serunya penuh keharuan dan kegirangan.
Kakek Haimi itu juga berseru, “Lilani... ahh, Lilani...”
Mereka lalu berpelukan sambil bertangis-tangisan. Ramai mereka bicara dalam bahasa Haimi dan Lie
Siong melihat betapa Lilani seolah-olah hidup kembali, seolah-olah sudah menempuh hidup baru. Wajah
gadis ini berseri gembira, matanya bergerak-gerak hidup, tidak sayu dan muram seperti tadinya. Dia pun
menarik napas lega.
Pada saat Lilani bercakap-cakap menuturkan riwayatnya dengan Nurhacu beserta kawan-kawannya,
datanglah penjaga yang tadi melapor kepada Lili.
“Menurut keputusan Lihiap, mereka bertiga ini harus ditangkap dan dibawa menghadap kepadanya,” kata
penjaga ini dalam bahasa Han yang kaku, karena maksudnya supaya dimengerti oleh dua orang yang
mengantar Lilani itu.
Mendengar ucapan ini, Lie Siong menjadi marah. Dia cepat mencabut pedangnya, lantas melompat ke
hadapan Lilani, melindunginya sambil membentak,
“Apa? Kalian mau menangkap Lilani, mau menangkap kami? Lilani adalah puteri dari bekas pemimpinmu,
sekarang hendak kalian tangkap sendiri? Baik, majulah! Ingin kulihat bagaimana kepalamu yang berkumis
itu menggelinding meninggalkan tubuhmu!”
“Jangan, Taihiap, jangan! Mereka ini adalah keluargaku sendiri. Apa bila mereka sudah mempunyai
seorang kepala baru yang menghendaki kita datang menghadap, marilah kita lakukan itu dan kita lihat
siapa adanya kepala mereka yang ternyata seorang wanita itu. Menurut penuturan Paman Nurhacu,
Paman Saliban yang jahat sudah tewas oleh kepala baru ini. Marilah, Taihiap, harap kau jangan
mengganggu mereka.”
Juga Lo Sian menyabarkan hati Lie Siong sehingga dengan apa boleh buat pemuda ini lalu menyimpan
kembali pedangnya. Mereka bertiga lalu diajak oleh orang-orang Haimi itu, pergi menghadap Lili!
Ketika tiga orang ‘tawanan’ ini telah tiba, Nurhacu sendiri memberi laporan kepada Lili.
“Suruh mereka tunggu.” kata Lili dengan angkuh sekali. “Sediakan dulu makanan karena perutku lapar.
Setelah makan, barulah aku akan menerima mereka!”
Nurhacu menjadi heran sekali. Belum pernah ia melihat Lili bersikap demikian dingin dan nampaknya
marah. Akan tetapi diam-diam dia melakukan perintah ini dan ketika tiba di luar pondok tempat tinggal Lili,
dia memberitahukan kepada Lilani bahwa kepala mereka sedang makan serta minta mereka menanti
sebentar. Ketika Lilani menyampaikan warta ini kepada Lie Siong, bukan main mendongkol hati pemuda
ini.
“Siapa sih dia yang begitu sombong?” katanya.
Akan tetapi kembali Lilani menyabarkannya dan sebentar kemudian gadis ini didatangi oleh orang-orang
perempuan Haimi. Riuh rendah di sana, terdengar gelak ketawa dan tangis. Pertemuan yang sangat
mengharukan antara Lilani dan para keluarga Haimi. Dari orang-orang perempuan ini Lilani mendengar
bahwa kepala yang baru ini adalah seorang wanita cantik yang gagah yang sudah membebaskan mereka
dari tahanan orang-orang Mongol. Diam-diam Lilani merasa heran dan juga kagum sekali.
Tak lama kemudian, seorang penjaga datang dan minta Lo Sian mengikuti. “Tamu yang tertua dipanggil
menghadap lebih dulu,” katanya.
Lo Sian bangkit dan mengikuti penjaga itu masuk ke dalam. Dia diantar sampai di luar pintu dan
dipersilakan masuk sendiri. Ketika Lo Sian menolak daun pintu dan melangkah masuk, hampir saja dia
berseru saking kagetnya.
