Rabu, 15 November 2017

Cersil Kho Ping Hoo Dara Baju Merah 4

baca juga cersil cerita silat kho ping hoo sebelumnya
Cersil Kho Ping Hoo Dara Baju Merah 4
---Mereka merupakan dua orang jantan yang sama-sama gagah perkasa, hampir seimbang kokoh kekar
bentuk badannya, sama-sama tampan dan gagah, hanya bedanya, Kiang Liat sudah setengah tua,
rambutnya sebagian sudah putih dan mukanya telah berjenggot dan berkumis, sedangkan Liem Sun Hauw
masih muda, mukanya masih halus.
Kiang Liat sengaja mengerahkan ilmu lari cepat dan Liem Sun Hauw yang muda tahu bahwa dirinya di’jajal’
oleh utusan Bu Pun Su ini. Sudah lama Liem Sun Hauw mendengar nama besar Bu Pun Su yang sering
dipuja oleh mendiang suhu-nya, Thian Mo Siansu. Karena itu sekarang dia girang sekali dapat berkenalan
dengan seorang yang masih ada hubungan dengan Bu Pun Su.
Mengetahui dirinya tengah diuji, ia pun mengerahkan ginkang dan berlari secepat terbang mengimbangi
kecepatan lari Kiang Liat. Mereka menuruni Gunung Go-bi-san, melompati jurang dan melalui jalan yang
sukar dengan enak saja bagaikan orang berlari-lari di atas tanah rata.
Kiang Liat pernah menerima latihan ilmu lari cepat Yan-cu Hui-po dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng,
maka dalam ilmu lari cepat, dia sudah mencapai tingkat tinggi. Oleh karena ini, biar pun Liem Sun Hauw
juga lihai, pemuda ini masih kalah setingkat. Namun Kiang Liat juga tidak bermaksud membikin malu
pemuda itu, maka sengaja mengurangi kecepatannya agar mereka dapat jalan berendeng.
Sesudah bercakap-cakap, keduanya semakin merasa cocok, Liem Sun Hauw yang tahu bahwa ilmu lari
cepat orang tua ini masih melampauinya, merasa amat kagum. Ia makin merasa suka karena Kiang Liat
ternyata tidak meninggalkannya dan tidak memamerkan kemenangannya.
Tiba-tiba, pada sebuah tikungan jalan mereka melihat seorang tosu gemuk pendek berdiri menghadang di
tengah jalan. Mereka menghentikan perjalanan dan sesudah dekat, Liem Sun Hauw mengenali tosu ini
sebagai murid ke dua dari Twi Mo Siansu. Melihat sikap tosu yang bermuka kuning dan bertubuh gemuk
pendek ini, diam-diam Sun Hauw merasa tak enak hati.
“Agaknya Suheng ada keperluan penting maka menanti siauwte di sini,” kata Sun Hauw sambil memberi
hormat.
“Memang ada keperluan penting sekali,” kata tosu itu, suaranya tinggi dan menggetar.
Mendengar suara ini dan melihat muka yang kekuningan dan pucat itu, diam-diam Kiang Liat terkejut
karena maklum bahwa tosu yang kelihatannya tidak seberapa ini ternyata adalah seorang seorang ahli
lweekeh yang memiliki tenaga lweekang tinggi.
“Barang kali kau belum tahu, pinto adalah Tek Le Tojin, murid ke dua dari Ciangbunjin (ketua) Gobi-pai.”
Melihat sikap tosu ini, Sun Hauw merasa mendongkol bukan main. Sikap ini menunjukkan seakan-akan
dirinya tak dianggap sebagai murid Go-bi-pai, melainkan dianggap sebagai tamu.
“Siauwte sudah mengerti, sekarang apakah kehendak Ji-suheng?”
“Kau dipercaya oleh Suhu untuk memikul tugas yang berat. Tadi pinto telah menyaksikan kepandaianmu,
akan tetapi sayang, Suhu buru-buru menahan. Karena tugasmu penting sekali, pinto masih merasa
penasaran dan hendak meyakinkan apakah kau benar-benar akan sanggup melakukan tugas itu karena
apa bila kiranya kau tidak patut menjadi wakil Suhu, masih belum terlambat kau mengembalikan tugas itu
kepada Suhu.”
“Apa maksud Suheng?” tanya Sun Hauw tak senang.
“Menguji apakah betul-betul kau patut menjadi wakil Suhu!” jawab Tek Le Tojin tegas.
Mendengar ucapan tosu muka kuning yang bertubuh pendek gemuk itu, Liem Sun Hauw mengerutkan
kening, hatinya tidak senang sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Suheng Tek Le Tojin, mengapa Suheng melakukan ini? Bukankah Suheng sendiri sudah menyaksikan
bahwa Susiok telah memberi kekuasaan kepada siauwte untuk melakukan tugas ini?”
Tek Le Tojin tersenyum menyeringai. “Suhu selalu bersikap lemah dan pemurah. Akan tetapi sekali ini pinto
sungguh-sungguh meragukan apakah kepercayaan Suhu kepadamu bijaksana. Kau bocah kemarin sore
yang belum tahu tentang seluk beluk dunia kang-ouw, bagaimanakah kau dapat menyelesaikan tugas
dengan baik? Apa lagi bila diingat bahwa tugas ini amat pentingnya, yakni menjadi pendamai antara dua
partai besar, Bu-tong-pai dan Kim-san-pai. Pinto sendiri yang sudah banyak makan garam dunia masih
ragu-ragu, apakah pinto akan berhasil menunaikan tugas itu, apa lagi seorang bocah macam kau. Hemmm,
apakah yang kau andalkan? Maka majulah, pinto hendak mencobamu agar hati pinto tenteram kalau kau
pergi. Bagimu mungkin nama besar Go-bi-pai tidak ada artinya, namun bagi pinto dan para anak murid Gobi-
pai amat besar artinya dan harus dijaga baik-baik, kalau perlu bahkan dibela dengan taruhan nyawa!”
Sun Hauw merasa mendongkol. Dia dapat memaklumi dan dapat pula mengagumi sifat tosu yang jujur ini,
yang meragukan keputusan Ketua Go-bi-pai sekali-kali bukan dengan maksud untuk menghinanya atau
untuk membandel terhadap keputusan Twi Mo Siansu, akan tetapi untuk menjaga nama baik Go-bi-pai
yang kini mengutus seorang anak murid yang bukan langsung belajar di Go-bi-san. Pendeknya, tosu ini
masih tidak percaya akan kepandaiannya.
Kali ini aku harus memperlihatkan kepandaianku. Pikir pemuda ini dengan hati gemas.
“Baiklah, Suheng. Kau adalah saudara tuaku, maka sebagai saudara muda, mana berani aku membantah
kehendakmu? Biarlah Kiang-lo-enghiong ini menjadi saksi bahwa ujian kepandaian ini merupakan
kehendakmu dan sama sekali bukan aku yang menghendaki. Maka kalau sampai Susiok marah, aku tidak
mau memikul tanggung jawabnya.”
“Baik, baik, biarlah Sicu ini menjadi saksi. Nah, Liem-sute kau bersiaplah!”
Sambil berkata demikian, Tek Le Tojin segera memasang kuda-kuda menghadapi Liem Sun Hauw. Kudakudanya
biasa saja, kuda-kuda ilmu silat Go-bi-pai, akan tetapi nampak kokoh kuat seakan-akan kedua
kakinya telah berakar ke dalam tanah.
Melihat pasangan kuda-kuda ini, di dalam hatinya Sun Hauw tertawa geli. Bagaimana sih tosu ini? Sudah
disaksikan oleh Twi Mo Siansu sendiri ketika ia dicoba oleh murid kepala Go-bi-pai, ia dapat melayani Tek
Sin Tojin dengan baik. Sekarang murid kedua ini hendak mengujinya lagi dengan ilmu silat serupa.
Mungkinkah ada murid kedua lebih pandai dari pada murid pertama?
“Baiklah, Suheng. Siauwte menunggu pelajaran dari Suheng!” Sun Hauw berkata sambil memasang kudakuda
pula menghadapi tosu itu.
Tek Lojin mulai menyerang sambil berseru, “Awas serangan!”
Tangannya memukul ke arah dada Sun Hauw.
Pemuda ini dengan tenang kemudian memindahkan kaki sambil menangkis. Akan tetapi dia kaget sekali
pada waktu lengannya beradu dengan lengan tosu itu, karena dia merasa lengannya menjadi linu dan sakit,
bahkan tenaga serangan tosu ini sedemikian kerasnya sampai-sampai tubuhnya mendoyong!
Ahh, sekarang tahulah dia. Ji-suheng-nya ini adalah seorang yang mempunyai lweekang tinggi sekali,
mungkin lebih kuat dari pada Tek Sin Tojin. Sun Hauw berlaku awas dan kini tak berani lagi ia menerima
pukulan suheng-nya dengan tangkisan langsung, sebaliknya dia mengandalkan kelincahan untuk mengelak
dan balas menyerang. Dia memang lebih lincah, selain tubuhnya memang lebih baik bentuknya, juga
pemuda ini menerima latihan ginkang istimewa dari mendiang gurunya.
Akan tetapi lagi-lagi ia terkejut sekali karena kini setiap pukulan tangan Tek Le Tojin, biar pun tidak
mengenai tubuhnya, tapi sudah mendatangkan angin pukulan yang panas dan dahsyat! Dia tidak tahu
bahwa tingkat ilmu lweekang dari Tek Le Tojin sudah amat tinggi dan bahwa tosu ini telah memahami ilmu
pukulan berdasarkan lweekang tingkat tinggi yang disebut Pek-lek-ciang (Si Tangan Kilat).
Biar pun ilmu silat yang dimainkan adalah ilmu silat Go-bi-pai, namun dalam tiap pukulan Tek Le Tojin
mempergunakan tenaga Pek-lek-ciang dalam usahanya untuk mengalahkan Sun Hauw.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sun Hauw benar-benar terdesak hebat. Dalam hal menguji dirinya, ternyata Tek Le Tojin ini bahkan lebih
kejam dari pada Tek Sin Tojin, karena Tek Le Tojin terus mendesaknya dengan pukulan-pukulan yang
mengandung hawa panas dan kalau mengenai tepat pada sasarannya kiranya akan mendatangkan akibat
hebat!
Oleh karena tidak tahan menghadapi serangan dengan pukulan Pek-lek-ciang, Sun Hauw berseru keras
dan kembali ia mengeluarkan ilmu pukulan yang ia pelajari dari mendiang suhu-nya, yakni ilmu pukulan dari
Hok Peng Taisu! Benar saja, baru tiga jurus ia melawan dengan ilmu silat ini, ia dapat membuyarkan
desakan Tek Le Tojin.
“Bocah lancang! Kau sudah lupa akan pesan Suhu dan kembali berani mempergunakan ilmu silat iblis ini?!”
bentak Tek Le Tojin!
“Suheng yang mulai lebih dulu!” bantah Sun Hauw. “Mengapa Suheng mempergunakan hawa pukulan yang
panas itu? Di dalam ilmu silat Go-bi-pai tidak ada pukulan macam itu!”
“Begitu? Baik, kau tahanlah pukulanku dengan ilmu iblismu itu!”
Setelah membentak begini, Tek Le Tojin kemudian memukul dengan penggunaan tenaga sepenuhnya
sehingga Sun Hauw cepat-cepat harus menggunakan kelincahannya untuk mengelak. Kemudian, dengan
luar biasa cepatnya dan tidak kalah hebat, dia membalas dengan serangan-serangan yang gerakannya tak
dikenal oleh Tek Le Tojin sehingga tosu ini menjadi kelabakan.
Dalam marahnya, pada saat kedua tangan Sun Hauw memukul dengan sepasang lengan dilonjorkan lurus
ke muka, Tek Le Tojin langsung menyambut pukulan itu dengan telapak tangannya.
“Plakkk!”
Dua pasang telapak tangan bertemu. Sun Hauw tidak kuasa menarik kembali sepasang tangannya! Ia
terkejut sekali dan mencoba untuk membetot kedua tangannya, akan tetapi sia-sia belaka. Sepasang
telapak tangan Tek Le Tojin seakan-akan menyedot tangannya, membuat dua tangan Sun Hauw menjadi
menempel. Perlahan-lahan Sun Hauw merasa betapa hawa panas mengalir dari kedua tangan suheng-nya
itu menyerang ke dadanya melalui sepasang lengannya!
Ia makin terkejut dan gelisah karena sebagai seorang ahli silat tinggi maklumlah pemuda ini bahwa suhengnya
sedang menyerang dirinya dengan tenaga lweekang tingkat tinggi, menyerang secara keji karena
serangan ini apa bila sampai melukai jantungnya berarti mengantar ia menghadap Giam-lo-ong (Raja
Maut)! Untuk melepaskan diri tak mungkin, maka Sun Hauw lalu mengerahkan seluruh lweekang-nya untuk
melawan serangan ini.
Baiknya ia pun sudah mendapat latihan lweekang dari mendiang suhu-nya dan biar pun dalam hal tenaga
lweekang tingkatnya masih kalah banyak oleh suheng-nya ini, namun setidaknya tenaganya bisa menolak
kembali serangan itu dan ia dapat mempertahankan diri untuk sementara waktu. Ia hanya mengharapkan
saja bahwa tosu ini takkan berlaku kejam dan akan menyudahi serangannya yang keji.
Akan tetapi harapannya ternyata kosong belaka. Tek Le Tojin sedikit pun tak mengurangi serangannya,
bahkan mengerahkan tenaga Pek-lek-ciang untuk rnencelakai pemuda itu. Bahkan untuk memamerkan
keunggulannya dalam adu tenaga lweekang itu, dia masih membuka mulut menyindir,
“Hemm, begini sajakah orang yang hendak mewakili Go-bi-pai? Sungguh mengecewakan dan memalukan
sekali!”
Dia memperhebat tenaganya sehingga kini muka Sun Hauw sudah penuh keringat dan kedua lengan
tangannya sudah mulai gemetar!
“Sungguh mengherankan sikap tokoh Go-bi-pai!” Tiba-tiba terdengar suara menggeledek.
Sun Hauw merasa pundaknya ditepuk orang dari belakang. Seketika itu juga, ada tenaga yang dahsyat
mengalir melalui kedua lengannya dan menyerang Tek Le Tojin sehingga tosu itu merasa kedua lengannya
kesemutan dan otomatis tenaga tempelannya lenyap. Sun Hauw mempergunakan tangan mendorong
sambil melompat ke belakang. Tubuhnya terhuyung-huyung dan tentu akan roboh saking lemasnya kalau
saja tidak ada Kiang Liat yang cepat menahan punggungnya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tek Lek Tojin memandang Kiang Liat dengan sepasang mata terbelalak lebar dan mulut tersenyum
masam.
“Sudah menerima pelajaran dari Kiang-sicu, sungguh mengagumkan...!”
Memang, yang membantu Sun Hauw tadi bukan lain adalah Kiang Liat karena pendekar ini tidak tega
melihat pemuda itu diancam bahaya maut oleh tangan suheng-nya sendiri. Ia merasa penasaran, dan biar
pun urusan itu bukan urusannya melainkan urusan antara dua orang murid Go-bi-pai, akan tetapi dia tidak
bisa membiarkan pemuda itu terbunuh begitu saja.
Sesudah berkata demikian sambil menjura kepada Kiang Liat, tosu gemuk pendek itu lalu berlari naik ke
puncak lagi dengan cepat.
“Sungguh berbahaya...” Sun Hauw berkata sambil menarik napas panjang, “Baiknya ada Kiang-lo-enghiong
yang menolongku tadi, kalau tidak, entah bagaimana jadinya dengan nasibku. Terima kasih banyak, Kianglo-
enghiong.”
“Sudahlah, aku tidak bisa membiarkan dia berbuat kejam begitu saja. Dia seorang jujur dan pandai, sayang
sekali terlalu keras. Pantas saja Twi Mo Siansu memilih Tek Sin Tojin sebagai calon pengganti ketua,
padahal Tek Le Tojin masih lebih berbakat untuk menjadi seorang ahli silat tinggi.”
Karena tekanan Tek Le Tojin tadi sudah menyerang hebat dan baru saja Sun Hauw harus mengerahkan
seluruh tenaga lweekang-nya, maka ia perlu beristirahat untuk memulihkan kekuatannya. Kiang Liat
mengajaknya beristirahat di bawah pohon dan sambil beristirahat mereka bercakap-cakap. Kiang Liat
makin suka kepada pemuda ini, sebaliknya Liem Sun Hauw makin menghormat karena kini baru dia tahu
betul bahwa utusan Bu Pun Su ini adalah seorang berkepandaian tinggi.
“Agaknya Suheng Tek Le Tojin, seperti juga Suheng Tek Sin To tidak senang kepadaku sebab aku adalah
murid Thian Mo Siansu. Dalam hal ini terdapat hal tertentu,” Sun Hauw bercerita, “Dahulu Suhu-ku, Thian
Mo Siansu, menjadi ketua dari Go-bi-pai dibantu oleh Susiok Twi Mo Siansu. Peraturan dari partai Go-bi-pai
amat keras dan ketinggalan jaman, maka anak murid Go-bi-pai menjadi kaku-kaku dan cara hidupnya
bahkan jauh melebihi pendeta-pendeta yang selama hidupnya dikeram di dalam kuil. Suhu-ku tidak
menyetujui peraturan-peraturan ini dan setelah ia menjadi ciangbunjin, sedikit demi sedikit ia hendak
merubahnya. Pendeknya Suhu hendak menjadi pencipta aliran baru untuk menyesuaikan keadaan partai
kami dengan kemajuan jaman. Akan tetapi, Susiok Twi Mo Siansu adalah seorang yang amat kukuh dan
penganut aliran lama dalam peraturan Go-bi-pai sehingga mulailah terjadi bentrokan paham antara Suhu
dengan Susiok. Perubahan yang hendak dilakukan oleh Suhu antara lain bahwa Suhu ingin
mengembangkan ilmu silat Go-bi-pai ke dunia ramai agar ilmu dari Go-bi-pai tidak hanya dimiliki oleh para
pendeta saja, akan tetapi dapat digunakan oleh orang-orang untuk membasmi kejahatan di dunia kangouw.
Hal ini ditentang keras oleh Susiok yang khawatir kalau-kalau ilmu silat partai Go-bi-pai akan terjatuh
ke dalam tangan orang jahat dan akhirnya orang itu akan merusak nama baik Go-bi-pai. Pendirian Susiok
ini disokong oleh hampir semua tosu di dalam kuil.”
Kiang Liat mengangguk-angguk. “Dua macam pendirian, akan tetapi keduanya memiliki kebenaran masingmasing.
Suhu-mu benar sebab apalah artinya dahulu para guru besar Go-bi-pai susah payah menciptakan
ilmu-ilmu yang tinggi kalau hanya disimpan di dalam kuil dan tidak dipergunakan untuk kebaikan umat
manusia? Sebaliknya, susiok-mu juga benar karena memang bahaya yang dikhawatirkan itu mungkin sekali
terjadi. Akan tetapi, sebetulnya perbedaan faham dapat dipecahkan dengan jalan tengah, misalnya, biar
pun boleh menerima murid dari luar, akan tetapi dilakukan pemilihan yang keras dan setiap murid
diharuskan belajar di puncak Go-bi-san.”
“Sayang dahulu tidak ada Lo-enghiong yang memberi nasehat kepada Suhu dan Susiok. Akan tetapi,
pertikaian itu pun tidak berlarut-larut karena Suhu yang amat sayang kepada Susiok, lalu meninggalkan Gobi-
san dan menyerahkan kedudukannya kepada Susiok. Suhu sendiri lalu turun gunung merantau dan
menerima beberapa orang murid di dalam perantauannya, di antaranya aku sendiri menjadi muridnya yang
terakhir sampai Suhu meninggal di kampungku.”
“Di manakah kampungmu?”
“Kampungku Pek-kan-mui terletak di Propinsi Shansi, di lembah Sungai Huang-ho. Suhu tinggal di sana
sampai selama tujuh tahun. Aku murid tunggal dan terakhir. Bahkan Suhu tinggalnya juga di rumahku, di
dunia-kangouw.blogspot.com
mana aku tinggal berdua dengan Ayah yang telah menjadi duda. Ibuku sudah meninggal dunia semenjak
aku berusia lima tahun. Kemudian karena sakit dan sudah amat tua, Suhu meninggal dunia dan berpesan
agar supaya aku naik ke Go-bi-san dan memperkenalkan diri kepada Susiok serta memberi tahu tentang
kematian Suhu.”
Kiang Liat tertarik sekali mendengar penuturan Sun Hauw. Apa lagi ketika mendengar keadaan pemuda ini
yang tidak memiliki ibu lagi. Diam-diam ia membandingkan keadaan pemuda ini dengan keadaan puterinya.
Timbul rasa sayang dan suka di dalam hatinya kepada pemuda ini dan timbul keinginan hatinya untuk
mengambil Sun Hauw sebagai menantunya, dijodohkan dengan Kiang Im Giok. Sebaliknya, Sun Hauw
yang merasa sangat kagum kepada Kiang Liat, juga ingin mengetahui keadaan rumah tangga Kiang Liat
lebih jelas.
“Kalau aku boleh bertanya, Lo-enghiong tinggal di manakah dan sebenamya Lo-enghiong yang lihai ini
murid siapakah?”
Kiang Liat tersenyum. “Aku ahli waris ilmu silat keluarga Kiang dan selain itu, juga aku pernah menjadi
murid Suhu Han Le, dan pernah pula menerima pelajaran dari pendekar wanita sakti Bun Sui Ceng. Supek
Bu Pun Su juga pernah memberi pelajaran kepadaku.”
“Aduh, pantas saja Lo-enghiong demikian lihai...” Sun Hauw berseru kagum dan menjura memberi hormat.
“Harap maafkan kalau siauwte tadi berlaku kurang hormat.”
“Hushhh, mengapa banyak sungkan-sungkan? Apa sih artinya kepandaian? Betapa pun tinggi Gunung
Thai-san, masih ada langit yang berada di atasnya! Betapa pun pandainya seseorang, pasti ada yang lebih
pandai dari padanya. Kita sudah menjadi sahabat apa perlunya berlaku sheji (sungkan)?”
“Terima kasih atas kepercayaan Lo-enghiong padaku yang muda dan bodoh. Di manakah Lo-enghiong
tinggal? Siapa tahu kelak kalau ada waktu, aku akan datang berkunjung.”
“Rumahku di Sian-koan dan di sana aku hanya tinggal berdua dengan puteri tunggalku. Ibunya sudah
meninggal dunia semenjak anakku masih kecil sekali...” Kiang Liat menarik napas panjang dan meramkan
mata karena teringat akan isterinya yang tercinta.
“Ahhh aku ikut menyesal sekali akan nasibmu yang malang, Lo-enghiong...,” cepat-cepat Sun Hauw
menghibur melihat keadaan Kiang Liat.
Pendekar ini membuka kedua matanya, bibirnya memaksa tersenyum akan tetapi kedua matanya basah.
“'Terima kasih, kau baik sekali, Liem-sicu.”
“Namaku Sun Hauw, harap Lo-enghiong jangan sungkan-sungkan menyebut namaku dan menganggap
aku sebagai sahabat baik atau keluarga sendiri. Sungguh tidak enak kalau mendengar Lo-enghiong
bersungkan dan menyebutku Liem-sicu!”
“Baiklah Sun Hauw, engkau memang seorang pemuda yang baik. Mudah-mudahan saja hidupmu bahagia,
jangan seperti aku...”
Melihat betapa Kiang Liat kembali akan terbenam dalam kesedihannya, Sun Hauw yang amat pandai
membawa diri itu berkata, dengan maksud menghibur Kiang Liat, membawa orang tua itu kepada
kenangan yang menggembirakan.
“Lo-enghiong, kau begini gagah perkasa, sudah tentu puterimu juga memiliki kepandaian tinggi, bukan?”
Maksud Sun Hauw berhasil. Kini sesudah diingatkan akan puterinya, berserilah lagi wajah Kiang Liat,
matanya bersinar-sinar gembira. Bukan sekedar dapat membikin Kiang Liat untuk sementara waktu
melupakan isterinya yang telah meninggal, bahkan pertanyaan ini menimbulkan kembali niatnya semula,
yakni memungut mantu pemuda yang tampan dan gagah lagi menyenangkan hati ini.
“Kau maksudkan puteriku Im Giok? Ha-ha-ha, orang sudah memberi julukan Ang I Niocu kepadanya!
Salahnya sendiri, semenjak kecil dia suka memakai pakaian serba merah sih. Kepandaiannya? Ah, dia
memang beruntung, bahkan Supek Bu Pun Su sendiri berkenan memberi beberapa ilmu silat yang luar
biasa kepadanya. Tentang kepandaiannya pada waktu ini kalau mau diukur, tingkatnya malah lebih tinggi
dunia-kangouw.blogspot.com
dari pada tingkat kepandaianku!”
Diam-diam Sun Hauw terkejut. Bukan main! Kepandaian Kiang Liat sudah begini hebat, namun sekarang
Kiang Liat sendiri mengaku bahwa kepandaian puterinya yang bernama Ang I Niocu Kiang Im Giok itu lebih
tinggi lagi!
“Lo-enghiong benar-benar berbahagia dan keluarga Lo-enghiong adalah keluarga gagah perkasa. Benarbenar
membuat siauwte tunduk dan kagum,” kata Sun Hauw.
“Sun Hauw, kau sendiri apakah sudah menikah?”
Ditanya tentang ini secara tiba-tiba, pemuda itu membuka lebar-lebar matanya, kemudian mukanya
berubah merah dan ia menggeleng kepala.
“Belum Lo-enghiong.”
“Hemm, usiamu kurasa sudah lebih dua puluh dan sudah sepatutnya jika telah memiliki jodoh.”
“Siauwte berusia dua puluh dua tahun, akan tetapi siauwte yang miskin ini mana berani menyeret anak
orang lain dalam jurang kesengsaraan dan kemiskinan?”
Jawaban ini menyenangkan hati Kiang Liat.
“Kata-katamu itu mencerminkan watakmu yang baik, Sun Hauw. Sebagai seorang gagah harus berani
bertanggung jawab atas semua perbuatannya. Namun ucapanmu tadi tidak betul. Bukan kemiskinan yang
akhirnya mendatangkan kesengsaraan dalam perjodohan, akan tetapi ketidak rukunan atau ketidak
cocokan keadaan dan watak. Sudah lama sekali aku mencari-cari calon jodoh puteriku, akan tetapi karena
aku takut kalau-kalau wataknya tidak cocok, karena itu sampai sekarang aku masih belum menemukan
orangnya. Anakku mempunyai kepandaian ilmu silat yang cukup tinggi, tentu dia mengutamakan
kegagahan seperti semua keluarga kami. Selain ini, tentang muka, hmmm… bagiku, di muka bumi ini,
kecuali mendiang ibunya, tidak ada wanita yang secantik dia! Sun Hauw, aku Kiang Liat paling suka bicara
terus terang. Sampai sekarang belum pernah aku bertemu dengan seorang pemuda yang patut menjadi
jodoh Im Giok. Dan sekarang aku bertemu dengan engkau. Aku suka sifat-sifatmu, aku melihat kau seorang
pemuda yang cukup tinggi ilmu silatmu, bakatmu baik, dan kau mengutamakan kegagahan pula. Kau
tampan dan gagah, kiranya pantas sekali menjadi calon jodoh puteriku.”
