Senin, 20 November 2017

Pendekar Remaja Serial Pendekar Sakti Terakhir

baca juga

Pendekar Remaja Serial Pendekar Sakti Terakhir

Kota Shaning terletak di lembah Sungai Yang-ce yang mengalir melalui Propinsi An-hui. Kota ini cukup
besar dan penduduknya padat terbukti dari bangunan-bangunan rumah yang berhimpit-himpitan. Berbeda
dengan tempat-tempat di sekitar lembah Sungai Huai yang juga mengalir melalui Propinsi An-hui dan yang
sering kali membanjiri kanan kirinya, lembah di sekitar Sungai Yang-ce amat subur dan makmur.
Demikian pula keadaan kota Shaning. Kemakmuran kota ini terpancar keluar dan dapat dilihat dari seri
wajah para penduduknya. Di sepanjang Sungai Yang-ce nelayan-nelayan melakukan pekerjaan mereka
sambil bernyanyi gembira, juga petani-petani mengerjakan sawah ladang dengan giat dan muka berseriseri,
yakin akan hasil tanah yang diolahnya, para penggembala menghalau hewan ternaknya dengan
perasaan ayem dan hati senang sambil memperdengarkan suara suling bambunya di kala mereka duduk di
bawah pohon memandang dan menjaga hewan-hewan yang sedang makan rumput yang hijau segar. Juga
di dalam kotanya sendiri jelas nampak kemakmuran dengan banyaknya pedagang-pedagang yang menjual
kebutuhan penduduk dengan harga murah.
Pembesar-pembesar setempat melakukan tugas mereka dengan sangat baik, jujur, dan adil, berbeda
sekali dengan sebagian besar petugas yang mempergunakan kedudukan dan kekuasaan mereka untuk
menghisap rakyat dan memenuhi kantung mereka sendiri. Hal ini tidak terjadi karena kebetulan saja
pejabat-pejabat di Shaning adalah orang-orang yang baik budi, akan tetapi terutama sekali karena
pengaruh seorang pendekar besar yang bertempat tinggal di koti Shaning.
Pendekar inilah yang membuat para pembesar merasa takut untuk bertindak tidak adil atau memeras
rakyat. Bahkan dengan adanya pendekar ini, maka daerah di sekitar kota Shaning menjadi aman sekali.
Tak ada seorang pun perampok yang berani mengganggu daerah ini.
Memang tidak mengherankan apa bila para petualang dari kalangan Hek-to (jalan hitam atau dunia
penjahat) tidak berani melakukan kejahatan di daerah itu, karena pendekar ini bukan lain adalah Sie Cin
Hai, yaitu pendekar berilmu tinggi yang telah membuat gempar seluruh dunia persilatan dan kelihaiannya
telah diakui oleh para tokoh persilatan di empat penjuru.
Di samping pendekar ini yang di kalangan kang-ouw mendapat nama julukan Pendekar Bodoh, juga
isterinya adalah seorang pendekar wanita yang tidak kurang-kurang lihainya, karena isterinya ini adalah
bekas sumoi-nya (adik seperguruan) sendiri, yang selain lihai ilmu silatnya, juga amat cantik jelita.
Di samping sepasang suami isteri yang tinggi ilmu kepandaiannya itu, masih ada lagi seorang yang juga
amat disegani, yakni ayah angkatnya Nyonya Sie yang bernama Yo Se Fu. Melihat warna kulitnya dan
potongan mukanya, orang akan menduga bahwa Yo Se Fu ini bukanlah seorang Han. Memang betul,
kakek tua yang disebut Yo Se Fu ini berasal dari Turki dan dahulu namanya adalah Yousuf, seorang
bangsawan Turki yang selain berilmu tinggi juga amat baik budi.
Di dalam cerita Pendekar Bodoh, diceritakan bahwa Yousuf atau Yo Se Fu ini sudah diangkat sebagai
ayah oleh Lin Lin atau Kwee Lin yang sekarang menjadi Nyonya Sie Cin Hai. Selain ilmu silatnya yang
tinggi, juga Yo Se Fu memiliki ilmu hoat-sut (sihir) yang cukup tinggi.
Dengan adanya keluarga inilah, maka kota Shaning menjadi tenteram dan damai. Rumah mereka yang
besar mendatangkan rasa aman di dalam hati semua penduduk Shaning, seakan-akan di dalam rumah
besar itu terdapat ribuan orang penjaga keamanan yang boleh dipercaya.
Pada suatu pagi yang cerah, semua penduduk Shaning sudah keluar dari pintu rumah masing-masing
untuk melakukan pekerjaan mereka. Ada yang hendak pergi ke ladang untuk mencangkul tanah, juga ada
yang pergi ke sungai untuk mulai dengan pekerjaan mereka mencari ikan atau menambangkan perahu,
ada pula yang pergi untuk berdagang dan lain-lain.
Yang amat menarik adalah kenyataan bahwa pintu rumah para penduduk itu dibiarkan terbuka begitu saja
sungguh pun di antaranya ada yang sama sekali kosong ditinggalkan oleh para penghuninya yang pergi
bekerja. Memang telah lama sekali penduduk Shaning tak mengenal adanya perampokan atau pencurian
dunia-kangouw.blogspot.com
sehingga mereka boleh meninggalkan rumah-rumahnya dengan pintu terbuka dan dengan hati aman!
Kalau pada pagi hari itu di jalan raya yang banyak toko-tokonya itu keadaan demikian ramainya, di loronglorong
kecil tempat tinggal para petani dan nelayan amatlah sunyinya karena semua orang pergi
meninggalkan rumah untuk bekerja.
Tiba-tiba terdengar suara nyanyian memecah kesunyian sebuah lorong kecil yang diapit oleh dua deretan
rumah di kanan kiri. Suara nyanyian itu merdu sekali, dan dari suaranya yang bening dan tinggi nadanya itu
dapat diduga bahwa yang bernyanyi adalah seorang anak perempuan. Di samping merdu sekali, juga
suara itu terdengar sangat gembira dan jenaka.
Plak! Plok! Plak! Plok!
Si Tolol naik kuda,
Kudanya sudah tua,
Jalannya kaya onta!
Kemudian dari sebuah belokan di lorong itu muncullah penyanyinya. Cocok betul dengan suaranya yang
bening merdu, anak perempuan yang kurang lebih berusia delapan tahun itu luar biasa cantik dan
manisnya.
Rambutnya yang hitam serta panjang itu dikuncir dua, dengan jambul di atas kepala, di kanan kiri yang
membuatnya nampak lucu sekali. Mukanya halus dan putih kemerahan, dengan sepasang mata yang
indah bening bagaikan mata burung Hong.
Kesegaran mukanya ini makin jelas karena hiasan setangkai bunga merah di atas telinga kanannya. Kalau
melihat bunga merah itu, orang akan membandingkannya dengan mulut kecil mungil dan merah yang
selalu tersenyum gembira itu. Baik dari sepasang matanya yang bersinar-sinar, atau dari hidungnya yang
kecil mancung dan dikembang-kempiskan dengan cara lucu, mau pun dari bibirnya yang tersenyumsenyum,
nampak kegembiraan yang membuat wajah ayu itu selalu berseri-seri.
Pakaian yang dikenakannya juga amat pantas, menambah kemungilan dan kelucuannya. Bajunya
berwarna merah dengan pinggiran putih. Celananya warna putih bersih dengan pita lebar warna hijau di
bagian bawah, sepatunya yang kecil berwarna hitam. Baik baju mau pun celananya terbuat dari pada
sutera mahal yang indah dan juga sepatunya yang baru dan baik itu menunjukkan bahwa dia adalah anak
seorang yang berkeadaan cukup baik, dan kejenakaannya menunjukkan kemanjaan.
Siapakah anak perempuan yang sangat lucu dan menyenangkan hati setiap orang yang memandangnya
ini?
Apa bila pertanyaan ini diajukan kepada penduduk kota Shaning, setiap orang, baik dia petani, nelayan,
mau pun pedagang, baik dia kakek-kakek, orang dewasa, mau pun anak kecil, akan dapat menjawabnya
dengan cepat. Dia adalah anak kedua dari pendekar Sie Cin Hai. Anak perempuan ini sebetulnya bernama
Sie Hong Li, akan tetapi ibunya yang sangat memanjakannya biasa menyebutnya Lili dan untuk
memudahkan, lebih baik kita pun menyebut Lili saja kepadanya.
Lili memang memiliki sifat periang dan jenaka, sungguh pun harus diakui bahwa kadang kala dia amat
bengal sehingga sering kali dimarahi oleh ayahnya. Jauh bedanya dengan kakaknya yang usianya dua
tahun lebih tua darinya, yakni putera sulung keluarga Sie yang bernama Sie Hong Beng.
Semenjak kecil Hong Beng menunjukkan sifat pendiam, akan tetapi kedua matanya yang bersinar-sinar
bagaikan bintang pagi itu mencerminkan kecerdasan otak yang luar biasa. Sebaliknya, Lili tidak begitu
maju dalam hal pelajaran membaca dan menulis. Sebetulnya bukan karena anak perempuan ini terlampau
bodoh, akan tetapi karena dia memang tak suka duduk diam dan tekun belajar.
Pada waktu menghafalkan pelajaran, pikirannya lebih sering melayang pada kesenangan bermain-main,
dan bahkan sering kali dia mengganggu serta menggoda kakaknya yang sedang tekun belajar sehingga
dia mendapat omelan dari ayahnya. Kalau sudah begitu, tentu ibunya yang akan datang menghibur dan
memanjanya, atau juga kakeknya, yakni Yousuf yang amat mencintanya. Hal ini membuat Lili menjadi
makin bengal.
Betapa pun juga, dalam hal pelajaran ilmu silat harus diakui bahwa Lili mempunyai bakat yang luar biasa
dan baik sekali. Gerakan-gerakan kaki tangannya amat lemas dan indah kadang-kadang mengingatkan
dunia-kangouw.blogspot.com
ayah atau ibunya kepada Ang I Niocu, seorang pendekar wanita kenamaan yang menjadi sahabat baik
mereka dan yang tinggal dengan suaminya di seberang laut, di sebuah pulau kecil.
Oleh karena bakatnya ini maka biar pun usianya baru saja delapan tahun dan sungguh pun dia tidak dapat
menandingi kakaknya yang memang luar biasa cerdik dan pandainya itu, Lili sudah menjadi seorang anak
yang pandai ilmu silat, bahkan laki-laki dewasa yang biasa saja jangan harap akan dapat mengalahkannya!
Lili memang benar-benar nakal. Hampir setiap hari dia pasti pergi dari rumah, pergi ke kampung-kampung,
bermain-main dengan kawan-kawan satu kampung atau... berkelahi! Memang luar biasa sekali, apa lagi
pada jaman itu, ada seorang anak perempuan selalu mencari jago-jago kecil di setiap kampung dan
mengajaknya mengadu kepalan!
Dan hasilnya selalu tentu Lili yang menang, ada pun jago kecil itu mendapat telur yang menjendol di kepala
atau pipinya menjadi matang biru. Apa bila sudah begitu, orang tua anak itulah yang akan datang mengadu
sehingga sering kali Lili dimarahi secara keras oleh ayahnya.
“Lili! Apakah kelak kau akan menjadi tukang pukul orang? Sungguh tak tahu malu, anak perempuan
bertingkah sekasar itu!” Ayahnya mengomel.
Akan tetapi di luar tahunya Cin Hai biar pun telah dimarahi oleh ayahnya, Lili masih dapat mendongeng di
depan ibunya atau kakeknya tentang jalannya ‘pertempuran’ yang tadinya dia lakukan dengan anak lakilaki
itu!
Demikianlah, pada hari itu seperti biasa, Lili telah mulai ‘keluyuran’ dan keluar dari rumah sejak pagi-pagi
sekali. Kali ini dia lebih bebas dari pada biasanya, oleh karena telah ada sepekan ini ayah dan ibunya pergi
ke barat untuk mengantarkan kakaknya, Hong Beng, ke tempat pertapaan seorang kakek sakti bernama
Pok Pok Sianjin yang juga terkenal sebagai ahli silat nomor satu di bagian barat!
Sepuluh tahun yang lalu, sebelum Hong Beng lahir bahkan sebelum Sie Cin Hai menikah dengan Lin Lin,
kakek sakti ini pernah berjanji kepada Cin Hai bahwa kelak dia akan memberi pelajaran ilmu silat tongkat
kepada keturunan Pendekar Bodoh, maka setelah kini Hong Beng berusia sepuluh tahun, Cin Hai bersama
isterinya lalu membawa putera mereka ini ke tempat pertapaan Pok Pok Sianjin untuk menagih janji,
sekalian melakukan perjalanan melancong untuk menghibur hati.
Lili yang hanya tinggal berdua dengan kakeknya, tentu saja lebih bebas karena Yousuf memang amat
memanjakan cucu perempuannya ini. Sambil menyanyikan lagu-lagu lucu yang dia pelajari dari Yousuf
karena kakek asal Turki ini sering mendongeng kisah-kisah kuno kepada kedua cucunya, dongeng Turki
yang didongengkan sambil bernyanyi. Lili berjalan sambil berlompatan meniru larinya kuda yang
dinyanyikannya dalam lagu ‘Kisah Si Tolol Naik Kuda’.
Lorong kecil yang dilaluinya itu dipasangi batu-batu lebar dan rata pada bagian tengah, dijajarkan
memanjang dan jalan batu ini dipergunakan pada waktu musim hujan karena jalan kecil itu tentu akan
menjadi amat becek berlumpur.
Kini Lili melompat-lompat dari satu batu ke batu lain sambil bernyanyi gembira, kadang kala diseling oleh
suara lucu meniru bunyi ringkik kuda, sehingga siapa saja yang melihat kelucuan dan kegembiraan anak
perempuan ini, tentu akan ikut tertawa gembira.
Memang Lili sedang gembira sekali. Betapa tidak? Ayah ibunya tidak berada di rumah, ini berarti bahwa ia
tidak usah menghafalkan pelajaran membaca kitab-kitab kuno yang sulit itu, tidak usah menghafalkan ujarujar
dan sajak-sajak kuno yang sering membingungkan kepalanya.
Sebetulnya, oleh ibunya telah ditinggalkan pelajaran-pelajaran yang harus dihafalkan dan ditulisnya, dan
Yousuf mendapat tugas untuk mengawasinya. Akan tetapi, kakek ini tidak kuat menghadapi senyum atau
rengek Lili dan sekali saja anak perempuan ini dengan pandang mata manja menyatakan keinginannya
hendak pergi bermain, Yousuf tak dapat dan tidak tega melarangnya pula!
Ketika Lili sedang berlompatan sambil menyanyi dengan riangnya, tiba-tiba ia mendengar bunyi derap kaki
kuda yang sesungguhnya. Ia berhenti dan berdiri di atas jalan batu itu dengan mata dipentang lebar.
Dari sebuah tikungan jauh di depan, muncullah tiga orang penunggang kuda, seorang di depan dan dua
lainnya di belakangnya. Dan ketika dia melihat penunggang kuda yang di depan itu, tak terasa lagi, Lili
dunia-kangouw.blogspot.com
memandang dengan mata terbelalak dan mulutnya berkata perlahan,
“Ahh, dia itu benar-benar Si Tolol Menunggang Kuda yang didongengkan oleh Kongkong (Kakek)!”
Penunggang kuda yang di depan itu adalah seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun.
Mukanya cukup tampan dan hidungnya mancung, akan tetapi ia memelihara cambang bauk yang
membuatnya menjadi brewok dari bawah telinga sampai ke dagu dan bawah hidungnya, menutupi
mulutnya. Kepala dibungkus dengan ikat kepala yang lebar, menyembunyikan semua rambutnya, dan ikat
kepala ini berwarna merah.
Pakaiannya berwarna putih dan sepatunya tinggi sampai ke lutut, terbuat dari pada kulit. Di pinggang
kirinya nampak gagang sebatang golok dengan ronce-ronce sutera merah. Kuda yang ditungganginya
berwarna putih dan bagus, dengan kendali warna merah pula. Pendeknya, seorang setengah tua yang
gagah.
Lili menganggap laki-laki ini seperti Si Tolol Naik Kuda yang tadi dinyanyikan oleh karena memang di
dalam dongeng kakeknya itu, terdapat seorang lelaki tampan yang naik kuda, akan tetapi karena
ketolotannya, dia sering kali menghadapi hal-hal yang lucu.
Dua orang yang menunggang kuda di belakang Si Brewok ini adalah dua orang pemuda, seorang berjubah
putih dan yang ke dua berjubah hitam. Keduanya memakai topi putih yang bentuknya segi empat.
Memang tidak terlalu salah bila mana Lili mempersamakan penunggang kuda itu dengan tokoh dalam
dongeng kakeknya, karena orang-orang ini memang bukan orang Han, dan muka mereka memiliki
potongan yang sama pula dengan Yousuf. Dan bila Lili mengenal siapa adanya Si Brewok itu dan tahu apa
maksud kedatangannya di kota Shaning, tentu anak ini takkan berdiri setenang dan sesenang itu
menghadapi ketiga orang penunggang kuda ini!
Melihat ada seorang anak perempuan yang cantik jelita sedang berdiri di tengah jalan sambil memandang
dengan mata terbelatak, Si Brewok lantas menahan kudanya, diturut oleh kedua orang pengikutnya.
“Hei, Nona kecil! Tahukah kau di mana rumahnya bangsat tua Yousuf?” suaranya parau dan kata-katanya
ini diucapkan dalam bahasa Han yang sangat kasar dan kaku, akan tetapi yang amat menyakitkan hati Lili
adalah sebutan ‘bangsat tua’ kepada kakeknya itu!
Lili sudah tahu pula bahwa kongkong-nya itu mempunyai nama yang aneh, dan pernah kakeknya itu
menceritakan bahwa ia datang dari negeri barat yang amat jauh dan di sana ia disebut sebagai ‘Yousuf’.
Akan tetapi Lili sendiri selalu menyebutnya ‘Yo-kongkong’. Ia dapat menduga bahwa orang berkuda ini
tentu mencari kongkong-nya, akan tetapi dia sengaja menjawab dengan mulut mentertawakan orang itu.
“Tidak ada bangsat-bangsat di sini, biar tua mau pun muda. Apakah kau yang bernama Aladin?” Lili
menyebutkan nama tokoh dongeng yang diceritakan oleb kakeknya itu.
Si Brewok itu memandang heran mendengar pertanyaan ini.
“Eh, apa maksudmu?” tanyanya sambil menahan kendali kudanya yang telah tidak sabar dan kaki
depannya menggaruk-garuk tanah.
Lili tidak menjawab, hanya tersenyum mengejek, kemudian dia pun membuat gerakan melompat-lompat
seperti kuda dan terdengar pula nyanyiannya.
Plak! Plok! Plak Plok!
Si Tolol naik kuda,
Kudanya putih tua,
Jalannya seperti onta!
Ia sengaja mengganti kata-kata ‘kudanya sudah tua’ menjadi ‘kudanya putih tua’ karena kuda yang
ditunggangi oleh Si Brewok itu memang berbulu putih.
Mendengar nyanyian ini, Si Brewok dan dua orang kawannya nampak terkejut dan heran. Nyanyian
dongeng Turki, bagaimana anak bangsa Han ini dapat menyanyikannya?
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bocah kurang ajar, siapakah yang mengajarmu bernyanyi seperti itu?” Laki-laki brewok itu membentak
sambil memandang tajam.
Lili masih tersenyum-senyum lucu dan karena mengira bahwa tiga orang itu mengagumi nyanyiannya
seperti orang-orang lain, dia lalu menjawab bangga,
“Di kota ini, siapa lagi kalau bukan Yo-kongkong yang dapat mengajarkan nyanyian yang bagus-bagus?
Kalau kau mencari orang, lebih baik kau bertanya kepada kakekku Yo Se Fu, akan tetapi jangan berlaku
kurang ajar kepadanya!”
Berubahlah wajah Si Brewok itu pada saat ia bertanya, “Jadi Yo Se Fu adalah kakekmu? Apakah kau anak
dari Sie Cin Hai?”
“Dia memang ayahku! Siapa yang tidak tahu akan hal ini?” kata pula Lili dengan bangga karena memang
dia tahu bahwa ayahnya dipuji-puji dan disegani orang.
Akan tetapi alangkah terkejutnya ketika ia melihat betapa Si Brewok itu ketika mendengar bahwa dia
adalah cucu Yo Se Fu dan anak Sie Cin Hai, lalu mukanya berubah beringas dan sambil mencabut gotok
tajam yang tergantung di pinggang, membentak,
“Bagus! Kalau begitu, kau pun harus mampus mendahului Yousuf!”
Setelah membentak demikian, Si Brewok itu segera majukan kudanya dan menggunakan goloknya
membacok ke arah Lili yang masih berdiri di atas jalan batu, di sebelah kanan kudanya itu! Bacokan itu
cepat dan kuat sekali sehingga yang nampak hanya sinar putih berkelebat dari goloknya yang tajam
berkilau, yang diikuti sinar merah dari ronce-ronce goloknya. Bagaikan kilat menyambar, golok ini
menyambar ke arah leher Lili yang masih berdiri tak bergerak. Agaknya dengan sekali bacok saja, akan
putuslah leher anak itu!
Akan tetapi, biar pun usianya baru delapan tahun, Lili adalah anak dari Pendekar Bodoh, seorang pendekar
gagah perkasa yang mempunyai kepandaian tinggi, dan sejak kecil Lili telah mendapat gemblengan ilmu
silat dari ayah dan ibunya, bahkan mendapat banyak petunjuk dari Yousuf. Maka biar pun dia belum
memiliki ilmu silat tinggi, namun dia telah memiliki dasar-dasarnya dan telah pula memiliki gerakan
otomatis dan gaya reflek, yakni gerakan yang timbul dengan sendirinya pada kondisi bahaya, gerakan yang
dikendalikan oleh perasaan dan urat syaraf apa bila melihat atau mendengar sesuatu yang mungkin
mendatangkan bahaya atau serangan pada dirinya, seperti yang dimiliki oleh semua jago silat yang telah
tinggi kepandaiannya.
Karena itu, ketika Lili melihat berkelebatnya sinar golok ke arah lehernya dan mendengar bunyi angin
sambaran senjata itu, otomatis dia lalu membuang tubuh bagian atas ke kiri sehingga golok itu menyambar
lewat di atas punggungnya. Demikian cepat dan kerasnya sambaran golok itu sehingga Lili merasa betapa
leher dan punggungnya menjadi dingin!
Ketiga orang itu melongo pada saat melihat betapa anak perempuan itu dengan gerakan yang indah dapat
mengelakkan diri dari serangan tadi, padahal Si Brewok itu biasanya bila sudah turun tangan, jarang sekali
dapat digagalkan biar pun yang diserang memiliki kepandaian silat. Apa lagi hanya seorang anak-anak!
Merasa bahwa dirinya berada dalam bahaya maut, Lili cepat menggunakan kesempatan saat ketiga orang
itu masih terheran-heran, lalu melompat cepat ke pinggir sebuah rumah dan rnelarikan diri. Dia mendengar
suara kaki orang turun dari kuda dan mengejarnya.
Cepat bagaikan seekor tikus yang dikejar oleh kucing, Lili menyelinap masuk ke dalam sebuah pintu rumah
yang terbuka dan bersembunyi di balik pintu. Dia sama sekali tidak merasa ketakutan, akan tetapi tidak
berani pula mengeluarkan suara, hanya berdiri diam sambil mengepal kedua tinjunya yang kecil!
Para pengejarnya berlari cepat melewati pintu rumah itu dan tak lama kemudian mereka datang kembali
dengan langkah perlahan. Ketika tiba di depan pintu rumah itu, Si Brewok melangkah masuk, akan tetapi
hanya menjenguk ke dalam saja. Melihat di dalam rumah tidak ada orang, dia lalu keluar lagi dan berkata
kepada kawan-kawannya.
“Setan cilik itu sudah pergi, biarlah kita mencari Yousuf terlebih dahulu. Mudah saja untuk mencarinya
kemudian!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang-orang itu lalu pergi lagi dan Lili yang bersembunyi di balik daun pintu tersenyum girang, lantas
keluar dan melanjutkan perjalanannya menuju ke rumah kawan-kawannya. Anak kecil ini tidak begitu
mempedulikan ucapan orang-orang tadi dan tidak tahu akan adanya bahaya yang mengancam kakeknya,
karena biar pun dia dapat menduga bahwa mereka tidak mempunyai maksud baik terhadap kakeknya,
akan tetapi ia percaya penuh bahwa kakeknya yang amat pandai itu akan dapat mengusir mereka.
Siapakah sebetulnya tiga orang tadi? Dan mengapa mereka mencari Yousuf dan tiba-tiba menyerang Lili
anak kecil itu pada waktu mendengar bahwa Lili adalah cucu perempuan Yousuf dan anak Sie Cin Hai?
Untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, marilah kita meninjau secara singkat peristiwa-peristiwa
yang terjadi pada dua belas tahun yang lampau…..
********************
Kira-kira dua belas tahun yang lalu, beberapa kali Kerajaan Turki mengirim ekspedisi ke Tiongkok ketika
mendengar bahwa di tempat-tempat tertentu di Tiongkok terdapat harta terpendam yang nilainya sangat
besar.
Ekspedisi pertama dilakukan untuk memperebutkan sebuah pulau di seberang timur laut Tiongkok, yang
disebut Kim-san-tho (Pulau Bukit Emas) dan yang disangka mengandung bukit penuh logam kuning
berharga itu. Dalam usaha memperebutkan pulau ini, terjadilah perang hebat antara barisan Turki, barisan
Mongol, dan juga barisan Kerajaan Tiongkok untuk maksud yang sama.
Pemimpin besar dari barisan Turki adalah seorang gagah perkasa bernama Balutin yang amat sakti
sehingga ekspedisi itu berhasil sampai di tempat tujuan. Akan tetapi kemudian Balutin tewas dalam
pertempuran ketika melawan tentara Tiongkok yang dibantu oleh seorang hwesio lihai sekali bernama Hai
Kong Hosiang bersama supek-nya, yaitu Kiam Ki Sianjin yang gagu akan tetapi memiliki ilmu kepandaian
yang luar biasa tingginya.
Kemudian, di Turki terjadi perpecahan setelah ada usaha-usaha yang jahat dari seorang pangeran yang
disebut Pangeran Muda. Pada waktu itu, yang berkuasa di Turki adalah Pangeran Tua yang adil dan
bijaksana, dan di antara kedua orang pangeran ini timbullah permusuhan, akan tetapi akhirnya pengaruh
Pangeran Muda serta kaki tangannya yang terdiri dari orang-orang jahat dapat dihancurkan. Peristiwa
hebat ini dapat diikuti dengan jelas dalam cerita Pendekar Bodoh.
Dalam keributan-keributan itu, terdapat seorang pemuda yang dilupakan orang. Pemuda ini adalah putera
tunggal dari Balutin yang gagah perkasa itu, dan yang telah berusia dua puluh lima tahun ketika ayahnya
gugur dalam ekspedisi mencari Pulau Bukit Emas.
Tentu saja dia merasa amat berduka dan hatinya penuh diliputi dendam. Akan tetapi, biar pun dia telah
mewarisi hampir seluruh kepandaian ayahnya, namun dia maklum bahwa ia tidak berdaya membalas
dendam atas kematian ayahnya itu. Sedangkan ayahnya sendiri masih kalah melawan jago-jago bangsa
Han apa lagi dia.
Pemuda ini mempunyai darah Tionghoa, oleh karena ibunya adalah seorang bangsa Han pula yang dahulu
diculik oleh Balutin dan dipaksa menjadi isterinya. Akan tetapi, ibunya meninggal dunia ketika
melahirkannya sehingga terpaksa dia dirawat oleh seorang inang pengasuh yang juga seorang perempuan
bangsa Han yang diculik oleh Balutin.
Ia telah menganggap inang pengasuh itu sebagai ibu sendiri dan oleh inang pengasuh itu ia juga diberi
nama Tionghoa, yaitu Bouw Hun Ti. Selain ini, Bouw Hun Ti juga mendapat pelajaran membaca dan
menulis bahasa Tionghoa oleh inang pengasuhnya, maka selain bahasa Turki, Bouw Hun Ti juga mahir
bahasa Han. Mungkin karena ia masih berdarah Tionghoa, maka ia cinta sekali kepada inang
pengasuhnya itu.
Balutin sendiri tak begitu peduli pada puteranya, karena panglima ini memang berwatak kurang baik dan
sungguh pun dia mempunyai kedudukan tinggi, akan tetapi dia terkenal pula sebagai seorang laki-laki mata
keranjang.
Betapa pun juga, dia memberikan latihan ilmu silat tinggi kepada putera tunggalnya itu sehingga Bouw Hun
Ti mempunyai ilmu kepandaian yang tinggi, akan tetapi yang tidak diketahui oleh banyak orang.
dunia-kangouw.blogspot.com
Setelah Balutin tewas dalam pertempuran, Bouw Hun Ti kemudian keluar dari negerinya, bersama inang
pengasuhnya yang kini sudah menjadi nenek-nenek pergi ke pedalaman Tiongkok, di mana ia lalu
mengembara setelah mengantar inang pengasuh itu kembali ke kampung halamannya. Cita-cita Bouw Hun
Ti hanya satu, ialah membalas dendam atas kematian ayahnya.
Oleh karena maklum bahwa ilmu kepandaiannya masih belum cukup tinggi untuk dapat melaksanakan
maksud ini, maka dia mulai mencari guru dalam perantauannya. Akhirnya dia pun bertemu dengan Ban Sai
Cinjin, yakni seorang yang berilmu tinggi. Bouw Hun Ti lalu mengangkat guru kepada orang berilmu ini dan
mempelajari ilmu silat, terutama ilmu golok yang amat lihai gerakannya.
Sesudah bertahun-tahun mempelajari ilmu silat dari Ban Sai Cinjin, dan kepandaiannya sudah banyak
maju, Bouw Hun Ti lalu mencari musuhnya, pembunuh ayahnya. Alangkah kecewanya pada saat dia
mendengar bahwa Hai Kong Hosiang dan Kam Ki Sianjin telah meninggal dunia. Pada waktu itu, inang
pengasuhnya sudah meninggal dunia pula akibat usia tua.
Hal ini membuatnya tidak kerasan untuk tinggal lebih lama di pedalaman Tiongkok dan ia segera kembali
ke negaranya, dengan hati tetap mengandung dendam yang belum dapat terbalas. Di dalam hati kecilnya
dia merasa benci terhadap orang-orang Han yang telah membunuh ayahnya, dan terutama sekali ia
memindahkan kebenciannya dari dua musuh besar yang telah mati itu kepada para pendekar yang dahulu
pernah memusuhi pengikut Pangeran Muda.
Memang, Bouw Hun Ti juga menjadi pengikut setia dari Pangeran Muda, maka setelah ia kembali ke Turki,
dia pun kembali bersekutu dengan Pangeran Muda bahkan sekarang mendapat kepercayaan besar dan
kedudukan tinggi karena Pangeran Muda tahu bahwa dia telah memiliki kepandaian tinggi.
Kedudukan yang tinggi membuat watak Bouw Hun Ti yang sudah kejam dan sombong makin menjadi.
Pengaruhnya besar sekali dan mengandalkan kepandaiannya, dia mulai mendesak pengaruh Pangeran
Muda dan bahkan dia mulai bercita-cita untuk mendesak pula kedudukan raja dengan pengaruhnya!
Pangeran Muda yang melihat hal ini menjadi khawatir sekali, maka segera dicarinya akal untuk
melenyapkan orang berbahaya ini. Pada suatu hari, dia memanggil Bouw Hun Ti menghadap dan
dinyatakannya bahwa dia amat membutuhkan seorang penasehat yang cerdik pandai. Dalam percakapan
ini, disebutnya nama Yousuf.
“Kalau saja Yousuf bisa didatangkan dan membantuku, ah, hatiku akan menjadi senang. Ia adalah seorang
yang arif bijaksana dan pandai mengurus pemerintahan. Oleh karena itu harap kau suka mencarinya di
pedalaman Tiongkok, dan apa bila mungkin, sekalian kau balaskan sakit hati kita terhadap seorang
pendekar yang disebut Pendekar Bodoh, bernama Cin Hai, she Sie! Menurut para penyelidik, sekarang
Yousuf tinggal di rumah Pendekar Bodoh itu, di kota Shaning dalam Propinsi An-hui.”
Maka berangkatlah Bouw Hun Ti ke pedalaman Tiongkok untuk melakukan tugas ini. Ia membawa dua
orang pengikut yang mempunyai kepandaian cukup tinggi dan langsung menuju ke Propinsi An-hui.
Pada luarnya saja dia seakan-akan mentaati perintah Pangeran Muda, padahal di dalam hati dia
mempunyai pendapat lain. Kalau sampai orang yang bernama Yousuf itu dibawa ke tanah airnya, maka hal
itu berarti bahwa ia akan menghadapi saingan berat, apa lagi dia mendengar bahwa Yousuf juga memiliki
ilmu kepandaian tinggi.
Hatinya yang kejam dan penuh kedengkian membuat dia merasa sangat benci terhadap Yousuf, lebih-lebih
sesudah dia mendengar dari para prajurit yang dulu turut melakukan ekspedisi mencari pulau emas, bahwa
Yousuf pernah mengkhianati Kerajaan Turki, dan mengkhianati ekspedisi yang dipimpin oleh Balutin,
ayahnya. Ia menganggap kegagalan ayahnya adalah akibat dari pada pengkhianatan Yousuf ini dan oleh
karena ini Yousuf harus dibunuh, tidak saja untuk membalaskan dendam ayahnya, akan tetapi juga untuk
mencegah orang tua itu memperoleh kedudukan tinggi di Turki!
Demikianlah sedikit riwayat Bouw Hun Ti, seorang yang berkepandaian tinggi dan yang kini datang
memasuki kota Shaning dengan maksud yang sangat buruk dan berbahaya. Kalau saja dia tadinya tidak
memandang rendah kepada anak perempuan yang menjadi cucu Yousuf itu, tentulah Lili sudah menjadi
korbannya yang pertama. Baiknya Lili dapat mengelak serangannya dan karenanya membuat Bouw Hun Ti
terheran-heran sehingga terlambat mengejarnya.
Kini Bouw Hun Ti bersama dua orang pengikutnya melanjutkan perjalanannya mencari rumah kediaman
dunia-kangouw.blogspot.com
Pendekar Bodoh. Ia adalah orang yang cerdik dan sebelum memasuki kota Shaning terlebih dahulu dia
telah melakukan penyelidikan sehingga dia tahu bahwa Cin Hai beserta isterinya sedang keluar kota dan
yang berada di rumah hanyalah Yousuf seorang.
Berita ini sangat menggembirakan hatinya karena sepanjang pendengarannya, Pendekar Bodoh dan
isterinya adalah orang-orang yang merupakan lawan amat tangguh, ditambah pula dengan Yousuf, maka
ia merasa jeri juga! Kini kedua suami isteri itu tidak berada di rumah dan hal ini merupakan kesempatan
yang amat baik baginya.
Rumah Sie Cin Hai adalah sebuah bangunan besar yang dilindungi pekarangan luas, sedangkan di kanan
kiri dan belakang rumah ditanami bunga-bunga indah. Tanaman ini diurus oleh Yousuf sendiri yang
memang amat suka bunga. Karena adanya pekarangan ini, maka letak rumah-rumah tetangga di kanan kiri
agak jauh dari bangunan itu.
Pada pagi hari itu, Yousuf yang kini telah tua sekali itu sedang berada di kebun bunga sebelah kiri rumah,
memetik dan membuangi daun-daun kering dan membunuh ulat-ulat yang mengganggu tanaman. Dengan
perlahan dan asyik sekali, ia melangkah dari pohon ini ke pohon itu, dan nampaknya amat gembira.
Memang, kakek tua ini merasa hidupnya bahagia sekali. Betapa tidak? Anak angkatnya yang terkasih,
sudah mempunyai rumah tangga yang baik dan dia telah mempunyai dua orang cucu sedangkan
kehidupan mereka sekeluarga dalam keadaan aman dan damai. Ketenteraman hati ini membuat dia sehatsehat
saja dan jarang sekali menderita sakit, sungguh pun usianya telah tua dan tenaganya telah banyak
berkurang.
Seorang pelayan wanita lalu datang menghampirinya dan membungkuk sambil berkata, “Yo-loya, minuman
untuk Loya telah tersedia di ruang tengah.”
Yo Se Fu atau Yousuf mengangguk, kemudian menjawab, “Biarlah dulu, dan lebih baik kau menyediakan
makan pagi untuk Siocia (Nona Kecil).”
“Siocia semenjak tadi telah pergi keluar, Loya.”
Yousuf menggeleng-geleng kepala, “Ah, anak itu! Sepagi ini telah pergi. Kalau nanti ayah ibunya datang
dan mendapatkan ia tidak berada di rumah, bukan saja ia akan mendapat marah, aku pula akan mendapat
teguran. Mengapa kalian tidak mencegahnya dan tidak menyuruh ia memberi tahukan lebih dulu kepadaku
sebelum pergi?”
“Siocia tidak bisa dicegah, Loya. Kami pun telah minta ia memberi tahu lebih dulu kepada Loya, akan tetapi
dia menjawab bahwa Loya takkan melarangnya keluar bermain dengan teman-temannya.”
Yousuf hanya menggelengkan kepala dan berkata, “Sudahlah, dan kau bersama pelayan lain bekerjalah
baik-baik, jaga agar semua barang dalam rumah nampak bersih agar tuan dan nyonyamu akan senang hati
kalau datang nanti.”
“Baik, Yo-loya,” kata pelayan itu yang kemudian mengundurkan diri.
“Anak bandel...” Yousuf berkata seorang diri dengan mulut tersenyum, “mungkin seperti ibunya ketika
masih kecil.”
Dia lalu melanjutkan pekeriaannya membuangi daun-daun kering dan ulat-ulat. Kadang-kadang Yousuf
tersenyum geli seorang diri kalau ia teringat akan kenakalan-kenakalan Lili, dan tersenyum bangga apa bila
teringat kepada Hong Beng yang pendiam, tampan, dan cerdik.
Amat berbahagialah orang tua yang mempunyai anak seperti Hong Li dan Hong Beng dan Yousuf merasa
turut beruntung melihat Sie Cin Hai dan Lin Lin berbahagia, karena kedua orang yang dianggap laksana
anak sendiri itu memang orang-orang baik hati dan juga amat berbakti kepadanya. Tidak ada kesenangan
lain bagi hati kakek tua ini kecuali melihat Cin Hai serumah tangga sehat-sehat dan hidup beruntung.
Tiba-tiba ia mendengar derap kaki kuda dan ketika ia menengok, ia merasa terkejut dan heran karena
melihat ada tiga orang penunggang kuda masuk ke dalam pekarangan itu. Orang-orang yang baru datang
ini adalah Bouw Hun Ti bersama dua orang pengikutnya. Yousuf segera melangkah dan menghampiri tiga
orang pengunjung itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Mudah saja bagi Bouw Hun Ti untuk menduga siapa adanya kakek tua yang berpakaian seperti orang Han
akan tetapi berwajah orang Turki itu, karena itu dengan cekatan dia melompat turun dari kudanya dan
bertanya,
“Apakah Saudara Yousuf yang terhormat baik-baik saja?”
Yousuf terkejut sekali mendengar pertanyaan ini dan dia lalu memandang dengan penuh perhatian.
Matanya yang tua itu sudah agak lamur, akan tetapi dia masih dapat melihat bahwa orang ini adalah
seorang Turki, baik dipandang dari kepalanya mau pun bentuk mukanya sungguh pun kulitnya kekuningkuningan
seperti kulit orang Han. Akan tetapi, betapa pun ia mengingat-ingat, ia tidak merasa pernah
melihat orang ini, maka jawabnya ragu-ragu,
“Maaf, Saudara Muda, sepasang mataku telah terlalu tua untuk mengingat kembali wajah orang-orang
yang sudah lama tidak bertemu denganku. Saudara ini siapakah dan datang dari mana?”