Akan tetapi Lili cepat-cepat memberi tanda dengan jari telunjuk di depan mulutnya dan melambaikan
tangan meminta kepada Lo Sian agar supaya maju dan duduk di bangku depan mejanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lili, bagaimana kau bisa berada di sini dan… apakah artinya tindakanmu yang aneh ini? Mengapa kau
menyuruh kami ditangkap”
Lili tersenyum, “Lo-pek-pek, apakah kau baik-baik saja? Tadinya aku kuatir kau sudah menjadi korban dan
binasa di tangan pemuda kurang ajar itu.”
“Lili, dia adalah seorang pemuda yang baik dan dia benar-benar putera Ang I Niocu. Aku memang
diculiknya, akan tetap itu dilakukannya karena dia ingin tahu tentang ayahnya.”
“Aku tahu, Pek-pek. Karena itulah maka lebih-lebih harus disesalkan kekurang ajarannya! Aku telah
menolong suku bangsa Haimi dan sudah diangkat menjadi pemimpin mereka, sekarang dia dan gadis itu
datang mau apakah?”
“Lili, gadis itu adalah puteri kepala suku bangsa Haimi. Lie Siong bersama aku sengaja mengantarkannya
untuk mengembalikannya kepada suku bangsanya. Sudah kusaksikan sendiri alangkah gembiranya orangorang
Haimi ketika bertemu dengan Nona Lilani itu. Mengapa kau suruh dia ditangkap?”
“Biar pun dia puteri Manako dan Meilani, akan tetapi pada saat ini akulah yang menjadi kepala di sini, Pekpek.
Tidak boleh dia berlaku sesuka hatinya. Kalau dia ingin menjadi pemimpin dia harus sanggup
merebutnya dari tanganku! Aku diangkat menjadi pemimpin bukan atas kehendakku, dan aku juga diberi
tugas untuk memimpin mereka sampai ke benteng pasukan kerajaan di mana mereka bisa berlindung.
Apakah sekarang aku harus menyerahkannya begitu saja kepada seorang gadis bernama Lilani?
Sudahlah, Pek-pek, kau duduklah saja dan dengarkan apa yang hendak dikatakan oleh mereka berdua!”
Lo Sian terbelalak heran memandang wajah Lili yang nampaknya marah dan cemburu itu. Tadinya dia
mengira bahwa gadis ini sedang main-main, karena seperti biasanya, Lili suka sekali bermain-main dan
berjenaka atau melucu. Akan tetapi sekarang pemudi ini nampaknya bersungguh-sungguh hingga Sin-kai
Lo Sian hanya diam sambil memandang dan menduga-duga.
Sementara itu, Lili sudah menepuk tangannya memanggil penjaga yang berada di luar pondoknya. Ia
memerintahkan agar supaya dua orang muda tawanan itu disuruh masuk, Lilani dan Lie Siong masuk
sambil mengangkat kepala, memandang ‘ratu baru’ dari suku bangsa Haimi itu dengan hati ingin tahu
sekali siapakah orangnya yang telah menolong bangsa itu dan kini menjadi kepalanya.
Sungguh menarik sekali melihat pertemuan antara tiga orang muda yang elok ini dan Lo Sian beruntung
sekali dapat menyaksikan pertemuan yang menarik ini. Tiga orang muda itu saling pandang, Lili dengan
bibirnya yang manis tersenyum mengejek, sedangkan Lie Siong dengan mata terbelalak dan muka agak
pucat. Ada pun Lilani untuk sesaat seperti orang terkejut sekali dan mukanya menjadi kemerah-merahan,
akan tetapi gadis ini lalu berlari maju dan menjatuhkan diri berlutut di depan Lili!
“Nona yang gagah perkasa besar sekali budimu terhadap bangsaku. Perkenankanlah aku menghaturkan
terima kasih atas pertolonganmu dan percayalah bahwa kami bangsa Haimi selamanya tak akan
melupakan jasa dan pertolonganmu.”
Lili tersenyum semakin mengejek. “Aku mendengar bahwa kau adalah puteri dari bekas pemimpin besar
suku bangsa Haimi. Bukankah engkau datang untuk menduduki pangkat pemimpin menggantikan orang
tuamu? Sanggupkah engkau menggeser aku dari tempat dudukku? Ketahuilah, aku sudah dipilih dan
diangkat menjadi kepala di sini dan karena aku memperoleh kedudukan ini mengandalkan pedangku, maka
kalau kau menghendaki kedudukan ini, cobalah kau kalahkan aku lebih dulu.”