Mendengar ucapan ini bukan main bingung dan jengahnya pemuda itu. Mukanya menjadi merah seperti
udang direbus dan ia hanya tersenyum malu-malu dan tak berani langsung menatap wajah Kiang Liat.
“Bagaimana, anak muda? Apakah kau bersedia menjadi calon suami puteriku?”
Didesak begini, Sun Hauw tidak dapat menjawab, hanya memandang ragu dan bingung. Akhimya dapat
juga ia menjawab,
“Maaf, Lo-enghiong. Urusan ini datangnya begini tiba-tiba sehingga aku tidak tahu bagai mana harus
menjawab. Kiranya hal ini perlu dipikirkan lebih masak dan sekembaliku dari Bu-tong-san aku akan singgah
ke Sian-koan dan memberi jawaban keputusan.”
Kiang Liat mengangguk-angguk gembira.
“Baiklah, tentu saja demikian! Asal ada kesanggupan darimu, hatiku sudah sangat puas. Memang, syarat
dalam perjodohan bukan hanya tergantung dari persamaan watak, akan tetapi juga kecocokan hati! Aku
tahu keadaan hati orang-orang muda jaman sekarang. Dan tentu saja kau belum puas mendengar katakataku
kalau kau belum melihat sendiri orangnya. Ha-ha-ha! Baiklah, Sun Hauw, aku menunggu
kedatanganmu secepat mungkin dan aku berani bertaruh potong kepala bahwa sekali kau melihat Im Giok,
kau tidak akan dapat tidur nyenyak lagi. Ha-ha-ha!”
“Aku yang bodoh ini menghaturkan banyak-banyak terima kasih atas budi kecintaan dari Lo-enghiong yang
dilimpahkan kepadaku. Semoga Thian menjaga sehingga aku kelak tidak akan mengecewakan hati Loenghiong
yang berbudi mulia, dan selama nyawa di kandung badan, aku tak akan melupakan Lo-enghiong.
Aku bersumpah untuk datang ke Sian-koan setelah selesai tugas yang diserahkan kepadaku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Demikianlah, dengan hati girang dan penuh harapan, Kiang Liat berpisah dari Sun Hauw. Dia pulang
menuju ke Sian-koan, sedangkan Sun Hauw melanjutkan perjalanannya ke Bu-tong-san.
********************
Semenjak kecilnya, Giok Gan Niocu Song Kim Lian memang sudah memiliki sifat-sifat kurang baik dari
seorang gadis, yakni centil genit dan kadang-kadang bersifat cabul. Di dalam hatinya ia boleh dibilang gila
lelaki dan pikirannya penuh oleh bayangan pemuda-pemuda tampan.
Selama ia tinggal bersama gurunya dan sumoi-nya, ia masih tak dapat berbuat sesuka hatinya karena takut
kepada gurunya, juga takut dan segan kepada Kiang Im Glok. Akan tetapi, setelah gurunya dan sumoi-nya
pergi dalam waktu berbareng, yakni Im Giok pergi mengantar Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai sedangkan Kiang
Liat oleh Bu Pun Su disuruh ke Go-bi-san, keadaan Song Kim Lian laksana kuda betina liar tidak dipasangi
kendali lagi!
Dia bersuka-suka dan bermain-main dengan para pemuda kota Siang-koan yang boleh dibilang semua
memujanya karena dia memang cantik jelita lagi genit. Setiap hari Kim Lian pergi pesiar sambil bergurau
gembira bersama serombongan pemuda tampan yang kerjanya hanya hilir mudik menjual tampang,
pemuda-pemuda anak orang kaya yang tak memiliki pekerjaan lain kecuali mengatur pakaian dan merawat
muka seperti perempuan.
Penduduk-penduduk tua di Sian-koan menggeleng kepala menyaksikan kejanggalan ini, akan tetapi
siapakah berani menegur Giok Gan Niocu Song Kim Lian yang selain memiliki kepandaian tinggi juga
merupakan murid Jeng-jiu-sian Kiang Liat, pendekar besar di kota Sian-koan?
Perjalanan Im Giok dan Kiang Liat memakan waktu lama. Hal ini diketahui baik oleh Kim Lian dan
karenanya membuat dia menjadi semakin berani dan binal. Gadis yang merasa tidak ada orang yang akan
berani menegurnya ini bahkan menjadi demikian binal sampai-sampai pada suatu hari ia mengundang
belasan orang pemuda pemogoran untuk datang di taman bunga gedung gurunya untuk berpesta dan
bergembira!
Para pelayan di rumah gedung keluarga Kiang tentu saja tidak ada yang berani menegur, bahkan mereka
juga ikut bergembira. Para pemuda itu menikmati hidangan dan arak, dan puncak kegembiraan itu adalah
pada saat dengan pakaian yang ringkas mencetak bentuk tubuhnya yang indah menggairahkan, Kim Lian
keluar kemudian bermain silat pedang di tengah-tengah taman.
Dengan gerakan-gerakan indah dan tubuhnya yang lincah, Kim Lian sengaja berpamer, tidak saja
memamerkan ilmu pedangnya, akan tetapi terutama sekali untuk memamerkan kecantikan dan keindahan
bentuk tubuhnya kepada belasan pasang mata laki-laki yang memandang dengan kagum sehingga
beberapa di antaranya hampir copot dan melompat keluar dari kepala!
Terdengar tepuk tangan riuh-rendah disertai sorak-sorai gembira setiap kali menyambut jurus atau gerakan
yang dianggap indah. Kim Lian sengaja tak mau bersilat dengan gerak cepat, melainkan bersilat perlahanlahan
dan lambat-lambatan supaya setiap gerakannya dapat ‘dinikmati’ oleh pandang mata kawankawannya.
Selagi para pemuda itu ketawa-tawa dan bertepuk tangan memuji Kim Lian yang sedang bersilat dengan
bibir merah tersenyum-senyum manis serta mata jeli melirik-lirik genit, tiba-tiba berkelebat bayangan merah
yang tidak terlihat oleh para pemuda itu, akan tetapi terlihat oleh mata Kim Lian yang terlatih. Seketika
wajah Kim Lian memucat dan gerakan silatnya berhenti.
“Suci...!”
Setelah terdengar suara ini, barulah semua pemuda yang berada di situ menengok dan memandang ke
belakang dan di situ telah berdiri seorang gadis berpakaian merah, gadis cantik jelita yang sudah lama
menjadi idaman para pemuda itu, yang sudah lama pula menjadikan mereka merindu, akan tetapi tidak
berani menyatakan karena Ang I Niocu Kiang Im Giok bukan gadis sebangsa Kim Lian. Dengan adanya Im
Giok, kecantikan Kim Lian yang tadi dikagumi menjadi layu.
“Pergi kalian orang-orang tak beradab!” bentak Im Giok sambil menghunus pedang untuk menggertak
rombongan pemuda itu.
dunia-kangouw.blogspot.com
Maka pergilah mereka seorang demi seorang dengan kepala tunduk dan kaki menggigil, bagaikan anjinganjing
diusir dan diancam dengan pecut. Kalau saja mereka itu berekor tentu masing-masing
menyembunyikan ekor di bawah kaki belakang. Para pelayan juga bubar ketakutan, mengerjakan
pekerjaan masing-masing.
“Sumoi... kau sudah datang? Ahh, mereka itu... ehh, aku... aku kesepian setelah kau dan Suhu pergi, maka
hendak mengadakan sedikit pesta...”
“Mengapa mendatangkan orang-orang lelaki melulu? Suci, kau benar-benar keterlaluan. Kalau tidak
merubah sifat macam ini, aku khawatir sekali kelak kau akan terjerumus...”
“Mereka... mereka mengagumiku, mengagumi ilmu pedangku, mengagumi kepribadianku dan aku... aku
senang sekali mereka kagumi. Apa salahnya itu, Sumoi?” Kim Lian masih mencoba membantah.
Im Giok menghela napas, dia kehabisan akal. Memang dia sudah tahu akan sifat kakak seperguruannya ini
yang agak ‘mata keranjang’.
“Sudahlah, masih baik aku yang mendapatkan kau mengundang mereka itu ke sini. Kalau Ayah yang
datang tidak saja kau akan mendapat marah besar, mungkin mereka itu akan ditampar seorang demi
seorang.”
“Hi-hi-hi, aku ingin melihat muka mereka kalau ditampar oleh Suhu. Tentu sekali tampar menjadi bengkak
seperti semangka,” kata Kim Lian genit. “Sebetulnya aku pun tidak suka dengan pemuda-pemuda lemah
seperti mereka. Akan tetapi di manakah mencari pemuda gagah seperti Suhu pada waktu muda? Karena
tak ada yang demikian, mereka itu untuk kawan pun... bolehlah...”
“Cukup! Suci, kenapa bicaramu seperti itu? Sudah, aku tidak sudi mendengar lagi. Lekas kau berganti
pakaian yang pantas dan membantu aku melayani tamu yang kini sudah duduk di ruang tamu.”
“Siapa?” tanya Kim Lian terheran.
Wajah Im Giok berubah merah. Baiknya waktu itu hari sudah mulai gelap sehingga warna kemerahan yang
menjalar kedua pipinya itu tidak kelihatan oleh Kim Lian.
“Dia adalah Gan-siucai.”
“Oh, diakah? Yang kau antarkan ke Tiang-hai? Yang dulu pernah kita tolong dari tangan perampok?”
Im Giok mengangguk. “Benar, dia datang mengunjungi kita untuk bertemu dengan Ayah dan menghaturkan
terima kasih atas pertolongan Susiok-couw Bu Pun Su. Lekaslah kau berganti pakaian.”
“Apa Suhu belum pulang juga?” tanya Kim Lian.
“Kalau dia tidak berada di sini tentu berarti belum pulang. Aku baru saja datang, mana aku bisa tahu?”
jawab Im Giok yang masih mendongkol melihat kelakuan suci-nya yang ditinggal seorang diri di rumah.
Perlahan-lahan dia akan membicarakan tentang sikap dan watak suci-nya ini dengan ayahnya, karena
kalau dibiarkan saja, bisa berbahaya nasib hidup suci-nya ini.
Sesudah Kim Lian muncul lagi, Im Giok semakin mendongkol saja. Suci-nya benar-benar terlalu. Sekarang
menghadapi Tiauw Ki, suci-nya telah berganti pakaian indah dan baru, mukanya diberi bedak tebal dan
bibir serta pipinya dimerah-merah! Dengan gerakan genit menarik Kim Lian memberi hormat kepada Tiauw
Ki yang juga sudah berdiri dan memberi hormat, lalu Kim Lian berkata dengan suara halus merdu,
“Ah, kiranya Gan-siucai yang menjadi tamu agung! Gan-siucai, apakah kau masih ingat kepadaku?”
Tiauw Ki tersenyum “Tentu saja Lihiap. Bagaimana aku bisa lupa kepada Lihiap yang pernah menolong
nyawaku!”
Kim Lian mengeluarkan suara ketawa, “Ahh, bisa saja kau, Gan-siucai. Bukan kau yang harus berkata
demikian, sebaliknya akulah yang harus berterima kasih kepadamu. Kau telah memperlihatkan pembelaan
besar sekali kepadaku di hadapan Susiok-cow Bu Pun Su. Budimu yang demikian besarnya itu, sampai
mati pun aku Song Kim Lian tidak akan dapat melupakannya!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Sambil berkata demikian, ia tersenyum dan pandang matanya menyambar dalam kerling yang penuh arti.
Memang sepasang mata gadis ini amat indah dan tajam, maka aksinya ini tentu amat menarik hati, karena
keindahan matanya maka ia diberi julukan Giok Gan Niocu (Nona bermata Kemala).
Melihat sikap Kim Lian ini, diam-diam Tiauw Ki merasa kurang senang dan tidak enak hati, akan tetapi
pemuda ini lalu merendahkan diri dengan sikap sopan. Kemudian ia pun berkata kepada Im Giok,
“Karena Kiang-lo-enghiong belum pulang, biarlah aku pergi dahulu dan aku akan menanti kedatangannya di
rumah penginapan. Mudah-mudahan saja dia akan datang tidak lama lagi.”
Im Giok juga mendongkol melihat sikap suci-nya, karena itu memang lebih baik apa bila kekasihnya itu
lekas-lekas pergi dari depan Kim Lian. Maka katanya,
“Baiklah Gan-ko. Rumah penginapan Liok-nam di ujung barat kota ini merupakan rumah penginapan
terbesar dan terbaik, harap kau bermalam di sana. Nanti kalau Ayah sudah pulang, tentu akan kuberi kabar
kepadamu.”
Tiauw Ki memberi hormat lalu meninggalkan gedung keluarga Kiang. Setelah pemuda itu pergi, Kim Lian
lalu memegang tangan Im Giok.
“Ehh, Sumoi yang manis. Agaknya ada apa-apanya antara dia dan kau!”
Wajah Im Giok menjadi merah sekali.
“Jangan main-main, Suci. Betapa pun juga, aku dan dia tetap menjaga kesopanan.”
“Aha, jadi benar ada apa-apanya? Nah, aku dapat membayangkan... aduh, aku tahu, aku dapat menduga...
hi-hi-hi-hi...!”
“Suci, jangan sembarangan bicara! Apa yang kau ketahui? Apa yang kau bayangkan dan kau duga?”
“Ahh, begitu mesra, adduuuhhh...” Kim Lian menggoda sambil menaruh kedua tangan di kanan kiri pipinya.
“Suci, jangan membuat aku marah. Jangan kau menduga yang bukan-bukan! Aku bukan perempuan
macam itu. Apa yang kau duga?”
“Sumoi, apa salahnya kalau kau suka dia yang tampan dan dia suka kau yang cantik?”
“Kau menyangka keliru!”
“Yang betul bagaimanakah?” Kim Lian memancing.
“Tak akan kuceritakan padamu!” Im Giok berpura-pura marah.
“Ah, begitu? Adikku yang baik, kalau begitu aku tetap menduga yang bukan-bukan. Kalau kau tak bercerita
terus terang kepadaku, bagaimana aku dapat menghentikan dugaanku sendiri? Hmmm, dapat
kubayangkan betapa mesranya...” kembali Kim Lian menggoda.
“Suci Kim Lian, jangan kau main-main. Dia datang mau bertemu dengan Ayah untuk... meminangku. Ini
sungguh-sungguh, bukan main-main!”
“Aaaahh... begitukah?” Kim Lian memeluk sumoi-nya. “Adikku yang manis, kini kau harus menceritakan
semua pengalamanmu kepadaku bagaimana kau sampai mengikatkan diri dan begitu mudah menjatuhkan
pilihan?”
Keduanya memasuki kamar dan di dalam kamar itu dua orang gadis ini kemudian bicara kasak-kusuk. Im
Giok menceritakan pengalaman-pengalamannya dengan Tiauw Ki yang penuh bahaya.
“Dia adalah seorang berbudi mulia, Suci. Sudah terbukti berkati-kali cinta kasihnya yang besar pada diriku,
dan sudah beberapa kali ia rela mengorbankan keselamatannya demi untuk menolongku. Kurasa di dunia
ini tidak ada orang ke dua sebaik dia.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Terdengar isak tangis dan Kim Lian memeluk adiknya sambil menangis.
“Ehh, Suci, mengapa kau menangis?” tanya Im Giok terheran sambil memegang pundak suci-nya.
“Adikku... aku gembira sekali... akan tetapi, apakah kau tidak terlalu tergesa-gesa? Kalau kau... menikah
dan pergi, lalu bagaimana dengan diriku? Sumoi-nya sudah menikah dan suci-nya belum, apa akan kata
orang...?”
Tahulah kini Im Giok mengapa Kim Lian menangis.
“Suci, apa salahnya hal itu? Kita bukan saudara kandung, dan hubungan kita hanyalah sumoi dan suci dari
keluarga lain. Siapa yang lebih dahulu keluar pintu tidak merupakan halangan apa-apa.” Im Giok
menghibur.
Diam-diam di dalam hatinya berdebar karena ia sendiri masih belum dapat menentukan apakah ayahnya
akan menerima pinangan Tiauw Ki.
Anehnya, semenjak Im Giok datang, Kim Lian selalu kelihatan tidak gembira, bahkan tiap hari dia keluar
tanpa mengajak Im Giok, menunggang kuda seorang diri. Tadinya Im Giok menaruh curiga dan diam-diam
dia mengikuti suci-nya, akan tetapi ternyata sesudah Im Giok pulang, Kim Lian tak berani main gila lagi.
Kepergiannya hanya untuk menunggang kuda keluar kota lalu kembali lagi, hanya untuk memuaskan
keinginan dan kesenangannya menunggang kuda. Akan tetapi diam-diam Im Giok mengerti bahwa suci-nya
itu tidak senang hati, mungkin sekali iri hati karena melihat hubungannya dengan Tiauw Ki. Akan tetapi
apakah yang dapat ia lakukan.
Setiap hari Im Giok menyuruh salah seorang pelayan untuk pergi ke rumah penginapan Liok-nam,
mengantar makanan atau apa saja kepada Tiauw Ki. Padahal, ini hanya untuk alasan saja, sebenarnya ia
ingin mendengar dari pelayannya bahwa keadaan pemuda itu baik-baik saja, dan yang terutama sekali
bahwa kekasihnya itu masih berada di rumah penginapan Liok-nam!
Pada hari ke lima, menjelang senja, ia mendengar suara ayahnya di luar rumah. Cepat Im Giok berlari
keluar dan benar saja, ia melihat ayahnya sudah pulang dan agaknya tadi bertemu di tengah jalan dengan
Kim Lian, karena pulangnya bersama suci-nya itu. Wajah Kiang Liat muram sekali dan begitu mereka
memasuki ruangan dalam dan di mana tidak ada pelayan hadir, Kiang Liat memandang kepada puterinya
dan bertanya,
“Im Giok, apa sih artinya hubunganmu yang gila-gilaan dengan manusia kutu buku she Gan itu?” Suaranya
menyatakan bahwa orang tua itu menahan-nahan kemarahannya.
Im Giok kaget sekali dan menoleh kepada Kim Lian, pandangan matanya tajam menusuk. Kim Lian
tersenyum dan berkata kepadanya,
“Benar, Sumoi. Sudah tak tahan lagi hatiku maka aku menceritakan kabar gembira itu kepada Suhu tadi...”
“Kabar gembira...? Gila betul! Kim Lian, keluarlah kau, biar aku bicara sendiri dengan Im Giok!” kata Kiang
Liat makin marah mendengar kata-kata ini.
Kim Lian membungkuk dan berkata, “Baiklah, Suhu.”
Kemudian dia keluar dari kamar itu dan dari samping Im Giok dapat melihat bayangan senyum di sudut
bibir suci-nya.
Setelah Kim Lian pergi, Kiang Liat menjatuhkan diri di atas kursi dan berkatalah dia, suaranya kini agak
sabar,
“Coba kau beri penjelasan, Im Giok. Kuharap saja cerita Kim Lian tadi tidak betul adanya. Benarkah kau
mempunyai hubungan dengan seorang siucai she Gan dan yang sekarang datang untuk melamarmu?”
Muka Im Giok sebentar pucat sebentar merah. Macam-macam perasaan teraduk-aduk dalam hati dan
pikirannya. Akan tetapi ia segera dapat menetapkan hatinya, dan ia pun berkata dengan suara tenang,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ayah, harap kau suka tenangkan hati dan bersabar. Hal ini ada ceritanya panjang lebar.”
“Tidak peduli aku akan cerita panjang lebar, pendeknya apakah benar kau ada hubungan dengan kutu buku
terkutuk yang bisanya cuma membaca menulis dan menjual tampang itu?”
Mata Im Giok menjadi merah. Ia tahu bahwa kadang-kadang ayahnya suka marah-marah seperti itu pula,
akan tetapi belum pernah ayahnya marah-marah tanpa alasan terhadap dia. Sebaliknya, semenjak kecil dia
dibawa oleh Pek Hoa Pouwsat dan sesudah kembali bersama ayahnya, ia dimanja secara luar biasa oleh
ayahnya, maka ia pun agak berani membantah ayahnya.
“Ayah, bagaimana kau bisa memaki-maki orang yang sama sekali tidak pernah kau lihat dan kenal?” kini
gadis itu membantah marah.
Biasanya, apa bila sudah melihat puterinya berdiri menentangnya dengan alis terangkat, mata berapi-api
dan dada dibusungkan ini, hati Kiang Liat menjadi lemah. Alangkah besar persamaan wajah Kiang Im Giok
dengan Song Bi Li, isterinya! Dan biasanya apa bila Im Giok sudah menentang dan marah, Kiang Liat
selalu mengalah dan menuruti kehendak gadis itu. Akan tetapi sekarang tidak demikian, Kiang Liat bahkan
berkata keras,
“Tidak usah dilihat, tidak usah dikenal! Laki-laki kutu buku dan cacing tinta tidak ada yang baik, semua
berhati palsu bermulut manis tak dapat dipercaya! Jangan kau dekat-dekat dengan dia!”
“Akan tetapi, Ayah. Gan-siucai bukan orang macam itu. Dan aku bahkan diberi tugas oleh Susiok-couw
untuk mengantarnya ke Tiang-hai!”
Kiang Liat tertegun. Dia sudah mendengar dari Bu Pun Su ketika kakek sakti itu datang mengunjunginya
bahwa Im Giok memang diberi tugas untuk mengawal utusan Kaisar ke Tiang-hai? Jadi utusan Kaisar itu
pemuda inikah?
“Hemmm, mana ada utusan Kaisar kutu buku yang lemah?” dia berkata kepada Im Giok, agak tak percaya.
“Ayah terlalu mengandalkan kepandaian menggerakkan pedang! Sesungguhnya di antara para penggerak
pensil juga tak kurang terdapat orang-orang bersemangat api dan berjiwa kesatria! Gan-siucai betul-betul
utusan Kaisar walau pun dia memang tidak mengerti ilmu silat sama sekali. Akan tetapi jiwanya besar,
Ayah.”
Melihat ayahnya diam saja, Im Giok lalu menuturkan pengalaman-pengalamannya ketika dia mengantar
Gan Tiauw Ki ke Tiang-hai lalu ke kota raja. Semua pengalamannya itu dituturkan dengan singkat dan
terutama sekali dia menonjolkan sikap kekasihnya yang gagah berani dalam membelanya.
Kiang Liat tidak kelihatan tertarik. Ia hanya beberapa kali menggelengkan kepala, bahkan memberi
komentar tidak puas setelah penuturan puterinya selesai.
“Kalau dia bukan kutu buku, kalau dia seorang yang berkepandaian tinggi, tidak mungkin kau sampai dihina
orang, dan tak mungkin kau menghadapi ancaman bahaya besar. Dan sekarang dia datang hendak
melamarmu?”
Im Giok menundukkan mukanya, lalu menjawab lirih. “Demikianlah kehendaknya.”
“Tidak bisa! Kau suruh saja pelayan memberi tahunya bahwa ia boleh lekas-lekas pulang dan jangan
sekali-kali berani datang lagi ke sini!”
Mendengar kata-kata ini, wajah Im Giok menjadi pucat.
“Ayaaaahhh...!” serunya, setengah marah setengah terkejut.
Ayahnya menggeleng-geleng kepalanya. “Tidak bisa, kau sudah mempunyai calon suami. Kau sudah
kujodohkan dengan seorang pemuda yang gagah perkasa, murid terpandai dari Go-bi-pai yang bernama
Liem Sun Hauw. Dia gagah perkasa, berkepandaian tinggi, berwajah tampan, pendeknya tidak kalah oleh
ayahmu di waktu muda. Dia patut menjadi suamimu, sama rupawan, sama perkasa. Apa itu kutu buku yang
lemah, terkena angin sedikit saja jatuh sakit? Tidak...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Makin lama sepasang mata Im Giok makin berapi-api ketika ia mendengarkan kata-kata ayahnya.
“Tidak...!” katanya keras sekali sambil membanting kakinya ke atas lantai, dan saking kerasnya gadis ini
mengerahkan tenaga, lantai itu sampai hancur dan kakinya melesak ke dalam. “Sekali lagi tidak! Aku tidak
sudi menikah dengan dia!”
“Im Giok…!”
“Aku yang hendak menikah, bukan Ayah! Kalau Ayah memaksa, aku akan lari, minggat bersama Gansiucai!”
Setelah berkata demikian, sambil terisak menangis Im Giok lari memasuki kamarnya di mana dia
membanting tubuhnya di atas pembaringan, menyembunyikan muka di bawah bantal dan menangis
tersedu-sedu.
Kiang Liat berdiri tak bergerak seperti patung, mukanya pucat dan matanya memandang ke arah pintu
kamar anaknya tanpa berkedip. Kata-kata ‘lari minggat meninggalkannya’ amat menusuk hatinya dan
mendatangkan rasa sakit bukan main. Lalu menimbulkan rasa takut dan khawatir kalau-kalau anaknya
benar akan pergi meninggalkannya.
Dengan langkah terhuyung-huyung ia pergi ke kamar anaknya, memasuki kamar itu dan hampir saja ia
terguling apa bila tidak cepat-cepat ia menjatuhkan diri berlutut di tengah kamar, dekat pembaringan
anaknya.
Pikirannya tak karuan rasanya. Matanya dipejamkan dan di dalam otak ia merasa segala sesuatu berputarputar.
Jantungnya berdenyut-denyut keras sangat nyeri, dan telinganya penuh oleh suara seperti angin
badai mengamuk. Bibimya bergerak-gerak dan terdengar kata-katanya seperti mabuk,
“Jangan tinggalkan aku... jangan tinggalkan aku seorang diri...!”
Im Giok sudah duduk di atas pembaringan dengan muka pucat. Tangisnya dalam sekejap berhenti dan kini
ia memandang kepada ayahnya. Tadinya ia tidak tahu apa artinya sikap ayahnya seperti ini, akan tetapi
akhirnya ia mengerti.
Selama ini ayahnya memang bersikap aneh, bahkan kadang kala mendekati sikap gila, menangis dan
tertawa seorang diri di dalam kamar. Kadang-kadang memanggil-manggil nama ibunya. Dan sekarang,
ayahnya bersikap seperti ini sebab ia hendak meninggalkan ayahnya!