Bouw Hun Ti tertawa bergelak hingga Yousuf merasa tak enak di dalam hatinya, karena suara tawa ini
menunjukkan bahwa dia berhadapan dengan seorang yang berhati kejam dan sombong. Memang Yousuf
mempunyai perasaan halus dan pandangan tajam, dapat mengenal watak-watak manusia hanya dengan
mendengar suara tawanya atau melihat wajahnya.
“Saudara Yousuf, walau pun kau sudah lupa kepadaku, agaknya kau tidak lupa kepada Panglima Besar
Balutin yang telah gugur dalam menjalankan tugas yang gagal karena pengkhianatan bangsa kita sendiri!”
Makin tidak enaklah hati Yousuf mendengar ucapan ini, karena dia maklum bahwa yang dimaksudkan
dengan pengkhianatan itu tentu dia sendiri. Akan tetapi dengan tenang dia mengangguk dan menjawab,
“Tentu saja aku kenal Panglima Balutin yang gagah perkasa, sungguh pun harus kuakui bahwa perkenalan
itu tidak sangat erat. Akan tetapi, aku masih belum mengerti apakah hubungannya perkenalanku dengan
Balutin itu dengan kunjunganmu sekarang ini. Apa kau sengaja datang jauh-jauh dari Turki hanya untuk
mencariku?”
Bouw Hun Ti mengangguk. “Memang kami sengaja datang untuk mencarimu, dan amat kebetulan kita bisa
bertemu dengan mudah. Saudara Yousuf, lupakah kau kepada Bouw Hun Ti, putera dari Balutin? Dulu aku
hanya dapat melihatmu dari jauh, mengingat akan kedudukanmu dan selalu aku memandangmu dengan
kagum, yaitu sebelum mendengar betapa kau mengkhianati ekspedisi pemerintahan kita.”
Yousuf teringat bahwa Balutin memang mempunyai seorang putera yang berkepandaian tinggi, akan tetapi
dulu ia belum pernah berhubungan dengan orang muda itu. “Sudahlah, tidak ada gunanya kita
membicarakan hal yang sudah lampau. Setiap orang mempunyai kesalahan-kesalahannya sendiri,
tergantung dari sudut orang itu memandangnya. Yang terpenting sekarang beritahukanlah maksud
kedatanganmu ini.”
“Ha-ha-ha! Setidaknya kau masih memiliki sifat terus terang dan langsung seperti sifat bangsa kita!”
Sekarang suara Bouw Hun Ti berubah kasar dan tanpa penghormatan pula. “Yousuf, aku datang atas
perintah Pangeran untuk membawamu ke Turki!”
Mendengar ini, Yousuf merasa kaget dan memandang penuh kecurigaan. Ia tahu bahwa Pangeran Tua tak
mungkin akan memanggilnya, karena ia telah minta ijin dari Pangeran Tua untuk meninggalkan tanah air
dan masuk menjadi bangsa Han sedangkan Pangeran Tua telah memberi perkenan sepenuhnya. Dan
semenjak saat itu, hubungannya dengan Turki telah putus sama sekali dan ia telah menganggap diri
sendiri sebagai seorang Han asli. Mengapa sekarang tiba-tiba Pangeran Tua yang memanggilnya?
“Bouw Hun Ti, kalau benar Pangeran Tua memanggilku, tentu ada suratnya. Perlihatkan suratnya
kepadaku.”
Bouw Hun Ti tersenyum sindir. “Untuk memanggil seorang hambanya, Pangeran tidak perlu menggunakan
surat. Apakah kau tidak percaya padaku? Ketahuilah, Yousuf bahwa aku adalah tangan kanan Pangeran
dan kalau kau sudah tiba di sana, akan kau ketahui sendiri.”
“Kau selalu menyebut Pangeran, yang mana maksudmu? Tentulah bukan Pangeran Tua yang
menyuruhmu, bukan?”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapa sudi membantu Pangeran yang lemah itu? Pangeran Muda yang mengutus aku untuk membawamu
kembali!”
Kini mengertilah Yousuf, dan dia tahu pula bahwa orang ini memang sengaja datang hendak membikin
ribut. Semua orang tahu belaka bahwa dia, Yousuf, adalah pengikut Pangeran Tua dan yang selalu
memusuhi segala tindakan yang tak patut dari Pangeran Muda, maka tentu saja kalau sekarang pangeran
itu mengutus seorang untuk memanggil atau membawanya ke Turki, itu berarti bahwa utusan ini telah
diberi wewenang penuh untuk membawanya hidup-hidup atau pun mati!
Akan tetapi, walau pun telah tua sekali, Yousuf masih belum kehilangan keberanian dan kegagahannya.
Dia memandang tajam dan berkata,
“Dengarlah, Bouw Hun Ti! Apa bila Pangeran Muda yang memanggilku, jangankan tanpa surat, biar pun
dengan surat yang disimpan dalam kotak emas permata sekali pun, aku tidak akan mau mentaatinya!”
“Ha-ha-ha! Bagus, Yousuf, memang inilah yang kukehendaki! Dengan jawabanmu ini, maka ada alasan
bagiku untuk memenggal batang lehermu!” Sambil tertawa bergelak, Bouw Hun Ti lalu menggerakkan
tangan kanannya dan goloknya yang tajam berkilauan telah dicabutnya!
Yousuf sama sekati tidak takut menghadapi Bouw Hun Ti, biar pun dia dapat menduga bahwa putera
Balutin ini tentu kepandaiannya tinggi sekali. Akan tetapi ketika Bouw Hun Ti mencabut goloknya, tiba-tiba
saja wajah Yousuf menjadi sangat pucat dan sepasang matanya terbelalak lebar. Diluar dugaan Bouw Hun
Ti, kakek ini segera menjatuhkan diri berlutut menyembah dengan jidat menempel di tanah sambil berkata
penuh hormat,
“Hamba menanti perintah.”
Melihat hal ini, Bouw Hun Ti yang tadinya merasa heran, menjadi girang sekali karena ia mengerti bahwa
goloknya inilah yang membuat Yousuf bersikap seperti itu. Golok yang dipegangnya ini adalah golok
pusaka yang biasa digunakan oleh Pangeran Tua dan yang dipergunakan sebagai lambang
kekuasaannya. Menurut peraturan lama dari kerajaan itu, barang siapa pun yang diberi kekuasaan oleh
Pangeran Tua untuk memegang golok ini, maka dia berhak menghukum setiap orang sebagai wakil penuh.
Biar pun Yousuf merasa heran kenapa golok pusaka dari Pangeran Tua itu bisa terjatuh ke dalam tangan
orang ini, akan tetapi kesetiaannya terhadap Pangeran Tua membuat ia tidak berani banyak cakap dan
segera berlutut, karena ia pikir bahwa di bawah pengaruh golok itu, ia harus menyerah dan membiarkan
dirinya dibawa ke Turki!
Akan tetapi, Yousuf masih tidak tahu akan kekejian hati Bouw Hun Ti yang memang telah memiliki
keinginan untuk membunuhnya. Ketika melihat Yousuf bertutut dan menyembah di hadapannya seperti itu,
manusia berhati kejam dan curang ini lalu mengayun goloknya ke arah leher Yousuf!
Bukan main terkejutnya hati Yousuf ketika mendengar sambaran angin di atas lehernya, namun sudah
terlambat. Sebelum ia tahu apa yang terjadi atas dirinya, golok yang tajam itu telah membabat lehernya!
Dari lehernya darah mengalir keluar bagai pancuran ketika kepala kakek tua yang bernasib malang itu
menggelinding ke atas tanah!
Dua orang pelayan wanita menjerit ketika mereka keluar dan melihat tubuh Yousuf rebah di tanah dengan
leher putus. Mereka hendak melarikan diri, akan tetapi hanya dengan satu lompatan saja Bouw Hun Ti
sudah dapat menyusul mereka dan dua kali goloknya bergerak, maka robohlah dua orang pelayan itu
dalam keadaan mandi darah dan tidak bernyawa lagi!
Melihat darah para korbannya itu, Bouw Hun Ti menjadi makin buas.
“Tunggu di sini, biar aku mengadakan pemeriksaan di dalam!” katanya kepada dua orang pengiringnya
yang memandang semua kejadian itu dengan muka menahan kengerian hati.
Bouw Hun Ti segera berlari masuk ke dalam rumah Sie Cin Hai, aduk sana bongkar sini membunuh dua
orang pelayan laki-laki yang kebetulan berada di situ, kemudian keluar lagi. Dia lalu mengambil kepala
Yousuf dengan memegang rambutnya dan membungkus kepala itu dengan sapu tangan lebar, lalu
memberi tanda kepada dua orang pengiringnya untuk pergi dari situ.
dunia-kangouw.blogspot.com
Beberapa orang yang kebetulan lewat di depan rumah itu, menjadi ketakutan dan segera melarikan diri
sambil berteriak-teriak, memberi tahu kepada semua orang bahwa Kakek Yo telah dibunuh orang! Orangorang
sekota menjadi gempar dan mereka lalu membawa senjata dan beramai-ramai menuju ke tempat itu.
Akan tetapi, Bouw Hun Ti dan kedua pengiringnya sambil membawa kepala Yousuf telah pergi dari situ.
Orang-orang itu hanya mendapatkan mayat Yousuf yang kepalanya hilang beserta mayat empat orang
pelayan.
Gegerlah keadaan di situ, dan terdengarlah suara tangis para wanita ketika mendengar bahwa Empek Yo
yang baik hati itu terbunuh orang. Mereka lalu mencari-cari ke dalam rumah dan ketika mereka tidak
melihat Hong Li, keadaan menjadi makin ribut lagi.
“Aduh celaka! Nona Lili lenyap...!” Mereka mengeluh dan peluh dingin keluar dari jidat mereka karena
mereka dapat membayangkan betapa akan marahnya pendekar besar Sie Cin Hai dan isterinya apa bila
mengetahui hal ini!
Sementara itu, Bouw Hun Ti yang melarikan kuda bersama dua orang pengiringnya itu, lalu memberikan
bungkusan kepala itu kepada mereka dan berkata,
“Kalian berdua kembalilah dulu ke Turki dan berikan ini kepada Pangeran Muda. Kalian boleh ceritakan
kepada Beliau bahwa karena Yousuf menolak dibawa ke Turki, terpaksa kubunuh mati. Aku sendiri hendak
mencari anak perempuan dari Pendekar Bodoh itu dan kemudian sebelum kembali ke Turki, aku hendak
mengunjungi guruku.”
Kedua orang pengiringnya tak berani membantah, menerima bungkusan kepala itu, akan tetapi lalu berkata
dengan muka pucat, “Kepala ini tentu akan membusuk sebelum kami tiba di Turki.”
Bouw Hun Ti tertawa bergelak, lalu mengeluarkan sebungkus obat bubuk sambil berkata, “Campurkan obat
ini dengan air, kemudian balurkan di seluruh kulit muka dan kepala itu, terutama beri yang banyak pada
bagian leher, tentu akan terpelihara baik dan tidak rusak kepala jahanam itu!”
Setelah memberikan obat itu kepada mereka, Bouw Hun Ti lalu pergi menuju ke lorong di mana tadi dia
telah bertemu dengan Hong Li! Sedangkan kedua orang pengiringnya yang merasa tidak aman berada di
dalam kota itu lebih lama lagi, segera membalapkan kuda keluar dari kota sambil membawa bungkusan
kepala itu…..
********************
Agaknya memang sudah nasib Hong Li untuk mengalami bencana pada hari itu, karena anak perempuan
ini kebetulan sekali sedang berjalan hendak pulang dan di tengah jalan tiba-tiba dia bertemu dengan Bouw
Hun Ti yang melarikan kuda dari depan, muncul di sebuah tikungan!
Lili terkejut sekali pada saat mengenal Si Brewok yang tadi mengejar-ngejar dan hendak membunuhnya.
Cepat anak ini membalikkan tubuh dan lari pergi akan tetapi Bouw Hun Ti telah melihatnya dan sambil
berseru girang, orang ini melompat turun dari kuda dan mengejar!
Lili telah menerima latihan silat dari dua orang tuanya, maka sekecil itu dia telah memiliki kepandaian lari
cepat yang cukup mengagumkan dan sekiranya yang mengejarnya ialah seorang laki-laki biasa saja, tidak
mungkin dia akan dapat tertangkap. Akan tetapi, yang rnengejarnya adalah Bouw Hun Ti, orang yang
memiliki kepandaian tinggi. Maka, dalam beberapa lompatan saja Bouw Hun Ti telah berhasil
menyusulnya.
“Anak setan, kau hendak lari ke mana?”
Lili maklum bahwa percuma saja ia melarikan diri, akan tetapi ia memiliki keberanian luar biasa warisan
kedua orang tuanya. Maka ketika melihat bahwa pengejarnya telah datang dekat, tiba-tiba ia berhenti,
membalikkan tubuh dan berdiri sambil memasang kuda-kuda dan sepasang matanya memandang dengan
tajam dan berani!
Bouw Hun Ti merasa kagum juga melihat sikap anak perempuan ini, apa lagi ketika Lili tiba-tiba menyerang
dengan kepalan tangannya yang mungil itu, melakukan serangan ke arah pusarnya dengan pukulan yang
dunia-kangouw.blogspot.com
dilakukan amat indah dan baiknya, kekagumannya bertambah dan timbullah rasa sayangnya kepada anak
ini! Dia lalu mengulur tangan dan dengan mudah gerakannya yang cepat itu membuat dia berhasil
menangkap tangan Lili dan sekali dia membetot, tubuh Lili telah tertangkap dan berada dalam
pondongannya!
“Setan kecil, kau mungil sekali!” kata Bouw Hun Ti sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi, Lili tidak mau menyerah demikian saja. Biar pun tangan kanannya yang tadi memukul telah
terpegang dan dia telah dipondong orang, kini tangan kirinya memukul ke arah kepala dan muka yang
brewok itu, sedangkan kedua kakinya meronta-ronta hendak melepaskan diri!
Tapi apakah daya seorang anak perempuan berusia delapan tahun terhadap Bouw Hun Ti, ahli silat yang
tangguh itu? Sekali saja ia mengulur tangan dan memencet pundak Lili, anak perempuan itu mengeluh
lantas tubuhnya menjadi lemas tak berdaya sama sekali. Kaki tangannya serasa lumpuh tak bertenaga
sehingga dia kini tidak dapat meronta-ronta lagi.
“Ha-ha-ha! Setan cilik, kau harus ikut aku. Hendak kulihat Pendekar Bodoh dan isterinya dapat berbuat
apa!”
Bouw Hun Ti lalu membawa anak dalam pondongannya itu menuju ke kudanya dan dia segera melompat
naik ke atas kuda lalu melarikan kudanya dengan cepatnya ke luar kota. Hal ini tidak terlihat oleh siapa pun
juga, oleh karena semua orang yang mendengar tentang peristiwa hebat yang terjadi di rumah Sie Cin Hai,
berbondong-bondong pergi ke rumah itu.
Penduduk kota Shaning segera merawat jenazah Yousuf dan empat orang pelayan itu. Mereka semua
menghormati Yousuf sebagai seorang kakek yang selain baik hati, juga peramah dan berpengetahuan
luas. Apa lagi mengingat bahwa kakek ini adalah ayah angkat dari Sie-hujin (Nyonya Sie), maka tanpa ada
yang perintah, mereka lalu membeli peti mati yang baik dan melakukan upacara sembahyang dengan
segala kehormatan.
Setelah kelima jenazah itu dirawat baik-baik dan ditaruh di dalam peti mati, lima buah peti mati itu
dijajarkan di ruang depan dan dipasangi lima meja sembahyang. Mereka, atas anjuran dari Kepala Kota
Shaning, siang malam menjaga peti-peti ini, dan orang yang datang untuk bersembahyang serta ikut
berduka cita, terus membanjir setiap waktu tiada hentinya. Mereka akan menunggu sampai datangnya Sie
Cin Hai suami isteri, sebelum mengubur peti-peti itu.
Tiga hari kemudian, dari luar kota Shaning datang dua orang penunggang kuda, seorang laki-laki dan
seorang wanita. Usia mereka kurang lebih tiga puluhan tahun, dan keduanya nampak gagah sekali.
Yang laki-laki berpakaian sederhana, wajahnya tampan dan tenang serta sikapnya gagah sekali. Gagang
pedangnya nampak tersembul di atas punggungnya. Yang wanita cantik sekali dan senyumnya selalu
meramaikan wajahnya yang manis. Juga wanita ini terlihat gagah perkasa dengan pedang yang tergantung
pada pinggangnya. Mereka ini tidak lain adalah Sie Cin Hai dan Kwee Lin atau Lin Lin, Pendekar Bodoh
dengan isterinya yang baru pulang dari barat.
“Hai-ko,” terdengar Lin Lin berkata dengan wajah berseri, “anak kita Lili tentu akan girang sekali melihat
kita datang!”
Sinar gembira memancar dari wajah yang tenang dari Pendekar Bodoh itu pada waktu ia mendengar
isterinya menyebut nama Lili, anak perempuannya yang nakal namun selalu mendatangkan kegembiraan
itu.
“Girang?” katanya. “Kurasa di samping kegirangannya, ia akan cemberut atau menangis mencela kita yang
tidak mau membawanya ketika pergi dulu. Tidak ingatkah kau betapa dia dulu menangis dan hendak
memaksa ikut kalau tidak kubentak-bentak?”
“Memang dia agak keras hati dan bandel,” Lin Lin membenarkan.
“Seperti ibunya,” kata Cin Hai.
Lin Lin menengok kepada suaminya sambil cemberut. “Kau anggap aku keras hati dan bandel? Kalau
begitu, mengapa kau dulu menikah dengan aku?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Cin Hai tertawa. “Karena keras hati dan kebandelanmu itulah!”
“He?! Bagaimana pula ini?”
“Aku suka kepadamu karena kau adalah Lin Lin yang keras hati dan bandel!” Mereka saling pandang dan
akhirnya keduanya tertawa bahagia. Memang, semenjak mereka menikah, sepasang suami isteri ini selalu
masih suka bersendau gurau dengan gembira, menandakan bahwa mereka hidup bahagia sekali.
“Bagaimana pun juga Hai-ko, jangan kau terlalu keras terhadap Lili, dia masih kecil dan kecerdikannya
memang tidak seperti anak kita Beng-ji.”
“Kalau terlalu dikasih hati dan dimanja, ia akan menjadi bodoh. Apa kau suka melihat ia menjadi bodoh
seperti...” Cin Hai hendak berkata seperti ‘keledai’ akan tetapi ia didahului oleh isterinya.
“Seperti ayahnya!”
Sekarang Cin Hai yang menengok dan memandang kepada isterinya dengan hati agak mendongkol,
karena ia baru saja memikirkan keledai yang bodoh sehingga ketika Lin Lin menyatakan bahwa anaknya
bodoh seperti ayahnya, ia merasa seakan-akan dialah yang dipersamakan dengan keledai!
“Jadi kau anggap aku bodoh?”
Lin Lin tertawa geli sampai menekan perutnya dan dia menuding ke arah muka Cin Hai sambil berkata,
“Tidak ada orang lainnya di seluruh dunia ini yang lebih bodoh dari pada Pendekar Bodoh! Kau masih
berani mengaku bahwa kau tidak bodoh!”
“Dan kau suka kepada orang bodoh?” tanya Cin Hai masih mendongkol.
“Kalau kau tidak bodoh, aku tak akan suka kepadamu!”
Demikianlah, di sepanjang perjalanan mereka, setiap waktu kedua orang ini bersenda gurau, saling
menggoda, seolah-olah mereka sedang melakukan perjalanan bulan madu dari sepasang pengantin baru!
Kedua orang ini, terutama Cin Hai yang biasanya amat cermat pandangannya, lupa dalam mabuk
kebahagiaan mereka, bahwa kesenangan dan kesusahan selalu timbul silih berganti.
Cin Hai yang telah kenyang mempelajari dan menghafal semua ujar-ujar kuno itu di masa kecilnya, pada
saat-saat bergembira ria dengan isterinya seperti waktu itu, seakan lupa dengan bunyi ujar-ujar nasehat
bahwa jangan terlalu bergembira dalam kesenangan dan jangan terlalu berduka dalam kesusahan!
Setelah sampai di gerbang kota, Lin Lin sudah tidak sabar lagi, ingin lekas-lekas melihat rumah, bertemu
dengan Lili dan dengan ayah angkatnya, Yousuf. Maka dia mencambuk kuda yang ditungganginya agar
berlari lebih cepat lagi. Cin Hai mengikuti dari belakang. Mereka berdua sama sekali tak melihat betapa
orang-orang di pinggir jalan memandang kepada mereka dengan wajah pucat dan duka.
Baru setelah tiba di pekarangan rumah mereka, Lin Lin dan Cin Hai memandang dengan muka menjadi
pucat dan dada berdebar keras. Untuk beberapa lamanya Lin Lin bahkan duduk saja di atas kudanya
seperti patung tak kuasa bergerak karena seluruh tubuhnya seakan-akan menjadi kaku oleh kecemasan
hebat.
Cin Hai melompat turun terlebih dulu dan segera menarik tangan isterinya. Keduanya lalu berlari cepat
menuju ke ruangan depan di mana nampak meja sembahyang dan peti mati berjajar-jajar, hio yang sedang
mengebulkan asapnya, dan banyak orang duduk sambil memandang mereka dengan muka sedih!
Kedatangan mereka disambut oleh Kepala Kota serta isterinya yang langsung memeluk Lin Lin sambil
menangis.
“Kui-lopeh, apakah yang telah terjadi?” tanya Cin Hai. “Dan siapakah yang... meninggal dunia...?”
Sementara itu, Lin Lin segera bertanya dengan suara keras, “Mana anakku...? Mana... Ayah...?”
“Sabarlah, Taihiap, dan kau juga Lihiap,” kata Kepala Kota itu yang seperti juga semua orang lainnya,
dunia-kangouw.blogspot.com
menyebut taihiap (pendekar besar) kepada Cin Hai, dan menyebut lihiap (pendekar wanita) kepada Lin Lin.
“Memang telah terjadi hal yang sangat hebat selama kalian pergi. Terjadinya sudah tiga hari yang lalu.
Seorang laki-laki brewok bersama dua orang kawannya yang tidak diketahui siapa adanya dan apa
sebabnya, telah datang ke sini pada pagi hari tiga hari yang lalu kemudian orang brewok itu telah
membunuh Yo-lo-enghiong (Orang Gagah Yo), juga membunuh mati empat orang pelayanmu.”
“Dan... Lili... bagaimana?” tanya Cin Hai dengan pucat, sedangkan Lin Lin memandang kepada Kepala
Kota itu seakan-akan berada dalam sebuah mimpi buruk.
“Itulah yang membingungkan kami, Taihiap,” jawab Kepala Kota itu, “pada saat peristiwa itu, anakmu
sedang pergi bermain keluar rumah, akan tetapi, meski kami telah mencari di setiap tempat, namun tak
juga bertemu dengan Lili, entah ke mana ia pergi.”
Cin Hai mengangguk-angguk. “Hmm, jika orang sudah berani membunuh gakhu (mertua laki-laki), tentu ia
berani menculik anakku pula.”
Mendengar ini, bagai meledaklah rasa marah yang telah mendesak-desak dalam dada Lin Lin.
“Keparat jahanam! Siapa dia itu dan di mana dia? Biar kukeluarkan isi perutnya!” Sambil berkata demikian,
Lin Lin menggerakkan tangan kanannya dan…
“Srttt!” pedang Han-le-kiam yang pendek dan berkilau saking tajamnya itu telah dicabut keluar dari sarung
pedang.
Cin Hai memegang lengan isterinya. “Sabarlah, dan tenanglah.”
“Bagaimana aku bisa bersabar kalau mendengar ada anjing berkeliaran di kota ini dan berani mengganggu
Ayah serta Anakku? Mari, Hai-ko. Mari kita mencarinya sekarang juga! Hendak kulihat sampai bagaimana
lihainya sehingga anjing itu berani main-main dengan aku!”
Cin Hai membujuk isterinya dan menarik tangannya. “Lebih dahulu kita harus memberi hormat dan
menghaturkan maaf kepada gakhu karena kita telah meninggalkan dia. Kalau kita berada di sini, apakah
hal ini akan dapat terjadi?”
Mendengar ucapan ini, dengan gerakan perlahan Lin Lin menengok ke arah peti Yousuf, dan tiba-tiba saja
nyonya muda ini menjerit dan melemparkan pedangnya, lalu berlari ke depan peti mati Yousuf, lalu berlutut
memeluki peti itu sambil menangis tersedu-sedu.
“Ayah... Ayah, ampunkan anakmu yang tak berbakti ini...” Lin Lin menjambak rambutnya sendiri sehingga
menjadi awut-awutan! “Aku telah pergi meninggalkan Ayah... bersenang dan tertawa-tawa di jalan, tidak
tahunya Ayah mengalami nasib seperti ini...!” Kemudian ia bangun berdiri dan mengepal tinjunya,
memandang ke arah peti mati dengan air mata mengalir dan sepasang matanya yang dipentang lebar itu
pun penuh air mata.
“Ayah! Bagaimana kau sampai kalah oleh anjing itu? Mungkinkah kau yang gagah ini kalah olehnya? Ayah!
Katakanlah siapa orang itu, akan kucekik lehernya sekarang juga!” Akan tetapi ia teringat kembali bahwa
ayah angkatnya telah mati, maka ia lalu menubruk peti mati itu dan sambil menangis menjerit-jerit dia
berusaha membuka tutup peti yang telah dipaku.
Cin Hai tadi pun berlutut di belakangnya, dan ketika melihat perbuatan isterinya itu, dia cepat memegang
lengannya dan berkata perlahan,
“Lin Lin, kau hendak berbuat apakah?”
“Buka! Buka! Aku hendak melihat ayahku...!”
Orang-orang yang berada di sana tidak dapat menahan mengucurnya air mata melihat pemandangan yang
amat mengharukan ini, akan tetapi mereka kaget sekali mendengar nyonya itu hendak membuka peti! Juga
Kepala Kota merasa terkejut dan kuatir sekali, maka dia melangkah maju dan berkata mencegah,
“Taihiap, lihat! Jangan dibuka peti itu...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Tiba-tiba Lin Lin melompat berdiri dan memandang kepada Kepala Kota itu dengan mata bernyala! “Apa
katamu? Mengapa tidak boleh dibuka?”
Melihat wajah yang pucat seperti mayat dan mata yang bernyala marah itu, Kepala Kota melangkah
mundur dua tindak dengan terkejut dan ucapan yang telah di ujung lidahnya terpaksa dia telan kembali!
“Hayo buka!” Sekali lagi Lin Lin memekik.
“Kui-lopeh, biarlah. Buka saja tutup peti mati ini supaya kami dapat memandang wajah gakhu sekali lagi,”
kata Cin Hai perlahan sambil menahan jatuhnya air mata.
Kepala Kota she Kui itu hendak menjawab dan memberi keterangan, akan tetapi baru saja bibirnya
bergerak, Lin Lin yang sudah tak sabar lagi itu membentak lagi,
“Hayo buka sekarang juga! Kalau kalian tidak mau, biarlah aku sendiri yang membuka!” Sambil berkata
demikian, Lin Lin melangkah maju dan hendak membuka tutup peti itu dengan paksa.
Cin Hai merasa kuatir kalau-kalau peti itu akan menjadi rusak bila Lin Lin mengerahkan tenaganya, maka
ia segera memberi tanda sehingga Kepala Kota itu terpaksa menyuruh para penjaga untuk mengambil alat
dan tutup itu dibuka dengan tangan-tangan gemetar oleh empat orang.
Peti dibuka perlahan. Semua orang menahan napas, sedang di sana-sini terdengar isak tertahan. Begitu
peti itu terbuka dan Lin Lin bersama Cin Hai menjenguk ke dalam peti itu, keduanya langsung menjerit
seakan-akan dari dalam peti itu melayang ular-ular yang menggigit mereka.
“Ayah...!!” Dan jeritan yang mengerikan ini disusul dengan robohnya tubuh Lin Lin. Dia pingsan!
“Gakhu...!” Cin Hai juga memekik dan mukanya berubah menjadi pucat sekali.
Siapa orangnya yang tidak akan merasa ngeri serta hancur hatinya melihat ayah dan mertuanya mati
dalam keadaan demikian mengerikan, tanpa kepala! Akan tetapi, Cin Hai yang memiliki kekuatan batin luar
biasa itu, dapat menekan penderitaan hatinya, dan setelah memandang sekali lagi ke arah tubuh Yousuf
yang tak berkepala lagi itu, ia lalu menutup petinya dan menyuruh orang-memakunya kembali.
Ia kemudian mengangkat tubuh isterinya dan dipondong, dibawa masuk ke dalam rumah. Dia merasa
kasihan sekali kepada Lin Lin dan memaklumi sepenuhnya akan perasaan dan penderitaan batin isterinya
ini. Ayah Lin Lin yang asli, yaitu Kwee In Liang, tewas sekeluarganya terbunuh oleh orang, dan sekarang
ayah pungutnya juga tewas terbunuh, bahkan dalam keadaan yang amat mengerikan.
Setelah siuman kembali, Lin Lin menangis sedih, dihibur oleh Cin Hai. Akan tetapi betapa pun juga,
bencana besar yang menimpa keluarga Sie ini tidak mudah dihibur begitu saja, bahkan Pendekar Bodoh
sendiri yang biasanya berlaku tenang dan berbatin kuat, kali ini duduk bengong seakan-akan semangatnya
terbang melayang.
Peristiwa ini amat berat, tidak saja Yousuf telah terbunuh mati secara kejam sekali, akan tetapi juga anak
mereka yang tersayang, Hong Li, telah diculik oleh pembunuh jahat dan kejam itu! Sungguh pun tak ada
bukti yang nyata bahwa pembunuh itulah yang menculik Lili, akan tetapi siapa lagi kalau bukan pembunuh
itu yang berani melakukan perbuatan keji ini.
“Aku harus mencarinya! Aku harus mencari jahanam itu, harus membunuhnya!” kata Lin Lin berulang-ulang
sambil menangis!
“Tentu saja isteriku!” kata Cin Hai sambil memegang tangannya. “Akan tetapi kita harus berlaku tenang dan
mempergunakan pikiran jernih. Ada sesuatu yang menghibur hatiku yaitu karena Lili diculik orang, maka
tentu ia masih selamat. Jika penjahat itu bermaksud membunuh anak kita, tentu sudah ia lakukan di sini
seperti yang diperbuatnya terhadap gakhu, tak perlu susah-susah diculiknya lagi. Hanya sayangnya,
penjahat itu sama sekali tidak meninggalkan nama-nama yang jejak, sehingga sulitlah bagi kita untuk
mencarinya karena kita tidak tahu ke jurusan mana kita harus mencari!”
Terhibur juga hati Lin Lin mendengar ucapan ini, karena memang kata-kata suaminya itu beralasan. Kalau
penculik itu bermaksud membunuh Lili tentu tak perlu dibawanya pergi.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bagaimana pun juga, kita harus mencarinya!” katanya kemudian.
“Tentu saja, akan tetapi kita harus mengurus penguburan jenazah ayahmu dulu, dan kita harus melakukan
penyelidikan di sini, kalau-kalau ada orang yang dapat menceritakan terjadinya peristiwa itu lebih jelas
lagi!”
Penguburan kelima jenazah itu dilakukan dengan baik dalam suasana diliputi kesedihan. Sebagian besar
penduduk kota Shaning mengantar dan kota itu nampak dalam suasana berkabung.
Setelah selesai penguburan, Cin Hai lalu mencari keterangan ke sana kemari kalau-kalau ada yang dapat
menceritakan peristiwa itu lebih jelas lagi. Akan tetapi, orang-orang yang kebetulan lewat ketika peristiwa
maut itu terjadi, sudah melarikan diri karena ketakutan, dan mereka hanya dapat menceritakan bahwa yang
memegang golok berlumpur darah adalah seorang yang bermuka brewok dan kepalanya memakai ikat
kepala warna merah dan walau pun kulitnya kuning, akan tetapi potongan mukanya seperti orang asing
dan agaknya sebangsa dengan Yousuf, usianya kurang lebih empat puluh tahun.
“Bisa jadi orang itu adalah musuh dari gakhu,” kata Cin Hai sesudah memutar otaknya karena keteranganketerangan
itu amat sedikit, “mungkin sekali dia adalah seorang Turki. Ingatkah kau bahwa para pengikut
Pangeran Muda dari Turki terdiri dari orang jahat yang berkepandaian tinggi? Siapa tahu kalau-kalau orang
itu merupakan utusan dari Pangeran Muda yang merasa sakit hati terhadap gakhu.”
“Akan tetapi, mengapa dia menculik anak kita?” kata Lin Lin dengan hati sakit hati.
“Inilah yang harus kita selidiki. Sekarang tidak ada lain jalan bagi kita selain menyusul ke barat!”
“Ke Turki?” tanya Lin Lin memandang dengan mata terbelalak.
“Kalau perlu kita boleh menyusul ke sana. Akan tetapi, lebih baik kita mencari keterangan dan menyelidiki
ke daerah barat di mana terdapat banyak orang-orang Turki.”
“Ke daerah Kansu di barat?” tanya pula Lin Lin.
Pendekar Bodoh mengangguk. “Kau masih ingat betapa kita pernah pergi ke daerah itu dan betapa para
pengikut Pangeran Tua yang dipimpin oleh gakhu dan Suhu bertempur melawan pengikut-pengikut
Pangeran Muda?”
Lin Lin mengangguk dan tentu saja dia masih ingat akan pengalaman-pengalamannya yang ketika mereka
bersama kawan-kawan mereka yang lain mengembara ke barat ke daerah Kansu di mana mereka
mengalami peristiwa-peristiwa hebat (diceritakan dalam cerita Pendekar Bodoh).
Memang di daerah ini terdapat banyak sekali orang-orang Turki, maka apa bila hendak mencari keterangan
tentang pembunuh Yousuf yang disangkanya orang Turki itu, tidak ada lain tempat yang lebih tepat dan
baik selain daerah Kansu.
“Baiklah aku menurut saja. Pendeknya, jangankan ke Kansu atau ke Turki, biar mesti ke seberang lautan
sekali pun, aku harus dapat mencari jahanam itu!” kata Lin Lin.
“Dan kita sekalian mampir di Tiang-an, karena sudah setahun kita tidak bertemu dengan Kwee An,” kata
Cin Hai.
Demikianlah, sepasang pendekar yang sedang bersedih hati itu kemudian menyerahkan penjagaan rumah
mereka kepada para tetangga, lantas mereka berangkat menunggang kuda, mulai dengan usaha mereka
mencari pembunuh Yousuf dan mencari anak mereka yang terculik orang…..
********************
Marilah sekarang kita ikuti nasib Hong Li atau Lili yang dibawa pergi oleh Bouw Hun Ti. Sebenarnya putera
Balutin ini memiliki hati yang lebih kejam dan keji dari pada ayahnya. Tidak dibunuhnya Lili bukan sekalikali
timbul dari hati nuraninya, oleh karena manusia ini agaknya tidak memiliki pribudi sama sekali dan
hatinya sudah membeku terhadap segala macam kebajikan dan sudah tak mengenal peri kemanusiaan
lagi, seakan-akan ia adalah iblis bertubuh manusia!
dunia-kangouw.blogspot.com
Ia tidak membunuh Lili, pertama-tama untuk mendatangkan siksaan batin kepada orang tua anak itu,
kedua kalinya oleh karena ia suka melihat kemungilan dan kejelitaan Lili dan diam-diam ia mengandung
maksud yang amat busuk dan keji.
Dia hendak merawat anak perempuan itu karena dia dapat membayangkan bahwa paling banyak tujuh
delapan tahun kemudian, anak perempuan ini akan menjadi seorang gadis remaja yang luar biasa
cantiknya. Dan ia berniat mengambil anak ini sebagai isterinya apa bila anak itu telah besar kelak!
Sungguh sebuah niat yang amat busuk dan keji!
Bouw Hun Ti menuju ke tempat tinggal suhu-nya, yaitu Ban Sai Cinjin, seorang tua yang berwatak jauh
lebih rendah dari pada Bouw Hun Ti sendiri. Biar pun usianya telah lebih dari lima puluh tahun, akan tetapi
Ban Sai Cinjin terkenal pula sebagai seorang yang gila perempuan dan di dalam rumahnya, ia mempunyai
bini muda yang tidak kurang dari lima orang jumlahnya, masih muda-muda lagi cantik-cantik! Dia dapat
melakukan hal ini oleh karena selain amat berpengaruh dan ditakuti orang, juga dia terkenal kaya raya.
Gedungnya besar dan mewah. Jubah luarnya terbuat dari pada kapas halus serta tebal yang berharga
sangat mahal, ditambah pula dengan baju bulunya yang selalu menutup jubahnya. Juga tua bangka yang
tidak tahu diri ini memilih warna yang mencolok untuk pakaiannya, jika tidak merah, tentu biru dan lain-lain
warna yang membayangkan bahwa biar pun usianya telah tua, namun hatinya lebih muda dari pada
seorang teruna!
Ban Sai Cinjin bertempat tinggal di dusun Tong-si-bun di Propinsi Hupei yang berdekatan dan berada di
sebelah barat Propinsi An-hui. Oleh karena itu, sesudah keluar dari kota Shaning, Bouw Hun Ti langsung
menuju ke barat dan memasuki Propinsi Hupei.
Jalan yang ditempuhnya ini berlainan dengan jalan yang ditempuh oleh Cin Hai beserta isterinya, oleh
karena sepasang pendekar itu yang menuju ke Tiang-an tempat tinggal kakak Lin Lin yang bernama Kwee
An, melakukan perjalanan lurus ke utara.
Biar pun Bouw Hun Ti memiliki kuda yang baik dan melakukan perjalanan dengan cepat, akan tetapi oleh
karena jarak yang ditempuhnya memang jauh, maka tiga hari kemudian ia baru tiba di tapal batas Propinsi
Hupei. Ia merasa bingung dan juga gemas sekali oleh karena Lili yang berada dalam pengaruh totokannya
itu sama sekali tidak mau makan sehingga wajah anak itu pucat sekali serta tubuhnya lemas!
Apa bila berada dalam perjalanan, ia membebaskan anak itu dari totokan. Akan tetapi tiap kali memasuki
kampung atau kota, ia menotoknya kembali pada urat gagu anak itu agar jangan sampai berteriak minta
tolong.
Pada hari ketiga itu dia sampai di sebuah dusun yang cukup besar dan ramai. Dusun ini adalah dusun Sinseng-
chun dan adanya dua buah rumah penginapan serta tiga buah rumah makan besar itu cukup menjadi
bukti bahwa dusun itu cukup makmur dan banyak didatangi tamu dari luar!
Bouw Hun Ti menghentikan kudanya pada sebuah rumah makan yang terbaik, kemudian mengikat tali
kudanya pada patok-patok yang telah disediakan di pinggir rumah makan itu. Kemudian ia menuntun Lili
memasuki rumah makan.
Dia merasa gelisah bukan main dan merasa takut kalau-kalau anak perempuan ini akan menderita sakit
dan mati di tengah jalan. Oleh karena itu, kali ini ia hendak memaksanya makan! Ia memesan arak dan
masakan untuk diri sendiri dan minta semangkuk bubur untuk Lili.
Setelah pesanannya dihidangkan oleh pelayan rumah makan, dia lalu berkata kepada Lili dengan suara
halus agar tidak menimbulkan kecurigaan orang.
“Kau makanlah!”
Akan tetapi, seperti yang sudah dilakukannya selama dia diculik oleh Si Brewok itu, Lili menggelengkan
kepala sambil mengatupkan bibirnya. Bouw Hun Ti benar-benar merasa kewalahan dan diam-diam dia
merasa heran melihat kekerasan hati anak ini. Anak kecil baru berusia delapan tahun saja sudah berani
berlaku nekad dan mogok makan selama tiga hari, sama sekali tidak mau menurut perintahnya! Ia mulai
merasa ragu-ragu apakah kelak anak ini tidak hanya mendatangkan kepusingan dan kesukaran
kepadanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Makanlah!” katanya lagi dan kali ini kemendongkolannya membuat suaranya terdengar agak keras.