“Lihiap, bagaimana aku berani menantang penolong bangsaku? Memang terus terang saja tadinya aku
memiliki cita-cita untuk memimpin bangsaku yang bodoh. Akan tetapi sekarang bintang terang telah jatuh
dari atas langit menerangi kehidupan bangsaku yang tertindas dan selalu berada dalam kegelapan.
Bintang itu adalah engkau sendiri, Lihiap. Setelah engkau dikirim oleh Tuhan untuk membimbing bangsaku,
bagaimana aku masih tetap menghendaki kedudukan pemimpin? Tidak, aku cukup puas bila aku dapat
menjadi pelayanmu, Lihiap.”
Tertegun dan terharu juga hati Lili mendengar ucapan ini, akan tetapi ketika ia melirik ke arah Lie Siong
dan melihat betapa jidat pemuda itu berkerut seakan-akan tidak senang hati mendengar dan melihat
sikapnya, Lili menjadi makin panas.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hemm, siapakah yang ingin menjadi ratu di sini? Aku tidak haus akan kedudukan dan tidak ingin menjadi
kepala! Aku hanya kebetulan saja menjadi pemimpin karena mereka pilih dan sudah menjadi tugas
seorang gagah untuk menolong mereka yang tertindas. Tentu saja aku akan menyerahkan kedudukan ini
kepadamu tanpa kau minta sekali pun jika memang betul kau adalah puteri kepala yang berhak menjadi
pemimpin. Akan tetapi bagaimana aku dapat menyerahkan kedudukan ini dengan begitu saja? Bagaimana
aku dapat menyerahkan nasib ratusan orang ke dalam tangan orang yang belum kuketahui
kecakapannya? Karena itu, coba kau perlihatkan kepandaianmu kepadaku untuk kulihat apakah kau sudah
cukup kuat memimpin orang-orang sedemikian banyaknya!”
Merah wajah Lilani mendengar ucapan ini. Biar pun dianggap telah berkepandaian tinggi di antara
bangsanya, mungkin yang tertinggi di antara semua orang Haimi, akan tetapi bagaimana dia dapat
memperlihatkan kepandaiannya itu di hadapan seorang gadis luar biasa seperti Lili ini?
Dia pernah menyaksikan kepandaian Lili ketika bertempur melawan Lie Siong dahulu itu. Bahkan Lie Siong
sendiri belum tentu sanggup mengalahkan Lili, apa lagi dia? Dengan gugup dan bingung, Lilani tak dapat
menjawab, fia hanya menundukkan kepala dengan wajah merah.
Dia hendak minta tolong kepada Lie Siong, akan tetapi dia tidak berani. Pemuda ini tidak mempedulikan
lagi kepadanya dan ia maklum bahwa pemuda ini telah jatuh cinta kepada Lili yang kini menantangnya! Dia
tahu betul bahwa sepatu yang ditimang-timang oleh Lie Siong pada malam hari dahulu itu adalah sepatu
Lili! Tanpa terasa pula, dua titik air mata mengalir turun dan merayap di sepanjang pipinya yang halus dan
kemerahan.
Melihat keadaan Lilani, Lie Siong tidak tega sekali dan timbullah hati penasaran melihat sikap Lili yang
dianggapnya amat keterlaluan. Dia harus mengakui bahwa begitu bertemu dengan Lili hatinya berdebardebar
tak karuan. Gadis itu duduk di atas kursinya demikian cantik, demikian agung, demikian jelita
sehingga agaknya tiada orang yang lebih pantas menjadi seorang ratu!
Rambut yang hitam dan gemuk itu agak kacau di kepala yang berwajah indah. Matanya demikian tajam
bersinar dan menyiratkan kekocakan, dengan bibirnya yang manis sekali tersenyum mengejek,
menimbulkan lesung pipit di pipi kiri. Tubuhnya yang padat dengan potongannya yang langsing itu
menambah kegagahan dan kemolekannya. Ahh, sungguh seorang gadis luar biasa yang kenyataannya
melebihi mimpinya!