“Ayaah...!” Im Giok menubruk dan menangis di dada ayahnya “Ayaah, tidak… aku tidak akan
meninggalkanmu, Ayah…”
Dua titik air mata turun membasahi pipi Kiang Liat ketika ia kembali membuka matanya. Didekapnya kepala
anaknya itu pada dadanya erat-erat, seperti orang yang merasa takut kalau-kalau mustikanya dirampas
orang.
“Im Giok, anakku sayang. Benar-benar kau tidak akan meninggalkan aku...?” tanyanya dengan suara
berbisik.
Im Giok terisak menahan tangisnya. “Tidak Ayah, asal saja Ayah jangan memaksa aku menikah dengan
Liem Sun Hauw murid Go-bi-pai itu...”
Kiang Liat menarik napas panjang, lalu menarik anaknya bangkit berdiri. Dipandangnya wajah anaknya dan
bentuk tubuhnya, lalu ia menghela napas lagi.
“Im Giok, kau serupa benar dengan ibumu... Aku tidak rela memberikan engkau kepada orang yang tidak
pantas menjadi suamimu...”
“Tapi aku tidak mau menikah dengan anak Go-bi itu, Ayah,” kata Im Giok manja.
Kiang Liat tersenyum pahit. “Dan kau masih suka kepada cacing buku itu?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Im Giok tidak berani menjawab, hanya menundukkan muka. Kembali Kiang Liat menarik napas panjang,
lalu menjauhkan diri dari anaknya dan berkata perlahan,
“Sebagai ayah aku harus menjaga agar kelak kau hidup bahagia, anakku. Baiklah, akan kulihat bagaimana
macamnya kutu buku itu...” Ia lalu keluar dari kamar meninggalkan Im Giok yang duduk melamun di atas
pembaringannya.
Diam-diam gadis ini berdoa mudah-mudahan ayahnya akan suka melihat Tiauw Ki dan ia percaya bahwa
kekasihnya itu akan cukup pandai membawa diri di hadapan ayahnya sehingga menimbulkan rasa suka
dalam hati ayahnya.
Sekarang ayahnya masih belum tenang, karena itu Im Giok tidak berani memberi kabar kepada Tiauw Ki,
sebab dia pikir belum tepat waktunya bagi pemuda itu untuk menemui ayahnya. Malam itu Kiang Liat
terdengar mendengkur di dalam kamarnya sehingga hati Im Giok menjadi lega.
Pada keesokan harinya, Kiang Liat memanggil Im Giok dan berkata-kata, “Im Giok, aku hendak pergi ke
rumah penginapan Liok-nam.”
“Apakah tidak sebaiknya dia kuundang ke mari, Ayah?” tanya Im Giok.
“Tak usah. Jika dia datang berarti dia akan meminang dan aku tidak ingin mengecewakan hatimu. Lebih
baik kulihat lebih dulu sebelum mengambil keputusan.”
Bila menurutkan kehendak hatinya, ingin sekali Im Giok juga ikut pergi dengan ayahnya. Akan tetapi
kesopanan melarangnya, karena sungguh tidak patut kalau dia ikut ayahnya mengunjungi Tiauw Ki di
rumah penginapan. Terpaksa dia menanti di rumah dengan hati berdebar dan dia merasa kecewa tidak
melihat Kim Lian, karena kalau ada suci-nya itu tentu ada kawannya bercakap-cakap untuk menekan
berdebarnya hatinya.
Dengan langkah lebar Kiang Liat menuju ke rumah penginapan Liok-nam yang berada di ujung kota
sebelah barat. Semalam suntuk Kiang Liat tak bisa tidur nyenyak. Dengkurnya itu bukan tanda bahwa
tidurnya enak, bahkan sebaliknya.
Dengkurnya bukan dengkur sewajarnya dan dulu ketika baru-baru ia kehilangan isterinya lalu pergi
merantau mencari Im Giok yang diculik orang, setiap malam dia mendengkur seperti itu. Boleh dibilang
bahwa dengkur itu adalah tanda bahwa penyakitnya yang lama kambuh pula.
Ia seperti orang mabuk dan sinar matanya juga sudah berbeda dengan biasanya. Hal ini adalah karena ia
merasa kecewa dan bingung sekali menghadapi persoalan puterinya, soal perjodohan yang sama sekali
tidak mencocoki hatinya.
“Dia harus kuusir jauh-jauh, kuancam agar jangan berani menemui anakku lagi!” Pikiran inilah yang
semalaman tadi memenuhi otaknya dan kini Kiang Liat berjalan cepat tanpa menghiraukan orang-orang
yang sudah kenal dengannya dan yang memberi salam di sepanjang jalan.
Sesudah tiba di penginapan Liok-nam, Kiang Liat disambut oleh seorang pelayan. Kiang Liat sudah terlalu
terkenal maka sekali pandang saja pelayan itu mengenalnya. Dengan sangat ramah tamah dan penuh
hormat, pelayan itu menyambut dan menjura,
“Selamat pagi, Kiang-taihiap. Sepagi ini Taihiap sudah datang mengunjungi penginapan kami, sungguh
sebuah penghormatan besar sekali. Apakah yang bisa kami lakukan untuk Taihiap?”
“Apakah di sini ada seorang tamu bernama Gan Tiauw Ki?”
Pelayan itu mengerutkan kening, menempelkan telunjuk pada ujung hidungnya bagaikan orang yang
sedang mengumpulkan ingatan. Kemudian dia menurunkan telunjuknya dan tersenyum lebar,
memperlihatkan gigi yang tidak rata, kuning-kuning kehitaman.
“Ah, ada... ada... Taihiap. Tentu yang kau maksudkan Gan-siucai yang muda dan tampan wajahnya.”
“Ya, lekas kau panggil dia keluar menemuiku.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Baik, silakan Taihiap menanti di ruangan tamu,” kata pelayan itu sambil mempersilakan pendekar itu duduk
di ruangan depan.
Kiang Liat mengambil tempat duduk karena ia merasa kedua kakinya gemetar dan dada kirinya sakit
menghadapi ketegangan ini. Macam apakah pemuda sastrawan yang telah memikat hati puterinya?
Sementara itu, pelayan mengetuk pintu kamar Tiauw Ki. Begitu pintu itu dibuka, pelayan itu cepat memberi
hormat dan berkata dengan muka menjilat,
“Ah Gan-kongcu mengapa tidak sejak dulu memberi tahu bahwa Kongcu adalah sahabat baik atau sanak
dari Kiang-taihiap? Kalau kami tahu tentulah kami akan memberi kamar yang lebih baik. Harap Kongcu
maafkan apa bila selama ini kami melakukan kesalahan atau berlaku kurang hormat karena sungguh mati
kami tidak mengira bahwa Kongcu adalah kerabat Kiang-taihiap.”
“Eh, Lopek. Apakah sepagi ini kau mengetuk pintu kamarku hanya untuk menyatakan hal ini saja?” Tiauw
Ki berkata agak kurang senang karena dari kata-katanya saja pelayan ini telah jelas menunjukkan bahwa
dia bukan orang yang berwatak baik, melainkan seorang penjilat yang menjemukan.
“Mana hamba berani begitu kurang ajar memanggil Kongcu apa bila tidak ada peristiwa amat penting?”
Pelayan itu tertawa dan kulit-kulit di pinggir kedua matanya ikut tertawa. “Kongcu didatangi oleh seorang
tamu agung.”
“Siapa dia?” Tiauw Ki bertanya penuh gairah. Memang sudah lama dia mengharapkan kedatangan pelayan
dari Im Giok yang membawa berita bahwa ayah gadis itu sudah pulang.
“Masa Kongcu tidak dapat menduga siapa?” tanya pelayan itu dengan sikap mengajak berkelakar untuk
menyenangkan hati tamunya.
“Dari keluarga Kiang?” tanya Tiauw Ki tak sabar lagi.
Pelayan itu tertawa sambil mengeluarkan jempolnya. “Kongcu menebak jitu, benar-benar cerdas sekali!”
“Suruh dia lekas ke sini!” seru Tiauw Ki.
Pelayan itu melenggong. “Suruh ke sini? Dia...”
Mendengar suara dan melihat sikap pelayan ini, Tiauw Ki terkejut dan cepat bertanya, “Bukankah dia itu
seorang pelayan dari rumah keluarga Kiang?”
“Ahh, bukan... bukan...! Dia adalah Kiang-taihiap sendiri, yang minta agar Kongcu keluar. Dia menanti di
ruangan tamu di depan!”
Kalau ada petir menyambarnya, belum tentu Tiauw Ki akan sekaget itu. Kiang Liat ayah Im Giok sendiri
datang mengunjunginya? Benar-benar ia hampir tak dapat mempercayai kata-kata pelayan ini.
“Harap Kongcu cepat menyambutnya, aku takut kalau-kalau Kiang-taihiap marah padaku apa bila Kongcu
terlambat,” kata pelayan itu yang cepat pergi lagi ke depan.
Tiauw Ki yang ditinggal sendiri merasa tubuhnya panas dingin. Sudah semenjak tadi dia bangun, akan
tetapi belum sempat bertukar pakaian karena memang tidak mempunyai maksud pergi ke mana-mana.
Untuk menghadap ayah kekasihnya dalam pakaian kumal seperti itu, ia merasa malu.
Karena itu dia cepat-cepat berganti pakaian yang paling baru dan menyisir rambutnya. Kemudian tergesagesa
ia keluar dari kamarnya menuju ke ruang tamu. Hatinya berdebar saat ia melihat seorang laki-laki
setengah tua bertubuh tinggi tegap dan berwajah kereng duduk di atas bangku dalam kamar tamu itu.
Ia cepat-cepat maju menjura dengan amat hormat dan berkata,
“Mohon dimaafkan sebanyak-banyaknya sebab boanpwe telah membuat Taihiap menanti sampai lama.”
Kiang Liat perlahan-lahan berdiri dan dia memandang dengan mata terbelalak dan kening berkerut.
Mulutnya pun terbuka perlahan. Ia mengangkat tangan ke atas dan menggosok-gosok kedua matanya
dunia-kangouw.blogspot.com
seakan-akan tidak percaya kepada penglihatannya sendiri.
Akan tetapi sesudah dia memandang lagi, penglihatannya tidak berubah. Tak salah lagi, pemuda sastrawan
yang halus dan lemah-lembut yang kini memberi hormat kepadanya, bukan lain adalah Cia Sun! Cia Sun
sastrawan yang dulu mempermainkan isterinya dan yang sudah dibunuhnya! Baik wajah mau pun bentuk
badan dan gerak-geriknya pemuda sastrawan di hadapannya sekarang ini tidak ada bedanya dengan
mendiang Cia Sun.
“Kau... Cia Sun...” tanpa terasa lagi Kiang Liat berkata perlahan, dadanya berdebar dan jantungnya terasa
sakit.
Tiauw Ki memandang heran. “Boan-pwe adalah Gan Tiauw Ki...”
“Jadi kau yang diantar oleh anakku Im Giok ke Tiang-hai?”
“Betul, Taihiap.”
“Dan kau... kau yang hendak meminang anakku sebagai calon jodohmu...?” Suara Kiang Liat setengah
berbisik, sementara itu sepasang matanya memandang dengan cara yang menakutkan sekali.
Tiauw Ki memandang dengan hati berdebar gelisah. Kemudian dia mampu menetapkan hatinya dan
berkata dengan suara tegas,
“Apa bila Taihiap tidak menolak, memang boanpwe hendak mohon persetujuan Taihiap untuk meminang
tangan Adik Kiang Im Giok...”
“Kau...?! Kau Cia Sun jahanam keparat sekarang telah menjelma pula di dunia ini untuk mengganggu
kepadaku? Kau masih belum puas dengan kematian isteriku dan hancurnya hidupku? Kau bahkan masih
hendak merusak hidup anakku?” Sambil berkata demikian Kiang Liat berjalan maju, perlahan-lahan
menghampiri Tiauw Ki, sikapnya mengancam dan amat menyeramkan.
Tiauw Ki melangkah mundur, “Kiang-taihiap, apa artinya ucapanmu itu? Boanpwe adalah Gan Tiauw Ki dan
boanpwe tidak kenal siapa itu Cia Sun...”
“Jahanam! Biar pun kau memakai nama siapa pun juga, aku selamanya akan mengenal macam mukamu.
Kau boleh pianhoa (berganti muka) seribu kali, namun aku Kiang Liat akan tetap mengenalmu dan
membunuhmu!”
Setelah berkata demikian, sambil mengeluarkan suara keras Kiang Liat menubruk maju, kedua tangannya
bergerak cepat bertubi-tubi memukul dada dan kepala Tiauw Ki.
Kasihan sekali nasib pemuda ini. Dia seorang sastrawan yang bertubuh lemah. Seorang jagoan sekali pun
belum tentu akan mampu menghindarkan diri dari serangan Kiang Liat itu, apa lagi seorang pemuda lemah
seperti Tiauw Ki.
Dia tak berdaya sama sekali. Sekali terkena pukulan pada dada dan kepalanya, ia hanya dapat
mengeluarkan keluhan lemah, lalu tubuhnya terlempar ke belakang dan menumbuk dinding kemudian
roboh tak berkutik lagi. Nyawanya sudah melayang berbareng dengan keluhannya tadi!
“Ha-ha-ha, anjing Cia Sun! Anjing macam kau ini hendak melamar puteriku? Ha-ha-ha!” Sambil tertawatawa
lebar di sepanjang jalan, Kiang Liat berjalan pulang.
Para pelayan menjadi kaget dan gemparlah keadaan di rumah penginapan itu. Sebentar saja ruangan tamu
itu sudah dikerumuni banyak orang untuk melihat pemuda sastrawan yang rebah tak bernyawa di atas
lantai.
Di antara para penonton ini terdapat gadis menerobos masuk. Orang-orang memberi jalan ketika melihat
bahwa gadis ini bukan lain adalah Giok Gan Niocu Song Kim Lian.
Kim Lian hanya memandang sebentar dan mukanya berubah. Kemudian dia cepat-cepat berlari pulang,
napasnya terengah-engah. Langsung dia berlari memasuki kamar Im Giok di mana gadis itu tengah bersisir
menghadapi cermin.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Sumoi, celaka besar...!” Kim Lian segera memeluk adik seperguruannya dan menangis terisak-isak.
Im Giok biasanya memiliki watak yang tenang dan tabah, namun akhir-akhir ini sesudah bertengkar dengan
ayahnya mengenai kekasihnya, ia menjadi gampang gugup. Mukanya berubah pucat melihat keadaan sucinya
itu, maka tanyanya tak sabar lagi,
“Suci, apakah yang terjadi?”
Akan tetapi Kim Lian hanya menangis terisak-isak sehingga hilang kesabaran Im Giok. Digoyanggoyangnya
dua pundak Kim Lian.
“Apa yang terjadi?”
“Celaka... Sumoi... Gan-siucai... oleh Suhu...”
“Apa? Gan-siucai mengapa? Bagaimana Ayah...?” Im Giok mendesak, wajahnya pucat, jantungnya
berdebar keras.
“Suhu telah membunuh Gan-siucai di rumah penginapan...”
Im Giok mengeluarkan suara menjerit, akan tetapi cepat dia mendekap mulutnya sendiri. Kemudian,
bagaikan kilat dia melompat keluar dan berlari seperti gila menuju ke rumah penginapan Liok-nam. Ruang
depan atau ruangan tamu dari rumah penginapan itu masih dikerumuni orang ketika Im Giok tiba di situ.
“Minggir...!” serunya dan kedua tangannya membuka jalan sehingga empat orang laki-laki terpelanting ke
kanan kiri.
Im Giok terus menerjang masuk dan ia berdiri terpaku di atas lantai pada saat ia melihat tubuh kekasihnya
menggeletak miring di dekat dinding ruangan itu. Dengan isak tertahan ia menghampiri, berlutut dan sekali
raba saja tahulah ia bahwa kekasihnya sudah tewas, kepalanya retak dan tulang dadanya patah-patah.
“Gan-ko...,” bisiknya.
Dipejamkannya kedua matanya dan ditahannya napasnya karena pukulan hebat sekali mengguncangkan
jantungnya. Apa bila tidak kuat-kuat dia menahan tentu Im Giok sudah roboh pingsan!
Sampai lama dia berlutut sambil memejamkan mata, kemudian sesudah kepalanya yang pening menjadi
sembuh kembali, ia baru membuka matanya. Bagaikan hujan gerimis, air matanya bertitik turun, menetes
melalui pipi dan dagu dan ada yang jatuh bertitik di atas muka Tiauw Ki. Dilihat sekelebatan, dengan air
mata di atas pipi, mayat pemuda itu bagai ikut menangis.
“Koko...,” kembali Im Giok berbisik.
Air matanya turun semakin deras ketika dia teringat betapa besar cinta kasih pemuda ini kepadanya. Dan
kini, dalam menghadapi keputusan perjodohan mereka, pemuda ini telah terbunuh oleh ayahnya.
“Ayah...!” Im Giok menahan isaknya ketika ia teringat kepada ayahnya.
Tubuhnya berkelebat dan kembali tiga orang pemuda terguling roboh pada waktu gadis itu mendesak
keluar dengan cepat lalu berlari-lari menuju ke rumah gedungnya. Tanpa mempedulikan kepada Kim Lian
dan para pelayan yang memandangnya dengan mata terbelalak, Im Giok berlari terus menuju kamar
ayahnya.
Pintu kamar ayahnya terpentang lebar-lebar dan Im Giok melompat ke ambang pintu, berdiri di sana
dengan kedua kaki terpentang lebar dan mata berapi-api memandang ke dalam. Dia melihat ayahnya
sedang duduk di atas kursinya sambil memegang pedang terhunus yang dipukul-pukulkan ke atas meja!
“Ayah...!” Suara Im Giok terdengar nyaring, penuh sesal dan nafsu amarah.
Ayahnya memandang. Dua pasang mata berpandangan, dua pasang mata yang sama tajam, sama berapiapi
pandangannya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Sunyi di situ. Hanya terdengar ketukan-ketukan pedang pada meja, makin lama makin melambat.
“Kau mau apa?” akhirnya terdengar juga suara Kiang Liat, lambat-lambat dan setengah digumam, seakanakan
lidah dan bibirnya sukar digerakkan.
“Ayah, mengapa kau membunuh Gan-siucai?” Suara Im Giok nyaring tinggi dan tergetar.
Kiang Liat diam saja untuk beberapa saat, kemudian secara tiba-tiba dia bangkit berdiri, membacokkan
pedangnya ke arah meja yang menjadi terbelah dengan mudah dan roboh menimbulkan suara berisik.
“Ha-ha-ha, memang kubunuh mampus anjing itu! Ha-ha-ha, alangkah mudahnya, dengan hanya sekali
pukul saja jahanam keparat pemakan tinta itu mampus!”
“Ayaahhh...!”
Im Giok tidak dapat menahan kemarahan hatinya lagi. Tangan kanannya digerakkan dan tahu-tahu
pedangnya telah dia cabut. Tangan yang memegang pedang itu menggigil.
“Kau... kau pengecut besar! Kau... kau membunuh dia yang tidak berdosa. Kau manusia tidak tahu malu,
membunuh orang yang kau tahu tak dapat melawan, seorang yang tidak mempunyai kepandaian ilmu silat.
Kau pengecut!” Bagaikan gila Im Giok memaki-maki ayahnya sendiri.
Untuk sejenak ayahnya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, kemudian mulut pendekar itu
meringis, seakan-akan ia merasa sakit yang hebat sekali. Mukanya menjadi pucat sekali. Kemudian ia
membuka matanya dan mata itu sekarang berputaran sangat mengerikan. Dari bibirnya keluar busa dan ia
tertawa kembali terbahak-bahak.
“Ha-ha-ha, cacing buku yang busuk itu hendak menikah dengan puteriku? Ha-ha-ha-ha, menjadi tukang
membersihkan lantai kamarnya saja masih terlalu rendah. Hah! Memang dia patut mampus, anjing Cia Sun
itu harus mampus meski pun beberapa ratus kali dia menjelma. Puteriku harus menjadi isteri Liem Sun
Hauw pemuda gagah perkasa...”
“Tidak sudi! Kau manusia keji, kau dan Liem Sun Hauw itu harus masuk neraka!”
Mendengar makian ini, Kiang Liat menjadi marah sekali. Di dalam pandangan matanya, yang berdiri di
hadapannya itu sudah bukan anaknya lagi, melainkan seorang yang berani menentangnya.
“Kau hendak membunuh aku dan Sun Hauw? Ha-ha-ha-ha, bocah lancang, kaulah yang akan mampus
terlebih dahulu!” Sambil berkata demikian, Kiang Liat menyerang puterinya sendiri.
Pada saat itu Im Giok juga sudah seperti orang kemasukan iblis dan sudah tidak ingat apa-apa lagi. Dia
tahunya hanya marah dan duka, teraduk menjadi satu di dalam hatinya. Melihat ayahnya menyerangnya,
dia pun segera menangkis sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
Maka terjadilah pertempuran yang amat hebat di dalam kamar itu antara ayah dan anak gadisnya sendiri!
Kepandaian mereka berimbang, bahkan Im Giok kini telah memperoleh kemajuan pesat sehingga dia
bahkan telah melampaui ayahnya.
Hal ini adalah karena ilmu-ilmu silat yang diturunkan oleh Bu Pun Su kepada Im Giok melalui Kiang Liat,
oleh Kiang Liat hanya dipelajari teorinya saja, akan tetapi tidak berani dia melatih diri dengan ilmu itu.
Karena itu tentu saja Im Giok yang dapat memetik sari pelajaran ilmu silat tinggi dari Bu Pun Su itu,
sedangkan Kiang Liat hanya tahu ‘kulitnya’ belaka. Maka makin lama pedang Im Giok mendesak semakin
hebat, dan gulungan sinar pedangnya makin menekan gulungan sinar pedang ayahnya.
Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar pekik, “Im Giok!”
Akan tetapi dua orang yang sedang bertempur ini seakan-akan tidak mendengar pekik ini dan melanjutkan
pertempuran mereka dengan hebat dan mati-matian.
“Im Giok...!”
dunia-kangouw.blogspot.com
Orang itu yang bukan lain Kim Lian adanya, mengeluarkan suara jeritan lagi, dan kali ini ia malah
menerjang masuk ke dalam gelanggang pertempuran dengan nekat. Pedangnya menangkis gulungan
pedang Im Giok dan terkejutlah ia karena ia terpental ke belakang.
“Im Giok... Sumoi... apakah kau sudah gila hendak melawan ayahmu sendiri...?” Kim Lian menegur dengan
suara nyaring.
Tangkisan dan jeritan ini membuyarkan permainan pedang Im Giok dan ayahnya yang tadinya sudah saling
menempel. Apa lagi seruan ini membuat Im Giok segera sadar dari keadaannya yang bagaikan kemasukan
iblis tadi, akan tetapi masih belum melenyapkan kemarahan dan nafsu membunuhnya.
Ia melompat mundur dan masih memasang kuda-kuda dengan jari-jari tangan kiri terbuka menengadah ke
atas dan tangan kanan memegang pedang di depan dada, dalam sikap hendak menusuk.
Ada pun Kiang Liat juga berdiri sambil memasang kuda-kuda laksana patung, tangan kiri menempel pada
dada kiri dan tangan kanannya memegang pedang melintang di dada. Wajahnya meringis seperti orang
kesakitan dan hidungnya kembang kempis.
“Sumoi, kau gila! Bagaimana engkau menyerang ayahmu sendiri? Lepaskan pedangmu!” teriak Kim Lian.
Akan tetapi Im Giok bagaikan sedang di alam mimpi, tidak mau melepaskan pedang dan tetap memandang
ke depan dengan mata terbelalak marah.
“Sumoi, lekas lepaskan pedang! Kalau tidak terpaksa aku akan menyerangmu, aku harus membantu Suhu!”
teriak pula Kim Lian dengan suara keras.
Kim Lian melangkah maju dengan pedang di tangan. Dia maklum bahwa kepandaiannya masih kalah apa
bila dibandingkan dengan sumoi-nya, akan tetapi dalam keadaan seperti ini ia harus berani membantu
suhu-nya.
Ketika Im Giok tetap tidak bergerak, Kim Lian bergerak menyerang sambil berkata, “Kau membandel? Baik,
lihat serangan pedangku!”
“Traangg...!”
Pedang di tangan Kim Lian terlepas dari pegangan dan gadis itu berseru kaget.
“Kim Lian, pergi kau! Jangan ikut-ikut!” Kiang Liat membentak setelah menangkis pedang muridnya
sehingga terlepas.
Dengan wajah kecewa dan juga gelisah Kim Lian terpaksa mengundurkan diri keluar dari kamar itu.
Sementara, tadi ketika menangkis pedang muridnya, Kiang Liat sudah sadar kembali dari keadaan gilanya
sehingga mukanya menjadi biasa kembali, bahkan dia nampak berduka bukan main. Sepasang matanya
memandang sayu dan mulai membasah akibat air mata, bibirnya bergerak gemetar seperti menahan isak
tangis.
Melihat ini, Im Giok tiba-tiba sadar dan teringat betapa kurang ajarnya kelakuan melawan ayahnya ini. Ia
bahkan terkejut sekali kenapa ia sampai bisa menyerang ayahnya seperti itu. Melihat ayahnya seperti
orang hendak menangis, runtuhlah hatinya dan ia tak berani memandang lebih lama lagi. Ia berdiri seperti
patung dan memejamkan matanya, lalu air matanya bercucuran bagaikan hujan.
“Ayah... aku telah berdosa... kau bunuhlah aku... Ayah, jangan kepalang tanggung, tusuk dadaku... biar aku
ikut kekasihku.”
Im Giok melepaskan pedangnya yang jatuh berkerontangan di atas lantai, kemudian dia melangkah maju
sambil meramkan mata, memasang dada untuk ditusuk pedang.
“Gan-koko... kau tunggulah aku...,” bisiknya sayu.
Akan tetapi tusukan yang dinanti-nantinya tidak kunjung tiba. Bahkan terdengar keluhan panjang, disusul
oleh suara muntah-muntah dan robohnya tubuh yang berat di atas lantai. Im Giok segera membuka
dunia-kangouw.blogspot.com
matanya dan… ayahnya telah menggeletak, dan dari mulutnya mengalir darah yang dimuntahkannya tadi.
“Ayaaaahhh...!” jerit Im Giok menubruk dan memeluk tubuh ayahnya.
Diangkatnya kepala ayahnya yang sudah lemas itu dan dipangkunya, tidak peduli betapa darah yang
dimuntahkan oleh ayahnya tadi menodai sekujur pakaiannya. Diraba-rabanya jidat ayahnya kemudian
dadanya.
“Ayaaaahhh…!”
Dunia serasa gelap, kamar itu seperti terputar-putar dan Im Giok roboh pingsan di dekat ayahnya yang
kiranya telah putus nyawanya. Akibat tekanan batin yang luar biasa, Kiang Liat yang semenjak ditinggal
mati isterinya sudah menderita sakit jantung, tidak kuat lagi menahan, jantungnya pecah dan ia meninggal
dunia pada saat itu juga.