Pelayan melayaninya dengan pandang mata kasihan lalu bertanya,
“Tuan, apakah Nona kecil ini menderita sakit?”
Bouw Hun Ti memang sedang marah sekali sehingga pelayan itu menjadi terkejut dan melangkah mundur.
“Mau apa kau tanya-tanya? Pergi!” bentak Bouw Hun Ti yang sedang marah itu dan pelayan tadi segera
pergi dengan ketakutan seperti seekor anjing yang sedang diancam dengan cambuk.
“Mau makan atau tidak?” sekali lagi Bouw Hun Ti membentak Lili, akan tetapi Lili tetap menggeleng kepala.
Bukan main marahnya Bouw Hun Ti. Kalau saja di situ tidak banyak orang dan dia tidak ingin menimbulkan
onar, tentu dia telah memukul kepala anak ini biar mampus seketika itu juga! Ia lalu mendapat akal dan
tiba-tiba ia tersenyum menyeringai hingga mukanya nampak kejam sekali.
“Kau tidak mau makan, anak manis?” Sambil berkata demikian, dia lalu menepuk-nepuk punggung Lili,
akan tetapi sebenarnya, di luar tahunya semua orang, dia telah melakukan tiam-hoat (totokan) pada jalan
darah di punggung anak itu pula.
Lili merasa kesakitan yang luar biasa hebatnya menyerang seluruh tubuhnya, sehingga ia menggeliat-geliat
kesakitan seperti cacing terkena abu panas! Kalau saja urat gagunya tidak tertotok, tentu dia akan menjeritjerit
kesakitan. Akan tetapi, karena dia tidak dapat mengeluarkan suara, hanya air matanya saja mengucur
turun membasahi pipinya dan kulit mukanya sampai berkerut-kerut saking besarnya penderitaan nyeri yang
menyerang tubuhnya! Bibirnya digigit-gigit sampai berdarah! Bukan main besarnya penderitaan anak kecil
berusia delapan tahun itu.
“Bagaimana? Kau masih mau makan atau tidak?” tanya Bouw Hun Ti sambil tersenyum iblis.
Biar pun Lili masih anak-anak, akan tetapi ia adalah anak seorang pendekar besar, maka dia tahu apa
artinya rasa sakit yang menyerang dirinya dengan hebat itu. Karena dapat menduga bahwa penculiknya
adalah seorang yang berkepandaian tinggi dan tentu akan terus menyiksanya apa bila dia membangkang,
terpaksa dia menganggukkan kepalanya dan tangannya yang telah menggigil akibat kesakitan dan
kelaparan itu, lalu meraba-raba mangkuk.
“Anak baik, kau makanlah yang kenyang!” Bouw Hun Ti berkata sambil menepuk-nepuk punggung anak
itu.
Seketika itu juga lenyaplah rasa nyeri yang menyerang tubuh Lili tadi. Anak kecil mulai makan bubur dalam
mangkuk dan biar pun dia makan dengan otomatis tanpa menikmati rasa bubur itu, namun ia merasa
tubuhnya segar kembali, tidak lemas seperti tadi. Maka dihabiskanlah semangkuk bubur itu tanpa mau
memandang wajah penculiknya, karena ia maklum betapa penjahat itu memandangnya dengan mengejek.
Para tamu yang berada di situ sama sekali tidak tahu akan kekejaman ini dan mereka ikut merasa lega
melihat betapa ‘anak sakit’ itu makan dengan lahapnya.
“Nah, begitulah!” kata Bouw Hun Ti kepada Lili. “Dan mulai sekarang, kau harus menurut segala katakataku,
kalau tidak, tentu kau akan menderita sakit dan siapakah yang akan susah kalau terjadi demikian?”
Dalam pendengaran orang-orang lain, ucapan ini seperti ucapan seorang ayah memberi nasehat kepada
anaknya, akan tetapi dalam pendengaran Lili kata-kata itu merupakan ancaman bahwa kalau lain kali ia
tidak menurut, ia akan menderita siksaan seperti tadi!
Akan tetapi, orang salah menduga apa bila mengira bahwa di antara semua orang yang berada di tempat
itu tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi antara Si Brewok dan anak kecil itu!
Di sudut rumah makan itu, menghadapi meja seorang diri, duduk seorang lelaki berusia antara tiga puluh
lima tahun. Orang ini berwajah putih, dan gagah, berambut hitam dan bermata tajam. Kumisnya pendek
sedangkan jenggotnya hanya sekepal laksana jenggot kambing.
Yang aneh sekali adalah pakaiannya, karena pakaian yang dipakainya itu penuh dengan tambal-tambalan,
akan tetapi terbuat dari pada bahan yang sangat bersih! Bahkan kain berwarna putih yang dipergunakan
dunia-kangouw.blogspot.com
untuk menambal bajunya yang hitam itu pun demikian bersihnya seakan kain baru yang sengaja
ditambalkan di situ! Juga pengikat rambutnya yang terbuat dari pada sutera itu sama sekali tidak sesuai
dengan bajunya yang penuh tambal-tambalan seperti baju seorang pengemis!
Lama sebelum Bouw Hun Ti masuk, orang ini telah masuk dan duduk di dalam restoran, dan kelakuannya
sudah membuat semua orang terheran. Tadinya, pelayan yang melihat seorang berbaju tambal-tambalan
memasuki restoran, lalu menyambutnya dengan muka masam dan berkata dengan nada menghina,
“Tidak ada tempat untuk golongan pengemis di restoran ini!”
Orang yang berbaju tambal-tambalan itu tidak menjadi marah, hanya tersenyum sambil menjawab, “Yang
kau layani semua ini orangnya atau pakaiannya?”
“Apa maksudmu?” tanya pelayan yang sombong itu.
“Kau memandang orang dari keadaan pakaiannya, orang semacam kau ini benar-benar menyebalkan!”
“Aku tak peduli tentang pakaian, pendeknya kau punya uang atau tidak? Bagimu, semua pesanan
makanan harus dibayar dimuka!”
Sikap serta omongan pelayan ini memang benar-benar kurang ajar sekali. Akan tetapi orang itu masih
tetap tersenyum sabar, sungguh pun jawabannya menyatakan bahwa ia amat mendongkol.
“Berapa kau menjual kepalamu? Kiranya aku sanggup membayarnya!” Sambil berkata demikian, orang itu
merogoh sakunya dan ketika ia menarik kembali tangannya ternyata bahwa ia telah menggenggam
beberapa potong uang perak dan emas!
Tentu saja pelayan itu menjadi sangat malu dan juga tercengang ketika melihat seorang berpakaian
tambal-tambalan mempunyai uang perak sebanyak itu, bahkan memiliki uang emas pula. Tanpa dapat
berkata apa-apa lagi dia lalu mengundurkan diri dan lain orang pelayan lalu melayani orang berbaju
tambalan itu.
Sungguh amat baik nasibnya pelayan tadi, karena kalau sampai orang berbaju tambalan itu turun tangan,
entah apa yang akan terjadi dengan dirinya. Kalau saja dia tahu siapa adanya orang ini, tentu dia akan
menjadi ketakutan sekali, dan untungnya orang itu tidak menyebut namanya.
Orang berbaju tambalan itu adalah Lo Sian yang berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti) dan namanya telah
terkenal di segenap penjuru, karena di samping ilmu kepandaiannya amat tinggi juga Lo Sian terkenal
sebagai pendekar pembasmi kejahatan. Pendekar yang suka mengenakan pakaian tambal-tambalan ini
sebenarnya adalah salah seorang tokoh dari Thian-san-pai, yang sedang turun gunung berbareng dengan
seorang suheng-nya (kakak seperguruannya).
Kakak seperguruannya juga selalu mengenakan pakaian tambal-tambalan, bahkan jika pakaian Lo Sian
masih terpelihara bersih-bersih, adalah pakaian kakak seperguruannya itu amat buruk dan kotor, seperti
pakaian pengemis tulen. Suheng-nya ini bernama Nyo Tiang Le dan dijuluki Mo-kai (Pengemis Iblis)!
Julukan ini diberikan orang kepadanya oleh karena sepak terjangnya yang laksana iblis mengamuk apa
bila dia menghadapi orang-orang jahat. Di dalam memusuhi orang-orang jahat, Nyo Tiang Le memang
bertindak secara ganas dan tak kenal ampun, maka semua orang menjadi ngeri dan jeri melihatnya
sehingga dia diberi julukan Pengemis Iblis!
Secara kebetulan sekali Lo Sian si Pengemis Sakti lewat di dusun Sin-seng-chun dan makan di restoran itu
sehingga dia melihat Bouw Hun Ti masuk sambil menuntun tangan Lili. Lo Sian hanya memandang sambil
lalu saja, karena sungguh pun dia telah memiliki pengalaman yang luas dan mengenal hampir semua
orang gagah di kalangan kang-ouw, akan tetapi ia belum pernah melihat Bouw Hun Ti yang datang dari
Turki itu.
Akan tetapi ketika ia mendengar betapa Bouw Hun Ti beberapa kali membentak-bentak anak itu, dia
merasa heran dan memandang juga. Dia merasa heran mengapa anak itu tidak mau makan, sedangkan
mellhat wajahnya sepintas lalu saja tahulah ia bahwa anak itu sedang menderita lapar sekali. Diam-diam ia
pun merasa heran melihat wajah laki-laki yang seperti orang asing ini, maka diam-diam dia mulai menaruh
perhatian, sungguh pun dia hanya memandang dengan kerling matanya saja.
dunia-kangouw.blogspot.com
Alangkah terkejutnya hati Lo Sian ketika kemudian dia melihat betapa laki-laki brewok itu menepuk-nepuk
pundak anak perempuan itu kemudian tiba-tiba dia menotok jalan darah Koan-goan-hiat anak itu! Ia
merasa kaget bukan main karena totokan itu dapat membuat anak itu tewas seketika, atau setidaknya
mendatangkan rasa sakit yang hebatnya luar biasa!
Gilakah Si Brewok itu? Mengapa ada orang memperlakukan anak sendiri semacam itu? Lo Sian
memandang tajam dan hampir saja dia bertindak untuk memberi hajaran kepada orang kejam ini, kalau
saja pada saat itu Bouw Hun Ti tidak sudah melepaskan Lili dari pengaruh totokannya kembali.
Jelas kelihatan oleh Lo Sian betapa anak perempuan itu menahan sakit dan biar pun air mata anak itu
bercucuran, akan tetapi tidak sedikit pun suara isak keluar dari mulutnya. Ia berdebar deras karena kini ia
menduga bahwa anak perempuan ini tentu telah ditotok urat gagunya yang membuatnya sama sekali tidak
dapat mengeluarkan suara. Hatinya mulai menaruh curiga kepada orang brewok itu dan dia menduga
bahwa orang ini tentu seorang penculik anak kecil. Lo Sian mulai bersiap untuk menyelidiki perkara ini dan
jika perlu menolong anak itu.
Akan tetapi pada saat itu terjadilah hal lain yang cukup meributkan. Orang melihat betapa Bouw Hun Ti
tiba-tiba saja melemparkan daging yang sedang dikunyahnya ke atas lantai sambil menyumpah-nyumpah.
“Bangsat dan penipu belaka pemilik rumah makan ini!” Ia menyumpah-nyumpah sambil memegang
pipinya.
Sesungguhnya, tanpa disengaja, Bouw Hun Ti yang mempunyai penyakit gigi, kena gigit sepotong tulang
kecil yang bersembunyi di dalam daging sehingga sakitnya bukan main dan membuat matanya berkunang
dan kepalanya berdenyut-denyut serasa mau pecah. Siapa yang pernah menderita sakit gigi tentu akan
dapat membayangkan rasa sakit yang diderita oleh Bouw Hun Ti pada saat itu.
Penyakit ini memang paling jahat dan berbahaya karena membuat orang naik darah dan terutama sekali
Bouw Hun Ti yang berwatak buruk itu, tiba-tiba menjadi marah sekali. Ia lantas memegang mangkok
tempat masakan itu dan membantingnya ke lantai sehingga hancur berkeping-keping!
Pelayan yang tadi menghina Lo Sian adalah pelayan kepala dan dia memang terkenal beradat keras serta
sombong. Tadi dia sudah ‘kecele’ oleh Lo Sian sehingga sedikitnya kesombongannya tersinggung, maka
hal itu membuat dia merasa malu dan mendongkol. Kini naiklah darahnya melihat ada orang yang
membuat ribut. Dengan langkah lebar dia menghampiri lalu membentak,
“Orang kasar dari manakah yang berani mengacau di rumah makan kami? Mengapa kau memaki-maki dan
merusak barang kami? Kau harus mengganti harganya!”
Pelayan itu memang sedang sial dan ia benar-benar mencari penyakit sendiri. Bouw Hun Ti yang sedang
menderita sakit gigi dan sedang marah-marah itu seperti api yang mulai menyala, kini seakan-akan api itu
disiram pula dengan minyak hingga makin berkobar. Ia lalu bangkit berdiri dengan perlahan dan kedua
matanya seakan-akan hendak menelan bulat-bulat pelayan itu.
“Apa katamu tadi...?” katanya perlahan dengan muka merah. “Kau sudah menipu orang, menjual daging
liat dan tulang, masih tidak mau mengaku salah bahkan berani memaki aku?”
“Siapa bilang kami menjual daging liat dan tulang? Barang kali gigimu yang telah ompong sehingga tak
kuat mengunyah daging!” pelayan itu tidak mau kalah dan beberapa orang terdengar tertawa mendengar
ucapan ini.
Diam-diam Lo Sian memandang dengan penuh perhatian dan hati tertarik. Ia tahu bahwa pelayan itu terlalu
sombong dan akan mengalami celaka. Benar saja, tiba-tiba Bouw Hun Ti yang mendengar ucapan ini lalu
membungkuk dan mengambil sekerat daging yang tadi dilemparnya, kemudian sekali dia mengayun
tangan, daging itu melayang dan tepat menotok jalan darah di dadanya.
Pelayan itu segera menjerit keras, lantas roboh dan bergulingan sambil berteriak-teriak, “Aduh...! Mati
aku...! Aduh...! Aduh...!”
Gegerlah semua tamu dan pelayan yang ada di situ. Dua orang pelayan yang bertubuh tinggi besar
melangkah maju.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bangsat kurang ajar! Kau berani memukul orang?”
Dua orang pelayan itu juga mencari penyakit, pikir Lo Sian yang menonton keributan itu sambil tersenyum
simpul.
Akan tetapi dua orang pelayan yang hanya memiliki tenaga besar karena tiap hari dilatih mencacah bakso,
tidak dapat melihat bahwa Bouw Hun Ti memiliki ilmu kepandaian luar biasa. Karena itu, dengan kepalan
tangan mereka lalu menyerang hebat untuk memberi hajaran kepada Si Brewok itu. Akan tetapi, Bouw Hun
Ti sama sekali tidak pedulikan datangnya pukulan kedua orang itu, bahkan lalu maju menyambut dengan
kedua tangan terulur maju merupakan cengkeraman garuda.
“Bukk! Bukk!”
Dua pukulan itu tepat mengenai dada dan pundak Bouw Hun Ti, akan tetapi aneh sekali. Si Brewok itu
seakan-akan tidak merasa sama sekali, sebaliknya dua orang pelayan itu memekik kesakitan dan
memandang tangan mereka yang kini menjadi bengkak dan biru setelah memukul tubuh yang mereka
rasakan keras seperti besi itu!
Sementara itu, cengkeraman tangan Si Brewok sudah mencapai sasaran, yakni rambut kedua orang
pelayan itu. Ketika Bouw Hun Ti mengangkat kedua lengannya maka tubuh dua orang itu terangkat ke atas
dan Bouw Hun Ti lalu menggerakkan kedua tangannya, membenturkan kepala dua orang itu satu kepada
yang lain.
“Dukk!”
Ketika Bouw Hun Ti melepaskan tangannya, dua orang pelayan itu roboh dengan tubuh lemas dan pingsan
serta kepala mereka yang saling bertumbuk tadi pecah kulitnya dan mengeluarkan darah! Masih untung
bagi mereka bahwa Bouw Hun Ti tak menggunakan seluruh tenaganya, karena kalau Si Brewok mau, dua
butir kepala itu pasti akan menjadi pecah dan nyawa mereka berdua akan melayang!
Pada saat itu dari luar pintu terdengarlah bentakan keras dengan suara yang parau,
“Jago dari manakah memperlihatkan kegagahan di sini?” Bentakan ini disusul masuknya seorang laki-laki
berpakaian mewah dan bertubuh tinggi besar bermuka hitam.
Inilah Tiat-tauw-ciang (Si Kepala Besi) yang bernama Thio Seng, seorang yang terkenal sebagai jago di
dusun itu. Thio Seng tidak saja mempunyai kepandaian silat yang tinggi, akan tetapi dia juga terkenal
sebagai seorang yang kaya raya. Selain mempunyai banyak tanah, juga rumah makan itu adalah miliknya.
Pengaruhnya sangat besar dan agaknya pengaruhnya ini yang membuat para pelayannya berwatak
sombong.
Pada waktu terjadi pertempuran di rumah makan itu, kebetulan sekali Thio Seng sedang berada di luar
rumah makan, maka dia langsung mendengar dari para pelayan tentang mengamuknya seorang tamu.
Dengan marah dia lalu masuk ke dalam rumah makannya dan membentak Bouw Hun Ti.
Ketika melihat seorang tinggi besar bermuka hitam memasuki pintu rumah makan, Bouw Hun Ti yang
masih marah itu bertanya dengan suara kasar,
“Muka Hitam, siapakah kau dan mau apa?”
Thio Seng dapat menduga bahwa orang ini tentu memiliki ilmu silat, maka dia menjawab sambil
mengangkat dada,
“Akulah yang disebut Tiat-tauw-ciang Thio Seng dan pemilik rumah makan ini!” Dengan ucapan ini Thio
Seng menduga bahwa orang itu tentu sudah mendengar namanya dan akan minta maaf menyatakan tidak
tahu bahwa restoran itu miliknya.
Akan tetapi, selama hidupnya Bouw Hun Ti belum pernah mendengar nama ini, maka dia menjawab,
“Tidak peduli pemilik rumah ini bernama kepala besi atau pun kepala udang, orang telah melakukan
penipuan di dalam rumah makan ini! Daging keras dan busuk tapi dijual!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Marahlah Thio Seng mendengar ini. “Eh, kau sombong sekali, sobat! Siapakah kau yang tidak tahu aturan
ini?”
“Siapa adanya aku bukan urusanmu! Dan jangan kau menghadang di jalan, aku hendak pergi!” Sambil
berkata begini, Bouw Hun Ti memegang tangan Lili dan hendak menarik gadis cilik itu keluar dari sana.
Akan tetapi Thio Seng berdiri sambil bertolak pinggang dan berkata,
“Hemm, sabar dulu, sobat! Kalau kau tidak mengganti kerusakan ini dan memberi uang obat kepada
pelayan-pelayanku serta berlutut minta ampun kepada Tiat-tauw-ciang, kau jangan harap bisa keluar dari
sini!” Sambil berkata demikian, Thio Seng membuka jubah dan topinya, dan kini nampaklah kepalanya
yang licin tidak berambut di bagian muka dan tengah, mengkilap bagaikan digosok dengan minyak.
Inilah kepalanya yang sangat ditakuti orang, karena dengan kepala ini, Thio Seng pernah mengalahkan
banyak jago silat, bahkan pernah pula berdemonstrasi membentur dinding dengan kepalanya sehingga
dinding bata yang tebal itu menjadi pecah!
Mendengar ucapan orang she Thio itu, Bouw Hun Ti tidak dapat menahan marahnya lagi. Dia segera
melepaskan tangan Lili dan melangkah maju sambil menendang meja kursi yang berada di dekatnya untuk
mencari ruang yang lebih lebar.
“Kau mau melakukan kekerasan? Baik, agaknya kau ingin pula dihajar!”
“Rasakan pukulanku!” Thio Seng berseru dan mulai menyerang dengan pukulan tangan kanan.
Melihat gerakan yang keras dan cepat itu, Lo Sian yang masih duduk di sudut diam-diam memuji dan
maklum bahwa Si Muka Hitam yang kasar ini memiliki kepandalan yang tidak rendah.
Akan tetapi, dia merasa terkejut dan kagum ketika melihat gerakan Bouw Hun Ti. Ketika pukulan Thio Seng
itu telah menyambar dekat dengan dadanya, mendadak Bouw Hun Ti segera melembungkan dadanya
tanpa menangkis sedikit pun. Padahal melihat kerasnya pukulan, Lo Sian maklum bahwa hal itu amat
berbahaya.
“Bukkk!”
Terdengar suara keras saat pukulan itu tepat menghantam dada, akan tetapi aneh sekali. Bukan Bouw Hun
Ti yang roboh, bahkan tubuh Thio Seng yang terjengkang ke belakang seakan-akan dia baru saja
terdorong oleh tenaga amat besar!
Lo Sian terkejut benar-benar karena sesungguhnya tak pernah disangkanya orang yang brewok itu
memiliki lweekang yang demikian tingginya! Sungguh seorang yang memiliki kepandaian tinggi, lawan
yang amat tangguh, pikirnya.
Oleh karena itu, maka maksudnya hendak menolong anak perempuan itu dipikirnya lagi masak-masak. Dia
harus menggunakan siasat untuk menolong anak itu, karena dengan jalan kekerasan, belum tentu dia akan
dapat menangkan Si Brewok itu.
Sementara itu, Thio Seng yang barusan memukul, merasa terkejut dan marah karena dia merasa seakanakan
memukul karet. Biar pun tangannya tidak menjadi bengkak seperti tangan pelayannya ketika tadi
memukul Bouw Hun Ti, akan tetapi dia sudah terpental ke belakang oleh kehebatan tenaga lawan. Dia tahu
bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, maka Thio Seng lalu mengambil jalan
pendek dan nekat.
“Bangsat rendah, awas serangan balasanku!” serunya dan tubuhnya lantas membungkuk dengan kepala di
depan dan matanya melirik tajam bagaikan laku seekor kerbau jantan yang hendak menyerang.
“Hemm, majulah, hendak kurasakan betapa empuknya kepala tahumu!” kata Bouw Hun Ti sambil
memasang perutnya ke depan!
Pada saat itu Lo Sian sudah mendapatkan akal untuk bertindak. Dia tadi melihat betapa dengan
menggunakan sepotong daging Si Brewok itu dapat menyerang lawannya. Maka secara diam-diam dia lalu
mengambil sekerat daging yang agak keras, kemudian setelah membidik dengan hati-hati, dia lalu
dunia-kangouw.blogspot.com
menyambitkan daging itu ke arah leher Lili.
Anak ini sedang asyik menonton pertempuran dan selama tiga hari itu Lili tiada hentinya merasa heran
serta marah kenapa ayah dan ibunya, juga kakeknya, tidak mengejar dan memberi hajaran kepada
penculiknya ini!
Tadi ketika melihat para pelayan menyerang Bouw Hun Ti, ia mengharap agar Bouw Hun Ti akan kalah
dan binasa. Akan tetapi alangkah kecewanya ketika melihat bahwa para pelayan yang hanya pandai
berlagak itu dengan mudah dapat dirobohkan oleh Si Brewok yang amat dibencinya itu. Pengharapannya
menipis dan kemudian anak ini merasa putus asa, bahkan kini dia merasa menyesal kepada ayah ibu serta
kakeknya yang tidak juga muncul untuk menolongnya!
Ketika daging yang disambitkan oleh Lo Sian dengan tepat mengenai lehernya sehingga tiba-tiba dia
merasa betapa kekakuan leher dan lidahnya lenyap, yang dapat dia serukan hanya jeritan, “Ayah... Ibu...
tolong...!”
Pada saat itu, Bouw Hun Ti tengah menghadapi Thio Seng yang hendak menyerangnya dengan kepala.
Bukan main kagetnya mendengar suara Lili karena dia tahu betul bahwa anak itu sudah ditotok jalan
darahnya. Dengan heran Bouw Hun Ti menengok dan pada saat itu pula, Thio Seng sudah menyeruduk
maju, menyerang perut Bouw Hun Ti dengan kepalanya yang botak licin!
Tadinya Bouw Hun Ti tidak bermaksud membunuh pemilik rumah makan ini dan hanya hendak
mempermainkannya. Akan tetapi oleh karena pada saat itu ia sedang menengok sehingga keadaannya
amat berbahaya, ketika ia merasa betapa angin serudukan kepala dari Si Muka Hitam itu sedemikian
kuatnya dan tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindarkan diri, ia lalu mengerahkan sinkangnya
dan...
“Ceppp!”
Kepala Thio Seng menancap pada perutnya laksana anak panah menancap pada batang pohon! Memang
betul-betul luar biasa karena kini tubuh Thio Seng menjadi kaku, kepala menancap di perut Bouw Hun Ti
dan kakinya terangkat lurus ke belakang!
Dengan sinkang-nya yang benar-benar luar biasa sekali Bouw Hun Ti sudah menyedot perutnya sehingga
rongga perutnya menjadi kosong, lantas pada waktu kepala lawannya menyeruduk perutnya dia segera
menggunakan tenaga lweekang untuk menggencet dan menolak tenaga serudukan itu!
Ketika Bouw Hun Ti melembungkan perutnya lagi, tubuh Thio Seng terlempar dan roboh dalam keadaan
tidak bernyawa lagi! Ternyata bahwa penolakan tenaga dari perut Bouw Hun Ti sudah membuat tenaga
serudukan Thio Seng balik menyerang kepalanya sendiri sehingga dia mendapat luka di dalam kepala dan
tewas pada saat itu juga!
Melihat hal yang mengerikan ini, segera ributlah keadaan di situ. Dan ketika Bouw Hun Ti menengok untuk
membawa pergi Lili, dia melihat anak itu sudah dipondong oleh seorang laki-laki berpakaian tambaltambalan!
“Lepaskan anak itu!” seru Bouw Hun Ti dan tangannya diulur ke depan sedangkan kedua kakinya
melompat dalam serbuan itu.
Lo Sian melihat tangan Si Brewok menyambar ke jalan darah Tai-twi-hiat, maka dia cepat mengangkat
tangan kirinya menangkis. Dua tangan orang-orang yang berilmu tinggi dan ahli lweekeh bertemu dengan
keras dan Lo Sian terpental ke belakang! Untung ia berlaku waspada dan hanya terhuyung-huyung saja
tidak sampai roboh, sedangkan Bouw Hun Ti juga melangkah mundur dua langkah.
Bukan main marahnya Bouw Hun Ti, dan berbareng dia juga merasa terkejut karena tak pernah
disangkanya di tempat itu ia akan bertemu dengan seorang yang memiliki tenaga lweekang demikian
tingginya.
“Bangsat rendah kau ingin mampus!”
Dan dia lalu bergerak maju kembali untuk melakukan serangan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi, para pelayan bersama beberapa orang kaki tangan Thio Seng yang melihat betapa Thio Seng
telah terbunuh oleh orang brewok itu menjadi marah dan kini serentak maju menyerang dengan senjata di
tangan. Hal ini membuat Bouw Hun Ti terpaksa harus menunda niatnya menyerang Lo Sian, dan
sebaliknya dia segera memutar tubuhnya dan menghadapi para penyerangnya.
Bukan main ributnya pertempuran itu, karena biar pun Bouw Hun Ti tidak menggunakan senjata, akan
tetapi begitu tubuhnya bergerak, pedang dan golok beterbangan dan tubuh para pengeroyoknya jatuh
tumpang tindih dan malang melintang! Jangan kata sampai kena pukulan dan tendangan Bouw Hun Ti,
baru keserempet sedikit saja sudah membuat para pengeroyok itu bergulingan jatuh tak dapat bangun
pula!
Tentu saja kehebatan sepak terjang Si Brewok ini membuat pengeroyok lainnya menjadi terkejut dan
gentar hingga mereka merasa ragu-ragu untuk maju menyerang. Bouw Hun Ti cepat menengok, akan
tetapi dia tidak melihat lagi pengemis berbaju tambalan yang tadi memondong Lili.
“Kau hendak lari ke mana?!” dia berseru keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang melewati kepala
para pengeroyoknya yang berdiri melongo di depan pintu!
Bouw Hun Ti melompat naik ke atas genteng memandang ke kanan kiri, akan tetapi tetap saja dia tidak
melihat adanya orang yang sudah merampas anak itu. Bukan main marah dan mendongkol hatinya, tapi
kepada siapakah dia harus melampiaskan rasa marahnya? Dia melompat turun lagi dan ketika dia melihat
salah seorang di antara para pelayan itu memegang tali kudanya, dia cepat menyambar dengan
tendangannya.
Pelayan yang bermaksud menahan kudanya itu menjerit ngeri dan tubuhnya terlempar jauh, jatuh di atas
tanah dalam keadaan tidak bernyawa pula! Untuk melampiaskan rasa kedongkolan hatinya karena Lili
dirampas orang, Bouw Hun Ti telah membunuh seorang lagi!
Ia lalu melompat ke atas kudanya dan melarikan kudanya cepat-cepat menuju ke barat, dengan harapan
kalau-kalau dia akan dapat menyusul orang yang membawa lari anak kecil tawanannya itu. Akan tetapi dia
tidak tahu bahwa Lo Sian, Si Pengemis Sakti itu, tidak membawa lari Lili ke barat, melainkan ke selatan!
Lo Sian lalu membawa Lili bersembunyi ke dalam sebuah kelenteng tua yang terdapat di sebelah selatan
dusun itu. Ia menurunkan Lili yang semenjak tadi meronta-ronta dalam pondongannya dan ketika
diturunkan, Lili langsung melompat dan menyerangnya dengan pukulan kedua tangannya!
Lo Sian berseru terheran-heran. Bukan saja dia merasa heran mengapa anak ini begitu dilepaskan lalu
tiba-tiba menyerangnya dengan marah, akan tetapi ia juga merasa heran melihat bahwa gerakan serangan
anak kecil ini sangat indah dan baik sekali, merupakan tipu pukulan dari ilmu silat yang bermutu tinggi!
Ia mengelak cepat dan berkata, “Eh, ehh, anak baik, mengapa kau menyerang aku?”
Akan tetapi, tanpa berkata sesuatu apa pun, Lili terus menyerangnya dengan membabi buta,
menggerakkan kedua tangan, bahkan mengirim tendangan dengan kakinya! Dalam keheranannya, Lo Sian
menjadi gembira dan ingin melihat sampai di mana kepandaian anak ini dan ilmu silatnya dari cabang
mana, maka dia tetap mengelak ke sana ke mari dengan cepatnya.
Makin lama makin terheranlah dia pada saat mendapat kenyataan bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh
Lili untuk menyerangnya, benar-benar merupakan ilmu pukulan yang luar biasa sekali gerak-geriknya dan
yang sama sekali belum pernah dilihatnya! Dia paham dengan ilmu silat cabang-cabang besar seperti
Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai, Gobi-pai dan lain-lainnya, akan tetapi ilmu silat anak kecil ini benar-benar
belum pernah dilihatnya dan yang harus diakui amat hebat! Kalau ia tidak memiliki gerakan yang cepat,
tentu ia telah kena terpukul, sungguh pun pukulan anak itu tentu saja tak akan mendatangkan bahaya apa
pun terhadap tubuhnya.
Dia lalu mengulur tangan dan menangkap pergelangan tangan Lili, lalu merangkul anak itu.
“Anak yang baik, dengarlah. Aku bukan orang jahat!”
“Kau juga penculik!” tiba-tiba Lili berseru keras dan sepasang mata yang indah bening itu memandang
tajam dan marah, bibirnya dikatupkan keras-keras.
dunia-kangouw.blogspot.com
Makin tertariklah hati Lo Sian melihat anak ini. Dia dapat menduga bahwa anak ini tentu bukan anak
sembarangan, dan ia kagum sekali menyaksikan keberanian dan kekerasan hati anak ini.
“Bukan, bukan, anakku! Mungkin kau masih dipengaruhi oleh Si Brewok yang kejam tadi! Dia memang
orang jahat dan aku menolongmu dan merampasmu dari tangannya!”
Lili memang cerdik dan setelah kini terbuka matanya dan tahu pula bahwa orang berbaju tambalan ini
selain mempunyai wajah yang sabar dan baik juga kata-katanya tak sekasar dan seganas Si Brewok tadi,
maka tiba-tiba saja dia menangis tersedu-sedu!
Lo Sian menarik napas panjang dan mengelus-elus kepala anak itu.
“Kasihan, anak yang baik. Kau siapakah dan anak siapa serta bagaimana pula sampai terjatuh ke dalam
tangan penculik jahat itu?”
Lili masih merasa gemas kepada ayah ibunya yang sampai saat itu belum juga datang menyusul dan
menolongnya. Karena ia masih kecil, maka ia tidak dapat berpikir jauh dan tidak tahu bahwa kedua orang
tuanya tidak mungkin dapat menyusulnya dengan mudah karena tidak tahu ke mana ia dibawa pergi. Yang
ia ketahui hanyalah ayah ibunya belum muncul dan dalam anggapannya, ayah ibunya itu seolah-olah
membiarkan saja ia dibawa pergi oleh penculik jahat tadi!
Penderitaan-penderitaan yang dia alami selama tiga hari itu memang benar-benar hebat. Seorang anak
kecil seperti dia, baru berusia delapan tahun, sudah dibawa lari seorang kejam seperti Bouw Hun Ti, lalu
mengalami kekagetan, kelaparan, bahkan selalu berada dalam pengaruh totokan yang membuatnya gagu,
dan tadi malah dia telah ditotok hingga merasakan kesakitan yang luar biasa.
Tentu saja dia merasa marah dan sakit hati mengapa ayah ibunya membiarkan saja dia menderita sehebat
itu! Sekarang dia telah tertolong oleh seorang lain, tentu saja segala simpatinya tercurah kepada orang ini
dan ada waktu dia melihat orang itu mengelus-elus kepalanya dan memandangnya penuh rasa terharu dan
sayang, tiba-tiba dia memeluk Lo Sian dan menangis di atas dada pengemis sakti itu!
“Anakku sayang, sudahlah jangan menangis. Si jahat itu telah pergi dan kau tidak akan tersiksa lagi.
Percayalah, dengan adanya aku di sini, tidak akan ada orang yang berani mengganggumu. Aku bernama
Lo Sian dan kau boleh menyebutku Lo-pekhu. Siapakah namamu?” Lo Sian mengulang pertanyaannya.
Di dalam pelukan Lo Sian, Lili teringat kepada kakeknya, karena di samping ayah ibunya, orang yang
mengasihinya hanyalah kakeknya itulah, karena ini ia seakan-akan mendapat pengganti kakeknya dalam
diri Lo Sian ini.
“Namaku Lili,” jawabnya tanpa mengangkat muka dari dada Pengemis Sakti itu.
“Nama yang bagus!” kata Lo Sian. “Dan siapa Ayah Ibumu?”
Mendadak Lili mengerutkan alisnya dan dia memandang dengan marah kepada Lo Sian. Bibirnya yang
manis itu cemberut, sedangkan matanya yang masih basah oleh air mata itu menyinarkan cahaya tajam
yang membuat Lo Sian memandang makin kagum saja.
“Ayah ibuku tidak mau menolongku! Jangan kau tanyakan nama mereka!” Ia benar-benar marah dan
mengepal tinjunya!
Lo Sian tersenyum. Alangkah pemarah dan galaknya anak ini, pikirnya. Akan tetapi, di dalam
kemarahannya, anak ini benar-benar kelihatan gagah dan bersemangat. Tentu dia anak seorang pendekar,
pikirnya.
“Baiklah, kalau kau tidak mau memberitahukan nama Ayah Ibumu, sedikitnya kau mau memberitahukan
she-mu dan di mana pula kau tinggal.”
Lili tahu bahwa ayahnya bernama Sie Cin Hai dan ibunya bernama Kwee Lin, akan tetapi karena tadi dia
sudah berkata tak hendak memberitahukan nama ayah ibunya, maka dia pun tidak mau memakai she
(nama keturunan) mereka. Ia teringat akan nama kakeknya, maka ia menjawab,
“Aku she Yo dan di mana tempatku, aku tidak mau bilang karena aku tidak mau pulang!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Eh, ehh, kenapa tidak mau pulang? Ayah ibumu tentu akan mencari-carimu. Katakanlah di mana tempat
tinggalmu agar aku dapat mengantar kau pulang ke rumah orang tuamu,” kata Lo Sian membujuk.
“Tidak, tidak! Aku tidak mau pulang! Ayah dan Ibu tidak mau menolong dan mencariku, untuk apa aku
pulang? Lopek, aku mau ikut kau saja!”
Lo Sian tersenyum. “Maukah kau menceritakan bagaimana kau sampai terjatuh ke dalam tangan penculik
kejam tadi?”
“Dia datang dan mengejarku ketika aku sedang bermain-main di luar rumah, di kampung lain. Aku tidak
tahu mengapa ia membenci dan menculik aku!”
Lo Sian menjadi makin bingung. Anak ini tidak mau memberitahukan siapa orang tuanya dan di mana
rumahnya, bahkan tidak mau pulang. Malah pancingannya untuk mendapat keterangan secara jelas
ternyata gagal, dan mengapa Si Brewok tadi menculik anak ini pun masih merupakan teka-teki baginya.
Yang dapat memberi keterangan hanyalah Si Brewok tadi. Akan tetapi ia maklum bahwa Si Brewok itu
adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Dia sendiri belum tentu akan dapat mengalahkannya,
karena dari peraduan lengan tangan mereka tadi saja dia segera maklum bahwa tenaga lweekang orang
itu masih lebih tinggi setingkat dari pada tenaganya sendiri!
“Anak yang baik, ilmu silatmu baik sekali. Dari siapakah kau belajar ilmu silat itu? Siapa yang melatihmu?”
“Yang mengajarku Ayah, Ibu, dan juga Kakekku!”
Terkejutlah Lo Sian mendengar ini. Dugaannya tidak salah. Anak ini datang dari keluarga pendekar. Tidak
saja ayahnya yang dapat silat, bahkan ibu dan kakeknya agaknya juga orang-orang berkepandaian tinggi.
“Siapakah nama kakekmu, Lili?”
“Kakekku she Yo, namanya aku tidak tahu.”
Lo Sian mengangguk-angguk dan menduga bahwa kakek she Yo itu tentulah ayah dari bapak anak ini,
kalau tidak demikian tentu anak ini tidak ber-she Yo pula.
“Di antara ketiga orang tua itu, siapakah yang terlihai ilmu silatnya?”
Dasar anak-anak, biar pun ia sedang marah kepada orang tuanya, akan tetapi tentu saja dia paling suka
membanggakan kepandaian mereka, oleh karena itu tanpa ragu-ragu lagi dia menjawab,
“Tentu saja Ayahku! Ke dua Ibu, dan ke tiga Kakek.”
“Kalau misalnya Ayahmu bisa menyusulmu, apa kau kira Ayahmu akan mampu menang melawan penculik
tadi?”
Tiba-tiba saja Lili tertawa geli dan suara ketawanya demikian nyaring sehingga Lo Sian kembali melongo.
Anak ini benar-benar aneh, begitu tiba-tiba dapat tertawa lagi seriang itu. Ia tidak tahu bahwa anak ini
memang mempunyai sifat seperti ibunya, bahkan suara ketawanya juga merdu dan nyaring seperti suara
ketawa ibunya.
“Tak usah Ayah sendiri maju, menghadapi Kakekku saja, dalam tiga jurus pasti dia akan dapat
dirobohkan!”
Lo Sian tentu saja tak mau mempercayai omongan anak itu yang dianggapnya membual belaka. Akan
tetapi menilik dari ilmu silat yang tadi dimainkan oleh Lili, ia percaya bahwa keluarga anak kecil ini tentu
memiliki ilmu silat yang tinggi.
Maka, sambil mencari-cari orang tua serta tempat tinggal anak ini, untuk sementara dia hendak membawa
anak ini bersama dia, membawanya merantau dan melatih silat, oleh karena dia memang belum
mempunyai murid dan anak ini tak akan mengecewakan apa bila menjadi muridnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Baiklah, Lili, kau boleh ikut padaku, dan maukah kau belajar silat padaku dan menjadi muridku?”