Ketika ia melirik ke arah kaki yang kecil mungil itu, teringatlah ia akan sepatu yang masih dikantonginya
dan diam-diam hatinya makin berdebar jengah dan malu. Akan tetapi kini sikap Lili membuatnya penasaran
sekali.
Seorang gadis seperti ini tidak selayaknya bersikap demikian kejam terhadap Lilani. Biar pun dia tidak
mencinta Lilani, namun hatinya penuh rasa kasihan terhadap gadis ini dan siapa pun juga, tidak juga Lili
yang diam-diam merampas hatinya, boleh mengganggu dan menyakiti hati gadis yang bernasib malang ini!
“Nona Sie, sebagai seorang gagah dan terutama sekali sebagai puteri Pendekar Bodoh yang terkenal
budiman, tidak selayaknya kau memperlakukan Nona Lilani seperti ini! Dia adalah puteri dari kepala suku
bangsa Haimi yang sangat dihormati oleh bangsanya dan sudah sewajarnya apa bila dia menjadi
pemimpin bangsanya. Itu sudah menjadi haknya! Kenapa sekarang kau mengandalkan kepandaian bukan
untuk membantu dan menolong dia, bahkan kau pergunakan untuk menghinanya? Tidak malukah engkau?
Untuk apakah kedudukan ini bagi seorang gagah seperti Nona?”
Mendengar ucapan ini merahlah wajah Lili, tetapi menambahkan kecantikannya sehingga Lie Siong yang
memandangnya merasa napasnya menjadi sesak! Gadis ini marah sekali, dan anehnya, dia tidak marah
atas kata-kata yang keras ini, melainkan dia marah melihat pemuda ini membela Liliani! Boleh dibilang
marah karena cemburu, benar-benar aneh.
“Ahhh…, jadi Nona Lilani mempunyai seorang pelindung yang gagah? Pantas saja Nona Haimi ini berani
melakukan perjalanan ribuan li, tidak tahunya dia selalu berada di bawah lindungan seorang pemuda
gagah! Ha, kalau begitu, biarlah aku mencoba kepandaian pelindungnya untuk menguji apakah sudah
patut bila menjadi pelindung dan bayangkari seorang Ratu Haimi!” Sambil berkata demikian, Lili lalu
melompat turun dari bangkunya dan mencabut pedang Liong-coan-kiam dan kipas mautnya!
Lie Song adalah seorang pemuda yang keras hati. Menghadapi tantangan Lili, biar pun ia menjadi bingung
sekali, akan tetapi ia merasa malu kalau mundur. Ia pun lalu mencabut pedang Sin-liong-kiam dan berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Nona Sie, sesungguhnya tidak ada alasan bagiku untuk bertempur melawanmu, akan tetapi aku akan
mencemarkan nama orang tuaku kalau aku menolak tantangan berkelahi dari siapa pun juga. Biarlah kini
aku menebus kekalahanku dahulu di kuil Siauw-lim-si di Kiciu!”
Kini marahlah Lili. Tidak sepatutnya orang menyebut-nyebut peristiwa ini. Sekaligus dia teringat akan
sepatunya yang dirampas, maka dia berkata keras.
“Bagus! Biarlah aku pun mendapat kesempatan untuk membalas penghinaanmu. Kau mengaku putera Ang
I Niocu, akan .tetapi aku tetap tidak percaya, karena putera Ang I Niocu tidak akan sekurang ajar itu! Tidak
saja kau telah merampas sepatu yang berarti menghinaku, akan tetapi kau juga berani menculik Lo-pekpek!”
Sambil berkata demikian, Lili lalu melompat keluar dari pondoknya.
Lie Siong juga cepat melompat keluar dan di pekarangan pondok yang luas itu mereka berhadapan
bagaikan dua jago yang berlagak hendak bertempur mati-matian. Semua orang Haimi, tua muda lelaki
perempuan yang memang berkumpul di depan pondok itu untuk menunggu Lilani, memandang dengan
melongo dan terheran-heran. Lilani dengan diikuti oleh Lo Sian berlari keluar pula dan gadis ini sambil
menangis menjatuhkan diri berlutut di depan Lili.