Kim Lian cepat datang berlari-lari dan menubruk Im Giok sambil menangis. Diperiksanya keadaan Kiang
Liat dan ia pun memanggil-manggil dengan suara mengharukan.
“Suhuuu...!”
Kali ini Kim Lian benar-benar berduka. Di dalam hatinya dia memang memuja suhu-nya dan menganggap
suhu-nya sebagai pengganti orang tuanya. Bahkan lebih dari itu, dulu pernah dia mengagumi suhu-nya dan
‘ada hati’ terhadapnya. Sekarang melihat keadaan suhu-nya yang meninggal dunia secara demikian
menyedihkan, bagaimana hatinya tidak merasa hancur?
Setelah puas menangisi Kiang Liat dan semua pelayan sudah datang bertangisan pula, Kim Lian lalu
menubruk dan memeluki sumoi-nya. Dia amat sayang kepada Im Giok yang sejak kecil menjadi saudara
seperguruannya, kawan bermain-main dan dianggap sebagai adik kandungnya sendiri. Kini dia hanya
hidup berdua dengan Im Giok, tak berayah tak beribu, tidak berhandai taulan pula. Dengan hati hancur Kim
Lian memondong tubuh adik seperguruannya, dibawa ke kamarnya dengan langkah sempoyongan.
Setelah siuman dari pingsannya dan mendapatkan dirinya berada di dalam pelukan Kim Lian di atas
pembaringan, Im Giok teringat akan semua yang terjadi dan cepat ia bangkit duduk dan bertanya,
“Ayah…? Bagaimana…?”
Kim lian tidak dapat menjawab, bahkan tangisnya makin menjadi sambil memeluk pundak Im Giok. Im Giok
seketika menjadi ingat akan semuanya dan ia melompat turun dari atas pembaringan.
“Ayaaaahhh…!”
Akan tetapi Kim Lian cepat memeluk Im Giok dan sambil menciuminya berkata, “Adikku… adikku sayang…
tenangkanlah hatimu, ayahmu sudah… meninggalkan kita dan sekarang sedang dirawat. Tenanglah
Sumoi, tenanglah, pergunakan kekuatan batinmu…”
Im Giok memejamkan matanya. Ia teringat bahwa bukan laku seorang gagah untuk kalap terhadap
desakan hati, maka dia lalu mengatur napasnya dan kedua orang gadis dengan berdiri saling berpelukan
untuk beberapa lamanya diam tak bergerak. Akhirnya Im Giok berkata lemah,
“Suci, aku harus dekat dengan jenazahnya…”
Kim Lian mengangguk dan dengan masih saling peluk dua orang gadis ini lalu berjalan ke ruangan tengah
di mana jenazah Kiang Liat sedang dirawat. Mereka duduk berlutut dan memandang dengan wajah pucat,
mata sayu dan kadang-kadang air mata menggelinding keluar.
Sampai jenazah dimasukkan peti mati, Im Giok dan Kim Lian tidak meninggalkan tempat itu, bahkan
malamnya mereka tidak mau pergi dari situ, biar pun dibujuk-bujuk oleh para pelayan dan tetangga yang
datang melayat. Lewat tengah malam, setelah para penjaga mengundurkan diri dan sebagian yang
bertugas menjaga duduk di ruangan luar, di dalam ruangan jenazah itu hanya tinggal Im Giok dan Kim Lian
berdua!
Mereka duduk di dekat peti mati, menjaga agar hio tidak padam, demikian pun api lilin. Kemudian terdengar
dunia-kangouw.blogspot.com
mereka berbisik-bisik,
“Suci, sekarang aku tahu...”
Kim Lian memandang kepadanya, matanya bertanya-tanya.
”Aku tahu mengapa Ayah membunuhnya.” Air matanya mengucur deras dan cepat-cepat ia
mempergunakan sapu tangan untuk menyusut air matanya.
“Mengapa, Sumoi?”
“Aku ingat akan riwayat ibuku dahulu. Kematian Ibu yang membuat Ayah seperti menjadi gila itu adalah
karena perbuatan seorang siucai bernama Cia Sun. Oleh karena itu Ayah membenci para siucai dan
kiranya... kiranya wajah Gan-siucai itu hampir serupa dengan wajah Cia Sun.” Im Giok menutupi mukanya
dengan kedua tangannya.
Kim Lian tidak berkata apa-apa, karena dia tidak tahu bagaimana harus menghibur adik seperguruannya.
Dia tahu betapa hebat derita batin yang menimpa perasaan sumoi-nya.
“Aku berdosa besar terhadap Ayah... dahulu sering kali Ayah batuk-batuk dan sering kali dadanya terasa
sakit... tentu Ayah telah menderita penyakit jantung semenjak kehilangan ibu. Dan tadi... ahhh...” Im Giok
kembali menutupi mukanya seperti orang merasa ngeri membayangkan kejadian tadi pagi, “walau pun ayah
meninggal karena penyakit itu, akan tetapi sesungguhnya aku yang membunuhnya... Ayah, ampunkan
anakmu yang berdosa, Ayah...” Im Giok lalu berlutut dan memeluk peti mati ayahnya, menangis tersedusedu.
Kim Lian memeluknya dan menariknya. “Sudahlah, Sumoi, segala kejadian di dunia telah ditentukan oleh
Thian.”
Im Giok mengangguk-angguk dan mengerahkan tenaga batinnya untuk menenteramkan hatinya yang
berguncang keras.
“Aku berdosa kepada Ayah... akan tetapi Ayah... Ayah juga berdosa terhadap Gan-koko... kasihan sekali
Gan-koko yang tidak punya kesalahan apa-apa. Dibunuh dalam keadaan penasaran. Ahh, Suci, tolong kau
menyuruh seorang pelayan untuk mengirim hio dan lilin secukupnya, kirimkan ke rumah penginapan Lioknam.
Biar arwah Gan-ko tahu betapa aku menderita karena kematiannya...”
Kim Lian mengangguk dan perlahan meninggalkan sumoi-nya untuk segera melakukan permintaan sumoinya
itu. Ada pun Im Giok, sepeninggal Kim Lian lalu berlutut di depan peti mati ayahnya dan diam tak
bergerak seperti patung. Hanya bayangannya saja yang bergerak-gerak akibat api lilin pun bergerak
perlahan tertiup angin yang dapat menerobos masuk ke dalam ruangan itu…..
********************
Enam bulan sudah berlalu semenjak peristiwa itu terjadi. Akan tetapi hingga kini Im Giok masih saja
berkabung. Dia berpakaian serba putih sederhana sekali dan setiap hari orang tentu mendapatkannya di
tanah pekuburan, di mana ia bersembahyang di depan kuburan ayahnya atau di depan kuburan Gan Tiauw
Ki secara bergiliran.
Kadang-kadang nampak dia menangis tersedu-sedu di depan dua kuburan itu atau hanya duduk bengong
seperti orang kehilangan semangat. Hiburan-hiburan yang diberikan oleh Kim Lian sama sekali tak ada
artinya karena tidak pernah diacuhkan. Selama enam bulan ini Im Giok tidak mempedulikan pula makan
dan tidur sehingga hidupnya tidak teratur, mukanya kurus pucat dan rambutnya awut-awutan.
Sebaliknya, Kim Lian dengan cepat dapat melupakan kesedihannya. Sesudah lewat tiga bulan, dia sudah
melepaskan pakaian berkabung dan kembali memakai pakaiannya yang indah-indah. Bahkan kini ia
kembali menjadi binal karena tidak ada yang mengawasinya. Suhu-nya sudah meninggal dan Im Giok,
orang satu-satunya yang disegani, keadaannya seperti gila dan tidak peduli. Maka kembali Kim Lian
menyeleweng dan melakukan hal-hal yang tidak patut dilakukan oleh seorang gadis baik-baik.
Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Im Giok sudah kelihatan duduk di atas batu di hadapan bong-pai (batu
nisan) kuburan ayahnya, duduk bengong sama sekali tak pernah bergerak sehingga dari jauh kelihatan
dunia-kangouw.blogspot.com
seperti sebuah arca penghias bong-pai. Ia tenggelam dalam lamunannya sendiri sampai-sampai tidak tahu
apa yang terjadi di sekelilingnya.
Gadis ini tak dapat melupakan wajah kekasihnya mau pun wajah ayahnya. Dua orang ini adalah orangorang
yang dicintanya, dan sekarang keduanya telah meninggalkan dirinya, dan keduanya tewas dalam
keadaan yang amat menyedihkan.
Tiba-tiba terdengar suara halus di belakangnya, “Im Giok, kau masih hidup, tapi mengapa semangatmu
berkeliaran di alam baka? Kembalilah ke dunia!”
Kalimat terakhir ini diucapkan sebagai perintah dan suaranya mengandung tenaga serta pengaruh yang
luar biasa sekali sehingga Im Giok bagaikan disambar petir dan seketika itu juga lantas tersadar. Gadis ini
terkejut dan menengok.
“Susiok-couw...!” Im Giok menjatuhkan diri berlutut di depan seorang kakek yang ternyata bukan lain adalah
Bu Pun Su.
Kakek ini mengelus-elus jenggotnya sambil menundukkan muka memandang pada gadis yang bercucuran
air mata di depannya itu. Terdengar helaan napasnya sampai tiga kali.
“Hemmm, memang banyak hal-hal yang aneh di dunia ini, keanehan yang merupakan kekuasaan indah
dari kekuasaan Thian! Manusia boleh berdaya upaya sekuat tenaga, akan tetapi tak dapat keluar dari
ikatan karena yang menimbulkan nasib tersendiri.”
Im Giok masih menangis terisak-isak dan Bu Pun Su tidak mengganggunya karena kakek sakti ini maklum
bahwa obat yang paling baik di saat itu bagi Im Giok adalah menangis sepuasnya, tangis yang sungguhsungguh
sebagai peluapan perasaan yang mendesak memenuhi dada, sebagai pelepas hawa berbahaya
yang mengancam isi dada.
Bu Pun Su sendiri mengenang segala peristiwa yang dia hadapi selama enam bulan ini dan berkali-kali dia
menghela napas. Seperti sudah dituturkan pada bagian depan, dalam usahanya untuk menolong negara
dan mencegah pemecah belahan antara orang-orang gagah supaya tenaga dapat disatukan untuk
memperkuat keadaan negara dan menjaga negara dari ancaman musuh, Bu Pun Su menyuruh Kiang Liat
pergi ke Go-bi-pai untuk menemui Twi Mo Siansu.
Ia sendiri lalu pergi ke Pulau Pek-le-to untuk mencari Han Le yang hendak ia suruh pergi ke Thian-san
dengan maksud yang sama, karena setelah itu ia pun hendak pergi menuju Kun-lun-pai. Dan seperti telah
dituturkan di bagian depan, dia menemui kekecewaan luar biasa di Pulau Pek-le-to, di mana ia
mendapatkan Han Le berada di bawah pengaruh Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dijadikan kekasihnya dan
bahkan dengan bantuan Han Le, Pek Hoa Pouwsat telah berhasil membunuh dua orang tokoh Siauw-limpai
dan seorang tokoh Kun-lun-pai di Pulau Pek-le-to!
Kemudian, dalam marahnya Bu Pun Su menghajar Han Le dan akhirnya mengusir Pek Hoa Pouwsat,
kemudian menghukum Han Le tidak boleh keluar dari pulau itu selamanya. Setelah ini dengan hati sangat
mengkal Bu Pun Su pergi melakukan perjalanannya ke Kun-lun-san. Akan tetapi, baru saja dia tiba di kaki
pegunungan Kun-lun-san, dia bertemu dengan serombongan tosu Kun-lun-pai yang begitu melihat dia
segera saja mengepung dan menyerangnya!
Tosu-tosu Kun-lun-pai ini adalah tosu-tosu tingkat tinggi yang berkepandaian lihai, jumlah mereka ada tiga
puluh orang. Bu Pun Su terkejut sekali.
“Tahan...! Aku Bu Pun Su mempunyai kesalahan apakah?” serunya.
Akan tetapi dia harus mengelak ke sana ke mari karena pedang dan golok beterbangan menyambarnya
dari segala jurusan dalam gerakan yang luar biasa cepatnya.
Para tosu Kun-lun-pai ini sudah mendengar tentang kelihaian Bu Pun Su, maka mereka tak mau memberi
hati, tak mau memberi kesempatan dan mendahului dengan serangan serentak. Akan tetapi mereka kecele
jika mengira bahwa dengan mengandalkan banyak orang akan dapat merobohohkan Bu Pun Su begitu
saja.
Melihat betapa para tosu itu tidak ada yang mau menjawabnya dan bahkan melanjutkan serangandunia-
kangouw.blogspot.com
serangan mereka yang dahsyat, timbul penasaran dalam hati kakek ini. Ia lalu mulai menggerakkan ilmu
silatnya yang aneh dan luar biasa.
Tangan kanannya digerakkan dengan jari tangan terbuka merupakan cakar burung, yang aneh sekali
gerakannya dan setiap kali menyambar dan menyambut pedang atau golok, senjata itu dengan mudah
kena dirampasnya dan dicengkeram sampai patah-patah! Ada pun tangan kirinya digerakkan dengan
gerakan berlainan lagi, lambat-lambat dan seperti orang menulis huruf-huruf besar, akan tetapi dari tangan
ini keluar uap putih mengepul dan tiap kali senjata lawan terlanggar oleh hawa pukulan tangan kiri ini,
menjadi terpental dan orangnya menjerit kesakitan lalu melompat mundur!
Inilah dua macam ilmu silat yang tiada keduanya di dunia persilatan waktu itu. Tangan kanan Bu Pun Su
telah bergerak dan mainkan ilmu silat ciptaannya sendiri yang bernama Kong-ciak Sin-na (Ilmu Silat Burung
Merak Sakti) sedangkan tangan kirinya memainkan bagian ilmu silat Pek-in Hoat-sut (Ilmu Sihir Awan
Putih). Dua tangan dapat sekaligus memainkan dua macam ilmu silat yang amat berlainan sifat dan
gerakannya, benar-benar hanya Bu Pun Su seorang yang kiranya dapat melakukannya!
Akan tetapi, sesuai dengan sifatnya, Bu Pun Su sama sekali tidak ingin melukai para pengeroyoknya, kalau
pun ada yang terluka, itu hanya luka di kulit yang tidak berarti saja. Tetapi tetap saja para pengeroyok
menjadi kacau-balau sebab pedang dan golok mereka dengan cara yang aneh sekali dapat terampas,
dipatahkan atau dibikin terpental entah ke mana.
Sedangnya ribut-ribut dengan para tosu mulai gencar, tiba-tiba dari puncak bukit berlari seorang kakek tua.
Kakek ini adalah seorang tosu yang rambut dan jenggotnya sudah putih semua, pakaiannya sederhana dan
terlihat seperti seorang tua renta yang sangat lemah.
Akan tetapi kalau melihat cara ia menuruni bukit itu, orang akan terheran-heran karena biar pun ahli silat
yang bertubuh tinggi tegap tidak akan mungkin dapat melakukan hal ini. Bagaikan terbang cepatnya kakek
itu berlari cepat, seakan-akan kedua kakinya tidak lagi menginjak bumi dan jubahnya berkibar-kibar di
belakangnya saking cepatnya ia lari.
“Bu Pun Su, apakah kau hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?” Kakek itu menegur setelah
tiba di tempat pertempuran dan para murid Kun-lun-pai itu cepat-cepat berdiri di pinggiran sambil memberi
hormat.
Bu Pun Su tertawa bergelak. “Ha-ha-ha, Keng Thian Siansu. Baru bertemu pertama kali kau sudah
mengenalku, benar-benar lihai sekali matamu.”
“Kau pun datang-datang sudah dapat mengenalku, Bu Pun Su. Sekali lagi aku bertanya, apakah kau
datang-datang hendak memamerkan kepandaianmu di Kun-lun-san?”
“Ha-ha-ha-ha, Keng Thian Siansu, alangkah jauh bedanya antara engkau dan mendiang Seng Thian
Siansu sahabat baikku yang sudah mendahului kita kembali ke alam bebas itu. Agaknya kau harus banyak
belajar dari mendiang suheng-mu Seng Thian Siansu itu, meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan lain.”
“Apa maksudmu?”
“Sudah puluhan tahun semenjak Seng Thian Siansu masih hidup, aku tidak pernah lagi menginjakkan kaki
di sini. Akan tetapi sekarang, dengan maksud baik aku datang. Ehhh, tidak tahunya kau sudah menyambut
kedatanganku secara berlebihan, dengan tiga puluh orang lebih anak murid Kun-lun-pai, bahkan masingmasing
menghadiahi sebatang golok atau pedang! Bukankah kau sudah membadut secara berlebihan
sekali?”
Ucapan Bu Pun Su ini memang merupakan sindiran karena ia merasa mendongkol juga, tiada hujan tiada
angin tahu-tahu ia telah diserang begitu hebat oleh begini banyak tosu Kun-lun-pai, tanpa diberikan
kesempatan untuk membela diri. Kalau saja dia tidak pandai menghindarkan diri dari serangan-serangan
itu, bukankah tubuhnya sudah hancur dan nyawanya menghadap Giam-kun tanpa mengetahui apa
kesalahannya?
Keng Thian Siansu tersenyum sindir sambil memukul-mukulkan tongkat di depan kakinya. Para tosu yang
lain juga memandang penuh nafsu amarah terbayang di pandangan mata mereka. Melihat ini, diam-diam
Bu Pun Su terkejut dan tidak mau main-main lagi, akan tetapi mendengarkan dengan penuh perhatiannya
apa yang akan diucapkan oleh Ketua Kun-lun-pai.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Bu Pun Su, sudah lama pinto mendengar bahwa engkau adalah seorang pendekar sakti yang bijaksana
dan pembela keadilan. Akan tetapi sekarang pinto merasa kecewa. Tadi kau menyatakan bahwa orang
harus meneliti diri sendiri sebelum menyalahkan orang lain, bukankan begitu?”
“Benar, Kheng Thian Siansu.”
“Kalau begitu mengapa kau menyalahkan anak murid Kun-lun-pai dan tidak lekas-lekas mengakui dosadosamu?”
Bu Pun Su tercengang, akan tetapi ia masih tersenyum ramah.
“Ehh, ehhh, jangan kau main-main, tosu tua! Memang aku banyak dosa, manusia hidup siapakah yang
tidak menumpuk dosa? Akan tetapi kalau dosa-dosaku tidak ada sangkut pautnya dengan kau, apakah aku
harus mengakui semua dosaku dan rahasia hidupku yang dulu-dulu dihadapanmu? Memangnya siapakah
kau ini? Wakil dari Giam-lo-ong?”
“Bu Pun Su, tidak perlu kau membadut untuk menutupi kedosaanmu terhadap kami! Kau sudah membunuh
murid keponakan pinto Cin Giok Sianjin, dan kau masih berani bilang tidak mempunyai dosa terhadap Kunlun-
pai?”
Bu Pun Su memiliki kecerdikan yang luar biasa dan jalan pikirannya amat tangkas dan cepat, maka
seketika tahulah ia bahwa ini tentu ada hubungan dengan kematian Cin Giok Sianjin di pantai Pulau Pek-leto!
Akan tetapi bagaimanakah Kun-lun-pai demikian cepat mendengar tentang hal ini dan mengapa pula
menuduh dia? Padahal yang membunuh tokoh Kun-lun-pai itu adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat, dibantu
oleh Han Le. Karena ia merasa bahwa betapa pun juga, Han Le ikut bersalah dalam hal ini dan Han Le
adalah adik seperguruannya, terpaksa ia mengalah dan berlaku sabar.
“Keng Thian Siansu, nanti dulu. Aku bisa memberi penjelasan tentang kematian Cin Giok Sianjin. Akan
tetapi yang aneh sekali, bagaimana kalian bisa tahu begitu cepatnya? Dan mengapa pula menuduh aku
yang melakukan perbuatan itu?”
“Dari mana pinto mengetahui, bukanlah persoalan. Pendeknya kami tahu bahwa Cin Giok Sianjin telah
tewas olehmu di dalam pulau di mana dahulu kau bertapa.”
Bu Pun Su menarik napas panjang. Dia dapat menduga setelah otaknya yang luar biasa bekerja cepat.
“Hemm, siluman betina itu tentunya baru saja meninggalkan puncak Kun-lun-san! Keng Thian Siansu,
apakah kau begitu mudah mau percaya omongan seorang seperti Pek Hoa Mo-li (Iblis Wanita Pek Hoa)
itu?” Bu Pun Su sengaja merubah sebutan Pek Hoa Pouwsat menjadi Pek Hoa Mo-li. Pouwsat berarti Dewi
sedangkan Mo-li berarti Iblis Betina.
“Apakah ketika dia bercerita bahwa aku yang membunuh Cin Giok Sianjin, dia berbicara sambil
menggoyang-goyangkan tubuh seperti pohon yang-liu tertiup angin musim chun, matanya mengerlingngerling
bagaikan bintang-bintang di langit dan bibirnya tersenyum-senyum manis sehingga semua orang
yang mendengarnya menjadi percaya penuh?”
Wajah Keng Thian Siansu menjadi merah sekali. Memang, biar pun agak berlebih-lebihan semua dugaan
Bu Pun Su ini cocok dengan keadaannya. Pagi hari itu memang Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat mengunjungi
Kun-lun-san dan bercerita dengan sikapnya yang genit sekali bahwa Cin Giok Sianjin dibunuh oleh Bu Pun
Su, dan bahwa Pek Hoa Pouwsat sendiri yang hendak mencegah perbuatan itu sampai terluka pula oleh
Bu Pun Su!
“Bu Pun Su, pinto sendiri memang masih meragukan keterangan dari Pek Hoa Pouwsat. Akan tetapi selain
kau, siapakah yang sanggup membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh Siauw-lim-si yang
berkepandaian tinggi? Dan pula, apa perlunya Pek Hoa Pouwsat datang-datang ke Kun-lun-san dan
membohong? Ditambah lagi kedatanganmu di sini, benar-benar semuanya menimbulkan kecurigaan kami.
Kalau kau beri penjelasan, katakanlah apa yang terjadi di Pek-le-to. Apakah betul-betul Cin Giok Sianjin
terbunuh?”
“Betul, sayang sekali karena kedatanganku ke Pek-le-to terlambat,” jawab Bu Pun Su. Keterangan ini
disambut oleh suara menyatakan marah dari para tosu Kun-lun-pai.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Siapa yang membunuhnya?” tanya Keng Thian Siansu.
“Ketika aku mendarat di Pek-le-to, aku melihat tiga mayat orang yang setelah kuperiksa ternyata adalah
jenazah-jenazah dari Cin Giok Sianjin beserta dua orang tokoh Siauw-lim-pai. Dan orang yang saat itu
tinggal di Pulau Pek-le-to itu kulihat adalah Bi Sian-li Pek Hoa Pouwsat sendiri!”
Keng Thian Siansu mengeluarkan suara ketawa aneh.
“Bu Pun Su, jangan kau main-main. Pinto bukan anak kecil yang mudah dibohongi. Orang macam Pek Hoa
Pouwsat itu bagaimana bisa membunuh Cin Giok Sianjin bersama dua orang tokoh Siauw-lim-pai?”
“Memang ada yang membantu...,” kata Bu Pun Su, suaranya mengandung kepahitan dan kekecewaan.
“Siapa...?” Keng Thian Siansu mendesak.
Bu Pun Su menarik napas panjang lalu memandang kepada wajah Ketua Kun-lun-pai itu.
“Keng Thian Siansu, aku datang dengan maksud yang amat penting, apakah kau hanya menyambut aku
seperti ini saja? Haruskah kita bercakap-cakap sambil berdiri di tempat panas ini? Ahh, benar-benar tak
kusangka bahwa Kun-lun-pai sekarang merupakan tuan rumah yang tidak manis budi...”
Keng Thian Siansu tersadar dan wajahnya berubah merah. Ia menjura dan berkata,
“Maaf, maaf, pinto terlalu pusing memikirkan soal Cin Giok Sianjin sehingga lupa akan tata susila. Mari, Bu
Pun Su, silakan kau naik, menjadi tamu kami di Kun-lun-san!”
Bu Pun Su balas menjura. “Terima kasih!”
Dan cepat tubuhnya berkelebat dalam perjalanannya naik ke puncak. Melihat ini, semua tosu Kun-lun-pai
meleletkan lidah saking kagum menyaksikan ilmu meringankan tubuh dan ilmu lari cepat yang sedemikian
hebatnya.
Keng Thian Siansu berseru, “Kau memang hebat Bu Pun Su.”
Akan tetapi tubuhnya sendiri juga berkelebat menyusul dan sekejap mata dua orang itu telah lenyap dari
pandangan mata para tosu yang saling berpandangan dan kemudian beramai-ramai naik ke puncak.
Setelah berada di kuil Kun-lun-pai di puncak gunung itu, Bu Pun Su diterima oleh Keng Thian Siansu di
ruangan tengah yang amat luas. Selain Keng Thian Siansu terdapat pula tiga orang tokoh Kun-lun-pai yang
ikut mendengarkan penuturan Bu Pun Su. Mereka ini yang dua orang merupakan murid Keng Thian
Siansu, sedangkan yang seorang lagi adik seperguruan dari Cin Giok Sianjin. Dengan terus terang Bu Pun
Su menuturkan tentang peristiwa di Pulau Pek-le-to.
Dia tidak menyembunyikan kenyataan bahwa Han Le telah terpikat dan terbuai oleh Pek Hoa Pouwsat
sehingga mau membantu siluman betina itu merobohkan dua orang tokoh Siauw-lim-pai dan seorang tokoh
Kun-lun-pai yang mendarat di Pulau Pek-le-to.
“Hemm, kalau begitu sute-mu itu yang menjadi pembunuh!” kata Keng Thian Siansu.
“Bukan, sahabatku, bukan Han Le. Memang benar bahwa Han Le yang mengalahkan dan membuat tak
berdaya Cin Giok Sianjin dan dua orang tokoh Siauw-lim-pai itu, akan tetapi pembunuhnya adalah Pek Hoa
Pouwsat yang sudah datang ke sini dan menipu kalian di sini. Bukan aku hendak membela sute-ku yang
juga berdosa, tetapi harus diingat bahwa sute-ku telah roboh bukan hanya oleh kecantikan Pek Hoa dan
oleh karena pandainya ia bergaya, melainkan terutama sekali oleh semacam ilmu sihir yang luar biasa.
Pernah siluman betina itu mencoba ilmunya kepadaku, dan memang benar-benar hebat. Apa bila orang
tidak memiliki ketabahan dan kebersihan hati ditambah tenaga batin yang sangat kuat, kiraku pasti akan
roboh, seperti halnya Han Le. Mengingat bahwa Han Le sudah membantu Pek Ho Mo-li dan membuat
roboh ketiga orang itu di Pulau Pek-le-to dalam keadaan tidak sadar seperti di bawah pengaruh sihir dari
Pek Hoa Mo-li, maka aku telah menghukum sute-ku melarang dia keluar selamanya dari Pulau Pek-le-to.