Dengan muka girang Lili lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil berkata, “Tentu saja suka,
Suhu (Guru)!”
Demikianlah, mulai hari itu juga, Lili menjadi murid Lo Sian dan ikut Pengemis Sakti ini merantau. Biar pun
beberapa kali Lo Sian membujuknya, akan tetapi dia tetap tidak mau memberi tahukan nama orang tuanya
atau tempat tinggalnya hingga Lo Sian melakukan perjalanan sambil mencari-cari secara diam-diam,
karena sesungguhnya dia ingin sekali mempertemukan anak ini dengan kedua orang tuanya kembali.
********************
Di kota Tiang-an, kota di sebelah kota raja terdapat sebuah rumah gedung kuno yang besar. Rumah ini
dikenal sebagai tempat tinggal keluarga Kwee, yang dahulu ditinggali oleh Kwee-ciangkun (Perwira Kwee),
seorang pembesar millter yang gagah perkasa.
Akan tetapi, kini rumah itu ditinggali oleh seorang putera dari mendiang Kwee-ciangkun yang bernama
Kwee An. Bagi para pembaca yang pernah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu tahu bahwa Kwee An
ini adalah kakak dari Kwee Lin atau Lin Lin yang menjadi nyonya Sie Cin Hai.
Kwee An memiliki ilmu silat yang tinggi, karena orang muda ini adalah murid tersayang dari jago tua Eng
Yang Cu, seorang tosu tokoh dari Kim-san-pai yang termasyhur. Selain mendapat gemblengan ilmu silat
dari tokoh Kim-san-pai ini, Kwee An pernah menerima pelajaran ilmu silat yang tinggi dari Kong Hwat Lojin
si Nelayan Cengeng, bahkan pernah pula menerima gemblengan ilmu silat yang ganas dan aneh dari
seorang penjahat besar yang bernama Hek Moko. Oleh karena itu, ilmu silat Kwee An amat tinggi dan
namanya pun amat terkenal di kalangan kang-ouw.
Isteri dari Kwee An juga seorang puteri dari seorang pembesar kerajaan, dan isterinya ini bernama Ma
Hoa, seorang wanita yang cantik manis. Dalam hal kepandaian ilmu silat, Ma Hoa ini tidak berada di
sebelah bawah suaminya, karena selain mendapat pelajaran ilmu silat dari suhu-nya yang juga dianggap
sebagai ayah angkat sendiri, yaitu Nelayan Cengeng, juga Ma Hoa pernah menerima pelajaran Ilmu Silat
Bambu Runcing yang amat luar biasa dari Hok Peng Taisu, orang ajaib yang dianggap menjadi tokoh
nomor satu dari daerah timur!
Saudara kandung dari Kwee An yang masih ada hanyalah Lin Lin yang kini tinggal bersama suaminya di
Propinsi An-hui dan seorang kakak yang bernama Kwee Tiong dan yang kini hidup sebagai seorang
hwesio di Kelenteng Ban Hok Tong, sebuah kelenteng kuno di luar tembok kota Tiang-an di sebelah barat.
Kwee An hanya mempunyai seorang anak perempuan yang pada waktu itu telah berusia sembilan tahun.
Anak ini diberi nama Kwee Goat Lan yang berarti Anggrek Bulan. Goat berarti bulan dan Lan berarti bunga
anggrek. Nama ini diberikan kepada anak itu oleh karena ketika mengandung, Ma Hoa bermimpi melihat
bunga anggrek pada waktu terang bulan!
Dalam usia sembilan tahun, telah kelihatan bahwa kelak Goat Lan akan menjadi seorang gadis yang amat
manis dan jenaka. Sebagai seorang anak tunggal, Goat Lan dimanja sekali oleh kedua orang tuanya, maka
dia menjadi nakal sekali.
Semenjak kecil dia telah mendapat latihan dasar-dasar ilmu silat tinggi dari kedua orang tuanya, bahkan ia
telah dapat mainkan sepasang bambu runcing seperti ibunya, sungguh pun permainannya baru merupakan
ilmu silat kembangan belaka. Akan tetapi, anak ini memiliki dasar-dasar yang amat luar biasa dalam hal
ilmu ginkang (meringankan tubuh) sehingga dalam usia sembilan tahun dia telah dapat melompat tinggi
dan sering kali dia berlari di atas genteng atau melompat naik ke cabang pohon-pohon tinggi!
Yang mengherankan adalah kesukaannya akan ilmu kesusastraan, sehingga sering kali dua orang tuanya
saling pandang dengan heran karena baik Kwee An mau pun Ma Hoa kurang suka mempelajari ilmu
menulis dan membaca. Mengapakah anak tunggal mereka begitu tekun dan rajin mempelajari ilmu
sastera?
“Agaknya ia telah mendapat warisan dari Cin Hai yang juga menjadi seorang kutu buku!” pernah Kwee An
berkata secara berkelakar kepada isterinya.
“Tidak mungkin!” bantah Ma Hoa. “Kita jarang bertemu dengan Cin Hai, bahkan anak kita hampir tak
dunia-kangouw.blogspot.com
mengenalnya. Kurasa ia mewarisi kesukaan ini dari kakeknya sebab mendiang ayahku memang suka
sekali akan kesusastraan.”
Memang anak itu sangat suka membaca buku-buku kesusastraan kuno serta sajak-sajak baru, dan selain
itu ia pun amat suka melukis. Maka tidak heran apa bila Goat Lan suka sekali pergi ke Kelenteng Ban-hoktong
mengunjungi pekhu-nya, oleh karena Kwee Tiong memang semenjak menjadi hwesio, kesukaannya
tiada lain hanya membaca kitab-kitab dan memperdalam pengetahuannya dalam hal kesusastraan.
Dari Kwee Tiong dia mendapat tambahan pengetahuan yang tak sedikit, dan tiap kali dia datang ke kuil itu,
selalu pekhu-nya itu pandai sekali mendongengkan sejarah kuno atau mengajarnya sajak-sajak baru yang
amat indah.
Kwee An maklum bahwa kakaknya yang telah menjadi hwesio itu amat sayang kepada Goat Lan, dan di
dalam hatinya, Kwee An merasa kasihan kepada kakaknya, maka untuk menghibur hati Kwee Tiong, dia
membiarkan saja anaknya sering mengunjungi pekhu-nya itu, bahkan tidak jarang Goat Lan bermalam di
kelenteng itu.
Dahulu Kelenteng Ban-hok-tong yang besar dan kuno ini tidak banyak penghuninya dan ditinggalkan
terlantar. Tapi semenjak diketuai oleh Tong Kak Hosiang yang menjadi guru Kwee Tiong dalam pelajaran
Agama Buddha, maka banyak sekali murid-muridnya yang menjadi hwesio.
Ketika Tong Kak Hosiang meninggal dunia dan kedudukan ketua diserahkan pada Kwee Tiong, maka Banhok-
tong telah mempunyai penghuni yang sangat banyak. Tidak kurang dari dua puluh lima orang hwesio
tinggal di kelenteng itu di bawah pimpinan Kwee Tiong yang kini menjadi penganut Agama Buddha yang
amat setia.
Sesudah menjadi ketua kelenteng, namanya yang tadinya diubah oleh suhu-nya menjadi Tiong Yu Hwesio
itu, kini kembali diubah menjadi Thian Tiong Hosiang. Dengan bantuan Kwee An, Thian Tiong Hosiang
memperbaiki bangunan Kelenteng Ban-hok-tong dan di bawah bimbingannya, perkembangan Agama
Buddha di daerah Tiang-an makin meluas.
Semua hwesio yang berada di kelenteng itu, tua muda, sangat suka dan sayang kepada Goat Lan yang
mungil dan cerdik, dan di antara mereka ini, banyak terdapat orang-orang yang mempunyai ilmu
kesusastraan tinggi. Maka, di bawah petunjuk-petunjuk mereka itu, pengetahuan Goat Lan makin maju
saja.
Selain kesusastraan dan melukis, Goat Lan ternyata mempunyai kecerdikan luar biasa dalam hal
permainan catur. Seorang hwesio ahli catur di kelenteng itu yang mengajarkan dia bermain catur, sekarang
bahkan merasa sangat sukar untuk menjatuhkan muridnya yang baru berusia sembilan tahun ini!
Pada suatu hari, Goat Lan seperti biasa bermain-main di dalam Kelenteng Ban-hok-tong. Ketika dia
seorang diri memasuki halaman kelenteng, dia disambut oleh seorang hwesio pembersih halaman yang
segera berkata,
“Kwee-siocia, baik sekali sekarang kau datang! Siang tadi datang dua orang tamu aneh di kelenteng kita,
dan semenjak tadi mereka berdua bermain catur tiada hentinya!”
Goat Lan memang paling suka menonton orang bermain catur, maka ia segera bertanya,
“Thian Seng Suhu, siapakah mereka dan dari mana datangnya?”
“Entahlah, mereka memang aneh seperti yang telah pinceng katakan tadi. Kalau ditanya nama dan tempat
tinggal mereka, keduanya hanya tertawa-tawa saja. Begitu memasuki kelenteng, mereka terus saja
bertanya apakah di kelenteng ini ada alat bermain catur, kemudian dari siang tadi sampai senja mereka
tidak pernah berhenti main. Aneh, aneh! Akan tetapi Losuhu memesan agar supaya kami jangan
mengganggu mereka karena betapa pun juga, tamu-tamu tidak boleh diganggu dan harus dihormati.”
“Aku mau nonton mereka bertanding catur!” kata Goat Lan.
“Akan tetapi Siocia...”
“Ah, Pekhu tidak akan marah kepadaku!” Goat Lan memotong. “Lagi pula, aku pun tidak hendak
dunia-kangouw.blogspot.com
mengganggu mereka, hanya menonton saja, apakah salahnya?”
Sambil berkata demikian, Goat Lan lalu berlari-lari memasuki ruang tamu yang berada di sebelah kiri. Baru
saja tiba di luar ruangan itu, dia telah mencium bau arak yang sangat wangi dan suara parau seorang
berkata,
“Tianglo, kudamu sudah terjebak! Ha-ha-ha!” Kemudian suara ini tertawa terbahak-bahak menyatakan
kegirangan hati yang luar biasa sekali seperti seorang anak-anak menang dalam sebuah permainan.
“Hemm, jangan bergirang-girang dulu, Im-yang Giok-cu, biar kukorbankan kuda kurus ini, mendapat ganti
seorang prajuritmu pun lumayan juga!” Terdengar suara lain yang tinggi kecil.
Goat Lan tidak sabar lagi dan cepat memasuki ruangan itu. Ia melihat dua orang sedang duduk bersila
menghadapi papan catur dan keadaan mereka memang aneh, tepat benar seperti penuturan Thian Seng
Hwesio tadi.
Orang pertama adalah seorang kakek gundul bertubuh gemuk tinggi bermuka merah, di dekatnya terletak
sebuah keranjang kecil berwarna hitam. Melihat bentuk keranjang yang ada gantungannya ini, Goat Lan
pun maklum bahwa inilah sebuah keranjang yang biasa dipergunakan oleh para hwesio untuk mencari dan
mengumpulkan daun-daun obat, dan di samping keranjang obat ini, nampak juga sebuah pisau pemotong
daun dan akar yang bentuknya panjang dan tipis.
Orang ke dua juga aneh, tubuhnya kecil pendek dan pakaiannya menunjukkan bahwa dia seorang
penganut Agama Tao. Seperti orang pertama, kakek ini pun usianya kurang lebih lima puluh tahun. Sambil
menghadapi papan catur, tiada hentinya tosu ini minum arak dari sebuah ciu-ouw (tempat arak) yang
bentuknya seperti buah labu, akan tetapi guci arak ini terbuat dari logam yang kekuning-kuningan seperti
emas. Dari sinilah bau arak wangi tadi tersiar.
Melihat bentuk tubuh orang-orang ini, Goat Lan menduga bahwa yang suaranya kecil tentu Si Tosu Pendek
ini. Akan tetapi dia salah duga dan menjadi terheran dan juga geli ketika mendengar hwesio tinggi besar itu
bicara dengan suara yang amat kecil dan tinggi.
“Im-yang Giok-cu, kalau kau tidak mengurangi kesukaanmu minum arak, tentu kelak kau akan menderita
penyakit dalam perutmu.”
Tosu itu tertawa dan menjawab dengan suaranva yang parau.
“Sin-kong Tianglo, kau boleh memberi nasehat kepada pemabok-pemabok yang lemah, akan tetapi apa
bila kau memberi nasehat tentang minum arak kepadaku, sungguh lucu!” Kembali dia tertawa.
“Aku tahu bahwa kau berjuluk Ciu-cin-mo (Iblis Arak), akan tetapi bagaimana pun juga, kau hanyalah
seorang manusia biasa dengan perut biasa pula. Memang agaknya kau tak menghendaki usia panjang.”
Mendengar percakapan serta melihat sikap mereka, agaknya permainan catur itu sudah mempengaruhi
mereka sehingga mereka menjadi panas!
“Sin-kong Tianglo, kau tukang obat tua! Sudah kukatakan, aku tak butuh pertolongan dan nasehatmu.
Lebih baik kau curahkan perhatianmu kepada rajamu. Nah, lihat, rajamu kini terancam bahaya maut, Haha-
ha!” Sambil berkata demikian, dia menggerakkan sebuah biji caturnya dan memang benar, kedudukan
raja dari barisan catur hwesio itu terancam bahaya dan terdesak sekali.
Mereka kembali memperhatikan papan catur dengan penuh ketekunan hingga keadaan menjadi sunyi dan
bunyi pernapasan kedua orang itu terdengar nyata. Goat Lan merasa heran sekali mengapa bunyi
pernapasan kedua kakek itu demikian panjang dan lama!
Memang kedudukan raja hitam dari hwesio itu sangat terdesak dan terancam sehingga hwesio itu menatap
papan caturnya dengan jidat dikerutkan. Sampai lama ia tidak dapat menjalankan biji caturnya untuk
melindungi atau menolong rajanya, sedangkan Si Tosu memandang dengan bibir tersenyum mengejek,
akan tetapi dia juga tidak melepaskan pandang matanya dari papan catur. Nampaknya kedua orang itu
sedang asyik sekali dan sama sekali tidak mempedulikan kedatangan Goat Lan yang kini sudah mendekat
dan menonton permainan itu sambil duduk bersila pula.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Gerakkan benteng melindungi raja!” tiba-tiba suara Goat Lan yang nyaring dan merdu terdengar.
Melihat betapa raja hitam terdesak, tanpa terasa pula anak ini membuka mulut memberi jalan. Hwesio itu
yang tadinya tak bergerak bagaikan patung, kini bibirnya bergerak-gerak dan meski pun dia masih tidak
tahu apakah baiknya gerakan ini karena dengan demikian bentengnya akan terancam dan dimakan oleh
kuda lawan, akan tetapi oleh karena dia telah kehabisan jalan, ia kemudian menggerakkan tangannya dan
menggeser kedudukan benteng menutup rajanya. Ia melakukan ini tanpa menoleh sedikit pun kepada Goat
Lan.
Tosu itu tercengang ketika Si Hwesio benar-benar menggerakkan bentengnya, kemudian sambil tertawa
bergelak ia lalu makan benteng itu dengan kudanya.
“Benteng telah kurampas! Ha-ha-ha, kini kedudukanmu makin lemah, Tianglo! Ha-ha-ha!” Tosu kate itu
tertawa senang.
Akan tetapi suara tawanya itu diputus oleh suara Goat Lan yang berseru girang, “Berhasil jebakan
memancing kuda keluar kandang! Lekas geser menteri menyerang kedudukan raja musuh!”
Bukan main girangnya hati hwesio itu. Tadinya dia memang sama sekali tidak mengerti apa kebaikannya
memajukan benteng yang hanya diberikan secara cuma-cuma kepada kuda lawan, tidak tahunya bahwa
dengan gerakan memancing itu membuat kuda lawan meninggalkan depan raja hingga kedudukan raja
merah menjadi terbuka, memungkinkan menterinya untuk menyerang!
“Bagus, bagus!” katanya gembira sambil mengajukan menterinya yang kini seakan-akan menodong dada
raja lawan dengan pedang. “Rajamu sekarang terjepit, Im-yang Giok-cu. Bagus!”
Wajah tosu yang tadinya tersenyum-senyum girang itu tiba-tiba saja menjadi masam dan dengan mulut
cemberut dia menundukkan kepala, menatap papan catur dengan bingung karena kini benar-benar
kedudukan rajanya menjadi terdesak hebat!
Hingga beberapa lama ia diam tak bergerak, bahkan lupa untuk minum araknya. Memang sesungguhnya
kepandaian bermain catur kedua kakek ini masih sangat rendah sehingga setiap kali raja mereka terancam
bahaya, mereka langsung menjadi bingung, tidak tahu harus menggerakkan biji catur yang mana!
“Ha, Im-yang Giok-cu, hayo gerakkan biji caturmu! Atau kau menerima kalah saja dan memberi Im-yang
Sin-na (nama ilmu silat) kepadaku?” hwesio gemuk itu berkata dengan wajah girang.
Tosu itu tak menjawab, hanya mencurahkan seluruh perhatian kepada papan catur, terus memutar otak
mencari jalan keluar bagi rajanya.
“Menteri setia bergerak melindungi raja, bila perlu mengadu jiwa dengan menteri musuh!” tiba-tiba Goat
Lan berkata lagi sekarang membantu tosu itu!
Anak ini merasa tak sabar sekali kenapa kedua kakek ini begitu bodoh dalam permainan catur hingga
serangan yang demikian ringan saja sudah membuat mereka tak berdaya!
Bercahayalah wajah tosu kecil itu. “Ha-ha-ha, benar! Itulah jalan terbaik. Ha-ha-ha! Hayo, Tianglo, kalau
berani, kita bersama korbankan menteri!” Ia lalu menggeser menterinya ke kiri dan melindungi raja merah
dari pada ancaman menteri hitam.
Hwesio itu menjadi sangat penasaran dan mengerling ke arah Goat Lan tanpa menoleh. Kemudian dia
memandang ke arah papan catur lagi dan berkata dengan suaranya yang tinggi.
“Memang jaman sekarang ini jaman yang buruk sekali! Anak-anak saja sudah kehilangan kesetiaannya,
suka mengkhianati ke sana ke mari! Sungguh sayang!”
Goat Lan adalah seorang anak yang berotak cerdik dan dia telah banyak membaca-baca kitab-kitab kuno
yang berisi filsafat-flisafat dan kata-kata yang bermaksud dalam. Maka ucapan hwesio itu sungguh pun
hanya menyindir, akan tetapi Goat Lan bisa menangkap maksudnya dan tahu bahwa dialah yang dianggap
tak setia karena baru saja membantu hwesio itu, kini berbalik membantu Si Tosu!
Dia lalu menggunakan pikirannya mengingat-ingat dan mencari-cari kata-kata yang tepat untuk menjawab
dunia-kangouw.blogspot.com
sindiran ini, kemudian dia berkata dengan suara nyaring, seakan-akan membaca kitab dan tidak ditujukan
kepada siapa pun juga.
“Membantu yang terdesak, ini baru adil namanya! Berlaku lurus tidak berat sebelah, ini baru bijaksana!”
Ini adalah ujar-ujar kuno yang hanya dikenal oleh mereka yang sudah pernah membaca kitab-kitab
peninggalan para pujangga jaman dahulu. Mendengar ujar-ujar ini diucapkan oleh seorang anak
perempuan kecil, dua orang kakek itu tercengang dan keduanya lalu mengerling ke arah Goat Lan dan
untuk beberapa lama mereka melupakan pemainan caturnya dan melirik dengan penuh perhatian.
“Otak yang baik!” Si Hwesio memuji. “Sayang agak lancang!” Sambil berkata demikian, tiba-tiba tanpa
menggerakkan tubuh, duduknya telah menggeser dan sekarang ia duduk membelakangi Goat Lan!
“Benar-benar pandai!” Si Tosu juga memuji. “Sayang dia perempuan!” Dan tosu ini pun tanpa
menggerakkan tubuh, tahu-tahu telah menggeser pula menghadapi hwesio itu.
Melihat gerakan mereka ini, Goat Lan menjadi bengong. Bagaimana orang dapat pindah duduknya tanpa
menggerakkan tangan dan kaki? Seakan-akan mereka itu duduk di atas roda-roda yang dapat
menggelinding dengan sendirinya.
Akan tetapi, anak yang cerdik ini dapat menduga bahwa mereka tentulah orang-orang pandai yang
mempergunakan semacam tenaga dalam yang luar biasa sehingga tubuh mereka itu dalam keadaan
bersila dapat pindah tempat. Dan di samping kecerdikannya, Goat Lan memang nakal dan memiliki watak
yang tak mau kalah.
Kini ia duduk di belakang hwesio yang gemuk itu sehingga tak dapat melihat papan catur. Untuk bangun
dan berpindah tempat, ia merasa malu. Maka ia lalu mengendurkan kedua kakinya menempel pada lantai.
Kemudian ia menggerakkan tenaga pada kedua kaki dan mengerahkan ginkang-nya, maka tiba-tiba saja
tubuhnya yang kecil itu mencelat naik dan turun di sebelah kanan hwesio itu sehingga kedudukannya
menjadi seperti tadi dan dia kembali dapat melihat papan catur itu seperti tadi!
“Ahh, tidak jelek!” kata hwesio gemuk itu.
“Bagus!” Si Tosu juga memuji.
“Inilah murid yang pantas untukku!” kata pula hwesio itu.
“Tidak! Sudah lama aku ingin mendapatkan murid, dia inilah orangnya!”
Kini kedua orang kakek itu saling pandang dan kembali mereka menjadi panas hati. Apa bila tadi mereka
panas karena permainan catur, kini hati mereka menjadi panas karena hendak memperebutkan Goat Lan
sebagai murid. Sementara itu Goat Lan hanya diam saja seakan-akan tidak mengerti apa yang dibicarakan
oleh kedua orang kakek itu.
“Im-yang Giok-cu, mari kita lanjutkan permainan catur ini dan siapa yang menang, dia berhak mendapatkan
murid ini.”
“Boleh, boleh! Sekarang giliranmu, hayo kau teruskan!”
Sin Kong Tianglo lantas menggerakkan biji caturnya, dan Goat Lan mulai memperhatikan lagi, siap
membantu yang terdesak. Akhirnya kedua orang kakek itu selalu mendapat petunjuk dari Goat Lan dan
setelah biji-biji catur mereka tinggal sedikit dan pertandingan itu makin sulit dan ramai, mereka keduanya
hanya merupakan tukang menggerakkan biji catur saja dan yang menjadi pengaturnya adalah Goat Lan!
Memang anak ini ahli dalam main catur, maka ia dapat mengatur siasat yang amat baik sehingga
pertandingan itu berjalan ramai, saling mendesak dengan hebat. Kedua orang kakek itu merasa tegang
karena sering kali raja mereka terkurung, akan tetapi sering kali juga mendesak lawan sehingga seakanakan
merekalah yang bertanding, bukan biji-biji catur.
Betapa pun juga, yang menjadi pengatur adalah Goat Lan yang benar-benar tidak berat sebelah. Karena
itu, setelah bertanding sampai hari menjadi gelap dan malam telah tiba, keadaan pertandingan itu masih
sama kuatnya!
dunia-kangouw.blogspot.com
Mereka bertiga, hwesio, tosu dan anak perempuan itu, demikian asyik dan tekun hingga mereka tidak
melihat bahwa ruang itu telah penuh dengan para hwesio yang menonton pula pertandingan catur aneh itu!
Tiada seorang pun di antara mereka berani menegur, hanya Thian Tiong Hosiang yang memandang
khawatir kepada keponakannya. Sebagai seorang yang berpengalaman, ia dapat menduga bahwa kedua
orang kakek itu bukan sembarang orang, dan ia takut kalau-kalau seorang di antara mereka yang kalah
akan menjadi marah.
Akan tetapi Goat Lan benar-benar pandai. Ia mengatur sedemikian rupa sehingga pada akhlr pertandingan,
kedudukan keduanya sama lemah sama kuat, yakni yang tinggal hanyalah si raja merah dan si raja hitam!
Hal ini berarti bahwa pertandingan itu berakhir dengan sama kuat, tidak ada yang kalah dan tidak ada yang
menang!
Thian Tiong Hosiang menarik napas lega dan hendak menghampiri mereka, akan tetapi tiba-tiba Si Tosu
Kate itu melompat berdiri dan berkata,
“Sin Kong Tianglo, kau harus mengalah dan biarkan aku mendidik anak ini.”
Hwesio gemuk itu bangun berdiri dengan tenang dan mengambil keranjang obat serta pisaunya, lalu
berkata, “Enak saja kau bicara, Im-yang Giok-cu. Bukankah kita berjanji bahwa siapa yang menang dia
berhak menjadi guru anak ini?”
“Akan tetapi dalam permainan catur kita tidak ada yang kalah dan yang menang!” seru Si Tosu.
Hwesio itu tersenyum. “Apakah kita hanya bisa bermain catur dan tidak mempunyai ilmu kepandaian lain?
Kita belum mencoba kepandaian lain untuk menentukan kemenangan.”
“Ho-ho! Kau mau mengajak main-main? Baiklah, mari kita mencari penentuan di luar!” kata tosu itu sambil
melangkah keluar dan membawa guci araknya.
“Aku ingin merasakan kelihaianmu!” kata hwesio itu yang juga bertindak keluar sambil membawa keranjang
obat dan pisaunya.
Sementara itu, ketika mendengar kedua orang kakek itu menyebut nama masing-masing, Thian Tiong
Hosiang menjadi terkejut sekali. Ia segera melangkah maju dan memegang lengan Goat Lan sambil
berkata,
“Goat Lan kau sudah mendatangkan onar! Lekas kau pulang dengan cepat, biar diantar oleh seorang
Suhu!”
“Tidak, Pekhu, aku mau nonton mereka bertanding!”
“Ehh, anak nakal!” kata Thian Tiong Hosiang dengan bingung, karena tadi ia mendengar betapa dua orang
kakek yang lihai ini sedang memperebutkan Goat Lan untuk diambil murid. “Kau harus pulang, biar aku
sendiri mengantarmu!”
Akan tetapi tiba-tiba Goat Lan membetot tangannya dan lari melompat ke dalam gelap!
Thian Tiong Hosiang yang merasa sangat khawatir kalau-kalau keponakannya itu akan menimbulkan
keributan, dan juga tidak ingin melihat ia pulang seorang diri ke dalam kota pada malam hari yang gelap
itu, lalu berkata kepada para hwesio yang berada di situ, “Cari dia dan antarkan pulang ke kota!”
Sedangkan ia sendiri dengan langkah lebar lalu keluar hendak melihat apakah yang dilakukan oleh kedua
orang kakek itu.
Karena malam amat gelap sedangkan pekarangan di sekeliling kelenteng itu sangat luas dengan kebun
bunga dan kebun-kebun sayurnya, maka para hwesio yang mencari Goat Lan menggunakan obor. Akan
tetapi dicari-cari kemana pun juga, bayangan Goat Lan tetap tidak nampak!
Ketika para pencari yang memegang obor itu tiba kembali di halaman tengah, mereka melihat betapa dua
orang kakek itu sedang bertanding di dalam gelap, maka mereka menjadi tertarik dan berkerumun
menonton pertandingan itu sehingga keadaan di tempat itu menjadi terang sekali. Mereka telah lupa untuk
mencari anak nakal tadi!
dunia-kangouw.blogspot.com
Thian Tiong Hosiang sendiri ketika melihat betapa kedua orang kakek itu bertempur, telah berkali-kali
berseru kepada mereka agar supaya menghentikan pertempuran itu. Akan tetapi kedua orang kakek itu
sama sekali tidak mau mendengarnya.
Thian Tiong Hosiang menjadi bingung sekali. Hendak turun tangan memisah, biar pun ia memiliki ilmu silat
yang cukup tinggi, akan tetapi dia juga maklum bahwa kepandaiannya itu dapat disebut amat rendah apa
bila dibandingkan dengan kedua orang kakek itu. Apa lagi pada waktu dia mendengar dari para hwesio
bahwa Goat Lan tidak dapat ditemukan, kebingungan dan kegelisahannya makin bertambah, maka dia lalu
keluar dari kelenteng, lalu mempergunakan ilmu lari cepat menuju ke Tiang-an, mencari adiknya, Kwee An
atau ayah Goat Lan!
Sementara itu, Goat Lan yang tadi melarikan diri pada saat hendak dipaksa pulang oleh pekhu-nya,
sebetulnya tidak pergi jauh. Anak yang nakal ini mempergunakan kegelapan malam untuk cepat
bersembunyi di belakang batang pohon besar yang banyak tumbuh di sekitar kelenteng itu, kemudian
ketika banyak hwesio mencarinya, dia memanjat pohon besar dan melompat ke atas genteng. Dengan
bersembunyi di atas genteng, ia mengintai ke bawah, melihat kesibukan orang-orang di bawah dan melihat
pula pertempuran antara kedua orang kakek itu yang berlangsung dengan amat ramainya, jauh lebih ramai
dari pada pertandingan catur tadi!
Sebetulnya, siapakah kedua orang kakek itu dan mengapa Thian Tiong Hosiang terkejut mendengar nama
mereka?
Tidak heran bahwa Thian Tiong Hosiang merasa amat terkejut, oleh karena nama-nama itu adalah namanama
tokoh besar dunia persilatan yang tak asing lagi bagi orang-orang yang hidup di dunia kang-ouw.
Sin Kong Tianglo, hwesio yang gemuk tinggi itu, adalah seorang tokoh besar yang amat terkenal dari
Pegunungan Gobi-san. Selain ilmu silatnya yang amat tinggi dan lihai, dia juga terkenal dengan
kepandaiannya sebagai seorang ahli pengobatan sehingga untuk kepandaian ini ia mendapat julukan Yokong
(Raja Obat).
Biar pun tempat pertapaannya di Pegunungan Gobi-san, akan tetapi jarang ada orang yang dapat bertemu
dengannya, karena ia banyak merantau ke gunung-gunung mencari daun-daun dan akar-akar obat yang
kemudian digunakan untuk menolong orang-orang yang menderita sakit. Ke mana saja dia pergi, tentu dia
akan mempergunakan ilmunya untuk menolong orang sakit sehingga namanya sebagai ahli pengobatan
lebih terkenal dari pada namanya sebagai seorang ahli silat.
Tosu yang pendek kecil itu, Im-yang Giok-cu, tidak kalah ternamanya. Dia seorang tokoh besar dari
Pegunungan Kunlun dan ilmu kepandaiannya telah amat dikenal. Tokoh besar ini pun jarang
menampakkan diri di dunia ramai dan biar pun dia tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan lebih
suka merantau ke mana-mana, akan tetapi dia jarang sekali memperkenalkan diri.
Oleh karena itu, munculnya dua orang tokoh besar ini tentu saja amat mengejutkan hati Thian Tiong
Hosiang. Sebetulnya, bukan sengaja dua orang tokoh besar ini mengadakan pertemuan di Tiang-an.
Sudah lama sekali Sin Kong Tianglo mendengar nama Pendekar Bodoh sebagai seorang pendekar
terbesar di masa itu dan ketika mendengar bahwa Pendekar Bodoh adalah murid terkasih dari mendiang
Bu Pun Su, jago tua tanpa tandingan itu, dia merasa amat gembira dan ingin sekali mencoba kepandaian
Pendekar Bodoh.
Dahulu pernah dia berhadapan dengan Bu Pun Su dan sesudah mengadakan pibu (adu kepandaian)
sampai seratus jurus lebih, akhirnya dia tidak tahan menghadapi Bu Pun Su dan berjanji hendak mencoba
kepandaian lagi sepuluh tahun kemudian. Sayang bahwa setelah dia melatih diri dan menciptakan ilmu
silat yang hebat, dia mendengar bahwa Bu Pun Su telah meninggal dunia, maka kini perhatiannya beralih
kepada Pendekar Bodoh yang menjadi murid Bu Pun Su.
Akibat keinginan hati inilah, maka Sin Kong Tianglo pergi meninggalkan daerah Gobi-san yang luas itu dan
turun ke dunia ramai. Ia mendengar bahwa Pendekar Bodoh berada di kota Tiang-an, maka dia lalu
menuju ke kota itu.
Di tengah jalan, ketika dia melalui sebuah dusun, dia mendengar suara orang bernyanyi-nyanyi dengan
suara yang keras dan parau. Dia merasa heran sekali karena di sekitar tempat itu tidak terdapat orang, dari
dunia-kangouw.blogspot.com
manakah datangnya suara nyanyian yang hebat ini. Ia melihat beberapa orang berlari-lari seakan-akan
ketakutan dan ketika ia menghampiri mereka dan bertanya, seorang di antara penduduk kampung itu
menjawab dengan muka pucat.
“Apakah Losuhu tidak mendengar suara nyanyian yang hebat itu?”
“Pinceng mendengar. Siapakah gerangan yang bernyanyi dengan suara seburuk itu?”
“Yang bernyanyi adalah seorang iblis!”
Tentu saja Sin Kong Tianglo menjadi heran mendengar ini dan dia minta penjelasan lebih lanjut. Ternyata
bahwa menurut cerita orang itu, di kampung tersebut muncul seorang kakek yang tiba-tiba saja berada di
atas jembatan kampung dan memenuhi jembatan kecil itu.
Kakek ini terus menerus minum arak sambil bernyanyi-nyanyi dengan suara yang dapat membuat anak
telinga serasa mau pecah. Karena dengan adanya dia yang merebahkan diri sambil bernyanyi-nyanyi di
atas jembatan yang kecil itu, lalu lintas menjadi terhalang. Orang-orang telah membujuknya, bahkan
berusaha menggusurnya dari jembatan itu!
Sin Kong Tianglo menjadi tertarik hatinya dan segera menuju ke tempat itu. Benar saja, dia melihat
seorang kakek kate sedang rebah miring di atas jembatan dengan guci pada tangan kanan dan bernyanyinyanyi.
Akan tetapi, wajahnya berubah girang ketika dia melihat Si Kate itu karena dia mengenal orang ini sebagai
seorang yang dulu telah dikenalnya baik, yaitu Im-yang Giok-cu! Maka ia lalu menegur dan kakek kate itu
ketika melihat Sin Kong Tianglo, lalu melompat berdiri dan berkata,
“Ha-ha-ha-ha! Sungguh untungku baik sekali! Aku sedang kesepian dan merasa jengkel, kebetulan kau
datang! Ehh, Tianglo! Beranikah kau main catur denganku?”
Demikianlah, keduanya lalu bercakap-cakap sambil meninggalkan dusun itu dan Im-yang Giok-cu yang
mendengar bahwa hwesio itu ingin mencari Pendekar Bodoh untuk diajak pibu, dia pun menyatakan
keinginannya bertemu dengan pendekar muda yang namanya telah menggemparkan dunia persilatan itu!
Akan tetapi, karena sudah merasa sangat kangen dengan permainan catur, mereka lalu menunda
perjalanan dan ketika melihat Kelenteng Ban-hok-tong, mereka lalu masuk ke dalam dan minta pinjam
papan catur, terus saja bertanding catur!
Goat Lan yang bersembunyi di atas genteng mengintai pertempuran di bawah dengan muka senang sekali.
Memang ia pun amat suka akan ilmu silat meski pun kesukaannya akan ilmu silat tidak sebesar
kesukaannya membaca kitab, melukis atau bermain catur!
Keadaan di bawah amat terang karena belasan orang hwesio dengan obor bernyala di tangan, berdiri
berkelompok menonton pertandingan, sehingga kegelapan malam terusir pergi, terganti cahaya terang
bagaikan siang, sungguh pun kalau orang melihat ke atas, langit hitam kelam tak berbintang sedikit pun.
Menurut pandangan Goat Lan yang menonton di atas genteng, dua kakek itu melakukan pertandingan
dengan cara yang sangat aneh. Nampaknya mereka seperti bukan sedang bertempur atau bersilat, akan
tetapi seperti dua orang pelawak yang sedang menari-nari dengan lucunya!
Im-yang Giok-cu menari dengan guci araknya di tangan kanan yang digerakkan perlahan dan lambat bagai
orang menyerang, sementara itu Sin Kong Tianglo juga menggerakkan pisau pemotong daun di tangan
kanan sedangkan tangan kirinya memegang keranjang obat, seakan-akan ia sedang menggunakan
pisaunya untuk mencari daun-daun obat!
Akan tetapi, sesungguhnya kedua orang kakek itu bukan sedang main-main, juga bukan sedang menari
atau melawak! Oleh karena, biar pun mereka itu bergerak dengan amat lambat seakan-akan bukan sedang
bertempur, namun obor yang dipegang tinggi-tinggi oleh para hwesio itu apinya bergerak-gerak bagaikan
tertiup angin besar, padahal pada saat itu daun-daun di atas pohon tak bergerak sama sekali, tanda bahwa
tidak ada angin! Kalau saja Goat Lan tidak berada di atas genteng, tentu dia akan merasakan pula apa
yang dirasakan oleh para hwesio itu, yaitu angin sambaran dari kedua orang itu sampai mendatangkan
hawa dingin pada muka mereka!
dunia-kangouw.blogspot.com
Lama juga dua orang itu bertempur berputar-putaran, tipu dilawan tipu, gerakan-gerakan dilawan gerakan.
Sebetulnya, kedua orang itu tidak bertempur untuk saling merobohkan, hanya mengadu kepandaian saja
dan oleh karena mereka maklum akan kelihaian lawan masing-masing, maka tanpa dijanjikan lebih dahulu,
mereka membatasi gerakan mereka dengan tipu-tipu gerakan yang dikeluarkan untuk kemudian
dipecahkan oleh yang lain. Dengan demikian, mereka hanya saling serang dengan angin pukulan saja dan
siapa yang tak dapat memecahkan sesuatu serangan, berarti kalah tinggi kepandaiannya.
Telah lima puluh jurus lebih kedua orang kakek itu mengeluarkan ilmu kepandaian, akan tetapi keduanya
sama pandai dan sama tangguhnya. Im-yang Giok-cu terkenal dengan ilmu silat Im-yang Kim-na-hwat
yang permainannya berdasarkan pada gerak berlawanan dari Im dan Yang, maka tenaga serangannya
merupakan perpaduan dari tenaga kasar dan lemas dan lweekang-nya telah mencapai puncak yang amat
tinggi.
Sebaliknya, sejak dikalahkan oleh Bu Pun Su, Sin Kong Tianglo juga terus melatih diri sehingga tidak saja
tenaga lweekang-nya tidak berada di sebelah bawah tingkat Im-yang Giok-cu, akan tetapi ilmu silatnya juga
telah maju amat hebatnya. Ilmu silatnya berbeda dengan ilmu silat cabang persilatan Gobi-pai dan bahkan
dia telah menciptakan berbagai ilmu pukulan yang belum pernah dilihat orang lain.
Ketika itu, Goat Lan yang sedang menonton dengan hati kurang tertarik karena gerakan kedua orang
kakek itu sangat lambat, mendadak mendengar suara ayahnya dari sebelah belakang,
“Goat Lan, kau sedang berbuat apakah?”
Ia cepat menengok ke belakang dan alangkah heran dan juga girangnya ketika ia melihat bahwa ayah dan
ibunya juga sudah berdiri di atas genteng, tidak jauh di belakangnya! Agaknya ayah ibunya telah semenjak
tadi berdiri di situ.
Memang benar, sebenarnya Kwee An dan Ma Hoa telah semenjak tadi berdiri di tempat itu, dan secara
diam-diam memperhatikan jalannya pertempuran sambil melihat ke arah anak mereka dengan hati geli.
Tadinya mereka merasa gelisah juga ketika Thian Tiong Hosiang datang memberi tahu bahwa Goat Lan
sudah menimbulkan keributan di antara dua orang kakek yang ternama sekali itu dan bahwa kedua kakek
itu hendak mengambil murid anak mereka, bahkan kini sedang bertempur karena memperebutkan Goat
Lan.