“Lihiap, janganlah... Lihiap, kau tidak tahu... Lie Siong Taihiap tidak menghinamu... dia tidak mencintaiku,
pembelaannya keluar dari wataknya yang budiman dan gagah. Lihiap, jangan kau menyerangnya...”
Lili tertegun mendengar pengakuan ini, akan tetapi ia tidak pedulikan Lilani dan tetap saja melompat dan
mulai menyerang Li Siong dengan pedangnya. Li Siong cepat menangkis hingga terdengar suara nyaring
dan bunga api berpijar menyilaukan mata!
Lilani melompat nekad dan berdiri menghalang di antara kedua orang jagoan itu, lalu dia berkata kepada
Lie Siong dengan suara penuh permohonan, “Taihiap, harap simpanlah pedangmu. Lihiap ini adalah
penolong bangsaku, jangan kau musuhi. Senjata tak punya mata, bagaimana kalau kalian saling
melukai...?”
Gadis ini menangis dan melihat puteri pemimpin mereka menangis sedih, semua orang perempuan Haimi
yang berada di situ tak dapat menahan pula keharuan hati mereka dan ramailah wanita-wanita itu
menangis!
Akan tetapi Lie Siong yang keras hati sudah tersinggung keangkuhannya oleh Lili. Kalau ia dibela oleh
wanita-wanita ini dengan tangis mereka, selamanya ia akan merasa rendah dan kurang berharga dalam
pandangan Lili, maka ia berseru keras,
“Sie Hong Li, kau kira aku Lie Siong takut padamu? Biar pun kau puteri Pendekar Bodoh, akan tetapi aku
tidak takut menghadapi pedangmu, ayo keluarkanlah kepandaianmu dan cobalah kau memenggal
kepalaku kalau dapat!”
Lili memang seorang yang keras dan pemarah pula, sungguh pun ia mudah marah dan mudah pula
ketawa. Mendengar tantangan ini, ia langsung mengeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya berkelebat
cepat melampaui atas kepala Lilani lalu dengan gerakan yang dahsyat pedang dan kipasnya menyambar
kepada Lie Siong.
Pemuda ini sudah merasakan kelihaian Lili, maka ia tidak berani berlaku lambat. Cepat ia memutar
pedangnya dan ketika pedang gadis itu dapat ditangkisnya, ia rnerasa betapa angin pukulan hebat
menyambar dari tangan kiri yang memegang kipas. Cepat-cepat dia melompat ke belakang, kemudian dia
membalas dengan serangan kilat. Tidak saja ujung pedangnya menuju ke arah dada Lili, akan tetapi lidah
pedang naganya yang merah dan panjang itu pun terputar mencari sasaran pada leher lawannya!
Lili memperlihatkan kepandaiannya. Sekali menyampok dengan kipasnya, maka gagang kipas sudah
menangkis pedang dan angin sampokan kipas telah membuat lidah pedang lawannya itu tertiup ke
samping. Demikianiah, dua orang muda ini kembali saling serang dengan hebatnya, mengeluarkan seluruh
kepandaian masing-masing dan saling tak mau mengalah.
Lo Sian tidak bisa berbuat sesuatu. Dia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah jauh oleh kepandaian
dua orang muda luar biasa ini. Diam-diam dia pun menghela napas dan berkata penuh kekaguman,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pendekar-pendekar remaja ini benar-benar mengagumkan. Ah, aku orang tua sudah tak berguna lagi!”
Sedangkan Lilani hanya dapat menutupi mukanya sambil menangis.
Pada saat itu terdengar bentakan nyaring sekali dan sesosok bayangan yang luar biasa gesitnya menyerbu
ke dalam gelanggang pertempuran.
“Orang jahat dari mana berani sekali berlaku kurang ajar terhadap keponakanku?!” Yang menyerbu ini
adalah seorang wanita setengah tua yang cantik dan bersenjata sepasang bambu runcing yang kekuningkuningan.
Lie Siong kaget sekali. Ia telah menangkis serangan bambu runcing dengan pedangnya, akan tetapi ujung
bambu runcing kiri hampir saja mengenai pundaknya kalau dia tidak cepat-cepat membuang diri ke kiri!