Apakah kau tidak menganggap hukuman itu sudah cukup berat baginya?”
dunia-kangouw.blogspot.com
Kiang Thian Siansu serta anak-anak muridnya mengangguk-anggukkan kepala. Mereka terpaksa mengaku
bahwa hukuman itu memang berat, cukup berat. Hukuman itu sama dengan hukuman buang selama hidup,
karena selama hidupnya, Han Le tak akan dapat melihat dunia ramai lagi, takkan dapat bertemu dengan
orang lain lagi. Hukuman ini pada hakekatnya bahkan lebih berat dari pada hukuman mati.
“Bu Pun Su, kami memang telah mendengar penuturanmu dan kami percaya sepenuhnya kepadamu. Akan
tetapi masih ada satu hal dan engkaulah satu-satunya orang yang harus membereskannya. Yakni tentang
Pek Hoa Pouwsat. Apa bila memang betul dia itu yang membunuh Cin Giok Sianjin dan benar-benar sudah
datang ke sini untuk memburukkan namamu, maka untuk membuktikan kebenaran semua penuturanmu,
kau harus mencari dan membunuh Pek Hoa Mo-li!”
Bu Pun Su nampak terkejut. “Keng Thian Siansu! Aku sudah lama melakukan pantangan membunuh!”
“Kalau begitu cari dan tangkap dia, seret ke sini agar pinto dapat mendengar pengakuan dosanya. Kalau
kau melakukan itu, barulah selamanya Kun-lun-pai percaya kepadamu, Bu Pun Su.”
Bu Pun Su tertawa bergelak, “Ha-ha-ha, kau memang orang cerdik, Keng Thian Siansu. Akan tetapi tidak
apalah, aku akan menangkap siluman betina itu untukmu dan sekarang kuharap tamu agung Kun-lun-pai
yang sejak tadi berdiri di luar sudi masuk. Keng Thian Siansu, mengapa kau tidak menyambut datangnya
tamu?”
Keng Thian Siansu juga tersenyum dan berkata, “Saudara dari Siauw-lim-si berlaku amat sungkan-sungkan
di luar, bagaimana pinto berani menyambut sembarangan?”
Tiga orang tosu lain yang hadir situ kaget sekali dan memuji kelihaian penglihatan Bu Pun Su dan Keng
Thian Siansu, karena mereka bertiga tidak melihat sesuatu pun, juga tidak mendengar sesuatu. Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara orang tertawa dan berkelebat sesosok bayangan orang tinggi besar memasuki
ruangan itu dengan gerakan yang cepat, akan tetapi walau pun kedua kakinya tidak menimbulkan suara
apa-apa ketika menginjak lantai ruangan itu, ternyata bahwa semua orang merasa lantai tergetar hebat
seolah-olah dijatuhi benda yang ribuan kati beratnya!
Semua orang memandang. Orang yang baru muncul ini adalah seorang hwesio gundul yang badannya
tinggi tegap, kepalanya gundul licin, demikian pula mukanya licin kelimis seperti kedok. Kulit mukanya
berwarna putih seperti dikapur dan yang membuat rupanya menjadi amat buruk adalah telinga kirinya yang
sudah buntung tidak ada sisanya sama sekali. Mulutnya selalu cemberut dan sepasang matanya nampak
seperti orang murung dan duka. Sebenarnya usianya sudah enam puluh tahun lebih, akan tetapi oleh
karena muka dan kepalanya guncul licin, ia nampak lebih muda.
Melihat hwesio ini, diam-diam Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu merasa heran. Melihat gerakannya tadi,
tak dapat disangkal lagi bahwa hwesio ini tentulah seorang ahli silat dari Siauw-lim-pai, akan tetapi
siapakah orang ini? Bu Pun Su dan Keng Thian Siansu sudah banyak mengenal tokoh Siauw-lim-pai,
bahkan ada pertalian persahabatan dengan ketua Siauw-lim-pai, Hok Bin Taisu. Akan tetapi hwesio ini
belum pernah mereka kenal.
Kalau yang datang ini adalah seorang anak murid Siauw-lim-pai yang rendah tingkatnya, tidak
mengherankan apa bila dua orang sakti ini tidak mengenalnya. Akan tetapi melihat lweekang serta ginkang
yang baru saja diperlihatkan oleh tamu ini, mudah sekali dilihat bahwa dia adalah seorang yang mempunyai
kepandaian tinggi sekali, jadi bukan seorang murid rendahan saja dari Siauw-lim-pai.
“Bu Pun Su,” hwesio itu berkata dengan muka yang tidak berubah akan tetapi suaranya menggeledek dan
menggetarkan anak telinga. “Biar pun kaum Kun-lun-pai telah berlaku lemah, akan tetapi pinceng dari
Siauw-lim-pai tak nanti melepaskan kau begitu saja! Kau menyerahlah untuk pinceng bawa ke Siauw-limpai,
kemudian menerima hukuman atas dosa-dosamu!”
Kata-kata ini diterima oleh Bu Pun Su dengan adem saja, akan tetapi membuat panas hati Keng Thian
Siansu bersama tiga orang muridnya. Sikap hwesio ini mereka anggap keterlaluan sekali.
Mereka tidak ambil pusing dengan apa yang hendak dilakukan oleh hwesio itu terhadap Bu Pun Su, akan
tetapi sikap hwesio itu yang sama sekali tidak mempedulikan pihak tuan rumah, betul-betul telah melanggar
peraturan kang-ouw dan peraturan kesopanan antara partai-partai besar.
Hwesio itu telah masuk ke Kun-lun-pai tanpa memberi tahu terlebih dulu dan tentu telah menggunakan
dunia-kangouw.blogspot.com
kepandaiannya, sehingga dapat melampaui para penjaga dan bisa sampai di ruangan lian-bu-thia tanpa
terlihat. Hal ini saja merupakan pelanggaran pertama.
Ke dua, hwesio ini sama sekali tak mengacuhkan Keng Thian Siansu yang menjadi ketua Kun-lun-pai dan
hal ini benar-benar merupakan kekurang ajaran yang menyinggung rasa kehormatan ciangbunjin dari Kunlun-
pai. Bukan ini saja, bahkan, datang-datang hwesio ini hendak menangkap Bu Pun Su yang saat itu
menjadi tamu Kun-lun-pai, hal ini berarti bahwa hwesio itu sama sekali tak memandang mata kepada Kunlun-
pai dan merupakan pelanggaran ke tiga.
Sun Giok Sianjin, murid keponakan dari Ketua Kun-lun-pai yang ikut hadir di situ, menjadi marah dan cepat
dia melompat berdiri menghadapi hwesio itu. Tanpa banyak peradatan lagi dia menudingkan jari
telunjuknya ke arah dada hwesio itu sambil berkata,
“Kami mengenal Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai sebagai seorang yang menjunjung tinggi kegagahan,
keadilan, dan peraturan. Juga kami tahu bahwa Siauw-lim-pai adalah partai persilatan di kolong langit yang
paling menjaga peraturan sehingga memasuki Kuil Siauw-lim-si kabarnya sama sukarnya dengan
memasuki pintu langit! Akan tetapi kenapa kau ini hwesio yang mengaku dari Siauw-lim-si begini tidak tahu
aturan dan menganggap Kun-lun-pai sebagai tempat apakah?”
Hwesio itu memandang kepada Sun Giok Sianjin dengan mata mencorong, dan tak lama kemudian
terdengar suaranya yang keras dan parau,
“Apakah kau ini yang bernama Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai?”
Sun Giok Sianjin tersenyum mengejek.
“Hwesio, kelirunya dugaanmu ini saja telah membuktikan bahwa kau bukan seorang yang banyak
mengenal dan dikenal di dunia kang-ouw! Pinto sudah banyak mengenal hwesio di Siauw-lim, akan tetapi
selamanya belum pernah bertemu dengan kau. Ketahuilah, pinto adalah Sun Giok Sianjin, dan kau ini
siapakah?”
“Pinceng Kong Mo Taisu. Orang seperti kau ini mana mengenal pinceng?”
Sesudah berkata demikian hwesio itu tertawa bergelak dan terkejutlah Sun Giok Sianjin karena kedua
telinganya terasa sakit sekali. Makin lama hwesio itu ketawa, makin sakit telinganya sampai hampir tidak
tertahankan lagi. Baiknya dia cepat-cepat mengerahkan lweekang-nya untuk menjaga keselamatan bagian
halus di dalam telinganya supaya tidak mengalami kerusakan akibat suara yang mengandung getaran
tenaga lweekang ini.
Tiba-tiba terdengar suara ketawa halus yang sekaligus membuyarkan tenaga serangan merusak dari suara
ketawa Kong Mo Taisu. Yang ketawa ini adalah Bu Pun Su. Dalam suara ketawanya yang halus, Bu Pun
Su sudah mengerahkan tenaganya sehingga dapat menolak tenaga serangan Kong Mo Taisu yang
disalurkan melalui suara ketawanya.
“Pernah dahulu Suhu-ku Ang-bin Sin-kai bercerita kepadaku tentang seorang bocah yang menjadi kacung
di Siauw-lim-si dan kemudian pada suatu hari bocah itu mencuri sebuah kitab simpanan peninggalan Tat
Mo Couwsu. Sampai belasan tahun bocah tersebut bisa mempelajari isi kitab itu tanpa persetujuan para
ketua Siauw-lim-si. Akhirnya ia diketahui juga dan dijatuhi hukuman, yakni selama hidupnya tidak boleh
mempergunakan ilmunya untuk memperkenalkan diri di dunia kang-ouw dan di samping itu dibuang ke luar
kuil dan bertapa seorang diri dalam goa di hutan. Sekarang tahu-tahu muncul seorang hwesio tak ternama
yang memiliki tenaga I-kin-keng begini tingginya. Eh, hwesio, apa hubunganmu dengan bocah bengal itu?”
tanya Bu Pun Su di akhir penjelasannya.
Juga Keng Thian Siansu mengeluarkan seruan kaget.
“Pinto juga teringat akan sebuah dongeng yang pinto dengar dari mendiang Suheng Seng Thian Siansu.
Puluhan tahun yang lalu, bersama beberapa orang sahabatnya, Suheng bertemu dengan seorang hwesio
yang melakukan perbuatan tidak patut di sebuah dusun tidak jauh dari Siauw-lim-si. Hwesio itu
mengganggu seorang gadis kampung dan tentu saja Suheng dan sahabatnya tidak membiarkan hal itu
terjadi. Hwesio keparat itu ditegur dan terjadilah pertempuran hebat. Dari pertempuran ini tahulah Suheng
bahwa hwesio itu mempunyai sari kepandaian dari Siauw-lim-si. Akhirnya hwesio itu dapat dikalahkan oleh
Suheng beserta sahabat-sahabatnya, dan biar pun tidak dapat dibinasakan, tetapi hwesio itu sudah diberi
dunia-kangouw.blogspot.com
peringatan dengan terbabatnya sebuah daun telinga sebelah kiri. Entah apa hubungannya hwesio cabul itu
dengan saudara yang sekarang hadir dan mengaku bernama Kong Mo Taisu!”
Hwesio itu mukanya tidak berubah, akan tetapi sinar matanya makin berapi-api.
Tiba-tiba Sun Giok Sianjin tertawa bergelak, “Aha, kiranya kaulah yang telinganya sudah dibuntungi oleh
Suhu!”
“Sun Giok Sianjin, awas!” teriak Bu Pun Su.
Tosu ini cepat-cepat melompat ke belakang ketika merasa ada angin mendesir. Ternyata bahwa hwesio
gundul itu sudah menyerang dengan sebuah pukulan tangan kanan yang mendatangkan angin pukulan luar
biasa sekali.
Sun Giok Sianjin adalah seorang tokoh Kun-lun-pai yang berkepandaian tinggi, setingkat dengan
kepandaian Cin Giok Sianjin tetapi lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian para murid Keng Thian
Siansu. Akan tetapi menghadapi pukulan dari Kong Mo Taisu tadi, ia terkejut bukan main.
Biar pun ia dapat menghindarkan diri, namun ia maklum bahwa lweekang dari Si Gundul ini masih jauh
melampaui tingkatnya. Segera tangan kirinya bergerak dan tahu-tahu dia telah mencabut pedang yang
tadinya menggemblok pada punggungnya. Sun Giok Sianjin terkenal sangat lihai dengan senjata pedang
yang dimainkan dengan tangan kirinya.
Memang tosu ini adalah seorang kidal yaitu seorang yang semenjak kecilnya lebih trampil mempergunakan
tangan kiri dari pada tangan kanannya. Oleh karena itu, dalam hal ilmu pedang, ia juga selalu
menggunakan tangan kiri. Namun hal ini menambah kelihaiannya karena bagi lawan memang merupakan
suatu kesukaran jika menghadapi seorang yang memainkan senjata dengan tangan kiri.
Terdengar Kong Mo Taisu tertawa bergelak lagi. Benar-benar mengerikan muka hwesio telinga buntung ini.
Biar pun suara ketawanya bergelak, akan tetapi hanya mulutnya saja yang terbuka sedangkan lain-lain
bagian mukanya sama sekali tak memperlihatkan gerak ketawa, seperti sebuah mayat tertawa saja!
“Tosu bulukan kau mengandalkan pedangmu? Lebih baik kau mundur dan biarkan Keng Thian Siansu saja
menghadapi pinceng. Kau lebih baik pulang dan belajar sepuluh tahun lagi, barulah menghadapi pinceng!”
Bukan main marahnya Sun Giok Sianjin mendengar ejekan ini.
“Hwesio siluman lihat pedang!”
Secepat kilat pedangnya di tangan kiri menyambar dengan gerak tipu Hek-in Koan-goat (Awan Hitam
Menutup Bulan), yang lalu disusul oleh gerakan berantai Ngo-cu Sam-kiam (Lima Kali Tikaman Berantai).
Akan tetapi, sambil mengeluarkan suara ketawa aneh, Kong Mo Taisu menggerakkan kedua tangannya
dengan lembut ke arah pedang dan ke mana saja pedang di tangan tosu itu menyerang, begitu bertemu
dengan hawa pukulan dari kedua tangan hwesio itu, lalu mandeg serangannya, tertolak oleh hawa pukulan
yang dahsyat sekali.
Sun Giok Sianjin terkejut sekali dan sesudah semua serangannya dapat dielakkan dan disampok oleh hawa
pukulan ahli lweekang I-kin-keng ini, ia kemudian berseru keras dan tiba-tiba dari samping pedangnya
meluncur cepat menyabet ke arah pundak dan leher! Sambil melakukan bacokan ini, Sun Giok Sianjin
mengerahkan seluruh tenaga lweekang sehingga apa bila hwesio itu berani menangkis, sungguh pun tidak
dapat dia menangkan tenaga lweekang hwesio itu, akan tetapi kecepatan gerakan dan ketajaman
pedangnya paling tidak tentu akan melukai tubuh lawannya!
Akan tetapi hwesio itu benar-benar amat lihai. Sambil merendahkan tubuhnya yang tinggi besar itu, ia
mengelak cepat dan begitu pedang telah menyambar lewat, tangan kirinya menyusul pedang dengan
dorongan ke bawah. Inilah gerakan tangan kosong semacam Siok-lui Kak-teng (Petir Menyambar di Atas
Kepala) yang dahsyat, akan tetapi bukan digerakkan untuk menyerang lawan, melainkan untuk menindih
pedang. Benar-benar luar biasa sekali.
Biar pun hanya didorong oleh hawa pukulan, betapa pun Sun Giok Sianjin berusaha, pedang itu tidak dapat
ditariknya kembali, terus terdorong ke atas lantai dan di lain saat kaki kiri hwesio itu telah menginjak
pedang, tenaga lweekang dikerahkan dan…
dunia-kangouw.blogspot.com
“Krakk!” pedang itu telah patah-patah empat potong di atas lantai!
Di lain saat kaki kanan hwesio itu menendang dan tubuh Sun Giok Sianjin terlempar dan terbanting pada
dinding ruangan itu yang jauhnya ada empat tombak lebih!
Kong Mo Taisu tertawa bergelak, sedangkan Sun Giok Sianjin yang tidak menderita luka berat merangkak
bangun dengan muka pucat. Dalam waktu kurang dari sepuluh jurus dia telah dikalahkan oleh hwesio itu.
Ini adalah hal yang benar-benar sangat mengherankan, memalukan dan juga membuktikan bahwa hwesio
itu benar-benar luar biasa lihainya.
Hal ini diketahui pula oleh Keng Thian Siansu. Dia sendiri biar pun tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi
dari pada murid keponakannya itu, namun apa bila disuruh mengalahkan Sun Giok Sianjin dalam waktu
kurang dari sepuluh jurus, ia masih tidak sanggup. Maka ia tahu bahwa hwesio itu merupakan lawan yang
amat berat.
Akan tetapi sebagai seorang ciangbunjin dia harus menjaga nama dan kehormatan partai Kun-lun-pai. Apa
lagi yang datang mengacau ini bukanlah wakil Siauw-lim-pai, melainkan seorang hwesio Siauw-lim yang
murtad. Sambil tersenyum pahit dia bangkit dari kursinya dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang
panjang.
“Hwesio, harap kau bicara terus-terang. Kedatanganmu ini untuk keperluan apakah?”
Kong Mo Taisu memandang tajam. “Engkau yang bernama Keng Thian Siansu ketua dari Kun-lun-pai?”
“Betul dugaanmu. Kau ini hwesio murtad dari Siauw-lim-pai, sekarang datang memancing keonaran,
sebenarnya apakah kehendakmu? Pinto tidak bisa turun tangan tanpa dasar yang kuat dan alasan yang
tepat,” Keng Thian Siansu menyeringai.
“Bagus, Keng Thian Siansu, kau masih tanya-tanya lagi? Kau tak tahu malu, yang sudah kehilangan anak
murid terbunuh oleh Bu Pun Su, akan tetapi sekarang, setelah Bu Pun Su datang, karena takut padanya
kau bahkan bersobat dengan dia, kau masih ingin tahu apa maksud kedatangan pinceng? Pertama-tama
memang pinceng hendak mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san dan sekedar
memuaskan hatiku menebus hinaan pada waktu dahulu. Kedua, sengaja pinceng hendak menangkap Bu
Pun Su atas kedosaannya membunuh dua orang cucu muridku!”
Orang yang tidak tahu, tentu akan heran dan mengira hwesio itu bicara sombong ketika mengaku bahwa
dua orang tokoh Siauw-lim-pai, yakni Bok Beng Hosiang yang dianggap sebagai tokoh ke dua dan ke tiga,
murid-murid Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lim-pai itu, sebagai cucu muridnya. Akan tetapi sebetulnya dalam
hal ini hwesio ini berkata benar.
Memang Kong Mo Taisu memiliki kedudukan ilmu silat yang lebih tinggi tingkatnya dari pada Hok Bin Taisu
sendiri. Kalau menurut keadaan pelajaran ilmu silat mereka, Ketua Siauw-lim-pai itu bahkan masih
menyebut susiok kepadanya.
Hal ini adalah karena Kong Mo Taisu yang telah berhasil mencuri kitab-kitab peninggalan Tat Mo Couwsu
dan mempelajari isinya yang tidak sembarang murid Siauw-lim-pai dapat melihatnya, tingkat
kepandaiannya menjadi seimbang atau boleh disebut sebagai murid seperguruan yang setingkat dengan
guru dari Hok Bin Taisu, yang membuat Kong Mo Taisu pernah paman guru Ketua Siauw-lim-pai. Sudah
barang tentu Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang murid-murid Hok Bin Taisu ini boleh disebut cucucucu
muridnya.
Keng Thian Siansu menjadi mendongkol sekali mendengar betapa hwesio ini terus terang menyatakan
ingin mengetahui sampai di mana tingginya puncak Kun-lun-san. Kata-kata ini mengandung sindiran dan
yang dimaksudkan tinggi itu bukan puncak bukitnya, akan tetapi puncak kepandaiannya, yaitu tentu saja
kepandaian Keng Thian Siansu yang boleh dibilang puncak kepandaian Kun-lun-pai pada saat itu. Katakata
ini sama halnya dengan menantangnya.
Apa lagi setelah ditambah bahwa hwesio itu ingin memuaskan hatinya menebus hinaan di waktu dulu.
Tentu yang dimaksudkan adalah hinaan potong telinga yang sudah dilakukan oleh mendiang suheng-nya,
Seng Thian Siansu.
dunia-kangouw.blogspot.com
“Hwesio, kau sombong sekali. Pantas saja mendiang suheng-ku membuntungi telinga kirimu. Kini kau mau
membalas dendam masa lalu? Baiklah, di sini pinto bersiap mewakili mendiang Suheng untuk
menyelesaikan pekerjaannya dulu yang belum sempurna, yaitu membuntungi telinga keledaimu yang
sebelah lagi!”
Keng Thian Siansu biasanya tidak suka berkelakar, tidak pula menjadi wataknya untuk bersombong dan
menghina orang. Tapi kali ini ia sengaja mengeluarkan kata-kata pedas, bukan saja untuk membalas
kesombongan Kong Mo Taisu, akan tetapi juga sengaja ingin memanaskan hati dan membuat hwesio itu
menjadi marah, karena hanya bila hwesio itu marah-marah kiranya ia akan dapat menghadapinya dengan
harapan menang.
Bagi para ahli silat tinggi yang mendasarkan kekuatan perlawanan terhadap musuh berat pada tenaga
lweekang, nafsu amarah adalah pantangan besar karena nafsu amarah ini dapat mengurangi banyak
tenaga. Dalam keadaan marah, sulit sekali untuk menghimpun hawa di dalam tubuh dan karenanya hawa
sinkang di dalam tubuh pun buyar tidak dapat terkumpul sehingga akibatnya tenaga pun banyak berkurang.
Ejekan tentang telinga itu kiranya betul-betul tepat melukai hati Kong Mo Taisu, membuat hwesio ini marah
bukan main. Kedua matanya sampai melotot lebar dan sambil berseru keras dia mencabut senjatanya yang
tadinya tidak kelihatan dari luar, yakni sebatang ring rantai yang dijadikan ikat pinggang. Rantai ini terbuat
dari baja lembek, panjangnya tiga kaki, besarnya sekepalan tangan warnanya hitam.
“Tosu keparat, mampuslah kau menyusul suheng-mu!” Hwesio itu membentak sambil dia mengirim
serangan.
Bukan main hebatnya serangan ini. Ketika Keng Thian Siansu mengelak dan melompat ke belakang, ujung
rantai menghantam lantai hingga debu berhamburan ke atas karena lantai yang terpukul menjadi hancur
lebur! Hwesio ini terus mendesak dengan serangan lain yang ditujukan kepada kepala Ketua Kun-lun-pai.
“Traangg...!”
Bunga api berpijar menyilaukan mata ketika rantai itu ditangkis oleh tongkat pada tangan Keng Thian
Siansu. Keng Thian Siansu adalah seorang yang tinggi ilmu kepandaiannya. Kalau ia tidak memiliki
kepandaian tinggi, tidak nanti ia dapat menjadi Ketua Kun-lun-pai yang besar.
Kiranya tidak sembarang orang kang-ouw mampu menyamai kepandaiannya, baik dalam hal ilmu silat,
tenaga lweekang, mau pun ginkang yang semua sudah mendekati puncak kesempurnaan. Namun kali ini
begitu tongkatnya beradu dengan rantai Kong Mo Tosu, tosu tua ini maklum bahwa benar-benar lawannya
memiliki tenaga warisan I-kin-keng dari Tat Mo Couwsu yang luar biasa hebatnya.
Telapak tangannya menjadi panas sekali dan kalau saja dia tidak memiliki sinkang yang sangat kuat tentu
kulit serta daging tangannya sudah robek dan pecah-pecah. Rantai itu mengandung getaran tinggi yang
hampir tidak terasa, akan tetapi yang mendatangkan hawa panas bagaikan api membara.
Rantai itu sudah menyambar lagi, kini menyabet ke arah kaki Keng Thian Siansu. Ketika Ketua Kun-lun-pai
itu melompat ke atas sehingga rantai itu lewat di bawah kakinya, rantai itu tahu-tahu sudah menghadang
pula dan kini meluncur ke arah kepalanya! Benar-benar Ketua Kun-lun-pai dibikin kagum oleh gerakan ini.
Kecepatan perubahan gerakan rantai yang dari serangan ke arah kaki tiba-tiba dapat dirubah menjadi
serangan ke arah kepala ini benar-benar luar biasa dan berbahaya sekali.
Keng Thian Siansu tidak berani berlaku lambat dan ia segera mengeluarkan ilmu tongkat yang berdasarkan
ilmu silat Kun-lun Kun-hoat. Ujung tongkatnya tergetar mengeluarkan bunyi berdering dan ujung itu kanan
kiri tergetar menjadi tujuh bagian.
Pertempuran menjadi makin sengit dan seru karena Kong Mo Taisu juga tidak mau kalah. Dia
mengeluarkan seluruh kepandaian dan mengerahkan seluruh tenaganya.
Karena maklum bahwa tenaganya kalah jauh, Keng Thian Siansu segera mengandalkan kegesitan
tubuhnya. Tujuh getaran tongkatnya itu yang lima bagian dipergunakan untuk pertahanan diri, sedangkan ia
membalas serangan lawan yang hanya dengan dua bagian saja. Hal ini adalah karena hanya dengan
pengerahan tenaga sekuatnya saja baru dia sanggup menangkis serangan lawannya yang tentu saja
menggunakan sistem setengah bertahan setengah menyerang. Karena kepincangan ini, maka segera
kelihatan betapa Ketua Kun-lun-pai itu hanya berada pada pihak penahan belaka, dan hanya sedikit sekali
dunia-kangouw.blogspot.com
melakukan serangan, itu pun kalau benar-benar ada lowongan.
Seratus jurus telah lewat dengan cepatnya. Kini tempat itu sudah terkurung oleh puluhan orang-orang Kunlun-
pai yang datang menonton dan telah siap sedia menghadapi semua perintah ketua mereka. Kini
mereka semua merasa gelisah karena sebagai ahli-ahli silat tinggi mereka maklum bahwa ketua mereka
menghadapi bencana.
Akan tetapi di antara mereka sudah ada kesepakatan, bahwa apa bila Ketua Kun-lun-pai sampai roboh
binasa, tentu hwesio gundul itu tak akan dapat keluar dari tempat itu dalam keadaan selamat. Walau pun
hwesio itu lebih kosen lagi dan ditumbuhi sepasang sayap, takkan mungkin dia sanggup menghadapi
pengeroyokan puluhan orang tosu Kun-lun-pai yang rata-rata berkepandaian tinggi itu.