Mereka merasa gelisah kalau-kalau mereka terlambat dan anak mereka sudah dibawa pergi oleh kedua
orang tua aneh itu. Akan tetapi, ketika mereka menuju ke Ban-hok-tong dengan berlari cepat sekali hingga
Thian Tiong Hosiang tertinggal jauh, mereka melihat Goat Lan sedang mengintai ke bawah dari atas
genteng dengan muka terlihat jemu dan bosan!
Kedua suami isteri ini menjadi lega dan mereka lalu mencurahkan perhatian mereka ke arah dua orang
kakek yang masih saling serang itu. Bukan main terkejut hati Kwee An dan Ma Hoa melihat gerakangerakan
mereka itu.
“Kepandaian mereka benar-benar hebat!” kata Kwee An kepada isterinya.
Ma Hoa mengangguk dan menarik napas panjang. “Memang benar, nama kedua tokoh ini bukan nama
kosong belaka.”
Goat Lan bangun berdiri dan menghampiri ayah ibunya. Mendengar ucapan ayah ibunya yang memuji
kepandaian dua orang kakek itu, dia berkata mencela,
“Apanya sih yang hebat? Kepandaian mereka bahkan lebih jelek dari pada permainan catur mereka!”
Kwee An dan Ma Hoa sudah mendengar dari penuturan Thian Tiong Hosiang betapa Goat Lan memberi
petunjuk-petunjuk kepada dua orang kakek itu ketika bermain catur, maka mereka tersenyum geli.
“Anak bodoh, ilmu silat yang kau lihat amat lambat itu merupakan ilmu silat yang jarang terdapat di dunia
ini! Mari kita turun untuk lebih mengenal dua orang tokoh besar itu!”
Kwee An memegang lengan tangan anaknya lalu dia melompat turun ke bawah bagaikan seekor burung
alap-alap sedang menyambar mangsanya, diikuti oleh Ma Hoa yang juga melompat turun dengan indah
dunia-kangouw.blogspot.com
dan cepatnya.
Baik Im-yang Giok-cu mau pun Sin Kong Tianglo yang memiliki kepandaian tinggi, dapat melihat
berkelebatnya dua bayangan orang ini, maka dengan heran mereka lalu berhenti bertempur dan
memandang kepada Kwee An dan Ma Hoa yang telah berdiri di hadapan mereka.
Kwee An dan Ma Hoa menjura kepada mereka dan Kwee An berkata, “Ji-wi Locianpwe (Dua Orang Tua
Gagah), kami berdua suami isteri yang bodoh sudah mendengar bahwa anak kami telah mengganggu Jiwi,
maka sengaja datang menghaturkan maaf!”
“Aha, pantas saja anak ini demikian baik, tidak tahunya ayah ibunya lihai dan mempunyai kepandaian
tinggi!” kata Sin Kong Tianglo sambil memandang kagum.
Tiba-tiba Im-yang Giok-cu teringat akan sesuatu dan bertanya,
“Apakah kau yang bernama Pendekar Bodoh?” Pertanyaan ini dia tujukan kepada Kwee An sambil
memandang tajam.
Kwee An tersenyum dan diam-diam ia memuji nama Cin Hai yang sudah begitu terkenal sehingga tokoh
besar ini pun sampai mengenalnya pula.
“Bukan, Locianpwe. Pendekar Bodoh adalah adik iparku dan kini dia tinggal di Propinsi An-hui. Siauwte
bernama Kwee An sedangkan Suhu adalah mendiang Eng Yang Cu dari Kim-san-pai.”
Tosu kate itu mengangguk-angguk, “Hemm, aku kenal baik kepada Eng Yang Cu ketika dia masih hidup.
Bagus, sebagai murid Kim-san-pai, kepandaianmu tak mengecewakan!”
Diam-diam Im-yang Giok-cu terheran karena melihat gerakan melompat turun dari Kwee An tadi, agaknya
tingkat kepandaian pemuda ini tidak berada di sebelah bawah tingkat kepandaian Eng Yang Cu. Tentu saja
dia tidak tahu bahwa setelah menerima pelajaran silat dari Eng Yang Cu, Kwee An masih menerima
gemblengan-gemblengan ilmu silat tinggi dari mendiang Kong Hwat Lojin si Nelayan Cengeng, dan juga
dari mendiang Hek Moko si Iblis Hitam. Maka apa bila dibandingkan, memang ilmu kepandaiannya sudah
lebih tinggi dari mendiang suhu-nya itu!
“Sayang sekali bahwa ternyata Pendekar Bodoh tidak tinggal di sini lagi,” kata pula Sin Kong Tianglo
sambil menarik napas panjang. “Biarlah kususul dia ke An-hui, akan tetapi, melihat bakat anakmu yang
amat baik, kuharap kau berdua suami isteri rela memberikan anakmu untuk menjadi muridku.”
“Nanti dulu, Tianglo!” Im-yang Giok-cu berkata. “Aku pun berhak menjadi guru anak ini, karena
pertandingan tadi pun tak dapat dianggap bahwa kau telah menang dariku!”
“Eh, ehh, kalau begitu mari kita lanjutkan pertandingan tadi,” mengajak Sin Kong Tianglo yang tak mau
kalah.
“Ji-wi Locianpwe!” mendadak terdengar seruan Ma Hoa yang merasa mendongkol sekali melihat betapa
anaknya diperebutkan oleh kedua orang kakek itu. “Anakku tidak akan menjadi murid siapa pun juga, maka
tidak seharusnya Ji-wi memperebutkannya!”
Kedua orang kakek itu tercengang mendengar ucapan ini dan mereka lalu memandang kepada Ma Hoa
dengan heran. “Ah, kau betul-betul seorang Ibu yang tidak sayang pada anak! Anakmu akan diberi
pelajaran ilmu kepandaian tinggi, kenapa kau malah ribut-ribut menolaknya? Ketahuilah, andai kata kau
hendak mencarikan guru bagi anakmu itu, biar pun kau mengelilingi dunia ini, belum tentu akan
mendapatkan guru seperti aku atau Sin Kong Tianglo ini!” jawab Im-yang Giok-cu dengan penasaran.
Memang adat Si Kate ini agak keras.
Kwee An merasa serba salah. Ia maklum akan kekerasan hati isterinya dan tadinya ia memang hendak
menggunakan jalan atau cara yang halus untuk menolak maksud kedua orang kakek yang hendak
mengambil Goat Lan sebagai murid itu. Akan tetapi, siapa tahu isterinya telah mendahuluinya! Ia segera
menjura kepada mereka dan berkata halus,
“Harap Ji-wi sudi memaafkan. Sesungguhnya kami, terutama isteriku, sangat berat untuk berpisah dengan
anak kami yang hanya satu-satunya ini.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu tidak mau mempedulikannya, bahkan hwesio itu lalu
bertanya kepada Ma Hoa.
“Apa bila kau menolak maksud kami mengangkat murid kepada anakmu, habis siapakah yang akan
menjadi guru anak ini dan yang akan melatihnya ilmu silat?”
Karena merasa dirinya dipandang rendah, Ma Hoa mengangkat kepalanya dan segera menjawab, “Kami
sendiri yang akan mendidiknya dan kami sendiri yang akan menjadi gurunya!”
Tiba-tiba kedua orang kakek itu saling pandang dan tertawa bergelak.
“Im-yang Giok-cu, lihatlah! Kalau ibunya demikian bersemangat, apa lagi anaknya! Anak itu sungguh
bernasib baik mempunyai seorang ibu seperti ini!” kata hwesio itu.
Kemudian Im-yang Giok-cu memandang kepada Ma Hoa, lantas berkata dengan muka sungguh-sungguh,
“Nyonya muda, kau harus sadar bahwa jaman ini adalah jaman yang buruk. Kekacauan terjadi di manamana
sedangkan anakmu ini bertulang baik dan patut menjadi calon pendekar! Apakah kau ingin menyianyiakan
waktu dan kesempatan baik ini? Apakah kau kira akan dapat memberi pelajaran ilmu silat yang
lebih baik dari pada kami kepada anakmu ini?”
Melihat suasana yang panas itu, Kwee An hendak maju menengahi, akan tetapi kembali dia didahului oleh
isterinya yang berkata marah, “Locianpwe berdua terlalu memandang rendah orang lain. Mengenai ilmu
kepandaian, siapakah yang belum mendengar nama Ji-wi? Aku yang muda memang hanya memiliki sedikit
kebodohan, akan tetapi kalau Ji-wi merasa penasaran dan kurang percaya, boleh kita coba dan uji!”
Ucapan ini merupakan tantangan halus! Kwee An merasa menyesal sekali, akan tetapi ucapan telah
dikeluarkan dan tak mungkin ditarik kembali!
Kedua orang kakek itu kembali saling pandang dan mereka tertawa gembira.
“Bagus, bagus!” kata Im-yang Giok-cu. “Tianglo, kita sudah bertemu dengan orang-orang yang
bersemangat! Mari kita mencoba kepandaian orang-orang muda yang bersemangat besar ini!”
“Nanti dulu,” kata hwesio itu, “tantangan orang muda sekali-kali tidak boleh ditolak. Akan tetapi, lebih baik
diatur begini saja!” Sambil berkata demikian dia memandang pada Kwee An dan Mai Hoa. “Kalian berdua
main-main sebentar dengan kami orang-orang tua, bila kalian anggap bahwa kepandaian kami cukup
berharga, kalian harus merelakan anakmu ini menjadi muridku!”
“Ehh, bukan! Menjadi muridku!” kata tosu itu.
Kembali mereka bercekcok dan berebutan! Ma Hoa merasa mendongkol sekali.
“Kalau begini, takkan ada habis-habisnya,” kemudian Sin Kong Tianglo yang lebih sabar berkata, “Baiklah
diatur begini, Im-yang Giok-cu. Jika nanti kita berdua dapat dikalahkan oleh orang-orang muda ini, berarti
memang kepandaian kita masih rendah dan tak patut menjadi guru. Akan tetapi kalau kita menang, kita
berdua menjadi guru anak ini! Bagai mana?”
“Baik sekali!” kata Si Kate yang segera berkata kepada Ma Hoa.
“Nah, kalian boleh maju, hendak kami lihat sampai di mana kepandaianmu hingga berani menolak kami
sebagai guru-guru anakmu!”
Kedua orang kakek itu segera bersiap dan mereka memang memandang ringan karena Kwee An hanyalah
murid Eng Yang Cu sedangkan Ma Hoa hanya isteri dari jago muda itu, mana bisa memiliki kepandaian
tinggi yang menyamai tingkat mereka?
Ma Hoa lalu memberi tanda kepada suaminya yang masih nampak ragu-ragu dan dari pandangan mata
isterinya ini Kwee An dapat menerka maksud isterinya. Pertama, kedua orang kakek ini memang
memandang rendah kepada mereka, ke dua, jika anak tunggal mereka harus menjadi murid orang lain,
terlebih dahulu ia harus membuktikan sampai di mana kelihaian orang itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka berbareng dengan isterinya, dia pun lantas maju menyerang Sin Kong Tianglo, ada pun Ma Hoa
dengan gerakan cepat telah mencabut senjatanya yang aneh, yaitu dua batang bambu kuning yang
panjangnya sama dengan lengannya dan besarnya sebesar ibu jari tangannya!
Begitu sepasang suami isteri itu menyerang, kedua orang kakek itu berseru karena heran dan terkejut.
Terutama Im-yang Giok-cu yang menghadapi Ma Hoa, karena nyonya muda itu dengan sangat cepatnya
sudah menggerakkan sepasang bambu runcingnya, yang kiri menyambar arah leher sedangkan yang
kanan melesat menuju ke pusar. Dua serangan yang luar biasa sekali karena yang diarah adalah jalanjalan
darah yang berbahaya.
Juga Sin Kong Tianglo yang diserang oleh Kwee An dengan mempergunakan ilmu silat warisan Hek Moko,
menjadi terkejut melihat betapa tangan kanan Kwee An melancarkan pukulan ke arah lambung, sedangkan
tangan kiri pemuda itu diulur dengan jari terbuka mencengkeram pundak!
Keduanya cepat mengelak dan mengebutkan lengan baju untuk menolak dan membikin terpental tangan
pasangan suami isteri itu, akan tetapi ternyata bahwa Kwee An yang ditangkis hanya miring sedikit
kedudukan kuda-kudanya sedangkan Ma Hoa bahkan tak terpengaruh oleh tangkisan ujung baju Im-yang
Giok-cu.
“Hebat sekali!” seru Im-yang Giok-cu yang segera menurunkan guci araknya yang tadi digantungkan di
punggung, dan kini dia lantas menyerang dengan guci araknya ke arah kepala Ma Hoa!
“Lihai juga!” Sin Kong Tianglo juga berseru memuji dan kakek ini kemudian melanjutkan kata-katanya.
“Orang muda, cabutlah pedangmu itu, hendak kulihat sampai di manakah kelihaianmu!”
Kwee An tidak ragu-ragu lagi dan segera mencabut pedangnya yang luar biasa, yaitu pedang Oei-kangkiam
yang bersinar kekuning-kuningan karena terbuat dari logam yang disebut baja kuning, karena itulah
diberi nama Oei-kang-kiam (Pedang Baja Kuning). Pedang ini adalah pemberian puteri kepala suku bangsa
Haimi yang bernama Meilani, yang pernah jatuh cinta kepadanya sebelum dia menikah dengan Ma Hoa.
Kemudian dia kembali menyerang yang disambut oleh Sin Kong Tianglo dengan pisau dan keranjang
obatnya. (baca cerita Pendekar Bodoh)
Pertempuran berjalan berat sebelah dan sefihak, oleh karena ternyata bahwa dua orang kakek itu sama
sekali tidak balas menyerang, hanya mempertahankan diri saja, karena memang mereka hanya bermaksud
menguji kepandaian suami isteri itu. Namun setelah bertempur beberapa puluh jurus lamanya, makin
heranlah mereka berdua.
Sin Kong Tianglo mendapat kenyataan bahwa ilmu pedang milik Kwee An benar-benar luar biasa dan
tingkat kepandaian orang muda ini tak kalah oleh tingkat kepandaian Eng Yang Cu, tokoh Kim-san-pai.
Juga ilmu pedang Kwee An meski sebagian menunjukkan pelajaran Kim-san-pai, akan tetapi sudah
tercampur dengan ilmu pedang lain yang amat aneh dan dahsyat! Memang Kwee An telah mencampur
adukkan ilmu pedangnya dengan pelajaran-pelajaran yang dia terima dari Nelayan Cengeng dan Hek
Moko.
Yang lebih-lebih merasa heran adalah Im-yang Giok-cu. Begitu tadi Ma Hoa menyerang dengan sepasang
bambu kuning dia langsung merasa heran dan terkejut, karena senjata macam ini setahunya hanya dimiliki
oleh seorang tokoh besar dari timur, yakni Hok Peng Taisu. Akan tetapi dia masih meragukan dugaannya
ini dan melayani nyonya muda itu dengan guci araknya.
Tidak disangkanya, permainan bambu kuning yang ada di kedua tangan nyonya muda ini demikian
hebatnya sehingga ia harus berlaku cepat dan gesit karena tubuhnya terkurung oleh ujung-ujung bambu
kuning yang sekarang agaknya sudah berubah menjadi puluhan batang banyaknya itu!
“Tahan dulu!” Im-yang Giok-cu berseru sambil melompat mundur, diturut oleh Sin Kong Tianglo.
Biar pun baru bertempur puluhan jurus, baik Kwee An mau pun Ma Hoa maklum bahwa ilmu kepandaian
dua orang kakek ini benar-benar hebat dan masih lebih tinggi dari pada tingkat mereka. Buktinya, selama
itu mereka sama sekali tidak pernah membalas, dan hanya menangkis atau mengelak saja, namun
pertahanan mereka begitu kuat biar pun gerakan mereka nampak lambat sehingga pedang di tangan Kwee
An dan bambu kuning di tangan Ma Hoa seakan-akan menghadapi benteng baja yang kuat! Maka
mendengar seruan Im-yang Giok-cu, mereka pun menahan senjata masing-masing.
dunia-kangouw.blogspot.com
Para hwesio dan juga Thian Tiong Hosiang yang semenjak tadi menonton dan berdiri di situ, merasa
kagum dan tidak ada yang mengeluarkan suara.
“Toanio, apakah kau murid Hok Peng Taisu?”
Ma Hoa menjura dan menjawab, “Benar Locianpwe, Hok Pek Taisu adalah Suhu-ku.”
Im-yang Giok-cu tiba-tiba saja tertawa bergelak dengan suaranya yang parau dan besar. “Ha-ha-ha, inilah
yang disebut kalau belum bertanding belum kenal dan tahu! Ketahuilah, bahwa aku adalah Sute (Adik
Seperguruan) dari Suhu-mu!”
Ma Hoa terkejut sekali, sebab memang suhu-nya tak pernah mau menuturkan riwayatnya sehingga dia
belum pernah tahu bahwa suhu-nya itu mempunyai seorang sute, bahkan sebenarnya Hok Peng Taisu
mempunyai pula seorang suheng (kakak seperguruan). Dia percaya penuh kepada orang tua ini karena tak
mungkin orang berilmu tinggi seperti dia itu mau mendusta.
Namun, Im-yang Giok-cu tersenyum dan melanjutkan, “Tentu kau kurang percaya kalau belum dibuktikan.
Memang ilmu bambu kuning yang kau mainkan itu merupakan ciptaan suheng-ku sendiri sehingga aku tak
dapat memainkannya. Akan tetapi ketahuilah bahwa dasar-dasar ilmu silat bambu runcing itu adalah ilmu
silat Im-yang Kun-hwat dari cabang kami. Sekarang marilah kita main-main sebentar, jika dalam sepuluh
jurus aku tak dapat mengalahkan kau, jangan kau mau percaya bahwa aku adalah Susiok-mu (Paman
Guru) sendiri!”
Ma Hoa sebenarnya sudah percaya, tetapi mendengar ucapan ini, dia mau mencobanya juga. Masa dalam
sepuluh jurus ia akan dikalahkan? Ia lalu berkata,
“Maafkan kelancangan teecu (murid)!” lalu ia maju menyerang dengan bambu kuningnya.
Im-yang Giok-cu mempergunakan gucinya menangkis ada pun tangan kirinya menyerang dengan
cengkeraman ke arah pergelangan tangan Ma Hoa. Gerakannya otomatis dan cepat sekali sehingga Ma
Hoa menjadi amat terkejut, akan tetapi nyonya muda ini masih terlampau gesit untuk dapat dikalahkan
dalam segebrakan saja.
Ia cepat menarik kembali tangannya yang dicengkeram lantas melanjutkan serangannya dengan jurus
kedua. Kini Im-yang Giok-cu membalas setiap serangan dan gerakannya yang lambat itu sebetulnya tak
dapat dikata lambat. Memang aneh, jika tangan kanannya menangkis dengan lambat, tangan kirinya
menyusul cepat sekali melakukan serangan, seolah-olah bahkan mendahului gerakan tangan kanan, dan
demikian sebaliknya hingga Ma Hoa menjadi bingung.
Tepat pada jurus ke sepuluh, ketika Ma Hoa menyerang dengan tusukan bambu kuning di tangan kanan
pada leher kakek itu sedangkan tangan kiri menotokkan bambu kuning itu pada jalan darah hong-hut-hiat di
dada, tiba-tiba Im-yang Giok-cu memiringkan kepala dan secepat kilat menggigit bambu kuning yang
tadinya menyerang leher itu, sedangkan ketika bambu kuning yang kedua menotok dadanya, dia cepat
menggunakan ilmu Pi-ki Hu-hiat (Menutup Hawa Melindungi Jalan Darah) sehingga saat bambu itu
menotok jalan darahnya, Ma Hoa merasa betapa dada itu menjadi keras bagaikan batu karang dan
sebelum dia hilang kagetnya, tangan kiri kakek itu telah menangkap bambunya! Dengan bambu kuning di
tangan kiri terpegang, maka berarti ia telah kalah!
Ma Hoa melepaskan kedua senjatanya lalu berlutut dan menyebut, “Susiok!”
Im-yang Giok-cu melepaskan kedua bambu kuning itu dan tertawa bergelak.
“Aduh, sungguh berbahaya! Hampir saja aku mendapat malu dan terpaksa kau tak akan mengakui aku
sebagai Paman Gurumu! Sungguh tak mengecewakan kau menjadi murid Suheng-ku, sayang bahwa kau
agaknya belum cukup lama belajar dari Suheng-ku itu!” Memang kata-kata ini benar karena sesungguhnya,
Ma Hoa hanya belajar silat kepada Hok Peng Taisu selama tiga atau empat bulan saja (baca Pendekar
Bodoh).
Kwee An juga memberi hormat dengan menjura kepada susiok dari isterinya itu.
“Dengarlah, Kwee An dan kau juga, ehhh, siapa pula namamu?” tanya kakek itu kepada Ma Hoa.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Teecu bernama Ma Hoa.”
“Hemm, bagus, dengarlah. Kalau kalian memang sayang kepada anakmu yang berbakat baik itu biarlah dia
kalian serahkan kepada kami untuk dididik selama empat atau lima tahun. Kami akan membawanya ke
Bukit Long-ki-san yang tak berapa jauh letaknya dari sini. Kawanku ini, Sin Kong Tianglo, adalah seorang
tokoh besar dari Gobi-san dan ilmu kepandaiannya tak boleh disebut lebih rendah dari pada kepandaianku,
sungguh pun tak mudah pula baginya untuk mengalahkan aku. Kalau kalian rela melepas anakmu, maka
itu berarti bahwa nasib anakmu memang baik. Tapi, kalau kalian tidak membolehkannya, setelah kini aku
mengetahui bahwa kau adalah murid Suheng-ku, tentu saja aku takkan memaksa.”
Sebenarnya Ma Hoa merasa berat sekali jika harus berpisah dari puterinya, akan tetapi karena dia maklum
bahwa apa bila puterinya menjadi murid kedua orang tua itu kelak akan menjadi orang yang tinggi
kepandaiannya, ia menjadi ragu-ragu untuk menolaknya. Ia memandang kepada suaminya dengan mata
mengandung penyerahan.
“Ji-wi Locianpwe,” kata Kwee An dengan hormat, “teecu berdua tentu saja merasa amat berbahagia apa
bila anak teecu menerima pelajaran dari Ji-wi. Akan tetapi oleh karena teecu hanya memiliki seorang anak,
maka perkenankanlah teecu berdua sewaktu-waktu datang menengok anak kami itu.”
“Boleh, boleh...,” Im-yang Giok-cu berkata sambil tertawa, “tentu saja hal itu tidak ada halangannya.”
“Goat Lan, kau tentu suka menjadi murid kedua Locianpwe ini, bukan?” tanya Ma Hoa kepada anaknya.
“Kepandaian mereka jauh lebih tinggi dari pada ayah bundamu sendiri, dan ketahuilah bahwa Locianpwe
ini adalah Susiok-kongmu sendiri.”
Semenjak tadi, Goat Lan telah mendengarkan percakapan orang-orang tua dengan amat teliti, maka
sebagai seorang anak yang cerdik sekali dia segera maklum bahwa tidak ada guru-guru yang lebih
sempurna baginya dari pada dua kakek yang aneh dan yang bodoh kepandaian caturnya itu. Ia lalu
menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
“Teecu merasa suka sekali menjadi murid Ji-wi Suhu (Guru Berdua).”
Im-yang Giok-cu dan Sin Kong Tianglo saling pandang dan tertawa bergelak dengan hati puas, akan tetapi
Goat Lan lalu berdiri dan memeluk ibunya.
“Ibu, kalau kau lama sekali tidak datang mengunjungi tempatku, aku akan minggat dari tempat tinggal Suhu
dan pulang sendiri!”
Semua orang tertawa mendengar ucapan yang nakal ini.
“Jangan khawatir, Goat Lan. Kami juga tak akan merasa senang kalau terlalu lama tidak bertemu dengan
kau,” kata Kwee An.
Kedua orang kakek itu lalu mengajak Goat Lan pergi dari sana, tidak mau ditahan-tahan lagi. Karena
maklum bahwa mereka adalah orang-orang berwatak aneh, maka Kwee An dan Ma Hoa juga tidak berani
memaksa dan menahannya. Setelah memeluk ayah ibunya dengan mesra, dan mendengar bisikan ibunya,
“Goat Lan, jangan menangis dan jangan nakal!” Goat Lan lalu dituntun oleh kedua suhu-nya di kanan kiri
dan sekali kedua kakek itu berkelebat, maka anak perempuan itu telah dibawa lompat dan lenyap dari situ!
Kwee An dan Ma Hoa saling pandang. Terharulah hati Kwee An melihat betapa kedua mata isterinya yang
tercinta itu menjadi basah, maka dia lalu mengajak isterinya pulang dan menghiburnya…..
********************
Kita tinggalkan dahulu Goat Lan yang sedang dibawa oleh kedua orang suhu-nya untuk berlatih silat di
atas puncak Bukit Liong-ki-san, sebuah bukit yang puncaknya nampak di sebelah selatan kota Tiang-an.
Dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Lili atau Sie Hong Li, puteri dari Pendekar Bodoh yang ikut
merantau bersama suhu-nya, yaitu Sinkai Lo Sian si Pengemis Sakti itu.
Karena Lili tidak pernah mau mengaku setiap kali ditanya tentang orang tuanya, lambat laun Lo Sian tak
mau bertanya lagi dan ia pun telah merasa suka sekali kepada muridnya yang jenaka ini. Dia merasa
hidupnya berubah menjadi penuh kegembiraan sesudah dia mendapatkan murid ini dan ia membawa Lili
dunia-kangouw.blogspot.com
ke tempat-tempat yang indah dan kota-kota yang besar sambil memberi latihan silat kepada muridnya.
Lili juga terhibur dan merasa suka kepada suhu-nya yang ramah tamah dan tidak galak. Di dekat suhu-nya
ia merasa seakan-akan dekat dengan engkongnya (kakeknya), Yousuf atau Yo Se Fu. Kadang-kadang
memang amat rindu kepada ayah bundanya dan kepada kakeknya, akan tetapi anak yang memiliki
kekerasan hati luar biasa ini mampu menekan perasaannya dan sama sekali tak pernah memperlihatkan
kelemahan hati dan perasaan rindunya.
Lo Sian membawa muridnya merantau ke barat, dan pada suatu hari mereka masuk ke dalam sebuah
hutan yang belum pernah dimasuki Lo Sian. Hutan itu besar sekali, penuh dengan pohon-pohon yang
ratusan tahun usianya.
“Lili, mari kita mempercepat perjalanan kita,” ajaknya kepada Lili yang sebentar-sebentar berhenti untuk
memetik kembang.
Dia tertawa geli dan juga kagum melihat Lili memetik setangkai kembang mawar yang lalu ditancapkan di
atas telinga kanan. Bunga itu berwarna putih sehingga pantas sekali dengan bajunya yang merah.
“Hayo kita berlari cepat, Lili. Hari sudah mulai gelap dan sebentar lagi malam akan tiba. Kalau kita
kemalaman di hutan ini, tentu terpaksa kita harus tidur di atas pohon!”
“Tidak apa, Suhu,” jawab Lili sambil tertawa. “Teecu tidak akan jatuh lagi.”
Suhu-nya tertawa. Muridnya ini memang luar biasa tabahnya. Beberapa hari yang lalu ketika mereka
kemalaman dalam sebuah hutan dan tidur di atas cabang pohon besar, di dalam tidurnya Lili bermimpi dan
ngelindur sehingga terpelanting jatuh dari atas pohon!
Akan tetapi, anak ini benar-benar mempunyai ketenangan dan hati yang berani sehingga sebelum
tubuhnya terbanting ke atas tanah, dia telah sadar dan dapat mempergunakan ginkang-nya yang sudah
baik sekali itu untuk mengatur keseimbangan tubuh dan dapat melompat turun dengan baik. Kalau ia tidak
tenang dan berlaku cepat, setidaknya tentu akan menderita tulang patah! Akan tetapi, Lili tidak menjadi
pucat atau ketakutan sedikit pun, bahkan tertawa-tawa ketika suhu-nya melompat ke bawah dan bertanya
kepadanya.
“Suhu, aku bermimpi berkelahi dengan monyet di atas pohon dan aku tergelincir jatuh!” katanya sambit
tertawa!
Kini mereka mempergunakan kepandaian berlari cepat dan dalam kepandaian ini, Lili benar-benar memiliki
kecepatan yang mengagumkan. Sebelum menjadi murid Lo Sian, gadis cilik ini memang sudah memiliki
ginkang luar biasa berkat latihan ayah bundanya. Oleh karena ia telah memiliki dasar-dasar untuk
pelajaran ilmu silat tinggi, maka dengan mudah Lo Sian menambah pengetahuan serta kepandaian
muridnya itu yang mampu menangkap dan mempelajari serta melatih dengan lancar dan mudah sekali.
Pada waktu mereka hampir keluar dari hutan, tiba-tiba saja Lo Sian menahan larinya dan memandang ke
kiri. Lili juga menahan tindakannya dan turut memandang karena wajah suhu-nya memperlihatkan
keheranan. Memang sungguh aneh, di tempat yang sunyi itu dan tersembunyi di balik pohon-pohon besar,
kelihatan sebuah bangunan kelenteng yang mentereng dan bersih sekali. Lantainya mengkilap dan
temboknya terkapur putih bersih. Benar-benar mengherankan sekali.
“Ehh, Suhu. Rumah siapakah begini indah di dalam hutan ini?”
“Sstt, aku pun sedang heran memikirnya. Mari kita menyelidiki, aku ingin sekali tahu.”
Lo Sian dengan diikuti oleh Lili lalu menyelinap di antara pohon-pohon itu dan mendekati bangunan yang
besar dan indah tadi. Karena di bagian depan nampak kosong dan sunyi, mereka lalu mengitari rumah itu
dan akhirnya tiba di sebelah belakang.
Lo Sian mengajak Lili mendekati kelenteng itu dan mendadak mereka mendengar suara anak kecil tertawatawa
penuh ejekan. Lo Sian dan Lili menghampiri lantas bersembunyi di balik daun-daun pohon. Alangkah
terkejut dan heran hati mereka ketika melihat dua orang anak laki-laki di ruangan belakang yang berlantai
mengkilap itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Seorang anak laki-laki yang usianya sebaya dengan Lili nampak tangannya terikat ke belakang dan
bajunya terbuka sehingga nampak dadanya yang kurus dan perutnya yang gembung. Melihat wajahnya
yang pucat serta perutnya yang gembung itu dapat diduga bahwa ia adalah seorang anak miskin yang
sering kali menderita kelaparan dan agaknya perutnya yang gendut itu penuh dengan cacing!
Di depan anak kecil yang tangannya terikat itu, tampak berdiri seorang hwesio kecil yang berkepala gundul
licin. Hwesio kecil ini memegang sebatang pisau belati dengan tangan kanan, sedangkan tangan kirinya
menuding ke arah anak yang terikat itu. Suara ketawa tadi adalah suara ketawa dari si hwesio itu.
“Ha-ha-ha! Hendak kulihat kebenaran ucapan Suhu,” terdengar hwesio kecil itu berkata. “Kalau orang
kurus perutnya gendut, itu berarti bahwa perutnya penuh cacing! Aku tidak percaya keterangan Suhu ini
karena biasanya cacing berada di dalam tanah, mana bisa berada di dalam perutmu? Kau datang hendak
mencuri makanan dan sudah sepatutnya mendapat sedikit hukuman. Aku tidak akan membinasakanmu,
hanya akan membuktikan kebenaran ucapan Suhu. Kalau betul di dalam perutmu terdapat banyak cacing,
betapa lucunya! Ha-ha-ha, biarlah aku menolongmu dan hanya melenyapkan cacing-cacing dari dalam
perutmu. Aku adalah ahli bedah yang pandai!”
Sambil berkata demikian, hwesio kecil itu menunjuk-nunjuk perut yang gendut dari anak yang terikat kedua
tangannya itu. Sungguh mengagumkan sekali bahwa anak kecil yang terikat itu tidak menjadi ketakutan
mendengar ini, bahkan lalu tertawa!
“Kau hwesio gila, persis seperti gurumu! Memang kau dan gurumu orang-orang gila yang pura-pura
menjadi hwesio. Aku memang hendak mencuri makanan karena perutku lapar. Sekarang kau telah
menangkapku, mau bunuh mau sembelih, atau pun mau membedah perutku, terserah. Aku tidak takut!”
“Bagus, maling hina dina! Sekarang juga aku hendak mengeluarkan cacing dari perutmu yang buncit ini!”
Hwesio kecil itu melangkah maju dan dengan tangan kirinya dia meraba-raba perut anak kecil yang terikat
tangannya, seakan-akan hendak memilih dulu tempat yang tepat untuk dibelek!
“Suhu…,” dengan mata terbelalak Lili menoleh kepada suhu-nya dan menunjuk ke arah kedua anak itu,
“hwesio gila itu hendak membunuhnya!”
Lo Sian juga merasa terkejut bukan main melihat kelakuan hwesio itu dan diam-diam dia mengagumi anak
miskin itu, maka ia mengambil keputusan hendak menolongnya. Pohon di belakang mana mereka
bersembunyi mempunyai banyak buah-buah kecil dan cukup keras. Ia memetik sebutir buah yang
tergantung paling rendah dan ketika hwesio kecil itu hendak mulai dengan perbuatannya yang keji, Lo Sian
menggerakkan tangannya. Buah kecil itu lalu meluncur cepat sekali dan dengan cepat menghantam ke
arah pergelangan hwesio kecil yang memegang pisau!
Akan tetapi, ternyata hwesio yang masih kecil dan usianya sebaya dengan anak miskin itu, amat lihai dan
agaknya dapat mendengar suara sambaran buah itu. Ia cepat menarik tangannya dan buah itu kini
menyambar ke arah pisau yang dipegangnya!
“Trangg...!” Pisau itu jatuh di atas lantai mengeluarkan suara nyaring dan hwesio kecil itu melompat
mundur dengan cepat dan kaget.
Pada saat itu, Lo Sian dan Lili melompat keluar dari tempat persembunyian mereka dan berlari ke dalam
ruang itu. Hwesio kecil yang berhati kejam itu ketika melihat dua orang muncul dari balik pohon, segera
membungkuk dan memungut pisaunya tadi. Dia melihat kepada Lo Sian dan dengan berani sekali, dia
menyambut kedatangan Lo Sian dengan serangan pisaunya!
Si Pengemis Sakti terkejut juga melihat betapa serangan ini cukup hebat dan berbahaya, maka ia lalu
miringkan tubuhnya dan mengulur tangan hendak merampas pisau itu. Akan tetapi, alangkah herannya
ketika hwesio kecil itu dapat mengelak pula!
Sementara itu, Lili segera menghampiri anak yang terikat tangannya dan cepat membuka ikatan tangan.
Anak itu memandang kepadanya dengah mata mengandung rasa terima kasih, akan tetapi mereka berdua
lalu berpaling menonton pertempuran antara Lo Sian dan hwesio kecil tadi.
Sebetulnya tidak tepat kalau disebut pertempuran, oleh karena Lo Sian sebetulnya hanya ingin mencoba
sampai di mana kelihaian anak ini dan sengaja tidak ingin membalas. Dia memperhatikan gerakan hwesio
dunia-kangouw.blogspot.com
itu dan diam-diam merasa amat terkejut ketika mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh hwesio kecil itu.
Ia cepat mengulur tangan dan dengan gerakan kilat berhasil menotok pundak hwesio itu yang segera
roboh dengan tubuh lemas. Ternyata bahwa Lo Sian sudah menotok jalan darahnya yang membuatnya
menjadi lemas dan tidak berdaya, sungguh pun totokan itu tidak mendatangkan rasa sakit.
“Hayo kita cepat pergi dari sini!” kata Lo Sian kepada Lili dan anak itu.
Karena maklum bahwa anak miskin itu tidak dapat berlari cepat, Lo Sian lalu memegang tangannya dan
sebentar kemudian anak itu merasa terheran-heran sebab kedua kakinya tidak menginjak tanah dan
tubuhnya melayang-layang ditarik oleh pengemis aneh yang menolongnya.
Lili merasa heran sekali melihat betapa suhu-nya berlari seolah-olah takut pada sesuatu. Akan tetapi
melihat kesungguhan wajah suhu-nya, ia tak banyak bertanya dan mengikuti suhu-nya dengan cepat.
Setelah senja berganti malam dan keadaan menjadi gelap, mereka pun tiba di luar dusun yang berdekatan
dengan hutan itu, dan ketika itu barulah Lo Sian menghentikan larinya. Akan tetapi pengemis sakti itu
masih nampak gelisah dan berkata,
“Kita bermalam di sini saja.” Lalu dia mengajak Lili dan anak miskin itu duduk di tempat yang jauh dari jalan
kecil menuju ke kampung, bersembunyi di balik gerombolan pohon.
“Mengapa kita tidak mencari tempat penginapan di dusun, Suhu?”
Suhu-nya menggelengkan kepala. “Terlalu berbahaya.”
“Suhu, mengapa Suhu melarikan diri? Apakah yang ditakutkan? Hwesio kecil itu sudah kalah dan kenapa
kita harus berlari-lari ketakutan?” tanya Lili dengan suara mengandung penuh penasaran.
“Kau tidak tahu, Lili. Melihat dari gerakan ilmu silatnya, hwesio kecil itu tentu seorang pelayan atau murid
dari seorang tua yang sangat jahat dan lihai. Kalau betul dugaanku, maka berbahayalah apa bila kita
bertemu dengan dia!”
“Siapakah orang jahat itu, Suhu?”
Lo Sian menghela napas. “Dia itu adalah Ban Sai Cinjin, seorang pertapa yang sangat sakti dan tinggi ilmu
silatnya, akan tetapi juga amat jahat dan kejam. Aku sama sekali tak kuat menghadapinya. Kepandaiannya
sangat tinggi dan ilmu silatnya luar biasa sekali. Pernah aku melihat ia menghajar lima orang kang-ouw
yang gagah, dan karena itu ketika aku melihat gerakan hwesio kecil tadi, aku dapat menduga bahwa
kepandaian hwesio kecil itu tentu datang dari Ban Sai Cinjin!”
“Akan tetapi, Suhu...”
Tiba-tiba Lo Sian menggunakan tangannya untuk menutup mulut muridnya.
“Ssshhh...” bisiknya. Lili menjadi heran, dan anak miskin itu pun diam tak berani berkutik sedikit pun.
Tak lama kemudian, di dalam gelap terlihat bayangan orang yang bergerak cepat sekali. Bayangan itu
setelah dekat ternyata adalah bayangan seorang tua yang gemuk sekali, agak pendek dan gerakan dua
kakinya ketika berlari di atas jalan kecil menuju ke dusun itu benar-benar hebat!
Lili melihat betapa kedua kaki orang tua gemuk pendek itu seakan-akan tidak menginjak tanah, akan tetapi
jelas sekali kelihatan betapa tanah yang dilalui oleh orang itu melesak ke dalam karena injakan kakinya
ketika berlari!
Ketika orang yang berlari itu berkelebat di dekat tempat mereka sedang bersembunyi, Lili mendengar suara
yang parau dari orang itu berkata-kata seorang diri bagaikan sedang berdoa,
“Siauw-koai (Setan Kecil), Lo-koai (Setan Besar), semuanya harus tunduk kepadaku!” Ucapan ini terdengar
berkali-kali, makin lama makin perlahan sehingga akhirnya lenyap bersama bayangan orang gemuk yang
luar biasa itu! Ternyata bahwa ia lari menghilang ke dalam dusun di depan.
dunia-kangouw.blogspot.com
Barulah Lo Sian bergerak dan menghela napas ketika orang itu sudah pergi dan lenyap. “Hebat...!”
bisiknya.
“Suhu, dia itukah orang jahat yang bernama Ban Sai Cinjin?”
Gurunya mengangguk di dalam gelap. “Sekarang dia sedang mencari kita di dusun itu dan kalau kita tadi
bermalam di sana, tentu kita semua akan tewas di dalam tangannya yang kejam.”
“Akan tetapi, Suhu. Ia kelihatan bukan seperti seorang hwesio. Kepalanya biar pun botak, akan tetapi tidak
gundul dan pakaiannya mewah sekali!”