Juga Lili segera melompat mundur. Melihat betapa wanita itu terus mendesak Lie Siong, Lili berseru,
“Pek-bo, jangan lukai dia!” Seruan ini diucapkan tanpa disadarinya lagi.
Wanita itu yang ternyata adalah Ma Hoa isteri Kwee An atau juga ibu Goat Lan, menahan sepasang bambu
runcing dan kini ia berdiri dengan mata heran memandang kepada Lili.
“Hong Li, kau bertempur dengan orang ini, kenapa kau melarangku menyerangnya.”
Merahlah wajah Lili. Seruan tadi benar-benar tidak disadarinya, seruan yang keluar dari hatinya yang
menaruh. kekuatiran kalau-kalau pemuda itu akan terluka hebat menghadapi bambu runcing yang lihai dari
pek-bo-nya (uwaknya) itu!
“Pek-bo, dia ini... dia adalah putera dari Ie-ie Im Giok!”
Terbelalak mata Ma Hoa memandang kepada Lie Siong. “Apa...?! Dia ini putera Ang I Niocu? Pantas saja
kulihat tadi Sianli Kiam-hoat terbayang dalam permainan pedangnya. Ehh, anak muda, siapa namamu dan
bagaimana ibumu? Baik-baik sajakah dia? Sudah lama aku merasa rindu sekali pada ibumu!” Ma Hoa
berkata sambil matanya memandang dengan penuh kekaguman dan juga dengan kasih sayang.
Menghadapi pandangan mata ini, luluhlah kekerasan hati Lie Siong. Ucapan yang mesra, pertanyaanpertanyaan
tentang ibunya yang penuh gairah dan perhatian ini, membuat ia mau tak mau tunduk terhadap
Ma Hoa. Ia cepat menyimpan Sin-liong-kiam lalu menjura deigan hormat sekali.
“Sudah lama sekali aku mendengar ibuku bercerita mengenai kegagahan Kwee Taihiap dan Kwee Toanio,
mohon maaf aku Lie Siong yang muda dan bodoh berlaku kurang hormat kepada KweeToanio.”
Ma Hoa tertawa riang, suara ketawa yang merdu dan nyaring, tak ubahnya seperti suara ketawanya pada
waktu muda.
“Anak nakal, apa-apaan segala sebutan taihiap dan toanio ini? Ibumu adalah seperti enci-ku sendiri, dan
kita boleh dibilang orang-orang sekeluarga. Aku tidak mau kau sebut toanio, lebih baik kau menyebut aku
Ie-ie (Bibi) saja.”
“Baiklah... Ie-ie!” kata Lie Siong dengan muka merah.
“Nah, begitu lebih enak pada telinga. Dan sekarang, mengapa kalian anak-anak nakal ini sampai
bertempur mati-matian? Apa yang kalian perebutkan?”
Lie Siong tidak dapat menjawab. Lili juga tidak dapat menjawab. Tanpa janji lebih dulu mereka saling
pandang. Dua pasang mata bertemu, mendatangkan warna merah pada pipi dan telinga.
“Pek-bo, kami hanya berpibu menguji kepandaian masing-masing,” akhirnya Lili berkata. Bagaimana ia
bisa menjelaskan semua kepada Ma Hoa? Kalau ia menceritakan semua, tentu ia harus menceritakan pula
bahwa pada hakekatnya mereka berebutan... sepatu!
“Benar, Ie-ie. Kami tadi hanya mengadu kepandaian saja dan aku... aku menyerah kalah terhadap... Adik
Hong Li! Maafkan, Ie-ie, sekarang aku harus pergi lagi untuk mencari pembunuh ayahku!” Setelah berkata
demikian, ia lalu berkata kepada Lilani,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Lilani, sekarang kau telah kuantarkan kepada bangsamu sendiri. Dengan pertolongan puteri Pendekar
Bodoh, aku yakin kau akan dapat menyelamatkan suku bangsamu. Juga Lo-pek, aku menghaturkan
banyak terima kasih atas segala bantuanmu. Kini aku hendak mencari Ban Sai Cinjin dan membalas
dendam. Sekarang tidak perlu bantuanmu lagi.”
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments

Postingan Cersil Terbaru