Mereka pun takkan ragu-ragu atau malu-malu untuk mengeroyok dan membunuh hwesio itu kalau sampai
ketua mereka tewas, oleh karena kedatangan hwesio itu bukan sebagai seorang tamu terhormat, tetapi
sebagai seorang pencuri yang datang secara sembunyi-sembunyi. Kalau hwesio itu adalah tamu terhormat
dan pertandingan itu adalah pibu yang sewajarnya, tentu kalah menang, mati hidup tak akan dipersoalkan
lagi oleh semua kaum Kun-lun-pai. Akan tetapi sekarang lain lagi soalnya, maka mereka bersiap-siap
dengan senjata di tangan.
Ada pun Kong Mo Taisu yang sampai seratus jurus belum dapat mengalahkan lawannya, menjadi
penasaran bukan main. Dahulu memang ia kalah oleh Seng Thian Siansu, akan tetapi ia kalah karena
dikeroyok oleh lima orang, yakni Seng Thian Siansu beserta empat orang lain yang kepandaiannya juga
tinggi. Kalau hanya Seng Thian Siansu seorang diri yang maju, dahulu Seng Thian Siansu juga pasti kalah
olehnya.
Padahal setelah menderita hinaan itu, ia telah berlatih lagi sampai belasan tahun, melatih I-kin-keng sampai
hampir sempurna. Kini ia mendapat kenyataan bahwa ia sudah salah duga. Ternyata, hanya dengan
tenaga dalam I-kin-keng yang luar biasa saja dia tak akan dapat memenangkan musuh kalau ilmu silatnya
tidak bisa mengatasi kepandaian lawan. Ia harus akui bahwa dengan tenaganya dia dapat menangkan
Keng Thian Siansu, hanya saja dalam ilmu silat, ternyata ketua dari Kun-lun-pai ini masih mengatasinya!
Aku harus menangkan dengan adu tenaga, pikirnya dan tiba-tiba ketika ia melihat tongkat menyambar
dengan sodokan ke arah dada, dia tidak mengelak, bahkan dia melibat ujung tongkat itu dengan ujung
rantainya sambil mengerahkan lweekang.
“Bukkk!”
Ujung tongkat menotok dada, akan tetapi seakan-akan menotok bola baja saja, licin dan keras sehingga
meleset tanpa mendatangkan akibat apa pun. Namun sebaliknya, ujung tongkat itu telah kena dilibat oleh
rantai. Betapa pun Keng Thian Siansu mencoba untuk membetotnya, sia-sia belaka.
Tiba-tiba saja terdengar suara ketawa keras dari mulut Kong Mo Taisu, dibarengi dengan kepalan tangan
kirinya yang datang menyerang dengan jari-jari terbuka, mencengkeram ke arah batok kepala tosu Kun-lunpai!
Keng Thian Siansu tadinya sudah membetot-betot tongkatnya. Tongkat itu adalah senjata merangkap
lambang kekuasaan sebagai ketua partai, maka tentu saja kehilangan tongkat yang terampas oleh lawan
sama artinya dengan kehilangan nyawa.
Akan tetapi sekarang melihat datangnya cengkeraman ke arah batok kepala, terpaksa ia mengangkat
tangan kanannya, mempergunakan gerak Hauw-jiauw-kang (Cengkeraman Harimau) menyambut tangan
kiri hwesio itu sehingga di lain saat jari-jari kedua tangan itu telah saling cengkeram!
Kini pertandingan dilanjutkan mengandalkan lweekang. Sebelah tangan berebut tongkat yang terlibat rantai,
tarik-menarik, dan sebelah lagi saling cengkeram.
Muka hwesio itu tetap tidak berubah, hanya matanya mengeluarkan sinar bengis. Tangan kirinya yang
mencengkeram makin lama makin kuat sehingga kuku-kukunya telah mulur menancap pada kulit tangan
Keng Thian Siansu, sedangkan rantainya makin lama makin hebat tarikannya sehingga tangan kiri Ketua
Kun lun-pai sudah gemetar. Muka tosu itu sudah berpeluh dan pucat, dan dari kepalanya sudah mengepul
uap, tanda pengerahan lweekang sekuatnya dan keadaannya berbahaya sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Tenaga lweekang dari hwesio itu yang diperoleh dari latihan I-kin-keng secara mendalam sekali, memang
masih menang setingkat lebih. Maka, setelah kini pertandingan dilakukan dengan cara mengandalkan
tenaga lweekang, sudah bisa dipastikan bahwa nyawa Ketua Kun-lun-pai itu tidak akan tertolong lagi!
Pertandingan lweekang biar pun dilakukan tanpa mengeluarkan suara dan tanpa bergerak, namun
bahayanya melebihi pertandingan silat.
Dalam pertandingan silat, setiap serangan dapat ditangkis, dielakkan, bahkan kalau tetap mengenai tubuh
juga, asal tidak telak belum tentu akan menewaskan. Sebaliknya dalam pertandingan lweekang, orang
bertanding dengan mengandalkan tenaga di dalam tubuh, hawa kekuatan yang ‘tidak kelihatan’ namun
yang amat berbahaya karena serangannya dapat dilawan dengan kekuatan di dalam tubuh pula dan siapa
yang kalah pasti ia akan menderita luka parah di sebelah dalam tubuh yang tentu saja akan mendatangkan
maut.
Bu Pun Su pasti maklum akan hal ini. Kalau saja Ketua Kun-lun-pai itu mau melepaskan tongkatnya,
kemudian tangan kirinya membantu tangan kanan, mendorong atau memukul hwesio itu, kiranya
cengkeraman itu akan dapat dilepaskan dan sungguh pun tongkatnya lenyap, tetapi ia akan selamat
nyawanya.
Akan tetapi ketua itu tidak mau dan hal ini pun Bu Pun Su mengerti, maka diam-diam ia merasa kagum
terhadap Keng Thian Siansu yang lebih menghargai kehormatan sebagai ketua partai besar dari pada
nyawanya!
Sambil batuk-batuk Bu Pun Su bangkit dari duduknya. Batuknya makin keras dan kakek sakti ini tiba-tiba
meludah. Ludahnya menyambar ke depan dan mengenai tubuh hwesio yang sedang mengerahkan tenaga
lweekang hendak membunuh Ketua Kun-lun-pai itu.
Kong Mo Taisu terkejut setengah mati. Air ludah yang mengenai kedua pundaknya itu seakan-akan
mengandung tenaga listrik yang membuat kedua lengannya kesemutan dan otomatis tenaganya yang
dikerahkan ke arah kedua lengan menjadi buyar tidak karuan!
“Ayaaaa...!” Ia berteriak sambil melepaskan cengkeraman, menarik kembali rantainya dan melompat ke
belakang.
Dengan demikian maka Keng Thian Siansu selamat dari bahaya maut. Tubuh tosu tua ini terhuyunghuyung
dan ia cepat menuju ke sudut ruangan di mana ia lalu duduk bersila, meramkan mata dan mengatur
napas. Tadi ia telah menggunakan lweekang melampaui batas kemampuannya sehingga di antara urat
yang kurang kuat ada yang pecah dan ia menderita luka dalam yang berat namun tidak membahayakan
nyawanya.
Sekarang Kong Mo Taisu menghadapi Bu Pun Su, matanya melotot dan mulutnya agak terbuka,
nampaknya seperti iblis yang marah sekali.
“Bu Pun Su, kau memang seorang pengecut dan tak tahu malu!” Ia memaki dan bibirnya bergerak-gerak
akan tetapi tak ada kata-kata lanjutan, saking marahnya ia sampai sukar mengeluarkan kata-kata!
Bu Pun Su tersenyum mengejek, “Kong Mo Taisu, kalau roh suci dari Tat Mo Couwsu melihat betapa ilmu
ciptaannya terjatuh ke dalam tangan seekor siluman bulus kemudian digunakan untuk perbuatan
sewenang-wenang, tentu beliau akan menangis. I-kin-keng adalah sebuah ilmu yang tinggi dan bersifat
suci, ilmu yang termasuk ilmu putih dan yang diajarkan demi kemajuan dan kesehatan manusia. Akan
tetapi setelah terjatuh ke dalam tanganmu, berubah menjadi ilmu hitam yang keji!”
“Bu Pun Su manusia rendah! Ternyata watakmu tiada bedanya dengan watak seorang maling hina. Kau
sendiri seorang keji yang telah membunuh dua orang cucu muridku dan kini kau masih berusaha untuk
membersihkan diri dan juga mencoba-coba menghinaku? Kau tadi juga memperlihatkan sifatmu yang licik
dan tak tahu malu. Pinceng bertanding dengan Keng Thian Siansu, mengapa kau membantu dengan cara
menggelap? Apakah itu perbuatan seorang laki-laki?”
Bu Pun Su tidak marah mendengar ejekan ini.
“Terhadap lain orang gagah di dunia kang-ouw sama artinya dengan menghadapi orang segolongan
sendiri, karenanya memang harus dilakukan aturan kesopanan dan harus menjaga kehormatan diri dengan
taruhan nyawa! Akan tetapi menghadapi seekor anjing gila, siapa pun juga boleh menendang, memukul,
dunia-kangouw.blogspot.com
atau meludahi sesuka hati tanpa aturan kesopanan pula.”
“Jahanam, kau memaki aku anjing?”
”Siapa memaki? Aku hanya menyatakan cengli (aturan) dari dunia kang-ouw. Kong Mo Taisu, benarbenarkah
kau datang ini untuk menangkap aku karena kau bilang aku sudah membunuh dua orang cucu
muridmu?”
“Bukan hanya menangkap, sekarang pinceng sudah merubah keputusan. Pinceng hanya akan membawa
kepalamu saja ke Siauw-lim-si agar dijadikan sam-seng, untuk upacara menyembahyangi roh kedua orang
cucu muridku Bok Beng dan Kok Beng.”
Bu Pun Su tertawa geli. “Aduh, alangkah senangnya kalau aku bisa melihat dengan mata kepala sendiri
betapa kepalaku dijadikan sam-seng di atas meja sembahyang! Apakah akan direbus lebih dahulu? Akan
tetapi sayang, mukaku kurus tidak ada dagingnya, mana ada setan yang suka?”
Kong Mo Taisu menggerakkan rantainya. “Bu Pun Su, bersiaplah kau untuk mampus!”
Bu Pun Su mengangkat tangannya menyetop. “Nanti dulu, Kong Mo Taisu. Sedangkan aku yang hendak
kau bunuh tidak tergesa-gesa, mengapa engkau yang mau membunuh begitu tidak sabaran? Kau bilang
aku telah membunuh Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang, mengapa sekarang kau yang datang
membalas dendam dan bukan Hok Bin Taisu sendiri dan tokoh-tokoh Siauw-lim-si yang lain? Sejak kapan
kau menjadi hakim di Siauw-lim-pai? Dan pula, dari siapa kau mengerti bahwa aku telah membunuh dua
orang tokoh Siauw-lim-pai itu?”
“Tak usah banyak cerewet. Pendeknya, pinceng tahu bahwa kaulah yang membunuh Bok Beng dan Kok
Beng, juga membunuh Cin Giok Sianjin dari Kun-lun-pai! Pinceng adalah seorang Siauw-lim-pai, sudah
semestinya pinceng yang membalas dendam.”
Tiba-tiba Bu Pun Su tertawa bergelak. Suara ketawanya bergema sampai jauh dan suara ini lapat-lapat
mengejutkan binatang-binatang hutan di sekitar puncak, yang dijawab oleh auman binatang-binatang buas!
“Kong Mo Taisu, kau kira aku tidak dapat menduga? Ternyata siluman betina Pek Hoa telah mengunjungi
Siauw-lim-si pula! Dan aku percaya, para pendeta di Siauw-lim-si pasti tak mau percaya hawa busuk yang
keluar dari bibir merah siluman itu. Kemudian siluman itu lari memasuki goamu dan membujuk rayu dengan
matanya yang bening dan bibirnya yang merah. Dan kau... ahhh, mana bisa lain? Kau dengan segala
senang hati berkenan melaksanakan permintaannya untuk membunuhku. Bukankah itu cocok sekali?”
Untuk sesaat hwesio itu berdiri tercengang. Kalau mendengar omongan Bu Pun Su itu, seakan-akan kakek
sakti ini telah melihat dan menyaksikan semua! Memang dugaan Bu Pun Su ini tepat sekali.
Setelah berhasil memanaskan hati orang-orang Kun-lun-pai, Pek Hoa kemudian langsung menuju ke
Siauw-lim-si dan di kuil Siauw-lim-si yang besar dia hanya diterima di ruangan depan sekali, tak
diperbolehkan masuk. Di situ wanita ini mengarang cerita, menyatakan bahwa ia telah menyaksikan
dibunuhnya Bok Beng Hosiang dan Kok Beng Hosiang oleh Bu Pun Su di Pulau Pek-le-to.
Akan tetapi, ketika para hwesio penyambut menyampaikan hal ini kepada Hok Bin Taisu, hwesio Ketua
Siauw-lim-pai yang tidak mau menjumpai Pek Hoa ini menyatakan ketidak percayaannya.
“Apa pun juga yang terjadi, pinceng lebih percaya kepada Bu Pun Su dari pada kepada Pek Hoa Pouwsat.
Suruh perempuan itu cepat-cepat pergi meninggalkan Siauw-lim-si!” kata Hek Bin Taisu.
Demikianlah, tepat seperti dugaan Bu Pun Su, Pek Hoa lalu meninggalkan Siauw-lim-si dan mengunjungi
tempat pembuangan atau pertapaan Kong Mo Taisu.
Kong Mo Taisu yang mendengar omongan dan ejekan Bu Pun Su, selain terheran-heran, juga ia merasa
malu sekali. Terbayang olehnya betapa Pek Hoa Pouwsat memang telah datang ke goanya di mana ia
bertapa untuk menebus dosanya terhadap Siauw-lim-si.
Tentu saja tadinya ia menolak keras untuk keluar dari goa dan untuk menolong wanita itu membalas sakit
hatinya terhadap Bu Pun Su. Akan tetapi Pek Hoa adalah seorang wanita cantik jelita seperti bidadari, dan
pula dalam menggoda, membujuk dan merayu hati pria, dia sudah terlatih dan karenanya pandai sekali.
dunia-kangouw.blogspot.com
Meski pun Kong Mo Taisu telah menjadi seorang hwesio dan telah bertapa bertahun-tahun, akan tetapi
pada dasarnya ia memiliki kelemahan batin.
Digoda hebat oleh Pek Hoa yang cantik, runtuhlah pertahanan imannya dan akhirnya ia kalah juga. Apa lagi
ketika dalam bujuk rayunya ini Pek Hoa menyinggung-nyinggung bahwa Bu Pun Su telah membunuh dua
orang anak murid Siauw-lim-pai, Kong Mo Taisu serta-merta lalu menyetujui untuk menolong wanita cantik
itu!
Demikianlah, dan sekarang Bu Pun Su bicara demikian tepat seakan-akan orang aneh ini melihat dengan
mata sendiri. Tentu saja Kong Mo Taisu menjadi heran dan malu yang akhirnya menimbulkan marahnya.
“Bu Pun Su, jangan mencoba berputar lidah. Betapa pun juga, kau telah membunuh dua orang anak murid
Siauw-lim-si dan karenanya harus membayar dengan nyawa!” Setelah berkata demikian, rantai di
tangannya menyambar ke arah kepala Bu Pun Su.
Bu Pun Su maklum bahwa hwesio ini selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga memiliki tenaga lweekang
dan ilmu I-kin-keng, karena itu serangan-serangannya tentu berbahaya sekali. Akan tetapi di samping ini,
dia pun maklum bahwa ilmu silat dari Kong Mo Taisu adalah ilmu silat curian, karenanya tentu cara melatih
diri tidak sempurna, tidak menurut cara bagaimana mestinya atau boleh juga dibilang secara ngawur.
Dengan gerakan yang seenaknya Bu Pun Su dapat menghindarkan serangan rantai itu, kemudian
berkatalah Bu Pun Su,
“Kong Mo Taisu, satu kali kau sudah melakukan pelanggaran dan penyelewengan hingga kau dihukum oleh
Siauw-lim-si. Kemudian untuk ke dua kalinya kau berbuat jahat hingga telingamu dibuntungi oleh mendiang
Seng Thian Siansu. Sekarang kau belum bertobat bahkan sudah mau diperalat oleh Pek Hoa Pouwsat.
Hwesio, kedosaanmu sudah sangat memuncak dan kau perlu diseret ke Siauw-lim-si!”
Kata-kata yang panjang ini diucapkan oleh Bu Pun Su sambil menghadapi serangan bertubi-tubi yang
dilakukan oleh Kong Mo Taisu. Serangan-serangan itu hebat dan setiap sambaran rantai atau pukulan
tangan dapat mengundang maut, akan tetapi oleh Bu Pun Su hanya dilawan dengan kegesitan dan
kelemasan tubuhnya saja.
Sekali saja kakek ini menggeser kaki, memiringkan tubuh atau menundukkan kepalanya, menekuk lutut
atau menggoyang pinggang, maka semua serangan itu mengenai tempat kosong belaka, dan hanya sejari
terpisah dari anggota tubuh! Dalam penglihatan para tokoh Kun-lun-pai, seakan-akan Bu Pun Su tidak
mengelak, melainkan tubuhnya menjadi ringan seperti kapas dan selalu terdorong oleh angin serangan
sehingga semua pukulan tidak mengenai sasaran.
“Kong Mo Taisu, tahukah kau apa maksudnya hwesio digunduli kepalanya?” Bu Pun Su bicara terus.
Dia cepat menggunakan tenaga Pek-in Hoat-sut untuk mengebut pergi ujung rantai yang kali ini
menyambar cepat sekali ke arah lehernya sehingga tak mungkin dapat dielakkan pula. Ujung rantai itu
bagai terdorong oleh tenaga aneh sehingga arahnya menyeleweng dan leher Bu Pun Su terluput dari
sabetan.
“Rambut merupakan bagian penting dalam kebagusan rupa manusia, dan sifat pesolek terutama kelihatan
dalam cara mengatur rambut. Oleh karena seorang hwesio itu wajib membersihkan hati, maka
melenyapkan sifat mempesolek diri menjauhkan nafsu birahi didahului dengan penggundulan rambut
kepala.”
Kembali Bu Pun Su mengibaskan ujung lengan bajunya untuk menolak serangan rantai yang hendak
membabat pinggangnya, kemudian melanjutkan kata-katanya,
“Akan tetapi kau walau pun kepalamu gundul kelimis, masih saja kau terpengaruh oleh wajah cantik Pek
Hoa Pouwsat, benar-benar amat memalukan!”
Dengan kemarahan makin meluap, rantai di tangan Kong Mo Taisu menyambar dengan pukulan dahsyat
ke arah kepala Bu Pun Su. Hwesio ini merasa penasaran dan juga kaget bukan main. Ia sudah mempunyai
kepandaian yang tinggi dan boleh dibilang di kalangan Siauw-lim-si, kepandaiannya telah mencapai
tingkatan yang tertinggi. Mengapa sekarang menghadapi Bu Pun Su yang bertangan kosong saja,
serangan-serangannya sampai dua puluh jurus lebih tak pernah berhasil? Apa lagi Bu Pun Su masih ada
dunia-kangouw.blogspot.com
kesempatan untuk bercakap-cakap dalam menghadapi serangan-serangannya itu!
Sekali ini pukulan rantai ke arah kepala amat kuatnya, dilakukan dengan mengerahkan tenaga I-kin-keng
sepenuhnya. Biar pun rantai itu masih jauh, akan tetapi Bu Pun Su sudah merasakan sambaran angin
pukulan yang benar-benar dahsyat.
“Siancai... sayang sekali ilmu hebat terjatuh ke dalam tangan jahat...,” kata kakek sakti ini.
Cepat dia mengulur tangan kanannya menangkap ujung rantai yang menyambar ke arah kepalanya.
Perbuatan seperti ini kiranya hanya Bu Pun Su seorang saja yang berani melakukannya, karena jangankan
kalah besar tenaganya oleh Kong Mo Taisu, andai kata setingkat saja, cara menangkap ujung rantai yang
sedang menyambar itu merupakan bahaya maut yang nyata!
Akan tetapi Bu Pun Su bukan manusia dengan kepandaian biasa saja. Untuk masa itu, kiranya tidak ada
keduanya. Kakek ini adalah ahli waris tunggal dari kitab pusaka Im-yang Bu-tek Cin-keng, kitab yang sudah
diperebutkan oleh seluruh tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw, ketika Bu Pun Su masih menjadi seorang
anak kecil (baca Pendekar Sakti).
Dalam menerima dan menangkap rantai lawannya ini, biar pun kelihatannya gerakannya biasa saja, akan
tetapi lengan yang digerakkan itu mengeluarkan uap putih dan jari-jari tangannya berbentuk cakar. Ujung
rantai yang berat serta menyambar cepat itu dapat ditangkapnya dengan mudah, dan tanpa mengeluarkan
suara sedikit pun ujung baja itu sudah digenggamnya.
Di lain saat, rantai itu berbunyi kerotokan dan menegang, gagangnya dipegang oleh Kong Mo Taisu dan
ujungnya oleh Bu Pun Su. Benar-benar sangat aneh. Meski pun rantai itu terbuat dari baja, akan tetapi
karena bersambung-sambung, tentu saja dapat berbengkok-bengkok.
Anehnya, ketika dua orang sakti itu memegang ujungnya, mereka saling mendorong dan rantai itu
menegang seperti sebuah tongkat baja saja! Inilah saluran tenaga lweekang tinggi yang membuat rantai itu
menegang. Jangankan rantai, biar pun yang dipegang itu sehelai sabuk sutera, dapat juga menjadi kaku
dan keras melebihi baja.
Pertempuran ini benar-benar menegangkan. Semua pendeta Kun-lun-pai yang berada di situ mengerti
belaka apa artinya pertandingan ini. Pertempuran yang dilakukan oleh kaki tangan, bahkan dengan senjata
sekali pun, masih belum begitu menegangkan laksana pertempuran adu tenaga dalam seperti yang
dilakukan oleh Kong Mo Taisu dan Bu Pun Su pada saat itu. Semua ahli silat tinggi maklum belaka bahwa
dalam adu tenaga dalam, kalah menang hanya diputuskan oleh kematian seorang di antaranya!
Akan tetapi bagi Bu Pun Su tidak demikian. Kakek sakti ini telah memiliki tingkat yang tak dapat diukur lagi
tingginya, maka mengandalkan kepandaiannya dia dapat menundukkan Kong Mo Taisu tanpa
membahayakan nyawa lawannya itu.
“Kong Mo Taisu, insyaflah kau akan kesesatanmu dan kalau kau mau berjanji kelak tidak akan melakukan
pelanggaran-pelanggaran sebagai seorang pendeta, aku akan lupakan hinaan-hinaan tadi. Kau boleh ambil
kembali rantaimu!” Sambil berkata demikian, Bu Pun Su sengaja mengendurkan pegangannya pada ujung
rantai, seolah memberi kesempatan kepada Kong Mo Taisu untuk menarik kembali rantainya.
Kalau saja Kong Mo Taisu bukan seorang sombong dan mempunyai dasar yang buruk, tentu ia tahu bahwa
kepandaiannya masih kalah jauh oleh Bu Pun Su. Dalam pergulatan mengadu tenaga dalam ini saja, dia
sendiri telah mengerahkan seluruh tenaga I-kin-keng yang ada padanya. Akan tetapi sebaliknya Bu Pun Su
masih dapat berkata-kata dengan suara seenaknya saja, tanda bahwa di pihak Bu Pun Su, tenaga yang
dikerahkan paling banyak hanya setengahnya.
Akan tetapi Kong Mo Taisu ternyata tidak mau menerima usul Bu Pun Su ini. Ia maklum bahwa dengan
menarik kembali rantainya, sama halnya dengan mengaku kalah dan hal ini akan menjatuhkan namanya.
Maka, melihat Bu Pun Su mengurangi tenaganya, ia hendak mengambil keuntungan dari kesempatan baik
ini dan tiba-tiba sambil berseru keras dia mendorong dengan segenap tenaga yang ada dalam dirinya!
Semua tosu Kun-lun-pai melihat ini dan mengerti bahaya besar mengancam diri Bu Pun Su.
“Curang...!” Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai berseru marah melihat kelicikan Kong Mo Taisu ini. Akan
dunia-kangouw.blogspot.com
tetapi karena dia maklum bahwa tenaganya jauh kurang kuat untuk dapat menolong Bu Pun Su, kakek
Kun-lun-pai ini hanya mencekal tongkatnya erat-erat, siap untuk menyerbu Kong Mo Taisu.
Akan tetapi kekhawatirannya ini sebetulnya tidak perlu. Bu Pun Su adalah seorang yang cerdik dan
waspada. Dia tadi mengurangi tenaganya bukan sekali-kali karena bodoh dan lengah, melainkan hendak
memberi kesempatan kepada lawannya kalau-kalau lawan itu sadar dan mau merubah wataknya.
Diam-diam dia telah menyediakan tenaga pada pundaknya. Kini melihat betapa Kong Mo Taisu secara
nekat mendorong dengan seluruh tenaga, Bu Pun Su segera menyalurkan tenaganya, dari kedua pundak
tangan menyambut datangnya tenaga dorongan lawan.
Akibat pertemuan dua tenaga raksasa ini hebat sekali.
“Krek… krek…krek…!” terdengar suara dan satu demi satu mata rantai itu hancur!
Akhirnya Kong Mo Taisu mengeluarkan pekik mengerikan pada saat mata rantai terakhir di dekat telapak
tangannya hancur dan tubuhnya seperti didorong ke belakang. Dia jatuh terduduk, wajahnya pucat sekali,
kedua lengannya tergantung lemas di dekat tubuhnya, kedua matanya meram.
“Siancai... siancai... Kong Mo Taisu, kau melenyapkan ilmumu sendiri.” kata Bu Pun Su menarik napas
panjang.
Keng Thian Siansu yang melihat ini pun menyebut nama Thian dan menggeleng-geleng kepalanya. Walau
pun sepak terjang Kong Mo Taisu sangat jahat dan tidak tahu diri, akan tetapi sekarang melihat hwesio itu
telah kehilangan seluruh tenaga lweekang-nya, bahkan menderita luka-luka pada pundak dan lengan yang
berarti bahwa selamanya dia tak akan dapat menjadi seorang ahli silat lagi, Ketua Kun-lun-pai ini menaruh
hati kasihan.
Bu Pun Su lalu melanjutkan perundingannya dengan Keng Thian Siansu. Kedua orang kakek ini akhirnya
mencapai persetujuan. Kun-lun-pai menyanggupi permintaan Bu Pun Su untuk melakukan pengawasan
serta penjagaan di tapal batas barat untuk mencegah musuh-musuh negara menyerbu dari barat dan
memasuki wilayah Tiongkok. Sebaliknya Bu Pun Su juga menyanggupi untuk menangkap dan membawa
Pek Hoa Pouwsat ke kuil Kun-lun-pai untuk menerima hukuman.