“Memang aneh. Dulu ia gundul dan berpakaian seperti hwesio. Heran benar, sekarang ia agaknya telah
menjadi orang biasa dan bajunya yang dari bulu itu menandakan bahwa ia benar-benar seorang kaya raya!
Aneh!”
Kalau Lili dan Lo Sian dapat melihat keadaan orang yang lewat tadi dengan jelas, adalah anak miskin itu
hanya melihat bayangannya yang berkelebat saja.
“Memang Ban Sai Cinjin seorang kaya!” katanya. “Kaya raya, kejam, dan gila!”
Setelah mendengar suara ini, barulah Lo Sian agaknya teringat bahwa ada orang lain di situ. Ia
memandang kepada anak miskin itu dan bertanya, “Anak yang malang, siapakah kau dan coba ceritakan
pula keadaan Ban Sai Cinjin yang kau ketahui.”
Anak itu lalu menceritakan bahwa ia bernama Thio Kam Seng, yatim piatu semenjak kecil karena ayah
bundanya meninggal dunia akibat sakit dan kelaparan. Semenjak usia enam tahun ia hidup seorang diri
sebagai seorang pengemis, merantau dari kota ke kota dan dari dusun ke dusun. Akhirnya ia sampai di
dusun Tong-sim-bun di depan itu dan telah setahun lebih ia tinggal di dusun itu dan hidup sebagai seorang
pengemis.
Ia mengetahui tentang Ban Sai Cinjin yang dikatakan sebagai seorang hartawan besar, memiliki banyak
rumah dan toko di dusun itu, bahkan telah mendirikan sebuah kelenteng besar di dalam hutan sebagai
tempat pertapaannya! Watak dari Ban Sai Cinjin yang kejam dan aneh itu memang telah terkenal, akan
tetapi oleh karena orang tua ini amat kaya, dan pula tinggi kepandaiannya, tak seorang pun berani
mencelanya.
“Aku mendengar bahwa Ban Sai Cinjin hidup mewah di dalam kelentengnya itu, bahkan sering
mendatangkan penyanyi-penyanyi dari kota dan sering pula memesan masakan-masakan mewah. Karena
aku merasa amat lapar, aku mencoba untuk mencuri makanan di kelenteng itu. Sungguh celaka aku
terlihat oleh hwesio kecil yang kejam itu dan hampir saja celaka kalau tidak mendapat pertolongan In-kong
(Tuan Penolong).”
Lo Sian si Pengemis Sakti tidak mengira sama sekali bahwa Ban Sai Cinjin adalah guru dari orang yang
menculik Lili! Memang, sesungguhnya Ban Sai Cinjin ini adalah pertapa sakti yang pernah memberi
pelajaran silat kepada Bouw Hun Ti atau penclilik Lili itu.
Kepandaian Ban Sai Cinjin memang sangat hebat dan sesudah merasakan kesenangan dunia, pertapa ini
sekarang menjadi seorang yang suka mengumbar nafsunya. Dia dapat mengumpulkan harta kekayaan dan
menjadi seorang hartawan besar, hidup mewah dan suka mengganggu anak bini orang.
Akan tetapi, untuk menutupi mata umum, ia mendirikan sebuah kelenteng besar di mana katanya
digunakan sebagai tempat ‘menebus dosa’ dan bersemedhi. Padahal sebetulnya tempat ini merupakan
tempat persembunyiannya di mana ia menghibur diri dengan cara yang amat tidak mengenal malu. Di
tempat inilah dia dapat berlaku leluasa, jauh dari mata orang dusun atau orang kota.
Ban Sai Cinjin sangat terkenal akan kelihaiannya dalam hal ginkang dan lweekang, juga senjatanya amat
ditakuti orang. Senjata ini memang istimewa sekali, karena merupakan huncwe (pipa tembakau) yang
panjang dan terbuat dari pada logam yang keras diselaput emas!
Pada waktu-waktu biasa, ia menggunakan huncwe-nya ini sebagai pipa biasa yang diisi dengan tembakautembakau
yang paling mahal dan enak, juga kantong tembakaunya yang tergantung pada gagang huncwe
ini terisi penuh dengan tembakau yang kekuning-kuningan bagaikan benang emas.
dunia-kangouw.blogspot.com
Akan tetapi pada saat dia menghadapi musuh, kantong itu akan berganti dengan sebuah kantong lain yang
berisikan tembakau luar biasa sekali yang berwarna hitam. Dan apa bila ia mengambil tembakau ini lalu
dinyalakan di dalam pipanya, maka akan tercium bau yang sangat tidak enak dan keras sekali. Asap
tembakau ini saja sudah cukup membuat lawannya menjadi pening dan pikirannya kacau karena
sebetulnya asap ini mengandung semacam racun yang berbahaya dan melemahkan semangat.
Apa lagi kalau ia sudah mainkan senjata istimewa ini yang terputar cepat dan dari mulut pipa itu
menyembur bunga api karena tembakau yang masih terbakar itu tertiup angin, bukan main berbahayanya.
Oleh karena ini pula, maka Ban Sai Cinjin mendapat julukan Si Huncwe Maut!
Lo Sian yang berhati budiman itu menjadi tergerak hatinya ketika mendengar penuturan anak miskin itu. Ia
memandang kepada Thio Kam Seng yang kurus dan pucat, dan biar pun ia maklum bahwa anak ini tidak
memiliki cukup bakat dan kecerdikan untuk menjadi seorang ahli silat, namun dia tadi telah menyaksikan
sendirl bahwa anak ini cukup tabah dan berjiwa gagah. Tadi sudah disaksikannya betapa anak ini
menghadapi maut di ujung pisau hwesio kecil itu dengan berani.
“Kam Seng, apakah kau suka ikut padaku dan belajar silat agar kelak jangan sampai kau terhina orang?”
Mendengar ucapan ini, tiba-tiba saja anak itu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil menangis!
Saking girang dan terharunya, ia sampai tak dapat mengeluarkan satu patah pun kata, hanya berkata
terputus-putus,
“Suhu..., Suhu...”
Setelah pada malam hari itu bersembunyi di sana, keesokan harinya pagi-pagi sekali Lo Sian mengajak
kedua orang muridnya untuk melanjutkan perjalanan. Dia menggandeng tangan Kam Seng agar perjalanan
dapat dilakukan dengan cepat.
Beberapa hari lewat tanpa terasa dan mereka telah memasuki Propinsi Sensi. Pada saat mereka lewat
kota Tai-goan, Lo Sian sengaja mampir di kota yang besar dan ramai itu. Kota Tai-goan terkenal dengan
araknya yang terbuat dari pada buah leci, dan karena Lo Sian adalah seorang yang suka sekali minum
arak, maka sampai beberapa hari ia tidak mau tinggalkan kota itu dan memuaskan dirinya dengan
minuman yang enak ini.
Pada suatu hari, ketika ia dan kedua orang muridnya keluar dari sebuah rumah makan di mana ia telah
menghabiskan banyak cawan arak, ia mendengar orang berseru keras dan tiba-tiba orang itu
menyerangnya dengan pukulan hebat ke arah dadanya.
Lo Sian cepat mengelak dan alangkah terkejutnya ketika melihat bahwa yang menyerang dirinya ini bukan
lain adalah orang brewok yang dahulu menculik Lili! Memang orang ini bukan lain adalah Bouw Hun Ti
yang sedang berusaha mencari gurunya dan karena dia melakukan perjalanan berkuda dengan cepat,
maka dia telah sampai di tempat itu lebih dulu dan kini ia hendak kembali ke timur setelah mendengar
bahwa suhu-nya kini tinggal di dusun Tong-sim-bun.
Kebetulan sekali di kota Tai-goan ini dia bertemu dengan Lo Sian, pengemis yang sudah merampas Lili
dari padanya itu! Tanpa menunggu lagi dia segera mengirim pukulan maut yang baiknya masih dapat
dikelit oleh Lo Sian.
Lo Sian maklum bahwa orang ini mempunyai kepandaian yang tinggi, maka dia segera mencabut
pedangnya yang selalu disembunylkan di dalam bajunya. Bouw Hun Ti tertawa bergelak melihat ini dan
segera mencabut goloknya.
“Jembel hina dina! Hari ini kau pasti akan mampus di ujung golokku!” serunya keras sambil menyerang.
Lo Sian menangkis dan mereka lalu bertempur hebat di depan rumah makan itu. Semua orang yang
menyaksikan pertempuran ini tidak ada satu pun yang berani turut campur, bahkan mereka lari cerai berai
karena takut melihat dua orang itu mainkan senjata tajam secara demikian hebatnya.
Sementara itu, ketika melihat bahwa yang menyerang suhu-nya adalah penculik brewok yang dibencinya,
seketika Lili menjadi pucat karena terkejut sekali. Akan tetapi anak ini memang hebat sekali keberaniannya.
Ia tidak melarikan diri, bahkan lalu mengumpulkan batu-batu kecil dan mulai menyambit ke arah bagian
dunia-kangouw.blogspot.com
tubuh yang berbahaya dari Bouw Hun Ti.
Sungguh pun sambitan batu yang dilepas oleh Lili ini apa bila ditujukan kepada orang biasa akan
merupakan serangan yang amat berbahaya, akan tetapi terhadap Bouw Hun Ti sama sekali tidak ada
artinya. Tidak saja semua batu itu terlempar ketika terpukul oleh sinar goloknya, biar pun andai kata
mengenai tubuhnya pun tak akan terasa olehnya!
Kam Seng yang melihat suhu-nya bertempur melawan seorang laki-laki brewok yang berwajah galak
menyeramkan, dan juga melihat betapa Lili menyambit dengan batu, tak mau tinggal diam dan ia pun mulai
menyambit pula! Akan tetapi, ia segera menghentikan bantuannya ini karena pandangan matanya telah
menjadi kabur dan silau, ketika kedua orang yang bertempur itu kini telah lenyap terbungkus oleh sinar
senjata. Kam Seng tidak dapat membedakan lagi mana gurunya dan mana lawan gurunya!
Akan tetapi, Lili yang sudah memiliki dasar-dasar ilmu silat tinggi dan sepasang matanya yang bening
sudah terlatih baik semenjak kecil oleh ayah ibunya, masih dapat melihat gerakan suhu-nya dan gerakan
musuh itu, maka masih saja ia melanjutkan sambitannya, kini lebih hati-hati dan membidik dengan baik.
Sungguh pun serangan Lili ini tidak berarti baginya, namun cukup membikin gemas hati Bouw Hun Ti.
“Setan kecil, lebih dulu kubikin mampus kau!” serunya dan tiba-tiba tubuhnya berkelebat menyambar Lili
dan goloknya membacok ke arah kepala anak kecil itu!
Lili memiliki ketenangan ayahnya dan kegesitan ibunya. Melihat sinar golok menyambar ke arah kepalanya,
dia cepat menggulingkan tubuhnya ke atas tanah lantas bergulingan menjauhkan diri. Akan tetapi, Bouw
Hun Ti yang merasa penasaran terus mengejarnya setelah menangkis serangan Lo Sian yang
menyerangnya dari samping dalam usahanya menolong muridnya.
Lili bergulingan terus sampai tiba-tiba dia merasakan bahwa tubuhnya berguling ke atas pangkuan seorang
yang duduk di bawah pohon dekat situ. Dia memandang dan ternyata bahwa ia telah berada di atas
pangkuan seorang pengemis yang tinggi kurus dan berbaju penuh tambalan dan buruk sekali.
Melihat betapa anak itu kini berada di atas pangkuan seorang pengemis, Bouw Hun Ti melanjutkan
serangannya. Akan tetapi tiba-tiba dia berseru keras dan goloknya terpental hampir terlepas dari pegangan
pada waktu golok itu telah mendekati tubuh Lili. Ternyata bahwa pengemis jembel itu telah mengangkat
tongkatnya dan menangkis golok itu!
“Hemm, manusia kejam! Apakah kau masih mau menjual lagak di hadapan Mo-kai Nyo Tiang Le?”
Bouw Hun Ti makin terkejut karena ia sudah mendengar nama Pengemis Setan ini yang amat lihai! Tadi
ketika menghadapi Lo Sian, walau pun dia yakin akan bisa mendapatkan kemenangan, akan tetapi
kepandaian Lo Sian sudah cukup kuat sehingga ia tak mungkin menjatuhkannya dalam waktu pendek. Apa
lagi sekarang ditambah pula dengan seorang pengemis aneh yang dari tangkisan tongkatnya tadi saja
sudah menunjukkan bahwa ilmu kepandaiannya amat tinggi!
Bagaimana sebatang tongkat bambu dapat menangkis goloknya yang terkenal tajam dan yang digerakkan
dengan tenaga luar biasa? Bouw Hun Ti menjadi gentar juga kemudian dengan marah sekali ia lalu
melarikan diri! Ia ingin cepat-cepat bertemu dengan gurunya untuk minta pertolongan dan bantuan.
Lo Sian yang baru dapat mengenali pengemis itu, cepat-cepat menghampiri dan berseru girang. “Suheng!
Kau di sini?”
“Sute, dari mana kau mendapatkan anak ini?” Mo-kai Nyo Tiang Le balas bertanya tanpa menjawab
pertanyaan adik seperguruannya.
Mendengar pertanyaan ini, barulah Lo Sian teringat kepada Bouw Hun Ti yang sudah melarikan diri. Ia
menghela napas dan berkata,
“Sayang sekali Suheng. Orang yang dapat menjawab pertanyaanmu itu sudah melarikan diri. Aku sendiri
tidak tahu siapa sebetulnya anak ini.” Ia lalu menuturkan pengalamannya pada waktu merampas Lili dari
tangan Bouw Hun Ti, kemudian menuturkan pula tentang pengalamannya menolong Thio Kam Seng.
Si Pengemis Setan itu tertawa terbahak-bahak mendengar penuturan Lo Sian. Ia segera memandang
kepada Lili yang kini sudah berdiri, lalu berkata kepadanya, “Hemm, anak nakal! Kau tidak mau
dunia-kangouw.blogspot.com
menceritakan siapa ayah ibumu? Ha-ha-ha, tak perlu kau bercerita lagi! Aku sudah tahu, siapa ayahmu!
Dia adalah seorang maling, seorang tukang colong ayam! Karena itulah maka kau malu untuk mengaku!
Ha-ha-ha!”
Bukan main marahnya hati Lili mendengar ucapan ini. Gadis cilik ini berdiri tegak dengan kepala
dikedikkan, dadanya diangkat dan pandang matanya bersinar-sinar seakan-akan mengeluarkan cahaya
api. Kalau ada orang yang telah mengenal ibunya, dan melihat Lili bersikap seperti itu, tentulah akan
mengatakan bahwa anak perempuan ini persis sekali seperti ibunya kalau sedang marah.
“Kau... kau berani menghina ayahku? Jika Ayah mendengar hal ini, biar pun kau berada di ujung dunia,
Ayah pasti akan mematahkan batang lehermu! Ayahku adalah seorang gagah perkasa tanpa tandingan!
Orang macam kau, biar ada seratus pun akan dapat dia patahkan batang lehernya dengan mudah!” Lili
betul-betul marah bukan main mendengar ayahnya disebut tukang colong ayam!
Kembali Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. Agaknya dia geli sekali sehingga sambil tertawa dia
meraba-raba perutnya. “Ha-ha-ha-ha! Pandai sekali kau menutupi keadaan ayahmu! Ha-ha-ha, ayahmu
hanya seorang maling kecil. Memang dia bisa mematahkan batang leher, akan tetapi hanyalah batang
leher ayam. Tentu saja dia kuat mematahkan batang leher seratus ekor ayam yang dicurinya! Ha-ha-ha!”
“Orang tua kurang ajar!” Lili semakin marah hingga ia membanting-banting kakinya yang kecil.
Dia lupa bahwa suhu-nya tadi menyebut suheng kepada jembel ini. Namun, jangankan baru supek-nya
yang baru dikenal sekarang, walau pun siapa juga tidak boleh menghina ayahnya!
“Hati-hatilah kau! Beritahukan siapa namamu supaya dapat kuberitahukan kepada Ayah. Kau pasti akan
dipukul mati! Siapakah orangnya yang tidak tahu bahwa Ayah...” tiba-tiba Lili terhenti karena ia teringat
bahwa ia tidak ingin memberitahukan nama orang tuanya, bahkan ia belum pernah mengaku kepada suhunya.
“...bahwa ayahmu hanyalah seorang tukang colong ayam...!” Pengemis tua itu langsung melanjutkan katakatanya
yang terhenti sambil tertawa bergelak.
“Bukan!” Lili menggigit bibirnya dengan hati gemas. “Nah, biarlah aku mengaku! Ayahku adalah Sie Cin Hai
yang berjuluk Pendekar Bodoh! Ibuku adalah Kwee Lin yang terkenal gagah perkasa! Siapa yang tidak
kenal kepada ayah ibuku yang menjadi murid terkasih dari Sukong Bu Pun Su?”
Sambil berkata demikian, Lili memandang dengan tajam kepada pengemis itu dan juga kepada gurunya. Ia
merasa bangga dan girang sekali ketika melihat betapa pengemis itu yang tadinya tengah tertawa, kini
membuka mulutnya dengan melongo, ada pun suhu-nya sendiri pun memandangnya dengan mata
terbelalak heran!
Lo Sian lalu mengelus-elus kepala Lili dan berkata, “Ah, anak baik, kenapa tidak dulu-dulu kau katakan
kepadaku? Jika aku tahu, tentu kau sudah kuantarkan kepada orang tuamu! Aku tahu siapa adanya ayah
ibumu itu dan ketahuilah bahwa Suhu-mu dan Supek-mu ini masih orang-orang segolongan dengan
ayahmu!”
“Akan tetapi, mengapa Supek tadi menghina ayahku? Mengapa ayahku disebut tukang colong ayam?”
Nyo Tiang Le tertawa bergelak dan Lo Sian juga tersenyum. “Lili, Supek-mu tadi hanya bergurau. Pada
waktu ia mengatakan bahwa ayahmu seorang maling ayam, ia tidak tahu bahwa ayahmu adalah Sie
Taihiap! Kalau ia tidak mempergunakan akal ini, apakah kau akan suka menyebutkan nama ayahmu?”
Lili memang cerdik. Kini ia tahu bahwa ia telah kena diakali, maka sambil tersenyum ia berkata kepada Nyo
Tiang Le, “Supek sudah menipuku! Akan tetapi, kalau Supek tidak menarik kembali ucapannya tadi, aku
selamanya akan benci kepada Supek!”
Suara tawa Mo-kai Nyo Tiang Le makin keras. “Ha-ha-ha! Siapa bilang bahwa Pendekar Bodoh pencuri
ayam? Apa bila ada orang yang mengatakan demikian di depanku, mulut orang itu tentu akan kuhajar
dengan seratus kali pukulan tongkatku! Tidak, anak manis, ayahmu bukan pencuri ayam akan tetapi dia
adalah seorang pendekar besar yang gagah perkasa!”
Berserilah wajah Lili mendengar pujian terhadap ayahnya ini.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suheng, kalau begitu, aku hendak mengantarkan anak ini pulang kepada Sie Taihiap di Shaning.”
Nyo Tiang Le menggelengkan kepalanya. “Berbahaya sekali, Sute! Kau tentu telah dapat menduga siapa
adanya orang brewok tadi?”
Lo Sian menggelengkan kepalanya. “Sungguh pun ilmu silatnya sangat lihai dan gerakan goloknya
mengingatkan aku akan ilmu kepandaian golok milik Ban Sai Cinjin, akan tetapi sesungguhnya aku tidak
tahu siapa adanya orang itu.”
“Dia adalah murid dari Ban Sai Cinjin, seorang peranakan Turki. Apakah kau masih ingat pada Balutin yang
dulu memimpin barisan Turki ke pedalaman dan menimbulkan banyak kerusakan!”
Lo Sian mengangguk karena dahulu ia memang membantu tentara kerajaan menghadapi perwira yang
amat tangguh itu.
“Nah, orang tadi adalah putera dari Balutin itulah! Namanya Bouw Hun Ti dan dia amat lihai, apa lagi
setelah mendapat latihan dari Ban Sai Cinjin. Entah mengapa dia menculik anak Pendekar Bodoh ini, akan
tetapi sudah jelas bahwa kalau ia melihat kau mengantar anak ini pulang, tentu ia akan turun tangan dan
hal ini berbahaya sekali.”
Lo Sian menundukkan kepalanya karena dia juga maklum bahwa kepandaian Bouw Hun Ti masih lebih
tinggi dari pada kepandaiannya sendiri sehingga ia tidak dapat melindungi keselamatan Lili dengan baik.
“Habis, bagaimana baiknya, Suheng?”
“Aku sedang dalam perjalanan menuju ke tempat pertapaan Pok Pok Sianjin di puncak Beng-san. Biarlah
kubawa kedua anak ini bersamaku ke sana. Kau pergilah seorang diri mencari Pendekar Bodoh dan
memberi tahu bahwa puterinya sudah selamat dan sedang bersama dengan aku. Kam Seng ini nasibnya
buruk dan patut ditolong. Sedangkan dulu aku pernah mendapat pertolongan dari Bu Pun Su, maka
sekarang sudah selayaknyalah apa bila aku membalas dan menolong cucu muridnya ini! Nona kecil, kau
tentu mau ikut dengan aku, bukan?”
Lili memandang kepada suhu-nya dan berkata, “Suhu, teecu memang tidak mau pulang. Teecu baru mau
pulang kalau Ayah dan Ibu menyusul teecu! Akan tetapi, bila selamanya teecu harus ikut Supek, teecu
tidak suka.”
“Mengapa begitu, Lili?” tanya Lo Sian sambil tersenyum.
“Supek seorang pengemis!”
“Hussh!” kata Lo Sian mencela. “Aku pun seorang pengemis!”
“Benar, akan tetapi Suhu berbeda dengan Supek. Suhu adalah pengemis bersih, akan tetapi Supek...”
“Hussh, Lili!” Menegur suhu-nya.
Akan tetapi Mo-kai Nyo Tiang Le bahkan tertawa geli dan berkata, “Biarlah, Sute. Sudah sewajarnya apa
bila seorang anak perempuan suka akan kebersihan dan keindahan. He, Lili anak nakal, kau lihatlah baikbaik,
apakah aku masih nampak kotor dan menjijikkan?”
Dengan gerakan yang luar biasa cepatnya kedua tangan Pengemis Setan itu bergerak dan tahu-tahu jubah
luarnya yang butut itu telah terlepas sehingga Lili dan juga Thio Kam Seng, anak piatu itu memandang
dengan mata terbelalak heran.
Setelah jubah butut kotor dan penuh tambalan itu terlepas, kini pengemis tua itu nampak bersih dan gagah
sekali. Tubuhnya tertutup oleh pakaian warna putih bersih dari sutera halus, sebatang pedang tergantung
di pinggang kirinya! Dan sikap pengemis tua itu pun berubah sama sekali, wajahnya yang tadi tertawa-tawa
bagaikan orang gila itu menjadi sungguh-sungguh dan nampak kereng sekali!
“Bagaimana, apakah kau masih merasa jijik untuk ikut Supek-mu?” tanya Nyo Tiang Le dengan suara
kereng.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lili merasa heran dan tertegun sehingga dia memandang dengan mata tak berkedip, lalu menggelengkan
kepalanya. Pengemis tua yang aneh itu kemudian mengenakan kembali pakaian bututnya dan wajahnya
kembali berseri-seri. Kini Lili baru merasa lega, karena sebenarnya hatinya lebih enak dan senang
menghadapi pengemis tua yang berpakaian butut dan yang tertawa-tawa ramah ini dari pada
menghadapinya dalam pakaian gagah dan sikap kereng tadi!
“Kenapa pakaian bersih dan indah ditutupi oleh pakaian yang demikian kotor dan buruk?” kini ia berani
membuka mulut bertanya.
Nyo Tiang Le tertawa bergelak, seperti tadi sebelum memperlihatkan pakaiannya yang dipakai di sebelah
dalam.
“Ha-ha-ha, anak baik! Banyak sekali orang yang di luarnya mengenakan pakaian-pakaian indah dan mahal,
memakai baju kebesaran dan tanda pangkat, akan tetapi coba bukalah pakaian yang indah-indah itu, kau
akan melihat sesuatu yang kotor, seperti sebutir buah yang kulitnya merah kekuningan dan nampak segar
akan tetapi apa bila dikupas kulitnya akan terlihat isinya busuk! Bagiku, aku lebih suka yang sebaliknya,
dari luar tampak kotor akan tetapi di sebelah dalam bersih! Ha-ha-ha!”
Lili tidak percuma menjadi puteri Pendekar Bodoh, seorang pendekar besar yang gagah perkasa dan yang
terkenal ahli dalam hal filsafat hidup dan hafal akan semua ujar-ujar kuno. Telah sering kali ayahnya
memberi pelajaran budi pekertiepadanya dan sering kali pula dia mendengar ayahnya mengucapkan ujarujar
kuno mengenai filsafat hidup. Dan kini, mendengar ucapan Nyo Tiang Le itu, anak yang berotak tajam
ini dapat menangkap maksudnya, maka dia lalu membantah,
“Supek, betapa pun juga aku lebih suka lagi kalau yang bersih itu tidak hanya dalamnya saja, akan tetapi
luar dalam! Biar pun isinya sama bersih dan sama enak, kalau disuruh memilih, aku lebih suka buah yang
kulitnya menarik dan bersih dari pada yang kulitnya kotor!”
Kembali Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. “Benar benar! Kau memang seorang perempuan, sudah
seharusnya tahu merghargai keindahan, luar mau pun dalam!”
Demikianlah, sesudah memesan kepada Lili dan Kam Seng supaya patuh kepada supek mereka, dan
memberi janji kepada Lili bahwa kelak mereka tentu akan bertemu kembali, Lo Sian lalu meninggalkan
mereka menuju ke timur untuk mencari Pendekar Bodoh di Shaning dan mengabarkan tentang keadaan Lili
kepada pendekar besar itu.
Nyo Tiang Le juga segera membawa kedua anak itu melanjutkan perjalanan menuju ke Bukit Beng-san.
Pengemis Setan ini sungguh pun menjadi suheng dari Lo Sian, akan tetapi apa bila dibandingkan dengan
Pengemis Sakti itu, kepandaiannya jauh lebih tinggi, juga usianya berbeda jauh sekali. Lo Sian baru
berusia tiga puluh lima tahun, akan tetapi Mo-kai Nyo Tiang Le usianya sudah lima puluh tahun lebih.
Bahkan kepandaian Lo Sian sebagian besar terlatih oleh Nyo Tiang Le dan suhu mereka hanya memberi
pelajaran-pelajaran dasar saja kepada Sin-kai Lo Sian. Kepandaian Nyo Tiang Le ini hanya sedikit lebih
rendah dibandingkan tingkat kepandaian empat besar di timur, barat, selatan, dan utara, yakni Hok Peng
Taisu guru Ma Hoa, Pok Pok Sianjin di Beng-san yang kini menjadi guru dari Sie Hong Beng putera
Pendekar Bodoh, mendiang Bu Pun Su, guru dari Cin Hai si Pendekar Bodoh dan isterinya, dan Swi Kiat
Siansu, tokoh di utara yang terkenal dengan senjatanya kipas maut itu! Kepada empat orang tokoh besar
ini, Nyo Tiang Le telah kenal baik, bahkan dia pernah mendapat pertolongan dari Bu Pun Su yang terkenal
paling lihai di antara para tokoh besar itu.
Mo-kai Nyo Tiang Le suka sekali melihat Lili dan karena ia tidak mempunyai murid, maka melihat murid
sute-nya ini tergeraklah hatinya. Diam-diam ia mengambil keputusan untuk mewariskan ilmu pedangnya
kepada Lili yang ia tahu memiliki bakat yang baik sekali. Dia memang sedang menuju ke Beng-san untuk
bertemu dengan Pok Pok Sianjin, seorang di antara tokoh-tokoh besar dunia persilatan masih hidup.
Thio Kam Seng, anak yatim piatu yang bernasib malang itu, benar-benar telah mendapat karunia besar
dan agaknya nasibnya telah mulai bersinar terang saat ia bertemu dengan Lo Sian, karena tak disangkasangkanya
bahwa ia akan terjatuh ke dalam tangan orang luar biasa sehingga ia dapat menjadi murid
seorang gagah seperti Lo Sian, bahkan kini ia ikut melakukan perjalanan dengan Nyo Tiang Le dan ikut
pula mendapat latihan ilmu silat tinggi…..
dunia-kangouw.blogspot.com
********************
Mari sekarang kita mengikuti perjalanan Cin Hai dan Lin Lin yang meninggalkan rumah mereka di Shaning
untuk pergi mencari puteri mereka yang lenyap terculik orang.
Semenjak Kong Hwat Lojin atau Nelayan Cengeng yang menjadi guru dan ayah angkat Ma Hoa meninggal
dunia pada dua tahun yang lalu, belum pernah Pendekar Bodoh dan isterinya mengunjungi Tiang-an. Maka
setelah mereka tiba di perbatasan kota Tiang-an, mereka berhenti sebentar dan memandang tembok kota
itu dengan pikiran yang penuh kenangan masa lampau. Bagi Lin Lin, kota ini adalah kota kelahirannya dan
bagi Cin Hai, kota ini pun merupakan kota di mana dia pernah mengalami banyak sekali penderitaan hidup
pada waktu dia masih kecil.
Mereka memasuki kota dan mengunjungi rumah Kwee An. Rumah ini adalah rumah tua, gedung besar dan
kuno yang dulu menjadi tempat tinggal mendiang Kwee In Liang, yaitu ayah Kwee An dan Kwee Lin.
Kedatangan mereka mendapat sambutan yang hangat sekali dari Kwee An dan Ma Hoa. Ma Hoa
merangkul Lin Lin dan sampai lama mereka saling peluk dan mencium dengan hati girang sekali.
“Enci Ma Hoa, sekarang kau makin gemuk dan makin cantik saja!” Lin Lin berkata sambil memandang
kepada soso (kakak iparnya) itu. Oleh karena sudah terbiasa sejak belum menikah dulu, Lin Lin tidak
menyebut soso pada iparnya ini, akan tetapi masih menyebut enci.
“Lin Lin, kaulah yang semakin cantik, akan tetapi mengapakah kau kelihatan agak pucat? Terlalu lelahkah
kau dalam perjalananmu ke sini?”
Cin Hai dan Kwee An yang saling berpegang tangan dengan perasaan gembira itu juga mengucapkan
kata-kata ramah tamah.
“Ahhh, kami mendapat kesusahan,” kata Lin Lin sambil menghela napas lalu menggigit bibirnya untuk
menahan jangan sampai meruntuhkan air mata. “Lili telah terculik orang!”
Pucatlah wajah Ma Hoa dan Kwee An mendengar berita hebat ini.
“Apa...?!” Ma Hoa melompat bangun dan memegang lengan tangan Lin Lin. “Siapa orang yang demikian
berani mampus melakukan hal itu? Lin Lin, beritahukan siapa orangnya, akan kuhancurkan kepalanya!” Ma
Hoa benar-benar marah sekali mendengar berita ini dan sepasang matanya berkilat.
Kwee An juga marah sekali dan kedua tangannya dikepal, akan tetapi ia lebih tenang dan sabar dari pada
isterinya. Ia memegang tangan adiknya dan berkata,
“Ahh, bagaimana bisa terjadi hal itu? Lin Lin, marilah kita semua masuk ke dalam dan ceritakanlah hal itu
sejelasnya.”
Suara yang lemah lembut dan sikap mencinta dari kakaknya ini lebih tajam menyentuh perasaan Lin Lin
dari pada sikap Ma Hoa yang menunjukkan pembelaannya dengan hati marah. Tak terasa lagi Lin Lin
meramkan mata menahan keluarnya air mata yang tetap saja menembus celah-celah bulu matanya lantas
mengalir turun ke atas pipinya. Sambil menyandarkan kepalanya di pundak Kwee An, Lin Lin menangis
dan menurut saja ditarik oleh Kwee An menuju ke ruang dalam, diikuti oleh Cin Hai dan Ma Hoa.
Setelah mereka duduk di atas kursi dan Lin Lin sudah dapat menekan perasaan gelisah dan sedihnya,
maka berceritalah Lin Lin dan Cin Hai mengenai penculikan terhadap Lili, dan juga tentang terbunuhnya
Yousuf. Mendengar bahwa Yousuf terbunuh pula dalam keadaan yang sangat mengerikan dan
menyedihkan, yaitu dipenggal kepalanya, Ma Hoa menjerit dan menangis tersedu-sedu. Kemudian ia
berdiri dan dengan tangan terkepal ia berkata keras,
“Lin Lin, kita harus mencari jahanam itu sampai dapat! Hatiku belum puas kalau belum menusuk mata
jahanam itu dengan senjataku!”
Juga Kwee An merasa marah dan sedih sekali mendengar berita ini. Ketika mendengar dari Cin Hai bahwa
menurut orang-orang yang melihatnya, pembunuh Yousuf itu adalah seorang Turki, Kwee An berkata,
“Tidak mungkin salah lagi, tentu pembunuhnya adalah utusan Pangeran Muda dari Turki yang semenjak
dahulu memusuhi Yo-pekhu!”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Kami pun menduga demikian,” kata Cin Hai. “Oleh karena itu, kami hendak menyusul ke barat, hendak
mencari keterangan dan menyelidiki ke Kansu di mana banyak terdapat orang-orang Turki baik pengikut
Pangeran Muda mau pun pengikut Pangeran Tua.”
“Betul sekali,” kata Kwee An mengangguk-anggukkan kepala. “Di sana banyak terdapat kawan-kawan baik
dari Yo-pekhu, dan kurasa dari mereka ini kau akan bisa mendapatkan keterangan.”
“Aku ingin sekali ikut pergi,” tiba-tiba saja Ma Hoa berkata, “aku ingin mendapat bagianku menghajar
penculik Lili!”
Kwee An memandang kepada isterinya, kemudian sambil tersenyum dia berkata, “Dalam keadaanmu
sekarang ini lebih baik jangan melakukan perjalanan sejauh itu.”
Ma Hoa membalas pandangan suaminya dan tiba-tiba mukanya berubah merah. Lin Lin mengerti akan
maksud ucapan itu, maka dia merangkul Ma Hoa sambil berkata, “Enci yang baik! Sudah berapa
bulankah?”
Makin merahlah muka Ma Hoa dan dengan suara perlahan ia berkata, “Dua...”
Cin Hai sama sekali tidak mengerti apakah maksud pembicaraan antara isterinya dan Ma Hoa, maka ia
memandang kepada mereka dengan sinar mata bodoh. Melihat wajah dan pandangan mata bodoh dari Cin
Hai ini, tak tertahan pula Ma Hoa dan Lin Lin tertawa geli, bahkan Kwee An juga tersenyum, teringat akan
peristiwa dulu-dulu tentang Cin Hai yang dalam beberapa hal memang agak bodoh. Pandangan mata
seperti itulah yang lalu membuat ia mendapat julukan Pendekar Bodoh!
“Eh, eh, kalian mengapakah?” Cin Hai tidak merasa aneh melihat isterinya tertawa-tawa, oleh karena
memang demikianlah sifat Lin Lin. Dalam keadaan bersedih dia bisa tertawa gembira, sebaliknya dalam
kegembiraan tiba-tiba murung!
“Jangan tanya-tanya, ini urusan wanita. Laki-laki tahu apa!” kata Lin Lin.
Akhirnya bisa juga Cin Hai menduga bahwa yang dimaksudkan tentu Ma Hoa kini dalam keadaan
mengandung dua bulan. Akan tetapi karena merasa jengah dan malu, dia diam saja.
Dua pasang suami isteri itu lalu bercakap-cakap melepaskan rindu.
“Eh, sampai lupa aku! Mana si cantik Goat Lan? Kenapa semenjak tadi aku tidak melihat dia?” kata Lin Lin.
“Ah, dia telah dibawa oleh dua orang kakek yang kalian tentu sudah kenal namanya.”
“Dibawa? Apa maksudmu? Siapakah mereka?” tanya Cin Hai.
“Goat Lan telah diambil murid oleh Im-yang Giok-cu dan Sin Kong Tianglo dan dibawa ke Liong-ki-san
untuk dilatih ilmu silat.”
Cin Hai dan Lin Lin merasa girang mendengar ini dan keduanya lalu memberi selamat. Ma Hoa
menceritakan peristiwa tentang kedatangan kedua orang kakek gagah itu di Kuil Ban-hok-tong.
“Enci Hoa,” kata Lin Lin yang mendadak teringat akan sesuatu, “aku sudah mengadakan pembicaraan
dengan suamiku mengenai anakmu itu. Kau tentu dapat menduga maksud kami, yaitu tentang anakmu dan
anak kami Hong Beng.”
Wajah Ma Hoa berseri. “Ahh, bagaimana dengan puteramu yang elok itu?”
Lin Lin lalu menceritakan bahwa Hong Beng sudah diantarkan ke Pok Pok Sianjin untuk menerima latihan
ilmu silat.
“Kiranya tidak ada jodoh yang lebih tepat bagi Hong Beng selain anakmu yang cantik itu. Bagaimana kalau
kita resmikan pertunangan itu sekarang?”
Kwee An tertawa. “Kedua anak itu baru berusia sepuluh tahun, bagaimana pertunangan mereka harus
dunia-kangouw.blogspot.com
diresmikan?”
“Maksudku, pertunangan ini disahkan di antara kita, orang-orang tua mereka. Kau tentu menerima
pinanganku, bukan?” menegaskan Lin Lin.
“Lin Lin, kau masih saja tidak sabar seperti dulu!” kata Ma Hoa tertawa. “Dulu pernah kita bicarakan hal ini
dan sudah saling setuju. Tentu saja, kami setuju sekali dan menerima pinanganmu dengan kedua tangan
terbuka. Memang selain putera kalian siapa lagi yang patut menjadi mantu kami?”
Demikianlah, di antara tawa dan sendau gurau, mereka meresmikan pertunangan Hong Beng dan Goat
Lan. Dengan amat mudahnya Lin Lin telah lupa kesedihannya kehilangan Lili. Cin Hai yang pendiam tidak
dapat melupakan nasib puterinya, akan tetapi tidak tega untuk mengingatkan isterinya mengenai hal yang
tidak menyenangkan ini, maka dia diam saja.
Sesudah mengunjungi Kwee Tiong atau Thian Tiong Hosiang, ketua Kuil Ban-hok-tong, kakak tertua dari
Lin Lin yang kini menjadi hwesio alim itu, Lin Lin dan Cin Hai segera melanjutkan perjalanannya ke barat.
Mereka hanya bermalam satu malam saja di rumah Kwee An. Ma Hoa dan suaminya mengantarkan
mereka sampai di luar batas kota dan mereka lalu berpisah.
Cin Hai dan Lin Lin melanjutkan perjalanan mereka dengan cepat dan sesudah berpisah dari Ma Hoa,
seluruh perhatian Lin Lin kembali tercurah kepada puterinya dan timbul lagi kegelisahannya. Perjalanan
mereka amat jauh, dan beberapa pekan kemudian setelah melaksanakan perjalanan cepat sekali, barulah
mereka tiba di Kansu dan menuju ke kota Lancouw. Pada sepanjang perjalanan mereka teringat akan
segala pengalaman mereka yang penuh bahaya pada sepuluh tahun lebih yang lampau pada waktu
mereka dengan kawan-kawan lain mengunjungi propinsi ini.
Cin Hai dan Lin Lin lalu masuk ke perkampungan orang Turki di mana dahulu Yousuf tinggal. Orang-orang
Turki yang tinggal di sana ternyata masih ingat kepada mereka, karena pada saat mereka masuk ke
kampung itu, mereka disambut dengan girang sekali oleh para kawan dari Yousuf itu. Cin Hai segera
dihujani pertanyaan mengenai keadaan Yousuf.
Ketika mendengar bahwa bekas pemimpin mereka itu telah tewas dengan keadaan amat menyedihkan,
dipenggal kepalanya oleh seorang Turki lain yang brewok, maka sedihlah hati mereka.