Setelah perundingan beres, Bu Pun Su berpamit dan turun gunung sambil membawa Kong Mo Taisu. Ia
pergi ke Siauw-lim-si, menyerahkan Kong Mo Taisu kepada Hok Bin Taisu Ketua Siauw-lin-pai dan
menjelaskan semua persoalan, sampai-sampai mengenai kematian dua orang anak murid Siauw-lim-pai
oleh Pek Hoa Pouwsat.
Hok Bin Taisu sudah maklum siapa adanya Bu Pun Su, maka hwesio tua ini percaya penuh. Dengan
ramah-tamah pihak Siauw-lim-pai menyanggupi permintaan dari Bu Pun Su untuk membantu menggalang
persatuan di antara orang-orang gagah demi menolong rakyat jelata yang terancam bahaya perang.
Kemudian Kong Mo Taisu mereka masukkan ke kamar hukuman di dalam kuil. Bu Pun Su tidak lama
tinggal di kuil Siauw-lim-si dan segera berpamit pergi, diantar sampai di luar pintu oleh Ketua Siauw-lim-pai
sendiri, hal yang jarang terjadi.
Demikianlah pengalaman-pengalaman Bu Pun Su dituturkan dengan singkat. Kakek sakti ini lalu
melakukan perjalanan untuk memenuhi janjinya kepada Keng Thian Siansu Ketua Kun-lun-pai, yakni
mencari dan kemudian menyeret Pek Hoa Pouwsat ke puncak Kun-lun untuk diadili oleh pihak Kun-lun-pai.
Akan tetapi, di dalam perjalanannya ini, akhirnya Bu Pun Su mendengar berita bahwa Pek Hoa Pouwsat
sudah tewas ketika menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok dari tengah kaum pemberontak. Bu Pun Su
menarik napas panjang dan ia terheran-heran.
Bagaimana siluman wanita itu mau menolong Ang I Niocu Kiang Im Giok yang ia tahu sedang mengantar
utusan Kaisar yang bernama Gan Tiauw Ki? Benar-benar aneh sekali. Karena ingin mendengar sendiri dari
Im Giok, ia segera menuju ke Sian-koan, di samping hendak menanyakan mengenai Pek Hoa Pouwsat
kepada Ang I Niocu, dia juga hendak bertanya kepada Kiang Liat tentang tugas yang diserahkan kepada
pendekar itu.
Akan tetapi, alangkah terkejut dan tertusuk perasaan Bu Pun Su ketika tiba di Sian-koan dia mendengar
tentang peristiwa hebat yang terjadi dalam keluarga Kiang. Kemudian dia mencari makam Kiang Liat dan di
dunia-kangouw.blogspot.com
tanah kuburan itu ia melihat Ang I Niocu Kiang Im Giok yang duduk melamun seperti patung.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, Ang I Niocu yang kaget mendengar suara teguran Bu Pun
Su, lalu segera menjatuhkan diri berlutut sambil menangis tersedu-sedu dan mencurahkan seluruh
kesedihan hatinya.
“Susiok-couw... teecu seorang yang put-hauw (tak berbakti), teecu seorang jahat yang mengakibatkan
matinya Twako Gan Tiauw Ki, teecu pula yang... membunuh Ayah...“ Dia terisak-isak sampai suaranya tak
dapat terdesak lagi.
Bu Pun Su mengejap-ngejapkan matanya karena terharu dan ikut berduka. Sebelum dia menjumpai Im
Giok, lebih dahulu kakek ini telah mencari keterangan mengenai terjadinya peristiwa itu, maka tahulah ia
apa yang sesungguhnya telah menimpa keluarga gadis ini.
“Susiok-couw... harap Susiok-couw turun tangan menghukum teecu... sirnakan saja teecu dari muka bumi
ini… teecu sudah tidak kuat menanggung dosa...,” gadis ini melanjutkan kata-katanya yang dicampur
dengan tangis.
“Kiang Im Giok, omongan apakah yang kau keluarkan itu? Bukan demikian sikap seorang yang menjunjung
tinggi kegagahan! Bangunkan semangatmu dan usir semua kelemahan yang menyelubungi kegagahanmu
seperti mendung menutupi matahari. Angkatlah muka dan dada, arahkan pandangan ke depan. Apa semua
kedukaan dan keharuan ini? Bukan engkau saja yang hidup sebatang kara di muka bumi ini. Mengerti?”
Kata-kata Bu Pun Su benar-benar mengandung sesuatu yang gaib, yang membantu Ang I Niocu
menemukan kembali dirinya, mengangkatnya dari jurang kedukaan dan lamunan, membuat dirinya sadar
kembali. Diangkatnya mukanya yang pucat sekali dan rambutnya yang awut-awutan itu sebagian menutupi
mukanya, akan tetapi yang masih luar biasa cantiknya itu, dan ia memandang kepada guru besar di
hadapannya dengan mata penuh harap dan tanya.
Melihat gadis ini diam-diam Bu Pun Su merasa sangat kasihan. Dia harus akui bahwa selama hidupnya
belum pernah dia melihat seorang gadis yang secantik ini, akan tetapi yang mempunyai nasib seburuk ini.
“Im Giok, seperti kukatakan tadi, di dunia ini bukan hanya engkau yang sebatang kara hidupnya. Aku
sendiri semenjak kanak-kanak sudah menjadi seorang yatim piatu dan apa bila dibandingkan dengan aku,
nasibmu ini tidaklah terlalu buruk. Aku tahu bahwa kau kehilangan ayahmu dan juga bahwa kau berduka
karena kematian Gan Tiauw Ki. Akan tetapi, kita manusia ini dapat berdaya apakah terhadap ketentuan
mati dan hidup? Setiap pertemuan pasti akan diakhiri dengan perpisahan, demikian pula setiap perpisahan
pasti akan mendatangkan pertemuan lain.”
Im Giok yang mendengarkan ucapan Bu Pun Su dengan perhatian sepenuhnya karena ia sudah sadar
kembali, lalu menjawab,
“Teecu mengerti, Susiok-couw. Hanya yang menghancurkan perasaan teecu adalah cara meninggalnya
dua orang yang telah merebut kasih sayang teecu di semua orang di dunia ini. Twako Gan Tiauw Ki jauhjauh
datang hendak mengajukan pinangan untuk diri teecu kepada Ayah, akan tetapi siapa sangka, dia
tewas dibunuh oleh Ayah. Kemudian Ayah... Ayah meninggal dunia dalam keadaan... sebagai... sebagai
musuh teecu...” Mata yang sudah dikuras air matanya itu kembali menjadi basah.
“Semua itu hanya dijadikan lantaran saja, Im Giok. Tentu saja kematian menjadi tidak sewajarnya kalau
terjadi tanpa sebab. Dan sebab-sebab ini sudah ada yang mengaturnya lebih dulu, kau tidak perlu
penasaran. Ada pun semua sebab-sebab yang mengakibatkan akibat-akibat yang terjadi di dunia ini,
merupakan cermin, merupakan contoh bagi yang masih hidup. Kita harus dapat melihat, menangkap intisari
semua sebab dan akibat, lalu mempelajari pertalian-pertaliannya sehingga mata kita akan terbuka dan
dapat mengatur langkah dalam hidup agar tidak sampai menyeleweng. Semenjak kecil kau dilatih tentang
kegagahan, maka kau juga harus memiliki kegagahan lahir batin, berlaku tenang dalam menghadapi semua
kejadian, tetap teguh dan kokoh kuat batinnya, inilah sikap seorang gagah. Terseret ke dalam lembah duka
dan berlarut-larut menyiksa diri sendiri lahir batin, ini bukanlah sikap seorang gagah, melainkan kelemahan
seorang bodoh! Tugas hidupmu masih cukup banyak di dunia ini, kenapa mesti terbenam dalam lamunan
dan duka untuk hal-hal yang sudah lenyap, sebaliknya membiarkan saja tugas-tugas suci yang berada di
depan mata? Beginikah sikap seorang pendekar?”
Kata-kata ini membangkitkan semangat Ang I Niocu. Dia memberi hormat sambil berlutut lalu berkata,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Susiok-couw, maafkan kelemahan teecu. Apakah yang teecu selanjutnya harus lakukan? Teecu mohon
petunjuk karena hanya Susiok-couw yang menjadi harapan teecu untuk memberi petunjuk.”
“Banyak sekali yang bisa kau lakukan, Im Giok. Kepandaianmu sudah cukup dan kiranya pedangmu itu
akan melakukan banyak perbuatan baik, menolong sesama manusia yang tertindas, mengulurkan tangan
untuk menarik sesama hidup keluar dari jurang kehinaan dan penindasan, membasmi orang-orang jahat
yang banyak berkeliaran di dunia ini.”
“Teecu mohon diberi tugas tertentu agar teecu dapat mencurahkan perhatian seluruhnya terhadap tugas
itu, Susiok-couw.”
Bu Pun Su mengerti akan kehendak gadis itu. Memang, melakukan sebuah tugas yang penting, tugas yang
sukar, merupakan hiburan yang menarik dan dapat melupakan orang dari kedukaannya, mendatangkan
perasaan bahwa dirinya masih penting dan dibutuhkan oleh orang banyak.
“Baiklah, Im Giok. Aku pun tengah membutuhkan bantuanmu, karena itu kebetulan sekali kalau kau
menyediakan tenagamu. Tugas ini bukan ringan dan di samping membutuhkan kepandaian lahir, juga perlu
sekali dengan sikap yang tepat dan bijaksana. Ketahuilah bahwa pada waktu sekarang, pada saat kita
semua harus menggalang persatuan, terjadi suatu hal yang amat mengecewakan. Aku mendengar bahwa
antara Bu-tong-pai dengan Kim-san-pai terjadi bentrokan dan pertentangan. Bu-tong-pai adalah sebuah
partai besar dan berpengaruh dan Lo Beng Hosiang ketua Bu-tong-pai merupakan seorang berwatak
gagah dan menjunjung tinggi keadilan. Sebaliknya, Kim-san-pai kabarnya juga dipimpin oleh orang-orang
pandai dan terkenal pula sebagai orang-orang gagah yang mempunyai welas asih karena mereka itu
adalah pemuja Kwan Im Pouwsat, Dewi Welas Asih. Aku sendiri masih sangat sibuk mempersiapkan
pertemuan besar antara para pemimpin dan tokoh-tokoh kang-ouw, maka kau wakili aku dan pergilah ke
Kim-san. Coba kau selidiki mengenai pertentangan antara Kim-san-pai dengan Bu-tong-pai itu dan sedapat
mungkin usahakanlah supaya kedua partai itu dapat menyelesaikan urusan mereka dengan jalan damai.”
Im Giok merasa terhibur mendengar perintah ini dan menyatakan kesanggupannya.
“Teecu akan segera berangkat memenuhi perintah Susiok-couw,“ katanya.
Kemudian dengan hati lega ia bersembahyang untuk berpamit di depan makam ayahnya, juga di depan
kuburan Gan Tiauw Ki. Ia merasa heran dan juga girang bahwa kini tidak ada lagi kedukaan hebat yang
membikin gelap hati serta pikirannya, setelah dia bertemu dan bercakap-cakap dengan Susiok-couw-nya.
“Di mana adanya suci-mu?” tiba-tiba saja Bu Pun Su bertanya sesudah Im Giok selesai bersembahyang.
“Kalau tidak pergi, tentu dia ada di rumah,” jawab Im Giok yang selama ini seakan-akan sudah lupa akan
suci-nya itu.
“Hemm, aku ingin bertemu dengan dia.”
Maka pergilah kakek dan gadis itu menuju ke rumah Im Giok di kota Sian-koan, rumah besar yang kini
hanya ditinggali oleh dua orang gadis, Im Giok dan Kim Lian, dibantu oleh beberapa orang pelayan.
Setelah tiba di rumah, ternyata Kim Lian tidak berada di situ. Menurut para pelayan, gadis itu sudah pergi
sejak dua hari yang lalu, entah pergi ke mana karena tidak memberi tahu kepada siapa pun juga. Ketika Im
Giok memasuki kamar, ia mendapat kenyataan bahwa suci-nya itu sudah membawa semua pakaian dan
perhiasan, tanda bahwa suci-nya itu pergi jauh dan mungkin sekali tidak akan kembali. Ia menarik napas
panjang dan segera keluar lagi dan menceritakan hal ini kepada Bu Pun Su.
“Im Giok, di samping tugasmu ke Kim-san-pai, selanjutnya kau bertugas mengamat-amati suci-mu. Jangan
sampai kelak dia melakukan kejahatan-kejahatan dan penyelewengan-penyelewengan yang akan
mencemarkan nama baik kita. Betapa pun juga, dia adalah murid mendiang ayahmu dan karena dia
mempelajari ilmu silat yang bersumber dari aku dan sute Han Le, berarti bahwa dia itu pun adalah anak
muridku. Ini berarti bahwa aku bertanggung jawab pula atas seluruh sepak terjangnya dan karenanya aku
sendiri yang akan menghukumnya kalau ia mempergunakan ilmu kita untuk perbuatan jahat.”
Setelah banyak memberi nasehat yang merupakan hiburan dan pembangkitan semangat bagi gadis itu, Bu
Pun Su lalu meninggalkan Sian-koan. Sesudah kakek ini pergi, Ang I Niocu kemudian menjual rumah dan
dunia-kangouw.blogspot.com
seluruh perabot rumah, membagikan sebagian uang pendapatannya kepada para pelayan, kemudian
pergilah ia melakukan perjalanannya ke Kim-san.
Im Giok memang tidak ingin kembali pula ke Sian-koan, tempat yang dianggapnya hanya mendatangkan
kedukaan belaka, maka dia menjual rumah dan semua isinya. Sekarang yang menjadi cita-citanya hanya
merantau, merantau sejauh mungkin, menjelajahi dunia yang masih asing baginya, di samping hendak
memperluas pengetahuannya, juga untuk melakukan tugas sebagai seorang pendekar pembela rakyat
tertindas.
Kalau semenjak ayahnya meninggal sampai bertemu dengan Bu Pun Su, Kiang Im Giok selalu
mengenakan pakaian putih yang sederhana sekali, sekarang dalam perjalanannya, dia kembali
mengenakan pakaiannya yang dahulu, yakni serba merah! Kecantikan dan kesegarannya yang dahulu
sudah pulih kembali dan setiap orang yang melihat gadis baju merah ini lewat, pasti akan menengok dan
memandang penuh kekaguman.
Ang I Niocu memang seorang gadis jelita yang jarang ada keduanya. Mukanya bulat telur dengan dagu
meruncing manis dan pipi yang selalu kemerah-merahan tanpa cat, merah sewajarnya yang membayang di
balik kulit yang halus. Rambutnya digelung model puteri istana dengan jambul tinggi di tengah atas dan sisa
rambut yang panjang itu dibiarkan menggantung di belakang leher.
Untuk mengikat gelung rambutnya, dipasang hiasan-hiasan rambut yang indah, yang dulu selalu dibelikan
ayahnya yang sangat memanjakannya. Hiasan ini membuat rambutnya yang hitam mulus itu nampak indah
karena batu-batu kemala penghias rambut nampak lebih cemerlang dengan dasar rambut hitam itu.
Sepasang telinganya yang bagian atas tertutup rambut, digantungi anting-anting panjang yang terbuat dari
emas bermata kemala. Anting-anting ini selalu bergerak-gerak, seperti bermain-main di antara leher dan
dagu yang halus, amat manisnya dipandang mata.
Wajahnya merupakan sesuatu yang selalu menarik pandang mata orang, penuh dengan kemanisan dan
keindahan yang tak membosankan. Alis matanya hitam kecil memanjang, bentuknya membayangkan
kegagahan, demikian pula sepasang mata yang cemerlang itu.
Sekarang mata ini sedikit berbeda dengan dahulu. Apa bila dahulu selalu membayangkan kejenakaan,
kegembiraan, dan juga kegagahan, sekarang di situ terbayang sesuatu yang menjadi cermin kematangan
jiwa, sifat yang hanya dimiliki oleh orang yang sudah pernah mengalami kesengsaraan batin yang hebat.
Mungkin dulu orang masih berani memandang rendah kepadanya melihat sinar matanya bagai sinar mata
kanak-kanak nakal. Akan tetapi sekarang, lebih dulu orang akan berpikir masak-masak sebelum berbuat
sesuatu terhadap dirinya kalau sudah bertemu pandang dengan Ang I Niocu.
Di dalam sorot mata ini tersembunyi sesuatu yang sangat dahsyat, sesuatu yang berupa ancaman dan
yang akan membuat orang menundukkan muka dengan hati ngeri karena bagi yang tajam pandang
matanya, tentu akan bisa menangkap kekerasan hati yang luar biasa dari sinar mata Ang I Niocu.
Akan tetapi kekerasan ini tersembunyi di balik kejelitaan yang ditimbulkan oleh hidungnya yang kecil
mancung, oleh sepasang bibirnya yang kecil penuh dan selalu merah, di mana kadang kala waktu sedikit
terbuka nampak berkilauan gigi putih yang selalu bersembunyi. Demikian manisnya bentuk mulut Ang I
Niocu sehingga sukarlah ditentukan mana yang lebih indah, matanya ataukah mulutnya.
Baju dalamnya berwarna biru, yang hanya nampak pada bagian leher serta lengan baju. Kemudian bajunya
terbuat dari sutera halus berwarna merah muda, amat lemas sehingga membayangkan bentuk tubuhnya
yang amat molek. Kemudian pakaian luarnya berwarna merah darah seluruhnya dan pada pinggangnya
yang ramping sekali itu diikatkan sabuk berwarna biru terhias benang emas.
Ikat pinggang inilah yang membuat pakaiannya melengket pada tubuhnya dan membuat bentuk tubuhnya
nampak nyata, mempesonakan tiap orang yang melihatnya. Akan tetapi, betapa pun menariknya gadis
jelita ini, tidak ada orang yang berani sembarangan berlaku kurang ajar oleh karena selain bersikap agung,
Ang I Niocu juga selalu membawa pedang yang gagangnya kelihatan, tersembul dari balik pundaknya.
Ang Niocu menjual semua barang-barangnya, kecuali Pek-hong-ma, yaitu kuda bulu putih kesayangannya.
Dalam menempuh perjalanan menuju ke Kim-san, ia pun menunggang Pek-hong-ma. Setelah kini
meninggalkan Sian-koan, timbul kegembiraan hati Ang I Niocu dan dibalapkannya kudanya.
dunia-kangouw.blogspot.com
Kuda Pek-hong-ma memang seekor kuda pilihan yang dahulu dibeli ayahnya dari selatan dengan harga
mahal sekali. Kuda ini selain mempunyai kaki yang ringan dan cepat, juga tubuhnya penuh otot-otot yang
kuat dan napasnya panjang.
Ketika dahulu Ang I Niocu masih suka bepergian dengan Kim Lian, pernah suci-nya ini yang agaknya
mengenal semua orang di Sian-koan, mengumpulkan semua pemilik kuda yang baik-baik di kota itu dan
mengajak mereka berpacu kuda! Ternyata tidak ada seekor pun kuda yang dapat menandingi Pek-hongma.
Hal ini membuat Ang I Niocu semakin sayang kepada Pek-hong-ma.
Pada suatu hari, ketika dia sampai di sebuah dusun, dia mendengar suara orang wanita menangis dan
suara laki-laki memaki-maki. Ang I Niocu cepat melompat turun dari kuda kemudian berlari menuju ke arah
suara itu. Kuda Pek-hong-ma adalah kuda yang sudah jinak dan mengerti, karena itu dia berani
meninggalkannya begitu saja tanpa mengikatkan kendalinya pada pohon.
Ternyata bahwa yang ribut-ribut itu adalah sepasang suami isteri yang masih muda. Si isteri menangis
tersedu-sedu di depan pintu, dan si suami berdiri tegak di ambang pintu, menghadang dan agaknya
mencegah isterinya masuk.
“Perempuan tak tahu malu! Aku sudah mengusirmu pergi dan kau masih ada muka untuk merengekrengek?
Benar-benar anjing yang tak mengenal malu!” laki-laki itu memaki dan kakinya menendang
sehingga perempuan itu roboh terguling.
Akan tetapi perempuan itu merangkak kembali. Di antara tangisnya terdengar ia berkata,
“Suamiku, kenapa kau begini kejam? Setelah kau terpikat oleh perempuan lain, mengapa kau mengusirku?
Suamiku, tidak ingatkah kau betapa dahulu kau membujuk rayu ketika hendak meminang aku? Kau
menikah lagi, aku pun tidak keberatan, dan aku mau hidup sebagai bujang di rumahmu, asal kau jangan
mengusirku. Aku sudah menjadi isterimu, kalau kau mengusirku... di mana aku harus menempatkan
mukaku?”
“Cukup! Tutup mulutmu dan pergilah, aku bukan suamimu lagi! Pergi dan ikut saja orang lain, aku tidak sudi
melihat macammu lagi!”
Perempuan itu terisak-isak dan sambil berlutut ia berkata, “Suamiku, mengapa kau begitu keji...?”
“Siapa keji? Kaulah yang mendatangkan sial? Kau perempuan yang tidak menyambung keturunanku, kau
mendatangkan cemar pada keluargaku. Pergilah!” Kembali laki-laki itu menendang, dan kali ini agak keras
sehingga perempuan itu terguling-guling kemudian mengaduh-aduh.
Timbul penasaran dan marahnya. Kini dengan muka meringis menahan sakit perempuan itu merangkak
dan berdiri, matanya berapi-api.
“Laki-laki berhati iblis, kau berlaku sewenang-wenang kepadaku. Memang aku seorang lemah, akan tetapi
Thian Maha Adil dan Maha Kuasa, manusia iblis macam engkau pasti akan dikutuk oleh Thian...!”
”Jangan banyak cerewet...”
Kata-kata si suami ini terhenti dan dia berdiri melongo ketika tiba-tiba dia melihat seorang gadis baju merah
yang cantik luar biasa bagaikan bidadari, tahu-tahu sudah berdiri di depannya dengan alis terangkat dan
mata berapi. Selama hidupnya, laki-laki itu belum pernah melihat seorang wanita secantik ini, dan melihat
munculnya yang tiba-tiba itu, dia akan percaya kalau ada yang bilang bahwa Si Baju Merah ini adalah
seorang bidadari yang baru turun dari kahyangan!
Gadis itu adalah Ang I Niocu yang kini menoleh kepada perempuan yang tersiksa tadi.
“Toaci yang baik, bajingan ini telah berbuat apakah?”
Perempuan itu pun kaget melihat munculnya Ang I Niocu secara tiba-tiba itu, dan sebagai seorang dusun
dia pun percaya akan tahyul dan menyangka bahwa Ang I Niocu tentulah sebangsa dewi! Maka ia segera
berkata dengan suara ketakutan,
dunia-kangouw.blogspot.com
“Ampunkan hamba... dia itu adalah suami hamba. Sekarang dia hendak menikah dengan gadis lain dan
gadis itu mengajukan permintaan supaya hamba lebih dulu dicerai. Suami hamba mempergunakan alasan
bahwa karena hamba belum juga mempunyai keturunan setelah menikah lima tahun, sekarang hendak
mengusir hamba...”
Semenjak tadi pun Ang I Niocu sudah dapat menduga apa yang menyebabkan perlakuan suami yang
kejam itu terhadap isterinya. Ia sudah marah sekali dan ingin ia turun tangan membunuh suami yang
berlaku sewenang-wenang terhadap isterinya. Akan tetapi Ang I Niocu bukanlah seorang gadis yang
berpikiran pendek.
Ia tahu bahwa kalau ia melakukan hal ini, bukan berarti ia memberi pengobatan kepada penyakit itu, karena
kalau suaminya meninggal, bagaimana kelak nasib isterinya? Jalan terbaik adalah mengakurkan kembali
suami isteri ini dan mencegah si suami menikah kembali dan menyia-nyiakan isteri pertama. Akan tetapi
bagaimana jalannya?
“Toaci, apakah kau masih suka menjadi isterinya?”
“Hamba memang isterinya yang sah, bagaimana tidak suka?” perempuan itu bertanya heran.
“Walau pun andai kata dia menjadi buruk rupa atau... sepasang telinganya hilang sekali pun?”
“Apa pun juga yang terjadi dengan dia, dia tetap suamiku dan hamba tetap akan menjadi isterinya...,” jawab
isteri yang setia ini.
Ang I Niocu menoleh kepada laki-laki itu dengan mata marah
“Jahanam berhati binatang! Isterimu begini setia, begini mulia hatinya dan kau hendak mengusirnya?
Jahanam busuk, kau mengandalkan apamukah? Orang macam engkau ini harus diberi hajaran. Rasakan
ini!”
Tiba-tiba laki-laki yang sejak tadi masih bengong itu melihat sinat berkelebat menyilaukan mata. Terpaksa
ia menutup matanya dan tiba-tiba ia berteriak keras ketika merasa sakit sekali pada bagian kanan kiri
kepalanya. Ketika kedua tangannya diangkat dan meraba pada bagian yang sakit, ternyata bahwa dua
buah daun telinganya telah lenyap! Darah mengucur deras dan laki-laki ini sekarang memandang ke
bawah, melihat dua buah daun telinganya telah menggeletak di atas tanah.
“Lihat baik-baik daun telingamu!” kata Ang I Niocu sambil menyimpan pedangnya. “Lain kali kalau kau
masih hendak menyia-nyiakan isterimu, aku datang mengambil kepalamu!”
Sementara itu, isteri yang melihat suaminya kehilangan dua daun telinganya, menjerit dan menubruk maju.
Cepat ia memeluk suaminya yang hendak roboh pingsan dan di lain saat perempuan itu telah menangisi
suaminya yang pingsan dengan kepala tergeletak di atas pangkuannya.
Ang I Niocu mengeluarkan bebetapa potong uang perak, memberikannya kepada wanita itu sambil berkata,
“Aku sengaja membuntungi telinganya supaya dia kapok. Pula kiraku perempuan yang lain itu takkan sudi
lagi ia kawini setelah ia menjadi cacat. Kau rawat dia dan belikan obat untuk lukanya. Selamat tinggal dan
mudah-mudahan rumah tanggamu baik kembali.”
Tanpa memberi kesempatan kepada perempuan itu menghaturkan terima kasihnya, Ang I Niocu sudah
berkelebat pergi, tidak tahu bahwa perempuan itu saking kaget dan mengira dia betul-betul seorang dewi,
berlutut dan mulutnya berkemak-kemik mengucapkan doa seperti kalau ia bersembahyang di depan patung
Kwan Im Pouwsat!
Sambil duduk di punggung kudanya yang berjalan perlahan, Ang I Niocu membayangkan seluruh peristiwa
yang tadi dilihatnya. Berkali-kali dia menghela napas panjang dan dari bibirnya yang merah itu keluar
keluhan-keluhan pendek,
“Hemmm, ngeri kalau melihat suami isteri seperti itu...! Alangkah banyaknya suami isteri yang tidak bahagia
hidupnya. Ayah sendiri karena terlalu mencinta ibu sampai menjadi sengsara, Twako Gan Tiauw Ki
terbunuh akibat mencintaiku. Perempuan tadi pun karena cintanya kepada suaminya, mengalami perlakuan
yang keji.”
dunia-kangouw.blogspot.com
Memikirkan ini semua, makin tawar hati Ang I Niocu dan seakan-akan rasa cinta di dalam hatinya telah ikut
terbawa mati pula oleh kematian ayahnya dan kematian Gan Tiauw Ki. Diam-diam dia mengambil
keputusan untuk tidak menikah selama hidupnya, untuk selalu hidup sebatang kara di dunia ini, melakukan
perbuatan-perbuatan besar sebagai seorang lihiap (pendekar wanita).
Pandangannya terhadap cinta kasih menjadi rendah dan remeh, dan di dalam pikirannya timbul kesan
bahwa cinta kasih hanya mendatangkan sengsara belaka, bahwa di dunia ini lebih banyak cinta palsu dari
pada cinta kasih murni. Cinta kasih murni saja banyak mendatangkan kesengsaraan, apa lagi cinta yang
palsu! Bergidik kalau dia teringat akan peristiwa suami isteri yang baru saja dilihatnya tadi.
Perjalanan menuju Kim-san, gunung yang menjadi pusat partai silat Kim-san-pai, melalui daerah
perbatasan antara Propinsi Secuan dengan Cing-hai. Daerah ini termasuk wilayah Pegunungan Min-san
dan pada waktu itu daerah ini terkenal sebagai daerah yang amat liar dan berbahaya. Tidak saja berbahaya
karena jalannya sukar ditempuh dan banyak terdapat binatang buas, akan tetapi terutama sekali karena
sudah berpuluh tahun tempat ini dijadikan sarang gerombolan penjahat yang terkenal kejam.
Gerombolan rampok ini dipimpin oleh tiga orang bersaudara yang terkenal dengan nama poyokan Min-san
Sam-kui (Tiga Setan dari Bukit Min-san). Tiga orang kepala perampok bersaudara ini terkenal lihai ilmu
silatnya dan mereka mempunyai kepandaian tinggi dan keistimewaan masing-masing.
Pernah ada beberapa orang gagah di dunia kang-ouw yang mendatangi Min-san untuk menyerbu Min-san
Sam-kui ini. Akan tetapi para pendekar itu akhirnya terpukul mundur dan terpaksa lari turun gunung
menderita luka-luka. Selanjutnya tidak ada pendekar yang berani naik lagi.
Orang-orang yang kepandaiannya tanggung-tanggung saja, amat berbahaya kalau berani mengganggu
Min-san Sam-kui. Sebaliknya, para tokoh besar juga tak mau mengganggu mereka oleh karena walau pun
ketiga orang ini merupakan tokoh-tokoh golongan liok-lim (berandal), tetapi mereka berwatak gagah
perkasa dan tidak pernah melanggar peraturan liok-lim atau kang-ouw. Mereka melakukan perampokan
tidak membuta tuli dan mereka hanya beroperasi di daerah Min-san saja, tidak pernah mengganggu daerah
atau wilayah orang lain.
Orang pertama dari Min-san Sam-kui ini adalah Toa-to Ang Kim, seorang tinggi besar bermuka brewok
berusia kurang lebih lima puluh tahun. Sesuai dengan julukannya Toa-to yang berarti Golok Besar, Ang Kim
adalah seorang ahli golok yang lihai, bertenaga besar dan mengandalkan tenaga gwakang (tenaga luar)
yang amat hebat.
Dengan kedua tangannya, Ang Kim ini sanggup menumbangkan sebatang pohon siong yang besarnya
sepelukan orang dan goloknya saja yang sangat tebal besar dan tajam, beratnya tidak kurang dari seratus
kati! Dapat dibayangkan betapa besarnya tenaga Ang Kim, karena orang dengan tenaga biasa saja,
jangankan harus memainkan golok yang sedemikian beratnya, baru mengangkat saja kiranya sukar
dilakukan.
Orang ke dua bernama Kwan Liong berjuluk Pek-ciang (Tangan Putih). Dia ini seorang pemuda berusia tiga
puluh tahun yang berwajah putih serta tampan sekali. Juga kedua telapak tangannya berkulit putih seperti
kulit tangan wanita, maka dia dijuluki Si Tangan Putih. Sikapnya juga lemah lembut seperti seorang wanita,
akan tetapi lebih baik tidak dekat-dekat dengan Kwan Liong kalau dia sedang marah.
Sifatnya yang lemah lembut dapat berubah beringas dan kejam sekali. Berbeda dengan suheng-nya, Ang
Kim, pemuda ini adalah seorang ahli lweekang dan pedangnya sangat tangguh dan lihai. Memang dulu
guru mereka yang melihat bakat Ang Kim, menurunkan kepandaian yang berdasarkan gwakang kepada
Ang Kim, sebaliknya melihat dasar dari Kwan Liong, menurunkan ilmu-ilmu silat berdasarkan lweekang
kepada pemuda tampan ini.
Ada pun orang ke tiga adalah adik perempuan Kwan Liong yang bernama Kwan Bi Hoa, seorang gadis
berusia dua puluh lima tahun. Seperti juga Kwan Liong, Bi Hoa mempunyai wajah yang cantik dan manis
dengan bentuk tubuh ramping berisi yang selalu ditutup oleh pakaian yang ketat dan sepan mencetak
bentuk tubuhnya. Bedanya, apa bila Kwan Liong kelihatan pendiam, adalah Bi Hoa amat genit dan suka
bicara, lagi pula galak dan telengas.
Hanya dalam satu hal gadis dan kakaknya ini mempunyai watak yang sama, yakni mata keranjang! Walau
pun kakak beradik ini belum pernah menikah, namun kekasih mereka banyak sekali. Seperti kakaknya pula,
Kwan Bi Hoa adalah seorang ahli pedang, akan tetapi jika Kwan Liong memainkan pedang tunggal, adalah
dunia-kangouw.blogspot.com
Bi Hoa memainkan sepasang pedang dan oleh karena itu dia diberi julukan Siang-kiam Sian-li atau Bidadari
Dengan Sepasang Pedang!
Agaknya kehidupan tiga orang pimpinan gerombolan ini akan berlangsung aman dan tak seorang pun
berani mengganggu mereka, kalau saja Ang I Niocu tidak lewat di situ, atau kalau saja Ang I Niocu tidak
secantik itu atau Kwan Liong bukan seorang mata keranjang!
Ketika Ang I Niocu menjalankan kudanya perlahan-lahan mendaki jalan yang berliku-liku dan menanjak di
pegunungan Min-san, gadis ini merasa tertarik sekali dengan keindahan pemandangan alam di sekitar
tempat ini. Dia sengaja membelokkan kudanya ke arah sebuah puncak yang nampak indah penuh dengan
pohon Pek dan bunga-bunga merah putih, kemudian ia melompat turun dan menikmati pemandangan
indah dan hawa gunung yang sejuk yang bermain-main dengan rambutnya.
“Indah nian tempat ini...” pikirnya dan tak terasa pula Ang I Niocu lalu mengambil tempat duduk di atas
sebuah batu.
Jiwa seninya lalu tergugah oleh keindahan tamasya alam yang terbentang luas di depan kakinya dan
perlahan-lahan Ang I Niocu bernyanyi. Tanpa terasa serangkaian sajak telah dijalinnya dalam keadaan
termenung dan terpesona dengan keindahan alam itu, sambil melihat burung-burung beterbangan di atas
jurang.
Berkawan sebatang pedang
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud, tiada tujuan
Hanya mengandalkan kaki dan hati!
Ang I Niocu merasa betapa kata-kata ini cocok sekali, karena itu dengan girang ia lalu mengulang-ulang
kata-kata itu. Saking asyiknya menikmati pemandangan-pemandangan indah dan hawa sejuk, ia sampai
tidak tahu bahwa semenjak tadi, beberapa pasang mata mengintainya dari balik gerombolan pohon, agak
jauh dari situ.
Makin lama orang-orang yang mengintainya ini semakin mendekat, menyelinap di antara pohon-pohon.
Sesudah mereka datang agak mendekat, tentu saja mata Ang I Niocu yang berpandangan tajam itu dapat
melihat mereka.
Dengan tenang gadis ini tersenyum seorang diri, lalu dia berkata dengan suaranya yang merdu akan tetapi
nyaring dan tinggi menusuk telinga,
“Siapakah kalian yang mengintai dari balik batang pohon? Kalau kalian bukan binatang buas, keluarlah dan
katakan apa maksud kalian mengintai aku!”
Sampai lama suara ini tidak ada yang menjawab. Kemudian, tiba-tiba terdengarlah suara suitan dan dari
balik batang-batang pohon itu berlompatan dua belas orang laki-laki yang bertubuh tegap dan bersikap
kasar.
“Kalian ini siapakah dan apa maksud kalian mengintai aku yang sedang duduk seorang diri?”
Seorang di antara mereka, agaknya pemimpinnya, yang bertubuh tinggi dan berhidung hitam, kemudian
tertawa bergelak, cengar-cengir bagaikan monyet memandang kepada kawan-kawannya.
“Seorang tamu menegur dan bertanya kepada tuan rumah. Ha-ha-ha-ha, sungguh lucu. Nona, dengan
sesuka hatimu kau melanggar wilayah kami, maka terbaliklah apa bila kau yang bertanya siapa kami.
Sepatutnya kau yang harus mengaku siapa kau ini dan apa maksudmu memasuki wilayah Min-san. Kau
membawa-bawa pedang, tentu kau seorang pandai. Siapakah gurumu dan dari golongan manakah kau?”
Mendengar pertanyaan ini, Ang I Niocu tersenyum dan dua belas pasang mata makin kagum
memandangnya karena memang bukan main manisnya kalau gadis ini tersenyum. Beberapa orang sampai
menelan ludah dengan hati penuh gairah.
Tiba-tiba saja gadis ini teringat akan kata-kata yang dinyanyikan seorang diri tadi. Maka, kini ditanya nama
dan asal usulnya, dia pun membuka bibir bersyair sambil menengadah ke langit.
dunia-kangouw.blogspot.com
Berkawan sebatang pedang
Menjelajah ribuan li tanah dan air
Tanpa maksud, tiada tujuan
Hanya mengandalkan kaki dan hati
Kau masih bertanya maksud keperluan?
Tanyalah kepada burung di puncak pohon
Terbang ke sini berkehendak apakah?
Dua belas orang itu adalah anak buah gerombolan perampok di bawah pimpinan Min-san Sam-kui. Tentu
saja mereka ini adalah bangsa kasar yang tak peduli tentang sajak. Akan tetapi mereka pun sudah banyak
tahu mengenai keanehan orang-orang kang-ouw, maka biar pun mereka merasa mendongkol mendengar
jawaban ini, tetap saja mereka masih menahan kesabaran. Pemimpinnya maju selangkah dan berkata
dengan suaranya yang parau,
“Nona, kau begini muda, begini cantik seperti bukan manusia, kau seorang diri berada di tempat ini benarbenar
merupakan hal yang aneh dan sulit dipercaya. Kalau kami melihat seekor singa betina, atau seekor
ular betina atau binatang-binatang buas yang lain lagi, kami takkan merasa heran. Akan tetapi melihat kau
seorang diri saja berada di tempat ini benar-benar merupakan hal yang hampir tidak mungkin! Ketahuilah
bahwa kami bukanlah orang-orang yang tidak bisa menghargai persahabatan di dunia kang-ouw dan
pemimpin-pemimpin kami adalah Min-san Sam-kui yang terkenal gagah perkasa. Mungkin kau juga
seorang kang-ouw, melihat lagakmu dan pedangmu, maka kami sudah bertanya dengan baik. Harap kau
suka menjawab pertanyaan kami, Nona manis.”
Biar pun kata-kata yang keluar dari mulut orang ini seperti kata-kata sopan dan tahu aturan, akan tetapi
pandang mata mereka itu semua menimbulkan muak dalam hati Ang I Niocu, maka ia lalu bangkit berdiri
dan berkata singkat,
“Aku tidak peduli tentang Min-san Sam-kui dan aku tidak kenal mereka. Aku tidak ada urusan dengan
kalian!” Setelah berkata demikian Ang I Niocu segera berjalan pergi dari puncak itu, kegembiraannya yang
tadi lenyap oleh gangguan ini.
Akan tetapi dua belas orang itu serentak mengejar kemudian menghadang di depannya. Pemimpin yang
berhidung hitam tadi berkata,
“Nanti dulu, Nona. Mengapa terburu-buru? Kalau kau kenal dengan Min-san Sam-kui, kau pergi begitu saja
masih tidak mengapa. Akan tetapi kau sendiri menyatakan tidak kenal. Hemm, kalau begitu kau seorang
asing dan karenanya kau harus membayar pajak jalan kepada kami!”
Ang I Niocu mengerti bahwa ia kini berhadapan dengan perampok-perampok kasar, akan tetapi ia tetap
tenang. Ia juga mengerti akan peraturan di kalangan liok-lim ini, yakni siapa yang dianggap bukan kawan
atau kenalan, apa bila lewat di daerah mereka diharuskan ‘membayar pajak jalan’ atau kasarnya dirampok
barang-barang bawaannya!
“Berapa aku harus membayar pajaknya?” tanya Ang I Niocu.
Sebagai seorang pengembara ia harus mengindahkan peraturan-peraturan yang berlaku di dunia kang-ouw
supaya jangan dianggap tidak mengerti aturan, maka nona ini sudah bersedia mengeluarkan uang untuk
sekadar menyokong mereka.
Akan tetapi, orang-orang itu saling berpandangan dengan muka cengar-cengir, kemudian terdengar
seorang di antara mereka majukan usul kepada pemimpin Si Hidung Hitam.
“Twako, minta ia tinggalkan pakaian yang dipakainya!”
“Setuju...! Biar hilang sombongnya!”
“Serahkan kepadaku saja untuk membikin jinak kuda betina liar ini!”
Kata-kata yang tak sopan mulai terdengar dan pemimpin hidung hitam itu menghadapi Ang I Niocu sambil
tertawa-tawa dan berkata,
“Kau mendengar sendiri, Nona manis. Kawan-kawanku berlaku murah, karena kau cantik jelita dan masih
dunia-kangouw.blogspot.com
muda, kami tidak mengharapkan barang-barang bawaan atau bekalmu. Akan tetapi kami hanya
menghendaki pakaian yang menempel di badanmu itu supaya kau tanggalkan dan kau berikan kepada
kami.”
Kata-kata ini disambut sorak-sorai para perampok itu.
Ang I Niocu tetap tersenyum, akan tetapi bila diperhatikan betul-betul, orang akan melihat belahan bibirnya
yang bawah tergetar dan kedua matanya mengecil, mengeluarkan sinar berapi-api. Inilah tandanya bahwa
Ang I Niocu menahan amarah yang berkobar-kobar di dalam dadanya.
Dengan gerakan tenang sinar matanya mencari-cari ke bawah. Ia tidak mau menghadapi orang-orang
kasar ini dengan tangan, segan ia menggunakan tangan menyentuh mereka. Untuk menggunakan pedang
dia malu kepada diri sendiri. Masa menghadapi tikus-tikus busuk macam ini saja ia harus mencabut
pedangnya?
Akhirnya matanya melihat sebatang ranting kering yang berada di bawah pohon, maka tersenyumlah ia,
senyum manis yang membuat hati dua belas orang laki-laki itu semakin tergiur hatinya.
“Kalian ini tikus-tikus hutan berani bermain gila di depan Ang I Niocu? Bagus, terimalah pembayaran
pajakku ini!”
Tiba-tiba dua belas orang itu berseru kaget ketika gadis baju merah itu lenyap dari depan mereka. Sebagai
gantinya, nampak berkelebat bayangan merah yang menyambar ranting di tanah, kemudian menjeritjeritlah
mereka, disusul tubuh mereka roboh tumpang tindih.
Si Hidung Hitam tahu-tahu sudah kehilangan sebelah hidungnya dan hidung itu sekarang berubah merah
karena darah. Ada pula yang daun telinganya pecah dan juga ada yang lengannya tertusuk ranting, dan
sebentar saja dua belas orang itu melarikan diri sambil menjerit-jerit kesakitan dan penuh rasa takut!
Ang I Niocu melemparkan rantingnya, mengebut pakaian yang terkena debu, lalu dengan senyum manis
serta langkah tenang dia turun dari tempat itu dan menghampiri kudanya. Dengan perlahan dia
menjalankan kudanya menuruni Bukit Min-San. Dia mengira bahwa para perampok itu tentu sudah tobat
dan tidak akan muncul lagi. Akan tetapi ternyata dugaannya ini keliru.
Baru saja ia turun dari puncak itu, tiba-tiba terdengar suara gemuruh dan tahu-tahu dari segala jurusan
muncul banyak orang. Mereka ini adalah anak buah perampok yang tentu saja lebih hafal akan keadaan di
situ dan dapat mengambil jalan pendek menghadang perjalanan Ang I Niocu. Mereka terdiri dari puluhan
orang, dipimpin oleh Min-san Sam-kui yang menghadang di tengah jalan dengan sikap sombong.
Melihat tiga orang yang pakaiannya serba mewah dan sikapnya jauh berbeda dengan para perampok itu,
Ang I Niocu segera bersiap-siap dan sengaja melompat turun dari atas kudanya.
“Pek-hong-ma, kau tunggu aku di bawah sana!” katanya sambil menepuk punggung kuda itu.
Kuda Pek-hong-ma ini sudah bertahun-tahun dipelihara oleh Ang I Niocu, maka menjadi amat penurut dan
karena dilatih, maka ia mengerti akan kehendak nona majikannya. Mendapat tepukan itu, ia lalu berlari-lari
turun gunung! Dengan tenang Ang I Niocu lalu menghadapi para perampok itu, terutama tiga orang yang
menjadi pemimpin mereka.
Toa-to Ang Kim dan Siang-kiam Sian-li Kwan Bi Hoa memandang kepada Ang I Niocu dengan mata
mengandung kemarahan besar, meski pun kemarahan Ang Kim tercampur dengan keheranan dan
kekaguman melihat gadis muda cantik jelita itu. Adalah Pek-ciang Kwan Liong yang berdiri dengan mata
terbelalak dan mulut celangap, menahan napas dan dadanya berdebar-debar.
“Demi Iblis!” katanya perlahan dengan mata tidak pernah berkedip menatap wajah dan bentuk tubuh gadis
baju merah di depannya itu, penuh takjub. “Kalau dia itu manusia dan bukan dewi kahyangan, tidak tahu
lagi aku apa bedanya antara gadis dan dewi!”
Mendengar ini, Bi Hoa adiknya membantah perlahan, ”Apakah dewi kahyangan saja yang memiliki
kecantikan luar biasa? Juga siluman rase mempunyai kecantikan yang melebihi kecantikan manusia biasa.
Jangan nanti kau salah menduga, siluman rase disangka dewi kahyangan.”
dunia-kangouw.blogspot.com
“Biar pun ia siluman rase atau siluman tikus, apa bila bisa mendapatkan dia, aku akan merasa bahagia
sekali... alangkah manisnya, ehhh, Bi-moi pernahkah kau melihat bibir semanis itu? Hemm...”
Percakapan antara kakak dan adik yang dilakukan bisik-bisik dan dari jarak cukup jauh ini kiranya tidak
akan dapat terdengar oleh telinga Ang I Niocu kalau saja gadis ini bukan seorang pendekar yang memiliki
ilmu tinggi. Pendengarannya jauh lebih tajam dari pada pendengaran manusia biasa, maka ia dapat
menangkap semua percakapan itu sehingga diam-diam ia tersenyum geli.
Sementara itu, Toa-to Ang Kim sudah menegur dengan kata-kata keras dan ketus, “Nona yang lewat di
daerah kami! Kau mengaku berjuluk Ang I Niocu dan secara kejam sudah melukai orang-orang kami.
Sesungguhnya siapakah kau, dari golongan mana dan apa maksudmu datang ke wilayah kami melakukan
penghinaan? Apakah kau sengaja hendak mencari permusuhan dengan Min-san Sam-kui?”
“Kepala berandal, enak saja kau bicara! Anak buahmu tadi bersikap kurang ajar sekali sehingga terpaksa
aku turun tangan memberi hajaran. Kau yang tidak bisa mendidik anak buahmu, tidak menegur mereka dan
minta maaf padaku, sebaliknya hendak menegurku? Aku tidak mencari permusuhan dengan siapa pun
juga, andai kata aku tidak suka kepada kalian ini orang-orang kasar, agaknya Susiok-couw-ku Bu Pun Su
takkan membolehkan aku mencari permusuhan dengan kalian. Akan tetapi ini bukan berarti aku takut!
Meski kalian sekali pun kalau bertindak kurang ajar dan keterlaluan, tak urung akan mendapat bagian!”
“Bocah sombong, rasakan pedangku!”
Bi Hoa sudah menjerit marah dan sepasang pedangnya bergerak cepat menyerang Ang I Niocu. Hanya
nampak sinar pedang berkelebat, disusul pekik kaget dari Bi Hoa.
Ternyata Ang I Niocu telah mencabut pedang dan menangkis serangannya, tangkisannya demikian cepat
dan kuat sehingga pedang di tangan kiri Bi Hoa terlepas dan menancap di atas tanah, sedangkan pedang
kedua tentu akan terlepas pula jika saja ia tidak buru-buru melompat ke belakang dengan muka pucat!
“Sumoi, tahan...!” Toa-to Ang Kim yang melihat gelagat berseru keras. Kemudian kepala rampok yang
tinggi besar ini maju menjura memberi hormat kepada Ang I Niocu sambil berkata ramah,
“Ahhh, tidak tahunya Lihiap adalah cucu murid Sin-taihiap (Pendekar Sakti) Bu Pun Su! Maaf, maaf, kami
mempunyai mata tetapi tidak melihat tingginya Bukit Thai-san. Harap Lihiap sudi memaafkan perbuatan
kurang ajar dari para anak buah kami dan kelancangan Sumoi tadi.”
Di antara tiga orang kepala rampok ini, tentu saja Toa-to Ang Kim yang tertua memiliki pandangan yang
lebih luas dan sikap yang lebih hati-hati. Tidak saja ia menjadi terkejut bukan main mendengar nama Bu
Pun Su disebut-sebut oleh Ang I Niocu, juga melihat betapa sekali gerakan Ang I Niocu sudah dapat
merampas sebatang pedang dari tangan sumoi-nya, maklumlah ia bahwa gadis baju merah ini benar-benar
tidak boleh dipandang ringan, maka ia cepat-cepat mengeluarkan diplomasinya.
Ang I Niocu adalah puteri seorang pendekar besar, juga murid dari orang-orang ternama di dunia kangouw,
maka gadis ini dapat membawa diri. Melihat sikap orang tertua dari Min-san Sam-kui, ia pun merobah
sikapnya dan membalas penghormatan itu.
“Jika mau bicara tentang maaf, siauwmoi juga hendak mohon maaf sebanyaknya bahwa kedatangan
siauwmoi di Bukit Min-san yang sebenarnya hanya kebetulan lewat belaka, sudah mendatangkan banyak
gangguan kepada Sam-wi. Karena kesalah pahaman telah diatasi, perkenankan siauwmoi kini melanjutkan
perjalanan turun gunung mencari kudaku yang sudah lari lebih dulu tadi.”
Memang bagi Ang I Niocu, tak perlu dia menanam bibit-bibit permusuhan dengan segala macam penjahat
rendah, apa lagi kalau tidak ada sebab-sebabnya yang kuat. Dia takut akan mendapat marah dari Bu Pun
Su karena dalam perjalanan berusaha mendamaikan permusuhan antara Bu-tong-pai dan Kim-san-pai,
amat tidak baik kalau usaha itu ia mulai dengan permusuhannya dengan golongan lain! Maka dia hendak
menghabiskan perkara itu sampai di situ saja dan melanjutkan perjalanan.
Akan tetapi dasar harus terjadi keributan, tiba-tiba saja Pek-ciang Kwan Liong, orang ke dua dari Min-san
Sam-kui yang berwajah tampan, dengan sikap halus dan penuh hormat menjura ke depan Ang I Niocu
sambil mengeluarkan suaranya yang merdu halus,
“Lihiap Ang I Niocu, aku yang rendah Pek-ciang Kwan Liong, turut menghaturkan terima kasih atas
dunia-kangouw.blogspot.com
ketinggian budimu yang telah memaafkan anak buahku dan adikku tadi. Kita baru saja berjumpa, akan
tetapi kau sudah mendapat kedudukan tinggi dalam pandangan kami. Kelihaian dan pribudimu yang luhur
benar-benar membuat kami sangat kagum dan tunduk. Oleh karena itu, atas nama semua kawan-kawan,
aku mohon dengan hormat dan sangat, sudilah kiranya Lihiap singgah di tempat kami untuk mempererat
perkenalan ini. Siapa tahu kalau kelak kita akan dapat saling membantu dalam urusan besar.”
Ang I Niocu merasa ragu-ragu. Menurutkan suara hatinya, ia harus menolak dan segera pergi dari situ.
Akan tetapi, orang sudah mengajukan permintaan demikian penuh hormat dan merendah, tidak enak juga
bila ditolak begitu saja. Selagi ia ragu-ragu, ia mendengar ucapan Kwan Bi Hoa,
“Ahhh, Koko, kau ini tidak dapat melihat gelagat. Sungguh pun Ang I Niocu Lihiap sudah memaafkan kita,
akan tetapi tadi sempat bermusuh dengan kita, mana ia percaya kepada undanganmu? Tentu disangka kita
hendak menjebaknya!”
Tag:cersil cersil indo cersil mandarin full cerita silat mandarin online cersil langka cersil mandarin lepas cerita silat pendekar matahari kumpulan cerita silat jawa cersil mandarin beruang salju. cerita silat pendekar mataharicerita silat indonesia cerita silat kho ping hoo cerita silat mandarin online cerita silat mandarin full cerita silat jawa kumpulan cerita silat cerita silat jawa pdf cerita silat indonesia gratis cerita silat jadul indonesia cerita silat indonesia pendekar rajawali sakti cersil indonesia pendekar mabuk cersil langka cersil dewa arak cerita silat jaman dulu cersil jawa download cerita silat mandarin full cerita silat mandarin online cersil mandarin lepas cerita silat mandarin pendekar matahari cerita silat jawa pdf cersil indonesia pdf cersil mandarin beruang salju kumpulan cerita silat pdf
kumpulan cerita silat cersil online
Share:
cersil...
Comments
0 Comments