“Bouw Hun Ti!” seru seorang di antara mereka yang sudah lanjut usianya. “Tentu Bouw Hun Ti si anjing
pengkhianat yang melakukan hal itu.”
Cin Hai dan Lin Lin segera mendesak orang tua itu.
“Sahabat,” kata Cin Hai, “sesungguhnya kami datang dari tempat yang amat jauh, tak lain maksud kami
hanyalah hendak menemui saudara-saudara dan minta pertolongan untuk menduga siapa adanya bangsat
yang telah membunuh Yo Se Fu dan yang telah berani menculik puteri kami itu. Tadi kami mendengar
disebutnya nama Bouw Hun Ti, siapakah gerangan dia itu dan mengapa kalian mengira bahwa dialah yang
melakukan perbuatan itu?”
Orang Turki tua itu baru saja datang dari Turki dan ia tahu akan keadaan Bouw Hun Ti, maka dia lalu
menceritakan sejelasnya kepada Cin Hai dan Lin Lin. Ketika mendengar bahwa Bouw Hun Ti diutus oleh
Pangeran Muda untuk membawa Yousuf dengan paksa ke Turki dan bahwa Bouw Hun Ti adalah putera
dari Balutin dan terkenal jahat kejam dan berkepandaian tinggi.
Cin Hai dan Lin Lin tidak ragu-ragu lagi bahwa memang dialah orang yang dicari-carinya. Mereka lalu
mengambil keputusan untuk menunggu di Lancouw, menghadang perjalanan Bouw Hun Ti yang tentunya
akan pulang ke Turki dengan membawa Lili yang diculiknya, karena menurut keterangan orang-orang Turki
itu, Bouw Hun Ti sampai saat itu belum kembali dari timur.
Akan tetapi, setelah menanti dua pekan belum juga kelihatan penculik dan pembunuh itu datang, Cin Hai
dan Lin Lin menjadi kecewa dan gelisah bukan main. Betapa pun lambat musuh itu melakukan perjalanan,
tidak mungkin akan makan waktu selama itu. Akhirnya Cin Hai dan Lin Lin mengambil keputusan untuk
kembali ke timur, mencari musuh yang membawa lari puteri mereka itu.
Kepada orang-orang Turki yang ada di situ mereka minta tolong agar supaya mengamat-amati, jika melihat
Bouw Hun Ti dan seorang anak perempuan, agar berusaha merampas anak perempuan itu. Orang-orang
dunia-kangouw.blogspot.com
Turki itu maklum bahwa Lin Lin adalah anak angkat Yousuf, sehingga dengan demikian anak perempuan
yang diculik oleh Bouw Hun Ti itu adalah cucu dari Yousuf, maka tentu saja mereka bersedia untuk
membantu suami isteri itu dan menolong Lili. Mereka maklum bahwa di antara mereka tidak seorang pun
dapat melawan Bouw Hun Ti yang lihai, akan tetapi dengan akal dan tipu, mereka merasa yakin akan
dapat menculik kembali anak itu dari tangan Bouw Hun Ti dan mengantarkannya kepada suami isteri itu.
Maka berangkatlah Cin Hai dan Lin Lin kembali ke timur. Sungguh pun mereka merasa kecewa dan
gelisah, akan tetapi ada juga sedikit kegembiraan karena sudah mengetahui nama dan keadaan musuh
besar mereka.
Kini mereka kembali ke timur tidak melalui jalan yang mereka lalui ketika mereka menuju ke Lancouw,
yakni jalan sebelah selatan, akan tetapi mereka melalui jalan sebelah timur, di sepanjang perbatasan
Mongolia Dalam. Mereka mengambil keputusan hendak mampir di tempat pertapaan Pok Pok Sianjin untuk
menengok Hong Beng yang belajar ilmu silat di situ…..
********************
Mo-kai Nyo Tiang Le bersama dua orang anak-anak murid sute-nya, yakni Lili dan Kam Seng, sampai di
Gunung Beng-san. Dengan perlahan Nyo Tiang Le mengajak dua orang anak-anak itu mendaki bukit yang
indah sambil menikmati pemandangan alam yang luar biasa mengagumkan.
Setelah jatuh ke tangan orang-orang yang bisa ia percaya, Kam Seng kini timbul kembali sifat-sifat aslinya,
yaitu pemberani, bersemangat, dan jenaka. Lili merasa suka kepada kawan ini dan ketika mendaki bukit
yang indah itu, Lili dan Kam Seng mendahului supek mereka sebab Pengemis Setan ini sebentar-sebentar
berhenti untuk menikmati keindahan pemandangan alam.
Lili dan Kam Seng sudah diberi tahu oleh supek ini bahwa tuiuan mereka adalah puncak bukit di sebelah
utara itu. Maka mereka tidak sabar menunggu supek mereka yang dapat berdiri diam bagaikan patung
sampai lama sekali untuk menikmati tamasya alam.
“Supek benar-benar aneh,” kata Kam Seng sambil tertawa dan napas tersengal karena ia harus mengikuti
Lili yang gerakannya lebih gesit dan sangat cepat itu, “apakah indahnya pohon-pohon dan rumput di bawah
gunung?”
Lili hanya tersenyum sambil berkata, “Hayo cepat kita naik. Itu di atas banyak kembang merah yang indah!”
Dia lalu melompat ke depan dengan cepat bagaikan seekor anak kijang. Tentu saja Kam Seng tak bisa
menyusulnya, dan anak yang sudah terengah-engah akibat telah mendaki bukit itu mencoba untuk
mempercepat langkahnya sambil bersungut-sungut,
“Supek aneh, Lili juga aneh. Kembang macam itu saja, apa sih indahnya?”
Memang, Kam Seng yang sejak kecil selalu menderita lahir batin, perasaannya menjadi acuh tak acuh,
hingga tak dapat merasai atau menikmati sesuatu yang sedap dipandang. Matanya telah terlampau banyak
melihat hal-hal yang menimbulkan rasa sedih dan putus harapan, bahkan dulu ketika ia menderita
kelaparan dan kesengsaraan, segala sesuatu yang betapa indah pun nampak buruk dan menjemukan.
Karena Lili berhenti dan mengagumi bunga-bunga yang tumbuh di pinggir jalan kecil itu, maka Kam Seng
dapat menyusulnya juga. Lili meraba bunga itu, dan nampaknya girang bukan main. Kedua pipinya
bersinar kemerahan, matanya berseri gembira. Ia memetik beberapa tangkai bunga yang terindah, diikat
menjadi satu kemudian dibawanya dengan hati-hati dan penuh rasa sayang.
Pada saat itu dari sebuah lereng bukit berlari turun seorang anak laki-laki yang sangat gesit gerakannya.
Anak ini berwajah tampan dan gagah sekali. Sepasang alisnya hitam tebal, kelihatan jelas kulit mukanya
yang putih kemerahan. Rambutnya juga tebal dan hitam, diikat di atas kepala dengan sehelai pita kuning.
Tubuhnya tegap hingga nampak telah hampir dewasa, biar pun usianya sebenarnya baru sebelas tahun
kurang. Matanya lebar dan bersinar terang, membayangkan bahwa dia mempunyai watak yang jujur.
Anak laki-laki ini berlari turun dengan muka mengandung kemarahan. Ia melihat ada dua orang anak yang
berada di taman bunga itu dan melihat pula seorang anak perempuan memetiki kembang yang menjadi
kesayangan gurunya, maka dia menjadi marah sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hai! Jangan sembarangan memetik dan merusak kembang!” tegurnya dari jauh sambil berlari cepat
menghampiri Lili dan Kam Seng.
Lili dan Kam Seng terkejut, lalu memandang. Kam Seng diam saja karena merasa bahwa jika taman bunga
ini kepunyaan seseorang, memang mereka berdua telah berlaku salah. Akan tetapi Lili yang berwatak
keras tentu saja tidak mau mengaku salah begitu saja. Ia memutar tubuh menanti kedatangan anak lakilaki
itu dan berteriak,
“Turunlah! Apa kau kira aku takut padamu? Kembang indah memang sudah seharusnya dipetik, mengapa
kau bilang merusak?”
Anak laki-laki yang berlari turun itu ketika mendengar suara Lili dan setelah berada lebih dekat, berubah
menjadi girang sekali dan seketika itu juga lenyaplah kemarahannya.
“Lili...!” serunya girang dan dia mempercepat larinya.
Lili tertegun mendengar suara ini. Tadi ia memang tak dapat melihat jelas, karena senja kala telah mulai
tiba dan udara menjadi kurang terang. Kini mendengar suara panggilan itu, dia jadi tertegun dan akhirnya
berlari menyambut anak laki-laki itu sambil berseru,
“Hong Beng...!”
Memang semenjak kecil Lili menyebut kakaknya dengan memanggil namanya begitu saja tanpa diberi
tambahan kakak atau engko. Biar pun berkali-kali ayah-bundanya menyuruh dia menyebut Hong Beng
kakak, akan tetapi anak yang bandel ini tetap saja tak pernah mentaatinya dan tetap menyebut kakaknya
Hong Beng saja!
Segera kedua orang anak itu berhadapan dan dengan girang. Hong Beng memegang kedua tangan
adiknya.
“Lili... dengan siapa kau datang? Mana Ayah dan Ibu? Dan siapakah Siauwko (Engko Kecil) itu?”
“Aku datang bersama Supek. Ayah dan Ibu tentunya berada di rumah, dan dia ini adalah Kam Seng, anak
yatim piatu yang diambil murid oleh Suhu.”
Hong Beng tercengang mendengar keterangan singkat ini. “Ehh, siapakah Supek-mu dan siapa pula Suhumu?
Mengapa kau meninggalkan rumah?”
Memang seperti telah dituturkan di bagian depan, Hong Beng dibawa oleh ayahnya ke puncak Beng-san
untuk berguru kepada Pok Pok Sianjin, seorang tua berilmu tinggi yang menjadi tokoh besar di barat. Pada
waktu dia pergi, adiknya berada di rumah dan tidak mempunyai guru karena seperti juga dia sendiri,
adiknya pun belajar silat dari ayah dan ibu mereka. Mengapa tiba-tiba saja adiknya itu mempunyai seorang
suhu dan supek dan meninggalkan rumah?
Lili hendak menuturkan pengalamannya, akan tetapi tiba-tiba saja terdengar suara suling yang amat
nyaring dari atas puncak.
“Ah, Suhu sedang berlatih. Mari kau kubawa menghadap Suhu. Kau juga ikutlah Saudara Kam Seng. O ya,
mana itu Supek-mu yang kau katakan datang bersamamu?”
“Supek sedang tergila-gila kepada pohon dan kembang, maka tertinggal di belakang.” Lili menerangkan
sambil tertawa. Dia telah memungut kembangnya kembali dan memegang kembang itu dengan rasa
sayang.
Akan tetapi Hong Beng meminta kembang itu dan berkata, “Lili, Suhu akan marah kalau melihat
kembangnya dipetik orang.”
“Mengapa?” tanya Lili dengan heran.
“Menurut penuturan Suhu, kembang juga memiliki semangat seperti orang, maka memetik kembang yang
sedang mekar berarti sama dengan membunuh orang muda seperti kita!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Lili memandang kakaknya dengan mata terbelalak penuh rasa sesal. Akan tetapi sambil tertawa Hong
Beng lalu menggandeng tangannya, kemudian mengajaknya berlari naik ke puncak dari mana terdengar
suara tiupan suling yang aneh itu.
“Hayo, Kam Seng. Larilah yang cepat!” ajak Lili sambil menoleh ke belakang.
Dan merahlah muka Kam Seng karena mana bisa ia berlari cepat di jalan menanjak yang sukar itu?
Terpaksa ia menguatkan kaki dan tubuhnya yang sudah lelah untuk mengikuti mereka, akan tetapi dia
tetap tertinggal jauh!
Setelah suara suling itu makin terdengar jelas karena sudah dekat, tiba-tiba Hong Beng menahan langkah
kakinya dan berkata, “Ahh, orang yang tidak tahu diri itu datang lagi rupanya!”
Lili tidak sempat bertanya karena kakaknya menggandeng tangannya dan diajak berlari cepat menuju ke
puncak dari mana terdengar suara suling yang makin nyaring menusuk telinga itu.
Ketika mereka tiba di tempat itu, Lili memandang ke depan dengan penuh keheranan. Di atas tanah yang
rata nampak dua orang sedang bergerak cepat dan aneh.
Yang satu adalah seorang kakek berambut serta berjenggot putih yang bergerak-gerak sambil meniup
suling, sedangkan yang seorang lagi adalah seorang setengah tua yang bergerak menyambar-nyambar
laksana seekor burung garuda menyambar kelinci.
Dengan kedua tangan Lili menutup telinganya karena suara suling yang amat nyaring itu benar-benar
membuat telinganya terasa sakit. Ada pun Kam Seng yang datang sambil terengah-engah kelelahan,
memandang pula dengan terheran-heran dan melongo, akan tetapi Hong Beng berdiri diam dan matanya
memandang tajam ke arah dua orang yang sedang bertempur itu.
Kakek tua itu bukan lain adalah Pok Pok Sianjin sendiri. Memang kelihatannya sangat aneh. Sungguh pun
kakek itu meniup suling dengan enaknya dan lagu yang tertiup dari sulingnya terdengar merdu, akan tetapi
suara suling itu sangat nyaring dan seakan-akan mengandung tenaga gaib yang mengeluarkan hawa
pukulan.
Buktinya, sungguh pun orang yang meloncat-loncat menyerang itu menggunakan seluruh kepandaiannya
untuk memukul atau menendang, akan tetapi dia selalu terpental kembali sebelum dapat menyentuh tubuh
Pok Pok Sianjin. Hawa yang keluar dari tiupan suling itu mengandung tenaga lweekang dan khikang yang
membuatnya tertangkis dan terdorong oleh tenaga yang tidak kelihatan!
“Orang itu adalah seorang jago silat yang mahir ilmu silat Pek-eng Kun-hoat (Ilmu Silat Garuda Putih).
Telah beberapa kali ia datang minta berpibu (mengadu ilmu silat) dengan Suhu, akan tetapi Suhu tidak
mau meladeninya. Ternyata sekarang dia datang kembali, benar-benar orang tak tahu diri!”
Baru saja Hong Beng berkata demikian, tiba-tiba terdengar suara tertawa bergelak dan tahu-tahu tubuh
orang yang menyerang Pok Pok Sianjin itu terlempar ke belakang, jatuh bergulingan. Akan tetapi dia cepat
melompat bangun kembali dan memandang ke arah orang yang tertawa tadi. Ternyata bahwa yang tertawa
itu adalah Mo-kai Nyo Tiang Le yang entah kapan sudah berada di tempat itu pula! Tentu saja Lili merasa
heran karena tadi supek-nya tertinggal di belakang, mengapa sekarang telah mendahuluinya berada di
tempat itu?
Orang yang terguling tadi setelah memandang kepada Mo-kai Nyo Tiang Le, lalu menjura dan berkata,
“Mo-kai (Pengemis Setan), aku telah menerima pengajaran darimu, lain kali pasti bertemu pula!” Setelah
berkata demikian, dia lalu melompat jauh dan menghilang di bawah gunung!
Nyo Tiang Le bergelak-gelak dan Pok Pok Sianjin lalu menyimpan kembali sulingnya.
“Mo-kai, kau masih saja bertangan jail, pukulanmu Soan-hong-jiu (Pukulan Kitiran Angin) telah membuat
dia menjadi gentar dan pergi dengan hati mendendam kepadamu!”
Tadi Nyo Tiang Le memang sudah melancarkan dorongan dari jauh, dan hanya dengan angin pukulannya
saja telah berhasil mendorong orang tadi hingga roboh, sungguh dapat dibayangkan betapa hebatnya
kepandaian Pengemis Setan ini! Ia tersenyum dan berkata sambil menghela napas,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Pok Pok Sianjin, kenapa kau suka melayani segala macam orang seperti dia? Bukankah dia adalah sute
dari Ban Sai Cinjin? Aku pernah melihat orang tadi, karena itu aku berani mendorongnya agar dia jangan
mengganggu kau orang tua lebih lanjut.”
Pok Pok Sianjin mengangguk-angguk, “Memang, dia adalah adik seperguruan Ban Sai Cinjin dan namanya
Lu Tong Kui. Ia menjagoi di Lok-yang dan telah beberapa hari ini ia merengek-rengek dan mendesak untuk
mengadakan pibu. Tentu saja aku menolaknya, akan tetapi ia mendesak terus dan menyatakan bahwa
jauh-jauh dari Lok-yang ia datang untuk menguji kepandaianku. Aku tidak tega maka terpaksa melayaninya
bermain-main sebentar.”
Nyo Tiang Le kembali tertawa, kini makin keras. “Ha-ha-ha, kau orang tua benar-benar keterlaluan! Kau
bilang tidak tega akan tetapi kau telah mainkan Seng-im-khikang. Kalau aku tidak buru-buru mendorongnya
roboh dengan Soan-hong-jiu, apakah dia tidak akan menderita luka-luka hebat di dalam tubuhnya akibat
kena serangan hawa dari sulingmu? Ha-ha-ha!”
Pok Pok Sianjin juga tertawa. “Apa kau kira aku sekejam itu? Aku baru mempergunakan Seng-im Khikang
setelah yakin bahwa dia cukup kuat untuk menghadapi itu! Ehh, Setan Tua, kau baik sekali. Telah lama
aku merasa rindu padamu, apakah kau datang hendak menantangku main catur?”
Mo-kai Nyo Tiang Le tertawa bergelak. “Asal bertaruh minum arak baik, siapa takut akan kepandaian
caturmu?”
Pada saat itu, Hong Beng menarik lengan tangan adiknya dan diajak berlutut di hadapan Pok Pok Sianjin.
“Suhu, ini adalah adik teecu yang bernama Lili!”
Pok Pok Sianjin memandang kepada Lili, mengangguk-anggukkan kepalanya kemudian berkata, “Seperti
ibunya... seperti ibunya...!”
Sementara itu, Nyo Tiang Le memandang kepada Hong Beng dan berkata, “Inikah putera Pendekar
Bodoh? Pantas sekali! Jadi kau orang tua sudah menerima kehormatan untuk mendidik putera Pendekar
Bodoh? Satu kehormatan besar dan kau beruntung sekali Pok Pok Sianjin!”
Mendengar ini, Hong Beng cepat membantah, “Bukan Suhu yang mendapat kehormatan besar dan
keberuntungan, Locianpwe, akan tetapi adalah teecu yang mendapat karunia besar!”
Nyo Tiang Le mengangkat alisnya dengan heran dan kemudian tertawa dengan senang. “Anak ini pandai
membawa diri seperti ayahnya!”
Pengemis Setan itu menuturkan kepada Pok Pok Sianjin tentang pertemuannya dengan sute-nya Lo Sian
dan menceritakan pula pengalaman Lili yang terculik oleh Bouw Hun Ti. “Kini sute-ku sedang menuju ke
timur untuk memberi kabar kepada Pendekar Bodoh. Sementara itu, aku akan menanti di sini dan melatih
anak ini, sambil menanti datangnya orang tuanya yang tentu akan menjemputnya.”
Bukan main girangnya hati Hong Beng mendengar bahwa adiknya akan tinggal di sana untuk beberapa
lama dan ayah ibunya akan datang pula ke sana. Ketika Nyo Tiang Le menceritakan pula mengenai
riwayat Kam Seng, Pok Pok Sianjin merasa kasihan juga. “Biar pun bakatnya kurang, namun ia cocok
menjadi murid Sute-ku,” kata Nyo Tiang Le.
Kemudian dua orang tua itu lalu masuk ke dalam pondok dan bermain catur, sedangkan Hong Beng
bersama Lili dan Kam Seng lalu bermain-main di sekitar puncak Beng-san itu. Kam Seng merasa kagum
dan tunduk kepada Hong Beng yang selain berkepandaian tinggi juga amat ramah kepadanya.
Sejak hari itu juga, Lili tinggal di puncak Beng-san dan mendapat latihan ilmu silat dari Nyo Tiang Le. Dasar
otaknya terang dan dia memang sudah memiliki dasar kepandaian yang diajarkan oleh ayah ibunya
semenjak dia masih kecil, maka sebentar saja dia telah mendapat kemajuan yang amat cepat.
Juga Kam Seng mulai menerima latihan-latihan atas petunjuk Lili dan Hong Beng, karena Nyo Tiang Le
hanya memberi petunjuk-petunjuk teorinya saja sehingga anak yatim piatu itu berlatih di bawah
pengawasan Hong Beng dan Lili!
Hong Beng sendiri dengan amat tekun dan rajinnya mempelajari ilmu silat dari Pok Pok Sianjin, terutama
sekali ilmu silat tongkat yang sudah menjadi keahlian Pok Pok Sianjin dan sudah menjunjung tinggi
dunia-kangouw.blogspot.com
namanya sebagai ahli silat kelas satu dan tokoh terbesar dari dunia persilatan sebelah barat!
Oleh karena mendapat didikan ilmu silat dari seorang ahli, dan pula karena kini tinggal bersama kakaknya,
Lili sampai lupa bahwa ayah ibunya yang ditunggu-tunggu ternyata belum juga datang, biar pun dia telah
berada di atas puncak Beng-san sampai berbulan lamanya!
Kenapa sampai demikian lama Cin Hai dan Lin Lin tidak menyusul anaknya di Beng-san, padahal
sebagaimana telah diceritakan di bagian depan, pasangan suami isteri pendekar ini dalam perjalanannya
kembali dari Kansu, hendak mampir dulu dan menengok putera mereka di puncak bukit itu?
Sesungguhnya, Pendekar Bodoh dan isterinya sudah menemui peristiwa yang hebat dan yang membuat
mereka belum juga tiba di Beng-san…..
********************
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Cin Hai dan Lin Lin telah mendapat keterangan dari orang-orang
Turki kawan-kawan mendiang Yousuf, bahwa menurut dugaan mereka, tidak salah lagi pembunuh Yousuf
dan penculik Lili adalah seorang peranakan Tionghoa Turki yang bernama Bouw Hun Ti. Maka mereka lalu
kembali ke timur, mengambil jalan sebelah utara di sepanjang tapal batas Propinsi Kansu dengan Mongolia
Dalam. Mereka mengambil keputusan untuk sekalian mampir di Beng-san dan menengok putera mereka
yang berlatih silat di bawah pimpinan Pok Pok Sianjin.
Puncak Beng-san terletak di Pegunungan Lu-liang-san yang panjang, maka bila mereka mengambil jalan di
utara, mereka akan melewati Lu-liang-san.
Pada suatu hari mereka tiba di sebuah kota yang bernama Po-kwan, dan kota ini berada di tapal batas
Mongolia Dalam, di lembah Sungai Huang-ho yang saat itu belum begitu besar airnya. Kota Po-kwan
cukup ramai dan suami isteri ini di samping melihat-lihat kota yang belum pernah dikunjunginya ini, juga
mereka bertanya-tanya kalau-kalau ada Bouw Hun Ti di daerah itu. Akan tetapi, tidak ada seorang pun
melihat orang she Bouw yang dicari-carinya itu.
Karena itu dua hari kemudian, Cin Hai dan Lin Lin keluar dari kota Po-kwan dan hendak melanjutkan
perjalanan menuju ke Pegunungan Lu-liang-san melalui Sungai Huang-ho. Tetapi, baru saja mereka keluar
dari kota Po-kwan, mereka bertemu dengan orang-orang yang tak pernah mereka sangka-sangka akan
bertemu di situ.
Mereka sedang berjalan keluar dari kota untuk menuju ke sungai yang berada di sebelah timur kota, dan
mendadak dari sebuah tikungan mereka melihat seorang laki-laki berusia empat puluhan tahun berjalan
cepat sekali di depan mereka. Lin Lin memandang tajam, karena dari belakang dia serasa sudah mengenal
orang itu, akan tetapi baru saja dia hendak bertanya kepada suaminya, Cin Hai telah mendahuluinya dan
berseru girang,
“Lie-suheng…!”
Laki-laki itu terkejut mendengar seruan ini, lantas segera menghentikan tindakan kakinya dan cepat
membalikkan tubuh. Wajahnya nampak tua dan muram sekali, sungguh pun ia masih kelihatan tampan dan
gagah. Kumisnya sudah mulai putih tak terurus sedangkan jenggotnya juga panjang tak terpelihara.
Pakaiannya tidak karuan, bahkan ada beberapa bagian yang sudah robek-robek didiamkannya saja.
Akan tetapi ketika melihat Cin Hai dan Lin Lin, untuk sekejap matanya bersinar-sinar, dan Cin Hai beserta
isterinya yang cepat berlari menghampiri orang itu hanya melihat betapa kegembiraan itu berlangsung
sebentar saja. Orang itu segera menundukkan muka dan menjadi muram kembali, seakan-akan
merasakan kesedihan yang luar biasa besarnya.
“Sie-sute, kaukah ini? Dari manakah kau dan Sumoi, kau juga baik-baik saja, bukan?” Suaranya rata dan
tidak berirama, tanda bahwa dia sedang menderita kesedihan besar sekali.
Cin Hai segera memegang tangan orang itu setelah memberi hormat. “Lie-suheng, kau kenapakah?”
“Lie-suheng, agaknya kau amat bersedih. Dimanakah Enci Im Giok?” tanya pula Lin Lin.
Orang itu memandang kepada mereka ganti berganti, kemudian tiba-tiba dari sepasang matanya keluarlah
dunia-kangouw.blogspot.com
air mata yang lalu membanjir turun membasahi kedua pipinya. Bukan main kagetnya Cin Hai dan Lin Lin
melihat keadaan orang itu. Cin Hai segera menariknya dan mengajaknya duduk di bawah pohon di pinggir
jalan dan segera mendesak kepada orang itu untuk menceritakan apakah sebenarnya yang menyusahkan
hatinya.
Siapakah orang ini? Para pembaca yang sudah membaca cerita Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa
orang ini bukan lain adalah Lie Kong Sian, murid mendiang Bu Pun Su, guru Cin Hai dan Lin Lin. Karena
ada hubungan perguruan ini, maka Lie Kong Sian masih terhitung suheng (kakak seperguruan) dari Cin
Hai dan Lin Lin.
Dalam cerita Pendekar Bodoh dikisahkan bahwa Lie Kong Sian ini telah berjodoh dengan seorang
pendekar wanita baju merah yang amat lihai dan yang bernama Kiang Im Giok atau lebih terkenal lagi
dengan nama julukannya, Ang I Niocu (Nona Baju Merah). Lie Kong Sian tinggal bersama isterinya di
sebuah pulau, yaitu Pulau Pek-lek-to yang terletak di dekat pantai laut Tiongkok sebelah timur.
Sejak Lie Kong Sian bersama isterinya mengunjungi Cin Hai dan Lin Lin untuk datang menyaksikan
upacara pernikahan kedua adik seperguruannya itu, hingga kini baru sekali mereka saling bertemu. Hal itu
terjadi kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yaitu baru saja setahun mereka saling berpisah. Akan tetapi
semenjak itu, mereka tak pernah saling bertemu kembali. Bahkan ketika Cin Hai dan Lin Lin mengunjungi
Pulau Pek-le-to pada lima tahun yang lalu sambil mengajak kedua anak mereka, pulau itu ternyata kosong
dan tidak diketahui ke mana perginya Lie Kong Sian dan isterinya.
Supaya lebih jelas bagi para pembaca yang belum membaca buku Pendekar Bodoh, baiknya diterangkan
kembali bahwa Ang I Niocu adalah seorang wanita yang luar biasa cantiknya, dan boleh disamakan
dengan kecantikan seorang bidadari dari kahyangan. Dalam usia tiga puluh tahun lebih, yaitu pada saat ia
menikah dengan Lie Kong Sian, ia masih nampak cantik jelita dan muda bagaii seorang dara berusia tujuh
belas tahun saja.
Hal ini bukan saja memang pada dasarnya dia cantik jelita, akan tetapi sebagian besar adalah karena
pengaruh semacam telur mukjijat, yakni telur Pek-tiauw (Rajawali Putih). Nona Baju Merah ini sangat
sayang akan kecantikannya dan untuk menjaga ini dia tidak segan-segan untuk mencari telur burung
rajawali putih yang amat sukar didapatkannya. Karena khasiat telur inilah, maka ia selalu nampak cantik
dan muda selalu.
Kecantikannya ini ditambah lagi dengan keahliannya bermain silat yang luar biasa, yaitu ilmu sliat yang
disebut juga Ilmu Silat Tarian Bidadari, sehingga kalau ia sudah mainkan ilmu pedangnya dengan ilmu silat
ini, maka ia benar-benar merupakan seorang bidadari yang sedang menari dengan indahnya!
Tidak heran bahwa banyak sekali hati pemuda-pemuda runtuh karena kecantikannya ini, bahkan Cin Hai
sendiri pernah tergila-gila kepada Ang I Niocu. Akan tetapi Ang I Niocu mempunyai watak yang amat keras
dan angkuh. Semua pinangan pemuda-pemuda yang gagah dan tampan itu ditolaknya belaka, bahkan
pemuda-pemuda itu diejeknya sehingga banyak yang patah hati. (dituturkan dengan amat menarik dalam
cerita Pendekar Bodoh)
Pada akhirnya ia bertemu dengan Lie Kong Sian yang menjatuhkan hatinya karena budi kebaikan pemuda
ini dan pula karena pemuda ini memiliki ilmu silat tinggi yang sanggup mengalahkannya. Akhirnya mereka
menikah dan hidup penuh kebahagiaan di atas Pulau Pek-lek-to yang merupakan sorga bagi mereka.
Pulau ini sangat subur dan juga indah sekali pemandangannya.
Dua tahun setelah mereka menikah, Ang I Niocu mengandung. Semenjak mengandung, pendekar wanita
ini merasa tubuhnya tidak enak sekali dan sifatnya yang keras itu kini timbul kembali, bahkan semakin
menghebat. Sering kali dia marah-marah besar kepada suaminya hanya karena urusan kecil saja.
Akan tetapi Lie Kong Sian yang amat mencinta isterinya dan sangat sabar itu, mampu menghiburnya dan
selalu mengalah dalam segala hal. Akhirnya terlahirlah seorang bayi laki-laki dan keduanya merasa amat
berbahagia kembali. Bersama dengan kelahiran itu lenyaplah semua sifat pemarah, akan tetapi tubuh
pendekar wanita itu masih saja sering kali merasa tidak enak sekali dan kepalanya pening.
Perubahan besar nampak terjadi pada dirinya, biar pun terjadinya secara sangat lambat dan perlahan.
Akan tetapi tiga tahun kemudian, perubahan ini sudah menjadi sedemikian hebatnya. Rambut Ang I Niocu
yang tadinya hitam dan panjang berombak itu lambat laun menjadi putih dan penuh uban! Kulit mukanya
yang tadinya halus dan kemerah-merahan itu lambat laun menjadi keriputan dan menghitam!
dunia-kangouw.blogspot.com
Kini melihat kecantikannya melenyap dengan perlahan akan tetapi tentu, seperti penyakit yang memakan
habis kecantikannya itu sekerat demi sekerat, bukan main penderitaan batin yang dirasakannya sehingga
hampir tak tertahankan olehnya. Setiap kali ia melihat wajahnya pada bayangannya di dalam air, ia
menangis tersedu-sedu dengan hati hancur.
Lie Kong Sian berdaya upaya menghiburnya, juga mengobatinya, akan tetapi semuanya percuma belaka.
“Isteriku…,” katanya menghibur pada saat isterinya menangis tersedu-sedu sambil terus menarik-narik
rambutnya yang telah menjadi putih hingga banyak yang terlepas dari kulit kepalanya, “betapa pun juga,
dan apa pun yang akan terjadi dengan kau, aku akan tetap mencintamu dengan tulus ikhlas dan suci.
Jangan kau bersedih, isteriku...”
Akan tetapi kata-kata ini bahkan makin menghancurkan hati Ang I Niocu. Dengan suara terputus-putus dia
berkata, “Ahh... bagaimanakah ini...? Mengapa Thian mengutuk diriku begini hebat...? Aku baru berusia
hampir empat puluh, mengapa rambutku sudah putih semua, kulitku menjadi rusak seperti ini? Mana
kecantikanku yang dulu...? Ah, aku malu, aku malu...!” Ia lalu menangis dengan amat sedihnya.
“Im Giok, jangan kau berkata demikian. Kecantikan hanyalah keindahan lahir belaka dan kau tahu bahwa
cintaku kepadamu bukan hanya berdasarkan kecantikanmu.” Akan tetapi segala macam hiburan tak dapat
memuaskan hati Ang I Niocu.
Ia dan suaminya maklum bahwa kecantikannya yang dipengaruhi oleh obat telur rajawali putih itu memang
mempunyai batas dan syarat yang amat berat. Syarat itu ialah apa bila seorang yang menjadi cantik
karena telur itu melahirkan seorang anak, maka kecantikan itu tidak saja akan lenyap, bahkan usianya
akan bertambah dengan cepat dan berlipat ganda, sehingga dalam usia empat puluh tahun, ia menjadi
seorang yang usianya hampir delapan puluh tahun!
Akhirnya, setelah tersiksa oleh kesedihan sendiri sampai hampir gila, pada suatu pagi Lie Kong Sian
mendapatkan isterinya sudah minggat dari pulau itu mempergunakan sebuah sampan dan membawa serta
anaknya!
‘Suamiku yang baik,’ demikian bunyi surat yang ditinggalkan oleh Ang I Niocu untuk Lie Kong Siang
‘ampunilah dosaku yang amat besar kepadamu. Aku tidak kuat lagi menahan derita sehebat ini, maka lebih
baik aku keluar dari kehidupanmu, agar aku tidak menyeret kau yang berbudi ke dalam jurang kehinaan.
Biarlah aku pergi mengasingkan diri. Anak kita kubawa dan sisa hidupku akan kugunakan untuk mendidik
dan menurunkan ilmu silat kepadanya agar dia menjadi seorang yang berbudi dan gagah. Selamat tinggal
suamiku! Kalau aku sudah mati, anak kita tentu akan mencari ayahnya untuk berbakti!’
Bukan main terkejutnya hati Lie Kong Sian membaca surat peninggalan isterinya yang tercinta itu. Dia
cepat menyusul dan mengejar, akan tetapi karena air tak meninggalkan jejak isterinya, dia lalu mengejar ke
lain jurusan, akan tetapi tetap tak dapat menemukan isteri dan anaknya. Ketika itu anaknya baru berusia
tiga tahun lebih.
Hancurlah kehidupan Lie Kong Sian. Dunia terasa kosong dan hidup terasa merupakan penderitaan dalam
neraka. Ia kemudian merantau dan mencari-cari jejak isterinya hingga bertahun-tahun.
Kalau dulu ia merupakan seorang yang amat tampan dan biar pun sederhana akan tetapi selalu
berpakaian pantas, sekarang dia telah berubah sama sekali. Dia menjadi seorang pendiam, bahkan
kadang kala bagaikan orang gila. Demikianlah keadaan Lie Kong Sian yang secara kebetulan berjumpa
dengan Cin Hai dan Lin Lin.
Tadinya Lie Kong Sian merasa segan untuk menceritakan penderitaannya ini, tapi karena di dunia ini tidak
ada orang lain yang lebih pantas mendengar tentang penderitaannya itu kecuali Cin Hai, ia lalu
menceritakan semua itu sambil bercucuran air mata.
Cin Hai dan Lin Lin merasa terharu sekali mendengar hal ini. Dengan air mata berlinang Cin Hai menegur
suheng-nya, “Suheng, ada terjadi hal seperti itu, mengapa Suheng tidak cepat-cepat datang ke Shaning
dan memberi tahu kepada kami supaya kami dapat ikut mencari ke mana perginya Ang I Niocu?”
Di dalam lubuk hatinya, Cin Hai merasa amat sayang dan mencinta Ang I Niocu, walau pun cintanya itu
sudah berubah menjadi cinta seorang adik kepada kakaknya, atau lebih dari itu hampir seperti cinta
dunia-kangouw.blogspot.com
seorang anak kepada ibunya.
Lin Lin merasa lebih terharu lagi. Dia sangat mencinta Ang I Niocu yang dahulu pernah membelanya tanpa
mempedulikan keselamatan jiwa sendiri. Maka kini mendengar mala petaka yang menimpa diri Ang I
Niocu, dia kemudian menangis terisak-isak tanpa dapat mengeluarkan kata-kata sedikit pun! (baca
Pendekar Bodoh)
Setelah puas menangis dan menumpahkan rasa sedih di dalam dada di tempat mereka bertemu itu, Lie
Kong Sian lalu bertanya mengapa kedua suami isteri itu bisa berada di tempat itu.
Cin Hai lalu menuturkan tentang penculikan atas diri Lili puteri mereka dan pembunuhan yang dilakukan
oleh Bouw Hun Ti kepada Yousuf.
Mendengar ini, bukan main marahnya Lie Kong Sian dan sambil menghela napas berat ia berkata, “Ah,
mengapa selalu orang-orang yang tak berdosa menerima siksaan hidup? Kenapa bahkan orang-orang
yang selalu menjunjung kebaikan dan keadilan yang harus menderita banyak susah?”
“Suheng, biarlah aku dan isteriku membantu usahamu mencari tempat persembunyian Niocu dan anakmu,
dan aku akan membujuknya agar suka kembali kepadamu.”
Lie Kong Sian menghela napas. “Agaknya sulit sekali. Selain ia pandai menyembunyikan diri, juga hatinya
amat keras dan sekali dia sudah mengambil keputusan, sukarlah untuk mengubahnya. Akan tetapi, biarlah
kita mengambil jalan masing-masing, Sute. Kau boleh membantuku mencari isteriku, dan kau percayalah,
apa bila sampai aku bertemu dengan orang she Bouw itu, pasti akan kubalaskan sakit hati Yo-pekhu dan
kurampas kembali puterimu.”
Cin Hai yang maklum akan adat dan sifat Ang I Niocu yang keras, diam-diam merasa bahwa apa bila dia
yang membujuk, agaknya masih ada harapan, akan tetapi terhadap Lie Kong Sian dia diam saja.
Mereka lalu berpisah dan suami isteri itu memandang Lie Kong Sian yang berjalan pergi dengan muka
tertunduk itu. Bukan main terharu hati mereka dan Lin Lin menggunakan sapu tangan untuk menahan
isaknya ketika dia melihat suheng-nya itu berjalan bagaikan mayat hidup, lemah tak bertenaga dan
limbung.
“Kasihan sekali Suheng...,” kata Cin Hai sambil menghapus air mata yang berlinang pada pelupuk
matanya.
Karena Cin Hai pernah mengadakan perjalanan di daerah utara bersama Ang I Niocu, yaitu pada waktu
terjadi perebutan Pulau Emas antara kerajaan pihak Turki dan pihak Mongol, maka Cin Hai mendapat
dugaan bahwa Ang I Niocu tentu menyembunyikan diri di Pegunungan Im-san atau Gobi-san di utara.
(baca Pendekar Bodoh)
Oleh karena itu, ia menunda maksudnya menuju ke Beng-san menengok puterinya dan sebaliknya dia
bersama isterinya segera membelok ke utara dan mencari Ang I Niocu di daerah Mongol! Inilah sebabnya
maka sampai berbulan-bulan ia dan isterinya belum juga tiba di Beng-san di mana Lili dengan aman sudah
belajar silat di bawah asuhan Mo-kai Nyo Tiang Le si Pengemis Setan yang lihai…..
********************
Lo Sian Sin-kai atau Si Pengemis Sakti dengan cepat melakukan perjalanan seorang diri menuju ke
Shaning di Propinsi An-hui untuk mencari Cin Hai dan mengabarkan tentang Lili yang kini berada di puncak
Gunung Beng-san. Seperti biasanya tiap kali mengadakan perantauan, Pengemis Sakti ini tiada hentinya
mengulurkan tangan memberi pertolongan kepada orang-orang yang melarat dan tertindas hingga
namanya makin terkenal sebagai seorang pendekar budiman.
Setelah tiba di Shaning, dengan amat mudahnya ia mendapatkan rumah Ciri Hai. Siapa orangnya di
Shaning yang tidak mengenal nama Pendekar Bodoh? Akan tetapi, alangkah kecewa dan kagetnya pada
saat melihat bahwa rumah dari Pendekar Bodoh itu tertutup, bahkan masih ada kain putih tergantung di
depan pintu, tanda bahwa rumah itu belum lama ini menderita kematian seorang keluarga dekat.
Lo Sian segera mencari keterangan kepada orang-orang di situ dan bukan main marah serta kecewanya
ketika mendengar bahwa ayah angkat Nyonya Sie sudah terbunuh oleh seorang peranakan Turki, dan
dunia-kangouw.blogspot.com
bahwa di samping melakukan pembunuhan yang kejam, penjahat itu pun menculik puteri dari Pendekar
Bodoh.
Sampai lama Lo Sian tertegun mendengar ini. Tak disangkanya bahwa orang brewok yang menculik Lili
bahkan telah membunuh pula ayah angkat dari ibu anak itu!
“Bangsat besar Bouw Hun Ti,” bisiknya gemas sambil mengertakkan gigi, “benar-benar kau mencari
mampus berani memusuhi keluarga Pendekar Bodoh!”
Lo Sian lalu bertanya kepada orang yang memberi keterangan kepadanya ke mana perginya Pendekar
Bodoh dan isterinya. Ketika mendapat jawaban bahwa kedua suami isteri pendekar itu pergi mengejar dan
mencari si penculik dan pembunuh, Lo Sian lalu cepat-cepat meninggalkan kota Shaning setelah memberi
sesampul surat pada tetangga dekat rumah Cin Hal itu dengan pesanan bahwa apa bila pendekar besar itu
pulang, agar supaya suratnya itu diberikan kepadanya.
Dalam surat itu ia menulis bahwa Lili telah tertolong dan kini berada di puncak Beng-san bersama Mo-kai
Nyo Tiang Le yang hendak mengunjungi Pok Pok Sianjin. Kemudian dia lalu pergi keluar dari kota dan
menuju ke Bukit Beng-san untuk memberi laporan kepada suheng-nya, dan juga untuk melanjutkan melatih
dua orang muridnya, yaitu Lili dan Kam Seng.
Tentu saja ia tidak berani lagi menganggap Lili sebagai muridnya, karena setelah kedua orang tua anak itu
menjemput dan membawanya pulang, sudah tentu jauh lebih baik bila Lili mendapat pelajaran dari ayah
ibunya sendiri yang mempunyai kepandaian yang jauh lebih tinggi dari padanya.
Pada suatu hari, dalam perjalanannya menuju ke Beng-san, dia tiba di kota Li-coan dan ketika dia lewat di
depan sebuah rumah makan, bau arak yang sangat sedap menarik hatinya dan menimbulkan seleranya
yang amat kuat akan arak wangi. Dia lalu masuk ke dalam rumah makan itu dan memesan seguci arak
yang paling baik. Pada pelayan yang memandangnya dengan mata curiga, ia lalu memperlihatkan
sepotong uang emas yang kiranya cukup untuk membayar harga lima guci arak!
Pelayan itu memandang dengan mata terbelalak dan sambil pergi untuk mengambilkan arak pesanan Lo
Sian, ia menggerutu, “Sungguh aneh sekali dunia ini! Aku yang bekerja keras siang malam tanpa kenal
lelah, belum pernah mempunyai sekeping emas murni! Akan tetapi, hari ini aku melihat seorang setengah
gila mempunyai banyak uang emas dan seorang pengemis berbaju tambalan memperlihatkan sepotong
emas besar! Aneh, aneh... dunia memang tidak adil!”
Lo Sian tersenyum seorang diri. Biar pun pelayan itu bicara dengan perlahan akan tetapi telinga Lo Sian
yang tajam dapat mendengar ucapan ini dan diam-diam ia membenarkan keluh kesah pelayan itu.
Memang kalau dipikir-pikir sungguh mengherankan. Orang-orang yang bekerja, semakin berat
pekerjaannya, makin kecillah penghasilannya. Lihat saja para pembesar tinggi yang kerjanya hanyalah naik
turun kereta, naik turun kursi kebesaran, di mana-mana menjual lagak, membentak-bentak rakyat dan
cukup memberi cap kebesarannya saja, hidupnya mewah dan penghasilannya berlebihan sungguh pun
penghasilannya itu didapat dengan jalan yang tidak halal!
Pada waktu pelayan itu datang mengantar arak yang dipesannya, tiba-tiba saja terdengar suara dari sudut
ruang rumah makan itu yang membentak si pelayan.
“Hai, kau boleh menggerutu seorang diri, akan tetapi, jangan kau bawa-bawa aku pula! Aku mempunyai
banyak emas bukan dengan jalan mencuri atau pun merampok, karena itu tutuplah mulutmu!”
Lo Sian terkejut. Orang itu duduknya cukup jauh dari tempat pelayan tadi menggerutu, maka kalau orang
dapat mendengar gerutuan si pelayan, dapat diduga bahwa orang itu memiliki pendengaran yang luar
biasa tajamnya! Ia menengok dan memperhatikan orang itu.
Ternyata bahwa orang itu bertubuh tegap, berwajah gagah sekali dan sepasang matanya berpengaruh,
membuat orang tak berani bertemu pandang terlalu lama dengan dia. Akan tetapi, keadaannya memang
patut disebut kurang beres ingatan sebab selain pakaiannya tidak karuan macamnya, juga orang itu
membiarkan rambut kepalanya bergantungan di depan matanya. Kumis dan jenggotnya juga menjungat ke
sana kemari tanpa terpelihara sedikit pun juga dan wajahnya muram dan gelap.
Orang ini juga telah memesan arak wangi serta meminumnya tidak melalui cawan seperti orang biasa,
dunia-kangouw.blogspot.com
melainkan menenggaknya langsung dari mulut guci yang besar! Bahkan di atas mejanya telah ada sebuah
guci yang kosong sedangkan guci ke dua telah diminum setengahnya.
Sekali pandang saja, tahulah Lo Sian bahwa orang itu tentu seorang yang pandai, akan tetapi ia belum
pernah melihat orang ini sungguh pun pengalaman Lo Sian cukup banyak di dunia kang-ouw. Ia tidak tahu
apakah orang ini termasuk golongan pendekar perantau seperti dia sendiri ataukah dia termasuk tokoh dari
golongan hek-to (golongan hitam dan penjahat), maka ia tidak berani sembarangan menegur dan
berkenalan.
Melihat pula sikap yang keras dan pemarah dari orang itu dan wajahnya yang muram, Lo Sian mengira
bahwa orang itu tentulah seorang tokoh liok-lim (jagoan rimba hijau) yang ganas dan kejam. Maka sesudah
menghabiskan araknya, dia lalu membayar dan hendak keluar dari rumah makan itu.
Akan tetapi, baru saja ia berdiri dan hendak keluar, tiba-tiba ia menjadi pucat karena dari luar masuk dua
orang yang bukan lain adalah Bouw Hun Ti serta seorang setengah tua yang memakai ikat kepala lebar!
Sebaliknya, pada saat Bouw Hun Ti melihat Lo Sian, ia tertawa bergelak dan berkata kepada kawannya itu,
“Ha-ha-ha-ha, Susiok. Lihatlah, dicari ke ujung langit tak bersua, jika tidak dicari si anjing she Lo
menyerahkan diri!”
Sementara itu, Lo Sian maklum bahwa orang she Bouw tentu takkan melepaskannya dan terpaksa dia
harus melawan mati-matian, maka ia lalu mencabut pedangnya dan berkata,
“Bouw Hun Ti, kau manusia kejam dan hina-dina! Baru sekarang aku tahu bahwa selain menculik puteri
Pendekar Bodoh secara amat pengecut, kau pun telah membunuh Yousuf dengan kejam dan tak kenal
malu!”
“Ha-ha-ha, Lo Sian pengemis jembel! Bagaimana orang macam kau dapat mengatakan bahwa aku
pengecut dan tidak kenal malu? Coba terangkan, apa sebabnya kau berani berkata demikian.”
“Hemm, kau melakukan kekejaman itu pada waktu Pendekar Bodoh dan isterinya tidak berada di rumah!
Apakah itu boleh disebut kelakuan seorang yang gagah? Kau memang pengecut!”
Merahlah wajah Bouw Hun Ti dan dengan amat marah ia membentak,
“Manusia jembel yang akan mampus! Kau telah merampas anak perempuan itu dengan cara yang lebih
pengecut lagi. Tempo hari kalau kau tidak mengandalkan bantuan Mo-kai Nyo Tiang Le suheng-mu yang
gila itu, kau telah mampus di tanganku! Nah, bersedialah untuk mampus!”
Sambil berkata demikian, Bouw Hun Ti mencabut goloknya dan bagaikan seekor harimau kelaparan dia
menyerang dengan hebat sambil menendang meja yang menghadang di depannya sehingga meja itu
terbang dan menimpa meja-meja lain.
Lo Sian berlaku waspada dan cepat menangkis, sehingga sebentar saja kedua orang itu bertempur hebat
sambil menendang meja bangku untuk mencari ruang luas. Kali ini Lo Sian berlaku hati-hati sekali. Ia tahu
bahwa kepandaian orang she Bouw ini lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri dan bahwa akhirnya
dia takkan dapat menang apa bila pertempuran itu dilanjutkan.
Apa lagi menurut pendengarannya tadi, Bouw Hun Ti menyebut susiok (paman guru) kepada orang yang
berikat kepala lebar itu, maka dapat dibayangkan pula betapa tinggi kepandaian orang itu. Jalan keluar
sudah tidak ada, maka tiada lain jalan bagi Lo Sian melainkan melawan mati-matian dan tak akan
menyerah kalah begitu saja.
“He, pengemis jembel!” tiba-tiba orang yang disebut susiok oleh Bouw Hun Ti itu berkata. “Katakan saja di
mana adanya anak yang kau culik itu. Bouw Hun Ti, biar dia memberi pengakuan, baru kita ampunkan jiwa
anjingnya!”
Akan tetapi, sebagai seorang gagah, tentu saja Lo Sian tidak sudi bersikap lemah. Lebih baik mati dari
pada menyerah dan membuat pengakuan yang berarti merendahkan nama kehormatan sendiri,
demikianlah pendirian tiap orang gagah.
“Keparat!” serunya sambil menangkis serangan golok Bouw Hun Ti yang menyambar cepat. “Apa bila
dunia-kangouw.blogspot.com
hendak mengeroyok, majulah saja. Aku Sin-kai Lo Sian bukanlah orang yang takut mati!”
“Bedebah!” kawan Bouw Hun Ti itu berseru marah, “Hun Ti, jangan memberi hati kepada manusia rendah
ini!” Sambil berkata demikian, ia pun melangkah maju hendak mengirim serangan dengan tangan kosong.
Akan tetapi, pada saat itu, dari ujung ruangan itu menyambar sebatang tali sutera hitam yang meluncur
bagaikan seekor ular hidup dan tahu-tahu golok Bouw Hun Ti kena dilibat oleh tali itu. Pada saat tali itu
dibetot keras, Bouw Hun Ti berteriak kaget karena tenaga betotan tali itu luar biasa sekali kuatnya
sehingga terpaksa ia melepaskan goloknya!
Pada saat itu, susiok dari Bouw Hun Ti yang bukan lain adalah Lu Tong Kui atau sute Ban Sai Cinjin yang
pernah menyerbu ke Beng-san untuk mencoba kepandaian Pok Pok Sianjin kemudian dikalahkan oleh Nyo
Tiang Le, sudah melepaskan pukulan ke arah Lo Sian. Sungguh pun pukulan itu dilakukan dari tempat
yang jauhnya lebih dari setombak, akan tetapi Lo Sian sampai terhuyung ke belakang, terdorong oleh
sambaran angin yang luar biasa kuatnya! Lo Sian terkejut sekali dan cepat mengerahkan tenaga pada
kedua kakinya untuk menahan keseimbangan tubuhnya.
Melihat betapa golok Bouw Hun Ti dapat terlepas dengan amat mudah oleh tali sutera yang kecil, Lu Tong
Kui menjadi terkejut dan juga marah. Ia cepat-cepat menengok dan ternyata yang melepas tali sutera itu
adalah seorang yang pakaiannya tidak karuan dan yang kini telah berdiri dengan mata memancarkan
cahaya berapi. Ada pun Lo Sian yang melihat penolongnya, juga menjadi terkejut dan girang pula karena
yang menolongnya itu adalah orang yang disangka gila tadi!
“Bouw Hun Ti!” terdengar orang itu berkata, suaranya tenang akan tetapi seperti juga pandang matanya,
suara itu sangat berpengaruh, “kebetulan sekali kita bertemu di sini. Memang aku sedang mencari-cari kau
dan hendak membunuhmu!”
Setelah berkata demikian, kembali ia menggerakkan tangan kanannya dan sutera hitam yang panjang itu
meluncur bagaikan cambuk dan mengirim serangan totokan hebat ke arah jalan darah di leher Bouw Hun
Ti. Orang she Bouw ini cepat mengelak, akan tetapi bagaikan bermata dan hidup, ujung sutera hitam itu
meluncur dan mengejar dan masih saja mengancam jalan darahnya.
Bouw Hun Ti menjadi pucat, terpaksa menangkis dengan tangannya dan ia pun berteriak kaget ketika
merasa betapa tangannya seakan-akan beradu dengan mata pedang yang taiam. Ia cepat menarik kembali
tangannya dan sutera hitam itu meluncur terus ke arah lehernya!
Pada saat yang amat berbahaya bagi Bouw Hun Ti itu, Lu Tong Kui tidak tinggal diam. Ia berseru keras
dan sambil mencabut pedangnya ia lalu melompat dan membabat ke arah sutera hitam itu.
Sutera hitam itu bergerak mengelak dan tidak sampai terbabat oleh pedangnya, namun Bouw Hun Ti
terbebas dari bahaya maut. Sesungguhnya kalau sampai sutera hitam itu menotok jalan darah pada
lehernya, maka lehernya akan pecah dan ia akan binasa pada saat itu juga!
“Eh, sahabat, siapakah kau? Mengapa kau memusuhi Bouw Hun Ti?” tanya Lo Tong Kui sambil
melintangkan pedangnya pada dada.
Orang itu tersenyum mengejek. “Lu Tong Kui, kau tentu tidak mengenalku, akan tetapi aku tahu bahwa kau
dan murid keponakanmu ini adalah orang-orang jahat yang patut sekali dikirim ke neraka!”
“Bangsat!” Lu Tong Kui memaki marah. “Apa kau kira aku takut kepadamu?”
“Majulah,” orang itu berkata dengan suara yang masih tenang, “sesudah kau berhadapan dengan Lie Kong
Sian, tak perlu menjual banyak lagak lagi!”
Mendengar nama ini, tidak saja Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti yang merasa kaget, akan tetapi Lo Sian juga
tertegun dan memandang dengan penuh perhatian dan kagum. Akan tetapi ia merasa ragu-ragu karena
sepanjang pendengarannya, pendekar yang bernama Lie Kong Sian dan yang menjadi suami dari
pendekar wanita Ang I Niocu yang sangat terkenal, kabarnya berwajah tampan dan gagah. Mengapa orang
ini seperti orang gila dan berwajah muram?
Nama Ang I Niocu sudah amat terkenal dan tak seorang pun di kalangan kang-ouw yang belum
mendengar namanya sungguh pun jarang yang pernah bertemu dengan pendekar wanita itu. Kalau Ang I
dunia-kangouw.blogspot.com
Niocu yang tersohor gagah perkasa itu kabarnya masih kalah oleh suaminya yang bernama Lie Kong Sian,
maka tentu saja nama ini menggetarkan hati Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti!
Apa lagi Bouw Hun Ti, oleh karena sebagai suheng dari Pendekar Bodoh yang sudah diganggunya,
dibunuh mertuanya dan diculik puterinya, tentu saja Lie Kong Sian takkan memberi ampun kepadanya! Lo
Sian menjadi girang sekali.
“Hemm, kaukah yang bernama Lie Kong Sian, pendekar dari Pulau Pek-le-to itu? Tidak kusangka bahwa
orangnya ternyata hanya sebegini saja!” Lu Tong Kui mengejek untuk memperbesar semangat sendiri,
kemudian tanpa menanti jawaban ia menyerang dengan pedangnya.
Lie Kong Sian cepat-cepat mengelak sambil mencabut keluar pedangnya pula. Pedang ini bersinar
gemilang dan sangat tajam, karena ini adalah pedang Cian-hong-kiam yang dahulu dia terima dari isterinya
sebagai tanda perjodohan ketika belum menikah. Dengan gerakan yang luar biasa cepat dan kuatnya, Lie
Kong Sian membalas dengan serangan hebat sehingga Lu Tong Kui harus mengerahkan seluruh tenaga
dan kepandaian supaya jangan sampai dirobohkan dengan mudah.
Bouw Hun Ti yang melihat susiok-nya terdesak, lalu mengambil kembali goloknya yang tadi terlepas dari
pegangan, lalu membantu susiok-nya itu mengeroyok Lie Kong Sian.
Lo Sian tentu saja tidak mau mendiamkan hal ini, maka dia pun bergerak maju sambil berseru, “Bangsat
pengecut, jangan main keroyokan!”
Akan tetapi Lie Kong Sian lalu berkata kepadanya, “Sahabat, jangan kau turut campur! Biarkan aku sendiri
memberi hajaran kepada penculik rendah ini. Yang diculik adalah keponakanku, maka aku yang berhak
menghajar!”
Mendengar suara ini, Lo Sian melangkah mundur lagi karena ia tidak mau menyinggung perasaan
pendekar gagah itu. Pula, dia melihat betapa Lie Kong Sian biar pun dikeroyok dua, tapi masih dapat
mendesak dua lawannya, dan maklum pula bahwa kepandaiannya sendiri masih kurang kuat sehingga
bantuannya malah hanya merupakan gangguan saja bagi pergerakan Lie Kong Sian.
Memang ilmu pedang dari Lie Kong Sian bukan main hebatnya. Pendekar ini adalah murid dari mendiang
Han Le Sianjin yang menjadi sute dari Bu Pun Su, maka tentu saja ilmu kepandaiannya sudah mencapai
tingkat tinggi sekali.
Biar pun Lu Tong Kui dan Bouw Hun Ti juga bukan sembarang orang dan kepandaian mereka sudah
termasuk tinggi dan lihai, namun menghadapi Lie Kong Sian, mereka tidak banyak berdaya dan setelah
bertempur kurang lebih tiga puluh jurus, maklumlah mereka bahwa kalau dilanjutkan mereka tentu akan
roboh di tangan pendekar besar dari Pulau Pek-le-to ini!
Lu Tong Kui adalah seorang yang licik dan juga pandai melihat gelagat. Dari pada roboh di tangan Lie
Kong Sian, lebih baik melarikan diri saja, pikirnya. Ia tak usah merasa malu melakukan hal ini, karena kalah
dalam pertandingan melawan seorang gagah perkasa seperti Lie Kong Sian, bukanlah merupakan hal
yang amat memalukan.
“Mari kita pergi!” katanya dengan cepat sambil menyerang hebat ke arah kedua kaki Lie Kong Sian.
Bouw Hun Ti memang sudah mengeluarkan keringat dingin karena takut dan gelisahnya. Kini mendengar
ucapan susiok-nya yang dibarengi dengan serangan hebat sehingga Lie Kong Sian tidak dapat
menekannya, ia lalu melompat dari rumah makan.
“Bouw Hun Ti, jangan lari sebelum lehermu kupatahkan!” Lie Kong Sian berseru sambil menyampok
pedang Lu Tong Kui dan tubuhnya lantas berkelebat keluar mengejar Bouw Hun Ti.
Karena gerak Lie Kong Sian gesit sekali dan ginkang-nya sudah mencapai tingkat tinggi, maka dengan dua
kali lompatan saja dia sudah dapat menyusul dan mengirim bacokan dengan pedangnya dari belakang.
Bouw Hun Ti bukanlah orang lemah dan mendengar suara angin pedang dari belakang, dia cepat
membalikkan tubuh dan menangkis pedang itu dengan goloknya sambil mengerahkan seluruh tenaga
lweekang-nya.
“Trangg…!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Goloknya beradu dengan pedang sedemikian kerasnya hingga telapak tangannya serasa akan pecah
kulitnya. Pada saat ia melihat, ternyata bahwa goloknya telah terbabat putus menjadi dua oleh pedang
lawannya! Dan pada saat itu pula pedang Lie Kong Sian telah menyambar dengan cepatnya menusuk
dadanya.
Dengan sangat terkejut Bouw Hun Ti melempar tubuhnya ke belakang, akan tetapi ujung pedang itu masih
menyerempet pundaknya lantas melukai kulit pundak sehingga pecah dan darah membasahi pakaiannya!
Ia terhuyung-huyung ke belakang dan tanpa tertahan lagi tubuhnya jatuh terjengkang!
Untung baginya, pada saat Lie Kong Sian hendak menambahkan dengan tusukan maut, datang Lu Tong
Kui yang menyerang Lie Kong Sian dari belakang sehingga pendekar Pulau Pek-le-to itu terpaksa
membalikkan tubuh untuk menghadapi Lu Tong Kui.
Bouw Hun Ti merangkak bangun dan ketika melihat musuh tangguh itu telah ditahan oleh susiok-nya, ia
lalu melarikan diri secepatnya pergi dari tempat itu!
“Bouw Huii Ti, bangsat rendah, jangan lari!” seru Lie Kong Sian yang hendak mengejar kembali, akan tetapi
Lu Tong Kui menyerangnya sedemikian rupa sehingga dia tak dapat melanjutkan niatnya mengejar musuh
itu.
“Orang she Lu, jangan kau terlalu mendesak!” kata Lie Kong Sian. “Aku tidak mempunyai permusuhan
denganmu dan tidak berniat membunuhmu. Yang hendak kubikin mampus hanya bangsat rendah Bouw
Hun Ti itu. Minggirlah!”
Akan tetapi Lu Tong Kui tidak menurut, bahkan mendesak makin hebat.
“Kalau begitu, agaknya kau pun telah bosan hidup!” teriak Lie Kong Sian marah.
Pedangnya segera diputar cepat sekali. Gerakannya berubah dan sekarang pedangnya merupakan seekor
naga yang ganas sekali, menyambar-nyambar tak mengenal ampun. Beberapa belas jurus Lu Tong Kui
masih sanggup mempertahankan diri, namun akhirnya dia berteriak ngeri dan roboh tak bernyawa pula
karena dadanya sudah tertembus oleh pedang di tangan Lie Kong Sian!
Pendekar dari Pulau Pek-le-to ini untuk sesaat lamanya berdiri kesima dan merasa agak menyesal sudah
membunuh orang ini yang sesungguhnya di luar kehendaknya semula. Kemudian ia teringat kepada Bouw
Hun Ti, lalu mengejar secepatnya ke arah orang she Bouw itu tadi melarikan diri.
Lo Sian yang mengejar sampai di situ merasa kagum sekali dan berseru, “Lie Kong Sian Taihiap...! Tunggu
dulu! Lili sudah berada di tangan yang aman sentosa!”
Akan tetapi Lie Kong Sian telah pergi jauh dan Lo Sian tidak dapat menyusul kecepatan lari pendekar itu
sehingga Si Pengemis Sakti ini hanya menggeleng-geleng kepala dan kemudian pergi dari situ, tidak
mengalami kesibukan karena terjadinya pembunuhan ini.
“Bouw Hun Ti telah berada di tempat ini dengan susiok-nya, maka tentu ia melarikan diri menuju ke tempat
tinggal gurunya yang tak jauh dari sini,” pikir Lo Sian dan ia lalu berlari cepat menuju ke dusun Tong-si-bun,
tempat tinggal Ban Sai Cinjin.
Hari telah sore ketika ia tiba di dusun itu dan melihat betapa rumah Ban Sai Cinjin sunyi saja. Dia lalu
menuju ke hutan di mana dia bersama Lili menolong Thio Kam Seng anak yatim piatu itu dari siksaan
seorang hwesio kecil yang mendiami kuil megah dari Ban Sai Cinjin.
Dugaannya memang tepat sekali. Pada waktu dia tiba di dekat kuil itu, dia menyaksikan pertempuran yang
hebat sekali sedang berlangsung antara Lie Kong Sian dan Ban Sai Cinjin sendiri! Seperti juga dulu,
kembali ia mengintai dari balik tetumbuhan yang rindang, menonton pertempuran luar biasa dahsyatnya itu.
Hwesio kecil yang kejam dulu itu berdiri tidak jauh dari tempat pertempuran, sedangkan di dekatnya berdiri
pula Bouw Hun Ti yang bertolak pinggang. Tidak jauh dari tempat itu berdiri pula seorang yang melihat dari
keadaan pakaiannya, adalah seorang dusun yang kebetulan lewat di situ dan telah menonton pertempuran
dengan mata terbelalak penuh kegelisahan dan ketakutan. Orang dusun ini rupanya masih muda.
dunia-kangouw.blogspot.com
Lie Kong Sian memang sudah mendapatkan jejak musuhnya dan mengejar terus sampai ke tempat itu. Dia
masih melihat berkelebatnya bayangan Bouw Hun Ti memasuki kuil yang amat mentereng di dalam hutan
itu. Lie Kong Sian ragu-ragu untuk masuk ke dalam kuil, karena ia adalah seorang yang menghargai
peraturan dan kesopanan. Tak berani ia secara sembarangan memasuki kuil tanpa ijin kepala hwesio yang
menguasai kelenteng. Maka ia lalu berseru keras,
“Bouw Hun Ti manusia jahat! Janganlah kau mengotori kelenteng suci dengan telapak kakimu yang hitam!
Keluarlah untuk menerima kematian secara laki-laki!”
Beberapa kali Lie Kong Sian berteriak-teriak dari luar kuil dan tidak lama kemudian, dari dalam kuil itu
keluar seorang gemuk pendek yang sudah tua akan tetapi wajahnya masih kemerah-merahan tanda
bahwa ia sehat sekali. Pakaiannya amat mengherankan karena mewahnya dan rambutnya yang sudah
putih itu disisir rapi dan dikuncir ke belakang.
Di luar pakaiannya yang terbuat dari pada sutera halus dan mahal itu, dia mengenakan sebuah baju luar
terbuat dari pada bulu yang sangat halus dan mahal. Sepatunya juga baru serta mengkilat dan pada
tangan kanannya dia memegang sebatang huncwe (pipa tembakau) yang panjang. Kepala huncwe itu
masih mengepulkan asap tembakau yang berbau harum, tanda bahwa tembakau yang diisapnya adalah
tembakau yang mahal.
Lie Kong Sian berdiri tertegun. Dia belum pernah bertemu dengan orang ini, dan melihat potongan
tubuhnya dan huncwe yang luar biasa itu, ia menduga bahwa orang ini tentulah Si Huncwe Maut yang
terkenal pula dengan sebutan Ban Sai Cinjin. Akan tetapi kenapa Ban Sai Cinjin yang disohorkan sebagai
seorang pemeluk kebatinan malah terlihat begini pesolek? Maka Lie Kong Sian merasa ragu-ragu dan
hanya memandang dengan mata menyinarkan cahaya tajam.
Sebaliknya, kakek yang sebenarnya memang Ban Sai Cinjin dengan tenang keluar dari kuil diikuti oleh
seorang hwesio kecil berkepala gundul dan bermata liar, lalu dia menjura kepada Lie Kong Sian dan
berkata,
“Selamat datang di kuilku ini, Pek-le-to Taihiap (Pendekar Besar dari Pulau Pek-le-to)! Sungguh satu
kehormatan besar sekali mendapat kunjungan seorang gagah seperti kau. Hanya anehnya, sepanjang
pendengaranku, Lie Kong Sian adalah pendekar besar yang penyabar dan tenang, akan tetapi kenapa
sekarang ia mengunjungi sebuah kuil dengan pedang di tangan dan iblis maut membayang pada
mukanya?”
Ucapan ini sungguh pun cukup pantas dan merendah, akan tetapi mengandung ejekan, terutama sekali
tekanan kata-katanya.
Lie Kong Sian juga menjura sebagai balasan penghormatan, lalu bertanya, “Kalau tidak salah dugaanku,
Lo-enghiong (Orang Tua Gagah) tentulah yang disebut Ban Sai Cinjin si Huncwe Maut. Betulkah dugaanku
ini?”
Ban Sai Cinjin tertawa dengan suara ketawanya yang aneh.
“He-he, he-he, he-he, he-he-he, ha-ha-ha!”
Akan tetapi dia tidak berkata sesuatu apa pun, hanya dengan amat tenangnya kemudian mengetuk-ngetuk
keluar abu tembakau dari kepala pipanya, lantas dengan masih tenang seakan-akan sedang menikmati
waktu senggang seorang diri, dia lalu membuka kantong tembakau yang tergantung pada pipa itu,
mengeluarkan tembakau berwarna hitam yang dijemputnya dengan ibu jari, menutup kantong itu kembali
dan menggantungkannya lagi pada pipanya. Dengan mata meram-melek ia menggelintir-gelintir tembakau
itu di ibu jari dan telunjuk tangan kiri, lalu dimasukkannya ke dalam mulut huncwe tempat tembakau.
Setelah itu, baru ia memandang kepada Lie Kong Sian yang menjadi gemas juga melihat sikap yang
angkuh dan memandang rendah ini.
“Kau menduga dengan tepat. Aku telah kenal dengan mendiang gurumu, Han Le Sianjin! Lie Kong Sian,
apakah keperluanmu maka datang mengunjungi kuilku dengan pedang di tangan?”
Lie Kong Sian adalah seorang pendekar yang jujur, tabah dan tak suka menyembunyikan perbuatannya
sendiri. Ia tahu bahwa Lu Tong Kui yang terbunuh olehnya tadi adalah sute dari Ban Sai Cinjin, maka tak
dunia-kangouw.blogspot.com
perlu kiranya ia menyembunyikan permusuhannya dengan Bouw Hun Ti dan pembunuhannya terhadap Lu
Tong Kui tadi
Maka ia berkata, “Ban Sai Cinjin, ketahuilah bahwa aku sedang mengejar muridmu Bouw Hun Ti dan tadi
kulihat ia bersembunyi di tempat ini.”
“Hemm, memang ada muridku Bouw Hun Ti di ruangan dalam, akan tetapi mengapakah kau mengejarngeiarnya
dengan pedang di tangan?”
“Muridmu telah melakukan perbuatan yang jahat! Dia tidak saja membunuh Yousuf yang menjadi ayah
angkat Nyonya Sie Cin Hai, akan tetapi juga ia telah menculik puteri dari Pendekar Bodoh itu. Kau tahu
bahwa aku adalah Suheng dari Pendekar Bodoh, maka mendengar kekejaman ini tentu saja aku tidak bisa
tinggal diam dan berusaha membalas dendam. Oleh karena itu, perlu pula kau ketahui untuk kau
pertimbangkan, bahwa ketika aku mengejar muridmu tadi, sute-mu Lu Tong Kui ikut menghalangiku. Sudah
kukatakan bahwa aku tidak memusuhinya, akan tetapi ia terus mendesak dan menyerang sehingga
akhirnya ia tewas di ujung pedangku!”
Hampir meledak rasa dada Ban Sai Cinjin mendengar hal ini, akan tetapi perasaannya ini sama sekali tak
nampak pada wajahnya yang masih saja tersenyum-senyum mengejek. Akan tetapi, jari-jari tangannya
yang masih memasuk-masukkan tembakau pada kepala pipa itu gemetar sedikit tanda bahwa dadanya
bergelora karena marah.
“Hemm, hemm, jadi kau juga sudah membunuh Sute-ku? Lie Kong Sian! Agaknya kau mengandalkan
kepandaianmu untuk berbuat sesukamu terhadap murid dan Sute-ku. Kau berlaku sebagai hakim sendiri
untuk menghukum mereka. Apakah engkau sama sekali sudah tak memandang mukaku lagi?”
“Ban Sai Cinjin, harap kau orang tua suka mempertimbangkan secara baik-baik dan juga menggunakan
cengli (aturan). Muridmu itu sudah melakukan pembunuhan terhadap diri Yousuf dan menculik pula puteri
Sute-ku, berarti bahwa dia sengaja memusuhi Pendekar Bodoh. Ada pun sute-mu Lu Tong Kui itu, dia
mencari kematiannya sendiri karena dialah yang mendesakku dan menghalang-halangiku mengejar
muridmu yang jahat.”
“Enak saja kau bicara!” tiba-tiba Ban Sai Cinjin tidak dapat menahan sabarnya lagi dan matanya bersinarsinar,
dadanya berombak, akan tetapi ia masih sempat menyalakan api untuk membakar tembakau di
kepala pipanya. “Bouw Hun Ti membunuh Yousuf adalah urusannya sendiri. Mereka sama-sama dari Turki
dan urusan antara mereka tidak ada hubungannya dengan kita! Ada pun mengenai penculikan puteri
Pendekar Bodoh, belum tentu kalau muridku bermaksud buruk. Buktinya, manakah anak yang diculiknya
itu? Kau hanya menuduh secara membuta saja. Sekarang tak perlu kau banyak cakap lagi, paling perlu
kau harus membayar hutangmu dan membalas kematian Sute-ku!” Sambil berkata demikian, Ban Sai
Cinjin menyedot pipanya dan terciumlah bau asap yang sangat keras memusingkan kepala.
“Bagus!” Lie Kong Sian berseru marah. “Kau pun hendak membela yang jahat? Majulah, jangan kira aku
takut kepadamu!”
Lie Kong Sian yang sedang menderita kesedihan hati karena perginya isteri dan anaknya itu memang
adatnya berubah menjadi keras dan mudah marah. Keberaniannya semakin bertambah-tambah karena ia
tidak takut mati lagi setelah hidupnya mengalami kegagalan dan kepahitan.
“Manusia sombong! Gurumu sendiri belum tentu berani untuk bersikap sesombong ini di hadapanku. Nah,
kau mampuslah!”
Setelah berkata demikian, Ban Sai Cinjin lalu menyemburkan asap hitam dari mulutnya. Semburan ini
bukanlah semburan biasa saja, akan tetapi yang dilakukan dengan tenaga khikang sepenuhnya sehingga
asap hitam itu menyambar cepat ke arah muka Lie Kong Sian! Pendekar ini mengelak cepat karena tahu
akan lihainya asap ini.
“Iblis tua, kau tidak malu menggunakan kecurangan?!” Lie Kong Sian membentak marah dan menyerang
dengan pedangnya.
Akan tetapi ketika Ban Sai Cinjin menangkis dengan huncwe-nya, diam-diam dia merasa terkejut sekali
karena ternyata bahwa tenaga lweekang dari orang tua pendek itu bukan main hebatnya dan masih lebih
tinggi dari pada tenaganya sendiri!
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka bertempurlah dua orang berilmu itu dengan hebatnya. Pedang di tangan Lie Kong Sian bergerak
cepat dan sebentar saja tubuhnya telah lenyap di dalam gulungan cahaya pedangnya sendiri, sedangkan
huncwe di tangan Ban Sai Cinjin benar-benar luar biasa. Saking cepatnya gerakan huncwe itu, maka yang
terlihat hanyalah sinar kehitaman yang tebal dan kuat, merupakan benteng baja yang diliputi asap hitam
bagaikan kabut, yaitu asap yang keluar dari tembakaunya yang beracun!
Sesudah pertempuran berjalan seru, barulah kelihatan Bouw Hun Ti keluar dari tempat sembunyinya dan
dengan bertolak pinggang dia lalu menonton pertempuran itu bersama pendeta cilik gundul yang dahulu
hendak membedah perut Thio Kam Seng.
Kebetulan sekali pada saat itu di tempat itu terdapat seorang penduduk kampung muda yang datang
mencari kayu kering. Ketika ia mendengar suara senjata beradu, ia tertarik dan datang pula ke depan
kelenteng. Sekarang dia berdiri dengan mulut melongo, ketika menyaksikan pertempuran yang luar biasa
dan yang selama hidupnya belum pernah dia saksikan itu. Ia tidak bisa melihat orang yang sedang
bertempur, hanya melihat gulungan sinar putih keemasan dari pedang Lie Kong Sian serta gulungan sinar
hitam dari huncwe Ban Sai Cinjin!
Dan pada saat pertempuran telah berjalan lima puluh jurus lebih, datanglah Lo Sian yang mengintai dari
balik gerombolan pohon. Biar pun Lo Sian bukan seorang biasa dan telah memiliki kepandaian tinggi, akan
tetapi menyaksikan pertempuran ini, ia menjadi tertegun dan kagum sekali. Belum pernah selama hidupnya
dia menyaksikan pertandingan yang demikian seru dan hebatnya.
Lo Sian selama ini mengagumi kepandaian suheng-nya, Mo-kai Nyo Tiang Le yang telah mewarisi semua
kepandaian mendiang suhu-nya. Akan tetapi ketika melihat gerakan dua orang yang sedang bertempur ini,
dia merasa ragu-ragu apakah kepandaian suheng-nya itu dapat menandingi kepandaian Ban Sai Cinjin.
Sebetulnya, dalam hal gerakan ilmu silat, Lie Kong Sian tak usah merasa kalah terhadap Ban Sai Cinjin.
Kalau saja kakek pesolek itu mempergunakan ilmu silat biasa, agaknya tak mungkin ia akan dapat
melawan Lie Kong Sian sampai sekian lamanya.
Akan tetapi, Ban Sai Cinjin bukan seorang ahli silat biasa. Di samping ilmu silat dia telah mempelajari ilmu
hoat-sut (sihir) dari bangsa Mongol dan di dalam gerakan huncwe-nya banyak terdapat gerakan-gerakan
aneh yang mempengaruhi pandangan mata lawan.
Sering kali huncwe itu membuat gerakan rahasia sehingga tiba-tiba saja Lie Kong Sian merasa matanya
kabur dan pikirannya bingung. Hanya berkat lweekang-nya yang sudah tinggi dan permainan pedangnya
yang memang sudah mendekati kesempurnaan sajalah yang masih menyelamatkan nyawanya karena
lawannya tak dapat mudah membobolkan pertahanan pedangnya.
Selain ini, juga dalam tenaga dalam Lie Kong Sian harus mengaku kalah. Tenaga dalam yang dimiliki oleh
Ban Sai Cinjin bukanlah tenaga biasa, akan tetapi tenaga yang sudah diperkuat pula dengan ilmu hitam
dan mantera.
Sebaliknya, Ban Sai Cinjin merasa kagum dan diam-diam juga merasa sangat penasaran sekali. Ia adalah
seorang yang belum pernah merasa dikalahkan orang, dan huncwe-nya sudah dikenal oleh seluruh orang
gagah di kalangan kang-ouw sebagai senjata yang tak terlawan sehingga ia dijuluki Huncwe Maut. Akan
tetapi, menghadapi seorang jago muda saja sampai puluhan jurus belum juga ia dapat merobohkannya!
Jangankan merobohkan, bahkan mendesak saja dia pun tidak mampu. Maka, dengan penuh kemarahan
Ban Sai Cinjin membentak,
“Siauw-koai, Lo-koai, semua tunduk padaku! Lie Kong Sian, ayahmu, kakekmu, gurumu, semua tunduk
kepadaku. Kau juga takut kepadaku!”
Ini adalah ucapan yang mengandung mantera dan merupakan sihir yang luar biasa, oleh karena mendadak
Lie Kong Sian merasa berdebar-debar dan dalam pandang matanya, Ban Sai Cinjin nampak sangat
menakutkan dan mengerikan hati!
Kalau orang lain yang menghadapi pengaruh ilmu hitam ini, tentu akan lemaslah seluruh tubuhnya
sehingga akan mudah sekali dirobohkan. Akan tetapi Lie Kong Sian bukanlah orang sembarangan, tetapi
telah bertahun-tahun dia tinggal menyepi seorang diri di pulau kosong di tengah laut. Telah bertahun-tahun
pula dia melakukan tapa dan semedhi untuk memperkuat batin dan membersihkan pikiran. Banyak sekali
dunia-kangouw.blogspot.com
godaan-godaan setan yang dialaminya pada waktu ia menyepi di atas pulau itu, dan semua rintangan dan
godaan itu telah dapat dihadapinya dengan baik.
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments